Setelah memetik bunga mawar
itu, tanpa berpaling lagi Cu Lui-ji lantas kembali ke loteng sana.
Ko Tiong dan lelaki baju hijau
itu terpesona, wajah mereka tampak linglung seperti tergila-gila kepada anak
dara itu sehingga lupa daratan.
Kwe Pian-sian jadi
terheran-heran, ia tidak mengerti apa sebab apakah kedua orang ini berubah
seperti orang kehilangan ingatan.
Padahal, sekalipun Cu Lui-ji
memang seorang dara yang cantik, betapapun usianya baru 11-12 tahun, masa dua
laki-laki setengah umur begini juga tergila-gila kepadanya?
Tertampak langkah Cu Lui-ji
yang lemah gemulai, bajunya yang tipis bergerak terembus angin, tubuhnya yang
lemah itu seolah-olah juga melayang ke sana tertiup angin. Mendadak anak dar
itu menoleh dan tersenyum, sorot matanya yang bening itu seperti tidak sengaja
melirik sekejap ke arah Kwe Pian-sian.
Seketika Kwe Pian-sian merasa
dirinya hampir melupakan usia anak dara yang masih kecil itu, yang tampak
olehnya hanya liuk pinggang si nona yang menggiurkan, selebihnya ia tak tahu
lagi. Hampir-hampir saja iapun mengintil ke sana.
Tapi apapun juga dia memang
lebih kuat dan dapat mempertahankan diri, hatinya hanya terguncang sekejap saja
setelah itu tenang kembali. Sementara itu Cu lui juga berjalan kembali ke ujung
rumah sana, Ko Tiong dan temannya mengikutinya kemudian juga ikut lenyap di
balik pintu sana.
Sejak tadi Gin-hoa-nio juga
mengikuti kejadian tersebut dan baru sekarang ia menghela napas dan berkata:
"Siluman, budak cilik ini benar-benar siluman, sekecil itu sudah mampu
memikat dua lelaki sebesar itu. Pada waktu aku berusia sebaya dia, akulah yang
ikut kian kemari di belakang lelaki".
Setelah berhenti sejenak,
mendadak ia tertawa dan berkata pula: "Hihi, untung iman tuan Kwe kita
cukup teguh, kalau tidak, hampir saja tuan Kwe kita juga ikut terperangkap
olehnya"
"Bukan karena lwekang ku
tinggi, melainkan pengalamanku terhadap perempuan jauh lebih banyak daripada
kedua orang itu," kata Kwe Pian-sian dengan tertawa.
"Sungguh aku tidak paham,
untuk apakah budak cilik itu memikat kedua lelaki itu?" ucap Gin-hoa-nio
dengan tertawa. Mendadak sinar matanya mencorong terang, ia berseru pula:
"Ah, tahulah aku, budak cilik itu sedang memancing ikan, bilamana kedua
orang tolol itu terpancing ke atas loteng sana, maka segenap kungfu mereka pasti
akan terhisap ludes oleh si sakit tbc itu"
"Ya, memang begitu"
kata Kwe Pian-sian
"Sungguh tak tersangka,
sekecil itu dia sudah mahir memancing ikan dengan "Bi-jin-keh" (akal
dengan memperalat perempuan cantik)”, ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Tanpa
disadari kedua orang tolol tadi, tahu-tahu telah terjebak."
"Tampaknya, sebabnya
Ang-lian-hoa dan lain-lain datang ke sini untuk mencarinya memang juga cukup
beralasan" kata Kwe Pian-sian sambil memandang Ji Pwe-giok.
"Memangnya tidak cuma
sekali ini saja perbuatan nona cilik itu?" tanya Pwe-giok.
Melihat caranya bertindak
tidak canggung-canggung itu, jelas sudah tidak sedikit korban yang terjebak di
tangannya, makanya Ji Hong-ho mengerahkan orang sebanyak ini untuk melayani
dia" ujar Kwe Pian-sian.
"Ya, kukira begitu,"
kata Pwe-giok. "Kalau tidak, tokoh macam Ang lian hoa tidak nanti sudi
diperintah oleh Ji Hong ho."
Hal ini mungkin tidak
diketahui orang lain tapi cukup diketahuinya dengan jelas, sebab Ang lian hoa
juga sudah menaruh curiga terhadap "Ji Hong ho" itu.
"Hah, sungguh menarik
juga," kata Kwe Pian sian dengan tertawa, "seorang anak perempuan
berumur belasan ternyata begini besar kesaktiannya. Orang macam begini jelas
bukan orang sembarangan, mungkin tidaklah mudah bagi Ang lian hoa untuk
melayaninya."
Gin hoa nio tertawa ngikik,
katanya:" Betapapun hebat dia toh sudah pernah juga merasakan
tamparanku."
Sembari bicara ia angkat
tangannya hendak memberi contoh agar dia menampar Cu Lui-ji, tapi
mendadak.....ia merasa dirinya juga seperti kena gampar orang satu kali,
seketika ia tak dapat tertawa dan tak dapat berbicara lagi.
Pwe giok dan Kwe Pian sian
memandangnya , wajah Gin hoa nio yang biasanya selalu tersenyum manis itu kini
mendadak berubah pucat seperti mayat, matanya yang jeli kini juga menampilkan
rasa kejut dan cemas yang tidak terhingga sambil memandangi tangannya sendiri.
Malahan sekujur badannya lantas menggigil.
Tanpa terasa Pwe giok dan Kwe
Pian sian ikut memandang tangan Gin hoa nio, hanya sekejap saja mereka
memandang, seketika air muka merekapun berubah, sorot mata merekapun
menampilkan rasa kejut yang tak terhingga.
Tangan Gin ho nio yang putih
bersih dan halus mulus itu kini telah berubah menjadi hitam kemerah-merahan
mirip cakar setan.
"He, kenapa bisa
begini?" seru Pwe giok terkesiap.
Dengan suara gemetar Gin hoa
nio berkata: "Ak....akupun tidak tahu mengapa bisa jadi... jadi begini,
sedikitpun tidak kurasakan apa-apa dan tangan ini tahu-tahu sudah.... sudah
berubah menjadi begini."
"Bisa bergerak tidak
tanganmu ini?" tanya Kwe Pian sian.
"Seperti masih.....masih
bisa bergerak, cu...cuma....."
Belum habis ucapan Gin hoa
nio, mendadak Kwe Pian sian mengangkat sepotong kayu terus menghantam punggung
tangan Gin hoa nio "plok", kayu bakar itu cukup besar, cara menghantamnya
juga cukup keras, tangan siapapun kalau terpukul pasti juga akan menjerit
kesakitan, siapa tahu Gin hoa nio sama sekali tidak berteriak sakit, bahkan
tidak merasakan apapun meski tangan terpukul sekeras itu.
"Sakit tidak?" tanya
Kwe Pian sian.
"Ti...tidak." jawab
Gin hoa nio.
Dipukul tanpa merasa sakit,
sepantasnya dia bergembira. tapi setelah menjawab begitu, seketika air mata Gin
hoa nio berlinang-linang. Ia merasa tangan sendiri kini sudah berubah menjadi
kayu belaka, kaku dan mati rasa seperti bukan tangannya sendiri lagi. Dia
menyaksikan Kwe Pian sian memukulkan kayu tadi, tapi yang dipukul seolah-olah
tangan orang lain.
Kwe Pian sian berkerut kening
pula, dilihatnya di meja sana ada bendo yang biasa di buat potong sayur,
mendadak bendo itu disambarnya terus dibacokkan ke punggung tangan Gin hoa nio.
Meski bendo itu terlalu tajam,
tapi kalau digunakan memenggal tangan seseorang rasanya mudah terlaksana. Siapa
tahu, begitu bendo itu mengenai sasarannya, tangan Gin hoa nio yang terbacok itu
hanya bertambah satu luka kecil saja, bahkan tiada tetes darah yang mengucur
keluar.
Nyata tangan Gin hoa nio telah
berubah lebih keras daripada kayu.
Bahwa tangannya tidak mempan
dipenggal orang, seharusnya Gin hoa nio bergembira tapi mukanya justeru
bertambah pucat dan ketakutan setengah mati.
"Trang", Kwe Pian
sian melemparkan bendo tadi, katanya sambil menggeleng kepala: "Wah,
nonaku yang baik, tamparanmu tadi mungkin telah menimbulkan kesulitan."
"Tapi.....tapi waktu ku
pukul dia, sedikitpun tidak.....tidak merasa apapun," kata Gin hoa nio.
"Justeru racun yang tidak
menimbulkan perasaan apa-apa inilah yang lihai" ujar Kwe Pian sian.
"Tanpa terasa tahu-tahu racun telah merembes ke dalam darahmu, merasuk ke
dalam tulangmu. Bila pada saat kejadian kau rasakan apa-apa tentu kau akan
tertolong."
"Dan sek.....sekarang
apakah tidak tertolong lagi?" tanya Gin hoa nio dengan suara gemetar.
Padahal ia sendiri juga ahli
racun, sudah tentu iapun tahu betapa hebat racun telah masuk tubuhnya. Hanya
dalam keadaan cemas ia masih menaruh setitik harapan atas pertolongan orang
lain.
"Mungkin tak tertolong
lagi," jawab Kwe Pian sian sambil menggeleng.
Gin hoa nio menubruk maju
sambil berteriak. "Ku tahu kau pasti mampu menolong diriku, kaupun ahli
racun, kau.....kau....."
Seperti menghindari makhluk
berbisa saja, dengan cepat Kwe Pian sian melompat mundur sambil berkata:
"Betul, akupun tergolong kakeknya ahli racun, tapi racun selihay ini
selamanya belum pernah kulihat.....Nona yang baik, kau sendiri terkena racun,
sebaiknya jangan kau bikin susah lagi kepada orang lain, lekas kau cari satu
tempat yang baik untuk menantikan ajalmu saja."
Seketika Gin hoa nio menjadi
lemas dan roboh terkulai.
Pwe giok juga tercengang
menyaksikan racun yang meresap di tubuh Gin hoa nio itu, mendadak ia mendorong
pintu dan berkata: "Mari ikut padaku!"
"Akan.....akan kau bawa
kemana diriku?" tanya Gin hoa-nio.
"Orang lain tidak mampu
menolong kau, orang yang meracuni kau pasti dapat," kata Pwe giok.
Seketika Gin hoa nio melonjak
bangun, serunya: "Ya, betul, dia pasti dapat menolong diriku. Meski telah
ku pukul dia, namun antara dia dan aku sebenarnya tiada permusuhan apa-apa,
bila kuminta maaf dan memohon dengan sangat, mungkin dia masih mau menolong
jiwaku."
Padahal iapun menyadari urusan
ini tidak sedemikian sederhana. Tapi maklum juga, seorang yang sudah mendekati
ajalnya layaknya kalau berusaha menghibur dirinya sendiri.
Tiba-tiba Kwe Pian sian
berseru: "Ji-heng, masa betul hendak kau bawa dia kembali ke atas loteng
itu?"
"Ya," jawab Pwe giok
"Kedua orang yang berada
di sana itu jelas bukan manusia baik-baik, untung kau dapat meninggalkan tempat
itu, jika kau pergi lagi kesana, mungkin kau sendiri juga takkan kembali
lagi," seru Kwe Pian sian.
Pwe giok tersenyum hambar,
katanya: "Jika aku harus mati, entah sudah berapa kali aku telah
mati."
"Perempuan begini masa
ada harganya bagimu untuk membelanya dengan taruhan nyawamu, Ji-heng?"
"Sekalipun orang semacam
Kwe heng bila terancam bahaya juga akan ku tolong tanpa pamrih." kata Pwe
giok sembari bicara ia lantas melangkah pergi bersama Gin hoa nio.
Kwe Pian sian menggeleng
sambil bergumam: "Orang macam begini sungguh jarang terlihat, aku tidak
mengerti untuk apakah dia....."
Pada saat itulah mendadak
terdengar Gin hoa nio berteriak-teriak di kejauhan sana: "Ang lian hoa,
Kun Hay-hong, lekas kalian kemari, Kwe Pian sian bersembunyi di dapur hotel
sana....."
Air muka Kwe Pian sian berubah
pucat, dengan gemas ia menggerutu: "Keji amat hati perempuan ini."
Ia lantas memondong Ciong
Cing, lalu diambil lagi bungkusan yang disimpan di bawah onggokan kayu bakar
tadi.
Ciong Cing mendongak
memandangnya, tiba-tiba ia mengucurkan air mata pula, katanya dengan suara
terputus-putus: "Aku......aku sudah begini. tapi.....tapi kau tidak
melupakan diriku, padahal sudah.....sudah banyak perempuan yang kau kenal,
mengapa.....mengapa kau masih begini baik padaku?"
"Jika kau tutup mulut,
mungkin akan lebih baik lagi padamu" jengek Kwe Pian sian.
o0o
Sembari berteriak-teriak,
setiba di bawah rumah berloteng tadi Gin hoa nio sudah terengah-engah,
dilihatnya Pwe giok sedang memandangnya, ia menyengir dan menjelaskan:
"Betapa takkan kubiarkan dia kabur begitu saja, dia bertindak kejam lebih
dulu padaku betul tidak?"
Pwe giok menghela napas,
katanya: "Jangan kau kira aku akan menyalahkan kau, sekarang aku sudah
tahu di dunia ini masih banyak orang yang terlebih busuk darimu. Kau baru
mencelakai orang lain apa bila orang bersalah padamu, tapi ada sementara
orang....." mendadak tidak dilanjutkan ucapannya, ia membalik badan dan
hendak mengetuk pintu.
Tak terduga didalam rumah
lantas ada orang berseru:" Pintu tidak terkunci, masuklah sendiri!"
Gin hoa nio menggigit bibir,
desisnya: "Kiranya dia sudah memperhitungkan kepergian kita tadi pasti akan
datang kembali, makanya kita dibiarkan pergi begitu saja."
Meski ucapannya sangat lirih,
siapa tahu tetap terdengar juga oleh orang di dalam rumah. Terdengar Cu Lui ji
berucap dengan tak acuh: "Kan sudah kukatakan, kami tidak pernah memohon
sesuatu kepada orang lain, kami hanya menunggu orang lain akan datang memohon
kepada kami."
Gin hoa nio mengira Cu Lui ji
berada di balik pintu, tak tahunya setelah pintu didorong, di ruangan bawah
situ ternyata tiada bayangan seorang pun.
Tapi suara Cu Lui ji lantas
berkumandang dari atas loteng, katanya: Sesudah masuk pintu, jangan kalian
palang, bisa jadi sebentar lagi ada orang lain akan datang juga!"
Gin hoa nio menggertak gigi
dengan mendongkol, pikirnya: Tajam benar telinga budak ini."
Sudah tentu ia tak berani
bersuara lagi. Ia ikut Pwe giok naik ke atas loteng dengan perlahan, tirai
jendela tertutup rapat, suasana terasa seram.
Cu Lui ji kelihatan duduk di
kursi kecil di samping tempat tidur, melirik saja tidak kepada kedatangan
mereka, dengan mata terbelalak nona cilik itu mengawasi Sacek atau paman ke
tiganya yang berbaring di tempat tidur.
Kedua orang yang terpancing
masuk tadi juga kelihatan berlutut di kanan kiri tempat tidur, sikap mereka
kelihatan sangat ketakutan, seperti ingin kabur kalau bisa, tapi sayang, tenaga
untuk kabur ternyata tidak ada.
Si sakit tetap berbaring
dengan memejamkan mata, air mukanya tampak mulai bersemu merah pula, selang
sejenak, mendadak uap mengepul di atas kepalanya.
Gigi Ko Tiong kedengaran
bergemerutuk, tiba-tiba ia berseru dengan suara parau dan lemah:
"Am.....ampun Cianpwe, ampun....." makin lama makin lirih suaranya,
sampai akhirnya bahkan suaranya tak terdengar sama sekali.
Sebaliknya Cu Lui ji lantas
berkata "Sacek hanya pinjam pakai tenaga kalian dan tidak ingin mencabut
nyawa kalian, bila setitik Kungfu kalian ini dapat diberikan kepada Sacek, ini
kan rejeki dan kebanggaan kalian."
Belum habis ucapannya mendadak
tangan si sakit dikendorkan, kontan Ko Tiong berdua jatuh terjengkang dengan
napas ngos-ngosan seperti kerbau.
Cu Lui ji lantas mengusap
keringat sang paman dengan sapu tangannya dan bertanya dengan perlahan
"Bagaimana Kungfu kedua orang ini?"
Si sakit menghela napas
gumamnya "Ada nama tanpa isi.....ada nama tanpa isi.....Mengapa dunia
Kangouw sekarang penuh manusia-manusia yang bernama kosong belaka."
Sambil berkerut kening Cu Lui
ji berkata: "Sudah selanjut ini usia kalian, mengapa kalian tidak berlatih
sebaik-baiknya, bilamana latihan dipergiat sedikit, tentu sekarang kalian akan
jauh lebih berjaya."
Ternyata dia menghendaki orang
lain berlatih Kungfu sebaik-baiknya agar dapat "dipinjamkan" kepada
pamannya, ucapan yang mau menang sendiri ini sungguh keterlaluan, sampai Pwe
giok juga geleng-geleng kepala.
Tapi bagi Cu Lui ji, ucapannya
itu ternyata sangat beralasan, bahkan makin omong makin jengkel, mendadak
sebelah kakinya mendepak, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu kedua orang
yang menggeletak di lantai itu terus mencelat keluar jendela, selang sejenak
baru terdengar suara gemuruh genteng pecah, mungkin keduanya jatuh di atap
rumah sebelah.
Bahwa dua orang itu berani
menaksir gadis orang, apa yang mereka alami adalah akibat salahnya sendiri.
Tapi melihat cara anak dara itu turn tangan sekeji itu, mau tak mau Pwe giok
geleng-geleng kepala pula dan menghela napas gegetun.
Gin hoa nio lantas melangkah
maju memberi hormat kepada Lui-ji, katanya dengan mengiring tawa: "Nona
Cu, tadi mataku buta dan berani berbuat sembrono terhadapmu. Kuharap engkau
jangan marah lagi dan sudi memaafkan diriku."
"Aku memang sudah biasa
digampar orang, mana berani ku marah padamu," jawab Lui ji dengan dingin.
Gin hoa nio tahu rasa gusar
orang sebelum lagi hilang, mendadak tergerak pikirannya, ia terus berlutut di
depan si sakit, air matapun berderai, ratapnya: "Sejak kecil aku sudah
yatim piatu, bilamana Cianpwe sudi menolong jiwaku, selanjutnya sekalipun
dijadikan kuda atau kerbau, selama hidup akan kuladeni Cianpwe di sini."
Dia tidak langsung memohon
pertolongan kepada Cu Lui ji, tapi malah memohon kepada si sakit, inilah
kecerdikan Gin ho nio. Ia tahu banyak lelaki berhati lemah terhadap perempuan,
lebih-lebih bila melihat ari mata perempuan. Sebaliknya perempuan terhadap
perempuan biasanya tidak kenal ampun. Kalau sakit ini sudah menyanggupi akan
menolong tentu Cu Lui ji tidak berani membantah.
Betul juga si sakit lantas
membuka matanya dan memandangnya sejenak tiba-tiba ia bertanya: "Apakah
kau murid siau hun kiongcu?"
Pertanyaan mendadak ini
membuat Pwe giok ikut terperanjat.
Dengan terkejut Gin hoa nio menjawab:
"Dari mana....darimana Cianpwe....."
Mestinya dia hendak bilang
"Darimana Cianpwe tahu" sebab dia sudah masuk ke siau hun kiong,
yaitu istana di bawah tanah tempat kediaman siau hun kiongcu, iapun sudah
menyembah kepada amanat tinggalan siau hun kiongcu yang terukir di dinding,
jadi sudah terhitung murid siau hun kiongcu.
Tapi tiba-tiba teringat
olehnya jaman hidupnya Siau hun kiongcu hampir dimusuhi oleh setiap tokoh dunia
persilatan, jika dirinya mengaku sebagai murid Siau hun kongcu, lalu siapa pula
yang mau menolongnya?
Karena pikiran inilah dia
menelan kembali sebagian ucapannya.
Si sakit lantas bertanya pula:
"Apakah kau murid Siau hun kongcu?"
"Bukan!" jawab Gin
hoa nio.
Sejenak si sakit memandangnya,
lalu menghela napas panjang, katanya: "Sayang… sayang!"
"Sayang?" Gin hoa
nio menegas dengan bingung.
Si sakit lantas memejamkan
matanya dan tidak menghiraukannya lagi.
Beberapa kali Gin hoa nio
sudah pantang mulut, tapi tidak berani bertanya, ia menjadi gelisah dan mulut
terasa kering.
Selang sejenak, tiba-tiba
terdengar Cu Lui ji berucap: "Sudah belajar ilmu silat Siau hun kiong, itu
berarti sudah menjadi murid Siau hun kiongcu, dan kalau sudah menjadi murid
Siau hun kiong kenapa tidak berani mengaku? Orang yang lupa pada perguruan dan berkhianat
begini siapa pula yang sudi menolong kau?"
Keringat Gin ho nio
berketes-ketes, ucapnya dengan suara gemetar: "No....nona bilang
apa?"
Tapi Cu Lui ji juga lantas
memejamkan mata dan tidak menggubris kepadanya.
Seketika keadaan menjadi
hening dan menyesakkan napas. Gin hoa nio memandang si sakit memandang pula Cu
Lui ji, gigi mulai gemerutuk.
"Sayang, sungguh
sayang!" tiba-tiba seorang berseru dengan menghela napas panjang.
Ternyata Kwe Pian sian adanya,
entah sejak kapan dia sudah ikut naik ke atas dan berduduk di ujung tangga
sana.
Gin hoa nio tidak tahan lagi,
dengan suara parau ia bertanya: "Sayang katamu? Sesungguhnya apanya yang
harus disayangkan?"
"Bilamana tadi kau
mengaku sebagai murid Siau hun kiongcu, bukan mustahil nona Cu ini akan
menolong kau," kata Kwe Pian sian.
"Sebab apa?" tanya
Gin hoa nio.
Kwe Pian sian tertawa,
katanya: "Masa sampai sekarang kau tidak dapat menerka siapakah nona Cu
ini?"
"Memangnya
siapa.....siapa dia?" tanya Gin hoa nio.
Mendadak Kwe Pian sian berdiri
dan memberi hormat kepada Cu Lui ji, katanya: "Dengan sendirinya nona Cu
inilah puteri kesayangan Cu nio-nio dari Siau hun kiong."
Ucapan ini membikin Pwe giok
ikut terkejut serentak Gin hoa nio lantas berdiri, tapi cepat ia berlutut pula
kebawah tanyanya dengan terbelalak terhadap Cu Lui ji: "Apakah....apakah
benar engkau puteri siau hung kiongcu?"
Namun Cu Lui ji sama sekali
tidak menjawab, wajahnya tetap kaku dingin tanpa emosi. Anak umur belasan tahun
seolah-olah berubah menjadi nyonya setengah baya yang kenyang asam garamnya
kehidupan.
Sekujur badan Gin hoa nio
terasa dingin, mendadak ia berteriak dengan suara parau: "Tidak, tidak
mungkin! Siau hun kiongcu sudah meninggal 30 atau 40 tahun, tidak mungkin
mempunyai anak perempuan sekecil ini!"
Kwe Pian sian menghela napas,
katanya: "Dunia persilatan memang penuh rahasia dan banyak teka-teki yang
tak terpecahkan, perempuan muda belia seperti kau bisa tahu apa?"
"Apa.....apakah kau
tahu?" tanya Gin hoa nio.
"Meski aku tahu sedikit,
tapi tidak berani ku katakan" ujar Kwe Pian sian.
Mendadak si sakit menukas:
"Kalau tahu, mengapa tidak berani dikatakan?"
Kwe Pian sian berbangkit dan
memberi hormat katanya: "Jika demikian kehendak Cianpwe, tentu saja Cayhe
menurut." Lalu dengan perlahan ia bertutur: "Menurut cerita yang
sudah turun temurun, satu diantara rahasia besar dunia persilatan adalah
mengenai teka-teki kematian Siau hun kiongcu..."
"Tapi dengan mata
kepalaku sendiri kulihat jenazahnya," kata Pwe giok.
"Konon itu bukan Siau hun
kiongcu yang tulen" ujar Kwe Pian sian, "jenazah itu hanya seorang
pelayannya saja. Karena dia hendak menghindari pencarian musuh, maka
menggunakan akal begitu."
Meski dia sedang menjawab
pertanyaan Ji Pwe giok, tapi matanya terus memandang si sakit.
Dilihatnya si sakit tetap
berbaring tanpa bergerak, seperti sudah tertidur dan entah dengar tidak
ucapannya.
Kwe Pian-sian berdehem, lalu
menyambung: "Meski tindak-tanduk Siau-hun-kiongcu sangat dirahasiakan,
tapi entah mengapa, akhirnya jejaknya diketahui orang, orang pertama yang
mengetahui rahasianya konon ialah Tonghong-sengcu..."
"Tonghong-sengcu?"
Pwe-giok menegas. "Apa yang kau maksudkan adalah Tonghong Tay-beng dari
Put-ya-seng (kota tanpa malam) di pulau Jit-goat-to yang merajai 72 pulau
lautan selatan itu?"
Kwe Pian-sian tersenyum,
katanya: "Betul, tidak menjadi soal sekarang kau sebut namanya, konon di
masa jayanya, bilamana ada orang berani langsung menyebut namanya, maka orang
itu mungkin sukar hidup satu jam lebih lama lagi."
Mendadak si sakit membuka mata
dan menatap Pwe-giok, tanyanya dengan bengis: "Darimana kau tahu nama
Tonghong Tay-beng?"
Pwe-giok merasa mata orang
yang tadinya guram itu mendadak mencorong terang dan menggetar sukma, meski
diam2 terkejut, tapi dia tetap tenang saja dan menjawab: "Ayahku pernah
bercerita padaku bahwa Tonghong-sengcu ini adalah satu di antara ke sepuluh
tokoh terkemuka dunia persilatan. Cuma dia jauh bertempat tinggal di lautan
selatan, kebanyakan orang Kangouw tidak kenal kelihaiannya. Ayahku juga
mengatakan bahwa kesepuluh tokoh yang memang hebat itu kebanyakan jarang
bergerak di dunia Kangouw, padahal ilmu silat mereka rata2 di atas pimpinan
ke-13 aliran dan perguruan yang paling ternama sekarang ini."
"Siapa2 saja ke sepuluh
tokoh yang dimaksudkan?" tanya si sakit.
"Cayhe tidak ingat lagi
seluruhnya, cuma masih ingat diantaranya kecuali Tonghong-sengcu ini, ada lagi
Nikoh sakti Eng-hoa Taysu dari Eng-hoa-kok. It-gun, si unta terbang dari gurun
utara, Lo cinjin dari Jing-sia-san, Sin-liong-kiam-khek, yang jejaknya sukar
diraba itu, lalu ada lagi Li Thian-eng dari Sin-hong-nia ...."
Belum habis ucapannya, si
sakit seperti tidak sabar lagi mendengarkan, ia berkerut kening dan mendengus:
"Hm, jadi mereka itu yang dimaksudkan ke sepuluh tokoh tertinggi? Hm,
mereka sesuai?" Lalu dia memejamkan mata dan memberi tanda kepada Kwe
Pian-sian: "Lanjutkan!"
Kwe Pian-sian berdehem pula,
lalu menyambung: "Konon permusuhan Tonghong-sengcu dan Siau-hun-kiongcu
sangat dalam, setelah mendapat kabar di mana beradanya Siau-hun-kiongcu, segera
ia mengumpulkan belasan Tocu dari ke-72 pulau laut selatan, diundang pula
Li-thian-ong, Oh-lolo dan lain2, dicarinya Siau-hun-kiongcu untuk menuntut
balas."
"Ah, ingatlah aku,"
seru Pwe-giok mendadak. "Oh-lolo itupun termasuk satu di antara kesepuluh
tokoh tersebut, konon ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, tapi kemahirannya
menggunakan racun konon jarang ada bandingannya di dunia ini."
"Tujuan Tonghong-sengcu
mengundang Oh-lolo agar ikut menghadapi Siau-hun-kiongcu justeru supaya
meng.....Hk, hk...." mestinya Kwe Pian-sian hendak omong "menggunakan
racun untuk menyerang racun", tapi demi melihat wajah Cu Lui-ji yang masam
itu, seketika ia telan kembali ucapannya itu dengan batuk2.
"Apakah orang2 itu sudah
mengetahui tempat sembunyi Siau-hun-kiongcu?" tanya Pwe-giok.
"Dengan sendirinya
tahu," jawab Kwe Pian-sian.
"Dan dapatkah mereka
menemukan Siau-hun-kiongcu?" tanya Pwe-giok pula.
"Mungkin ketemu,"
kata Kwe Pian-sian.
"Wah, pertarungan sengit
itu pasti luar biasa dan jarang terjadi di dunia ini," ujar Pwe-giok.
"Lalu bagaimana kesudahannya?"
"Itulah akupun tidak
tahu," kata Pian-sian.
"Kaupun tidak tahu?"
Pwe-giok menegas.
"Ya, bukan cuma aku saja
tidak tahu, mungkin di dunia ini juga tiada orang lain lagi yang tahu,"
kata Pian-sian sambil menyengir.
"Memangnya sebab
apa?" tanya Pwe-giok heran.
"Tindak-tanduk Tonghong
Tay-beng dan rombongannya sudah tentu juga sangat dirahasiakan, tapi pada waktu
mereka hendak mulai bergerak, konon lebih dulu mereka mengadakan pesta pora di
Gak-yang-lau (nama restoran terkenal di tepi danau Tongting), kebetulan di
dekat Gak-yang-lau juga ada orang yang sedang pesiar dengan perahu di bawah
bulan purnama, tanpa sengaja mereka mendengar pembicaraan rombongan
Tonghong-sengcu itu, maka diketahuilah berkumpulnya tokoh2 top dunia persilatan
itu adalah hendak menghadapi Siau-hun-kiongcu."
"Dengan begitu beritanya
lantas tersiar?" tanya Pwe-giok.
"Orang yang mendengar
pembicaraan rombongan Tonghong-sengcu itu bukan orang yang suka usil mulut,
sebab itulah berita itu tidak tersiar dengan luas, namun orang Kangouw umumnya
memang sukar menjaga rahasia, akhirnya urusan itu tetap juga didengar orang,
diam-diam ada orang menyelidiki kejadian itu, betapapun mereka ingin tahu
bagaimana kesudahan pertarungan sengit antara tokoh-tokoh top itu."
"Apakah kejadian itu
tetap tak dapat diselidiki mereka?" tanya Pwe giok pula.
"Ya, tidak ada yang
berhasil menyelidikinya," jawab Kwe Pian sian.
"Sebab apa?" tanya
Pwe giok.
Kwe Pian sian menghela nafas
gegetun, katanya: "Sebab tokoh-tokoh top macam Tonghong-sengcu, Oh-lolo
dan lain-lain itu untuk selanjutnya lantas lenyap tanpa bekas, seolah-olah
mereka mendadak hilang dari permukaan bumi ini, siapapun tak dapat menemukan
mereka."
Terperanjat Pwe-giok,
tanyanya: "Masa orang-orang itu sama.....sama disikat Siau hun
kiongcu..." dia pandang Cu Lui ji sekejap dan tidak melanjutkan ucapannya.
Kwe Pian sian menjawab:
"Meski Siau hun kiongcu adalah tokoh ajaib di dunia persilatan, tapi
menurut perkiraan umum, rasanya tidak mungkin sekaligus dia dapat menyikat
tokoh-tokoh top sebanyak itu..." mendadak iapun pandang Cu Lui ji sekejap
dan tidak bicara lebih lanjut.
Mendadak terdengar si sakit
bersuara: "Apakah kalian ingin tahu duduk perkara yang sebenarnya dari
peristiwa itu?"
"Sudah tentu sangat
kuharapkan asalkan ada yang sudi memberitahu." ujar Kwe Pian sian dengan
tertawa.
"Baik, akan kukatakan
kepada kalian," tutur si sakit. "Tonghong Tay-beng, Li thian ong,
Oh-lolo beserta 19 Tocu ke 72 pulau di lautan selatan itu, seluruhnya telah
kubunuh, satupun tidak tersisa!"
Dia bicara dengan acuh tak
acuh, seolah-olah kejadian itu hanya sesuatu yang biasa, tapi Kwe Pian sian dan
Ji Pwe giok jadi melongo.
Meski mereka tidak pernah
menyaksikan sendiri betapa lihay Tonghong Tay-beng, Oh-lolo dan lain-lain, tapi
kalau Kungfu mereka diketahui jauh lebih tinggi daripada pimpinan 13 perguruan
ternama jaman kini, maka dapatlah dibayangkan sampai dimana kelihaian mereka,
sedangkan para Tocu dari laut selatan itu konon juga bukan jago lemah, ada
diantaranya yang mampu menandingi Hui-hi-kiam-khek sehingga tiga hari tiga
malam dan tetap belum terkalahkan.
Tokoh lihay semacam begitu,
satu saja sukar dilawan, apalagi sekaligus berkumpul sampai 20 orang,
sebaliknya si sakit yang sudah kempas kempis ini menyatakan telah membunuh
tokoh-tokoh top itu tanpa tersisa satupun. Keruan Pwe giok dan Kwe Pian sian
melongo kaget dan tidak sanggup bersuara pula.
Dengan perlahan si sakit
berkata lagi: "Selain itu, harus kuberitahukan bahwa ibu Lui-ji, Cu Bi yang
kalian kenal sebagai Siau hun kiongcu, dia meninggalkan istananya bukan
lantaran takut terhadap pencarian musuh, kepergiannya itu hanya karena sudah
bosan dengan kehidupan yang kesepian, tiba-tiba ia jatuh cinta kepada seorang
dengan setulus hati, sebab itulah dia tidak sayang mengorbankan segalanya dan
pergi bersama orang yang dicintainya itu untuk meneruskan sisa hidupnya sebagai
suami istri seperti khalayak umumnya."
Pwe giok dan Kwe Pian sian
memandangnya dengan terkesima, diam-diam mereka berpikir: "Jangan-jangan
orang yang dimaksudkan ialah kau sendiri? Jangan-jangan kau inilah ayah Cu Lui
ji?" Dengan sendirinya pikiran mereka ini tidak berani dikemukakan nya.
Si sakit itu tiba-tiba
bertanya: "Apakah kalian ingin tahu siapakah yang berhasil merebut hati Cu
Bi itu?"
"Kalau Cianpwe keberatan
untuk menjelaskan juga tidak menjadi soal," ujar Kwe Pian sian dengan
mengiring tawa.
Tapi si sakit lantas
menjelaskan: "Orang itu adalah putera Tonghong Tay-beng, Tonghong Bi
giok."
Kwe Pian sian dan Pwe giok
sama menghela nafas panjang, dalam hati mereka seperti agak kecewa.
Dalam pada saat itu Cu Lui ji
telah maju ke sana mendekap disamping si sakit.
"Pemuda itu bernama
Bi-giok (kemala indah), dari namanya dapat dibayangkan dia pasti seorang pemuda
cakap," sambung si sakit. "Sebab itulah, meski Cu Bi sudah cukup
berpengalaman, dia jatuh hati juga terhadap bocah yang usianya hampir cuma
separuh umurnya itu. Tentunya kalian dapat memaklumi, perempuan seperti Cu Bi,
apabila sudah jatuh cinta benar-benar, maka tidak tanggung-tanggung lagi dan
sukar dicegah."
Selagi Pwe giok dan Kwe Pian
sian tidak tahu cara bagaimana harus menanggapi, tiba-tiba Gin hoa nio menghela
nafas dan berkata: "Ya, memang betul!"
"Tapi Tonghong Bi-giok
itu selain cakap, ternyata jiwanya justeru sangat kotor dan rendah," kata
pula si sakit.
Di depan Cu Lui ji dia
mencaci-maki ayahnya, tapi anak dara itu ternyata tidak menghiraukan,
seolah-oleh dia memang pantas dicaci-maki. Diam-diam Pwe giok dan Kwe Pian sian
menjadi heran.
Terdengar si sakit menyambung
lagi: "Sesudah Cu Bi menjadi isterinya, dia meninggalkan segala
kebiasaannya yang hidup mewah dan suka memerintah, dia menjadi isteri yang baik
seperti perempuan umumnya. Setiap hari dia mengurus rumah tangga dan meladeni
sang suami, sebab ia ingin melupakan segala apa yang telah lalu ditengah
kehidupan yang masa ini, betapa mendalam cintanya terhadap Tonghong Bi-giok
tentu pula dapat kalian bayangkan."
Pwe-giok menghela nafas,
katanya didalam hati: "Seorang lelaki bila mendapatkan isteri sebaik ini,
apa pula yang diharapkannya?"
Diam-diam Gin hoa nio juga
membatin: "Kelak bilamana akupun jatuh cinta kepada seseorang, entah aku
akan bertindak begitu atau tidak?.....Tapi, aihh, jiwaku saja sukar
dipertahankan, untuk apa kupikirkan hal ini?"
Juga Kwe Pian sian diam-diam
berpikir: "Siau-hun-kiongcu itu sudah kenyang merasakan asam garamnya
kehidupan manusia ia merasa hanya dengan memperlihatkan tindak nyata itulah
baru dapat membuktikan cintanya yang tulus, Tapi Tonghong Bi giok adalah pemuda
yang masih hijau, mungkin dia malah merasa kehidupan yang begitu itu terlalu
kaku dan bersahaja dan tidak menarik."
Begitulah tiga orang tiga
macam pikiran, sudah tentu tiada seorangpun yang berani, memberi komentar.
Si sakit lantas menyambung
lagi: "Meski Cu Bi telah mencurahkan, cintanya dengan segenap jiwa
raganya, siapa tahu Tonghong Bi giok justeru bosan terhadap kehidupan mereka
itu, berulang-ulang ia membujuk agar Cu Bi mau kembali ke Siau hun kiong."
Kwe Pian sian tersenyum puas,
ia bangga karena merasa dugaannya tadi cocok dengan kejadian yang sebenarnya.
Sedangkan Pwe giok diam-diam menggeleng kepala.
Gin hoa nio yang lantas
bertanya: "Dan dia.....dia jadi pulang ke Siau hun kiong atau tidak?"
"Dengan sendirinya Cu Bi
tidak mau" tutur si sakit. "Waktu itu usianya tidak tergolong muda
lagi, namun dia mahir bersolek sehingga tampaknya masih tetap cantik seperti
bidadari, sebab itulah Tonghong Bi giok juga masih berat untuk meninggalkan
dia....."
Kwe Pian sian memandang
sekejap ke arah Cu Lui ji, pikirnya: "Dalam usia sekecil dia ini sudah
dapat memikat kaum lelaki, maka tidak perlu ditanyakan lagi betapa cantik
ibunya. Sayang, aku sendiri sok mengaku kenyang main perempuan macam apapun,
tapi ternyata tidak dapat bertemu dengan perempuan seperti Siau hun
kiongcu."
Gin hoa nio juga sedang
membatin: "Biarpun Cu Bi sudah meninggalkan kehidupannya yang mewah, tapi
dalam hal-hal tertentu dia pasti dapat membuat Tonghong Bi giok lupa daratan.
Kelak entah aku dapat menandingi dia atau tidak?"
Ia pandang Pwe giok, anak muda
itu tampak sedang menghela nafas gegetun.
Terdengar si sakit bertutur
pula: "Umumnya perempuan yang suka berdandan paling pantang melahirkan,
dengan sendirinya Cu Bi juga tahu hal ini, sebab itulah selama hidup bersama
dua tahun iapun tidak mengandung. Tapi lambat laun usia Cu Bi juga makin
bertambah, cita-citanya akan menjadi ibu juga bertambah keras, akhirnya ia
tidak menghiraukan soal kecantikan lagi dan lahirlah seorang puterinya."
Dia pandang Cu Lui ji sekejap,
anak dara itu menunduk dengan air mata berlinang.
Gin hoa nio tidak tahan, ia
bertanya: "Sesudah melahirkan anak, apakah dia betul-betul berubah menjadi
tua?"
Kalau orang lain sama asyik
mendengarkan cerita yang misterius ini, hanya Gin hoa nio saja yang justeru
memperhatikan soal kecantikan Siau hun kiongcu.
Si sakit menghela nafas,
berkata" "Ya, tidak sampai setengah tahun setelah melahirkan anak ini
perempuan yang maha cantik itu lantas berubah keriput dan ubanan, seketika
seperti bertambah berpuluh tahun lebih tua."
Gin hoa nio menghela nafas, ia
tidak bicara lagi, tapi diam-diam membatin: "Jika demikian, biarpun
kepalaku harus dipenggal juga aku tidak mau melahirkan anak."
Tak terduga Pwe giok juga
menghela nafas dan berkata: "Bila Tonghong Bi giok itu sudah mulai timbul
rasa.....rasa bosannya terhadap Cu kiongcu, maka selanjutnya...selanjutnya
mungkin...." dia memandang Cu Lui ji sekejap dan menelan kembali kata-kata
yang belum terucap itu.
Tapi si sakit lantas berkata:
"Cu Bi sangat cerdik, masa dia tidak tahu Tonghong Bi giok mulai berubah
pikiran terhadapnya. Ia cuma tidak berpikir bahwa setelah melahirkan anak dia
bisa berubah tua secepat itu. Satu hari ia berkaca dan melihat rambut
sendiripun sudah mulai rontok, segera terpikir olehnya bahwa sekali ini pasti
sukar merebut kembali hati Tonghong Bi giok yang memang sudah goyah itu.
Diam-diam Gin hoa nio
membatin: "Jika aku menjadi dia, akan lebih baik kubunuh saja Tonghong Bi
giok, dengan demikian, biarpun aku tidak mendapatkan dia lagi, orang lainpun
jangan harap akan memiliki dia."
Berpikir sampai di sini, tanpa
terasa ia melirik ke arah Pwe giok, dilihatnya bekas luka di muka anak muda
itu, seketika ia menunduk dan tidak berani mendongak lagi.
Didengarnya si sakit sedang
menyambung pula ceritanya: "Malam itu diam-diam ia menangis sambil
menimang anaknya, semalam suntuk dia menangis, esoknya sebelum lagi terang
tanah dia lantas membangunkan Tonghong Bi-giok."
Gin hoa nio tidak tahan dan
menyela pula: "Apakah.....apakah mereka tidak tidur bersama di dalam satu
kamar?"
"Sejak anak ini lahir.
Tonghong Bi-giok lantas tidur di suatu kamar tersendiri," jawab si sakit.
"Katanya dengan demikian supaya Cu Bi dapat momong anaknya dengan lebih
baik, padahal.....Hmk."
Diam-diam Kwe Pian sian
membatin: "Hal inipun tidak dapat menyalahkan dia, bilamana aku, tentu aku
pun tidak sudi tidur bersama seorang nenek-nenek...." mendadak ia merasa
sorot mata si sakit tertuju kepadanya, cepat ia berkata dengan mengiring tawa:
"Entah untuk apakah Cu-kiongcu membangunkan dia?"
Orang sakit itu menghela
nafas, katanya kemudian: "Mungkin kalianpun tak dapat menerka apa
maksudnya."
Seketika semua orang terdiam,
siapapun tidak berani buka mulut. Selang sejenak barulah si sakit menyambung
lagi: "Tujuannya membangunkan dia adalah mohon diri kepadanya."
"Mohon diri?!"
serentak Ji Pwe-giok, Kwe Pian sian dan Gin hoa nio sama melenggong.
"Betul," kata si
sakit. "Dia tahu keadaannya tidak mungkin disukai lagi oleh Tonghong
Bi-giok, ia menyatakan tak mau lagi membebani Tonghong Bi-giok, setelah
berpisah bolehlah Tonghong Bi giok mencari gadis lain yang sembabat dan berumah
tangga lagi yang bahagia. Cu Bi sendiri tak mau lagi bertemu dengan dia, yang
diharapkannya adalah Tonghong Bi-giok dapat hidup bahagia asalkan dapat
membesarkan anak mereka, maka puaslah dia."
Bilamana membayangkan betapa
pedih waktu Cu Bi mengucapkan katanya itu, tanpa terasa hati semua orang ikut
remuk redam.
Sampai-sampai Kwe Pian sian
juga merasa terharu, pikirnya: "Tak tersangka Cu Bi benar-benar mencintai
Tonghong Bi-giok dengan suci murni, seorang lelaki bila mendapatkan cinta
setulus itu dari seorang perempuan, maka tidak penasaranlah hidupnya ini."
Pwe giok juga terharu, ia
berkata: "Sesudah mendengar ucapan itu, apakah Tonghong Bi-giok tega
tinggal pergi begitu saja?"
Si sakit menjawab:
"Tidak, dia tidak pergi, sebaliknya setelah mendengar kata-kata Cu Bi itu
lantas bersumpah segala, katanya cintanya terhadap Cu Bi takkan berubah sampai
dunia kiamat. Biarpun Cu Bi berubah tua dan betapa jelek juga dia tidak mungkin
meninggalkannya."
Pwe giok menghela nafas
panjang, katanya: "Jika demikian, Tong hong Bi giok ini bukanlah manusia
yang tidak setia."
"Betul, dia memang bukan
manusia yang tidak setia, sebab hakekatnya dia memang bukan manusia,"
tukas si sakit mendadak. Sampai di sini wajahnya yang semula tenang-tenang itu
seketika berubah menjadi emosi, sorot matanya berapi, butiran keringatpun
merembes keluar di dahinya.
Perlahan Cu Lui ji mengusap
keringat sang paman, air mata anak dara itupun berderai.
Semua orang sama ternganga
menyaksikan kejadian itu, tiada yang berani buka suara. Seketika suasana
menjadi sunyi, hanya terdengar suara sedu-sedan Cu Lui-ji yang berduka itu.
Selang sejenak, akhirnya ia si
sakit menghela nafas, katanya: "Setelah mendengar sumpah setia Tonghong
Bi-giok itu, hati Cu Bi menjadi terharu dan berterima kasih, memangnya dia juga
merasa berat untuk berpisah, ia hanya rela berkorban baginya. Sekarang Tonghong
Bi giok tegas-tegas menyatakan setianya, dengan sendirinya Cu Bi juga tidak menyinggung
lagi soal berpisah."
"Jangan-jangan Tonghong
Bi giok itu ada.....ada rencana tentu?" kata Pwe giok.
Si sakit tidak menjawab, ia
melanjutkan ceritanya: "Sejak itulah Cu Bi mencurahkan segenap tenaganya
untuk menjaga anak dan merawat Tonghong Bi giok dengan lebih rajin. Lewat dua
tahun lagi, tiba-tiba ayah Tonghong Bi-giok, yaitu Tonghong Tay-beng itu bahkan
membawa serta 20 tokoh Bu-lim terkemuka."
Si sakit memandang sekejap Pwe
giok bertiga, lalu menyambung: "Padahal tempat tinggal Cu Bi itu sangat
dirahasiakan, maklum dia sendiri musuhnya terlalu banyak. Lalu cara bagaimana
Tonghong Taybeng berhasil menemukan tempat kediamannya? Dapatkah kalian
membayangkan hal ini?"
"Ya Wanpwe juga sedang
heran." kata Kwe Pian sian.
"Bukan cuma kau saja yang
heran, waktu itu Cu Bi juga sangat heran," ujar si sakit. "Dia baru
paham duduknya perkara setelah dilihatnya tindakan Tonghong Bi-giok, ia tidak
terkejut, bahkan.... bahkan dia terus berlari menggabungkan diri dengan
mereka..." seru si sakit dengan suara parau, "brak, mendadak sebuah
meja kecil di ujung tempat tidur dihantamnya hingga hancur.
Tergerak hati Pwe giok, Kwe
Pian sian dan Gin hoa nio, lamat-lamat mereka dapat menerka bahwa kedatangan
Tonghong Taybeng dan rombongannya itu bukan mustahil justru Tonghong Bi-giok
sendiri yang membocorkan tempat tinggalnya ini, namun mereka tidak sampai hati
untuk memberi komentar. Mereka mendengar nafas si sakit terengah-engah, jelas
gusarnya tidak kepalang.
Dengan menahan tangis Cu
Lui-ji berkata: "Sacek, tenaga...tenagamu belum pulih, untuk...untuk apa
kau....."
"Di seluruh kolong langit
ini belum ada orang lain yang tahu akan rahasia ini," seru si sakit dengan
suara bengis. "Sekalipun aku harus mati sehabis bercerita juga akan
kubeberkan, tak dapat kubiarkan ibumu menanggung nama busuk meski sudah
mati."
Cu Lui-ji tak tahan lagi, ia
mendekap di tempat tidur dan menangis sedih.
Dengan suara serak si sakit
bercerita pula: "Kiranya binatang Tonghong Bi-giok itu diam-diam telah
berkhianat, pada tahun berikutnya setelah Cu Bi melahirkan, pada waktu
kecantikan Cu Bi sudah luntur, diam-diam binatang itu menyewa seorang saudagar
yang biasa berlayar keluar lautan, dengan upah besar dia minta orang itu
menyampaikan suratnya ke Jit-goat-to, ke Put-ya-seng, kepada ayahnya. Tentu
saja dengan janji muluk-muluk dan upah besar agar saudagar itu mau melaksanakan
tugasnya. Cuma Jit goat to itu sangat sukar ditemukan, sebab itulah baru
beberapa tahun kemudian surat itu sampai di tangan Tonghong Tay-beng..."
Meski sejak tadi semua sudah
menduga akan kemungkinan kejadian ini, namun mereka belum lagi berani percaya
Tonghong Bi-giok itu ternyata sedemikian kejinya. Sekarang hal ini diceritakan
sendiri oleh si sakit, tanpa terasa semua orang ikut gemas juga, sampai-sampai
Kwe Pian sian dan Gin hoa nio juga merasa tindakan Tonghong Bi giok itu terlalu
kejam.
Mendadak dengan sinar mata
yang tajam si sakit melototi Kwe Pian-sian, katanya: "Ku tahu kau inipun
orang yang tak berbudi, tapi bila kau yang menjadi Tonghong Bi-giok, apakah kau
tega berbuat begitu.....? Coba jawab dengan sejujurnya!"
Kwe Pian sian jadi gelagapan:
"O, Cayhe...Wanpwe..."
