“Betul!” Tok Chiu Ong
mengangguk.
“Kalau begitu, kita harus ajak
Hiat Ih Hwe bekerjasama,” ujar Seng Hwee Sin Kun dan menambahkan. “Sebab
keuangan kita terbatas. Apabila bekerjasama dengan pihak Hiat Ih Hwe, berarti
Lu may Kam akan membantu kita dalam hal keuangan, sementara kita akan
membantunya membunuh para menteri dan jenderal yang berani menentangnya.”
“Betul!” Leng Bin Hoatsu
manggut-manggut. “Kita harus cari kesempatan untuk mengadakan hubungan dengan
pihak Hiat Ih Hwe.”
“Baik!” Seng Hwee Sin Kun
manggut-manggut. “Tugas ini kuserahkan padamu!”
“Ya, Kauwcu!” Leng Bin Hoatsu
mengangguk. “Aku akan mengatur semua itu.”
“Hmm!” Mendadak Seng Hwee Sin
Kun mendengus dingin. “Bu Lim Sam Mo tidak berhasil membunuh Tio Cie Hiong,
namun aku harus berhasil membunuhnya. Bahkan juga harus membunuh orang-orang
yang punya hubungan dengan dia! Ha ha ha...!”
-oo0dw0oo-
Bagian 24 Rimba Persilatan
mulai dilanda banjir darah
Betapa gusarnya Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong ketika menerima laporan, bahwa banyak anggota Kay Pang
dibunuh oleh Seng Hwee Kauw.
Karena itu, mereka segera memanggil keempat pelindung untuk berunding.
“Kini Seng Hwee Kauw telah
mulai membunuh para anggota kita, bagaimana menurut kalian?” tanya Lim Peng
Hang.
"Kita harus melawan!”
usul salah seorang pelindung.
“Sudah berapa banyak anggota
kita yang jadi korban?” tanya Gouw Han Tiong.
“Sudah puluhan,” jawab
pelindung itu dan memberitahukan. “Tapi pihak Seng Hwee Kauw juga banyak yang
mati.
“Kalau begitu, perintahkan
pada pemimpin cabang! Mereka harus berhati-hati menghadapi Seng Hwee Kauw,
kalau tidak kuat melawan, harus segera ke mari!” ujar Lim Peng Hang.
“Ya, Pangcu!”
Mendadak Gouw Han Tiong
menghela nafas panjang. “Kini aku mulai mencemaskan Beng Kiat dan Soat Lan.
“Kalau begitu, kita harus
mengutus beberapa anggota kita pergi cari mereka,” ujar Lim Peng Hang. “Aku pun
khawatir, tentunya pihak Seng Hwee Kauw juga akan turun tangan terhadap mereka.
Walau kepandalan mereka sangat tinggi, namun belum berpengalaman.”
Gouw Han Tiong menghela nafas
panjang lagi, disaat bersamaan muncul seorang pengemis tua dan melapor.
“Pangcu! Ketua Siauw Lim dan Butong berkunjung ke mari.”
“Cepat persilakan mereka
masuk!” pinta Lim Peng Hang.
Pengemis tua itu segera pergi.
Tak lama muncullah Hui Khong Taysu dan It Hian Tojin dengan wajah muram.
“Selamat datang!” ucap Lim
Peng Hang dan Gouw Han Tiong, mereka bangkit berdiri sambil memberi hormat.
“Omitohud!” sahut Hui Khong
Taysu. “Maaf, kedatangan kami telah mengganggu Lim Pangcu dan Gouw Hu Pangcu!”
“Tidak apa-apa. Silakan
duduk!” ujar Lim Peng Hang.
Hui Khong Taysu dan It Hian
Tojin duduk, kemudian ketua Siauw Lim Pay berkata. “Omitohud! Rimba persilatan
mulai dilanda banjir darah...."
“Taysu sudah tahu tentang
itu?" tanya Lim Peng Hang.
“Justru karena itu, kami ke
mari untuk berunding dengan Lim Pangcu dan Gouw Hu Pangcu. Omitohud!”
“Bagaimana keadaan partai
kalian?” tanya Gouw Han Tiong.
“Omitohud!” jawab Hui Khong
Taysu. “Sudah banyak murid kami yang mati, begitu pula para murid Butong!”
“Para anggota kami pun sudah
banyak yang jadi korban.” Lim Peng Hang memberitahukan sambil menghela nafas
panjang.
“Omitohud....” Hui Khong Taysu menggeleng-geleng
kepala. “Kita semua mengira
rimba persilatan akan aman dan tenang setelah Bu Lim Sam Mo mati. Namun
nyatanya, kini malah muncul Seng Hwe Kauw dan Hiat Ih Hwe.”
“Hanya Tiong Ngie Pay yang
berdiri di atas keadilan,” ujar It Hian Tojin.
“Sebab ketua Tiong Ngie Pay
adalah Yo Suan Hiang? Lim Peng Hang menimpali.
“Pantas!” It Hian Tojin manggut-manggut
dan melanjutkan. “Tapi kini Tiong Ngie Pay juga dalam bahaya, karena Seng Hwee
Kauw pasti akan membunuh para anggota Tiong Ngie Pay?"
“Omitohud!” ucap Hui Khong
Taysu. “Kalau begitu, kemungkinan tujuh partai besar dan Kay Pang harus bergabung
lagi untuk melawan Seng Hwee Kauw.”
“Ngmmm!” Lim Peng Hang
manggut-manggut.
“Lim Pangcu,” ujar It Hian
Tojin mengusulkan. “Tentang kejadian itu, bukankah lebih baik diberitahukan
pada pihak Hong Hoang To’?”
“Aku justru sedang
memikirkannya. Kini... putra Toan Wie Kie dan putri Lam Kiong Soat Lan sudah
berada di Tionggoan? Lim Peng Hang memberitahukan. “Mereka sedang melakukan
penyelidikan terhadap Seng Hwee Kauw.”
“Apa?” Terbelalak mata It Hian
Tojin. “Kalau begitu, mereka berdua pasti dalam bahaya?"
“Karena itu, kami akan
menyuruh beberapa anggota Kay Pang pergi mencari mereka,” ujar Lim Peng Hang.
It Hian Tojin manggut-manggut.
“Lim Pangcu, kapan engkau akan berangkat ke pulau Hong Hoang To?”
“Belum pasti!” Lim Peng Hang
menggeleng kepala. “Setahuku, pihak Hong Hoang To sudah tidak mau mencampuri
urusan rimba persilatan.”
“Omitohud!” Hui Khong Taysu
menghela nafas. “Kini rimba persilatan dalam keadaan begitu gawàt, bagaimana
mungkin mereka diam saja?”
“Mungkin Taysu dan Tojin belum
tahu, dua tahun lalu Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin telah dibunuh orang.”
“Omitohud....” Bukan main
terkejutnya Hui Khong Taysu
dan It Hian Tojin. “Siapa yang
membunuh mereka?”
“Kemungkinan besar Seng Hwee
Kauw.” Lim Peng Hang memberitahukan. “Karena Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin
mati dengan badanm hangus.”
“Hangus?” It Hian Tojin
tersentak “Mereka dibakar?!’
“Bukan.” Lim Peng Hang
menggeleng kepala. “Terkena semacam pukulan yang mengandung api.”
“Omitohud...? Hui Khong Taysu
menghela nafas panjang. “Sungguh mengenaskan kematian mereka! Omitohud.”
“Kini muncul Seng Hwee Kauw,
maka kami menduga pembunuh mereka adalah ketua Seng Hwee Kauw itu,” ujar Gouw
Han Tiong dan menambahkan. “Karena itulah Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan
pergi menyelidiki Seng Hwee Kauw itu.”
“Aaaah!” It Hian Tojin
menghela nafas panjang. “Rimba persilatan tidak pernah aman dan tenang,
kelihatannya Tio Cie Hiong harus muncul lagi di rimba persilatan.”
“Dia dan anakku telah
bersumpah tidak akan mencampuri urusan rimba persilatan lagi!” tukas Lim Peng
Hang memberitahukan. “Tapi Bun Yang cucuku telah mengembara dalam rimba
persilatan.”
“Bagaimana kepandaiannya?”
tanya It Hian Tojin.
“Mungkin sudah menyamai
kepandaian ayahnya!” sahut Lim Peng Hang. “Menurut aku, kemungkinan besar dia
akan mewakili ayahnya untuk menyelamatkan rimba persitatan.”
“Omitohud!” ucap Hui Khong
Taysu. “Mudah-mudahan! Kalau tidak, kaum rimba persilatan golongan putih pasti
celaka semua.”
“Lalu apa langkah kita,
Taysu7’ tanya Lim Peng Hang.
“Omitohud! Alangkah baiknya
Lim Pangcu pergi ke pulau Hong Hoang To untuk memberitahukan tentang kejadian
ini. Mereka mau campur atau tidak, itu tergantung pada kebijaksanaan mereka.
Lagi pula Sam Gan Sin Kay harus mengetahui tentang kejadian ini!"
Lim Peng Hang mengangguk “Tapi
ayahku sudah tua, aku menghendakinya hidup tenang di pulau itu!”
“Tapi ada Tio Cie Hiong yang
masih muda. Seandainya dia tidak mau mencampuri urusan ini, kita tidak bisa
bilang apa-apa,” ujar It Hian Tojin. “Mungkin sudah menjadi nasib rimba
persilatan?"
“Belum tentu,” sela Gouw Han
Tiong. “Sebab anak Tio Cie Hiong juga berkepandaian tinggi, tentünya dia tidak
akan lepas tangan.”
“Kalau begitu, harus segera
cari anak Tio Cie Hiong itu,” usul It Hian Tojin.
“Aku yakin diapUn sudah tahu,
kemungkinan besar dia akan ke mari,” sahut Lim Peng Hang. “Dia pasti minta
petunjukku.”
“Aaaakh...!” keluh It Hian
Tojin. “Kita semua sudah tua, tapi kapan akan bisa hidup tenang?”
“Omitohud!” ucap Hui Khong
Taysu. “Mungkin sudah merupakan takdir”
-oo0dw0oo-
Sementara itu, Toan Beng Kiat,
Lam Kiong Soat Lan, Kam Hay Thian, Lu Hui San, Siang Koan Goat Nio, dan Lie Ai
Ling terus melanjutkan perjalanan menuju ke markas pusat Kay Pang.
Hari ini mereka beristirahat
di sebuah rimba. Siang Koan Goat Nio duduk seorang diri di bawah pohon. Tak
lama muncul Kam Hay Thian mendekatinya, lalu duduk di sisinya.
“Maaf, aku duduk di sini,”
ucap Kam Hay Thian.
“Tidak apa-apa,” sahut Siang
Koan Goat Nio sambil tersenyum. “Duduk saja!”
“Goat Nio!” Kam Hay Thian
memandangnya. “Sejak kita berkenalan, kenapa engkau tidak pernah bercakap-cakap
dengan aku?”
“Engkau harus tahu.” Siang
Koan Goat Nio tersenyum lagi. “Sifatku agak pendiam, jadi jarang bercakap-cakap
dengan siapa pun.”
“Aaah...” Kam Hay Thian
menghela nafas. “Mungkinkah karena menganggapku sangat sadis, maka tidak mau
bercakap-cakap dengàn aku?”
“Aku tidak beranggapan begitu
terhadapmu,” kilah Siang Koan Goat Nio. “Kita semua teman baik. Jadi, alangkah
baiknya jangan ada kesalah-pahaman diantara kita.”
“Goat Nio...” Kam Hay Thian
ingin mengatakan sesuatu, namun tersangkut di tenggorokan sehingga tak dapat
dikeluarkannya.
Sedangkan Siang Koan Goat Nio
terdiam. Kelihatannya gadis itu sudah tahu apa yang akan dikatàkan Kam Hay
Thian.
Sementara Lam Kiong Soat Lan
terus mencari Kam Hay Thian. Begitu pula Lu Hui San. Akhirnya mereka melihat
Kam Hay Thian duduk di sisi Siang Koan Goat Nio. Kedua gadis itu saling
memandang, wajahnya tampak muram. Lalu melangkah pergi. Kebetulan berpapasan
dengan Toan Beng Kiat, begitu melihat Lu Hui San, wajah pemuda itu langsung
berseri.
“Hui San...!”
“Beng Kiat!” Lu Hui San
berusaha senyum, sedangkan Lam Kiong Soat Lan terus berjalan pergi dengan
kepala tertuñduk.
“Eeeh?"gumam Toan Beng
Kiat. “Kenapa dia? Kok wajahnya tampak muram?”
“Dia melihat Kam Hay Thian
duduk di sisi Siang Koan Goat Nio,” ujar Lu Hui San memberitahukan.
“Apakah dia jatuh hati pada
Kam Hay Thian? tanya Toan Beng Kiat.
“Mungkin!” Lu Hui San
mengangguk dan menghela nafas panjang.
“Lho? Kenapa engkau2 Kok
mendadak menghela nafas panjang?”
“Aku khawatir...." cetus
Lu Hui San sambil duduk. “... akan
terjadi badái asmara di antara
kita.” “Badai asmara?”
“Ya!” Lu Hui San mengangguk.
“Lam Kiong Soat Lan jatuh hati pada Kam Hay Thian, sedangkan pemuda itu malah
jatuh hati pada Siang Koan Goat Nio.”
“Bagaimana tanggapan Goat
Nio?’” tanya Toan Beng Kiat cepat.
“Entahlah!” Lui Hui San
menggeleng kepala. “Goat Nio sama sekali tidak memperlihatkan tanggapan apapun,
tetap bersikap biasa dan tenang saja.”
“Aduuuh! Bagaimana itu?” Toan
Beng Kiat mengerutkan kening.
“Masih ada Lie Ai Ling, gadis
itu entah jatuh hati pada siapa?” tukas Lui Hui San. “Seandainya dia jatuh hati
padamu, itu tidak akan jadi masalah. Tapi kalau dia juga jatuh hati pada Kam
Hay Thian, bukankah akan menimbulkan masalah?”
“Tapi, aku tidak tertarik pada
Ai Ling!” sahut Toan Beng Kiat. “Aku... aku tertarik....”
“Aku tahu,” potong Lu Hui San
cepat. “Tapi aku belum memikirkan itu, engkau harus maklum.”
“Aku mengerti!” Toan Beng Kiat
tersenyum. “Yang penting engkau sudah tahu perasaanku.”
Gadis itu hanya tersenyum,
lalu menggeleng-gelengkan kepala. Sementara Lam Kiong Soat Lan terus berjalan
dengan kepala tertunduk, kemudian duduk di bawah sebuah pohon sambil melamun
dengan wajah muram sekali.
Di saat itulah muncul Lie Ai
Ling mendekatinya, kemudian memandangnya sambil duduk di sisinya.
"Soat Lan! Kenapa engkau
duduk melamun di sini?"
“Aku....” Lam Kiong Soat Lan agak tergagap ditanya
demikian, “Aku tidak melamun.”
“Tidak melamun? Lie Ai Ling
menggeleng-gelengkan kepala. “Jangan membohongiku, itu tidak baik lho!”
“Aku tidak membohongimu?
“Soat Lan, aku tahu?
“Tahu apa?”
“Engkau sangat tertarik kepada
Kam Hay Thian, namun pemuda itu tidak begitu menaruh perhatian kepadamu, bahkan
mendekati Siang Koan Goat Nio.”
“Ai Ling! Engkau....”
“Semua itu tidak terlepas dan
mataku,” Lie Ai Ling menghela nafas panjang dan melanjutkan. “Kelihatannya Lu
Hui San pun tertarik kepada Kam Hay Thian, itu cukup mencemaskanku?
“Ai Ling...." Lam Kiong
Soat Lan memandangnya.
“Kita semua adalah kawan baik
yang harus bersatu dan bahu-membahu. Jangan dikarenakan urusan ini kita menjadi
terpecah belah,” ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh.
"Aku tahu
itu...." Lam Kiong
Soat Lan tersenyum
"Kita
semua tidak akan terpecah
belah, percayalah!”
"Syukurlah kalau begitu!”
Lie Ai Ling manggut-manggut “Kita semua pun harus ingat akan satu hal."
"Hal apa?”
“Cinta tidak bisa dipaksa dan
tidak boleh sepihak, sebab itu akan menimbulkan penderitaan."
“Heran?” ujar Lain Kiong Soat
Lan seakan bergumam. "Engkau bersifat periang dan lincah, tapi Justru
berpikiran begitu jauh dan cermat”
“Kakak Bun Yang selalu
menasihatiku,” Lie Ai Ling memberitahukan sambil tersenyum “Aku sangat
menghormatinya, sebab dia adalah pemuda yang sangat baik.”
“Maksudmu anak Paman Cie
Hiong?”
“Betul” Lie Ai Ling mengangguk
dan menambahkan. “Terus terang, diã dan Siang Koan Goat Nio merupakan pasangan
yang serasi."
“Mereka berdua sudah bertemu?”
“Belum”
“Kalau belum, dari mana engkau
tahu bahwa mereka berdua merupakan pasangan yang serasi?”
“Kakak Bun Yang sangat baik,
penuh pengertian dan berperasaan halus, juga berhati bajik. Sedangkan Siang
Koan Goat Nio lemah lembut, cantik manis dan berpengertian pula. Oleh karena
itu, akü yakin bahwa mereka berdua merupakan pasangan yang serasi."
“Ooooh!” Lam Kiong Soat Lan
manggut-manggut dan berkata. "Engkau besar bersama dia, kenapa engkau
tidak mencintainya?"
“Aku sangat mencintainya, tapi
itu merupakan cinta terhadap seorang kakak, bukan terhadap seorang kekasih.”
Lie Ai Ling tersenyum. “Lagi
pula aku tahu diri, maka tidak berani memikirkan itu. Apabila aku berpikir
begitu, tentu akan membuat diriku menderita sekali.”
“Ai Ling!” Lam Kiong Soat Lan
menatapnya kagum, “Engkau sungguh luar biasa sekali?"
“Tidak juga,” Lie Ai Ling
tersenyum dan menambahkan. “Kalau kita tahu itu akan membuat kita menderita,
kenapa masih mau memikirkannya, bukan?”
“Betul, betul.” Lam Kiong Soat
Lan tersenyum. “Terimakasih atas petunjukmu yang sangat berharga ini!”
“Seharusnya engkau
berterimakasih kepada kakak Bun Yang, sebab dia sering memberi pengertian
kepadaku.”
"Oooh!” Lam Kiong Soat
Lan manggut~manggut, walau ía tidak pernah bertemu Tio Bun Yang, tapi ta telah
merasa kagum kepadanya dalam hati
-oo0dw0oo-
Mereka berenam melanjutkan
perjalanan lagi menuju markas pusat Kay Pang. Namun terjadi keanehan pada
mereka, sebab masing-masing membungkam, kecuali Lie Ai Ling, yang masih tampak
riang gembira.
“Hei!” serunya sambil
tertawa-tawa. “Kenapa kalian berempat berubah menjadi bisu? Jangan begitu ah!
Tidak enak nih!”
“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan kepala.
“Kenapa aku? Semula kita
melakukan perjalanan sambil mengobrol, tapi kini kalian berempat berubah
menjadi bisu. Tidak baik begitu, sebab kita semua adalah kawan baik yang harus
bersatu. Ada apa-apa jangan disimpan dalam hati, sebab akan membuat kita
terpecah belah.”
“Ha-ha!” Toan Beng Kiat
tertawa. “Tidak ada apa-apa di antara kami berempat. Kami diam karena
memikirkan musuh.”
“Musuh dalam selimut?” tanya
Lie Ai Ling sambil tertawa. “Jangan lho! Itu akan membuat kita celaka...."
Belum juga Lie Ai Ling selesai
berbicara, mendadak terdengar suara tawa kemudian melayang turun belasan orang
berpakaian hijau. Mereka ternyata para anggota Seng Hwee Kauw, yang dikepalai
oleh Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong.
“Ha-ha-ha!” Tok Chiu Ong
tertawa gelak. “Sungguh kebetulan bertemu kalian disini!”
“Hmm!” dengus Kam Hay Thian
dingin. “Memang sungguh kebetulan sekali, jadi kami pun tidak perlu mencari
kalian!”
“Oh?” Tok Chiu Ong mengerutkan
kening. “Siapa engkau?” “Chu Ok Hiap!”
“Apa?” Tok Chiu Ong tampak
tersentak. “Jadi engkau yang membunuh para anggota kami?”
“Tidak salah!” sahut Kam Hay
Thian sambil tertawa dingin. “Aku pun akan membunuh kalian semua hari ini!”
“He-he-he!” Tok Chiu Ong
tertawa terkekeh. “Jangan sok omong besar, sebentar lagi engkau akan terkapar
jadi mayat!”
“Jangan banyak omong!” bentak
Kam Hay Thian. “Mari kita bertarung, lihat siapa yang akan terkapar jadi mayat!”
“He-he-he!” Tok Chiu Ong terus
tertawa terkekeh.
Sedangkan Kam Hay Thian sudah
menghunus pedangnya, begitu pula yang lain, mereka sudah siap bertarung.
“Serang mereka!” Tok Chiu Ong
memberi perintah kepada para anggota Seng Hwee Kauw itu.
Seketika juga belasan anggota
tersebut menyerang Kam Hay Thian dan lainnya, dan terjadilah pertarungan
sengit. Tok
Chiu Ong dan Pat Pie Lo Koay
terus memperhatikan pertarungan itu, dengan kening berkerut-kerut.
Belasan jurus kemudian, Kam
Hay Thian telah berhasil membunuh dua anggota Seng Hwee Kauw, sedangkan Toan
Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling juga telah
berhasil melukai beberapa anggota Seng Hwee Kauw lainnya, begitu pula Lu Hui
San.
“Kalian mundur!” bentak Tok Chiu
Ong.
Para anggota Seng Hwee Kauw
segera mundur. Tok Chiu Ong dan Pat Pie Lo Koay melesat ke depan sambil
mengeluarkan senjata masing-masing. Tok Chiu Ong bersenjata aneh berbentuk
seperti clurit, sedangkan Pat Pie Lo Koay bersenjata pedang bergerigi.
“Hm!” dengus Tok Chiu Ong
dingin. “Kepandaian kalian cukup tinggi, tapi kami berdua pasti dapat membunuh
kalian!”
“Kalian berdua yang akan
mati!” sahut Kam Hay Thian.
“He-he-he!” Tok Chiu Ong
tertawa terkekeh dan mendadak menyerangnya laksana kilat.
Kam Hay Thian berkelit dan
balas menyerangnya menggunakan Pak Kek Kiam Hoat. Tok Chiu Ong terkejut karena
merasa ada hawa dingin menyerangnya.
“Pantas engkau berani omong
besar, ternyata kepandaianmu tinggi jüga!"
“Sebentar lagi engkau akan
terkapar jadi mayat!” sahut Kam Hay Thian dan langsung menyerangnya.
Lie Ai Ling dan Lam Kiong Soat
Lan segera membantu Kam Hay Thian, sementara Pat Pie Lo Koay juga sudah mulai
menyerang Toan Beng Kiat, Siang Koan Goat Nio dan Lu Hui San.
Terjadilah pertarungan yang amat
seru dan dahsyat. Tok Chiu Ong mengeluarkan ilmu andalannya. Sedangkan Kam
Hay Thian menggunakan Pak Kek
Kiam Hoat, Lie Ai Ling menggunakan Hong Hoang Kiam Hoat, dan Lam Kiong Soat Lan
menggunakan Thian Liong Kiam Hoat.
Puluhan jurus kemudian, Tok
Chiu Ong mulai berada di bawah angin, itu sungguh mengejutkannya.
Toan Beng Kiat menyerang Pat
Pie Lo Koay dengan Thian Liong Kiam Hoat, Siang Koan Goat Nio menggunakan Giok
Li Kiam Hoat, dan Lu Hui San menggunakan Ie Hoa Ciap Bok Kiam Hoat. Puluhan jurus
kemudian, Pat Pie Lo Koay juga mulai berada di bawah angin.
Ada satu hal yang tidak
dimengerti Toan Beng Kiat, yakni Pat Pie Lo Koay tidak begitu
bersungguh-sungguh menyerangnya. Sudah barang tentu hal itu membuat pemuda itu
terheran-heran. Oleh karena itu ia pun tidak begitu menyerangnya.
Sementara pertarungan antara
Tok Chiu Ong dengan Kam Hay Thian, Lie Ai Ling dan Lam Kiong Soat Lan semakin
dahsyat. Lam Kiong Soat Lan menyerangnya dengan jurus Thian Liong Cioh Cu (Naga
Kahyangan Merebut Mutiara), Lie Ai Ling mengeluarkan jurus Hong Hoan Seng Thian
(Burung Phoenix Terbang ke Langit), sedangkan Kam Hay Thian mengeluarkan jurus
Hoan Thian Liak Te (Membalikkan Langit Meretakkan Bumi).
Betapa terkejutnya Tok Chiu
Ong menghadapi ketiga serangan itu. Ia cepat-cepat memutarkan senjatanya untuk
menangkis, tetapi....
Crass! Cesss.... Bahunya telah
tersabet pedang Lam Kiong
Soat Lan, pahanya tertusuk
pedang Kam Hay Thian, sedangkan pedang Lie Ai Ling merobek bajunya, dan
darahnya pun mulai mengucur.
“Ha-ha!” Kam Hay Thian tertawa
dingin. “Kini ajalmu telah tiba!”
Ketika Kam Hay Thian baru mau
menyerangnya, mendadak Tok Chiu Ong melempar sesuatu ke bawah, dan seketika
tampak asap mengepul membuat mata mereka merasa pedas sekali.
“Cepat tahan nafas!" seru
Lam Kiong Soat Lan, yang khawatir kalau-kalau asap tersebut mengandung racun.
Tapi tidak, ternyata asap itu
tidak mengandung racun. Setelah asap itu buyar, Tok Chiu Ong, Pat Pie Lo Koay
dan para anggota Seng Hwee Kauw itu sudah tidak tampak lagi. Ternyata mereka
melarikan diri di saat asap mengepul.
Akan kukejar mereka,” ujar Kam
Hay Thian.
“Jangan!” cegah Toan Beng
Kiat. “Percuma, mereka sudah jauh sekali.”
“Hm!” dengus Kam Hay Thian.
“Aku penasaran kalau tidak dapat membunuh mereka.”
“Sudahlah!” kata Toan Beng
Kiat. “Mari kita melanjutkan perjalanan!”
Mereka berenam melanjutkan
perjalanan lagi menuju markas pusat Kay Pang, namun Kam Hay Thian masih tampak
penasaran karena tidak berhasil membunuh Tok Chiu Ong, Pat Pie Lo Koay dan para
anggota Seng Hwee Kauw itu.
“Sudahlah!” ujar Lu Hui San.
“Kenapa masih terus penasaran?"
“Aku...” Kam Hay Thian
menggeleng-gelengkan kepala.
“Tenang!” Lie Ai Ling
tersenyum. “Masih ada kesempatan lain. Para anggota Seng Hwee Kauw begitu
banyak, tidak akan habis dibunuh.”
Kam Hay Thian diam, sementara
Toan Beng Kiat bergumam dengan kening berkerut-kerut.
“Heran? Kenapa orang tua
berpedang gerigi itu tidak begitu bersungguh-sunggUh menyerangku?”
“Benar.” Lu Hui San
manggut-manggut. “Diapun tidak begitu bersungguh-sunggUh menyerangku.”
“Sama,” sambung Siang Koan
Goat Nio. “Kenapa begitu?"
“Memang mengherankan,” ujar
Toan Beng Kiat. “Mungkinkah dia kenal orang tua kita, maka tidak
bersungguh-sungguh menyerang kita?"
“Mungkin,” Siang Koan Goat Nio
mengangguk.
“Aku yakin dia tidak kenal
orang tuaku, kenapa....” Lu Hui
San tidak habis berpikir.
“Mungkin karena... engkau
bersama kami,” sahut Siang Koan Goat Nio.
“Memang mungkin begitu,” Lu
Hui San manggut-manggut.
“Sebaliknya orang tua
bersenjata aneh itu malah mati-matian menyerang kami, kelihatannya dia sangat
bernafsu melukai kami, padahal aku dan Soat Nio tidak kenal orang tua itu,”
ujar Lie Ai Ling.
“Mungkin karena kalian berdua
membantuku,” sahut Kam Hay Thian.
“Mungkin,” Lie Ai Ling
manggut-manggut.
“Tidak mungkin,” sela Lam
Kiong Soat Lan. “Sebab para anggota Seng Hwee Kauw pernah menyerangku dan Beng
Kiat.”
“Oh?” Lie Ai Ling terbelalak.
“Kenapa mereka menyerang kalian?"
“Hingga saat ini, kami masih
tidak habis pikir tentang itu,” sahut Lam Kiong Soat Lan. “Bahkan mereka pun
kenal kami. Bukankah sangat mengherankan?”
“Jangan-jangan...” ujar Lie Ai
Ling setelah berpikir sejenak. “Ketua Seng Hwee Kauw punya dendam terhadap
orang tua kita.”
“Aku dan Soat Nio memang
berpikir demikian,” ujar Toan Beng Kiat. “Karena itu, kami ingin
menyelidikinya.
“Memang penasaran sekali,”
ujar Kam Hay Thian sambil mengepal tinju. "Aku tidak berhasil membunuh
mereka.
-oo0dw0oo-
Seng Hwee Sin Kun duduk dengan
kening berkerut-kerut, kemudian menatap Tok Chiu Ong dan Pat Pie La Koay seraya
bertanya. “Betulkah kalian berdua tidak sanggup melawan mereka berenam?”
“Betul,” Tok Chiu Ong dan Pat
Pie LoKoay mengangguk. “Kepandaian mereka berenam sungguh tinggi, bahkan mampu
melukaiku.”
“Bagaimana lukamu?" tanya
Seng Hwee Sin Kun.
“Tidak apa-apa,” sahut Tok
Chiu Ong. “Hanya luka luar, dan tadi sudah kuobati.”
“Hmm!” dengus Seng Hwee Sin
Kun. “Kelihatannya harus aku yang turun tangan sendiri.”
“Tidak perlu,” Pat Pie Lo Koay
menggelengkan kepala. “Bukankah masih ada Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui dan Hek
Sim Popo? Kami berlima pasti dapat melukai mereka.”
“Betul,” Hek Sim Popo
mengangguk. “Kauwcu tidak perlu turun tangan, biar kami saja yang turun
tangan.”
“Ngmmm!” Seng Hwee Sin Kun
manggut-manggut dan berkata. “Kepandaian Tio Cie Hiong paling tinggi, tapi...
aku masih sanggup melawannya. Bahkan kemungkinan besar aku pun dapat
mengalahkannya.”
“Kami tahu...” ujar Pat Pie Lo
Koay sambil tertawa. “Kepandaian Kauwcu memang tinggi sekali, tentunya dapat
mengalahkan Tio Cie Hiong.”
“Ha-ha-ha!” Seng Hwee Sin Kun
tertawa gelak. “Aku tidak omong besar, namun yakin itu!"
“Tapi....” Pek Bin Kui
mengerutkan kening. “Masih ada Sam
Gan Sin Kay, Kim Siauw Suseng,
Kou Hun Bijin dan Tio Tay Seng, majikan Pulau Hong Hoang To. Mereka semua
berkepandaian sangat tinggi, terutama Kou Hun Bijin.”
“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun
tertawa, kemudian berkata sungguh-sungguh. “Pokoknya aku sanggup melawan
mereka, kalian tidak perlu khawatir tentang itu.”
“Oh?” Pat Pie Lo Koay dan
lainnya kelihatan kurang percaya. Mereka saling memandang dengan kening
berkerut-kerut.
“Tentu kalian tidak percaya,”
ujar Seng Hwee Sin Kun. “Namun perlu kalian ketahui, aku masih menyimpan
sebutir Seng Hwee Tan (Pil Api Suci). Apabila aku makan Seng Hwee Tan yang
tersisa sebutir itu, maka lweekangku akan bertambah tinggi, dan diriku pun akan
menjadi jago tanpa tanding di kolong langit.”
“Kalau begitu, kenapa Kauwcu
tidak memakannya sekarang?” tanya Pek Bin Kui mendadak.
