Renjana Pendekar Bagian 5(Tamat)

Baca Cersil Mandarin Online: Renjana Pendekar Bagian 5(Tamat)

Renjana Pendekar Bagian 5(Tamat)

Setelah memetik bunga mawar itu, tanpa berpaling lagi Cu Lui-ji lantas kembali ke loteng sana.

Ko Tiong dan lelaki baju hijau itu terpesona, wajah mereka tampak linglung seperti tergila-gila kepada anak dara itu sehingga lupa daratan.

Kwe Pian-sian jadi terheran-heran, ia tidak mengerti apa sebab apakah kedua orang ini berubah seperti orang kehilangan ingatan.

Padahal, sekalipun Cu Lui-ji memang seorang dara yang cantik, betapapun usianya baru 11-12 tahun, masa dua laki-laki setengah umur begini juga tergila-gila kepadanya?

Tertampak langkah Cu Lui-ji yang lemah gemulai, bajunya yang tipis bergerak terembus angin, tubuhnya yang lemah itu seolah-olah juga melayang ke sana tertiup angin. Mendadak anak dar itu menoleh dan tersenyum, sorot matanya yang bening itu seperti tidak sengaja melirik sekejap ke arah Kwe Pian-sian.

Seketika Kwe Pian-sian merasa dirinya hampir melupakan usia anak dara yang masih kecil itu, yang tampak olehnya hanya liuk pinggang si nona yang menggiurkan, selebihnya ia tak tahu lagi. Hampir-hampir saja iapun mengintil ke sana.

Tapi apapun juga dia memang lebih kuat dan dapat mempertahankan diri, hatinya hanya terguncang sekejap saja setelah itu tenang kembali. Sementara itu Cu lui juga berjalan kembali ke ujung rumah sana, Ko Tiong dan temannya mengikutinya kemudian juga ikut lenyap di balik pintu sana.

Sejak tadi Gin-hoa-nio juga mengikuti kejadian tersebut dan baru sekarang ia menghela napas dan berkata: "Siluman, budak cilik ini benar-benar siluman, sekecil itu sudah mampu memikat dua lelaki sebesar itu. Pada waktu aku berusia sebaya dia, akulah yang ikut kian kemari di belakang lelaki".

Setelah berhenti sejenak, mendadak ia tertawa dan berkata pula: "Hihi, untung iman tuan Kwe kita cukup teguh, kalau tidak, hampir saja tuan Kwe kita juga ikut terperangkap olehnya"

"Bukan karena lwekang ku tinggi, melainkan pengalamanku terhadap perempuan jauh lebih banyak daripada kedua orang itu," kata Kwe Pian-sian dengan tertawa.

"Sungguh aku tidak paham, untuk apakah budak cilik itu memikat kedua lelaki itu?" ucap Gin-hoa-nio dengan tertawa. Mendadak sinar matanya mencorong terang, ia berseru pula: "Ah, tahulah aku, budak cilik itu sedang memancing ikan, bilamana kedua orang tolol itu terpancing ke atas loteng sana, maka segenap kungfu mereka pasti akan terhisap ludes oleh si sakit tbc itu"

"Ya, memang begitu" kata Kwe Pian-sian

"Sungguh tak tersangka, sekecil itu dia sudah mahir memancing ikan dengan "Bi-jin-keh" (akal dengan memperalat perempuan cantik)”, ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Tanpa disadari kedua orang tolol tadi, tahu-tahu telah terjebak."

"Tampaknya, sebabnya Ang-lian-hoa dan lain-lain datang ke sini untuk mencarinya memang juga cukup beralasan" kata Kwe Pian-sian sambil memandang Ji Pwe-giok.

"Memangnya tidak cuma sekali ini saja perbuatan nona cilik itu?" tanya Pwe-giok.

Melihat caranya bertindak tidak canggung-canggung itu, jelas sudah tidak sedikit korban yang terjebak di tangannya, makanya Ji Hong-ho mengerahkan orang sebanyak ini untuk melayani dia" ujar Kwe Pian-sian.

"Ya, kukira begitu," kata Pwe-giok. "Kalau tidak, tokoh macam Ang lian hoa tidak nanti sudi diperintah oleh Ji Hong ho."

Hal ini mungkin tidak diketahui orang lain tapi cukup diketahuinya dengan jelas, sebab Ang lian hoa juga sudah menaruh curiga terhadap "Ji Hong ho" itu.

"Hah, sungguh menarik juga," kata Kwe Pian sian dengan tertawa, "seorang anak perempuan berumur belasan ternyata begini besar kesaktiannya. Orang macam begini jelas bukan orang sembarangan, mungkin tidaklah mudah bagi Ang lian hoa untuk melayaninya."

Gin hoa nio tertawa ngikik, katanya:" Betapapun hebat dia toh sudah pernah juga merasakan tamparanku."

Sembari bicara ia angkat tangannya hendak memberi contoh agar dia menampar Cu Lui-ji, tapi mendadak.....ia merasa dirinya juga seperti kena gampar orang satu kali, seketika ia tak dapat tertawa dan tak dapat berbicara lagi.

Pwe giok dan Kwe Pian sian memandangnya , wajah Gin hoa nio yang biasanya selalu tersenyum manis itu kini mendadak berubah pucat seperti mayat, matanya yang jeli kini juga menampilkan rasa kejut dan cemas yang tidak terhingga sambil memandangi tangannya sendiri. Malahan sekujur badannya lantas menggigil.

Tanpa terasa Pwe giok dan Kwe Pian sian ikut memandang tangan Gin hoa nio, hanya sekejap saja mereka memandang, seketika air muka merekapun berubah, sorot mata merekapun menampilkan rasa kejut yang tak terhingga.

Tangan Gin ho nio yang putih bersih dan halus mulus itu kini telah berubah menjadi hitam kemerah-merahan mirip cakar setan.

"He, kenapa bisa begini?" seru Pwe giok terkesiap.

Dengan suara gemetar Gin hoa nio berkata: "Ak....akupun tidak tahu mengapa bisa jadi... jadi begini, sedikitpun tidak kurasakan apa-apa dan tangan ini tahu-tahu sudah.... sudah berubah menjadi begini."

"Bisa bergerak tidak tanganmu ini?" tanya Kwe Pian sian.

"Seperti masih.....masih bisa bergerak, cu...cuma....."

Belum habis ucapan Gin hoa nio, mendadak Kwe Pian sian mengangkat sepotong kayu terus menghantam punggung tangan Gin hoa nio "plok", kayu bakar itu cukup besar, cara menghantamnya juga cukup keras, tangan siapapun kalau terpukul pasti juga akan menjerit kesakitan, siapa tahu Gin hoa nio sama sekali tidak berteriak sakit, bahkan tidak merasakan apapun meski tangan terpukul sekeras itu.

"Sakit tidak?" tanya Kwe Pian sian.

"Ti...tidak." jawab Gin hoa nio.

Dipukul tanpa merasa sakit, sepantasnya dia bergembira. tapi setelah menjawab begitu, seketika air mata Gin hoa nio berlinang-linang. Ia merasa tangan sendiri kini sudah berubah menjadi kayu belaka, kaku dan mati rasa seperti bukan tangannya sendiri lagi. Dia menyaksikan Kwe Pian sian memukulkan kayu tadi, tapi yang dipukul seolah-olah tangan orang lain.

Kwe Pian sian berkerut kening pula, dilihatnya di meja sana ada bendo yang biasa di buat potong sayur, mendadak bendo itu disambarnya terus dibacokkan ke punggung tangan Gin hoa nio.

Meski bendo itu terlalu tajam, tapi kalau digunakan memenggal tangan seseorang rasanya mudah terlaksana. Siapa tahu, begitu bendo itu mengenai sasarannya, tangan Gin hoa nio yang terbacok itu hanya bertambah satu luka kecil saja, bahkan tiada tetes darah yang mengucur keluar.

Nyata tangan Gin hoa nio telah berubah lebih keras daripada kayu.

Bahwa tangannya tidak mempan dipenggal orang, seharusnya Gin hoa nio bergembira tapi mukanya justeru bertambah pucat dan ketakutan setengah mati.

"Trang", Kwe Pian sian melemparkan bendo tadi, katanya sambil menggeleng kepala: "Wah, nonaku yang baik, tamparanmu tadi mungkin telah menimbulkan kesulitan."

"Tapi.....tapi waktu ku pukul dia, sedikitpun tidak.....tidak merasa apapun," kata Gin hoa nio.

"Justeru racun yang tidak menimbulkan perasaan apa-apa inilah yang lihai" ujar Kwe Pian sian. "Tanpa terasa tahu-tahu racun telah merembes ke dalam darahmu, merasuk ke dalam tulangmu. Bila pada saat kejadian kau rasakan apa-apa tentu kau akan tertolong."

"Dan sek.....sekarang apakah tidak tertolong lagi?" tanya Gin hoa nio dengan suara gemetar.

Padahal ia sendiri juga ahli racun, sudah tentu iapun tahu betapa hebat racun telah masuk tubuhnya. Hanya dalam keadaan cemas ia masih menaruh setitik harapan atas pertolongan orang lain.

"Mungkin tak tertolong lagi," jawab Kwe Pian sian sambil menggeleng.

Gin hoa nio menubruk maju sambil berteriak. "Ku tahu kau pasti mampu menolong diriku, kaupun ahli racun, kau.....kau....."

Seperti menghindari makhluk berbisa saja, dengan cepat Kwe Pian sian melompat mundur sambil berkata: "Betul, akupun tergolong kakeknya ahli racun, tapi racun selihay ini selamanya belum pernah kulihat.....Nona yang baik, kau sendiri terkena racun, sebaiknya jangan kau bikin susah lagi kepada orang lain, lekas kau cari satu tempat yang baik untuk menantikan ajalmu saja."

Seketika Gin hoa nio menjadi lemas dan roboh terkulai.

Pwe giok juga tercengang menyaksikan racun yang meresap di tubuh Gin hoa nio itu, mendadak ia mendorong pintu dan berkata: "Mari ikut padaku!"

"Akan.....akan kau bawa kemana diriku?" tanya Gin hoa-nio.

"Orang lain tidak mampu menolong kau, orang yang meracuni kau pasti dapat," kata Pwe giok.

Seketika Gin hoa nio melonjak bangun, serunya: "Ya, betul, dia pasti dapat menolong diriku. Meski telah ku pukul dia, namun antara dia dan aku sebenarnya tiada permusuhan apa-apa, bila kuminta maaf dan memohon dengan sangat, mungkin dia masih mau menolong jiwaku."

Padahal iapun menyadari urusan ini tidak sedemikian sederhana. Tapi maklum juga, seorang yang sudah mendekati ajalnya layaknya kalau berusaha menghibur dirinya sendiri.

Tiba-tiba Kwe Pian sian berseru: "Ji-heng, masa betul hendak kau bawa dia kembali ke atas loteng itu?"

"Ya," jawab Pwe giok

"Kedua orang yang berada di sana itu jelas bukan manusia baik-baik, untung kau dapat meninggalkan tempat itu, jika kau pergi lagi kesana, mungkin kau sendiri juga takkan kembali lagi," seru Kwe Pian sian.

Pwe giok tersenyum hambar, katanya: "Jika aku harus mati, entah sudah berapa kali aku telah mati."

"Perempuan begini masa ada harganya bagimu untuk membelanya dengan taruhan nyawamu, Ji-heng?"

"Sekalipun orang semacam Kwe heng bila terancam bahaya juga akan ku tolong tanpa pamrih." kata Pwe giok sembari bicara ia lantas melangkah pergi bersama Gin hoa nio.

Kwe Pian sian menggeleng sambil bergumam: "Orang macam begini sungguh jarang terlihat, aku tidak mengerti untuk apakah dia....."

Pada saat itulah mendadak terdengar Gin hoa nio berteriak-teriak di kejauhan sana: "Ang lian hoa, Kun Hay-hong, lekas kalian kemari, Kwe Pian sian bersembunyi di dapur hotel sana....."

Air muka Kwe Pian sian berubah pucat, dengan gemas ia menggerutu: "Keji amat hati perempuan ini."

Ia lantas memondong Ciong Cing, lalu diambil lagi bungkusan yang disimpan di bawah onggokan kayu bakar tadi.

Ciong Cing mendongak memandangnya, tiba-tiba ia mengucurkan air mata pula, katanya dengan suara terputus-putus: "Aku......aku sudah begini. tapi.....tapi kau tidak melupakan diriku, padahal sudah.....sudah banyak perempuan yang kau kenal, mengapa.....mengapa kau masih begini baik padaku?"

"Jika kau tutup mulut, mungkin akan lebih baik lagi padamu" jengek Kwe Pian sian.

o0o

Sembari berteriak-teriak, setiba di bawah rumah berloteng tadi Gin hoa nio sudah terengah-engah, dilihatnya Pwe giok sedang memandangnya, ia menyengir dan menjelaskan: "Betapa takkan kubiarkan dia kabur begitu saja, dia bertindak kejam lebih dulu padaku betul tidak?"

Pwe giok menghela napas, katanya: "Jangan kau kira aku akan menyalahkan kau, sekarang aku sudah tahu di dunia ini masih banyak orang yang terlebih busuk darimu. Kau baru mencelakai orang lain apa bila orang bersalah padamu, tapi ada sementara orang....." mendadak tidak dilanjutkan ucapannya, ia membalik badan dan hendak mengetuk pintu.

Tak terduga didalam rumah lantas ada orang berseru:" Pintu tidak terkunci, masuklah sendiri!"

Gin hoa nio menggigit bibir, desisnya: "Kiranya dia sudah memperhitungkan kepergian kita tadi pasti akan datang kembali, makanya kita dibiarkan pergi begitu saja."

Meski ucapannya sangat lirih, siapa tahu tetap terdengar juga oleh orang di dalam rumah. Terdengar Cu Lui ji berucap dengan tak acuh: "Kan sudah kukatakan, kami tidak pernah memohon sesuatu kepada orang lain, kami hanya menunggu orang lain akan datang memohon kepada kami."

Gin hoa nio mengira Cu Lui ji berada di balik pintu, tak tahunya setelah pintu didorong, di ruangan bawah situ ternyata tiada bayangan seorang pun.

Tapi suara Cu Lui ji lantas berkumandang dari atas loteng, katanya: Sesudah masuk pintu, jangan kalian palang, bisa jadi sebentar lagi ada orang lain akan datang juga!"

Gin hoa nio menggertak gigi dengan mendongkol, pikirnya: Tajam benar telinga budak ini."

Sudah tentu ia tak berani bersuara lagi. Ia ikut Pwe giok naik ke atas loteng dengan perlahan, tirai jendela tertutup rapat, suasana terasa seram.

Cu Lui ji kelihatan duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, melirik saja tidak kepada kedatangan mereka, dengan mata terbelalak nona cilik itu mengawasi Sacek atau paman ke tiganya yang berbaring di tempat tidur.

Kedua orang yang terpancing masuk tadi juga kelihatan berlutut di kanan kiri tempat tidur, sikap mereka kelihatan sangat ketakutan, seperti ingin kabur kalau bisa, tapi sayang, tenaga untuk kabur ternyata tidak ada.

Si sakit tetap berbaring dengan memejamkan mata, air mukanya tampak mulai bersemu merah pula, selang sejenak, mendadak uap mengepul di atas kepalanya.

Gigi Ko Tiong kedengaran bergemerutuk, tiba-tiba ia berseru dengan suara parau dan lemah: "Am.....ampun Cianpwe, ampun....." makin lama makin lirih suaranya, sampai akhirnya bahkan suaranya tak terdengar sama sekali.

Sebaliknya Cu Lui ji lantas berkata "Sacek hanya pinjam pakai tenaga kalian dan tidak ingin mencabut nyawa kalian, bila setitik Kungfu kalian ini dapat diberikan kepada Sacek, ini kan rejeki dan kebanggaan kalian."

Belum habis ucapannya mendadak tangan si sakit dikendorkan, kontan Ko Tiong berdua jatuh terjengkang dengan napas ngos-ngosan seperti kerbau.

Cu Lui ji lantas mengusap keringat sang paman dengan sapu tangannya dan bertanya dengan perlahan "Bagaimana Kungfu kedua orang ini?"

Si sakit menghela napas gumamnya "Ada nama tanpa isi.....ada nama tanpa isi.....Mengapa dunia Kangouw sekarang penuh manusia-manusia yang bernama kosong belaka."

Sambil berkerut kening Cu Lui ji berkata: "Sudah selanjut ini usia kalian, mengapa kalian tidak berlatih sebaik-baiknya, bilamana latihan dipergiat sedikit, tentu sekarang kalian akan jauh lebih berjaya."

Ternyata dia menghendaki orang lain berlatih Kungfu sebaik-baiknya agar dapat "dipinjamkan" kepada pamannya, ucapan yang mau menang sendiri ini sungguh keterlaluan, sampai Pwe giok juga geleng-geleng kepala.

Tapi bagi Cu Lui ji, ucapannya itu ternyata sangat beralasan, bahkan makin omong makin jengkel, mendadak sebelah kakinya mendepak, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu kedua orang yang menggeletak di lantai itu terus mencelat keluar jendela, selang sejenak baru terdengar suara gemuruh genteng pecah, mungkin keduanya jatuh di atap rumah sebelah.

Bahwa dua orang itu berani menaksir gadis orang, apa yang mereka alami adalah akibat salahnya sendiri. Tapi melihat cara anak dara itu turn tangan sekeji itu, mau tak mau Pwe giok geleng-geleng kepala pula dan menghela napas gegetun.

Gin hoa nio lantas melangkah maju memberi hormat kepada Lui-ji, katanya dengan mengiring tawa: "Nona Cu, tadi mataku buta dan berani berbuat sembrono terhadapmu. Kuharap engkau jangan marah lagi dan sudi memaafkan diriku."

"Aku memang sudah biasa digampar orang, mana berani ku marah padamu," jawab Lui ji dengan dingin.

Gin hoa nio tahu rasa gusar orang sebelum lagi hilang, mendadak tergerak pikirannya, ia terus berlutut di depan si sakit, air matapun berderai, ratapnya: "Sejak kecil aku sudah yatim piatu, bilamana Cianpwe sudi menolong jiwaku, selanjutnya sekalipun dijadikan kuda atau kerbau, selama hidup akan kuladeni Cianpwe di sini."

Dia tidak langsung memohon pertolongan kepada Cu Lui ji, tapi malah memohon kepada si sakit, inilah kecerdikan Gin ho nio. Ia tahu banyak lelaki berhati lemah terhadap perempuan, lebih-lebih bila melihat ari mata perempuan. Sebaliknya perempuan terhadap perempuan biasanya tidak kenal ampun. Kalau sakit ini sudah menyanggupi akan menolong tentu Cu Lui ji tidak berani membantah.

Betul juga si sakit lantas membuka matanya dan memandangnya sejenak tiba-tiba ia bertanya: "Apakah kau murid siau hun kiongcu?"

Pertanyaan mendadak ini membuat Pwe giok ikut terperanjat.

Dengan terkejut Gin hoa nio menjawab: "Dari mana....darimana Cianpwe....."

Mestinya dia hendak bilang "Darimana Cianpwe tahu" sebab dia sudah masuk ke siau hun kiong, yaitu istana di bawah tanah tempat kediaman siau hun kiongcu, iapun sudah menyembah kepada amanat tinggalan siau hun kiongcu yang terukir di dinding, jadi sudah terhitung murid siau hun kiongcu.

Tapi tiba-tiba teringat olehnya jaman hidupnya Siau hun kiongcu hampir dimusuhi oleh setiap tokoh dunia persilatan, jika dirinya mengaku sebagai murid Siau hun kongcu, lalu siapa pula yang mau menolongnya?

Karena pikiran inilah dia menelan kembali sebagian ucapannya.

Si sakit lantas bertanya pula: "Apakah kau murid Siau hun kongcu?"

"Bukan!" jawab Gin hoa nio.

Sejenak si sakit memandangnya, lalu menghela napas panjang, katanya: "Sayang… sayang!"

"Sayang?" Gin hoa nio menegas dengan bingung.

Si sakit lantas memejamkan matanya dan tidak menghiraukannya lagi.

Beberapa kali Gin hoa nio sudah pantang mulut, tapi tidak berani bertanya, ia menjadi gelisah dan mulut terasa kering.

Selang sejenak, tiba-tiba terdengar Cu Lui ji berucap: "Sudah belajar ilmu silat Siau hun kiong, itu berarti sudah menjadi murid Siau hun kiongcu, dan kalau sudah menjadi murid Siau hun kiong kenapa tidak berani mengaku? Orang yang lupa pada perguruan dan berkhianat begini siapa pula yang sudi menolong kau?"

Keringat Gin ho nio berketes-ketes, ucapnya dengan suara gemetar: "No....nona bilang apa?"

Tapi Cu Lui ji juga lantas memejamkan mata dan tidak menggubris kepadanya.

Seketika keadaan menjadi hening dan menyesakkan napas. Gin hoa nio memandang si sakit memandang pula Cu Lui ji, gigi mulai gemerutuk.

"Sayang, sungguh sayang!" tiba-tiba seorang berseru dengan menghela napas panjang.

Ternyata Kwe Pian sian adanya, entah sejak kapan dia sudah ikut naik ke atas dan berduduk di ujung tangga sana.

Gin hoa nio tidak tahan lagi, dengan suara parau ia bertanya: "Sayang katamu? Sesungguhnya apanya yang harus disayangkan?"

"Bilamana tadi kau mengaku sebagai murid Siau hun kiongcu, bukan mustahil nona Cu ini akan menolong kau," kata Kwe Pian sian.

"Sebab apa?" tanya Gin hoa nio.

Kwe Pian sian tertawa, katanya: "Masa sampai sekarang kau tidak dapat menerka siapakah nona Cu ini?"

"Memangnya siapa.....siapa dia?" tanya Gin hoa nio.

Mendadak Kwe Pian sian berdiri dan memberi hormat kepada Cu Lui ji, katanya: "Dengan sendirinya nona Cu inilah puteri kesayangan Cu nio-nio dari Siau hun kiong."

Ucapan ini membikin Pwe giok ikut terkejut serentak Gin hoa nio lantas berdiri, tapi cepat ia berlutut pula kebawah tanyanya dengan terbelalak terhadap Cu Lui ji: "Apakah....apakah benar engkau puteri siau hung kiongcu?"

Namun Cu Lui ji sama sekali tidak menjawab, wajahnya tetap kaku dingin tanpa emosi. Anak umur belasan tahun seolah-olah berubah menjadi nyonya setengah baya yang kenyang asam garamnya kehidupan.

Sekujur badan Gin hoa nio terasa dingin, mendadak ia berteriak dengan suara parau: "Tidak, tidak mungkin! Siau hun kiongcu sudah meninggal 30 atau 40 tahun, tidak mungkin mempunyai anak perempuan sekecil ini!"

Kwe Pian sian menghela napas, katanya: "Dunia persilatan memang penuh rahasia dan banyak teka-teki yang tak terpecahkan, perempuan muda belia seperti kau bisa tahu apa?"

"Apa.....apakah kau tahu?" tanya Gin hoa nio.

"Meski aku tahu sedikit, tapi tidak berani ku katakan" ujar Kwe Pian sian.

Mendadak si sakit menukas: "Kalau tahu, mengapa tidak berani dikatakan?"

Kwe Pian sian berbangkit dan memberi hormat katanya: "Jika demikian kehendak Cianpwe, tentu saja Cayhe menurut." Lalu dengan perlahan ia bertutur: "Menurut cerita yang sudah turun temurun, satu diantara rahasia besar dunia persilatan adalah mengenai teka-teki kematian Siau hun kiongcu..."

"Tapi dengan mata kepalaku sendiri kulihat jenazahnya," kata Pwe giok.

"Konon itu bukan Siau hun kiongcu yang tulen" ujar Kwe Pian sian, "jenazah itu hanya seorang pelayannya saja. Karena dia hendak menghindari pencarian musuh, maka menggunakan akal begitu."

Meski dia sedang menjawab pertanyaan Ji Pwe giok, tapi matanya terus memandang si sakit.

Dilihatnya si sakit tetap berbaring tanpa bergerak, seperti sudah tertidur dan entah dengar tidak ucapannya.

Kwe Pian-sian berdehem, lalu menyambung: "Meski tindak-tanduk Siau-hun-kiongcu sangat dirahasiakan, tapi entah mengapa, akhirnya jejaknya diketahui orang, orang pertama yang mengetahui rahasianya konon ialah Tonghong-sengcu..."

"Tonghong-sengcu?" Pwe-giok menegas. "Apa yang kau maksudkan adalah Tonghong Tay-beng dari Put-ya-seng (kota tanpa malam) di pulau Jit-goat-to yang merajai 72 pulau lautan selatan itu?"

Kwe Pian-sian tersenyum, katanya: "Betul, tidak menjadi soal sekarang kau sebut namanya, konon di masa jayanya, bilamana ada orang berani langsung menyebut namanya, maka orang itu mungkin sukar hidup satu jam lebih lama lagi."

Mendadak si sakit membuka mata dan menatap Pwe-giok, tanyanya dengan bengis: "Darimana kau tahu nama Tonghong Tay-beng?"

Pwe-giok merasa mata orang yang tadinya guram itu mendadak mencorong terang dan menggetar sukma, meski diam2 terkejut, tapi dia tetap tenang saja dan menjawab: "Ayahku pernah bercerita padaku bahwa Tonghong-sengcu ini adalah satu di antara ke sepuluh tokoh terkemuka dunia persilatan. Cuma dia jauh bertempat tinggal di lautan selatan, kebanyakan orang Kangouw tidak kenal kelihaiannya. Ayahku juga mengatakan bahwa kesepuluh tokoh yang memang hebat itu kebanyakan jarang bergerak di dunia Kangouw, padahal ilmu silat mereka rata2 di atas pimpinan ke-13 aliran dan perguruan yang paling ternama sekarang ini."

"Siapa2 saja ke sepuluh tokoh yang dimaksudkan?" tanya si sakit.

"Cayhe tidak ingat lagi seluruhnya, cuma masih ingat diantaranya kecuali Tonghong-sengcu ini, ada lagi Nikoh sakti Eng-hoa Taysu dari Eng-hoa-kok. It-gun, si unta terbang dari gurun utara, Lo cinjin dari Jing-sia-san, Sin-liong-kiam-khek, yang jejaknya sukar diraba itu, lalu ada lagi Li Thian-eng dari Sin-hong-nia ...."

Belum habis ucapannya, si sakit seperti tidak sabar lagi mendengarkan, ia berkerut kening dan mendengus: "Hm, jadi mereka itu yang dimaksudkan ke sepuluh tokoh tertinggi? Hm, mereka sesuai?" Lalu dia memejamkan mata dan memberi tanda kepada Kwe Pian-sian: "Lanjutkan!"

Kwe Pian-sian berdehem pula, lalu menyambung: "Konon permusuhan Tonghong-sengcu dan Siau-hun-kiongcu sangat dalam, setelah mendapat kabar di mana beradanya Siau-hun-kiongcu, segera ia mengumpulkan belasan Tocu dari ke-72 pulau laut selatan, diundang pula Li-thian-ong, Oh-lolo dan lain2, dicarinya Siau-hun-kiongcu untuk menuntut balas."

"Ah, ingatlah aku," seru Pwe-giok mendadak. "Oh-lolo itupun termasuk satu di antara kesepuluh tokoh tersebut, konon ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, tapi kemahirannya menggunakan racun konon jarang ada bandingannya di dunia ini."

"Tujuan Tonghong-sengcu mengundang Oh-lolo agar ikut menghadapi Siau-hun-kiongcu justeru supaya meng.....Hk, hk...." mestinya Kwe Pian-sian hendak omong "menggunakan racun untuk menyerang racun", tapi demi melihat wajah Cu Lui-ji yang masam itu, seketika ia telan kembali ucapannya itu dengan batuk2.

"Apakah orang2 itu sudah mengetahui tempat sembunyi Siau-hun-kiongcu?" tanya Pwe-giok.

"Dengan sendirinya tahu," jawab Kwe Pian-sian.

"Dan dapatkah mereka menemukan Siau-hun-kiongcu?" tanya Pwe-giok pula.

"Mungkin ketemu," kata Kwe Pian-sian.

"Wah, pertarungan sengit itu pasti luar biasa dan jarang terjadi di dunia ini," ujar Pwe-giok. "Lalu bagaimana kesudahannya?"

"Itulah akupun tidak tahu," kata Pian-sian.

"Kaupun tidak tahu?" Pwe-giok menegas.

"Ya, bukan cuma aku saja tidak tahu, mungkin di dunia ini juga tiada orang lain lagi yang tahu," kata Pian-sian sambil menyengir.

"Memangnya sebab apa?" tanya Pwe-giok heran.

"Tindak-tanduk Tonghong Tay-beng dan rombongannya sudah tentu juga sangat dirahasiakan, tapi pada waktu mereka hendak mulai bergerak, konon lebih dulu mereka mengadakan pesta pora di Gak-yang-lau (nama restoran terkenal di tepi danau Tongting), kebetulan di dekat Gak-yang-lau juga ada orang yang sedang pesiar dengan perahu di bawah bulan purnama, tanpa sengaja mereka mendengar pembicaraan rombongan Tonghong-sengcu itu, maka diketahuilah berkumpulnya tokoh2 top dunia persilatan itu adalah hendak menghadapi Siau-hun-kiongcu."

"Dengan begitu beritanya lantas tersiar?" tanya Pwe-giok.

"Orang yang mendengar pembicaraan rombongan Tonghong-sengcu itu bukan orang yang suka usil mulut, sebab itulah berita itu tidak tersiar dengan luas, namun orang Kangouw umumnya memang sukar menjaga rahasia, akhirnya urusan itu tetap juga didengar orang, diam-diam ada orang menyelidiki kejadian itu, betapapun mereka ingin tahu bagaimana kesudahan pertarungan sengit antara tokoh-tokoh top itu."

"Apakah kejadian itu tetap tak dapat diselidiki mereka?" tanya Pwe giok pula.

"Ya, tidak ada yang berhasil menyelidikinya," jawab Kwe Pian sian.

"Sebab apa?" tanya Pwe giok.

Kwe Pian sian menghela nafas gegetun, katanya: "Sebab tokoh-tokoh top macam Tonghong-sengcu, Oh-lolo dan lain-lain itu untuk selanjutnya lantas lenyap tanpa bekas, seolah-olah mereka mendadak hilang dari permukaan bumi ini, siapapun tak dapat menemukan mereka."

Terperanjat Pwe-giok, tanyanya: "Masa orang-orang itu sama.....sama disikat Siau hun kiongcu..." dia pandang Cu Lui ji sekejap dan tidak melanjutkan ucapannya.

Kwe Pian sian menjawab: "Meski Siau hun kiongcu adalah tokoh ajaib di dunia persilatan, tapi menurut perkiraan umum, rasanya tidak mungkin sekaligus dia dapat menyikat tokoh-tokoh top sebanyak itu..." mendadak iapun pandang Cu Lui ji sekejap dan tidak bicara lebih lanjut.

Mendadak terdengar si sakit bersuara: "Apakah kalian ingin tahu duduk perkara yang sebenarnya dari peristiwa itu?"

"Sudah tentu sangat kuharapkan asalkan ada yang sudi memberitahu." ujar Kwe Pian sian dengan tertawa.

"Baik, akan kukatakan kepada kalian," tutur si sakit. "Tonghong Tay-beng, Li thian ong, Oh-lolo beserta 19 Tocu ke 72 pulau di lautan selatan itu, seluruhnya telah kubunuh, satupun tidak tersisa!"

Dia bicara dengan acuh tak acuh, seolah-olah kejadian itu hanya sesuatu yang biasa, tapi Kwe Pian sian dan Ji Pwe giok jadi melongo.

Meski mereka tidak pernah menyaksikan sendiri betapa lihay Tonghong Tay-beng, Oh-lolo dan lain-lain, tapi kalau Kungfu mereka diketahui jauh lebih tinggi daripada pimpinan 13 perguruan ternama jaman kini, maka dapatlah dibayangkan sampai dimana kelihaian mereka, sedangkan para Tocu dari laut selatan itu konon juga bukan jago lemah, ada diantaranya yang mampu menandingi Hui-hi-kiam-khek sehingga tiga hari tiga malam dan tetap belum terkalahkan.

Tokoh lihay semacam begitu, satu saja sukar dilawan, apalagi sekaligus berkumpul sampai 20 orang, sebaliknya si sakit yang sudah kempas kempis ini menyatakan telah membunuh tokoh-tokoh top itu tanpa tersisa satupun. Keruan Pwe giok dan Kwe Pian sian melongo kaget dan tidak sanggup bersuara pula.

Dengan perlahan si sakit berkata lagi: "Selain itu, harus kuberitahukan bahwa ibu Lui-ji, Cu Bi yang kalian kenal sebagai Siau hun kiongcu, dia meninggalkan istananya bukan lantaran takut terhadap pencarian musuh, kepergiannya itu hanya karena sudah bosan dengan kehidupan yang kesepian, tiba-tiba ia jatuh cinta kepada seorang dengan setulus hati, sebab itulah dia tidak sayang mengorbankan segalanya dan pergi bersama orang yang dicintainya itu untuk meneruskan sisa hidupnya sebagai suami istri seperti khalayak umumnya."

Pwe giok dan Kwe Pian sian memandangnya dengan terkesima, diam-diam mereka berpikir: "Jangan-jangan orang yang dimaksudkan ialah kau sendiri? Jangan-jangan kau inilah ayah Cu Lui ji?" Dengan sendirinya pikiran mereka ini tidak berani dikemukakan nya.

Si sakit itu tiba-tiba bertanya: "Apakah kalian ingin tahu siapakah yang berhasil merebut hati Cu Bi itu?"

"Kalau Cianpwe keberatan untuk menjelaskan juga tidak menjadi soal," ujar Kwe Pian sian dengan mengiring tawa.

Tapi si sakit lantas menjelaskan: "Orang itu adalah putera Tonghong Tay-beng, Tonghong Bi giok."

Kwe Pian sian dan Pwe giok sama menghela nafas panjang, dalam hati mereka seperti agak kecewa.

Dalam pada saat itu Cu Lui ji telah maju ke sana mendekap disamping si sakit.

"Pemuda itu bernama Bi-giok (kemala indah), dari namanya dapat dibayangkan dia pasti seorang pemuda cakap," sambung si sakit. "Sebab itulah, meski Cu Bi sudah cukup berpengalaman, dia jatuh hati juga terhadap bocah yang usianya hampir cuma separuh umurnya itu. Tentunya kalian dapat memaklumi, perempuan seperti Cu Bi, apabila sudah jatuh cinta benar-benar, maka tidak tanggung-tanggung lagi dan sukar dicegah."

Selagi Pwe giok dan Kwe Pian sian tidak tahu cara bagaimana harus menanggapi, tiba-tiba Gin hoa nio menghela nafas dan berkata: "Ya, memang betul!"

"Tapi Tonghong Bi-giok itu selain cakap, ternyata jiwanya justeru sangat kotor dan rendah," kata pula si sakit.

Di depan Cu Lui ji dia mencaci-maki ayahnya, tapi anak dara itu ternyata tidak menghiraukan, seolah-oleh dia memang pantas dicaci-maki. Diam-diam Pwe giok dan Kwe Pian sian menjadi heran.

Terdengar si sakit menyambung lagi: "Sesudah Cu Bi menjadi isterinya, dia meninggalkan segala kebiasaannya yang hidup mewah dan suka memerintah, dia menjadi isteri yang baik seperti perempuan umumnya. Setiap hari dia mengurus rumah tangga dan meladeni sang suami, sebab ia ingin melupakan segala apa yang telah lalu ditengah kehidupan yang masa ini, betapa mendalam cintanya terhadap Tonghong Bi-giok tentu pula dapat kalian bayangkan."

Pwe-giok menghela nafas, katanya didalam hati: "Seorang lelaki bila mendapatkan isteri sebaik ini, apa pula yang diharapkannya?"

Diam-diam Gin hoa nio juga membatin: "Kelak bilamana akupun jatuh cinta kepada seseorang, entah aku akan bertindak begitu atau tidak?.....Tapi, aihh, jiwaku saja sukar dipertahankan, untuk apa kupikirkan hal ini?"

Juga Kwe Pian sian diam-diam berpikir: "Siau-hun-kiongcu itu sudah kenyang merasakan asam garamnya kehidupan manusia ia merasa hanya dengan memperlihatkan tindak nyata itulah baru dapat membuktikan cintanya yang tulus, Tapi Tonghong Bi giok adalah pemuda yang masih hijau, mungkin dia malah merasa kehidupan yang begitu itu terlalu kaku dan bersahaja dan tidak menarik."

Begitulah tiga orang tiga macam pikiran, sudah tentu tiada seorangpun yang berani, memberi komentar.

Si sakit lantas menyambung lagi: "Meski Cu Bi telah mencurahkan, cintanya dengan segenap jiwa raganya, siapa tahu Tonghong Bi giok justeru bosan terhadap kehidupan mereka itu, berulang-ulang ia membujuk agar Cu Bi mau kembali ke Siau hun kiong."

Kwe Pian sian tersenyum puas, ia bangga karena merasa dugaannya tadi cocok dengan kejadian yang sebenarnya. Sedangkan Pwe giok diam-diam menggeleng kepala.

Gin hoa nio yang lantas bertanya: "Dan dia.....dia jadi pulang ke Siau hun kiong atau tidak?"

"Dengan sendirinya Cu Bi tidak mau" tutur si sakit. "Waktu itu usianya tidak tergolong muda lagi, namun dia mahir bersolek sehingga tampaknya masih tetap cantik seperti bidadari, sebab itulah Tonghong Bi giok juga masih berat untuk meninggalkan dia....."

Kwe Pian sian memandang sekejap ke arah Cu Lui ji, pikirnya: "Dalam usia sekecil dia ini sudah dapat memikat kaum lelaki, maka tidak perlu ditanyakan lagi betapa cantik ibunya. Sayang, aku sendiri sok mengaku kenyang main perempuan macam apapun, tapi ternyata tidak dapat bertemu dengan perempuan seperti Siau hun kiongcu."

Gin hoa nio juga sedang membatin: "Biarpun Cu Bi sudah meninggalkan kehidupannya yang mewah, tapi dalam hal-hal tertentu dia pasti dapat membuat Tonghong Bi giok lupa daratan. Kelak entah aku dapat menandingi dia atau tidak?"

Ia pandang Pwe giok, anak muda itu tampak sedang menghela nafas gegetun.

Terdengar si sakit bertutur pula: "Umumnya perempuan yang suka berdandan paling pantang melahirkan, dengan sendirinya Cu Bi juga tahu hal ini, sebab itulah selama hidup bersama dua tahun iapun tidak mengandung. Tapi lambat laun usia Cu Bi juga makin bertambah, cita-citanya akan menjadi ibu juga bertambah keras, akhirnya ia tidak menghiraukan soal kecantikan lagi dan lahirlah seorang puterinya."

Dia pandang Cu Lui ji sekejap, anak dara itu menunduk dengan air mata berlinang.

Gin hoa nio tidak tahan, ia bertanya: "Sesudah melahirkan anak, apakah dia betul-betul berubah menjadi tua?"

Kalau orang lain sama asyik mendengarkan cerita yang misterius ini, hanya Gin hoa nio saja yang justeru memperhatikan soal kecantikan Siau hun kiongcu.

Si sakit menghela nafas, berkata" "Ya, tidak sampai setengah tahun setelah melahirkan anak ini perempuan yang maha cantik itu lantas berubah keriput dan ubanan, seketika seperti bertambah berpuluh tahun lebih tua."

Gin hoa nio menghela nafas, ia tidak bicara lagi, tapi diam-diam membatin: "Jika demikian, biarpun kepalaku harus dipenggal juga aku tidak mau melahirkan anak."

Tak terduga Pwe giok juga menghela nafas dan berkata: "Bila Tonghong Bi giok itu sudah mulai timbul rasa.....rasa bosannya terhadap Cu kiongcu, maka selanjutnya...selanjutnya mungkin...." dia memandang Cu Lui ji sekejap dan menelan kembali kata-kata yang belum terucap itu.

Tapi si sakit lantas berkata: "Cu Bi sangat cerdik, masa dia tidak tahu Tonghong Bi giok mulai berubah pikiran terhadapnya. Ia cuma tidak berpikir bahwa setelah melahirkan anak dia bisa berubah tua secepat itu. Satu hari ia berkaca dan melihat rambut sendiripun sudah mulai rontok, segera terpikir olehnya bahwa sekali ini pasti sukar merebut kembali hati Tonghong Bi giok yang memang sudah goyah itu.

Diam-diam Gin hoa nio membatin: "Jika aku menjadi dia, akan lebih baik kubunuh saja Tonghong Bi giok, dengan demikian, biarpun aku tidak mendapatkan dia lagi, orang lainpun jangan harap akan memiliki dia."

Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia melirik ke arah Pwe giok, dilihatnya bekas luka di muka anak muda itu, seketika ia menunduk dan tidak berani mendongak lagi.

Didengarnya si sakit sedang menyambung pula ceritanya: "Malam itu diam-diam ia menangis sambil menimang anaknya, semalam suntuk dia menangis, esoknya sebelum lagi terang tanah dia lantas membangunkan Tonghong Bi-giok."

Gin hoa nio tidak tahan dan menyela pula: "Apakah.....apakah mereka tidak tidur bersama di dalam satu kamar?"

"Sejak anak ini lahir. Tonghong Bi-giok lantas tidur di suatu kamar tersendiri," jawab si sakit. "Katanya dengan demikian supaya Cu Bi dapat momong anaknya dengan lebih baik, padahal.....Hmk."

Diam-diam Kwe Pian sian membatin: "Hal inipun tidak dapat menyalahkan dia, bilamana aku, tentu aku pun tidak sudi tidur bersama seorang nenek-nenek...." mendadak ia merasa sorot mata si sakit tertuju kepadanya, cepat ia berkata dengan mengiring tawa: "Entah untuk apakah Cu-kiongcu membangunkan dia?"

Orang sakit itu menghela nafas, katanya kemudian: "Mungkin kalianpun tak dapat menerka apa maksudnya."

Seketika semua orang terdiam, siapapun tidak berani buka mulut. Selang sejenak barulah si sakit menyambung lagi: "Tujuannya membangunkan dia adalah mohon diri kepadanya."

"Mohon diri?!" serentak Ji Pwe-giok, Kwe Pian sian dan Gin hoa nio sama melenggong.

"Betul," kata si sakit. "Dia tahu keadaannya tidak mungkin disukai lagi oleh Tonghong Bi-giok, ia menyatakan tak mau lagi membebani Tonghong Bi-giok, setelah berpisah bolehlah Tonghong Bi giok mencari gadis lain yang sembabat dan berumah tangga lagi yang bahagia. Cu Bi sendiri tak mau lagi bertemu dengan dia, yang diharapkannya adalah Tonghong Bi-giok dapat hidup bahagia asalkan dapat membesarkan anak mereka, maka puaslah dia."

Bilamana membayangkan betapa pedih waktu Cu Bi mengucapkan katanya itu, tanpa terasa hati semua orang ikut remuk redam.

Sampai-sampai Kwe Pian sian juga merasa terharu, pikirnya: "Tak tersangka Cu Bi benar-benar mencintai Tonghong Bi-giok dengan suci murni, seorang lelaki bila mendapatkan cinta setulus itu dari seorang perempuan, maka tidak penasaranlah hidupnya ini."

Pwe giok juga terharu, ia berkata: "Sesudah mendengar ucapan itu, apakah Tonghong Bi-giok tega tinggal pergi begitu saja?"

Si sakit menjawab: "Tidak, dia tidak pergi, sebaliknya setelah mendengar kata-kata Cu Bi itu lantas bersumpah segala, katanya cintanya terhadap Cu Bi takkan berubah sampai dunia kiamat. Biarpun Cu Bi berubah tua dan betapa jelek juga dia tidak mungkin meninggalkannya."

Pwe giok menghela nafas panjang, katanya: "Jika demikian, Tong hong Bi giok ini bukanlah manusia yang tidak setia."

"Betul, dia memang bukan manusia yang tidak setia, sebab hakekatnya dia memang bukan manusia," tukas si sakit mendadak. Sampai di sini wajahnya yang semula tenang-tenang itu seketika berubah menjadi emosi, sorot matanya berapi, butiran keringatpun merembes keluar di dahinya.

Perlahan Cu Lui ji mengusap keringat sang paman, air mata anak dara itupun berderai.

Semua orang sama ternganga menyaksikan kejadian itu, tiada yang berani buka suara. Seketika suasana menjadi sunyi, hanya terdengar suara sedu-sedan Cu Lui-ji yang berduka itu.

Selang sejenak, akhirnya ia si sakit menghela nafas, katanya: "Setelah mendengar sumpah setia Tonghong Bi-giok itu, hati Cu Bi menjadi terharu dan berterima kasih, memangnya dia juga merasa berat untuk berpisah, ia hanya rela berkorban baginya. Sekarang Tonghong Bi giok tegas-tegas menyatakan setianya, dengan sendirinya Cu Bi juga tidak menyinggung lagi soal berpisah."
"Jangan-jangan Tonghong Bi giok itu ada.....ada rencana tentu?" kata Pwe giok.

Si sakit tidak menjawab, ia melanjutkan ceritanya: "Sejak itulah Cu Bi mencurahkan segenap tenaganya untuk menjaga anak dan merawat Tonghong Bi giok dengan lebih rajin. Lewat dua tahun lagi, tiba-tiba ayah Tonghong Bi-giok, yaitu Tonghong Tay-beng itu bahkan membawa serta 20 tokoh Bu-lim terkemuka."

Si sakit memandang sekejap Pwe giok bertiga, lalu menyambung: "Padahal tempat tinggal Cu Bi itu sangat dirahasiakan, maklum dia sendiri musuhnya terlalu banyak. Lalu cara bagaimana Tonghong Taybeng berhasil menemukan tempat kediamannya? Dapatkah kalian membayangkan hal ini?"

"Ya Wanpwe juga sedang heran." kata Kwe Pian sian.

"Bukan cuma kau saja yang heran, waktu itu Cu Bi juga sangat heran," ujar si sakit. "Dia baru paham duduknya perkara setelah dilihatnya tindakan Tonghong Bi-giok, ia tidak terkejut, bahkan.... bahkan dia terus berlari menggabungkan diri dengan mereka..." seru si sakit dengan suara parau, "brak, mendadak sebuah meja kecil di ujung tempat tidur dihantamnya hingga hancur.

Tergerak hati Pwe giok, Kwe Pian sian dan Gin hoa nio, lamat-lamat mereka dapat menerka bahwa kedatangan Tonghong Taybeng dan rombongannya itu bukan mustahil justru Tonghong Bi-giok sendiri yang membocorkan tempat tinggalnya ini, namun mereka tidak sampai hati untuk memberi komentar. Mereka mendengar nafas si sakit terengah-engah, jelas gusarnya tidak kepalang.

Dengan menahan tangis Cu Lui-ji berkata: "Sacek, tenaga...tenagamu belum pulih, untuk...untuk apa kau....."

"Di seluruh kolong langit ini belum ada orang lain yang tahu akan rahasia ini," seru si sakit dengan suara bengis. "Sekalipun aku harus mati sehabis bercerita juga akan kubeberkan, tak dapat kubiarkan ibumu menanggung nama busuk meski sudah mati."

Cu Lui-ji tak tahan lagi, ia mendekap di tempat tidur dan menangis sedih.

Dengan suara serak si sakit bercerita pula: "Kiranya binatang Tonghong Bi-giok itu diam-diam telah berkhianat, pada tahun berikutnya setelah Cu Bi melahirkan, pada waktu kecantikan Cu Bi sudah luntur, diam-diam binatang itu menyewa seorang saudagar yang biasa berlayar keluar lautan, dengan upah besar dia minta orang itu menyampaikan suratnya ke Jit-goat-to, ke Put-ya-seng, kepada ayahnya. Tentu saja dengan janji muluk-muluk dan upah besar agar saudagar itu mau melaksanakan tugasnya. Cuma Jit goat to itu sangat sukar ditemukan, sebab itulah baru beberapa tahun kemudian surat itu sampai di tangan Tonghong Tay-beng..."

Meski sejak tadi semua sudah menduga akan kemungkinan kejadian ini, namun mereka belum lagi berani percaya Tonghong Bi-giok itu ternyata sedemikian kejinya. Sekarang hal ini diceritakan sendiri oleh si sakit, tanpa terasa semua orang ikut gemas juga, sampai-sampai Kwe Pian sian dan Gin hoa nio juga merasa tindakan Tonghong Bi giok itu terlalu kejam.

Mendadak dengan sinar mata yang tajam si sakit melototi Kwe Pian-sian, katanya: "Ku tahu kau inipun orang yang tak berbudi, tapi bila kau yang menjadi Tonghong Bi-giok, apakah kau tega berbuat begitu.....? Coba jawab dengan sejujurnya!"