Ia merasa sinar mata si sakit
setajam sembilu yang hendak membedah dadanya sehingga untuk berdusta saja ia
tidak berani. Ia menghela nafas, lalu menyambung dengan menyengir:
"Jika....jika Wanpwe, paling-paling ku tinggal pergi begitu saja dan habis
perkara."
"Betul, bila orang lain,
betapa keji orang itu, paling-paling cuma tinggal pergi saja dan habis
perkara." kata si sakit. "Tapi Tonghong Bi-giok si binatang itu
benar-benar lain daripada yang lain, ia tahu betapa tinggi Kungfu Cu Bi dan
betapa keji caranya turun tangan, ia takut bila melarikan diri mungkin Cu Bi
akan menemukan kembali, ia kuatir jiwanya tetap tak bisa lolos dari tangan Cu Bi."
"Tapi....tapi Cu-kiongcu
kan sudah rela mau berpisah dengan dia, mengapa dia bertindak pula sekeji
itu?" tanya Pwe giok dengan gemas.
Jawab si sakit: "Meski Cu
Bi hendak berpisah setulus hati dengan dia, tapi dia khawatir tindakan Cu Bi
itu hanya pura-pura saja dan hendak mengujinya. Apalagi waktu itu dia juga
sudah mengirim surat kepada ayahnya, demi kepentingan sendiri dan agar tidak
menimbulkan bahaya di kemudian hari dengan sendirinya ia harus menyaksikan
kematian Cu Bi barulah dia merasa aman. Jadi apa yang dikatakannya kepada Cu Bi
itu hanya sekedar untuk menghiburnya agar Cu Bi tetap tinggal di situ."
Mendengar sampai di sini,
tanpa terasa Kwe Pian-sian ikut bicara: "keji amat hati orang ini, sungguh
sangat kejam." "Kemudian apakah... apakah Cu-kiongcu benar-benar mati
di tangan mereka?" tanya Pwe-giok.
Muka si sakit tampak masam dan
tidak lantas menjawab, selang sejenak barulah ia berkata: "Kukira kalian
lupa bertanya sesuatu padaku."
"Dalam hal apa?"
tanya Pwe-giok. "Kalian lupa tanya padaku dari mana ku tahu semua kejadian
ini." kata si sakit.
Mendingan dia tidak omong,
begitu dia katakan, mau tak mau semua orang menjadi heran. Memang betul juga,
kalau peristiwa itu sedemikian dirahasiakan, darimana pula si sakit mendapat
tahu? bahkan sedemikian jelas seperti di menyaksikan dengan mata kepala sendiri
di tempat kejadian.
Pelahan-lahan orang sakit itu
memejamkan mata lagi sambil berkata: "Selama hidupku paling suka
menyendiri, sejak mengalami sesuatu kejadian, aku lantas merasa di dunia ini
tiada seorangpun yang cocok bagiku, siapapun yang kutemui kalau bisa ingin ku
mampuskan dia dengan sekali bacok"
Belum habis dia bercerita
kisah kehidupan Siau-hun kiongcu, tiba-tiba ia bicara tentang wataknya sendiri.
Tentu saja semua orang merasa heran, tapi mereka tetap diam saja dan
mendengarkan dengan cermat, tiada seorangpun berani menyeletuk.
Terdengar si sakit menyambung
pula dengan pelahan: "Tapi tidak mungkin kubunuh habis manusia di dunia
ini, terpaksa akulah yang menjauhi mereka. Tatkala itu lagi musim semi,
disekitar pantai Hokciu di propinsi Hokkian banyak kapal dagang yang hilir
mudik ke kepulauan timur, ku pilih sebuah kapal layar yang kuat dan gesit, ku
lompat ke atas kapal itu dan mengusir seluruh anak buahnya, aku berlayar
sendirian.
"Sudah tentu perbekalan
di atas kapal itu cukup lengkap dan banyak sehingga aku tidak perlu akan
kelaparan dan kehausan, kurasakan jagat raya yang luas ini benar-benar bebas
merdeka dan tiada seorangpun yang akan mengganggu diriku lagi. Kurasakan hidup
yang tenang dan sunyi, rasa kesal yang terpendam sekian lama akhirnya terasa
buyar."
Mendengar sampai di sini,
samar-samar orang dapat merasakan cerita orang ini pasti ada sangkut pautnya
dengan kisah hidup Siau-hun-kiongcu itu, sangkut pautnya justeru terletak pada
kapal layar ini.
Terdengar si sakit menyambung
pula ceritanya: "Entah sudah berapa lama aku berlayar, suatu hari aku
berduduk di buritan kapal dan menikmati matahari terbenam yang indah, tiba-tiba
kulihat sesosok tubuh manusia terombang-ambing di lautan yang luas itu, sekujur
badan orang itu berlumuran darah, dengan mati-matian berpegangan erat-erat pada
sepotong kayu, keadaan sangat payah dan tampaknya lebih banyak mampusnya
daripada hidup."
Diam-diam Kwe Pian-sian
membatin: "Bilamana orang ini masih bisa hidup, mungkin kau takkan
menolong dia. Tapi lantaran orang itu pasti akan mati, kaupun lagi iseng karena
kesepian, bisa jadi akan kau tolong dia malah."
Dalam pada itu si sakit telah
berkata pula: "Waktu itu aku sudah terlalu benci kepada setiap manusia di
dunia ini, mestinya tiada niatku akan menolong dia, tapi melihat lukanya begitu
parah, aku menjadi tidak tega dan kutanya dia apa yang terjadi, siapa yang
melukai dia separah itu? Kupikir bilamana di sekitar situ ada bajak laut,
kebetulan bagiku akan dapat ku sikat mereka untuk melampiaskan rasa
gemasku."
Mendengar uraian si sakit yang
penuh emosi itu, diam-diam Pwe-giok membatin: "Meski orang ini penuh
dendam kepada sesamanya, tapi apapun juga dia tidak mau sembarangan membunuh,
malahan bajak laut yang ingin di tumpasnya, dari sini terbukti hati nuraninya
belum lagi gelap sama sekali, tindak tanduknya tetap bersifat seorang pendekar
sejati."
Berpikir demikian, tanpa
terasa timbul juga rasa hormatnya kepada si sakit ini.
Tapi mendadak si sakit melotot
padanya dan bertanya: "Sekarang apakah kau tahu siapa orang yang ku tolong
itu?"
Pwe-giok melengak, benaknya
bekerja cepat, serunya: "Jangan-jangan orang yang dititipi surat oleh
Tonghong Bi-giok itu"
Untuk pertama kalinya sorot
mata si sakit yang dingin itu menampilkan secercah senyuman, katanya:
"Tepat sekali tebakanmu." Dengan cepat senyumnya itu lantas lenyap,
dengan ketus dia menyambung lagi: "Dan tahukah kau siapa yang turun tangan
keji kepadanya?"
Belum lagi Pwe-giok bersuara,
mendadak Kwe Pian-sian menyela: "Tonghong Tay-beng!"
"Betul," kata si
sakit. "Rupanya setelah dia berhasil mencapai Put-ya-sia di Jit-goat-to,
setelah dia menyerahkan surat kepada Tonghong Tay-beng, selagi dia menunggu
hadiah besar dari penerima surat itu, siapa duga Tonghong Tay-beng malah
mengerahkan anak buahnya, segenap rombongan pengantar surat yang berjumlah 37
jiwa itu telah dibunuhnya sama sekali tanpa sisa satupun. Untung pengantar
surat itu hanya terluka parah dan belum tewas, sekuatnya ia berusaha lari,
tujuannya hanya ingin membeberkan rahasia yang diketahuinya mengenai Tonghong
Bi-giok."
"Mungkin dia memang
ditakdirkan harus membeberkan rahasia yang diketahuinya, maka Thian
mengantarkan dia untuk bertemu dengan Cianpwe." sela Pwe-giok pula.
Tapi Kwe Pian-sian berkata
dengan menyesal: "Jika aku menjadi dia, hakekatnya aku tidak mau
mengantarkan surat itu. Masa urusan sepenting itu harus dirahasiakan boleh
diserahkan begitu saja kepada orang yang baru dikenal, mana mungkin Tonghong
Tay-beng membiarkan dia pergi lagi dengan hidup setelah menerima surat
itu."
"Tapi pada umumnya orang
yang sudah biasa berlayar kian kemari rata-rata adalah orang licin, dengan
sendirinya segala kemungkinan juga sudah dipikirnya." kata si sakit.
"Setelah dia menerima upah dari Tonghong Bi-giok, cukup baginya surat itu
dibakar saja dan segala urusan beres, ke mana Tonghong Bi-giok akan mencarinya
lagi. Tapi sayangnya dia telah berbuat suatu kesalahan, timbul rasa ingin
tahunya akan surat antarannya itu, ia pikir isi surat itu pasti sangat penting,
kalau tidak tentunya tidak perlu di suruh mengantar dengan upah yang besar.
Maka secara diam-diam ia telah mencuri baca isi surat itu."
Gin-hoa-nio menghela napas,
katanya: "Jika aku menjadi dia, rasanya akupun ingin tahu apa isi surat
itu."
"Makanya orang macam
begitu tidak perlu penasaran kalau mampus." jengek si sakit.
Gin-hoa-nio menunduk dan tidak
berani bersuara lagi.
"Sesungguhnya apa isi
surat itu? tanya Pwe-giok tiba-tiba.
"Binatang Tonghong
Bi-giok itu telah menyatakan di dalam surat bahwa dia yang terpelet oleh Cu Bi
dan berada dalam bahaya, maka diharapkan pertolongan Tonghong Tay-beng. Didalam
surat itupun dinyatakan dengan tegas agar setelah terima surat itu, supaya
Tonghong Tay-beng memberikan upah kepada si pengantar surat satu jumlah harta
yang tak habis terpakai selama hidup.
"Mungkin pengantar surat
itu telah terpancing oleh pesan Tonghong Bi-giok itu, maka sedapatnya dia
berusaha menyampaikan surat itu ke Put-ya-sia.
Padahal kalau dia mau berpikir
secara cermat, di dunia ini mana ada kekayaan yang tak habis terpakai selama
hidup? Betapapun besar jumlahnya harta kekayaan juga ada kalanya akan habis dan
ludes, kecuali orang itu mati seketika, dengan begitulah baru benar-benar tidak
habis terpakai selama hidup."
"Betul, dengan pesan itu
Tonghong Bi-giok justeru menghendaki ayahnya membinasakan si pengantar surat
apabila surat sudah diterimanya." sela Kwe- Pian-sian. "Cuma sayang,
bocah itu mungkin sudah keblinger oleh janji upah yang besar itu sehingga dia
tidak memperhatikan arti yang terkandung di dalam pesan itu."
"Bukan cuma begitu saja,
justeru Tonghong Bi-giok sudah memperhitungkan di tengah jalan pengantar surat
itu pasti akan mencuri baca suratnya, maka di dalam suratnya dia sengaja
menulis pesan yang bermakna ganda itu untuk memancingnya," kata si sakit.
"Manusia mati karena harta, burung mati karena pangan, jadi orang itu
memang pantas mampus. Namun apa yang terjadi itupun dapat menggambarkan betapa
kejinya Tonghong Bi-giok."
"Jangan-jangan lantaran
Cianpwe merasa perbuatan orang ini terlalu keji, maka Cianpwe ingin membunuhnya
demi kesejahteraan umum, maka Cianpwe terus putar balik dari pelayaranmu
itu?" tanya Pwegiok.
"Kalau melulu soal ini
mungkin aku takkan kembali lagi ke daratan sini." tutur si sakit dengan
pelahan. "Justeru sebelum mati orang itu telah bercerita pula apa yang
dialaminya, saking gusarnya barulah aku ingin bertindak."
"Apalagi yang diceritakan
orang itu?" tanya Pwe-giok.
"Bahwa Tonghong Bi-giok
mau menyerahkan surat sepenting itu kepadanya, tentunya orang itupun mempunyai
hubungan cukup erat dengan dia, betul tidak?" tanya si sakit.
"Ya, tapi Tonghong
Bi-giok kan sudah hidup menyepi... "
"Tahukah kau bahwa untuk
menyepi yang paling baik adalah di tempat yang ramai?" tanya si sakit
tiba-tiba.
Seketika Kwe Pian-sian
berkeplok dan membenarkan, katanya: "Betul, untuk menyepi, artinya
bersembunyi menghindari pencarian orang, tempat yang baik memang tidak harus di
pegunungan atau tempat terpencil. Bila kau sembunyi di tempat begitu, terkadang
malah lebih mudah ditemukan orang. Tapi orang semacam Cu-kiongcu, bila
bersembunyi di suatu kota kecil biasa dan hidup tenteram seperti orang lain,
tentu jejaknya akan sukar ditemukan orang."
Tergerak pikiran Pwe-giok,
serunya: "He, jangan-jangan di kota kecil inilah dahulu Cu-kiongcu
bertirakat?"
Si sakit menghela nafas,
tuturnya: "Kota ini dibilang kecil juga tidak kecil, dikatakan besar juga
tidak besar, tapi kehidupan di sini aman tenteram, penduduknya hidup rukun dan
damai, tak nanti sengaja mencari tahu rahasia pribadi orang lain. Sekalipun
terkadang ada orang Kangouw lalu di sini juga takkan menaruh perhatian keadaan
di sini, jadi memang suatu tempat tirakat yang baik. Sungguh cerdik Cu Bi dapat
memilih tempat sebaik ini. Kalau saja Tonghong Bi-giok tidak berubah
pikirannya, sekalipun dia tinggal seratus tahun di sini juga orang lain takkan
menyangka nyonya rumah yang biasa di kota kecil ini sebenarnya adalah
Siau-hun-kiongcu dan dikabarkan sudah mati itu."
"Ya, memang benar tak
terduga oleh siapapun juga," kata Pwe giok.
"Pelaut yang dititipi
surat oleh Tonghong Bi-giok itu bernama Li Bo-tong, aslinya juga penduduk kota
kecil ini, cuma sejak muda dia sudah mengembara ke mana-mana sehingga hampir
dilupakan oleh penduduk setempat. Kebetulan tahun itu dia pulang kampung
halaman, kebetulan pula tempat tinggalnya sebelah menyebelah dengan rumah Cu
Bi. Pada waktu Tonghong Bi-giok mengetahui orang she Li ini tidak lama akan
berlayar lagi, pada saat itulah dia lantas bersahabat dengan dia."
"Cu-kiongcu adalah orang
yang cerdik, masa sedikitpun dia tidak menaruh curiga?" tanya Kwe Pian
sian.
Si sakit menjawab: "Waktu
itu Cu Bi mencurahkan segenap perhatiannya untuk merawat anaknya, apalagi
pergaulan antara tetangga kan juga jamak," kata si sakit.
"Betul, dia sudah
bertempat tinggal di situ, kalau tidak bergaul dengan tetangga tentu akan
menimbulkan curiga orang lain malah," ujar Pwe giok. "Apalagi orang
biasa seperti Li Bong-tong itu tentu juga takkan tahu-menahu rahasia persembunyiannya."
"Tapi penduduk di sekitar
sana tahu Cu Bi adalah isteri yang baik dan Ibu Rumah Tangga yang teladan rajin
dan hemat, bahkan sangat pintar meladeni sang suami," kata orang sakit
itu.
"Sepulangnya Li Bong tong
di rumah tentu iapun mendengar cerita tetangga itu," ujar Kwe Pian sian.
"Betul, makanya setelah
membaca surat Tonghong Bi-giok itu, ia sangat terkejut," tutur si sakit.
"Sungguh ia tidak percaya seorang isteri teladan dan ibu rumah tangga yang
terpuji itu asalnya adalah seorang iblis yang ditakuti. Tapi iapun menganggap
Tonghong Bi-giok tidak pantas berbuat khianat terhadap istrinya sendiri. Namun
waktu itu ia sudah keblinger oleh janji upah besar, yang terpikir olehnya hanya
harta benda yang takkan habis digunakan selama hidup. Ketika mendekat ajalnya
barulah timbul hati nuraninya, baru dia menceritakan seluk beluk urusan itu
padaku."
Habis bicara, kembali
tangannya hendak menggabruk meja lagi. Karena sepanjang tahun dia berbaring di
situ, dalam anggapannya di sebelahnya adalah meja kecil, tak teringat olehnya
bahwa meja itu tadi sudah digebrak hingga hancur.
Dengan sendirinya gebrakan ini
mengenai tempat kosong dan mungkin akan mengenai pinggir tempat tidur dan bisa
jadi tempat tidur itupun akan hancur. Untunglah mendadak Cu Lui ji menjulurkan
tangannya. dengan enteng tangan sang paman dipegangnya sambil berkata dengan
suara halus: "Sacek, maukah kau jangan marah-marah lagi?"
Tindakan Cu Lui ji itu mungkin
takkan mengherankan orang lain, tapi bagi pandangan Pwe-giok dan Kwe Pian sian
yang sudah tergolong jago silat kelas satu, melihat itu hati mereka jadi
terkesiap.
Maklumlah, betapa cepat dan
betapa kuat pula gebrakan tangan si sakit, tapi dengan ringan saja Cu Lui-ji
dapat menangkapnya.
Diam-diam Kwe Pian-sian
membatin: "Budak cilik ini selain mahir memikat lelaki, Kungfunya ternyata
juga tidak rendah dan tampaknya tidak di bawahku."
Padahal si sakit sudah dalam
keadaan senin-kemis, tapi masih mampu mendidik seorang nona cilik dengan Kungfu
setinggi itu, mau tak mau Kwe Pian sian merasa ngeri.
Dilihatnya tangan Cu Lui ji
yang kecil itu sedang mengelus tangan si sakit yang kurus seperti cakar itu,
lambat laun rasa gusar si sakit pun mereda, ia menghela nafas dan berkata:
"Sesudah mendengar penuturan Li Bong-tong waktu itu, aku tidak tahan akan rasa
gusarku, sungguh tak pernah terpikir olehnya di dunia ini ada manusia tak
berbudi semacam Tonghong Bi-giok itu. Segera kuminta Li Bong-tong melukiskan
letak pulau kediaman Tonghong Taybeng. Habis memberi keterangan Li Bong tong
lantas menghembuskan nafas penghabisan."
"Dan Cianpwe lantas
memburu ke Put-ya-sin di Jit-goat-to untuk mencari Tongheng Tay-beng?"
tanya Pwe giok.
"Betul," jawab si
sakit. "Cuma sayang, waktu itu Tonghong Tay-beng sudah meninggalkan pulau
nya. Dalam gusarku, ku obrak-abrik seluruh pulau itu hingga morat-marit. Ku
pikir kepergian Tong hong Tay-beng itu tentu akan mengundang bala bantuan lagi,
untuk itu tentu akan makan waktu, jika segera menyusul ke Li-toh-tin, bisa jadi
jiwa Cu-Bi dapat kuselamatkan. Maka aku lantas berlayar pulang ke daratan sini,
siapa tahu.....kedatanganku masih tetap terlambat satu langkah."
Sampai di sini, bagi Kwe Pian
sian dan Gin hoa nio kisah Siau hun kiongcu itu sudah jelas sebagian besar,
tapi diam-diam merekapun heran atas diri si sakit, pikir mereka: "Jika
orang ini sudah sedemikian benci terhadap sesamanya, saking bencinya
seakan-akan baru puas bilamana setiap manusia di dunia ini sudah mau terbunuh
habis, lalu untuk apa dia terburu-buru pulang ke sini hanya untuk menolong Cu
Bi?"
Hanya Ji Pwe giok saja yang
berbeda pendapat, meski masih muda, tapi dia sudah kenyang dengan macam-macam
pengalaman, iapun seorang yang berperasaan halus dan pecinta yang luhur,
lamat-lamat ia dapat menerka isi hati si sakit itu, diam-diam ia berpikir:
"Dari nada ceritanya, sebabnya dia berubah menjadi ekstrim dan ingin
membunuh setiap manusia di dunia ini, jangan-jangan lantaran dia sendiri juga
mengalami persoalan yang menyakitkan hati, misalnya": dikhianati
kekasihnya, maka dia dendam kepada setiap orang yang berhati palsu dan suka
mengkhianati. Bahwa dia memburu ke Li-toh-tin katanya hendak menolong Cu Bi,
siapa pula yang tahu bahwa tujuannya justeru hendak membunuh Tonghong Bi-giok
yang tidak setia terhadap anak istrinya itu."
Dihatinya si sakit telah
memejamkan mata pula dengan nafas terengah-engah.
Orang bicara tampaknya tidak
perlu tenaga tapi lantaran dia terkenang kepada kejadian dahulu, karena emosi,
jantungnya lantas berdetak keras.
Mestinya Pwe giok ingin
bertanya kisah lanjutan Siau-hun-kiongcu, cara bagaimana dia mati dan bagaimana
pula akhirnya dengan nasib Tonghong Bi-giok, juga tentang Tonghong Tay-beng
yang katanya juga telah dibunuh semuanya olehmu, mengapa pula kau sendiri bisa
terkena racun separah ini?
Namun pertanyaan itu hanya
berputar saja dalam benak Pwe giok, ia tidak tega berucap melihat keadaan si
sakit yang payah itu.
Didengarnya Cu Lui-ji berkata:
"Tentu kalian sudah lapar, nasi sudah kusiapkan, biarlah kuambilkan untuk
kalian,"
Cepat Kwe Pian sian berbangkit
dan berkata "Ah, mana berani kami merepotkan nona?!"
Tapi Cu Lui ji tidak
menanggapinya, ia mengusap air matanya, lalu turun ke bawah loteng.
Gin hoa nio tidak tahan lagi,
cepat ia berseru dengan suara gemetar: "Nona, kumohon sudilah engkau
menolong jiwaku, jika terlambat, mungkin....."
Tanpa menoleh Cu Lui ji
mendengus, ucapnya: "Barang siapa mendapatkan kitab pusakaku, berarti dia
telah masuk perguruanku. Selamat atau celaka, untung atau malang, apapun yang
akan terjadi tetap harus tunduk kepada perintahku. Barang siapa tidak taat
kepada perintahku dia pasti akan binasa...."
Apa yang diucapkannya ii
adalah amanat Siau-hun-kiongcu yang terukir di dinding istana di bawah tanah
itu. Tempo hari, setelah Pwe giok dan Kim-yan-cu mendapatkan kitab pusaka Siau
hun pi-kip, lalu timbul bermacam-macam kejadian. Karena itulah kitab pusaka itu
mereka buang di sembarang tempat. Kemudian terjadi lagi hal-hal lain dan
merekapun tidak memperhatikan kitab pusaka itu sehingga dapat ditemukan Gin hoa
nio.
Tentu saja Gin hoa nio
kegirangan seperti mendapat rejeki nomplok. Dapat kitab pusaka itu, setiap ada
tempo senggang ia lantas berlatih menurut petunjuk di dalam kitab. Dasar
wataknya memang berdekatan dengan isi pelajaran kitab itu, dengan sendirinya
hasilnya juga memuaskan dan maju pesat.
Sebab itulah begitu melihatnya
tadi si sakit lantas mengetahui pada tubuh Gin hoa nio terdapat ilmu memikat
ajaran Siau hun kiongcu, karena itulah ia menegurnya apakah dia murid siau hun
kiongcu.
Tapi lantaran kitab pusaka itu
diperolehnya dengan tidak halal, ia tidak berani mengaku. Orang yang tidak
mengakui perguruannya sendiri dalam dunia persilatan dianggap khianat dan
dosanya tak terampunkan. Sekarang di dengarnya ucapan Cu Lui-ji yang cocok amat
dengan amanat tinggalan Siau-hun-kiongcu itu, seketika hati Gin-hoa-nio
tergetar, tubuh menjadi lemah dan jatuh terkulai.
Mendadak bayangan Cu Lui-ji
berkelebat ke atas loteng lagi. Gin-hoa-nio ketakutan dengan mandi keringat.
Tak terduga yang di tuju Cu Lui-ji bukanlah dia melainkan Kwe Pian-sian, dengan
mata melotot, ia bertanya, "Nona di bawah itu apamu?"
"O, dia ... dia
kawanku," jawab Kwe Pian-sian dengan tergagap.
"Hmm, kukira tidak cuma
kawan saja?!" jengek Lui-ji.
"Pandangan nona memang
tajam," terpaksa Kwe Pian-sian mengakui dengan menyengir.
"Jika begitu, mengapa kau
tinggalkan dia di bawah tanpa menghiraukannya ?" damprat Lui-ji.
Diam-diam Kwe Pian-sian
mendongkol, ia pikir justeru kalian yang mencelakai dia, masa sekarang kau
malah membela dia dan menyalahkan aku ?
Walaupun begitu pikirnya,
sudah tentu tidak berani di utarakannya, dengan menyengir, ia menjawab,
"Kukira tidak .... tidak leluasa ku bawa dia naik turun, maka kubiarkan
dia menunggu saja di bawah."
"Hmm," Cu Lui-ji
menjengek, "kiranya kaupun seorang yang tak berperasaan."
Karena dituduh "tidak
berperasaan", seketika Kwe Pian-sian berkeringat dingin. Ia tidak berani
bersuara lagi, cepat dia berlari ke bawah dan membawa Ciong Cing ke atas.
Selang tidak lama, Cu Lui-ji
naik lagi ke atas dengan membawa satu bakul nasi yang masih mengepul. Cuma
sekarang hari setiap orang sama merasa tertekan, siapapun tidak bernapsu makan
lagi.
Selagi Pwe-giok termenung
sambil memegangi mangkuk nasinya, dalam benaknya bergolak bermacam-macam
persoalan. Pada saat itu tiba-tiba si sakit mendesis, "Sssst, ada orang
datang!"
Suasana saat itu sunyi sepi,
sampai suara anginpun tidak terdengar, mana ada suara orang segala.
Diam-diam Pwe-giok mengira si
sakit ini sudah terlalu lama menggeletak di tempat tidurnya sehingga telinganya
mungkin juga rada tuli.
Tapi selang sejenak mendadak
di bawah ada suara pintu di ketuk suaranya rada aneh, seperti sesuatu alat
tajam yang di gunakan untuk mengetuk pintu.
Lalu suara seorang berseru
dengan lantang, "Sepada! Adakah orang di atas ? Wanpwe Dian Ce-hun datang
mengantarkan surat!"
"Surat ? Mengantar surat
apa ?" gumam Cu Lui-ji sambil berkerut kening, "Siapa pula Dian
Ce-hun ini ?"
Sembari bergumam, ia terus
turun ke bawah.
Tiba-tiba si sakit memberi
pesan, "Ginkang dan Lwekang orang ini tidak lemah, bahkan seperti pernah
berlatih kungfu sebangsa Eng-jiau-kang (tenaga cakar elang), jika kau tidak
mampu merintangi dia, biarkan saja dia naik ke sini!"
"Ku tahu," jawab
Lui-ji. Walaupun begitu ucapnya, namun di dalam hati merasa penasaran.
Pwe-giok tahu dari suara
ketukan pintu itulah si sakit menilai kungfu pendatang yang mengaku bernama
Dian Ce-hun itu dan dari suaranya dapat diukur pula tenaga dalamnya. Selain
itu, kedatangannya itu ternyata tidak di dengar oleh orang-orang yang berada di
atas loteng, dari sini dapat diketahui Ginkangnya pasti sangat tinggi.
Setelah berpikir, Pwe-giok
lantas berkata, "Wanpwe juga ingin turun untuk melihatnya."
Setiba di bawah, Pwe-giok
melihat pintu sudah dibuka oleh Cu Lui-ji. Di bawah cahaya sang surya yang
terang benderang, di luar pintu tampak tegak seorang pemuda jangkung dan
berwajah cakap serta berbaju ungu.
"Kau yang mengantar surat
kemari?" tegur Lui-ji. "Dimana suratnya?"
Orang yang mengaku bernama
Dian Ce-hun itu memandang sekejap kepada Lui-ji, jawabnya dengan tersenyum.
"Surat ini tidak boleh kuserahkan kepada anak kecil, bolehkah aku masuk ke
situ ?"
Dia bicara dengan tersenyum,
namun sikapnya angkuh.
Lui-ji tersenyum, jawabnya,
"Hanya pengantar surat saja mana boleh sembarangan terobosan di tempat
orang ? Jika suratmu tidak mau di serahkan padaku, silahkan kau bawa pulang
saja."
"Tajam amat mulut nona
cilik," kata Dian Ce-hun dengan tertawa, "Tapi apakah nona sanggup
menerima surat ku ini ?"
Dia benar-benar mengeluarkan
sepucuk surat dari dalam baju dan disodorkan lurus ke depan dengan di pegang
kedua tangan. Surat itu disodorkan tepat ke Cu Lui-ji, tampaknya sopan dan
sangat menghormat.
Namun Pwe-giok dapat melihat
kedua tangan orang sedikit melengkung, jelas mengandung tenaga dalam yang sukar
di jajaki, tampaknya saja tenang-tenang, tapi diam-diam siap siaga. Apabila
Lui-ji benar-benar menjulurkan tangan untuk menerima surat itu, bisa jadi nona
cilik itu akan kecundang.
Selagi Pwe-giok hendak memburu
maju, tiba-tiba Lui-ji berkata dengan ketus, "Boleh kau taruh suratmu di
lantai saja!"
Gemerdep sinar mata Dian
Ce-hun, ucapnya dengan tersenyum, "Masa nona cilik tidak berani menerima
suratku ini ?"
"Hmmm, percuma kau ini
kelihatan seperti orang terpelajar, masa persoalan lelaki dan perempuan tidak
boleh bersentuhan juga tidak tahu?" jengek Lui-ji.
Dian Ce-hun tertawa, katanya,
"Haha, lihay amat nona cilik, pantas sekian banyak orang terjungkal di
tanganmu."
Di tengah suara tertawanya,
kedua tangannya terus mendorong ke depan bersama sampul surat yang di
pegangnya. Tampaknya sampul surat itu hanya benda yang tipis, tapi terpegang di
tangannya tiada ubahnya seperti baja tipis yang tajam.
Belum lenyap suaranya, angin
berkesiur, tahu-tahu Dian Ce-hun sudah menyelinap lewat di samping Lui-ji tanpa
menyenggol ujung bajunya.
Betapapun, Lui-ji tidak sempat
lagi untuk mencegatnya.
Terdengar Dian Ce-hun berkata
dengan tertawa, "Lelaki dan perempuan tidak boleh bersentuhan, biarlah ku
antar surat ini langsung ke atas saja."
Tapi mendadak seorang
menanggapi dengan tegas, "Tidak perlu, serahkan padaku di sini kan sama
saja."
Suara Dian Ce-hun terhenti
seketika, dilihatnya seorang pemuda maha cakap dan sopan santun sudah berdiri
di ujung tangga dengan mengulum senyum, tempat berdiri pemuda cakap itu tepat
merintangi jalan lewatnya.
Biasanya Dian Ce-hun sangat
angkuh, menganggap dirinya maha cakap dan tiada bandingannya. Tapi demi melihat
pemuda di depan ini, mau tak mau ia terkesiap dan merasa kalah. Segera ia
bertanya dengan tertawa, "Apakah Anda tuan rumah di sini?"
Pemuda cakap itu adalah
Pwe-giok, ia menjawab, "Tuan rumah sedang tidur siang, hendaklah
anda...."
Tapi Dian Ce-hun lantas
memotong dengan tertawa, "Jika Anda bukan tuan rumahnya, mana boleh kau
terima surat ini ?"
Segera ia mendorong ke depan
pula sampul surat itu dengan kedua tangannya. Ternyata Pwe-giok tidak mengelak
dan juga tidak menghindar, sebaliknya kedua tangannya lantas memapak tangan
lawan, gerak tangannya cepat luar biasa.
Alis Dian Ce-hun berjengkit,
dampratnya pelahan: "Apakah kau benar-benar ingin menerima surat ini? Kau
mampu?”. Mendadak jarinya menjentik, sampul surat diselentik masuk ke dalam
lengan baju sendiri, sedangkan tangannya terus menindih ke bawah.
"Plak", seketika
empat tangan beradu dan kedua orang sama-sama terkejut.
Maklumlah, pembawaan tenaga
sakti Ji Pwe-giok jarang ada bandingannya, tapi pemuda she Dian ini ternyata
mampu menindih tangannya hingga tertekan beberapa inci ke bawah, hampir saja
Pwe-giok tidak sanggup menahannya.
Sebaliknya Dian Ce-hun juga
tidak menyangka pemuda cakap yang tampaknya lemah lembut ini, ternyata memiliki
tenaga sakti sekuat ini. Dia menahan dari atas, jadi posisinya lebih
menguntungkan, tapi ternyata kedua tangan lawan ternyata tetap keras bagai
baja, betapapun dia mengerahkan tenaga lagi tetap tak mampu menekannya ke
bawah.
Karena adu tenaga, hanya
sekejap saja kedua orang sudah sama-sama berkeringat. Diam-diam Dian Ce-hun
menyesal, tidak seharusnya dia beradu tenaga dalam dengan lawan.
Dalam pada itu, diam-diam Cu
Lui-ji telah memutar ke samping Dian Ce-hun, katanya: "Silahkan kalian
mengukur tenaga di sini, suratnya serahkan saja kepadaku."
Sebelah tangannya segera
terjulur dari belakang untuk meraba sampul surat yang tersimpan di dalam baju
Dian Ce-hun.
Dalam keadaan begini, bilamana
Dian Ce-hun menghindar, tentu bagian depannya akan tak terjaga dan peluang itu
akan memberi kesempatan kepada Ji Pwe-giok untuk menyerangnya. Apalagi ketika
tangan kiri Cu Lui-ji meraba suratnya, tangannya yang lain juga sudah siap
untuk menyerang.
Diam-diam Pwe-giok berkerut
kening, menyaksikan tindakan Cu Lui-ji itu, ia merasa tidak pantas nona itu
mengancam orang selagi lawan kepepet. Tapi keadaan sudah terlanjur begitu, jika
dia menarik diri, mungkin lawan yang terus mendesak dan dirinya yang bakal
celaka.
Pada saat itulah
sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa panjang. Bayangan tubuh Dian
Ce-hun mendadak melayang ke atas.
Pwe-giok berdiri di ujung
tangga, jarak papan loteng dengan kepalanya tidak lebih dari setengah meteran,
siapa tahu tubuh Dian Ce-hun yang melayang ke atas itu dapat memberosot ke atas
loteng menempel papan loteng selicin ikan.
Ginkang yang diperlihatkan ini
benar-benar sangat mengejutkan dan sukar dibayangkan.
Baik Pwe-giok maupun Cu Lui-ji
sama terkejut.
Terdengar Dian Ce-hun bersuara
di atas loteng, "Wanpwe Dian Ce-hun ingin menyampaikan surat, mohon
cianpwe sudi menerima."
Padahal saat itu dia sudah
melihat jelas orang berbaring di tempat tidur, andaikan si sakit tidak mau
menerimanya, juga sukar mengelakkan diri.
Orang sakit itu hanya
memandang Dian Ce-hun sekejap dengan tak acuh, lalu bertanya,
"Kedatanganmu ini atas suruhan siapa ?"
"Inilah suratnya, setelah
cianpwe membacanya tentu akan tahun sendiri," jawab Dian Ce-hun. Kedua
tangannya lantas menjulur ke depan, perlahan ia mengangsurkan sampul surat yang
dibawanya, tanpa berkedip ia pandang si sakit.
Sementara itu Cu Lui-ji sudah
memburu ke atas dan berseru, "Awas tangannya, sacek .... "
Belum lenyap suaranya,
mendadak tangan si sakit menggapai perlahan, entah dengan cara bagaimana
tahu-tahu sampul surat yang dipegang erat-erat oleh kedua tangan Dian Ce-hun
telah berpindah ke tangan orang lain.
Air muka Dian Ce-hun rada
berubah dan menyurut mundur dua-tiga langkah, katanya sambil membungkuk,
"Tugas Wanpwe sudah selesai, sekarang juga kumohon diri." Sambil
bicara ia melangkah mundur dua tiga tindak sehingga menyurut sampai di ujung
tangga, tapi sebelum melangkah ke bawah loteng, mendadak ia turun tangan
secepat kilat, tahu-tahu pergelangan tangan Cu Lui-ji dicengkeramnya. Lui-ji
tidak pernah menduga akan disergap begitu, keruan badannya lantas lemas dan tak
berdaya, ia sempat berteriak, "Sacek ... ."
Dian Ce-hun lantas berkata
dengan suara tertahan, "Bilamana kalian memikirkan keselamatan nona ini,
hendaklah kalian jangan sembarangan bergerak, Cayhe hanya ingin membawanya
pergi menemui seseorang, habis itu pasti akan ku antar dia pulang ke sini
dengan selamat."
Sambil bicara, selangkah demi
selangkah ia terus mundur ke bawah loteng, semua orang hanya menyaksikan kepergiannya
dengan mata terbelalak tanpa bisa bertindak apa-apa.
Si Sakit sedikitpun tidak
kelihatan cemas, dia malah bertanya lagi dengan perlahan, "Hendak kau bawa
dia untuk menemui siapa ?"
"Guruku ... " jawab
Dian Ce-hun.
Mendadak si sakit mendengus, "Hmm,
jika dia ingin menemuinya, suruh dia sendiri datang ke sini."
Sambil bicara mendadak
tubuhnya melayang melintang dari tempat tidurnya.
Ketika berbaring tampaknya dia
sudah kempas-kempis dan tak dapat bergerak, tapi sekarang begitu melayang ke
atas, gerak tubuhnya itu tampak begitu gesit dan tangkas.
Wajah Dian Ce-hun menjadi
pucat, bentaknya, "Apakah Cianpwe tidak memikirkan dia lagi ..."
belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong si sakit sudah menubruk ke arahnya
segera lehernya hendak mencengkeramnya.
Ketika Dian Ce-hun merasa
angin keras menyambar tiba, begitu kuat sehingga napaspun terasa sesak. Mana
dia sempat mencelakai Cu Lui-ji lagi, ingin lari saja tidak sempat. Terpaksa ia
mengerahkan segenap tenaga, kedua tangannya menangkis ke atas.
Tak terduga si sakit yang
mengapung di atas udara itu ternyata dapat melakukan perubahan dengan gesit,
sekali putar badan, secepat kilat urat nadi pergelangan tangan Dian Ce-hun
telah di kena di cengkeramannya.
Sekejap itu, semua orang sama
melenggong menyaksikan apa yang terjadi itu. Semua orang tahu si sakit ini
pasti bukan tokoh sembarangan, tapi tiada yang menduga kungfunya sedemikian
mengejutkan. Kungfu dari perguruan dan aliran manapun di dunia ini kalau
dibandingkan gerakan si sakit barusan. Hakekatnya, boleh dikatakan seperti
permainan anak kecil belaka.
Diam-diam Kwe Pian-sian
terkejut, pikirnya, "Bocah she Dian ini benar-benar cari penyakit sendiri.
Sekarang tangannya sudah dicengkeram orang, mungkin segenap kungfunya akan
dipinjam pakai juga oleh orang.
Bara saja terlintas pikiran
demikian, tiba-tiba terdengar si sakit mendamprat perlahan, "Inilah
sedikit hajar adat padamu agar selanjutnya kau tahu diri. Nah, enyahlah
kau!"
Di tengah bentakannya itu,
tubuh Dian Ce-hun telah diangkatnya ke atas terus dilemparkannya ke luar
jendela seperti anak kecil lempar bola. Sampai lama sekali baru terdengar suara
"bluk" di luar sana.
Habis itu, si sakit melayang
kembali ke tempat tidurnya dan berbaring pula seperti semula, hanya napasnya
tampak terengah-engah.
Selang sejenak, tiba-tiba
terdengar suara Dian Ce-hun berkumandang dari luar jendela sana, "Kungfu
Cianpwe sungguh hebat luar biasa kelak Wanpwe masih ingin minta petunjuk
lagi."
Bicara sampai kata terakhir
itu suaranya kedengarannya sudah berada di tempat beratus tombak jauhnya. Nyata
anak muda ini tidak cuma kepala batu, dan tidak kenal apa artinya kapok, bahkan
nyalinya juga besar dan tidak takut apapun.
Diam-diam timbul rasa suka dan
sayang dalam hati Pwe-giok terhadap pemuda she Dian itu, pikirnya dengan
gegetun, "Sungguh lelaki yang hebat, entah dia anak murid siapa?"
Di dengarnya si sakit sedang
berkata dengan megap-megap, "Melulu Ji Hong-ho dan begundalnya itu tidak
nanti berhasil mendidik anak murid seperti ini."
"Betul," tukas
Pwe-giok. "Dia tidak mungkin murid salah satu ke-13 perguruan terkemuka
jaman ini. Sebab itulah Wanpwe merasa heran entah dia berasal dari mana?"
Orang sakit itu memejamkan
mata, ia cuma menggeleng dan tidak bicara lagi.
Tiba-tiba Cu Lui-ji bertanya,
"Sacek, mengapa kau lepaskan dia ?"
"Perang antara dua negara
tidak boleh membunuh utusan musuh," kata si sakit dengan dingin.
"Apalagi biarpun dia kurang sopan, masa akupun bertindak ngawur seperti
dia?"
"Tapi kulihat
kedatangannya itu tidak melulu untuk mengantar surat saja, tentu dia ingin tahu
keadaan di sini, setelah dia tahu penyakit Sacek belum sembuh, sepulangnya ini
mungkin akan datang lagi dengan membawa orang lain."
"Biarpun membawa orang
lain lantas mau apa?" kata si sakit dengan gusar. "Sekalipun kita
harus mati juga tak boleh bertindak sesuatu yang memalukan, tahu tidak?"
Cu Lui-ji mengiakan dengan
menunduk. Iapun tidak berani bicara lagi.
Diam-diam Pwe-giok bertambah
kagum terhadap kepribadian si sakit.
Kwe Pian-sian sejak tadi diam
saja, kini iapun tidak tahan, katanya: "Sekalipun Cianpwe harus
membebaskan dia, mengapa tidak kau pinjam pakai dulu Kungfunya itu?"
Si sakit meliriknya sekejap
dengan sorot mata dingin dan penuh rasa menghina, iapun tidak menjawabnya.
Cu Lui-ji lantas mendengus:
"Sekalipun Sacek suka pinjam pakai Kungfu orang lain, kalau bukan orang
itu sukarela tentulah akibat perbuatan orang itu sendiri. Kalau tidak, Kungfumu
kan juga tidak lemah, mengapa Sacek tidak pinjam pakai?"
Kwe Pian-sian jadi ngeri
sendiri dan tidak berani bicara lagi. Tapi biasanya dia juga angkuh dan tinggi
hati, tentu saja dia tetap penasaran karena merasa dihina. selang sejenak, ia
tidak tahan dan berkata pula: "Mungkin nona hanya bergurau saja. Di
seluruh dunia ini mana ada orang yang sukarela meminjamkan Kungfunya yang
dilatihnya dengan susah payah selama hidup kepada orang lain?"
Tiba-tiba Cu Lui-ji melirik
Gin-hoa-nio sekejap, lalu mendengus: "Mungkin ada, siapa tahu?!"
Gin-hoa-nio merasa bingung
mengapa anak dara itu meliriknya, seketika ia merinding sendiri. Selagi ia
hendak mencari alasan untuk bertanya, tiba-tiba Pwe-giok sudah bertanya lebih
dulu: "Entah apa yang tertulis di dalam surat itu?"
Setelah bertanya, hati
Pwe-giok menjadi menyesal, ia menyangka si sakit pasti tidak akan
memberitahukannya dan hal ini berarti dirinya mendapat malu sendiri.
Siapa tahu si sakit lantas
menyerahkan surat tadi kepada Lui-ji dan berkata: "Coba, kau bacakan bagi
mereka."
Lui-ji lantas merobek sampul
surat itu, diloloskannya secarik surat, lebih dulu dilihatnya satu kali, habis
itu baru dibacanya dengan perlahan:"... Locianpwe yang terhormat, sudah
lama kami kagum atas pribadimu, tak tersangka sekarang Cianpwe bertirakat di
sini. Nama Cianpwe termasyhur bijaksana, tentunya Cianpwe takkan membela puteri
.... Pada tengah malam nanti kami akan berkunjung kemari, diharapkan Cianpwe
takkan menolak kedatangan kami. Hormat Ji Hong-ho dan kawan-kawan berjumlah 12
orang."
Isi surat itu ditulis secara
tergesa-gesa sehingga kalimatnya tidak diperbaiki lagi, namun cekak-aos, singkat
dan jelas.
Namun waktu membacanya, Cu
Lui-ji sengaja melompati beberapa nama yang tidak dibacanya.
Diam-diam Pwe-giok membatin:
"Nama pada bagian depan surat itu tentulah nama orang sakit ini dan nama
bagian lain yang menyebutkan nama orang tua nona Cu ini, dengan sendirinya juga
tidak dibacakannya."
Mendadak si sakit mendengus:
"Hm, Ji Hong-ho dan kawan-kawannya berjumlah 12 orang ..... huh, hanya
mereka itu saja berani menemui aku dengan menjanjikan waktu berkunjung
segala?"
Dengan suara tertahan Cu
Lui-ji berkata: "Jika cuma mereka saja tentu saja tidak berani menulis
surat ini, tapi sekarang kukira mereka tentu sudah mempunyai beking yang kuat,
makanya nyali mereka tambah besar."
Pwe-giok saling pandang
sekejap dengan Kwe Pian-sian, diam-diam mengagumi kecepatan berpikir nona cilik
ini, mereka memang juga sudah memperkirakan Ji Hong-ho pasti mendapatkan bala
bantuan yang tangguh.
Diam-diam Pwe-giok membatin:
"Rasanya tokoh andalan mereka pasti bukan Dian Ce-hun yang mengantar surat
ini, tapi pasti lebih lihay daripada Dian Ce-hun, jangan-jangan orang yang
dimaksud adalah guru pemuda she Dian itu?"
Berpikir demikian, diam-diam
ia berkuatir bagi si sakit. Dilihatnya orang sakit itu telah memejamkan mata
pula, setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata dengan perlahan:
"Jika mereka telah mengirim surat secara sopan padaku rasanya kitapun
harus membalasnya dengan cara yang sama ....... Lui-ji, boleh kau pergi kesana,
katakan kepada mereka bahwa aku tetap menantikan kedatangan mereka di sini."
"Tidak, aku tidak mau
kesana," di luar dugaan Lui-ji menjawab dengan menggeleng.
"Kau tidak mau
pergi?" si sakit menegas dengan berkerut kening.
Lui-ji menyapu pandang sekejap
ke arah Kwe Pian-sian dan Gin-hoa-nio, katanya kemudian dengan menunduk: "Aku
akan mengiringi Sacek di sini, aku tidak mau pergi kemana-mana."
Pwe-giok tahu sebabnya nona
cilik itu tidak mau pergi adalah karena kuatir terhadap Kwe Pian-sian dan
Gin-hoa-nio, ia harus tetap tinggal di sini untuk mengawasi gerak-gerik kedua
orang itu. Dari sini terbuktilah bahwa saat ini si sakit berada dalam keadaan
gawat, sisa tenaganya sudah tidak cukup untuk melayani gin-hoa-nio dan Kwe
Pian-sian berdua. apalagi untuk menghadapi Dia Ce-hun dan gurunya yang pasti
jauh lebih lihay.
Berpikir demikian, tanpa
terasa Pwe-giok terus berseru: "Jika nona Cu harus meladeni Cianpwe di
sini, biarlah aku saja yang mewakili Cianpwe pergi ke sana."
Sekonyong-konyong si sakit
membuka mata dan bertanya: "Kau ingin pergi?"
Pwe-giok tertawa, jawabnya:
"Ya, jika sekiranya Cianpwe tidak merasa keberatan."
Sorot mata si sakit yang tajam
itu menatapnya sejenak, tiba-tiba ia berkata: "Coba kemari kau!"
Sejak tadi Ciong Cing berduduk
melongo disamping sana, kini timbul rasa kuatirnya ketika dilihatnya Ji
Pwe-giok disuruh mendekati orang sakit itu, hampir saja ia berteriak: "He,
jangan kau mendekati dia. Kungfumu akan dipinjam pakai juga olehnya."
Namun tanpa prasangka apapun
Pwe-giok tetap mendekati si sakit dengan tenang, katanya: "Cianpwe hendak
memberi pesan apalagi?"
Si sakit memberi tanda,
Pwe-giok terus mendekatkan telinganya ke mulut orang itu. Dengan mata
terbelalak Ciong cing menyaksikan si sakit berbisik-bisik sekian lamanya di
tepi telinga Pwe-giok.
Suaranya sangat lirih sehingga
tiada seorangpun yang tahu apa yang dikatakannya. Hanya terlihat air muka
Pwe-giok lambat-laun memperlihatkan rasa girang, mendadak ia memberi hormat dan
berucap: "Terima kasih, Cianpwe".
"Kau sudah paham?"
tanya si sakit.
Pwe-giok memejamkan matanya
dan berpikir sejenak, tiba-tiba kedua tangannya bergerak beberapa kali di
udara, seperti menggores beberapa lingkaran yang besar-kecilnya tidak sama.
Orang lain tidaklah merasakan
apa-apa atas perbuatan Pwe-giok itu, tapi Kwe Pian-sian menjadi terkejut. Nyata
dia merasakan pad setiap lingkaran yang dibuat oleh Ji Pwe-giok itu mengandung
satu jurus serangan mematikan yang amat lihay.
Makin lama makin cepat
lingkaran yang dibuat Ji Pwe-giok itu, tapi dari cepat mendadak berubah lambat,
habis itu lantas berhenti, dia menarik napas panjang-panjang, air mukanya
bersemu merah, lalu ia memberi hormat kepada si sakit dan bertanya:
"Apakah begini caranya?"
Sorot mata si sakit
menampilkan rasa girang, katanya sambil mengangguk: "Bagus sekali,
bolehlah kau berangkat!"
Pwe-giok memberi hormat pula,
tanpa bicara lagi ia terus bertindak pergi dengan langkah lebar.
Kini Kwe Pian-sian dapat
menerka bahwa mungkin si sakit kuatir Pwe-giok akan dianiaya atau dihina waktu
mengantar surat ke sana, maka si sakit sengaja mengajarkan sejurus Kungfu maha
lihay kepadanya.