“Belum waktunya,” sahut Seng
Hwee Sin Kun. “Kalau sudah waktunya, aku pasti memakannya.”
“Kauwcu!” Wajah Pek Bin Kui
berseri. “Kalau begitu, Seng Hwee Kauw pasti bisa merajai rimba persilatan.”
“Itu sudah pasti,” sahut Seng
Hwee Sin Kun sambil tertawa terbahak-bahak, “Ha ha ha...!”
-oo0dw0oo0\-
Bagian 25 Agama Lima Racun
Tio Bun Yang telah kembali ke
Tionggoan. Beberapa hari kemudian, ia tiba di kota Kang Shi, lalu memasuki
sebuah kedai teh untuk melepaskan dahaga. Setelah duduk, ia memesan teh pada
pelayan.
Kedai teh itu cukup ramai. Tampak
para tamu sedang membicarakan sesuatu dengan wajah Serius.
“Sungguh tak disangka, para
hartawan akan terkena penyakit aneh itu. Muncul pula seorang tabib sakti
menyembuhkan penyakit mereka, tapi biayanya mahal bukan main."
“Betul. Kalau mereka sanggup
membayar lima ratus tael, tabib sakti itu baru mengobati mereka.”
“Kini yang kasihan adalah
hartawan Kwee. Beliau juga terkena penyakit aneh itu. Tabib sakti
tersebut bersedia
mengobatinya, asal hartawan Kwee bersedia membayar seribu tael emas! Sudah
barang tentu hartawan Kwee berkeberatan, sehingga kini mulai sekarat.”
“Kenapa hartawan Kwee
berkeberatan membayar seribu tael emas?”
“Sebab para hartawan lain cuma
membayar lima ratus tael emas, sedangkan dia diharuskan membayar seribu taei
emas. Itulah yang membuatnya berkeberatan. Dia seorang hartawan yang sangat
baik hati, selalu mendong orang namun malah tertimpa musibah."
“Putri kesayangannya lumpuh,
hingga kini masih belum sembuh. Dia malah terkena penyakit aneh itu. Kita
pernah menerima budi kebaikannya, tapi justru tidak bisa berbuat apa-apa di
saat dia menderita sakit.”
Tio Bun Yang yang mendengar
itu menjadi tergerak hatinya, sebab ia pun mahir ilmu pengobatan. Karena itu,
ia mendekati mereka sambil memberi hormat dan berkata dengan sopan.
"Maaf, Paman-paman, aku
mengganggu sebentar!”
“Tidak apa-apa,” sahut salah
seorang sambil memandangnya dan terkesan baik.
“Silakan duduk, anak muda!”
“Terimakasih, Paman!” Tio Bun
Yang duduk.
“Anak muda, engkau membutuhkan
bantuan kami?" tanya orang itu.
“Aku ingin bertanya, penyakit
aneh apa yang diderita hartawan Kwee?” jawab Tio Bun Yang.
“Engkau bukan orang sini?”
“Bukan..”
"Aaaaah...!" Orang
itu menghela nafas panjang. “Bulan ini, mendadak para hartawan terserang
penyakit aneh. Mereka yang terkena penyakit itu, mulut mengeluarkan buih, wajah
pucat dan kehijau-hijauan, sekujur badan menggigil kedinginan?
Tio Bun Yang manggut-manggüt.
“Lalu siapa yang mengobati para hartawan itu?"
“Muncul seorang tabib sakti,
dan hanya dia yang mampu mengobati mereka. Namun pembayarannya mahal sekali...”
Orang itu menggeleng-gelengkan kepala. “Lima ratus tael emas?"
“Oh? Bagaimana keadaan
hartawan Kwee sekarang?" tanya Tio Bun Yang.
"Sudah mulai sekarat.
Karena beliau berkeberatan membayar seribu tael emas.” Orang itu menghela nafas
panjang.
“Dia seorang hartawan yang
baik hati?"
“Betul. Tapi malah tertimpa
musibah."
“Kalau begitu....” Tio Bun
Yang bangkit berdiri. “Tolong
antar aku ke rumahnya!”
“Anak muda...? Orang itu
menggeleng-gelengkan kepala. “Mau apa engkau ke sana? Kalau engkau mau minta
bantuan, kini bukan saatnya.”
“Paman!” Tio Bun Yang
tersenyum. “Aku ingin mencoba mengobatinya?"
“Anak muda, engkau....” Orang
itu terbelalak, begitu pula
yang lain. Tio Bun Yang masih
begitu muda, bagaimana mungkin mampu mengobati hartawan Kwee? Pikir mereka.
“Aku mahir ilmu pengobatan,
maka apa salahnya kalian antar aku ke sana untuk mencoba mengobatinya? Lagipula
hartawan Kwee sudah mulai sekarat. Kalau terlambat, tentunya hartawan Kwee akan
menemui ajalnya.”
Beberapa orang itu saling
memandang, kemudian mengangguk.
“Baik, kami antar engkau ke
sana!"
“Terimakasih!” ucap Tio Bun
Yang.
Mereka segera mengantar Tio
Bun Yang kerumah hartawan Kwee. Banyak orang mengikutinya dari belakang, karena
mendengar bahwa Tio Bun Yang akan mencoba mengobati hartawan Kwee.
Berselang beberapa saat
sampailah mereka dirumah hartawan Kwee. Rumah itu cukup besar, indah,
halamannya luas dan terdapat taman bunga yang indah. Nyonya Kwee
menyambut mereka dengan mata
basah. Mereka segera memberitahukan tentang maksud kedatangan mereka.
“Oh?” Nyonya Kwee langsung
memandang Tio Bun Yang. “Tabib muda, suami saya sudah Sekarat.”
“Bibi!” Tio Bun Yang
tersenyum. “Aku bukan tabib, tapi mengerti ilmu pengobatan, maka ingin mencoba
mengobati hartawan Kwee."
“Mari ikut aku ke dalam!” ujar
Nyonya Kwee. Ia lalu berjalan ke dalam, dan Tio Bun Yang mengikutinya.
Sedangkan yang lain duduk di ruang depan dan menunggu di situ, karena ingin
tahu bagaimana hasilnya.
Tio Bun Yang telah memasuki
kamar hartawan Kwee. Nyonya Kwee mendekati suaminya yang berbaring di tempat
tidur. Wajah hartawan Kwee pucat pias agak kehijau-hijauan, nafasnya lemah dan
sekujur badannya menggigil kedinginan.
“Suamiku....” Nyonya
Kwee memandangnya dengan
air
mata bercucuran.
“Is... isteriku....” Hartawan
Kwee menatap isterinya dengan
mata redup, kemudian memandang
Tio Bun Yang. “Kalau pemuda itu membutuhkan... sesuatu, bantu... bantulah dia!”
katanya lèmah.
Ucapan itu membuat Tio Bun
Yang terharu. Dalam keadaan sakit, hartawan Kwee masih memikirkan kepentingan
orang lain. Betapa bajik, luhur dan mulianya hati hartawan itu.
"Suamiku, pemuda itu
bermaksud mencoba mengobatimu.” Nyonya Kwee memberitahukan.
“Oooh?” Hartawan Kwee menghela
nafas panjang. "Aaaah! Bagaimana mungkin dia bisa mengobatiku?”
“Paman!” Tio Bun Yang segera
mendekatinya, sekaligus memeriksanya dengan intensif, lalu manggut-manggut.
“Bagaimana?” tanya Nyonya Kwee
cepat. “Apakah suamiku bisa ditolong?”
“Harap Bibi tenang!” sahut Tio
Bun Yang, kemudian memasukkan sebutir pil pemunah racun ke dalam mulut hartawan
Kwee. Setelah itu, ia berkata kepada Nyonya Kwee. “Bibi, tolong ambilkan sebuah
baskom!”
Nyonya Kwee segera mengambil
sebuah baskom, Tio Bun Yang menerima lalu ditaruhnya dilantai.
Ia membangunkan hartawan Kwee
untuk duduk di pinggir tempat tidur. Sesudah itu ia menempelkan telapak
tangannya di punggung hartawan Kwee lalu mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin
Kang.
Tak seberapa lama kemudian,
hartawan Kwee mulai memuntahkan cairan kehijau-hijauan. Berselang sesaat,
hartawan Kwee berhenti muntah, dan seketika wajahnya tampak agak segar.
“Paman sudah sembuh sekarang,”
ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Apa?!" hartawan
Kwee tertegun. Kini suaranya tidak begitu lemah lagi. "Aku... aku sudah
sembuh?”
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
“Suamiku....” Nyonya Kwee
langsung memeluknya sambil
menangis girang.
“Suamiku...."
“Oooh, isteriku!” Hartawan
Kwee tersenyum. "Aku... aku tidak jadi mati....”
“Anak muda....”
Nyonya Kwee segera
memberi hormat.
“Terimakasih atas
pertolonganmu!”
“Anak muda....” Hartawan Kwee
bangkit berdiri sekaligus
memberi hormat.
“Terimakasih....”
“Paman, dan Bibi tidak usah
mengucapkan tenimakasih,” ujar Tio Bun Yang. “Berterimakasihlah kepada Thian (Tuhan)!”
“Isteriku, siapa pemuda ini?
tanya hartawan Kwee.
“Dia....” Nyonya Kwee
menggelengkan kepala.
“Aku belum bertanya namanya.”
“Namaku Tio Bun Yang, Bibi.”
“Ha ha!” Hartawan Kwee tertawa
gelak dan tampak sudah sembuh. “Engkau rnasih muda, namun sudah mahir ilmu
pengobatan. Sungguh luar biasa dan mengagumkan. Ha ha ha...!”
“Bun Yang, siapa yang
mengajarmu ilmu pengobatan?" tanya Nyonya Kwee sambil memandangnya.
“Ayahku.”
“Kalau begitu, ayahmu pasti
seorang tabib terkenal,” ujar hartawan Kwee, yang semakin kagum.
“Paman!” Tio Bun Yang
tersenyum. “Ayahku memang mahir ilmu pengobatan, namun bukan tabib.”
“Oh?” hartawan Kwee
tercengang. “Itu....”
“Ayahku sering menolong
orang-orang yang menderita sakit, tapi tidak pernah mau menerima pembayaran.”
Tio Bun Yang memberitahukan. “Kini ayahku tinggal mengasingkan diri di sebuah
pulau.”
“Kalau begitu....” Hartawan Kwee manggut-manggut
mengerti. “Ayahmu pasti
seorang pendekar yang berhati bajik.”
“Tapi sudah belasan tahun
ayahku tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan lagi,” ujar Tio Bun Yang.
“Hidup tenang, damai dan bahagia bersama ibuku di pulau itu.”
“Oooh!” Hartawan Kwee
manggut-manggut. “Oh ya, sebetulnya aku mèngidap penyakit apa?”
“Bukan penyakit, melainkan
terkena racun.”
“Oh? Kalau begitu para
hartawan lain juga terkena racun?" tanya hartawan Kwee terkejut.
“Ya,” Tio Bun Yang mengangguk.
“Menurutku, ada orang tertentu yang menyebarkan racun itu.”
“Heran?” gumam hartawan Kwee.
“Siapa yang menyebarkan racun itu?”
Sebetulnya Tio Bun Yang telah
mencurigai tabib sakti yang menyembuhkan para hartawan lain, namun ia tidak mau
memberitahukan karena tiada bukti.
“Oh ya!” Nyonya Kwee
memberitahukan. “Ada belasan orang menunggu di ruang depan, mari kita ke depan
menemui mereka!”
Hartawan Kwee dan Tio Bun Yang
mengangguk, lalu segera berjalan ke ruang depan. Terbelalaklah orang-orang itu
ketika melihat hartawan Kwee sudah sembuh, kemudian mereka memandang Tio Bun
Yang dengan mulut ternganga lebar.
“Terimakasih!” ucap hartawan
Kwee. “Kalian telah mengantar pemuda ini ke mari, kalau tidak, mungkin aku
sudah mati.”
“Jadi....” tanya salah seorang
yang bercakap-cakap dengan
Tio Bun Yang di kedai teh.
“Anak muda ini menyembuhkan Tuan?"
“Betul.” Hartawan Kwee
mengangguk sambil tersenyum.
“Itu... sungguh diluar dugaan,
tapi syukurlah Tuan telah sembuh! Kami turut gembira.”
“Terima kasih! Ha ha ha!”
Hartawan Kwee tertawa. “Berhubung kalian yang mengantar pemuda ini kemari
mengobatiku, maka aku akan
menghadiahkan kalian sepuluh tael perak setiap orang.
“Tidak usah, Tuan!” ujar
mereka yang memang sering menerima bantuan hartawan Kwee.
“Kalian harus
menerima kalau tidak....”
Hartawan Kwee
memandang mereka. “Aku akan
marah.”
“Kalau begitu, kami
mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada Tuan,” ucap mereka semua.
Sementara Nyonya Kwee telah
masuk ke dalam, tak lama sudah kembali keruangan itu sekaligus membagi-bagikan
uang perak kepada mereka. Mereka mengucapkan terima kasih lagi, lalu mohon
pamit.
Kini di ruang itu hanya
tinggal hartawan Kwee bersama isterinya dan Tio Bun Yang. Hartawan Kwee
memandang Tio Bun Yang dan kemudian menghela nafas panjang.
“Kenapa Paman menghela nafas
panjang?” tanya Tio Bun Yang dengan rasa heran.
“Kini aku telah sembuh, namun
putriku....” Hartawan Kwee
menggeleng-gelengkan kepala.
“Oh!” Tio Bun Yang tersenyum.
“Aku telah mendengar tentang putri Paman, yang menderita penyakit lumpuh. Sudah
berapa lama putri Paman menderita penyakit itu?”
“Sudah lima tahun.” Hartawan
Kwee memberitahukan dengan wajah muram. “Tiada seorang tabib pun yang mampu
menyembuhkannya.”
“Kalau begitu...” ujar Tio Bun
Yang sungguh-sungguh. “Aku akan mencoba mengobatinya."
“Oh!” Wajah hartawan Kwee dan
isterinya langsung berseri “Mari ikut kami ke kamar putri kami!”
Tio Bun Yang mengangguk, lalu
mengikuti mereka menuju kamar Kwee Hui Khim, putri hartawan Kwee.
Kamar tersebut sungguh indah
sekali, begitu pula tempat tidurnya Sosok yang kurus berbaring di tempat tidur
itu, yang ternyata putri hartawan Kwee.
“Ayah’ Ibu “panggil Kwee Hui
Khim.
“Nak!” Nyonya Kwee segera
membelainya dengan penuh kasih sayang dan memberitahukan. “Ayahmu südah sembuh,
pemuda itu yang menyembuhkan ayahmu.”
“Oh” Kwee Hui Khim memandang
Tio Bun Yang, “Terimakasih, Kak!”
“Sama-sama,” sahut Tio Bun
Yang sambil tersenyum dan mendekatinya. “Adik, bolehkah aku tahu namamu?”
“Namaku Hui Khim, nama Kakak?”
“Namaku Tio Bun Yang.”
“Kakak Bun Yang bisa
menyembühkan ayah, apakah juga akan bisa menyembuhkan penyakitku?” tanya gadis
berusia lima belasan itU.
“Mudah-mudahan!” sahut Tio Bun
Yang dengan tersenyum lembut. Kemudian ia menjulurkan tangannya untuk memeriksa
gadis itu, namun mendadak ditarik kembali sambil memandang hartawan Kwee dan
Nyonya Kwee.
“Tidak apa-apa,” sahut mereka
berdua Serentak dan manggut-manggut. “Silakan periksa Hui Khim!”
“Kakak Bun Yang,” Kwee Hui
Khim heran. “Kenapa tidak berani memeriksa penyakitku? Takut menular ya?”
“Bukan.” Tio Bun Yang
tersenyum. “Hanya karena aku harus menyentuhmu, maka aku merasa tidak enak.”
“Sebetulnya tidak apa-apa,”
Kwee Hui Khim tersenyum. “Kakak Bun Yang menyentuhku karena ingin memeriksa
penyakitku, bukan berbuat yang
tidak-tidak. Jadi jangan mempermasalahkan itu.”
Tio Bun Yang manggut-manggut,
lalu mulai memeriksa nadi gadis itu. Keningnya tampak berkerut-kerut, setelah
itu ia manggut-manggut seakan telah mengetahui sumber penyakit itu.
“Bagaimana? Apakah putriku
bisa disembuhkan?” tanya hartawan Kwee seusai Tio Bun Yang memeriksa putrinya.
“Maaf!” ucap Tio Bun Yang
sungguh-sungguh. “Bukan aku omong besar, kecuali aku, memang tabib yang mana
pun tidak akan mampu mengobatinya.”
“Oh?” Wajah hartawan Kwee dan
isterinya berseri. “Kenapa putri kami bisa terserang penyakit lumpuh?"
“Sebetulnya merupakan penyakit
bawaan lahir. Setelah ia berusia sekitar sepuluh tahun, peredaran darahnya
mulai tidak lancar, lagi pula....” Tio Bun Yang menjelaskan mengenai penyakit
tersebut.
“Kalau begitu....” Hartawan
Kwee mengerutkan kening.
“Jangan cemas, paman!” Tio Bun
Yang tersenyum. “Aku sanggup menyembuhkannya. Tapi....”
“Kenapa?"
“Telapak tanganku harus
menyentuh punggungnya.”
“Lakukan saja!” Hartawan Kwee
tersenyum. Ia tidak menyangka Tio Bun Yang begitu menjaga tata kesopanan.
Tio Bun Yang mengangguk, lalu
memandang Kwee Hui Khim seraya berkata, “Adik, engkau harus duduk."
“Ya.” Kwee Hui Khim berusaha
bangun lalu duduk.
“Tolong menghadap ke dalam!”
ujar Tio Bun Yang.
Kwee Hui Khim mengangguk, lalu
memutarkan badannya menghadap ke dalam. Sedangkan Tio Bun Yang tetap berdiri.
Ia menumpukkan telapak tangannya di punggung gadis itu, kemudian mengerahkan
Pan Yok Hian Thian Sin Kang kedalam tubuh gadis tersebut.
Berselang sesaat tampak uap
putih mengepul diubun-ubun gadis itu. Terbelalaklah hartawan Kwee dan isterinya
menyaksikan itu. Mereka berdua saling memandang dengan wajah berseri.
Beberapa saat setelah itu, Tio
Bun Yang menarik kembali lweekangnya.
“Adik,” ujarnya dengan
tersenyum sambil menggandeng tangan Kwee Hui Khim. “Mari turun!"
“Turun?” gadis itu tertegun.
“Aku tidak kuat berdiri. Bagaimana mungkin turun?”
“Percayalah!” Tio Bun Yang
tersenyum lagi. “Engkau pasti kuat berdiri.”
“Oh?” Kwee Hui Khim kurang
percaya. Namun ia menurut dan turun. Justru mengherankan, gadis itu kuat
berdiri. “Aku sudah kuat berdiri! Aku sudah kuat berdiri!”
“Sekarang cobalah engkau
melangkah!” ujar Tio Bun Yang sambil memandangnya. “Jangan ragu, cobalah
melangkah!”
Kali ini Kwee Hui Khim sudah
percaya, maka ia melangkah dan berhasil. Bayangkan, betapa gembiranya gadis
itu.
“Aku sudah bisa jalan! Aku
sudah bisa jalan!”
“Nak!” Nyonya Kwee langsung
memeluknya dengan mata bersimbah air saking girangnya. “Anakku, engkau sudah
sembuh.”
Sementara hartawan Kwee terus
memandang Tio Bun Yang dengan mata terbelalak, kelihatannya ia masih tidak
percaya
akan apa yang dilibatnya Sebab
dalam waktu begitu singkat, Tio Bun Yang mampu menyembuhkan penyakit.
“Bun Yang, sebetulnya engkau
manusia atau. . . . ."
“Paman!” Tio Bun Yang
tersenyum “Aku manusia biasa, jangan menganggapku dewa, lho!"
“Bukan main! Sungguh luar
biasa! Aku tak habis pikir” gumam hartawan Kwee, kemudian tertawa gembira, “Ha
ha ha. . . .!“
“Ayah!” Kwee Hui Khim juga
tertawa dengan air mata bercucuran saking gembiranya “Aku sudah sembuh”
“Adik!” Tio Bun Yang
memandangnya dan ikut tertawa “Cobalah engkau berjalan ke ruang depan”'
“Kakak Bun Yang”’ gadis itta
tertegun “Apakah aku sekarang mampu berjalan ke ruang depan?”
“Cobalah!” sahut Tio Bun Yang
sambil tersenyUm
“Baik” Kwee Hui Khim
mengangguk, lalu berjalan perlahan-lahan, dan akhirnya sampai juga ke ruang
depan lalu duduk, hanya nafasnya tampak agak memburu “Aku betul-betul sudah
sembuh Kakak Bun Yang, aku berhutang budi kepadamu
“Adik, engkau jangan berkata
begitu!” ujar Tio Bun Yang “Aku mengerti ilmu pengobatan, maka aku harus menolong
orang-orang yang sakit. Karena itu, engkau sama sekali tidak berhutang budi
kepadaku.”
“Kakak Bun Yang. . ."
Kwee Hui Khim menatapnya kagum “Engkau sungguh baik, aku beruntung sekali bisa
bertemu engkau”
“Bun Yang....” Mendadak hartawan Kwee memegang
bahunya, “Entah harus
bagaimana aku harus berterima kasih kepadamu”
“Itu tidak perlu, yang penting
Hui Khim sudah sembuh,” sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
“Bun Yang...” Betapa
terharunya hartawan Kwee.
Tio Bun Yang tersenyum lagi,
kemudian membuka resep untuk Kwee Hui Khim. Diserahkannya resep itu kepada
hartawan Kwee seraya bertanya.
“Kondisi badan Hui Khim masih
lemah, maka harus makan obat. Beli tiga bungkus obat berdasarkan resep obat ini
di toko obat. Percayalah, beberapa hari kemudian Hui Khim pasti pulih!”
“Terima kasih!” Hartawan Kwee
menerima resep itu, lalu cepat-cepat menyuruh salah seorang pembantu untuk
pergi membeli obat itu.
“Paman, Bibi, aku mohon
pamit!” Tio Bun Yang memberitahukan.
“Apa?” hartawan Kwee dan
isterinya terbelalak. “Kok begitu cepat?”
“Maaf!” ucap Tio Bun Yang “Aku
masih harus meneruskan perjalanan, jadi tidak bisa lama-lama disini”
“Bun Yang...” Hartawan Kwee
menghela napas, kemudian memberi isyarat pada isterinya, yang kemudian berjalan
ke dalam.
“Kakak Bun Yang!” Kwee Hui
Khim memandangnya dengan mata basah. “Kenapa engkau begitu cepat mau pergi?
“Adik!” Tio Bun Yang
tersenyum. “Aku masih harus meneruskan perjalanan, tidak bisa lama-lama di
sini. Harap Adik maklum....”
“Kakak Bun Yang’” Kwee Hui Khim
terisak-isak “Kapan Kakak Bun Yang akan ke mari lagi?”
Tio Bun Yang tersenyum sambil
membelainya, setelah itu barulah menjawab. “Apabila ada kèsempatan, aku pasti
ke mari menengokmu.”
“Jangan bohong, Kakak Bun
Yang!”
“Aku tidak pernah membohongimU,
namun kalau aku sempat lho!”
“Kakak Bun Yang “ Mendadak
Kwee Hui Khim mendekap di dadanya “Biar bagaimana pun, Kakàk Bun Yang harus ke
mari kelak.”
“Ya.” Tio Bun Yang membelainya
lagi.
Nyonya Kwee telah kembali ke
ruang depan dengan membawa sebuah bungkusan dari kain. Setelah putrinya
melepaskan dekapan di dada Tio Bun Yang, Nyonya Kwee memberikan bungkusan itu
kepada Tio Bun Yang.
“Bibi...” Tio Bun Yang tahu
bahwa bungkusan itu berisi uang perak atau uang emas. “Aku tidak akan menerima
pemberian ini.”
“Bun Yang,” desak hartawan
Kwee. “Engkau harus menerimanya!"
“Paman!” Tio Bun Yang
tersenyum. “Mengobati Paman dan Hui Khim bukan demi suatu imbalan, aku cuma
menolong.”
“Kalau begitu...” Hartawan
Kwee tersenyum pula. “Terimalah ini, wakili aku menolong fakir miskin!”
“ini....” Tio Bun Yang
menggelengkan kepala.
“Bun Yang,” ujar hartawan Kwee
sungguh-sungguh. “Engkau masih harus meneruskan perjalanan, tentunya engkau
akan bertemu dengan orang susah. Bantulah mereka dengan uang yang kuberikan
ini!”
“Kalau begitu... baiklah.” Tio
Bun Yang menerimanya, lalu berpamit.
Hartawan Kwee dan isterinya
dan Kwee Hui Khim mengantarkannya sampai di depan rumah. Setelah Tio Bun Yang
tidak kelihatan, barulah mereka masuk ke dalam dan Kwee Hui Khim pun menangis
terisak-isak.
-oo0dw0oo-
Tio Bun Yang telah
meninggalkan rumah hartawan Kwee,namun mendadak muncul dua orang yang
berpakaian warna-warni mendekatinya. Kedua orang itu memberi hormat seraya
berkata.
"Maaf. Kami diutus ke
mari untuk menjemput Anda!”
“Oh?” Tio Bun Yang tersenyum.
“Aku mau dijemput ke mana?”
“Menemui Kauwcu kami.”
“Aku tidak kenal Kauwcu
kalian, maka aku tidak perlu menemuinya.”
“Maaf! Kalau kami tidak
berhasil mengundang Anda ke sana, kami pasti dihukum. Kami harap Anda maklum
dan menaruh kasihan pada kami.”
Tio Bun Yang berpikir, sejenak
kemudian mengangguk. “Baiklah. Antarlah aku pergi menemui Kauwcu kalian!”
“Terimakasih, terimakasih !“
Kedua orang itu menarik nafas lega. “Silakan ikut kami!”
Tio Bun Yang mengikuti kedua
orang itu. Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai ditempat yang sepi, di
mana tampak sebuah bangunan besar.
Kedua orang tersebut terus
berjalan menuju Bangunan itu. Mendadak muncul beberapa orang berpakaian warna
warni lainnya. Ketika mereka melihat kedua orang itu kembali bersama Tio Bun
Yang, berserilah wajah mereka.
"Untung kalian berdua
berhasil mengundang siauwhiap ini ke mari. Kalau tidak, kalian berdua pasti
dihukum."
Kedua orang itu menarik nafas
lega, kemudian yang satu bertanya. “Dimana Kauwcu?"
“Di ruang tengah, sedang
menunggu kalian. Cepatlah kalian masuk!”
“Terimakasih!” ucap kedua
orang itu, lalu mengajak Tio Bun Yang masuk.
Begitu memasuki bangunan itu,
kening Tio Bun Yang langsung berkerut. Apalagi ketika memasuki sebuah lorong
yang agak gelap. Ternyata ía mencium bau racun.
Berselang beberapa saat,
sampailah ía di ruang tengah. Belasan orang berpakaian warna warni berbaris di
sisi kiri kanan. Tampak seorang wanita duduk di situ, dan di sisi kiri kanannya
berdiri dua orang tua berpakaian hitam dan putih. Kedua orang tua itu adalah
Hek Pek Siang Sat (Sepasang Algojo Hitam Putih).
Tio Bun Yang tidak dapat
menaksir berapa usia wanita itu.
sebab wanita itu memakai
cadar.
"Kauwcu, kami telah
berhasil mengundang siauw hiap ini ke mari.” ujar seorang yang mengundang Tio
Bun Yang.
“Bagus! Kalian telah
melaksanakan tugas kalian dengan baik, maka kedudukan kalian akan
dinaikkan." sahut Ngo Tok Kauwcu.
"Terima kasih, Kauwcu!”
ucap kedua orang itu dengan wajah berseri.
“Sekarang kalian boleh kembali
ke tempat.” ujar Ngo Tok Kauwcu sambil mengibaskan tangannya.
"Ya? Kedua orang itu
memberi hormat, lalu meninggalkan ruang itu.
Sementara Tio Bun Yang
menengok ke sana ke mari, dan melihat begitu banyak binatang beracun merayap di
ruang itu, yaitu ular, kalajengking, laba-laba dan lain sebagainya.
"Silakan duduk,
siauwhiap!” ucap Ngo Tok Kauwcu.
Tio Bun Yang duduk.
“Aku adalah Ngo Tok Kauwcu
(Ketua Agama Lima Racun)!” Wanita bercadar itu memberitahukan. “Bolehkah aku
tahu siapa siauwhiap?"
“Namaku Tio Bun Yang,” sahut
pemuda itu, lalu bertanya. “Ada keperluan apa Kauwcu mengundangku ke
mari?"
“Aku tidak menyangka,
engkaupun kebal terhadap berbagai macam racun,” ujar Ngo Tok Kauwcu sambil
menatapnya.
Bagaimana perubahan wajah Ngo
Tok Kauwcu, Tio Bun Yang tidak mengetahuinya, karena berada di balik cadar.
“Bahkan telah memunahkan racun
yang mengidap di tubuh hartawan Kwee. Secara tidak langsung, engkau telah
merusak semua rencanaku.”
“Kauwcu!” Tio Bun Yang
mengerutkan kening. “Aku tidak tahu Kauwcu mempunyai rencana apa pun. Yang
kuketahui Kauwcu telah melakukan kejahatan, karena menyebarkan racun yang jahat
itu.”
“Tio siauwhiap, engkau harus
tahu. Aku berbuat begitu karena sangat membutuhkan uang. Dalam hal ini aku
harap siauw hiap maklum,” ujar Ngo Tok Kauwcu memberitahukan.
“Tapi itu merupakan perbuatan
yang tak terpuji, karena menyangkut nyawa orang. Kauwcu tidak memikirkan itu?
Kalau aku terlambat sampai di rumah hartawan Kwee, nyawanya pasti melayang.”
“Benar.” Ngo Tok Kauwcu mengangguk
sambil tertawa. Merdu dan nyaring suara tawanya, membuktikan bahwa
wanita itu masih muda.
“Seandainya engkau tidak ke sana, Hek Sat (Algojo Hitam) pasti ke sana
menyembuhkannya.”
“Oh?” Tio Bun Yang tertegun.
“Kami cuma membutuhkan uang,
sama sekali tidak ingin membunuh orang,” ujar Ngo Tok Kauwcu dan menambahkan.
“Karena kelancanganmu mengobati hartawan Kwee, kami menderita kerugian besar.”
“Kauwcu, bolehkah aku bertanya
sesuatu?” “Silakan!”
“Kenapa Kauwcu begitu
membutuhkan uang?”
“Sebetulnya itu merupakan
rahasia perkumpulán kami, tapi siauwhiap yang bertanya, maka akan kujawab agar
siauw hiap tidak menganggap kami sebagai penjahat,” sahut Ngo Tok Kauwcu.
"Belasan tabun yang lalu,
ayahku mati dibunuh teman baiknya. Pada waktu itu, aku sedang belajar ilmu
silat di tempat guruku. Setahun lalu, aku pulang dan barulah mengetahui bahwa
ayahku telah mati dibunuh teman baiknya, otomatis Ngo Tok Kauw pun bubar. Cuma
tersisa beberapa anggota dan Hek Pek Siang Sat yang amat setia kepada almarhum.
Oleh karena itu, aku bersumpah mencari pembunuh ayahku, sekaligus membangun
kembali Ngo Tok Kauw. Tapi aku membutuhkan biaya yang cukup besar....”
"Jadi dengan. cara itu
engkau memeras para hartawan? tanya Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
“Apa boleh buat.” Ngo Tok
Kauwcu menghela nafas panjang. “Karena tiada jalan lain untuk memperoleh uang,
lagi pula para hartawan itu sangat kaya. Akan tetapi aku tidak akan membuat
mereka habis-habisan.”
“Kalau begitu, mengapa engkau
minta pembayaran seribu tael emas kepada hartawan Kwee? Pada hal hartawan lain
cuma membayar lima ratus tael emas, itu dikarenakan apa?”