Kwe Pian sian jadi gelagapan: "O, Cayhe...Wanpwe..."

Ia merasa sinar mata si sakit setajam sembilu yang hendak membedah dadanya sehingga untuk berdusta saja ia tidak berani. Ia menghela nafas, lalu menyambung dengan menyengir: "Jika....jika Wanpwe, paling-paling ku tinggal pergi begitu saja dan habis perkara."

"Betul, bila orang lain, betapa keji orang itu, paling-paling cuma tinggal pergi saja dan habis perkara." kata si sakit. "Tapi Tonghong Bi-giok si binatang itu benar-benar lain daripada yang lain, ia tahu betapa tinggi Kungfu Cu Bi dan betapa keji caranya turun tangan, ia takut bila melarikan diri mungkin Cu Bi akan menemukan kembali, ia kuatir jiwanya tetap tak bisa lolos dari tangan Cu Bi."

"Tapi....tapi Cu-kiongcu kan sudah rela mau berpisah dengan dia, mengapa dia bertindak pula sekeji itu?" tanya Pwe giok dengan gemas.

Jawab si sakit: "Meski Cu Bi hendak berpisah setulus hati dengan dia, tapi dia khawatir tindakan Cu Bi itu hanya pura-pura saja dan hendak mengujinya. Apalagi waktu itu dia juga sudah mengirim surat kepada ayahnya, demi kepentingan sendiri dan agar tidak menimbulkan bahaya di kemudian hari dengan sendirinya ia harus menyaksikan kematian Cu Bi barulah dia merasa aman. Jadi apa yang dikatakannya kepada Cu Bi itu hanya sekedar untuk menghiburnya agar Cu Bi tetap tinggal di situ."

Mendengar sampai di sini, tanpa terasa Kwe Pian-sian ikut bicara: "keji amat hati orang ini, sungguh sangat kejam." "Kemudian apakah... apakah Cu-kiongcu benar-benar mati di tangan mereka?" tanya Pwe-giok.

Muka si sakit tampak masam dan tidak lantas menjawab, selang sejenak barulah ia berkata: "Kukira kalian lupa bertanya sesuatu padaku."

"Dalam hal apa?" tanya Pwe-giok. "Kalian lupa tanya padaku dari mana ku tahu semua kejadian ini." kata si sakit.

Mendingan dia tidak omong, begitu dia katakan, mau tak mau semua orang menjadi heran. Memang betul juga, kalau peristiwa itu sedemikian dirahasiakan, darimana pula si sakit mendapat tahu? bahkan sedemikian jelas seperti di menyaksikan dengan mata kepala sendiri di tempat kejadian.

Pelahan-lahan orang sakit itu memejamkan mata lagi sambil berkata: "Selama hidupku paling suka menyendiri, sejak mengalami sesuatu kejadian, aku lantas merasa di dunia ini tiada seorangpun yang cocok bagiku, siapapun yang kutemui kalau bisa ingin ku mampuskan dia dengan sekali bacok"

Belum habis dia bercerita kisah kehidupan Siau-hun kiongcu, tiba-tiba ia bicara tentang wataknya sendiri. Tentu saja semua orang merasa heran, tapi mereka tetap diam saja dan mendengarkan dengan cermat, tiada seorangpun berani menyeletuk.

Terdengar si sakit menyambung pula dengan pelahan: "Tapi tidak mungkin kubunuh habis manusia di dunia ini, terpaksa akulah yang menjauhi mereka. Tatkala itu lagi musim semi, disekitar pantai Hokciu di propinsi Hokkian banyak kapal dagang yang hilir mudik ke kepulauan timur, ku pilih sebuah kapal layar yang kuat dan gesit, ku lompat ke atas kapal itu dan mengusir seluruh anak buahnya, aku berlayar sendirian.

"Sudah tentu perbekalan di atas kapal itu cukup lengkap dan banyak sehingga aku tidak perlu akan kelaparan dan kehausan, kurasakan jagat raya yang luas ini benar-benar bebas merdeka dan tiada seorangpun yang akan mengganggu diriku lagi. Kurasakan hidup yang tenang dan sunyi, rasa kesal yang terpendam sekian lama akhirnya terasa buyar."

Mendengar sampai di sini, samar-samar orang dapat merasakan cerita orang ini pasti ada sangkut pautnya dengan kisah hidup Siau-hun-kiongcu itu, sangkut pautnya justeru terletak pada kapal layar ini.

Terdengar si sakit menyambung pula ceritanya: "Entah sudah berapa lama aku berlayar, suatu hari aku berduduk di buritan kapal dan menikmati matahari terbenam yang indah, tiba-tiba kulihat sesosok tubuh manusia terombang-ambing di lautan yang luas itu, sekujur badan orang itu berlumuran darah, dengan mati-matian berpegangan erat-erat pada sepotong kayu, keadaan sangat payah dan tampaknya lebih banyak mampusnya daripada hidup."

Diam-diam Kwe Pian-sian membatin: "Bilamana orang ini masih bisa hidup, mungkin kau takkan menolong dia. Tapi lantaran orang itu pasti akan mati, kaupun lagi iseng karena kesepian, bisa jadi akan kau tolong dia malah."

Dalam pada itu si sakit telah berkata pula: "Waktu itu aku sudah terlalu benci kepada setiap manusia di dunia ini, mestinya tiada niatku akan menolong dia, tapi melihat lukanya begitu parah, aku menjadi tidak tega dan kutanya dia apa yang terjadi, siapa yang melukai dia separah itu? Kupikir bilamana di sekitar situ ada bajak laut, kebetulan bagiku akan dapat ku sikat mereka untuk melampiaskan rasa gemasku."

Mendengar uraian si sakit yang penuh emosi itu, diam-diam Pwe-giok membatin: "Meski orang ini penuh dendam kepada sesamanya, tapi apapun juga dia tidak mau sembarangan membunuh, malahan bajak laut yang ingin di tumpasnya, dari sini terbukti hati nuraninya belum lagi gelap sama sekali, tindak tanduknya tetap bersifat seorang pendekar sejati."

Berpikir demikian, tanpa terasa timbul juga rasa hormatnya kepada si sakit ini.

Tapi mendadak si sakit melotot padanya dan bertanya: "Sekarang apakah kau tahu siapa orang yang ku tolong itu?"

Pwe-giok melengak, benaknya bekerja cepat, serunya: "Jangan-jangan orang yang dititipi surat oleh Tonghong Bi-giok itu"

Untuk pertama kalinya sorot mata si sakit yang dingin itu menampilkan secercah senyuman, katanya: "Tepat sekali tebakanmu." Dengan cepat senyumnya itu lantas lenyap, dengan ketus dia menyambung lagi: "Dan tahukah kau siapa yang turun tangan keji kepadanya?"

Belum lagi Pwe-giok bersuara, mendadak Kwe Pian-sian menyela: "Tonghong Tay-beng!"

"Betul," kata si sakit. "Rupanya setelah dia berhasil mencapai Put-ya-sia di Jit-goat-to, setelah dia menyerahkan surat kepada Tonghong Tay-beng, selagi dia menunggu hadiah besar dari penerima surat itu, siapa duga Tonghong Tay-beng malah mengerahkan anak buahnya, segenap rombongan pengantar surat yang berjumlah 37 jiwa itu telah dibunuhnya sama sekali tanpa sisa satupun. Untung pengantar surat itu hanya terluka parah dan belum tewas, sekuatnya ia berusaha lari, tujuannya hanya ingin membeberkan rahasia yang diketahuinya mengenai Tonghong Bi-giok."

"Mungkin dia memang ditakdirkan harus membeberkan rahasia yang diketahuinya, maka Thian mengantarkan dia untuk bertemu dengan Cianpwe." sela Pwe-giok pula.

Tapi Kwe Pian-sian berkata dengan menyesal: "Jika aku menjadi dia, hakekatnya aku tidak mau mengantarkan surat itu. Masa urusan sepenting itu harus dirahasiakan boleh diserahkan begitu saja kepada orang yang baru dikenal, mana mungkin Tonghong Tay-beng membiarkan dia pergi lagi dengan hidup setelah menerima surat itu."

"Tapi pada umumnya orang yang sudah biasa berlayar kian kemari rata-rata adalah orang licin, dengan sendirinya segala kemungkinan juga sudah dipikirnya." kata si sakit. "Setelah dia menerima upah dari Tonghong Bi-giok, cukup baginya surat itu dibakar saja dan segala urusan beres, ke mana Tonghong Bi-giok akan mencarinya lagi. Tapi sayangnya dia telah berbuat suatu kesalahan, timbul rasa ingin tahunya akan surat antarannya itu, ia pikir isi surat itu pasti sangat penting, kalau tidak tentunya tidak perlu di suruh mengantar dengan upah yang besar. Maka secara diam-diam ia telah mencuri baca isi surat itu."

Gin-hoa-nio menghela napas, katanya: "Jika aku menjadi dia, rasanya akupun ingin tahu apa isi surat itu."

"Makanya orang macam begitu tidak perlu penasaran kalau mampus." jengek si sakit.

Gin-hoa-nio menunduk dan tidak berani bersuara lagi.

"Sesungguhnya apa isi surat itu? tanya Pwe-giok tiba-tiba.

"Binatang Tonghong Bi-giok itu telah menyatakan di dalam surat bahwa dia yang terpelet oleh Cu Bi dan berada dalam bahaya, maka diharapkan pertolongan Tonghong Tay-beng. Didalam surat itupun dinyatakan dengan tegas agar setelah terima surat itu, supaya Tonghong Tay-beng memberikan upah kepada si pengantar surat satu jumlah harta yang tak habis terpakai selama hidup.

"Mungkin pengantar surat itu telah terpancing oleh pesan Tonghong Bi-giok itu, maka sedapatnya dia berusaha menyampaikan surat itu ke Put-ya-sia.

Padahal kalau dia mau berpikir secara cermat, di dunia ini mana ada kekayaan yang tak habis terpakai selama hidup? Betapapun besar jumlahnya harta kekayaan juga ada kalanya akan habis dan ludes, kecuali orang itu mati seketika, dengan begitulah baru benar-benar tidak habis terpakai selama hidup."

"Betul, dengan pesan itu Tonghong Bi-giok justeru menghendaki ayahnya membinasakan si pengantar surat apabila surat sudah diterimanya." sela Kwe- Pian-sian. "Cuma sayang, bocah itu mungkin sudah keblinger oleh janji upah yang besar itu sehingga dia tidak memperhatikan arti yang terkandung di dalam pesan itu."

"Bukan cuma begitu saja, justeru Tonghong Bi-giok sudah memperhitungkan di tengah jalan pengantar surat itu pasti akan mencuri baca suratnya, maka di dalam suratnya dia sengaja menulis pesan yang bermakna ganda itu untuk memancingnya," kata si sakit. "Manusia mati karena harta, burung mati karena pangan, jadi orang itu memang pantas mampus. Namun apa yang terjadi itupun dapat menggambarkan betapa kejinya Tonghong Bi-giok."

"Jangan-jangan lantaran Cianpwe merasa perbuatan orang ini terlalu keji, maka Cianpwe ingin membunuhnya demi kesejahteraan umum, maka Cianpwe terus putar balik dari pelayaranmu itu?" tanya Pwegiok.

"Kalau melulu soal ini mungkin aku takkan kembali lagi ke daratan sini." tutur si sakit dengan pelahan. "Justeru sebelum mati orang itu telah bercerita pula apa yang dialaminya, saking gusarnya barulah aku ingin bertindak."

"Apalagi yang diceritakan orang itu?" tanya Pwe-giok.

"Bahwa Tonghong Bi-giok mau menyerahkan surat sepenting itu kepadanya, tentunya orang itupun mempunyai hubungan cukup erat dengan dia, betul tidak?" tanya si sakit.

"Ya, tapi Tonghong Bi-giok kan sudah hidup menyepi... "

"Tahukah kau bahwa untuk menyepi yang paling baik adalah di tempat yang ramai?" tanya si sakit tiba-tiba.

Seketika Kwe Pian-sian berkeplok dan membenarkan, katanya: "Betul, untuk menyepi, artinya bersembunyi menghindari pencarian orang, tempat yang baik memang tidak harus di pegunungan atau tempat terpencil. Bila kau sembunyi di tempat begitu, terkadang malah lebih mudah ditemukan orang. Tapi orang semacam Cu-kiongcu, bila bersembunyi di suatu kota kecil biasa dan hidup tenteram seperti orang lain, tentu jejaknya akan sukar ditemukan orang."

Tergerak pikiran Pwe-giok, serunya: "He, jangan-jangan di kota kecil inilah dahulu Cu-kiongcu bertirakat?"

Si sakit menghela nafas, tuturnya: "Kota ini dibilang kecil juga tidak kecil, dikatakan besar juga tidak besar, tapi kehidupan di sini aman tenteram, penduduknya hidup rukun dan damai, tak nanti sengaja mencari tahu rahasia pribadi orang lain. Sekalipun terkadang ada orang Kangouw lalu di sini juga takkan menaruh perhatian keadaan di sini, jadi memang suatu tempat tirakat yang baik. Sungguh cerdik Cu Bi dapat memilih tempat sebaik ini. Kalau saja Tonghong Bi-giok tidak berubah pikirannya, sekalipun dia tinggal seratus tahun di sini juga orang lain takkan menyangka nyonya rumah yang biasa di kota kecil ini sebenarnya adalah Siau-hun-kiongcu dan dikabarkan sudah mati itu."

"Ya, memang benar tak terduga oleh siapapun juga," kata Pwe giok.

"Pelaut yang dititipi surat oleh Tonghong Bi-giok itu bernama Li Bo-tong, aslinya juga penduduk kota kecil ini, cuma sejak muda dia sudah mengembara ke mana-mana sehingga hampir dilupakan oleh penduduk setempat. Kebetulan tahun itu dia pulang kampung halaman, kebetulan pula tempat tinggalnya sebelah menyebelah dengan rumah Cu Bi. Pada waktu Tonghong Bi-giok mengetahui orang she Li ini tidak lama akan berlayar lagi, pada saat itulah dia lantas bersahabat dengan dia."

"Cu-kiongcu adalah orang yang cerdik, masa sedikitpun dia tidak menaruh curiga?" tanya Kwe Pian sian.

Si sakit menjawab: "Waktu itu Cu Bi mencurahkan segenap perhatiannya untuk merawat anaknya, apalagi pergaulan antara tetangga kan juga jamak," kata si sakit.

"Betul, dia sudah bertempat tinggal di situ, kalau tidak bergaul dengan tetangga tentu akan menimbulkan curiga orang lain malah," ujar Pwe giok. "Apalagi orang biasa seperti Li Bong-tong itu tentu juga takkan tahu-menahu rahasia persembunyiannya."

"Tapi penduduk di sekitar sana tahu Cu Bi adalah isteri yang baik dan Ibu Rumah Tangga yang teladan rajin dan hemat, bahkan sangat pintar meladeni sang suami," kata orang sakit itu.

"Sepulangnya Li Bong tong di rumah tentu iapun mendengar cerita tetangga itu," ujar Kwe Pian sian.

"Betul, makanya setelah membaca surat Tonghong Bi-giok itu, ia sangat terkejut," tutur si sakit. "Sungguh ia tidak percaya seorang isteri teladan dan ibu rumah tangga yang terpuji itu asalnya adalah seorang iblis yang ditakuti. Tapi iapun menganggap Tonghong Bi-giok tidak pantas berbuat khianat terhadap istrinya sendiri. Namun waktu itu ia sudah keblinger oleh janji upah besar, yang terpikir olehnya hanya harta benda yang takkan habis digunakan selama hidup. Ketika mendekat ajalnya barulah timbul hati nuraninya, baru dia menceritakan seluk beluk urusan itu padaku."

Habis bicara, kembali tangannya hendak menggabruk meja lagi. Karena sepanjang tahun dia berbaring di situ, dalam anggapannya di sebelahnya adalah meja kecil, tak teringat olehnya bahwa meja itu tadi sudah digebrak hingga hancur.

Dengan sendirinya gebrakan ini mengenai tempat kosong dan mungkin akan mengenai pinggir tempat tidur dan bisa jadi tempat tidur itupun akan hancur. Untunglah mendadak Cu Lui ji menjulurkan tangannya. dengan enteng tangan sang paman dipegangnya sambil berkata dengan suara halus: "Sacek, maukah kau jangan marah-marah lagi?"

Tindakan Cu Lui ji itu mungkin takkan mengherankan orang lain, tapi bagi pandangan Pwe-giok dan Kwe Pian sian yang sudah tergolong jago silat kelas satu, melihat itu hati mereka jadi terkesiap.

Maklumlah, betapa cepat dan betapa kuat pula gebrakan tangan si sakit, tapi dengan ringan saja Cu Lui-ji dapat menangkapnya.

Diam-diam Kwe Pian-sian membatin: "Budak cilik ini selain mahir memikat lelaki, Kungfunya ternyata juga tidak rendah dan tampaknya tidak di bawahku."

Padahal si sakit sudah dalam keadaan senin-kemis, tapi masih mampu mendidik seorang nona cilik dengan Kungfu setinggi itu, mau tak mau Kwe Pian sian merasa ngeri.

Dilihatnya tangan Cu Lui ji yang kecil itu sedang mengelus tangan si sakit yang kurus seperti cakar itu, lambat laun rasa gusar si sakit pun mereda, ia menghela nafas dan berkata: "Sesudah mendengar penuturan Li Bong-tong waktu itu, aku tidak tahan akan rasa gusarku, sungguh tak pernah terpikir olehnya di dunia ini ada manusia tak berbudi semacam Tonghong Bi-giok itu. Segera kuminta Li Bong-tong melukiskan letak pulau kediaman Tonghong Taybeng. Habis memberi keterangan Li Bong tong lantas menghembuskan nafas penghabisan."

"Dan Cianpwe lantas memburu ke Put-ya-sin di Jit-goat-to untuk mencari Tongheng Tay-beng?" tanya Pwe giok.

"Betul," jawab si sakit. "Cuma sayang, waktu itu Tonghong Tay-beng sudah meninggalkan pulau nya. Dalam gusarku, ku obrak-abrik seluruh pulau itu hingga morat-marit. Ku pikir kepergian Tong hong Tay-beng itu tentu akan mengundang bala bantuan lagi, untuk itu tentu akan makan waktu, jika segera menyusul ke Li-toh-tin, bisa jadi jiwa Cu-Bi dapat kuselamatkan. Maka aku lantas berlayar pulang ke daratan sini, siapa tahu.....kedatanganku masih tetap terlambat satu langkah."

Sampai di sini, bagi Kwe Pian sian dan Gin hoa nio kisah Siau hun kiongcu itu sudah jelas sebagian besar, tapi diam-diam merekapun heran atas diri si sakit, pikir mereka: "Jika orang ini sudah sedemikian benci terhadap sesamanya, saking bencinya seakan-akan baru puas bilamana setiap manusia di dunia ini sudah mau terbunuh habis, lalu untuk apa dia terburu-buru pulang ke sini hanya untuk menolong Cu Bi?"

Hanya Ji Pwe giok saja yang berbeda pendapat, meski masih muda, tapi dia sudah kenyang dengan macam-macam pengalaman, iapun seorang yang berperasaan halus dan pecinta yang luhur, lamat-lamat ia dapat menerka isi hati si sakit itu, diam-diam ia berpikir: "Dari nada ceritanya, sebabnya dia berubah menjadi ekstrim dan ingin membunuh setiap manusia di dunia ini, jangan-jangan lantaran dia sendiri juga mengalami persoalan yang menyakitkan hati, misalnya": dikhianati kekasihnya, maka dia dendam kepada setiap orang yang berhati palsu dan suka mengkhianati. Bahwa dia memburu ke Li-toh-tin katanya hendak menolong Cu Bi, siapa pula yang tahu bahwa tujuannya justeru hendak membunuh Tonghong Bi-giok yang tidak setia terhadap anak istrinya itu."

Dihatinya si sakit telah memejamkan mata pula dengan nafas terengah-engah.

Orang bicara tampaknya tidak perlu tenaga tapi lantaran dia terkenang kepada kejadian dahulu, karena emosi, jantungnya lantas berdetak keras.

Mestinya Pwe giok ingin bertanya kisah lanjutan Siau-hun-kiongcu, cara bagaimana dia mati dan bagaimana pula akhirnya dengan nasib Tonghong Bi-giok, juga tentang Tonghong Tay-beng yang katanya juga telah dibunuh semuanya olehmu, mengapa pula kau sendiri bisa terkena racun separah ini?

Namun pertanyaan itu hanya berputar saja dalam benak Pwe giok, ia tidak tega berucap melihat keadaan si sakit yang payah itu.

Didengarnya Cu Lui-ji berkata: "Tentu kalian sudah lapar, nasi sudah kusiapkan, biarlah kuambilkan untuk kalian,"

Cepat Kwe Pian sian berbangkit dan berkata "Ah, mana berani kami merepotkan nona?!"

Tapi Cu Lui ji tidak menanggapinya, ia mengusap air matanya, lalu turun ke bawah loteng.

Gin hoa nio tidak tahan lagi, cepat ia berseru dengan suara gemetar: "Nona, kumohon sudilah engkau menolong jiwaku, jika terlambat, mungkin....."

Tanpa menoleh Cu Lui ji mendengus, ucapnya: "Barang siapa mendapatkan kitab pusakaku, berarti dia telah masuk perguruanku. Selamat atau celaka, untung atau malang, apapun yang akan terjadi tetap harus tunduk kepada perintahku. Barang siapa tidak taat kepada perintahku dia pasti akan binasa...."

Apa yang diucapkannya ii adalah amanat Siau-hun-kiongcu yang terukir di dinding istana di bawah tanah itu. Tempo hari, setelah Pwe giok dan Kim-yan-cu mendapatkan kitab pusaka Siau hun pi-kip, lalu timbul bermacam-macam kejadian. Karena itulah kitab pusaka itu mereka buang di sembarang tempat. Kemudian terjadi lagi hal-hal lain dan merekapun tidak memperhatikan kitab pusaka itu sehingga dapat ditemukan Gin hoa nio.

Tentu saja Gin hoa nio kegirangan seperti mendapat rejeki nomplok. Dapat kitab pusaka itu, setiap ada tempo senggang ia lantas berlatih menurut petunjuk di dalam kitab. Dasar wataknya memang berdekatan dengan isi pelajaran kitab itu, dengan sendirinya hasilnya juga memuaskan dan maju pesat.

Sebab itulah begitu melihatnya tadi si sakit lantas mengetahui pada tubuh Gin hoa nio terdapat ilmu memikat ajaran Siau hun kiongcu, karena itulah ia menegurnya apakah dia murid siau hun kiongcu.

Tapi lantaran kitab pusaka itu diperolehnya dengan tidak halal, ia tidak berani mengaku. Orang yang tidak mengakui perguruannya sendiri dalam dunia persilatan dianggap khianat dan dosanya tak terampunkan. Sekarang di dengarnya ucapan Cu Lui-ji yang cocok amat dengan amanat tinggalan Siau-hun-kiongcu itu, seketika hati Gin-hoa-nio tergetar, tubuh menjadi lemah dan jatuh terkulai.

Mendadak bayangan Cu Lui-ji berkelebat ke atas loteng lagi. Gin-hoa-nio ketakutan dengan mandi keringat. Tak terduga yang di tuju Cu Lui-ji bukanlah dia melainkan Kwe Pian-sian, dengan mata melotot, ia bertanya, "Nona di bawah itu apamu?"

"O, dia ... dia kawanku," jawab Kwe Pian-sian dengan tergagap.

"Hmm, kukira tidak cuma kawan saja?!" jengek Lui-ji.

"Pandangan nona memang tajam," terpaksa Kwe Pian-sian mengakui dengan menyengir.

"Jika begitu, mengapa kau tinggalkan dia di bawah tanpa menghiraukannya ?" damprat Lui-ji.

Diam-diam Kwe Pian-sian mendongkol, ia pikir justeru kalian yang mencelakai dia, masa sekarang kau malah membela dia dan menyalahkan aku ?

Walaupun begitu pikirnya, sudah tentu tidak berani di utarakannya, dengan menyengir, ia menjawab, "Kukira tidak .... tidak leluasa ku bawa dia naik turun, maka kubiarkan dia menunggu saja di bawah."

"Hmm," Cu Lui-ji menjengek, "kiranya kaupun seorang yang tak berperasaan."

Karena dituduh "tidak berperasaan", seketika Kwe Pian-sian berkeringat dingin. Ia tidak berani bersuara lagi, cepat dia berlari ke bawah dan membawa Ciong Cing ke atas.

Selang tidak lama, Cu Lui-ji naik lagi ke atas dengan membawa satu bakul nasi yang masih mengepul. Cuma sekarang hari setiap orang sama merasa tertekan, siapapun tidak bernapsu makan lagi.

Selagi Pwe-giok termenung sambil memegangi mangkuk nasinya, dalam benaknya bergolak bermacam-macam persoalan. Pada saat itu tiba-tiba si sakit mendesis, "Sssst, ada orang datang!"

Suasana saat itu sunyi sepi, sampai suara anginpun tidak terdengar, mana ada suara orang segala.

Diam-diam Pwe-giok mengira si sakit ini sudah terlalu lama menggeletak di tempat tidurnya sehingga telinganya mungkin juga rada tuli.

Tapi selang sejenak mendadak di bawah ada suara pintu di ketuk suaranya rada aneh, seperti sesuatu alat tajam yang di gunakan untuk mengetuk pintu.

Lalu suara seorang berseru dengan lantang, "Sepada! Adakah orang di atas ? Wanpwe Dian Ce-hun datang mengantarkan surat!"

"Surat ? Mengantar surat apa ?" gumam Cu Lui-ji sambil berkerut kening, "Siapa pula Dian Ce-hun ini ?"

Sembari bergumam, ia terus turun ke bawah.

Tiba-tiba si sakit memberi pesan, "Ginkang dan Lwekang orang ini tidak lemah, bahkan seperti pernah berlatih kungfu sebangsa Eng-jiau-kang (tenaga cakar elang), jika kau tidak mampu merintangi dia, biarkan saja dia naik ke sini!"

"Ku tahu," jawab Lui-ji. Walaupun begitu ucapnya, namun di dalam hati merasa penasaran.

Pwe-giok tahu dari suara ketukan pintu itulah si sakit menilai kungfu pendatang yang mengaku bernama Dian Ce-hun itu dan dari suaranya dapat diukur pula tenaga dalamnya. Selain itu, kedatangannya itu ternyata tidak di dengar oleh orang-orang yang berada di atas loteng, dari sini dapat diketahui Ginkangnya pasti sangat tinggi.

Setelah berpikir, Pwe-giok lantas berkata, "Wanpwe juga ingin turun untuk melihatnya."

Setiba di bawah, Pwe-giok melihat pintu sudah dibuka oleh Cu Lui-ji. Di bawah cahaya sang surya yang terang benderang, di luar pintu tampak tegak seorang pemuda jangkung dan berwajah cakap serta berbaju ungu.

"Kau yang mengantar surat kemari?" tegur Lui-ji. "Dimana suratnya?"

Orang yang mengaku bernama Dian Ce-hun itu memandang sekejap kepada Lui-ji, jawabnya dengan tersenyum. "Surat ini tidak boleh kuserahkan kepada anak kecil, bolehkah aku masuk ke situ ?"

Dia bicara dengan tersenyum, namun sikapnya angkuh.

Lui-ji tersenyum, jawabnya, "Hanya pengantar surat saja mana boleh sembarangan terobosan di tempat orang ? Jika suratmu tidak mau di serahkan padaku, silahkan kau bawa pulang saja."

"Tajam amat mulut nona cilik," kata Dian Ce-hun dengan tertawa, "Tapi apakah nona sanggup menerima surat ku ini ?"

Dia benar-benar mengeluarkan sepucuk surat dari dalam baju dan disodorkan lurus ke depan dengan di pegang kedua tangan. Surat itu disodorkan tepat ke Cu Lui-ji, tampaknya sopan dan sangat menghormat.

Namun Pwe-giok dapat melihat kedua tangan orang sedikit melengkung, jelas mengandung tenaga dalam yang sukar di jajaki, tampaknya saja tenang-tenang, tapi diam-diam siap siaga. Apabila Lui-ji benar-benar menjulurkan tangan untuk menerima surat itu, bisa jadi nona cilik itu akan kecundang.

Selagi Pwe-giok hendak memburu maju, tiba-tiba Lui-ji berkata dengan ketus, "Boleh kau taruh suratmu di lantai saja!"

Gemerdep sinar mata Dian Ce-hun, ucapnya dengan tersenyum, "Masa nona cilik tidak berani menerima suratku ini ?"

"Hmmm, percuma kau ini kelihatan seperti orang terpelajar, masa persoalan lelaki dan perempuan tidak boleh bersentuhan juga tidak tahu?" jengek Lui-ji.

Dian Ce-hun tertawa, katanya, "Haha, lihay amat nona cilik, pantas sekian banyak orang terjungkal di tanganmu."

Di tengah suara tertawanya, kedua tangannya terus mendorong ke depan bersama sampul surat yang di pegangnya. Tampaknya sampul surat itu hanya benda yang tipis, tapi terpegang di tangannya tiada ubahnya seperti baja tipis yang tajam.

Belum lenyap suaranya, angin berkesiur, tahu-tahu Dian Ce-hun sudah menyelinap lewat di samping Lui-ji tanpa menyenggol ujung bajunya.

Betapapun, Lui-ji tidak sempat lagi untuk mencegatnya.

Terdengar Dian Ce-hun berkata dengan tertawa, "Lelaki dan perempuan tidak boleh bersentuhan, biarlah ku antar surat ini langsung ke atas saja."

Tapi mendadak seorang menanggapi dengan tegas, "Tidak perlu, serahkan padaku di sini kan sama saja."

Suara Dian Ce-hun terhenti seketika, dilihatnya seorang pemuda maha cakap dan sopan santun sudah berdiri di ujung tangga dengan mengulum senyum, tempat berdiri pemuda cakap itu tepat merintangi jalan lewatnya.

Biasanya Dian Ce-hun sangat angkuh, menganggap dirinya maha cakap dan tiada bandingannya. Tapi demi melihat pemuda di depan ini, mau tak mau ia terkesiap dan merasa kalah. Segera ia bertanya dengan tertawa, "Apakah Anda tuan rumah di sini?"

Pemuda cakap itu adalah Pwe-giok, ia menjawab, "Tuan rumah sedang tidur siang, hendaklah anda...."

Tapi Dian Ce-hun lantas memotong dengan tertawa, "Jika Anda bukan tuan rumahnya, mana boleh kau terima surat ini ?"

Segera ia mendorong ke depan pula sampul surat itu dengan kedua tangannya. Ternyata Pwe-giok tidak mengelak dan juga tidak menghindar, sebaliknya kedua tangannya lantas memapak tangan lawan, gerak tangannya cepat luar biasa.

Alis Dian Ce-hun berjengkit, dampratnya pelahan: "Apakah kau benar-benar ingin menerima surat ini? Kau mampu?”. Mendadak jarinya menjentik, sampul surat diselentik masuk ke dalam lengan baju sendiri, sedangkan tangannya terus menindih ke bawah.

"Plak", seketika empat tangan beradu dan kedua orang sama-sama terkejut.

Maklumlah, pembawaan tenaga sakti Ji Pwe-giok jarang ada bandingannya, tapi pemuda she Dian ini ternyata mampu menindih tangannya hingga tertekan beberapa inci ke bawah, hampir saja Pwe-giok tidak sanggup menahannya.

Sebaliknya Dian Ce-hun juga tidak menyangka pemuda cakap yang tampaknya lemah lembut ini, ternyata memiliki tenaga sakti sekuat ini. Dia menahan dari atas, jadi posisinya lebih menguntungkan, tapi ternyata kedua tangan lawan ternyata tetap keras bagai baja, betapapun dia mengerahkan tenaga lagi tetap tak mampu menekannya ke bawah.

Karena adu tenaga, hanya sekejap saja kedua orang sudah sama-sama berkeringat. Diam-diam Dian Ce-hun menyesal, tidak seharusnya dia beradu tenaga dalam dengan lawan.

Dalam pada itu, diam-diam Cu Lui-ji telah memutar ke samping Dian Ce-hun, katanya: "Silahkan kalian mengukur tenaga di sini, suratnya serahkan saja kepadaku."

Sebelah tangannya segera terjulur dari belakang untuk meraba sampul surat yang tersimpan di dalam baju Dian Ce-hun.

Dalam keadaan begini, bilamana Dian Ce-hun menghindar, tentu bagian depannya akan tak terjaga dan peluang itu akan memberi kesempatan kepada Ji Pwe-giok untuk menyerangnya. Apalagi ketika tangan kiri Cu Lui-ji meraba suratnya, tangannya yang lain juga sudah siap untuk menyerang.

Diam-diam Pwe-giok berkerut kening, menyaksikan tindakan Cu Lui-ji itu, ia merasa tidak pantas nona itu mengancam orang selagi lawan kepepet. Tapi keadaan sudah terlanjur begitu, jika dia menarik diri, mungkin lawan yang terus mendesak dan dirinya yang bakal celaka.

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa panjang. Bayangan tubuh Dian Ce-hun mendadak melayang ke atas.

Pwe-giok berdiri di ujung tangga, jarak papan loteng dengan kepalanya tidak lebih dari setengah meteran, siapa tahu tubuh Dian Ce-hun yang melayang ke atas itu dapat memberosot ke atas loteng menempel papan loteng selicin ikan.

Ginkang yang diperlihatkan ini benar-benar sangat mengejutkan dan sukar dibayangkan.

Baik Pwe-giok maupun Cu Lui-ji sama terkejut.

Terdengar Dian Ce-hun bersuara di atas loteng, "Wanpwe Dian Ce-hun ingin menyampaikan surat, mohon cianpwe sudi menerima."

Padahal saat itu dia sudah melihat jelas orang berbaring di tempat tidur, andaikan si sakit tidak mau menerimanya, juga sukar mengelakkan diri.

Orang sakit itu hanya memandang Dian Ce-hun sekejap dengan tak acuh, lalu bertanya, "Kedatanganmu ini atas suruhan siapa ?"

"Inilah suratnya, setelah cianpwe membacanya tentu akan tahun sendiri," jawab Dian Ce-hun. Kedua tangannya lantas menjulur ke depan, perlahan ia mengangsurkan sampul surat yang dibawanya, tanpa berkedip ia pandang si sakit.

Sementara itu Cu Lui-ji sudah memburu ke atas dan berseru, "Awas tangannya, sacek .... "

Belum lenyap suaranya, mendadak tangan si sakit menggapai perlahan, entah dengan cara bagaimana tahu-tahu sampul surat yang dipegang erat-erat oleh kedua tangan Dian Ce-hun telah berpindah ke tangan orang lain.

Air muka Dian Ce-hun rada berubah dan menyurut mundur dua-tiga langkah, katanya sambil membungkuk, "Tugas Wanpwe sudah selesai, sekarang juga kumohon diri." Sambil bicara ia melangkah mundur dua tiga tindak sehingga menyurut sampai di ujung tangga, tapi sebelum melangkah ke bawah loteng, mendadak ia turun tangan secepat kilat, tahu-tahu pergelangan tangan Cu Lui-ji dicengkeramnya. Lui-ji tidak pernah menduga akan disergap begitu, keruan badannya lantas lemas dan tak berdaya, ia sempat berteriak, "Sacek ... ."

Dian Ce-hun lantas berkata dengan suara tertahan, "Bilamana kalian memikirkan keselamatan nona ini, hendaklah kalian jangan sembarangan bergerak, Cayhe hanya ingin membawanya pergi menemui seseorang, habis itu pasti akan ku antar dia pulang ke sini dengan selamat."

Sambil bicara, selangkah demi selangkah ia terus mundur ke bawah loteng, semua orang hanya menyaksikan kepergiannya dengan mata terbelalak tanpa bisa bertindak apa-apa.

Si Sakit sedikitpun tidak kelihatan cemas, dia malah bertanya lagi dengan perlahan, "Hendak kau bawa dia untuk menemui siapa ?"

"Guruku ... " jawab Dian Ce-hun.

Mendadak si sakit mendengus, "Hmm, jika dia ingin menemuinya, suruh dia sendiri datang ke sini."

Sambil bicara mendadak tubuhnya melayang melintang dari tempat tidurnya.

Ketika berbaring tampaknya dia sudah kempas-kempis dan tak dapat bergerak, tapi sekarang begitu melayang ke atas, gerak tubuhnya itu tampak begitu gesit dan tangkas.

Wajah Dian Ce-hun menjadi pucat, bentaknya, "Apakah Cianpwe tidak memikirkan dia lagi ..." belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong si sakit sudah menubruk ke arahnya segera lehernya hendak mencengkeramnya.

Ketika Dian Ce-hun merasa angin keras menyambar tiba, begitu kuat sehingga napaspun terasa sesak. Mana dia sempat mencelakai Cu Lui-ji lagi, ingin lari saja tidak sempat. Terpaksa ia mengerahkan segenap tenaga, kedua tangannya menangkis ke atas.

Tak terduga si sakit yang mengapung di atas udara itu ternyata dapat melakukan perubahan dengan gesit, sekali putar badan, secepat kilat urat nadi pergelangan tangan Dian Ce-hun telah di kena di cengkeramannya.

Sekejap itu, semua orang sama melenggong menyaksikan apa yang terjadi itu. Semua orang tahu si sakit ini pasti bukan tokoh sembarangan, tapi tiada yang menduga kungfunya sedemikian mengejutkan. Kungfu dari perguruan dan aliran manapun di dunia ini kalau dibandingkan gerakan si sakit barusan. Hakekatnya, boleh dikatakan seperti permainan anak kecil belaka.

Diam-diam Kwe Pian-sian terkejut, pikirnya, "Bocah she Dian ini benar-benar cari penyakit sendiri. Sekarang tangannya sudah dicengkeram orang, mungkin segenap kungfunya akan dipinjam pakai juga oleh orang.

Bara saja terlintas pikiran demikian, tiba-tiba terdengar si sakit mendamprat perlahan, "Inilah sedikit hajar adat padamu agar selanjutnya kau tahu diri. Nah, enyahlah kau!"

Di tengah bentakannya itu, tubuh Dian Ce-hun telah diangkatnya ke atas terus dilemparkannya ke luar jendela seperti anak kecil lempar bola. Sampai lama sekali baru terdengar suara "bluk" di luar sana.

Habis itu, si sakit melayang kembali ke tempat tidurnya dan berbaring pula seperti semula, hanya napasnya tampak terengah-engah.

Selang sejenak, tiba-tiba terdengar suara Dian Ce-hun berkumandang dari luar jendela sana, "Kungfu Cianpwe sungguh hebat luar biasa kelak Wanpwe masih ingin minta petunjuk lagi."

Bicara sampai kata terakhir itu suaranya kedengarannya sudah berada di tempat beratus tombak jauhnya. Nyata anak muda ini tidak cuma kepala batu, dan tidak kenal apa artinya kapok, bahkan nyalinya juga besar dan tidak takut apapun.

Diam-diam timbul rasa suka dan sayang dalam hati Pwe-giok terhadap pemuda she Dian itu, pikirnya dengan gegetun, "Sungguh lelaki yang hebat, entah dia anak murid siapa?"

Di dengarnya si sakit sedang berkata dengan megap-megap, "Melulu Ji Hong-ho dan begundalnya itu tidak nanti berhasil mendidik anak murid seperti ini."

"Betul," tukas Pwe-giok. "Dia tidak mungkin murid salah satu ke-13 perguruan terkemuka jaman ini. Sebab itulah Wanpwe merasa heran entah dia berasal dari mana?"

Orang sakit itu memejamkan mata, ia cuma menggeleng dan tidak bicara lagi.

Tiba-tiba Cu Lui-ji bertanya, "Sacek, mengapa kau lepaskan dia ?"

"Perang antara dua negara tidak boleh membunuh utusan musuh," kata si sakit dengan dingin. "Apalagi biarpun dia kurang sopan, masa akupun bertindak ngawur seperti dia?"

"Tapi kulihat kedatangannya itu tidak melulu untuk mengantar surat saja, tentu dia ingin tahu keadaan di sini, setelah dia tahu penyakit Sacek belum sembuh, sepulangnya ini mungkin akan datang lagi dengan membawa orang lain."

"Biarpun membawa orang lain lantas mau apa?" kata si sakit dengan gusar. "Sekalipun kita harus mati juga tak boleh bertindak sesuatu yang memalukan, tahu tidak?"

Cu Lui-ji mengiakan dengan menunduk. Iapun tidak berani bicara lagi.

Diam-diam Pwe-giok bertambah kagum terhadap kepribadian si sakit.

Kwe Pian-sian sejak tadi diam saja, kini iapun tidak tahan, katanya: "Sekalipun Cianpwe harus membebaskan dia, mengapa tidak kau pinjam pakai dulu Kungfunya itu?"

Si sakit meliriknya sekejap dengan sorot mata dingin dan penuh rasa menghina, iapun tidak menjawabnya.

Cu Lui-ji lantas mendengus: "Sekalipun Sacek suka pinjam pakai Kungfu orang lain, kalau bukan orang itu sukarela tentulah akibat perbuatan orang itu sendiri. Kalau tidak, Kungfumu kan juga tidak lemah, mengapa Sacek tidak pinjam pakai?"

Kwe Pian-sian jadi ngeri sendiri dan tidak berani bicara lagi. Tapi biasanya dia juga angkuh dan tinggi hati, tentu saja dia tetap penasaran karena merasa dihina. selang sejenak, ia tidak tahan dan berkata pula: "Mungkin nona hanya bergurau saja. Di seluruh dunia ini mana ada orang yang sukarela meminjamkan Kungfunya yang dilatihnya dengan susah payah selama hidup kepada orang lain?"

Tiba-tiba Cu Lui-ji melirik Gin-hoa-nio sekejap, lalu mendengus: "Mungkin ada, siapa tahu?!"

Gin-hoa-nio merasa bingung mengapa anak dara itu meliriknya, seketika ia merinding sendiri. Selagi ia hendak mencari alasan untuk bertanya, tiba-tiba Pwe-giok sudah bertanya lebih dulu: "Entah apa yang tertulis di dalam surat itu?"

Setelah bertanya, hati Pwe-giok menjadi menyesal, ia menyangka si sakit pasti tidak akan memberitahukannya dan hal ini berarti dirinya mendapat malu sendiri.

Siapa tahu si sakit lantas menyerahkan surat tadi kepada Lui-ji dan berkata: "Coba, kau bacakan bagi mereka."

Lui-ji lantas merobek sampul surat itu, diloloskannya secarik surat, lebih dulu dilihatnya satu kali, habis itu baru dibacanya dengan perlahan:"... Locianpwe yang terhormat, sudah lama kami kagum atas pribadimu, tak tersangka sekarang Cianpwe bertirakat di sini. Nama Cianpwe termasyhur bijaksana, tentunya Cianpwe takkan membela puteri .... Pada tengah malam nanti kami akan berkunjung kemari, diharapkan Cianpwe takkan menolak kedatangan kami. Hormat Ji Hong-ho dan kawan-kawan berjumlah 12 orang."

Isi surat itu ditulis secara tergesa-gesa sehingga kalimatnya tidak diperbaiki lagi, namun cekak-aos, singkat dan jelas.

Namun waktu membacanya, Cu Lui-ji sengaja melompati beberapa nama yang tidak dibacanya.

Diam-diam Pwe-giok membatin: "Nama pada bagian depan surat itu tentulah nama orang sakit ini dan nama bagian lain yang menyebutkan nama orang tua nona Cu ini, dengan sendirinya juga tidak dibacakannya."

Mendadak si sakit mendengus: "Hm, Ji Hong-ho dan kawan-kawannya berjumlah 12 orang ..... huh, hanya mereka itu saja berani menemui aku dengan menjanjikan waktu berkunjung segala?"

Dengan suara tertahan Cu Lui-ji berkata: "Jika cuma mereka saja tentu saja tidak berani menulis surat ini, tapi sekarang kukira mereka tentu sudah mempunyai beking yang kuat, makanya nyali mereka tambah besar."

Pwe-giok saling pandang sekejap dengan Kwe Pian-sian, diam-diam mengagumi kecepatan berpikir nona cilik ini, mereka memang juga sudah memperkirakan Ji Hong-ho pasti mendapatkan bala bantuan yang tangguh.

Diam-diam Pwe-giok membatin: "Rasanya tokoh andalan mereka pasti bukan Dian Ce-hun yang mengantar surat ini, tapi pasti lebih lihay daripada Dian Ce-hun, jangan-jangan orang yang dimaksud adalah guru pemuda she Dian itu?"

Berpikir demikian, diam-diam ia berkuatir bagi si sakit. Dilihatnya orang sakit itu telah memejamkan mata pula, setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata dengan perlahan: "Jika mereka telah mengirim surat secara sopan padaku rasanya kitapun harus membalasnya dengan cara yang sama ....... Lui-ji, boleh kau pergi kesana, katakan kepada mereka bahwa aku tetap menantikan kedatangan mereka di sini."

"Tidak, aku tidak mau kesana," di luar dugaan Lui-ji menjawab dengan menggeleng.

"Kau tidak mau pergi?" si sakit menegas dengan berkerut kening.

Lui-ji menyapu pandang sekejap ke arah Kwe Pian-sian dan Gin-hoa-nio, katanya kemudian dengan menunduk: "Aku akan mengiringi Sacek di sini, aku tidak mau pergi kemana-mana."

Pwe-giok tahu sebabnya nona cilik itu tidak mau pergi adalah karena kuatir terhadap Kwe Pian-sian dan Gin-hoa-nio, ia harus tetap tinggal di sini untuk mengawasi gerak-gerik kedua orang itu. Dari sini terbuktilah bahwa saat ini si sakit berada dalam keadaan gawat, sisa tenaganya sudah tidak cukup untuk melayani gin-hoa-nio dan Kwe Pian-sian berdua. apalagi untuk menghadapi Dia Ce-hun dan gurunya yang pasti jauh lebih lihay.

Berpikir demikian, tanpa terasa Pwe-giok terus berseru: "Jika nona Cu harus meladeni Cianpwe di sini, biarlah aku saja yang mewakili Cianpwe pergi ke sana."

Sekonyong-konyong si sakit membuka mata dan bertanya: "Kau ingin pergi?"

Pwe-giok tertawa, jawabnya: "Ya, jika sekiranya Cianpwe tidak merasa keberatan."

Sorot mata si sakit yang tajam itu menatapnya sejenak, tiba-tiba ia berkata: "Coba kemari kau!"

Sejak tadi Ciong Cing berduduk melongo disamping sana, kini timbul rasa kuatirnya ketika dilihatnya Ji Pwe-giok disuruh mendekati orang sakit itu, hampir saja ia berteriak: "He, jangan kau mendekati dia. Kungfumu akan dipinjam pakai juga olehnya."

Namun tanpa prasangka apapun Pwe-giok tetap mendekati si sakit dengan tenang, katanya: "Cianpwe hendak memberi pesan apalagi?"

Si sakit memberi tanda, Pwe-giok terus mendekatkan telinganya ke mulut orang itu. Dengan mata terbelalak Ciong cing menyaksikan si sakit berbisik-bisik sekian lamanya di tepi telinga Pwe-giok.

Suaranya sangat lirih sehingga tiada seorangpun yang tahu apa yang dikatakannya. Hanya terlihat air muka Pwe-giok lambat-laun memperlihatkan rasa girang, mendadak ia memberi hormat dan berucap: "Terima kasih, Cianpwe".

"Kau sudah paham?" tanya si sakit.

Pwe-giok memejamkan matanya dan berpikir sejenak, tiba-tiba kedua tangannya bergerak beberapa kali di udara, seperti menggores beberapa lingkaran yang besar-kecilnya tidak sama.

Orang lain tidaklah merasakan apa-apa atas perbuatan Pwe-giok itu, tapi Kwe Pian-sian menjadi terkejut. Nyata dia merasakan pad setiap lingkaran yang dibuat oleh Ji Pwe-giok itu mengandung satu jurus serangan mematikan yang amat lihay.

Makin lama makin cepat lingkaran yang dibuat Ji Pwe-giok itu, tapi dari cepat mendadak berubah lambat, habis itu lantas berhenti, dia menarik napas panjang-panjang, air mukanya bersemu merah, lalu ia memberi hormat kepada si sakit dan bertanya: "Apakah begini caranya?"

Sorot mata si sakit menampilkan rasa girang, katanya sambil mengangguk: "Bagus sekali, bolehlah kau berangkat!"

Pwe-giok memberi hormat pula, tanpa bicara lagi ia terus bertindak pergi dengan langkah lebar.

Kini Kwe Pian-sian dapat menerka bahwa mungkin si sakit kuatir Pwe-giok akan dianiaya atau dihina waktu mengantar surat ke sana, maka si sakit sengaja mengajarkan sejurus Kungfu maha lihay kepadanya.