Diam-diam Kwe Pian-sian
menyesal, "Tahu begitu. tentu tadi ku dahului mencalonkan diri sebagai
pengantar surat."
Tapi setelah menyesal ia
menjadi heran pula: "Orang sakit ini hanya berbisik-bisik sejenak kepada
Ji Pwe-giok ini dan anak muda itu lantas dapat menguasai jurus serangan maha
lihay itu, mengapa dia dapat belajar secepat ini?"
Ia tidak tahu bahwa pandangan
si sakit sangat tajam, dari gerak-gerik Ji Pwe-giok sejak tadi sudah dapat
dirabanya asal-usul ilmu silatnya. Apa yang diajarkannya barusan adalah Kungfu
yang berdekatan dengan kepandaian yang telah dikuasai Pwe-giok, apalagi anak
muda itu memang sangat cerdas, diberitahu satu segera paham tiga, diberi
petunjuk sebelah sini serentak tahu pula apa yang di sebelah sana, setelah
diberitahu kunci-kuncinya oleh orang kosen, dengan sendirinya segera dapat
dikuasainya dengan cepat.
Dalam pada itu kedengaran si
sakit telah mendengkur, agaknya sudah tertidur pulas pula.
Sebaliknya wajah Cu Lui-ji
sekarang tampak agak pucat, dia bergumam: "Tengah malam nanti .....
waktunya tinggal lima-enam jam lagi ...." tiba-tiba pandangannya beralih
ke arah gin-hoa-nio dan berkata dengan dingin: "Sesudah lima enam jam lagi
mungkin kau akan ....... "
Gin-hoa-nio menjadi ketakutan
setengah mati, sebelum habis ucapan anak dara itu segera ia berlutut dan
menyembah, mohonnya dengan suara gemetar: "Mohon belas kasihan nona,
sudilah mengingat sesama perguruan dan tolonglah diriku."
"Jadi sekarang kau mau
mengaku sebagai orang perguruan kita?" tanya Cu Lui-ji.
Gin-hoa-nio menunduk, jawabnya
dengan terputus-putus: "Aku .... aku .... "
"Hm, apakah tidak terlalu
terlambat pengakuanmu sekarang?" jengek Lui-ji
Gin-hoa-nio merasa sekujur
badan lemas seluruhnya dan hampir jatuh terkulai. Meski dia biasa mempermainkan
setiap lelaki, tapi di depan anak perempuan ini dia benar-benar mati kutu dan
tidak sanggup bertingkah sama sekali.
Tak terduga, lewat sejenak,
tiba-tiba Lui-ji berkata pula: "Jika kau ingin hidup, kukira masih ada
jalannya."
"Apa jalannya?" tanya
Gin-hoa-nio cepat,
"Masa kau sendiri tidak
dapat menerkanya?" ucap Lui-ji dengan hambar.
Diam-diam Gin-hoa-nio
menggreget, pikirnya dengan gemas: "Budak sialan, budak mampus, jika aku
dapat memikirkan jalan baik, masa perlu kuminta pertolongan kepada budak hina
macam kau?"
Sudah tentu dia tidak berani
memperlihatkan rasa penasarannya itu, sebaliknya ia menjawab dengan mengiring
tawa: "Ah, aku ini terlalu bodoh sehingga perlu minta petunjuk kepada
nona, mana sanggup kucari jalan yang lebih baik. Hendaklah nona saja sudi
menolong, budi kebaikanmu tentu takkan kulupakan selama hidup ini."
Tapi Cu Lui-ji lantas melengos
ke sana seperti tidak mendengar ucapannya itu.
Keruan Gin-hoa-nio tambah
gelisah, saking gregetan hampir saja ia mencaci-maki.
Tak terduga Kwe Pian-sian
lantas menimbrung dengan perlahan: "Jalan keluarnya mungkin dapat ku
terka."
Gin-hoa-nio melengak, tanyanya
: "Kau tahu?"
"Ehmm," Kwe
Pian-sian mengangguk.
"Meng .... mengapa tidak
lekas kau katakan?" seru Gin-hoa-nio.
"Untuk apa harus
kukatakan?" jawab Kwe Pian-sian dengan ketus.
Gin-hoa-nio jadi tertegun,
mukanya sebentar pucat sebentar hijau, diam-diam ia menggertak gigi saking
gemasnya, namun wajahnya segera menampilkan senyuman menggiurkan, katanya:
"Kumohon dengan sangat, sudilah kau katakan padaku, selama hidupku
......"
"Ah, justru aku tidak
berharap agar selama hidupmu akan selalu teringat padaku." tukas Kwe
Pian-sian.
"Tapi bukan saja aku
tidak akan melupakan budi kebaikanmu, bahkan apapun kehendakmu atas diriku
pasti akan kuberikan," sambung gin-hoa-nio pula.
Kwe Pian-sian melirik sekejap
ke arah bungkusan benda mestika sana, katanya: "Barang apapun juga,
katamu?"
"Ya." jawab
Gin-hoa-nio dengan menunduk.
Terdengar suara keriat-keriut
di sebelah sana, kiranya saking gregetan Cion Cing telah menggertak giginya.
Maklumlah, makna kata "barang apapun yang kau kehendaki" terlalu luas
dan meliputi macam-macam hal.
Kwe Pian-sian tertawa cerah,
katanya: "Tentang jalan keluarnya, tadi kudengar nona Cu bilang ada
sementara orang yang sukarela akan meminjamkan Kungfunya kepada Cianpwe ini,
tatkala mana aku merasa bingung, tapi sekarang aku telah paham arti ucapannya
itu."
Teringat waktu bicara tadi Cu
Lui-ji pernah melirik ke arahnya, tiba-tiba Gin-hoa-nio juga paham apa yang dimaksudkan,
seketika keringat dingin membasahi tubuhnya.
Terdengar Kwe Pian-sian
menyambung pula: "Dan jika kau mau meminjamkan Kungfumu kepada Cianpwe
ini, racun yang mengeram di tubuhmu dengan sendirinya juga akan terhisap bersih
oleh Cianpwe ini dan jiwamu juga tidak akan menjadi soal lagi."
Gemetar Gin-hoa-nio, katanya:
"Tapi ..... tapi kalau terjadi begini, bukankah be .... beliau sendiripun
akan keracunan?"
Meski ucapannya ini ditujukan
kepada Kwe Pian-sian, iapun tahu Kwe Pian-sian pasti tidak mampu menjawab, yang
sanggup menjawab pertanyaannya ini hanya Cu Lui-ji saja.
Benarlah, dengan tenang Cu
Lui-ji lantas berkata: "Sedikit racun di tubuhmu itu memang cukup berat
bagimu, tapi bila berada di tubuh Sacek, racun itu sama sekali tidak ada
artinya."
Gin-hoa-nio melenggong pula
dengan berkeringat dingin, sebentar-bentar ia pandang si sakit dan
sebentar-bentar lagi memandang tangannya sendiri. Mendadak ia berteriak dengan
suara parau: "Baiklah! Akan ...... akan kupinjamkan kepadamu!"
"Hm, kau mau, masih perlu
dipertimbangkan lagi apakah kami mau terima?" jawab Cu Lui-ji dengan
tertawa dingin.
Kembali Gin-hoa-nio melengak,
ucapnya pula dengan terputus-putus: "Habis sesungguhnya apa .. apa
kehendakmu?"
Lui-ji hanya tertawa dingin
saja tanpa bersuara. Tapi Kwe Pian-sian lantas menyeletuk: "Jika orang
tidak mau menerima, apakah kau tidak dapat memohon lagi?"
Gin-hoa-nio terkesima lagi
sekian lamanya, akhirnya ia menghela napas panjang dan berkata dengan air mata
bercucuran: "Ya, kumohon .... kumohon dengan sangat sudilah ..... sudilah
nona ..."
Sesungguhnya dia sangat
penasaran dan menahan dendam, suaranya menjadi tersendat dan hampir-hampir
sukar diucapkan.
Sebaliknya diam-diam Cion Cing
merasa senang, pikirnya: "Tak tersangka orang semacam kau sekarang juga
mendapat ganjaran yang setimpal."
Sejenak kemudian barulah Cu
Lui-ji tersenyum hambar, katanya: "Baiklah, cuma kau harus ingat kau
sendiri yang memohon padaku, aku tidak pernah memaksa kau, betul tidak?"
Gin-hoa-nio tidak tahan lagi,
ia menjatuhkan diri di lantai dan menangis sedih ....
oOo oOo oOo
Saat itu baru saja lewat
lohor, sang surya sedang memancarkan sinarnya yang cerlang cemerlang, tapi
suasana di kota kecil ini terasa seram dan suram.
Di pojok dinding sana
meringkuk seekor anjing tua, mungkin binatang itu sudah terbiasa oleh
keramaian, kini juga merasakan suasana yang luar biasa ini sehingga ketakutan
dan tidak berani sembarangan bergerak.
Walaupun kecil, tapi
Li-toh-tin semula adalah sebuah kota kecil yang cukup ramai, tapi sekarang
keadaan kota ini sunyi senyap, suara kokok ayam dan gonggong anjingpun tak
terdengar, karena itulah terasa seram laksana sebuah kota hantu.
Pwe-giok berjalan sendirian di
jalan raya satu-satunya ini, dilihatnya pintu toko di kedua samping jalan sama
tertutup rapat, hanya papan merek toko saja yang bergoyang-goyang tertiup
angin, mau-tak-mau timbul juga rasa seramnya.
Setelah berjalan lagi sekian
lamanya ke depan, mendadak terlihat di hutan di depan sana ada bayangan
manusia. Pwe-giok mengira orang-orang yang hendak dicarinya itu bersembunyi di
hutan sana, segera ia mendekatinya dengan langkah lebar.
Siapa tahu, setelah dekat,
dilihatnya ditengah hutan itu penuh berjubel orang-orang, ada yang duduk di
atas batu, ada yang berkerumun di bawah pohon, lelaki dan perempuan, tua dan
muda, entah berapa jumlahnya. Rupanya Ji Hong-ho telah menggiring segenap
penduduk Li-toh-tin ke hutan ini.
Wajah orang-orang itu sama
mengunjuk rasa takut dan cemas, begitu banyak orang yang berkerumun di situ,
tapi tiada seorangpun yang berani bersuara, sampai bayi-bayi dalam pangkuan san
bunda juga dibungkus rapat-rapat dengan selimut sehingga suara tangisannya
tidak tersiar. Semua orang merasa seakan-akan ditimpa oleh malapetaka.
Pwe-giok menghela napas,
pikirnya: "Orang she Ji itu sengaja mengiring penduduk Li-toh-tin ke sini,
tentu saja dengan alasan demi keselamatan penduduk itu sendiri agar tidak
menimbulkan korban orang yang tak berdosa, padahal penduduk di sini adalah
rakyat jelata yang hidup tertib, mana pernah mengalami kejadian seperti ini
..."
Kedatangan Pwe-giok disambut
orang-orang di tengah hutan itu dengan pandangan yang curiga dan benci, mereka
seakan-akan hendak berkata: "Sesungguhnya kau ini manusia macam apa ?
Mengapa kalian mengganggu ketenangan kami?"
Pwe-giok tidak berani
memandang mereka dengan kepala tertunduk ia lalu ke sana. Mendadak dua lelaki
berpakaian ketat melompat keluar dari balik pohon sana dan menghadang di depan
Pwe-giok.
"Kawan ini datang
darimana dan ada keperluan apa?" segera seorang menegur.
Kedua orang itu tadi tidak
ikut ke Li-keh-can, maka mereka tidak kenal Pwe-giok. Sebaliknya dari dandanan
mereka Pwe-giok dapat menerka mereka pasti anak buah langsung orang she Ji itu.
Ia menjadi gusar. Tapi sedapatnya ia menahan perasaannya, jawabnya dengan
ketus: "Ku datang mengantar surat, dapatkah kalian memberi petunjuk
jalannya?"
Orang itu tertawa lebar,
katanya: "Bengcu sudah tahu pasti ada orang yang akan datang dengan
membawa surat, makanya kami berdua ditugaskan menunggu di sini. Perhitungan
Bengcu yang maha jitu ini sungguh luar biasa, kawan merasa kagum tidak?"
Pwe-giok hanya mendengus saja
tanpa menjawab.
Orang itu melototinya sekejap,
seketika iapun menarik muka dan berkata: "Jika kau ingin menyampaikan
surat, marilah ikut padaku. Kalau saja tiada pesan Bengcu ....... Hm!"
Melihat lagak orang, Pwe-giok
berbalik tidak marah, pikirnya: "Jika anak buah orang she Ji itu melulu
terdiri dari orang-orang tolol begini, jadinya lebih baik malah."
Setelah menyusuri hutan itu
tampaklah di depan sana ada sebuah biara.
Hampir seluruh penduduk
Li-toh-tin itu she Li, patung yang dipuja di biara ini ialah Thay-siang-lo-kun
yang aslinya juga she Li. Rupanya penduduk
Li-toh-tin ini menganggap
mereka adalah keturunan Thay-siang-lo-kun, sebab itulah biara ini dibangun dan
dirawat dengan sangat megah dan bagus, bahkan besarnya tidak kalah dengan biara
ternama di kota-kota besar.
Tapi sekarang suasana biara
itupun senyap, kedua sayap daun pintu bercat hitam hanya terbuka sedikit, pohon
di depan biara adalah pohon tua yang berumur ribuan tahun.
Setiba di depan pintu, kedua
pengantar itu menoleh dan berkata: "Tunggu dulu di sini, biar kami
laporkan bagimu, jangan sembarangan bergerak, tahu ?"
Jika orang lain diperlakukan
kasar begini, bisa jadi kedua orang itu akan kontan dipersen dengan dua kali
gamparan. Tapi Pwe-giok memang pemuda sabar, ia hanya tersenyum hambar dan
menjawab: "Baiklah, terima kasih".
Kedua orang itu melotot lagi
sekejap, lalu melangkah ke dalam biara sambil mendengus.
Sejenak kemudian dibalik pintu
sana berkumandanglah suara mereka: "Bengcu melukiskan pihak lawan
sedemikian lihaynya, tapi kulihat pengantar surat ini mirip seorang penari
belaka, cuma sayang mukanya ada bekas luka".
Pwe-giok tidak menjadi marah
oleh olok-olok itu, sebaliknya malah ia tertawa senang.
Kebanyakan anak muda berdarah
panas dan lekas marah, tinggi hati, tidak mau kalah. Apalagi dihina orang.
Dengan sendirinya Pwe-giok juga begitu.
Tapi kini setelah mengalami
berbagai macam gemblengan, sudah kenyang dengan pengalaman pahit, ia justru
takut bila orang lain memperhatikan dan menghargainya, semakin orang memandang
rendah padanya, semakin meremehkan dia, dalam hatinya justru semakin girang.
Sebab ia tahu hanya orang demikian inilah takkan dibenci dan dicemburui orang
lain dan juga takkan dicelakai orang. Meski usianya masih muda, tapi
pengetahuannya kini sudah terlalu banyak.
Selang tak lama, terdengar
dibalik pintu ada suara orang bertanya: "Dimana si pengantar surat ?”.
Pwe-giok tahu pertanyaan orang
itu berlebihan, sebab jelas-jelas diketahuinya pengantar surat berada diluar,
untuk apa mesti bertanya lagi. Segera ia membetulkan bajunya dan
menjawab:" Di sini!"
Tanya jawab ini sebenarnya
memang tidak perlu, tapi kalau tiada permainan begini, rasanya sandiwara ini
menjadi kurang menarik.
Akan tetapi setelah
bertanya-jawab, dari dalam tetap tiada orang muncul. Pwe-giok menunggu lagi
sejenak, sekalipun ia cukup sabar, tidak urung ia tidak tahan dan mengulangi
lagi jawabnya: "Di sinilah pengantar suratnya...." dua kali dia
mengulangi ucapannya itu, suaranya juga tambah keras, tapi di balik pintu tetap
sunyi senyap tanpa reaksi apa-apa.
Ia menunggu lagi sebentar,
tiba-tiba ia berseru dengan tertawa: "Jelas-jelas anda tahu kedatangan
pengantar surat, mengapa tinggal diam dan tidak menggubrisnya? Apakah anda
tidak suka menerima surat ini? Sungguh cayhe tidak paham apa maksud anda?"
Namun di balik pintu tetap
tiada suara jawaban.
Pelahan Pwe-giok berkata lagi:
"Namun Cayhe sudah menerima tugas dan harus melaksanakan kewajiban. Kalau
surat sudah ku antar kemari, betapapun harus kuserahkan kepada yang wajib
terima". Sembari bicara ia terus mendorong pintu dan melangkah ke dalam.
Halaman dalam kelihatan guram,
suasana juga hening, bahkan kedua orang yang membawanya kemari tadi juga sudah
menghilang entah ke mana.
Tanpa melirik ke kanan maupun
ke kiri, Pwe-giok langsung menuju ke ruangan tengah sana dengan melintasi
halaman itu.
Di ruangan pendopo biara itu
tampak asap dupa bergulung-gulung, patung Thay-siang-lo-kun di altar kelihatan
khidmat, sebuah Hiolo (tungku dupa) terbuat dari perunggu yang biasanya
terletak di tengah-tengah pendopo kini sudah disingkirkan ke pinggir.
Hiolo itu tingginya melebihi
manusia, tampaknya biarpun bertenaga raksasa juga sukar memindahkannya kecuali
kalau belasan orang bertenaga kuat menggesernya bersama. Tapi Hiolo itu cuma
berkaki tiga, bagian lain boleh dikatakan licin sekali dan sukar dipegang,
biarpun belasan orang hendak mengangkatnya sekaligus rasanya juga sulit.
Sungguh Pwe-giok tidak paham
siapakah yang memindahkan Hiolo raksasa itu dan cara bagaimana menggesernya?
Terlihat setelah Hiolo itu
dipindahkan, di ruang pendopo itu kini sudah dipasang 12 kursi besar dari kayu
merah. Namun ke 12 kursi itu belum satupun diduduki orang.
Sampai di sini Pwe-giok tidak
melangkah lebih maju lagi. Sekarang iapun paham duduknya perkara. Pikirnya:
"Rupanya merekapun tahu orang sakit itu juga akan menggunakan alasan
mengirim surat balasan dan sekaligus mencari tahu kekuatan mereka, sebab itulah
mereka sama menyingkir dan tiada seorangpun mau memperkenalkan diri. Tapi orang
se Ji dan Lim Soh-Koan dan lain-lain kan tidak perlu lagi menyembunyikan jejak
mereka, yang tidak ingin memperlihatkan wajah aslinya mungkin adalah tokoh
andalan mereka yang lihai itu."
Lalu siapakah tokoh andalan
mereka itu? Mengapa mesti bertindak misterius begini? Apakah mungkin dia kuatir
kedatangannya diketahui oleh si sakit? Bisa jadi si sakit akan kabur bilamana
mengetahui kedatangannya?
Timbul juga rasa ingin tahu
Pwe-giok, ia mengerling sekeliling ruangan itu, mendadak ia menjura terhadap
kursi besar dibagian tengah yang kosong itu dan berkata: "Cayhe Ji
Pwe-giok sengaja berkunjung kemari untuk menemui Bengcu."
Dia menjura dengan sikap yang
sangat hormat, sama seperti saat itu Ji Hong-ho benar-benar berduduk dikursi
itu. Dalam keadaan demikian, bilamana Ji Hong-ho tidak mau kehilangan pamornya
sebagai seorang Bengcu, maka mau-tak-mau dia harus memperlihatkan dirinya.
Selang sejenak, benarlah
terdengar suara Ji Hong-ho berkumandang dari belakang sana, katanya dengan
tertawa:" Sungguh tidak pernah kuduga si pengantar suratnya ialah
Ji-kongcu, maaf jika tiada penyambutan yang layak."
Ramah juga nada ucapannya,
tapi belum lama lagi lenyap suaranya, sekonyong-konyong seorang berteriak
disamping:" Jadi kau inilah pengantar surat Hong Sam?"
Baru sekarang Pwe-giok tahu
orang sakit itu bernama Hong Sam, didengarnya orang itu bicara dengan keras dan
cepat, jelas orang yang berbicara ini berwatak keras dan pemberang.
Pada umumnya orang yang
berwatak keras dan pemberang tentu sukar melatih Kungfu dengan baik, tapi
tenaga dalam orang itu justru begini kuat, setiap katanya bergetar seperti
bunyi genta sehingga anak telinga pendengarnya terasa sakit.
Tanpa melihat orangnya saja
Pwe-giok tahu tinggi ilmu silat orang ini benar-benar belum pernah dilihatnya
selama hidup ini.Jelas memang lebih tinggi setingkat dibandingkan para ketua
dari ke-13 perguruan terkemuka jaman ini.
Selagi Pwe-giok tercengang,
agaknya orang itu tidak sabar menunggu lagi, dengan gusar ia menegur pula:
"Kutanya padamu, mengapa tidak lekas kau jawab?"
Maka Pwe-giok lantas berkata:
"Betul Cayhe memang mengantar surat bagi Hong-locianpwe..."
"Kau pernah apanya Hong
Sam?" tanya pula orang itu dengan suara bengis.
"Cayhe dan Hong-cianpwe
bukan sanak bukan kadang, hanya .... "
"Bukan sanak bukan
kadang?" orang itu memotong dengan gusar. "Lalu untuk apa kau menjadi
pengantar suratnya? Apakah kau makan kenyang dan terlalu iseng?"
Setiap kali ucapannya belum habis
lantas dipotong oleh orang itu, diam-diam Pwe-giok mendongkol dan juga geli,
pikirnya: "Watak orang ini begini keras, jelas pula seorang pemberang,
entah cara bagaimana dia berhasil meyakinkan Kungfu setinggi ini?"
Walaupun dalam hati merasa
heran, tapi dimulut iapun tidak berani ayal, jawabnya: "Tugas mengantar
surat adalah pekerjaan yang mudah, tidak merugikan diri sendiri, tapi berguna
bagi orang lain, mengapa tidak kulakukan?"
"Hm," orang itu
mendengus. "Di mana suratnya?"
"Surat Hong-locianpwe
yang ku antar ini adalah surat lisan," jawab Pwe-giok.
"Surat lisan?" Orang
itu menegas. "Apakah untuk memegang pensil saja dia tidak punya tenaga
lagi?"
Berkata sampai di sini
mendadak ia tertawa terbahak-bahak, begitu keras dan nyaring suara tertawanya
sungguh-sungguh sangat mengejutkan, seluruh ruangan pendopo itu seolah-olah
bergetar oleh gema suara tertawanya.
Pwe-giok tambah terkejut juga.
Ia tunggu setelah suara tertawa orang mereda barulah ia menjawab dengan suara
tegas: "Hong-locianpwe menyuruh Cayhe menyampaikan kepada Anda sekalian
bahwa tengah malam nanti beliau siap menanti kunjungan kalian, diharap kalian
datang tepat pada waktunya.."
"Dia berharap kami datang
tepat pada waktunya, memangnya dia mengira aku tidak berani pergi kesana?"
kata orang itu dengan gusar.
"Maksud Hong-locianpwe
hanya ......" "Darimana kau tahu maksudnya?" sela orang itu
dengan meraung gusar. "Kau ini kutu macam apa? Selesai mengantar surat,
tidak lekas enyah dari sini, apakah kau minta ku gencet pecah kepalamu?"
Pwe-giok tersenyum tak acuh,
jawabnya "Jika demikian, baiklah Cayhe mohon diri."
Sedikitpun pihak lawan tidak
mempersulit dia, seharusnya dia bersyukur dan merasa senang tapi dalam hati
Pwe-giok sekarang justru merasa tertekan. sebab kedatangannya ini meski hanya
mengantar surat, sesungguhnya masih ada dua maksud tujuan lain, satu
diantaranya adalah demi kepentingan si sakit dan tujuan lainnya adalah demi
kepentingannya sendiri.
Tujuannya bukan saja ingin
menyelidiki kekuatan musuh bagi si sakit, Pwe-giok juga ingin menemui
Ang-lian-hoa untuk menjelaskan seluk-beluk apa yang terjadi ini. Betapapun ia
tidak ingin Ang-lian-hoa ikut campur urusan yang ruwet ini.
Tapi sekarang tujuannya
mencari tahu kekuatan lawan tidak berhasil, Ang-lian-hoa juga tidak ditemuinya,
malahan gelagatnya dia harus segera meninggalkan tempat ini, jadi kunjungannya
ini boleh dikatakan sia-sia belaka.
Halaman yang suram itu penuh
berserakan daun kering yang belum tersapu, suasana hening.
Pwe-giok telah meninggalkan
pendopo dan menyusuri halaman itu, selagi dia merasa gegetun pada perjalanannya
ini, tiba-tiba terdengar suara "sret" yang perlahan, sinar pedang
menyambar tiba secepat kilat, tulang rusuk belakang yang terarah.
Begitu cepat serangan ini
sehingga sukar untuk menghindar bagi sasarannya.
Meski perasaan Pwe-giok sedang
tertekan, namun dia tidak pernah melupakan kewaspadaannya, dengan tidak kalah
cepatnya ia berputar dan kedua tangannya masing-masing menggores satu
lingkaran.
Itulah jurus ajaib ajaran si
orang sakit tadi, sekarang dikeluarkannya secara mendadak, entah betapa hebat
daya serangannya, yang jelas segera terdengar suara "pletak", pedang
musuh yang menusuk ke tengah lingkaran yang digarisnya itu mendadak patah
menjadi dua. Padahal tangan Pwe-giok tidak pernah menyentuh pedang lawan, hanya
tenaga dalamnya saja sudah cukup mematahkan pedang baja musuh. Daya serangannya
ini sungguh mengejutkan, sampai Pwe-giok sendiripun terkesiap.
Waktu Pwe-giok berpaling,
dilihatnya di bawah pohon berdiri seorang dengan memegang pedang buntung,
agaknya orang inipun terkejut oleh pedangnya yang patah mendadak itu. Orang ini
bertubuh jangkung dan bergaya, kiranya Lim Soh-koan adanya.
Setelah tahu siapa
penyerangnya, hati Pwe-giok jadi paham duduk perkaranya. Nyata orang ini masih
tetap menaruh curiga padanya dan sekarang sengaja hendak mencoba dan memancing
gaya Kungfunya untuk mengetahui asal-usulnya.
Maklumlah, bilamana seorang
mendadak diserang, secara naluri tentu akan dipergunakannya Kungfu aslinya
untuk menjaga diri. Hal ini dilakukannya secara otomatis, jadi tidak mungkin
pura-pura, andaikan pura-pura juga tidak sempat lagi.
Tak tahunya, Pwe-giok baru
saja mendapat ajaran Kungfu yang maha hebat dan setiap saat selalu
diulang-ulang ingat dalam hati. Kini mendadak mengalami serangan, tanpa terasa
Kungfu baru ini lantas digunakannya. hal inipun dilakukannya secara naluri,
sedikitpun tidak berpura-pura.
Keruan Lim soh-koan tercengang
dan berdiri seperti patung dengan wajah sebentar pucat sebentar hijau, sampai
lama sekali tidak sanggup bicara.
Jika orang lain tentu akan
mengucapkan beberapa kata ejekan, tapi dasar Pwe-giok memang pemuda berbudi,
dia cuma tersenyum hambar saja dan berkata: "Cepat amat pedang anda."
Iapun tidak ingin menyaksikan
sikap Lim Soh-koan yang serba susah itu, sambil bicara ia terus memutar pergi
lagi ke depan. tak terduga, pada saat itu juga seorang membentaknya:
"Berhenti!"
Begitu keras suara bentakan
itu, daun kering sama rontok tergetar, telinga Pwe-giok pun mendengung,
pandangannya serasa kabur, tahu-tahu sesosok bayangan orang melayang tiba
seperti burung raksasa, cara melayangnya juga sedemikian cepat, belum lagi daun
rontok jatuh di tanah, orang itu sudah berada di depan Pwe-giok.
Dilihatnya orang ini bersinar
mata tajam, muka berewok, rambutnya juga semrawut dan kaku menegak.
Dari suara bentakannya yang
keras serta wajah yang aneh ini, setiap orang tentu akan mengira orang ini
pasti tinggi besar dan gagah perkasa. tak tahunya orang ini ternyata seorang
tua kurus kecil, tingginya hanya sebatas dada Pwe-giok, memakai jubah pertapaan
biru, ikat pinggangnya terdiri dari seutas rami, pada tali pinggang itulah
terselip sebilah pedang pendek. namun sarung pedangnya penuh bertaburan batu
permata yang bercahaya gemerlapan dan tak ternilai harganya.
Melihat betapa garangnya orang
ini, betapa hebat gerakan tubuhnya serta dandanannya yang aneh, diam-diam
Pwe-giok terkejut juga. tapi dengan tersenyum ia lantas menegur: "Cianpwe
ada pesan apakah?"
Tojin jubah biru pendek kecil
itu membelalakkan matanya yang bersinar tajam, tanpa berkedip ia pandang
Pwe-giok, bentaknya kemudian: "Sesungguhnya ada hubungan apa antara kau
dengan Hong Sam?"
"Tadi kan sudah
kukatakan, Cayhe dan Hong-locianpwe bukan sanak ..... "
"Kentut!" bentak
Tojin jubah biru sebelum lanjut ucapan Pwe-giok. "Kalau kau tiada hubungan
sanak keluarga dengan Hong Sam, darimana kau dapat belajar jurus
'Heng-hun-po-uh, Hong-bu-kiu-thian' (awan berarak dan hujan mencurah, burung
Hong menari di surga) ini?"
Suaranya sungguh keras sebagai
bunyi genta, setiap kali dia bicara, rasanya Pwe-giok pasti berjingkat.
siapapun tidak dapat membayangkan suara sekeras itu. Tidak ada yang tahu bahwa
Khikang (tenaga dalam) Tojin kerdil ini sudah terlatih sangat sempurna, waktu
bicara biasa saja selalu disertai tenaga dalam yang maha kuat sehingga setiap
katanya tercetus seperti bunyi genta.
Pwe-giok menghela napas,
jawabnya kemudian: "Jurus ini baru saja diajarkan Hong-locianpwe kepadaku
sesaat sebelum ku berangkat ke sini. terus terang, semula Cayhe sendiripun tidak
tahu apa nama jurus ini."
"Kentut, kentut
busuk," Tojin kerdil itu meraung pula. "Jika Hong Sam mau sembarangan
mengajarkan jurus serangan andalannya ini kepada orang lain, maka dia bukan
lagi Hong Sam tapi kunyuk!"
Diam-diam Pwe-giok merasa geli
melihat orang tua beribadat ini selalu mengucapkan kata-kata kasar. Tapi bila
melihat sikapnya yang marah benar-benar itu, mau-tak-mau ia menjadi kuatir,
cepat ia menjawab pula: "Soalnya hong-locianpwe kuatir ku bikin malu
padanya, makanya ......"
Tojin jubah biru itu semakin
murka, teriaknya: "Baik, seumpama benar dia mau mengajarkan jurus
serangannya itu kepadamu, tapi dalam waktu sesingkat ini kaupun dapat
menguasainya sebagus ini, maka kau hakekatnya bukan manusia."
Rupanya Tojin kerdil ini suka
mengukur orang lain atas dirinya sendiri. Dia sendiri bukan orang yang
berbakat, bukan orang yang berotak cerdas. Kungfunya yang sakti itu dilatihnya
secara mati-matian berdasarkan kegiatan dan ketekunan melulu, maka sama sekali
ia tidak percaya di dunia ini ada manusia cerdas yang diberitahu satu segera
tahu tiga, diajar sekali lantas paham seluruhnya.
Justeru lantaran pada waktu
berlatih Kungfu dia lebih banyak mengalami pahit getir daripada orang lain,
maka Kungfunya berhasil dikuasai, wataknya lantas berubah menjadi berangasan
dan mudah marah, seringkali dia melampiaskan rasa gusarnya yang tak berdasar
pada orang lain.
Pwe-giaok tahu sukar baginya
untuk menjelaskan, ia hanya menyengir dan berkata: "Jika Cianpwe tidak
percaya, apa yang dapat kukatakan lagi ......."
"Sudah tentu tak dapat
kau katakan," tojin kerdil itu berjingkrak, "di depanku masa kau bisa
bermain gila? Tapi kalau ku tantang kau untuk bergebrak, tentunya kau akan
bilang aku orang tua menganiaya anak muda ...... " mendadak ia meraung
lebih keras: "Ya, kau hendak bilang aku orang tua menganiaya anak muda,
begitu bukan?"
Pwe-giok jadi tertawa geli,
jawabnya: "Kata-kata ini diucapkan oleh Cianpwe sendiri, mana Cayhe pernah
......"
"Baik, anggap kau tidak
bilang begitu, lalu apa yang kau tertawakan?" bentak Tojin kerdil itu.
Diam-diam Pwe-giok menghela
napas gegetun, pikirnya: "Orang kasar dan ingin menang sendiri begini
sungguh jarang ada." Karena bicaranya selalu dianggap salah, terpaksa dia
tutup mulut.
Siapa tahu tutup mulut juga
dianggap salah oleh Tojin jubah biru itu, bentaknya pula: "Mengapa kau
tidak buka mulut? Apakah mendadak kau berubah bisu?"
Pwe-giok menyengir, jawabnya:
"Jika Cianpwe tidak sudi bergebrak denganku, biarlah Cayhe mohon diri
saja."
Tapi Tojin kerdil itu lantas
membentak: "Nanti dulu! Bila kau bukan murid Hong Sam, maka akan
kulepaskan kau pergi, tapi sekarang justeru ingin kulihat Kungfu lihay apalagi
yang diajarkan Hong Sam kepadamu?" Bicara sampai di sini, mendadak ia
berpaling dan membentak: "Murid orang lain sedang bergaya di sini, tapi
dimana muridku? Apakah dia sudah mampus?"
Belum lenyap suaranya,
tertampaklah seorang berlari keluar dari pendopo, ia memberi hormat kepada
Tojin kerdil itu dan bertanya: "Suhu ada pesan apa?"
Semula Pwe-giok mengira murid
tojin jubah biru ini pasti Dian Ce-hun adanya, siapa tahu yang muncul ini
adalah seorang tosu kecil yang berwajah cakap dan sopan santun, jubah
pertapaannya berwarna hijau dan sangat bersih, mukanya juga putih bersih
bersemu kemerah-merahan, sepintas pandang orang akan mengira dia adalah anak
perempuan.
Dalam pada itu Tojin jubah
biru sudah tidak sabar lagi, kembali ia meraung pula: "Aku ada pesan apa?
Masa kau perlu tanya lagi padaku? Apakah kau ini orang mampus dan tidak
tahu?"
Tosu cilik itu menjawab dengan
mengiring tawa: "Apakah Suhu menghendaki Tecu menjajal Ji-kongcu
ini?"
"Kalau sudah tahu, kenapa
kau tanya pula padaku?" teriak si Tojin kerdil dengan lebih keras.
Baru sekarang Pwe-giok tahu
bahwa watak tojin jubah biru itu memang begitu aslinya, jadi bukan cuma
terhadap orang lain saja dia berteriak dan menghardik, terhadap muridnya
sendiri juga dia main bentak dan maki.
Dilihatnya si Tosu cilik
sedang mendekatinya dengan tersenyum, dengan sopan ia memberi hormat, katanya:
"Tecu Sip-hun, ingin mohon petunjuk beberapa jurus kepadamu, mohon Kongcu
mengalah sedikit padaku."
Tosu cilik ini bukan saja
sopan santun bicaranya dan cakap orangnya, mukanya juga selalu dihiasi senyuman
manis, wataknya ternyata sangat halus, sungguh berselisih 180 derajat dibandingkan
perangai gurunya.
Guru yang begitu dapat
mempunyai murid begini, sungguh Pwe-giok merasa heran. Tapi setelah dipikir
lagi, apabila tiada murid yang berwatak sabar, mana bisa meladeni guru yang
pemberang begitu. Andaikan tidak diusir oleh Tojin jubah biru tidak sampai tiga
hari juga pasti akan kabur dengan sendirinya saking tidak tahan apalagi disuruh
belajar silat dengan sabar?
Perangai Pwe-giok sendiri juga
halus dan sopan, orang lain bersikap ramah padanya, iapun membalasnya dengan
lebih ramah, maka ia lantas membalas hormat Tosu cilik itu dan menjawab:
"Ah, totiang terlalu rendah hati, sebenarnya Cayhe tidak berani bergebrak
dengan Totiang, hanya saja ....."
Mendadak si tojin jubah biru
membentak: "Mau berkelahi hendaklah cepat mulai, pakai cerewet
apalagi?"
"Jika demikian, silahkan
Totiang memberi petunjuk," ujar Pwe-giok dengan menyengir.
Sip-hun lantas memberi hormat
dan berkata: "Kalau begitu, terpaksa Tecu berbuat kurang hormat."
Cara bertindaknya ternyata tidak bertele-tele, begitu bilang mulai, segera ia
memukul lebih dahulu.
Jurus serangannya ini sungguh
luar biasa dahsyatnya, siapapun tidak menyangka orang lembut dan ramah seperti
dia bisa melancarkan pukulan seganas ini.
Pwe-giok tidak sempat
memperlihatkan rasa terkejutnya, cepat ia berputar sehingga serangan lawan
dapat dielakkan, akan tetapi pukulan lawan berikutnya segera melanda tiba pula.
Guru yang keras tidak nanti
melahirkan murid yang lemah, jika watak gurunya begitu keras, anak didiknya
dengan sendirinya juga suka pada kekerasan, ini terbuktilah dari
pukulan-pukulannya yang dahsyat dan ganas.
Pwe-giok merasa tosu cilik
yang sopan santun dan selalu tersenyum itu kini telah berubah sama sekali. Yang
dihadapinya sekarang seolah-olah seorang pengganas yang buas dan tidak kenal sopan.
Dengan cepat belasan jurus
telah berlalu, Pwe-giok terdesak hingga bernapas saja hampir tidak sempat. Ada
beberapa jurus mestinya dapat dipatahkannya dengan Kungfu perguruannya sendiri,
tapi kalau dia memperlihatkan Kungfu "Bu-kek-pay", bukankah asal-usulnya
akan konangan.
Terpaksa ia menciptakan jurus
sebisanya dan bergerak menurut keadaan, akan tetapi terbatas oleh macam-macam
kekuatiran, sebaliknya tekanan lawan sedemikian hebat, maka jurus serangan yang
dikeluarkannya tidak begitu leluasa.
Terdengar si Tojin jubah biru
lagi meraung pula: "anak busuk, mengapa tidak kau keluarkan Kungfu ajaran
Hong sam, apakah kau takut rahasia Kungfunya diketahui olehku? ...... Keras
sedikit, keparat! Kemana kau semalam? Mengapa sekarang kelihatan lemas? ...... Bagus,
itulah Yong-hu-pwe-ci, Beng-hou-khay-san (si perkasa menyandang panah, harimau
buas keluar gunung) ...... Sontoloyo, masa seranganmu ini kau anggap
Yong-hu-pwe-ci? Lebih mirip kau lagi menggaruk punggung orang yang gatal!"
Beberapa kalimat bagian depan
dengan sendirinya ditujukan memaki Pwe-giok, tapi kalimat-kalimat belakangan
adalah digunakan memaki muridnya. dia mengira Pwe-giok tidak berani
mengeluarkan ilmu silat perguruannya karena kuatir rahasia ilmu Hong Sam dapat
diketahuinya. Padahal Pwe-giok sendiri lagi mengeluh, sebab kemampuannya hanya
itu-itu saja, untuk menangkis saja sekarang rasanya sulit.
Namun si Tojin jubah biru
masih mencela serangan muridnya kurang keras, padahal betapa hebat dan kuat
serangan Sip-hun sudah cukup membuat melongo orang-orang yang menyaksikannya.
Karena terbatas oleh
kekuatiran gaya Kungfu aslinya akan diketahui musuh, maka setiap kali Pwe-giok
hendak menyerang selalu harus mengingat-ingat apakah jurus serangan ini ilmu
silat perguruan asalnya atau bukan. Dengan cara demikian, bukan saja
gerak-geriknya menjadi lebih lambat, tenaga juga banyak terbuang.
Setelah belasan jurus lagi,
Pwe-giok sudah mandi keringat, bilamana terancam bahaya, terpaksa ia
menggunakan jurus "Heng-hun-po-ih, Hong-bu-kiu-thian" ajaran Hong Sam
itu untuk mendesak mundur musuh. Tapi setelah beberapa kali gebrak lagi,
kembali ia terdesak dan terancam bahaya.
Begitulah sudah berulang-ulang
ia menggunakan jurus sakti ajaran Hong Sam itu, untung setiap kali diulang,
setiap kali bertambah lancer dan daya serangnya juga tambah kuat.
Sampai akhirnya, terpaksa
Sip-hun harus menyingkir terlebih dahulu bila Pwe-giok menggunakan jurus sakti
itu. Setelah jurus itu lewat, barulah Sip-hun menubruk maju dan menyerang lagi
sehingga Pwe-giok tambah mengeluh.
Didengarnya si Tojin kerdil
lagi meraung-raung pula: "Anak busuk, lebih baik kau keluarkan seluruh
ajaran Hong Sam, kalau cuma satu jurus ini apa gunanya? Bila bukan muridku ini
terlalu tidak becus, tentu kau sudah mati lima puluh kali sejak tadi. "
Nyata dia anggap Hong Sam
telah banyak mengajarkan kungfunya kepada Pwe-giok, sebab ia menilai kekuatan
anak muda itu bukanlah jago muda yang baru muncul, malahan kepandaiannya sudah
tergolong kelas satu di dunia Kang-ouw, tapi selain satu jurus "Heng-hun-bo-ih"
itu ternyata tiada jurus lain yang dikeluarkannya.
Sudah tentu keadaan Pwe-giok
mirip si bisu dicekoki pil pahit, hanya bisa mengeluh tapi tak dapat
menjelaskan. Ia tidak tahu bahwa raungan Tojin kerdil itu justru telah
membantunya malah. Kalau tidak, betapa tajam pandangan Lim Soh-koan dan
begundalnya, bila melihat caranya berusaha menutupi gaya silat aslinya, tentu
mereka akan curiga lagi dan kesulitan yang akan timbul kelak tentu akan
bertambah banyak.
Sementara itu Pwe-giok sudah
mandi keringat, setiap orang percaya dia tidak mampu bertahan hingga 20 jurus
lagi.
Tak terduga tenaga pembawaan
Pwe-giok maha kuat, keuletannya sungguh di luar dugaan, setelah belasan jurus
lagi keadaannya masih tetap begitu, biarpun keringat tambah banyak menghias
jidatnya, tapi dia tetap bertahan.
Mau-tak-mau semua orang jadi
melongo heran, cuma keheranan mereka sekarang bukan lagi karena kedahsyatan
serangan Sip-hun melainkan karena daya tahan Pwe-giok yang luar biasa itu.
Di luar pendopo sekarang sudah
penuh berkerumun orang, semuanya tercengang.
Lim Soh-koan menggeleng dan
bergumam: "Bocah ini kelihatan lemah lembut, tak tersangka sekuat kerbau.
Kalau bukan Sip-hun suheng orang lain mungkin sukar melayani dia."
Dia sendiri hanya satu
gebrakan saja pedangnya telah dipatahkan Pwe-giok, maka sekarang dengan
sendirinya ia sengaja menyanjung puji setinggi langit kungfu anak muda itu
sekedar untuk menutupi kekalahannya tadi.
Tapi Dian Ce-hun hanya
tersenyum hambar saja, katanya: "Seumpama dia benar seekor kerbau yang kuat,
memangnya kita tidak mempunyai kepandaian menaklukkan kerbau?"
Dia bicara dengan suara lirih,
ia mengira orang lain pasti tidak mendengarnya. Siapa tahu si Tojin jubah biru
mendadak berjingkrak gusar, nyata telinganya sangat tajam dan dapat mendengar
apa yang dikatakan Dian Ce-hun itu, dengan gusar ia berteriak: "Baik, jika
begitu besar kepandaianmu, biarlah kulihat kesanggupanmu saja!"
Saat itu Sip-hun sedang
memukul kedua sisi tubuh Pwe-giok dengan kedua telapak tangannya. Pwe-giok
sendiri lagi bingung karena tidak tahu cara bagaimana mematahkan serangan
tersebut. Untunglah mendadak dilihatnya tubuh Sip-hun terus mengapung ke atas,
ternyata kuduknya telah dicengkeram oleh Tojin jubah biru terus dilemparkannya.
"Telur busuk yang tak
berguna!" demikian terdengar Tojin jubah biru memaki. "Lebih baik
menggelinding ke samping sana dan saksikan kemampuan orang lain yang katanya
sekali turun tangan lantas dapat menundukkan bocah she Ji itu."
Meski di mulut ia memaki
muridnya sendiri, yang benar ia berolok-olok kepada Dian Ce-hun, sebab ia
sendiri tahu siapapun juga tiada yang mampu mengalahkan Ji Pwe-giok hanya
dengan sekali dua gebrak saja.
Ji Hong-ho dan Lim Soh-koan
saling pandang sekejap menyaksikan tindakan Tojin jubah biru itu, diam-diam
mereka merasa geli, piker mereka: "Tak tersangka watak orang ini yang suka
membela murid sendiri sampai tua tetap tidak berubah."
Dalam pada itu Sip-hun yang
dilemparkan itu sempat berjumpalitan satu kali di udara, lalu melayang turun
dengan enteng, wajahnya lantas menampilkan senyuman ramah pula, dia memberi
hormat kepada Pwe-giok dan berkata: "Tadi aku telah berlaku kasar, mohon
Kongcu sudi memaafkan."
"Ah, Totiang telah
bermurah hati padaku," jawab Pwe-giok dengan tersenyum dan membalas
menghormat.
Kedua orang saling pandang
dengan tertawa, tiada yang menyangka beberapa detik sebelumnya mereka telah
saling labrak dengan mati-matian.
Sementara itu Tojin jubah biru
telah melototi Dian Ce-hun dan membentak: "Nah, sekarang ingin kulihat
gurumu yang rudin dan kecut itu telah mengajarkan Kungfu lihay macam apa
kepadamu? Kenapa tidak lekas kau maju kemari, apakah perlu kumohon lagi
padamu?"
Dian ce-hun menghela napas,
katanya sambil nyengir: "Jika totiang menghendaki pertunjukanku yang jelek
ini, terpaksa Tecu menurut. Cuma jangan para Cianpwe mentertawakanku." dia
menyingsingkan lengan baju dan melangkah ke depan.
Kesempatan itu digunakan
Pwe-giok untuk berganti napas sambil memandang sekeliling orang-orang yang
hadir di situ.
Dilihatnya Ji Hong-ho
tersenyum simpul berdiri berjajar dengan "Tong Bu-siang" itu, Lim
soh-koan berdiri di belakangnya dengan tangan masih memegang pedang buntung.
Rupanya saking asyiknya dia mengikuti pertarungan seru tadi sehingga lupa
membuang pedang patah itu.
Kecuali mereka bertiga, yang
lain-lain terasa asing bagi Pwe-giok, hanya saja setiap orangnya tampak tenang
dan kereng, jelas semuanya tokoh-tokoh Bu-lim kelas tinggi.
Selagi Pwe-giok merasa heran
karena tidak melihat Ang-lian-hoa, tiba-tiba dilihatnya di atas tungku perunggu
raksasa di ruangan pendopo sana menongkrong satu orang, siapa lagi dia kalau
bukan Ang-lian-hoa.
diam-diam Pwe-giok menghitung,
termasuk tojin jubah biru dan muridnya, yang hadir ini semuanya berjumlah 11
orang. Jadi masih kurang satu orang.
Setelah berpikir, akhirnya
Pwe-giok paham persoalannya: "Selisih seorang ini jelas ialah Hay-hong
Hujin, dengan sendirinya dia enggan bercampur dengan orang-orang ini."
Didengarnya tojin jubah biru
lagi membentak: "Anak busuk, kau melamun apa? Orang lain menganggap kau
sebagai kerbau dan hendak menaklukan kau. Orang ini tidak seperti muridku yang
tidak becus, jika kau tahu gelagat, lekas berjongkok dan biarkan orang
menunggangi kau si kerbau ini."
Ucapannya ini tampaknya memaki
Ji Pwe-giok, padahal sama saja dia menyuruh anak muda itu untuk berkelahi
sekuatnya agar jangan sampai dikalahkan orang. Bahwa muridnya tidak sanggup
mengalahkan Pwe-giok, dengan sendirinya ia tidak ingin orang lain mampu
mengalahkan Pwe-giok.
Setiap orang yang hadir di
situ adalah orang Kangouw kawakan, tentu saja semuanya dapat menangkap arti
ucapannya, meski merasa geli, tapi tiada seorangpun yang berani tertawa.
Dian Ce-hun tersenyum terhadap
Pwe-giok, katanya: "Tenaga sakti anda sungguh mengejutkan tadi Cayhe sudah
merasakannya, sekarang ingin kubelajar kenal pula dengan Kungfu anda yang
hebat, hendaklah Anda tidak perlu sungkan-sungkan ..."
"Sungkan?" si tojin
jubah biru meraung pula. "Memangnya bocah ini berlaku sungkan terhadap
muridku?!"
Perangai kasar tojin kerdil
ini sungguh jarang ada bandingannya, bahkan Dian Ce-hun dan Pwe-giok sudah
bergebrak hingga berpuluh jurus, dia masih tetap marah-marah saja.
Pertarungan sekarang berbeda
lagi dengan tadi. Sekalipun orangnya lemah-lembut, tapi serangan sip-hun tadi
mengutamakan keras dan dahsyat. Kini Dian Ce-hun sebaliknya menggunakan gaya
serangan yang lunak, tapi penuh variasi. Meski sudah berlangsung beberapa puluh
jurus, tapi serangannya masih tetap serangan pancingan dan tiada satupun yang
benar-benar diarahkan sasarannya.
Meski Pwe-giok tidak dapat
memainkan ilmu silat perguruan asalnya, tapi silat Bu-kek-bun mengutamakan
ketenangan, untuk menghadapi serangan Dian Ce-hun yang banyak variasinya itu
menjadi sangat cocok.
Namun ginkang dian Ce-hun
memang sangat hebat, cepat dan sukar diduga laksana naga meluncur di tengah
awan dengan gerak perubahan yang tidak menentu, jangankan Pwe-giok tidak dapat
meraba posisi lawan, sampai yang menonton disampingpun merasa bingung, seorang
Dian Ce-hun seolah-olah telah berubah menjadi berpuluh orang.
