Pendekar Sakti Suling Pualam Bagian 02

Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Sakti Suling Pualam Bagian 02
Bagian 02

Tampak Tio Hong Hoa sedang menyulam, dan Lie Ai Ling duduk di situ menemaninya.

“Kakak Bun Yang’” panggil Lie Ai Ling ketika melihatnya muncul.

“Adik Ai Ling, Bibi!” Tio Bun Yang mendekati mereka. “Oh, Bun Yang!” Tio Hong Hoa tersenyum. “Duduklah!”

“Ya.” Tio Bun Yang duduk lalu berkata, “Bibi, Adik Ai Ling! Bun Yang ingin menyampaikan sesuatu.”

“Mau menyampaikan apa?" tanya Tio Hong Hoa.

“Besok pagi Bun Yang akan berangkat ke Gunung Thian San bersama kauw-heng.” Tio Bun Yang memberitahukan.

“Oh?” Tio Hong Hoa tertegun.

“Kakak Bun Yang....” Lie Ai Ling tersentak. “Besok Kakak

Bun Yang akan berangkat ke Gunung Thian San bersama kauw~heng?”

“Ya” Tio Bun Yang mengangguk.

“Mau apa ke Gunung Thian San?” tanya Tio Hong Hoa dengan rasa heran.

“Kauw-heng...“ Tio Bun Yang menjelaskan tentang maksud tujuan monyet bulu putih.

“Oooh!” Tio Hong Hoa manggut-manggut. “Itu memang merupakan kesempatanmu, ada baiknya engkau ke sana.”

“Kakak Bun Yang....” Mata Lie Ai Ling mulai basah. “Kapan

engkau pulang?”

“Entahlah.” Tio Bun Yang menggelengkan kepala. “Mungkin... dua tiga tahun kemudian.”



“Kakak Bun Yang harus hati-hati, sebab Gunung Thian San sangat jauh dan sini.” ujar Lie Ai Ling.

“Adik Ai Ling!” Tio Bun Yang tersenyum. “Aku pasti hati-hati, engkau tidak usah mencemaskanku.”

“Kakak Bun Yang....” Air mata Lie Ai Ling mulal meleleh.

“Jangan menangis, Adik Ai Ling!” Tio Bun Yang membelainya. “Aku pasti pulang. Engkau harus menjaga ibumu baik-baik.”

“Ya, Kakak Bun Yang.” Lie Ai Ling manggut-manggut.

Keesokan harinya, berangkatlah Tio Bun Yang bersama monyet bulu putih ke Tionggoan menuju Gunung Thian San.

-oo0dw0oo-

Bagian ke Sembilan

13 Jurus Pukulan Cahaya Emas

Di Gunung Thay San, tampak Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan sedang berlatih Thian Liong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Naga Khayangan) dengan sungguh-sungguh Setelah itu, mereka juga berlatih Thian Liong Kiam Hoat (Ilmu Pedang Naga Kahyangan) menggunakan ranting.

Di saat mereka berhenti berlatih, terdengar suara pujian dan muncul Tayli Lo Ceng dengan wajah berseri-seri.

“Omitohud! Kalian berdua telah berhasil menguasai Thian Liong Ciang Hoat dan Than Liong Kiam Hoat! Bagus, bagus!”

“Guru!” seru mereka sambil memberi hormat.

“Ha-ha-ha!” Tayli Lo Ceng tertawa gembira, kemudian bertanya, “Sudah berapa lama kalian berada di sini?”



“Kalau tidak salah...,” jawab Toan Beng Kiat. “Sudah hampir lima tahun, bukan?”

“Betul.” Tayli Lo Ceng manggut-manggut. “Memang tak terasa, tahu-tahu sudah lima tahun.”

“Guru, bagaimana kepandaian kami?” tanya Lam Kiong Soat Lan mendadak sambil tersenyum.

“Maju pesat,” sahut Tayli Lo Ceng. “Guru tidak menyangka, kalian begitu cerdas.”

“Itu berkat bimbingan Guru,” ujar Toan Beng Kiat. “Padahal kami sangat bodoh.”

“Omitohud!” Tayli Lo Ceng manggut-manggut. “Merendah diri merupakan sifat yang baik, angkuh dan sombong justru akan meruntuhkan diri sendiri.”

“Terima kasih atas wejangan Guru.” Ucap mereka berdua serentak.

“Omitohud!” Tayli Lo Ceng menatap mereka sambil tersenyum. “Kini usia kalian sudah belasan, sudah remaja lho!”

“Guru,” tanya Toan Beng Kiat. "Kapan kami boleh pulang ke Tayli?”

“Dua tahun lagi,” sahut Tayli Lo Ceng dan menambahkan, “Hari ini guru akan menurunkan kepada kalian semacam ilmu, tapi kalian harus belajar dengan sungguh.sungguh!"

“Ilmu apa itu?” tanya Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak dengan wajah berseri.

“Kim Kong Sin Kang (Tenaga Sakti CahayaEmas), Kim Kong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Cahaya Emas) dan Kim Kong Kiam Hoat (limu Pedang Cahaya Emas)!” Tayli Lo Ceng memberitahukan.

“Terima kasih, Guru!” ucap mereka.



“Kalian berdua harus tahu,bahwa guru tidak mewariskan ilmu tersebut kepada Lie Man Chiu,” ujar Tayli Lo Ceng.

“Kenapa?” tanya Toan Beng Kiat heran.

“Omitohud....”  Tayli  Lo  Ceng  menghela  nafas  panjang.

“Karena guru tahu bagaimana wataknya. Lagi pula masih ada suatu takdir dan karma pada dirinya, maka guru tidak mewariskan ilmu tersebut kepadanya.!”

“Guru, bagaimana wataknya?” tanya Lam Kiong Soat Lan. “Takdir dan karma apa pula untuk dirinya?”

“Wataknyá agak ingin menang sendiri dan sangat berambisi,” jawab Tayli Lo Ceng memberitahukan “Mengenai takdir dan karmanya, lebih baik kalian tidak usah tahu. Yang penting kalian harus banyak melakukan kebaikan, sebab siapa yang melakukan kebaikan, pasti akan menerima takdir dan karma yang baik pula. Mengerti kalian?”

“Mengerti Guru,” sahut Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak.

“Omitohud!” ucap Tayli Lo Ceng dan menambahkan, “Setiap manusia juga tidak akan terlepas dari suatu cobaan. Di saat menghadapi cobaan, kita harus tàbah dan jangan sampai tergoyahkan.”

Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan mengangguk, dan Tayli Lo Ceng memandang mereka sambil tersenyum.

“Kalian pun harus ingat,” ujar padri tua itu dan melanjutkan, “Nasib, peruntungan, perjodohan dan musibah setiap manusia berkaitan dengan takdir. Oleh karena itu, janganlah kalian terlampau memaksa diri.

“Ya.” Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan mengangguk lagi.



Tayli Lo Ceng terus memberikan berbagai wejangan képada Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan, mereka berdua mendengar dengan penuh perhatian.

Setelah itu, barulah Tayli Lo Ceng mengajar mereka Kim Kong Sin Kang (Tenaga Sakti Cahaya Emas).

Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan telah memiliki lweekang Hud Bun Pan Yak Sin Kang dari Tayli Lo Ceng, maka tidak begitu sulit bagi mereka untuk belajar Kim Kong Sin Kang.

-oo0dw0oo-

Sementara Itu, Siang Koan Goat Nio terus melatih Giok Li Sin Kang, maka tidak mengherankan kalau lweekangnya bertambah tinggi. Hal Itu tentu sangat menggirangkan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin. Bahkan Siang Koan Goat Nio pun semakin mahir meniup suling, dan ginkangnya juga sudah maju pesat.

Kini Siang Koan Goat Nio sudah berusia empat belas tahun.

Gadis itu bertambah cantik dan lemah lembut.

Hari ini ia berlatih Giok Li Kiam Hoat, Giok Li Ciang Hoat dan ginkang. Setelah Itu, Ia duduk beristirahat di bawah sebuah pobon sambil meniup suling.

Berselang beberapa saat kemudian, barulah ia berhenti dan tiba-tiba mendengar suara tawa.

“Ha ha ha! Bagus!” Muncul Kim Siauw Suseng dan Kou HUn Bijin sambil tertawa gembira.

“Ayah, Ibu!” panggil Siang Koan Goat Nio.

“Goat Nio,” ujar Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. “Kepandaianmu makin maju. Sungguh mengagumkan!”

“Oh?” Siang Koan Goat Nio tersenyum.



"Benar” Kim Siauw Suseng manggut-manggut dan menambahkan, “Lweekangmu pun bertambah tinggi, itu sungguh di luar dugaan!”

“Semua itu....” Siang Koan Goat Nio tersenyum lagi. “Atas

bimbingan Ayah dan Ibu.”

“Ha ha ha!” Kim Siauw Suseng tertawa gelak. “Sesungguhnya itU berkat latihanmu sendiri.”

“Oh ya!” Kou Hun Bijin menatapnya dalam-dalam, kernudian tertawa cekikikan seraya berkata, “Nak, engkau bertambah cantik lho!”

“Ibu “ Wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan.

“Goat Nio,” ujar Kim Siauw Suseng sungguh-sungguh “Kini engkau sudah remaja, maka harus berhati-hati bergaul dengan kaum lelaki. Jangan sampai engkau terjerumus.”

Harus pilih yang tepat pula,” sambung Kou Hun Bijin “Oh ya, entah bagaimana keadaan Tio Cie Hiong dan lainnya, yang berada di Pulau Hong Hoang To!”

“Bijin!” kim Siauw Suseng menatap isterinya dan berkata, “Mungkin kini sudah waktunya kita pergi ke sana.”

“Ke pulau itu?”

“Benar.” Kou Hun Bijin tertawa gembira. “Kapan kita berangkat ke sana?”

“Bagaimana kalau besok pagi?”

“Itu....” Kou Hun Bijin berpikir sejenak, lalu mengangguk

dengan wajah berseri. “Baiklah.”

“Goat Nio!” Kim Siauw Suseng menatap putrinya sambil tersenyum. “Bagaimana engkau, merasa gembira akan berangkat ke Pulau Hong Hoang To?”

“Sungguh gembira sekali, Ayah,” jawab Siang Koan Goat Nio dengan wajah cerah ceria.



Di saat bersamaan, muncul Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui, yang kemudian memberi hormat kepada Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.

“Bagus!” Kou Hun Bijin tertawa. “Kebetulan kalian kemari, aku ingin bertanya kepada kalian.”

“Bijin ingin bertanya apa?” tanya Kwan Gwa Siang Koay.

“Kami bertiga akan berangkat ke Pulau Hong Hoang To, apakah kalian mau ikut?” tanya Kou Hun Bijin.

“Itu....” Kwan Gwa Siang Koay memandang Lak Kui.

“Bijin,” ujar Tiau Am Kui. “Lebih baik kami menjaga lembah ini, karena kami sudah merasa bosan bepergian jauh.”

“Baiklah.” Kou Hun Bijin manggut-manggut. “Kalian jaga baik-baik lembah ini! Kami akan berangkat besok!”

“Ya, Bijin.” Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui mengangguk. “Kami pasti menjaga baik-baik lembah ini.”

“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. “Kalian memang setia sekali kepada kami, kuucapkan terima kasih kepada kalian!”

“Sama-sama,” sahut Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui sambil tertawa.

Keesokan harinya, berangkatlah Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin dan Siang Koan Goat Nio ke Pak Hai (Laut Utara).

-oo0dw0oo-

Belasan hari kemudian, mereka bertiga telah tiba di Pulau Hong Hoang To. Betapa girangnya Tio Cie Hiong, Lim Ceng Im, Tio Tay Seng dan Sam Gan Sin Kay ketika melihat kedatangan mereka.

“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. “Sastrawan sialan, terima kasih atas kedatangan kalian!”



“Ha ha ha!” Kim Siauw Suseng juga tertawa gelak. “Pengemis bau, kukira engkau sudah mampus! Tidak tahunya masih segar bugar!”

“Kakak!” panggil Tio Cie Hiong dengan wajah berseri.

“Bibi!” panggil Lim Ceng Im sambil tertawa gembira.

“Hi hi hi! Hi hi hi!” Kou Hun Bijin tertawa nyaring saking gembiranya. “Kalian berdua pasti bahagia sekali!”

“Kakak dan Paman sastrawan pasti hidup bahagia juga,” sahut Tio Cie Hiong sambil memandang Siang Koan Goat Nio. Kakak, gadis ini....”

“Dia putri kami, namanya Siang Koan Goat Nio.” Kou Hun Bijin memberitahukan.

“Oh?” Tio Cie Hiong terbelalak. “Sungguh cantik sekali putri kalian!”

“Hi hi hi! Siapa dulu?” sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa cekikikan

“Tentu ayahnya,” ujar Kim Siauw Suseng.

“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak “Sastrawan sialan, engkau begitu jelek, tapi kenapa bisa mempunyam putri yang sedemikian cantik? Sungguh di luar dugaan!”

“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin tertawa. “Pengemis bau, aku sangat cantik, maka anakku juga pasti cantik.”

“Tidak salah, tidak salah.” Sam Gan Sin Kay terus tertawa.

"Kim Siauw Suseng, Bijin! Silakan duduk!" ucap Tio Tay Seng ramah, kemudian menyuruh pembantu menyuguhkan minuman.

Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin duduk, tak lama kemudian muncullah Tio Hong Hoa bersama Lie Ai Ling.



Tio Hong Hoa segera memberi hormat kepada mereka, sedangkan Lie Ai Ling bersujud.

“Ai Ling memberi hormat kepada Paman dan Bibi,” ucap gadis itu.

“Ha ha ha!” Kim Siauw Suseng tertawa. “Bangunlah!” “Adik Cie Hiong!” tanya Kou Hun Bijin. “Siapa gadis itu?” “Putri Kakak Hong Hoa.” Tio Cie Hiong memberitahukan.
“Oooh!” Kou Hun Bijin manggut-manggut, kemudian mengerutkan kening. “Eh, di mana Lie Man Chiu? Kenapa dia tidak kelihatan?”

“Dia... dia....” Tio Cie Hiong memandang Tio Tay Seng,

agar pamannya yang menjelaskan.

“Mantuku itu memang binatang,” ujar Tio Tay Seng mencaci. “Tak punya perasaan, tak punya nurani dan....”

“Ayah!” Tio Hong Hoa menatapnya dengan wajah muram. “Jangan mencacinya....”

“Aaaakh...!” keluh Tio Tay Seng.

Itu membuat Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin saling memandang.

"Apa gerangan yang telah terjadi?” tanya Kou Hun Bijin.

“Dia telah meninggalkan kami," sahut Tio Hong Hoa memberitahukan sambil tersenyum getir.

“Apa?!” Kou Hun Bijin dan Kim Siauw Suseng terbelalak. “Lie Man Chiu sudah mati?”

“Dia memang telah mampus!” sahut Tio Tay Seng dengan wajah dingin.

“Ayah....”  Tio  Hong  Hoa  menggeleng-gelengkan  kepala

kemudian memberitahukan, “Dia tidak mati, melainkan meninggalkan pulau ini.”



“Oh?” Kim Siauw Suseng tertegun. “Kenapa dia meninggalkan pulau ini?”

“Dia....” Tio Hong Hoa menghela nafas panjang. “Dia ingin

mengangkat namanya di rimba persilatan.”

“Apa?” Kim Siauw Suseng mengerutkan kening. “Kenapa dia jadi begitu?”

“Itu sungguh di luar dugaan!” Kou Hun Bijin mengge1eng~ge1engkan kepala. “Padahal dia murid Tayli Lo Ceng, namun bersifat begitu.”

“Tayli Lo Ceng memang ke mari sete!ah mantu sialan itu pergi.” Tio Tay Seng memberitahukan.

“Kepala gundul itu bilang apa?” tanya Kou Hun Bijin.

“Padri tua itu bilang bahwa semuanya itu adálah takdir dan suatu karma" sahut Tio Tay seng sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Ayahku pernah meninggalkan ibu, maka putriku harus menerima karma perbuatan itu."

"Kepala gundul berkata begitu?” tanya Kou Hun Bijin dengan kening berkerut-kerut.

“Ya.” Tio Tay Seng mengangguk.

“Hm!” dengus Kou Hun Bijin. “Kalau aku bertemu kepala gundul itu, pasti menggetok kepalanya!”

“Bijin....” kim Siauw Suseng menggeleng-gelengkan kepala.

“Jangan omong sembarangan!”

“Kepala gundul itu selalu mengatakan takdir dan karma! Padahal Lie Man Chiu tak punya perasaan dan nurani, namun kepala gundul itu masih membela murid sialannya dengan alasan takdir dan karma! Dasar kepala gundul...," sahut Kou Hun Bijin sengit.



“Oh ya!” tanya Kim Siauw Suseng. “Sudah berapa lama dia meninggalkan kalian?”

“Sudah lima tahun,” jawab Tio Hong Hoa dengan wajah murung.

“Dia pernah pulang?” tanya Kim Siauw Suseng lagi.

“Tidak pernah.” Tio Hong Hoa menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Dasar lelaki sialan!” caci Kou Hun Bijin. "Kalau aku bertemu dia, pasti kuhajar dia sambil merangkak-rangkak!”

“Bijin....” Kim Siauw Suseng mengerutkan kening. “Jangan

bicara sembarangan tidak baik” “Eh?” Kou Hun Bijin melotot.
“Bijin, kita adalah tamu. Jangan lupa lho!” Kim Siauw Suseng mengingatkannya “Harus tahu diri dikit.”

“Huaha ha ha!” Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. “Sungguh tak disangka, Kim Siauw Suseng berubah begitu sungkan! Ha ha ha.!”

“Pengemis bau!" Wajah Kim Siauw Suseng kemerah-merahan “Oh ya, di mana It Sim Sin Ni?”

“ibuku telah meninggal," sahut Tio Tay Seng memberitahukan dengan wajah murung.

“Hah? Apa?” Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin tertegun. “It Sim Sin Ni sudab meninggal?”

“Ya.” Tio Tay Seng mengangguk.

“Yaaah!” Kou Hun Bijin mengheja napas panjang. “Tak disangka sama sekali.”

Hening seketika suasana, berselang beberapa saat kemudian, Kou Hun Bijin memandang Tio Cie Hiong seraya bertanya,



“Cie Hiong, engkau tidak punya anak?”

“Punya.” Tio Cie Hiong memberitahukan “Anak laki-laki, namanya Tio Bun Yang.”

“Oh?” Wajah Kou Hun Bijin berseri. “Dimana dia? Cepat panggil dia kemari, aku ingin melihatnya!”

“Dia tidak berada disini,” sahut Lim Ceng Im. “Sudah sebulan dia berangkat ke Gunung Thian San bersama kauw-heng.”

“Mau apa putra kalian ke Gunung Thian San?” tanya kim Siauw Suseng heran.

“Berlatih lweekang di sana,” sahut Tio Cie Hiong memberitahukan. “Kauw-heng yang mengusulkan."

“Oooh!” Kim Siauw Susëng manggut-manggut.

"Sayang sekali” Kou Hun Bijin menggeleng-gelengkan kepala, “Oh ya, sudah berapa usianya?”

“Lima betas tahun” Lim Ceng Im memberitahukan dan bertanya “Memangnya kenapa dan ada apa, Bibi?”

“Bagus!” Kou Hun Bijin tertawa “Putriku berusiá empat belas tahun”

“Bagus!” sahut Sam Gan Sin Kay sambil tertawa, “Bijin, Bun Yang tampan sekali, bahkan lemah lembut dan sudah menguasai seluruh kepandaian Cie Hiong, dia pun sangat cerdas.”

"Pengemis bau!” Kim Siauw Suseng tertawa “Mulai mempromosi ya?”

“Kira-kira begitulah,” sahut Sam Gan Sin Kay lalu memandang Siang Koan Goat Nio “Sastrawan siatan! Putrimu cantik sekali”

“Betul” Kim Siauw Suseng mengangguk dan menambahkan, “Bahkan lemah lembut”



“Dia pun telah menguasai seluruh kepandaian kami,” sambung Kon Hun Bijin melanjutkan, “juga pandai meniup suling”

“Bun Yang pun pandai sekali meniup suling, Cie Hiong menghadiahkan suling pualam kepadanya,” ujar Sam Gan Sin Kay.

“Suara sulingnya sungguh mènggetarkan kalbu,” sela Tio Tay Seng. “Siapa yang mendengarnya pasti terlena.”

“Ha ha ha!” Kim Siauw Suseng tertawa gelak. “Aku pun telah menghadiahkan suling emas kepada putriku”

“Siapa yang mendengar suaranya, sukmanya pasti terbetot keluar,” sambung Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring

“Ibu...? Wajah Siang Koan Goat Nio tampak kemerah-merahan

“Wuah! Untung...,” ujar Sam Gan Sin Kay dengan wajah serius.

“Apa maksudmu, pengemis bau?” tanya Kim Siauw Suseng sambil menàtapnya tajam. “Untung apa?”

“Putrimu itu....” Sam Gan Sin Kay tersenyum.

“Kenapa dia’?” tanya Kim Siauw Suseng.

“Untung tidak memiliki kebiasaan buruk ibunya,” sahut Sam Gan Sin Kay memberitahukan. “Ibunya sering tertawa nyaring dan cekikikan, bukankah itu merupakan kebiasaan buruk?"

“Hi hi his” Kou Hun Bijin tertawa cekikikan, “Pengemis bau! Kalau engkau berani nyerocos yang bukan-bukan, pipimu pasti bengkak!”

“Maaf! Maaf!” Ucap Sam Gan Sin Kay, lalu diam tak bersuara lagi.



“Oh ya, Adik kecil!” Kou Hun Bijin memandang Tio Cie Hiong. “Engkau harus mewariskan sedikit kepandiaanmu kepada putriku, jangan pelit lho!”

“Kakak!” Tio Cie Hiong tersenyum. “Aku memang berniat demikian.”

“Oh?” Kou Hun Bijin tertawa gembira. “Goat Nio cepatlah mengucapkan terima kasih kepada Paman Cie Hiong!”

“Terima kasih, Paman!” Ucap Siang Koan Goat Nio.

“Cie Hiong!” Kim Siauw Suseng tertawa. “Engkau ingin mewariskan kepandaian kepada putriku?”

“Tujuh jurus Bit Ciat Kang Khi (Ilmu Pemusnah Kepandaian).” Tio Cie Hiong memberitahukan. “Dan Cit Loan Kiam Hoat (ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling).”

“Apa?” Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin terbelalak. “Cit Loan Kiam Hoat?”

“Ya.” Tio Cie Hiong mengangguk. “Ilmu ciptaanku, yang kalau tidak dalam keadaan bahaya, tidak boleh dikeluarkan.”

“Kenapa?” tanya Kou Hun Bijin.

“Sebab ilmu tersebut sangat lihay dan ganas, yang setiap jurusnya pasti mematikan lawan,” jawab Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.

“Cie Hiong, maukah engkau memperlihatkan ilmu itu? Kami ingin menyaksikannya,” ujar Kim Siauw Suseng.

“Tentu mau.” Tio Cie Hiong tersenyum sambil bangkit berdiri. “Goat Nio, mana suling emasmu? Pinjamkan kepadaku!"

“Ya, Paman.” Siang Koan Goat Nio segera menyerahkan suling emasnya. Hatinya girang bukan main sebab kedua orang tuanya selalu memuji kepandaian Tio Cie Hiong, dan kini ia mempunyai kesempatan untuk menyaksikannya.



Tio Cie Hiong melangkah ke tengah-tengah ruangan, mempertunjukkan Cit Loan Kiam Hoat, ilmu ciptaannya.

Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin menyaksikannya dengan mata terbelalak, kemudian merasa berkunang-kunang dan pusing. Begitu pula Siang Koan Goat Nio. Bahkan gadis itu memejamkan matanya, tidak berani terus menyaksikannya karena merasa pusing sekali.

Berselang beberapa saat, barulah Tio Cie Hiong menghentikan gerakannya. Dikembalikannya suling emas itu kepada Siang Koan Goat Nio, lalu kembali ke tempat duduknya.

“Adik kecil...” Kou Hun Bijin menatapnya dengan mata terbeliak. “Betulkah engkau yang menciptakan Cit Loan Kiam Hoat itu?”

“Betul.” Tio Cie Hiong mengangguk kemudian memberitahukan, “Itu berdasarkan ilmu pedang Im Sie Hong Mo dan Pek Ih Hong Li.”

“Bukan main hebatnya ilmu pedang itu!” Kou Hun Bijin menggeleng-gelengkan kepala dan bertanya. “Adik kecil, betulkah engkau akan mengajarkannya kepada Goat Nio?”

“Tentu.” Tio Cie Hiong tersenyum. “Bagaimana mungkin aku bohong? Bahkan aku juga akan mengajarkan kepada Ai Ling, jadi mereka berdua bisa berlatih bersama-sama.”

“Terima kasih, Paman!” Ucap Lie Ai Ling cepat.

“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay tertawa mendadak sambil menatap Kim Siauw Suseng.

“Sastrawan sialan! Kenapa engkau diam saja.”

“Pengemis bau!” Sahut Kim Siauw Suseng sambil menghela nafas panjang. “Aku màsih merasa pusing gara-gara menyaksikan Ilmu Pedang Cit Loan Kiam Hoat itu.”



“Oh?” Sam Gan Sin Kay tertawa lagi. “Sastrawan sialan, kita adalah Bu Lim Ji Khie, namun sudah ketinggalan jauh.”

“Benar.” Kim Siauw Suseng manggut-manggut. “O!eh karena itu, lebih baik kita hidup tenang saja.”

“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay tertawa. “Aku memang hidup tenang di pulau ini, setiap hari cuma main catur dengan Tio Tocu.”

“Oh?” Kim Siauw Suseng merasa tertarik.

“Aku mau bergabung untuk main catur, kalian tidak berkeberatan, bukan?”

“Tentu tidak,” sahut Sam Gan Sin Kay. “Pasti kami terima dengan dada terbuka.”

“Hi hi hi!” Mendadak Kou Hun Bijin tertawa geli.

“Eh?” Sam Gan Sin Kay heran. “Bijin, kenapa engkau tertawa geli? Apa yang menggelikan?”

“Barusan engkau bilang apa, pengemis bau?” sahut Kou Hun Bijin.

“Aku bilang... pasti kami terima dengan dada terbuka,” ujar Sam Gan Sin Kay. “Kenapa?”

“Dada terbuka? Jadi kalian ingin terima suamiku dengan dada terbuka?” Kou Hun Bijin tertawa cekikikan.

“Eh? Itu...” Wajah Sam Gan Sin Kay langsung memerah. “Itu cuma arti kiasan lho!”

“Hi hi hi...” Kou Hun Bijin masih tertawa cekikikan.

“Oh ya!” Tio Tay Seng teringat sesuatu. “Karena Goat Nio akan belajar di sini, maka kalianpun harus tinggal di sini.”

“Itu sudah pasti,” sahut Kou Hun Bijin. ‘Pulau Hong Hoang To ini sangat indah dan tenang, aku ingin menikmatinya.”



“Bagus, bagus!” Sambung Kim Siauw Suseng. “Jadi aku juga bisa main catur dengan pengemis bau dan Tio Tocu! Ha ha ha...!”

-oo0dw0oo-

Siang Koan Goat Nio berlatih bersama Lie Ai Ling. Kelihatannya mereka sangat cocok, karena rnereká selalu bercanda ria di saat beristirahat.

“Goat Nio!” ujar Lie Ai Ling. “Aku tidak menyangká, ibumu südah berusia seratus tahun lebih. Pada hal kelihatan baru berusia empat puluhãn, lagi pula ibumu cantik sekali.”

“Al Ling!” Siang Koan Goat Nio tersenyum. “Kedua orang tuaku awet muda, maka tampak masih muda.”

“Engkau juga awet muda?”

"Tëntu tidak, karena aku tidak pernah makan buah ajaib, yang membuat diriku awet muda” sahut Siang Koan Goat Nio. “Oh ya, usia ibumu barü empat puluhan, namun....”

“Tampak tua dan rambutnya pun mulai memutih, bukan?”

“Aaaah!” Lie Ai Ling menghela nafas panjang. “Ibuku sungguh menderita, dia hidup dengan batin tertekan.”

“Ai Ling’” Siang Koan Goat Nio menatapnya lembüt. “Terus terang, aku tidak menyangka ayahmu..."

“Tak punya perasaan dan nurani, bukan?”

“Ya” Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala dan melanjutkan, “Aku jadi takut kepada kaum lelaki. Daripada punya suami seperti ayahmu, lebih balk tidak menikah.”

"Benar." Lie Ai Ling mengangguk. .“Aku sependapat denganmu, tapi... tidak semua lelaki seperti ayahku. Misalnya paman Cie Hiong, dia begitu mencintai dan menyayangi anak isterinya.”



“Oh ya!” Mendadak wajab Siang Koan Goat Nio tampak agak memerah. “Bagaimana sifat Tio Bun Yang?”

“Dia adalah pemuda yang paling baik di dunia,” sahut Lie Ai Ling memberitahukan. “Lemah lembut, penuh pengertian dan berhati bajik pula.”

“Oh?” Wajah Siang Koan Goat Nio berseri. “Ai Ling, kalian berdua besar bersama, tentunya saling... mencintai, kan?”

“Memang.” Lie Ai Ling mengaugguk. “Dia sangat menyayangi dan mencintaiku, begitu pula aku terhadapnya.”

“Oh, ya?” Wajah Siang Koan Goat Nio langsung berubah muram. “Kalian kalian akan menikah kelak.”

“Apa?!” Lie Ai Ling terbelalak. “Kami akan menikah kelak?”

“Lho? Bukankah kalian sudah saling mencinta? Tentunya akan menikah kelak. Ya, kan?”

“Tidak mungkin.” Lie Ai Ling tertawa geli.

“Kenapa?” Siang Koan Goat Nio tercengang.

“Karena...” Lie Ai Ling memberitahukan. “Hubungan kami bagaikan saudara kandung, tentunya tidak akan menikah kelak. Eeeh? Kelihatannya engkau sangat memperhatikan Kakak Bun Yang, jangan2. . ."

“Aku....” Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala.

“Oooh!” Lie Ai Ling tersenyum, “Ternyata engkau tertarik kepadanya. Terus terang, Kakak Bun Yang tampan sekali. kalau engkau melihatnya, pasti akan jatuh cinta.”

“Ai Ling Wajah Siang Koan Goat Nio memerah lagi. “Jangan bicara yang bukan-bukan!”

“Aku bicara sesungguhnya.” Lie Ai Ling tampak serius. “Sejak kecil kami selalu bersama, jadi aku tahu jelas bagaimana sifat, watak dan prilakunya. Engkau cantik sekali,



juga lemah lembut. Maka... kalian merupakan pasangan yang serasi

“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio tertawa kecil “Aku belum bertemu dia, dia pun belum bertemu aku....”

“Namun begitu bertemu, kalian pasti saling jatuh cinta,” sahut Lie Ai Ling. “Aku yakin itu.”

“Ai Ling,” tanya Siang Koan Goat Nio setengah berbisik. “Betulkah dia pandai sekali meniup suling?”

"Betul” Lie Ai Ling mengangguk dan menambahkan, “Bahkan kepandaiannya pun sudah tinggi sekali”

“Tapi” Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala. “Belum tentu dia àkàn menaruh perhatian kepadaku.”

“Goat Nio!” Lie Al Ling tersenyum. “Pokoknya aku siap membantu dalam hal ini. Terus terang, aku tidak menghendaki dia jatuh cinta kepada gadis yang tak kusukai.”

“Kenapa begitu?” tanya Siang Koan Goat Nio.

“Sebab dia kakakku,” sahut Lie Ai Ling sambil menatapnya. “Aku menyukaimu, maka dia boleh jatuh cinta kepadamu.”

“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio tersenyum. “Engkau harus ingat satu hal, itu ada baiknya bagimu.”

“Mengenai hal apa?” tanya Lie Ai Ling heran.

“Cinta jangan dipaksa, lagi pula harus tumbuh di kedua pihak.” Siang Koan Goat Nio memberitahukan. “Kalau cuma tumbuh sepihak, itu percuma.”

“Oooh!” Lie Ai Ling manggut-manggut. “AkU mengerti, terima kasih atas petunjukmu!”