Diam-diam Kwe Pian-sian menyesal, "Tahu begitu. tentu tadi ku dahului mencalonkan diri sebagai pengantar surat."

Tapi setelah menyesal ia menjadi heran pula: "Orang sakit ini hanya berbisik-bisik sejenak kepada Ji Pwe-giok ini dan anak muda itu lantas dapat menguasai jurus serangan maha lihay itu, mengapa dia dapat belajar secepat ini?"

Ia tidak tahu bahwa pandangan si sakit sangat tajam, dari gerak-gerik Ji Pwe-giok sejak tadi sudah dapat dirabanya asal-usul ilmu silatnya. Apa yang diajarkannya barusan adalah Kungfu yang berdekatan dengan kepandaian yang telah dikuasai Pwe-giok, apalagi anak muda itu memang sangat cerdas, diberitahu satu segera paham tiga, diberi petunjuk sebelah sini serentak tahu pula apa yang di sebelah sana, setelah diberitahu kunci-kuncinya oleh orang kosen, dengan sendirinya segera dapat dikuasainya dengan cepat.

Dalam pada itu kedengaran si sakit telah mendengkur, agaknya sudah tertidur pulas pula.

Sebaliknya wajah Cu Lui-ji sekarang tampak agak pucat, dia bergumam: "Tengah malam nanti ..... waktunya tinggal lima-enam jam lagi ...." tiba-tiba pandangannya beralih ke arah gin-hoa-nio dan berkata dengan dingin: "Sesudah lima enam jam lagi mungkin kau akan ....... "

Gin-hoa-nio menjadi ketakutan setengah mati, sebelum habis ucapan anak dara itu segera ia berlutut dan menyembah, mohonnya dengan suara gemetar: "Mohon belas kasihan nona, sudilah mengingat sesama perguruan dan tolonglah diriku."

"Jadi sekarang kau mau mengaku sebagai orang perguruan kita?" tanya Cu Lui-ji.

Gin-hoa-nio menunduk, jawabnya dengan terputus-putus: "Aku .... aku .... "

"Hm, apakah tidak terlalu terlambat pengakuanmu sekarang?" jengek Lui-ji

Gin-hoa-nio merasa sekujur badan lemas seluruhnya dan hampir jatuh terkulai. Meski dia biasa mempermainkan setiap lelaki, tapi di depan anak perempuan ini dia benar-benar mati kutu dan tidak sanggup bertingkah sama sekali.

Tak terduga, lewat sejenak, tiba-tiba Lui-ji berkata pula: "Jika kau ingin hidup, kukira masih ada jalannya."

"Apa jalannya?" tanya Gin-hoa-nio cepat,

"Masa kau sendiri tidak dapat menerkanya?" ucap Lui-ji dengan hambar.

Diam-diam Gin-hoa-nio menggreget, pikirnya dengan gemas: "Budak sialan, budak mampus, jika aku dapat memikirkan jalan baik, masa perlu kuminta pertolongan kepada budak hina macam kau?"

Sudah tentu dia tidak berani memperlihatkan rasa penasarannya itu, sebaliknya ia menjawab dengan mengiring tawa: "Ah, aku ini terlalu bodoh sehingga perlu minta petunjuk kepada nona, mana sanggup kucari jalan yang lebih baik. Hendaklah nona saja sudi menolong, budi kebaikanmu tentu takkan kulupakan selama hidup ini."

Tapi Cu Lui-ji lantas melengos ke sana seperti tidak mendengar ucapannya itu.

Keruan Gin-hoa-nio tambah gelisah, saking gregetan hampir saja ia mencaci-maki.

Tak terduga Kwe Pian-sian lantas menimbrung dengan perlahan: "Jalan keluarnya mungkin dapat ku terka."

Gin-hoa-nio melengak, tanyanya : "Kau tahu?"

"Ehmm," Kwe Pian-sian mengangguk.

"Meng .... mengapa tidak lekas kau katakan?" seru Gin-hoa-nio.

"Untuk apa harus kukatakan?" jawab Kwe Pian-sian dengan ketus.

Gin-hoa-nio jadi tertegun, mukanya sebentar pucat sebentar hijau, diam-diam ia menggertak gigi saking gemasnya, namun wajahnya segera menampilkan senyuman menggiurkan, katanya: "Kumohon dengan sangat, sudilah kau katakan padaku, selama hidupku ......"

"Ah, justru aku tidak berharap agar selama hidupmu akan selalu teringat padaku." tukas Kwe Pian-sian.

"Tapi bukan saja aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu, bahkan apapun kehendakmu atas diriku pasti akan kuberikan," sambung gin-hoa-nio pula.

Kwe Pian-sian melirik sekejap ke arah bungkusan benda mestika sana, katanya: "Barang apapun juga, katamu?"

"Ya." jawab Gin-hoa-nio dengan menunduk.

Terdengar suara keriat-keriut di sebelah sana, kiranya saking gregetan Cion Cing telah menggertak giginya. Maklumlah, makna kata "barang apapun yang kau kehendaki" terlalu luas dan meliputi macam-macam hal.

Kwe Pian-sian tertawa cerah, katanya: "Tentang jalan keluarnya, tadi kudengar nona Cu bilang ada sementara orang yang sukarela akan meminjamkan Kungfunya kepada Cianpwe ini, tatkala mana aku merasa bingung, tapi sekarang aku telah paham arti ucapannya itu."

Teringat waktu bicara tadi Cu Lui-ji pernah melirik ke arahnya, tiba-tiba Gin-hoa-nio juga paham apa yang dimaksudkan, seketika keringat dingin membasahi tubuhnya.

Terdengar Kwe Pian-sian menyambung pula: "Dan jika kau mau meminjamkan Kungfumu kepada Cianpwe ini, racun yang mengeram di tubuhmu dengan sendirinya juga akan terhisap bersih oleh Cianpwe ini dan jiwamu juga tidak akan menjadi soal lagi."

Gemetar Gin-hoa-nio, katanya: "Tapi ..... tapi kalau terjadi begini, bukankah be .... beliau sendiripun akan keracunan?"

Meski ucapannya ini ditujukan kepada Kwe Pian-sian, iapun tahu Kwe Pian-sian pasti tidak mampu menjawab, yang sanggup menjawab pertanyaannya ini hanya Cu Lui-ji saja.

Benarlah, dengan tenang Cu Lui-ji lantas berkata: "Sedikit racun di tubuhmu itu memang cukup berat bagimu, tapi bila berada di tubuh Sacek, racun itu sama sekali tidak ada artinya."

Gin-hoa-nio melenggong pula dengan berkeringat dingin, sebentar-bentar ia pandang si sakit dan sebentar-bentar lagi memandang tangannya sendiri. Mendadak ia berteriak dengan suara parau: "Baiklah! Akan ...... akan kupinjamkan kepadamu!"

"Hm, kau mau, masih perlu dipertimbangkan lagi apakah kami mau terima?" jawab Cu Lui-ji dengan tertawa dingin.

Kembali Gin-hoa-nio melengak, ucapnya pula dengan terputus-putus: "Habis sesungguhnya apa .. apa kehendakmu?"

Lui-ji hanya tertawa dingin saja tanpa bersuara. Tapi Kwe Pian-sian lantas menyeletuk: "Jika orang tidak mau menerima, apakah kau tidak dapat memohon lagi?"

Gin-hoa-nio terkesima lagi sekian lamanya, akhirnya ia menghela napas panjang dan berkata dengan air mata bercucuran: "Ya, kumohon .... kumohon dengan sangat sudilah ..... sudilah nona ..."

Sesungguhnya dia sangat penasaran dan menahan dendam, suaranya menjadi tersendat dan hampir-hampir sukar diucapkan.

Sebaliknya diam-diam Cion Cing merasa senang, pikirnya: "Tak tersangka orang semacam kau sekarang juga mendapat ganjaran yang setimpal."

Sejenak kemudian barulah Cu Lui-ji tersenyum hambar, katanya: "Baiklah, cuma kau harus ingat kau sendiri yang memohon padaku, aku tidak pernah memaksa kau, betul tidak?"

Gin-hoa-nio tidak tahan lagi, ia menjatuhkan diri di lantai dan menangis sedih ....

oOo oOo oOo

Saat itu baru saja lewat lohor, sang surya sedang memancarkan sinarnya yang cerlang cemerlang, tapi suasana di kota kecil ini terasa seram dan suram.

Di pojok dinding sana meringkuk seekor anjing tua, mungkin binatang itu sudah terbiasa oleh keramaian, kini juga merasakan suasana yang luar biasa ini sehingga ketakutan dan tidak berani sembarangan bergerak.

Walaupun kecil, tapi Li-toh-tin semula adalah sebuah kota kecil yang cukup ramai, tapi sekarang keadaan kota ini sunyi senyap, suara kokok ayam dan gonggong anjingpun tak terdengar, karena itulah terasa seram laksana sebuah kota hantu.

Pwe-giok berjalan sendirian di jalan raya satu-satunya ini, dilihatnya pintu toko di kedua samping jalan sama tertutup rapat, hanya papan merek toko saja yang bergoyang-goyang tertiup angin, mau-tak-mau timbul juga rasa seramnya.

Setelah berjalan lagi sekian lamanya ke depan, mendadak terlihat di hutan di depan sana ada bayangan manusia. Pwe-giok mengira orang-orang yang hendak dicarinya itu bersembunyi di hutan sana, segera ia mendekatinya dengan langkah lebar.

Siapa tahu, setelah dekat, dilihatnya ditengah hutan itu penuh berjubel orang-orang, ada yang duduk di atas batu, ada yang berkerumun di bawah pohon, lelaki dan perempuan, tua dan muda, entah berapa jumlahnya. Rupanya Ji Hong-ho telah menggiring segenap penduduk Li-toh-tin ke hutan ini.

Wajah orang-orang itu sama mengunjuk rasa takut dan cemas, begitu banyak orang yang berkerumun di situ, tapi tiada seorangpun yang berani bersuara, sampai bayi-bayi dalam pangkuan san bunda juga dibungkus rapat-rapat dengan selimut sehingga suara tangisannya tidak tersiar. Semua orang merasa seakan-akan ditimpa oleh malapetaka.

Pwe-giok menghela napas, pikirnya: "Orang she Ji itu sengaja mengiring penduduk Li-toh-tin ke sini, tentu saja dengan alasan demi keselamatan penduduk itu sendiri agar tidak menimbulkan korban orang yang tak berdosa, padahal penduduk di sini adalah rakyat jelata yang hidup tertib, mana pernah mengalami kejadian seperti ini ..."

Kedatangan Pwe-giok disambut orang-orang di tengah hutan itu dengan pandangan yang curiga dan benci, mereka seakan-akan hendak berkata: "Sesungguhnya kau ini manusia macam apa ? Mengapa kalian mengganggu ketenangan kami?"

Pwe-giok tidak berani memandang mereka dengan kepala tertunduk ia lalu ke sana. Mendadak dua lelaki berpakaian ketat melompat keluar dari balik pohon sana dan menghadang di depan Pwe-giok.

"Kawan ini datang darimana dan ada keperluan apa?" segera seorang menegur.

Kedua orang itu tadi tidak ikut ke Li-keh-can, maka mereka tidak kenal Pwe-giok. Sebaliknya dari dandanan mereka Pwe-giok dapat menerka mereka pasti anak buah langsung orang she Ji itu. Ia menjadi gusar. Tapi sedapatnya ia menahan perasaannya, jawabnya dengan ketus: "Ku datang mengantar surat, dapatkah kalian memberi petunjuk jalannya?"

Orang itu tertawa lebar, katanya: "Bengcu sudah tahu pasti ada orang yang akan datang dengan membawa surat, makanya kami berdua ditugaskan menunggu di sini. Perhitungan Bengcu yang maha jitu ini sungguh luar biasa, kawan merasa kagum tidak?"

Pwe-giok hanya mendengus saja tanpa menjawab.

Orang itu melototinya sekejap, seketika iapun menarik muka dan berkata: "Jika kau ingin menyampaikan surat, marilah ikut padaku. Kalau saja tiada pesan Bengcu ....... Hm!"

Melihat lagak orang, Pwe-giok berbalik tidak marah, pikirnya: "Jika anak buah orang she Ji itu melulu terdiri dari orang-orang tolol begini, jadinya lebih baik malah."

Setelah menyusuri hutan itu tampaklah di depan sana ada sebuah biara.

Hampir seluruh penduduk Li-toh-tin itu she Li, patung yang dipuja di biara ini ialah Thay-siang-lo-kun yang aslinya juga she Li. Rupanya penduduk

Li-toh-tin ini menganggap mereka adalah keturunan Thay-siang-lo-kun, sebab itulah biara ini dibangun dan dirawat dengan sangat megah dan bagus, bahkan besarnya tidak kalah dengan biara ternama di kota-kota besar.

Tapi sekarang suasana biara itupun senyap, kedua sayap daun pintu bercat hitam hanya terbuka sedikit, pohon di depan biara adalah pohon tua yang berumur ribuan tahun.

Setiba di depan pintu, kedua pengantar itu menoleh dan berkata: "Tunggu dulu di sini, biar kami laporkan bagimu, jangan sembarangan bergerak, tahu ?"

Jika orang lain diperlakukan kasar begini, bisa jadi kedua orang itu akan kontan dipersen dengan dua kali gamparan. Tapi Pwe-giok memang pemuda sabar, ia hanya tersenyum hambar dan menjawab: "Baiklah, terima kasih".

Kedua orang itu melotot lagi sekejap, lalu melangkah ke dalam biara sambil mendengus.

Sejenak kemudian dibalik pintu sana berkumandanglah suara mereka: "Bengcu melukiskan pihak lawan sedemikian lihaynya, tapi kulihat pengantar surat ini mirip seorang penari belaka, cuma sayang mukanya ada bekas luka".

Pwe-giok tidak menjadi marah oleh olok-olok itu, sebaliknya malah ia tertawa senang.

Kebanyakan anak muda berdarah panas dan lekas marah, tinggi hati, tidak mau kalah. Apalagi dihina orang. Dengan sendirinya Pwe-giok juga begitu.

Tapi kini setelah mengalami berbagai macam gemblengan, sudah kenyang dengan pengalaman pahit, ia justru takut bila orang lain memperhatikan dan menghargainya, semakin orang memandang rendah padanya, semakin meremehkan dia, dalam hatinya justru semakin girang. Sebab ia tahu hanya orang demikian inilah takkan dibenci dan dicemburui orang lain dan juga takkan dicelakai orang. Meski usianya masih muda, tapi pengetahuannya kini sudah terlalu banyak.

Selang tak lama, terdengar dibalik pintu ada suara orang bertanya: "Dimana si pengantar surat ?”.

Pwe-giok tahu pertanyaan orang itu berlebihan, sebab jelas-jelas diketahuinya pengantar surat berada diluar, untuk apa mesti bertanya lagi. Segera ia membetulkan bajunya dan menjawab:" Di sini!"

Tanya jawab ini sebenarnya memang tidak perlu, tapi kalau tiada permainan begini, rasanya sandiwara ini menjadi kurang menarik.

Akan tetapi setelah bertanya-jawab, dari dalam tetap tiada orang muncul. Pwe-giok menunggu lagi sejenak, sekalipun ia cukup sabar, tidak urung ia tidak tahan dan mengulangi lagi jawabnya: "Di sinilah pengantar suratnya...." dua kali dia mengulangi ucapannya itu, suaranya juga tambah keras, tapi di balik pintu tetap sunyi senyap tanpa reaksi apa-apa.

Ia menunggu lagi sebentar, tiba-tiba ia berseru dengan tertawa: "Jelas-jelas anda tahu kedatangan pengantar surat, mengapa tinggal diam dan tidak menggubrisnya? Apakah anda tidak suka menerima surat ini? Sungguh cayhe tidak paham apa maksud anda?"

Namun di balik pintu tetap tiada suara jawaban.

Pelahan Pwe-giok berkata lagi: "Namun Cayhe sudah menerima tugas dan harus melaksanakan kewajiban. Kalau surat sudah ku antar kemari, betapapun harus kuserahkan kepada yang wajib terima". Sembari bicara ia terus mendorong pintu dan melangkah ke dalam.

Halaman dalam kelihatan guram, suasana juga hening, bahkan kedua orang yang membawanya kemari tadi juga sudah menghilang entah ke mana.

Tanpa melirik ke kanan maupun ke kiri, Pwe-giok langsung menuju ke ruangan tengah sana dengan melintasi halaman itu.

Di ruangan pendopo biara itu tampak asap dupa bergulung-gulung, patung Thay-siang-lo-kun di altar kelihatan khidmat, sebuah Hiolo (tungku dupa) terbuat dari perunggu yang biasanya terletak di tengah-tengah pendopo kini sudah disingkirkan ke pinggir.

Hiolo itu tingginya melebihi manusia, tampaknya biarpun bertenaga raksasa juga sukar memindahkannya kecuali kalau belasan orang bertenaga kuat menggesernya bersama. Tapi Hiolo itu cuma berkaki tiga, bagian lain boleh dikatakan licin sekali dan sukar dipegang, biarpun belasan orang hendak mengangkatnya sekaligus rasanya juga sulit.

Sungguh Pwe-giok tidak paham siapakah yang memindahkan Hiolo raksasa itu dan cara bagaimana menggesernya?

Terlihat setelah Hiolo itu dipindahkan, di ruang pendopo itu kini sudah dipasang 12 kursi besar dari kayu merah. Namun ke 12 kursi itu belum satupun diduduki orang.

Sampai di sini Pwe-giok tidak melangkah lebih maju lagi. Sekarang iapun paham duduknya perkara. Pikirnya: "Rupanya merekapun tahu orang sakit itu juga akan menggunakan alasan mengirim surat balasan dan sekaligus mencari tahu kekuatan mereka, sebab itulah mereka sama menyingkir dan tiada seorangpun mau memperkenalkan diri. Tapi orang se Ji dan Lim Soh-Koan dan lain-lain kan tidak perlu lagi menyembunyikan jejak mereka, yang tidak ingin memperlihatkan wajah aslinya mungkin adalah tokoh andalan mereka yang lihai itu."

Lalu siapakah tokoh andalan mereka itu? Mengapa mesti bertindak misterius begini? Apakah mungkin dia kuatir kedatangannya diketahui oleh si sakit? Bisa jadi si sakit akan kabur bilamana mengetahui kedatangannya?

Timbul juga rasa ingin tahu Pwe-giok, ia mengerling sekeliling ruangan itu, mendadak ia menjura terhadap kursi besar dibagian tengah yang kosong itu dan berkata: "Cayhe Ji Pwe-giok sengaja berkunjung kemari untuk menemui Bengcu."

Dia menjura dengan sikap yang sangat hormat, sama seperti saat itu Ji Hong-ho benar-benar berduduk dikursi itu. Dalam keadaan demikian, bilamana Ji Hong-ho tidak mau kehilangan pamornya sebagai seorang Bengcu, maka mau-tak-mau dia harus memperlihatkan dirinya.

Selang sejenak, benarlah terdengar suara Ji Hong-ho berkumandang dari belakang sana, katanya dengan tertawa:" Sungguh tidak pernah kuduga si pengantar suratnya ialah Ji-kongcu, maaf jika tiada penyambutan yang layak."

Ramah juga nada ucapannya, tapi belum lama lagi lenyap suaranya, sekonyong-konyong seorang berteriak disamping:" Jadi kau inilah pengantar surat Hong Sam?"

Baru sekarang Pwe-giok tahu orang sakit itu bernama Hong Sam, didengarnya orang itu bicara dengan keras dan cepat, jelas orang yang berbicara ini berwatak keras dan pemberang.

Pada umumnya orang yang berwatak keras dan pemberang tentu sukar melatih Kungfu dengan baik, tapi tenaga dalam orang itu justru begini kuat, setiap katanya bergetar seperti bunyi genta sehingga anak telinga pendengarnya terasa sakit.

Tanpa melihat orangnya saja Pwe-giok tahu tinggi ilmu silat orang ini benar-benar belum pernah dilihatnya selama hidup ini.Jelas memang lebih tinggi setingkat dibandingkan para ketua dari ke-13 perguruan terkemuka jaman ini.

Selagi Pwe-giok tercengang, agaknya orang itu tidak sabar menunggu lagi, dengan gusar ia menegur pula: "Kutanya padamu, mengapa tidak lekas kau jawab?"

Maka Pwe-giok lantas berkata: "Betul Cayhe memang mengantar surat bagi Hong-locianpwe..."

"Kau pernah apanya Hong Sam?" tanya pula orang itu dengan suara bengis.

"Cayhe dan Hong-cianpwe bukan sanak bukan kadang, hanya .... "

"Bukan sanak bukan kadang?" orang itu memotong dengan gusar. "Lalu untuk apa kau menjadi pengantar suratnya? Apakah kau makan kenyang dan terlalu iseng?"

Setiap kali ucapannya belum habis lantas dipotong oleh orang itu, diam-diam Pwe-giok mendongkol dan juga geli, pikirnya: "Watak orang ini begini keras, jelas pula seorang pemberang, entah cara bagaimana dia berhasil meyakinkan Kungfu setinggi ini?"

Walaupun dalam hati merasa heran, tapi dimulut iapun tidak berani ayal, jawabnya: "Tugas mengantar surat adalah pekerjaan yang mudah, tidak merugikan diri sendiri, tapi berguna bagi orang lain, mengapa tidak kulakukan?"

"Hm," orang itu mendengus. "Di mana suratnya?"

"Surat Hong-locianpwe yang ku antar ini adalah surat lisan," jawab Pwe-giok.

"Surat lisan?" Orang itu menegas. "Apakah untuk memegang pensil saja dia tidak punya tenaga lagi?"

Berkata sampai di sini mendadak ia tertawa terbahak-bahak, begitu keras dan nyaring suara tertawanya sungguh-sungguh sangat mengejutkan, seluruh ruangan pendopo itu seolah-olah bergetar oleh gema suara tertawanya.

Pwe-giok tambah terkejut juga. Ia tunggu setelah suara tertawa orang mereda barulah ia menjawab dengan suara tegas: "Hong-locianpwe menyuruh Cayhe menyampaikan kepada Anda sekalian bahwa tengah malam nanti beliau siap menanti kunjungan kalian, diharap kalian datang tepat pada waktunya.."

"Dia berharap kami datang tepat pada waktunya, memangnya dia mengira aku tidak berani pergi kesana?" kata orang itu dengan gusar.

"Maksud Hong-locianpwe hanya ......" "Darimana kau tahu maksudnya?" sela orang itu dengan meraung gusar. "Kau ini kutu macam apa? Selesai mengantar surat, tidak lekas enyah dari sini, apakah kau minta ku gencet pecah kepalamu?"

Pwe-giok tersenyum tak acuh, jawabnya "Jika demikian, baiklah Cayhe mohon diri."

Sedikitpun pihak lawan tidak mempersulit dia, seharusnya dia bersyukur dan merasa senang tapi dalam hati Pwe-giok sekarang justru merasa tertekan. sebab kedatangannya ini meski hanya mengantar surat, sesungguhnya masih ada dua maksud tujuan lain, satu diantaranya adalah demi kepentingan si sakit dan tujuan lainnya adalah demi kepentingannya sendiri.

Tujuannya bukan saja ingin menyelidiki kekuatan musuh bagi si sakit, Pwe-giok juga ingin menemui Ang-lian-hoa untuk menjelaskan seluk-beluk apa yang terjadi ini. Betapapun ia tidak ingin Ang-lian-hoa ikut campur urusan yang ruwet ini.

Tapi sekarang tujuannya mencari tahu kekuatan lawan tidak berhasil, Ang-lian-hoa juga tidak ditemuinya, malahan gelagatnya dia harus segera meninggalkan tempat ini, jadi kunjungannya ini boleh dikatakan sia-sia belaka.

Halaman yang suram itu penuh berserakan daun kering yang belum tersapu, suasana hening.

Pwe-giok telah meninggalkan pendopo dan menyusuri halaman itu, selagi dia merasa gegetun pada perjalanannya ini, tiba-tiba terdengar suara "sret" yang perlahan, sinar pedang menyambar tiba secepat kilat, tulang rusuk belakang yang terarah.

Begitu cepat serangan ini sehingga sukar untuk menghindar bagi sasarannya.

Meski perasaan Pwe-giok sedang tertekan, namun dia tidak pernah melupakan kewaspadaannya, dengan tidak kalah cepatnya ia berputar dan kedua tangannya masing-masing menggores satu lingkaran.

Itulah jurus ajaib ajaran si orang sakit tadi, sekarang dikeluarkannya secara mendadak, entah betapa hebat daya serangannya, yang jelas segera terdengar suara "pletak", pedang musuh yang menusuk ke tengah lingkaran yang digarisnya itu mendadak patah menjadi dua. Padahal tangan Pwe-giok tidak pernah menyentuh pedang lawan, hanya tenaga dalamnya saja sudah cukup mematahkan pedang baja musuh. Daya serangannya ini sungguh mengejutkan, sampai Pwe-giok sendiripun terkesiap.

Waktu Pwe-giok berpaling, dilihatnya di bawah pohon berdiri seorang dengan memegang pedang buntung, agaknya orang inipun terkejut oleh pedangnya yang patah mendadak itu. Orang ini bertubuh jangkung dan bergaya, kiranya Lim Soh-koan adanya.

Setelah tahu siapa penyerangnya, hati Pwe-giok jadi paham duduk perkaranya. Nyata orang ini masih tetap menaruh curiga padanya dan sekarang sengaja hendak mencoba dan memancing gaya Kungfunya untuk mengetahui asal-usulnya.

Maklumlah, bilamana seorang mendadak diserang, secara naluri tentu akan dipergunakannya Kungfu aslinya untuk menjaga diri. Hal ini dilakukannya secara otomatis, jadi tidak mungkin pura-pura, andaikan pura-pura juga tidak sempat lagi.

Tak tahunya, Pwe-giok baru saja mendapat ajaran Kungfu yang maha hebat dan setiap saat selalu diulang-ulang ingat dalam hati. Kini mendadak mengalami serangan, tanpa terasa Kungfu baru ini lantas digunakannya. hal inipun dilakukannya secara naluri, sedikitpun tidak berpura-pura.

Keruan Lim soh-koan tercengang dan berdiri seperti patung dengan wajah sebentar pucat sebentar hijau, sampai lama sekali tidak sanggup bicara.

Jika orang lain tentu akan mengucapkan beberapa kata ejekan, tapi dasar Pwe-giok memang pemuda berbudi, dia cuma tersenyum hambar saja dan berkata: "Cepat amat pedang anda."

Iapun tidak ingin menyaksikan sikap Lim Soh-koan yang serba susah itu, sambil bicara ia terus memutar pergi lagi ke depan. tak terduga, pada saat itu juga seorang membentaknya: "Berhenti!"

Begitu keras suara bentakan itu, daun kering sama rontok tergetar, telinga Pwe-giok pun mendengung, pandangannya serasa kabur, tahu-tahu sesosok bayangan orang melayang tiba seperti burung raksasa, cara melayangnya juga sedemikian cepat, belum lagi daun rontok jatuh di tanah, orang itu sudah berada di depan Pwe-giok.

Dilihatnya orang ini bersinar mata tajam, muka berewok, rambutnya juga semrawut dan kaku menegak.

Dari suara bentakannya yang keras serta wajah yang aneh ini, setiap orang tentu akan mengira orang ini pasti tinggi besar dan gagah perkasa. tak tahunya orang ini ternyata seorang tua kurus kecil, tingginya hanya sebatas dada Pwe-giok, memakai jubah pertapaan biru, ikat pinggangnya terdiri dari seutas rami, pada tali pinggang itulah terselip sebilah pedang pendek. namun sarung pedangnya penuh bertaburan batu permata yang bercahaya gemerlapan dan tak ternilai harganya.

Melihat betapa garangnya orang ini, betapa hebat gerakan tubuhnya serta dandanannya yang aneh, diam-diam Pwe-giok terkejut juga. tapi dengan tersenyum ia lantas menegur: "Cianpwe ada pesan apakah?"

Tojin jubah biru pendek kecil itu membelalakkan matanya yang bersinar tajam, tanpa berkedip ia pandang Pwe-giok, bentaknya kemudian: "Sesungguhnya ada hubungan apa antara kau dengan Hong Sam?"

"Tadi kan sudah kukatakan, Cayhe dan Hong-locianpwe bukan sanak ..... "

"Kentut!" bentak Tojin jubah biru sebelum lanjut ucapan Pwe-giok. "Kalau kau tiada hubungan sanak keluarga dengan Hong Sam, darimana kau dapat belajar jurus 'Heng-hun-po-uh, Hong-bu-kiu-thian' (awan berarak dan hujan mencurah, burung Hong menari di surga) ini?"

Suaranya sungguh keras sebagai bunyi genta, setiap kali dia bicara, rasanya Pwe-giok pasti berjingkat. siapapun tidak dapat membayangkan suara sekeras itu. Tidak ada yang tahu bahwa Khikang (tenaga dalam) Tojin kerdil ini sudah terlatih sangat sempurna, waktu bicara biasa saja selalu disertai tenaga dalam yang maha kuat sehingga setiap katanya tercetus seperti bunyi genta.

Pwe-giok menghela napas, jawabnya kemudian: "Jurus ini baru saja diajarkan Hong-locianpwe kepadaku sesaat sebelum ku berangkat ke sini. terus terang, semula Cayhe sendiripun tidak tahu apa nama jurus ini."

"Kentut, kentut busuk," Tojin kerdil itu meraung pula. "Jika Hong Sam mau sembarangan mengajarkan jurus serangan andalannya ini kepada orang lain, maka dia bukan lagi Hong Sam tapi kunyuk!"

Diam-diam Pwe-giok merasa geli melihat orang tua beribadat ini selalu mengucapkan kata-kata kasar. Tapi bila melihat sikapnya yang marah benar-benar itu, mau-tak-mau ia menjadi kuatir, cepat ia menjawab pula: "Soalnya hong-locianpwe kuatir ku bikin malu padanya, makanya ......"

Tojin jubah biru itu semakin murka, teriaknya: "Baik, seumpama benar dia mau mengajarkan jurus serangannya itu kepadamu, tapi dalam waktu sesingkat ini kaupun dapat menguasainya sebagus ini, maka kau hakekatnya bukan manusia."

Rupanya Tojin kerdil ini suka mengukur orang lain atas dirinya sendiri. Dia sendiri bukan orang yang berbakat, bukan orang yang berotak cerdas. Kungfunya yang sakti itu dilatihnya secara mati-matian berdasarkan kegiatan dan ketekunan melulu, maka sama sekali ia tidak percaya di dunia ini ada manusia cerdas yang diberitahu satu segera tahu tiga, diajar sekali lantas paham seluruhnya.

Justeru lantaran pada waktu berlatih Kungfu dia lebih banyak mengalami pahit getir daripada orang lain, maka Kungfunya berhasil dikuasai, wataknya lantas berubah menjadi berangasan dan mudah marah, seringkali dia melampiaskan rasa gusarnya yang tak berdasar pada orang lain.

Pwe-giaok tahu sukar baginya untuk menjelaskan, ia hanya menyengir dan berkata: "Jika Cianpwe tidak percaya, apa yang dapat kukatakan lagi ......."

"Sudah tentu tak dapat kau katakan," tojin kerdil itu berjingkrak, "di depanku masa kau bisa bermain gila? Tapi kalau ku tantang kau untuk bergebrak, tentunya kau akan bilang aku orang tua menganiaya anak muda ...... " mendadak ia meraung lebih keras: "Ya, kau hendak bilang aku orang tua menganiaya anak muda, begitu bukan?"

Pwe-giok jadi tertawa geli, jawabnya: "Kata-kata ini diucapkan oleh Cianpwe sendiri, mana Cayhe pernah ......"

"Baik, anggap kau tidak bilang begitu, lalu apa yang kau tertawakan?" bentak Tojin kerdil itu.

Diam-diam Pwe-giok menghela napas gegetun, pikirnya: "Orang kasar dan ingin menang sendiri begini sungguh jarang ada." Karena bicaranya selalu dianggap salah, terpaksa dia tutup mulut.

Siapa tahu tutup mulut juga dianggap salah oleh Tojin jubah biru itu, bentaknya pula: "Mengapa kau tidak buka mulut? Apakah mendadak kau berubah bisu?"

Pwe-giok menyengir, jawabnya: "Jika Cianpwe tidak sudi bergebrak denganku, biarlah Cayhe mohon diri saja."

Tapi Tojin kerdil itu lantas membentak: "Nanti dulu! Bila kau bukan murid Hong Sam, maka akan kulepaskan kau pergi, tapi sekarang justeru ingin kulihat Kungfu lihay apalagi yang diajarkan Hong Sam kepadamu?" Bicara sampai di sini, mendadak ia berpaling dan membentak: "Murid orang lain sedang bergaya di sini, tapi dimana muridku? Apakah dia sudah mampus?"

Belum lenyap suaranya, tertampaklah seorang berlari keluar dari pendopo, ia memberi hormat kepada Tojin kerdil itu dan bertanya: "Suhu ada pesan apa?"

Semula Pwe-giok mengira murid tojin jubah biru ini pasti Dian Ce-hun adanya, siapa tahu yang muncul ini adalah seorang tosu kecil yang berwajah cakap dan sopan santun, jubah pertapaannya berwarna hijau dan sangat bersih, mukanya juga putih bersih bersemu kemerah-merahan, sepintas pandang orang akan mengira dia adalah anak perempuan.

Dalam pada itu Tojin jubah biru sudah tidak sabar lagi, kembali ia meraung pula: "Aku ada pesan apa? Masa kau perlu tanya lagi padaku? Apakah kau ini orang mampus dan tidak tahu?"

Tosu cilik itu menjawab dengan mengiring tawa: "Apakah Suhu menghendaki Tecu menjajal Ji-kongcu ini?"

"Kalau sudah tahu, kenapa kau tanya pula padaku?" teriak si Tojin kerdil dengan lebih keras.

Baru sekarang Pwe-giok tahu bahwa watak tojin jubah biru itu memang begitu aslinya, jadi bukan cuma terhadap orang lain saja dia berteriak dan menghardik, terhadap muridnya sendiri juga dia main bentak dan maki.

Dilihatnya si Tosu cilik sedang mendekatinya dengan tersenyum, dengan sopan ia memberi hormat, katanya: "Tecu Sip-hun, ingin mohon petunjuk beberapa jurus kepadamu, mohon Kongcu mengalah sedikit padaku."

Tosu cilik ini bukan saja sopan santun bicaranya dan cakap orangnya, mukanya juga selalu dihiasi senyuman manis, wataknya ternyata sangat halus, sungguh berselisih 180 derajat dibandingkan perangai gurunya.

Guru yang begitu dapat mempunyai murid begini, sungguh Pwe-giok merasa heran. Tapi setelah dipikir lagi, apabila tiada murid yang berwatak sabar, mana bisa meladeni guru yang pemberang begitu. Andaikan tidak diusir oleh Tojin jubah biru tidak sampai tiga hari juga pasti akan kabur dengan sendirinya saking tidak tahan apalagi disuruh belajar silat dengan sabar?

Perangai Pwe-giok sendiri juga halus dan sopan, orang lain bersikap ramah padanya, iapun membalasnya dengan lebih ramah, maka ia lantas membalas hormat Tosu cilik itu dan menjawab: "Ah, totiang terlalu rendah hati, sebenarnya Cayhe tidak berani bergebrak dengan Totiang, hanya saja ....."

Mendadak si tojin jubah biru membentak: "Mau berkelahi hendaklah cepat mulai, pakai cerewet apalagi?"

"Jika demikian, silahkan Totiang memberi petunjuk," ujar Pwe-giok dengan menyengir.

Sip-hun lantas memberi hormat dan berkata: "Kalau begitu, terpaksa Tecu berbuat kurang hormat." Cara bertindaknya ternyata tidak bertele-tele, begitu bilang mulai, segera ia memukul lebih dahulu.

Jurus serangannya ini sungguh luar biasa dahsyatnya, siapapun tidak menyangka orang lembut dan ramah seperti dia bisa melancarkan pukulan seganas ini.

Pwe-giok tidak sempat memperlihatkan rasa terkejutnya, cepat ia berputar sehingga serangan lawan dapat dielakkan, akan tetapi pukulan lawan berikutnya segera melanda tiba pula.

Guru yang keras tidak nanti melahirkan murid yang lemah, jika watak gurunya begitu keras, anak didiknya dengan sendirinya juga suka pada kekerasan, ini terbuktilah dari pukulan-pukulannya yang dahsyat dan ganas.

Pwe-giok merasa tosu cilik yang sopan santun dan selalu tersenyum itu kini telah berubah sama sekali. Yang dihadapinya sekarang seolah-olah seorang pengganas yang buas dan tidak kenal sopan.

Dengan cepat belasan jurus telah berlalu, Pwe-giok terdesak hingga bernapas saja hampir tidak sempat. Ada beberapa jurus mestinya dapat dipatahkannya dengan Kungfu perguruannya sendiri, tapi kalau dia memperlihatkan Kungfu "Bu-kek-pay", bukankah asal-usulnya akan konangan.

Terpaksa ia menciptakan jurus sebisanya dan bergerak menurut keadaan, akan tetapi terbatas oleh macam-macam kekuatiran, sebaliknya tekanan lawan sedemikian hebat, maka jurus serangan yang dikeluarkannya tidak begitu leluasa.

Terdengar si Tojin jubah biru lagi meraung pula: "anak busuk, mengapa tidak kau keluarkan Kungfu ajaran Hong sam, apakah kau takut rahasia Kungfunya diketahui olehku? ...... Keras sedikit, keparat! Kemana kau semalam? Mengapa sekarang kelihatan lemas? ...... Bagus, itulah Yong-hu-pwe-ci, Beng-hou-khay-san (si perkasa menyandang panah, harimau buas keluar gunung) ...... Sontoloyo, masa seranganmu ini kau anggap Yong-hu-pwe-ci? Lebih mirip kau lagi menggaruk punggung orang yang gatal!"

Beberapa kalimat bagian depan dengan sendirinya ditujukan memaki Pwe-giok, tapi kalimat-kalimat belakangan adalah digunakan memaki muridnya. dia mengira Pwe-giok tidak berani mengeluarkan ilmu silat perguruannya karena kuatir rahasia ilmu Hong Sam dapat diketahuinya. Padahal Pwe-giok sendiri lagi mengeluh, sebab kemampuannya hanya itu-itu saja, untuk menangkis saja sekarang rasanya sulit.

Namun si Tojin jubah biru masih mencela serangan muridnya kurang keras, padahal betapa hebat dan kuat serangan Sip-hun sudah cukup membuat melongo orang-orang yang menyaksikannya.

Karena terbatas oleh kekuatiran gaya Kungfu aslinya akan diketahui musuh, maka setiap kali Pwe-giok hendak menyerang selalu harus mengingat-ingat apakah jurus serangan ini ilmu silat perguruan asalnya atau bukan. Dengan cara demikian, bukan saja gerak-geriknya menjadi lebih lambat, tenaga juga banyak terbuang.

Setelah belasan jurus lagi, Pwe-giok sudah mandi keringat, bilamana terancam bahaya, terpaksa ia menggunakan jurus "Heng-hun-po-ih, Hong-bu-kiu-thian" ajaran Hong Sam itu untuk mendesak mundur musuh. Tapi setelah beberapa kali gebrak lagi, kembali ia terdesak dan terancam bahaya.

Begitulah sudah berulang-ulang ia menggunakan jurus sakti ajaran Hong Sam itu, untung setiap kali diulang, setiap kali bertambah lancer dan daya serangnya juga tambah kuat.

Sampai akhirnya, terpaksa Sip-hun harus menyingkir terlebih dahulu bila Pwe-giok menggunakan jurus sakti itu. Setelah jurus itu lewat, barulah Sip-hun menubruk maju dan menyerang lagi sehingga Pwe-giok tambah mengeluh.

Didengarnya si Tojin kerdil lagi meraung-raung pula: "Anak busuk, lebih baik kau keluarkan seluruh ajaran Hong Sam, kalau cuma satu jurus ini apa gunanya? Bila bukan muridku ini terlalu tidak becus, tentu kau sudah mati lima puluh kali sejak tadi. "

Nyata dia anggap Hong Sam telah banyak mengajarkan kungfunya kepada Pwe-giok, sebab ia menilai kekuatan anak muda itu bukanlah jago muda yang baru muncul, malahan kepandaiannya sudah tergolong kelas satu di dunia Kang-ouw, tapi selain satu jurus "Heng-hun-bo-ih" itu ternyata tiada jurus lain yang dikeluarkannya.

Sudah tentu keadaan Pwe-giok mirip si bisu dicekoki pil pahit, hanya bisa mengeluh tapi tak dapat menjelaskan. Ia tidak tahu bahwa raungan Tojin kerdil itu justru telah membantunya malah. Kalau tidak, betapa tajam pandangan Lim Soh-koan dan begundalnya, bila melihat caranya berusaha menutupi gaya silat aslinya, tentu mereka akan curiga lagi dan kesulitan yang akan timbul kelak tentu akan bertambah banyak.

Sementara itu Pwe-giok sudah mandi keringat, setiap orang percaya dia tidak mampu bertahan hingga 20 jurus lagi.

Tak terduga tenaga pembawaan Pwe-giok maha kuat, keuletannya sungguh di luar dugaan, setelah belasan jurus lagi keadaannya masih tetap begitu, biarpun keringat tambah banyak menghias jidatnya, tapi dia tetap bertahan.

Mau-tak-mau semua orang jadi melongo heran, cuma keheranan mereka sekarang bukan lagi karena kedahsyatan serangan Sip-hun melainkan karena daya tahan Pwe-giok yang luar biasa itu.

Di luar pendopo sekarang sudah penuh berkerumun orang, semuanya tercengang.

Lim Soh-koan menggeleng dan bergumam: "Bocah ini kelihatan lemah lembut, tak tersangka sekuat kerbau. Kalau bukan Sip-hun suheng orang lain mungkin sukar melayani dia."

Dia sendiri hanya satu gebrakan saja pedangnya telah dipatahkan Pwe-giok, maka sekarang dengan sendirinya ia sengaja menyanjung puji setinggi langit kungfu anak muda itu sekedar untuk menutupi kekalahannya tadi.

Tapi Dian Ce-hun hanya tersenyum hambar saja, katanya: "Seumpama dia benar seekor kerbau yang kuat, memangnya kita tidak mempunyai kepandaian menaklukkan kerbau?"

Dia bicara dengan suara lirih, ia mengira orang lain pasti tidak mendengarnya. Siapa tahu si Tojin jubah biru mendadak berjingkrak gusar, nyata telinganya sangat tajam dan dapat mendengar apa yang dikatakan Dian Ce-hun itu, dengan gusar ia berteriak: "Baik, jika begitu besar kepandaianmu, biarlah kulihat kesanggupanmu saja!"

Saat itu Sip-hun sedang memukul kedua sisi tubuh Pwe-giok dengan kedua telapak tangannya. Pwe-giok sendiri lagi bingung karena tidak tahu cara bagaimana mematahkan serangan tersebut. Untunglah mendadak dilihatnya tubuh Sip-hun terus mengapung ke atas, ternyata kuduknya telah dicengkeram oleh Tojin jubah biru terus dilemparkannya.

"Telur busuk yang tak berguna!" demikian terdengar Tojin jubah biru memaki. "Lebih baik menggelinding ke samping sana dan saksikan kemampuan orang lain yang katanya sekali turun tangan lantas dapat menundukkan bocah she Ji itu."

Meski di mulut ia memaki muridnya sendiri, yang benar ia berolok-olok kepada Dian Ce-hun, sebab ia sendiri tahu siapapun juga tiada yang mampu mengalahkan Ji Pwe-giok hanya dengan sekali dua gebrak saja.

Ji Hong-ho dan Lim Soh-koan saling pandang sekejap menyaksikan tindakan Tojin jubah biru itu, diam-diam mereka merasa geli, piker mereka: "Tak tersangka watak orang ini yang suka membela murid sendiri sampai tua tetap tidak berubah."

Dalam pada itu Sip-hun yang dilemparkan itu sempat berjumpalitan satu kali di udara, lalu melayang turun dengan enteng, wajahnya lantas menampilkan senyuman ramah pula, dia memberi hormat kepada Pwe-giok dan berkata: "Tadi aku telah berlaku kasar, mohon Kongcu sudi memaafkan."

"Ah, Totiang telah bermurah hati padaku," jawab Pwe-giok dengan tersenyum dan membalas menghormat.

Kedua orang saling pandang dengan tertawa, tiada yang menyangka beberapa detik sebelumnya mereka telah saling labrak dengan mati-matian.

Sementara itu Tojin jubah biru telah melototi Dian Ce-hun dan membentak: "Nah, sekarang ingin kulihat gurumu yang rudin dan kecut itu telah mengajarkan Kungfu lihay macam apa kepadamu? Kenapa tidak lekas kau maju kemari, apakah perlu kumohon lagi padamu?"

Dian ce-hun menghela napas, katanya sambil nyengir: "Jika totiang menghendaki pertunjukanku yang jelek ini, terpaksa Tecu menurut. Cuma jangan para Cianpwe mentertawakanku." dia menyingsingkan lengan baju dan melangkah ke depan.

Kesempatan itu digunakan Pwe-giok untuk berganti napas sambil memandang sekeliling orang-orang yang hadir di situ.

Dilihatnya Ji Hong-ho tersenyum simpul berdiri berjajar dengan "Tong Bu-siang" itu, Lim soh-koan berdiri di belakangnya dengan tangan masih memegang pedang buntung. Rupanya saking asyiknya dia mengikuti pertarungan seru tadi sehingga lupa membuang pedang patah itu.

Kecuali mereka bertiga, yang lain-lain terasa asing bagi Pwe-giok, hanya saja setiap orangnya tampak tenang dan kereng, jelas semuanya tokoh-tokoh Bu-lim kelas tinggi.

Selagi Pwe-giok merasa heran karena tidak melihat Ang-lian-hoa, tiba-tiba dilihatnya di atas tungku perunggu raksasa di ruangan pendopo sana menongkrong satu orang, siapa lagi dia kalau bukan Ang-lian-hoa.

diam-diam Pwe-giok menghitung, termasuk tojin jubah biru dan muridnya, yang hadir ini semuanya berjumlah 11 orang. Jadi masih kurang satu orang.

Setelah berpikir, akhirnya Pwe-giok paham persoalannya: "Selisih seorang ini jelas ialah Hay-hong Hujin, dengan sendirinya dia enggan bercampur dengan orang-orang ini."

Didengarnya tojin jubah biru lagi membentak: "Anak busuk, kau melamun apa? Orang lain menganggap kau sebagai kerbau dan hendak menaklukan kau. Orang ini tidak seperti muridku yang tidak becus, jika kau tahu gelagat, lekas berjongkok dan biarkan orang menunggangi kau si kerbau ini."

Ucapannya ini tampaknya memaki Ji Pwe-giok, padahal sama saja dia menyuruh anak muda itu untuk berkelahi sekuatnya agar jangan sampai dikalahkan orang. Bahwa muridnya tidak sanggup mengalahkan Pwe-giok, dengan sendirinya ia tidak ingin orang lain mampu mengalahkan Pwe-giok.

Setiap orang yang hadir di situ adalah orang Kangouw kawakan, tentu saja semuanya dapat menangkap arti ucapannya, meski merasa geli, tapi tiada seorangpun yang berani tertawa.

Dian Ce-hun tersenyum terhadap Pwe-giok, katanya: "Tenaga sakti anda sungguh mengejutkan tadi Cayhe sudah merasakannya, sekarang ingin kubelajar kenal pula dengan Kungfu anda yang hebat, hendaklah Anda tidak perlu sungkan-sungkan ..."

"Sungkan?" si tojin jubah biru meraung pula. "Memangnya bocah ini berlaku sungkan terhadap muridku?!"

Perangai kasar tojin kerdil ini sungguh jarang ada bandingannya, bahkan Dian Ce-hun dan Pwe-giok sudah bergebrak hingga berpuluh jurus, dia masih tetap marah-marah saja.

Pertarungan sekarang berbeda lagi dengan tadi. Sekalipun orangnya lemah-lembut, tapi serangan sip-hun tadi mengutamakan keras dan dahsyat. Kini Dian Ce-hun sebaliknya menggunakan gaya serangan yang lunak, tapi penuh variasi. Meski sudah berlangsung beberapa puluh jurus, tapi serangannya masih tetap serangan pancingan dan tiada satupun yang benar-benar diarahkan sasarannya.

Meski Pwe-giok tidak dapat memainkan ilmu silat perguruan asalnya, tapi silat Bu-kek-bun mengutamakan ketenangan, untuk menghadapi serangan Dian Ce-hun yang banyak variasinya itu menjadi sangat cocok.