Terdengar seorang tua berbaju
ungu dan berjenggot panjang berkata dengan gegetun: "Dian jitya berjuluk
Naga Sakti, tak tersangka putera kesayangannya juga memiliki Ginkang setinggi
ini. Tampaknya biarpun Ginkang si Elang dari Bu-lim-jit-kim (tujuh burung dari
dunia persilatan) juga tak melebihi Dian-kongcu ini,"
Seorang lagi menanggapi dengan
tertawa: "Bu-lim-jit-kim memang tiada satupun yang memiliki kepandaian
sejati. Sun Tiong si Elang itu meski tertua dari Jit-kim, tapi bila
dibandingkan anak murid Sin-liong (Naga Sakti), jelas bedanya terlalu
jauh."
Orang ini sudah ubanan,
perawakannya pendek kecil, namun kelihatan gesit dan tangkas, jelas ginkangnya
pasti juga tidak lemah. Maka meski di mulut dia memuji orang lain, namun
sikapnya ternyata ingin membanggakan dirinya sendiri, agaknya baru merasa puas
bilamana orang lain mau memujinya beberapa kata.
Benar juga, Lim Soh-koan
lantas berkata dengan tertawa: "Ucapan Hui-lo (kakek Hui) memang tepat.
Tapi mengapa kau lupa pada dirimu sendiri. Siapakah di dunia kangouw yang tidak
kenal ginkang Bu-eng-cu To-toaya yang tiada bandingannya. Seumpama engkau tidak
dapat menandingi kesempurnaan Dian-jitya, bila dibandingkan Dian-kongcu ini....
Hahaha!"
Kakek pendek kecil yang
berjuluk Bu-eng-cu atau tanpa bayangan itu tampaknya berseri-seri oleh pujian
Lim Soh-koan itu, dia berharap orang akan terus bicara. Siapa tahu, setelah
tertawa, lalu Lim Soh-koan tidak melanjutkan lagi.
Untung si kakek berbaju ungu
lantas menyambungnya :" Betul, jahe memang selalu pedas yang tua.
Betapapun tinggi ginkang Dian-kongcu ini, mana bias menandingi kesempurnaan
ginkang To-heng."
Bu-eng-cu To Hui tambah senang
karena diumpak dan ditiup, tapi wajahnya justru tidak memperlihatkan setitik
senyumpun, ia malah berkata dengan sungguh-sungguh: "Agaknya Hiang-heng
tidak tahu, orang kalau sudah tua, tulangnya juga tambah berat, mana dapat
kutandingi Dian-siauhiap yang muda dan perkasa itu. Apalagi ginkang hanya
kepandaian sampingan saja dan tidak banyak gunanya, bicara ilmu pukulan Hiang-heng,
itulah baru benar-benar kungfu sejati."
Kakek baju ungu she Hiang itu
berjuluk 'Sin-kun-bu-tek' atau pukulan sakti tanpa tanding, ia menjadi gembira
karena dipuji, sambil terbahak-bahak ia menjawab: "Ah, To-heng terlalu
memuji padaku."
Begitulah semula mereka hanya
memuji kehebatan ginkang Dian Ce-hun, tapi akhirnya berubah arah dan malah
saling membual akan keunggulannya sendiri-sendiri.
Tentu saja si Tojin jubah biru
sangat mendongkol, segera ia meraung: "Wah, ada orang kentut! Alangkah
busuk kentutnya!" Sambil berkata iapun seraya mendekap hidung.
Ucapannya ini ibarat pelawak
di panggung hanya sebagai umpan belaka dan memerlukan rekan lain untuk
menanggapinya, jika tiada tanggapan, jadinya akan putus sampai di situ saja.
Tak terduga Sip-hun lantas menanggapinya dengan tersenyum: "Suhu, mana ada
orang kentut di sini!"
Tojin jubah biru mendengus:
"Hm, kautahu apa? Kalau kita kentut biasanya keluar dari pantat, tapi ada
sementara orang kentut dengan mulut. Kentut yang keluar dari mulut itulah
baunya lebih bacin, tahu!"
Seketika muka To Hui, Lim
Soh-koan dan kakek she Hiang berubah merah seperti kepiting rebus, meski dalam
hati sangat gusar, tapi tiada seorangpun berani memberi reaksi. Padahal dengan
nama dan kedudukan ketiga orang ini, biasanya mana mereka pernah diolok-olok
orang. Tapi sekarang, entah mengapa tampaknya mereka sangat jeri terhadap Tojin
jubah biru ini.
Hanya dalam hati ketiga orang
itu sama menggerutu: "Muridmu sendiri tidak mampu mengalahkan orang,
sekarang bocah she Dian ini tampaknya akan berhasil, tentu kau akan kehilangan
muka, untuk apa kau melampiaskan dongkolmu atas diri kami?"
Tojin jubah biru memang tidak
ingin mendapat malu, tadinya ia bermaksud mencari tahu betapa hebat kungfu Hong
Sam melalui Ji Pwe-giok, bilamana sudah tahu, kalau tengah malam nanti harus
saling gebrak, tentu dia sudah mempunyai pegangan. Tapi setelah muridnya gagal
memancing keluar kungfu Pwe-giok yang lain, sekarang Tojin jubah biru ini
justru berharap sekali hantam dapatlah Pwe-giok merobohkan Dian Ce-hun.
Namun apa yang terjadi justru
jauh dari kehendaknya, bukan saja Pwe-giok tidak mampu merobohkan Dian Ce-hun,
bahkan ujung baju lawan saja tidak dapat menyentuhnya.
Padahal sejak mengalami
macam-macam petaka dan kenyang derita, selama ini belum pernah ada orang dapat
merobohkan Pwe-giok dengan ilmu silat. Sudah tentu ia bukan pemuda yang
sombong, tapi setidak-tidaknya iapun merasa kungfunya sendiri sudah cukup
lumayan.
Siapa tahu sekarang hanya
dalam waktu singkat saja, telah ditemuinya dua lawan tangguh yang belum pernah
dilihatnya selama hidup ini. Kungfu kedua orang ini bukan saja jauh melebihi
dirinya, usianya juga tidak lebih tua. Tampaknya di dunia kangouw ini memang
masih banyak 'harimau tidur dan naga bersembunyi', entah betapa banyak lagi
orang kosen. Kungfu yang dimilikinya boleh dikata masih jauh untuk dapat
menandingi mereka.
Seketika Pwe-giok menjadi
kesal, dengan sendirinya tenaga pukulannya menjadi kendur. Bila orang lain,
mungkin akan putus asa menyerah kalah. Tapi wataknya adalah halus di luar keras
di dalam, meski menyadari bukan tandingan lawan, betapapun ia pantang menyerah.
Meski Dian Ce-hun masih terus melancarkan serangan dan selalu mendahului, tapi
untuk merobohkan Pwe-giok dalam waktu singkat juga sulit, mau tak mau ia menjadi
gelisah sendiri.
Dalam pada itu Tojin jubah
biru telah berteriak pula: "Berapa jurus tadi kau bergebrak dengan bocah
she Ji ini?" Pertanyaannya ini ditujukan kepada muridnya.
Maka Sip-hun lantas menjawab:
"Belum sampai 300 jurus!"
"Dan sekarang sudah
berapa jurus mereka saling labrak?" Tanya pula si Tojin kerdil.
"Juga mendekati 300
jurus!" kata Sip-hun.
"Hahahaha!" Tojin
kerdil itu bergelak tertawa. "Sekarang tentunya kaupun tahu bahwa orang
yang suka membual, kebanyakan juga tidak mempunyai kepandaian sejati. Orang
muda sebaiknya lebih giat belajar kungfu kaki dan tangan, daripada berlatih
kungfu mulut!"
Muka Dian Ce-hun tampak
sebentar merah sebentar pucat, gerak tubuhnya juga bertambah cepat. Mendadak ia
berkata kepada Pwe-giok dengan suara tertahan: "Lambat atau cepat akhirnya
kau toh pasti kalah, untuk apa kau bertahan mati-matian? Bila tiba saatnya
tentu aku tidak kenal ampun lagi, akan lebih baik jika sekarang kau mengaku
kalah saja."
"Mengaku kalah?"
Pwe-giok menegas.
"Ya, jika sekarang kau
mengaku kalah, bukan saja takkan kulukai kau, bahkan aku menjamin akan
mengantar kau pulang dengan selamat."
Pwe-giok tersenyum, mendadak
ia menghantam sekuatnya. Pukulan inilah merupakan jawabannya.
Keruan Dian Ce-hun menjadi
marah, dampratnya: "Keparat, kau tidak mau tahu maksud baik orang, lihat
saja apakah kau mampu lolos dari sini?"
Sementara itu belasan jurus
sudah lalu pula, karena ia bertekad akan mengalahkan Pwe-giok sebelum mencapai
300 jurus, mendadak ia melayang ke udara sambil bersiul panjang, dari atas
seperti ular naga melingkar, segera ia menubruk ke bawah.
Inilah jurus serangan rahasia
perguruan "Naga Sakti" yang disebut
"Keng-liong-pok-beng-sam-sik" (tiga jurus adu nyawa si naga sakti).
Dahsyatnya sukar ada tandingannya. Tapi dari namanya yang disebut "mengadu
nyawa", jelas serangan ini baru akan dikeluarkan bilamana keadaan kepepet.
Sebab kedahsyatan serangan ini juga merupakan modal terakhirnya, bilamana tidak
kena sasarannya, dirinya sendiri yang akan celaka.
Sebab itulah bilamana tidak
terpaksa, anak murid "Naga Sakti" tidak akan mengeluarkan jurus maut
ini. Sekarang Dian Ce-hun tidak kepepet, dia hanya ingin merobohkan lawan lebih
cepat, maka telah digunakannya jurus maut yang membawa resiko ini. Dengan
sendirinya iapun sudah memperhitungkan lawan pasti tidak mampu menghindarkan
serangannya ini.
Seketika Pwe-giok merasa udara
penuh bayangan musuh, sekujur badan sendiri telah terkurung di bawah angin
pukulan lawan, ke manapun dia menghindar tetap sukar lolos.
Begitu keras angin pukulan
musuh sehingga dia hampir tidak dapat bernapas, bila dia balas menghantam, bisa
jadi kedua tangan sendiri akan patah.
Pada waktu itu dia masih ragu
itulah, telapak tangan musuh sudah menindih tiba dari atas kepala.
Dalam keadaan demikian, tiada
pilihan lain lagi baginya kecuali memejamkan mata dan menanti ajal belaka.
Dengan sendirinya serangan
Dian Ce-hun itupun menggemparkan para penonton.
Sampai-sampai Ji Hong-ho
berseru kuatir: "Lihay amat serangan ini, pantas di dunia Kangouw tersiar
semboyan 'Naga Sakti muncul, matipun tidak menyesal'!”
Bahwa suatu jurus serangan
mematikan dapat membuat korbannya mati tanpa menyesal, maka betapa lihaynya
dapatlah dibayangkan.
Tak terduga, baru saja lenyap
suara ucapan Ji Hong-ho, sekonyong-konyong terdengar suara orang menjerit, yang
menjerit ternyata bukan Ji Pwe-giok melainkan Dian Ce-hun. Terlihat bayangan
tubuhnya yang sedang menubruk ke bawah sekuatnya itu mendadak mengapung lagi ke
atas dan mencelat hingga jauh.
Yang mengikuti pertarungan ini
hampir seluruhnya adalah jago kelas satu di dunia persilatan, bahkan rata-rata
adalah tokoh kawakan Kangouw, sedikit kejadian ini mana dapat membuat mereka
melengak, Tapi sekarang, ketika tubuh Dian Ce-hun mencelat, baik Ji Hong-ho,
Lim Soh-koan dan lain-lain hampir semuanya berubah pucat.
Apakah benar-benar Hong Sam
telah mengajarkan ilmu maha sakti kepada Pwe-giok sehingga pada detik terakhir
itu, pada saat terancam bahaya dia dapat mematahkan serangan maut Dian Ce-hun
itu ?
Padahal jelas-jelas Pwe-giok
sudah tak bisa berkutik dan hanya menanti ajal belaka, mana dia mampu lagi
mengelabuhi pandangan tokoh-tokoh ulung ini dengan sesuatu gerak serangannya?
Terdengar suara gemersak,
tubuh Dian Ce-hun telah menumpuk daun pohon, lalu "bluk", ia jatuh ke
bawah dengan muka pucat seperti kertas, dengan mata mendelik ia pandang Tojin
jubah biru dan berkata dengan suara parau: "Kau...kau..." belum
lanjut ucapannya, darah segar tersembur dari mulutnya, pingsanlah dia di bawah
pohon.
Pandangan semua orang tanpa
terasa juga terpusat ke arah Tojin jubah biru.
Tapi Tojin kerdil itu lantas
berjingkrak gusar, teriaknya: "Apa yang kalian pandang? Memangnya kalian
kira aku yang menolong bocah she Ji ini? Hm, selama hidupku ini bilakah pernah
ku main sergap? Apalagi terhadap anak busuk pembual ini?"
Kedua tangan Tojin kerdil ini
memang selalu terselubung didalam lengan jubahnya yang longgar, tampaknya
memang benar-benar tidak pernah bergerak. Karena itu, pandangan semua orang
lantas beralih lagi ke arah Ji Pwe-giok.
Pwe-giok masih berdiri di
tempatnya, seperti kesima, nyata yang membikin Dian Ce-hun mencelat tadi bukan
dia sendiri. Jika demikian, lantas siapa gerangan yang membantunya itu?
"Huh!" jengek si
Tojin kerdil. "Orang sebanyak ini hanya berdiri melongo saja, sampai siapa
orang yang turun tangan juga tidak tahu, cis, sungguh memalukan!"
Setelah berludah, lalu ia
memutar pergi dengan langkah lebar.
Wajah semua orang sama merah
dan menunduk malu.
Pada saat itu juga mendadak
Pwe-giok melompat ke atas dan melayang pergi melintasi pucuk pohon, hanya
sekejap saja bayangannya sudah lenyap.
Lim Soh-koan memandang Ji
Hong-ho sekejap, katanya: "Bengcu....."
"Biarkan dia pergi,"
ucap Ji Hong-ho dengan tersenyum tak acuh. "Betapapun nanti
malam....."
Lim Soh-koan mendekati Dian
Ce-hun dan membangunkannya, dengan tersenyum ia bergumam: "Sekalipun dia
dapat lolos tengah malam nanti, mustahil dia mampu lolos dari cengkeraman Dian
jitya? Naga sakti pemburu sukma, naik ke langit maupun menyusup ke bumi....
Hahaha, masakah dia mampu naik ke langit atau menyusup ke bumi?"
Setelah melayang keluar dari
biara itu, detak jantung Ji Pwe-giok belum lagi hilang.
Sesungguhnya siapakah gerangan
orang yang telah menyelamatkannya?
Pada detik yang paling gawat
itu, dia hanya merasa ada angin keras menyambar lewat di atas kepalanya dan
mengenai dada Dian Ce-hun.
Tapi tenaga yang maha dahsyat
dan tidak kelihatan itu bukan dikeluarkan oleh si Tojin jubah biru, sebab dia
dan muridnya berdiri di depan Pwe-giok, sedangkan tenaga serangan yang tidak
kelihatan itu datangnya dari belakangnya.
Sungguh Pwe-giok tidak tahu
siapakah yang telah menolongnya dan sebab apa menolongnya? Tenaga pukulan
sekuat itu hakekatnya belum pernah dilihatnya selama ini.
Sekilas ia telah menoleh dan
memandang ke arah datangnya tenaga pukulan dahsyat itu, dilihatnya ranting
pohon bergoyang, namun tiada bayangan seorangpun yang terlihat.
Selain tenaga dalamnya maha
dahsyat, ginkang orang itupun sangat mengejutkan. Di dunia ini ternyata masih
ada tokoh kosen begini, sebelumnya mimpipun tak pernah dibayangkan Pwe-giok.
Baru sekarang ia tahu tokoh ajaib di dunia persilatan ini masih sangat banyak
dan sukar dijajaki.
Ia menghela nafas panjang.
Mendadak didengarnya daun pohon gemerisik di depan sana, sesosok bayangan orang
melayang tiba dan menghadang di depannya, sambil bergelak tertawa orang itu
berseru, "Hahaha, setelah kau lukai putera tunggal gabungan tujuh keluarga
Dian, lalu kau hendak angkat kaki begitu saja?"
Suara tertawanya keras bagai
bunyi genta. Siapa lagi dia kalau bukan si Tojin jubah biru.
Pwe-giok terkesiap dan
menyurut mundur, ia lantas memberi hormat dan menjawab, "Pandangan Totiang
maha tajam, tentunya sudah tahu bahwa tadi bukan Cayhe yang turun tangan
selihay itu."
"Habis siapa?" tanya
Tojin jubah biru dengan sinar mata gemerdep.
"Untuk itu justeru Cayhe
ingin mohon petunjuk kepada Totiang," ujar Pwe-giok.
Tojin itu menjadi gusar,
katanya, "Jadi kaupun tidak tahu siapa yang telah menyelamatkan kau?"
"Kalau Totiang saja tidak
dapat melihat jelas siapa gerangannya, mana Cayhe mempunyai mata setajam
itu?" jawab Pwe-giok.
"Jadi maksudmu mataku ini
kurang tajam?" Tojin itu bertambah gusar. "Huh, orang yang suka
bertindak secara sembunyi2 begitu mana ada harganya kuperhatikan."
Mendadak ia menarik leher baju Pwe-giok dan bertanya dengan sekata demi sekata,
"Dia Hong-sam atau bukan?" Dengan tak acuh Pwe-giok menjawab,
"Memangnya Hong-sam sianseng orang yang suka main sembunyi2 begitu?"
"Bukan Hong-sam, habis
siapa?" hardik Tojin itu dengan suara bengis. "Hanya dengan sepotong
ranting kayu saja orang itu mampu melukai putera Dian Jit hingga tumpah darah,
kecuali diriku dan Hong-sam, siapa pula yang sanggup berbuat demikian?"
"Sesungguhnya Cayhe
memang juga tidak percaya masih ada orang lain," ujar Pwe-giok.
Sejenak Tojin itu melototi
anak muda itu, katanya kemudian, "Apapun juga, Dian cilik terluka pada
waktu bergebrak dengan kau, bilamana Dian tua tahu, mana dia mau mengampuni
kau? Antara ke tujuh Dian bersaudara itu, ke enam orang yang tua masih mendingan,
tapi Dian Jit… haha, kalau dia mau merecoki kau, biarpun kau lari ke langit
atau masuk ke bumi juga tak dapat lari."
"Cayhe sendiri tidak
bermaksud lari," ujar Pwe-giok.
"Tidak lari? Memangnya
kau kira sanggup melawan dia?" jengek Tojin jubah biru.
"Cayhe juga tidak
bermaksud melawan dia," kata Pwe-giok pula.
"Tidak lari juga tidak
melawan, memangnya kau ada akal lain? Kau kira Dian Jit mau bicara aturan
dengan kau?"
Pwe-giok berdiam sejenak,
katanya kemudian dengan tak acuh, "Urusan sudah kadung begini, kukira
nanti akan ada akal."
"Busyet, masih muda
belia, cara bicaramu se-olah2 sudah kakek2," kata Tojin itu dengan
tertawa. "Jika kau tidak punya akal, aku sudah mempunyai akal."
"Mohon petunjuk
Totiang," kata Pwe-giok.
"Kalau kau mengangkat
guru padaku, kujamin di dunia ini tiada orang berani mengganggu satu
jarimu."
"Mengangkat guru kepada
Totiang?" Pwe-giok menegas dengan melengak.
"Ya, jangan kau kira aku
sukar mencari murid maka ku penujui kau," teriak Tojin itu, "hanya
lantaran kulihat kau ini lumayan, pemberani dan keras kepala, biarpun Dian
cilik telah memancing kau dengan berbagai cara, ternyata kau tetap tidak mau
mengkhianati aku."
"Hah, kiranya Totiang
telah mendengar ucapannya," Pwe-giok tertawa geli.
"Bila tidak kudengar
ucapannya ketika membujuk kau menyerah saja padanya, hm, biarpun kepalamu pecah
menyembah padaku juga tidak sudi kuterima kau sebagai murid."
Pwe-giok menghela nafas
panjang, katanya, "Maksud baik Totiang sungguh sangat mengharukan, untuk
mana Wanpwe mengucapkan terima kasih banyak2. Cuma... Wanpwe ini seorang yang
bernasib jelek, selama hidup ini Wanpwe tidak ingin mengangkat guru lagi kepada
siapa pun."
"Jadi kau tidak
mau?" Tojin itu menegas dengan murka.
Pwe-giok menunduk dan tidak
bicara lagi.
"Kau tidak menyesal?"
tanya pula si Tojin dengan suara bengis.
Pwe-giok tetap tidak bersuara.
Tojin itu tambah marah, ia
mendamprat, "Kau goblok, tolol, sinting..." mendadak ia membalik
tubuh dan menghantam, "blang…” sebatang pohon cukup besar di sebelahnya
telah dihantamnya hingga patah menjadi dua, pohon patah itupun tumbang dan
menerbitkan suara gemuruh.
Sambil menghantam Tojin itupun
menengadah dan bersiul panjang, waktu Pwe-giok berpaling, suara siulan Tojin
kerdil itu sudah berada di kejauhan.
Pwe-giok menghela nafas pula,
mendadak di dengarnya ada seorang juga sedang menghela nafas panjang,
"Sayang, sungguh sayang...!"
"Siapa itu?" bentak
Pwe-giok tertahan.
Maka muncul seorang dari
kegelapan pohon sana dengan langkah ke-malas2an, siapa lagi dia kalau bukan Ang-lian-hoa.
Mencorong sinar mata
Ang-lian-hoa, katanya sambil menatap Pwe-giok, "Kau kenal padaku
tidak?"
Bergolak darah panas di rongga
dada Pwe-giok ketika dapat berjumpa dengan sahabat karib di tempat sepi ini,
hampir2 saja dikeluarkannya seluruh isi hatinya tanpa menghiraukan segala
akibatnya.
Namun di bawah bayang2 pohon
yang rimbun sana apakah betul tiada terdapat lagi orang lain?
Terpaksa diam2 Pwe-giok hanya
menghela nafas, jawabnya kemudian sambil memberi hormat, "Nama
Ang-lian-pangcu termasyhur di seluruh dunia, siapakah yang tidak kenal
padamu?"
Ang-lian-hoa juga seperti
menghela nafas, tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, "Eh, apakah kau
tahu siapa gerangan orang yang hendak mengambil murid padamu tadi?"
"Siapa?" tanya
Pwe-giok.
Ang-lian-hoa tersenyum,
jawabnya, "Usiamu terlalu muda, mungkin kau belum pernah mendengar nama
Lo-cinjin?"
"Lo-cinjin?" tukas
Pwe-giok, "itukah Lo-cinjin dari Hoa-san?"
"Betul, kecuali
Lo-cinjin, siapa lagi yang memiliki Kungfu selihay dan pemberang begitu?"
"Pantas orang sama bilang
dia benar2 salah seorang di antara kesepuluh tokoh utama jaman ini, baru
sekarang kupercaya..." tiba2 ia memandang Ang-lian-hoa sekejap dan tidak
meneruskan.
"Baru sekarang kau
percaya orang yang disebut "tokoh" seperti kami ini hakikatnya
seperti anak kecil bilamana dibandingkan dia, begitu bukan?" Ang-lian-hoa
merandek dengan tertawa. Dia tahu Pwe-giok tidak sanggup menjawabnya, maka ia
sendiri lantas melanjutkan, "Betapa tinggi khikang orang ini konon sudah mencapai
tingkatan yang tertinggi dan boleh dikatakan jago nomor satu di dunia ini.
Bahkan watak orang ini sangat aneh, selama ini hampir tidak pernah menghargai
orang lain. Tapi sekarang dia mau menerima kau sebagai murid dan kau sebaliknya
tidak mau, sungguh aku pun merasa sayang bagimu."
Pwe-giok terdiam sejenak,
katanya kemudian dengan tersenyum hambar, "Apakah kedatangan Pangcu ini
hanya ingin memberitahukan kepadaku mengenai urusan ini?"
"Ada sesuatu yang ingin
kutanyakan lagi padamu?" jawab Ang-lian-hoa perlahan.
"O, silahkan
bicara," kata Pwe-giok.
Kembali sinar mata
Ang-lian-hoa mencorong terang dan menatap Pwe-giok lekat2, ucapnya dengan suara
tertahan, "Nona Lim Tay-ih, mengapa dia hendak membunuhmu?"
Pwe-giok tersenyum pedih,
jawabnya, "Apakah dia... tidak memberitahukan padamu?"
"Belum pernah kutanyai
dia," kata Ang-lian-hoa.
"Jika Pangcu belum
menanyai dia, mengapa malah tanya padaku?"
Mendadak Ang-lian-hoa berkata
dengan suara bengis, "Sebab adalah sementara anak perempuan betapapun
tidak mau ngomong apa2, tapi kaum lelaki kita, seorang jantan sejati, berbuat
apapun seharusnya membusungkan dada dan berani bicara secara terus terang,
betul tidak?"
Dengan rawan Pwe-giok
menjawab, "Orang yang seperti Pangcu sudah tentu dapat membusungkan dada
untuk menghadapi segala, tapi ada sementara orang biarpun ingin membusungkan
dada juga tidak.. tidak dapat."
Sampai sekian lama sinar mata
Ang-lian-hoa yang tajam itu menatap Pwe-giok, katanya kemudian dengan suara
tertahan, "Sesungguhnya ada urusan apakah yang tak dapat kau
bicarakan?"
"Maaf, tiada sesuatu yang
dapat kukatakan," jawab Pwe-giok dengan tersenyum pedih.
Kembali Ang-lian-hoa
menatapnya sejenak, lalu ia menengadah dan menghela nafas menyesal, katanya,
"Orang baik2 rela terjerumus ke dalam kegelapan, sungguh sayang!"
"Sesungguhnya Cayhe juga
merasa sayang bagi Pangcu," kata Pwe-giok tiba2.
"Apa yang kau sayangkan
bagiku?" tanya Ang-lian-hoa dengan agak melengak.
"Keluhuran Pangcu sudah
lama terkenal di seluruh kolong langit ini, mengapa sekarang juga sudi
menggabungkan diri dengan kaum munafik itu untuk mengerubuti seorang anak
perempuan yatim piatu?"
Air muka Ang-lian-hoa rada
berubah, mendadak ia bergelak tertawa dan berakta, "Kau bilang yatim
piatu? Maksudmu ia anak perempuan yatim piatu?" mendadak suara tertawanya
berhenti, lalu bertanya dengan bengis, "Tahukah kau mengapa kami
mencarinya ke sini?"
"Justeru ingin
kutanyakan?" jawab Pwe-giok.
"Selama beberapa tahun
ini sudah ada 20 orang lebih menghilang secara misterius dan jejaknya tidak
pernah diketemukan, orang2 itu ada yang berasal dari utara dan ada yang dari
selatan, masing2 boleh dikatakan tiada hubungannya sama sekali. Tapi setelah
diselidiki secara cermat, akhirnya diketahui bahwa di antara orang2 yang hilang
itu terdapat satu titik persamaan."
"O, apa itu?" tanya
Pwe-giok.
"Satu2nya hal yang sama
adalah sebelum mereka menghilang, semuanya pernah dilihat orang tinggal di
Li-toh-tin ini."
"O, hanya begitu?"
"Ya, tapi yang paling
penting adalah sesudah kelihatan di Li-toh-tin sini, lalu tiada orang melihat
mereka lagi."
"Hal ini rada
membingungkan aku?" ujar Pwe-giok.
"Dengan lain perkataan,
umpama orang itu kemarin kelihatan berada di Li-toh-tin sini, besok dia lantas
lenyap tanpa bekas dan entah ke mana perginya."
"Oo...."
"Petunjuk ini sebenarnya
tidak begitu jelas, tapi setelah 20 orang lebih sama2 menghilang dengan cara
begitu, maka persoalannya menjadi lain. Para sanak keluarga orang2 yang hilang
itu lantas mengangkat tiga orang wakil mereka ke Li-toh-tin sini untuk menyelidiki
urusan ini dengan lebih jelas."
"Siapakah ketiga orang
itu?" tanya Pwe-giok.
"Biar kukatakan nama
mereka juga tidak kau kenal," kata Ang-lian-hoa. "Cukup kukatakan
ketiga orang itu tentunya orang2 yang cerdik dan pandai, kalau tidak masa
mereka terpilih?"
"O, lalu bagaimana hasil
penyelidikan mereka?"
"Apapun tidak dihasilkan
oleh mereka."
"Oo? Kenapa begitu?"
"Sebab setiba di
Li-toh-tin ini, selamanya merekapun tidak pernah kembali lagi.
"Hah? Lantas
bagaimana?"
"Dengan sendirinya urusan
ini sangat menggemparkan dan akhirnya dilaporkan kepada Bu-lim-bengcu."
"Ehm, memang harus
begitu."
"Tapi Ji bengcu baru saja
kehilangan anaknya, beliau sedang berduka dan belum sempat memikirkan urusan
ini," tutur Ang-lian-hoa. "Dengan sendirinya urusan ini jatuh ke
tangan Kay-pang. Bilamana kaum tukang minta2 itu mau menyelidiki sesuatu,
tentunya akan jauh lebih leluasa daripada orang lain."
"Ya, betul juga,"
Pwe-giok menyengir.
"Sebab itulah selama
setengah bulan ini di Li-toh-tin mendadak kaum pengemis bertambah banyak.
Mereka mengemis pada setiap orang dan setiap rumah, tentu saja tiada orang
menaruh curiga kepada mereka bahwa sebenarnya mereka sedang menyelidiki sesuatu
rahasia yang membikin panik kaum Bu-lim."
"Justeru lantaran itulah,
maka di kolong langit ini siapapun tidak berani merecoki Kaypang kalian,"
kata Pwe-giok dengan tersenyum.
Ang-lian-hoa tersenyum bangga,
sambungnya lagi, "Setelah penyelidikan selama belasan hari terus menerus,
akhirnya diketahui penduduk Li-toh-tin ini adalah rakyat jelata yang patuh dan
tertib, hanya sebuah loteng kecil di belakang Li-keh can itu berdiam dua orang
yang sama sekali tidak diketahui asal-usulnya. Sebab itulah mereka berdua
lantas menjadi sasaran penyelidikan selanjutnya."
"Kemudian?" tanya
Pwe-giok.
"Sehari suntuk mereka
mengintai di sekitar loteng kecil ini, belum lagi menemukan sesuatu yang
mencurigakan, tahu2 si ... si nona cilik yang tinggal di atas loteng kecil itu
malah sudah melihat gerak-gerik kaum jembel itu, malamnya, lima murid kami yang
pasang mata di sana telah dikerjai, kantung yang membedakan tingkatan mereka
yang selalu di panggul di punggung mereka itu tahu2 lenyap secara aneh."
Dia merandek sejenak, lalu
menyambung dengan menarik muka, "Padahal anak murid Pang kami sangat
memandang penting kantung yang mereka bawa, tapi orang dapat mencuri kantung
yang melengket di punggung mereka itu tanpa diketahui, maka tahulah mereka
bahwa nona cilik itu ternyata seorang kosen, jelas orang sengaja hendak
memperingatkan mereka agar mereka jangan ikut campur urusan ini."
"Siapa tahu, urusan
menjadi runyam malah, bukan?" tanya Pwe-giok. "Betul, sebab hidup
orang Kay pang justeru suka ikut campur urusan."
"Dan lantaran urusan ini
pula maka Pangcu datang ke Sujwan sini."
"Bukan cuma itu saja,
mestinya Pang kami akan mengadakan rapat besar di Thay-heng-san untuk
menjatuhkan hukuman bagi pengkhianat, karena adanya urusan ini terpaksa tempat
rapat kamipun berpindah ke sini."
Pwe-giok terdiam sejenak,
katanya kemudian dengan perlahan, "Dan sekarang Pangcu sudah merasa pasti
bahwa hilangnya ke-20 orang itu ada sangkut pautnya dengan nona Cu yang tinggal
di atas loteng itu?"
"Betul, setelah menerima
laporan murid Kaypang, Ji-bengcu lantas mengumpulkan para tokoh Bu-lim dan
datang ke Li-toh-tin ini dengan pura2 main catur Li-keh-can yang terletak di
depan loteng kecil itu, tapi diam2 tempat itu telah dijaga dan di intai,
akhirnya dapat dipastikan bahwa yang tinggal di situ adalah anak keturunan
Siau-hun-kiongcu dan Hong-sam."
"Kiranya di balik
persoalan ini masih ada liku2 begini, tadinya kukira urusan ini sangat
sederhana," ujar Pwe-giok sambil menghela nafas.
Gemerdep sinar mata
Ang-lian-hoa, mendadak ia berkata dengan suara kereng, "Jika kau mau
terima nasehatmu, lebih baik cepat kau tinggalkan tempat ini, kalau tidak, bila
tengah malam nanti tiba, segalanya akan hancur lebur dan hal itu tentu akan
sangat disesalkan."
Pwe-giok berpikir sejenak,
katanya kemudian, "Tapi kukira urusannya tidak sederhana sebagaimana
disangka Pangcu."
"Pokoknya beginilah nasehatku,
mau percaya atau tidak bergantung padamu sendiri," kata Ang-lian-hoa. Dia
pandang Pwe-giok sekejap, seperti mau omong apa2 lagi, tapi urung diucapkan,
lalu melayang pergi.
Buru2 Pwe-giok menyusuri hutan
tadi. Penduduk Li-toh-tin masih berkumpul di situ, tampaknya mereka tambah
cemas.
Padahal Pwe-giok juga tidak
kurang cemasnya, selama setengah hari ini sudah banyak rahasia yang
didengarnya, namun pikirannya masih penuh diliputi tanda2 tanya yang sukar
dipecahkan.
Setelah menyusuri hutan itu,
di depan adalah sebuah tanjakan, bila tanjakan itu sudah dilintasi barulah
sampai di kota kecil itu. Pada saat itulah dari balik tanjakan sana Pwe-giok
mendengar suara rintihan orang kesakitan.
Cepat Pwe-giok memburu ke
sana, dilihatnya seorang berambut putih sedang berjongkok di samping sepotong
batu besar dan sedang merintih.
Masih musim rontok, hawa belum
terlalu dingin, tapi nenek ini memakai baju kapas yang sangat tebal. Melihat
Pwe-giok, segera ia berkeluh dan berseru, "Siau... Siauya, tol... tolonglah,
bantu nenek ini!"
Nenek ini tampaknya cuman
sakit keras biasa namun Pwe-giok selalu waspada, betapapun ia merasa sangsi, ia
coba tanya, "Apakah nenek penduduk Li-toh-tin ini?"
"Ya, ben...
benar..." jawab nenek itu.
"Orang2 sama berkumpul di
hutan sana, mengapa nenek berada sendirian di sini?"
Nenek itu mengucek matanya
dengan tangannya yang kurus kering sambil berkata, "Janganlah Siauya
mentertawakan diriku jika kukatakan, hidup nenek ini sebatang kara, tidak punya
sanak keluarga seorangpun, orang lain sama menganggap nenek ini kotor dan sudah
tua renta, tiada seorangpun mau memperhatikan diriku, selama ini hanya Siau Hoa
(si belang) saja yang mendampingi aku."
Sambil omong, meneteslah air
matanya, dengan suara tersendat ia menyambung pula, "Tapi orang itu
tidak... tidak mengijinkan kubawa Siau Hoa, seharian ini Siau Hoa tentu akan
mati kelaparan... O Siau Hoa yang baik, Siau Hoa sayang, jangan kau kuatir,
sebentar lagi nenek pasti datang menjenguk kau." segera ia hendak
merangkak bangun, tapi jatuh terkulai pula.
Cepat Pwe-giok memayangnya
bangun, katanya sambil berkerut kening, "Apakah Siau Hoa itu cucu nenek?
Mengapa mereka tidak mengijinkan kau bawa serta dia?"
"Betul, Siau Hoa adalah
cucuku sayang," tutur si nenek sambil menangis. "Cucu orang lain suka
ribut, suka nakal, tapi Siau Hoa sangat jinak, sangat penurut, sepanjang hari
hanya menunggui aku, menangkap tikus saja tidak mau."
"Hah, menangkap
tikus?" Pwe-giok melengak, akhirnya ia tertawa geli sendiri dan bertanya,
"O, kiranya Siau Hoa kesayangan nenek itu adalah seekor kucing?"
Tapi nenek itu lantas menangis
ter-gerung2, katanya, "Betul, dalam pandangan orang muda seperti kalian
ini Siau Hoa hanya seekor kucing, tapi dalam pandangan nenek yang sudah hampir
masuk liang kubur ini, Siau Hoa justeru adalah jiwaku, sukmaku, tanpa dia
bagaimana aku akan melewatkan hari2 selanjutnya...?" Dia meronta dan
hendak merangkak ke depan, serunya dengan parau, "O, Siau Hoa sayang, cucu
sayang, sebentar nenek akan memberi makan ikan padamu, janganlah kau menangis,
biarpun perut nenek akan robek kesakitan juga akan merangkak pulang untuk
memberi makan padamu."
Memandangi rambut si nenek
yang putih perak dan tubuhnya yang bungkuk, Pwe-giok membayangkan kehidupan
orang tua yang sengsara dan kesepian ini, tanpa terasa ia menjadi terharu dan
ikut pedih, dengan suara keras ia lantas berseru, "Jika Lo-thaythay
(nenek) tidak mampu berjalan lagi, biarlah ku gendong kau saja."
"Kau... kau sudi?"
tanya si nenek sambil kucek2 matanya.
"Jika nenekku sendiri
masih hidup, beliau tentu juga akan sayang pada Siau Hoa seperti dirimu,"
ujar Pwe-giok sambil tertawa ramah.
Maka tertawalah si nenek
sehingga kelihatan mulutnya yang ompong dengan gigi yang tinggal dua, katanya,
"Ai, Siauya memang orang baik, tadi begitu mendengar aku akan memberi
makan kepada Siau Hoa, mereka lantas merintangi aku dan melarang aku pulang,
hanya Siauya saja... Ai, begitu melihat Siauya memang sudah kuduga engkau pasti
seorang yang baik hati."
Begitulah sambil mendekam di
atas punggung Pwe-giok ia masih terus mengoceh terus dan memuji Pwe-giok
setinggi langit, katanya anak muda itu baik hati, cakap lagi, kelak pasti akan
mendapatkan bini yang cantik dan pintar.
Muka Pwe-giok menjadi merah.
Untung tidak lama mereka sudah memasuki kota kecil itu. Pwe-giok lantas tanya,
"Dimanakah Lo-thaythay bertempat tinggal?"
"Tempat tinggalku paling
mudah dikenali, sekali pandang saja lantas tahu," kata si nenek.
"O, apakah di depan
sana?" tanya Pwe-giok pula dengan tertawa.
"Eh, jadi sudah kau
lihat? Memang betul di loteng kecil itulah," kata si nenek.
Air muka Pwe-giok seketika
berubah.
Maklumlah, di kota kecil ini
hanya terdapat loteng itu, satu2nya loteng kecil itu adalah tempat tinggal
Hong-sam dan Cu Lui-ji, sekarang si nenek ternyata mengaku juga bertempat
tinggal di situ.
Diam2 Pwe-giok merasakan
gelagat tidak enak, tapi sebelum ia bertindak sesuatu, tahu2 kedua kaki si
nenek yang tadinya lemas itu seketika berubah menjadi kuat dan menjepit
tubuhnya seperti tanggam.
Biarpun Pwe-giok memiliki
tenaga sakti pembawaan, tapi terjepit oleh kedua kaki si nenek, jangankan
hendak meronta, bernapas saja terasa sesak.
Keruan ia terkejut, serunya,
"He, Lothaythay, ap... apa kehendakmu?"
"Aku cuman berharap
Siauya akan mengantar ku pulang ke rumah," kata si nenek.
"Tapi... tapi tempat
itu..."
"Hahhh!" mendadak si
nenek mengakak, suara tertawanya seperti bunyi kokok beluk di malam sunyi dan
membuat bulu roma Pwe-giok sama berdiri.
Di dengarnya si nenek berkata
pula dengan terkekeh2, "Barangkali Siauya belum tahu bahwa tempat itulah
rumah nenek, yang tinggal di sana, seorang adalah cucuku dan seorang lagi
adalah buyut perempuanku."
Pwe-giok menarik nafas dalam2,
sedapatnya ia menahan perasaannya, katanya dengan perlahan, "Jika
Lothaythay ada sengketa apa2 dengan Hong-sian sianseng dan ingin mencarinya,
mengapa engkau perlu ku gendong ke sana? Padahal dengan tenaga kaki nenek yang
kuat, masa tidak dapat naik ke sana?"
Nenek itu tertawa,
"Siauya, kau ini orang baik, tapi cucuku itu sedikitpun tidak berbakti
padaku, bila dia melihat nenek datang sendirian ke sana, bukan mustahil sekali
depak aku akan ditendangnya ke bawah loteng."
"Dan sekarang apa yang
kau inginkan dariku?" tanya Pwe-giok dengan tersenyum getir.
"Asalkan kau gendong aku
ke atas loteng dan katakan kepada mereka bahwa aku ini seorang nenek yang sudah
sakit parah, kau yang menolongku ke sana untuk minta mereka memberikan obat
padaku."
"Kemudian?" tanya
Pwe-giok.
"Urusan selanjutnya tidak
perlu lagi kau ikut campur... Hehe, kau sendiripun tidak mampu ikut
campur," kata si nenek dengan ter-kekeh2.
Diam2 Pwe-giok membatin
"Ya, setelah ku gendong dia ke atas loteng, tentunya dia takkan melepaskan
aku dan akupun tidak perlu ikut campur apa2 lagi." Berpikir demikian,
sekujur badannya lantas basah kuyup oleh keringat dingin.
"Tapi hendaknya sekarang
janganlah Siauya merencanakan tindakan yang tidak2, sebab biarpun usia nenek
sudah lanjut, untuk meremas patah tulang lehermu kukira tidak lebih sukar
daripada kupatahkan sepotong ranting kayu."
Pwe-giok menghela nafas,
katanya, "Lo thaythay, tiada sesuatu yang kukagumi padamu selain ceritamu
tentang si belang tadi, sungguh sedikitpun tidak menimbulkan curigaku."
* * *
Pintu di bawah loteng kecil
itu hanya dirapatkan saja tanpa dipalang dari dalam.
Di atas loteng Kwe Pian-sian
lagi duduk termenung, Ciong Cing mendekap di pangkuannya, seperti sudah
tertidur.
Gin-hoa-nio meringkuk di pojok
sana, mukanya yang semula ke-merah2an itu kini tampak pucat seperti mayat, ia
sedang memandangi tempat tidur sana dengan terbelalak, matanya yang hidup
se-olah2 dapat bicara itu kini tampak sayu dan hampa seperti sudah berubah
menjadi seorang linglung.
Si sakit, Hong-sam sianseng
masih tetap berbaring di tempat tidur dengan tenang, cuma air mukanya tambah
merah dan segar, napasnya juga sudah normal.
Cu Lui-ji berjaga di
sampingnya, air mukanya tampak mengunjuk rasa girang.
Pada saat itulah Pwe-giok naik
ke atas loteng, begitu melangkah ke atas, dengan suara keras ia lantas berseru,
"Nenek ini mendapat sakit keras di tengah jalan, terpaksa ku gendong dia
pulang... kan tidak dapat kulihat dia mati sakit di tepi jalan bukan?"
Mendengar ini, Kwe Pian-sian
berkerut kening. Ciong Cing tetap masih pulas dalam tidurnya. Gin-hoa-nio tidak
memperlihatkan sesuatu perasaan, sedangkan Hong-sam sianseng tetap diam2 saja
tanpa membuka matanya.
Hanya Cu Lui-ji saja yang
tersenyum, katanya, "Nenek ini menderita penyakit apa? Biar ku..."
mendadak suaranya terhenti, tanpa berkedip ia pandang nenek itu dengan wajah
kerut dan takut seperti melihat setan saja.
Nenek itu menyembunyikan
mukanya di belakang gendongan Pwe-giok, katanya dengan setengah merintih,
"O, kasihanilah nona, berikan obat kepada nenek!"
Siapa tahu mendadak Cu Lui-ji
lantas menjerit, "Oh-lolo... Oh-lolo... kau Oh-lolo!"
Tubuh Kwe Pian-sian tergetar
demi mendengar nama Oh-lolo atau nenek Oh ini, air mukanya juga tampak kejut
dan jeri se-akan2 ingin kabur saja kalau bisa.
Tangan Pwe-giok juga
berkeringat dingin, dia masih ingat kepada cerita ayahnya dahulu bahwa yang paling
jahat dan paling keji di dunia sekarang adalah Oh-lolo. Perempuan yang paling
tinggi ginkangnya dan paling mahir menggunakan racun juga Oh-lolo. Pernah dia
dikerubuti tiga diantara "Kesepuluh tokoh top’ jaman ini, dia terkurung
di suatu lembah pegunungan dan bertahan tujuh hari tujuh malam, akhirnya dia
tetap dapat lolos dengan selamat.
Begitulah terdengar Oh-lolo
menghela nafas di gendongannya sambil berkata, "Tahu aku bakal dikenali
budak cilik ini, untuk apa ku-buang2 tenaga sebanyak ini?" Dia menggapai
Lui-ji dan berkata pula, "Eh, budak cilik, cara bagaimana kau kenal pada
nenek? Coba jelaskan, nanti nenek memberikan permen padamu!"
Tapi Cu Lui-ji telah memegangi
tangan Hong sam sianseng, katanya dengan suara gemetar, "Li... lihatlah
Sacek, Oh-lolo tidak mati, sekarang dia datang lagi.
Hong Sam tetap tidak membuka
matanya, dengan perlahan dia berucap, "Orang ini bukan Oh-lolo.”:
"Tapi, kukenal dia...
kukenal dia," kata Luji. "Dia masih tetap memakai bajunya yang tebal
itu, sanggulnya memakai tusuk kundai kayu hitam, sepatunya yang dipakainya juga
serupa dengan waktu itu."
"Dia bukan Oh-lolo,"
jengek Hong Sam. "Oh-lolo sudah mati!"
"Tapi dia... dia sudah
hidup kembali!" seru Lui-ji.
"Orang yang terkena
Hoa-kut-tan (pil penghancur tulang), jangankan dapat hidup kembali, menjadi
setan pun tidak dapat," kata Hong Sam dengan kereng.
Mendadak nenek itu bergelak
tertawa, tertawa latah.
Suara seperti bambu patah,
pergesekan benda logam, lolong serigala di hutan, bunyi kokok beluk dan
sebagainya adalah suara yang paling menakutkan dan paling menusuk telinga, tapi
suara tertawa nenek ini jauh lebih tidak enak didengar dan jauh lebih
menakutkan daripada suara2 yang disebutkan tadi.
Setelah tertawa seperti orang
gila sampai sekian lamanya, lalu nenek itu berkata, "Pantas kucari kian
kemari tidak dapat menemukan adik perempuanku yang keji itu, kiranya dia memang
telah dibunuh oleh kau si setan penyakitan ini... Oo, baik sekali matinya, dia
memang sudah hidup cukup lama dan sudah waktunya harus mati... tapi sesudah dia
mati, aku menjadi sebatang kara begini, cara bagaimana aku dapat hidup
sendirian!..."
Dari tertawa mendadak berubah
menjadi menangis, suara tangisannya berpuluh kali lebih menusuk telinga
daripada suara tertawanya tadi, kaki Pwe-giok terasa lemas dan hampir2 saja
tidak kuat berdiri.
Akhirnya Hong Sam membuka
matanya, sinar matanya berkelebat, setelah menatap si nenek sekejap lalu
katanya dengan bengis, "Kau inikah kakak Oh-lolo?"
Nenek itu menjawab, "Dia
adalah aku dan aku adalah dia, dia Oh-lolo, akupun Oh-lolo, kami kakak beradik
berdua sama dengan satu dan tidak terpisahkan."
Tiba2 Kwe Pian-sian paham
duduknya perkara, pikirnya, "Pantas orang Kangouw sama bilang jejak
Oh-lolo tidak menentu dan sukar diraba, pada satu hari yang sama ada orang
melihat dia muncul di Holam, tapi ada orang lain yang melihat dia berada di
Soa-tang, kiranya Oh-lolo ini terdiri dari dua kakak beradik kembar yang
selamanya berdandan sama."
Tiba2 terdengar si nenek alias
Oh-lolo tadi menangis tergerung-gerung sambil berteriak, "Kau setan
penyakitan busuk, kau telah membunuh adikku, bolehlah kau bunuh saja diriku
sekalian."
"Jadi kau kemari minta
kubunuh?" jawab Hong Sam dengan tak acuh. "Baiklah, boleh kau maju
sini!"
"Lihatlah para
hadirin!" teriak Oh-lolo. "Di dunia ini ternyata ada orang sekeji
ini. Adik perempuanku sudah dibunuhnya dan sekarang ia ingin membunuhku pula...
kau setan penyakitan ini apakah benar2 tiada punya hati nurani manusia sama
sekali?"
"Jika kau tidak ingin
mati boleh kau pergi saja," kata Hong Sam pula dengan ketus.
"Pergi ya pergi, jika aku
tidak dapat membunuh kau, untuk apalagi berada di sini, hanya kheki saja bila
melihat kau!" kata Oh-lolo.
Mendengar si nenek menyatakan
mau pergi, segera Pwe-giok hendak membalik tubuh, untuk turun ke bawah. Padahal
ia tahu sekali turun, maka selama hidupnya pasti akan terkekang di bawah tangan
nenek aneh itu.
Siapa tahu belum lagi dia
membalik tubuh, se-konyong2 kedua kaki Oh-lolo menggantol sekuatnya sehingga
tubuh Pwe-giok bagian atas menubruk ke depan tanpa kuasa. Dirasakannya suatu
arus tenaga menyalur ke lengannya, tanpa terasa kedua tangannya terus terangkat
dan menghantam ke arah Hong Sam yang masih terbaring itu.