“Karena aku hanya membutuhkan
seribu tael emas lagi, maka aku meminta pembayaran sebesar itu. Siauwhiap harus
tahu, tidak mungkin aku akan minta kepada hartawan yang telah kami sembuhkan.
Lagi pula sudah tiada lagi hartawan lain yang mampu membayar lima ratus tael
emas, maka kami minta pembayaran seribu tael emas pada hartawan Kwee,”
"Ka1ian memang agak
keterlaluan” Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Siauwhiap, sesungguhnya
kami tidak keterlaluan." sahut Ngo Tok Kauwcu. "Ka1au kami memeras
orang miskin, itu baru boleh dikatakan keterlaluan.”
“Kalian membutuhkan uang untuk
membangun kembali Ngo Tok Kauw, tapi telah menyusahkan para hartawan.” ujar Tio
Bun Yang, dan menambahkan, “Bukankah sementara ini, Ngo Tok Kauw tidak dibangun
kembali dulu?”
“Siauwhiap harus tahu,
pembunuh ayahku itu kini telah mendirikan Seng Hwee Kauw. Kalau aku tidak
membangun kembali Ngo Tok Kauw, tentunya sulit bagiku menuntut balas.” Ngo Tok
Kauwcu memberitahukan. “Maka aku harap Siauwhiap mengerti!”
“Aaaah...!” Tio Bun Yang
menghela nafas panjang. “Balas membalas, bunuh membunuh dan dendam mendendam!
Kenapa harus begitu? Kapan akan berakhir semuanya itu?”
“Siauwhiap tergolong kaum
rimba persilatan, tentunya tahu di rimba persilatan tidak akan terlepas dan
semua itu,” ujar Ngo Tok Kauwcu. “Yang sangat kusesalkan adalah pembunuh itu,
karena dia adalah teman baik almarhum!"
“Oh ya! Kenapa ayahmu bisa
dibunuh teman baiknya?” tanya Tio Bun Yang mendadak.
“Belasan tahun yang lalu,
ayahku memperoleh sebuah peta penyimpanan kitab Pusaka Seng Hwee Cin Keng
Ayahku terlampau baik hati. Ketika mau berangkat, ayahku mengajak teman baiknya
itu. Ayahku memperoleh kitab pusaka tersebut, sedangkan teman baik ayahku
memperoleh pil Seng Hwee Tan Karena itu, timbulah niat jahat dalam hati teman
baik ayahku itu. Dia mengusulkan lebih baik bersama mempelajari kitab pusaka
itu, dan ayahku setuju! Akan tetapi, disaat itulah dia turun tangan jahat
terhadap ayahku. Ayahku masih berhasil meloloskan diri, namun akhirnya mati
juga di tangan orang itu. Bahkan orang itu pun membunuh seseorang yang menolong
ayahku, maka kitab pusaka itu jatuh ketangannya. Kini orang itu telah mendirikan
Seng Hwee Kauw, dia adalah Seng Hwee Sin Kun”
“Ooooh!” Tio Bun Yang
manggut-manggut. “Kok engkau begitu jelas tentang kejadian itu?”
“Hek Pek Siang Sat yang
memberitahukan kepadaku,“ sahut Ngo Tok Kauwcu, “Oleh karena itu, aku harus
membangun kembali Ngo Tok Kauw agar dapat melawan Seng Hwee Kauw.”
“Ternyata begitu...” Tio Bun
Yang manggut-manggut, kemudian menaruh bungkusan yang dibawanya ke atas meja
seraya berkata. “ini hadiah dari hartawan Kwee. Sebetulnya aku tidak mau
terima, tapi hartawan Kwee terus mendesak, maka aku terpaksa menerimanya dengan
maksud dipergunakan untuk menolong orang miskin. Berhubung Kauwcu sangat
membutuhkan uang, jadi kuberikan kepada Kauwcu saja. Isinya berupa uang perak
atau uang emas, aku sama sekali tidak tahu karena tidak memeriksanya.”
“Oh?” Ngo Tok Kauwcu kelihatan
tertegun. Begitu pula Hek Pek Siang Sat, yang berdiri di sisi kiri kanannya.
Mereka sama sekali tidak menyangka, Tio Bun Yang akan memberikan uang itu.
“Nah!” Tio Bun Yang bangkit
berdiri seraya berkata. “Sekarang aku mohon diri!”
“Terimakasih atas kebaikan
siauwhiap, tapi...?"
“Kenapa?"
“Peraturan Ngo Tok Kauw,
apabila ada tamu yang diundang, sebelum pergi harus dijajal
kepandaiannya?"
"Kauwcu!" Tio Bun
Yang menggelengkan kepala. “Itu tidak perlu.”
“Harus,” sahut Ngo Tok Kauwcu.
Sesungguhnya tidak ada peraturan tersebut, tapi wanita itu ingin menjajal
kepandalan Tio Bun Yang.
“Kalau tidak, siauwhiap tidak
bisa meninggalkan tempat ini.”
“Kauwcu!” Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala. “Kenapa harus merusak suasana?”
“Itu sudah merupakan
peraturan.” sahut Ngo Tok Kauwcu sambil tertawa, kemudian berkata kepada Hek
Sat. “Ambilkan kecapiku!”
“Kauwcu....” Hek Sat tampak
ragu.
“Cepat ambilkan!” bentak Ngo
Tok Kauwcu.
“Ya, Kauwcu.” Hek Sat segera pergi
mengambil kecapi tersebut, kemudian ditaruh di atas meja.
“Kalian semua boleh
meninggalkan ruang ini,” ujar Ngo Tok Kauwcu dan berpesan. “Bawa juga semua
binatang beracun yang ada di ruang ini!”
“Ya, Kauwcu.” Hek Pek Siang
Sat mengangguk, lalu mengibaskan tangannya. Para anggota Ngo Tok Kauw yang
berdiri di situ langsung meninggalkan ruang itu. Barulah Hek Pek Siang Sat
berjalan pergi sambil bersiul dan seketika
semua binatang beracun yang
ada di situ merayap pergi mengikuti mereka.
“Tio siauwhiap!” Ngo Tok
Kauwcu memandang monyet bulu putih yang duduk diam dibahu Tio Bun Yang.
“Bagaimana monyet itu?”
“Tidak apa-apa.” Tio Bun Yang
tersenyum. “Biar kauw-heng tetap duduk di bahuku.”
“Baiklah.” Ngo Tok Kauwcu
mengangguk.
Ketika Tio Bun Yang berada di
rumah hartawan Kwee, monyet bulu putih tetap duduk dibahunya. Begitu pula di
saat Tio Bun Yang mengobati hartawan Kwee dan putrinya. Hartawan Kwee dan
isterinya memang tahu aturan, sama sekali tidak bertanya tentang monyet bulu
putih itu.
“Kauwcu ingin memainkan kecapi
itu?" tanya Tio Bun Yang sambil memandang alat musik yang ada di atas
meja.
“Betul Sahut Ngo Tok Kauwcu
“Tio siauwhiap harus tahu, aku akan memainkan Mi Hun Mo Im (Suara Iblis
Menyesatkan Sukma), maka Siauwhiap harus berhati-hati Kalau tidak kuat
bertahan, jangan memaksa diri karena siauwhiap akan terluka dalam.”
“Ya.” Tio Bun Yang mengangguk.
“Kalau begitu...” Jari tangan
Ngo Tok Kauwcu menyentuh tali senar kecapi itu. "Aku akan mulai.”
Cring! Cring! Cring...! Jari
tangan Ngo Tok Kauw mulai bergerak memetik tali senar alat musik itu. Perlu
diketahui, tali senar itu berjumlah empat. Kini Ngo Tok Kauwcu hanya memetik
dua di antaranya, namun cukup mengejutkan Tio Bun Yang, sebab ia mülai
terpengaruh oleh Mi Hun Mo Im itu. Segeralah ia mengerahkan ilmu PenakLuk
Iblis. Barulah ia terbebas dan pengaruh itu, otomatis wajahnya berseri.
Bukan main kagumnya Ngo Tok
Kauwcu, tapi juga merasa penasaran karena Tio Bun Yang tidak terpengaruh Karena
itu, ia mulai memetik tali senar ke tiga, sehingga suara kecapi itu semakin
tajam dan meninggi.
Akan tetapi, Tio Bun Yang
tetap tidak terpengaruh, sebaliknya wajahnya malah bertambah berseri.
Ngo Tok Kauwcu semakin kagum,
namun juga semakin penasaran dan membuatnya jadi nekat. Ia mulai memetik tali
senar ke empat. Itu sungguh mengejutkan Tio Bun Yang, sebab pemuda itu tahu
akhirnya Ngo Tok Kauwcu akan mengalami luka dalam, apabila ia kuat bertahan.
Oleh karena itu, Ia
cepat-cepat mengeluarkan suling pualamnya, sekaligus meniupnya. Terdengarlah
suara suling yang amat halus menekan suara kecapi itu. Tio Bun Yang memang
menggunakan suara suling pualamnya untuk menekan suara kecapi agar Ngo Tok
Kauwcu akan berhenti memainkan kecapinya jadi tidak akan mengalami luka dalam.
Itu memang benar. Ngo Tok Kauwcu telah memetik tali senar ke empat, maka tidak
bisa berhenti mendadak. Apabila ia berhenti mendadak, pasti mati terserang oleh
Mi Hun Mo Im itu.
Di saat ia dalam keadaan gugup
dan panik, dilihatnya Tio Bun Yang mengeluarkan suling pualamnya. Tak lama
terdengarlah suara suling pualam yang amat halus, dan seketika dadanya jadi
lega.
Suara suling pualam itu
berhasil menekan suara kecapi, karena Tio Bun Yang mengerahkan Pan Yok Hian
Thian Sin Kang untuk meniup suling pualamnya itu.
Berselang beberapa saat
kemudian, Ngo Tok Kauwcu pun berhenti, lalu memandang Tio Bun Yang sambil
menarik nafas dalam-dalam.
Tio Bun Yang pun berhenti
meniup suling pualamnya, lalu memandang Ngo Tok Kauwcu sambil tersenyum lembut.
"Terima kasih Tio
siauwhiap!” ucapnya sambil memberi hormat.
"Kauwcu," ujar Tio
Bun Yang berpesan. "Jangan sembarangan memetik tali senar ke empat itu,
sangat membahayakan dirimu.”
"Aku terlampau
penasaran," sahut Ngo Tok Kauwcu sambil menundukkan kepala. "Karena
itu aku lalu nekat.”
“Tiada artinya kan?” Tio Bun
Yang tersenyum lagi. “Untung aku memiliki suling pualam ini. Kalau tidak,
bukankah Kauwcu akan celaka?”
"Ya," Ngo Tok Kauwcu
manggut-manggut. “Tio siauwhiap, engkau memang merupakan pendekar yang berhati
bajik. Aku kagum sekali kepadamu.”
“Terima kasih!” ucap Tio Bun
Yang sambil menyimpan suling pualamnya kedalam bajunya. “Oh ya! Kenapa Kauwcu
memakai cadar?”
“Karena....” Ngo
Tok Kauwcu menghela
nafas panjang.
“Karena wajahku telah rusak
oleh racun. Sedangkan aku dan Hek Pek Siang Sat tak dapat membuat obat
pemunahnya.”
“Oh?” Tio Bun Yang mengerutkan
kening. “Kauwcu, bolehkah aku melihat wajahmu?"
"Jangan!” Ngo Tok Kauwcu menggelengkan kepala.
"Karena akan mengejutkan Tio siauw hiap, wajahku...
sungguh menakutkan."
“Tidak apa-apa," ujar Tio
Bun Yang sungguh-sungguh. "Aku ingin memeriksa wajah Kauwcu.”
“Tapi....” Ngo Tok Kauwcu
tampak ragu.
“Jangan ragu, Kauwcu!” desak
Tio Bun Yang. “Mudah-mudahan aku bisa mengobati wajahmu.”
“Baiklah? Perlahan-lahan Ngo
Tok Kauwcu melepaskan kain cadarnya.
Tio Bun Yang terbelalak sebab
wajah Ngo Tok Kauwcu memang sungguh menakutkan. Membengkak dan bernanah, bahkan
berlubang-lubang kecil.
“Kenapa wajah Kauwcu bisa jadi
begitu?"
“Aaaah “ Ngo Tok Kauwcu
menghela nafas panjang, "Aku meramu semacam racun, khususnya untuk
membunuh Seng Hwee Sin Kun. Namun akü tidak berhasil meramu racun itu,
sebaliknya malah membuat wajahku jadi keracunan begini.”
“Ooooh!” Tio Bun Yang
manggut-manggUt. “Kauwcu, bolehkah aku memerika wajahmu?"
“Silakan!” sahut Ngo Tok
Kauwcu, Namun wanita itu tidak yakin Tio Bun Yang dapat menyembuhkan wajahnya.
Tio Bun Yang mengeluarkan
sebatang jarum perak, setelah itu mulailah memeriksa wajah Ngo Tok Kauwcu
dengan jarum perak itu secara intensif sekali.
Berselang beberapa saat
kemudian, barulah ia manggut-manggut, sambil membersihkan jarum perak itu, yang
lalu disimpan ke dalam bajunya.
“Bagaimana? Bisakah engkau
mengobati Wajahku?" tanya Ngo Tok Kauwcu sambil memandangnya.
“Mudah-mudahan!” sahut Tio Bun
Yang dengan tersenyum lalu bertanya. “Oh ya, disini tersimpan Coa Cih Cauw
(Daun Lidah Ular) dan...?”
“Ada!” Ngo Tok Kauwcu
mengangguk. Ia memang menyimpan beberapa macam daun dan rumput obat tersebut.
“Tolong ambilkan!” ujar Tio
Bun Yang.
Ngo Tok Kauwcu menepuk tangan
tiga kali, kemudian muncullah Hek Pek Siang Sat, yang lalu memberi hormat
kepada Ngo Tok Kauwcu.
“Ada perintah apa,
Kauwcu?"
“Ambilkan daun
dan rumput obat....”
Ngo Tok Kauwcu
menyuruh mereka mengambil daun
dan rumput obat tersebut.
“Ya, Kauwcu.” Hek Pek Siang
Sat segera pergi mengambil daun dan rumput obat itu.
Tak seberapa lama, mereka
sudah kembali kesitu dengan membawa daun dan rumput obat itu, yang lalu
ditaruhnya di atas meja.
“Kauwcu,” ujar Tio Bun Yang.
“Tolong tumbuk sampai halus daun dan rumput obat itu!”
Ngo Tok Kauwcu mengangguk,
lalu menumbuk daun dan rumput obat itu sampai halus, setelah itu ditaruh ke
dalam sebuah mangkok tembaga.
Tio Bun Yang mengambil dua
butir obat pemunah racun, lalu dihancurkannya sekaligus dimasukkan ke dalam
mangkok tembaga itu, dan diaduknya.
Sementara Hek Pek Siang Sat
saling memandang. Mereka berdua tahu Tio Bun Yang mencoba mengobati wajah
Kauwcu mereka. Namun mereka berdua tidak yakin Tio Bun Yang akan berhasil.
"Maaf!" ucap Tio Bun
Yang. "Aku akan mengoleskan obat ini diwajahmu, boleh kan?”
Ngo Tok Kauwcu
manggut..manggut.
Dengan hati-hati sekali Tio
Bun Yang mengoleskan obat itu di wajah Ngo Tok Kauwcu. Itu membuat Ngo Tok
Kauwcu berterima kasih dan terharu.
“Harus tunggu sebentar,"
ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum. Mudah-mudahan wajahmu akan sembuh!”
Ngo Tok Kauwcu
manggut-manggut, Tio Bun Yang duduk diam, sedangkan Hek Pek Siang Sat berdiri
mematung di sisi kiri kanan Ngo Tok Kauwcu, mereka berdua berharap wajah Kauwcu
bisa sembuh.
Tak lama kemudian, Tio Bun
Yang menyuruh Hek Sat mengambil sebaskom air hangat. Hek Sat mengangguk dan
segera pergi mengambil sebaskom air hangat lalu ditaruh di atas meja.
"Terima kasih!” ucap Tio
Bun Yang. Kemudian ia memandang Ngo Tok Kauwcu seraya berkata. "Silakan
Kauwcu mencuci muka sekarang!"
"Mencuci muka?" Ngo
Tok Kauwcu tertegun. "Tapi. . . ."
"Jangan ragu, cucilah
mukamu!” sahut Tio Bun Yang mendesaknya sambil tersenyum lembut.
Ngo Tok Kauwcu menatapnya
sejenak, setelah itu barulah mulai mencuci mukanya. Berselang sesaat, Ia
mendongakkan kepalanya. Seketika Hek Pek Siang Sat berseru kaget dengan mata
terbelalak lebar.
"Haaah. . . .?"
“Kenapa?” tanya Ngo Tok Kauwcu
dengan rasa heran. "Wajah Kauwcu! Wajah Kauwcu!”
“Kenapa wajahku?" tanya
Ngo Tok Kauwcu tegang.
“Wajah Kauwcu sudah
sembuh," sahut Hek Pek Siang Sat serentak dengan wajah berseri. “Wajah
Kauwcu sudah sembuh.”
“Apa?!” Ngo Tok Kauwcu kurang
percaya. “Wajahku telah sembuh?”
“Benar.” Tio Bun Yang
manggut-manggut sambil tersenyum. “Cobalah Kauwcu raba!”
Dengan tangan agak bergemetar
Ngo Tok Kauwcu meraba-raba wajahnya Ternyata wajahnya sudah berubah halus.
Betapa terkejut dan gembiranya Ngo Tok Kauwcu. Mulut ternganga lebar dan
matanya terbelalak menatap Tio Bun Yang.
"Wajahku. . . wajahku. .
. ."
Tio Bun Yang hanya tersenyum.
Sedangkan Hek Sat segera mengambil sebuah kaca, lalu diberikan kepada Ngo Tok
Kauwcu.
Ngo Tok Kauwcu langsung
mengaca, dan begitu melihat wajahnya ía langsung menangis terisak-isak. Memang
sungguh di luar dugaan, karena wajahnya sudah sembuh, sehingga tampak cantik.
“Selamat, Kauwcu!” ucap Tio
Bun Yang.
“Tio siauwhiap....” Gadis
berusia dua puluhan itu langsung
berlutut di hadapan Tio Bun
Yang.
Ketika melihat Ngo Tok Kauwcu
berlutut, Hek Pek Siang Sat pun ikut berlutut di hadapan Tio Bun Yang.
“Bangunlah!” Tio Bun Yang
mengangkat bangun Ngo Tok Kauwcu. “Tidak usah begini!”
Ngo Tok Kauwcu terus menangis
terisak-isak sambil bangkit berdiri, begitu pula Hek Pek Siang Sat.
“Tio siauwhiap,” ujar gadis
itu dengan air mata berderai-derai sambil duduk. “Namaku Phang Ling Cu. Aku...
aku telah berhutang budi kepadamu.”
"Jangan berkata begitu!”
Tio Bun Yang tersenyum. “ini cuma kebetulan saja..”
“Tio siauwhiap, bolehkah aku
tahu siapa ayahmu?” tanya Ngo Tok Kauwcu mendadak.
"Ayahku bernama Tio Cie
Hiong.”
“Hah? Apa?” Phang Ling Cu dan
Hek Pek Siang Sat tampak terkejut sekali. “Pek Ih Sin Hiap adalah ayahmu?”
"Ya."
“Aaaah. . . .“ Ngo Tok Kauwcu
Phang Ling Cu menghela nafas panjang,"Pantas engkau dapat menyembuhkan
wajahku, karena Sok Beng Yok Ong adalah guru ayahmu”
“Kok Kauwcu tahu?” tanya Tio
Bun Yang
“Hek Peng Siang Sat yang
memberitahukan,” sahut Ngo Tok Kauwcu Phang Ling Cu. “Sungguh beruntung aku
bertemu engkau!”
“Tao siauwhiap,” ujar Hek Sat,
“Kami sama sekali tidak menyangka, bahwa engkau adalah putera Pek Ih Sin Hiap
yang sangat kesohor itu. Maafkan kami, yang telah berlaku kurang hormat
terhadapmu, Tio siauwhiap!”
“Jangan berkata begitu,” ujar
Tao Bun Yang “Sesungguhnya kalian sangat baik terhadapku."
“Tio siauwhiap!” Ngo Tok
Kauwcu tersenyum. “Usiaku lebih tua darimu, bagaimana kalau aku memanggilmu
adik, dan engkau memanggilku kakak?”
“Baik.”Tio Bun Yang tersenyum.
“Adik Bun Yang.” Ngo Tok
Kauwcu tertawa gembira, begitu pula Hek Pek Siang Sat.
“Kakak Ling Cu, aku sudah
harus mohon diri." Tio Bun Yang bangkit berdiri. “Karena harus meneruskan
perjalanan.”
“Adik Bun Yang....” Wajah Ngo Tok Kauwcu berubah
muram. “Bagaimana kalau engkau
tinggal di sini beberapa hari?”
“Maaf Kakak Ling Cu!” ucap Tio
Bun Yang. “Aku harus segera meneruskan perjalanan, lain kali aku akan ke mari
lagi.
“Baiklah,” Ngo Tok Kauwcu
manggut-manggut, lalu menyerahkan bungkusan yang diambilnya di atas meja kepada
Tio Bun Yang. “Jangan lupa membawa bungkusan ini!”
“Kakak Ling Cu!” Tio Bun Yang
tersenyum. “Engkau sangat membutuhkan uang, jadi itu untukmu saja.”
“Adik Bun Yang...."
“Kakak Ling Cu, sampai jumpa!”
Tio Bun Yang melangkah pergi.
Ngo Tok Kauwcu dan Hek Pek
Siang Sat mengantarnya sampai di depan, dan setelah Tio Bun Yang hilang dan
pandangan mereka, barulah mereka kembali masuk.
“Aaaah....” Ngo
Tok Kauwcu menghela
nafas panjang.
“Sungguh tak disangka, dia
malah menyembuhkan wajahku!”
“Ternyata Pek Ih Sin Hiap Tio
Cie Hiong adalah ayahnya!” ujar Hek Sat memberitahukan. “Ketika ayahmu masih
hidup, ingin sekali ayahmu bertemu Pek Ih Sin Hiap, namun....”
“Ayahmu keburu mati,” sambung
Pek Sat sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kini malah putranya yang
menyembuhkan wajahmu. Sungguh
hebat ilmu pengobatannya!”
“Maklum,” ujar Hek Sat.
“Ayahnya pernah ikut Sok Beng Yok Ong, maka Bun Yang pun mahir ilmu
pengobatan.”
“Aaaah....!” Ngo Tok Kauwcu
menghela nafas lagi. “Yang
jelas Ngo Tok Kauw telah
berhutang budi padanya.” -oo0dw0oo-
Bagian 26 Menolong seorang Tua
Tio Bun Yang telah
meninggalkan kota Kang Shi, dan kini memasuki sebuah hutan. Tiba-tiba ia
mendengar suara rintihan. Segeralah ia melesat ke sana. Dilihatnya seorang tua
berusia enam puluhan duduk bersandar di sebuah pohon sambil merintih-rintih.
Nafasnyà memburu, dan wajahnya pucat pias.
"Paman...." Tio Bun
Yang mendekatinya.
“Anak muda...” sahut orang tua
itu lemah. “Kakiku terpagut ular beracun.”
“Oh?” Tio Bun Yang cepat-cepat
memeriksa kaki orang tua itu. Memang terdapat bekas pagutan ular di betisnya.
Tio Bun Yang segera menotok
beberapa jalan darah di dada orang tua itu, agar racun ular tidak menjalar ke
jantung. Setelah itu, ia mengeluarkan jarum peraknya, kemudian mengorek bekas
pagutan ular.
Sementara orang tua itu terus
menatapnya dengan mata redup. Usai mengorek bekas pagutan ular itu, Tio Bun
Yang memasukkan sebutir obat pemunah racun ke dalain mulut si orang tua.
Tak seberapa lama, tampak
darah hitam mengalir ke luar dan bekas pagutan ular. Berselang sesaat, yang
keluar berganti darah merah, Tio Bun Yang segera menotok jalan darah di kaki
orang tua itu. Seketika darah merah berhenti mengalir dan Tio Bun Yang menarik
nafas lega.
Nafas orang tua itu tidak
memburu lagi, dan wajahnya pun tampak agak segar. Betapa gembiranya orang tua
itu, kemudian ucapnya. “Terimakasih anak muda, engkau telah menyelamatkan
nyawaku!”
“Paman. . .“ Tio Bun Yang
tersenyum “Dimana rumah Paman? Aku akan mengantar Paman pulang.”
“Tidak jauh dan sini,"
sahut orang tua itu sambil menunjuk ke arah timur.
Tio Bun Yang menggendong orang
tua itu, lalu melesat ke arah timur menuju rumah orang tua tersebut.
Tak seberapa lama, sampailah
ia di rumah orang tua itu. Ditaruhnya orang tua itu ke tempat duduk, kemudian
ia pun duduk di hadapannya".
"Kenapa Paman berada di
hutan itu?”
“Aku mencari daun obat-obatan,
tapi tanpa sengaja aku menginjak ular beracun, dan kemudian ular itu memagut
betisku.”
“Oooh!” Tio Bun Yang
manggut-manggut. "Paman seorang diri tinggal di rumah ini?"
"Ya." Orang tua itu
mengangguk lalu bertanya. "Anak muda, bolehkah aku tahu siapa
engkau?"
“Namaku Tio Bun Yang,
Paman."
"Aku Sie Kuang Han!”
Orang tua itu memberitahukan. “Aku mempunyai seorang anak, namanya Sie Keng
Hauw.”
"Kok tidak kelihatan anak
paman itu?"
“Dia berada di tempat gurunya,
mungkin tidak lama lagi akan pulang." Sie Kuang Han menatapnya. “Anak
muda, terimakasih atas pertolonganmu.”
“Tidak usah berterimakasih,
Paman!” Tio Bun Yang tersenyum. “Kebetulan aku lewat di hutan itu, dan
mendengar suara rintihan Paman.”
"Oooh’” Sie Kuang Han
manggut-manggut, "Engkau masih muda, tapi mahir ilmu pengobatan. Aku
yakin, engkau pasti berkepandaian tinggi."
Tio Bun Yang hanya tersenyum.
Mendadak Sie Kuang Han menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
“Paman kenapa?" tanya Tio
Bun Yang heran.
“Sudah belasan tahun aku
tinggal di sini, tidak sangka hari ini engkau yang menyelamatkan nyawaku."
“Selama belasan tahun, Paman
tidak pernah meninggalkan tempat ini?”
"Tidak pernah.” Sie Kuang
Han menghela napas panjang lagi “Aku memang mengasingkan diri disini Karena di
luar sana sudah tidak karuan."
"Tidak karuan? Maksud
paman?”
“Kerajaan kacau balau, Thay
Kam yang berkuasa di istana. Kelihatannya Dinasti Beng tidak bertahan lebih
lama lagi”
“Paman mantan pembesar?”
-oo0dw0oo-
Jilid 6
"Aku memang mantan
pengawal seorang jenderal," sahut Sie Kuang Han sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Jenderal itu saudara Kandungku, namanya Sie
Kuang Weng. Belasan tahun lalu, Lu Thay Kam memfitnah saudaraku. Karena itu,
kaisar langsung menghukum mati kami sekeluarga. Aku membawa putraku melarikan
diri, namun saudaraku sekeluarga...."
"Dihukum mati
semua?" sambung Tio Bun Yang.
"Ya." Sie Kuang Han
mengangguk dengan mata basah. "Saudaraku mempunyai seorang putri bernama
Sie Hui San,
entah bagaimana nasibnya?
mudah-mudahan ada orang menolongnya!"
"Kalau Sie Hui San
selamat, kira-kira berapa usianya sekarang?" tanya Tio Bun Yang.
"Sekitar tujuh
belas." Sie Kuang Han memberitahukan. "Di lehernya terdapat sebuah
tanda merah. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia bisa selamat?"
"Oh ya! Sudah berapa lama
putra Paman berada di tempat gurunya?"
"Sudah hampir sepuluh
tahun. Apabila dia berhasil menguasai kepandaian tinggi, dia harus pergi
membunuh Lu Thay Kam itu."
"Paman...." Tio Bun
Yang menggeleng-geleng kan kepala.
"Apa gunanya
bunuh-membunuh? Tiada artinya sama sekali."
"Anak muda!" Sie
Kuang Han menatapnya "Lu Thay Kam itu memfitnah saudaraku ingin
memberontak, akhirnya kaisar menghukum mati saudaraku sekeluarga, bahkan
isteriku pun di hukum mati. Itu merupakan dendam kesumat, maka Lu Thay Kam
harus dibunuh!"
"Paman...." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala
lagi, kemudian bangkit
berdiri. "Paman, aku mohon pamit!"
"Kenapa begitu
cepat?"
"Aku masih harus
meneruskan perjalanan Sampai jumpa, Paman!"
"Anak muda...." Sie
Kuang Han menghela nafas panjang.
Sedangkan Tio Bun Yang terus
berjalan meninggalkan rumah itu.
-oo0dw0oo-
Ketika matahari mulai condong
ke ufuk barat, Bun Yang telah sampai di sebuah kota kecil, mendadak ia
mendengar suara pertempuran, dan segera melesat ke tempat itu. Ternyata pasukan
kerajaan sedang bertempur dengan para pemberontak, korban pun berjatuhan.
Menyaksikan pertempuran itu,
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. Para pemberontak bertempur mati
matian, dan pasukan kerajaan yang berjumlah ratusan orang itu terus menyerang
para pemberontak yang tersisa puluhan orang, sebab sudah banyak vang mati dan
terluka.
"Habiskan mereka
semua!" seru pemimpin pasukan kerajaan. "Jangan sampai ada yang
meloloskan diri!"
Sebetulnya Tio Bun Yang tidak
mau mencampuri urusan itu. Namun ia merasa tidak tega melihat para pemberontak
dibantai oleh pasukan kerajaan.
"Kauw heng, aku terpaksa
harus menolong para pemberontak itu," ujarnya kepada monyet putih yang
duduk di bahunya.
Monyet bulu putih bercuit
sambil manggut-manggut, seakan menyetujuinya. Tio Bun Yang menarik nafas dalam
dalam, setelah itu mendadak melesat ke depan, lalu beijungkir balik ke arah
pemimpin pasukan kerajaan itu.
Betapa terkejutnya pemimpin
pasukan kerajaan ketika melihat sosok bayangan melesat ke ....
Jilid 6 Halaman 6-7 ga ada
..... itu sambil memberi
hormat. "Silakan masukk!.”
Tio Bun Yang memandang kedua
orang yang mengantarnya, dan kedua orang itu segera berkata
"Silakan masuk, siauw
hiap! Kami menunggu di luar saja."
Tio Bun Yang manggut-manggut,
lalu melangkah memasuki tenda itu. Dilihatnya seorang lelaki berusia empat
puluh, yang gagah dan berwibawa duduk di situ.
"Oh, siauw hiap!"
Lelaki itu tertawa gembira sambil bangkit berdiri. "Silakan duduk!"
"Terimakasih!" ucap
Tio Bun Yang lalu duduk
"Siauw hiap!" Lelaki
itu memandangnya sambil memperkenalkan diri. "Aku Lie Tsu Seng, terima
kasih atas pertolonganmu!”.
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut" Ternyata Paman adalah Lie Tsu Seng yang di sanjung
rakyat! Kebetulan aku lewat di kota kecil itu. Karena menyaksikan pertempuran
yang tak seimbang maka aku turun tangan menolong para pemberontak itu."
"Mereka para anak
buahku" Lie Tsu Seng memberitahukan. "Kalau siauw hiap tidak segera
muncul, mereka pasti mati. Sekali lagi kuucapkan terimakasih kepada siauw
hiap!"
"Paman tidak usah
mengucapkan terima kasih kepadaku. Paman ingin membebaskan penderitaan rakyat,
maka wajar aku membantu mereka” ujar Tio Bun sambil tersenyum.
”Oh ya, nama siauw hiap ?”
”Namaku Tio Bun Yang ”
”Tio siauw hiap masih sangat
muda, tapi berkepandaian begitu tinggi. Itu sungguh di luar dugaan dan
mengagumkan! Ha..ha..ha!”