Namun ginkang dian Ce-hun memang sangat hebat, cepat dan sukar diduga laksana naga meluncur di tengah awan dengan gerak perubahan yang tidak menentu, jangankan Pwe-giok tidak dapat meraba posisi lawan, sampai yang menonton disampingpun merasa bingung, seorang Dian Ce-hun seolah-olah telah berubah menjadi berpuluh orang.

Terdengar seorang tua berbaju ungu dan berjenggot panjang berkata dengan gegetun: "Dian jitya berjuluk Naga Sakti, tak tersangka putera kesayangannya juga memiliki Ginkang setinggi ini. Tampaknya biarpun Ginkang si Elang dari Bu-lim-jit-kim (tujuh burung dari dunia persilatan) juga tak melebihi Dian-kongcu ini,"

Seorang lagi menanggapi dengan tertawa: "Bu-lim-jit-kim memang tiada satupun yang memiliki kepandaian sejati. Sun Tiong si Elang itu meski tertua dari Jit-kim, tapi bila dibandingkan anak murid Sin-liong (Naga Sakti), jelas bedanya terlalu jauh."

Orang ini sudah ubanan, perawakannya pendek kecil, namun kelihatan gesit dan tangkas, jelas ginkangnya pasti juga tidak lemah. Maka meski di mulut dia memuji orang lain, namun sikapnya ternyata ingin membanggakan dirinya sendiri, agaknya baru merasa puas bilamana orang lain mau memujinya beberapa kata.

Benar juga, Lim Soh-koan lantas berkata dengan tertawa: "Ucapan Hui-lo (kakek Hui) memang tepat. Tapi mengapa kau lupa pada dirimu sendiri. Siapakah di dunia kangouw yang tidak kenal ginkang Bu-eng-cu To-toaya yang tiada bandingannya. Seumpama engkau tidak dapat menandingi kesempurnaan Dian-jitya, bila dibandingkan Dian-kongcu ini.... Hahaha!"

Kakek pendek kecil yang berjuluk Bu-eng-cu atau tanpa bayangan itu tampaknya berseri-seri oleh pujian Lim Soh-koan itu, dia berharap orang akan terus bicara. Siapa tahu, setelah tertawa, lalu Lim Soh-koan tidak melanjutkan lagi.

Untung si kakek berbaju ungu lantas menyambungnya :" Betul, jahe memang selalu pedas yang tua. Betapapun tinggi ginkang Dian-kongcu ini, mana bias menandingi kesempurnaan ginkang To-heng."

Bu-eng-cu To Hui tambah senang karena diumpak dan ditiup, tapi wajahnya justru tidak memperlihatkan setitik senyumpun, ia malah berkata dengan sungguh-sungguh: "Agaknya Hiang-heng tidak tahu, orang kalau sudah tua, tulangnya juga tambah berat, mana dapat kutandingi Dian-siauhiap yang muda dan perkasa itu. Apalagi ginkang hanya kepandaian sampingan saja dan tidak banyak gunanya, bicara ilmu pukulan Hiang-heng, itulah baru benar-benar kungfu sejati."

Kakek baju ungu she Hiang itu berjuluk 'Sin-kun-bu-tek' atau pukulan sakti tanpa tanding, ia menjadi gembira karena dipuji, sambil terbahak-bahak ia menjawab: "Ah, To-heng terlalu memuji padaku."

Begitulah semula mereka hanya memuji kehebatan ginkang Dian Ce-hun, tapi akhirnya berubah arah dan malah saling membual akan keunggulannya sendiri-sendiri.

Tentu saja si Tojin jubah biru sangat mendongkol, segera ia meraung: "Wah, ada orang kentut! Alangkah busuk kentutnya!" Sambil berkata iapun seraya mendekap hidung.

Ucapannya ini ibarat pelawak di panggung hanya sebagai umpan belaka dan memerlukan rekan lain untuk menanggapinya, jika tiada tanggapan, jadinya akan putus sampai di situ saja. Tak terduga Sip-hun lantas menanggapinya dengan tersenyum: "Suhu, mana ada orang kentut di sini!"

Tojin jubah biru mendengus: "Hm, kautahu apa? Kalau kita kentut biasanya keluar dari pantat, tapi ada sementara orang kentut dengan mulut. Kentut yang keluar dari mulut itulah baunya lebih bacin, tahu!"

Seketika muka To Hui, Lim Soh-koan dan kakek she Hiang berubah merah seperti kepiting rebus, meski dalam hati sangat gusar, tapi tiada seorangpun berani memberi reaksi. Padahal dengan nama dan kedudukan ketiga orang ini, biasanya mana mereka pernah diolok-olok orang. Tapi sekarang, entah mengapa tampaknya mereka sangat jeri terhadap Tojin jubah biru ini.

Hanya dalam hati ketiga orang itu sama menggerutu: "Muridmu sendiri tidak mampu mengalahkan orang, sekarang bocah she Dian ini tampaknya akan berhasil, tentu kau akan kehilangan muka, untuk apa kau melampiaskan dongkolmu atas diri kami?"

Tojin jubah biru memang tidak ingin mendapat malu, tadinya ia bermaksud mencari tahu betapa hebat kungfu Hong Sam melalui Ji Pwe-giok, bilamana sudah tahu, kalau tengah malam nanti harus saling gebrak, tentu dia sudah mempunyai pegangan. Tapi setelah muridnya gagal memancing keluar kungfu Pwe-giok yang lain, sekarang Tojin jubah biru ini justru berharap sekali hantam dapatlah Pwe-giok merobohkan Dian Ce-hun.

Namun apa yang terjadi justru jauh dari kehendaknya, bukan saja Pwe-giok tidak mampu merobohkan Dian Ce-hun, bahkan ujung baju lawan saja tidak dapat menyentuhnya.

Padahal sejak mengalami macam-macam petaka dan kenyang derita, selama ini belum pernah ada orang dapat merobohkan Pwe-giok dengan ilmu silat. Sudah tentu ia bukan pemuda yang sombong, tapi setidak-tidaknya iapun merasa kungfunya sendiri sudah cukup lumayan.

Siapa tahu sekarang hanya dalam waktu singkat saja, telah ditemuinya dua lawan tangguh yang belum pernah dilihatnya selama hidup ini. Kungfu kedua orang ini bukan saja jauh melebihi dirinya, usianya juga tidak lebih tua. Tampaknya di dunia kangouw ini memang masih banyak 'harimau tidur dan naga bersembunyi', entah betapa banyak lagi orang kosen. Kungfu yang dimilikinya boleh dikata masih jauh untuk dapat menandingi mereka.

Seketika Pwe-giok menjadi kesal, dengan sendirinya tenaga pukulannya menjadi kendur. Bila orang lain, mungkin akan putus asa menyerah kalah. Tapi wataknya adalah halus di luar keras di dalam, meski menyadari bukan tandingan lawan, betapapun ia pantang menyerah. Meski Dian Ce-hun masih terus melancarkan serangan dan selalu mendahului, tapi untuk merobohkan Pwe-giok dalam waktu singkat juga sulit, mau tak mau ia menjadi gelisah sendiri.

Dalam pada itu Tojin jubah biru telah berteriak pula: "Berapa jurus tadi kau bergebrak dengan bocah she Ji ini?" Pertanyaannya ini ditujukan kepada muridnya.

Maka Sip-hun lantas menjawab: "Belum sampai 300 jurus!"

"Dan sekarang sudah berapa jurus mereka saling labrak?" Tanya pula si Tojin kerdil.

"Juga mendekati 300 jurus!" kata Sip-hun.

"Hahahaha!" Tojin kerdil itu bergelak tertawa. "Sekarang tentunya kaupun tahu bahwa orang yang suka membual, kebanyakan juga tidak mempunyai kepandaian sejati. Orang muda sebaiknya lebih giat belajar kungfu kaki dan tangan, daripada berlatih kungfu mulut!"

Muka Dian Ce-hun tampak sebentar merah sebentar pucat, gerak tubuhnya juga bertambah cepat. Mendadak ia berkata kepada Pwe-giok dengan suara tertahan: "Lambat atau cepat akhirnya kau toh pasti kalah, untuk apa kau bertahan mati-matian? Bila tiba saatnya tentu aku tidak kenal ampun lagi, akan lebih baik jika sekarang kau mengaku kalah saja."

"Mengaku kalah?" Pwe-giok menegas.

"Ya, jika sekarang kau mengaku kalah, bukan saja takkan kulukai kau, bahkan aku menjamin akan mengantar kau pulang dengan selamat."

Pwe-giok tersenyum, mendadak ia menghantam sekuatnya. Pukulan inilah merupakan jawabannya.

Keruan Dian Ce-hun menjadi marah, dampratnya: "Keparat, kau tidak mau tahu maksud baik orang, lihat saja apakah kau mampu lolos dari sini?"

Sementara itu belasan jurus sudah lalu pula, karena ia bertekad akan mengalahkan Pwe-giok sebelum mencapai 300 jurus, mendadak ia melayang ke udara sambil bersiul panjang, dari atas seperti ular naga melingkar, segera ia menubruk ke bawah.

Inilah jurus serangan rahasia perguruan "Naga Sakti" yang disebut "Keng-liong-pok-beng-sam-sik" (tiga jurus adu nyawa si naga sakti). Dahsyatnya sukar ada tandingannya. Tapi dari namanya yang disebut "mengadu nyawa", jelas serangan ini baru akan dikeluarkan bilamana keadaan kepepet. Sebab kedahsyatan serangan ini juga merupakan modal terakhirnya, bilamana tidak kena sasarannya, dirinya sendiri yang akan celaka.

Sebab itulah bilamana tidak terpaksa, anak murid "Naga Sakti" tidak akan mengeluarkan jurus maut ini. Sekarang Dian Ce-hun tidak kepepet, dia hanya ingin merobohkan lawan lebih cepat, maka telah digunakannya jurus maut yang membawa resiko ini. Dengan sendirinya iapun sudah memperhitungkan lawan pasti tidak mampu menghindarkan serangannya ini.

Seketika Pwe-giok merasa udara penuh bayangan musuh, sekujur badan sendiri telah terkurung di bawah angin pukulan lawan, ke manapun dia menghindar tetap sukar lolos.

Begitu keras angin pukulan musuh sehingga dia hampir tidak dapat bernapas, bila dia balas menghantam, bisa jadi kedua tangan sendiri akan patah.

Pada waktu itu dia masih ragu itulah, telapak tangan musuh sudah menindih tiba dari atas kepala.

Dalam keadaan demikian, tiada pilihan lain lagi baginya kecuali memejamkan mata dan menanti ajal belaka.

Dengan sendirinya serangan Dian Ce-hun itupun menggemparkan para penonton.

Sampai-sampai Ji Hong-ho berseru kuatir: "Lihay amat serangan ini, pantas di dunia Kangouw tersiar semboyan 'Naga Sakti muncul, matipun tidak menyesal'!”

Bahwa suatu jurus serangan mematikan dapat membuat korbannya mati tanpa menyesal, maka betapa lihaynya dapatlah dibayangkan.

Tak terduga, baru saja lenyap suara ucapan Ji Hong-ho, sekonyong-konyong terdengar suara orang menjerit, yang menjerit ternyata bukan Ji Pwe-giok melainkan Dian Ce-hun. Terlihat bayangan tubuhnya yang sedang menubruk ke bawah sekuatnya itu mendadak mengapung lagi ke atas dan mencelat hingga jauh.

Yang mengikuti pertarungan ini hampir seluruhnya adalah jago kelas satu di dunia persilatan, bahkan rata-rata adalah tokoh kawakan Kangouw, sedikit kejadian ini mana dapat membuat mereka melengak, Tapi sekarang, ketika tubuh Dian Ce-hun mencelat, baik Ji Hong-ho, Lim Soh-koan dan lain-lain hampir semuanya berubah pucat.

Apakah benar-benar Hong Sam telah mengajarkan ilmu maha sakti kepada Pwe-giok sehingga pada detik terakhir itu, pada saat terancam bahaya dia dapat mematahkan serangan maut Dian Ce-hun itu ?

Padahal jelas-jelas Pwe-giok sudah tak bisa berkutik dan hanya menanti ajal belaka, mana dia mampu lagi mengelabuhi pandangan tokoh-tokoh ulung ini dengan sesuatu gerak serangannya?

Terdengar suara gemersak, tubuh Dian Ce-hun telah menumpuk daun pohon, lalu "bluk", ia jatuh ke bawah dengan muka pucat seperti kertas, dengan mata mendelik ia pandang Tojin jubah biru dan berkata dengan suara parau: "Kau...kau..." belum lanjut ucapannya, darah segar tersembur dari mulutnya, pingsanlah dia di bawah pohon.

Pandangan semua orang tanpa terasa juga terpusat ke arah Tojin jubah biru.

Tapi Tojin kerdil itu lantas berjingkrak gusar, teriaknya: "Apa yang kalian pandang? Memangnya kalian kira aku yang menolong bocah she Ji ini? Hm, selama hidupku ini bilakah pernah ku main sergap? Apalagi terhadap anak busuk pembual ini?"

Kedua tangan Tojin kerdil ini memang selalu terselubung didalam lengan jubahnya yang longgar, tampaknya memang benar-benar tidak pernah bergerak. Karena itu, pandangan semua orang lantas beralih lagi ke arah Ji Pwe-giok.

Pwe-giok masih berdiri di tempatnya, seperti kesima, nyata yang membikin Dian Ce-hun mencelat tadi bukan dia sendiri. Jika demikian, lantas siapa gerangan yang membantunya itu?

"Huh!" jengek si Tojin kerdil. "Orang sebanyak ini hanya berdiri melongo saja, sampai siapa orang yang turun tangan juga tidak tahu, cis, sungguh memalukan!"

Setelah berludah, lalu ia memutar pergi dengan langkah lebar.

Wajah semua orang sama merah dan menunduk malu.

Pada saat itu juga mendadak Pwe-giok melompat ke atas dan melayang pergi melintasi pucuk pohon, hanya sekejap saja bayangannya sudah lenyap.

Lim Soh-koan memandang Ji Hong-ho sekejap, katanya: "Bengcu....."

"Biarkan dia pergi," ucap Ji Hong-ho dengan tersenyum tak acuh. "Betapapun nanti malam....."

Lim Soh-koan mendekati Dian Ce-hun dan membangunkannya, dengan tersenyum ia bergumam: "Sekalipun dia dapat lolos tengah malam nanti, mustahil dia mampu lolos dari cengkeraman Dian jitya? Naga sakti pemburu sukma, naik ke langit maupun menyusup ke bumi.... Hahaha, masakah dia mampu naik ke langit atau menyusup ke bumi?"

Setelah melayang keluar dari biara itu, detak jantung Ji Pwe-giok belum lagi hilang.

Sesungguhnya siapakah gerangan orang yang telah menyelamatkannya?

Pada detik yang paling gawat itu, dia hanya merasa ada angin keras menyambar lewat di atas kepalanya dan mengenai dada Dian Ce-hun.

Tapi tenaga yang maha dahsyat dan tidak kelihatan itu bukan dikeluarkan oleh si Tojin jubah biru, sebab dia dan muridnya berdiri di depan Pwe-giok, sedangkan tenaga serangan yang tidak kelihatan itu datangnya dari belakangnya.

Sungguh Pwe-giok tidak tahu siapakah yang telah menolongnya dan sebab apa menolongnya? Tenaga pukulan sekuat itu hakekatnya belum pernah dilihatnya selama ini.

Sekilas ia telah menoleh dan memandang ke arah datangnya tenaga pukulan dahsyat itu, dilihatnya ranting pohon bergoyang, namun tiada bayangan seorangpun yang terlihat.

Selain tenaga dalamnya maha dahsyat, ginkang orang itupun sangat mengejutkan. Di dunia ini ternyata masih ada tokoh kosen begini, sebelumnya mimpipun tak pernah dibayangkan Pwe-giok. Baru sekarang ia tahu tokoh ajaib di dunia persilatan ini masih sangat banyak dan sukar dijajaki.

Ia menghela nafas panjang. Mendadak didengarnya daun pohon gemerisik di depan sana, sesosok bayangan orang melayang tiba dan menghadang di depannya, sambil bergelak tertawa orang itu berseru, "Hahaha, setelah kau lukai putera tunggal gabungan tujuh keluarga Dian, lalu kau hendak angkat kaki begitu saja?"

Suara tertawanya keras bagai bunyi genta. Siapa lagi dia kalau bukan si Tojin jubah biru.

Pwe-giok terkesiap dan menyurut mundur, ia lantas memberi hormat dan menjawab, "Pandangan Totiang maha tajam, tentunya sudah tahu bahwa tadi bukan Cayhe yang turun tangan selihay itu."

"Habis siapa?" tanya Tojin jubah biru dengan sinar mata gemerdep.

"Untuk itu justeru Cayhe ingin mohon petunjuk kepada Totiang," ujar Pwe-giok.

Tojin itu menjadi gusar, katanya, "Jadi kaupun tidak tahu siapa yang telah menyelamatkan kau?"

"Kalau Totiang saja tidak dapat melihat jelas siapa gerangannya, mana Cayhe mempunyai mata setajam itu?" jawab Pwe-giok.

"Jadi maksudmu mataku ini kurang tajam?" Tojin itu bertambah gusar. "Huh, orang yang suka bertindak secara sembunyi2 begitu mana ada harganya kuperhatikan." Mendadak ia menarik leher baju Pwe-giok dan bertanya dengan sekata demi sekata, "Dia Hong-sam atau bukan?" Dengan tak acuh Pwe-giok menjawab, "Memangnya Hong-sam sianseng orang yang suka main sembunyi2 begitu?"

"Bukan Hong-sam, habis siapa?" hardik Tojin itu dengan suara bengis. "Hanya dengan sepotong ranting kayu saja orang itu mampu melukai putera Dian Jit hingga tumpah darah, kecuali diriku dan Hong-sam, siapa pula yang sanggup berbuat demikian?"

"Sesungguhnya Cayhe memang juga tidak percaya masih ada orang lain," ujar Pwe-giok.

Sejenak Tojin itu melototi anak muda itu, katanya kemudian, "Apapun juga, Dian cilik terluka pada waktu bergebrak dengan kau, bilamana Dian tua tahu, mana dia mau mengampuni kau? Antara ke tujuh Dian bersaudara itu, ke enam orang yang tua masih mendingan, tapi Dian Jit… haha, kalau dia mau merecoki kau, biarpun kau lari ke langit atau masuk ke bumi juga tak dapat lari."

"Cayhe sendiri tidak bermaksud lari," ujar Pwe-giok.

"Tidak lari? Memangnya kau kira sanggup melawan dia?" jengek Tojin jubah biru.

"Cayhe juga tidak bermaksud melawan dia," kata Pwe-giok pula.

"Tidak lari juga tidak melawan, memangnya kau ada akal lain? Kau kira Dian Jit mau bicara aturan dengan kau?"

Pwe-giok berdiam sejenak, katanya kemudian dengan tak acuh, "Urusan sudah kadung begini, kukira nanti akan ada akal."

"Busyet, masih muda belia, cara bicaramu se-olah2 sudah kakek2," kata Tojin itu dengan tertawa. "Jika kau tidak punya akal, aku sudah mempunyai akal."

"Mohon petunjuk Totiang," kata Pwe-giok.

"Kalau kau mengangkat guru padaku, kujamin di dunia ini tiada orang berani mengganggu satu jarimu."

"Mengangkat guru kepada Totiang?" Pwe-giok menegas dengan melengak.

"Ya, jangan kau kira aku sukar mencari murid maka ku penujui kau," teriak Tojin itu, "hanya lantaran kulihat kau ini lumayan, pemberani dan keras kepala, biarpun Dian cilik telah memancing kau dengan berbagai cara, ternyata kau tetap tidak mau mengkhianati aku."

"Hah, kiranya Totiang telah mendengar ucapannya," Pwe-giok tertawa geli.

"Bila tidak kudengar ucapannya ketika membujuk kau menyerah saja padanya, hm, biarpun kepalamu pecah menyembah padaku juga tidak sudi kuterima kau sebagai murid."

Pwe-giok menghela nafas panjang, katanya, "Maksud baik Totiang sungguh sangat mengharukan, untuk mana Wanpwe mengucapkan terima kasih banyak2. Cuma... Wanpwe ini seorang yang bernasib jelek, selama hidup ini Wanpwe tidak ingin mengangkat guru lagi kepada siapa pun."

"Jadi kau tidak mau?" Tojin itu menegas dengan murka.

Pwe-giok menunduk dan tidak bicara lagi.

"Kau tidak menyesal?" tanya pula si Tojin dengan suara bengis.

Pwe-giok tetap tidak bersuara.

Tojin itu tambah marah, ia mendamprat, "Kau goblok, tolol, sinting..." mendadak ia membalik tubuh dan menghantam, "blang…” sebatang pohon cukup besar di sebelahnya telah dihantamnya hingga patah menjadi dua, pohon patah itupun tumbang dan menerbitkan suara gemuruh.

Sambil menghantam Tojin itupun menengadah dan bersiul panjang, waktu Pwe-giok berpaling, suara siulan Tojin kerdil itu sudah berada di kejauhan.

Pwe-giok menghela nafas pula, mendadak di dengarnya ada seorang juga sedang menghela nafas panjang, "Sayang, sungguh sayang...!"

"Siapa itu?" bentak Pwe-giok tertahan.

Maka muncul seorang dari kegelapan pohon sana dengan langkah ke-malas2an, siapa lagi dia kalau bukan Ang-lian-hoa.

Mencorong sinar mata Ang-lian-hoa, katanya sambil menatap Pwe-giok, "Kau kenal padaku tidak?"

Bergolak darah panas di rongga dada Pwe-giok ketika dapat berjumpa dengan sahabat karib di tempat sepi ini, hampir2 saja dikeluarkannya seluruh isi hatinya tanpa menghiraukan segala akibatnya.

Namun di bawah bayang2 pohon yang rimbun sana apakah betul tiada terdapat lagi orang lain?

Terpaksa diam2 Pwe-giok hanya menghela nafas, jawabnya kemudian sambil memberi hormat, "Nama Ang-lian-pangcu termasyhur di seluruh dunia, siapakah yang tidak kenal padamu?"

Ang-lian-hoa juga seperti menghela nafas, tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, "Eh, apakah kau tahu siapa gerangan orang yang hendak mengambil murid padamu tadi?"

"Siapa?" tanya Pwe-giok.

Ang-lian-hoa tersenyum, jawabnya, "Usiamu terlalu muda, mungkin kau belum pernah mendengar nama Lo-cinjin?"

"Lo-cinjin?" tukas Pwe-giok, "itukah Lo-cinjin dari Hoa-san?"

"Betul, kecuali Lo-cinjin, siapa lagi yang memiliki Kungfu selihay dan pemberang begitu?"

"Pantas orang sama bilang dia benar2 salah seorang di antara kesepuluh tokoh utama jaman ini, baru sekarang kupercaya..." tiba2 ia memandang Ang-lian-hoa sekejap dan tidak meneruskan.

"Baru sekarang kau percaya orang yang disebut "tokoh" seperti kami ini hakikatnya seperti anak kecil bilamana dibandingkan dia, begitu bukan?" Ang-lian-hoa merandek dengan tertawa. Dia tahu Pwe-giok tidak sanggup menjawabnya, maka ia sendiri lantas melanjutkan, "Betapa tinggi khikang orang ini konon sudah mencapai tingkatan yang tertinggi dan boleh dikatakan jago nomor satu di dunia ini. Bahkan watak orang ini sangat aneh, selama ini hampir tidak pernah menghargai orang lain. Tapi sekarang dia mau menerima kau sebagai murid dan kau sebaliknya tidak mau, sungguh aku pun merasa sayang bagimu."

Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum hambar, "Apakah kedatangan Pangcu ini hanya ingin memberitahukan kepadaku mengenai urusan ini?"

"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan lagi padamu?" jawab Ang-lian-hoa perlahan.

"O, silahkan bicara," kata Pwe-giok.

Kembali sinar mata Ang-lian-hoa mencorong terang dan menatap Pwe-giok lekat2, ucapnya dengan suara tertahan, "Nona Lim Tay-ih, mengapa dia hendak membunuhmu?"

Pwe-giok tersenyum pedih, jawabnya, "Apakah dia... tidak memberitahukan padamu?"

"Belum pernah kutanyai dia," kata Ang-lian-hoa.

"Jika Pangcu belum menanyai dia, mengapa malah tanya padaku?"

Mendadak Ang-lian-hoa berkata dengan suara bengis, "Sebab adalah sementara anak perempuan betapapun tidak mau ngomong apa2, tapi kaum lelaki kita, seorang jantan sejati, berbuat apapun seharusnya membusungkan dada dan berani bicara secara terus terang, betul tidak?"

Dengan rawan Pwe-giok menjawab, "Orang yang seperti Pangcu sudah tentu dapat membusungkan dada untuk menghadapi segala, tapi ada sementara orang biarpun ingin membusungkan dada juga tidak.. tidak dapat."

Sampai sekian lama sinar mata Ang-lian-hoa yang tajam itu menatap Pwe-giok, katanya kemudian dengan suara tertahan, "Sesungguhnya ada urusan apakah yang tak dapat kau bicarakan?"

"Maaf, tiada sesuatu yang dapat kukatakan," jawab Pwe-giok dengan tersenyum pedih.

Kembali Ang-lian-hoa menatapnya sejenak, lalu ia menengadah dan menghela nafas menyesal, katanya, "Orang baik2 rela terjerumus ke dalam kegelapan, sungguh sayang!"

"Sesungguhnya Cayhe juga merasa sayang bagi Pangcu," kata Pwe-giok tiba2.

"Apa yang kau sayangkan bagiku?" tanya Ang-lian-hoa dengan agak melengak.

"Keluhuran Pangcu sudah lama terkenal di seluruh kolong langit ini, mengapa sekarang juga sudi menggabungkan diri dengan kaum munafik itu untuk mengerubuti seorang anak perempuan yatim piatu?"

Air muka Ang-lian-hoa rada berubah, mendadak ia bergelak tertawa dan berakta, "Kau bilang yatim piatu? Maksudmu ia anak perempuan yatim piatu?" mendadak suara tertawanya berhenti, lalu bertanya dengan bengis, "Tahukah kau mengapa kami mencarinya ke sini?"

"Justeru ingin kutanyakan?" jawab Pwe-giok.

"Selama beberapa tahun ini sudah ada 20 orang lebih menghilang secara misterius dan jejaknya tidak pernah diketemukan, orang2 itu ada yang berasal dari utara dan ada yang dari selatan, masing2 boleh dikatakan tiada hubungannya sama sekali. Tapi setelah diselidiki secara cermat, akhirnya diketahui bahwa di antara orang2 yang hilang itu terdapat satu titik persamaan."

"O, apa itu?" tanya Pwe-giok.

"Satu2nya hal yang sama adalah sebelum mereka menghilang, semuanya pernah dilihat orang tinggal di Li-toh-tin ini."

"O, hanya begitu?"

"Ya, tapi yang paling penting adalah sesudah kelihatan di Li-toh-tin sini, lalu tiada orang melihat mereka lagi."

"Hal ini rada membingungkan aku?" ujar Pwe-giok.

"Dengan lain perkataan, umpama orang itu kemarin kelihatan berada di Li-toh-tin sini, besok dia lantas lenyap tanpa bekas dan entah ke mana perginya."

"Oo...."

"Petunjuk ini sebenarnya tidak begitu jelas, tapi setelah 20 orang lebih sama2 menghilang dengan cara begitu, maka persoalannya menjadi lain. Para sanak keluarga orang2 yang hilang itu lantas mengangkat tiga orang wakil mereka ke Li-toh-tin sini untuk menyelidiki urusan ini dengan lebih jelas."

"Siapakah ketiga orang itu?" tanya Pwe-giok.

"Biar kukatakan nama mereka juga tidak kau kenal," kata Ang-lian-hoa. "Cukup kukatakan ketiga orang itu tentunya orang2 yang cerdik dan pandai, kalau tidak masa mereka terpilih?"

"O, lalu bagaimana hasil penyelidikan mereka?"

"Apapun tidak dihasilkan oleh mereka."

"Oo? Kenapa begitu?"

"Sebab setiba di Li-toh-tin ini, selamanya merekapun tidak pernah kembali lagi.

"Hah? Lantas bagaimana?"

"Dengan sendirinya urusan ini sangat menggemparkan dan akhirnya dilaporkan kepada Bu-lim-bengcu."

"Ehm, memang harus begitu."

"Tapi Ji bengcu baru saja kehilangan anaknya, beliau sedang berduka dan belum sempat memikirkan urusan ini," tutur Ang-lian-hoa. "Dengan sendirinya urusan ini jatuh ke tangan Kay-pang. Bilamana kaum tukang minta2 itu mau menyelidiki sesuatu, tentunya akan jauh lebih leluasa daripada orang lain."

"Ya, betul juga," Pwe-giok menyengir.

"Sebab itulah selama setengah bulan ini di Li-toh-tin mendadak kaum pengemis bertambah banyak. Mereka mengemis pada setiap orang dan setiap rumah, tentu saja tiada orang menaruh curiga kepada mereka bahwa sebenarnya mereka sedang menyelidiki sesuatu rahasia yang membikin panik kaum Bu-lim."

"Justeru lantaran itulah, maka di kolong langit ini siapapun tidak berani merecoki Kaypang kalian," kata Pwe-giok dengan tersenyum.

Ang-lian-hoa tersenyum bangga, sambungnya lagi, "Setelah penyelidikan selama belasan hari terus menerus, akhirnya diketahui penduduk Li-toh-tin ini adalah rakyat jelata yang patuh dan tertib, hanya sebuah loteng kecil di belakang Li-keh can itu berdiam dua orang yang sama sekali tidak diketahui asal-usulnya. Sebab itulah mereka berdua lantas menjadi sasaran penyelidikan selanjutnya."

"Kemudian?" tanya Pwe-giok.

"Sehari suntuk mereka mengintai di sekitar loteng kecil ini, belum lagi menemukan sesuatu yang mencurigakan, tahu2 si ... si nona cilik yang tinggal di atas loteng kecil itu malah sudah melihat gerak-gerik kaum jembel itu, malamnya, lima murid kami yang pasang mata di sana telah dikerjai, kantung yang membedakan tingkatan mereka yang selalu di panggul di punggung mereka itu tahu2 lenyap secara aneh."

Dia merandek sejenak, lalu menyambung dengan menarik muka, "Padahal anak murid Pang kami sangat memandang penting kantung yang mereka bawa, tapi orang dapat mencuri kantung yang melengket di punggung mereka itu tanpa diketahui, maka tahulah mereka bahwa nona cilik itu ternyata seorang kosen, jelas orang sengaja hendak memperingatkan mereka agar mereka jangan ikut campur urusan ini."

"Siapa tahu, urusan menjadi runyam malah, bukan?" tanya Pwe-giok. "Betul, sebab hidup orang Kay pang justeru suka ikut campur urusan."

"Dan lantaran urusan ini pula maka Pangcu datang ke Sujwan sini."

"Bukan cuma itu saja, mestinya Pang kami akan mengadakan rapat besar di Thay-heng-san untuk menjatuhkan hukuman bagi pengkhianat, karena adanya urusan ini terpaksa tempat rapat kamipun berpindah ke sini."

Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, "Dan sekarang Pangcu sudah merasa pasti bahwa hilangnya ke-20 orang itu ada sangkut pautnya dengan nona Cu yang tinggal di atas loteng itu?"

"Betul, setelah menerima laporan murid Kaypang, Ji-bengcu lantas mengumpulkan para tokoh Bu-lim dan datang ke Li-toh-tin ini dengan pura2 main catur Li-keh-can yang terletak di depan loteng kecil itu, tapi diam2 tempat itu telah dijaga dan di intai, akhirnya dapat dipastikan bahwa yang tinggal di situ adalah anak keturunan Siau-hun-kiongcu dan Hong-sam."

"Kiranya di balik persoalan ini masih ada liku2 begini, tadinya kukira urusan ini sangat sederhana," ujar Pwe-giok sambil menghela nafas.

Gemerdep sinar mata Ang-lian-hoa, mendadak ia berkata dengan suara kereng, "Jika kau mau terima nasehatmu, lebih baik cepat kau tinggalkan tempat ini, kalau tidak, bila tengah malam nanti tiba, segalanya akan hancur lebur dan hal itu tentu akan sangat disesalkan."

Pwe-giok berpikir sejenak, katanya kemudian, "Tapi kukira urusannya tidak sederhana sebagaimana disangka Pangcu."

"Pokoknya beginilah nasehatku, mau percaya atau tidak bergantung padamu sendiri," kata Ang-lian-hoa. Dia pandang Pwe-giok sekejap, seperti mau omong apa2 lagi, tapi urung diucapkan, lalu melayang pergi.

Buru2 Pwe-giok menyusuri hutan tadi. Penduduk Li-toh-tin masih berkumpul di situ, tampaknya mereka tambah cemas.

Padahal Pwe-giok juga tidak kurang cemasnya, selama setengah hari ini sudah banyak rahasia yang didengarnya, namun pikirannya masih penuh diliputi tanda2 tanya yang sukar dipecahkan.

Setelah menyusuri hutan itu, di depan adalah sebuah tanjakan, bila tanjakan itu sudah dilintasi barulah sampai di kota kecil itu. Pada saat itulah dari balik tanjakan sana Pwe-giok mendengar suara rintihan orang kesakitan.

Cepat Pwe-giok memburu ke sana, dilihatnya seorang berambut putih sedang berjongkok di samping sepotong batu besar dan sedang merintih.

Masih musim rontok, hawa belum terlalu dingin, tapi nenek ini memakai baju kapas yang sangat tebal. Melihat Pwe-giok, segera ia berkeluh dan berseru, "Siau... Siauya, tol... tolonglah, bantu nenek ini!"

Nenek ini tampaknya cuman sakit keras biasa namun Pwe-giok selalu waspada, betapapun ia merasa sangsi, ia coba tanya, "Apakah nenek penduduk Li-toh-tin ini?"

"Ya, ben... benar..." jawab nenek itu.

"Orang2 sama berkumpul di hutan sana, mengapa nenek berada sendirian di sini?"

Nenek itu mengucek matanya dengan tangannya yang kurus kering sambil berkata, "Janganlah Siauya mentertawakan diriku jika kukatakan, hidup nenek ini sebatang kara, tidak punya sanak keluarga seorangpun, orang lain sama menganggap nenek ini kotor dan sudah tua renta, tiada seorangpun mau memperhatikan diriku, selama ini hanya Siau Hoa (si belang) saja yang mendampingi aku."

Sambil omong, meneteslah air matanya, dengan suara tersendat ia menyambung pula, "Tapi orang itu tidak... tidak mengijinkan kubawa Siau Hoa, seharian ini Siau Hoa tentu akan mati kelaparan... O Siau Hoa yang baik, Siau Hoa sayang, jangan kau kuatir, sebentar lagi nenek pasti datang menjenguk kau." segera ia hendak merangkak bangun, tapi jatuh terkulai pula.

Cepat Pwe-giok memayangnya bangun, katanya sambil berkerut kening, "Apakah Siau Hoa itu cucu nenek? Mengapa mereka tidak mengijinkan kau bawa serta dia?"

"Betul, Siau Hoa adalah cucuku sayang," tutur si nenek sambil menangis. "Cucu orang lain suka ribut, suka nakal, tapi Siau Hoa sangat jinak, sangat penurut, sepanjang hari hanya menunggui aku, menangkap tikus saja tidak mau."

"Hah, menangkap tikus?" Pwe-giok melengak, akhirnya ia tertawa geli sendiri dan bertanya, "O, kiranya Siau Hoa kesayangan nenek itu adalah seekor kucing?"

Tapi nenek itu lantas menangis ter-gerung2, katanya, "Betul, dalam pandangan orang muda seperti kalian ini Siau Hoa hanya seekor kucing, tapi dalam pandangan nenek yang sudah hampir masuk liang kubur ini, Siau Hoa justeru adalah jiwaku, sukmaku, tanpa dia bagaimana aku akan melewatkan hari2 selanjutnya...?" Dia meronta dan hendak merangkak ke depan, serunya dengan parau, "O, Siau Hoa sayang, cucu sayang, sebentar nenek akan memberi makan ikan padamu, janganlah kau menangis, biarpun perut nenek akan robek kesakitan juga akan merangkak pulang untuk memberi makan padamu."

Memandangi rambut si nenek yang putih perak dan tubuhnya yang bungkuk, Pwe-giok membayangkan kehidupan orang tua yang sengsara dan kesepian ini, tanpa terasa ia menjadi terharu dan ikut pedih, dengan suara keras ia lantas berseru, "Jika Lo-thaythay (nenek) tidak mampu berjalan lagi, biarlah ku gendong kau saja."

"Kau... kau sudi?" tanya si nenek sambil kucek2 matanya.

"Jika nenekku sendiri masih hidup, beliau tentu juga akan sayang pada Siau Hoa seperti dirimu," ujar Pwe-giok sambil tertawa ramah.

Maka tertawalah si nenek sehingga kelihatan mulutnya yang ompong dengan gigi yang tinggal dua, katanya, "Ai, Siauya memang orang baik, tadi begitu mendengar aku akan memberi makan kepada Siau Hoa, mereka lantas merintangi aku dan melarang aku pulang, hanya Siauya saja... Ai, begitu melihat Siauya memang sudah kuduga engkau pasti seorang yang baik hati."

Begitulah sambil mendekam di atas punggung Pwe-giok ia masih terus mengoceh terus dan memuji Pwe-giok setinggi langit, katanya anak muda itu baik hati, cakap lagi, kelak pasti akan mendapatkan bini yang cantik dan pintar.

Muka Pwe-giok menjadi merah. Untung tidak lama mereka sudah memasuki kota kecil itu. Pwe-giok lantas tanya, "Dimanakah Lo-thaythay bertempat tinggal?"

"Tempat tinggalku paling mudah dikenali, sekali pandang saja lantas tahu," kata si nenek.

"O, apakah di depan sana?" tanya Pwe-giok pula dengan tertawa.

"Eh, jadi sudah kau lihat? Memang betul di loteng kecil itulah," kata si nenek.

Air muka Pwe-giok seketika berubah.

Maklumlah, di kota kecil ini hanya terdapat loteng itu, satu2nya loteng kecil itu adalah tempat tinggal Hong-sam dan Cu Lui-ji, sekarang si nenek ternyata mengaku juga bertempat tinggal di situ.

Diam2 Pwe-giok merasakan gelagat tidak enak, tapi sebelum ia bertindak sesuatu, tahu2 kedua kaki si nenek yang tadinya lemas itu seketika berubah menjadi kuat dan menjepit tubuhnya seperti tanggam.

Biarpun Pwe-giok memiliki tenaga sakti pembawaan, tapi terjepit oleh kedua kaki si nenek, jangankan hendak meronta, bernapas saja terasa sesak.

Keruan ia terkejut, serunya, "He, Lothaythay, ap... apa kehendakmu?"

"Aku cuman berharap Siauya akan mengantar ku pulang ke rumah," kata si nenek.

"Tapi... tapi tempat itu..."

"Hahhh!" mendadak si nenek mengakak, suara tertawanya seperti bunyi kokok beluk di malam sunyi dan membuat bulu roma Pwe-giok sama berdiri.

Di dengarnya si nenek berkata pula dengan terkekeh2, "Barangkali Siauya belum tahu bahwa tempat itulah rumah nenek, yang tinggal di sana, seorang adalah cucuku dan seorang lagi adalah buyut perempuanku."

Pwe-giok menarik nafas dalam2, sedapatnya ia menahan perasaannya, katanya dengan perlahan, "Jika Lothaythay ada sengketa apa2 dengan Hong-sian sianseng dan ingin mencarinya, mengapa engkau perlu ku gendong ke sana? Padahal dengan tenaga kaki nenek yang kuat, masa tidak dapat naik ke sana?"

Nenek itu tertawa, "Siauya, kau ini orang baik, tapi cucuku itu sedikitpun tidak berbakti padaku, bila dia melihat nenek datang sendirian ke sana, bukan mustahil sekali depak aku akan ditendangnya ke bawah loteng."

"Dan sekarang apa yang kau inginkan dariku?" tanya Pwe-giok dengan tersenyum getir.

"Asalkan kau gendong aku ke atas loteng dan katakan kepada mereka bahwa aku ini seorang nenek yang sudah sakit parah, kau yang menolongku ke sana untuk minta mereka memberikan obat padaku."

"Kemudian?" tanya Pwe-giok.

"Urusan selanjutnya tidak perlu lagi kau ikut campur... Hehe, kau sendiripun tidak mampu ikut campur," kata si nenek dengan ter-kekeh2.

Diam2 Pwe-giok membatin "Ya, setelah ku gendong dia ke atas loteng, tentunya dia takkan melepaskan aku dan akupun tidak perlu ikut campur apa2 lagi." Berpikir demikian, sekujur badannya lantas basah kuyup oleh keringat dingin.

"Tapi hendaknya sekarang janganlah Siauya merencanakan tindakan yang tidak2, sebab biarpun usia nenek sudah lanjut, untuk meremas patah tulang lehermu kukira tidak lebih sukar daripada kupatahkan sepotong ranting kayu."

Pwe-giok menghela nafas, katanya, "Lo thaythay, tiada sesuatu yang kukagumi padamu selain ceritamu tentang si belang tadi, sungguh sedikitpun tidak menimbulkan curigaku."

* * *

Pintu di bawah loteng kecil itu hanya dirapatkan saja tanpa dipalang dari dalam.

Di atas loteng Kwe Pian-sian lagi duduk termenung, Ciong Cing mendekap di pangkuannya, seperti sudah tertidur.

Gin-hoa-nio meringkuk di pojok sana, mukanya yang semula ke-merah2an itu kini tampak pucat seperti mayat, ia sedang memandangi tempat tidur sana dengan terbelalak, matanya yang hidup se-olah2 dapat bicara itu kini tampak sayu dan hampa seperti sudah berubah menjadi seorang linglung.

Si sakit, Hong-sam sianseng masih tetap berbaring di tempat tidur dengan tenang, cuma air mukanya tambah merah dan segar, napasnya juga sudah normal.

Cu Lui-ji berjaga di sampingnya, air mukanya tampak mengunjuk rasa girang.

Pada saat itulah Pwe-giok naik ke atas loteng, begitu melangkah ke atas, dengan suara keras ia lantas berseru, "Nenek ini mendapat sakit keras di tengah jalan, terpaksa ku gendong dia pulang... kan tidak dapat kulihat dia mati sakit di tepi jalan bukan?"

Mendengar ini, Kwe Pian-sian berkerut kening. Ciong Cing tetap masih pulas dalam tidurnya. Gin-hoa-nio tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, sedangkan Hong-sam sianseng tetap diam2 saja tanpa membuka matanya.

Hanya Cu Lui-ji saja yang tersenyum, katanya, "Nenek ini menderita penyakit apa? Biar ku..." mendadak suaranya terhenti, tanpa berkedip ia pandang nenek itu dengan wajah kerut dan takut seperti melihat setan saja.

Nenek itu menyembunyikan mukanya di belakang gendongan Pwe-giok, katanya dengan setengah merintih, "O, kasihanilah nona, berikan obat kepada nenek!"

Siapa tahu mendadak Cu Lui-ji lantas menjerit, "Oh-lolo... Oh-lolo... kau Oh-lolo!"

Tubuh Kwe Pian-sian tergetar demi mendengar nama Oh-lolo atau nenek Oh ini, air mukanya juga tampak kejut dan jeri se-akan2 ingin kabur saja kalau bisa.

Tangan Pwe-giok juga berkeringat dingin, dia masih ingat kepada cerita ayahnya dahulu bahwa yang paling jahat dan paling keji di dunia sekarang adalah Oh-lolo. Perempuan yang paling tinggi ginkangnya dan paling mahir menggunakan racun juga Oh-lolo. Pernah dia dikerubuti tiga diantara "Kesepuluh tokoh top’ jaman ini, dia terkurung di suatu lembah pegunungan dan bertahan tujuh hari tujuh malam, akhirnya dia tetap dapat lolos dengan selamat.

Begitulah terdengar Oh-lolo menghela nafas di gendongannya sambil berkata, "Tahu aku bakal dikenali budak cilik ini, untuk apa ku-buang2 tenaga sebanyak ini?" Dia menggapai Lui-ji dan berkata pula, "Eh, budak cilik, cara bagaimana kau kenal pada nenek? Coba jelaskan, nanti nenek memberikan permen padamu!"

Tapi Cu Lui-ji telah memegangi tangan Hong sam sianseng, katanya dengan suara gemetar, "Li... lihatlah Sacek, Oh-lolo tidak mati, sekarang dia datang lagi.

Hong Sam tetap tidak membuka matanya, dengan perlahan dia berucap, "Orang ini bukan Oh-lolo.”:

"Tapi, kukenal dia... kukenal dia," kata Luji. "Dia masih tetap memakai bajunya yang tebal itu, sanggulnya memakai tusuk kundai kayu hitam, sepatunya yang dipakainya juga serupa dengan waktu itu."

"Dia bukan Oh-lolo," jengek Hong Sam. "Oh-lolo sudah mati!"

"Tapi dia... dia sudah hidup kembali!" seru Lui-ji.

"Orang yang terkena Hoa-kut-tan (pil penghancur tulang), jangankan dapat hidup kembali, menjadi setan pun tidak dapat," kata Hong Sam dengan kereng.

Mendadak nenek itu bergelak tertawa, tertawa latah.

Suara seperti bambu patah, pergesekan benda logam, lolong serigala di hutan, bunyi kokok beluk dan sebagainya adalah suara yang paling menakutkan dan paling menusuk telinga, tapi suara tertawa nenek ini jauh lebih tidak enak didengar dan jauh lebih menakutkan daripada suara2 yang disebutkan tadi.

Setelah tertawa seperti orang gila sampai sekian lamanya, lalu nenek itu berkata, "Pantas kucari kian kemari tidak dapat menemukan adik perempuanku yang keji itu, kiranya dia memang telah dibunuh oleh kau si setan penyakitan ini... Oo, baik sekali matinya, dia memang sudah hidup cukup lama dan sudah waktunya harus mati... tapi sesudah dia mati, aku menjadi sebatang kara begini, cara bagaimana aku dapat hidup sendirian!..."

Dari tertawa mendadak berubah menjadi menangis, suara tangisannya berpuluh kali lebih menusuk telinga daripada suara tertawanya tadi, kaki Pwe-giok terasa lemas dan hampir2 saja tidak kuat berdiri.

Akhirnya Hong Sam membuka matanya, sinar matanya berkelebat, setelah menatap si nenek sekejap lalu katanya dengan bengis, "Kau inikah kakak Oh-lolo?"

Nenek itu menjawab, "Dia adalah aku dan aku adalah dia, dia Oh-lolo, akupun Oh-lolo, kami kakak beradik berdua sama dengan satu dan tidak terpisahkan."

Tiba2 Kwe Pian-sian paham duduknya perkara, pikirnya, "Pantas orang Kangouw sama bilang jejak Oh-lolo tidak menentu dan sukar diraba, pada satu hari yang sama ada orang melihat dia muncul di Holam, tapi ada orang lain yang melihat dia berada di Soa-tang, kiranya Oh-lolo ini terdiri dari dua kakak beradik kembar yang selamanya berdandan sama."

Tiba2 terdengar si nenek alias Oh-lolo tadi menangis tergerung-gerung sambil berteriak, "Kau setan penyakitan busuk, kau telah membunuh adikku, bolehlah kau bunuh saja diriku sekalian."

"Jadi kau kemari minta kubunuh?" jawab Hong Sam dengan tak acuh. "Baiklah, boleh kau maju sini!"

"Lihatlah para hadirin!" teriak Oh-lolo. "Di dunia ini ternyata ada orang sekeji ini. Adik perempuanku sudah dibunuhnya dan sekarang ia ingin membunuhku pula... kau setan penyakitan ini apakah benar2 tiada punya hati nurani manusia sama sekali?"

"Jika kau tidak ingin mati boleh kau pergi saja," kata Hong Sam pula dengan ketus.

"Pergi ya pergi, jika aku tidak dapat membunuh kau, untuk apalagi berada di sini, hanya kheki saja bila melihat kau!" kata Oh-lolo.

Mendengar si nenek menyatakan mau pergi, segera Pwe-giok hendak membalik tubuh, untuk turun ke bawah. Padahal ia tahu sekali turun, maka selama hidupnya pasti akan terkekang di bawah tangan nenek aneh itu.

Siapa tahu belum lagi dia membalik tubuh, se-konyong2 kedua kaki Oh-lolo menggantol sekuatnya sehingga tubuh Pwe-giok bagian atas menubruk ke depan tanpa kuasa. Dirasakannya suatu arus tenaga menyalur ke lengannya, tanpa terasa kedua tangannya terus terangkat dan menghantam ke arah Hong Sam yang masih terbaring itu.