“Ha ha ba!" Terdengar suara tawa, kemudian muncul Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin, TIo Cie Hiong dan Lim Ceng Im. "Kenapa kalian tidak berlatih, malah terus mengobrol tak henti-hentinya?”



“Ayah, Ibu, Paman, Bibi!” panggil Siang Koan Goat Nio. Lie Ai Ling juga memanggil mereka sambil tertawa.

“Kami berdua sedang membicarakan sesuatu.” Lie Ai Ling memberitahukan.

“Oh?” Tio Cie Hiong tersenyum. “Kalian mem- bicarakan apa? Bolehkah aku tahu?”

“Itu... mengenai kakak Bun Yang.” Lie Ai Ling memberitahukan, Lalu menunjuk Siang Koan Goat Nio. “Dia terus bertanya tentang Kakak Bun Yang.”

“Eh? Ai Ling!” Wajah gadis itu langsung memerah. “Aku....”

“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. “Bagus, bagus sekali! Goat Nio memang harus tahu jelas mengenal Bun Yang. Hi hi hi...!”

“Ibu!” Siang Koan Goat Nio menundukkan wajahnya dalam-dalam.

“Ai Ling,” ujar Tio Cie Hiong. “Engkau boleh memberitahukannya mengenai Bun Yang, tapi... tidak boleh menambah bumbu.

“Paman!” Lie Ai Ling tersenyum. “Ai Ling memberitahukan apa adanya, tidak dikurangi maupun ditambah. Itu juga sudah cukup membuat Goat Nio tertarik. Padahal Goat Nio belum melihat Kakak Bun Yang, apa lagi melihatnya....”

“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio mencubit lengan gadis itu.

“Aduh!” jerit Lie Ai Ling sambil tertawa. “Engkau jangan galak-galak terhadapku! Nanti aku tidak mau membantumu, baru tahu rasa!”

“Ha ha ha!” Kim Siauw Suseng tertawa gelak. “Ai Ling, biar bagaimana pun engkau harus membantunya. Sebab... dia sudah tertarik kepada Bun Yang.”

"Ayah!” Siang Koan Goat Nio cemberut.



“Eeeeh?” Kou Hun Bijin terbelalak. “Tak kusangka anakku sudah bisa cemberut, itu pertanda ada kemajuan! Hi hi hi!”

“Ibu....” Slang Koan Goat Nio membanting-banting kaki.

“Wuah!” Kim Slauw Suseng tertawa terbahak-bahak. “Bertambah maju lagi sekarang, karena sudah bisa membanting-banting kaki!”

“Ayah....” Siang Koan Goat Nio betut-betul salah tingkah

digoda kedua orang tuanya.

“Goat Nio!” Lim Ceng Im tersenyum lembut sambil mendekatinya, kemudian tanyanya berbisik, “Betulkah engkau tertarik kepada Bun Yang?”

“Maaf, Bibi!” jawab Siang Koan Goat Nio dengan suara rendah. “Goat Nio tidak berani memastikan, sebab... belum bertemu dia.”

“Menurut  bibi....”  Lim  Ceng  Im  tersenyum  lagi.  “Kalian

berdua memang merupakan pasangan yang serasi.” “Bibi....” Wajah Siang Koan Goat Nio memerah.

“Jangan bisik-bisik!” ujar Kou Hun Bijin. “Kami tidak dengar nih.”

“Itu tidak apa-apa,” sahut Kim Siauw Suseng sambil tertawa. “Mereka memang harus ada pendekatan.”

“Adik kecil!” Kou Hun Bijin menatapnya. “Bagaimana menurutmu, putriku cocok dengan putramu?”

“Menurutku, mereka memang cocok,” ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. “Tapi itu juga tergantung pada mereka, sebab mereka belum bertatap muka.”

"Hi hi hi!” Kou Hun Bijin tertawa. “Aku senang sekali, apabila putriku berjodoh dengan putramu.” katanya blak-blakan.

“Aku pun senang sekali,” sambung Kim Siauw Suseng.



“Sama,” ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. “Mereka memiliki sifat yang sesuai, lemah lembut dan serasi pula.”

“Ngmm!” Kou Hun Bijin manggut-manggut. “Oh ya, kapan putramu pulang?”

“Entahlah.” Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. “Mungkin... dua tahun lagi, sebab dia berlatih lweekang di Gunung Thian San!”

“Kalau begitu...,” ujar Kou Hun Bijin sungguh-sungguh. “Kami akan tinggal di sini dua tahun.”

“Asyiiik!” seru Kim Siauw Suseng girang.

“Lho?” Kou Hun Bijin mengerutkan kening. “Kok engkau yang asyik?”

“Karena aku bisa terus main catur dengan pengemis bau dan Tio Tocu. Nah, bukankah itu asyik sekali?” sahut Kim Siauw Suseng sambil tertawa. ‘Ha ha ha!”

-oo0dw0oo-


Bagian Ke Sepuluh

Dibunuh orang misterius


Sudah lima tahun lebih Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan ikut Tayli Lo Ceng. Maka tidak heran kalau Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng rindu sekali kepada putra mereka. Begitu pula Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian, mereka pun rindu sekali kepada Lam Kiong Soat Lan, putri mereka itu.

“Sudah lima tahun lebih, kenapa mereka masih belum pulang?” keluh Toan Wie Kie sambil menggeleng~ge1engkan kepala.



Mereka berempat duduk dekat taman bunga. Wajah mereka tampak muram memikirkan Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.

“Mungkin mereka belum berhasil menguasai ilmu-ilmu yang diwariskan Tayli Lo Ceng,” tukas Gouw Sian Eng.

“Itu memang mungkin.” Toan Wie Kie manggut-manggut.

“Biar bagaimana pun...,” ujar Lam Kiong Bie Liong. “Kita harus tetap bersabar, mungkin tidak lama lagi mereka akan pulang.”

“Bagaimana kalau kita ke Gunung Thay San menemui mereka?” tanya Toan Pit Lian mendadak seakan mengusulkan.

“Tidak mungkin.” Toan Wie Kie menggelengkan kepala. “Lagi pula ayah tidak akan mengijinkan kita pergi ke sana.”

“Benar.” Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut. “Lebih baik terus bersabar menunggu saja.”

“Tapi....”  Toan  Pit  Lian  menghela  nafas  panjang.  “Aku

sudah rindu sekali kepada Soat Lan.”

“Kami pun rindu sekali kepada Beng Kiat,” ujar Gouw Sian Eng. “Namun kita tidak boleh kesana menemui mereka, karena ayah pasti gusar.”

“Betul.” Toan Wie Kie mengangguk. “Memang lebih baik kita bersabar saja, jangan menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan.”

Di saat bersamaan, tampak Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin menghampiri mereka sambil tersenyum.

“Ternyata kalian berada di sini!” ujar Tui Hun Lojin. “Kalian sedang membicarakan apa?”

"Membicarakan Beng Kiat dan Soat Lan," jawab Toan Wie Kie. “Sudah lima tahun lebih mereka berdua ikut Tayli Lo Ceng, namun masih belum pulang.”



“Jadi kalian rindu kepada mereka?” tanya Lam Kiong hujin.

“Ya, Ibu.” Lam Kiong Bie Liong mengangguk.

“Kami pun sangat merindukan mereka, tapi kita harus tetap sabar menunggu,” ujar Lam Kiong hujin.

“Tadi      Pit           Lian        mengusulkan....”             Lam        Kiong     Bie          Liong

memberitahukan. "Ke Gunung Thay San menemui mereka.

“Tidak mungkin.” Tui Hun Lojin menggelengkan kepala. “Sebab akan menggusarkan Hong Ya.”

"Karena itu, usul Pit Lian kami tolak,” ujar Toan Wie Kie. “Lebih baik tetap bersabar menunggu mereka pulang."

“Begini...,” ujar Tui Hun Lojin. “Biar aku yang ke Gunung Thay San menemui mereka, sebab aku pun ingin ke markas pusat Kay Pang menemui Han Tiong.”

“Kalau begitu...,” sela Lam Kiong hujin. “Aku ikut, karena aku memang sudah rindu sekali kepada Soat Lan.”

“Baik.” Tui Hun Lojin mengangguk. “Setelah itu, kita ke mari bersama Beng Kiat dan Soat Lan.”

“Tapi Ibu harus berunding dulu dengan Hong Ya,” ujar Lam Kiong Bie Liong.

“Tentu.” Lam Kiong hujin manggut-manggut sambil tersenyum. “Tidak mungkin kami akan pergi secara diam-diam.”

“Kalau begitu, mari kita pergi menemui Hong Ya!" ajak Tui Hun Lojin sekaligus melangkah kedalam.

Lam Kiong hujin segera mengikutinya, sedangkan Lam Kiong Bie Liong, Toan Pit Lian, Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng cuma saling memandang.

Sementara Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin sudäh sampai di ruang tengah, kebetulan Toan Hong Ya sedang duduk di situ.



“Hong Ya!” Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin memberi hormat.

“Oh!” Toan Hong Ya tersenyum. “Silakan duduk!”

Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin duduk. Toan Hong Ya memandang mereka seraya bertanya,

“Ada sesuatu penting?”

“Hong Ya!” Tui Hun Lojin memberitahukan. “Kami sangat rindu kepada Beng Kiat dan Soat Lan, maka... kami ingin ke Gunung Thay San menemui mereka.”

“Oooh!” Toang Hong Ya manggut-manggut. “Baiklah! Tolong sampaikan salamku kepada Tayli Lo Ceng!”

“Ya, Hong Ya.” Tui Hun Lojin mengangguk.

“Kapan kalian mau berangkat ke Tionggoan?” tanya Toan Hong Ya.

“Besok? jawab Lam Kiong hujin.

“Kalau begitu...” ujar Toang Hong Ya. “Aku akan menyuruh pengawal menyediakan dua ekor kuda jempolan untuk kalian.”

“Terima kasih, Hong Ya!” ucap Lam Kiong hujin dan Tui Hun Lojin serentak, lalu meninggalkan ruangan itu dan kembali ketaman bunga.

“Bagaimana Ibu?” tanya Lam Kiong Bie Liong.

“Hong Ya memperbolehkan ibu ke Gunung Thay San?” “Ya.” Lam Kiong hujin tersenyum.

“Kapan Kakek berangkat?" tanya Gouw Sian Eng.

“Besok,” Sahut Tui Hun Lojin. “Kakek juga ingin ke markas pusat Kay Pang menemui ayahmu, karena sudah lama kakek tidak bertemu ayahmu.”

“Hati-hati Kakek!” pesan Gouw Sian Eng.



“Hati-hati Ibu!” pesan Lam Kiong Bie Liong.

Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin tersenyum sambil manggut-manggut, kemudian Tui Hun Lojin berkata,

“Kalian tidak usah mencemaskan kami, kami pasti kembali bersama Beng Kiat dan Soat Lan.”

Siapa pun tidak akan menyangka, bahwa kepergian Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin justru untuk selama-lamanya.

-oo0dw0oo-

Tampak dua ekor kuda berlari kencang meninggalkan Tayli. Penunggangnya adalah Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin, yang keduanya tampak berseri-seri.

“Lam Kiong hujin,” ujar Tui Hun Lojin. “Kita mampir dulu ke markas pusat Kay Pang, setelah itu barulah ke Guñung Thay San. Bagaimana?"

“Tidak apa-apa,” Sahut Lam Kiong hujin. “Sebab harus melewati daerah markas pusat Kay Pang, tidak ada salahnya kalau kita mampir dulu ke sana.”

“Lam Kiong hujin!” Tui Hun Lojin tertawa. “Sudah lima tahun lebih kita tidak bertemu Beng Kiat dan Soat Lan, mereka pasti sudah besar.”

“Tentu.” Lam Kiong hujin tersenyum. “Kini mereka sudah remaja. Jangan-jangan kita tidak akan mengenali mereka lagi.”

“Mungkin.” Tui Hun Lojin tertawa gelak. “Ha ha ha...!”

Beberapa hari kemudian, mereka sudah memasuki daerah Tionggoan, maka kedua-duanya merasa gembira.

Ketika hari mulai sore, sampailah mereka disebuah lembah. Tiba-tiba Tui Hun Lojin mengerutkan kening seraya berkata,

“Lam Kiong hujin, kenapa perasaanku tidak enak? Mungkinkah akan terjadi sesuatu?”



“Oh?” Lam Kiong hujin juga mengerutkan kening, dan kemudian mereka menghentikan kuda masing-masing.

“Heran!” gumam Tui Hun Lojin. “Kenapa mendadak muncul perasaan yang tidak enak?”

Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara tawa yang sangat menyeramkan lalu melayang turun sosok bayangan kebijau.hjjauan.

“Siapa! bentak Tui Hun Lojin sambil meloncat turun dan punggung kudanya. Begitu pula Lam Kiong hujin.

"Hmm!” dengus orang yang baru muncul itu. Orang itu mengenakan jubah bijau, mukanya berbentuk segi empat, bermata besar dan memancarkan sinar kehijau~hijauan.

“Engkau pasti Tui Hun Lojin!” Orang itu menunjuknya kemudian menunjuk Lam Kiong hujin. “Dan engkau pasti Lam Kiong hujin!”

“Benar!” Tui Hun Lojin mengangguk. “Siapa engkau, kenapa menghadang perjalanan kami?"

“He he he!” Orang itu tertawa terkekeh-kekeh. “Hari ini kalian berdua harus mampus! Setelah kalian mampus, aku akan ke Kwan Gwa Siang Koay mencani Siang Koay dan Lak Kui!”

“Beritahukan!” desak Tui Hun Lojin. “Siapa engkau? Ada permusuhan apa di antara kita?”

“Aku adalah Seng Hwee Sin Kun (Si Malaikat Api Suci), adik seperguruan Ang Bin Sat Sin (Algojo Muka Merah)!” Orang itu memberitahukan. “Maka hari ini kalian harus mampus!”

Tui Hun Lojin dan Lam Kiong bujin saling memandang, kelihatannya mereka berdua sudah siap bertarung dengan Seng Hwee Sin Kun.



“He he be?” Seng Hwee Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh dan mendadak sepasang telapak tangannya berubah kehijau-hijauan, bahkan mengeluarkan hawa yang sangat panas.

“Lam Kiong hujin!” pesan Tui Hun Lojin. “Kita harus berhati-hati! Kita tidak membawa senjata, terpaksa melawannya dengan tangan kosong!”

"He he he!” Seng Hwee Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh lagi, lalu mulai menyerang Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.

Mereka berdua segera berkelit dan balas menyerang dengan ilmu andalan masing-masing.

Terjadilah pertarungan sengit. Kira-kira dua puluh jurus kemudian, Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin mulai berada di bawah angin. Betapa terkejutnya mereka berdua. Sebab hawa pukulan pihak lawan membuat mereka terasa seperti terbakar, dan mereka sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apa itu.

"He he he! He he he!” Seng Hwee Sin Kun tertawa seram. “Kini sudah waktunya kalian mampus!”

Mendadak sepasang telapak tangan Seng Hwee Sin Kun tampak membara, dan ia langsung menyerang Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin. Mereka berdua terpaksa menangkis, karena tiada kesempatan untuk berkelit.

“Aaaakh! Aaakh!” Terdengar suara jeritan yang sangat menyayat hati.

Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin terhuyung-huyung kemudian roboh dan nyawa mereka melayang seketika. Sungguh mengerikan kematian mereka, sekujur badan mereka hangus seperti terbakar.

"He he he!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak, lalu melesat pergi dan masih tertawa. Mayat Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin dibiarkan tergeletak di situ.

-oo0dw0oo0



Hening sekali suasana dimarkas pusat Kay Pang, para anggota semuanya diam dan tampak berduka pula.

Di ruang depan, tampak Lim Peng Hang, Gouw Hang Tiong dan empat pelindung hukum duduk di situ dengan kening berkerut-kerut.

Wajah Gouw Han Tiong pucat pias dan matanya agak membengkak.

"Saudara Gouw, jangan terlampau berduka! Yang penting kita harus menyelidiki siapa pembunuh ayahmu dan Lam Kiong hujin.” kata Lim Peng Hang sambil menatapnya.

"Aku yakin ayahku dan Lam Kiong hujin menuju kemari dan Tayli, tapi mereka berdua terbunuh di lembah itu. Siapa pembunuh itu?” gumam Gouw Han Tiong

“Sekujur badan mereka hangus, terkena semacam pukulan,” ujar Lim Peng Hang. “Kita tidak pernah mendengar ada ilmu pukulan seperti itu dalam rimba persilatan.”

"Itu adalah ilmu pukulan yang mengandung api,” ujar salah seorang pelindung hukum. “Dapat dibayangkan, betapa tingginya lweekang pembunuh itu!”

"Benar.” Lim Peng Hang manggut.-manggut. “Mungkin aku juga tidak akan sanggup menyambut pukulan itu. Heran? Kenapa bisa muncul ilmu pukulan seperti itu dalam rimba persilatan?”

“Aaaah!” Gouw Han Tiong menghela nafas panjang. “Aku tidak menyangka kalau ayahku dan Lam Kiong hujin akan mati begitu mengenaskan. Kenapa mereka kemari.,.?"

“Saudara Gouw,” ujar Lim Peng Hang sungguh-sungguh. “Kita harus menyuruh beberapa orang pergi menyelidiki pembunuh itu.”

“Kami berempat siap melaksanakan tugas itu, ketua,” ujar salah seorang pelindung hukum.



“Kalian berempat tidak boleh meninggalkan markas pusat ini,” sahut Lim Peng Hang. “Lebih baik suruh beberapa orang anggota peringkat ketujuh untuk menyelidikinya!”

“Ya, Ketua.”

“Saudara Gouw!” Lim Peng Hang menatapnya. “Engkau punya rencana?"

Gouw Han Tiong menggelengkan kepala.

“Bagaimana kalau begini...,” usul Lim Peng Hang. “Saudara berangkat ke Tayli memberitahukan kepada Siang Eng dan Lam Kiong Bie Liong, sedangkan aku berangkat ke Pulau Hong Hoang To memberitahukan kepada ayahku dan Tio Cie Hiong?”

“Ngmm!” Gouw Han Tiong manggut-manggut. “Aku memang harus ke Tayli memberitahukan kepada mereka.”

“Kalau begitu, kita berangkat besok pagi,” ujar Lim Peng Hang.

“Baik.” Gouw Han Tiong mengangguk.

“Si Hu Huat (Empat Pelindung Hukum)!” Lim Peng Hang memberi perintah. “Kalian berempat tidak boleh meninggalkan markas, suruh beberapa anggota peringkat ketujub menyelidiki pembunuh itu!”

“Kami terima perintah, Ketua,” sahut keempat pelindung hukurn serentak sambil memberi hormat.

Keesokan harinya, Gouw Han Tiong berangkat ke Tayli dengan menunggang kuda, sedangkan Lim Peng Hang berangkat ke pulau Hong Hoang To. Belasan hari kemudian, Lim Peng Hang sudah tiba di pulau tersebut.

Kedatangannya membuat Sam Gan Sin Kay, Tio Tay Seng dan lainnya terheran-heran, sebab wajah Lim Peng Hang tampak murung.



“Ayah! panggil Lim Ceng Im cemas.

“Ceng Im!" Lim Peng Hang tersenyum getir Tio Cie Thong segera memberi hormat, namun tidak bertanya apa pun. Sedangkan Sam Gan Sin kay terus menatapnya dengan perasaan tegang, berselang sesaat barulah membuka mulut.

“Peng Hang," Telah terjadi sesuatu di Kay Pang?"

“Tidak,” jawab Lim Peng Hang.

“kalau tidak, kenapa wajahrm begitu murung?” Sam Gan Sin Kay mengerutkan kening.

Ketika Lim Peng Hang bàru mau menjawab, mendadak muncul Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.

Lim Peng Hang segera memberi hormat, Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin memandangnya dengan penuh rasa heran, sebab wajah ketua Kay Pang itu tampak murung sekali

"Lim Pangcu, kenapa wajahmu...? Kim Siauw Suseng terus memandangnya.

“Aaaah ~“ Lim Peng Hang menghela nafas panJang “Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin terbunuh di sebuah lembah”

“Apa” Semua orang terkejut, bahkan Sam Gañ Sin Kay sampai meloncat bangun saking kagetnya

"Peng Hang! Engkau bilang apa?” tanya Sam Gan Sin Kay dengan wajah pucat pias.

“Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin terbunuh di sebuah lembah!" jawab Lim Peng Hang mengulanginya.

"Setan tua itu...." Mata Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw

Suseng tampak basah.

“Siapa pembunuh itu?” tanya Tio Tay Seng.



“Entahlah.” Lim Peng Hang menggelengkan kepala sambil memberitahukan. “Sekujur badan mereka hangus seperti terbakar."

“Apa?” Sam Gan Sin Kay Lerkejut. “Apakah mereka dibakar?”

“Bukan,” sahut Lim Peng Hang. “Kelihatannya mereka terkena semacam ilmu pukulan.”

“Ilmu pukulan apa itu?” Kim Siauw Suseng mengerutkan kening.

“Itu adalah ilmu pukulan yang mengandung api,” ujar Kou Hun Bijin. “Tergolong ilmu sesat.”

“Bijin tahu tentang ilmu pukulan itu?” tanya Sam Gan Sin Kay.

“Tidak begitu jelas.” sahut Kou Hun Bijin.

“Kalau tidak salah, ilmu itu berasal dari Persia. Tapi... selama dua ratus tahun ini, tiada seorang pun berhasil mempelajarinya, Namun sungguh mengherankan, kenapa kini ilmu pukulan itu malah muncul?”

“Kakak,” tanya Tio Cie Hiong mendadak. “Bagaimana kedahsyatan pukulan tersebut?”

“Sangat dahsyat sekali,” jawab Kou Hun Bijin. “Siapa yang terkena pukulan itu, pasti mati hangus.”

“Aaaah...!” Sam Gan Sin Kay menghela nafas panjang. “Setelah Bu Lim Sam Mo mati, kukira rimba persilatan akan aman, tidak tahunya kini malah muncul bencana lagi, bahkan Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin yang terbunuh!”

“Oh ya!” Tio Tay Seng memandang Lim Peng Hang seraya bertanya. “Bagaimana Gouw Han Tiong?”

“Dia berangkat ke Tayli untuk memberitahukan kepada Sian Eng dan Lam Kiong Bie Liong,” jawab Lim Peng Hang sambil



menggeleng-gelengkan kepala. “Lam Kiong Bie Liong pasti berduka sekali.

“Heran?” gumam Sam Gan Sin Kay. “Padahal Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin hidup tenang di Tayli, tapi kenapa mereka masih ke Tionggoañ?”

“Mungkin ingin menengok Gouw Han Tiong,” sahut Lim Peng Hang.

"Itu memang masuk akal” Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. “Lalu untuk apa Lam Kiong hujin juga ikut ke Tionggoan?”

“Entahlah.” Lim Peng Hang menggelengkan kepala. “Oh ya! Di mana Bun Yang?”

“Bun Yang dan kauw-heng pergi ke Gunung Thian San.” Tio Cie Hiong memberitahukan.

“Oh?” Lim Peng Hang tercengang. “Untuk apa Bun Yang dan kauw-heng pergi kesana?”

“Itu adalah usul kauw-heng,” ujar Lim Ceng Im. Bun Yang berlatih lweekang disana.”

“Oooh!” Lim Peng Hang manggut~manggut.

Di saat bersamaan, tampak Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio berjalan ke dalam. Begitu melihat Lim Peng Hang, Lie Ai Ling langsung memberi hormat. Begitu pula Siang Koan Goat Nio.

“Ai Ling!” Lim Peng Hang tersenyum. “Engkau sudah besar! Eh? Siapa gadis itu? Sungguh cantik sekali!”

“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. “Dia puteriku.”

“Oh?” Lim Peng Hang terbelalak. “Bijin masih bisa mempunyai anak?”

“Eeeh?” Kou Hun Bijin melotot. “Itu putri kandungku lho! Berarti aku bisa mempunyai anak.”



“Maaf, maaf!” ucap Lim Peng Hang cepat. “Oh ya! Di mana Lie Man Chiu? Kenapa dia tidak kelihatan?”

“Dia binatang!” sahut Tio Tay Seng dengan wajah merah padam.

“Haah?” Lim Peng Hang tertegun. “Dia....”

“Dia telah meninggalkan anak isterinya.” Sam Gan Sin Kay memberitahukan “Dia ingin mengangkat namanya di rimba persilatan.”

“Oh?” Lim Peng Hang tefbelalak.

“Lim Pangcu!” Tio Tay Seng menatapnya. “Engkau pernah mendengar tentang dirinya dirimba persilatan?”

“Tidak pernah,”jawab Lim Peng dan bertanya. “Tio Tocu! Sudah berapa lama dia meninggalkan pulau ini?”

"Sudah lima tahun lebih," jawab Tio Tay Seng kemudian mencaci lagi. “Dia memang binatang, membuat anak isteri menderita!”

“Padahal...” Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. “Dia murid Tayli Lo Ceng.”

“Sudahlah!” tandas Tio Tay Seng. “Jangan membicarakan binatang itu, sebab akan merusak suasana!”

“Ayah....” Lim Peng Hang memandang Sam Gan Sin Kay.

“Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin dibunuh orang misterius, bagaimana rencana Ayah?”

“Ayah sudah tua, lagi pula sudah jemu akan urusan rimba persilatan. Oleh karena itu, ayah tidak mau turut campur mengenai kejadian ini,” sahut Sam Gan Sin Kay.

“Tapi...? Lim Peng Hang mengerutkan kening. “Tui Hun Lojin adalah kawan baik Ayah, kenapa Ayah tidak mau turut campur?”



“Peng Hang, ayah ingin hidup tenang di pulau ini. Engkau ingin memaksa ayah mencampuri urusan rimba persiiatan lagi?” tegur Sam Gan Sin Kay.

“Lim Pangcu,” ujar Kim Siauw Suseng. “Tui Hun Lojin memang kawan baik kami, tapi kami sudah tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan. Lebih baik engkau saja yang menanganinya.”

“Lim Pangcu,” sela Tio Tay Seng. “Kami semua sudah tua, maka ingin hidup tenang.”

“Aku mengerti.” Lim Peng Hang manggut-manggut. “Tapi kematian Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin....”

“Peng Hang!” bentak Sam Gan Sin Kay. “Engkau sebagai ketua Kay Pang, tapi kenapa jadi begini?”

“Ayah!” Lim Peng Hang menghela nafas panjang. “Kepandaian orang misterius itu sangat tinggi.”

“Sudahlah! Engkau diam saja!” Sam Gan Sin Kay mengerutkan kening. “Jangan mengusik ketenangan di sini!”

“Ayah...,” ujar Lim Ceng Im. “Kakek memang sudah tahu, dan harus hidup tenang disini. Ayah jangan terus mendesak kakek, lebih baik kita cari jalan lain saja.”

“Ayah tahu.” Lim Peng Hang menghela nafas lagi. “Engkau dan Cie Hiong juga sudah tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan. Tapi kini di rimba persilatan mulai timbul badai. Hiat Ih Hwe dan Tiong Ngie Pay saling membunub.”

“Tiong Ngie Pay?” Tio Cie Hiong tertegun. “Partai baru dalam rimba persilatan?”

“Ya.” Lim Peng Hang mengangguk. “Menurut dugaanku, ketua perkumpulan itu Yo Suan Hiang.”

“Oh, ya?” Lim Ceng Im tersenyum. “Hebat juga dia, mampu mendirikan Tiong Ngie Pay! Ayah, bagaimana kekuatan partai itu?”



“Kini sudah kuat sekali.” Lim Peng Hang memberitahukan. “Banyak pesilat golongan putih bergabung dengan Tiong Ngie Pay, sebab Tiong Ngie Pay selalu membela rakyat, sekaligus melawan Hiat Ih Hwe.”

“Siapa ketua Hiat Ih Hwe?” tanya Lim Ceng Im.

“Kalau tidak salah, ketua Hiat Ih Hwe adalah Lu Thay kam,” jawab Lim Peng Hang. “Ayah memperoleh informasi, bahwa Lu Thay Kam berkepandaian tinggi sekali.”

“Pusing!" ujar Sam Gan Sin Kay. “Rimba persilatan bakal diterjang badai, sedangkan kerajaan pun akan disapu topan.”

“Kini muncul pemberontakan dimana-mana.” Lim Peng Hang memberitahukan. “Yang memimpin pemberontakan adalah Lie Tsu Seng.”

“Peng Hang!” Sam Gan Sin kay menatapnya tajam. “Pokoknya Kay Pang jangan terseret kearus pemberontakan, engkau harus ingat itu!”

“Ya, Ayah.” Lim Peng Hang mengangguk dan menambahkan, “Mengenai kematian Tui Hun Lojin, akan kutangani bersama Gouw Han Tiong.”

"Bagus!” Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. “Memang harus begitu. Engkau harus tahu, bahwa ayah sudah tahu. Masih kuat hidup berapa lama lagi, tentunya engkau tidak menghendaki ayah cepat-cepat mati, bukan?"

"Ayah, maafkan karena aku tadi mendesak Ayah!” ucap Lim Peng Hang sambil menundukkan kepala.

Sementara Lim Ceng Im berbisik-bisik kepada Tio Cie Hiong, dan kemudian mereka pun manggut-manggut.

"Eeh?" Sam Gan Sin Kay memandang mereka. "Kok kalian berdua malah berbisik-bisik? Mencaci kakek ya?"

“Mana berani kami mencaci kakek?” sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum. “Kami merundingkan sesuatu.”



“Apa yang kalian rundingkan? Bolehkah dibeberkan untuk kami dengar” tanya Sam Gan Sin Kay sambil tertawa.

“Tentu boleh.” Lim ceng Im mengangguk. “Sebelum Bun Yang berangkat ke Gunung Thian San, kami telah berpesan kepadanya.”

“Kalian berpesan apa kepadanya?” tanya Sam Gan Sin Kay, yang tidak sabaran.

“Seusai berlatih lweekang di Gunung Thian San, dia harus ke Gunung Hong Lay San menemui Tan Li Cu. ‘Setelah Itu, dia pun harus ke markas pusat Kay Pang menemui kakeknya.” Lim Ceng Im memberitahukan. “Berhubung Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin mati terbunuh, maka kami menghendaki Bun Yang membantu kakeknya.”

“Bagus, bagus!” Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. “Memang sudah waktunya Bun Yang berkecimpung dalam rimba persilatan.”

“Tunggu dulu!” potong Kou Hun Bijin. “Kalau begitu, putriku akan sia-sia menanti di pulau ini?”

“Ha ha ha!” Tio Tay Seng tertawa gelak. “Setelah Goat Nio menguasaj ilmu-ilmu yang diajarkan Cie Hiong, bukankah dia boleh pergi mencari Bun Yang?”

“Ngmm!” Kou Hun Bijin manggut-manggut. “Betul juga. Tapi... ayahnya setuju atau tidak, harus bertanya kepadanya.”

“Aku tidak berkeberatan,” sahut Kim Siauw Suseng cepat. “Sebab Goat Nio pun harus pergi mengembara mencari pengalaman.”

“Sastrawan sialan,” sela Sam Gan Sin Kay, “Goat Nio akan pergi mencari Bun Yang mencari pengalaman?”

“Itu....” Kim Siauw Suseng tergagap.

“Mencari Bun Yang sekaligus mencari pengalaman,” jawab Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. “Hi hi hi! Tidak lama lagi



rimba persilatan akan muncul seorang gadis yang cantik jelita!”

“Ayah,” ujar Lim Ceng Im. “Kalau Bun Yang ke markas pusat Kay Pang, beritahukan kepadanya bahwa ayah sudah ke mari!”

“Itu pasti.” Lim Peng Hang tersenyum.

“Oh ya, Ayah,” pesan Lim Ceng Im. “Kauw heng harus terus mendampingi Bun Yang, sebab kauw heng memiliki panca indera keenam, jadi ada baiknya kauw heng mendampingi Bun Yang.”

“Benar.” Lim Feng Hang mengangguk sambil tertawa. “Tidak lama lagi di rimba persilatan akan muncul seorang pendekar muda yang tampan dan berhati bajik. Ha ha ha...!”

“Yaaah!’ Mendadak Tio Cie Hiong menghela nafas panjang sambjl mengge1eng-gelengkan kepala.

“Kakak Hiong!” Lim Ceng Im tercengang. “Kenapa engkau menghela nafas panjang? Apakah ada sesuatu terganjel dalam hatimu?"

“Kita di sini tertawa~tawa, namun di Tayli sana....” Tio Cie

Hiong menghela nafas lagi.