"Paman!" Tio Bun
Yang memandangnya. "Ada sesuatu penting Paman mengundangku kemari?"
"Begini, kini kerajaan
sudah bobrok. Para Thay Kam dan menteri saling merebut kekuasaan, sedangkan
kaisar cuma
tahu bersenang-senang,
sehingga membuat rakyat menderita sekali. Tio Sauw hiap berkepandaian begitu
tinggi, bagaimana kalau bergabung dengan kami?"
"Maaf, Paman!" Tio
Bun Yang menggelengkan kepala. "Aku tidak mau mencampuri urusan politik
kerajaan."
"Aaaah...." Lie Tsu
Seng menghela nafas panjang "Sungguh
sayang sekali! Padahal saat
ini tenagamu sangat dibutuhkan rakyat."
"Maaf, Paman!" ucap
Tio Bun Yang sambil bangkit berdiri. "Aku tidak mau mencampuri urusan
pemberontakan."
"Tio siauw hiap...."
Lie Tsu Seng tampak kecewa sekali.
"Paman, banyak
pemberontakan di sana sini. Paman harus menyatukan mereka, agar kuat. Kalau
tidak. Paman tidak akan berhasil," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh.
"Usul yang tepat!"
Lie Tsu Seng tertawa gernbira. "Aku pasti berupaya menyatukan mereka!!
"Oh ya!" Tio Bun
Yang memberitahukan. "Kalau aku bertemu Bibi Suan Hiang, aku akan
berunding dengan dia supaya dia mau bergabung dengan Paman."
"Siapa dia?" tanya
Lie Tsu Seng tertarik.
"Bibi Suan Hiang adalah
ketua Tiong Ngie Pay." Tio Bun Yang memberitahukan. "Mungkin Bibi
Suan Hiang akan bergabung dengan Paman”
"Ketua Tiong Ngie
Pay?" Wajah Lie Tsu berseri. "Perkumpulan itu khususnya menentang
Hiat Ih Hwe, kan?'
"Betul."
"Bagus, bagus!" Lie
Tsu Seng tertawa gelak. "Sudah lama aku ingin menemui ketua Tiong Ngie Pay
itu, namun tidak mempunyai waktu. Kebetulan engkau ingin bicara kepadanya, itu
sungguh bagus sekali. Tolong sampaikan salamku
kepadanya, dan semoga mereka
bersedia bergabung dengan kami!"
"Pasti kuusahakan,"
ujar Tio Bun Yang berjanji.
"Terimakasih!" ucap
Lie Tsu Seng sambil tertawa gembira. "Ha ha ha...!"
"Paman, aku mohon
pamit!"
"Baiklah." Lie Tsu
Seng mengangguk, lain mengantar Tio Bun Yang sampai di luar tenda.
"Sampai jumpa,
Paman!" ucap Tio Bun Yang ambil memberi hormat, kemudian melesat pergi
laksana kilat,
"Bukan main!" seru
Lie Tsu Seng kagum. „Masih begitu muda tapi berkepandaian begitu tinggi“
---ooo0dw0ooo---
..... itu sambil memberi
hormat. "Silakan masukk!.”
Tio Bun Yang memandang kedua
orang yang mengantarnya, dan kedua orang itu segera berkata
"Silakan masuk, siauw
hiap! Kami menunggu di luar saja."
Tio Bun Yang manggut-manggut,
lalu melangkah memasuki tenda itu. Dilihatnya seorang lelaki berusia empat
puluh, yang gagah dan berwibawa duduk di situ.
"Oh, siauw hiap!"
Lelaki itu tertawa gembira sambil bangkit berdiri. "Silakan duduk!"
"Terimakasih!" ucap
Tio Bun Yang lalu duduk
"Siauw hiap!" Lelaki
itu memandangnya sambil memperkenalkan diri. "Aku Lie Tsu Seng, terima
kasih atas pertolonganmu!”.
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut" Ternyata Paman adalah Lie Tsu Seng yang di sanjung
rakyat! Kebetulan aku
lewat di kota kecil itu.
Karena menyaksikan pertempuran yang tak seimbang maka aku turun tangan menolong
para pemberontak itu."
"Mereka para anak
buahku" Lie Tsu Seng memberitahukan. "Kalau siauw hiap tidak segera
muncul, mereka pasti mati. Sekali lagi kuucapkan terimakasih kepada siauw
hiap!"
"Paman tidak usah
mengucapkan terima kasih kepadaku. Paman ingin membebaskan penderitaan rakyat,
maka wajar aku membantu mereka” ujar Tio Bun sambil tersenyum.
”Oh ya, nama siauw hiap ?”
”Namaku Tio Bun Yang ”
”Tio siauw hiap masih sangat
muda, tapi berkepandaian begitu tinggi. Itu sungguh di luar dugaan dan
mengagumkan! Ha..ha..ha!”
"Paman!" Tio Bun
Yang memandangnya. "Ada sesuatu penting Paman mengundangku kemari?"
"Begini, kini kerajaan
sudah bobrok. Para Thay Kam dan menteri saling merebut kekuasaan, sedangkan
kaisar cuma tahu bersenang-senang, sehingga membuat rakyat menderita sekali.
Tio Sauw hiap berkepandaian begitu tinggi, bagaimana kalau bergabung dengan
kami?"
"Maaf, Paman!" Tio
Bun Yang menggelengkan kepala. "Aku tidak mau mencampuri urusan politik
kerajaan."
"Aaaah...." Lie Tsu
Seng menghela nafas panjang "Sungguh
sayang sekali! Padahal saat
ini tenagamu sangat dibutuhkan rakyat."
"Maaf, Paman!" ucap
Tio Bun Yang sambil bangkit berdiri. "Aku tidak mau mencampuri urusan
pemberontakan."
"Tio siauw hiap...."
Lie Tsu Seng tampak kecewa sekali.
"Paman, banyak
pemberontakan di sana sini. Paman harus menyatukan mereka, agar kuat. Kalau
tidak. Paman tidak akan berhasil," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh.
"Usul yang tepat!"
Lie Tsu Seng tertawa gernbira. "Aku pasti berupaya menyatukan mereka!!
"Oh ya!" Tio Bun
Yang memberitahukan. "Kalau aku bertemu Bibi Suan Hiang, aku akan
berunding dengan dia supaya dia mau bergabung dengan Paman."
"Siapa dia?" tanya
Lie Tsu Seng tertarik.
"Bibi Suan Hiang adalah
ketua Tiong Ngie Pay." Tio Bun Yang memberitahukan. "Mungkin Bibi
Suan Hiang akan bergabung dengan Paman”
"Ketua Tiong Ngie
Pay?" Wajah Lie Tsu berseri. "Perkumpulan itu khususnya menentang
Hiat Ih Hwe, kan?'
"Betul."
"Bagus, bagus!" Lie
Tsu Seng tertawa gelak. "Sudah lama aku ingin menemui ketua Tiong Ngie Pay
itu, namun tidak mempunyai waktu. Kebetulan engkau ingin bicara kepadanya, itu
sungguh bagus sekali. Tolong sampaikan salamku kepadanya, dan semoga mereka
bersedia bergabung dengan kami!"
"Pasti kuusahakan,"
ujar Tio Bun Yang berjanji.
"Terimakasih!" ucap
Lie Tsu Seng sambil tertawa gembira. "Ha ha ha...!"
"Paman, aku mohon
pamit!"
"Baiklah." Lie Tsu
Seng mengangguk, lain mengantar Tio Bun Yang sampai di luar tenda.
"Sampai jumpa,
Paman!" ucap Tio Bun Yang ambil memberi hormat, kemudian melesat pergi
laksana kilat,
"Bukan main!" seru
Lie Tsu Seng kagum. „Masih begitu muda tapi berkepandaian begitu tinggi“
---ooo0dw0ooo---
Tio Bun Yang terus melanjutkan
perjalanan. Di saat saat memasuki sebuah rimba, mendadak muncul belasan orang
berpakaian hijau dengan berbagai macam senjata di tangan. Belasan orang
berpakaian hijau itu langsung mengurungnya, dan Tio Bun Yang memandang mereka
dengan kening berkerut.
"Siapa kalian?"
tanyanya. "Kenapa mengurungku?”
"Engkau adalah Giok Siauw
Sin Hiap - Tio Bun Yang, bukan?" tanya salah seorang, yang rupanya
pemimpin belasan orang berpakaian hijau itu.
"Betul." Tio Bun
Yang manggut-manggut.
"Kami para anggota Seng
Hwee Kauw! Hari ini engkau harus mampus di tangan kami!"
"Oh?" Tio Bun Yang
tersenyum. "Kita tidak bermusuhan, kenapa kalian ingin membunuhku?”
"Ini perintah dari ketua
kami!"
"Siapa ketua
kalian?"
"Seng Hwee Sin Kun!"
"Apakah Seng Hwee Sin Kun
punya dendam denganku?"
"Kami tidak tahu! Yang
jelas ketua perintahkan kami membunuhmu! Bersiap-siaplah engkau untuk
mati!"
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Kenapa kalian mematuhi perintahnya yang
bukan-bukan ini?"
"Seng Hwee Sin Kun adalah
ketua kami sudah barang tentu kami harus mematuhi semua perintahnya!"
"Sudahlah!" Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Lebih baik kalian membiarkan aku
pergi."
'Tidak bisa! Pokoknya kami
harus membunuhmu!" sahut orang itu.
"Kalian semua betul-betul
cari penyakit," ujar Tio Bun Yang sambil mengeluarkan suling pualam nya.
Sedangkan monyet bulu putih tetap duduk di bahunya.
"Serang dia!" seru
pemimpin para anggota Seng Hwee Kauw itu.
Orang-orang itu langsung
menyerang Tio Bun Yang dengan berbagai macam senjata. Tio Bun Yang segera
berkelit menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou, kemudian balas menyerang dengan
ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi dan mengeluarkan jurus Hai Lang Thau Thau
(Ombak Laut Menderu-Deru), Hoan Thian Coan Te (Membalikkan Langit Memutarkan
Bumi) dan jurus Han In Giok Siauw (Ribuan Bayangan Suling Kumala).
Ketiga jurus itu berhasil
memutuskan urat para anggota Seng Hwee Kauw, sehingga kepandaian mereka musnah.
Mereka terkapar sambil merintih-rintih dengan mulut mengeluarkan darah segar.
"Engkau...
engkau...." Pemimpin para anggota Seng Hwee
Kauw menunjuknya dengan tangan
bergemetar.
"Kalian yang cari
penyakit, bukan aku berhati kejam," ujar Tio Bun Yang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Kini kepandaian kalian telah musnah, aku
harap kalian menjadi orang baik-baik!"
"Hmm!" dengus
pemimpin para anggota Seng Hwee Kauw. "Ketua kami pasti mencarimu untuk
menuntut balas!"
"Oh?" Tio Bun Yang
tersenyum. "Aku memang ingin bertemu ketua kalian. Di mana markas
kalian?"
"Di Lembah Kabut
Hitam!"
"Di mana Lembah
itu?"
"Dekat kaki Gunung Batu
Hitam!"
"Terimakasih atas
kesediaanmu memberitahukan kepadaku, sampai jumpa!" ucap Tio Bun Yang lalu
melesat pergi
---ooo0dw0ooo---
Bagian ke dua puluh tujuh
Hiat Ih Hwe dan Seng Hwee Kauw
bekerja sama.
Seng Hwee Sin Kun memukul meja
dengan wajah merah padam. Dia sangat gusar setelah menerima laporan bahwa
belasan anggotanya gagal membunuh Tio Bun Yang, dan sebaliknya kepandaian
mereka malah musnah.
"Aku harus membunuh Tio
Bun Yang!" ujar Seng Hwee Sin Kun sambil mengepal tinju.
"Jangan gusar,
Ketua!" ujar Leng Bin Hoatsu. "Sebab para anggota kita itu
berkepandaian rendah, tentunya tidak bisa melawan Giok Siauw Sin Hiap."
”Kalau begitu, perlukah aku
yang turun tangan membunuh Giok Siauw Sin Hiap, Chu Ok Hiap dan lainnya?"
"Tidak perlu,
Ketua," sahut Pek Bin Kui dan menambahkan. "Apabila perlu, kami akan
turun tangan."
"Betul," sambung Pat
Pie Lo Koay. "Biar kami yang turun tangan, dan itu sudah cukup."
Mendadak terdengar suara
seruan di luar, yang susul-menyusul, dan seketika mereka pun berhenti
berbicara.
"Gak Cong Heng, wakil
ketua Hiat Ih Hwe berkunjung!"
"Gak Cong Heng wakil
ketua Hiat Ih Hwe berkunjung..'" "Undang dia masuk!" sahut Seng
Hwee Sin Kun. "Undang dia masuk!
"Undang dia masuk....” terdengar suara yang susul-
menyusul sampai di luar.
Berselang beberapa saat,
tampak seseorang berjalan masuk, yang tidak lain Gak Cong Heng, wakil ketua
Hiat Ih Hwe, yang lalu memberi hormat kepada Seng Hwee Sin Kun dan lainnya.
"Selamat datang, Saudara
Gak!" ucap Seng Hwee Sin Kun sambil tertawa gembira. "Ha ha
ha...!"
"Selamat bertemu,
ketua!" sahut Gak Cong Heng sambil tertawa gelak.
"Silakan duduk!"
ucap Seng Hwee Sin Kun.
"Terimakasih!" Gak
Cong Heng duduk.
"Mari kuperkenalkan! Ini
adalah Leng Bin Hoat, wakil ketua Seng Hwee Kauw dan...." Seng Hwee Sin
Kun memperkenalkan mereka satu-persatu.
Gak Cong Heng dan mereka
saling memberi hormat sambil tertawa-tawa, setelah itu Seng Hwe Sin Kun
bertanya.
"Ada sesuatu penting
Saudara Gak ke mari?”
"Ya," Gak Cong Heng
mengangguk. ”Ketua mengutusku ke mari untuk mengundang Hwee Sin Kun ke markas
kami."
"Oh?" Seng Hwee Sin
Kun menatapnya sambil tertawa. "Ketua Hiat Ih Hwe ingin merundingkan
sesuatu denganku?"
"Betul." Gak Cong
Heng mengangguk.
"Kalau begitu...." Seng Hwee Sin Kun diam sejenak,
kemudian barulah
manggut-manggut. "Baik, aku akan ke sana."
"Terimakasih, Sin
Kun!" ucap Gak Cong Heng gembira. "Harap Sin Kun bersedia ikut aku
kesana”
"Sekarang?" ujar
Seng Hwee Sin Kun.
"Ya."
Baiklah," Seng Hwee Sin
Kun manggut-manggut. "Mari kita berangkat, jadi tidak usah membuang-buang
waktu."
"Betul," Lu Thay Kam
manggut-manggut.
"Terimakasih!" ucap
Gak Cong Heng, dan mereka berdua lalu berangkat
Wajah Gak Cong Heng tampak
berseri, karena berhasil mengundang Seng Hwee Sin Kun ke markasnya.
---ooo0dw0ooo---
Di dalam markas Hiat Ih Hwe,
tampak beberapa orang sedang duduk sambil tertawa gembira, dan terus bersulang
dengan wajah berseri-seri.
"Ketua "Ha ha
ha!" Ketua Hiat Ih Hwe tertawa gembira. "Sin Kun mau ke mari, sungguh
merupakan suatu kehormatan bagi Hiat Ih Hwe."
"Sama-sama," sahut
Seng Hwee Sin Kun sambil tertawa gelak. "Lu Kong Kong mengundangku kemari,
juga merupakan kehormatan bagiku."
"Ha ha ha!" Ketua
Hiat Ih Hwe atau Lu Thay Kam tertawa terbahak-bahak. "Mari kita bersulang
lagi!"
Mereka bersulang, setelah itu
mulailah mereka mengarah pada pokok pembicaraan,
"Lu Kong Kong
mengundangku ke mari, tentunya ada sesuatu penting. Silakan terbuka saja!"
ujar Seng Hwee Sin Kun
”Betul” Lu Thay Kam
manggut-manggut "Terus terang, aku ingin berunding dengan Sin Kun."
"Mengenai apa?"
"Maksudku, Hiat Ih Hwe
ingin bekerja sama dengan Seng Hwee Kauw. Bagaimana menurut. Sin Kun?"
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa. "Itu memang baik sekali. Tentunya aku setuju."
"Bagus, bagus! Ha ha
ha...!" Lu Thay Kam tertawa gembira. "Namun hal ini sudah pasti ada
persyaratannya, bukan?"
"Betul." Seng Hwee
Sin Kun mengangguk "Kira-kira apa persyaratannya?"
"Bagaimana kalau Sin Kun
yang mengajukannya dulu?"
"Lu Kong Kong tentunya
tahu bahwa Se Hwee Kauw kian hari kian bertambah besar dan kuat,
namun____" Lanjut Seng Hwee Sin Kun sambil memandangnya. "Mengenai
keuangan Seng Hwe Kauw, otomatis mengalami kesulitan."
"Maksud Sin Kun ingin
minta bantuanku! tanya Lu Thay Kam.
"Ya." Seng Hwee Sin
Kun mengangguk.
"Itu gampang. Kapan Sin
Kun membutuhkan, aku pasti menyediakannya," ujar Lu Thay Kan sambil
tertawa.
"Terimakasih, Lu Kong
Kong!" Seng Hwei Kam Sin Kun juga tertawa. "Lalu bagaimana syarat Lu
Kong Kiam- Kong Kong?”
"Tentunya Sin Kun tahu,
kini yang berani menentang Hiat Ih Hwe adalah Tiong Ngie Pay Jadi syaratku
hanya menghendaki agar Seng Kauw membasmi Tiong Ngie Pay Apakah Sin Kun
sanggup?
"Sanggup," Seng Hwee
Sin Kun manggul-manggut.
"Kalau begitu, mari kita
bersulang atas kc sepakatan kita untuk bekerja sama! Ha ha ha...!" Lu Thay
Kam tertawa gembira.
"Mari!" Seng Hwee
Sin Kun juga tertawa terbahak-bahak.
Mereka berdua bersulang dengan
wajah ber-ri, dan sesaat kemudian mereka mulai bercakap-cakap lagi.
"Oh ya!" Lu Thay Kam
teringat sesuatu. "Kini istriku sedang merantau. Aku menghadiahkan pedang
pusaka Han Kong Kiam kepadanya. Harap Sin Kun perintahkan kepada para anggota,
agar jangan mengganggu gadis yang memiliki pedang tersebut."
"Baik." Seng Hwee
Sin Kun mengangguk. ”Tapi bagaimana bentuk Pedang Pusaka itu?”
"Pedang pusaka itu dapat
memancarkan cahaya yang mengandung hawa dingin. Lu Thay Kam memberitahukan.
"Itulah pedang pusaka Han Kong Kiam”
"Nama putri Lu Kong
Kong?”
”Kuberitahukan kepada Sin Kun,
tapi harus dirahasiakan!" pesan Lu Thay Kam dan memberitahukan.
"Namanya Lu Hui San!"
"Aku pasti merahasiakan
identitasnya, ujar Seng Hwee Sin Kun berjanji. "Pokoknya para anggotaku
tidak akan mengganggu putri Lu Kong Kong itu.”
"Terimakasih!" ucap
Lu Thay Kam. "Oh ya, Sin Kun membutuhkan berapa banyak uang emas?"
Seng Hwee Sin Kun
memberitahukan berapa jumlahnya. "Cukupkah?" tanya Lu Thay Kam sambil
tertawa "Cukup."
"Kalau kurang, kapan pun
Sin Kun bok minta kepadaku," ujar Lu Thay Kam.
"Terimakasih, Lu Kong
Kong!" ucap Seng Hwee Sin Kun dengan gembira. "Oh ya, kapan uang itu
akan dikirimkan ke markasku?"
"Beberapa hari ini."
Lu Thay Kam memberitahukan. "Aku akan mengutus Gak Cong Heng dan beberapa
orang untuk mengantar uang tersebut ke markas Sin Kun!"
"Terimakasih!" ucap
Seng Hwee Sin Kun dengan wajah berseri. "Setelah menerima uang itu aku
pasti memerintahkan para anggotaku pergi menyerang Tiong Ngie Pay."
"Bagus, bagus! Pokoknya
Tiong Ngie Pay harus dibasmi," ujar Lu Thay Kam sambil tertawa
"Setelah Tiong Ngie Pay dibasmi, Seng Hwe Kauw pun harus membantuku
membasmi para pemberontak.”
"Itu urusan kecil,"
sahut Seng Hwee Sin kun sambil tertawa. "Baiklah, aku mau mohon pamit!
"Selamat jalan!"
ucap Lu Thay Kam "Sampai jumpa Lu Kong Kong!" ucap Seri
Hwee Sin Kun, yang lalu
meninggalkan markj Hiat Ih Hwe sambil tertawa gembira.
Sementara itu, Toan Beng Kiat
dan lainnya terus melakukan perjalanan menuju markas pusat Kay Pang. Dalam
perjalanan, mereka terus bercakap-cakap, terutama Lie Ai Ling. Dia tak
henti-hentinya membicarakan ini dan itu, ada saja yang dibicarakannya.
"Ai Ling!" Siang
Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa mulutmu tidak bisa diam
sih?"
"Memangnya aku tidak
boleh bicara?" sahut Ai Ling sambil tersenyum. "Aku suka bicara, jadi
mulutku tidak bisa diam."
"Kalau engkau terus
begitu, mana ada pemuda yang akan jatuh hati kepadamu?" ujar Siang Koan
Goat Nio.
"Hi hi hi!" Lie Ai
Ling tertawa. "Kalau tidak jada pemuda jatuh hati kepadaku yah sudahlah!
Aku sama sekali tidak kalut, sebaliknya engkau sudah rindu pada Kakak Bun Yang,
bukan?"
"Engkau mulai menggoda
ya?" Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening dan wajahnya agak
kemerah-merahan.
"Jadi..." sela Kam
Hay Thian mendadak. "Goat Nio menyukai Bun Yang? Kapan mereka
bertemu?"
"Mereka berdua belum
pernah bertemu," sahut Lie Ai Ling., "Namun aku yakin Goat Nio pasti
menyukai Kakak Bun Yang."
"Bagaimana mungkin?"
Kam Hay Thian menggeleng-gelengkan kepala. "Sebab mereka berdua belum
pernah bertemu, kalau pun bertemu belum tentu... ”
"Maksudmu Goat Nio belum
tentu akan menyukai Kakak Bun Yang?" tanya Lie Ai Ling.
"Ya." Kam Hay Thian
mengangguk.
"Lho?" Lie Ai Ling
menatapnya terbelalak "Kok engkau...."
"Dia telah jatuh hati
kepada Goat Nio, maka tidak menghendaki Goat Nio menyukai Bun Yang” sela Lu Hui
San mendadak.
"Oh?" Mulut Lie Ai
Ling ternganga lebati "Betulkah begitu?"
"Memang begitu." Lu
Hui San manggut-manggut. "Kalau tidak...."
"Hui San!" Siang
Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan omong yang bukan-
bukan, sebab akan merusak persahabatan kita semua!"
"Goat Nio!" Lu Hui
San tersenyum. "Aku omong sesungguhnya."
"Hui San, sudahlah!"
Toan Beng Kiat mende katinya. "Kita semua adalah teman baik yang harus
bersatu, jadi____"
"Aku tahu." Lu Hui
San manggut-manggul "Baiklah. Mulai sekarang aku tidak akan banyak
bicara."
"Aku yang akan banyak
bicara." sela Lie Ai Ling sambil tersenyum. "Kalau tidak, semuanya
pasti membisu. Itu jadi tidak enak dan tiada Kesemarakan. Ya, kan?"
"Engkau memang banyak
mulut." Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala dan menghela
nafas. "Anak gadis, sebaiknya jangan banyak mulut."
"Hi hi hi!" Lie Ai
Ling tertawa geli. "Mulutku cuma satu, kok engkau bilang mulutku banyak
sih?”
"Engkau____" Siang
Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.
"Sssst!" Lu Hui San
memberi isyarat. "Kalian dengar, ada suara pertempuran di depan."
Toan Beng Kiat, Kam Hay Thian,
Lie Ai Ling, Siang Koan Goat Nio dan Lam Kiong Soat Lan mendengarkan dengan
penuh perhatian.
"Betul," ujar Kam
Hay Thian. "Ada suara pertarungan di depan. Mari kita ke sana!"
Mereka berenam langsung
melesat ke tempat itu. Tampak belasan orang berpakaian merah mengeroyok gadis
berusia dua puluhan.
"Eeeeh?" Lie Ai Ling
terbelalak menyaksikannya. "Gadis itu menggunakan Hong Hoang Kiam hoat
(Ilmu Pedang Burung Phoenix), tapi belum begitu mahir. Siapa yang mengajarnya
ilmu pedang itu ?”
"Heran?" gumam Siang
Koan Goat Nio. "Dia pun menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou untuk berkelit.
Kok dia mengerti kedua ilmu itu?"
"Sungguh
mengherankan!" sahut Lie Ai Ling. "Kenapa kalian berdua?" tanya
Toan Beng Kiat.
"Gadis itu menggunakan
Ilmu pedang Hong Hoang Kiam Hoat," jawab Lie Ai Ling. "Bahkan juga
berkelit dengan ilmu Kiu Kiong San Tian Pou. Mungkinkah dia ada hubungan dengan
ayah* ku?"
"Kenapa engkau berkata
begitu?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Sebab ayahku juga mahir
ilmu pedang itu," sahut Lie Ai Ling.
"Ayahmu juga mahir Kiu
Kiong San Tian Pou?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Setahuku tidak."
Lie Ai Ling menggelengkan kepala. "Paman Cie Hiong memang mengajarku dan
Goat Nio ilmu langkah kilat itu, namun gadis itu____"
"Kita bantu gadis itu,
kemudian kita tanya Bukankah kita akan tahu? Jadi tidak perlu menerka
membuang-buang waktu," sela Kam Hay Thian yang sudah timbul nafsu
membunuhnya.
"Baik." Toan Beng
Kiat mengangguk. "Mari kita bantu gadis itu!"
Mereka berenam langsung
melesat ke sana, dan tentunya sangat mengejutkan orang-orang berpakaian merah
itu.
"Kami adalah anggota Hiat
Ih Hwe! Siam kalian?" bentak kepala para anggota Hiat Ih Hwe itu.
"Hmm!" dengus Kam
Hay Thian. "Aku adalah Chu Ok Hiap, jadi aku akan membasmi kalian semua
hari ini!"
"Apa?!" Para anggota
Hiat Ih Hwe mundur beberapa langkah. "Pendekar Pembasmi Penjahat?"
"Betul!" Kam Hay
Thian menghunus pedangnya.
"Serang dia!" seru
pemimpin para anggota Hiat Ih Hwe, yang kemudian ikut menyerang Kam Hay Thian.
Ketika Kam Hay Thian diserang,
Toan Beng Kiat dan lainnya langsung turun tangan membantunya. Terjadilah
pertarungan yang tak seimbang, sebab Kam Hay Thian dan lainnya berkepandaian
tinggi, sebaliknya kepandaian para anggota Hiat Ih Hwe tidak begitu tinggi.
Oleh karena itu, belasan jurus
kemudian para anggota Hiat Ih Hwe sudah terkapar berlumuran darah. Tampak
beberapa anggota Hiat Ih Hwe masih merintih-rintih, ternyata mereka hanya
terluka.
Kam Hay Thian mendekati mereka
lalu mendadak menggerakkan pedangnya. Tak lama orang-orang yang terluka itu pun
tewas dengan dada berlubang. Kam Hay Thian betul-betul tidak memberi ampun
kepada mereka, sehingga membuat Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala.
Jilid 6 hal.26-27 ga ada
.........kan kepala.
"Lagi pula dia tidak begitu lama berada di
rumahku. Setelah mengajarku
ilmu-ilmu itu, dia berpamit."
"Aaah____" Lie Ai
Ling menghela nafas panjang. "Sayang sekali! Kenapa begitu Sulit bertemu
dia?"
"Kakak Giok Lan!"
Siang Koan Goat Nio memandangnya. "Apa rencanamu sekarang?"
"Aku tidak mempunyai
rencana apa-apa." Air mata Tan Giok Lan mulai meleleh. "Aku pun tidak
tahu mau ke mana."
"Aku mempunyai
usul," ujar Toan Beng Kiai sambil tersenyum. "Bagaimana kalau kita
ajak nona ini ke markas Tiong Ngie Pay?"
"Usul yang jitu,"
sahut Lie Ai Ling sambil tertawa gembira. "Memang lebih baik Kakak Giok
Lan bergabung dengan Bibi Suan Hiang. Dia pasti aman di markas itu."
"Betul." Siang Koan
Goat Nio manggut-manggut, kemudian memperkenalkan mereka.
Tan Giok Lan segera memberi
hormat, dan mengucapkan terimakasih dengan air mata berderai-derai.
"Nah!" ujar Lie Ai
Ling. "Kita jangan membuang-buang waktu lagi, mari kita berangkat ke
markas Tiong Ngie Pay!"
-ooo0dw0ooo-
Dua hari kemudian, mereka
bertujuh sudah sampai di markas Tiong Ngie Pay. Kedatangan rreka tentunya
sangat menggembirakan Yo Suan liang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang lim.
Beberapa anggota Tiong Ngie
Pay segera menyuguhkan arak wangi. Yo Suan Hiang mengajak mereka bersulang,
sehingga suasana pun menjadi semarak.
"Aku tidak menyangka sama
sekali, kalian akan ke mari," ujar Yo Suan Hiang sambil memandang Lie Ai
Ling, Siang Koan Goat Nio dan Tan Giok Lan.
"Mari
kuperkenalkan!" Lie Ai Ling tertawa. Aku adalah—"
"Engkau...
engkau____" Mendadak Yo Suan Hiang terbelalak. "Engkau Ai Ling?"
"Bibi Suan Hiang masih
mengenaliku, padahal aku tadi aku diam saja." Lie Ai Ling tertawa geli.
"Ai Ling...." Yo
Suan Hiang memandangnya dengan mata
basah. "Aku tak menyangka
engkau sudah besar dan cantik. Oh ya, bagaimana ayah-mu?"
"Ayahku sudah kembali ke
Pulau Hong Hoang to," sahut Lie Ai Ling, lalu memperkenalkan Siang Koan
Goat Nio. "Bibi Suan Hiang, dia Goat Nio. putri kesayangan Kim Siauw
Suseng dan Kou Jun Bijin."
"Oh?" Yo Suan Hiang
menatapnya dengan penuh perhatian. "Bukan main!"
"Apanya yang bukan
main?" tanya Lie Ai Ling sambil tertawa kecil.
"Sungguh cantik dan lemah
lembut," sahut Yo Suan Hiang kagum. "Betul-betul cantik sekali!"
"Bibi Suan Hiang,"
ujar Lie Ai Ling mendadak. "Dia sangat serasi dengan Kakak Bun Yang,
bukan?"
"Benar." Yo Suan
Hiang manggut-manggut dan menambahkan, "Tapi tergantung jodoh mereka juga.
Oh ya, kalian sudah bertemu Bun Yang?"
"Belum." Lie Ai Ling
menggelengkan kepala, kemudian memperkenalkan Tan Giok Lan, yang duduk diam
itu. "Bibi Suan Hiang, dia Tan Giok Lan. Kedua orang tuanya dibunuh oleh
para anggota Hiat Ih Hwe. Dia pernah bertemu Kakak Bun Yang. Untung Kakak Bun
Yang pernah mengajarnya ilmu silat, maka dia dapat melolos kan diri."
"Oh?" Yo Suan Hiang
menatapnya serayu bertanya, "Siapa ayahmu?"
"Ayahku bernama Tan Thiam
Song, mantan pembesar di kota Keng Ciu," jawab gadis itu dan mulai
terisak-isak.
"Ooh!" Yo Suan Hiang
manggut-manggul. "Tan Tayjin sangat jujur, adil dan bijaksana! Bahkan
sering menentang perintah Lu Thay Kam. Maka tidak heran pihak Hiat Ih Hwe
membunuhnya”
Tiba-tiba Lu Hui San
mengerutkan kening, Karena ayah angkatnya disinggung dalam ucapan Yo Suan
Hiang.
