Tampak Tio Hong Hoa sedang
menyulam, dan Lie Ai Ling duduk di situ menemaninya.
“Kakak Bun Yang’” panggil Lie
Ai Ling ketika melihatnya muncul.
“Adik Ai Ling, Bibi!” Tio Bun
Yang mendekati mereka. “Oh, Bun Yang!” Tio Hong Hoa tersenyum. “Duduklah!”
“Ya.” Tio Bun Yang duduk lalu
berkata, “Bibi, Adik Ai Ling! Bun Yang ingin menyampaikan sesuatu.”
“Mau menyampaikan apa?"
tanya Tio Hong Hoa.
“Besok pagi Bun Yang akan
berangkat ke Gunung Thian San bersama kauw-heng.” Tio Bun Yang memberitahukan.
“Oh?” Tio Hong Hoa tertegun.
“Kakak Bun Yang....” Lie Ai
Ling tersentak. “Besok Kakak
Bun Yang akan berangkat ke
Gunung Thian San bersama kauw~heng?”
“Ya” Tio Bun Yang mengangguk.
“Mau apa ke Gunung Thian San?”
tanya Tio Hong Hoa dengan rasa heran.
“Kauw-heng...“ Tio Bun Yang
menjelaskan tentang maksud tujuan monyet bulu putih.
“Oooh!” Tio Hong Hoa
manggut-manggut. “Itu memang merupakan kesempatanmu, ada baiknya engkau ke
sana.”
“Kakak Bun Yang....” Mata Lie
Ai Ling mulai basah. “Kapan
engkau pulang?”
“Entahlah.” Tio Bun Yang
menggelengkan kepala. “Mungkin... dua tiga tahun kemudian.”
“Kakak Bun Yang harus
hati-hati, sebab Gunung Thian San sangat jauh dan sini.” ujar Lie Ai Ling.
“Adik Ai Ling!” Tio Bun Yang
tersenyum. “Aku pasti hati-hati, engkau tidak usah mencemaskanku.”
“Kakak Bun Yang....” Air mata
Lie Ai Ling mulal meleleh.
“Jangan menangis, Adik Ai
Ling!” Tio Bun Yang membelainya. “Aku pasti pulang. Engkau harus menjaga ibumu
baik-baik.”
“Ya, Kakak Bun Yang.” Lie Ai
Ling manggut-manggut.
Keesokan harinya, berangkatlah
Tio Bun Yang bersama monyet bulu putih ke Tionggoan menuju Gunung Thian San.
-oo0dw0oo-
Bagian ke Sembilan
13 Jurus Pukulan Cahaya Emas
Di Gunung Thay San, tampak
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan sedang berlatih Thian Liong Ciang Hoat
(Ilmu Pukulan Naga Khayangan) dengan sungguh-sungguh Setelah itu, mereka juga
berlatih Thian Liong Kiam Hoat (Ilmu Pedang Naga Kahyangan) menggunakan
ranting.
Di saat mereka berhenti
berlatih, terdengar suara pujian dan muncul Tayli Lo Ceng dengan wajah
berseri-seri.
“Omitohud! Kalian berdua telah
berhasil menguasai Thian Liong Ciang Hoat dan Than Liong Kiam Hoat! Bagus,
bagus!”
“Guru!” seru mereka sambil
memberi hormat.
“Ha-ha-ha!” Tayli Lo Ceng
tertawa gembira, kemudian bertanya, “Sudah berapa lama kalian berada di sini?”
“Kalau tidak salah...,” jawab
Toan Beng Kiat. “Sudah hampir lima tahun, bukan?”
“Betul.” Tayli Lo Ceng
manggut-manggut. “Memang tak terasa, tahu-tahu sudah lima tahun.”
“Guru, bagaimana kepandaian
kami?” tanya Lam Kiong Soat Lan mendadak sambil tersenyum.
“Maju pesat,” sahut Tayli Lo
Ceng. “Guru tidak menyangka, kalian begitu cerdas.”
“Itu berkat bimbingan Guru,”
ujar Toan Beng Kiat. “Padahal kami sangat bodoh.”
“Omitohud!” Tayli Lo Ceng
manggut-manggut. “Merendah diri merupakan sifat yang baik, angkuh dan sombong
justru akan meruntuhkan diri sendiri.”
“Terima kasih atas wejangan
Guru.” Ucap mereka berdua serentak.
“Omitohud!” Tayli Lo Ceng
menatap mereka sambil tersenyum. “Kini usia kalian sudah belasan, sudah remaja
lho!”
“Guru,” tanya Toan Beng Kiat.
"Kapan kami boleh pulang ke Tayli?”
“Dua tahun lagi,” sahut Tayli
Lo Ceng dan menambahkan, “Hari ini guru akan menurunkan kepada kalian semacam
ilmu, tapi kalian harus belajar dengan sungguh.sungguh!"
“Ilmu apa itu?” tanya Toan
Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak dengan wajah berseri.
“Kim Kong Sin Kang (Tenaga
Sakti CahayaEmas), Kim Kong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Cahaya Emas) dan Kim Kong
Kiam Hoat (limu Pedang Cahaya Emas)!” Tayli Lo Ceng memberitahukan.
“Terima kasih, Guru!” ucap
mereka.
“Kalian berdua harus
tahu,bahwa guru tidak mewariskan ilmu tersebut kepada Lie Man Chiu,” ujar Tayli
Lo Ceng.
“Kenapa?” tanya Toan Beng Kiat
heran.
“Omitohud....” Tayli
Lo Ceng menghela
nafas panjang.
“Karena guru tahu bagaimana
wataknya. Lagi pula masih ada suatu takdir dan karma pada dirinya, maka guru
tidak mewariskan ilmu tersebut kepadanya.!”
“Guru, bagaimana wataknya?”
tanya Lam Kiong Soat Lan. “Takdir dan karma apa pula untuk dirinya?”
“Wataknyá agak ingin menang
sendiri dan sangat berambisi,” jawab Tayli Lo Ceng memberitahukan “Mengenai
takdir dan karmanya, lebih baik kalian tidak usah tahu. Yang penting kalian
harus banyak melakukan kebaikan, sebab siapa yang melakukan kebaikan, pasti akan
menerima takdir dan karma yang baik pula. Mengerti kalian?”
“Mengerti Guru,” sahut Toan
Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak.
“Omitohud!” ucap Tayli Lo Ceng
dan menambahkan, “Setiap manusia juga tidak akan terlepas dari suatu cobaan. Di
saat menghadapi cobaan, kita harus tàbah dan jangan sampai tergoyahkan.”
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan mengangguk, dan Tayli Lo Ceng memandang mereka sambil tersenyum.
“Kalian pun harus ingat,” ujar
padri tua itu dan melanjutkan, “Nasib, peruntungan, perjodohan dan musibah
setiap manusia berkaitan dengan takdir. Oleh karena itu, janganlah kalian
terlampau memaksa diri.
“Ya.” Toan Beng Kiat dan Lam
Kiong Soat Lan mengangguk lagi.
Tayli Lo Ceng terus memberikan
berbagai wejangan képada Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan, mereka berdua
mendengar dengan penuh perhatian.
Setelah itu, barulah Tayli Lo
Ceng mengajar mereka Kim Kong Sin Kang (Tenaga Sakti Cahaya Emas).
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan telah memiliki lweekang Hud Bun Pan Yak Sin Kang dari Tayli Lo Ceng,
maka tidak begitu sulit bagi mereka untuk belajar Kim Kong Sin Kang.
-oo0dw0oo-
Sementara Itu, Siang Koan Goat
Nio terus melatih Giok Li Sin Kang, maka tidak mengherankan kalau lweekangnya
bertambah tinggi. Hal Itu tentu sangat menggirangkan Kim Siauw Suseng dan Kou
Hun Bijin. Bahkan Siang Koan Goat Nio pun semakin mahir meniup suling, dan
ginkangnya juga sudah maju pesat.
Kini Siang Koan Goat Nio sudah
berusia empat belas tahun.
Gadis itu bertambah cantik dan
lemah lembut.
Hari ini ia berlatih Giok Li
Kiam Hoat, Giok Li Ciang Hoat dan ginkang. Setelah Itu, Ia duduk beristirahat
di bawah sebuah pobon sambil meniup suling.
Berselang beberapa saat
kemudian, barulah ia berhenti dan tiba-tiba mendengar suara tawa.
“Ha ha ha! Bagus!” Muncul Kim
Siauw Suseng dan Kou HUn Bijin sambil tertawa gembira.
“Ayah, Ibu!” panggil Siang
Koan Goat Nio.
“Goat Nio,” ujar Kou Hun Bijin
sambil tertawa nyaring. “Kepandaianmu makin maju. Sungguh mengagumkan!”
“Oh?” Siang Koan Goat Nio
tersenyum.
"Benar” Kim Siauw Suseng
manggut-manggut dan menambahkan, “Lweekangmu pun bertambah tinggi, itu sungguh
di luar dugaan!”
“Semua itu....” Siang Koan
Goat Nio tersenyum lagi. “Atas
bimbingan Ayah dan Ibu.”
“Ha ha ha!” Kim Siauw Suseng
tertawa gelak. “Sesungguhnya itU berkat latihanmu sendiri.”
“Oh ya!” Kou Hun Bijin
menatapnya dalam-dalam, kernudian tertawa cekikikan seraya berkata, “Nak,
engkau bertambah cantik lho!”
“Ibu “ Wajah Siang Koan Goat
Nio kemerah-merahan.
“Goat Nio,” ujar Kim Siauw
Suseng sungguh-sungguh “Kini engkau sudah remaja, maka harus berhati-hati
bergaul dengan kaum lelaki. Jangan sampai engkau terjerumus.”
Harus pilih yang tepat pula,”
sambung Kou Hun Bijin “Oh ya, entah bagaimana keadaan Tio Cie Hiong dan
lainnya, yang berada di Pulau Hong Hoang To!”
“Bijin!” kim Siauw Suseng
menatap isterinya dan berkata, “Mungkin kini sudah waktunya kita pergi ke
sana.”
“Ke pulau itu?”
“Benar.” Kou Hun Bijin tertawa
gembira. “Kapan kita berangkat ke sana?”
“Bagaimana kalau besok pagi?”
“Itu....” Kou Hun Bijin
berpikir sejenak, lalu mengangguk
dengan wajah berseri.
“Baiklah.”
“Goat Nio!” Kim Siauw Suseng
menatap putrinya sambil tersenyum. “Bagaimana engkau, merasa gembira akan
berangkat ke Pulau Hong Hoang To?”
“Sungguh gembira sekali,
Ayah,” jawab Siang Koan Goat Nio dengan wajah cerah ceria.
Di saat bersamaan, muncul Kwan
Gwa Siang Koay dan Lak Kui, yang kemudian memberi hormat kepada Kim Siauw
Suseng dan Kou Hun Bijin.
“Bagus!” Kou Hun Bijin
tertawa. “Kebetulan kalian kemari, aku ingin bertanya kepada kalian.”
“Bijin ingin bertanya apa?”
tanya Kwan Gwa Siang Koay.
“Kami bertiga akan berangkat
ke Pulau Hong Hoang To, apakah kalian mau ikut?” tanya Kou Hun Bijin.
“Itu....” Kwan Gwa Siang Koay
memandang Lak Kui.
“Bijin,” ujar Tiau Am Kui.
“Lebih baik kami menjaga lembah ini, karena kami sudah merasa bosan bepergian
jauh.”
“Baiklah.” Kou Hun Bijin
manggut-manggut. “Kalian jaga baik-baik lembah ini! Kami akan berangkat besok!”
“Ya, Bijin.” Kwan Gwa Siang
Koay dan Lak Kui mengangguk. “Kami pasti menjaga baik-baik lembah ini.”
“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin
tertawa cekikikan. “Kalian memang setia sekali kepada kami, kuucapkan terima
kasih kepada kalian!”
“Sama-sama,” sahut Kwan Gwa
Siang Koay dan Lak Kui sambil tertawa.
Keesokan harinya, berangkatlah
Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin dan Siang Koan Goat Nio ke Pak Hai (Laut
Utara).
-oo0dw0oo-
Belasan hari kemudian, mereka
bertiga telah tiba di Pulau Hong Hoang To. Betapa girangnya Tio Cie Hiong, Lim
Ceng Im, Tio Tay Seng dan Sam Gan Sin Kay ketika melihat kedatangan mereka.
“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay
tertawa gelak. “Sastrawan sialan, terima kasih atas kedatangan kalian!”
“Ha ha ha!” Kim Siauw Suseng
juga tertawa gelak. “Pengemis bau, kukira engkau sudah mampus! Tidak tahunya masih
segar bugar!”
“Kakak!” panggil Tio Cie Hiong
dengan wajah berseri.
“Bibi!” panggil Lim Ceng Im
sambil tertawa gembira.
“Hi hi hi! Hi hi hi!” Kou Hun
Bijin tertawa nyaring saking gembiranya. “Kalian berdua pasti bahagia sekali!”
“Kakak dan Paman sastrawan
pasti hidup bahagia juga,” sahut Tio Cie Hiong sambil memandang Siang Koan Goat
Nio. Kakak, gadis ini....”
“Dia putri kami, namanya Siang
Koan Goat Nio.” Kou Hun Bijin memberitahukan.
“Oh?” Tio Cie Hiong
terbelalak. “Sungguh cantik sekali putri kalian!”
“Hi hi hi! Siapa dulu?” sahut
Kou Hun Bijin sambil tertawa cekikikan
“Tentu ayahnya,” ujar Kim
Siauw Suseng.
“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay
tertawa terbahak-bahak “Sastrawan sialan, engkau begitu jelek, tapi kenapa bisa
mempunyam putri yang sedemikian cantik? Sungguh di luar dugaan!”
“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin
tertawa. “Pengemis bau, aku sangat cantik, maka anakku juga pasti cantik.”
“Tidak salah, tidak salah.”
Sam Gan Sin Kay terus tertawa.
"Kim Siauw Suseng, Bijin!
Silakan duduk!" ucap Tio Tay Seng ramah, kemudian menyuruh pembantu
menyuguhkan minuman.
Kim Siauw Suseng dan Kou Hun
Bijin duduk, tak lama kemudian muncullah Tio Hong Hoa bersama Lie Ai Ling.
Tio Hong Hoa segera memberi
hormat kepada mereka, sedangkan Lie Ai Ling bersujud.
“Ai Ling memberi hormat kepada
Paman dan Bibi,” ucap gadis itu.
“Ha ha ha!” Kim Siauw Suseng
tertawa. “Bangunlah!” “Adik Cie Hiong!” tanya Kou Hun Bijin. “Siapa gadis itu?”
“Putri Kakak Hong Hoa.” Tio Cie Hiong memberitahukan.
“Oooh!” Kou Hun Bijin manggut-manggut,
kemudian mengerutkan kening. “Eh, di mana Lie Man Chiu? Kenapa dia tidak
kelihatan?”
“Dia... dia....” Tio Cie Hiong
memandang Tio Tay Seng,
agar pamannya yang
menjelaskan.
“Mantuku itu memang binatang,”
ujar Tio Tay Seng mencaci. “Tak punya perasaan, tak punya nurani dan....”
“Ayah!” Tio Hong Hoa
menatapnya dengan wajah muram. “Jangan mencacinya....”
“Aaaakh...!” keluh Tio Tay
Seng.
Itu membuat Kim Siauw Suseng
dan Kou Hun Bijin saling memandang.
"Apa gerangan yang telah
terjadi?” tanya Kou Hun Bijin.
“Dia telah meninggalkan
kami," sahut Tio Hong Hoa memberitahukan sambil tersenyum getir.
“Apa?!” Kou Hun Bijin dan Kim
Siauw Suseng terbelalak. “Lie Man Chiu sudah mati?”
“Dia memang telah mampus!”
sahut Tio Tay Seng dengan wajah dingin.
“Ayah....” Tio
Hong Hoa menggeleng-gelengkan kepala
kemudian memberitahukan, “Dia
tidak mati, melainkan meninggalkan pulau ini.”
“Oh?” Kim Siauw Suseng
tertegun. “Kenapa dia meninggalkan pulau ini?”
“Dia....” Tio Hong Hoa
menghela nafas panjang. “Dia ingin
mengangkat namanya di rimba
persilatan.”
“Apa?” Kim Siauw Suseng
mengerutkan kening. “Kenapa dia jadi begitu?”
“Itu sungguh di luar dugaan!”
Kou Hun Bijin mengge1eng~ge1engkan kepala. “Padahal dia murid Tayli Lo Ceng,
namun bersifat begitu.”
“Tayli Lo Ceng memang ke mari
sete!ah mantu sialan itu pergi.” Tio Tay Seng memberitahukan.
“Kepala gundul itu bilang
apa?” tanya Kou Hun Bijin.
“Padri tua itu bilang bahwa
semuanya itu adálah takdir dan suatu karma" sahut Tio Tay seng sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
“Ayahku pernah meninggalkan
ibu, maka putriku harus menerima karma perbuatan itu."
"Kepala gundul berkata
begitu?” tanya Kou Hun Bijin dengan kening berkerut-kerut.
“Ya.” Tio Tay Seng mengangguk.
“Hm!” dengus Kou Hun Bijin.
“Kalau aku bertemu kepala gundul itu, pasti menggetok kepalanya!”
“Bijin....” kim Siauw Suseng
menggeleng-gelengkan kepala.
“Jangan omong sembarangan!”
“Kepala gundul itu selalu
mengatakan takdir dan karma! Padahal Lie Man Chiu tak punya perasaan dan nurani,
namun kepala gundul itu masih membela murid sialannya dengan alasan takdir dan
karma! Dasar kepala gundul...," sahut Kou Hun Bijin sengit.
“Oh ya!” tanya Kim Siauw
Suseng. “Sudah berapa lama dia meninggalkan kalian?”
“Sudah lima tahun,” jawab Tio
Hong Hoa dengan wajah murung.
“Dia pernah pulang?” tanya Kim
Siauw Suseng lagi.
“Tidak pernah.” Tio Hong Hoa
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Dasar lelaki sialan!” caci
Kou Hun Bijin. "Kalau aku bertemu dia, pasti kuhajar dia sambil merangkak-rangkak!”
“Bijin....” Kim Siauw Suseng
mengerutkan kening. “Jangan
bicara sembarangan tidak baik”
“Eh?” Kou Hun Bijin melotot.
“Bijin, kita adalah tamu.
Jangan lupa lho!” Kim Siauw Suseng mengingatkannya “Harus tahu diri dikit.”
“Huaha ha ha!” Sam Gan Sin Kay
tertawa gelak. “Sungguh tak disangka, Kim Siauw Suseng berubah begitu sungkan!
Ha ha ha.!”
“Pengemis bau!" Wajah Kim
Siauw Suseng kemerah-merahan “Oh ya, di mana It Sim Sin Ni?”
“ibuku telah meninggal,"
sahut Tio Tay Seng memberitahukan dengan wajah murung.
“Hah? Apa?” Kim Siauw Suseng
dan Kou Hun Bijin tertegun. “It Sim Sin Ni sudab meninggal?”
“Ya.” Tio Tay Seng mengangguk.
“Yaaah!” Kou Hun Bijin
mengheja napas panjang. “Tak disangka sama sekali.”
Hening seketika suasana,
berselang beberapa saat kemudian, Kou Hun Bijin memandang Tio Cie Hiong seraya
bertanya,
“Cie Hiong, engkau tidak punya
anak?”
“Punya.” Tio Cie Hiong
memberitahukan “Anak laki-laki, namanya Tio Bun Yang.”
“Oh?” Wajah Kou Hun Bijin
berseri. “Dimana dia? Cepat panggil dia kemari, aku ingin melihatnya!”
“Dia tidak berada disini,”
sahut Lim Ceng Im. “Sudah sebulan dia berangkat ke Gunung Thian San bersama
kauw-heng.”
“Mau apa putra kalian ke
Gunung Thian San?” tanya kim Siauw Suseng heran.
“Berlatih lweekang di sana,”
sahut Tio Cie Hiong memberitahukan. “Kauw-heng yang mengusulkan."
“Oooh!” Kim Siauw Susëng
manggut-manggut.
"Sayang sekali” Kou Hun
Bijin menggeleng-gelengkan kepala, “Oh ya, sudah berapa usianya?”
“Lima betas tahun” Lim Ceng Im
memberitahukan dan bertanya “Memangnya kenapa dan ada apa, Bibi?”
“Bagus!” Kou Hun Bijin tertawa
“Putriku berusiá empat belas tahun”
“Bagus!” sahut Sam Gan Sin Kay
sambil tertawa, “Bijin, Bun Yang tampan sekali, bahkan lemah lembut dan sudah
menguasai seluruh kepandaian Cie Hiong, dia pun sangat cerdas.”
"Pengemis bau!” Kim Siauw
Suseng tertawa “Mulai mempromosi ya?”
“Kira-kira begitulah,” sahut
Sam Gan Sin Kay lalu memandang Siang Koan Goat Nio “Sastrawan siatan! Putrimu
cantik sekali”
“Betul” Kim Siauw Suseng
mengangguk dan menambahkan, “Bahkan lemah lembut”
“Dia pun telah menguasai
seluruh kepandaian kami,” sambung Kon Hun Bijin melanjutkan, “juga pandai
meniup suling”
“Bun Yang pun pandai sekali
meniup suling, Cie Hiong menghadiahkan suling pualam kepadanya,” ujar Sam Gan
Sin Kay.
“Suara sulingnya sungguh
mènggetarkan kalbu,” sela Tio Tay Seng. “Siapa yang mendengarnya pasti
terlena.”
“Ha ha ha!” Kim Siauw Suseng
tertawa gelak. “Aku pun telah menghadiahkan suling emas kepada putriku”
“Siapa yang mendengar suaranya,
sukmanya pasti terbetot keluar,” sambung Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring
“Ibu...? Wajah Siang Koan Goat
Nio tampak kemerah-merahan
“Wuah! Untung...,” ujar Sam
Gan Sin Kay dengan wajah serius.
“Apa maksudmu, pengemis bau?”
tanya Kim Siauw Suseng sambil menàtapnya tajam. “Untung apa?”
“Putrimu itu....” Sam Gan Sin
Kay tersenyum.
“Kenapa dia’?” tanya Kim Siauw
Suseng.
“Untung tidak memiliki
kebiasaan buruk ibunya,” sahut Sam Gan Sin Kay memberitahukan. “Ibunya sering
tertawa nyaring dan cekikikan, bukankah itu merupakan kebiasaan buruk?"
“Hi hi his” Kou Hun Bijin
tertawa cekikikan, “Pengemis bau! Kalau engkau berani nyerocos yang
bukan-bukan, pipimu pasti bengkak!”
“Maaf! Maaf!” Ucap Sam Gan Sin
Kay, lalu diam tak bersuara lagi.
“Oh ya, Adik kecil!” Kou Hun
Bijin memandang Tio Cie Hiong. “Engkau harus mewariskan sedikit kepandiaanmu
kepada putriku, jangan pelit lho!”
“Kakak!” Tio Cie Hiong
tersenyum. “Aku memang berniat demikian.”
“Oh?” Kou Hun Bijin tertawa
gembira. “Goat Nio cepatlah mengucapkan terima kasih kepada Paman Cie Hiong!”
“Terima kasih, Paman!” Ucap
Siang Koan Goat Nio.
“Cie Hiong!” Kim Siauw Suseng
tertawa. “Engkau ingin mewariskan kepandaian kepada putriku?”
“Tujuh jurus Bit Ciat Kang Khi
(Ilmu Pemusnah Kepandaian).” Tio Cie Hiong memberitahukan. “Dan Cit Loan Kiam
Hoat (ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling).”
“Apa?” Kim Siauw Suseng dan
Kou Hun Bijin terbelalak. “Cit Loan Kiam Hoat?”
“Ya.” Tio Cie Hiong
mengangguk. “Ilmu ciptaanku, yang kalau tidak dalam keadaan bahaya, tidak boleh
dikeluarkan.”
“Kenapa?” tanya Kou Hun Bijin.
“Sebab ilmu tersebut sangat
lihay dan ganas, yang setiap jurusnya pasti mematikan lawan,” jawab Tio Cie
Hiong sungguh-sungguh.
“Cie Hiong, maukah engkau
memperlihatkan ilmu itu? Kami ingin menyaksikannya,” ujar Kim Siauw Suseng.
“Tentu mau.” Tio Cie Hiong
tersenyum sambil bangkit berdiri. “Goat Nio, mana suling emasmu? Pinjamkan
kepadaku!"
“Ya, Paman.” Siang Koan Goat
Nio segera menyerahkan suling emasnya. Hatinya girang bukan main sebab kedua orang
tuanya selalu memuji kepandaian Tio Cie Hiong, dan kini ia mempunyai kesempatan
untuk menyaksikannya.
Tio Cie Hiong melangkah ke
tengah-tengah ruangan, mempertunjukkan Cit Loan Kiam Hoat, ilmu ciptaannya.
Kim Siauw Suseng dan Kou Hun
Bijin menyaksikannya dengan mata terbelalak, kemudian merasa berkunang-kunang
dan pusing. Begitu pula Siang Koan Goat Nio. Bahkan gadis itu memejamkan
matanya, tidak berani terus menyaksikannya karena merasa pusing sekali.
Berselang beberapa saat,
barulah Tio Cie Hiong menghentikan gerakannya. Dikembalikannya suling emas itu
kepada Siang Koan Goat Nio, lalu kembali ke tempat duduknya.
“Adik kecil...” Kou Hun Bijin
menatapnya dengan mata terbeliak. “Betulkah engkau yang menciptakan Cit Loan
Kiam Hoat itu?”
“Betul.” Tio Cie Hiong
mengangguk kemudian memberitahukan, “Itu berdasarkan ilmu pedang Im Sie Hong Mo
dan Pek Ih Hong Li.”
“Bukan main hebatnya ilmu
pedang itu!” Kou Hun Bijin menggeleng-gelengkan kepala dan bertanya. “Adik
kecil, betulkah engkau akan mengajarkannya kepada Goat Nio?”
“Tentu.” Tio Cie Hiong
tersenyum. “Bagaimana mungkin aku bohong? Bahkan aku juga akan mengajarkan
kepada Ai Ling, jadi mereka berdua bisa berlatih bersama-sama.”
“Terima kasih, Paman!” Ucap
Lie Ai Ling cepat.
“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay
tertawa mendadak sambil menatap Kim Siauw Suseng.
“Sastrawan sialan! Kenapa
engkau diam saja.”
“Pengemis bau!” Sahut Kim
Siauw Suseng sambil menghela nafas panjang. “Aku màsih merasa pusing gara-gara
menyaksikan Ilmu Pedang Cit Loan Kiam Hoat itu.”
“Oh?” Sam Gan Sin Kay tertawa
lagi. “Sastrawan sialan, kita adalah Bu Lim Ji Khie, namun sudah ketinggalan
jauh.”
“Benar.” Kim Siauw Suseng
manggut-manggut. “O!eh karena itu, lebih baik kita hidup tenang saja.”
“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay tertawa.
“Aku memang hidup tenang di pulau ini, setiap hari cuma main catur dengan Tio
Tocu.”
“Oh?” Kim Siauw Suseng merasa
tertarik.
“Aku mau bergabung untuk main
catur, kalian tidak berkeberatan, bukan?”
“Tentu tidak,” sahut Sam Gan
Sin Kay. “Pasti kami terima dengan dada terbuka.”
“Hi hi hi!” Mendadak Kou Hun
Bijin tertawa geli.
“Eh?” Sam Gan Sin Kay heran.
“Bijin, kenapa engkau tertawa geli? Apa yang menggelikan?”
“Barusan engkau bilang apa,
pengemis bau?” sahut Kou Hun Bijin.
“Aku bilang... pasti kami
terima dengan dada terbuka,” ujar Sam Gan Sin Kay. “Kenapa?”
“Dada terbuka? Jadi kalian
ingin terima suamiku dengan dada terbuka?” Kou Hun Bijin tertawa cekikikan.
“Eh? Itu...” Wajah Sam Gan Sin
Kay langsung memerah. “Itu cuma arti kiasan lho!”
“Hi hi hi...” Kou Hun Bijin
masih tertawa cekikikan.
“Oh ya!” Tio Tay Seng teringat
sesuatu. “Karena Goat Nio akan belajar di sini, maka kalianpun harus tinggal di
sini.”
“Itu sudah pasti,” sahut Kou
Hun Bijin. ‘Pulau Hong Hoang To ini sangat indah dan tenang, aku ingin
menikmatinya.”
“Bagus, bagus!” Sambung Kim
Siauw Suseng. “Jadi aku juga bisa main catur dengan pengemis bau dan Tio Tocu!
Ha ha ha...!”
-oo0dw0oo-
Siang Koan Goat Nio berlatih
bersama Lie Ai Ling. Kelihatannya mereka sangat cocok, karena rnereká selalu
bercanda ria di saat beristirahat.
“Goat Nio!” ujar Lie Ai Ling.
“Aku tidak menyangká, ibumu südah berusia seratus tahun lebih. Pada hal
kelihatan baru berusia empat puluhãn, lagi pula ibumu cantik sekali.”
“Al Ling!” Siang Koan Goat Nio
tersenyum. “Kedua orang tuaku awet muda, maka tampak masih muda.”
“Engkau juga awet muda?”
"Tëntu tidak, karena aku
tidak pernah makan buah ajaib, yang membuat diriku awet muda” sahut Siang Koan
Goat Nio. “Oh ya, usia ibumu barü empat puluhan, namun....”
“Tampak tua dan rambutnya pun
mulai memutih, bukan?”
“Aaaah!” Lie Ai Ling menghela
nafas panjang. “Ibuku sungguh menderita, dia hidup dengan batin tertekan.”
“Ai Ling’” Siang Koan Goat Nio
menatapnya lembüt. “Terus terang, aku tidak menyangka ayahmu..."
“Tak punya perasaan dan
nurani, bukan?”
“Ya” Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan kepala dan melanjutkan, “Aku jadi takut kepada kaum
lelaki. Daripada punya suami seperti ayahmu, lebih balk tidak menikah.”
"Benar." Lie Ai Ling
mengangguk. .“Aku sependapat denganmu, tapi... tidak semua lelaki seperti
ayahku. Misalnya paman Cie Hiong, dia begitu mencintai dan menyayangi anak
isterinya.”
“Oh ya!” Mendadak wajab Siang
Koan Goat Nio tampak agak memerah. “Bagaimana sifat Tio Bun Yang?”
“Dia adalah pemuda yang paling
baik di dunia,” sahut Lie Ai Ling memberitahukan. “Lemah lembut, penuh
pengertian dan berhati bajik pula.”
“Oh?” Wajah Siang Koan Goat
Nio berseri. “Ai Ling, kalian berdua besar bersama, tentunya saling...
mencintai, kan?”
“Memang.” Lie Ai Ling
mengaugguk. “Dia sangat menyayangi dan mencintaiku, begitu pula aku
terhadapnya.”
“Oh, ya?” Wajah Siang Koan
Goat Nio langsung berubah muram. “Kalian kalian akan menikah kelak.”
“Apa?!” Lie Ai Ling
terbelalak. “Kami akan menikah kelak?”
“Lho? Bukankah kalian sudah
saling mencinta? Tentunya akan menikah kelak. Ya, kan?”
“Tidak mungkin.” Lie Ai Ling
tertawa geli.
“Kenapa?” Siang Koan Goat Nio
tercengang.
“Karena...” Lie Ai Ling
memberitahukan. “Hubungan kami bagaikan saudara kandung, tentunya tidak akan
menikah kelak. Eeeh? Kelihatannya engkau sangat memperhatikan Kakak Bun Yang,
jangan2. . ."
“Aku....” Siang Koan Goat Nio
menundukkan kepala.
“Oooh!” Lie Ai Ling tersenyum,
“Ternyata engkau tertarik kepadanya. Terus terang, Kakak Bun Yang tampan
sekali. kalau engkau melihatnya, pasti akan jatuh cinta.”
“Ai Ling Wajah Siang Koan Goat
Nio memerah lagi. “Jangan bicara yang bukan-bukan!”
“Aku bicara sesungguhnya.” Lie
Ai Ling tampak serius. “Sejak kecil kami selalu bersama, jadi aku tahu jelas
bagaimana sifat, watak dan prilakunya. Engkau cantik sekali,
juga lemah lembut. Maka...
kalian merupakan pasangan yang serasi
“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio
tertawa kecil “Aku belum bertemu dia, dia pun belum bertemu aku....”
“Namun begitu bertemu, kalian
pasti saling jatuh cinta,” sahut Lie Ai Ling. “Aku yakin itu.”
“Ai Ling,” tanya Siang Koan
Goat Nio setengah berbisik. “Betulkah dia pandai sekali meniup suling?”
"Betul” Lie Ai Ling
mengangguk dan menambahkan, “Bahkan kepandaiannya pun sudah tinggi sekali”
“Tapi” Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan kepala. “Belum tentu dia àkàn menaruh perhatian kepadaku.”
“Goat Nio!” Lie Al Ling
tersenyum. “Pokoknya aku siap membantu dalam hal ini. Terus terang, aku tidak
menghendaki dia jatuh cinta kepada gadis yang tak kusukai.”
“Kenapa begitu?” tanya Siang
Koan Goat Nio.
“Sebab dia kakakku,” sahut Lie
Ai Ling sambil menatapnya. “Aku menyukaimu, maka dia boleh jatuh cinta
kepadamu.”
“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio
tersenyum. “Engkau harus ingat satu hal, itu ada baiknya bagimu.”
“Mengenai hal apa?” tanya Lie
Ai Ling heran.
