"Kalian berdua juga
begitu kan?" sahut Lam Kiong Soat Lan balas menggodanya. "Bahkan
kalian berdua pun sudah saling mencium. Ya, kan?"
"Eh? Soan Lan?"
Wajah Toan Beng Kiat memerah. "Engkau...."
"Soat Lan," ujar
Bokyong Sian Hoa. "Kalau sudah saling mencinta, apa salahnya saling
mencium pula? Nah, tanyakan kepada kedua orang tuamu, apakah mereka tidak
pernah saling mencium?"
"Lho?" Wajah Toan
Pit Lian kemerah-merahan. "Kenapa kami terbawa-bawa dalam pembicaraan
kalian?"
"Boleh kan?" Bokyong
Sian Hoa tertawa. "Agar menyemarakan suasana."
"Oh ya!" Toan Wie
Kie teringat sesuatu. "Bagaimana keadaan Goat Nio di markas Kui Bin Pang
itu?"
"Dia baik-baik saja.
Tapi...." Lam Kiong Soat Lan menghela
nafas panjang. "Kakak
Kiam Heng memberitahukan kepadaku, bahwa ketua Kui Bin Pang jatuh hati kepada
Goat Nio."
"Oh?" Toan Wie Kie
mengerutkan kening. 'Kalau begitu... ketua Kui Bin Pang itu pasti masih muda?
Kalian tahu siapa dia?"
"Tidak tahu." Toan
Beng Kiat menggelengkan kepala. "Sebab dia memakai kedok setan warna
merah, jadi kami tidak pernah melihat wajahnya."
"Oooh!" Toan Wie Kie
manggut-manggut. kini kalian bertiga telah tiba dengan selamat. Maka, mulai
sekarang kalian bertiga tidak boleh ? Tionggoan."
"Ayah...." Toan Beng
Kiat menatapnya. "Kalau ketua Kui
Bin Pang itu sudah dibasmi,
tentunya kami boleh ke Tionggoan lagi kan?"
"Tentu boleh." Toan
Wie Kie manggut-manggut dan menambahkan, "Namun sementara ini, kalian
bertiga tidak boleh ke mana-mana."
"Ya, Ayah." Toan
Beng Kiat mengangguk.
"Oh ya!" Lam Kiong
Bie Liong memandang putrinya seraya bertanya, "Bukankah Kam Hay Thian
telah berpisah dengan Lu Hui San? Kok mereka bisa bersama di markas Kui Bin
Pang?"
"Mereka telah akur dan
saling mencinta," ujar Lam Kiong Soat Lan.
"Syukurlah!" ucap
Lam Kiong Bie Liong sambil manggut-manggut. Di saat bersamaan, Lam Kiong Soat
Lan pun menghela nafas panjang.
"Aaaah...!"
"Soan Lan!" Lam
Kiong Bie Liong menatapnya seraya bertanya, "Kenapa engkau menghela nafas
panjang? Ada sesuatu yang terganjal di dalam hatimu?"
"Aku...." Lam Kiong
Soat Lan menundukkan kepala.
"Dia pasti mencemaskan
pemuda pujaan hatinya itu," ujar Bokyong Sian Hoa sambil tersenyum.
"Ya, kan?"
"Sian Hoa...." Lam
Kiong Soat Lan cemberut.
"Jangan cemas!" ujar
Toan Beng Kiat sungguh-sungguh. "Tidak akan terjadi suatu apa pun atas
dirinya. Oh ya, bukankah dia telah berjanji...."
"Kakak Beng Kiat,"
tanya Bokyong Sian Hoa bernada menggoda Lam Kiong Soat Lan. "Pemuda
ganteng itu pernah berjanji apa kepada Soat Lan?"
"Kalian...." Lam
Kiong Soat Lan membanting-lunting kaki.
"Kalau tidak
salah..." sahut Toan Beng Kiat sambil tertawa. "Yo Kiam Heng pernah
berjanji akan berkunjung ke mari, tujuannya menengok Soat Lan lho!"
"Kalian... kalian sungguh
jahat!" Lam Kiong Soat Lan membanting-banting kaki lagi.
"Beng Kiat," tanya
Lam Kiong Bie Liong dengan wajah berseri. "Betulkah Yo Kiam Heng akan
kemari?"
"Betul, Paman." Toan
Beng Kiat mengangguk dan menambahkan, "Kelihatannya dia sangat mencintai
Soat Lan."
"Oh?" Wajah Lam
Kiong Bie Liong bertambah berseri. "Dia adalah pemuda baik yang juga lemah
lembut?"
"Betul, Paman." Toan
Beng Kiat mengangguk lagi. "Dia memang cocok dengan Soat Lan, mereka
berdua merupakan pasangan yang serasi."
"Syukurlah!" ucap
Lam Kiong Bie Liong sambil tertawa gembira. "Ha ha ha! Kini legalah hati
kami!"
"Soat Lan," tanya
Toan Pit Lian mendadak. ”Engkau mencintai Yo Kiam Heng?"
"Ibu...." Wajah Lam
Kiong Soat Lan memerah
"Sebab ibu dengar bahwa
Yo Kiam Heng mencintaimu. Kaiau kau tidak mencintainya, bukankah percuma? Ya,
kan?" Toan Pit Lian tersenyum. "Oleh karena itu, ibu ingin tahu
bagamana engkau, mencintainya atau tidak."
"Ibu, aku...." Lam
Kiong Soat Lan menundukkan wajahnya
dalam-dalam dan melanjutkan
dengan suara rendah. "Aku juga mencintainya."
"Apa? Ibu tidak
mendengar. Coba ulangi sekali lagi!" ujat Toan Pit Lian sambil tertawa
"Ibu jahat!" Lam
Kiong Soat Lan menghempas-hempaskan kakinya dan mulutnya pun terus cemberut.
"Ha ha ha!" Toan Wie
Kie tertawa gelak. "Syukurlah kini Soat Lan sudah punya kekasih kami turut
bergembira!"
"Paman...." Wajah
Lam Kiong Soat Lan memerah. "Jangan
terus menggodaku....
Mendadak gadis itu berlari ke
dalam menuju kamarnya. Sedangkan Toan Wie Kie dan La Kiong Bie Liong terus
tertawa gembira. Toan Pit Lian juga putrinya. tersenyum, lalu ke dalam menyusul
putrinya.
Lam Kiong Soan Lan duduk di
pinggir ranjang sambil melamun. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah, ternyata
Toan Pit Lian berjalan perlahan menghampirinya.
"Ibu..." panggil Lam
Kiong Soat Lan.
"Nak!" sahut Toan Pit
Lian, kemudian duduk di sisinya sambil tersenyum. "Kenapa engkau melamun?
Memikirkan Yo Kiam Heng ya?"
"Ibu...." Lam
Kiong Soat Lan
menghela nafas panjang.
"Aku... aku
mencemaskannya."
"Nak!" Toan Pit Lian
membelainya. "Jangan emas, dia tidak akan terjadi apa-apa! Percayalah”
"Tapi...." Air mata
gadis itu mulai meleleh. Kalau ketua Kui
Bin Pang mencurigainya, dia
pasti celaka."
"Tidak mungkin ketua Kui
Bin Pang akan mencurigainya," ujar Toan Pit Lian dan menambahkan,
"Sebab Cie Hiong telah
melukai mereka, itu akan
menghapus kecurigaan ketua Kui Bin Pang."
"Tapi...." Lam Kiong
Soat Lan mengerutkan kening. "Dia
dan Kwan Tiat Him masih harus
nenyelamatkan Goat Nio. Bila ketua Kui Bin Pang mengetahuinya, mereka berdua
pasti celaka."
"Jangan khawatir!"
Toan Pit Lian tersenyum, Mereka berdua pasti berhati-hati, dan akan
memperhitungkan keadaan, tidak akan bertindak ceroboh."
"Ibu...." Lam Kiong
Soat Lan terisak-isak. ”Aku baru mulai
jatuh cinta kepadanya, namun
harus berpisah dengan dia pula! Aaaah...!"
"Bukankah dia telah
berjanji akan ke mari menengokmu?"
"Betul. Tapi kapan?"
"Nak!" Toan Pit Lian
tersenyum. "Engkaii harus bersabar, suatu hari nanti dia pasti ke mari”
"Tapi...."
"Jangan cemas!" Toan
Pit Lian membelainya "Oh ya, Bun Yang masih berada di Pulau Hong Hoang
To?"
"Kami berangkat bersama,
namun berpencar setelah memasuki daerah Tionggoan. Dia bersama Kakek Lim dan
Kakek Gouw ke markas pusi Kay Pang, kami menuju ke mari, sedangkan Kiam Heng
dan Kwan Tiat Him ke markas Kui Bin Pang."
"Kalau begitu..."
pikir Toan Pit Lian dan melanjutkan. "Bun Yang pasti akan pergi menolong
Goat Nio. Berarti dia akan bertemu Kiam Heng dan Kwan Tiat Him."
"Tapi...." Lam Kiong
Soat Lan mengerutld kening. "Kakak
Bun Yang tidak tahu tempat
markas Kui Bin Pang."
"Nak!" Toan Pit Lian
tersenyum. "Ibu yakin Bun Yang tahu itu."
"Kok Ibu begitu
yakin?" Lam Kiong Soat Lan heran.
"Bun Yang pasti bertanya
kepada Kwan Tiat Him. Nah, tentunya Bun Yang sudah tahu markas Kui Bin Pang
berada di mana. Oleh karena itu dia pasti ke sana menolong Goat Nio."
"Setelah Kakak Bun Yang
berhasil menolongGoat Nio, apakah Yo Kiam Heng akan meninggalkan markas Kui Bin
Pang?"
"Itu sudah pasti,"
sahut Toan Pit Lian. "Di saat itulah dia akan ke mari menengokmu, maka
engkau tidak usah khawatir."
"Ya, Ibu." Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut, kemudian dengan wajah agak berseri ia bergumam,
"Dia pasti ke mari. Dia pasti kemari menengokku."
-oo0dw0oo-
Tio Bun Yang sama sekali tidak
bisa duduk diam. Sudah tiga hari ia berada di markas pusat Kay Pang, namun Cian
Chiu Lo Kay masih belum kembali. Itu membuatnya resah dan gelisah
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menatapnya. ”Bersabarlah! Mungkin dalam satu dua hari ini Lo Kay akan
kembali."
"Engkau harus
tenang!" ujar Gouw Han Tiong. Namun ketika baru melanjutkan, mendadak
muncul Cian Chiu Lo Kay.
"Pangcu...." Cian
Chiu Lo Kay memberi homat kepada Lim
Peng Hang dan Gouw Han Tiong.
"Duduklah, Lo Kay!" sahut Lim Peng Hang
Setelah Cian Chiu Lo Kay duduk
Tio Bun Yang segera bertanya.
"Bagaimana, Lo Kay,
apakah sudah ada infomasi mengenai tempat misteri di Gurun Sih Ih itu?”
"Aaaah...!" Cian
Chiu Lo Kay menghela nafas panjang. "Aku sudah menemui beberapa kawan
karibku namun mereka ..”
"Mereka tidak tahu
tentang tempat misteri itu?" tanya Lim Peng Hang sambil mengerutkan kening
"Mereka cuma pernah
mendengar, tapi tidak tahu jelas mengenai tempat misteri itu," jawab Cian
Chiu Lo Kay. "Sebaliknya mereka malah menganjurkan agar tidak ke
sana."
"Kenapa?" tanya Tio
Bun Yang.
"Kata mereka, siapa yang
pergi cari tempat misteri itu, pasti tidak bisa kembali," jawab Cia Chiu
Lo Kay "Maka...”
"Biar bagaimana
pun..." ujar Tio Bun Yang tegas. "Aku harus ke Gurun Sih Ih."
"Bun Yang...." Lim
Peng Hang menatapnya dengan kening
berkerut-kerut. "Engkau
sudal mengambil keputusan itu?"
"Ya, Kakek." Tio Bun
Yang mengangguk "Aku lelaki, harus bertanggung jawab terhada| sesuatu.
Lagi pula.... Goat Nio
adalah kekasihki dia berada di
tangan ketua Kui Bin Pang. Apakah aku harus tinggal dlam? Kalau begitu aku Jadi
Lelaki macam apa?"
"Ngmm!" Lim Peng
Hang manggut-manggut. ”Bun Yang engkau memang harus menyelamatkannya sebab itu
adalah tugas kewajibanmu." "Tapi...." Gouw Han Tiong mengerutkan
kenling- "Gurun Sih Ih
begitu luas, bagaimana mungkin engkau bisa mencari tempat misteri itu?"
"Di mana ada kemauan, di
situ pasti ada jalan," sahut Tio Bun Yang dan melanjutkan, "Sebagai
leaki sejati dan gagah berani, harus sanggup menempuh bahaya apa pun. Kalau
tidak, aku pasti mempermalukan Kay Pang dan pihak Pulau Hong Hoang To. Ya, kan?
"Benar." Gouw Han
Tiong manggut-manggut. ”Tapi alangkah baiknya dipikirkan masak-masak, jangan
bertindak ceroboh!"
"Ya" Tio Bun Yang
mengangguk.
Setelah berunding cukup lama,
akhirnya Lim Peng Hang memperbolehkan Tio Bun Yang berangkat ke Gurun Sih Ih.
Keesokan harinya, berangkatlah Tio Bun Yang ke gurun tersebut dengan menunggang
kuda.
-oo0dw0oo-
Tujuh delapan hari kemudian,
Tio Bun Yan telah tiba di Giok Bun Kwan (Kota Perbatasan) Ia mampir di sebuah
kedai teh. Setelah duduk, ia memesan teh dan makanan ringan kepada seorang
pelayan.
Pelayan itu segera menyajikan
apa yang di pesannya. Namun ketika baru mau menghiru tehnya, Tio Bun Yang
mendadak tersentak karen mendengar percakapan beberapa pedagang.
"Kini daerah di sekitar
Gurun Sih Ih tidak akan aman lagi, sebab belasan hari lalu telah muncul setan
iblis di gurun itu."
"Setan iblis apa?"
"Sungguh menyeramkan!
Setan iblis itu berpakaian serba putih, wajah mereka sangat menakutkan, bahkan
juga mengeluarkan suara yan, amat menyeramkan."
"Oh? Kalau begitu, kita
kaum pedagang tida bisa melewati Gurun Sih Ih lagi!"
"Memang begitulah. Aaah,
tidak disangka setan iblis itu muncul lagi di Guruh Sih Ih!"
"Kakekku pernah
bercerita, dulu setan iblis itu pernah muncul, tapi kemudian hilang begitu
saja. Tak disangka kini mereka muncul lagi, ini sungguh membuat gelisah kaum
pedagang!"
"Bahkan juga
menggelisahkan beberapa suku kecil di sekitar Gurun Sih Ih...."
Ketika mereka berbicara sampai
di situ, mendadak Tio Bun Yang menghampiri mereka, kemudian memberi hormat
seraya berkata,
"Maaf, Tuan-tuan,
bolehkah aku bertanya?"
"Mau tanya apa?"
sahut salah seorang pedagang yang berusia empat puluhan. "Duduklah!"
"Terimakasih!" ucap
Tio Bun Yang sambil duduk. "Paman tahu tentang tempat misteri di Gurun Sih
Ih itu?" tanyanya.
Pertanyaan tersebut membuat
para pedagang itu saling memandang dengan air muka berubah, dan kemudian
menatap Tio Bun Yang dengan penuh perhatian.
"Anak muda, kenapa engkau
bertanya tentang tempat misteri itu?" tanya pedagang yang berusia empat
puluhan.
"Aku ingin ke tempat
misteri itu," sahut Tio Bun Yang jujur.
"Haaah...?" Para
pedagang itu terbelalak. "Anak muda, engkau sedang mabuk atau sedang
bergurau dengan kami?"
"Aku bersungguh-sungguh,
Paman."
"Bersungguh-sungguh?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Aku memang ingin ke tempat misteri itu, mohon Paman memberi
petunjuk!"
"Anak muda!"
Pedagang berusia empat puluhan itu menggeleng-gelangkan kepala. "Engkau
masih muda, kenapa mau cari mati?"
"Paman...." Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Aku ke
tempat misteri itu dengan
tujuan mencari orang."
"Mencari orang?"
para pedagang itu terperangah. "Anak muda, setahu kami di tempat misteri
itu cuma terdapat setan iblis, tidak ada orang sama sekali."
"Paman," desak Tio
Bun Yang. "Berilah petunjuk, agar aku bisa sampai di tempat misteri
itu!"
"Maaf, Anak muda!"
sahut pedagang berusia empat puluhan itu. "Kami sama sekali tidak tahu
jalan menuju tempat misteri itu, sebab kami tidak pernah ke sana."
"Paman," tanya Tio
Bun Yang. "Kira-kira siapa yang pernah ke tempat misteri itu?"
"Tidak ada."
Pedagang berusia empat puluhan itu menggelengkan kepala. "Kaum pedagang
tidak pernah berani ke tempat itu.
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Oh ya, di mana ada rumah penginapan?”
"Keluar dari kedai teh
ini, engkau berbelok ke kiri, tak lama akan sampai di rumah penginap. Peng
Lay."
"Terimakasih,
Paman!" ucap Tio Bun Yan lalu kembali ke tempatnya, dan duduk termenung di
situ. Para pedagang itu mulai berbisik-bisik membicarakannya.
Lama sekali Tio Bun Yang
termenung. setelah itu barulah ia meneguk tehnya, kemudian bersantap.
Berselang beberapa saat, hari
mulai gelap, Tio Bun Yang segera membayar minuman dan makanannya, lalu
meninggalkan kedai teh itu. Ia menunggang kudanya menuju rumah penginapan.
Ketika berada di depan penginapan tersebut, muncullah seorang pelayan
menyambutnya dengan wajah berseri-seri. "Tuan perlu kamar?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk sambil meloncat turun.
Pelayan itu segera menuntun
kuda tersebut ke samping penginapan. Setelah menambat kuda itu, ia cepat-cepat
menghampiri Tio Bun Yang.
"Tuan," ujar pelayan
itu ramah. "Mari ikut aku ke dalam!"
Tio Bun Yang mengangguk, lalu
mengikuti pelayan itu ke dalam.
Pelayan itu berhenti di depan
sebuah kamar, hiu membuka pintu kamar itu seraya bertanya.
"Tuan cocok dengan kamar
ini?" "Ng!" Tio Bun Yang mengangguk.
"Silakan masuk,
Tuan!" ucap pelayan itu dengan ramah.
Tio Bun Yang melangkah ke
dalam. Dilihatnya kamar itu cukup bersih dan besar, maka ia manggut-manggut.
"Tuan mau pesan makanan
dan minuman?" tanya pelayan itu setelah Tio Bun Yang duduk.
"Cukup teh saja,"
sahut Tio Bun Yang, lalu menyodorkan setael perak untuk pelayan itu.
"Tuan..." pelayan
terbelalak ketika melihat uang perak itu. Selama ia menjadi pelayan penginapan
Peng Lay, belum pernah ada tamu yang memberikannya setael perak, maka ia
mengira Tio Bun Yang sedang bergurau
"Ambillah!" ujar Tio
Bun Yang sambil tet senyum
"Tuan...." Pelayan
itu menerima uang
perai itu dengan
tangan agak bergemetar.
"Terimakasih Tuan! Terimakasih.
Seusai mengucapkan terimakasih
berulang kali barulah pelayan itu pergi mengambil teh untuk Tio Bun Yang.
Di saat pelayan itu pergi,
terdengar suara isak tangis di kamar sebelah, itu membuat Tio Bu Yang
mengerutkan
kening. Setelah pelayan
kembali ke situ, segera Tio Bun Yang bertanya
"Siapa yang menangis di
kamar sebelah?"
"Itu...." Pelayan
memberitahukan. "Seorang wanita berusia
empat puluhan."
"Kenapa wanita itu menangis?"
"Putrinya sakit
keras," sahut pelayan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Entah
sudah berapa banyak tabib yang mengobati gadis kecil itu pun tidak tahu sakit
apa gadis itu."
"Sakit apa gadis kecil
itu?"
"Entahlah." Pelayan
menggelengkan kepala "Sebab para tabib yang telah memeriksa gadis tapi...
tiada seorang pun yang dapat menyembuhkannya."
"Oh?" Tio Bun Yang
mengerutkan kening. ”Kalau begitu, gadis kecil itu pasti mengidap penyakit
aneh."
"Mungkin." Pelayan
manggut-manggut.
"Aku mengerti sedikit
mengenai ilmu pengobatan," ujar Tio Bun Yang memberitahukan. ”Tolong antar
aku ke kamar wanita itu!"
"Tuan...." pelayan
terbelalak.
”Jangan ragu!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Antarkan aku ke sana, mudah-mudahan aku bisa
menyembuhkannya!"
"Baik, Tuan."
Pelayan mengangguk. "Mari ikut aku ke kamar sebelah!"
"Terimakasih!" ucap
Tio Bun Yang, sekaligus mengikuti pelayan itu ke kamar tersebut.
Sampai di depan kamar itu,
perlahan-lahan pelayan mengetuk pintu.
"Siapa?" suara
sahutan dari dalam.
"Pelayan!"
"Masuklah!"
Pelayan mendorong pintu kamar
itu. Tio Bun Yang memandang ke dalam, dilihatnya seorang wanita berpakaian aneh
duduk di pinggir ranjang sambil menangis terisak-isak, di atas ranjang terbujur
sosok tubuh yang kurus.
"Maaf!" ucap pelayan
memberitahukan. "Tuan ini mengerti sedikit ilmu pengobatan, maka ingin
memeriksa gadis kecil itu."
"Oh?" Wanita itu
menoleh. Begitu melihat Tio Bun Yang, yang masih sedemikian muda,
menggeleng-gelengkan kepala. "Terimakasih, Tua tapi tidak mungkin Tuan dapat
mengobati putriku ini."
"Nyonya," ujar
pelayan. "Walau Tuan ini masih muda, namun siapa tahu justru Tuan ini yang
dapat menyembuhkan putri Nyonya itu."
"Aaaah...!" Wanita
itu menghela nafas panjang. "Sudah belasan tabib berpengalaman di kota ini
memeriksanya, tapi tiada satu pun yang mampu mengobatinya. Sedangkan tuan ini
masih muda...'
"Nyonya! Siapa
tahu...."
"Para tabib itu meminta
biaya tinggi, aku sanggup bayar. Tapi... mereka justru tidak sanggup
menyembuhkan putriku."
"Bibi," Tio Bun Yang
tersenyum. "Aku tidak minta biaya apa pun, percayalah!"
"Tuh!" Pelayan
tertawa. "Tuan ini sangat ba hati, tidak seperti tabib lain."
"Oh?" Wanita itu
menatap Tio Bun Ya dengan penuh perhatian. "Engkau tidak min biaya apa
pun?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Kenapa begitu?"
wanita itu heran.
"Karena aku bukan tabib,
lagi pula sesama manusia memang harus saling menolong," sahut Tio Bun Yang
sambil tersenyum. "Aku mengeti sedikit ilmu pengobatan, maka kugunakan
untuk menolong yang sakit."
"Oooh!" Wanita itu
manggut-manggut. "Tapi putriku...."
"Biar aku segera
memeriksanya," ujar Tio Bun Yang sambil mendekati gadis kecil yang
terbaring di atas ranjang itu, lalu memeriksanya dengan teliti sekali.
Pelayan itu sangat tertarik,
maka tidak meninggalkan kamar itu, terus memperhatikan Tio Bun Yang memeriksa
gadis kecil itu.
Berselang beberapa saat
kemudian, usailahTlio Bun Yang memeriksa gadis kecil itu. Ia menarik nafas lega
seraya berkata.
"Untung aku segera
datang! Kalau tidak, lewat dua jam putri Bibi tidak dapat tertolong lagi."
"Oh?" Wajah wanita
itu pucat pias. "Kalau begitu, cepatlah tolong putriku ini! Aku
mohon...."
Mendadak wanita itu
menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tio Bun Yang, tapi Tio Bun Yang segera
membangunkannya.
"Tenanglah, Bibi!"
ujar Tio Bun Yang. "Aku pasti menolongnya."
Usai berkata, Tio Bun Yang
menaruh telapak tangannya di ubun-ubun gadis itu, lalu mengeluhkan Pan Yok Hian
Thian Sin Kang, dan sekaligus disalurkan ke tubuh gadis kecil itu melalui
ubun-ubunnya.
Sesaat kemudian, telapak
tangan Tio Bun Yang mulai mengeluarkan asap putih. Justru sungguh menakjubkan,
asap putih itu berputar-putar di sekitar kepala gadis kecil itu, kemudian
menerobos ke dalam melalui ubun-ubunnya
Menyaksikan itu, pelayan dan
wanita itu terbelalak dan mulut mereka ternganga lebar
Lewat beberapa saat setelah
itu, barulah Tio Bun Yang berhenti mengerahkan lweekangnya. Ia tersenyum sambil
memasukkan sebutir obat ke mulut gadis itu, lalu berkata kepada wanita
tersebut.
"Putri Bibi sudah tertolong.
Sebentar lagi dia pasti bisa berjalan, dan makan minum seperti biasa."
"Oh? Terimakasih, Tuan!
Terimakasih!" ucap wanita itu. Baru saja dia mau berlutut mendadak Tio Bun
Yang mengibaskan lengan bajunya sambil tersenyum.
"Bibi tidak usah
berlutut!"
"Haaah?" Wanita itu
terperanjat, karena merasa sekujur badannya kaku, tapi tak lama sudah normal
kembali. "Tuan...."
"Ibu! Ibu..."
panggil gadis kecil itu.
"Nak! Nak..." saking
girang wanita itu m nangis dengan air mata berderai-derai. "Oh,
anakku...."
"Ibu! Aku... aku
lapar!" ujar gadis kecil sambil bangun.
"Tunggu, Nak!" sahut
wanita itu, kemudian bertanya kepada Tio Bun Yang. "Tuan, putriku sudah
boleh makan?"
"Boleh." Tio Bun
Yang mengangguk. "Dia sudah sembuh, jadi boleh makan dan minum seperti biasa."
"Oooh!" Wanita itu
manggut-manggut. "Pelayan, cepat ambilkan makanan untuk putriku!"
"Hah? Apa?" Pelayan
itu tersentak, ternyata saking terkesima akan kehebatan Tio Bun Yang, sehingga
membuatnya terbengang-bengong. "Bukan main! Cuma diraba, gadis kecil itu
langsung sembuh! Sungguh bukan main!"
Pelayan itu segera pergi
mengambil makanan untuk si gadis kecil. Sudah barang tentu ia pun menyiarkan
berita tentang itu.
"Kelihatannya Bibi bukan
orang Tionggoan. Sebab pakaian Bibi aneh sekali” kata Tio Bun Yang
"Betul, Tuan."
Wanita itu mengangguk. "Kami buan orang Tionggoan, melainkan salah satu
kecil kecil di sekitar Gurun Sih Ih."
"Oh?" Wajah Tio Bun
Yang tampak berseri, ”Kalau begitu. Bibi pasti tahu mengenai tempat misterii di
Gurun Sih Ih!"
'Tidak begitu jelas,"
ujar wanita itu dengan air muka berubah. "Kenapa Tuan menanyakan itu ?”
"Terus terang, aku ingin
ke tempat misteri itu ”
"Haaah?" Bukan main
terkejutnya wanita itu "Tempat misteri itu penuh dengan berbagai setan
iblis, kenapa Tuan ingin ke sana?"
"Bibi!" Tio Bun Yang
menghela nafas panjang "Aku ke sana demi menolong seseorang."
"Oh?" Wanita itu
mengerutkan kening. "Terus terang, aku pun tidak tahu berada di mana
tempat misteri itu."
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang.
"Tuan," ujar wanita
itu dengan wajah serius "Kami pernah melihat tempat itu, namun tidak
berani mendekatinya."
"Oh?" Wajah Tio Bun
Yang berseri. "Tempat itu berada di mana?"
"Sebelah barat Gurun Sih
Ih." Wanita itu memberitahukan. "Tapi tempat itu akan muncul di saat
senja. Jadi Tuan harus menuju arah barat Gurun Sih Ih, tapi harus hati-hati
jangan sampai tersesat di gurun itu!"
"Terimakasih atas
petunjuk Bibi!" ucap Tio Bun Yang.
Di saat bersamaan, muncullah
pelayan dengan membawa makanan untuk gadis kecil yang baru sembuh itu.
"Tuan," tanya
pelayan setelah menaruh makanan itu di atas meja. "Sebetulnya gadis kecil
itu sakit apa?"
"Gadis kecil itu tidak
sakit, melainkan keracunan." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Keracunan apa?"
pelayan itu tersentak.
"Dia makan semacam buah
yang beracun, maka keracunan." Tio Bun Yang menjelaskan. "Kalau
terlambat bertemu denganku dia pasti mati, sebab tiada seorang tabib pun yang
mampu memunahkan racun itu."
"Oooh!" Pelayan itu
manggut-manggut dan sangat kagum kepadanya. "Tuan masih muda, tapi ilmu
pengobatan Tuan sudah begitu hebat."
"Aku cuma mengerti
sedikit ilmu pengobatan."
"Cuma mengerti sedikit
sudah begitu hebat, apalagi banyak!" ujar pelayan sambil tertawa.
"Tuan!" Mendadak
wanita itu menyodorkan sebuah bungkusan berisi ratusan tael perak kehadapan Tio
Bun Yang seraya berkata, "Ini untuk tuan!"
"Terimakasih!" ucap
Tio Bun Yang, namun ia tidak menerima bungkusan itu. "Tadi aku sudah
bilang, tidak menerima biaya apa pun."
"Terimalah, Tuan!"
desak wanita itu.
”Aku tidak akan menerima uang
itu." Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Sebab aku menolong dengan
setulus hati."
"Tuan...." Wanita itu memandangnya dengan mata
terbelalak. "Baru kali
ini aku bertemu orang yang berhati bajik, menolong orang tanpa pamrih."
"Betul," sambung
pelayan. "Aku juga baru kali ini melihat cara pengobatan yang begitu aneh.
Halaman 30-31 ga ada hi hi
"Ya." Pelayan segera pergi
Sedangkan Tio Bun Yang duduk
sambil memikirkan perjalanan esok. Tak seberapa lama, kemudian, muncullah
pelayan itu dengan membawa sebuah kantong kulit besar berisi air minum
”Ini, Tuan," ujar pelayan
sambil menaruh kantong kulit berisi air itu di atas meja
"Terimakasih!" ucap
Tio Bun Yang
Keesokan paginya, berangkatlah
Tio Bun Ya ke Gurun Sih Ih. Dia tidak menunggang kuda karena merasa tidak tega
kepada kudanya. Maka kudanya dititipkannya kepada pelayan itu.
-oo0dw0oo-
Bagian ke enam puluh dua
Tewas dan dikurung
Betapa teriknya di Gurun Sih
Ih pada siang hari namun sungguh dingin sekali di malam hari Gurun Sih lh ini
tiada mata air, maka siapa yang tersesat di gurun itu pasti mati kehausan.
Oleh karena itu, tiada seorang
pun yang berani menyeberangi gurun itu apabila cuma seorang diri.
Di tengah-tengah Gurun Sih Ih,
justru terdapat sebuah tempat yang amat indah dan subur sungguh merupakan suatu
kegaiban, namun itulah disebut
sebagai tempat misteri yang dihuni para setan iblis.
Tidak usah heran. Tempat
misteri itu tidak bisa dicapai, sebab hanya bisa dilihat di saat senja hari.
Lagipula disekitar tempat misteri itu terus berhembus angin kencang, yang
membuat pasir-pasir beterbangan ke mana-mana. Makhluk apa pun tidak akan bisa
bertahan di situ, sebab akan terhembus terbang entah ke mana. Akan tetapi, bagi
yang tahu tentunya bisa mencapai tempat misteri tersebut, sebab di saat-sat
tertentu, angin di sekitar tempat itu berhenti berhembus sejenak.
Betapa indahnya panorama di
tempat misteri itu. Pohon-pohon dan rumput-rumput menghijau, tampak pula
bunga-bunga bermekaran berwarna-iiiini.
Justru sungguh mengherankan,
di sana tampal sebuah bangunan besar berdiri kokoh. Bangunan itu ternyata
markas lama Kui Bin Pang.
Di dalam markas itu terdengar
suara tawa gelak. Tampak delapan orang sedang bersulang di ruang depan. Mereka
adalah ketua Kui Bin Pang, kedua Hu Hoat dan Ngo Sat Kui.
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang terus tertawa. ”Tentunya kalian tidak menyangka, kalau aku tahu
tempat ini!"
"Ketua," ujar Toa
Sat Kui. "Sungguh beruntung markas berada di sini, sebab tempat sangat
indah dan subur, bahkan terdapat beberapa mata air. Jadi kita tidak akan
kekurangan makanan maupun air minum, bahkan sangat aman di sini."
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang terus tertawa "Ini adalah tempat misteri. Hanya aku seorang
yang tahu cara memasuki tempat misteri ini. Ha ha ha. Pihak Kay Pang dan Pulau
Hong Hoang To tidak mungkin bisa ke mari! Kalau mereka berani mari, pasti akan
mampus di Gurun Sih Ih."
"Ketua," tanya Yo
Kiam Heng mendad "Bagaimana keadaan Nona Siang Koan?"
"Dia baik-baik
saja," sahut ketua Kui Bin Pang. "Dia kukurung di ruang bawah. Tidak
lama lagi dia akan menjadi milikku. Ha ha ha...!"
"Ketua," ujat Toa
Sat Kui. "Bagaimana andainya persediaan makanan kita habis?”
"Gampang. Rampok saja
para pedagang yang engkau ^ berjanj. akan
, Wa,au
lewat Gurun Sih Ih."
sahut ketua Kui Bin dan menambahkan, "Kalau kalian ingin senang-senang,
kalian pun boleh menculik para gadis di sekitar Gurun Sih Ih."
"Terimakasih,
Ketua!" ucap Toa Sat Kui girang
"Nah, mari kita bersulang
lagi!" ajak ketua Kui Bin Pang sambil tertawa gelak. "Ha ha ha,”
-oo0dw0oo-
Malam harinya, Yo Kiam Heng
dan Kwan Tiat Him duduk berhadapan di dalam kamar. Mereka bercakap-cakap dengan
menggunakan ilmu menyampaikan suara, agar tidak terdengar oleh yang lain.
"Kiam Heng, kapan kita
turun tangan memiting Nona Siang Koan?"
"Itu...." Yo Kiam
Heng menggeleng-gelengkan kepala. "Itu
sulit sekali, kita tidak boleh
ceroboh kalau ceroboh kita pasti celaka ”
"Terus terang, aku sudah
tidak sabar menunggu," ujar Kwan Tiat Him sungguh-sungguh. ”Aku ingin
cepat-cepat menolongnya, lalu meninggalkan markas ini."
"Tiat Him," pesan Yo
Kiam Heng. "Biar bagaimana pun, kita harus berhati-hati!"
"Aku tahu
itu, tapi...." Kwan
Tiat Him menghela
nafas
panjang, kemudian menambahkan,
"Aku telah berjanji kepada Tio Bun Yang..”
”Walau engkau telah berjanji
kepadanya untuk menolong Nona Siang Koan, namun harus juga lihat situasi. Kalau
situasi tidak mengijinkan, janganlah kita turun tangan, sebab akan mencelakai
diri kita. Bersabarlah untuk menunggu waktu yang tepat!"
"Kiam Heng!" Kwan
Tiat Him menatapnya, kini engkau sudah punya kekasih, maka engkau tak boleh
sembarangan menempuh bahaya. Sebab kalau terjadi sesuatu atas dirimu, bagaimana
dengan Lam Kiong Soat Lan? Ya, kan?"
"Maksudmu?" Yo Kiam
Heng heran.
"Maksudku..." sahut
Kwan Tiat Him sungguh sungguh. "Biar aku saja yang menolong Nona Siang
Koan. Seandainya tidak berhasil dan diriku celaka di tangan ketua, itu pun
tidak apa-apa karena aku tidak punya tanggungan."
"Tiat Him...." Yo
Kiam Heng menggeleng gelengkan kepala.
"Engkau tidak boleh
bertindak sendiri...."
"Kiam Heng!" Kwan
Tiat Him tersenyum getir. "Telah kupikirkan, kini engkau sudah punya
kekasih, maka tidak boleh menempuh bahaya menolong Nona Siang Koan. Jadi...
biarlah aku saja yang
menolongnya, agar tidak merembet dirimu.
"Itu tidak bisa." Yo
Kiam Heng menggelengkan kepala.
"Ingat!" Kwan Tiat
Him tersenyum. "Lam Kiong Soat Lan sangat mencintaimu, lagi pula engkau
telah berjanji akan ke Tayli menengok nya. Kalau terjadi sesuatu atas dirimu di
sini bukankah engkau akan membuatnya menderita?"
"Itu...." Kening Yo
Kiam Heng berkerut-kerut, apa yang
dikatakan Kwan Tiat Him memang
masuk akal, namun kemudian ia berkata, "Tentang ini, akan kita rundingkan
lagi nanti."
"Baiklah." Kwan Tiat
Him mengangguk menambahkan, "Pokoknya engkau tidak boleh menempuh
bahaya!"
"Tiat Him...."
Betapa terharunya Yo
Kiam Heng. Tidak
disangkanya Kwan Tiat Him
begitu memikirkan kepentingan teman.
Di saat bersamaan, di ruang
tengah juga tampak Toa Sat Kui sedang berbisik-bisik dengan ketua Kui Bin Pang.
"Jadi...." Ketua Kui Bin Pang menatapnya. Engkau
mencurigai kedua Hu Hoat
itu?"
"Ya." Toa Sat Kui
mengangguk. "Sebab dalam beberapa hari ini, gerak-gerik mereka sangat
aneh."
"Aneh bagaimana?"
"Kelihatannya mereka
ingin melakukan sesuatu."
"Oh?" Ketua Kui Bin
Pang tampak gusar. ”Mereka berdua bekerja sama untuk mengkhianatiku?"
"Kira-kira
begitulah."
"Itu... agak tidak masuk
akal." Ketua Kui Bin wig menggeleng-gelengkan kepala. "Sebab mereka
pun terluka parah di Pulau Hong Hoang To."
"Ketua..." bisik Toa
Sat Kui. "Mungkin itu ulna merupakan suatu siasat saja."
"Oh?" Ketua Kui Bin
Pang diam beberapa saat lalu melanjutkan, "Tanpa bukti engkau tidak boleh
menuduh."
"Ya, Ketua." Toa Sat
Kui mengangguk. "Tapi menurut aku, salah satu di antara mereka sedang
berupaya menolong Siang Koan Goat Nio."
"Oh, ya?" Ketua Kui
Bin Pang tampak kurang percaya.
"Dua malam yang lalu,
tanpa sengaja aku melihat Jie Hu Hoat berendap-endap ke sana kemari,
kelihatannya seperti sedang mencari sesuatu."
"Lalu bagaimana?"
"Berselang sesaat, dia
langsung kembali kamarnya. Aku pun mengintip ke dalam, melihat Jie Hu Hoat
duduk di hadapan Toa Hu Hoat”
"Kalau begitu..."
ujar ketua Kui Bin Pang. "Jie Hu Hoat itu memang sangat mencurigakan,
sedangkan Toa Hu Hoat...."
"Ketua," bisik Toa
Sat Kui lagi. "Aku pun suatu cara untuk menjebak mereka."
"Oh? Apa caramu
itu?"
"Begini...." Toa Sat
Kui berbisik-bisik di telinga ketua Kui
Bin Pang, berselang sesaat, ketua
Kui Bin Pang itu manggut-manggut seraya berkata dengan suara rendah.
"Bagus! Bagus! Caramu itu
memang sungguh jitu sekali!"