"Bibi Suan Hiang!"
tanyanya heran. "Apakah Lu Thay Kam mempunyai hubungan dengan perkumpulan
Hiat Ih Hwe?"
"Lu Thay Kam adalah ketua
Hiat Ih Hwe," sahut Yo Suan Hiang memberitahukan sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Lu Thay Kam memang jahat sekali, sering
membunuh jenderal dan menteri yang setia."
Lu Hui San diam saja.
Lie Ai Ling memandang Yo Suan
Hiang seraya berkata,
"Bibi Suan Hiang, kami ke
mari justru dikarenakan Kakak Giok Lan. Kini dia sudah tidak mempunyai orang
tua dan dikejar-kejar pihak Hiat lh Hwe. Maka kami ajak dia ke mari untuk
bergabung dengan Bibi."
"Bagus!" Yo Suan
Hiang tertawa gembira. Tentunya kuterima dengan senang hati."
"Terimakasih, Bibi!"
ucap Tan Giok Lan.
"Giok Lan!" Yo Suan
Hiang memandangnya ?ambil tersenyum. "Mulai sekarang engkau tinggallah di
sini!"
"Ya, Bibi." Tan Giok
Lan mengangguk.
"Oh ya, engkau harus
ingat," pesan Yo Suan Hiang. "Jangan lupa melatih ilmu silatmu, itu
sangat penting sekali!"
"Aku mohon petunjuk
Bibi!" ujar Tan Giok Lan.
"Itu sudah pasti."
Yo Suan Hiang manggm manggut. "Aku pasti memberi petunjuk padamu "
"Terimakasih, Bibi!"
ucap Tan Giok Lan tci haru.
"Nah!" Lie Ai Ling
tersenyum. "Urusan ini sudah beres, maka kami mau mohon pamit!"
"Apa?!" Yo Suan
Hiang terbeliak. "Kalian sudah mau pergi? Kenapa begitu cepat?"
"Kami masih harus
melanjutkan perjalanan kami markas pusat Kay Pang." Lie Ai Ling memberitahukan.
"Tidak bisa!" Yo
Suan Hiang menggelengkan kepala. "Pokoknya kalian harus bermalam di sini.
dan besok baru berangkat."
"Bibi Suan
Hiang...."
"Baiklah." sela Toan
Beng Kiat. "Kami akan bermalam di sini."
"Eh?" Lie Ai Ling
melototi Toan Beng Kiat "Kenapa harus bermalam di sini? Bukankah akan
merepotkan Bibi Suan Hiang?"
"Cuma satu malam,"
sahut Toan Beng Kiat sambil tersenyum. "Lagi pula kita semua masih capek,
apa salahnya kita bermalam di sini?"
"Tapi akan merepotkan
Bibi Suan Hiang."
"Tidak, tidak
merepotkan," ujar Yo Suan Hiang sambil tersenyum. "Sebaliknya aku
malah merasa gembira sekali."
"Betul," sambung Tan
Ju Liang dan Lim Cin An. "Kami sungguh merasa gembira sekali."
"Yang benar?" Tanya
Lie Ai Ling sambil tersenyum.
"Tentu benar." Yo
Suan Hiang tertawa kecil. 'Ingat! Sudah berapa lama kita tidak bertemu? , Maka
malam ini harus mengobrol sampai pagi."
"Wuah!" Lie Ai Ling
tertawa. "Kalau begitu, harus begadang! Terus terang, aku tidak bisa
begadang."
"Sekali-kali boleh,
kan?" Yo Suan Hiang tertawa lagi. "Tentu engkau tidak
berkeberatan."
"Baik." Lie Ai Ling
mengangguk. "Malam ini kita semua harus begadang."
-ooo0dw0ooo-
Bagian ke dua puluh delapan
Tiong Ngie Pay diserang
Malam harinya, suasana di
markas Tiong Ngie Pay tampak semarak- Sebab Yo Suan Hiang mengibarkan pesta
perjamuan, dan mereka bersantap sambil bersulang.
Akan tetapi, di saat mereka
sedang bersulang, seorang anggota berlari masuk dan melapor.
"Celaka! Seng Hwee Kauw
menyerang!"
"Apa?" Betapa
terkejutnya Yo Suan Hiang "Seng Hwee Kauw menyerang ke mari?"
"Ya."
"Berapa jumlah
mereka?"
"Puluhan orang, dan ada
dua orang tua yang berkepandaian tinggi sekali."
"Siapa kedua orang tua
itu?"
"Pat Pie Lo Koay dan Tok
Chiu Ong."
"Baik." Yo Suan
Hiang manggut-manggut. Kemudian berkata kepada Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu
Tiang Him. "Mari kita sambut mereka”
"Hmm!" dengus Kam
Hay Thian mendadak "Bagus, bagus! Malam ini aku pasti tidak akan
melepaskan mereka."
"Maaf, Chu Ok Hiap!"
ujar Yo Suan Hiang. "Ini urusan Tiong Ngie Pay, maka...."
"Aku pasti turut
campur." sahut Kam Hay Thian. "Sebab Seng Hwee Sin Kun pembunuh
ayahku."
Kam Hay Thian langsung melesat
ke luar, dan yang lainnya pun mengikutinya. Begitu sampai di luar markas,
mereka melihat Pat Pie Lo Koay. Tok Chiu Ong dan puluhan anggota Seng Hwee Kauw
berdiri dengan tangan memegang senjata.
Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu
Ong tampak terkejut ketika melihat Kam Hay Thian dan lain nya berada di situ.
Mereka berdua saling memandang sekaligus memberi isyarat, kemudian meloncat ke
belakang. "Serang mereka!"
Seketika para anggota Seng
Hwee Kauw menyerang pihak Tiong Ngie Pay. Kam Hay Thian bersiul panjang sambil
menggerakkan pedangnya, menggunakan Pak Kek Kiam Hoat menangkis dan alas
menyerang. Dalam beberapa jurus, lima anggota Seng Hwee Kauw sudah roboh
berlumuran darah.
Sementara Toan Beng Kiat dan
lainnya juga mulai balas menyerang, kemudian terjadilah pertarungan yang amat
seru dan sengit.
Akan tetapi, bagaimana mungkin
para anggota Seng Hwee Kauw itu dapat melawan, sebab kepandaian mereka masih
rendah.
"Tok Chiu Ong,"
bisik Pat Pie Lo Koay. ”Bagaimana baiknya?"
"Kita berdua tidak mampu
melawan Chu Ok Hiap dan teman-temannya," sahut Tok Chiu Ong. Lebih baik
kita suruh para anak buah kita mundur, dan kita pun harus kabur."
"Benar." Pat Pie Lo
Koay mengangguk. Mereka berdua lalu melesat pergi sambil berseru
sekeras-kerasnya.
"Kalian semua cepat
mundur!" Para anggota Seng Hwee Kauw langsung melarikan diri. Kam Hay
Thian terus mengejar dan membantai mereka. Namun ketika ia hendak mengejar Pat
Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong, Toan Beng Kiat cepat-cepat mencegahnya.
"Hay Thian! Mereka sudah
pergi jauh, percuma kau mengejar mereka!"
"Malam ini mereka berdua
masih dapat meloloskan diri, aku sungguh penasaran sekali!" sahut Kam Hay
Thian dingin. "Mereka berdua sungguh licik, hanya menyuruh para anak
buahnya maju, tapi mereka berdua berada di belakang!"
"Sudahlah! Mari kita
kembali ke markas!" ajak Toan Beng Kiat.
Mereka berdua lalu melesat ke markas.
Lie Ai Ling dan lainnya sudah berada di situ. Mereka semua lalu masuk ke
markas.
"Sungguh tak
disangka..." ujar Yo Suan Hiang setelah duduk. "Pihak Seng Hwee Kauw
menyerang ke mari, seharusnya pihak Hiat Ih Hwe!"
"Memang
mengherankan," Tan Ju Liang menggeleng-gelengkan kepala. "Selama ini
kita tidak bermusuhan dengan pihak Seng Hwee Kauw kenapa mendadak Seng Hwee
Kauw menyerang kemari?"
"Mungkinkah..." ujar
Lim Cin An setelah ber pikir sejenak. "Seng Hwee Kauw dan Hiat Ih Hwi
sudah bekerja sama?"
"Itu memang
mungkin," sahut Cu Tiang Him "Kalau tidak, tentunya mereka tidak akan
melakukan penyerangan mendadak."
"Mungkinkah dikarenakan
kehadiran kami di sini?" ujar Toan Beng Kiat. "Sebab pihak Seng Hwee
Kauw memang ingin membunuh kami."
"Tidak masuk akal,"
Tan Ju Liang menggelengkan kepala. "Karena tadi Pat Pie Lo Koay dan Tok
Chiu Ong malah meloncat ke belakang ketika melihat kalian berada di situ. Jadi
sasaran mereka kemari bukan kalian, melainkan kami."
"Benar," Yo Suan
Hiang manggut-manggut. "Lagi pula sebelum bertarung, mereka berdua sudah
kabur."
"Kami pernah bertarung
dengan mereka." Kam Hay Thiari memberitahukan. "Pada waktu itu mereka
berdua berhasil kabur, malam ini pun berhasil kabur pula. Itu sungguh membuat
aku jadi penasaran sekali!"
"Oh?" Yo Suan Hiang
menatapnya seraya bertanya. "Mereka berdua tak sanggup melawan
kalian?"
"Benar." Lie Ai Ling
mengangguk. "Bahkan kami berhasil melukai lengan Tok Chiu Ong."
"Oooh!" Yo Suan
Hiang manggut-manggut. 'Pantas mereka segera meloncat mundur begitu melihat
kalian!"
"Aku masih penasaran,
kenapa Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong dapat kabur malam ini," ujar Kam
Hay Thian.
"Walau begitu..."
ujar Yo Suan Hiang memberitahukan. "Hampir tiga puluh anggota Seng Hwee
Kauw menjadi korban di sini, aku yakin itu merupakan pukulan berat bagi ketua
mereka."
"Hmm!" dengus Kam
Hay Thian dingin. "Pokoknya aku harus membunuh Seng Hwee Sin Kun!"
"Hay Thian!" Toan
Beng Kiat mengingatkan. "Seng Hwee Sin Kun berkepandaian tinggi sekali,
kita semua bukan lawannya."
"Bukan lawannya juga aku
harus melawan," sahut Kam Hay Thian dan menambahkan. "Pokoknya dia
harus mati di tanganku."
Toan Beng Kiat menghela nafas
panjang, sedangkan Yo Suan Hiang menggeleng-gelengkan kepala.
"Padahal malam ini kita
akan mengobrol sampai pagi, tapi karena adanya kejadian itu, maka alangkah
baiknya kita
semua beristirahat saja,"
ujar Yo Suan Hiang sambil bangkit berdiri. "Maaf, aku mau ke kamar!"
Yo Suan Hiang berjalan masuk,
sedangkan Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him masih duduk di situ.
"Maaf!" ucap Tan Ju
Liang. "Kalau kalian tidak mau tidur, boleh duduk-duduk di halaman. Kami
harus pergi mengontrol pos-pos penjagaan."
"Tidak apa-apa,"
sahut Toan Beng Kiat sambil manggut-manggut.
Tan Ju Liang, Lim Cin An dan
Cu Tiang Him segera melangkah ke luar, sedangkan Toan Beng Kiat dan lainnya
saling memandang.
Siang Koan Goat Nio melangkah
ke halaman, dan tak lama Kam Hay Thian pun pergi menyusulnya.
Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui
San mengerutkan kening, itu membuat Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala.
Toan Beng Kiat menghela nafas panjang, kemudian ia melangkah ke luar.
"Celaka!" gumam Lie
Ai Ling sambil berjalan mondar-mandir di ruang itu.
Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui
San memandangnya sejenak, setelah itu mereka berdua pun melangkah ke luar.
"Mudah-mudahan mereka
mengerti tentang cinta, jadi tidak akan terjadi hal-hal yang tak
diinginkan," gumam Lie Ai Ling lagi, kemudian memandang Tan Giok Lan yang
duduk termangu-mangu. "Kakak Giok Lan, jangan melamun! Lebih haik masuklah
menemui Bibi Suan Hiang untuk mengobrol!"
Tan Giok Lan mengangguk, lalu
melangkah ke dalam. Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala, kemudian barulah
melangkah ke luar.
Dilihatnya Toan Beng Kiat
berdiri seorang diri sambil memandang langit yang tak berbintang. Sedangkan Lam
Kiong Soat Lan dan Lu Hui San duduk melamun di dekat sebuah pohon. Kemudian ia
tercengang karena Siang Koan Goat Nio dan Kam Hay Thian tidak tampak di situ.
"Beng Kiat!" Lie Ai
Ling mendekatinya. "Bukan malam purnama, kenapa engkau terus-menerus
memandang langit?"
"Oh, Ai Ling!" Toan
Beng Kiat tersenyum getir. "Langit sedang merana karena tiada bulan."
"Langit atau engkau yang
sedang merana?" tanya Lie Ai Ling sambil tertawa. "Engkau anak
lelaki, jangan terlampau berperasaan terhadap urusan itu!"
"Urusan apa?" tanya
Toan Beng Kiat.
"Biasa," sahut Lie
Ai Ling sambil tertawa lagi. "Kita semua adalah teman baik. Jangan
dikarenakan urusan percintaan, kita jadi terpecah belah lho!"
"Itu tidak akan
terjadi," Toan Beng Kiat tersenyum. "Sebab aku masih bisa
mengendalikan perasaanku."
"Bagus! Tapi____"
Lie Ai Ling mengerutkan kening.
"Kenapa?" Toan Beng
Kiat memandangnya. "Kelihatannya engkau mengkhawatirkan sesuatu,
bukan?"
"Ng!" Lie Ai Ling
mengangguk. "Apa yang engkau khawatirkan?"
"Kam Hay Thian," Lie
Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala. "Dia sangat emosionil. Kelihatannya
dia sangat menyukai Goat Nio, namun Goat Nio bersikap acuh tak acuh
kepadanya."
"Ya," Toan Beng Kiat
manggut-manggut.
"Sedangkan Soat Lan dan Lu
Hui San menyukai Kam Hay Thian, itu____" Lie Ai Ling menghela nafas
panjang.
"Ai Ling!" Toan Beng
Kiat tersenyum. "Engkau tidak usah khawatir, tidak akan terjadi suatu apa
pun. Percayalah!"
"Engkau yakin itu?"
"Yakin."
"Syukurlah!"
Sementara di balik sebuah
pohon, tampak Siang Koan Goat Nio duduk bersandar, dan Kam Hay Thian berdiri di
sampingnya.
"Goat Nio!" panggil
Kam Hay Thian dengan suara rendah.
"Hay Thian!" sahut
Siang Koan Goat Nio. "Aku tahu bagaimana perasaanmu, namun____"
"Kenapa?" Kam Hay
Thian duduk sambil memandangnya.
"Terus terang, aku merasa
tidak cocok denganmu," ujar Siang Koan Goat Nio perlahan. "Dari pada
berlarut-larut dan memberikanmu harapan, lebih baik aku berterus terang."
"Engkau... engkau...." Kam
Hay Thian menghela
nafas
panjang. "Engkau sama
sekali tidak menaruh hati kepadaku?" "Ya." Siang Koan Goat Nio
mengangguk.
"Apakah dikarenakan Bun
Yang, yang belum engkau ketemukan itu?" tanya Kam Hay Thian dengan wajah
berubah.
"Bukan," sahut Siang
Koan Goat Nio.
"Kalau begitu karena
apa?" tanya Kam Hay Thian penasaran. "Aku harap engkau mau
menjelaskannya!"
"Sudah kukatakan tadi,
aku merasa tidak cocok denganmu. Jadi engkau harus mengerti," sahut Siang
Koan Goat Nio dan menambahkan. "Kita semua sebagai teman baik, jangan
karena ini lalu kita semua terpecah belah!"
"Baik." Kam Hay
Thian manggut-manggut "Aku memang harus mengerti, terimakasih atas
penjelasanmu!"
"Aku mohon maaf!"
ucap Siang Koan Goat Nio.
Kam Hay Thian menghela nafas
panjang, lalu melangkah pergi dengan kepala tertunduk.
"Hay Thian!" panggil
Lam Kiong Soat Lan sambil menghampirinya.
"Oh, Soat Nio!" Kam
Hay Thian memandangnya. "Kok engkau belum tidur?"
"Aku tidak bisa
tidur," sahut Lam Kiong Soat Lan. "Hay Thian, bagaimana kalau kita
mengobrol sebentar?"
Kam Hay Thian mengangguk, lalu
mereka duduk di situ. Lam Kiong Soat Lan menengadahkan kepalanya memandang ke
langit seraya berkata.
"Aku melihat engkau
bersama Goat Nio. Kalian berdua membicarakan sesuatu yang penting?"
"Ya." Kam Hay Thian
mengangguk. "Aku mencurahkan isi hatiku, namun dia menolak."
"Apa alasannya?"
"Dia mengatakan tidak
cocok denganku."
"Oooh!" Lam Kiong
Soat Lan manggut-mang-Igut. "Kelihatannya kalian berdua memang tidak
cocok, maka janganlah engkau memaksakan diri."
"Tentu tidak." Kam
Hay Thian tertawa getir. "Aku tidak akan memaksakan diri dan harus tahu
diri, dan mulai sekarang aku tidak akan mendekatinya lagi."
"Hay Thian," ujar
Lam Kiong Soat Lan lembut. "Kita semua adalah teman baik. Jangan
dikarenakan itu kita semua lalu terpecah belah."
"Jangan khawatir!"
Kam Hay Thian tertawa. "Aku bukan pemuda yang berhati begitu sempit."
"Syukurlah!" ucap
Lam Kiong Soat Lan.
Sementara Lu Hui San terus
berdiri seorang diri, sosok bayangan mendekatinya lalu memegang bahunya.
"Jangan terus melamun di
sini, tidak baik!" Terdengar suara yang amat lembut, yang ternyata suara
Toan Beng Kiat.
"Oh, Beng Kiat!" Lu
Hui San tersenyum. "Aku tidak melamun, melainkan sedang memikirkan
sesuatu."
"Apa yang sedang kau
pikirkan?"
"Aku sedang memikirkan
diriku sendiri."
"Kenapa dirimu?"
"Aaaah...!" Lu Hui
San menghela nafas panjang. "Itu urusanku, percuma kuberitahukan
kepadamu."
"Hui San," ujar Toan
Beng Kiat sambil tersenyum. "Kita adalah teman baik, jadi harus membagi
rasa dan pikiran yang memberatkan, agar pikiranmu tidak tertekan."
"Beng Kiat!" Lu Hui
San terharu. "Terima-kasih atas kebaikanmu, namun____"
"Aku tahu____" Toan
Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau jatuh hati kepada Kam Hay
Thian, tapi Kam Hay Thian malah jatuh hati kepada Goat Nio. Itu yang membuat
pikiranmu tertekan, bukan?"
"Tidak juga," Lu Hui
San tersenyum. "Pikiranku tidak akan tertekan oleh masalah itu."
"Syukurlah!" ucap
Toan Beng Kiat. "Hui San, di sini sangat dingin, lebih baik ke dalam saja."
Lu Hui San manggut-manggut,
kemudian berjalan ke dalam dan diikuti Toan Beng Kiat.
Sementara Siang Koan Goat Nio
tetap duduk di situ, sosok bayangan mendekatinya, yang tidak lain Lie Ai Ling.
"Goat Nio..."
panggilnya dengan suara rendah, "Ai Ling!" sahut Siang Koan Goat Nio.
"Duduklah!"
"Aku memang ingin duduk
di sini," kata Lie Ai Ling dengan tersenyum lalu duduk. "Tadi Kam Hay
Thian duduk di sini, bukan?"
Siang Koan Goat Nio
mengangguk.
"Kalian membicarakan
apa?"
"Dia mencurahkan isi hatinya,
namun kutolak angsung," jawab Siang Koan Goat Nio dan menambahkan.
"Itu agar tidak terus berlarut-larut. Kalau aku tidak menolak, tentu dia
masih berharap."
"Betul." Lie Ai Ling
mengangguk, kemudian menghela nafas panjang. "Aaah! Janganlah kita dibutakan
cinta, itu sangat berbahaya!"
"Aku tahu, maka aku harus
berterus terang kepadanya. Kalau tidak, tentu akan kacau balau."
"Aku yang menyaksikannya
pun jadi pusing, sebab kelihatannya Soat Lan dan Hui San jatuh hati kepada Kam
Hay Thian, sedangkan Toan Beng Kiat justru jatuh hati kepada Lu Hui San."
"Lalu engkau jatuh hati
kepada siapa?" tanya Siang Koan Goat Nio setengah bergurau.
"Pemuda idaman hatiku
belum muncul," sahut Lie Ai Ling sambil tersenyum. "Maka aku tidak
memikirkan soal cinta!"
"Tidak memikirkan tapi
membayangkannya, bukan?"
"Itu kadang-kadang."
Lie Ai Ling mengangguk. "Kita merupakan gadis dewasa, tentu akan
membayangkan itu, bukan?"
"Yaaah!" Siang Koan
Goat Nio menghela nafas. "Alangkah baiknya kita tidak memikirkan dan tidak
membayangkannya, agar tidak pusing."
"Goat Nio!" Lie Ai
Ling tersenyum. "Ayohlah, kita masuk di sini sangat dingin!"
"Baik," Siang Koan
Goat Nio mengangguk kemudian mereka bangkit berdiri lalu berjalan memasuki
markas.
Malam itu mereka semua tidak
bisa tidur, karena perasaan masing-masing tercekam oleh sesuatu.
-ooo0dw0ooo-
Kegusaran Seng Hwee Sin Kun
telah memuncak, entah sudah berapa kali ia memukul meja dengan wajah merah
padam.
"Jadi kalian gagal
membasmi Tiong Ngie Pay?"
"Ya." Tok Chiu Ong
mengangguk dan memberitahukan, "Itu dikarenakan kehadiran beberapa orang
di markas itu."
"Oh?" Seng Hwee Sin
Kun mengerutkan kening. "Siapa mereka?"
"Chu Ok Hiap, Toan Beng
Kiat, Lam Kiong Soat Lan dan lain-lainnya." Pat Pie Lo Koay
memberitahukan. "Karena itu, kami gagal membasmi Tiong Ngie Pay."
"Hmm!" dengus Seng
Hwee Sin Kun dingin. "Mereka semua betul-betul merupakan duri dalam mata!
Kita harus membasmi mereka dulu!"
"Itu tidak perlu,"
sahut Pat Pie Lo Koay. ”Sebab mereka merupakan suatu umpan bagi kita. setelah
mereka meninggalkan markas Tiong Ngie way, barulah kami pergi menyerang Tiong
Ngie Way lagi."
"Bagus!" Seng Hwee
Sin Kun tertawa gelak. ”Tidak mungkin mereka tidak akan meninggalkan larkas
Tiong Ngie Pay itu! Ha ha ha...!"
Memang benar apa yang
dikatakan Seng Hwee Sin Kun, keesokan harinya Toan Beng Kiat dan lainnya
meninggalkan markas Tiong Ngie Pay menuju markas pusat Kay Pang.
Akan tetapi, di tengah jalan
telah terjadi sesuatu, ternyata Kam Hay Thian meninggalkan mereka secara
diam-diam. Hal itu sangat mengelisahkan Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, Lie
mi Ling, Siang Koan Goat Nio dan Lu Hui San.
"Aaaah...." Toan
Beng Kiat menghela nafas ?anjang. "Tak
disangka Kam Hay Thian begitu
keras hati!"
"Bukan keras hati,
melainkan tidak mau ber-aul," sahut Lie Ai Ling sambil menggeleng-[
clengkan kepala.
"Bukan karena tidak mau
bergaul, aku yakin Ada masalah lain," ujar Lam Kiong Soat Lan. [ Tentunya
karena Goat Nio."
"Mungkin karena
aku," sahut Siang Koan I ioat Nio dengan kening berkerut-kerut.
"Malam itu kalian berdua
duduk di balik pohon," ujar Lam Kiong Soat Lan sambil memandang Siang Koan
Goat Nio. "Apa yang kalian bicarakan?"
"Dia mencurahkan isi
hatinya, tapi aku menolak," sahut Siang Koan Goat Nio. "Mungkin
karena itu, maka dia memisahkan diri dengan kita."
"Ngmm!" Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut. "Itu memang masuk akal, namun kepergian-nya itu
akan membahayakan dirinya pula."
"Maksudmu dia akan pergi
ke Lembah Kabut Hitam?" tanya Lie Ai Ling dengan hati tersentak
"Mungkin." Lam Kiong
Soat Lan mengangguk. "Sebab dia telah bertekad ingin membunuh Seng Hwee
Sin Kun."
"Kalau begitu, bagaimana
kalau kita pergi menyusulnya?" tanya Lu Hui San seakan mengusulkan.
"Jangan!" Toan Beng
Kiat menggelengkan kepala. "Lebih baik kita ke markas pusat Kay Pang saja.
Kita berunding dulu dengan kakekku dan kakek Lim."
"Jadi engkau membiarkan
Kam Hay Thian pergi menempuh bahaya seorang diri?" tanya Lu Hui San tidak
senang.
"Jangan salah
paham!" sahut Toan Beng Kiai sambil tersenyum. "Dia memang
meninggalkan kita, namun belum tentu dia pergi ke lembah itu Lagi pula dia
bukan pemuda bodoh yang akan bertindak tanpa suatu perhitungan matang."
"Benar," sela Lam
Kiong Soat Lan. "Lebih baik kita melanjutkan perjalanan ke markas pusat
Kay Pang saja. Kita berunding bersama di sana, tidak perlu berdebat di sini
membuang-buang waktu."
"Aaaah...." Lu Hui
San menghela nafas panjang dan tidak
mau banyak bicara lagi,
kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju markas pusat Kay Pang.
-ooo0dw0ooo-
Dua hari kemudian, mereka
sudah tiba di markas pusat Kay Pang. Dapat dibayangkan betapa gembiranya Gouw
Han Tiong dan Lim Peng Hang.
"Kakek! Kakek
Lim..." panggil Toan Beng Kiat sambil memberi hormat.
"Kalian...." Gouw
Han Tiong tertawa gembira. "Duduklah!"
Mereka duduk. Gouw Han Tiong
memandang Toan Beng Kiat seraya berkata.
"Kalian dari mana?"
"Kami____" Toan Beng
Kiat menutur semua kejadian itu, kemudian menambahkan sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Sungguh sayang sekali Kam Hay Thian
memisahkan diri dengan kami!”
"Pemuda itu____"
Gouw Han Tiong menghela nafas. "Terlampau terbawa oleh emosinya sendiri.”
"Aku yakin..." ujar
Lim Peng Hang sambil menatap mereka. "Pasti ada suatu masalah d antara
kalian. Ya, kan?"
"Ya," Lam Kiong Soat
Lan mengangguk.
"Masalah apa itu?"
tanya Lim Peng Hang sambil mengerutkan kening. "Jangan ditutup-tutupi,
jelaskan saja!"
"Itu
dikarenakan____" Lam Kiong Soat Lan memberitahukan. "Maka dia
memisahkan diri dengan kami."
"Aaaah...." Lim Peng
Hang menghela nafas lagi. "Di saat
begitu malah timbul masalah
yang tak menyenangkan!"
"Kakek Lim," sela
Lie Ai Ling. "Memang ada baiknya Goat Nio menolak langsung. Kalau tidak,
lama-kelamaan akan bertambah gawat."
"Ngmm!" Lim Peng
Hang manggut-manggut, kemudian berkata dengan kening berkerut. "Aku justru
tidak habis pikir, kenapa Seng Hwee Kauw menyerang Tiong Ngie Pay?"
"Mungkin...." ujar
Gouw Han Tiong setelah berpikir sejenak.
Seng Hwee Kauw telah bekerja
sama dengan Hiat Ih Hwe, maka Seng Hwee Kau menyerang Tiong Ngie Pay dengan
maksud membantu Hiat Ih Hwe."
"Benar." Lim Peng
Hang mengangguk. "Kita pun harus berhati-hati, karena kemungkinan besar
Seng Hwee Kauw juga akan menyerang ke mari."
"Apakah kejadian itu,
perlu kita beritahukan kepada Sam Gan Sin Kay?" tanya Gouw Han Tiong.
"Memang seharusnya,
tapi____" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Ayahku sudah
tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan."
"Cuma memberitahukan,
bukan berarti Sam Gan Sin Kay harus ke mari," ujar Gouw Han Tiong dan
menambahkan. "Kalau kita tidak memberitahukan, aku khawatir kita pula yang
akan dipersalahkannya."
"Benar." Lim Peng
Hang mengangguk. "Kalau begitu, siapa yang akan berangkat ke Pulau Hong
Hoang To?"
"Bagaimana, kalau Toan
Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan saja?" usul Gouw Han Tiong sambil
tersenyum.
"Ngmm!" Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Itu memang baik, jadi mereka bisa tahu pulau
itu."
"Beng Kiat!" Gouw
Han Tiong menatapnya. "Bagaimana kalau engkau dan Soat Lan yang berangkat
ke pulau Hong Hoang To?"
"Baik, Kakek." Toan
Beng Kiat mengangguk, kemudian memandang Lu Hui San seraya bertanya,
"Engkau mau ikut dengan kami ke Pulau Hong Hoang To?"
"Aku____" Lu Hui San
menggelengkan kepala.
Toan Beng Kiat tampak kecewa,
dan iti membuat Gouw Han Tiong mengerutkan kenin lalu memandang Lim Peng Hang.
"Kapan mereka
berangkat?"
"Besok juga boleh,"
sahut Lim Peng Hang.
"Beng Kiat, besok kalian
berdua berangkatlah ke Pulau Hong Hoang To! Jangan menunda waktu, sebab keadaan
telah gawat!" ujar Gouw Han Tiong sungguh-sungguh dan berpesan.
"Ingat, jangan menimbulkan urusan dalam perjalanan!"
"Ya, Kakek." Toan
Beng Kiat mengangguk.!
"Ai Ling, Goat Nio dan
Hui San! Kalian bertiga tinggal di sini beberapa hari!" tegas Lim Peng
Hang. "Jangan pergi secara diam-diam!"
"Ya." Ketiga gadis
itu menyahut serentak.
Keesokan harinya, berangkatlah
Toan Beng Kiat bersama Lam Kiong Soat Lan ke Pulau Hong Hoang To.
-ooo0dw0ooo-
Lie Ai Ling, Siang Koan Goat
Nio dan Lu Hui San duduk di halaman markas pusat Kay Pang. Wajah Lu Hui San tampak
murung, kelihatannya sedang memikirkan sesuatu.
"Hui San!" Lie Ai
Ling tersenyum. "Engkau sedang memikirkan apa?"
"Terus terang, aku sedang
memikirkan Kam Hay Thian," sahut Lu Hui San jujur. "Aku khawatir akan
terjadi sesuatu atas dirinya. Sebab dia begitu keras hati, maka pasti ke lembah
itu."
"Jangan khawatir!"
ujar Siang Koan Goat Nio. . "Walau dia keras hati, namun tidak bodoh.
Kalaupun dia berangkat ke lembah itu, tentu dia sudah berpikir matang
sekali."
"Memang, namun...."
Lu Hui San menggeleng-gelengkan
kepala. "Bagaimana
mungkin dia seorang diri mampu melawan Seng Hwee Sin Kun?"
"Kalau begitu, kita harus
bagaimana?" tanya ?Lie Ai Ling.
"Kita harus pergi
membantunya," sahut Lu Hui San sungguh-sungguh. "Dia teman baik kita,
apakah kita tega membiarkan dia seorang diri menempuh bahaya?"
"Itu____" Lie Ai
Ling menghela nafas panjang.
"Kalau kalian berdua
tidak mau pergi membantunya, biar aku seorang diri yang pergi."
"Hui San!" Siang
Koan Goat Nio menatapnya. "Kami juga mempunyai rasa solidaritas, hanya
saja...."
"Kenapa?" tanya Lu
Hui San.