Cara ini benar2 sesuai dengan namanya, yaitu "Cio-to-sat-jin" atau pinjam golok membunuh orang.

Sebab kalau hantaman Pwe-giok itu berhasil, tentu saja sangat baik, tapi kalau Hong Sam melancarkan serangan balasan, paling2 yang akan terluka ialah Pwe-giok. Oh-lolo yang mendekap di belakang punggungnya tentu sempat mengundurkan diri bilamana kejadian tidak menguntungkan.

Maklumlah, sebelumnya Oh-lolo sudah memperhitungkan keadaan Hong Sam, lawan ini berbaring tertutup selimut, jelas tidak dapat mengelak, baginya hanya ada dua jalan, yakni menerima pukulan kedua tangan Pwe-giok itu atau balas menghantam. Dengan lain perkataan, apabila Hong Sam tidak mati, maka yang akan mati ialah Pwe-giok.

Tapi kalau Hong Sam mati, apakah Oh-lolo akan membiarkan anak muda itu hidup terus?

Jadi pergi-datang, akhirnya Pwe-giok pasti akan mati.

Keruan Cu Lui-ji menjerit kaget. Dilihatnya tangan Hong Sam yang kurus kering seperti kayu itu mendadak terjulur keluar dari selimut, entah cara bagaimana tahu2 telapak tangan Pwe-giok kena ditangkapnya.

Sesaat itu Pwe-giok merasakan suatu arus tenaga maha dahsyat timbul dari tangan Hong Sam siansing, tapi hanya satu putaran segera tenaga itu menyurut kembali.

Menyusul tenaga yang dikerahkan Oh-lolo ke tangannya tadi lantas ikut arus tenaga Hong Sam siansing itu dan mengalir keluar.

Seketika Pwe-giok merasa kedua tangannya dialiri oleh arus tenaga yang panas dan bergerak tanpa berhenti, keruan ia terkejut, tapi segera ia tahu apa yang terjadi. Nyata Hong Sam siansing telah menggunakan lengannya sebagai jembatan untuk menghisap tenaga murni Oh-lolo.

Di dunia ini ternyata adalah kungfu ajaib begini, sungguh sukar untuk dibayangkan oleh siapapun.

Agaknya Oh-lolo juga sudah tahu apa yang terjadi, saking takutnya ia berteriak, "Hong Sam... Hong-locianpwe... berhenti... ampun, aku... aku menyerah padamu!"

Dengan perlahan Hong Sam berkata, "Sebenarnya aku tidak mau sembarangan mengambil tenaga murni orang lain, tapi kau yang lebih dulu ingin mencabut nyawaku..."

"Aku tidak berani lagi, Hong-locianpwe, kumohon sudilah engkau mengampuni diriku," pinta Oh-lolo dengan suara parau.

Pwe-giok jadi heran dan geli. Kwe Pian-sian juga melenggong.

Mendadak Oh-lolo menggigit telapak tangannya sendiri, kedua kakinya memancal sekuatnya di punggung Pwe-giok, orangnya terus mencelat pergi dari gendongan Pwe-giok.

"Blang", kepalanya menumbuk langit2 rumah, lalu jatuh ke bawah lagi dan terduduk di lantai dengan nafas ter-engah2, mendadak ia berlutut menyembah kepada Hong Sam dan berkata, "Ya, ku tahu akan kesalahanku, kumohon sudilah engkau mengampuni diriku."

Dengan hambar Hong Sam menjawab, "Kau dapat lolos dari tanganku, sungguh tidak mudah... baiklah, pergilah kau!" lalu ia tersenyum kepada Pwe-giok dan berkata, "Untung bagimu!"

Tadi waktu tubuh Oh-lolo mencelat ke atas, seketika Pwe-giok merasakan tenaga yang menghisap di telapak tangannya hilang mendadak. Kini di antara kedua tangannya masih terasa ada hawa hangat yang bergerak tiada hentinya.

Selagi bingung didengarnya Cu Lui-ji berkata kepadanya dengan tertawa, "Tenaga murni orang yang dipinjam Sacek ada sebagian besar tertinggal di tubuhmu, kau telah mendapatkan keuntungan tanpa sengaja, masa kau belum lagi tahu?"

Pwe-giok melengak, ia pandang tangan sendiri, lalu pandang Oh-lolo pula, dalam hati entah bergirang atau berduka.

Dilihatnya Oh-lolo sedang melangkah ke tangga loteng dengan tubuhnya yang bungkuk dan kelihatan lemas. Meski berjalan dengan tertunduk, tapi sinar matanya yang buas penuh kebencian masih terus melirik ke arah Hong Sam.

"Jangan kau pergi dulu!" kata Hong Sam mendadak.

Oh-lolo terjingkat, tanyanya dengan suara gemetar, "Hong-samya ingin pesan apa lagi?"

"Selamanya aku tiada hubungan apa2 dengan orang Kangouw, apalagi bermusuhan," ucap Hong Sam dengan perlahan. "Jika sekarang kau pergi begini saja, tentu dalam anggapanmu adik perempuanmu telah kubunuh tanpa alasan."

"Mana kuberani berpikir begitu," ujar Oh-lolo dengan kepala tertunduk.

"Bolehlah kau tinggal di sini, dengarkan ceritaku sebab apakah kubunuh dia," kata Hong Sam pula.

"Jika Hong-samya mau bercerita, dengan sendirinya terpaksa kudengarkan," ujar Oh-lolo. Meski di mulut dia bilang akan mendengarkan karena terpaksa, padahal di dalam hati ia sangat berharap agar Hong Sam lekas bercerita.

Pwe-giok juga tahu apa yang akan diceritakan Hong-sam sianseng sekarang adalah lanjutan kisahnya yang pernah diceritakan itu. Sudah tentu minatnya terhadap cerita ini tidak di bawah Oh-lolo.

Tak tahunya sebelum Hong Sam berbicara lebih lanjut, tiba2 Cu Lui-ji menyela, "Kukira lebih baik Sacek istirahat saja dan biarkan kuceritakan kepada mereka."

"Kejadian waktu itu apakah masih kau ingat dengan baik?" tanya Hong Sam dengan menyesal.

Lui-ji menggigit bibir dan menjawab dengan sekata demi sekata, "Meski waktu itu aku masih kecil, tapi apa yang terjadi seolah2 terukir dalam-dalam hatiku. Asalkan ku pejamkan mata segera dapat kulihat setiap... setiap raut wajah itu."

Meski dia bicara dengan perlahan, tapi rasa bencinya membuat orang mengkirik, tanpa terasa Oh-lolo juga merasa seram, katanya dengan mengiring tawa, "Jika demikian, silahkan nona lekas bercerita."

Tiba2 Lui-ji melotot ke arahnya dan berkata, "Ingin kutanya padamu lebih dulu, tahukah kau siapa aku ini?"

Dengan menyengir Oh-lolo menjawab, "Di dunia ini, kecuali ibu seperti Cu-kiongcu itu, siapa lagi yang dapat melahirkan anak perempuan seperti nona Cu ini?"

Lui-ji melototinya sekejap dengan gemas, per-lahan2 ia pejamkan mata dan mulai bercerita dengan perlahan, "Waktu itu sudah jauh malam, ibu belum lagi tidur, beliau sedang menjahitkan baju baru bagiku, sepotong baju merah yang disiapkan untuk kupakai pada tahun baru. Ibu bermaksud pula menyulam seekor Kilin (binatang lambang rejeki) pada baju merah itu, beliau membisiki diriku, katanya beliau berharap lambang Kilin itu akan membawa seorang adik lelaki yang mungil bagiku."

Kenangan itu masih terasa hangat dan indah, wajah Lui-ji yang pucat itupun menampilkan cahaya yang cantik lantaran kenangan yang hangat ini.

Tersembul senyuman manis pada ujung mulut Lui-ji, lalu ia menyambung ceritanya, "Anak kecil mana yang tidak suka pada baju baru, dengan sendirinya akupun ingin cepat2 memakai baju baru. Maka meski sudah larut malam, aku masih menunggui ibu menjahit dan tidak mau tidur."

Oh-lolo ber-kedip2, katanya dengan tersenyum, "Siau-hun-kiongcu ternyata mau menjahit baju, sungguh tak pernah terbayangkan oleh siapa pun juga."

"Bukan saja menjahit, bahkan ibuku juga mencuci, menanak nasi, menyapu lantai... pendek kata segala pekerjaan rumah tangga selalu ditanganinya sendiri, masa kau tidak percaya?"

"Apa yang dikatakan nona masakah perlu kuragukan?" jawab Oh-lolo.

"Sementara itu sudah dekat tengah malam, pada umumnya penduduk di kota kecil ini suka tidur lebih dini, suasana sudah sunyi, tiada terdengar suara apapun, keadaannya serupa sekarang ini."

Angin meniup di luar jendela, suasana memang benar2 hening, entah mengapa dalam hati masing2 sama timbul rasa seram se-akan2 mendapat firasat tidak enak.

Lui-ji melanjutkan ceritanya, "Tatkala mana ibuku agaknya juga merasakan alamat tidak baik, pikiran beliau tampaknya juga sedang kacau. Saat itu beliau sedang menyulam mata Kilin, tapi telah salah sulam tiga kali. Pada saat itulah se-konyong2 terdengar suara menggelepar di luar, seekor burung malam tiba2 terbang dari atap seberang rumah."

Bicara sampai di sini, senyuman yang menghiasi wajah Lui-ji sudah lenyap, perasaan setiap orang juga ikut tegang.

"Aku terkejut," sambung Lui-ji pula, "Ku jatuhkan diri ke pangkuan ibu. Sembari menepuk punggungku dengan perlahan, mendadak ibu meraup segenggam jarum sulam terus ditaburkan ke lubang angin di ujung atap sana."

"Burung malam terbang terkejut, jelas itu tandanya ada Ya-heng-jin (orang pejalan malam)," kata Oh-lolo dengan tertawa. "Ibumu memang tidak malu sebagai seorang tokoh Kangouw kawakan dengan taburan jarum itu, mustahil kalau bocah di luar itu tidak menggeletak."

"Hm, yang di luar jendela itu tak-lain-tak-bukan ialah Oh-lolo!" jengek Lui-ji.

Oh-lolo melengak, ucapnya dengan menyengir, "O, be... begitukah?"

"Tapi begitu jarum itu ditaburkan ibuku, keadaannya seperti batu tenggelam di lautan, sedikitpun tidak menimbulkan reaksi apa2, maka tahulah ibu telah kedatangan lawan tangguh, ibu lantas memanggil bangun ay..." dia memejamkan mata dan menghela nafas panjang, lalu menyambung lagi, "Memanggil bangun Tonghong Bi-giok dan menyerahkan diriku kepadanya. Tatkala mana kulihat air muka ibu mendadak berubah pucat. Tapi Tonghong Bi-giok itu sebaliknya tampak bergirang."

Pwe-giok menghela nafas gegetun, pikirnya, "Lelaki yang tidak berbudi dan tidak setia begitu, pantas kalau Lui-ji tidak sudi mengaku ayah padanya."

Terdengar Lui-ji melanjutkan lagi ceritanya, "Dalam pada itu di luar jendela ada orang berseru dengan tertawa, "Lihay amat hujan jarum yang ditaburkan ini, cuma sayang, terhadap nenek macam diriku ini menjadi tiada gunanya hujan jarum ini…"

Karena uraian ini, tanpa terasa pandangan semua orang lantas beralih ke arah Oh-lolo.

Nenek itu terbatuk, lalu bertanya, "Waktu itu nona berumur berapa?"

"Empat tahun," jawab Lui-ji. "Masa anak umur empat dapat mengingat sejelas itu apa yang pernah diucapkan orang lain?" ucap Oh-lolo dengan tertawa.

Dengan hambar Lui-ji menjawab, "Ada sementara orang biarpun hidup sampai nenek2 tapi makin tua makin pikun. Sebaliknya ada orang yang sekalipun baru berumur empat, tapi sudah banyak yang dipahaminya, apalagi..."

Tanpa berkedip ia pandang Oh-lolo, lalu menyambung sekata demi sekata, "Bilamana ada orang telah membunuh ibumu pada waktu kau baru berumur empat, maka apapun yang dikatakannya waktu itu, tentu takkan kau lupakan selamanya biarpun cuma satu kata saja."

Mengkirik Oh-lolo oleh pandangan tajam si nona, ia tertunduk dan berkata, "Adik perempuanku itu memang keterlaluan, suka campur urusan orang lain."

Lui-ji mendengus, sambungnya pula, "Setelah mendengar ucapan tadi, segera ibuku dapat menerka siapa yang berada di luar jendela. Beliau lantas berseru, "Oh-lolo, selamanya kita tiada sengketa apa2, untuk apa kau cari diriku?..." pada waktu itulah daun jendela di sekeliling rumah lantas terbuka serentak, di dalam rumah tahu2 sudah bertambah belasan orang. Cepat sekali kedatangan orang2 itu, meski mereka melayang masuk dari luar jendela, tapi rasanya seperti arwah yang muncul dari bawah bumi."

"Kiranya mereka datang belasan orang sekaligus..." kata Oh-lolo. "Rumah kami memang tidak besar, tentu saja belasan orang itu segera memenuhi seluruh ruangan," tutur Lui-ji pula. "Ibuku lantas terkepung di tengah, jalan mundur saja sudah tertutup buntu."

"Bagaimanakah bentuk orang2 itu?" tanya Oh-lolo.

"Yang menjadi kepalanya bertubuh jangkung, berkopiah dan berbaju pertapa, tampaknya seperti orang yang beribadat dan menimbulkan rasa hormat orang..." tutur Lui-ji. "Padahal sesungguhnya dia hanya seorang Siaujin (orang kecil, rendah) yang keji."

"Orang ini tentunya Tonghong-sengcu adanya," kata Oh-lolo dengan tertawa.

"Ada seorang lagi yang bermuka penuh berewok, bertubuh tinggi besar, mukanya hitam seperti pantat kuali, senjata yang dibawanya mirip sebuah pagoda."

"Ah, kiranya Li-thian-ong juga ikut," tukas Oh-lolo.

"Ada pula seorang tua, rambutnya sudah putih seluruhnya, giginya juga sudah ompong semua, wajahnya senantiasa tersenyum seperti seorang nenek yang welas asih, padahal hatinya lebih keji dan buas daripada binatang."

Tidak perlu dijelaskan lagi semua orang tahu siapa gerangan yang dimaksudkan, tanpa terasa pandangan semua orang lantas beralih pula ke arah Oh-lolo.

"Makian yang tepat," kata Oh-lolo dengan tersenyum. "Bilamana kulihat dia, tentu juga akan ku maki dia se-kenyang2nya." "Sudah tentu ibuku terkejut melihat munculnya orang2 itu, tapi segera beliau dapat menenangkan diri dan bertanya apa maksud tujuan kedatangan mereka?"

"Ya, biarpun orang2 itu bukan orang sembarangan, tapi Cu-kiongcu tentu juga tidak takut terhadap mereka," kata Oh-lolo dengan menyengir.

"Tapi Tonghong Tay-beng itu lantas mencaci maki, katanya ibu telah memikat anaknya, banyak pula kata2 tidak baik yang diucapkannya. Meski ibu sangat marah mendengar makian orang, tapi beliau menyadari orang itu adalah ayah-mertuanya. Ibu tidak berani memperlihatkan sikap kasar, beliau mengira apa yang terjadi ini hanya salah paham belaka, maka berusaha memberi penjelasan."

"Huh, si tua Tonghong itu paling suka membela orang sendiri, mana dia mau terima keterangan ibumu," kata Oh-lolo.

"Benar juga, dia bahkan tidak memberi kesempatan bicara kepada ibuku," tutur Lui-ji. "Ibuku pikir biarkan Tonghong Be-giok saja yang bicara langsung kepada ayahnya, siapa tahu, mendadak Tonghong Bi-giok melompat ke belakang ayahnya, lalu menuding dan mendamprat ibuku, caci-makinya bahkan jauh lebih kotor daripada Tonghong Tay-beng."

"Lelaki kebanyakan memang tidak punya Liangsim (hati nurani yang baik)," kata Oh-lolo dengan menyesal.

Dalam pada itu Ciong Cing sudah mendusin, perasaannya jadi tersinggung, kembali ia menangis perlahan.

Lui-ji juga mengembeng air mata, tuturnya pula, "Sampai sekarang barulah ibuku tahu pribadi Tonghong Bi-giok ternyata begini rendah, nyata cintanya selama ini telah diserahkan kepada manusia demikian, sesaat itu mendadak ibu merasa putus asa dan lemas lunglai, iapun malas bicara lagi, ia hanya tanya apakah Tonghong Tay-beng dan Tonghong Bi-giok mau membesarkan diriku atau tidak?"

Bercerita sampai di sini air mata Lui-ji sudah mengucur deras, bahkan Gin-hoa-nio yang berhati keras itupun ikut menangis. Perasaan semua orang juga sangat sedih, satu per satu sama menunduk dan tidak bersuara.

Selang agak lama barulah Lui-ji mengusap air matanya dan melanjutkan ceritanya, "Dengan sendirinya Tonghong Bi-giok menyatakan sanggup, malahan katanya aku ini anaknya, dengan sendirinya akan dijaga se-baik2nya. Untuk terakhir kalinya ibuku memandangnya sekejap, lalu hendak membunuh diri di depannya."

Tanpa terasa semua orang sama menjerit kaget, tapi merekapun tahu ibu si nona itu takkan mati secepat itu, sebab seterusnya diketahui masih terjadi lagi macam2 urusan.

Dengan pedih Lui-ji berkata pula, "Tatkala mana usiaku masih kecil, namun samar2 sudah dapat ku terka apa yang terjadi, akupun menangis keras2, namun ibuku sudah nekat dan tidak menggubris ratapanku, segera ia angkat belati hendak membunuh diri. Pada detik terakhir itulah se-konyong2 sesosok bayangan putih melayang masuk pula dari luar, begitu cepat dan gesit gerakan orang itu, tahu2 belati di tangan ibuku sudah dirampasnya."

Semua orang sama berseru heran, "Hei, siapa lagi orang ini?" Lui-ji tidak menjawabnya, ia meneruskan ceritanya. "Waktu itu meski aku tidak paham tinggi rendahnya ilmu silat, tapi dapat juga kulihat ginkang orang itu ternyata jauh lebih tinggi daripada ibuku."

"Oo...?" Oh-lolo berseru heran, tanpa terasa ia melirik ke sana, seketika pandangan semua orang ikut beralih kepada Hong Sam sianseng, dalam hati masing2 samar2 sudah dapat menduga siapa si pendatang itu.

"Merasa niatnya dirintangi orang, ibuku menjadi gusar, sebelah tangannya lantas menghantam. Namun dengan enteng dan gesit orang itu dapat menghindarkan serangan ibu. Kukira sekarang kalian tentu tahu siapa penolong ibuku itu?"

"Ehmm," semua orang sama mengangguk.

Lui-ji memandang Hong Sam sekejap, tersembul senyuman hangat pada ujung mulutnya, lalu katanya, "Waktu itu Sacek masih seorang Kongcu yang gagah dan cakap. Hari itu dia memakai baju putih mulus seperti salju, ketika melayang tiba dari luar sungguh gayanya seperti malaikat dewata yang baru turun dari kahyangan."

Oh-lolo berdehem dua kali, katanya, "Kecakapan Hong Sam kongcu, pada masa itu pernah kudengar juga."

"Padahal Tonghong Tay-beng dan begundalnya juga terhitung tokoh Bu-lim yang top, tapi melihat gerakan Sacek yang luar biasa, ginkangnya yang tiada bandingannya, mau-tak-mau mereka sama melongo. Betapapun Tonghong Tay-beng memang lebih tabah, segera ia menegur Sacek, "Siapa kau? Apa maksud kedatanganmu ini?"

"Rupanya Tonghong Tay-beng sudah terlalu lama tinggal di lautan sana sehingga tidak kenal lagi kepada Hong-sam sianseng, hal ini dapatlah dimaklumi, tapi Li-thian-ong, adik perempuanku dan lain2 masa juga tidak dapat menduga pendatang itu ialah Hong-sam sianseng? Di kolong langit ini, kecuali Hong-sam kongcu, siapa lagi yang berusia semuda itu dan menguasai Kungfu setinggi itu?"

"Semula ibuku juga melenggong, setelah mendengar teguran Tonghong Tay-beng itu, mendadak Oh-lolo menjerit kaget dan menyebut nama Sacek. Barulah ibuku tahu telah kedatangan penolong yang dapat dipercaya, ia merasa tidak perlu kuatir lagi akan difitnah dan dikeroyok orang."

Sampai di sini Hong Sam yang berbaring itu menghela nafas panjang, katanya dengan rawan, "Siapa tahu aku... aku..."

Cepat Lui-ji mendekatinya dan berlutut, ucapnya dengan menangis, "Kejadian itu mana boleh menyalahkan Sacek? Kenapa Sacek berduka?"

Hong Sam termenung sejenak dan memejamkan matanya, katanya kemudian, "Baiklah, lan... lanjutkan ceritamu!"

Lui-ji berdiri dengan menunduk kepala, iapun memejamkan mata dan berdiam sejenak, habis itu barulah dia menyambung kisahnya, "Waktu itu Sacek lantas membongkar seluk beluk rencana busuk yang diatur Tonghong Bi-giok yang bersengkongkol dengan ayahnya itu, Sacek mendamprat Tonghong Bi-giok habis2an akan ketidak-setiaan dan ketidak berbudinya. Begundal Tonghong Tay-beng sama melengak heran dan sangsi, entah mesti percaya atau tidak terhadap keterangan Sacek itu."

"Biarpun dalam hati mereka tak percaya, di mulut mungkin merekapun tidak berani bicara," kata Pwe-giok.

"Hanya Li-thian-ong yang biasanya sombong dan suka meremehkan orang lain, meski Tonghong Tay-beng juga sudah pernah mendengar nama Sacek, tapi iapun belum kenal betapa lihaynya Sacek, kedua orang sama merasa penasaran menghadapi Sacek yang cuma sendirian itu. Diam2 kedua orang itu saling memberi tanda, serentak mereka melancarkan serangan maut terhadap Sacek."

"Kedua orang itu mungkin sudah bosan hidup," kata Oh-lolo dengan gegetun.

"Memang," kata Lui-ji. "Orang macam apakah Sacek, sudah tentu beliau sudah memperhitungkan kemungkinan tindakan mereka itu. Beliau tetap tenang2 saja, waktu itu dari jauh kulihat senjata Li-thian-ong yang berwujud pagoda baja itu sedikitnya berbobot beberapa ratus kati sedang menghantam kepala Sacek, begitu dahsyat sehingga tempat aku berdiri juga merasakan angin damparannya yang keras. Apalagi Tonghong Tay-beng ikut menyerang sekaligus, sungguh aku menjadi kaget dan kuatir, saking ketakutan aku sampai menangis."

Tanpa terasa semua orang ikut berdebar.

Tapi Lui-ji lantas menyambung, "Siapa tahu, pada saat itu juga mendadak Sacek bersiul panjang nyaring menggema angkasa, namun suaranya tidaklah menusuk telinga, sebaliknya kedengarannya sangat merdu."

"Itulah yang disebut kicauan burung Hong menggema ribuan li, menggetar sukma kabur sukar dicari!" seru Oh-lolo.

"Di tengah suara siulan nyaring itu," demikian Lui-ji melanjutkan, "entah cara bagaimana tahu2 tubuh Li-thian-ong mencelat, senjata andalannya, yaitu pagoda baja juga sudah berpindah ke tangan Sacek, dengan enteng Sacek memuntir, seketika pagoda baja itu berubah menjadi untir2."

Semua orang sama melengak, sungguh mereka tidak pernah mendengar bahwa di dunia ada Kungfu setinggi ini.

"Agaknya Tonghong Tay-beng juga terkena serangan Sacek," sambung Lui-ji pula, "dia tampak ketakutan, tapi Sacek hanya memandangnya dengan tertawa dingin, katanya, "Mengingat menantu perempuanmu, biarlah kuampuni jiwamu!" Sembari bicara Sacek terus menelikung untir2 baja tadi hingga berubah menjadi sebuah gelang, lalu dilemparkan, terdengar suara "brak" di kejauhan, sebatang pohon cukup besar seketika patah menjadi dua dan tumbang."

Bicara sampai di sini, Lui-ji menghela nafas lega, lalu katanya, "Setelah Sacek memperlihatkan kungfunya, orang2 itu tiada satupun yang berani bergerak lagi."

Semua orang ikut merasa lega juga meski diketahui ibu anak dara itu akhirnya tidak terhindar dari kematian. Dan ini pula yang membuat mereka heran, entah mengapa kemudian Siau-hun-kiongcu tewas juga dan entah sebab apa Hong-sam sianseng juga terluka.

Cuaca sudah remang2, senja sudah tiba, di atas loteng mulai suram.

Pwe-giok tidak tahan, ia membuka suara, "Apakah kejadian itu kemudian berkembang lagi lebih mengejutkan orang?"

Lui-ji menuang secangkir teh dan melayani minum Saceknya, habis itu perlahan2 barulah ia menyambung lagi, "Melihat perbawa Sacek sudah menaklukan musuh, ibu lantas mendekati Sacek dan memberi hormat serta mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Sacek tanya kepada ibuku, lantas bagaimana akan menyelesaikan urusan ini?"

"Meski Tonghong Bi-giok itu berdosa kepada ibumu, tapi kukira ibumu pasti tidak tega mencelakai dia," ujar Kwe Pian-sian dengan gegetun.

"Betul, hati perempuan biasanya memang lemah," tukas Oh-lolo.

"Tapi diantaranya ada juga yang berhati keras, bahkan tidak kepalang kerasnya dan menakutkan," sambung Kwe Pian-sian dengan tersenyum.

Seperti tidak mengikuti ucapan mereka, pandangan Lui-ji menatap keremangan senja di luar jendela dengan termangu, sejenak kemudian barulah ia menyambung ceritanya, "Karena pertanyaan Sacek tadi, ibu hanya menangis saja dan tidak bicara. Sacek bertanya pula apakah lelaki tidak setia itu perlu dibunuh saja? Namun ibu tetap tidak buka mulut, melainkan cuma menggeleng saja. Maka berkatalah Sacek, "Jika demikian, suruh dia enyah saja se-jauh2nya!..." ia menghela nafas, lalu melanjutkan, "Siapa tahu, ibu lantas menangis tergerung-gerung mendengar ucapan Sacek itu."

"Aneh juga," kata Pwe-giok, "ibumu tidak tega membunuhnya, juga tidak mau melepaskan dia, sesungguhnya apa kehendaknya?"

Dengan menunduk Lui-ji berkata, "Ibuku... dia..."

Mendadak Hong-sam sianseng menukas, "Boleh kau istirahat dulu, biarkan ku sambung ceritamu."

Lui-ji mengusap air matanya dan mengiakan dengan menunduk.

Hong Sam lantas berkata, "Waktu itu akupun heran, kalau Cu Bi tidak tega membunuhnya dan juga tidak mau melepaskan dia pergi, lalu tindakan apa yang harus kulakukan?"

Dia berhenti sejenak, setelah menghela nafas lalu sambungnya, "Pikiran wanita selamanya memang tak dapat ku raba. Selagi aku merasa bingung, tiba2 Oh-lolo itu menyeletuk, katanya dia tahu maksud Cu Bi."

"Memang hanya perempuan saja yang mengetahui isi hati sesama perempuan," kata Pwe-giok.

"Dengan sendirinya ku silahkan dia bicara," tutur Hong Sam pula. "Maka Oh-lolo lantas mendekati Cu Bi, tanyanya dengan tersenyum, "Maksud Kiongcu apakah ingin rujuk kembali dengan Tonghong-kongcu?..." Tentu saja aku menjadi gusar, kupikir sudah jelas Tonghong Bi-giok itu sedemikian rendah dan tak berbudi terhadap Cu Bi, bilamana Cu Bi tidak membunuhnya sudah tergolong untung baginya, masa sekarang Cu Bi ingin berhubungan baik pula dengan dia? Sudah tentu aku tidak percaya, maka aku lantas tanya Cu Bi, apakah memang begitu maksudnya? Sampai beberapa kali kutanya dia, namun sama sekali dia tidak mau menjawab meski dia tidak menangis lagi."

"Kalau tidak menangis dan juga tidak menjawab, hal itu berarti diam2 telah membenarkan," kata Gin-hoa-nio mendadak.

Hong Sam tersenyum pahit, ucapnya, "Sampai lama akhirnya barulah ku paham isi hatinya, memang betul begitulah kehendaknya. Kurasakan hal itu sungguh terlalu enak bagi keparat Tonghong Bi-giok itu, tapi Cu Bi sebagai orang yang paling berkepentingan sudah menghendaki begitu, terpaksa akupun tak dapat berbuat apa2."

"Di dunia ini hanya cinta kasih antara lelaki dan perempuan saja yang tak dapat dipaksakan oleh siapapun," kata Pwe-giok.

"Melihat sikapku sudah lunak dan tidak merintangi lagi, orang2 itu sama merasa lega," tutur Hong Sam pula. "Segera Tonghong Tay-beng menarik anaknya maju ke depan, ayah dan anak itu ber-sama2 meminta maaf kepada Cu Bi. Dalam keadaan demikian aku menjadi lebih2 tidak dapat bicara apa2 lagi."

"Dan bagaimana pula sikap Tonghong Bi-giok itu?" tanya Pwe-giok.

"Sudah tentu wajahnya penuh rasa menyesal," jawab Hong Sam. "Tadinya wajah Cu Bi penuh rasa gusar, tapi kemudian telah berubah cerah, sinar matanya menjadi terang pula, tampaknya awan mendung sudah buyar dan segala sesuatu akan menjadi terang. Siapa tahu tiba2 datang lagi usul Oh-lolo."

"O, usul apa?" tanya Pwe-giok.

"Katanya, meski Tonghong Bi-giok dan Cu Bi sudah suka sama suka, tapi sebelum ada ijin orang tua serta perantara comblang, betapapun ikatan mereka sebagai suami isteri belum resmi, sebab itulah sekarang juga dia ingin menjadi comblang bagi mereka agar Tonghong Bi-giok dan Cu Bi dapat terikat menjadi suami isteri di depan ayahnya, dan akupun diminta menjadi wali bagi Cu Bi."

"Ehm, bukankah itu usul yang bagus?" kata Oh-lolo.

"Hm, semula akupun merasa usulnya memang bagus," jengek Hong Sam. "Maka be-ramai2 semua orang lantas sibuk mengatur seperlunya, di atas loteng kecil inilah diadakan perjamuan untuk merayakan peresmian pengantin baru mereka."

"Perjamuan?" Pwe-giok menegas dengan terbelalak. "Tentunya tiada perjamuan yang tanpa arak!"

"Betul, perjamuan tentu harus lengkap dengan suguhan arak," kata Hong Sam.

"Jangan2 di dalam arak itulah terjadi sesuatu?" ucap Pwe-giok pula.

Hong Sam menghela nafas panjang, katanya, "Usiamu masih muda belia, tapi nyatanya pengalaman dan pengetahuanmu sudah jauh lebih luas daripada diriku pada waktu itu."

Diam2 Pwe-giok membatin, "Mungkin lantaran Cianpwe memandang dirimu tiada tandingan di kolong langit ini dan tidak menaruh perhatian terhadap orang lain, dan tentunya juga tidak menyangka ada orang berani mencelakai kau dengan cara yang licik."

"Sudah tentu pikiran ini tidak berani diutarakannya, tapi didengarnya Hong Sam telah menyambung pula, "Dalam hatimu tentu kau anggap aku terlalu tinggi hati dan mengira orang lain tidak berani berbuat apapun kepadaku, soalnya kau tidak mengetahui keadaan pada waktu itu..." ia menghela nafas panjang, lalu meneruskan, "Apabila waktu itu kaupun di sana dan melihat setiap orang sama riang gembira, tentu kaupun takkan curiga bahwa sebenarnya dirimu sedang diincar."

"Jika orang ingin mengerjai Cianpwe, mana bisa sikapnya itu diperlihatkan kepada Cianpwe?" ujar Pwe-giok tak tahan.

Air muka Hong Sam tampak guram, sampai lama ia tidak bersuara.

Sementara itu Lui-ji sudah cukup beristirahat, segera ia menyela, "Sudah tentu masih ada alasan lain. Pertama Sacek menganggap orang2 itu adalah tokoh Kangouw terkenal, tentunya tidak sampai bertindak secara keji dan rendah."

Pwe-giok tersenyum pahit, katanya, "Terkadang orang2 yang sok anggap dirinya kaum pendekar budiman itulah sering2 dapat bertindak secara kotor dan menakutkan. Sebab kalau orang2 macam begitu sampai berbuat sesuatu kebusukan, bukan saja orang lain takkan berjaga-jaga, bahkan juga takkan percaya."

Lui-ji juga terdiam sejenak, katanya kemudian, "Kedua, dengan Kungfu Sacek waktu itu, sekalipun beliau menenggak habis secawan arak beracun juga takkan menjadi soal, arak beracun itu pasti dapat didesaknya keluar. Apalagi Sacek menyaksikan sendiri arak yang disuguhkan itu dituang dari satu poci yang sama."

Kwe Pian-sian memandang Oh-lolo sekejap, lalu berkata, "Kalau racun biasa tentu tidak beralangan bagi Hong locianpwe, tapi cara penggunaan racun Oh-lolo boleh dikatakan tiada bandingannya di kolong langit ini, biarpun tenaga dalam Hong locianpwe maha tinggi, betapapun perutnya bukan terbuat dari baja."

"Baru kemudian Sacek tahu bahwa racun bukan melalui arak yang disuguhkannya itu," sambung Lui-ji pula. "Tapi racun dipoles pada cawan arak yang digunakan Sacek dan ibuku, sungguh racun yang maha lihay."

"Bila di dalam arak beracun, rasa arak tentunya akan berubah," kata Pwe-giok. "Setelah Hong-locianpwe minum cawan pertama, apakah belum dirasakan ada kelainan pada arak itu dan mengapa sampai minum lagi cawan yang kedua?"

Kwe Pian-sian tidak tahan, ia menyeletuk pula, "Seumpama Hong-locianpwe tidak dapat merasakannya, Cu-kiongcu sendiri kan juga seorang ahli racun, masa beliau juga tidak dapat merasakannya?"

"Justeru lantaran racun dipoles pada cawan arak, sedangkan araknya dingin, ketika cawan pertama dituang, serentak semua orang angkat cawan dan menghabiskannya, dengan sendirinya racun yang larut ke dalam arak waktu itu tidak banyak," demikian Lui-ji menutur dengan gegetun. "Dan kemudian...?" tanya Kwe Pian-sian.

"Kemudian racun yang larut ke dalam arak tentunya makin lama makin cepat dan banyak," tutur Lui-ji. "Tapi dalam pada itu arak yang diminum Sacek dan ibuku juga tidak sedikit lagi, daya rasa mereka lambat-laun sudah mulai tumpul... tentunya kalian maklum, saat itu hati ibuku tentunya sangat gembira. Dalam keadaan terlalu gembira, kewaspadaan seseorang biasanya tentu akan sangat berkurang."

"Sungguh hebat," ujar Kwe Pian-sian, "tampaknya waktu menaruh racun, setiap kemungkinan sudah diperhitungkan masak2 oleh Oh-lolo. Kemahiran menaruh racun orang ini sungguh sukar ditandingi siapapun juga."

Membayangkan betapa rapi cara Oh-lolo menaruh racun serta tindakannya yang keji, tanpa terasa semua orang sama mengkirik, apalagi sekarang terdapat pula seorang Oh-lolo di depan mereka, tentu saja timbul rasa was-was dan jemu mereka terhadap nenek ini.

Kebetulan Pwe-giok berdiri di sampingnya, sekarangpun ia merasa ngeri dan cepat menjauhinya. Bahkan Ciong Cing menjadi ketakutan, memandang saja tidak berani.

Lui-Ji lantas berkata, "Sekian lama mereka minum arak, mendadak ibuku menyembah beberapa kali kepada Sacek dan ber-ulang2 menyatakan terima kasihnya atas pertolongan jiwa Sacek."

Ya, akupun merasa heran dalam keadaan begitu tiba2 dia menyatakan terima kasihnya padaku," tukas Hong Sam dengan menyesal. "Tapi akupun tidak bilang apa2. Kulihat Cu Bi lantas mendekati Tonghong Bi-giok dan memegang tangannya dengan tersenyum manis, katanya, "Berkat bantuan para Cianpwe yang hadir di sini sehingga dapatlah kita menjadi suami isteri secara istimewa. Betapapun hatiku sangat berterima kasih, Dengan sendirinya Tonghong Bi-giok menyambutnya dengan tertawa dan berkata, "Ya, tentu saja akupun sangat berterima kasih."

"Dengan tertawa Cu Bi berkata pula, "Kata orang, cinta suami-isteri harus sehidup semati. Meski aku tak dapat lahir bersama kau pada hari dan saat yang sama, hendaklah kita dapat mati pada hari dan saat yang sama, apakah kau bersedia?" aku menjadi heran pada hari bahagianya mengapa tanpa sebab dia bicara tentang kematian."

"Dalam pada itu kudengar Tonghong Bi-giok telah menjawabnya dengan tertawa, "Dalam suasana bahagia begini, mengapa kau bicara hal2 yang tidak enak ini?" Cu Bi memandangnya tajam2, ucapnya dengan tersenyum, "Kuminta sukalah kau jawab bersedia atau tidak?" kulihat tertawa Tonghong Bi-giok sudah berubah menjadi menyengir, terpaksa ia mengangguk, "Sudah tentu aku bersedia…" Belum habis ucapannya, mendadak Cu Bi memuntir tangannya, krek, tulang lengan Tonghong Bi-giok telah dipuntirnya hingga patah!"

Tanpa terasa semua orang sama menjerit kaget. Maka dapatlah dibayangkan betapa terkejutnya Tonghong Tay-beng dan lain2 ketika menyaksikan apa yang terjadi waktu itu.

Dengan pedih Pwe-giok berkata, "Mungkin waktu itu Cu-kiongcu sudah merasakan dirinya telah keracunan dan tak tertolong lagi, maka lebih dulu ia menghaturkan terima kasih kepada pertolongan Hong-locianpwe, itulah penghormatan perpisahannya dengan Cianpwe."

Gin-hoa-nio menghela nafas gegetun, katanya, "Tatkala mana dia tetap tenang2 saja, kiranya dia sudah bertekad akan gugur bersama dengan lelaki tidak setia dan tak berbudi itu."

"Tapi waktu itu aku belum lagi tahu persoalannya, baru hendak kutanyai dia sebab apa dia bersikap begitu, tahu2 Tonghong Tay-beng dan begundalnya telah berteriak kaget terus menubruk ke arahnya," tutur Hong Sam. "Namun lebih dulu Cu Bi telah mencekik leher Tonghong Bi-giok sambil membentak, "Berhenti! Siapapun diantara kalian berani maju lagi setindak, segera ku cekik mampus dulu jahanam ini!" Karena itu Tonghong Tay-beng dan lain2 menjadi kuatir dan tidak berani sembarangan bertindak.

"Habis itu barulah Cu Bi berkata kepadaku dengan pedih bahwa arak telah diberi racun jahat, racun sudah merasuk tulang dan tak dapat ditolong lagi, karena itu dia hanya memohon agar aku suka menjaga Lui-ji. Diam2 akupun mengerahkan tenaga, akupun merasakan diriku juga sudah keracunan, bekerjanya racun sebenarnya sangat lambat, tapi lantaran aku mengerahkan tenaga, seketika kaki dan tanganku berubah menjadi biru hangus. Melihat keadaanku, tambah pedih Cu Bi, sebab tahulah dia bahwa racun yang berada dalam tubuhku jauh lebih hebat daripada dia dan jelas tak tertolong lagi."

Mendengar sampai di sini, hati semua orang seperti tertindih oleh batu, dadapun terasa sesak.

Lui-ji mengusap air mata, katanya dengan perlahan, "Waktu itu aku lagi duduk di suatu kursi kecil dan asyik makan bakso buatan Ibuku sendiri. Melihat kejadian itu, hampir aku keselak bakso. Pada saat itu juga kembali Sacek bersiul nyaring pula laksana kicauan burung Hong itu. Kulihat Oh-lolo menjadi pucat, berulang ia menyurut mundur sambil berteriak, "Racun itu adalah buatan Tonghong-sengcu yang diracik dengan 81 jenis daun2an, jika kau banyak bergerak, kematianmu tentu akan tambah cepat dan tak tertolong...!"

"Kenapa racun itu dikatakan buatan Tonghong Tay-beng?" tanya Pwe-giok dengan heran.

Kwe Pian-sian tersenyum, katanya, "Oh-lolo itu licik dan licin, melihat kegagahan Hong-locianpwe yang maha sakti itu, mana dia berani mengaku racun itu berasal dari dia? Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanya ingin membelokkan perhatian Hong-locianpwe agar Tonghong Tay-beng yang dilabraknya."

"Orang sekeji itu sungguh sangat menakutkan," ujar Pwe-giok.

"Tapi dia terlalu menilai rendah kekuatan Sacek," tutur Lui-ji pula "Meski waktu itu racun sudah bekerja, namun Sacek menahannya ke dalam perut dengan lweekangnya yang maha sakti, sambil bersiul nyaring Sacek terus menubruk ke arah Tonghong Tay-beng. Tapi ibuku lantas berteriak, "Bukan Tonghong Tay-beng yang membuat racun itu, tapi Oh-lolo. Lekas Hong-locianpwe membekuknya dan memaksa dia menyerahkan obat penawarnya, dengan begitu mungkin masih dapat tertolong."

"Pada saat ibu bicara itulah, tahu2 kedua tangan Tonghong Tay-beng sudah tergetar patah oleh pukulan Sacek, menyusul dadanya kena dihantam pula sehingga tumpah darah dan roboh terkapar. Melihat tokoh semacam Tonghong Tay-beng saja tidak tahan sekali pukul Sacek, keruan para begundalnya ketakutan setengah mati, segera ada di antaranya bermaksud melarikan diri. Namun sudah terlambat, Sacek sudah kadung murka, terdengarlah suara krak-krek, blak-bluk berturut2, suara tulang patah dan orang roboh, para tokoh Bu-lim kelas tinggi yang memenuhi ruangan itu tiada satupun yang hidup, darah muncrat memenuhi lantai dan dinding." Baru sekarang Pwe-giok menarik nafas lega, segera ia bertanya, "Dan bagaimana dengan Oh-lolo?"

"Hanya Oh-lolo saja yang belum mati, Sacek cuma mematahkan kedua kakinya, akhirnya memaksa dia agar menyerahkan obat penawarnya," tutur Lui-ji.

"Tapi racun itu katanya diracik dengan 81 jenis tumbuh2an, mungkin dia sendiri juga tidak mempunyai obat penawarnya. Sungguh sayang!" kata Kwe Pian-sian.

"Ya, memang betul," kata Lui-ji. "Ibu tahu keterangan Oh-lolo itu tidak dusta, maka minta dia menyebut nama ke-81 jenis tumbuh2an berbisa itu, asalkan tahu namanya tentu dapat mencari obat penawarnya dengan lengkap, sekalipun untuk itu diperlukan waktu cukup lama."

"Betul juga," ujar Kwe Pian-sian.

"Dan dibeberkan tidak olehnya?" tanya Pwe-giok.

"Rase tua itu ternyata takut mati, asalkan ada kesempatan hidup, mana dia mau menyia-nyiakannya?" kata Lui-ji. Tapi baru saja dia menguraikan dua-tiga nama jenis racun, se-konyong2 dari samping menyambar tiba secomot jarum dan bersarang di punggungnya. Terdengar Tonghong Tay-beng bergelak tertawa dan berseru, "Hong Sam, kau bunuh diriku, kaupun harus mati bersamaku. Di dunia ini tiada seorangpun yang mampu menyelamatkan kau." Rupanya lwekangnya sangat hebat, meski terkena pukulan Sacek, tapi seketika belum mati, ia kuatir Oh-lolo memberitahukan resep obat penawar maka Oh-lolo dibunuhnya lebih dahulu!"

Kisah sedih yang ber-liku2 ini akhirnya tamat juga. Namun betapa pedih hati anak dara itu setelah menceritakan kemalangan yang menimpa keluarganya tentulah dapat dibayangkan.

Entah berapa lama lagi, terdengar Oh-lolo menghela nafas panjang, gumamnya, "Ai, kiranya akulah yang salah, akulah yang salah..." ia ulangi beberapa kali ucapannya itu, tiba2 ia berbangkit dan menjura dalam2 kepada Hong-sam sianseng, ucapnya sambil menunduk menyesal, "Kiranya adik perempuanku bukan dibunuh oleh Samya, sebaliknya dia yang telah.. telah membikin susah Samya hingga begini, seumpama Samya yang membunuhnya juga aku tidak dapat bicara apa2 lagi."

Nenek ini dapat mengucapkan kata2 bijaksana begini, sungguh di luar dugaan siapapun juga.

Sikap Hong Sam tampak sangat kesal, katanya, sambil memberi tanda, "Sudahlah, orang yang pantas mati sudah mati semua, kejadian yang lampau tidak perlu diungkit lagi, kau boleh.. boleh pergi saja."

"Terima kasih Samya," kata Oh-lolo sambil melangkah ke ujung tangga. Tiba2 ia menoleh dan berkata pula, "Tonghong Tay-beng itu sok pintar, sesungguhnya iapun keliru besar."

"Oo? Keliru apa?" tanya Hong Sam.

"Dia mengira di dunia ini tiada orang yang sanggup menawarkan racun di tubuhnya Samya, nyata dia lupa bahwa masih ada seorang nenek reyot macam diriku ini," kata Oh-lolo.

"Tapi masih ada satu hal yang tidak diketahui nona," kata Oh-lolo dengan tertawa.

"Oo? Hal apa?" tanya Lui-ji.

"Racun itu sebenarnya adalah buatanku, makanya adik perempuanku tidak mempunyai obat penawarnya," tutur Oh-lolo.

Seketika Lui-ji melonjak kegirangan, teriaknya, "Betul, biarpun racun buatan adik perempuannya, dengan sendirinya iapun paham cara bagaimana menawarkannya."

Keterangan Oh-lolo ini membuat semua orang terkejut dan juga bergirang.

Saking senangnya muka Cu Lui-ji menjadi merah, serunya dengan suara parau, "Jadi pada... padamu terdapat obat penawarnya?"

Oh-lolo mengeluarkan sebuah kotak kecil, katanya, "Inilah obat penawarnya."

Kejadian ini datangnya sungguh terlalu mendadak dan terlalu beruntung, benar2 sukar untuk dipercaya. Cu Lui-ji terbelalak memandangi kotak kecil yang dipegang nenek itu, sekujur badan sampai bergemetar.

"Obat ini sebenarnya tidak ingin kuberikan," kata Oh-lolo sambil menghela nafas. "Tapi Samya benar2 seorang berbudi, bilamana orang baik semacam Samya sampai tidak tertolong, memangnya di dunia ini tidak ada keadilan lagi?"

"Tak ter... tak tersangka kau masih punya Liangsim (hati nurani yang baik)," seru Lui-ji dengan ter-putus2.

Mendadak ia rampas kotak kecil yang dipegang Oh-lolo itu dan didekap erat2 di dalam pangkuannya se-olah2 takut direbut orang lagi. Air matapun bercucuran, serunya saking kegirangan, "Sacek... O, Sacek! Akhirnya... akhirnya kita tertolong! Sudah lama kita seperti bermimpi buruk dan mimpi buruk kini sudah berakhir. Sacek, apakah engkau bergembira?"

Tampaknya Hong Sam juga sangat terangsang dan hampir tak dapat menguasai perasaannya. Setelah mengalami siksa derita sekian tahun, kini dapat terlepas dari lautan derita itu, tentu saja iapun bergirang.

Lui-ji mendekap di depan tempat tidur, saking gembira ia terus menangis ter-gerung2.

Hong Sam membelai rambutnya dengan perlahan, seperti ingin omong apa2, tapi suaranya tersendat sehingga tiada terucapkan sekatapun.

Tampaknya Oh-lolo juga sangat terharu, desisnya dengan hati lega, "Orang baik tentu mendapat ganjaran yang baik, keadilan tentu terdapat pada hati setiap orang. Ai, rasanya sekarang nenek harus pergi saja."

Tapi baru saja ia membalik tubuh, mendadak Pwe-giok menghadang di depannya dan menegur, "Apakah obat itu benar2 obat penawar?" Oh-lolo tersenyum, katanya, "Ai, anak muda, mungkin sudah terlalu banyak orang jahat yang kau temui, makanya kau tidak percaya kepada siapapun. Apakah kau lihat nenek seperti aku ini tega membikin celaka orang macam Hong-sam sianseng?"