“Jadi keputusan kita yaitu Bun Yang membantu Lim Pangcu? Begitu kan?” ujar Kou Hun Bijin mendadak.

"Ya.” Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im mengangguk.

“Sedangkan keputusanku. . . ." Kou Hun Bijin melirik putrinya. “Setelah dia menguasai semua ilmu itu, dia harus pergi mencari Bun Yang.”

“Tidak salah,” sahut Kim Siauw Suseng. “Kita berdua tetap tinggal di sini, tidak usah pulang ke Kwan Gwa. Sebab pulau ini sungguh indah, udaranya pun segar.dan sejuk.”



“Yang lebih nyaman lagi yakni bisa main catur dengan Sam Gan Sin Kay dan Tio Tocu. Ya, kan?” sambung Kou Hun Bijin.

“Betul, betul.” Kim Siauw Suseng tertawa gelak. “Engkau memang isteriku yang baik, tahu hobi suami.”

“Merayu nih ye?” goda Sam Gan Sin Kay.

“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin tertawa. “Dia suamiku, dia senang aku gembira. Dia gembira aku senang, bahkan aku pun harus menuruti perkataannya.”

“Yah, ampun!” Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. “Begitu mesranya, itu sungguh tak disangka! Ha ha ha...!”

-oo0dw0oo-

Di dalam sebuah kamar, tampak Tio Hong Hoa duduk di pinggir tempat tidur dengan kening berkerut-kerut, dan Lie Ai Ling duduk di sisinya.

“Bagaimana? Ibu setuju kan?” tanya Lie Ai Ling.

“Nak!” Tio Hong Hoa menghela nafas panjang. “Itu urusan nanti, maka lebih baik dibicarakan nanti saja.”

“Setelah menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan Paman Cie Hiong, Goat Nio akan pergi mencari Kakak Bun Yang. Ai Ling ingin ikut dia ke Tionggoan mencari ayah?"

“Nak!” Tio Hong Hoa tersenyum getir. “Tentang ini akan ibu rundingkan dengan kakekmu. Ibu tidak berani mengambil keputusan sekarang?"

“Kalau begitu, lebih baik Ai Ling beritahukan kepada kakek,” ujar Lie Ai Ling.

“Jangan!” Tio Hong Hoa menggelengkan kepala. “Kalau engkau singgung ayahmu, kakekmu pasti marah besar. Lebih baik engkau berunding dengan Paman Cie hong saja. Biar dia yang memberitahukan kepada kakekmu.”



“Kalau begitu....” Wajah Lie Ai Ling berseri. “Ibu setuju kau

ikut Goat Nio pergi ke Tionggoan?”

“Bagaimana mungkin ibu melarangmu," Tio Hong Hoa menghela nafas. “Sebab engkau berhak pergi mencari ayahmu. Hanya saja engkau harus berhati-hati.”

“Terim kasih, Ibu!” ucap Lie Ai Ling, lalu berlari ke kamar Tio Cie Hiong, dan kebetulan Lim Ceng Im mau melangkah ke luar.

“Ai Ling?” Lim Ceng Im tercengang karena melihat gadis itu begitu tergesa-gesa ke kamarnya. “Ada apa?” tanyanya.

“Bibi, Ai Ling ingin bicara dengan Paman,” jawab Lie Ai Ling.

“Baik.” Lim Ceng Im mengangguk, lalu mengajak gadis itu ke dalam kamar. Tio Cie Hiong belum tidur, hanya sedang duduk bersemedi.

“Paman!” panggil Lie Ai Ling sambil mendekatinya.

Tio Cie Hiong membuka matanya, dan begitu melihat gadis itu ía pun terheran-heran.

“Ada apa, Lie Ai Ling?”

“Paman!” Lie Ai Ling duduk di hadapan Tio Cie Hiong. “Ai Ling ingin bicara dengan Paman.”

“Oh?” Tio Cie Hiong tersenyum. “Mau bicara apa?”

“Setelah berhasil menguasai ilmu-ilmu yang Paman ajarkan itu, Goat Nio akan pergi mencari Kakak Bun Yang, kan?”

“Benar. Lalu kenapa?” tanya Tio Cie Hiong sambil menatapnya sementara Lim Ceng Im sudah duduk di sisi suaminya.

“Tadi Ai Ling sudah berunding dengan Ibu, maksud, Ai Ling ingin ikut Goat Nio ke Tiong-goan mencari ayah. Ibu setuju, tapi ibu bilang harus berunding dengan Paman, setelah itu,



barulah Paman memberitahukan kepada kakek. Kalau ibu atau Ai Ling yang memberitahukan, kakek pasti marah besar,” jawab Lie Ai Ling memberitahukan.

“Tentang ini....” Tio Cie Hiong mengerutkan kening. “Belum

tentu kakekmu mengijinkanmu pergi mencari ayahmu.”

“Kalau Paman bersedia membantu bicara, kakek pasti mengijinkan,” ujar Lie Ai Ling. “Sebab kakek Ai Ling sangat sayang kepada Paman?

“Itu....” Tio Cie Hiong berpikir sejenak, kemudian berkata

dengan sungguh-sungguh sambil menatap gadis itu. “Sebagai anak, engkau memang berhak pergi mencari ayahmu. Baiklah. Kelak akan kuberitahukan kepada kakekmu. Tapi....”

“Ada apa, Paman?"

“Mulai besok engkau harus lebih tekun berlatih, agar kepandaianmu bertambah tinggi. Jadi kakekmu tidak akan mencemaskanmu. Mengerti?"

“Ai Ling mengerti, Paman.”

“Bagus!” Tio Cie Hiong manggut-manggut. “Sekarang kembalilah ke kamar menemani ibumu! Ingat, jangan menyinggung ayahmu di hadapan kakekmu!”

“Ya, Paman.” Lie Ai Ling mengangguk, lalu meninggalkan kamar Tio Cie Hiong.

Setelah Lie Ai Ling pergi, Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata, “Sungguh kasihan Ai Ling!”

“Kakak Hiong,” bisik Lim Ceng Im. “Betulkah kelak engkau akan memberitahukan kepada pamanmu?”

“Itu harus,” sahut Tio Cie Hiong.

“Apakah pamanmu akan mengijinkan Ai Ling pergi mencari ayahnya?”



“Kalau aku yang membicarakannya, mungkin pamanku akan mengijinkannya. Biar bagaimana pun, Lie Man Chiu tetap mantunya.”

“Kakak Hiong!” Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan kepala. “Sudah sekian tahun tiada kabar beritanya tentang Lie Man Chiu, entah bagaimana keadaannya sekarang?"

“Adik Im!” Tio Cie Hiong menghela nafas. “Aku yakin dia sudah hidup senang di ibu kota.”

“Oh?”

“Aku yakin dia berada di ibu kota,” ujar Tio Cie Hiong. “Kita tidak perlu memikirkannya.”

“Huh!” dengus Lim Ceng Im. “Siapa yang memikirkannya?”

“Adik Im!” Tio Cie Hiong tersenyum. “Barusan engkau menyinggung dirinya, tapi kenapa sekarang malah bilang siapa yang memikirkannya?”

“Itu dikarenakan aku merasa kasihan kepada kakak Hong Hoa dan Ai Ling, bukan berarti aku memikirkan Lie Man Chiu, yang tak punya perasaan itu.”

“Adik Im....” Wajab Tio Cie Hiong berubah serius. “Terus

terang, yang harus kita pikirkan justru adalah Lam Kiong Bie Liong. Entah bagaimana dia setelah mengetahui kematian ibunya?”

-oo0dw0oo-

Sementara itu, Gouw Han Tiong pun telah tiba di Tayli. Begitu mendengar tentang kematian Lam Kiong hujin dan Tui Hun Lojin, Lam Kiong Bie Liong nyaris pingsan seketika, sedangkan Gouw Sian Eng menangis terisak-isak.

Toan Hong Ya dan isterinya hanya duduk diam dengan wajah murung. Toan Pit Lian terus menerus menghibur suaminya, dan Gouw Han Tiong menghibur putrinya. Suasana



di ruangan itu menjadi hening, kecuali terdengar suara isak tangis.

“Siapa pembunuh ibuku? Siapa pembunuh ibuku?” teriak Lam Kiong Bie Liong dengan wajah pucat pias.

“Tenang, kakak Bie Liong!” Toan Pit Lian memegang bahunya. “Jangan terlampau berduka! Nanti engkau akan sakit.”

“Ibu! Ibu...” teriak Lam Kiong Bie Liong.

“Bie Liong,” ujar Gouw Han Tiong. “Engkau harus tenang, jangan begitu! Aku pun kehilangan ayah.”

“Aaaah...!” keluh Lam Kiong Bie Liong.

“Tak terduga sama sekali,” ujar Toan Hong Ya sambil menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala. “Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin berangkat ke Tionggoan karena rindu kepada Beng Kiat dan Soat Lan....”

“Hong Ya!” Gouw Han Tiong tertegun. “Bagaimana Kiat Beng dan Soat Lan bisa berada di Tionggoan?"

“Tayli Lo Ceng menerima mereka berdua sebagai murid, maka Tayli Lo Ceng membawa mereka ke Gunung Thay San." Toan Hong Ya memberitahukan.

“Sudah berapa lama Kiat Beng dan Soat Lan ikut Tayli Lo Ceng?” tanya Gouw Han Tiong.

“Sudah lima tahun lebih, Ayah,” jawab Gouw Sian Eng memberitahukan. “Karena itu, kakek dan Lam Kiong hujin sangat rindu kepada mereka, maka berangkat ke Tionggoan menuju Gunung Thay San."

"Tidak disangka....” Lam Kiong Bie Liong terisak-isak “Ibu

pergi selama-lamanya Aaaah... !“



“Siapa yang membunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin?” gumam Toan Hong Ya. “Apakah mereka punya musuh?”

“Hong Ya,” ujar Lam Kiong Bie Liong. “Setahuku ibu tidak mempunyai musuh. Musuh kami adalah Bu Lim Sam Mo, tapi.... Bu Lim Sam Mo sudah mati.”

“Ayahku pun tidak mempunyai musuh, namun malah mati

dibunuh,” ujar Gouw Han Tiong sambil menggeleng~gelengkan kepala.

“Jadi... tiada seorang pun yang tahu siapa pembunuh itu?” tanya Toan Wie Kie.

“Memang tiada seorang pun yang tahu.” Gouw Han Tiong mengbela nafas. “Ayahku dan Lam Kiong hujin terkena pukulan yang mengandung api, karena sekujur badan mereka hangus.”

“Pukulan apa itu?” tanya Toan Wie Kie.

“Entahtah.” Gouw Han Tiong menggelengkan kepala. “Kami sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apa itu, sebab kami tidak pernah mendengar tentang ilmu pukulan itu.

“Oh ya, kenapa Paman Lim tidak ikut kemari?” Tanya Lam Kiong Bie Liong mendadak.

“Lim Peng Hang pergi ke Hong Hoang To, aku berangkat ke mari.” Gouw Han Tiong memberitahukan dan menambahkan, “Mungkin pihak Hong Hoang To tahu tentang ilmu pukulan itu.”

“Aku harus berangkat ke Tionggoan,” ujar Lam Kiong Bie Liong. “Aku harus balas dendam.”

“Engkau tidak boleh pergi,” sahut Toan Pit Lian. “Pokoknya engkau tidak boleh pergi.”

“Adik Pit Lian...."



“Bie Liong!” tegas Toan Hong Ya. “Engkau tidak boleh ke Tionggoan. Harus menunggu Beng Kiat dan Soat Lan pulang.

“Tapi...."

“Kalau engkau berani pergi secara diam-diam, selama-lamanya engkau tidak boleh ke mari lagi,” ujar Toan Hong Ya berwibawa.

Lam Kiong Bie Liong diam.

“Kita tidak tahu siapa pembunuh itu, lalu bagaimana engkau mau balas dendam? Lebih baik engkau tunggu Beng Kiat dan Soat Lan pulang, setelah itu barulah berunding dengan Hong Ya.” ujar Gouw Han Tiong sambil menatapnya.

"Ya.” Lam Kiong Bie Liong mengangguk.

“Lagi pula Lim Peng Hang sudah ke pulau Hong Hoang To, aku yakin pihak Hong Hoang pasti membantu dalam hal ini.” tambah Gouw Han Tiong. “Jadi engkau harus tetap bersabar menunggu putrimu pulang. Mungkin Tayli Lo Ceng juga akan ke mari. Bukankah engkau boleh mohon petunjuk kepadanya?”

“Benar.” Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut.

“Bie Liong,” tegas Toan Hong Ya. “Engkau tidak boleh pergi secara diam-diam, sebab akan membuat Pit Lian menderita. Engkau harus ingat itu!”

“Ya.” Lam Kiong Bie Liong mengangguk, kemudian berjanji kepada isterinya. “Adik Pit Lian, aku tidak akan pergi secara diam-diam. Engkau tidak usah khawatir.”

“Terima kasih atas pengertianmu!” Toan Pit Lian tersenyum dan menambahkan, “Setelah Beng Kiat dan Soat San pulang, barulah kita semua berunding bersama.”

“Ya.” Lam Kiong Bie Liong mengangguk, kemudian berkeluh. “Ibu....”



-oo0dw0oo-


Jilid 3

Bagian Ke Sebelas

Meninggalkan Gunung Thian San


Di puncak Gunung Thian terdapat sebuah goa, yaitu tempat tinggal monyet bulu putih. Tio Bun Yang tinggal di dalam goa tersebut, dan setiap hari duduk di atas batu dingin berlatih lweekangnya.

Tugas monyet bulu putih adalah mencari buah, justru memberikan Tio Bun Yang buah aneh yang mengandung cairan kental. Tio Bun Yang tidak tahu sama sekali, bahwa buah aneh itu berkhasiat menambah Iweekangnya.

Tanpa terasa sudah dua tahun Tio Bun Yang tinggal di dalam goa itu, dan kini usianya sudah tujuh belas, bertambah tampan dan tinggi.

Hari ini ia duduk bersemedi di atas batu dingin melatih lweekangnya, dan monyet bulu putih duduk tak jauh dan situ memperhatikannya.

Berselang beberapa saat kemudian, mendadak badan Tio Bun Yang melambung ke atas, ternyata lweekangnya telah mencapai ke tingkat tinggi.

Setelah itu, perlahan-lahan melayang turun di atas batu dingin itu. Ketika badannya menyentuh batu dingin, terdengar suara ‘Kraak! Kreeek!’

Monyet bulu putih itu terbelalak, sedangkan Tio Bun Yang tetap duduk. bersemedi dengan mata terpejam. Ternyata ia sedang mengerahkan Pak Yok Han Thian Sin Kang dan Kan Kun Taylo Sin Kang.



Kraaaak! Terdengar suara meretak.

Bukan main! Yang meretak itu ternyata batu dingin yang didudukinya. Hal itu membuat monyet bulu putih bercuit-cuit.

Tio Bun Yang membuka matanya, lalu meloncat turun. Di saat bersamaan terdengar pula suara ‘Braaak!’

Batu dingin itu telah hancur. Dapat dibayangkan, betapa tingginya lweekang Tio Bun Yang sekarang. Setelah batu dingin itu hancur, tampak sebuah benda bulat di situ memancarkan cahaya.

“Eh?” Tio Bun Yang tercengang. “Benda apa itu?"

Tio Bun Yang mendekati benda itu dengan mata terbelalak. Sebetulnya benda apa itu? Ternyata benda itu adalah batu inti es, yang amat dingin, yang berada di dalam batu dingin itu.

Perlahan-lahan Tio Bun Yang menjulurkan tangannya untuk menjamah batu inti es itu. Namun ia tampak terkejut karena batu inti es itu dingin bukan main. Kalau ía tidak memiliki Pan Yok Han Thian Sin Kang dan Kan Kun Taylo Sin Kang, pasti tidak dapat memegang batu inti es tersebut.

"Ini tergolong benda pusaka,” gumamnya sambil tersenyum. “Sangat bermanfaat bagi orang yang berlatih Im Kang (Lweekang yang mengandung hawa dingin). Benda ini harus kusimpan. Kalau bertemu orang baik yang berlatih Im Kang, akan kuhadiahkan kepadanya.”

Sementara monyet bulu putih terus menatap Tio Bun Yang dengan mata tak berkedip, kemudian bercuit-cuit.

“Kauw-heng!” Tio Bun Yang tersenyum. “Engkau bilang lweekangku sudah tinggi sekali?”

Monyet bulu putih manggut-manggut, lalu menunjuk batu dingin itu sambil bercuit-cuit lagi.



“Oh?” Tio Bun Yang tersenyum lagi. “Engkau bilang ayahku masih tidak mampu menghancurkan batu dingin itu dalam keadaan bersemedi?”

Monyet bulu putih manggut-manggut sambil bertepuk tangan, kelihatannya gembira sekali.

“Kauw-heng,” ujar Tio Bun Yang. “Kalau begitu, kita boleh meninggalkan Gunung Thian San?”

Monyet bulu putih mengangguk, kemudian menunjuk batu inti es itu sambil bercuit-cuit.

“Oooh!” Tio Bun Yang manggut-manggut.

“Maksudmu benda ini harus disimpan di dalam kantong?"

Monyet bulu putih menuju sudut goa. Ternyata ía mengambil sebuah kantong kulit, lalu diberikan kepada Tio Bun Yang.

“Terima kasih, kauw-heng!” ucap Tio Bun Yang sambil menerima kantong kulit itu. Dimasukkannya batu inti es itu ke dalam kantong kulit tersebut, setelah itu barulah disimpan ke dalam bajunya.

“Kauw-heng! Ayah dan ibuku telah berpesan, aku harus pergi ke Gunung Hong Lay San. Engkau tahu dimana gunung itu, bukan?”

Monyet bulu putih mengangguk, kemudian menarik tangan Tio Bun Yang.

“Mau berangkat sekarang?” Monyet bulu putih bercuit tiga kali.

“Baiklah.” Tio Bun Yang manggut-manggut. “Mari kita berangkat, sebab aku harus segera menemui Bibi Tan Li Cu!”

-oo0dw0oo-



Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang dan monyet bulu putih telah tiba di Gunung Hong Lay San. Betapa girangnya Tan Li Cu, ia membelai Tio Bun Yang dengan penuh kasih sayang.

“Bun Yang!” Tan Li Cu memandangnya dengan mata basah. “Kini engkau sudah besar. Engkau dari pulau Hong Hoang To ya?”

“Bibi Li Cu, aku dan Gunung Thian San.” Tio Bun Yang memberitahukan.

“Oh?” Tan Li Cu tertegun. “Bagaimana engkau dan kauw-heng bisa datang dan Gunung Thian San?”

“Begini  Bibi  Li  Cu....”  Tio  Bun  Yang  menjelaskan  dan

menambahkan, “Ayah dan ibuku berpesan aku harus ke mari mengunjungi Bibi.”

“Oooh!” Tan Li Cu manggut-manggut. “Kalau begitu, lweekangmu pasti sudah tinggi sekali!”

“Maaf, Bibi Li Cu, aku sendiri tidak mengetahuinya,” sahut Tio Bun Yang jujur.

Di saat mereka sedang bercakap-cakap, mendadak muncul seorang gadis cantik berusia enam belasan.

“Guru...” panggil gadis itu, yang kemudian terbelalak karena melihat Tio Bun Yang dan seekor monyet bulu putih duduk di atas bahunya.

“Siok Loan!” Tan Li Cu tersenyum. “Mari guru perkenalkan! Dia adalah Tio Bun Yang, putra kesayangan Tio Cie Hiong.”

“Oooh!” Ma Siok Loan memandang Tio Bun Yang dengan mata berbinar-binar, lalu memberi hormat seraya berkata, “Kakak Bun Yang, selamat bertemu!”

“Terima kasih!” sahut Tio Bun Yang kemudian balas memberi hormat.



“Bun Yang!” Tan Li Cu tersenyum. “Engkau harus memanggil dia adik.”

“Ya, Bibi.” Tio Bun Yang mengangguk lalu memanggil gadis itu. “Adik Siok Loan!”

“Hi hi hi!” Ma Siok Loan tertawa geli.

“Siok Loan!” tegur Tan Li Cu halus. “Tidak boleh bersikap begitu. Engkau sudah berusia enam belas, bukan anak kecil lagi.”

“Guru!” Ma Siok Loan masih tertawa geli. “Aku tertawa geli karena melihat monyet bulu putih itu, sungguh lucu!”

“Oooh!" Tan Li Cu tersenyum dan memberitahukan, “Engkau harus tahu, bahwa itu monyet sakti.”

“Oh?” Ma Siok Loan menatap monyet bulu putih. “Jangan-jangan monyet itu mempunyai hubungan dengan Sun Ngo Kong (Siluman Monyet Sakti Dalam Dongeng See Yu)!”

“Benar,” sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Monyet bulu putih ini adalah saudara seperguruan dengan Sun Ngo Kong.

“Bohong ah!”

“Tentu bohong.” Tio Bun Yang tertawa kecil. Sedangkan monyet bulu putih itu menyengir.

“Hi hi hi!” Ma Siok Loan tertawa geli lagi. “Guru, monyet bulu putih itu bisa menyengir, lucu sekali deh!”

“Siok Loan!” Tan Li Cu tersenyum. “Tahukah engkau berapa usia monyet bulu putih itu?”

“Entahlah.” Ma Siok Loan menggeleñgkan kepala.

“Usianya sudah tiga ratus tahun lebih lho!” Tan Li Cu memberitahukan.



“Apa?” Ma Siok Loan terbelalak. “Guru jangan bohong! Bagaimana mungkin monyet bulu putih itu berusia setua itu?"

“Adik Siok Loan,” ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh. “Gürumu tidak bohong, memang benar monyet bulu putih ini sudah berusia, tiga ratus tahun lebih!”

“Wuah, bukan main!” Ma Siok Loan menggeleng-gelengkan kepala. “Jangan-jangan benar monyet bulu putih itu saudara seperguruan Sun Ngo Kong!”

Tan Li Cu tersenyum lembut. Kini ia sudah berusia empat puluhan. Beberapa tahun yang lalu, tanpa sengaja ia menolong seorang gadis kecil, yang kedua orang tuanya dibunuh perampok, lalu dibawanya ke gunung Hong Lay San, sekaligus diangkat jadi muridnya.

“Bun Yang!” Tan Li Cu menatapnya. “Kepandaianmu pasti sudah tinggi sekali, dan tentu engkau tidak akan pelit mengajar Siok Loan semacam ilmu, bukan?”

“Bibi...” Tio Bun Yang tampak ragu.

“Kakak Bun Yang,” desak Ma Siok Loan. “Guruku memberitahukan kepadaku, bahwa ayahmu berkepandaian sangat tinggi, maka aku yakin engkau juga berkepandaian tinggi. Namun kenapa engkau tidak bersedia mengajarku semacam ilmu?”

“Itu...” Tio Bun Yang berpikir sejenak lalu mengangguk. “Baiklah. Aku akan ajarimu Cit Loan Kiam Hoat.”

“Apa?!” Tan Li Cu tertegun. “Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling?”

“Ya.” Tio Bun Yang mengangguk.

“Engkau belajar dan manà ilmu pedang itu?” tanya Tan Li Cu.



“Ilmu pedang ciptaan ayahku.” Tio Bun Yang memberitahukan. “Ilmu pedang tersebut lihay sekali, maka akan kuajarkan kepada adik Siok Loan.”

“Ngmm!” Tan Li Cu manggut-manggut.

“Kakak Bun Yang!” Ma Siok Loan menatapnya. “Kalau aku belajar ilmu pedang itu, apakah aku tidak akan pusing tujuh keliling?”

“Tidak, sebab ilmu pedang itu hanya akan membuat pusing lawan.” Tio Bun Yang memberitahukan dan berpesan. “Tapi engkau harus ingat, bahwa kalau tidak dalam keadaan bahaya, ilmu pedang itu tidak.boleh dikeluarkan.”

“Kenapa?”

“Karena setiap jurusnya akan mematikan pihak lawan.” “Ya. Aku pasti ingat pesanmu, kakak Bun Yang.”

“Bun Yang,” Tan Li Cu tampak tertarik. “Bolehkah engkau memperlihatkan ilmu pedang itu?” tanyanya.

“Boleh.” Tio Bun Yang mengangguk, dan kemudian Tan Li Cu menyerahkan sebilah pedang kepadanya.

Tio Bun Yang berdiri di tengah-tengah ruangan, kemudian mulai mempertunjukkan ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat. Bukan main kagumnya Tan Li Cu, namun kemudian ia merasa berkunang—kunang dan pusing. Sementara Ma Siok Loan sudah berteriak-teriak tidak karuan.

“Aduuh! Mataku berkunang-kunang! Aaaah! Pusing! Pusing sekali!”

“Siok Loan, cepat pejamkan matamu!” seru Tan Li Cu.

Gadis itu segera memejamkan matanya, sedangkan Tan Li Cu terus memperhatikan ilmu pedang itu walau ía sudah merasa pusing sekali.



Berselang beberapa saat kemudian, barulah Tio Bun Yang menghentikan gerakannya. Tan Li Cu memandangnya dengan wajah pucat pias karena menahan pusing, dan Ma Siok Loan pun sudah membuka matanya.

“Bun Yang, sungguh lihay dan hebat ilmu pedang itu!” ujar Tan Li Cu sambil menghela nafas panjang. “Ayahmu memang luar biasa sekali!”

“Kakak Bun Yang!” Ma Siok Loan tertawa. “Aku tidak berani menyaksikan ilmu pedang itu, sebab mataku lalu berkunang-kunang dan merasa pusing.”

“Jadi engkau sudah tahu akan kelihayan ilmu pedang itu, kan?" Tio Bun Yang memandangnya.

“Ya.” Ma Siok Loan mengangguk.

“Oh ya!” Tio Bun Yang memandang Tan Li Cu. “Ilmu pedang itu akan kuajarkan kepada Bibi juga!”

“Oh?” Tan Li Cu tampak girang. “Memangnya kenapa?”

“Bibi dan Adik Siok Loan bisa berlatih bersama, sebab aku tidak bisa lama-lama di sini, harus ke markas pusat Kay Pang menemui kakekku.” Tio Bun Yang memberitahukan.

“Oooh!” Tan Li Cu manggut-manggut.

Tio Bun Yang mulai mengajar mereka ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat. Belasan hari kemudian, barulah mereka dapat menguasai ilmu pedang tersebut, namun gerakannya masih lamban.

Setelah itu, Tio Bun Yang berpamit. Dengan air mata berderai-derai Ma Siok Loan memandang kepergian Tio Bun Yang, bahkan kemudian menangis terisak-isak.

“Siok Loan!” Tan Li Cu memegang bahunya. “Jangan sedih, kalian pasti berjumpa lagi kelak!”



“Guru....” Ma Siok Loan langsung mendekap di dada Tan Li

Cu, dan tangisnya pun semakin menjadi. Tan Li Cu membelainya, dan menghiburnya pula.

-oo0dw0oo-

Tio Bun Yang melanjutkan perjalanannya menuju markas pusat Kay Pang. Dalam perjalanan ia selalu menolong orang, sehingga dirinya menjadi terkenal dan dijuluki Giok Siauw Sin Hiap (Pendekar Sakti Suling Pualam).

Ketika hari mulai senja Tio Bun Yang memasuki sebuah rimba. Tiba-tiba keningnya berkerut, ternyata ia mendengar suara bentrokan senjata tajam.

Segeralah ia melesat ke tempat itu, kemudian dilihatnya belasan orang sedang bertarung mati-matian melawan beberapa orang berpakaian merah.

“Ha ha ha!” Salah seorang berpakaian merah tertawa gelak. “Kalian anggota-anggota Tiong Ngie Pay, lebih baik menyerah saja!”

"Hm!" sahut salah seorang dan pihak Tiong Ngie Pay. “Lebih baik kami mati dan pada menyerah!

Tio Bun Yang mengerutkan kening karena melihat beberapa mayat menggeletak di tempat itu. Sementara pertarungan semakin sengit. Belasan anggota Tiong Ngie Pay tampak tak sanggup melawan lagi, bahkan diantaranya sudah ada yang terluka lagi.

“Ha ha ha!” Salah seorang berpakaian merah tertawa gelak. “Hari ini kalian harus mampus!”

“Berhenti!” Terdengar suara bentakan keras.

Betapa terkejutnya orang-orang berpakaian merah itu, dan langsung berhenti menyerang. Disaat itulah melayang turun sosok bayangan, yang tidak lain Tio Bun Yang bersama monyet hulu putih.



"Hei!' bentak salah seorang berpakaian merah, “Siapa engkau? Sungguh berani engkau mencampuri urusan kami!”

“Aku mendengar suara bentrokan senjata tajam, maka aku kemari,” sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. “Sesungguhnya aku tidak benmaksud mencampuni urusan kalian.”

"Hmm!” dengus orang berpakaian merah itu. “Siapa berani melawan Hiat Ih Hwe harus mampus!”

“Saudara,” ujar salah seorang anggota Tiong Ngie Pay. “cepatlah engkau pergi! Kalau tidak, mereka pasti membunuhmu.”

“Terima kasih atas perhatian Anda!” ucap Tio Bun Yang dan menambahkan sambil tersenyum. “Mereka tidak mampu membunuhku, percayalah!”

“Saudara....”      Anggota-anggota             Tiong     Ngie       Pay

menggeleng-gelengkan kepala.

“Hei!” bentak orang berpakaian merah. “Engkau bilang kami tidak mampu membunuhmu?”

“Benar!” Tio Bun Yang mengangguk. “Sudahlah! Lebih balk kalian cepat enyah dan sini!”

“Hm!” dengus orang berpakaian merah. “Engkau memang ingin cari mampus disini! Baik! Kami terpaksa membunuhmu!”

“Kauw-heng, naiklah ke pohon dulu!” ujar Tio Bun Yang kepada monyet bulu putih sambil mengeluarkan suling pualamnya.

Monyet bulu putih itu bercuit, lalu meloncat ke dahan pohon dan duduk di situ sambil menggoyang-goyangkan kakinya.

"Mari kita serang dia!” seru orang berpakaian merah.



Seketika juga beberapa bilah pedang mengarah ke Tio Bun Yang, sehingga membuat para anggota Tiong Ngie Pay terkejut bukan main.

“Hati-hati Saudara!” seru mereka serentak dengan cemas.

“Jangan khawatir saudara-saudara!” sahut Tio Bun Yang sambil berkelit, sekaligus menggerakkan suling pualamnya.

“Aaakh! Aaaakh! Aaaakh... !" Terdengar suara jeritan. Tampak lima orang berpakalan merah telah terkapar dengan mulut mengeluarkan darah.

Betapa terkejutnya para anggota Tiong Ngie Pay, dan mereka memandang Tio Bun Yang dengan mata terbelalak.

Ternyata tadi Tio Bun Yang berkelit menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou, sekaligus menggerakkan suling pualamnya dengan jurus San Pang Te Liak (Gunung Runtuh Bumi Retak), itu adalah ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi (Ilmu Suling Kumala Pemusnah Kepandaian).

“Engkau...           engkau....”          Kelima  orang    berpakaian         merah

menunjuk Tio Bun Yang dengan wajah pucat pias.

Salah seorang anggota Tiong Ngie Pay mendekati mereka, maksudnya ingin membunuh orang-orang Hiat Ih Hwe itu.

“Jangan bunuh mereka!” cegah Tio Bun Yang.

“Kenapa?’ tanya anggota Tiong Ngie Pay itu dengan rasa heran. “Mereka... mereka sering membunuh orang.”

“Tapi kini mereka sudah tidak bisa membunuh orang lagi.” Tio Bun Yang memberitahukan sambil tersenyum. “Karena aku telab memusnahkan kepandaian mereka.”

“Oooh!” Anggota Tiong Ngie Pay itu memandang Tio Bun Yang dengan kagum, kemudian mereka semua memberi hormat. “Atas nama Tiong Ngie Pay, kami mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Saudara, karena Saudara telah menyelamatkan nyawa kami.”



“Kalian tidak usah mengucapkan terima kasih.” Tio Bun Yang tersenyum ramah, lalu melesat pergi. “Kauw-heng, cepat ikut aku!”

“Saudara....”  Para  anggota  Tiong  Ngie  Pay  terperangah

dengan mulut ternganga lebar, sebab dalam sekejap mata Tio Bun Yang telah hilang dari pandangan mereka.