"Bukankah lebih baik kita
tunggu Beng Kiat dan Soat Lan pulang dulu, barulah kita pergi kelembah
itu?" sahut Siang Koan Goat Nio.
Lu Hui San tersenyum getir,
kemudian menghela nafas panjang.
"Tentunya Kam Hay Thian
sudah jadi mayat di lembah itu," ujar Lu Hui San dengan mata basah.
"Hui San____" Lie Ai
Ling tersentak. "Engkau...."
"Aku memang jatuh hati
kepadanya, tapi dia Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala. "Dia acuh tak
acuh terhadapku, namun aku tidak mempermasalahkan itu, sebab aku merasa kasihan
dan simpati kepadanya."
"Hui San," tanya
Siang Koan Goat Nio mendadak. "Engkau mencintainya?"
"Ya." Lu Hui San
mengangguk. "Tapi aku tahu dia tidak mencintaiku. Namun... aku tetap
merasa kasihan dan simpati kepadanya. Karena itu, aku harus pergi
membantunya."
"Baiklah." Siang
Koan Goat Nio manggut "Mari kita pergi bersama, tapi kita tidak boleh
berterus terang kepada kedua kakek itu. Karena mereka pasti tidak
mengijinkan."
"Lalu kita harus bagaimana?"
tanya Lu San.
"Aku mempunyai
akal," sahut Lie Ai Ling dengan wajah berseri. "Alasan kita pergi
mencari Kakak Bun Yang."
"Benar." Siang Koan
Goat Nio mengangguk. Jadi kita pasti diijinkan pergi mencari Bun Yang."
"Kalau begitu, mari kita menemui
kedua kakek itu!" ajak Lie Ai Ling sambil tersenyum.
Mereka bertiga memasuki
markas, kebetulan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong sedang duduk di ruang depan.
"Kakek Lim, Kakek
Gouw..." panggil Lie Ai Ling sambil mendekati mereka.
"Ada apa?" tanya Lim
Peng Hang.
"Yaaah____" Lie Ai
Ling menghela nafas panjang, kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil duduk.
"Lho?" Lim Peng Hang
tercengang. "Ai ling, apa engkau menghela nafas panjang?"
"Tadi..." Lie Ai
Ling menghela nafas panjang lagi.
"Ada apa,
beritahukanlah!" desak Lim Peng liang sambil menatapnya. "Jangan
ragu!"
"Tadi aku melihat Goat
Nio duduk melamun di bawah pohon, wajahnya murung sekali____"
"Lho? Kenapa?" Lim
Peng Hang memandang Siang Koan Goat Nio, dan gadis itu segera menundukkan kepala.
"Oooh!" Gouw Han
Tiong tertawa. "Jangan-jangan dia sedang memikirkan cucumu itu!"
"Bun Yang?" Lim Peng
Hang terbelalak.
"Siapa lagi kalau bukan
cucumu yang tampan itu?" sahut Gouw Han Tiong, kemudian tertawa sambil
memandang Lie Ai Ling.
"Betulkah Goa Nio
terus-menerus memikirkan Bun Yang?"
"BetuL" Lie Ai Ling
mengangguk. "Bahkan kadang-kadang...."
"Kenapa?" tanya Lim
Peng Hang cepat.
"Goat Nio sering menangis
seorang diri," sahut Lie Ai Ling sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Dan bergumam memanggil nama Kakak Bun Yang."
"Oh?" Lim Peng Hang
tersentak. "Kok bisa begitu? Padahal Goat Nio belum bertemu Bun
Yang."
"Itu gara-garaku
juga." Lie Ai Ling menghela nafas panjang. "Sebab aku sering memuji
Kakak Bun Yang di hadapannya, maka dia sangat tertarik sehingga—"
"Ingin sekali bertemu
dia?" tanya Gouw Hai Tiong.
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk. "Oleh karena itu, aku pikir...."
"Kalian bermaksud pergi
mencari Bun Yang?” tanya Lim Peng Hang dan merasa kasihan pada Siang Koan Goat
Nio.
"Kami memang bermaksud begitu, tapi...." Lil Ai Ling
menggelengkan kepala.
"Belum tentu kami diijinkan pergi. Ya, kan?"
"Tidak salah," sahut
Lim Peng Hang.
"Kalau begitu____"
Lie Ai Ling menghela nafas panjang. "Pasti celaka."
"Kenapa celaka?"
tanya Lim Peng Hang dengan kening berkerut.
"Goat Nio____Goat Nio
pasti sakit rindu, yang tiada obatnya." sahut Lie Ai Ling.
"Benar." sela Gouw
Han Tiong. "Sakit rindu memang tiada obatnya, kecuali bisa bertemu orang
yang dirindukannya."
"Kalau begitu harus bagaimana?"
Lim Peng liang menggeleng-gelengkan kepala.
"Kita harus mengijinkan
mereka pergi mencari Bun Yang.
Kalau tidak, Goat Nio pasti
celaka," sahut Gouw Han Tiong.
"Mereka berdua belum
pernah bertemu, kenapa bisa jadi begitu?" Lim Peng Hang merasa heran.
"Bisa saja begitu."
Gouw Han Tiong tertawa.
Bukankah kita pernah dengar,
ada seorang pemuda jatuh hati kepada Sang Bidadari yang di dalam lukisan,
akhirnya sakit rindu dan kemudian meninggal!"
"Ngmmm!" Lim Peng
Hang manggut-manggut.
”Baiklah. Aku mengijinkan
mereka pergi mencari Bun Yang."
"Terimakasih, Kakek
Lim!" ucap Lie Ai Ling dengan wajah berseri.
"Kapan kalian akan
berangkat pergi mencari Bun Yang?" tanya Lim Peng Hang sambil memandang
mereka bertiga.
"Sekarang," sahut
ketiga gadis itu serentak. "Apa?" Lim Peng Hang tertegun.
"Sekarang?” "Ya." Ketiga gadis itu mengangguk.
"Bagaimana kalau besok
saja?" tanya Lir Peng Hang.
"Bagaimana mungkin Goat
Nio bisa menunggu sampai besok?" Gouw Han Tiong tertawa
"Sudahlah, biar mereka
berangkat sekarang saja!
"Baik." Lim Peng
Hang manggut-manggut lalu memandang mereka bertiga seraya berpesan "Kalian
harus berhati-hati, jangan sampai bertemu Seng Hwee Kauw atau Hiat Ih
Hwe!"
"Kami pasti
berhati-hati," ujar Lie Ai Lin berjanji. "Kami pergi mencari kakak
Bun Yan bukan pergi mencari gara-gara dengan pihak Sen Hwee Kauw atau Hiat Ih
Hwe."
"Mudah-mudahan kali ini
kalian akan bertemu Bun Yang, cucuku itu!" ucap Lim Peng Hang dan
menambahkan. "Kalau bertemu dia, kalian harus ajaklah ke mari!"
"Ya." Ketiga gadis
itu mengangguk, lalu berangkat dengan wajah berseri-seri, dan yang paling
gembira adalah Lu Hui San.
-ooo0dw0ooo-
Bagian ke dua puluh sembilan
Muncul Penolong
Di dalam markas Tiong Ngie
Pay, tampak Yo Suan Hiang sedang bercakap-cakap dengan Tan Ju Liang, Lim Cin
An, Cu Tiang Him dan Tan Giok Lan.
"Bagaimana menurut
kalian, apakah pihak Seng Hwee Kauw masih akan menyerang ke mari?" tanya
Yo Suan Hiang serius.
"Menurutku..." jawab
Tan Ju Liang dengan kening berkerut-kerut. "Pihak Seng Hwee Kauw pasti
akan menyerang ke mari lagi."
"Apa alasanmu?"
"Sebab kini Toan Beng
Kiat dan lainnya telah meninggalkan markas kita ini, maka pihak Seng Hwee Kauw
pasti memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang lagi."
"Benar." Yo Suan
Hiang manggut-manggut. 'Tapi kita pun sudah siap menyambut penyerangan mereka,
lagi pula para anggota kita terlatih, tidak seperti para anggota Seng Hwee
Kauw."
"Betul." Lim Cin An
mengangguk. "Namun pemimpin mereka pasti berkepandaian tinggi, maka kita
harus hati-hati."
"Kita semua memang harus
hati-hati," ujar Yo Suan Hiang, kemudian memandang Tan Giok Lan seraya
berkata. "Engkau
harus baik-baik menjaga diri,
sebab kepandaianmu masih rendah."
"Ya, Bibi." Tan Giok
Lan mengangguk.
"Lapor pada ketua!"
seru salah seorang anggota sambil berlari masuk. "Pihak Seng Hwe Kauw
mulai menyerang ke mari."
"Demi Tiong Ngie Pay,
kita semua harus bertempur mati-matian!" sahut Yo Suan Hiang.
"Ya!" sahut para
anggota penuh semanga "Kami semua rela mati demi Tiong Ngie Pay!"
"Bagus!" Yo Suan
Hiang tertawa gembira "Mari kita sambut mereka!"
Yo Suan Hiang dan lainnya
langsung melesai ke luar. Setelah sampai di luar markas, mereka melihat tiga
orang tua berdiri di situ, dan satu di antaranya seorang wanita tua. Mereka
bertiga adalah Hek Sim Popo, Pek Bin Kui dan Leng Bin Hoatsu.
"Maaf!" ucap Yo Suan
Hiang sambil memberi hormat. "Selama ini, kami tidak bermusuhan dengan
pihak kalian, kenapa mendadak kalian menyerang ke mari?"
"Ha ha ha!" Pek Bin
Kui tertawa. "Aku adalah Pek Bin Kui, dia adalah Leng Bin Hoatsu dan
wanita tua itu adalah Hek Sim Popo. Kami menyerang ke mari atas perintah
Kauwcu."
"Kauwcu kalian pasti Seng
Hwee Sin Kun." ujar Yo Suan Hiang dan menambahkan, "Kami tidak
bermusuhan dengan Seng Hwee Sin Kun kenapa dia memerintah kalian untuk
menyerang kami?"
"He he he!" Hek Sim
Popo tertawa terkekeh. "Kalian harus tahu, Kauwcu kami dan ketua Hiat Ih
Hwe sudah bekerja sama. Oleh karena itu, kami mewakili Hiat Ih Hwe membasmi
kalian. He he he...!"
"Oooh! Ternyata
begitu!" Yo Suan Hiang manggut-manggut sambil tertawa dingin. "Kalian
kira gampang membasmi Tiong Ngie Pay? Sebaliknya mungkin kalian yang akan
menjadi mayat di tempat ini."
"Serang mereka!"
perintah Leng Bin Hoatsu kepada para anak buahnya untuk menyerang para anggota
Tiong Ngie Pay.
Begitu perintah itu
diturunkan, seketika terjadilah pertempuran dahsyat antara para anggota Seng
Hwee Kauw dengan para anggota Tiong Ngie Pay. Sedangkan Leng Bin Hoatsu, Pek
Bin Kui dan Hek Sim Popo juga mulai menyerang mereka.
Yo Suan Hiang melawan Hek Sim
Popo, Tan Ju Liang melawan Pek Bin Kui, Lim Cin An dan Cu Tiang Him melawan
Leng Bin Hoatsu.
Belasan jurus kemudian, Yo
Suan Hiang tampak mulai terdesak. Oleh karena itu, ia terpaksa menggunakan Cit
Loan Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling), ciptaan Tio Cie Hiong.
Begitu Yo Suan Hiang
menggunakan ilmu [pedang tersebut, seketika juga Hek Sim Popo merasa pusing dan
matanya berkunang-kunang.
Hal itu membuatnya terkejut
sekali. Ia pun segera mengeluarkan ilmu andalannya, sehingga pertarungan mereka
menjadi bertambah sengit.
Sementara Tan Ju Liang juga
sudah mulai berada di bawah angin, bahkan lengannya telah terluka oleh senjata
lawan. Begitu pula Lim Cin An dan Cu Tiang Him. Mereka mulai terdesak dan paha
mereka telah terluka.
"Ha ha ha!" Pek Bin
Kui dan Leng Bin Hoatsi tertawa gelak sambil menyerang mereka dengar
jurus-jurus yang mematikan.
Di sisi lain, yaitu Hek Sim
Popo, nenek itu tampak terdesak oleh Yo Suan Hiang yang menggunakan Cit Loan
Kiam Hoat. Namun Yo Suar Hiang terkejut ketika melihat Tan Ju Liang, Lim Cin An
dan Cu Tiang Him yang dalam keadaan bahaya.
Mendadak ia membentak keras
sambil menyerang Hek Sim Popo dengan jurus Ban Kiam Hi Thian (Selaksa Pedang
Terbang Ke Langit), namun cepat-cepat Hek Sim Popo menangkis dengan jurus Heng
Soh Cian Kun (Menyapu Ribuan Prajurit).
Trang! Terdengar suara
benturan senjata.
Yo Suan Hiang tetap berdiri di
tempat, tetapi Hek Sim Popo terpental beberapa depa. Untung nenek itu memiliki
lweekang tinggi, kalau tidak, ia pasti sudah terluka dalam.
Hek Sim Popo terkejut bukan
kepalang, namun mendadak balas menyerang Yo Suan Hiang dengan senjata rahasia.
Serr! Serrr! Serrrr!
Yo Suan Hiang cepat-cepat
memutar pedangnya untuk menangkis senjata-senjata rahasia itu, sehingga membuatnya
tidak sempat membantu Tan Ju Liang dan Lim Cin An maupun Cu Tiang Him.
Sementara para anggotanya
sudah banyak yang mati. Namun sisanya masih melawan secara mati-matian.
Sedangkan Tan Ju Liang, Lim Cin An, dan Cu Tiang Him sudah tak mampu balas menyerang.
Mereka bertiga hanya bertahan mati-matian. Tampaknya tidak lama lagi,
ketiga-tiganya pasti akan mati di ujung senjata Pek Bin Kui dan Leng Bin
Hoatsu.
Akan tetapi, di saat bersamaan
terdengarlah suara siulan yang amat nyaring kemudian melayang turun seorang
gadis berusia dua puluhan, berparas cantik tapi tampak dingin sekali. Ketika
melayang turun, gadis itu mengibaskan tangannya menaburkan racun ke arah para
anggota Seng Hwee Kauw.
"Aaaakh! Aaaakh!
Aaaakh...!" Terdengar suara jeritan yang menyayat hati. Belasan anggota
Seng Hwee Kauw roboh sambil menggeliat-geliat, dan berselang sesaat tubuh
mereka mengeluarkan asap. Ternyata mereka telah mati dengan daging mencair.
Betapa terkejutnya para
anggota Seng Hwee Kauw lain.
Mereka segera mundur dengan
wajah pucat pias.
Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui
dan Hek Sim1 Popo juga terkejut bukan main. Mereka memandang gadis itu sambil
mundur beberapa langkah.
"Siapa engkau?"
bentak Leng Bin Hoatsu. "Kenapa mencampuri urusan kami?"
"Kalian memang tidak kenal
aku, tapi aku kenal kalian semua!" sahut gadis itu sambil tersenyum
dingin. "Aku ke mari justru ingin mencampuri urusan kalian. Karena kalau
bertarung aku pasti kalah, maka aku menggunakan racun!"
"Beritahukan!"
bentak Hek Sim Popo. "Siapa engkau?"
"Aku bernama Phang Ling
Cu, juga adalah Ngo Tok Kauwcu," sahut gadis itu.
"Haaah...!" Leng Bin
Hoatsu, Pek Bin Kui dan Hek Sim Popo tersentak. Mereka tersentak bukan
dikarenakan Ngo Tok Kauwcu itu berkepandaian tinggi, melainkan Ngo Tok Kauw
sangat terkenal racunnya. "Engkau... engkau Ngo Tok Kauwcu?"
"Kalau kalian tidak
percaya, boleh coba racunku!" Phang Ling Cu mengangkat sebelah tangannya.
Seketika juga Leng Bin Hoatsu,
Pek Bin Kui dan Hek Sim Popo meloncat ke belakang dengan wajah pucat pias.
"Hmm!" dengus Phang
Ling Cu dingin. "Kalian masih belum mau enyah dari sini? Ingin merasakan
kelihayan racunku?"
Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui
dan Hek Sim Popo saling memandang, kemudian mereka melangkah pergi. Para
anggota Seng Hwee Kauw segera mengikuti mereka meninggalkan tempat itu.
Phang Ling Cu tertawa dingin.
Yo Suan Hiang menghampirinya sambil memberi hormat.
”Terimakasih atas bantuanmu,
Ngo Tok Kauw-cu!" ucapnya.
"Tidak usah mengucapkan
terimakasih," sahut Phang Ling Cu sambil tersenyum ramah. "Panggil
saja namaku! Aku bernama Phang Ling Cu, dan engkau pasti Yo Suan Hiang. Aku pun
harus memanggil bibi."
"Ling Cu____" Yo
Suan Hiang tertegun. "Kok engkau tahu namaku?"
"Siapa tidak kenal ketua
Tiong Ngie Pay yang selalu menentang Hiat Ih Hwe? Lagipula...." Phang Ling
Cu
tersenyum lagi. "Aku
berhutang budi kepada adik Bun Yang." "Engkau kenal Tio Bun
Yang?" Yo Suan Hiang terbelalak.
"Kenal." Phang Ling
Cu mengangguk. "Dia yang menyembuhkan wajahku."
"Oooh!" Yo Suan
Hiang manggut-manggut. "Ling Cu, mari kita masuk!"
"Terimakasih!" ucap
Phang Ling Cu.
"Cepat kalian obati
anggota-anggota yang terluka" ujar Yo Suan Hiang pada Tan Ju Liang, Lim
Cin An dan Cu Tiang Him.
"Ya, Ketua," sahut
mereka bertiga dan segera mengobati anggota-anggota yang terluka.
Sementara Yo Suan Hiang dan
Phang Ling Cu telah berada di dalam markas dan mereka duduk berhadapan.
"Tiong Ngie Pay berhutang
budi padamu, Ling Cu," ujar Yo Suan Hiang. "Kalau engkau tidak segera
muncul, Tiong Ngie Pay pasti hancur."
"Jangan berkata begitu,
Bibi Suan Hiang!" sahut Phang Ling Cu. "Tadi aku sudah bilang, Adik
Bun Yang yang menyembuhkan wajahku. Kalau tidak, aku masih memakai cadar dan
wajahku sangat menyeramkan."
"Oh ya!" Yo Suan
Hiang menatapnya seraya bertanya. "Di mana engkau bertemu Bun Yang?*
"Di kota Kang
Shi..." jawab Phang Ling Cu dan menutur tentang kejadian itu sambil
tersenyum. "Adik Bun Yang berhati bajik, luhur dan mulia. Aku kagum dan
salut padanya."
"Setelah itu, dia ke
mana?"
"Entahlah."
"Aaaah!" Yo Suan
Hiang menghela nafas panjang. "Sudah lama aku tidak bertemu dia, aku sudah
rindu sekali kepadanya!"
"Dia memang pemuda yang
baik, berkepandaian tinggi tapi tidak menyombongkan diri."
"Benar," Yo Suan
Hiang manggut-manggut. ''Oh ya, engkau sengaja ke mari atau kebetulan...."
"Boleh dikatakan sengaja
ke mari, tapi juga boleh dikatakan kebetulan," sahut Phang Ling Cu.
'"Justru malah membantu Bibi Suan Hiang."
"Ling Cu!" Yo Suan
Hiang memandangnya. "Karena engkau membantu kami, Seng Hwee Kauw pasti
mendendam padamu."
"Aku memang mempunyai
dendam pada Seng Hwee Sin Kun," ujar Phang Ling Cu memberitahukan.
"Karena Seng Hwee Sin Kun membunuh ayahku, maka aku harus menuntut
balas."
"Ayahmu dibunuh oleh Seng
Hwee Sin Kun?"
"Ya," Phang Ling Cu
mengangguk sambil menghela nafas. "Padahal ayahku teman baiknya."
"Oh?" Yo Suan Hiang
terbelalak. "Lalu kenapa Seng Hwee Sin Kun membunuh ayahmu?"
"Dia ingin menyerakahi
kitab Seng Hwee Cin Keng. Oleh karena itu, dia membunuh ayahku demi memperoleh
kitab itu. Akhirnya dia berhasil, bahkan berhasil pula menguasai semua ilmu
yang tercantum di dalam kitab itu."
"Ooooh!" Yo Suan
Hiang manggut-manggut. "Ternyata begitu! Tapi... apakah engkau mampu
melawan Seng Hwee Sin Kun?"
"Aku bukan lawannya,
namun aku mahir racun." Phang Ling Cu memberitahukan. "Aku akan
berusaha membunuhnya dengan racun."
”Itu akan berhasil?"
"Belum tentu," Phang
Ling Cu menggeleng kan kepala. "Oleh karena itu, aku harus berunding
dengan Adik Bun Yang."
"Sayang sekali, Bun Yang
tidak berada di sini, ujar Yo Suan Hiang dan memberitahukan. "Tapi belum
lama ini justru muncul Toan Beng Kiat Kam Hay Thian dan lainnya ke mari. Pada
waktu itu, pihak Seng Hwee Kauw pun menyerang namun pihak Seng Hwee Kauw tidak
pmelawan mereka, dan akhirnya kabur."
"Kalau begitu, Seng Hwee
Sin Kun sangat licik," ujar Phang Ling Cu dingin dan melanjutkan
"Setelah mereka pergi, dia perintahkan para anak buahnya menyerang
lagi."
"Karena itu, aku harus
berterimakasih kepadamu," ucap Yo Suan Hiang setulus hati.
"Bibi Suan Hiang!"
Phang Ling Cu tersenyum "Jangan mengucapkan terimakasih kepadaku, karena
aku memang mempunyai dendam dengan Seng Hwee Sin Kun! Oh ya, aku mau mohon
pamit!"
"Kenapa begitu
cepat?"
"Aku akan pergi mencari
Adik Bun Yang."
"Ling Cu, cobalah engkau
ke markas pusa Kay Pang, siapa tahu Bun Yang berada di sana!”
"Baiklah. Aku akan ke
sana." Phang Ling Cu bangkit berdiri. "Bibi Suan Hiang, sampai
jumpa!'
"Sampai jumpa, Ling
Cu!" sahut Yo Suan
Hiang dan berpesan.
"Kalau bertemu Bun Yang, tolong beritahukan bahwa aku sangat rindu
kepadanya."
"Ya, Bibi Suan
Hiang," Phang Ling Cu mengangguk, lalu melesat pergi.
-ooo0dw0ooo-
Sementara itu, di dalam markas
Seng Hwee Kauw, tampak Seng Hwee Sin Kun marah-marah sambil memukul meja.
"Kenapa kalian bertiga,
bisa gagal membasmi Tiong Ngie Pay?"
"Kauwcu!" Leng Bin
Hoatsu memberitahukan. "Sebetulnya kami hampir berhasil membasmi Tiong
Ngie Pay, tapi—"
"Kenapa?" tanya Seng
Hwee Sin Kun sambil mengerutkan kening.
"Mendadak muncul seorang
gadis bernama Phang Ling Cu, yang mengaku dirinya adalah Ngo Tok Kauwcu. Gadis
itu mahir menggunakan racun, sehingga belasan anggota kita mati
keracunan," sahut Leng Bin Hoatsu.
"Phang Ling Cu? Dia sudah
muncul?" gumam Seng Hwee Sin Kun.
"Kauwcu kenal gadis
itu?" tanya Pek Bin Kui.
"Kenal," Seng Hwee
Sin Kun mengangguk. "Dia putri teman baikku itu. Tak disangka dia pun
mahir menggunakan racun!"
"Racun yang digunakannya
sungguh lihay sekali!" ujar Hek Sim Popo. "Belasan anggota kita itu
mati dengan daging mencair, sungguh menakutkan!"
"Hmm!" dengus Seng
Hwee Sin Kun dingin. "Dia pasti akan menuntut balas atas kematian,
ayahnya, maka kalian harus hati-hati menghadapinya."
"Ya!" sahut mereka
serentak.
"Dia mahir menggunakan
racun, namun aku tidak takut akan racunnya," ujar Seng Hwee Si Kun sambil
tertawa. "Ha ha ha...!"
"Kenapa begitu?"
tanya Pat Pie Lo Koay.
"Aku memiliki Seng Hwee
Sin Kang, maka, aku kebal terhadap racun apa pun." Seng Hwee Sin Kun
memberitahukan. "Karena itu, dia tidak bisa membunuhku dengan racun."
"Oooh!" Pat Pie Lo
Koay manggut-manggut.
"Kauwcu!" ujar Leng
Bin Hoatsu mendadak dengan wajah serius. "Aku punya suatu usul."
"Usul apa?
Beritahukanlah!" sahut Seng Hwee Sin Kun sambil menatapnya.
"Mudah-mudahan usul yang dapat dipakai!"
"Tentu usul yang dapat
dipakai." Leng Bin Hoatsu tertawa. "Usulku yakni kita harus melatih
dan sekaligus mengajar ilmu silat kepada para anggota kita, sebab mereka masih
agak
kacau di saat bertempur, dan
kepandaian mereka masih rendah!"
"Ngmmm!" Seng Hwee
Sin Kun manggut-manggut. "Usulmu kuterima."
"Terimakasih,
Kauwcu!" ucap Leng Bin Hoatsu sambil memberi hormat.
"Kuserahkan tugas itu
kepada kalian," ujar Seng Hwee Sin Kun sungguh-sungguh dan memandang
mereka tajam. "Setelah itu, kalian boleh pergi menyerang Tiong Ngie Pay
lagi."
"Ya, Kauwcu," sahut
mereka berlima sambil mengangguk. "Kami pasti melaksanakan tugas itu
dengan baik."
"Bagus, bagus!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Ha ha ha...!"
-ooo0dw0ooo-
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan yang berlayar ke Pulau Hong Hoang To telah tiba di pulau tersebut.
Kedatangan mereka justru membingungkan para penghuni pulau itu, karena tidak
kenal Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
"Siapa kalian
berdua?" tanya Tio Tay Seng dengan kening berkerut. "Kenapa kalian
berani datang di pulau ini?"
"Maaf!" ucap Toan
Beng Kiat sambil member hormat. "Namaku Toan Beng Kiat, dan dia ber nama
Lam Kiong Soat Lan."
"Oooh!" Wajah Tio
Tay Seng langsung berseri "Ternyata kalian datang dari Tayli, silakan
duduk!
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lai duduk, Sam Gan Sin Kay menatap mereka serayi bertanya,
"Bagaimana kabarnya orang
tua kalian? Mereka baik-baik saja?"
"Orang tua kami baik-baik
saja," jawab Toan Beng Kiat dan memberitahukan. "Kami ke mari atas
perintah Kakek Lim dan Kakek Gouw untuli menyampaikan suatu kabar berita."
"Oh?" Tio Tay Seng
memandang mereka "Kabar berita apa?"
"Pihak Seng Hwee Kauw
terus-menerus berupaya membunuh kami, bahkan belum lama in pihak Seng Hwee Kauw
menyerang Tiong Ngie Pay," jawab Toan Beng Kiat memberitahukan
"Mungkin dalam waktu dekat, pihak Seng Hwee Kauw akan menyerang markas
pusat Kay Pang.
"Oh?" Wajah Sam Gan
Sin Kay berubah "Kalian tahu siapa ketua Seng Hwee Kauw?"
"Ketua Seng Hwee Kauw
adalah Seng Hwee Sin Kun. Dialah pembunuh kakek tua dan Lan Kiong hujin,"
ujar Toan Beng Kiat.
"Oooh!" Sam Gan Sin
Kay manggut-manggut
"Kini di rimba persilatan
telah muncul seorang Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat), bernama Kam Hay
Thian," Toan Beng Kiat memberitahukan. "Putera Kam Pek Kian dan Lie
Siu Sien."
"Apa?!" Tio Cie
Hiong dan Lim Ceng Im terbelalak. "Kam Hay Thian itu putra mereka?"
"Ya." Toan Beng Kiat
mengangguk. "Tapi... ayahnya sudah meninggal."
"Oh?" Tio Cie Hiong
mengerutkan kening. "Kapan ayahnya meninggal?"
"Sudah lama. Ayahnya
dibunuh orang karena menolong seorang tua dan memperoleh sebuah kitab Seng Hwee
Cin Keng."
"Kalau begitu, pembunuh
ayahnya adalah Seng Hwee Sin Kun?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"Ya." Toan Beng Kiat
mengangguk. "Oleh karena itu, Kam Hay Thian bersumpah akan membunuh Seng
Hwee Sin Kun. Ketika kami menuju markas pusat Kay Pang, dia memisahkan diri
dengan kami."
"Itu...." Tio Cie
Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Kami pun bertemu Goat
Nio, Ai Ling dan berkenalan dengan seorang gadis bernama Lu Hui San." Toan
Beng Kiat memberitahukan. "Mereka bertiga berada di markas pusat Kay
Pang."
"Oooh!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut.
"Nah!" ujar Kou Hun
Bijin sambil tertawa. "Kini giliranku bicara. Aku ingin bertanya kepada
Soat Lan, sebab dari tadi dia diam saja."
"Bibi mau tanya
apa?" Lam Kiong Soat Lan tersenyum.
"Apakah putriku sudah
bertemu Bun Yang?" Ternyata ini yang ditanyakan Kou Hun Bijin.
"Belum." Lam Kiong
Soat Lan menggelengkan kepala.
"Apa?" Kou Hun Bijin
terbelalak, kemudian memandang Tio Cie Hiong sambil berkata. "Adik,
sebetulnya putramu itu hilang ke mana?"
"Aku... aku mana
tahu!" sahut Tio Cie Hiong.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Bun Yang sangat tampan, jangan-jangan____"
"Apa?" tanya Kou Hun
Bijin sambil melotot. "Ayoh, lanjutkan!"
"Jangan-jangan dia
dikurung oleh janda cantik," sahut Sam Gan Sin Kay dengan tertawa gelak.
"Hmm!" dengus Kou
Hun Bijin. "Kalau Bun Yang berani berbuat begitu, akan kutampar mukanya
sampai rusak!"
"Eeeh?" Sam Gan Sin
Kay tertawa lagi. "Dia putra Cie Hiong dan Ceng Im, bukan putramu
lho!"
"Aku tidak perduli!"
sahut Kou Hun Bijin melotot. "Pokoknya aku harus hajar dia!"
"Lho? Isteriku!" Kim
Siauw Suseng tersenyum. "Pembicaraanmu kok menyimpang sampai begitu
jauh?"
"Pengemis bau yang memulai."
"Dia sudah sinting,
kenapa engkau ikut sinting pula?"
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Isterimu memang sudah gila, Bun Yang belum jadi
mantunya, tapi dia sudah begitu galak. Bagaimana kelak kalau sudah jadi
mantunya? Itu betul-betul gawat."
Sementara Tio Tay Seng, Tio
Cie Hiong dan Lim Ceng Im cuma menggeleng-gelengkan kepala. Di saat itulah
muncul Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa. Wajah mereka berseri-seri, namun kemudian
terperangah, karena melihat Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan. Tio Cie
Hiong segera memperkenalkan. Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan langsung
memberi hormat.
"Ooooh!" Lie Man
Chiu manggut-manggut sambil tersenyum. "Ternyata mereka putra Toan Wie Kie
dan putri Lam Kiong Bie Liong!"
"Kalian berdua bertemu Ai
Ling, putriku?" tanya Tio Hong Hoa.
"Kami sudah bertemu Ai
Ling dan Goat Nio," jawab Lam Kiong Soat Lan. "Mereka berada di
markas pusat Kay Pang."
"Kalian sudah bertemu Bun
Yang belum?" tanya Lie Man Chiu.
"Belum," Toan Beng
Kiat menggelengkan kepala. "Heran!" gumam Tio Hong Hoa. "Anak
itu pergi ke mana?"
"Dia____" Sam Gan
Sin Kay baru mau mengatakan sesuatu, tapi Kou Hun Bijin telah melototinya.
"Awas!" ancamnya.
"Kalau berani mencetus kan yang bukan-bukan, pipimu pasti bengkak!"
"Ha ha!" Sam Gan Sin
Kay tertawa gelak "Sastrawan sialan, isterimu kok begitu galak! Kalau aku
adalah engkau, dia sudah ku____"
"Apa?" tanya Kou Hun
Bijin, yang kelihatan nya sudah siap menampar Sam Gan Sin Kay yang bermulut
usil itu.