"Memang betul sudah terlalu banyak orang jahat yang kutemui, makanya baru sekarang ku tahu biarpun orang semacam Hong-locianpwe terkadang juga bisa dicelakai orang," jawab Pwe-giok dengan perlahan.

Tiba2 Kwe Pian-sian juga menimbrung, "Apalagi, Hong-locianpwe sudah pinjam ilmu silatmu, tapi kau berbalik hendak menolongnya? Betapapun aku menjadi ikut curiga apakah di dunia ini benar2 ada orang baik hati seperti kau ini?"

Padahal sejak mula ia sudah curiga, cuma urusannya tidak menyangkut kepentingannya, maka dia diam saja. Kini Pwe-giok sudah mendahului membongkar hal itu, maka iapun membonceng biar kelihatan berjasa.

Karena ucapan mereka berdua, hati Cu Lui-ji jadi cemas lagi, perlahan ia berbangkit, katanya dengan melotot terhadap Oh-lolo, "Coba ka... katakan, obatmu ini sesungguhnya obat penawar atau bukan?"

Oh-lolo menghela nafas, jawabnya, "Kalau nona tidak percaya, boleh kau kembalikan saja obat itu kepadaku."

"Mana boleh," jawab Lui-ji dengan suara bengis. "Pendek kata jika obat ini bukan obat penawar, segera kucabut nyawamu!"

"Habis cara bagaimana barulah nona mau percaya?" tanya Oh-lolo sambil menggeleng.

"Coba kau sendiri makan dulu satu biji obat ini," kata Lui-ji.

Pwe-giok mengira sekali ini Oh-lolo pasti akan mengalami 'senjata makan nenek', tak terduga tanpa sangsi Oh-lolo terus menerima kembali kota obatnya, katanya dengan tertawa, "Jika demikian, akan ku makan satu biji obat ini."

Tiba2 Kwe Pian-sian menyeletuk lagi, "Apa bila kau sudah makan obat penawar lebih dulu, sekalipun obat ini adalah racun, tentunya tidak beralangan biarpun kau makan seluruhnya."

Oh-lolo menghela nafas, katanya, "Wah, jika begini jadinya serba salah bagiku."

Dia mengerling, tiba2 ia berkata pula dengan tertawa, "Tapi masih ada satu cara yang dapat kubuktikan isi kotak ini obat penawar atau racun."

Dengan menggreget Lui-ji berkata, "Sebaiknya kau dapat membuktikannya, kalau tidak... hmmm!"

Dilihatnya Oh-lolo mengeluarkan pula sebuah kotak kayu kecil, kotak inipun diukir dengan indah, dicat dengan warna merah darah.

"Kotak inilah berisi racun yang pernah digunakan adik perempuanku itu," kata Oh-lolo. Lalu dari dalam kotak ia mencolek setitik bubuk obat berwarna jambon terus ditelan.

Semua orang sama terkejut, tapi Oh-lolo malah tertawa, katanya, "Tampaknya mata nona bersinar aneh, kekuatan tubuhmu pasti lain daripada orang biasa. Racun yang dapat membinasakan orang lain kukira takkan beralangan apapun bagi nona." Dia tersenyum, lalu menyambung, "Entah apa yang kukatakan ini betul atau tidak?"

"Hmk!" Lui-ji hanya mendengus saja. Meski tidak bersuara, tapi di dalam hati diam2 ia mengagumi penglihatan nenek yang tajam ini.

"Tapi terdapatnya kelainan nona yang hebat ini juga bukan berasal dari pembawaan lahir, betul tidak?" tanya Oh-lolo pula.

Lui-ji tidak lantas menanggapi, tapi akhirnya ia bersuara, "Betul, hal ini disebabkan aku harus mencobai racun apakah yang diidap Sacek, maka aku bertekad akan mencicipi setiap macam racun di dunia ini, dari cara bekerjanya racun yang kucicipi ini akan kupelajari bagaimana kadar racunnya dan cara bagaimana menawarkannya."

"Betul, racun apapun juga, asalkan makannya tidak melebihi dosisnya tentu takkan membinasakan. Apalagi kalau sudah banyak memakannya, kelak akan timbul daya tolak mu terhadap racun ini." Setelah menghela nafas, lalu Oh-lolo menyambung pula, "Tapi urusan ini tampaknya sangat mudah dilakukan, padahal tidak sembarang orang mampu melaksanakannya. Sungguh aku sangat kagum terhadap tolak dan kesabaran nona."

Bilamana membayangkan seorang nona cilik seperti Cu Lui-ji setiap hari harus mencobai macam2 racun, sedikit lengah saja akibatnya adalah mati. Untuk ini semua orang merasa tidak punya keberanian seperti nona cilik ini dan mau-tak-mau mereka bertambah kagum dan hormat kepadanya.

Namun Cu Lui-ji hanya menanggapi dengan hambar, "Inipun bukan sesuatu yang luar biasa. Kau tahu, ada sementara racun bukannya pahit, sebaliknya rasanya sangat manis."

"Ya, obat yang mematikan kebanyakan rasanya manis, obat penolong jiwa rasanya malah pahit," kata Oh-lolo dengan tertawa. "Tapi menurut pendapatku, obat racun yang ditemukan nona itu pasti bukan racun yang sukar dicari. Jika racun sebangsa racun ular, kelabang, ketungging dan sebagainya, tentunya takkan berbahaya bagi nona, tapi bila racunku ini..."

Lui-ji menengadah, seperti mau omong apa2, tapi seketika tak dapat bersuara apapun, sebab tiba2 dilihatnya muka Oh-lolo yang berkeriput itu kini telah berubah menjadi ungu ke-biru2an, bahkan matanya juga bercahaya ungu, tampaknya menjadi beringas dan menakutkan.

Bukan cuma Lui-ji saja yang terkesiap, ketika semua orang ikut memandang si nenek, hati semua orangpun terperanjat.

Namun Oh-lolo berkata pula dengan tertawa, "Racun yang baru saja kumakan kini sudah mulai bekerja. Sebagai seorang ahli racun tentu nona dapat melihatnya, cara bekerja racun ini apakah serupa dengan keadaan Hong-sam sianseng waktu keracunan dahulu?"

Sampai di sini, suara nenek itu sudah mulai kaku dan hampir tidak jelas terdengar, tubuhnya juga mulai berkejang.

"Betul, memang begini keadaannya," jawab Lui-ji dengan muka pucat. Lalu Oh-lolo mengeluarkan satu biji pil dari kotak yang diterimanya kembali dari Lui-ji tadi dan diminum.

Meski semua orang berdiri cukup jauh, namun terendus juga bau amis dan busuk dari pil yang ditelan Oh-lolo itu.

Melihat sikap orang2 itu, Oh-lolo berkata dengan tertawa, "Obat yang mujarab selain pahit biasanya juga berbau busuk bukan? Tapi obat penyelamat jiwa biarpun berbau tentu juga akan diminum orang. Sebaliknya kalau racun juga berbau busuk, lalu siapa yang mau meminumnya?"

Ciong Cing yang sejak tadi berdiam diri itu kini mendadak menghela nafas dan berucap, "Ya, kata2 ini sungguh mengandung makna yang sangat dalam. Tapi di dunia ini ada berapa orang yang menyadari hal ini?"

"Eh, nona cilik, ingatlah dengan baik," kata Oh-lolo dengan tersenyum. "Terkadang mulut lelaki yang manis jauh lebih menakutkan daripada racun yang mematikan."

Ciong Cing memandang Kwe Pian-sian sekejap, lalu menunduk dan tidak bicara lagi.

Selang sejenak, air muka Oh-lolo telah berubah normal kembali. Racun yang diminumnya meski lihay, tapi obat penawarnya juga sangat mujarab. Nenek itu menghela nafas panjang2, lalu berkata dengan tertawa, "Nah, sekarang nona percaya tidak?"

Lui-ji menunduk dan berkata, "Tadi aku salah menyesali engkau, hendaklah engkau jangan marah."

"Mana bisa ku marah padamu?" ujar Oh-lolo. "Memang lebih baik kalau ber-hati2."

Sekarang Lui-ji sudah tidak sangsi sedikitpun, ia merasa malu dan juga berterima kasih, segera ia terima lagi obat penawar itu dan terus berlari ke tempat tidur Hong-sam.

Sorot mata Oh-lolo menyapu pandang sekejap ke arah Ji Pwe-giok dan Kwe Pian-sian, katanya dengan tersenyum, "Sekarang nenek boleh pergi bukan?"

Meski di dalam hati Pwe-giok masih merasakan sesuatu yang tidak beres pada urusan ini, tapi bukti terpampang di depan mata, apa yang dapat dikatakannya lagi? Terpaksa ia memberi hormat dan berkata, "Maaf jika tadi aku bersikap kasar padamu."

Oh-lolo tertawa, tiba2 ia mendekati Kwe Pian-sian.

Teringat sikapnya tadi rada kurang hormat terhadap si nenek, baru sekarang Kwe Pian-sian menyesal telah menyalahi orang semacam ini, seketika mukanya menjadi rada pucat, cepat ia berkata, "Harap Cianpwe jangan... jangan..."

"Tidak perlu kau takut," kata Oh-lolo dengan tertawa, "tiada maksudku hendak mencari perkara padamu. Meski tadi kau rada2 membikin sirik hatiku, tapi akupun tidak menyalahkan kau, malahan kurasakan kau inipun seorang berbakat, kelak jika perlu boleh coba2 kau cari diriku untuk ber-bincang2 lebih banyak."

Dia pandang Ciong Cing sekejap dengan tertawa, lalu berkata pula, "Eh, nenek ompong semacam diriku ini tentunya takkan menimbulkan rasa cemburumu bukan?"

Kwe Pian-sian melenggong hingga sekian lamanya, dilihatnya nenek itu telah melangkah ke bawah loteng, ia menggeleng kepala dengan menyengir, katanya, "Ai, nenek ini sungguh seorang yang aneh dan sukar untuk diraba..."

Akhirnya Hong-sam telah minum juga obat penawar itu. Mahluk2 berbisa yang memenuhi kolong selimutnya itu dengan sendirinya telah digiring oleh Cu Lui-ji ke dalam sebuah karung goni. Kalau racun sudah ditawarkan, untuk apa pula mahluk2 yang menjemukan itu.

Cu Lui-ji tampak berjingkrak kegirangan, seperti burung cucakrowo saja dia mengoceh tiada hentinya, bertanya ini dan itu. Maka Pwe-giok lantas menceritakan pengalamannya secara ringkas waktu ditugaskan menjadi utusan Hong-sam.

Hong-sam duduk bersila di tempat tidur, dia berkerut kening dan berkata, "Kiranya tokoh andalan mereka adalah Lo-cinjin. Konon khikang orang ini tidak lemah, bagaimana menurut pengalamanmu?"

"Ya, memang tidak bernama kosong," ujar Pwe-giok.

"Betapapun hebat Khikang nya juga tiada gunanya, sekarang racun dalam tubuh Sacek sudah dipunahkan, betapapun banyak jago mereka, datang satu sikat satu, datang dua sikat sepasang. Takut apa?!" ujar Lui-ji dengan tertawa.

Pwe-giok diam sejenak, akhirnya ia tidak tahan dan berkata, "Menurut apa yang kulihat dan kudengar sehari ini, Hong-cianpwe memang seorang berbudi luhur dan sukar dibandingi siapapun. Cuma kedatangan mereka inipun bukannya tidak beralasan."

"O, apa alasan mereka? Coba ceritakan!" kata Lui-ji dengan mendelik.

Dengan suara berat Pwe-giok berkata, "Yaitu disebabkan tindakan nona..."

Lui-ji melonjak bangun dengan gusar, teriaknya, "Mereka pasti bilang padamu bahwa banyak orang Kangouw telah hilang, semuanya telah kubunuh, begitu bukan?"

Pwe-giok menarik nafas dalam2, jawabnya, "Ya, memang begitu kata mereka."

"Tapi apa kau tahu sebab apa orang2 itu masuk ke rumah ini?" jengek Lui-ji.

"Tidak tahu," jawab Pwe-giok.

"Karena ada di antaranya ingin mengganggu diriku, ada yang ingin merampok, mereka sendiri yang bermaksud jahat, makanya kubereskan mereka, salah mereka sendiri," tutur Lui-ji. "Jika kau lihat kawanan penjahat itu, mungkin kaupun takkan mengampuni mereka."

"Meski ucapan nona juga beralasan, tapi..."

"Tapi apa?" sela Lui-ji. "Sacek menolong orang dan akibatnya keracunan, meski dengan Lwekangnya yang kuat beliau dapat menahan bekerjanya racun, tapi juga tak dapat bertahan terlalu lama, terpaksa kami harus berusaha mendesak keluar kadar racun di dalam tubuhnya. Sebab itulah Sacek memerlukan bantuan tenaga orang lain, kalau tidak, mungkin sudah lama beliau meninggal. Nah, coba katakan Sacek yang pantas mati atau keparat2 itu yang harus mampus?"

Pwe-giok termenung sejenak, ia menghela nafas panjang, katanya, "Urusan di dunia ini memang sukar ditentukan benar dan salahnya oleh orang di luar garis. Agaknya aku... akupun salah."

"Di dalam persoalan ini memang masih ada sesuatu yang agak luar biasa, yaitu meski Sacek dapat menggunakan semacam kungfu istimewa untuk menghisap tenaga dalam seseorang dan dipinjam pakai, akan tetapi tenaga pinjaman itu pun akan terbuang dengan sangat cepat, sebab itulah hanya sebentar saja beliau perlu mencari pinjaman tenaga baru orang lain lagi..."

"Kalau Hong-locianpwe dapat menggunakan tenaga dalamnya untuk mendesak keluar kadar racunnya, mengapa perlu menggunakan pula mahluk2 berbisa itu?" Kwe Pian-sian ikut bertanya.

"Soalnya setelah Sacek mendesak keluar racunnya, namun pori2 kulitnya akan menghisap kembali hawa berbisa yang didesak keluar itu," tutur Lui-ji. "Semula Sacek tidak paham kejadian ini sehingga beliau membuang tenaga percuma selama beberapa bulan, akhirnya barulah disadari apa yang terjadi, maka selanjutnya mahluk2 berbisa itu lantas di kerudung di dalam selimut untuk menghisap hawa berbisa yang keluar dari tubuh Sacek... sekarang tentunya kalian paham duduknya perkara?"

Pwe-giok lantas berkata, "Setelah keracunan, Hong locianpwe telah dibuat marah lagi sehingga tenaga murninya buyar, dengan sendirinya beliau tak dapat pergi ke tempat lain dan terpaksa merawat dirinya di loteng kecil ini, begitu bukan?"

"Ya, sesudah Sacek membunuh kawanan penjahat itu, beliau sendiripun ambruk," tutur Lui-ji. "Kalau saja Sacek tidak membawa Hoa-kut-tan sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus membereskan mayat sebanyak itu."

"O, jadi orang2 yang lenyap setelah masuk kemari, dengan sendirinya juga berkat Hoa-kut-tan?" tanya Kwe Pian-sian.

Lui-ji mendengus, katanya, "Hoa-kut-tan ini adalah obat mustajab yang sukar diperoleh, sesungguhnya terlalu boros kugunakan obat berharga itu bagi orang2 yang lebih rendah daripada binatang itu."

Pwe-giok menghela nafas panjang, katanya, "Sebelumnya kurasakan berbagai urusan ini sangat tidak masuk di akal dan sukar dipecahkan, baru sekarang macam2 tanda tanya dalam benakku dapat terjawab dan tersapu bersih."

Dalam pada itu, se-konyong2 Ciong Cing menjerit kaget, "Hei, li... lihatlah, mengapa... mengapa Hong-locianpwe berubah menjadi begini?"

Waktu semua orang berpaling, tertampaklah nafas Hong-sam megap2 dengan tubuh bergemetaran. Sudah jelas yang diminumnya tadi adalah obat penawar, tapi sekarang dia seperti terserang racun jahat lagi.

Keruan semua orang melongo kaget. Saking cemasnya hampir saja Cu Lui-ji menangis, dirangkulnya Hong-sam sambil berseru dengan suara ter-putus2, "Sacek, ken... kenapa kau?"

Namun mata Hong-sam terpejam rapat, bahkan tampak menggertak gigi hingga bunyi gemertak dan tak sanggup bicara.

Tidak kepalang kuatir Lui-ji, serunya, "Kalianpun melihat obat tadi jelas2 obat penawar, mengapa bisa... bisa jadi begini? Sebab... sebab apakah menjadi begini?"

Mendadak Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Ku tahu apa sebabnya."

Lui-ji melompat ke depan Gin-hoa-nio dan bertanya dengan suara parau, "Benar kau tahu?"

"Ehmm," Gin-hoa-nio mengangguk.

"Masa isi kotak Oh-lolo ini bukan obat penawar?" tanya Lui-ji. "Memangnya telah dicampurnya dengan racun? Atau waktu menyerahkannya kepadaku dia telah main gila dengan menukar obat penawar dengan racun?"

"Isi kotak ini memang benar2 obat penawar," jawab Gin-hoa-nio. "Di depan kalian iapun tidak berani main gila. Umpama dia berani main2, masakah mata orang sekian banyak dapat dikelabui semua?"

"Habis kenapa jadi begini?" seru Lui-ji dengan membanting kaki.

Gin-hoa-nio menghela nafas perlahan, katanya kemudian, "Untuk membuat semacam racun dari kombinasi sekian puluh jenis bahan racun, kukira tidaklah sederhana sebagaimana bila kita membuat gado2 atau Cap-jai."

"Ya, betul juga," Kwe Pian-sian meng-angguk2.

"Sebab kadar racun setiap jenis racun kan berbeda-beda," tutur Gin-hoa-nio lebih lanjut. "Bahkan ada di antara racun itu satu sama lain saling bertentangan. Apabila kau mencampurkan beberapa jenis menjadi satu, terkadang kadar racunnya malah akan lenyap sama sekali. Teori ini serupa kalau kita mencampurkan beberapa macam warna menjadi satu, kadang2 malah akan berubah menjadi warna putih."

"Betul," kata Kwe Pian-sian, "jika cara mencampur racun itu pekerjaan yang gampang, tidak nanti Oh-lolo mendapat nama besar di dunia persilatan."

"Dan bila kau campur ber-puluh2 jenis bahan racun menjadi satu, maka dosis dari tiap2 jenis racun itu harus sudah ditakar dengan tepat, sedikitpun tidak boleh lebih banyak atau berkurang, perbandingan dosis inilah rahasia yang paling besar dan penting dalam hal membuat racun. Dan obat penawarnya, dengan sendirinya juga harus dibuat dengan cara perbandingan dosis yang sama pula, tidak boleh selisih sedikitpun, kalau sebaliknya, maka tidak menimbulkan khasiat apapun."

"Ya, memang begitu," tukas Kwe Pian-sian.

"Dan setelah lewat sekian tahun," sambung Gin-hoa-nio lagi, "racun yang mengeram di dalam tubuh Hong-sam sianseng tentu kadarnya sudah kacau balau, sebab kadar racun ada yang berat dan ada yang ringan, ada yang sudah didesak keluar oleh tenaga dalamnya. Sebab itulah obat penawar pemberian Oh-lolo ini sama sekali tidak mempunyai khasiat menawarkan racun yang mengeram di tubuh Hong-sam sianseng, sebaliknya malah mengganggu racun yang sudah ditahan secara susah payah itu dan akhirnya racun itu buyar dan bekerja lagi."

Dia menghela nafas, lalu menyambung pula, "Dan di sinilah letak kelihaian cara Oh-lolo menggunakan racunnya."

Mendadak Cu Lui-ji menjambret baju Gin-hoa-nio dan membentak dengan suara parau, "Jika kau tahu sejelas ini, mengapa tak kau katakan sejak tadi?"

Gin-hoa-nio tersenyum hambar, jawabnya, "Jika kau jadi diriku, apakah akan kau katakan?"

Lui-ji jadi melengak dan tak bisa bicara. Maka Gin-hoa-nio menyambung lagi, "Mungkin juga baru saja dapat kuketahui teori yang kukatakan ini."

Sekarang semua orangpun dapat memahami uraian Gin-hoa-nio itu, teringat bahwa dengan obat penawarnya saja Oh-lolo juga bisa bikin celaka orang, betapa keji dan betapa jauh tipu muslihatnya itu sungguh membuat orang bergidik.

Keringat tampak bercucuran dari kepala Hong-sam, jelas dia sedang mengerahkan tenaga dalam untuk menghimpun kembali kadar racun yang sudah buyar itu. Melihat air mukanya yang penuh derita itu, dapatlah dibayangkan betapa gawatnya urusan ini.

Lui-ji menunduk perlahan, air matanya kembali berderai.

"Nona tidak perlu cemas," Ciong Cing berusaha menghibur, "kalau sebelum ini Hong-sam sianseng dapat menahan bekerjanya racun, tentu akan lebih mudah baginya untuk berbuat sesuatu."

"Mestinya betul ucapanmu, tapi... tapi tenaga Sacek sekarang sudah jauh daripada sebelum ini," kata Lui-ji sambil menangis.

"Apalagi," tukas Gin-hoa-nio, "Dalam keadaan gawat begini dia tidak dapat sembarangan menggerakkan tenaga murninya, sedangkan musuh akan datang dua-tiga jam lagi, lalu bagaimana baiknya?"

Dia berucap se-akan2 ikut gelisah bagi keadaan Hong-sam sianseng, padahal siapapun dapat mendengar nadanya itu mengandung rasa syukur dan senang karena orang lain mendapat celaka.

Dengan gemas Cu Lui-ji lantas mendamprat, "Memangnya kau senang ya? Hm, kalau kami mati, kaupun jangan harap akan hidup!"

Namun dengan dingin Gin-hoa-nio menjawab, "Betapapun aku sudah cacat begini, mati atau hidup bagiku tidak menjadi soal lagi."

* * *

Sang waktu terus berlalu, perasaan semua orang juga semakin tertekan.

Meski Kwe Pian-sian tidak perlu ikut berkuatir bagi mati atau hidupnya Hong-sam sianseng, tapi bila teringat dirinya masih harus bersandar padanya untuk menghadapi kedatangan Ang-lian-hoa dan lain2, bila Hong-sam mati, semua orang yang berada di atas loteng inipun jangan harap akan hidup.

Sekarang waktunya tinggal dua jam lagi.

Mendadak Pwe-giok berbangkit dan berseru, "Nona Cu, silahkan kau bawa Hong-sam sianseng dan cepat pergi saja... yang lain2 juga silahkan pergi semua!"

"Dan.. dan kau?" tanya Lui-ji.

"Saat ini di-mana2 tentu sudah dijaga oleh mereka, tapi dengan kekuatan nona dan Kwe-heng kukira tidak sulit untuk menerjang pergi," kata Pwe-giok. "Yang kukuatirkan hanya kalau Lo-cinjin dan rombongannya keburu menyusul kemari, maka aku..."

"Kau sengaja tinggal di sini untuk menghadangnya?" sela Lui-ji.

"Biarpun kepandaianku kurang tinggi, tapi untuk merintangi mereka sementara waktu kukira masih sanggup, dengan demikian nona dan rombongan mungkin sempat pergi agak jauh," setelah berhenti sejenak lalu Pwe-giok menyambung pula, "sebab daripada kita menanti kematian di sini, akan lebih baik aku sendiri saja yang mengadu jiwa dengan mereka. Apalagi, orang yang hendak mereka cari bukanlah diriku, akupun belum pasti akan mati di tangan mereka."

"Jika yang dicari mereka bukan dirimu, untuk apa kau mengadu jiwa?" tanya Lui-ji.

"Kukira setiap orang pada suatu waktu tentu rela akan mengadu jiwa, bukan?" jawab Pwe-giok.

Tiba2 Gin-hoa-nio menjengek, "Hm, tadinya kukira kau ini seorang yang sangat teliti dan hati2, dapat menghargai jiwanya sendiri, tak tersangka sekarang kaupun dapat berbuat hal2 bodoh dan emosi begini."

"Seorang kalau tidak punya emosi, apakah dia terhitung manusia?' jawab Pwe-giok.

Kwe Pian-sian berdiri dan siap untuk pergi, katanya dengan tertawa, "Seorang lelaki sejati harus tahu apa yang harus dilakukannya dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Ji-heng memang tidak malu sebagai seorang pendekar sejati, maka kamipun tidak enak untuk membantah kehendakmu."

"Betul, tekadku sudah bulat, silahkan kalian lekas pergi saja," kata Pwe-giok.

Tak terduga mendadak Hong-sam membuka mata dan menatap Pwe-giok tajam2, ucapnya dengan kereng, "Caramu bertindak ini, apakah kau kira orang she Hong ini manusia yang tamak hidup dan takut mati?"

"Sama sekali Cayhe tidak bermaksud demikian," jawab Pwe-giok dengan menghela nafas. "Cuma..."

"Soal mati atau hidup memang sulit diramalkan, tapi bilamana menghadapi pilihan, seorang lelaki sejati kenapa mesti gentar mati?" kata Hong-sam pula dengan tegas.

"Ya, Tecu tahu," jawab Pwe-giok.

"Jika kau tidak tahu tentu kau takkan tinggal di sini, betul tidak?"

Pwe-giok mengiakan pula.

"Jika demikian, kenapa kau suruh aku lari?" seru Hong-sam dengan gusar. "Memangnya agar aku dapat menyempurnakan keluhuran budimu sebagai seorang pendekar sejati?"

"Ah, Tecu tidak berani," jawab Pwe-giok dengan menunduk dan kikuk.

Dengan lemas Kwe Pian-sian berduduk kembali, ucapnya dengan menyengir, "Kalau begitu, biarlah kita semua tinggal saja di sini dan bertempur mati2an menghadapi mereka. Cuma, kalau kita dapat bertahan satu jam saja sudah untung."

Sorot mata Hong-sam tampak gemerdep, katanya pula sambil menatap Pwe-giok, "Menurut pendapatmu, apakah kita pasti akan kalah?"

Membayangkan betapa hebat kekuatan lawan, Pwe-giok menjadi ragu2 untuk menjawab, katanya dengan tergagap, "Cianpwe sendiri tidak dapat turun tangan, kemenangan pihak kita memang sukar diramalkan."

Hong-sam menepuk tempat tidurnya keras2, ucapnya dengan bengis, "Kematianku tidak perlu disayangkan, tapi matipun aku pantang dihina orang."

"Apapun juga Sacek tidak boleh turun tangan," seru Lui-ji dengan kuatir.

Hong-sam memandang sekejap pula kepada Pwe-giok, lalu berkata dengan perlahan. "Jika aku dapat meminjam pakai tenaga dalam orang lain, masakah aku tidak dapat meminjamkan tenagaku kepada orang lain?"

"Jika Sacek meminjamkan tenagamu kepada orang lain, lalu cara bagaimana akan sanggup menahan serangan racun dalam tubuhmu?" kata Lui-ji dengan suara gemetar.

"Akan lebih baik aku mati keracunan daripada mati terhina," seru Hong-sam dengan gusar. "Hanya tidak tahu adakah orang yang sudi bertempur mati2an bagiku?"

Terbeliak mata Kwe Pian-sian dan Gin-hoa-nio, kalau dapat memindahkan segenap tenaga dalam Hong-sam ke dalam tubuhnya sendiri, hal ini sungguh sangat menarik. Tapi segera terpikir pula kekuatan Hong-sam sekarang tersisa tidak banyak, andaikan sisa tenaga itu dapat dipinjamkan seluruhnya kepadanya mungkin juga sukar melawan Lo-cinjin yang maha sakti itu. Teringat demikian, hasrat mereka jadi dingin lagi.

Tiba2 Ciong Cing berkata, "Kalau Cianpwe dapat meminjamkan tenagamu kepada orang lain, mengapa tidak kau gunakan tenagamu itu untuk menghadapi musuh?"

"Tenagaku yang kusalurkan ke tubuh orang lain akan berjalan perlahan seperti air di sungai, aku sendiri mungkin dapat menyimpan sedikit sisa tenaga untuk menahan serangan racun," tutur Hong-sam. "Sedangkan bila aku harus bergebrak dengan musuh, tenagaku akan meledak seperti air bah yang sukar ditahan. Dalam keadaan payah seperti diriku sekarang, tidak sampai tiga kali gebrak saja pasti racun akan bekerja dengan hebat dan membinasakan diriku. Apalagi pihak lawan sangat banyak dan rata2 sangat lihay, betapapun tidak mungkin dalam tiga kali gebrak kubinasakan mereka satu per satu."

"Jika... jika demikian, entah bolehkah Tecu membantu Cianpwe?" tanya Ciong Cing dengan tergagap.

"Kau tidak dendam padaku dan bersedia membantuku, kebaikan dan keberanianmu ini sungguh harus dipuji," jawab Hong-sam. "Cuma sayang badanmu lemah, bakatmu juga kurang, bilamana kusalurkan tenagaku, mungkin malah akan membikin celaka padamu."

Pada waktu bicara, seperti tidak sengaja sorot matanya mengerling sekejap pula ke arah Pwe-giok.

Maka Ciong Cing lantas berkata, "Ji-kongcu, apakah... apakah engkau tak dapat..."

"Sudah tentu akupun sangat ingin membantu Hong locianpwe," kata Pwe-giok dengan gegetun, "Tapi aku kan tidak dapat menggunakan kesempatan pada waktu orang kesempitan..."

Ciong Cing berteriak, "Ini kan keinginan Hong-locianpwe sendiri, dia yang meminjamkan tenaganya padamu, mana bisa dikatakan menggunakan kesempatan pada waktu orang kesempitan."

Pwe-giok termenung sejenak, tiba2 ia memberi hormat dan berkata kepada Hong-sam, "Entah Hong-locianpwe sudikah menerima Tecu sebagai murid?"

Nyata, watak Pwe-giok memang jujur dan tulus, bahkan juga pintar dan cerdik. Dengan tindakannya ini, bila murid meminjam kungfu sang guru, maka soalnya jadi adil dan cukup berdasar, murid mewakilkan guru bertempur, orang lainpun tak dapat bilang apa2 lagi.

Tak terduga Hong-sam lantas menjawab, "Kau tidak mau menggunakan kesempatan pada kesempitan ku, mana aku dapat pula memperalat keluhuran budimu dan menyuruh kau mengangkat guru padaku?... Sebabnya kau mengangkat guru padaku tentunya bukan demi kepentinganmu, melainkan karena ingin membela diriku, begitu bukan?"

Pwe-giok melengak, jawabnya, "Tapi ini..."

Hong-sam tertawa dan menyela, "Jika kau sudi memanggil Hengtiang (kakak) padaku, maka puas dan senang lah aku. Hubungan antara kakak dan adik kan jauh lebih akrab daripada antara guru dan murid? Dan kalau ada saudara seperti dirimu ini menghadapi musuh bagiku, matipun aku tidak menyesal lagi."

Belum habis ucapan Hong-sam, tanpa disuruh segera Cu Lui-ji berlutut dan menyembah kepada Pwe-giok dan memanggil paman.

Panggilan paman ini membuat Pwe-giok terkesiap dan juga bergirang. Kalau dirinya dapat mengikat saudara dengan tokoh Bu-lim yang hebat ini, tentu saja suatu kehormatan besar baginya. Tapi bila teringat betapa berat tugasnya pada pertarungannya nanti, hanya boleh menang dan tidak boleh kalah, maka perasaannya lantas mirip cuaca di luar, terasa kelam dan tertekan.

* * *

Mendadak angin meniup keras, malam semakin larut. Deru angin se-akan2 hendak merobek sukma.

Di atas loteng kecil itu tetap tiada penerangan, gelap dan hening seperti kamar mayat. Hong-sam sianseng duduk bersila di tempat tidurnya tanpa bergerak sedikitpun seperti orang mati.

Padahal setiap orang yang berada di atas loteng itu memang sudah tidak banyak bedanya daripada orang mati. Kecuali suara bernapas yang semakin berat, selebihnya tiada terdengar apa2 dan juga tiada terlihat apa2.

Lui-ji bersandar di samping Hong-sam sianseng, tidak meninggalkannya barang sedetikpun. Ia se-akan2 merasakan semacam firasat tidak baik, merasa waktunya bersandar di tubuh sang Sacek ini sudah tidak banyak lagi.

Pwe-giok juga duduk diam saja di tempatnya, dengan tekun dia bermaksud mencairkan tenaga dalam yang diperolehnya tadi agar dapat digerakkan dengan sesukanya, akan tetapi perasaannya tetap sukar untuk ditenangkan.

Hanya setengah hari yang lalu, mimpipun dia tidak pernah membayangkan akan dapat bertempur melawan seorang tokoh besar semacam Lo-cinjin. Walaupun pertempuran itu tidak dapat dikatakan dimenangkan olehnya, tapi kejadian itu cukup membuatnya bergembira.

Maklumlah, di seluruh kolong langit ini ada berapa gelintir manusia yang pernah bertempur melawan Lo-cinjin?

Sejak tadi Kwe Pian-sian terus berdiri di depan jendela, memandang jauh keluar sana, ke tengah kota yang mati seperti kuburan itu.

Entah daun jendela rumah siapa yang tidak tertutup rapat, karena tertiup angin sehingga menerbitkan serentetan suara 'blang-blung' yang keras. Anjing geladak yang meringkuk di pojok jalan sana terkadang mengeluarkan suara gonggongan yang menyeramkan. Panji reklame hotel Li-keh-can juga masih berkibar dihembus angin, beberapa genteng jatuh hancur tertiup angin dan menjangkitkan suara gemertak.

Malam yang dingin dan seram dengan angin puyuh sekeras ini dan suasana setegang ini, setiap suaranya cukup membuat orang merinding. Tapi kalau keadaan menjadi senyap tanpa suara, rasanya menjadi semakin menegangkan sehingga membuat dada setiap orang merasa sesak nafas.

Se-konyong2 di ujung jalan yang jauh sana muncul sebuah lentera, cahaya lentera yang guram itu tampak ber-goyang2 di bawah hembusan angin yang kencang. Tampaknya seperti api setan (cahaya phosphor) yang berkelip di kejauhan.

Kwe Pian-sian mengembus nafas panjang2, katanya, "Itulah dia... akhirnya datang juga dia!"

* * *

Datangnya kelip lentera itu sangat lambat, tapi akhirnya sampai juga di depan rumah berloteng kecil itu.

Di bawah cahaya lampu yang ber-kelip2 guram itu, kelihatan bayangan orang yang tidak sedikit dengan sorot mata yang gemerdep, setiap bayangan orang itu melangkah dengan perlahan, berat dan mantap, setiap pasang mata sama bersinar tajam penuh semangat.

Menyusul suara seorang yang lantang dan halus berucap perlahan, "Murid Thian-biau-koan dari Jingsia, Sip-hun, khusus datang kemari untuk menyampaikan surat, maka mohon bertemu."

"Orang macam apakah Sip-hun ini?" tanya Lui-ji dengan suara bisik2.

"Murid Lo-cinjin," jawab Pwe-giok.

Lui-ji lantas menjengek, "Hm, masuklah, pintu kan tidak terpalang!"

Selang sejenak, terdengarlah suara tangga berbunyi, seorang naik ke atas dengan perlahan. Bunyi tangga sangat perlahan dan teratur, suatu tanda orang yang datang ini sangat sabar, bahkan kungfu bagian kakinya sangat mantap.

Maka terlihatlah Tosu muda dengan wajah yang cakap dan tersenyum simpul, meski masih muda, namun sikapnya tampak alim seperti pertapa tua, siapapun yang melihatnya pasti akan merasa suka padanya.

Seperti juga waktu pertama kalinya Pwe-giok bertemu dengan dia, semua orang pun heran mengapa seorang Lo-cinjin yang terkenal berangasan dan pemberang itu bisa mempunyai seorang murid sehalus ini. Keruan Cu Lui-ji sampai melotot heran.

Di dalam loteng kecil itu benar2 terlalu gelap, Sip-hun baru saja naik ke situ, ia seperti tidak dapat melihat apa2, namun sedikitpun dia tidak gugup, dia cuma berdiri tenang saja di tempatnya.

Lui-ji lantas mendengus, "Kami berada di sini semuanya, kenapa kau berdiri kesima di situ?"

Sip-hun tidak menjadi marah, juga tidak balas ber-olok2, ia hanya memandang si nona sekejap, lalu menunduk dan melangkah maju, katanya sambil memberi hormat, "Sip-hun menyampaikan salam hormat kepada Locianpwe!"

"Tidak perlu banyak adat," jawab Hong-sam.

Dengan hormat Sip-hun menyodorkan sebuah kartu dengan kedua tangannya, katanya, "Bu-lim-bengcu Ji-locianpwe dan guruku sama menunggu di luar pintu, entah Hong-locianpwe sudi bertemu atau tidak?"

"Kalau Sacek bilang tidak, memangnya mereka takkan naik kemari?" jengek Lui-ji.

Sip-hun menjawab dengan tetap menunduk, "Tecu hanya melaksanakan tugas belaka, urusan lain tidak tahu menahu."

"Habis apa yang kau tahu?" tanya Lui-ji.

"Apapun tidak tahu," jawab Sip-hun.

"Hm, murid Lo-cinjin kenapa tidak becus begini?" ejek Lui-ji.

"Guru pandai tidak mempunyai murid baik, memang inilah yang selalu disesalkan oleh guruku," kata Sip-hun dengan tersenyum.

Nyata bukan saja dalam hal bertanya-jawab Tosu muda ini selalu sopan santun, bahkan apapun orang mencemoohkan dia, semuanya dia terima tanpa membantah, sedikitpun tidak marah. Sungguh aneh.

Selama hidup Cu Lui-ji belum pernah melihat orang muda yang berwatak seramah dan sesabar ini, keruan ia menjadi melenggong sendiri.

Dalam pada itu berkatalah Hong-sam sianseng, "Lo-cinjin mempunyai murid seperti kau ini, beliau boleh dikatakan sangat bahagia dan tiada penyesalan sedikitpun."

"Ah, Cianpwe terlalu memuji, Tecu menjadi malu diri," jawab Sip-hun cepat sambil memberi hormat.

"Jika demikian, bolehlah kau sampaikan kepada gurumu, katakan orang she Hong menantikan kedatangannya di sini," kata Hong-sam kemudian.

Kembali Sip-hun memberi hormat sambil mengiakan.

Perlahan ia lantas membalik tubuh dan melangkah turun, tetap ramah dan sabar, sedikitpun tidak gugup dan ter-buru2.

Lui-ji menjengek pula, "Hm, sudah jelas datang hendak membunuh orang, tapi justeru berlagak ramah segala, sungguh memuakkan!"

Suaranya cukup keras dan sengaja diperdengarkan kepada Sip-hun, akan tetapi Sip-hun tidak memberi reaksi apa2, seperti tidak mendengar saja.

Dengan suara tertahan Hong-sam sianseng berkata, "Orang2 ini sama2 berkedudukan sebagai seorang guru besar suatu aliran tersendiri, dengan sendirinya tindak tanduk mereka menjaga gengsi agar tidak menurunkan derajat mereka. Hendaklah diketahui, menghormati orang lain adalah sama dengan menghormati dirinya sendiri."

Meski di mulut Lui-ji tidak berani bicara apa2 lagi, namun di dalam hati dia tetap penasaran dan tidak bisa menerima sikap kawanan pendatang itu.

Yang diminta naik ke atas loteng akhirnya datang juga. Mereka tetap tidak mau kehilangan sopan santun, lentera yang mereka bawa digantungkan pada tangga loteng dan tidak dibawa serta ke atas, di tengah remang2 cahaya lentera itu, seorang telah mendahului naik ke atas loteng.

Tertampak orang itu berwajah putih bersih, sikapnya tenang dan sopan. Dia inilah Ji Hong-ho.

Hendaklah diketahui, meski ilmu silat dan nama Lo-cinjin lebih tinggi setingkat daripada Ji Hong-ho, tapi jelek2 Ji Hong-ho bergelar Bu-lim-bengcu atau ketua perserikatan dunia persilatan, siapapun tidak boleh berjalan di depannya.

Diam2 Lui-ji membatin, "Hm, jelas2 mereka tahu kami takkan pergi, makanya mereka sengaja berlagak tertib dan sopan begini untuk naik ke sini, kalau tidak, mustahil kalau mereka tidak menerjang kemari seperti kawanan anjing gila."

Begitu melihat Ji Hong-ho, seketika darah panas bergolak dalam dada Ji Pwe-giok, hampir saja ia tidak dapat menahan emosinya, syukur dia masih dapat menahan diri.

Dilihatnya Ji Hong-ho sedang memberi hormat dan berkata, "Wanpwe Ji Hong-ho dari Kanglam, sudah lama mengagumi nama kebesaran dan keluhuran budi Hong-locianpwe, hari ini Cianpwe sudah menerima kunjunganku, sungguh sangat beruntung dan berterima kasih."

"Jadi Anda inilah Bu-lim-bengcu seluruh dunia sekarang ini?" tanya Hong-sam sianseng dengan hambar...

"Ah, tidak berani," jawab Ji Hong-ho dengan rendah hati.

Hong-sam sianseng lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia seperti tidak sudi memandangnya lagi, se-olah2 memandang hina terhadap Bu-lim-bengcu ini dan juga rada kecewa. Dengan dingin ia hanya berkata, "Baik sekali, silahkan duduk."

Dalam pada itu tiba2 terendus bau harum semerbak menusuk hidung, seketika air muka Kwe Pian-sian berubah, memangnya dia berduduk jauh di pojokan sana, sekarang dia malah terus melengos dan meringkuk di belakang Ciong Cing dengan sembunyi2.

Segera Ji Pwe-giok tahu Hay-hong Hujin yang telah datang. Hatinya juga mulai berdetak, ia tidak tahu apakah Lim Tay-ih ikut datang atau tidak?

Di bawah remang cahaya lentera, Hay-hong Hujin kelihatan anggun, cantik tiada bandingannya.

Iapun melihat Pwe-giok berada di situ, dia seperti tersenyum, lalu dia memberi hormat kepada Hong-sam dan berkata, "Kun Hay-hong dari Kohsoh menyampaikan salam hormat kepada Hong-kongcu, baik2kah Kongcu?"

Perempuan sejelita ini, sekalipun sama2 perempuan juga ingin memandangnya beberapa kejap lebih banyak. Siapa tahu Hong-sam sianseng tetap bersikap tawar saja, jawabnya tak acuh, "Baik, silahkan duduk."

Menyusul muncul lagi seorang dengan baju compang-camping, gagah dan angkuh tanpa memberi hormat.

Tapi sinar mata Hong-sam lantas gemerdep, tegurnya, "Apakah ini Pangcu dari Kaypang?"

"Ya, Ang-lian-hoa," jawab orang itu.

Tanpa menunggu dipersilahkan duduk, segera ia berduduk di ambang jendela.

Ji Hong-ho dan Kun Hay-hong masih tetap berdiri, sebab di atas loteng kecil ini hakekatnya tidak ada tempat duduk lain.

Se-konyong2 terdengar suara 'dung' satu kali, seorang Tojin pendek kecil melangkah ke atas loteng. Begitu mendadak dan cepat, tahu2 dia sudah muncul di ujung tangga loteng, se-olah2 cara naiknya hanya satu kali langkah saja lantas sampai di atas.

Dengan sorot mata yang tajam Tojin ini menatap Hong-sam sianseng dan menegur, "Kau inikah Hong-sam?!"

"Dan kau inikah Lo-cinjin?" mendadak Lui-ji mendahului menjawab.

Lo-cinjin menjadi gusar, "Kurang ajar! Masa namaku boleh sembarangan dipanggil oleh budak ingusan seperti kau ini?"

Tidak kurang ketusnya, Lui-ji balas menjengek, "Hm, memangnya nama Sacek juga boleh sembarangan di-sebut2 oleh orang kerdil semacam kau?"

Saking gusarnya Lo-cinjin sampai melotot, matanya se-akan2 menyemburkan api, mendadak ia berteriak, "Sip-hun, naik ke sini!"

Baru lenyap suaranya, dengan sangat hormat tahu2 Sip-hun sudah berdiri di sampingnya, katanya dengan perlahan, "Adakah suhu memberi sesuatu pesan?"

"Cara bicara budak cilik ini tidak bersih, coba kau sikat mulutnya," bentak Lo-cinjin.

Sip-hun mengiakan.

Meski cukup cepat mulutnya mengiakan, tapi kaki tetap tidak bergerak, tetap berdiri di tempatnya.

Lo-cinjin menjadi gusar, bentaknya pula, "Ayo, kenapa tidak lekas kau hajar dia?"

Tapi Sip-hun lantas menunduk dan tetap tidak bergeser selangkahpun.

"He, apakah kau tuli?" teriak Lo-cinjin dengan murka.

"Tecu tidak tuli," jawab Sip-hun, tetap perlahan dan halus.

"Kalau tidak tuli, kenapa tidak lekas kau hajar dia?" omel Lo-cinjin lagi.

"Tecu tidak berani," kata Sip-hun dengan menunduk.

"Kurang ajar! Memangnya apa yang kau takuti?" damprat Lo-cinjin sambil mencak2. "Sekalipun Hong-sam akan merintangi kau, tentu aku yang akan menghadapi dia. Biarkan murid lawan murid dan guru melawan guru, kenapa kau takut, kenapa kau tidak berani?"

"Memang Tecu tidak ... tidak berani," jawab Sip-hun.

Mendadak sebelah tangan Lo-cinjin terus menampar, 'plok', kontan muka Sip-hun merah bengap.

"Kau mau maju ke sana tidak?" bentak Lo-cinjin dengan murka.

Meski muka Sip-hun seketika tembem seperti kue apem karena gamparan sang guru, tapi dia tetap tenang dan sabar, sedikitpun tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, jawabnya dengan suara halus, "Selamanya Tecu tidak berani bergebrak dengan kaum wanita."

Kontan Lo-cinjin berjingkrak dan menampar pula sambil membentak, "Bila perempuan itu akan membunuh dirimu, apakah akan kau julurkan kepalamu untuk dipenggal sesukanya?"

Sembari berjingkrak, sekaligus ia telah menggampar beberapa kali.

Sip-hun tetap berdiri diam saja, semua gamparan sang guru itu diterima tanpa menghindar dan tidak mengelak, malahan dengan tersenyum ia menjawab, "Nona cilik ini kan tidak bermaksud membunuh diriku."

Semua orang sama melongo heran dan geli menyaksikan pertunjukan gratis tersebut. Sungguh tak terbayangkan oleh mereka bahwa di dunia ini terdapat guru begini dan juga murid demikian.

Lui-ji sangat senang juga menyaksikan pertunjukan lucu itu, diam2 iapun mendongkol terhadap Tojin pemberang itu, ia tidak tahan, tiba2 ia berkata pula, "Yang ku maki adalah dirimu, mengapa kau tidak berani turun tangan sendiri?"

Lo-cinjin berjingkrak seperti orang kebakaran jenggot, teriaknya murka, "Jika aku bergebrak dengan budak ingusan seperti kau ini, apakah takkan ditertawakan orang hingga copot giginya?"

"Huh, tiada hujan tanpa angin menghajar muridnya secara tidak se-mena2, apakah perbuatan demikian tidak takut ditertawakan orang hingga copot giginya?" jengek Lui-ji.

Semua orang mengira Lo-cinjin pasti akan tambah murka dan bukan mustahil sekali hantam Cu Lui-ji bisa dibinasakannya.

Tak terduga, sampai sekian lama Lo-cinjin melototi anak dara itu, akhirnya, bukannya murka, sebaliknya ia malah bergelak tertawa dan berseru, "Hahaha! Sungguh budak yang hebat, besar amat nyalimu!"

Bahwa dia tidak menjadi marah, semua orang jadi melengak pula.

Dalam pada itu Hay-hong Hujin sedang memandangi Cu Lui-ji, tiba2 ia bertanya dengan suara lembut, "Eh, adik cilik, berapakah usiamu tahun ini?"

Dengan acuh tak acuh Lui-ji menjawab, "Kukira selisih tidak banyak dengan engkau?"

"Selisih tidak banyak?" Hay-hong Hujin menegas dengan tertawa geli. "Apakah kau tahu berapa umurku?"

Lui-ji tidak lantas menjawab, ia pandang orang sejenak, lalu menjawab dengan sikap sungguh2, "Melihat wajahmu, kukira usiamu kira2 baru dua puluhan."

"Apa iya!?" ucap Hay-hong Hujin dengan tertawa, tanpa terasa ia meraba mukanya sendiri.

"Dan kalau melihat tubuhmu, kukira juga baru berumur dua puluhan," kata Lui-ji pula sambil memandangi tubuh orang yang bernas itu.

Maka senanglah hati Hay-hong Hujin, ia tertawa nyaring seperti bunyi keleningan, katanya, "Ai, adik cilik ini benar2 pintar bicara."