“Cinta jangan dipaksa, lagi
pula harus tumbuh di kedua pihak.” Siang Koan Goat Nio memberitahukan. “Kalau
cuma tumbuh sepihak, itu percuma.”
“Oooh!” Lie Ai Ling
manggut-manggut. “AkU mengerti, terima kasih atas petunjukmu!”
“Ha ha ba!" Terdengar
suara tawa, kemudian muncul Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin, TIo Cie Hiong dan
Lim Ceng Im. "Kenapa kalian tidak berlatih, malah terus mengobrol tak
henti-hentinya?”
“Ayah, Ibu, Paman, Bibi!”
panggil Siang Koan Goat Nio. Lie Ai Ling juga memanggil mereka sambil tertawa.
“Kami berdua sedang
membicarakan sesuatu.” Lie Ai Ling memberitahukan.
“Oh?” Tio Cie Hiong tersenyum.
“Kalian mem- bicarakan apa? Bolehkah aku tahu?”
“Itu... mengenai kakak Bun
Yang.” Lie Ai Ling memberitahukan, Lalu menunjuk Siang Koan Goat Nio. “Dia
terus bertanya tentang Kakak Bun Yang.”
“Eh? Ai Ling!” Wajah gadis itu
langsung memerah. “Aku....”
“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin
tertawa cekikikan. “Bagus, bagus sekali! Goat Nio memang harus tahu jelas
mengenal Bun Yang. Hi hi hi...!”
“Ibu!” Siang Koan Goat Nio
menundukkan wajahnya dalam-dalam.
“Ai Ling,” ujar Tio Cie Hiong.
“Engkau boleh memberitahukannya mengenai Bun Yang, tapi... tidak boleh menambah
bumbu.
“Paman!” Lie Ai Ling
tersenyum. “Ai Ling memberitahukan apa adanya, tidak dikurangi maupun ditambah.
Itu juga sudah cukup membuat Goat Nio tertarik. Padahal Goat Nio belum melihat
Kakak Bun Yang, apa lagi melihatnya....”
“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio
mencubit lengan gadis itu.
“Aduh!” jerit Lie Ai Ling
sambil tertawa. “Engkau jangan galak-galak terhadapku! Nanti aku tidak mau
membantumu, baru tahu rasa!”
“Ha ha ha!” Kim Siauw Suseng
tertawa gelak. “Ai Ling, biar bagaimana pun engkau harus membantunya. Sebab...
dia sudah tertarik kepada Bun Yang.”
"Ayah!” Siang Koan Goat
Nio cemberut.
“Eeeeh?” Kou Hun Bijin
terbelalak. “Tak kusangka anakku sudah bisa cemberut, itu pertanda ada
kemajuan! Hi hi hi!”
“Ibu....” Slang Koan Goat Nio
membanting-banting kaki.
“Wuah!” Kim Slauw Suseng
tertawa terbahak-bahak. “Bertambah maju lagi sekarang, karena sudah bisa
membanting-banting kaki!”
“Ayah....” Siang Koan Goat Nio
betut-betul salah tingkah
digoda kedua orang tuanya.
“Goat Nio!” Lim Ceng Im
tersenyum lembut sambil mendekatinya, kemudian tanyanya berbisik, “Betulkah
engkau tertarik kepada Bun Yang?”
“Maaf, Bibi!” jawab Siang Koan
Goat Nio dengan suara rendah. “Goat Nio tidak berani memastikan, sebab... belum
bertemu dia.”
“Menurut bibi....”
Lim Ceng Im tersenyum lagi.
“Kalian
berdua memang merupakan
pasangan yang serasi.” “Bibi....” Wajah Siang Koan Goat Nio memerah.
“Jangan bisik-bisik!” ujar Kou
Hun Bijin. “Kami tidak dengar nih.”
“Itu tidak apa-apa,” sahut Kim
Siauw Suseng sambil tertawa. “Mereka memang harus ada pendekatan.”
“Adik kecil!” Kou Hun Bijin
menatapnya. “Bagaimana menurutmu, putriku cocok dengan putramu?”
“Menurutku, mereka memang
cocok,” ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. “Tapi itu juga tergantung pada
mereka, sebab mereka belum bertatap muka.”
"Hi hi hi!” Kou Hun Bijin
tertawa. “Aku senang sekali, apabila putriku berjodoh dengan putramu.” katanya
blak-blakan.
“Aku pun senang sekali,”
sambung Kim Siauw Suseng.
“Sama,” ujar Tio Cie Hiong
sungguh-sungguh. “Mereka memiliki sifat yang sesuai, lemah lembut dan serasi
pula.”
“Ngmm!” Kou Hun Bijin
manggut-manggut. “Oh ya, kapan putramu pulang?”
“Entahlah.” Tio Cie Hiong
menggelengkan kepala. “Mungkin... dua tahun lagi, sebab dia berlatih lweekang
di Gunung Thian San!”
“Kalau begitu...,” ujar Kou
Hun Bijin sungguh-sungguh. “Kami akan tinggal di sini dua tahun.”
“Asyiiik!” seru Kim Siauw
Suseng girang.
“Lho?” Kou Hun Bijin
mengerutkan kening. “Kok engkau yang asyik?”
“Karena aku bisa terus main
catur dengan pengemis bau dan Tio Tocu. Nah, bukankah itu asyik sekali?” sahut
Kim Siauw Suseng sambil tertawa. ‘Ha ha ha!”
-oo0dw0oo-
Bagian Ke Sepuluh
Dibunuh orang misterius
Sudah lima tahun lebih Toan
Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan ikut Tayli Lo Ceng. Maka tidak heran kalau
Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng rindu sekali kepada putra mereka. Begitu pula
Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian, mereka pun rindu sekali kepada Lam Kiong
Soat Lan, putri mereka itu.
“Sudah lima tahun lebih,
kenapa mereka masih belum pulang?” keluh Toan Wie Kie sambil
menggeleng~ge1engkan kepala.
Mereka berempat duduk dekat
taman bunga. Wajah mereka tampak muram memikirkan Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan.
“Mungkin mereka belum berhasil
menguasai ilmu-ilmu yang diwariskan Tayli Lo Ceng,” tukas Gouw Sian Eng.
“Itu memang mungkin.” Toan Wie
Kie manggut-manggut.
“Biar bagaimana pun...,” ujar
Lam Kiong Bie Liong. “Kita harus tetap bersabar, mungkin tidak lama lagi mereka
akan pulang.”
“Bagaimana kalau kita ke
Gunung Thay San menemui mereka?” tanya Toan Pit Lian mendadak seakan
mengusulkan.
“Tidak mungkin.” Toan Wie Kie
menggelengkan kepala. “Lagi pula ayah tidak akan mengijinkan kita pergi ke
sana.”
“Benar.” Lam Kiong Bie Liong
manggut-manggut. “Lebih baik terus bersabar menunggu saja.”
“Tapi....” Toan
Pit Lian menghela
nafas panjang. “Aku
sudah rindu sekali kepada Soat
Lan.”
“Kami pun rindu sekali kepada
Beng Kiat,” ujar Gouw Sian Eng. “Namun kita tidak boleh kesana menemui mereka,
karena ayah pasti gusar.”
“Betul.” Toan Wie Kie mengangguk.
“Memang lebih baik kita bersabar saja, jangan menimbulkan hal-hal yang tak
diinginkan.”
Di saat bersamaan, tampak Tui
Hun Lojin dan Lam Kiong hujin menghampiri mereka sambil tersenyum.
“Ternyata kalian berada di
sini!” ujar Tui Hun Lojin. “Kalian sedang membicarakan apa?”
"Membicarakan Beng Kiat
dan Soat Lan," jawab Toan Wie Kie. “Sudah lima tahun lebih mereka berdua
ikut Tayli Lo Ceng, namun masih belum pulang.”
“Jadi kalian rindu kepada
mereka?” tanya Lam Kiong hujin.
“Ya, Ibu.” Lam Kiong Bie Liong
mengangguk.
“Kami pun sangat merindukan
mereka, tapi kita harus tetap sabar menunggu,” ujar Lam Kiong hujin.
“Tadi Pit Lian mengusulkan....” Lam Kiong Bie Liong
memberitahukan. "Ke
Gunung Thay San menemui mereka.
“Tidak mungkin.” Tui Hun Lojin
menggelengkan kepala. “Sebab akan menggusarkan Hong Ya.”
"Karena itu, usul Pit
Lian kami tolak,” ujar Toan Wie Kie. “Lebih baik tetap bersabar menunggu mereka
pulang."
“Begini...,” ujar Tui Hun
Lojin. “Biar aku yang ke Gunung Thay San menemui mereka, sebab aku pun ingin ke
markas pusat Kay Pang menemui Han Tiong.”
“Kalau begitu...,” sela Lam
Kiong hujin. “Aku ikut, karena aku memang sudah rindu sekali kepada Soat Lan.”
“Baik.” Tui Hun Lojin
mengangguk. “Setelah itu, kita ke mari bersama Beng Kiat dan Soat Lan.”
“Tapi Ibu harus berunding dulu
dengan Hong Ya,” ujar Lam Kiong Bie Liong.
“Tentu.” Lam Kiong hujin
manggut-manggut sambil tersenyum. “Tidak mungkin kami akan pergi secara
diam-diam.”
“Kalau begitu, mari kita pergi
menemui Hong Ya!" ajak Tui Hun Lojin sekaligus melangkah kedalam.
Lam Kiong hujin segera
mengikutinya, sedangkan Lam Kiong Bie Liong, Toan Pit Lian, Toan Wie Kie dan
Gouw Sian Eng cuma saling memandang.
Sementara Tui Hun Lojin dan
Lam Kiong hujin sudäh sampai di ruang tengah, kebetulan Toan Hong Ya sedang
duduk di situ.
“Hong Ya!” Tui Hun Lojin dan
Lam Kiong hujin memberi hormat.
“Oh!” Toan Hong Ya tersenyum.
“Silakan duduk!”
Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin duduk. Toan Hong Ya memandang mereka seraya bertanya,
“Ada sesuatu penting?”
“Hong Ya!” Tui Hun Lojin
memberitahukan. “Kami sangat rindu kepada Beng Kiat dan Soat Lan, maka... kami
ingin ke Gunung Thay San menemui mereka.”
“Oooh!” Toang Hong Ya
manggut-manggut. “Baiklah! Tolong sampaikan salamku kepada Tayli Lo Ceng!”
“Ya, Hong Ya.” Tui Hun Lojin
mengangguk.
“Kapan kalian mau berangkat ke
Tionggoan?” tanya Toan Hong Ya.
“Besok? jawab Lam Kiong hujin.
“Kalau begitu...” ujar Toang
Hong Ya. “Aku akan menyuruh pengawal menyediakan dua ekor kuda jempolan untuk kalian.”
“Terima kasih, Hong Ya!” ucap
Lam Kiong hujin dan Tui Hun Lojin serentak, lalu meninggalkan ruangan itu dan
kembali ketaman bunga.
“Bagaimana Ibu?” tanya Lam
Kiong Bie Liong.
“Hong Ya memperbolehkan ibu ke
Gunung Thay San?” “Ya.” Lam Kiong hujin tersenyum.
“Kapan Kakek berangkat?"
tanya Gouw Sian Eng.
“Besok,” Sahut Tui Hun Lojin.
“Kakek juga ingin ke markas pusat Kay Pang menemui ayahmu, karena sudah lama
kakek tidak bertemu ayahmu.”
“Hati-hati Kakek!” pesan Gouw
Sian Eng.
“Hati-hati Ibu!” pesan Lam
Kiong Bie Liong.
Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin tersenyum sambil manggut-manggut, kemudian Tui Hun Lojin berkata,
“Kalian tidak usah mencemaskan
kami, kami pasti kembali bersama Beng Kiat dan Soat Lan.”
Siapa pun tidak akan
menyangka, bahwa kepergian Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin justru untuk
selama-lamanya.
-oo0dw0oo-
Tampak dua ekor kuda berlari
kencang meninggalkan Tayli. Penunggangnya adalah Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin, yang keduanya tampak berseri-seri.
“Lam Kiong hujin,” ujar Tui
Hun Lojin. “Kita mampir dulu ke markas pusat Kay Pang, setelah itu barulah ke
Guñung Thay San. Bagaimana?"
“Tidak apa-apa,” Sahut Lam
Kiong hujin. “Sebab harus melewati daerah markas pusat Kay Pang, tidak ada
salahnya kalau kita mampir dulu ke sana.”
“Lam Kiong hujin!” Tui Hun
Lojin tertawa. “Sudah lima tahun lebih kita tidak bertemu Beng Kiat dan Soat
Lan, mereka pasti sudah besar.”
“Tentu.” Lam Kiong hujin
tersenyum. “Kini mereka sudah remaja. Jangan-jangan kita tidak akan mengenali
mereka lagi.”
“Mungkin.” Tui Hun Lojin
tertawa gelak. “Ha ha ha...!”
Beberapa hari kemudian, mereka
sudah memasuki daerah Tionggoan, maka kedua-duanya merasa gembira.
Ketika hari mulai sore,
sampailah mereka disebuah lembah. Tiba-tiba Tui Hun Lojin mengerutkan kening
seraya berkata,
“Lam Kiong hujin, kenapa
perasaanku tidak enak? Mungkinkah akan terjadi sesuatu?”
“Oh?” Lam Kiong hujin juga
mengerutkan kening, dan kemudian mereka menghentikan kuda masing-masing.
“Heran!” gumam Tui Hun Lojin.
“Kenapa mendadak muncul perasaan yang tidak enak?”
Pada waktu bersamaan,
terdengarlah suara tawa yang sangat menyeramkan lalu melayang turun sosok
bayangan kebijau.hjjauan.
“Siapa! bentak Tui Hun Lojin
sambil meloncat turun dan punggung kudanya. Begitu pula Lam Kiong hujin.
"Hmm!” dengus orang yang
baru muncul itu. Orang itu mengenakan jubah bijau, mukanya berbentuk segi
empat, bermata besar dan memancarkan sinar kehijau~hijauan.
“Engkau pasti Tui Hun Lojin!”
Orang itu menunjuknya kemudian menunjuk Lam Kiong hujin. “Dan engkau pasti Lam
Kiong hujin!”
“Benar!” Tui Hun Lojin
mengangguk. “Siapa engkau, kenapa menghadang perjalanan kami?"
“He he he!” Orang itu tertawa
terkekeh-kekeh. “Hari ini kalian berdua harus mampus! Setelah kalian mampus,
aku akan ke Kwan Gwa Siang Koay mencani Siang Koay dan Lak Kui!”
“Beritahukan!” desak Tui Hun
Lojin. “Siapa engkau? Ada permusuhan apa di antara kita?”
“Aku adalah Seng Hwee Sin Kun
(Si Malaikat Api Suci), adik seperguruan Ang Bin Sat Sin (Algojo Muka Merah)!”
Orang itu memberitahukan. “Maka hari ini kalian harus mampus!”
Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
bujin saling memandang, kelihatannya mereka berdua sudah siap bertarung dengan
Seng Hwee Sin Kun.
“He he be?” Seng Hwee Sin Kun
tertawa terkekeh-kekeh dan mendadak sepasang telapak tangannya berubah
kehijau-hijauan, bahkan mengeluarkan hawa yang sangat panas.
“Lam Kiong hujin!” pesan Tui
Hun Lojin. “Kita harus berhati-hati! Kita tidak membawa senjata, terpaksa
melawannya dengan tangan kosong!”
"He he he!” Seng Hwee Sin
Kun tertawa terkekeh-kekeh lagi, lalu mulai menyerang Tui Hun Lojin dan Lam
Kiong hujin.
Mereka berdua segera berkelit
dan balas menyerang dengan ilmu andalan masing-masing.
Terjadilah pertarungan sengit.
Kira-kira dua puluh jurus kemudian, Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin mulai
berada di bawah angin. Betapa terkejutnya mereka berdua. Sebab hawa pukulan
pihak lawan membuat mereka terasa seperti terbakar, dan mereka sama sekali
tidak tahu ilmu pukulan apa itu.
"He he he! He he he!”
Seng Hwee Sin Kun tertawa seram. “Kini sudah waktunya kalian mampus!”
Mendadak sepasang telapak
tangan Seng Hwee Sin Kun tampak membara, dan ia langsung menyerang Tui Hun
Lojin dan Lam Kiong hujin. Mereka berdua terpaksa menangkis, karena tiada
kesempatan untuk berkelit.
“Aaaakh! Aaakh!” Terdengar
suara jeritan yang sangat menyayat hati.
Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin terhuyung-huyung kemudian roboh dan nyawa mereka melayang seketika.
Sungguh mengerikan kematian mereka, sekujur badan mereka hangus seperti
terbakar.
"He he he!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gelak, lalu melesat pergi dan masih tertawa. Mayat Tui Hun
Lojin dan Lam Kiong hujin dibiarkan tergeletak di situ.
-oo0dw0oo0
Hening sekali suasana dimarkas
pusat Kay Pang, para anggota semuanya diam dan tampak berduka pula.
Di ruang depan, tampak Lim
Peng Hang, Gouw Hang Tiong dan empat pelindung hukum duduk di situ dengan
kening berkerut-kerut.
Wajah Gouw Han Tiong pucat
pias dan matanya agak membengkak.
"Saudara Gouw, jangan
terlampau berduka! Yang penting kita harus menyelidiki siapa pembunuh ayahmu
dan Lam Kiong hujin.” kata Lim Peng Hang sambil menatapnya.
"Aku yakin ayahku dan Lam
Kiong hujin menuju kemari dan Tayli, tapi mereka berdua terbunuh di lembah itu.
Siapa pembunuh itu?” gumam Gouw Han Tiong
“Sekujur badan mereka hangus,
terkena semacam pukulan,” ujar Lim Peng Hang. “Kita tidak pernah mendengar ada
ilmu pukulan seperti itu dalam rimba persilatan.”
"Itu adalah ilmu pukulan
yang mengandung api,” ujar salah seorang pelindung hukum. “Dapat dibayangkan,
betapa tingginya lweekang pembunuh itu!”
"Benar.” Lim Peng Hang
manggut.-manggut. “Mungkin aku juga tidak akan sanggup menyambut pukulan itu.
Heran? Kenapa bisa muncul ilmu pukulan seperti itu dalam rimba persilatan?”
“Aaaah!” Gouw Han Tiong
menghela nafas panjang. “Aku tidak menyangka kalau ayahku dan Lam Kiong hujin
akan mati begitu mengenaskan. Kenapa mereka kemari.,.?"
“Saudara Gouw,” ujar Lim Peng
Hang sungguh-sungguh. “Kita harus menyuruh beberapa orang pergi menyelidiki
pembunuh itu.”
“Kami berempat siap
melaksanakan tugas itu, ketua,” ujar salah seorang pelindung hukum.
“Kalian berempat tidak boleh
meninggalkan markas pusat ini,” sahut Lim Peng Hang. “Lebih baik suruh beberapa
orang anggota peringkat ketujuh untuk menyelidikinya!”
“Ya, Ketua.”
“Saudara Gouw!” Lim Peng Hang
menatapnya. “Engkau punya rencana?"
Gouw Han Tiong menggelengkan
kepala.
“Bagaimana kalau begini...,”
usul Lim Peng Hang. “Saudara berangkat ke Tayli memberitahukan kepada Siang Eng
dan Lam Kiong Bie Liong, sedangkan aku berangkat ke Pulau Hong Hoang To
memberitahukan kepada ayahku dan Tio Cie Hiong?”
“Ngmm!” Gouw Han Tiong
manggut-manggut. “Aku memang harus ke Tayli memberitahukan kepada mereka.”
“Kalau begitu, kita berangkat
besok pagi,” ujar Lim Peng Hang.
“Baik.” Gouw Han Tiong
mengangguk.
“Si Hu Huat (Empat Pelindung
Hukum)!” Lim Peng Hang memberi perintah. “Kalian berempat tidak boleh
meninggalkan markas, suruh beberapa anggota peringkat ketujub menyelidiki
pembunuh itu!”
“Kami terima perintah, Ketua,”
sahut keempat pelindung hukurn serentak sambil memberi hormat.
Keesokan harinya, Gouw Han
Tiong berangkat ke Tayli dengan menunggang kuda, sedangkan Lim Peng Hang
berangkat ke pulau Hong Hoang To. Belasan hari kemudian, Lim Peng Hang sudah
tiba di pulau tersebut.
Kedatangannya membuat Sam Gan
Sin Kay, Tio Tay Seng dan lainnya terheran-heran, sebab wajah Lim Peng Hang
tampak murung.
“Ayah! panggil Lim Ceng Im
cemas.
“Ceng Im!" Lim Peng Hang
tersenyum getir Tio Cie Thong segera memberi hormat, namun tidak bertanya apa
pun. Sedangkan Sam Gan Sin kay terus menatapnya dengan perasaan tegang,
berselang sesaat barulah membuka mulut.
“Peng Hang," Telah
terjadi sesuatu di Kay Pang?"
“Tidak,” jawab Lim Peng Hang.
“kalau tidak, kenapa wajahrm
begitu murung?” Sam Gan Sin Kay mengerutkan kening.
Ketika Lim Peng Hang bàru mau
menjawab, mendadak muncul Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.
Lim Peng Hang segera memberi
hormat, Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin memandangnya dengan penuh rasa
heran, sebab wajah ketua Kay Pang itu tampak murung sekali
"Lim Pangcu, kenapa
wajahmu...? Kim Siauw Suseng terus memandangnya.
“Aaaah ~“ Lim Peng Hang
menghela nafas panJang “Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin terbunuh di sebuah
lembah”
“Apa” Semua orang terkejut,
bahkan Sam Gañ Sin Kay sampai meloncat bangun saking kagetnya
"Peng Hang! Engkau bilang
apa?” tanya Sam Gan Sin Kay dengan wajah pucat pias.
“Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin terbunuh di sebuah lembah!" jawab Lim Peng Hang mengulanginya.
"Setan tua itu...."
Mata Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw
Suseng tampak basah.
“Siapa pembunuh itu?” tanya
Tio Tay Seng.
“Entahlah.” Lim Peng Hang
menggelengkan kepala sambil memberitahukan. “Sekujur badan mereka hangus
seperti terbakar."
“Apa?” Sam Gan Sin Kay
Lerkejut. “Apakah mereka dibakar?”
“Bukan,” sahut Lim Peng Hang.
“Kelihatannya mereka terkena semacam ilmu pukulan.”
“Ilmu pukulan apa itu?” Kim
Siauw Suseng mengerutkan kening.
“Itu adalah ilmu pukulan yang
mengandung api,” ujar Kou Hun Bijin. “Tergolong ilmu sesat.”
“Bijin tahu tentang ilmu
pukulan itu?” tanya Sam Gan Sin Kay.
“Tidak begitu jelas.” sahut
Kou Hun Bijin.
“Kalau tidak salah, ilmu itu
berasal dari Persia. Tapi... selama dua ratus tahun ini, tiada seorang pun
berhasil mempelajarinya, Namun sungguh mengherankan, kenapa kini ilmu pukulan
itu malah muncul?”
“Kakak,” tanya Tio Cie Hiong
mendadak. “Bagaimana kedahsyatan pukulan tersebut?”
“Sangat dahsyat sekali,” jawab
Kou Hun Bijin. “Siapa yang terkena pukulan itu, pasti mati hangus.”
“Aaaah...!” Sam Gan Sin Kay
menghela nafas panjang. “Setelah Bu Lim Sam Mo mati, kukira rimba persilatan
akan aman, tidak tahunya kini malah muncul bencana lagi, bahkan Tui Hun Lojin
dan Lam Kiong hujin yang terbunuh!”
“Oh ya!” Tio Tay Seng
memandang Lim Peng Hang seraya bertanya. “Bagaimana Gouw Han Tiong?”
“Dia berangkat ke Tayli untuk
memberitahukan kepada Sian Eng dan Lam Kiong Bie Liong,” jawab Lim Peng Hang
sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
“Lam Kiong Bie Liong pasti berduka sekali.
“Heran?” gumam Sam Gan Sin
Kay. “Padahal Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin hidup tenang di Tayli, tapi
kenapa mereka masih ke Tionggoañ?”
“Mungkin ingin menengok Gouw
Han Tiong,” sahut Lim Peng Hang.
"Itu memang masuk akal”
Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. “Lalu untuk apa Lam Kiong hujin juga ikut ke
Tionggoan?”
“Entahlah.” Lim Peng Hang
menggelengkan kepala. “Oh ya! Di mana Bun Yang?”
“Bun Yang dan kauw-heng pergi
ke Gunung Thian San.” Tio Cie Hiong memberitahukan.
“Oh?” Lim Peng Hang
tercengang. “Untuk apa Bun Yang dan kauw-heng pergi kesana?”
“Itu adalah usul kauw-heng,”
ujar Lim Ceng Im. Bun Yang berlatih lweekang disana.”
“Oooh!” Lim Peng Hang
manggut~manggut.
Di saat bersamaan, tampak Lie
Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio berjalan ke dalam. Begitu melihat Lim Peng
Hang, Lie Ai Ling langsung memberi hormat. Begitu pula Siang Koan Goat Nio.
“Ai Ling!” Lim Peng Hang
tersenyum. “Engkau sudah besar! Eh? Siapa gadis itu? Sungguh cantik sekali!”
“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin
tertawa cekikikan. “Dia puteriku.”
“Oh?” Lim Peng Hang terbelalak.
“Bijin masih bisa mempunyai anak?”
“Eeeh?” Kou Hun Bijin melotot.
“Itu putri kandungku lho! Berarti aku bisa mempunyai anak.”
“Maaf, maaf!” ucap Lim Peng
Hang cepat. “Oh ya! Di mana Lie Man Chiu? Kenapa dia tidak kelihatan?”
“Dia binatang!” sahut Tio Tay
Seng dengan wajah merah padam.
“Haah?” Lim Peng Hang
tertegun. “Dia....”
“Dia telah meninggalkan anak
isterinya.” Sam Gan Sin Kay memberitahukan “Dia ingin mengangkat namanya di
rimba persilatan.”
“Oh?” Lim Peng Hang
tefbelalak.
“Lim Pangcu!” Tio Tay Seng
menatapnya. “Engkau pernah mendengar tentang dirinya dirimba persilatan?”
“Tidak pernah,”jawab Lim Peng
dan bertanya. “Tio Tocu! Sudah berapa lama dia meninggalkan pulau ini?”
"Sudah lima tahun
lebih," jawab Tio Tay Seng kemudian mencaci lagi. “Dia memang binatang,
membuat anak isteri menderita!”
“Padahal...” Lim Peng Hang
menggeleng-gelengkan kepala. “Dia murid Tayli Lo Ceng.”
“Sudahlah!” tandas Tio Tay
Seng. “Jangan membicarakan binatang itu, sebab akan merusak suasana!”
“Ayah....” Lim Peng Hang
memandang Sam Gan Sin Kay.
“Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin dibunuh orang misterius, bagaimana rencana Ayah?”
“Ayah sudah tua, lagi pula
sudah jemu akan urusan rimba persilatan. Oleh karena itu, ayah tidak mau turut
campur mengenai kejadian ini,” sahut Sam Gan Sin Kay.
“Tapi...? Lim Peng Hang
mengerutkan kening. “Tui Hun Lojin adalah kawan baik Ayah, kenapa Ayah tidak
mau turut campur?”
“Peng Hang, ayah ingin hidup
tenang di pulau ini. Engkau ingin memaksa ayah mencampuri urusan rimba persiiatan
lagi?” tegur Sam Gan Sin Kay.
“Lim Pangcu,” ujar Kim Siauw
Suseng. “Tui Hun Lojin memang kawan baik kami, tapi kami sudah tidak mau
mencampuri urusan rimba persilatan. Lebih baik engkau saja yang menanganinya.”
“Lim Pangcu,” sela Tio Tay
Seng. “Kami semua sudah tua, maka ingin hidup tenang.”
“Aku mengerti.” Lim Peng Hang
manggut-manggut. “Tapi kematian Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin....”
“Peng Hang!” bentak Sam Gan
Sin Kay. “Engkau sebagai ketua Kay Pang, tapi kenapa jadi begini?”
“Ayah!” Lim Peng Hang menghela
nafas panjang. “Kepandaian orang misterius itu sangat tinggi.”
“Sudahlah! Engkau diam saja!”
Sam Gan Sin Kay mengerutkan kening. “Jangan mengusik ketenangan di sini!”
“Ayah...,” ujar Lim Ceng Im.
“Kakek memang sudah tahu, dan harus hidup tenang disini. Ayah jangan terus
mendesak kakek, lebih baik kita cari jalan lain saja.”
“Ayah tahu.” Lim Peng Hang
menghela nafas lagi. “Engkau dan Cie Hiong juga sudah tidak mau mencampuri
urusan rimba persilatan. Tapi kini di rimba persilatan mulai timbul badai. Hiat
Ih Hwe dan Tiong Ngie Pay saling membunub.”
“Tiong Ngie Pay?” Tio Cie
Hiong tertegun. “Partai baru dalam rimba persilatan?”
“Ya.” Lim Peng Hang
mengangguk. “Menurut dugaanku, ketua perkumpulan itu Yo Suan Hiang.”
“Oh, ya?” Lim Ceng Im
tersenyum. “Hebat juga dia, mampu mendirikan Tiong Ngie Pay! Ayah, bagaimana
kekuatan partai itu?”
“Kini sudah kuat sekali.” Lim
Peng Hang memberitahukan. “Banyak pesilat golongan putih bergabung dengan Tiong
Ngie Pay, sebab Tiong Ngie Pay selalu membela rakyat, sekaligus melawan Hiat Ih
Hwe.”
“Siapa ketua Hiat Ih Hwe?”
tanya Lim Ceng Im.
“Kalau tidak salah, ketua Hiat
Ih Hwe adalah Lu Thay kam,” jawab Lim Peng Hang. “Ayah memperoleh informasi,
bahwa Lu Thay Kam berkepandaian tinggi sekali.”
“Pusing!" ujar Sam Gan
Sin Kay. “Rimba persilatan bakal diterjang badai, sedangkan kerajaan pun akan
disapu topan.”
“Kini muncul pemberontakan
dimana-mana.” Lim Peng Hang memberitahukan. “Yang memimpin pemberontakan adalah
Lie Tsu Seng.”
“Peng Hang!” Sam Gan Sin kay
menatapnya tajam. “Pokoknya Kay Pang jangan terseret kearus pemberontakan,
engkau harus ingat itu!”
“Ya, Ayah.” Lim Peng Hang
mengangguk dan menambahkan, “Mengenai kematian Tui Hun Lojin, akan kutangani
bersama Gouw Han Tiong.”
"Bagus!” Sam Gan Sin Kay
manggut-manggut. “Memang harus begitu. Engkau harus tahu, bahwa ayah sudah
tahu. Masih kuat hidup berapa lama lagi, tentunya engkau tidak menghendaki ayah
cepat-cepat mati, bukan?"
"Ayah, maafkan karena aku
tadi mendesak Ayah!” ucap Lim Peng Hang sambil menundukkan kepala.
Sementara Lim Ceng Im
berbisik-bisik kepada Tio Cie Hiong, dan kemudian mereka pun manggut-manggut.
"Eeh?" Sam Gan Sin
Kay memandang mereka. "Kok kalian berdua malah berbisik-bisik? Mencaci
kakek ya?"
“Mana berani kami mencaci
kakek?” sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum. “Kami merundingkan sesuatu.”
“Apa yang kalian rundingkan?
Bolehkah dibeberkan untuk kami dengar” tanya Sam Gan Sin Kay sambil tertawa.
“Tentu boleh.” Lim ceng Im
mengangguk. “Sebelum Bun Yang berangkat ke Gunung Thian San, kami telah
berpesan kepadanya.”
“Kalian berpesan apa
kepadanya?” tanya Sam Gan Sin Kay, yang tidak sabaran.
“Seusai berlatih lweekang di
Gunung Thian San, dia harus ke Gunung Hong Lay San menemui Tan Li Cu. ‘Setelah
Itu, dia pun harus ke markas pusat Kay Pang menemui kakeknya.” Lim Ceng Im
memberitahukan. “Berhubung Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin mati terbunuh,
maka kami menghendaki Bun Yang membantu kakeknya.”
“Bagus, bagus!” Sam Gan Sin
Kay manggut-manggut. “Memang sudah waktunya Bun Yang berkecimpung dalam rimba
persilatan.”
“Tunggu dulu!” potong Kou Hun
Bijin. “Kalau begitu, putriku akan sia-sia menanti di pulau ini?”
“Ha ha ha!” Tio Tay Seng
tertawa gelak. “Setelah Goat Nio menguasaj ilmu-ilmu yang diajarkan Cie Hiong,
bukankah dia boleh pergi mencari Bun Yang?”
“Ngmm!” Kou Hun Bijin
manggut-manggut. “Betul juga. Tapi... ayahnya setuju atau tidak, harus bertanya
kepadanya.”
“Aku tidak berkeberatan,”
sahut Kim Siauw Suseng cepat. “Sebab Goat Nio pun harus pergi mengembara mencari
pengalaman.”
“Sastrawan sialan,” sela Sam
Gan Sin Kay, “Goat Nio akan pergi mencari Bun Yang mencari pengalaman?”
“Itu....” Kim Siauw Suseng
tergagap.
“Mencari Bun Yang sekaligus
mencari pengalaman,” jawab Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. “Hi hi hi!
Tidak lama lagi
rimba persilatan akan muncul
seorang gadis yang cantik jelita!”
“Ayah,” ujar Lim Ceng Im.
“Kalau Bun Yang ke markas pusat Kay Pang, beritahukan kepadanya bahwa ayah
sudah ke mari!”
“Itu pasti.” Lim Peng Hang
tersenyum.