"Ti... tidak!" Sam
Gan Sin Kay meleletkan lidahnya.
"Sudahlah, jangan terus
bergurau!" tandas Tio Tay Seng serius. "Kini rimba persilatan mulai
kacau, kita harus bagaimana?"
"Paman," sahut Tio
Cie Hiong. "Aku dan Adik Ceng Im sudah tidak mau mencampuri urusan rimba
persilatan."
"Sama," sela Sam Gan
Sin Kay.
"Begini saja," ujar
Kim Siauw Suseng. "Kita lihat dulu bagaimana perkembangan selanjutnya.
Apabil terjadi sesuatu di sana, Lim Peng Hang pasti akan mengutus orang ke mari
memberitahukan. Seandai nya begitu, barulah kita berunding bersama."
"Setuju!" Sam Gan
Sin Kay manggut-manggut
Tio Tay Seng juga mengangguk,
lalu memandang Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan seraya berkata,
"Kalian berdua tinggal di
sini dulu, tidak usah buru-buru ke Tionggoan."
"Ya." Toan Beng Kiat
dan Lam Kiong Soat Lan mengangguk.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa. "Tio Tocu, sudah waktunya kita main catur."
"Baik." Tio Tay Seng
juga tertawa. Mereka berdua lalu pergi main catur. Sedangkan yang lain masih
bercakap-cakap dengan Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
-ooo0dw0ooo-
Di markas Hiat Ih Hwe, tampak
Lu Thay Kam duduk dengan wajah tak sedap dipandang. Gak Gong Heng duduk di
sebelahnya sambil mengerutkan kening, kemudian menundukkan kepala.
"Jadi Seng Hwee Kauw
tidak berhasil membasmi Tiong Ngie Pay?" tanya Lu Thay Kam bernada gusar.
"Ya." Gak Cong Heng
mengangguk. "Dua kali Seng Hwee Kauw menyerang Tiong Ngie Pay, tapi
gagal."
"Apa?" Lu Thay Kam
tertegun. "Dua kali menyerang tapi gagal? Kenapa begitu? Apakah Seng Hwee
Kauw cuma main-main?"
"Seng Hwee Kauw tidak
main-main, Lu Kong Kong." Gak Cong Heng memberitahukan. "Sebab banyak
anggota Seng Hwee Kauw yang menjadi korban di markas Tiong Ngie Pay."
"Kalau begitu____"
Lu Thay Kam mengerutkan kening. "... mungkinkah ketua Tiong Ngie Pai berkepandaian
tinggi sekali!"
"Ada beberapa orang
membantu Tiong Ngie Pay, maka penyerangan pertama kali itu gagal."
"Siapa yang membantu
Tiong Ngie Pay?"
"Chu Ok Hiap, Toan Beng
Kiat, Lam Kiong, Soat Lan, Lie Ai Ling, Siang Koan Goat Nio dan____" Gak
Cong Heng tidak berani melanjutkan.
"Dan siapa?" tanya
Lu Thay Kam.
"Lu Hui San," sahut
Gak Cong Heng sambil menundukkan kepala.
"Apa?!" Lu Thay Kam
tersentak. "Putriku...."
"Nona Hui San telah
bergabung dengan mereka, jadi____"
"Aaaah...!" Lu Thay
Kam menghela nafas panjang. "Kenapa San San bertemu mereka?"
"Kini Nona Hui San berada
di markas pusat Kay Pang. Perlukah aku menyuruh beberapa orang ke markas pusat
Kay Pang?"
"Tidak usah," Lu
Thay Kam menggelengkan kepala. "Biarkan saja."
"Tapi...."
"Itu tidak jadi masalah.
Kalau dia sudah bosan merantau, tentu akan pulang."
"Oh ya!" Gak Cong
Heng memberitahukan. ”Semalam ada utusan Seng Hwee Kauw ke mari."
"Utusan itu menyampaikan
apa?"
"Minta maaf atas
kegagalan itu, kini para anggota Seng Hwee Kauw sedang dilatih dan diajarkan
ilmu silat. Mungkin tidak lama lagi, mereka akan menyerang Tiong Ngie
Pay."
"Bagus, bagus!" Lu
Thay Kam tertawa terbahak-bahak. "Tiong Ngie Pay memang harus dibasmi.
Kalau tidak, perkumpulan itu merupakan kalangan bagi kita."
"Benar, Lu Kong
Kong," sahut Gak Cong Heng dan ikut tertawa. "Kita harus terus
memperalat Seng Hwee Kauw."
"Tidak salah. Ha ha
ha...!" Lu Thay Kam tertawa terbahak-bahak lagi, lalu melesat pergi.
-ooo0dw0ooo-
Bagian ke tiga puluh
Cai Hoat Cat (Penjahat Pemetik
Bunga)
Tio Bun Yang terus melanjutkan
perjalanan bersama monyet bulu putih, yang duduk di bahunya. Ketika hari mulai
gelap, Tio Bun Yang memasuki sebuah desa yang cukup besar.
Akan tetapi, sungguh
mengherankan! Padahal hari baru mulai gelap, namun rumah-rumah penduduk desa
itu telah tertutup rapat.
"Heran?" gumam Tio
Bun Yang. "Kenap» semua rumah telah ditutup? Apakah telah terjadi sesuatu
di desa ini?"
Monyet bulu putih bercuit
sambil manggut manggut seakan mengatakan 'Ya'.
Tio Bun Yang menengok ke sana
ke mari kemudian mendekati salah sebuah rumah dan mengetuk perlahan.
Lama sekali barulah pintu
rumah itu terbuka sedikit dan seorang tua melongok ke luar. Ketika melihat Tio
Bun Yang, orang tua itu tampak menarik nafas lega.
"Siapa engkau, anak
muda?" tanya orang tua itu.
"Aku pengembara,
Paman," jawab Tio Bun Yang dengan ramah. "Hari baru mulai malam, tapi
kenapa para penduduk desa ini sudah menutup pintu?"
"Anak muda____"
Orang tua itu menghela nafas panjang. "Telah terjadi sesuatu di desa
ini."
"Paman, apa yang telah terjadi?"
"Anak muda, masuklah, aku
akan mencerita kannya!" Orang tua itu membuka pintu, kemudian Tio Bun Yang
melangkah ke dalam.
"Paman, ceritakanlah apa
yang telah terjadi!"
"Duduklah dulu, anak
muda!" ucap orang tua itu, kemudian berseru. "Cing Cing! Cepat
suguhkan teh untuk tamu kita!"
"Tidak usah repot-repot,
Paman!" ujar Tio Bun Yang.
"Tidak apa-apa."
Orang tua itu tertawa.
Tak lama tampak seorang gadis
berusia dua puluhan menyuguhkan secangkir teh. Cukup cantik gadis itu. Justru
gadis itu terbelalak ketika melihat Tio Bun Yang, wajahnya pun agak
kemerah-merahan.
"Silakan minum,
Tuan!" ucapnya malu-malu.
"Terimakasih, Kak!"
Tio Bun Yang tersenyum.
Senyuman Tio Bun Yang membuat
gadis tergebui terpukau, sehingga berdiri terpaku di tempat.
"Cing Cing!" Orang
tua itu tertawa gelak. "Kenapa engkau?" "Ayah...." Cing
Cing menundukkan kepala.
"Kalau mau duduk,
duduklah!" ujar orang tua itu. "Jangan terus berdiri di situ, tidak
baik lho!"
"Ayah...." Cing-Cing
duduk di sebelah orang tua itu dengan
sikap malu-malu.
"Anak muda!" Orang
tua itu menatap Tio Bun Vang dengan penuh perhatian. "Siapa engkau?"
"Namaku Tio Bun Yang.
Paman, ceritakanlah apa yang telah terjadi di desa ini?"
"Belum lama ini, di desa
ini muncul seorang Cai Hoa Cat (Penjahat Pemetik Bunga), sehingga para penduduk
desa tercekam."
"Penjahat itu memetik
bunga apa?" Heran Tio I Bun Yang. "Kenapa bisa membuat para penduduk
desa ini tercekam?"
"Anak muda..." orang
tua itu terbelalak. "Engkau tidak tahu istilah itu?"
"Istilah apa?"
"Cai Hoa Cat adalah
penjahat pemerkosa wanita." Orang tua itu memberitahukan. "Karena
itu, sebelum hari gelap para penduduk desa sudah menutup pintu rumah. Aku punya
anak gadis, maka ketakutan sekali."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut. "Malam ini penjahat itu akan muncul?"
"Mungkin." Orang tua
itu menghela nafas panjang. "Penjahat itu menculik kaum gadis lalu
diperkosa, dilepaskan keesokan harinya."
"Kalau begitu..."
ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh. "Aku harap malam ini dia muncul di
sini!"
"Apa?!" Orang tua
itu melotot. "Kok engkau begitu jahat? Cing Cing adalah putriku
satu-satunya, juga merupakan harapanku. Engkau...."
"Paman!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Aku harap penjahat itu muncul di sini, karena aku akan
menangkapnya. Jadi Paman jangan salah paham."
"Eh? Anak muda!"
Orang tua itu terbelalak. "Engkau jangan bergurau, penjahat itu lihay
sekali! Puluhan pemuda di kampung ini mengeroyoknya, namun malah dirobohkannya
dengan mudah sekali."
"Oh?" Tio Bun Yang
tersenyum lagi. "Paman, sudah berapa banyak gadis yang diperkosa penjahat
itu?"
"Sudah belasan,"
sahut orang tua itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Padahal penjahat
itu masih muda, bahkan cukup tampan. Tapi dia justru melakukan perbuatan
terkutuk itu."
"Paman, kalau
begitu____" Tio Bun Yang menatapnya. "Bolehkah malam ini aku menginap
di sini?"
"Boleh," sahut Cing
Cing cepat.
"Eh?" Orang tua itu
tertegun. "Ayah belum menjawab, kenapa engkau sudah menyahut tanpa
persetujuan ayah? Bagaimana kalau dia juga penjahat?"
"Ayah!" Cing Cing
tersenyum. "Kalau dia penjahat, mungkin masih banyak anak gadis yang
bersamanya."
"Cing Cing, engkau...." Orang tua itu menggeleng-
gelengkan kepala, kemudian
manggut-manggut. "Benar juga ya!"
"Paman!" Tio Bun
Yang tertawa kecil, sedangkan monyet bulu putih bercuit-cuit sambil menyengir.
"Ei, monyet!" Orang
tua itu melotot. "Kenapa engkau menyengir? Mau minum arak ya?"
Monyet bulu putih
manggut-manggut. Orang tua itu ternganga lebar mulutnya kemudian tertawa gelak.
"Anak muda, monyetmu
mengerti bahasa manusia ya?" "Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Ha ha ha!" Orang
tua itu tertawa lagi. "Cing Cing, ambilkan arak wangi yang ayah simpan
tahunan itu! Ayah ingin bersulang dengan monyet bulu putih ini!"
"Ya, Ayah." Cing
Cing berlari ke dalam. Berselang sesaat ia sudah kembali dengan membawa tiga
buah cangkir dan sebuah kendi berisi arak wangi. Gadis itu menaruh
cangkir-cangkir ke hadapan mereka, lalu menuang arak wangi.
"Ha ha!" Orang tua
itu tertawa. "Mari kita bersulang!"
Mereka bertiga bersulang
bersama. Bukan main monyet bulu putih itu, hanya sekali teguk keringlah
cangkirnya, lalu disodorkan ke hadapan Cing Cing. Gadis itu segera menuang arak
wangi ke dalam cangkir yang di tangan monyet bulu putih, yang kemudian bercuit
seakan mengucapkan terimakasih. Setelah itu, monyet bulu putih mengangkat
cangkirnya, seperti mengajak orang tua itu bersulang.
"Luar biasa!" Orang
tua itu menggeleng-gelengkan kepala. "Arakku masih ada setengah cangkir,
tapi monyet bulu putih sudah tambah, sungguh luar biasa! Tidak akan mabuk
tuh?"
"Jangan khawatir,
Paman!" ujar Tio Bun Yang. "Kauw heng tidak akan mabuk,
percayalah!"
"Oooh!" Orang tua
itu tertawa. "Anak muda, monyet bulu putih itu begitu kecil, kenapa kau panggil
kauw heng?"
"Kecil badannya, namun
usianya____"
"Berapa usianya?"
"Tiga ratus tahun lebih
sedikit."
"Apa?!" Orang tua
itu terbelalak. "Anak muda, tidak baik membohongi orang tua lho!"
"Paman, aku tidak pernah
bohong," sahut Tio Bun Yang. "Kauw heng memang sudah berusia tiga
ratus tahun lebih, dia berasal dari Gunung Thian San."
"Oh?" Mulut orang
tua itu ternganga lebar. "Luar biasa, sungguh luar biasa sekali! Kalau
begitu, aku pun harus memanggilnya kauw heng.
”Ha ha! Kauw heng, mari kita
bersulang!" Orang tua itu meneguk arak wanginya perlahan-lahan, tapi
sebaliknya monyet bulu putih itu malah menghabiskan araknya dengan sekali
teguk.
"Haah...?" Orang tua
itu melotot. "Celaka! Kalau arak wangi ini habis, aku tidak mampu beli
lagi."
"Jangan khawatir,
Paman," ujar Tio Bun Yang sambil mengeluarkan setael uang emas dan
diberikannya kepada orang tua itu seraya berkata.
"Ini untuk Paman membeli
arak wangi."
"Apa? Untuk membeli arak
wangi?" Oranj tua itu terbelalak. "Setael uang emas ini bisa untuk
membeli sawah, aku tidak berani menerimanya.'
"Terimalah!" desak
Tio Bun Yang. "Kalau tidak, kami akan merasa tidak enak."
"Tapi—" Orang tua
itu tampak ragu menerimanya.
Monyet bulu putih bercuit-cuit
kelihatannya tidak senang.
"Eh? Kenapa kauw heng?"
Orang tua itu heran.
"Kalau Paman menolak,
kauw heng pasti marah," ujar Tio Bun Yang memberitahukan. "Kauw
heng..."
Mendadak monyet bulu putih
melempar cangkir yang dipegangnya ke dinding, membuat orang tua itu dan
putrinya tercengang.
Ceeeep! Cangkir itu menancap
di dinding.
"Haaah...?" Orang
tua itu dan putrinya terkejut bukan main, mereka berdua saling memandang.
"Paman, kauw heng mulai
marah lho!" ujai Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Maka Paman harus
menerima uang emas ini."
"Ba... baik." Orang
tua itu segera mengambil uang emas tersebut.
"Tuan!" Cing Cing
menatapnya. "Kauw heng kelihatan berkepandaian tinggi. Aku yakin Tuan.
pasti berkepandaian tinggi pula."
"Kira-kira
begitulah." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Oh ya, jangan memanggilku
Tuan, panggil saja namaku!"
"Mungkin usiaku lebih
besar, bagaimana kalau aku memanggilmu Adik Bun Yang?"
"Baik." Tio Bun Yang
mengangguk. "Jadi aku harus memanggilmu Kakak Cing Cing."
"Terimakasih!" ucap
Cing Cing sambil tersenyum manis.
"Sama-sama." Tio Bun
Yang juga tersenyum.
"Terimakasih, anak
muda!" ucap orang tua itu dan menambahkan. "Dengan adanya uang emas
ini maka aku bisa membeli sawah."
"Paman ingin membeli
sawah?"
"Ya."
"Kalau begitu..."
Tio Bun Yang mengeluarkan setael uang emas lagi, lalu diberikan kepada orang
tua itu seraya berkata. "Penambahan untuk Paman membeli sawah."
"Eh? Anak muda...."
Orang tua itu terbeliak. "Aku...."
"Kalau Paman tidak
menerima, kauw heng pasti marah," ujar Tio Bun Yang. Monyet bulu putih
langsung menyeringai.
"Ba... baik.
Terimakasih..." ucap orang tua itu sambil menerima uang emas tersebut
"Sekarang sudah malam,
lebih baik Paman dan Kakak Cing Cing pergi tidur saja."
"Adik Bun Yang, aku ingin
melihatmu menangkap penjahat itu," sahut Cing Cing yang tidak mau beranjak
dari tempat duduknya.
"Ha ha!" Orang tua
itu tertawa. "Putriku begitu, aku pun sama."
"Eeeh?" Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala. Namun mendadak dia mengerutkan kening, dan monyet
bulu putih bercuit-cuit.
"Ada apa?" tanya
orang tua itu heran.
"Penjahat itu sudah
datang," sahut Tio Bun Yang dengan suara rendah.
"Haaah...?" Wajah
orang tua itu dan putrinya langsung berubah pucat. "Bagaimana
baiknya?"
"Tenanglah, Paman!"
ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum.
Tak berapa lama kemudian
terdengarlah seruan di luar.
"Cing Cing yang cantik
manis, aku datang menjemputmu untuk pergi bersenang-senang!"
"Dia... penjahat
itu." Suara orang tua tersebut bergemetar. "Penjahat itu mau menculik
Cing Cing."
"Tenang!" Tio Bun
Yang beranjak ke pintu, sedangkan monyet bulu putih tetap duduk di bahunya.
Tio Bun Yang membuka pintu,
dilihatnya seorang pemuda berwajah cukup tampan berdiri di luar.
"Kawan! Siapa engkau?
Kenapa engkau begitu tak bermoral?" tanya Tio Bun Yang sambil menatapnya
tajam. "Padahal engkau cukup tampan, tentunya tidak sulit memperisteri
gadis cantik."
"Diam!" bentak
pemuda itu. "Siapa engkau? Kenapa engkau mencampuri urusanku?"
"Namaku Tio Bun
Yang," jawabnya memberitahukan. "Kebetulan aku menginap di sini, maka
aku harus melindungi Cing Cing. Kawan, beritahukanlah namamu!"
"Dengar baik-baik! Namaku
Kwee Teng An. Aku mau bersenang-senang dengan gadis yang mana pun, engkau tidak
berhak turut campur!"
"Saudara Kwee!" Tio
Bun Yang menghela nafas panjang. "Engkau baru berusia dua puluhan dan
cukup tampan, tapi kenapa justru mengambil jalan sesat?"
"Eh? Kenapa engkau
mencampuri urusanku?" bentak Kwee Teng An. "Engkau ingin cari mati
ya?"
"Terus terang, aku masih
merasa kasihan dan simpati kepadamu!"
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa. "Engkau tidak perlu berbaik hati kepadaku, cepatlah
engkau enyah! Kalau tidak, engkau pasti mati di ujung pedangku!"
Kwee Teng An menghunus
pedangnya, lalu menatap Tio Bun Yang dengan dingin dan bengis. Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian mengeluarkan suling pualamnya.
"Saudara Kwee, sebetulnya
aku merasa tidak tega memusnahkan kepandaianmu! Tapi... engkau sama sekali
tidak mau bertobat, maka aku terpaksa harus bertindak agar engkau tidak bisa
melakukan kejahatan lagi!"
"Hmm!" dengus Kwee
Teng An. "Engkau memang ingin cari mampus! Lihat seranganku!"
Kwee Teng An langsung
menyerangnya dengan sengit. Tio Bun Yang berkelit dan balas menyerang.
Sementara orang tua dan
putrinya yang ketakutan itu, memberanikan diri mengintip ke luar. Kebetulan Tio
Bun Yang mulai bertarung dengan penjahat itu, maka wajah mereka bertambah
pucat.
Para penduduk desa juga mulai
berhambur ke luar. Mereka menyaksikan pertarungan itu dengan hati
berdebar-debar
tegang. Semuanya berharap Tio
Bun Yang dapat mengalahkan penjahat itu.
Setelah bertarung belasan
jurus, Tio Bun Yang merasa kagum kepada Kwee Teng An, karena kepandaian
penjahat itu cukup tinggi. Mendadak Kwee Teng An membentak keras, ternyata ia
menyerang Tio Bun Yang dengan jurus simpanannya, yaitu jurus Lui Soh Ngo Gak
(Halilintar Menyambar Lima Bukit).
Dahsyat, cepat dan lihay jurus
itu. Tampak pedang Kwee Teng An berkelebat-kelebat menyambar Tio Bun Yang.
Tio Bun Yang bersiul panjang.
Ia tidak berkelit, melainkan menangkis serangan Kwee Teng An dengan jurus Hai
Lang Thau Thau (Ombak Laut Menderu-deru).
Trannng! Terdengar suara
benturan dua senjata.
Tio Bun Yang berdiri tegak di
tempat, sedangkan Kwee Teng An terpental dua tiga depa ke belakang dengan wajah
pucat pias.
"Maaf Saudara Kwee!"
seru Tio Bun Yang. "Aku terpaksa harus memusnahkan kepandaian-mu!"
Tio Bun Yang melesat ke arah
Kwee Teng An sekaligus menyerangnya dengan jurus Cian In Giok Siauw (Ribuan
Bayangan Suling Pualam).
"Aaaaakh...!" jerit
Kwee Teng An, yang jatuh terduduk. Mulutnya mengeluarkan darah dan salah satu
urat di tubuhnya telah putus sehingga kepandaiannya musnah seketika.
"Engkau... engkau____"
"Kini kepandaianmu telah
musnah. Aku harap selanjutnya jadilah engkau orang baik-baik!"
"Tio Bun Yang! Aku
bersumpah akan menuntut balas dendam ini!" Kwee Teng An menatapnya dengan
penuh dendam, kemudian berusaha bangkit untuk berdiri.
Para penduduk desa itu
bersorak sorai penuh kegembiraan ketika melihat Tio Bun Yang berhasil
merobohkan penjahat pemetik bunga. Begitu pula orang tua dan putrinya yang di
dalam rumah, mereka berdua segera berlari ke luar lalu menghampirinya.
"Anak muda, sungguh hebat
engkau!" Orang tua itu mengacungkan jempolnya ke hadapan Tio Bun Yang.
"Adik Bun Yang,"
ujar Cing Cing dengan wajah berseri. "Dugaanku tidak meleset, engkau
berkepandaian tinggi."
Tio Bun Yang hanya tersenyum.
Sedangkan monyet bulu putih yang duduk di bahunya juga bercuit-cuit.
"Terimakasih siauw
hiap!" ucap seorang tua, yang ternyata seorang Kepala Desa. "Engkau
telah menyelamatkan desa kami."
"Itu memang
tugasku." Tio Bun Yang ter-l senyum. "Kebetulan aku lewat di desa
ini, kemudian menginap di rumah Cing Cing."
"Oooh!" Kepala Desa
itu manggut-manggut dan berkata. "Karena engkau telah menyelamatkan desa
kami, maka kami harus mengadakan pesta untuk menjamu siauw hiap."
"Tidak usah, Paman!"
Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Aku masih harus melanjutkan
perjalanan."
"Belum pagi____"
Kepala Desa itu tampak kecewa.
"Tidak apa-apa." Tio
Bun Yang memandang orang tua itu dan Cing Cing. "Paman, Kakak Cing Cing,
sampai jumpa!"
Tio Bun Yang melesat pergi.
Hal itu sungguh mengejutkan orang tua dan putrinya, yang tidak menyangka Tio
Bun Yang akan begitu cepat pergi.
"Adik Bun Yang! Adik Bun
Yang!" seru Cing Cing.
Akan tetapi, Tio Bun Yang
sudah tidak kelihatan. Seketika Cing Cing menangis terisak-isak.
"Ayah...." Air mata
Cing Cing berderai-derai. "Kenapa adik
Bun Yang begitu cepat
pergi!"
"Dia memang pemuda baik,
ramah tamah dan tak mau disanjung," sahut orang tua itu. "Maka dia
segera pergi."
"Adik Bun Yang____"
Cing Cing terus terisak-isak.
"Cing Cing!" Orang
tua itu tersenyum. "Percayalah! Kelak kalian akan bertemu lagi."
"Tidak mungkin."
Cing Cing menggeleng-gelengkan kepala.
Sementara Kwee Teng An terus berusaha
bangkit untuk berdiri, namun sama sekali tidak bertenaga. Penduduk desa
memandangnya dengan penuh kebencian. Mendadak salah seorang tua berseru.
"Dia telah memperkosa
anak gadisku, sehingga anak gadisku gantung diri. Karena itu, mari kita lemparkan
dia ke dalam jurang!"
"Setuju!" sahut yang
lain.
Beberapa orang langsung
menyeret Kwee Teng An, sedangkan Kepala Desa cuma menggeleng-gelengkan kepala.
Kwee Teng An terus berkertak
gigi dengan mata membara. Tak seberapa lama kemudian, ia telah diseret sampai
di pinggir jurang, lalu orang-orang desa itu melemparnya ke jurang yang
menganga lebar.
"Aaaakh...!"
Terdengar suara jeritan panjang. Badan Kwee Teng An terus melayang ke bawah
jurang yang ribuan kaki dalamnya.
Tak lama setelah Tio Bun Yang
meninggalkan desa itu, hari mulai terang. Tio Bun Yang melanjutkan perjalanan,
dan
mengambil arah timur karena
ingin ke markas Tiong Ngie Pay yang ada di pinggir Kota Hay Hong.
Dua hari kemudian, ia telah
tiba di marka tersebut. Betapa gembiranya Yo Suan Hiang, Ta Ju Liang, Lim Cin
An dan Cu Tiang Him. Merek menyambutnya dengan penuh kehangatan, lalu
mengajaknya bersulang sambil bercakap-cakap.
"Bibi," Tio Bun Yang
menatap Yo Suan Hiang.
"Bagaimana keadaan Tiong
Ngie Pay belakangan ini?" tanyanya.
"Bertambah maju,
tapi____" Yo Suan Hiang mengerutkan kening.
"Kenapa?" Tio Bun
Yang heran. "Telah terjadi sesuatu?"
"Seng Hwee Kauw dua kali
menyerang ke mari." Yo Suan Hiang memberitahukan sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oh?" Tio Bun Yang
tertegun. "Bukankah Tiong Ngie Pay tidak bermusuhan dengan Seng Hwee Kauw?
Kenapa Seng Hwee Kauw menyerang ke mari?"
"Seng Hwee Kauw dan Hiat
Ih Hwe telah bekerja sama, maka Seng Hwee Kauw menyerang kami," sahut Tan
Ju Liang. "Namun untung...."
"Kebetulan Toan Beng
Kiat, Lam Kiong Soat Lan, Lie Ai Ling, Siang Koan Goat Nio dan lainnya berada
di sini. Mereka membantu kami, sehingga pihak Seng Hwee Kauw melarikan
diri." Yo Suan Hiang memberitahukan.
"Oh!" Wajah Tio Bun
Yang berseri. "Jadi mereka berada di sini?"
"Sudah berangkat ke
markas pusat Kay Pang," ujar Yo Suan Hiang dan menambahkan. "Beberapa
hari kemudian setelah mereka pergi, mendadak Seng Hwee Kauw menyerang
lagi."
"Oh?" Kening Tio Bun
Yang berkerut. "Tentunya pihak Bibi banyak yang menjadi korban."
"Tidak." Yo Suan
Hiang tersenyum. "Sebaliknya malah pihak Seng Hwee Kauw yang menjadi
korban."
"Kok begitu?" Tio
Bun Yang bingung.
"Karena muncul seorang
gadis membantui kami," ujar Yo Suan Hiang memberitahukan.
"Siapa gadis itu?"
"Phang Ling Cu."
"Apa?" Tio Bun Yang
terbelalak. "Kakak Ling Cu? Maksud Bibi Ngo Tok Kauwcu?"
"Betul," Yo Suan
Hiang mengangguk. "Dia ke mari mencarimu, justru malah menyelamatkan Tiong
Ngie Pay."
"Oooh!" Tio Bun Yang
tersenyum. "Aku tak menyangka dia ke mari mencariku, tapi secara tidak
langsung malah menyelamatkan Tiong Ngie Pay."
"Oh ya!" Yo Suan
Hiang menatapnya. "Eng-kaukah yang mengobati mukanya?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk lalu sekaligus menutur tentang kejadian itu, kemudian bertanya.
"Kenapa dia ke mari mencariku?"
"Katanya ingin berunding
denganmu, sebab musuh besarnya berkepandaian tinggi sekali."
"Maksudnya Seng Hwee Sin
Kun?"
"Ya." Yo Suan Hiang
mengangguk. "Oh ya, ada seorang gadis berada di sini, mungkin engkau tidak
dapat menerka siapa dia."
"Oh?" Tio Bun Yang
tercengang. "Apakah dia Phang Ling Cu?"
"Phang Ling Cu sudah
pergi," sahut Yo Suan Hiang sambil tersenyum. "Toan Beng Kiat dan
lainnya yang membawa gadis itu ke mari, kini dia tinggal di sini."
"Siapa gadis itu?"
tanya Tio Bun Yang.
"Dia Tan Giok Lan!"
Yo Suan Hiang memberitahukan.
"Siapa?" Tio Bun
Yang tertegun. "Kenapa dia berada di sini? Bukankah dia dan kedua orang
tuanya berada di kampung halamannya?"
"Kedua orang tuanya telah
dibunuh oleh para anggota Hiat Ih Hwe, dan diapun dikejar-kejar."
"Toan Beng Kiat yang
menolongnya?"
"Ya."
"Bibi, di mana Kakak Giok
Lan?"
"Tiang Him! Panggil Giok
Lan ke mari!" ujar Yo Suan Hiang kepada Cu Tiang Him.
"Ya." Cu Tiang Him
masuk ke dalam. Berselang sesaat ia sudah kembali bersama Tan Giok Lan.
"Adik Bun Yang!"
seru Tan Giok Lan girang. "Adik Bun Yang...."
"Kakak Giok Lan!"
Tio Bun Yang memandangnya sambil tersenyum. "Aku tak menyangka, engkau
tinggal di sini."
"Adik Bun Yang!"
Mata Tan Giok Lan mulai basah. "Kedua orang tuaku mati di bunuh para
anggota Hiat Ih Hwe."
"Bibi Suan Hiang telah
memberitahukan kepadaku. Syukurlah engkau dapat meloloskan diri!" ujar Tio
Bun Yang sambil menarik nafas.
"Kalau engkau tidak
mengajarku ilmu silat, aku pasti sudah mati." Tan Giok Lan terisak-isak.
"Sudahlah, jangan
menangis! Engkau aman di sini." Tio Bun Yang tersenyum. "Oh ya,
bagaimana kepandaianmu? Sudah maju pesat?" tanyanya.
"Ya." Tan Giok Lan
mengangguk. "Bibi Suan Hiang terus mengajarku, maka kepandaianku menjadi
maju pesat."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut, kemudian memandang Yo Suan Hiang seraya berkata. "Aku
sudah bertemu Lie Tsu Seng."
"Apa?!" Yo Suan
Hiang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him terbelalak. "Engkau
bertemu Lie Tsu Seng, yang gagah berani itu?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk lalu menutur tentang kejadian itu. "Oleh karena itu, aku ingin
berunding dengan Bibi," tambahnya.
"Mengenai apa?"
"Kini Hiat Ih Hwe telah
bekerja sama dengan Seng Hwee Kauw, mungkin Seng Hwee Kauw akan menyerang
lagi," ujar Tio Bun Yang. "Itu sungguh membahayakan Tiong Ngie Pay,
maka alangkah baiknya kalau Tiong Ngie Pay bergabung dengan Lie Tsu Seng."
"Aku memang sudah
berpikir begitu, tapi____" Yo Suan Hiang menggeleng-gelengkan kepala.
"Belum tentu Lie Tsu Seng akan menerima kami."
"Percayalah!" Tio
Bun Yang tersenyum. "Paman Lie pasti senang sekali menerima kalian, sebab
aku sudah memberitahukan kepadanya."
"Oh?" Wajah Yo Suan
Hiang berseri, kemudian bertanya kepada Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang
Him.
"Bagaimana menurut kalian?"
"Setuju!" sahut
mereka serentak. "Memang sudah waktunya kita bergabung dengan Lie Tsu
Seng, yang sudah barang tentu akan menambah kekuatan kita."
"Baik." Yo Suan
Hiang manggut-manggut. "Kalau begitu, mari kita bergabung dengan Lie Tsu
Seng!"