“Sayang sekali kita tidak tahu namanya!”

“Kalau tidak salah...,” ujar salah seorang anggota Tiong Ngie Pay. “Dia adalah Giok Siauw Sin Hiap yang baru muncul di rimba persilatan.”

“Benar. Dia pasti Giok Siauw Sin Hiap. Ayoh, kita harus segera kembali ke markas!”

-ooo0dw0ooo-

Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang sudah sampai di markas pusat Kay Pang. Betapa gembiranya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong, mereka menatapnya dengan mata tak berkedip.

“Kakek, Kakek Gouw!” panggil Tio Bun Yang sambil bersujud.

“Bun Yang cucuku....” Lim Peng Hang tertawa gembira.

“Engkau sudah sedemikian besar, bahkan sangat tampan pula.”

Tio Bun Yang hanya tersenyum. Sedangkan monyet bulu putih bercuit-cuit tampak gembira sekali.

“Bun Yang....” Gouw Han Tiong masih terus menatapnya.

“Engkau memang tampan sekali, kemungkinan kepandaianmu pun sudah tinggi.”

“Biasa-biasa saja, Kakek Gouw,” ujar Tio Bun Yang merendah.



“Ha-ha-ha!” Gouw Han Tiong tertawa gelak. “Engkau bersifat seperti Cie Hiong, selalu merendah diri.”

“Bun Yang, duduklah!” ucap Lim Peng Hang.

“Terima kasih, Kakek!” Tio Bun Yang duduk dan bertanya, “Bagaimana keadaan Kakek dan Kakek Gouw selama ini?"

“Kakek baik-baik saja,” sahut Lim Peng Hang sambil tersenyum.

“Yaaah!” Sebaliknya Gouw Han Tiong malah menghela nafas panjang. “Aku malah telah kehilangan ayah.”

“Apa?!” Tio Bun Yang terperanjat. “Kakek tua Tui Hun Lojin telah meninggal?”

“Kalau meninggal itu masih wajar, tapi...." Gouw Han Tiong

menggeleng~gelengkan kepala.

“Kakek tua kenapa?” Tio Bun Yang mengerutkan kening. “Apakah....”

“Dua  tahun  lalu....”  Gouw  Han  Tiong  memberitahukan.

“Ayahku dan Lam Kiong hujin dibunuh orang.”

“Oh?” Tio Bun Yang tersentak. “Siapa yang membunuh kakek tua dan Lam Kiong hujin?"

"Hingga saat ini kami tidak mengetahuinya.” Gouw Han Tiong menghela nafas panjang. “Tiada jejak pembunuh itu.”

"Padahal kakek tua dan Lam Kiong hujin berkepandaian tinggi, tapi kenapa mati terbunuh?”

"Itu membuktikan kepandaian pembunuh itu sangat tinggi.” Lim Peng Hang memberitahukan. “Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin mati dengan sekujur badan hangus!”

"Sekujur badan hangus?” Tio Bun Yang kaget. “Apakah kakek tua dan Lam Kiong hujin dibakar?"



"Bukan.” Lim Peng Hang menggelengkan kepala. “Melainkan terkena semacam pukulan yang mengandung api.”

"Oh?” Tio Bun Yang terkejut. “Siapa yang memiliki ilmu pukulan seperti itu?"

Menurut Kou Hun Bijin, ilmu pukulan itu berasal dan Persia,” ujar Lim Peng Hang. “Namun selama dua ratus tahun in, tiada seorang pun yang berhasil mempelajarinya.”

“Oh?” Tio Bun Yang terbelalak. “Oh ya, Kakek bertemu Kou Hun Bijin di mana?”

“Di Pulau Hong Hoang To,” jawab Lim Péng Hang. “Kim Siauw Suseng juga berada di sana.”

“Jadi,... Kakek sudah ke Pulau Hong Hoang To?”

“Dua tahun lalu, kakek pergi ke sana untuk memberitahukan tentang kematian Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.”

“Kakek tidak ke Tayli?”

“Aku sudah ke Tayli dua tahun lalu.” Gouw Han Tiong memberitahukan. “Pihak Tayli sudah tahu tentang itu, dan aku juga yang memberitahukan.”

“Yaaah...!” Tio Bun Yang menghela nafas panjang.

“Bun Yang!” Gouw Han Tiong memberitahukan. “Lam Kiong Bie Liong dan Toan Wie Kie sudah mempunyai anak bernama Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat, mereka berdua seusia denganmu!”

“Oh?” Tio Bun Yang tersenyum. “Kalau ada kesempatan aku ingin ke Tayli menemui mereka.”

“Mereka berada di Gunung Thay San belajar ilmu silat kepada Tayli Lo Ceng, dan mereka menjadi murid padri tua itu.”



“Syukurlah!” ucap Tio Bun Yang berseri. “Ayahku pernah bilang, bahwa kepandaian Tayli Lo Ceng tinggi sekali. Mereka berdua menjadi murid padri tua itu, tentunya akan memiliki kepandaian tinggi pula?

“Bun Yang,” ujar Lim Peng Hang sambil mengge1eng~gelengkan kepala. “Rimba persilatan tampak akan dilanda badai, sedangkan kerajaan dalam keadaan kacau balau. Banyak jenderal dan menteri setia mati dibunuh orang-orang Hiat Ih Hwe.”

"Hiat Ih Hwe?” Tio Bun Yang mengerutkan kening.

“Bun Yang....” Lim Peng Hang menatapnya heran. “Dalam

perjalanan ke mari, apakah engkau bertemu orang-orang Hiat Ih Hwe?”

“Ya? Tio Bun Yang mengangguk dan menutur tentang kejadian itu. “Aku memusnahkan kepandaian orang-orang Hiat Ih Hwe itu.”

“Oh?” Lim Peng Hang tersenyum. “Bagus engkau menyelamatkan nyawa para anggota Tiong Ngie Pay.”

“Kenapa?” tanya Tio Bun Yang.

“Kalau dugaan kakek tidak meleset, ketua Tiong Ngie Pay itu adalah Yo Suan Hiang.”

“Apa?!” Tio Bun Yang tertegun. “Ketua Tiong Ngie Pay adalah Bibi Suan Hiang?"

“Itu cuma dugaan kakek saja. Sebab selama ini kakek tidak pernah bertemu ketua Tiong Ngie Pay itu.”

“Menurutku...,” ujar Gouw Han Tiong. “Kemungkinan besar memang Yo Suan Hiang.”

“Kalau benar Bibi Suan Hiang, sungguh menggembirakan.” Wajah Tio Bun Yang berseri-seri. “Aku rindu sekali kepadanya.”



“Oh ya!” Mendadak wajah Lim Peng Hang juga berseri. “Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin juga sudah mempunyal seorang putri, usianya enam belas dan cantik sekali.”

“Oh?” Tio Bun Yang terbelalak. “Kim Siauw Suseng berusia hampir seratus, sedangkan Kou Hun Bijin berusia seratus lebih. Kok mereka masih bisa mempunyai anak?”

“Bun Yang!” Lim Peng Hang tertawa. “Itu dikarenakan mereka awet muda, maka bisa mempunyai anak.”

“Oooh!” Tio Bun Yang manggut-manggut. “Kakek, siapa nama gadis itu?”

“Siang Koan Goat Nio,” sahut Lim Peng Hang. “Bun Yang, gadis itu sungguh cantik sekali, dan lemah lembut. Dia juga menggunakan suling emas sebagai senjata.”

“Kalau begitu, dia pandai meniup suling?"

“Betul. Gadis itu memang pandai meniup suling. Kalau kalian bertemu pasti akan cocok,” ujar Lim Peng Hang sambil tertawa gelak. “Engkau memiliki Giok Siauw, dia memiliki Kim Siauw.”

“Kalian berdua memang serasi,” sela Gouw Han Tiong sambil tersenyum.“Eeeh....” Wajah Tio Bun Yang kemerah-merahan.

“Oh ya!” Lim Peng Hang teringat sesuatu, dan segera memberitahukan kepada Tio Bun Yang. "Ayah dan ibumu berpesan, engkau tidak usah kembali ke Pulau Hong Hoang To.”

“Oh?” Tio Bun Yang tercengang. “Memangnya kenapa, Kakek?”

"Karena engkau harus membantu Kakek menyelidiki pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.” Lim Peng Hang memberitahukan. “Jadi engkau boleh berkecimpung



dalam rimba persilatan untuk membela kebenaran, sekaligus mencari pengalaman.”

“Oooh!” Tio Bun Yang manggut-manggut.

“Tapi..” Lim Peng Hang menambahkan, “Kauw-heng harus mendampingimu, ini adalah pesan dari ayah dan ibumu.”

“Tentu.” Tio Bun Yang tersenyum. “Kauw heng memang harus ikut aku.”Monyet bulu putih itu bercuit-cuit, kemudian menepuk dadanya sendiri sekaligus mengangkat dadanya.

“Bun Yang!” Gouw Han Tiong bingung. “Kauw-heng bilang apa?"

"Dia harus melindungi diriku. Itu adalah tugasnya." Tio Bun Yang memberitahukan.

"Oooh!" Gouw Han Tiong tertawa.

“Kauw heng,” ucap Lim Peng Hang. “Terima-kasih atas kesediaanmu melindungi cucuku!”

Monyet bulu putih itu menggoyang-goyangkan sepasang tangannya, itu membuat Lim Peng Hang terheran-heran.

“Bun Yang, kauw-heng bilang apa?”

“Dia bilang, Kakek tidak usah berterima kasih kepadanya,” sahut Tio Bun Yang sambil membelai

monyet bulu putih itu, lalu melanjutkan, “Kalau begitu, aku akan tinggal di sini beberapa hari. Setelah itu, aku akan pergi menyelidiki pembunuh itu.”

“Bun Yang, biar bagaimana pun engkau harus berhati-hati,” pesan Lim Peng Hang “Jangan menyombongkan diri menghadapi segala apa pun harus tenang dan bersabar.”

“Aku pasti menuruti nasihat Kakek.”

“Bagus, bagus!” Lim Peng Hang tertawa gembira.



Beberapa hari kemudian, mulailah Tio Bun Yang berkecimpung di dalam rimba persilatan, dan ditemani monyet bulu putih.

-oo0dw0oo-


Bagian Ke Dua belas

Menolong pembesar yang bijaksana


Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im duduk berhadapan didalam kamar. Mereka tampak serius membicarakan sesuatu.

“Besok Goat Nio akan pergi mengembara, sekalian mencari Bun Yang,” ujar Tio Cie Hiong. “Aku pernah berjanji kepada Ai Ling akan berunding dengan paman, ini entah bagaimana baiknya?”

“Kakak Hiong!” Lim Ceng Im tersenyum. “Berundinglah dengan pamanmu, aku yakin pamanmu pasti memperbolehkan Ai Ling pergi mencari ayahnya.”

“Ngmmm!” Tio Cie Hiong manggut-manggut. “Kalau begitu, aku akan pergi menemui paman.”

Tio Cie Hiong meninggalkan kamar itu, dan langsung pergi menemui Tio Tay Seng, yang sedang bermain catur dengan Sam Gan Sin Kay.

“Tio Tocu,” ujar Sam Gan Sin Kay sambil menghela nafas panjang. “Begitu cepat sang waktu berlalu, tak terasa sudah dua tahun.”

“Ya.” Tio Tay Seng manggut-manggut. “Kita bertambah tua, entah bisa bertahan berapa lama?”

“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. “Aku justru ingin cepat-cepat mati, rasanya sudah bosan hidup di dunia.”



“Eeeh?” Tio Tay Seng menatapnya, kemudian tertawa. “Kalau engkau mati, aku celaka.”

“Kenapa?”

“Karena tidak ada orang yang menemani aku main catur. Bukankah aku akan celaka saking kesepian?”

“Kalau begitu....” Sam Gan Sin Kay tertawa lagi. “Aku tidak

mau cepat-cepat mati, karena masih harus menemanimu main catur.”

“Ha ha ha!” Tio Tay Seng tertawa gelak. “Memangnya engkau bisa mengatur hidup matimu? Hidup matinya orang berada di tangan Thian (Tuhan) lho!”

“Benar. Tapi kalau kita bisa menjaga diri agar selalu sehat, tentunya tidak akan cepat mati,” sahut Sam Gan Sin Kay.

“Tidak salah.” Tio Tay Seng manggut-manggut. “Oh ya! Putri kesayangan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin telah menguasai semua ilmu yang diajarkan Cie Hiong, dan besok gadis itu mau pergi mengembara mencari pengalaman.”

“Sekaligus mencari Bun Yang! Ha-ha-ha...!” Sam Gan Sin Kay tertawa dan menambahkan, “Menurutku, Goat Nio dan Bun Yang memang merupakan pasangan yang serasi.”

“Itu bagaimana mereka berdua saja,” ujar Tio Tay Seng., “Oh ya, entah bagaimana keadaan dimarkas pusat Kay Pang,dan di Tayli? Mungkinkah pihak Kay Pang sudah berhasil menyelidiki pembunuh itu?"

"Sudahlah, jangan membicarakan yang memusingkan itu! Kita sudah tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan, jadi tidak usah membicarakan itU." tandas Sam Gan Sin Kay.

“Benar.” Tio Tay Seng mengangguk. Disaat itulah muncul Tio Cie Hiong sambil tersenyum-senyum.

“Cie Hiong.” Sam Gan Sin Kay tertawa “Engkau ke mari mau ikut main catur?”



“Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Paman,” sahut Tio Cie Hiong jujur.

“Bolehkah aku ikut mendengar?” tanya Sam Gan Sin Kay “Kalau tidak boleh, aku akan segera meninggalkan tempat ini.”

“Tentu boleh.” Tio Cie Hiong duduk.

“Cie Hiong!” Tio Tay Seng menatapnya seraya bertanya, “Engkau ingin bicara apa dengan Paman?”

“Mengenai Ai Ling”

“Kenapa dia?”

“Kakak Hong Hoa telah setuju, namun dia dan Ai Ling tidak berani memberitahukan kepada Paman.”

“Lho? Ada apa” Tio Tay Seng mengerutkan kening “Hong Hoa menyetujui apa? Beritahukanlah!”

“Besok Goat Nio mau pergi mengembara Ai Ling ingin ikut dan kakak Hong Hoa telah menyetujui.”

“Apa?” Wajah Tio Tay Seng tampak berubah. “Maksud Ai Ling ingin pergi mencari ayahnya?” “Ya” Tio Cie Hiong mengangguk

“Tidak boleh!” bentak Tio Tay Seng gusar. “Pokoknya dia tidak boleh pergi mencari binatang itu!”

“Tio Tocu,” ujar Sam Gan Sin Kay sambil tersenyum. “Jangan emosi, dengar dulu apa yang akan dikatakan Cie Hiong!”

Tio Tay Seng diam, lalu memandang Tio Cie Hiong dengan kening berkerut-kerut “Lanjutkanlah!” katanya.

“Paman,” ujar Tio Cie Hiong sambil menghela nafas. “Biar bagaimana pun, Man Chiu tetap ayah Ai Ling, maka Ai Ling berhak pergi mencarinya.”

“Tidak bisa!” Tio Tay Seng tetap berkeras.



“Paman!” Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. “Kini Ai Ling sudah remaja, kalau paman melarangnya pergi mencari ayahnya, itu akan membuat batinnya tertekan sekali. Paman harus memikirkan itu, jangan membuatnya menderita. Ibunya sudah cukup menderita, jangan sampai Ai Ling menderita pula.”

“Tio Tocu,” sela Sam Gan Sin Kay. “Memang benar apa yang dikatakan Cie Hiong, engkau jangan berkeras hati lagi.”

“Aaaaah...!” Tio Tay Seng menghela nafas panjang. “Sesungguhnya aku sangat kasihan kepada Hong Hoa dan cucuku itu, sehingga membuatku terus berpikir setiap malam.”

“Apa yang kau pikirkan, Tio Tocu?” tanya Sam Gan Sin Kay.

“Aku memikirkan Lie Man Chiu,” sahut Tio Tay Seng jujur. “Rasanya ingin sekali aku pergi mencarinya.”

“Oh?” Sam Gan Sin Kay dan Tio Cie Hiong terbelalak.

“Tapi....” Tio Tay Seng menggeleng-gelengkan kepala. “Aku

tidak mau meninggalkan pulau ini.”

“Kalau  begitu....”  Wajah  Tio  Cie  Hiong  tampak  berseri.

“Paman, ijinkanlah Ai Ling pergi mencari ayahnya!”

“Cie Hiong, dia masih remaja, belum berpengalaman dalam rimba persilatan,” ujar Tio Tay Seng. “Itu membuatku tidak bisa tenang.”

“Paman boleh berlega hati, sebab kepandaian Ai Ling sudah cukup tinggi. Lagi pula aku sering memberitahukannya tentang rimba persilatan, jadi dia sudah mengerti.”

“Dia pun pergi bersama Goat Nio, maka kita tidak perlu khawatir,” sambung Sam Gan Sin Kay.

“Menurut kalian, aku harus mengijinkannya pergi mencari ayahnya?” tanya Tio Tay Seng.

“Ya.” Sam Gan Sin Kay dan Tio Cie Hiong mengangguk.



“Kalau   begitu....”            Tio          Tay         Seng      manggut-manggut.

“Baiklah. Aku mengijinkannya pergi mencari ayahnya, mudah-mudahan dia berhasil menemukan ayahnya!”

"Terima kasih Paman." ucap Tio Cie Hiong.

“Kenapa engkau yang mengucapkan terima kasih?” Tio Tay Seng tersenyum “Engkau memang sela1u memikirkan kepentingan orang lain, paman yakin Bun Yang pun begitu."

“Paman!” Tio Cie Hiong tertawa gembira. “Aku merasa gembira sekali. Maaf, aku harus segera pergi memberitahukan Ai Ling.”

Tio Cie Hiong langsung melesat pergi menuju tempat Siang Koan Goat Nio sedang berlatih dengan Lie Ai Ling. Ia melihat Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin duduk di situ dengan wajah berseri memperhatikan Siang Koan Goat Nio yang sedang berlatih bersama Lie Ai Ling.

“Paman sastrawan, Bibi” panggil Tio Cie Hiong sambil menghampiri mereka.

“Oh, Cie Hiong~” Kim Siauw Suseng tersenyum. “Duduklah!”

Tio Cie Hiong duduk, lalu menyaksikan latihan itu dengan penuh perhatian sambil manggut-manggut.

“Bagaimana, adik kecil? Kepandaian mereka berdua sudah tinggi kan?” tanya Kou Hun Bijin.

“Ya.” Tio Cie Hiong mengangguk.

“Besok Goat Nio akan pergi mengembara mencari pengalaman, sekalian mencari Bun Yang putramu,” ujar Kou Hun Bijin sambil tersenyum.

“Barusan aku justru berunding dengan pamanku." Tio Cie Hiong memberitahukan.



“Berunding mengenai apa?” tanya Kim Siauw Suseng heran.

“Mengenal Ai Ling. Karena dia ingin ikut Goat Nio pergi mencari ayahnya,” sahut Tio Cie Hiong.

“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin tertawa nyaring.Aku yakin pamanmu tidak mengijinkannya.”

“Semula pamanku memang tidak setuju, namun kemudian mengijinkannya.” Tio Cie Hiong memberitahukan.

“Syukurlah!” ucap Kou Hun Bijin. “Jadi Goat Nio punya teman dalam pengembaraan.”

“Cie        Hiong....”             Kim        Siauw    Suseng tampak serius.

“Menurutku, Lie Man Chiu tidak akan sejahat itu. Aku yakin dia akan sadar dari kekeliruannya itu”

“Aku sependapat dengan Paman Sastrawan.” Tio Cie Hiong manggut-manggut “Aku memang berharap Ai Ling dapat menyadarkannya dan mau ikut Ai Ling pulang ke Hong Hoang To.”

“Benar.” Kim Siauw Suseng manggut-manggut.

“Oh ya, adik kecil!” Kou Hun Bijin memandang Tio Cie Hiong sambil tersenyum-senyum. “Terus terang, kami merasa cocok dengan pulau ini. Maka kami mengambil keputusan untuk terus tinggal disini.”

"Oh?” Tio Cie Hiong gembira sekali. “Bagus, bagus!”

“Tapi...? Kim Siauw Suseng menggeleng-gelengkan kepala.

“Tentunya akan merepotkan pamanmu.

“Tidak akan merepotkan pamanku, sebaliknya pamanku pasti girang sekali,” ujar Tio Cie Hiong.

Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling sudah berhenti berlatih. Ketika melihat Tio Cie Hiong, berserilah wajah kedua gadis itu.



“Paman!” seru mereka serentak.

“Goat Nio, Ai Ling!” Tio Cie Hiong tertawa. “Kepandaian kalian sudah maju pesat sekali.”

“Itu atas bimbingan Paman,” ujar kedua gadis itu.

“Ai Ling....” Tio Cie Hiong menatapnya sambil tersenyum.

“Ada kabar gembira untukmu.”

“Oh?” Lie Ai Ling tertegun. “Kabar gembira apa?”

“Besok Goat Nio mau pergi mengembara. Tentunya engkau ingin ikut, karena... engkau harus mencari ayahmu,” sahut Tio Cie Hiong.

“Betul. Tapi....” Lie Ai Ling menghela nafas. “Belum tentu

kakek mengijinkan.

“Ai Ling!” Tio Cie Hiong tersenyum. “Tadi aku sudah membicarakannya dengan kakekmu.”

“Oh?” Wajah Lie Ai Ling berseri. “Kakekku setuju aku pergi mencari ayah?”

“Setuju.” Tio Cie hong mengangguk.

“Horeee!” Lie Ai Ling berjingkrak-jingkrak saking girangnya. “Besok aku akan pergi mencari ayah!”

“Bagus, bagus!” Kou Hun Bijin tertawa. “Jadi Goat Nio mempunyai teman dalam pengembaraan.”

“Syukurlah!” ucap Kim Siauw Suseng dengan wajah berseri. “Mereka berdua akan saling melindungi.”

“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio menggenggam tangannya. “Aku pasti membantumu mencari ayahmu.”

“Terima kasih, Goat Nio!” ucap Lie Ai Ling. Aku pun pasti membantumu dalam hal....”

“Dalam hal apa?” tanya Siang Koan Goat Nio heran.



“Mencari Kakak Bun Yang,” sahut Lie Ai Ling sambil tertawa kecil. “Bukankah engkau ingin sekali bertemu Kakak Bun Yang?”

“Ai          Ling....” Wajah   Siang     Koan      Goat      Nio         memerah.

“Engkau....”

“Ha ha-ha! Hi hi-hi!” Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin tertawa. Sedangkan Tio Cie Hiong tersenyum-senyum.

"Kalian berdua harus ingat, jangan sembarangan mengeluarkan ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat!” pesan Tio Cie Hiong.

“Kami pasti ingat, Paman.” Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling mengangguk pasti. “Kamipun tidak akan sembarangan membunuh orang, cukup memusnahkan kepandaian mereka saja."

“Bagus!” Tio Cie Hiong manggut-rnanggut dan melanjutkan, “Akupun akan membekali kalian obat pemunah racun.”

“Terima kasih, Paman!” ucap kedua gadis itu. “Terima kasih....”

-oo0dw0oo-

Kota Keng Ciu merupakan kota yang cukup besar, makmur dan ramai dikunjungi para pedagang dan daerah lain.

Pada suatu hari, kota tersebut menjadi lebih ramai dari pada biasanya, bahkan wajah para penduduk kota itu pun tampak berseri-seri, Seakan menghadapi hari besar atau hari raya.

Kenapa begitu? Ternyata para penduduk kota itu turut merayakan hari ulang tahun Tan Tayjin (Pembesar Tan), gubernur kota tersebut. Beliau setia pada kerajaan, adil dan bijaksana terhadap para penduduk kota Keng Ciu itu, dan



tidak pernah melakukan tindak korupsi. Oleh karena itu, para penduduk kota tersebut sangat menghormatinya.

Entah sudah berapakali Lu Thay Kam mengutus orang kepercayaannya pergi menemui Tan Tayjin untuk menyampaikan perintahnya, bahwa Tan Tayjin harus menaikkan pajak para pedagang dan lain sebagainya di kota itu.

Akan tetapi, Tan Tayjin sama sekali tidak mengacuh perintah itu, sudah barang tentu membuat Lu Thay Kam gusar bukan main. Karena itu, Tan Tayjin pun menjadi sasaran Hiat Ih Hwe.

Pada hari itu, di kota Keng Ciu tersebut muncul dua gadis remaja yang sangat cantik sekali, yang ternyata Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling. Kedua gadis itu telah meninggalkan Pulau Hong Hoang To, mulai mengembara dalam rimba persilatan.

Mereka berdua berjalan perlahan, memandang ke kiri dan ke kanan sambil mengagumi keindahan gedung-gedung yang beraneka warna. Kemunculan kedua gadis itu sangat menanik perhatian penduduk kota itu, karena mereka berdua memiliki kecantikan yang mempesona

“Ai Ling,” ujar Siang Koan Goat Nio sambil tersenyum. “Sungguh indah dan ramai kota ini!”

“Benar,” sahut Lie Ai Ling dan tertawa riang gembira. “Mudah-mudahan kita akan bertemu Kakak Bun Yang di sini!”

“Al Ling....” Siang Koan Goat Nio menggelengkan kepala.

“Dia belum tentu sudah meninggalkan Gunung Thian San.”

“Menurut paman, Kakak Bun Yang pasti sudah meninggalkan Gunung Thian San,” ujar Lie Ai Ling dan menambahkan “Maka kita disuruh ke markas pusat Kay Pang, mungkin kakak Bun Yang berada di sana.”



“Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio tertawa kecil, “Kalau dipikir~pikir memang menggelikan."

“Apa yang menggelikan?"

“Kita boleh dikatakan buta akan Tionggoan ini, namun kita Justru berani mengembara.”

“Kalau kita tidak berani mengembara, bagaimana mungkin pengalaman kita akan bertambah? Yang penting kita tidak boleh malu bertanya, sebab kalau kita malu bertanya akan sesat dijalan.”

“Benar.” Siang Koan Goat Nio manggut-manggut. “Eeeeh? Kenapa penduduk kota ini terus menerus memandang kita? Apakah dandanan kita tidak wajar?”

“Bukan.” Lie Ai Ling tersenyum. “Mereka terus menerus memandang kita, karena kita berdua sangat cantik, maka menarik perhatian mereka.”

“Oooh!” Siang Koan Goat Nio tertawa geli, “Kaum lelaki memang begitu, kalau melihat gadis cantik, mata mereka langsung melotot.”

“Tapi...,” ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh, “Kakak Bun Yang tidak begitu. Aku tahu jelas itu.”

“Oh, ya?” Siang Koan Goat Nio tersenyum dengan wajah agak kemerah-merahan. “Ai Ling, kota ini tampak ramai sekali. Apakah penduduk ini sedang merayakan sesuatu?"

"Mungkin” Lie Ai Ling mengangguk “Kalau ada keramaian, kita pun boleh menonton. Asyikkan?"

"Memang asyik, tapi... jangan menimbulkan masalah.” Siang Koan Goat Nio mengingatkan.

“Goat Nio!” Lie Ai Ling tertawa kecil. “Memangnya kita adalah gadis yang akan menimbulkan masalah?”



“Tentunya bukan. Namun kita harus tetap menjaga agar tidak emosi,” ujar Siang Koan Goat nio sungguh-sungguh. “Karena pasti akan ada kaum lelaki menggoda kita.”

“Kita tampar saja,” sahut Lie Ai Ling. “Bereskan?"

“Nah!” Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau begitu, pasti akan menimbulkan masalah.”

“Jadi... kita harus diam saja kalau digôda!”

“Apabila mereka tidak teriampau kurang ajar, diamkan saja.” Mendadak Siang Koan Goat Nio memandang ke depan dengan mata agak terbelalak. Ternyata ía melihat begitu banyak orang berkumpul di depan pintu sebuah rumah yang cukup besar. "Eh? Ada apa di sana?"

"Mungkin ada keramaian. Mari kita kesana melihat-lihat!” ajak Lie Ai Ling.

Siang Koan Goat Nio mengangguk. Kemudian kedua gadis itu menuju ke sana. Tampak kaum lelaki berdesak-desakan seakan ingin menyaksikan sesuatu.

"Heran? Ada apa sih” gumam Ai Ling sambil memandang ke halaman rumah itu. Di dalam halaman itu tampak beberapa pengawal, sepasang suami isteri berusia lima puluhan dan seorang gadis cantik berusia dua puluhan.

“Lebih baik bertanya kepada salah seorang yang berkumpul disini,” sahut Siang Koan Goat Nio.

Lie Ai Ling mengangguk, lalu mendekati seorang tua dan bertanya dengan sopan. “Paman, ada keramaian apa di rumah itu?”

“Eeeh?” Orang tua itu terbelalak ketika melihat Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio. “Bukan main, bukan main!”

“Apa yang bukan main, Paman?” tanya Lie Ai Ling dengan rasa heran.



“Kalian berdua sungguh cantik!” sahut orang tua itu. “Bahkan lebih cantik dan Tan siocia (Nona Tan)”

“Oh?” Lie Ai Ling tersenyum “Paman, siapa Nona Tan itu?” “Kalian berdua bukan penduduk kota ini?” “Bukan.”

“Pantas kalian tidak tahu. Rumah ini adalah tempat tinggal Tan Tayjin. Beliau mempunyai seorang putri bernama Tan Giok Lan, yang cantik jelita.” Orang tua itu memberitahukan.

“Oooh!” Lie Ai Ling manggut-manggut. “Lalu kenapa begitu banyak orang berkumpul di sini?”

“Hari ini Tan Tayjin merayakan ulang tahunnya, jadi orang-orang berkumpul di sini... untuk melihat Nona Tan, yang cantik jelita itu,” sahut orang tua itu sambil memandang mereka berdua. "Namun kalian berdua lebih cantik dari Nona Tan.

“Oh?” Lie Ai Ling tersenyum, kemudian berkata kepada Siang Koan Goat Nio. “Mari kita mendekati pintu rumah, aku ingin lihat berapa cantik Nona Tan itu!”

“Baik” Siang Koan Goat Nio mengangguk.

Mereka berdua menuju pintu rumah itu, namun tidak bisa maju lagi, karena terhalang oleh orang-orang yang berkumpul di situ.

“Permisi! Permisi...,” ucap Lie Ai Ling.

Suaranya begitu merdu, sehingga membuat orang orang itu berpaling Begitu melihat Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling yang cantik bagaikan bidadari, seketika juga mereka terbelak dengan mulut ternganga lebar, bahkan d~antaranya ada pula yang menelan air liur.

“Hi-hi-hi!” Lie Ai Ling tertawa geli menyaksikan sikap mereka itu “Goat Nio, lucu sekali mereka itu!” bisiknya.



Siang Koan Goat Nio tersenyum. Sementara Tan Giok Lan yang berada di dalam merasa heran, karena semua orang-orang itu terus mengarah kepadanya, namun mendadak mereka berpaling ke belakang. Itu membuatnya terheran-heran, sehingga ía pun memandang kedepan.

Orang-orang yang berkumpul itu tiba-tiba minggir seakan memberi jalan. Tampak dua gadis cantik manis melangkah maju, lalu berhenti sambil memandang kedalam.

Begitu melihat kedua gadis yang begitu cantik, ía pun tertarik dan segera berbisik-bisik kepada ayahnya.

“Ayah, di luar ada dua gadis yang agaknya ingin menjadi tamu kita, lebih baik suruh saja mereka masuk!”

“Baik.” Tan Tayjin mengangguk dan sekaligus berseru kepada pengawalnya. “Undang kedua nona itu masuk!”

“Ya, Tayjin,” sahut pengawal itu dan cepat-cepat mendekati Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling. “Nona-nona, Tayjin mengundang kalian masuk.”

“Terima kasih!” sahut Lie Ai Ling, lalu menarik Siang Koan Goat Nio ke dalam dengan wajah berseri-seri.

Tan Tayjin dan Tan Giok Lan terus memperhatikan kepada mereka. Padahal Tan Giok Lan merupakan gadis yang cantik jelita, namun masih kalah cantik bila dibandingkan dengan kedua gadis itu.

"Paman!” Lie Ai Ling memberi hormat. “Terima kasih atas kebaikanmu!"

Tan Tayjin memandang mereka dengan penuh heran, karena seharusnya mereka memanggilnya Tayjin, namun malah memanggilnya paman.