Cara ini benar2 sesuai dengan
namanya, yaitu "Cio-to-sat-jin" atau pinjam golok membunuh orang.
Sebab kalau hantaman Pwe-giok
itu berhasil, tentu saja sangat baik, tapi kalau Hong Sam melancarkan serangan
balasan, paling2 yang akan terluka ialah Pwe-giok. Oh-lolo yang mendekap di
belakang punggungnya tentu sempat mengundurkan diri bilamana kejadian tidak
menguntungkan.
Maklumlah, sebelumnya Oh-lolo
sudah memperhitungkan keadaan Hong Sam, lawan ini berbaring tertutup selimut,
jelas tidak dapat mengelak, baginya hanya ada dua jalan, yakni menerima pukulan
kedua tangan Pwe-giok itu atau balas menghantam. Dengan lain perkataan, apabila
Hong Sam tidak mati, maka yang akan mati ialah Pwe-giok.
Tapi kalau Hong Sam mati,
apakah Oh-lolo akan membiarkan anak muda itu hidup terus?
Jadi pergi-datang, akhirnya
Pwe-giok pasti akan mati.
Keruan Cu Lui-ji menjerit
kaget. Dilihatnya tangan Hong Sam yang kurus kering seperti kayu itu mendadak
terjulur keluar dari selimut, entah cara bagaimana tahu2 telapak tangan
Pwe-giok kena ditangkapnya.
Sesaat itu Pwe-giok merasakan
suatu arus tenaga maha dahsyat timbul dari tangan Hong Sam siansing, tapi hanya
satu putaran segera tenaga itu menyurut kembali.
Menyusul tenaga yang
dikerahkan Oh-lolo ke tangannya tadi lantas ikut arus tenaga Hong Sam siansing
itu dan mengalir keluar.
Seketika Pwe-giok merasa kedua
tangannya dialiri oleh arus tenaga yang panas dan bergerak tanpa berhenti,
keruan ia terkejut, tapi segera ia tahu apa yang terjadi. Nyata Hong Sam
siansing telah menggunakan lengannya sebagai jembatan untuk menghisap tenaga
murni Oh-lolo.
Di dunia ini ternyata adalah
kungfu ajaib begini, sungguh sukar untuk dibayangkan oleh siapapun.
Agaknya Oh-lolo juga sudah
tahu apa yang terjadi, saking takutnya ia berteriak, "Hong Sam...
Hong-locianpwe... berhenti... ampun, aku... aku menyerah padamu!"
Dengan perlahan Hong Sam
berkata, "Sebenarnya aku tidak mau sembarangan mengambil tenaga murni
orang lain, tapi kau yang lebih dulu ingin mencabut nyawaku..."
"Aku tidak berani lagi,
Hong-locianpwe, kumohon sudilah engkau mengampuni diriku," pinta Oh-lolo
dengan suara parau.
Pwe-giok jadi heran dan geli.
Kwe Pian-sian juga melenggong.
Mendadak Oh-lolo menggigit
telapak tangannya sendiri, kedua kakinya memancal sekuatnya di punggung
Pwe-giok, orangnya terus mencelat pergi dari gendongan Pwe-giok.
"Blang", kepalanya
menumbuk langit2 rumah, lalu jatuh ke bawah lagi dan terduduk di lantai dengan
nafas ter-engah2, mendadak ia berlutut menyembah kepada Hong Sam dan berkata,
"Ya, ku tahu akan kesalahanku, kumohon sudilah engkau mengampuni
diriku."
Dengan hambar Hong Sam
menjawab, "Kau dapat lolos dari tanganku, sungguh tidak mudah... baiklah,
pergilah kau!" lalu ia tersenyum kepada Pwe-giok dan berkata, "Untung
bagimu!"
Tadi waktu tubuh Oh-lolo
mencelat ke atas, seketika Pwe-giok merasakan tenaga yang menghisap di telapak
tangannya hilang mendadak. Kini di antara kedua tangannya masih terasa ada hawa
hangat yang bergerak tiada hentinya.
Selagi bingung didengarnya Cu
Lui-ji berkata kepadanya dengan tertawa, "Tenaga murni orang yang dipinjam
Sacek ada sebagian besar tertinggal di tubuhmu, kau telah mendapatkan
keuntungan tanpa sengaja, masa kau belum lagi tahu?"
Pwe-giok melengak, ia pandang
tangan sendiri, lalu pandang Oh-lolo pula, dalam hati entah bergirang atau
berduka.
Dilihatnya Oh-lolo sedang
melangkah ke tangga loteng dengan tubuhnya yang bungkuk dan kelihatan lemas.
Meski berjalan dengan tertunduk, tapi sinar matanya yang buas penuh kebencian
masih terus melirik ke arah Hong Sam.
"Jangan kau pergi
dulu!" kata Hong Sam mendadak.
Oh-lolo terjingkat, tanyanya
dengan suara gemetar, "Hong-samya ingin pesan apa lagi?"
"Selamanya aku tiada
hubungan apa2 dengan orang Kangouw, apalagi bermusuhan," ucap Hong Sam
dengan perlahan. "Jika sekarang kau pergi begini saja, tentu dalam
anggapanmu adik perempuanmu telah kubunuh tanpa alasan."
"Mana kuberani berpikir
begitu," ujar Oh-lolo dengan kepala tertunduk.
"Bolehlah kau tinggal di
sini, dengarkan ceritaku sebab apakah kubunuh dia," kata Hong Sam pula.
"Jika Hong-samya mau
bercerita, dengan sendirinya terpaksa kudengarkan," ujar Oh-lolo. Meski di
mulut dia bilang akan mendengarkan karena terpaksa, padahal di dalam hati ia
sangat berharap agar Hong Sam lekas bercerita.
Pwe-giok juga tahu apa yang
akan diceritakan Hong-sam sianseng sekarang adalah lanjutan kisahnya yang
pernah diceritakan itu. Sudah tentu minatnya terhadap cerita ini tidak di bawah
Oh-lolo.
Tak tahunya sebelum Hong Sam
berbicara lebih lanjut, tiba2 Cu Lui-ji menyela, "Kukira lebih baik Sacek
istirahat saja dan biarkan kuceritakan kepada mereka."
"Kejadian waktu itu
apakah masih kau ingat dengan baik?" tanya Hong Sam dengan menyesal.
Lui-ji menggigit bibir dan
menjawab dengan sekata demi sekata, "Meski waktu itu aku masih kecil, tapi
apa yang terjadi seolah2 terukir dalam-dalam hatiku. Asalkan ku pejamkan mata
segera dapat kulihat setiap... setiap raut wajah itu."
Meski dia bicara dengan
perlahan, tapi rasa bencinya membuat orang mengkirik, tanpa terasa Oh-lolo juga
merasa seram, katanya dengan mengiring tawa, "Jika demikian, silahkan nona
lekas bercerita."
Tiba2 Lui-ji melotot ke
arahnya dan berkata, "Ingin kutanya padamu lebih dulu, tahukah kau siapa
aku ini?"
Dengan menyengir Oh-lolo
menjawab, "Di dunia ini, kecuali ibu seperti Cu-kiongcu itu, siapa lagi
yang dapat melahirkan anak perempuan seperti nona Cu ini?"
Lui-ji melototinya sekejap
dengan gemas, per-lahan2 ia pejamkan mata dan mulai bercerita dengan perlahan,
"Waktu itu sudah jauh malam, ibu belum lagi tidur, beliau sedang
menjahitkan baju baru bagiku, sepotong baju merah yang disiapkan untuk kupakai
pada tahun baru. Ibu bermaksud pula menyulam seekor Kilin (binatang lambang
rejeki) pada baju merah itu, beliau membisiki diriku, katanya beliau berharap
lambang Kilin itu akan membawa seorang adik lelaki yang mungil bagiku."
Kenangan itu masih terasa
hangat dan indah, wajah Lui-ji yang pucat itupun menampilkan cahaya yang cantik
lantaran kenangan yang hangat ini.
Tersembul senyuman manis pada
ujung mulut Lui-ji, lalu ia menyambung ceritanya, "Anak kecil mana yang
tidak suka pada baju baru, dengan sendirinya akupun ingin cepat2 memakai baju
baru. Maka meski sudah larut malam, aku masih menunggui ibu menjahit dan tidak
mau tidur."
Oh-lolo ber-kedip2, katanya
dengan tersenyum, "Siau-hun-kiongcu ternyata mau menjahit baju, sungguh
tak pernah terbayangkan oleh siapa pun juga."
"Bukan saja menjahit,
bahkan ibuku juga mencuci, menanak nasi, menyapu lantai... pendek kata segala
pekerjaan rumah tangga selalu ditanganinya sendiri, masa kau tidak
percaya?"
"Apa yang dikatakan nona
masakah perlu kuragukan?" jawab Oh-lolo.
"Sementara itu sudah
dekat tengah malam, pada umumnya penduduk di kota kecil ini suka tidur lebih
dini, suasana sudah sunyi, tiada terdengar suara apapun, keadaannya serupa
sekarang ini."
Angin meniup di luar jendela,
suasana memang benar2 hening, entah mengapa dalam hati masing2 sama timbul rasa
seram se-akan2 mendapat firasat tidak enak.
Lui-ji melanjutkan ceritanya,
"Tatkala mana ibuku agaknya juga merasakan alamat tidak baik, pikiran
beliau tampaknya juga sedang kacau. Saat itu beliau sedang menyulam mata Kilin,
tapi telah salah sulam tiga kali. Pada saat itulah se-konyong2 terdengar suara
menggelepar di luar, seekor burung malam tiba2 terbang dari atap seberang
rumah."
Bicara sampai di sini,
senyuman yang menghiasi wajah Lui-ji sudah lenyap, perasaan setiap orang juga
ikut tegang.
"Aku terkejut,"
sambung Lui-ji pula, "Ku jatuhkan diri ke pangkuan ibu. Sembari menepuk
punggungku dengan perlahan, mendadak ibu meraup segenggam jarum sulam terus
ditaburkan ke lubang angin di ujung atap sana."
"Burung malam terbang
terkejut, jelas itu tandanya ada Ya-heng-jin (orang pejalan malam)," kata
Oh-lolo dengan tertawa. "Ibumu memang tidak malu sebagai seorang tokoh
Kangouw kawakan dengan taburan jarum itu, mustahil kalau bocah di luar itu tidak
menggeletak."
"Hm, yang di luar jendela
itu tak-lain-tak-bukan ialah Oh-lolo!" jengek Lui-ji.
Oh-lolo melengak, ucapnya
dengan menyengir, "O, be... begitukah?"
"Tapi begitu jarum itu
ditaburkan ibuku, keadaannya seperti batu tenggelam di lautan, sedikitpun tidak
menimbulkan reaksi apa2, maka tahulah ibu telah kedatangan lawan tangguh, ibu
lantas memanggil bangun ay..." dia memejamkan mata dan menghela nafas
panjang, lalu menyambung lagi, "Memanggil bangun Tonghong Bi-giok dan
menyerahkan diriku kepadanya. Tatkala mana kulihat air muka ibu mendadak
berubah pucat. Tapi Tonghong Bi-giok itu sebaliknya tampak bergirang."
Pwe-giok menghela nafas
gegetun, pikirnya, "Lelaki yang tidak berbudi dan tidak setia begitu,
pantas kalau Lui-ji tidak sudi mengaku ayah padanya."
Terdengar Lui-ji melanjutkan
lagi ceritanya, "Dalam pada itu di luar jendela ada orang berseru dengan
tertawa, "Lihay amat hujan jarum yang ditaburkan ini, cuma sayang,
terhadap nenek macam diriku ini menjadi tiada gunanya hujan jarum ini…"
Karena uraian ini, tanpa
terasa pandangan semua orang lantas beralih ke arah Oh-lolo.
Nenek itu terbatuk, lalu
bertanya, "Waktu itu nona berumur berapa?"
"Empat tahun," jawab
Lui-ji. "Masa anak umur empat dapat mengingat sejelas itu apa yang pernah
diucapkan orang lain?" ucap Oh-lolo dengan tertawa.
Dengan hambar Lui-ji menjawab,
"Ada sementara orang biarpun hidup sampai nenek2 tapi makin tua makin
pikun. Sebaliknya ada orang yang sekalipun baru berumur empat, tapi sudah
banyak yang dipahaminya, apalagi..."
Tanpa berkedip ia pandang
Oh-lolo, lalu menyambung sekata demi sekata, "Bilamana ada orang telah
membunuh ibumu pada waktu kau baru berumur empat, maka apapun yang dikatakannya
waktu itu, tentu takkan kau lupakan selamanya biarpun cuma satu kata saja."
Mengkirik Oh-lolo oleh
pandangan tajam si nona, ia tertunduk dan berkata, "Adik perempuanku itu
memang keterlaluan, suka campur urusan orang lain."
Lui-ji mendengus, sambungnya
pula, "Setelah mendengar ucapan tadi, segera ibuku dapat menerka siapa yang
berada di luar jendela. Beliau lantas berseru, "Oh-lolo, selamanya kita
tiada sengketa apa2, untuk apa kau cari diriku?..." pada waktu itulah daun
jendela di sekeliling rumah lantas terbuka serentak, di dalam rumah tahu2 sudah
bertambah belasan orang. Cepat sekali kedatangan orang2 itu, meski mereka
melayang masuk dari luar jendela, tapi rasanya seperti arwah yang muncul dari
bawah bumi."
"Kiranya mereka datang
belasan orang sekaligus..." kata Oh-lolo. "Rumah kami memang tidak
besar, tentu saja belasan orang itu segera memenuhi seluruh ruangan,"
tutur Lui-ji pula. "Ibuku lantas terkepung di tengah, jalan mundur saja
sudah tertutup buntu."
"Bagaimanakah bentuk
orang2 itu?" tanya Oh-lolo.
"Yang menjadi kepalanya
bertubuh jangkung, berkopiah dan berbaju pertapa, tampaknya seperti orang yang
beribadat dan menimbulkan rasa hormat orang..." tutur Lui-ji.
"Padahal sesungguhnya dia hanya seorang Siaujin (orang kecil, rendah) yang
keji."
"Orang ini tentunya
Tonghong-sengcu adanya," kata Oh-lolo dengan tertawa.
"Ada seorang lagi yang
bermuka penuh berewok, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam seperti pantat
kuali, senjata yang dibawanya mirip sebuah pagoda."
"Ah, kiranya Li-thian-ong
juga ikut," tukas Oh-lolo.
"Ada pula seorang tua,
rambutnya sudah putih seluruhnya, giginya juga sudah ompong semua, wajahnya
senantiasa tersenyum seperti seorang nenek yang welas asih, padahal hatinya
lebih keji dan buas daripada binatang."
Tidak perlu dijelaskan lagi
semua orang tahu siapa gerangan yang dimaksudkan, tanpa terasa pandangan semua
orang lantas beralih pula ke arah Oh-lolo.
"Makian yang tepat,"
kata Oh-lolo dengan tersenyum. "Bilamana kulihat dia, tentu juga akan ku
maki dia se-kenyang2nya." "Sudah tentu ibuku terkejut melihat
munculnya orang2 itu, tapi segera beliau dapat menenangkan diri dan bertanya
apa maksud tujuan kedatangan mereka?"
"Ya, biarpun orang2 itu
bukan orang sembarangan, tapi Cu-kiongcu tentu juga tidak takut terhadap
mereka," kata Oh-lolo dengan menyengir.
"Tapi Tonghong Tay-beng
itu lantas mencaci maki, katanya ibu telah memikat anaknya, banyak pula kata2
tidak baik yang diucapkannya. Meski ibu sangat marah mendengar makian orang,
tapi beliau menyadari orang itu adalah ayah-mertuanya. Ibu tidak berani
memperlihatkan sikap kasar, beliau mengira apa yang terjadi ini hanya salah
paham belaka, maka berusaha memberi penjelasan."
"Huh, si tua Tonghong itu
paling suka membela orang sendiri, mana dia mau terima keterangan ibumu,"
kata Oh-lolo.
"Benar juga, dia bahkan
tidak memberi kesempatan bicara kepada ibuku," tutur Lui-ji. "Ibuku
pikir biarkan Tonghong Be-giok saja yang bicara langsung kepada ayahnya, siapa
tahu, mendadak Tonghong Bi-giok melompat ke belakang ayahnya, lalu menuding dan
mendamprat ibuku, caci-makinya bahkan jauh lebih kotor daripada Tonghong
Tay-beng."
"Lelaki kebanyakan memang
tidak punya Liangsim (hati nurani yang baik)," kata Oh-lolo dengan
menyesal.
Dalam pada itu Ciong Cing
sudah mendusin, perasaannya jadi tersinggung, kembali ia menangis perlahan.
Lui-ji juga mengembeng air
mata, tuturnya pula, "Sampai sekarang barulah ibuku tahu pribadi Tonghong
Bi-giok ternyata begini rendah, nyata cintanya selama ini telah diserahkan
kepada manusia demikian, sesaat itu mendadak ibu merasa putus asa dan lemas
lunglai, iapun malas bicara lagi, ia hanya tanya apakah Tonghong Tay-beng dan
Tonghong Bi-giok mau membesarkan diriku atau tidak?"
Bercerita sampai di sini air
mata Lui-ji sudah mengucur deras, bahkan Gin-hoa-nio yang berhati keras itupun
ikut menangis. Perasaan semua orang juga sangat sedih, satu per satu sama
menunduk dan tidak bersuara.
Selang agak lama barulah
Lui-ji mengusap air matanya dan melanjutkan ceritanya, "Dengan sendirinya
Tonghong Bi-giok menyatakan sanggup, malahan katanya aku ini anaknya, dengan
sendirinya akan dijaga se-baik2nya. Untuk terakhir kalinya ibuku memandangnya
sekejap, lalu hendak membunuh diri di depannya."
Tanpa terasa semua orang sama
menjerit kaget, tapi merekapun tahu ibu si nona itu takkan mati secepat itu,
sebab seterusnya diketahui masih terjadi lagi macam2 urusan.
Dengan pedih Lui-ji berkata
pula, "Tatkala mana usiaku masih kecil, namun samar2 sudah dapat ku terka
apa yang terjadi, akupun menangis keras2, namun ibuku sudah nekat dan tidak
menggubris ratapanku, segera ia angkat belati hendak membunuh diri. Pada detik
terakhir itulah se-konyong2 sesosok bayangan putih melayang masuk pula dari
luar, begitu cepat dan gesit gerakan orang itu, tahu2 belati di tangan ibuku
sudah dirampasnya."
Semua orang sama berseru
heran, "Hei, siapa lagi orang ini?" Lui-ji tidak menjawabnya, ia
meneruskan ceritanya. "Waktu itu meski aku tidak paham tinggi rendahnya
ilmu silat, tapi dapat juga kulihat ginkang orang itu ternyata jauh lebih
tinggi daripada ibuku."
"Oo...?" Oh-lolo
berseru heran, tanpa terasa ia melirik ke sana, seketika pandangan semua orang
ikut beralih kepada Hong Sam sianseng, dalam hati masing2 samar2 sudah dapat
menduga siapa si pendatang itu.
"Merasa niatnya
dirintangi orang, ibuku menjadi gusar, sebelah tangannya lantas menghantam.
Namun dengan enteng dan gesit orang itu dapat menghindarkan serangan ibu.
Kukira sekarang kalian tentu tahu siapa penolong ibuku itu?"
"Ehmm," semua orang
sama mengangguk.
Lui-ji memandang Hong Sam
sekejap, tersembul senyuman hangat pada ujung mulutnya, lalu katanya,
"Waktu itu Sacek masih seorang Kongcu yang gagah dan cakap. Hari itu dia
memakai baju putih mulus seperti salju, ketika melayang tiba dari luar sungguh
gayanya seperti malaikat dewata yang baru turun dari kahyangan."
Oh-lolo berdehem dua kali,
katanya, "Kecakapan Hong Sam kongcu, pada masa itu pernah kudengar
juga."
"Padahal Tonghong
Tay-beng dan begundalnya juga terhitung tokoh Bu-lim yang top, tapi melihat
gerakan Sacek yang luar biasa, ginkangnya yang tiada bandingannya, mau-tak-mau
mereka sama melongo. Betapapun Tonghong Tay-beng memang lebih tabah, segera ia
menegur Sacek, "Siapa kau? Apa maksud kedatanganmu ini?"
"Rupanya Tonghong
Tay-beng sudah terlalu lama tinggal di lautan sana sehingga tidak kenal lagi
kepada Hong-sam sianseng, hal ini dapatlah dimaklumi, tapi Li-thian-ong, adik
perempuanku dan lain2 masa juga tidak dapat menduga pendatang itu ialah
Hong-sam sianseng? Di kolong langit ini, kecuali Hong-sam kongcu, siapa lagi
yang berusia semuda itu dan menguasai Kungfu setinggi itu?"
"Semula ibuku juga
melenggong, setelah mendengar teguran Tonghong Tay-beng itu, mendadak Oh-lolo
menjerit kaget dan menyebut nama Sacek. Barulah ibuku tahu telah kedatangan
penolong yang dapat dipercaya, ia merasa tidak perlu kuatir lagi akan difitnah
dan dikeroyok orang."
Sampai di sini Hong Sam yang
berbaring itu menghela nafas panjang, katanya dengan rawan, "Siapa tahu
aku... aku..."
Cepat Lui-ji mendekatinya dan
berlutut, ucapnya dengan menangis, "Kejadian itu mana boleh menyalahkan
Sacek? Kenapa Sacek berduka?"
Hong Sam termenung sejenak dan
memejamkan matanya, katanya kemudian, "Baiklah, lan... lanjutkan
ceritamu!"
Lui-ji berdiri dengan menunduk
kepala, iapun memejamkan mata dan berdiam sejenak, habis itu barulah dia
menyambung kisahnya, "Waktu itu Sacek lantas membongkar seluk beluk
rencana busuk yang diatur Tonghong Bi-giok yang bersengkongkol dengan ayahnya
itu, Sacek mendamprat Tonghong Bi-giok habis2an akan ketidak-setiaan dan
ketidak berbudinya. Begundal Tonghong Tay-beng sama melengak heran dan sangsi,
entah mesti percaya atau tidak terhadap keterangan Sacek itu."
"Biarpun dalam hati
mereka tak percaya, di mulut mungkin merekapun tidak berani bicara," kata
Pwe-giok.
"Hanya Li-thian-ong yang
biasanya sombong dan suka meremehkan orang lain, meski Tonghong Tay-beng juga
sudah pernah mendengar nama Sacek, tapi iapun belum kenal betapa lihaynya
Sacek, kedua orang sama merasa penasaran menghadapi Sacek yang cuma sendirian
itu. Diam2 kedua orang itu saling memberi tanda, serentak mereka melancarkan
serangan maut terhadap Sacek."
"Kedua orang itu mungkin
sudah bosan hidup," kata Oh-lolo dengan gegetun.
"Memang," kata
Lui-ji. "Orang macam apakah Sacek, sudah tentu beliau sudah
memperhitungkan kemungkinan tindakan mereka itu. Beliau tetap tenang2 saja,
waktu itu dari jauh kulihat senjata Li-thian-ong yang berwujud pagoda baja itu
sedikitnya berbobot beberapa ratus kati sedang menghantam kepala Sacek, begitu
dahsyat sehingga tempat aku berdiri juga merasakan angin damparannya yang
keras. Apalagi Tonghong Tay-beng ikut menyerang sekaligus, sungguh aku menjadi
kaget dan kuatir, saking ketakutan aku sampai menangis."
Tanpa terasa semua orang ikut
berdebar.
Tapi Lui-ji lantas menyambung,
"Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak Sacek bersiul panjang nyaring
menggema angkasa, namun suaranya tidaklah menusuk telinga, sebaliknya
kedengarannya sangat merdu."
"Itulah yang disebut
kicauan burung Hong menggema ribuan li, menggetar sukma kabur sukar
dicari!" seru Oh-lolo.
"Di tengah suara siulan
nyaring itu," demikian Lui-ji melanjutkan, "entah cara bagaimana
tahu2 tubuh Li-thian-ong mencelat, senjata andalannya, yaitu pagoda baja juga
sudah berpindah ke tangan Sacek, dengan enteng Sacek memuntir, seketika pagoda
baja itu berubah menjadi untir2."
Semua orang sama melengak,
sungguh mereka tidak pernah mendengar bahwa di dunia ada Kungfu setinggi ini.
"Agaknya Tonghong
Tay-beng juga terkena serangan Sacek," sambung Lui-ji pula, "dia
tampak ketakutan, tapi Sacek hanya memandangnya dengan tertawa dingin, katanya,
"Mengingat menantu perempuanmu, biarlah kuampuni jiwamu!" Sembari
bicara Sacek terus menelikung untir2 baja tadi hingga berubah menjadi sebuah
gelang, lalu dilemparkan, terdengar suara "brak" di kejauhan,
sebatang pohon cukup besar seketika patah menjadi dua dan tumbang."
Bicara sampai di sini, Lui-ji
menghela nafas lega, lalu katanya, "Setelah Sacek memperlihatkan
kungfunya, orang2 itu tiada satupun yang berani bergerak lagi."
Semua orang ikut merasa lega
juga meski diketahui ibu anak dara itu akhirnya tidak terhindar dari kematian.
Dan ini pula yang membuat mereka heran, entah mengapa kemudian Siau-hun-kiongcu
tewas juga dan entah sebab apa Hong-sam sianseng juga terluka.
Cuaca sudah remang2, senja
sudah tiba, di atas loteng mulai suram.
Pwe-giok tidak tahan, ia
membuka suara, "Apakah kejadian itu kemudian berkembang lagi lebih
mengejutkan orang?"
Lui-ji menuang secangkir teh
dan melayani minum Saceknya, habis itu perlahan2 barulah ia menyambung lagi,
"Melihat perbawa Sacek sudah menaklukan musuh, ibu lantas mendekati Sacek
dan memberi hormat serta mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Sacek
tanya kepada ibuku, lantas bagaimana akan menyelesaikan urusan ini?"
"Meski Tonghong Bi-giok
itu berdosa kepada ibumu, tapi kukira ibumu pasti tidak tega mencelakai dia,"
ujar Kwe Pian-sian dengan gegetun.
"Betul, hati perempuan
biasanya memang lemah," tukas Oh-lolo.
"Tapi diantaranya ada
juga yang berhati keras, bahkan tidak kepalang kerasnya dan menakutkan,"
sambung Kwe Pian-sian dengan tersenyum.
Seperti tidak mengikuti ucapan
mereka, pandangan Lui-ji menatap keremangan senja di luar jendela dengan
termangu, sejenak kemudian barulah ia menyambung ceritanya, "Karena
pertanyaan Sacek tadi, ibu hanya menangis saja dan tidak bicara. Sacek bertanya
pula apakah lelaki tidak setia itu perlu dibunuh saja? Namun ibu tetap tidak
buka mulut, melainkan cuma menggeleng saja. Maka berkatalah Sacek, "Jika
demikian, suruh dia enyah saja se-jauh2nya!..." ia menghela nafas, lalu
melanjutkan, "Siapa tahu, ibu lantas menangis tergerung-gerung mendengar
ucapan Sacek itu."
"Aneh juga," kata
Pwe-giok, "ibumu tidak tega membunuhnya, juga tidak mau melepaskan dia,
sesungguhnya apa kehendaknya?"
Dengan menunduk Lui-ji
berkata, "Ibuku... dia..."
Mendadak Hong-sam sianseng
menukas, "Boleh kau istirahat dulu, biarkan ku sambung ceritamu."
Lui-ji mengusap air matanya
dan mengiakan dengan menunduk.
Hong Sam lantas berkata,
"Waktu itu akupun heran, kalau Cu Bi tidak tega membunuhnya dan juga tidak
mau melepaskan dia pergi, lalu tindakan apa yang harus kulakukan?"
Dia berhenti sejenak, setelah
menghela nafas lalu sambungnya, "Pikiran wanita selamanya memang tak dapat
ku raba. Selagi aku merasa bingung, tiba2 Oh-lolo itu menyeletuk, katanya dia
tahu maksud Cu Bi."
"Memang hanya perempuan
saja yang mengetahui isi hati sesama perempuan," kata Pwe-giok.
"Dengan sendirinya ku
silahkan dia bicara," tutur Hong Sam pula. "Maka Oh-lolo lantas
mendekati Cu Bi, tanyanya dengan tersenyum, "Maksud Kiongcu apakah ingin
rujuk kembali dengan Tonghong-kongcu?..." Tentu saja aku menjadi gusar,
kupikir sudah jelas Tonghong Bi-giok itu sedemikian rendah dan tak berbudi
terhadap Cu Bi, bilamana Cu Bi tidak membunuhnya sudah tergolong untung
baginya, masa sekarang Cu Bi ingin berhubungan baik pula dengan dia? Sudah
tentu aku tidak percaya, maka aku lantas tanya Cu Bi, apakah memang begitu
maksudnya? Sampai beberapa kali kutanya dia, namun sama sekali dia tidak mau
menjawab meski dia tidak menangis lagi."
"Kalau tidak menangis dan
juga tidak menjawab, hal itu berarti diam2 telah membenarkan," kata
Gin-hoa-nio mendadak.
Hong Sam tersenyum pahit,
ucapnya, "Sampai lama akhirnya barulah ku paham isi hatinya, memang betul
begitulah kehendaknya. Kurasakan hal itu sungguh terlalu enak bagi keparat
Tonghong Bi-giok itu, tapi Cu Bi sebagai orang yang paling berkepentingan sudah
menghendaki begitu, terpaksa akupun tak dapat berbuat apa2."
"Di dunia ini hanya cinta
kasih antara lelaki dan perempuan saja yang tak dapat dipaksakan oleh
siapapun," kata Pwe-giok.
"Melihat sikapku sudah
lunak dan tidak merintangi lagi, orang2 itu sama merasa lega," tutur Hong
Sam pula. "Segera Tonghong Tay-beng menarik anaknya maju ke depan, ayah
dan anak itu ber-sama2 meminta maaf kepada Cu Bi. Dalam keadaan demikian aku
menjadi lebih2 tidak dapat bicara apa2 lagi."
"Dan bagaimana pula sikap
Tonghong Bi-giok itu?" tanya Pwe-giok.
"Sudah tentu wajahnya
penuh rasa menyesal," jawab Hong Sam. "Tadinya wajah Cu Bi penuh rasa
gusar, tapi kemudian telah berubah cerah, sinar matanya menjadi terang pula,
tampaknya awan mendung sudah buyar dan segala sesuatu akan menjadi terang.
Siapa tahu tiba2 datang lagi usul Oh-lolo."
"O, usul apa?" tanya
Pwe-giok.
"Katanya, meski Tonghong
Bi-giok dan Cu Bi sudah suka sama suka, tapi sebelum ada ijin orang tua serta
perantara comblang, betapapun ikatan mereka sebagai suami isteri belum resmi,
sebab itulah sekarang juga dia ingin menjadi comblang bagi mereka agar Tonghong
Bi-giok dan Cu Bi dapat terikat menjadi suami isteri di depan ayahnya, dan
akupun diminta menjadi wali bagi Cu Bi."
"Ehm, bukankah itu usul
yang bagus?" kata Oh-lolo.
"Hm, semula akupun merasa
usulnya memang bagus," jengek Hong Sam. "Maka be-ramai2 semua orang
lantas sibuk mengatur seperlunya, di atas loteng kecil inilah diadakan
perjamuan untuk merayakan peresmian pengantin baru mereka."
"Perjamuan?"
Pwe-giok menegas dengan terbelalak. "Tentunya tiada perjamuan yang tanpa
arak!"
"Betul, perjamuan tentu
harus lengkap dengan suguhan arak," kata Hong Sam.
"Jangan2 di dalam arak
itulah terjadi sesuatu?" ucap Pwe-giok pula.
Hong Sam menghela nafas
panjang, katanya, "Usiamu masih muda belia, tapi nyatanya pengalaman dan
pengetahuanmu sudah jauh lebih luas daripada diriku pada waktu itu."
Diam2 Pwe-giok membatin,
"Mungkin lantaran Cianpwe memandang dirimu tiada tandingan di kolong
langit ini dan tidak menaruh perhatian terhadap orang lain, dan tentunya juga
tidak menyangka ada orang berani mencelakai kau dengan cara yang licik."
"Sudah tentu pikiran ini
tidak berani diutarakannya, tapi didengarnya Hong Sam telah menyambung pula,
"Dalam hatimu tentu kau anggap aku terlalu tinggi hati dan mengira orang
lain tidak berani berbuat apapun kepadaku, soalnya kau tidak mengetahui keadaan
pada waktu itu..." ia menghela nafas panjang, lalu meneruskan,
"Apabila waktu itu kaupun di sana dan melihat setiap orang sama riang
gembira, tentu kaupun takkan curiga bahwa sebenarnya dirimu sedang
diincar."
"Jika orang ingin
mengerjai Cianpwe, mana bisa sikapnya itu diperlihatkan kepada Cianpwe?"
ujar Pwe-giok tak tahan.
Air muka Hong Sam tampak
guram, sampai lama ia tidak bersuara.
Sementara itu Lui-ji sudah
cukup beristirahat, segera ia menyela, "Sudah tentu masih ada alasan lain.
Pertama Sacek menganggap orang2 itu adalah tokoh Kangouw terkenal, tentunya
tidak sampai bertindak secara keji dan rendah."
Pwe-giok tersenyum pahit,
katanya, "Terkadang orang2 yang sok anggap dirinya kaum pendekar budiman
itulah sering2 dapat bertindak secara kotor dan menakutkan. Sebab kalau orang2
macam begitu sampai berbuat sesuatu kebusukan, bukan saja orang lain takkan
berjaga-jaga, bahkan juga takkan percaya."
Lui-ji juga terdiam sejenak,
katanya kemudian, "Kedua, dengan Kungfu Sacek waktu itu, sekalipun beliau
menenggak habis secawan arak beracun juga takkan menjadi soal, arak beracun itu
pasti dapat didesaknya keluar. Apalagi Sacek menyaksikan sendiri arak yang
disuguhkan itu dituang dari satu poci yang sama."
Kwe Pian-sian memandang
Oh-lolo sekejap, lalu berkata, "Kalau racun biasa tentu tidak beralangan
bagi Hong locianpwe, tapi cara penggunaan racun Oh-lolo boleh dikatakan tiada
bandingannya di kolong langit ini, biarpun tenaga dalam Hong locianpwe maha
tinggi, betapapun perutnya bukan terbuat dari baja."
"Baru kemudian Sacek tahu
bahwa racun bukan melalui arak yang disuguhkannya itu," sambung Lui-ji
pula. "Tapi racun dipoles pada cawan arak yang digunakan Sacek dan ibuku,
sungguh racun yang maha lihay."
"Bila di dalam arak
beracun, rasa arak tentunya akan berubah," kata Pwe-giok. "Setelah
Hong-locianpwe minum cawan pertama, apakah belum dirasakan ada kelainan pada
arak itu dan mengapa sampai minum lagi cawan yang kedua?"
Kwe Pian-sian tidak tahan, ia
menyeletuk pula, "Seumpama Hong-locianpwe tidak dapat merasakannya,
Cu-kiongcu sendiri kan juga seorang ahli racun, masa beliau juga tidak dapat
merasakannya?"
"Justeru lantaran racun
dipoles pada cawan arak, sedangkan araknya dingin, ketika cawan pertama
dituang, serentak semua orang angkat cawan dan menghabiskannya, dengan
sendirinya racun yang larut ke dalam arak waktu itu tidak banyak,"
demikian Lui-ji menutur dengan gegetun. "Dan kemudian...?" tanya Kwe
Pian-sian.
"Kemudian racun yang
larut ke dalam arak tentunya makin lama makin cepat dan banyak," tutur
Lui-ji. "Tapi dalam pada itu arak yang diminum Sacek dan ibuku juga tidak
sedikit lagi, daya rasa mereka lambat-laun sudah mulai tumpul... tentunya
kalian maklum, saat itu hati ibuku tentunya sangat gembira. Dalam keadaan
terlalu gembira, kewaspadaan seseorang biasanya tentu akan sangat
berkurang."
"Sungguh hebat,"
ujar Kwe Pian-sian, "tampaknya waktu menaruh racun, setiap kemungkinan
sudah diperhitungkan masak2 oleh Oh-lolo. Kemahiran menaruh racun orang ini
sungguh sukar ditandingi siapapun juga."
Membayangkan betapa rapi cara
Oh-lolo menaruh racun serta tindakannya yang keji, tanpa terasa semua orang
sama mengkirik, apalagi sekarang terdapat pula seorang Oh-lolo di depan mereka,
tentu saja timbul rasa was-was dan jemu mereka terhadap nenek ini.
Kebetulan Pwe-giok berdiri di
sampingnya, sekarangpun ia merasa ngeri dan cepat menjauhinya. Bahkan Ciong
Cing menjadi ketakutan, memandang saja tidak berani.
Lui-Ji lantas berkata,
"Sekian lama mereka minum arak, mendadak ibuku menyembah beberapa kali
kepada Sacek dan ber-ulang2 menyatakan terima kasihnya atas pertolongan jiwa
Sacek."
Ya, akupun merasa heran dalam
keadaan begitu tiba2 dia menyatakan terima kasihnya padaku," tukas Hong
Sam dengan menyesal. "Tapi akupun tidak bilang apa2. Kulihat Cu Bi lantas
mendekati Tonghong Bi-giok dan memegang tangannya dengan tersenyum manis, katanya,
"Berkat bantuan para Cianpwe yang hadir di sini sehingga dapatlah kita
menjadi suami isteri secara istimewa. Betapapun hatiku sangat berterima kasih,
Dengan sendirinya Tonghong Bi-giok menyambutnya dengan tertawa dan berkata,
"Ya, tentu saja akupun sangat berterima kasih."
"Dengan tertawa Cu Bi
berkata pula, "Kata orang, cinta suami-isteri harus sehidup semati. Meski
aku tak dapat lahir bersama kau pada hari dan saat yang sama, hendaklah kita
dapat mati pada hari dan saat yang sama, apakah kau bersedia?" aku menjadi
heran pada hari bahagianya mengapa tanpa sebab dia bicara tentang
kematian."
"Dalam pada itu kudengar
Tonghong Bi-giok telah menjawabnya dengan tertawa, "Dalam suasana bahagia
begini, mengapa kau bicara hal2 yang tidak enak ini?" Cu Bi memandangnya
tajam2, ucapnya dengan tersenyum, "Kuminta sukalah kau jawab bersedia atau
tidak?" kulihat tertawa Tonghong Bi-giok sudah berubah menjadi menyengir,
terpaksa ia mengangguk, "Sudah tentu aku bersedia…" Belum habis
ucapannya, mendadak Cu Bi memuntir tangannya, krek, tulang lengan Tonghong
Bi-giok telah dipuntirnya hingga patah!"
Tanpa terasa semua orang sama
menjerit kaget. Maka dapatlah dibayangkan betapa terkejutnya Tonghong Tay-beng
dan lain2 ketika menyaksikan apa yang terjadi waktu itu.
Dengan pedih Pwe-giok berkata,
"Mungkin waktu itu Cu-kiongcu sudah merasakan dirinya telah keracunan dan
tak tertolong lagi, maka lebih dulu ia menghaturkan terima kasih kepada
pertolongan Hong-locianpwe, itulah penghormatan perpisahannya dengan Cianpwe."
Gin-hoa-nio menghela nafas
gegetun, katanya, "Tatkala mana dia tetap tenang2 saja, kiranya dia sudah
bertekad akan gugur bersama dengan lelaki tidak setia dan tak berbudi
itu."
"Tapi waktu itu aku belum
lagi tahu persoalannya, baru hendak kutanyai dia sebab apa dia bersikap begitu,
tahu2 Tonghong Tay-beng dan begundalnya telah berteriak kaget terus menubruk ke
arahnya," tutur Hong Sam. "Namun lebih dulu Cu Bi telah mencekik
leher Tonghong Bi-giok sambil membentak, "Berhenti! Siapapun diantara
kalian berani maju lagi setindak, segera ku cekik mampus dulu jahanam
ini!" Karena itu Tonghong Tay-beng dan lain2 menjadi kuatir dan tidak
berani sembarangan bertindak.
"Habis itu barulah Cu Bi
berkata kepadaku dengan pedih bahwa arak telah diberi racun jahat, racun sudah
merasuk tulang dan tak dapat ditolong lagi, karena itu dia hanya memohon agar
aku suka menjaga Lui-ji. Diam2 akupun mengerahkan tenaga, akupun merasakan
diriku juga sudah keracunan, bekerjanya racun sebenarnya sangat lambat, tapi
lantaran aku mengerahkan tenaga, seketika kaki dan tanganku berubah menjadi
biru hangus. Melihat keadaanku, tambah pedih Cu Bi, sebab tahulah dia bahwa
racun yang berada dalam tubuhku jauh lebih hebat daripada dia dan jelas tak
tertolong lagi."
Mendengar sampai di sini, hati
semua orang seperti tertindih oleh batu, dadapun terasa sesak.
Lui-ji mengusap air mata,
katanya dengan perlahan, "Waktu itu aku lagi duduk di suatu kursi kecil
dan asyik makan bakso buatan Ibuku sendiri. Melihat kejadian itu, hampir aku
keselak bakso. Pada saat itu juga kembali Sacek bersiul nyaring pula laksana
kicauan burung Hong itu. Kulihat Oh-lolo menjadi pucat, berulang ia menyurut
mundur sambil berteriak, "Racun itu adalah buatan Tonghong-sengcu yang
diracik dengan 81 jenis daun2an, jika kau banyak bergerak, kematianmu tentu
akan tambah cepat dan tak tertolong...!"
"Kenapa racun itu
dikatakan buatan Tonghong Tay-beng?" tanya Pwe-giok dengan heran.
Kwe Pian-sian tersenyum,
katanya, "Oh-lolo itu licik dan licin, melihat kegagahan Hong-locianpwe
yang maha sakti itu, mana dia berani mengaku racun itu berasal dari dia? Apa
yang diucapkannya itu tidak lain hanya ingin membelokkan perhatian
Hong-locianpwe agar Tonghong Tay-beng yang dilabraknya."
"Orang sekeji itu sungguh
sangat menakutkan," ujar Pwe-giok.
"Tapi dia terlalu menilai
rendah kekuatan Sacek," tutur Lui-ji pula "Meski waktu itu racun
sudah bekerja, namun Sacek menahannya ke dalam perut dengan lweekangnya yang
maha sakti, sambil bersiul nyaring Sacek terus menubruk ke arah Tonghong
Tay-beng. Tapi ibuku lantas berteriak, "Bukan Tonghong Tay-beng yang
membuat racun itu, tapi Oh-lolo. Lekas Hong-locianpwe membekuknya dan memaksa
dia menyerahkan obat penawarnya, dengan begitu mungkin masih dapat
tertolong."
"Pada saat ibu bicara
itulah, tahu2 kedua tangan Tonghong Tay-beng sudah tergetar patah oleh pukulan
Sacek, menyusul dadanya kena dihantam pula sehingga tumpah darah dan roboh
terkapar. Melihat tokoh semacam Tonghong Tay-beng saja tidak tahan sekali pukul
Sacek, keruan para begundalnya ketakutan setengah mati, segera ada di antaranya
bermaksud melarikan diri. Namun sudah terlambat, Sacek sudah kadung murka,
terdengarlah suara krak-krek, blak-bluk berturut2, suara tulang patah dan orang
roboh, para tokoh Bu-lim kelas tinggi yang memenuhi ruangan itu tiada satupun
yang hidup, darah muncrat memenuhi lantai dan dinding." Baru sekarang
Pwe-giok menarik nafas lega, segera ia bertanya, "Dan bagaimana dengan
Oh-lolo?"
"Hanya Oh-lolo saja yang
belum mati, Sacek cuma mematahkan kedua kakinya, akhirnya memaksa dia agar
menyerahkan obat penawarnya," tutur Lui-ji.
"Tapi racun itu katanya
diracik dengan 81 jenis tumbuh2an, mungkin dia sendiri juga tidak mempunyai
obat penawarnya. Sungguh sayang!" kata Kwe Pian-sian.
"Ya, memang betul,"
kata Lui-ji. "Ibu tahu keterangan Oh-lolo itu tidak dusta, maka minta dia
menyebut nama ke-81 jenis tumbuh2an berbisa itu, asalkan tahu namanya tentu
dapat mencari obat penawarnya dengan lengkap, sekalipun untuk itu diperlukan
waktu cukup lama."
"Betul juga," ujar
Kwe Pian-sian.
"Dan dibeberkan tidak
olehnya?" tanya Pwe-giok.
"Rase tua itu ternyata
takut mati, asalkan ada kesempatan hidup, mana dia mau menyia-nyiakannya?"
kata Lui-ji. Tapi baru saja dia menguraikan dua-tiga nama jenis racun,
se-konyong2 dari samping menyambar tiba secomot jarum dan bersarang di
punggungnya. Terdengar Tonghong Tay-beng bergelak tertawa dan berseru,
"Hong Sam, kau bunuh diriku, kaupun harus mati bersamaku. Di dunia ini
tiada seorangpun yang mampu menyelamatkan kau." Rupanya lwekangnya sangat
hebat, meski terkena pukulan Sacek, tapi seketika belum mati, ia kuatir Oh-lolo
memberitahukan resep obat penawar maka Oh-lolo dibunuhnya lebih dahulu!"
Kisah sedih yang ber-liku2 ini
akhirnya tamat juga. Namun betapa pedih hati anak dara itu setelah menceritakan
kemalangan yang menimpa keluarganya tentulah dapat dibayangkan.
Entah berapa lama lagi,
terdengar Oh-lolo menghela nafas panjang, gumamnya, "Ai, kiranya akulah
yang salah, akulah yang salah..." ia ulangi beberapa kali ucapannya itu,
tiba2 ia berbangkit dan menjura dalam2 kepada Hong-sam sianseng, ucapnya sambil
menunduk menyesal, "Kiranya adik perempuanku bukan dibunuh oleh Samya,
sebaliknya dia yang telah.. telah membikin susah Samya hingga begini, seumpama
Samya yang membunuhnya juga aku tidak dapat bicara apa2 lagi."
Nenek ini dapat mengucapkan
kata2 bijaksana begini, sungguh di luar dugaan siapapun juga.
Sikap Hong Sam tampak sangat
kesal, katanya, sambil memberi tanda, "Sudahlah, orang yang pantas mati
sudah mati semua, kejadian yang lampau tidak perlu diungkit lagi, kau boleh..
boleh pergi saja."
"Terima kasih
Samya," kata Oh-lolo sambil melangkah ke ujung tangga. Tiba2 ia menoleh
dan berkata pula, "Tonghong Tay-beng itu sok pintar, sesungguhnya iapun
keliru besar."
"Oo? Keliru apa?"
tanya Hong Sam.
"Dia mengira di dunia ini
tiada orang yang sanggup menawarkan racun di tubuhnya Samya, nyata dia lupa
bahwa masih ada seorang nenek reyot macam diriku ini," kata Oh-lolo.
"Tapi masih ada satu hal
yang tidak diketahui nona," kata Oh-lolo dengan tertawa.
"Oo? Hal apa?" tanya
Lui-ji.
"Racun itu sebenarnya
adalah buatanku, makanya adik perempuanku tidak mempunyai obat
penawarnya," tutur Oh-lolo.
Seketika Lui-ji melonjak
kegirangan, teriaknya, "Betul, biarpun racun buatan adik perempuannya,
dengan sendirinya iapun paham cara bagaimana menawarkannya."
Keterangan Oh-lolo ini membuat
semua orang terkejut dan juga bergirang.
Saking senangnya muka Cu
Lui-ji menjadi merah, serunya dengan suara parau, "Jadi pada... padamu
terdapat obat penawarnya?"
Oh-lolo mengeluarkan sebuah
kotak kecil, katanya, "Inilah obat penawarnya."
Kejadian ini datangnya sungguh
terlalu mendadak dan terlalu beruntung, benar2 sukar untuk dipercaya. Cu Lui-ji
terbelalak memandangi kotak kecil yang dipegang nenek itu, sekujur badan sampai
bergemetar.
"Obat ini sebenarnya
tidak ingin kuberikan," kata Oh-lolo sambil menghela nafas. "Tapi
Samya benar2 seorang berbudi, bilamana orang baik semacam Samya sampai tidak
tertolong, memangnya di dunia ini tidak ada keadilan lagi?"
"Tak ter... tak tersangka
kau masih punya Liangsim (hati nurani yang baik)," seru Lui-ji dengan
ter-putus2.
Mendadak ia rampas kotak kecil
yang dipegang Oh-lolo itu dan didekap erat2 di dalam pangkuannya se-olah2 takut
direbut orang lagi. Air matapun bercucuran, serunya saking kegirangan,
"Sacek... O, Sacek! Akhirnya... akhirnya kita tertolong! Sudah lama kita
seperti bermimpi buruk dan mimpi buruk kini sudah berakhir. Sacek, apakah
engkau bergembira?"
Tampaknya Hong Sam juga sangat
terangsang dan hampir tak dapat menguasai perasaannya. Setelah mengalami siksa
derita sekian tahun, kini dapat terlepas dari lautan derita itu, tentu saja
iapun bergirang.
Lui-ji mendekap di depan
tempat tidur, saking gembira ia terus menangis ter-gerung2.
Hong Sam membelai rambutnya dengan
perlahan, seperti ingin omong apa2, tapi suaranya tersendat sehingga tiada
terucapkan sekatapun.
Tampaknya Oh-lolo juga sangat
terharu, desisnya dengan hati lega, "Orang baik tentu mendapat ganjaran
yang baik, keadilan tentu terdapat pada hati setiap orang. Ai, rasanya sekarang
nenek harus pergi saja."
Tapi baru saja ia membalik
tubuh, mendadak Pwe-giok menghadang di depannya dan menegur, "Apakah obat
itu benar2 obat penawar?" Oh-lolo tersenyum, katanya, "Ai, anak muda,
mungkin sudah terlalu banyak orang jahat yang kau temui, makanya kau tidak
percaya kepada siapapun. Apakah kau lihat nenek seperti aku ini tega membikin
celaka orang macam Hong-sam sianseng?"