"Bibi Suan Hiang,"
usul Tio Bun Yang. "Kini semuanya telah setuju, maka Tiong Ngie Pay harus
segera berangkat ke markas Lie Tsu Seng. Kalau tidak, aku khawatir Seng Hwee
Kauw akan menyerang ke mari lagi."
"Baik." Yo Suan
Hiang mengangguk. "Besok pagi kami akan berangkat ke sana."
"Kalau begitu, aku mau
mohon diri." Tio Bun Yang bangkit dari tempat duduknya.
"Bun Yang...." Yo
Suan Hiang terbelalak. "Kenapa begitu
cepat engkau berpamit?"
"Aku harus segera
berangkat ke markas pusat Kay Pang." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Baiklah." Yo Suan
Hiang manggut-manggut.
"Oh ya, Bun
Yang...."
"Ada apa?" Tio Bun
Yang tercengang karena melihat Yo Suan Hiang tersenyum serius.
"Apakah engkau sudah
punya kekasih?" tanyai Yo Suan Hiang mendadak.
"Belum," sahut Tio Bun
Yang dengan wajah agak kemerah-merahan. "Aku... tidak memikirkan
itu."
"Itu____" Yo Suan
Hiang tersenyum lagi. "____Siang Koan Goat Nio sangat cantik, kalem dan
lemah lembut. Dia putri kesayangan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin. Alangkah
baiknya—"
"Bibi Suan Hiang...." Wajah Tio Bun Yang bertambah
merah. "Aku—"
"Adik Bun Yang!" Tan
Giok Lan memandangnya seraya berkata sungguh-sungguh. "Siang Koan Goat Nio
memang serasi denganmu. Dia boleh dikatakan secantik bidadari."
"Kakak Giok Lan____"
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Aku—"
"Dia juga berada di
markas pusat Kay Pang. Kalau engkau langsung berangkat ke sana, pasti bertemu
dia," ujar Yo Suan Hiang.
"Baik." Tio Bun Yang
mengangguk. "Bibi Suan Hiang, Kakak Giok Lan dan paman-paman, aki mohon
pamit. Sampai jumpa!"
"Selamat jalan!"
sahut mereka serentak, lalu mengantar Tio Bun Yang sampai di luar markas.
Begitu sampai di luar markas,
Tio Bun Yang langsung melesat pergi laksana kilat.
"Bun Yang dan Goat Nio
memang merupakan pasangan yang serasi, mudah-mudahan mereka berjodoh!"
ucap Yo Suan Hiang dengan suara rendah.
"Ha ha ha!" Tan Ju
Liang tertawa gelak. "Mereka berdua pasti berjodoh!"
Keesokan harinya, Yo Suan
Hiang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him bersama para anggota berjumlah
seratusan orang berangkat ke markas Lie Tsu Seng. Mereka justru tidak tahu,
setelah mereka berangkat, Seng Hwee Kauw muncul menyerang lagi, namun markas
Tiong Ngie Pay telah kosong.
"Heran!" gumam Leng
Bin Hoatsu dengan kening berkerut. "Bagaimana markas Tiong Ngie Pay ini
bisa kosong tiada seorang pun?"
"Mungkinkah pihak Tiong
Ngie Pay telah menduga akan penyerangan ini, maka mengosongkan markas
ini?" sahut Pek Bin Kui.
"Mungkin." Hek Sim
Popo manggut-manggut. "Kalau tidak, bagaimana mungkin markas ini kosong
begini?"
"Lalu apa langkah
kita?" tanya Tok Chiu Ong.
"Menurut aku..."
sahut Pat Pie Lo Koay. "Alangkah baiknya kita berpencar mencari
mereka."
"Baik." Leng Bin
Hoatsu mengangguk.
"Jangan!" Pek Bin
Kui menggelengkan kepala, wajahnya tampak serius. "Kita tidak boleh
berpencar mencari Tiong Ngie Pay."
"Kenapa?" tanya Pat
Pie Lo Koay sambil menatapnya. "Bukankah tugas kita membasmi mereka?"
"Benar." Pek Bin Kui
mengangguk. "Tugas kita memang membasmi mereka, tapi kini mereka tidak
berada di markas ini, berarti tugas kita telah selesai."
"Aku sama sekali tidak
mengerti, bolehkah dijelaskan?" Pat Pie Lo Koay menatapnya dalam-dalam.
"Tadi engkau mengusulkan
kita berpencar mencari mereka, usul itu tidak dapat diterima," tegas Pek
Bin Kui serius. "Sebab apabila kita berpencar mencari mereka, berarti
membahayakan diri kita sendiri."
"Oh!" tertegun Pat
Pie Lo Koay.
"Lo Koay!" Leng Bin
Hoatsu tertawa. "Memang benar apa yang dikatakan Pek Bin Kui. Kalau kita
berpencar mencari mereka, sudah barang tentu mengurangi kekuatan kita, bahkan
amat membahayakan diri kita pula."
"Benar." Hek Sim
Popo manggut-manggut. "Kita tidak boleh berpencar mencari mereka."
"Kalau begitu...."
Pat Pie Lo Koay menengok ke sana ke
mari, kemudian mengusulkan.
"Kita bakar saja markas Tiong Ngie Pay ini."
"Usul ini harus
diterima," sahut Pek Bin Kui sambil tertawa gelak. "Kita tidak
berhasil membasmi para anggota Tiong Ngie Pay, namun berhasil membumi hanguskan
markas ini, tentunya Seng Hwee Sin Kun akan merasa puas."
"Ha ha ha!" Leng Bin
Hoatsu juga tertawa terbahak-bahak, dan setelah itu ia pun perintahkan para
anggota untuk membakar markas Tiong Ngie Pay.
Berselang beberapa saat,
tampak api mulai berkobar-kobar melalap markas Tiong Ngie Pay itu. Para anggota
Seng Hwee Kauw pun bersorak sorai penuh kegembiraan, Leng Bin Hoatsu dan
lainnya tersenyum-senyum. Setelah api yang berkobar-kobar itu menjalar ke
seluruh markas tersebut, barulah mereka meninggalkan tempat itu untuk kembali
ke markas Seng Hwee Kauw.
Betapa gembiranya Lie Tsu Seng
ketika mengetahui kedatangan Yo Suan Hiang bersama para anggotanya. Ia segera
keluar dari tendanya untuk menyambut kedatangan mereka.
"Selamat datang. Ketua
Yo!" ucap Lie Tsu Seng sembari memberi hormat.
"Selamat bertemu, Paman
Lie!" sahut Yo
Suan Hiang dan sekaligus balas
memberi hormat. "Maaf, kedatangan kami telah mengganggumu!"
"Sama sekali tidak
mengganggu, malah aku merasa gembira sekali," ujar Lie Tsu Seng sambil
tertawa gelak. "Ha ha ha! Mari silakan masuk!"
"Terimakasih!" ucap
Yo Suan Hiang lalu melangkah ke dalam tenda. Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu
Tiang Him mengikutinya dari belakang.
"Silakan duduk!" Lie
Tsu Seng mempersilakan mereka duduk, dan salah seorang anak buahnya langsung
menyuguhkan arak wangi.
Mereka duduk, kemudian Yo Suan
Hiang memperkenalkan Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him. Lie Tsu Seng
dan mereka bertiga saling memberi hormat, setelah itu Lie Tsu Seng mengangkat
minumannya.
"Mari kita
bersulang!" ucapnya sambil tertawa. "Ha ha ha...!"
Mereka mulai bersulang sambil
mengobrol. Berselang beberapa saat barulah Lie Tsu Seng bertanya dengan serius.
"Apakah ada sesuatu
penting, maka Ketua Yo ke mari?"
"Ya." Yo Suan Hiang
mengangguk. "Tio Bun Yang ke markasku, dan mengusulkan agar kami bergabung
denganmu."
"Oh?" Wajah Lie Tsu
Seng berseri. "Apakah engkau bersedia bergabung dengan kami?"
"Kami datang ke mari
justru ingin bergabung," sahut Yo Suan Hiang memberitahukan. "Kami
telah bersepakat untuk itu."
"Bagus, bagus! Ha ha
ha!" Lie Tsu Seng tertawa gembira. "Terimakasih atas kesediaan kalian
bergabung dengan kami! Mari kita bersulang lagi!"
"Mari!" Yo Suan
Hiang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him bersulang lagi dengan Lie Tsu
Seng, sehingga suasana di dalam tenda itu menjadi semarak.
Di saat itulah melangkah ke
dalam dua lelaki gagah, lalu memberi hormat kepada Lie Tsu Seng.
"Bagus, bagus!" Lie
Tsu Seng tertawa. "Kalian berdua sudah kembali, mari kuperkenalkan!"
Lie Tsu Seng memperkenalkan Yo
Suan Hiang dan lainnya kepada dua lelaki itu, kemudian menambahkan.
"Mereka berdua adalah
pembantu handalku bernama Lie Sih Beng dan Lie Sih Heng, yang keduanya
berkepandaian cukup tinggi."
Lie Sih Beng dan Lie Sih Heng
segera memberi hormat kepada Yo Suan Hiang dan lainnya, setelah itu barulah
mereka duduk.
"Bagaimana tugas
kalian?" tanya Lie Tsu Seng mendadak. "Apakah sudah dilaksanakan
dengan baik?"
"Ya." Lie Sih Beng
mengangguk. "Hanya kurang memuaskan, karena...."
"Kenapa?" Lie Tsu
Seng menatap mereka. "Jelaskanlah!"
"Ada beberapa kelompok
pemberontak tidak bersedia bergabung dengan kita. Padahal kami telah
menjelaskan, bahwa apabila kita semua tidak bersatu, sulit sekali untuk
sukses," jawab Lie Sih Beng memberitahukan.
"Ngmm!" Lie Tsu Seng
manggut-manggut. "Siapa kepala kelompok pemberontak itu?"
Lie Sih Beng memberitahukan.
Wajah Tan Ju Liang berseri ketika mendengar nama-nama yang disebutkan Lie Sih
Beng.
"Aku kenal mereka,"
ujar Tan Ju Liang sambil tertawa gembira. "Mereka adalah teman-teman
akrabku, hanya saja sudah belasan tahun kami tidak bertemu."
"Kalau begitu____"
Lie Tsu Seng memandangnya dalam-dalam seraya berkata. "Tentunya Sau-dara
Tan bersedia membantu dalam hal ini."
"Ha ha ha!" Tan Ju
Liang tertawa gelak. "Itu sudah pasti, Saudara Lie. Sebab kini kita sudah
bergabung, maka tugas kalian adalah tugas kami pula."
"Terimakasih, Saudara
Tan!" ucap Lie Tsu Seng sambil manggut-manggut gembira dan menambah-kan.
"Mulai sekarang kita semua adalah saudara seperjuangan, suka dan duka
harus pikul bersama."
"Benar." Lim Cin An
mengangguk. "Karena itu, kita pun harus membagi tugas sesuai dengan
kemahiran masing-masing."
"Tidak salah." Lie
Tsu Seng manggut-manggut, kemudian memandang Lie Sih Beng dan Lie Sih Heng
seraya bertanya. "Kalian berdua punya suatu ide?"
"Begini..." sahut
Lie Sih Beng. "Setahu kami, Ketua Yo berkepandaian tinggi, maka alangkah
baiknya dia diangkat menjadi pengawal pribadi."
"Ngmm!" Lie Tsu Seng
mengangguk. "Itu memang tepat sekali."
"Sedangkan Saudara Tan
mahir mengenai siasat perang, karena itu dia harus diangkat menjadi
penasihat," ujar Lie Sih Beng sungguh-sungguh.
"Benar." Lie Tsu
Seng mengangguk lagi, lalu memandang Tan Ju Liang seraya bertanya.
"Saudara Tan, tidak berkeberatan, bukan?"
"Tentu tidak. Hanya
saja____" Kening Tan Ju Liang berkerut. "... aku khawatir tidak dapat
melaksanakan tugas itu dengan baik."
"Ha ha ha!" Lie Tsu
Seng tertawa gelak. "Saudara Tan, jangan merendahkan diri lho!"
"Aku tidak merendahkan
diri, melainkan berkata sesungguhnya," sahut Tan Ju Liang. "Apa tugas
Lim Cin An dan Cu Tiang Him?"
"Kami berempat akan
melatih para anggota berperang," jawab Lie Sih Beng sungguh-sungguh.
"Bagus!" Lie Tsu
Seng manggut-manggut, kemudian tertawa gelak seraya berkata. "Ha ha ha!
Mari kita bersulang lagi!"
-oo0dw0oo-
Bagian ke tiga puluh satu
Berpadu Suara Suling
Sementara itu, Siang Koan Goat
Nio, Lie Ai Ling dan Lu Hui San telah tiba di sebuah lembah yang sangat indah.
Mereka bertiga lalu duduk beristirahat di bawah sebuah pohon.
"Kalau kita terus
beristirahat, kapan akan tiba di Gunung Hek Ciok San?" ujar Lu Hui San
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Tenanglah!" sahut
Lie Ai Ling. "Kita tidak perlu tergesa-gesa, sebab belum tentu Kam Hay
Thian langsung menuju ke sana."
"Dia sangat keras hati,
aku yakin dia pasti menuju ke sana," Lu Hui San menggeleng-gelengkan
kepala. "Kalau kita terlambat menyusulnya, aku khawatir...."
"Jangan khawatir!"
Lie Ai Ling tersenyum. "Tidak akan terjadi suatu apa pun atas dirinya,
percayalah!"
"Aaaah!" Lu Hui San
menghela nafas panjang. "Aku tahu, engkau cuma menghiburku."
"Hui San!" Siang
Koan Goat Nio menatapnya lembut. "Kam Hay Thian cukup cerdik, tentunya dia
tidak akan bertindak ceroboh, pasti memperhitungkan langkah-langkahnya. Oleh
karena itu, engkau tidak perlu terlampau cemas."
"Goat Nio...." Lu
Hui San menggeleng-gelengkan kepala.
"Entah apa sebabnya, aku
terus memikirkannya."
"Hui San!" Siang
Koan Goat Nio tersenyum. "Itu pertanda engkau telah jatuh hati padanya,
sehingga terus memikirkannya."
"Benar," sela Lie Ai
Ling sambil tertawa kecil. "Hui San, engkau memang telah jatuh hati
padanya. Tapi... kuharap engkau dapat mengendalikan perasaan hatimu, agar tidak
menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan."
"Aku tahu itu." Lu
Hui San manggut-manggut.
"Goat Nio," Lie Ai
Ling tersenyum. "Lembah ini indah sekali, alangkah baiknya engkau meniup
suling di sini," ujarnya.
"Eh? Engkau...." Siang Koan Goat Nio menggeleng-
gelengkan kepala.
"Ada-ada saja! Mana boleh aku meniup suling di saat Hui San sedang
risau?"
"Justru suara sulingmu
akan mengusir kerisauannya," sahut Lie Ai Ling sambil tersenyum. "Ya,
kan Hui San?"
"Kira-kira
begitulah." Lu Hui San manggut-manggut. "Memang baik sekali Goat Nio
meniup suling di tempat yang sangat indah ini."
"Nah, Goat Nio,"
desak Lie Ai Ling. "Ayolah!"
Siang Koan Goat Nio
mengeluarkan suling emasnya, lalu meniupnya sambil memandang jauh ke depan.
Terdengarlah suara suling yang amat merdu dan menggetarkan kalbu. Lie Ai Ling
dan Lu Hui San mendengar dengan penuh perhatian, akhirnya pikiran mereka
menerawang.
Memang kebetulan sekali, Tio
Bun Yang, yang sedang menuju markas pusat Kay Pang justru melewati lembah itu.
Ketika mendengar suara alunan
suling itu, ia langsung berhenti dan tampak tertegun. Makin lama hatinya makin
tertarik, sehingga tanpa sadar ia mengeluarkan suling pualamnya, lalu ditiupnya
untuk mengiringi suara suling itu.
Betapa terkejutnya ketiga
gadis itu ketika mendengar suara suling tersebut, terutama Lie Ai Ling yang
mengenali suara suling itu.
"Haaaah? Kakak Bun
Yang?" gumamnya.
Siang Koan Goat Nio
meliriknya, namun tidak berhenti meniup sulingnya, kemudian wajahnya tampak
berseri.
"Tidak salah," gumam
Lie Ai Ling sambil bangkit untuk berdiri. "Itu pasti Kakak Bun Yang, aku
mengenali suara sulingnya."
Berselang sesaat, muncullah
Tio Bun Yang dan monyet bulu putih, yang duduk di bahunya.
"Kakak Bun Yang! Kakak
Bun Yang...!" seru Lie Ai Ling girang.
Tio Bun Yang tersenyum sambil
meniup sulingnya, sedangkan monyet bulu putih bercuit-cuit seakan menyahut.
Pertama kali Siang Koan Goat
Nio melihat Tio Bun Yang, justru langsung tertarik padanya. Begitu pula Tio Bun
Yang, ia sangat tertarik pada gadis itu.
Otomatis irama suara suling
pualamnya berubah, kedengarannya seperti mencurahkan isi hati Si Peniup Suling
itu.
Irama suara suling emas pun
berubah, sepertinya menerima curahan hati itu. Dapat dibayangkan, betapa lembut
dan merdunya paduan suara suling tersebut.
Lie Ai Ling dan Lu Hui San
mendengarkan dengan mulut ternganga lebar, terpukau dan terkesima.
Sementara Tio Bun Yang mulai
mendekati Siang Koan Goat Nio, sedangkan gadis itu pun bangkit berdiri, lalu
melangkah ke arah pemuda itu. Setelah dekat, barulah mereka berhenti meniup
suling, berdiri mematung saling memandang dengan mata berbinar-binar.
"Goat Nio," ujar Lie
Ai Ling memberitahukan. "Dia adalah Kakak Bun Yang, yang sering
kuceritakan kepadamu."
Siang Koan Goat Nio tidak
menyahut, namun wajahnya tampak berseri dan agak kemerah-merahan.
"Kakak Bun Yang!"
Lie Ai Ling memperkenalkan. "Dia adalah Siang Koan Goat Nio, putri
kesayangan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut. "Selamat bertemu, Nona Goat Nio!" ucapnya sambil
memberi hormat.
"Selamat bertemu!"
sahut Siang Koan Goat Nio sambil tersenyum malu-malu. "Jangan panggil aku
Nona, panggil saja____"
"Adik Goat Nio,"
sela Lie Ai Ling dan menambahkan. "Engkau pun harus panggil dia Kakak Bun
Yang, lho!"
"Eh? Engkau____"
Wajah Siang Koan Goat Nio berubah menjadi merah dan menunduk dalam-dalam.
"Ai Ling, engkau jangan menggodaku!"
"Aku berkata
sesungguhnya, tidak menggoda sama sekali," sahut Lie Ai Ling sambil
tertawa kecil, kemudian menatap Tio Bun Yang dengan penuh perhatian dan berseru
tak tertahan, "Wuaaah!"
"Adik Ai Ling!" Tio
Bun Yang tercengang. "Kenapa engkau?"
"Kakak Bun Yang,"
sahut Lie Ai Ling. "Engkau bertambah tampan, memang serasi sekali dengan
Goat Nio."
"Oh?" Tio Bun Yang
tersenyum.
"Ai Ling!" Siang
Koan Goat Nio menatapnya. "Jangan omong yang bukan-bukan, tidak baik
lho!" tegurnya.
"Hi hi hi!" Lie Ai
Ling tertawa geli. "Jangan pura-pura, padahal engkau girang sekali dalam
hati! Engkau kira aku tidak tahu ya?"
"Engkau____" Wajah
Siang Koan Goat Nio memerah lagi.
"Adik Ai Ling!" Tio
Bun Yang menatapnya seraya bertanya. "Kenapa kalian berada di lembah
ini?"
"Kakak Bun Yang, kami
bertiga sedang menuju Gunung Hek Ciok San." Lie Ai Ling memberitahukan.
"Untuk apa kalian ke
sana?" tanya Tio Bun Yang.
"Menyusul Kam Hay
Thian," ujar Lie Ai Ling dan menutur semua itu. "... maka kami
bertiga berangkat ke sana."
"Adik Ai Ling____"
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak seharusnya engkau
membohongi kakekku, lagi pula Seng Hwee Sin Kun berkepandaian tinggi sekali.
Belum tentu kalian mampu melawannya, kenapa kalian tidak berpikir panjang?"
"Aku____" Lie Ai
Ling menundukkan kepala.
"Jangan mempersalahkan Ai
Ling!" ujar Lu Hui San mendadak. "Aku yang mendesaknya untuk
berangkat ke Gunung Hek Ciok San."
"Oh?" Tio Bun Yang
memandangnya. Tiba-tiba ia terbelalak karena melihat sebuah tanda di leher
gadis itu.
"Kakak Bun Yang____"
Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Kenapa engkau?"
"Adik Ai Ling, siapa nona
ini? Engkau belum memperkenalkannya," sahut Tio Bun Yang, yang tetap
memandang Lu Hui San, tentunya membuat gadis itu tersipu.
"Dia bernama Lu Hui
San." Lie Ai Ling memberitahukan dengan wajah tak sedap dipandang, karena
mengira Tio Bun Yang tertarik pada gadis itu.
"Lu Hui San..."
gumam Tio Bun Yang. Ternyata ia teringat akan penuturan Sie Kuang Han, orang
tua yang ditolongnya itu. "Hui San! Hui San...."
"Kakak Bun Yang!"
Lie Ai Ling melotot. "Kenapa sih engkau? Kenapa terus bergumam menyebut
nama Hui San?"
"Aku____" Tio Bun
Yang agak tergagap. "Aku... teringat sesuatu. Oh ya, siapa orang tua Hui
San?"
"Ayahku bernama Lu Kam
Thay," sahut Lu Hui San memberitahukan.
"Lu Kam Thay..."
gumam Tio Bun Yang lagi dengan kening berkerut. "Lu Kam Thay... Lu Thay
Kam____"
Wajah Lu Hui San tampak
berubah ketika mendengar gumaman itu, sehingga langsung menatap Tio Bun Yang
dengan kening berkerut-kerut.
"Eeeh?" Lie Ai Ling
tercengang. "Kenapa sih kalian berdua? Kok terus saling memandang?"
"Tidak ada apa-apa,"
sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum, kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Jadi kalian tetap akan berangkat ke Gunung Hek Ciok San?"
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk. "Karena markas Seng Hwee Kauw berada di Lembah Kabut Hitam di
gunung itu, maka kami harus ke sana."
"Kalau begitu..."
ujar Tio Bun Yang setelah berpikir sejenak, aku ikut kalian ke sana."
"Oh?" Lie Ai Ling
girang bukan main. "Kalau engkau ikut, kita pasti dapat melawan Seng Hwee
Sin Kun."
"Mari kita berangkat
sekarang!" ajak Lu Hui San.
"Baik." Tio Bun Yang
mengangguk.
Mereka berempat lalu berangkat
menuju Gunung Hek Ciok San. Dalam perjalanan tak henti-hentinya Tio Bun Yang memperhatikan
Lu Hui San. Itu tidak terlepas dari mata Siang Koan Goat Nio, sehingga membuat
gadis itu menjadi kecewa
sekali dan tidak habis pikir,
kenapa Tio Bun Yang bersifat mata keranjang?
--oo0dw0oo-
Malam harinya, mereka berempat
terpaksa bermalam di dalam sebuah rimba. Lie Ai Ling menyalakan ranting dan
dahan yang ditumpukkan jadi satu, sedangkan Lu Hui San berjalan pergi, kemudian
duduk di bawah sebuah pohon.
Berselang sesaat, muncul sosok
bayangan mendekatinya, yang tidak lain Tio Bun Yang.
"Maaf!" ucapnya
sambil duduk. "Bolehkah kita bercakap-cakap sejenak?"
"Tentu saja boleh,"
sahut Lu Hui San sambil tersenyum. "Mau bercakap-cakap mengenai apa?"
"Mengenai dirimu."
"Oh?" Lu Hui San
mengerutkan kening. "Ada apa diriku?"
"Ayahmu adalah Lu Thay
Kam?" tanya Tio Bun Yang mendadak sambil menatapnya tajam.
"Nama ayahku adalah Lu
Kam Thay," sahut Lu Hui San seakan menegaskan. "Bukan Lu Thay
Kam."
"Nona Hui San____"
Tio Bun Yang tersenyum.
"Aku harap engkau jangan
membohongiku, sebab menyangkut riwayat hidupmu."
"Maksudmu?" Lu Hui
San mengerutkan kening.
"Engkau harus menjawab
sejujurnya, benarkah Lu Thay Kam adalah ayahmu?" tanya Tio Bun Yang lagi.
"Itu____" Lu Hui San
menundukkan kepala.
"Lu Thay Kam adalah ayah
angkatmu, kan?" Tio Bun Yang menatapnya. "Engkau harus menjawab
dengan jujur, karena
aku akan menyampaikan sesuatu
yang berkaitan dengan asal-usulmu."
"Engkau tahu asal
usulku?" Lu Hui San tersentak.
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Namun engkau harus memberitahukan dengan jujur, barulah aku
berani memastikan asal usulmu."
"Terus terang...."
Lu Hui San mulai memberitahukan. "Lu
Thay Kam memang ayah
angkatku____"
"Jadi engkau tidak tahu
siapa ayah kandungmu?"
"Tidak tahu, sebab ayah
angkatku itu tidak pernah memberitahukan."
"Nona Hui San, sebetulnya
engkau bermarga Sie." Tio Bun Yang memberitahukan. "Aku telah bertemu
pamanmu, yang bernama Sie Kuang Han...."
Tio Bun Yang menutur tentang
itu, dan Lu Hui San mendengar dengan penuh perhatian, kemudian air matanya
meleleh.
"Jadi____" Gadis itu
terisak-isak. ”Lu Thay Kam yang membunuh kedua orang tuaku?"
"Menurut pamanmu, Lu Thay
Kam memfitnah ayahmu," ujar Tio Bun Yang sambil menghela nafas panjang.
"Karena itu, kaisar menurunkan perintah menghukum mati kalian sekeluarga
termasuk keluarga pamanmu."
"Aaaah...!" keluh Lu
Hui San. "Aku sama sekali tidak tahu, Lu Thay Kam begitu jahat!"
"Nona Hui San____"
Tio Bun Yang menatapnya.
"... engkau tidak usah
berduka, karena kini engkau masih punya seorang paman."
"Aku... aku sangat
berterimakasih kepadamu! Kalau tidak bertemu engkau, tentunya aku tidak akan
tahu asal-usulku—"
"Nona Hui San, aku
bersedia mengantarmu pergi menemui pamanmu. Maukah engkau pergi menemui pamanmu
itu?"
"Bukankah akan
merepotkanmu?"
"Tidak." Tio Bun Yang
tersenyum. "Bagaimana kalau kita berangkat esok?"
"Baik. Tapi...."
"Kenapa?"
"Bagaimana Goat Nio dan
Ai Ling?"
"Tentunya mereka harus
ikut," ujar Tio Bun I Yang dan menambahkan. "Setelah engkau bertemu
pamanmu itu, barulah kita berangkat ke Gunung Hek Ciok San."
"Baik." Lu Hui San
mengangguk, kemudian mereka berdua bercakap-cakap lagi.
Mereka justru tidak tahu sama
sekali, bahwa ada sepasang mata sedang memandang ke arah mereka, yaitu Siang
Koan Goat Nio.
"Aaaah...!" Gadis
itu menghela nafas panjang, ia berdiri di balik sebuah pohon dengan mata basah.
"Kenapa dia____"
"Goat Nio!" Lie Ai
Ling mendekatinya, kemudian memandang ke arah Tio Bun Yang dengan penuh
kejengkelan. "Aku tak menyangka sama sekali kalau dia begitu cepat
berubah. Padaha! dia tidak bersifat begitu, namun—"
"Ai Ling!" Siang
Koan Goat Nio tersenyum getir. "Kelihatannya dia sangat tertarik pada Lu
Hui San."
"Itu... tidak
boleh." sahut Lie Ai Ling. "Pokoknya Kakak Bun Yang tidak boleh jatuh
hati pada Hui San."
"Ai Ling...." Siang
Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Engkau tidak
berhak melarangnya, sudahlah!"
"Hm!" dengus Lie Ai
Ling dingin. "Sebelum bertemu Kakak Bun Yang, Hui San menyatakan telah
jatuh hati pada Kam Hay Thian. Tapi kini dia kelihatan begitu akrab dengan
Kakak Bun Yang. Sungguh keterlaluan!"
"Ai Ling, biarkan saja!
Lebih baik kita kembali ke Pulau Hong Hoang To. Aku ingin mengajak kedua orang
tuaku pulang ke tempat tinggal kami di luar perbatasan."
"Goat Nio!" Lie Ai
Ling mengerutkan kening. "Itu urusan nanti, yang penting sekarang aku
harus pergi mencaci Kakak Bun Yang." katanya.
"Jangan!" cegah
Siang Koan Goat Nio. "Kalau aku tidak mencacinya, rasanya____"
"Sudahlah!" potong
Siang Koan Goat Nio. "Jangan menimbulkan masalah lagi!"
"Memang sudah terlanjur,
maka harus dipermasalahkan," sahut Lie Ai Ling sambil menarik Siang Koan
Goat Nio ke tempat Tio Bun Yang.
Kemunculan mereka berdua sama
sekali tidak mengejutkan Tio Bun Yang maupun Lu Hui San, sebaliknya malah
mempersilakan mereka duduk.
"Adik Ai Ling, Goat Nio,
silakan duduk!" ucap
Tio Bun Yang dengan tersenyum.
"Mari kita mengobrol bersama!"
"Kakak Bun Yang!"
Lie Ai Ling langsung menudingnya. "Aku tak menyangka, ternyata engkau
adalah pemuda yang begitu macam. Aku merasa malu sekali."
"Lho?" Tio Bun yang
bingung. "Memangnya kenapa?"
"Tanya saja kepada dirimu
sendiri!" sahut Lie Ai Ling dingin, lalu memandang Lu Hui San. "Aku
pun tak menyangka, engkau gadis semacam itu."
"Ai Ling!" Lu Hui
San tertegun. ''Kenapa engkau? Apa salahku sehingga engkau mengatakan
begitu?"
"Hm!" dengus Lie Ai
Ling dingin. "Engkau mengatakan kepadaku telah jatuh hati pada Kam Hay
Thian, namun setelah bertemu Kakak Bun Yang...."
"Ai Ling!" Lu Hui
San menghela nafas panjang. "Engkau telah salah paham. Sebetulnya____"
"Sebetulnya apa?"
bentak Lie Ai Ling, yang kemudian menuding Tio Bun yang. "Engkau tak punya
perasaan sama sekali. Goat Nio datang di Tionggoan justru ingin mencarimu. Aku
sering menceritakan kepadanya tentang dirimu, dia sangat tertarik dan berharap cepat-cepat
bertemu. Kini kalian telah bertemu, bahkan mencurahkan isi hati masing-masing
pula melalui suara suling. Tapi engkau malah mendekati Lu Hui San secara
diam-diam. Sungguh keterlaluan!"
"Ai Ling!" Wajah Tio
Bun Yang berseri. "Betulkah Goat Nio sangat tertarik kepadaku...?"
"Betul." Lie Ai ling
mengangguk. "Tapi engkau justru tak punya perasaan sama sekali. Sungguh
mempermalukan diri sendiri!"
"Engkau telah salah paham
padaku," ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Aku bukanlah pemuda
semacam itu."
"Tapi sudah
terbukti____"
"Bukti yang tidak
kuat." Tio Bun Yang tersenyum lagi. "Sebetulnya kami berdua berada di
sini...."
"Memadukan cinta
kan?" potong Lie Ai Ling dengan melotot dan mendengus dingin.
"Hmmm...!"
"Membicarakan
sesuatu." sahut Tio Bun Yang dengan serius dan menambahkan, "Sebab
menyangkut rahasia
seseorang, maka aku harus
menemui Hui San secara diam-diam. Karena itu, malah menimbulkan
kecurigaanmu."
"Oh?" Lie Ai Ling
mengerutkan kening. "Agar aku mempercayaimu, ceritakanlah tentang
itu!"
"Tapi...." Tio Bun
Yang melirik Lu Hui San.