“Ha ha-ha! Kalian berdua pasti bukan orang sini! Agaknya kalian berdua gadis-gadis rimba persilatan!”

“Kok Paman tahu?” tanya Lie Ai Ling dengan rasa heran.



“Karena aku melihat pedang tergantung dipunggungmu,” sahut Tan Tayjin. “Oh ya, silakan duduk!”

“Terima kasih, Paman!” ucap Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio, lalu duduk dengan wajah berseri

“Kalian datang dan mana~” tanya Tan Tayjin sambil memandang mereka dalam-dalam.

“Kami datang dan Pak Hai (Laut Utara).” Lie Ai Ling memberitahukan sambil memandang Tan Giok Lan, kemudian melanjutkan. “Kami baru mulai mengembara.”

“Oooh!” Tan Tayjin manggut-manggut.

“Maaf” ucap Tan Giok Lan “Kalian berdua kakak beradik?”

“Bolehkah dikatakan ya, tapi juga boleh dikatakan bukan,” jawab Lie Ai Ling sambil tersenyum.

“Maksudmu” tanya Tan Giok Lan, yang kebingungan

“Kami bukan kakak beradik, namun hubungan kami bagaikan kakak beradik” Lie Ai Ling memberitahukan.

“Oooh!” Tan Giok Lan manggut-manggut. “Oh ya, botehkah aku tahu nama kalian berdua?”

“Namaku Lie Ai Ling, dan dia bernama Siang Koan Goat Nio,” jawab Lie Ai Ling dan bertanya “Namamu?"

“Namaku Tan Giok Lan, usiaku dua puluh Berapa usia kalian?”

“Kami berdua sama-sama berusia enam belas Karena engkau lebih besar, maka kami harus memanggilmu Kakak Giok Lan”

“Terima kasih’” ucap Tan Giok Lan sambil tersenyum dan merasa suka kepada mereka yang begitu polos.

“Oh ya!Kalau tidak salah, Paman merayakan ulang tahun hari ini, bukan?” tanya Lie Ai Ling.



“Betul” Tan Tayjin mengangguk.

“Kalau begitu “Lie Ai Ling tersenyum “Sudah pasti ada makanan. Paman, kami sudah lapar sekali.”

“Oh?” Tan Tayjin tertawa, lalu berkata kepada pembantunya, “Sajikan makanan istimewa dan arak wangi untukkedua nona ini!”

"Ya, Tuan besar,” sabut pembantu itu, yang kemudian berja1an masuk, Tak lama kemudian tampak berapa pembantu berjalan ke luar dengan membawa berbagai macam makanan dan arak wangi.

Setelah menaruh makanan dan arak ke atas meja, para pembantu itu kembali masuk. Agak terbelalak Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio melihat makanan-makanan itu.

"Silakan makan!” ucap Tan Tayjin. “Jangan malu-malu!’

“Terima kasih, Paman!” Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio mulai bersantap. Mungkin saking laparnya, dalam waktu sekejap kosonglah semua piring itu.

Tan Tayjin, Tan hujin (Nyonya tan) dan Tan Giok Lan tersenyum geli, kemudian bertanya. “Mau nambah?”

“Terima kasih!” sahut Lie Ai Ling. "Kami sudah kenyang.”

“Aku yakin....” Tan Giok Lan memandang mereka. “Kalian

berdua pasti berkepandaian tinggi. Maukah kalian memperlihatkan kepandaian kalian untuk kami?”

"Maaf!’ ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Kami berdua tidak mau memamerkan kepandaian, harap Kakak Giok jangan kecewa!”

“Sayang sekali!” Tan Giok Lan menggeleng-gelengkan kepala. “Padahal aku suka sekali akan ilmu silat!”

“Kalau begitu, kenapa Kakak Giok Lan tidak mau belajar ilmu silat?” tanya Siang Koan Goat Nio.



“Yaah!” Tan Giok Lan menghela nafas panjang. "Sulit mencari guru yang pandai, lagi pula ayahku melarangku belajar ilmu silat.”

“Benar? Tan Tayjin manggut-manggut. “Aku yang melarangnya belajar ilmu silat, karena akan membuat sepasang tangannya menjadi kasar...?"

“Tidak mungkin,” potong Lie Ai Ling sambil memperlihatkan sepasang tangannya yang putih dan halus. “Lihatlah Paman! Tangan kami tidak kasar, bukan?”

Tan Tayjin memandang tangan gadis itu, lalu manggut-manggut seraya berkata sungguh-sungguh.

“Tanganmu memang tetap putih halus. Kalau begitu putriku boleh belajar ilmu silat.”

“Terima kasih, Ayah!” ucap Tan Giok Lan cepat.

“Memang ada baiknya Giok Lan belajar ilmu silat,” ujar Nyonya Tan sambil tersenyum lembut. “Sebab bisa menjaga diri sekaligus memperkuat daya tahan tubuhnya.”

“Benar,” Tan Tayjin manggut-manggut dan tertawa. “Tapi... sulit mencari guru yang pandai lho!”

“Bukankah di depan mata kita sudah ada dua orang guru?” ujar Nyonya Tan sambil memandang Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling.

“Ha ha ha!” Tan Tayjin tertawa. “Benar, benar. Tapi belum tentu kedua nona itu bersedia mengajar Giok Lan ilmu silat”

“Adik Goat Lan dan adak Ai Ling, apakah kálian bersedia mengajarku ilmu silat?” tanya Tan Giok Lan penuh harap.

“Waduh!” Lie Ai Ling menggeleng-gelengkàn kepala. “Bukan tidak bersedia, melainkan kami tidak bisa lama-lama di sini, sebab kami harus ke markas pusat Kay Pang.”

“Sayang sekali!” Tan Giok Lan menghela napas panjang.



Pada saat bersamaan, tiba-tiba meluncur cepat beberapa buah benda kecil ke arah Tan Tayjin, dan hal itu tidak terlepas dari mata Siang KOan Goat Nio dan Lie Ai Ling.

Secepat kilat Lie Ai Ling mencabut pedangnya sekaligus diputarnya untuk menangkis benda-benda itu.

Ting! Ting! Ting! Ting! Terdengar suara benturan nyaring.

Ternyata benda-benda itu adalah senjata rahasia.

“Goat Nio!” ujar Lie Ai Ling. “Lindungi mereka, aku mau melihat siapa yang menyerang dengan senjata rahasia itu?"

“Baik!” Siang Koan Goat Nio mengangguk sambil mengeluarkan suling emasnya, siap~menghadapi segala kemungkinan

Lie Ai Ling melesat ke luar. Tampak empat orang berpakaian merah berdiri di halaman rumah.

“Siapa kalian?” bentak Lie Ai Ling. “Kenapa kalian menyerang kami dengan senjata rahasia?”

“Kami adalah anggota Hiat Ih Hwe! Kami kemari untuk membunuh Tan Thiam Song! Kami tidak bermaksud menyerang nona!” sahut salah seorang berpakaian merah itu Mereka berempat ternyata para anggota perkumpulan Baju Berdarah.

“Hm!” Dengus Lie Ai Ling dingin, “Kalian tidak melihat kami berada di sini sebagai tamu? Sungguh berani kalian ingin membunuh Paman Tan!”

“Nona!” Salah seorang berpakaian merah itu mengerutkan kening. “Lebih baik engkau jangan turut campur, agar tidak celaka!”

“Kami sebagai tamu di sini, tentunya harus melindungi Paman Tan sekeluarga! Cepatlah kalian enyah dan sini, jangan sampai aku marah!" bentak Lie Ai Ling sambil menatap mereka tajam



“Kalau begitu, kami terpaksa membunuh Nona du1u!” ujar orang berpakaian merah itu berseru, “Mari kita serang dia!"

Seketika tampak empat bilah pedang mengarah ke Lie Ai Ling. Betapa terkejutnyà Tan Tayjin, Nyonya Tan dan Tan Giok Lan menyaksikan kejadian itu.

Akan tetapi, mendadak Lie Ai Ling tertawa nyaring, sekaligus mengayunkan pedangnya untuk menangkis serangan-serangan itu. Gadis tersebut menggunakan Hong Hoang Kiam Hoatat (Ilmu pedang Burung Phoenix), mengeluarkan jurus Hong Hoang Khay Peng (Burung Phoenix Mengembangkan Sayap).

"Trang! Trang! Trang! Trang...!” Terdengar suara benturan pedang.

Keempat orang Hiat Ih Hwe terhuyung-huyung beberapa langkah, dan pedang di tangan mereka tinggal gagangnya, ternyata telah kutung. Perlu diketahui, pedang Lie Ai Ling adalah Hong Hoang Pokiam (Pedang Pusaka Burung Phoenix) pemberian ibunya.

“Haah...?” Keempat orang Hiat Ih Hwe terbelalak saking terperanjat. Mereka tahu sedang berhadapan dengan gadis yang berkepandaian tinggi. Salah seorang itu berkata, “Lihiap sungguh lihay, kami berempat bukan lawanmu! Bolehkah kami tahu siapa Nona?"

"Aku      adalah....             Hong     Hoang   Lihiap    (Pendekar           Wanita

Burung Phoenix)” sahut Lie Ai Ling setelah berpikir sejenak Kemudian ia menunjuk Siang Koan Goat Nio dan memberitahukan, “Dia adalah Kiam Siauw Siancu (Bidadan Suling Emas)!”

"Terima kasih!" ucap orang Hiat Ih Hwe itu “Kita akan berjumpa lagi di lain kesempatan”'



Keempat orang Hiat Ih Hwe itu melesat pergi, sedangkan Lie Ai Ling menyarungkan pedangnya sambil tersenyum-senyum, lalu kembali ketempat duduknya.

"Nona sungguh hebat sekali!” ujar Tan Tayjin kagum “Aku sama sekali tidak menyangka engkau berkepandaian begitu tinggi!”

“Terima kasih, Nona!” ucap Nyonya Tan sambil menghela nafas lega. “Engkau telàh menyelamatkan suamjku.”

“Adik Ai Ling” Tan Giok Lan menatapnya dengan mata tak berkedip. “Engkau sungguh lihay Rasanya aku ingin berguru kepadamu”

“Tidak seberapa kepandaianku,” sahut Lie Ai Ling merendah dan menambahkan, “Kakak Giok Lan, aku tidak bisa menjadi gurumu!”

“Sayang sekali!” Tan Giok Lan menghela nafas panjang, “Kini aku telah mengambil keputusan untuk belajar ilmu silat, agar bisa melindungi ayahku.”

“Eeeh’” Tan Tayjin terbelalak “Ke mana para pengawalku? Kenapa mereka tidak kelihatan?”

“Mereka terkapar pingsan,” Siang Koan Goat Nio memberitahukan.

“Celaka! Itu harus bagaimana?” Guguplah Tan Tayjin.

“Tidak apa-apa” Siang Koan Goat Nio tersenyum. “Mereka akan siuman dengan sendirinya.”

“Oooh!” Tan Tayjin menarik nafas lega.

“Paman,” tanya Lie Ai Ling. “Sebetulnya perkumpulan apa Hiat Ih Hwe itu?”

“Aaaah...!” Tan Tayjin menghela nafàs panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Perkumpulan itu khususnya



membunuh para jenderal dan pembesar yang setia, jujur dan bijaksana.”

“Oh?” Lie Ai Ling mengerutkan kening. “Siapa ketua Hiat Ih Hwe?”

“Mungkin Lu Thay Kam.” Tan Tayjin memberitahukan, “Sebab sudah berkali-kali Lu Thay Kam mengutus orang kepercayaannya ke mari untuk memberi perintah kepadaku.”

“Perintah apa?”

“Menyuruhku menaikkan pajak ini dan itu dikota ini. Tapi aku tidak mengacuhkan penintah itu."

“Jadi Lu Thay Kam mengutus orang.orangnyá kemari untuk membunuh Paman?"

“Kira-kira begitulah.”

"Hmm!" dengus Lie Ai Ling. “Sungguh jahat Lu Thay Kam itu! Kalau aku bertemu dia kelak, pasti kupenggal kepalanya!”

“Nona....” Tan Tayjin terbelalak. “Engkau....”

"Ai Ling,” tegur Siang Koan Goat Nio halus. “Jangan omong sembarangan, sebab akan menimbulkan masalah!”

“Ya." Lie Ai Ling mengangguk.

“Memang banyak orang ingin membunuh Lu Thay Kam, tapi sebaliknya mereka malah terbunuh.” Tan Tayjin memberitahukan

“Lho? Kenapa?” tanya Lie Ai Ling.

“Kalian  harus     tahu....”               Tan         Tayjin    menghela            nafas

“Kepandaian Lu Thay Kam sangat tinggi, maka tiada seorang pun mampu membunuhnya”

“Oh?” Lie Ai Ling mengerutkan kening, kelihatannya gadis itu kurang percaya “Suatu hari nanti, aku ingin bertarung dengan dia!”



“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kenapa engkau omong sembarangan lagi?”

“Lupa.” Lie Ai Ling tersenyum. “Oh ya, tadi mereka menanyakan nama kita....”

“Engkau memberitahukannya?” tanya Siang Koan Goat Nio.

“Tentu tidak,” sahut Lie Ai Ling sambil tersenyum geli dan melanjutkan, “Tapi kubilang aku adalah Hong Hoang Lihiap, sedangkan engkau adalah Kim Siauw Siancu.”

“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio tertawa kecil “Engkau mengada-ada saja!”

“Tidak salah.” Tan Tayjin tertawa. “Itu memang merupakan julukan yang sangat tepat untuk kalian Hong Hoang Lihiap, Kim Siauw Siancu! Sungguh tepat dan indah julukan tersebut! Ha ha-ha....”

“Adik!” Tan Giok Lan memandangnya seraya bertanya. “Kenapa engkau menggunakan julukan itu?”

“Pedangku adalah Hong Hoang Pokiam, Sedangkan suling yang tadi di tangan Siang Koan Goat Nio adalah Suling Emas.” Lie Ai Ling memberitahukan.

“Oooh!” Tan Giok Lan manggut-manggut.

“Aaaah...!” Mendadak Tan Tayjin menghela nafas panjang. “Kelihatannya Dinasti Beng sudah sulit dipertahankan lagi.”

“Kenapa?" tanya Lie Ai Ling.

“Karena kaisar cuma tahu bersenang-senang, yang berkuasa di istana adalah Lu Thay Kam dan beberapa menteri jahat. Karena itu, timbullah pemberontakan disana sini, bahkan aku pun dengar, Lu Thay Kam mengutus seorang kepercayaannya ke Manchuria.”

“Memangnya kenapa?” Lie Ai Ling tidak mengerti.



“Lu Thay Kam dan beberapa menteri telah bersepakat untuk bersekongkol dengan bangsa Boan (Manchuria).” Tan Tayjin memberitahukan.

“Paman!” Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala. “Kami sama sekali tidak mengerti akan urusan kerajaan.”

“Paman,” ujar Siang Koan Goat Nio mendadak dengan wajah serius. “Kalau begitu, lebih baik Paman mengundurkan din saja dari jabatan. Kalau tidak, nyawa Paman pasti terancam setiap saat.”

“Sebetulnya aku telah memikirkan itu, tapi...” Tan Tayjin menggeleng-gelengkan kepala.

“Kenapa?” tanya Siang Koan Goat Nio.

“Kalau aku mengundurkan diri, tentu akan muncul pembesar lain, yang korupsi di kota ini, yang sudah barang tentu membuat rakyat menjadi menderita.”

“Paman!” Siang Koan Goat Nio menatapnya kagum. “Paman sungguh jujur, adil dan bijaksana! Apabila para pembesar di seluruh negeri ini seperti Paman, tentu tidak akan terjadi pemberontakan.”

“Yaah!” Tan Tayjin menghela nafas panjang. “Itu bagaimana mungkin? Kini Dinasti Beng telah bobrok, berada di ambang keruntuhan.”

“Paman memikirkan penduduk kota ini, tapi sama sekali tidak memikirkan keluarga,” ujar Lie Ai Ling mendadak. “Pada hal keluarga Paman terancam bahaya.”

“Memang tidak salah.” Tan Tayjin manggut-manggut. “Setelah kejadian tadi itu, pertanda sudah waktunya aku pensiun.”

“Ayah!” Wajah Tan Giok Lan langsung berseri. “Itu sungguh menggembirakan!”



“Baiklah,” ujar Lie Ai Ling. “Kami mau mohon pamit, terima kasih atas kebaikan Paman!”

“Kok begitu cepat kalian mau pergi?” Tan Tayjin memandang mereka. “Lebih baik tinggal di sini beberapa hari.”

"Maaf Paman!" ucap Lie Ai Ling. “Aku harus segera berangkat ke markas pusat Kay Pang.”

“Adik Ai Ling, aku mohon kalian sudi tinggal di sini beberapa hari. Setelab itu, barulah kalian melanjutkan perjalanan.” ujar Tan Giok Lan bermohon

“Goat Nio...” Lie Ai Ling menatap Siang Koan Goat Nio minta pendapatnya “Bagaimana?”

“Baiklah, kita tinggal di sini beberapa hari,” sahut Siang Koan Goat Nio “Tidak baik kita menolak maksud baik Paman dan kakak Giok Lan?

“Terima kasih, terima kasih!” ucap Tan Giok Lan dengan wajah berseri.

Akhirnya Siang Koan Goat Nio dan’ Lie Ai Ling tinggal beberapa hari di rumah Tan Tayjin, setelah itu barulah berangkat ke markas pusat Kay Pang

-oo0dw0oo-


Bagian ke Tiga Belas

Pemandangan yang menyentuh hati


Pada pagi hari yang cerah, terdengar suara kicau burung di halaman istana bagian barat, tempat tinggal Lu Thay Kam. Berselang sesaat, tampak Lie Man Chiu berjalan ke halaman itu lalu duduk dibawah sebuah pohon.



Sudah tujuh tahün lebih ia mengabdi pada Lu Thay Kam. Hidupnya serba senang dan mewah, setiap hari pasti dikerumuni para dayang yang cantik-cantik. Ada satu hal yang patut dipuji, yaitu selama tujuh tahun ini, ia sama sekali tidak pernah tidur bersama para dayang tersebut.

Selain sebagal wakil ketua Hiat Ih Hwe, Lu Thay Kam pun mengangkatnya sebagai kepala pengawal istana bagian barat ini. Dalam tujuh tahun ini, Lu Thay Kam memang sangat mempercayainya. Selama ini, pernahkah ia teringat pada anak isterinya? Tentu tidak, karena ia masih berambisi menjadi jenderal.

Di saat ia sedang duduk di bawah pohon. tiba-tiba melayang turun sesuatu dan atas pohon. yang ternyata seekor anak burung. Anak burung itu mencicit-cicit, dan tak lama kemudian induknya melayang turun.

Induk burung itu berusaha membawa anaknya, tapi tidak berhasil. Maka ia mencicit-cicit, kelihatan gugup, panik dan cemas.

Sementara Lie Man Chiu terus memperhatikan induk burung itu, tiba-tiba induk burung itu memandangnya sambil mencicit-cicit dengan mata basah, sepertinya minta pertolongan kepada Lie Man Chiu.

Lie Man Chiu diam saja, tapi induk burung itu terus mencicit sambil memandangnya, dan air matanya pun meleleh.

Hati Lie Man Chiu tergerak menyaksikannya. Ia bangkit berdiri lalu mendekati anak burung itu.

Induknya sama sekali tidak kabur, melainkan terus mencicit dengan air mata meleleh.

“Engkau minta pertolongan kepadaku untuk membawa anakmu ke sarang di atas pohon? tanya Lie Man Chiu sambil



tersenyum. Tentunya Induk burung itu tidak bisa menjawab, cuma bisa mencicit.

"Baiklah." Lie Man Chiu manggut-manggUt. "Aku akan menolong anakmu."

Lie Man Chiu mengangkat anak burung itu, lalu melesat ke atas sekaligus menaruh anak burung itü ke dalam sarangnya.

Induk burung itu juga terbang ke atas, dan ketika melihat anaknya sudah ditaruh ke dalam sarang, Ia mencicit seakan mengucapkan terima kasih kepada Lie Man Chiu.

Lie Man Chit melayang turun, lalu duduk kembali di bawah pohon itu. Apa yang disaksikannya itu membuat pikirannya terus melayang-layang, bürung cuma merupakan hewan, namun begitu berperasaan dan penuh kasih sayang terhadap anaknya.

Berpikir sampai di situ, mendadak di pelupuk mata Lie Man Chiu muncul wajah putrinya, yang kemudian berubah menjadi wajah Tio Hong Hoa, isternya

"Haaah? Lie Man Chiu tersentak kemudian bergurnam. "Anakku... isteriku..."

Di saat itulah ía teringat kepada anak isterinya. Pada waktu bersamaan terdengar suara langkah yang amat ringan. Ia segera menoleh, dilihatnya seorang gadis cañtik dan lemah lembut berusia enam belasan. Siapa gadis itu? Tidak lain adalah Lu Hui San, putri angkat Lu Thay Kam.

“Paman Chiu!" panggil gadis itu sambil tersenyum. “Kenapa Paman Chiu melamun di situ?”

"Aku sedang menikmati pagi yang indah ini,” sahut Lie Man Chiu lalu bertanya. “Masih pagi kok sudah bangun?

"Sekarang sudah tidak pagi lagi, kan?” sahut Lu Hui San lalu duduk di sisinya. “Paman Chiu. sudah berapa tahun Paman berada di sini?”



"Tujuh tahun lebih."

“Dalam tujuh tahun ini, apakah Paman tercekam oleh suatu perasaan” tanya Lui Hui San mendadak.

“Perasaan apa?” tanya Lie Man Chiu dengan rasa heran.

“Tahukah Paman aku sudah berusia berapa sekarang?" Lu Hui San menatapnya dalam-dalam.

“Kalau tidak salah sudah enam belas.”

“Berarti putri Paman pun sudah berusia enam belas,” ujar Lu Hui San. “Paman tidak pernah memikirkannya.”

"Aku," Wajah Lie Man chiu agak memucat.

“Paman sama sekali tidak memikirkan anak isteri?” Lu Hui San mengerutkan kening.

“Selama tujuh tahun ini, aku memang tidak pernah memikirkan mereka. Namun...” Lanjut Lie Man Chiu sambil memandang ke atas pohon. “Tadi ada seekor anak burung jatuh, induknya tidak bisa membawanya kembali ke sarang, Sehingga terus menerus mencicit dan memandangku dengan mata basah.

“Oh?" Lu Hui San tertegun “Di mana anak burung itu sekarang?”

“Telah kukembalikan ke dalam sarangnya.” Lie Man Chiu memberitahukan.

“Kalau  begitu....”  Lu  Hui  San  menatapnya  dalam-dalam

“Paman Chiu masih mempunyai rasa kasihan. Tapi kenapa bisa melupakan anak isteri’”

"Setelah aku menyaksikan kejadian itu, tiba-tiba wajah anak isteriku muncul di pelupuk mataku, sehingga membuat hatiku tersentak.

“Karena itu, Paman Chiu teringat kepada anak isteri, kan?”



"Betul.” Lie Man Chiu manggut-manggUt sambil menghela nafas panjang. “Kejadian itu membuat hatiku tergerak, sebab kejadian itu sungguh menyentuh hatiku.”

“Paman Chiu!” Lu Hui San menarik nafas. “Burung merupakan hewan, namun mempunyai perasaan dan kasih sayang Sedangkan Paman Chiu adalah manusia, tapi malah bisa melupakan anak isteri Omong kasar dikit, Paman Chiu masih tidak dapat menyamai hewan."

“Benar.” Lie Man Chiu mengangguk mengakuinya. “Aku memang lebih kejam dari binatang?"

"Paman Chiu!” Lu Hui San tersenyum. “Sesunggubnya Paman Chiu bukan orang jahat, yang tak berperasaan maupun kasih sayang, hanya saja... semua Itu tertutup oleh ambisi Paman.”

“Tidak salah.” Lie Man chiu menghela nafas panjang. “Aku memang terlampau berambisi, dan itu dikarenakan...”

“Dikarenakan apa?"

“Rasa dengki.”

“Oh?”

“Yaaah!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang lagi. “Kini äku merasa malu sekali kepada anak isteriku, dan mereka pasti tak akan sudi memaafkanku."

“Itu tidak perlu dicemaskan, ujar Lu Hui San sungguh~sungguh. “Aku yakin mereka pasti bersedia memaafkan Paman."

“kenapa engkau begitu yakin?"

“Karena biar bagaimana pun, mereka tetap sebagai anak isteri Paman. Kalau Paman sudah sadar akan kesalahan itu dan mau mohon maaf, mereka pun pasti akan memaafkan Paman. Percayalah!”



Lie Man Chiu manggut-manggut dan wajahnya tampak agak cerah. “Ada benarnya juga apa yang kau katakan.”

"Ha ha!” Terdengar suara tawa dan kemudian muncul Lu Thay Kam. “San San, ternyata engkau berada disini! Ayah kira engkau pergi secara diam-diam.”

“Ayah!” Lu Hui San tersenyUm. “Bagaimana mungkin aku akan pergi secara diam~diam? Kalau mau pergi berjalan-jalan, aku pasti memberitahukan kepada Ayah.”

“Ha ha-ha!” Lu Thay Kam tertawa gembira. “EngkaU memang anak baik, ayah sungguh senang sekali!”

“Ayah,” tanya Lu Hui San mendadak. “Bolehkah aku pergi merantau”

“Apa?!” Lu Thay Kam tertegun. “Engkau ingin pergi merantaU?”

“Ya.” Lu Hui San mengangguk sekaligUs memberitahukan. “Ayah, aku merasa jemu terkurung di dalam istana.”

“Ha ha-ha!” Lu Thay Kam tertawa gelak. “Siapa bilang engkau terkurung di dalam istana?”

"BuktinYa aku tidak boleh pergi ke mana-mana. Nah, bukankah diriku bagaikan seekor burung di dalam sangkar emas?" sebut Lu Hui San cemberut.

“San San!” Lu Thay Kam menatapnya dalam-dalam. "Jadi engkau sudah mengambil keputUSan untuk pergi merantau?”

“Ya, Ayah.” Lu Hui San mengangguk dan menambahkan. “Aku harus mencari pengalaman di luar. Kalau tidak, aku cuma merupakan gadis pingitan."

“Begini saja,” ujar Lu ThayKam serius. Nanti malam setelah ayah pulang, kita bicarakan lagi."

“Ayah, sekarang saja menbicarakannya." desak Lu Hui San.



"Nanti malam saja. Jangan membantah, sebab ayah harus memikirkan tentang keinginanmu itu, Malam nanti kita membicarakan nya, sekaligus ayah akan memberikan keputusan," tegas Lu Thay Kam.

“Ya, Ayah.” Lu Hui San mengangguk.

“Engkau memang anak yang baik, ayah merasa puas dan bangga,” ujar Lu Thay Kam sambil tertawa gembira, kemudian memandang Lie Man Chiu seraya berpesan, "Nanti malam kita akan pergi sebentar."

“Ya, Lu Kong Kong.” sahut Lie Man chiu sambil memberi hormat.

“Kalian bercakap-cakaplah!" Lu Thay Kam memandang mereka. “Aku akan pergi menghadap kaisar. San San, nanti malam setelah ayah pulang, kita akan membicarakan tentañg niatmu itu.”

“Ya, Ayah.” Lu Hui San mengaugguk.

Lu Thay Kam melangkah pergi. Lu Hui San memandang punggungnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Ayahku sudah berusia lanjut, tapi masih belum mau pensiun untuk hidup tenang. Sebaliknya malah terus bergelut dengan politik kerajaan...” Lu Hui San menghela nafas panjang.

“San San!” Lie Man Chiu tersenyUm. “Ayahmu sebagai kepala Thay Kam di istana, sudah barang tentu tidak terlepas dan kancah politik.”

“Aaaah~” Lu Hui San menghela nafas lagi.“Untuk apa itu? Bukankah lebih baik hidup tenang dan damai saja?”

“Pikiran orang berbeda,” ucapan tersebut juStru membuat Lie Man Chiu tersentak sendiri,karena ambisi maka ia meninggatkan anak isteri.



“Paman Chiu?” Lu Hui San memandangnya seraya bertanya, “Apakah kini Paman sudah berniat pulang untuk menemUi anak isteri?"

“Itu....”

“Masih tetap akan mengabdi kepada ayahku?”

“San San!” Lie Man Chiu memandangnya dan bertanya dengan suara rendah. “Bagaimana San San?”

“Menurutku Paman harus segera pulang menengok anak isteni. Selama tujuh tahun ini, aku yakin mereka pasti menderita sekali. Mungkin juga isteri Paman sudah tiada...."

“Kenapa engkau mengatakan begitu?” Wajah Lie Man Chiu tampak memelas.

“SuatU penderitaan dan tekanan batin, akan menyebabkan kematian,” sahut Lu Hui San. “Namun juga tergantUng dari ketabahan dan pikiran.”

“Benar,” Lie Man Chiu manggut-mangggut dan melanjutkan. “Mudah-mudahan isteriku tidak akan terjadi apa-apa, begitu pula putriku itu!”

“Paman Chiu,” ujar Lu Hui San. “Biar bagaimana pun, paman harus segera pulang menengok anak isteri, jangan membuat dosa yang akan menimbulkan karma buruk!"

“San San!” Lie Man Chiu menatapnya dengan penuh rasa heran. “Engkau paham akan dosa dan karma?”

“Paham.” Lu Hui San mengangguk. “Karena aku sering membaca buku, maka aku tahu tentang dosa dan karma. Aaaah, ayahku... tidak akan terlepas dan karma buruk!”

“Haah...?” Wajah Lie Man Chiu memucat, dan seketika ía teringat pula akan semua wejangan-wejangan Tayli Lo Ceng, gurunya. "Aku... aku memang telah berdosa, karena meninggalkan anak isteri.”



“Kalau Paman sudah tahu dosa, haruslah segera bertobat,” ujar Lu Hui San dan menambahkan. “Siapa yang mau bertobat, tentu dapat meringankan dosanya pula.”

“San San!” Mendadak Lie Man Chiu memegang bahunya. “Terima kasih atas semua petunjukmu!”

“Paman Chiu...” Lu Hui San tersenyum. “Oh ya! Paman sering pergi bersama ayahku, sebetulnya pergi mengurusi apa?”

“Tentunya urusan kerajaan,” sahut Lie Man Chiu singkat, sebab LU Thay Kam telah berpesan padanya, tidak boleh memberitahukan kepada Lu Hui San mengenai kegiatan mereka.

“Oooh!” Lu Hui San manggut-manggut. “Paman Chiu, apakah ayahku akan memperbolehkan aku pergi merantau?”

“Kelihatannya ayahmu memperbolehkan.”

“Oh?” Wajah Lu Hui San tampak berseri. “Syukurlah kalau begitu!”

-oo0dw0oo-

Di dalam markas Hiat Ih Hwe, tampak Lu Thay Kam dan Lie Man Chiu duduk di ruang depan. Mereka berdua mengenakan jubah merah, namun tidak memakai topeng lagi. Sebab para anggota telah bersumpah, tidak akan membocorkan identitas ketua maupun wakil ketua mereka.

“Lapor kepada ketua dan wakil ketua!” ujar salah seorang anggota sambil memberi hormat. “Belum lama ini dalam rimba persilatan telah muncul Giok Siauw Sin Hiap. Ketika kami ingin turun tangan membunuh para anggota Tiong Ngie Pay, dia muncul menolong mereka.”

“Kenapa kalian tidak membunuh Giok Siauw Sin Hiap itu?” tanya Lu Thay Kam dengan wajah gusar.



“Kepandaiannya sangat tinggi, kami tidak sanggup melawannya.” jawab orang itu dengan kepala tertunduk.

“Hm!” dengus Lu Thay Kam. “Engkau boleh mundur ke tempat berdirimu!

“Terima kasih, ketua! ucap orang itu dan segera mundur ke tempat ia berdiri tadi.

"Masih ada lagi yang mau melapor?" tanya Lu Thay Kam.

"Ada, Ketua," sahut seseorang sambil maju sekaligus memberi hormat. "Beberapa hari lalu, kami pergi hendak membunuh Tan Thian Song, pembesar di kota Keng Ciu. Namun ada dua gadis disana, salah satu gadis itu melawan kami.”

“Kalian berhasil membunuh gadis itu?"