“Oh ya, Ayah,” pesan Lim Ceng
Im. “Kauw heng harus terus mendampingi Bun Yang, sebab kauw heng memiliki panca
indera keenam, jadi ada baiknya kauw heng mendampingi Bun Yang.”
“Benar.” Lim Feng Hang
mengangguk sambil tertawa. “Tidak lama lagi di rimba persilatan akan muncul
seorang pendekar muda yang tampan dan berhati bajik. Ha ha ha...!”
“Yaaah!’ Mendadak Tio Cie
Hiong menghela nafas panjang sambjl mengge1eng-gelengkan kepala.
“Kakak Hiong!” Lim Ceng Im
tercengang. “Kenapa engkau menghela nafas panjang? Apakah ada sesuatu terganjel
dalam hatimu?"
“Kita di sini tertawa~tawa,
namun di Tayli sana....” Tio Cie
Hiong menghela nafas lagi.
“Jadi keputusan kita yaitu Bun
Yang membantu Lim Pangcu? Begitu kan?” ujar Kou Hun Bijin mendadak.
"Ya.” Tio Cie Hiong dan Lim
Ceng Im mengangguk.
“Sedangkan keputusanku. . .
." Kou Hun Bijin melirik putrinya. “Setelah dia menguasai semua ilmu itu,
dia harus pergi mencari Bun Yang.”
“Tidak salah,” sahut Kim Siauw
Suseng. “Kita berdua tetap tinggal di sini, tidak usah pulang ke Kwan Gwa.
Sebab pulau ini sungguh indah, udaranya pun segar.dan sejuk.”
“Yang lebih nyaman lagi yakni
bisa main catur dengan Sam Gan Sin Kay dan Tio Tocu. Ya, kan?” sambung Kou Hun
Bijin.
“Betul, betul.” Kim Siauw
Suseng tertawa gelak. “Engkau memang isteriku yang baik, tahu hobi suami.”
“Merayu nih ye?” goda Sam Gan
Sin Kay.
“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin
tertawa. “Dia suamiku, dia senang aku gembira. Dia gembira aku senang, bahkan
aku pun harus menuruti perkataannya.”
“Yah, ampun!” Sam Gan Sin Kay
tertawa gelak. “Begitu mesranya, itu sungguh tak disangka! Ha ha ha...!”
-oo0dw0oo-
Di dalam sebuah kamar, tampak
Tio Hong Hoa duduk di pinggir tempat tidur dengan kening berkerut-kerut, dan
Lie Ai Ling duduk di sisinya.
“Bagaimana? Ibu setuju kan?”
tanya Lie Ai Ling.
“Nak!” Tio Hong Hoa menghela
nafas panjang. “Itu urusan nanti, maka lebih baik dibicarakan nanti saja.”
“Setelah menguasai ilmu-ilmu
yang diajarkan Paman Cie Hiong, Goat Nio akan pergi mencari Kakak Bun Yang. Ai
Ling ingin ikut dia ke Tionggoan mencari ayah?"
“Nak!” Tio Hong Hoa tersenyum
getir. “Tentang ini akan ibu rundingkan dengan kakekmu. Ibu tidak berani
mengambil keputusan sekarang?"
“Kalau begitu, lebih baik Ai
Ling beritahukan kepada kakek,” ujar Lie Ai Ling.
“Jangan!” Tio Hong Hoa
menggelengkan kepala. “Kalau engkau singgung ayahmu, kakekmu pasti marah besar.
Lebih baik engkau berunding dengan Paman Cie hong saja. Biar dia yang
memberitahukan kepada kakekmu.”
“Kalau begitu....” Wajah Lie
Ai Ling berseri. “Ibu setuju kau
ikut Goat Nio pergi ke
Tionggoan?”
“Bagaimana mungkin ibu
melarangmu," Tio Hong Hoa menghela nafas. “Sebab engkau berhak pergi
mencari ayahmu. Hanya saja engkau harus berhati-hati.”
“Terim kasih, Ibu!” ucap Lie
Ai Ling, lalu berlari ke kamar Tio Cie Hiong, dan kebetulan Lim Ceng Im mau
melangkah ke luar.
“Ai Ling?” Lim Ceng Im
tercengang karena melihat gadis itu begitu tergesa-gesa ke kamarnya. “Ada apa?”
tanyanya.
“Bibi, Ai Ling ingin bicara
dengan Paman,” jawab Lie Ai Ling.
“Baik.” Lim Ceng Im mengangguk,
lalu mengajak gadis itu ke dalam kamar. Tio Cie Hiong belum tidur, hanya sedang
duduk bersemedi.
“Paman!” panggil Lie Ai Ling
sambil mendekatinya.
Tio Cie Hiong membuka matanya,
dan begitu melihat gadis itu ía pun terheran-heran.
“Ada apa, Lie Ai Ling?”
“Paman!” Lie Ai Ling duduk di
hadapan Tio Cie Hiong. “Ai Ling ingin bicara dengan Paman.”
“Oh?” Tio Cie Hiong tersenyum.
“Mau bicara apa?”
“Setelah berhasil menguasai
ilmu-ilmu yang Paman ajarkan itu, Goat Nio akan pergi mencari Kakak Bun Yang, kan?”
“Benar. Lalu kenapa?” tanya
Tio Cie Hiong sambil menatapnya sementara Lim Ceng Im sudah duduk di sisi
suaminya.
“Tadi Ai Ling sudah berunding
dengan Ibu, maksud, Ai Ling ingin ikut Goat Nio ke Tiong-goan mencari ayah. Ibu
setuju, tapi ibu bilang harus berunding dengan Paman, setelah itu,
barulah Paman memberitahukan
kepada kakek. Kalau ibu atau Ai Ling yang memberitahukan, kakek pasti marah
besar,” jawab Lie Ai Ling memberitahukan.
“Tentang ini....” Tio Cie
Hiong mengerutkan kening. “Belum
tentu kakekmu mengijinkanmu
pergi mencari ayahmu.”
“Kalau Paman bersedia membantu
bicara, kakek pasti mengijinkan,” ujar Lie Ai Ling. “Sebab kakek Ai Ling sangat
sayang kepada Paman?
“Itu....” Tio Cie Hiong
berpikir sejenak, kemudian berkata
dengan sungguh-sungguh sambil
menatap gadis itu. “Sebagai anak, engkau memang berhak pergi mencari ayahmu.
Baiklah. Kelak akan kuberitahukan kepada kakekmu. Tapi....”
“Ada apa, Paman?"
“Mulai besok engkau harus
lebih tekun berlatih, agar kepandaianmu bertambah tinggi. Jadi kakekmu tidak
akan mencemaskanmu. Mengerti?"
“Ai Ling mengerti, Paman.”
“Bagus!” Tio Cie Hiong
manggut-manggut. “Sekarang kembalilah ke kamar menemani ibumu! Ingat, jangan
menyinggung ayahmu di hadapan kakekmu!”
“Ya, Paman.” Lie Ai Ling
mengangguk, lalu meninggalkan kamar Tio Cie Hiong.
Setelah Lie Ai Ling pergi, Tio
Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata, “Sungguh kasihan Ai
Ling!”
“Kakak Hiong,” bisik Lim Ceng
Im. “Betulkah kelak engkau akan memberitahukan kepada pamanmu?”
“Itu harus,” sahut Tio Cie
Hiong.
“Apakah pamanmu akan
mengijinkan Ai Ling pergi mencari ayahnya?”
“Kalau aku yang
membicarakannya, mungkin pamanku akan mengijinkannya. Biar bagaimana pun, Lie
Man Chiu tetap mantunya.”
“Kakak Hiong!” Lim Ceng Im
menggeleng-gelengkan kepala. “Sudah sekian tahun tiada kabar beritanya tentang
Lie Man Chiu, entah bagaimana keadaannya sekarang?"
“Adik Im!” Tio Cie Hiong
menghela nafas. “Aku yakin dia sudah hidup senang di ibu kota.”
“Oh?”
“Aku yakin dia berada di ibu
kota,” ujar Tio Cie Hiong. “Kita tidak perlu memikirkannya.”
“Huh!” dengus Lim Ceng Im.
“Siapa yang memikirkannya?”
“Adik Im!” Tio Cie Hiong
tersenyum. “Barusan engkau menyinggung dirinya, tapi kenapa sekarang malah
bilang siapa yang memikirkannya?”
“Itu dikarenakan aku merasa
kasihan kepada kakak Hong Hoa dan Ai Ling, bukan berarti aku memikirkan Lie Man
Chiu, yang tak punya perasaan itu.”
“Adik Im....” Wajab Tio Cie
Hiong berubah serius. “Terus
terang, yang harus kita
pikirkan justru adalah Lam Kiong Bie Liong. Entah bagaimana dia setelah
mengetahui kematian ibunya?”
-oo0dw0oo-
Sementara itu, Gouw Han Tiong
pun telah tiba di Tayli. Begitu mendengar tentang kematian Lam Kiong hujin dan
Tui Hun Lojin, Lam Kiong Bie Liong nyaris pingsan seketika, sedangkan Gouw Sian
Eng menangis terisak-isak.
Toan Hong Ya dan isterinya
hanya duduk diam dengan wajah murung. Toan Pit Lian terus menerus menghibur
suaminya, dan Gouw Han Tiong menghibur putrinya. Suasana
di ruangan itu menjadi hening,
kecuali terdengar suara isak tangis.
“Siapa pembunuh ibuku? Siapa
pembunuh ibuku?” teriak Lam Kiong Bie Liong dengan wajah pucat pias.
“Tenang, kakak Bie Liong!”
Toan Pit Lian memegang bahunya. “Jangan terlampau berduka! Nanti engkau akan
sakit.”
“Ibu! Ibu...” teriak Lam Kiong
Bie Liong.
“Bie Liong,” ujar Gouw Han
Tiong. “Engkau harus tenang, jangan begitu! Aku pun kehilangan ayah.”
“Aaaah...!” keluh Lam Kiong
Bie Liong.
“Tak terduga sama sekali,”
ujar Toan Hong Ya sambil menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin berangkat ke Tionggoan karena rindu kepada
Beng Kiat dan Soat Lan....”
“Hong Ya!” Gouw Han Tiong
tertegun. “Bagaimana Kiat Beng dan Soat Lan bisa berada di Tionggoan?"
“Tayli Lo Ceng menerima mereka
berdua sebagai murid, maka Tayli Lo Ceng membawa mereka ke Gunung Thay
San." Toan Hong Ya memberitahukan.
“Sudah berapa lama Kiat Beng
dan Soat Lan ikut Tayli Lo Ceng?” tanya Gouw Han Tiong.
“Sudah lima tahun lebih,
Ayah,” jawab Gouw Sian Eng memberitahukan. “Karena itu, kakek dan Lam Kiong
hujin sangat rindu kepada mereka, maka berangkat ke Tionggoan menuju Gunung
Thay San."
"Tidak disangka....” Lam
Kiong Bie Liong terisak-isak “Ibu
pergi selama-lamanya Aaaah...
!“
“Siapa yang membunuh Tui Hun
Lojin dan Lam Kiong hujin?” gumam Toan Hong Ya. “Apakah mereka punya musuh?”
“Hong Ya,” ujar Lam Kiong Bie
Liong. “Setahuku ibu tidak mempunyai musuh. Musuh kami adalah Bu Lim Sam Mo,
tapi.... Bu Lim Sam Mo sudah mati.”
“Ayahku pun tidak mempunyai
musuh, namun malah mati
dibunuh,” ujar Gouw Han Tiong
sambil menggeleng~gelengkan kepala.
“Jadi... tiada seorang pun
yang tahu siapa pembunuh itu?” tanya Toan Wie Kie.
“Memang tiada seorang pun yang
tahu.” Gouw Han Tiong mengbela nafas. “Ayahku dan Lam Kiong hujin terkena pukulan
yang mengandung api, karena sekujur badan mereka hangus.”
“Pukulan apa itu?” tanya Toan
Wie Kie.
“Entahtah.” Gouw Han Tiong
menggelengkan kepala. “Kami sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apa itu, sebab
kami tidak pernah mendengar tentang ilmu pukulan itu.
“Oh ya, kenapa Paman Lim tidak
ikut kemari?” Tanya Lam Kiong Bie Liong mendadak.
“Lim Peng Hang pergi ke Hong
Hoang To, aku berangkat ke mari.” Gouw Han Tiong memberitahukan dan
menambahkan, “Mungkin pihak Hong Hoang To tahu tentang ilmu pukulan itu.”
“Aku harus berangkat ke
Tionggoan,” ujar Lam Kiong Bie Liong. “Aku harus balas dendam.”
“Engkau tidak boleh pergi,”
sahut Toan Pit Lian. “Pokoknya engkau tidak boleh pergi.”
“Adik Pit Lian...."
“Bie Liong!” tegas Toan Hong
Ya. “Engkau tidak boleh ke Tionggoan. Harus menunggu Beng Kiat dan Soat Lan
pulang.
“Tapi...."
“Kalau engkau berani pergi
secara diam-diam, selama-lamanya engkau tidak boleh ke mari lagi,” ujar Toan
Hong Ya berwibawa.
Lam Kiong Bie Liong diam.
“Kita tidak tahu siapa pembunuh
itu, lalu bagaimana engkau mau balas dendam? Lebih baik engkau tunggu Beng Kiat
dan Soat Lan pulang, setelah itu barulah berunding dengan Hong Ya.” ujar Gouw
Han Tiong sambil menatapnya.
"Ya.” Lam Kiong Bie Liong
mengangguk.
“Lagi pula Lim Peng Hang sudah
ke pulau Hong Hoang To, aku yakin pihak Hong Hoang pasti membantu dalam hal
ini.” tambah Gouw Han Tiong. “Jadi engkau harus tetap bersabar menunggu putrimu
pulang. Mungkin Tayli Lo Ceng juga akan ke mari. Bukankah engkau boleh mohon
petunjuk kepadanya?”
“Benar.” Lam Kiong Bie Liong
manggut-manggut.
“Bie Liong,” tegas Toan Hong
Ya. “Engkau tidak boleh pergi secara diam-diam, sebab akan membuat Pit Lian
menderita. Engkau harus ingat itu!”
“Ya.” Lam Kiong Bie Liong
mengangguk, kemudian berjanji kepada isterinya. “Adik Pit Lian, aku tidak akan
pergi secara diam-diam. Engkau tidak usah khawatir.”
“Terima kasih atas
pengertianmu!” Toan Pit Lian tersenyum dan menambahkan, “Setelah Beng Kiat dan
Soat San pulang, barulah kita semua berunding bersama.”
“Ya.” Lam Kiong Bie Liong
mengangguk, kemudian berkeluh. “Ibu....”
-oo0dw0oo-
Jilid 3
Bagian Ke Sebelas
Meninggalkan Gunung Thian San
Di puncak Gunung Thian
terdapat sebuah goa, yaitu tempat tinggal monyet bulu putih. Tio Bun Yang
tinggal di dalam goa tersebut, dan setiap hari duduk di atas batu dingin
berlatih lweekangnya.
Tugas monyet bulu putih adalah
mencari buah, justru memberikan Tio Bun Yang buah aneh yang mengandung cairan
kental. Tio Bun Yang tidak tahu sama sekali, bahwa buah aneh itu berkhasiat
menambah Iweekangnya.
Tanpa terasa sudah dua tahun
Tio Bun Yang tinggal di dalam goa itu, dan kini usianya sudah tujuh belas,
bertambah tampan dan tinggi.
Hari ini ia duduk bersemedi di
atas batu dingin melatih lweekangnya, dan monyet bulu putih duduk tak jauh dan
situ memperhatikannya.
Berselang beberapa saat
kemudian, mendadak badan Tio Bun Yang melambung ke atas, ternyata lweekangnya
telah mencapai ke tingkat tinggi.
Setelah itu, perlahan-lahan
melayang turun di atas batu dingin itu. Ketika badannya menyentuh batu dingin,
terdengar suara ‘Kraak! Kreeek!’
Monyet bulu putih itu
terbelalak, sedangkan Tio Bun Yang tetap duduk. bersemedi dengan mata terpejam.
Ternyata ia sedang mengerahkan Pak Yok Han Thian Sin Kang dan Kan Kun Taylo Sin
Kang.
Kraaaak! Terdengar suara
meretak.
Bukan main! Yang meretak itu
ternyata batu dingin yang didudukinya. Hal itu membuat monyet bulu putih
bercuit-cuit.
Tio Bun Yang membuka matanya,
lalu meloncat turun. Di saat bersamaan terdengar pula suara ‘Braaak!’
Batu dingin itu telah hancur.
Dapat dibayangkan, betapa tingginya lweekang Tio Bun Yang sekarang. Setelah
batu dingin itu hancur, tampak sebuah benda bulat di situ memancarkan cahaya.
“Eh?” Tio Bun Yang tercengang.
“Benda apa itu?"
Tio Bun Yang mendekati benda
itu dengan mata terbelalak. Sebetulnya benda apa itu? Ternyata benda itu adalah
batu inti es, yang amat dingin, yang berada di dalam batu dingin itu.
Perlahan-lahan Tio Bun Yang
menjulurkan tangannya untuk menjamah batu inti es itu. Namun ia tampak terkejut
karena batu inti es itu dingin bukan main. Kalau ía tidak memiliki Pan Yok Han
Thian Sin Kang dan Kan Kun Taylo Sin Kang, pasti tidak dapat memegang batu inti
es tersebut.
"Ini tergolong benda
pusaka,” gumamnya sambil tersenyum. “Sangat bermanfaat bagi orang yang berlatih
Im Kang (Lweekang yang mengandung hawa dingin). Benda ini harus kusimpan. Kalau
bertemu orang baik yang berlatih Im Kang, akan kuhadiahkan kepadanya.”
Sementara monyet bulu putih
terus menatap Tio Bun Yang dengan mata tak berkedip, kemudian bercuit-cuit.
“Kauw-heng!” Tio Bun Yang
tersenyum. “Engkau bilang lweekangku sudah tinggi sekali?”
Monyet bulu putih
manggut-manggut, lalu menunjuk batu dingin itu sambil bercuit-cuit lagi.
“Oh?” Tio Bun Yang tersenyum
lagi. “Engkau bilang ayahku masih tidak mampu menghancurkan batu dingin itu
dalam keadaan bersemedi?”
Monyet bulu putih
manggut-manggut sambil bertepuk tangan, kelihatannya gembira sekali.
“Kauw-heng,” ujar Tio Bun
Yang. “Kalau begitu, kita boleh meninggalkan Gunung Thian San?”
Monyet bulu putih mengangguk,
kemudian menunjuk batu inti es itu sambil bercuit-cuit.
“Oooh!” Tio Bun Yang
manggut-manggut.
“Maksudmu benda ini harus
disimpan di dalam kantong?"
Monyet bulu putih menuju sudut
goa. Ternyata ía mengambil sebuah kantong kulit, lalu diberikan kepada Tio Bun
Yang.
“Terima kasih, kauw-heng!”
ucap Tio Bun Yang sambil menerima kantong kulit itu. Dimasukkannya batu inti es
itu ke dalam kantong kulit tersebut, setelah itu barulah disimpan ke dalam
bajunya.
“Kauw-heng! Ayah dan ibuku
telah berpesan, aku harus pergi ke Gunung Hong Lay San. Engkau tahu dimana
gunung itu, bukan?”
Monyet bulu putih mengangguk,
kemudian menarik tangan Tio Bun Yang.
“Mau berangkat sekarang?”
Monyet bulu putih bercuit tiga kali.
“Baiklah.” Tio Bun Yang
manggut-manggut. “Mari kita berangkat, sebab aku harus segera menemui Bibi Tan
Li Cu!”
-oo0dw0oo-
Beberapa hari kemudian, Tio
Bun Yang dan monyet bulu putih telah tiba di Gunung Hong Lay San. Betapa
girangnya Tan Li Cu, ia membelai Tio Bun Yang dengan penuh kasih sayang.
“Bun Yang!” Tan Li Cu
memandangnya dengan mata basah. “Kini engkau sudah besar. Engkau dari pulau
Hong Hoang To ya?”
“Bibi Li Cu, aku dan Gunung
Thian San.” Tio Bun Yang memberitahukan.
“Oh?” Tan Li Cu tertegun.
“Bagaimana engkau dan kauw-heng bisa datang dan Gunung Thian San?”
“Begini Bibi
Li Cu....” Tio
Bun Yang menjelaskan
dan
menambahkan, “Ayah dan ibuku
berpesan aku harus ke mari mengunjungi Bibi.”
“Oooh!” Tan Li Cu
manggut-manggut. “Kalau begitu, lweekangmu pasti sudah tinggi sekali!”
“Maaf, Bibi Li Cu, aku sendiri
tidak mengetahuinya,” sahut Tio Bun Yang jujur.
Di saat mereka sedang
bercakap-cakap, mendadak muncul seorang gadis cantik berusia enam belasan.
“Guru...” panggil gadis itu,
yang kemudian terbelalak karena melihat Tio Bun Yang dan seekor monyet bulu
putih duduk di atas bahunya.
“Siok Loan!” Tan Li Cu
tersenyum. “Mari guru perkenalkan! Dia adalah Tio Bun Yang, putra kesayangan
Tio Cie Hiong.”
“Oooh!” Ma Siok Loan memandang
Tio Bun Yang dengan mata berbinar-binar, lalu memberi hormat seraya berkata,
“Kakak Bun Yang, selamat bertemu!”
“Terima kasih!” sahut Tio Bun
Yang kemudian balas memberi hormat.
“Bun Yang!” Tan Li Cu
tersenyum. “Engkau harus memanggil dia adik.”
“Ya, Bibi.” Tio Bun Yang
mengangguk lalu memanggil gadis itu. “Adik Siok Loan!”
“Hi hi hi!” Ma Siok Loan
tertawa geli.
“Siok Loan!” tegur Tan Li Cu
halus. “Tidak boleh bersikap begitu. Engkau sudah berusia enam belas, bukan
anak kecil lagi.”
“Guru!” Ma Siok Loan masih
tertawa geli. “Aku tertawa geli karena melihat monyet bulu putih itu, sungguh
lucu!”
“Oooh!" Tan Li Cu
tersenyum dan memberitahukan, “Engkau harus tahu, bahwa itu monyet sakti.”
“Oh?” Ma Siok Loan menatap
monyet bulu putih. “Jangan-jangan monyet itu mempunyai hubungan dengan Sun Ngo
Kong (Siluman Monyet Sakti Dalam Dongeng See Yu)!”
“Benar,” sahut Tio Bun Yang
sambil tersenyum. "Monyet bulu putih ini adalah saudara seperguruan dengan
Sun Ngo Kong.
“Bohong ah!”
“Tentu bohong.” Tio Bun Yang
tertawa kecil. Sedangkan monyet bulu putih itu menyengir.
“Hi hi hi!” Ma Siok Loan
tertawa geli lagi. “Guru, monyet bulu putih itu bisa menyengir, lucu sekali
deh!”
“Siok Loan!” Tan Li Cu
tersenyum. “Tahukah engkau berapa usia monyet bulu putih itu?”
“Entahlah.” Ma Siok Loan
menggeleñgkan kepala.
“Usianya sudah tiga ratus
tahun lebih lho!” Tan Li Cu memberitahukan.
“Apa?” Ma Siok Loan
terbelalak. “Guru jangan bohong! Bagaimana mungkin monyet bulu putih itu
berusia setua itu?"
“Adik Siok Loan,” ujar Tio Bun
Yang sungguh-sungguh. “Gürumu tidak bohong, memang benar monyet bulu putih ini
sudah berusia, tiga ratus tahun lebih!”
“Wuah, bukan main!” Ma Siok
Loan menggeleng-gelengkan kepala. “Jangan-jangan benar monyet bulu putih itu
saudara seperguruan Sun Ngo Kong!”
Tan Li Cu tersenyum lembut.
Kini ia sudah berusia empat puluhan. Beberapa tahun yang lalu, tanpa sengaja ia
menolong seorang gadis kecil, yang kedua orang tuanya dibunuh perampok, lalu
dibawanya ke gunung Hong Lay San, sekaligus diangkat jadi muridnya.
“Bun Yang!” Tan Li Cu
menatapnya. “Kepandaianmu pasti sudah tinggi sekali, dan tentu engkau tidak
akan pelit mengajar Siok Loan semacam ilmu, bukan?”
“Bibi...” Tio Bun Yang tampak
ragu.
“Kakak Bun Yang,” desak Ma
Siok Loan. “Guruku memberitahukan kepadaku, bahwa ayahmu berkepandaian sangat
tinggi, maka aku yakin engkau juga berkepandaian tinggi. Namun kenapa engkau
tidak bersedia mengajarku semacam ilmu?”
“Itu...” Tio Bun Yang berpikir
sejenak lalu mengangguk. “Baiklah. Aku akan ajarimu Cit Loan Kiam Hoat.”
“Apa?!” Tan Li Cu tertegun.
“Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling?”
“Ya.” Tio Bun Yang mengangguk.
“Engkau belajar dan manà ilmu
pedang itu?” tanya Tan Li Cu.
“Ilmu pedang ciptaan ayahku.”
Tio Bun Yang memberitahukan. “Ilmu pedang tersebut lihay sekali, maka akan
kuajarkan kepada adik Siok Loan.”
“Ngmm!” Tan Li Cu
manggut-manggut.
“Kakak Bun Yang!” Ma Siok Loan
menatapnya. “Kalau aku belajar ilmu pedang itu, apakah aku tidak akan pusing
tujuh keliling?”
“Tidak, sebab ilmu pedang itu
hanya akan membuat pusing lawan.” Tio Bun Yang memberitahukan dan berpesan.
“Tapi engkau harus ingat, bahwa kalau tidak dalam keadaan bahaya, ilmu pedang
itu tidak.boleh dikeluarkan.”
“Kenapa?”
“Karena setiap jurusnya akan
mematikan pihak lawan.” “Ya. Aku pasti ingat pesanmu, kakak Bun Yang.”
“Bun Yang,” Tan Li Cu tampak
tertarik. “Bolehkah engkau memperlihatkan ilmu pedang itu?” tanyanya.
“Boleh.” Tio Bun Yang
mengangguk, dan kemudian Tan Li Cu menyerahkan sebilah pedang kepadanya.
Tio Bun Yang berdiri di tengah-tengah
ruangan, kemudian mulai mempertunjukkan ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat. Bukan
main kagumnya Tan Li Cu, namun kemudian ia merasa berkunang—kunang dan pusing.
Sementara Ma Siok Loan sudah berteriak-teriak tidak karuan.
“Aduuh! Mataku berkunang-kunang!
Aaaah! Pusing! Pusing sekali!”
“Siok Loan, cepat pejamkan
matamu!” seru Tan Li Cu.
Gadis itu segera memejamkan
matanya, sedangkan Tan Li Cu terus memperhatikan ilmu pedang itu walau ía sudah
merasa pusing sekali.
Berselang beberapa saat kemudian,
barulah Tio Bun Yang menghentikan gerakannya. Tan Li Cu memandangnya dengan
wajah pucat pias karena menahan pusing, dan Ma Siok Loan pun sudah membuka
matanya.
“Bun Yang, sungguh lihay dan
hebat ilmu pedang itu!” ujar Tan Li Cu sambil menghela nafas panjang. “Ayahmu
memang luar biasa sekali!”
“Kakak Bun Yang!” Ma Siok Loan
tertawa. “Aku tidak berani menyaksikan ilmu pedang itu, sebab mataku lalu
berkunang-kunang dan merasa pusing.”
“Jadi engkau sudah tahu akan
kelihayan ilmu pedang itu, kan?" Tio Bun Yang memandangnya.
“Ya.” Ma Siok Loan mengangguk.
“Oh ya!” Tio Bun Yang
memandang Tan Li Cu. “Ilmu pedang itu akan kuajarkan kepada Bibi juga!”
“Oh?” Tan Li Cu tampak girang.
“Memangnya kenapa?”
“Bibi dan Adik Siok Loan bisa
berlatih bersama, sebab aku tidak bisa lama-lama di sini, harus ke markas pusat
Kay Pang menemui kakekku.” Tio Bun Yang memberitahukan.
“Oooh!” Tan Li Cu
manggut-manggut.
Tio Bun Yang mulai mengajar
mereka ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat. Belasan hari kemudian, barulah mereka
dapat menguasai ilmu pedang tersebut, namun gerakannya masih lamban.
Setelah itu, Tio Bun Yang
berpamit. Dengan air mata berderai-derai Ma Siok Loan memandang kepergian Tio
Bun Yang, bahkan kemudian menangis terisak-isak.
“Siok Loan!” Tan Li Cu memegang
bahunya. “Jangan sedih, kalian pasti berjumpa lagi kelak!”
“Guru....” Ma Siok Loan
langsung mendekap di dada Tan Li
Cu, dan tangisnya pun semakin
menjadi. Tan Li Cu membelainya, dan menghiburnya pula.
-oo0dw0oo-
Tio Bun Yang melanjutkan perjalanannya
menuju markas pusat Kay Pang. Dalam perjalanan ia selalu menolong orang,
sehingga dirinya menjadi terkenal dan dijuluki Giok Siauw Sin Hiap (Pendekar
Sakti Suling Pualam).
Ketika hari mulai senja Tio
Bun Yang memasuki sebuah rimba. Tiba-tiba keningnya berkerut, ternyata ia
mendengar suara bentrokan senjata tajam.
Segeralah ia melesat ke tempat
itu, kemudian dilihatnya belasan orang sedang bertarung mati-matian melawan
beberapa orang berpakaian merah.
“Ha ha ha!” Salah seorang
berpakaian merah tertawa gelak. “Kalian anggota-anggota Tiong Ngie Pay, lebih
baik menyerah saja!”
"Hm!" sahut salah
seorang dan pihak Tiong Ngie Pay. “Lebih baik kami mati dan pada menyerah!
Tio Bun Yang mengerutkan
kening karena melihat beberapa mayat menggeletak di tempat itu. Sementara
pertarungan semakin sengit. Belasan anggota Tiong Ngie Pay tampak tak sanggup
melawan lagi, bahkan diantaranya sudah ada yang terluka lagi.
“Ha ha ha!” Salah seorang
berpakaian merah tertawa gelak. “Hari ini kalian harus mampus!”
“Berhenti!” Terdengar suara
bentakan keras.
Betapa terkejutnya orang-orang
berpakaian merah itu, dan langsung berhenti menyerang. Disaat itulah melayang
turun sosok bayangan, yang tidak lain Tio Bun Yang bersama monyet hulu putih.
"Hei!' bentak salah seorang
berpakaian merah, “Siapa engkau? Sungguh berani engkau mencampuri urusan kami!”
“Aku mendengar suara bentrokan
senjata tajam, maka aku kemari,” sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
“Sesungguhnya aku tidak benmaksud mencampuni urusan kalian.”
"Hmm!” dengus orang
berpakaian merah itu. “Siapa berani melawan Hiat Ih Hwe harus mampus!”
“Saudara,” ujar salah seorang
anggota Tiong Ngie Pay. “cepatlah engkau pergi! Kalau tidak, mereka pasti
membunuhmu.”
“Terima kasih atas perhatian
Anda!” ucap Tio Bun Yang dan menambahkan sambil tersenyum. “Mereka tidak mampu
membunuhku, percayalah!”
“Saudara....” Anggota-anggota Tiong Ngie Pay
menggeleng-gelengkan kepala.
“Hei!” bentak orang berpakaian
merah. “Engkau bilang kami tidak mampu membunuhmu?”
“Benar!” Tio Bun Yang
mengangguk. “Sudahlah! Lebih balk kalian cepat enyah dan sini!”
“Hm!” dengus orang berpakaian
merah. “Engkau memang ingin cari mampus disini! Baik! Kami terpaksa
membunuhmu!”
“Kauw-heng, naiklah ke pohon
dulu!” ujar Tio Bun Yang kepada monyet bulu putih sambil mengeluarkan suling
pualamnya.
Monyet bulu putih itu bercuit,
lalu meloncat ke dahan pohon dan duduk di situ sambil menggoyang-goyangkan
kakinya.
"Mari kita serang dia!”
seru orang berpakaian merah.
Seketika juga beberapa bilah pedang
mengarah ke Tio Bun Yang, sehingga membuat para anggota Tiong Ngie Pay terkejut
bukan main.
“Hati-hati Saudara!” seru
mereka serentak dengan cemas.
“Jangan khawatir
saudara-saudara!” sahut Tio Bun Yang sambil berkelit, sekaligus menggerakkan
suling pualamnya.
“Aaakh! Aaaakh! Aaaakh...
!" Terdengar suara jeritan. Tampak lima orang berpakalan merah telah
terkapar dengan mulut mengeluarkan darah.
Betapa terkejutnya para
anggota Tiong Ngie Pay, dan mereka memandang Tio Bun Yang dengan mata
terbelalak.
Ternyata tadi Tio Bun Yang
berkelit menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou, sekaligus menggerakkan suling
pualamnya dengan jurus San Pang Te Liak (Gunung Runtuh Bumi Retak), itu adalah
ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi (Ilmu Suling Kumala Pemusnah Kepandaian).
“Engkau... engkau....” Kelima orang berpakaian merah
menunjuk Tio Bun Yang dengan
wajah pucat pias.
Salah seorang anggota Tiong
Ngie Pay mendekati mereka, maksudnya ingin membunuh orang-orang Hiat Ih Hwe
itu.
“Jangan bunuh mereka!” cegah
Tio Bun Yang.
“Kenapa?’ tanya anggota Tiong
Ngie Pay itu dengan rasa heran. “Mereka... mereka sering membunuh orang.”
“Tapi kini mereka sudah tidak
bisa membunuh orang lagi.” Tio Bun Yang memberitahukan sambil tersenyum.