"Memang betul sudah
terlalu banyak orang jahat yang kutemui, makanya baru sekarang ku tahu biarpun
orang semacam Hong-locianpwe terkadang juga bisa dicelakai orang," jawab
Pwe-giok dengan perlahan.
Tiba2 Kwe Pian-sian juga
menimbrung, "Apalagi, Hong-locianpwe sudah pinjam ilmu silatmu, tapi kau
berbalik hendak menolongnya? Betapapun aku menjadi ikut curiga apakah di dunia
ini benar2 ada orang baik hati seperti kau ini?"
Padahal sejak mula ia sudah
curiga, cuma urusannya tidak menyangkut kepentingannya, maka dia diam saja.
Kini Pwe-giok sudah mendahului membongkar hal itu, maka iapun membonceng biar
kelihatan berjasa.
Karena ucapan mereka berdua,
hati Cu Lui-ji jadi cemas lagi, perlahan ia berbangkit, katanya dengan melotot
terhadap Oh-lolo, "Coba ka... katakan, obatmu ini sesungguhnya obat
penawar atau bukan?"
Oh-lolo menghela nafas,
jawabnya, "Kalau nona tidak percaya, boleh kau kembalikan saja obat itu
kepadaku."
"Mana boleh," jawab
Lui-ji dengan suara bengis. "Pendek kata jika obat ini bukan obat penawar,
segera kucabut nyawamu!"
"Habis cara bagaimana
barulah nona mau percaya?" tanya Oh-lolo sambil menggeleng.
"Coba kau sendiri makan
dulu satu biji obat ini," kata Lui-ji.
Pwe-giok mengira sekali ini
Oh-lolo pasti akan mengalami 'senjata makan nenek', tak terduga tanpa sangsi
Oh-lolo terus menerima kembali kota obatnya, katanya dengan tertawa, "Jika
demikian, akan ku makan satu biji obat ini."
Tiba2 Kwe Pian-sian menyeletuk
lagi, "Apa bila kau sudah makan obat penawar lebih dulu, sekalipun obat
ini adalah racun, tentunya tidak beralangan biarpun kau makan seluruhnya."
Oh-lolo menghela nafas,
katanya, "Wah, jika begini jadinya serba salah bagiku."
Dia mengerling, tiba2 ia
berkata pula dengan tertawa, "Tapi masih ada satu cara yang dapat
kubuktikan isi kotak ini obat penawar atau racun."
Dengan menggreget Lui-ji
berkata, "Sebaiknya kau dapat membuktikannya, kalau tidak... hmmm!"
Dilihatnya Oh-lolo
mengeluarkan pula sebuah kotak kayu kecil, kotak inipun diukir dengan indah,
dicat dengan warna merah darah.
"Kotak inilah berisi
racun yang pernah digunakan adik perempuanku itu," kata Oh-lolo. Lalu dari
dalam kotak ia mencolek setitik bubuk obat berwarna jambon terus ditelan.
Semua orang sama terkejut,
tapi Oh-lolo malah tertawa, katanya, "Tampaknya mata nona bersinar aneh,
kekuatan tubuhmu pasti lain daripada orang biasa. Racun yang dapat membinasakan
orang lain kukira takkan beralangan apapun bagi nona." Dia tersenyum, lalu
menyambung, "Entah apa yang kukatakan ini betul atau tidak?"
"Hmk!" Lui-ji hanya
mendengus saja. Meski tidak bersuara, tapi di dalam hati diam2 ia mengagumi
penglihatan nenek yang tajam ini.
"Tapi terdapatnya
kelainan nona yang hebat ini juga bukan berasal dari pembawaan lahir, betul
tidak?" tanya Oh-lolo pula.
Lui-ji tidak lantas
menanggapi, tapi akhirnya ia bersuara, "Betul, hal ini disebabkan aku
harus mencobai racun apakah yang diidap Sacek, maka aku bertekad akan mencicipi
setiap macam racun di dunia ini, dari cara bekerjanya racun yang kucicipi ini
akan kupelajari bagaimana kadar racunnya dan cara bagaimana
menawarkannya."
"Betul, racun apapun
juga, asalkan makannya tidak melebihi dosisnya tentu takkan membinasakan.
Apalagi kalau sudah banyak memakannya, kelak akan timbul daya tolak mu terhadap
racun ini." Setelah menghela nafas, lalu Oh-lolo menyambung pula,
"Tapi urusan ini tampaknya sangat mudah dilakukan, padahal tidak sembarang
orang mampu melaksanakannya. Sungguh aku sangat kagum terhadap tolak dan
kesabaran nona."
Bilamana membayangkan seorang
nona cilik seperti Cu Lui-ji setiap hari harus mencobai macam2 racun, sedikit
lengah saja akibatnya adalah mati. Untuk ini semua orang merasa tidak punya
keberanian seperti nona cilik ini dan mau-tak-mau mereka bertambah kagum dan
hormat kepadanya.
Namun Cu Lui-ji hanya
menanggapi dengan hambar, "Inipun bukan sesuatu yang luar biasa. Kau tahu,
ada sementara racun bukannya pahit, sebaliknya rasanya sangat manis."
"Ya, obat yang mematikan
kebanyakan rasanya manis, obat penolong jiwa rasanya malah pahit," kata
Oh-lolo dengan tertawa. "Tapi menurut pendapatku, obat racun yang
ditemukan nona itu pasti bukan racun yang sukar dicari. Jika racun sebangsa
racun ular, kelabang, ketungging dan sebagainya, tentunya takkan berbahaya bagi
nona, tapi bila racunku ini..."
Lui-ji menengadah, seperti mau
omong apa2, tapi seketika tak dapat bersuara apapun, sebab tiba2 dilihatnya
muka Oh-lolo yang berkeriput itu kini telah berubah menjadi ungu ke-biru2an,
bahkan matanya juga bercahaya ungu, tampaknya menjadi beringas dan menakutkan.
Bukan cuma Lui-ji saja yang
terkesiap, ketika semua orang ikut memandang si nenek, hati semua orangpun terperanjat.
Namun Oh-lolo berkata pula
dengan tertawa, "Racun yang baru saja kumakan kini sudah mulai bekerja.
Sebagai seorang ahli racun tentu nona dapat melihatnya, cara bekerja racun ini
apakah serupa dengan keadaan Hong-sam sianseng waktu keracunan dahulu?"
Sampai di sini, suara nenek
itu sudah mulai kaku dan hampir tidak jelas terdengar, tubuhnya juga mulai
berkejang.
"Betul, memang begini
keadaannya," jawab Lui-ji dengan muka pucat. Lalu Oh-lolo mengeluarkan
satu biji pil dari kotak yang diterimanya kembali dari Lui-ji tadi dan diminum.
Meski semua orang berdiri
cukup jauh, namun terendus juga bau amis dan busuk dari pil yang ditelan
Oh-lolo itu.
Melihat sikap orang2 itu,
Oh-lolo berkata dengan tertawa, "Obat yang mujarab selain pahit biasanya
juga berbau busuk bukan? Tapi obat penyelamat jiwa biarpun berbau tentu juga
akan diminum orang. Sebaliknya kalau racun juga berbau busuk, lalu siapa yang
mau meminumnya?"
Ciong Cing yang sejak tadi
berdiam diri itu kini mendadak menghela nafas dan berucap, "Ya, kata2 ini
sungguh mengandung makna yang sangat dalam. Tapi di dunia ini ada berapa orang
yang menyadari hal ini?"
"Eh, nona cilik, ingatlah
dengan baik," kata Oh-lolo dengan tersenyum. "Terkadang mulut lelaki
yang manis jauh lebih menakutkan daripada racun yang mematikan."
Ciong Cing memandang Kwe
Pian-sian sekejap, lalu menunduk dan tidak bicara lagi.
Selang sejenak, air muka
Oh-lolo telah berubah normal kembali. Racun yang diminumnya meski lihay, tapi
obat penawarnya juga sangat mujarab. Nenek itu menghela nafas panjang2, lalu
berkata dengan tertawa, "Nah, sekarang nona percaya tidak?"
Lui-ji menunduk dan berkata,
"Tadi aku salah menyesali engkau, hendaklah engkau jangan marah."
"Mana bisa ku marah
padamu?" ujar Oh-lolo. "Memang lebih baik kalau ber-hati2."
Sekarang Lui-ji sudah tidak
sangsi sedikitpun, ia merasa malu dan juga berterima kasih, segera ia terima
lagi obat penawar itu dan terus berlari ke tempat tidur Hong-sam.
Sorot mata Oh-lolo menyapu
pandang sekejap ke arah Ji Pwe-giok dan Kwe Pian-sian, katanya dengan
tersenyum, "Sekarang nenek boleh pergi bukan?"
Meski di dalam hati Pwe-giok
masih merasakan sesuatu yang tidak beres pada urusan ini, tapi bukti terpampang
di depan mata, apa yang dapat dikatakannya lagi? Terpaksa ia memberi hormat dan
berkata, "Maaf jika tadi aku bersikap kasar padamu."
Oh-lolo tertawa, tiba2 ia
mendekati Kwe Pian-sian.
Teringat sikapnya tadi rada
kurang hormat terhadap si nenek, baru sekarang Kwe Pian-sian menyesal telah
menyalahi orang semacam ini, seketika mukanya menjadi rada pucat, cepat ia
berkata, "Harap Cianpwe jangan... jangan..."
"Tidak perlu kau
takut," kata Oh-lolo dengan tertawa, "tiada maksudku hendak mencari
perkara padamu. Meski tadi kau rada2 membikin sirik hatiku, tapi akupun tidak
menyalahkan kau, malahan kurasakan kau inipun seorang berbakat, kelak jika
perlu boleh coba2 kau cari diriku untuk ber-bincang2 lebih banyak."
Dia pandang Ciong Cing sekejap
dengan tertawa, lalu berkata pula, "Eh, nenek ompong semacam diriku ini
tentunya takkan menimbulkan rasa cemburumu bukan?"
Kwe Pian-sian melenggong
hingga sekian lamanya, dilihatnya nenek itu telah melangkah ke bawah loteng, ia
menggeleng kepala dengan menyengir, katanya, "Ai, nenek ini sungguh
seorang yang aneh dan sukar untuk diraba..."
Akhirnya Hong-sam telah minum
juga obat penawar itu. Mahluk2 berbisa yang memenuhi kolong selimutnya itu
dengan sendirinya telah digiring oleh Cu Lui-ji ke dalam sebuah karung goni.
Kalau racun sudah ditawarkan, untuk apa pula mahluk2 yang menjemukan itu.
Cu Lui-ji tampak berjingkrak
kegirangan, seperti burung cucakrowo saja dia mengoceh tiada hentinya, bertanya
ini dan itu. Maka Pwe-giok lantas menceritakan pengalamannya secara ringkas
waktu ditugaskan menjadi utusan Hong-sam.
Hong-sam duduk bersila di
tempat tidur, dia berkerut kening dan berkata, "Kiranya tokoh andalan
mereka adalah Lo-cinjin. Konon khikang orang ini tidak lemah, bagaimana menurut
pengalamanmu?"
"Ya, memang tidak bernama
kosong," ujar Pwe-giok.
"Betapapun hebat Khikang
nya juga tiada gunanya, sekarang racun dalam tubuh Sacek sudah dipunahkan,
betapapun banyak jago mereka, datang satu sikat satu, datang dua sikat
sepasang. Takut apa?!" ujar Lui-ji dengan tertawa.
Pwe-giok diam sejenak,
akhirnya ia tidak tahan dan berkata, "Menurut apa yang kulihat dan
kudengar sehari ini, Hong-cianpwe memang seorang berbudi luhur dan sukar
dibandingi siapapun. Cuma kedatangan mereka inipun bukannya tidak
beralasan."
"O, apa alasan mereka?
Coba ceritakan!" kata Lui-ji dengan mendelik.
Dengan suara berat Pwe-giok
berkata, "Yaitu disebabkan tindakan nona..."
Lui-ji melonjak bangun dengan
gusar, teriaknya, "Mereka pasti bilang padamu bahwa banyak orang Kangouw
telah hilang, semuanya telah kubunuh, begitu bukan?"
Pwe-giok menarik nafas dalam2,
jawabnya, "Ya, memang begitu kata mereka."
"Tapi apa kau tahu sebab
apa orang2 itu masuk ke rumah ini?" jengek Lui-ji.
"Tidak tahu," jawab
Pwe-giok.
"Karena ada di antaranya
ingin mengganggu diriku, ada yang ingin merampok, mereka sendiri yang bermaksud
jahat, makanya kubereskan mereka, salah mereka sendiri," tutur Lui-ji.
"Jika kau lihat kawanan penjahat itu, mungkin kaupun takkan mengampuni
mereka."
"Meski ucapan nona juga
beralasan, tapi..."
"Tapi apa?" sela
Lui-ji. "Sacek menolong orang dan akibatnya keracunan, meski dengan
Lwekangnya yang kuat beliau dapat menahan bekerjanya racun, tapi juga tak dapat
bertahan terlalu lama, terpaksa kami harus berusaha mendesak keluar kadar racun
di dalam tubuhnya. Sebab itulah Sacek memerlukan bantuan tenaga orang lain, kalau
tidak, mungkin sudah lama beliau meninggal. Nah, coba katakan Sacek yang pantas
mati atau keparat2 itu yang harus mampus?"
Pwe-giok termenung sejenak, ia
menghela nafas panjang, katanya, "Urusan di dunia ini memang sukar
ditentukan benar dan salahnya oleh orang di luar garis. Agaknya aku... akupun
salah."
"Di dalam persoalan ini
memang masih ada sesuatu yang agak luar biasa, yaitu meski Sacek dapat
menggunakan semacam kungfu istimewa untuk menghisap tenaga dalam seseorang dan
dipinjam pakai, akan tetapi tenaga pinjaman itu pun akan terbuang dengan sangat
cepat, sebab itulah hanya sebentar saja beliau perlu mencari pinjaman tenaga
baru orang lain lagi..."
"Kalau Hong-locianpwe
dapat menggunakan tenaga dalamnya untuk mendesak keluar kadar racunnya, mengapa
perlu menggunakan pula mahluk2 berbisa itu?" Kwe Pian-sian ikut bertanya.
"Soalnya setelah Sacek
mendesak keluar racunnya, namun pori2 kulitnya akan menghisap kembali hawa
berbisa yang didesak keluar itu," tutur Lui-ji. "Semula Sacek tidak
paham kejadian ini sehingga beliau membuang tenaga percuma selama beberapa
bulan, akhirnya barulah disadari apa yang terjadi, maka selanjutnya mahluk2
berbisa itu lantas di kerudung di dalam selimut untuk menghisap hawa berbisa
yang keluar dari tubuh Sacek... sekarang tentunya kalian paham duduknya
perkara?"
Pwe-giok lantas berkata,
"Setelah keracunan, Hong locianpwe telah dibuat marah lagi sehingga tenaga
murninya buyar, dengan sendirinya beliau tak dapat pergi ke tempat lain dan
terpaksa merawat dirinya di loteng kecil ini, begitu bukan?"
"Ya, sesudah Sacek
membunuh kawanan penjahat itu, beliau sendiripun ambruk," tutur Lui-ji.
"Kalau saja Sacek tidak membawa Hoa-kut-tan sungguh aku tidak tahu cara
bagaimana harus membereskan mayat sebanyak itu."
"O, jadi orang2 yang
lenyap setelah masuk kemari, dengan sendirinya juga berkat Hoa-kut-tan?"
tanya Kwe Pian-sian.
Lui-ji mendengus, katanya,
"Hoa-kut-tan ini adalah obat mustajab yang sukar diperoleh, sesungguhnya
terlalu boros kugunakan obat berharga itu bagi orang2 yang lebih rendah
daripada binatang itu."
Pwe-giok menghela nafas
panjang, katanya, "Sebelumnya kurasakan berbagai urusan ini sangat tidak
masuk di akal dan sukar dipecahkan, baru sekarang macam2 tanda tanya dalam
benakku dapat terjawab dan tersapu bersih."
Dalam pada itu, se-konyong2
Ciong Cing menjerit kaget, "Hei, li... lihatlah, mengapa... mengapa
Hong-locianpwe berubah menjadi begini?"
Waktu semua orang berpaling,
tertampaklah nafas Hong-sam megap2 dengan tubuh bergemetaran. Sudah jelas yang
diminumnya tadi adalah obat penawar, tapi sekarang dia seperti terserang racun
jahat lagi.
Keruan semua orang melongo
kaget. Saking cemasnya hampir saja Cu Lui-ji menangis, dirangkulnya Hong-sam
sambil berseru dengan suara ter-putus2, "Sacek, ken... kenapa kau?"
Namun mata Hong-sam terpejam
rapat, bahkan tampak menggertak gigi hingga bunyi gemertak dan tak sanggup
bicara.
Tidak kepalang kuatir Lui-ji,
serunya, "Kalianpun melihat obat tadi jelas2 obat penawar, mengapa bisa...
bisa jadi begini? Sebab... sebab apakah menjadi begini?"
Mendadak Gin-hoa-nio tertawa,
katanya, "Ku tahu apa sebabnya."
Lui-ji melompat ke depan
Gin-hoa-nio dan bertanya dengan suara parau, "Benar kau tahu?"
"Ehmm," Gin-hoa-nio
mengangguk.
"Masa isi kotak Oh-lolo
ini bukan obat penawar?" tanya Lui-ji. "Memangnya telah dicampurnya
dengan racun? Atau waktu menyerahkannya kepadaku dia telah main gila dengan
menukar obat penawar dengan racun?"
"Isi kotak ini memang
benar2 obat penawar," jawab Gin-hoa-nio. "Di depan kalian iapun tidak
berani main gila. Umpama dia berani main2, masakah mata orang sekian banyak
dapat dikelabui semua?"
"Habis kenapa jadi
begini?" seru Lui-ji dengan membanting kaki.
Gin-hoa-nio menghela nafas
perlahan, katanya kemudian, "Untuk membuat semacam racun dari kombinasi sekian
puluh jenis bahan racun, kukira tidaklah sederhana sebagaimana bila kita
membuat gado2 atau Cap-jai."
"Ya, betul juga,"
Kwe Pian-sian meng-angguk2.
"Sebab kadar racun setiap
jenis racun kan berbeda-beda," tutur Gin-hoa-nio lebih lanjut.
"Bahkan ada di antara racun itu satu sama lain saling bertentangan.
Apabila kau mencampurkan beberapa jenis menjadi satu, terkadang kadar racunnya
malah akan lenyap sama sekali. Teori ini serupa kalau kita mencampurkan
beberapa macam warna menjadi satu, kadang2 malah akan berubah menjadi warna
putih."
"Betul," kata Kwe
Pian-sian, "jika cara mencampur racun itu pekerjaan yang gampang, tidak
nanti Oh-lolo mendapat nama besar di dunia persilatan."
"Dan bila kau campur
ber-puluh2 jenis bahan racun menjadi satu, maka dosis dari tiap2 jenis racun
itu harus sudah ditakar dengan tepat, sedikitpun tidak boleh lebih banyak atau
berkurang, perbandingan dosis inilah rahasia yang paling besar dan penting
dalam hal membuat racun. Dan obat penawarnya, dengan sendirinya juga harus dibuat
dengan cara perbandingan dosis yang sama pula, tidak boleh selisih sedikitpun,
kalau sebaliknya, maka tidak menimbulkan khasiat apapun."
"Ya, memang begitu,"
tukas Kwe Pian-sian.
"Dan setelah lewat sekian
tahun," sambung Gin-hoa-nio lagi, "racun yang mengeram di dalam tubuh
Hong-sam sianseng tentu kadarnya sudah kacau balau, sebab kadar racun ada yang
berat dan ada yang ringan, ada yang sudah didesak keluar oleh tenaga dalamnya.
Sebab itulah obat penawar pemberian Oh-lolo ini sama sekali tidak mempunyai
khasiat menawarkan racun yang mengeram di tubuh Hong-sam sianseng, sebaliknya
malah mengganggu racun yang sudah ditahan secara susah payah itu dan akhirnya
racun itu buyar dan bekerja lagi."
Dia menghela nafas, lalu
menyambung pula, "Dan di sinilah letak kelihaian cara Oh-lolo menggunakan
racunnya."
Mendadak Cu Lui-ji menjambret
baju Gin-hoa-nio dan membentak dengan suara parau, "Jika kau tahu sejelas
ini, mengapa tak kau katakan sejak tadi?"
Gin-hoa-nio tersenyum hambar,
jawabnya, "Jika kau jadi diriku, apakah akan kau katakan?"
Lui-ji jadi melengak dan tak
bisa bicara. Maka Gin-hoa-nio menyambung lagi, "Mungkin juga baru saja
dapat kuketahui teori yang kukatakan ini."
Sekarang semua orangpun dapat
memahami uraian Gin-hoa-nio itu, teringat bahwa dengan obat penawarnya saja
Oh-lolo juga bisa bikin celaka orang, betapa keji dan betapa jauh tipu
muslihatnya itu sungguh membuat orang bergidik.
Keringat tampak bercucuran
dari kepala Hong-sam, jelas dia sedang mengerahkan tenaga dalam untuk
menghimpun kembali kadar racun yang sudah buyar itu. Melihat air mukanya yang
penuh derita itu, dapatlah dibayangkan betapa gawatnya urusan ini.
Lui-ji menunduk perlahan, air
matanya kembali berderai.
"Nona tidak perlu
cemas," Ciong Cing berusaha menghibur, "kalau sebelum ini Hong-sam
sianseng dapat menahan bekerjanya racun, tentu akan lebih mudah baginya untuk
berbuat sesuatu."
"Mestinya betul ucapanmu,
tapi... tapi tenaga Sacek sekarang sudah jauh daripada sebelum ini," kata
Lui-ji sambil menangis.
"Apalagi," tukas
Gin-hoa-nio, "Dalam keadaan gawat begini dia tidak dapat sembarangan
menggerakkan tenaga murninya, sedangkan musuh akan datang dua-tiga jam lagi,
lalu bagaimana baiknya?"
Dia berucap se-akan2 ikut
gelisah bagi keadaan Hong-sam sianseng, padahal siapapun dapat mendengar
nadanya itu mengandung rasa syukur dan senang karena orang lain mendapat
celaka.
Dengan gemas Cu Lui-ji lantas
mendamprat, "Memangnya kau senang ya? Hm, kalau kami mati, kaupun jangan
harap akan hidup!"
Namun dengan dingin
Gin-hoa-nio menjawab, "Betapapun aku sudah cacat begini, mati atau hidup
bagiku tidak menjadi soal lagi."
* * *
Sang waktu terus berlalu,
perasaan semua orang juga semakin tertekan.
Meski Kwe Pian-sian tidak
perlu ikut berkuatir bagi mati atau hidupnya Hong-sam sianseng, tapi bila
teringat dirinya masih harus bersandar padanya untuk menghadapi kedatangan
Ang-lian-hoa dan lain2, bila Hong-sam mati, semua orang yang berada di atas
loteng inipun jangan harap akan hidup.
Sekarang waktunya tinggal dua
jam lagi.
Mendadak Pwe-giok berbangkit
dan berseru, "Nona Cu, silahkan kau bawa Hong-sam sianseng dan cepat pergi
saja... yang lain2 juga silahkan pergi semua!"
"Dan.. dan kau?"
tanya Lui-ji.
"Saat ini di-mana2 tentu
sudah dijaga oleh mereka, tapi dengan kekuatan nona dan Kwe-heng kukira tidak
sulit untuk menerjang pergi," kata Pwe-giok. "Yang kukuatirkan hanya
kalau Lo-cinjin dan rombongannya keburu menyusul kemari, maka aku..."
"Kau sengaja tinggal di
sini untuk menghadangnya?" sela Lui-ji.
"Biarpun kepandaianku kurang
tinggi, tapi untuk merintangi mereka sementara waktu kukira masih sanggup,
dengan demikian nona dan rombongan mungkin sempat pergi agak jauh,"
setelah berhenti sejenak lalu Pwe-giok menyambung pula, "sebab daripada
kita menanti kematian di sini, akan lebih baik aku sendiri saja yang mengadu
jiwa dengan mereka. Apalagi, orang yang hendak mereka cari bukanlah diriku,
akupun belum pasti akan mati di tangan mereka."
"Jika yang dicari mereka
bukan dirimu, untuk apa kau mengadu jiwa?" tanya Lui-ji.
"Kukira setiap orang pada
suatu waktu tentu rela akan mengadu jiwa, bukan?" jawab Pwe-giok.
Tiba2 Gin-hoa-nio menjengek,
"Hm, tadinya kukira kau ini seorang yang sangat teliti dan hati2, dapat
menghargai jiwanya sendiri, tak tersangka sekarang kaupun dapat berbuat hal2
bodoh dan emosi begini."
"Seorang kalau tidak
punya emosi, apakah dia terhitung manusia?' jawab Pwe-giok.
Kwe Pian-sian berdiri dan siap
untuk pergi, katanya dengan tertawa, "Seorang lelaki sejati harus tahu apa
yang harus dilakukannya dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Ji-heng memang
tidak malu sebagai seorang pendekar sejati, maka kamipun tidak enak untuk
membantah kehendakmu."
"Betul, tekadku sudah
bulat, silahkan kalian lekas pergi saja," kata Pwe-giok.
Tak terduga mendadak Hong-sam
membuka mata dan menatap Pwe-giok tajam2, ucapnya dengan kereng, "Caramu
bertindak ini, apakah kau kira orang she Hong ini manusia yang tamak hidup dan
takut mati?"
"Sama sekali Cayhe tidak
bermaksud demikian," jawab Pwe-giok dengan menghela nafas. "Cuma..."
"Soal mati atau hidup
memang sulit diramalkan, tapi bilamana menghadapi pilihan, seorang lelaki
sejati kenapa mesti gentar mati?" kata Hong-sam pula dengan tegas.
"Ya, Tecu tahu,"
jawab Pwe-giok.
"Jika kau tidak tahu
tentu kau takkan tinggal di sini, betul tidak?"
Pwe-giok mengiakan pula.
"Jika demikian, kenapa
kau suruh aku lari?" seru Hong-sam dengan gusar. "Memangnya agar aku
dapat menyempurnakan keluhuran budimu sebagai seorang pendekar sejati?"
"Ah, Tecu tidak
berani," jawab Pwe-giok dengan menunduk dan kikuk.
Dengan lemas Kwe Pian-sian
berduduk kembali, ucapnya dengan menyengir, "Kalau begitu, biarlah kita
semua tinggal saja di sini dan bertempur mati2an menghadapi mereka. Cuma, kalau
kita dapat bertahan satu jam saja sudah untung."
Sorot mata Hong-sam tampak
gemerdep, katanya pula sambil menatap Pwe-giok, "Menurut pendapatmu,
apakah kita pasti akan kalah?"
Membayangkan betapa hebat
kekuatan lawan, Pwe-giok menjadi ragu2 untuk menjawab, katanya dengan tergagap,
"Cianpwe sendiri tidak dapat turun tangan, kemenangan pihak kita memang
sukar diramalkan."
Hong-sam menepuk tempat
tidurnya keras2, ucapnya dengan bengis, "Kematianku tidak perlu
disayangkan, tapi matipun aku pantang dihina orang."
"Apapun juga Sacek tidak
boleh turun tangan," seru Lui-ji dengan kuatir.
Hong-sam memandang sekejap
pula kepada Pwe-giok, lalu berkata dengan perlahan. "Jika aku dapat
meminjam pakai tenaga dalam orang lain, masakah aku tidak dapat meminjamkan
tenagaku kepada orang lain?"
"Jika Sacek meminjamkan
tenagamu kepada orang lain, lalu cara bagaimana akan sanggup menahan serangan
racun dalam tubuhmu?" kata Lui-ji dengan suara gemetar.
"Akan lebih baik aku mati
keracunan daripada mati terhina," seru Hong-sam dengan gusar. "Hanya
tidak tahu adakah orang yang sudi bertempur mati2an bagiku?"
Terbeliak mata Kwe Pian-sian
dan Gin-hoa-nio, kalau dapat memindahkan segenap tenaga dalam Hong-sam ke dalam
tubuhnya sendiri, hal ini sungguh sangat menarik. Tapi segera terpikir pula
kekuatan Hong-sam sekarang tersisa tidak banyak, andaikan sisa tenaga itu dapat
dipinjamkan seluruhnya kepadanya mungkin juga sukar melawan Lo-cinjin yang maha
sakti itu. Teringat demikian, hasrat mereka jadi dingin lagi.
Tiba2 Ciong Cing berkata,
"Kalau Cianpwe dapat meminjamkan tenagamu kepada orang lain, mengapa tidak
kau gunakan tenagamu itu untuk menghadapi musuh?"
"Tenagaku yang kusalurkan
ke tubuh orang lain akan berjalan perlahan seperti air di sungai, aku sendiri
mungkin dapat menyimpan sedikit sisa tenaga untuk menahan serangan racun,"
tutur Hong-sam. "Sedangkan bila aku harus bergebrak dengan musuh, tenagaku
akan meledak seperti air bah yang sukar ditahan. Dalam keadaan payah seperti
diriku sekarang, tidak sampai tiga kali gebrak saja pasti racun akan bekerja
dengan hebat dan membinasakan diriku. Apalagi pihak lawan sangat banyak dan
rata2 sangat lihay, betapapun tidak mungkin dalam tiga kali gebrak kubinasakan
mereka satu per satu."
"Jika... jika demikian,
entah bolehkah Tecu membantu Cianpwe?" tanya Ciong Cing dengan tergagap.
"Kau tidak dendam padaku
dan bersedia membantuku, kebaikan dan keberanianmu ini sungguh harus
dipuji," jawab Hong-sam. "Cuma sayang badanmu lemah, bakatmu juga
kurang, bilamana kusalurkan tenagaku, mungkin malah akan membikin celaka
padamu."
Pada waktu bicara, seperti
tidak sengaja sorot matanya mengerling sekejap pula ke arah Pwe-giok.
Maka Ciong Cing lantas
berkata, "Ji-kongcu, apakah... apakah engkau tak dapat..."
"Sudah tentu akupun
sangat ingin membantu Hong locianpwe," kata Pwe-giok dengan gegetun,
"Tapi aku kan tidak dapat menggunakan kesempatan pada waktu orang
kesempitan..."
Ciong Cing berteriak,
"Ini kan keinginan Hong-locianpwe sendiri, dia yang meminjamkan tenaganya
padamu, mana bisa dikatakan menggunakan kesempatan pada waktu orang
kesempitan."
Pwe-giok termenung sejenak,
tiba2 ia memberi hormat dan berkata kepada Hong-sam, "Entah Hong-locianpwe
sudikah menerima Tecu sebagai murid?"
Nyata, watak Pwe-giok memang
jujur dan tulus, bahkan juga pintar dan cerdik. Dengan tindakannya ini, bila
murid meminjam kungfu sang guru, maka soalnya jadi adil dan cukup berdasar,
murid mewakilkan guru bertempur, orang lainpun tak dapat bilang apa2 lagi.
Tak terduga Hong-sam lantas
menjawab, "Kau tidak mau menggunakan kesempatan pada kesempitan ku, mana
aku dapat pula memperalat keluhuran budimu dan menyuruh kau mengangkat guru
padaku?... Sebabnya kau mengangkat guru padaku tentunya bukan demi
kepentinganmu, melainkan karena ingin membela diriku, begitu bukan?"
Pwe-giok melengak, jawabnya,
"Tapi ini..."
Hong-sam tertawa dan menyela,
"Jika kau sudi memanggil Hengtiang (kakak) padaku, maka puas dan senang
lah aku. Hubungan antara kakak dan adik kan jauh lebih akrab daripada antara
guru dan murid? Dan kalau ada saudara seperti dirimu ini menghadapi musuh
bagiku, matipun aku tidak menyesal lagi."
Belum habis ucapan Hong-sam,
tanpa disuruh segera Cu Lui-ji berlutut dan menyembah kepada Pwe-giok dan
memanggil paman.
Panggilan paman ini membuat
Pwe-giok terkesiap dan juga bergirang. Kalau dirinya dapat mengikat saudara dengan
tokoh Bu-lim yang hebat ini, tentu saja suatu kehormatan besar baginya. Tapi
bila teringat betapa berat tugasnya pada pertarungannya nanti, hanya boleh
menang dan tidak boleh kalah, maka perasaannya lantas mirip cuaca di luar,
terasa kelam dan tertekan.
* * *
Mendadak angin meniup keras,
malam semakin larut. Deru angin se-akan2 hendak merobek sukma.
Di atas loteng kecil itu tetap
tiada penerangan, gelap dan hening seperti kamar mayat. Hong-sam sianseng duduk
bersila di tempat tidurnya tanpa bergerak sedikitpun seperti orang mati.
Padahal setiap orang yang
berada di atas loteng itu memang sudah tidak banyak bedanya daripada orang
mati. Kecuali suara bernapas yang semakin berat, selebihnya tiada terdengar
apa2 dan juga tiada terlihat apa2.
Lui-ji bersandar di samping
Hong-sam sianseng, tidak meninggalkannya barang sedetikpun. Ia se-akan2
merasakan semacam firasat tidak baik, merasa waktunya bersandar di tubuh sang
Sacek ini sudah tidak banyak lagi.
Pwe-giok juga duduk diam saja
di tempatnya, dengan tekun dia bermaksud mencairkan tenaga dalam yang
diperolehnya tadi agar dapat digerakkan dengan sesukanya, akan tetapi
perasaannya tetap sukar untuk ditenangkan.
Hanya setengah hari yang lalu,
mimpipun dia tidak pernah membayangkan akan dapat bertempur melawan seorang
tokoh besar semacam Lo-cinjin. Walaupun pertempuran itu tidak dapat dikatakan
dimenangkan olehnya, tapi kejadian itu cukup membuatnya bergembira.
Maklumlah, di seluruh kolong
langit ini ada berapa gelintir manusia yang pernah bertempur melawan Lo-cinjin?
Sejak tadi Kwe Pian-sian terus
berdiri di depan jendela, memandang jauh keluar sana, ke tengah kota yang mati
seperti kuburan itu.
Entah daun jendela rumah siapa
yang tidak tertutup rapat, karena tertiup angin sehingga menerbitkan serentetan
suara 'blang-blung' yang keras. Anjing geladak yang meringkuk di pojok jalan
sana terkadang mengeluarkan suara gonggongan yang menyeramkan. Panji reklame
hotel Li-keh-can juga masih berkibar dihembus angin, beberapa genteng jatuh
hancur tertiup angin dan menjangkitkan suara gemertak.
Malam yang dingin dan seram
dengan angin puyuh sekeras ini dan suasana setegang ini, setiap suaranya cukup
membuat orang merinding. Tapi kalau keadaan menjadi senyap tanpa suara, rasanya
menjadi semakin menegangkan sehingga membuat dada setiap orang merasa sesak
nafas.
Se-konyong2 di ujung jalan
yang jauh sana muncul sebuah lentera, cahaya lentera yang guram itu tampak
ber-goyang2 di bawah hembusan angin yang kencang. Tampaknya seperti api setan
(cahaya phosphor) yang berkelip di kejauhan.
Kwe Pian-sian mengembus nafas
panjang2, katanya, "Itulah dia... akhirnya datang juga dia!"
* * *
Datangnya kelip lentera itu
sangat lambat, tapi akhirnya sampai juga di depan rumah berloteng kecil itu.
Di bawah cahaya lampu yang
ber-kelip2 guram itu, kelihatan bayangan orang yang tidak sedikit dengan sorot
mata yang gemerdep, setiap bayangan orang itu melangkah dengan perlahan, berat
dan mantap, setiap pasang mata sama bersinar tajam penuh semangat.
Menyusul suara seorang yang
lantang dan halus berucap perlahan, "Murid Thian-biau-koan dari Jingsia,
Sip-hun, khusus datang kemari untuk menyampaikan surat, maka mohon
bertemu."
"Orang macam apakah
Sip-hun ini?" tanya Lui-ji dengan suara bisik2.
"Murid Lo-cinjin,"
jawab Pwe-giok.
Lui-ji lantas menjengek,
"Hm, masuklah, pintu kan tidak terpalang!"
Selang sejenak, terdengarlah
suara tangga berbunyi, seorang naik ke atas dengan perlahan. Bunyi tangga
sangat perlahan dan teratur, suatu tanda orang yang datang ini sangat sabar,
bahkan kungfu bagian kakinya sangat mantap.
Maka terlihatlah Tosu muda
dengan wajah yang cakap dan tersenyum simpul, meski masih muda, namun sikapnya
tampak alim seperti pertapa tua, siapapun yang melihatnya pasti akan merasa
suka padanya.
Seperti juga waktu pertama kalinya
Pwe-giok bertemu dengan dia, semua orang pun heran mengapa seorang Lo-cinjin
yang terkenal berangasan dan pemberang itu bisa mempunyai seorang murid sehalus
ini. Keruan Cu Lui-ji sampai melotot heran.
Di dalam loteng kecil itu
benar2 terlalu gelap, Sip-hun baru saja naik ke situ, ia seperti tidak dapat
melihat apa2, namun sedikitpun dia tidak gugup, dia cuma berdiri tenang saja di
tempatnya.
Lui-ji lantas mendengus,
"Kami berada di sini semuanya, kenapa kau berdiri kesima di situ?"
Sip-hun tidak menjadi marah,
juga tidak balas ber-olok2, ia hanya memandang si nona sekejap, lalu menunduk
dan melangkah maju, katanya sambil memberi hormat, "Sip-hun menyampaikan
salam hormat kepada Locianpwe!"
"Tidak perlu banyak
adat," jawab Hong-sam.
Dengan hormat Sip-hun
menyodorkan sebuah kartu dengan kedua tangannya, katanya, "Bu-lim-bengcu
Ji-locianpwe dan guruku sama menunggu di luar pintu, entah Hong-locianpwe sudi
bertemu atau tidak?"
"Kalau Sacek bilang
tidak, memangnya mereka takkan naik kemari?" jengek Lui-ji.
Sip-hun menjawab dengan tetap
menunduk, "Tecu hanya melaksanakan tugas belaka, urusan lain tidak tahu
menahu."
"Habis apa yang kau
tahu?" tanya Lui-ji.
"Apapun tidak tahu,"
jawab Sip-hun.
"Hm, murid Lo-cinjin
kenapa tidak becus begini?" ejek Lui-ji.
"Guru pandai tidak
mempunyai murid baik, memang inilah yang selalu disesalkan oleh guruku,"
kata Sip-hun dengan tersenyum.
Nyata bukan saja dalam hal
bertanya-jawab Tosu muda ini selalu sopan santun, bahkan apapun orang
mencemoohkan dia, semuanya dia terima tanpa membantah, sedikitpun tidak marah.
Sungguh aneh.
Selama hidup Cu Lui-ji belum
pernah melihat orang muda yang berwatak seramah dan sesabar ini, keruan ia
menjadi melenggong sendiri.
Dalam pada itu berkatalah
Hong-sam sianseng, "Lo-cinjin mempunyai murid seperti kau ini, beliau
boleh dikatakan sangat bahagia dan tiada penyesalan sedikitpun."
"Ah, Cianpwe terlalu
memuji, Tecu menjadi malu diri," jawab Sip-hun cepat sambil memberi
hormat.
"Jika demikian, bolehlah
kau sampaikan kepada gurumu, katakan orang she Hong menantikan kedatangannya di
sini," kata Hong-sam kemudian.
Kembali Sip-hun memberi hormat
sambil mengiakan.
Perlahan ia lantas membalik
tubuh dan melangkah turun, tetap ramah dan sabar, sedikitpun tidak gugup dan
ter-buru2.
Lui-ji menjengek pula,
"Hm, sudah jelas datang hendak membunuh orang, tapi justeru berlagak ramah
segala, sungguh memuakkan!"
Suaranya cukup keras dan
sengaja diperdengarkan kepada Sip-hun, akan tetapi Sip-hun tidak memberi reaksi
apa2, seperti tidak mendengar saja.
Dengan suara tertahan Hong-sam
sianseng berkata, "Orang2 ini sama2 berkedudukan sebagai seorang guru
besar suatu aliran tersendiri, dengan sendirinya tindak tanduk mereka menjaga
gengsi agar tidak menurunkan derajat mereka. Hendaklah diketahui, menghormati
orang lain adalah sama dengan menghormati dirinya sendiri."
Meski di mulut Lui-ji tidak
berani bicara apa2 lagi, namun di dalam hati dia tetap penasaran dan tidak bisa
menerima sikap kawanan pendatang itu.
Yang diminta naik ke atas
loteng akhirnya datang juga. Mereka tetap tidak mau kehilangan sopan santun,
lentera yang mereka bawa digantungkan pada tangga loteng dan tidak dibawa serta
ke atas, di tengah remang2 cahaya lentera itu, seorang telah mendahului naik ke
atas loteng.
Tertampak orang itu berwajah
putih bersih, sikapnya tenang dan sopan. Dia inilah Ji Hong-ho.
Hendaklah diketahui, meski
ilmu silat dan nama Lo-cinjin lebih tinggi setingkat daripada Ji Hong-ho, tapi
jelek2 Ji Hong-ho bergelar Bu-lim-bengcu atau ketua perserikatan dunia
persilatan, siapapun tidak boleh berjalan di depannya.
Diam2 Lui-ji membatin,
"Hm, jelas2 mereka tahu kami takkan pergi, makanya mereka sengaja berlagak
tertib dan sopan begini untuk naik ke sini, kalau tidak, mustahil kalau mereka
tidak menerjang kemari seperti kawanan anjing gila."
Begitu melihat Ji Hong-ho,
seketika darah panas bergolak dalam dada Ji Pwe-giok, hampir saja ia tidak
dapat menahan emosinya, syukur dia masih dapat menahan diri.
Dilihatnya Ji Hong-ho sedang
memberi hormat dan berkata, "Wanpwe Ji Hong-ho dari Kanglam, sudah lama
mengagumi nama kebesaran dan keluhuran budi Hong-locianpwe, hari ini Cianpwe
sudah menerima kunjunganku, sungguh sangat beruntung dan berterima kasih."
"Jadi Anda inilah
Bu-lim-bengcu seluruh dunia sekarang ini?" tanya Hong-sam sianseng dengan
hambar...
"Ah, tidak berani,"
jawab Ji Hong-ho dengan rendah hati.
Hong-sam sianseng lantas
mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia seperti tidak sudi memandangnya
lagi, se-olah2 memandang hina terhadap Bu-lim-bengcu ini dan juga rada kecewa.
Dengan dingin ia hanya berkata, "Baik sekali, silahkan duduk."
Dalam pada itu tiba2 terendus
bau harum semerbak menusuk hidung, seketika air muka Kwe Pian-sian berubah,
memangnya dia berduduk jauh di pojokan sana, sekarang dia malah terus melengos
dan meringkuk di belakang Ciong Cing dengan sembunyi2.
Segera Ji Pwe-giok tahu
Hay-hong Hujin yang telah datang. Hatinya juga mulai berdetak, ia tidak tahu
apakah Lim Tay-ih ikut datang atau tidak?
Di bawah remang cahaya
lentera, Hay-hong Hujin kelihatan anggun, cantik tiada bandingannya.
Iapun melihat Pwe-giok berada
di situ, dia seperti tersenyum, lalu dia memberi hormat kepada Hong-sam dan
berkata, "Kun Hay-hong dari Kohsoh menyampaikan salam hormat kepada
Hong-kongcu, baik2kah Kongcu?"
Perempuan sejelita ini,
sekalipun sama2 perempuan juga ingin memandangnya beberapa kejap lebih banyak.
Siapa tahu Hong-sam sianseng tetap bersikap tawar saja, jawabnya tak acuh,
"Baik, silahkan duduk."
Menyusul muncul lagi seorang
dengan baju compang-camping, gagah dan angkuh tanpa memberi hormat.
Tapi sinar mata Hong-sam
lantas gemerdep, tegurnya, "Apakah ini Pangcu dari Kaypang?"
"Ya, Ang-lian-hoa,"
jawab orang itu.
Tanpa menunggu dipersilahkan
duduk, segera ia berduduk di ambang jendela.
Ji Hong-ho dan Kun Hay-hong
masih tetap berdiri, sebab di atas loteng kecil ini hakekatnya tidak ada tempat
duduk lain.
Se-konyong2 terdengar suara
'dung' satu kali, seorang Tojin pendek kecil melangkah ke atas loteng. Begitu
mendadak dan cepat, tahu2 dia sudah muncul di ujung tangga loteng, se-olah2
cara naiknya hanya satu kali langkah saja lantas sampai di atas.
Dengan sorot mata yang tajam
Tojin ini menatap Hong-sam sianseng dan menegur, "Kau inikah
Hong-sam?!"
"Dan kau inikah
Lo-cinjin?" mendadak Lui-ji mendahului menjawab.
Lo-cinjin menjadi gusar,
"Kurang ajar! Masa namaku boleh sembarangan dipanggil oleh budak ingusan
seperti kau ini?"
Tidak kurang ketusnya, Lui-ji
balas menjengek, "Hm, memangnya nama Sacek juga boleh sembarangan
di-sebut2 oleh orang kerdil semacam kau?"
Saking gusarnya Lo-cinjin
sampai melotot, matanya se-akan2 menyemburkan api, mendadak ia berteriak,
"Sip-hun, naik ke sini!"
Baru lenyap suaranya, dengan
sangat hormat tahu2 Sip-hun sudah berdiri di sampingnya, katanya dengan perlahan,
"Adakah suhu memberi sesuatu pesan?"
"Cara bicara budak cilik
ini tidak bersih, coba kau sikat mulutnya," bentak Lo-cinjin.
Sip-hun mengiakan.
Meski cukup cepat mulutnya
mengiakan, tapi kaki tetap tidak bergerak, tetap berdiri di tempatnya.
Lo-cinjin menjadi gusar,
bentaknya pula, "Ayo, kenapa tidak lekas kau hajar dia?"
Tapi Sip-hun lantas menunduk
dan tetap tidak bergeser selangkahpun.
"He, apakah kau
tuli?" teriak Lo-cinjin dengan murka.
"Tecu tidak tuli,"
jawab Sip-hun, tetap perlahan dan halus.
"Kalau tidak tuli, kenapa
tidak lekas kau hajar dia?" omel Lo-cinjin lagi.
"Tecu tidak berani,"
kata Sip-hun dengan menunduk.
"Kurang ajar! Memangnya
apa yang kau takuti?" damprat Lo-cinjin sambil mencak2. "Sekalipun
Hong-sam akan merintangi kau, tentu aku yang akan menghadapi dia. Biarkan murid
lawan murid dan guru melawan guru, kenapa kau takut, kenapa kau tidak
berani?"
"Memang Tecu tidak ...
tidak berani," jawab Sip-hun.
Mendadak sebelah tangan
Lo-cinjin terus menampar, 'plok', kontan muka Sip-hun merah bengap.
"Kau mau maju ke sana
tidak?" bentak Lo-cinjin dengan murka.
Meski muka Sip-hun seketika
tembem seperti kue apem karena gamparan sang guru, tapi dia tetap tenang dan
sabar, sedikitpun tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, jawabnya dengan suara
halus, "Selamanya Tecu tidak berani bergebrak dengan kaum wanita."
Kontan Lo-cinjin berjingkrak
dan menampar pula sambil membentak, "Bila perempuan itu akan membunuh
dirimu, apakah akan kau julurkan kepalamu untuk dipenggal sesukanya?"
Sembari berjingkrak, sekaligus
ia telah menggampar beberapa kali.
Sip-hun tetap berdiri diam
saja, semua gamparan sang guru itu diterima tanpa menghindar dan tidak
mengelak, malahan dengan tersenyum ia menjawab, "Nona cilik ini kan tidak
bermaksud membunuh diriku."
Semua orang sama melongo heran
dan geli menyaksikan pertunjukan gratis tersebut. Sungguh tak terbayangkan oleh
mereka bahwa di dunia ini terdapat guru begini dan juga murid demikian.
Lui-ji sangat senang juga
menyaksikan pertunjukan lucu itu, diam2 iapun mendongkol terhadap Tojin
pemberang itu, ia tidak tahan, tiba2 ia berkata pula, "Yang ku maki adalah
dirimu, mengapa kau tidak berani turun tangan sendiri?"
Lo-cinjin berjingkrak seperti
orang kebakaran jenggot, teriaknya murka, "Jika aku bergebrak dengan budak
ingusan seperti kau ini, apakah takkan ditertawakan orang hingga copot
giginya?"
"Huh, tiada hujan tanpa
angin menghajar muridnya secara tidak se-mena2, apakah perbuatan demikian tidak
takut ditertawakan orang hingga copot giginya?" jengek Lui-ji.
Semua orang mengira Lo-cinjin
pasti akan tambah murka dan bukan mustahil sekali hantam Cu Lui-ji bisa
dibinasakannya.
Tak terduga, sampai sekian
lama Lo-cinjin melototi anak dara itu, akhirnya, bukannya murka, sebaliknya ia
malah bergelak tertawa dan berseru, "Hahaha! Sungguh budak yang hebat,
besar amat nyalimu!"
Bahwa dia tidak menjadi marah,
semua orang jadi melengak pula.
Dalam pada itu Hay-hong Hujin
sedang memandangi Cu Lui-ji, tiba2 ia bertanya dengan suara lembut, "Eh,
adik cilik, berapakah usiamu tahun ini?"
Dengan acuh tak acuh Lui-ji
menjawab, "Kukira selisih tidak banyak dengan engkau?"
"Selisih tidak
banyak?" Hay-hong Hujin menegas dengan tertawa geli. "Apakah kau tahu
berapa umurku?"
Lui-ji tidak lantas menjawab,
ia pandang orang sejenak, lalu menjawab dengan sikap sungguh2, "Melihat
wajahmu, kukira usiamu kira2 baru dua puluhan."
"Apa iya!?" ucap
Hay-hong Hujin dengan tertawa, tanpa terasa ia meraba mukanya sendiri.
"Dan kalau melihat
tubuhmu, kukira juga baru berumur dua puluhan," kata Lui-ji pula sambil
memandangi tubuh orang yang bernas itu.
Maka senanglah hati Hay-hong
Hujin, ia tertawa nyaring seperti bunyi keleningan, katanya, "Ai, adik
cilik ini benar2 pintar bicara."