“Kami tidak berhasil membunuhnya, sebab dia berkepandaian tinggi dan memiliki sebilah pedang pusaka.”

“Oh? Lalu bagaimana kalian?"

“Kami terpaksa kabur.”

“Siapa kedua gadis itu?”

“Gadis yang melawan kami adalah Hong Hoang Lihiap, sedangkan yang satu lagi adalah Kim Siauw Siancu.”

Betapa terkejutnya Lie Man Chiu ketika mendengar ucapan itu. Hong Hoang Lihiap? Hong Hoang Pokiam (Pedang Pusaka Burung Phonix) itu adalah kepunyaan Tio Hong Hoa, isterinya. Apakah gadis yang mengaku Hong Hoang Lihiap itu Lie Ai Ling, putrinya? Pikir Lie Man Chiu dengan wajah berubah tak menentu.

“Hmm!” dengus Lu Thay Kam dingin sambil mengibaskan tangannya. Orang itu segera kembali ke tempatnya, sedangkan Lu Thay Kam berseru. “Gak Cong Heng!”



“Ya, ketua.” Gak Cong Heng langsung menghadap. Orang tersebut adalah kepala para anggota Hiat Ih Hwe. “Ada perintah apa untukku?”

“Engkau harus mengatur beberapa orang untuk membunuh Tan Thiam Song, Hong Hoang Lihiap, Kim Siauw Siancu dan Giok Siauw Sin Hiap.”

“Ya.” Gak Cong Heng memberi hormat. “Kuterima perintah Ketua dan pasti kulaksanakan dengan baik.”

“Bagus!” Lu Thay Kam manggut-manggUt, kemudian memandang Lie Man Chiu seraya berkata, “Aku mau kembali ke istana, engkau tetap di sini mengatur semua itu.”

"Ya Lu Kong Kong,” sahut Lie Man Chiu sambil memberi hormat.

Lu Thay Kam melesat pergi. Kemudian Lie Man Chiu berunding dengan Gok Cong Heng....

-oo0dw0oo-

Malam belum begitu larut, Lu Hui San duduk di halaman istana menunggu Lu Thay Kam pulang. Mendadak berkelebat sosok bayangan ke badapannya, dan terdengar pula suara teguran.

“San San! Kenapa engkau belum tidur? Sosok bayangan itu ternyata Lu Thay Kam.

“Aku menunggu Ayah pulang," sahut Lu Hui San sambil tersenyum. “Bukankah tadi pagi Ayah telah berjanji?

“Ha ha-ha!” Lu Thay Kam tertawa gelak. “Ayah ingat itu, mari ikut ayah ke kamar!”

Lu Hui San mengikuti Lu Thay Kam kekamar, lalu duduk berhadapan dikamar Lu Thay Kam yang serba mewah.



“San San!” Lu Thay Kam menatapnya tajam seraya bertanya. “Betulkah engkau telah mengambil keputusan pasti untuk pergi merantau."

“Betul," Ayah.

“Engkau harus tahu, bahwa didalam rimba persilatan penuh bahaya, bahkan juga banyak penjahat.”

“Aku bisa menjaga diri, Ayah.”

“Ayah tahu, kepandaianmu sudah tinggi. Namun...” Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Banyak orang licik dalam rimba persilatan, ayah khawatir engkau akan terjebak oieh kelicikan mereka.”

“Ayah!” Lu Hui San tersenyum. “Aku bukan anak kecil lagi, sebab usiaku sudah enam belas. Tentunya dapat membedakan orang jahat dan orang baik. Ayah tidak usah mengkhawatirkan itu.”

“San San Lu Thay Kam menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Mungkin éngkau tahu, aku bukan ayah kandungmu.”

“Aku tahu, Ayah.” Lu Hui San mengangguk dan melanjutkan. “Tapi akü telah menganggap Ayah sebagai ayah kandung.”

“Bagus! Ha-ha-ha!” Lu Thay Kam tertawa gembira. “Tidak sia-sia ayah membesarkanmu, lagi pula ayah pun telah menganggapmu sebagal anak kandung.”

“Terima kasih, Ayah!” Lu Hui San tersenyum dan bertanya. “Ayah, bolehkah ku tahu margaku?”

“Margamu Sie!” Lu Thay Kam memberitahukan.

“Siapa kedua orang tua kandungku?" tanya Lu Hui San lagi.

“San San!” Lu Thay Kam menggelengkan kepala. “Ayah sama sekali tidak tahu tentang itu. Kalau ayah tahu, pasti memberitahukan”



“Ayah!” Lu Hui San memandangnya sambil tersenyum. “Ayah tidak akan melarangku pergi merantau, kan?”

“Engkau sudah besar, maka ayah tidak bisa mengekang kebebasanmu,” sahut Lu Thay Kam sungguh-sungguh. “Tapi engkah harus berhati-hati di perantauan, jangan gampang terpincuk oleh ketampanan ."

“Ya, Ayah!” Wajah Lu Hui San agak kemerah-merahan.

“Oh ya! Ayah akan menghadiahkan kepadamu sebilah pedang pusaka.” Lu Thay Kam memberitahukan. “Juga akan memberimu uang perak dan emas sebagai bekalmu.”

“Terima kasih, Ayah,” ucap Lu Hui San girang. “Oh ya, pedang pusaka apa itu, Ayah!”

“Itu adalah pedang pusaka dalam istana, yaitu Han Kong Pokiam.” Lu Thay Kam memberitahukan. “Maka engkau harus menjaganya baik-baik, jangan sampai hilang.”

“Han Kong Pokiam (Pedang Pusaka Cahaya dingin)?”

“Tidak salah.” Lu Thay Kam manggut-manggut. “Pedang pusaka itu sangat ampuh, dapat memotong besi dan lain sebagainya, bahkan juga memancarkan cahaya dingin.”

“Terima kasih, Ayah!” Lu Hui San girang bukan main.

“Oh ya!” Lu Thay Kam teringat sesuatu, kemudian memberikannya sebuah medali emas yang berukiran sepasang naga. “San San, ini adalah tanda pengenalku. Apabila engkau membutuhkan bantuan atau uang, temui saja pembesar setempat dan perlihatkan medali ini, pembesar yang mana pun pasti akan membantumu.”

“Oh?” Wajah Lu Hui San berseri, ia menyimpan medali itu ke dalam bajunya. “Terima kasih, Ayah!”

“San San,” tanya Lu Thay Kam. “Kapan engkau berangkat?” “Besok pagi,” jawab Lu Hui San.



“Baiklah,” Lu Thay Kam manggut-manggut dan herpesan. “Engkau harus berhati-hati dalam perantauanmu, jangan menimbulkan masalah!”

“Ya, Ayah.” Lu Hui San mengangguk.

“Dan...” Lu Thay Kam berpesan lagi. “Terhadap siapa pun, engkau tidak boleh membocorkan identitasmu!”

“Kenapa?”

“Sebab ayah banyak musuh diluar.” Lu Thay Kam memberitahukan. “Apabila engkau membocorkan identitasmu, berarti dirimu dalam bahaya. Engkau harus ingat itu!”

“Ya, Ayah!” Lu Hui San mengangguk dan bertanya. “Kenapa ayah banyak musuh di luar?”

“San San!” Lu Thay Kam tersenyum. “Ayah sebagai kepala Thay Kam di istana, maka sudah pasti harus menjaga kaisar. Siapa yang berani memberontak, pasti ayah bunuh. Karena itu, ayah banyak musuh.”

“Ayah  sudah  tua....”  Lu  Hui  San  menggeleng-gelengkan

kepala. “Kenapa tidak mau hidup tenang dan damai?”

“Ha ha-ha!” Lu Thay Kam tertawa. “Engkau tidak akan mengerti, maka tidak usah banyak bertanya dan menasihati ayah."

“Tapi...” Lu Hui San menghela nafas. “Suatu perbuatan jahat, pasti akan menimbulkan karma buruk. Aku khawatir....”

“Jangan khawatir!” Lu Thày Kam tersenyum. “Ayah tidak gampang dibunuh orang, engkau boleh tenang tentang itu.”

Lu Hui San diam, Lu Thay Kam menatapnya sambil tersenyum lembut dan berkata. “San San, sudah larut malam, engkau boleh pergi tidur. Sebab besok pagi engkau akan pergi merantau."



“Ya, Ayah!” Lu Hui San meninggalkan kamar ayahnya menuju kamarnya. Kemudian ia tersenyum gembira, karena besok pagi akan pergi merantau.

Sementara Lu Thay Kam menuju ruang khusus. Ia duduk di Situ menunggu Lie Man Chiu pulang. Berselang beberapa saat kemudian, tampak Lie Man Chiu melangkah ke ruang itu.

“Lu Kong Kong!” panggil Lie Man Chiu sambil memberi hormat.

“Duduklah!” sahut Lu Thay Kam.

“Terimakasih, Lu Kong Kong!” ucap Lie Man Chiu lalu duduk di sisinya.

"Bagaimana engkau mengatur itu?” tanya Lu Thay Kam sambil menatapnya. “Apakah semua itu sudah kau atur bersama Gak Cong Heng?”

“Sudah, Lu Kong Kong,” jawab Lie Man Chiu memberitahukan."Beberapa orang akan berangkat ke kota Keng Ciu untuk membunuh Tan Thiam Song, belasan orang akan pergi membunuh Hong Hoang lihiap, Kim Siauw Siancu dan Giok Siauw Sin Hiap yang berani menentang perkumpulan kita."

“Bagus, bagus! Ha ha-ha!” Lu Thay Kam tertawa gelak. “Oh ya, besok pagi San San akan pergi merantau.”

“Lu Kong Kong mengijinkannya?”

“Dia sudah besar, memang tidak baik terus diam di istana. Dan pada dia pergi secara diam-diam, bukankah lebih baik aku mengijinkannya?”

“Betul Lu Kong Kong.”

“Man Chiu!”

“Ya, Lu Kong Kong.



“Besok setelah San San pergi, engkau harus ke markas untuk membenitahukan Gak Cong Heng, bahwa putriku pergi merantau. Maka para anggota dilarang mengganggu gadis yang membawa Han Kong Pokiam.”

“Ya, Lu Kong Kong.” Lie Man Chiu mengangguk. “Oh ya, bukankah Han Kong Pokiam itu pedang pusaka istana?”

“Betul.” Lu Thay Kam manggut-manggut dan memberitahukan. “Kaisar telah memberikan pedang pusaka itu kepadaku, jadi kuhadiahkan pada San San.”

“Lu Kong Kong!” Lie Man Chiu tersenyum. “Sungguh beruntung San San memperoleh hàdiah pedang pusaka itu!”

“Dia putriku, maka aku harus menaruh perhatian khusus kepadanya,” ujar Lu Thay Kam sambil tertawa dan menambahkan. “Entah siapa yang beruntung menjadi jodohnya! Ha-ha-ha...!”

-oo0dw0oo-








Bagian ke Empat belas Pendekar Pembasmi Penjahat

Sudah tujuh tahun Kam Hay Thian berada didalam goa bekas markas Bu Tek Pay. Selama itu ia terus mempelajari Hian Bun Kui Goan Kang Khi, sekaligus melatihnya. Akhirnya ía berhasil menguasai ilmu lweekang tersebut, sehingga bertambah tinggi pula lweekangnya.



Setelah itu, mulailah ia mempelajari kitab peninggalan Pak Kek Siang Ong, yakni Pak Kek Sin Kang, Ciang Hoat dan Kiam Hoat.

Karena ia telah memiliki Hian Bun Kui Goan Kang Khi, maka tidak begitu sutit baginya mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Pak Kek Siang Ong.

Kini Kam Hay Thian telah berusia delapan belas. Ia gagah dan tampan serta telah menguasai Pak Kek Sin Kang, Pak Kek Ciang Hoat dan Pak Kek Kiam Hoat. Bahkan ia pun telah menemukan sebilah pedang di tempat itu.

Walau ia telah menguaSai Pak Kek Sin Kang, ñamun masih belum begitu hebat. Ia dapat mengeluarkan hawa dingin, tetapi belum dapat membekukan apa pun.

"Hmm!” dengus Kam Hay Thian. “Kini aku telah berkepandaian tinggi, maka harus membalas dendam dan membasimi penjahat di rimba persilatan! Aku harus menjadi Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat) dalam rimba persilatan!”

Kam Hay Thian tampak seakan bersumpah, kemudian matanya memandang jari tangannya, yang memakai sebuah cincin Giok pemberian Lie Beng Cu. Ia tersenyUm-SenyUm lalu meninggalkan tempat itu dengan membawa sebilah pedang.

Ia tidak mau membawa dua kitab peninggalan Pak Kek Sian Ong dan Kitab Hiang Bun Kui Goan Kang Khi, yang ditemukannya di tempat tersebut. Namun setelah dikuasai isinya, kedua kitab itu dibakarnya agar tidak menimbulkan bencana. Karena ia ingat bahwa ayahnya terbunuh gara-gara sebuah kitab Seng Hwe Cin Keng.

Setelah meninggalkan tempat tersebut, Kam Hay Thian langsung pulang ke rumahnya karena sangat rindu kepada ibunya.



Beberapa hari kemudian, sampailah ía di rumahnya dan langsung melesat ke dalam. Lie Siu Sien, ibunya sedang duduk di ruang depan sambil menyulam, kelihatan agak tua dan ramhutnya mulai memutih, padahal usianya baru empat puluhan.

“Haaah...?” Betapa terkejutnya Lie Siu Sien ketika melihat sosok bayangan berkelebat ke dalam. “Si... siapa?”

Sosok bayangan itu ternyata Kam Hay Thian, yang langsung bersujud di hadapan Lie Siu Sien. “Ibu, aku Hay Thian,” ujarnya terisak-isak.

“Apa?” Lie Siu Sien terbelalak. “Engkau... engkau Hay Thian, anakku?”

“Betul, Ibu!” Kam Hay Thian mendongakkan kepalanya, tampak air matanya meleleh.

Lie Siu Sien terus memperhatikan wajah Kam Hay Thian, kemudian memeluknya erat-crat dengan air mata berderai-derai.

“Hay Thian anakku....” Lie Siu Sien menangis tersedu-sedu

saking gembiranya. “Engkau sudah pulang, engkau sudah besar!”

“Ibu....” Kam Hay Thian bangkit berdiri, dan juga memeluk

Lie Siu Sien erat-erat dengan terus mengucurkan air mata.

“Nak!” Lie Siu Sieri menatapnya, kemudian berseri seraya berkata. “Tujuh tahun engkau meninggalkan ibu, kini usiamu sudah delapan belas tahun. Engkau sudah besar dan tampan, ibu gembira sekali”

“Ibu!” Kam Hay Thian tersenyum.

“Nak, mari kita duduk!” Lie Siu Sien lalu duduk berhadapan dengan puteranya. “Nak, apakah engkau telah berhasil belajar ilmu sitat tinggi?” tanyanya.

“Aku telah berhasil, Ibu.”



“Oh?” Lie Siu Sien menatapnya dalam-dalam. “Syukurlah kalau begitu! Nak, ceritakanlah pengalamanmu!”

“Setelah meninggalkan rumah, aku menuju kota Leng An. Aku belajar ilmu silat kepada guru silat Lie. Putrinya bernama Lie Beng Cu, yang baik sekali terhadapku.” Kam Hay Thian memberitahukan sekaligus memperlihatkan cincin giok yang dipakainya, “Cincin giok ini hadiah dari Lie Beng Cu.”

“Oh?” Lie Siu Sien tersenyum. “Jadi engkau berguru kepada guru silat itu?”

“Ya.” Kam Hay Thian mengangguk dan melanjutkan. “Setetah itu, aku berangkat ke markas pusat Kay Pang. Namun tanpa sengaja aku memasuki sebuah goa, dan di dalam goa itu aku menemukan dua buah kitab pusaka....”

"Oooh!” Lie Siu Sien manggut-manggut gembira. “Jadi engkau telah berhasil menguasai semua ilmu yang ada di dalam kedua kitab itu?”

"Ya”

"Di mana kedua kitab pusaka itu sekarang?” "Telah kubakar, agar tidak menimbulkan bencana.”
"Bagus!” Lie Siu Sien mengangguk. “Kalau engkau membawa kedua kitab itu, ibu pun akan menyuruhmu membakarnya.

“Ibu, kini aku telah memiliki kepandaian tinggi,” ujar Kam Hay Thian. “Maka aku harus pergi mencari pembunuh ayah!”

“Ngmm!” Lie Siu Sien manggut-manggut. “Kapan engkau akan pergi mencari pembunuh itu?”

"Besok pagi.”

"Kok begitu cepat?”



"Ibu!” Kam Hay Thian tersenyum. “Aku cepat pergi cepat pulang, dan setelah itu, aku tidak akan meninggalkan ibu lagi.”

"Baiklah.” Lie Siu Sien mengangguk lalu berpesan. “Namun engkau harus berhati-hati, sebab pembunuh ayahmu itu berkepandaian sangat tinggi.“

"Aku pasti berhati-hati, Ibu.”

"Oh ya! Engkau harus mencari Tio Cie Hiong, dan mohonlah petunjuk kepadanya!” pesan Lie Siu Sien lagi.

"Ya, Ibu.”

"Kalau sudah berhasil membunuh pembunuh ayahmu, engkau harus segera pulang, jangan terus berkecimpung dalam rimba persilatan! Oh ya. apabila engkau bertemu gadis yang cantik, harus bawa dia kemari.”

“Ibu....” Kam Hay Thian tersenyum. “Pikiranku hanya ingin

membalas dendam, bagaimana mungkin memikirkan itu?”

“Nak!” Lie Siu Sien menatapnya dalam-dalam. “Usiamu sudah delapan belas, tentunya akan bertemu anak gadis. Kalau kalian sudah saling mencinta, jangan lupa bawa dia pulang!”

“Ya, Ibu.” Kam Hay Thian mengangguk dengan wajah agak kemerah-merahan.

“Nak....”  Lie  Siu  Sien  menarik  nafas  dalam-dalam.  “Kini

legalah hati ibu, karena engkau telah memiliki kepandaian tinggi.”

-oo0dw0oo-

Keesokan harinya, berangkatlah Kam Hay Thian pergi mencari pembunuh ayahnya. Dua hari kemudian, ia memasuki sebuah rimba. Mendadak keningnya berkerut, ternyata ia mendengar suara jeritan minta tolong.



Segeralah Kam Hay Thian melesat ke arah suara jeritan itu. Ia melihat beberapa lelaki sedang berusaha memperkosa seorang wanita muda. Menyaksikan kejadian itu, mendidihlah darahnya.

“Hentikan!” bentaknya dengan suara mengguntur.

Mendengar bentakan itu, mereka sangat terkejut dan langsung menoleh. Tetapi ketika mendapatkan kenyataan bahwa yang membentak itu seorang pemuda, mereka tertawa gelak.

“Ha ha ha! Anak muda, lebih baik engkau pergi! Jangan menganggu kesenangan kami!”

“Hmm!” dengus Kam Hay Thian dingin. “Siapa kalian?”

“Mereka penjahat,” sahut wanita muda itu, yang pakaiannya sudah tidak karuan tersobek sana sini. “Mereka menculikku.”

“Diam!" bentak salah seorang penjahat itu.

“Bagus, bagus!” Kam Hay Thian tertawa dingin. “Ternyata kalian semua penjahat, kebetulan aku adalah Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat)!”

“Apa?” para penjahat itu tertegun. “Chu Ok Hiap? Kami tidak pernah mendengar nama itu!”

“Kini kalian telah mendengar, maka ajal kalian pun telah tiba!” sahut Kam Hay Thian sambil menghunus pedangnya. “Kalian bersiaplah untuk mampus!”

“Mari kita serang dia!” seru salah seorang dari mereka, dan seketika juga para penjahat itu menyerang Kam Hay Thian dengan pedang dan golok.

"Ha ha-ha!” Kam Hay Thian tertawa dingin. “Kalian semua harus mampus!”



Mendadak ia menggerakkan pedangnya untuk menangkis, dan balas menyerang menggunakan Pak Kek Kiam Hoat. Seketika hawa pun berubah dingin, kemudian terdengar suara jeritan yang menyayat hati.

“Aaaakh! Aaaakh! Aaaaakh...!” para penjahat itu telah roboh mandi darah, dan nyawa mereka pun melayang seketika. Dada mereka berlubang tertembus pedang Kam Hay Thian. Ternyata Kam Hay Thian mengeluarkan jurus Keng Thian Tung Te (Mengejutkan Langit Menggetarkan Bumi), yaitu salah satu jurus ilmu pedang Pak Kek Kiam Hoat.

Wanita muda itu terbelalak menyaksikannya, dan mulutnya ternganga lebar saking kagetnya.

“Kakak!” ujar Kam Hay Thian sambil menyarungkan kembali pedangnya. “Kini sudah aman, kakak boleh pulang.

“Terima kasih, siauw hiap!” ucap wanita muda itu dan memberitahukan. “Aku tinggal di desa yang tak jauh dan sini, bagaimana kalau siauw hiap ikut aku ke sana?"

Kam Hay Thian berpikir sejenak, setelah itu barulah ia mengangguk seraya berkata. “Baiklah,”

Kam Hay Thian melepaskan baju luar salah seorang penjahat yang sudah jadi mayat, lalu diberikan kepada wanita muda itu. “Pakailah baju luar ini untuk menutupi tubuhmu!”

“Terima kasih!” ucap wanita muda berusia dua puluhan itu dengan wajah agak kemerah-merahan.

Setelah memakai baju luar, Ia segera meninggalkan rimba itu, dan Kam Hay Thian berjalan disampingnya.

"Siau-hiap, bolehkah aku tahu namamu!” “Namaku Kam Hay Thian. Nama kakak?” "Tan In Ngo.”



“Kakak In Ngo, apakah masih jauh desa tempat tinggalmu?”

“Tidak begitu jauh, sepetanak nasi lagi kita akan sampai di sana.”

“Itu cukup jauh, lagi pula hari pun sudah mulai gelap,” ujar Kam Hay Thian dan menambahkan.

“Kakak In Ngo, aku akan menggendongmu di punggung agar kita cepat sampai di desa itu!”

“Tapi....” Tan In Ngo merasa tidak enak, walaupun usianya

lebih besar, namun ia tetap seorang wanita yang mempunyai rasa malu.

“Kakak In Ngo, jangan merasa malu, anggaplah aku adikmu!” ujar Kam Hay Thian sungguh-sungguh.

“Baiklah.” Tan In Ngo segera merangkul leher Kam Hay Thian.

“Rangkul erat-erat Kakak In Ngo!” pesan Kam Hay Thian. “Sebab aku akan menggunakan ginkang.”

“Ya,” Tan In Ngo mengangguk.

“Jangan takut, sebab aku akan berlari cepat seka1i. "Lebih baik pejamkan matamu!” ujar Kam Hay Thian.

“Ya,” Tan In Ngo pun memberitahukan. “Lurus saja ke depan, jangan membelok!”

“Rangkul leherku erat-erat, jangan kendur!” pesan Kam Hay Thian lagi. “Dan jangan lupa pejamkan matamu!”

Begitu Tan In Ngo menyahut ‘Ya’, Kam Hay Thian mengerahkan ginkangnya, sehingga badannya melesat cepat ke depan.

Bukan main terkejutnya wanita muda itu, sebab ia merasa dibawa terbang dan telinganya pun jadi bising, karena mendengar suara desiran angin.



Berselang beberapa saat kemudian, barulah Kam Hay Thian menghentikan langkahnya, namun Tan In Ngo masih tidak berani membuka matanya, karena takut Kam Hay Thian akan berlari cepat lagi.

“Kakak In Ngo, kita sudah sampai di desa.” Kam Hay Thian memberitahukan.

Tan In Ngo segera membuka matanya. Dilihatnya belasan orang sedang memandang Kam Hay Thian dengan mata terbelalak.

“Ayah! Ibu...” Tan In Ngo berlari menghampiri kedua orang tuanya.

“In Ngo! In Ngo....” Ibunya memeluknya erat-erat. “Engkau

tidak apa-apa?”

“Ibu...,” Air mata Tan In Ngo meleleh. “Aku tidak apa-apa, karena siauw hiap itu keburu muncul menolongku,” ujarnya.

“Terima kaSih, Siauw hiap!” ucap kedua orang tua Tan In Ngo.

“Paman dan Bibi, jangan memanggilku siauW hiap, namaku Kam Hay Thian,” sahutnya sambil tersenyum. “Panggil saja namaku!”

“Hay      Thian....”              Kedua   orang    tua         Tan         In            Ngo

memandangnya dengan kagum dan bersyukUr dalam hati.

Sementara para penduduk desa itu mulai bermunCUlan mengerumuni Kam Hay Thian, Kemudian muncul pula kepala desa.

“Cungcu (Kepala Desa)!” Tan In Ngo segera memberitahukan. “Adik Hay Thian yang menolongku.

“Oh?" Cungcu itu memandang Kam Hay Thian sambil manggut-manggut. “Terima kaSih, Hay Thian!"



“Cungcu tidak usah mengucapkan terima kasih, sebab membasmi para penjahat memang tugasku,” ujar Kam Hay Thian.

“Cungcu!” Tan In Ngo memberitabukan lagi. “Dia adalah Chu Ok Hiap.”

“pendekar Pembasmi Penjahat?” CungCU itu terbelalak karena melihat Kam Hay Thian masih muda. “Engkau berhasil membunuh penjahat-Penjahat itu?”

“Cungcu....” Tan In Ngo menutur tentang kejadian yang

menimpanya.

Penuturan itu sudah barang tentu membuat Cungcu, kedua orang tuanya dan para penduduk desa itu memandang Kam Hay Thian dengan penuh rasa kagum.

“Sungguh tak disangka!” ujar Cungcu sambil tersenyum. “Usiamu masih semuda itu, tapi kepandaian sangat tinggi!”

Kam Hay Thian hanya tersenyum.

Cungcu itu menatap Tan In Ngo. “Engkau tidak apa-apa kan?” tanyanya dengan suara rendah.

“Para penjahat itu berusaha memperkosaku, tapi untung Adik Hay Thian keburu muncul menolongku. Kalau tidak, mereka pasti berhasil memperkosaku.”

“Syukurlah engk~u selamat!” Cungcu itu manggut-manggut, namun kemudian menghela nafas panjang. “Mereka cuma anak buah, masih ada kepalanya,” katanya.

“Oh?” Kam Hay Thian mengerutkan kening. “Jadi para penjahat itu mempunyai pemimpin?”

“Betul,” Cungcu itu mengangguk. "Mereka sering kemari menculik kaum wanita, mungkin pemimpin itu akan muncul.”



“Kalau  begitu....”  ujar  Kam  Hay  Thian  setelah  berpikir

sejenak. “Aku akan menunggu kemunculan pemimpin mereka.”

“Terima kasih, terima kasih!” ucap Cungcu itu dengan wajah berseri, sebab memang ini yang diharapkannya.

“Kalau begini.." Tan In Ngo memandang Kam Hay Thian. “Bagaimana kalau engkau menginap dirumah kami?"

"Baiklah," Kam Hay Thian mengangguk dan menambahkan. “Sebelum membasmi habis para penjahat itu, aku tidak akan meninggalkan desa ini.

“Terima kasih, terima kasih!” ucap Cungcu itu dengan wajah berseri, lalu meninggalkan tempat itu.

"Adik Hay Thian, mari ikut kami ke rumah!” ajak Tan In Ngo.

Kam Hay Thian mengangguk, lalu mengikuti mereka menuju sebuah rumah yang sangat sederhana. Kedua orang tua Tan In Ngo langsung memotong ayam untuk menjamu, dan tak lama kemudian muncul para pembantu Cungcu mengantarkan arak wangi.

Yang paling gembira adalah Tan In Ngo, karena dengan adanya Kam Hay Thian di rumahnya, sudah barang tentu mereka sekeluarga jadi terpandang.

Seusai bersantap, kedua orang tua Tan In Ngo masuk ke dalam untuk tidur, sedangkan Tan In Ngo masih tetap menemani Kam Hay Thian.

“Kakak In Ngo, sudah larut malam, tapi kenapa engkau belum tidur?” tanya Kam Hay Thian sambil memandangnyà.

"Aku ingin mengobrol denganmu. Boleh kan?” Tan In Ngo tersenyum.

“Tentu boleh,” Kam Hay Thian manggut-manggut dan tersenyum. “Baik, mari kita mengobrol sebentar!”



“Adik Hay Thian, engkau masih mempunyai orang tua?”

“Cuma mempunyal ibu, sebab ayahku telah meninggal dibunuh penjahat,” Kam Hay Thian memberitahtikan. “Karena itu, aku sangat membenci para penjahat.”

“Oooh!” Tan In Ngo manggut-manggUt. “Pantas engkau tidak memberi ampun kepada para penjahat itu.”

“Kalau aku mengampuni mereka, sama juga menyuruh mereka melakukan kejahatan lagi?

“Adik Hay Thian!” Tiba-tiba Tan In Ngo mengerutkan kening. “Kepandaian pemimpin para penjahat itu sangat tinggi, engkau harus hati-hati menghadapinya,” ujarnya.

“Ya.” Kam Hay Thian mengangguk dan menambahkan. “Pokoknya aku harus membunuh pemimpin penjahat itu, agar tidak mengganggu orang lagi.”

“Adik Hay Thian!” Tan In Ngo tertawa kecil. “Karena engkau telah menolongku secara tidak langsung telah mengangkat nama keluarga kami.”

“Oh, ya?” Kam Hay Thian tersenyum.

“Biasanya para penduduk di sini tidak begitu mengacuhkan kami, apalagi Cungcu,” ujar Tan In Ngo. “Namun kini sikap mereka telah berubah sama sekali, lebih baik aku memanggilmu adik.”

“Oh?” Kam Hay Thian menatapnya. “Kenapa para penduduk desa ini tidak begitu mengacuhkan kalian?”

“Karena....” Tan In Ngo menghela nafas. “Kami merupakan

keluarga yang paling miskin di desa ini!"

“Oooh!” Kam Hay Thian manggut-manggut. “Kalau begitu, aku akan secara langsung mengangkat derajat keluargamu.

“Adik Hay Thian....” Tan In Ngo terbelalak.



“Tenang!” Kam Hay Thian tersenyum. “Pokoknya aku mempunyai cara untuk mengangkat derajat keluargamu.”

“Adik Hay Thian, terim kasih!” Betapa terharunya Tan In Ngo. Kam Hay Thian telah menyelamatkan dirinya, bahkan kini ingin mengangkat derajat keluarganya, sudah barang tentu membuat wanita muda itu terharu sekali.

“Kakak In Ngo, engkau harus tidur, sudah lewat tengah malam,” ujar Kam Hay Thian.

“Bagaimana engkau?”

“Aku cukup duduk beristirahat di sini saja.”

“Baiklah, aku mau tidur.” Tan In Ngo melangkah ke dalam, sedangkan Kam Hay Thian menggeleng-gelengkan kepa1a, lalu memejamkan matanya untuk tidur sejenak, heninglah suasana di rumah itu.

Ketika menjelang pagi, terdengarlah suara derap kaki kuda memasuki desa itu. Tan In Ngo dan keduâ orang tuanya segera bangun, lalu kedepan menemul Kam Hay Thian dengan wajah pucat pias.

“Adik Hay Than, pemimpin penjahat itu telah datang.”

“Tenang saja!” sahut Kam Hay Thian dan menámbahkan. “Aku akan pergi menyambut mereka.”

“Hati-hati Adik Hay Thian!" pesan Tan In Ngo.

Kam Hay Thian mengangguk, lalu membuka pintu dan langsung melesat pergi. Sementara itu sudah tidak terdengar suara derap kaki kuda lagi, ternyata kuda-kuda telah berhenti.

Tampak beberapa orang meloncat turun dari punggung kuda, yang rata-rata bertampang seram, apalagi pemimpin penjahat itu, brewok dan sebelah matanya ditutup dengan kain hitam.



“Hari ini kita harus menghabiskan para penduduk desa ini, karena beberapa anak buahku telah mati di sini!” seru pemimpin penjahat itu.

“Ya, Tay Ong (Raja Besar),” sahut belasan anak buahnya dengan serentak.

Pada saat bersamaan, melayang turun seseorang sambil tertawa dingin, yang tidak lain Kam Hay Thian.

“Siapa engkau?” pemimpin penjahat itu terkejut.

“Aku Chu Ok Hiap!” sahut Kam Hay Thian. “Beberapa anak buahmu telah mati di tanganku!”