“Karena aku telab memusnahkan kepandaian mereka.”
“Oooh!” Anggota Tiong Ngie Pay
itu memandang Tio Bun Yang dengan kagum, kemudian mereka semua memberi hormat.
“Atas nama Tiong Ngie Pay, kami mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada
Saudara, karena Saudara telah menyelamatkan nyawa kami.”
“Kalian tidak usah mengucapkan
terima kasih.” Tio Bun Yang tersenyum ramah, lalu melesat pergi. “Kauw-heng,
cepat ikut aku!”
“Saudara....” Para
anggota Tiong Ngie
Pay terperangah
dengan mulut ternganga lebar,
sebab dalam sekejap mata Tio Bun Yang telah hilang dari pandangan mereka.
“Sayang sekali kita tidak tahu
namanya!”
“Kalau tidak salah...,” ujar
salah seorang anggota Tiong Ngie Pay. “Dia adalah Giok Siauw Sin Hiap yang baru
muncul di rimba persilatan.”
“Benar. Dia pasti Giok Siauw
Sin Hiap. Ayoh, kita harus segera kembali ke markas!”
-ooo0dw0ooo-
Beberapa hari kemudian, Tio
Bun Yang sudah sampai di markas pusat Kay Pang. Betapa gembiranya Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong, mereka menatapnya dengan mata tak berkedip.
“Kakek, Kakek Gouw!” panggil
Tio Bun Yang sambil bersujud.
“Bun Yang cucuku....” Lim Peng
Hang tertawa gembira.
“Engkau sudah sedemikian
besar, bahkan sangat tampan pula.”
Tio Bun Yang hanya tersenyum.
Sedangkan monyet bulu putih bercuit-cuit tampak gembira sekali.
“Bun Yang....” Gouw Han Tiong
masih terus menatapnya.
“Engkau memang tampan sekali,
kemungkinan kepandaianmu pun sudah tinggi.”
“Biasa-biasa saja, Kakek
Gouw,” ujar Tio Bun Yang merendah.
“Ha-ha-ha!” Gouw Han Tiong
tertawa gelak. “Engkau bersifat seperti Cie Hiong, selalu merendah diri.”
“Bun Yang, duduklah!” ucap Lim
Peng Hang.
“Terima kasih, Kakek!” Tio Bun
Yang duduk dan bertanya, “Bagaimana keadaan Kakek dan Kakek Gouw selama
ini?"
“Kakek baik-baik saja,” sahut
Lim Peng Hang sambil tersenyum.
“Yaaah!” Sebaliknya Gouw Han
Tiong malah menghela nafas panjang. “Aku malah telah kehilangan ayah.”
“Apa?!” Tio Bun Yang
terperanjat. “Kakek tua Tui Hun Lojin telah meninggal?”
“Kalau meninggal itu masih
wajar, tapi...." Gouw Han Tiong
menggeleng~gelengkan kepala.
“Kakek tua kenapa?” Tio Bun
Yang mengerutkan kening. “Apakah....”
“Dua tahun
lalu....” Gouw Han
Tiong memberitahukan.
“Ayahku dan Lam Kiong hujin
dibunuh orang.”
“Oh?” Tio Bun Yang tersentak.
“Siapa yang membunuh kakek tua dan Lam Kiong hujin?"
"Hingga saat ini kami
tidak mengetahuinya.” Gouw Han Tiong menghela nafas panjang. “Tiada jejak
pembunuh itu.”
"Padahal kakek tua dan
Lam Kiong hujin berkepandaian tinggi, tapi kenapa mati terbunuh?”
"Itu membuktikan
kepandaian pembunuh itu sangat tinggi.” Lim Peng Hang memberitahukan. “Tui Hun
Lojin dan Lam Kiong hujin mati dengan sekujur badan hangus!”
"Sekujur badan hangus?”
Tio Bun Yang kaget. “Apakah kakek tua dan Lam Kiong hujin dibakar?"
"Bukan.” Lim Peng Hang
menggelengkan kepala. “Melainkan terkena semacam pukulan yang mengandung api.”
"Oh?” Tio Bun Yang
terkejut. “Siapa yang memiliki ilmu pukulan seperti itu?"
Menurut Kou Hun Bijin, ilmu
pukulan itu berasal dan Persia,” ujar Lim Peng Hang. “Namun selama dua ratus
tahun in, tiada seorang pun yang berhasil mempelajarinya.”
“Oh?” Tio Bun Yang terbelalak.
“Oh ya, Kakek bertemu Kou Hun Bijin di mana?”
“Di Pulau Hong Hoang To,”
jawab Lim Péng Hang. “Kim Siauw Suseng juga berada di sana.”
“Jadi,... Kakek sudah ke Pulau
Hong Hoang To?”
“Dua tahun lalu, kakek pergi
ke sana untuk memberitahukan tentang kematian Tui Hun Lojin dan Lam Kiong
hujin.”
“Kakek tidak ke Tayli?”
“Aku sudah ke Tayli dua tahun
lalu.” Gouw Han Tiong memberitahukan. “Pihak Tayli sudah tahu tentang itu, dan
aku juga yang memberitahukan.”
“Yaaah...!” Tio Bun Yang
menghela nafas panjang.
“Bun Yang!” Gouw Han Tiong
memberitahukan. “Lam Kiong Bie Liong dan Toan Wie Kie sudah mempunyai anak
bernama Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat, mereka berdua seusia denganmu!”
“Oh?” Tio Bun Yang tersenyum.
“Kalau ada kesempatan aku ingin ke Tayli menemui mereka.”
“Mereka berada di Gunung Thay
San belajar ilmu silat kepada Tayli Lo Ceng, dan mereka menjadi murid padri tua
itu.”
“Syukurlah!” ucap Tio Bun Yang
berseri. “Ayahku pernah bilang, bahwa kepandaian Tayli Lo Ceng tinggi sekali.
Mereka berdua menjadi murid padri tua itu, tentunya akan memiliki kepandaian
tinggi pula?
“Bun Yang,” ujar Lim Peng Hang
sambil mengge1eng~gelengkan kepala. “Rimba persilatan tampak akan dilanda
badai, sedangkan kerajaan dalam keadaan kacau balau. Banyak jenderal dan
menteri setia mati dibunuh orang-orang Hiat Ih Hwe.”
"Hiat Ih Hwe?” Tio Bun
Yang mengerutkan kening.
“Bun Yang....” Lim Peng Hang
menatapnya heran. “Dalam
perjalanan ke mari, apakah
engkau bertemu orang-orang Hiat Ih Hwe?”
“Ya? Tio Bun Yang mengangguk
dan menutur tentang kejadian itu. “Aku memusnahkan kepandaian orang-orang Hiat
Ih Hwe itu.”
“Oh?” Lim Peng Hang tersenyum.
“Bagus engkau menyelamatkan nyawa para anggota Tiong Ngie Pay.”
“Kenapa?” tanya Tio Bun Yang.
“Kalau dugaan kakek tidak
meleset, ketua Tiong Ngie Pay itu adalah Yo Suan Hiang.”
“Apa?!” Tio Bun Yang tertegun.
“Ketua Tiong Ngie Pay adalah Bibi Suan Hiang?"
“Itu cuma dugaan kakek saja.
Sebab selama ini kakek tidak pernah bertemu ketua Tiong Ngie Pay itu.”
“Menurutku...,” ujar Gouw Han
Tiong. “Kemungkinan besar memang Yo Suan Hiang.”
“Kalau benar Bibi Suan Hiang,
sungguh menggembirakan.” Wajah Tio Bun Yang berseri-seri. “Aku rindu sekali
kepadanya.”
“Oh ya!” Mendadak wajah Lim
Peng Hang juga berseri. “Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin juga sudah
mempunyal seorang putri, usianya enam belas dan cantik sekali.”
“Oh?” Tio Bun Yang terbelalak.
“Kim Siauw Suseng berusia hampir seratus, sedangkan Kou Hun Bijin berusia
seratus lebih. Kok mereka masih bisa mempunyai anak?”
“Bun Yang!” Lim Peng Hang
tertawa. “Itu dikarenakan mereka awet muda, maka bisa mempunyai anak.”
“Oooh!” Tio Bun Yang
manggut-manggut. “Kakek, siapa nama gadis itu?”
“Siang Koan Goat Nio,” sahut
Lim Peng Hang. “Bun Yang, gadis itu sungguh cantik sekali, dan lemah lembut.
Dia juga menggunakan suling emas sebagai senjata.”
“Kalau begitu, dia pandai
meniup suling?"
“Betul. Gadis itu memang
pandai meniup suling. Kalau kalian bertemu pasti akan cocok,” ujar Lim Peng
Hang sambil tertawa gelak. “Engkau memiliki Giok Siauw, dia memiliki Kim
Siauw.”
“Kalian berdua memang serasi,”
sela Gouw Han Tiong sambil tersenyum.“Eeeh....” Wajah Tio Bun Yang
kemerah-merahan.
“Oh ya!” Lim Peng Hang
teringat sesuatu, dan segera memberitahukan kepada Tio Bun Yang. "Ayah dan
ibumu berpesan, engkau tidak usah kembali ke Pulau Hong Hoang To.”
“Oh?” Tio Bun Yang tercengang.
“Memangnya kenapa, Kakek?”
"Karena engkau harus
membantu Kakek menyelidiki pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.” Lim
Peng Hang memberitahukan. “Jadi engkau boleh berkecimpung
dalam rimba persilatan untuk
membela kebenaran, sekaligus mencari pengalaman.”
“Oooh!” Tio Bun Yang
manggut-manggut.
“Tapi..” Lim Peng Hang
menambahkan, “Kauw-heng harus mendampingimu, ini adalah pesan dari ayah dan
ibumu.”
“Tentu.” Tio Bun Yang
tersenyum. “Kauw heng memang harus ikut aku.”Monyet bulu putih itu
bercuit-cuit, kemudian menepuk dadanya sendiri sekaligus mengangkat dadanya.
“Bun Yang!” Gouw Han Tiong
bingung. “Kauw-heng bilang apa?"
"Dia harus melindungi
diriku. Itu adalah tugasnya." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Oooh!" Gouw Han
Tiong tertawa.
“Kauw heng,” ucap Lim Peng
Hang. “Terima-kasih atas kesediaanmu melindungi cucuku!”
Monyet bulu putih itu
menggoyang-goyangkan sepasang tangannya, itu membuat Lim Peng Hang
terheran-heran.
“Bun Yang, kauw-heng bilang
apa?”
“Dia bilang, Kakek tidak usah
berterima kasih kepadanya,” sahut Tio Bun Yang sambil membelai
monyet bulu putih itu, lalu melanjutkan,
“Kalau begitu, aku akan tinggal di sini beberapa hari. Setelah itu, aku akan
pergi menyelidiki pembunuh itu.”
“Bun Yang, biar bagaimana pun
engkau harus berhati-hati,” pesan Lim Peng Hang “Jangan menyombongkan diri
menghadapi segala apa pun harus tenang dan bersabar.”
“Aku pasti menuruti nasihat
Kakek.”
“Bagus, bagus!” Lim Peng Hang
tertawa gembira.
Beberapa hari kemudian,
mulailah Tio Bun Yang berkecimpung di dalam rimba persilatan, dan ditemani
monyet bulu putih.
-oo0dw0oo-
Bagian Ke Dua belas
Menolong pembesar yang
bijaksana
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
duduk berhadapan didalam kamar. Mereka tampak serius membicarakan sesuatu.
“Besok Goat Nio akan pergi
mengembara, sekalian mencari Bun Yang,” ujar Tio Cie Hiong. “Aku pernah berjanji
kepada Ai Ling akan berunding dengan paman, ini entah bagaimana baiknya?”
“Kakak Hiong!” Lim Ceng Im
tersenyum. “Berundinglah dengan pamanmu, aku yakin pamanmu pasti memperbolehkan
Ai Ling pergi mencari ayahnya.”
“Ngmmm!” Tio Cie Hiong manggut-manggut.
“Kalau begitu, aku akan pergi menemui paman.”
Tio Cie Hiong meninggalkan
kamar itu, dan langsung pergi menemui Tio Tay Seng, yang sedang bermain catur
dengan Sam Gan Sin Kay.
“Tio Tocu,” ujar Sam Gan Sin
Kay sambil menghela nafas panjang. “Begitu cepat sang waktu berlalu, tak terasa
sudah dua tahun.”
“Ya.” Tio Tay Seng
manggut-manggut. “Kita bertambah tua, entah bisa bertahan berapa lama?”
“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay
tertawa gelak. “Aku justru ingin cepat-cepat mati, rasanya sudah bosan hidup di
dunia.”
“Eeeh?” Tio Tay Seng
menatapnya, kemudian tertawa. “Kalau engkau mati, aku celaka.”
“Kenapa?”
“Karena tidak ada orang yang
menemani aku main catur. Bukankah aku akan celaka saking kesepian?”
“Kalau begitu....” Sam Gan Sin
Kay tertawa lagi. “Aku tidak
mau cepat-cepat mati, karena
masih harus menemanimu main catur.”
“Ha ha ha!” Tio Tay Seng
tertawa gelak. “Memangnya engkau bisa mengatur hidup matimu? Hidup matinya
orang berada di tangan Thian (Tuhan) lho!”
“Benar. Tapi kalau kita bisa
menjaga diri agar selalu sehat, tentunya tidak akan cepat mati,” sahut Sam Gan
Sin Kay.
“Tidak salah.” Tio Tay Seng
manggut-manggut. “Oh ya! Putri kesayangan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin
telah menguasai semua ilmu yang diajarkan Cie Hiong, dan besok gadis itu mau
pergi mengembara mencari pengalaman.”
“Sekaligus mencari Bun Yang!
Ha-ha-ha...!” Sam Gan Sin Kay tertawa dan menambahkan, “Menurutku, Goat Nio dan
Bun Yang memang merupakan pasangan yang serasi.”
“Itu bagaimana mereka berdua
saja,” ujar Tio Tay Seng., “Oh ya, entah bagaimana keadaan dimarkas pusat Kay
Pang,dan di Tayli? Mungkinkah pihak Kay Pang sudah berhasil menyelidiki
pembunuh itu?"
"Sudahlah, jangan
membicarakan yang memusingkan itu! Kita sudah tidak mau mencampuri urusan rimba
persilatan, jadi tidak usah membicarakan itU." tandas Sam Gan Sin Kay.
“Benar.” Tio Tay Seng
mengangguk. Disaat itulah muncul Tio Cie Hiong sambil tersenyum-senyum.
“Cie Hiong.” Sam Gan Sin Kay
tertawa “Engkau ke mari mau ikut main catur?”
“Aku ingin membicarakan
sesuatu dengan Paman,” sahut Tio Cie Hiong jujur.
“Bolehkah aku ikut mendengar?”
tanya Sam Gan Sin Kay “Kalau tidak boleh, aku akan segera meninggalkan tempat
ini.”
“Tentu boleh.” Tio Cie Hiong
duduk.
“Cie Hiong!” Tio Tay Seng
menatapnya seraya bertanya, “Engkau ingin bicara apa dengan Paman?”
“Mengenai Ai Ling”
“Kenapa dia?”
“Kakak Hong Hoa telah setuju,
namun dia dan Ai Ling tidak berani memberitahukan kepada Paman.”
“Lho? Ada apa” Tio Tay Seng
mengerutkan kening “Hong Hoa menyetujui apa? Beritahukanlah!”
“Besok Goat Nio mau pergi
mengembara Ai Ling ingin ikut dan kakak Hong Hoa telah menyetujui.”
“Apa?” Wajah Tio Tay Seng
tampak berubah. “Maksud Ai Ling ingin pergi mencari ayahnya?” “Ya” Tio Cie
Hiong mengangguk
“Tidak boleh!” bentak Tio Tay
Seng gusar. “Pokoknya dia tidak boleh pergi mencari binatang itu!”
“Tio Tocu,” ujar Sam Gan Sin
Kay sambil tersenyum. “Jangan emosi, dengar dulu apa yang akan dikatakan Cie
Hiong!”
Tio Tay Seng diam, lalu
memandang Tio Cie Hiong dengan kening berkerut-kerut “Lanjutkanlah!” katanya.
“Paman,” ujar Tio Cie Hiong
sambil menghela nafas. “Biar bagaimana pun, Man Chiu tetap ayah Ai Ling, maka
Ai Ling berhak pergi mencarinya.”
“Tidak bisa!” Tio Tay Seng
tetap berkeras.
“Paman!” Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan
kepala. “Kini Ai Ling sudah remaja, kalau paman melarangnya pergi mencari
ayahnya, itu akan membuat batinnya tertekan sekali. Paman harus memikirkan itu,
jangan membuatnya menderita. Ibunya sudah cukup menderita, jangan sampai Ai Ling
menderita pula.”
“Tio Tocu,” sela Sam Gan Sin
Kay. “Memang benar apa yang dikatakan Cie Hiong, engkau jangan berkeras hati
lagi.”
“Aaaaah...!” Tio Tay Seng
menghela nafas panjang. “Sesungguhnya aku sangat kasihan kepada Hong Hoa dan
cucuku itu, sehingga membuatku terus berpikir setiap malam.”
“Apa yang kau pikirkan, Tio
Tocu?” tanya Sam Gan Sin Kay.
“Aku memikirkan Lie Man Chiu,”
sahut Tio Tay Seng jujur. “Rasanya ingin sekali aku pergi mencarinya.”
“Oh?” Sam Gan Sin Kay dan Tio
Cie Hiong terbelalak.
“Tapi....” Tio Tay Seng
menggeleng-gelengkan kepala. “Aku
tidak mau meninggalkan pulau
ini.”
“Kalau begitu....”
Wajah Tio Cie
Hiong tampak berseri.
“Paman, ijinkanlah Ai Ling
pergi mencari ayahnya!”
“Cie Hiong, dia masih remaja,
belum berpengalaman dalam rimba persilatan,” ujar Tio Tay Seng. “Itu membuatku
tidak bisa tenang.”
“Paman boleh berlega hati,
sebab kepandaian Ai Ling sudah cukup tinggi. Lagi pula aku sering
memberitahukannya tentang rimba persilatan, jadi dia sudah mengerti.”
“Dia pun pergi bersama Goat
Nio, maka kita tidak perlu khawatir,” sambung Sam Gan Sin Kay.
“Menurut kalian, aku harus
mengijinkannya pergi mencari ayahnya?” tanya Tio Tay Seng.
“Ya.” Sam Gan Sin Kay dan Tio
Cie Hiong mengangguk.
“Kalau begitu....” Tio Tay Seng manggut-manggut.
“Baiklah. Aku mengijinkannya
pergi mencari ayahnya, mudah-mudahan dia berhasil menemukan ayahnya!”
"Terima kasih
Paman." ucap Tio Cie Hiong.
“Kenapa engkau yang
mengucapkan terima kasih?” Tio Tay Seng tersenyum “Engkau memang sela1u memikirkan
kepentingan orang lain, paman yakin Bun Yang pun begitu."
“Paman!” Tio Cie Hiong tertawa
gembira. “Aku merasa gembira sekali. Maaf, aku harus segera pergi
memberitahukan Ai Ling.”
Tio Cie Hiong langsung melesat
pergi menuju tempat Siang Koan Goat Nio sedang berlatih dengan Lie Ai Ling. Ia
melihat Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin duduk di situ dengan wajah berseri
memperhatikan Siang Koan Goat Nio yang sedang berlatih bersama Lie Ai Ling.
“Paman sastrawan, Bibi”
panggil Tio Cie Hiong sambil menghampiri mereka.
“Oh, Cie Hiong~” Kim Siauw
Suseng tersenyum. “Duduklah!”
Tio Cie Hiong duduk, lalu
menyaksikan latihan itu dengan penuh perhatian sambil manggut-manggut.
“Bagaimana, adik kecil?
Kepandaian mereka berdua sudah tinggi kan?” tanya Kou Hun Bijin.
“Ya.” Tio Cie Hiong
mengangguk.
“Besok Goat Nio akan pergi
mengembara mencari pengalaman, sekalian mencari Bun Yang putramu,” ujar Kou Hun
Bijin sambil tersenyum.
“Barusan aku justru berunding
dengan pamanku." Tio Cie Hiong memberitahukan.
“Berunding mengenai apa?”
tanya Kim Siauw Suseng heran.
“Mengenal Ai Ling. Karena dia
ingin ikut Goat Nio pergi mencari ayahnya,” sahut Tio Cie Hiong.
“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin
tertawa nyaring.Aku yakin pamanmu tidak mengijinkannya.”
“Semula pamanku memang tidak
setuju, namun kemudian mengijinkannya.” Tio Cie Hiong memberitahukan.
“Syukurlah!” ucap Kou Hun
Bijin. “Jadi Goat Nio punya teman dalam pengembaraan.”
“Cie Hiong....” Kim Siauw Suseng tampak serius.
“Menurutku, Lie Man Chiu tidak
akan sejahat itu. Aku yakin dia akan sadar dari kekeliruannya itu”
“Aku sependapat dengan Paman
Sastrawan.” Tio Cie Hiong manggut-manggut “Aku memang berharap Ai Ling dapat
menyadarkannya dan mau ikut Ai Ling pulang ke Hong Hoang To.”
“Benar.” Kim Siauw Suseng
manggut-manggut.
“Oh ya, adik kecil!” Kou Hun
Bijin memandang Tio Cie Hiong sambil tersenyum-senyum. “Terus terang, kami
merasa cocok dengan pulau ini. Maka kami mengambil keputusan untuk terus
tinggal disini.”
"Oh?” Tio Cie Hiong
gembira sekali. “Bagus, bagus!”
“Tapi...? Kim Siauw Suseng
menggeleng-gelengkan kepala.
“Tentunya akan merepotkan
pamanmu.
“Tidak akan merepotkan
pamanku, sebaliknya pamanku pasti girang sekali,” ujar Tio Cie Hiong.
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai
Ling sudah berhenti berlatih. Ketika melihat Tio Cie Hiong, berserilah wajah
kedua gadis itu.
“Paman!” seru mereka serentak.
“Goat Nio, Ai Ling!” Tio Cie
Hiong tertawa. “Kepandaian kalian sudah maju pesat sekali.”
“Itu atas bimbingan Paman,”
ujar kedua gadis itu.
“Ai Ling....” Tio Cie Hiong
menatapnya sambil tersenyum.
“Ada kabar gembira untukmu.”
“Oh?” Lie Ai Ling tertegun.
“Kabar gembira apa?”
“Besok Goat Nio mau pergi
mengembara. Tentunya engkau ingin ikut, karena... engkau harus mencari ayahmu,”
sahut Tio Cie Hiong.
“Betul. Tapi....” Lie Ai Ling
menghela nafas. “Belum tentu
kakek mengijinkan.
“Ai Ling!” Tio Cie Hiong
tersenyum. “Tadi aku sudah membicarakannya dengan kakekmu.”
“Oh?” Wajah Lie Ai Ling
berseri. “Kakekku setuju aku pergi mencari ayah?”
“Setuju.” Tio Cie hong mengangguk.
“Horeee!” Lie Ai Ling
berjingkrak-jingkrak saking girangnya. “Besok aku akan pergi mencari ayah!”
“Bagus, bagus!” Kou Hun Bijin
tertawa. “Jadi Goat Nio mempunyai teman dalam pengembaraan.”
“Syukurlah!” ucap Kim Siauw
Suseng dengan wajah berseri. “Mereka berdua akan saling melindungi.”
“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio
menggenggam tangannya. “Aku pasti membantumu mencari ayahmu.”
“Terima kasih, Goat Nio!” ucap
Lie Ai Ling. Aku pun pasti membantumu dalam hal....”
“Dalam hal apa?” tanya Siang Koan
Goat Nio heran.
“Mencari Kakak Bun Yang,”
sahut Lie Ai Ling sambil tertawa kecil. “Bukankah engkau ingin sekali bertemu
Kakak Bun Yang?”
“Ai Ling....” Wajah Siang Koan Goat Nio memerah.
“Engkau....”
“Ha ha-ha! Hi hi-hi!” Kim
Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin tertawa. Sedangkan Tio Cie Hiong
tersenyum-senyum.
"Kalian berdua harus
ingat, jangan sembarangan mengeluarkan ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat!” pesan
Tio Cie Hiong.
“Kami pasti ingat, Paman.”
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling mengangguk pasti. “Kamipun tidak akan
sembarangan membunuh orang, cukup memusnahkan kepandaian mereka saja."
“Bagus!” Tio Cie Hiong
manggut-rnanggut dan melanjutkan, “Akupun akan membekali kalian obat pemunah
racun.”
“Terima kasih, Paman!” ucap
kedua gadis itu. “Terima kasih....”
-oo0dw0oo-
Kota Keng Ciu merupakan kota
yang cukup besar, makmur dan ramai dikunjungi para pedagang dan daerah lain.
Pada suatu hari, kota tersebut
menjadi lebih ramai dari pada biasanya, bahkan wajah para penduduk kota itu pun
tampak berseri-seri, Seakan menghadapi hari besar atau hari raya.
Kenapa begitu? Ternyata para
penduduk kota itu turut merayakan hari ulang tahun Tan Tayjin (Pembesar Tan),
gubernur kota tersebut. Beliau setia pada kerajaan, adil dan bijaksana terhadap
para penduduk kota Keng Ciu itu, dan
tidak pernah melakukan tindak
korupsi. Oleh karena itu, para penduduk kota tersebut sangat menghormatinya.
Entah sudah berapakali Lu Thay
Kam mengutus orang kepercayaannya pergi menemui Tan Tayjin untuk menyampaikan
perintahnya, bahwa Tan Tayjin harus menaikkan pajak para pedagang dan lain
sebagainya di kota itu.
Akan tetapi, Tan Tayjin sama
sekali tidak mengacuh perintah itu, sudah barang tentu membuat Lu Thay Kam
gusar bukan main. Karena itu, Tan Tayjin pun menjadi sasaran Hiat Ih Hwe.
Pada hari itu, di kota Keng
Ciu tersebut muncul dua gadis remaja yang sangat cantik sekali, yang ternyata
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling. Kedua gadis itu telah meninggalkan Pulau
Hong Hoang To, mulai mengembara dalam rimba persilatan.
Mereka berdua berjalan
perlahan, memandang ke kiri dan ke kanan sambil mengagumi keindahan
gedung-gedung yang beraneka warna. Kemunculan kedua gadis itu sangat menanik
perhatian penduduk kota itu, karena mereka berdua memiliki kecantikan yang
mempesona
“Ai Ling,” ujar Siang Koan
Goat Nio sambil tersenyum. “Sungguh indah dan ramai kota ini!”
“Benar,” sahut Lie Ai Ling dan
tertawa riang gembira. “Mudah-mudahan kita akan bertemu Kakak Bun Yang di
sini!”
“Al Ling....” Siang Koan Goat
Nio menggelengkan kepala.
“Dia belum tentu sudah
meninggalkan Gunung Thian San.”
“Menurut paman, Kakak Bun Yang
pasti sudah meninggalkan Gunung Thian San,” ujar Lie Ai Ling dan menambahkan
“Maka kita disuruh ke markas pusat Kay Pang, mungkin kakak Bun Yang berada di
sana.”
“Ai Ling!" Siang Koan
Goat Nio tertawa kecil, “Kalau dipikir~pikir memang menggelikan."
“Apa yang menggelikan?"
“Kita boleh dikatakan buta
akan Tionggoan ini, namun kita Justru berani mengembara.”
“Kalau kita tidak berani
mengembara, bagaimana mungkin pengalaman kita akan bertambah? Yang penting kita
tidak boleh malu bertanya, sebab kalau kita malu bertanya akan sesat dijalan.”
“Benar.” Siang Koan Goat Nio
manggut-manggut. “Eeeeh? Kenapa penduduk kota ini terus menerus memandang kita?
Apakah dandanan kita tidak wajar?”
“Bukan.” Lie Ai Ling
tersenyum. “Mereka terus menerus memandang kita, karena kita berdua sangat
cantik, maka menarik perhatian mereka.”
“Oooh!” Siang Koan Goat Nio
tertawa geli, “Kaum lelaki memang begitu, kalau melihat gadis cantik, mata
mereka langsung melotot.”
“Tapi...,” ujar Lie Ai Ling
sungguh-sungguh, “Kakak Bun Yang tidak begitu. Aku tahu jelas itu.”
“Oh, ya?” Siang Koan Goat Nio
tersenyum dengan wajah agak kemerah-merahan. “Ai Ling, kota ini tampak ramai
sekali. Apakah penduduk ini sedang merayakan sesuatu?"
"Mungkin” Lie Ai Ling
mengangguk “Kalau ada keramaian, kita pun boleh menonton. Asyikkan?"
"Memang asyik, tapi...
jangan menimbulkan masalah.” Siang Koan Goat Nio mengingatkan.
“Goat Nio!” Lie Ai Ling
tertawa kecil. “Memangnya kita adalah gadis yang akan menimbulkan masalah?”
“Tentunya bukan. Namun kita
harus tetap menjaga agar tidak emosi,” ujar Siang Koan Goat nio
sungguh-sungguh. “Karena pasti akan ada kaum lelaki menggoda kita.”
“Kita tampar saja,” sahut Lie
Ai Ling. “Bereskan?"
“Nah!” Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau begitu, pasti akan menimbulkan masalah.”
“Jadi... kita harus diam saja
kalau digôda!”
“Apabila mereka tidak
teriampau kurang ajar, diamkan saja.” Mendadak Siang Koan Goat Nio memandang ke
depan dengan mata agak terbelalak. Ternyata ía melihat begitu banyak orang
berkumpul di depan pintu sebuah rumah yang cukup besar. "Eh? Ada apa di
sana?"
"Mungkin ada keramaian.
Mari kita kesana melihat-lihat!” ajak Lie Ai Ling.
Siang Koan Goat Nio
mengangguk. Kemudian kedua gadis itu menuju ke sana. Tampak kaum lelaki
berdesak-desakan seakan ingin menyaksikan sesuatu.
"Heran? Ada apa sih”
gumam Ai Ling sambil memandang ke halaman rumah itu. Di dalam halaman itu
tampak beberapa pengawal, sepasang suami isteri berusia lima puluhan dan
seorang gadis cantik berusia dua puluhan.
“Lebih baik bertanya kepada
salah seorang yang berkumpul disini,” sahut Siang Koan Goat Nio.
Lie Ai Ling mengangguk, lalu
mendekati seorang tua dan bertanya dengan sopan. “Paman, ada keramaian apa di
rumah itu?”
“Eeeh?” Orang tua itu
terbelalak ketika melihat Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio. “Bukan main,
bukan main!”
“Apa yang bukan main, Paman?”
tanya Lie Ai Ling dengan rasa heran.
“Kalian berdua sungguh cantik!”
sahut orang tua itu. “Bahkan lebih cantik dan Tan siocia (Nona Tan)”
“Oh?” Lie Ai Ling tersenyum
“Paman, siapa Nona Tan itu?” “Kalian berdua bukan penduduk kota ini?” “Bukan.”
“Pantas kalian tidak tahu.
Rumah ini adalah tempat tinggal Tan Tayjin. Beliau mempunyai seorang putri
bernama Tan Giok Lan, yang cantik jelita.” Orang tua itu memberitahukan.
“Oooh!” Lie Ai Ling
manggut-manggut. “Lalu kenapa begitu banyak orang berkumpul di sini?”
“Hari ini Tan Tayjin merayakan
ulang tahunnya, jadi orang-orang berkumpul di sini... untuk melihat Nona Tan,
yang cantik jelita itu,” sahut orang tua itu sambil memandang mereka berdua.
"Namun kalian berdua lebih cantik dari Nona Tan.
“Oh?” Lie Ai Ling tersenyum,
kemudian berkata kepada Siang Koan Goat Nio. “Mari kita mendekati pintu rumah,
aku ingin lihat berapa cantik Nona Tan itu!”
“Baik” Siang Koan Goat Nio
mengangguk.
Mereka berdua menuju pintu
rumah itu, namun tidak bisa maju lagi, karena terhalang oleh orang-orang yang
berkumpul di situ.
“Permisi! Permisi...,” ucap
Lie Ai Ling.
Suaranya begitu merdu,
sehingga membuat orang orang itu berpaling Begitu melihat Siang Koan Goat Nio
dan Lie Ai Ling yang cantik bagaikan bidadari, seketika juga mereka terbelak
dengan mulut ternganga lebar, bahkan d~antaranya ada pula yang menelan air
liur.
“Hi-hi-hi!” Lie Ai Ling
tertawa geli menyaksikan sikap mereka itu “Goat Nio, lucu sekali mereka itu!”
bisiknya.
Siang Koan Goat Nio tersenyum.
Sementara Tan Giok Lan yang berada di dalam merasa heran, karena semua orang-orang
itu terus mengarah kepadanya, namun mendadak mereka berpaling ke belakang. Itu
membuatnya terheran-heran, sehingga ía pun memandang kedepan.
Orang-orang yang berkumpul itu
tiba-tiba minggir seakan memberi jalan. Tampak dua gadis cantik manis melangkah
maju, lalu berhenti sambil memandang kedalam.
Begitu melihat kedua gadis
yang begitu cantik, ía pun tertarik dan segera berbisik-bisik kepada ayahnya.
“Ayah, di luar ada dua gadis
yang agaknya ingin menjadi tamu kita, lebih baik suruh saja mereka masuk!”
“Baik.” Tan Tayjin mengangguk
dan sekaligus berseru kepada pengawalnya. “Undang kedua nona itu masuk!”
“Ya, Tayjin,” sahut pengawal
itu dan cepat-cepat mendekati Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling. “Nona-nona,
Tayjin mengundang kalian masuk.”