Maklumlah, setiap perempuan di
dunia ini tentu suka dipuji. Tiada seorang perempuan yang tidak senang kalau
orang memujinya masih cantik dan awet muda. Lebih2 perempuan yang sudah
setengah baya, biarpun muka sudah mulai keriput, tapi pasti gembira kalau orang
bilang dia baru berumur delapan belas.
Dengan lagak seperti sangat
kagum Lui-ji lantas berkata pula, "Apalagi kalau melihat tangannya yang
putih dan halus ini, kukira umurmu paling2 baru delapan belas."
Hay-hong Hujin tertawa senang
pula, tanpa terasa ia menjulurkan kedua tangannya, se-akan2 hendak
dipertunjukkan kepada semua orang.
Di luar dugaan, dengan
perlahan Lui-ji lantas menyambung lagi, "Dan kalau ketiga macam tadi
dijumlahkan, total jenderal menjadi 58, maka kukira umurmu belum lagi genap 60,
betul tidak?"
Ucapan Lui-ji ini hampir saja meledakkan
tertawa semua orang, sampai2 Hong-sam yang selalu bersikap dingin itupun merasa
geli.
Akan tetapi di hadapan
Hay-hong Hujin, siapapun tidak berani tertawa.
Sudah barang tentu, yang
paling runyam adalah Hay-hong Hujin sendiri, sungguh ia tidak menyangka dirinya
akan terkecoh oleh seorang dara cilik, seketika ia menjadi merah padam dan
tidak dapat bersuara lagi.
Syukurlah Pwe-giok lantas
bertindak. Betapapun ia masih ingat kebaikan Hay-hong Hujin ketika menemuinya
di bawah sinar purnama dengan lautan bunga yang semerbak itu. Iapun teringat
kepada murid Hay-hong Hujin, yaitu Lim Tay-ih, tunangannya atau calon
isterinya. Maka ia coba menyimpangkan persoalan dan bertanya kepada Ji Hong-ho,
"Yang berkunjung kemari apakah cuma Anda berempat saja?"
Ji Hong-ho tersenyum,
jawabnya, "Kami tahu tempat kediaman Hong-locianpwe ini agak kurang
leluasa menerima kunjungan orang banyak, sebab itulah beberapa sahabat terpaksa
kami tinggalkan menunggu di bawah sana."
Cu Lui-ji mendengus, "Hm,
tentunya kau kira melulu kalian berempat saja sudah lebih daripada cukup untuk
menghadapi kami bukan? Atau, kalian kuatir kami akan lari, maka lebih dulu
begundal kalian telah diatur menjaga di sekitar tempat ini?"
Ji Hong-ho tidak menjadi
marah, dengan tak acuh ia menjawab, "Nona memang pintar bicara, tapi kalau
nona mengira dengan kata2 yang tajam dapat kau bikin jeri kami, maka salahlah
kau. Coba pikirkan, dengan tokoh2 besar seperti Lo-cinjin dan Hay-hong Hujin
ini, apakah beliau ini sudi bertengkar mulut dengan seorang nona cilik hanya
untuk kepuasan seketika saja?"
"Tapi mengapa sekarang
kau sendiri bertengkar mulut denganku?" jawab Lui-ji. "Memangnya
karena kau merasa harga diri dan kedudukanmu terlebih rendah?"
Ji Hong-ho jadi melengak dan
mendongkol, ia pikir kalau adu mulut dengan seorang anak dara hanya akan
menurunkan pamornya sendiri saja, terpaksa ia berlagak tidak dengar olok2 Cu
Lui-ji, ia berdehem, lalu berkata terhadap Hong-sam, "Maksud kedatangan
kami ini, kukira Hong-locianpwe tentunya sudah tahu."
"Oo!" demikian
Hong-sam sianseng hanya bersuara seperti orang ingin tahu.
Ji Pwe-giok juga berdiri
tenang dan mendengarkan di samping.
Lalu Ji Hong-ho menyambung
ucapannya, "Tentunya Hong-locianpwe juga tahu bahwa orang yang kami cari
dan akan kami ambil ialah nona Cu ini."
"Ooo?" kembali
Hong-sam bersuara seperti keheranan.
Maka Ji Hong-ho melanjutkan
lagi, "Soalnya nona Cu ini beberapa tahun akhir2 ini telah berbuat
berbagai urusan yang menimbulkan rasa ketidakpuasan para kawan Kangouw. Dalam
kedudukanku selaku Bengcu, terpaksa kupenuhi permintaan orang banyak dan secara
sembrono berkunjung kemari demi mencari keadilan. Dalam hal ini, asalkan Hong
locianpwe dapat memakluminya dan membiarkan kami membawa pergi nona Cu ini,
maka Cayhe akan menjamin persoalan ini pasti akan ku selesaikan secara adil dan
jujur, bahkan pasti takkan mengganggu ketenangan Hong-locianpwe yang perlu
tetirah lebih lama lagi."
"Ooo!?" lagi2
Hong-sam hanya bersuara singkat saja.
Ber-turut2 ia bersuara 'O'
tiga kali tanpa memberi reaksi sedikitpun. Hal ini membuat Ji Hong-ho jadi
melengak malah, sebab ia tidak tahu apa artinya 'O' itu, apakah setuju dan
menerima dengan baik atau menolak permintaannya?"
Sampai sekian lama baru
terdengar Hong-sam sianseng menghela nafas panjang, lalu berkata, "Bahwa
kau berani datang kepada orang she Hong untuk mengambil orang, sungguh nyalimu
tergolong tidak kecil."
Ji Hong-ho tertawa hambar,
ucapnya, "Ini disebabkan Hong-sam sianseng sekarang sudah bukan lagi
Hong-sam sianseng di masa dahulu."
Hong-sam tidak menjadi marah.
Tiba2 sorot matanya beralih ke arah Lo-cinjin, katanya, "Yang bicara
adalah dia, yang akan bertempur mungkin ialah dirimu, begitu bukan?"
Lo-cinjin bergelak tertawa,
jawabnya, "Hahahaha! Memang betul, walaupun Hong-sam sekarang sudah bukan
lagi Hong-sam dahulu, tapi apapun juga, kecuali diriku, mungkin belum juga ada
orang yang mampu melawan kau."
"Hehe, bagus,"
jengek Hong-sam sianseng. "Site (adik ke empat, maksudnya Ji Pwe-giok),
bolehlah kau maju bergebrak dengan dia."
Pwe-giok mengiakan terus
melompat maju, ucapnya sambil memberi hormat kepada Lo-cinjin. "Silahkan
Totiang memberi petunjuk beberapa jurus."
Bahwa yang ditantang ialah
Hong-sam sianseng dan dia tidak maju sendiri, juga bukan Cu Lui-ji yang maju
melainkan Ji Pwe-giok yang diajukan sebagai jagonya, hal ini benar2 di luar
dugaan siapapun juga. Lo-cinjin, Ji Hong-ho, Ang-lian-hoa, dan Kun Hay-hong
sama melenggong bingung.
Segera Lo-cinjin berteriak
dengan gusar, "Busyet! Masa kau suruh aku bergebrak dengan bocah yang masih
berbau pupuk ini. Memangnya apa maksudmu sebenarnya?"
"Masa maksudnya tidak kau
pahami?" tanya Cu Lui-ji dengan perlahan.
"Ya, aku justeru tidak
paham!" teriak Lo-cinjin.
"Rupanya tidak cuma
badanmu saja kerdil, otakmu juga kerdil," demikian Lui-ji ber-olok2.
"Soalnya hanya dengan sedikit kemahiran mu ini lantas ingin bergebrak
dengan Sacek sendiri, maka kau masih ketinggalan sangat jauh. Kelak kalau
kejadian ini tersiar, bukankah di dunia Kangouw akan ramai orang bilang Sacek
hanya mampu mengalahkan seorang kecil macam kau."
Seketika Lo-cinjin berjingkrak
pula, kembali ia meraung gusar, "Tapi kenapa aku juga disuruh bergebrak
dengan anak ingusan ini? Sedangkan mengalahkan muridku saja dia tidak
mampu..."
"Hm, berdasarkan apa kau
berani meremehkan dia?" jengek Hong-sam sianseng. "Seumpama Hong-sam
sekarang bukan lagi Hong-sam dahulu, akan tetapi Ji Pwe-giok sekarang jelas
juga bukan Ji Pwe-giok pada waktu yang lalu."
Sinar mata Ji Hong-ho tampak
gemerdep, tiba2 ia berkata, "Jika demikian, jadi urusan hari ini cukup
diandalkan padanya dan segala persoalannya akan dapat diputuskan berdasarkan
pertempurannya ini?"
"Ya, begitulah!"
jawab Hong-sam sianseng dengan tegas.
"Dan kalau dia kalah,
lalu bagaimana?" tanya Ji Hong-ho.
"Bila Sicek (paman ke empat)
kalah, segera ku ikut pergi bersama kalian dan terserah akan diapakan
kalian!" seru Lui-ji lantang.
"Apakah ucapan ini dapat
dipercaya?" tanya Ji Hong-ho pula.
"Hm, orang macam kau juga
berani menyangsikan kepercayaanku?" jengek Hong-sam sianseng.
Terunjuklah rasa kegirangan
pada sinar mata Ji Hong-ho, cepat ia berseru, "Jika demikian, ayolah
Totiang, lekas turun tangan, mau tunggu kapan lagi?"
"Kau juga menyuruh aku
bergebrak dengan anak kemarin ini?" raung Lo-cinjin.
Dengan tersenyum Ji Hong-ho menjawab,
"Tapi Ji-Kongcu ini sekarang sudah menjadi saudara Hong-sam sianseng, bila
Totiang bergebrak dengan dia kan tidak dapat dianggap orang tua melabrak anak
muda lagi?"
"Betul," tukas
Hay-hong Hujin, "jika saudara Hong-sam sianseng yang bergebrak dengan
Totiang, apapun juga tak dapat dikatakan telah menurunkan derajat
Totiang."
"Akan tetapi, bagaimana
dengan janji pihak kalian apabila Totiang kalian yang kalah?" tanya Lui-ji
tiba2.
Kembali Lo-cinjin berjingkrak,
teriaknya dengan gemas, "Jika aku kalah, segera aku menyembah padanya dan
memanggilnya Suhu!"
"Wah, untuk ini kukira
tidak perlu," kata Lui-ji dengan tertawa. "Jika Sicek menerima
seorang murid yang setiap hari senantiasa marah2 saja seperti dirimu ini, bisa
jadi Sicek akan kepala pusing tujuh keliling."
Lo-cinjin meraung pula dengan
gusar, "Dalam 50 jurus, bilamana tidak dapat ku robohkan dia, seketika
juga ku angkat kaki dari sini."
Sebenarnya dia masih enggan
bertarung dengan Pwe-giok yang dianggapnya tidak sepadan.
Tapi sekarang dia sudah benar2
murka sehingga berubah menjadi tidak boleh tidak harus bertarung dengan
Pwe-giok, kini tiada seorangpun yang dapat mencegah akan niatnya itu.
Dengan tertawa Lui-ji
menjawab, "Jangankan cuma 50 jurus... jadikan saja 500 jurus juga belum
tentu dapat kau sentuh ujung baju Sicek. Hanya saja, meski demikian
pernyataanmu, lalu bagaimana pula dengan begundalmu itu?"
"Baiklah, jadi 500 jurus
begitu," kata Ji Hong-ho dengan tersenyum. "Dalam 500 jurus itu bila
Lo-cinjin tidak dapat mengalahkan Ji-kongcu ini, seketika juga kami akan angkat
kaki dari sini dan takkan mengganggu gugat padamu lagi."
"Apakah pernyataannya
juga mewakili kau?" tanya Lui-ji sambil memandang Hay-hong Hujin.
"Ji-kongcu adalah
sahabatku, yang kuharap semoga Lo-cinjin hanya merobohkannya saja tanpa
melukainya," ucap Hay-hong Hujin dengan tersenyum.
"Dan kau?" tanya
Lui-ji terhadap Ang-lian-hoa.
Sinar mata Ang-lian-hoa tampak
guram, siapapun tidak tahu apa yang sedang dipikirkan ketua Kaypang ini. Dia
hanya menjawab dengan dingin, "Setuju!"
Semua orang, termasuk
Ang-lian-hoa, siapapun tidak percaya Ji Pwe-giok mampu melawan Lo-cinjin hingga
500 jurus. Sebab mereka sudah sama menyaksikan kepandaian Pwe-giok, kalau anak
muda itu mampu melawan Sip-hun hingga 500 jurus, hal ini boleh dikatakan cukup
hebat, dan sekarang kalau dia sanggup menahan 50 kali serangan Lo-cinjin, maka
hal ini benar2 suatu keajaiban.
"Jika sudah diputuskan
begini, jadi semua orang sudah setuju, tiada orang lain lagi yang bakal
rewel?" demikian Lui-ji menegas.
"Siapa yang berani
rewel?" Lo-cinjin meraung pula. "Jika ada yang berani rewel, segera
kupuntir kepalanya di sini juga.
Dia seperti tidak sabar lagi,
segera ia berteriak pula, "Nah, bocah she Ji, ayolah mulai serang dulu,
aku akan mengalah tiga jurus padamu."
Sejak tadi Pwe-giok diam2 saja
tanpa memberi komentar.
Ia tahu tugas yang dipikulnya
sekarang maha berat, sesungguhnya dia sangat tegang dan rada kebat-kebit, tapi
ketika benar2 sudah berhadapan dengan Lo-cinjin, rasa tegangnya lantas mulai
kendur.
Diam2 ia berkata kepada
dirinya sendiri, "Sabarlah! Apapun juga Lo-cinjin juga cuma seorang
manusia belaka, kenapa aku harus jeri kepadanya?"
Karena lagi memikirkan dirinya
sendiri, apa yang dipercakapkan orang lain tiada satu katapun diperhatikannya,
apa yang diperbuat orang lain juga sama sekali tidak dilihatnya. Perhatiannya
kini sudah tercurahkan seluruhnya ke tubuh Lo-cinjin saja.
Tiba2 ia melihat kedua mata
Lo-cinjin, kedua alisnya dan kedua tangannya tidak sama rata besarnya, yang
sebelah kanan lebih kecil sedikit daripada yang sebelah kiri. Pada lubang
hidungnya kelihatan menongol tiga utas rambut hitam dan sangat kasar, rambut
hidung itu terlalu panjang hingga ber-getar2 di atas bibir. Pada leher bajunya
di depan dada ada sebagian tergores robek sehingga kelihatan baju dalamnya yang
putih.
Lalu diketahui pula kelopak
mata kiri Lo-cinjin sedang me-lonjak2, mungkin sedang kedutan, ujung mulutnya
juga ber-kerut2 seperti orang kejang. Kelima jari tangan kanan juga sama
bergemetar, tapi jari tangan kiri terjulur kaku lurus.
Apa yang dilihat Pwe-giok itu
sebenarnya sedikitpun tidak menarik perhatian orang, akan tetapi dalam keadaan
perhatian Pwe-giok lagi dipusatkan kepada Lo-cinjin seorang saja, setiap ciri
yang paling kecil, tiba2 berubah menjadi begitu leas dan begitu nyata baginya.
Selamanya belum pernah
Pwe-giok memperhatikan seseorang dengan sedemikian cermat, selamanya pula tak
terpikir olehnya akan dapat melihat keadaan seseorang dengan sedemikian jelas.
Ia masih terus memandangnya,
sampai akhirnya hidung Lo-cinjin itu bagi pandangannya itu seolah2 telah
berubah menjadi sebesar mangkuk, berapa banyak pori2 di atas hidung orang
rasanya seperti dapat dilihatnya dengan jelas...
* * *
Lo-cinjin sedang berteriak dan
meraung, namun Pwe-giok seperti tidak mendengarnya. Sudah dua kali Lo-cinjin
mendesaknya agar anak muda itu lekas mulai, tapi dia masih tetap berdiri tenang
seperti orang linglung, sedikitpun tidak bergerak.
Semua orang menjadi heran, ada
yang berpikir, "Jangan2 anak muda ini menjadi ketakutan dan kesima."
Tanpa terasa tersembul
senyuman girang pada ujung mulut Ji Hong-ho.
Lo-cinjin tidak sabar lagi,
kembali ia berjingkrak dan meraung, "He, apakah kau..."
Di luar dugaan, sekali ini
baru saja kakinya melonjak dan suaranya baru saja bergema, Ji Pwe-giok yang
kelihatannya linglung seperti patung itu mendadak melompat maju secepat
terbang. Secepat kilat telapak tangannya juga lantas menabas ke dengkul
Lo-cinjin.
Hendaklah dipahami bahwa tokoh
besar seperti Lo-cinjin ini, kungfunya boleh dikatakan sudah mencapai tingkatan
yang terlebur menjadi satu dengan jiwa raganya. Pada waktu biasa, setiap gerak
geriknya, sengaja atau tidak sengaja selalu bertindak sesuai dengan kungfunya.
Seperti halnya seorang penari
mahir, setiap gerak geriknya pada waktu biasa juga pasti bergaya jauh lebih
indah daripada orang lain.
Sebab itulah, meski Lo-cinjin
tampaknya berdiri seenaknya, namun seluruh tubuh se-akan2 juga senantiasa
terjaga rapat dan tiada setitik lubangpun untuk diserang.
Tapi, tidak perduli siapapun
juga, bilamana sedang marah, selagi berjingkrak seperti orang kebakaran
jenggot, maka setiap gerakannya tentu juga rada teledor, apalagi kalau kedua
kaki sudah terapung di udara dan bukan lagi menendang lawan, maka di bagian
bawah pasti akan memperlihatkan ciri kelemahan.
Dengan memusatkan segenap
perhatiannya mengamati lawan, tujuan Pwe-giok justeru ingin mencari titik
kelemahan Lo-cinjin. Maka begitu lawan memperlihatkan kelemahan pada bagian
bawahnya, serentak dia melesat maju, tebasan telapak tangannya justeru
menyerang titik yang paling lemah di tubuh lawan pada sat itu, bagian yang
hampir tidak terjaga sama sekali.
Tentu saja Lo-cinjin terkejut,
perawakannya yang kurus kecil itu se-konyong2 berputar di udara, sekaligus kaki
dan tangannya balas menyerang Pwe-giok .
Gerakan mengelak sambil balas
menyerang atau menyerang untuk menyelamatkan diri ini ternyata tindakan yang
tepat dan hebat. Di sini terbukti bahwa Lo-cinjin memang tidak malu disebut
sebagai tokoh kelas top pada jaman ini, sekalipun menghadapi bahaya tetap tidak
bingung.
Pada saat itulah Cu Lui-ji
lantas menjengek, "Huh, mau mengalah tiga jurus? Hm...!"
Seperti diketahui, tadi
Lo-cinjin menyatakan hendak memberi tiga jurus kepada Pwe-giok. Tapi sekarang
dia bukan cuma mengelak saja, tapi balas menyerang, dengan sendirinya tidak
dapat dianggap sebagai jurus mengalah.
Mendadak terdengar Lo-cinjin
bersuit panjang, di tengah suara suitan nyaring itu tahu2 tubuhnya sudah
menyurut mundur ke belakang.
Padahal tangan dan kakinya sedang
menyerang ke depan, tapi mendadak tubuhnya dapat menyurut mundur dalam keadaan
terapung, kelihatannya jadi seperti ada orang menariknya dari belakang.
Kejadian ini bila dilihat
orang biasa, mungkin akan menyangka Tojin kecil itu mahir ilmu gaib atau sedang
main sulap.
Tapi yang hadir di atas loteng
ini sekarang hampir boleh dikatakan seluruhnya terdiri dari jago2 silat kelas
satu, semuanya dapat melihat suara suitan Lo-cinjin tadi bukannya tidak ada
gunanya. Dengan bersuit itulah Lo-cinjin mengerahkan hawa murni di dalam
tubuhnya dan dipancarkan. Karena pancaran hawa murni inilah tubuhnya lantas
tertolak mundur.
Soal sebab apa pancaran hawa
itu dapat membuat orang berbalik terdorong ke belakang, teori ini dengan
sendirinya belum dapat dimengerti orang pada jaman itu. tapi di sini pula
setiap orang dapat menyaksikan betapa hebat Khikang (ilmu mengerahkan hawa
dalam perut) Lo-cinjin.
Sampai2 Ang-lian-hoa yang
tidak suka sembarangan memuji orang, tanpa terasa iapun berseru, "Khikang
yang hebat!"
Ji Hong-ho tersenyum puas dan
bangga, tanyanya pada Ang-lian-hoa, "Menurut pendapat Pangcu, Ji-kongcu
ini kira2 mampu menahan berapa jurus serangan Cinjin?"
Wajah Ang-lian-hoa menampilkan
perasaan sayang dan menyesal, jawabnya sesudah berpikir sejenak, "Kukira
paling banyak hanya antara seratus jurus saja."
Ji Hong-ho lantas berpaling ke
arah Hay-hong Hujin dan bertanya dengan tersenyum, "Dan bagaimana
pandangan Hujin?"
"Pandangan
Ang-lian-pangcu maha tajam, masakan pendapatnya bisa keliru?" ujar
Hay-hong Hujin dengan tersenyum.
Sejak awal hingga sekarang
Hay-hong Hujin dan Ang-lian-hoa sama sekali tidak memandang barang sekejap pun
ke arah Kwe Pian-sian, se-olah2 di pojok sana hakekatnya tidak terdapat
sesuatu, apalgi ada orang bersembunyi di situ.
Tentu saja diam2 Kwe Pian-sian
bergirang karena jejaknya tidak diperhatikan lawan yang ditakuti itu. Tapi
sekarang demi mendengar ucapan mereka, seketika hatinya cemas. Pikirnya,
"Loteng ini hanya sejengkal luasnya, sekalipun aku bersembunyi di sudut
segelap ini, mustahil dengan ketajaman mata mereka tak dapat melihat diriku?
Jelas mereka yakin benar2 tiada seorangpun di atas loteng ini yang mampu lolos,
makanya mereka sengaja berlagak tak acuh terhadapku."
Berpikir demikian, seketika
keringat dingin membasahi tubuhnya.
Dalam pada itu Lo-cinjin
benar2 telah mengalah tiga jurus kepada Pwe-giok, kini dia sudah mulai
melancarkan serangan balasan.
Gaya serangannya tiada
memperlihatkan sesuatu tipu istimewa atau gerakan yang luar biasa, tampaknya
tidaklah sesuai dengan nama kebesarannya.
Akan tetapi setelah belasan
jurus, daya tekanannya mulai kelihatan hebatnya, serangannya tambah mantap dan
berat.
Gaya serangannya memang tiada
sesuatu perubahan yang istimewa dan mengherankan, akan tetapi antara jurus
serangan yang satu dengan serangan berikutnya terpadu sedemikian rapatnya,
terkadang antara dua jurus kelihatan berlawanan, gerak tangan dan arah yang
dituju jelas berbeda. Bila orang lain yang memainkan dua jurus serangan
demikian pasti akan kerepotan atau kalau bisa tentu juga sangat dipaksakan,
namun bagi Lo-cinjin ternyata dapat dimainkan dengan sangat lancar dan serasi
se-olah2 jurus yang satu dengan jurus lain memang sambung menyambung.
Semula Cu Lui-ji rada
meremehkan Tojin kerdil ini, diam2 ia lagi melengak, "Hm, rupanya
Lo-cinjin yang termasyhur juga cuma begini saja kemampuannya."
Akan tetapi setelah mengikuti
beberapa jurus lagi, mau-tak-mau perasaannya mulai tertekan.
Gerak serangan Lo-cinjin yang
kelihatannya lumrah saja itu, makin dipandang makin lihay dan makin menakutkan.
Serangannya tidak banyak variasinya, kalau menghantam ya menghantam begitu saja
seperti sebuah martil besar atau sebuah kapak raksasa, tapi serangan demi
serangan susul menyusul, sambung menyambung tanpa putus.
Melihat gencarnya serangan
Lo-cinjin itu, para penonton saja merasa tegang sehingga bernapas saja hampir2
tak sempat, apalagi Ji Pwe-giok yang langsung menghadapi serangan dahsyat itu.
Dalam cemasnya, Cu Lui-ji coba
memandang Hong-sam sianseng sekejap, meski di mulut tidak bersuara, namun sorot
matanya tiada ubahnya seperti ingin bertanya, "Apakah Sacek yakin jago
kita akan sanggup menahan 300 jurus serangan lawan?"
Tak terduga Hong-sam sianseng
malah terus memejamkan matanya, terhadap pertarungan mati2an, pertarungan yang menyangkut
mati atau hidup, pertarungan yang menyangkut hina atau jaya namanya itu, sama
sekali ia tidak menghiraukan lagi.
Hanya sekejap saja 30 jurus
lebih sudah berlangsung, setiap jurus serangan Lo-cinjin semakin dahsyat dan
tambah lihay. Tampaknya Pwe-giok hanya mandah diserang saja, sampai2 tenaga
untuk balas menyerang saja sudah tidak ada lagi.
Begitu berat rasanya Pwe-giok
menghadapi lawannya terbukti dari sikapnya yang kelihatan prihatin, setiap kali
dia hendak bergerak, tampaknya kudu berpikir lebih dulu. Padahal pertarungan di
antara tokoh silat kelas tinggi mana ada peluang baginya untuk berpikir segala.
Maka setelah mendekati 50
jurus, unggul dan asor atau kalah dan menang tampaknya sudah jelas, sudah
pasti. Semua orang yakin, apabila Ji Pwe-giok sanggup bertahan sampai 100 jurus
lebih, maka hal inipun sudah terhitung ajaib.
Tiba2 terdengar Ji Hong-ho
berkata dengan tertawa, "Haha, pertarungan sebagus ini, sungguh jarang
ditemui selama ratusan tahun ini. Kalau tontonan menarik ini di-sia2kan,
sungguh terasa sangat sayang."
Dengan tersenyum Sip-hun
lantas menanggapi, "Jika demikian, biarlah Tecu mengerek semua kerai
jendela loteng ini agar setiap orang dapat ikut menyaksikannya, boleh?"
"Hah, bagus sekali
usulmu!" seru Ji Hong-ho dengan bergelak.
Tanpa menunggu perintah lagi,
terus saja Sip-hun melipat semua kerai jendela.
Suara angin di luar masih
men-deru2 dan menyeramkan, malam tambah kelam, bumi dan langit se-olah2 penuh
0064iliputi oleh suasana ketegangan.
Di atas wuwungan rumah di
sekeliling loteng kecil itu ternyata sudah penuh ditongkrongi orang, semuanya
ingin menonton pertarungan menarik ini meski harus menahan dinginnya udara
malam. Dan begitu kerai jendela dikerek, seketika orang yang menongkrong di
atas wuwungan rumah itu bertambah banyak.
Tadi Kwe Pian-sian bermaksud
kabur pada waktu keadaan kemelut, tapi sekarang barulah ia sadar biarpun
mendadak dia tumbuh sayap juga jangan harap akan dapat mabur.
Kwe Pian-sian menghela napas,
ia tahu tiada gunanya lagi main sembunyi-sembunyi. Sekalian ia lantas berdiri,
dia mengangguk pelahan terhadap Hay-hong Hujin dengan tersenyum, sikapnya
seolah kejut, heran dan juga girang, seperti kekasih yang mendadak berjumpa
kembali setelah berpisah sekian tahun lamanya. Kaceknya cuma dia tidak terus
berlari maju dan merangkul atau memegang tangannya untuk menyatakan rasa
rindunya selama berpisah itu.
Namun Hay-hong Hujin tetap
tidak memandangnya barang sekejap pun, seakan-akan di situ tiada terdapat
seorang macam Kwe Pian-sian. Sebaliknya ia malah berkata terhadap Ji Hong-ho
dengan tersenyum, "Ada satu hal yang sangat mengherankan aku?"
"Hujin mengherankan hal
apa?" tanya Ji Hong-ho.
"Coba Bengcu memberi
komentar, bagaimana daya pukulan Lo-cinjin kalau dibandingkan mendiang
Thian-kang Totiang?" tanya Hay-hong Hujin.
Ji Hong-ho tersenyum,
jawabnya, "Ilmu sakti Kun-lun-pay tiada bandingannya. Betapa hebat
kekuatan ilmu pukulan Thian-kang Totiang bahkan sudah lama dikagumi oleh sesama
rekan dunia persilatan, cuma....."
"Cuma kalau dibandingkan Lo-cinjin
masih selisih satu tingkat, begitu bukan?" tukas Hay-hong Hujin.
Ji Hong-ho hanya tersenyum
saja tanpa menjawab. Diam tanpa menyangkal berarti membenarkan.
Maka Hay-hong Hujin berkata
pula, "Belasan tahun yang lalu ku ikut almarhum guruku ke Kun-lun-san,
kebetulan menyaksikan Thian-kang Totiang sedang bergebrak dengan orang,
lawannya seperti seorang Lama dari benua barat, kekuatannya juga sangat
mengejutkan."
"Mungkin itulah Ang-hun
Lama, satu di antara tiga tokoh Lama besar yang terkenal, orang ini sudah lama
bermusuhan dengan Kun-lun-pay, bukan cuma satu kali saja dia menyatroni
Kun-lun-san."
"Waktu itu jarak berdiri
kami dengan kalangan pertempuran mereka sedikitnya ada tujuh atau delapan
tombak, akan tetapi setiap kali Thian-kang Totiang menyerang, dengan jelas
kulit muka terasa perih oleh samberan angin pukulannya, bahkan ujung baju juga
sama tergetar dan berkibar. Tapi sekarang Lo-cinjin bertempur di depan kita
dalam jarak sedekat ini, mengapa sedikitpun tidak kurasakan tenaga pukulannya."
"Hal ini disebabkan
Lo-cinjin sudah dapat menguasai tenaga pukulannya dengan sesuka hati, setiap
kali dia memukul, tenaga pukulannya hanya dipusatkan kepada Ji-kongcu seorang
saja, sedikitpun tidak terbuang ke tempat lain, dan bila serangan tidak kena sasaran,
segera ia tarik kembali tenaga pukulannya, sebab itulah beban yang harus
dihadapi Ji-kongcu cukup berat," setelah tertawa, lalu Ji Hong-ho
menyambung, "Kalau tidak begitu, jangan kau dan diriku, bahkan seluruh
loteng kecil ini mungkin sudah tergetar runtuh sejak tadi."
Hay-hong Hujin menghela napas,
ucapnya dengan pelahan, "Untung aku bukan Ji Pwe-giok, kukira saat ini dia
tentu sangat tidak enak."
"Hm, juga belum tentu
tidak enak sebagaimana dugaanmu," jengek Cu Lui-ji.
"He, kau tahu? Darimana kau
tahu?" tanya Hay-hong Hujin dengan tertawa.
Namun Cu Lui-ji tidak
menggubrisnya lagi, dia sibuk bergumam dan menghitung jurus pertempuran mereka,
"Sembilan puluh.... sembilan satu..... sembilan dua....."
Cara menghitungnya
sesungguhnya terlalu cepat, padahal sampai saat itu antara Lo-cinjin dan Ji
Pwe-giok paling-paling baru bergebrak delapan puluh jurus. Akan tetapi
rombongan Ji Hong-ho sudah yakin Pwe-giok pasti tidak sanggup bertahan sampai
300 jurus, sebab itulah tiada orang yang perduli cara berhitung Lui-ji itu.
Saat mana Pwe-giok sudah mirip
sebuah paku, meski terus menerus dihantam oleh sebuah palu raksasa, tapi bila
palu ingin membuat bengkok pakunya juga tidak terlalu gampang.
Tiba-tiba Pwe-giok merasakan
daya serang Lo-cinjin itu meski hebat, tapi ternyata tidak terlalu mendesak,
terkadang bila dia menghadapi serangan berbahaya dan seketika sukar menemukan
cara untuk mematahkannya, Lo-cinjin berbalik seperti sengaja memberi
kelonggaran padanya dan memberi waktu berpikir baginya.
Hal ini tentu saja tidak
disia-siakan oleh Pwe-giok, caranya menyerang atau menangkis sengaja lebih
diperlambat.
Sebaliknya Cu Lui-ji yang
menghitung jumlah gebrakan mereka tambah cepat malah, berturut-turut ia
berseru, "Seratus satu, seratus dua, seratus tiga....."
Ji Hong-ho memandang
Ang-lian-hoa sekejap, ucapnya dengan tersenyum, "Seratus jurus sudah lalu,
tak nyana dia masih sanggup bertahan."
"Ya, sungguh tak
tersangka." jawab Ang-lian-hoa dengan tak acuh.
Tiba-tiba Sip-hun berkata:
"Tenaga dalam Ji-kongcu ini tampaknya mendadak bertambah lipat ganda,
betul tidak?"
"Ya," jawab
Ang-lian-hoa.
"Tenaga dalam seorang
dapat bertambah sebanyak ini hanya dalam waktu setengah hari ini, hal ini
benar-benar sukar untuk dimengerti," ujar Sip-hun dengan gegetun.
Ji Hong-ho tersenyum, katanya,
"Tapi Toheng tidak perlu kuatir, biarpun tenaga dalamnya lebih kuat lagi
juga tetap tidak mampu menahan seratus jurus serangan gurumu."
"Tapi saat ini seratus
jurus kan sudah lebih?" ujar Sip-hun.
"Ah, hal itu disebabkan
gurumu sengaja hendak mengetahui tinggi-rendah dan asal-usul ilmu silat lawan
saja." kata Ji Hong-ho. "Kalau tidak, pada jurus ke-86 tadi jelas
Ji-kongcu sudah tidak sanggup bertahan lagi. Betul tidak?"
Ucapannya itu ditujukan kepada
Sip-hun, tapi suaranya itu justeru diperkeras seakan-akan kuatir tidak
terdengar oleh Lo-cinjin.
Benar saja, Lo-cinjin lantas
tertawa dan berkata, "Betul, aku memang ingin tahu Kungfu hebat apa yang
diajarkan Hong Sam kepada bocah ini. Tapi sekarang rasanya sudah cukup
bagiku!"
Di tengah suara gelak
tertawanya itu mendadak ia pergencar serangannya.
Tak terduga, setiap
serangannya selalu dapat dipatahkan oleh Pwe-giok, kalau lawan bergerak dan
menyerang cepat, maka iapun ikut cepat.
Hendaklah maklum, sekalipun Ji
Pwe-giok sangat pintar dan cerdik, walaupun Hong-sam sianseng juga tidak sayang
mengajarkan segenap Kungfunya, tapi dalam waktu singkat yang cuma setengah hari
itu apa yang dapat dipahaminya tentu juga sangat terbatas dan tidak banyak.
Sebab itulah jurus serangan
yang digunakannya untuk melawan Lo-cinjin ini kebanyakan adalah ciptaannya
sendiri secara darurat dan karena itu pula gerak-geriknya dengan sendirinya
tidak leluasa.
Akan tetapi setelah lewat
seratus jurus, tiba-tiba kecerdasannya tambah meningkat, kini jurus serangan
baru ciptaannya sudah tambah banyak, gerak perubahan jurus serangannya juga
tambah apal. Hal ini serupa main catur dengan orang yang ahli, biarpun baru
mulai belajar, lama-lama tentu juga akan terdesak hingga mendapatkan ilham,
tanpa terasa akan memainkan beberapa langkah ajaib yang sama sekali tak
disadarinya.
Dan jurus serangan ciptaan
Pwe-giok sekarang juga timbul lantaran terdesak dan terpaksa.
Dalam pada itu Cu Lui-ji masih
terus menghitung, "Seratus enam puluh satu, enam dua, satu enam tiga...."
Tiba-tiba Ji Hong-ho tertawa,
katanya, "Ah, apakah hitungan nona tidak salah? Sampai saat ini kan baru
jurus ke 153 saja?"
Tadinya ia anggap tidak
menjadi soal meski nona cilik itu menghitung lebih cepat beberapa jurus, tapi
sekarang setelah menyaksikan ketahanan Ji Pwe-giok yang luar biasa, bahkan
jurus serangannya yang baru bertambah lihay, akhirnya ia tidak tahan dan
menyatakan keberatannya terhadap cara hitung Cu Lui-ji.
Lui-ji tertawa terkikik-kikik,
katanya, "Bukankah kalian penuh keyakinan akan menang? Kenapa sekarang
kaupun mulai berkuatir? .... Satu enam tujuh, satu enam delapan.... satu enam
sembilan...." begitulah dia masih terus menghitung dengan caranya sendiri,
cara bagaimana orang memprotesnya sama sekali tak dihiraukannya.
"Ya, jika nona tetap
menghitung cara demikian juga tidak beralangan, hanya saja nanti harus dipotong
delapan jurus," ujar Ji Hong-ho dengan tertawa.
Mendadak Lo-cinjin meraung
gusar, "Biarpun dia menghitung lebih banyak delapan jurus juga tidak
menjadi soal, memangnya dia mampu menyambut 300 jurus seranganku?" -
Sambil menggerung, suatu pukulan dahsyat terus dilontarkan.
"Nah, kalian sudah dengar
sendiri, jago kalian menyatakan cukup 300 jurus saja akan mengalahkan
Sicek," seru Lui-ji dengan tertawa. Lalu dia terus menghitung, "Satu
tujuh puluh...."
Dalam pada itu Pwe-giok telah
membuat suatu lingkaran dan berhasil mematahkan hantaman dahsyat lawan. Akan
tetapi, biarpun serangan lawan sudah dipatahkan, namun tenaga pukulan lawan
yang maha dahsyat itu masih terus menindihnya.
"Blang", tahu-tahu
papan loteng berlubang, Ji Pwe-giok benar-benar seperti sebuah paku, langsung
diketok ambles ke bawah melalui lubang itu.
Saat itu Lui-ji baru
menghitung sampai, "Satu tujuh satu......." dan karena terkejut,
seketika hitungannya terhenti.
Ji Hong-ho tertawa senang,
katanya, "Meskipun Ji-kongcu kalah, tapi dia mampu menahan ratusan jurus
serangan Lo-cinjin, betapapun dia memang hebat."
"Apa? Kalah? Siapa bilang
Sicek kalah?" tanya Lui-ji dengan melotot.
"Hah, semua orang
menyaksikan dengan jelas, masakah ini belum terhitung kalah?" ujar Ji
Hong-ho dengan tertawa.
Belum lagi Lui-ji menanggapi,
sekonyong-konyong terdengar suara "blang" pula, tahu-tahu Pwe-giok
telah muncul lagi dengan menerobos lubang papan loteng tadi. Menyusul sebelah
tangannya lantas menghantam ke arah Lo-cinjin.
"Hahaha! Apa yang kau
lihat sekarang? Jelas bukan?" seru Lui-ji sambil berkeplok tertawa.
"Yang pecah adalah papan loteng dan bukan perut Sicekku, masa kau anggap
Sicek sudah kalah? Hahaha, sungguh lucu! Jika papan loteng berlubang lantas
dianggap kalah, sekarang juga dapat kulubangi papan loteng ini tiga puluh
lubang sekaligus."
Dan tanpa menunggu jawaban Ji
Hong-ho ia terus menyambung hitungannya, "Satu tujuh sembilan, satu
delapan puluh, satu delapan satu...."
Sekali ini hitungannya tidak
lebih banyak lagi daripada gebrakan yang sesungguhnya, sebab pada waktu dia
bicara tadi antara Lo-cinjin dan Ji Pwe-giok sudah bergebrak delapan kali..
Ji Hong-ho menjadi bungkam dan
tak dapat menyangkal. Ia tersenyum, katanya kemudian, "Ji-kongcu, papan
loteng ini telah menyelamatkan jiwamu, hendaknya jangan kau lupakan hal
ini."
Pwe-giok dapat menerima ucapan
lawan itu, ia sendiri tahu bilamana tadi papan loteng itu tidak jebol, tentu
dia akan dirobohkan oleh tenaga pukulan Lo-cinjin yang maha dahsyat itu. Kalau
melulu mereka berdua yang bertanding, dengan sendirinya dia harus menyerah
kalah secara jujur.
Akan tetapi pertarungan ini
justeru menyangkut pula keselamatan orang lain, mau tak mau Ji Pwe-giok harus
melanjutkan pertandingan ini, apapun yang diucapkan Ji Hong-ho dianggapnya
sebagai angin lalu saja dan pura-pura tidak mendengar.
Setelah dua-tiga puluh
gebrakan pula, kini senyuman yang menghiasi wajah Ji Hong-ho sudah tidak nampak
lagi, agaknya iapun melihat betapa tangkasnya Ji Pwe-giok dan sukar dijajaki.
Angin pukulan semakin menderu,
bayangan orang berkelebat. Di sekeliling loteng kecil yang penuh kerumunan
penonton itu ramai orang berbisik-bisik membicarakan pertandingan dahsyat ini.
Terdengar ada yang sedang berkata, "Sekarang dua ratus jurus sudah
berlalu, apakah kau kira anak muda itu mampu bertahan seratus jurus lagi?"
"Hal ini sukar
dipastikan." jawab seorang lain.
"Sungguh tak terduga
bocah ini ternyata seorang yang tahan gebuk," demikian sambung seorang
lagi. "Pada waktu mulai tadi, tampaknya dia sangat lemah, mungkin sepuluh
jurus saja tidak tahan, tapi makin bergebrak makin tangkas, sekarang malah
kelihatan penuh bersemangat."
Mendadak Lo-cinjin berjingkrak
murka dan meraung, "Kalian semuanya tutup bacot! Jika ada yang berani
kentut lagi, seketika juga kumampuskan dia!"
Karena bentakan ini, suara
bisik-bisik itu serentak cep-klakep, semuanya diam, tiada yang berani buka
mulut lagi. Namun dalam hati setiap orang cukup maklum bahwa Lo-cinjin sendiri
sekarang juga mulai gopoh.
Dalam pada itu suara hitungan
Cu Lui-ji bertambah lantang, "Dua ratus sebelas, dua ratus dua belas...
dua ratus tiga belas.... "
Mencorong juga sinar mata Kwe
Pian-sian menyaksikan pertandingan hebat itu.
Hanya Pwe-giok saja yang tahu
keadaannya sendiri, hatinya terasa mulai tenggelam..... Tiba-tiba ia merasa
dirinya tidak sanggup bertahan lagi, mungkin 30 jurus saja tidak kuat bertahan
pula.
Pada saat itulah tiba-tiba
Hong-sam sianseng membuka matanya, wajahnya yang sejak tadi selalu tenang itu
menampilkan juga setitik rasa cemas, hanya dia dan Ji Pwe-giok saja yang tahu
bahwa tenaga dalam yang dipinjamkan kepada Pwe-giok itu sudah hampir terkuras
habis.
Hendaklah diketahui bahwa
meski Hong-sam sianseng sejak tadi memejamkan mata, tapi dari angin pukulan
kedua pihak dia dapat mengikuti apa yang terjadi, dari tenaga pukulan kedua
pihak dapat dibedakannya unggul dan asornya. Sebab itulah meski tadi Ji
Pwe-giok berada dalam keadaan terserang, tapi dia tidak merasa kuatir, sebab
waktu itu dia tahu tenaga dalam Pwe-giok masih kuat, sekalipun Lo-cinjin sudah
di atas angin juga sukar hendak merobohkan anak muda itu.
Tapi sekarang meski tenaga
pukulan Pwe-giok masih tetap kuat, namun untuk menarik kembali pukulannya
justeru terasa payah, bahkan setiap kali menghantam, setiap kali tenaganya juga
menyusut.
Sampai akhirnya menyusutnya
tenaga Pwe-giok juga bertambah cepat, begitu cepat seakan-akan dibetot orang
dari luar.
Ia tahu bilamana tenaga
dalamnya sudah terkuras habis, maka jangan harap akan mampu menahan sekali
hantam Lo-cinjin yang kuat seperti gugur gunung dahsyatnya itu.
Mendadak dilihatnya kepalan
Lo-cinjin memukul ke depan dengan gaya menusuk seperti pedang yang tajam, dalam
gugupnya Pwe-giok tidak sempat berpikir lagi, langsung dia menangkis, karena
itu tubuhnya lantas tergetar hingga sempoyongan.
Betapa lihay Lo-cinjin, segera
ia tahu lawan sudah tidak tahan lagi, seketika semangatnya terbangkit, beruntun
dia menghantam pula tiga kali sehingga Pwe-giok terdesak ke pojok.
Semua orang sama melongo
heran, ada yang terkejut dan ada yang bergirang, kalau tadi mereka tidak paham
mengapa Pwe-giok sanggup bertahan, maka sekarang mereka pun tidak mengerti
sebab apa mendadak ia tidak tahan.
Dalam pada itu Cu Lui-ji masih
terus menghitung, "Dua dua enam, dua dua tujuh, dua dua delapan...."
meski hitungannya tidak pernah terputus, namun suaranya sudah mulai gemetar.
Kini hanya sisa tujuh puluhan
jurus saja, namun untuk sekian jurus ini jelas Ji Pwe-giok tidak sanggup
bertahan lagi. Keadaan ini sekalipun Ciong Cing juga dapat melihatnya.
Hay-hong Hujin menghela napas
gegetun, katanya, "Mungkin takkan sampai hitungan dua ratus enam
puluh....."
"Dua ratus lima puluh
saja sudah jauh daripada cukup," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum.
Mendadak Lo-cinjin menukas
dengan membentak, "Kubilang cukup dua ratus empat puluh saja!" -
Berbareng dengan bentakannya, kepalan kiri dan telapak tangan kanan terus
menghantam sekaligus.
Saat itu Lui-ji lagi
menghitung sampai: "Dua ratus tiga puluh delapan....."
Seketika itu juga Pwe-giok
merasa angin pukulan dan bayangan telapak tangan beterbangan dan entah cara
bagaimana harus menangkisnya. Apalagi sekalipun dia dapat menangkis juga sukar
menahan tenaga dalam yang maha dahsyat seperti gugur gunung itu.
Tampaknya dia pasti akan
terpukul roboh dan tiada pilihan lain....
Wajah Ji Hong-ho kembali
menampilkan senyuman gembira, Ang-lian-hoa juga telah melompat turun dari
ambang jendela, Hay-hong Hujin sedang menggeleng kepala, Sip-hun merangkap
kedua tangannya di depan dada seperti lagi berdoa....
Tubuh Pwe-giok tampaknya sudah
mulai mendoyong ke belakang karena terdesak oleh angin pukulan yang kuat,
seperti sebuah gendewa yang terpentang dan segera akan tertarik patah
mentah-mentah.
"Mengaku kalah
tidak?!" bentak Lo-cinjin mendadak.
Pwe-giok tidak menjawab, ia
menggertak gigi dan bertahan sekuatnya sambil menggeleng sebagai tanda pantang
menyerah.
Segera Lo-cinjin menambah
tenaga lagi, teriaknya dengan gusar, "Masih tahan kau? Tidak roboh
sekarang?!"
Akan tetapi Pwe-giok justeru
tidak mau roboh, tubuhnya semakin melengkung dan semakin rendah dengan keringat
memenuhi kepalanya, namun matipun dia tidak mau roboh.
Pandangan semua orang terpusat
kepada Pwe-giok, sampai berkedip saja tidak. Angin di luar jendela meniup makin
santer seakan-akan merobek bumi raya ini. Sedangkan semua orang yang berada di
dalam sama ikut tegang, suasana sunyi menyesakkan napas.
Tiba-tiba terdengar suara
keriat-keriut yang timbul dari tulang punggung Pwe-giok, nyata badannya
seakan-akan ditindih patah menjadi dua oleh tenaga tekanan yang maha dahsyat
itu.
Ciong Cing sudah mengucurkan
air mata, sekujur badannya tampak gemetar. Kwe Pian-sian juga cemas,
berulang-ulang ia mengusap keringatnya.
Sekonyong-konyong Ciong Cing
berteriak dengan suara parau, "Ji-kongcu kumohon padamu, kumohon dengan
sangat, hendaklah kau rebah sajalah!"
Hay-hong Hujin menghela napas
panjang, ucapnya, "Ai, anak bodoh, untuk apalah kau bertahan susah payah
begitu?....."
Pandangan Cu Lui-ji sudah
samar-samar karena kelopak matanya mengembeng air mata, air mata pun mulai
meleleh ke pipinya. Saat ini sampai Lui-ji juga hampir-hampir membujuk Pwe-giok
agar rebah dan mengaku kalah saja.
Remuk redam hati Lui-ji, ia
sudah tidak tega memandangnya lagi.
Ang-lian-hoa juga tidak tahan,
mendadak ia berseru, "Hong-sam sianseng, apakah kau menghendaki dia mati
tertindih begitu barulah mau mengaku kalah?"
Hong Sam tidak menjawabnya,
sejenak kemudian barulah ia berkata dengan rawan, "Urusan sudah begini,
terpaksa aku...."
Tapi mendadak Pwe-giok
berteriak: "Tidak, kita belum kalah, aku belum lagi roboh, aku masih
tahan!"
Lo-cinjin menjadi gusar,
dampratnya, "Anak busuk, tabiat busuk, memangnya kau minta benar-benar
kuhancurkan kau?!" - Saking gusarnya ia terus mendesak maju satu langkah.
Tak terduga, tiba-tiba kakinya
kebetulan menginjak pada sesuatu yang lunak, kiranya dia menginjak di atas
sebuah karung goni. Padahal tenaga injakannya itu tidak kepalang kuatnya,
betapapun kukuhnya karung goni itu juga pecah terinjak.
"Bret", karung goni
itu robek, sekonyong-konyong beratus-ratus makhluk berbisa yang sukar dibedakan
jenisnya itu sama merayap ke atas tubuhnya.
Karena kejadian yang tak
terduga-duga ini, semua orang sama melenggong.
Lo-cinjin menjadi kaget dan
juga gusar, cepat tangannya mengebas dan kaki bergoyang, maksudnya hendak
membikin rontok binatang melata itu tergetar jatuh dari tubuhnya, habis itu
akan diinjaknya hingga hancur.
Akan tetapi binatang melata
yang sudah terlanjur merayap ke atas tubuhnya itu terlalu banyak, seketika
sukar dibersihkannya.
Maka terjadilah adegan aneh
dan lucu, Lo-cinjin seperti lagi menari, sebentar tangannya berputar, lain saat
kakinya melangkah, mendadak tangan menepuk tubuh sendiri pula. Kalau saja Khikangnya
tidak mencapai tingkatan yang sempurna dan hawa murni meliputi seluruh tubuhnya
sehingga sekeras baja, mungkin tubuhnya sudah babak belur digigit oleh kawanan
makhluk berbisa itu.