Maklumlah, setiap perempuan di dunia ini tentu suka dipuji. Tiada seorang perempuan yang tidak senang kalau orang memujinya masih cantik dan awet muda. Lebih2 perempuan yang sudah setengah baya, biarpun muka sudah mulai keriput, tapi pasti gembira kalau orang bilang dia baru berumur delapan belas.

Dengan lagak seperti sangat kagum Lui-ji lantas berkata pula, "Apalagi kalau melihat tangannya yang putih dan halus ini, kukira umurmu paling2 baru delapan belas."

Hay-hong Hujin tertawa senang pula, tanpa terasa ia menjulurkan kedua tangannya, se-akan2 hendak dipertunjukkan kepada semua orang.

Di luar dugaan, dengan perlahan Lui-ji lantas menyambung lagi, "Dan kalau ketiga macam tadi dijumlahkan, total jenderal menjadi 58, maka kukira umurmu belum lagi genap 60, betul tidak?"

Ucapan Lui-ji ini hampir saja meledakkan tertawa semua orang, sampai2 Hong-sam yang selalu bersikap dingin itupun merasa geli.

Akan tetapi di hadapan Hay-hong Hujin, siapapun tidak berani tertawa.

Sudah barang tentu, yang paling runyam adalah Hay-hong Hujin sendiri, sungguh ia tidak menyangka dirinya akan terkecoh oleh seorang dara cilik, seketika ia menjadi merah padam dan tidak dapat bersuara lagi.

Syukurlah Pwe-giok lantas bertindak. Betapapun ia masih ingat kebaikan Hay-hong Hujin ketika menemuinya di bawah sinar purnama dengan lautan bunga yang semerbak itu. Iapun teringat kepada murid Hay-hong Hujin, yaitu Lim Tay-ih, tunangannya atau calon isterinya. Maka ia coba menyimpangkan persoalan dan bertanya kepada Ji Hong-ho, "Yang berkunjung kemari apakah cuma Anda berempat saja?"

Ji Hong-ho tersenyum, jawabnya, "Kami tahu tempat kediaman Hong-locianpwe ini agak kurang leluasa menerima kunjungan orang banyak, sebab itulah beberapa sahabat terpaksa kami tinggalkan menunggu di bawah sana."

Cu Lui-ji mendengus, "Hm, tentunya kau kira melulu kalian berempat saja sudah lebih daripada cukup untuk menghadapi kami bukan? Atau, kalian kuatir kami akan lari, maka lebih dulu begundal kalian telah diatur menjaga di sekitar tempat ini?"

Ji Hong-ho tidak menjadi marah, dengan tak acuh ia menjawab, "Nona memang pintar bicara, tapi kalau nona mengira dengan kata2 yang tajam dapat kau bikin jeri kami, maka salahlah kau. Coba pikirkan, dengan tokoh2 besar seperti Lo-cinjin dan Hay-hong Hujin ini, apakah beliau ini sudi bertengkar mulut dengan seorang nona cilik hanya untuk kepuasan seketika saja?"

"Tapi mengapa sekarang kau sendiri bertengkar mulut denganku?" jawab Lui-ji. "Memangnya karena kau merasa harga diri dan kedudukanmu terlebih rendah?"

Ji Hong-ho jadi melengak dan mendongkol, ia pikir kalau adu mulut dengan seorang anak dara hanya akan menurunkan pamornya sendiri saja, terpaksa ia berlagak tidak dengar olok2 Cu Lui-ji, ia berdehem, lalu berkata terhadap Hong-sam, "Maksud kedatangan kami ini, kukira Hong-locianpwe tentunya sudah tahu."

"Oo!" demikian Hong-sam sianseng hanya bersuara seperti orang ingin tahu.

Ji Pwe-giok juga berdiri tenang dan mendengarkan di samping.

Lalu Ji Hong-ho menyambung ucapannya, "Tentunya Hong-locianpwe juga tahu bahwa orang yang kami cari dan akan kami ambil ialah nona Cu ini."

"Ooo?" kembali Hong-sam bersuara seperti keheranan.

Maka Ji Hong-ho melanjutkan lagi, "Soalnya nona Cu ini beberapa tahun akhir2 ini telah berbuat berbagai urusan yang menimbulkan rasa ketidakpuasan para kawan Kangouw. Dalam kedudukanku selaku Bengcu, terpaksa kupenuhi permintaan orang banyak dan secara sembrono berkunjung kemari demi mencari keadilan. Dalam hal ini, asalkan Hong locianpwe dapat memakluminya dan membiarkan kami membawa pergi nona Cu ini, maka Cayhe akan menjamin persoalan ini pasti akan ku selesaikan secara adil dan jujur, bahkan pasti takkan mengganggu ketenangan Hong-locianpwe yang perlu tetirah lebih lama lagi."

"Ooo!?" lagi2 Hong-sam hanya bersuara singkat saja.

Ber-turut2 ia bersuara 'O' tiga kali tanpa memberi reaksi sedikitpun. Hal ini membuat Ji Hong-ho jadi melengak malah, sebab ia tidak tahu apa artinya 'O' itu, apakah setuju dan menerima dengan baik atau menolak permintaannya?"

Sampai sekian lama baru terdengar Hong-sam sianseng menghela nafas panjang, lalu berkata, "Bahwa kau berani datang kepada orang she Hong untuk mengambil orang, sungguh nyalimu tergolong tidak kecil."

Ji Hong-ho tertawa hambar, ucapnya, "Ini disebabkan Hong-sam sianseng sekarang sudah bukan lagi Hong-sam sianseng di masa dahulu."

Hong-sam tidak menjadi marah. Tiba2 sorot matanya beralih ke arah Lo-cinjin, katanya, "Yang bicara adalah dia, yang akan bertempur mungkin ialah dirimu, begitu bukan?"

Lo-cinjin bergelak tertawa, jawabnya, "Hahahaha! Memang betul, walaupun Hong-sam sekarang sudah bukan lagi Hong-sam dahulu, tapi apapun juga, kecuali diriku, mungkin belum juga ada orang yang mampu melawan kau."

"Hehe, bagus," jengek Hong-sam sianseng. "Site (adik ke empat, maksudnya Ji Pwe-giok), bolehlah kau maju bergebrak dengan dia."

Pwe-giok mengiakan terus melompat maju, ucapnya sambil memberi hormat kepada Lo-cinjin. "Silahkan Totiang memberi petunjuk beberapa jurus."

Bahwa yang ditantang ialah Hong-sam sianseng dan dia tidak maju sendiri, juga bukan Cu Lui-ji yang maju melainkan Ji Pwe-giok yang diajukan sebagai jagonya, hal ini benar2 di luar dugaan siapapun juga. Lo-cinjin, Ji Hong-ho, Ang-lian-hoa, dan Kun Hay-hong sama melenggong bingung.

Segera Lo-cinjin berteriak dengan gusar, "Busyet! Masa kau suruh aku bergebrak dengan bocah yang masih berbau pupuk ini. Memangnya apa maksudmu sebenarnya?"

"Masa maksudnya tidak kau pahami?" tanya Cu Lui-ji dengan perlahan.

"Ya, aku justeru tidak paham!" teriak Lo-cinjin.

"Rupanya tidak cuma badanmu saja kerdil, otakmu juga kerdil," demikian Lui-ji ber-olok2. "Soalnya hanya dengan sedikit kemahiran mu ini lantas ingin bergebrak dengan Sacek sendiri, maka kau masih ketinggalan sangat jauh. Kelak kalau kejadian ini tersiar, bukankah di dunia Kangouw akan ramai orang bilang Sacek hanya mampu mengalahkan seorang kecil macam kau."

Seketika Lo-cinjin berjingkrak pula, kembali ia meraung gusar, "Tapi kenapa aku juga disuruh bergebrak dengan anak ingusan ini? Sedangkan mengalahkan muridku saja dia tidak mampu..."

"Hm, berdasarkan apa kau berani meremehkan dia?" jengek Hong-sam sianseng. "Seumpama Hong-sam sekarang bukan lagi Hong-sam dahulu, akan tetapi Ji Pwe-giok sekarang jelas juga bukan Ji Pwe-giok pada waktu yang lalu."

Sinar mata Ji Hong-ho tampak gemerdep, tiba2 ia berkata, "Jika demikian, jadi urusan hari ini cukup diandalkan padanya dan segala persoalannya akan dapat diputuskan berdasarkan pertempurannya ini?"

"Ya, begitulah!" jawab Hong-sam sianseng dengan tegas.

"Dan kalau dia kalah, lalu bagaimana?" tanya Ji Hong-ho.

"Bila Sicek (paman ke empat) kalah, segera ku ikut pergi bersama kalian dan terserah akan diapakan kalian!" seru Lui-ji lantang.

"Apakah ucapan ini dapat dipercaya?" tanya Ji Hong-ho pula.

"Hm, orang macam kau juga berani menyangsikan kepercayaanku?" jengek Hong-sam sianseng.

Terunjuklah rasa kegirangan pada sinar mata Ji Hong-ho, cepat ia berseru, "Jika demikian, ayolah Totiang, lekas turun tangan, mau tunggu kapan lagi?"

"Kau juga menyuruh aku bergebrak dengan anak kemarin ini?" raung Lo-cinjin.

Dengan tersenyum Ji Hong-ho menjawab, "Tapi Ji-Kongcu ini sekarang sudah menjadi saudara Hong-sam sianseng, bila Totiang bergebrak dengan dia kan tidak dapat dianggap orang tua melabrak anak muda lagi?"

"Betul," tukas Hay-hong Hujin, "jika saudara Hong-sam sianseng yang bergebrak dengan Totiang, apapun juga tak dapat dikatakan telah menurunkan derajat Totiang."

"Akan tetapi, bagaimana dengan janji pihak kalian apabila Totiang kalian yang kalah?" tanya Lui-ji tiba2.

Kembali Lo-cinjin berjingkrak, teriaknya dengan gemas, "Jika aku kalah, segera aku menyembah padanya dan memanggilnya Suhu!"

"Wah, untuk ini kukira tidak perlu," kata Lui-ji dengan tertawa. "Jika Sicek menerima seorang murid yang setiap hari senantiasa marah2 saja seperti dirimu ini, bisa jadi Sicek akan kepala pusing tujuh keliling."

Lo-cinjin meraung pula dengan gusar, "Dalam 50 jurus, bilamana tidak dapat ku robohkan dia, seketika juga ku angkat kaki dari sini."

Sebenarnya dia masih enggan bertarung dengan Pwe-giok yang dianggapnya tidak sepadan.

Tapi sekarang dia sudah benar2 murka sehingga berubah menjadi tidak boleh tidak harus bertarung dengan Pwe-giok, kini tiada seorangpun yang dapat mencegah akan niatnya itu.

Dengan tertawa Lui-ji menjawab, "Jangankan cuma 50 jurus... jadikan saja 500 jurus juga belum tentu dapat kau sentuh ujung baju Sicek. Hanya saja, meski demikian pernyataanmu, lalu bagaimana pula dengan begundalmu itu?"

"Baiklah, jadi 500 jurus begitu," kata Ji Hong-ho dengan tersenyum. "Dalam 500 jurus itu bila Lo-cinjin tidak dapat mengalahkan Ji-kongcu ini, seketika juga kami akan angkat kaki dari sini dan takkan mengganggu gugat padamu lagi."

"Apakah pernyataannya juga mewakili kau?" tanya Lui-ji sambil memandang Hay-hong Hujin.

"Ji-kongcu adalah sahabatku, yang kuharap semoga Lo-cinjin hanya merobohkannya saja tanpa melukainya," ucap Hay-hong Hujin dengan tersenyum.

"Dan kau?" tanya Lui-ji terhadap Ang-lian-hoa.

Sinar mata Ang-lian-hoa tampak guram, siapapun tidak tahu apa yang sedang dipikirkan ketua Kaypang ini. Dia hanya menjawab dengan dingin, "Setuju!"

Semua orang, termasuk Ang-lian-hoa, siapapun tidak percaya Ji Pwe-giok mampu melawan Lo-cinjin hingga 500 jurus. Sebab mereka sudah sama menyaksikan kepandaian Pwe-giok, kalau anak muda itu mampu melawan Sip-hun hingga 500 jurus, hal ini boleh dikatakan cukup hebat, dan sekarang kalau dia sanggup menahan 50 kali serangan Lo-cinjin, maka hal ini benar2 suatu keajaiban.

"Jika sudah diputuskan begini, jadi semua orang sudah setuju, tiada orang lain lagi yang bakal rewel?" demikian Lui-ji menegas.

"Siapa yang berani rewel?" Lo-cinjin meraung pula. "Jika ada yang berani rewel, segera kupuntir kepalanya di sini juga.

Dia seperti tidak sabar lagi, segera ia berteriak pula, "Nah, bocah she Ji, ayolah mulai serang dulu, aku akan mengalah tiga jurus padamu."

Sejak tadi Pwe-giok diam2 saja tanpa memberi komentar.

Ia tahu tugas yang dipikulnya sekarang maha berat, sesungguhnya dia sangat tegang dan rada kebat-kebit, tapi ketika benar2 sudah berhadapan dengan Lo-cinjin, rasa tegangnya lantas mulai kendur.

Diam2 ia berkata kepada dirinya sendiri, "Sabarlah! Apapun juga Lo-cinjin juga cuma seorang manusia belaka, kenapa aku harus jeri kepadanya?"

Karena lagi memikirkan dirinya sendiri, apa yang dipercakapkan orang lain tiada satu katapun diperhatikannya, apa yang diperbuat orang lain juga sama sekali tidak dilihatnya. Perhatiannya kini sudah tercurahkan seluruhnya ke tubuh Lo-cinjin saja.

Tiba2 ia melihat kedua mata Lo-cinjin, kedua alisnya dan kedua tangannya tidak sama rata besarnya, yang sebelah kanan lebih kecil sedikit daripada yang sebelah kiri. Pada lubang hidungnya kelihatan menongol tiga utas rambut hitam dan sangat kasar, rambut hidung itu terlalu panjang hingga ber-getar2 di atas bibir. Pada leher bajunya di depan dada ada sebagian tergores robek sehingga kelihatan baju dalamnya yang putih.

Lalu diketahui pula kelopak mata kiri Lo-cinjin sedang me-lonjak2, mungkin sedang kedutan, ujung mulutnya juga ber-kerut2 seperti orang kejang. Kelima jari tangan kanan juga sama bergemetar, tapi jari tangan kiri terjulur kaku lurus.

Apa yang dilihat Pwe-giok itu sebenarnya sedikitpun tidak menarik perhatian orang, akan tetapi dalam keadaan perhatian Pwe-giok lagi dipusatkan kepada Lo-cinjin seorang saja, setiap ciri yang paling kecil, tiba2 berubah menjadi begitu leas dan begitu nyata baginya.

Selamanya belum pernah Pwe-giok memperhatikan seseorang dengan sedemikian cermat, selamanya pula tak terpikir olehnya akan dapat melihat keadaan seseorang dengan sedemikian jelas.

Ia masih terus memandangnya, sampai akhirnya hidung Lo-cinjin itu bagi pandangannya itu seolah2 telah berubah menjadi sebesar mangkuk, berapa banyak pori2 di atas hidung orang rasanya seperti dapat dilihatnya dengan jelas...

* * *

Lo-cinjin sedang berteriak dan meraung, namun Pwe-giok seperti tidak mendengarnya. Sudah dua kali Lo-cinjin mendesaknya agar anak muda itu lekas mulai, tapi dia masih tetap berdiri tenang seperti orang linglung, sedikitpun tidak bergerak.

Semua orang menjadi heran, ada yang berpikir, "Jangan2 anak muda ini menjadi ketakutan dan kesima."

Tanpa terasa tersembul senyuman girang pada ujung mulut Ji Hong-ho.

Lo-cinjin tidak sabar lagi, kembali ia berjingkrak dan meraung, "He, apakah kau..."

Di luar dugaan, sekali ini baru saja kakinya melonjak dan suaranya baru saja bergema, Ji Pwe-giok yang kelihatannya linglung seperti patung itu mendadak melompat maju secepat terbang. Secepat kilat telapak tangannya juga lantas menabas ke dengkul Lo-cinjin.

Hendaklah dipahami bahwa tokoh besar seperti Lo-cinjin ini, kungfunya boleh dikatakan sudah mencapai tingkatan yang terlebur menjadi satu dengan jiwa raganya. Pada waktu biasa, setiap gerak geriknya, sengaja atau tidak sengaja selalu bertindak sesuai dengan kungfunya.

Seperti halnya seorang penari mahir, setiap gerak geriknya pada waktu biasa juga pasti bergaya jauh lebih indah daripada orang lain.

Sebab itulah, meski Lo-cinjin tampaknya berdiri seenaknya, namun seluruh tubuh se-akan2 juga senantiasa terjaga rapat dan tiada setitik lubangpun untuk diserang.

Tapi, tidak perduli siapapun juga, bilamana sedang marah, selagi berjingkrak seperti orang kebakaran jenggot, maka setiap gerakannya tentu juga rada teledor, apalagi kalau kedua kaki sudah terapung di udara dan bukan lagi menendang lawan, maka di bagian bawah pasti akan memperlihatkan ciri kelemahan.

Dengan memusatkan segenap perhatiannya mengamati lawan, tujuan Pwe-giok justeru ingin mencari titik kelemahan Lo-cinjin. Maka begitu lawan memperlihatkan kelemahan pada bagian bawahnya, serentak dia melesat maju, tebasan telapak tangannya justeru menyerang titik yang paling lemah di tubuh lawan pada sat itu, bagian yang hampir tidak terjaga sama sekali.

Tentu saja Lo-cinjin terkejut, perawakannya yang kurus kecil itu se-konyong2 berputar di udara, sekaligus kaki dan tangannya balas menyerang Pwe-giok .

Gerakan mengelak sambil balas menyerang atau menyerang untuk menyelamatkan diri ini ternyata tindakan yang tepat dan hebat. Di sini terbukti bahwa Lo-cinjin memang tidak malu disebut sebagai tokoh kelas top pada jaman ini, sekalipun menghadapi bahaya tetap tidak bingung.

Pada saat itulah Cu Lui-ji lantas menjengek, "Huh, mau mengalah tiga jurus? Hm...!"

Seperti diketahui, tadi Lo-cinjin menyatakan hendak memberi tiga jurus kepada Pwe-giok. Tapi sekarang dia bukan cuma mengelak saja, tapi balas menyerang, dengan sendirinya tidak dapat dianggap sebagai jurus mengalah.

Mendadak terdengar Lo-cinjin bersuit panjang, di tengah suara suitan nyaring itu tahu2 tubuhnya sudah menyurut mundur ke belakang.

Padahal tangan dan kakinya sedang menyerang ke depan, tapi mendadak tubuhnya dapat menyurut mundur dalam keadaan terapung, kelihatannya jadi seperti ada orang menariknya dari belakang.

Kejadian ini bila dilihat orang biasa, mungkin akan menyangka Tojin kecil itu mahir ilmu gaib atau sedang main sulap.

Tapi yang hadir di atas loteng ini sekarang hampir boleh dikatakan seluruhnya terdiri dari jago2 silat kelas satu, semuanya dapat melihat suara suitan Lo-cinjin tadi bukannya tidak ada gunanya. Dengan bersuit itulah Lo-cinjin mengerahkan hawa murni di dalam tubuhnya dan dipancarkan. Karena pancaran hawa murni inilah tubuhnya lantas tertolak mundur.

Soal sebab apa pancaran hawa itu dapat membuat orang berbalik terdorong ke belakang, teori ini dengan sendirinya belum dapat dimengerti orang pada jaman itu. tapi di sini pula setiap orang dapat menyaksikan betapa hebat Khikang (ilmu mengerahkan hawa dalam perut) Lo-cinjin.

Sampai2 Ang-lian-hoa yang tidak suka sembarangan memuji orang, tanpa terasa iapun berseru, "Khikang yang hebat!"

Ji Hong-ho tersenyum puas dan bangga, tanyanya pada Ang-lian-hoa, "Menurut pendapat Pangcu, Ji-kongcu ini kira2 mampu menahan berapa jurus serangan Cinjin?"

Wajah Ang-lian-hoa menampilkan perasaan sayang dan menyesal, jawabnya sesudah berpikir sejenak, "Kukira paling banyak hanya antara seratus jurus saja."

Ji Hong-ho lantas berpaling ke arah Hay-hong Hujin dan bertanya dengan tersenyum, "Dan bagaimana pandangan Hujin?"

"Pandangan Ang-lian-pangcu maha tajam, masakan pendapatnya bisa keliru?" ujar Hay-hong Hujin dengan tersenyum.

Sejak awal hingga sekarang Hay-hong Hujin dan Ang-lian-hoa sama sekali tidak memandang barang sekejap pun ke arah Kwe Pian-sian, se-olah2 di pojok sana hakekatnya tidak terdapat sesuatu, apalgi ada orang bersembunyi di situ.

Tentu saja diam2 Kwe Pian-sian bergirang karena jejaknya tidak diperhatikan lawan yang ditakuti itu. Tapi sekarang demi mendengar ucapan mereka, seketika hatinya cemas. Pikirnya, "Loteng ini hanya sejengkal luasnya, sekalipun aku bersembunyi di sudut segelap ini, mustahil dengan ketajaman mata mereka tak dapat melihat diriku? Jelas mereka yakin benar2 tiada seorangpun di atas loteng ini yang mampu lolos, makanya mereka sengaja berlagak tak acuh terhadapku."

Berpikir demikian, seketika keringat dingin membasahi tubuhnya.

Dalam pada itu Lo-cinjin benar2 telah mengalah tiga jurus kepada Pwe-giok, kini dia sudah mulai melancarkan serangan balasan.

Gaya serangannya tiada memperlihatkan sesuatu tipu istimewa atau gerakan yang luar biasa, tampaknya tidaklah sesuai dengan nama kebesarannya.

Akan tetapi setelah belasan jurus, daya tekanannya mulai kelihatan hebatnya, serangannya tambah mantap dan berat.

Gaya serangannya memang tiada sesuatu perubahan yang istimewa dan mengherankan, akan tetapi antara jurus serangan yang satu dengan serangan berikutnya terpadu sedemikian rapatnya, terkadang antara dua jurus kelihatan berlawanan, gerak tangan dan arah yang dituju jelas berbeda. Bila orang lain yang memainkan dua jurus serangan demikian pasti akan kerepotan atau kalau bisa tentu juga sangat dipaksakan, namun bagi Lo-cinjin ternyata dapat dimainkan dengan sangat lancar dan serasi se-olah2 jurus yang satu dengan jurus lain memang sambung menyambung.

Semula Cu Lui-ji rada meremehkan Tojin kerdil ini, diam2 ia lagi melengak, "Hm, rupanya Lo-cinjin yang termasyhur juga cuma begini saja kemampuannya."

Akan tetapi setelah mengikuti beberapa jurus lagi, mau-tak-mau perasaannya mulai tertekan.

Gerak serangan Lo-cinjin yang kelihatannya lumrah saja itu, makin dipandang makin lihay dan makin menakutkan. Serangannya tidak banyak variasinya, kalau menghantam ya menghantam begitu saja seperti sebuah martil besar atau sebuah kapak raksasa, tapi serangan demi serangan susul menyusul, sambung menyambung tanpa putus.

Melihat gencarnya serangan Lo-cinjin itu, para penonton saja merasa tegang sehingga bernapas saja hampir2 tak sempat, apalagi Ji Pwe-giok yang langsung menghadapi serangan dahsyat itu.

Dalam cemasnya, Cu Lui-ji coba memandang Hong-sam sianseng sekejap, meski di mulut tidak bersuara, namun sorot matanya tiada ubahnya seperti ingin bertanya, "Apakah Sacek yakin jago kita akan sanggup menahan 300 jurus serangan lawan?"

Tak terduga Hong-sam sianseng malah terus memejamkan matanya, terhadap pertarungan mati2an, pertarungan yang menyangkut mati atau hidup, pertarungan yang menyangkut hina atau jaya namanya itu, sama sekali ia tidak menghiraukan lagi.

Hanya sekejap saja 30 jurus lebih sudah berlangsung, setiap jurus serangan Lo-cinjin semakin dahsyat dan tambah lihay. Tampaknya Pwe-giok hanya mandah diserang saja, sampai2 tenaga untuk balas menyerang saja sudah tidak ada lagi.

Begitu berat rasanya Pwe-giok menghadapi lawannya terbukti dari sikapnya yang kelihatan prihatin, setiap kali dia hendak bergerak, tampaknya kudu berpikir lebih dulu. Padahal pertarungan di antara tokoh silat kelas tinggi mana ada peluang baginya untuk berpikir segala.

Maka setelah mendekati 50 jurus, unggul dan asor atau kalah dan menang tampaknya sudah jelas, sudah pasti. Semua orang yakin, apabila Ji Pwe-giok sanggup bertahan sampai 100 jurus lebih, maka hal inipun sudah terhitung ajaib.

Tiba2 terdengar Ji Hong-ho berkata dengan tertawa, "Haha, pertarungan sebagus ini, sungguh jarang ditemui selama ratusan tahun ini. Kalau tontonan menarik ini di-sia2kan, sungguh terasa sangat sayang."

Dengan tersenyum Sip-hun lantas menanggapi, "Jika demikian, biarlah Tecu mengerek semua kerai jendela loteng ini agar setiap orang dapat ikut menyaksikannya, boleh?"

"Hah, bagus sekali usulmu!" seru Ji Hong-ho dengan bergelak.

Tanpa menunggu perintah lagi, terus saja Sip-hun melipat semua kerai jendela.

Suara angin di luar masih men-deru2 dan menyeramkan, malam tambah kelam, bumi dan langit se-olah2 penuh 0064iliputi oleh suasana ketegangan.

Di atas wuwungan rumah di sekeliling loteng kecil itu ternyata sudah penuh ditongkrongi orang, semuanya ingin menonton pertarungan menarik ini meski harus menahan dinginnya udara malam. Dan begitu kerai jendela dikerek, seketika orang yang menongkrong di atas wuwungan rumah itu bertambah banyak.

Tadi Kwe Pian-sian bermaksud kabur pada waktu keadaan kemelut, tapi sekarang barulah ia sadar biarpun mendadak dia tumbuh sayap juga jangan harap akan dapat mabur.

Kwe Pian-sian menghela napas, ia tahu tiada gunanya lagi main sembunyi-sembunyi. Sekalian ia lantas berdiri, dia mengangguk pelahan terhadap Hay-hong Hujin dengan tersenyum, sikapnya seolah kejut, heran dan juga girang, seperti kekasih yang mendadak berjumpa kembali setelah berpisah sekian tahun lamanya. Kaceknya cuma dia tidak terus berlari maju dan merangkul atau memegang tangannya untuk menyatakan rasa rindunya selama berpisah itu.

Namun Hay-hong Hujin tetap tidak memandangnya barang sekejap pun, seakan-akan di situ tiada terdapat seorang macam Kwe Pian-sian. Sebaliknya ia malah berkata terhadap Ji Hong-ho dengan tersenyum, "Ada satu hal yang sangat mengherankan aku?"

"Hujin mengherankan hal apa?" tanya Ji Hong-ho.

"Coba Bengcu memberi komentar, bagaimana daya pukulan Lo-cinjin kalau dibandingkan mendiang Thian-kang Totiang?" tanya Hay-hong Hujin.

Ji Hong-ho tersenyum, jawabnya, "Ilmu sakti Kun-lun-pay tiada bandingannya. Betapa hebat kekuatan ilmu pukulan Thian-kang Totiang bahkan sudah lama dikagumi oleh sesama rekan dunia persilatan, cuma....."

"Cuma kalau dibandingkan Lo-cinjin masih selisih satu tingkat, begitu bukan?" tukas Hay-hong Hujin.

Ji Hong-ho hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Diam tanpa menyangkal berarti membenarkan.

Maka Hay-hong Hujin berkata pula, "Belasan tahun yang lalu ku ikut almarhum guruku ke Kun-lun-san, kebetulan menyaksikan Thian-kang Totiang sedang bergebrak dengan orang, lawannya seperti seorang Lama dari benua barat, kekuatannya juga sangat mengejutkan."

"Mungkin itulah Ang-hun Lama, satu di antara tiga tokoh Lama besar yang terkenal, orang ini sudah lama bermusuhan dengan Kun-lun-pay, bukan cuma satu kali saja dia menyatroni Kun-lun-san."

"Waktu itu jarak berdiri kami dengan kalangan pertempuran mereka sedikitnya ada tujuh atau delapan tombak, akan tetapi setiap kali Thian-kang Totiang menyerang, dengan jelas kulit muka terasa perih oleh samberan angin pukulannya, bahkan ujung baju juga sama tergetar dan berkibar. Tapi sekarang Lo-cinjin bertempur di depan kita dalam jarak sedekat ini, mengapa sedikitpun tidak kurasakan tenaga pukulannya."

"Hal ini disebabkan Lo-cinjin sudah dapat menguasai tenaga pukulannya dengan sesuka hati, setiap kali dia memukul, tenaga pukulannya hanya dipusatkan kepada Ji-kongcu seorang saja, sedikitpun tidak terbuang ke tempat lain, dan bila serangan tidak kena sasaran, segera ia tarik kembali tenaga pukulannya, sebab itulah beban yang harus dihadapi Ji-kongcu cukup berat," setelah tertawa, lalu Ji Hong-ho menyambung, "Kalau tidak begitu, jangan kau dan diriku, bahkan seluruh loteng kecil ini mungkin sudah tergetar runtuh sejak tadi."

Hay-hong Hujin menghela napas, ucapnya dengan pelahan, "Untung aku bukan Ji Pwe-giok, kukira saat ini dia tentu sangat tidak enak."

"Hm, juga belum tentu tidak enak sebagaimana dugaanmu," jengek Cu Lui-ji.

"He, kau tahu? Darimana kau tahu?" tanya Hay-hong Hujin dengan tertawa.

Namun Cu Lui-ji tidak menggubrisnya lagi, dia sibuk bergumam dan menghitung jurus pertempuran mereka, "Sembilan puluh.... sembilan satu..... sembilan dua....."

Cara menghitungnya sesungguhnya terlalu cepat, padahal sampai saat itu antara Lo-cinjin dan Ji Pwe-giok paling-paling baru bergebrak delapan puluh jurus. Akan tetapi rombongan Ji Hong-ho sudah yakin Pwe-giok pasti tidak sanggup bertahan sampai 300 jurus, sebab itulah tiada orang yang perduli cara berhitung Lui-ji itu.

Saat mana Pwe-giok sudah mirip sebuah paku, meski terus menerus dihantam oleh sebuah palu raksasa, tapi bila palu ingin membuat bengkok pakunya juga tidak terlalu gampang.

Tiba-tiba Pwe-giok merasakan daya serang Lo-cinjin itu meski hebat, tapi ternyata tidak terlalu mendesak, terkadang bila dia menghadapi serangan berbahaya dan seketika sukar menemukan cara untuk mematahkannya, Lo-cinjin berbalik seperti sengaja memberi kelonggaran padanya dan memberi waktu berpikir baginya.

Hal ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Pwe-giok, caranya menyerang atau menangkis sengaja lebih diperlambat.

Sebaliknya Cu Lui-ji yang menghitung jumlah gebrakan mereka tambah cepat malah, berturut-turut ia berseru, "Seratus satu, seratus dua, seratus tiga....."

Ji Hong-ho memandang Ang-lian-hoa sekejap, ucapnya dengan tersenyum, "Seratus jurus sudah lalu, tak nyana dia masih sanggup bertahan."

"Ya, sungguh tak tersangka." jawab Ang-lian-hoa dengan tak acuh.

Tiba-tiba Sip-hun berkata: "Tenaga dalam Ji-kongcu ini tampaknya mendadak bertambah lipat ganda, betul tidak?"

"Ya," jawab Ang-lian-hoa.

"Tenaga dalam seorang dapat bertambah sebanyak ini hanya dalam waktu setengah hari ini, hal ini benar-benar sukar untuk dimengerti," ujar Sip-hun dengan gegetun.

Ji Hong-ho tersenyum, katanya, "Tapi Toheng tidak perlu kuatir, biarpun tenaga dalamnya lebih kuat lagi juga tetap tidak mampu menahan seratus jurus serangan gurumu."

"Tapi saat ini seratus jurus kan sudah lebih?" ujar Sip-hun.

"Ah, hal itu disebabkan gurumu sengaja hendak mengetahui tinggi-rendah dan asal-usul ilmu silat lawan saja." kata Ji Hong-ho. "Kalau tidak, pada jurus ke-86 tadi jelas Ji-kongcu sudah tidak sanggup bertahan lagi. Betul tidak?"

Ucapannya itu ditujukan kepada Sip-hun, tapi suaranya itu justeru diperkeras seakan-akan kuatir tidak terdengar oleh Lo-cinjin.

Benar saja, Lo-cinjin lantas tertawa dan berkata, "Betul, aku memang ingin tahu Kungfu hebat apa yang diajarkan Hong Sam kepada bocah ini. Tapi sekarang rasanya sudah cukup bagiku!"

Di tengah suara gelak tertawanya itu mendadak ia pergencar serangannya.

Tak terduga, setiap serangannya selalu dapat dipatahkan oleh Pwe-giok, kalau lawan bergerak dan menyerang cepat, maka iapun ikut cepat.

Hendaklah maklum, sekalipun Ji Pwe-giok sangat pintar dan cerdik, walaupun Hong-sam sianseng juga tidak sayang mengajarkan segenap Kungfunya, tapi dalam waktu singkat yang cuma setengah hari itu apa yang dapat dipahaminya tentu juga sangat terbatas dan tidak banyak.

Sebab itulah jurus serangan yang digunakannya untuk melawan Lo-cinjin ini kebanyakan adalah ciptaannya sendiri secara darurat dan karena itu pula gerak-geriknya dengan sendirinya tidak leluasa.

Akan tetapi setelah lewat seratus jurus, tiba-tiba kecerdasannya tambah meningkat, kini jurus serangan baru ciptaannya sudah tambah banyak, gerak perubahan jurus serangannya juga tambah apal. Hal ini serupa main catur dengan orang yang ahli, biarpun baru mulai belajar, lama-lama tentu juga akan terdesak hingga mendapatkan ilham, tanpa terasa akan memainkan beberapa langkah ajaib yang sama sekali tak disadarinya.

Dan jurus serangan ciptaan Pwe-giok sekarang juga timbul lantaran terdesak dan terpaksa.

Dalam pada itu Cu Lui-ji masih terus menghitung, "Seratus enam puluh satu, enam dua, satu enam tiga...."

Tiba-tiba Ji Hong-ho tertawa, katanya, "Ah, apakah hitungan nona tidak salah? Sampai saat ini kan baru jurus ke 153 saja?"

Tadinya ia anggap tidak menjadi soal meski nona cilik itu menghitung lebih cepat beberapa jurus, tapi sekarang setelah menyaksikan ketahanan Ji Pwe-giok yang luar biasa, bahkan jurus serangannya yang baru bertambah lihay, akhirnya ia tidak tahan dan menyatakan keberatannya terhadap cara hitung Cu Lui-ji.

Lui-ji tertawa terkikik-kikik, katanya, "Bukankah kalian penuh keyakinan akan menang? Kenapa sekarang kaupun mulai berkuatir? .... Satu enam tujuh, satu enam delapan.... satu enam sembilan...." begitulah dia masih terus menghitung dengan caranya sendiri, cara bagaimana orang memprotesnya sama sekali tak dihiraukannya.

"Ya, jika nona tetap menghitung cara demikian juga tidak beralangan, hanya saja nanti harus dipotong delapan jurus," ujar Ji Hong-ho dengan tertawa.

Mendadak Lo-cinjin meraung gusar, "Biarpun dia menghitung lebih banyak delapan jurus juga tidak menjadi soal, memangnya dia mampu menyambut 300 jurus seranganku?" - Sambil menggerung, suatu pukulan dahsyat terus dilontarkan.

"Nah, kalian sudah dengar sendiri, jago kalian menyatakan cukup 300 jurus saja akan mengalahkan Sicek," seru Lui-ji dengan tertawa. Lalu dia terus menghitung, "Satu tujuh puluh...."

Dalam pada itu Pwe-giok telah membuat suatu lingkaran dan berhasil mematahkan hantaman dahsyat lawan. Akan tetapi, biarpun serangan lawan sudah dipatahkan, namun tenaga pukulan lawan yang maha dahsyat itu masih terus menindihnya.

"Blang", tahu-tahu papan loteng berlubang, Ji Pwe-giok benar-benar seperti sebuah paku, langsung diketok ambles ke bawah melalui lubang itu.

Saat itu Lui-ji baru menghitung sampai, "Satu tujuh satu......." dan karena terkejut, seketika hitungannya terhenti.

Ji Hong-ho tertawa senang, katanya, "Meskipun Ji-kongcu kalah, tapi dia mampu menahan ratusan jurus serangan Lo-cinjin, betapapun dia memang hebat."

"Apa? Kalah? Siapa bilang Sicek kalah?" tanya Lui-ji dengan melotot.

"Hah, semua orang menyaksikan dengan jelas, masakah ini belum terhitung kalah?" ujar Ji Hong-ho dengan tertawa.

Belum lagi Lui-ji menanggapi, sekonyong-konyong terdengar suara "blang" pula, tahu-tahu Pwe-giok telah muncul lagi dengan menerobos lubang papan loteng tadi. Menyusul sebelah tangannya lantas menghantam ke arah Lo-cinjin.

"Hahaha! Apa yang kau lihat sekarang? Jelas bukan?" seru Lui-ji sambil berkeplok tertawa. "Yang pecah adalah papan loteng dan bukan perut Sicekku, masa kau anggap Sicek sudah kalah? Hahaha, sungguh lucu! Jika papan loteng berlubang lantas dianggap kalah, sekarang juga dapat kulubangi papan loteng ini tiga puluh lubang sekaligus."

Dan tanpa menunggu jawaban Ji Hong-ho ia terus menyambung hitungannya, "Satu tujuh sembilan, satu delapan puluh, satu delapan satu...."

Sekali ini hitungannya tidak lebih banyak lagi daripada gebrakan yang sesungguhnya, sebab pada waktu dia bicara tadi antara Lo-cinjin dan Ji Pwe-giok sudah bergebrak delapan kali..

Ji Hong-ho menjadi bungkam dan tak dapat menyangkal. Ia tersenyum, katanya kemudian, "Ji-kongcu, papan loteng ini telah menyelamatkan jiwamu, hendaknya jangan kau lupakan hal ini."

Pwe-giok dapat menerima ucapan lawan itu, ia sendiri tahu bilamana tadi papan loteng itu tidak jebol, tentu dia akan dirobohkan oleh tenaga pukulan Lo-cinjin yang maha dahsyat itu. Kalau melulu mereka berdua yang bertanding, dengan sendirinya dia harus menyerah kalah secara jujur.

Akan tetapi pertarungan ini justeru menyangkut pula keselamatan orang lain, mau tak mau Ji Pwe-giok harus melanjutkan pertandingan ini, apapun yang diucapkan Ji Hong-ho dianggapnya sebagai angin lalu saja dan pura-pura tidak mendengar.

Setelah dua-tiga puluh gebrakan pula, kini senyuman yang menghiasi wajah Ji Hong-ho sudah tidak nampak lagi, agaknya iapun melihat betapa tangkasnya Ji Pwe-giok dan sukar dijajaki.

Angin pukulan semakin menderu, bayangan orang berkelebat. Di sekeliling loteng kecil yang penuh kerumunan penonton itu ramai orang berbisik-bisik membicarakan pertandingan dahsyat ini. Terdengar ada yang sedang berkata, "Sekarang dua ratus jurus sudah berlalu, apakah kau kira anak muda itu mampu bertahan seratus jurus lagi?"

"Hal ini sukar dipastikan." jawab seorang lain.

"Sungguh tak terduga bocah ini ternyata seorang yang tahan gebuk," demikian sambung seorang lagi. "Pada waktu mulai tadi, tampaknya dia sangat lemah, mungkin sepuluh jurus saja tidak tahan, tapi makin bergebrak makin tangkas, sekarang malah kelihatan penuh bersemangat."

Mendadak Lo-cinjin berjingkrak murka dan meraung, "Kalian semuanya tutup bacot! Jika ada yang berani kentut lagi, seketika juga kumampuskan dia!"

Karena bentakan ini, suara bisik-bisik itu serentak cep-klakep, semuanya diam, tiada yang berani buka mulut lagi. Namun dalam hati setiap orang cukup maklum bahwa Lo-cinjin sendiri sekarang juga mulai gopoh.

Dalam pada itu suara hitungan Cu Lui-ji bertambah lantang, "Dua ratus sebelas, dua ratus dua belas... dua ratus tiga belas.... "

Mencorong juga sinar mata Kwe Pian-sian menyaksikan pertandingan hebat itu.

Hanya Pwe-giok saja yang tahu keadaannya sendiri, hatinya terasa mulai tenggelam..... Tiba-tiba ia merasa dirinya tidak sanggup bertahan lagi, mungkin 30 jurus saja tidak kuat bertahan pula.

Pada saat itulah tiba-tiba Hong-sam sianseng membuka matanya, wajahnya yang sejak tadi selalu tenang itu menampilkan juga setitik rasa cemas, hanya dia dan Ji Pwe-giok saja yang tahu bahwa tenaga dalam yang dipinjamkan kepada Pwe-giok itu sudah hampir terkuras habis.

Hendaklah diketahui bahwa meski Hong-sam sianseng sejak tadi memejamkan mata, tapi dari angin pukulan kedua pihak dia dapat mengikuti apa yang terjadi, dari tenaga pukulan kedua pihak dapat dibedakannya unggul dan asornya. Sebab itulah meski tadi Ji Pwe-giok berada dalam keadaan terserang, tapi dia tidak merasa kuatir, sebab waktu itu dia tahu tenaga dalam Pwe-giok masih kuat, sekalipun Lo-cinjin sudah di atas angin juga sukar hendak merobohkan anak muda itu.

Tapi sekarang meski tenaga pukulan Pwe-giok masih tetap kuat, namun untuk menarik kembali pukulannya justeru terasa payah, bahkan setiap kali menghantam, setiap kali tenaganya juga menyusut.

Sampai akhirnya menyusutnya tenaga Pwe-giok juga bertambah cepat, begitu cepat seakan-akan dibetot orang dari luar.

Ia tahu bilamana tenaga dalamnya sudah terkuras habis, maka jangan harap akan mampu menahan sekali hantam Lo-cinjin yang kuat seperti gugur gunung dahsyatnya itu.

Mendadak dilihatnya kepalan Lo-cinjin memukul ke depan dengan gaya menusuk seperti pedang yang tajam, dalam gugupnya Pwe-giok tidak sempat berpikir lagi, langsung dia menangkis, karena itu tubuhnya lantas tergetar hingga sempoyongan.

Betapa lihay Lo-cinjin, segera ia tahu lawan sudah tidak tahan lagi, seketika semangatnya terbangkit, beruntun dia menghantam pula tiga kali sehingga Pwe-giok terdesak ke pojok.

Semua orang sama melongo heran, ada yang terkejut dan ada yang bergirang, kalau tadi mereka tidak paham mengapa Pwe-giok sanggup bertahan, maka sekarang mereka pun tidak mengerti sebab apa mendadak ia tidak tahan.

Dalam pada itu Cu Lui-ji masih terus menghitung, "Dua dua enam, dua dua tujuh, dua dua delapan...." meski hitungannya tidak pernah terputus, namun suaranya sudah mulai gemetar.

Kini hanya sisa tujuh puluhan jurus saja, namun untuk sekian jurus ini jelas Ji Pwe-giok tidak sanggup bertahan lagi. Keadaan ini sekalipun Ciong Cing juga dapat melihatnya.

Hay-hong Hujin menghela napas gegetun, katanya, "Mungkin takkan sampai hitungan dua ratus enam puluh....."

"Dua ratus lima puluh saja sudah jauh daripada cukup," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum.

Mendadak Lo-cinjin menukas dengan membentak, "Kubilang cukup dua ratus empat puluh saja!" - Berbareng dengan bentakannya, kepalan kiri dan telapak tangan kanan terus menghantam sekaligus.

Saat itu Lui-ji lagi menghitung sampai: "Dua ratus tiga puluh delapan....."

Seketika itu juga Pwe-giok merasa angin pukulan dan bayangan telapak tangan beterbangan dan entah cara bagaimana harus menangkisnya. Apalagi sekalipun dia dapat menangkis juga sukar menahan tenaga dalam yang maha dahsyat seperti gugur gunung itu.

Tampaknya dia pasti akan terpukul roboh dan tiada pilihan lain....

Wajah Ji Hong-ho kembali menampilkan senyuman gembira, Ang-lian-hoa juga telah melompat turun dari ambang jendela, Hay-hong Hujin sedang menggeleng kepala, Sip-hun merangkap kedua tangannya di depan dada seperti lagi berdoa....

Tubuh Pwe-giok tampaknya sudah mulai mendoyong ke belakang karena terdesak oleh angin pukulan yang kuat, seperti sebuah gendewa yang terpentang dan segera akan tertarik patah mentah-mentah.

"Mengaku kalah tidak?!" bentak Lo-cinjin mendadak.

Pwe-giok tidak menjawab, ia menggertak gigi dan bertahan sekuatnya sambil menggeleng sebagai tanda pantang menyerah.

Segera Lo-cinjin menambah tenaga lagi, teriaknya dengan gusar, "Masih tahan kau? Tidak roboh sekarang?!"

Akan tetapi Pwe-giok justeru tidak mau roboh, tubuhnya semakin melengkung dan semakin rendah dengan keringat memenuhi kepalanya, namun matipun dia tidak mau roboh.

Pandangan semua orang terpusat kepada Pwe-giok, sampai berkedip saja tidak. Angin di luar jendela meniup makin santer seakan-akan merobek bumi raya ini. Sedangkan semua orang yang berada di dalam sama ikut tegang, suasana sunyi menyesakkan napas.

Tiba-tiba terdengar suara keriat-keriut yang timbul dari tulang punggung Pwe-giok, nyata badannya seakan-akan ditindih patah menjadi dua oleh tenaga tekanan yang maha dahsyat itu.

Ciong Cing sudah mengucurkan air mata, sekujur badannya tampak gemetar. Kwe Pian-sian juga cemas, berulang-ulang ia mengusap keringatnya.

Sekonyong-konyong Ciong Cing berteriak dengan suara parau, "Ji-kongcu kumohon padamu, kumohon dengan sangat, hendaklah kau rebah sajalah!"

Hay-hong Hujin menghela napas panjang, ucapnya, "Ai, anak bodoh, untuk apalah kau bertahan susah payah begitu?....."

Pandangan Cu Lui-ji sudah samar-samar karena kelopak matanya mengembeng air mata, air mata pun mulai meleleh ke pipinya. Saat ini sampai Lui-ji juga hampir-hampir membujuk Pwe-giok agar rebah dan mengaku kalah saja.

Remuk redam hati Lui-ji, ia sudah tidak tega memandangnya lagi.

Ang-lian-hoa juga tidak tahan, mendadak ia berseru, "Hong-sam sianseng, apakah kau menghendaki dia mati tertindih begitu barulah mau mengaku kalah?"

Hong Sam tidak menjawabnya, sejenak kemudian barulah ia berkata dengan rawan, "Urusan sudah begini, terpaksa aku...."

Tapi mendadak Pwe-giok berteriak: "Tidak, kita belum kalah, aku belum lagi roboh, aku masih tahan!"

Lo-cinjin menjadi gusar, dampratnya, "Anak busuk, tabiat busuk, memangnya kau minta benar-benar kuhancurkan kau?!" - Saking gusarnya ia terus mendesak maju satu langkah.

Tak terduga, tiba-tiba kakinya kebetulan menginjak pada sesuatu yang lunak, kiranya dia menginjak di atas sebuah karung goni. Padahal tenaga injakannya itu tidak kepalang kuatnya, betapapun kukuhnya karung goni itu juga pecah terinjak.

"Bret", karung goni itu robek, sekonyong-konyong beratus-ratus makhluk berbisa yang sukar dibedakan jenisnya itu sama merayap ke atas tubuhnya.

Karena kejadian yang tak terduga-duga ini, semua orang sama melenggong.

Lo-cinjin menjadi kaget dan juga gusar, cepat tangannya mengebas dan kaki bergoyang, maksudnya hendak membikin rontok binatang melata itu tergetar jatuh dari tubuhnya, habis itu akan diinjaknya hingga hancur.

Akan tetapi binatang melata yang sudah terlanjur merayap ke atas tubuhnya itu terlalu banyak, seketika sukar dibersihkannya.

Maka terjadilah adegan aneh dan lucu, Lo-cinjin seperti lagi menari, sebentar tangannya berputar, lain saat kakinya melangkah, mendadak tangan menepuk tubuh sendiri pula. Kalau saja Khikangnya tidak mencapai tingkatan yang sempurna dan hawa murni meliputi seluruh tubuhnya sehingga sekeras baja, mungkin tubuhnya sudah babak belur digigit oleh kawanan makhluk berbisa itu.