“Terima kasih!” sahut Lie Ai
Ling, lalu menarik Siang Koan Goat Nio ke dalam dengan wajah berseri-seri.
Tan Tayjin dan Tan Giok Lan
terus memperhatikan kepada mereka. Padahal Tan Giok Lan merupakan gadis yang
cantik jelita, namun masih kalah cantik bila dibandingkan dengan kedua gadis
itu.
"Paman!” Lie Ai Ling
memberi hormat. “Terima kasih atas kebaikanmu!"
Tan Tayjin memandang mereka
dengan penuh heran, karena seharusnya mereka memanggilnya Tayjin, namun malah
memanggilnya paman.
“Ha ha-ha! Kalian berdua pasti
bukan orang sini! Agaknya kalian berdua gadis-gadis rimba persilatan!”
“Kok Paman tahu?” tanya Lie Ai
Ling dengan rasa heran.
“Karena aku melihat pedang
tergantung dipunggungmu,” sahut Tan Tayjin. “Oh ya, silakan duduk!”
“Terima kasih, Paman!” ucap
Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio, lalu duduk dengan wajah berseri
“Kalian datang dan mana~”
tanya Tan Tayjin sambil memandang mereka dalam-dalam.
“Kami datang dan Pak Hai (Laut
Utara).” Lie Ai Ling memberitahukan sambil memandang Tan Giok Lan, kemudian
melanjutkan. “Kami baru mulai mengembara.”
“Oooh!” Tan Tayjin
manggut-manggut.
“Maaf” ucap Tan Giok Lan
“Kalian berdua kakak beradik?”
“Bolehkah dikatakan ya, tapi
juga boleh dikatakan bukan,” jawab Lie Ai Ling sambil tersenyum.
“Maksudmu” tanya Tan Giok Lan,
yang kebingungan
“Kami bukan kakak beradik,
namun hubungan kami bagaikan kakak beradik” Lie Ai Ling memberitahukan.
“Oooh!” Tan Giok Lan
manggut-manggut. “Oh ya, botehkah aku tahu nama kalian berdua?”
“Namaku Lie Ai Ling, dan dia
bernama Siang Koan Goat Nio,” jawab Lie Ai Ling dan bertanya “Namamu?"
“Namaku Tan Giok Lan, usiaku
dua puluh Berapa usia kalian?”
“Kami berdua sama-sama berusia
enam belas Karena engkau lebih besar, maka kami harus memanggilmu Kakak Giok
Lan”
“Terima kasih’” ucap Tan Giok
Lan sambil tersenyum dan merasa suka kepada mereka yang begitu polos.
“Oh ya!Kalau tidak salah,
Paman merayakan ulang tahun hari ini, bukan?” tanya Lie Ai Ling.
“Betul” Tan Tayjin mengangguk.
“Kalau begitu “Lie Ai Ling
tersenyum “Sudah pasti ada makanan. Paman, kami sudah lapar sekali.”
“Oh?” Tan Tayjin tertawa, lalu
berkata kepada pembantunya, “Sajikan makanan istimewa dan arak wangi untukkedua
nona ini!”
"Ya, Tuan besar,” sabut
pembantu itu, yang kemudian berja1an masuk, Tak lama kemudian tampak berapa
pembantu berjalan ke luar dengan membawa berbagai macam makanan dan arak wangi.
Setelah menaruh makanan dan
arak ke atas meja, para pembantu itu kembali masuk. Agak terbelalak Lie Ai Ling
dan Siang Koan Goat Nio melihat makanan-makanan itu.
"Silakan makan!” ucap Tan
Tayjin. “Jangan malu-malu!’
“Terima kasih, Paman!” Lie Ai
Ling dan Siang Koan Goat Nio mulai bersantap. Mungkin saking laparnya, dalam
waktu sekejap kosonglah semua piring itu.
Tan Tayjin, Tan hujin (Nyonya
tan) dan Tan Giok Lan tersenyum geli, kemudian bertanya. “Mau nambah?”
“Terima kasih!” sahut Lie Ai
Ling. "Kami sudah kenyang.”
“Aku yakin....” Tan Giok Lan
memandang mereka. “Kalian
berdua pasti berkepandaian
tinggi. Maukah kalian memperlihatkan kepandaian kalian untuk kami?”
"Maaf!’ ujar Lie Ai Ling
sungguh-sungguh. "Kami berdua tidak mau memamerkan kepandaian, harap Kakak
Giok jangan kecewa!”
“Sayang sekali!” Tan Giok Lan
menggeleng-gelengkan kepala. “Padahal aku suka sekali akan ilmu silat!”
“Kalau begitu, kenapa Kakak
Giok Lan tidak mau belajar ilmu silat?” tanya Siang Koan Goat Nio.
“Yaah!” Tan Giok Lan menghela
nafas panjang. "Sulit mencari guru yang pandai, lagi pula ayahku
melarangku belajar ilmu silat.”
“Benar? Tan Tayjin
manggut-manggut. “Aku yang melarangnya belajar ilmu silat, karena akan membuat
sepasang tangannya menjadi kasar...?"
“Tidak mungkin,” potong Lie Ai
Ling sambil memperlihatkan sepasang tangannya yang putih dan halus. “Lihatlah
Paman! Tangan kami tidak kasar, bukan?”
Tan Tayjin memandang tangan
gadis itu, lalu manggut-manggut seraya berkata sungguh-sungguh.
“Tanganmu memang tetap putih
halus. Kalau begitu putriku boleh belajar ilmu silat.”
“Terima kasih, Ayah!” ucap Tan
Giok Lan cepat.
“Memang ada baiknya Giok Lan belajar
ilmu silat,” ujar Nyonya Tan sambil tersenyum lembut. “Sebab bisa menjaga diri
sekaligus memperkuat daya tahan tubuhnya.”
“Benar,” Tan Tayjin
manggut-manggut dan tertawa. “Tapi... sulit mencari guru yang pandai lho!”
“Bukankah di depan mata kita sudah
ada dua orang guru?” ujar Nyonya Tan sambil memandang Siang Koan Goat Nio dan
Lie Ai Ling.
“Ha ha ha!” Tan Tayjin
tertawa. “Benar, benar. Tapi belum tentu kedua nona itu bersedia mengajar Giok
Lan ilmu silat”
“Adik Goat Lan dan adak Ai
Ling, apakah kálian bersedia mengajarku ilmu silat?” tanya Tan Giok Lan penuh
harap.
“Waduh!” Lie Ai Ling
menggeleng-gelengkàn kepala. “Bukan tidak bersedia, melainkan kami tidak bisa
lama-lama di sini, sebab kami harus ke markas pusat Kay Pang.”
“Sayang sekali!” Tan Giok Lan
menghela napas panjang.
Pada saat bersamaan, tiba-tiba
meluncur cepat beberapa buah benda kecil ke arah Tan Tayjin, dan hal itu tidak
terlepas dari mata Siang KOan Goat Nio dan Lie Ai Ling.
Secepat kilat Lie Ai Ling
mencabut pedangnya sekaligus diputarnya untuk menangkis benda-benda itu.
Ting! Ting! Ting! Ting!
Terdengar suara benturan nyaring.
Ternyata benda-benda itu
adalah senjata rahasia.
“Goat Nio!” ujar Lie Ai Ling.
“Lindungi mereka, aku mau melihat siapa yang menyerang dengan senjata rahasia
itu?"
“Baik!” Siang Koan Goat Nio
mengangguk sambil mengeluarkan suling emasnya, siap~menghadapi segala
kemungkinan
Lie Ai Ling melesat ke luar.
Tampak empat orang berpakaian merah berdiri di halaman rumah.
“Siapa kalian?” bentak Lie Ai Ling.
“Kenapa kalian menyerang kami dengan senjata rahasia?”
“Kami adalah anggota Hiat Ih
Hwe! Kami kemari untuk membunuh Tan Thiam Song! Kami tidak bermaksud menyerang
nona!” sahut salah seorang berpakaian merah itu Mereka berempat ternyata para
anggota perkumpulan Baju Berdarah.
“Hm!” Dengus Lie Ai Ling
dingin, “Kalian tidak melihat kami berada di sini sebagai tamu? Sungguh berani
kalian ingin membunuh Paman Tan!”
“Nona!” Salah seorang
berpakaian merah itu mengerutkan kening. “Lebih baik engkau jangan turut
campur, agar tidak celaka!”
“Kami sebagai tamu di sini,
tentunya harus melindungi Paman Tan sekeluarga! Cepatlah kalian enyah dan sini,
jangan sampai aku marah!" bentak Lie Ai Ling sambil menatap mereka tajam
“Kalau begitu, kami terpaksa
membunuh Nona du1u!” ujar orang berpakaian merah itu berseru, “Mari kita serang
dia!"
Seketika tampak empat bilah
pedang mengarah ke Lie Ai Ling. Betapa terkejutnyà Tan Tayjin, Nyonya Tan dan
Tan Giok Lan menyaksikan kejadian itu.
Akan tetapi, mendadak Lie Ai Ling
tertawa nyaring, sekaligus mengayunkan pedangnya untuk menangkis
serangan-serangan itu. Gadis tersebut menggunakan Hong Hoang Kiam Hoatat (Ilmu
pedang Burung Phoenix), mengeluarkan jurus Hong Hoang Khay Peng (Burung Phoenix
Mengembangkan Sayap).
"Trang! Trang! Trang!
Trang...!” Terdengar suara benturan pedang.
Keempat orang Hiat Ih Hwe
terhuyung-huyung beberapa langkah, dan pedang di tangan mereka tinggal
gagangnya, ternyata telah kutung. Perlu diketahui, pedang Lie Ai Ling adalah
Hong Hoang Pokiam (Pedang Pusaka Burung Phoenix) pemberian ibunya.
“Haah...?” Keempat orang Hiat
Ih Hwe terbelalak saking terperanjat. Mereka tahu sedang berhadapan dengan
gadis yang berkepandaian tinggi. Salah seorang itu berkata, “Lihiap sungguh
lihay, kami berempat bukan lawanmu! Bolehkah kami tahu siapa Nona?"
"Aku adalah.... Hong Hoang Lihiap (Pendekar Wanita
Burung Phoenix)” sahut Lie Ai
Ling setelah berpikir sejenak Kemudian ia menunjuk Siang Koan Goat Nio dan
memberitahukan, “Dia adalah Kiam Siauw Siancu (Bidadan Suling Emas)!”
"Terima kasih!" ucap
orang Hiat Ih Hwe itu “Kita akan berjumpa lagi di lain kesempatan”'
Keempat orang Hiat Ih Hwe itu
melesat pergi, sedangkan Lie Ai Ling menyarungkan pedangnya sambil
tersenyum-senyum, lalu kembali ketempat duduknya.
"Nona sungguh hebat
sekali!” ujar Tan Tayjin kagum “Aku sama sekali tidak menyangka engkau
berkepandaian begitu tinggi!”
“Terima kasih, Nona!” ucap
Nyonya Tan sambil menghela nafas lega. “Engkau telàh menyelamatkan suamjku.”
“Adik Ai Ling” Tan Giok Lan menatapnya
dengan mata tak berkedip. “Engkau sungguh lihay Rasanya aku ingin berguru
kepadamu”
“Tidak seberapa kepandaianku,”
sahut Lie Ai Ling merendah dan menambahkan, “Kakak Giok Lan, aku tidak bisa
menjadi gurumu!”
“Sayang sekali!” Tan Giok Lan
menghela nafas panjang, “Kini aku telah mengambil keputusan untuk belajar ilmu
silat, agar bisa melindungi ayahku.”
“Eeeh’” Tan Tayjin terbelalak
“Ke mana para pengawalku? Kenapa mereka tidak kelihatan?”
“Mereka terkapar pingsan,”
Siang Koan Goat Nio memberitahukan.
“Celaka! Itu harus bagaimana?”
Guguplah Tan Tayjin.
“Tidak apa-apa” Siang Koan
Goat Nio tersenyum. “Mereka akan siuman dengan sendirinya.”
“Oooh!” Tan Tayjin menarik
nafas lega.
“Paman,” tanya Lie Ai Ling.
“Sebetulnya perkumpulan apa Hiat Ih Hwe itu?”
“Aaaah...!” Tan Tayjin
menghela nafàs panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Perkumpulan itu
khususnya
membunuh para jenderal dan
pembesar yang setia, jujur dan bijaksana.”
“Oh?” Lie Ai Ling mengerutkan
kening. “Siapa ketua Hiat Ih Hwe?”
“Mungkin Lu Thay Kam.” Tan
Tayjin memberitahukan, “Sebab sudah berkali-kali Lu Thay Kam mengutus orang
kepercayaannya ke mari untuk memberi perintah kepadaku.”
“Perintah apa?”
“Menyuruhku menaikkan pajak
ini dan itu dikota ini. Tapi aku tidak mengacuhkan penintah itu."
“Jadi Lu Thay Kam mengutus
orang.orangnyá kemari untuk membunuh Paman?"
“Kira-kira begitulah.”
"Hmm!" dengus Lie Ai
Ling. “Sungguh jahat Lu Thay Kam itu! Kalau aku bertemu dia kelak, pasti
kupenggal kepalanya!”
“Nona....” Tan Tayjin
terbelalak. “Engkau....”
"Ai Ling,” tegur Siang
Koan Goat Nio halus. “Jangan omong sembarangan, sebab akan menimbulkan
masalah!”
“Ya." Lie Ai Ling
mengangguk.
“Memang banyak orang ingin
membunuh Lu Thay Kam, tapi sebaliknya mereka malah terbunuh.” Tan Tayjin
memberitahukan
“Lho? Kenapa?” tanya Lie Ai
Ling.
“Kalian harus tahu....” Tan Tayjin menghela nafas
“Kepandaian Lu Thay Kam sangat
tinggi, maka tiada seorang pun mampu membunuhnya”
“Oh?” Lie Ai Ling mengerutkan
kening, kelihatannya gadis itu kurang percaya “Suatu hari nanti, aku ingin
bertarung dengan dia!”
“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio
menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kenapa engkau omong sembarangan
lagi?”
“Lupa.” Lie Ai Ling tersenyum.
“Oh ya, tadi mereka menanyakan nama kita....”
“Engkau memberitahukannya?”
tanya Siang Koan Goat Nio.
“Tentu tidak,” sahut Lie Ai
Ling sambil tersenyum geli dan melanjutkan, “Tapi kubilang aku adalah Hong
Hoang Lihiap, sedangkan engkau adalah Kim Siauw Siancu.”
“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio
tertawa kecil “Engkau mengada-ada saja!”
“Tidak salah.” Tan Tayjin
tertawa. “Itu memang merupakan julukan yang sangat tepat untuk kalian Hong
Hoang Lihiap, Kim Siauw Siancu! Sungguh tepat dan indah julukan tersebut! Ha
ha-ha....”
“Adik!” Tan Giok Lan
memandangnya seraya bertanya. “Kenapa engkau menggunakan julukan itu?”
“Pedangku adalah Hong Hoang
Pokiam, Sedangkan suling yang tadi di tangan Siang Koan Goat Nio adalah Suling
Emas.” Lie Ai Ling memberitahukan.
“Oooh!” Tan Giok Lan
manggut-manggut.
“Aaaah...!” Mendadak Tan
Tayjin menghela nafas panjang. “Kelihatannya Dinasti Beng sudah sulit
dipertahankan lagi.”
“Kenapa?" tanya Lie Ai
Ling.
“Karena kaisar cuma tahu
bersenang-senang, yang berkuasa di istana adalah Lu Thay Kam dan beberapa
menteri jahat. Karena itu, timbullah pemberontakan disana sini, bahkan aku pun
dengar, Lu Thay Kam mengutus seorang kepercayaannya ke Manchuria.”
“Memangnya kenapa?” Lie Ai
Ling tidak mengerti.
“Lu Thay Kam dan beberapa
menteri telah bersepakat untuk bersekongkol dengan bangsa Boan (Manchuria).”
Tan Tayjin memberitahukan.
“Paman!” Lie Ai Ling
menggeleng-gelengkan kepala. “Kami sama sekali tidak mengerti akan urusan
kerajaan.”
“Paman,” ujar Siang Koan Goat
Nio mendadak dengan wajah serius. “Kalau begitu, lebih baik Paman mengundurkan
din saja dari jabatan. Kalau tidak, nyawa Paman pasti terancam setiap saat.”
“Sebetulnya aku telah
memikirkan itu, tapi...” Tan Tayjin menggeleng-gelengkan kepala.
“Kenapa?” tanya Siang Koan
Goat Nio.
“Kalau aku mengundurkan diri,
tentu akan muncul pembesar lain, yang korupsi di kota ini, yang sudah barang
tentu membuat rakyat menjadi menderita.”
“Paman!” Siang Koan Goat Nio
menatapnya kagum. “Paman sungguh jujur, adil dan bijaksana! Apabila para
pembesar di seluruh negeri ini seperti Paman, tentu tidak akan terjadi
pemberontakan.”
“Yaah!” Tan Tayjin menghela
nafas panjang. “Itu bagaimana mungkin? Kini Dinasti Beng telah bobrok, berada
di ambang keruntuhan.”
“Paman memikirkan penduduk
kota ini, tapi sama sekali tidak memikirkan keluarga,” ujar Lie Ai Ling
mendadak. “Pada hal keluarga Paman terancam bahaya.”
“Memang tidak salah.” Tan
Tayjin manggut-manggut. “Setelah kejadian tadi itu, pertanda sudah waktunya aku
pensiun.”
“Ayah!” Wajah Tan Giok Lan
langsung berseri. “Itu sungguh menggembirakan!”
“Baiklah,” ujar Lie Ai Ling.
“Kami mau mohon pamit, terima kasih atas kebaikan Paman!”
“Kok begitu cepat kalian mau
pergi?” Tan Tayjin memandang mereka. “Lebih baik tinggal di sini beberapa
hari.”
"Maaf Paman!" ucap
Lie Ai Ling. “Aku harus segera berangkat ke markas pusat Kay Pang.”
“Adik Ai Ling, aku mohon
kalian sudi tinggal di sini beberapa hari. Setelab itu, barulah kalian
melanjutkan perjalanan.” ujar Tan Giok Lan bermohon
“Goat Nio...” Lie Ai Ling
menatap Siang Koan Goat Nio minta pendapatnya “Bagaimana?”
“Baiklah, kita tinggal di sini
beberapa hari,” sahut Siang Koan Goat Nio “Tidak baik kita menolak maksud baik
Paman dan kakak Giok Lan?
“Terima kasih, terima kasih!”
ucap Tan Giok Lan dengan wajah berseri.
Akhirnya Siang Koan Goat Nio
dan’ Lie Ai Ling tinggal beberapa hari di rumah Tan Tayjin, setelah itu barulah
berangkat ke markas pusat Kay Pang
-oo0dw0oo-
Bagian ke Tiga Belas
Pemandangan yang menyentuh
hati
Pada pagi hari yang cerah,
terdengar suara kicau burung di halaman istana bagian barat, tempat tinggal Lu
Thay Kam. Berselang sesaat, tampak Lie Man Chiu berjalan ke halaman itu lalu
duduk dibawah sebuah pohon.
Sudah tujuh tahün lebih ia
mengabdi pada Lu Thay Kam. Hidupnya serba senang dan mewah, setiap hari pasti
dikerumuni para dayang yang cantik-cantik. Ada satu hal yang patut dipuji,
yaitu selama tujuh tahun ini, ia sama sekali tidak pernah tidur bersama para
dayang tersebut.
Selain sebagal wakil ketua
Hiat Ih Hwe, Lu Thay Kam pun mengangkatnya sebagai kepala pengawal istana
bagian barat ini. Dalam tujuh tahun ini, Lu Thay Kam memang sangat
mempercayainya. Selama ini, pernahkah ia teringat pada anak isterinya? Tentu
tidak, karena ia masih berambisi menjadi jenderal.
Di saat ia sedang duduk di
bawah pohon. tiba-tiba melayang turun sesuatu dan atas pohon. yang ternyata
seekor anak burung. Anak burung itu mencicit-cicit, dan tak lama kemudian
induknya melayang turun.
Induk burung itu berusaha
membawa anaknya, tapi tidak berhasil. Maka ia mencicit-cicit, kelihatan gugup,
panik dan cemas.
Sementara Lie Man Chiu terus
memperhatikan induk burung itu, tiba-tiba induk burung itu memandangnya sambil
mencicit-cicit dengan mata basah, sepertinya minta pertolongan kepada Lie Man
Chiu.
Lie Man Chiu diam saja, tapi
induk burung itu terus mencicit sambil memandangnya, dan air matanya pun
meleleh.
Hati Lie Man Chiu tergerak
menyaksikannya. Ia bangkit berdiri lalu mendekati anak burung itu.
Induknya sama sekali tidak
kabur, melainkan terus mencicit dengan air mata meleleh.
“Engkau minta pertolongan
kepadaku untuk membawa anakmu ke sarang di atas pohon? tanya Lie Man Chiu
sambil
tersenyum. Tentunya Induk
burung itu tidak bisa menjawab, cuma bisa mencicit.
"Baiklah." Lie Man
Chiu manggut-manggUt. "Aku akan menolong anakmu."
Lie Man Chiu mengangkat anak
burung itu, lalu melesat ke atas sekaligus menaruh anak burung itü ke dalam
sarangnya.
Induk burung itu juga terbang
ke atas, dan ketika melihat anaknya sudah ditaruh ke dalam sarang, Ia mencicit
seakan mengucapkan terima kasih kepada Lie Man Chiu.
Lie Man Chit melayang turun,
lalu duduk kembali di bawah pohon itu. Apa yang disaksikannya itu membuat
pikirannya terus melayang-layang, bürung cuma merupakan hewan, namun begitu
berperasaan dan penuh kasih sayang terhadap anaknya.
Berpikir sampai di situ,
mendadak di pelupuk mata Lie Man Chiu muncul wajah putrinya, yang kemudian
berubah menjadi wajah Tio Hong Hoa, isternya
"Haaah? Lie Man Chiu
tersentak kemudian bergurnam. "Anakku... isteriku..."
Di saat itulah ía teringat
kepada anak isterinya. Pada waktu bersamaan terdengar suara langkah yang amat
ringan. Ia segera menoleh, dilihatnya seorang gadis cañtik dan lemah lembut
berusia enam belasan. Siapa gadis itu? Tidak lain adalah Lu Hui San, putri
angkat Lu Thay Kam.
“Paman Chiu!" panggil
gadis itu sambil tersenyum. “Kenapa Paman Chiu melamun di situ?”
"Aku sedang menikmati
pagi yang indah ini,” sahut Lie Man Chiu lalu bertanya. “Masih pagi kok sudah
bangun?
"Sekarang sudah tidak
pagi lagi, kan?” sahut Lu Hui San lalu duduk di sisinya. “Paman Chiu. sudah
berapa tahun Paman berada di sini?”
"Tujuh tahun lebih."
“Dalam tujuh tahun ini, apakah
Paman tercekam oleh suatu perasaan” tanya Lui Hui San mendadak.
“Perasaan apa?” tanya Lie Man
Chiu dengan rasa heran.
“Tahukah Paman aku sudah
berusia berapa sekarang?" Lu Hui San menatapnya dalam-dalam.
“Kalau tidak salah sudah enam
belas.”
“Berarti putri Paman pun sudah
berusia enam belas,” ujar Lu Hui San. “Paman tidak pernah memikirkannya.”
"Aku," Wajah Lie Man
chiu agak memucat.
“Paman sama sekali tidak
memikirkan anak isteri?” Lu Hui San mengerutkan kening.
“Selama tujuh tahun ini, aku
memang tidak pernah memikirkan mereka. Namun...” Lanjut Lie Man Chiu sambil
memandang ke atas pohon. “Tadi ada seekor anak burung jatuh, induknya tidak
bisa membawanya kembali ke sarang, Sehingga terus menerus mencicit dan
memandangku dengan mata basah.
“Oh?" Lu Hui San tertegun
“Di mana anak burung itu sekarang?”
“Telah kukembalikan ke dalam
sarangnya.” Lie Man Chiu memberitahukan.
“Kalau begitu....”
Lu Hui San
menatapnya dalam-dalam
“Paman Chiu masih mempunyai
rasa kasihan. Tapi kenapa bisa melupakan anak isteri’”
"Setelah aku menyaksikan
kejadian itu, tiba-tiba wajah anak isteriku muncul di pelupuk mataku, sehingga membuat
hatiku tersentak.
“Karena itu, Paman Chiu
teringat kepada anak isteri, kan?”
"Betul.” Lie Man Chiu
manggut-manggUt sambil menghela nafas panjang. “Kejadian itu membuat hatiku
tergerak, sebab kejadian itu sungguh menyentuh hatiku.”
“Paman Chiu!” Lu Hui San
menarik nafas. “Burung merupakan hewan, namun mempunyai perasaan dan kasih
sayang Sedangkan Paman Chiu adalah manusia, tapi malah bisa melupakan anak
isteri Omong kasar dikit, Paman Chiu masih tidak dapat menyamai hewan."
“Benar.” Lie Man Chiu
mengangguk mengakuinya. “Aku memang lebih kejam dari binatang?"
"Paman Chiu!” Lu Hui San
tersenyum. “Sesunggubnya Paman Chiu bukan orang jahat, yang tak berperasaan
maupun kasih sayang, hanya saja... semua Itu tertutup oleh ambisi Paman.”
“Tidak salah.” Lie Man chiu
menghela nafas panjang. “Aku memang terlampau berambisi, dan itu
dikarenakan...”
“Dikarenakan apa?"
“Rasa dengki.”
“Oh?”
“Yaaah!" Lie Man Chiu
menghela nafas panjang lagi. “Kini äku merasa malu sekali kepada anak isteriku,
dan mereka pasti tak akan sudi memaafkanku."
“Itu tidak perlu dicemaskan,
ujar Lu Hui San sungguh~sungguh. “Aku yakin mereka pasti bersedia memaafkan
Paman."
“kenapa engkau begitu
yakin?"
“Karena biar bagaimana pun,
mereka tetap sebagai anak isteri Paman. Kalau Paman sudah sadar akan kesalahan
itu dan mau mohon maaf, mereka pun pasti akan memaafkan Paman. Percayalah!”
Lie Man Chiu manggut-manggut
dan wajahnya tampak agak cerah. “Ada benarnya juga apa yang kau katakan.”
"Ha ha!” Terdengar suara
tawa dan kemudian muncul Lu Thay Kam. “San San, ternyata engkau berada disini!
Ayah kira engkau pergi secara diam-diam.”
“Ayah!” Lu Hui San tersenyUm.
“Bagaimana mungkin aku akan pergi secara diam~diam? Kalau mau pergi
berjalan-jalan, aku pasti memberitahukan kepada Ayah.”
“Ha ha-ha!” Lu Thay Kam
tertawa gembira. “EngkaU memang anak baik, ayah sungguh senang sekali!”
“Ayah,” tanya Lu Hui San
mendadak. “Bolehkah aku pergi merantau”
“Apa?!” Lu Thay Kam tertegun.
“Engkau ingin pergi merantaU?”
“Ya.” Lu Hui San mengangguk
sekaligUs memberitahukan. “Ayah, aku merasa jemu terkurung di dalam istana.”
“Ha ha-ha!” Lu Thay Kam
tertawa gelak. “Siapa bilang engkau terkurung di dalam istana?”
"BuktinYa aku tidak boleh
pergi ke mana-mana. Nah, bukankah diriku bagaikan seekor burung di dalam
sangkar emas?" sebut Lu Hui San cemberut.
“San San!” Lu Thay Kam
menatapnya dalam-dalam. "Jadi engkau sudah mengambil keputUSan untuk pergi
merantau?”
“Ya, Ayah.” Lu Hui San
mengangguk dan menambahkan. “Aku harus mencari pengalaman di luar. Kalau tidak,
aku cuma merupakan gadis pingitan."
“Begini saja,” ujar Lu ThayKam
serius. Nanti malam setelah ayah pulang, kita bicarakan lagi."
“Ayah, sekarang saja
menbicarakannya." desak Lu Hui San.
"Nanti malam saja. Jangan
membantah, sebab ayah harus memikirkan tentang keinginanmu itu, Malam nanti
kita membicarakan nya, sekaligus ayah akan memberikan keputusan," tegas Lu
Thay Kam.
“Ya, Ayah.” Lu Hui San
mengangguk.
“Engkau memang anak yang baik,
ayah merasa puas dan bangga,” ujar Lu Thay Kam sambil tertawa gembira, kemudian
memandang Lie Man Chiu seraya berpesan, "Nanti malam kita akan pergi
sebentar."
“Ya, Lu Kong Kong.” sahut Lie
Man chiu sambil memberi hormat.
“Kalian
bercakap-cakaplah!" Lu Thay Kam memandang mereka. “Aku akan pergi menghadap
kaisar. San San, nanti malam setelah ayah pulang, kita akan membicarakan
tentañg niatmu itu.”
“Ya, Ayah.” Lu Hui San
mengaugguk.
Lu Thay Kam melangkah pergi.
Lu Hui San memandang punggungnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Ayahku sudah berusia lanjut,
tapi masih belum mau pensiun untuk hidup tenang. Sebaliknya malah terus
bergelut dengan politik kerajaan...” Lu Hui San menghela nafas panjang.
“San San!” Lie Man Chiu
tersenyUm. “Ayahmu sebagai kepala Thay Kam di istana, sudah barang tentu tidak
terlepas dan kancah politik.”
“Aaaah~” Lu Hui San menghela
nafas lagi.“Untuk apa itu? Bukankah lebih baik hidup tenang dan damai saja?”
“Pikiran orang berbeda,”
ucapan tersebut juStru membuat Lie Man Chiu tersentak sendiri,karena ambisi
maka ia meninggatkan anak isteri.
“Paman Chiu?” Lu Hui San
memandangnya seraya bertanya, “Apakah kini Paman sudah berniat pulang untuk
menemUi anak isteri?"
“Itu....”
“Masih tetap akan mengabdi
kepada ayahku?”
“San San!” Lie Man Chiu
memandangnya dan bertanya dengan suara rendah. “Bagaimana San San?”
“Menurutku Paman harus segera
pulang menengok anak isteni. Selama tujuh tahun ini, aku yakin mereka pasti
menderita sekali. Mungkin juga isteri Paman sudah tiada...."
“Kenapa engkau mengatakan
begitu?” Wajah Lie Man Chiu tampak memelas.
“SuatU penderitaan dan tekanan
batin, akan menyebabkan kematian,” sahut Lu Hui San. “Namun juga tergantUng
dari ketabahan dan pikiran.”
“Benar,” Lie Man Chiu
manggut-mangggut dan melanjutkan. “Mudah-mudahan isteriku tidak akan terjadi apa-apa,
begitu pula putriku itu!”
“Paman Chiu,” ujar Lu Hui San.
“Biar bagaimana pun, paman harus segera pulang menengok anak isteri, jangan
membuat dosa yang akan menimbulkan karma buruk!"
“San San!” Lie Man Chiu
menatapnya dengan penuh rasa heran. “Engkau paham akan dosa dan karma?”
“Paham.” Lu Hui San
mengangguk. “Karena aku sering membaca buku, maka aku tahu tentang dosa dan
karma. Aaaah, ayahku... tidak akan terlepas dan karma buruk!”
“Haah...?” Wajah Lie Man Chiu
memucat, dan seketika ía teringat pula akan semua wejangan-wejangan Tayli Lo
Ceng, gurunya. "Aku... aku memang telah berdosa, karena meninggalkan anak
isteri.”
“Kalau Paman sudah tahu dosa,
haruslah segera bertobat,” ujar Lu Hui San dan menambahkan. “Siapa yang mau
bertobat, tentu dapat meringankan dosanya pula.”
“San San!” Mendadak Lie Man
Chiu memegang bahunya. “Terima kasih atas semua petunjukmu!”
“Paman Chiu...” Lu Hui San
tersenyum. “Oh ya! Paman sering pergi bersama ayahku, sebetulnya pergi
mengurusi apa?”
“Tentunya urusan kerajaan,”
sahut Lie Man Chiu singkat, sebab LU Thay Kam telah berpesan padanya, tidak
boleh memberitahukan kepada Lu Hui San mengenai kegiatan mereka.
“Oooh!” Lu Hui San
manggut-manggut. “Paman Chiu, apakah ayahku akan memperbolehkan aku pergi
merantau?”
“Kelihatannya ayahmu
memperbolehkan.”
“Oh?” Wajah Lu Hui San tampak
berseri. “Syukurlah kalau begitu!”
-oo0dw0oo-
Di dalam markas Hiat Ih Hwe,
tampak Lu Thay Kam dan Lie Man Chiu duduk di ruang depan. Mereka berdua
mengenakan jubah merah, namun tidak memakai topeng lagi. Sebab para anggota
telah bersumpah, tidak akan membocorkan identitas ketua maupun wakil ketua
mereka.
“Lapor kepada ketua dan wakil
ketua!” ujar salah seorang anggota sambil memberi hormat. “Belum lama ini dalam
rimba persilatan telah muncul Giok Siauw Sin Hiap. Ketika kami ingin turun
tangan membunuh para anggota Tiong Ngie Pay, dia muncul menolong mereka.”
“Kenapa kalian tidak membunuh
Giok Siauw Sin Hiap itu?” tanya Lu Thay Kam dengan wajah gusar.
“Kepandaiannya sangat tinggi, kami
tidak sanggup melawannya.” jawab orang itu dengan kepala tertunduk.
“Hm!” dengus Lu Thay Kam.
“Engkau boleh mundur ke tempat berdirimu!
“Terima kasih, ketua! ucap
orang itu dan segera mundur ke tempat ia berdiri tadi.
"Masih ada lagi yang mau melapor?"
tanya Lu Thay Kam.
"Ada, Ketua," sahut
seseorang sambil maju sekaligus memberi hormat. "Beberapa hari lalu, kami
pergi hendak membunuh Tan Thian Song, pembesar di kota Keng Ciu. Namun ada dua
gadis disana, salah satu gadis itu melawan kami.”
“Kalian berhasil membunuh
gadis itu?"
“Kami tidak berhasil
membunuhnya, sebab dia berkepandaian tinggi dan memiliki sebilah pedang
pusaka.”
“Oh? Lalu bagaimana
kalian?"
“Kami terpaksa kabur.”
“Siapa kedua gadis itu?”
“Gadis yang melawan kami
adalah Hong Hoang Lihiap, sedangkan yang satu lagi adalah Kim Siauw Siancu.”
Betapa terkejutnya Lie Man
Chiu ketika mendengar ucapan itu. Hong Hoang Lihiap? Hong Hoang Pokiam (Pedang
Pusaka Burung Phonix) itu adalah kepunyaan Tio Hong Hoa, isterinya. Apakah
gadis yang mengaku Hong Hoang Lihiap itu Lie Ai Ling, putrinya? Pikir Lie Man
Chiu dengan wajah berubah tak menentu.
“Hmm!” dengus Lu Thay Kam
dingin sambil mengibaskan tangannya. Orang itu segera kembali ke tempatnya,
sedangkan Lu Thay Kam berseru. “Gak Cong Heng!”
“Ya, ketua.” Gak Cong Heng
langsung menghadap. Orang tersebut adalah kepala para anggota Hiat Ih Hwe. “Ada
perintah apa untukku?”
“Engkau harus mengatur
beberapa orang untuk membunuh Tan Thiam Song, Hong Hoang Lihiap, Kim Siauw
Siancu dan Giok Siauw Sin Hiap.”
“Ya.” Gak Cong Heng memberi
hormat. “Kuterima perintah Ketua dan pasti kulaksanakan dengan baik.”
“Bagus!” Lu Thay Kam
manggut-manggUt, kemudian memandang Lie Man Chiu seraya berkata, “Aku mau
kembali ke istana, engkau tetap di sini mengatur semua itu.”
"Ya Lu Kong Kong,” sahut
Lie Man Chiu sambil memberi hormat.
Lu Thay Kam melesat pergi.
Kemudian Lie Man Chiu berunding dengan Gok Cong Heng....
-oo0dw0oo-
Malam belum begitu larut, Lu
Hui San duduk di halaman istana menunggu Lu Thay Kam pulang. Mendadak
berkelebat sosok bayangan ke badapannya, dan terdengar pula suara teguran.
“San San! Kenapa engkau belum
tidur? Sosok bayangan itu ternyata Lu Thay Kam.
“Aku menunggu Ayah
pulang," sahut Lu Hui San sambil tersenyum. “Bukankah tadi pagi Ayah telah
berjanji?
“Ha ha-ha!” Lu Thay Kam
tertawa gelak. “Ayah ingat itu, mari ikut ayah ke kamar!”
Lu Hui San mengikuti Lu Thay
Kam kekamar, lalu duduk berhadapan dikamar Lu Thay Kam yang serba mewah.
“San San!” Lu Thay Kam
menatapnya tajam seraya bertanya. “Betulkah engkau telah mengambil keputusan
pasti untuk pergi merantau."
“Betul," Ayah.
“Engkau harus tahu, bahwa
didalam rimba persilatan penuh bahaya, bahkan juga banyak penjahat.”
“Aku bisa menjaga diri, Ayah.”
“Ayah tahu, kepandaianmu sudah
tinggi. Namun...” Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Banyak orang licik
dalam rimba persilatan, ayah khawatir engkau akan terjebak oieh kelicikan
mereka.”
“Ayah!” Lu Hui San tersenyum.
“Aku bukan anak kecil lagi, sebab usiaku sudah enam belas. Tentunya dapat
membedakan orang jahat dan orang baik. Ayah tidak usah mengkhawatirkan itu.”
“San San Lu Thay Kam
menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Mungkin éngkau tahu, aku bukan ayah
kandungmu.”
“Aku tahu, Ayah.” Lu Hui San
mengangguk dan melanjutkan. “Tapi akü telah menganggap Ayah sebagai ayah
kandung.”
“Bagus! Ha-ha-ha!” Lu Thay Kam
tertawa gembira. “Tidak sia-sia ayah membesarkanmu, lagi pula ayah pun telah
menganggapmu sebagal anak kandung.”
“Terima kasih, Ayah!” Lu Hui
San tersenyum dan bertanya. “Ayah, bolehkah ku tahu margaku?”
“Margamu Sie!” Lu Thay Kam
memberitahukan.
“Siapa kedua orang tua
kandungku?" tanya Lu Hui San lagi.
“San San!” Lu Thay Kam
menggelengkan kepala. “Ayah sama sekali tidak tahu tentang itu. Kalau ayah
tahu, pasti memberitahukan”
“Ayah!” Lu Hui San
memandangnya sambil tersenyum. “Ayah tidak akan melarangku pergi merantau,
kan?”
“Engkau sudah besar, maka ayah
tidak bisa mengekang kebebasanmu,” sahut Lu Thay Kam sungguh-sungguh. “Tapi
engkah harus berhati-hati di perantauan, jangan gampang terpincuk oleh
ketampanan ."
“Ya, Ayah!” Wajah Lu Hui San
agak kemerah-merahan.
“Oh ya! Ayah akan
menghadiahkan kepadamu sebilah pedang pusaka.” Lu Thay Kam memberitahukan.
“Juga akan memberimu uang perak dan emas sebagai bekalmu.”
“Terima kasih, Ayah,” ucap Lu
Hui San girang. “Oh ya, pedang pusaka apa itu, Ayah!”
“Itu adalah pedang pusaka
dalam istana, yaitu Han Kong Pokiam.” Lu Thay Kam memberitahukan. “Maka engkau
harus menjaganya baik-baik, jangan sampai hilang.”
“Han Kong Pokiam (Pedang
Pusaka Cahaya dingin)?”
“Tidak salah.” Lu Thay Kam
manggut-manggut. “Pedang pusaka itu sangat ampuh, dapat memotong besi dan lain
sebagainya, bahkan juga memancarkan cahaya dingin.”
“Terima kasih, Ayah!” Lu Hui
San girang bukan main.
“Oh ya!” Lu Thay Kam teringat
sesuatu, kemudian memberikannya sebuah medali emas yang berukiran sepasang
naga. “San San, ini adalah tanda pengenalku. Apabila engkau membutuhkan bantuan
atau uang, temui saja pembesar setempat dan perlihatkan medali ini, pembesar
yang mana pun pasti akan membantumu.”
“Oh?” Wajah Lu Hui San
berseri, ia menyimpan medali itu ke dalam bajunya. “Terima kasih, Ayah!”
“San San,” tanya Lu Thay Kam.
“Kapan engkau berangkat?” “Besok pagi,” jawab Lu Hui San.
“Baiklah,” Lu Thay Kam
manggut-manggut dan herpesan. “Engkau harus berhati-hati dalam perantauanmu,
jangan menimbulkan masalah!”
“Ya, Ayah.” Lu Hui San
mengangguk.
“Dan...” Lu Thay Kam berpesan
lagi. “Terhadap siapa pun, engkau tidak boleh membocorkan identitasmu!”
“Kenapa?”
“Sebab ayah banyak musuh
diluar.” Lu Thay Kam memberitahukan. “Apabila engkau membocorkan identitasmu,
berarti dirimu dalam bahaya. Engkau harus ingat itu!”
“Ya, Ayah!” Lu Hui San
mengangguk dan bertanya. “Kenapa ayah banyak musuh di luar?”
“San San!” Lu Thay Kam
tersenyum. “Ayah sebagai kepala Thay Kam di istana, maka sudah pasti harus
menjaga kaisar. Siapa yang berani memberontak, pasti ayah bunuh. Karena itu,
ayah banyak musuh.”
“Ayah sudah
tua....” Lu Hui
San menggeleng-gelengkan
kepala. “Kenapa tidak mau
hidup tenang dan damai?”
“Ha ha-ha!” Lu Thay Kam
tertawa. “Engkau tidak akan mengerti, maka tidak usah banyak bertanya dan
menasihati ayah."
“Tapi...” Lu Hui San menghela
nafas. “Suatu perbuatan jahat, pasti akan menimbulkan karma buruk. Aku
khawatir....”
“Jangan khawatir!” Lu Thày Kam
tersenyum. “Ayah tidak gampang dibunuh orang, engkau boleh tenang tentang itu.”
Lu Hui San diam, Lu Thay Kam
menatapnya sambil tersenyum lembut dan berkata. “San San, sudah larut malam,
engkau boleh pergi tidur. Sebab besok pagi engkau akan pergi merantau."
“Ya, Ayah!” Lu Hui San
meninggalkan kamar ayahnya menuju kamarnya. Kemudian ia tersenyum gembira,
karena besok pagi akan pergi merantau.
Sementara Lu Thay Kam menuju
ruang khusus. Ia duduk di Situ menunggu Lie Man Chiu pulang. Berselang beberapa
saat kemudian, tampak Lie Man Chiu melangkah ke ruang itu.
“Lu Kong Kong!” panggil Lie
Man Chiu sambil memberi hormat.
“Duduklah!” sahut Lu Thay Kam.
“Terimakasih, Lu Kong Kong!”
ucap Lie Man Chiu lalu duduk di sisinya.
"Bagaimana engkau
mengatur itu?” tanya Lu Thay Kam sambil menatapnya. “Apakah semua itu sudah kau
atur bersama Gak Cong Heng?”
“Sudah, Lu Kong Kong,” jawab
Lie Man Chiu memberitahukan."Beberapa orang akan berangkat ke kota Keng
Ciu untuk membunuh Tan Thiam Song, belasan orang akan pergi membunuh Hong Hoang
lihiap, Kim Siauw Siancu dan Giok Siauw Sin Hiap yang berani menentang
perkumpulan kita."
“Bagus, bagus! Ha ha-ha!” Lu
Thay Kam tertawa gelak. “Oh ya, besok pagi San San akan pergi merantau.”
“Lu Kong Kong mengijinkannya?”
“Dia sudah besar, memang tidak
baik terus diam di istana. Dan pada dia pergi secara diam-diam, bukankah lebih
baik aku mengijinkannya?”
“Betul Lu Kong Kong.”
“Man Chiu!”
“Ya, Lu Kong Kong.
“Besok setelah San San pergi,
engkau harus ke markas untuk membenitahukan Gak Cong Heng, bahwa putriku pergi
merantau. Maka para anggota dilarang mengganggu gadis yang membawa Han Kong
Pokiam.”
“Ya, Lu Kong Kong.” Lie Man
Chiu mengangguk. “Oh ya, bukankah Han Kong Pokiam itu pedang pusaka istana?”
“Betul.” Lu Thay Kam
manggut-manggut dan memberitahukan. “Kaisar telah memberikan pedang pusaka itu
kepadaku, jadi kuhadiahkan pada San San.”
“Lu Kong Kong!” Lie Man Chiu
tersenyum. “Sungguh beruntung San San memperoleh hàdiah pedang pusaka itu!”
“Dia putriku, maka aku harus
menaruh perhatian khusus kepadanya,” ujar Lu Thay Kam sambil tertawa dan
menambahkan. “Entah siapa yang beruntung menjadi jodohnya! Ha-ha-ha...!”
-oo0dw0oo-
Bagian ke Empat belas Pendekar
Pembasmi Penjahat
Sudah tujuh tahun Kam Hay
Thian berada didalam goa bekas markas Bu Tek Pay. Selama itu ia terus
mempelajari Hian Bun Kui Goan Kang Khi, sekaligus melatihnya. Akhirnya ía
berhasil menguasai ilmu lweekang tersebut, sehingga bertambah tinggi pula
lweekangnya.
Setelah itu, mulailah ia
mempelajari kitab peninggalan Pak Kek Siang Ong, yakni Pak Kek Sin Kang, Ciang
Hoat dan Kiam Hoat.
Karena ia telah memiliki Hian
Bun Kui Goan Kang Khi, maka tidak begitu sutit baginya mempelajari ilmu-ilmu peninggalan
Pak Kek Siang Ong.
Kini Kam Hay Thian telah
berusia delapan belas. Ia gagah dan tampan serta telah menguasai Pak Kek Sin
Kang, Pak Kek Ciang Hoat dan Pak Kek Kiam Hoat. Bahkan ia pun telah menemukan
sebilah pedang di tempat itu.
Walau ia telah menguaSai Pak
Kek Sin Kang, ñamun masih belum begitu hebat. Ia dapat mengeluarkan hawa
dingin, tetapi belum dapat membekukan apa pun.
"Hmm!” dengus Kam Hay
Thian. “Kini aku telah berkepandaian tinggi, maka harus membalas dendam dan
membasimi penjahat di rimba persilatan! Aku harus menjadi Chu Ok Hiap (Pendekar
Pembasmi Penjahat) dalam rimba persilatan!”
Kam Hay Thian tampak seakan
bersumpah, kemudian matanya memandang jari tangannya, yang memakai sebuah
cincin Giok pemberian Lie Beng Cu. Ia tersenyUm-SenyUm lalu meninggalkan tempat
itu dengan membawa sebilah pedang.
Ia tidak mau membawa dua kitab
peninggalan Pak Kek Sian Ong dan Kitab Hiang Bun Kui Goan Kang Khi, yang
ditemukannya di tempat tersebut. Namun setelah dikuasai isinya, kedua kitab itu
dibakarnya agar tidak menimbulkan bencana. Karena ia ingat bahwa ayahnya
terbunuh gara-gara sebuah kitab Seng Hwe Cin Keng.
Setelah meninggalkan tempat
tersebut, Kam Hay Thian langsung pulang ke rumahnya karena sangat rindu kepada
ibunya.
Beberapa hari kemudian,
sampailah ía di rumahnya dan langsung melesat ke dalam. Lie Siu Sien, ibunya
sedang duduk di ruang depan sambil menyulam, kelihatan agak tua dan ramhutnya
mulai memutih, padahal usianya baru empat puluhan.
“Haaah...?” Betapa terkejutnya
Lie Siu Sien ketika melihat sosok bayangan berkelebat ke dalam. “Si... siapa?”
Sosok bayangan itu ternyata
Kam Hay Thian, yang langsung bersujud di hadapan Lie Siu Sien. “Ibu, aku Hay
Thian,” ujarnya terisak-isak.
“Apa?” Lie Siu Sien
terbelalak. “Engkau... engkau Hay Thian, anakku?”
“Betul, Ibu!” Kam Hay Thian
mendongakkan kepalanya, tampak air matanya meleleh.
Lie Siu Sien terus
memperhatikan wajah Kam Hay Thian, kemudian memeluknya erat-crat dengan air
mata berderai-derai.
“Hay Thian anakku....” Lie Siu
Sien menangis tersedu-sedu
saking gembiranya. “Engkau
sudah pulang, engkau sudah besar!”
“Ibu....” Kam Hay Thian
bangkit berdiri, dan juga memeluk
Lie Siu Sien erat-erat dengan
terus mengucurkan air mata.
“Nak!” Lie Siu Sieri
menatapnya, kemudian berseri seraya berkata. “Tujuh tahun engkau meninggalkan
ibu, kini usiamu sudah delapan belas tahun. Engkau sudah besar dan tampan, ibu
gembira sekali”
“Ibu!” Kam Hay Thian
tersenyum.
“Nak, mari kita duduk!” Lie
Siu Sien lalu duduk berhadapan dengan puteranya. “Nak, apakah engkau telah
berhasil belajar ilmu sitat tinggi?” tanyanya.
“Aku telah berhasil, Ibu.”
“Oh?” Lie Siu Sien menatapnya
dalam-dalam. “Syukurlah kalau begitu! Nak, ceritakanlah pengalamanmu!”
“Setelah meninggalkan rumah,
aku menuju kota Leng An. Aku belajar ilmu silat kepada guru silat Lie. Putrinya
bernama Lie Beng Cu, yang baik sekali terhadapku.” Kam Hay Thian memberitahukan
sekaligus memperlihatkan cincin giok yang dipakainya, “Cincin giok ini hadiah
dari Lie Beng Cu.”
“Oh?” Lie Siu Sien tersenyum.
“Jadi engkau berguru kepada guru silat itu?”
“Ya.” Kam Hay Thian mengangguk
dan melanjutkan. “Setetah itu, aku berangkat ke markas pusat Kay Pang. Namun
tanpa sengaja aku memasuki sebuah goa, dan di dalam goa itu aku menemukan dua
buah kitab pusaka....”
"Oooh!” Lie Siu Sien
manggut-manggut gembira. “Jadi engkau telah berhasil menguasai semua ilmu yang
ada di dalam kedua kitab itu?”
"Ya”
"Di mana kedua kitab
pusaka itu sekarang?” "Telah kubakar, agar tidak menimbulkan bencana.”
"Bagus!” Lie Siu Sien
mengangguk. “Kalau engkau membawa kedua kitab itu, ibu pun akan menyuruhmu
membakarnya.
“Ibu, kini aku telah memiliki
kepandaian tinggi,” ujar Kam Hay Thian. “Maka aku harus pergi mencari pembunuh
ayah!”
“Ngmm!” Lie Siu Sien
manggut-manggut. “Kapan engkau akan pergi mencari pembunuh itu?”
"Besok pagi.”
"Kok begitu cepat?”
"Ibu!” Kam Hay Thian
tersenyum. “Aku cepat pergi cepat pulang, dan setelah itu, aku tidak akan
meninggalkan ibu lagi.”
"Baiklah.” Lie Siu Sien
mengangguk lalu berpesan. “Namun engkau harus berhati-hati, sebab pembunuh
ayahmu itu berkepandaian sangat tinggi.“
"Aku pasti berhati-hati,
Ibu.”
"Oh ya! Engkau harus
mencari Tio Cie Hiong, dan mohonlah petunjuk kepadanya!” pesan Lie Siu Sien
lagi.
"Ya, Ibu.”
"Kalau sudah berhasil
membunuh pembunuh ayahmu, engkau harus segera pulang, jangan terus berkecimpung
dalam rimba persilatan! Oh ya. apabila engkau bertemu gadis yang cantik, harus
bawa dia kemari.”
“Ibu....” Kam Hay Thian
tersenyum. “Pikiranku hanya ingin
membalas dendam, bagaimana
mungkin memikirkan itu?”
“Nak!” Lie Siu Sien menatapnya
dalam-dalam. “Usiamu sudah delapan belas, tentunya akan bertemu anak gadis.
Kalau kalian sudah saling mencinta, jangan lupa bawa dia pulang!”
“Ya, Ibu.” Kam Hay Thian
mengangguk dengan wajah agak kemerah-merahan.
“Nak....” Lie
Siu Sien menarik
nafas dalam-dalam. “Kini
legalah hati ibu, karena
engkau telah memiliki kepandaian tinggi.”
-oo0dw0oo-
Keesokan harinya, berangkatlah
Kam Hay Thian pergi mencari pembunuh ayahnya. Dua hari kemudian, ia memasuki
sebuah rimba. Mendadak keningnya berkerut, ternyata ia mendengar suara jeritan
minta tolong.
Segeralah Kam Hay Thian
melesat ke arah suara jeritan itu. Ia melihat beberapa lelaki sedang berusaha
memperkosa seorang wanita muda. Menyaksikan kejadian itu, mendidihlah darahnya.
“Hentikan!” bentaknya dengan
suara mengguntur.
Mendengar bentakan itu, mereka
sangat terkejut dan langsung menoleh. Tetapi ketika mendapatkan kenyataan bahwa
yang membentak itu seorang pemuda, mereka tertawa gelak.
“Ha ha ha! Anak muda, lebih
baik engkau pergi! Jangan menganggu kesenangan kami!”
“Hmm!” dengus Kam Hay Thian
dingin. “Siapa kalian?”
“Mereka penjahat,” sahut
wanita muda itu, yang pakaiannya sudah tidak karuan tersobek sana sini. “Mereka
menculikku.”
“Diam!" bentak salah
seorang penjahat itu.
“Bagus, bagus!” Kam Hay Thian
tertawa dingin. “Ternyata kalian semua penjahat, kebetulan aku adalah Chu Ok
Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat)!”
“Apa?” para penjahat itu
tertegun. “Chu Ok Hiap? Kami tidak pernah mendengar nama itu!”
“Kini kalian telah mendengar,
maka ajal kalian pun telah tiba!” sahut Kam Hay Thian sambil menghunus
pedangnya. “Kalian bersiaplah untuk mampus!”
“Mari kita serang dia!” seru
salah seorang dari mereka, dan seketika juga para penjahat itu menyerang Kam
Hay Thian dengan pedang dan golok.
"Ha ha-ha!” Kam Hay Thian
tertawa dingin. “Kalian semua harus mampus!”
Mendadak ia menggerakkan
pedangnya untuk menangkis, dan balas menyerang menggunakan Pak Kek Kiam Hoat.
Seketika hawa pun berubah dingin, kemudian terdengar suara jeritan yang
menyayat hati.
“Aaaakh! Aaaakh! Aaaaakh...!”
para penjahat itu telah roboh mandi darah, dan nyawa mereka pun melayang
seketika. Dada mereka berlubang tertembus pedang Kam Hay Thian. Ternyata Kam Hay
Thian mengeluarkan jurus Keng Thian Tung Te (Mengejutkan Langit Menggetarkan
Bumi), yaitu salah satu jurus ilmu pedang Pak Kek Kiam Hoat.
Wanita muda itu terbelalak
menyaksikannya, dan mulutnya ternganga lebar saking kagetnya.
“Kakak!” ujar Kam Hay Thian
sambil menyarungkan kembali pedangnya. “Kini sudah aman, kakak boleh pulang.
“Terima kasih, siauw hiap!”
ucap wanita muda itu dan memberitahukan. “Aku tinggal di desa yang tak jauh dan
sini, bagaimana kalau siauw hiap ikut aku ke sana?"
Kam Hay Thian berpikir
sejenak, setelah itu barulah ia mengangguk seraya berkata. “Baiklah,”
Kam Hay Thian melepaskan baju
luar salah seorang penjahat yang sudah jadi mayat, lalu diberikan kepada wanita
muda itu. “Pakailah baju luar ini untuk menutupi tubuhmu!”
“Terima kasih!” ucap wanita
muda berusia dua puluhan itu dengan wajah agak kemerah-merahan.
Setelah memakai baju luar, Ia
segera meninggalkan rimba itu, dan Kam Hay Thian berjalan disampingnya.
"Siau-hiap, bolehkah aku
tahu namamu!” “Namaku Kam Hay Thian. Nama kakak?” "Tan In Ngo.”
“Kakak In Ngo, apakah masih
jauh desa tempat tinggalmu?”
“Tidak begitu jauh, sepetanak
nasi lagi kita akan sampai di sana.”
“Itu cukup jauh, lagi pula
hari pun sudah mulai gelap,” ujar Kam Hay Thian dan menambahkan.
“Kakak In Ngo, aku akan
menggendongmu di punggung agar kita cepat sampai di desa itu!”
“Tapi....” Tan In Ngo merasa
tidak enak, walaupun usianya
lebih besar, namun ia tetap
seorang wanita yang mempunyai rasa malu.
“Kakak In Ngo, jangan merasa
malu, anggaplah aku adikmu!” ujar Kam Hay Thian sungguh-sungguh.
“Baiklah.” Tan In Ngo segera
merangkul leher Kam Hay Thian.
“Rangkul erat-erat Kakak In
Ngo!” pesan Kam Hay Thian. “Sebab aku akan menggunakan ginkang.”
“Ya,” Tan In Ngo mengangguk.
“Jangan takut, sebab aku akan
berlari cepat seka1i. "Lebih baik pejamkan matamu!” ujar Kam Hay Thian.
“Ya,” Tan In Ngo pun
memberitahukan. “Lurus saja ke depan, jangan membelok!”
“Rangkul leherku erat-erat,
jangan kendur!” pesan Kam Hay Thian lagi. “Dan jangan lupa pejamkan matamu!”
Begitu Tan In Ngo menyahut
‘Ya’, Kam Hay Thian mengerahkan ginkangnya, sehingga badannya melesat cepat ke
depan.
Bukan main terkejutnya wanita
muda itu, sebab ia merasa dibawa terbang dan telinganya pun jadi bising, karena
mendengar suara desiran angin.
Berselang beberapa saat
kemudian, barulah Kam Hay Thian menghentikan langkahnya, namun Tan In Ngo masih
tidak berani membuka matanya, karena takut Kam Hay Thian akan berlari cepat
lagi.
“Kakak In Ngo, kita sudah
sampai di desa.” Kam Hay Thian memberitahukan.
Tan In Ngo segera membuka
matanya. Dilihatnya belasan orang sedang memandang Kam Hay Thian dengan mata
terbelalak.
“Ayah! Ibu...” Tan In Ngo
berlari menghampiri kedua orang tuanya.
“In Ngo! In Ngo....” Ibunya
memeluknya erat-erat. “Engkau
tidak apa-apa?”
“Ibu...,” Air mata Tan In Ngo
meleleh. “Aku tidak apa-apa, karena siauw hiap itu keburu muncul menolongku,”
ujarnya.
“Terima kaSih, Siauw hiap!”
ucap kedua orang tua Tan In Ngo.
“Paman dan Bibi, jangan
memanggilku siauW hiap, namaku Kam Hay Thian,” sahutnya sambil tersenyum.
“Panggil saja namaku!”
“Hay Thian....” Kedua orang tua Tan In Ngo
memandangnya dengan kagum dan
bersyukUr dalam hati.
Sementara para penduduk desa
itu mulai bermunCUlan mengerumuni Kam Hay Thian, Kemudian muncul pula kepala
desa.
“Cungcu (Kepala Desa)!” Tan In
Ngo segera memberitahukan. “Adik Hay Thian yang menolongku.
“Oh?" Cungcu itu
memandang Kam Hay Thian sambil manggut-manggut. “Terima kaSih, Hay Thian!"
“Cungcu tidak usah mengucapkan
terima kasih, sebab membasmi para penjahat memang tugasku,” ujar Kam Hay Thian.
“Cungcu!” Tan In Ngo
memberitabukan lagi. “Dia adalah Chu Ok Hiap.”
“pendekar Pembasmi Penjahat?”
CungCU itu terbelalak karena melihat Kam Hay Thian masih muda. “Engkau berhasil
membunuh penjahat-Penjahat itu?”
“Cungcu....” Tan In Ngo
menutur tentang kejadian yang
menimpanya.
Penuturan itu sudah barang
tentu membuat Cungcu, kedua orang tuanya dan para penduduk desa itu memandang
Kam Hay Thian dengan penuh rasa kagum.
“Sungguh tak disangka!” ujar
Cungcu sambil tersenyum. “Usiamu masih semuda itu, tapi kepandaian sangat
tinggi!”
Kam Hay Thian hanya tersenyum.
Cungcu itu menatap Tan In Ngo.
“Engkau tidak apa-apa kan?” tanyanya dengan suara rendah.
“Para penjahat itu berusaha
memperkosaku, tapi untung Adik Hay Thian keburu muncul menolongku. Kalau tidak,
mereka pasti berhasil memperkosaku.”
“Syukurlah engk~u selamat!”
Cungcu itu manggut-manggut, namun kemudian menghela nafas panjang. “Mereka cuma
anak buah, masih ada kepalanya,” katanya.
“Oh?” Kam Hay Thian
mengerutkan kening. “Jadi para penjahat itu mempunyai pemimpin?”
“Betul,” Cungcu itu
mengangguk. "Mereka sering kemari menculik kaum wanita, mungkin pemimpin
itu akan muncul.”
“Kalau begitu....”
ujar Kam Hay
Thian setelah berpikir
sejenak. “Aku akan menunggu
kemunculan pemimpin mereka.”
“Terima kasih, terima kasih!”
ucap Cungcu itu dengan wajah berseri, sebab memang ini yang diharapkannya.
“Kalau begini.." Tan In
Ngo memandang Kam Hay Thian. “Bagaimana kalau engkau menginap dirumah
kami?"
"Baiklah," Kam Hay
Thian mengangguk dan menambahkan. “Sebelum membasmi habis para penjahat itu,
aku tidak akan meninggalkan desa ini.
“Terima kasih, terima kasih!”
ucap Cungcu itu dengan wajah berseri, lalu meninggalkan tempat itu.
"Adik Hay Thian, mari
ikut kami ke rumah!” ajak Tan In Ngo.
Kam Hay Thian mengangguk, lalu
mengikuti mereka menuju sebuah rumah yang sangat sederhana. Kedua orang tua Tan
In Ngo langsung memotong ayam untuk menjamu, dan tak lama kemudian muncul para
pembantu Cungcu mengantarkan arak wangi.
Yang paling gembira adalah Tan
In Ngo, karena dengan adanya Kam Hay Thian di rumahnya, sudah barang tentu
mereka sekeluarga jadi terpandang.
Seusai bersantap, kedua orang
tua Tan In Ngo masuk ke dalam untuk tidur, sedangkan Tan In Ngo masih tetap
menemani Kam Hay Thian.
“Kakak In Ngo, sudah larut
malam, tapi kenapa engkau belum tidur?” tanya Kam Hay Thian sambil
memandangnyà.
"Aku ingin mengobrol
denganmu. Boleh kan?” Tan In Ngo tersenyum.
“Tentu boleh,” Kam Hay Thian manggut-manggut
dan tersenyum. “Baik, mari kita mengobrol sebentar!”
“Adik Hay Thian, engkau masih
mempunyai orang tua?”
“Cuma mempunyal ibu, sebab
ayahku telah meninggal dibunuh penjahat,” Kam Hay Thian memberitahtikan.
“Karena itu, aku sangat membenci para penjahat.”
“Oooh!” Tan In Ngo
manggut-manggUt. “Pantas engkau tidak memberi ampun kepada para penjahat itu.”
“Kalau aku mengampuni mereka,
sama juga menyuruh mereka melakukan kejahatan lagi?
“Adik Hay Thian!” Tiba-tiba
Tan In Ngo mengerutkan kening. “Kepandaian pemimpin para penjahat itu sangat
tinggi, engkau harus hati-hati menghadapinya,” ujarnya.
“Ya.” Kam Hay Thian mengangguk
dan menambahkan. “Pokoknya aku harus membunuh pemimpin penjahat itu, agar tidak
mengganggu orang lagi.”
“Adik Hay Thian!” Tan In Ngo
tertawa kecil. “Karena engkau telah menolongku secara tidak langsung telah
mengangkat nama keluarga kami.”
“Oh, ya?” Kam Hay Thian
tersenyum.
“Biasanya para penduduk di
sini tidak begitu mengacuhkan kami, apalagi Cungcu,” ujar Tan In Ngo. “Namun
kini sikap mereka telah berubah sama sekali, lebih baik aku memanggilmu adik.”
“Oh?” Kam Hay Thian
menatapnya. “Kenapa para penduduk desa ini tidak begitu mengacuhkan kalian?”
“Karena....” Tan In Ngo
menghela nafas. “Kami merupakan
keluarga yang paling miskin di
desa ini!"
“Oooh!” Kam Hay Thian
manggut-manggut. “Kalau begitu, aku akan secara langsung mengangkat derajat
keluargamu.
“Adik Hay Thian....” Tan In
Ngo terbelalak.
“Tenang!” Kam Hay Thian
tersenyum. “Pokoknya aku mempunyai cara untuk mengangkat derajat keluargamu.”
“Adik Hay Thian, terim kasih!”
Betapa terharunya Tan In Ngo. Kam Hay Thian telah menyelamatkan dirinya, bahkan
kini ingin mengangkat derajat keluarganya, sudah barang tentu membuat wanita
muda itu terharu sekali.
“Kakak In Ngo, engkau harus
tidur, sudah lewat tengah malam,” ujar Kam Hay Thian.
“Bagaimana engkau?”
“Aku cukup duduk beristirahat
di sini saja.”
“Baiklah, aku mau tidur.” Tan
In Ngo melangkah ke dalam, sedangkan Kam Hay Thian menggeleng-gelengkan kepa1a,
lalu memejamkan matanya untuk tidur sejenak, heninglah suasana di rumah itu.
Ketika menjelang pagi,
terdengarlah suara derap kaki kuda memasuki desa itu. Tan In Ngo dan keduâ
orang tuanya segera bangun, lalu kedepan menemul Kam Hay Thian dengan wajah pucat
pias.
“Adik Hay Than, pemimpin
penjahat itu telah datang.”
“Tenang saja!” sahut Kam Hay
Thian dan menámbahkan. “Aku akan pergi menyambut mereka.”
“Hati-hati Adik Hay
Thian!" pesan Tan In Ngo.
Kam Hay Thian mengangguk, lalu
membuka pintu dan langsung melesat pergi. Sementara itu sudah tidak terdengar
suara derap kaki kuda lagi, ternyata kuda-kuda telah berhenti.
Tampak beberapa orang meloncat
turun dari punggung kuda, yang rata-rata bertampang seram, apalagi pemimpin
penjahat itu, brewok dan sebelah matanya ditutup dengan kain hitam.
“Hari ini kita harus
menghabiskan para penduduk desa ini, karena beberapa anak buahku telah mati di
sini!” seru pemimpin penjahat itu.
“Ya, Tay Ong (Raja Besar),”
sahut belasan anak buahnya dengan serentak.
Pada saat bersamaan, melayang
turun seseorang sambil tertawa dingin, yang tidak lain Kam Hay Thian.
“Siapa engkau?” pemimpin
penjahat itu terkejut.
“Aku Chu Ok Hiap!” sahut Kam
Hay Thian. “Beberapa anak buahmu telah mati di tanganku!”
“Jadi engkau yang membunuh
mereka?” pemimpin penjahat itu terbelalak, karena Kam Hay Thian masih begitu
muda, namun mampu membunuh beberapa anak buahnya, yang berkepandaian cukup
tinggi.
“Betul!” sahut Kam Hay Thian
sambil tersenyum dingin. “Pagi ini kalian semua pun harus mampus!”
“Ha ha-ha!” Pemimpin penjahat
itu tertawa terbahak-bahak. “Anak muda, engkau yang akan mampus! Ayoh, cepat
serang dia!”
Pemimpin penjahat itu memberi
perintah kepada para anak buahnya, dan seketika itu juga para anak buahnya
menyerang Kam Hay Thian dengan serentak.
Kam Hay Thian tertawa dingin
sambil menghunus pedangnya, kemudian menangkis dan balas menyerang menggunakan
Pak Kek Kiam Hoat, mengeluarkan jurus Keng Thian Tun Te (Mengejutkan Langit
Menggetarkan Bumi). Tampak pedangnya berkelebatan dan mengeluarkan hawa yang
sangat dingin.
“Aaakh! Aaaakh! Aaaakh...!”
Terdengar suara jeritan. Ternyata bebera~pa penjahat itu telah roboh berlumuran
darah, dan nafas mereka pun putus seketika.
Kam Hay Thian tidak diam
sampai di situ, tetapi menyerang lagi sisa-sisa penjahat itu dengan jurus Thian
Gwa Kiam In (Bayangan Pedang Diluar Langit). Terdengar lagi suara jeritan,
sisa-sisa penjahat itu pun roboh mandi darah.
Betapa terkejutnya pemimpin
penjahat itu. Wajahnya pun sudah pucat pias. Kam Hay Thian mengarah padanya,
kemudian ujarnya dingin.“Sekarang giliranmu!”
“Siauw hiap, arnpunilah aku!”
Pemimpin penjahat itu berlutut di hadapan Kam Hay Thian sambil memohon.
“Ampunilah aku....”
“Mengampunimu?" Kam Hay
Thian menatapnya dingin.
“Ya.” Pemimpin penjahat itu
mengangguk perlahan.
“Engkau sering membunuh orang
dan memperkosa kaum wanita, bukan?” tanya Kam Hay Thian sambil menatapnya
tajam.
“Ya. Tapi kini aku sudah mau
bertobat, sungguh!” Pemimpin penjahat itu membentur-benturkan kepalanya di
tanah. “Siauw hiap, ampunilah aku!”
"Memang sudah waktunya
engkau bertobat, selama-lamanya engkau tidak akan bisa melakukan kejahatan
lagi!” ujar Kam Hay Thian dan mendadak menggerakkan pedangnya secepat
kilat.Casss! Putuslah leher pemimpin penjahat itu, dan kepalanya menggelinding
bagaikan bola.Setelah para penjahat dan pemimpin penjahat itu mati, barulah Tan
In Ngo dan kedua orang tuanya keluar, kemudian disusul para penduduk dan
Cungcu.
“Adik Hay Thian!” panggi! Tan
In Ngo.
“Kakak In Ngo!” sahut Kam Hay
Thian sambil tersenyum. “Mulai sekarang desa ini sudah aman.”
Tan In Ngo mengangguk, dan
Cungcu mendekati Kam Hay Thian sambil tersenyum-senyum. “Siauw hiap, sungguh
hebat
engkau! Hanya seorang diri
engkau mampu membunuh para penjahat dan pemimpinnya itu.”
“Cungcu!” ujar Kam Hay Thian
memberitahukan. “Tan In Ngo adalah kakak angkatku, sudah barang tentu kedua
orang tuanya juga orang tua angkatku. Mereka sangat miskin, aku harap Cungcu
mau menaruh perhatian kepada mereka!”
“Tentu, tentu,” sahut Cungcu
sambil tertawa. “Bahkan aku pun akan memberi hadiah kepadamu.”
“Hadiah itu kuterima, tapi
harus diserahkan kepada kakak angkatku,” ujar Kam Hay Thian.
“Baik, baik,” sahut Cungcu
sambil manggut-manggut.
Apa yang diucapkan Kam Hay
Thian, membuat Tan In Ngo dan kedua orang tuanya terharu sekali. Mereka tidak
menyangka sama sekali kalau Kam Hay Thian akan mengucapkan begitu dihadapan
Cungcu, yang tentunya mengangkat derajat mereka, sebab Kam Hay Thian mengaku
Tan In Ngo sebagai kakak angkatnya.
“Paman, Bibi, Kakak In Ngo!”
Kam Hay Thian menghampiri mereka. “Kini desa ini telah aman, maka aku mau mohon
pamit!”
“Adik Hay Thian....” Wajah Tan
In Ngo langsung berubah
muram. “Kenapa begitu cepat?”
“Aku masih ada urusan lain,
maka harus segera melanjutkan perjalanan,” sahut Kam Hay Thian, lalu memandang
Cungcu seraya berkata, “Kuharap Cungcu menepati janji, sampai jumpa!”
Begitu Kam Hay Thian melesat
pergi, Tan In Ngo berteriak memanggilnya. “Adik Hay Thian! Adik Hay Thian...!”
Namun Kam Hay Thian sudah
tidak kelihatan. Tan In Ngo pun menangis terisak-isak. Sedangkan cungcu
memandang
mayat-mayat para penjahat itu
sambil menghela nafas panjang dan kemudian bergumam.
"Pemuda itu memang Chu Ok
Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat), karena tiada seorang penjahat pun dibiarkan
hidup.” Setelah bergumam begitu, Cungcu itu pun berkata pada para penduduk.
“Kuburkan mayat-mayat para penjahat Itu!”
Para penduduk menurut. Ketika
orang tua Tan In Ngo ingin membantu, Cungcu segera mencegahnya sambil
tersenyum. “Engkau tidak usah turun tangan membantu mereka, aku ingin
bercakap-cakap sebentar,” ujar Cungcu ramah sekali.
"Cungcu mau
bercakap-cakap apa?" tanya ayah Tan In Ngo dengan rasa heran.
“Begini....” Cungcu itu
menghela nafas panjang. “Selama ini
aku tidak memandang kalian sama
sekali, namun kalian justru tetah menyelamatkan desa ini.”
“Cungcu, kami...” Ayah Tan In
Ngo tergagap. “Bukan kami yang menyelamatkan desa ini, melainkan Chu Ok Hiap -
Kam Hay Thian.”
“Tapi dia anak angkat kalian,
maka kalian pun berjasa dalam hal ini. Di sini aku mohon maaf kepada kalian!”
“Cungcu jangan berkata begitu,
sebab membuat kami merasa malu!”
“Tadi Kam Hay Thian tetah
berpesan, aku harus menaruh perhatian kepada kalian. Nah, apa permintaan
kalian?~
“Tidak ada.” Ayah Tan In Ngo
menggelengkan kepala. “Kami tidak meminta apa pun. Kita semua bersyukur karena
para penjahat berikut pemimpinnya telah dibasmi, kini desa kita ini sudah
aman.”
“Aku tahu kalian bidup
melarat, maka.... Tan In Ngo akan
kuangkat sebagai anak angkat,
bahkan aku pun akan menghadiahkan beberapa bidang sawah untuk kalian.”
“Cungcu....” Ayah dan ibu Tan
In Ngo terbelalak. Begitu
pula Tan In Ngo sendiri, yang
tidak menyangka kalau Cungcu yang kaya raya itu akan mengangkatnya sebagai
anak.
“Kalian Jangan menolak, sebab
kalau kalian menolak, aku akan merasa tidak enak terhadap Kam Hay Thian,” ujar
Cungcu sambil tertawa, kemudian berseru memberitahukan kepada para penduduk
yang telah usai mengubur mayat-mayat para penjahat. “Kalian semua dengar
baik-baik, mulai hari ini Tan In Ngo adalah putri angkatku! Oleh karena itu,
aku akan mengadakan pesta besar-besaran hari ini, harap kalian semua hadir!”
“Terima kasih, Cungcu!” sahut
para penduduk, lalu berkata kepada Tan In Ngo yang berdiri mematung di tempat.
“Selamat, In Ngo!”
Saking girangnya, Tan In Ngo
nyaris menangis seketika. Ia semakin terharu dan berterima kasih kepada Kam Hay
Thian, sebab semua itu berkat jasa pemuda tersebut.
-oo0dw0oo-
Sementara itu, di halaman
istana Tayli, tampak Lam Kiong Bie Liong, Toan Pit Lian, Toan Wie Kie dan Gouw
Sian Eng duduk melamun.
“Aaaah.!” Lam Kiong Bie Liong
menghela nafas panjang. “Sudah tujuh tahun lebih, kénapa Soat Lan dan Beng Kiat
masih belum pulang?”
“Aku yakin tidak lama lagi
mereka akan pulang,” sahut Toan Wie Kie. “Aku ingat akan ucapan Tayli Lo Ceng
ketika itu, padri tua itu bilang tujuh delapan tahun, Soat Lan dan Beng Kiat
pasti pulang?
“Benar.” Gouw Sian Eng
manggut-manggut. “Aku pun masih ingat akan ucapan Tayli Lo Ceng itu.”
“Tapi..” Toan Pit Lian ingin
mengatakan sesuatu, namun terputus mendadak karena melihat dua sosok bayangan
berkelebat ke arah mereka
“Ayah! Ibu!” Terdengar pula
suara seruan.
“Soat Lan?” Lam Kiong Bie
Liong dan Toan Pit Lian terbelalak.
“Beng Kiat?” Toan Wie Kie dan
Gouw Sian Eng juga terbelalak.
Kedua sosok bayangan itu
ternyata Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat, yang tidak mereka duga sama
sekali.
“Ayah, Ibu!” Lam Kiong Soat
Lan langsung mendekap di dada Toan Pit Lian.
“Ayah, Ibu!” Toan Beng Kiat
bersujud dihadapan kedua orang tuanya.
“Soat Lan....” Toan Pit Lian memeluknya erat-erat,
sedangkan Lam Kiong Bie Liong
tidak henti-hentinya membelai putrinya.
“Nak!” Gouw Sian Eng segera
membangunkan Toan Beng Kiat dengan mata basah. “Engkau...engkau sudah
pulang...."
“Ibu, aku sudah pulang.”
“Nak!” Toan Wie Kie
membelainya. tidak menyangka engkau sudah besar.”
“Ayah....” Toan Beng Kiat
tersenyum.
“Oh ya!" tanya Toan Wie
Kie. “Kok Tayli Lo Ceng tidak kemari?"
“Guru mengantar kami sampal di
daerah Tayli, lalu pergi,” jawab Toan Beng Kiat memberitahukan.
Sementara Lam Kiong Bie Liong
dan Toan Pit Lian juga tak henti-hentinya bercakap-cakap dengan putri mereka.
“Soat Lan!” Toan Pit Lian
menatapnya sambil tersenyum. “Engkau sudah besar dan cantik sekali, ibu merasa
puas dan bangga.
“Soat Lan!” ujar Lam Kiong Bie
Liong sambil tersenyum. “Ayah yakin, kepandaianmU pasti sudah tinggi sekali”
“Kira-kira begitulah, Ayah,”
sahut Lam Kiong Soat Lan sambil tersenyum manis dan melanjutkan.
“Kini aku dan Beng Kiat telah
menguasai seluruh ilmu yang dimiliki guru.
“Syukurlah!” Lam Kiong Bie
Liong tertawa gembira kemudian berseru, “Wie Kie, mari kita ajak mereka menemui
Hong Ya!”
“Baik.” Toan Wie Kie
mengangguk.
Mereka semua lalu memasuki
ruang tengah. Kebetulan Toan Hong Ya dan Hujin sedang duduk di situ sambil
bercakap-cakap. Ketika melihat Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat, mereka
terbelalak.
“Soat Lan? Beng Kiat?” gumam
Toan Hong Ya.
“Kakek, Nenek!” Lam Kiong Soat
Lan dan Beng Kiat segera bersujud.
Betapa gembiranya Toan Hong Ya
dan Hujin. Mereka berdua terus tertawa gembira.
“Kalian bangunlah!” ujar Toan
Hong Ya.
“Ya,” Lam Kiong Soat Lan dan
Toang Beng Kiat segera bangkit berdiri.
“Ayohlah! Kalian semua duduk
saja, jangan terus berdiri!” ujar Toan Hong Ya sambil tertawa-tawa.
Mereka segera duduk. Toan Beng
Kiat menengok kesana-kemari seakan sedang mencari sesuatu.
“Dimana kakek tua? Kok tidak
berada disini?” tanyanya.
“Nak,” sahut Gouw Sian Eng
sambil menghela nafas panjang. “Kakek tuamu telah meninggal!”
“Apa?” Toan Beng Kiat terkejut
dan matanya mulai basah. “Kapan kakek tua meninggal?”
“Dua tahun yang lalu,” sahut
Gouw Sian Eng.
“Aaaakh...!” keluh Toan Beng
Kiat. “Tak disangka aku tidak akan bertemu kakek tua!”
Sementara Lam Kiong Soat Lan
juga menengok kesana kemari dengan penuh rasa heran, karena dan tadi tidak
melihat Lam Kiong hujin, neneknya.
“Ayah, di mana nenek? Kok
tidak muncul?" tanya gadis itu.
“Nenekmu telah meninggal,”
sahut Lam Kiong Bie Liong sanibil menghela nafas panjang.
“Haah...?" Lam Kiong Soat
Lan langsung menangis terisak-isak. “Kapan nenek meninggal?"
“Dua tahun yang lalu,” Lam
Kiong Bie Liong memberitahukan dengan wajah murung.
“Nenek meninggal karena
sakit?” tanya Lam Kiong Soat Lan.
Lam Kiong Bie Liong, Toan Pit
Lian, Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng segera memandang Toan Hong Ya.
“Beritahukanlah kepada
mereka!” ujar Toan Hong Ya.
Lam Kiong Bie Liong
mengangguk, lalu memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Soat Lan, nenekmu dan Tui Hun
Lojin meninggal karena dibunuh orang.”
“Apa?” Lam Kiong Soat Lan dan
Toan Beng Kiat terkejut bukan main, dan wajah pun tampak sedih. “Siapa pembunuh
itu?”
“Entahlah,” Lam Kiong Bie
Liong menggelengkan kepala.
“Ayah,” tanya Toan Beng Kiat.
“Bagaimana kejadian itu? Bolehkah Ayah menuturkannya?”
“Kejadian itu....” Toan Wie
Kie menutur dan menambabkan.
“Kakekmu yang kemari
memberitahukan.”
“Ayah! Aku barus membalas
dendam!” ujar Toan Beng Kiat dengan berkertak gigi.
“Aku juga!” sambung Lam Kiong
Soat Lan.
“Kalian....” Toan Hong Ya
menggeleng-gelengkan kepala.
“Bagaimana mungkin kalian
membalas dendam, sebab tidak tahu siapa pembunuhnya?”
“Kami akan menyelidikinya,”
ujar Toan Beng Kiat sungguh-sungguh.
“Nak!” Toan Wie Kie
menggeleng-gl!engkan kepala. “Kalian berdua masih kecil, lagi pula belum
berpengalaman dalam rimba persilatan.”
“Kalau begitu, apakab kita
harus diam saja?” tanya Toan Beng Kiat dengan kening berkerut.
“Ayah, kami sudab tidak kecil,
usia kami sudah enam belas, lagi pula kepandaianku cukup tinggi.”
“Nak,” ujar Gouw Sian Eng.
“Kalian tidak boleh pergi menuntut balas, sebab semua itu urusan kami.”
“Juga urusanku,” Toan Beng
Kiat berkeras.
“Sama,” sambung Lam Kiong Soat
Lan. “Beng Kiat, biar bagaimana pun kita harus pergi menyelidiki pembunuh Itu.”
“Betul,” Toan Beng Kiat
mengangguk.
“Eh?” Toan Hong~Ya menatap
mereka tajam. “Kenapa kalian berdua tidak mau menuruti perkataan orang tua?”
"Kakek, kami” Toan Beng
Kiat menundukkan kepala.
“Nak,” ujar Toan Wie Kie
lembut. “Tentang ini akan kita bicarakan lagi nanti, karena kalian berdua baru
pulang hari ini.”
“Ya, Ayah,” Toan 8eng Kiat
mengangguk.
“Beng Kiat!” Lam Kiong Soat
Lan teringat sesuatu. Bukankah guru menitip sepucuk surat untuk kakek?
“Ya,” Toan Beng Kiat segera
mengeluarkan sepucuk surat lalu diberikan kepada Toan Hong Ya.
Toan Hong Ya menerima surat
itu, lalu dibacanya. Surat tersebut berbunyi demikian.
"Toan Hong Ya: 'Semua
urusan harus diserahkan kepada kedua muridku, biar mereka ke Tionggoan. Namun
ingat, yang lain tidak boleh ikut, sebab akan membahayakan nyawa mereka' Tayli
Lo Ceng."
“Ayah,” tanya Toan Wie Kie.
“Apa yang ditulis Tayli Lo Ceng?”
“Bacalah sendiri!” sahut Toan
Hong Ya sambil memberikan surat itu kepada putranya.
Toan Wie Kie menenima surat
itu, kemudian dibacanya dengan kening berkerut-kerut.
“Kakak” Toan Pit Lian
menatapnya “Bagaimana bunyi surat itu?”
“Bacalah!” Toan Wie Kie
memberikan surat itu kepada adiknya. Lam Kiong Bie Liong juga ikut membaca, dan
keningnya pun berkerut-kerut.
“Siapa yang dimaksudkan ‘Yang
lain’ itu?" tanyanya.
“Tentunya kita berempat,”
sebut Toan Wie Kie.
“Heran?” gumam Toan Pit Lian.
“Kenapa padri tua itu menyuruh Soat Lan dan Beng Kiat ke Tionggoan, sedangkan
kita dilarang ikut?”
“Kalian dengar baik-baiki”
ujar Toan Hong Ya. “Berhubung Tayli Lo ceng menulis begitu, hatiku pun jadi
lega.”
“Jadi Ayah mengijinkan Beng
Kiat dan Soat Lan berangkat ke Tionggoan untuk menyelidiki pembunuh itu?” tanya
Toan Wie Kie.
“Ya,” Toan Hong Ya
manggut-manggut. “Sebab ayah mempercayai padri tua itu, maka kalian pun barus
menuruti pesannya?
“Tapi....” Toan Wie Kie
mengerutkan kening.
“Engkau tidak mempercayai
Tayli Lo Ceng?” Toan Hong Ya menatapnya tajam sambil melanjutkan. “Kita tahu
jelas, bahwa padri tua itu ahli dalam hal meramal. Jadi kalian berempat tidak
boleh ragu.”
Mereka berempat saling
memandang, lama sekali barulah Toan Pit Lian membuka mulut.
“Ayah telah mengambil
keputusan, bahwa Soat Lan dan Beng Kiat boleh berangkat ke Tionggoan
menyelidiki pembunuh itu?”
"Betul"
“Kami....”
"Kalian berempat tidak
boleh ikut,” tegas Toan Hong Ya. “Padri tua telah berpesan demikian, maka
kalian berempat harus mentaatinya.”
“Ayah....” Toan Wie Kie
mengernyitkan kening.
“Kalau kalian betempat berani
melanggar pesan layli Lo ceng, maka selamanya jangan memanggilku ayah
lagi!" ujar Toan Hong Ya sungguh-sungguh.
“Ya, Ayah.” Toan Wie Kie
mengangguk Sedangkan Gouw Sian Eng, Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian diam
saja.
“Ayah, bagaimana kematian
kakek tua?" tanya Toan Beng Kiat.
“Sama seperti Lam Kiong
hujin," Toan Wie Kie memberitahukan. “Sekujur badan mereka hangus terkena
semacam ilmu pukulan yang mengandung api.
“Kalau begitu, tidak suilt
bagi kami menyelidiki pembunuh itu,” ujar Toan Beng Kiat. “Ayah, kami akan
tinggal di sini sebulan, lalu berangkat ke Tionggoan.”
“Tapi....” Toan Wie Kie
menggeleng-gelengkan kepala.
“Ayah, itu adalah pesan dan
guru kami. Maka aku harap Ayah jangan melanggarnya!” ujar Toan Beng Kiat.
"Benar," sela Lam
Kiong Soat Lan. “Itu adalah pesan guru kami, jadi kami barus mentaatinya”
“Baik,” Toan Wie Kie dan Lam
Kiong Bie Liong manggut-manggut. “Kalian boleh berangkat ke Tionggoan, asal
kalian mampu mengalahkan kami berdua."
“Ayah....” Toan Beng Kiat
terbelalak, begitu pula Lam Kiong
Soat Lan. “Kenapa harus
begitu?"
“Kami harus menguji kepandaian
kalian. Apabila kalian mampu mengalahkan kami, pertanda kalian memang telah
berkepandaian tinggi," sahut Toan Wie Kie sungguh-sungguh.
“Maaf, Ayah!” ucap Toan Beng
Kiat. “Terus terang, kami takut salah tangan. Lebih baik kami mempertunjukkan
kepandaian kami saja.”
“Itu memang baik sekali,”
sahut Toan Hong Ya sambil tertawa. “Nah, kalian berdua boleh mulai?"
“Soat Lan," ujar Toan
Beng Kiat sambil bangkit berdiri. “Aku duluan mempertunjukkan kepandaianku.”
“Silakan!” Lam Kiong Soat Lan
tersenyum.
Toan Beng Kiat berjalan ke
tengah-tengah ruangan. Kemudian setelah memberi hormat, Ia mulai mengerahkan
Kim Kong Sin Kang (Tenaga Sakti Cahaya Emas), dan seketika sekujur badannya
memancarkan cahaya keemasan. Toan Hong Ya dan lainnya terbelalak. Di saat
bersamaan mulailah Toan Beng Kiat mempertunjukkan Kim Kong Cap Sah Ciang (Tiga
Belas Jurus Pukulan Cahaya Emas). Sepasang tangannya berkelebat laksana kilat,
dan memancarkan cahaya kekuning-kuningan.
Betapa kagumnya Toan Hong Ya dan
lainnya ketika menyaksikan ilmu pukulan itu. Mereka terbelalak dengan mulut
ternganga lebar.
“Sungguh di luar dugaan!”
bisik Toan Wie Kie kepada Lam Kiong Bie Liong. "Kelihatannya kepandaian
Beng Kiat jauh di atas kita.”
“Benar,” Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut.
“Heran! ilmu pukulan apa itu? Kok memancarkan cahaya kekuning-kuningan?"
“Entahlah!” Toan Wie Kie
menggelengkan kepala.
Sementara Gouw Sian Eng dan
Toan Pit Lan menyaksikan sambil manggut-manggUt, dan wajahnya pun tampak
berseri.
Berselang beberapa saat,
barulah Toan Beng Kiat berhenti, dan kembali ke tempat duduknya.
Menyusul adalah giliran Lam
Kiong Soat Lan mempertunjukkan kepandaiannya, dengan mempertunjukkan Kim Kong
Cap Sah Ciang.
Lam Kiong Bie Liong dan Toan
Pit Lian menyaksikannya sambil tersenyum-senyUm, mereka kelihatan gembira
sekali.
Setelah Lam Kiong Soat Lan
berhenti, Lam Kiong Bie Liong segera bertanya sambil tertawa gembira.
“Soat Lan, ilmu pukulan apa
itu?”
“Itu adalah ilmu pukulan Kim
Kong Cap Sah Ciang,” Lam Kiong Soat Lan memberitahukan. “Ilmu simpanan guru
kami.”
“Oooh!” Lam Kiong Bie Liong
manggut-manggut. “Oh ya, kenapa kalian berdua tidak menggunakan senjata?”
“Kata guru, kami tidak perlu
menggunakan pedang,” jawab Lam Kiong Soat Lan melanjutkan. “Sebab ilmu pukulan
itu dapat menangkis senjata apa pun.”
“Oh?” Lam Kiong Siok Liong
terbelalak. “Kalian tidak belajar ilmu lain lagi kepada guru kalian?”
“Guru juga mengajar kami Thian
Liong Kiam Hoat dan Ciang Hoat,” Lam Kiong Soat Lan memberitahukan. “Bahkan
juga mengajar kami berbagai macam ilmu pedang dan pukulan.”
“Oooh!” Lam Kiong Bie Liong
manggut-manggut.
“Kami belajarHud Bun Pan Yok
Sin Kang,” tambah Toan Beng Kiat. “Setelah itu barulah belajar Kim Kong Sin
Kang.”
“Kata guru, apabila Kim Kong Sin
Kang kami telah mencapai tingkat teratas, maka kami pun tidak mempan dibacok
dan tidak takut racun apa pun,” sambung Lam Kiong Soat Lan.
“Itu... itu adalah Kim Kong
Put Huai,” ujar Lam Kiong Bie Liong terbelalak dan melanjutkan. “Sungguh
beruntung kalian memperoleh ilmu itu!”
“Ayah!” Lam Kiong Soat Lan
bertanya sambil tersenyum. “Tentunya Ayah tidak akan melarang kami ke
Tionggoan, bukan?”
“Ya.” Lam Kiong Bie Liong
mengangguk.
“Ayah....” Toan Beng Kiat
memandang ayahnya.
“Tentunya ayah juga tidak
berkeberatan,” sahut Toan Wie Kie cepat. “Namun biar bagaimanapun, kami harus
membekali kalian masing-masing sebilah pedang.”
“Terima kasih, Ayah!” ucap
Toan Beng Kiat girang.
“Oh ya!” Lam Kiong Soat Lan
teringat sesuatu dan memberitahukan. “Guru tidak mengajar Kim Kong Sin Kang dan
Kim Kong Cap Sah Ciang pada Lie Man Chiu.”
“Oh?” Lam Kiong Bie Liong dan
Toan Wie Kie saling memandang. “Kenapa begitu?”
“Kata guru, Lie Man Chiu....”
Lam Kiong Soat Lan tertawa
kecil. “Maaf, aku telah
melupakan apa yang dikatakan guru!” “Beng Kiat, engkau ingat?" tanya Toan
Wie Kie.
“Aku pun telah lupa, Ayah,”
jawab Toan Beng Kiat.
“Sudahlah!” Lam Kiong Bie
Liong tersenyum. “Itu tidak perlu diingat. Mulai sekarang kami akan
menceritakan pada kalian mengenai rimba persilatan, sebab sebulan kemudian,
kalian berdua akan berkecimpung dalam rimba persilatan Tionggoan.”
“Terima kasih, Ayah!” ucap Lam
Kiong Soat Lan.
Sebulan kemudian, barulah Toan
Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan berangkat ke Tionggoan menuju markas pusat Kay
Pang.
-oo0dw0oo-
Bagian ke Lima belas Bertemu
ketua Tiong Ngie Pay
Setelah meninggalkan markas
pusat Kay Pang, Tio Bun Yang terus melanjutkan perjalanannya dengan tujuan
mencari pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.
Dua hari kemudian, di saat ia
sedang melangkah perlahan di jalan yang sepi, mendadak muncul beberapa orang,
yang kemudian memberi hormat kepadanya.
"Maaf!” ucap salah
Seorang dan mereka dengan ramah. “Kami telah mengganggu perjalananmu, Giok
Siauw Sin Hiap!”
"Kalian....” Tio Bun Yang
memandang mereka. “Ada urusan
apa?”
"Ketua kami mengundang
Anda ke markas!” "Siapa ketua kalian?”
"Setelah bertemu, Anda
pasti mengetahuinya. Kami adalah anggota Tiong Ngie Pay.”
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut.
"Harap Anda ikut kami!”
"Baik,” Tio Bun Yang lalu
mengikuti mereka.
Berselang beberapa saat
kemudian, mereka sudah sampai di suatü tempat yang sangat sepi, dan di sana
tampak sebuah bangunan tua berdiri kokoh.
"Harap Anda mengikuti
langkah kami!” kata orang itu. “Sebab di tempat ini telah dipasang berbagai
macam jebakan.”
"Ooooh!” Tio Bun Yang
menengok ke sana ke mari. Ia memang mengerti tentang jebakan, sebab Tio Cie
Hiong, ayahnya pernah memberitahukan kepadanya. Mendadak ia mendengar suara
seruan yang sambung menyambung.
"Giok Siauw Sin Hiap
telah tiba! Giok Siauw Sin Hiap telah tiba! Giok Siauw Sin Hiap telah tiba!”
Kemudian muncul beberapa orang
tua, yang kemudian menyambut Tio Bun Yang dengan hormat.
"Silakan masuk, Giok
Siauw Sin Hiap!” ujar mereka serentak.
"Terima kasih!” Tio Bun
Yang melangkah kedalam Ketika sampai di ruang tengah, ia melihat seorang wanita
duduk di situ ia terbelalak dan berseru tak tertahan. “Bibi Suan Hiang!”
"Bun Yang.” Yo Suan Hiang
segera mendekatinya, “Giok Siauw Sin Hiap ternyata adalah engkau, bahkan engkau
pun pernah menolong belasan anggotaku pula”
"Tidak salah dugaan
kakekku,” ujar Tio Bun Yang, “Ketua Tiong Ngie Pay adalah Bibi”
"Bun Yang!” Yo Suan Hiang
menatapnya dengan rasa kagum “Tujuh tahun lebih bibi tidak melihatmu, sungguh tak
disangka kini engkau telah besar dan sangat tampan pula."
"Bibi “Wajah Tio Bun Yang
kemerah-merahan
"Kauw-heng,” tanya Yo
Suan Hiang kepada monyet bulu putih yang duduk di bahu Tio Bun Yang, "Apa
kabar? Baik-baik saja, bukan?”
Monyet bulu putih bercuit tiga
kali sambil manggut-mangggut.
“Oooh! Kauw-heng baik-baik
saja!” ujar Yo Suan Hiang sambil tersenyum, kemudian memperkenalkan
orang-orangnya kepada Tio Bun Yang, “Mereka adalah Tan Ju Liang wakil ketua Lim
Cin An pelaksana hukum dan Cu Tiang Him kepala para anggota Tiong Ngie Pay”
“Oooh!” Tio Bun Yang segera
memberi hormat kepada mereka, dan seketika mereka pun balas memberi hormat
kepadanya.
"Perlu kalian ketahui,
Bun Yang adalah putra kesayangan Pek Ih Sin Hiap Tio Cie Hiong, sedangkan
ibunya adalah putri kesayangan Lim Peng Hang, ketua Kay Pang.” Yo Suan Hiang
memberitahukan.
Betapa terkejutnya Tan Ju
Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him, dan mereka memandang Tio Bun Yang dengan
mata terbelalak.
“Oh ya! Kalian pun harus
memanggil Kauw-heng kepada monyet bulu putih itu.” Yo Suan Hiang memberitahukan
lagi. “Kauw heng telah berusia tiga ratusan tahun lho!”
"Haaah?” Mereka tersentak
dengan mulut ternganga lebar. “Monyet bulu putih itu sudah berusia tiga ratusan
tahun?”
Monyet bulu putih segera manggut-manggut,
tentunya mencengangkan mereka.
“Ketua! Apakah Kauw-heng
mengerti bahasa manusia?”
“Mengerti.” Yo Suan Hiang
mengangguk. “Bahkan kepandaiannya pun sangat tinggi.”
“Oh?” Mereka bertiga kelihatan
kurang percaya.
“Aku tidak bohong,” ujar Yo
Suan Hiang sungguh-sungguh dan menambahkan. “Kalian bertiga tidak mampu
melawannya.”
“Benarkah begitu?” tanya Lim
Cin An.
“Benar.” Tio Bun Yang
mengangguk. “Bibi Suan Hiang tidak bohong, kauw-heng memang berkepandaian
tinggi.”
"Bukan main!” Lim Cin An menggeleng-gelengkan
kepala.
“Oh ya!” Yo Suan Hiang
memandang Tio Bun Yang dengan penuh perhatian seraya bertanya. "Bun Yang,
bagaimana kepandaianmu? tentunya sudah tinggi sekali, bukan?”
“Lumayan,” sahut Tio Bun Yang
sambil tersenyum dan memberitahukan. “Aku berlatih lweekang dua tahun di Gunung
Thian San bersama kauw-heng.”
“Kalau begitu, lweekangmu
pasti sudab mencapai tingkat tinggi, bukan?” tanya Yo Suan Hiang.
“Cukup lumayan,” jawab Tio Bun
Yang merendah.
“Bun Yang!” Yo Suan Hiang tersenyum.
“Agar mereka bertiga tidak merasa ragu, sudikah engkau mempertunjukkan sedikit
kepandaianmu?”
“Bun Yang,” desak Yo Suan
Hiang. “Jangan menolak!"
“Baiklah,” Tio Bun Yang
mengangguk. “Kauw-heng, engkau turun dulu! Aku terpaksa harus mempertunjukkan
sedikit kepandaianku.”
Monyet bulu putih
manggut-manggut, lalu meloncat ke atas meja. Sedangkan Tio Bun Yang berjalan ke
tengah-tengah ruangan, kemudian duduk bersila sambil memejamkan matanya.
Itu membuat Tan Ju Liang, Lim
Cin An dan Cu Tiang Him saling memandang. Sedangkan Yo Suan Hiang
tersenyum-senyum. karena tahu Tio Bun Yang akan mempertunjukkan lweekangnya.
Berselang beberapa saat
kemudian, mendadak badan Tio Bun Yang melambung ke atas dalam keadaan bersila.
Itu sungguh mengejutkan Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him. Yo Suan
Hiang pun terbelalak menyaksikannya, karena sama sekali tidak menyangka kalau
lweekang Tio Bun Yang telah mencapai tingkat yang begitu tinggi.
Sementara monyet bulu putih
pun menyaksikannya dengan penuh perhatian, setelah itu ia mengambil dua buah
cangkir dan atas meja, lalu disambitnya ke arah Tio Bun Yang. Perbuatan monyet
bulu putih itu tentunya mengejutkan
Semua orang. Yo Suan Hiang
ingin mencegah, tapi sudah terlambat.
Dua buah cangkir itu meluncur
secepat kilat ke arah Tio Bun Yang yang berhenti di udara, akan tetapi
terjadilah suatu keanehan. Mendadak kedua buah cangkir itu berhenti, lalu
berbalik menyambar ke arah monyet bulu putih. Segeralah monyet bulu putih
menangkap kedua buah cangkir itu, sekaligus ditaruhnya di atas meja, kemudian
bertepuk-tepuk tangan.
Apa yang terjadi barusan,
sungguh membuat kagum yang menyaksikannya. Yo Suan Hiang pun terbelalak, karena
tidak menyangka lweekang Tio Bun Yang telah menyamai lweekang ayahnya, Tio Cie
Hiong.
Tiba-tiba badan Tio Bun Yang
berputar, dan makin lama makin cepat sehingga membuat mata semua orang jadi
berkunang-kunang. Bahkan mereka pun mendengar suara yang menderu-deru.
Berselang sesaat, badan Tio
Bun Yang berhenti berputar, lalu, melayang turun dalam keadaan tetap bersila.
Setelah menyentuh lantai,
barulah Tio Bun Yang membuka matanya, dan kemudian sambil tersenyum ia kembali
ke tempat duduknya.
Suasana di ruangan itu berubah
menjadi hening seketika. Mulut Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him ternganga
lebar saking kagumnya, dan mereka pun tidak tahu harus bagaimana memujinya.
“Bun Yang....” Yo Suan Hiang
menatapnya terbelalak. “Bibi
tidak menyangka lweekangmu
telah mencapai tingkat setinggi itu?"
“Itu berkat latihanku di
Gunung Thian San,” Tio Bun Yang memberitahukan. “Bahkan aku pun telah memakan
buah ajaib pemberian kauw-heng.”
“Oooh!” Yo Suan Hiang
manggut-manggut. “Kalau begitu, buah ajaib itu pasti berkhasiat menambah
lweekangmu!”
“Ya,” Tio Bun Yang mengangguk.
“Oh ya!” tanya Yo Suan Hiang.
“Bagaimana keadaan di Hong Hoang To?”
“Bibi Suan Hiang,” jáwab Tio
Bun Yang. “Aku belum pulang ke sana, namun... tujuh tahun yang lalu Paman Man
Chiu meninggalkan anak isterinya.”
“Apa?" Bukan main
terkejutnya Yo Suan Hiang. “Kenapa Man Chiu meninggalkan anak isterinya?”
“Kata ayah, dia ingin
mengangkat namanya dirimba persilatan,” Tio Bun Yang memberitahukan dan
bertanya. “Apakah Bibi pernah mendengar tentang dirinya?”
“Tidak pernah,” Yo Suan Hiang
menggelengkan kepala.
“Heran!” gumam Tio Bun
Yang.”Paman Man Chiu berada di mana? Kenapa tiada kabar beritanya sama sekali?”
“Mungkinkah dia tidak datang
di Tionggoan?” sahut Yo Suan Hiang.
“Tidak mungkin.” Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala. “Sebab Paman Man Chiu berambisi mengangkat namanya
di rimba persilatan, tentunya harus berada di Tionggoan.”
“Benar,” Yo Suan Hiang
manggut-manggut, kemudian menghela nafas panjang. "Sungguh tak disangka,
hanya karena ingin mengangkat nama, Man Chiu begitu tega meninggalkan anak
isterinya! Padahal dia murid Tayli Lo Ceng yang sakti, namun....”
“Bibi Suan Hiang!” Tio Bun
Yang tersenyum. “Murid dewa pun masih bisa berubah jahat, itu bergantung pada
sifat dan watak seseorang, jadi tiada kaitannya dengan guru?"
“Ngmm!” Yo Suan Hiang
manggut-manggut lagi. “Benar juga apa yang kau katakan. Seandainya engkau
berubah jahat, itu pun tiada kaitannya dengan kedua orang tuamu?
“Benar.” Tio Bun Yang
tersenyum, kemudian teringat akan suatu hal. “Oh ya! Mungkin Bibi belum tahu,
kalau Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin telah mati.”
“Apa?!” Betapa terkejutnya Yo
Suan Hiang. “Bagaimana mereka mati? Apakah...."
“Mereka mati dibunuh.” Tio Bun
Yang memberitahukan. “Kakek yang menceritakan kepadaku, karena anggota Kay Pang
yang menemukan mayat mereka,”
“Siapa yang membunuh mereka?”
“Aku justru sedang
menyelidiknya. Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin mati dengan sekujur badan
hangus. Itu bukan dibakar, melainkan terkena semacam ilmu pukulan yang
mengandung api?"
“Siapa yang memiliki ilmu
pukulan itu?” gumam Yo Suan Hiang. “Padahal Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin
berkepandaian tinggi, tidak gampang membunuh mereka berdua?"
“Itu membuktikan bahwa
kepandaian pembunuh itu sangat tinggi,” ujar Tio Bun Yang dan bertanya. “Apakah
Bibi tahu mengenai pukulan itu?”
“Sama sekali tidak tahu” Yo
Suan Hiang menggelengkan kepala. “Bun Yang, mungkin agak sulit menyelidiki
pembunuh itu.”
“Aku yakin, pembunuh itu pasti
akan muncul,” ujar Tio Bun Yang “Oh ya, kakek Gouw memberitahukan bahwa putera
Paman Toan dan putri Paman Lam Kiong telah diangkat murid oleh Tayli Lo Ceng”
“Oh? Kalau begitu sungguh
beruntung putra Toan Wie Kie dan putri Lam Kiong The Liong itu?”
“Ya,” Tio Bun Yang mengangguk
“Mereka memang beruntung Bibi Suan Hiang, sudah berapa lama Tiong Ngie Pay ini
didirikan?”
“Kurang lebih tujuh tahun.”
“Bagaimana keadaannya
sekarang” Apakah sudah maju pesat?”
“Memang telah maju.” Yo Suan
Hiang tersenyum, “Ketika baru berdiri, Tiong Ngie Pay ini cuma beranggotakan
dua puluhan orang, tetapi kini sudah mencapai hampir seratus, dan setiap orang
yang ingin bergabung jadi anggota, pasti diseleksi dan diselidiki
asal-usulnya.”
“Oh! Memañg harus begitu.”
“Tapi “Yo Suan Hiang
menggeleng-gelengkan kepala. “Belum lama ini telah terjadi sesuatu dalam Tiong
Ngie Pay.”
“Apa yang telàh terjadi? tanya
Tio Bun Yang heran.
“Sudah belasan anggotaku mati
secara aneh. Itu membuatku tidak habis berpikir.” Yo Suan Hiang menghela nafas
panjang.
“Mereka mati dalam tugas atau
mati. di markas ini?” “Mati di markas.”
“Kalau begitu...” ujar Tio Bun
Yang dengan kening berkerut. “Sudah pasti ada orang-orang tertentu menyusup di
dalam Tiong Ngie Pay”
“Benar.” Yo Suan Hiang
mengangguk. “Namun tiada seorang pun yang mencurigakan.”
Tio Bun Yang berpikir, sejenak
kemudian membuka mulut sambil tersenyum.
“Bibi Suan Hiang, aku bisa
membantu dalam hal ini.”
“Oh?” Yo Suan Hiang menatapnya
seraya bertanya. “Betulkah engkau bisa membantu dalam hal ini?”
“Ya.” Tio Bun Yang tersenyum.
“Bagaimana caranya?" Yo
Suan Hiang tampak agak ragu.
“Bibi harus mengumpulkan semua
anggota, setelah itu Bibi akan mengetahuinya,” jawab Tio Bun Yang dan tersenyum
lagi. “Pasti ada kejutan nanti?
“Baiklah” Yo Suan Hiang
memandang Tan Jü Liang. “Paman, perintahkan semua anggota berkumpul di sini”
“Ya, Ketua.” Tan Ju Liang
mengangguk, kemudiañ berkata kepada Cu Tiang Him. “Tiang Him, cepatlah
perintahkan semua anggota berkumpul di sini!”
“Ya, Guru.” Cu Tiang Him
segera melangkah pergi. Tak lama kemudian ia telah balik dan memberi hormat
kepada Yo Suan Hiang seraya berkata. “Ketua, dalam waktü singkat semua anggota
akan berkumpul di sini.”
“Terima kasih,” sahut Yo Suan
Hiang sambil manggut-manggut.
Berselang sesaat, mulailah
para anggota itu berkumpul di ruang itu, dan setelah semuanya berkumpul, Yo
Suan Hiang berkata.
“Bun Yang, semua anggota telah
berkumpul di sini.”
Tio Bun Yang manggut-manggut,
lalu berkata kepada monyet bulu putih. “Kauw-heng, di antara para anggota itu
terdapat orang jahat Engkau harus mencari orang jahat itu”
Monyet bulu putih mengangguk,
kemudian melesat ke arah para anggota Tiong Ngie Pay itu.
“Bun Yang, apakah kauw heng
dapat diandalkan?” tanya Yo Suan Hiang sambil menatapnya
Sémentara Tan Ju Liang, Lim
Cin An dan Cu Tiang Him saling memandang, kelihatannya mereka ragu sekali
terhadap monyet bulu putih.
"Bibi Suan Hiang,” sahut
Tio Bun Yang sambil tersenyum. “Tentunya Bibi tahu, kauW-heng memiliki naluri
yang kuat sekali.”
“Benar,” Yo Suan Hiang
manggut~manggut. “Mudah~mUdahan kauw ~eng dapat mengetahui mata-mata itu!”
“Percayalah! Kauw-heng
memiliki kemampuan itu.”
Mendadak terjadi sedikit
kekacauan pada para anggota Tiong Ngie Pay. Ternyata monyet bulu putih itu
menyeret dua orang ke hadapan Tio Bun Yang. Kedua orang itU tidak bisa
bergerak, karena jalan darah mereka telah tertotok oleh monyet bulu putih.
Setelah berada di hadapan Tio
Bun Yang, monyet bulu putih bercuit-cuit sambil menggerak-gerakkan sepasang
tangannya.
“Ngmmm!” Tio Bun Yang
manggut-manggut setelah itu berkata kepada Yo Suan Hiang. “Mereka berdua adalah
mata-mata.”
“Oh?” Yo Suan Hiang
mengerutkan kening. “Kita tidak punya bukti, kalau langsung menghukumnya,
tentunya para anggota lain akan merasa tidak puas.”
“Betul. Tapi bukankah Bibi
boleh bertanya kepada mereka?” sahut Tio Bun Yang tidak ragu terhadap monyet
bulu putih itu.
“Kalian berdua!” bentak Yo
Suan Hiang. “Lebih baik kalian mengaku!”
“Itu adalah monyet sialan,
sembarangan menuduh kami!” sahut kedua orang itu. Walau tidak bisa bergerak
tapi mereka tetap bisa berbicara.
“Tiang Him!” tanya Yo Suan
Hiang. “Sudah berapa lama mereka berdua bergabung disini jadi anggota Tiong
Ngie Pay?”
“Baru satu bulan, Ketua.” Cu
Tiang Him memberitahukan. “Mereka berdua berasal dan mana?” “Dari ibu
kota."
“Siapa yang mengajak mereka
bergabung disini?”
“Mereka datang sendiri.”
“Nama mereka?”
“Lim Cih Song dan Lie Bok
Weng.”
“Ngmmm!” Yo Suan Hiang
manggut-manggut, kemudian memandang kedua orang itu. “Jadi kalian masih tidak
mau mengaku?”
“Ketua,” sahut Lim Cih Song.
“Kami berdua telah bersumpah setia terhadap Tiong Ngie Pay, bagaimana mungkin
kami adalah mata-mata?”
Yo Suan Hiang mengerutkan
kening, dan memandang Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Bun Yang,” ujarnya. “Tiada
bukti, maka tidak bisa menuduh mereka mata-mata.”
“Benar." Tio Bun Yang tersenyum.
“Tapi aku dapat membuat mereka mengaku.”
“Oh?” Yo Suan Hiang kurang
percaya. “Bagaimana caranya?”
“Tentunya aku mempunyai cara
untuk membuat mereka mengaku,” Tio Bun Yang tersenyum lagi, kemudian menatap
kedua orang itu dengan tajam, dan makin lama makin tajam. Ternyata Tio Bun Yang
mengerahkan ilmu Penakiuk Iblis.
Kedua orang itu terus
memandang Tio Bun Yang. Berselang sesaat mereka mulai terpengaruh, sehingga
membuat pikiran mereka tak terkendalikan.
"Kalian berdua harus
menjawab dengan jujur,” ujar Tio Bun Yang dengan suara berwibawa.
“Ya.” Kedua orang itu
mengangguk.
“Sebetulnya siapa kalian
berdua? Jawablah dengan jujur!” Tio Bun Yang terus menatap mereka.
“Kami berdua memang dan ibu
kota, kami berdua adalah anggota Hiat Ih Hwe, yang mengutus kami ke mari adalah
Gak Cong Heng, kepala para anggota Hiat Ih Hwe.”
“Kenapa Gak Cong Heng mengutus
kalian kemari?”
“Untuk membunuh para anggota
Tiong Ngie Pay secara diam-diam, agar para anggota Tiong Ngie Pay saling
mencurigai dan terpecah belah.”
“Kalian menjawab dengan
jujur?”
“Kami menjawab dengan Jujur,”
sahut Lim Cih Song dan menambahkan, “Semua anggota Hiat Ih Hwe pasti mempunyai
sebuah tanda merah dilengan”
“Pelihatkan tanda itu!"
“Ya,” Lim Cih Song dan Lie Bok
Weng mengangguk, lalu menyingkap lengan baju masing-masing memperlihatkan tanda
merah.
“Terima kasih, karena kalian
berdua telah menjawab dengan jujur, “Tio Bun Yang tersenyum sambil menarik
nafas dalam-dalam membuyarkan ilmu Penakiuk Iblis
Seketika Lim Cih Song dan Lie Bok
Weng tersentak sadar, lalu memandang Yo Suan Hiang seraya berkata
“Ketua, kami adalah anggota
Tiong Ngie Pay yang setia, harap Ketua melepaskan kami.”
“Benarkah kahan berdua sangat
setia terhadap Tiong Ngie Pay7” tanya Yo Suan Hiang dingin
“Benar,” Lim Cih Song dan Lie
Bok Weng mengangguk
"Ehmm!" dengus Yo
Suan Hiang, “Aku sudah tahu, kalian berdua adalah anggota Hiat Ih Hwe!”
“Bukan, bukan...“ Wajah mereka
berdua tampak berubah.
“Masih tidak mau
mengaku?" bentak Yo Suan Hiang “Bukankah Gak Cong Heng yang mengutus
kalian kemari?"
“Bu... bukan.”
“Kalian masih tidak mau
mengaku?” Yo Suan Hiang tampak gusar sekali. “Lebih baik kalian mengaku saja.
Mungkin aku akan mengampuni nyawa kalian!”
“Ketua, kami memang bukan
anggota Hiat Ih Hwe.”
“Oh?” Yo Suan hang tertawa
dingin. “Bukankah di lengan kalian terdapat sebuah tanda merah? Nah, tanda apa
itu?”
“Itu... itu adalah....” kedua
orang itu tergagap.
“Ketua,” ujar Tan Ju Liang.
“Kalau mereka masih tidak mau mengaku, lebih baik kita siksa saja?
“Ketua,” sambung Lim Cin An.
“Mereka memang harus disiksa.”
“Bagaimana cara menyiksa
mereka?” tanya Yo Suan Hiang.
“Lengan dan kaki mereka harus
dipotong,” sahut Lim Cin An dan menambahkan. “Sepasang mata mereka pun harus
dicungkil keluar?
“Kalian berani?” bentak Lim
Cih Song tanpa sadar. “Ketua kami pasti ke mari membasmi kalian!”
“Nah, engkau sudah mengaku
kan?” ujar Yo Suan Hiang sambil tersenyum.
“Haaah...?! Betapa terkejutnya
Lim Cih Song, ia menghela nafas panjang seraya berkata. “Tidak salah, kami
memang anggota Hiat Ih Hwe yang diutus kemari. Kami berdua telah berada
ditangan kalian, silakan menghukum kami!”
“Bagus!’~ Yo Suan Hiang
manggut-manggut. “Paman Lim, harus dengan cara apa menghukum mereka?
“Sesuai dengan peraturan yang
berlaku di sini, maka mereka harus dihukum dengan cara mengutungkan sebelah
lengan mereka,” jawab Lim Cin An memberitahukan sungguh-sungguh.
“Laksanakan!” Yo Suan Hiang
memberi perintah.
“Ya, Ketua,” sahut Lim Cin An
sambil mengangguk.
“Tunggu!” ujar Tio Bun Yang sambil
tersenyum. “Tidak perlu dengan cara itu, biar aku yang menghukum mereka.”
“Silakan!” sahut Yo Suan
Hiang.
“Kauw-heng,” ujar Tio Bun
Yang. “Musnahkan kepandaian mereka!”
Monyet bulu putih mengangguk,
lalu bergerak cepat memusnahkan kepandaian kedua orang itu.
“Aaakh! Aaaaakh...“ jerit
mereka dengan mulut mengeluarkan darah.
“Kauw-heng, bebaskan totokan
mereka!” ujar Tio Bun Yang lagi.
Monyet bulu putih menurut dan
langsung membebaskan jalan darah mereka yang tertotok itu, lalu meloncat ke atas
bahu Tio Bun Yang.
“Giok Siauw Sin Hiap!” bentak
Lim Cih Song penuh dendam. "Tunggu pembalasan dari ketua kami!”
“Oh?” Tio Bun Yang tersenyum.
“Jadi kalian masih ingin kembali ke markas Hiat Ih Hwe?"
“Ya,” Lim Cih Song dan Lie Bok Weng
mengangguk.
“Menurutku....” Tio Bun Yang menatap mereka sambil
melanjutkan. “Lebih baik
kalian jangan kembali ke sana.” "Kenapa?"
“Mungkin ketua Hiat Ih Hwe
akan membunuh kalian.”
“Itu....” Lim Cih Song dan Lie
Bok Weng saling memandang
dengan wajah muram. Kini kepandaian
mereka telah musnah, berarti sudah tiada gunanya bagi Hiat Ih Hwe, maka
kemungkinan besar ketua Hiat Ih Hwe akan membunuh mereka.
“Lebih baik kalian hidup
tenang di tempat yang sepi, jangan kembali ke markas Hiat Ih Hwe.”
“Baiklah. Kami akan ke tempat
yang sepi,” ujar Lim Cih Song. “Terima kasih atas kemurahan
hatimu tidak membunuh kami!”
“Kalian berdua boleh pergi
sekarang,” ujar Tio Bun Yang sambil mengibaskan tangannya, agar mereka segera
pergi.
Kedua orang tersebut segera
meninggalkan ruang itu. Seketika Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him
memandang Tio Bun Yang dengan kagum.
“Giok Siauw Sin Hiap, apakah
tadi engkau menggunakan ilmu hipnotis atau semacam ilmu sihir?” tanya Tan Ju
Liang.
“Bukan,” Tio Bun Yang
memberitahukan. “Itu adalah Ilmu Penakluk Iblis, yang justru merupakan ilmu
penangkal bagi ilmu hipnotis atau ilmu sihir lainnya.”
“Oooh!” Tan Ju Liang
manggut-manggut. “Giok Siauw Sin Hiap, engkau memang hebat sekali!”
“Tidak juga,” Tio Bun Yang
merendah.
“Bun Yang, ayahmu yang
mengajar ilmu itu kepadamu?” tanya Yo Suan Hiang sambil memandangnya.
“Ya,” Tio Bun Yang mengangguk dan menambahkan.
“Bahkan aku juga sudah mahir
ilmu pengobatan.
“Bukan main!” Yo Suan Hiang
menghela nafas panjang. ‘Padahal usiamu baru tujuh belas, namun kepandaianmu
itu sudah begitu tinggi dan mahir ilmu pengobatan pula.”
“Kalau mau belajar dengan
sungguh-sungguh, tentu akan mencapai kesuksesan,” ujar Tio Bun Yang sambil
tersenyum.
“Tapi harus mempunyai bakat
juga,” sahut Yo Suan Hiang dan tertawa.
“Ketua,” ujar Tan Ju Liang
mendadak. “Kita harus mengadakan pesta untuk menjamu Giok Siauw Sin Hiap.”
“Benar,” Yo Suan Hang
manggut-manggut “Kita memang harus mengadakan pesta”
“Bibi Suan Hiang,” potong Tio
Bun Yang cepat. “Itu tidak perlu, cukup kita bersulang bersama saja.”
“Bun Yang...?
“Bibi Suan Hiang!" Bun
Yang tersenyum, “Jangan menghambur-hamburkan uang, karena Tiong Ngie Pay sangat
membutuhkan biaya”
“Baiklah,” Yo Suan Hiang
mengangguk “Mari kita bersulang bersama saja!”
Cu Tiang Him segera menyuruh
beberapa orang menyuguhkan arak wangi Mereka lalu bersulang bersama, dan monyet
bulu putih juga ikut minum.
Beberapa hari kemudian,
barulah Tio Bun Yang meninggalkan markas Tiong Ngie Pay. Ia melanjutkan
perjalanannya tanpa arah, namun mempunyai tujuan tertentu
yakni mencari jejak pembunuh
Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin
-oo0dw0oo-
Tio Bun Yang terus melanjutkan
perjalanan. Dua hari kemudian ketika ta melewati jalan yang sepi, mendadak ia
melihat beberapa orang berpakaian merah sedang mengurung sebuah kereta kuda.
segeralah Ia melesat ke sana,
ternyata mereka adalah para anggota Hiat Ih Hwe, yang sedang berusaha membunuh
orang yang ada di dalam kereta itu.
“Berhenti!” bentak Tio Bun
Yang.
“Haah...?” Terkejutlah para
anggota Hiat Ih Hwe itu. “Giok Siauw Sin Hiap....”
“Cepatlah kalian enyah!"
bentak Tio Bun Yang lagi.
“Giok Siauw Sin Hiap!” Salah
seorang dan mereka menatapnya. “Kenapa engkau selalu menentang kami?”
“Aku tidak menentang kalian,
melainkan menentang kejahatan!” sahut Tio Bun Yang. “Ayoh, cepatlah kalian
enyah dan sini!”
"Hm!” dengus orang itu
lalu berseru. “Mari kita serang dia!”
Para anggota Hiat Ih Hwe itu
langsung menyerang Tio Bun Yang, sementara orang yang didalam kereta
memberanikan diri mengintip keluar. Siapa yang berada di dalam kereta itu?
Ternyata Tan Tayjin bersama isteri dan putrinya.
Tio Bun Yang bersiul panjang.
Badannya bergerak laksana kilat kemudian hilang dan pandangan para Hiat Ih Hwe.
“Eeeh?” mereka tercengang.
"Kemana dia?”
“Aku berada di belakang
kalian!” sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum, sekaligus mengeluarkan suling
pualamnya.
Betapa terkejutnya para Hiat
Ih Hwe itu. Namun walau terkejut, mereka tetap menyerangnya. Di saat bersamaan,
Tio Bun Yang menggerakkan suling pualamnya. Tampak suling pualam itu berkelebat
ke sana ke mari secepat kilat, dan seketika terdengar suara jeritan. Para
anggota Hiat Ih Hwe itu telah terkapar dengan mulut mengeluarkan darah segar.
Ternyata Tio Bun Yang
menggunakan ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi (Ilmu Suling Kumala Pemusnah
Kepandaian), mengeluarkan jurus San Pang Te Liak (Gunung Runtuh Bumi Retak).
“Aduuuh! Aduuuh...!” Para
anggota Hiat Ih Hwe itu merintih-rintih.
“Hm!” dengus Tio Bun Yang.
“Aku tidak akan membunuh kalian, hanya memusnahkan kepandaian kalian saja.
Ayoh, cepatlah kalian enyah dari sini!”
Para anggota Hiat Ih Hwe itu
berjalan pergi dengan sempoyongan. Di saat bersamaan, Tan Tayjin turun dan
kereta, kemudian memberi hormat kepada Tio Bun Yang.
“Terima kasih, siauw-hiap!”
ucapnya.
“Tidak usah mengucapkan terima
kasih, Paman.” Tio Bun Yang tersenyum. Senyumannya itu membuat Tan Giok Lan
yang baru turun dan kereta menjadi terpukau.
“Mari kuperkenalkan!” ujar Tan
Tayjin sambil menunjuk Tan Giok Lan. “Dia adalah putriku bernama Tan Giok Lan,
yang di dalam kereta adalah isteriku.”
“Nona Giok Lan!” Tio Bun Yang
segera memberi hormat.
“Siauw-hiap.“ Tan Giok Lan
balas memberi hormat dengan wajah kemerah-merahan. “Jangan memanggilku nona,
panggil saja namaku!”
-oo0dw0oo-
Jilid 4
“Ha ha-ha!” Tan Tayjin tertawa
“Oh ya, bolehkah kami tahu nama Siauw-hiap?”
“Namaku Tio Bun Yang.”
“Ternyata Tio siauw hiap!” Tan
Tayjin manggut-manggut. “Engkau masih muda, tapi sudah berkepandaian tinggi.
Sungguh mengagumkan!”
“Maaf, Paman!” Tio Bun Yang
memandangnya seraya bertanya. “Sebetulnya siapa Paman, kenapa pihak Hiat Ih Hwe
ingin membunuh Paman?”
“Namaku Tan Thiam Song, mantan
pembesar di kota Keng Ciu.” Tan Thiam Song memberitahukan sambil menghela nafas
panjang dan melanjutkan. “Kärena itu, pihak Hiat Ih Hwe berusaha membunuhku.”
“Oooh!” Tio Bun Yang
manggut-manggUt. “Ternyata Paman mantan pembesar yang jujur, adil dan
bijaksana!”
“Aaaah!” Tan Thiam Song
menghela nafas lagi. “Aku telah mengundurkan diri dan jabatan, tapi Lu Thay Kam
masih tidak mau melepaskan diriku.”
“Sekarang Paman mau ke mana?”
“Mau pulang ke kampung.” “Kira-kira kapan akan sampai di sana?”
“Mungkin sore ini. Oh ya, Tio
siauw-hiap mau kemana?"
“Aku sedang mengembara, jadi
tiada arah yang tetap,” jawab Tio Bun Yang sambil tersenyum.
“Kalau begitu....” Tan Thiam Song menatapnya.
“Bagaimana kalau Tio
siauw-hiap ikut kekampungku?”
Tio Bun Yang berpikir sejenak,
lalu mengangguk.
“Baiklah.”
“Terima kasih, Tio
siauw-hiap!” ucap Tan Thiam Song.
Yang paling gembira adalah Tan
Giok Lan. Wajahnya tampak berseri-seri. Maklum Tio Bun Yang merupakan pemuda
yang sangat tampan, gadis mana yang tidak akan tertarik padanya?
Mereka melanjutkan perjalanan
bersama, namun Tio Bun Yang berlari cepat di sisi kereta kuda itu. Ia tidak mau
duduk di dalam kereta karena merasa tidak enak.
Kusir kereta itu kagum sekali,
kemudian mendadak ia mencambuk kudanya agar berlari lebih cepat.
Kuda tersebut meringkik lalu
berlari kencang sekali. Kusir itu tertawa dalam hati karena yakin bahwa Tio Bun
Yang pasti ketinggalan. Ia menoleh ke belakang, dan seketika juga terbelalak,
karena Tio Bun Yang masih tetap berlari cepat laksana kilat di sisi kereta itu
Bukan main kagumnya kusir tersebut.
Sementara Tan Thiam Song
sekeluarga yang duduk di dalam kereta, juga mengintip keluar. Mereka tahu kusir
itu mencambuk kudanya agar berlari lebih kencang, namun Tio Bun Yang tetap
berlari di sisi kereta, maka mereka semakin kagum.
“Bukan main!” Tan Thiam Song
menggeleng-gelengkan kepala. “Kepandaian pemuda itu masih jauh di atas
kepandaian kedua gadis yang pernah menyelamatkan nyawaku!”
“Ayah, dia masih begitu muda,
tapi kenapa kepandaiannya sudah begitu tinggi?" tanya Tan Giok Lan.
“Ayah mana tahu? Lebih baik
nanti engkau bertanya kepadanya,” sahut Tan Thiam Song sambil tersenyum.
“Pemuda itu...~” ujar Nyonya
Tan dengan suara rendah. “Sungguh tampan sekali, bahkan juga sopan, ramah dan
halus gerak geriknya.”
“Benar,” Tan Thiam Song
mengangguk. “Sulit ketemu pemuda lain yang seperti dia.”
“Rasanya senang sekali....”
ujar Nyonya Tan sambil melirik
putrinya. “Apabila Giok Lan
menjadi jodohnya.”
“Ibu....” Wajah Tan Giok Lan
langsung memerah, namun
bergirang dalam hati, karena
ibunya mengatakan begitu.
“Memang!” Tan Thiam Song
manggut-manggut. “Tapi kelihatannya dia lebih muda dan Giok Lan.”
“Tidak jadi masalah,” sahut
Nyonya Tan.
“Kita tidak bisa memaksa,
bagaimana jodoh putri kita saja,” ujar Tan Thiam Song sungguh-sungguh.
“Mudah-mudahan dia tertarik
kepada putri kita!” kata Nyonya Tan sambil mengintip ke luar. Dilihatnya Tio
Bun Yang berlari di sisi kereta sambil tersenyum-senyum, sama sekali tidak
kelihatan lelah. “Bukan main!”
-oo0dw0oo-
Ketika hari mulai sore,
sampailah mereka dikampung yang dituju. Kereta kuda itu berhenti di depan
sebuah rumah yang cukup besar tapi sederhana, dan Tio Bun Yang juga berhenti.
Tan Thiam Song turun, disusul
oleh Nyonya Tan dan putrinya. Pada saat bersamaan, tampak beberapa orang
berhambur ke luar dari rumah itu.
"Tuan besar, Nyonya besar
dan Nona sudah pulang!” seru mereka gembira.
“Paman,” ujar Tio Bun Yang.
“Kini Paman telah sampai di rumah, maka aku mau mohon pamit.”
“Biar bagaimana pun Tio
siauw-hiap harus mampir dulu!” sahut Tan Thiam Song memaksa.
Tio Bun Yang berpikir sejenak
lalu mengangguk. “Baiklah.”
“Ha ha-ha!” Tan Thiam Song
tertawa gembira. Tan Giok Lan menarik nafas lega, sedangkan Nyonya Tan
tersenyum-senyum sambil melirik putrinya.
Tan Thiam Song mengajak Tio
Bun Yang kedalam, kemudian mereka duduk di ruang depan dan para pelayan segera
menyuguhkan minuman.
“Silakan minum, Tio
siauw-hiap!” ucap Tan Thiam Song.
“Terima kasih’” sahut Tio Bun
Yang lalu menghirup teh yang masih hangat Sementara entah sudah berapa kali Tan
Giok Lan meliriknya, tapi Tio Bun Yang tidak tahu sama sekali, membuat gadis
itu agak kecewa.
“Tio siauw-hiap....”
“Paman,” potong Tio Bun Yang.
“Jangan memanggilku siauw-hiap, lebih baik panggil namaku saja.”
“Baiklah.” Tan Thiam Song
manggut-manggut sambil tersenyum. “Oh ya, engkau berasal dari mana?”
“Pulau Hong Hoang To.” Tio Bun
Yang memberitahukan.
“Pulau Hong Hoang To?” Tan
Thiam Song saling memandang dengan isteri dan putrinya. “Rasanya aku pernah
dengar nama pulau itu.”
“Oh?” Tio Bun Yang tercengang.
“Aku ingat, Ayah,” ujar Tan
Giok Lan. “Bukankah kedua gadis itu datang dan pulau Hong Hoang To?”
“Maksudmu Siang Koan Goat Nio
dan Lie Ai Ling?” tanya Tan Thiam Song.
“Benar,” Tan Giok Lan
mengangguk.
“Lie Ai Ling? Lie Ai Ling...?”
gumam Tio Bun Yang dengan kening berkerut-kerut.
“Bun Yang!” Tan Thiam Song menatapnya
seraya bertanya. “Apakah engkau kenal mereka?”
“Aku kenal Lie Ai Ling.” Tio
Bun Yang memberitahukan “Dia adikku.”
“Adikmu?” Tan Thiam Song
terbelalak. “Tentunya bukan adik kandung kan?”
"Benar. Tapi kami boleh
dikatakan kakak beradik kandung.” Tio Bun Yang tersenyum. “Dia putri bibiku.”
“Oooh!” Tan Thiam Song
manggut-manggUt “Putri adik atau kakak ayahmu?"
“Kakak ayahku,” jawab Tio Bun
Yang dan bertanya. “Di mana Paman bertemu mereka?"
“Di kota Keng Ciu.” Tan Thiam
Song memberitahukan. “Pada hari itu aku sedang merayakan ulang tahunku....”
“Jadi mereka berdua yang
menyelamatkan Paman?” tanya Tio Bun Yang girang.
“Betul” Tan Thiam Song
rnengangguk.
“Oh ya!” Mendadak Nyonya Tan
menatapnya. “Engkau kenal Siang Koan Goat Nio itu?”
“Aku tidak kenal.” Tio Bun
Yang menggelengkan kepala.
“Julukannya adalah Kim Siauw
Siancu” Tan Thiam Song memberitahukan. “Engkau kenal, kan?”