Mata Cu Lui-ji seketika
terbeliak, mendadak ia pergencar hitungannya, "Dua empat satu, dua empat
dua, dua empat tiga......" sekaligus tanpa ganti napas ia terus
menghitung, hanya sekejap saja hitungannya sudah mencapai "dua delapan
puluh."
Baru sekarang Ji Hong-ho
terkejut dan mengetahui permainan anak dara itu, cepat ia membentak. "He,
tidak, tidak boleh, tidak dapat dianggap!"
Namun Lui-ji tidak
menghiraukannya, ia masih terus menghitung. "Dua delapan satu, dua delapan
dua, dua delapan tiga, dua delapan empat ......"
Mendadak Lo-cinjin meraung
keras-keras satu kali, ia injak ke sana-sini dan menginjak mati kelabang yang
terakhir, pada saat itu pula hitungan Cu Lui-ji juga genap "tiga
ratus".
Suasana di atas loteng kecil
itu seketika sunyi senyap seperti kuburan, selang sekian lamanya barulah
terdengar Ji Hong-ho tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Sudah tentu caramu
menghitung ini tidak sah."
"Hm, sah atau tidak
adalah urusan nanti, yang jelas sekarang Sicekku roboh atau tidak?!"
jengek Lui-ji.
Dalam pada itu Ji Pwe-giok
lagi bersandar di dinding dengan napas terengah-engah, namun tubuhnya masih
berdiri tegak tanpa ambruk.
Terpaksa Ji Hong-ho bungkam
dan tak dapat menjawab.
Dengan melotot Lui-ji lantas
berkata pula, "Dan kalau Ji-sicek tidak sampai roboh, sedangkan jago
kalian Lo-cinjin juga sudah selesai melancarkan serangan 300 jurus, dengan
sendirinya pertarungan ini telah dimenangkan oleh pihak kami, kenapa kau
menyangkal dan berdasarkan apa tidak kau anggap sah?" jengek Lui-ji.
"Tapi beberapa puluh
jurus Lo-cinjin yang terakhir tadi bukan ditujukan untuk melayani Ji-kongcu,
hal ini disaksikan oleh semua orang, masa aku mengada-ada?"
"Hm, itu kan cuma
alasanmu sendiri," jengek Lui-ji. "Jika dia sedang bergebrak dengan
Sicekku, maka setiap jurus dan gerakan yang digunakannya berarti ditujukan
kepada Sicek, jadi setiap gerakan, setiap jurus yang dilontarkan harus
dihitung. Kalau dia menghantam dan menyerang secara ngawur, itu kan salah dia
sendiri, kenapa menyalahkan orang lain?"
"Tapi makhluk berbisa
itu....."
"Binatang berbisa itu kan
terbungkus baik-baik di dalam karung goni, siapapun tidak mengganggunya, juga
kami tidak melepaskannya, sebaliknya tanpa sebab jago kalian telah menginjaknya
hingga mati semua, untuk itu malahan aku hendak minta ganti rugi padanya."
Sudah tentu Ji Hong-ho tahu
ucapan anak dara itu hanya pokrol bambu saja, tapi seketika ia menjadi bungkam
dan tidak sanggup menjawab. Ia melenggong sejenak, akhirnya dia berpaling ke
arah Lo-cinjin, katanya dengan menyengir: "Kukira urusan ini Lo-cinjin
dipersilahkan memutuskannya sendiri."
Sinar mata Lo-cinjin gemerdep,
mendadak ia berseru, "Bocah ini ternyata mampu menahan 300 jurus
seranganku, dia benar-benar anak yang hebat."
"Tapi cinjin sendiri
tidaklah benar-benar melontarkan 300 jurus serangan ke arahnya," seru Ji
Hong-ho.
Lo-cinjin mendelik, katanya,
"Siapa bilang aku tidak melontarkan 300 jurus padanya? Jika dia bertanding
denganku, dengan sendirinya setiap gerakanku harus dihitung satu jurus. Kalau
jurus seranganku tidak mampu merobohkan dia, itu juga urusanku, kalian tidak
perlu ikut campur."
Seketika Ji Hong-ho melongo
dan tak dapat bersuara lagi.
Saking bergirang, akhirnya Cu
Lui-ji menubruk maju dan mendekap tubuh Ji Pwe-giok, teriaknya gembira:
"Sicek, O, Sicek, kita menang, kita menang........"
Ji Hong-ho tersenyum, sikapnya
sudah tenang kembali, katanya: "Jika Lo-cinjin menyatakan kalian yang
menang, ya dengan sendirinya kalian yang menang."
"Nah, kedua kalimat
ucapannya ini masih menyerupai ucapan seorang Bu-lim-bengcu," kata Lui-ji
dengan tertawa.
"Dan sekarang silahkan
kalian pergi saja, orang she Ji menjamin pasti tiada orang yang akan
mempersulit kalian," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum hambar.
"Apa katamu? Pergi? Siapa
yang pergi?..." Lui-ji menegas dengan mata melotot. "Tempat ini
adalah rumah kami, kenapa kami yang harus pergi? Yang benar kalau omong!"
Air muka Ji Hong-ho rada
berubah, tapi Lo-cinjin lantas membentak, "Memang tidak seharusnya mereka
pergi, kitalah yang harus pergi!...."
Belum habis ucapannya,
sekonyong-konyong dari luar jendela menerobos masuk dua orang. Seorang
diantaranya bersinar mata tajam mencorong, muka burik, dengan suara bengis ia
berteriak, "Betul, kita harus pergi. Tapi sebelum pergi kita memenggal
dulu kepala mereka."
"Kau ini barang
apa?" damprat Lui-ji dengan gusar.
Ji Hong-ho tersenyum, katanya,
"Inilah Tio Kun, Tio-tayhiap yang berjuluk "Boan-thian-sing"
(bintang bertaburan di langit), kedua telapak tangan besinya dan ke 72 buah
Kim-ci-piaunya terkenal di sekitar Kamsiok dan Samsay." –
Lalu ia tunjuk seorang lagi
yang bermuka lonjong seperti kuda berbaju kuning dan bertubuh tinggi kurus,
sambungnya, "Yang ini adalah Wi Hong, Wi-tayhiap yang berjuluk
"Jian-li-hong-ki" (Kuda sakti seribu li), terkenal sebagai kaki cepat
nomor satu di daerah Hopak dan Holam."
"Huh, manusia baik-baik
kenapa suka disebut sebagai kuda?" jengek Lui-ji. "Coba kawanmu si
burik ini, biarpun mukanya tidak rata kan juga tidak mau dipanggil sebagai Tio
si bopeng, meski mukamu serupa kuda kan sepantasnya mencari suatu nama yang
lebih enak di dengar?!"
Muka kuda Wi Hong yang memang
panjang itu rasanya semakin panjang oleh karena olok-olok Cu Lui-ji itu, segera
ia balas menjengek, "Hm, meski Lo-cinjin bermaksud mengalah kepada kalian,
tapi kami tidak nanti melepaskan kau. Menghadapi kawanan siluman seperti kalian
ini kukira juga tidak perlu bicara tentang peraturan Kangouw apa segala. Nah,
budak cilik, kalau tahu gelagat, ikutlah pergi bersama tuanmu!"
Selagi telapak tangannya yang
lebar seperti daun pisang itu terangkat dan hendak meraih ke arah Lui-ji,
sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Sip-hun sudah berdiri di
depannya dengan mengulum senyum.
"Guruku sudah menyatakan
akan melepaskan mereka, maka Wi-tayhiap hendaknya juga suka berbuat sama dengan
melepaskan mereka," kata Sip-hun dengan ramah.
Tapi Wi Hong lantas menjawab
dengan suara bengis, "Urusan kaum Cianpwe dunia Kangouw mana ada hak
bicara bagi orang muda seperti kau ini? menyingkir!" - Tangan yang baru
saja ditarik kembali itu mendadak mendorong pula ke depan.
Akan tetapi Sip-hun masih
tetap berdiri di tempatnya dengan tertawa, sama sekali ia tidak berkelit atau
bergerak. Namun gontokan Wi Hong yang keras itu ternyata tidak mampu membuat
Sip-hun bergeming sedikitpun.
Air muka Wi Hong berubah
pucat, belum lagi dia bertindak lebih lanjut, Lo-cinjin telah mendekatinya dan
berkata dengan suara tertahan, "Muridku ini memang tidak tahu aturan,
apakah kau ingin mengajar adat padanya?"
Semua orang sudah menyaksikan
sikap Lo-cinjin yang kasar itu terhadap muridnya, selain main bentak juga main
pukul. Wi Hong mengira Tosu cilik yang selalu tertawa dan ramah ini tentu tidak
disukai sang guru, maka ia tidak meragukan ucapan Lo-cinjin tadi, dengan
tertawa ia menjawab, "Cayhe memang sembrono dan ingin meng......"
Belum habis ucapannya, kontan
Lo-cinjin berjingkrak dan meraung murka, "Kau ini kutu busuk macam apa?
Kaupun sesuai untuk mengajar muridku? Huh, tanganmu yang berbau busuk ini
berani menyentuhnya? Baik!"
Baru saja kata
"baik" diucapkan, mendadak pula ia turun tangan, secepat kilat
pergelangan tangan Wi Hong dicengkeramnya, menyusul lantas terdengar suara
"krak-krek", tulang pergelangan tangan itu telah dipatahkannya
mentah-mentah.
Keruan Wi Hong meraung
kesakitan, segera kaki kanannya menyapu. Dia terkenal sebagai kaki sakti nomor
satu di daerah utara, dengan sendirinya tenaga kakinya tidak boleh dibuat
main-main, sekalipun sepotong cagak batu, sekali disampuk dengan kakinya juga
akan hancur.
Namun Lo-cinjin tidak berkelit
juga tidak menghindar, dia sengaja menerima serampangan kaki lawan dengan keras,
maka terdengar suara "krek" yang lebih keras, yang patah ternyata
bukan kaki Lo-cinjin melainkan kaki Wi Hong sendiri.
Belum lagi Wi-hong sempat
menjerit kesakitan, lebih dulu dia sudah kelengar.
Tanpa memandang sekejappun
terhadap pecundangnya itu, Lo-cinjin berpaling ke arah Tio Kun, tanyanya dengan
dingin: "Kau anggap kata-kataku seperti orang kentut, kaupun menghendaki
kepala mereka, begitu bukan katamu tadi?"
Muka Tio Kun pucat pasi
seperti mayat. Tapi apapun juga dia tergolong tokoh yang sudah terkenal, di
depan orang banyak, betapapun dia tidak mandah diperlakukan kasar begitu,
betapapun dia ingin menjaga kehormatannya.
Dia tertawa terkekeh, lalu
berkata: "Baiklah, kalau Cinjin tidak mau ikut campur lagi urusan ini,
boleh serahkan saja kepada kami."
"Serahkan padamu? Huh,
kau ini apa?" teriak Lo-cinjin dengan murka. "Apakah karena orang
sudah kehabisan tenaga dan hampir tidak bisa bergerak lagi, maka kau ingin
menarik keuntungan tanpa mengeluarkan tenaga, begitu?"
Begitu habis ucapannya, sekali
cengkeram, tahu-tahu leher baju Tio Kun telah dijambretnya, tubuhnya terus
diangkat. Padahal perawakan Lo-cinjin jauh lebih pendek dan kecil daripada
lawannya, tentu saja hal ini membuat semua orang tercengang.
Tio Kun terkejut dan juga
gusar, tanpa pikir kedua telapak tangannya terus menghantam ke bawah dan tepat
mengenai pundak kanan-kiri Lo-cinjin.
Seperti sudah diceritakan, Tio
Kun terkenal dengan telapak tangan besinya, tapi ketika kena hantam di tubuh
Lo-cinjin, telapak tangan besinya telah berubah menjadi tangan tebu,
'Krak-krek", kontan tulang tangannya patah semua, kembali ia menjerit
ngeri, dari setiap burikan di mukanya tampak menetes keluar air keringat.
Begitulah dengan tangan kanan
Lo-cinjin mencengkeram Tio Kun dan tangan kiri mengangkat Wi Hong, meski Tojin
ini kurus kecil, tapi dua lelaki kekar itu dapat diangkatnya dengan enteng dan
seenaknya, hal ini benar-benar membuat para penonton sama melongo. Malahan
Lo-cinjin seperti sama sekali tidak mengeluarkan tenaga meski kedua tangan mengangkat
dua lelaki besar itu, dia seperti membekuk dua ekor ayam jago saja, ayam jago
yang sudah keok tentunya.
Melihat Kungfu yang
mengejutkan ini baru sekarang semua orang teringat kepada Ji Pwe-giok, baru
sekarang mereka dapat menilai betapa hebatnya anak muda itu.
Pikir saja, kalau dua tokoh
Kangouw terkenal seperti "Boan-Thian-sing" dan
"Jian-li-sin-ki" tidak sanggup menahan sekali gebrak dengan
Lo-cinjin, sebaliknya Ji Pwe-giok yang masih muda belia dan kelihatan lemah
lembut itu ternyata sanggup bergebrak dan bertahan sampai 300 jurus.
Waktu semua orang berpaling ke
arah Ji Pwe-giok, pandangan mereka terhadap anak muda ini sekarang jelas sudah
berbeda daripada tadi.
Ji Hong-ho juga sedang
memandang Pwe-giok dengan lekat-lekat, sampai lama sekali dia menatap anak muda
itu.
Tiba-tiba Lo-cinjin berteriak
gusar, "Nah, siapa lagi yang berani menganggap ucapanku sebagai kentut?
Ayo, bersuara!?"
Suasana menjadi hening, baik
orang yang berada di atas loteng maupun yang nongkrong di sekeliling wuwungan rumah
itu tiada seorang pun yang berani bersuara.
"Hmmk!" Lo-cinjin
mendengus keras-keras satu kali, lalu melangkah turun ke bawah loteng.
Sip-hun lantas merangkap kedua
tangannya di depan dada dan memberi hormat dengan tersenyum, katanya,
"Beruntung hari ini Tecu sempat berjumpa dengan para Cianpwe, sungguh aku
merasa sangat bangga dan bahagia. Semoga selanjutnya dapat sering-sering
mendapat petunjuk lagi dari para Cianpwe."
Meski dia bicara terhadap
semua orang, namun matanya terus menerus hanya memandang kepada Cu Lui-ji.
Lui-ji lantas mendamprat
perlahan, "Huh, Tosu bermata maling, lekas kau enyah saja!"
Entah mendengar atau tidak,
kembali Sip-hun memberi hormat dengan sopan, lalu iapun melangkah pergi, sampai
di ujung tangga mendadak ia berhenti dan berpaling, katanya dengan tersenyum,
"Silahkan Bengcu jalan dahulu!"
Ji Hong-ho tersenyum, ucapnya,
"Hong-locianpwe, selamat tinggal, Ji-kongcu, selamat tinggal.... Kumohon
diri sekarang juga."
Tiba-tiba Hay-hong Hujin
berjalan ke arah Kwe Pian-sian.
Keruan orang she Kwe itu
menjadi kebat-kebit dan muka pucat.
Tak tersangka Hay-hong Hujin
tetap tidak memandangnya barang sekejap pun, yang dituju adalah Ciong Cing,
katanya terhadap nona ini dengan tertawa, "Apakah kau ini murid Ji
Siok-cin?"
Ciong Cing menunduk kikuk.
Tiba-tiba ia merasa dirinya tidak boleh tampak lemah di depan saingan cintanya,
seketika dia menengadah dan menjawab, "Ya!"
Hay-hong Hujin menghela napas,
ucapnya kemudian. "O, kasihan, sungguh kasihan. Ai, sayang, sungguh
sayang....."
"Aku..... aku..... "
seketika Ciong Cing menjadi bingung dan tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.
Ketika melihat wajah Hay-hong Hujin yang bersifat menghina itu, seketika ia
naik pitam, ia tidak pedulikan lagi bagaimana akibatnya, dengan nekat ia berteriak,
"Kasihan apa? Perempuan yang sudah dibuang oleh lakinya itulah yang harus
dikasihani!"
Hay-hong Hujin hanya tersenyum
hambar saja dan tidak meladeni lagi, dengan lemah gemulai ia melangkah pergi,
ia anggap tidak berharga untuk meladeni olok-olok itu.
Sekujur badan Ciong Cing
sampai bergemetar, air mata akhirnya meleleh membasahi pipinya.
Yang paling ditakuti seorang
perempuan adalah kalau dihina oleh bekas kekasih orang yang dicintainya
sekarang. Hal ini akan sangat menyakitkan hatinya, sebab akan dirasakannya
bahwa orang yang dipandangnya seperti jiwanya, seperti sukmanya, nyatanya tidak
lebih adalah barang bekas orang lain, barang yang sudah dibuang orang lain.
Ang-lian-hoa melototi Kwe
Pian-sian sejenak, lalu ia pandang Hong Sam dan pandang pula Ji Pwe-giok.
Mendadak ia berjumpalitan keluar jendela.
Waktu Pwe-giok memandang
keluar, ternyata orang-orang yang memenuhi wuwungan sekeliling loteng kecil itu
pun sudah pergi seluruhnya.
Pwe-giok menghela napas
panjang, napas yang lega dan akhirnya ia pun roboh terkulai....
-oOo oOo-
Lentera yang tergantung di
tangga loteng itu ternyata tidak dibawa pergi oleh rombongan Ji Hong-ho. Pintu
juga tidak ditutup kembali, angin meniup masuk membuat sumbu lentera
bergoyang-goyang.
Cahaya lentera yang redup itu
menyinari wajah Ji Pwe-giok yang pucat bagaikan kertas.
Lui-ji menubruk maju dan
mendekap tubuh anak muda itu, serunya dengan menangis, "O, Sicek, entah
cara bagaimana aku harus berterima kasih padamu?!"
Keadaan Hong-samsianseng juga
sangat payah, ia menghela napas panjang dan berkata dengan lemah, "Di
hadapan Sicek kenapa kau bicara tentang 'terima kasih'?”
Lui-ji menunduk, air matapun
bercucuran memenuhi wajahnya.
Pwe-giok tersenyum hambar,
katanya, "Apapun juga kita kan sudah menang, apalagi yang kau
sedihkan?"
Sambil mengusap air matanya
Lui-ji berkata, "Aku tidak sedih, tapi..... tapi tidak terlalu
bergembira."
Baru kata "gembira"
terucapkan, tangisnya sukar dibendung lagi.
Tiba-tiba Kwe Pian-sian
berdehem, lalu berkata dengan tertawa, "Sungguh tidak nyana Lo-cinjin yang
termasyhur dan tiada tandingannya di dunia ini sekarang juga keok di bawah
tangan saudara Ji kita. Setelah pertarungan ini, siapa pula di dunia Kangouw
yang takkan kagum kepada Ji-heng...."
Mendadak Lui-ji berseru,
"Dia adalah Sicekku, berdasarkan apa kau berani menyebutnya 'Ji-heng'
(saudara Ji)?"
Kwe Pian-sian berdehem-dehem,
ia tidak menanggapi dampratan anak dara itu, katanya pula, "Ya,
selanjutnya nama Ji-kongcu pasti akan termasyhur dan mengguncangkan seluruh
dunia, hanya saja...."
"Hanya saja apa?"
tanya Lui-ji dengan mendongkol.
"Hanya saja, tempat ini
bukan lagi tempat yang boleh didiami untuk selamanya," kata Kwe Pian-sian.
"Menurut pendapatku, akan lebih baik kalau lekas pergi saja dari
sini."
"Pergi dari sini?" Lui-ji
menegas dengan melotot. "Di sinilah rumahku, kenapa kami harus
pergi?"
"Nona tahu, meski Ji
Hong-ho dan begundalnya tadi mengalami kekalahan, tapi mereka pasti penasaran
dan tidak terima, jika dikatakan mereka benar-benar sudah kapok dan tidak berani
mengganggu lagi ke sini, kukira siapapun takkan percaya." demikian ulasan
Kwe Pian-sian.
"Tapi kalau mereka
benar-benar hendak mencari kita, biarpun lari juga tiada gunanya, sebab
akhirnya toh pasti akan ditemukan mereka," jengek Lui-ji. "Apalagi,
memangnya kau kira Sacekku ini adalah orang yang suka main lari? Jika mau lari
tentu sudah sejak dulu-dulu lari, untuk apa kami menunggu di sini sampai
sekarang?"
"Memang betul juga ucapan
nona," kata Kwe Pian-sian. "Tapi.... tapi kalau tetap tinggal di sini
kukira juga bukan... bukan cara yang baik...."
"Jika kau ingin pergi,
boleh silahkan pergi saja sesukamu, tiada orang yang akan menahan dirimu,"
jengek Lui-ji pula.
Muka Kwe Pian-sian sebentar
pucat sebentar merah, ia tidak bicara lagi, juga tidak berani pergi.
Kalau Ang-lian-hoa dan
Hay-hong Hujin ada kemungkinan sedang menunggunya diluar sana, apakah dia
berani pergi?
oOo oOo
Angin menderu-deru di luar,
suasana di atas loteng kecil itu justeru sunyi senyap, bila teringat kepada Ji
Hong-ho dan rombongannya itu pasti tidak mau berhenti begitu saja, pikiran
setiap orang menjadi tertekan.
DI tengah suara angin yang
menderu-deru itu tiba-tiba terdengar suara anjing mengaing, suara mengaing yang
melengking dan seram seperti jeritan setan.
Tanpa terasa Ciong Cing
merinding, katanya, "Mengapa...... mengapa suara anjing itu sedemikian
menakutkan?"
Bulu roma Cu Lui-ji juga
berdiri, tapi ia menanggapi dengan tertawa, "Bisa jadi Ji Hong-ho telah
menginjak ekor anjing itu."
Baru habis ucapannya,
sekonyong-konyong suara lengking anjing tadi tak terdengar lagi, mengaingnya
sangat mendadak, berhentinya juga secara mendadak. Meski suara mengaingnya
menyeramkan dan menakutkan, tapi suara yang lenyap mendadak itu terlebih
membuat orang mengkirik.
Di jagat raya ini seketika
seperti penuh diliputi alamat yang tidak baik.
Lui-ji ingin bicara apa-apa
untuk memecahkan ketegangan, tapi sukar baginya untuk bicara dan juga tidak
tahu apa yang harus dikatakannya.
Pada saat itu juga,
sekonyong-konyong terdengar suara "blung" yang dahsyat, menyusul api
lantas berkobar dan menjulang tinggi ke langit.
Begitu cepat nyala api itu,
hanya sebentar saja hampir setengah langit sebelah sana telah terbakar hingga
merah menganga.
"Keji amat tindakan Ji
Hong-ho ini, dia hendak membakar mati kita," seru Kwe Pian-sian dengan
kuatir.
Air muka Pwe-giok berubah agak
pucat juga, katanya, "Pantas lebih dulu dia telah mengusir seluruh
penduduk kota ini, rupanya memang sudah direncanakannya akan membumihanguskan
Li-toh-tin ini. Hm, dia sok anggap dirinya seorang pendekar budiman, sekarang
ternyata tidak segan-segan berbuat serendah ini."
Kobar api makin lama makin
dahsyat dan makin mendekati loteng kecil itu, cuma belum lagi berbentuk suatu
lingkaran yang mengepung.
Cepat Kwe Pian-sian melompat bangun,
serunya dengan suara parau, "Ayo cepat! Lekas kita terjang keluar, mungkin
masih keburu!"
Lui-ji memandang ke arah Hong
Sam. Dilihatnya air muka Hong-samsianseng sangat prihatin dan tidak memberi
komentar apapun.
Dengan tak sabar Kwe Pian-sian
berseru pula dengan melotot, "Urusan sudah begini, masa kalian belum lagi
mau pergi?!"
Pwe-giok menghela napas,
katanya, "Ya, memang betul, urusan sudah kadung begini, apapun jadinya
terpaksa kita harus menerjang ke luar!"
"Tapi.... tapi luka
Sacek...." Lui-ji merasa ragu.
"Biarkan ku gendong
Hong-lo.... Hong-samko dan kau ikut saja di belakangku," kata Pwe-giok
dengan tersenyum getir.
"Dan aku bagaimana?"
tukas Gin-hoa-nio yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara. "Tentunya
kalian tidak akan meninggalkan diriku di sini bukan?!"
Lui-ji menggertak gigi,
katanya, "Biarkan ku gendong Sacek saja dan kau.... kau gendong dia."
Kwe Pian-sian memandang Ciong
Cing sekejap, akhirnya iapun menggendong nona itu, serunya "Ayolah, kalau
tidak berangkat sekarang mungkin tidak keburu lagi!"
"Betul, lekaslah kalian
pergi semua," kata Hong-sam sianseng.
"He, Sacek, kau...."
Belum lanjut ucapan Lui-ji,
dengan menarik muka Hong-sam sianseng lantas membentak dengan suara bengis.
"Sacek tidak apa-apa, masa aku perlu kau gendong dan melarikan diri?.....
Memangnya Sacek adalah manusia pengecut demikian?"
Cahaya api yang berkobar
dengan hebatnya telah menyinari mukanya yang kelihatan merah padam.
"Jika demikian, biarlah
Siaute saja yang......"
Belum lanjut ucapan Pwe-giok,
dengan gusar Hong Sam berkata pula, "Kelak bila orang Kangouw mengetahui
Hong Sam telah melarikan diri dengan digendong orang, lalu kemana lagi akan ku
taruh mukaku ini? Kalau sudah begitu, biarpun hidup apa bedanya lagi dengan
mati?"
"Tapi..... tapi urusan
dalam keadaan luar biasa," seru Pwe-giok, "Samko, apakah..... apakah
engkau tak dapat memaklumi keadaan?....."
"Sudahlah," ucap
Hong Sam dengan tegas, "Tekadku sudah bulat, tiada gunanya kau bicara
lagi, lekas kalian berangkat saja!"
Hampir gila Lui-ji saking
cemasnya. Tapi ia pun kenal watak sang paman, bilamana Hong-sam sianseng sudah
mengambil keputusan demikian, di dunia ini mungkin tiada seorangpun yang mampu
mengubah pendiriannya.
Pwe-giok berkata pula dengan
rawan, "Ku tahu Samko kuatir pada keadaanku yang sudah lemah ini, maka
lebih suka mati sendiri daripada menambah bebanku, tapi hendaklah Samko
mengetahui, Siaute masih..... masih cukup kuat....."
Hong-sam sianseng terus
memejamkan mata dan tidak menggubrisnya lagi biarpun apa juga yang dikatakan
Pwe-giok.
Nyala api bertambah hebat dan
menjilat ke sekitarnya, hanya sekejap saja api sudah dekat bangunan loteng
kecil itu.
Agaknya Ji Hong-ho dan
begundalnya telah memasang bahan-bahan pembakar yang mudah menyala, sebab
itulah api menjalar dengan amat cepat.
Akhirnya Kwe Pian-sian berkata
dengan suara serak, "Jika kalian tidak pergi, terpaksa ku pergi lebih
dulu, hendaklah kalian.... kalian...." dia seperti mau omong apa-apa lagi,
tapi urung. Dengan beringas ia terus melompat keluar dengan memondong Ciong
Cing.
Terdengar suara tangis Ciong
Cing sayup-sayup berkumandang dari luar jendela sana, sejenak kemudian lantas
tidak terdengar apa-apa lagi.
"Kalian pun harus pergi,
mengapa masih diam saja di sini?" bentak Hong Sam dengan suara bengis.
Tapi Lui-ji malah berduduk di
sampingnya dan berkata, "Sacek tidak pergi, akupun tidak pergi."
"Kau berani membangkang
ucapanku?" bentak Hong Sam dengan gusar.
Lui-ji tersenyum pedih,
ucapnya, "Apapun ucapan Sacek akan ku patuhi, tapi sekali ini...... sekali
ini aku......"
Mendadak Hong Sam angkat
tangannya dan mendorong anak dara itu hingga jatuh tersungkur, lalu bentaknya,
"Kau berani membangkang kataku, biar ku pukul mampus kau lebih dulu."
"Biarpun Sacek pukul
mampus diriku tetap aku takkan pergi," jawab Lui-ji tegas.
Hong Sam menjadi kewalahan, ia
menghela napas dan menggeleng.
"Ji Pwe-giok!"
teriak Gin-hoa-nio mendadak, "Apakah kau juga tidak mau pergi? Apakah kau
hendak mengiringi kematian mereka?"
Tapi Pwe-giok tetap berdiri
saja dengan tenang, tampaknya ia pun terkesima.
Ia tahu kalau tetap tinggal di
sini dan menunggu mati terbakar, hal ini sungguh perbuatan yang terlalu bodoh.
Tapi apapun juga dia tidak dapat menyelamatkan diri dengan meninggalkan Cu
Lui-ji dan Hong Sam.
Dengan suara parau Gin-hoa-nio
berteriak, "Gila, kalian semua orang gila.... Sungguh sial aku berkumpul
dengan kalian!"
Sekuatnya ia meronta ke depan
jendela, tanpa pikir ia terus melompat keluar. Akan tetapi sisa tenaganya
sekarang tidak seberapa lagi, baru saja terjun ke bawah segera terdengar ia
menjerit kesakitan, mungkin kakinya terkilir.
Pwe-giok tahu bilamana
Gin-hoa-nio hendak lolos di tengah berkobarnya api sehebat itu, maka peluangnya
boleh dikatakan sangat tipis, tanpa terasa ia menghela napas.
Segera Hong Sam berteriak pula
dengan beringas, "Kalian benar-benar hendak mati bersamaku?"
Pwe-giok memandang Lui-ji
sekejap, lalu berkata, "Siaute ingin...."
"Bagus, jadi kalian baru
mau pergi setelah ku mati, begitu?" seru Hong Sam sambil tertawa latah,
mendadak ia angkat sebelah tangannya terus menghantam kepalanya sendiri.
Keruan Pwe-giok dan Lui-ji
menjerit kaget, berbareng mereka memburu maju.
Syukurlah pada saat itu juga
mendadak terdengar suara "blang" yang sangat keras, dinding
sekeliling hancur lebur, pecahan papan beterbangan, seorang tiba-tiba menerjang
masuk seperti malaikat yang baru turun dari langit!
Di bawah cahaya api yang
berkobar-kobar itu, pandangan Pwe-giok juga cukup tajam, betapa wajah orang
yang menerjang masuk itu seharusnya dapat dilihatnya dengan jelas.
Namun gerak tubuh orang itu
sungguh terlalu cepat, baru saja terdengar suara gemuruh tadi, mungkin Hong Sam
sendiri juga tertegun, tahu-tahu Pwe-giok melihat sesosok bayangan menyerempet
lewat di sebelahnya, Hong Sam terus diangkatnya, lalu melayang pergi secepat
kilat. Jadi bagaimana wajah pendatang ini, tua atau muda, lelaki atau
perempuan, sama sekali Pwe-giok tidak tahu.
Lui-ji berteriak dengan kaget,
"Hai, siapa kau? Kenapa kau menyerobot Sacekku?"
Belum lenyap suaranya,
bayangan orang tadi sudah melayang pergi beberapa tombak jauhnya. Terdengar
suara Hong-sam sianseng membentak di kejauhan, "Siapa kau?"
Lalu suara orang yang parau
menjawab, "Aku!"
Agaknya Hong-sam sianseng
lantas menghela napas panjang, napas yang lega, lalu tidak bicara lagi.
Dalam pada itu Pwe-giok dan
Lui-ji juga sudah memburu keluar, dilihatnya bayangan orang di depan sana
melejit-lejit seperti gundu yang dilemparkan, bila lidah api menjilat ke depan,
sekali tangannya mengebas dengan perlahan, kobaran api lantas menyurut, hanya
sekejap saja bayangan orang itu sudah menerjang keluar lautan api.
Meski Pwe-giok dan Lui-ji
masih terus mengejar dengan sepenuh tenaga, tapi jaraknya makin lama makin
jauh.
"Tinggalkan Sacekku....
Kumohon, tinggalkan Sacekku!" Lui-ji berteriak-teriak dengan suara parau.
"Wuttt", mendadak
gulungan api menyambar lewat, waktu mereka memandang ke depan, bayangan tadi
sudah lenyap. Lui-ji berlari lagi beberapa langkah dan akhirnya jatuh mendekap
di atas tanah serta menangis tergerung-gerung.
Pwe-giok pun iba melihat
tangis Lui-ji itu, cepat ia memburu maju untuk membangunkan anak dara itu. Baru
sekarang Lui-ji mengetahui tanpa terasa mereka sudah menerjang keluar lautan
api.
Rambut Lui-ji dan bajunya
tampak ada bintik-bintik api, beberapa bagian tubuh Pwe-giok juga hangus
terbakar. Tapi dalam keadaan cemas dan gelisah, keduanya sama sekali tidak
merasakan hal itu.
"Kenapa kau menyerobot
Sacekku? Cara bagaimana aku dapat hidup lagi selanjutnya?" demikian Lui-ji
meratap dengan sedihnya.
Pwe-giok menghela napas
melihat betapa berduka anak dara itu, ucapnya dengan rawan, "Tampaknya
orang tadi tidak bermaksud jahat, coba kalau tiada dia, mungkin kita sudah
terkubur di tengah lautan api itu."
"Tapi.... tapi bagaimana
dengan.... dengan Sacek?" kata Lui-ji.
"Agaknya Sacekmu kenal
dengan orang ini, mungkin sekali mereka adalah sahabat." ujar Pwe-giok.
"Kalau kita melihat betapa tinggi Kungfunya tadi, bila Sacekmu dibawa
pergi olehnya, kita justeru boleh merasa lega malah."
Terhibur juga hati Lui-ji,
suara tangisnya mulai lirih. Ucapnya dengan masih tersedu sedan, "Ya,
memang kedengaran tadi Sacek.... Sacek bertanya satu kali padanya, lalu.....
lalu tidak bertanya pula, agaknya mereka memang kenal.... Tapi kalau dia
membawa pergi Sacek, mengapa.... mengapa tidak membawa serta diriku
sekalian?"
Dengan suara lembut Pwe-giok
berkata, "Hal ini disebabkan..... disebabkan dia tidak kenal padamu."
"Memang." ujar
Lui-ji dengan air mata meleleh, "Semua sahabat Sacek di masa dahulu,
satupun tidak ku kenal. Ya, aku tidak kenal siapapun, sebaliknya juga tiada
orang yang kenal diriku. Aku… aku...." teringat kepada nasibnya yang
sengsara, tanpa terasa ia menangis sedih pula.
Pwe-giok terharu, hidung pun
terasa beringus, air matanya juga hampir-hampir menetes. Pelahan ia mengebut
bintik api yang masih membara di atas tubuh Lui-ji, lalu katanya dengan tertawa
ewa, Tapi Sicek kan kenal padamu dan kau pun kenal Sicek, betul tidak?"
Sambil menangis Lui-ji terus
menjatuhkan diri ke pangkuan Pwe-giok, ucapnya dengan suara terputus-putus,
"Sicek, kau.... kau takkan meninggalkan diriku bukan?"
Diam-diam Pwe-giok menghela
napas, tapi dimulut ia menjawab dengan tersenyum, "Masa Sicek akan
meninggalkan kau?.... Pendek kata, kemana pun Sicek pergi pasti akan kubawa
serta dirimu."
Padahal nasibnya sendiri
sekarang juga terkatung-katung, ia sendiri pun ditinggalkan sanak keluarga dan
handai taulan, ia pun tak tahu sekarang harus pergi ke mana. Kalau mengurus
diri sendiri saja repot, mana dia sempat mengurus orang lain lagi?
Sekonyong-konyong terasa hawa
panas menyambar dari belakang, rupanya kobaran api telah menjalar pula ke
tempat mereka ini.
Dari jauh terdengar suara
ramai orang menangis dan meratap, di tengah hiruk-pikuk itu pun terseling suara
orang mencaci maki, Mungkin penduduk Li-toh-tin menjadi kalap ketika melihat
rumah dan harta benda mereka telah musnah terbakar menjadi abu.
Tiba-tiba terdengar suara
seorang berteriak lantang, "Hendaknya kalian jangan susah dan bingung,
pokoknya segala kerugian kalian akan kami ganti sepenuhnya."
Diam-diam Pwe-giok berkerut
kening, pikirnya, "Biarpun Li-toh-tin ini kota kecil dan kebanyakan
penduduknya adalah kaum miskin, tapi kalau beratus keluarga jumlahnya kan jadi
tidak sedikit, tapi mereka ternyata bersedia memberi ganti rugi, apakah tujuan
mereka cuma hendak membakar mati beberapa orang ini?"
-oOo oOo oOo-
Angin sudah mulai berhenti,
tapi malam bertambah kelam.
Suara ribut di kejauhan juga
mulai sepi, Cu Lui-ji duduk termenung tanpa bergerak, sejak Pwe-giok membawanya
ke tanah pekuburan yang sunyi ini, belum lagi dia berucap satu kata pun.
"Api yang mereka kobarkan
itu pasti tidak cuma untuk membakar mati kita saja." kata Pwe-giok
tiba-tiba.
Dengan sorot mata yang kabur
Lui-ji memandangi sebuah kuburan baru di depan sana, ia hanya menanggapi ucapan
Pwe-giok itu dengan suara," Oo?"
"Sebab kalau mereka
menghendaki jiwa kita, pasti mereka sudah memasang perangkap di sekitar tempat
yang akan mereka bakar agar kita tak dapat lolos. Tapi sekarang dengan sangat
mudah kita dapat lari keluar, bahkan seorangpun tidak kita pergoki."
"Ehmm!" Lui-ji
mengangguk.
"Sebab itulah kupikir,
tujuan mereka hanya ingin mengusir kepergian kita saja....."
"Hanya ingin mengusir
kita, dan mereka tidak sayang membumihanguskan kota kecil ini, tidak sayang
untuk membayar ganti rugi harta benda sebanyak ini..... Apakah mereka sudah
gila?" demikian tukas Cu Lui-ji.
"Sudah tentu di balik
tindakan mereka ini masih ada sebab lain.... ya, pasti masih ada sebab
lain....."
Lui-ji tersenyum getir, katanya,
"Semula kurasa sudah jelas duduknya perkara, tapi ucapan Sicek ini tambah
membingungkan aku."
"Semua kejadian yang
tidak masuk akal ini hanya ada suatu penjelasannya," kata Pwe-giok tanpa
menghiraukan ucapan Lui-ji itu.
"Penjelasan
bagaimana?" tanya anak dara itu.
"Pada loteng kecil tempat
tinggal kalian itu pasti tersembunyi sesuatu rahasia besar yang sangat
mengejutkan orang," kata Pwe-giok.
"Rahasia besar?!"
Lui-ji melengak.
"Ya, lantaran rahasia
itulah maka Tonghong Bi-giok merasa berat meninggalkan ibumu meski banyak
kesempatan baginya untuk pergi," kata Pwe-giok pula, "Karena rahasia
itulah maka Oh-lolo dan lain-lain juga datang, juga lantaran rahasia inilah
maka Ji Hong-ho dan komplotannya tidak segan menyalakan api."
Terbeliak mata Lui-ji, ia
bergumam, "Tapi rahasia apakah itu?"
"Apakah kau ingat,
sebelum ibumu wafat, pernahkah beliau membicarakan sesuatu yang luar biasa
kepadamu?" tanya Pwe-giok dengan suara tertahan.
"Ibu tidak pernah
bercerita apa-apa," ujar Lui-ji sambil berkerut kening. "Beliau cuma
memberitahukan padaku bahwa tempat inilah rumahku, tempat inilah satu-satunya
benda yang dapat ditinggalkannya kepadaku, aku disuruh menyayanginya, makanya
selama ini aku tidak mau pergi dari sini...." mendadak suara ucapannya
terhenti, matanya tambah terbelalak.
Kedua orang saling pandang
sekejap, lalu serentak sama-sama berdiri.
Dalam pada itu api di kejauhan
sudah semakin kecil, tampaknya sudah hampir padam.
Akan tetapi api tidak padam
seluruhnya, dari ujung dinding, dari kusen pintu atau jendela yang hangus itu
terkadang masih tersembur keluar lidah api dengan membawa asap yang tebal.
Sejauh mata memandang, udara
penuh diliputi kabut asap yang tebal sehingga apapun tidak terlihat jelas.
Pelahan Pwe-giok dan Lui-ji
menuju kembali ke tengah tumpukan puing itu.
Di bawah alingan asap, mereka
menyelinap diantara reruntuhan puing, tidak lama kemudian dapatlah dilihat
mereka bangunan berloteng kecil itu sudah terbakar roboh.
Hanya Li-keh-can saja, hotel
yang dibangun jauh lebih kukuh daripada rumah penduduk itu tidak seluruhnya
runtuh, api sudah padam lebih cepat, tiang belandar sudah terbakar seluruhnya,
tapi sebagian besar dinding temboknya masih tegak.
Berjalan di atas reruntuhan
puing itu, Lui-ji merasa telapak kakinya masih panas seperti menginjak bara.
Waktu ia mengintai ke balik
asap tebal sana, dilihatnya di sekitar sana ada beberapa laki-laki berseragam
hitam sedang mondar-mandir membersihkan sisa kebakaran, tapi Ji Hong-ho dan
komplotannya tidak kelihatan, juga penduduk asli Li-toh-tin tidak nampak
satupun.
Pwe-giok juga sedang mengintai
dari pojok dinding sana.
Dengan suara mendesis Lui-ji
bertanya, "Sicek, sekarang juga kita mulai mencari atau menunggu
kedatangan mereka?"
"Sudah bertahun-tahun kau
tinggal di sini dan tidak kau temukan rahasia itu, dalam waktu singkat mana
dapat kita menemukannya. Apalagi kobaran api sekarang sudah mereda, kuyakin
selekasnya mereka akan datang lagi ke sini."
"Kalau begitu, apakah
kita perlu mencari suatu tempat untuk bersembunyi?"
"Ya, betul," jawab
Pwe-giok.
"Wah, sembunyi di mana
baiknya?" kata Lui-ji sambil memandang sekitarnya. "Eh, lihat Sicek,
bagaimana kalau di rumah sana?"
"Rumah itu kurang
baik," kata Pwe-giok, "Meski saat ini mereka belum menggeledah sampai
sini, tapi selekasnya mereka pasti akan kemari."
"Habis sembunyi di
mana?" tanya Lui-ji
"Dapur!" kata
Pwe-giok.
Waktu Lui-ji memandang ke
sana, dilihatnya dapur yang terbuat dari kayu itu sudah habis terbakar, ia
berkerut kening dan berkata, "Dapur sudah terbakar, mana dapat dibuat
sembunyi?"
Pwe-giok tertawa, katanya,
"Meski dapur sudah terbakar, tapi di dalam dapur kan masih ada sesuatu
tempat yang takkan musnah terbakar."
Terbeliak mata Cu Lui-ji,
serunya dengan suara tertahan, "He, maksudmu tungku? Betul, hanya batu
tungku saja yang takkan musnah terbakar untuk selamanya. Hah, sungguh bagus
gagasanmu ini Sicek!"
Tanpa ayal lagi mereka terus
berlari ke arah dapur hotel, terlihat di pojok sana ada sebuah gentong air yang
tidak rusak, cuma air di dalam gentong juga terbakar hingga menguap seperti
digodok.
Pwe-giok menyingkirkan wajan
besar di atas tungku, air gentong lantas di tuang ke dalam tungku. Setelah hawa
panas di dalam tungku hilang, mereka lantas menyusup ke dalam perut tungku dan
wajan tadi ditutup lagi di atasnya.
Li-keh-can adalah satu-satunya
hotel di Li-toh-tin, tamunya cukup banyak, setiap hari rata-rata harus melayani
makan-minum dua-tiga puluh orang.
Dengan sendirinya tungku yang
digunakan beberapa kali lebih besar daripada tungku rumah penduduk.
Pwe-giok dan Lui-ji
bersembunyi di dalam tungku besar itu sehingga serupa sembunyi di dalam sebuah
kamar sempit. Lubang tungku yang biasanya digunakan untuk menambah kayu bakar
itu menjadi mirip sebuah jendela bagi mereka.
Dinding papan dapur itu sudah
terbakar ludes, maka melalui "jendela' ini dapatlah Pwe-giok dan Lui-ji
mengikuti gerak-gerik bangunan berloteng kecil di depan sana.
Di loteng kecil itulah Lui-ji
dilahirkan dan dibesarkan, tapi sekarang bangunan itu sudah berwujud tumpukan
puing, tanpa terasa air mata Lui-ji berlinang-linang pula.
Tapi sedapatnya ia tidak
memperlihatkan rasa sedih itu, katanya dengan tertawa, "Sicek, kau lihat
tidak? Tungku di rumahku sana juga tidak musnah terbakar."
"Ya, seperti ucapanmu
tadi, tungku takkan terbakar rusak untuk selamanya," kata Pwe-giok dengan
suara halus. "Dan bumi juga selamanya takkan rusak terbakar. Bilamana kau
suka pada tempat ini, kelak masih boleh membangun sebuah rumah berloteng
seperti tempat tinggalmu yang dulu."
Termangu-mangu Lui-ji memandang
ke sana, air mata kembali bercucuran, katanya dengan hampa, "Rumah loteng
memang masih dapat dibangun, tapi hari-hari kehidupan seperti dahulu tidak
mungkin datang kembali lagi."
Pwe-giok juga terkesima oleh
ucapan anak dara itu.
Karena ucapan Lui-ji itu,
tanpa terasa ia pun terkenang kepada kehidupannya yang bahagia dan tenteram di
masa lalu, teringat olehnya pohon waringin yang rimbun di halaman rumahnya itu,
di bawah pohon itulah setiap musim panas ayahnya suka menyaksikan dia berlatih
menulis, terbayanglah senyuman welas-asih sang ayah....
Semua itu baru saja terjadi
setengah tahun yang lampau, tapi bila terkenang sekarang rasanya seperti sudah
jelmaan hidup yang lalu, tanpa terasa matanya menjadi basah lagi. Ucapnya
dengan rawan, "Ya, segala apa yang sudah berlalu takkan kembali lagi untuk
selamanya."
"Dahulu," demikian
Lui-ji bertutur dengan pelahan, "sebelum fajar menyingsing, tentu aku
sudah mulai memasak bubur, terkadang kubuatkan telur dadar, sedikit sayur asin
dan kacang goreng, maka nafsu makan Sacek lantas bertambah dan satu kuali bubur
disikatnya habis, lalu beliau akan memuji bubur yang ku masak itu harum dan
enak, sayur asin dan kacang gorengnya lezat dan gurih, tapi sekarang....."
dia menghela napas, lalu menyambung dengan menunduk. "Meski tungku di sana
belum rusak terbakar, selanjutnya masih dapat ku masak bubur di tungku itu,
namun siapakah yang akan makan bubur yang ku masak itu."
Terharu Pwe-giok, tanpa terasa
ia berkata, "Akulah yang akan makan bubur yang kau masak itu."
"Benar?" tanya
Lui-ji sambil menengadah.
Sementara itu hari sudah
terang, sinar sang surya menembus ke dalam tungku melalui lubang kecil itu
sehingga kelihatan wajah Lui-ji yang masih basah oleh air mata itu. Sinar
matanya gemerdep memancarkan cahaya kegirangan sehingga mirip setangkai bunga
teratai putih dengan butiran embun yang mekar di pagi cerah di musim semi.
Tergetar juga hati Pwee-giok,
cepat ia melengos dan tidak berani memandangnya lagi.
Lui-ji menghela napas,
katanya, "Ku tahu ucapan Sicek tadi hanya untuk menyenangkan hatiku saja.
Orang semacam Sicek tentu masih banyak urusan penting yang harus dikerjakan,
mana kau sempat datang padaku untuk makan bubur yang ku masak."
Suaranya begitu lirih dan
rawan sehingga hati Pwe-giok kembali terharu, jawabnya dengan tertawa,
"Sicek tidak berdusta.... Biarpun banyak urusan yang harus ku selesaikan,
tetapi begitu pekerjaanku selesai, suatu hari aku pasti akan datang ke sini
untuk makan bubur yang kau masak."
Lui-ji tertawa senang seperti
bunga yang baru mekar, ucapnya, "Jika begitu, aku akan masak satu kuali
bubur dan menunggu kedatanganmu."
"Setiap hari makan bubur
saja tentu juga akan bosan," kata Pwe-giok dengan serius. "Sebaiknya
setiap dua-tiga hari satu kali harus kau buatkan nasi goreng istimewa bagiku,
kalau tidak aku bisa kurus kelaparan karena makan bubur melulu."
Lui-ji terkikik-kikik,
katanya, "Makan bubur kan waktu pagi, makan siang tentunya lain, selain
nasi goreng, akan kubuatkan pula Ang-sio-tite (kaki babi saus manis),
Jau-koh-kek-kiu (ayam goreng jamur) dan hidangan lain yang lezat, tanggung
tidak sampai tiga bulan Sicek akan tambah gemuk satu kali lipat."
Melihat si nona tertawa
girang, Pwe-giok juga bergembira. Tapi bila teringat kepada nasibnya sendiri,
sakit hati ayah belum terbalas, iblis itu masih memalsu dan menyamar sebagai
"Ji Hong-ho" gadungan dengan komplotan jahatnya sehingga segenap
kawan Kangouw sama tertipu, sebaliknya dirinya harus berjuang sendirian, entah
kapan intrik musuh baru dapat terbongkar. Untuk bisa hidup tenang dan gembira
untuk makan bubur yang di masak anak dara ini, mungkin harus menunggu sampai
pada penjelmaan yang akan datang.
Selagi Pwe-giok termenung,
tiba-tiba Lui-ji menegur, "He, Sicek.... mengapa engkau menangis?!"
Cepat Pwe-giok mengusap
matanya yang basah, jawabnya dengan tertawa, "Ah, anak bodoh, Sicek sudah
tua, mana bisa menangis. Karena asap maka keluar air mata."
Lui-ji termangu sejenak,
tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa, "Sicek, masa kau anggap dirimu
sudah tua? Jika Sacek tidak menyuruhku agar panggil Sicek padamu, sebenarnya
lebih tepat kalau ku panggil Siko (kakak ke empat) padamu."
Pwe-giok memandangi wajah si
nona yang berseri itu dan tak dapat menjawab. Entah manis, entah kecut, entah
getir, sukar untuk dijelaskan....
Tamat