"Terimakasih atas pujian
Ketua!" ucap To Sat Kui girang. "Pokoknya dengan caraku itu mereka
berdua pasti terjebak!"
"Kalau cuma salah satu di
antara mereka berarti yang lainnya tidak tersangkut."
"Kita buktikan saja
nanti, Ketua." "Betul. Kita buktikan saja! Ha ha ha...!'
Ketika Yo Kiam Heng dan Kwan
Tiat Him baru mau tidur, mendadak mereka mendengar suara ketukan pintu.
"Siapa?" sahut Kwan
Tiat Him.
"Ha ha ha!"
Terdengar suara tawa. "Kalian berdua belum tidur?"
"Ketua!" Kwan Tiat
Him dan Yo Kiam Heng tersentak kaget, kemudian segera meloncat bangun,
sekaligus membuka pintu kamar itu.
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa gelak sambil melangkah masuk, lalu duduk.
Kwan Tiat Him dan Yo Kiam Heng
segera memberi hormat, kemudian Yo Kiam Heng bertanya.
"Sudah larut malam Ketua
ke mari, apakah ada tugas untuk kami?"
"Ya." Kedua Kui Bin
Pang manggut-manggut. ”Aku gembira sekali, karena selama ini kalian berdua
sangat setia kepadaku."
"Itu memang harus,"
sahut Yo Kiam Heng.
"Kebetulan malam ini aku
akan pergi bersama Ngo Sat Kui, maka aku akan menyerahkan kunci kepada
kalian."
"Kunci apa?" tanya
Kwan Tiat Him.
"Kunci pintu ruang
bawah," sahut ketua Ki Bin Pang singkat.
"Itu...." Hati
Kwan Tiat Him
berdebar-debar "Bukankah
Nona Siang Koan dikurung di
situ?”
"Betul." Ketua Kui
Bin Pang manggut-manggut. "Aku mempercayai kalian, maka kuserahkan kunci
ini kepada kalian."
Ketua Kui Bin Pang menyodorkan
kunci tersebut ke hadapan mereka, dan Kwan Tiat Him segera menerimanya.
"Jie Hu Hoat," pesan
ketua Kui Bin Pang "Simpan baik-baik kunci itu, jangan sampai
hilang!"
"Ya, Ketua." Kwan
Tiat Him mengangguk dan bertanya. "Kapan ketua dan Ngo Sat Kui akan
pulang?"
"Mungkin... besok
sore," sahut ketua Kui Bin Pang. "Setelah aku pulang, engkau harus
kembalikan kunci itu kepadaku."
"Ya, Ketua," sahut
Kwan Tiat Him dan bergirang dalam hati.
"Baiklah." Ketua Kui
Bin Pang bangkit berdiri "Kalian boleh tidur, aku dan Ngo Sat Kui aku
segera pergi."
Ketua Kui Bin Pang
meninggalkan kamar itu.
Kwan Tiat Him cepat-cepat
menutup pintu, se-il.mgkan Yo Kiam Heng malah duduk diam di pinggir ranjang,
kelihatannya seperti memikirkan u-suatu.
"Kiam Heng," tanya
Kwan Tiat Him heran, 'enngkau sedang memikirkan apa?"
"Tiat Him...." Yo
Kiam Heng menggeleng-gelengkan kepala.
"Ini sungguh
mencurigakan!" "Maksudmu?" tanya Kwan Tiat Him.
"Kenapa mendadak ketua ke
mari tengah malam menyerahkan kunci ini kepada kita?" sahut Tiat Kiam Heng
sambil bangkit berdiri, kemudian berjalan mondar-mandir. "Mungkinkah...
itu melupakan suatu jebakan?"
"Tidak mungkin,"
ujar Kwan Tiat Him. "Bukankah tadi ketua bilang, dia sangat mempercayai
kita, maka kunci ini dititipkan kepada kita? Nah, ini merupakan kesempatan baik
bagi kita."
"Aku tetap
bercuriga." Yo Kiam Heng menggeleng-gelengkan kepala. "Sebab bukankah
dia bisa menyimpan kunci itu di suatu tempat? Kenapa harus dititipkan kepada
kami?"
"Ketua khawatir kunci itu
hilang, jadi dititipkan kepada kita." ujar Kwan Tiat Him sambil
menggenggam kunci itu erat-erat.
"Tiat Him...." Yo
Kiam Heng menggeleng-gelengkan kepala.
"Begini..." bisik
Kwan Tiat Him. "Berhubung engkau sudah punya kekasih, maka biar aku saja
yang menolong Nona Siang Koan."
"Lebih baik kita bersama
pergi menolongnya ujar” Yo Kiam Heng. "Bagaimana mungkin aku membiarkan
engkau menempuh bahaya seorang diri?"
"Engkau harus tahu, ketua
dan Ngo Sat Kin mungkin sudah pergi." Kwan Tiat Him tertawa gembira.
"Aku menunggu subuh barulah pergi menolong Nona Siang Koan, engkau tunggu
disini saja!"
"Tiat Him...."
Yo Kiam Heng
menghela nafas panjang.
"Engkau...."
"Setelah aku berhasil
menolong Nona Sian Koan, aku dan dia akan kemari, barulah kita meninggalkan
markas Kui Bin Pang ini."
"Tapi...."
"Engkau khawatir akan
terjadi sesuatu atasku?"
"Ya."
"Kalaupun aku mati, aku
tidak akan menyesal” ujar Kwan Tiat Him sungguh-sungguh. "Sebab aku telah
menepati janji kepada Tio Bun Yang. Ia pemuda baik, maka aku harus
membantunya."
'Tiat Him...." Yo Kiam
Heng menatapnya, "Semoga engkau
berhasil menolong Nona Siang
Koan”
"Ng!" Kwan Tiat Him
manggut-manggut.
-oo0dw0oo-
Ketika hari mulai subuh,
tampak sosok bayangan berendak-endap menuju ruang bawah. Siapa dia? Tidak lain
adalah Kwan Tiat Him. sedangkan Yo Kiam Heng menunggu di dalam kamar dengan
hati berdebar-debar tegang.
Kwan Tiat Him telah sampai di
depan pintu ruang bawah. Di saat itu mulai membuka gembok 'dengan kunci yang
dibawanya itu, mendadak terdengarlah suara tawa seram, lalu muncullah enam
orang di belakangnya. Mereka adalah ketua Kui Bin Pang dan Ngo Sat Kui. Dapat
dibayangkan betapa terkejutnya Kwan Tiat Him.
"He he he! Jie Hu Hoat!
Mau apa engkau membuka pintu ruang itu?" tanya ketua Kui Bin Pang dingin.
"Ketua...." Kwan
Tiat Him menarik nafas dalam-dalam. Ia
tahu bahwa dirinya sulit
meloloskan diri. Karena itu, ia bersiap untuk bertarung mati-matian. "Aku
ke mari ingin menolong Nona Siang koan."
"Oh?" Ketua Kui Bin
Pang tertawa terkekeh-kekeh. "He he he! Engkau terjebak oleh akal Toa sat
Kui. Kini sudah terbukti engkau berkhianat."
"Hm!" dengus Kwan
Tiat Him dingin. "Ayoh, mau kita bertarung, aku tidak takut
menghadapimu!"
"Ketua!" Toa Sat Kui
maju selangkah. "Biar aku yang menghabiskannya."
"Toa Sat Kui!" Ketua
Kui Bin Pang menggelengkan kepala. "Engkau bukan lawannya,
mundurlah!"
Toa Sat Kui terpaksa mundur.
Sedangkan ketua Kui Bin Pang segera melangkah maju sambil menuding Kwan Tiat
Him.
"Engkau harus mampus di
tanganku!" "Ha ha ha!" Kwan Tiat Him tertawa geli
"Aku akan mati secara
gagah, sebaliknya engkau akan menang secara pengecut!"
"Oh?" Ketua Kui Bin
Pang tertawa terkekeh kekeh. "He he he! Lihat seranganku!"
Ketua Kui Bin Pang langsung
menyerang Kwan Tiat Him dengan jurus yang mematikan Kwan Tiat Him berkelit dan
sekaligus balas menyerang.
Terjadilah pertarungan seru.
Puluhan jurus kemudian, Kwan Tiat Him mulai terdesak, membuat ketua Kui Bin
Pang tertawa gelak.
"Ha ha ha! Jie Hu Hoat.
apabila engkau mampu bertahan tiga jurus lagi, maka aku akan
melepaskanmu!"
"Baik!" Kwan Tiat
Him mengangguk.
"Hati-hati!" seru
ketua Kui Bin Pang. Ia mulai mengerahkan Pek Kut Im Sat Kang (Tenaga Hawa
Dingin Beracun), lalu menyerangnya dengan Pek Kut Im Sat Ciang (Ilmu Pukulan
Hawa Dingin Beracun).
"Jurus pertama!"
Di saat ketua Kui Bin Pang
menyerang, pasang telapak tangannya mengeluarkan uap dingin yang mengandung
racun.
Kwan Tiat Him tidak berani
menangkis selingan itu. Ia bergerak cepat menghindar, tetapi, ketua Kui Bin
Pang menyerangnya lagi secepat ilat.
Badan ketua Kui Bin Pang
berkelebatan menyilaukan mata dan sepasang telapak tangannya terus mengeluarkan
uap beracun
Kwan Tiat Him meloncat ke
belakang. Namun di saat itu salah satu telapak tangan ketua Kui Bin Pang
menghantam dadanya. Duuuk!
"Aaaaakh...!" jerit
Kwan Tiat Him. Ia terpental, dan ketika roboh sekujur badannya tampak
mengeluarkan asap, kemudian mulai mencair. namun masih terdengar suara
jeritannya yang menyayat hati.
Berselang sesaat, tubuh Kwan Tiat
Him tinggal tulangnya saja. Sungguh mengerikan pemandangan itu! Ngo Sat Kui
berdiri mematung ditempat,
sedangkan ketua Kui Bin Pang terus tertawa terkekeh-kekeh. "Mari kita ke
kamar Toa Hu Hoat!" ajaknya kemudian. "Dia tersangkut atau tidak
harus dihukum”
"Betul?" sahut Toa
Sat Kui. "Itu sebagai pelajaran baginya."
Mereka menuju kamar tersebut.
Sementara Y Kiam Heng terus berjalan mondar-mandir.
Mendadak ia mendengar suara
langkah, maka segera meloncat ke tempat tidur.
"Tok! tok! Tok!"
Terdengar suara ketukan.
"Siapa?" sahut Yo
Kiam Heng.
"Cepat buka pintu!"
bentak Toa Sat Kui.
Yo Kiam Heng segera meloncat
bangun, tahu telah terjadi sesuatu atas diri Kwan Tiat Him. Setelah membuka
pintu, ia melihat ketua Kui Bin Pang juga berdiri di situ
"Ketua...."
"Diam!" bentak ketua
Kui Bin Pang. "Bagi Engkau bersekongkol dengan Jie Hu Hoat untuk
mengkhianatiku!"
"Ketua," sahut Yo
Kiam Heng. "Aku tidak mengerti apa yang Ketua katakan, bolehkah
dijelaskan?"
"Hm!" dengus ketua
Kui Bin Pang dingj "Aku menjebak kalian dengan kunci itu. Ha ha...!"
"Kunci itu? Bukankah
kunci itu berada tangan Jie Hu Hoat?"
"Tidak salah. Dia
menggunakan kunci untuk menolong Siang Koan Goat Nio yang kurung di ruang
bawah. Ha ha ha! Dia terjebak oleh akal Toa Sat Kui, dan kini dia sudah mati”
"Oh?" Yo Kiam Heng
bersikap acuh tak acuh namun hatinya berduka sekali. Kalau ia tidak memakai
kedok setan, ketua Kui Bin Pang bisa melihat bagaimana air mukanya.
"Engkau bersekongkol
dengan dia atau tidak, aku sama sekali tidak mengetahuinya. Tapi kalian berdua
adalah Toa Jie Hu Hoat. Karena dia berani berkhianat, maka engkau pun harus
kuhukum."
"Ketua...."
"Toa Sat Kui! Cepat totok
jalan darah di bagian punggungnya!" perintah ketua Kui Bin Pang.
"Ya, Ketua." Toa Sat
Kui segera menotok jalan darah di bagian punggung Yo Kiam Heng. Pemuda itu
tidak berani melawan, karena tidak ingin mati dengan sia-sia. Setelah jalan
darahnya tertotok, Yo Kiam Heng langsung lumpuh
Ketua Kui Bin Pang terawa
gelak. "Bagus! Bagus! Engkau tidak melawan!" Dia manggut-manggut,
kemudian memandang Toa Sat Kui. "Kurung dia di ruang bawah!"
perintahnya.
"Ya, Ketua." Toa Sat
Kui lalu memapah Yo Kiam Heng ke ruang belakang, sedangkan ketua Kui Bin Pang
terus tertawa gelak.
"Ha ha ha! Ha ha
ha...!"
-oo0dw0oo-
Ketua Kui Bin Pang dan Lima
Setan Algojo duduk di ruang depan. Mereka kelihatan sedang merundingkan
sesuatu.
"Bagaimana menurut
kalian, karena hingga saat ini Siang Koan Goat Nio masih belum tertarik
kepadaku?"
"Apakah Ketua sudah
memperlihatkan wajah?" tanya Toa Sat Kui.
"Belum." Ketua Kui
Bin Pang menggelengkan kepala. "Aku justru tidak menghendakinya mengenali
wajahku."
"Ketua!" Toa Sat Kui
tertawa. "Sebetulnya itu tidak menjadi masalah. Lebih baik Ketua
memperlihatkan wajah kepadanya, mungkin dia akan tertarik."
"Bagaimana kalau dia
tidak tertarik?" tanya ketua Kui Bin Pang.
"Ha ha ha!" Mendadak
Jie Sat Kui (Setan Algojo Kedua) tertawa gelak. "Pergunakan Toh Hun Tay
Hoat, gadis itu pasti tertarik kepada Ketua!"
"Tapi...." Ketua Kui Bin Pang menggeleng gelengkan
kepala. "Memang, kalau
aku menggunakan Toh Hun Tay Hoat, tentu dia akan menurut kepadaku.
Tapi...."
"Kenapa, Ketua?"
tanya Toa Sat Kui heran
"Aku tetap tidak akan
mendapat hatinya” sahut ketua Kui Bin Pang sambil menghela nafas panjang.
"Oooh!" Toa Sat Kui
manggut-manggut. "Kalau begitu... aku punya akal."
"Oh?" Ketua Kui Bin
Pang tampak girang sekali. "Apa akalmu?"
"Ketua harus menggunakan
Toh Hun Tay Hoat untuk mempengaruhi pikirannya." Toa Sat kui
memberitahukan. "Agar dia membayangkan Tio Bun Yang sedang berbuat yang
bukan-bukan dengan gadis lain. Nah, sudah barang tentu dia akan membenci Tio
Bun Yang."
"Betul, betul."
Ketua Kui Bin Pang tertawa gembira. "Ha ha ha! Akalmu sungguh bagus, tapi
setelah itu?"
"Ketua harus mendekatinya."
sahut Toa Sat Kui sambil tertawa.
"Oooh!" Ketua Kui
Bin Pang manggut-manggut
"Kok berabe amat?"
Sam Sat Kui (Setan Algojo Ketiga) menggeleng-gelengkan kepala.
"Pergunakanlah Toh Hun Tay Hoat agar dia tidur bersama Ketua! Beres
kan?"
"Itu memang beres."
Ketua Kui Bin Pang mengangguk. "Namun selamanya aku tidak akan memperoleh
hatinya, bahkan dia pasti membenciku selama-lamanya."
"Ha ha ha!" Sam Sat
Kui tertawa. "Ketua Menghendaki tubuhnya atau hatinya?"
"Aku menghendaki
dua-duanya," sahut ketua Hui Bin Pang. "Kalau aku cuma menghendaki
tubuhnya, tentu aku sudah mendapatkannya."
"Oooh!" Sam Sat Kui
manggut-manggut. "Kalau begitu, memang harus menggunakan akal Ta Sat
Kui."
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa terbahak-bahak sambil bangkit dari duduknya "Sekarang
aku akan ke ruang bawah menemuinyi Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo-
Sementara itu, Siang Koan Goat
Nio yang telah dilumpuhkan itu duduk bersandar pada dinding. Gadis itu tampak
kurus dan wajah pun puci pias. Ia rindu sekali kepada Tio Bun Yang ia berharap
kekasihnya itu akan muncul menolongnya.
Di saat ia sedang melamun,
mendadak pintu ruang itu terbuka, dan ketua Kui Bin Pang berjalan masuk.
"Nona Siang Koan..."
panggil ketua Kui Bin Pang.
"Hm!" dengus Siang
Koan Goat Nio sanil membuang muka.
"Nona Siang
Koan...." Laki-laki itu memangil lagi lalu duduk
di hadapannya. "Aku
sangat tertarik kepadamu, kenapa sikapmu begitu dingin terhadapku?"
"Sebab engkau
pengecut," sahut Siang Koan Hoat Nio.
"Oh?" Ketua Kui Bin
Pang tertawa. "Aku menculikmu karena tertarik kepadamu, bukan berarti
ingin menyiksamu lho!"
"Kita tidak saling
mengenal, kenapa engkau tertarik kepadaku?" tanya Siang Koan Goat Nio
sambil mengerutkan kening. "Engkau harus tahu, aku sudah punya
kekasih." tambahnya.
"Oh, ya?" Ketua Kui
Bin Pang tertawa. "Kalau tidak salah, kekasihmu bernama Tio Bun Yang
kann?"
"Betul." Siang Koan
Goat Nio mengangguk, ia pemuda baik, tampan dan lemah lembut."
"Oh?" Ketua Kui Bin
Pang tertawa lagi. "Nona Siang Koan, mungkin engkau mengira aku sudah tua
Ya, kan?"
"Engkau sudah tua atau
masih muda tiada urusan dengan diriku. Ayoh, cepat lepaskan aku!" jerit
Siang Koan Goat Nio. "Jangan jadi pengecut!"
"Nona Siang Koan,"
tanya ketua Kui Bin Pang. ”Engkau ingin melihat wajahku?"
"Kenapa aku harus melihat
wajahmu?" Siang koan Goat Nio mengerutkan kening sambil mengalengkan
kepala. "Tidak perlu!"
"Aku memakai kedok setan,
mungkin menjijikkanmu," ujar ketua Kui Bin Pang sekaligus melepaskan kedok
setannya. Terlihatlah raut wajahnya yang begitu tampan.
"Wajahmu cukup tampan,
tapi kenapa hatimu begitu jahat?" Siang Koan Goat Nio menghela nafas
panjang.
"Sebetulnya hatiku tidak
jahat," sahut ketua Kui Bin Pang sambil tersenyum lembut. "Buktinya
aku tidak menyiksamu."
"Engkau mengurungku di sini,
bukankah telah menyiksaku?" Siang Koan Goat Nio menatapnya dingin.
"Nona Siang
Koan...." Ketua Kui Bin Pang menghela nafas
panjang. "Aku tidak
pernah jatuh hati kepada gadis yang mana pun, hanya kali ini aku jatuh hati
kepadamu."
"Sayang sekali!"
Siang Koan Goat Vio menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sudah punya ke
kasih."
"Hm!" dengus ketua
Kui Bin Pang, dan mendadak sepasang matanya berapi-api. "Kuberitahukan
kepadamu, namaku Kwee Teng An. Kekasihmu adalah musuh besarku."
"Kwee Teng aH?" Siang
Koan Goat Nio mengerutkan kening. "Kami tidak mengenalmu, bagaimana
mungkin Kakak Bun Yang adalah musuh besarmu?"
"Julukannya adalah Giok
Siauw Sin Hiap Kan?” "Betul."
"Nah, dia adalah musuh
besarku."
"Itu...." Siang Koan Goat Nio menggelengkan kepala.
"Tidak mungkin, sebab
Kakak Bun Yang tidak punya musuh."
"Hmm!" dengus Kwee
Teng An dingin. "Betapa tahun lalu, Tio Bun Yang memusnahkan kepandaianku,
sehingga para penduduk melemparkanku ke dalam jurang. Tapi... aku tidak mati,
sebaliknya malah memperoleh kepandaian yang maha tinggi. Ha ha ha...!"
Sebetulnya siapa Kwee Teng An
itu? Ternyata ? adalah mantan Cay Hoa Cat (Penjahat Pemetik Bunga). Beberapa
tahun lalu, ketika Tio Bun Yang tiba di sebuah desa, para penduduknya itu
sedang dicekam rasa cemas, karena munculnva seorang penjahat pemerkosa gadis
alias penjahat pemetik bunga.
Tio Bun Yang memusnahkan
kepandaiannya, lalu meninggalkan desa itu. Para penduduk desa itu tidak bisa
menahan amarah, segera menyeret Kwee Teng An dan kemudian melemparnya ke dalam
jurang. Namun Kwee Teng
An tidak mati didasar jurang,
sebaliknya malah menemukan sebuah goa tempat tinggal Pek Kut Lojin, ketua Kui
Bin Pang lama.
"Kalau begitu..."
ujar Siang Koan Goat Nio. ”Engkau pasti orang jahat. Maka Kakak Bun Yang musnahkan
kepandaianmu."
"Dia pemuda yang tak
bermoral. Aku memergokinya sedang memperkosa seorang gadis desa, maka dia
memusnahkan kepandaianku," Kwee Teng An sekaligus mengerahkan ilmu Hun Tay
Hoat.
"Omong kosong!"
Siang Koan Goat Nio gusar sekali. "Kakak Bun Yang bukan orang semacam
itu!"
"Tio Bun Yang memang
pemuda yang suka memperkosa." Kwee Teng An terus mengerah ilmu sesatnya
itu untuk mempengaruhi pikiran Siang Koan Goat Nio. "Lihatlah! Bukankah
dia sering tidur bersama seorang gadis cantik?! Dia adalah Tio Bun Yang!
Lihatlah!"
Siang Koan Goat Nio mulai
terpengaruh sehingga timbul halusinasinya, sepertinya ia lihat Tio Bun Yang
sedang tidur bersama seorang gadis cantik.
"Kakak Bun Yang!"
seru Siang Koan Gj Nio dengan suara bergemetar. "Kenapa engkau berbuat
begitu? Kenapa?"
"Lihatlah! Tio Bun Yang
mulai melepasl pakaian gadis itu!" Suara Kwee Teng An yang mengandung ilmu
Toh Hun Tay Hoat.
"Aaaakh!" keluh
Siang Koan Goat Nio, seakan melihat Tio Bun Yang sedang melepaskan pakaian
seorang gadis. "Kakak Bun Yang...."
"Tuh! Dia sedang mencium
gadis itu!" Su« Kwee Teng An.
"Kakak Bun
Yang...." Siang Koan
Goat mulai menangis
terisak-isak. Ia melihat Tio
Bun Yang sedang mencium gadis itu. "Aku benci engkau! Aku benci
engkau!"
"Tio Bun Yang adalah
pemuda hidung belang, maka engkau tidak boleh mencintainya! Engkau harus
melupakannya!"
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mengangguk. ”Aku membencinya! Aku harus melupakannya! Kakak Bun Yang,
aku benci engkau!"
"Nona Siang Koan, kini
engkau sudah tahu Tio Bun Yang merupakan pemuda apa, maka engkau tidak perlu
memikirkannya lagi!"
"Ya."
"Nona Siang Koan!"
Kwee Teng An tertawa. „Aku adalah pemuda baik dan lemah lembut, engkau harus
mencintaiku!"
"Mencintaimu?" Siang
Koan Goat Nio terbelalak. Ternyata batinnya masih terdapat sedikit perlawanan
terhadap ilmu sesat itu. "Kenapa aku haruss mencintaimu? Aku cuma
mencintai Kakak Bun Yang.... Tidak! Aku tidak mencintainya! Aku
membencinya!"
"Nona Siang Koan...." Kwee Teng An memegang
tangannya, namun mendadak gadis
itu membentak.
"Jangan menyentuhku!
Kalau engkau berani menyentuhku...." Ancam Siang Koan Goat Nio. „Aku akan
bunuh diri!"
"Eh? Nona Siang
Koan!" Kwee Teng An tertegun, karena ilmu Toh Hun Tay Hoatnya tidak mampu
menguasai pikiran gadis itu, sehingga membuatnya tidak habis berpikir.
Kenapa dalam batin Siang Koan
Goat Nio bisa timbul sedikit perlawanan terhadap ilmu sesat itu? Ternyata sejak
kecil ia telah berlatih Giok Li Sin Kang (Tenaga Sakti Gadis Murni). Tenaga
sakti tersebut telah memperkuat batinnya, lagipula
cintanya terhadap Tio Bun Yang
telah mendalam sekali. Maka, walau pikirannya telah terpengaruh oleh ilmu Toh
Hun Tay Hoat, tapi rasa cintanya terhadap Tio Bun Yang tetap bersarang dalam
lubuk hatinya.
"Nona Siang Koan!"
Kwee Teng An menatapnya. "Engkau sudah melihat Tio Bun Yang berbuat yang
bukan-bukan dengan gadis lain, kenapa engkau masih tidak mau mencintaiku?"
"Aku...." Siang Koan Goat Nio menggeleng gelengkan
kepala. "Engkau adalah
ketua Kui Bi Pang, aku... aku tidak akan mencintaimu."
"Kalau aku bukan ketua
Kui Bin Pang, apakah engkau akan mencintaiku?" tanya Kwee Teng An dengan
penuh harap.
"Entahlah." Siang
Koan Goat Nio mengeleng-gelengkan kepala lagi. "Kakak Bun Yan masih bisa
berubah, apalagi engkau."
"Nona Siang Koan,"
ujar Kwee Teng A sambil tersenyum. "Percayalah! Aku pasti mencintaimu
selama-lamanya."
"Sudahlah!" Siang
Koan Goat Nio menghela nafas panjang. "Cepatlah engkau pergi, jangan
menggangguku!"
"Baik." Kwee Teng An
manggut-manggut. "Aku akan pergi sekarang, tapi engkau jangan memikirkan
Tio Bun Yang lagi!"
Siang Koan Goat Nio
mengangguk. Kwee leng An bangkit dari duduknya lalu memakai kedok setan, dan
meninggalkan ruang itu.
Setelah ketua Kui Bin Pang itu
pergi, Siang koan Goat Nio menangis terisak-isak sambil bergumam.
"Kakak Bun Yang, kenapa
engkau menyeleweng? Kenapa engkau begitu tega? Aku merindukanmu siang dan
malam, tapi kenapa engkau menyeleweng dengan gadis lain?" Air
mata Siang koan Goat Nio
berderai-derai. "Kakak Bun Yang, aku... aku benci engkau! Aku benci
engkau...!"
Sementara Kwee Teng An sudah
berada di ruangg depan. Dia duduk melamun di situ. Ngo Sat Kui juga berada di
situ, namun mereka sama-sama diam.
"Aaaah...!" Kwee
Teng An menghela nafas panjang. "Entah sudah berapa banyak gadis yang
dipermainkan, namun kali ini aku sungguh-sungguh jatuh cinta kepada gadis
itu!" katanya.
"Apakah Ketua belum
menggunakan ilmu Toh ihin Tay Hoat untuk mempengaruhi pikiran gadis itu?"
tanya Toa Sat Kui.
"Sudah." Kwee Teng
An mengangguk. "Kini dia sudah membenci Tio Bun Yang, tapi...."
"Kenapa?" tanya Jie
Sat Kui.
"Dia tetap tidak mau
menerima cintaku," sahut Kwee Teng An sambil menghela nafas panjang.
"Sungguh mengherankan, padahal pikirannya sudah terpengaruh ilmu Toh Hun
Tay Hoat”
"Oh?" Toa Sat Kui
tertegun. "Ketua, lebih baik ajak dia tidur saja!" katanya.
"Itu pasti kulakukan,
tapi bukan sekarang," sahut Kwee Teng An seraya tertawa. "Ha ha ha
Apabila sudah waktunya, aku pasti...."
-oo0dw0oo-
Bagian ke enam puluh tiga
Penolong yang tak disangka
Tio Bun Yang telah tiba di
Gurun Sih Ih. Terik matahari mulai menyengat dirinya dan angin pun mulai
berhembus
kencang, membuatnya susah
membuka matanya. Begitu tiba di Gurun Sih Ih ia terus menuju ke arah barat.
Bukan main susahnya melakukan
perjalanan! Gurun Sih Ih. Kalau angin berhembus, pasir pl beterbangan sehingga
mata harus dipejamkan.
Dalam perjalanan ini, Tio Bun
Yang telah menghabiskan setengah air minum yang di dalam kantong kulit. Udara
di gurun itu memang panas sekali, sehingga membuat tenggorokan cepat keling.
Tio Bun Yang terus berjalan ke
arah barat. Pakaiannya telah basah oleh keringat yang terus mengucur.
Ketika hari mulai senja, ia
menghentikan langkahnya sambil menengok ke sana ke mari. Di saat itu, Gurun Sih
Ih tampak kemerah-merahan tertimpa sinar matahari senja. Tiba-tiba Tio Bun Yang
terbelalak, karena ia melihat sebuah tempat yang amat indah, ada bukit, pohon
dan lain sebagainya.
"Itulah tempat misteri!
Itulah tempat misteri!" seru Tio Bun Yang. Ia merasa girang dan ia segera
meleset ke depan menggunakan ilmu ginkang.
Akan tetapi, di saat itulah
terjadi sesuatu yang aneh. Ternyata tempat misteri itu tampak menjauhi dirinya.
Tio Bun Yang terus mengejarnya Menggunakan ginkang, namun tempat misteri yang
dilihatnya itu pun semakin menjauh, bahkan akhirnya sirna dari pandangannya.
"Haaah?" Bukan main
herannya Tio Bun Yang! Ia berdiri termangu-mangu di gurun itu. ”Tempat misteri
itu kok bisa hilang?"
Berselang sesaat, mendadak ia
terbelalak karena melihat tempat misteri itu muncul lagi disebelah utara.
Segeralah ia meleset ke sana, tetapi, tempat misteri itu pun menjauhinya.
Tio Bun Yang terus
mengejarnya, tetapi akhirnya tempat misteri yang dilihatnya itu kembali
menghilang. Ia berdiri di
tempat dengan nafas memburu,
lalu meneguk air minum yang di dalam kantong kulit.
"Haaah?" Tio Bun
Yang terkejut sekali, sebl air minum itu telah habis. "Celaka!"
serunya.
Di saat bersamaan, tempat
misteri itu muncul lagi di depannya. Tanpa membuang waktu ia langsung meleset
ke arah depan, tapi tempat itu mendadak hilang lagi. Sedangkan Tio Bun Yang
sudah lelah sekali, dan tenggorokannya pun mulai kering.
"Aaaah...!" keluhnya
karena ia mulai kehausan lagi.
Ia berjalan sempoyongan. Saat
itu hari sudah mulai gelap. Tiba-tiba tempat misteri itu muncul lagi di
depannya. Bukan main indahnya tempat itu karena tampak bergemerlapan.
Tio Bun Yang tidak lagi
meleset menggunakan gingkang, sebab ia telah kelelahan. Ia berjalan
sempoyongan, dan puluhan langkah kemudian tempat misteri itu pun sirna perlahan-lahan.
"Aaaah...!" keluh
Tio Bun Yang. "Aku haus sekali! air! Air...!"
Matanya mulai
berkunang-kunang, kemudian dia terkulai. Di saat itulah mendadak muncul
seseorang. Ketika melihat Tio Bun Yang, orang itu tampak tertegun.
"Bun Yang..." serunya
tak tertahan, lalu membopongnya pergi.
"Si... siapa?" tanya
Tio Bun Yang lemah. ”Aku... aku haus sekali! Aku... aku mau minum...."
Orang itu tidak menyahut, tapi
langsung membopongnya dan dibawanya melesat pergi. Akhirnya Tio Bun Yang
pingsan dalam bopongan orang itu
-oo0dw0oo-
Perlahan-lahan Tio Bun Yang
membuka matanya. Ternyata ia telah siuman. Seketika ia meloncat bangun dengan
mata terbelalak, karena mendapatkan dirinya berada di tempat yang amat indah.
Padahal ia masih ingat ketika
dirinya kelelahan dan kehausan di Gurun Sih Ih, tiba-tiba muncul seseorang.
Teringat akan hal itu, segeralah ia menoleh, dan dilihatnya seorang bertubuh
tinggi besar duduk di bawah pohon sambil meneguk arak.
"Terimakasih atas
pertolongan, Tuan!" ucapnya
"Ha ha ha!" Orang
itu tertawa gelak. "Tidak bertemu beberapa tahun, engkau kok telah
melupakan aku?"
"Siapa Tuan?" Tio
Bun Yang menatapi dengan penuh perhatian.
"Ha ha ha!" Orang
itu tertawa lagi. "Engkau berkepandaian tinggi, tapi pelupa!"
"Tuan...." Tio Bun Yang
terus mengingat namun tidak bisa
ingat siapa penolongnya
"Maaf Tuan, aku memang lupa!"
"Bun Yang!" Orang
itu tersenyum. "Kita pernah bertanding di daerah Miauw. Engkau yang
membebaskan kedua orang tua Cing Cing. sudah ingatkah engkau?"
"Hah?" Mulut Tio Bun
Yang ternganga lalu "Paman Pahto! Paman Pahto...."
Betapa girangnya Tio Bun Yang.
Ia langsung menghampirinya, lalu duduk di sisinya.
"Ha ha ha!" Orang
itu memang Pahto. "Sudah ingatkah engkau sekarang?"
"Aku sudah ingat, Paman
Pahto," sahut Bun Yang gembira. "Tak disangka kita bertemu di
sini!"
"Kalau aku tidak
kebetulan melihatmu, miungkin engkau akan mati di Gurun Sih Ih," ujar
Pahto sambil tersenyum. "Engkau berkepandaian tinggi tapi tak
berpengalaman di gurun pasir."
"Terimakasih atas pertolongan
Paman!" ujar Tio Bun Yang sambil memberi hormat.
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa gelak. "Engkau masih tetap sopan seperti beberapa tahun lalu!Aku
menangkap ketua suku Miauw dan isterinya, puterinya justru ke Tionggoan minta
bantuan kepada ayahmu! Namun malah engkau yang muncul di daerah Miauw bersama
Cing Cing itu!"
"Aku masih ingat."
Tio Bun Yang tersenyum. ”Aku harus melewati tiga rintangan...."
"Engkau berhasil melewati
tiga rintangan itu, kita pun bertanding. Aku kalah dan membebaskan kedua orang
tua Cing Cing. Oh ya, gadis itu kelihatan mencintaimu lho!"
"Kini dia sudah
bersuami." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Eh?" Pahto
tertegun. "Dari mana engkau tau dia sudah bersuami?"
"Beberapa bulan lalu, aku
datang di daerah Miauw..." tutur Tio Bun Yang tentang itu dan
menarnbahkan, "Maka aku tahu Cing Cing sudah bersuami."
"Oooh!" Pahto
manggut-manggut. "Engkau sungguh berjiwa besar! Demi mengobati para ketua
tujuh partai besar, engkau datang di daerah Miauw mencari rumput Tanduk
Naga!"
„Tapi kemudian...." Tio
Bun Yang menghela nafas panjang.
"Kenapa?" tanya
Pahto sambil memandangnya "Ketika kami pulang ke Tionggoan, Goat Nio
Hal 64-65 ga ada wew
nyaris meloncat bangun.
"Ini... inikah tempat misteri yang kucari?"
"Betul." Pahto
mengangguk dan menjelaska "Tempat ini berada di tengah-tengah Gurun Si Ih.
Bagi yang tidak tahu cuaca dan keadaan disini jangan harap bisa mencapai tempat
ini."
"Oh?" Tio Bun Yang
memandangnya seraya bertanya, "Kalau begitu, markas Kui Bin Pang berada di
tempat ini?"
"Ya." Pahto
manggut-manggut. "Markas itu berada di balik bukit, namun harus
berhati-hati kalau kau mau ke sana, sebab di sana banyak jebakan."
"Paman Pahto...."
Tio Bun Yang menatapnya dengan mata
tak berkedip. "Kok Paman
tahu cara mencapai tempat ini?"
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa gelak. "Aku pun ingin mencari ketua Kui Bin Pang."
"Apa?" Air muka Tio
Bun Yang berubal "Apakah Paman teman ketua Kui Bin Pang?"
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa gelak lagi. "Boleh dikatakan teman, tapi juga boleh dikatakan
musuh."
"Maksud Paman?" Tio
Bun Yang bingung.
"Tenang!" Pahto
tersenyum. "Yang jelas kita tidak mungkin bermusuhan malah aku akan
membantumu."
"Oh?" Tio Bun Yang
berlega hati. "Terimi kasih, Paman!"
"Bun Yang!" Pahto
menatapnya dalam-dalam. ”Beberapa tahun kita tidak bertemu, aku yakin
kepandaianmu bertambah tinggi, maka tanganku pun jadi gatal nih."
"Paman...." Tio
Bun Yang menggelengkan
kepala. "Aku
harap Paman jangan mengajakku
bertanding, karena aku sedang pusing!"
"Aku tahu itu."
Pahto tertawa. "Tapi biar bagaimana pun kita harus bertanding
sejenak."
"Tidak. Lebih baik aku
mengaku kalah."
"Begini!" Pahto
menunjuk sebuah batu yang cukup besar di hadapan mereka, yang jaraknya
kira-kira empat lima depa. "Kita berdua duduk di sini, lalu mengerahkan
lweekang untuk mengangkat batu itu. Siapa yang berhasil mengangkat lebih
tinggi, berarti yang menang."
"Paman...." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Hatiku sedang kacau...."
"Bun Yang!" Pahto
tampak tidak senang. "Kalau engkau tidak mau bertanding dengan menggunakan
cara itu, pertanda engkau tidak menghargaiku."
"Paman...." Tio Bun
Yang berpikir lama sekali, setelah itu
barulah mengangguk.
"Baiklah. Mari kita bertanding dengan cara itu!"
"Bagus! Ha ha ha!"
Pahto tertawa gelak. "Aku mulai lebih dulu."
"Silakan Paman!"
sahut Tio Bun Yang.
Pahto mulai menghimpun
lweekangnya, kemudian perlahan-lahan menjulurkan sepasang telapak tangannya ke
depan, dan mendadak membentak keras.
"Naik!"
Sungguh menakjubkan karena
tiba-tiba batu itu terangkat ke atas, dan makin lama makin tinggi lalu
berhenti, pada ketinggian beberapa depa. Setelah itu, batu tersebut merosot ke
bawah perlahan-lahan ke tempat semula.
"Sungguh hebat lweekang
Paman!" ujar Bun Yang memuji. "Tidak bertemu beberapa tahun, lweekang
Paman sudah bertambah tinggi.”
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa terbahak-bahak "Jangan memuji, aku pun tahu lweekangmu makin
tinggi. Ayoh, sekarang giliranmu!"
"Ya, Paman." Tio Bun
Yang mengangguk. Ia menarik nafas dalam-dalam mulai menghimpun Pan Yok Hian Thian
Sin Kangnya, kemudian menjulurkan sepasang telapak tangan ke depan, dan
mendadak membentak keras.
"Naik!"
Bukan main! Batu yang itu
terangkat keatas dan makin lama makin naik, kemudian berhenti.
Sesungguhnya Tio Bun Yang
masih mampu mengangkat batu itu lebih tinggi, namun ia tidak mau berbuat
begitu. Setelah itu, batu tersebut mulai merosot ke bawah perlahan-lahan ke
tempat mula.
"Hebat!" seru Pahto
sambil menghela nafas panjang. "Aku tahu, engkau tidak mau mempermalukan
aku."
"Paman!" Tio Bun Yang
tersenyum. "Lweekang kita seimbang, jadi kita tidak usah bertanding lagi ?
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa gelak. "Kalau aku masih mengajakmu bertanding, berarti aku cari
penyakit sendiri."