Mata Cu Lui-ji seketika terbeliak, mendadak ia pergencar hitungannya, "Dua empat satu, dua empat dua, dua empat tiga......" sekaligus tanpa ganti napas ia terus menghitung, hanya sekejap saja hitungannya sudah mencapai "dua delapan puluh."

Baru sekarang Ji Hong-ho terkejut dan mengetahui permainan anak dara itu, cepat ia membentak. "He, tidak, tidak boleh, tidak dapat dianggap!"

Namun Lui-ji tidak menghiraukannya, ia masih terus menghitung. "Dua delapan satu, dua delapan dua, dua delapan tiga, dua delapan empat ......"

Mendadak Lo-cinjin meraung keras-keras satu kali, ia injak ke sana-sini dan menginjak mati kelabang yang terakhir, pada saat itu pula hitungan Cu Lui-ji juga genap "tiga ratus".

Suasana di atas loteng kecil itu seketika sunyi senyap seperti kuburan, selang sekian lamanya barulah terdengar Ji Hong-ho tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Sudah tentu caramu menghitung ini tidak sah."

"Hm, sah atau tidak adalah urusan nanti, yang jelas sekarang Sicekku roboh atau tidak?!" jengek Lui-ji.

Dalam pada itu Ji Pwe-giok lagi bersandar di dinding dengan napas terengah-engah, namun tubuhnya masih berdiri tegak tanpa ambruk.

Terpaksa Ji Hong-ho bungkam dan tak dapat menjawab.

Dengan melotot Lui-ji lantas berkata pula, "Dan kalau Ji-sicek tidak sampai roboh, sedangkan jago kalian Lo-cinjin juga sudah selesai melancarkan serangan 300 jurus, dengan sendirinya pertarungan ini telah dimenangkan oleh pihak kami, kenapa kau menyangkal dan berdasarkan apa tidak kau anggap sah?" jengek Lui-ji.

"Tapi beberapa puluh jurus Lo-cinjin yang terakhir tadi bukan ditujukan untuk melayani Ji-kongcu, hal ini disaksikan oleh semua orang, masa aku mengada-ada?"

"Hm, itu kan cuma alasanmu sendiri," jengek Lui-ji. "Jika dia sedang bergebrak dengan Sicekku, maka setiap jurus dan gerakan yang digunakannya berarti ditujukan kepada Sicek, jadi setiap gerakan, setiap jurus yang dilontarkan harus dihitung. Kalau dia menghantam dan menyerang secara ngawur, itu kan salah dia sendiri, kenapa menyalahkan orang lain?"

"Tapi makhluk berbisa itu....."

"Binatang berbisa itu kan terbungkus baik-baik di dalam karung goni, siapapun tidak mengganggunya, juga kami tidak melepaskannya, sebaliknya tanpa sebab jago kalian telah menginjaknya hingga mati semua, untuk itu malahan aku hendak minta ganti rugi padanya."

Sudah tentu Ji Hong-ho tahu ucapan anak dara itu hanya pokrol bambu saja, tapi seketika ia menjadi bungkam dan tidak sanggup menjawab. Ia melenggong sejenak, akhirnya dia berpaling ke arah Lo-cinjin, katanya dengan menyengir: "Kukira urusan ini Lo-cinjin dipersilahkan memutuskannya sendiri."

Sinar mata Lo-cinjin gemerdep, mendadak ia berseru, "Bocah ini ternyata mampu menahan 300 jurus seranganku, dia benar-benar anak yang hebat."

"Tapi cinjin sendiri tidaklah benar-benar melontarkan 300 jurus serangan ke arahnya," seru Ji Hong-ho.

Lo-cinjin mendelik, katanya, "Siapa bilang aku tidak melontarkan 300 jurus padanya? Jika dia bertanding denganku, dengan sendirinya setiap gerakanku harus dihitung satu jurus. Kalau jurus seranganku tidak mampu merobohkan dia, itu juga urusanku, kalian tidak perlu ikut campur."

Seketika Ji Hong-ho melongo dan tak dapat bersuara lagi.

Saking bergirang, akhirnya Cu Lui-ji menubruk maju dan mendekap tubuh Ji Pwe-giok, teriaknya gembira: "Sicek, O, Sicek, kita menang, kita menang........"

Ji Hong-ho tersenyum, sikapnya sudah tenang kembali, katanya: "Jika Lo-cinjin menyatakan kalian yang menang, ya dengan sendirinya kalian yang menang."

"Nah, kedua kalimat ucapannya ini masih menyerupai ucapan seorang Bu-lim-bengcu," kata Lui-ji dengan tertawa.

"Dan sekarang silahkan kalian pergi saja, orang she Ji menjamin pasti tiada orang yang akan mempersulit kalian," ujar Ji Hong-ho dengan tersenyum hambar.

"Apa katamu? Pergi? Siapa yang pergi?..." Lui-ji menegas dengan mata melotot. "Tempat ini adalah rumah kami, kenapa kami yang harus pergi? Yang benar kalau omong!"

Air muka Ji Hong-ho rada berubah, tapi Lo-cinjin lantas membentak, "Memang tidak seharusnya mereka pergi, kitalah yang harus pergi!...."

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong dari luar jendela menerobos masuk dua orang. Seorang diantaranya bersinar mata tajam mencorong, muka burik, dengan suara bengis ia berteriak, "Betul, kita harus pergi. Tapi sebelum pergi kita memenggal dulu kepala mereka."

"Kau ini barang apa?" damprat Lui-ji dengan gusar.

Ji Hong-ho tersenyum, katanya, "Inilah Tio Kun, Tio-tayhiap yang berjuluk "Boan-thian-sing" (bintang bertaburan di langit), kedua telapak tangan besinya dan ke 72 buah Kim-ci-piaunya terkenal di sekitar Kamsiok dan Samsay." –
Lalu ia tunjuk seorang lagi yang bermuka lonjong seperti kuda berbaju kuning dan bertubuh tinggi kurus, sambungnya, "Yang ini adalah Wi Hong, Wi-tayhiap yang berjuluk "Jian-li-hong-ki" (Kuda sakti seribu li), terkenal sebagai kaki cepat nomor satu di daerah Hopak dan Holam."

"Huh, manusia baik-baik kenapa suka disebut sebagai kuda?" jengek Lui-ji. "Coba kawanmu si burik ini, biarpun mukanya tidak rata kan juga tidak mau dipanggil sebagai Tio si bopeng, meski mukamu serupa kuda kan sepantasnya mencari suatu nama yang lebih enak di dengar?!"

Muka kuda Wi Hong yang memang panjang itu rasanya semakin panjang oleh karena olok-olok Cu Lui-ji itu, segera ia balas menjengek, "Hm, meski Lo-cinjin bermaksud mengalah kepada kalian, tapi kami tidak nanti melepaskan kau. Menghadapi kawanan siluman seperti kalian ini kukira juga tidak perlu bicara tentang peraturan Kangouw apa segala. Nah, budak cilik, kalau tahu gelagat, ikutlah pergi bersama tuanmu!"

Selagi telapak tangannya yang lebar seperti daun pisang itu terangkat dan hendak meraih ke arah Lui-ji, sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Sip-hun sudah berdiri di depannya dengan mengulum senyum.

"Guruku sudah menyatakan akan melepaskan mereka, maka Wi-tayhiap hendaknya juga suka berbuat sama dengan melepaskan mereka," kata Sip-hun dengan ramah.

Tapi Wi Hong lantas menjawab dengan suara bengis, "Urusan kaum Cianpwe dunia Kangouw mana ada hak bicara bagi orang muda seperti kau ini? menyingkir!" - Tangan yang baru saja ditarik kembali itu mendadak mendorong pula ke depan.

Akan tetapi Sip-hun masih tetap berdiri di tempatnya dengan tertawa, sama sekali ia tidak berkelit atau bergerak. Namun gontokan Wi Hong yang keras itu ternyata tidak mampu membuat Sip-hun bergeming sedikitpun.

Air muka Wi Hong berubah pucat, belum lagi dia bertindak lebih lanjut, Lo-cinjin telah mendekatinya dan berkata dengan suara tertahan, "Muridku ini memang tidak tahu aturan, apakah kau ingin mengajar adat padanya?"

Semua orang sudah menyaksikan sikap Lo-cinjin yang kasar itu terhadap muridnya, selain main bentak juga main pukul. Wi Hong mengira Tosu cilik yang selalu tertawa dan ramah ini tentu tidak disukai sang guru, maka ia tidak meragukan ucapan Lo-cinjin tadi, dengan tertawa ia menjawab, "Cayhe memang sembrono dan ingin meng......"

Belum habis ucapannya, kontan Lo-cinjin berjingkrak dan meraung murka, "Kau ini kutu busuk macam apa? Kaupun sesuai untuk mengajar muridku? Huh, tanganmu yang berbau busuk ini berani menyentuhnya? Baik!"

Baru saja kata "baik" diucapkan, mendadak pula ia turun tangan, secepat kilat pergelangan tangan Wi Hong dicengkeramnya, menyusul lantas terdengar suara "krak-krek", tulang pergelangan tangan itu telah dipatahkannya mentah-mentah.

Keruan Wi Hong meraung kesakitan, segera kaki kanannya menyapu. Dia terkenal sebagai kaki sakti nomor satu di daerah utara, dengan sendirinya tenaga kakinya tidak boleh dibuat main-main, sekalipun sepotong cagak batu, sekali disampuk dengan kakinya juga akan hancur.

Namun Lo-cinjin tidak berkelit juga tidak menghindar, dia sengaja menerima serampangan kaki lawan dengan keras, maka terdengar suara "krek" yang lebih keras, yang patah ternyata bukan kaki Lo-cinjin melainkan kaki Wi Hong sendiri.

Belum lagi Wi-hong sempat menjerit kesakitan, lebih dulu dia sudah kelengar.

Tanpa memandang sekejappun terhadap pecundangnya itu, Lo-cinjin berpaling ke arah Tio Kun, tanyanya dengan dingin: "Kau anggap kata-kataku seperti orang kentut, kaupun menghendaki kepala mereka, begitu bukan katamu tadi?"

Muka Tio Kun pucat pasi seperti mayat. Tapi apapun juga dia tergolong tokoh yang sudah terkenal, di depan orang banyak, betapapun dia tidak mandah diperlakukan kasar begitu, betapapun dia ingin menjaga kehormatannya.

Dia tertawa terkekeh, lalu berkata: "Baiklah, kalau Cinjin tidak mau ikut campur lagi urusan ini, boleh serahkan saja kepada kami."

"Serahkan padamu? Huh, kau ini apa?" teriak Lo-cinjin dengan murka. "Apakah karena orang sudah kehabisan tenaga dan hampir tidak bisa bergerak lagi, maka kau ingin menarik keuntungan tanpa mengeluarkan tenaga, begitu?"

Begitu habis ucapannya, sekali cengkeram, tahu-tahu leher baju Tio Kun telah dijambretnya, tubuhnya terus diangkat. Padahal perawakan Lo-cinjin jauh lebih pendek dan kecil daripada lawannya, tentu saja hal ini membuat semua orang tercengang.

Tio Kun terkejut dan juga gusar, tanpa pikir kedua telapak tangannya terus menghantam ke bawah dan tepat mengenai pundak kanan-kiri Lo-cinjin.

Seperti sudah diceritakan, Tio Kun terkenal dengan telapak tangan besinya, tapi ketika kena hantam di tubuh Lo-cinjin, telapak tangan besinya telah berubah menjadi tangan tebu, 'Krak-krek", kontan tulang tangannya patah semua, kembali ia menjerit ngeri, dari setiap burikan di mukanya tampak menetes keluar air keringat.

Begitulah dengan tangan kanan Lo-cinjin mencengkeram Tio Kun dan tangan kiri mengangkat Wi Hong, meski Tojin ini kurus kecil, tapi dua lelaki kekar itu dapat diangkatnya dengan enteng dan seenaknya, hal ini benar-benar membuat para penonton sama melongo. Malahan Lo-cinjin seperti sama sekali tidak mengeluarkan tenaga meski kedua tangan mengangkat dua lelaki besar itu, dia seperti membekuk dua ekor ayam jago saja, ayam jago yang sudah keok tentunya.

Melihat Kungfu yang mengejutkan ini baru sekarang semua orang teringat kepada Ji Pwe-giok, baru sekarang mereka dapat menilai betapa hebatnya anak muda itu.

Pikir saja, kalau dua tokoh Kangouw terkenal seperti "Boan-Thian-sing" dan "Jian-li-sin-ki" tidak sanggup menahan sekali gebrak dengan Lo-cinjin, sebaliknya Ji Pwe-giok yang masih muda belia dan kelihatan lemah lembut itu ternyata sanggup bergebrak dan bertahan sampai 300 jurus.

Waktu semua orang berpaling ke arah Ji Pwe-giok, pandangan mereka terhadap anak muda ini sekarang jelas sudah berbeda daripada tadi.

Ji Hong-ho juga sedang memandang Pwe-giok dengan lekat-lekat, sampai lama sekali dia menatap anak muda itu.

Tiba-tiba Lo-cinjin berteriak gusar, "Nah, siapa lagi yang berani menganggap ucapanku sebagai kentut? Ayo, bersuara!?"

Suasana menjadi hening, baik orang yang berada di atas loteng maupun yang nongkrong di sekeliling wuwungan rumah itu tiada seorang pun yang berani bersuara.

"Hmmk!" Lo-cinjin mendengus keras-keras satu kali, lalu melangkah turun ke bawah loteng.

Sip-hun lantas merangkap kedua tangannya di depan dada dan memberi hormat dengan tersenyum, katanya, "Beruntung hari ini Tecu sempat berjumpa dengan para Cianpwe, sungguh aku merasa sangat bangga dan bahagia. Semoga selanjutnya dapat sering-sering mendapat petunjuk lagi dari para Cianpwe."

Meski dia bicara terhadap semua orang, namun matanya terus menerus hanya memandang kepada Cu Lui-ji.

Lui-ji lantas mendamprat perlahan, "Huh, Tosu bermata maling, lekas kau enyah saja!"

Entah mendengar atau tidak, kembali Sip-hun memberi hormat dengan sopan, lalu iapun melangkah pergi, sampai di ujung tangga mendadak ia berhenti dan berpaling, katanya dengan tersenyum, "Silahkan Bengcu jalan dahulu!"

Ji Hong-ho tersenyum, ucapnya, "Hong-locianpwe, selamat tinggal, Ji-kongcu, selamat tinggal.... Kumohon diri sekarang juga."

Tiba-tiba Hay-hong Hujin berjalan ke arah Kwe Pian-sian.

Keruan orang she Kwe itu menjadi kebat-kebit dan muka pucat.

Tak tersangka Hay-hong Hujin tetap tidak memandangnya barang sekejap pun, yang dituju adalah Ciong Cing, katanya terhadap nona ini dengan tertawa, "Apakah kau ini murid Ji Siok-cin?"

Ciong Cing menunduk kikuk. Tiba-tiba ia merasa dirinya tidak boleh tampak lemah di depan saingan cintanya, seketika dia menengadah dan menjawab, "Ya!"

Hay-hong Hujin menghela napas, ucapnya kemudian. "O, kasihan, sungguh kasihan. Ai, sayang, sungguh sayang....."

"Aku..... aku..... " seketika Ciong Cing menjadi bingung dan tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ketika melihat wajah Hay-hong Hujin yang bersifat menghina itu, seketika ia naik pitam, ia tidak pedulikan lagi bagaimana akibatnya, dengan nekat ia berteriak, "Kasihan apa? Perempuan yang sudah dibuang oleh lakinya itulah yang harus dikasihani!"

Hay-hong Hujin hanya tersenyum hambar saja dan tidak meladeni lagi, dengan lemah gemulai ia melangkah pergi, ia anggap tidak berharga untuk meladeni olok-olok itu.

Sekujur badan Ciong Cing sampai bergemetar, air mata akhirnya meleleh membasahi pipinya.

Yang paling ditakuti seorang perempuan adalah kalau dihina oleh bekas kekasih orang yang dicintainya sekarang. Hal ini akan sangat menyakitkan hatinya, sebab akan dirasakannya bahwa orang yang dipandangnya seperti jiwanya, seperti sukmanya, nyatanya tidak lebih adalah barang bekas orang lain, barang yang sudah dibuang orang lain.

Ang-lian-hoa melototi Kwe Pian-sian sejenak, lalu ia pandang Hong Sam dan pandang pula Ji Pwe-giok. Mendadak ia berjumpalitan keluar jendela.

Waktu Pwe-giok memandang keluar, ternyata orang-orang yang memenuhi wuwungan sekeliling loteng kecil itu pun sudah pergi seluruhnya.

Pwe-giok menghela napas panjang, napas yang lega dan akhirnya ia pun roboh terkulai....

-oOo oOo-

Lentera yang tergantung di tangga loteng itu ternyata tidak dibawa pergi oleh rombongan Ji Hong-ho. Pintu juga tidak ditutup kembali, angin meniup masuk membuat sumbu lentera bergoyang-goyang.

Cahaya lentera yang redup itu menyinari wajah Ji Pwe-giok yang pucat bagaikan kertas.

Lui-ji menubruk maju dan mendekap tubuh anak muda itu, serunya dengan menangis, "O, Sicek, entah cara bagaimana aku harus berterima kasih padamu?!"

Keadaan Hong-samsianseng juga sangat payah, ia menghela napas panjang dan berkata dengan lemah, "Di hadapan Sicek kenapa kau bicara tentang 'terima kasih'?”

Lui-ji menunduk, air matapun bercucuran memenuhi wajahnya.

Pwe-giok tersenyum hambar, katanya, "Apapun juga kita kan sudah menang, apalagi yang kau sedihkan?"

Sambil mengusap air matanya Lui-ji berkata, "Aku tidak sedih, tapi..... tapi tidak terlalu bergembira."

Baru kata "gembira" terucapkan, tangisnya sukar dibendung lagi.

Tiba-tiba Kwe Pian-sian berdehem, lalu berkata dengan tertawa, "Sungguh tidak nyana Lo-cinjin yang termasyhur dan tiada tandingannya di dunia ini sekarang juga keok di bawah tangan saudara Ji kita. Setelah pertarungan ini, siapa pula di dunia Kangouw yang takkan kagum kepada Ji-heng...."

Mendadak Lui-ji berseru, "Dia adalah Sicekku, berdasarkan apa kau berani menyebutnya 'Ji-heng' (saudara Ji)?"

Kwe Pian-sian berdehem-dehem, ia tidak menanggapi dampratan anak dara itu, katanya pula, "Ya, selanjutnya nama Ji-kongcu pasti akan termasyhur dan mengguncangkan seluruh dunia, hanya saja...."

"Hanya saja apa?" tanya Lui-ji dengan mendongkol.

"Hanya saja, tempat ini bukan lagi tempat yang boleh didiami untuk selamanya," kata Kwe Pian-sian. "Menurut pendapatku, akan lebih baik kalau lekas pergi saja dari sini."

"Pergi dari sini?" Lui-ji menegas dengan melotot. "Di sinilah rumahku, kenapa kami harus pergi?"

"Nona tahu, meski Ji Hong-ho dan begundalnya tadi mengalami kekalahan, tapi mereka pasti penasaran dan tidak terima, jika dikatakan mereka benar-benar sudah kapok dan tidak berani mengganggu lagi ke sini, kukira siapapun takkan percaya." demikian ulasan Kwe Pian-sian.

"Tapi kalau mereka benar-benar hendak mencari kita, biarpun lari juga tiada gunanya, sebab akhirnya toh pasti akan ditemukan mereka," jengek Lui-ji. "Apalagi, memangnya kau kira Sacekku ini adalah orang yang suka main lari? Jika mau lari tentu sudah sejak dulu-dulu lari, untuk apa kami menunggu di sini sampai sekarang?"

"Memang betul juga ucapan nona," kata Kwe Pian-sian. "Tapi.... tapi kalau tetap tinggal di sini kukira juga bukan... bukan cara yang baik...."

"Jika kau ingin pergi, boleh silahkan pergi saja sesukamu, tiada orang yang akan menahan dirimu," jengek Lui-ji pula.

Muka Kwe Pian-sian sebentar pucat sebentar merah, ia tidak bicara lagi, juga tidak berani pergi.

Kalau Ang-lian-hoa dan Hay-hong Hujin ada kemungkinan sedang menunggunya diluar sana, apakah dia berani pergi?

oOo oOo

Angin menderu-deru di luar, suasana di atas loteng kecil itu justeru sunyi senyap, bila teringat kepada Ji Hong-ho dan rombongannya itu pasti tidak mau berhenti begitu saja, pikiran setiap orang menjadi tertekan.

DI tengah suara angin yang menderu-deru itu tiba-tiba terdengar suara anjing mengaing, suara mengaing yang melengking dan seram seperti jeritan setan.

Tanpa terasa Ciong Cing merinding, katanya, "Mengapa...... mengapa suara anjing itu sedemikian menakutkan?"

Bulu roma Cu Lui-ji juga berdiri, tapi ia menanggapi dengan tertawa, "Bisa jadi Ji Hong-ho telah menginjak ekor anjing itu."

Baru habis ucapannya, sekonyong-konyong suara lengking anjing tadi tak terdengar lagi, mengaingnya sangat mendadak, berhentinya juga secara mendadak. Meski suara mengaingnya menyeramkan dan menakutkan, tapi suara yang lenyap mendadak itu terlebih membuat orang mengkirik.

Di jagat raya ini seketika seperti penuh diliputi alamat yang tidak baik.

Lui-ji ingin bicara apa-apa untuk memecahkan ketegangan, tapi sukar baginya untuk bicara dan juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

Pada saat itu juga, sekonyong-konyong terdengar suara "blung" yang dahsyat, menyusul api lantas berkobar dan menjulang tinggi ke langit.

Begitu cepat nyala api itu, hanya sebentar saja hampir setengah langit sebelah sana telah terbakar hingga merah menganga.

"Keji amat tindakan Ji Hong-ho ini, dia hendak membakar mati kita," seru Kwe Pian-sian dengan kuatir.

Air muka Pwe-giok berubah agak pucat juga, katanya, "Pantas lebih dulu dia telah mengusir seluruh penduduk kota ini, rupanya memang sudah direncanakannya akan membumihanguskan Li-toh-tin ini. Hm, dia sok anggap dirinya seorang pendekar budiman, sekarang ternyata tidak segan-segan berbuat serendah ini."

Kobar api makin lama makin dahsyat dan makin mendekati loteng kecil itu, cuma belum lagi berbentuk suatu lingkaran yang mengepung.

Cepat Kwe Pian-sian melompat bangun, serunya dengan suara parau, "Ayo cepat! Lekas kita terjang keluar, mungkin masih keburu!"

Lui-ji memandang ke arah Hong Sam. Dilihatnya air muka Hong-samsianseng sangat prihatin dan tidak memberi komentar apapun.

Dengan tak sabar Kwe Pian-sian berseru pula dengan melotot, "Urusan sudah begini, masa kalian belum lagi mau pergi?!"

Pwe-giok menghela napas, katanya, "Ya, memang betul, urusan sudah kadung begini, apapun jadinya terpaksa kita harus menerjang ke luar!"

"Tapi.... tapi luka Sacek...." Lui-ji merasa ragu.

"Biarkan ku gendong Hong-lo.... Hong-samko dan kau ikut saja di belakangku," kata Pwe-giok dengan tersenyum getir.

"Dan aku bagaimana?" tukas Gin-hoa-nio yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara. "Tentunya kalian tidak akan meninggalkan diriku di sini bukan?!"

Lui-ji menggertak gigi, katanya, "Biarkan ku gendong Sacek saja dan kau.... kau gendong dia."

Kwe Pian-sian memandang Ciong Cing sekejap, akhirnya iapun menggendong nona itu, serunya "Ayolah, kalau tidak berangkat sekarang mungkin tidak keburu lagi!"

"Betul, lekaslah kalian pergi semua," kata Hong-sam sianseng.

"He, Sacek, kau...."

Belum lanjut ucapan Lui-ji, dengan menarik muka Hong-sam sianseng lantas membentak dengan suara bengis. "Sacek tidak apa-apa, masa aku perlu kau gendong dan melarikan diri?..... Memangnya Sacek adalah manusia pengecut demikian?"

Cahaya api yang berkobar dengan hebatnya telah menyinari mukanya yang kelihatan merah padam.

"Jika demikian, biarlah Siaute saja yang......"

Belum lanjut ucapan Pwe-giok, dengan gusar Hong Sam berkata pula, "Kelak bila orang Kangouw mengetahui Hong Sam telah melarikan diri dengan digendong orang, lalu kemana lagi akan ku taruh mukaku ini? Kalau sudah begitu, biarpun hidup apa bedanya lagi dengan mati?"

"Tapi..... tapi urusan dalam keadaan luar biasa," seru Pwe-giok, "Samko, apakah..... apakah engkau tak dapat memaklumi keadaan?....."

"Sudahlah," ucap Hong Sam dengan tegas, "Tekadku sudah bulat, tiada gunanya kau bicara lagi, lekas kalian berangkat saja!"

Hampir gila Lui-ji saking cemasnya. Tapi ia pun kenal watak sang paman, bilamana Hong-sam sianseng sudah mengambil keputusan demikian, di dunia ini mungkin tiada seorangpun yang mampu mengubah pendiriannya.

Pwe-giok berkata pula dengan rawan, "Ku tahu Samko kuatir pada keadaanku yang sudah lemah ini, maka lebih suka mati sendiri daripada menambah bebanku, tapi hendaklah Samko mengetahui, Siaute masih..... masih cukup kuat....."

Hong-sam sianseng terus memejamkan mata dan tidak menggubrisnya lagi biarpun apa juga yang dikatakan Pwe-giok.

Nyala api bertambah hebat dan menjilat ke sekitarnya, hanya sekejap saja api sudah dekat bangunan loteng kecil itu.

Agaknya Ji Hong-ho dan begundalnya telah memasang bahan-bahan pembakar yang mudah menyala, sebab itulah api menjalar dengan amat cepat.

Akhirnya Kwe Pian-sian berkata dengan suara serak, "Jika kalian tidak pergi, terpaksa ku pergi lebih dulu, hendaklah kalian.... kalian...." dia seperti mau omong apa-apa lagi, tapi urung. Dengan beringas ia terus melompat keluar dengan memondong Ciong Cing.

Terdengar suara tangis Ciong Cing sayup-sayup berkumandang dari luar jendela sana, sejenak kemudian lantas tidak terdengar apa-apa lagi.

"Kalian pun harus pergi, mengapa masih diam saja di sini?" bentak Hong Sam dengan suara bengis.

Tapi Lui-ji malah berduduk di sampingnya dan berkata, "Sacek tidak pergi, akupun tidak pergi."

"Kau berani membangkang ucapanku?" bentak Hong Sam dengan gusar.

Lui-ji tersenyum pedih, ucapnya, "Apapun ucapan Sacek akan ku patuhi, tapi sekali ini...... sekali ini aku......"

Mendadak Hong Sam angkat tangannya dan mendorong anak dara itu hingga jatuh tersungkur, lalu bentaknya, "Kau berani membangkang kataku, biar ku pukul mampus kau lebih dulu."

"Biarpun Sacek pukul mampus diriku tetap aku takkan pergi," jawab Lui-ji tegas.

Hong Sam menjadi kewalahan, ia menghela napas dan menggeleng.

"Ji Pwe-giok!" teriak Gin-hoa-nio mendadak, "Apakah kau juga tidak mau pergi? Apakah kau hendak mengiringi kematian mereka?"

Tapi Pwe-giok tetap berdiri saja dengan tenang, tampaknya ia pun terkesima.

Ia tahu kalau tetap tinggal di sini dan menunggu mati terbakar, hal ini sungguh perbuatan yang terlalu bodoh. Tapi apapun juga dia tidak dapat menyelamatkan diri dengan meninggalkan Cu Lui-ji dan Hong Sam.

Dengan suara parau Gin-hoa-nio berteriak, "Gila, kalian semua orang gila.... Sungguh sial aku berkumpul dengan kalian!"

Sekuatnya ia meronta ke depan jendela, tanpa pikir ia terus melompat keluar. Akan tetapi sisa tenaganya sekarang tidak seberapa lagi, baru saja terjun ke bawah segera terdengar ia menjerit kesakitan, mungkin kakinya terkilir.

Pwe-giok tahu bilamana Gin-hoa-nio hendak lolos di tengah berkobarnya api sehebat itu, maka peluangnya boleh dikatakan sangat tipis, tanpa terasa ia menghela napas.

Segera Hong Sam berteriak pula dengan beringas, "Kalian benar-benar hendak mati bersamaku?"

Pwe-giok memandang Lui-ji sekejap, lalu berkata, "Siaute ingin...."

"Bagus, jadi kalian baru mau pergi setelah ku mati, begitu?" seru Hong Sam sambil tertawa latah, mendadak ia angkat sebelah tangannya terus menghantam kepalanya sendiri.

Keruan Pwe-giok dan Lui-ji menjerit kaget, berbareng mereka memburu maju.

Syukurlah pada saat itu juga mendadak terdengar suara "blang" yang sangat keras, dinding sekeliling hancur lebur, pecahan papan beterbangan, seorang tiba-tiba menerjang masuk seperti malaikat yang baru turun dari langit!

Di bawah cahaya api yang berkobar-kobar itu, pandangan Pwe-giok juga cukup tajam, betapa wajah orang yang menerjang masuk itu seharusnya dapat dilihatnya dengan jelas.

Namun gerak tubuh orang itu sungguh terlalu cepat, baru saja terdengar suara gemuruh tadi, mungkin Hong Sam sendiri juga tertegun, tahu-tahu Pwe-giok melihat sesosok bayangan menyerempet lewat di sebelahnya, Hong Sam terus diangkatnya, lalu melayang pergi secepat kilat. Jadi bagaimana wajah pendatang ini, tua atau muda, lelaki atau perempuan, sama sekali Pwe-giok tidak tahu.

Lui-ji berteriak dengan kaget, "Hai, siapa kau? Kenapa kau menyerobot Sacekku?"

Belum lenyap suaranya, bayangan orang tadi sudah melayang pergi beberapa tombak jauhnya. Terdengar suara Hong-sam sianseng membentak di kejauhan, "Siapa kau?"

Lalu suara orang yang parau menjawab, "Aku!"

Agaknya Hong-sam sianseng lantas menghela napas panjang, napas yang lega, lalu tidak bicara lagi.

Dalam pada itu Pwe-giok dan Lui-ji juga sudah memburu keluar, dilihatnya bayangan orang di depan sana melejit-lejit seperti gundu yang dilemparkan, bila lidah api menjilat ke depan, sekali tangannya mengebas dengan perlahan, kobaran api lantas menyurut, hanya sekejap saja bayangan orang itu sudah menerjang keluar lautan api.

Meski Pwe-giok dan Lui-ji masih terus mengejar dengan sepenuh tenaga, tapi jaraknya makin lama makin jauh.

"Tinggalkan Sacekku.... Kumohon, tinggalkan Sacekku!" Lui-ji berteriak-teriak dengan suara parau.

"Wuttt", mendadak gulungan api menyambar lewat, waktu mereka memandang ke depan, bayangan tadi sudah lenyap. Lui-ji berlari lagi beberapa langkah dan akhirnya jatuh mendekap di atas tanah serta menangis tergerung-gerung.

Pwe-giok pun iba melihat tangis Lui-ji itu, cepat ia memburu maju untuk membangunkan anak dara itu. Baru sekarang Lui-ji mengetahui tanpa terasa mereka sudah menerjang keluar lautan api.

Rambut Lui-ji dan bajunya tampak ada bintik-bintik api, beberapa bagian tubuh Pwe-giok juga hangus terbakar. Tapi dalam keadaan cemas dan gelisah, keduanya sama sekali tidak merasakan hal itu.

"Kenapa kau menyerobot Sacekku? Cara bagaimana aku dapat hidup lagi selanjutnya?" demikian Lui-ji meratap dengan sedihnya.

Pwe-giok menghela napas melihat betapa berduka anak dara itu, ucapnya dengan rawan, "Tampaknya orang tadi tidak bermaksud jahat, coba kalau tiada dia, mungkin kita sudah terkubur di tengah lautan api itu."

"Tapi.... tapi bagaimana dengan.... dengan Sacek?" kata Lui-ji.

"Agaknya Sacekmu kenal dengan orang ini, mungkin sekali mereka adalah sahabat." ujar Pwe-giok. "Kalau kita melihat betapa tinggi Kungfunya tadi, bila Sacekmu dibawa pergi olehnya, kita justeru boleh merasa lega malah."

Terhibur juga hati Lui-ji, suara tangisnya mulai lirih. Ucapnya dengan masih tersedu sedan, "Ya, memang kedengaran tadi Sacek.... Sacek bertanya satu kali padanya, lalu..... lalu tidak bertanya pula, agaknya mereka memang kenal.... Tapi kalau dia membawa pergi Sacek, mengapa.... mengapa tidak membawa serta diriku sekalian?"

Dengan suara lembut Pwe-giok berkata, "Hal ini disebabkan..... disebabkan dia tidak kenal padamu."

"Memang." ujar Lui-ji dengan air mata meleleh, "Semua sahabat Sacek di masa dahulu, satupun tidak ku kenal. Ya, aku tidak kenal siapapun, sebaliknya juga tiada orang yang kenal diriku. Aku… aku...." teringat kepada nasibnya yang sengsara, tanpa terasa ia menangis sedih pula.

Pwe-giok terharu, hidung pun terasa beringus, air matanya juga hampir-hampir menetes. Pelahan ia mengebut bintik api yang masih membara di atas tubuh Lui-ji, lalu katanya dengan tertawa ewa, Tapi Sicek kan kenal padamu dan kau pun kenal Sicek, betul tidak?"

Sambil menangis Lui-ji terus menjatuhkan diri ke pangkuan Pwe-giok, ucapnya dengan suara terputus-putus, "Sicek, kau.... kau takkan meninggalkan diriku bukan?"

Diam-diam Pwe-giok menghela napas, tapi dimulut ia menjawab dengan tersenyum, "Masa Sicek akan meninggalkan kau?.... Pendek kata, kemana pun Sicek pergi pasti akan kubawa serta dirimu."

Padahal nasibnya sendiri sekarang juga terkatung-katung, ia sendiri pun ditinggalkan sanak keluarga dan handai taulan, ia pun tak tahu sekarang harus pergi ke mana. Kalau mengurus diri sendiri saja repot, mana dia sempat mengurus orang lain lagi?

Sekonyong-konyong terasa hawa panas menyambar dari belakang, rupanya kobaran api telah menjalar pula ke tempat mereka ini.

Dari jauh terdengar suara ramai orang menangis dan meratap, di tengah hiruk-pikuk itu pun terseling suara orang mencaci maki, Mungkin penduduk Li-toh-tin menjadi kalap ketika melihat rumah dan harta benda mereka telah musnah terbakar menjadi abu.

Tiba-tiba terdengar suara seorang berteriak lantang, "Hendaknya kalian jangan susah dan bingung, pokoknya segala kerugian kalian akan kami ganti sepenuhnya."

Diam-diam Pwe-giok berkerut kening, pikirnya, "Biarpun Li-toh-tin ini kota kecil dan kebanyakan penduduknya adalah kaum miskin, tapi kalau beratus keluarga jumlahnya kan jadi tidak sedikit, tapi mereka ternyata bersedia memberi ganti rugi, apakah tujuan mereka cuma hendak membakar mati beberapa orang ini?"

-oOo oOo oOo-

Angin sudah mulai berhenti, tapi malam bertambah kelam.

Suara ribut di kejauhan juga mulai sepi, Cu Lui-ji duduk termenung tanpa bergerak, sejak Pwe-giok membawanya ke tanah pekuburan yang sunyi ini, belum lagi dia berucap satu kata pun.

"Api yang mereka kobarkan itu pasti tidak cuma untuk membakar mati kita saja." kata Pwe-giok tiba-tiba.

Dengan sorot mata yang kabur Lui-ji memandangi sebuah kuburan baru di depan sana, ia hanya menanggapi ucapan Pwe-giok itu dengan suara," Oo?"

"Sebab kalau mereka menghendaki jiwa kita, pasti mereka sudah memasang perangkap di sekitar tempat yang akan mereka bakar agar kita tak dapat lolos. Tapi sekarang dengan sangat mudah kita dapat lari keluar, bahkan seorangpun tidak kita pergoki."

"Ehmm!" Lui-ji mengangguk.

"Sebab itulah kupikir, tujuan mereka hanya ingin mengusir kepergian kita saja....."

"Hanya ingin mengusir kita, dan mereka tidak sayang membumihanguskan kota kecil ini, tidak sayang untuk membayar ganti rugi harta benda sebanyak ini..... Apakah mereka sudah gila?" demikian tukas Cu Lui-ji.

"Sudah tentu di balik tindakan mereka ini masih ada sebab lain.... ya, pasti masih ada sebab lain....."

Lui-ji tersenyum getir, katanya, "Semula kurasa sudah jelas duduknya perkara, tapi ucapan Sicek ini tambah membingungkan aku."

"Semua kejadian yang tidak masuk akal ini hanya ada suatu penjelasannya," kata Pwe-giok tanpa menghiraukan ucapan Lui-ji itu.

"Penjelasan bagaimana?" tanya anak dara itu.

"Pada loteng kecil tempat tinggal kalian itu pasti tersembunyi sesuatu rahasia besar yang sangat mengejutkan orang," kata Pwe-giok.

"Rahasia besar?!" Lui-ji melengak.

"Ya, lantaran rahasia itulah maka Tonghong Bi-giok merasa berat meninggalkan ibumu meski banyak kesempatan baginya untuk pergi," kata Pwe-giok pula, "Karena rahasia itulah maka Oh-lolo dan lain-lain juga datang, juga lantaran rahasia inilah maka Ji Hong-ho dan komplotannya tidak segan menyalakan api."

Terbeliak mata Lui-ji, ia bergumam, "Tapi rahasia apakah itu?"

"Apakah kau ingat, sebelum ibumu wafat, pernahkah beliau membicarakan sesuatu yang luar biasa kepadamu?" tanya Pwe-giok dengan suara tertahan.

"Ibu tidak pernah bercerita apa-apa," ujar Lui-ji sambil berkerut kening. "Beliau cuma memberitahukan padaku bahwa tempat inilah rumahku, tempat inilah satu-satunya benda yang dapat ditinggalkannya kepadaku, aku disuruh menyayanginya, makanya selama ini aku tidak mau pergi dari sini...." mendadak suara ucapannya terhenti, matanya tambah terbelalak.

Kedua orang saling pandang sekejap, lalu serentak sama-sama berdiri.

Dalam pada itu api di kejauhan sudah semakin kecil, tampaknya sudah hampir padam.

Akan tetapi api tidak padam seluruhnya, dari ujung dinding, dari kusen pintu atau jendela yang hangus itu terkadang masih tersembur keluar lidah api dengan membawa asap yang tebal.

Sejauh mata memandang, udara penuh diliputi kabut asap yang tebal sehingga apapun tidak terlihat jelas.

Pelahan Pwe-giok dan Lui-ji menuju kembali ke tengah tumpukan puing itu.

Di bawah alingan asap, mereka menyelinap diantara reruntuhan puing, tidak lama kemudian dapatlah dilihat mereka bangunan berloteng kecil itu sudah terbakar roboh.

Hanya Li-keh-can saja, hotel yang dibangun jauh lebih kukuh daripada rumah penduduk itu tidak seluruhnya runtuh, api sudah padam lebih cepat, tiang belandar sudah terbakar seluruhnya, tapi sebagian besar dinding temboknya masih tegak.

Berjalan di atas reruntuhan puing itu, Lui-ji merasa telapak kakinya masih panas seperti menginjak bara.

Waktu ia mengintai ke balik asap tebal sana, dilihatnya di sekitar sana ada beberapa laki-laki berseragam hitam sedang mondar-mandir membersihkan sisa kebakaran, tapi Ji Hong-ho dan komplotannya tidak kelihatan, juga penduduk asli Li-toh-tin tidak nampak satupun.

Pwe-giok juga sedang mengintai dari pojok dinding sana.

Dengan suara mendesis Lui-ji bertanya, "Sicek, sekarang juga kita mulai mencari atau menunggu kedatangan mereka?"

"Sudah bertahun-tahun kau tinggal di sini dan tidak kau temukan rahasia itu, dalam waktu singkat mana dapat kita menemukannya. Apalagi kobaran api sekarang sudah mereda, kuyakin selekasnya mereka akan datang lagi ke sini."

"Kalau begitu, apakah kita perlu mencari suatu tempat untuk bersembunyi?"

"Ya, betul," jawab Pwe-giok.

"Wah, sembunyi di mana baiknya?" kata Lui-ji sambil memandang sekitarnya. "Eh, lihat Sicek, bagaimana kalau di rumah sana?"

"Rumah itu kurang baik," kata Pwe-giok, "Meski saat ini mereka belum menggeledah sampai sini, tapi selekasnya mereka pasti akan kemari."

"Habis sembunyi di mana?" tanya Lui-ji

"Dapur!" kata Pwe-giok.

Waktu Lui-ji memandang ke sana, dilihatnya dapur yang terbuat dari kayu itu sudah habis terbakar, ia berkerut kening dan berkata, "Dapur sudah terbakar, mana dapat dibuat sembunyi?"

Pwe-giok tertawa, katanya, "Meski dapur sudah terbakar, tapi di dalam dapur kan masih ada sesuatu tempat yang takkan musnah terbakar."

Terbeliak mata Cu Lui-ji, serunya dengan suara tertahan, "He, maksudmu tungku? Betul, hanya batu tungku saja yang takkan musnah terbakar untuk selamanya. Hah, sungguh bagus gagasanmu ini Sicek!"

Tanpa ayal lagi mereka terus berlari ke arah dapur hotel, terlihat di pojok sana ada sebuah gentong air yang tidak rusak, cuma air di dalam gentong juga terbakar hingga menguap seperti digodok.

Pwe-giok menyingkirkan wajan besar di atas tungku, air gentong lantas di tuang ke dalam tungku. Setelah hawa panas di dalam tungku hilang, mereka lantas menyusup ke dalam perut tungku dan wajan tadi ditutup lagi di atasnya.

Li-keh-can adalah satu-satunya hotel di Li-toh-tin, tamunya cukup banyak, setiap hari rata-rata harus melayani makan-minum dua-tiga puluh orang.

Dengan sendirinya tungku yang digunakan beberapa kali lebih besar daripada tungku rumah penduduk.

Pwe-giok dan Lui-ji bersembunyi di dalam tungku besar itu sehingga serupa sembunyi di dalam sebuah kamar sempit. Lubang tungku yang biasanya digunakan untuk menambah kayu bakar itu menjadi mirip sebuah jendela bagi mereka.

Dinding papan dapur itu sudah terbakar ludes, maka melalui "jendela' ini dapatlah Pwe-giok dan Lui-ji mengikuti gerak-gerik bangunan berloteng kecil di depan sana.

Di loteng kecil itulah Lui-ji dilahirkan dan dibesarkan, tapi sekarang bangunan itu sudah berwujud tumpukan puing, tanpa terasa air mata Lui-ji berlinang-linang pula.

Tapi sedapatnya ia tidak memperlihatkan rasa sedih itu, katanya dengan tertawa, "Sicek, kau lihat tidak? Tungku di rumahku sana juga tidak musnah terbakar."

"Ya, seperti ucapanmu tadi, tungku takkan terbakar rusak untuk selamanya," kata Pwe-giok dengan suara halus. "Dan bumi juga selamanya takkan rusak terbakar. Bilamana kau suka pada tempat ini, kelak masih boleh membangun sebuah rumah berloteng seperti tempat tinggalmu yang dulu."

Termangu-mangu Lui-ji memandang ke sana, air mata kembali bercucuran, katanya dengan hampa, "Rumah loteng memang masih dapat dibangun, tapi hari-hari kehidupan seperti dahulu tidak mungkin datang kembali lagi."

Pwe-giok juga terkesima oleh ucapan anak dara itu.

Karena ucapan Lui-ji itu, tanpa terasa ia pun terkenang kepada kehidupannya yang bahagia dan tenteram di masa lalu, teringat olehnya pohon waringin yang rimbun di halaman rumahnya itu, di bawah pohon itulah setiap musim panas ayahnya suka menyaksikan dia berlatih menulis, terbayanglah senyuman welas-asih sang ayah....

Semua itu baru saja terjadi setengah tahun yang lampau, tapi bila terkenang sekarang rasanya seperti sudah jelmaan hidup yang lalu, tanpa terasa matanya menjadi basah lagi. Ucapnya dengan rawan, "Ya, segala apa yang sudah berlalu takkan kembali lagi untuk selamanya."

"Dahulu," demikian Lui-ji bertutur dengan pelahan, "sebelum fajar menyingsing, tentu aku sudah mulai memasak bubur, terkadang kubuatkan telur dadar, sedikit sayur asin dan kacang goreng, maka nafsu makan Sacek lantas bertambah dan satu kuali bubur disikatnya habis, lalu beliau akan memuji bubur yang ku masak itu harum dan enak, sayur asin dan kacang gorengnya lezat dan gurih, tapi sekarang....." dia menghela napas, lalu menyambung dengan menunduk. "Meski tungku di sana belum rusak terbakar, selanjutnya masih dapat ku masak bubur di tungku itu, namun siapakah yang akan makan bubur yang ku masak itu."

Terharu Pwe-giok, tanpa terasa ia berkata, "Akulah yang akan makan bubur yang kau masak itu."

"Benar?" tanya Lui-ji sambil menengadah.

Sementara itu hari sudah terang, sinar sang surya menembus ke dalam tungku melalui lubang kecil itu sehingga kelihatan wajah Lui-ji yang masih basah oleh air mata itu. Sinar matanya gemerdep memancarkan cahaya kegirangan sehingga mirip setangkai bunga teratai putih dengan butiran embun yang mekar di pagi cerah di musim semi.

Tergetar juga hati Pwee-giok, cepat ia melengos dan tidak berani memandangnya lagi.

Lui-ji menghela napas, katanya, "Ku tahu ucapan Sicek tadi hanya untuk menyenangkan hatiku saja. Orang semacam Sicek tentu masih banyak urusan penting yang harus dikerjakan, mana kau sempat datang padaku untuk makan bubur yang ku masak."

Suaranya begitu lirih dan rawan sehingga hati Pwe-giok kembali terharu, jawabnya dengan tertawa, "Sicek tidak berdusta.... Biarpun banyak urusan yang harus ku selesaikan, tetapi begitu pekerjaanku selesai, suatu hari aku pasti akan datang ke sini untuk makan bubur yang kau masak."

Lui-ji tertawa senang seperti bunga yang baru mekar, ucapnya, "Jika begitu, aku akan masak satu kuali bubur dan menunggu kedatanganmu."

"Setiap hari makan bubur saja tentu juga akan bosan," kata Pwe-giok dengan serius. "Sebaiknya setiap dua-tiga hari satu kali harus kau buatkan nasi goreng istimewa bagiku, kalau tidak aku bisa kurus kelaparan karena makan bubur melulu."

Lui-ji terkikik-kikik, katanya, "Makan bubur kan waktu pagi, makan siang tentunya lain, selain nasi goreng, akan kubuatkan pula Ang-sio-tite (kaki babi saus manis), Jau-koh-kek-kiu (ayam goreng jamur) dan hidangan lain yang lezat, tanggung tidak sampai tiga bulan Sicek akan tambah gemuk satu kali lipat."

Melihat si nona tertawa girang, Pwe-giok juga bergembira. Tapi bila teringat kepada nasibnya sendiri, sakit hati ayah belum terbalas, iblis itu masih memalsu dan menyamar sebagai "Ji Hong-ho" gadungan dengan komplotan jahatnya sehingga segenap kawan Kangouw sama tertipu, sebaliknya dirinya harus berjuang sendirian, entah kapan intrik musuh baru dapat terbongkar. Untuk bisa hidup tenang dan gembira untuk makan bubur yang di masak anak dara ini, mungkin harus menunggu sampai pada penjelmaan yang akan datang.

Selagi Pwe-giok termenung, tiba-tiba Lui-ji menegur, "He, Sicek.... mengapa engkau menangis?!"

Cepat Pwe-giok mengusap matanya yang basah, jawabnya dengan tertawa, "Ah, anak bodoh, Sicek sudah tua, mana bisa menangis. Karena asap maka keluar air mata."

Lui-ji termangu sejenak, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa, "Sicek, masa kau anggap dirimu sudah tua? Jika Sacek tidak menyuruhku agar panggil Sicek padamu, sebenarnya lebih tepat kalau ku panggil Siko (kakak ke empat) padamu."

Pwe-giok memandangi wajah si nona yang berseri itu dan tak dapat menjawab. Entah manis, entah kecut, entah getir, sukar untuk dijelaskan....

Tamat

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar