"Hay Thian!" Lim
Peng Hang menatapny "Seng Hwee Sin Kun membunuh ayahmu, memang pantas
engkau membalas dendam! Tapi tidak boleh bertindak ceroboh, alangkah baiknya
berunding dulu dengan Hui San."
"Ya, Kakek Lim." Kam
Hay Thian mengangguk pasti.
"Bagus! Bagus!" Lim
Peng Hang manggut manggut sambil tersenyum. "Kalian harus ingat jangan ada
kendala apa pun lagi di antara kalian!"
"Ya," ujar Kam Hay
Thian menambahkaij "Aku berjanji, pasti menuruti perkataan Hui San”
"Kakak Hay
Thian...." Wajah Lu Hui Sal langsung berseri.
"Engkau...."
"Adik Hui San," ujar
Kam Hay Thian sungguh, sungguh. "Aku pernah bersalah terhadapmu, maka kini
aku harus menuruti semua perkataanmu."
"Kakak Hay Thian!"
Lu Hui San terharu. "Aku menuruti semua perkataanmu."
"Itu yang disebut saling
mengerti, saling melindungi dan saling mencinta," ujar Lim Peng Ha sambil
tertawa gelak. "Ha ha ha...!"
"Oh ya, Kakek Lim,"
tanya Lu Hui San mendadak. "Apakah Kakak Bun Yang sudah bertemu Goat
Nio?"
"Sudah." Lim Peng
Hang menutur tentang itu "Kini mereka semua berada di Pulau Hong Hoang
To."
"Kakek Lim, apakah Beng
Kiat dan Soat Lan juga berada di Pulau Hong Hoang To?" tanya Kam Hay
Thian.
"Sudah lama mereka pulang
ke Tayli." Lim Peng Hang memberitahukan. "Bun Yang mengajak Bokyong
Sian Hoa ke sana, karena Bu Ceng Sianli mengacau di istana Tayli...."
Lim Peng Hang menutur, Kam Hay
Thian dan Lu Hui San mendengar dengan penuh perhatian. Seusai Lim Peng Hang
menutur, Kam Hay Thian bertanya dengan nada terkejut.
"Tayli Lo Ceng terluka
oleh pukulan Bu Ceng Sianli?"
"Ya." Lim Peng Hang
mengangguk. "Tapi sudah sembuh. Sedangkan Bokyong Sian Hoa malah tinggal
di Tayli."
"Oh?" Lu Hui San
heran. "Kenapa Sian Hoa tinggal di sana?"
"Sebab...." Lim Peng
Hang tersenyum. "Ternyata Sian Hoa
dan Beng Kiat saling jatuh
hati."
"Oooh!" Lu Hui San
manggut-manggut sambil tertawa gembira. "Syukurlah kalau begitu!"
"Kakek Lim," tanya
Kam Hay Thian. "Apakah Bun Yang akan menikah dengan Goat Nio di Pulau Hong
Hoang To?"
"Itu sudah pasti, namun
tidak begitu cepat." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala.
"Lho? Kenapa?" Kam
Hay Thian bingung.
"Karena terhalang oleh
kemunculan Kui Bin Pang." Lim Peng Hang memberitahukan. "Oleh karena
itu, mereka tidak akan begitu cepat langsungkan pernikahan, mungkin harus
menunggu...."
"Menunggu urusan dengan
Kui Bin Pang itu selesai?" Kam Hay Thian mengerutkan kening
"Kira-kira begitu."
Lim Peng Hang manggut manggut.
"Tapi pernikahan mereka
tiada kaitannya dengan urusan itu, kenapa mereka tidak mau segera melangsungkan
pernikahan?" Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala. "Lagi pula
mereka sudah berada di Pulau Hong Hoang To."
"Yaah!" Lim Peng
Hang menghela nafas. "Yang jelas mereka belum mau menikah, jadi tidak bisa
dipaksa."
"Kakek Lim," tanya
Lu Hui San mendadak "Bolehkah kami ke Pulau Hong Hoang To?"
"Tentu boleh." Lim
Peng Hang mengangguk "Tapi alangkah baiknya kalian tinggal di sini dulu
beberapa hari."
"Kakek Lim...."
Lu Hui San
tercengang. "Ke napa
kami
harus tinggal di sini dulu
beberapa hari ?”
"Itu...." Lim Peng
Hang tidak melanjutkan cuma menghela
nafas panjang.
"Kalau dalam beberapa
hari ini terjadi sesuatu dalam rimba persilatan, bukankah kalian bisa
memberitahukan kepada
pihak Hong Hoang To?"
lanjut Gouw Han Tiong. "Sebab baru-baru ini, situasi rimba persilatan agak
lain. Sepertinya diselimuti suatu bencana."
"Oh?" Kam Hay Thian
mengerutkan kening. "Kok Kakek Gouw tahu akan itu?"
"Yaah!" Gouw Han
Tiong menghela nafas panjang. "Kami dapat merasakannya, itu membuat kami
cemas sekali."
"Mungkinkah Kui Bin Pang
akan menimbuliean bencana?" tanya Lu Hui San.
"Kira-kira
begitulah," sahut Gouw Han Tiong dan menambahkan. ”Oleh karena itu, kami
mengutus Cian Chiu Lo Kay (Pengemis Tua Lengan Seribu), wakil Pangcu bergerak
di luar untuk menyelidiki situasi dalam rimba persilatan.”
“Kalau begitu...” ujar Lu Hui
San. “Kami akan tinggal di sini beberapa hari, setelah itu barulah berangkat ke
Pulau Hong Hoang To.”
”Ngmmm!” Lim Peng Hang
manggut-manggut, kemudian bertanya mendadak sambil tersenyum. ’Oh ya, kapan
kalian menikah?”
”Masih lama,” jawab Kam Hay
Thian.
”Lebih cepat lebih baik lho, ”
ujar Lim Peng Hang sambil tertawa gelak. ”Ha ha ha...!”
-oo0dw0oo-
Bagian ke lima puluh empat
Tujuh Partai Besar dilanda
bencana
Di ruang tengah markas Kui Bin
Pang, duduk beberapa orang dengan wajah serius. Mereka adalah ketua Kui Bin
Pang, Dua Pelindung dan Lima Setan Algojo. Berselang sesaat, ketua Kui Bin Pang
tertawa gelak seraya berkata.
"Ha ha ha! Kini Seng Hwee
Sin Kun telah pulih, bahkan aku telah mempengaruhinya dengan ilmu hitam, maka
dia selalu mematuhi perintah ku."
"Kalau begitu, kapan
Ketua akan perintahkan dia beraksi dalam rimba persilatan?" tanya Ton Sat
Kui.
"Tentunya dalam beberapa
hari ini. Ha hii ha!" Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak lagi. "Aku pun
telah mengajarnya Toh Hun Ciang (Pukulan Perusak Sukma), siapa yang terkena
pukulan itu pasti jadi gila."
"Jadi Seng Hwee Sin Kun
tidak membunuh para ketua tujuh partai besar?" Tanya Toa Sal Kui.
"Cukup membuat mereka
gila," sahut ketua Kui Bin Pang. "Namun dia akan membunuh para murid
partai besar."
"Lalu bagaimana dengan
Kay Pang?" tanya salah satu Pelindung.
"Setelah memberesiean
para ketua partai besar itu, barulah turun tangan terhadap Lim Peng liang dan
Gouw Han Tiong," sahut ketua Kui Bin Pang.
"Ketua akan perintahkan
Seng Hwee Sin Kun memukul mereka dengan Toh Hun Ciang?" tanya Sam Sat Kui.
"Tidak." Ketua Kui
Bin Pang menggelengkan kepala. "Itu akan kuatur nanti. Ha ha ha!"
"Ketua!" Salah satu
Pelindung memberitahukan. "Kay Pang sangat kuat, itu harus dipikirkan
masak-masak."
"Sudah kupikirkan
masak-masak," sahut ketua kui Bin Pang lalu menatap Ngo Sat Kui seraya
hertanya. "Apakah kalian sudah memperoleh informasi mengenai para penghuni
Pulau Hong Hoang To?"
"Sudah," jawab Toa
Sat Kui. "Para penghuni Pulau Hong Hoang To terdiri dari Tio Tay Seng, Sam
Gan Sin Kay, Kim Siauw Suseng, Kou Hun Itijin, Tio Cie Hiong, Lim Ceng Im, Lie
Man Chiu, Tio Hong Hoa, Tio
Bun Yang, Siang Koan iioat Nio, Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw."
"Ngmmm!" Ketua Kui
Bin Pang manggut-kanggur.
"Tapi Tio Cie Hiong punya
hubungan dengan Tayli." Toa Sat Kui memberitahukan. "Yang
berkepandaian paling tinggi adalah Tayli Lo Ceng!"
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa terbahak-bahak bernada angkuh. "Aku sama sekali tidak
takut kepada mereka!"
"Apakah kepandaian Ketua
lebih tinggi dari mereka?" tanya salah satu Pelindung mendadak
"Tentu," sahut ketua
Kui Bin Pang. "Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berani memunculiean Kui
Bin Pang dalam rimba persilatan?"
"Tapi...." Pelindung
itu menggeleng-gelengkan kepala. "Kita
masih belum menemukan Tetua”
"Itu tidak jadi
masalah," ujar ketua Kui Bin Pang. "Sebab kini sudah saatnya Kui Bin
Pang muncul di rimba persilatan secara resmi. Seng Hwee Sin Kun merupakan perintis.
Ha ha ha...l”
-oo0dw0oo-
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong,
Kam Hay Thian dan Lu Hui San duduk di ruang depan sambil bercakap-cakap.
"Sudah beberapa hari kami
tinggal di sini. namun masih belum ada kejadian apa pun dalam rimba
persilatan," ujar Kam Hay Thian. "Kakek Lim, apakah kami masih harus
tinggal di sini?"
"Kalian sudah tidak betah
di sini?" Lim Peng Hang tersenyum. "Kalau memang kalian sudah tidak
betah tinggal di sini, besok kalian boleh berangkat ke Pulau Hong Hoang
To."
"Ya." Kam Hay Thian
manggut-manggut.
Di saat mereka sedang
bercakap-cakap, mendadak muncul seorang pengemis tua, yang tidak lain adalah
Cian Chiu Lo Kay, wakil ketua Kay Pang.
"Pangcu...."
Wajahnya tampak serius sekali.
"Duduklah!" sahut
Lim Peng Hang.
Cian Chiu Lo Kay duduk,
kemudian menghela nafas panjang seraya berkata.
"Pangcu, tujuh partai
besar telah dilanda bencana."
"Apa?" Bukan main
terkejutnya Lim Peng Uang. "Bencana apa yang menimpa tujuh partai besar
itu?"
"Puluhan murid tujuh
partai besar mati terbumuh dan para ketua pun...." Cian Chiu Lo Kay
menggeleng-gelengkan kepala. "Para ketua sudah jadi gila semua."
"Haah...?" Mulut
Gouw Han Tiong ternganga lebar saking terkejut. "Siapa yang melakukan
itu?"
"Seng Hwee Sin Kun,"
sahut Cian Chiu Lo kay.
"Seng Hwee Sin Kun?"
seru Lim Peng Hang dan lainnya tak tertahan.
"Ya." Cian Chiu Lo
Kay mengangguk. "Seng Hwee Sin Kun kelihatan dikendalikan orang, lagi pula
dia memiliki semacam ilmu pukulan aneh."
"Oh?" Lim Peng Hang
mengerutkan kening.
"Ilmu pukulan apa?"
"Entahlah." Cian
Chiu Lo Kay menggelengkan kepala. "Para ketua terkena pukulannya, maka
jadi gila."
"Kalau begitu..."
ujar Gouw Han Tiong. "Seng Hwee Sin Kun pasti dikendalikan oleh ketua Ku
Bin Pang. Mungkin juga
ketua Kui Bin Pang yangjj mengajarkan
ilmu pukulan aneh itu."
"Memang tidak
salah," ujar Cian Chiu Lo Kay "Seng Hwee Sin Kun mengaku dirinya
utusan Kun Bin Pang."
"Ternyata
begitu...." Lim Peng Hang manggut manggut.
"Pihak Kui Bin Pang
menolongnya hanya ingin mengendalikannya. Kalau begitu, kita harus bersiap
siap. Sebab sasaran berikutnya past kita."
"Benar." Gouw Han
Tiong manggut-manggut
"Lo Kay," ujar Lim
Peng Hang memberi perintah. "Engkau harus segera ke markas cabang-suruh
mereka berhati-hati menghadapi segala ke mungkinan!"
"Ya, Pangcu." Cian
Chiu Lo Kay menganggu sambil memberi hormat, lalu meninggaliean markas pusat
itu.
"Aaaah...!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Kini Kui Bin Pang sudah bertindak, rimba
persilatan telah dibanjiri darah."
"Kakek Lim," ujar Kam
Hay Thian. "Karnj harus segera berangkat ke Pulau Hong Hoang To untuk
memberitahukan tentang kejadian ini."
"Ya." Lim Peng Hang
mengangguk. "Kalau begitu, kalian harus berangkat sekarang. Tapi kalian
harus berhati-hati!"
"Ya. Kakek Lim." Kam
Hay Thian dan Lu Hui San langsung berpamit.
Setelah mereka berdua
meninggaliean markas pusat Kay Pang, Lim Peng Hang dan Gouw Han liong saling
memandang, kemudian menghela nafas panjang.
"Entah kapan Seng Hwee
Sin Kun akan ke mari?" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau dia ke mari, kita
berdua terpaksa bertarung mati-matian dengan dia," sahut Gouw Han Tiong.
"Kita harus mati secara gagah."
"Kita berdua bukan
tandingannya, jangan-jangan kita pun akan jadi gila terkena pukulan ilu,"
ujar Lim Peng Hang sambil menghela nafas panjang.
"Mudah-mudahan pihak
Pulau Hong Hoang To segera tiba di sini!" ujar Gouw Han Tiong. "Kalau
tidak, Kay Pang pasti akan mengalami nasib yang serupa dengan partai-partai
besar itu."
-oo0dw0oo-
Di dalam markas Kui Bin Pang,
terdengari suara tawa yang bergema-gema, itu adalah suara tawa ketua Kui Bin
Pang.
"Ha ha ha! Ha ha ha! Para
ketua tujuh partai besar sudah jadi gila, itu berarti partai-partai itu telah
lumpuh! Ha ha ha...!"
"Kini apa rencana
Ketua?" tanya Toa Sat Kui.
"Tentunya giliran Kay
Pang," sahut ketua Kui Bin Pang. "Namun harus dengan rencana
istimewa."
"Ketua!" Toa Sat Kui
memberitahukan. "Kam Hay Thian dan Lu Hui San berangkat ke Pulau Hong
Hoang To, perlukah kami menangkap mereka?"
"Tidak perlu." Ketua
Kui Bin Pang menggelengkan kepala. "Biar mereka ke Pulau itu untuk
melapor, jadi pihak Pulau Hong Hoang To pasti ke markas pusat Kay Pang. Nah,
itu yang kuharapkan. Ha ha ha...!"
"Maksud ketua ingin
membunuh mereka di markas pusat Kay Pang?" tanya salah satu Pelindung.
"Yang akan kubunuh adalah
Tio Bun Yang Tio Cie Hiong, Tio Tay Seng dan Tio Hong Hoa Sebab mereka adalah
turunan Tio Po Thian, maka harus dibunuh. Sedangkan yang lain
cukup dibuat gila saja. Ha ha
ha...!" sahut ketua Kui Bin Pang sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Aku
harus mencincang Tio Bun Yang."
"Ketua!" tanya salah
satu Pelindung. "Apakah Ketua punya dendam pribadi terhadap Tio Bun
Yang?"
"Tidak salah. Kebetulan
aku punya dendam piibadi dengan dia," sahut ketua Kui Bin Pang. "Aku
jatuh ke dalam jurang gara-gara dia."
"Ketua," ujar salah
satu Pelindung. "Kami dengar, Tio Bun Yang berkepandaian tinggi sekali.
Apakah Ketua mampu mengalahkannya?"
"Aku pasti mampu
mengalahkannya," sahut ketua Kui Bin Pang yakin. "Pokoknya aku akan membuatnya
menderita dan tersiksa, sebab aku tahu dia sudah punya kekasih bernama Siang
Koan Goat Nio yang cantik jelita. He he he...!"
"Ketua...." Salah
satu Pelindung ingin mengatakan sesuatu,
tapi dibatalieannya.
"Aku tahu...." Ketua Kui Bin Pang manggut-manggut.
"Kalian khawatir aku
tidak mampu melawan Tio Bun Yang, bukan?"
"Ya." Salah satu
Pelindung itu mengangguk.
"Aku telah mencoba
kepandaian kalian semua. Kalau satu lawan satu, kalian memang bukan
tandingannya," ujar ketua Kui Bin Pang sungguh-sungguh. "Tapi kalau
dua lawan satu atau Ngo Sat Kui menggunakan Ngo Kui Tin (Formasi Lima Setan),
aku yakin kalian bisa menang."
"Kami berdua melawan
satu, Ngo Sat Kui mnggunakan Ngo Kui Tin bisa melawan berupa orang,
namun..." ujar salah satu pelindung sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Pihak Pulau Hong Hoang To rata-rata memiliki kepandaian tinggi
sekali."
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa gelak
”Kalian harus tahu, aku
memiliki ilmu hitam yang dapat mengendalikan pikiran mereka.”
"Tapi lweekang mereka
begitu tinggi, bagi bagaimana mungkin mereka terpengaruh oleh ilmu hitam
Ketua?" ujar salah satu Pelindung, seakan tidak percaya akan kehebatan
ilmu hitam yang dimiliki ketuanya.
"Kalian ragu memang tidak
salah, sebab kalian belum menyaksikan ilmuku itu," ujar ketua K" Bin
Pang. "Karena itu, aku terpaksa memperlihatkan ilmu tersebut."
Mendadak ketua Kui Bin Pang
memandang kedua Pelindung itu sambil membentak keras.
"Kalian berdua!"
Suara bentakan ketua Kui Bin Pang mengandung suatu kekuatan yang tak dapat
dilawan.
”Ketua..” Kedua Pelinduing itu
langsung berdiri mematung.
”Kalian Berdua harus berlutut
” ujar ketua Kui Bin Pang dengan suara parau.
”Ya ” Kedua pelindung itu
segera menjatuhkan diri berlutut.
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa geli otomatis menyadarkan kedua Pelindung itu.
"Haaah...?" Betapa
terkejutnya kedua Pelindung itu, karena diri mereka berlutut di situ. "Apa
yang telah terjadi?"
"Kalian telah terpengaruh
oleh ilmu ketua." Toa Sat Kui memberitahukan. "Kalian sama sekali
bisa melawan kekuatan ilmu itu"
"Oh?" Ketua
Pelindung itu bangkit berdiri sekaligus kembali ke tempat duduk masing-masing
"ilmu hitam itu sungguh lihay sekali”
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa gelak. Iweekang kalian sangat tinggi, tapi toh tetap tidak
mampu melawan kekuatan ilmu hitamku."
"Kalau begitu, pihak
Pulau Hong Hoang To ama sekali tidak mampu melawan kekuatan ilmu hitam
Ketua?" tanya salah satu Pelindung.
"Ya, kecuali...." Ketua Kui Bin Pang memberitahukan.
"Kecuali mereka memiliki
ilmu Penakluk Iblis, barulah tidak akan terpengaruh oleh ilmu hitamku "
"Ilmu Penakluk
Iblis?"
"Tidak salah. Itu
merupakan semacam ilmu kebatinan tingkat tinggi, tidak gampang mempelajari ilmu
itu. Maka aku yakin Pulau Hong Hoang To tidak memiliki ilmu tersebut ”
”Oooooh” Kedua Pelindung dan
Lima Setan Algojo manggut-manggut.
”Lagi pula aku memiliki sebuah
genta maut, bila aku membunyikan genta itu, pihak lawan pasti akan mati muntah
darah." Ketua Kui Bin Pang memberitahukan sambil tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...!"
"Dari mana Kelua
memperoleh genta maut itu?" tanya Toa Sat Kui.
"Ketika terpukul jatuh ke
dalam jurang, Pek Kut Lojin masih kuat merangkak ke dalam sebuah goa di dasar
jurang itu." Ketua Kui Bin Panj memberitahukan. "Ketua lama mendapat
sebuah genta maut di dalam goa tersebut, berikut sebuah kitab kecil yang
mengajarkan cara membunyikan genta itu. Kini kalian sudah tahu, maka tidak
perlu takut terhadap pihak Pulau Hong Hoang To."
Kedua Pelindung dan Ngo Sat
Kui manggut manggut. Ketua Kui Bin Pang memandang mereka, kemudian tertawa
terbahak-bahak.
"Ha ha ha! Kita harus
menuntut balas terhadap pihak Pulau Hong Hoang To! Sebab Tio Po Thian, majikan
lama Pulau Hong Hoang yang memukul jatuh Pek Kut Lojin!"
"Kita harus menuntut balas!
Kita harus menuntut balas!" seru kedua Pelindung dan Ngo Sat Kui serentak.
"Hidup Kui Bin Pang! Hidup Ketua!"
"Ha ha ha! Ha ha
ha...!" Kelua Kui Bin Pa terus tertawa gelak.
-ooo0dw0ooo-
Sementara itu, Kam Hay Thian
dan Lu Hui San telah tiba di Pulau Hoa Hoang To, kebetulan Tio Bun Yang, Siang
Koan Goat Nio, Sie leng Hauw dan Lie Ai Ling berada di luar. Kemunculan Kam Hay
Thian dan Lu Hui San sungguh mengejutkan mereka, sekaligus menggembirakan pula.
"Kalian...." Lie Ai Ling terbelalak. "Kalian...."
"Ai Ling!" panggil
Lu Hui San sambil tersenyum malu-malu.
"Kapan engkau bertemu
orang yang tak punya perasaan itu?" tanya Lie Ai Ling dengan mata tak
berkedip, gadis itu terus menatap mereka.
"Ai Ling!" Lu Hui
San tertawa kecil dengan wajah ceria. "Kini dia sudah punya
perasaan."
"Oh?" Lie Ai Ling
masih kurang percaya, la menuding Kam Hay Thian seraya membentak. ”Kini engkau
sudah sadar dan sudah memiliki perasaan serta nurani?"
"Ya." Kam Hay Thian
mengangguk. "Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berkunjung ke mari bersama
dia?"
"Oooh!" Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Syukurlah kalau begitu!"
"Hay Thian!" Sie
Keng Hauw segera memberi hormat. "Aku mengucapkan selamat kepada kalian
berdua!"
"Terimakasih!
Terimakasih!" ucap Kam Hay thian sambil balas memberi hormat dengan wajah
berseri-seri.
"Hay Thian!" Tio Bun
Yang memegang bahu nya. "Kami ikut gembira, karena kalian berdua sudah
saling mencinta."
"Terimakasih, Bun
Yang!" Kam Hay Thian menarik nafas panjang. "Semua itu adalah
kesalahanku, tapi aku sudah mohon maaf kepat Hui San, dan dia sudi memaafkan
aku."
"Syukurlah!" Tio Bun
Yang tersenyum.
"Hay Thian," ujar
Lie Ai Ling. "Tahukah kalian, kami di sini sangat mencemasiean kalian”
"Terimakasih untuk
itu!" ucap Kam Hay Thiaj "Kami tidak akan melupakan kebaikan
kalian."
"Jangan berkata
begitu!" Tio Bun Yang tersenyum lagi. "Kita semua adalah kawan
baik."
"Bun Yang...." Kam
Hay Thian menundukkan kepala. "Aku
merasa malu sekali atas
kejadian itu."
"Itu telah berlalu, lagi
pula kini kalian berdua sudah saling mencinta, jadi tidak perlu diungkit itu
lagi," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh.
"Ya." Kam Hay Thian
mengangguk.
"Oh ya!" tiba-tiba
Lu Hui San menengok kesana kemari. "Kok Yatsumi tidak kelihatan? Di berada
di mana?"
"Dia sudah pulang ke Jepang."
Lie Ai Ling memberitahukan. "Dia berhasil membunuh Takara Nichiba, ketua
ninja itu."
"Oooh!" Lu Hui San
manggut-manggut.
"Hui San!" Siang
Koan Goat Nio memancingnya seraya bertanya, "Selama itu engkau berada di
mana?"
"Aku...." Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala.
"Entahlah!"
"Lho?" Siang Koan
Goat Nio terbelalak. "Kok entahlah? Jadi engkau sama sekali tidak tahu
dimana keberadaanmu selama itu?"
"ya." Lu Hui San
mengangguk. "Sebab aku sudah gila."
"Apa?" Kening Siang
Koan Goat Nio ber-nit. "Engkau sudah gila selama itu?"
"Ya." Lu Hui San
mengangguk lagi.
"Kok engkau tahu
itu?" Lie Ai Ling tercengang. ”Orang gila mana bisa tahu dirinya gila
sih?"
"Aku tahu setelah
sembuh," sahut Lu Hui san.
"Siapa yang
menyembuhkanmu?" tanya Lie Ai ling.
"Bu Ceng Sianli-Tu Siao
Cui." Lu Hui San memberitahukan.
"Kakak Siao Cui yang
menyembuhkanmu?" tanya Tio Bun Yang dengan wajah berseri.
"Ya." Lu Hui San
mengangguk dan melanjutkan. "Setelah aku sembuh, aku mengambil keputusan
untuk menjadi biarawati. Maka, Bu Ceng sianli menyuruhku ke Pek Yun Am. Aku
langsung ke kuil biarawati itu dan kemudian tinggal di sana."
"Oooh!" Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Lalu cara bagaimana engkau bertemu Kam Hay Thian?"
"Aku bertemu Bu Ceng
Sianli di dalam kedai arak. Dia menghajarku setelah tahu siapa diriku” sahut
Kam Hay Thian memberitahukan. "Kemudian dia menyuruhku ke Pek Yun
Am."
"Hui San," ujar Lie
Ai Ling. "Engkau begini cepat memaafkannya? Dia begitu tak punya
perasaan."
"Aku berlutut tiga hari
tiga malam di depan Pek Yun Am tanpa makan, minum dan tidur” Kam Hay Thian
memberitahukan lagi. "Barulah dia ke luar menemuiku."
"Bagus! Bagus!" Lie
Ai Ling tertawa. "Memang harus begitu! Seharusnya engkau berlutut tujuh
hari tujuh malam."
"Aku pasti mati, dan itu
akan membuat Hu San menderita sekali," sahut Kam Hay Thian.
"Kakak Hay
Thian...." Wajah Lu Hui Sian memerah.
"Waduh!" Lie Ai Ling
tertawa geli. "Bukan main mesranya suaramu, itu sungguh menggetarkan
kalbu!"
"Ai Ling...." Wajah Lu Hui San bertambah memerah.
"Engkau mulai menggoda
aku ya?" "Boleh kan?" Lie Ai Ling tersenyum.
"Oh ya!" Kam Hay
Thian memandang Tio Bun Yang seraya bertanya, "Engkau kenal Bu Ceng Sianli
kan ?”
"Kenal. Kenapa?"
sahut Tio Bun Yang.
"Engkau tahu berapa
usianya?"
"Tentu tahu." Tio
Bun Yang manggut-manggut. "Usianya sudah hampir sembilan puluh. Ketika
pertama kali bertemu dia, aku sama sekali tidak percaya!"
"Sama." Kam Hay
Thian menggeleng-gelengkan kepala. "Siapa akan percaya dia sudah berusia
sembilan puluh? Padahal kelihatannya baru berusia dua puluhan."
"Bu Ceng Sianli-Tu Siao
Cui..." gumam Siang koan Goat Nio. "Dia sudah berusia hampir sembilan
puluh?"
"Adik Goat Nio, kenapa
engkau bergumam?" tanya Tio Bun Yang heran.
"Ketika aku menuju ke
Gunung Thian San, tengah jalan bertemu Bu Ceng Sianli itu..." sambil
tersenyum jawab Siang Koan Goat Nio dan menutur, "....aku tidak percaya
dia sudah
berusia hampir sembilan puluh.
Dia... dia sungguh cantik sekali!"
Untung dia sudah berusia
segitu, kalau tidak..." ujar Lu Hui San sambil tersenyum-senyum.
"Kakak Bun Yang bukan
pemuda semacam itu, gampang tergoda oleh gadis cantik lain. Sekalipun bidadari
yang turun dari kahyangan, diapun tidak akan tergoda," ujar Lie Ai Ling
sungguh-sungguh.
"Oh, ya?" Lu Hui San
tersenyum. "Kok engkau berani mengatakan begitu?"
”Aku dan dia kakak beradik.
Sejak kecil kami sudah bersama, jadi aku tahu jelas bagaimana sifatnya,"
sahut Lie Ai Ling.
"Terimakasih, Adik Ai
Ling!" ucap Tio Bu Yang sambil tersenyum
"Kalau Ai Ling tidak
mengatakan begitu, aku pun akan mengatakan begitu juga," sela Sia Koan
Goat Nio sambil tersenyum manis.
“Adik Ai Ling, bagaimana aku?”
tanya Sie Keng Hauw mendadak.
“Harus seperti Kakak Bun
Yang!” sahut Lie Ai Ling, kemudian merendahkan suaranya. “Aku yakin engkau
pasti mcncintai dan menyayangiku selama-lamanya.”
“Pasti! Itu sudah pasti!” Sie
Keng Hauw ter tawa.
“Kakak!” panggil Lu Hui San
dan memberi tahukan. “Aku dan Kam Hay Thian sudah pergi menemui paman.”
“Oh?” Wajah Sie Keng Hauw
berseri. “Bagaimana keadaan ayah, baik-baik saja?”
“Paman baik-baik saja.” Lu Hui
San manggut manggut. “Aku pun memberitahukannya, bahwa Kakak sudah punya
kekasih. Oleh karena itu paman
berpesan apabila engkau sempat, ajaklah Ai Ling ke sana!”
“Ya.” Sie Keng Hauw
mengangguk. “Aku memang sudah rindu pada ayah!”
Mereka bercakap-cakap,
berselang sesaat mendadak wajah Kam Hay Thian berubah serius sekali.
“Kami ke mari ingin
menyampaikan sesuatu yang teramat penting, maka kami harus segera menemui Kakek
Tio dan lainnya.” Kam Hay Thian memberitahukan.
“Oh?” Tio Bun Yang menatapnya.
“Kalau begitu, mari kita ke dalam!”
Mereka masuk ke dalam langsung
menuju ruang tengah, karena Tio Tay Seng dan lainnya rdang berkumpul di situ.
“Eeeeh?” Kou Hun Bijin
terbelalak ketika melihat Lu Hui San bersama Kam Hay Thian. kalian berdua sudah
akur ya?”
“Bijin....” Wajah Lu Hui San kemerah-merahan.
Sedangkan Kam Hay Thian segera
memberi hormat kepada mereka semua, begitu pula Lu Hui San.
“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay
tertawa gelak. Syukurlah kalau kalian sudah akur dan... saling mencinta!”
“Hi hi hi!” Kou Hun Bijin
tertawa cekikikan, kalian berdua kok bisa bertemu dan akur kembali?”
“Itu atas jasa Bu Ceng
Sianli-Tu Siao Cui.” h.un Hay Thian memberitahukan sekaligus menutur tentang
itu.
“Tak disangka....” Tio Tay
Seng menghela nafas panjang.
“Bu Ceng Sianli berbuat
kebaikan!
“Kalau begitu...” ujar Sam Gan
Sin Kay. “Dia tidak jahat, mungkin akan berada di pihak kita
“Dia memang sudah berada di
pihak kita, sela Kim Siauw Suseng. “Maka kita boleh berlega hati.”
“Ayah!” Tio Bun Yang
memberitahukan. “Kan Hay Thian dan Lu Hui San ingin menyampaikan sesuatu yang
amat penting.”
“Oh?” Kening Tio Cie Hiong
berkerut. “Kalau begitu, kalian duduklah!”
Mereka duduk. Kemudian Kam Hay
Thian berkata, “Kami ingin menyampaikan tentang Kui Bin Pang. Kami datang dari
markas pusat Kay Pang”
“Cepat beritahukan apa yang
telah terjadi di markas pusat Kay Pang!” Lim Ceng Im tidak sabar wajah pun
tampak tegang.
“Di markas pusat Kay Pang
tidak terjadi apa apa, namun dalam rimba persilatan telah terjadi sesuatu yang
sangat menggemparkan,” ujar Kai Hay Thian melanjutkan. “Para murid tujuh partai
besar banyak yang mati, dan ketua sudah gila.”
“Apa?” Sam Gan Sin Kay
terbelalak. “Itu perbuatan siapa?”
“Seng Hwee Sin Kun,” sahut Kam
Hay Thian menambahkan. “Kini Seng Hwee Sin Kun telah dikendalikan oleh ketua
Kui Bin Pang.”
“Aaaah...!” Tio Tay Seng
menghela nafas panjang. “Sasaran berikutnya pasti Kay Pang, sebab Kui Bin Pang
tidak berani menyerbu ke sini.”
“Kalau begitu....” Wajah Lim
Ceng Im langsung tampak
cemas. “Ayahku dan paman Gouw
pasti celaka.”
“Maka Kakek Lim mengutus kami
kemari memberitahukan,” ujar Kani Hay Thian. “Karena kay Pang dalam bahaya.”
“Itu... itu....” Lim Ceng Im
semakin cemas. Ayahku....”
“Adik Im, tenanglah!” bisik
Tio Cie Hiong.
“Kakak Cie Hiong....” Air mala Lim Ceng Im mulai
meleleh. “Ayahku sudah
tua....”
“Tenang!” Tio Cie Hiong
menggenggam lengannya erat-
erat.
“Kalau begitu...” ujar Sam Gan
Sin Kay. “Aku harus segera ke markas pusat Kay Pang.”
“Pengemis bau,” sahut Kim
Siauw Suseng. Engkau sudah tua sekali, jangan cari mati di sana! lebih baik
tetap hidup tenang di pulau ini saja!”
“Tapi....” Kening
Sam Gan Sin
Kay yang keriput
itu
berkerut-kerut. “Itu
menyangkut Kay Pang.”
“Pengemis bau, bukankah masih
ada Tio Cie Hiong dan lainnya? Nah, engkau sudah begitu tua, tidak usah
mencampuri urusan Kay Pang lagi!”
“Aaaah...!” Sam Gan Sin Kay
menghela nafas ranjang. “Aku....”
“Pengemis bau!” Kou Hun Bijin
memandang nya sambil tertawa. “Hi hi hi! Engkau tidak usah turut campur, biar
tingkatan muda yang memberesi urusan itu!”
“Betul,” sela Lim Ceng Im.
“Kakek tidak usah memusingkan urusan itu, biar kami yang mem beresinya!”
“Tujuan Kui Bin Pang terhadap
kita, namun sasarannya justru tujuh partai besar dan Kay Pang itu untuk
memancing kita ke Tionggoan,” ujar Tio Tay Seng sambil mengerutkan kening.
“Kalau begitu, mari kita ke
Tionggoan saja!” sahut Sam Gan Sin Kay dan menambahkan. “Biar aku sudah tua
sekali, masih cukup kuat untuk bertarung dengan pihak Kui Bin Pang.”
“Yang jelas engkau pasti akan
mampus!” ujai Kou Hun Bijin. “Dari pada harus mampus di sana bukankah lebih
baik tenang di sini?”
“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay
tertawa gelak “Aku tidak menyangka Kou Hun Bijin takut mati Ha ha ha...!”
“Pengemis bau!” bentak Kou Hun
Bijin mc lotot. “Engkau jangan menghinaku! Kalau perlu kita bertarung di sini!”
“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay
masih tertawn gelak. “Dari pada kita yang bertarung lebih bail kita bertarung
dengan pihak Kui Bin Pang?”
“Baik. Kapan kita berangkat ke
Tionggoan?' tanya Kou Hun Bijin.
“Eeeh? Bijin!” Kim Siauw
Suseng terbelalak. Betulkah engkau ingin berangkat ke Tionggoan?”
“Ya.” Kau Hun Bijin
mengangguk. “Pengemis bau itu menantangku, maka aku harus berangkat ke
Tionggoan.”
“Tenanglah, isteriku!” ujar
Kim Siauw Suseng, kemudian melototi Sam Gan Sin Kay. “Engkau laki laki, tidak
pantas menantang wanita! Ayoh, tandinglah aku!”
“Engkau mana punya nyali untuk
bertarung dengan pihak Kui Bin Pang? Buktinya dari tadi dia, saja!” sahut Sam
Gan Sin Kay menyindir.
“Pengemis bau!” Kim Siauw
Suseng menudingnyaa. “Kalau aku tidak memandang Tio Tocu, aku sudah hajar
engkau!”
“Engkau dapat menghajarku?”
Sam Gan Sin ly tertawa. “Ha ha ha! Kita berdua adalah Bu mi Jie Khie, bahkan
sering bertanding pula. ngkau... pernah kalah sejurus kan?”
“Sekarang kita boleh bertarung
lagi!” tantang im Siauw Suseng.
“Ayah!” tegur Siang Koan Goat
Nio. “Ayah kok seperti anak kecil sih? Kita sedang mengharu' masalah, Ayah, Ibu
dan Sam Gan Sin Kay ulah ribut tidak karuan! Bukannya berpikir harus bagaimana
baiknya, tapi malah ribut! Sungguh keterlaluan!”
“Adik Goat Nio,” bisik Tio Bun
Yang. “Tidak baik menegur orang tua!”
“Kalau tidak ditegur, mereka
pasti ribut terus,” ujar Siang Koan Goat Nio sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
“Adik Goat Nio....” Tio Bun
Yang memberi isyarat agar
gadis itu diam, namun Siang
Koa Goat Nio masih tampak cemberut.
“Nak!” Kou Hun Bijin tersenyum
lembut “Engkau benar, kami yang salah karena terus ribut. Maafkan kami ya!”
“Ibu....” Siang Koan Goat Nio
menghela nafas panjang.
“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay
tertawa. “Kau yang sudah mau mampus ini memang keterlaluan dan tak tahu diri!
Ha ha ha...!”
“Sekarang kuharap tenang
semua!” ujar Tu Tay Seng. “Kita masing-masing harus berpikii jalan keluarnya!”
Ucapan Tio Tay Seng membuat
hening suasana, sebab mereka mulai berpikir keras. Ber selang beberapa saat
kemudian, barulah Sam Gai Sin Kay membuka mulut berbicara.
“Menurut aku, lebih baik
urusan itu kita serahkan kepada Tio Cie Hiong dan Lim Ceng lm.”
“Benar.” Kim Siauw Suseng dan
Kou Hi Bijin mengangguk.
“Maaf!” ucap Tio Cie Hiong.
“Kami sudah bersumpah tidak akan mencampuri urusan rimba persilatan, maka kami
tidak boleh melanggar sumpah itu.”
“Kakak Cie Hiong....” Lim Ceng Im memancangnya.
“Ayahku dan Paman Gouw dalam
bahaya.”
“Aku tahu.” Tio Cie Hiong
manggut-manggut. Begini, kita utus Bun Yang ke markas pusat Kay l'ang.”
“Dia... dia seorang diri?” Lim
Ceng Im menggeleng-gelengkan kepala.
“Aku pasti ikut,” ujar Siang
Koan Goat Nio.
“Kami pun tidak mau
ketinggalan,” sambung Lie Ai Ling.
“Betul.” Sie Keng Hauw
mengangguk. “Kami pasti ikut ke Tionggoan.”
“Apakah kami akan makan angin
di pulau ini?” ujar Lu Hui San sambil melirik Kam Hay thian. “Kami pun harus
ikut ke Tionggoan.”
“Tidak salah.” Kam Hay Thian
manggut-mangut. “Kami semua harus membantu Kay Pang.”
“Bagus! Bagus! Ha ha ha!” Sam
Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak. “Biar generasi muda saja memberesi urusan
itu.”
“Setuju,” sambung Kim Siauw
Suseng dan Kou hun Bijin serentak.
“Tapi....” Tio Tay Seng
menggeleng-gelengkan kepala.
“Mereka masih kurang
berpengalaman.”
“Justru itu akan menambah
pengalaman mereka,” sahut Sam Gan Sin Kay. “Jadi biarlah mereka pergi membantu
Kay Pang.”
“Cie Hiong, bagaimana menurut
engkau?” tanya Tio Tay Seng sambil menatapnya.
“Aku setuju, Paman.” Tio Cie
Hiong mengangguk.
“Tapi....” Lie Ceng Im
mengerutkan kening “Aku tidak
begitu berlega hati, karena
pihak Ku Bin Pang berkepandaian tinggi sekali.”
“Adik Im!” Tio Cie Hiong
tersenyum. “Bu Yang dan lainnya juga berkepandaian tinggi. Aku yakin mereka
sanggup menghadapi Kui Bin Pang”
“Yaaah...!” Lim Ceng Im
menghela nafas panjang. “Baiklah! Aku setuju!”
“Ayah, kapan kami boleh
berangkat ke Tionggoan?” tanya Tio Bun Yang.
“Lebih cepat lebih baik,”
sahut Tio Cie Hiong “Kalian boleh berangkat besok pagi.”
“Ya, Ayah.” Tio Bun Yang
mengangguk.
“Nak,” pesan Lim Ceng Im.
“Kalian semua harus berhati-hati, jangan ceroboh!”
“Ya, Ibu.” Tio Bun Yang mengangguk
lagi.
Tio Tay Seng, Sam Gan Sin Kay,
Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin dan lainnya juga ikut memberikan berbagai
wejangan.
“Ai Ling,” bisik Tio Hong Hoa.
“Engkau tidak boleh bersikap seperti anak kecil lagi, harus menuruti perkataan
Keng Hauw!”
“Ya, Ibu.” Lie Ai Ling
mengangguk.
“Juga harus menuruti perkataan
Bun Yang! tambah Lie Man Chiu. “Dia kakakmu!”
“Ya, Ayah.” Lie At Ling
mengangguk lagi.
“Keng Hauw,” pesan Lie Man
Chiu sungguh-sungguh. “Engkau harus baik-baik menjaga Ai Ling!”
“Ya, Paman.” Sie Keng Hauw
mengangguk pasti. “Aku berjanji itu, Paman dan Bibi tidak usah khawatir!”
“Ngmm!” Lie Man Chiu dan Tio
Hong Hoa manggut-manggut sambil tersenyum.
Keesokan harinya, berangkatlah
mereka ke Tionggoan menuju markas pusat Kay Pang.
-oo0dw0oo-
Bagian ke lima puluh lima
Pertarungan di Markas Kay Pang
Dalam perjalanan ke Tionggoan,
mereka sama sekali tidak mendapat halangan apa pun. Walau hati mereka agak
tercekam, namun masih bisa bersenda gurau.
“Sayang sekali!” ujar Lie Ai
Ling. “Sian Hoa berada di Tayli, kalau tidak, kita semua akan berkumpul di
markas pusat Kay Pang.”
“Entah kapan Sian Hoa dan Beng
Kiat akan mengunjungi kita?” ujar Lu Hui San. “Kalau tidak menyangkut urusan
dengan Kui Bin Pang, ingin rasanya pesiar ke Tayli.”
“Benar.” Tio Bun Yang
manggut-manggut “Pemandangan di Tayli indah sekali, siapa yang pernah ke Tayli,
pasti tidak akan melupaku negeri kecil itu.”
“Oh ya!” Siang Koan Goat Nio
teringat sesuatu, dan segeralah ia memberitahukan. “Ketika aku mencuri dengar
pembicaraan ketua Kui Bin Pang, itu membuatku tidak habis pikir.”
“Memangnya kenapa?” tanya Tio
Bun Yang heran.
“Kedengarannya dia sangat
dendam kepada mu,” jawab Siang Koan Goat Nio “Apakah engkau punya musuh?”
“Aku tidak punya musuh, lagi
pula aku tidak kenal ketua Kui Bin Pang itu.” Tio Bun Yang mengerutkan kening.
“Kenapa dia dendam pada ku?”
“Ketua lama Kui Bin Pang
mendendam pada majikan lama Pulau Hong Hoang To, otomatis ketua baru itu pun
dendam pada pihak Pulau' Hong Hoang To,” ujar Lie Ai Ling. “Maka tidak usah
merasa heran.”
“Tapi....” Siang Koan Goat Nio
menggeleng gelengkan
kepala. “Menurut aku, ketua
Kui Bin Pang itu punya dendam pribadi dengan Kakak Bun Yang!”
“Itu....” Tio
Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
“Itu tidak mungkin, sebab aku
sama sekali tidak punya musuh.”
“Sudahlah!” landas Lie Ai
Ling. “Tentang itu tidak usah dipusingkan, yang jelas Kui Bin Pang memang
memusuhi kita.”
“Aaaah...!” Mendadak Sie Keng
Hauw menghela nafas panjang.
“Eeeh?” Lie Ai Ling menatapnya
heran. “Kenapa engkau menghela nafas panjang? Apa yang terganjel dalam hatimu?”
“Aku teringat guruku. Entah
bagaimana keadaan beliau?” sahut Sie Keng Hauw. “Aku... rindu kepadanya.”
“Oooh!” Lie Ai Ling
manggut-manggut. “Kukira engkau teringat gadis lain!”
“Aku mana punya gadis lain?”
sahut Sie Keng Hauw sambil tersenyum. “Aku... hanya mencintai egkau seorang.”
“Kakak Keng Hauw....” Lie Ai
Ling tersenyum bahagia.
“Asyiiik!” seru Lu Hui San.
“Cinta nih ya!”
“Wuah!” Lie Ai Ling
memandangnya, lalu balas menggodanya. “Ketika Kam Hay Thian meninggalkanmu,
siang malam engkau terus-menerus menangis.”
“Ai Ling!” Wajah Lu Hui San
langsung memerah. “Engkau....”
“Makanya jangan coba-coba
menggodaku! Nah, rasakan!” sahut Lie Ai Ling sambil bertawa.
“Kalian masih bisa bergurau!”
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. “Aku justru merasa khawatir....”
“Mengkhawatirkan apa?” tanya
Lie Ai Ling
“Aku khawatir telah terjadi
sesuatu di markas pusat Kay Pang,” jawab Tio Bun Yang sambi menghela nafas
panjang.
“Kalau begitu, kita harus
cepat-cepat ke sana, ujar Sie Keng Hauw. “Jangan bergurau lagi.”
-oo0de0oo-
Betapa leganya hati mereka
ketika tiba di markas pusat Kay Pang, karena yang menyambu kedatangan mereka
adalah Lim Peng Hang dai Gouw Han Tiong.
“Kakek! Kakek Gouw!” panggil
Tio Bun Yang
“Bun Yang!” Sungguh gembira
sekali Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong. “Duduk, du duklah!”
Tio Bun Yang dan lainnya
segera duduk kemudian saling memandang sambil menarik nafas lega.
“Kakek, selama ini tidak
terjadi sesuatu di sini?” tanya Tio Bun Yang.
“Tidak,” sahut Lim Peng Hang
dan menambahkan-“Hanya saja... banyak pesilat golongan putih yang mati
terbunuh.”
“Siapa yang membunuh mereka?”
tanya Kam hay Thian.
“Kalau tidak salah pihak Kui
Bin Pang. Kelihatannya pihak Kui Bin Pang berniat menguasai rimba persilatan,”
jawab Gouw Han Tiong.
“Pihak Kui Bin Pang tidak
membunuh para anggota Kay Pang?” tanya Tio Bun Yang.
“Itu yang membual kami tidak
habis pikir, sebab pihak Kui Bin Pang sama sekali tidak mengganggu para anggota
Kay Pang.” Lim Peng lang memberitahukan.
“Kakek, mungkinkah ketua Kui
Bin Pang punya renana lain terhadap kita?” ujar Tio Bun Yang.
“Yaah!” Lim Peng Hang menghela
nafas panjng. “Mungkin saja. Sebab kini tujuh partai besar sudah lumpuh, karena
para ketua partai itu dalam keadaan gila.”
, “Oh ya! Kenapa para ketua itu jadi gila?” tanya Tio
Bun Yang. “Apa yang menyebabkan mereka jadi gila?”
“Berdasarkan informasi yang
kami terima....” liwab Gouw
Han Tiong dengan wajah serius.
, mereka terkena semacam ilmu pukulan yang dilancarkan Seng Hwee Sin Kun.”
“Oh?” Kening Tio Bun Yang
berkerut. “Ilmu pukulan apa itu? Kok bisa menyebabkan orang yang terkena
pukulan itu berubah jadi gila?”
“Mungkin semacam ilmu pukulan
sesat.” tukas Lim Peng Hang dan menambahkan. “Sebab ketua Kui Bin Pang memiliki
ilmu hitam.”
“Aaaah...!” Gouw Han Tiong
menghela nafas panjang. “Entah bagaimana keadaan para ketua itu?”
“Bun Yang!” IJm Peng Hang
memandangn seraya berkata, “Engkau mahir ilmu pengobatan maka alangkah baiknya
engkau ke kuil Siauw Lim memeriksa Hui Khong Taysu.”
'Tapi di sini....”
'Tidak jadi masalah. Sebab ada
Kam Hay Thian dan lainnya berada di sini. Engkau dan Goat Nio berangkat ke kuil
Siauw Lim saja!”
“Baiklah.” Tio Bun Yang
mengangguk. “Kapan kami boleh berangkat, Kakek?”
“Sekarang juga boleh,” sahut
Lim Peng Han “Cepat pergi bisa cepat juga pulang.”
“Kalau begitu, aku dan Goat
Nio berangkai sekarang,” ujar Tio Bun Yang sekaligus berpamit lalu berangkai ke
kuil Siauw Lim.
-oo0dw0oo-
Dua hari kemudian setelah Tio
Bun Yaa dan Siang Koan Goat Nio berangkat ke kuil Siauv Lim, di markas pusat
Kay Pang justru terjadi sesuatu Malam itu ketika Lim Peng Hang. Gouw lan Tiong
dan lainnya sedang bercakap-cakap di uang depan, mendadak terdengar suara
siulan aneh yang menyeramkan.
“Hah?” Air muka Lim Peng Hang
langsung berubah hebat. “Kui Bin Pang “
“Tidak salah,” ujar Lie Ai
Ling. “Aku pernah mendengar suara siulan aneh yang menyeramkan ini.”
“Mari kita ke luar!” seru Lim
Peng Hang sambil melesat ke luar, diikuti Gouw Han Tiong, kam Hay Thian dan
lainnya dari belakang.
Mereka berdiri di halaman
dengan perasaan mencekam dan tegang, sementara suara siulan aneh yang
menyeramkan itu masih bergema. Berselang beberapa saat, melayang turun delapan
sosok bayangan putih.
“Kui Bin Pang muncul! Semua
harus mati!” seru mereka serentak menggunakan lweekang, sehingga memekakkan
telinga,
“Aku ketua Kay Pang!” ujar Lim
Peng Hang. ”Setahuku kami Kay Pang tidak bermusuhan depan kalian Kui Bin Pang!
Kenapa kalian muncul di sini?”
“Perintah dari ketua, maka
kami ke mari mau membunuh kalian!” sahut salah seorang yang memakai kedok setan
warna hijau. Ternyata mereka adalah Ngo Sat Kui, yang dua orang lagi memakai
ledok setan warna kuning, tidak lain adalah Dua Pelindung. Sedangkan yang
seorang lagi tidak memakai kedok setan, dia adalah Seng Hwee Sin Kun, berdiri
diam di tempat seperti patung.
“Ha ha ha!” Lim Peng Hang
tertawa gelak. “Kalian kira gampang membunuh kami?”
“Kalau kami tidak mampu
membunuh kalian semua, tentunya kami tidak akan ke mari!” sahut Toa Sat Kui.
“Toa Sat Kui,” bisik Toa Hu
Hoat (Pelindung Tertua). “Ketua menyuruh kita menangkap Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong hidup-hidup.”
“Aku tahu itu,” sahut Toa Sat
Kui dengan suara rendah. “Kalian berdua menangkap Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong, kami berlima dan Seng Hwee Sin Kun akan membunuh yang lain.”
“Ng!” Kedua Pelindung itu
mengangguk.
“Ha ha ha!” Mendadak Toa Sat
Kui tertawa gelak. “Malam ini kalian harus mati! Seng Hwee Sin Kun! Serang
mereka!”
Seng Hwee Sin Kun segera
menyerang Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong, namun mendadak Kam Hay Thian
meloncat ke arah Seng Hwee Sin Kun.
“Hati-hati, Kakak Hay Thian!”
seru Lu Hui San cemas.
Blaaam! Terdengar suara
benturan dahsyat.
Ternyata Kam Hay Thian
menangkis pukulan yang dilancarkan Seng Hwee Sin Kun. Kam Hay thian
lerhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah, sedangkan Seng Hwee Sin Kun cuma
dua langkah.
“Seng Hwee Sin Kun! Cepat
bunuh pemuda itu!” seru Toa Sat Kui. Mereka berlima mendadak menyerang ke arah
Lu Hui San, Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw.
Sedangkan kedua Pelindung pun
mulai menyerang Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong. Terjadilah pertarungan yang
amat seru dan sengit.
Kam Hay Thian bertarung
mati-matian melawan Seng Hwee Sin Kun, bahkan bertekad membunuhnya, karena Seng
Hwee Sin Kun pembunuh ayahnya.
Seng Hwee Sin Kun mengeluarkan
Seng Hwee Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Api Suci) yang mengandung api, sedangkan Kam
Hay Thian mengeluarkan Pak Kek Sin Ciang (Ilmu Pukulan Kutub Utara) yang
mengandung hawa dingin.
Setelah dibimbing oleh Tio Cie
Hiong, Iweekang Kam Hay Thian bertambah tinggi, begitu pula ilmu pukulannya,
sebab Tio Cie Hiong telah menyempurnakan ilmu pukulan tersebut.
Akan tetapi, lweekang Kam Hay
Thian tetap di bawah tingkat Seng Hwee Sin Kun, maka puluhan jurus kemudian,
pemuda itu mulai terdesak.
Sementara Lim Peng Hang dan
Gouw Han Liong juga sudah terdesak oleh kedua Pelindung.
Puluhan jurus kemudian, kedua
Pelindung itu berhasil menotok jalan darah Lim Peng Hang dari Gouw Han Tiong,
sehingga membuat mereka roboh tak bergerak lagi. Setelah berhasil menotol jalan
darah Lim Peng Hang dan Gouw Han Tio kedua Pelindung pun berdiri di tempat
sambil menyaksikan pertarungan itu.
Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling dan
Lu Hui San juga sudah mulai terdesak. Mereka bertiga cuma dapat bertahan.
Beberapa jurus kemudian, bahkan Lie Ai Ling sudah terluka. Betapa terkejutnya
Sie Keng Hauw, kemudian mati-matian melindungi kekasihnya. Akan tetapi tak
seberapa lama kemudian, tangannya pun terluka oleh pukulan Toa Sat Kui. Kini
keadaan mereka sungguh dalan bahaya! Di saat itulah mendadak terdengar suara
tawa yang amat nyaring, menyusul melayang turui sosok bayangan.
“Hi hi hi! Asyik sekali! Ada
orang bertarung” “Kakak!” seru Lu Hui San girang, “Tolong, kami! Kakak!”
“Jangan khawatir, Adik!”
Terdengar suara sahutan yang sangat merdu. “Kakak pasti bantl kalian!”
Siapa orang itu? Ternyata Bu
Ceng Sianli Ti Siao Cui. Ia langsung menyerang ke arah Ngo San Kui dengan Hian
Goan Ci.
Betapa terkejutnya Ngo Sat
Kui. Mereak berlima cepat-cepat meloncat ke belakang.
“Siapa engkau?” bentak Toa Sai
Kui. “Jangan turut campur urusan ini!”
“Hi hi hi! Aku Bu Ceng Sianli,
namaku Tu siao Cui! Aku justru harus mencampuri urusan ni! Hi hi hi...!” sahut
Tu Siao Cui sambil tertawa nyaring.
Sedangkan kedua Pelindung
saling memandang, kemudian mendadak membopong Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
lalu melesat pergi seraya berseru, “Ngo Sat Kui! Mari kita pergi!”
Begitu mendengar suara seruan
kedua Pelindung, Ngo Sat Kui pun langsung melesai pergi lan berseru pula.
“Seng Hwee Sin Kun, cepat
pulang ke markas!”
Kelika Seng Hwee Sin Kun mau
melesat pergi, Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui menyerangnya lengan Hian Goan Ci.
Cesss! Lengan jubah Seng Hwee
Sin Kun berlubang.
Sementara Kam Hay Thian sudah
dapat bernafas, setelah itu ia mulai menyerang Seng Hwee sin Kun menggunakan
Pak Kek Sin Ciang.
Seng Hwee Sin Kun menggeram,
kemudian secepat kilat menghindar sekaligus balas menyerang dengan ilmu Seng
Hwee Sin Ciang.
Blaaam! Terdengar suara benturan.
Seng Hwee Sin Kun tak
bergeming sedikit pun, sedangkan Kam Hay Thian terdorong kebelakang beberapa
langkah.
“Chu Ok Hiap!” seru Bu Ceng
Sianli. “Engkau mundurlah! Biar aku yang melawannya!”
“Tidak!” sahut Kam Hay Thian.
“Dia pembunuh ayahku, aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri!”
“Baik! Aku akan membantumu
menyerang nya!” ujar Bu Ceng Sianli sambil tertawa. “Hi hi hi...!”
Sementara Seng Hwee Sin Kun
terus meng geram sambil melotot-lotot. Mendadak ia memekik keras, kemudian
sepasang telapak tangannya berubah kehijau-hijauan.
“Chu Ok Hiap! Hati-hati!” Bu
Ceng Sianli mengingatkan. “Dia telah mengerahkan Iweekang nya pada puncaknya!”
Kam Hay Thian mengangguk,
kemudian cepat-cepat mengerahkan Pak Kek Sin Kang, sedangkan Bu Ceng Sianli mengerahkan
Hian Goan Sin Kang.
Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling dan
Lu Hui San tegang bukan main. Mereka menyaksikan itu dengan wajah pucat pias,
terutama Lu Hui San.
Mendadak Seng Hwee Sin Kun
memekik keras lagi, sekaligus menyerang Kam Hay Thian dengan jurus Seng Hwee
Sauh Thian (Api Suci Membakar Langit). Bukan main dahsyatnya serangan itu,
sebab pukulan itu mengandung api kehijau-hijauan.
Kam Hay Thian tidak berkelit,
melainkan menangkis serangan itu dengan jurus Leng Swat leng Hai (Salju
Menutupi Laut), yang penuh mengandung hawa dingin. Di saat bersamaan Bu Ceng
Sianli juga menyerang Seng Hwee Sin Kun.
Blaaam! Terdengar suara
benturan dahsyat memekakkan telinga. Pada waktu bersamaan terdengar pula suara
jeritan.
“Aaaakh...!” Ternyata Seng
Hwee Sin Kun yang menjerit, karena punggungnya telah berlubang terserang Hian
Goan Ci.
Sedangkan Kam Hay Thian
terpental beberapa depa, pakaiannya juga telah hangus, kemudian terkulai.
“Kakak Hay Thian!” seru Lu Hui
San sambil hrrlari menghampirinya. “Engkau... engkau terluka?”
“Aku....” Kam
Hay Thian menarik
nafas dalam-dalam.
“Aku tidak apa-apa.”
Kam Hay Thian bangkit berdiri,
lalu mendekati Seng Hwee Sin Kun. Sementara Seng Hwee Sin Kun membalikkan
badannya, lalu menatap Bu Ceng Sianli dengan mata membara.
“Hi hi hi!” Bu Ceng Sianli
tertawa cekikikan. ”Engkau sudah tidak punya sukma, lebih baik mati !”
Tiba-tiba Seng Hwee Sin Kun
menggeram, sekaligus menyerang Bu Ceng Sianli menggunakan jurus Thian Te Seng
Hwee (Api Suci Langit Bumi), yakni jurus yang paling lihay dan dahsyat “Hi hi
hi!” Bu Ceng Sianli tertawa nyaring kemudian mendadak jari tangannya bergerak
secepat kilat dan memancarkan cahaya putih. Ternyata ia menggunakan jurus
Cian Ci Keng Thian (Ribuan
Jari Mengejutkan Langit) untuk me nangkis serangan yang dilancarkan Seng Hwee
Sin Kun.
Blaaam! Cesss! Cesss! Itu
adalah suara benturan kedua lweekang yang memekakkan telinga Seng Hwee Sin Kun
terpental beberapa depa Dada dan perutnya telah berlubang dan darah segar pun
mengucur dari lubang itu. Sedangkan Bu Ceng Sianli terdorong ke belakang lima
enam langkah, wajahnya tampak pucat pias.
Di saat Seng Hwee Sin Kun
terpental, di saat itu pula Kam Hay Thian menyerangnya dengan jurus Han Thian
Soh Swat (Menyapu Salju Hai Dingin).
Blaaam! Punggung Seng Hwee Sin
Kun terkena pukulan
itu.
“Aaaakh...!” jeritnya.
Badannya terpental lagi ke arah Bu Ceng Sianli yang sedang mengatur
pernafasannya.
“Hi hi hi!” Bu Ceng Sianli
tertawa cekikikat sambil menggerakkan jari tangannya.
“Eeekh!” Seng Hwee Sin Kun mengeluarkan
suara tenggorokan, kemudian terkulai tak bergerak iagi, nyawanya sudah
melayang.
“Kakak Hay Thian!” seru Lu Hui
San sambil mendekatinya. “Kakak Hay Thian....”
“Adik Hui San....” Kam Hay
Thian memanjangnya sambil
tersenyum, namun wajahnya agak
jiucat dan pakaian pun telah hangus. “Aku tidak apa-apa. Engkau tidak usah
khawatir!”
“VVuah! Hi hi hi!” Bu Ceng
Sianli tertawa geli. “Kini sudah mesra ya!”
“Kakak....” Wajah Lu Hui San memerah. “Jangan
menggoda aku!”
“Oh, ya?” Bu Ceng Sianli menatapnya
sambil tertawa cekikikan. “Hi hi hi! Masih mau jadi biarawati?”
“Kakak....” Lu Hui San
menundukkan kepala.
“Celaka!” seru Sie Keng Hauw
mendadak dengan wajah pucat pias. “Betul-betul celaka!”
“Anak muda,” tanya Bu Ceng
Sianli heran. ”Apa yang celaka?”
“Kakek Lim dan Kakek Gouw...”
sahut Sie Keng Hauw. “Mereka telah dibawa kabur.”
“Haaah...?” Barulah Lie Ai
Ling, Kam Hay Thian dan Lu Hui San tersentak, wajah mereka lalu berubah pucat
pias. “Celaka... “
“Mereka tidak akan celaka.
Kalau mereka celaka, berarti mereka sudah mati dari tadi,” sahut Bu Ceng Sianli
dan menambahkan. “Sekarang kita kedalam, jangan terus berdiri di sini!”
“Bagaimana dengan mayat Seng
Hwee Sin Kun?” tanya Lu Hui San.
“Suruh saja anggota Kay Pang
menguburnya!' jawab Bu Ceng Sianli sambil menengok ke sara ke mari. “Lho? Kok
anggota Kay Pang tidak tampak seorang pun? Apakah mereka sudah marnpus semua?”
“Celaka!” seru Sie Keng Hauw.
Pemuda itu segera melesat pergi, tapi tak lama kemudian sudah kembali dan
berkata. “Ternyata para anggota Kay Pang yang bertugas di luar markas masih
dalam keadaan tertidur, karena terkena semacam obat bius!”
“Pantas mereka tidak
kelihatan!” ujar Lie Ai Ling. “Syukurlah mereka kalau tidak mati!”
“Celaka!” seru Bu Ceng Sianli
mendadak.
“Ada apa. Kakak?” Lu Hui San
terkejut.
“Ketularan kalian yang dari
tadi terus menyebut 'Celaka', maka aku pun ikut-ikutan menyebut celaka. Hi hi
hi!” Bu Ceng Sianli tertawl geli.
“Kakak ada-ada saja!” Lu Hui
San cemberut
”Ayolah, mari kita ke dalam!”
ajak Bu Ceng Sianli sambil melesat ke dalam markas, yang lain mengikutinya dari
belakang. Sampai di ruang depan, mereka lalu duduk.
“Kakak adalah Tu Siao Cui?”
tanya Lie A Ling mendadak sambil menatapnya dengan mata tak berkedip.
“Tidak salah. Kenapa?” sahut
Bu Ceng Sianli
“Bukan main! Sungguh bukan
main!” ujar Lie Ai Ling sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Eh? Kenapa engkau gadis
manis?” tanya Bu Ceng Sianli. “Apanya yang bukan main?”
“Kakak sungguh cantik sekali,
kelihatannya baru berusia dua puluhan!” jawab Lie Ai Ling, ”Tapi sesungguhnya
sudah berusia hampir sembilan puluh. Nah, itu bukan main, kan?”
“Hi hi hi!” Bu Ceng Sianli
tertawa cekikikan, ”gadis manis, beritahukanlah namamu!”
“Namaku Lie Ai Ling.” Gadis
itu memperkenalkan diri sambil tersenyum, lalu memandang kekasihnya seraya
berkata, “Dia bernama Sie Keng Hauw, dia....”
”Aku sudah tahu, dia
kekasihmu.” Bu Ceng sianli tertawa cekikikan.
“Ya, Kakak.” Lie Ai Ling
mengangguk.
“Oh ya!” Bu Ceng Sianli
menengok ke sana kemari seraya bertanya, “Kok tidak tampak Tio Bun Yang? Dia
tidak berada di sini?”
“Dia dan Goat Nio pergi ke
kuil Siauw Lim,” jawab Kam Hay Thian memberitahukan. “Sebab “Ketua partai Siauw
Lim jadi gila terkena pukulan Ceng Hwee Sin Kun, maka dia ke sana untuk
mengobatinya.”
“Oh?” Bu Ceng Sianli tertegun.
“Bun Yang mahir ilmu pengobatan?”
“Dia memang mahir ilmu
pengobatan, kepandaiannya pun sangat tinggi sekali.” Lie Ai Ling memberitahukan
dengan wajah berseri-seri. “Bahkan dia juga mahir meniup suling.”
“Aku sudah tahu itu.” Bu Ceng
Sianli manggut-manggut. “Oh ya, engkau punya hubungan apa dengan Bun Yang?”
“Aku adiknya.”
“Apa?” Bu Ceng Sianli
mengerutkan kening “Bagaimana mungkin engkau adiknya?”
“Ayahnya dan ibuku bersaudara,
sedangkan kakeknya dan kakekku saudara kandung.” Lie Ai Ling menjelasiean.
“Oooh!” Bu Ceng Sianli
manggut-manggut “Pantas, engkau begitu bangga, ternyata engkau memang termasuk
adiknya!”
“Kakak....” Lu Hui San
mengerutkan kening “Kini Kakek
Lim dan Kakek Gouw tidak ada,
kita harus bagaimana?”
“Anggap saja kita tuan rumah!”
sahut Bu Ceng Sianli. “Beres, kan?”
“Tapi....” Lu
Hui San menggeleng-gelengkan kepala.
“Wakil ketua pun tidak ada di
sini, kita...
“Tentunya kita harus menunggu
Kakak Bun Yang dan Goat Nio, sebab Kakak Bun Yan adalah cucu ketua Kay Pang
ini. Biar dialah yang mengatur!” ujar Lie Ai Ling.
“Betul.” Bu Ceng Sianli
manggut-manggu “Kita semua memang harus menunggu Bun Yan pulang.”
“Kakak juga menunggu di sini?”
tanya Lu Hui San girang.
“Aku mengucapkan 'kita semua',
berarti termasuk diriku,” sabut Bu Ceng Sianli. “Dasar goblok!”
“Aku memang goblok, Kak,” ujar
Lu Hui San sambil tersenyum.
“Kalian sungguh....” Bu Ceng Sianli menggeleng-
gelengkan kepala. “Padahal
bahu dan lengan kalian terluka, namun masih bisa bergurau.”
“Lukaku ringan, tidak
apa-apa,” sahut Kam Hay Thian. “Oh ya, aku harus mengucapkan terimakasih kepada
Kakak, sebab Kakak telah membantuku membalas dendam.”
“Tidak usah berterimakasih
kepadaku. Seharusnya engkau berterimakasih kepada Lu Hui San,” ujar Bu Ceng
Sianli. “Ingat! Engkau harus baik-baik terhadapnya! Kalau engkau masih berani
menyakiti hatinya, aku pasti membunuhmu!”
“Ya, Kakak.” Kam Hay Thian
mengangguk dan berjanji, “Aku pasti mencintai dan menyayanginya
selama-lamanya!”
“Bagus! Bagus!” Bu Ceng Sianli
tertawa cekikikan. “Hi hi hi...!”
“Hi hi hi!” Mendadak Lie Ai
Ling juga tertawa cekikikan, itu membuat Bu Ceng Sianli terheran- inian.
“Hei!” Bu Ceng Sianli melotot.
“Kenapa engkau ikut tertawa seperti aku? Menyindir ya?”
“Mana berani aku menyindir
Kakak?” sahut Lie Ai Ling tersenyum-senyum. “Aku teringat Kou Hun Bijin yang
suka tertawa seperti Kakak.”
“Oh, dia!” Bu Ceng Sianli
manggut-manggut.
. “Dia dan suaminya berada di
mana?”
“Di Pulau Hong Hoang To.” Lie
Ai Ling memberitahukan.
“Ngmm!” Bu Ceng Sianli
manggut-manggut lagi seraya berkata, “Apabila aku sempat, pasti berkunjung ke
sana.”
“Kakak jangan ingkar janji
lho!” ujar Lie Ai Ling.
“Eh? Aku cuma bilang mau
berkunjung ke sana, namun tidak berjanji,” sahut Bu Ceng Sianli.
“Kakak....” Wajah Lie Ai Ling
tampak kecewa. “Kalau
sempat, Kakak berkunjung ke
Pulau Hong Hoang To ya!”
“Itu kalau aku sempat. Tapi
tidak berjanji lho!” sahut Bu Ceng Sianli.
Di saat itulah muncul beberapa
pengemis tua. Mereka memberi hormat kepada Kam Hay Thian, Sie Keng Hauw dan
lainnya.
“Maafkan kami...” ucap salah
seorang dari mereka. “Karena kami terkena semacam obat bius, sehingga membuat
kami....”
“Kami sudah tahu itu,” sahut
Sie Keng Hauw dan bertanya, “Oh ya, di mana wakil ketua?”
“Beliau ditugasiean ke markas
cabang, mungkin dalam waktu belasan hari ini beliau akan pulang.”
“Kakek Lim dan Kakek Gouw ada
urusan, maka meninggaliean markas pusat ini,” ujar Sie Keng Hauw dan
menambahkan. “Sekarang kalian boleh pergi, sekaligus kuburkan mayat yang di
luar markas itu!”
“Ya.” Beberapa pengemis tua
itu langsung pergi.
“Kakak Keng Hauw, kenapa
engkau berdusta?” tanya Lie Ai Ling.
“Kalau aku tidak berdusta, Kay
Pang pasti menjadi kacau,” sahut Sie Keng Hauw dan melanjutkan. “Kita tunggu
Bun Yang dan Goat Nio pulang, barulah kita berunding bersama.”
“Oh ya!” ujar Bu Ceng Sianli
mendadak. “Apakah ada kamar kosong? Aku sudah lelah sekali, mau beristirahat.”
“Ada, Kakak,” sahut Lie Ai
Ling dan Lu Hui San serentak. “Kami antar Kakak ke kamar itu.”
“Hi hi hi!” Bu Ceng Sianli
tertawa. Kalian cukup baik terhadapku! Bagus! Bagus! Aku sungguh gembira
sekali!”
Beberapa hari kemudian, Tio
Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio sudah pulang. Betapa gembiranya hati Tio Bun
Yang ketika melihat Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui. Ia langsung berseru dengan
wajah berseri-seri, “Kakak! Kakak!”
“Hi hi hi! Adik Bun Yang,
engkau sudah pulang?” Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan.
“Kakak Siao Cui!” panggil
Siang Koan Goa Nio. “Masih ingat padaku?”
“Engkau....” Bu Ceng Sianli
menatapnya dengan penuh
perhatian. “Aku ingat! Kita
pernai bertemu di kedai teh, kemudian muncul belasan anggota Seng Hwee Kauw.
Mereka kuajak ke tempat sepi lalu kubunuh. Ya, kan?”
“Betul.” Siang Koan Goat Nio
tertawa gem bira. “Kukira Kakak sudah lupa.”
“Hi hi hi!” Bu Ceng Sianli
memandang merek; sambil tertawa. “Ternyata Adik Bun Yang kekasih mu! Engkau
memang tidak salah pilih. Kalian berdua memang pasangan yang serasi.”
“Kakak.....” Wajah Siang Koan
Goat Nio agak kemerah-
merahan.
Sementara Tio Bun Yang terus
memandang Kam Hay Thian dan Sie Keng Hauw. Dari wajah mereka, ia sudah tahu
telah terjadi sesuatu di markas pusat Kay Pang ini
“Keng Hauw,” tanya Tio Bun
Yang. “Di mana kakekku dan Kakek Gouw?”
“Mereka....” Sie Keng Hauw
memandang Bu Ceng Sianli.
“Adik Bun Yang,” ujar Bu Ceng
Sianli. “Telah teradi sesuatu di markas ini. Kalau aku terlambat datang, mereka
pasti sudah jadi mayat.”
“Oh?” Air muka Tio Bun Yang
berubah hebat. ”Apa yang telah terjadi?”
“Seng Hwee Sin Kun dan
beberapa anggota ,Kui Bin Pang ke mari...” tutur Kam Hay Thian, kemudian
menghela nafas panjang.
“Apa?” Wajah Tio Bun Yang
langsung berubah pucat pias. “Kakekku dan Kakek Gouw ditangkap mereka?”
“Ya.” Kam Hay Thian
mengangguk.
“Kakek! Kakek...!” seru Tio
Bun Yang cemas. „Aaaah! Aku harus bagaimana? Harus bagaimana?”
“Tenanglah, Adik Bun Yang'“
ujar Bu Ceng Sianli. “Kakekmu dan Kakek Gouw tidak akan terjadi apa-apa. Sebab
seandainya Seng Hwee Sin Kun dan para anggota Kui Bin Pang itu menghendaki
nyawa kakekmu dan Kakek Gouw, di saat itu juga kakekmu dan Kakek Gouw pasti
sudah mati.”
“Betul, Kakak Bun Yang!” ujar
Lie Ai Ling. ”Kalau Kakak Siao Cui terlambat datang, kami pasti sudah jadi
mayat. Kepandaian mereka sangat tinggi sekali.”
“Aaaah...!” Tio Bun Yang
menghela nafas panjang, kemudian jatuh terduduk di kursi. “Entah bagaimana
keadaan kakekku dan Kakek Gouw?”
“Adik Bun Yang,” tegas Bu Ceng
Sianli. “Pokoknya engkau harus tenang, tidak boleh kacau! Ingat, engkau pemuda
gagah, maka tidak boleh cengeng!”
“Ya, Kakak!” Tio Bun Yang
mengangguk.
“Oh ya!” Bu Ceng Sianli
menatapnya seraya bertanya, “Bagaimana keadaan ketua Siauw Lim Pay? Engkau
dapat menyembuhkannya?”
Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala kemudian menghela nafas panjang.
“Kakak Bun Yang tidak bisa
menyembuhkan Hui Khong Taysu?” tanya Lie Ai Ling kurang percaya.
“Hui Khong Taysu dipasung
karena sering mengamuk. Aku telah memeriksanya, ternyatwa syaraf otaknya telah
rusak tergempur oleh semacam ilmu pukulan.” Tio Bun Yang memberi tahukan.
“Tiada obat yang dapat
menyembuhkannya? tanya Bu Ceng Sianli.
“Ada,” jawab Tio Bun Yang.
“Hanya rumput obat Liong Kak Cauw (Rumput Tanduk Naga) yang dapat
menyembuhkannya.”
“Kalau begitu, cepatlah Kakak
Bun Yang pergi mengambil rumput obat itu!” ujar Lie Ai Ling.
“Adik Ai Ling!” Tio Bun Yang
menggeleng gelengkan kepala.
“Tidak gampang mencari Liong
Kak Cauw, sebab rumput Tanduk Naga itu cuma tumbuh di daerah Miauw.”
“Oh?” Lie Ai Ling terbelalak.
“Ayah dan aku kenal baik ketua
suku Miauw, bahkan aku pernah ke sana,” Tio Bun Yang memberitahukan. “Tapi....”
“Adik Bun Yang!” Bu Ceng
Sianli menatapnya. “Engkau merasa berat berangkat ke daerah Biauw, karena
memikirkan kakekmu?”
“Ya.” Tio Bun Yang mengangguk.
“Menurut aku...” ujar Bu Ceng
Sianli. “Pihak Kui Bin Pang tidak akan membunuh kakekmu maupun Kakek Gouw,
paling juga mereka akan dibikin gila. Berarti kelak engkau pun membutuhhkan
rumput Tanduk Naga untuk menyembuhkan mereka. Maka, apa salahnya engkau
berangkat ke daerah Miauw untuk mengambil rumput obat itu?”
“Ini....” Tio Bun Yang masih
ragu. “Kakak, bagaimana
kalau aku ke Pulau Hong Hoang
To memberitahukan kedua orang tuaku?”
“Jangan!” Bu Ceng Sianli
menggelengkan kepala. “Itu akan mencemaskan semua orang di sana. engkau sudah
dewasa, jadi engkau harus menanganinya, jangan masih bersikap seperti anak
kecili!”
“Ya, Kakak.” Tio Bun Yang
mengangguk. ”Tapi bagaimana di sini?”
“Serahkan pada kami!” sahut
Kam Hay Thian dan Sie Keng Hauw serentak. “Kami tetap berada disini menunggu
engkau pulang.”
“Terimakasih!” ucap Tio Bun
Yang.
“Kakak Bun Yang,” tanya Lie Ai
Ling. “Engkau cuma memeriksa Hui Khong Taysu saja?”
“Ya.”
“Kenapa Kakak Bun Yang tidak
pergi memeriksa ketua partai lain?”
“Itu tidak perlu, sebab
penyakit mereka pasti sama. Lagi pula aku harus memburu waktu.”
“Adik Bun Yang!” Bu Ceng
Sianli memandangnya. “Aku mau pergi sekarang, kelak kita akan berjumpa lagi!”
“Kakak...!” panggil Tio Bun
Yang, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling serentak, mereka merasa berat
berpisah dengan wanita itu.
“Hi hi hi!” Bu Ceng Sianli
tertawa cekikikan “Kalian jangan cengeng, aku pergi karena harus membantu
kalian mencari Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong!”
“Oooh!” Tio Bun Yang
manggut-manggut “Terimakasih, Kakak!”
“Baiklah.” Bu Ceng Sianli
bangkit berdiri “Sampai jumpa!”
“Kakak...!” panggil Siang Koan
Goat Nio.
Namun Bu Ceng Sianli sudah
melesat pergi tinggal terdengar sayup-sayup seruannya.
“Kelak kita akan berjumpa
lagi! Hi hi hi...!”
“Aaaah...!” Siang Koan Goat
Nio menghela nafas panjang. “Ketika pertama kali aku bertemu Bu Ceng Sianli,
aku anggap dia wanita jahat dan sadis! Kini aku baru tahu, dia berhati bajik!”
“Semula aku pun beranggapan
begitu, sebab dia membunuh Hek Sim Popo, bahkan ingin membunuh yang lain juga.
Oleh karena itu, aku berusaha mencegahnya...” ujar Tio Bun Yang dan menutur.
“Maka aku menganggapnya gadis berhati sadis. Pada waktu itu, aku tidak percaya
kalau usianya sudah hampir sembilan puluh.”
“Siapa yang akan percaya?”
ujar Lu Hui San .ambil menggeleng-gelengkan kepala. “Entah siapa akan menjadi
jodohnya?”
“Sepertinya....” Lie
Ai Ling mengerutkan
kening. “Dia
sama sekali tidak tertarik
pada lelaki yang mana pun.”
“Aku harap dia akan ketemu
pemuda yang baik!” ucap Siang Koan Goat Nio.
“Oh ya!” Lu Hui San
menatapnya. “Goat Nio, kapan kalian akan berangkat ke daerah Miauw?”
“Besok pagi,” sahut Tio Bun
Yang. “Kami harus cepat berangkat dan cepat pulang.”
“Kami tetap tinggal di sini.
Sebelum kalian pulang, kami tidak akan ke mana-mana,” ujar Kam Hay Thian.
“Terimakasih!” ucap Tio Bun
Yang.
-oo0dw0oo-
Bagian ke lima puluh enam
Kejadian yang mencemaskan
Tio Bun Yang dan Siang Koan
Goat Nio sudah berangkat ke daerah Miauw. Tujuh delapan hari kemudian, mereka
berdua sudah tiba di daerah itu dan langsung menemui kepala suku Miauw.
Dapat dibayangkan, betapa
girangnya Cing Cing, putri kepala suku Miauw itu. Ia memeluk Tio Bun Yang
erat-erat, sekaligus mengecup pipi nya.
“Cing Cing....” Wajah Tio Bun
Yang langsung memerah.
“Maaf!” ucap ibu Cing Cing
kepada Siang Koan Goat Nio. “Itulah adat kami di sini, maka Nona jangan salah
paham! Putriku itu sudah punya suami.”
“Oooh!” Siang Koan Goat Nio
manggut-manggut.
“Kakak Bun Yang,” tanya Cing
Cing. “Nona itu kekasihmu
ya?”
“Ya.” Tio Bun Yang mengangguk.
“Namanya Siang Koan Goat Nio.”
“Kakak Goat Nio, aku bernama
Cing Cing,” ujar putri kepala suku Miauw sambil tersenyum “Jangan salah paham
ya! Aku sudah punya suami, aku girang sekali atas kedatangan kalian.”
“Adik Cing Cing!” Siang Koan
Goat Nio tersenyum lembut. “Aku tidak akan salah paham.”
“Syukurlah!” ucap Cing Cing.
“Bun Yang!” Ibu Cing Cing
menatapnya seraya bertanya, “Engkau ke mari tentu ada suatu penting. Ya, kan?”
“Ya.” Tio Bun Yang mengangguk.
“Aku ke mari mencari Liong Kak Cauw.”
“Liong Kak Cauw?” Ayah Cing
Cing mengerutkan kening. “Sulit sekali mengambil Liong Kak Cauw itu, sebab
tumbuhnya di tebing yang sangat licin. Sudah banyak orang yang mati karena
ingin mengambil rumput obat itu.”
“Ayah, Kakak Bun Yang pasti
berhasil mengambil rumput obat itu, karena kepandaian Kakak Hun Yang tinggi
sekali,” ujar Cing Cing sambil tersenyum.
“Oh?” Ayah Cing Cing
manggut-manggut. “Aku masih ingat, engkaulah yang menyelamatkan kami.”
“Kepandaian Pahto begitu
tinggi, tapi Kakak Hun Yang masih dapat merobohkannya, itu pertanda kepandaian
Kakak Bun Yang tinggi sekali.'
“Ngmm!” Ayah Cing Cing
mengangguk sambil insenyum. “Kalau begitu, aku yakin engkau akan berhasil
mengambil rumput obat itu.”
”Paman, rumput Tanduk Naga itu
tumbuh di tebing mana?” tanya Tio Bun Yang.
“Di Gunung Tanduk Naga.” Ayah
Cing Cing nenunjuk ke arah utara. “Lihatlah gunung itu, bukankah mirip tanduk
naga?”
Tio Bun Yang memandang ke arah
utara, dilihatnya sebuah gunung menjulang tinggi, yang bentuknya memang mirip
tanduk naga.
“Rumput Tanduk Naga tumbuh di
tebing gunung itu?”
“Ya.” Ayah Cing Cing
mengangguk dan memberitahukan. “Gunung itu sangat berbahaya, maka engkau harus
berhati-hati! Di sana terdapat rawa hidup, siapa yang terpeleset ke rawa itu,
jangan harap bisa ke luar lagi.”
“Aku pasti berhati-hati,” ujar
Tio Bun Yang, kemudian memandang Siang Koan Goat Nio seraya berkata, “Goat Nio,
engkau di sini saja! Jangan ikut aku ke gunung itu, sebab akan mem bahayakan
dirimu.”
“Kakak Bun Yang, aku... aku
ikut!” sahut gadis itu.
“Goat Nio,” ujar ibu Cing
Cing. “Lebih baik engkau tinggal di sini, Cing Cing akan menemani mu. Karena
apabila engkau ikut Bun Yang ke gunung itu, justru akan memecahkan perhatian
nya. Jadi engkau harus mengerti itu!”
“Aku....” Siang Koan Goat Nio
menundukkan kepala.
“Kakak Goat Nio!” Cing Cing
memegang bahunya, “kalau engkau ikut, tentunya Kakak Bun Yang harus menjagamu.
Nah, bukankah engkau akan merepotkannya? Mungkin juga akan mem buatnya tidak
bisa memusatkan perhatiannya, sungguh berbahaya sekali!”
“Ya,” Siang Koan Goat Nio
mengangguk. “Aku mengerti dan tidak ikut.”
“Adik Goat Nio!” Tio Bun Yang
membelainya. “Engkau memang gadis yang berpengertian.”
“Tapi Kakak Bun Yang harus
berhati-hati lho!” pesan Siang Koan Goat Nio sambil menatapnya mesra.
“Ya.” Tio Bun Yang mengangguk.
“Bun Yang,” tanya ayah Cing
Cing. “Kapan engkau akan berangkat ke gunung itu?”
“Sekarang,” jawab Tio Bun
Yang.
“Baiklah.” Ayah Cing Cing
manggut-manggut. “Walau engkau berkepandaian tinggi, namun engkau tetap harus
berhati-hati!”
“Ya, Paman.” Tio Bun Yang
mengangguk dan k-rpamit, lalu berangkat ke Gunung Tanduk Naga.
Setelah Tio Bun Yang pergi,
Siang Koan Goat Nio terus melamun. Cing Cing memandangnya «ambil tersenyum,
kemudian ujarnya.
“Kakak Goat Nio, jangan
melamun! Lusa kakak Bun Yang pasti pulang.”
“Dia... dia pergi menempuh
bahaya, sedangkan aku malah enak-enak duduk di sini. Aku....” Siang Koan Goat
Nio menghela nafas panjang.
“Kakak Goat Nio!” Cing Cing
tersenyum, kepandaian Kakak Bun Yang begitu tinggi, dia pasli selamat. Engkau
tidak usah mengkhawatirkannya. Percayalah! Lusa dia pasti pulang.”
“Goat Nio!” Ibu Cing Cing
tersenyum lembut.
“Bun Yang pasti pulang dengan
membawa rumput Tanduk Naga, engkau tidak usah mencemasieannya!”
“Ya.” Siang Koan Goat Nio
mengangguk.
“Baiklah,” ujar ibu Cing Cing.
“Kalian mengobrollah di sini, kami mau ke dalam!”
Kedua orang tua Cing Cing
masuk ke dalam, sedangkan Cing Cing dan Siang Koan Goat Nio tetap duduk di
situ.
“Oh ya!” Siang Koan Goat Nio
memandangnya seraya bertanya. “Di mana suamimu? Kok tidak kelihatan?”
“Dia pergi menengok orang
tuanya. Dalam beberapa hari ini dia akan pulang.” Cing Cing memberitahukan.
“Kenapa engkau tidak ikut?”
“Malas.”
“Kok malas?” Siang Koan Goat
Nio tersenyum. “Itu tidak baik lho!”
“Kebetulan pada waktu itu aku
kurang enak badan, maka malas ikut ke rumah orang tuanya,” ujar Cing Cing, yang
kemudian menatapnya. “Kakak Goat Nio, engkau dan Kakak Bun Yang sudah lama
saling mencinta?”
“Cukup lama.”
“Dia... dia pemuda baik,
jujur, gagah dan tampan. Engkau beruntung sekali mendapatkan dia.”
“Oh?”
“Ketika pertama kali aku
bertemu dia, aku sangat tertarik kepadanya. Bahkan boleh dikatakan aku telah
jatuh hati kepadanya,” ujar Cing Cing terus terang. “Namun dia menganggapku
sebagai adiknya, maka aku tidak berani memikirkannya lagi.”
“Oooh!” Siang Koan Goat Nio
manggut-manggut. “Oh ya! Aku masih tidak tahu, bagaimana dia bisa kenal kedua
orang tuamu? Bolehkah engkau memberitahukan padaku?”
“Tentu boleh. Kedua orang
tuaku ditangkap oleh Pahto yang berkepandaian sangat tinggi, maka ibuku
menyuruhku ke Tionggoan minta bantuan kepada Paman Cie Hiong...” tutur Cing
cing sejelas-jelasnya dan menambahkan. “Dia berhasil mengalahkan Pahto.”
“Oooh!” Siang Koan Goat Nio
manggut-mang- j'ut. “Ternyata begitu! Lalu di mana Pahto sekarang?”
-oo0dw0oo-
Jilid : 12
"Entahlah." Cing
Cing menggelengkan kepala. "Hingga kini dia tidak pernah muncul di daerah
Miauw ini."
"Oh ya!" Siang Koan
Goat Nio memandangnya kiiaya bertanya, "Engkau pernah belajar ilmu
Silat?"
"Pernah." Cing Cing
mengangguk. "Siapa yang mengajarmu ilmu silat!"
"Ibuku. Setelah bertemu
Kakak Bun Yang, tlia pun mengajarku Iweekang dan ilmu pedang."
"Kakak Bun Yang
mengajarmu Iweekang apa dan ilmu pedang apa?"
"Giok Li Sin Kang dan Lui
Tian Kiam Hoat."
"Oooh!" Siang Koan
Goat Nio tersenyum "Ibuku mengajarkan Giok Li Sin Kang pada ibu nya.
ibunya mengajarkan padanya, setelah itu dia pun ajarkan padamu!"
"Kalau begitu, kepandaian
Kakak pasti lihay sekali," ujar Cing Cing. *Engkau mahir ilmu
pedang?"
"Kakak Bun Yang tidak
mengajarmu Gio Li Kiam Hoat?" tanya Siang Koan Goat Nio.
"Tidak."
"Kalau begitu..."
ujar Siang Koan Goat Ni sambil tersenyum. "Aku akan mengajarmu Gio Li Kiam
Hoat, sebab engkau sudah memiliki Gio Li Sin Kang, maka harus belajar Giok Li Kiam
Hoat."
"Terimakasih,
Kakak!" ucap Cing Cing girang. "Terimakasih!"
Siang Koan Goat Nio mulai
mengajar Cing Cing Giok Li Kiam Hoat. Pada hari berikutnya Cing Cing sudah
dapat menguasai jurus-jurus Giok Li Kiam Hoat. Karena gadis itu telah memiliki Giok
Li Sin Kang, maka tidak sulit baginya mempelajari Giok Li Kiam Hoat.
Sore harinya, ketika Siang
Koan Goat Nio sedang memberi petunjuk kepada Cing Cing mengenai ilmu pedang
itu, mendadak melayang turun seseorang, yang ternyata Tio Bun Yang.
"Kakak Bun Yang!"
seru Siang Koan Goat Nio girang, dan langsung memeluknya mesra "Kakak Bun
Yang...."
"Adik Goat Nio!" Tio
Bun Yang membelainya. "Aku sudah pulang."
"Engkau berhasil
mengambil rumput Tanduk Naga?" tanya Siang Koan Goat Nio.
"Ng!" Tio Bun Yang mengangguk.
"Syukurlah!" ucap
Siang Koan Goat Nio.
"Kakak Bun Yang!"
panggil Cing Cing. "Sudah melupakan aku ya?"
"Adik Cing Cing...."
Wajah Tio Bun Yang kemerah-merahan.
"Maaf, aku...."
"Aku tahu...." Cing
Cing manggut-manggut. "Kalian saling
merindukan. Ketika engkau
berangkat ke gunung itu. Kakak Goat Nio terus melamun lho!"
"Oh?" Tio Bun Yang
tersenyum.
"Cing Cing...."
Siang Koan Goat Nio cemberut.
"Hi hi!" Cing Cing
tertawa geli. "Kenapa malu-malu kucing?"
Di saat bersamaan, muncullah
kedua orang tua Cing Cing.
Betapa gembiranya mereka
ketika melihat Tio Bun Yang.
"Bun Yang, engkau
berhasil mengambil rumput Tanduk Naga itu?" tanya ibu Cing Cing.
"Berhasil, Bibi."
Tio Bun Yang mengangguk sambil memperlihatkan rumput obat itu. "Khasiat
rumput Tanduk
Naga ini menyembuhkan syaraf
orang yang terganggu, bahkan juga dapat menyembuhkan penyakit lain."
"Betul." Ayah Cing
Cing mengangguk.
"Aku mengambil cukup
banyak," ujar Tio Bun Yang sambil memberikan Liong Kak Cauw itu kepada
ayah Cing Cing. "Paman, simpanlah rumput obat ini!"
"Bun Yang..." ayah
Cing Cing terbelalak. "Bukankah engkau sangat membutuhkan rumput obat
ini?"
"Memang." Tio Bun
Yang mengangguk. "Tapi dalam bajuku sudah cukup banyak, maka yang in untuk
Paman simpan."
"Terimakasih!" ucap
ayah Cing Cing sambi menerima rumput obat itu. "Oh ya! Kalian berdua
tinggallah di sini beberapa hari, kami ingin menjamu kalian!"
"Itu tidak perlu,
Paman!" tolak Tio Bun Yang "Sebab kami harus buru-buru kembali ke
Tiong goan."
"Kenapa Kakak Bun Yang
harus begitu buru buru pulang ke Tionggoan?" tanya Cing Cing heran.
"Sebab...." Tio Bun
Yang memberitahukan tentang para
ketua tujuh partai yang
menjadi gila "Oleh karena itu, kami harus buru-buru pulang ke
Tionggoan."
"Oooh!" Ayah Cing
Cing manggut-manggut. "Kalau begitu, kami tidak akan menahan kalian!
"Kakak Bun Yang kapan
berangkat?" tanya Cing Cing dengan mata basah.
"Sekarang," sahut
Tio Bun Yang.
"Sekarang?" Cing
Cing terbelalak. "Sekarang hari sudah mulai gelap, lebih baik esok pagi
saja”
"Cing Cing!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Kami harus buru-buru kembali ke Tiong-goan.
sebab...."
Tio Bun Yang memberitahukan
juga tentang Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong yang diculik Kui Bin Pang.
"Kakak Bun Yang...."
Cing Cing terisak-isak. "Kapan kalian
akan ke mari lagi?"
"Kalau ada kesempatan,
kami pasti ke mari!"
"Kakak Bun Yang jangan
bohong lho!"
"Cing Cing!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Aku tidak pernah bohong, namun aku pun tidak berani
berjanji pasti ke mari, sebab masih banyak urusan yang harus
kuselesaikan."
"Kakak Bun
Yang...."' Air mata Cing Cing meleleh.
"Adik Cing Cing!"
Siang Koan Goat Nio memegang bahunya. "Apabila ada kesempatan, kami pasti
ke mari menengok kaiian!"
"Terimakasih, Kakak Goat
Nio!" ucap Cing Cing.
"Paman, Bibi, kami mohon
pamit!" ucap Tio Bun Yang dan kemudian membelai Cing Cing. "Sampai
jumpa!"
"Selamat jalan. Kakak Bun
Yang dan Kakak Goat Nio!" sahut Cing Cing dengan terisak-isak. "Kelak
kalian harus ke mari tengok kami ya!"
"Ya!" Tio Bun Yang
mengangguk. "Paman, Bibi! Sampai jumpa!"
"Selamat jalan, Bun
Yang!" ucap ibu Cing Cing. "Selamat jalan, Goat Nio!"
Tio Bun Yang dan Siang Koan
Goat Nio melangkah pergi, sedangkan Cing Cing masih berdiri di tempat dengan
air mata berderai-derai
"Kakak Bun Yang! Kakak
Goat Nio! Jangan lupa ke mari lagi kelak!" seru Cing Cing sambil
melambai-lambaikan tangannya.
"Ya!" sahut Tio Bun
Yang sekaligus bala» melambaikan tangannya ke arah Cing Cing. "San| pai
jumpa...!"
Beberapa hari kemudian, Tio
Bun Yang dai Siang Koan Goat Nio sudah memasuki daerah Tionggoan. Ketika sampai
di sebuah kota, mereka mencari rumah penginapan karena hari sudah mulai gelap.
Mereka memasuki sebuah rumah
penginapan. Seorang pelayan segera menghampiri mereka dengan sikap hormat.
"Tuan dan Nyonya
membutuhkan kamar?"
"Kami...." Wajah Tio
Bun Yang agak kemerah-merahan.
"Kami membutuhkan dua
buah kamar."
"Oooh!" Pelayan
manggut-manggut tapi tidak banyak bertanya. "Tuan, Nona, mari ikut aku ke
dalam untuk melihat-lihat kamar!"
Tio Bun Yang mengangguk,
kemudian mereka berdua mengikuti pelayan ke dalam. Sampai di dalam, pelayan itu
menunjuk dua buah kamar.
"Bagaimana kedua kamar
itu? Tuan dan Nona merasa cocok?"
"Ng!" Tio Bun Yang
mengangguk.
"Tuan, Nona," ujar
pelayan memberi saran. "Lebih baik satu kamar saja. Itu tidak jadi
masalah, karena Tuan dan Nona adalah sepasang kekasih. Ya. kan?"
"Kami belum menikah,
tidak baik tidur dalam ,atu kamar," sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Baiklah!" Pelayan
itu manggut-manggut. "Tuan dan Nona mau pesan teh atau arak dan makanan
lilin?"
"Cukup teh saja,"
sahut Tio Bun Yang.
Pelayan itu mengangguk, lalu
segera pergi.
Tio Bun Yang dan Siang Koan
Goat Nio melangkah ke dalam kamar, lalu duduk berhadapan.
Pelayan itu muncul dengan
membawa sebuah teko dan dua buah cangkir. Ditaruhnya cangkir-cangkir itu di
atas meja, kemudian dituangkannya teh itu ke dalam ke dua cangkir.
"Silakan minum!"
ucap pelayan itu dengan sopan.
"Terimakasih!" ucap
Tio Bun Yang. Kemudian memberikan setael perak kepada pelayan itu.
"Tuan...." Pelayan
itu tidak berani
menerimanya, sebab
tiada seorang tamu pun pernah
memberinya setael perak.
"Ambillah!" desak
Tio Bun Yang.
"Terimakasih, Tuan!"
ucap pelayan itu dengan wajah berseri. "Terimakasih!"
"Sama-sama," sahut
Tio Bun Yang. "Permisi!" ucap pelayan itu dan segera per
"Goat Nio...."
Tio Bun Yang
menghela nafas panjang.
"Entah bagaimana keadaan
di markas pusat Kay Pang?"
"Tidak akan terjadi
apa-apa," sahut Siang Koan Goat Nio bernada menghibur.
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang lagi. "Entah berada di mana kakekku dan Kakek
Gouw?"
Siang Koan Goat Nio diam saja.
Gadis itu, tidak tahu harus menjawab apa.
Setelah malam, Siang Koan Goat
Nio bangkit berdiri lalu memandangnya seraya berkata,
"Kakak Bun Yang, aku mau
ke kamarku. Besok kila berjumpa lagi."
"Baik." Tio Bun Yang
manggut-manggut, lalu mengantar Siang Koan Goat Nio ke kamar laini
"Selamat malam, Kakak Bun
Yang!" ucap Siang Koan Goat Nio sambil melangkah ke kamal
"Selamat tidur, Adik Goat
Nio!" sahut Tio Bun Yang lembut. "Sampai besok!"
Siang Koan Goat Nio menutup
pintu kamar, dan Tio Bun Yang kembali ke kamarnya. Pemuda itu tidak langsung
tidur, melainkan duduk di pinggir tempat tidur dengan pikiran menerawang. Setelah
larut malam, ia membaringkan dirinya ke tempat tidur, tetapi lama sekali
barulah bisa pulas.
-oo0dw0oo-
Pagi-pagi sekali Tio Bun Yang
sudah bangun, la langsung pergi ke kamar Siang Koan Goat Nio. Begitu sampai di
depan kamar itu, keningnya berkerut karena pintu kamar itu terbuka sedikit.
Perlahan-lahan Tio Bun Yang
mendorong pintu itu, dan ia terbelalak seketika karena tidak melihat Siang Koan
Goat Nio di dalam kamar itu.
"Adik Goat Nio! Adik Goat
Nio!" teriak Tio Bun Yang. "Tuan!" Muncul pelayan. "Ada
apa?"
"Di mana Adik Goat Nio?
Di mana Adik Goat Nio?" tanya Tio Bun Yang dengan wajah pucat pias.
"Maksud Tuan.... Nona
yang kemarin itu?"
"Ya. Engkau melihat
dia?"
"Tidak." Pelayan itu
menggelengkan kepala.
"Aku tidak melihat Nona
itu."
"Aaaah...!" keluh
Tio Bun Yang. "Kemari dia? Kemana dia?"
"Mungkinkah dia pergi ke
luar sebentar?" ujaj pelayan. "Tuan tunggu di sini saja!"
Tio Bun Yang menghela nafas
panjang, ke mudian duduk dengan wajah cemas. Sedangkaj pelayan itu melangkah
pergi sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tio Bun Yang terus duduk
menunggu dj dalam kamar. Tak terasa hari sudah siang, namuT Siang Koan Goat Nio
masih belum muncul, lu membuat hati Tio Bun Yang semakin cemas, la bangkit dari
duduknya lalu berjalan mondar-maij dir di depan kamar itu.
"Tuan...." Muncul
pelayan sambil memandan nya. "Nona
sudah kembali?"
"Belum." Tio Bun
Yang menggelengkan k pala. "Dia... dia pasti diculik penjahat!"
"Tuan...." Pelayan
itu menarik nafas panjang, kemudian
melangkah pergi. Namun
berselang se saat, ia kembali lagi dengan wajah serius. "Tuan..“
"Ada apa?" tanya Tio
Bun Yang kesal.
"Tadi ada seseorang
menitip sepucuk suri untuk Tuan," sahut pelayan itu sambil menyerahkan
sepucuk surat kepada Tio Bun Yang.
Tio Bun Yang cepat-cepat
menerima sur itu, sekaligus membacanya. Surat tersebut berbunyi demikian.
Tio Bun Yang:
Kini kekasihmu
lelah berada di tanganku! Ha
Ini Ini!
Rasakan pembalasanku! Ha ha
ha!
Seusai membaca surat itu,
kening Tio Bun Yang terus berkerut. Ia sama sekali tidak tahu siapa pengirim
surat itu, lagi pula bunyi surat lersebut bernada membalas dendam padanya, itu
membuat Tio Bun Yang tidak habis pikir.
"Siapa orang itu? Kenapa
dia menulis begitu? l'adahal aku tidak punya musuh." gumam Tio Bun Yang
lalu bertanya
kepada pelayan. "Siapa
yang memberikan surat ini kepadamu?"
"Seorang pemuda,"
jawab pelayan. "Setelah memberikan surat itu kepadaku, dia langsung
pergi."
"Engkau kenal dia?"
"Maaf, Tuan! Aku sama
sekali tidak kenal dia."
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang nyaris pingsan seketika. "Adik Goat Nio! Adik Goat Nio!"
"Tuan...." Pelayan menggeleng-gelengkan ke-jiala.
"Kemarin aku sudah
bilang, lebih baik kalian lidur sekamar."
"Engkau...." Tio Bun
Yang tersentak. "Engkau sudah tahu
akan kejadian ini? Engkau
pelakunya”
"Bukan." Pelayan itu
memberitahukan. "Belum lama ini, sudah banyak anak gadis hilang
mendadak."
"Kenapa kemarin engkau
tidak memberitahukan kepadaku?" bentak Tio Bun Yang.
"Aku...." Pelayan
itu menggeleng-gelengka kepala.
"Aku
justru tidak mau membuat
kalian takut, maka aku tidak beritahukan."
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang jatuh terduduk di kursi. "Sudahlah! Engkau boleh pergi!"
"Ya, Tuan." Pelayan
itu melangkah pergi sari bil menghela nafas panjang. "Sudah ada gadis yang
hilang di sini! Kalau berita ini tersiar ke luar, penginapan ini pasti
sepi."
Sementara Tio Bun Yang terus
duduk dengan wajah cemas. Ia tidak tahu harus berbuat apa Akhirnya ia mengambil
keputusan untuk kembali ke markas pusat Kay Pang. Maka, setelah membayar ongkos
kamar, berangkatlah ia ke markas Kay Pang dengan wajah murung.
-oo0dw0oo-
Beberapa hari kemudian, Tio
Bun Yang sudah tiba di markas pusat Kay Pang. Yang menyambutnya adalah Cian
Chiu Lo Koay, wakil ketul Kay Pang.
"Tuan!" panggil Cian
Chiu Lo Koay, kemudian menghela nafas panjang.
"Lo Koay," tanya Tio
Bun Yang sambil duduk. ”Di mana Kam Hay Thian dan lainnya?"
"Mereka...
mereka...." Cian Chiu Lo Koay ergagap.
"Apa yang terjadi atas
diri mereka?" tanya Tio Bun Yang cemas. "Cepat ceritakan!"
"Beberapa hari lalu, aku
baru pulang. Kam Hay Thian menceritakan tentang Pangcu dan ketua..." tutur
Cian Chiu Lo Koay. "Malam harinyaa justru mendadak muncul Kui Bin
Pang...."
"Apa?" Bukan main
terkejutnya Tio Bun Yang. 'Jadi mereka ditangkap semua?"
"Ya." Cian Chiu Lo
Koay mengangguk. "Kebelulan pada waktu itu aku berada di luar. Begitu
mendengar suara siulan aneh yang menyeramkan itu, tak lama aku dan para anggota
Kay Pang jatuh pingsan. Entah berapa lama kemudian, baru-lah kami siuman, tapi
Kam Hay Thian dan lainnya sudhi tidak ada di tempat."
"Aaaah!" keluh Tio
Bun Yang. "Mereka pasti diculik oleh Kui Bin Pang!"
"Tuan!" Cian Chiu Lo
Koay memandangnya, ”kalau tidak salah, Tuan pergi bersama Nona Goat Nio. Kenapa
dia tidak kembali bersama tuan?"
"Dia...." Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Dia hilang
di penginapan."
"Apa?" Bukan main
terkejutnya Cian Chiu Lo Koay. "Apakah dia juga diculik oleh pihak Kui Bin
Pang?"
"Mungkin juga,"
sahut Tio Bun Yang, lalu memperlihatkan sepucuk surat.
"Aku menerima surat ini
dari pelayan penginapan, katanya dari seorang pemuda."
"Aku yakin itu perbuatan
pemuda tersebut” ujar Cian Chiu Lo Koay dan melanjutkan. "Pemuda itu pasti
punya dendam pada Tuan, coba Tuan ingat! Kira-kira siapa pemuda itu?"
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala, "Aku tidak punya musuh, bagaimana mungkin aku mengingatnya?"
"Kalau begitu..."
gumam Cian Chiu Lo Koay "Sungguh mengherankan dan membingungkan!”
"Lo Koay, aku cemas
sekali," ujar Tio Bun Yang. "Tidak tahu harus berbuat apa. Kakekku,
Kakek Gouw, Goat Nio, Kam Hay Thian dan lainnya telah diculik oleh Kui Bin
Pang. Apakah aku harus memberitahukan kepada orang tuaku”
"Seharusnya Tuan
memberitahukan. Tapi...” Cian Chiu Lo Koay menghela nafas panjang. "Itu
pasti akan menggemparkan Pulau Hong Hoang To, sekaligus mencemaskan mereka.
Jadi lebih baik sementara ini Tuan tidak usah kembali ke Pulau Hong Hoang To,
selidiki saja sendiri!"
"Oh ya! Tuan sudah
memperoleh rumput obat ilmu hitamku." itu?" tanya Cian Chiu Lo Koay.
"Sudah." Tio Bun
Yang mengangguk
"Kalau begitu, alangkah
baiknya tuan segera ke kuil Siauw Lim mengobati Hui Kong Taysu sekaligus
menyelidiki jejak Pangcu dan lainnya
"Baik." Tio Bun Yang
manggut-manggut. "Aku akan berangkat sekarang."
"Hati-hati!" pesan
Cian Chiu Lo Koay dan Lcnambahkan. "Kalau sudah tiada jalan, barulah kian
ke Pulau Hong Hoang To!"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk, lalu berangkat ke kuil Siauw Lim.
-ooo0dw0oo-
Sementara itu, di markas pusat
Kui Bin Pang terdengar suara tawa terbahak-bahak. Yang tertawa itu adalah Ketua
Kui Bin Pang, yang kelihatan gembira sekali.
"Ha ha ha! Kini Lim Peng
Hang, Gouw Han liong, Kam Hay Thian dan lainnya sudah berada di tangan kita! Ha
ha ha...!"
'Ketua," tanya Toa Sat
Kui. "Perlukah kita menyiksa mereka?"
"Tidak perlu." sahut
ketua Kui Bin Pang..
"Ng!" Tio Bun Yang
mengangguk. Sebab aku akan mengendalikan mereka dengan ilmu hitamku”
"Betul. Ha ha ha!"
Toa Sat Kui tertawa "Ketua bisa memerintah mereka untuk menyerang Pulau
Hong Hoang To."
"Tujuanku memang begitu.
Tapi...." Mendadak ketua Kui
Bin Pang tertawa terkekeh-keke
"Kalian harus baik-baik memperlakukan gadis yang bernama Goat Nio!"
"Ya," sahut Ngo Sat
Kui dan kedua Pelindung serentak
"He he he!" Ketua
Kui Bin Pang tertaw terkekeh-kekeh lagi. "Gadis itu sungguh cantik Tio Bun
Yang akan menggigit jari!"
"Ketua," ujar Toa Hu
Hoat (Pelindung Tertua). "Bu Ceng Sianli itu berkepandaian tinggi sekali,
Ngo Sat Kui agak kewalahan menghadapinya."
"Benar." Toa Sat Kui
mengangguk. "Sunggu lihay dan dahsyat ilmu jari tangannya!"
"Oh? Dia berani melawan
kita? Hmm!" dengus ketua Kui Bin Pang. "Aku akan turun tangan
membunuhnya!"
"Ketua!" Toa Sat Kui
memberitahukan. "Bu Ceng Sianli itu cantik sekali, sayang kalau di
bunuh."
"Siapa yang lebih cantik,
Siang Koan Goal Nio atau Bu Ceng Sianli itu?" tanya ketua Kui Bin Pang
mendadak.
"Bu Ceng Sianli lebih
cantik, sebab dia agak ivlindung itu pun satu kamar. Setelah berada di
genit," jawab Toa Sat Kui. "Sedangkan Siang Koan Goat Nio agak
dingin."
"Betul," sambung Toa
Hu Hoat. "Siang Koan Goat Nio tidak dapat menyenangkan Ketua. Tapi aku
yakin Bu Ceng Sianli pasti dapat menyenangkan Ketua."
"Oh, ya?" Ketua Kui
Bin Pang tertawa gelak. Kalau begitu, bila kalian bertemu Bu Ceng Sianli,
undanglah kemari!"
"Bagaimana kalau dia
tidak mau?" tanya Toa lu Hoat.
"Dengan cara apa pun
kalian harus mengun-langnya ke mari," tegas ketua Kui Bin Pang.
"Tapi kepandaiannya
sangat tinggi sekali. Kami tidak sanggup melawannya," ujar Toa Hu Hoat
dengan jujur.
"Aku tidak menyuruh
kalian melawannya, melainkan mengundangnya ke mari dengan cara baik-laik!
Mengerti?" bentak ketua Kui Bin Pang.
"Mengerti," sahut
mereka serentak. "Kami pasti berusaha mengundang Bu Ceng Sianli kemari?
"Bagus! Bagus! Ha ha
ha...!" Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak. "Nah! Sekarang silakan
kalian pergi beristirahat."
"Terimakasih,
Ketua!" Ngo Sat Kui dan Toa He Hu Hoat itu segera ke kamar.
Ternyata Ngo Sat Kui satu
kamar, kedua Pelindung itu pun satu kamar, kedua Pelindung naik ke tempat
tidur. Mereka
berdua tidak tidur, melainkan
duduk berhadapan di atas tempat tidur itu.
"Hari ini capek sekali,
mari kita tidur!" aja Pelindung Tertua.
"Benar. Lebih baik kita
tidur," sahut Pelir dung Kedua.
Walau mereka mengatakan
begitu, tapi keduanya sama sekali tidak tidur, melainkan menulis di atas tempat
tidur dengan jari telunjuk.
"Cara bagaimana kita
memberi kabar kepada Tetua itu?" Tulis Pelindung Tertua lalu memandang
Pelindung Kedua.
Pelindung Kedua menggelengkan
kepala, kemudian ia pun menulis.
"Kita harus berhati-hati,
sebab kalau kita menimbulkan kecurigaan ketua, nyawa kita pasti melayang."
Pelindung Tertua
manggut-manggut dan menulis.
"Kita harus mencari jalan
untuk memberi kabar kepada Tetua. Kalau tidak, Lim Peng Hai dan lainnya pasti
celaka."
Pelindung Kedua mengangguk.
Mereka berdua diam lalu berpikir dengan kening berkerut kerut.
-oo0dw0oo-
Bagian ke lima puluh tujuh
Masuk perangkap
Toan Beng Kiat dan Bokyong
Sian Hoa bersenda gurau di halaman istana, kemudian mereka berdua pun saling
mengejar sambil tertawa riang gembira.
"Hi hi!" Bokyong
Sian Hoa tertawa. "Kalau engkau dapat mengejarku, maka engkau
boleh...."
"Boleh menciummu?"
tanya Toan Beng Kiat.
"Ya." Bokyong Sian
Hoa mengangguk. "Nah, kejarlah aku!"
"Baik." Toan Beng Kiat
segera melesat ke arah Bokyong Sian Hoa.
Akan tetapi, gadis itu
bergerak cepat menghindar. Oleh karena itu, Toan Beng Kiat menangkap angin.
"Hi hi hi!" Bokyong
Sian Hoa tertawa geli. "Engkau mau menangkapku atau menangkap angin?"
"Engkau curang!" sahut
Toan Beng Kiat.
"Kok aku curang? Engkau
tidak dapat menangkapku malah bilang aku curang! Dasar licik!" ujar
Bokyong Sian Hoa.
"Engkau menggunakan Kui
Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat), itu berarti curang."
"Engkau menggunakan
ginkang, apakah itu tidak curang?"
"Sudahlah! Mari kita
duduk saja!" ajak Bokyong Sian Hoa. "Lebih baik kita
bercakap-cakap."
"Baik." Toan Beng
Kiat mengangguk.
Mereka duduk di dekat taman
bunga. Toa Beng Kiat terus memandangnya dengan mata berbinar-binar.
"Eeeh?" Wajah
Bokyong Sian Hoa memerahi "Kenapa engkau terus memandangku sih?"
"Adik Sian Hoa,"
sahut Toan Beng Kiat sambi tersenyum. "Terus terang, engkau makin
dipandang makin cantik lho!"
"Idiiih!" Bokyong
Sian Hoa tertawa cekikikan "Hi hi hi! Engkau sudah pandai merayu ya!"
"Aku tidak merayu,
melainkan berkata sesungguhnya," ujar Toan Beng Kiat. "Engkau memang
cantik sekali."
"Sudahlah, jangan terus
memuji diriku! Kalau aku sudah jadi nenek-nenek, engkau pasti menjauhiku."
"Kalau engkau sudah jadi
nenek-nenek, tentu aku pun sudah jadi kakek-kakek. Ya, kan? Nah bagaimana
mungkin aku menjauhimu? Sebaliknya aku pasti terus mendampingimu."
"Engkau memang pandai
merayu. Oh ya, sebelum engkau kenal aku, apakah pernah jatuh cinta terhadap
gadis lain?"
"Tidak pernah,"
jawab Toan Beng Kiat dengan jujur. "Tapi aku pernah tertarik pada seorang
gadis."
"Oh? Siapa gadis
itu?"
"Siang Koan Goat
Nio!"
"Eh? Engkau gila
ya?" Bokyong Sian Hoa melotot. "Bukankah Siang Koan Goat Nio kekasih
Kakak Bun Yang?"
"Benar." Toan Beng
Kiat menjelaskan. "Tapi pada waktu itu. Siang Koan Goat Nio belum bertemu
Tio Bun Yang."
"Oooh!" Bokyong Sian
Hoa manggut-mang-put. "Lalu bagaimana?"
"Aku pernah bilang kepada
Goat Nio, bahwa aku tertarik padanya. Akan tetapi...." Toan Beng Kiat
tersenyum. "Dia
memang gadis yang tegas. Dia
langsung bilang tidak tertarik padaku. Sejak itu, aku tidak berani mendekatinya
lagi. Ternyata diam-diam dia sangat tertarik kepada Tio Bun Yang, walau belum
bertemu pemuda itu."
"Kalau begitu..."
goda Bokyong Sian Hoa sambil tertawa kecil. "Engkau pasti kecewa sekali.
Ya, kan?"
"Tidak juga." Toan
Beng Kiat menggelengkan kepala. "Aku cuma tertarik kepadanya, bukan
berarti telah mencintainya. Lagi pula... cinta tidak boleh cuma sepihak, tiada
gunanya sama sekali."
"Oh ya," tanya
Bokyong Sian Hoa mendadak. "Kok Goat Nio bisa tertarik kepada Kakak Bun
Yang? Padahal dia belum pernah bertemu Kakak Bun Yang."
"Itu dikarenakan Ai Ling
sering menceritakan kepadanya tentang Bun Yang, lagi pula mereka memang berjodoh,"
ujar Toan Beng Kiat. "Tio Bun Yang memiliki suling kumala, sedangkan Goat
Nio memiliki suling emas. Nah, bukankah mereka berjodoh?"
"Benar." Bokyong
Sian Hoa manggut-manggut dan menambahkan. "Mereka pun mahir meniup suling.
Kelak bila bertemu mereka, aku ingin menyuruh mereka meniup suling."
"Bagus." Toan Beng
Kiat tertawa. "Aku memang ingin mendengar suara suling mereka."
"Kakak Beng Kiat, aku
merasa kasihan pada Soat Lan," ujar Bokyong Sian Hoa mendadak.
"Lho, memangnya
kenapa?" Toan Beng Kiat heran.
"Karena...." Bokyong Sian Hoa menggeleng-gelengkan
kepala. "Dia belum ketemu
pemuda idaman hatinya."
"Oh, itu!" Toan Beng
Kiat tersenyum. "Kalau sudah waktunya, dia pasti akan ketemu pemuda idaman
hatinya! Percayalah!"
"Ng!" Bokyong Sian
Hoa manggut-manggut "Kakak Beng Kiat...."
"Ada apa, sayang?"
Toan Beng Kiat memandangnya. "Katakanlah!"
"Sudah cukup lama aku
tinggal di sini, maksudku..." ujar Bokyong Sian Hoat dengan suara rendah.
"Bagaimana kalau kita ke Tionggoan?"
"Adik Sian Hoa," tanya
Toan Beng Kiat. "Apakah engkau sudah tidak betah tinggal di sini?”
"Bukan masalah itu,
melainkan... aku sangat rindu kepada Kakak Bun Yang dan lainnya. Bagal mana
kalau kita ke markas pusat Kay Pang menemui mereka?"
"Aku sih setuju saja.
Tapi... harus minta ijin dulu kepada orang tuaku. Kita tidak boleh pergi secara
diam-diam."
"Eeeh?" Bokyong Sian
Hoa cemberut. "Siapa yang mengajakmu pergi secara diam-diam?"
"Maaf, maaf!" ucap
Toan Beng Kiat cepat. ”Aku...."
"Hi hi!" Bokyong
Sian Hoa tertawa geli. "Kok engkau jadi kalut sih?"
"Aku... aku takut engkau
marah," sahut Toan Beng Kiat. "Engkau tidak marah kan?"
"Bagaimana mungkin aku
marah?" Bokyong Sian Hoa tertawa lagi. "Aku bukan gadis pemarah
lho!"
"Adik Sian Hoa...." Toan Beng Kiat menggenggam
tangannya. "Kita sudah
saling mencinta, bagaimana kalau kita... menikah?"
"Kakak Beng
Kiat...." Bokyong Sian
Hoa menundukkan
kepala "Aku tidak mau
cepat-cepat menikah."
"Kenapa?"
"Karena usiaku masih
terlalu muda. Lagi pula aku tidak mau cepat-cepat punya anak, karena aku tidak
bisa mengurusi anak."
"Adik Sian Hoa,"
ujar Toan Beng Kiat lembut. "Engkau sudah cukup umur. Seandainya kita
menikah dan punya anak, engkau tidak akan repot mengurusi anak."
"Aku tahu." Bokyong
Sian Hoa manggut manggut. "Maksudmu dayang-dayang di sini bisa bantu
mengurusi anak kita. Ya, kan?"
"Ya."
"Kakak Beng Kiat!"
Bokyong Sian Hoa me mandangnya seraya berkata. "Seorang ibu harus
mengurusi anaknya sendiri, tidak boleh orang lain yang mengurusinya."
"Kenapa?"
"Sebab kalau sang ibu
tidak mengurusi anak nya sendiri, maka kelak akan terasa jauh dengan
anaknya."
"Oooh!" Toan Beng
Kiat manggut-manggut "Adik Sian Hoa...."
"Kakak Beng Kiat."
ujar Bokyong Sian Uni lembut. "Aku sangat mencintaimu, namun aku belum mau
menikah sekarang, tunggu satu dua tahun lagi!"
"Baiklah." Toan Beng
Kiat mengangguk
"Eeeeh?" Terdengar
suara seruan, lalu munci Lam Kiong Soat Lan menghampiri mereka. "Kalian
berdua sudah mau menikah?"
"Ti... tidak."
Bokyong Sian Hoa menggelengkan kepala dengan wajah tampak agak kemerah-
merahan.
"Jangan
menyangkal...."
"Soat Lan!" Toan
Beng Kiat tersenyum. "Aku memang ingin menikahinya, namun dia belum
siap."
"Oh?" Lam Kiong Soat
Lan memandang mereka. "Bukankah lebih cepat menikah lebih baik, kok Sian
Hoa belum mau sih?"
"Karena aku... belum bisa
mengurusi anak, lagi pula lebih baik tunggu satu dua tahun," ujar Bokyong
Sian Hoa.
"Oooh!" Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut, kemudian menghela nafas panjang.
"Soat Lan!" Toan
Beng Kiat heran. "Kenapa engkau menghela nafas panjang?"
"Aku rindu kepada Kakak
Bun Yang, Goat Nio dan lainnya," sahut Lam Kiong Soat Lan. "Oh ya,
bagaimana kalau kita ke Tionggoan?"
"Tadi aku telah
mengusulkan kepada Kakak Beng Kiat." Bokyong Sian Hoa memberitahukan.
"Katanya harus minta ijin dulu kepada orang tuanya."
"Itu memang benar, kita
harus minta ijin dulu." Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut. "Kalau
tidak, orang tua kami pasti gusar."
"Kalau begitu...."
Bokyong Sian Hoa memandang mereka.
"Kapan kita minta
ijin?"
"Nanti," sahut Toan
Beng Kiat.
"Kakak Beng Kiat,"
tanya Bokyong Sian Hoa mendadak. "Apakah Kakak Bun Yang sudah bertemu Goat
Nio?"
"Mudah-mudahan mereka
sudah bertemu!" jawab Toan Beng Kiat, kemudian menghela nafas pula.
"Entah bagaimana Kam Hay Thian dan Li Hui San...."
"Mudah-mudahan mereka
bertemu kembali dan... saling mencinta!" sahut Bokyong Sian Hoa
"Yaaah!" Toan Beng
Kiat menggcleng-gclengj| kan kepala. "Kam Hay Thian begitu keras hati
bagaimana mungkin dia...."
"Ayohlah!" potong
Lam Kiong Soat Lan. "Mari kita ke ruang tengah menemui orang tua kita
untuk minta ijin ke Tionggoan!"
"Baik." Toan Beng
Kiat mengangguk lalu menarik Bokyong Sian Hoa ke dalam.
-oo0dw0oo-
Sementara itu. di ruang tengah
juga sedang berlangsung pembicaraan serius. Mereka adalah Toan Wie Kie, Gouw
Sian Eng, Lam Kiong Bl Liong dan Toan Pit Lian.
"Menurut aku, lebih baik
Beng Kiat dan Sian Hoa dinikahkan, sebab mereka sudah saling mencinta."
ujar Lam Kiong Bie Liong.
"Kami memang bermaksud
demikian," sahut Toan Beng Kiat. "Tapi... itu pun tergantung pada
mereka berdua, kami tidak boleh memaksanya.”
"Lho?" Gouw Sian Eng
heran. "Memangnya kenapa?"
"Mungkin mereka masih
ingin bebas." Toan Beng Kiat tersenyum. "Kalau mereka sudah manikah,
tentunya akan punya anak. Nah, itu cukup merepotkan mereka."
"Mengurusi anak memang
sudah merupakan tugas kewajiban orang tua, begitu pula mereka berdua,"
ujar Gouw Sian Eng dan menambahkan. ”Kakak Wie Kie, lebih baik suruh mereka
cepat-cepat menikah!"
"Adik Sian Eng!"
Toan Wie Kie tersenyum. "Kita boleh mengusulkan, namun tidak boleh
memaksa, lho!"
"Ya." Gouw Sian Eng
mengangguk. "Kalian berdua sudah tenang," ujar Toan Pit Lian sambil
menarik nafas dalam-dalam. "Sedangkan kami...."
"Kenapa kalian?"
tanya Toan Wie Kie heran. "Hingga kini Soal Lan masih belum punya
kekasih," sahut Toan Pit Lian sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Entah kapan dia akan bertemu pemuda idaman hatinya?"
"Jangan khawatir?"
Lam Kiong Bie Liong lertawa. "Aku yakin tidak lama lagi Soat Lan akan
bertemu pemuda idaman hatinya."
"Oh?" Toan Pit Lian
tersenyum. "Suamiku, putri kita tinggal di Tayli ini. Bagaimana mungkin
akan bertemu pemuda idaman hatinya?"
"Kalau bintang jodohnya
sudah terbuka, dia pasti akan bertemu pemuda idaman hatinya. Percayalah!"
ujar Lam Kiong Bie Liong. "Kalau dia sudah menikah, legalah hatiku."
Bersamaan itu, muncullah Toan
Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa dan Lam Kiong Soat Lan.
"Ayah, Ibu!" panggil
Toan Beng Kiat dan La Kiong Soat Lan.
"Paman, Bibi!"
panggil Bokyong Sian Hoa.
"Duduklah!" sahut
Toan Beng Kiat.
"Wajah Ayah dan Ibu
tampak serius sekali, apa yang sedang dibicarakan ayah dan ibu?" tanya
Toan Beng Kiat.
"Oooh!" Toan Wie Kie
tersenyum sambf manggut-manggut. "Ayah dan ibu sedang membicarakan engkau
dan Sian Hoa."
"Oh? Kenapa kami?"
tanya Toan Beng Kiat dengan wajah agak kemerah-merahan, karena dapat menerka
apa yang dibicarakan kedua orang tuanya.
"Engkau dan Sian Hoa
sudah saling mencinta, maka..." sahut Gouw Sian Eng dan menambahkan
"Alangkah baiknya kalian berdua melangsungkan pernikahan saja!"
"Ibu!" Toan Beng
Kiat tersenyum. "Tadi kami berdua telah membicarakan tentang ini, namun..,
"Kenapa?" tanya Gouw
Sian Eng sambil memandang mereka. "Sian Hoa belum mau menikah?"
"Ya." Toan Beng Kiat
mengangguk.
"Alasannya?" tanya
Gouw Sian Eng lagi.
"Ibu...." Toan Beng
Kiat tersenyum. "Terus terang, kami
berdua memang tidak ingin
cepat-icpat menikah."
"Memangnya kenapa?"
Gouw Sian Eng mengerutkan kening. "Kalau kalian berdua sudah menikah,
legalah hati kami."
"Ibu...." Toan Beng
Kiat tersenyum lagi. "Kami bermaksud
ke Tionggoan. karena kami
sangat rindu kepada Bun Yang dan lainnya."
"Kalian semua ingin ke
Tionggoan?" tanya Toan Wie Kie.
"Ya." Toan Beng Kiat
mengangguk. "Maka kami ke mari untuk minta ijin. Ayah dan ibu tidak akan
melarang kami ke Tionggoan kan?"
"Aku juga ikut!"
sela Lam Kiong Saot Lan.
"Soat Lan!" Lam
Kiong Bie Liong menatapnya. "Engkau juga ingin ke Tionggoan?"
"Ya. Ayah." Lam
Kiong Soat Lan mengangguk. "Ayah dan Ibu tidak akan melarangku ke Tionggoan
kan?"
"Itu...." Lam
Kiong Bie Liong
dan Toan Pit
Lian saling
memandang, kemudian mereka
memandang Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng.
"Baiklah." Toan Wie
Kie manggut-manggut. "Kita memang tidak boleh mengekang mereka, biarlah
mereka ke Tionggoan menemui Bun Yang dan lainnya."
"Kapan kalian akan
berangkat ke Tionggoan?" tanya Gouw Sian Eng.
"Besok pagi, Ibu,"
jawab Toan Beng Kiat.
"Besok pagi?" Toan
Wie Kie memandang mereka, kemudian manggut-manggut seraya berkata
"Baiklah, kalian boleh berangkat besok pagi."
"Terimakasih, Ayah!"
ucap Toan Beng Kiat.
"Terimakasih, Paman!
Terimakasih, Bibi!" ucap Bokyong Sian Hoa dengan wajah berseri.
"Ayah, Ibu," ujar
Lam Kiong Soat Lan. "Aku boleh ikut kan?"
"Tentu boleh," sahut
Toan Pit Lian. "Tapi engkau tidak boleh nakal dan jangan suka menimbulkan
masalah!"
"Ya, Ibu." Lam Kiong
Soat Lan mengangguk "Terimakasih Ayah, Ibu!"
Keesokan paginya, berangkatlah
mereka bei tiga menuju Tionggoan. Tujuan mereka adalah markas pusat Kay Pang.
Beberapa hari kemudian mereka bertiga sudah memasuki daerah Tiong goan.
-oo0dw0oo-
Toan Beng Kiat, Bokyong Sian
Hoa dan Lam Kiong Soat Lan terus melanjutkan perjalanan sambil bercanda ria.
Dalam perjalanan ini, yang paling gembira adalah Toan Beng Kiat dan Bokyong Sian
Hoa. Kegembiraan mereka justru membuat Lam Kiong Soat Lan kadang melamun.
Ketika mereka beristirahat di bawah pohon. Toan Beng Kiat memandangnya seraya
bertanya.
"Soat Lan, kenapa
kadang-kadang engkau melamun?" "Aku...." Lam Kiong Soat Lan
menundukkan kepala.
"Aku tahu," sela
Bokyong Sian Hoa sambil tersenyum. "Dia belum ketemu pemuda idaman
batinya, maka sering melamun."
"Eh? Engkau...." Lam
Kiong Soat Lan cemberut.
"Tidak salah, kan?"
Bokyong Sian Hoa tertawa kecil dan menambahkan, "Soat Lan, engkau tidak
perlu melamun. Aku yakin, tidak lama lagi engkau akan bertemu pemuda idaman
hatimu."
"Betul," Toan Beng
Kiat mengangguk sambil lersenyum. "Aku pun yakin begitu...."
Ucapan Toan Beng Kiat
terhenti, karena tiba-tiba melavang turun lima orang di hadapan mereka. Kelima
orang itu
berpakaian serba putih dan
memakai kedok setan warna hijau.
Mereka ternyata Ngo Sat Kui.
Betapa terkejutnya Toan Beng
Kiat, Bokyong Sian Hoa dan Lam Kiong Soat Lan. Mereka bertiga langsung meloncat
bangun, sekaligus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Akan tetapi, salah seorang
berpakaian serba putih itu justru tertawa gelak, kemudian membeil hormat seraya
berkata.
"Selamat bertemu! Kami
tahu kalian dari Tayli."
"Maaf!" sahut Toan
Beng Kiat. "Kalian dari perkumpulan mana?"
"Kui Bin Pang," ujar
Toa Sat Kui memberitahukan. "Maaf kehadiran kami di sini telah mengganggu
ketenangan kalian!"
"Ada urusan apa kalian ke
mari menemui kami?" tanya Lam Kiong Soat Lan sambil menatap mereka dengan
dingin sekali.
"Ha ha ha!" Toa Sat
Kui tertawa terbahak bahak. "Kami ke mari menemui kalian dengan maksud
baik."
"Oh?" Toan Beng Kiat
mengerutkan keningj
"Kami pun tahu, kalian
sedang menuju marka pusat Kay Pang kan?" ujar Toa Sat Kui.
"Betul." Toa Beng
Kiat mengangguk dan ber tanya, "Sebetulnya siapa kalian? Bolehkah kami
tahu?"
"Kami berlima adalah Ngo
Sat Kui," sahut Toa Sat Kui memberitahukan. "Kami ke mari dengan
maksud mengundang kalian ke markas kami."
"Kalau kami tidak
mau?" tanya Lam Kiong' Soat Lan dingin.
"Kalian harus tahu,"
ujar Toa Sat Kui denga nada serius. "Kini Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong,
Siang Koan Goat Nio, Kam Hay Thian dan Lie Ai Ling sudah berada di maikas kami
sebagai tamu terhormat, maka
kami mengundang kalian bertiga ke sana."
"Oh?" Kening Toan
Beng Kiat berkerut-kerut. "Betulkah mereka berada di markas kalian?"
"Tidak salah," sahut
Jie Sat Kui dan menambahkan. "Bahkan Sie Keng Hauw dan Lu Hui San pun
berada di sana."
"Oh?" Toan Beng Kiat
mengerutkan kening lagi. "Apakah Tio Bun Yang juga berada di sana?"
"Tidak." Toa Sat Kui
menggelengkan kepala.
"Kenapa dia tidak berada
di sana?" tanya Lam Kiong Soat Lan curiga.
"Ha ha ha!" Toa Sat
Kui tertawa gelak. "Karena dia sedang sibuk mengobati para ketua tujuh
partai besar."
"Kenapa para ketua tujuh
partai besar?" tanya Toan Beng Kiat terkejut.
"Mereka sudah menjadi
gila semua," sahut Toa Sat Kui memberitahukan. "Karena terpukul oleh
pukulan Seng Hwee Sin Kun."
"Oh?" Air muka Toan
Beng Kiat berubah, "Siapa yang menyuruh kalian mengundang kami ke
sana?"
"Ketua Kui Bin Pang dan
teman-temanmu, sebab mereka sudah sangat rindu kepada kalian," sahut Toa
Sat Kui.
"Kalian tidak
berdusta?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Ha ha ha!" Toa Sat
Kui tertawa terbahak bahak. "Untuk apa kami harus berdusta? Tiada gunanya
kan?"
Lam Kiong Soat Lan mengerutkan
kening kemudian memandang Toan Beng Kiat serta bertanya.
"Bagaimana? Apakah kita
harus memenuhi undangan mereka?"
"Itu...." Toan
Beng Kiat berpikir
keras Ia memandang
Bokyong Sian Hoa dan bertanja
"Adik Sian Hoa, bagaimana
menurutmu?"
"Menurut aku..."
jawab Bokyong Sian H serius. "Lebih baik kita penuhi saja undang
mereka."
"Baiklah." Toan Beng
Kiat manggut-manggut dan berkata kepada Toa Sat Kui. "Kami ikut
kalian."
"Bagus! Bagus!" Toa Sat
Kui tertawa. "Kali memang tahu diri. Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo-
Tio Bun Yang telah tiba di
kuil Siauw Lim Ngo Khong Taysu, adik seperguruan Hui Kho Taysu menyambut
kedatangannya dengan hormat. Hui Khong Taysu, yang dalam keadaan dipasung
"Omitohud!" ucap Ngo
Khong Taysu. "Engkau sudah ke mari, syukurlah!"
"Taysu!" Tio Bun
Yang memberitahukan. "Aku telah memperoleh rumput Liong Kak Cauw."
"Omitohud!
Omitohud!" ucap Ngo Khong Taysu dengan wajah berseri. "Mari ikut aku
ke dalam!"
Tio Bun Yang mengangguk, lalu
mengikuti Ngo Khong Taysu ke ruang dalam tempat Hui Khong Taysu dipasung.
Karena ketua partai Siauw Lim itu sering mengamuk, maka terpaksa dipasung.
"Jangan cemas.
Taysu!" ujar Tio Bun Yang sambil mengeluarkan sebatang rumput Tanduk Naga.
"Hui Khong Taysu pasti sembuh."
"Omitohud!" ucap Ngo
Khong Taysu. "Apabila kakak seperguruan bisa sembuh, itu betul-betul
jasamu!"
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang cuma menggeleng-gelengkan kepala. "Oh ya! rumput Tanduk Naga ini
harus digodok dengan semangkok air. Berselang beberapa saat setelah mendidih,
barulah dituang ke mangkok lagi, lalu diberikan kepada Hui Khong Taysu."
"Ya." Ngo Khong
Taysu mengangguk sambil menerima rumput Tanduk Naga tersebut, kemudian
melangkah ke dalam.
Sedangkan Tio Bun Yang terus
memandang Hui Khong Taysu yang dlam keadaan dipasung.
Tiba-tiba ketua Siauw Lim itu
meronta-ronta sekuat tenaga, bahkan juga berteriak-teriak sekeras-kerasnya.
Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala. Berselang beberapa saat kemudian, Ngo Khong Taysu
sudah kembali dengan membawa semang-kok obat, yaitu rumput Tanduk Naga yang
telah digodok.
"Harus ditotok jalan
darahnya dulu, agar tidak meronta-ronta," ujar Tio Bun Yang. "Setelah
itu barulah dicekoki dengan obat itu."
"Ya." Ngo Khong
Taysu mengangguk, lalu menaruh mangkok itu di atas meja dan mendekatil Hui
Khong Taysu. Mendadak ia menotok jalan darah di punggung Hui Khong Taysu, agar
ketuai Siauw Lim itu tak mampu bergerak, barulah Ngo Khong Taysu mencekoki Hui
Khong Taysu dengan obat itu.
"Buka saja totokan
itu!" ujar Tio Bun Yang.
Ngo Khong Taysu segera membuka
totokan! tersebut. Seketika juga Hui Khong Taysu mulai meronta-ronta, sekaligus
berteriak-teriak pula
Beberapa saat kemudian, Hui
Khong Taysu memejamkan matanya, kemudian ketua Siauw tertidur pulas.
"Taysu!" Tio Bun
Yang memberitahukan sambil tersenyum. "Kalau Hui Khong Taysu sudah
mendusin, berarti beliau sudah sembuh."
"Omitohud!" ucap Ngo
Khong Taysu. "T rimakasih atas bantuan Anda!"
"Terimakasih
kembali!" sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum, namun senyumnya tampak agak
getir.
Tak seberapa lama, Hui Khong
Taysu membuka matanya perlahan-lahan, lalu menengok ke sana ke mari dan tampak
tersentak.
"Haaah...?" Ternyata
Hui Khong Taysu terkejut, karena mendapatkan dirinya dalam keadaan dipasung.
"Sute, kenapa aku...."
"Omitohud!" ucap Ngo
Khong Taysu dengan wajah berseri. "Syukurlah suheng telah sembuh!"
"Eh? Bun Yang...."
Hui Khong Taysu terbelalak. "Engkau ada di sini? Maaf, aku...."
"Taysu," ujar Tio
Bun Yang kepada Ngo Khong Taysu. "Cepat buka pasungan itu!"
Ngo Khong Taysu segera membuka
pasungan itu. Setelah bebas. Hui Khong Taysu mendekati Tio Bun Yang.
"Omitohud!" ucapnya
dan bertanya, "Kok engkau berada di sini?"
"Taysu, aku ke mari
memberikan obat." Tio Bun Yang memberitahukan. "Untuk jelasnya, biar
Ngo Khong Taysu yang menceritakannya."
"Suheng terkena
pukulan Seng Hwee
Sin Kun...." Ngo
Khong Taysu menutur tentang
ke-ladian itu, kemudian menambahkan. "Para ketua partai besar lain pun
terkena pukulan itu."
"Oh?" Hui Khong
Taysu terkejut bukan main. "Kalau begitu, mereka masih dalam keadaan
gila?” "Ya." Ngo Khong Taysu mengangguk.
"Bun Yang...." Hui
Khong Taysu memandangnya. "Sudikah
engkau menolong mereka?"
"Tentu." Tio Bun
Yang mengangguk. "Namun aku harus minta bantuan pihak Taysu.
'Bantuan apa?
Katakanlah!" ujar Hui Khong Taysu.
"Aku tidak bisa
mendatangi partai-partai besar lainnya, maka aku harap Taysu sudi mengutus
beberapa orang ke sana dengan membawa rumput Tanduk Naga." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Sebab aku masih ada urusan lain."
"Baik." Hui Khong
Taysu mengangguk. "Akan kuutus beberapa orang mendatangi partai-partai
besar itu."
"Terimakasih,
Taysu!" ucap Tio Bun Yang.
"Oh ya!" Hui Khong
Taysu memandangnl seraya bertanya. "Sebetulnya masih ada urusan apa yang
harus engkau selesaikan?"
"Aku harus berusaha
mencari kakekku. Kakek Gouw, Goat Nio dan lainnya. Mereka diculik."
"Omitohud! Siapa yang
menculik mereka?
"Taysu, Seng Hwee Sin Kun
telah mati. Namun...." Tio Bun
Yang menutur tentang kejadian
itu.
"Omitohud!" Hui
Khong Taysu menggeleng gelengkan kepala. "Tidak disangka Kui Bin Pang
telah muncul di rimba persilatan! Omitohud!”
"Karena itu, aku tidak
punya waktu untuk mendatangi partai-partai besar lainnya." ujar Tio Bun
Yang sambil
menyerahkan rumput Tanduk Naga
kepada Hui Khong Taysu secukupnya, namun ia masih menyimpan sedikit.
"Terimakasih!" ucap
Hui Khong Taysu sambil menerima rumput Tanduk Naga tersebut dan bertanya,
"Kini apa rencanamu, Bun Yang?"
"Aku...." Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Mungkin
aku akan ke markas Ngo Tok
Kauw untuk menemui Kakak Ling Cu. Mudah-mudahan dia bisa memberi petunjuk
kepadaku!"
"Petunjuk mengenai markas
Kui Bin Pang?" tanya Hui Khong Taysu.
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Bun Yang." pesan
Hui Khong Taysu. "Apabila engkau sudah tahu markas Kui Bin Pang itu berada
di mana, alangkah baiknya engkau pulang ke Pulau Hong Hoang To untuk berunding
dengan orang tuamu!"
"Ya, Taysu."
"Setelah para ketua
partai-partai besar itu sembuh, mereka pun pasti membantumu mencari kelua Kay
Pang dan lainnya."
"Terimakasih,
Taysu!" ucap Tio Bun Yang sekaligus berpamit. "Taysu, aku mohon
diri!"
"Omitohud! Selamat
jalan!" sahut Hui Khong Taysu, yang kemudian bersama Ngo Khong Taysu
mengantar Tio Bun Yang sampai di luar kuil.
"Sampai jumpa,
Taysu!" ucap Tio Bun Yang sambil melesat pergi.
"Omitohud!" sahut
Hui Khong Taysu, setelah itu ia melangkah ke dalam kuil, diikuti Ngo Khong
Taysu dari belakang. Sampai di ruang tengah, mereka berdua lalu duduk
berhadapan.
"Suheng!" Ngo Khong
Taysu memberitahukan. "Kalau Tio Bun Yang tidak ke daerah Miauw mangambil
rumput Tanduk Naga itu, entah bagaimana jadinya suheng dan para ketua partai
partai besar lain itu?"
"Omitohud!" ucap Hui
Khong Taysu. "Siauw Lim Sie telah berhutang budi kepadanya, begitu pula
para ketua partai besar lain. Omitohud!"
"Suheng, aku dan beberapa
muridku harus segera berangkat ke Gunung Butong, Kun Lun dan lainnya."
"Ya." Hui Khong
Taysu mengangguk. "Ceritakan juga mengenai apa yang telah terjadi di Kay
Pang!"
"Ya, Suheng." Ngo
Khong Taysu mengangguk dan menambahkan. "Aku pun akan minta bantuan mereka
untuk menyelidiki markas Kui Bin Pang itu."
"Omitohud!
Omitohud!" Hui Khong Taysu manggut-manggut.
-oo0dw0oo-
Bagian ke lima puluh delapan
Toh Hun Tay Hoat (Ilmu Sesat
Pembetot Sukma)
"Ha ha ha! Ha ha
ha...!" Ketua Kui Bin Pang terus tertawa gelak, kemudian berkata,
"Kini mereka telah berada di tangan kita, termasuk Toan Beng Kiat dan Lam
Kiong Soat Lan!"
"Namun kita belum
berhasil menangkap Tio Bun Yang," ujar Toa Sat Kui memberitahukan.
"Apakah ketua punya suatu ide?"
"Ha ha ha! Aku yakin kini
Tio Bun Yang pasti cemas sekali! Yang paling dicemaskannya adalah Siang Koan
Goat Nio!"
sahut ketua Kui Bin Pang dan
menambahkan. "Gadis itu harus tempatkan di ruang lain, jangan dicampur
dengan yang lain!"
"Ketua!" Toa Sat Kui
memberitahukan. "Tadi kami telah memindahkan gadis itu ke ruang
lain."
"Bagus! Bagus! Ha ha
ha...!" Ketua Kui Bin Pang tertawa terbahak-bahak. "Oh ya! Kalian
semua harus baik-baik memperlakukannya, sama sekali tidak boleh
menyakitinya!"
"Ya!" sahut mereka
serentak sambil mengangguk, kemudian Toa Sat Kui bertanya. "Apa rencana
Ketua sekarang?"
"Rencanaku sekarang,
kalian harus mencekoki mereka dengan obat penghilang kesadaran," sahut
ketua Kui Bin Pang. "Mereka dalam keadaan tak bergerak karena telah
kutotok jalan darah mereka, jadi tidak sulit mencekoki mereka”
"Ketua," tanya Toa
Hu Hoat. "Kapan kami mencekoki mereka dengan obat itu?"
"Nanti sore," sahut
ketua Kui Bin Pang. "Itu tugas kalian, tapi jangan mencekoki Siang Koan
Goat Nio dengan obat itu, gadis itu adalah urusanku."
"Ya." Mereka
mengangguk.
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa gelak. "Setelah mereka dicekoki dengan obat itu,
barulah aku menggunakan Toh Hun Tay Hoat (Ilmu Sesal Pembetot Sukma) untuk
mengendalikan pikiran mereka! Ha ha ha!"
"Setelah mereka di bawah
pengaruhku, aku akan perintahkan mereka membunuh kaum persilatan golongan
putih! Ha ha ha...!"
Sore harinya, Ngo Sat Kui dan
kedua Hu Hoat itu ke ruang dalam tempat Lim Peng Hang Gouw Han Tiong dan
lainnya ditahan.
"He he he!" Toa Sat
Kui tertawa terkekeh kekeh. Mereka masing-masing membawa semangkok obat.
"Kalian semua harus minum obat! He he he...!"
"Kalian...
kalian...." Suara Lim Peng Hang lemah sekali.
"Kami cukup baik
lho!" sahut Toa Sat Kui "Sebab masih mau memberi kalian obat."
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong
dan lainnya tidak menyahut. Toa Hu Hoat mendekati Lam Kiong Soat Lan, namun
gadis itu langsung membuang muka.
"Nona, namaku Yo Kiam
Heng." Toa Hu Hoat itu memberitahukan dengan ilmu penyampai suara, maka
Ngo Sat Kui dan lainnya tidak mengetahuinya sama sekali. "Engkau tidak
usah menyahut, cukup mendengar saja!"
Lam Kiong Soat Lan
mendongakkan kepala memandangnya, namun cuma melihat kedok setan warna kuning.
Bagaimana wajah Toa Hu Hoat di balik kedok setan itu, Lam Kiong Soat Lan tidak
mengetahuinya.
"Nona jangan takut, aku
dan Jie Hu Hoat bukan orang jahat!" lanjut Yo Kiam Heng memberitahukan.
"Yang ada di dalam mangkok itu obat penghilang kesadaran. Siapa yang minum
obat itu, pasti akan kehilangan kesadarannya. Setelah itu, ketua bermaksud
menggunakan semacam ilmu sesat untuk mengendalikan pikiran kalian."
Lam Kiong Soat Lan tidak
menyahut, namun mendengarkan dengan penuh perhatian dengan kening
berkerut-kerut.
"Mangkok yang di tanganku
ini telah kutukar dengan obat biasa, maka engkau tidak akan kehilangan
kesadaran." Yo Kiam Heng melanjutkan, "Tapi engkau harus pura-pura
seperti kehilangan kesadaran. Meskipun engkau tetap akan terpengaruh oleh ilmu
sesat ketua, tetapi dalam waktu sepuluh hari, engkau akan normal kembali."
Lam Kiong Soat Lan
manggut-manggut. dan Yo Kiam Heng melanjutkan lagi.
"Apabila pikiranmu sudah
tidak terpengaruh, engkau harus tetap bersikap seperti masih dibawah pengaruh
ilmu sesat itu. Aku akan berusaha mengusulkan agar ketua mengirim kalian pergi
menyerbu Pulau Hong Hoang To. Nah, aku yakin Pek Ih Sin Hiap mampu menolong
kalian."
"Engkau...." Sebetulnya Lam Kiong Soat Lan ingin
menanyakan sesuatu, namun
mendadak dibatalkannya.
"Dasar gadis tak tahu
diri!" bentak Yo Kiam Heng. "Aku bersikap baik terhadapmu, tapi
engkau malah tidak mau minum obat! Hm...!"
"Toa Hu Hoat!" seru
Toa Sat Kui sambi tertawa. "Cekoki saja!"
"Ha ha ha!" Yo Kiam
Heng tertawa gelak. Ditotoknya jalan darah Lam Kiong Soat Lan, kemudian
dicekokkannya obat itu ke dalam mulut
Seusai mencekokinya, Yo Kiam
Heng membebaskan totokannya seraya berkata dengan ilmu menyampaikan suara.
"Teman-temanmu sudah
mulai kehilangan kesadaran, maka engkau pun harus pura-pura seperti mereka! Oh
ya, Nona Siang Koan Goat Nio, berada di ruang lain, dia dalam keadaan baik-baik
saja."
Lam Kiong Soat Lan
manggut-manggut perlahan, kemudian melirik yang lain. Dilihatnya mereka tampak
termenung semua, maka ia segera bersikap seperti mereka.
"Ha ha ha!" Yo Kiam
Heng tertawa gelak. Ngo Sal Kui, tugas kita sudah selesai. Mari kita lapor
kepada ketua!"
"Baik." Ngo Sat Kui
mengangguk.
Mereka meninggalkan ruang itu.
Sementara lam Kiong Soat Lan tidak habis berpikir, siapa Yo Kiam Heng dan
kenapa berniat menolong mereka?
Lam Kiong Soat Lan betul-betul
tidak habis pikir, kemudian ia memandang Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan
lainnya, yang semua tampak linglung. Bukan main obat itu! Pikirnya dalam hati.
-oo0dw0oo-
Ngo Sat Kui dan kedua Hu Hoat
telah sampai di ruang tengah. Toa Hu Hoat Yo Kiam Heng langsung melapor.
"Ketua, kami telah
mencekoki mereka dengan obat penghilang kesadaran itu."
"Bagus! Bagus! Ha ha
ha...!" Ketua Kui Bin Pang tertawa gembira. "Kalau begitu, kini
kesadaran mereka pasti sudah hilang."
"Kapan Ketua akan
menggunakan Toh Hun Tay Hoat untuk mempengaruhi mereka?" tanya Toa Sat
Kui.
"Sebentar," sahut
ketua Kui Bin Pang, yang kemudian menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
Itu membuat Ngo Sat Kui dan
kedua Hu Hoat saling memandang. Mereka tidak mengerti, kenapa mendadak ketua
mereka menghela nafas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Ketua," tanya Toa
Sat Kui kemudian. "Kenapa Ketua...."
"Aku...." Ketua Kui
Bin Pang menggeleng-gelengkan kepala
lagi, lalu melanjutkan
ucapannya. "Tadi aku ke ruang itu menemui Siang Koan Goat Nio, namun dia
langsung mencaci maki diriku. Padahal aku...."
"Ketua menyukainya?"
tanya Yo Kiam Heng mendadak.
"Ya." Ketua Kui Bin
Pang mengangguk. "Kelihatannya dia sangat benci kepadaku."
"Ketua," ujar Toa
Sat Kui sambil tertawa. "Kalau Ketua ingin mendapatkan dirinya, pergunakan
saja Toh Hun Tay Hoat! Bukankah dia akan menurut kepada Ketua?"
"Tapi itu percuma,"
sahut ketua Kui Bin Pang sambil menghela nafas panjang. "Karena aku cuma
akan memperoleh sebuah patung, itu tak berarti sama sekali."
"Betul, Ketua," ujar
Yo Kiam Heng. "Itu memang tiada artinya, lebih baik Ketua bersabar, lambat
laun gadis itu pasti akan tertarik kepada Ketua."
"Toa Hu Hoat!" Ketua
Kui Bin Pang menatapnya. "Bersediakah engkau membantuku dalam hal
tersebut?"
"Tentu bersedia,
Ketua," sahut Yo Kiam Heng cepat.
"Terimakasih!" ucap
ketua Kui Bin Pang gilang. "Nah. sekarang pergilah, bujuk gadis itu! Aku
akan pergi ke ruang lain bersama Ngo Sat Kui dan Jie Hu Hoat."
"Ya, Ketua." Yo Kiam
Heng mengangguk, lalu segera menuju ke ruangan tempat Siang Koan Goat Nio
dikurung.
Siang Koan Goat Nio duduk
bersandar di dinding ruangan itu. Begitu melihat Yo Kiam Heng memasuki ruangan
tersebut, ia langsung mencacinya.
"Kalian semua binatang!
Kenapa mengurung kami di sini? Ayoh! Mari kita bertarung!"
"Nona Siang Koan,
tenanglah! Aku bernama Yo Kiam Heng, Toa Hu Hoat dalam perkumpulan Kui Bin
Pang. Aku tahu, Tio Bun Yang adalah kekasihmu," ujar Yo Kiam Heng
menggunakan ilmu menyampaikan suara, agar orang lain tidak dapat mendengar.
"Ketua Kay Pang dan lainnya telah dicekoki obat penghilang kesadaran, kini
ketua pergi mempengaruhi mereka dengan ilmu Toh Hun Tay Hoat."
Siang Koan Goat Nio tidak
menyahut, namun mendengarkan dengan penuh perhatian. Yo Kiam Heng menatapnya,
kemudian melanjutkan.
"Aku tidak mencekoki Nona
Lam Kiong dengan obat itu...."
Yo Kiam Heng memberitahukan
tentang itu dan menambahkan, "Bahkan aku akan mengusulkan agar ketua
perintahkan mereka menyerbu ke Pulau Hong Hoang To, karena hal itu merupakan
jalan satu-satunya menolong mereka."
"Kenapa engkau ingin
menolong mereka?" tanya Siang Koan Goat Nio juga menggunakan ilmu menyampaikan
suara.
"Sebab aku tidak setuju
terhadap perbuatan ketua," sahut Yo Kiam Heng. "Temanku bernama Kwan
Tiat Him juga orang baik. Dia adalah Jie Hu Hoat. Yang jahat adalah Ngo Sat
Kui, para anggota dan ketua."
"Oh?" Siang Koan
Goat Nio menatapnya dalam-dalam. "Kalau begitu, kenapa kalian berdua tidak
mau berontak secara terang-terangan?"
"Kepandaian kami berdua
masih di bawah tingkat kepandaian ketua, maka kalau kami berontak secara
terang-terangan, sama juga cari mati," ujar Yo Kiam Heng melanjutkan.
"Kami tidak mau mati sia-sia, maka harus bergerak secara diam-diam."
"Oh ya, kenapa aku
dikurung di ruang ini tidak bersama mereka?"
"Ketua sangat
mengistimewakanmu, karena dia tertarik kepadamu." Yo Kiam Heng
memberitahukan.
"Hmm!" dengus Siang
Koan Goat Nio dingin.
"Nona Siang Koan,"
pesan Yo Kiam Heng. "Engkau harus bersabar dan jangan membuat ketua gusar,
sebab engkau pasti celaka bila dia menggunakan Toh Hun Tay Hoat terhadapmu,
engkau pasti menurutinya!"
"Oh?" Wajah Siang
Koan Goat Nio berubah pucat. "Aku... aku harus bagaimana?"
"Yang penting engkau
jangan membuatnya gusar," sahut Yo Kiam Heng. "Aku disuruh ke mari
untuk membujukmu. Agar ketua lebih mempercayaiku, engkau harus pura-pura
bersikap agak baik terhadapnya. Seandainya ketua Kay Pang dan lainnya
diperintahkan untuk menyerbu ke Pulau Hong Hoang To, aku akan berpesan kepada
Nona Lam Kiong, agar pihak Pulau Hong Hoang To ke mari menolongmu."
"Terimakasih!" ucap
Siang Koan Goat Nio.
"Ingat! Jie Hu Hoat Kwan
Tiat Him adalah temanku, namun engkau harus berhati-hati terhadap Ngo Sat Kui,
karena mereka sangat jahat sekali!" pesan Yo Kiam Heng, lalu berbicara
seperti biasa, tidak menggunakan ilmu menyampaikan suara. "Engkau harus
tahu, ketua sangat baik terhadapmu, maka engkau harus baik pula
terhadapnya!"
Siang Koan Goat Nio
mengangguk, kemudian bertanya mendadak menggunakan ilmu menyampaikan suara.
"Siapa ketua Kui Bin
Pang?"
"Kami semua tidak
mengetahuinya," jawab Yo Kiam Heng menggunakan ilmu menyampaikan suara.
"Yang jelas dia masih muda seperti aku dan Kwan Tiat Him."
"Oh?" Siang Koan
Goat Nio terbelalak.
"Nona Siang Koan, aku
tahu kekasihmu adalah Tio Bun Yang," ujar Yo Kiam Heng serius menggunakan
ilmu menyampaikan suara. "Aku akan berusaha menemuinya untuk
memberitahukannya tentang dirimu di sini."
"Terimakasih, Saudara
Yo!" ucap Siang Koan Goat Nio. "Oh ya, kelihatannya engkau tertarik
kepada Soat Lan, bukan?"
"Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk. Tapi...."
"Jangan khawatir!"
Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Kalau aku berhasil meloloskan diri dari
sini kelak, aku pasti membantumu."
"Terimakasih, Nona Siang
Koan!" ucap Yo Kiam Heng kemudian berbicara seperti biasa tanpa
menggunakan ilmu menyampaikan suara. "Ketua begitu baik terhadapmu, maka
engkau pun harus baik terhadapnya...."
Disaat bersamaan, mendadak
pintu ruang itu terbuka, tampak ketua Kui Bin Pang berjalan masuk.
"Ketua!" panggil Yo
Kiam Heng.
"Ngmm!" Ketua Kui
Bin Pang manggut-manggut dan berkata, "Urusanku di ruang itu telah beres.
Bagaimana urusanmu di sini?"
"Juga sudah beres.
Ketua," sahut Yo Kiam Heng sambil tertawa. "Aku telah berhasil
membujuknya."
"Oh?" Ketua Kui Bin
Pang kurang percaya, lalu mendekati Siang Koan Goat Nio. "Nona Siang Koan,
bagaimana keadaanmu? Baik-baik saja?"
"Aku...." Siang Koan
Goat Nio menundukkan kepala. "Baik-
baik saja."
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa gelak, karena biasanya Siang Koan Goat Nio tidak pernah
menjawab, melainkan terus mencacinya, namun kali ini gadis tersebut justru
menjawab. Tentunya hal itu sangat menggembirakan ketua Kui Bin Pang itu, maka
ia lalu memandang Yo Kiam Heng seraya berkata, "Toa Hu Hoat, engkau boleh
ke kamar untuk beristirahat."
"Ya, Ketua." Yo Kiam
Heng mengangguk dan segera meninggalkan ruang itu.
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa gelak, kemudian mendadak memegang bahu Siang Koan Goat
Nio.
"Kalau ketua berlaku
kurang ajar terhadapku, aku pasti akan marah!" ujar gadis itu sungguh-
sungguh.
"Baik! Baik!" Ketua
Kui Bin Pang cepat-cepat menurunkan tangannya. "Oh ya, apa yang dikatakan Toa
Hu Hoat itu kepadamu?"
"Dia... dia menyuruhku
bersikap baik terhadapmu, sebab...." Siang Koan Goat Nio memandang ke arah
lain. "Katanya, ketua sangat menaruh perhatian kepadaku."
"Betul! Betul! Ha ha
ha...!" Ketua Kui Bin Pang tertawa. "Aku memang sangat menaruh
perhatian kepadamu. Kalau engkau menjadi isteriku kelak, pasti hidup senang dan
bahagia."
Ucapan tersebut nyaris membuat
Siang Koan Goat Nio muntah seketika, bahkan juga nyaris mencaci makinya. Namun
ia tetap bersabar, karena teringat akan pesan Yo Kiam Heng.
"Nona Siang Koan, percuma
engkau mencintai Tio Bun Yang. Sebab banyak gadis menyukai nya, dia pasti akan
menyeleweng di belakangmu” ujar ketua Kui Bin Pang.
"Kakak Bun Yang tidak
bersifat begitu, aku mempercayainya," sahut Siang Koan Goat Nio.l
"Oh? Ha ha ha!"
Ketua Kui Bin Pang tertawa. "Kini engkau mempercayainya, tapi kelak engkau
pasti membencinya."
"Aku tidak akan
membencinya."
"Kalau engkau melihat dia
berbuat yang bukan-bukan dengan gadis lain, apakah engkau tetap tidak membencinya?"
"Aku...."
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa lagi. "Setelah terbukti, engkau pasti
mempercayaiku!"
"Aku...." Siang Koan
Goat Nio menundukkan kepala.
"Nona Siang
Koan...." Ketua Kui Bin Pang mulai merayunya,
namun tidak menggunakan ilmu Toh
Hun Tay Hoat. Seandainya ia menggunakan ilmu sesat itu, Siang Koang Goat Nio
pasti celaka.
-oo0dw0oo-
Di dalam kamar Yo Kiam Heng
juga sedang berlangsung pembicaraan serius. Yang duduk di hadapannya adalah Jie
Hu Hoat Kwan Tiat Him.
"Tiat Him!" tanya Yo
Kiam Heng menggunakan ilmu penyampai suara, agar tidak terdengar nleh orang
lain. "Apakah ketua telah menggunakan ilmu sesat itu mempengaruhi
mereka?"
"Ya," sahut Kwan
Tiat Him, yang juga menggunakan ilmu tersebut. "Ketua telah berhasil
mengendalikan pikiran mereka."
"Aaaah...!" Yo Kiam
Heng menghela nafas panjang. "Oh ya, aku tidak mencekoki Nona Lam kiong
dengan obat penghilang kesadaran."
"Itu telah kuduga."
Kwan Tiat Him manggut-manggut. Tapi... apakah dia bisa berpura-pura setelah
sadar nanti?”
Aku yakin dia bisa, sahut Yo
Kiam Heng. "Sebab dia bukan gadis bodoh."
Kiam Heng, kelihatannya engkau
sangat tertank kepada gadis itu. Ya, kan?” Kwan Tiat Him menatapnya.
”Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk. "Aku memang sangat tertarik kepadanya, maka aku menempun
bahaya demi dia pula..”
Cinta memang bisa membuat
orang menjadi nekad. Kwan liat Him menggeleng-gelengkan kepala. Biar bagaimana
pun, kita berdua harus berhati-hati!”
”Oh ya, aku pun sudah
bercakap-cakap dengan Nona Siang Koan." ujar Yo Kiam Heng
"Yah!" Kwan Tiat Him
menghela nafas panjang. ”Mudah-mudahan dia bisa menahan diri untuk bersabar!
Kalau tidak, gadis itu pasti celaka di tangan ketua."
"Itu yang kukhawatirkan.
Oleh karena itu timbullah suatu ide."
"Ide apa?"
"Aku ingin mengusulkan agar
ketua perintahkankan mereka menyerbu ke Pulau Hong Hoang To secara tidak
langsung aku menyelamatkan mereka."
"Maksudmu ketua Kay Pang
dan lainnya?"
"Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk. "Sudah barang tentu ketua juga akan perintahkan puluhan
anggota untuk menyertai mereka ”
"Ide itu memang bagus. Tapi...." Kwan Tiat Him
menggeleng-gelengkan kepala.
Belum tentu ketua akan menerima idemu itu.”
”Justru itu, engkau harus
mendukung ideku,” ujar Yo Kiam Heng. ”Barulah ketua akan menerimanya”
”Aku pasti mendukung idemu,
namun... belum tentu Ngo Sat Kui akan setuju lho!”
”Itu tidak iadi masalah. Yang
penting kita harus menemukan alasan-alasan yang tepat,”
Kwan Tiat Him mengangguk. ”Oh
ya, hingga kini aku masih tidak habis pikir. Sebetulnya siapa ketua itu, dan
kenapa begitu mendendam kepada Tio Bun Yang
"Kalau kita melihat
wajahnya, belum tentu kita akan mengenalnya," sahut Yo Kiam Heng.
"sebab kita bukan orang Tionggoan.
”Yaaah! Kwan Tiat Him menghela
nafas panjang. "Entah bagaimana nasib Nona Siang Koan...."
"Kita...." Yo
Kiam Heng menggeleng-gelengkan kepala.
"Tiada jalan sama sekali
untuk melolongnya. Aaaah...!" -oo0dw0oo-
Sementara itu, Tio Bun Yang
terus melanjutkan perjalanan ke kota Kang Shi. Beberapa hari kemudian, ia telah
tiba di tempat tujuan dan langsung ke markas Ngo Tok Kauw.
"Adik Bun Yang...." Ngo Tok Kauwcu-Phang Ling Cu
menyambut kedatangannya dengan
mata terbelalak saking tercengang.
"Kakak Ling Cu!"
sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum getir.
"Duduklah!" ucap Ngo
Tok Kauwcu.
Tio Bun Yang duduk, kemudian
menghela nafas panjang dengan kening berkerut-kerut.
"Adik Bun Yang...."
Air muka Ngo Tok Kauwcu berubah.
"Kenapa engkau? Apa yang
telah terjadi?"
"Kakak Ling Cu...."
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Telah terjadi
sesuatu..."
"Beritahukanlah!"
"Engkau sudah dengar
tentang para ketua tujuh partai besar itu?"
"Ya." Ngo Tok Kauwcu
mengangguk. "Aku sudah dengar tentang itu, para ketua semuanya telah
gila."
"Engkau tahu siapa yang
membuat para ketua itu menjadi gila?"
"Seng Hwee Sin Kun."
"Tidak salah." Tio
Bun Yang manggut-manggut. "Namun Seng Hwee Sin Kun telah mati di tangan Bu
Ceng Sianli dan Kam Hay Thian."
"Oh?" Ngo Tok Kauwcu
terbelalak. "Adik Bun Yang, tuturkanlah mengenai kejadian itu!"
"Pada waktu itu, aku dan
Goat Nio ke kuil Siauw Lim untuk memeriksa Hui Khong Taysu. Ternyata ketua
Siauw Lim Pay itu terkena semacam ilmu pukulan, maka menjadi gila. Namun masih
dapat disembuhkan dengan rumput Tanduk Naga, yang tumbuh di daerah Miauw."
"Engkau ke daerah Miauw
mengambil rumput Tanduk Naga itu?"
"Ketika kami kembali ke
markas pusat Kay Pang, justru telah terjadi sesuatu di sana," lanjut Tio
Bun Yang. "Seng Hwee Sin Kun telah mati, lapi kakekku dan Kakek Gouw telah
diculik."
"Oh?" Ngo Tok Kauwcu
tersentak. "Siapa vang menculik mereka?"
"Kui Bin Pang,"
sahut Tio Bun Yang sambil menghela nafas panjang. "Atas saran Bu Ceng
Sianli, aku dan Goat Nio pergi ke daerah Miauw untuk mengambil rumput Tanduk
Naga, kebetulan aku kenal ketua suku Miauw."
"Engkau berhasil
mengambil rumput obat itu?"
"Berhasil,
namun...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Ketika pulang,
kami menginap di sebuah penginapan dengan kamar terpisah. Keesokan harinya Goat
Nio...."
"Kenapa dia?" tanya
Ngo Tok Kauwcu tegang.
"Hilang entah ke
mana," sahut Tio Bun Yang dengan wajah murung.
"Dia hilang?" Ngo
Tok Kauwcu mengerutkan kening. "Mungkinkah dia diculik oleh pihak Kui Bin
Pang?"
"Memang mungkin."
Tio Bun Yang mengangguk, sekaligus memperlihatkan sepucuk surat kepada Ngo Tok
Kauwcu.
"Heran!" gumam Ngo
Tok Kauwcu seusa membaca surat tersebut. "Nadanya si penulis surat ini
sangat mendendam kepadamu. Apakah engkau punya musuh?"
"Seingatku aku sama
sekali tidak punya musuh."
"Kalau begitu...."
Ngo Tok Kauwcu berpikir sejenak lalu
melanjutkan. "Yang
menculik Goatl Nio bukan pihak Kui Bin Pang."
"Kakak Ling Cu!" Tio
Bun Yang menghela nafas panjang. "Aku... bingung sekali, tidak tahu harus
berbuat apa."
"Adik Bun Yang!" Ngo
Tok Kauwcu menatapnya seraya bertanya, "Engkau belum kembali ke markas
pusat Kay Pang?"
"Aku sudah kembali ke
sana, justru telah terjadi sesuatu lagi di sana."
"Oh?" Air muka Ngo
Tok Kauwcu berubah. "Apalagi yang terjadi di markas pusat Kay Pang?!”
"Kam Hay Thian. Sie Keng
Hauw, Lie Ai Ling dan Lu Hui San yang berada di sana pun telah hilang."
"Apa?" Betapa
terkejutnya Ngo Tok Kauwcu.
"Siapa yang menculik
mereka?"
"Kui Bin Pang,"
sahut Tio Bun Yang. "Cian Chiu Lo Kay yang memberitahukan kepadaku."
"Itu...." Ngo Tok
Kauwcu menggeleng-gelengkan kepala.
"Lalu bagaimana?"
"Aku berangkat ke kuil Siauw Lim...." Tio Bun Yang
memberitahukan dan
menambahkan. "Kemudian aku langsung ke mari."
"Sungguh di luar
dugaan!" Ngo Tok Kauwcu menggeleng-gelengkan kepala. "Setelah Seng
Hwee Kauw musnah, malah muncul Kui Bin Pang!"
"Yaaah!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang, kemudian bertanya, "Di mana Pat Pie Lo Koay?
Kok tidak kelihatan?"
"Dia pergi mengurusi
sesuatu, mungkin dalam satu dua hari ini dia akan pulang." Ngo Tok Kauwcu
memberitahukan.
"Kakak Ling Cu!" Tio
Bun Yang memandangnya. "Engkau tahu di mana markas Kui Bin Pang?"
"Aku...." Ngo
Tok Kauwcu menggelengkan
kepala. "Aku
tidak tahu."
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Kakak Ling Cu, beri aku petunjuk!"
"Petunjuk apa?" Ngo
Tok Kauwcu heran.
"Aku harus
bagaimana?" Tio Bun Yang memberitahukan dengan wajah cemas sekali.
"Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa."
"Begini!" Ngo Tok
Kauwcu menyarankan. "Engkau harus segera pulang ke Pulau Hong Hoang To,
memberitahukan tentang kejadian itu.”
"Tapi...."
"Engkau harus pulang
memberitahukannya, ujar Ngo Tok Kauwcu sungguh-sungguh. "Kalau tidak,
engkau pasti dipersalahkan. Sebab engka harus tahu, Goat Nio adalah putri
kesayangan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin. Bagaimana sifat Kou Hun Bijin
itu, tentunya engkau tahu."
"Itu...." Tio Bun Yang berpikir lama sekali, akhirnya
mengangguk. "Baiklah, aku
akan pulang ke Pulau Hong Hoang To."
"Adik Bun Yang!" Ngo
Tok Kauwcu tersenyum. "Aku pun akan mengutus beberapa orang untuk menyelidiki
markas Kui Bin Pang. Kalau pihakku berhasil memperoleh informasi tentang markas
Kui Bin Pang, aku pasti ke markas pusat Kay Pang memberitahukan kepada Cian
Chiu Lo Kay."
"Terimakasih, Kakak Ling
Cu!" ucap Tio Bui Yang lalu berpamit. "Aku mau mohon diri!"
"Hati-hati!" pesan
Ngo Tok Kauwcu.
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Sama jumpa. Kakak Ling Cu!"
-oo0dw0oo-
Setelah meninggalkan markas
Ngo Tok Kauwcu, Tio Bun Yang melanjutkan perjalanan dengan hati cemas dan
kacau. Ketika ia berada di dalam sebuah rimba, tiba-tiba melayang turun sosok
bayangan di hadapannya, terdengar pula suara tawa cekikikan. Tio Bun Yang
mengenali suara tawa itu, maka langsung berseru dengan girang sekali.
"Kakak Siao Cui! Kakak
Siao Cui...!"
"Adik Bun Yang!"
Terdengar suara sahutan. Tidak salah, yang berdiri di hadapannya memang Bu Ceng
Sianli-Tu Siao Cui. "Eeeh? Kenapa engkau tampak kurusan? Kok tidak bersama
Goat Nio?"
"Kakak Siao Cui...."
Tio Bun Yang tersenyum getir. "Mereka
semuanya telah hilang."
"Siapa mereka?" Bu
Ceng Sianli tersentak. 'Kenapa bisa hilang?"
"Goat Nio hilang di kamar
penginapan..." tutur Tio Bun Yang, lalu memperlihatkan sepucuk surat
kepada wanita itu.
"Eh?" Kening Bu Ceng
Sianli berkerut. "Aku yakin penculiknya kenal denganmu. Bahkan dia sangat
mendendam kepadamu. Coba engkau ingat, kira-kira siapa musuhmu itu!"
"Kakak Siao Cui!"
Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Aku tidak pernah punya musuh."
"Buktinya si penculik itu
sangat mendendam kepadamu, pertanda engkau punya musuh. Namun engkau masih
bilang tidak. Mungkin engkau lupa."
"Seingatku, selama aku
berkecimpung di dalam rimba persilatan,' sama sekali tidak pernah membunuh
siapa pun. Lalu dari mana muncul musuh itu? Aku sungguh tidak habis
pikir!"
"Aku yakin engkau memang
tidak pernah membunuh siapa pun, namun tentunya engkau pernah memusnahkan
kepandaian para penjahat. Nah, mungkin si penculik itu salah satu penjahat yang
pernah engkau musnahkan kepadaiannya."
"Mungkin." Tio Bun
Yang manggut-manggut. "Tapi aku tidak ingat siapa penjahat itu."
"Yaaah!" Bu Ceng
Sianli menghela nafas panjang. "Adik Bun Yang, biar bagaimana pun engkau
harus tabah."
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Kakak Siao Cui, aku justru bingung, apakah si penculik itu
punya hubungan dengan Kui Bin Pang?"
"Entahlah!" Bu Ceng
Sianli menggelengkan kepala. "Aku sudah ke sana ke mari menyelidiki markas
Kui Bin Pang, tapi tiada hasilnya sama sekali."
"Kakak Siao Cui pernah
menangkap anggota Kui Bin Pang?" tanya Tio Bun Yang mendadak.
"Pernah. Tapi... tiada
gunanya sama sekali."
"Lho? Kenapa?"
"Karena sebelum
kutanyakan pada mereka, mereka sudah mati duluan." Bu Ceng Sianli
mcmberitahukan. "Ternyata di bawah lidah mereka menyimpan semacam racun.
Apabila
mereka tertangkap, maka mereka
akan menggigit hancur racun itu."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut. "Jadi Kakak tidak bisa mengorek keterangan dari mulut
mereka?"
"Ya." Bu Ceng Sianli
mengangguk. "Oh ya, teman-temanmu itu juga ditangkap oleh pihak Kui Bin
Pang?"
"Ya." Tio Bun Yang
menghela nalas panjang. "Itu membuatku cemas sekali."
"Adik Bun Yang!" Bu
Ceng Sianli menatapnya. "Engkau harus tenang, tidak boleh putus asa."
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang lagi. "Oh ya, aku sudah ke markas Ngo Tok Kauw
di kota Kang Shi."
"Jadi engkau sudah bertemu
Phang Ling Cu?"
"Ya.'
"Dia juga tidak tahu di
mana markas Kui Bin Pang?"
"Tidak tahu. Namun dia
menyarankan agar aku segera pulang ke Pulau Hong Hoang To untuk memberitahukan
tentang kejadian ini."
"Ngmm!" Bu Ceng
Sianli manggut-manggut. "Itu memang baik juga, sebab Goat Nio adalah putri
kesayangan Kou Hun Bijin. Kalau engkau tidak pulang memberitahukan kepadanya,
dia pasti marah besar."
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Adik Bun Yang, aku pasti
membantumu mencari Goat Nio!"
ujar Bu Ceng Sianli berjanji.
"Jadi engkau tenang saja!"
"Terimakasih,
Kakak!"
"Oh ya!" Bu Ceng
Sianli menatapnya. "Lebih baik engkau mampir di markas pusat Kay Pang,
siapa tahu pihak Kay Pang sudah mendengar informasi tentang markas Kui Bin
Pang."
"Baik, aku akan mampir di
markas pusat Kay Pang."
"Adik Bun Yang!" Bu
Ceng Sianli tersenyum. "Sampai jumpa! Semoga engkau cepat berkumpul
kembali dengan Goat Nio! Hi hi hi...!"
"Kakak Siao Cui!"
panggil Tio Bun Yang Namun Bu Ceng Sianli sudah melesat pergi.
"Adik Bun Yang! Aku pasti
membantumu mencari Goat Nio!" serunya sayup-sayup.
Tio Bun Yang menghela nafas
panjang. Ia berdiri termangu-mangu di tempat, berselang sesaat barulah melesat
pergi. Arah tujuannya adalah markas pusat Kay Pang.
-oo0dw0oo-
Dua hari kemudian, Tio Bun
Yang sudah tiba di markas pusat Kay Pang. Cian Chiu Lo Kay menyambutnya sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Lo Kay!" tanya Tio
Bun Yang. "Apakah sudah ada informasi mengenai markas Kui Bin Pang?"
"Tidak ada."
"Selama kepergianku,
apakah pernah terjadi sesuatu di sini?"
"Tidak pernah." Cian
Chiu Lo Kay menggelengkan kepala lalu memberitahukan. "Aku su-ilah
mengutus beberapa pengemis handal untuk menyelidiki tentang markas Kui Bin
Pang, tapi tiada hasilnya sama sekali."
"Bu Ceng Sianli juga
tidak berhasil menyelidiki tentang markas Kui Bin Pang, namun dia berjanji
membantuku mencari Goat Nio."
"Oooh!" Cian Chiu Lo
Kay manggut-manggut. Syukurlah dia bersedia membantumu, sebab kepandaiannya
tinggi sekali!"
"Aku justru bingung
sekali." Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Mungkinkah Goat Nio
diculik pihak Kui Bin Pang?"
"Belum bisa dipastikan,
maka kita hanya menyelidikinya, " sahut Cian Chiu Lo Kay dan menambahkan.
"Yang penting kita hanya menyelidiki markas Kui Bin Pang, sebab Pangcu dan
lainnya pasti dikurung di sana!"
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang.
"Oh ya!" Cian Chiu
Lo Kay memandangnya seraya bertanya, "Apa rencanamu sekarang?"
"Aku harus pulang ke
Pulau Hong Hoang To."
"Memang benar engkau
pulang ke sana, sebab engkau harus memberitahukan tentang semua kejadian ini.
Tapi...
alangkah baiknya engkau
tinggal di sini beberapa hari, siapa tahu ada informasi mengenai markas Kui Bin
Pang."
"Ng!" Tio Bun Yang
mengangguk.
"Oh ya, engkau sudah
mengobati Hui Khong Taysu?" tanya Cian Chiu Lo Kay.
"Sudah." Tio Bun
Yang mengangguk sekaligus memberitahukan tentang itu, kemudian
menggeleng-gelengkan kepala. "Kedua orang tua Goat Nio sangat
mempercayaiku, tapi... kini Goat Nio malah diculik. Aku...."
"Itu kejadian di luar
dugaan, mereka pasti tidak akan mempersalahkanmu."
"Tapi...." Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Kalau
terjadi sesuatu atas diri Goat
Nio entah bagaimana aku jadinya!"
"Jangan cemas!"
hibur Cian Chiu Lo Kay. "Tidak akan terjadi suatu apa pun atas diri Goat
Nio. Percayalah!"
"Lo Kay...." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Tinggallah engkau di
sini beberapa hari, siapa tahu akan memperoleh informasi mengenai markas Kui
Bin Pang!"
"Baiklah." Tio Bun
Yang mengangguk. "Aku akan tinggal di sini beberapa hari, setelah itu baru
berangkat ke Pulau Hong Hoang To."
-oo0dw0oo-
Bagian ke lima puluh sembilan
Penyerbuan ke Pulau Hong Hoang To
Ketua Kui Bin Pang duduk diam
di kursi, kelihatannya sedang mempertimbangkan sesuatu. Sedangkan Toa Hu
Hoat-Yo Kiam Heng memandangnya dengan hati berdebar-debar, dikarenakan
menyangkut keselamatan Lim Peng Hang, Gouw Uang Tiong, Lam Kiong Soat Lan dan
lainnya.
"Usul Toa Hu Hoat memang
masuk akal," ujar ketua Kui Bin Pang kemudian sambil manggut-manggut.
"Itu agar mereka saling membunuh."
"Ketua!" Toa Sat Kui
kurang setuju. "Para penghuni Pulau Hong Hoang To berkepandaian tinggi,
tentu Lim Peng Hang dan lainnya tidak akan sanggup melawan mereka."
"Itu tidak jadi
masalah," sela Jie Hu Hoat-Kwan Tiat Him. "Yang penting mereka saling
membunuh. Apabila pihak Pulau Hong Hoang To membunuh mereka, bukankah pihak
Pulau Hong Hoang To akan menyesal seumur hidup?"
"Betul!" Ketua Kui
Bin Pang tertawa gelak. "Ha ha ha! Itu merupakan pukulan hebat bagi para
penghuni Pulau Hong Hoang To!"
"Ngmmm!" Toa Sat Kui
manggut-manggut. "Kalau begitu, siapa yang akan mengepalai mereka?"
tanyanya.
"Itu..." sahut ketua
Kui Bin Pang setelah berpikir sejenak. "Akan kuperintahkan dua puluh
anggota berkepandaian tinggi untuk ikut menyerbu ke Pulau Hong Hoang To."
"Bagus!" Toa Hu
Hoat-Yo Kiam Heng tertawa gelak. "Ha ha ha! Pulau Hong Hoang To pasti
kacau balau!"
"Ketua," ujar Toa
Sat Kui sungguh-sungguh. "Siapa yang akan memimpin mereka itu?"
"Salah seorang anggota
yang berkepandaian tinggi," sahut ketua Kui Bin Pang dan menambahkan,
"Kalian punya suatu usul mengenai itu?"
"Aku punya usul,
Ketua," ujar Toa Sat Kui.
"Apa usulmu?
Beritahukanlah!" Ketua Kui Bin Pang memandangnya. "Usul yang baik dan
tepat pasti kuterima."
"Setahuku..." ujar
Toa Sat Kui sambil memandang kedua Hu Hoat. "Kepandaian mereka berdua
sangat tinggi, maka bagaimana kalau mereka berdua yang memimpin penyerbuan
itu?"
"Itu...." Ketua Kui
Bin Pang menatap Toa Hu Hoat dan Jie
Hu Hoat. "Bagaimana
menurut kalian?"
"Kalau Ketua perintahkan
kami untuk memimpin penyerbuan itu, tentu kami menurut," sahut Toa Hu
Hoat-Yo Kiam Heng.
"Baiklah." Ketua Kui
Bin Pang manggut-manggut. "Kuperintahkan kalian berdua memimpin penyerbuan
ke Pulau Hong Hoang To."
"Tapi..." tanya Toa
Hu Hoat-Yo Kaim Heng mendadak. "Apakah Lim Peng Hang dan lainnya akan
menuruti perintahku?"
"Mereka tidak akan
menuruti perintah kalian berdua," sahut ketua Kui Bin Pang dengan tertawa.
"Ha ha ha! Namun ada
satu cara untuk membuat mereka
patuh kepada perintah kalian berdua."
"Bagaimana caranya?'
tanya Yo Kiam Heng.
Ketua Kui Bin Pang tidak
menyahut, melainkan bersiul panjang. Seketika juga muncul Lim Peng Hang. Gouw
Han Tiong dan lainnya. Mereka berbaris rapi di tengah-tengah ruangan itu,
kelihatannya sedang menunggu perintah dari ketua Kui Bin Pang.
"Kalian semua harus patuh
kepada perintah kedua orang itu!" ujar ketua Kui bin Pang sambil menunjuk
kedua Hu Hoat.
"Ya," sahut Lim Peng
Hang dan lainnya.
"Toa Jie Hu Hoat!"
Ketua Kui Bin Pang memandang mereka. "Kalian pendengarkan suara!"
Kedua Hu Hoat itu segera
memperdengarkan suara masing-masing, Lim Peng Hang dan lainnyajl mendengarkan
dengan penuh perhatian.
"Lim Peng Hang! Kalian
semua sudah mengenali suara kedua orang itu?" tanya ketua Kui Bin Pang.
"Kami sudah mengenali
suara kedua orang itu," sahut Lim Peng Hang dan lainnya serentak.
"Kami semua harus mematuhi perintah mereka berdua."
"Bagus! Bagus!"
Ketua Kui Bin Pang tertawa gembira. "Ha ha ha! Toa Sat Kui, cepat ambilkan
kedok setan warna biru!"
"Ya, Ketua." Toa Sat
Kui segera melaksanakan perintah itu. Tak lama ia sudah kembali dengan membawa
beberapa buah kedok setan warna biru.
"Berikan kepada
mereka!" perintah Ketua Kui Bin Pang. .
Toa Sat Kui langsung
membagi-bagikan kedok setan warna biru itu kepada Lim Peng Hang dan lainnya.
"Kalian semua harus
memakai kedok setan itu!" seru ketua Kui Bin Pang.
Lim Peng Hang dan lainnya
segera memakai kedok setan tersebut. Ketua Kui Bin Pang tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kini kalian
semua dipanggil Setan Muka Biru!" .
"Ya," sahut Lim Peng
Hang dan lainnya serentak.
"Toa Hu Hoat!" ujar
ketua Kui Bin Pang. "Coba berilah mereka perintah!"
"Ya." Toa Hu Hoat-Yo
Kiam Heng mengangguk, kemudian berseru, "Setan Muka Biru! Cepatlah kalian
duduk di lantai!"
Lim Peng
Hang dan lainnya
langsung duduk di
lantai.
Kemudian Toa Hu Hoat memberi
perintah lagi.
"Setan Muka Biru, kalian
berdirilah!"
Lim Peng Hang dan lainnya
cepat-cepat bangkit berdiri. Itu sungguh menggirangkan ketua Kui Bin Pang.
"Nah! Kini mereka semua
sudah di bawah peintah kalian berdua. Besok pagi kalian berdua dan mereka serta
dua puluh anggota yang berkepandaian tinggi harus berangkat ke Pulau Hong Hoang
To!"
"Ya, Ketua." Kedua
Hu Hoat itu mengangguk. Kami berdua siap berkorban demi Kui Bin Pang!"
"Bagus! Bagus!"
Ketua Kui Bin Pang tertawa lerbahak-bahak. "Ha ha ha! Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo-
Keesokan harinya, berangkatlah
mereka ke Pulau Hong Hoang To. Yang menjadi penunjuk jalan adalah Lim Peng
Hang.
Enam tujuh hari kemudian,
tampak sebuah perahu layar berlabuh di pantai Pulau Hong Hoang To. Ternyata
mereka telah tiba ke pulau tersebut
"Siapa kalian?"
Mendadak terdengar suar; bentakan, yang tidak lain adalah Lie Man Chiu Betapa
terkejutnya Lie Man Chiu ketika melihat para pendatang itu memakai kedok setan.
Tahulah ia bahwa mereka dari perkumpulan Kui Bin Pang
"Ha ha ha!" Toa Hu
Hoat-Yo Kiam Heng tertawa gelak. "Kami ke mari ingin bertemu Tocu (Majikan
Pulau)!"
"Itu..." Kening Lie
Man Chiu berkerut. "Baik lah. Mari ikut aku!"
Lie Man Chiu melesat pergi.
Kedua Hu Hoat dan lainnya segera mengikutinya dengan menggunakan ginkang.
Berselang beberapa saat
kemudian, sampaila mereka di tempat tinggal Tio Tay Seng, dan Li Man Chiu
segera berseru.
"Kui Bin Pang datang
berkunjung...!"
Belum juga suaranya sirna,
muncullah Tio Ta Seng, Kou Hun Bijing, Kim Siauw Suseng. Sa Gan Sin Kay, Tio
Cie Hiong, Lim Ceng Im da Tio Hong Hoa.
"Ha ha ha!" Tio Tay
Seng tertawa gelak "Angin apa yang meniup kalian ke mari? Ingin damai atau
bertarung di sini?"
"Kami ingin membasmi para
penghuni pulau ini!" sahut para anggota Kui Bin Pang serentak.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Sungguh kebetulan, tanganku sudah gatal
sekali!"
"Toa Jie Hu Hoat,"
ujar salah seorang anggota. "Cepatlah perintahkan Setan Muka Biru
menyerang mereka!"
"Baik." Yo Kiam Heng
mengangguk dan berseru. "Setan Muka Biru, cepatlah kalian bunuh mereka
yang memakai kedok setan muka putih!"
"Toa Hu Hoat! Engkau,,,
engkau berani berkhianat?" salah seorang anggota menudingnya. Ketua pasti
tidak akan mengampuni kalian berdua...."
Ucapannya terhenti, karena
orang itu mulai diserang oleh salah seorang yang memakai kedok setan warna
biru.
Di saat itu mendadak seseorang
yang memakai kedok setan biru berlari ke arah Tio Cie Hiong sambil melepaskan
kedok setan yang dipakainya.
"Paman! Cepat bantu
orang-orang yang memakai kedok setan warna biru!" Orang itu ternyata Lam
Kiong Soat Lan. "Mereka adalah Kakek Lim, Kakek Gouw, Kam Hay Thian dan
lainnya!"
"Oh?" Tio Cie Hiong
terkejut bukan main.
Sebelum ia bergerak, Kou Hun
Bijin, Sam ? ian Sin Kay, Kim Siauw Suseng dan Tio Tay Seng sudah bergerak
lebih dahulu membunuh para anggota Kui Bin Pang.
"Jangan membunuh orang
yang memakai kedok setan warna kuning!" teriak Lam Kiong Soat Lan
memberitahukan. "Mereka berdua berpihak kepada kita!"
Dalam waktu sekejap, para
anggota Kui Bin Pang itu sudah menjadi mayat Sam Gan Sin Kay tertawa
terbahak-bahak.
"Ha ha ha! Sungguh puas
hatiku!"
"Pengemis bau,"
tanya Kou Hun Bijin. "Engkau berhasil membunuh berapa orang?"
"Empat."
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan "Aku berhasil membunuh lima orang."
"Bangga ya?" tanya
Sam Gan Sin Kay bernadaj sindiran. "Dasar...."
"Pengemis bau...."
Kou Hun Bijin melotot.
"Istriku," bisik Kim
Siauw Suseng. "Sudahlah! Jangan ribut dengan pengemis bau!"
Sementara kedua Hu Hoat
berdiri mematung di tempat, Lam Kiong Soat Lan menghampiri mereka sambil
tersenyum.
"Siapa di antara kalian
yang bernama Yo Kiam Heng?" tanya gadis itu lembut.
"Aku," sahut Yo Kiam
Heng.
"Saudara Yo, bolehkah
engkau melepaskan! kedok setan yang menyeramkan itu?" tanya Lam Kiong Soat
Lan sambil memandangnya.
"Boleh."
Perlahan-lahan Yo Kiam Heng melepaskan kedok setan yang di mukanya.
"Haaa...!" seru Lam
Kiong Soat Lan tak tertahan. Ternyata dia menyaksikan seraut wajah yang sangat
tampan. "Engkau...."
”Aku Yo Kiam Heng."
"Oooh!" Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut dengan wajah kemerah-merahan.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Tak disangka sama sekali, engkau begitu tampan”
"Terimakasih atas pujian
lo cianpwce!" ucap Yo Kiam Heng.
"Engkau!" Sam Gan
Sin Kay menunjuk yang lain. "Cepat lepaskan kedok setan yang menjijikkan
itu!"
"Ya." Kwan Tiat Him
segera melepaskan kedok setan itu.
"Hah?" Mulut Sam Gan
Sin Kay terngangga lebar, karena Kwan Tiat Him juga seorang pemuda tampan.
"Siapa engkau?"
"Namaku Kwan Tiat Him, lo
cianpwee."
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Bagus! Bagus!"
Sementara Lim Peng Hang dan
lainnya terus berdiri mematung di tempat, tidak bergerak sama sekali.
"Saudara Yo. cepat
perintahkan mereka melepaskan kedok setan itu!" ujar Lam Kiong Soat Lan
sambil tersenyum.
"Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk lalu berseru, "Setan Muka Biru, cepatlah lepaskan kedok setan
kalian!"
Lim Peng Hang dan lainnya
segera melepaskan kedok masing-masing seketika terdengari suara seruan yang tak
tertahan.
"Ayah! Ayah...!"
Yang berseru itu adalah Lim Ceng Im, dan langsung berlari mendekatinya.
"Ayah...!"
Akan tetapi, Lim Peng Hang
tetap diam dani berdiri mematung, sama sekali tidak menghiraukan Lim Ceng Im.
"Ayah! Ayah...!" Lim
Ceng Im memegang lengan Lim Peng Hang erat-erat. "Ayah...!"
"Adik Im," ujar Tio
Cie Hiong. "Ayah terkena semacam ilmu sesat, tidak akan mengenalimu!"
"Benar." Yo Kiam
Heng mengangguk. "Lo cianpwee itu terkena ilmu Toh Hun Tay Hoat, hanya
ketua yang mampu menyadarkannya."
"Oh?" Tio Cie Hiong
mengerutkan kening, "tapi kenapa Soat Lan tidak terpengaruh oleh ilmu
sesat itu?"
"Sebab aku tidak
mecekokinya dengan obat penghilang kesadaran," jawab Yo Kiam Heng
memberitahukan. "Maka ilmu sesat itu cuma beri tahan sekitar sepuluh
hari."
"Oooh!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut. "Bagaimana mereka yang dicekoki obat itu?"
tanyanya.
"Itu berarti Toh Hun Tay
Hoat akan bertahan tahunan, dan membuat mereka menjadi gila," jawab Yo
Kiam Heng dan
menambahkan, "Namun ada
satu macam ilmu yang dapat menghilangkan ilmu sesat itu."
"Ilmu apa itu?"
tanya Tio Cie Hiong cepat.
"Ilmu Penakluk
Iblis." Yo Kiam Heng memberitahukan.
"Oooh!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut sambil tersenyum. "Aku memang memiliki ilmu
tersebut."
"Oh?" Wajah Yo Kiam
Heng dan Kwan Tiat Him berseri. "Kalau begitu... syukurlah!"
"Kakak Cie Hiong."
ujar Lim Ceng Im. "Cepatlah sadarkan mereka dengan ilmu itu!"
"Baik." Tio Cie
Hiong manggut-manggut. "Karena sulingku tidak ada, maka aku akan
menggunakan suara siulan untuk menyadarkan mereka."
"Cepatlah!" desak
Lim Ceng Im.
Tio Cie Hiong menarik nafas
dalam-dalam, kemudian bersiulan panjang menggunakan ilmu Penakluk Iblis.
Di saat bersamaan, terdengar
pula suara suling mengiring suara siulan tersebut, yang juga menggunakan ilmu
Penakluk Iblis, lalu melayang turun seseorang yang tidak lain adalah Tio Bun
Yang.
Hal 80-81 hilang
"Dia... dia...."
Tio Bun Yang
menghela nafas panjang.
"Ketika kami pulang dari
daerah Miauw, kami bermalam di sebuah penginapan...."
"Apa?" Betapa
cemasnya Kou Hun Bijin. "Goat Nio diculik? Siapa yang menculiknya?"
"Aku... aku tidak
tahu." Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Aku tidur di kamar
lain...."
"Goblok sekali
engkau!" bentak Kou Hun Bijin. "Kenapa engkau tidak tidur sekamar
dengan dia? Karena engkau tidak tidur sekamar dengan dia, maka dia diculik!
Engkau...."
"Tenanglah,
isteriku!" ujar Kim Siauw Suseng. "Mari kita masuk rumah dulu,
setelah itu barulah kita tanyakan kepada Bun Yang!"
"Goat Nio telah diculik,
bagaimana mungkin aku bisa tenang?" bentak Kou Hun Bijin.
"Tenang!" bisik Kim
Siauw Suseng. "Ayohlah! Mari kita masuk!"
Kim Siauw Suseng menariknya ke
dalam. Yang lain pun ikut ke dalam. Setelah duduk, Kou Hun Bijin terus melotot
ke arah Tio Bun Yang.
Sedangkan Lim Ceng Im segera
pergi ke dapur untuk menggodok rumput Tanduk Naga. Berselang beberapa saat
kemudian, ia sudah kembali ke ruang depan dengan membawa obat yang telah
dimasaknya.
Ia memberikan obat itu kepada
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan lainnya. Kemudian ia duduk sambil menunggu
bagaimana reaksi mereka yang telah diberi minum obat tersebut.
Beberapa saat kemudian,
mendadak Toan Beng Kiat berlari ke arah Gouw Han Tiong seraya berseru.
"Kakek! Kakek...!"
"Beng Kiat cucuku!"
sahut Gouw Han Tiong. "Beng Kiat...."
"Kakek! Kakek...!"
panggil Toan Beng Kiat.
Sementara yang lain saling
memandang, kemudian Bokyong Sian Hoa berseru girang.
"Hui San! Hui
San...!"
"Sian Hoa! Sian
Hoa...!" sahut Lu Hui San penuh kegirangan.
Itu membual suasana agak
ramai, tapi jadi semarak.
"Ha ha ha!" Tio Tay
Seng tertawa gelak. Ayoh, duduklah!"
Mereka segera duduk. Sementara
Kou Hun Bijin terus memandang Tio Bun Yang. Setelah mereka semua duduk, barulah
ia membuka mulut.
"Bun Yang, beritahukan
bagaimana Goat Nio bisa diculik orang!"
"Setelah memperoleh
rumput Tanduk Nada di daerah Miauw, kami pulang dengan hati riang
gembira." Tio Bun Yang mulai menutur. "Kemudian kami bermalam di
sebuah penginapan...."
"Mana surat itu?"
tanya Kou Hun Bijin.
Tio Bun Yang segera
menyerahkan sepucuk surat kepada Kou Hun Bijin. Setelah membaca bersama Kim
Siauw Suseng, Kou Hun Bijin bertanya,
"Engkau tahu siapa
penculik itu?"
"Tidak tahu."
"Engkau memang
goblok!" tegur Kou Hun Bijin melotot. "Kenapa engkau berpisah kamar
dengan Goat Nio?"
"Aku...." Wajah Tio
Bun Yang memerah. "Aku...."
"Bijin, mereka berdua
cuma merupakan sepasang kekasih, bukan sepasang suami isteri. Nah, bagaimana
mungkin mereka tidur sekamar?" sahut Sam Gan Sin Kay.
"Itu tidak apa-apa,"
ujar Kou Hun Bijin lantang. "Yang penting tidak berbuat begitu."
"Kalau sudah sekamar,
mungkinkah mereka tidak akan kontak?" tanya Sam Gan Sin Kay sambil
tertawa.
"Kalau mau kontak, di
tempat mana pun bisa," sahut Kou Hun Bijin, lalu menatap Tio Bun Yang
seraya bertanya. "Kenapa.engkau dan Goat Nio pergi ke daerah Miauw?"
"Untuk mengambil rumput
Tanduk Naga."
"Jadi kalian berdua sudah
tahu mereka minuml obat penghilang kesadaran?" tanya Kou Hun Bijinl
"Kami sama sekali tidak
tahu, itu dikarenakanl ingin menolong para ketua partai-partai besar yang
terkena pukulan yang dilancarkan Seng Hwe Sin Kun." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Mereka menjadi gila, hanya dapat disembuhkan dengan rumput
Tanduk Naga. Justru aku tidak menyangka sama sekali, rumput Tanduk Naga itu pun
dapat menyembuhkan kakek dan lainnya."
"Seng Hwee Sin Kun?"
Tio Tay Seng tampak terkejut. "Jadi dia telah berpihak pada Kui Bin
Pang?"
"Dia...." Tio Bun
Yang memberitahukan tentang keadaan
Seng Hwee Sin Kun, kemudian
menambahkan. "Namun dia telah mati di tangan Bu Ceng Sianli dan Kam Hay
Thian."
"Betul," sambung Kam
Hay Thian. "Bu Ceng Sianli membantuku membunuh Seng Hwee Sin Kun. Di saat
itulah Kakek Lim dan Kakek Gouw ditangkap Kui Bin Pang."
"Oooh!" Tio Tay Seng
manggut-manggut.
"Aaaah...." Mendadak Tio Bun Yang menghela nafas
panjang. "Aku sudah ke
sana ke mari mencari Goat Nio, tapi tiada hasilnya! Aku... aku bingung dan
cemas sekali, entah dia diculik oleh siapa?"
"Ketua kami yang
menculiknya," sahut Yo Kiam Heng.
"Apa?" seru Tio Bun
Yang tak tertahan. "Ketua Kui Bin Pang yang menculik Goat Nio?"
"Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk.
"Bagaimana keadaannya?
Apakah dia baik-baik saja?" tanya Tio Bun Yang tegang sambil rnenanlapnya.
"Dia baik-baik
saja," sahut Yo Kiam Heng memberitahukan. "Bahkan aku pun sempat
bercakap-cakap dengan dia...."
Yo Kiam Heng menutur mengenai
ketua Kui Bin Pang menyuruhnya membujuk gadis itu.
"Ketua Kui Bin Pang
memang sangat tertarik kepada Goat Nio," ujar Kwan Tiat Him. "Sebab
dia berpesan kepada kami, harus baik-baik memperlakukannya."
"Kalian tahu siapa ketua
Kui Bin Pang itu?" tanya Tio Cie Hiong.
"Maaf, Paman," jawab
Yo Kiam Heng. "Kami tidak tahu. Yang jelas dia semuda kami."
"Aku pun yakin, ketua Kui
Bin Pang itu punya dendam pribadi dengan Saudara Bun Yang." Kwan Tiat Him
memberitakukan. "Karena dia pernah bilang akan mencincang Saudara Bun
Yang."
"Heran?" gumam Tio
Bun Yang. "Siapa ketua Kui Bin Pang itu? Kenapa dia begitu dendam
kepadaku?"
"Siapa ketua Kui Bin Pang
itu tidak perlu dibicarakan," tandas Kou Hun Bijin sambil memandang Yo
Kiam Heng. "Yang penting kalian berdua harus mengantar kami ke markas Kui
Bin Pang itu."
"Tidak bisa." Yo
Kiam Heng menggelengkan kepala.
"Kenapa?" bentak Kou
Hun Bijin.
"Sebab di sana banyak
sekali jebakan." Yo Kiam Heng memberitahukan. "Kalau aku mengantar
kalian ke sana, sama juga pergi cari mati."
"Engkau tidak tahu
jebakan-jebakan itu?" tanya Kim Siauw Suseng.
"Kami semua tidak tahu,
kecuali ketua sendiri," jawab Yo Kiam heng jujur dan menambahkan.
"Tapi kami akan berusaha menolong Nona Siang Koan."
"Aaaah...!" Kou Hun
Bijin menghela nafas panjang.
”Kiam Heng!" Tio Cie
Hiong menatapnya seraya bertanya. "Sebetulnyanya siapa kalian
berdua?"
"Kakek kami adalah
anggota Kui Bin Pang. Kedudukan kakek kami tinggi sekali, yakni Dua
Pelindung," jawab Yo Kiam Heng memberitahukan. "Kakek kami menutur
tentang Kui Bin Pang kepada ayah kami, lalu ayah kami menutur kepada kami. Maka
kami tahu jelas mengenai Kui Bin Pang. Ketika melihat kembang api aneh di
angkasa, kami pun tahu bahwa itu kode dari Kui Bin Pang untuk memanggil para
anggotanya berkumpul. Aku berangkat ke tempat tujuan, di tengah jalan bertemu
saudara Kwan. Kami bercakap-cakap, dan sejak itu kami menjadi teman baik."
"Oooh!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut. "Lalu kenapa kalian berdua berkhianat?"
"Karena kami tahu bahwa
Kui Bin Pang itu perkumpulan jahat. Lagi pula sebelum kami mencapai tempat
tujuan, kami bertemu seorang tua.” ujar Yo Kiam Heng. "Orang tua itu
adalah anak Tetua Kui Bin Pang. Beliau menasihati kami dan lain sebagainya.
Setelah kami bertemu ketua Kui Bin Pang, kami pun sering memberi informasi
tentang kegiatan Kui Bin Pang kepada orang tua itu"
"Oooh!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut lagi dan bertanya. "Bagaimana kepandaian ketua Ku
Bin Pang?"
"Sangat tinggi
sekali." Yo Kiam Heng memberitahukan. "Bahkan dia pun memiliki sebuah
genta maut."
"Genta maut?" Tio
Cie Hiong mengerulk; kening.
"Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk. "Apabil genta maut itu dibunyikan, maka pihak lawan pasti
mati."
"Oh?" Tio Cie Hiong
mengerutkan kening lagi, namun kemudian manggut-manggut. "Kini para
anggota itu telah mati semua, apa rencana kalian sekarang?"
"Tentunya kami harus
kembali ke markas”, jawab Yo Kiam Heng. "Sebab kami harus berusaha
menolong Nona Siang Koan."
"Terimakasih, Saudara Yo!
” ujar Tio Bun Yang. "Oh ya! Bagaimana kalau aku meny; salah seorang di
antara kalian?"
"Jangan!" Yo Kiam
Heng menggelengkan kepala.
"Sebab akan membahayakan
diri kita. Biar kami saja yang berupaya menolong Nona Siang Koan karena ketua
Kui Bin Pang telah mempercayai kami”.
”Itu...”Tio Bun Yang nampak
ragu.
"Saudara Tio!” Kwan Tiat
Him tersenyum.
"Percayalah! Kalau
Saudara yang muncul justru akan membahayakan diri Nona Siang Koan.”
"Kalau begitu...."
Tio Bun Yang memandang Kou Hun Bijin
seakan minta pendapat.
"Baiklah." Kou Hun
Bijin manggut-manggut. Kalian berdua harus dapat menolong putriku!"
"Ya." Yo Kiam Heng
dan Kwan Tiat Him mengangguk.
"Agar aman dan tidak
terjadi lagi hal-hal yang tak diinginkan, maka alangkah baiknya Sie Keng Hauw,
Lie Ai ling, Lu Kam Hay Thian dan Lu Hui San tinggal di pulau ini, tidak boleh
ke Tionggoan."
"Kami..." Mereka
berempat saling memandang.
"Benar." Tio Cie
Hiong manggut-manggut dan menambahkan, "Sedangkan Toan Beng Kiat, Lam
Kiong Soal Lan dan Bokyong Sian Hoa harus segera pulang ke Tayli."
"Memang harus
begitu," sahut Sam Gan Sin Kay. "Ilu agar tidak terjadi hal-hal yang
tak diinginkan."
"Paman," tanya Lam
Kiong Soat Lan pada Tio Cie Hiong. "Mereka berdua pulang ke markas Kui Bin
Pang, apakah ketua Kui Bin Pang tidak akan mencurigai mereka?"
"Kalau mereka berdua
pulang dalam keadaan seperti sekarang, tentunya akan menimbulkan kecurigaan ketua
Kui Bin Pang itu," sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Oleh karena
itu, sebelum mereka ke Tionggoan, aku harus melukai mereka
seberat-beratnya."
"Paman...." Lam
Kiong Soat Lan terkejut bukan main.
"Adik Soat Lan,"
ujar Yo Kiam Heng. "Memang harus begitu, agar ketua Kui Bin Pang tidak
mencurigai kami."
Wajah Lam Kiong Soat Lan agak
memerah, karena Yo Kiam Heng memanggilnya adik, namun gadis itu bergirang dalam
hati.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay yang usil itu langsung tertawa terbahak-bahak. "Soat Lan, pemuda
itu memanggilmu adik, maka engkau pun harus memanggilnya kakak lho! Jangan
malu-malu, aku tahu kalian berdua sudah saling jatuh hati! Ha ha ha...!"
"Kakek Tua!" Wajah
Lam Kiong Soat Lan bertambah merah. "Kami...."
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan seraya berkata, "Kiam Heng, kalau engkau berhasil
menolong putriku, barulah kuijinkan Soat Lan mencintaimu."
"Isteriku!" bisik
Kim Siauw Suseng. "Tidak boleh mengatakan begitu."
"Itu mendorong
semangatnya untuk menolong Goat Nio," sahut Kou Hun Bijin dengan berbisik
pula.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa. "Bisik-bisik nih ya!"
"Pengemis bau, jangan
terus menyindir!" bentak Kou Hun Bijin sambil melotot. "Hati-hati
engkau, sebab aku sedang kesal nih!"
"Oh?" Sam Gan Sin
Kay tertawa lagi.
"Ayah," tanya Lim
Peng Hang mendadak. "Apakah Bun Yang seorang yang menyertai kami ke
Tionggoan?"
"Ya." Sam Gan Sin
Kay mengangguk. "Cukup dia seorang diri saja."
"'Kapan kami kembali ke
Tionggoan?" tanya Lim Peng Hang.
"Peng Hang!" bentak
Sam Gan Sin Kay. "Engkau sudah sedemikian tua, tapi masih seperti anak
kecil! Pikir sendiri harus berangkat kapan, tidak perlu bertanya padaku!
Dasar!"
"Baik." Lim Peng
Hang mengangguk. "Kami akan kembali ke Tionggoan esok pagi."
"Ayah kok begitu cepat
kembali ke Tionggoan?" Mata Lim Ceng Im mulai basah.
"Ceng Im!" Lim Peng
Hang tersenyum. "Anakmu sudah begitu besar, kok engkau malah seperti anak
kecil!"
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan. "Tadi pengemis bau menegur Lim Peng Hang, kini
Lim Peng Hang menegur anaknya! Dasar penyakit turunan!"
"Eh? Bijin...." Sam
Gan Sin Kay melotot. "Engkau sudah
bisa tertawa? Bukankah engkau
masih kesal?"
"Sudahlah!" ujar Tio
Tay Seng. "Kalian jangan terus ribut saja! Urusan akan jadi runyam
lho!"
Kou Hun Bijin dan Sam Gan Sin
Kay masih saling melotot, namun mulut mereka tidak mengeluarkan suara.
"Kalian...." Tio Tay
Seng memandang Toan Beng Kiat, Lam
Kiong Soal Lan dan Bokyong
Sian Hoa seraya berkata. "Kalian bertiga pun harus pulang ke Tayli esok
pagi!"
"Kami...." Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan dan
Bokyong Sian Hoa saling
memandang.
"Beng Kiat," ujar
Gouw Han Tiong. "Kalian bertiga memang harus pulang esok pagi. Setelah
ketua Kui Bin Pang dibasmi, barulah kalian boleh pesiar kemari lagi."
"Ya, Kakek." Toan
Beng Kiat mengangguk.
"Oh ya!" Gouw Han
Tiong memandangnya sambil tersenyum. "Kalau memang engkau dan Sian Hoa
sudah saling mencinta, lebih baik cepat-cepat menikah saja!"
"Kakek...." Wajah
Toan Beng Kiat kemerah-merahan.
"Kakek tidak salah,"
ujar Bokyong Sian Hoa. "Setelah sampai di Tayli, kami pasti segera
menikah."
"Ha ha ha!" Gouw Han
Tiong tertawa gembira. "Bagus! Bagus!"
"Adik Sian Hoa, engkau
tidak bohong?" tanya Toan Beng Kiat dengan wajah berseri.
"Aku tidak bohong.
Tapi...." Bokyong Sian Hoa menghela
nafas panjang. "Dalam
keadaan begini, pantaskah kita melangsungkan pernikahan?"
"Itu...." Toan
Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala.
"Memang tidak pantas,
maka aku lidak akan mendesakmu."
"Kakak Beng Kiat, engkau
sungguh berpengertian!" ujar Bokyong Sian Hoa dengan tersenyum mesra.
"Yaaah...!" Gouw Han
Tiong menghela nafas panjang. "Kalau begitu, selelah Bun Yang berkumpul
kembali dengan Goat Nio, barulah kalian menikah."
"Ya, Kakek." Toan
Beng Kiat mengangguk.
"Kini hari sudah mulai
gelap, kalian boleh beristirahat," ujar Gouw Han Tiong.
"Ya. Kakek." Toan
Beng Kiat mengangguk, lalu menarik Bokyong Sian Hoa ke belakang, Lam Kiong Soat
Lan terpaksa ikut ke belakang.
Sedangkan Yo Kiam Heng terus
memandang gadis itu, tentunya tidak terlepas dari mata Sam Gan Sin Kay.
"Ha ha ha!" Pengemis
tua itu tertawa. "Anak muda, tunggu apalagi? Cepatlah susul dia ke
belakang!"
"Kakek Pengemis,
aku...." Yo Kiam Heng tampak ragu-ragu
dan malu-malu.
"Cepat susul gadis pujaan
hatimu itu!" seru Sam Gan Sin Kay. "Dia sangat mengharap
kedatanganku, lho!"
"Ya." Yo Kiam Heng
segera ke belakang.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gembira. "Kini Soat Lan pun sudah punya kekasih! Bagus!
Bagus!"
"Dasar pengemis
bau!" Kou Hun Bijin melotot. "Sudah hampir mampus tapi masih tetap
usil!"
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Kalau aku mampus, pasti jadi setan usil!"
Sementara Tio Bun Yang, Kwan
Tiat Him, Kam Hay Thian dan Lu Hui San terus memJ bungkam..
"Bun Yang, kalian pun
boleh ke belakang. Temanilah mereka!" ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Ya, Ayah." Tio Bun
Yang mengangguk, lalui mengajak Kwan Tiat Him, Kam Hay Thian dara Lu Hui San ke
belakang.
-oo0dw0oo-
Setelah berada di halaman
belakang, suasana di situ pun menjadi ramai, diselingi pula dengan suara tawa
yang riang gembira.
"Aku sama sekali tidak
menyangka," ujar Toan Beng Kiat sambil memandang Kam Hay Thian dan Lu Hui
San. "Kalian berdua bisa akur, bahkan saling mencinta pula."
"Ini yang disebut
jodoh," sahut Kam Hay Thian sambil tertawa. "Seperti kalian
berdua."
"Oh, ya?" Toan Beng
Kiat juga tertawa, kemudian memandang Lam Kiong Soat Lan. "Benarkah engkau
sudah jatuh hati kepada Saudara Yo?"
"Eh?" Lam Kiong Soat
Lam cemberut. "Kok sekarang engkau jadi usil sih? Mau tahu saja urusan
orang!"
"Aku boleh dikatakan
sebagai kakakmu, ten-tunva aku harus tahu. Ya, kan?" sahut Toan Beng Kiat
sambil tersenyum, lalu memandang Yo Kiam Heng serava bertanya, "Saudara
Yo. engkau belum punya anak isteri kan?"
"Belum," sahut Yo
Kiam Heng. "Bahkan aku pun belum punya kekasih."
"Kalau begitu...." Toan Beng Kiat tersenyum. "Engkau
sungguh-sungguh jatuh hati
kepada Soat Lan?"
"Ya," sahut Yo Kiam
Heng cepat tanpa berpikir sejenak pun. "Aku memang telah jatuh hati
kepadanya. Maka, aku tidak mencekokinya dengan obat penghilang kesadaran."
"Saudara Yo," sela
Kam Hay Thian. "Seandainya engkau tidak jatuh hati kepada Soat Lan, tentu
kami celaka semua."
"Jangan berkata begitu,
Saudara Kam!" ujar Yo Kiam Heng sungguh-sungguh. "Kalau pun aku tidak
jatuh hati kepada Soat Lan, aku juga akan berupaya menolong kalian."
"Terimakasih, Saudara
Yo!" ucap Kam Hay Thian. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, dan langsung
memandang Toan Beng Kiat
seraya bertanya,
"Bagaimana kalian tertangkap oleh pihak Kui Bin Pang?"
"Ketika kami sedang
melakukan perjalanan menuju markas pusat Kay Pang, mendadak muncul lima orang
berpakaian putih dan memakai kedok setan warna hijau. Mereka mengundang kami ke
markas Kui Bin Pang dengan alasan bahwa kalian berada di sana. Maka, kami
memenuhi undangan mereka. Ternyata undangan itu cuma merupakan perangkap
saja." Toan Beng Kiat memberitahukan.
"Oooh!" Kam Hay
Thian manggut-manggut. "Karena itu, Soat Lan pun bertemu saudara Yo!"
"Jodoh!" sahut Toan
Beng Kiat sambil tertawa, kemudian memandang Tio Bun Yang, yang duduk diam dari
tadi. "Eh? Kenapa engkau terus melamun?"
"Aaah...." Tio
Bun Yang menghela
nafas panjang. "Aku
sedang memikirkan Goni Nio
"
"Jangan khawatir, Saudara
Bun Yang!" ujat Yo Kiam Heng. "Aku dan Tiat Him pasli hei upaya
menolongnya, percayalah!"
"Aku mempercayai kalian,
namun tetap mengkhawatirkannya," sahut Tio Bun Yang sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Di saat bersamaan, Tio Bun
Yang melihat Lam Kiong Soat Lan berjalan ke tempat lain, dan memandang ke arah
Yo Kiam Heng.
"Saudara Yo!" Tio
Bun Yang tersenyum. "Soat Lan ke tempat lain, cepatlah engkau susul dia!
Mungkin dia ingin membicarakan sesuatu kepadamu."
"Oh?" Yo Kiam Heng
segera menoleh. Dilihatnya Lam Kiong Soat Lan berjalan ke arah sebuah pohon.
Segeralah pemuda itu berlari ke arahnya. "Adik Soat Lan...."
"Kakak Kiam Heng..."
sahut Lam Kiong Soat Lan sambil duduk di bawah pohon itu. "Mari kita duduk
di sini!"
"Ya." Yo Kiam Heng
duduk di sebelahnya.
"Kakak Kiam Heng,"
tanya Lam Kiong Soat Lan dengan suara rendah. "Setelah engkau berhasil
menolong Goat Nio, maukah engkau ke Tayli menengokku?"
"Itu sudah pasti. Tapi...." Yo Kiam Heng
menatapnya
dalam-dalam. "Entah
engkau merasa senang apa tidak?"
"Aku senang sekali bila
engkau ke Tayli menengokku," sahut Lam Kiong Soat Lan sambil menundukkan
kepala. "Kakak Kiam Heng, betulkah engkau sudah jatuh hati kepadaku?"
"Betul." Yo Kiam
Heng mengangguk dan bertanya, "Engkau juga sudah jatuh hatikah kepadaku?'
"Ya." Lam Kiong Soat
Lan tersenyum manis.
"Adik Soat Lan...."
Mendadak Yo Kiam Heng menggenggam
tangannya erat-erat seraya
berbisik, "Aku sungguh gembira sekali!"
"Sama," bisik Lam
Kiong Soat Lan sekaligus balas menggenggam tangannya.
Di saat Yo Kiam Heng dan Lam
Kiong Soat Lan sedang saling mencurahkan isi hati masing-masing, di saat
bersamaan Tio Bun Yang dan Kwan Tiat Him juga sedang berbicara serius.
"Sudara Kwan, aku sangat
mengharapkan bantuanmu."
"Tapi itu akan
membahayakan dirimu," sahut Kwan Tiat Him sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Biar aku dan Kiam Heng menolong Nona Siang Koan."
"Aku ingin tahu berada di
mana markas Kui Bin Pang itu," desak Tio Bun Yang.
"Engkau ingin ke sana
menolong Nona Siang Koan kan?"
"Ya."
"Aaaah...!" Kwan
Tiat Him menghela nafas panjang. "Engkau harus tahu bahwa di sana banyak
jebakan. Kalau aku beritahukan itu sama juga mencelakai dirimu."
"Saudara Kwan," ujar
Tio Bun Yang sungguh sungguh. "Biar bagaimana pun aku harus ke sana
menolong Goat Nio, tidak bisa cuma mengandalkan kalian."
Kwan Tiat Him berpikir lama
sekali, akhirnya mengangguk seraya berkata dengan kening berkerut-kerut.
"Baiklah, aku akan
memberitahukan kepadamu” "Terimakasih, Saudara Kwan!" ucap Tio Bun
Yang girang.
"Tapi engkau tidak boleh
berangkat ke sana sekarang!" pesan Kwan Tiat Him. "Engkau harus ke
markas pusat Kay Pang dulu, setelah itu barulah ke markas Kui Bin Pang, sebab
aku dan Kiam Heng akan membantumu dari dalam."
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Markas Kui Bin Pang
terletak di puncak Gunung Mo Kui San (Gunung Setan Iblis)," bisik kwan
Tiat Him memberitahukan. "Namun engkau harus berhati-hati, karena banyak
jebakan di sana!"
"Terimakasih!
Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang girang. "Terimakasih!"
Keesokan harinya, Tio Cie
Hiong menyuruh Tio Bun Yang memanggil Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat Him.
"Paman panggil
kami?" tanya Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat Him setelah berdiri di hadapan Tio
Cie Hiong.
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk dengan wajah serius. "Hari ini kalian semua harus ke Tionggoan.
Oleh karena itu, aku harus melukai kalian berdua."
"Silakan turun tangan,
Paman!" ujar Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat Him serentak.
"Paman!" Lam Kiong
Soat Lan dengan wajah agak memucat.
"Adik Soal Lan,"
ujar Yo Kiam Heng lembut. "Paman Cie Hiong memang harus melukai kami.
Kalau tidak, ketua Kui Bin Pang pasti mencurigai kami."
"Tapi...." Mata Lam
Kiong Soal Lan mulai basah.
"Soat Lan, engkau tidak
usah cemas, aku cuma melukainya, tidak akan membuat dirinya celaka." sela
Tio Cie Hiong dengan tersenyum.
"Paman...."
"Soat Lan, engkau harus
tenang. Kalau mereka tidak dilukai, justru mereka akan celaka," sambung
Lim Ceng Im lembut.
"Bibi...."
Sementara Tio Cie Hiong sudah
bangkit dari duduknya, lalu dengan perlahan-lahan mendekati Yo Kiam Heng dan
Kwan Tiat Him. Setelah itu, mendadak Tio Cie Hiong mengibaskan lengan bajunya.
"Aaaaakh...!" jerit
Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat Him. Mereka berdua terpental beberapa depa. kemudian
roboh dengan mulut mengeluarkan darah.
"Kakak Kiam Heng! Kakak
Kiam Heng!" terriak Lam Kiong Soat Lan sambil menghampiri pemuda itu.
"Bagaimana lukamu? Apakah parah sekali?"
"Adik...." Wajah
Yo Kiam Heng
pucat pias, begitu
pula
Kwan Tiat Him.
"Aku yakin ketua Kui Bin
Pang mampu mengobati kalian," ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan,
"Walau kalian berdua
telah terluka parah, namun
jangan khawatir! Aku akan memberi kalian obat. tapi jangan dimakan sekarang,
harus dimakan nanti! Kalau kalian makan sekarang, ketua Kui Bin Pang pasti
curiga, karena dia akan memeriksa luka kalian."
"Te... terimakasih,
Paman..." ucap Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat Him.
Tio Cie Hiong tersenyum,
kemudian memberi mereka seorang sebutir obat, lalu kembali ke tempat duduk.
"Sekarang kalian boleh
meninggalkan pulau ini." ujar Tio Tay Seng dan melanjutkan. "Beng
Kiat. Sian Hoa dan Soat Lan pun boleh berangkat ke Tayli sekarang."
"Ya." Toan Beng Kiat
mengangguk.
"Peng Hang!" Sam Gan
Sin Kay memandangnya. "Engkau dan Han Tiong serta Bun Yang boleh kembali
ke markas sekarang."
"Kakek...!" seru Lim
Ceng Im tak tertahan, karena merasa berat berpisah dengan ayahnya.
"Ceng Im, mereka harus
berangkat sekarang, kalau tidak, Kay Pang pasti berantakan," sahut Sam Gan
Sin Kay.
"Benar." Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Ceng Im, ayah dan Han Tiong serta Bun Yang memang
harus berangkat sekarang.'
"Ayah...." Lim Ceng
Im mulai terisak-isak.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Sudah berusia empat puluh lebih, tapi kok masih
cengeng?"
"Ibu!" Tio Bun Yang
mentapnya. "Kami harus berangkat sekarang."
"Hati-hati, Nak!"
pesan Lim Ceng Im.
"Ya, Ibu." Tio Bun
Yang mengangguk.
"Bun Yang!" Tio Cie
Hiong menatapnya serius. "Biar bagaimana pun, engkau harus menolong Goat
Nio. Tapi... harus berhati-hati, jangan ceroboh!"
"Ya, Ayah." Tio Bun
Yang mengangguk lagi.
"Bun Yang!" Kou Hun
Bijin mulai bersuara. "Hilangnya Goat Nio adalah tanggung jawabmu, maka
engkau harus mencarinya!"
"Ya," ujar Tio Bun
Yang sungguh-sungguh. "Kalau terjadi apa-apa atas diri Goat Nio, aku pun
tidak akan hidup lagi."
"Bun Yang...." Lim
Ceng Im terkejut.
"Ibu...." Mata
pemuda itu tampak basah. "Aku-aku sangat
mencintai Goat Nio."
-oo0dw0oo-
Bagian ke enam puluh
Mengosongkan Markas untuk
menjebak
Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat Him
telah tiba di Gunung Mo Kui San. Karena mereka telah melakukan perjalanan,
sehingga membuat luka mereka bertambah parah. Tiba-tiba muncul beberapa anggota
Kui Bin Pang. Begitu melihat mereka, terkejutlah para anggota Kui Bin Pang itu.
"Toa Jie Hu Hoat...."
"Kalian...
kalian..." sahut Yo Kiam Heng lemah. "Cepat papah kami ke markas!"
Para anggota Kui Bin Pang itu
segera memapah mereka. Berselang beberapa saat kemudian, sampailah di markas
tersebut.
Ketua Kui Bin Pang langsung
memeriksa mereka, lalu memberi mereka semacam obat.
"Makanlah obat itu!"
ujar ketua Kui Bin Pang.
"Terimakasih,
Ketua!" sahut Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat Him, lalu makan obat tersebut.
"Luka kalian cukup
parah," ujar ketua Kui Bin Pang. "Orang yang melukai kalian itu
memiliki Iweekang yang sangat tinggi. Beritahukanlah kepadaku siapa orang
itu!"
"Dia adalah Tio Cie
Hiong." Yo Kiam Heng memberitahukan. "Kepandaiannya memang tinggi
sekali. Kami berdua tidak sanggup melawannya, untung masih dapat meloloskan
diri."
"Bagaimana yang
lain?" tanya ketua Kui Bin Pang.
"Para anggota itu telah
terbunuh semua," jawab Kwan Tiat Him. "Sedangkan Lim Peng Hang dan
lainnya telah sembuh."
"Apa?" Ketua Kui Bin
Pang tampak terkejut. "Mereka telah sembuh?"
"Ya." Kwan Tiat Him
mengangguk. "Siapa yang menyembuhkan mereka?"
"Tio Cie Hiong,"
jawab Yo Kiam Heng dan menambahkan. "Sungguh tak disangka, dia memiliki
ilmu Penakluk Iblis!"
"Oooh!" Ketua Kui
Bin Pang manggut-manggut. "Pantas dia dapat menyembuhkan mereka!"
"Ketua," tanya Toa
Sat Kui. "Kini apa rencana kita?"
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa gelak. "Siang Koan Goat Nio masih berada di tangan
kita, maka aku yakin mereka pasti akan menyerbu ke mari!"
"Itu tidak mungkin."
Yo Kiam Heng menggelengkan kepala. "Sebab mereka tidak tahu berada di mana
markas kita!"
"Lambat laun mereka pasti
tahu," sahut katun Kui Bin Pang. "Oleh karena itu, aku justru punya
suatu rencana."
"Ketua punya rencana
apa?" tanya Kwan liat Him.
"Kita akan mengosongkan
markas ini," sahut ketua Kui Bin Pang sambil tertawa gelak. "Ha ha
ha...!"
"Mengosongkan markas
ini?" Kwan Tiat Him bingung.
"Betul," Ketua Kui
Bin Pang melanjutkan. "Berhubung Siang Koan Goat Nio masih berada di sini,
maka aku yakin mereka pasti akan menyerbu ke mari. Nah, markas kosong ini akan
mengubur mereka. Ha ha ha...!"
"Maksud Ketua
mengosongkan markas ini untuk menjebak mereka?" tanya Toa Sat Kui.
'Tidak salah."
"Kalau begitu... kita
akan pindah ke mana?"
"Pindah ke Gurun Sih
Ih."
"Apa?" Ngo Sat Kui
dan kedua Hu Hoat itu tercengang. "Kita semua pindah ke Gurun Sih
Ih?"
"Ya." Ketua Kui Bin
Pang manggut-manggut. "Di gurun itu terdapat sebuah tempat yang sangat
indah, namun sangat misteri. Markas Kui Bin Pang dulu berada di sana. Bagi
orang luar sulit mencapai tempat itu!"
"Oh?" Ngo Sat Kui
dan kedua Hu Hoat saling memandang, kemudian Toa Sat Kui bertanya, "Ketua
sudah pernah ke sana?"
"Pernah." Ketua Kui
Bin Pang mengangguk.
"Kok ketua tahu tempat
itu?" Yo Kiam Heng heran.
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa gelak. "Ketua Kui Bin Pang lama meninggalkan sebuah
peta. Aku mengikuti petunjuk dari peta itu, maka sampai di tempat misteri
tersebut, ternyata terdapat
sebuah bangunan besar yang penuh jebakan."
"Bangunan itu adalah
markas Kui Bin Pang lama?" tanya Toa Sat Kui.
"Betul. Tempat itu berada
di Gurun Sih Ih." Ketua Kui Bin Pang memberitahukan. "Bagi orang luar
tidak mudah mencapai tempat itu. Kalau pihak Kay Pang atau pihak Hong Hoang To
berani ke sana, mereka pasti mati di sana.”
"Kalau begitu, tanya Toa
Sat Kui. "Kapan kita berangkat ke Gurun Sih Ih?"
"Sekarang," sahut
ketua Kui Bin Pang singkat.
"Sekarang?" Yo Kiam
Heng dan Kwan Tiat Him tampak terkejut.
"Ya." Ketua Kui Bin
Pang manggut-manggut. "Aku yakin ada orang membuntuti kalian, maka pihak
Kay Pang maupun pihak Hong Hoang To pasti sudah tahu markas kita ini. Oleh
karena itu. kita harus segera meninggalkan markas ini. Sebelum kita berangkat,
aku akan menggerakkan semua alat jebakan. Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo-
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong
dan Tio Bun Yang telah tiba di markas pusat Kay Pang. Betapa gembiranya para
anggota Kay Pang dan Cian Chiu Lo Kay. Mereka bersorak sorai sambil
memukul-mukulkan tongkat bambu ke tanah.
"Pangcu! Tetua!"
panggil Cian Chiu Lo Kay sambil memberi hormat.
Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong manggut-manggut lalu duduk. Tio Bun Yang pun segera duduk.
"Syukurlah Pangcu dan
Tetua sudah pulang!" ucap Cian Chiu Lo Kay.
"Lo Kay, selama ini
apakah pernah terjadi sesuatu di sini?" tanya Lim Peng Hang.
"Tidak, Pangcu,"
jawab Cian Chiu Lo Kay dan menambahkan. "Namun kami menerima suatu
informasi dari istana."
"Oh?" Lim Peng Hang
mengerutkan kening. "Informasi tentang apa?"
"Menteri Ma yang sangat
berkuasa itu telah mengutus beberapa orang ke Manchuria. Kalau tidak salah,
menteri Ma bermaksud meminjam pasukan Manchuria untuk menghancurkan para
pemberontak yang dipimpin Lie Tsu Seng, sebab kini Lie Tsu Seng telah berhasil
menguasai beberapa kota."
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Itu urusan kerajaan, kita tidak perlu ikut
campur."
"Pangcu!" Cian Chiu
Lo Kay menghela nafas panjang. "Dulu Kay Pang pernah ikut berjuang
menggulingkan Dinasti Goan (Mongol), setelah itu berdirilah Dinasti Beng
(Ming)."
"Tidak salah." Lim
Peng Hang manggut-manggut. "Tapi pada waktu itu, negeri Han dijajah oleh
bangsa Mongol. Maka Kay Pang ikut berjuang, kini...."
"Pangcu, kalau pasukan
Manchuria memasuki Tionggoan, rakyat Han pasti menderita," ujar Cian Chiu
Lo Kay memberitahukan.
"Lo Kay...." Lim
Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu urusan politik, kita
tidak perlu mencampurinya. Apabila pasukan Manchuria menyerbu Tionggoan,
barulan kita menahan pasukan Manchuria itu."
"Ya, Pangcu." Cian
Chiu Lo Kay mengangguk.
"Bun Yang, kenapa engkau
diam saja?" tanya Lim Peng Hang.
"Kakek, aku...." Tio Bun Yang menggelenggelengkan
kepala.
"Memikirkan Goat
Nio?"
"Ya."
"Bun Yang...." Lim
Peng Hang menatapnya.
"Bukankah
engkau bermaksud pergi
menolong Goat Nio?"
"Memang." Tio Bun
Yang mengangguk. "Tapi... aku khawatir Kakek tidak memperbolehkan aku
pergi."
"Kakek memperbolehkan
engkau pergi, namun engkau harus berhati-hati!" pesan Lim Peng Hang dan
berkata. "Kakek pun tahu, engkau pasti sudah tahu markas Kui Bin Pang itu
berada dimana. ya, kan?"
"Kok Kakek bisa menduga
begitu?" Tio Bun Yang heran.
"Engkau bersama Yo Kiam
Heng dan Kwan Tiat Him, mungkinkah engkau tidak bertanya kepada mereka?"
sahut Lim Peng Hang sambil tersenyum.
"Kakek...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
"Memang tidak bisa
mengelabui mata Kakek."
"Engkau harus ingat,
berhasil atau tidak menolong Goat Nio, engkau harus kembali ke sini!"
pesan Lim Peng Hang. "Agar engkau tidak terus melamun, engkau boleh
berangkat sekarang."
"Terimakasih,
Kakek!" ucap Tio Bun Yang. "Terimakasih!"
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menatapnya seraya bertanya. "Markas Kui Bin Pang itu berada di
mana?"
"Di Gunung Mo Kui
San!"
"Gunung Mo Kui San?"
Cian Chiu Lo Kay tampak terkejut. "Gunung itu merupakan tempat bermukimnya
setan iblis, maka dinamai Gunung Setan Iblis."
"Lo Kay!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Itu cuma tahyul. Oh ya, Lo Kay pernah ke gunung
itu?"
"Tidak pernah." Cian
Chiu Lo Kay menggelengkan kepala. "Tapi gunung itu sulit sekali didaki,
karena banyak batu curam dan pasir hidup."
"Pasir hidup?" Tio
Bun Yang tidak mengerti. "Apa itu pasir hidup?"
"Siapa yang menginjak
pasir itu, jangan harap bisa keluar lagi." Cian Chiu Lo Kay menjelaskan.
"Sebab pasir itu dapat menyedot makhluk apa pun, karena itu, janganlah
menginjaknya."
"Ya!" Tio Bun Yang
mengangguk.
"Bun Yang!" pesan
Gouw Han Tiong. "Yang penting engkau harus berhati-hati, jangan bertindak ceroboh!"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk lagi. lalu berpamit. "Kakek, Kakek Gouw, aku mohon diri untuk
berangkat ke Gunung Mo Kui San!"
"Baiklah." Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Engkau berhasil atau tidak menolong Goat Nio,
haruslah kembali ke sini!"
"Ya. Kakek," ujar
Tio Bun Yang "Aku akan kembali ke sini."
"Bun Yang," ucap
Gouw Han Tiong. "Mudah mudahan engkau berhasil menolong Goat Nio!"
"Terimakasih, Kakek
Gouw!" Tio Bun Yang manggut-manggut kemudian melangkah pergi.
Setelah meninggalkan markas pusat
Kay Pang, Tio Bun Yang langsung menuju arah Gunung Mo Kui San. sesuai dengan
petunjuk Kwan Tiat Him. Beberapa hari kemudian, ia telah memasuki sebuah desa
kecil. Kebetulan ia melihat seorang tua dan segera menghampirinya.
"Paman tua, bolehkah aku
bertanya?"
"Anak muda!" Orang
tua itu menatapnya. "Engkau ingin bertanya apa?"
"Di mana letak Gunung Mo
Kui San?"
"Gunung Mo Kui San?"
Orang tua itu tampak terkejut sekali. "Anak muda, engkau mau ke gunung
itu?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Anak muda!" Orang
tua itu menggeleng-gelengkan kepala. "Lebih baik engkau jangan ke
sana?"
"Kenapa?"
"Di sana banyak setan dan
iblis." Orang tua itu memberitahukan. "Maka sering terdengar suara
siulan yang sangat menyeramkan."
"Paman tua!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Aku ke sana justru ingin membasmi setan iblis itu."
"Oh?" Orang tua itu
memandangnya dengan mata terbelalak. "Anak muda, engkau jangan
bergurau!"
"Aku tidak bergurau.
Paman tua," sahut Tio Bun Yang. Mendadak badannya bergerak menggunakan Kiu
Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat), dan seketika ia menghilang dari
hadapan orang tua itu.
"Haaah?" Mulut orang
tua itu ternganga lebar sambil menengok ke sana ke mari. "Anak muda,
engkau berada di mana?"
"Paman tua, aku berada di
sini," sahut Tio Bun Yang, yang tahu-tahu sudah berdiri di hadapan orang
tua itu.
"Eeeeh?" Orang tua
itu tertegun. "Engkau... engkau bisa menghilang?"
"Kalau tidak, bagaimana
mungkin aku bisa membasmi setan iblis?" sahut Tio Bun Yang sambil tertawa.
"Sudah percaya. Paman tua?"
"Engkau..." orang
tua itu terbelalak. "Apakahl engkau jelmaan Dewa?"
"Kira-kira
begitulah." Tio Bun Yang terpaksa' berdusta, agar orang tua itu
memberitahukannya letak Gunung Mo Kui San.
"Haaah...?" Orang
tua itu langsung menjatuh kan diri berlutut di hadapan Tio Bun Yang.
"Maaf! Maaf, aku tidak tahu kehadiran Dewa."
"Di mana letak Gunung Mo
Kui San?"
"Sudah tampak dari
sini." Orang tua itu memberitahukan sambil menunjuk ke arah timur.
"Gunung Mo Kui San itu kadang-kadang tidak tampak karena tertutup awan,
bentuknya sangat menyeramkan."
"Terimakasih, Paman
tua!" ucap Tio Bun Yang sambil melesat pergi.
"Dewa...!" panggil
orang tua itu. Karena tiada sahutan maka orang tua itu segera mendongakkan
kepalanya. Namun ia tidak melihat Bun Yang. Cepat-cepat ia bangkit berdiri
sambil menengok ke sana ke mari sekaligus bergumam. "Dewa itu bisa
menghilang. Tapi... kalau dia jelmaan Dewa, kenapa tidak tahu letak Gunung Mo
Kui San? Mungkinkah dewa itu baru turun dari kahyangan, maka tidak tahu jalan?"
Orang tua itu
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian berjalan pergi dan bergumam lagi.
"Bisa bertemu dewa,
pertanda aku sangat beruntung. Tapi... buktinya aku hidup melarat.
Mudah-mudahan selelah bertemu dewa itu, hidupku bisa berubah beruntung!"
Plak! Mendadak sebuah
bungkusan jatuh di hadapan orang tua itu.
"Hah?" Orang tua itu
terkejut bukan main. Kemudian dipandangnya bungkusan itu dengan kening
berkerut-kerut. "Bungkusan apa itu?"
"Aku dewa memberikan
kepadamu, Paman tua." Terdengar suara sahutan, ternyata Tio Bun Yang yang
menyahut, ia belum pergi jauh karena ingin melihat bagaimana sikap orang tua
itu, justru malah mendengar gumaman orang tua itu, maka ia melempar sebungkus
uang perak ke hadapannya.
"Terimakasih, dewa!
Terimakasih!" Orang tua itu langsung menyembah. Setelah itu barulah ia
memungut bungkusan tersebut. "Haaah? Betul-betul uang perak! Cukup untuk
membeli sawah! Terimakasih, dewa!"
Tiba-tiba orang tua itu
mengerutkan kening, kemudian menggaruk-garuk kepala sambil bergumam.
"Heran! Kenapa dewa itu
memanggil aku paman tua? Jangan-jangan dia dewa kecil, maka memanggilku dewa
tua! Ha ha ha...!" Orang tua itu tertawa gembira sambil berjalan pergi.
-oo0dw0oo-
Sementara Tio Bun Yang sudah
hampir tiba di Gunung Mo Kui San. Gunung tersebut menjulang tinggi, bentuknya
memang sangat menyeramkan. Bagi yang tak bernyali, tentu tidak akan berani
mendekati gunung itu.
"Hik! Hik! Hik...!"
Mendadak terdengar suara tawa yang menyeramkan. "Hik! Hik! Hik!"
Tio Bun Yang mengerutkan
kening, kemudian menengok ke sana ke mari. Namun tidak melihat apa-apa, kecuali
ranting pohon bergoyang-goyang terhembus angin. Di saat itulah terdengar suara
tawa yang menyeramkan lagi.
"Hik! Hik! Hik...!"
Menyusul terdengar pula suara yang amat menyeramkan, "Aku ingin makan
daging manusia! Aku ingin makan daging manusiai"
"Setan iblis dari
mana?" bentak Tio Bun Yang. "Cepatlah keluar, jangan terus
bersembunyi!"
"Hik! Hik! Hik! Aku akan
menghisap darahmu! Aku akan menghisap darahmu!" Mendadak melayang turun
sosok bayangan.
Tanpa banyak bertanya lagi,
Tio Bun Yang langsung menyerangnya, sehingga membuat sosok bayangan itu
kelabakan. ' "Berhenti! Berhenti...!"
"Siapa engkau?"
bentak Tio Bun Yang. "Manusia atau setan iblis?"
"Aku manusia, bukan setan
iblis," sahut sosok bayangan itu. "Anak muda! Engkau sudah lupa
kepadaku ya?"
"Manusia...." Tio
Bun Yang menegasi sosok yang berdiri di
hadapannya, ternyata seorang
tua berkaki pincang. "Eh? Lo cianpwee...."
"Ha ha ha!" Orang
tua pincang itu tertawa gelak. Dia tidak lain adalah guru Sie Keng Hauw.
"Aku ingin menakutimu, malah hampir terkena pukulanmu!"
"Lo cianpwee...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala.
"Sungguh kebetulan kita
bertemu di sini!" ujar orang tua pincang dan bertanya. "Bagaimana
muridku itu, dia baik-baik saja?"
"Dia baik-baik
saja." Tio Bun Yang memberitahukan. "Kini dia berada di Pulau Hong
Hoang To."
"Syukurlah!" ucap
orang tua pincang sambil tersenyum. "Oh ya, engkau mau ke mana?"
"Mau ke Gunung Mo Kui
San."
"Maksudmu ke markas Kui
Bin Pang?"
"Ya."
"Percuma engkau ke
sana."
"Kenapa?"
"Aku justru dari
sana." Orang tua pincang memberitahukan. "Markas Kui Bin Pang itu
telah kosong. Untung aku tahu tentang jebakan! Kalau tidak, aku sudah jadi
mayat di sana."
"Apa?" Wajah Tio Bun
Yang berubah pucat pias. "Markas Kui Bin Pang itu telah kosong?"
"Benar." Orang tua
pincang mengangguk.
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang.
"Anak muda!" Orang
tua pincang itu terbelalak. "Kenapa engkau menghela nafas panjang?"
"Goat Nio dikurung di
markas Kui Bin Pang itu. entah bagaimana nasibnya?" sahut Tio Bun Yang.
"Aku harus ke sana."
"Tunggu!" cegah
orang tua pincang.
"Ada apa?" Tio Bun
Yang mengerutkan kening.
"Goat Nio adalah
kekasihmu kan?" Orang tua' pincang menatapnya.
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Gadis itu telah dibawa
pergi tidak ada di markas itu." Orang tua pincang memberitahukan.
"Siapa yang membawanya
pergi?" tanya Tio Bun Yang cemas.
"Ketua Kui Bin
Pang," jawab orang tua pincang. "Ketua Kui Bin Pang dan lainnya telah
pergi semua."
"Mereka pergi ke
mana?"
"Ke Gurun Sih Ih."
"Ke Gurun Sih Ih?"
Tio Bun Yang tertegun. "Mau apa mereka pergi ke sana?"
"Di Gurun Sih Ih terdapat
sebuah tempat misteri." Orang tua pincang memberitahukan. "Markas Kui
Bin Pang lama berada di tempat misteri itu."
"Kalau begitu, mereka ke
markas itu. Ya, kan?" tanya Tio Bun Yang.
"Betul." Orang tua
pincang manggut-manggut.
"Lo cianpwee tahu tempat
itu?" tanya Tio Bun Yang penuh harap.
"Aku pernah dengar
mengenai tempat itu, tapi...." Orang
tua pincang
menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak tahu jelas berada di mana tempat
misteri itu. Kalau tidak salah berada di tengah-tengah Gurun Sih Ih!"
"Di tengah-tengah Gurun
Sih Ih?"
"Kalau tidak salah. Akan
tetapi, tempat itu bisa hilang mendadak."
"Hilang mendadak?"
Tio Bun Yang tertegun. "Kok bisa hilang mendadak? Bolehkah lo cian-: pwee
menjelaskannya?"
"Itu memang merupakan
tempat misteri. Kalau kita berada di Gurun Sih Ih, kita akan melihat tempat
itu." Orang tua pincang menjelaskan. "Namun begitu kita dekati tempat
itu akan hilang mendadak pula."
"Kok bisa begitu?"
Tio Bun Yang heran.
"Entahlah." Orang
tua pincang menggeleng-gelengkan kepala. "Maka sulit sekali untuk mencapai
tempat itu.
"Lo cianpwee pernah ke
sana?"
"Tidak pernah."
"Kalau begitu...." Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Bagaimana mungkin ketua
Kui Bin Pang mencapai tempat tersebut?"
"Dia dan lainnya pasti
bisa mencapai tempat itu." sahut orang tua pincang memberitahukan.
"Ketua Kui Bin Pang itu pasti memperoleh peta peninggalan Pek Kut Lojin,
maka dia dan lainnya bisa mencapai tempat itu."
"Aaaah...!" keluh
Tio Bun Yang. "Aku harus bagaimana?"
"Anak muda," pesan
orang tua pincang. "Lebih baik engkau jangan ke sana, sebab sangat
membahayakan dirimu!"
"Akan kupikirkan,"
sahut Tio Bun Yang. "Sekarang aku harus ke markas Kui Bin Pang di Gunung
Mo Kui San!"
"Percuma engkau ke sana,
markas Kui Bin Pang itu sudah musnah!"
"Sudah musnah?"
"Ya. Telah kumusnahkan
dengan bahan peledak, dan kini tinggal puing-puingnya saja." "Oh!
Kalau begitu..."
"Anak muda," usul
orang tua pincang. "Lebih baik engkau kembali ke markas pusat Kay Pang,
berunding dengan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong!"
"Ya, lo cianpwee."
Tio Bun Yang mengangguk.
"Anak muda," ujar
orang tua pincang menghiburnya. "Jangan cepat putus asa, percayalah!
Engkau pasti akan berkumpul kembali dengan kekasihmu itu."
"Terimakasih. lo
cianpwee!"
"Anak muda, sampai
jumpa..." ucap orang tua pincang, sekaligus melesat pergi.
Tio Bun Yang berdiri
termangu-mangu di tempat. Beberapa saat kemudian barulah ia melesat pergi
dengan tujuan kembali ke markas pusat Kay Pang.
-oo0dw0oo-
Tio Bun Yang tiba di markas
pusat Kay Pang dengan wajah murung. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong cuma
memandangnya tanpa bertanya apa pun.
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang sambil duduk.
Setelah Tio Bun Yang duduk,
barulah Lim Peng Hang bertanya kepadanya.
"Bagaimana? Kau tidak
berhasil mencari Goat Nio?"
"Yaaah...!" Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Ketika hampir sampai di Gunung Mo Kui
San, aku bertemu orang tua pincang."
"Orang tua pincang?"
Lim Peng Hang mengerutkan kening. "Siapa dia?"
"Dia adalah guru Sie Keng
Hauw. Putra tetua lama Kui Bin Pang," ujar Tio Bun Yang memberitahukan.
"Aku sudah memberitahukan kepada Kakek, Kakek sudah lupa'"
Lim Peng Hang manggut-manggut
"Lalu bagaimana?"
"Orang tua pincang itu
memberitahukan kepadaku, bahwa markas Kui Bin Pang yang di Gunung Mo Kui San
itu telah kosong."
"Apa?" Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong tertegun. "Markas Kui Bin Pang itu telah kosong?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Orang tua pincang itu justru dari markas itu, ternyata ketua
Kui Bin Pang telah membawa pergi Goat Nio."
"Oh?" Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong saling memandang, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Orang tua pincang itu
pun telah memusnahkan markas Kui Bin Pang itu." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Dengan cara meledakkannya."
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menatapnya seraya bertanya, "Orang tua pincang itu memberitahukan
kepadamu, ke mana ketua Kui Bin Pang dan lainnya?"
"Mereka semua ke Gurun
Sih Ih."
"Apa?" Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong terbelalak. "Ke Gurun Sih Ih?"
"Ya."
"Kui Bin Pang memang
berasal dari Gurun Sih Ih." ujar Lim Peng Hang dan menambahkan.
"Berarti mereka ke markas Kui Bin Pang lama yang di Gurun Sih Ih."
"Kakek tahu di Gurun Sih
Ih itu terdapat sebuah tempat misteri?" tanya Tio Bun Yang.
"Pernah dengar tapi tidak
tahu jelas tentang tempat misteri itu," sahut Lim Peng Hang sambil
menggelengkan kepala.
"Aku pun pernah dengar,
tapi tidak pernah ke tempat misteri itu," ujar Gouw Han Tiong.
"Ayahku yang memberitahukan kepadaku, namun sayang sekali ayahku sudah
tiada."
"Tui Hun Lojin tahu jelas
mengenai tempat misteri di Gurun Sih Ih itu?" tanya Lim Peng Hang.
"Entahlah." Gouw Han
Tiong menggelengkan kepala. "Tapi ayahku pernah ke Gurun Sih Ih."
"Sayang sekali...."
Lim Peng Hang menghela nafas panjang.
"Ayahmu sudah
tiada!"j
"Oh ya!" Gouw Han
Tiong teringat sesuatu. "Mungkin Cian Chiu Lo Kay tahu mengenai tempat misteri
itu."
"Mungkin." Lim Peng
Hang manggut-manggut lalu bertepuk tangan. Tak lama muncullah seorang pengemis.
"Pangcu
memanggilku?" tanya pengemis itu sambil memberi hormat.
"Cepat panggil Cian Chiu
Lo Kay ke mari!" sahut Lim Peng Hang.
"Ya, Pangcu."
Pengemis itu segera ke depan.
Berselang sesaat muncullah
Cian Chiu Lo Kay, yang kemudian memberi hormat seraya bertanya.
"Ada urusan apa Pangcu
memanggilku?" "Duduklah Lo Kay!" sahut Lim Peng Hang.
Setelah Cian Chiu Lo Kay
duduk, barulah Lim Peng Hang bertanya.
"Engkau tahu tentang
suatu tempat misteri di Gurun Sih Ih?"
"Pernah dengar,"
jawab Cian Chiu Lo Kay tercengang. "Kenapa Pangcu menanyakan tentang
tempat misteri itu?"
"Sebab perkumpulan Kui
Bin Pang telah ke tempat misteri itu." Lim Peng Hang memberitahukan.
"Bahkan ketua Kui Bin Pang itu pun membawa Goat Nio ke sana."
"Oh?" Air muka Cian
Chiu Lo Kay tampak berubah. "Kalau begitu, sulitlah mencarinya."
"Maksudmu?" tanya
Lim Peng Hang.
"Aku dengar, siapa pun
tidak akan bisa mencapai tempat misteri itu," jawab Cian Chiu Lo Kay
memberitahukan. "Sebab tempat misteri itu sepertinya cuma merupakah
halusinasi saja, tidak nyata sama sekali, dapat dilihat tapi tak bisa dicapai
bahkan bisa menghilang kalau didekati."
"Oh?" Lim Peng Hang terbelalak.
"Itu tidak mungkin,"
ujar Tio Bun Yang. "Hanya omong kosong!"
"Bukan omong
kosong." Cian Chiu Lo Kay memberitahukan dengan wajah serius.
"Belasan tahun lalu, ada beberapa pendekar mencoba ke tempat misteri itu,
namun mereka tidak pernah kembali."
"Kalau begitu...." Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Bagaimana mungkin ketua
Kui Bin Pang dan para anak buahnya mencapai tempat misteri itu?"
"Iya." Cian Chiu Lo
Kay manggut-manggut. "Berarti ada suatu jalan menuju tempat misteri
tersebut."
"Tidak salah," ujar
Gouw Han Tiong. "Sebab markas Kui Bin Pang lama berada di tempat misteri
itu, hanya saja kita tidak tahu bagaimana cara menuju tempat misteri itu."
"Bun Yang!" Cian
Chiu Lo Kay memandangnya. "Engkau bermaksud ke Gurun Sih Ih mencari tempat
misteri itu?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Kalau begitu, tinggallah
engkau di sini beberapa hari!" ujar Cian Chiu Lo Kay. "Aku akan pergi
menemui beberapa kawan karib untuk menanyakan tentang tempat misteri di Gurun
Sih Ih itu."
"Terimakasih, Lo Kay!"
ucap Tio Bun Yang. Karena itu ia tinggal di markas pusat Kay Pang beberapa hari
untuk menunggu informasi tersebut.
-oo0dw0oo-
Bagian ke enam puluh satu
Berangkat ke Gurun Sih Ih
Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat
Lan dan Bok yong Sian Hoa yang kembali ke Tayli, kini sudah tiba di kerajaan
kecil itu. Tentunya sangat menggembirakan Toan Hong Ya dan kedua orang tua
mereka. .
"Ayah! Ibu!" panggil
Lam Kiong Soat Lan dengan air mata berderai-derai, itu sungguh me- f ngcjutkan
kedua orang tuanya.
"Nak!" Toan Pit Lian
langsung merangkulnya. "Kenapa engkau menangis? Beritahukanlah kepada ibu,
siapa yang telah menghinamu?"
"Ibu...." Lam Kiong
Soat Lan terisak-isak. Ternyata gadis itu
selalu memikirkan Yo Kiam Heng
yang telah mencuri hatinya.
"Nak!" Lam Kiong Bic
Liong membelainya. "Kenapa engkau? Beritahukanlah kepada ayah!"
Menyaksikan itu, Toan Wie Kie
dan Gouw Sian Eng pun tertegun. Perlahan-lahan Toan Wie Kie mendekati putranya,
falu bertanya dengan suara rendah.
"Beng Kiat. apa yang
terjadi atas diri Soat Lan?"
"Tidak terjadi
apa-apa." Toan Beng Kiat tersenyum dan berbisik. "Dia mulai jatuh
cinta...."
"Oooh-'" Toan Wie
Kie manggut-manggut. "Dia sangat kesal karena engkau memaksanya pulang.
Ya, kan?"
"Tidak, Ayah." Toan
Beng Kiat menggelengkan kepala.
"Kalau tidak, lalu
kenapa?" tanya Toan Wie Kie heran.
"Ayah...." Toan Beng
Kiat menghela nafas. "Panjang sekali
kalau dituturkan, maka lebih
baik kita ke ruang tengah saja."
"Baik." Toan Wie Kie
mengangguk. "Mari kita ke ruang tengah!"
Mereka semua ke ruang tengah.
Setelah duduk Toan Wie Kie berkata kepada putranya.
"Beng Kiat, tuturkanlah
apa yang telah terjadi!"
"Setelah kami memasuki
daerah Tionggoan, mendadak muncul lima orang berpakaian serba putih dan memakai
kedok setan. Ternyata mereka adalah Ngo Sat Kui dari perkumpulan Kui Bin
Pang."
"'Haaah?" Bukan main
terkejutnya Toan Wie Kie. "Lalu bagaimana?"
"Mereka mengundang kami
ke markas dengan alasan bahwa ketua Kay Pang dan lainnya sudah berada di sana.
Oleh karena itu, kami bertiga pun memenuhi undangan itu." Toan Beng Kiat
memberitahukan. "Begitu sampai di markas Kui Bin Pang, kami
dikurung...."
"Oh?" Lam Kiong Bie
Liong mengerutkan kening. "Jadi Ngo Sat Kui menjebak kalian?"
"Ya." Toan Beng Kiat
mengangguk dan melanjutkan. "Ternyata Kakek Lim, Kakek Gouw, Kam Hay
Thian, Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling juga berada di dalam ruang balu itu."
"Goat Nio pun berada di
situ," sela Lam Kiong Soat Lan dan menambahkan, "Tapi kemudian dia
dipindahkan ke ruang lain!"
"Oh?" kening Lam
Kiong Bie Liong berkerut-kerut. "Setelah itu bagaimana?"
-oo0dw0oo-
Jilid : 13
"Kami dicekoki semacam
obat, setelah itu kami mulai kehilangan kesadaran." Toan Beng Kiat
memberitahukan. "Apa yang terjadi selanjutnya, kami sama sekali tidak
mengetahuinya."
"Aku tahu," sela Lam
Kiong Soat Lan.
"Apa?" Toan Beng Kiat terbelalak.
"Engkau tahu?"
"Ya." Lam Kiong Soat
Lan mengangguk. "Pada waktu itu, orang yang memakai kedok setan warna
kuning tidak mencekoki aku dengan obat penghilang kesadaran melainkan dengan obat
biasa. Dia pun memberitahukan namanya, sekaligus menyuruhku harus pura-pura
seperti kehilangan kesadaran...."
"Dia adalah Yo Kiam Heng
kan?" tanya Toan Beng Kiat sambil tersenyum.
"Ng!" Lam Kiong Soat
Lan mengangguk dengan wajah agak kemerah-merahan. "Memang dia."
"Oh ya!" Toan Beng
Kiat memandangnya. "Engkau tidak terpengaruh oleh ilmu sesat itu?"
"Juga terpengaruh, namun
ketika sampai di Pulau Hong Hoang To, aku sudah tersadar." Lam Kiong Soat
Lan memberitahukan.
"Apa?" Toan Wie Kie
terbelalak. "Kalian ke Pulau Hong Hoang To?"
"Itu atas saran Yo Kiam
Heng kepada ketua Kui Bin Pang," sahut Lam Kiong Soat. "Dia dan
temannya memimpin kami serta dua puluh anggota Kui Bin Pang pergi menyerbu
Pulau Hong Hoang To."
"Oooh!" Lam Kiong
Bie Liong manggut-manggut. "Sungguh pintar Yo Kiam Heng itu!"
"Bagaimana hasil
penyerbuan itu?" tanya Toan Wie Kie.
"Begitu sampai di Pulau
Hong Hoang To, Yo Kiam Heng langsung memerintahkan kami membunuh para anggota
itu. Kebetulan aku tersadar dari pengaruh ilmu sesat itu, maka langsung saja
aku berseru agar pihak Pulau Hong Hoang To membunuh para anggota itu."
"Oooh!" Toan Wie Kie
manggut-manggut sambil tersenyum. "Para anggota itu pasti mati semua. Ya,
kan?"
"Ya." Lam Kiong Soat
Lan mengangguk dan melanjutkan. "Di saat itu, barulah Paman Cie Hiong tahu
mereka terpengaruh oleh ilmu sesat."
"Ilmu sesat apa
itu?" tanya Lam Kiong Bie l umg.
"Toh Hun Tay Hoat (Ilmu
Sesat Pembetot Sukma)." Lam Kiong Soat Lan memberitahukan. Siapa yang
terpengaruh oleh ilmu sesat itu, pasti akan menuruti perintah ketua Kui Bin
Pang."
"Kenapa mereka menuruti
juga perintah Yo Kiam Heng?" tanya Toan Wie Kie tidak mengerti.
"Ketua Kui Bin Pang
menggunakan suatu cara agar mereka menuruti perintah Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat
Him," jawab Lam Kiong Soat Lan.
"Siapa Kwan Tiat Him
itu?" tanya Lam Kiong bu' Liong.
"Teman Yo Kiam Heng atau
termasuk salah satu pelindung perkumpulan Kui Bin Pang," jawab Toan Beng
Kiat. "Secara tidak langsung mereka malah menyelamatkan kami."
"Bagaimana setelah itu?"
tanya Lam Kiong Bie Liong.
"Setelah itu..."
jawab Lam Kiong Soat Lan melanjutkan. "Paman Cie Hiong mulai menyadarkan
mereka dengan suara siulan. Di saat itu terdengar pula suara suling mengiringi
suara siulan itu, dan tak lama muncullah Tio Bun Yang."
"Mereka berdua berhasil
menyadarkan Kakek Lim dan lainnya?" tanya Lam Kiong Bie Liong.
"Berhasil! Tapi...."
"Kenapa?"
"Ternyata Kakek Lim dan
lainnya belum sadar betul, sebab mereka masih terpengaruh oleh obat penghilang
kesadaran."
"Lalu bagaimana?"
"Paman Cie Hiong
memeriksa mereka." La Kiong Soat Lan memberitahukan. "Harus dengan
rumput Tanduk Naga, barulah mereka bisa pulih”
"Oh?" Lam Kiong Bie
Liong mengerutkan kening. "Apakah Cie Hiong memiliki rumput obat
itu?"
"Tidak, tapi Kakak Bun
Yang membawa rumput Tanduk Naga itu," jawab Lam Kiong So Lan. "Itu
memang kebetulan sekali. Rumput obat itu digodok lalu diberikan kepada kakek
Lim dan lainnya, tak seberapa lama kemudian, pulihlah mereka seperti sedia
kala."
"Oooh!" Lam Kiong
Bie Liong menghela nafas panjang.
"Paman Cie Hiong menyuruh
kami segera pulang." Toan Beng Kiat memberitahukan. "Sedangkan Sie
Keng Hauw, Lie Ai Ling dan Kai Hay Thian dan Lu Hui San tetap tinggal di Pulau
Hong Hoang To!"
"Ngmm!" Toan Wie Kie
manggut-manggu "Itu demi keamanan kalian semua. Oh ya, bagaimana dengan Yo
Kiam Heng dan Kwan Tiat Him?"
"Mereka berdua kembali ke
markas Kui Bi Pang. Tujuan mereka untuk menolong Goat Nio ” jawab Lam Kiong
Soat Lan dengan wajah muram.
"Itu..." kening Toan
Wie Kie berkerut-kerut. ”Bukankah ketua Kui Bin Pang akan mencurigai
mereka?"
"Sebelum kembali ke
markas Kui Bin Pang,terlebih dahulu Paman Cie Hiong melukai mereka..."
ujar Lam Kiong Soat Lan, yang air matanya mulai meleleh lagi. "Luka Yo
Kiam Heng parah sekali."
"Memang harus
begitu," sahut Toan Wie Kie. Kalau tidak, ketua Kui Bin Pang pasti
mencurigai mereka."
"Paman Cie Hong pun
memberi mereka obat." Dan Beng Kiat memberitahukan, kemudian melambaikan
sambil tersenyum. "Malam itu.... Soat Loan berduaan dengan Yo Kiam
Heng."
"Eeeh?" Wajah Lam
Kiong Soat Lan langsung ?merah.
"Beng Kiat!" tanya
Toan Pit Lian penuh perhatian. "Yo Kiam Heng masih muda?"
"Masih muda dan
tampan," jawab Toan Beng kiat memberitahukan. "Dia dan Soat Lan sudah
saling jatuh hati."
"Oh?" Toan Pit Lian
tersenyum sambil bertanya pada putrinya, "Soat Lan, betulkah engkau jatuh
hati kepada pemuda itu?"
"Beng Kiat omong
kosong," sahut Lam Kiong Soat Lan cemberut. "Dia omong
sembarangan."
"Baik." Toan Beng
Kiat manggut-manggut.
"Kalau aku bertemu Yo
Kiam Heng, aku akan memberitahukannya mengenai ucapanmu ini."
"Hah?" Lam Kiong
Soan Lan terkejut buka main. "Jangan diberitahukan, aku... aku cuma..”
"Cuma apa?" Toan
Beng Kiat menatapnya sambil tersenyum.
"Soat Lan," sela
Bokyong Sian Hoa yang diam dari tadi. "Lebih baik engkau mengaku, bahwa
engkau telah jatuh hati kepada Yo Kiam Heng Kalau tidak, aku pun akan mengadu
kepadanya mengenai ucapanmu barusan."
"Sian Hoa!" Lam
Kiong Soat Lan melotot "Engkau kok begitu jahat sih?"
"Makanya engkau harus
mengaku!" sahi Bokyong Sian Hoa sambil tertawa geli. "Hi hi hi Ayoh,
cepatlah mengaku!"
"Aku...." Lam Kiong
Soat Lan menundukkan kepala. "Aku
dan dia memang sudah saling,
saling...."
"Saling apa?
Lanjutkanlah!" desak Bokyong Sian Hoa.
"Saling jatuh hati,"
sahut Lam Kiong Soat Lan dengan suara rendah.
"Bagus! Hi hi hi!"
Bokyong Sian Hoa tertail geli lagi. "Malam itu kalian berdua saling
mencurahkan perasaan masing-masing, kan?"