"Paman...."
"Bun Yang," ujar
Pahto sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Sejak kita berpisah di daerah
Miauw, aku kembali ke Gunung Himalaya untuk menemui guruku. Aku terus berlatih
di sana dengan harapan suatu hari akan mengalahkanmu. Hari tak disangka, aku
tetap terjungkal di tanganmu."
"Jangan berkata begitu,
Paman!" Tio Bun Yang tersenyum. "Sesungguhnya kepandaian Paman sudah
tinggi sekali. Kalau bertanding sungguh sungguh, aku pasti kalah."
”Justru akan mempermalukan
diriku sendiri." Pahto menghela nafas panjang dan menambahkan "Selain
berkepandaian tinggi, engkau
pun berhati besar. Kalau engkau berhati jahat, entah apa jadinya rimba
persilatan."
"Oh ya!" Tio Bun
Yang teringat sesuatu dan segera bertanya. "Ketika aku berada di Gurun Si
ih aku melihat tempat ini. Namun kemudian sirna begitu saja. Kenapa bisa begitu?"
"Itu cuma merupakan
pantulan cahaya malam hari." Pahto menjelaskan. "Tempat ini kelihatan
berada di arah barat, tapi sesungguhnya tidak berada di sana. Justru berada di
tengah-tengah Gurun Sih Ih."
"Oh?" Tio Bun Yang
terbelalak.
"Itu adalah kegaiban
alam," ujar Pahto di menambahkan, "Siapa pun sulit mendatangi tempat
ini, karena di sekitar tempat ini sering terjadi badai dan angin pun terus
berhembus kencang. Tapi... di waktu tertentu, badai dan angin kencang akan
berhenti sejenak. Itulah kesempatan untuk menerobos ke mari."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut "Kok Paman tahu tentang itu?"
"Guruku yang
memberitahukan," sahut Pahto sambil menggeleng-gelengkan kepala dan
melanjutkan. "Pendiri Kui Bin Pang tidak berhati jahil bahkan sering
menolong kaum pedagang suku-suku yang tinggal di sekitar daerah Gurun Sih Ih.
Pada suatu hari, pendiri Kui Bin Pang menyelamatkan dua anak kecil, kemudian
dijadikan muridnya...."
Tio Bun
Yang mendengarkan dengan
penuh perhatian.
Pahto menghela nafas panjang
ia melanjutkan.
"Anak yang lebih besar
itu berotak cerdas tapi sangat licik. Sedangkan yang kecil agak bodoh, tapi
justru berhati bajik. Kedua anak itu kian harri kian bertambah besar dan
kepandaian mereka pun bertambah tinggi, tapi yang kecil tetap di bawah tingkat
yang besar. Guru mereka tahu akan
sifat mereka yang mencolok
itu, maka secara diam-diam guru itu mengajarkan kepandaian ilmu setingkat
tinggi kepada anak yang kecil, tapi... justru diketahui oleh anak yang
besar."
"Lalu bagaimana?"
tanya Tio Bun Yang tertarik.
"Setelah kedua anak itu
dewasa, pada suatu hari pendiri Kui Bin Pang jatuh sakit. Di saat itulah
pendiri ia menyerahkan sebuah kitab kepada Si Bungsu, kitab itu adalah Pck Kut
Im Sat Im Keng (Kitab Pusaka Pelajaran Lweekang hawa Dingin Beracun),"
jawab Pahto sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Di saat itulah muncul
murid tertua, yang langsung membunuh pendiri Kui Bin Pang dan merebut kitab
pusaka tersebut."
"Hah?" Tio Bun Yang
terkejut bukan main. ”Bagaimana nasib Si Bungsu?" tanyanya.
"Untung dia berhasil
meloloskan diri." Pahto menghela nafas panjang. "Si Bungsu langsung
kabur ke Gunung Himalaya, kemudian berguru kepada seorang pertapa sakti di
sana."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut. ”Bagaimana Paman tahu begitu jelas tentang itu?"
"karena Si Bungsu itu
adalah guruku." Pahto Diberitahukan. "Sedangkan murid murtad itu
adalah kakak seperguruan guruku atau Pek Kut Lojin. Dia pula yang mengangkat
dirinya sebagai ketua Kui Bin Pang, lalu mulai melakukan berbagai kejahatan.
Akan tetapi, mendadak tiada kabar beritanya. Hingga kini sudah hampir seratus
tahun, kira-kira sebulan lalu, guruku memperoleh informasi, bahwa di Tionggoan
telah muncul Kui Bin Pang, dan sedang menuju ke Gurun Si ih Maka, guruku
menyuruhku ke mari."
"Kenapa beliau menyuruh
Paman ke mari!”
"Untuk membasmi ketua Kui
Bin Pang itu sebab guruku tahu bahwa ketua Kui Bin Pang pasti ke markas yang di
tempat ini."
"Oooh!" Wajah Tio
Bun Yang berseri, "Paman, kapan kita ke markas Kui Bin Pang itu?”
"Sekarang pun boleh."
"Kalau begitu, mari kita
ke sana!"
"Baik." Pahto
mengangguk, kemudian tersenyum. "Untung guruku telah memberitahukan
mengenai semua jebakan yang ada di markas Kui Bin Pang itu, jadi kita tidak
akan terjebak sana."
"Syukurlah!" ucap
Tio Bun Yang.
Mereka berdua lalu meleset
pergi menuju markas Kui Bin Pang, yang di belakang bukit. Dapat dibayangkan
betapa gembiranya Tio Bun Yang. Di saat meleset ke sana, Pahto, menggunakan
ginkang dan makin lama makin cepat. Ternyata ia ingin menguji ginkang Tio Bun
Yang
Pemuda itu tersenyum dan terus
mengikutinya, la tidak tertinggal setapak pun, sehingga membuat Pahto makin
kagum kepadanya.
"Sungguh tinggi
ginkangmu!" ujar Pahto sambil tertawa. "Ginkangku masih berada di
bawah tingkat ginkangmu."
"Tidak juga." Tio
Bun Yang tersenyum. "Melainkan Paman mengalah kepadaku."
"Bun Yang!" Pahto
menghela nafas panjang. ”Engkau memang bersifat baik. Walau berkepandaian
tinggi, namun selalu merendahkan diri. aku kagum dan salut kepadamu."
"Paman...." Tio Bun
Yang cuma tersenyum, mereka berdua
terus meleset ke arah markas
Kui Bin Pang menggunakan ginkang.
-oo0dw0oo-
Berselang beberapa saat
kemudian, mereka berdua sudah tiba di suatu tempat di belakang bukit. Pahto
langsung berhenti, dan begitu pula Tio Bun Yang.
" Tuh!" Pahto menunjuk ke depan. "Bangunan ..
itu adalah markas Kui Bin Pang yang dilengkapi dengan berbagai jebakan. Walau
aku sendiri tahu semua jebakan di sana, tapi kita harus tetap
berhati-hati!"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk, lalu memandang ke arah bangunan itu. "Paman, ada puluhan
anggota Kui Bin Pang berada di sana”
"Kita harus membantai
mereka." sahut Pahto
"Paman!" Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Mereka tidak perlu kita bantai, tapi
kita cukup memusnahkan kepandaian mereka.”
"Bun Yang!" Pahto
menghela nafas panjang "Engkau masih tetap seperti dulu, tidak tega
membunuh."
"Yaaah!" Tio Bun
Yang menarik nafas dalam dalam. "Belum tentu mereka jahat semua, maka
alangkah baiknya kita melepaskan mereka."
"Baiklah." Pahto
mengangguk. "Mari kita kesana!"
Mereka berdua segera meleset
ke sana, kemudian melayang turun di hadapan para anggota Kui Bin Pang.
"Haaah...?" Betapa
terkejutnya para anggota Kui Bin Pang. Bahkan salah seorang dari mereka
langsung membentak, "Siapa kalian? Sungguh besar nyali kalian menerobos ke
mari!"
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa gelak. "Kau adalah anggota Kui Bin Pang, kalau aku tidak
menghargai siauw hiap (Pendekar Kecil) ini, aku sudah membantai kalian!"
"Siapa siauw hiap
ini?" tanya orang itu.
"Dia adalah Tio Bun Yang."
Pahto memberitahukan. "Kekasihnya bernama Siang Koan Goat Nio, ditangkap
oleh ketua kalian. Maka, dia ke mari mencari kekasihnya itu."
Para anggota Kui Bin Pang itu
saling memandang, kemudian salah seorang dari mereka berkata,
"Memang benar ketua kami
menculik nona itu. Tapi... alangkah baiknya kalian segera pergi, kalau muncul
Ngo Sat Kui, kalian pasti mati!"
"Bagus, bagus."
Pahto tertawa gelak. "Dengan adanya ucapanmu itu, maka aku pun mengampuni
kalian. Cepatlah kalian meninggalkan tempat ini!"
"Kami...." Para
anggota Kui Bin Pang tampak ragu. "Ketua
pasti akan membunuh
kami...."
"Kalian tidak usah
khawatir, sebab kami ke sini justru ingin membasminya." ujar Pahto
meluaskan. "Sekarang aku menyatakan Kui Bin Pang dibubarkan."
Ketegasan Pahto membuat mereka
tertegun, semuanya saling memandang dengan penuh keheranan, lalu salah seorang
dari mereka bertanya,
"Berdasarkan hak apa
engkau berani menegaskan begitu?"
"Berdasarkan ini,"
sahut Pahto sambil mem-perlihatkan sebuah medali.
Begitu melihat medali itu,
mereka langsung menjatuhkan diri berlutut.
"Kami memberi hormat
kepada Ketua!" seru nrka serentak.
"Bagus, bagus."
Pahto tertawa gelak. "Ternyata kalian masih mengenali medali ini! Nah
sekarang kuperintahkan, kalian segera meninggalkan tempat ini!"
"Ya, Ketua," sahut
mereka sambil bangkit berdiri. "Terimakasih!"
Bersamaan itu, muncullah lima
orang, yaitu Ngo Sat Kui. Mereka tampak terkejut ketika melihat Tio Bun Yang
bersama seseorang, dan Toa Sat Kui segera membentak.
"Tio Bun Yang, sungguh
bernyali engkau kemari! Tempat ini merupakan kuburan bagimu!”
"Di mana Goat Nio? Cepat
lepaskan dia” sahut Tio Bun Yang.
"Ha ha ha!" Toa Sat
Kui tertawa gelak. "Kekasihmu sedang bersenang-senang dengan ketua Ha ha
ha...!"
"Apa?" Wajah Tio Bun
Yang pucat pias.
"Ngo Sat Kui!"
bentak Pahto sambil memperlihatkan medali yang di tangannya. ”Kalian kenal
medali ini?"
Begitu memandang medali itu,
badan mereka tampak bergetar, kemudian mereka berlima saling memandang.
"Ha ha ha!" Mendadak
Toa Sat Kui tertawa gelak. "Mau apa engkau memperlihatkan medali rongsokan
itu?"
"Hah?" Wajah Pahto
berubah hebat. "Engkau berani menghina medali ini? Engkau memang harus
dihukum!"
"Ha ha ha!" Toa Sat
Kui tertawa lagi. "Kini Kui Bin Pang sudah mempunyai ketua, maka medali
itu tiada gunanya!"
"Oh?" Pahto tertawa
dingin. "Jadi kalian berlima berani melawan medali peninggalan pendiri Kui
Bin Pang ini?"
"Bahkan kami pun akan
membunuh kalian berdua!" sahut Toa Sat Kui, lalu perintahkan para
anggotanya menyerang Pahto dan Tio Bun Yang. ”Cepatlah kalian serang
mereka!"
Akan tetapi, para anggotanya
diam saja.
"Kalian berani
membangkang perintahku?" bentak Toa Sat Kui gusar. "Kalian tidak
takut dihukum mati?"
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa seraya berseru, ”Para anggota Kui Bin Pang, cepatlah kalian lepaskan
kedok setan itu dan segera meninggalkan tempat ini!"
"Ya!" sahut para
anggota Kui Bin Pang itu, lalu segera melepaskan kedok setan masing-masing dan
cepat-cepat meninggalkan tempat tersebut.
Toa Sat Kui gusar bukan kepalang
melihat tindakan mereka.
"Mari kita serang
dia!" bentaknya.
Seketika juga Ngo Sat Kui
menyerang Pahto, Tio Bun Yang langsung menyingkir. Ia tidak mau membantu Pahto,
sebab takut akan menyinggung perasaannya.
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa gelak sambil berkelit, lalu balas menyerang.
Terjadilah pertarungan yang
seru dan sengit Ngo Sat Kui menggunakan semacam formasi menyerang Pahto,
sehingga membuat Pahto tampak kewalahan dan terdesak.
Tio Bun Yang mengerutkan
kening menyaksikan keadaan Pahto. Ia ingin turun tangan membantunya, namun
khawatir akan menyinggung perasaannya. Akan tetapi, kalau dia tinggal diam
Pahto akan celaka. Ia cemas sekali, namun mendadak wajahnya berseri sekaligus
berseru.
"Melangkah ke kiri
menggeser ke belakang Maju dan meloncat ke atas!" Ternyata Tio Bun Yang
memberi petunjuk kepada Pahto secara diam-diam. Itu sungguh menggirangkan Pahto
membuatnya tertegun, sebab tidak menyangka Tio Bun Yang mengerti tentang
formasi itu.
Segeralah ia mengikuti
petunjuk itu, lalu tampak pak formasi tersebut mulai kacau.
"Ha ha ha! Bun Yang,
engkau sungguh hebat engkau!" seru Pahto sekaligus menyerang Ngo Sat Kui.
Puluhan jurus kemudian, dua
Setan Algojo telah terluka. Di saat itulah Toa Sat Kui melesat ke dalam
bangunan itu berseru.
"Kalian berdua, tahan
dia! Aku ke dalam melapor kepada ketua!"
"Mau kabur ke mana!"
bentak Tio Bun Yang.
"Bun Yang, jangan
mengejarnya!" seru Pahto lan menambahkan, "Banyak jebakan di
sana!"
Tio Bun Yang tidak jadi
mengejar Toa Sat kui, dan tetap berdiri di tempat. Sedangkan Pahto terus
bertarung melawan kedua Setan Algojo.
Sementara itu, Kwee Teng An
atau ketua Kui Bun Pang justru sedang duduk melamun di ruang tengah. Mendadak
muncul Toa Sat Kui, yang dengan nafas terengah-engah langsung memberi hormat
dan melapor.
"Ketua! Para anggota
telah meninggalkan tempat ini. Saudara-saudaraku sedang bertarung dengan
seseorang yang memegang medali milik pendiri Kui Bin Pang."
"Apa?" Kwee Teng An
meloncat bangun. "Siapa orang itu?"
"Aku tidak kenal,"
sahut Toa Sat Kui dan menambahkan, "Dia datang bersama Tio Bun Yang, dan
telah melukai kedua saudaraku."
"Apa?" Kwee Teng An
tampak terkejut kemudian tertawa dingin. "Ha ha ha! Dia datang mau
menolong Siang Koan Goat Nio? hm! Jangan bermimpi!"
"Ketua...!"
Sekonyong-konyong Kwee Teng An
mengerahkan tangannya, dan Toa Sat Kui yang tidak berjaga-jaga itu terpukul
dadanya.
"Aaaakh...!"
jeritnya dan tubuhnya terpental ke belakang. "Ketua...."
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa terbahak bahak. "Kalian berlima sudah tiada gunanya bagi
ku! Ha ha ha...!"
"Ketua," hatimu
sungguh... sungguh kejam” Badan Toa Sat Kui mulai berasap dan tak lama kemudian
mulai mencair.
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An terus tertawa kemudian meleset ke ruang bawah.
Siang Koan Goat Nio duduk
bersandar dinding, kelihatannya seperti kehilangan sukma
Pintu ruang itu terbuka dan
Kwee Teng berjalan masuk sambil menatapnya, lalu berkata menggunakan ilmu Toh
Hun Tay Hoat.
"Goat Nio, engkau harus
ikut aku pergi!" "
Ya." Siang Koan Goat Nio
mengangguk.
"Bagus! Bagus! Ha ha
ha!" Kwee Teng tertawa gelak sambil melepaskan kedok setan kemudian
menarik Siang Koan Goat Nio meninggalkan ruang bawah itu.
Berselang beberapa saat
kemudian setelah Kwee Teng An membawa Siang Koan Goat Nio pergi, muncullah
Pahto dan Tio Bun Yang.
"Eeeh?" Pahto
mengerutkan kening. "Ke kekasihmu tidak ada?"
"Celaka!" seru Tio
Bun Yang dengan wajah pucat. "Jangan-jangan telah dibawa pergi ketua Kui
Bin Pang!"
"Ngm!" Pahto
manggut-manggut. "Jie Sat Kui memberitahukan kepada kita, bahwa Siang Koan
Goat Nio dikurung di sini, tapi sekarang tidak ada berarti telah dibawa pergi
oleh ketua Kui Bin Pang"
"Aaaah...!" keluh
Tio Bun Yang. "Kok kita tidak melihat mereka?"
"Tentunya mereka melalui
jalan lain, maka kita tidak berpapasan dengan mereka," ujar Pahto, ia
kemudian teringat sesuatu. "Oh ya, kita harus ke ruang lain menyelamatkan
Toa Hu Hoat."
"Jie Sat Kui
memberitahukan bahwa Toa Hu Hoat dikurung di ruang belakang. Mari kita ke
luar!" sahut Tio Bun Yang.
Mereka naik ke atas, kemudian menuju
ruang belakang.
Pahto membuka pintu itu,
tampak Toa Hu Hoat di dalamnya.
”Saudara Kiam Heng!"
panggil Tio Bun Yang.
"Saudara Bun Yang!"
sahut Yo Kiam Heng lemah dan memberitahukan. "Nona Siang Koan dikurung di
ruang bawah."
”Dia tidak ada di sana,"
ujar Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Telah dibawa pergi
oleh ketua Kui Bin Pang."
'Oh?" Yo Kiam Heng
tertegun, kemudian menghela nafas panjang. "Saudara Bun Yang, Tiat Him
telah tewas."
”Apa?" Tio Bun Yang
terbelalak. "Dia telah tewas ?"
Yo Kiam Heng mengangguk.
"Dia tewas karena menolong Nona Siang Koan...."
Yo Kiam Heng menutur tentang
kejadian dan Tio Bun Yang mendengar dengan wajah murung.
"Kalian berdua harus
segera meninggall tempat ini," ujar Pahto memberitahukan. "Sebab aku
akan menghancurkan semua jebakan yang ada di sini."
"Paman...." Tio Bun
Yang merasa berat berpisah dengan
Pahto.
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa gelak. "Bun Yang kita akan berjumpa lagi kelak. Percayalah!"
"Oh ya!" Tio Bun
Yang memperkenalkan mereka. "Saudara Kiam Heng, paman ini bernama
Pahto."
"Paman!" panggil Yo
Kiam Heng sekali memperkenalkan dirinya. "Namaku Yo Kiam Heng kakekku
adalah Pelindung Perkumpulan Kui Pang."
"Ngmm!" Pahto
manggut-manggut sambil memperlihatkan medali itu.
Begitu melihat medali
tersebut, Yo Kiam Heng langsung berlutut memberi hormat.
"Ketua...."
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa. "Aku bukan ketua Kui Bin Pang, cepatlah engkau bangun!"
"Terimakasih!" Yo
Kiam Heng bangkit berdiri "Guruku adalah adik seperguruan Pek Kut
Lojin." Pahto memberitahukan. Yo Kiam Him terkejut, namun Pahto tersenyum
dan berkata, ”Engkau panggil aku paman saja!"
"Ya, Paman." Yo Kiam
Heng mengangguk.
"Bun Yang....." Pahto
memberitahukan bagaimana cara
meninggalkan tempat misteri
itu. "Kita berpisah di sini, kelak kita akan berjumpa kembali"
"Paman!" Wajah Tio
Bun Yang langsung berwajah murung.
"Oh ya!" Pahto
memandangnya seraya berkata. "Aku yakin ketua Kui Bin Pang kembali ke
Tionggoan, jadi kalian berdua segera ke Tionggoan saja!"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Terima kasiih atas petunjuk Paman!"
"Cepatlah kalian
tinggalkan tempat ini!" desak Pahto. "Sebab aku harus segera
menghancurkan lima jebakan yang ada di dalam bangunan ini."
"Paman," ucap Tio
Bun Yang. "Sampai jumpa”.
"Sampai jumpa, Bun
Yang!" sahut Pahto sekaligus menghiburnya. "Jangan cemas, engkau pun
akan berkumpul kembali dengan kekasihmu"
"Terimakasih,
Paman!" ucap Tio Bun Yang, lalu menarik Yo Kiam Heng meninggalkan bangunan
itu.
-oo0dw0oo-
Tio Bun Yang dan Yo Kiam Heng
duduk berhadapan di dalam kedai teh. Kini mereka berdua sudah berada di Giok
Bun Kwan ( Perbatasan).
"Apa rencanamu sekarang,
Saudara Bun Yang” tanya Yo Kiam Heng sambil memandangnya,
"Engkau?" Tio Bun
Yang balik bertanya.
"Saudara Bun Yang,"
jawab Yo Kiam heng sambil menghela nafas panjang. "Aku teringat kepada Lam
Kiong Soat Lan."
"Begini..." ujar Tio
Bun Yang mengusul "Lebih baik kita ke markas pusat Kay Pang setelah itu
barulah engkau berangkat ke Tayli”
"Ya." Yo Kiam Heng
manggut-manggut, namun mendadak berkeluh. "Aaaah! Sungguh mengenaskan cara
kematian Tiat Him, aku... harus membalaskan dendamnya!"
"Saudara Kiam heng!"
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau bukan lawannya, jangan
memikirkan soal balas dendam!!
"Tapi Tiat Him...." Yo
Kiam Heng menghela nafas panjang.
"Dia... dia mati demi
menolong Nona Siang Koan."
"Aku tahu itu," ujar
Tio Bun Yang berjanji "Aku pasti menuntut balas kepada ketua Kui
Pang."
"Aku... aku harus
membunuh ketua Kui Bin Pang dengan tanganku sendiri!" Yo Kiam Heng
berkertak gigi. "Aku akan terus berlatih di Tayli”
"Saudara Kiam Heng...." Tio Bun Yang menggeleng-
gelengkan kepala. "Aku
bingung sekali."
"Kenapa bingung?"
"Entah dibawa ke mana
Goat Nio, aku tidak tahu harus ke mana mencari mereka! Aaaah! aku...."
"Menurutku, ketua Kui Bin
Pang pasti pergi ke Tionggoan. Mudah-mudahan kita akan bertemu dia di
sana!"
"Mudah-mudahan!"
sahut Tio Bun Yang. "Ayoh, mari kita melanjutkan perjalanan!"
"Baik." Yo Kiam Heng
mengangguk.
Mereka berdua segera melanjutkan
perjalanan menuju markas pusat Kay Pang. Dalam perjalanan ini, Tio Bun Yang
sering bertanya kepada orang tentang Siang Koan Goat Nio yang dibawa pergi oleh
ketua Kui Bin Pang. Akan tetapi, tiada seorang pun pernah melihat mereka.
"Aaaah...!" keluh Tio
Bun Yang dengan wajah murung. "Entah dibawa ke mana Goat Nio?"
"Tenanglah, Saudara Bun
Yang!" ujar Yo kiam Heng menghiburnya. "Aku yakin engkau pasti akan
bertemu Nona Siang Koan."
"Tapi...." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala dan
matanya mulai bersimbah air.
”Goat Nio...."
Tujuh delapan hari kemudian,
mereka berdua baru tiba di markas pusat Kay Pang. Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong memandang mereka dengan penuh keheranan, karena mereka tidak menyangka
kalau Tio Bun Yang akan muncul bersama Yo Kiam Heng.
"Kakek, Kakek Gouw!"
panggil Tio Bun Yang
"Lo cianpwee!"
panggil Yo Kiam Heng sambil memberi hormat.
"Kalian duduklah!"
sahut Lim Peng Hang "Bun Yang, engkau kok ke mari bersama Kiam Heng? Di
mana Goat Nio?"
"Kakek...." Tio Bun
Yang menutur tentang semua kejadian
itu dan menambahkan dengan
wajah murung. "Tapi aku tetap tidak bertemu Goat Nio."
"Bun Yang...." Lim
Peng Hang menghela nafas panjang.
"Engkau masih
mujur," ujar Gouw Han Tionj "Kalau tidak muncul Pahto, engkau pasti
mati di Gurun Sih Ih."
"Aaaah...!" keluh
Tio Bun Yang. "Lebih baik aku mati di Gurun Si Ih...."
"Bun Yang!" bentak
Lim Peng Hang bernada gusar. "Percuma engkau jadi lelaki! Menghadapi
sedikit percobaan saja kau sudah begini macam. Tahukah engkau bagaimana pengalaman
ayah mu?"
"Aku tahu...." Tio
Bun Yang menundukkan kepala. "Kakek,
maafkan aku!"
"Yaaah!" Lim Peng
Hang mengehela nafas "Kakek tahu bagaimana perasaanmu, namun engkau harus
tabah!"
"Ya, Kakek." Tio Bun
Yang mengangguk.
"Kasihan Kwan Tiat
Him!" ujar Lim Peng Hang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dia
mati demi menepati janjinya."
"Padahal aku sudah
memperingatkannya, tapi dia tidak mau mendengar sama sekali," ujar Yo Kiam
Heng dengan air mata berlinang. "Oleh karena itu, aku harus menuntut balas!"
"Menuntut balas?"
Gouw Han Tiong menatapnya. "Dengan apa engkau membalaskan dendamnya?"
"Aku...." Yo
Kiam Heng menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau pun aku harus
terus menerus berlatih, belum tentu dapat melawan ketua Kui Bin Pang itu."
"Engkau tahu siapa
dia?" tanya Gouw Han Tiong.
"Tidak tahu." Yo
Kiam Heng menggelengkan kepala. "Kepandaiannya tinggi sekali, terutama
ilmu Pek Kut Im Sat Kangnya."
"Jadi...." Gouw Han
Tiong mengerutkan kening,. "Kwan Tiat
Him terkena ilmu pukulan itu,
maka badannya mencair?"
"Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk. "Aaaah, mati harus bagaimana memecahkan ilmu itu? entah ilmu
itu mengandung racun pula."
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menatapnya seraya berpesan, "Kalau kelak engkau berhadapan dengan
ketua Kui Bin Pang itu, haruslah berhati-hati!"
"Ya, Kakek." Tio Bun
Yang mengangguk.
"Kiam Heng!" Lim
Peng Hang memandangnya. "Apa rencanamu sekarang?"
"Aku... aku..."
jawab Yo Kiam Heng dengan wajah agak kemerah-merahan. "Aku ingin ke Tayli
"Ke Tayli?" Lim Peng
Hang tertegun.
"Kakek!" Tio Bun
Yang memberitahukan. "Dia ke Tayli ingin menemui Lam Kiong Soat Lan”
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggut sambil tersenyum. "Kiam Heng ternyata engkau jatuh
hati kepada gadis itu!"
"Aku...." Yo Kiam
Heng menundukkan kepala "Dia memang
cantik dan lincah. Engkau
sangat cocok menjadi pasangannya." ujar Lim Peng Hang dan bertanya,
"Kapan engkau akan berangkat ke Tayli?"
"Besok," sahut Yo
Kiam Heng.
"Ngmm!" Lim Peng
Hang manggut-manggu "Tentunya kami tidak akan menahanmu di sini silakan
berangkat!"
"Terimakasih, Lo
cianpwee!" ucap Yo Kiam Heng.
Keesokan harinya, berangkatlah
Yo Kiam Heng ke Tayli. Sedangkan Tio Bun Yang tetap tinggal di markas pusat Kay
Pang.
-oo0dw0oo-
Bagian ke enam puluh empat
Jatuh ke jurang
Tidak salah. Kwee Teng An yang
membawa pergi iSang Koan Goat Nio, memang menuju Tionggoan. Kini mereka telah
tiba di suatu tempat dekat jurang di Gunung Heng San. Tempat itu dinamai Ban
Hoa Ngai (Tebing Selaksa Bunga). Karena di sana banyak bunga beraneka warna.
"Sungguh indah Ban Hoa
Ngai ini!" ujar Kwee Teng an. "Goat Nio, engkau menyukai tempat ini?”
"Entahlah." Siang
Koan Goat Nio menggelengkan kepala sambil memandang hampa pada tempat tersebut.
"Goat Nio...." Kwee
Teng An menatapnya dengan mesra.
"Terus terang, aku
sungguh mencintaimu!"
"Aku tidak tahu."
Siang Koan Goat Nio mengalengkan kepala.
"Goat Nio...." Kwee
Teng An ingin mengatakan sesuatu,
namun mendadak keningnya
tampak berkerut, karena mendengar suara langkah yang halus sekali. Segeralah ia
menolehkan kepalanya, tampak seorang tua pincang berdiri di belakangan sambil
menyengir.
"Asyiiik!" ujar
orang tua pincang itu. "Berdua di tempat yang indah seperti ini memang
mengasyikkan."
"Siapa engkau?"
tanya Kwee Teng An bernada tidak senang.
"Anak muda!" Orang
tua pincang menggeleng gelengkan kepala. "Pertanyaanmu sungguh kasar
Apakah karena aku telah mengganggumu?"
"Sudah tahu kenapa belum
mau pergi?" sahut Kwee Teng An ketus. "Ayoh, cepatlah pergi!"
”Ha ha ha! Orang tua pincang
itu tertawa
"Eh?" Orang tua
pincang terbelalak. "Anak muda, kenapa engkau tak tahu sopan santun Aku
sudah tua, namun engkau masih membent bentakku?"
"Hm!" dengus Kwee
Teng An. "Kalau engkau tidak mau pergi, jangan katakan aku kejam!"
"Oh, ya?" Orang tua
pincang tertawa gelak "Ha ha ha! Anak muda, sikapmu sungguh sombong!"
"Jadi engkau masih belum
mau pergi?" Wajah Kwee Teng An mulai berubah kehijau-hijauan
"Ha ha ha!" Orang
tua pincang tertawa terbahak-bahak. "Engkau cukup tampan, tapi kenapa
begitu kasar dan kurang ajar?"
Kwee Teng An tidak menyahut,
tapi sepasang matanya terus memelototinya.
"Gadis itu cantik sekali,
tapi...." Orang pincang menatap
Siang Koan Goat Nio dengan
penuh perhatian. "Heran? Kenapa seperti tak bersukma? Hei! Gadis cantik,
siapa engkau?'
"Aku...." Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Entahlah."
"Hah?" orang tua
pincang terbeliak. "Gadis cantik, engkau...."
"Orang tua!" bentak
Kwee Teng An dingin. “Kalau engkau masih tetap tidak mau pergi, berarti engkau
cari penyakit!"
"Ha ha ha!" Orang
tua pincang tertawa. ”Aku memang ingin cari penyakit di sini!”
"Baik. Sambutlah
seranganku!" seru Kwee Teng An sambil menyerangnya.
”Wuah, hebat sekali
kepandaianmu!" sahut orang tua pincang sekaligus berkelit.
"Hmm!" dengus Kwee
Teng An dingin. "Lumayan juga kepandaianmu, tua bangka! Coba sambut lagi
seranganku ini!"
"Pasti kusambut! Ayoh,
cepatlah serang aku!"
Kwee Teng An tidak menyahut,
tapi langsung menyerang. Orang tua pincang cepat-cepat berkelit dan balas
menyerangnya. Puluhan jurus kemudian, orang tua pincang semakin terkejut,
karena tidak menyangka kalau pemuda di hadapannya itu berkepandaian begitu
tinggi
”Tua bangka!" bentak Kwee
Teng An sambil menghentikan serangannya.
"Ha ha ha!" Orang
tua pincang menarik nafas ”Engkau tidak berani menyerangku lagi?"
”Tua bangka!" sahut Kwee
Teng An sambil mengerahkan Pek Kut Im Sat Kang. "Kini aku akan mencabut
nyawamu dengan Pek Kut Im Ciang!"
"Hah? Apa?" Wajah
orang tua pincang berubah pucat dan mendadak ia meleset pergi laksana kilat
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa. "Tua bangka! Untung engkau cepat kabur! Kalau tidak
engkau pasti mati di tanganku!"
Siapa orang tua pincang itu?
Ternyata guru Sie Keng Hauw, yang kebetulan melewati tempat itu. Lantaran
melihat Kwee Teng An Siang Koan Goat Nio, dan mengira bahwa mereka berdua
adalah sepasang kekasih, maka ia ingin menggoda. Akhirnya ia malah bertarung
den Kwee Teng An. Ketika pemuda itu menyebut Kut Im Sat Ciang, tahulah orang
tua pincang siapa pemuda itu, maka ia buru-buru kabur, karena tahu akan
kelihayan ilmu tersebut.
Sementara Siang Koan Goat Nio
tetap berdiri mematung di tempat, Kwee Teng An mendekatinya sambil tersenyum
lembut.
"Goat Nio," ujarnya.
"Aku telah mengi orang gila itu. Dia kemari ingin mengganggu kita
"Oh?" Siang Koan
Goat Nio tidak memperlihatkan reaksi apa pun.
"Goat Nio!" Kwee Te
An memandangi: "Mari kita duduk!"
Siang Goat Nio mengangguk lalu
duduk. Teng An pun duduk di hadapannya, setelah itu Teng An terus menatapnya
tajam sambil mengerahkan ilmu Toh Hun Tay Hoat.
"Goat Nio!"
"Ya."
"Engkau harus menuruti
semua perintahku!"
"Ya."
"Sekarang... engkau harus
melepaskan pakaianmu. Cepaat!"
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mulai melepaskan pakaiannya, tapi mendadak ia kelihatan tersentak.
”Tidak! Aku tidak boleh melepaskan pakaianku di hadapanmu, tidak boleh!"
"Boleh! Engkau harus
cepat melepaskan pakaianmu!" ujar Kwee Teng An, suaranya mengandung suatu
kekuatan yang tak dapat dilawan.
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mengangguk, Namun mendadak dalam batinnya timbul perlawanan.
"Tidak! Tidak!"
"Goat Nio!" Kwe Teng
An terus menatapnya tajam. "Engkau harus tidur bersamaku!"
"Aku...." Mendadak
Siang Koan Goat Nio bangkit berdiri.
"Tidak! Tidak!"
"Goat Nio!" Kwee
Teng An juga bangkit berdiri dan terus mengerahkan Toh Hun Tay Hoat
"Engkau harus menuruti semua perintahku! cepat buka pakaianmu!"
"Aku...." Siang Koan
Goat Nio termundur-bhimlur. "Aku...."
"Jangan takut, aku sangat
mencintaimu! Mari kita bersenang-senang!" Kwee Teng An mendekatinya.
"Tidak!" Siang Koan
Goat Nio terus melangkah mundur, sama sekali tidak menyadari bahwa di
belakangnya ada jurang yang menganga
"Goat Nio!" Kwee
Teng An tampak penasaran sekali, Ia memang sudah berniat memperkosanya di
tempat tersebut. "Goat Nio...."
Mendadak pemuda itu
merentangkan sepasang tangannya, kemudian menerjang ke arah Siang Koan Goat Nio
dengan maksud memeluknya. Akan tetapi, mendadak gadis itu meloncat ke belakang.
"Haaah?" Betapa
terkejutnya Kwee Teng karena loncatan itu justru ke arah mulut jurang
"Goat Nio...."
"Aaaakh...!" jerit
Siang Koan Goat Nio badannya terus merosot ke bawah jurang yang dalamnya ribuan
kaki.
"Goat Nio! Goat
Nio...!" teriak Kwee Teng An sambil memandang ke dalam jurang. Badan Siang
Koan Goat Nio makin kecil, akhirnya lenyap dari pandangannya.
Kwee Teng An berdiri
termangu-mangu dipinggir jurang itu, kemudian menggeleng-gelengkan kepala
sambil bergumam.
"Sungguh sayang sekali!
Aku belum menikmati tubuhnya dia sudah keburu jatuh ke jurang Tapi aku merasa
puas sekali karena Tio Bun Yang sudah kehilangan dirinya! Ha ha ha...!"
Kwee Teng An tertawa gelak,
sejurus kemudian barulah berhenti dan mulai berpikir. Kini Kui Bin Pang telah
bubar, lagi pula percuma jadi ketua Kui Bin Pang! Kepandaianku sudah tinggi
sekali seharusnya aku memanfaatkan kepandaiianku untuk hidup senang. Betul!
Betul! Aku harus ke ibu kota, siapa tahu akan hidup senang dan mewah di sana.
Setelah berpikir sampai ke sana, maka ia mengambil keputusan untuk berangkat ke
ibu kota.
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa terbahak-bahak, kemudian meleset pergi.
Di saat itulah muncul seorang
tua pincang dari balik pohon dengan kening berkerut-kerut, ternyata apa yang
terjadi tadi tidak lewat dari matanya.
Orang tua pincang itu memang
cerdik. Setelah melesat pergi, mendadak ia kembali lagi lalu sembunyi di
belakang pohon. Karena Kwee Teng An sedang mengerahkan ilmu Toh Hun Tay Hoat,
maka tidak tahu akan keberadaan orang tua pincang itu.
Betapa terkejutnya orang tua
pincang itu ketika melihat Siang Koan Goat Nio meloncat ke belakang, tepatnya
ke mulut jurang itu, sehingga membuatnya nyaris menjerit kaget.
Setelah Kwee Teng An meleset
pergi, barulah orang tua pincang itu muncul. Ia berdiri di pingir jurang itu
sambil memandang ke bawah.
"Aaaah...!" Orang
tua pincang itu menghela nafas panjang. "Sungguh kasihan gadis itu! Tidak
mungkin bisa hidup...."
gumamnya sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Padahal pemuda itu telah menggunakan Toh Hun
Tay Hoat, tapi batin gadis itu masih bisa melawan ilmu sesat tersebut! Heran?
Sebetulnya siapa gadis itu?"
Lama sekali orang tua pincang
itu termangu mangu di pinggir jurang, setelah itu menggeleng gelengkan kepala
lagi dan melesat pergi.
-oo0dw0oo-
Yo Kiam Heng yang berangkat ke
Tayli telah tiba di kerajaan tersebut, dan langsung ke istana Tentunya pengawal
kerajaan tidak memperbolehkannya masuk.
"Maaf!" ucap Yo Kiam
Heng dan memberitahukan. "Aku ke mari ingin menemui Nona Lam Kiong."
"Engkau siapa dan ada
urusan apa ingin menemui Nona Lam Kiong?" tanya salah seorang pengawal
sambil menatapnya.
"Namaku Yo Kiam Heng,
teman Nona Lan Kiong."
"Oooh!" Pengawal itu
segera memberi hormat. Maaf, aku tidak tahu kedatangan Yo tayhiap!"
"Eh?" Yo Kiam Heng
terbelalak.
"Yo tayhiap!"
Pengawal itu tersenyum. "Nona lam Kiong telah berpesan kepada kami,
apabila Yo tayhiap ke mari, kami harus mempersilahkan masuk."
"Oh?" Wajah Yo Kiam
Heng berseri. "Terima-kasih!"
"Yo tayhiap," bisik
pengawal itu. "Beberapa hari ini Nona Lam Kiong terus melamun, mungkin
memikirkan Yo tayhiap. Oleh karena itu, Yo Hiap harus membuat kejutan!"
"Kejutan apa?" Yo
Kiam Heng heran.
"Nona Lam Kiong sering
duduk seorang diri di halaman, Yo tayhiap masuk saja!" ujar pengawal itu
melanjutkan, "Kemunculan Yo tayhiap yang mendadak, tentu akan
mengejutkannya."
"Oooh!" Yo Kiam Heng
manggut-manggut lalu bertanya, "Di mana halaman itu?"
"Dari sini terus berjalan
ke dalam. Di halaman itu terdapat taman bunga." Pengawal itu
memberitahukan. "Tadi Nona Lam Kiong duduk di sana”
"Terimakasih!" ucap
Yo Kiam Heng lalu berjalan ke dalam.
la tak begitu tergesa-gesa,
namun tak lama setelah sampai di taman bunga itu. Dilihatnya seorang gadis
cantik duduk termenung di situ, yang tidak lain Lam Kiong Soat Lan.
"Adik Soat Lan! Adik Soat
Lan!" panggil Kiam Heng sambil mendekatinya dengan wajah berseri-seri.
"Haa?" Lam Kiong
Soat Lan terkejut cepat-cepat menoleh. Ketika melihat Yo Kiam Heng, ia justru
mengira bahwa matanya telah salah lihat. Maka, ia mengucek-ucek matai
"Kakak Kiam Heng? Kakak Kiam Heng...."
"Adik Soat Lan!" Yo
Kiam Heng berdiri hadapannya, sekaligus memandangnya dengan mata
berbinar-binar. "Adik Soat Lan...."
"Kakak Kiam Heng!"
seru Lam Kiong Soat Lan girang sambil meloncat bangun. "Aku... bukan dalam
mimpi?"
"Adik Soat Lan,"
ujar Yo Kiam Heng sambil tersenyum lembut. "Aku telah berdiri di
hadapanmu, bagaimana mungkin dalam mimpi?"
"Kakak Kiam Heng...." Lam Kiong Soat Lan langsung
mendekap di dadanya.
"Kakak Kiam Heng...."
"Adik Soat Lan...."
Yo Kiam Heng membelainya dengan
penuh kasih sayang. "Aku
kemari menengokmu, engkau girang?"
"Aku... aku girang
sekali." Lam Kiong Soat Lan terisak-isak saking girangnya. Kemunculan Yo
Kiam Heng yang mendadak itu memang merupakan suatu kejutan yang menggembirakan
"Soat Lan!"
Tiba-tiba terdengar suara memanggilnya, kemudian muncul Toan Beng Kiat dan
Bokyong Sian Hoa. "Soat Lan!"
"Aku di sini." sahut
Lam Kiong Soat Lan dengan suara rendah.
Toan Beng Kiat dan Bokyong
Sian Hoa langsung ke taman bunga itu. Begitu melihat Lam Kiong Soat Lan
berpeluk-pelukan dengan seorang pemuda, terbelalaklah mereka.
"Soat Lan!" panggil
Toan Beng Kiat .
"Beng Kiat, dia...."
sahut Lam Kiong Soat Lan.
Di saat bersamaan, Yo Kiam
Heng menolehkan kepalanya sambil tersenym.
"Saudara Kiam Heng!"
seru Toan Beng Kiat tertahan. "Engkau...."
Yo Kiam Heng melepaskan
pelukannya, kemudian menghampiri Toan Beng Kiat sambil memberi hormat.
"Saudara Beng Kiat, kita
bertemu kembali."
"Saudara Kiam Heng...." Toan Beng Kiat terus
memandangnya. "Oh ya, di
mana Saudara Tiat. Kenapa dia tidak datang bersamamu?"
"Dia...." Yo Kiam
Heng menghela nafas panjang "Dia telah
tewas."
"Haah?" Bukan main
terkejutnya Toan Beng Kiat "Bagaimana kejadian itu? Bolehkah dituturkan?”
"Ng!" Yo Kiam Heng
langsung menutur tentang kejadian yang menimpa Kwan Tiat Him. Toan Beng Kiat,
Bokyong Sian Hoa dan Lam Kiong Soat Lan mendengarkan penuturan sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian Toan Beng Kiat menghela nafas panjang
seraya berkata.
"Sungguh kasihan Saudara
Tiat Him, dia ber korban demi menolong Goat Nio!"
"Kakak Kiam Heng,"
tanya Lam Kiong Soat Lan. "Apakah Kakak Bun Yang berhasil menyelamatkan
Goat Nio?"
"Goat Nio dibawa pergi
oleh Ketua Kui Bin Pang." Yo Kiam Heng memberitahukan tentang itu.
"Saudara Bun Yang mengajakku ke markas pusat Kay Pang, setelah itu barulah
aku ke mari
"Jadi Bun Yang masih
berada di markas pusat Kay Pang?" tanya Toan Beng Kiat.
"Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk. "Kasihan Kakak Bun Yang, dia pasti cemas dan sedih karena
belum berkumpul kembali dengan Goat Nio," ujar Lam Kiong Soat Lan sambil
menghela nafas panjang.
"Kakak Soat Lan,"
sela Bokyong Sian IM sambil tersenyum. "Sebelum Kakak Kiam Heng ke mari,
bukankah engkau sangat cemas dan sedih? Kini wajahmu baru kelihatan
berseri-seri. ”
"Sian Hoa...." Lam
Kiong Soat Lan cemberut
"Hi hi hi!" Bokyong
Sian Hoa tertawa geli
"Saudara Kiam Heng!"
Toan Beng Kiat menatapnya. "Engkau tahu Ketua Kui Bin Pang membawa Goat
Nio ke mana?"
"Entahlah." Yo Kiam
Heng menggeleng kepala. "Kalau tahu, saudara Bun Yang dan aku pasti sudah
pergi mengejarnya."
"Aaaah...!" Toan
Beng Kiat menghela nafas. ”Itu merupakan cobaan berat bagi Bun Yang,
mudah-mudahan dia bisa tabah menghadapinya!"
"Kakak Bun Yang pasti
tabah," ujar Lam Kiong Soat Lan. "Aku yakin dia akan segera pasti
kumpul kembali dengan Goat Nio."
"Itu yang kita
harapkan!" Yo Kiam Heng manggut-manggut.
"Kakak Kiam Heng,"
ujar Lam Kiong Soat Lan dengan suara rendah. "Mari kita ke dalam menemui
kedua orang tuaku!"
"Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk.
"Sungguh kebetulan
sekali!" Toan Beng Kiat memberitahukan. "Kedua orang tua Soat Lan
sedang bercakap-cakap dengan kedua orang tuaku di ruang tengah. Mari kita ke
dalam!"
Mereka berjalan menuju ke
ruang tengah. Begitu melihat kehadiran pemuda asing itu, kedua orang tua Lam
Kiong Soat Lan dan kedua orang Toan Beng Kiat semuanya terbelalak.
"Ayah, Ibu!" panggil
Lam Kiong Soat Lan berseri dan memperkenalkan. "Dia... dia adalah Kiam
Heng."
”Paman, Bibi!" Yo Kiam
Heng segera memberi hormat. "Terimalah hormatku!"
"Oooh!" Lam Kiong
Bie Liong manggut-manggut sambil tersenyum. "Ternyata engkau adalah Yo
Kiam Heng yang membuat putriku terus melamun! Ha ha ha...!"
"Ayah!" Wajah Lam
Kiong Soat Lan memerah. "Jangan mengada-ada! Aku...."
"Ayah tidak mengada-ada,
melainkan berkata sesungguhnya," sahut Lam Kiong Bie Liong tertawa lagi.
"Ha ha ha...!"
"Kiam Heng!" Toan
Pit Lian menatapi dengan penuh perhatian seraya bertanya, "Bukankah engkau
punya seorang teman bernama Kwee Tiat Him? Kenapa dia tidak ikut ke mari?"
"Dia...." Yo Kiam
Heng menggeleng-gelengkan kepala. "Dia
telah tewas di tangan Ketua
Kui Bin Pang."
"Oh?" Toan Beng Kiat
mengerutkan kening "Bagaimana kejadiannya?"
"Malam itu...." Yo
Kiam Heng menutur mengenai kejadian
tersebut dan menambahkan,
”Tiat Him mati secara mengenaskan, maka aku harus membalaskan dendamnya."
"Kakak Kiam
Heng...." Lam Kiong Soat Lan terkejut.
"Apakah Bun Yang berhasil
menyelamatkan Goat Nio?" tanya Toan Wie Kie.
"Tidak." Yo Kiam
Heng menghela nafas panjang. "Karena Ketua Kui Bin Pang keburu membawa
pergi Goat Nio."
"Aaah...!" Toan Wie
Kie menggeleng-gelengkan kepala. "Kasihan Bun Yang, dia belum berkumpul
dengan Goat Nio...."
"Bagaimana kepandaian
Ketua Kui Bin Pang itu?" tanya Lam Kiong Bie Liong mendadak.“Apakah tinggi
sekali?"
"Kepandaiannya memang
tinggi sekali." Yo Kiam Heng mengangguk. "Terutama ilmu Pek Kut Im
Sat Ciangnya. Siapa yang terkena ilmu pukulan itu, badannya pasti
mencair."
"Oh?" Lam Kiong Soat
Lan merinding. "Jadi...." Lam Kiong
Bie Liong mengerutkan kening.
"Ilmu pukulan itu mengandung racun?”
"Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk. "Mengandung racun yang amat ganas, dan tiada obat
penawarnya."
"Ngmmm!" Lam Kiong
Bie Liong manggut-manggut, kemudian menatap Yo Kiam Heng dengan penuh perhatian
seraya bertanya, "Betulkah engkau mencintai putri kami ini?"
"Ya," sahut Yo Kiam
Heng cepat sambil mengangguk.
”Engkau tahu tentang keluarga
Lam Kiong?" tanya Lam Kiong Bie Liong mendadak.
"Aku pernah
mendengar," ujar Yo Kiam Heng. ”Keluarga Lam Kiong terkenal akan senjata
rahasianya, juga sangat disegani lawan maupun kawan ”
"bahkan juga ada satu
peraturan," tambah giok siauw sin hiap Toan Pit Lian sambil tersenyum.
"Peraturan apa?"
tanya Yo Kiam Heng hen
"Seperti apa yang pernah kami alami...." To Pit Lian
memberitahukan. "Karena
aku mencintai Kakak Bie Liong, maka ibunya menguji kepandaianku."
"Ibu!" protes Lam
Kiong Soat Lan. "Mana ada peraturan itu dalam keluarga Lam Kiong?”
"Ada." Toan Pit Lian
mengangguk.
"Itu bohong!" Lam
Kiong Soat Lan cemberut "Ibu cuma mengada-ada!"
"Soat Lan," sela
Toan Wie Kie. "Ibu tidak bohong, itu memang merupakan peraturan Lam Kiong
turun-temurun."
"Tapi...," ujar Lam
Kiong Soat Lan. "Di sini Tayli, bukan di rumah keluarga Lam Kiong lbu”
"Peraturan keluarga Lam
Kiong tetap berlaku di mana saja," sahut Lam Kiong Bie Liong sambil
tersenyum. "Oleh karena itu, Yo Kiam Heng harus bertanding dengan ayah
tiga jurus!"
"Ayah!" Lam Kiong
Soat Lan mengerutkan kening. "Hapus saja peraturan itu, aku...."
"Soat Lan," sahut
Lam Kiong Bie Liong. ”Itu adalah peraturan leluhur, bagaimana mungkin ayah
menghapusnya?"
"Adik Soat Lan!" Yo
Kiam Heng tersenyum "Aku harus mentaati peraturan tersebut, jangan
mengecewakan ayahmu!"
"Tapi...." Lam Kiong Soat Lan menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian bertanya
kepada Lam Kiong Bie Liong. "Ayah, bagaimana kalau Kakak Kiam Heng tidak
sanggup bertahan dalam tiga jurus?"
"Tentunya dia harus
segera angkat kaki dari sini," jawab Lam Kiong Bie Liong.
"Haaah...?" Wajah
Lam Kiong Soat Lan berubah pucat. "Ayah...."
"Adik Soat Lan!" Yo
Kiam Heng tersenyum lembut. "Engkau tenang saja! Aku pasti sanggup
bertahan."
"Tapi...." Lam Kiong Soat Lan menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku
khawatir...."
"Tidak usah
khawatir!" Yo Kiam Heng tampak tenang sekali. Ia berjalan ke tengah-tengah
ruangan ituu, lalu memberi hormat kepada Lam Kiong Liong seraya berkata,
"Paman, aku mohon petunjuk!"
"Bagus! Bagus!" Lam
Kiong Bie Liong menghampirinya sambil terawa gelak. "Ha ha ha...!"
"Paman," tanya Yo
Kiam Heng. "Kita bertarung menggunakan senjata atau tangan kosong ?”
"Kita pakai pedang
saja," sahut Lam Kiong Liong sambil menghunus pedangnya. "Oh ya,
engkau tidak punya pedang?"
”Punya." Perlahan-lahan
Yo Kiam Heng melepaskan pedangnya yang dililitkan di pinggang-yaitu pedang
lemas.
"Kiam Heng!" Lam
Kiong Bie Liong memberitahukan. "Kita bertanding cukup tiga jurus saja.
Apabila engkau sanggup bertahan, kami pasti merestui kalian."
"Terimakasih,
Paman!" ucap Yo Kiam Heng dan bertanya, "Apakah aku boleh balas
menyerang?"
"Tentu boleh." Lam
Kiong Bie Liong manggut-manggut, lalu mulai mengerahkan lweekang nya.
Begitu pula Yo Kiam Heng,
pemuda itu pun mulai menghimpun lweekangnya siap menghadapi serangan yang akan
dilancarkan Lam Kiong Bie Liong.
"Hati-hati!" seru
Lam Kiong Bie Liong dan mendadak menyerang.
Lam Kiong Bie Liong
menggunakan Teng Yang Kiam Hoat (Ilmu Pedang Surya), menyerang Yo Kiam Heng
dengan jurus Thay Yang Poh Cin (Surya Memancarkan Cahaya). Tampak pedang Lam
Kiong Bie Liong berkelebatan memancarkan cahaya mengarah ke pemuda itu.
Yo Kiam Heng tidak berkelit,
melainkan menggunakan Teng Hai Kiam Hoat (Ilmu Pedang Menenangkan Laut),
mengeluarkan jurus Kiam Khi Peng Lang (Hawa Pedang Membendung Ombak) menangkis
serangan Lam Kiong Bie Liong.
Trang! Terdengar suara
benturan pedang.
Yo Kiam Heng terdorong ke
belakang lima ingkah, sedangkan Lam Kiong Bie Liong hanya tiga langkah.
"Bagus! Bagus! Ha ha
ha!" Lam Kiong Bie Liong tertawa gembira. "Aku tak menyangka kalau
engkau mampu menangkis seranganku! Nah, sambutlah jurus kedua ini!"
Lam Kiong Bie Liong
menyerangnya dengan jurusan Jit Cut Tang Hong (Surya Terbit Di Ufuk Timur),
yang bukan main lihay dan dahsyatnya.
Yo Kiam Heng tampak terkejut,
namun tetap tenang. Mendadak ia menggerakkan pedangnya, maka tampak pedangnya
berkelebatan menangkis serangan itu. Ternyata ia mengeluarkan jurus Ban Kiam
Teng Hai (Selaksa Pedang Menenangkan Laut). Jurus tersebut justru dapat
membendung serangan Lam Kiong Bie Liong, sehingga menimbulkan kekagumannya.
"Jurus ketiga!" Seru
Lam Kiong Bie Liong, kali ini ia mengeluarkan jurus yang paling lihay dan
dahsyat, yakni jurus Jit Liak Sauh Te (Terik Surya Membakar bumi).
"Ayah!" seru Lam
Kiong Soat Lan kaget. Ternyata gadis itu tahu akan kelihayan jurus tersebut.
Akan tetapi, Lam Kiong Bie
Liong terus melanjutkan serangannya. Di saat bersamaan, Yo Kiam Heng
mengeluarkan siulan panjang, sekaligus menangkis serangan itu dengan jurus Pang
Lang Teng Hai (Membendung Ombak Menenangkan Laut), yang merupakan jurus
simpanannya.
"Trang!" Terdengar
suara benturan pedang yang memekakkan telinga.
Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Bie
Lion masing-masing termundur-mundur beberapa langkah, dan wajah mereka tampak
pucat pias. I
"Ayah! Kakak Kiam
Heng!" seru Lam Kiong Soat Lan cemas.
"Jangan khawatir!"
bisik Toan Beng Kie "Mereka tidak akan terjadi apa-apa."
Berselang sesaat, barulah Yo
Kiam Heng memberi hormat kepada Lam Kiong Bie Liong
"Terimakasih atas
kemurahan hati Paman!” ucapnya dengan tersenyum.
"Ha ha ha!" Lam
Kiong Bie Liong tertawa gembira. "Engkau memang pantas menjadi suami Soat
Lan! Ha ha ha...!"
"Terimakasih,
Paman!" ucap Yo Kiam Heng dengan wajah ceria, kemudian melirik Lam Kiong
Soat Lan.
Wajah gadis itu langsung
memerah, kemudian ditundukkannya dalam-dalam.
Lam Kiong Bie Liong dan Yo
Kiam Heng kembali ke tempat duduk. Sementara Toan Beng Kie terus memandang
pemuda itu, lalu bertanya
"Engkau dapat bertahan
beberapa lama melawan Ketua Kui Bin Pang?"
"Sekitar lima puluh
jurus," jawab Yo Kiam Heng jujur.
"Hah?" Toan Wie Kie
terbelalak. "Kepandaianmu sudah begitu tinggi, tapi... cuma dapat pilahan
lima puluh jurus?"
"Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk. "Itu kalau dia tidak mengeluarkan Pek Kut Im Sat Ciang!
Apabila dia langsung mengeluarkan ilmu tersebut, Mungkin aku tak mampu bertahan
sampai lima jurus."
"Oh?" Betapa terkejutnya
Lam Kiong Bie liong. "Kalau begitu, kita semua bukan lawannya”
"Ya." Yo Kiam Heng
menghela nafas panjang.
"Aaaah...!" Toan Wie
Kie menggeleng-gelengkan kepala. "Hanya Cie Hiong dan Bun Yang yang dapat
melawannya!"
"Itu juga belum
tentu," ujar Yo Kiam Heng. ”Sebab ilmu pukulan Pek Kut Im Sat Ciang mampu
menerobos lweekang pihak lawan."
"Kakak Kiam Heng, engkau
belum tahu sih. Sesungguhnya Kakak Bun Yang berkepandaian tinggi sekali."
kata Lam Kiong Soal Lan.
"Kalau begitu..."
ujar Yo Kiam Heng. "Sayang sekali, tiada kesempatan bagiku untuk mohon
petunjuk kepadanya."
"Apa?" Lam Kiong
Soal Lan melotot. "Engkau mau bertanding dengannya?"
"Tentu tidak." Yo
Kiam Heng tersenyum. ”Aku bersungguh-sungguh mohon petunjuk ke-padanya mengenai
ilmu pedang."
"Oooh!" Lam Kiong
Soat Lan menarik nafas lega. "Kukira engkau ingin menantangnya bertanding”
"Bagaimana mungkin?"
Yo Kiam Heng senyum lagi. "Kami adalah teman baik, tentusaja aku tidak
akan menantangnya bertanding."
"Oh ya!" Lam Kiong
Soat Lan menatapnya "Ilmu pedang apa yang engkau pergunakan untuk
menangkis serangan ayahku?"
"Ilmu pedang Teng Hai
Kiam Hoat." Yo Kiam Heng memberitahukan dan bertanya. "Kenapa engkau
menanyakan itu?"
"Karena ilmu pedang itu
sangat hebat lihay," sahut Lam Kiong Soat Lan dengan senyum. "Oleh
karena itu...."
"Soat Lan!" Toan Pit
Lian terbelalak. "Engkau ingin bertanding dengan Kiam Heng?"
"Tidak." Lam Kiong
Soat Lan menggelengkan kepala. "Aku hanya ingin memperlihatkan ilmu
pedangku."
"Oooh!" Toan Pit
Lian berlega hati. "Itu boleh."
"Terimakasih, Ibu!"
ucap Lam Kiong Soat Lan, kemudian berkata kepada Yo Kiam Heng "Kakak Kiam
Heng, saksikanlah ilmu pedang ku!"
"Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk
Lam Kiong Soat Lan berjalan ke
tengah- tengah ruangan. Setelah memberi hormat, ia mulai menggerakkan
pedangnya. Gerakan pedang itu makin lama makin cepat, membuat Yo Kiam Heng
terbelalak. Ia tidak menyangka kalau Lam Kiong Soat Lan memiliki ilmu pedang
yang begitu hebat, ternyata gadis itu mempertunjukkan Thian Liong Kiam Hoat
(Ilmu Pedang Naga Kahyangan).
Berselang beberapa saat
kemudian, barulah ia menghentikan gerakannya dan memandang Yo Kiam Heng seraya
bertanya. "Engkau sanggup melawan ilmu pedangku?"
"Aku...." Yo Kiam
Heng tampak ragu-ragu.
"Ha ha ha!" Lam
Kiong Bie Liong tertawa. ”Pasti sanggup melawan ilmu pedangmu itu!"
"Bagaimana kalau aku
menggunakan Kim Kong Cap Sah Ciang (Tiga Belas Jurus Ilmu Pukulan Cahaya
Emas)?" tanya Lam Kiong Soat Lan mendadak.
"Kalau engkau
mengeluarkan ilmu pukulan itu, tentu Kiam Heng tidak sanggup melawanmu,"
sahut Lam Kiong Bie Liong.
"Adik Soat Lan,"
ujar Yo Kiam Heng tertarik, ”Bolehkah engkau mempertunjukkan ilmu pukulan
itu?"
"Baiklah." Lam Kiong
Soal Lan mengangguk, mulai mempertunjukkan ilmu pukulan tersebut.
Yo Kiam Heng menyaksikannya
dengan mulut menganga lebar ia mengakui dalam hati dirinya tidak sanggup
melawan ilmu pukulan itu.
Sesaat kemudian, barulah Lam
Kiong Soat Lan berhenti, lalu memandang Yo Kiam Heng seraya bertanya.
"Bagaimana? Engkau
sanggup melawan pukulanku ini?"
"Tidak sanggup,"
jawab Yo Kiam Heng jujur "Walaupun aku menggunakan pedang, aku tentu akan
kalah."
"Oh?" Lam Kiong Soat
Lan tersenyum, kemudian kembali ke tempat duduknya.
"Adik Soat Lan,"
ujar Yo Kiam Heng kagum "Aku tidak menyangka kalau kepandaianmu begitu
tinggi. Oh ya, siapa gurumu?"
"Aku dan Beng Kiat adalah
murid Tayli Ceng." Lam Kiong Soat Lan memberitahukan
"Hah?" Yo Kiam Heng
tampak terkejut. ”Kalian murid padri tua itu?"
"Engkau kenal guru
kami?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Tidak. Tapi aku pernah
dengar dari ayah. Kata ayah, kepandaian Tayli Lo Ceng tinggi sekali bahkan
mahir meramal pula," jawab Yo Kiam Heng dan menambahkan, "Mungkin
guru kalian mampu melawan Ketua Kui Bin Pang."
"Ha ha ha!" Lam
Kiong Bie Liong tertawa "Kiam Heng, kepandaian Bun Yang mungkin sudah
lebih tinggi dari Tayli Lo Ceng."
"Bagaimana mungkin?"
Yo Kiam Heng kurang percaya.
"Apabila engkau
menyaksikan kepandaiannya, barulah akan percaya," ujar Lam Kiong Bie Liong
dan menambahkan, "Ayahnya juga pernah bertanding dengan Tayli Lo
Ceng."
"Siapa yang menang?"
tanya Yo Kiam Heng.
"Kami tidak tahu."
Lam Kiong Bie Liong tersenyum. "Hanya mereka berdua yang tahu."
"Oooh!" Yo Kiam Heng
manggut-manggut, lalu berkata sungguh-sungguh kepada Lam Kiong Soat Lan.
"Mulai besok aku akan berlatih denganmu."
"Maksudmu ingin menuntut
balas kepada ketua Kui Bin Pang?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Ya." Yo Kiam Heng
mengangguk.
"Sudahlah!" Lam
Kiong Soat Lan menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau tidak usah memikirkan
itu, biarlah Kakak Bun Yang yang mencarinya."
"Tapi...." Yo Kiam
Heng mengerutkan kening.
"Kiam Heng," ujar
Lam Kiong Bie Liong serius. "Engkau sudah tidak memikirkan Soat Lann?
Kalau engkau ingin menuntut balas kepada ketua Kui Bin Pang, berarti engkau mau
cari mati”
”Paman...."
"Saudara Kiam Heng!"
Toan Beng Kiat tersenyum. "Engkau tinggal di sini saja, mengenai Ketua Kui
Bin Pang, biarlah Bun Yang yang mencarinya."
"Itu...." Yo Kiam
Heng masih mengerutkan kening.
"Kakak Kiam Heng!"
Air muka Lam Kiong Soat Lan berubah. "Kalau engkau ingin menuntut balas
kepada Ketua Kui Bin Pang, lebih baik pergi sekarang saja! Ayoh, cepat
pergi!"
"Adik Soat Lan...."
Yo Kiam Heng menundukkan kepala.
"Aku...."
"Kiam Heng!" Toan
Pit Lian menatapnya "Kami tahu engkau sangat setia kawan, namun menangani
Ketua Kui Bin Pang, biarlah Bun Yang yang mencarinya! Sebab engkau bukan lawan
Ketua Kui Bin Pang itu, lagi pula engkau harus memikirkan Soat Lan lho!"
"Ya, Bibi." Yo Kiam
Heng mengangguk, memandang Lam Kiong Soat Lan seraya berkata "Aku tidak
akan pergi mencari Ketua Kui Bin Pang itu."
"Oh?" Wajah Lam
Kiong Soat Lan langsung berseri. "Tapi ingat, engkau tidak boleh pergi
secara diam-diam lho!"
"Aku berani
bersumpah...."
"Aku mempercayaimu."
Lam Kiong Soat Lan memandangnya dengan mata berbinar-binar kemudian tersenyum
mesra.
"Ha ha ha! Ha ha
ha...!" Lam Kiong Soat Liong dann Toan Wie Kie tertawa terbahak-bahak, itu
membuat wajah gadis itu memerah, mendadak lari ke dalam....
-oo0dw0oo-
Bagian ke enam puluh lima
Mengabdi pada Menteri Ma
Kwee Teng An telah tiba di ibu
kota. Keindahan dan kemewahan gedung-gedung di ibu kota membuatnya terbelalak.
Oleh karena itu, ia semakin berniat hidup senang di ibu kota tersebut.
Setelah merasa puas
berkeliling-keliling menikmati keindahan ibu kota, barulah ia mampir ke sebuah
kedai arak. Ia duduk dengan wajah cerah, lalu memesan seguci arak dan makanan,
dan pelayan segera menyajikannya. Ketika Kwee Teng An baru mau meneguk araknya,
mendadak ia mendengar beberapaa tamu sedang bercakap-cakap dengan seru sekali.
”Kepala pengawal Menteri Ma
mau mengundurkan diri dan pulang ke kampung halaman-maka menteri Ma sedang
mencari penggantinya."
"Oh? Siapa yang sanggup
menggantikan kedudukan kepala pengawal itu?"
"Hingga saat ini, tiada
seorang pun yang sanggup menggantikan kedudukan kepala pengawal itu."
"Kok begitu?"
"Karena menteri Ma
mengeluarkan sebuah syarat, siapa yang ingin menggantikan kedudukan kepala
pengawal itu harus dapat bertanding seimbang dengannya. Namun hingga saat ini,
tidak seorang pun yang sanggup melawan kepala pengawal itu sampai tiga puluh
jurus."
"Kepala pengawal itu
memang berkepandaian tinggi sekali. Kalau tiada seorang pun yang sanggup
bertanding seimbang dengannya, maka Menteri Ma tidak akan melepaskannya pulang
ke kampung halaman."
"Oh ya, bukankah putri
menteri Ma adalah murid kepala pengawal itu?"
"Betul. Gadis itu cantik
sekali, entah siapa yang beruntung mempersuntingnya."
Di saat bersamaan, Kwee Teng
An mendekati mereka, lalu memberi hormat seraya bertanya
"Maaf. Di mana tempat
tinggal menteri Ma ?”
"Eh? Anda...." Mereka
menatap Kwee Teng
An dengan
mata terbelalak, sebab pemuda
itu berbadan pelajar.
"Aku ingin bertanding
dengan kepala pengawal itu." Kwee Teng An memberitahukan.
"Apa?" Para tamu di
kedai arak itu semuanya tertegun. "Anda seorang pelajar, bagaimana mungkin
mengerti ilmu silat?"
"Aku justru.sanggup
mengalahkan kepala pengawal itu," sahut Kwee Teng An sambil tersenyum.
"Nah, beritahukan di mana tempat tinggal menteri Ma!"
"Dari sini berjalan
terus, kemudian belok ke kiri...." Salah
seorang tamu memberitahukan.
"Terimakasih!" ucap
Kwee Teng An girang. Ia cepat-cepat menyerahkan setael perak kepada pelayan,
lalu meninggalkan kedai arak itu, dan para tamu mulai membicarakannya.
"Besok kita pasti tahu
siapa yang menang. Nah. bagaimana kalau kita bertaruh?"
"Baik. Engkau pegang
siapa?"
"Aku pegang kepala
pengawal itu."
”Yaaah, kalau begitu, aku
tidak jadi bertaruh! sebab bagaimana mungkin ia sanggup melawan kepala pengawal
itu?"
"Bagaimana kalau kita
bertaruh tiga lawan satu'"
'Tiga lawan satu?
Maksudmu?"
"Tiga tael melawan satu
tael. Maksudku begitu bagaimana? Engkau berani bertaruh denganku?”
"Kalau begitu...
baiklah."
"Mau bertaruh
berapa?"
"Sepuluh tael perak.
Kalau kepala pengawal itu kalah, engkau harus bayar aku tiga puluh tael
perak."
"Tentu."
"Aku ikut bertaruh!"
seru tamu lain. "Aku pegang kepala pengawal, tiga lawan satu!"
"Baik. Aku bertaruh
denganmu."
"Mau taruh berapa?"
"Seratus tael perak."
"Hah? Berapa?"
"Seratus tael perai.
Apabila kepala pengawal itu kalah, engkau harus membayarku tiga ratus
perak."
"Baik. Tapi... bagaimana
kalau mereka seri?” "Taruhan kita pun menjadi seri."
"Oh ya, kita bertaruh
secara tunai, tidak ada istilah hutang."
"Tentu."
"Kalau begitu, mari kita
taruh uang kita pada pemilik kedai arak ini! Dia sebagai saksi dari taruhan
kita."
"Baik."
Mereka lalu pergi menemui
pemilik kedai arak. Betapa gembiranya pemilik kedai arak
"Aku bersedia menjadi
saksi, tapi harus uang imbalannya."
"Pokoknya beres,"
sahut salah seorang tamu yang bertaruh itu.
"Nah, sekarang mari kita
ke sana!"
"Kita pasti tidak
diijinkan masuk, percuma kita ke sana."
"Kita menunggu di luar
saja. Siapa yang menang kita pasti mengetahuinya. Ayoh, mari kita ke tempat
tinggal Menteri Ma!"
Mereka segera meninggalkan
kedai arak itu menuju tempat tinggal Menteri Ma. Sementara Kwee Teng An yang
berangkat duluan itu sudah sampai di sana.
"Maaf!" ucapnya
kepada salah seorang pengapi yang menjaga di pintu. "Aku ingin menemui
Menteri Ma."
"Oh?" Pengawal itu
menatap tajam. "Engkau siapa dan ada urusan apa ingin menemui Menteri
Ma?"
"Aku bernama Kwee Teng
An. Aku ke mari ingin bertanding dengan kepala pengawal." Pemuda itu
memberitahukan.
"Apa?" pengawal itu
terbelalak, kemudian tertawa gelak. "Engkau ingin bertanding dengan kepala
pengawal di sini?"
"Ya." Kwee Teng An
mengangguk.
"Baiklah!" Pengawal
itu manggut-manggut. "Mari Ikut aku ke dalam!"
”Terimakasih!" ucap Kwee
Teng An, lalu mengikuti pengawal itu ke dalam. Bukan main kagumnya akan
keindahan halaman rumah Menteri Ma itu.
"Tunggu di sini!"
ujar pengawal itu. "Aku harus melapor kepada Menteri Ma dan kepala
pengawal."
Kwee Teng An mengangguk, lalu
berdiri situ sambil menikmati keindahan taman bunga.
Berselang beberapa saat
kemudian, munculah dua orang lelaki tua, yaitu Menteri Ma dan kepala pengawal.
Begitu melihat lelaki tua berpakaian kebesaran, Kwee Teng An segera berlutut.
"Hamba menghadap Menteri
Ma." ucapnya "Siapa engkau?" Menteri Ma menatapnya tajam.
"Nama hamba Kwee Teng An.
Hamba keari ingin bertanding dengan kepala pengawal," jawab Kwee Teng An
memberitahukan.
"Engkau tampak lemah,
bagaimana mungkin sanggup bertanding dengan kepala pengawalku” Menteri Ma
menggeleng-gelengkan kepala.
"Hamba sanggup
mengalahkannya dalam sepuluh jurus," sahut Kwee Teng An.
"Apa?" Menteri Ma
tertegun. "Engkau ber omong besar di hadapanku?"
"Hamba tidak omong besar,
pasti hamba buktikan," tegas Kwee Teng An. "Apabila hamba tidak
sanggup
mengalahkannya dalam sepuluh
jurus hamba bersedia dihukum."
"Engkau bersedia dihukum
berat?" tanya Menteri Ma sungguh-sungguh.
"Hamba bersedia,"
jawab Kwee Teng An cepat.
"Pikirkan dulu!"
ujar Menteri Ma. "Agar engkau tidak menyesal nanti."
"Hamba tidak akan
menyesal."
"Baik." Menten Ma
manggut-manggut dan Menambahkan, "Kalau engkau mampu mengalahkan kepala
pengawalku, maka akan kuangkat sebagai pengawal di sini dengan gaji yang
memuaskan."
"Terimakasih, Menteri
Ma!"
"Tapi seandainya engkau
kalah, lenganmu akan kupotong sebagai hukumannya."
"Ya."
Menteri Ma duduk. Di
pandangnya kepala ngawalnya seraya berkata. "Lam Sun, bertandinglah dengan
dia!"
"Ya, Menteri Ma,"
sahut kepala pengawal itu sambil memberi hormat. Dia berusia enam puluhan,
namun masih tampak gagah. "Anak muda, mari kita ke tengah-tengah
halaman!"
"Baik." Kwee Teng An
mengikutinya ke tengah-tengah halaman.
"Anak muda, bolehkah aku
tahu namamu?" kepala pengawal itu menatapnya tajam.
"Namaku Kwee Teng An.
Nama cianpwee?"
"Aku bernama Liok Lam
Sun." Kepala pengwal itu tersenyum. "Siapa gurumu, bolehkah aku
mengetahuinya?"
"Maaf, cianpwee!"
sahut Kwee Teng An. "Aku tak bisa memberitahukan."
"Tidak apa-apa."
Liok Lam Sun tersenyum "Tadi engkau bilang akan mengalahkanku dalam
sepuluh jurus. Kalau tidak, engkau bersedia hukum berat?"
"Ya, cianpwee."
"Anak muda!" Liok
Lam Sun menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau terlampau sombong”
"Cianpwee!" Kwee
Teng An tersenyum. "Aku tidak sombong, melainkan berkata sesungguhnya”
"Oh, ya?" Liok Lam
Sun menatapnya dia tanyanya. "Kita bertanding dengan tangan kosong atau
senjata?"
"Terserah Cianpwee."
"Kalau begitu...,"
ujar Liok Lam Sun setelah berpikir sejenak. "Kita bertanding dengan tangan
kosong saja."
"Baik." Kwee Teng An
mengangguk.
Sementara di luar sudah
berkumpul puluhan orang, yaitu para tamu kedai arak yang akan bertaruh.
"Kalian tidak boleh
masuk, cukup di sini saja ujar salah seorang pangawal yang menjaga di situ
"Ya."
"kenapa kalian ingin
menyaksikan pertandingan itu?"
"Karena kami... kami
bertaruh."
"Bertaruh?"
"Ya."
”Caranya?"
"Tiga lawan satu,"
Salah seorang dari mereka memberitahukan, kemudian menambahkan, "Siapa
Menang menang, pokoknya beres."
"Ngmmm!" Pengawal
itu manggut-manggut dan kitanya, "Siapa yang paling besar
taruhannya?"
"Kami berdua," sahut
kedua orang yang bertaruh tiga ratus tael perak melawan seratus tael perak.
"Berapa banyak taruhan
kalian?" tanya pengawal itu.
"Tiga ratus tael perak
melawan seratus tael perak," jawab kedua orang itu jujur.
"Hah?" Mulut
pengawal itu ternganga lebar. ”Begitu besar taruhan kalian?"
"Ya," sahut salah
seorang dari mereka. "Kalau aku menang tiga ratus tael perak, pasti
memberimu seratus tael perak."
"Sungguh?" tanya
pengawal itu kurang percaya "Sungguh!" Orang itu mengangguk.
"Baik." Pengawal itu
memandang ke dalam, ”Nah. mereka akan segera bertanding. Kepala pengawal sudah
memasang kuda-kuda, sedangkan pemuda itu cuma berdiri dan tersenyum-senyum
saja”
"Apa?" Wajah
orang-orang yang bertaruh memegang pemuda itu langsung berubah pucat.
"Jangan jangan pemuda itu gila!"
”Tenang!" seru pengawal
itu dan memberitahukan, "Pemuda itu dipersilakan menyerang duluan! Yaah!
Dia cuma melancarkan pukulan biasa!"
"Melayanglah
uangku!" keluh salah seorang dari mereka.
"Kepala pengawal
berkelit, lalu mendadak membalas menyerang," lanjut pengawal
memberitahukan tentang jalannya pertandingan tersebut
"Bukan main, badan pemuda
itu berkelebat entah menggunakan jurus apa menyerang kepala pengawal. Kepala
pengawal tampak terdesak, dan meloncat mundur. Akan tetapi... mendadak badan
pemuda itu berputar-putar menyerang kepala pengawal. Aah. mataku menjadi
silau."
"Bagaimana pertandingan
itu?" tanya orang bernada tegang.
"Haaah...?" pengawal
itu terbelalak. "Kepala pengawal terpental beberapa depa, dan tidak bisa
bangun lagi. Pemuda itu menang."
"Horeee...! Aku menang
tiga ratus tael perak!”
"Jangan lupa jatahku
lho!" Pengawal itu mengingatkannya.
"Sebentar akan kuantar ke
mari, sebab harus ke kedai arak dulu ambil uang itu. Sampai jumpa!" Orang
itu segera berlari ke kedai arak begitu pula yang lain. Sedangkan yang kalah
terus bergerutu.
"Dasar kepala pengawal
itu sudah tua! Kalau tahu dia bakal kalah, aku tidak akan bertaruh”
Memang tidak salah, kepala
pengawal itu terpental beberapa depa terkena pukulan yang dilancarkan Kwee Teng
An, bahkan mulutnya mengeluarkan darah. Untung Kwee Teng An hanya menggunakan
lima bagian lweekangnya, maka liok Lam Sun tidak terluka parah.
Menteri Ma terbelalak, seakan
tidak percaya apa yang dilihatnya, karena tidak sampai sepuluh jurus, pemuda
itu telah berhasil mengalahkan Liok Lam Sun.
"Anak muda...." Liok
Lam Sun bangkit berdiri lalu memberi
hormat. "Terimakasih atas
kemurahan hatimu! Sekarang juga aku akan pulang ke kampung halaman, lalu bertani
di sana."
"Lam Sun!" Menteri
Ma menatapnya. "Cukup lama engkau mengabdi kepadaku, maka aku akan
memberimu uang secukupnya untuk membeli sawah."
"Terimakasih, Menteri
Ma!" ucap Liok Lam Sun yang kemudian berjalan masuk.
"Ha ha ha!" Menteri
Ma tertawa gelak. "Anak muda, mari ikut aku masuk!"
"Terimakasih, Menteri
Ma!" ucap Kwee Teng An sambil memberi hormat, lalu mengikuti Menteri Ma
masuk.
Begitu menyaksikan kemewahan
rumah itu, Kwee Teng An terbelalak dengan mulut ternganga saja
"Silakan duduk!"
ucap menteri Ma.
"Terimakasih!" sahut
Kwee Teng An dan duduk.
"Teng An!" Menteri
Ma menatapnya. "Mulai sekarang engkau tinggal di sini, kedudukanmu adalah
kepala pengawal disini, bahkan sebagai pengawal pribadiku juga. Aku ke mana,
engkau harus ikut."
"Ya, Menteri Ma."
"Bagus! Ha ha
ha...!" Menteri Ma tertawa gembira. "Oh ya, engkau ingin minta gaji
berapa sebulan?"
"Kini aku sudah mengabdi
kepada Tayjin (Tuan Besar), jadi... tentang gajiku, aku tak begitu
mempermasalahkannya."
"Bagus! Bagus!" Menteri
Ma tertawa gembira "Pokoknya engkau membutuhkan uang, bilang saja
kepadaku!"
"Terimakasih,
Tayjin!" ucap Kwee Teng An
Di saat bersamaan, Liok Lam
Sun juga berpamit kepada Ma Giok Ceng, muridnya. Gadis itu merasa berat sekali
berpisah dengan gurunya
"Giok Ceng, aku tidak
bisa tinggal di sini lagi sebab ayahmu...."
"Guru!" Mata Ma Giok
Ceng mulai basah "Maafkan semua perbuatan ayahku, itu adalah urusan
politik kerajaan."
"Maka aku tidak mau
terlibat." Liok Lam Sun menghela nafas panjang. "Aku ingin hidup
tenang di kampung halaman, namun engkau harus ingat satu hal ”
"Hal apa?" tanya Ma
Giok Ceng heran. "Kwee Teng An memang tampan, tapi engkau tidak boleh
tertarik kepadanya, sebab dia berhati licik dan jahat."
"Oh?" Ma Giok Ceng
tersentak. "Darimana guru bisa tahu itu?"
"Aku melihat pancaran
sinar matanya, maka engkau harus berhati-hati!" pesan Liok Lam Sun.
baiklah, aku mau mohon diri, selamat tinggal!"
-oo0dw0oo-
Jilid : 14
"Guru...." Ma Giok
Ceng mulai terisak-isak. Ia mengantar
gurunya ke depan, justru
bertemu dengan Kwee Teng An. Pemuda mata keranjang ini langsung tertarik kepada
Ma Giok Ceng.
"Menteri Ma!" Liok
Lam Sun berpamit. "Selamat tinggal!"
"Lam Sun!" Menteri
Ma menatapnya. "Engkau telah mengambil uang?"
"Sudah, terimakasih!"
ucap Liok Lam Sun, kemudian tersenyum kepada Kwee Teng An seraya berkata,
"Anak muda, sampai jumpa!"
"Selamat jalan,
cianpwce!" sahut Kwee Teng An sambil tersenyum. "Jangan sakit hati
ya!"
"Ha ha ha!" Liok Lam
Sun tertawa gelak. seharusnya aku berterimakasih kepadamu, karena aku bisa
pulang ke kampung halaman."
"Guru...!" panggil
Ma Giok Ceng dengan air mata berlinang-linang. "Kapan Guru akan kembali
menengokku?"
"Giok Ceng!" Liok
Lam Sun menggeleng gelengkan kepala. "Aku tidak akan kembali lagi
baik-baiklah engkau menjaga diri! Selamat tinggal!"
"Guru...."
"Liok Lam Sun tersenyum,
lalu berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Sedangkan Ma Giok Cen terus menangis
terisak-isak.
"Nak!" panggil
menteri Ma. "Jangan menangii mari ayah perkenalkan, dia adalah Kwee Teng
An, kepala pengawal baru di sini!"
"Ng!" Ma Giok Ceng
manggut-manggut.
"Nona Ma," ucap Kwee
Teng An sopan sambil memberi hormat. "Terimalah hormatku!"
"Maaf!" sahut Ma
Giok Ceng sambil berjalan masuk, sama sekali tidak meladeninya.
Kwee Teng An tidak
tersinggung, malah tersenyum-senym.
Sedangan Menteri Ma
menggeleng-gelengkan kepala.
"Teng An, jangan
tersinggung! Mungkin dia sedih berpisah dengan gurunya, lagi pula... dia memang
manja." katanya.
"Tidak apa-apa."
Kwee Teng An mengangguk mengerti. "Aku tidak tersinggung, sungguh!"
"Bagus! Bagus! Engkau
memang pemuda sabar! Ha ha ha!" Menteri Ma tertawa gembira Kemudian ia
bertepuk tangan tiga kali dan munculah seorang pembantu wanita.
"Tuan Besar memanggil
hamba?"
"Antar kepala pengawal
ini ke kamar Liok Lam Sun. Mulai sekarang ia tinggal di kamar itu."
"Ya." Pembantu
wanita itu mengangguk, lalu berkata kepada Kwee Teng An. "Tuan, mari ikut
aku ke dalam!"
"Ng!" Kwee Teng An
manggut-manggut, kemudian memberi hormat kepada menteri Ma. ”Hamba mohon
diri!"
"Silakan, silakan!"
sahut menteri Ma dan berpesan, "Apabila engkau membutuhkan apa-apa mruh
saja para pembantu!"
"Terimakasih, Tuan
Besar!" Kwee Teng An memberi hormat lagi, dan setelah itu barulah
mengikuti pembantu wanita itu ke dalam.
Berselang sesaat, pembantu
wanita itu ber-henti di depan sebuah kamar.
"Tuan, ini kamar
Tuan." katanya, kemudian mendorong pintu kamar tesebut. "Silahkan
masuk!"
"Terimakasih!" ucap
Kwee Teng An sekaligus melangkah ke dalam. Ia menengok ke sana ke mari dan
manggut-manggut puas.
"Tuan!" Pembantu
wanita itu memberitahukan, "Aku adalah kepala pembantu wanita di sini.
Kalau Tuan membutuhkan apa-apa, beritahukan saja!'
"Baik." Kwee Teng An
manggut-manggut.
"Tuan masih muda, tapi
kepandaian Tuan tinggi sekali," ujar kepala pembantu wanita kagum.
"Oh?" Kwee Teng An
tersenyum.
"Tuan...." Kepala pembantu wanita itu tampak serius.
"Selain aku sudah berusia
empat puluhan para pembantu wanita lain muda-muda semua. Bahkan...
cantik-cantik pula."
"Oh, ya?" Wajah Kwee
Teng An langsung berseri.
"Pokoknya aku akan
menyuruh pembantu yang cantik ke mari melayani Tuan," ujar kepala pembantu
wanita itu sambil tertawa kecil. "Tuan pesan minuman apa
buah-buahan?"
"Tolong ambilkan
buah-buahan dan arak wangi!" sahut Kwee Teng An.
"Baik." Kepala
pembantu wanita itu mengangguk, lalu segera meninggalkan kamar itu.
Kwee Teng An menutup pintu
kamar, duduk dengan wajah berseri-seri penuh kegembiraaan. Ia sama sekali tidak
menyangka kalau dirinya akan menjadi kepala pengawal di rumah menteri Ma. Ia
merasa beruntung dan akan hidup senang, bahkan diam-diam telah mempunyai suatu
rencana.
Tiba-tiba dia tersentak,
ternyata mendengar suara ketukan pintu.
"Siapa?" sahutnya.
"Pembantu wanita yang
mengantar minum dan buah-buahan." Terdengar suara sahutan merdu di luar.
"Masuklah, pintu tidak
dikunci," ujar Kwee Teng An.
Pintu kamar terbuka. Tampak
dua orang gadis cantik melangkah masuk dengan membawa arak wangi dan
buah-buahan.
"Tuan, kami bawakan arak
wangi dan buah-buahan," ujar salah seorang dari mereka sambil insenyum
manis.
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa gembira. ”Taruh saja di atas meja!"
Kedua gadis itu mengangguk,
lalu menaruh arak wangi dan buah-buahan itu di atas meja. "Tuan mau pesan
apa lagi?" tanya gadis itu.
"Bolehkah aku tahu nama
kalian?" Kwee Teng An memandang sambil tersenyum-senyum.
"Namaku Lan Lan, dia
bernama Ling Ling."
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa geli. ”kalau disatukan menjadi Lan Ling!"
"Apabila Tuan memanggil
Lan Ling, kami berdua pasti segera ke mari," sahut Lan Lan sambil tertawa
cekikikan.
"Bagus! Bagus!" Kwee
Teng An manggut-manggut.
"Tuan sudah mau
minum?" tanya Ling Ling lembut. "Aku tuangkan arak wangi itu
ya?"
"Baik." Kwee Teng An
mengangguk. Ling Ling segera menuang arak wangi itu kedalam cangkir, lalu
diberikan kepada Kwee T An.
"Silakan minum,
Tuan!"
"Terimakasih!" ucap
Kwee Teng An mengambil cangkir itu, kemudian meneguknya.
"Mau ditambah?"
tanya Ling Ling sambil tersenyum manis.
"Tidak usah." Kwee
Teng An menaruh cangkir itu di atas meja.
"Tuan...." Lan Lan
cepat menyodorkan bu anggur ke mulut
Kwee Teng An. "Ciciplah
buah anggur ini!"
"Terimakasih!" ucap
Kwee Teng An sambil membuka mulutnya.
Sambil tertawa gembira Lan Lan
memasukk buah anggur itu ke mulut Kwee Teng An, dan pemuda itu langsung
mencaploknya.
"Tuan mau dipijit?"
tanya Ling Ling mendadak.
"Kalian bisa memijit
juga?" Kwee Teng An memandang mereka.
"Tentu bisa," sahut
Ling Ling dan Lan Lan serentak.
"Bagus!" Kwee Teng
An manggut-manggut "Aku memang merasa pegal, kalian berdua boleh
memijitku."
"Ya." Kedua gadis
itu mengangguk.
Kwee Teng An membaringkan
tubuhnya ke tempat tidur, sedangkan Ling Ling menutup pintu kamar.
"Tuan...." Lan Lan
tertawa kecil. "Silakan uka pakaian, agar
kami lebih leluasa memijit
Tuan."
"Oh?" Kwee Teng An
memandang mereka dengan penuh gairah. "Kalau begitu, kalian pun harus buka
pakaian!"
"Idih! Jangan ah!"
sahut Lan Lan dengan wajah kemerah-merahan.
"Tuan...." Ling Ling
tersenyum. "Itu... harus nanti malam
lho! Tidak baik sekarang, kami
takut sewaktu-waktu nona akan ke mari."
"Maksudmu Nona Ma?"
tanya Kwee Teng An Jnigan mata berbinar.
"Ya." Ling Ling
mengangguk. "Tuan tertarik kepada Nona Ma?"
"Dia begitu cantik, tentu
aku tertarik," sahut Kwee Teng An jujur. "Oh ya, dia sudah punya
kekasih apa belum?"
"Belum." Lan Lan
menggelengkan kepala, kemudian tertawa cekikikan. "Kalau Tuan sudah
tertarik kepada Nona Ma, habislah kami berdua."
"Lho?" Kwee Teng An
heran. "Memangnya kenapa?"
"Bagaimana mungkin Tuan
akan tertarik pada kami yang cuma merupakan pembantu? Ya, kan?" saht Lan
Lan dengan cemberut.
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa. "Poloknya aku akan bersenang-senang dengan kalian berdua,
sekarang kalian pijit aku!"
"Baik, Tuan." Lan
Lan dan Ling Ling mulai memijit Kwee Teng An.
Sungguh nikmat pijitan kedua
gadis itu, bahkan menimbulkan gairah nafsu birahi, maka mendadak Kwee Teng An
memeluk kedua gadis erat-erat.
"Idih! Jangan begini ah!
Kami takut kelihatan orang lain." bisik Lan Lan.
"Pintu kamar tertutup
rapat, bagaimai mungkin terlihat orang?" sahut Kwee Teng sambil tertawa,
lalu tangannya mulai beraksi menggerayangi tubuh kedua gadis itu. Mata kedua
gadis itu merem melek, sekali-kali mulut mereka mengeluarkan suara
mendesis-desis.
"Aauuuh...!"
"Ooooh...!"
"Bagaimana?" tanya
Kwee Teng An. "Kita mulai sekarang saja!"
"Kami tidak bisa tenang,
lebih baik nanti malam saja. Tapi... kami pun sudah tidak tahan.”
"Baiklah." Kwee Teng
An manggut-manggij "Nanti malam kalian berdua kemarilah, kita akan main
sampai sepuas-puasnya!"
"Kuatkah Tuan melayani
kami berdua?" tanya Ling Ling.
"Jangankan cuma berdua,
sepuluh pun aku sanggup," sahut Kwee Teng An sungguh-sungguh Maklum,
pemuda itu mantan pemerkosa wanita
Pada malam harinya Lan Lan dan
Ling Ling mengendap-endap ke kamar Kwee Teng An. Namun ketika mereka baru mau
mengetuk pintu kamar n mendadak pintu kamar itu terbuka. Kwee Teng An berdiri
di situ sambil tersenyum-senyum, kemudian secepat kilat menarik kedua gadis itu
ke dalam, sekaligus menutup pintu kamar itu.
"Nah!" Kwee Teng An
memandang mereka, sesuai dengan janji, kalian harus membuka baju!"
"Idiih!" sahut Ling
Ling sambil tertawa genit. ”seharusnya lelaki yang lebih dulu membuka
pakaian."
"Baik." Kwee Teng An
tersenyum sambil melepaskan pakaiannya.
Kedua gadis itu memandang
dengan mata terbelalak, karena tubuh pemuda itu memang berotot.
"Wuaaah!" seru Ling
Ling tak tertahan. "Bukan main!"
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa. "Pokoknya malam ini kalian berdua pasti merasa puas.
namun aku khawatir kalian cuma kuat satu kali”
"Oh, ya?" Lan Lan
tertawa cekikikan. "Kalau begitu, mari kita coba!"
"Itu sudah pasti!"
Kwee Teng An tersenyum. ”Aku sudah melepaskan pakaianku, kini giliran
kalian!"
"Wuaduuuh!" seru Lan
Lan dan Ling Ling ketika melihat ke arah tengah kedua belah paha Kwee Teng An.
"Wuaduuuh...!"
"Kalian belum
kuapa-apakan, tapi kalian berdua sudah aduh-aduhan. ”Apalagi nanti, kalian
berdua sudah merintih-rintih nikmat."
"Hi hi hi!" Kedua
gadis itu tertawa, lalu mulai melepaskan pakaian masing-masing.
Tubuh kedua gadis itu memang
montok, makin membuat Kwee Teng An semakin bernafsu. Begitu pakaian mereka
dilepaskan, pemuda itu langsung memeluk mereka. Tak lama kemudian, terdengarlah
suara desah dan rintihan kedua gadis itu.
Keesokan harinya, Kwee Teng An
pagi pagi sekali sudah bangun. Walaupun semalam melawan dua gadis menghabiskan
beberapa ronde, tapi pemuda itu tetap tampak bersemangat.
Ia berjalan ke luar menuju
halaman depan Ketika sampai di halaman itu matanya terbelalak karena melihat Ma
Giok Ceng sedang duduk di taman bunga ditemani dua gadis berusia belasan tahun.
"Nona Ma!" Kwee Teng
An mendekatinya dengan wajah ceria sambil memberi hormat. "Selamat
pagi!"
"Pagi!" sahut Ma
Giok Ceng sambil memandangnya. Walau pemuda itu cukup tampan, namun Ma Giok
Ceng tidak merasa tertarik, bahkan sebaliknya malah merasa sebal kepadanya.
"Masih Pagi kok Nona Ma
sudah bangun?" ianya Kwee Teng An lembut.
"Memangnya aku harus
bangun siang?" sahut Ma Giok Ceng ketus.
"Nona Ma!" Kwee Teng
An tidak tersinggung bahkan keketusan Ma Giok Ceng, namun malah tersenyum.
"Maafkan apabila aku salah omong!"
"Tuan," ujar Ma Giok
Ceng. "Aku sedang menghirup udara pagi di sini, jangan diganggu!"
"Nona Ma...." Kwee Teng An menatapnya. 'Aku tidak
mengganggu Nona."
Tatatapan pemuda itu membuat
sekujur badan Ma Giok Ceng tergetar, dan gadis itu cepat-u'pat menundukkan
kepala.
"Aku...."
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa. "Nona, aku sangat tertarik kepadamu. Apakah engkau jugu
tertarik kepadaku?"
"Aku...." Wajah Ma
Giok Ceng kemerah-me-ahan. "Aku...."
"Ha ha ha!" Mendadak
terdengar suara tawa serak, muncullah Menteri Ma menghampiri mereka. "Teng
An, engkau sudah bangun?"
"Ya, Tuan Besar,"
sahut Kwee Teng An sambil memberi hormat. "Selamat pagi, Tuan Besar!"
"Pagi!" ucap Menteri
Ma sambil menatap padanya. "Nak, engkau sedang bercakap-cakap dengan Teng
An?"
"Ayah...." Wajah
gadis itu langsung memerah, Ternyata
tadi Kwee Teng An mengerahkan
Tang Hun Tay Hoat terhadapnya, maka gadis itu tampak menurut kepadanya.
"Ha ha ha!" Menteri
Ma tertawa. "Nak, engkau harus minta petunjuk kepada Teng An,
kepandaiannya tinggi sekali lho!"
"Ayah...," ujar Ma
Giok Ceng perlahan. "Aku mau masuk." "Baiklah." Menteri Ma
manggut-manggut.
Ma Giok Ceng melangkah ke
dalam rumah diikuti kedua pembantunya, sedangkan menteri Ma masih tertawa,
kemudian memandang Kwee Teng An seraya berkata.
"Putriku memang begitu,
masih malu-malu."
"Dia putri kesayangan
Tuan besar, tentunya agak malu-malu dan manja," sahut Kwee Teng An sambil
tersenyum. "Namun dia gadis yang lemah lembut."
"Benar." Menteri Ma
manggut-manggut. "Teng An, engkau tertarik kepada putriku?"
"Ya, Tuan Besar."
Kwee Teng An mengangguk.
"Bagus!" Menteri Ma
tertawa. "Ha ha ha! Tapi sebelumnya engkau harus berbuat suatu jasa
dulu."
"Jasa apa?"
"Akan dibicarakan lain
kali," sahut Mental Ma. "Oh ya, sebagai kepala pengawal di sini
engkau harus melatih para anak buahmu."
"Ya, Tuan Besar,"
ujar Kwee Teng An. "Itu memang tugasku."
"Bagus! Ha ha ha!"
Menteri Ma tertawa gelak, ngkau harus mempertunjukkan kepandaian agar para anak
buahmu kagum dan salut padamu!"
"Baik, Tuan Besar."
Kwee Teng An mengangguk.
"Kalau begitu, engkau
harus berseru memang-mereka berkumpul di sini!" ujar Menteri Ma.
"Ya, Tuan Besar."
Mendadak Kwee Teng An berseru lantang menggunakan lweekang. "Kalian para
pengawal, cepat berkumpul di sini! Ini perintahku, siapa berani membangkang
pasti kuhukum!"
Seketika bermunculan para
pengawal. Mereka memang sudah tahu Kwee Teng An mengalahkan Liok Lam Sun cuma
dalam sepuluh jurus. Itu sungguh mengejutkan, namun di antaranya masih ada yang
kurang percaya, mengira Liok Lam Sun sengaja mengalah terhadap pemuda itu.
Setelah para pengawal itu
berbaris rapi di situ, barulah Kwee Teng An melangkah maju sambil memperhatikan
mereka satu persatu. Para pengawal itu berjumlah sekitar lima puluh orang,
namun tiada satu pun yang berkepandaian tinggi, itu membuat Kwee Teng An
menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku menggantikan Liok
Lam Sun, kini aku sebagai kepala pengawal di sini. Oleh karena itu mulai hari
ini aku akan melatih kalian!" Ujar Kwee Teng An memberitauhkan.
"Mungkin di antara kalian ada yang merasa keberatan, karena aku
menggantikan Liok Lam Sun."
"Betul!" sahut salah
seorang pengawal. "Kami ingin menyaksikan kepandaian Tuan."
"Ngmm!" Kwee Teng An
manggut-manggut kemudian bertanya mendadak. "Oh ya! Di antara kalian siapa
yang punya anjing?"
"Kebetulan sekali,"
sahut salah seorang pengawal. "Semalam kami menangkap seekor anjing."
"Bawa ke mari
sekarang!" perintah Kwee Teng An.
"Ya." Pengawal itu
segera pergi, dan tak lama kemudian sudah kembali dengan membawa seekor anjing.
Sementara Menteri Ma berdiri
terheran-heran di tempat. Ia sama sekali tidak tahu untuk apa anjing itu, maka
menatap Kwee Teng dengan mata terbelalak.
"Tuan Besar!" Kwee
Teng An memberitahukan. "Kemarin ketika bertanding dengan Liok Lam sun,
aku belum mengeluarkan ilmu andalanku. Nah, pagi ini akan kuperlihatkan."
"Oh?" Menteri Ma
tercengang. "Jadi engkau masih punya ilmu andalan?""
"Ya, Tuan Besar."
Kwee Teng An lalu memandang para pengawal seraya berkata. "Kalian liat
baik-baik, akan kupertunjukkan ilmu andalanku!"
Para pengawal saling
memandang. Sedangkan anjing itu berdiri di tengah-tengah halaman. Kwee Teng An
menatap anjing itu, sekaligus mengerahkan Pek Kut Im Sat Kang.
Mendadak ia membentak keras,
lalu memukul anjing itu dengan Pek kut Im Sat Ciang.
Tanpa mengeluarkan suara
sedikit pun anjing lalu langsung terkapar, kemudian sekujur badannya mengeluarkan
asap, setelah itu mulai mencair.
"Haaah...?" Betapa
terkejutnya para pengawal menyaksikan kejadian itu, dan wajah mereka pun pucat
pias.
Begitu pula Menteri Ma,
keningnya berkerut-kerut. Tak lama kemudian tubuh anjing itu hanya tinggal
tulangnya dan suasana pun menjadi hening.
"Ha ha ha!" Mendadak
Menteri Ma tertawa terbahak-bahak. "Teng An, aku tidak menyangka engkau
masih memiliki ilmu andalan itu. Kalau kemarin engkau menggunakan ilmu itu
untuk bertanding dengan Liok Lam Sun, aku yakin dia pasti mati."
"Betul, Tuan Besar,"
sahut Kwee Teng An. ”Oleh karena itu, hamba tidak menggunakan ilmu itu untuk
melawannya."
"Ngmm!" Menteri Ma
manggut-manggut, kemudian berseru. "Kalian dengar semua! Mulai hari ini
kalian harus memanggil 'Tuan Muda’ kepada Teng An!"
"Ya, Tuan Besar!"
sahut para pengawal.
"Ha ha ha!" Menteri
Ma tertawa gelak. "Ten An, engkau boleh mulai melatih mereka. Aku mau ke
dalam."
"Ya, Tuan Besar,"
Kwee Teng An memberi hormat.
Menteri Ma berjalan masuk ke
rumah. Kwee Teng An memandang para pengawal seraya berkata.
"Mulai sekarang kalian
semua harus giat berlatih. Aku akan menggembleng kalian."
"Terimakasih, Tuan
Muda!" ucap mereka serentak.
"Siapa yang berani
membangkang perintahku pasti kuhukum seperti anjing itu," ujar Kwee Teng
An dingin.
Seketika para pengawal
menundukkan kepala dengan hati tercekam, Kwee Teng An tersenyum
"Kalian tidak usah
khawatir! Aku tidak akan sembarangan menghukum kalian, bahkan mulai bulan ini,
gaji kalian semua akan kunaikkan” Kwee Teng An memberitahukan.
"Terimakasih, Tuan
Muda!" Betapa girangnya para pengawal itu. Mereka bersorak sorai dengan
wajah berseri-seri.
"Tenang!" seru Kwee
Teng An. "Mulai searang aku akan mengajar kalian ilmu silat tingkat
tinggi, kuharap kalian harus belajar dengan giat!"
"Ya, Tuan Muda!"
sahut para pengawal itu serentak.
Mulailah Kwee Teng An mengajar
mereka ilmu silat tingkat tinggi. Para pengawal itu pun belajar dengan giat
sekali, sebab mereka sangat segan terhadap Kwee Teng An.
Tampak Ma Giok Ceng duduk termenung
di dalam kamar. Kedua pembantu berdiri di sisinya dengan kening berkerut-kerut.
Walau kedua gadis itu baru berusia belasan, namun sangat cerdas dan berpikiran
panjang.
"Nona," bisik salah
seorang gadis itu. "Menurutku, pemuda itu bukan pemuda baik."
"Betul," sambung
yang lain. "Ketika dia memandang Nona, matanya mendadak bersinar
aneh."
"Haaah?" Ma Giok
Ceng tampak tersentak. Betul. Pada waktu itu sekujur badanku tergetar, sehingga
aku mau menuruti perkataannya."
"Nona!" Salah
seorang gadis itu memberitahukan. "Aku pernah membaca sebuah buku cerita
tentang seorang gadis terkena ilmu sesat”
"Celaka!" Air muka
Ma Giok Ceng berubah hebat. "Jangan-jangan pemuda itu memiliki ilmu
sesat."
"Mungkin. Oleh karena itu
Nona harus berhati-hati! Kelihatannya ayah Nona sangat menyukainya, maka kami
khawatir ayah Nona akan menjodohkan Nona kepadanya."
"Haaah...?" Wajah Ma
Giok Ceng berubah pucat. "Kalau begitu, aku harus bagaimana?"
"Nona, hanya ada satu
jalan..." bisik gadis itu di telinga Ma Giok Ceng dan menambahkan
"Lagipula ayah Nona begitu jahat. Kalau Nona tidak kabur sekarang, tiada
kesempatan lagi kelak”
"Aaaah...!" Ma Giok
Ceng menghela nafas panjang. "Kalau aku pergi, bagaimana ayahku?!”
"Sementara ini Nona harus
memikirkan diri Nona."
"Lalu bagaimana kalian
berdua?"
"Setelah Nona pergi, kami
berdua pun aku berhenti bekerja di sini. Kami ingin pulang ke kampung
halaman."
"Ngmm!" Ma Giok Ceng
manggut-manggl "Kalau begitu, aku harus berkemas sekarang."
"Nona harus melalui pintu
belakang. Sekarang kami pergi menyapu, Nona harus segera pergi"
"Baik." Ma Giok Ceng
mengangguk.
Kedua gadis itu segera
meninggalkannya. Ma Kiiok Ceng berkemas dan tak lupa membawa uang serta semua
perhiasannya. Setelah itu, ia berendap-endap menuju pintu belakang.
Berselang sesaat, muncullah
kedua gadis tadi di kamar Ma Giok Ceng. Mereka melihat pintu lemari terbuka,
dan semua pakaian Ma Giok Ceng tidak ada di dalamnya. Segeralah mereka berlari
ke kamar Menteri Ma.
"Tuan Besar! Tuan
Besar!" panggil mereka sambil mengetuk pintu kamar Menteri Ma. "Tuan
besar!"
Pintu kamar itu terbuka.
Menteri Ma berdiri disitu sambil menatap kedua gadis itu dengan kening
berkerut-kerut.
"Ada apa?" tanyanya.
"Tuan besar! Nona...
Nona...."
"Kenapa Nona?"
"Nona... Nona telah pergi!"
"Apa?" Menteri Ma
tersentak. "Nona telah pergi? Dia pergi ke mana? Kenapa kalian tidak
menemaninya?"
"Kami pergi menyapu di
halaman samping, lalu ke kamar Nona, tapi lemari di kamar Nona terbuka dan
kosong."
"Aaaah!" Menteri Ma
menghela nafas panjang. "Kalian berdua harus ingat, tidak boleh
menceritakan hal ini pada siapa pun! Dua tiga hari kemudian, kalian berdua
boleh pulang ke kampung halaman."
"Ya! Tuan Besar."
"Sekarang kalian pergi
panggil kepala pembantu ke mari!"
"Ya, Tuan Besar."
Kedua gadis itu segera pergi memanggil kepala pembantu wanita. Mereka pun
bergirang dalam hati, karena Menteri Ma tidak membesar-besarkan urusan itu.
Berselang beberapa saat
kemudian, munculah kepala pembantu wanita itu menghadap Menteri Ma.
"Tuan Besar...."
"Cepat panggil Kwee Teng
An, aku menunggunya di ruang tengah!"
"Ya, Tuan Besar."
Kepala pembantu wanita segera pergi memanggil Kwee Teng An, sedangkan Menteri
Ma pergi ke ruang tengah.
Berselang beberapa saat
kemudian, tamp Kwee Teng An memasuki ruang itu dengan tergesa-gesa.
"Tuan Besar
memanggilku?" tanyanya sambil memberi hormat. "Ada suatu tugas
untukku?"
"Duduklah Teng An!"
sahut Menteri Ma dengan ramah. "Tapi...." Kwee Teng An ragu untuk
duduk "Tuan Besar...." "Duduklah!" desak Menteri Ma.
"Terimakasih, Tuan
Besar!" ucap Kwee Teng An sambil duduk.
"Teng An...."
Menteri Ma menatapnya. "Tadi putriku pergi
ke rumah familinya. Tentunya
engkau tahu, aku cuma mempunyai seorang anak perempuan."
Kwee Teng An mendengarkan
dengan penuh perhatian, dan Menteri Ma melanjutkan dengan perlahan.
"Terus terang, sejak
melihatmu, entah apa sebabnya aku merasa suka kepadamu." Menteri Ma
tersenyum. "Oleh karena itu, aku berniat mengangkatmu sebagai anak angkat.
Entah engkau setuju atau tidak?"
"Tuan Besar...." Kwee Teng An tertegun. Ia mengira
telinganya salah dengar
tentang itu.
"Teng An!" Menteri
Ma menatapnya dalam-dalam. "Bersediakah engkau menjadi anak angkatku?”
"Terimakasih, Tuan
Besar!" Kwee Teng An langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan Menteri
Ma.
"Ha ha ha!" Menteri
Ma tertawa terbahak-bahak. "Teng An, engkau harus memanggilku ayah
angkat!"
"Ayah angkat!"
panggil Kwee Teng An cepat, betapa girangnya pemuda itu, karena kini Menteri Ma
telah mengangkatnya sebagai anak, dan tentunya ia akan hidup
senang dan mewah, bahkan ia
akan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik.
"Teng An,
bangunlah!" ujar Menteri Ma de-Halaman 24-25 ga ada
melatih mereka dengan
sungguh-sungguh, pokoknya tidak akan mengecewakan Ayah."
"Bagus! Ha ha
ha...!" Menteri Ma tertawa gembira. "Besok aku akan menghadap kaisar
untuk menceritakan tentang dirimu, agar dirimu bisa diterima sebagai pemimpin
pengawal istana."
"Terimakasih, Ayah!"
ucap Kwee Teng An girang. "Terimakasih!"
-oo0dw0oo-
Bagian ke enam puluh enam Menyelamatkan
seorang gadis
Tio Bun Yang betul-betul
cemas, dan mulai tidak betah tinggal di markas pusat Kay Pang, bahkan sering
melamun. Semua itu tentunya tidak terlepas dari mata Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong.
"Bun Yang," ujar Lim
Peng Hang ketika mereka bertiga duduk di ruang depan. "Kelihatannya engkau
sedang memikirkan Goat Nio. Ya, kan?”
"Ya, Kakek." Tio Bun
Yang mengangguk,
"Engkau punya suatu
rencana?" tanya Lim Peng Hang lembut.
"Aku...." Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Aku ingin
ke markas Ngo Tok Kauw menemui
kakak Ling Cu. Siapa tahu dia punya informasi mengenai ketua Kui Bin
Pang."
"Baiklah." Lim Peng
Hang manggut-manggut. ”Kapan engkau akan berangkat?"
"Sekarang."
"Kakek tidak akan
melarangmu, tapi engkau harus berhati-hati!" pesan Lim Peng Hang.
"Sebab kepandaian ketua Kui Bin Pang itu tinggi sekali."
"Ya, Kakek."
"Bun Yang!" Gouw Han
Tiong memandangnya seraya berkata. "Seandainya terjadi sesuatu atas diri
Goat Nio, engkau harus tetap tabah!"
"Ya, Kakek Gouw."
Tio Bun Yang meng-npguk dengan wajah murung, kemudian menghela nafas panjang.
"Aaah...."
"Bun Yang...." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Engkau boleh
berangkat sekarang, mudah-mudahan berhasil mencari Goat Nio"
"Terimakasih,
kakek!" ucap Tio Bun Yang, lalu berpamit. Pemuda itu langsung berangkat ke
markas Ngo Tok Kuaw yang di kota Kang Shi. Ia berharap Phang Ling Cu, ketua Ngo
Tok Kauw itu mempunyai informasi tentang jejak ketua Kui Bin Pang
Beberapa hari kemudian
sampailah dia disuatu tempat sepi. Tiba-tiba keningnya berkerut ternyata
telinganya mendengar suara pertarungan. Secepat kilat ia melesat ke arah suara
itu tibanya di tempat tersebut, dilihatnya seorang gadis cantik sedang
bertarung dengan seorang lelaki bertampang seram dan belasan orang ngerumuni
mereka sambil bersorak-sorak.
"Ha ha ha!" Lelaki
bertampang seram tertawa gelak. "Gadis cantik, lebih baik engkau menyerah!
Mari kita bersenang-senang, pokoknyi aku pasti memuaskanmu!"
"Diam!" bentak gadis
itu sambil menyerang. Namun lelaki bertampang seram itu dengan gampang sekali
berkelit.
Puluhan jurus kemudian, gadis
itu makin terdesak, akhirnya pedangnya terlepas dari tanga nya.
"He he he!" Lelaki
bertampang seram itu tertawa terkekeh-kekeh. "He he he! Gadis cantik
alangkah baiknya engkau menjadi isteriku! He he he...!"
"Binatang!" caci
gadis itu sekaligus menyerangnya dengan tangan kosong.
Akan tetapi, sambil tertawa
lelaki bertampang seram itu menangkap tangannya, bahkan sekaligus memeluknya.
"Jangan kurang ajar!
Lepaskan!" teriak gadis itu sambil meronta-ronta.
"He he he!" Lelaki
bertampang seram itu jertawa terkekeh-kekeh. "Pokoknya engkau harus
melayaniku bersenang-senang!"
"Lepaskan aku! Lepaskan
aku!" Gadis itu terus berteriak..
Kakinya menendang, namun
menindak tubuhnya terkulai.
Ternyata lelaki bertampang
seram itu telah menotok jalan darahnya, sehingga membuatnya tak bisa bergerak.
"He he he!" Lelaki
bertampang seram itu tertawa, kemudian mulai meraba-raba sepasang payudara
gadis itu.
"Jangan! Jangan!"
teriak gadis itu lemah.
"He he he..." Lelaki
bertampang seram itu tertawa lagi, namun mendadak tersentak karena mendengar
suara bentakan yang mengguntur.
"Jangan kurang ajar
terhadap gadis itu!" Berkelebat sosok bayangan ke hadapan lelaki
bertampang seram itu. Semula lelaki tersebut tampak terkejut, namun begitu
melihat yang ber-diri di hadapannya adalah seorang pemuda, seketika juga ia
tertawa gelak.
"Ha ha ha! Anak muda!
Engkau ingin cari mati ya?" ujarnya.
"Mm!" dengus pemuda
itu, yang tidak lain «Ialah Tio Bun Yang. "Cepatlah kalian enyah! Kalau
tidak...."
"Anak muda!" bentak
lelaki bertampang seram itu. "Aku adalah perampok sadis. Kalau berani
menggangguku, engkau pasti mampus! Serang dia!"
Belasan anak buah perampok itu
langsung menyerang Tio Bun Yang dengan berbagai macam senjata.
"Hati-hati!" seru
gadis itu cemas.
Tio Bun Yang tersenyum,
kemudian mendadak mengibaskan lengan bajunya dan seketika terdengar suara
hiruk-pikuk.
Trang! Ting! Biang!
Semua senjata mereka terpental
entah kemana. Kemudian badan Tio Bun Yang berputar bagaikan angin puyuh dan
terdengarlah suara jeritan.
"Aaakh! Aaaakh...!"
Belasan orang itu terpental
beberapa depa dan jatuh gedebuk dengan mulut mengeluarkan darah segar.
"Haah...?" Mulut
laki-laki berwajah seram itu ternganga lebar, begitu pula gadis tersebut.
Setelah merobohkan
perampok-perampok itu. Tio Bun Yang segera mendekati kepala perampok itu.
"Anak muda!" bentak
kepala perampok gusar "Engkau harus mampus di tanganku!"
Kepala perampok itu
menyerangnya dengan golok. Tio Bun Yang tersenyum dan badannya bergerak.
Seketika juga ia menghilang dari hadapan kepala perampok itu.
"Haaah?" kepala
perampok itu terbelalak. Ia menengok ke sana ke mari, namun tidak melihat Tio
Bun Yang.
"Aku berada di
belakangmu!" Terdengar suara di belakangnya.
Kepala perampok itu
cepat-cepat mengayunkan goloknya ke belakang, tapi cuma mengenai tempat kosong,
sebab Tio Bun Yang sudah tidak berada di situ.
"Hah?" Kepala
perampok itu terkejut bukan main.
Dalam waktu bersamaan mendadak
muncul Tio Bun Yang di hadapannya sambil tersenyum-senyum.
"Engkau sering merampok
dan memperkosa kan?" tanya Tio Bun Yang perlahan sambil menatapnya tajam.
"Aku...." Kepala
perampok itu menghadapi Tio Bun Yang. "Aku...."
betul-betul ciut
nyalinya
"Terus terang aku tidak
pernah membunuh, namun aku tetap akan menghukummu."
"Apa?" Kepala
perampok itu melotot. "Engkau berani menghukumku?"
"Kenapa tidak?"
sahut Tio Bun Yang dengan tersenyum.
"Aku... aku harus
membunuhmu!" teriak kepala perampok itu sambil menyerang Tio Bun Yang
dengan goloknya.
Tio Bun Yang tetap berdiri
diam di tempat, etlika golok itu mengarah kepadanya, barulah ia mengibaskan
lengan bajunya.
Trang! Golok itu terpental.
"Hah?" Betapa
terkejutnya kepala perampok itu. Ia memandang Tio Bun Yang dengan wajah pucat
pias.
"Aku tidak akan
membunuhmu," ujar Tio Bj Yang. "Tapi aku akan memusnahkan kepandaian
mu."
"Ampun, Siauhiap!
Ampun!" Kepala perampok itu langsung berlutut di hadapan Tio Bun Yang.
"Aku telah mengampuni,
maka tidak membunuhmu. Hanya akan memusnahkan kepandaianmu."
"Siauhiap, jangan engkau
musnahkan kepandaianku, aku bersumpah tidak akan melakukan kejahatan
lagi!"
"Bersumpah?" Tio Bun
Yang menggeleng gelengkan kepala. "Itu percuma."
"Siauhiap...."
Akan tetapi, mendadak tangan
Tio Bun Yang bergerak dan seketika kepala perampok itu menjerit.
"Aaaakh...!"
Mulutnya mengeluarkan darah Ternyata Tio Bun Yang telah memusnahkan
kepandaiannya.
"Ayoh, cepat pergi!"
bentak Tio Bun Yan Kepala perampok itu berjalan pergi dengan sempoyongan. Para
anak buahnya mengikuti dengan langkah tertatih-tatih, membuat gadis itu tertawa
geli.
Di saat itulah mendadak Tio
Bun Yang menepuk punggung gadis itu untuk membebaskan jalan darahnya yang
tertotok oleh kepala perampok. Begitu jalan darahnya terbuka, gadis itu
Iangsung meloncat bangun, kemudian menatap lio Bun Yang dengan kagum.
"Nona," ujar Tio Bun
Yang. "Kini engkau sudah aman, boleh meninggalkan tempat ini."
"Aku..." Gadis itu
menundukkan kepala.
"Kenapa engkau?" Tio
Bun Yang heran.
"Aku... aku tidak tahu
harus ke mana," sahut padis itu sambil menghela nafas panjang.
"Apa?" Tio Bun Yang
terbelalak. "Nona...."
"Aku... aku minggat dari
rumah," Gadis itu memberitahukan dengan jujur. "Jadi aku tidak tahu
harus ke mana."
"Nona!" Tio Bun Yang
menatapnya. "Kenapa engkau minggat dari rumah? Bagaimana kalau aku
mengantarmu pulang?"
"Tidak." Gadis itu
menggelengkan kepala. "Aku tidak mau pulang, karena aku benci kepada
ayah-ku."
"Nona!" Tio Bun Yang
menghela nafas panjang. "Tidak baik engkau membenci ayahmu sendiri, engkau
akan jadi anak durhaka lho!"
"Tapi ayahku sangat
jahat." Gadis itu menundukkan kepala.
"Ayahmu tidak jahat
terhadapmu kan?" Tio Bun Yang tersenyum. "Ayo kuantar pulang! Mungkin
ayahmu sangat mencemaskan."
"Ayahku tidak akan
mencemaskanku." sahut gadis itu."Dia... dia cuma mementingkan diri
sendiri."
"Nona!" Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau engkau tidak mau pulang, lalu mau ke
mana?"
"Aku..." Gadis itu
menatap Tio Bun Yang dengan mata berbinar-binar. "Aku ikut engkau
saja."
"Mana boleh." Tio
Bun Yang menggelengkan kepala. "Itu tidak baik”
"Kalau begitu..."
Gadis itu membanting-bantingkan kakinya. "Lebih baik aku dibunuh kepa
perampok itu saja."
"Dia tidak bermaksud
membunuhmu, melainkan ingin memperkosamu lho!" ujar Tio Bun Yang.
"Kepandaianmu masih rendah, tidak baik berkecimpung di rimba
persilatan."
"Siapa bilang aku
berkecimpung di rimba pel* silatan?"
"Lho? Bukankah kini
engkau telah mulai berkecimpung di rimba persilatan?"
"Aku... aku cuma ingin
berkelana."
"Nona...." Tio
Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku masih ada urusan
lain, tidak bisa terus-menerus menemanimu di sini."
"Engkau...." Gadis
itu terisak-isak. "Engkau kejam!"
"Apa?" Tio Bun Yang
terbelalak. "Aku kejam? Padahal aku telah menyelamatkanmu barusan, kenapa
engkau masih bilang aku kejam?"
"Karena... karena engkau
tidak mau mengajakku pergi." ujar gadis itu dengan suara rendah.
"Nona...." Tio Bun
Yang menghela nafas panjang.
"Hei!" Mendadak
wajah gadis itu berseri. "Kita jangan bercakap-cakap dengan cara berdiri
begini, mari kita duduk di bawah pohon!"
"Nona...."
"Ayolah!" desak
gadis itu. Tio Bun Yang menarik nafas dalam-dalam, lalu duduk di bawah pohon
dan gadis itu segera duduk di sisinya.
"Nona, aku tidak bisa
lama-lama di sini."
"Lho?" Gadis itu
menatapnya. "Aku tidak menyuruhmu lama-lama di sini, melainkan Cuma ingin
bercakap-cakap denganmu."
"Nona ingin mengatakan
apa?"
"Hei!" Gadis itu
menatapnya dalam-dalam, ”Bolehkah aku tahu namamu?"
"Namaku Tio Bun
Yang."
"Tio Bun Yang..."
Gadis itu manggut-manggut, lalu memandangnya seakan sedang menunggu sesuatu,
namun Tio Bun Yang diam saja. "Hei! kenapa engkau tidak menanyakan
namaku?"
"Aku..." Tio Bun
Yang memandang jauh ke depan.
"Namaku Ma Giok Ceng."
Ternyata gadis itu adalah puteri kesayangan Menteri Ma, yang minggat dari
rumah. Ia terus memandang Tio Bun Yang. "Oh ya, bolehkah aku memanggilmu
kak Bun Yang?"
"Boleh." Tio Bun
Yang mengangguk.
"Kalau begitu..."
Wajah Ma Giok Ceng berseri. "Engkau harus memanggilku adik lho!"
"Ya." Tio Bun Yang
manggut-manggut.
"Kakak Bun Yang,
kepandaianmu tinggi sekali. Bolehkah engkau mengajar aku ilmu silat?” tanya Ma
Giok Ceng mendadak.
"Apa?" Tio Bun Yang
terbelalak. "Aku tidak punya waktu."
"Kakak Bun Yang!" Ma
Giok Ceng cemberutl "Kenapa sih engkau? Kok kelihatannya tidak begitu
senang kepadaku? Apakah engkau merasa sebal kepadaku?"
"Aku tidak merasa sebal
kepadamu, melainkankan hatiku sedang resah” Tio Bun Yang menghela nafas
"Resah kenapa? Ditinggal
kekasih ya?" tanya Ma Giok Ceng sambil tertawa.
"Aaaah..." Tio Bun
Yang menghela nafas lagi. kemudian memandangnya seraya berkata. "Engkau
gadis periang, tidak
seharusnya minggat dari rumah.
Aku yakin ayahmu sangat memanjakanmu."
"Yaah!" Ma Giok Ceng
menggeleng-gelengkan kepala. "Itu memang benar, tapi...."
"Adik Giok Ceng,
beritahukanlah kepadaku siapa ayahmu dan kenapa engkau pergi meninggikan
rumah?"
"Aku akan
memberitahukanmu, namun engkau tidak boleh memberitahukan kepada orang lain!
Karena akan mencelakai diriku!" pesan Ma Giok Ceng sungguh-sungguh.
"Baik." Tio Bun Yang
mengangguk. "Aku berjanji! Nah, beritahukanlah!"
"Sebetulnya aku adalah
putri menteri Ma di ibu kota." Ma Giok Ceng memberitahukan. "Belum
lama ini, muncul seorang pemuda di rumahku, Dia mampu mengalahkan guruku, maka
ayahku mengangkatnya sebagai kepala pengawal."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut dan bertanya. "Siapa pemuda itu?"
"Kalau tidak salah, dia
bernama Kwee Teng An." Ma Giok Ceng memberitahukan lagi. "Kepandaiannya
tinggi sekali dia mampu mengalahkan guruku dalam sepuluh jurus."
"Oh?" Kening Tio Bun
Yang berkerut. "Kwee Teng An...."
"Engkau kenal dia?"
"Rasanya aku pernah
mendengar nama tersebut, tapi... sudah lupa." Tio Bun Yang mengelengkan
kepala dan bertanya. "Lalu kenapa engkau minggat dari rumah?"
"Sebab.... kelihatan dia
bukan pemuda baik. Aku khawatir
ayahku akan menjodohkanku
padanya, maka aku minggat."
"Sebetulnya engkau tidak
usah minggat, kankah engkau bisa menolak apabila ayahmu mej jodohkanmu dengan
pemuda itu? Ya, kan?"
"Itu tidak bisa, sebab
ayahku pasti terus menerus mendesakku. Lagi pula... kepandaian pemuda itu
sangat tinggi, dia pasti bisa memaksaku."
"Adik Giok Ceng,"
ujar Tio Bun Yang. "Lebih baik kuantar engkau pulang, biar aku yang bicara
dengan ayahmu."
"Tiada gunanya." Ma
Giok Ceng menggeleng gelengkan kepala. "Engkau tidak pernah mendengar
tentang ayahku?”
"Memang tidak."
"Ayahku sangat
berpengaruh di sana. Entah sudah berapa banyak menteri dan jenderal yang mati
di tangan ayahku."
"Ayahmu juga
berkepandaian tinggi?"
"Ayahku tidak mengerti
ilmu silat, namun kaisar sangat mempercayainya.”
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut "Jadi ayahmu memfitnah mereka di hadapan kaisar, maka
kaisar menurunkan perintah menghukum mati mereka. Begitu kan?"
"Ya." Ma Giok Ceng
mengangguk dengan wajah murung.
"Dulu yang berpengaruh di
istana adalah Lu Thay Kam, namun sudah mati. Kini malah muncul ayahmu."
Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
"Engkau kenal Lu Thay
Kam?" tanya Ma Giok Ceng dengan heran.
"Kenal." Tio Bun
Yang mengangguk, kemudian menutur tentang itu.
"Oooh!" Ma Giok Ceng
manggut-manggut. ”Aku tidak menyangka engkau mencintai putri angkatnya
itu."
"Engkau jangan salah
paham. Yang mencintai Lui Hui San adalah Kam Hay Thian, bukan aku." Tio
Bun Yang memberitahukan. "Kini mereka berdua sudah saling mencinta."
"Karena itu...."
Ma Giok Ceng
tersenyum. ”Engkau pun
menjadi patah hati. Ya
kan?"
"Tentu tidak," sahut
Tio Bun Yang. "Aku menganggap Lu Hui San sebagai adik. Masih ada Lie Ai
Ling dan Lam Kiong Soat Lan, namun mereka semua sudah punya kekasih."
"Bagaimana engkau? Sudah
punya kekasih?"
"Aku...." Tio Bun
Yang menghela nafas.
"Aku.”
"Kalau engkau belum punya
kekasih, aku... bersedia menjadi kekasihmu." ujar Ma Giok Ceng dengan
suara rendah dan wajah kemerah-merahan.
”Eh? Engkau...." Tio Bun
Yang terbelalak.
"Kakak Bun Yang!" Ma
Giok Ceng tersenyum lembut. 'Begitu melihatmu, aku pun sangat tertarik
kepadamu. Aku...."
"Adik Giok Ceng...."
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku hanya bisa
menerimamu sebagai adik bukan sebagai kekasih
"Kenapa?" Ma Giok
Ceng tampak kecewa
"Sebab aku sudah punya
kekasih, namanya Sian Koan Goat Nio." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Tapi...."
"Kenapa?"
"Dia diculik oleh ketua
Kui Bin Pang, aku sedang mencarinya."
"Oooh!" Ma Giok Ceng
manggut-manggut "Pantas engkau bilang tidak punya waktu untuk mengajarku
ilmu silat, ternyata karena itu!"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Kakak Bun Yang...."
Ma Giok Ceng menatapnya seraya
berkata. "Perkenankanlah
aku ikut engkau! Kalau tidak, aku tidak tahu harus ke mana."
"Tapi...."
"Engkau tega membiarkan
aku berkeliaran ke sana ke mari? Bagaimana kalau aku bertemu penjahat
lagi?"
"Itu... itu...." Tio
Bun Yang mengerutkan kening.
"Kakak Bun Yang...." Ma Giok Ceng memandangnya
dengan penuh harap.
"Apakah engkau tega meninggalkanku seorang diri di sini?"
"Aku...." Mendadak
wajah Tio Bun Yang berseri. "Kebetulan
aku akan ke markas Ngo Tok
kauw di kota Kang Shi, engkau boleh ikut aku kesana."
"Terimakasih, kakak Bun
Yang!" ucap Ma Giok Ceng dengan wajah berseri. "Terimakasih."
"Ketua Ngo Tok Kauw
bernama Phang Ling Cu, dia kakak angkatku." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Engkau akan aman tinggal di sana."
"Ya." Ma Giok Ceng
mengangguk. "Terima-kasih!"
"Kalau begitu, mari kita
berangkat sekarang!" Tio Bun Yang bangkit berdiri. Ma Giok Ceng juga ikut
berdiri, kemudian mereka berdua berangkat ke kota Kang Shi.
Dalam perjalanan menuju markas
Ngo Tok Kauw, Tio Bun Yang mengajar Ma Giok Ceng ilmu silat tingkat tinggi,
tentunya sangat menggembirakan gadis itu. Ia terus belajar dengan giat sekali,
maka tidak heran kalau kepandaiannya mengalami kemajuan pesat.
Hari ini mereka beristirahat
di sebuah lembah. Ma Giok Ceng memanfaatkan kesempatan ini untuk berlatih.
Sedangkan Tio Bun Yang duduk termenung di bawah pohon,
ternyata sedang mjemikirkan
Siang Koan Goat Nio. Kemudian menghela nafas panjang sambil mengeluarkan
sulingnya
Terdengarlah suara suling yang
sangat menggetarkan kalbu. Ma Giok Ceng berhenti berlatih dan segera mendekati
Tio Bun Yang, lalu duduk di sisinya sambil mendengar suara suling itu.
Berselang beberapa saat
kemudian, barulah Tio Bun Yang berhenti meniup sulingnya dan wajahnya tampak
murung sekali.
"Kakak Bun Yang!" Ma
Giok Ceng memandangnya kagum. "Engkau pandai sekali meniup suling."
"Ya." Tio Bun Yang
manggut-manggut.
"Kakak Bun Yang...." Ma Giok Ceng menghela nafas
panjang. "Engkau teringat
kepada Goat Nio?"
"Ng!" Tio Bun Yang
mengangguk. "Aku rindu sekali kepadanya. Aaah...!"
"Kakak Bun Yang...."
Mendadak Ma Giok teng terisak-isak.
"Aku tidak pernah jatuh
hati kepada pemuda mana pun, namun setelah bertemu denganmu, aku justru jatuh
hati tapi engkau sudah punya kekasih."
"Adik Giok Ceng, aku menganggapmu
sebagai adik, maka aku pun akan menyayangimu."
"Aaah...!" keluh Ma
Giok Ceng. "Aku akan lebih bahagia apabila menjadi isterimu. Namun itu
cuma merupakan suatu mimpi di siang hari lolong."
"Adik Giok Ceng...."
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku...."
"Kakak Bun Yang!" Ma
Giok Ceng tersenyum." Aku kagum kepadamu, karena walau kita berduaan,
engkau tidak pernah kurang ajar terhadapku."
"Adik Giok Ceng...."
Tio Bun Yang tersenyum. "Aku yakin
kelak engkau pasti ketemu
pemuda tampan dan baik percayalah!"
"Kakak Bun Yang?"
tanya Ma Giok Ceng mendadak. "Bagaimana engkau seandainya terjadi sesuatu
atas dirinya?"
"Aku tidak bisa hidup
lagi." "Kalau engkau tidak bisa hidup, aku pun akan... mati,"
ujar Ma Giok Ceng dengan suara rendah.
"Apa?" Tio Bun Yang
tertegun, kemudia menghela nafas panjang. "Adik Giok Ceng, engkau tidak
boleh begitu"
"Yaaah!" Ma Giok
Ceng menghela nafas panjang "Siapa tahu kelak aku maIah akan menjadi
biarawati."
-oo0dw0oo-
Beberapa hari kemudian, Tio
Bun Yang dan Ma Giok Ceng sudah tiba di kota Kang Shi. Tio Bun Yang langsung
mengajaknya ke markas Nno Tok Kauw. Kedatangan Tio Bun Yang bersama gadis itu
sungguh mencengangkan Phang Ling Cu ketua Ngo Tok Kauw.
"Adik Bun Yang...."
"Kakak Ling Cu!" Tio
Bun Yang tersenyum "Mari kuperkenalkan, gadis ini bernama Ma Giok
Ceng."
"Oooh!" Ngo Tok
Kauwcu manggut-manggui
"Kakak Ling Cu!" Ma
Giok Ceng segera memberi hormat. "Terimalah hormatku!"
Ngo Tok Kauwcu balas memberi
hormat, la mempersilakan mereka duduk.
"Adik Bun Yang ke mari
ada urusan penting?” tanyanya kemudian
"Aaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Aku...”
"Adik Bun Yang!" Ngo
Tok Kauwcu menatapnya. "Engkau belum berhasil mencari Goat Nio ?”
"Belum." Tio Bun
Yang menggelengkan ke pala kemudian menutur tentang semua kejadian itu dan
menambahkan, "Entah dibawa ke mana Goat Nio?"
"Biar bagaimanapun engkau
harus tabah," ujar Ngo Tok Kauwcu. "Aku pun akan membantu mencari
jejak Ketua Kui Bin Pang itu.”
"Terimakasih, Kakak Ling
Cu!"
"Adik Bun Yang!" Ngo
Tok Kauwcu menatapnya seraya bertanya. "Bagaimana cara engkau berkenalan
dengan Giok Ceng?"
"...." Tio Bun Yang memberitahuan. ”.... maka aku
menyelamatkannya."
"Oooh!" Ngo Tok
Kauwcu manggut-manggut, kemudian memandang Ma Giok Ceng seraya bertanya.
"Bolehkah aku tahu identitasmu?"
"Boleh." Ma Giok
Ceng mengangguk. "Tapi Kakak Ling Cu tidak boleh memberitahukan kepada
orang lain, sebab akan mencelakai diriku."
"Baik." Ngo Tok
Kauwcu tersenyum. "Aku berjanji!"
"Aku adalah putri menteri Ma...." Ma Giok Ceng
memberitahukan tentang semua
itu. "Maka aku minggat dari rumah."
"Sungguh tak
disangka!" Ngo tok kauwcu menggeleng-gelengkan kepala. "Ternyata
engkau adalah putri menteri Ma yang sangat berpengaruh istana!"
"Aaah...!" Ma Giok
Ceng menghela nafas panjang. "Ayahku adalah menteri jahat, aku... aku
mengkhawatirkannya."
"Oh ya!" tanya Ngo
Tok Kauwcu. "Engkau tahu Pemuda itu berasal dari penguruan mana?"
"Tidak tahu." Ma
Giok Ceng menggelengkan kepala. "Guruku telah berpesan kepadaku harus
berhati-hati terhadapnya. Kata guruku, dia pemuda yang sangat licik."
"Ngmm!" Ngo Tok
Kauwcu manggut-manggut "Lalu apa rencanamu sekarang?"
Ma Giok Ceng segera memandang
Tio Bun Yang, dan pemuda itu langsung berkata,
"Kakak Ling Cu, sementara
ini biar dia tinggal di sini agar dirinya aman."
"Baiklah." Ngo Tok
Kauwcu tersenyum. "Dia boleh tinggal di sini. Tapi... markasku ini
tentunya tidak bisa menyamai rumah menteri Ma lho!"
"Tidak apa-apa,"
sahut Ma Giok Ceng cepat "Aku lebih senang tinggal di sini, sungguh!"
"Kini urusan ini telah
beres, maka aku harus segera pergi mencari Goat Nio," ujar Tio Bun Yang.
"Kakak Bun Yang...." Wajah Ma Giok Ceng langsung
berubah murung. "Kok
sudah mau pergi?"
"Aku...."
"Adik Bun Yang!" Ngo
Tok Kauwcu senyum. "Lebih baik engkau bermalam di sini besok pagi baru
berangkat."
"Tapi?!" Tio Bun
Yang mengerutkan kening
"Kakak Bun Yang!" Ma
Giok Ceng memandang dengan penuh harap, membuat Tio Bun Yang merasa tidak tega
berangkat sekarang.
"Adik Bun Yang,"
desak Ngo Tok Kauwu "Bermalam di sini saja, besok pagi baru
berangkat."
"Baiklah." Tio Bun
Yang mengangguk.
"Terimakasih, Kakak Bun
Yang!" Wajah Ma Giok Ceng langsung ceria. "Terimakasih!"
"Eh?" Ngo Tok Kauwcu
tertawa geli. "Giok Ceng, kenapa engkau mengucapkan terimakasih
padanya?"
"Aku...." Wajah
gadis itu kemerah-merahan. ”Aku...."
"Yaaah...!" Ngo Tok
Kauwcu menghela nafas panjang. "Kalau Adik Bun Yang belum punya kekasih,
kalian berdua memang serasi."
"Kakak Ling Cu,"
tanya Ma Giok Ceng mendadak. "Bukankah lelaki boleh punya isteri lebih
dari satu?"
"Itu memang kemauan kaum
lelaki," sahut Ngo Tok Kauwcu sambil tertawa. "Seandainya engkau
sudah punya suami, apakah memperbolehkan suamimu punya isteri muda?"
"Itu...." Ma Giok
Ceng menggelengkan kepala. ”Tentu aku
tidak memperbolehkannya."
"Nah! Itulah...."
Ngo Tok Kauwcu menghela nafas panjang.
"Maka tidak mungkin Adik
Bun Yang akan punya isteri lebih dari satu."
"Aaaah...!" keluh Ma
Giok Ceng.
"Giok Ceng!" Ngo Tok
Kauwcu tersenyum. ”Ketika pertama kali bertemu Adik Bun Yang. Aku pun sangat
tertarik kepadanya. Pada waktu itu aku memakai cadar di muka."
"Oh?" Ma Giok Ceng
tertegun. "Kenapa Kakak memakai cadar di muka?"
"Karena wajahku rusak
karena racun." Ngo Tok Kauwcu memberitahukan. "Yang menyembuhkan
mukaku adalah Adik Bun Yang."
"Oh?" Ma Giok Ceng
terkejut. "Kakak Yang juga mahir ilmu pengobatan?"
"Ya." Ngo Tok Kauwcu
mengangguk. "Tentu nya engkau tahu, kepandaiannya tinggi sekali."
"Betul. Aku telah
menyaksikan kepandaianya. Bahkan dia pun mengajarku ilmu silat tinggi
tinggi." Ma Giok Ceng memberitahukan.
"Bagus!" Ngo Tok
Kauwcu manggut-manggut kemudian menghela nafas panjang. "Adik Bun Yang
memang tampan, baik hati, lemah lembut berpengertian dan berperasaan."
"Wuah!" Ma Giok Ceng
tertawa kecil. "Di borong semua!" "Memang begitulah." Ngo
Tok Kauwcu mengangguk.
"Kakak Ling Cu!" Tio
Bun Yang menggeleng gelengkan kepala. "Jangan terlampau memuji diri ku,
karena sesungguhnya aku juga punya kekurangan."
"Kekuranganmu justru merupakan
kelebihan bagi orang lain," sahut Ngo Tok Kauwcu.
"Kakak Ling Cu...."
Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
Keesokan harinya, berangkatlah
Tio Bun Yang pergi mencari Siang Koan Goat Nio. Keberangkatannya justru membuat
Ma Giok Ceng bermuram durja. Ngo Tok Kauwcu terus menghibur gadis itu, namun
malah meledakkan tangisnya yang ditahan-tahan.
Diam-diam Ngo Tok Kauwcu
menghela nafas, gadis mana yang tidak akan jatuh cinta pada Tio Inn Yang? Sebab
Tio Bun Yang betul-betul pemuda baik dan sangat tampan.
-oo0dw0oo-
Tio Bun Yang terus melanjutkan
perjalanan tanpa tujuan. Sore ini ketika ia tiba disuatu tempat, mendadak
terdengar suara pertempuran yang hiruk pikuk.
Tio Bun Yang mengerutkan
kening, lalu meliat ke arah suara pertempuran itu. Tampak pasukan kerajaan
sedang
menyerang para
pembrontak.seorang wanita muda bertarung mati-matian. Begitu melihat wanita
itu, tersentaklah hatinya, karena wanita itu ternyata Tan Giok Lan yang ikut Yo
Suan Hiang, Ketua Tiong Ngie Pay, kemudian Tiong Ngie Pay bergabung dengan Lie
Hu Seng.
Betapa gembiranya Tio Bun
Yang. Ia segera melesat ke arah Tan Giok Lan.
Pasukan kerajaan yang sedang
bertempur itu terkejut bukan main, karena melihat sosok bayangan laksana kilat
di atas kepala mereka.
"Kakak Giok Lan!"
panggil Tio Bun Yang setelah melayang turun di hadapan Tan Giok Lan
"Haaah...?" Tan Giok
Lan terbelalak. "Engkau... engkau Adik Bun Yang?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk sambil tersenyum, kemudian memandang pemimpin pasukan kerajaan itu
seraya berkata, "Paman, lebih baik pertempuran yang tak berarti ini
dihentikan saja!"
"Anak muda!"
Pemimpin itu menatap Tio Bun Yang dan bertanya, "Siapa engkau?"
"Namaku Tio Bun
Yang."
"Apa?" pemimpin itu
terbelalak. "Engkau Giok Siauw Sin Hiap?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk sambil tci senyum. "Paman, untuk apa mengorbankan begil banyak
nyawa, dalam pertempuran yang tiada artinya ini?"
"Giok Siauw Sin
Hiap," sahut pemimpin itu "Aku ditugaskan untuk membasmi para
pemberontak, bagaimana mungkin aku menghentikan pertempuran ini? Cobalah
pikir!"
"Sebetulnya aku tidak mau
mencampuri urusan kerajaan. namun wanita ini adalah kakak angkatku”
"Giok Siauw Sin
Hiap!" Pemimpin itu menggeleng-gelengkan kepala. "Sesungguhnya aku
pun tidak menghendaki terjadinya pertempuran ini, tapi... apabila kuhentikan,
sampai di markas aku pasti dihukum mati."
"Kalau begitu...." Tio
Bun Yang tersenyum.
”Lebih baik
Paman, tidak usah
pulang."
"Tapi aku punya anak
isteri."
"Bawa serta anak isteri
Paman," ujar Tio Bun Ihing. "Kini situasi semakin gawat, terjadi
pertempuran di mana-mana. Lebih baik Paman hidup tenang di suatu tempat, jangan
bergelut lagi dengan situasi yang begini macam."
Pemimpin itu berpikir lama
sekali, akhirnya Mengangguk seraya berkata sungguh-sungguh.
"Baiklah, aku menuruti
nasehatmu."
"Terimakasih!" ujar
Tio Bun Yang.
Pemimpin itu memandang para
anak buahnya yangg berjumlah ratusan, kemudian berseru lantang
”Kalian semua dengar
baik-baik! Pertempuran ini tidak perlu dilanjutkan lagi!" sambil menghela
nafas panjang.
"Horee!" Para
prajurit itu bersorak girang,
"Siapa yang masih ingin
pulang ke markas, silahkan!" lanjut pemimpin itu. "Bagi siapa yang
tidak mau pulang ke markas, diperbolehkan pulang! Setelah itu, terserah mau ke
mana!"
Para prajurit itu saling memandang,
lama sekali barulah mereka berseru serentak.
"kami mau pulang!"
"Baik!" Pemimpin itu
manggut-manggut. ”Sekarang kalian boleh pulang, tapi lebih baik lepaskan
seragam kalian agar tidak menimbul kecurigaan pasukan lain!"
"Ya!" Para prajurit
itu mulai melepaskan seragam masing-masing, setelah itu barulah mereka
meninggalkan tempat tersebut.
"Giok Siauw Sin
Hiap," ujar pemimpin sambil tersenyum. "Aku akan pulang ke rumah
selanjutnya kami akan hidup tenang di suatu tempat. Sampai jumpa!"
Pemimpin itu melesat pergi,
Tio Bun Yang manggut-manggut, lalu memandang Tan Giok Lan seraya berkata,
"Kakak Giok Lan, kini
sudah aman...."
"Adik Bun Yang...."
Tan Giok Lan menatapnya dengan mata
basah. "Sudah sekian lama
kita tak bertemu, aku... aku rindu sekali kepadamu,'
"Aku pun rindu sekali
kepada Kakak," sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Oh ya, bagaimana
keadaan Bibi Suan Hiang? Dia baik-baik saja?”
"Bibi Suan Hiang
baik-baik saja. Dia pun rindu sekali kepadamu. Adik Bun Yang” Tan Giok Lan
menatapnya. "Mari ikut kami pergi menemui Bibi Suan Hiang dan Paman Lie
Tsu Seng, beliau pun sering teringat kepadamu!"
"Kakak Giok Lan...."
Tio Bun Yang tampak ragu "Aku masih
ada urusan lain, tidak
bisa...."
"Ayohlah!" desak Tan
Giok Lan. "Bibi Suan Hiang sangat merindukanmu, temuilah dia!"
"Kakak Giok Lan...."
Tio Bun Yang berpikir lama sekali,
setelah itu barulah
mengangguk. ”Baiklah!"
"Adik Bun Yang...."
Wajah Tan Giok Lan langsung berseri,
kemudian berseru lantang.
"Mari kita kembali ke markas...!” -oo0dw0oo-
Bagian ke enam puluh tujuh
Pertarungan di Markas Lie Tsu
Seng
Di ruang tengah, tampak
Menteri Ma dan Kwee Ceng An duduk dengan wajah serius, rupanya mereka berdua
sedang membahas suatu masalah penting.
"Teng An," ujar
Menteri Ma. "Aku telah mengajukan permohonan kepada kaisar, agar engkau
diterima sebagai pemimpin pengawal di istana- Tapi...."
"Kenapa?" tanya Kwee
Teng An dengan kening agak berkerut. "Apakah kaisar tidak sudi menerima
permohonan Ayah?"
"Kaisar akan menerima
permohonanku, tapi aku harus memenuhi sebuah syaratnya.”
"Apa syarat kaisar?"
"Aku harus
mempersembahkan kepala Lie Tsu Seng."
"Maksud kaisar aku harus
memenggal kepala pemimpin pemberontak itu?"
"Ya." Menteri Ma
mengangguk, lalu mengb nafas panjang. "Itu... itu bagaimana mungkin."
"Ayah," ujar Kwee
Teng An dengan tersenyum. "Aku akan pergi memenggal kepala Tsu Seng."
"Oh?" Wajah Menteri
Ma berseri. Sesungguhnya ia tidak mengajukan permohonan tersebut kepada kaisar,
hanya berbohong guna memperalat Kwee Teng An agar membunuh Lie Tsu Seng
Sebetulnya Kwee Teng An sangat licik, namun masih kalah licik dibandingkan
dengan Menteri Ma.
"Ayah," ujar Kwee
Teng An sungguh-sungguh "Kalau aku t,dak berhasil memenggal kepala Lie Tsu
Seng, aku tidak akan kembali kesini „
"Bagus! Bagus! Menteri Ma
tertawa gembira. "Apabila engkau berhasil memenggal kepala Lie Tsu Seng,
kaisar pasti mengangkatmu sebagai pemimpin pengawal istana."
"Tapi...." Mendadak
Kwee Teng An mengerutkan kening.
"Ada apa?" Menteri
Ma menatapnya.
”Aku tidak tahu pemimpin
pemberontak itu ada di mana Ayah tahu?”
”Tentu tahu” Menteri Ma
tersenyum dan memberitahukan ”Kini markas Lie Tsu Seng berada di pinggir Kota
Lam An."
"Kalau begitu...."
Kwee Teng An bangkit dari duduknya.
"Aku akan berangkat
sekarang."
"Nak...." Menteri Ma
juga berdiri, lalu memegang bahunya
seraya berkata, "Semoga
engkau berhasil memenggal kepala Lie Tsu Seng!"
"Percayalah kepadaku,
Ayah!" sahut Kwee Ceng An sambil tersenyum. "Aku pasti berhasil
memenggal pemimpin pemberontak itu."
"Bagus! Bagus! Ha ha
ha!" Menteri Ma tertawa gembira. "Engkau berkepandaian begitu tinggi,
tentunya mampu memenggal kepala Lie Tsu Seng! Ha ha ha...!"
"Ayah, aku
berangkat." ujar Kwee Ceng An dan berjalan pergi.
Menteri Ma memandang
punggungnya. Setelah Kwee Ceng An lenyap dari pandangannya ia tertawa gembira
lagi. Namun berselang beberapa saat kemudian wajahnya tampak berubah ternyata
ia teringat akan putrinya.
"Giok Ceng! Giok Ceng!
Engkau berada di mana? Pulanglah, ayah rindu sekali kepadamu!"
-oo0dw0oo-
Kwee Teng An terus melakukan
perjalan siang dan malam, fa bernafsu sekali memeng kepala Lie Tsu Seng, karena
ingin menjadi pj mimpin pengawal istana. Apabila berhasil, ma ia pun tidak
perlu bergantung pada Menteri lagi. Berpikir sampai di situ, mendadak K Teng An
tertawa terbahak-bahak.
Beberapa hari kemudian, ia
sudah memasul daerah Lam An. Tampak puluhan tenda di depan sana. Kwee Teng
melesat ke sana tersenyum senyum. Ia kelihatannya yakin berhasil memenggal
kepala Lie Tsu Seng. Tiba-tiba muncul puluhan pemberontak memandangnya seraya
bertanya,
"Siapa engkau? Mau apa
engkau ke mari?!
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa gelak dan menyahut, "Kalian tidak usah tahu siapa aku.
Aku. ke mari untuk memenggal kepala Lie Tsu Sen. Ha ha ha...!"
"Apa?" Para
pemberontak itu terbelalak. "Kawan, engkau jangan bergurau dengan kami!
Kami semua adalah pejuang...."
"Hm!" dengus Kwee
Teng An dingin, kemudian mendadak bergerak.
"Aaakh! Aaaakh...!"
Terdengar suara jeritan yang menyayat hati. Tampak beberapa orang terpental
dengan mulut menyemburkan darah segar dan kemudian nyawa mereka pun melayang.
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An terus tertawa gelak. Kemudian badannya berkelebatan ke sana ke mari,
dan seketika terdengar lagi suara jeritan
Sangat menyayat hati. Betapa
terkejutnya para pemberontak itu, karena sudah belasan orang mati di tangan
Kwee Teng An. Salah seorang di antara mereka segera berlari ke tenda Lie Tsu
Seng, dan melapor. "Celaka! Di luar ada pembunuh."
"Pembunuh?" Lie Tsu
Seng mengerutkan kening. "Siapa pembunuh itu?"
"Entahlah."
"Dia mau membunuh
siapa?"
"Dia mau
membunuh...."
"Dia mau membunuhku,
kan?"
"Betul."
Sementara Yo Suan Hiang, Tan
Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him saling memandang, kemudian semuanya
memberi hormat kepada Lie Tsu Seng seraya berkata,
"Kami akan menghadapi
mereka!"
"Hati-hati!" pesan
Lie Tsu Seng.
Yo Suan Hiang dan lainnya
segera meleset keluar ke tempat itu. Mereka melihat Kwee Teng An sedang
membantai para penjaga di sana. Di saat mereka baru mau meleset ke hadapan
pemuda itu, mendadak terdengar suara tawa cekikikan.
"Hi hi hi! Anak muda,
ternyata engkau ke sini membantai para pejuang!" Terdengar pula suara
seruan merdu, lalu melayang turun seorang wanita muda yang sangat cantik,
sepasang matanya mengerling mempesonakan.
Begitu melihat kecantikan
wanita muda itu Kwee Teng An terpukau sehingga matanya terbelalak lebar.
"Nona cantik! Siapa
engkau?" tanyanya dengan tersenyum lembut. "Kenapa engkau mencampuri
urusanku?"
"Wuah, bukan main
lembutnya senyumanmu” Wanita muda itu tertawa nyaring sambil menatapnya.
"Tapi... penuh kelicikan!"
"Nona manis!" Kwee
Teng An tertawa. "Bolehkah aku tahu siapa engkau?"
"Namaku Tu Siao Cui,
juiukanku adalah Bu Ceng Sianli!" Sungguh di luar dugaan, wanita muda itu ternyata
Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui..
"Oooh!" Kwee Teng An
tersenyum. "Nona Tu, engkau memang secantik bidadari, aku senang sekali
bertemu denganmu."
"Oh, ya?" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan "Tapi sebaliknya aku malah tidak senang melihat
mu."
"Lho? Kenapa?"
"Aku mengikutimu dari ibu
kota, tak kusangka engkau ke mari membantai para pejuang!"
"Terimakasih atas
kesediaanmu mengikuti aku dari ibu kota!" ujar Kwee Teng An sambil tertawa
tawa. "Itu pertanda engkau suka padaku! Ya. kan?"
"Hi hi hi! Kira-kira begitulah," sahut Bu Ceng Sianli.
"Bolehkah aku tahu
asal-usulmu?" tanyanya.
"Namaku Kwee Teng An.
Mengenai asal usulku...." Pemuda
itu menatapnya dengan penuh
gairah nafsu birahi. "Kelak aku akan memberi-lahukan kepadamu!"
"Oh?" Bu Ceng Sianli
tersenyum. "Sudah tiada kelak lagi bagimu!"
Ketika menyaksikan senyuman
itu, Kwee Teng An nyaris menerjang untuk memeluknya.
"Nona Tu! Terus terang,
aku sangat tertarik kepadamu! Rasanya ingin sekali menemani tidur. aku yakin
engkau tidak berkeberatan, bukan?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Suanli hanya tertawa cekikikan, tidak menyahut.
Sementara Yo Suan Hiang dan
lainnya me-mandang mereka dengan mata terbelalak. Mereka tuntu sekali tidak
kenal Kwee Teng An dan Bu Ceng Sianli, namun mereka berlega hati, karena Bu
Ceng Sianli kelihatan berada di pihak mereka.
"Nona Tu, Setelah aku
memenggal kepala Lie Tsu Seng, bagaimana kalau kita pergi
bersenang-senang?"
"Idiih! Engkau kok begitu
genit?"
"Engkau bersedia
menemaniku bersenang-senang, kan?"
"Akan kupertimbangkan!
Tapi...." Mendadak Bu Ceng Sianli
menatapnya tajam. "Aku
tidak mengizinkan engkau memenggal kepala Lie Tsu Seng!"
"Kenapa?" Kwee Teng
An mengerutkan kening. "Engkau punya hubungan dengan pemimpin pemberontak
itu?"
"Tidak ada hubungan
apa-apa!"
"Kalau begitu, kenapa
engkau ingin menghalangiku memenggal kepalanya? Apa alasanmu”
"Lie Tsu Seng adalah
pejuang demi rakyat maka aku harus melindunginya."
"Oh?" Kwee Teng An
tersenyum, kemudian mendadak menatap Bu Ceng Sianli dengan tajam sekali sambil
mengerahkan Toh Hun Tay Hoat untuk mempengaruhinya. "Tu Siao Cui, engkau
harus menuruti perintahku!"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli malah tertawa cekikikan. "Anak muda, percuma engkau mengerahkan
ilmu sesatmu, karena aku tidak akan terpengaruh."
"Hah?" Bukan main
terkejutnya Kwee Tcn An. "Nona Tu...."
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan lagi. "Engkau perlu tahu sebelum engkau di
lahirkan, aku sudah belajar ilmu sesat!"
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa. "Nona Tu, engkau bergurau...."
"Diam!" bentak Bu
Ceng Sianli mendadak "Cepatlah engkau enyah dari sini! Kalau tidak aku
pasti turun tangan membunuhmu!"
"Oh?" Kwee Teng An
tertawa lagi. "Ha ha ha! Engkau kok galak amat? Sungguh kebetulan, aku
memang suka gadis galak! Ha ha ha...!"
"Anak muda!" Bu Ceng
Sianli mengerutkan kening. "Betulkah engkau tidak mau enyah?"
"Aku sudah jatuh cinta
kepadamu, bagaimana mungkin aku akan enyah dari sini?"
"Engkau memang ingin cari
mampus!"
"Nona Tu!" Kwee Teng
An tersenyum. "Berhubung aku sudah jatuh cinta kepadamu, maka aku tidak
mau bertarung denganmu! Tapi... aku kan membunyikan sesuatu untuk engkau
dengar!"
Bu Ceng Sianli tercengang,
Kwee Teng An mengeluarkan sebuah benda. Ketika melihat benda itu, air muka Bu
Ceng Sianli langsung berubah ia segera berseru.
"Cepatlah kalian semua
menyingkir! Kalau tidak kalian semua pasti mati!"
Yo Suan Hiang dan lainnya
saling memandang, lama sekali barulah Yo Suan Hiang berseru.
"Mari kita
menyingkir!"
Mereka semua langsung
menyingkir, membuat Bu Ceng Sianli menarik nafas lega.
"Nona Tu!" Kwee Teng
An menatapnya "Engkau kenal benda ini?"
"Tidak, tapi pernah
mendengar," sahut Bu Ceng Sianli. "Benda itu adalah Genta Maut! Ya,
kan?"
"Tidak salah!" Kwee
Teng An manggut-manggut. "Engkau tahu Genta Maut ini, berarti l juga akan
kelihayannya! Oleh karena itu, baik engkau menyerah."
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa nyari "Engkau tidak tahu jelas tentang asal-usulku maka
engkau berani omong besar di hadapanku”
"Nona Tu," Ujar Kwee
Teng An sun sungguh. "Lebih baik kita damai. Sebab aku sudah jatuh cinta
kepadamu."
"Kita boleh damai, tapi
engkau harus lepaskan Lie Tsu Seng!"
"Tidak bisa! Aku kemari
justru ingin memenggal kepalanya. Kalau aku berhasil memenggal kepalanya, maka
aku akan hidup senang mewah. Tentunya engkau boleh ikut mencicip nya! Ha ha
ha...!"
"Kalau begitu...."
Wajah Bu Ceng Sianli berubah dingin.
"Aku terpaksa harus
menghajarmu!"
"Baik! Aku akan
melumpuhkanmu dengan Genta Maut ini!" sahut Kwee Teng An dan ia
membunyikan Genta Maut tersebut.
Seketika sekujur badan Bu Ceng
Sianli getar keras, sedangkan Yo Suan Hiang dan lain cepat-cepat menutup
telinga. Wajah mereka pucat pias, lalu menyingkir lebih jauh. Di saat itu
terdengar suara siulan panjang. Ternyata Bu Ceng Sianli mengeluarkan suara
siulan untuk menekan Genta Maut itu.
Maka terdengarlah suara siulan
dan bunyi Genta Maut yang saling menyusul. Kwee Teng terus membunyikan Genta
Maut itu, bukan bermaksud membunuh Bu Ceng Sianli, melainkan iya ingin
melumpuhkannya. Sedangkan Bu Ceng sianli terus
mengerahkan Lwee Kangnya
bersiul untuk menekan bunyi Genta Maut itu.
Di saat bersamaan, Tio Bun
Yang, Tan Giok Lan dan lainnya telah tiba di tempat itu. Ketika mendengar
suara-suara tersebut kening Tio Bun Yang langsung berkerut.
"Kakak Giok Lan, kalian
semua harus menunggu di sini!" Pesan Tio Bun Yang dan membertahukan,
"Sebab kalau kalian mendekati tempat itu, bunyi genta itu pasti mencelakai
kalian! aku kenal wanita itu. Kelihatannya ia agak kewalahan menghadapi bunyi
genta itu, maka aku harus ke sana membantunya!"
"Hati-hati, Adik Bun
Yang!" Ujar Tan Giok Lan.
"Ya!" Tio Bun Yang
mengangguk sambil mengeluarkan suling pusakanya. Kemudian ia mencari ke tempat
itu dan mulai meniupnya.
Terdengarlah alunan suling
yang amat lembut menyamankan. Begitu mendengar suara suling itu, wajah Bu Ceng
Sianli langsung berseri, karena ia sudah tahu siapa peniupnya. Sebaliknya Kwee
Teng An malah terkejut. Ia terus membunyikan Genta Mautnya sambil paling.
Ketika melihat siapa yang muncul, mukanya langsung berubah hebat, karena tidak
menyangka kalau Tio Bun Yang akan muncul tempat itu. Oleh karena itu, timbullah
nafsu membunuhnya.
Kwee Teng An memperkeras bunyi
Genta Mautnya. Betapa terkejutnya Bu Ceng Sianli Namun di saat bersamaan, ia
pun mendengar suara suling yang makin lembut tapi bernada tinggi dan terus
meninggi.
Bu Ceng Sianli berhenti
bersiul, lalu dia bersila di bawah sambil mengerahkan lweekang nya.
Sementara Kwee Teng An terus
memperkuat bunyi Genta Mautnya, sedangkan suara suling Bun Yang semakin lembut
dan bernada semakin tinggi.
Daaar! Mendadak suara ledakan.
Ternyata Genta Maut itu meledak, sehingga membuat Kwee Teng An terpental
beberapa depa. Setelah berdiri ia menatap Tio Bun Yang dengan mata berapi
"Adik! Adik...!"
seru Bu Ceng Sianli saambil bangkit berdiri.
"Kakak Siao Cui!"
sahut Tio Bun Yang den girang. "Kakak Siao Cui...."
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa gelak "Tio Bun Yang, engkau memang hebat karena suara
sulingmu mampu meledakkan Genta Maut! Tapi engkau akan menderita sekali!"
"Oh?" Tio Bun Yang
mengerutkan kening, ketika ia baru mau maju justru Bu Ceng Sianli mencegahnya.
"Adik, biarlah aku yang
menghadapinya! Dia berani menghinaku, maka aku harus mengajarnya!"
"Sungguh tak
disangka!" Kwee Teng An memandang Tio Bun Yang. "Engkau punya seorang
kakak perempuan yang begitu cantik! Ha ha ha! aku sudah jatuh cinta
kepadanya!"
"Diam!" bentak Bu
Ceng Sianli. "Bersiap-siplah! Aku akan menyerangmu!"
"Yaah!" Kwee Teng An
menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa kita harus bertarung? Bukankah lebih
baik kita bersenang-senang di tempat tidur?"
"Binataang!" bentak
Bu Ceng Sianli gusar, lalu menyerangnya dengan sengit.
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa gelak sambil berkelit, kemudian balas menyerang.
Bu Ceng Sianli terkejut karena
tidak menyangka pemuda itu berkepandaian begitu tinggi. Demikian pula Kwee Teng
An, ia pun tidak penyangka wanita cantik itu berkepandaian tinggi
"Berisi juga
engkau!" ujar Bu Ceng Sianli.
"Tentu," sahut Kwee
Teng An. "Engkau pun berisi, terutama badanmu dan...."
Kwee Teng An tidak melanjutkan
ucapannya. Kwee Teng An terpental ke belakang berapa langkah, begitu pula Bu
Ceng Sianli, namun tiada seorang pun yang terluka.
Kira-kira dua puluh jurus
kemudian, mendadak Bu ceng Sianli menghentikan serangannya
"Ha ha ha!" Kwee
Teng An tertawa. "Nona sungguh hebat Ilmu Jari Saktimu! Dadaku nyaris
berlubang."
"Sambut lagi
seranganku!" bentak Bu Ceng sianli dan menyerangnya. Kali ini ia
mengeluarkan jurus Cian Ci Keng Thian (Ribuan Jari Mengejutkan Langit). Tampak
bayangan-bayangan jarinya berkelebatan mengarah kepada Kwee Ceng An.
Pemuda itu tertawa panjang dan
tiba-tiba badannya berputar-putar sekaligus sepasang lengannya, Ia menangkis
dengan salah satu jurus Pek Kut Im Sat Ciang.
Blaaaam...!! Terdengar suara
lagi suara benturan yang memekakkan telinga.
Kwee Teng An terpental
beberapa depa, Bu Ceng Sianli pun terpental dengan wajah pucat pasi.
"Kakak Siao Cui!"
seru Tio Bun Yang sambil melesat ke arahnya. "Bagaimana? Engkau
terluka?"
Bu Ceng Sianli menggelengkan
kepala, dan segera mengatur pernafasannya. Sedangkan Kwee Ceng An terus
memandang mereka, kemudian tertawa gelak seraya berkata lantang.
"Ha ha ha! Nona Tu,
engkau memang hebat! Ilmu jarimu mampu melubangi pakaianku! Tapi aku belum
mengerahkan seluruh lweekang karena aku tidak berniat melukaimu! Ha ha Kelak
kita akan berjumpa lagi!" Mendadak Kwee Teng An
melesat pergi seraya berseru,
"Tio Yang, kini engkau pasti tersiksa sekali hati Ha ha ha...!"
Tio Bun Yang mengerutkan
kening, Ia ti mengejar pemuda itu, karena khawatir Bu G Sianli terluka. Oleh
karena itu, ia cepat-cepat memeriksa Bu Ceng Sianli dan seusai memeriksa wanita
itu, ia menarik nafas lega.
"Untung kakak tidak luka!
Ilmu pukulan sungguh beracun! Kalau kakak tidak memiliki lweekang tinggi, tentu
sudah celaka oleh beracun itu!"
"Aaah...!" Bu Ceng
Sianli menghela nafas panjang. "Aku tak menyangka sama sekali. Kalau
pemuda itu berkepandaian begitu tinggi! Kalau aku tidak memiliki Hian Goang Sin
Kang, aku pasti sudah celaka di tangannya!"
Di saat mereka bercakap-cakap,
tiba-tiba terdengar suara seruan yang penuh kegembiraan
"Bun Yang! Bun
Yang...!" Ternyata Yo Suan Hiang yang berseru sambil menghampirinya.
"Bibi! Bibi!" sahut
Tio Bun Yang girang.
"Bun Yang!" Yo Suan
Hiang menatapnya kemudian membelainya. "Engkau sudah bertambah besar dan
ganteng, tapi... kenapa agak kurus ?”
"Bibi...." Tio Bun
Yang tersenyum getir.
"Oh ya!" Yo Suan
Hiang memberi hormat kepada Bu Ceng Sianli. "Terimakasih atas tertolong
Adik! Kalau Adik tidak muncul, kami semua pasti sudah mati di tangan orang
itu!"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan.
"Kakak!" Tio Bun
Yang memperkenalkan mereka. "Ini bibiku."
"Adik!" Bu Ceng
Sianli tertawa lagi. "Dia bibi asli atau cuma bibi-bibian?"
"Ayahnya adalah kakak
angkatku, maka Bun Yang harus memanggilku bibi," sahut Yo Suan Hiang dan
menambahkan, "Engkau pun harus memanggilku bibi!" .
"Oh ya?" Bu Ceng
Sianli tertawa nyaring, namamu?"
"Yo Suan Hiang!"
"Aku akan memanggil
namamu saja."
"Apa?" Yo Suan Hiang
terbelalak dan membatin. "Sungguh kurang ajar wanita muda ini!"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli menatapnya. "Engkau mencaciku kurang ajar dalam hati! Ya,
kan?" katanya.
"Itu...." Yo Suang
Hiang tersentak.
"Bibi, Kakak Siao Cui...." Tio Bun Yang ingin
memberitahukan tentang Bu Ceng
Sianli, namun Yo Suan Hiang sudah memotongnya.
"Tidak apa-apa! Tidak
apa-apa." Yo Suan Hiang tersenyum. "Mari kita pergi menemui Lie Tsu
Seng!"
"Baik." Tio Bun Yang
mengangguk Mereka semua menuju tenda di mana Lie Tsu Seng berdiri di situ. Ia
pun sudah melihat kejadian tadi
"Paman! Paman!"
Panggil Tio Bun Yang girang.
"Bun Yang!" Lie Tsu
Seng memegang bahunya. "Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana Engkau
baik-baik saja selama ini?"
"Aku baik-baik saja,
Paman." sahut Tio Bun Yang.
"Syukurlah!" ucap
Lie Tsu Seng, kemudian memandang Bu Ceng Sianli sambil memberi hormat.
"Lihiap (Pendekar Wanita), terimakasih atas pertolonganmu!"
"Ngmmm!" Bu Ceng
Sianli manggut-manggui dengan penuh perhatian lalu menatapnya dengan penuh
perhatian
„Engkau memang gagah dan
berwibawa, namun kalau engkau berhasil menjadi kaisar kelak, janganlah cuma
tahu
bersenang-senang dengan wanita
cantik, harus memperhatikan nasib rakyat, jangan hanya mementingkan diri
sendiri!"
"Tentu, tentu." Lie
Tsu Seng tertawa gelak
Sikap Bu Ceng Sianli yang agak
kurang ajar itu tidak membuatnya gusar maupun tersinggung, na mun membuat Yo
Suan Hiang mengerutkan kening. Kemudian Lie Tsu Seng mempersilakan duduk.
”Silakan duduk!"
"Terimakasih!" ucap
Tio Bun Yang sambil duduk. Bu Ceng Sianli juga duduk dan kemudian berkata
kepada Tio Bun Yang.
"Adik, tak disangka kita
bertemu di markas Lie Tsu Seng ini!"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Memang sungguh di luar dugaan!"
"Bun Yang !" Yo Suan
Hiang memandangnya. ”Kok engkau kemari bersama Giok Lan?"
"Bibi!" Tan Giok Lan
segera menutur tentang kejadian itu.
"Oooh!" Yo Suan
Hiang manggut-manggut. ”kalau Bun Yang tidak muncul, kalian semua pasti
celaka!"
"Ya!" Tan Giok Lan
mengangguk.
”Bun Yang!" Lie Tsu Seng
memandangnya „Engkau bertambah ganteng tapi kenapa badanmu agak kurus?”
”Paman aku ...” Tio Bun Yang
mengelengkan kepala
”Bun Yang,..” Yo Suan Hiang
tersentak „Apa yang telah terjadi tuturkanlah pada kami,..”
"Aku...." Tio Bun
Yang menutur semua kejadian itu
Yo Suan Hiang dan Lie Tsu Seng
mendengarkan dengan penuh perhatian kemudian mereka. menggeleng-gelengkan
kepala
„Jadi hingga saat ini engkau
belum bertemu Goat Nio?” tanya Yo Suan Hiang dengan kening berkerut-kerut.
"Belum," sahut Tio
Bun Yang sambil menghela nafas panjang.
"Aaaah...." Lie
Tsu Seng menggeleng-gelengkan kepala.
"Dinasti Beng makin
bobrok, sedangkan rimba persilatan justru makin kacau-balau!"
"Lie Tsu Seng,"
tanya Bu Ceng Sianli mendadak. "Betulkah kalian telah berhasil merebut
beberapa kota penting?"
"Betul." Lie Tsu
Seng mengangguk. Air mukanya tampak agak berubah, karena Bu Ceng Sianli
memanggil namanya langsung.
"Bu Ceng Sianli!" Yo
Suan Hiang memandangnya dengan kening berkerut. Ia ingin menegurnya tapi merasa
tidak enak, sebab wanita muda itu telah menyelamatkan mereka semua
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan "Suan Hiang, engkau ingin menegur aku karena
menurutmu aku sangat kurang ajar, bukan? Nah, perlukah aku minta maaf?"
"Itu...." Apa yang diucapkan Bu Ceng Sianli sungguh
membuat Yo Suan Hiang serba
salah, namun bersamaan dengan itu Lie Tsu Seng tertawa gelak.
"Ha ha ha! Itu tidak
perlu. Aku sama sekati tidak mempermasalahkan itu," ujar Lie Tsu Seng
sungguh-sungguh.
"Bagus! Bagus! Hi hi
hi!" Bu Ceng Sianli terawa nyaring. "Lie Tsu Seng, engkau betul-betul
berjiwa besar. Tidak sia-sia aku menyelamatkanmu. Hi hi hi!"
"Terimakasih,.terimakasih!"
ucap Lie Tsu Seng.
Sementara Yo Suan Hiang terus
memandang Tio Bun Yang, kelihatannya menghendakinya menutur tentang Bu Ceng Sianli.
"Bibi...." Tio
Bun Yang tersenyum.
"Kenapa kau terus
memandangku?"
"Bun Yang, bibi justru
merasa heran," sahut Yo Suan Hiang. "Nona Tu baru berusia dua
puluhan, tapi kenapa engkau memanggilnya kakak?"
"Maksud bibi aku harus
memanggilnya adik?" tanya Tio Bun Yang sambil tertawa geli.
"Seharusnya begitu."
Yo Suan Hiang manggut-manggut.
"Bibi, sebetulnya aku
malah harus memanggilnya nenek tua." ujar Tio Bun Yang.
"Eh?" Yo Suan Hiang
terbelalak. "Sekian lama tidak bertemu, bibi tidak menyangka engkau suka
bergurau."
"Aku tidak bergurau,
Bibi," sahut Tio Bun Yang. "Kalau menurut usia dan aturan, aku memang
harus memanggilnya nenek tua. Mungkin Bibi dan Paman Lie pun harus memanggilnya
nenek."
"Apa?" Yo Suan Hiang
melotot. "Bun Yang, kau...."
"Bun Yang!" Lie Tsu
Seng menatapnya heran
"Aku yakin engkau tidak
bergurau, tapi... jelaskanlah'"
"Sesungguhnya kakak Siao
Cui sudah berusia hampir sembilan puluh." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Maka dia tidak salah memanggil nama Bibi dan nama Paman."
"Haaah...?" Mulut
Lie Tsu Seng terngangalebar, kemudian menatap Tio Bun Yang sambil mengerutkan
kening. "Engkau... engkau sudah tidak waras ya?"
"Paman!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Kita melihat kakak Siao Cui berusia dua puluhan, tapi
usianya memang sudah
hampir sembilan puluh Itu
karena kakak Siao Cui mengalami suatu kemujizatan alam."
"Oh?" Yo Suan Hiang
masih kurang percaya
"Bibi!" Tio Bun Yang
tersenyum lagi. "Semula aku pun seperti Bibi, sama sekali tidak percaya
Tapi kemudian barulah aku percaya, karena ada buktinya "
"Bukan main!" Lie
Tsu Seng menggeleng-gelengkan kepala. "Tu lihiap, bolehkah engkau
menceritakan tentang kemujizatan itu?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikikan kemudian barulah menutur tentang apa yang dialaminya
Yo Suan Hiang dan Lie Tsu Seng
mendengarkan dengan mulut ternganga lebar saking takjubnya. Apa yang dituturkan
Bu Ceng Sianli mirip suatu dongeng, namun justru nyata, "Itu sungguh
merupakan kemujizatan alam!" ujar Yo Suan Hiang sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Kalau begitu, aku yang harus mohon maaf kepada lo cianpwee."
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa geli. "Jangan Memanggilku lo cianpwee, sebab akan membuat
sekujur badanku jadi merinding. Engkau cukup memanggilku kakak saja."
"Kakak!" panggil Yo
Suan Hiang girang. "Ohya, kepandaian kakak tinggi sekali. Kami semua
berhutang budi kepada kakak."
"Jangan berkata
begitu!" Bu Ceng Sianli tersenyum. "Itu memang kebetulan sekali. Aku
sedang menyelidiki seseorang, tanpa sengaja aku tiba di ibu kota dan melihat
seseorang melakukan perjalanan tergesa-gesa. Itu menimbulkan kecurigaanku, maka
aku terus menguntitnya. Akhirnya di tempat ini, aku melihat dia membunuh para
pejuang yang menjaga di luar. Segeralah aku memunculkan diri dan melawannya,
tapi tak di sangka kepandainnya begitu tinggi."
"Kalau aku tidak memiliki
suling pusaka, tentu tidak bisa membuat genta itu pecah," ujar Tio Bun
Yang. "Entah genta apa itu? Begitu hebat!".
”Itu adalah Genta Maut."
Bu Ceng Sianli memberitahukan. "Guruku pernah menceritakan Genta Maut itu,
justru tidak disangka pemuda itu memiliki benda tersebut."
"Ilmu pukulannya sungguh
ganas dan beracun!" Tio Bun Yang memberitahukan. "Kelihatannya dia
masih belum mengerahkan seluruh lwekangnya. Aku sangat heran kenapa dia tidak
mengerahkan seluruh Iweekangnya untuk melukai kakak?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli tertawa cekikik; "Itu karena dia telah jatuh cinta kepadaku.
Apabila dia mengerahkan seluruh Iweekangnya, akupun akan mengerahkan Hian Goang
Sin Kang sampai pada puncaknya."
"Oooh!" Tio Bun Yang
mengangguk. "Kakak tahu ilmu pukulan apa itu?" tanyanya.
"Sepasang telapak
tangannya mengeluarkan uap, mirip...."
Bu Ceng Sianli terus berpikir,
kemudian baru melanjutkan ucapannya. "Itu mirip pukulan Pek Kut Im Sat
Ciang."
"Apa?" Tio Bun Yang
nyaris meloncat bangun saking terkejut. "Itu adalah ilmu pukulan Pek Im
Sat Ciang?"
"Kalau tidak salah, sebab
aku pernah mendengar tentang ilmu pukulan itu dari guruku Mendadak wajah Bu
Ceng Sianli berubah hebat "Pemuda itu...."
"Dia ketua Kui Bin
Pang!" seru Tio Bun Yang tak tertahan.
"Tidak salah." sahut
Bu Ceng Sianli. "Hanya ketua Kui Bin Pang yang mahir ilmu pukulan
tersebut."
"Kakak tahu nama pemuda
itu?" tanya Tio u n Yang.
"Dia bernama Kwee Teng
An." Bu Ceng Sianli Memberitahukan.. "Aku mendengar namanya dipanggil
seseorang."
"Kwee Teng An! Kwee Teng
An...." gumam Tio Bun Yang
"Dia...."
Mendadak Tio Bun Yang melesat
pergi tanpa pamit lagi. Itu sungguh mengejutkan semua orang.
"Bun Yang!" teriak
Yo Suan Hiang memangnya.
"Adik!" seru Bu Ceng
Sianli. "Adik...!" Namun pemuda itu sudah tidak kelihatan, ternyata
ia melesat pergi menggunakan ginkang.
”Heran?" gumam Yo Suan
Hiang tidak mengerti. "Kenapa mendadak dia melesat pergi?"
"Aku yakin dia pasti
pergi mencari pemuda tadi” sahut Bu Ceng Sianli. "Sebab Goat Nio berada di
tangan Ketua Kui Bin Pang itu."
"Apa?" Yo Suan Hiang
terkejut bukan main. ”Pemuda itu adalah ketua Kui Bin Pang?"
"Menurutku memang tidak
salah," sahut Bu rng Sianli. "Sebab dia tadi menangkis seranganku
dengan ilmu Pek Kut Im Sat Ciang."
"Kalau begitu...."
Kening Yo Suan Hiang berkerut. "Goat Nio
masih berada di
tangannya."
"Maka Bun Yang segera
melesat pergi. Dia pasti pergi mencari pemuda itu." ujar Bu Ceng Sianli
dan berpamit. "Maaf, aku harus segera pergi menyusul Bun Yang."
Bu Ceng Sianli melesat pergi.
Lie Tsu Sen dan Yo Suan Hiang dan lainnya hanya duduk mematung di tempat,
kemudian mereka saling memandang dan menghela nafas panjang.
"Aaah...," ujar Lie
Tsu Seng. "Aku telah berhutang budi kepada Tu lihiap! Dia menyelamatkan
nyawaku!"
-oo0dw0oo-
Bagian ke enam puluh delapan
Kim Coa Long Kun (Pendekar
Pedang Ular Emas)
Tio Bun Yang melakukan
perjalanan siang malam ke ibu kota. Ternyata ia mengetahui tentang Kwi Teng An
dari Ma Giok Ceng. Ketika mendengi nama pemuda itu, maka ia langsung meleset
pergi sebab Bu Ceng Sianli juga mengatakan bahwa Kwee Teng An adalah ketua Kui
Bin Pang. Sesampainya di ibu kota, tidak sulit mencari rumah Menteri Ma, Ia
langsung ke rumah tersebut, tetapi para pengawal di situ jelas menghadangnya.
"Aku ingin menemui
Menteri Ma," ujar Tio m Yang. "Siapa engkau dan ada urusan apa mau
menemui Menteri .Ma?" tanya salah seorang pengawal.
"Engkau tidak usah
tahu!" bentak Tio Bun Yang.
"Eh?" Pengawal itu
melotot. "Engkau berani mengacau di rumah Menteri Ma?"
"Cepat antar aku ke
dalam!" Tio Bun Yang menatap para pengawal itu. "Aku mau menemui
menteri Ma!"
"Tidak bisa!"
Pengawal itu menggelengkan kepala. "Kepala pengawal tidak ada, maka engkau
tidak boleh sembarangan masuk!"
"Maksudmu Kwee Teng
An?" tanya Tio Bun Yang.
"Engkau kenal dia?"
Pengawal itu balik bertanya dengan heran.
"Aku memang kenal
dia!" sahut Tio Bun Yang berdusta, pada hal ia tidak mengenalnya.
"Itu...." Pengawal
itu tampak ragu mempersilahkan Tio Bun
Yang masuk.
"Kami...."
Di saat itulah Tio Bun Yang
menerobos masuk menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat) dan
seketika juga ia menghilang dari pandangan para pengawal.
"Hah?" para pengawal
terbelalak.. "Ke mana pemuda itu? Kenapa bisa menghilang mendadak?"
"Dia... dia...."
Salah seorang pengawal menengok ke sana
ke mari. "Hah?
Itu...."
Pengawal itu melihat sosok
bayangan berkelebat memasuki rumah Menteri Ma, begitu juga yang lainnya.
"Mari kita kejar
dia!" Terdengar suara seruan
"Celaka!" keluh
seorang pengawal dengan wajah pucat pias. "Pemuda itu telah menerobos ke
dalam, kita semua pasti dihukum!"
"Ayoh, mari kita ke
dalam!" seru seorang pengawal.
Mereka segera berlari-lari ke
dalam, sementara Tio Bun Yang sudah berada di dalam rumah itu.
"Menteri Ma? Menteri
Ma...!" teriaknya.
"Ada apa?" Menteri
Ma muncul dari kamarnya. Ketika melihat Tio Bun Yang, tertegunlah menteri itu.
"Siapa engkau? Sungguh berani engkau memasuki rumahku!"
"Menteri Ma!" Tio
Bun Yang menatapnya "Di mana Kwee Teng An? Di mana Kwee Teng An?"
tanyanya.
"Kwee Teng An?"
Menteri Ma mengerutkan kening. "Anak muda, engkau punya hubungan apa
dengannya?"
"Jangan bertanya! Cepat
katakan di mana dia!" bentak Tio Bun Yang sambil melangkah maju.
"Engkau..., engkau mau
apa?" Menteri Ma ketakutan dan langsung berteriak-teriak.
"Pengawal...Pengawal...!"
Seketika muncullah para
pengawal, yang langsung menyerang Tio Bun Yang dengan berbagai macam senjata.
Tio Bun Yang cuma mengibaskan
lengan bajunya, seketika beberapa pengawal terpental, lalu jatuh terbanting tak
bangun lagi.
"Bunuh dia!" teriak
menteri Ma. "Cepat bunuh dia"
Para pengawal saling
memandang, kemudian mereka mulai menyerang Tio Bun Yang lagi. serperti barusan,
Tio Bun Yang tetap mengibaskan lengan bajunya terus, sehingga membuat para
pengawal itu terpental ke sana ke mari. Setelah itu Tio Bun Yang mengarah
memandang Menteri
"Cepat katakan, di mana
Kwee Teng An?"
"Dia..., dia tidak ada di
sini," sahut Menteri Ma dengan tubuh menggigil. "Dia... pergi."
"Dia pergi ke mana?"
"Dia..., dia...."
"Kapan dia pergi?"
"Beberapa hari yang
lalu." Menteri Ma memberitahukan. "Hingga kini dia masih belum
pulang."
"Betulkah dia belum
pulang?"
"Betul." Menteri Ma
mengangguk. "Aku tidak bohong...."
"Hm!" dengus Tio Bun
Yang dingin. "Menteri Ma mengutusnya pergi memenggal kepala Lie Tsu Seng,
kan?"
"Itu..., itu...."
Wajah menteri Ma berubah pucat. "Aku...."
"Dia tidak berhasil
memenggal kepala Lie Tsu Seng, sebab di saat itu muncul seorang pendekar wanita,
kemudian aku pun tiba di sana," ujar Bun Yang melanjutkan. "Maka dia
tidak berhasil memenggal kepala Lie Tsu Seng, sebaliknya malah kabur."
"Oh?" Menteri Ma
tampak kecewa sekali "Tahukah siauhiap dia ke mana?" tanyanya
"Aku justru ke mari
mencarinya."
"Kenapa engkau menduganya
kabur mari?"
"Dia kepala pengawal di
sini, tentunya kembali ke sini."
"Engkau...." Menteri
Ma menatapnya heran
"Dari mana
engkau bisa tahu dia kepala
pengawal di sini?"
"Aku mendengar dari Giok
Ceng." Tio Bun Yang memberitahukan sambil memandangnya "Ma Giok Ceng
adalah putrimu, kan?"
"Be..., betul."
Menteri Ma mengangguk tampak terkejut. "Engkau kok tahu itu?"
"Aku bertemu Giok
Ceng."
"Siauhiap," bisik
Menteri Ma. "Mari ikut aku ke ruang tengah, kita bicara di sana
saja!"
Menteri Ma melangkah ke ruang
tengah. Tio Bun Yang terpaksa mengikutinya karena masih ingin bertanya tentang
Kwee Teng An.
"Silakan duduk!"
ucap Menteri Ma setelah duduk.
"Terimakasih!" Tio
Bun Yang duduk.
"Siauhiap!" Menteri
Ma menatapnya dalam-dalam. Entah apa sebabnya ia terkesan baik terhadap Tio Bun
Yang. "Di mana engkau bertemu anakku?"
Tio Bun Yang memberitahukan,
dan Menterii Ma manggut-manggut sambil menarik nafas panjang
"Terimakasih,
siauhiap!" ucap Menteri Ma. ”Engkau telah menyelamatkan putriku. Oh ya,
bolehkah aku tahu siapa engkau?"
"Namaku Tio Bun
Yang."
"Ngmm!" Menteri Ma
manggut-manggut. "Tio siauhiap, bolehkah aku tahu di mana putriku
sekarang."
"Maaf! Aku tidak bisa
memberitahukan. Yang jelas dia berada di tempat yang aman."
"Siauw hiap...." Menteri Ma menghela nafas panjang.
"Hingga kini aku justru
masih bingung, kenapa putriku pergi meninggalkan rumah."
"Ada dua sebab yang
membuatnya minggat," seru Tio Bun Yang. "Dia telah memberitahukan
padaku."
"Dua sebab?" Menteri
Ma mengerutkan kening. "Siauhiap, beritahukanlah kepadaku aku
mengetahuinya!"
"Pertama...." Tio
Bun Yang memberitahukan "Menteri Ma
sering memfitnah menteri lain
jenderal yang setia, sehingga mereka dihukum mati oleh kaisar. Kedua
dikarenakan menteri ingin menjodohkannya kepada Kwee Teng An maka dia langsung
minggat."
"Aaaah...!" Menteri
Ma menghela nafas panjang. "Padahal aku tidak bermaksud menjodohkannya
kepada Kwee Teng An. Dia..., dia telah salah paham."
”Giok Ceng bilang ayahnya
sangat menyukai Kwee Teng An....”
”Dia betul-betul telah salah
paham,” potong menteri Ma. ”Sesungguhnya aku Cuma....”
”Memperalat Kwee Teng An,
bukan?”
”Yaah!” Menteri Ma
menggeleng-gelengkan kepala. ”Aku tahu pemuda itu berhati licik, bahkan sangat
berambisi pula. Kalau aku kurang berhati-hati, nyawaku pasti melayang di
tangannya.”
”Kalau sudah tahu itu, kenapa
menteri Ma masih mau mengangkatnya sebagai kepala pengawal di sini?”
”Siauhiap....” Menteri Ma
menghela nafas panjang. ”Kepala
pengawal lama ingin pulang ke
kampung halamannya, maka aku terpaksa mencari penggantinya.”
”Maksud Menteri Ma adalah guru
Giok Ceng?”
”Ya.” Menteri Ma mengangguk,
kemudian tersenyum seraya berkata, ”Bun Yang, aku harap engkau jangan
memanggilku Menteri Ma, lebih baik engkau memanggilku paman, sebab engkau
adalah teman putriku.”
”Baik, Paman.” Tio Bun Yang
mengangguk.
”Oh ya!” Menteri Ma menatapnya
seraya bertanya, ”Kenapa engkau ingin menemui Kwee Teng An?”
”Ingin menanyakan sesuatu
kepadanya,” sahut Tio Bun Yang dan menambahkan, ”Dia adalah penjahat besar,
maka Paman harus berhati-hati terhadapnya.”
„Ya.“ Menteri Ma
manggut-manggut. „Bun Yang....“
”Ada apa, Paman?” tanya Tio
Bun yang.
”Terus terang, aku..., aku
rindu sekali kepada Giok Ceng,” jawab Menteri Ma sungguh sungguh. „Maka aku
mohon engkau sudi membujuknya pulang! Dia... adalah putriku satunya.”
”Kalau Kwee Teng An masih
berada di sini, aku yakin Giok Ceng tidak akan pulang.”
”Bun Yang, Kwee Teng An tidak
akan ke mari lagi,” ujar Menteri Ma memberitahukan.
”Lho? Kenapa?” Air muka Tio
Bun yang berubah. ”Kenapa dia tidak akan ke mari lagi?”
”Dia telah berjanji, apabila
tidak berhasil memenggal kepala Lie Tsu Seng, dia tidak akan kemari lagi.”
”Aaakh...!” keluh Tio Bun Yang
dengan wajah murung. ”Kalau begitu, aku harus ke mana men carinya?”
„Bun Yang!“ Wajah Menteri Ma
tampak serius. ”Bagaimana kalau kita saling membantu?”
”Saling membantu?” Tio Bun
Yang tertegun ”Bagaimana caranya saling membantu?”
”Engkau pergi membujuk putriku
pulang, sedangkan aku akan menahan Kwee Teng An disini jika dia ke mari.
Bagaimana?”
”Itu....” Tio Bun Yang
berpikir lama sekali dan akhirnya
mengangguk. ”Baik, aku
setuju.”
”Kapan engkau berangkat?”
tanya Menteri Ma dengan wajah berseri.
”Sekarang,” sahut Tio Bun Yang
singkat
”Bagus! Bagus! Ha ha ha!”
Menteri Ma tertawa gembira. ”Bun Yang, mudah-mudahan engkau membujuk Giok Ceng
pulang!”
”Mudah-mudahan, Paman!” Tio
Bun Yang manggut-manggut, lalu berpamit.
Menteri Ma mengantarnya sampai
di halaman. Begitu sampai di halaman, mendadak Tio Bun Yang melesat pergi
menggunakan ginkang. Dalam waktu sekejap, pemuda itu sudah hilang dari
pandangan Menteri Ma.
”Sungguh hebat kepandaiannya!”
gumamnya ”Dia adalah pemuda baik. Seandainya dia mecintai Giok Ceng, aku pasti
merestuinya. Mudah-mudahan dia
berhasil membujuk Giok Ceng pulang“
-oo0dw0oo-
Tio Bun Yang terus melakukan
perjalanan ke markas Ngo Tok Kauw di Kota Kang Shi. Dua hari kemudian, ketika
ia memasuki sebuah lembah, mendadak terdengar suara pertarungan.
Sebetulnya Tio Bun Yang
memburu waktu kemarkas Ngo Tok Kauw, namun karena ingin tahu apa yang terjadi,
maka ia melesat ke tempat pertarungan itu.
Tampak seorang pemuda berusia
dua puluh limaan sedang bertarung melawan beberapa orang, belasan orang lainnya
sudah tergeletak tak bernyawa. Ketika melihat beberapa orang itu, tersentaklah
hati Tio Bun Yang, ternyata mereka adalah It Hian Tojin ketua partai Butong,
Wie Thian Cinjin ketua partai Kun Lun dan Ceng Sim suthay ketua partai Go Bie.
Itu sungguh membuat Tio Bun
Yang tidak habis pikir, kenapa ketua-ketua partai itu mengeroyok pemuda itu?
Karena itu Tio Bun Yang memandang pemuda itu dengan penuh perhatian.
Sebuah pedang berkelebatan di
tangan pemud itu, bahkan memancarkan cahaya keemas-emas Tio Bun Yang terbelalak
menyaksikan pedang itu, karena pedang itu berbentuk seperti ular. Tiba-tiba Tio
Bun Yang mengerutkan kening karena ketiga ketua partai itu mulai terdesak Bun
Yang yakin, beberapa jurus lagi ketiga ketua partai itu pasti akan dilukai
pemuda tersebut. Justru karena itu, ia berteriak sambil melesat arah mereka
yang sedang bertarung. "Berhenti!" Betapa terkejutnya ketiga ketua
partai itu begitu pula pemuda tersebut. Mereka segera berhenti bertarung
sekaligus memandang. Di saat bersamaan, Tio Bun Yang melayang turun ditengah-tengah
mereka.
"Hah?" ketiga ketua
partai itu terbelalak namun kemudian wajah mereka tampak berseri "Bun
Yang!"
"Para ketua, apa
kabar?" tanya Tio Bun Yang "Baik-baik saja?"
"Bun Yang!" It Hian
Tojin tertawa gembira "Kami baik-baik saja!"
"Bun Yang!" Wie Hian
Cinjin memandangnya seraya berkata, "Kami berhutang budi lagi kepadamu.
Kalau tiada rumput Tanduk Naga itu kami masih gila."
"Yang berjasa adalah Hui
Khong Taysu," ujar Tio Bun Yang merendah. "Sebab Hui Khong taysu yang
mengantar rumput Tanduk Naga itu."
"Hmm!" Pemuda itu
mendadak mendengus kngin. "Kalian sudah usai berbasa-basi? Kalau sudah,
mari lanjutkan pertarungan ini!"
"Maaf Saudara!"
sahut Tio Bun Yang. "Kenapa kalian bertarung? Sudahlah! Jangan dilanjutkan
lagi!"
"Hm!" dengus pemuda
itu lagi sambil menatap Tio Bun Yang dengan dingin.
"Ketua Butong!"
tanya Tio Bun Yang. "Kenapa ketua bertarung dengan orang itu?"
"Dia telah membunuh para
murid kami, maka kami turun tangan terhadapnya," jawab It Hian cijin dan
menambahkan. "Dia adalah penjahat yang harus dibasmi."
"Maaf!" ucap Tio Bun
Yang dan bertanya, ”apakah ketua tahu sebab musababnya, kenapa orang itu
membunuh para murid kalian?"
"Kami..." It Hian
Tojin tergagap-gagap. "Kami baru bertanya kepadanya, namun dia tidak mau
memberitahukan, sehingga terjadilah pertarungan ini”
"Para ketua..." ujar
Tio Bun Yang. "Urusan ini serahkan padaku saja, biar aku menyelesaikannya!
Bagaimana?"
Ketiga ketua partai itu saling
memandang, mereka bertiga tahu bahwa bila pertarungan itu lanjutkan, mereka
bertigalah yang akan celaka.
"Baiklah." It Hian
Tojin manggut-manggut.
"Kami serahkan urusan ini
kepadamu, terimakasih Bun Yang!"
Tio Bun Yang tersenyum,
sedangkan ketiga ketua partai itu segera menyuruh murid-murid menggotong
mayat-mayat yang tergeletak itu, dan meninggalkan tempat tersebut.
"Engkau memang
cerdik," ujar pemuda itu dingin. "Engkau tahu mereka tidak sanggup
melawanku, maka menyuruh mereka pergi secara halus."
"Saudara!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Sudahlah! Kenapa harus memperpanjang urusan ini ? Aku
lihat kepandaianmu sangat tinggi, boleh aku tahu siapa engkau?"
"Terus terang,"
sahut pemuda itu. "Kalau tidak merasa suka kepadamu, bagaimana mungkin aku
membiarkan mereka pergi begitu saja?"
"Oh?" Tio Bun Yang
menatapnya. "Terima kasih!"
"Mereka bertiga merupakan
ketua partai besar, tapi justru tiada kewibawaannya."
"Maksudmu?"
"Aku tidak mau
mengatakan, itu demi nama baik perguruan mereka. Tapi mereka malah
menyerangku."
"Saudara?" tanya Tio
Bun Yang. "Betulkah sebelumnya engkau telah membunuh murid-mu
mereka?"
"Betul."
"Kenapa engkau membunuh
murid-murid mereka ?" Pemuda itu diam, tak menyahut.
"Saudara," desak Tio
Bun Yang. "Beritahukanlah! Sebab aku akan menjernihkan urusan ini kepada
ketua-ketua itu."
"Sebulan lalu, aku
memergoki murid-murid partai Butong, Kun Lun dan Go Bie melakukan perbuatan
terkutuk."
"Mereka melakukan
perbuatan apa?"
"Memperkosa di sebuah
desa."
"Haaah?" Betapa
terkejutnya Tio Bun Yang. ”Me... mereka memperkosa di sebuah desa?"
"Ya." Pemuda itu
mengangguk. "Karena itu, aku membunuh mereka semua. Aku paling benci
lelaki yang melakukan perbuatan itu."
"Kalau begitu, kenapa
engkau tidak mau menjelaskan kepada ketua-ketua itu?" tanya Tio Bun Yang
sambil memandangnya.
"Percuma." Pemuda
itu menggelengkan kepala. "Sebab ketiga ketua itu tidak akan
percaya."
"Engkau bisa membuktikan
itu?"
"Tentu."
"Kenapa engkau tidak mau
membuktikan kepada ketiga ketua itu, agar tidak terjadi pertumpahan darah
ini?"
"Ketiga ketua itu pasti
tidak akan percaya, lagi pula aku... demi nama baik ketiga ketua itu. Tapi
sebaliknya mereka bertiga malah salam paham kepadaku, itu sungguh
mengesalkan."
"Baiklah." Tio Bun
Yang manggut-manggut "Apabila aku sempat, aku pasti pergi menemui ketiga
ketua itu untuk menjernihkan urusan ini”
"Saudara...." Pemuda
itu menatapnya tajam "Sebetulnya
tidak perlu, itu cuma akan
menyita waktumu saja."
"Tidak apa-apa." Tio
Bun Yang tersenyum getir. "Itu agar tidak terjadi pertarungan lagi.”
"Saudara!" Pemuda
itu menatapnya sabil tersenyum. "Engkau bernama Bun Yang, apa julukanmu
adalah Giok Siauw Sin Hiap?"
"Betul." Tio Bun
Yang mengangguk dan bertanya. "Bolehkah aku tahu nama dan julukan
mu?"
"Aku adalah Kim Coa Long
Kun (Pendekar Pedang Ular Mas)." Pemuda itu memberitahukan
"Kim Coa Long
Kun..." gumam Tio Bun Yang. Ia tidak pernah mendengarnya. "Apakah
engkau baru berkecimpung di rimba persilatan?"
"Ya." Kim Coa Long
Kun mengangguk. "Oh, Mari kita duduk di bawah pohon, aku merasa cocok
denganmu. Kita... mengobrol sebentar,”
"Baik." Tio Bun Yang
tersenyum.
Mereka berdua duduk di bawah
pohon, kemudian Kim Coa Long Kun menghela nafas panjang.
"Dalam rimba persilatan
memang penuh dengan berbagai kelicikan, kejahatan dan kekejaman," ujarnya
sambil menggeleng-gelengkaan kepala. "Bahkan sering terjadi pertumpahan
darah, seperti halnya tadi. Aaaaaah...!"
"Saudara..." Tio Bun
Yang menatapnya tajam, Wajahmu penuh diliputi hawa membunuh, sebetulnya apa
gerangan yang telah terjadi atas dirimu?”
"Hmm!" Mendadak Kim
Coa Long Kun mendengus dingin. "Itu dikarenakan perbuatan kaum Rimba
persilatan."
"Oh? Bolehkah engkau
menceritakannya?"
"Aku berasal dari
keluarga baik-baik..." tutur Kim Coa Long Kun sambil memandang jauh ke
lipan. "Punya orang tua dan kakak perempuan, aku sangat disayang dan
dimanja. Akan tetapi, pada suatu malam...."
"Apa yang terjadi?"
"Malam itu...."
Lanjut Kim Coa Long Kun sambil berkertak
gigi. Wajahnya pun berubah
kehijau-hijauan. "Malam itu terjadi hujan gerimis. aku sedang belajar
menulis di dalam kamar, mendadak muncul lima orang bertopeng, yang ternyata
perampok. Kedua orang tuaku dan kakak perempuanku keluar dari kamar...."
"Kemudian
bagaimana?"
"Kelima bertopeng itu
langsung membunuh kedua orang tuaku." Kim Coa Long Kun memberiahukan
sambil mengepal tinju. "Setelah memebunuh kedua orang tuaku, mereka
berlima memperkosa kakak perempuanku itu."
"Haaah...!" Mulut
Tio Bun Yang ternganga lebar saking terkejut. "Sungguh biadab mereka”
"Aku menyaksikan semua
itu dengan mata kepala sendiri, karena aku mengintip dari kamar” ujar Kim Coa
Long Kun dengan wajah dingin sekali. "Untung kelima perampok itu tidak
memasuki kamarku, maka aku lolos dari kematian”
"Saudara...." Tio
Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku belajar ilmu silat
selama belasan tahun tujuanku untuk membalas dendam." ujar Kim Long Koan,
yang wajahnya makin dingin. "Aku harus membunuh kelima perampok itu. Aku
harus bunuh mereka...."
"Apakah engkau berhasil
membunuh mereka?”
"Aku tidak mengenali
wajah mereka karena mereka memakai topeng. Namun aku akan terus menyelidiki
mereka. Aku... aku harus membunuh mereka!"
"Saudara...." Tio
Bun Yang memegang tangan nya sambil
menatapnya dengan penuh rasa
simpati. "Engkau harus tenang!"
"Setelah berhasil
menguasai ilmu silat tingkat tinggi, aku akan berkecimpung dalam rimba
persilatan dan mulai membunuh para penjahat."
"Oooh!" Tio Bun Yang
menganguk.
"Aku tidak punya sanak
famili maupun teman aku hidup seorang diri ditemani Pedang Emasku ini."
Kim Coa Long Kun memberitahukan. "Apabila Pedang Ular Emasku keluar dari
sarungnya, maka aku harus membunuh orang."
"Oh?" terbelalak Tio
Bun Yang. "Tadi...."
"Engkau lihat kan tadi?
Pedang Ular Emasku ini belum keluar dari sarungnya, ketiga ketua itu masih
bernasib mujur."
"Oh?" Tio Bun Yang tertegun.
"Pedang Ular Emas itu tergolong pedang yang haus darah?"
"Ya." Kim Coa Long
Kun mengangguk, kemudian menatapnya tajam seraya berkata. "Kudengar engkau
berkepandaian tinggi sekali, oleh karena itu aku ingin bertanding
denganmu."
"Saudara...."
"Engkau jangan
menolak!"
"Tapi...."
"Ayolah!" desak Kim
Coa Long Kun. "Mari lah bertarung sebentar, jangan mengecewakan aku”
"Saudara...." Tio
Bun Yang mengerutkan keningnya. ”Untuk
apa kita bertanding ?”
Kim Coa Long Kun tidak
menyahut. Ia langsung bangkit berdiri, lalu menatap Tio Bun Yang higan dingin
sekali.
"Kalau engkau tidak mau
bertanding denganku maka aku akan pergi membunuh ketiga ketua itu”
"Saudara...." Tio
Bun Yang menghela nafas panjang dan
bangkit berdiri seraya
berkata. "Baik. Kita akan bertanding dengan tangan kosong atau dengan
senjata?"
"Aku akan menggunakan
pedangku," sahut Kim Coa Long Kun. "Engkau pun harus menggunakan
senjata!"
"Ya." Tio Bun Yang
mengeluarkan suling "Inilah senjataku."
"Giok Siauw!" Kim
Coa Long Kun manggut manggut. "Pantaslah engkau memperoleh julukan Giok
Siauw Sin Hiap!"
"Saudara!" Tio Bun
Yang menatapnya”kita sudah berkenalan, lagi pula tiada permusuhan antara kita,
jadi... kita tidak perlu saling melukai”
"Ha ha ha!" Kim Coa
Long Kun tertawa, ”Kita bertanding cuma ingin mencoba kepandaian. Tentunya
tidak perlu saling melukai”
”Oooh!” Tio Bun Yang menarik
nafas lega.
”Saudara!" Kim Coa Long
Kun menatapnya "Bersiap-siaplah, aku akan mulai menyerangmu”
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Hati-hati!" seru
Kim Coa Long Kun sambil menyerang.
Tio Bun Yang segera berkelit.
Kim Coa Kun menyerangnya lagi, sedangkan Tio Bun Yang tetap berkelit
menggunakan Kiu Kiong San Pou (Ilmu Langkah Kilat).
Itu membuat Kim Coa Long Kun
selalu menyerang tempat kosong, sehingga ia tampak panasaran dan mendadak
menghentikan serangannya.
Kim Coa Long Kun berdiri
tegak, pedangnya diluruskan ke samping dan keningnya berkerut-kerut. Ternyata
ia mulai
mengerahkan lweekangnya,
karena ingin menyerang Tio Bun Yang dengan Kim Coa Kiam Hoat (Ilmu Pedang Ular
Emas).
Tio Bun Yang tidak berani
main-main. Ia pun segera mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sinkang. Berselang
sesaat, tiba-tiba Kim Coa Long Kun memekik keras sambil menyerang Tio Bun Yang.
Pedang Ular Emasnya berkelebatan dan memancarkan cahaya keemas-emasan mengarah
kepada Tio Bun Yang.
Tio Bun Yang bersiul panjang
laIu mendadak badannya berputar-putar ke atas dan sulingnya itu bergerak-gerak
Tranng! Terdengar suara
benturan, kim Coa Long Kun termundur-mundur berapa langkah, begitu pula Tio Bun
Yang. Mereka saling memandang, sejurus kemudian barulah Kim Coa Long Kun
menyerang lagi.
Tio Bun Yang mengayunkan
sulingnya, makin lama makin cepat, sehingga hanya tampak bayangan bayangan
sulingnya. Ternyata Tio Bun Yang mengeluarkan Cit Loan Kiam Hoat, menggunakan
jurus Kiam In Ap San (Bayangan Pedang menekan Gunung) menangkis serangan Kim
Coa kun.
Trangggg!! Terdengar suara
benturan yang memekakkan telinga
Kim Coa Long Kun
terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah, sedangkan Tio Bun Yang berdiri
tak bergeming dari tempat.
Setelah berdiri tegak, barulah
Kim Coa Lo Kun menatapnya dengan dingin sekali, kemudian mengangkat pedangnya
sekaligus menghunusnya perlahan-lahan. Akan tetapi, tiba-tiba ia menghela nafas
panjang seraya berkata, "Sudahlah! Kalaupun aku mencabut pedangku, belum
tentu dapat mengalahkanmu. Lagi pula kita sudah menjadi kawan, kenapa harus
bertanding hingga saling melukai?"
"Saudara!" Tio Bun
Yang berlega hati. "Kau memang sudah menjadi kawan, aku..aku
girang...sekali."
"Sama." Kim Coa Long
Kun tersenyum ”Akupun senang sekali berkawan denganmu, usiaku lebih besar, maka
engkau harus memanggilku kakak!"
"Kakak!" panggil Tio
Bun Yang.
"Adik!" sahut Kim
Coa Long Kun.
Mereka saling memandang,
kemudian tertawa gembira.
"Kakak....
"Ha ha ha!" Kim Coa
Long Kun masih tertawa "Sungguh menyenangkan, tak disangka kita bertemu di
sini dan menjadi kawan baik! Ha ha ha”
"Kakak," ujar Tio
Bun Yang berjanji. "Aku membantu kakak menyelidiki kelima perampok
itu."
”Terimakasih, Adik!" ucap
Kim Coa Long Kun ”oh ya bolehkah aku tahu asal usulmu?"
"Tentu boleh." Tio
Bun Yang segera menutur tentang asal-usulnya dan lain sebagainya.
"Ooh!" Kim Coa Long
Kun manggut-manggut, kemudian nafas panjang seraya berkata : ”Jadi hingga saat
ini engkau belum bertemu Goat Nio ?”
"Belum." Tio Bun
Yang menggelengkan kepala dengan wajah murung.
"Hmm!" dengus Kim
Coa Long Kun. "Kalau aku bertemu pemuda bernama Kwee Teng An aku pasti
membunuhnya!"
"Kakak...."
"Jangan khawatir! Sebelum
membunuhnya, pasti bertanya kepadanya tentang Goat Nio."
"Terimakasih,
Kakak!"
"Adik!" Kim Coa Long
Kun menatapnya. "Kita paksa berpisah di sini, sebab aku harus menyelidiki
kelima perampok itu, sedangkan engkau harus pergi ke markas Ngo Tok Kauw."
"Kakak...." Tio Bun
Yang merasa berat berpisah dengan
Kim Coa Long Kun.
"Adik!" Kim Coa Long
Kun tersenyum. "Sampai jumpa!" "Kakak...!" teriak Tio Bun
Yang memanggilnya.
Namun Kim Coa Long Kun telah
melesat pergi. Tio Bun Yang termangu-mangu di tempat, lama sekali barulah ia
meninggalkan tempat itu.
-oo0w0oo-
Bagian ke enam puluh sembilan
Kenangan masa lalu
Tio Bun Yang telah tiba di
kota Kang Shi, langsung ke markas Ngo Tok Kauw. Kedatangan sangat mencengangkan
Ngo Tok Kauwcu dan Giok Ceng, namun juga membuat mereka gembira
"Adik Bun Yang..."
panggil Ngo Tok Kauwcu
"Kakak Bun Yang....”
Wajah Ma Giok Ceng berseri-seri.
"Kakak Ling Cu!"
sahut Tio Bun Yang sambil memandang mereka. "Adik Giok Ceng...”
"Adik Bun Yang,
duduklah!" ucap Ngo Tok Kauwcu sambil tersenyum.
Tio Bun Yang duduk, Ngo Tok
Kauwcu menatapnya seraya bertanya.
"Bagaimana? Engkau sudah
berhasil mencari Goat Nio?"
Tio Bun Yang menggelengkan
kepala. "Belum," sahutnya sambil menatap Ma Giok Ceng. "Aku ke
mari karena ada sedikit urusan dengan Adik Giok Ceng."
"Ada urusan apa?"
gadis itu tertegun.
"Kwee Teng An ternyata
ketua Kui Bin Pang." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Ayahmu
mengutuskannya untuk membunuh Lie Tsu Seng, namun muncul Bu Ceng Sianli, maka
Lie Tsu Seng dan lainnya selamat. Kemudian aku pun muncul sana. Aku menyaksikan
pertarungan Kwee Teng An dengan Bu Ceng Sianli, akhirnya pemuda itu
kabur."
"Oh?" Ma Giok Ceng
terbelalak. "Dia pasti ke rumah."
"Setelah dia kabur, Bu
Ceng Sianli mengatakan bahwa dia adalah ketua Kui Bin Pang," ujar Tio Bun
Yang.
"Kenapa Bu Ceng Sianli
mengatakan begitu?" tanya Ngo Tok Kauwcu heran.
"Itu berdasarkan ilmu
pukulannya." Tio Bun Yang memberitahukan. "Bu Ceng Sianli menduga
ilmu pukulan itu adalah Pek Kut Im Sat Ciang, yang hanya dimiliki oleh ketua
Kui Bin Pang."
"Oooh!" Ngo Tok
Kauwcu manggut-manggut. ”Maka engkau segera mengejarnya?"
"Ya." sahut Tio Bun
Yang melanjutkan. "Aku pernah mendengar tentang Kwee Teng An dari adik
Giok Ceng, karena itu aku langsung berangkat ke rumah menteri Ma."
”Engkau bertemu ayahku?"
tanya Ma Giok Ceng terkejut. "Ya." Tio Bun Yang mengangguk
"Engkau....” Wajah
gadis itu berubah
pucat "Engkau...
engkau mencelakai ayahku?”
"Aku sudah tahu bahwa
Menteri Ma adalah ayahmu, bagaimana mungkin aku mencelakai nya?" Tio Bun
Yang
tersenyum getir dan
menambahkan. "Kwee Teng An tidak kembali ke sana. Ayahmu dan aku pun
sepakat untuk saling membantu”
"Saling membantu?"
Ma Giok Ceng tertegun "Saling membantu dalam hal apa?”
"Aku ke mari membujukmu pulang,
sedangkan ayahmu akan menahan Kwee Teng An, apbila dia kembali ke sana."
Tio Bun Yang membentahukan secara jujur.
"Kakak Bun Yang.”tegas Ma
Giok Ceng"Aku tidak mau pulang, pokoknya aku tidak mau pulang”
"Adik Giok Ceng!"
Tio Bun Yang menatapnya. "Ayahmu sangat rindu kepadamu, maka engkau harus
pulang.“
"Tidak. Aku tidak mau
pulang. Kalau aku bertemu pemuda itu, ayahku pasti menjodohkan ku
kepadanya." ujar Ma Giok Ceng
"Adik Giok Ceng...."
Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
"Yang mengatakan itu
siapa?”
"Itu... itu...." Ma
Giok Ceng tergagap. ”Itu cuma dugaan
saja."
”Nah, Itu berarti belum tentu
ayahmu akan berbuat begitukan?” ujar Tio Bun Yang „Sesungguhnya.. ayahmu sangat
menyayangimu. Kesalahannya hanya ingin memperalat Kwee Teng An saja”
„Kakak Bun Yang..” Ma Giok cng
menundukkan kepala
”Adik Giok Ceng...” ujar Ngo
Tok Kauwcu tersenyum ,.Engkau arus menuruti perkataan Bun Yang, jangan
membuatnya kecewa!"
„Tapi..tapi...” sahut Ma Giok
Ceng „Aku tidak mau bertemu Kwee Ten An Aku merasa seram padanya sebab
kadang-kadang sepasang matanya menyorotkan sinar aneh”
”Jangan khawatir” ujar Tio Bun
Yang berjanji ”Aku pasti melindungimu percayalah!"
”Baiklah” Ma Giok Ceng
mengangguk ”Aku ikut engkau pulang"
"Terimakasih, Adik Giok
Ceng!" ucap Tio Bun Yang girang
”Lho?” Ma Giok Ceng tertawa
geli. „Kenapa engkau mengucapkan terimakasih kepadaku?"
"Engkau bersedia ikut aku
puIang berarti aku tidak mengecewakan harapan ayahmu.” Tio Bun Yang
memberitahukan.
”Kakak Bun Yang” Ma Giok Ceng
menghela nafas panjang ”Padahal hatimu sedang resah masih bisa memikirkan
kepentingan orang lain”
"Itu pun karena ayahmu
bersedia membantuku," sahut Tio Bun Yang. "Ayohlah! Mari pulang
sekarang!"
Ma Giok Ceng mengangguk.
Mereka berdiri lalu berpamit kepada Ngo Tok Kauwcu yang baik hati itu.
"Adik Bun Yang,"
ujar Ngo Tok Kauwcu "Apabila engkau sempat, kunjungilah aku!"
"Ya." Tio Bun Yang
manggut-manggut.
"Adik Giok Ceng,"
pesan Ngo Tok Kauwcu "Nasihatilah ayahmu agar tidak melakukan kejahatan
lagi”
"Ya. Kakak Ling Cu."
Ma Giok Ceng menangguk. "Aku pasti menasihati ayah...."
-oo0dw0oo-
Betapa gembiranya menteri Ma
ketika melihat Tio Bun Yang datang bersama Ma Giok Ceng putrinya.
"Anakku...."
"Ayah...." Ma Giok
Ceng mendekap di dada menteri Ma.
"Ayah...."
"Nak!" Menteri Ma
membelainya. "Syukurlah engkau sudah pulang, ayah... ayah rindu sekali
kepadamu”
"Ayah...." Ma Giok
Ceng terisak-isak.
"Jangan menangis,
sayang!" ucap menteri Ma sambil tersenyum. "Mulai sekarang, engkau
tidak boleh meninggalkan ayah lagi."
"Tapi ayah pun harus
berjanji."
"Berjanji apa?"
"Tidak boleh melakukan
kejahatan lagi dan tidak boleh menjodohkanku kepada Kwee Teng An."
"Baik, Ayah
berjanji!"
"Paman?" tanya Tio
Bun Yang mendadak. ”Apakah Kwee Teng An sudah berada di sini?"
"Dia sama sekali belum ke
mari," sahut Menteri Ma. "Mungkin dia tidak kemari lagi."
"Aaaah...!" keluh
Tio Bun Yang. "Kalau begitu, aku harus ke mana mencarinya?"
"Kakak Bun Yang,"
ujar Ma Giok Ceng menahannya. "Mungkin dia takut kepadamu, maka tidak begitu
cepat ke mari. Oleh karena itu. alangkah baiknya engkau tinggal di sini
dulu."
"Tapi...." Tio Bun
Yang mengerutkan kening.
"Bun Yang!" Menteri
Ma tertawa gembira, „Apa yang dikatakan putriku memang masuk akal, lebih baik
engkau tinggal di sini dulu. Siapa tahu Kwee Teng An akan muncul."
Menteri Ma berkata demikian,
tidak lain hanya bermaksud menahannya, karena ia memang, sangat menyukainya.
”Tapi... bukankah aku akan
mengganggu Paman dan Adik Giok Ceng?" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala.
"Kakak Bun Yang!" Ma
Giok Ceng tersenyum "Kenapa engkau menjadi sungkan?"
"Aku...." Tio
Bun Yang menghela
nafas panjang. "Aku
sangat mencemaskan Goat Nio,
Kwee Teng An entah menyekapnya di mana?"
"Jangan cemas, Kakak Bun
Yang!" Ma Giok Ceng menatapnya lembut. "Mudah-mudahan engkau akan
berkumpul kembali dengan Goat Nio”
"Terimakasih!" ucap
Tio Bun Yang.
Tio Bun Yang tinggal di rumah
menteri itu sungguh menggembirakan Ma Giok Ceng sehingga wajah gadis itu selalu
tampak cerah ceria. Namun wajah Tio Bun Yang malah semakin murung, karena Kwee
Teng An belum muncul
"Kakak Bun Yang,"
ujar Ma Giok Ceng ketika mereka berdua berada di taman bunga. "Bagai mana
kalau engkau mengajarku ilmu pedang tingkat tinggi, jadi aku bisa menjaga
diri?"
"Adik Giok Ceng...."
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku sedang
gelisah "
"Kakak Bun Yang...."
Ma Giok Ceng memandangnya penuh
harap.
Tio Bun Yang berpikir sejenak,
kemudian Mengangguk.
"Baiklah. Mulai sekarang
aku akan mengajarmu Lui Tian Kiam Hoat (Ilmu Pedang Petir Kilat), yaitu ilmu
pedang andalan It Sim Sin Ni, nenekku."
"Terimakasih, Kakak Bun
Yang!" ucap Ma Giok Ceng girang. "Terimakasih...."
"Adik Giok Ceng!"
Tio Bun Yang menatapnya sambil berkata sungguh-sungguh. "Engkau harus
belajar dengan giat, sebab ilmu pedang Lui Tian kiam Hoat sangat lihay dan
dahsyat. Setelah menguasai ilmu pedang itu, engkau bisa melindungi ayahmu, jadi
ayahmu tidak usah mencari kepala pengawal lagi."
"Hi hi hi!" Ma Giok
Ceng tertawa geli. "Aku yang akan menjadi kepala pengawal!"
”Memang harus begitu."
Tio Bun Yang manggut-manggut dan mulai mengajar gadis itu ilmu pedang Lui Tian
Kiam Hoat.
Setelah Ma Giok Ceng berhasil
menguasai ilmu pedang tersebut, Tio Bun Yang mengajarnya Lui Tian Kiam Hoat
(Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling), ciptaan ayahnya.
"Waduuuh!" keluh Ma
Giok Ceng. "Kenapa jadi pusing menyaksikan engkau memainkan ilmu pedang
itu?"
"Adik Giok Ceng,"
sahut Tio Bun Yang serius.
"Ini adalah ilmu pedang
Cit Loan Kiam Hoat yang sangat dahsyat. Engkau harus belajar dengan giat karena
tidak gampang mempelajari ilmu pedang ini”
"Ya!" Ma Giok Ceng
memandangnya.
"Ya." Ma Giok Ceng
mengangguk.
"Ilmu pedang ini ciptaan
ayahku." Tio Bun Yang memberitahukan sekaligus berpesan. "Kalau tidak
dalam bahaya, janganlah engkau mengeluarkan ilmu pedang ini."
"Ya." Ma Giok Ceng
mengangguk.
Tio Bun Yang mulai mengajar
gadis itu Loan Kiam Hoat dan disaat itulah muncul Menteri Ma sambil
tertawa-tawa.
"Ayah!"!"
panggil Ma Giok Ceng.
"Paman!" panggil Tio
Bun Yang sambil memberi hormat.
"Ha ha ha!" Menteri
Ma terus tertawa, kelihatannya gembira sekali. "Bagus! Bagus! ayah tidak
usah mencari kepala pengawal cukup engkau saja."
"Betul, Ayah!" Ma
Giok Ceng mengangguk "Aku bisa melindungi Ayah, percayalah!"
"Tentu Ayah
percaya." Menteri Ma tersenyum. "Siapa yang mengajarmu? Ya,
kan?"
"Ayah...." Wajah Ma
Giok Ceng memerah
"Ha ha ha!" Menteri
Ma tertawa gelak. "Ayolah! Kalian teruskan saja! Ayah mau ke dalam
Menteri Ma berjalan ke dalam
rumah.
Tio Bun Yang memandang
punggungnya sambil mengnafas panjang."Sebetulnya tidak jahat, hanya
saja...." Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala
dan melannjutkan, "Terlampau berambisi. Adik Giok ceng...."
"Engkau harus berusaha
membujuk ayahmu agar mau mengundurkan diri. Kalau tidak, aku khawatir...."
"Ayahku akan mati dibunuh
kan?"
"Kira-kira
begitulah."
"Baik. Aku akan berusaha
membujuknya agar mengundurkan diri dari jabatannya. Ayahku sudah mulai tua,
maka sudah waktunya hidup tenang."
Tak terasa sudah sebulan Tio
Bun Yang tinggal di rumah menteri Ma, namun Kwee Teng An masih belum muncul.
Itu membuat hati Tio Bun Yang makin kacau. Sedangkan Ma Giok Ceng telah
berhasil menguasai ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat. Memang harus diakui, gadis
itu sungguh cerdas sekali.
"Aaaah...!" keluh
Tio Bun Yang ketika duduk dekat taman bunga.
"Kakak Bun Yang!" Ma
Giok Ceng mendekatinya. "Kenapa engkau melamun di sini?"
"Aku...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudah sebulan aku
tinggal di sini, tapi Kwee Teng An masih belum muncul. Mungkin dia tidak
kembali ke sini."
"Kakak Bun Yang,"
ujar Ma Giok Ceng lembut. "Engkau harus sabar, coba tunggu beberapa hari
lagi!"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk Ia menunggu lagi beberapa hari, namun Kwee Teng An, yang
ditunggu-tunggunya tetap tidak muncul, sehingga membuatnya yakin bahwa Kwee
Teng An tidak akan kembali ke rumah menteri Ma, maka hari ini juga ia berpamit
”Paman, aku....”
"Bun Yang!" Menteri
Ma menatapnya, kemudian menghela nafas panjang. "Aku tahu, engkau mau
pergi, bukan?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Aku mang mau mohon pamit."
"Kakak Bun Yang...."
Wajah Ma Giok Ce langsung berubah
murung. "Engkau... engkau
sudah mau pergi?"
"Ya. Aku harus pergi
mencari Kwee Te An," ujar Tio Bun Yang. "Sudah sebulan lebih aku tinggal
di sini, tapi dia tidak muncul. berarti dia tidak akan ke mari lagi."
"Kakak Bun Yang...."
Air mata Ma Giok Ceng mulai meleleh.
"Kapan engkau akan ke
mari lagi”
"Apabila ada kesempatan,
aku pasti ke mari menengokmu," sahut Tio Bun Yang sambil ter senyum.
"Kini kepandaianmu sudah tinggi, mampu menjaga diri dan melindungi
ayahmu."
"Kakak Bun Yang...."
Ma Giok Ceng menatapnya dengan
mata sayu. "Aku...."
"Adik Giok Ceng!"
Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Aku tidak bisa terus tinggal di sini.
Aku harus, pergi mencari Kwee Teng An, sebab dia yang menculik Goat Nio."
"Kakak Bun Yang, engkau
sungguh setia. Alangkah senangnya kalau aku jadi Siang Koan Goat Nio."
"Adik Giok Ceng!"
Tio Bun Yang menatapnya lembut. "Aku telah menganggapmu sebagai adikku
sendiri...."
"Tentu berbeda,"
potong Ma Giok Ceng. ”Aaaah! Aku adalah Ma Giok Ceng, bukan Siang Koan Goat
Nio! Maka...
engkau pasti menganggap diriku
sebagai bayangan lewat saja!"
"Adik Giok Ceng, engkau
jangan berkata begitu!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Baiklah. Aku... mohon diri! Sampai jumpa”
Tio Bun Yang melangkah pergi.
Begitu sampai di luar ia langsung melesat pergi menggunakan ginkang.
"Kakak Bun Yang! Kakak
Bun Yang...!" teriak Ma Giok Ceng memanggilnya dengan air mata berderai-derai.
"Aaaah...!" Menteri
Ma menghela nafas panjang, kemudian mendekati putrinya seraya berkata.
"Nak, dia pasti ke mari lagi kelak."
"Ayah...." Ma Giok
Ceng mendekap di dada Menteri Ma.
"Dia... dia tidak akan ke
mari lagi Dia... dia...."
"Nak!" Menteri Ma
terus menghibur putrinya "Percayalah! Dia pasti ke mari kelak."
"Aaah...!" keluh Ma
Giok Ceng. "Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang...!"
-oo0dw0oo-
Di halaman rumah di pulau Hong
Hoang tampak beberapa orang sedang duduk-duduk sambil bercakap-cakap. Mereka
adalah Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling, Kam Hay Thian dan Lu Hui San.
"Aaaah...!" Mendadak
Kam Hay Thian menghela nafas panjang. "Entah bagaimana Bun Yang apakah dia
sudah berjumpa dengan Goat Nio”
"Aku yakin dia belum
berjumpa Goat Nio” sahut Lu Hui San sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau dia sudah berjumpa dengan Goat Nio, mereka berdua pasti pulang ke
mari."
"Kita berada di pulau
ini, sama sekali tidak tahu bagaimana kabarnya," ujar Sie Keng Hauw dan
menambahkan. "Kita pun tidak tahu bagai mana keadaan Yo Kiam Heng dan Kwan
Tian Him, juga tidak tahu apakah Toan Beng Kiat dan lainnya sudah tiba di Tayli
atau belum."
"Toan Beng Kiat dan
lainnya pasti sudah tiba di Tayli," sahut Lie Ai Ling, kemudian keningnya
berkerut. "Yang mencemaskan adalah Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat Him. Sebab
mereka berdua kembali ke markas Kui Bin Pang, apabila ketua Kui Bin Pang
mencurigai mereka...."
"Mereka berdua pasti
celaka," sambung Sie Keng Hauw. "Aaah! Kita tidak bisa membantu
apa-apa!"
”Yaah!" Lie Ai Ling
tersenyum. "Entah kapan kita akan diperbolehkan ke Tionggoan?"
"Kalau Bun Yang dan Goat
Nio tidak pulang kemari, jangan harap kita bisa ke Tionggoan," ujar Kam
Hay Thian.
"Bagaimana kalau kita
berunding dengan paman Cie Hiong dan kedua orang tuaku?" usul Lie Ai Ling.
"Percuma." Sie Keng
Hauw menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak mungkin kita diijinkan pergi ke
Tionggoan."
"Lalu kita harus
bagaimana?" tanya Lie Ai Ling kesal.
"Omitohud!"
Terdengar suara sahutan halus, lebih baik kalian jangan meninggalkan pulau
"
"Siapa?" Lie Ai Ling
menengok ke sana kemari.
"Omitohud...."
Tampak sosok bayangan melayang turun di
hadapan mereka, yang ternyata
Tayli Lo Ceng.
"Hah? Padri tua...."
Mereka berempat segera bersujud di
hadapan Tayli Lo Ceng.
"Omitohud!" ucap
padri tua itu sambil tersenyum. "Bangunlah!"
Mereka berempat lalu bangun.
Di saat bersamaan muncullah Sam Gan Sin Kay, Kim Sia Suseng dan Kou Hun Bijin.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa geli "Padri tua, angin apa yang meniupmu kemari'''
"Tentunya bukan angin
topan," sahut Tap Lo Ceng sambil tersenyum. "Aku ke mari atas
kemauanku sendiri, tidak tertiup maupun terdorong oleh angin apa pun lho!"
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan "Kepala gundul! Kepalamu makin mengkilap ajal'
"Omitohud!" sahut
Tayli Lo Ceng. "Tentunya tidak akan lebih mengkilap dibandingkan dengan
wajahmu."
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa lagi. "Tumben, kepala gundul mau bergurau hari ini.
Jangan-jangan langit sudah hampir runtuh!"
"Jangan khawatir!"
Tayli Lo Ceng tersenyum "Selagi Kou Hun Bijin masih hidup di kolong
langit, langit tidak akan runtuh."
"Kalau begitu, engkau
anggap diriku ini"Kepala gundul lah tiang yang menahan langit, agar tidak
runtuh ?” tanya Kou Hun Bijin sambil melotot.
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng tersenyum. "Kira-kira begitulah."
"Dasar kepala
gundul!" caci Kou Hun Bijin. ”Setiap kali kemari pasti cari
gara-gara."
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng. "Aku kemari tidak bermaksud cari gara-gara, melainkan hanya
mengunjungi kalian."
"Oh, ya?" Kou Hun
Bijin tertawa nyaring. ”Tayli Lo Ceng mengunjungi kami? Sungguh luar
biasa!"
"Padri tua," ujar
Sam Gan Sin Kay. "Mari kita ke dalam bercakap-cakap, jangan membuang-buang
waktu di sini!"
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng mengangguk. Mereka melangkah ke dalam. Tio Tay Seng, Tio Cie Hiong dan
lainnya menyambut kedatangan Tayli Lo Ceng dengan penuh kegembiraan.
”Ha ha ha!" Tio Tay Seng
tertawa gelak ”Selamat datang, Lo Ceng!"
"Omitohud!" sahut
Tayli Lo Ceng. "Terima kasih atas penyambutan kalian, aku gembira sekali”
"Lo Ceng!" Tio Cie
Hiong dan Lim Ceng Im memberi hormat.
"Ha ha ha!" Tayli Lo
Ceng tertawa. "Kalian berdua semakin mesra saja!"
"Idiiih!" seru Kou
Hun Bijin. ”Kepala gundul tahu mesra lho! Sungguh luar biasa!"
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng tersenyum.
"Lo Ceng!" Kim Siauw
Suseng menatapnya "Kedatangan Lo Ceng kali ini...."
"Sudah kukatakan tadi,
aku ke mari hanya mengunjungi kalian," ujar Tayli Lo Ceng. "Sama
sekali tiada urusan lain."
"Lo Ceng, bagaimana
kabarnya rimba persilatan?" tanya Kim Siauw Suseng
"Biasa-biasa saja,"
jawab Tayli Lo Ceng. "Habis gelap pasti terbit terang. Begitulah.“
"Kalau begitu...." Kim Siauw Suseng menghela nafas
panjang. "Bun Yang masih
belum berkumpul dengan putri kami?"
"Jangan khawatir!"
ujar Tayli Lo Ceng. "Putri kalian pasti akan berkumpul kembali dengan Bun
Yang."
"Terimakasih, Lo
Ceng!" ucap Kim Siauw Suseng.
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng dan bertanya. "Bagaimana keadaan kalian selama ini baik-baik
saja?"
"Baik-baik saja,"
jawab Tio Tay Seng. "Tapi...”
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng menatapnya. "Telah terjadi sesuatu di sini?"
"Ya." Tio Tay Seng
menutur tentang kejadian penyerbuan pihak Kui Bin Pang. Tayli Lo Ceng
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Omitohud!" ucapnya
dan melanjutkan. "Syukurlah mereka telah sembuh!"
"Kepala gundul!" Kou
Hun Bijin menatapnya tajam. "Setahuku engkau muncul pasti ada urusan
penting, tidak mungkin hanya mengunjungi kami. Itu tidak mungkin."
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng. "Entah apa sebabnya, hatiku seakan menyuruhku ke mari.
Namun... sungguh mengherankan di sini tidak ada kejadian apa-apa."
"Lo Ceng...."
Mendadak Lu Hui San bangkit dari tempat
duduknya. Gadis itu menghampiri Tayli Lo Ceng lalu
mengeluarkan suatu benda dan
diserahkan kepada padri tua itu. "Ada seorang Biarawati tua menitip tusuk
konde ini untuk Lo Ceng."
"Haaaah...?" Tayli
Lo Ceng terbelalak ketika pelihat tusuk konde itu.
"Giok Cha (Tusuk Konde
Kumala)! Aaaaah...!" serunya.
Dengan tangan agak gemetar
Tayli Lo Ceng menerima tusuk konde itu, bahkan matanya pun ta berkaca-kaca.
"Omitohud! Inilah
dosaku...."
Apa yang terjadi itu sungguh
mencengangkan Tio Tay Seng, Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw Susng, Kou Hun Bijin dan
lainnya,
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan memecahkan keheningan. "Kepala gundul! Ternyata
engkau punya kenangan manis dan pahit Hi hi hi...!"
"Omitohud..." Tayli
Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala, kemudian memandang Lu Hui San seraya
bertanya. "Bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja?"
"Biarawati tua itu
kelihatan baik-baik saja. Pada jawab Lu Hui San dan menambahkan. "Tapi
ketika menyerahkan tusuk konde ini, biarawati tua itu tampak sedih
sekali."
"Aaah...!" keluh
Tayli Lo Ceng sambil mengeleng-gelengkan kepala. "Aku telah berdosa
terhadapnya! Aku...."
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa. "Kepala gundul, apakah pemilik tusuk konde itu mantan
kekasihmu?"
"Omitohud!" sahut
Tayli Lo Ceng. "Memang tidak salah, dia adalah kekasihku yang sangat
setia. Dia... dia bahkan menjadi biarawati."
"Lo Ceng," ujar Sam
Gan Sin Kay. "Bolehkah dituturkan mengenai kisah cinta itu?"
"Aaaah...!" Tayli Lo
Ceng menghela nafas panjang. "Semua itu telah berlalu, tiada gunanya
diceritakan."
"Kepala gundul,"
desak Kou Hun Bijin. "Ceritakanlah agar engkau merasa ringan terhadap
dosamu! Kalau tidak, engkau harus terus memikirkan dosa itu lho!"
"Betul," sambung Sam
Gan Kin Kay. "Kalau tidak diceritakan, dosa itu harus dipikul sampai ke
pintu sorga, dan akhirnya engkau pasti di lempar ke dalam neraka."
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian menutur.
"Ketika aku berusia sekitar dua puluh, justru merupakan seorang hweeshio
muda yang sangat tampan. Suatu hari aku menyelamatkan seorang putri hartawan.
Putri itu pergi sembahyangan, di tengah jalan dihadang para penjahat yang ingin
memperkosanya. Putri hartawan itu bernama Pek Sian Nio. Aku antar dia pulang,
tentunya membuat kedua orang tuanya terheran-heran. Pek Sian Nio segera
menceritakan tentang kejadian tersebut membuat kedua orangnya sangat
berterimakasih padaku, dan kemudian aku tinggal di sana."
"Kemudian
bagaimana?" tanya Kou Hun Bijin.
"Pek Sian Nio baik sekali
terhadapku, dan 1 bulan kemudian dia menyatakan cinta kepadaku. Aku tidak
terkejut, karena aku pun menyukainya secara diam-diam."
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa geli. "Hweesio muda jatuh cinta, itu sungguh merupakan dosa
berat!"