“Jadi engkau yang membunuh mereka?” pemimpin penjahat itu terbelalak, karena Kam Hay Thian masih begitu muda, namun mampu membunuh beberapa anak buahnya, yang berkepandaian cukup tinggi.

“Betul!” sahut Kam Hay Thian sambil tersenyum dingin. “Pagi ini kalian semua pun harus mampus!”

“Ha ha-ha!” Pemimpin penjahat itu tertawa terbahak-bahak. “Anak muda, engkau yang akan mampus! Ayoh, cepat serang dia!”

Pemimpin penjahat itu memberi perintah kepada para anak buahnya, dan seketika itu juga para anak buahnya menyerang Kam Hay Thian dengan serentak.

Kam Hay Thian tertawa dingin sambil menghunus pedangnya, kemudian menangkis dan balas menyerang menggunakan Pak Kek Kiam Hoat, mengeluarkan jurus Keng Thian Tun Te (Mengejutkan Langit Menggetarkan Bumi). Tampak pedangnya berkelebatan dan mengeluarkan hawa yang sangat dingin.

“Aaakh! Aaaakh! Aaaakh...!” Terdengar suara jeritan. Ternyata bebera~pa penjahat itu telah roboh berlumuran darah, dan nafas mereka pun putus seketika.



Kam Hay Thian tidak diam sampai di situ, tetapi menyerang lagi sisa-sisa penjahat itu dengan jurus Thian Gwa Kiam In (Bayangan Pedang Diluar Langit). Terdengar lagi suara jeritan, sisa-sisa penjahat itu pun roboh mandi darah.

Betapa terkejutnya pemimpin penjahat itu. Wajahnya pun sudah pucat pias. Kam Hay Thian mengarah padanya, kemudian ujarnya dingin.“Sekarang giliranmu!”

“Siauw hiap, arnpunilah aku!” Pemimpin penjahat itu berlutut di hadapan Kam Hay Thian sambil memohon. “Ampunilah aku....”

“Mengampunimu?" Kam Hay Thian menatapnya dingin.

“Ya.” Pemimpin penjahat itu mengangguk perlahan.

“Engkau sering membunuh orang dan memperkosa kaum wanita, bukan?” tanya Kam Hay Thian sambil menatapnya tajam.

“Ya. Tapi kini aku sudah mau bertobat, sungguh!” Pemimpin penjahat itu membentur-benturkan kepalanya di tanah. “Siauw hiap, ampunilah aku!”

"Memang sudah waktunya engkau bertobat, selama-lamanya engkau tidak akan bisa melakukan kejahatan lagi!” ujar Kam Hay Thian dan mendadak menggerakkan pedangnya secepat kilat.Casss! Putuslah leher pemimpin penjahat itu, dan kepalanya menggelinding bagaikan bola.Setelah para penjahat dan pemimpin penjahat itu mati, barulah Tan In Ngo dan kedua orang tuanya keluar, kemudian disusul para penduduk dan Cungcu.

“Adik Hay Thian!” panggi! Tan In Ngo.

“Kakak In Ngo!” sahut Kam Hay Thian sambil tersenyum. “Mulai sekarang desa ini sudah aman.”

Tan In Ngo mengangguk, dan Cungcu mendekati Kam Hay Thian sambil tersenyum-senyum. “Siauw hiap, sungguh hebat



engkau! Hanya seorang diri engkau mampu membunuh para penjahat dan pemimpinnya itu.”

“Cungcu!” ujar Kam Hay Thian memberitahukan. “Tan In Ngo adalah kakak angkatku, sudah barang tentu kedua orang tuanya juga orang tua angkatku. Mereka sangat miskin, aku harap Cungcu mau menaruh perhatian kepada mereka!”

“Tentu, tentu,” sahut Cungcu sambil tertawa. “Bahkan aku pun akan memberi hadiah kepadamu.”
“Hadiah itu kuterima, tapi harus diserahkan kepada kakak angkatku,” ujar Kam Hay Thian.

“Baik, baik,” sahut Cungcu sambil manggut-manggut.

Apa yang diucapkan Kam Hay Thian, membuat Tan In Ngo dan kedua orang tuanya terharu sekali. Mereka tidak menyangka sama sekali kalau Kam Hay Thian akan mengucapkan begitu dihadapan Cungcu, yang tentunya mengangkat derajat mereka, sebab Kam Hay Thian mengaku Tan In Ngo sebagai kakak angkatnya.

“Paman, Bibi, Kakak In Ngo!” Kam Hay Thian menghampiri mereka. “Kini desa ini telah aman, maka aku mau mohon pamit!”

“Adik Hay Thian....” Wajah Tan In Ngo langsung berubah

muram. “Kenapa begitu cepat?”

“Aku masih ada urusan lain, maka harus segera melanjutkan perjalanan,” sahut Kam Hay Thian, lalu memandang Cungcu seraya berkata, “Kuharap Cungcu menepati janji, sampai jumpa!”

Begitu Kam Hay Thian melesat pergi, Tan In Ngo berteriak memanggilnya. “Adik Hay Thian! Adik Hay Thian...!”

Namun Kam Hay Thian sudah tidak kelihatan. Tan In Ngo pun menangis terisak-isak. Sedangkan cungcu memandang



mayat-mayat para penjahat itu sambil menghela nafas panjang dan kemudian bergumam.

"Pemuda itu memang Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat), karena tiada seorang penjahat pun dibiarkan hidup.” Setelah bergumam begitu, Cungcu itu pun berkata pada para penduduk. “Kuburkan mayat-mayat para penjahat Itu!”

Para penduduk menurut. Ketika orang tua Tan In Ngo ingin membantu, Cungcu segera mencegahnya sambil tersenyum. “Engkau tidak usah turun tangan membantu mereka, aku ingin bercakap-cakap sebentar,” ujar Cungcu ramah sekali.

"Cungcu mau bercakap-cakap apa?" tanya ayah Tan In Ngo dengan rasa heran.

“Begini....” Cungcu itu menghela nafas panjang. “Selama ini

aku tidak memandang kalian sama sekali, namun kalian justru tetah menyelamatkan desa ini.”

“Cungcu, kami...” Ayah Tan In Ngo tergagap. “Bukan kami yang menyelamatkan desa ini, melainkan Chu Ok Hiap - Kam Hay Thian.”

“Tapi dia anak angkat kalian, maka kalian pun berjasa dalam hal ini. Di sini aku mohon maaf kepada kalian!”

“Cungcu jangan berkata begitu, sebab membuat kami merasa malu!”

“Tadi Kam Hay Thian tetah berpesan, aku harus menaruh perhatian kepada kalian. Nah, apa permintaan kalian?~

“Tidak ada.” Ayah Tan In Ngo menggelengkan kepala. “Kami tidak meminta apa pun. Kita semua bersyukur karena para penjahat berikut pemimpinnya telah dibasmi, kini desa kita ini sudah aman.”



“Aku tahu kalian bidup melarat, maka.... Tan In Ngo akan

kuangkat sebagai anak angkat, bahkan aku pun akan menghadiahkan beberapa bidang sawah untuk kalian.”

“Cungcu....” Ayah dan ibu Tan In Ngo terbelalak. Begitu

pula Tan In Ngo sendiri, yang tidak menyangka kalau Cungcu yang kaya raya itu akan mengangkatnya sebagai anak.

“Kalian Jangan menolak, sebab kalau kalian menolak, aku akan merasa tidak enak terhadap Kam Hay Thian,” ujar Cungcu sambil tertawa, kemudian berseru memberitahukan kepada para penduduk yang telah usai mengubur mayat-mayat para penjahat. “Kalian semua dengar baik-baik, mulai hari ini Tan In Ngo adalah putri angkatku! Oleh karena itu, aku akan mengadakan pesta besar-besaran hari ini, harap kalian semua hadir!”

“Terima kasih, Cungcu!” sahut para penduduk, lalu berkata kepada Tan In Ngo yang berdiri mematung di tempat. “Selamat, In Ngo!”

Saking girangnya, Tan In Ngo nyaris menangis seketika. Ia semakin terharu dan berterima kasih kepada Kam Hay Thian, sebab semua itu berkat jasa pemuda tersebut.

-oo0dw0oo-

Sementara itu, di halaman istana Tayli, tampak Lam Kiong Bie Liong, Toan Pit Lian, Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng duduk melamun.

“Aaaah.!” Lam Kiong Bie Liong menghela nafas panjang. “Sudah tujuh tahun lebih, kénapa Soat Lan dan Beng Kiat masih belum pulang?”

“Aku yakin tidak lama lagi mereka akan pulang,” sahut Toan Wie Kie. “Aku ingat akan ucapan Tayli Lo Ceng ketika itu, padri tua itu bilang tujuh delapan tahun, Soat Lan dan Beng Kiat pasti pulang?



“Benar.” Gouw Sian Eng manggut-manggut. “Aku pun masih ingat akan ucapan Tayli Lo Ceng itu.”

“Tapi..” Toan Pit Lian ingin mengatakan sesuatu, namun terputus mendadak karena melihat dua sosok bayangan berkelebat ke arah mereka

“Ayah! Ibu!” Terdengar pula suara seruan.

“Soat Lan?” Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian terbelalak.

“Beng Kiat?” Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng juga terbelalak.

Kedua sosok bayangan itu ternyata Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat, yang tidak mereka duga sama sekali.

“Ayah, Ibu!” Lam Kiong Soat Lan langsung mendekap di dada Toan Pit Lian.

“Ayah, Ibu!” Toan Beng Kiat bersujud dihadapan kedua orang tuanya.

“Soat     Lan....”  Toan      Pit           Lian        memeluknya     erat-erat,

sedangkan Lam Kiong Bie Liong tidak henti-hentinya membelai putrinya.

“Nak!” Gouw Sian Eng segera membangunkan Toan Beng Kiat dengan mata basah. “Engkau...engkau sudah pulang...."

“Ibu, aku sudah pulang.”

“Nak!” Toan Wie Kie membelainya. tidak menyangka engkau sudah besar.”

“Ayah....” Toan Beng Kiat tersenyum.

“Oh ya!" tanya Toan Wie Kie. “Kok Tayli Lo Ceng tidak kemari?"

“Guru mengantar kami sampal di daerah Tayli, lalu pergi,” jawab Toan Beng Kiat memberitahukan.



Sementara Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian juga tak henti-hentinya bercakap-cakap dengan putri mereka.

“Soat Lan!” Toan Pit Lian menatapnya sambil tersenyum. “Engkau sudah besar dan cantik sekali, ibu merasa puas dan bangga.

“Soat Lan!” ujar Lam Kiong Bie Liong sambil tersenyum. “Ayah yakin, kepandaianmU pasti sudah tinggi sekali”

“Kira-kira begitulah, Ayah,” sahut Lam Kiong Soat Lan sambil tersenyum manis dan melanjutkan.

“Kini aku dan Beng Kiat telah menguasai seluruh ilmu yang dimiliki guru.

“Syukurlah!” Lam Kiong Bie Liong tertawa gembira kemudian berseru, “Wie Kie, mari kita ajak mereka menemui Hong Ya!”

“Baik.” Toan Wie Kie mengangguk.

Mereka semua lalu memasuki ruang tengah. Kebetulan Toan Hong Ya dan Hujin sedang duduk di situ sambil bercakap-cakap. Ketika melihat Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat, mereka terbelalak.

“Soat Lan? Beng Kiat?” gumam Toan Hong Ya.

“Kakek, Nenek!” Lam Kiong Soat Lan dan Beng Kiat segera bersujud.

Betapa gembiranya Toan Hong Ya dan Hujin. Mereka berdua terus tertawa gembira.

“Kalian bangunlah!” ujar Toan Hong Ya.

“Ya,” Lam Kiong Soat Lan dan Toang Beng Kiat segera bangkit berdiri.

“Ayohlah! Kalian semua duduk saja, jangan terus berdiri!” ujar Toan Hong Ya sambil tertawa-tawa.



Mereka segera duduk. Toan Beng Kiat menengok kesana-kemari seakan sedang mencari sesuatu.

“Dimana kakek tua? Kok tidak berada disini?” tanyanya.

“Nak,” sahut Gouw Sian Eng sambil menghela nafas panjang. “Kakek tuamu telah meninggal!”

“Apa?” Toan Beng Kiat terkejut dan matanya mulai basah. “Kapan kakek tua meninggal?”

“Dua tahun yang lalu,” sahut Gouw Sian Eng.

“Aaaakh...!” keluh Toan Beng Kiat. “Tak disangka aku tidak akan bertemu kakek tua!”

Sementara Lam Kiong Soat Lan juga menengok kesana kemari dengan penuh rasa heran, karena dan tadi tidak melihat Lam Kiong hujin, neneknya.

“Ayah, di mana nenek? Kok tidak muncul?" tanya gadis itu.

“Nenekmu telah meninggal,” sahut Lam Kiong Bie Liong sanibil menghela nafas panjang.

“Haah...?" Lam Kiong Soat Lan langsung menangis terisak-isak. “Kapan nenek meninggal?"

“Dua tahun yang lalu,” Lam Kiong Bie Liong memberitahukan dengan wajah murung.

“Nenek meninggal karena sakit?” tanya Lam Kiong Soat Lan.

Lam Kiong Bie Liong, Toan Pit Lian, Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng segera memandang Toan Hong Ya.

“Beritahukanlah kepada mereka!” ujar Toan Hong Ya.

Lam Kiong Bie Liong mengangguk, lalu memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Soat Lan, nenekmu dan Tui Hun Lojin meninggal karena dibunuh orang.”



“Apa?” Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat terkejut bukan main, dan wajah pun tampak sedih. “Siapa pembunuh itu?”

“Entahlah,” Lam Kiong Bie Liong menggelengkan kepala.

“Ayah,” tanya Toan Beng Kiat. “Bagaimana kejadian itu? Bolehkah Ayah menuturkannya?”

“Kejadian itu....” Toan Wie Kie menutur dan menambabkan.

“Kakekmu yang kemari memberitahukan.”

“Ayah! Aku barus membalas dendam!” ujar Toan Beng Kiat dengan berkertak gigi.

“Aku juga!” sambung Lam Kiong Soat Lan.

“Kalian....” Toan Hong Ya menggeleng-gelengkan kepala.

“Bagaimana mungkin kalian membalas dendam, sebab tidak tahu siapa pembunuhnya?”

“Kami akan menyelidikinya,” ujar Toan Beng Kiat sungguh-sungguh.

“Nak!” Toan Wie Kie menggeleng-gl!engkan kepala. “Kalian berdua masih kecil, lagi pula belum berpengalaman dalam rimba persilatan.”

“Kalau begitu, apakab kita harus diam saja?” tanya Toan Beng Kiat dengan kening berkerut.

“Ayah, kami sudab tidak kecil, usia kami sudah enam belas, lagi pula kepandaianku cukup tinggi.”

“Nak,” ujar Gouw Sian Eng. “Kalian tidak boleh pergi menuntut balas, sebab semua itu urusan kami.”

“Juga urusanku,” Toan Beng Kiat berkeras.

“Sama,” sambung Lam Kiong Soat Lan. “Beng Kiat, biar bagaimana pun kita harus pergi menyelidiki pembunuh Itu.”

“Betul,” Toan Beng Kiat mengangguk.



“Eh?” Toan Hong~Ya menatap mereka tajam. “Kenapa kalian berdua tidak mau menuruti perkataan orang tua?”

"Kakek, kami” Toan Beng Kiat menundukkan kepala.

“Nak,” ujar Toan Wie Kie lembut. “Tentang ini akan kita bicarakan lagi nanti, karena kalian berdua baru pulang hari ini.”

“Ya, Ayah,” Toan 8eng Kiat mengangguk.

“Beng Kiat!” Lam Kiong Soat Lan teringat sesuatu. Bukankah guru menitip sepucuk surat untuk kakek?

“Ya,” Toan Beng Kiat segera mengeluarkan sepucuk surat lalu diberikan kepada Toan Hong Ya.

Toan Hong Ya menerima surat itu, lalu dibacanya. Surat tersebut berbunyi demikian.

"Toan Hong Ya: 'Semua urusan harus diserahkan kepada kedua muridku, biar mereka ke Tionggoan. Namun ingat, yang lain tidak boleh ikut, sebab akan membahayakan nyawa mereka' Tayli Lo Ceng."

“Ayah,” tanya Toan Wie Kie. “Apa yang ditulis Tayli Lo Ceng?”

“Bacalah sendiri!” sahut Toan Hong Ya sambil memberikan surat itu kepada putranya.

Toan Wie Kie menenima surat itu, kemudian dibacanya dengan kening berkerut-kerut.

“Kakak” Toan Pit Lian menatapnya “Bagaimana bunyi surat itu?”

“Bacalah!” Toan Wie Kie memberikan surat itu kepada adiknya. Lam Kiong Bie Liong juga ikut membaca, dan keningnya pun berkerut-kerut.

“Siapa yang dimaksudkan ‘Yang lain’ itu?" tanyanya.



“Tentunya kita berempat,” sebut Toan Wie Kie.

“Heran?” gumam Toan Pit Lian. “Kenapa padri tua itu menyuruh Soat Lan dan Beng Kiat ke Tionggoan, sedangkan kita dilarang ikut?”

“Kalian dengar baik-baiki” ujar Toan Hong Ya. “Berhubung Tayli Lo ceng menulis begitu, hatiku pun jadi lega.”

“Jadi Ayah mengijinkan Beng Kiat dan Soat Lan berangkat ke Tionggoan untuk menyelidiki pembunuh itu?” tanya Toan Wie Kie.

“Ya,” Toan Hong Ya manggut-manggut. “Sebab ayah mempercayai padri tua itu, maka kalian pun barus menuruti pesannya?

“Tapi....” Toan Wie Kie mengerutkan kening.

“Engkau tidak mempercayai Tayli Lo Ceng?” Toan Hong Ya menatapnya tajam sambil melanjutkan. “Kita tahu jelas, bahwa padri tua itu ahli dalam hal meramal. Jadi kalian berempat tidak boleh ragu.”

Mereka berempat saling memandang, lama sekali barulah Toan Pit Lian membuka mulut.

“Ayah telah mengambil keputusan, bahwa Soat Lan dan Beng Kiat boleh berangkat ke Tionggoan menyelidiki pembunuh itu?”

"Betul"

“Kami....”

"Kalian berempat tidak boleh ikut,” tegas Toan Hong Ya. “Padri tua telah berpesan demikian, maka kalian berempat harus mentaatinya.”

“Ayah....” Toan Wie Kie mengernyitkan kening.



“Kalau kalian betempat berani melanggar pesan layli Lo ceng, maka selamanya jangan memanggilku ayah lagi!" ujar Toan Hong Ya sungguh-sungguh.

“Ya, Ayah.” Toan Wie Kie mengangguk Sedangkan Gouw Sian Eng, Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian diam saja.

“Ayah, bagaimana kematian kakek tua?" tanya Toan Beng Kiat.

“Sama seperti Lam Kiong hujin," Toan Wie Kie memberitahukan. “Sekujur badan mereka hangus terkena semacam ilmu pukulan yang mengandung api.

“Kalau begitu, tidak suilt bagi kami menyelidiki pembunuh itu,” ujar Toan Beng Kiat. “Ayah, kami akan tinggal di sini sebulan, lalu berangkat ke Tionggoan.”

“Tapi....” Toan Wie Kie menggeleng-gelengkan kepala.

“Ayah, itu adalah pesan dan guru kami. Maka aku harap Ayah jangan melanggarnya!” ujar Toan Beng Kiat.

"Benar," sela Lam Kiong Soat Lan. “Itu adalah pesan guru kami, jadi kami barus mentaatinya”

“Baik,” Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut. “Kalian boleh berangkat ke Tionggoan, asal kalian mampu mengalahkan kami berdua."

“Ayah....” Toan Beng Kiat terbelalak, begitu pula Lam Kiong

Soat Lan. “Kenapa harus begitu?"

“Kami harus menguji kepandaian kalian. Apabila kalian mampu mengalahkan kami, pertanda kalian memang telah berkepandaian tinggi," sahut Toan Wie Kie sungguh-sungguh.

“Maaf, Ayah!” ucap Toan Beng Kiat. “Terus terang, kami takut salah tangan. Lebih baik kami mempertunjukkan kepandaian kami saja.”



“Itu memang baik sekali,” sahut Toan Hong Ya sambil tertawa. “Nah, kalian berdua boleh mulai?"

“Soat Lan," ujar Toan Beng Kiat sambil bangkit berdiri. “Aku duluan mempertunjukkan kepandaianku.”

“Silakan!” Lam Kiong Soat Lan tersenyum.

Toan Beng Kiat berjalan ke tengah-tengah ruangan. Kemudian setelah memberi hormat, Ia mulai mengerahkan Kim Kong Sin Kang (Tenaga Sakti Cahaya Emas), dan seketika sekujur badannya memancarkan cahaya keemasan. Toan Hong Ya dan lainnya terbelalak. Di saat bersamaan mulailah Toan Beng Kiat mempertunjukkan Kim Kong Cap Sah Ciang (Tiga Belas Jurus Pukulan Cahaya Emas). Sepasang tangannya berkelebat laksana kilat, dan memancarkan cahaya kekuning-kuningan.

Betapa kagumnya Toan Hong Ya dan lainnya ketika menyaksikan ilmu pukulan itu. Mereka terbelalak dengan mulut ternganga lebar.

“Sungguh di luar dugaan!” bisik Toan Wie Kie kepada Lam Kiong Bie Liong. "Kelihatannya kepandaian Beng Kiat jauh di atas kita.”

“Benar,” Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut. “Heran! ilmu pukulan apa itu? Kok memancarkan cahaya kekuning-kuningan?"

“Entahlah!” Toan Wie Kie menggelengkan kepala.

Sementara Gouw Sian Eng dan Toan Pit Lan menyaksikan sambil manggut-manggUt, dan wajahnya pun tampak berseri.

Berselang beberapa saat, barulah Toan Beng Kiat berhenti, dan kembali ke tempat duduknya.

Menyusul adalah giliran Lam Kiong Soat Lan mempertunjukkan kepandaiannya, dengan mempertunjukkan Kim Kong Cap Sah Ciang.



Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian menyaksikannya sambil tersenyum-senyUm, mereka kelihatan gembira sekali.

Setelah Lam Kiong Soat Lan berhenti, Lam Kiong Bie Liong segera bertanya sambil tertawa gembira.

“Soat Lan, ilmu pukulan apa itu?”

“Itu adalah ilmu pukulan Kim Kong Cap Sah Ciang,” Lam Kiong Soat Lan memberitahukan. “Ilmu simpanan guru kami.”

“Oooh!” Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut. “Oh ya, kenapa kalian berdua tidak menggunakan senjata?”

“Kata guru, kami tidak perlu menggunakan pedang,” jawab Lam Kiong Soat Lan melanjutkan. “Sebab ilmu pukulan itu dapat menangkis senjata apa pun.”

“Oh?” Lam Kiong Siok Liong terbelalak. “Kalian tidak belajar ilmu lain lagi kepada guru kalian?”

“Guru juga mengajar kami Thian Liong Kiam Hoat dan Ciang Hoat,” Lam Kiong Soat Lan memberitahukan. “Bahkan juga mengajar kami berbagai macam ilmu pedang dan pukulan.”

“Oooh!” Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut.

“Kami belajarHud Bun Pan Yok Sin Kang,” tambah Toan Beng Kiat. “Setelah itu barulah belajar Kim Kong Sin Kang.”

“Kata guru, apabila Kim Kong Sin Kang kami telah mencapai tingkat teratas, maka kami pun tidak mempan dibacok dan tidak takut racun apa pun,” sambung Lam Kiong Soat Lan.

“Itu... itu adalah Kim Kong Put Huai,” ujar Lam Kiong Bie Liong terbelalak dan melanjutkan. “Sungguh beruntung kalian memperoleh ilmu itu!”



“Ayah!” Lam Kiong Soat Lan bertanya sambil tersenyum. “Tentunya Ayah tidak akan melarang kami ke Tionggoan, bukan?”

“Ya.” Lam Kiong Bie Liong mengangguk.

“Ayah....” Toan Beng Kiat memandang ayahnya.

“Tentunya ayah juga tidak berkeberatan,” sahut Toan Wie Kie cepat. “Namun biar bagaimanapun, kami harus membekali kalian masing-masing sebilah pedang.”

“Terima kasih, Ayah!” ucap Toan Beng Kiat girang.

“Oh ya!” Lam Kiong Soat Lan teringat sesuatu dan memberitahukan. “Guru tidak mengajar Kim Kong Sin Kang dan Kim Kong Cap Sah Ciang pada Lie Man Chiu.”

“Oh?” Lam Kiong Bie Liong dan Toan Wie Kie saling memandang. “Kenapa begitu?”

“Kata guru, Lie Man Chiu....” Lam Kiong Soat Lan tertawa

kecil. “Maaf, aku telah melupakan apa yang dikatakan guru!” “Beng Kiat, engkau ingat?" tanya Toan Wie Kie.

“Aku pun telah lupa, Ayah,” jawab Toan Beng Kiat.

“Sudahlah!” Lam Kiong Bie Liong tersenyum. “Itu tidak perlu diingat. Mulai sekarang kami akan menceritakan pada kalian mengenai rimba persilatan, sebab sebulan kemudian, kalian berdua akan berkecimpung dalam rimba persilatan Tionggoan.”

“Terima kasih, Ayah!” ucap Lam Kiong Soat Lan.

Sebulan kemudian, barulah Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan berangkat ke Tionggoan menuju markas pusat Kay Pang.

-oo0dw0oo-



Bagian ke Lima belas Bertemu ketua Tiong Ngie Pay

Setelah meninggalkan markas pusat Kay Pang, Tio Bun Yang terus melanjutkan perjalanannya dengan tujuan mencari pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.

Dua hari kemudian, di saat ia sedang melangkah perlahan di jalan yang sepi, mendadak muncul beberapa orang, yang kemudian memberi hormat kepadanya.

"Maaf!” ucap salah Seorang dan mereka dengan ramah. “Kami telah mengganggu perjalananmu, Giok Siauw Sin Hiap!”

"Kalian....” Tio Bun Yang memandang mereka. “Ada urusan

apa?”

"Ketua kami mengundang Anda ke markas!” "Siapa ketua kalian?”
"Setelah bertemu, Anda pasti mengetahuinya. Kami adalah anggota Tiong Ngie Pay.”

"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut.

"Harap Anda ikut kami!”

"Baik,” Tio Bun Yang lalu mengikuti mereka.

Berselang beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di suatü tempat yang sangat sepi, dan di sana tampak sebuah bangunan tua berdiri kokoh.

"Harap Anda mengikuti langkah kami!” kata orang itu. “Sebab di tempat ini telah dipasang berbagai macam jebakan.”

"Ooooh!” Tio Bun Yang menengok ke sana ke mari. Ia memang mengerti tentang jebakan, sebab Tio Cie Hiong, ayahnya pernah memberitahukan kepadanya. Mendadak ia mendengar suara seruan yang sambung menyambung.



"Giok Siauw Sin Hiap telah tiba! Giok Siauw Sin Hiap telah tiba! Giok Siauw Sin Hiap telah tiba!”

Kemudian muncul beberapa orang tua, yang kemudian menyambut Tio Bun Yang dengan hormat.

"Silakan masuk, Giok Siauw Sin Hiap!” ujar mereka serentak.

"Terima kasih!” Tio Bun Yang melangkah kedalam Ketika sampai di ruang tengah, ia melihat seorang wanita duduk di situ ia terbelalak dan berseru tak tertahan. “Bibi Suan Hiang!”

"Bun Yang.” Yo Suan Hiang segera mendekatinya, “Giok Siauw Sin Hiap ternyata adalah engkau, bahkan engkau pun pernah menolong belasan anggotaku pula”

"Tidak salah dugaan kakekku,” ujar Tio Bun Yang, “Ketua Tiong Ngie Pay adalah Bibi”

"Bun Yang!” Yo Suan Hiang menatapnya dengan rasa kagum “Tujuh tahun lebih bibi tidak melihatmu, sungguh tak disangka kini engkau telah besar dan sangat tampan pula."

"Bibi “Wajah Tio Bun Yang kemerah-merahan

"Kauw-heng,” tanya Yo Suan Hiang kepada monyet bulu putih yang duduk di bahu Tio Bun Yang, "Apa kabar? Baik-baik saja, bukan?”

Monyet bulu putih bercuit tiga kali sambil manggut-mangggut.

“Oooh! Kauw-heng baik-baik saja!” ujar Yo Suan Hiang sambil tersenyum, kemudian memperkenalkan orang-orangnya kepada Tio Bun Yang, “Mereka adalah Tan Ju Liang wakil ketua Lim Cin An pelaksana hukum dan Cu Tiang Him kepala para anggota Tiong Ngie Pay”

“Oooh!” Tio Bun Yang segera memberi hormat kepada mereka, dan seketika mereka pun balas memberi hormat kepadanya.



"Perlu kalian ketahui, Bun Yang adalah putra kesayangan Pek Ih Sin Hiap Tio Cie Hiong, sedangkan ibunya adalah putri kesayangan Lim Peng Hang, ketua Kay Pang.” Yo Suan Hiang memberitahukan.

Betapa terkejutnya Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him, dan mereka memandang Tio Bun Yang dengan mata terbelalak.

“Oh ya! Kalian pun harus memanggil Kauw-heng kepada monyet bulu putih itu.” Yo Suan Hiang memberitahukan lagi. “Kauw heng telah berusia tiga ratusan tahun lho!”

"Haaah?” Mereka tersentak dengan mulut ternganga lebar. “Monyet bulu putih itu sudah berusia tiga ratusan tahun?”

Monyet bulu putih segera manggut-manggut, tentunya mencengangkan mereka.

“Ketua! Apakah Kauw-heng mengerti bahasa manusia?”

“Mengerti.” Yo Suan Hiang mengangguk. “Bahkan kepandaiannya pun sangat tinggi.”

“Oh?” Mereka bertiga kelihatan kurang percaya.

“Aku tidak bohong,” ujar Yo Suan Hiang sungguh-sungguh dan menambahkan. “Kalian bertiga tidak mampu melawannya.”

“Benarkah begitu?” tanya Lim Cin An.

“Benar.” Tio Bun Yang mengangguk. “Bibi Suan Hiang tidak bohong, kauw-heng memang berkepandaian tinggi.”

"Bukan main!” Lim Cin An menggeleng-gelengkan kepala.

“Oh ya!” Yo Suan Hiang memandang Tio Bun Yang dengan penuh perhatian seraya bertanya. "Bun Yang, bagaimana kepandaianmu? tentunya sudah tinggi sekali, bukan?”



“Lumayan,” sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum dan memberitahukan. “Aku berlatih lweekang dua tahun di Gunung Thian San bersama kauw-heng.”

“Kalau begitu, lweekangmu pasti sudab mencapai tingkat tinggi, bukan?” tanya Yo Suan Hiang.

“Cukup lumayan,” jawab Tio Bun Yang merendah.

“Bun Yang!” Yo Suan Hiang tersenyum. “Agar mereka bertiga tidak merasa ragu, sudikah engkau mempertunjukkan sedikit kepandaianmu?”

“Bun Yang,” desak Yo Suan Hiang. “Jangan menolak!"

“Baiklah,” Tio Bun Yang mengangguk. “Kauw-heng, engkau turun dulu! Aku terpaksa harus mempertunjukkan sedikit kepandaianku.”

Monyet bulu putih manggut-manggut, lalu meloncat ke atas meja. Sedangkan Tio Bun Yang berjalan ke tengah-tengah ruangan, kemudian duduk bersila sambil memejamkan matanya.

Itu membuat Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him saling memandang. Sedangkan Yo Suan Hiang tersenyum-senyum. karena tahu Tio Bun Yang akan mempertunjukkan lweekangnya.

Berselang beberapa saat kemudian, mendadak badan Tio Bun Yang melambung ke atas dalam keadaan bersila. Itu sungguh mengejutkan Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him. Yo Suan Hiang pun terbelalak menyaksikannya, karena sama sekali tidak menyangka kalau lweekang Tio Bun Yang telah mencapai tingkat yang begitu tinggi.

Sementara monyet bulu putih pun menyaksikannya dengan penuh perhatian, setelah itu ia mengambil dua buah cangkir dan atas meja, lalu disambitnya ke arah Tio Bun Yang. Perbuatan monyet bulu putih itu tentunya mengejutkan



Semua orang. Yo Suan Hiang ingin mencegah, tapi sudah terlambat.

Dua buah cangkir itu meluncur secepat kilat ke arah Tio Bun Yang yang berhenti di udara, akan tetapi terjadilah suatu keanehan. Mendadak kedua buah cangkir itu berhenti, lalu berbalik menyambar ke arah monyet bulu putih. Segeralah monyet bulu putih menangkap kedua buah cangkir itu, sekaligus ditaruhnya di atas meja, kemudian bertepuk-tepuk tangan.

Apa yang terjadi barusan, sungguh membuat kagum yang menyaksikannya. Yo Suan Hiang pun terbelalak, karena tidak menyangka lweekang Tio Bun Yang telah menyamai lweekang ayahnya, Tio Cie Hiong.

Tiba-tiba badan Tio Bun Yang berputar, dan makin lama makin cepat sehingga membuat mata semua orang jadi berkunang-kunang. Bahkan mereka pun mendengar suara yang menderu-deru.

Berselang sesaat, badan Tio Bun Yang berhenti berputar, lalu, melayang turun dalam keadaan tetap bersila.

Setelah menyentuh lantai, barulah Tio Bun Yang membuka matanya, dan kemudian sambil tersenyum ia kembali ke tempat duduknya.

Suasana di ruangan itu berubah menjadi hening seketika. Mulut Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him ternganga lebar saking kagumnya, dan mereka pun tidak tahu harus bagaimana memujinya.

“Bun Yang....” Yo Suan Hiang menatapnya terbelalak. “Bibi

tidak menyangka lweekangmu telah mencapai tingkat setinggi itu?"

“Itu berkat latihanku di Gunung Thian San,” Tio Bun Yang memberitahukan. “Bahkan aku pun telah memakan buah ajaib pemberian kauw-heng.”



“Oooh!” Yo Suan Hiang manggut-manggut. “Kalau begitu, buah ajaib itu pasti berkhasiat menambah lweekangmu!”

“Ya,” Tio Bun Yang mengangguk.

“Oh ya!” tanya Yo Suan Hiang. “Bagaimana keadaan di Hong Hoang To?”

“Bibi Suan Hiang,” jáwab Tio Bun Yang. “Aku belum pulang ke sana, namun... tujuh tahun yang lalu Paman Man Chiu meninggalkan anak isterinya.”

“Apa?" Bukan main terkejutnya Yo Suan Hiang. “Kenapa Man Chiu meninggalkan anak isterinya?”

“Kata ayah, dia ingin mengangkat namanya dirimba persilatan,” Tio Bun Yang memberitahukan dan bertanya. “Apakah Bibi pernah mendengar tentang dirinya?”

“Tidak pernah,” Yo Suan Hiang menggelengkan kepala.

“Heran!” gumam Tio Bun Yang.”Paman Man Chiu berada di mana? Kenapa tiada kabar beritanya sama sekali?”

“Mungkinkah dia tidak datang di Tionggoan?” sahut Yo Suan Hiang.

“Tidak mungkin.” Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. “Sebab Paman Man Chiu berambisi mengangkat namanya di rimba persilatan, tentunya harus berada di Tionggoan.”

“Benar,” Yo Suan Hiang manggut-manggut, kemudian menghela nafas panjang. "Sungguh tak disangka, hanya karena ingin mengangkat nama, Man Chiu begitu tega meninggalkan anak isterinya! Padahal dia murid Tayli Lo Ceng yang sakti, namun....”

“Bibi Suan Hiang!” Tio Bun Yang tersenyum. “Murid dewa pun masih bisa berubah jahat, itu bergantung pada sifat dan watak seseorang, jadi tiada kaitannya dengan guru?"



“Ngmm!” Yo Suan Hiang manggut-manggut lagi. “Benar juga apa yang kau katakan. Seandainya engkau berubah jahat, itu pun tiada kaitannya dengan kedua orang tuamu?

“Benar.” Tio Bun Yang tersenyum, kemudian teringat akan suatu hal. “Oh ya! Mungkin Bibi belum tahu, kalau Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin telah mati.”

“Apa?!” Betapa terkejutnya Yo Suan Hiang. “Bagaimana mereka mati? Apakah...."

“Mereka mati dibunuh.” Tio Bun Yang memberitahukan. “Kakek yang menceritakan kepadaku, karena anggota Kay Pang yang menemukan mayat mereka,”

“Siapa yang membunuh mereka?”

“Aku justru sedang menyelidiknya. Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin mati dengan sekujur badan hangus. Itu bukan dibakar, melainkan terkena semacam ilmu pukulan yang mengandung api?"

“Siapa yang memiliki ilmu pukulan itu?” gumam Yo Suan Hiang. “Padahal Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin berkepandaian tinggi, tidak gampang membunuh mereka berdua?"

“Itu membuktikan bahwa kepandaian pembunuh itu sangat tinggi,” ujar Tio Bun Yang dan bertanya. “Apakah Bibi tahu mengenai pukulan itu?”

“Sama sekali tidak tahu” Yo Suan Hiang menggelengkan kepala. “Bun Yang, mungkin agak sulit menyelidiki pembunuh itu.”

“Aku yakin, pembunuh itu pasti akan muncul,” ujar Tio Bun Yang “Oh ya, kakek Gouw memberitahukan bahwa putera Paman Toan dan putri Paman Lam Kiong telah diangkat murid oleh Tayli Lo Ceng”



“Oh? Kalau begitu sungguh beruntung putra Toan Wie Kie dan putri Lam Kiong The Liong itu?”

“Ya,” Tio Bun Yang mengangguk “Mereka memang beruntung Bibi Suan Hiang, sudah berapa lama Tiong Ngie Pay ini didirikan?”

“Kurang lebih tujuh tahun.”

“Bagaimana keadaannya sekarang” Apakah sudah maju pesat?”

“Memang telah maju.” Yo Suan Hiang tersenyum, “Ketika baru berdiri, Tiong Ngie Pay ini cuma beranggotakan dua puluhan orang, tetapi kini sudah mencapai hampir seratus, dan setiap orang yang ingin bergabung jadi anggota, pasti diseleksi dan diselidiki asal-usulnya.”

“Oh! Memañg harus begitu.”

“Tapi “Yo Suan Hiang menggeleng-gelengkan kepala. “Belum lama ini telah terjadi sesuatu dalam Tiong Ngie Pay.”

“Apa yang telàh terjadi? tanya Tio Bun Yang heran.

“Sudah belasan anggotaku mati secara aneh. Itu membuatku tidak habis berpikir.” Yo Suan Hiang menghela nafas panjang.

“Mereka mati dalam tugas atau mati. di markas ini?” “Mati di markas.”
“Kalau begitu...” ujar Tio Bun Yang dengan kening berkerut. “Sudah pasti ada orang-orang tertentu menyusup di dalam Tiong Ngie Pay”

“Benar.” Yo Suan Hiang mengangguk. “Namun tiada seorang pun yang mencurigakan.”

Tio Bun Yang berpikir, sejenak kemudian membuka mulut sambil tersenyum.



“Bibi Suan Hiang, aku bisa membantu dalam hal ini.”

“Oh?” Yo Suan Hiang menatapnya seraya bertanya. “Betulkah engkau bisa membantu dalam hal ini?”

“Ya.” Tio Bun Yang tersenyum.

“Bagaimana caranya?" Yo Suan Hiang tampak agak ragu.

“Bibi harus mengumpulkan semua anggota, setelah itu Bibi akan mengetahuinya,” jawab Tio Bun Yang dan tersenyum lagi. “Pasti ada kejutan nanti?

“Baiklah” Yo Suan Hiang memandang Tan Jü Liang. “Paman, perintahkan semua anggota berkumpul di sini”

“Ya, Ketua.” Tan Ju Liang mengangguk, kemudiañ berkata kepada Cu Tiang Him. “Tiang Him, cepatlah perintahkan semua anggota berkumpul di sini!”

“Ya, Guru.” Cu Tiang Him segera melangkah pergi. Tak lama kemudian ia telah balik dan memberi hormat kepada Yo Suan Hiang seraya berkata. “Ketua, dalam waktü singkat semua anggota akan berkumpul di sini.”

“Terima kasih,” sahut Yo Suan Hiang sambil manggut-manggut.

Berselang sesaat, mulailah para anggota itu berkumpul di ruang itu, dan setelah semuanya berkumpul, Yo Suan Hiang berkata.

“Bun Yang, semua anggota telah berkumpul di sini.”

Tio Bun Yang manggut-manggut, lalu berkata kepada monyet bulu putih. “Kauw-heng, di antara para anggota itu terdapat orang jahat Engkau harus mencari orang jahat itu”

Monyet bulu putih mengangguk, kemudian melesat ke arah para anggota Tiong Ngie Pay itu.

“Bun Yang, apakah kauw heng dapat diandalkan?” tanya Yo Suan Hiang sambil menatapnya



Sémentara Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him saling memandang, kelihatannya mereka ragu sekali terhadap monyet bulu putih.

"Bibi Suan Hiang,” sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. “Tentunya Bibi tahu, kauW-heng memiliki naluri yang kuat sekali.”

“Benar,” Yo Suan Hiang manggut~manggut. “Mudah~mUdahan kauw ~eng dapat mengetahui mata-mata itu!”

“Percayalah! Kauw-heng memiliki kemampuan itu.”

Mendadak terjadi sedikit kekacauan pada para anggota Tiong Ngie Pay. Ternyata monyet bulu putih itu menyeret dua orang ke hadapan Tio Bun Yang. Kedua orang itU tidak bisa bergerak, karena jalan darah mereka telah tertotok oleh monyet bulu putih.

Setelah berada di hadapan Tio Bun Yang, monyet bulu putih bercuit-cuit sambil menggerak-gerakkan sepasang tangannya.

“Ngmmm!” Tio Bun Yang manggut-manggut setelah itu berkata kepada Yo Suan Hiang. “Mereka berdua adalah mata-mata.”

“Oh?” Yo Suan Hiang mengerutkan kening. “Kita tidak punya bukti, kalau langsung menghukumnya, tentunya para anggota lain akan merasa tidak puas.”

“Betul. Tapi bukankah Bibi boleh bertanya kepada mereka?” sahut Tio Bun Yang tidak ragu terhadap monyet bulu putih itu.

“Kalian berdua!” bentak Yo Suan Hiang. “Lebih baik kalian mengaku!”

“Itu adalah monyet sialan, sembarangan menuduh kami!” sahut kedua orang itu. Walau tidak bisa bergerak tapi mereka tetap bisa berbicara.



“Tiang Him!” tanya Yo Suan Hiang. “Sudah berapa lama mereka berdua bergabung disini jadi anggota Tiong Ngie Pay?”

“Baru satu bulan, Ketua.” Cu Tiang Him memberitahukan. “Mereka berdua berasal dan mana?” “Dari ibu kota."

“Siapa yang mengajak mereka bergabung disini?”

“Mereka datang sendiri.”

“Nama mereka?”

“Lim Cih Song dan Lie Bok Weng.”

“Ngmmm!” Yo Suan Hiang manggut-manggut, kemudian memandang kedua orang itu. “Jadi kalian masih tidak mau mengaku?”

“Ketua,” sahut Lim Cih Song. “Kami berdua telah bersumpah setia terhadap Tiong Ngie Pay, bagaimana mungkin kami adalah mata-mata?”

Yo Suan Hiang mengerutkan kening, dan memandang Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Bun Yang,” ujarnya. “Tiada bukti, maka tidak bisa menuduh mereka mata-mata.”

“Benar." Tio Bun Yang tersenyum. “Tapi aku dapat membuat mereka mengaku.”

“Oh?” Yo Suan Hiang kurang percaya. “Bagaimana caranya?”

“Tentunya aku mempunyai cara untuk membuat mereka mengaku,” Tio Bun Yang tersenyum lagi, kemudian menatap kedua orang itu dengan tajam, dan makin lama makin tajam. Ternyata Tio Bun Yang mengerahkan ilmu Penakiuk Iblis.



Kedua orang itu terus memandang Tio Bun Yang. Berselang sesaat mereka mulai terpengaruh, sehingga membuat pikiran mereka tak terkendalikan.

"Kalian berdua harus menjawab dengan jujur,” ujar Tio Bun Yang dengan suara berwibawa.

“Ya.” Kedua orang itu mengangguk.

“Sebetulnya siapa kalian berdua? Jawablah dengan jujur!” Tio Bun Yang terus menatap mereka.

“Kami berdua memang dan ibu kota, kami berdua adalah anggota Hiat Ih Hwe, yang mengutus kami ke mari adalah Gak Cong Heng, kepala para anggota Hiat Ih Hwe.”

“Kenapa Gak Cong Heng mengutus kalian kemari?”

“Untuk membunuh para anggota Tiong Ngie Pay secara diam-diam, agar para anggota Tiong Ngie Pay saling mencurigai dan terpecah belah.”

“Kalian menjawab dengan jujur?”

“Kami menjawab dengan Jujur,” sahut Lim Cih Song dan menambahkan, “Semua anggota Hiat Ih Hwe pasti mempunyai sebuah tanda merah dilengan”

“Pelihatkan tanda itu!"

“Ya,” Lim Cih Song dan Lie Bok Weng mengangguk, lalu menyingkap lengan baju masing-masing memperlihatkan tanda merah.

“Terima kasih, karena kalian berdua telah menjawab dengan jujur, “Tio Bun Yang tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam membuyarkan ilmu Penakiuk Iblis

Seketika Lim Cih Song dan Lie Bok Weng tersentak sadar, lalu memandang Yo Suan Hiang seraya berkata

“Ketua, kami adalah anggota Tiong Ngie Pay yang setia, harap Ketua melepaskan kami.”



“Benarkah kahan berdua sangat setia terhadap Tiong Ngie Pay7” tanya Yo Suan Hiang dingin

“Benar,” Lim Cih Song dan Lie Bok Weng mengangguk

"Ehmm!" dengus Yo Suan Hiang, “Aku sudah tahu, kalian berdua adalah anggota Hiat Ih Hwe!”

“Bukan, bukan...“ Wajah mereka berdua tampak berubah.

“Masih tidak mau mengaku?" bentak Yo Suan Hiang “Bukankah Gak Cong Heng yang mengutus kalian kemari?"

“Bu... bukan.”

“Kalian masih tidak mau mengaku?” Yo Suan Hiang tampak gusar sekali. “Lebih baik kalian mengaku saja. Mungkin aku akan mengampuni nyawa kalian!”

“Ketua, kami memang bukan anggota Hiat Ih Hwe.”

“Oh?” Yo Suan hang tertawa dingin. “Bukankah di lengan kalian terdapat sebuah tanda merah? Nah, tanda apa itu?”

“Itu... itu adalah....” kedua orang itu tergagap.

“Ketua,” ujar Tan Ju Liang. “Kalau mereka masih tidak mau mengaku, lebih baik kita siksa saja?

“Ketua,” sambung Lim Cin An. “Mereka memang harus disiksa.”

“Bagaimana cara menyiksa mereka?” tanya Yo Suan Hiang.

“Lengan dan kaki mereka harus dipotong,” sahut Lim Cin An dan menambahkan. “Sepasang mata mereka pun harus dicungkil keluar?

“Kalian berani?” bentak Lim Cih Song tanpa sadar. “Ketua kami pasti ke mari membasmi kalian!”

“Nah, engkau sudah mengaku kan?” ujar Yo Suan Hiang sambil tersenyum.



“Haaah...?! Betapa terkejutnya Lim Cih Song, ia menghela nafas panjang seraya berkata. “Tidak salah, kami memang anggota Hiat Ih Hwe yang diutus kemari. Kami berdua telah berada ditangan kalian, silakan menghukum kami!”

“Bagus!’~ Yo Suan Hiang manggut-manggut. “Paman Lim, harus dengan cara apa menghukum mereka?

“Sesuai dengan peraturan yang berlaku di sini, maka mereka harus dihukum dengan cara mengutungkan sebelah lengan mereka,” jawab Lim Cin An memberitahukan sungguh-sungguh.

“Laksanakan!” Yo Suan Hiang memberi perintah.

“Ya, Ketua,” sahut Lim Cin An sambil mengangguk.

“Tunggu!” ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum. “Tidak perlu dengan cara itu, biar aku yang menghukum mereka.”

“Silakan!” sahut Yo Suan Hiang.

“Kauw-heng,” ujar Tio Bun Yang. “Musnahkan kepandaian mereka!”

Monyet bulu putih mengangguk, lalu bergerak cepat memusnahkan kepandaian kedua orang itu.

“Aaakh! Aaaaakh...“ jerit mereka dengan mulut mengeluarkan darah.

“Kauw-heng, bebaskan totokan mereka!” ujar Tio Bun Yang lagi.

Monyet bulu putih menurut dan langsung membebaskan jalan darah mereka yang tertotok itu, lalu meloncat ke atas bahu Tio Bun Yang.

“Giok Siauw Sin Hiap!” bentak Lim Cih Song penuh dendam. "Tunggu pembalasan dari ketua kami!”

“Oh?” Tio Bun Yang tersenyum. “Jadi kalian masih ingin kembali ke markas Hiat Ih Hwe?"

 “Ya,” Lim Cih Song dan Lie Bok Weng mengangguk.

“Menurutku....”               Tio          Bun        Yang      menatap              mereka                sambil

melanjutkan. “Lebih baik kalian jangan kembali ke sana.” "Kenapa?"

“Mungkin ketua Hiat Ih Hwe akan membunuh kalian.”

“Itu....” Lim Cih Song dan Lie Bok Weng saling memandang

dengan wajah muram. Kini kepandaian mereka telah musnah, berarti sudah tiada gunanya bagi Hiat Ih Hwe, maka kemungkinan besar ketua Hiat Ih Hwe akan membunuh mereka.

“Lebih baik kalian hidup tenang di tempat yang sepi, jangan kembali ke markas Hiat Ih Hwe.”

“Baiklah. Kami akan ke tempat yang sepi,” ujar Lim Cih Song. “Terima kasih atas kemurahan

hatimu tidak membunuh kami!”

“Kalian berdua boleh pergi sekarang,” ujar Tio Bun Yang sambil mengibaskan tangannya, agar mereka segera pergi.

Kedua orang tersebut segera meninggalkan ruang itu. Seketika Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him memandang Tio Bun Yang dengan kagum.

“Giok Siauw Sin Hiap, apakah tadi engkau menggunakan ilmu hipnotis atau semacam ilmu sihir?” tanya Tan Ju Liang.

“Bukan,” Tio Bun Yang memberitahukan. “Itu adalah Ilmu Penakluk Iblis, yang justru merupakan ilmu penangkal bagi ilmu hipnotis atau ilmu sihir lainnya.”

“Oooh!” Tan Ju Liang manggut-manggut. “Giok Siauw Sin Hiap, engkau memang hebat sekali!”

“Tidak juga,” Tio Bun Yang merendah.



“Bun Yang, ayahmu yang mengajar ilmu itu kepadamu?” tanya Yo Suan Hiang sambil memandangnya.

“Ya,”      Tio          Bun        Yang      mengangguk      dan        menambahkan.

“Bahkan aku juga sudah mahir ilmu pengobatan.

“Bukan main!” Yo Suan Hiang menghela nafas panjang. ‘Padahal usiamu baru tujuh belas, namun kepandaianmu itu sudah begitu tinggi dan mahir ilmu pengobatan pula.”

“Kalau mau belajar dengan sungguh-sungguh, tentu akan mencapai kesuksesan,” ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum.

“Tapi harus mempunyai bakat juga,” sahut Yo Suan Hiang dan tertawa.

“Ketua,” ujar Tan Ju Liang mendadak. “Kita harus mengadakan pesta untuk menjamu Giok Siauw Sin Hiap.”

“Benar,” Yo Suan Hang manggut-manggut “Kita memang harus mengadakan pesta”

“Bibi Suan Hiang,” potong Tio Bun Yang cepat. “Itu tidak perlu, cukup kita bersulang bersama saja.”

“Bun Yang...?

“Bibi Suan Hiang!" Bun Yang tersenyum, “Jangan menghambur-hamburkan uang, karena Tiong Ngie Pay sangat membutuhkan biaya”

“Baiklah,” Yo Suan Hiang mengangguk “Mari kita bersulang bersama saja!”

Cu Tiang Him segera menyuruh beberapa orang menyuguhkan arak wangi Mereka lalu bersulang bersama, dan monyet bulu putih juga ikut minum.

Beberapa hari kemudian, barulah Tio Bun Yang meninggalkan markas Tiong Ngie Pay. Ia melanjutkan perjalanannya tanpa arah, namun mempunyai tujuan tertentu



yakni mencari jejak pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin

-oo0dw0oo-


Tio Bun Yang terus melanjutkan perjalanan. Dua hari kemudian ketika ta melewati jalan yang sepi, mendadak ia melihat beberapa orang berpakaian merah sedang mengurung sebuah kereta kuda.

segeralah Ia melesat ke sana, ternyata mereka adalah para anggota Hiat Ih Hwe, yang sedang berusaha membunuh orang yang ada di dalam kereta itu.

“Berhenti!” bentak Tio Bun Yang.

“Haah...?” Terkejutlah para anggota Hiat Ih Hwe itu. “Giok Siauw Sin Hiap....”

“Cepatlah kalian enyah!" bentak Tio Bun Yang lagi.

“Giok Siauw Sin Hiap!” Salah seorang dan mereka menatapnya. “Kenapa engkau selalu menentang kami?”

“Aku tidak menentang kalian, melainkan menentang kejahatan!” sahut Tio Bun Yang. “Ayoh, cepatlah kalian enyah dan sini!”

"Hm!” dengus orang itu lalu berseru. “Mari kita serang dia!”

Para anggota Hiat Ih Hwe itu langsung menyerang Tio Bun Yang, sementara orang yang didalam kereta memberanikan diri mengintip keluar. Siapa yang berada di dalam kereta itu? Ternyata Tan Tayjin bersama isteri dan putrinya.

Tio Bun Yang bersiul panjang. Badannya bergerak laksana kilat kemudian hilang dan pandangan para Hiat Ih Hwe.

“Eeeh?” mereka tercengang. "Kemana dia?”



“Aku berada di belakang kalian!” sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum, sekaligus mengeluarkan suling pualamnya.

Betapa terkejutnya para Hiat Ih Hwe itu. Namun walau terkejut, mereka tetap menyerangnya. Di saat bersamaan, Tio Bun Yang menggerakkan suling pualamnya. Tampak suling pualam itu berkelebat ke sana ke mari secepat kilat, dan seketika terdengar suara jeritan. Para anggota Hiat Ih Hwe itu telah terkapar dengan mulut mengeluarkan darah segar.

Ternyata Tio Bun Yang menggunakan ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi (Ilmu Suling Kumala Pemusnah Kepandaian), mengeluarkan jurus San Pang Te Liak (Gunung Runtuh Bumi Retak).

“Aduuuh! Aduuuh...!” Para anggota Hiat Ih Hwe itu merintih-rintih.

“Hm!” dengus Tio Bun Yang. “Aku tidak akan membunuh kalian, hanya memusnahkan kepandaian kalian saja. Ayoh, cepatlah kalian enyah dari sini!”

Para anggota Hiat Ih Hwe itu berjalan pergi dengan sempoyongan. Di saat bersamaan, Tan Tayjin turun dan kereta, kemudian memberi hormat kepada Tio Bun Yang.

“Terima kasih, siauw-hiap!” ucapnya.

“Tidak usah mengucapkan terima kasih, Paman.” Tio Bun Yang tersenyum. Senyumannya itu membuat Tan Giok Lan yang baru turun dan kereta menjadi terpukau.

“Mari kuperkenalkan!” ujar Tan Tayjin sambil menunjuk Tan Giok Lan. “Dia adalah putriku bernama Tan Giok Lan, yang di dalam kereta adalah isteriku.”

“Nona Giok Lan!” Tio Bun Yang segera memberi hormat.

“Siauw-hiap.“ Tan Giok Lan balas memberi hormat dengan wajah kemerah-merahan. “Jangan memanggilku nona, panggil saja namaku!”



-oo0dw0oo-


Jilid 4

“Ha ha-ha!” Tan Tayjin tertawa “Oh ya, bolehkah kami tahu nama Siauw-hiap?”

“Namaku Tio Bun Yang.”

“Ternyata Tio siauw hiap!” Tan Tayjin manggut-manggut. “Engkau masih muda, tapi sudah berkepandaian tinggi. Sungguh mengagumkan!”

“Maaf, Paman!” Tio Bun Yang memandangnya seraya bertanya. “Sebetulnya siapa Paman, kenapa pihak Hiat Ih Hwe ingin membunuh Paman?”

“Namaku Tan Thiam Song, mantan pembesar di kota Keng Ciu.” Tan Thiam Song memberitahukan sambil menghela nafas panjang dan melanjutkan. “Kärena itu, pihak Hiat Ih Hwe berusaha membunuhku.”

“Oooh!” Tio Bun Yang manggut-manggUt. “Ternyata Paman mantan pembesar yang jujur, adil dan bijaksana!”

“Aaaah!” Tan Thiam Song menghela nafas lagi. “Aku telah mengundurkan diri dan jabatan, tapi Lu Thay Kam masih tidak mau melepaskan diriku.”

“Sekarang Paman mau ke mana?” “Mau pulang ke kampung.” “Kira-kira kapan akan sampai di sana?”

“Mungkin sore ini. Oh ya, Tio siauw-hiap mau kemana?"

“Aku sedang mengembara, jadi tiada arah yang tetap,” jawab Tio Bun Yang sambil tersenyum.

“Kalau   begitu....”            Tan         Thiam    Song      menatapnya.

“Bagaimana kalau Tio siauw-hiap ikut kekampungku?”



Tio Bun Yang berpikir sejenak, lalu mengangguk.

“Baiklah.”

“Terima kasih, Tio siauw-hiap!” ucap Tan Thiam Song.

Yang paling gembira adalah Tan Giok Lan. Wajahnya tampak berseri-seri. Maklum Tio Bun Yang merupakan pemuda yang sangat tampan, gadis mana yang tidak akan tertarik padanya?

Mereka melanjutkan perjalanan bersama, namun Tio Bun Yang berlari cepat di sisi kereta kuda itu. Ia tidak mau duduk di dalam kereta karena merasa tidak enak.

Kusir kereta itu kagum sekali, kemudian mendadak ia mencambuk kudanya agar berlari lebih cepat.

Kuda tersebut meringkik lalu berlari kencang sekali. Kusir itu tertawa dalam hati karena yakin bahwa Tio Bun Yang pasti ketinggalan. Ia menoleh ke belakang, dan seketika juga terbelalak, karena Tio Bun Yang masih tetap berlari cepat laksana kilat di sisi kereta itu Bukan main kagumnya kusir tersebut.

Sementara Tan Thiam Song sekeluarga yang duduk di dalam kereta, juga mengintip keluar. Mereka tahu kusir itu mencambuk kudanya agar berlari lebih kencang, namun Tio Bun Yang tetap berlari di sisi kereta, maka mereka semakin kagum.

“Bukan main!” Tan Thiam Song menggeleng-gelengkan kepala. “Kepandaian pemuda itu masih jauh di atas kepandaian kedua gadis yang pernah menyelamatkan nyawaku!”

“Ayah, dia masih begitu muda, tapi kenapa kepandaiannya sudah begitu tinggi?" tanya Tan Giok Lan.

“Ayah mana tahu? Lebih baik nanti engkau bertanya kepadanya,” sahut Tan Thiam Song sambil tersenyum.



“Pemuda itu...~” ujar Nyonya Tan dengan suara rendah. “Sungguh tampan sekali, bahkan juga sopan, ramah dan halus gerak geriknya.”

“Benar,” Tan Thiam Song mengangguk. “Sulit ketemu pemuda lain yang seperti dia.”

“Rasanya senang sekali....” ujar Nyonya Tan sambil melirik

putrinya. “Apabila Giok Lan menjadi jodohnya.”

“Ibu....” Wajah Tan Giok Lan langsung memerah, namun

bergirang dalam hati, karena ibunya mengatakan begitu.

“Memang!” Tan Thiam Song manggut-manggut. “Tapi kelihatannya dia lebih muda dan Giok Lan.”

“Tidak jadi masalah,” sahut Nyonya Tan.

“Kita tidak bisa memaksa, bagaimana jodoh putri kita saja,” ujar Tan Thiam Song sungguh-sungguh.

“Mudah-mudahan dia tertarik kepada putri kita!” kata Nyonya Tan sambil mengintip ke luar. Dilihatnya Tio Bun Yang berlari di sisi kereta sambil tersenyum-senyum, sama sekali tidak kelihatan lelah. “Bukan main!”

-oo0dw0oo-

Ketika hari mulai sore, sampailah mereka dikampung yang dituju. Kereta kuda itu berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar tapi sederhana, dan Tio Bun Yang juga berhenti.

Tan Thiam Song turun, disusul oleh Nyonya Tan dan putrinya. Pada saat bersamaan, tampak beberapa orang berhambur ke luar dari rumah itu.

"Tuan besar, Nyonya besar dan Nona sudah pulang!” seru mereka gembira.

“Paman,” ujar Tio Bun Yang. “Kini Paman telah sampai di rumah, maka aku mau mohon pamit.”



“Biar bagaimana pun Tio siauw-hiap harus mampir dulu!” sahut Tan Thiam Song memaksa.

Tio Bun Yang berpikir sejenak lalu mengangguk. “Baiklah.”

“Ha ha-ha!” Tan Thiam Song tertawa gembira. Tan Giok Lan menarik nafas lega, sedangkan Nyonya Tan tersenyum-senyum sambil melirik putrinya.

Tan Thiam Song mengajak Tio Bun Yang kedalam, kemudian mereka duduk di ruang depan dan para pelayan segera menyuguhkan minuman.

“Silakan minum, Tio siauw-hiap!” ucap Tan Thiam Song.

“Terima kasih’” sahut Tio Bun Yang lalu menghirup teh yang masih hangat Sementara entah sudah berapa kali Tan Giok Lan meliriknya, tapi Tio Bun Yang tidak tahu sama sekali, membuat gadis itu agak kecewa.

“Tio siauw-hiap....”

“Paman,” potong Tio Bun Yang. “Jangan memanggilku siauw-hiap, lebih baik panggil namaku saja.”

“Baiklah.” Tan Thiam Song manggut-manggut sambil tersenyum. “Oh ya, engkau berasal dari mana?”

“Pulau Hong Hoang To.” Tio Bun Yang memberitahukan.

“Pulau Hong Hoang To?” Tan Thiam Song saling memandang dengan isteri dan putrinya. “Rasanya aku pernah dengar nama pulau itu.”

“Oh?” Tio Bun Yang tercengang.

“Aku ingat, Ayah,” ujar Tan Giok Lan. “Bukankah kedua gadis itu datang dan pulau Hong Hoang To?”

“Maksudmu Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling?” tanya Tan Thiam Song.

“Benar,” Tan Giok Lan mengangguk.

“Lie Ai Ling? Lie Ai Ling...?” gumam Tio Bun Yang dengan kening berkerut-kerut.

“Bun Yang!” Tan Thiam Song menatapnya seraya bertanya. “Apakah engkau kenal mereka?”

“Aku kenal Lie Ai Ling.” Tio Bun Yang memberitahukan “Dia adikku.”

“Adikmu?” Tan Thiam Song terbelalak. “Tentunya bukan adik kandung kan?”

"Benar. Tapi kami boleh dikatakan kakak beradik kandung.” Tio Bun Yang tersenyum. “Dia putri bibiku.”

“Oooh!” Tan Thiam Song manggut-manggUt “Putri adik atau kakak ayahmu?"

“Kakak ayahku,” jawab Tio Bun Yang dan bertanya. “Di mana Paman bertemu mereka?"

“Di kota Keng Ciu.” Tan Thiam Song memberitahukan. “Pada hari itu aku sedang merayakan ulang tahunku....”

“Jadi mereka berdua yang menyelamatkan Paman?” tanya Tio Bun Yang girang.

“Betul” Tan Thiam Song rnengangguk.

“Oh ya!” Mendadak Nyonya Tan menatapnya. “Engkau kenal Siang Koan Goat Nio itu?”

“Aku tidak kenal.” Tio Bun Yang menggelengkan kepala.

“Julukannya adalah Kim Siauw Siancu” Tan Thiam Song memberitahukan. “Engkau kenal, kan?”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar