terlampau kurang ajar!"
"Biarkan saja!"
sahut Gouw Sian Eng sambil tersenyum lembut. "Yang penting engkau jangan
emosi."
Toan Wie Kie manggut-manggut,
sedangkan Tu Siao Cui terus memandangnya, kemudian tertawa seraya berkata.
"Bagus! Bagus! Suami memang
harus menurut pada isteri! Hi hi hi!"
"Engkau...." Wajah Toan Wie Kie tampak kemerahan.
"Engkau sungguh kurang
ajar!"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa geli. "Engkau merasa malu karena aku mengatakan, bahwa suami
harus menurut pada isteri?"
'Aku...." Toan Wie Kie
tergagap.
"Nona Tu," u;ar Toan
Hong Ya ssmbil menatapnya dengan penuh perhatian. "Betulkah delapan puluh
tahun lalu engkau bertemu Tayli Sin Ceng?"
"Toan Hong Ya."
sanut Tu Siao Cui. "Apa gunanya aku bohong? Kalau Toan Hong Ya tidak percaya,
tunggu padri sialan itu ke mari!"
"jangan mencaci guru
kami!' seru Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan dengan nada gusar.
"Oh?" Tu Siao Cui
menatap mereka. "Padri sialan itu guru kalian?"
"Betul." sahut Toan
Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak. 'Maka Kakak jangan menghina dan
mencaci guru kami!"
"Aku justru ingin
menghajar guru kalian itu," ujar Tu Siao Cui sambil tertawa.
-ooo0dw0ooo-
Jilid : 10
"Kakak...." Ketika Toan Beng Kiat ingin mengatakan
sesuatu, namun keburu di
dahului oleh Toan Hong Ya.
"Nona Tu, Tayli Lo Ceng
tidak berada di sini, lebih baik engkau pergi saja, jangan membuat onar di
tempat ini!"
"Jadi...." Tu Siao
Cui mengerutkan kening. "Toan Hong Ya
mengusirku? Begitu kan?"
"Bukan mengusir,
melainkan...."
"He he he!" Tu Siao
Cui tertawa terkekeh-kekeh. "He he he! Toan Hong Ya, engkau telah membuat
hatiku tersinggung. Oleh karena itu, akupun tak ingin membuat kalian
susah."
"Nona Tu...." Toan
Hong Ya terkejut. "Eng-kau mau apa?"
"Aku ingin bertanding
dengan jagoan di sini." sahut Tu Siao Cui memberitahukan. "Putra dan
menantumu boleh bertanding Menganku! Kalau aku kalah, aku akan meninggalkan
istana ini. Sebaliknya apabila mereka yang kalah, maka akulah yang berkuasa di
sini."
"Apa?" Toan Hong Ya
terbelalak. "Engkau menghendaki tahta kerajaan ini?"
"Tentu tidak." Tu
Siao Cui tersenyum. "Aku hanya ingin berkuasa di sini, sekaligus menikmati
kesenangan dan kemewahan. Kalau ada orang yang dapat mengalahkan aku, barulah
aku akan meninggalkan istana ini."
"Jadi engkau ingin
bertanding dengan Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong?" tanya Toan Hong
Ya.
"Ya." Tu Siao Cui
mengangguk.
"Itu...." Toan Hong
Ya memandang pulra dan menantunya
seraya bertanya,
"Bagaimana menurut kalian?"
"Baik." Toan Wie Kie
dan Lam Kiong Bie Liong mengangguk. "Kami menerima tantangannya."
"Bagus! Bagus!" Tu
Siao Cui tertawa. "Kalau begitu, cepatlah keluarkan senjata kalian!"
"Nona ingin melawan kami
berdua dengan tangan kosong?" tanya Toan Wie Kie dengan kening
berkerut-kerut.
"Betul." Tu Siao Cui
mengangguk sambil tersenyum. "Dengan tangan kosong, aku tetap mampu
merobohkan kalian."
"Baik." Toan Wie Kie
manggut-manggut, lalu memandang Lam Kiong Bie Liong seraya berkata, "Mari
kita bertanding dengan dia menggunakan senjata, dia yang menghendaki
begitu."
"Ng!" Lam Kiong Bie
Liong mengangguk sambil bertanya kepada Tu Siao Cui. "Nona, engkau tidak
akan menyesal?"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikikan. "Terus terang, dalam dua puluh jurus, kalian berdua
pasti roboh."
"Oh?" Lam Kiong Bie
Liong menatapnya dingin. "Engkau terlampau sombong, justru engkau yang
akan roboh dalam dua puluh jurus."
"Mari kita
buktikan!" ujar Tu Siao Cui. "Jangan membuang-buang waktu lagi!"
Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie
Liong saling memandang, kemudian mereka mengeluarkan senjata masing-masing,
yaitu sebuah kipas dan sebilah pedang.
"Kalian dengar
baik-baik!" seru Toan Hong Ya serius. "Ini cuma merupakan
pertandingan persahabatan, jadi kularang kalian saling melukai."
"Toan Hong Ya,"
sahut Tu Siao Cui. "Kalau tidak saling melukai, tentu tidak akan tahu
siapa yang berkepandaian lebih tinggi. Karena itu haluslah saling melukai,
namun tidak saling membunuh."
"Itu...." Toan Hong
Ya tampak gelisah. "Kalau begitu...."
"Jangan khawatir,
Ayah!" ujar Toan Wie Kie. "Kami berdua tidak akan terluka,
percayalah!"
"Ayah," ujar Toan
Beng Kiat. "Biar aku dan Soat Lan yang bertanding dengan dia."
"Benar," sambung Lam
Kiong Soat Lan. "Kami berdua saja yang melawan dia, sebab dia lelah
mencaci guru kami."
"Kalian jangan turut
campur!" Toan Wie Kie mengibaskan tangannya, agar mereka berdua
menyingkir.
"Ayah...." Toan Beng
Kiat tampak penasaran.
"Nak!" Gouw Sian Eng
menariknya menyingkir. "Itu urusan mereka, engkau dan Soat Lan jangan
turut campur!"
"Ibu...." Toan Beng
Kiat mengerutkan kening.
"Turutilah perkataan ibu,
jangan bikin kacau pikiran ayahmu!" bisik Gouw Sian Eng.
Sementara Toan Wie Kie dan Lam
Kiong Bie Liong sudah berdiri di hadapan Tu Siao Cui. Suasana pun mulai tegang.
"Nona Tu!" Toan Wie
Kie menatapnya. "Betulkah engkau ingin melawan kami dengan tangan
kosong?"
"Betul," sahut Tu
Siao Cui sambil tersenyum. "Aku tidak omong besar, kalian berdua boleh
mulai menyerang aku!"
"Baik!" Toan Wie Kie
mengangguk. "Bie Liong, mari kita serang dia!"
Toan Wie Kie mulai menyerang
Tu Siao Cui dengan kipasnya, menggunakan ilmu Bu Ceng San Hoat (Ilmu Kipas
Tanpa Perasaan), sedangkan Lam Kiong Bie Liong menyerang Tu Siao Cui dengan
pedang, menggunakan Thay Yang Kiam Hoat (Ilmu Pedang Surya).
Serangan-serangan itu tidak
membuat Tu Siao Cui gugup, sebaliknya ia malah tertawa nyaring sambil berkelit,
sekaligus balas menyerang dengan sepasang telapak tangannya.
Badannya melayang-layang ke
sana ke mari menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Toan Wie Kic dan Lam
Kiong Bie Liong, bahkan amat penasaran, karena senjata mereka sama sekali tidak
dapat menyentuh pakaian Tu Siao Cui. Namun diam-diam mereka sangat kagum akan
kepandaiannya. Walau dengan tangan kosong, tapi Tu Siao Cui sama sekali tidak
kelihatan terdesak.
Belasan jurus kemudian, malah
Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong yang tampak berada di bawah angin.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa nyaring. "Kepandaian kalian cuma begitu saja? Hi hi hi! liga
jurus lagi kalian pasti roboh!"
"Jangan sombong!"
bentak Toan Wie Kie dan mulai menyerangnya dengan jurus-jurus andalannya.
Begitu pula Lam Kiong Bie
Liong, ia pun mulai mengeluarkan jurus andalannya untuk merobohkan Tu Siao Cui.
Ketika Toan Wie Kie
mengeluarkan jurus Hai Lang Soh Ngai (Ombak Menyapu Daratan), Lam Kiong Bie
Liong mengeluarkan jurus Jit Liak Sauh Te (Terik Surya Membakar Bumi).
Dapat dibayangkan, betapa
dahsyatnya kedua jurus serangan itu. Tu Siao Cui diserang dari dua arah. Itu
membuatnya cukup repot juga. Akan tetapi, mendadak badannya berputar-putar
meluncur ke atas, jari telunjuknya bergerak-gerak ke arah Toan Wie Kie dan Lam
Kiong Bie Liong.
Ternyata Tu Siao Cui mulai
balas menyerang dengan ilmu Hian Goan Ci, menggunakan jurus Hung Sui Soh Te
(Air Bah Menerjang Bumi).
Casss! Cessss! Terdengar
benturan suara halus, kemudian terdengar pula suara jeritan.
Aaaakh! Aaaakh...! Yang
menjerit itu ternyata Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong.
Mereka berdua terkulai di
lantai. Gouw Sian Eng dan Toan Pit Lian segera berlari mendekati mereka dengan
wajah cemas.
"Kakak Kie, bagaimana
engkau?" tanya Gouw Sian Eng pada suaminya.
"Kakak Liong! Engkau...
engkau terluka?" tanya Toan Pit Lian cemas. "Bagaimana keadaan
lukamu?"
"Kami... kami..."
sahut Toan Wie Kie lemah. "Badanku tak bisa bergerak, mungkin... mungkin
aku sudah lumpuh."
"Apa?" Bukan main
terkejutnya Gouw Sian Eng. "Coba kerahkan lweekangmu!"
"Sudah kucoba, tapi...." Toan Wie Kie menggeleng-
gelengkan kepala. "Hawa
murniku tidak dapat dihimpun."
"Jadi...." Wajah
Gouw Sian Eng memucat. "Kepandaianmu
telah musnah?"
"Kira-kira
begitulah." Toan Wie Kie menghela nafas panjang. "Aku...."
"Kakak Kie...." Air
mata Gouw Sian Eng mulai meleleh.
Bagaimana keadaan Lam Kiong
Bie Liong? Keadaannya juga seperti Toan Wie Kie, sama sekali tidak bisa
bergerak.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa nyaring. "Tadi aku sudah bilang, dalam dua puluh jurus kalian
berdua pasti roboh di tanganku, sudah kubukti-kan. Hi hi hi!"
"Perempuan jahat!"
bentak Lam Kiong Soat Lan. "Engkau kejam! Kenapa melukai ayahku?"
"Aku tidak kejam,"
sahut Tu Siao Cui. "Kalau aku kejam, mereka berdua sudah jadi mayat."
"Soat Lan...." Lam
Kiong Bie Liong menggeleng-gelengkan
kepala. "Diamlah!"
"Ayah, aku dan Beng Kiat
harus melawannya," ujar Lam Kiong Soat Lan sambil memandang loan Beng
Kiat. "Ayoh, kita serang dia!"
"Baik." Toan Beng
Kiat mengangguk. "Soat Lan, Beng Kiat!" bentak Toan Hong
Ya. "Kalian berdua tidak
boleh menyerangnya!"
"Kakek," sahut Lam
Kiong Soat Lan. "Dia telah melukai ayah, aku harus membalas."
"Kakek," sambung
Toan Beng Kiat. "Kami berdua akan bertanding dengan dia."
"Tidak boleh!"
bentak Toan Hong Ya lagi sambil mengerutkan kening, kemudian memandang Tu Siao
Cui seraya berkata, "Nona Tu, aku harap engkau segera menyembuhkan
mereka!"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa. "Sesuai dengan perjanjian, kalau aku menang, aku berkuasa di
sini. Apabila kalah, aku akan pergi. Nah, buktinya aku yang menang. Maka akulah
yang berkuasa di sini. Hi hi hi...!"
"Omitohud!"
Terdengar suara pujian Budha yang menggetarkan hati. Tak lama muncullah seorang
padri tua, yang tidak lain adalah Tayli Lo Ceng.
Begitu melihat padri tua itu,
bcrserilah wajah Toan Hong Ya, sekaligus bersujud.
"Bangunlah!" Tayli
Lo Ceng tersenyum lembut.
Toan Hong Ya bangun dan
kembali ke tempat duduknya. Segeralah Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan
berlutut di hadapan padri tua itu.
"Guru!" panggil
mereka.
"Bangunlah
murid-muridku!" ucap Tayli Lo Ceng.
"Ya, Guru." Toan
Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan bangkit berdiri.
Sementara Tu Siao Cui terus
memandang Tayli Lo Ceng. Ketika padri tua itu mengarah padanya, wanita itu
berkata sambil tertawa dingin.
"Padri sialan! Kebetulan
engkau muncul, aku memang sedang mencarimu!"
"Omitohud!" sahut
Tayli Lo Ceng. "Nona, cepatlah sembuhkan mereka!"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikikan. "Kenapa aku harus menyembuhkan mereka?"
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng sambil menatapnya tajam. "Siapa engkau? Kenapa hatimu begitu
kejam?"
"Padri sialan?"
sahut Tu Siao Cui. "Dengarlah baik-baik! Aku bernama Tu Siao Cui. Apakah
engkau sudah lupa?"
"Tu Siao Cui! Tu Siao
Cui..." gumam Tayli Lo Ceng. "Aku memang sudah lupa."
"Padri sialan, bukankah
engkau sangat mahir meramal? Cobalah ramal siapa diriku ini!" ujar Tu Siao
Cui sambil tertawa dan menambahkan. "Aku tidak berhati kejam lho! Buktinya
aku tidak membunuh mereka, hanya melumpuhkan mereka."
"Itu membuktikan engkau
berhati kejam," sahut Toan Beng Kiat. "Engkau ke mari mencari guruku,
tapi justru melukai ayahku."
"Bocah!" Tu Siao Cui
tertawa. "Mereka berdua bertanding denganku, bahkan aku melawan iiu-rcka
dengan tangan kosong. Aku menang ka-n-na kepandaianku lebih tinggi. Bagaimana
kalau tadi aku yang terluka? Apakah engkau akan mengatai ayahmu berhati
kejam?"
"Aku...." Toan Beng
Kiat menundukkan kepala.
"Nah!" Tu Siao Cui
tersenyum. "Makanya jadi orang haruslah bertindak adil dan bijaksana
seperti Tio Bun Yang!"
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng. "Sebetulnya ada urusan apa engkau ke mari mencari
aku?"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikikan. "Tentunya engkau sudah tahu akan kehadiranku di
sini. Kalau tidak, bagaimana mungkin engkau muncul tepat pada waktunya?"
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng tersenyum. "Engkau masih muda, tapi mulutmu sungguh tajam!"
"Padri sialan, kini
engkau sudah tua sehingga jadi pikun. Masa engkau tidak mengenali aku lagi?
Cobalah ingat!"
"Aku betul-betul tidak
ingat lagi." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala.
"Padri sialan, kita
pernah bertemu."
"Kita pernah bertemu?
Kapan dan di mana?"
"Delapan puluh tahun
lampau, pada waktu itu aku dituntun oleh Thian Gwa Sin Hiap-Tan Liang Tie. Nah,
sudah ingatkah sekarang?"
"Apa?" Tayli Lo Ceng
terbelalak. "Engkau adalah gadis kecil itu? Bagaimana mungkin?"
"Aku memang gadis kecil
itu, namaku Tu Siao Cui. Thian Gwa Sin Hiap adalah guruku."
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa engkau menyamar sebagai dirinya?
Apakah Tu Siao Cui itu gurumu?"
"Aku adalah Tu Siao Cui.
Hi hi hi! Engkau lidak percaya kan? Tapi aku masih ingat apa yang engkau pesankan
kepada Thian Gwa Sin Hiap delapan puluh tahun yang lampau."
"Omitohud! Aku sudah
lupa. Beritahukan-lah!"
"Engkau berpesan kepada
Thian Gwa Sin Hiap harus berhati-hati padaku. Padri sialan, engkau sudah ingat
itu?"
"Jadi...." Tayli
Lo Ceng tertegun.
"Betul engkau adalah
gadis kecil itu?"
"Betul." Tu Siao Cui
mengangguk. "Pada waktu itu julukanmu adalah Tayli Sin Ceng, bernama Kong
Sun Hok. Ya, kan?"
"Tidak salah." Tayli
Lo Ceng menatapnya tajam, kemudian menghela nafas panjang. "Engkau memang
serupa dengan gadis itu, tapi...."
"Padri sialan!" Tu
Siao Cui tertawa. "Tentu M'iupa karena aku memang dia."
"Omitohud...." Tayli
Lo Ceng menggeleng-plengkan kepala.
"Engkau kok masih tampak
begitu muda, padahal usiamu sudah delapan puluh lebih."
"Aku mengalami suatu
kemujizatan, maka membuat diriku jadi muda kembali seperti gadis berusia dua
puluhan." Tu Siao Cui memberitahukan. "Namun enam puluh tahun lebih
aku tersiksa dan menderita di dalam goa. Belum lama ini aku baru bebas sekaligus
memunculkan diri di rimba persilatan."
"Omitohud! Syukurlah
kalau begitu!" ucap Tayli Lo Ceng. Kini padri tua itu sudah yakin, bahwa
gadis yang berdiri di hadapannya itu adalah Tu Siao Cui, murid adik
seperguruannya yang memiliki kitab pusaka Hian Goan Cin Keng. "Oh ya,
bagaimana keadaan Thian Gwa Sin Hiap adik seperguruanku itu?"
"Dia sudah mati,"
sahut Tu Siao Cui dingin dan menutur. "Setelah aku berusia dua puluh
lebih, aku pergi menyelidiki kematian kedua orang tuaku. Ternyata guruku yang
membunuh mereka."
"Oh?" Tayli Lo Ceng
mengerutkan kening. "Jelaskanlah!"
"Sebetulnya kedua orang
tuaku adalah perampok budiman. Mereka merampok demi menolong orang-orang
miskin," sahut Tu Siao Cui dengan wajah dingin. "Akan tetapi, Thian
Gwa Sin Hiap justru membunuh kedua orang tuaku karena membela seorang hartawan
yang selalu bertindak sewenang-wenang."
"Omitohud!"
"Mungkin Thian Gwa Sin
Hiap merasa menyesal, maka datang ke rumahku sekaligus membawaku pergi. Di saat
itulah bertemu engkau padri sialan."
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng menghela nafas panjang. "Adik seperguruanku tidak sengaja membunuh
kedua orang tuamu."
"Sengaja atau tidak, dia
tetap pembunuh kedua orang tuaku!" sahut Tu Siao Cui gusar.
"Seharusnya dia selidiki dulu, barulah turun tangan! Namun dia tidak bertanya
ini itu, langsung membunuh kedua orang tuaku! Karena itu, aku membalas
dendam!"
"Engkau membunuh adik
seperguruanku itu?" Tayli Lo Ceng terbelalak.
"Ya." Tu Siao Cui
mengangguk. "Tapi dia pun berhasil memukulku sehingga membuat aku jadi
lumpuh puluhan tahun lamanya."
"Omitohud...." Tayli
Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala
dan bertanya, "Lalu ada
urusan apa engkau ke mari mencariku?"
"Ingin menghukummu!"
"Oh?" Tayli Lo Ceng
mengerutkan kening. "Apa salahku maka engkau ingin menghukumku?"
"Delapan puluh tahun
lampau, engkau menyuruh Thian Gwa Sin Hiap berhati-hati padaku, secara tidak
langsung engkau menyuruhnya melenyapkan diriku." sahut Tu Siao Cui
menam-liahkan.
"Seharusnya di saat itu engkau bertanya kepadanya tentang diriku, kemudian
engkau pun harus menghukumnya. Tapi engkau tidak melakukan itu, sebaliknya
malah menyuruhnya berhati-liati terhadapku. Oleh karena itu, hari ini aku harus
menghukummu."
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng menghela nafas panjang. "Tu Siao Cui, engkau telah membunuh Thian Gwa
Sin Hap, dan kini engkau pun telah melukai mereka berdua. Apakah engkau belum
merasa puas?"
"Hi hi hi!" sahut Tu
Siao Cui dengan tawa cekikikan. "Thian Gwa Sin Hiap pernah bilang, engkau
adalah padri sakti. Karena itu, aku ingin menjajal kesaktian apa yang engkau
miliki."
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng menggeleng-gelengkan kepala. "Tu Siao Cui, itu tidak perlu. Engkau
harus ingat akan dirimu yang muda kembali, itu merupakan suatu berkah.
Bersyukurlah kepada Yang Maha Kuasa, jangan membuat dosa!"
"Padri sialan, aku ingin
bertanya," Tu Siao Cui menatapnya. "Pernahkah engkau berbuat suatu
dosa?"
"Omitohud!" sahut
Tayli Lo Ceng. "Setiap manusia tidak akan terlepas dari suatu dosa. Kalau
tahu pernah berbuat dosa, haruslah bertobat sekaligus menebusnya dengan
perbuatan baik."
"Bagus! Bagus! Kalau
begitu, engkau harus bertanding denganku!" ujar Tu Siao Cui
sungguh-sungguh. "Apabila engkau mampu mengalahkan aku, tentu aku akan
menyembuhkan mereka, bahkan juga akan meninggalkan istana Tayli ini. Tapi seandainya
engkau kalah, maka akulah yang berkuasa di sini. Hi hi hi...."
"Tu Siao Cui!" Tayli
Lo Ceng mengerutkan kening. "Asal engkau tidak berlaku sewenang-wenang di
sini, aku bersedia mengaku kalah terhadapmu. Bagaimana?"
"Dasar licik!" sahut
Tu Siao Cui. "Aku pun bersedia mengaku kalah terhadapmu, asal aku berkuasa
di sini."
"Omitohud...." Tayli
Lo Ceng menghela nafas panjang. "Tu
Siao Cui...."
"Guru," ujar Toan
Beng Kiat yang sangat penasaran. "Biar aku dan Soat Lan bertanding dengan
nenek sombong itu!"
"Beng Kiat, jangan turut
campur!" sahut Tayli Lo Ceng berwibawa. "Engkau diam saja."
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa dan berkata, "Kalian berdua bukan tandinganku, jangan sok
jago!"
"Nenek jahat!"
bentak Lam Kiong Soat Lan. "I ngkau telah melukai ayahku, aku harus
membalas!"
"Gadis kecil!" Tu
Siao Cui tertawa. "Hi hi hi! Apakah aku ini mirip nenek jahat?"
"Wajahmu masih muda, tapi
usiamu sudah delapan puluh lebih! Aku harus memanggilmu apa?"
"Panggil saja
kakak!"
"Kakak jahat
sekali!" Lam Kiong Soat Lan menudingnya. "Aku harus membalas!"
"Suruhlah gurumu
bertanding dengan aku, bukankah dia akan mewakili kalian membalasku?"
sahut Tu Siao Cui sambil tersenyum, kemudian memandang Tayli Lo Ceng.
"Padri sialan! Aku dengar engkau memiliki Hud Bun Pan Yok Sin Kang dan Kim
Kong Cap Sah Ciang, karena itu aku ingin menjajal ilmu-ilmumu itu!"
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng menghela nafas panjang. "Apakah aku tiada pilihan lain lagi?"
"Pilihanmu hanya
bertanding denganku!"
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan
kepala. "Kalau begitu apa
boleh buat!"
"Bagus! Bagus!" Tu
Siao Cui tampak gembira sekali. "Kalau aku kalah, aku pasti menyembuhkan
mereka dan meninggalkan istana ini. Namun seandainya engkau yang kalah, maka
akulah yang berkuasa di sini. Toan Hong Ya juga harus menuruti perintahku, ini
merupakan pertandingan bersyarat. Bagaimana?"
"Omitohud...." Tayli
Lo Ceng memandang Toan Hong Ya.
"Aku setuju," sahut
Toan Hong Ya cepat.
"Tidak akan
menyesal?" tanya Tu Siao Cui.
"Ha ha ha!" Toan
Hong Ya tertawa gelak. "Apabila Tayli Lo Ceng kalah, engkau boleh berkuasa
di sini dan duduk di singgasanaku ini!"
"Oh, ya?" Tu Siao
Cui tertawa gembira. "Baik. Tapi engkau jangan menyesal!"
"Aku tidak akan
menyesal," sahut Toan Hong Ya sungguh-sungguh. "Nah, kalian boleh
mulai bertanding!"
"Bagus! Bagus!" Tu
Siao Cui tertawa lgi. "Padri sialan, tentunya kita bertanding tanpa
senjata kan?"
"Omitohud...." Tayli
Lo Ceng manggut-manggut. "Baiklah."
Tayli Lo Ceng mulai
mengerahkan Hud Bun Pan Yok Sin Kang, sedangkan, Tu Siao Cui pun, mulai
menghimpun Hian Goan Sin Kang.
"Padri sialan! Aku akan
menyerang duluan, berhati-hatilah!" seru Tu Siao Cui sambil menyerang
menggunakan ilmu Hian Goan Ci.
"Omitohud..." ucap
Tayli Lo Ceng sambil mengibaskan lengan jubahnya menangkis serangan itu.
"Blaam! Scrt! Terdengar
suara benturan dan sobekan.
Tayli Lo Ceng dan Tu Siao Cui
sama-sama mundur tiga langkah. Wajah Tayli Lo Ceng tampak terkejut, ternyata
ujung jubahnya telah sobek terserang Hian Goan Ci.
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng. "Sungguh tak terduga, engkau telah menguasai Hian Goan
Ci!"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa. "Baru tahu ya? Nah, lihat seranganku ini!"
Tu Siao Cui langsung
menyerangnya dengan ilmu Hian Goan Ci. Kali ini Tayli Lo Ceng terpaksa harus
mengeluarkan ilmu simpanannya, yakni Kim Kong Cap Sah Ciang (Tiga Belas Jurus
Pukulan Cahaya Emas).
Oleh karena itu, sepasang
telapak tangan Tayli Lo Ceng tampak memancarkan cahaya ke-emas-emasan.
Tu Siao Cui terperanjat dan
segera meloncat ke belakang. Kemudian ia berdiri tegak di tempat sambil
mengerahkan Hian Goan Sin Kang sampai pada puncaknya.
Sementara Tayli Lo Ceng sudah
mengerahkan Hud Bun Pan Yok Sin Kang pada puncaknya pula.
Betapa terkejutnya Toan Hong
Ya dan lainnya, mereka tahu itu merupakan pertandingan antara hidup dan mati.
Teganglah mereka, begitu pula Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong yang telah
di papah ke tempat duduk.
Kini jari telunjuk Tu Siao Cui
pun memancarkan cahaya putih yang menyilaukan mata. Mendadak ia berteriak
sambil menyerang Tayli Lo Ceng. Badannya berputar-putar meluncur ke atas
sekaligus menggerakkan jari tulunjuknya ke arah Tayli Lo Ceng.
Tampak cahaya putih yang
menyilaukan mata berkelebat ke arah Tayli Lo Ceng. Itulah jurus Hung Sui Soh Te
(Air Bah Menerjang Bumi).
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng sambil menggerakkan sepasang telapak tangannya. Tampak cahaya
keemasan meluncur secepat kilat menangkis cahaya putih itu. Ternyata Tayli Lo
Ceng mengeluarkan jurus Kim Kong Cioh Te (Cahaya Emas Menyinari Bumi).
Blaaam! Terdengar suara
benturan dahsyat.
Tayli Lo Ceng terhuyung-huyung
ke belakang beberapa langkah, begitu pula Tu Siao Cui. Namun wanita itu masih
bisa tertawa nyaring.
"Hi hi hi! Padri sialan,
engkau memang hebat!"
"Omitohud!" sahut
Tayli Lo Ceng sambil menarik nafas dalam-dalam. "Tu Siao Cui, Hian Goan
Cimu itu sungguh dahsyat!"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa lagi. "Padri sialan, terimalah seranganku ini!"
Tu Siao Cui bergerak. Mendadak
jari telunjuknya berubah ribuan, sekaligus memancarkan cahaya putih mengarah ke
Tayli Lo Ceng.
"Omitohud..." ucap
Tayli Lo Ceng sambil mengerutkan kening, kemudian sepasang telapak tangannya
bergerak-gerak memancarkan cahaya keemas-emasan.
Tu Siao Cui menyerangnya
dengan jurus Cian ('i Keng Thian (Ribuan Jari Mengejutkan Langit), sedangkan
Tayli Lo Ceng menangkis mengeluarku jurus Kim Kong Teng Hai (Cahaya Emas
Menenangkan Laut).
Mereka berdua sama-sama
menggunakan ju-nis ampuh yang sangat dahsyat, maka tidak heran cahaya putih dan
cahaya keemas-emasan itu berkelebat ke sana ke mari. Betapa tegangnya Toan Hong
Ya dan lainnya, mereka menyaksikan pertandingan itu dengan mata tak berkedip.
Blaaam! Cessss...! Terdengar
suara benturan.
Tu Siao Cui terhuyung-huyung
lima langkah, sedangkan Tayli Lo Ceng terpental ke belakang beberapa depa
dengan wajah pucat pias.
"Uaaaakh...!" Mulut
Tayli Lo Ceng menyemburkan darah segar. "Uaaakh...!"
Sementara Tu Siao Cui menarik
nafas dalam-dalam mengatur pernafasannya, kemudian tertawa cekikikan.
"Hi hi hi! Padri sialan!
Bagaimana? Masih mau melanjutkan pertandingan?"
"Omitohud!" sahut
Tayli Lo Ceng. "Aku... aku mengaku kalah. Kepandaianmu memang tinggi
sekali."
"Guru! Guru...!"
seru Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak.
"Cepat papah guru ke
ruang istirahat!" sahut Tayli Lo Ceng. "Wie Kie dan Bie Liong juga
harus di papah ke ruang istirahat!"
"Ya, Guru." Toan
Beng K'at dan Lam Kiong Soat Lan segera memapah Tayli Lo Ceng, sedangkan Gouw
Sian Eng dan Toan Pit Lian memapah Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong.
"Hi hs hi!" Tu Siao
Cui tertawa nyaring. "Toan Hong Ya, engkau harus cepat turun dari kursi
kebesaran itu!"
"Haaah?" Toan Hong
Ya tampak tersentak. "Ba... baik."
"Jangan merasa terpaksa,
itu sesuai dengan perjanjian!" ujar Tu Siao Cui sambil tersenyum.
Toan Hong Ya turun dari kursi
kebesarannya, dan Tu Siao Cui langsung meloncat ke kursi itu.
"Hi hi hi!" Ia duduk
di situ sambil tertawa gembira. "Toan Hong Ya, mulai sekarang aku yang
berkuasa di sini. Engkau dan para pengawal serta para dayang harus mematuhi
perintahku."
"Ya." Toan Hong Ya
mengangguk, tapi berkeluh dalam hati.
"Kalau ada orang yang
mampu mengalahkan aku, maka aku akan pergi. Bila tidak, tentunya aku tetap
berkuasa di s-ini," tegas Tu Siao Cui dan menambahkan. "Jangan
coba-coba meracuni aku dengan minuman maupun makanan, sebab aku akan tahu itu
dan... aku pasti membunuh para penghuni istana ini!"
"Kami tidak akan berbuat
begitu," sahut Toan Hong Ya dan bertanya, "Nona Tu, bolehkah aku
pergi menengok mereka?"
"Silakan!" ucap Tu
Siao Cui.
"Tcrimakasih!" Toan
Hong Ya melangkah pergi, namun mendadak Tu Siao Cui berseru.
"Toan Hong Ya! Suruh para
dayang me-n\npkan makanan dan minuman untukku!"
"Baik." Toan Hong Ya
mengangguk, lalu menuju ruang istirahat.
Tayli Lo Ceng duduk bersila di
lantai, Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan duduk di samping kiri kanannya.
Sedangkan Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong duduk di kursi, Gouw Sian Eng
dan Toan Pit Lian menemani mereka dengan wajah murung.
"Ayah!" panggil
mereka serentak.
"Kakek!" panggil
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
"Ngmm!" Toan Hong Ya
manggut-manggut, kemudian duduk di hadapan Tayli Lo Ceng.
"Lo Ceng!"
panggilnya dengan suara rendah.
"Omitohud!" sahut
Tayli Lo Ceng sambil menghela nafas panjang. "Maaf, aku tidak bisa
apa-apa!"
"Lo Ceng!" Toan Hong
Ya tersenyum getir. "Aku mohon petunjuk!"
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng mengerutkan kening. "Kepandaian Tu Siao Cui itu sungguh tinggi,
memang hebat sekali ilmu Hian Goan Ci itu. Aku terluka dalam, mungkin harus
beristirahat beberapa bulan baru bisa pulih."
"Kalau begitu, kita harus
bagaimana?" tanya Toan Hong Ya.
"Kepandaian Tu Siao Cui
memang tinggi sekali. Kalau dia berhati jahat tentunya akan menimbulkan
bencana," ujar Tayli Lo Ceng dan melanjutkan. "Menurut aku, hanya ada
satu orang yang dapat menundukkannya, bahkan Tu Siao Cui pun akan mendengar
perkataannya."
"Siapa orang itu?"
tanya Toan Hong Ya cepat dan penuh harap.
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng memberitahukan. "Orang itu adalah Tio Bun Yang."
"Tio Bun Yang?" Toan
Hong Ya tertegun.
"Tio Bun Yang, putra Tio
Cie Hiong?" tanya Toan Wie Kie heran.
"Ya." Tayli Lo Ceng
mengangguk. "Tentunya kalian pun mendengar tadi, dia bilang Tio Bun Yang
sangat adil dan bijaksana. Itu membuktikan bahwa dia sangat kagum dan salut
kepada pemuda itu. Maka, aku yakin dia pasti mendengar perkataannya."
"Kalau begitu, kita harus
segera ke markas |iusat Kay Pang mengundang Bun Yang ke mari," ujar Gouw
Sian Eng dan menambahkan. "Bagaimana kalau aku yang ke sana?"
"Lebih baik kedua muridku
yang berangkat ke sana," sahut Tayli Lo Ceng "Mengenai ini, l-iugan
sampai Tu Siao Cui tahu!"
"Ya," sahut mereka
semua.
"Guru, kapan kami
berangkat ke Tionggoan?" ianya Toan Beng Kiat.
"Kalian berdua boleh
berangkat sekarang," l-iwab Tayli Lo Ceng. "Jangan membuang waktu,
sebab kalau Wie Kie dan Bie Liong tidak segera disembuhkan, mereka pasti lumpuh
selama-lamanya."
"Kalau begitu, kami mohon
pamit!" ucap Toan Beng Kiat, lalu memandang Lam Liong Soat Lan. "Mari
kita berangkat sekarang!"
"Ya!" Lam Kiong Soat
Lan mengangguk.
"Kalian berdua harus
berhati-hati, jangan membuat masalah di tengah jalan!" pesan Toan Hong Ya.
"Dan harus segera pulang!"
"Ya, Kakek," sahut
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng. "Berangkatlah kalian berdua dan harus berhasil mengajak Bun
Yang ke mari!"
"Ya, Guru." Toan
Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan memberi hormat, setelah itu barulah mereka
berdua meninggalkan istana Tayli.
-oo0de0oo-
Bagian ke empat puluh enam
Hal-hal yang tak terduga
Hari ini Tio Cie Hiong
memanggil Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa ke ruang depan. Yang lain pun sudah
duduk di situ, tentunya mencengangkan kedua gadis itu.
"Kalian berdua
duduklah!" ujar Tio Cie Hiong lembut tapi serius.
Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa
segera duduk. Kedua gadis itu menundukkan kepala, karena semua mata memandang
mereka.
"Hari ini aku panggil
kalian ke mari, karena kalian telah menguasai ilmu-ilmu yang kuajarkan,"
ujar Tio Cie Hiong sambil memandang mereka. "Oleh karena itu, kini sudah
saatnya kalian meninggalkan pulau ini."
"Maksud Paman kami boleh
ke Tionggoan?" lanya Bokyong Sian Hoa dengan wajah berseri.
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Kalian berdua boleh berangkat ke Tionggoan, dari Tionggoan
Yatsumi boleh pulang ke Jepang."
"Tapi alangkah baiknya
kalian ke markas pusat Kay Pang dulu," sambung Lim Ceng Im. "Temui
Bun Yang dan lainnya di sana!"
"Ya." Kedua gadis
itu mengangguk.
"Kepandaian kalian sudah
tinggi, namun kali.m harus ingat, jangan sembarangan membunuh «uang, sebab
membunuh itu perbuatan yang sangat berdosa!" ujar Tio Cie Hiong sambil
memandang mereka.
"Ya, Paman." Kedua
gadis itu mengangguk lagi dan bertanya, "Kapan kami boleh berangkat ke
Tionggoan?"
"Hari ini," sahut
Tio Cie Hiong singkat, namun kemudian menambahkan. "Baik-baiklah kalian
membawa diri di rimba persilatan, jangan sok jago dan sombong!"
"Ya, Paman," sahut
kedua gadis itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tio Cie Hiong.
"Terimakasih atas budi baik Paman yang telah membimbing kami!"
"Bangunlah!" Tio Cie
Hiong tersenyum dan berpesan, "Yang penting kalian berdua harus
mempergunakan kepandaian untuk membela kebenaran. Jadilah pendekar wanita yang
berhati bajik, adil dan bijaksana!"
"Ya, Paman." Mereka
berdua mengangguk, kemudian bangkit berdiri sekaligus kembali ke tempat duduk.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Tak lama lagi di rimba persilatan akan muncul dua
pendekar wanita pembela kebenaran!"
"Dasar sudah pikun!"
sahut Kou Hun Bijin. "Yatsumi harus pulang ke Jepang, engkau lupa
ya?"
"Tentu tidak, tapi engkau
yang tak punya otak!" ujar Sam Gan Sin Kay sambil tertawa-"Maksudku
rimba persilatan Tionggoan dan rimba persilatan Jepang."
"Huh!" dengus Kou
Hun Bijin. "Sudah salah omong masih tidak mau mengaku! Dasar pe-< ngemis
bau!"
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay terus tertawa| gelak, kemudian memandang Kim Siauw Suseng seraya
bertanya. "Sastrawan sialan! Kenapa engkau diam saja?"
"Aku tidak mau ikut
sinting seperti engkau," sahut Kim Siauw Suseng dan menambahkan.
"Engkau sudah tua sekali, tapi malah bertambah usil dan tak tahu
diri."
"Oh, ya?" Sam Gan
Sin Kay tertawa lagi. "Ha ha ha! Kalau pulau ini tiada kita berdua, pasti
sepi sekali!"
"Betul, betul." ujar
Tio Tay Seng sambil tersenyum. "Dengan adanya kalian di sini, maka pulau
ini berubah ramai dan semarak. Ha ha ha...!"
Karena mereka terus
bercakap-cakap, maka Tio Cie Hiong diam saja, tidak berani mengganggu para
tingkatan tua itu. Setelah mereka berhenti hercakap-cakap, barulah Tio Cie
Hiong membuka mulut.
"Yatsumi, engkau harus
berhati-hati menghadapi ketua ninja itu!" pesan Tio Cie Hiong. "Sebab
dia pasti memiliki ilmu istimewa, bisa menghilang mendadak dan menyusup ke
dalam tanah. Oleh karena itu, engkau harus mempergunakan pendengaranmu."
"Ya, Paman." Yatsumi
mengangguk.
"Sian Hoa...." Tio
Cie Hiong memandangnya. "Menurut aku,
lebih baik engkau jangan
pulang ke Manchuria. tinggal di markas pusat Kay Pang saja."
"Ya, Paman," sahut
Bokyong Sian Hoa sambil tersenyum. "Asal aku jangan disuruh jadi pengemis
wanita saja."
"Ha ha ha!" Mendadak
Tio Cie Hiong tertawa gelak. "Mungkin engkau tidak tahu, ketika aku
bertemu Adik Ceng Im, dia justru menyamar sebagai pengemis dekil yang sangat
bau."
"Eeeeh?" Wajah Lim
Ceng Im langsung memerah. "Mulai buka rahasia pribadi ya?"
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa terpingkal-pingkal. "Aku masih ingat itu. Kemudian Ceng Im
berdandan dengan wajah aslinya, yakni merupakan anak gadis yang cantik jelita
menemui Cie Hiong. Begitu melihat anak gadis itu, Cie Hiong langsung jatuh terduduk
di dalam hati anak gadis itu. Ceng Im memberitahukan bahwa gadis itu adalah
kakaknya bernama Im Ceng. Ha ha ha! Sejak itu Cie Hiong pun menderita sakit
rindu."
"Kakek pengemis...." Wajah
Tio Cie Hiong
kemerahan-
merahan.
"Tahukah kalian, cara
bagaimana Ceng Im bertemu Cie Hiong?" tanya Sam Gan Sin Kay mendadak.
"Beritahukanlah!"
sahut Bokyong Sian Hoa. "Tentunya sangat menarik sekali itu."
"Memang menarik
sekali." Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Pada waktu itu. Cie
Hiong telanjang bulat mandi di kali, Ceng Im mengintip."
"Kakek...." Wajah
Lim Ceng Im bertambah merah. "Jangan
omong yang bukan-bukan!"
"Itu memang nyata
kok," sahut Sam Gan Sin Kay. "Engkau sendiri yang bilang,
bukan?"
"Hebat!" ujar Kou
Hun Bijin sambil tertawa cekikikan. "Hi hi hi! Ceng Im, aku yakin pada
waktu itu, hatimu pasti dut-dutan."
"Bijin..." Lim Ceng
Im menundukkan kepala.
"Apa itu dut-dutan?"
tanya Sam Gan Sin Kay sambil tertawa terbahak-bahak.
"Tanya saja kepada cucumu
itu, dia pasti memberitahukan!" sahut Kou Hun Bijin sambil memandang Lim
Ceng Im. "Jelaskanlah tentang dut-dutan itu!"
Lim Ceng Im tak menyahut.
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan. "Hi hi hi....!"
-oo0dw0oo-
Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa
sudah meninggalkan Pulau Hong Hoang To, kini mereka mulai memasuki daerah
Tionggoan. Dalam per-lalanan menuju markas pusat Kay Pang, mereka sana sekali
tidak menemui gangguan apa pun. Dalam tujuh hari kemudian, -- sampailah mereka
di markas pusat Kay Pang.
Bukan main gembiranya Lie Ai
Ling. Ia segera memperkenalkan Bokyong Sian Hoa pada Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong.
"Kakek Lim, Kakek Gouw,
terimalah hormatku!" ucap Bokyong Sian Hoa sambil memberi hormat.
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang tertawa gembira. "Kalian duduklah!"
"Terimakasih!" Bokyong
Sian Hoa duduk. Ke tika Yatsumi baru mau duduk, Lie Ai Ling memperkenalkan Tio
Bun Yang.
"Dia Kakak Bun Yang, yang
pernah kuceritakan kepadamu," ujar Lie Ai Ling sambil tertawa. "Kakak
Bun Yang, dia adalah gadis Jepang bernama Yatsumi, engkau pasti sudah dengar
tentang dia."
Sementara Yatsumi
membungkukkan badannya kehadapan Tio Bun Yang, pemuda itu segera menjura.
"Selamat bertemu, Nona
Yatsumi!" ucapnya.
"Selamat bertemu, Kakak
Bun Yang!" sahut Yatsumi sambil tersenyum. "Jangan memanggilku nona,
cukup panggil namaku saja!"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Sian Hoa," tanya
Lie Ai Ling. "Bagaimana kabarnya yang di Pulau Hong Hoang To?"
"Mereka baik-baik
saja," jawab Bokyong Sian Hoa, kemudian memandang Tio Bun Yang seraya
bertanya. "Di mana Goat Nio, jantung hatimu itu?"
"Kami...." Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Kami
belum bertemu."
"Oh?" Bokyong Sian
Hoa mengerutkan kening. "Hingga sekarang engkau masih belum bertemu Goat
Nio?"
"Ya." Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala. "Aku di sini justru sedang menunggunya."
"Oooh!" Bokyong Sian
Hoa manggut-manggut.
"Oh ya!" Yatsumi
menengok ke sana ke mari seraya bertanya. "Di mana Lu Hui San dan Kam Hay
Thian? Kok mereka tidak kelihatan?"
"Mereka...." Lie Ai
Ling menghela nafas panjang sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa mereka?"
tanya Bokyong Sian Hoa tegang. "Telah terjadi sesuatu atas diri
mereka?"
"Ketika kami menuju ke
mari, di tengah jalan Kam Hay Thian pergi secara diam-diam...." Lie Ai
Ling menghela nafas panjang lagi.
"Oh?" Bokyong Sian
Hoa mengerutkan kening. "Kok dia begitu? Kalian tahu dia pergi ke mana/
"Tidak tahu." Lie Ai
Ling menggelengkan kepala. "Namun Kakek Lim telah menerima suatu lierila
yang sangat mengejutkan di ibu kota."
"Berita apa?" tanya
Bokyong Sian Hoa.
"Itu...." Lie Ai Ling memandang Tio Bun Yang, agar
pemuda itu yang
memberitahukan.
"Kakak Bun Yang,"
desak Bokyong Sian Hoa. "Beritahukanlah! Aku ingin mengetahuinya."
"Lu Thay Kam telah
mati," sahut Tio Bun Yang sambil menghela nafas panjang. "Dia mati
terkena pukulan Kam Hay Thian. Karena itu Lu Hui San pergi entah ke mana.
Hingga saat ini sama sekali tiada kabar beritanya tentang Lu Hui San dan Kam
Hay Thian."
"Oh?" Bokyong Sian
Hoa memandang Tio Bun Yang seraya berkata. "Kalau begitu, pasukan pamanku
pasti tidak akan menyerbu ke mari."
"Sian Hoa...." Tio
Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Setelah Lu Thay Kam mati
di istana justru malah bertambah kacau."
"Kenapa begitu?"
Bokyong Sian Hoa heran.
"Salah seorang menteri
langsung merebut kekuasaan Lu Thay Kam. Oleh karena itu, banyak jenderal yang
menjadi korban." Tio Bun Yang memberitahukan. "Menteri itu pun
bersekongkol dengan pamanmu."
"Itu bahaya sekali,"
ujar Bokyong Sian Hoa. "Sebab pamanku sangat berambisi ingin menjajah
negeri Han ini, kelak pasti akan terjadi peperangan."
"Itu urusan kerajaan,
kita tidak usah pusing.' ujar Lie Ai Ling sambil tersenyum.
"Kita adalah bangsa Han,
seharusnya kita j memikirkan itu," sahut Sie Keng Hauw dan menambahkan.
"Apakah kita harus membiarkan negeri Hari kita dijajah oleh bangsa
Manchuria?"
"Eeeh?" Lie Ai Ling
menatapnya. "Sejak kapan engkau mencampuri urusan kerajaan?"
"Aku...." Sie Keng
Hauw menundukkan kepala.
"Oh ya!" ujar Tio
Bun Yang melanjutkan. "Setelah Lu Thay Kam mati maka Gak Cong Heng menjadi
ketua Hiat Ih Hwe. Tapi kemudian ia mengajak para anggotanya bergabung dengan
Seng Hwce Kauw."
"Jadi...." Bokyong
Sian Hoa menggeleng-gelengkan kepala.
"Lu Hui San sama sekali
tiada jejaknya?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Begitu pula Kam Hay Thian. Mereka entah menghilang ke mana.
Namun kakekku telah mengutus beberapa orang untuk pergi menyelidiki mereka,
hingga kini mereka masih belum pulang."
"Oooh!" Bokyong Sian
Hoa manggut-manggut.
Sementara Yatsumi diam saja,
tapi sering melirik Tio Bun Yang. Mendadak Tio Bun Yang memandangnya seraya
bertanya.
"Nona Yatsumi engkau mau
tinggal di sini alau pulang ke Jepang?"
"Aku mau pulang ke
Jepang," sahut Yatsumi. "Aku harus membunuh Takara Nichiba, ketua
ninja itu."
"Yatsumi," ujar Lie
Ai Ling. "Jangan cepat-cepat pulang ke Jepang, tinggallah di sini
dulu!"
"Itu...." Yatsumi
tampak ragu.
"Yatsumi!" Bokyong
Sian Hoa memegang tangannya. "Tinggallah di sini dulu, jangan begitu cepat
pulang ke Jepang! Sebab kalau engkau sudah pulang, entah kapan kita akan
bertemu kembali."
"Baiklah." Yatsumi
mengangguk. "Aku akan tinggal di sini beberapa hari."
"Nah, asyik!" seru
Lie Ai Ling sambil tertawa.! "Kita berkumpul di sini, akan bertambah ramai
apabila Goat Nio sudah muncul."
"Aaaah...!" Mendadak
Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Sudah sekian lama aku menunggunya di
sini, tapi...."
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menatapnya. "Biar bagaimana pun engkau harus sabar menungJ
gunya."
"Kakek!" Wajah Tio
Bun Yang tampak murung sekali. "Sudah sekian lama tiada kabar beritanya,
aku khawatir telah terjadi sesuatu atas diri nya."
"Itu tidak mungkin, Kakak
Bun Yang," sahud Lie Ai Ling menghiburnya. "Tidak akan terjadi suatu
apa pun atas diri Goat Nio, percayalah!"
"Aaaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang lagi. "Aku... aku...."
"Engkau harus tenang, Bun
Yang!" ujar Gouw Han Tiong. "Tunggu lagi beberapa hari, kalau tiada
kabar beritanya, barulah kita rundingkan kembali."
"Ya!" Tio Bun Yang
mengangguk.
"Nah!" ujar Lim Peng
Hang sambil tertawa. "Kalian semua boleh ke belakang, lebih asyik kalian
mengobrol di sana."
Mereka mengangguk, lalu
beranjak menuju halaman belakang. Begitu sampai di halaman belakang, Lie Ai
Ling langsung berseru penuh kegembiraan.
"Horeee! Rasanya bebas
setelah berada di sini!" "Memangnya kenapa?" tanya Sie Keng Hauw
heran.
"Kalau di hadapan Kakek
Lim dan Kakek Gouw, rasanya kurang leluasa dan tidak begitu bebas
berbicara," sahut Lie Ai Ling. "Kini kita hebas membicarakan apa
pun."
"Benar." Bokyong
Sian Hoa tersenyum, kemudian memandang Tio Bun Yang seraya bertanya.
"Kakak Bun Yang, selama ini engkau rindu kepadaku?"
"Eh?" Lie Ai Ling
terbelalak ketika mendengar pertanyaan itu. "Sian Hoa, kenapa engkau tanya
begitu kepada Kakak Bun Yang?"
"Memangnya tidak
boleh?" sahut Bokyong Sian Hoa.
"Boleh sih boleh,
tapi...." Lie Ai Ling menggleng-gelengkan
kepala. "Itu merupakan
pertanyaan yang cukup mesra, tidak pantas lho! Karena Kakak Bun Yang sudah
punya kekasih."
"Aku tahu itu."
Bokyong Sian Hoa tertawa kecil. "Aku telah menganggapnya sebagai kakak,
tentunya aku boleh bertanya begitu kepadanya, bukan?"
"Oooh!" Lie Ai Ling
tersenyum. "Kalau begitu memang boleh. Nah, Kakak Bun Yang, jawablah
pertanyaannya tadi!"
"Adik Sian Hoa!" Tio
Bun Yang tersenyum lembut. "Aku memang rindu kepadamu, sebab engkau adalah
adikku."
"Kakak Bun Yang...." Bokyong Sian Hoa langsung
mendekap di dadanya.
"Adik Sian
Hoa...." Tio Bun
Yang membelainya dengan
penuh kasih sayang.
"Engkau adalah gadis baik yang lincah, kelak pasti bertemu pemuda yang
baik."
"Kakak Bun Yang...."
Bokyong Sian Hoa cemberut.
"Adik Sian Hoa!" Tio
Bun Yang tersenyum. "Aku berkata sesungguhnya, sama sekali tidak
menggodamu."
"Betul," sahut Lie
Ai Ling. "Kelak engkau pasti bertemu pemuda yang baik, ganteng dan
mencintaimu."
"Bagus! Bagus!"
Bokyong Sian Hoa melotot. "Ai Ling! Setelah berada di sisi Keng Hauw,
engkau pun berani mulai menggodaku!"
"Tidak salah," sahut
Lie Ai Ling sambil tertawa dan menambahkan. "Kalau berada di sisi sang
kekasih, rasanya memang bertambah berani."
"Idiih!" Bokyong
Sian Hoa tertawa geli. "Dasar genit! Kalau begitu, cepatlah engkau menikah
dengan dia!"
"Sebetulnya aku memang
ingin cepat-cepat menikah dengan Keng Hauw, tapi...." Lie Ai Ling
tersenyum sambil
melanjutkan, "Aku
khawatir kalian akan merasa iri padaku, maka aku belum mau menikah."
"Siapa yang iri padamu?
Dasar!" Bokyong Sian Hoa tertawa, kemudian ucapnya serius.
"Mudah-mudahan Kakak Bun Yang bertemu kembali dengan kekasihnya!"
Hari ini Toan Beng Kiat dan
Lam Kiong Soat Im sudah tiba di markas pusat Kay Pang. Ke-'laiangan mereka
cukup mengejutkan sekaligus mi-nggembirakan semua orang, terutama Gouw Nan
Tiong.
"Kakek!" panggil
Toan Beng Kiat.
"Beng Kiat cucuku!"
seru Gouw Han Tiong sambil merangkulnya erat-erat. "Bagaimana keadaan ibu
dan ayahmu? Mereka baik-baik saja?"
"Ibu baik-baik saja. Tapi ayah...." Toan Beng Kiat
menggeleng-gelengkan kepala,
dan wajah tampak murung sekali.
"Kenapa ayahmu?"
tanya Gouw Han Tiong cemas.
"Lumpuh." Toan Beng
Kiat memberitahukan. "Ayah Soat Lan pun begitu."
"Betul." Lam Kiong
Soat Lan mengangguk. "Ayahku pun lumpuh."
"Oh?" Gouw Han Tiong
dan Lim Peng Hang terkejut. "Beng Kiat, apa yang telah terjadi di sana,
ceritakanlah!"
"Kalian duduk dulu!"
ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Jangan terus berdiri!"
"Terimakasih!" ucap
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak lalu duduk.
"Beng Kiat!" Gouw
Han Tiong menatapnya seraya berkata. "Ceritakanlah apa yang telah terjadi
atas diri ayahmu dan ayah Soat Lan!"
"Ayah dan ayah Soat Lan
bertanding dengan seorang gadis. Tidak sampai dua puluh jurus, gadis itu
berhasil menotok jalan darah ayah dan ayah) Soat Lan hingga lumpuh." Toan
Beng Kiat menceritakan tentang itu. "Kemudian muncul guru kami...."
"Maksudmu Tayli Lo
Ceng?" tanya Gouw Han Tiong.
"Ya." Toan Beng Kiat
mengangguk.
"Lalu bagaimana?"
Tanya Lim Peng Hang tertarik.
"Gadis itu menantang guru
bertanding dengan suatu syarat," jawab Toan Beng Kiat memberitahukan.
"Syaratnya yakni kalau gadis itu menang, maka dia yang berkuasa di istana
Tayli. Apabila guru yang menang, dia pasti segera pergi."
"Oh?" Gouw Han Tiong
mengerutkan kening. "Kalau begitu, guru kalian yang kalah, bukan?"
"Kok Kakek tahu?"
Toan Beng Kiat heran.
"Kalau guru kalian
menang, tentunya kalian tidak ke mari," sahut Gouw Han Tiong. "Kalian
ke mari pertanda guru kalian kalah."
"Betul." Toan Beng
Kiat mengangguk. "Guru kami kalah dalam pertandingan itu."
"Haaah?" Lim Peng
Hang terkejut bukan main, sehingga mulutnya ternganga lebar. "Tayli Lo
Ceng kalah bertanding dengan gadis itu?"
"Ya." Toan Beng Kiat
menghela nafas panjang. "Kepandaian gadis itu sungguh tinggi! Tapi juga
sangat membingungkan...."
"Kenapa
membingungkan?" Tanya Gouw Han 'liong heran.
"Sebab gadis itu mengaku
telah berusia delapan puluh tahun lebih," jawab Lam Kiong Soat Lan
memberitahukan. "Semula guru tidak percaya, tapi kemudian percaya
juga."
"Oh?" Gouw Han Tiong
mengerutkan kening. "Siapa gadis itu?"
"Bu Ceng Sianli-Tu Siao
Cui." Lam Kiong Soat Lan memberitahukan. "Dia sangat cantik sekali,
kelihatannya baru berusia dua puluhan. Tapi dia telah berusia delapan puluh
tahun lebih."
"Dia... dia adalah Kakak
Siao Cui?" Tio Bun Yang terbelalak. "Betulkah usianya sudah delapan
puluh lebih?"
"Kakak Bun Yang kenal
dia?" tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Kenal!" Tio Bun
Yang mengangguk. "Kami pernah bertemu, dialah yang membunuh Hek Sim Popo.
Tapi kenapa dia ke Tayli cari gara-gara?"
"Itu dikarenakan guru
kami," jawab Toan Beng Kiat.
"Tayli Lo Ceng..."
gumam Tio Bun Yang. "Oooh! Ternyata dia ingin membuat perhitungan dengan
guru kalian, karena guru kalian adalah kakak seperguruan Thian Gwa Sin
Hiap."
"Siapa Thian Sin
Hiap?" Toan Beng Kiat heran.
"Adik seperguruan Tayli
Lo Ceng," sahut Tio Bun Yang dan menambahkan. "Atau paman guru kalian,
juga adalah guru Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui."
"Kalau begitu...."
Lam Kiong Soat Lan terbelalak. "Bu Ceng
Sianli itu adalah kakak
seperguruan kami."
"Memang. Tapi...."
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Thian Gwa Sin
Hiap telah melakukan suatu kesalahan."
"Kesalahan apa?"
tanya Toan Beng Kiat.
"Thian Gwa Sin Hiap salah
tangan membunuh sepasang perampok budiman. Ternyata sepasang perampok itu
adalah kedua orang tua Tu Siao Cui...." Tio Bun Yang menceritakan tentang
itu.
"Oooh!" Toan Beng
Kiat manggut-manggut. "Ternyata begitu! Pantas dia ke Tayli mencari guru!
"Tapi...." Lam Kiong Soat Lan mengerutkan kening.
"Kenapa dia melumpuhkan
ayah?"
"Dalam suatu
pertandingan, memang saling menjatuhkan," sahut Tio Bun Yang. "Kita
tidak bisa mempersalahkannya. Yang bersalah adalah orang tua kalian. Seharusnya
orang tua kalian bersabar."
"Dia begitu sombong, maka
ayah tidak bisa bersabar," ujar Lam Kiong Soat Lan memberitahukan.
"Dia berlaku sombong
karena ingin meman-i ing emosi ayahmu, karena itu terjadilah
pertandingan." Tio Bun Yang menjelaskan.
"Kalau begitu..."
sela Toan Beng Kiat. "Guruku bertanding dengan dia, apakah juga karena
.?mosi?"
"Bukan." Tio Bun
Yang menggelengkan kepala. "Tayli Lo Ceng bertanding dengan dia, ka-w-na
membela Tayli dan orang tua kalian."
"Aaah...!" Toan Beng
Kiat menghela nafas panjang. "Guru kami kalah, maka Bu Ceng Sianli yang
berkuasa di istana."
"Oleh karena itu..."
sambung Lam Kiong Soal Lan. "Guru menyuruh kami ke mari menemuimu."
"Oh?" Tio Bun Yang
tertegun dan bertanya. "Tayli Lo Ceng pesan apa untukku?"
"Kami harus menjemputmu
ke Tayli," sahut Toan Beng Kiat. "Guru kami berpesan demikian."
"Lho? Kenapa?" Tio
Bun Yang bingung.
"Kata guru...." Lam Kiong Soat Lan memberitahukan.
"Hanya engkau yang mampu
menundukkan Bu Ceng Sianli, dia akan menuruti perkataanmu."
"Itu bagaimana
mungkin?" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Guru kami yakin
itu," ujar Toan Beng Kiat. "Sebab di saat Bu Ceng Sianli berbicara,
dia pun mengatakan bahwa engkau sangat adil dan bijaksana. Kelihatannya dia
sangat kagum dan salut kepadamu."
"Itu...." Tio Bun
Yang mengerutkan kening, "tidak mungkin
aku bisa ikut kalian ke
Tayli."
"Kenapa?" Lam Kiong
Soat Lan heran.
"Sebab...." Tio Bun
Yang menghela nafas panjang, "aku
sedang menunggu Goat Nio, jadi
tidak bisa ke mana-mana."
"Tapi...." Toan Beng
Kiat memberitahukan dengan wajah
muram. "Kini guru kami
terluka, orang tua kami pun lumpuh. Sedangkan Bu Ceng Sianli berbuat semaunya
di istana. Menurut guru, hada seorang pun yang dapat menundukkannya kecuali
engkau."
"Bukan aku tidak bersedia
ke Tayli, melainkan karena aku harus menunggu Goat Nio di sini."
"Bun Yang," ujar Lim
Peng Hang. "Menurut kakek, engkau harus berangkat ke Tayli."
"Kakek...." Tio Bun
Yang mengerutkan kening.
"Kalau engkau tidak ke
sana, Kakek khawatir Bu Ceng Sianli akan bertindak sewenang-wenang di
sana." Lim Peng Hang menatapnya. "Mengenai soal Nio, biar kami yang
menunggunya."
"Kakek, itu...." Kelihatannya Tio Bun Yang masih
berkeberatan meninggalkan
markas pusat Kay Pang, sebab ia harus menunggu Goat Nio.
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang tersenyum. "Selelah engkau bertemu Tayli Lo Ceng mungkin engkau bisa
minta petunjuk kepadanya mengenai Goat Nio, bukan?"
"Betul," sahut Lam
Kiong Soat Lan. "Aku yakin guru tahu mengenai Goat Nio, dan pasti mwmberi
petunjuk kepadamu."
Tio Bun Yang berpikir, lama
sekali barulah ia mengangguk. "Baiklah. Aku akan ikut kalian ke
Tayli."
"Terimakasih!" ucap
Toan Beng Kiat dan Lam Peng Soat Lan serentak.
Sementara Bokyong Sian Hoa
diam saja. Namun begitu Toab Beng Kiat muncul di situ, sepasang matanya terus
melirik ke arah pemuda itu. Kelihatannya gadis itu sangat
tertarik padanya Maka ketika
Tio Hun Yang mengatakan ikut meieka ke Tayli, ia pun segera menyelak.
"Kakak Bun Yang, aku juga
ikut ah!"
"Apa?" Tio Bun Yang
terbelalak. "Engkau ingin ikut ke Tayli?"
"Ya." Bokyong Sian
Hoa mengangguk sambi tersenyum. "Boleh kan?"
"Itu...." Tio Bun
Yang tampak ragu.
"Maaf!" ucap Toan
Beng Kiat dengan wajah ceria. "Bolehkah aku tahu siapa Nona?"
"Namaku Bokyong Sian
Hoa," sahut gadis itu dengan wajah agak kemerah-merahan. "Bolehkah
aku ikut ke Tayli?"
"Tentu boleh,
tapi...." Toan Beng Kiat menatapnya, "orang
tuamu memperbolehkan apa
tidak?!
"Aku sudah tidak punya
orang tua." Bokyong Sian Hoa menundukkan kepala. "Aku pernah tinggal
di Pulau Hong Hoang To!"
"Oh?" Toan Beng Kiat
tampak tercengang "Nona punya hubungan apa dengan Paman Cie Hiong?"
"Almarhum ibuku adalah
teman baiknya. Maka aku...."
"Beng Kiat!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Dia mantan Putri Manchuria, ayahnya bernama Patoho."
"Apa?" Toan Beng
Kiat terperanjat. "Raja Manchuria itu?" "Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Kami tahu...." Toan
Beng Kiat manggut-manggut. "Patoho
adalah raja Manchuria yang
baik, tapi sudah meninggal karena dibunuh adiknya."
"Kok engkau tahu?"
Bokyong Sian Hoa bingung.
"Sebelum meninggal,
ayahmu pernah berkun-jung ke Tayli menemui kakekku." Toan Beng Kiat
memberitahukan. "Kakekku adalah Toan Hong Ya!"
"Oooh!" Wajah
Bokyong Sian Hoa berseri. "Kalau begitu, Toan Wie Kie adalah ayahmu!"
"Betul." Toan Beng
Kiat tercengang. "Kok engkau tahu?"
"Ayahku pernah
memberitahukan kepadaku mengenai kalian, tidak disangka kita malah bertemu di
sini," ujar Bokyong Sian Hoa sambil tersenyum.
"Nah!" sela Lie Ai
Ling. "Itu namanya berjodoh."
"Ai Ling!" Wajah
Bokyong Sian Hoa langsung memerah. "Engkau kok usil sih?"
"Hi hi hi!" Lie Ai
Ling tertawa geli. "Aku tahu, engkau sangat tertarik kepada Toan Beng
Kiat, bukan?"
"Engkau...." Bokyong
Sian Hoa membanting-banting kaki.
"Engkau jahat!"
Lam Kiong Soat Lan tersenyum,
kemudian memandang Lie Ai Ling seraya bertanya.
"Ai Ling, bagaimana
keadaan Kam Hay Thian dan Lu Hui San?"
"Mereka...." Lie Ai
Ling menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa mereka?" Lam
Kiong Soat Lan tersentak. "Apakah telah terjadi sesuatu atas diri
mereka?"
"Lu Thay Kam mati di
tangan Kam Hay Thiana setelah itu Kam Hay Thian dan Lu Hui San menghilang entah
ke mana..." jawab Lie Ai Lini sekaligus menutur tentang kejadian itu.
"Aaah...!" Lam Kiong
Soat Lan menghela nafas panjang. "Sungguh kasihan Lu Hui San! entah
bagaimana keadaannya? Aku khawatir dia akan menjadi gila."
"Benar." Tio Bun
Yang manggut-manggut "Aku pun mengkhawatirkan itu."
"Beng Kiat," tanya
Lim Peng Hang mendadak. "Kapan kalian akan berangkat?"
"Sekarang," jawab
Toan Beng Kiat.
"Apa?" Lim Peng Hang
terbelalak. "Kenapa begitu cepat? Apakah tidak boleh menunggu bel berapa
hari?"
"Memang tidak boleh,
sebab guru berpesan kepada kami harus segera pulang ke Tayli."
"Beng Kiat!" Gouw
Han Tiong menatapnya. "Kalau begitu, lebih baik kalian berangkat esok
saja."
"Ya, Kakek." Toan
Beng Kiat tidak berani membantah.
"Kakek," ujar Tio
Bun Yang berpesan kepada Lim Peng Hang. "Kalau Goat Nio ke mari, suruh dia
menungguku di sini, jangan menyusul ke Tayli! Aku khawatir akan selisih jalan
lagi."
"Jangan khawatir!"
Lim Peng Hang tersenyum. "Kakek pasti menyuruhnya menunggu di sini. Namun
engkau jangan lama-lama di Tayli!"
"Ya, Kakek." Tio Bun
Yang mengangguk.
Beberapa hari kemudian setelah
Tio Bun Yang, Bokyong Sian Hoa, Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan berangkat
ke Tayli, justru muncul Ngo Tok Kauwcu-Phang Ling Cu di markas pusat Kay Pang.
Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong menyambut kedatangannya dengan penuh keheranan, namun dengan ramah
mempersilakannya duduk.
"Ling Cu, silakan
duduk!"
"Terimakasih!" ucap
Ngo Tok Kauwcu sambil duduk, kemudian memandang Lie Ai Ling. "Engkau
berada di sini. Oh ya, di mana Kam Hay Thian dan Lu Hui San?"
"Mereka...." Lie Ai
Ling menggeleng-gelengkan kepala, lalu
menutur tentang itu dan
bertanya. "Engkau belum tahu Lu Thay Kam sudah mati?"
"Sudah tahu, tapi tidak
begitu jelas tentang kejadian itu," jawab Ngo Tok Kauwcu sambil menghela
nafas panjang. "Ternyata begitu!"
"Ling Cu!" Lim Peng
Hang memandangnya seraya bertanya. "Engkau ke mari tentunya ada suatu
penting, bukan?"
"Betul." Ngo Tok
Kauwcu mengangguk. "Aku ingin menemui Adik Bun Yang. Dia di mana?"
"Dia sudah berangkat ke
Tayli beberapa hari yang lalu." Lim Peng Hang memberitahukan tentang
munculnya Bu Ceng Sianli di Tayli.
"Oooh!" Ngo Tok
Kauwcu manggut-manggut. "Aku juga pernah mendengar tentang sepak terjang
Bu Ceng Sianli itu. Banyak penjahat yang mati di tangannya. Tapi dia pun
membunuh kaum pesilat golongan putih, termasuk beberapa murid partai
Butong."
"Kami sudah tahu
itu," ujar Lim Peng Hang. "Oh ya, engkau ke mari tentunya ingin
menyampaikan sesuatu, bukan?"
"Ya." Ngo Tok Kauwcu
mengangguk. "Aku ingin menyampaikan kabar berita tentang Siang Koan Goat
Nio."
"Hah? Apa?" Lim Peng
Hang tersentak, begitu pula yang lain. "Engkau tahu tentang kabar
beritanya?"
"Ya." Ngo Tok Kauwcu
mengangguk. "Beberapa bulan yang lalu, Goat Nio ditangkap oleh pihak Seng
Hwee Kauw. Pat Pie Lo Koay yang mengirim berita itu kepadaku."
"Pihak Seng Hwee Kauw
menangkap Siang Koan Goat Nio?" Betapa terkejutnya Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong. "Engkau tahu bagaimana keadaannya di sana?"
"Dia baik-baik saja. Tapi
disekap di dalam ruang batu."
"Ling Cu!" Lim Peng
Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa sekarang engkau baru ke mari
memberitahukan?"
"Maaf! Karena aku masih
harus mengatur sesuatu, begitu pula Pat Pie Lo Koay," ujar Ngo Tok Kauwcu
memberitahukan. "Itu demi keselamatan Siang Koan Goat Nio."
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggut, lalu memandang Gouw Han Tiong seraya bertanya.
"Bagaimana menurutmu?"
"Cukup memusingkan,"
sahut Gouw Han Tiong sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Sebab Tio Bun
Yang tidak berada di sini, kita tidak boleh sembarangan mengambil suatu
keputusan."
"Tapi...." Lim Peng Hang menghela nafas panjang.
"Bukankah itu akan
membahayakan diri Goat Nio?"
"Tidak," ujar Ngo
Tok Kauwcu. "Karena Goat Nio cuma dijadikan sandera saja."
"Ling Cu!" Lim Peng
Hang menatapnya. "Menurutmu kita harus bagaimana?"
"Menunggu," sahut
Ngo Tok Kauwcu singkat.
"Maksudmu menunggu Bun
Yang pulang?" tanya Gouw Han Tiong.
"Menunggu utusan Seng
Hwee Kauw ke mari, sekaligus menunggu Adik Bun Yang pulang," jawab Ngo Tok
Kauwcu sungguh-sungguh.
"Pihak Seng Hwee Kauw
akan mengutus seseorang ke mari?" tanya Lim Peng Hang sambil mengerutkan
kening.
"Ya." Ngo Tok Kauwcu
mengangguk. "Itu sudah dalam rencana Seng Hwee Sin Kun."
"Tapi Goat Nio akan
selamat di sana?" tanya Lim Peng Hang penuh perhatian, namun bernada
cemas.
"Jangan khawatir, Goat
Nio tidak akan terjadi apa-apa di sana!" jawab Ngo Tok Kauwcu, kemudian
memandang Yatsumi seraya bertanya. "Nona ini cantik sekali, tapi
dandanannya agak aneh."
"Kakak Ling Cu!" Lie
Ai Ling memperkenalkan. "Dia bernama Yatsumi, gadis dari Jepang."
"Oooh!" Ngo Tok
Kauwcu manggut-manggut. "Ternyata pesilat wanita dari Jepang!"
"Kakak Ling Cu!"
Yatsumi tersenyum. "Paman Cie Hiong adalah teman baik ibuku...."
Yatsumi memberitahukan tentang
itu, dan Ngo Tok Kauwcu mendengar dengan penuh perhatian.
"Oooh!" Ngo Tok
Kauwcu manggut-manggut lagi. "Ternyata begitu, bahkan engkau pernah
tinggal di Pulau Hong Hoang To!"
"Paman Cie Hiong
mengajarku ilmu silat. Tidak lama lagi aku akan pulang ke Jepang, aku harus
membalas dendam." Yatsumi memberitahukan. "Aku harus membunuh ketua
ninja itu."
"Ngmmm!" Ngo Tok
Kauwcu mengangguk. "Tapi engkau harus berhati-hati menghadapi nin-ja,
sebab kaum ninja memiliki ilmu aneh."
"Paman Cie Hiong sudah
memberi petunjuk kepadaku, bagaimana cara menghadapi kaum ninja," ujar
Yatsumi dan menambahkan. "Aku sangat berterimakasih pada Paman Cie
Hiong."
Ngo Tok Kauwcu tersenyum,
kemudian memandang Lim Peng Hang seraya berkata dengan wajah serius.
"Lim Pangcu pernah dengar
tentang sekelompok orang aneh di rimba persilatan?"
"Sekelompok orang aneh?
Maksudmu?" Lim Peng Hang mengerutkan kening.
"Ketika aku ke mari, aku
mendengar suara siulan aneh yang menyeramkan, lalu muncul belasan orang
berpakaian serba putih menunggang kuda, mereka memakai kedok setan."
"Engkau melihat
mereka?" tanya Lim Peng Mang terkejut.
"Ya." Ngo Tok Kauwcu
mengangguk. "Ketika aku mendengar suara siulan aneh yang menyeramkan itu,
aku segera bersembunyi di balik pohon Lim Pangcu tahu tentang mereka?"
"Kalau tidak salah,
mereka para anggota Kui Bin Pang (Perkumpulan Muka Setan)," jawab Lira
Peng Hang memberitahukan.
"Oh?" Ngo Tok Kauwcu
mengerutkan kening., "Aku tidak pernah mendengar tentang Kui Bin Pang
itu."
"Aaaah...!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Sudah hampir seratus tahun Kui Bin Pang itu
lenyap, namun kini muncul kembali Entah apa yang akan terjadi?"
-ooo0dw0ooo-
Bagian ke empat puiuh tujuh
Orang Tua pincang
Tio Bun Yang, Bokyong Sian
Hoa, Toan Beni Kiat dan Lam Kiong Soat Lan sudah tiba di Tayli Toan Beng Kiat
dan Lam Kiong Soat Lan lang sung mengajak mereka berdua ke ruang
istirahat menemui Tayli Lo
Ceng. Begitu sampai di ruang itu, mereka berempatpun segera bersujud di hadapan
padri tua itu, yang duduk bersila.
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng dengan wajah berseri. "Syukurlah kalian sudah pulang!"
"Guru..." panggil
Toan Beng Kiat. "Kami telah berhasil mengajak Bun Yang ke mari."
"Bagus!" Tayli Lo
Ceng menatap Tio Bun Yang. "Omitohud! Memang hanya engkau yang dapat
menundukkan Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui itu."
"Lo Ceng...." Tio
Bun Yang menggelengkan kepala. "Itu
belum tentu."
"Omitohud!
Percayalah!" Tayli Lo Ceng ter-i.enyum. "Kalian duduklah!"
Mereka berempat lalu duduk.
Tayli Lo Ceng terus menatap Tio Bun Yang dengan seksama, leinudian ucapnya
sambil manggut-manggut.
"Engkau akan mengalami
berbagai percobaan, maka engkau harus tabah menghadapinya."
"Ya, Lo Ceng." Tio
Bun Yang mengangguk.” Oh ya, aku ingin mohon petunjuk."
"Mengenai apa?"
"Sian Koan Goat
Nio."
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng tersenyum. "Engkau tidak usah khawatir, dia dalam keadaan baik-baik
saja."
"Lo Ceng," tanya Tio
Bun Yang cepat. "Dia berada di mana?"
"Setelah engkau pulang ke
markas pusat Kay Pang, engkau pasti mengetahuinya," sahut Tayli Lo Ceng.
"Omitohud!"
"Terimakasih atas
petunjuk Lo Ceng!" ucap Tio Bun Yang.
"Omitohud!" Mendadak
Tayli Lo Ceng memandang Bokyong Sian Hoa. "Engkau memana sudah ditakdirkan
ke mari, bahwa engkau dari Beng Kiat pun sudah saling tertarik dalam hati!
Bagus! Bagus!"
"Lo Ceng...." Wajah
Bokyong Sian Hoa kemerah-merahan.
"Nanti kalau Bun Yang
pulang ke Tionggoan, engkau tetap di sini saja!" pesan Tayli Lo Cengl
"Lo Ceng, aku...." Bokyong Sian Hoa menungdukkan
kepala.
"Sian Hoa!" Lam
Kiong Soat Lan langsung memegang tangannya. "Engkau tinggal di sini ya.
Jadi aku punya kawan."
"Ng!" Bokyong Sian
Hoa mengangguk.
"Guru," tanya Toan
Beng Kiat. "Bagaimana keadaan ayahku?"
"Masih lumpuh,"
sahut Tayli Lo Ceng. "Hanya Bu Ceng Sianli yang dapat menyembuhkannya.'!
"Bagaimana keadaan luka
guru?" tanya Toan Beng Kiat lagi dengan penuh perhatian.
"Sudah membaik."
jawab Tayli Lo Ceng sambil menghela nafas panjang. "Dua bulan kemudian
guru baru bisa pulih."
"Lo Ceng...." Tio
Bun Yang menatapnya. "Bolehkah aku
periksa sejenak luka Lo
Ceng?"
"Omitohud! Silakan!"
sahut Tayli Lo Ceng.
Tio Bun Yang segera memeriksa
luka di dada Tayli Lo Ceng, lama sekali lalu menggeleng-gelengkan kepala.
"Tak disangka sama sekali
Bu Ceng Sianli memiliki lweekang yang begitu dahsyat!" ujarnya
sungguh-sungguh. "Padahal Lo Ceng memiliki Hud Bun Pan Yok Sin Kang, namun
serangan lwee-kangnya mampu
menerobos pertahanan lweekang Lo Ceng."
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng menghela nafas panjang. "Dia menyerangku dengan ilmu Hian Goan
Ci."
"Lo Ceng...." Tio
Bun Yang duduk di belakang Tayli Lo
Ceng. "Maaf, aku akan
mencoba mengobati Lo Ceng!" "Terimakasih!" ucap Tayli Lo Ceng.
Tio Bun Yang menempelkan
sepasang telapak tangannya di punggung Tayli Lo Ceng, lalu mengerahkan Pan Yok
Hian Thian Sin Kang, sekaligus disalurkan ke dalam tubuh padri tua itu.
Seketika Tayli Lo Ceng merasa
ada aliran hangat menerobos ke dalam tubuhnya. Maka ia segera mengerahkan Hud
Bun Pan Yok Sin Kang untuk menerima aliran hangat itu.
Berselang beberapa saat
kemudian, tampak uap putih mengepul di atas ubun-ubun Tayli Lo Ceng.
Sepeminuman teh kemudian, uap putih itu menerobos ke dalam ubun-ubun padri tua
itu. Di saat bersamaan, Tio Bun Yang menarik kembali lweekangnya, lalu menghela
nafas dalam-dalami sekaligus menurunkan sepasang telapak tangannya.
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng. "Terima-kasih, engkau telah menyembuhkan lukaku! Tak
disangka lweekangmu begitu hebat!"
"Terimakasih kembali, Lo
Ceng!" Tio Bun Yang tersenyum.
"Omitohud! Kalian boleh
ke ruang tengah sekarang. Bu Ceng Sianli dan Toan Hong Ya berada di situ,"
ujar Tayli Lo Ceng.
"Ya." Toan Beng Kiat
dan Lam Kiong Soat Lan mengangguk. Kemudian mereka berdua mengajak Tio Bun Yang
dan Bokyong Sian Hoa kd ruang tengah.
Tampak Bu Ceng Sianli-Tu Siao
Cui sedang duduk di kursi kebesaran sambil menikmati berbagai macam
buah-buahan, sedangkan Toan Hona Ya duduk di kursi biasa dengan wajah murung.
Akan tetapi, ketika melihat
Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan dan seorang pemuda serta seorang gadis
muncul, berserilah wajahnya.
"Kakek!" panggil
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
"Kalian sudah
pulang?" sahut Toan Hong Ya sambil tersenyum.
Sementara Bu Ceng Sianli tidak
begitu memperhatikan mereka, sebab sedang sibuk menikmati buah-buahan.
"Kakak Siao Cui!"
Panggil Tio Bun Yang.
Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui
tampak tersentak kaget ketika mendengar suara itu, dan langsung menolehkan
kepalanya ke arah Tio Bun Yang.
"Eeeeh?" Wanita itu
terbelalak dan mulutnya ternganga lebar. "Engkau adalah adik kecil?"
"Betul." Tio Bun
Yang mengangguk sambil tersenyum. "Kok Kakak duduk di kursi itu?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng
Sianli-Tu Siao Cui tertawa cekikikan. "Adik kecil, tentunya engkau belum
tahu, kini akulah yang berkuasa di istana ini."
"Aku sudah tahu,"
sahut Tio Bun Yang dan menambahkan. "Maka aku ke mari menemuimu."
"Oh, ya?" Tu Siao
Cui menatapnya dalam-dalam. "Engkau kenal Tayli Lo Ceng, Toan Hong Ya dan
lainnya?"
"Kenal." Tio Bun
Yang mengangguk.
"Oooh!" Tu Siao Cui
manggut-manggut sambil tersenyum. "Engkau kebetulan ke mari atau sengaja
ke mari?"
"Beng Kiat dan Soat Lan yang mengajakku
ke mari."
"Mereka...." Tu Siao
Cui tertegun. "Mereka ke Tionggoan
menjemputmu ke mari?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Bukan main!" Tui
Siao Cui tertawa, lalu memandang Bokyong Sian Hoa seraya bertanya, "Gadis
itu kekasihmu?"
"Bukan." Tio Bun
Yang menggelengkan kepala.
"Kalau bukan, kenapa dia
juga ikut ke mari?" tanya Tu Siao Cui heran.
"Bu Ceng Sianli,"
sahut Bokyong Sian Hoa. "Memangnya aku tidak boleh ikut ke mari?"
"Kok galak amat." Bu
Ceng Sianli tertawa. "Engkau ikut ke mari pasti punya maksud tertentu,
bukan?"
"Itu urusanku, engkau
tidak berhak tahu." Bokyong Sian Hoa melotot sambil mendengus dingin.
"Hmm...!"
"Sian Hoa," tegur
Tio Bun Yang. "Jangan kurang ajar." "Tapi dia...." Bokyong
Sian Hoa cemberut.
"Sian Hoa!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Anak gadis haruslah sabar, lemah-lembut dan sopan-santun.
Jangan berlaku kurang ajar!"
"Betul." Tu Siao Cui
tertawa cekikikan. "Engkau memang adikku yang baik, adil, bijaksana dan
baik hati! Hi hi hi...!"
"Kakak!" Tio Bun
Yang memandangnya. "Kalau aku mengatakan sesuatu, maukah Kakak
menurutinya?"
"Aku harus tahu dulu apa
yang engkau katakan, maka aku tidak mau berjanji mengikat diriku sendiri,"
sahut Tu Siao Cui sambil tertawa. "Namun aku sudah dapat menerka apa yang
akan engkau katakan."
Tio Bun Yang tersenyum.
"Syukurlah kalau begitu! Terus terang, tidak baik engkau berbuat
sewenang-wenang di sini."
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa. "Aku ingin lahu bagaimana enaknya jadi orang berkuasa di
sini. Memang enak sekali. Mau apa cukup turunkan perintah saja. Hi hi hi!"
"Kakak!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Kini sudah saatnya Kakak turun dari kursi kebesaran
itu."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak mau
melihat Kakak berundak sewenang-wenang. Oleh karena itu, aku harap Kakak...."
"Oooh, begitu!" Tu
Siao Cui tertawa lagi. "bagaimana kalau aku tidak mau?"
"Aku... aku...." Tio
Bun Yang tergagap.
"Engkau ingin bertanding
denganku?" tanya Tiu Siao Cui sambil menatapnya.
"Aku tidak berani
bertanding dengan Kakak, Cuma aku sangat menghargai Kakak."
"Oh, ya? Kalau begitu
bersediakah engkau berlutut di hadapanku?" tanya Tu Siao Cui mendadak.
"Kalau aku berlutut di
hadapanmu, maka engkau akan menyembuhkan Paman Wie Kie dan Paman Bie
Liong?"
"Bahkan aku pun akan
meninggalkan istana ini:
"Baik." Tio Bun Yang
langsung menjatuhkan diri di hadapan Tu Siao Cui. "Kakak, terimalah
sujudku!"
"Eh? Adik kecil...."
Tu Siao Cui tertegun. Ia memandang Tio
Bun Yang dengan mata
terbelalak. "Kenapa engkau mau berlutut di hadapanku? Apakah karena engkau
ingin membela mereka?"
"Aku telah menganggapmu
sebagai Kakak, tentunya pantas bagiku bersujud memberi hormat kepadamu. Aku
yakin, engkau tidak akan mengecewakanku," sahut Tio Bun Yang sambil
tersenyum lembut.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikikan dan tampak gembira sekali. "Tidak disangka sama
sekali, di saat aku berusia delapan puluh lebih, justru punya adik yang begitu
cerdik! Hi hi hi! Bangunlah!"
"Terimakasih, Kak!"
ucap Tio Bun Yang sambil bangkit berdiri.
"Adik!" Tu Siao Cui
meloncat turun. "Nah bukankah aku sudah turun dari kursi kebesaran
ini?"
"Kakak...." Wajah
Tio Bun Yang berseri. "Oh ya, Kakak masih harus menyembuhkan...."
"Aku tahu." Tu Siao
Cui manggut-manggut sambil memandang Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
"Cepat papah mereka ke mari aku akan menyembuhkan mereka!"
"Ya!" Toan Beng Kiat
dan Lam Kiong Soat Lan mengangguk, lalu segera berlari ke luar.
Tak seberapa lama kemudian,
mereka berdua sudah kembali. Yang memapah Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong
adalah Gouw Sian Eng dan Toan Pit Lian.
"Baringkan mereka di
lantai!" ujar Tu Siao Cui.
Gouw Sian Eng segera
membaringkan Toan Wie Kie di lantai, dan Toan Pit Lian segera membaringkan Lam
Kiong Bie Liong di lantai pula.
"Kalian minggir!"
ujar Tu Siao Cui sambil mengerahkan Hian Goan Sin Kangnya.
Gouw Sian Eng dan Toan Pit
Lian langsung menyingkir. Di saat itulah Tu Siao Cui menggerakkan jari
tangannya ke arah Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong. Tampak cahaya putih
berkelebat ke arah tubuh
mereka, tak lama kemudian, barulah Tu Siao Cui menghentikan gerak-kannya.
Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie
Liong menarik nafas dalam-dalam. Tubuh mereka tampak bergerak lalu bangkit
berdiri.
Betapa gembiranya Gouw Sian
Eng dan Toan Pit Lian mereka langsung mendekati Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie
Liong dengan wajah berseri-seri.
"Kakak Kie, engkau sudah
sembuh?" tanya Gouw Sian Eng dengan air mata berderai saking gembira.
"Aku sudah sembuh,"
jawab Toan Wie Kie.
"Kakak Liong, bagaimana
keadaanmu?" tanya Toan Pit Lian lembut.
"Aku sudah sembuh,"
jawab Lam Kiong Bie Liong.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikikan. "Adik, mereka sudah sembuh, maka aku harus segera
meninggalkan istana ini."
"Kakak...."
"Adik!" Tu Siao Cui
tertawa nyaring. "Aku senang sekali, sampai jumpa!"
"Kakak!" seru Tio
Bun Yang memanggilnya.
Akan tetapi, Tu Siao Cui sudah
melesat pergi sayup-sayup masih terdengar suara sahutannya.
"Adik, kelak kita akan
berjumpa kembali...."
"Kakak...." Tio Bun
Yang menghela nafas panjang.
"Omitohud...." Mendadak
muncul Tayli Lo
Ceng sambil
tersenyum. "Syukurlah dia
akan me nuju ke jalan yang benar."
"Guru, kenapa baru
sekarang guru muncul?” tanya Lam Kiong Soat Lan sambil mengerutka kening.
"Kalau aku muncul sebelum
Bu Ceng Sian pergi, dia pasti marah-marah lagi," sahut Tayli Lo Ceng
sambil tertawa. "Bahkan mungkin dia tidak akan pergi. Maka aku sengaja
muncul setelah di pergi."
"Oooh!" Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut.
"Omitohud...." Tayli
Lo Ceng menatap Tio Bun Yang dalam-
dalam. "Kelak engkau pula
yang harus menyelamatkan rimba persilatan."
"Lo Ceng...." Tio
Bun Yang tertegun.
"Bun Yang, engkau harus
segera pulang ke Tionggoan." ujar Tayli Lo Ceng. "Jangan lama-lama di
sini, sebab masih ada urusan yang harus engkau selesaikan di Tionggoan."
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Terima-kasih atas petunjuk Lo Ceng!"
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng. "Sampai jumpa!"
"Guru! Guru...!"
seru Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan memanggilnya, namun padri itu itu
sudah melesat pergi.
"Toan Hong Ya!"
Terdengar suara seruan Tayli Lo Ceng. "Toan Beng Kiat dan Bokyong Sian Hoa
berjodoh, mereka ditakdirkan menjadi Suami isteri."
"Terimakasih, Lo
Ceng!" sahut Toan Hong Ya.
Sedangkan Toan Beng Kiat dan
Bokyong Sian Hoa saling memandang, kemudian mereka tersenyum sambil menundukkan
kepala.
"Bun Yang,
terimakasih!" ucap Toan Hong Ya sambil memandangnya. "Kapan engkau
akan kembali ke Tionggoan?
"Sekarang," jawab
Tio Bun Yang.
"Apa?" Toan Hong Ya
terbelalak. "Sekarang?"
"Sesuai dengan pesan Lo
Ceng, aku harus segera kembali ke Tionggoan, karena masih ada urusan yang harus
kuselesaikan di sana." Tio Bun Yang memberitahukan. "Aku harus
menunggJ Goat Nio di markas pusat Kay Pang."
"Goat Nio?" Toan
Hong Ya tampak tercengang.
"Kakek, Goat Nio adalah
kekasihnya...." Toan Beng Kiat
memberitahukan tentang itu.
"Oooh!" Toan Hong Ya
manggut-manggut.
"Bun Yang." ujar
Toan Wie Kie sambil memandangnya kagum. "Sebetulnya kami ingin menahanmu
tinggal di sini beberapa hari, namun engkau masih punya urusan di Tionggoan.
Sungj guh sayang sekali! Tolong sampaikan salam rindu ku kepada ayahmu!"
"Kalau aku ke Pulau Hong
Hoang To, pasti kusampaikan," ujar Tio Bun Yang sekaligus beri pamit.
"Maaf, aku mohon diri!"
"Kakak Bun Yang, kapan
engkau ke mari?" tanya Bokyong Sian Hoa.
"Entahlah," jawab
Tio Bun Yang. "Tapi bukankah engkau boleh ke Tionggoan bersama Beng
Kiat?"
"Betul." Bokyong
Sian Hoa tertawa gembira. "Nanti kami akan menyusulmu ke Tionggoan."
"Toan Hong Ya,
paman-paman!" Tio Bun Yang memberi hormat : Sampai Jumpa ”
Tio Bun Yang melesat pergi,
Toan Hoang Ya menghela nafas panjang seraya bergumam.
"Dia memang luar
biasa."
"Sayang sekali...."
Gouw Sian Eng menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku tidak punya
kesempatan bercakap cakap dengan dia! Dia begitu cepat kembali ke
Tionggoan...."
"Ibu, dia memang harus
buru-buru pulang ke nana, sebab harus menunggu Goat Nio!" Toan Glcng Kiat
memberitahukan.
"Oooh!" Gouw Sian
Eng manggut-manggut. ”Ternyata begitu...."
-ooo0dw0ooo-
Setelah memasuki daerah
Tionggoan, kening Tio Bun Yang berkerut-kerut. Ternyata ia mendengar suara
langkah mengikutinya. Walau begitu, ia tetap melanjutkan perjalanannya menuju
markas pusat Kay Pang.
Akan tetapi suara langkah itu terus mengikutinya.
Mendadak Tio Bun Yang bersalto
ke belakang secepat kilat.
Dilihatnya seorang tua pincang
sedang menguntitnya.
Karena Tio Bun Yang bersalto
begitu cepat, orang tua pincang itu tidak sempat bersembunyi.
"Ha ha ha!" Orang
tua pincang itu tertawa gelak. "Anak muda, sungguh cepat gerakanmu!"
"Lo cianpwee!" Tio
Bun Yang tertegun. "Kenapa lo cianpwee terus mengikuti langkahku?"
"Eh?" Orang tua
pincang melotot. "Siapa yang mengikutimu? Memangnya aku tidak boleh
melewati jalan ini?"
"Lo cianpwee...."
Tio Bun Yang melongo. "Memang boleh,
tapi...."
"Anak muda!" Orang
tua pincang melotot lagi. "Sudahlah! Jangan ganggu aku!"
"Baik!" Tio Bun Yang
mengangguk. Ia tahu bahwa dirinya sedang berhadapan dengan orang tua aneh yang
berkepandaian tinggi, oleh karena itu timbullah niatnya untuk menguji ginkang orang
tua pincang itu. "Permisi!"
Tio Bun Yang melesat pergi
menggunakan ginkang. Dugaannya memang tidak meleset, sebab orang tua pincang
itu mengikutinya menggunakan ginkang pula.
Akan tetapi, makin lama orang
tua pincang itu makin tertinggal jauh.
"Anak muda! Berhenti!
Berhenti..." teriaknya!
Tio Bun Yang segera berhenti
sekaligus membalikkan badannya sambil tersenyum, lalu beri tanya.
"Kenapa lo cianpwee
menyuruhku berhenti?”
"Anak muda!" Orang
tua pincang itu memandangnya kagum. "Engkau memang hebat, bukankah engkau
Giok Siauw Sin Hiap-Tio Bun Yang?"
"Betul." Tio Bun
Yang mengangguk. "Maaf, bolehkah aku tahu siapa lo cianpwee?"
"Engkau tidak usah tahu
siapa aku. Yang jelas aku orang tua pincang yang tak berguna," sahutnya
dan menambahkan, "Anak muda, mari kita duduk di bawah pohon untuk
mengobrol sebentar!"
"Maaf, lo cianpwee! Aku
sedang memburu waktu...."
"Anak muda!" Orang
tua pincang tertawa. "Takkan lari waktu diburu, yang penting
selamat."
"Tapi...."
"Ayohlah!" desak
orang tua pincang. "Mari kila mengobrol di bawah pohon!"
"Baiklah." Tio Bun
Yang mengangguk. Mereka berdua lalu berjalan menuju sebuah pohon lalu duduk di
bawahnya. Orang tua pincang terus memandang Tio Bun Yang dengan mata tak
berkedip.
"Anak muda, kepandaianmu
sungguh tinggi. Aku kagum padamu," ujarnya sambil menghela nafas panjang.
"Padahal
engkau masih sedemikian muda,
tapi kepandaianmu sungguh di luar dugaan ”
"Lo cianpwee terlampau
memuji." Tio Bun N ang merendah diri. "Sesungguhnya kepandaian lu
cianpwee jauh lebih tinggi."
"Ha ha ha!" Orang
tua pincang tertawa gelak.
"Engkau tidak
menyombongkan diri, tapi malah mau merendahkan diri. Sungguh luar biasa!"
"Lo cianpwee...."
"Aku tahu, engkau sedang
memburu waktu.' Orang tua pincang tersenyum. "Namun engkau harus tahu satu
hal yang teramat penting."
"Oh?" Tio Bun Yang
menatapnya. "Mengenai hal apa?"
"Mungkin engkau tidak
tahu bahwa sebetul nya aku berasal dari gurun Sih Ih." Orang tua pincang
memberitahukan. "Belasan tahun lalu, aku memasuki daerah Tionggoan ini.
Kebetulan aku melihat seorang anak kecil berbakat, maka kuangkat dia sebagai
murid, kemudian kubawa ke gurun Sih Ih."
Tio Bun Yang mendengar
penuturan orang tua itu dengan penuh perhatian dan orang tua itu melanjutkan
penuturannya.
"Beberapa bulan lalu, aku
memasuki daerah Tionggoan lagi karena suatu urusan. Aku pun mencari muridku
itu, bahkan juga menyelidiki asal-usulmu."
"Oh?" Tio Bun Yang
mengerutkan kening "Kenapa lo cianpwee menyelidiki asal-usulku?"
"Sebab menyangkut suatu
hal, lagi pula engkau kau adalah teman baik muridku, bahkan juga pernah
menyelamatkan nyawa ayahnya." Orarg tua pincang memberitahukan.
"Siapa murid lo cianpwee
itu?"
"Sie Keng Hauw, putra Sie Kuang
Han."
"Oh, dia!" Wajah Tio
Bun Yang berseri. "Ternyata lo cianpwee adalah gurunya! Sekarang dia
berada di markas pusat Kay Pang, sudah punya kekasih...."
"Aku sudah tahu,
kekasihnya adalah anak bibimu," ujar orang tua pincang. "Tapi muridku
sama sekali tidak tahu aku berada di Tionggoan."
"Lo cianpwee, bagaimana
kalau kita bersama pergi ke markas pusat Kay Pang?"
Orang tua pincang menggeleng
kepala, kemudian berkata sambil menghela nafas panjang.
"Muridku itu pun tidak
tahu asal-usulku. Kalau dia tahu, justru akan membahayakan dirinya."
"Kenapa begitu?"
"Inilah yang akan
kututurkan padamu," sahut tuang tua pincang serius. "Penuturanku
justru berkaitan pula dengan Hong Hoang To."
"Apa?" Tio Bun Yang
tersentak. "Lo cianpwee tahu tentang Pulau Hong Hoang To?"
"Tahu." Orang tua
pincang mengangguk. "Maka aku harus menuturkannya. Oh ya, beberapa bulan
fni, apakah engkau pernah melihat sekelompok tiang berpakaian serba putih,
memakai kedok setan dan menunggang kuda sambil mengeluarkan suara siulan aneh
yang menyeramkan?"
"Aku tidak pernah melihat
mereka, tapi... kekasih Sie Keng Hauw pernah melihat mereka." Tio Bun Yang
memberitahukan.
"Oh?" Kening orang
tua pincang itu berkerut-kerut, kemudian menghela nafas panjang. "Aaah!
Entah siapa ketua baru itu...."
"Lo cianpwee tidak
tahu?"
"Sama sekali tidak tahu.
Kini Kui Bin Pang itu belum bergerak, karena belum menemukan tetuanya."
Orang tua pincang memberitahukan "Namun belum lama ini, dua pelindung
sudah! pergi menemui ketua baru itu."
"Kalau begitu apa
hubungannya dengan pihak Pulau Hong Hoang To?" tanya Tio Bun Yang.m
"Kira-kira hampir seratus
tahun lalu, ketua Kui Bin Pang memasuki Tionggoan seorang diri," tutur
orang tua pincang. "Pada waktu itu, di rimba persilatan Tionggoan justru
muncul seorang pendekar yang memiliki Hong Hoang Leng (Tanda Perintah Burung
Phoenix)! Pendekar itu tahu tentang ketua Kui Bin Pang memasuki daerah
Tionggoan."
"Oh?" Tio Bun Yang
tertarik. "Nama pendekar itu?"
"Tio Po Thian."
"Tio Po Thian?" Tio
Bun Yang tertegun "Dia... dia adalah kakekku."
"Benar." Orang tua
pincang manggut-manggut. "Maka tadi kubilang ada kaitannya dengan Hong
Hoang To."
"Kemudian
bagaimana?" tanya Tio Bun Yang semakin tertarik.
"Tio Po Thian dan ketua
Kui Bin Pang bertemu di suatu tempat, setelah itu tiada kabar beritanya lagi
mengenai mereka." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala dan
melanjutkan, "Kini setelah ketua baru itu muncul, barulah aku tahu bahwa
ketua lama itu terpukul oleh Tio Po Thian hingga jatuh ke dalam jurang."
"Oh?" Tio Bun Yang
mengerutkan kening. "Kakekku juga terluka?"
"Cuma terluka ringan,"
sahut orang tua pincang menambahkan. "Ketua baru Kui Bin Pang sedang
mengumpulkan para anggota,
namun mereka masih belum menemukan tetuanya."
"Lo cianpwee, kenapa
kakekku bertarung dengan ketua Kui Bin Pang itu?" tanya Tio Bun Yang ingin
mengetahuinya.
"Memang sungguh di luar
dugaan." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala. "Ternyata
kakekmu tahu tujuan ketua Kui Bin Pang memasuki Tionggoan, maka mencegahnya di
tempat itu."
"Apa tujuan ketua Kui Bin
Pang ke Tiong-l-oan?"
"Ingin menyelidiki
situasi rimba persilatan Tioggoan, setelah itu dia akan menyerbu tujuh Partai
besar di Tionggoan. Ketua Kui Bin Pang ingin menguasai rimba persilatan
Tionggoan!"
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut. ”Ternyata begitu, lalu bagaimana?"
"Berhubung ketua Kui Bin
Pang tiada kabar beritanya, maka tetua dan dua pelindung Kui Bin Pang pun
berunding, dan bersepakat membubarkan perkumpulan itu."
"Kenapa harus
dibubarkan?" tanya Tio Bun Yang.
"Sebab...." Orang
tua pincang menghela nafas panjang."....
Kui Bin Pang tergolong
perkumpulan sesat dan jahat, namun cuma bergerak di sekitar gurun Sih Ih sampai
di Giok Bun Kwan (Kota Perbatasan). Oleh karena itu, Kui Bin Pang bermaksud
mengembangkan sayapnya ke Tionggoan."
"Ternyata begitu!"
Tio Bun Yang manggut-manggut. "Tapi sungguh di luar dugaan, kini malah
muncul seorang ketua Kui Bin Pang baru."
"Yaaah!" Orang tua
pincang menghela nafas. "Sepertinya sudah ditakdirkan, karena orang itu
yang menemukan mayat ketua lama berikut buku catatan ilmu silat dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, para anggota pun tahu bahwa
Tio Po Thian majikan Pulau
Hong Hoang To yang memukul jatuh ketua lama itu ke dalam jurang, maka, mereka
bertekad membalas dendam."
"Oh?" Tio Bun Yang
mengerutkan kening dan bertanya, "Bagaimana kepandaian ketua lama
itu?"
"Sangat tinggi sekali,
sebab ketua lama itu memiliki Pek Kut Im Sat Kang (Tenaga Hawa Dingin
Beracun)" Orang tua pincang memberi tahukan. "Siapa yang terkena Pek
Kut Im Sat Kang (Ilmu Pukulan Hawa Dingin Beracun), pasti mati menggigil
kedinginan karena terkena racun."
"Kalau begitu, Pek Kut Im
Sat Kang sama seperti Pak Kek Sin Kang?" tanya Tio Bun Yang.
"Agak berbeda,"
sahut orang tua pincang menjelaskan. "Sebab Pek Kut Im Sat Kang mengandung
racun, sedangkan Pak Kek Sin Kang tidak. Lagi pula Pek Kut Im Sat Kang jauh
lebih lihay dan hebat dibandingkan dengan Pak Kek Sin Kang."
"Kakekku mampu memukul
ketua lama itu ke dalam jurang, itu pertanda kepandaian kakekku lebih tinggi,
bukan?"
"Betul." Orang tua
pincang manggut-manggut. Tapi ada satu hal yang sangat membingungkan."
"Hal apa?"
"Aku dengar, kepandaian
ketua baru itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ketua lama. Aku... aku
sungguh tidak habis berpikir tentang itu „
"Mungkin... ketua baru
itu juga mempelajari ilmu silat tinggi lain," ujar Tio Bun Yang.
"Maka kepandaiannya jauh lebih tinggi dari ketua lama."
'Memang mungkin." Orang
tua pincang manggut-manggut lagi dan memberitahukan. "Ketua baru itu pun
telah memiliki ilmu sesat."
”Ilmu sesat yang
bagaimana?"
"Ilmu sesat itu dapat
mengendalikan pikiran orang. maka siapa pun yang terkena ilmu sesat tersebut,
pasti akan menuruti semua perintahnya."
"Oh? Kalau begitu, para
anggota Kui Bin Pang pasti sudah terkena ilmu sesatnya?"
"Justru tidak."
"Kok tidak?"
"Karena para anggota
telah bersumpah setia, jadi tidak perlu dipengaruhi dengan ilmu sesat itu.
Sebab kalau ada anggota yang tidak setia, pasti dihukum mati."
"Kalau begitu...
mungkinkah Kui Bin Pang akan menyerbu ke Pulau Hong Hoang To?"
"Untuk sementara ini
tidak, sebab mereka belum menemukan tetua Kui Bin Pang. Lagi pula Kui Bin Pang
belum berani bertindak begitu sebelum menguasai rimba persilatan
Tionggoan."
"Jadi Kui Bin Pang
berniat menguasai rimba persilatan Tionggoan?" tanya Tio Bun Yang
terkejut.
"Ya." Orang tua
pincang menghela nafas panjang. "Ketua lama pun berniat begitu, tapi tidak
terlaksana karena terhalang oleh Tio Po Thian, majikan Pulau Hong Hoang To.
Kini...."
"Maksud lo cianpwee kini
tiada seorang pun yang dapat menghalanginya?"
"Ya. Sebab...."
Orang tua pincang menggeleng-gelengkan
kepala. "Kepandaian ketua
baru itu sangat tinggi sekali. Terus terang, Tio Tay Se tidak mampu
menandinginya."
"Lo cianpwee kenal
pamanku?"
"Tidak kenal, namun belum
lama ini aku telah menyelidikinya, maka tahu tentang dirinya."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut, kemudian memandang orang tua pincang itu seraya bertanya,
"Lo cianpwee kok tahu jelas sekali piengenai seluk-beluk Kui Bin
Pang?"
"Anak muda!" Orang
tua pincang menatapnya tajam. "Aku akan memberitahukan mengenai identitas
diriku, namun engkau tidak boleh memberitahukan kepada siapa pun, termasuk
muridku itu. tipi engkau boleh memberitahukan pada Lim Peng Hang, Gouw Han
Tiong dan para penghuni Hong Hoang To."
"Lo cianpwee...."
Tio Bun Yang tampak kebingungan. "Aku
tidak boleh memberitahukan
kepada siapa pun, termasuk Sie Keng Hauw tapi boleh memberitahukan kepada
kakekku, Kakek Gouw dan para penghuni Pulau Hong Hoang To, aku...
aku jadi bingung...."
"Maksudku engkau tidak
boleh memberitahukan kepada orang lain maupun teman-temanmu. Hanya boleh
memberitahukan kepada tingkatan tua saja."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut mengerti. "Baiklah! Aku berjanji, lo cianpwee."
"Anak muda..." ujar
orang tua pincang dengan suara rendah. "Tetua Kui Bin Pang itu adalah
ayahku."
"Haaah?" Tio Bun
Yang terperangah.
"Maka aku tahu jelas
sekali tentang perkumpulan itu, namun...." Orang tua pincang
menggeleng-gelengkan kepala,
"...aku sudah tidak mau
bergabung dengan Kui Bin Pang, karena Kui Bin Pang bertujuan jahat."
"Lo cianpwee...." Tio Bun Yang memandangnya.
"Bagaimana seandainya
pihak Kui Bin Pang berhasil menemukan lo cianpwee?"
"Ha ha ha!" Orang
tua pincang tertawa gelak. "Tidak mungkin, sebab aku cukup cerdik."
"Maksud lo
cianpwee?"
"Ketua baru itu tidak
kenal aku. Meskipun dia mengenali ilmu silatku, tetapi, aku telah mengubah
semua gerakan ilmu silatku."
"Oooh!" Tio Bun Yang
tersenyum. "Jadi Sie Keng Hauw juga mempelajari ilmu silat lo cianpwee
yang telah diubah itu?"
"Ya." Orang tua
pincang mengangguk.
"Kok lo cianpwee bisa
berpikir sampai kesitu?"
"Sebelum ayahku meninggal
sudah menceritakan tentang Kui Bin Pang dan ketua lama itu Bahkan ayahku pun
khawatir kelak akan muncul ketua Kui Bin Pang. Oleh karena itu, setelah ayahku
meninggal, aku mulai mengubah semua ilmu silat ayahku itu."
"Lo cianpwee sungguh
cerdas!" ujar Tio Bu Yang sambil tersenyum. "Oh ya, bagaimana
kepandaian lo cianpwee dibandingkan dengan ketua baru itu?"
"Cuma bisa bertahan
sekitar tiga puluh jurus," sahut orang tua pincang dan
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kok lo cianpwee
tahu?"
"Aku pernah membuntuti
para anggota Kui Bin Pang, sampai disuatu tempat aku menyaksikan ketua baru itu
sedang mempertunjukkan kepandaiannya."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggul seraya bertanya, "kalau begitu, siapa yang mampu
menandingi kepandaian ketua Kui Bin Pang itu?"
"Mungkin engkau, anak
muda." Orang tua pincang menatapnya.
"Aku?" Tio Bun Yang
tertegun. "Kepandaianku...”
"Anak muda!" Orang
tua pincang tersenyum. ”Jangan merendah lagi, aku sudah tahu jelas tenung
kepandaianmu."
"Lo cianpwee...."
"Oleh karena itu..."
tambah orang tua pincang. 'Aku memang sengaja menemuimu. Mengenai Kui lim Pang,
engkau harus berunding dengan ayahmu dan para tingkatan tua lainnya."
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Oh ya, engkau harus
ingat!" pesan orang tua pincang. "Jangan beritahukan kepada Sie Keng
Hauw tentang diriku!"
"Ya, lo cianpwee."
Tio Bun Yang mengangguk lagi.
"Baiklah." Orang tua
pincang menepuk bahu Tio Bun Yang seraya berkata, "Anak muda, semoga kita
berjumpa lagi kelak!"
"Lo cianpwee...."
"Sampai jumpa, anak
muda!" ucap orang tu pincang dan sekaligus melesat pergi.
Kening Tio Bun Yang
berkerut-kerut. Ia masih belum bertemu Siang Koan Goat Nio, ini sudah sangat memusingkannya,
kini malah timbul urusan tersebut. Tio Bun Yang menghela nafa panjang, lalu
melesat pergi.
-oo0dw0oo-
Bagian ke empat puluh delapan
Pembicaraan serius di Markas Pusat Kay Pai
Tio Bun Yang terus melanjutkan
perjalanan menuju markas pusat Kay Pang. Ketika ia berada jalan yang sepi,
mendadak terdengar suara siulan aneh yang menyeramkan serta suara derap kaki
kuda.
Segeralah ia meloncat ke balik
pohon, mudian mengintip dengan penuh perhatian. Tampak belasan penunggang kuda
berpakaian serba putih melewati jalan itu, semuanya memakai kedok setan.
Tentunya Tio Bun Yang tahu,
mereka adalah para anggota Kui Bin Pang. Ia tidak menguntit mereka, karena
sedang memburu waktu menuju markas pusat Kay Pang.
Setelah para anggota Kui Bin
Pang itu lewat, berselang sesaat barulah Tio Bun Yang melesat pergi melanjutkan
perjalanan.
Beberapa hari kemudian,
sampailah ia di markas pusat Kay Pang. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
menghela nafas lega.
"Kakek!" panggil Tio
Bun Yang dan tercengang ketika melihat Ngo Tok Kauwcu Phang Ling Cu berada di
situ. "Kakak Ling Cu...."
"Adik Bun Yang!" Ngo
Tok Kauwcu tersenyum.
"Bun Yang," ujar Lim
Peng Hang. "Duduklah dulu baru mengobrol, memang banyak yang harus
dibicarakan."
"Ya." Tio Bun Yang
duduk.
"Kakak Bun Yang,"
tanya Lie Ai Ling. "Kok Sian Hoa tidak ikut kembali, apakah telah terjadi
sesuatu atas dirinya?"
"Memang telah terjadi
suatu yang baik atas dirinya," sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
Ternyata dia dan Toan Beng Kiat telah saling mencinta, maka dia pun betah
tinggal di Tayli."
"Oooh!" Lie Ai Ling
manggut-manggut sambil tertawa. "Syukurlah kalau begitu!"
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menatapnya! "Bagaimana urusan di Tayli itu? Apakah sudah beres?"
"Sudah beres." Tio
Bun Yang mengangguk
"Bun Yang!" Gouw Han
Tiong menatapnya seraya bertanya. "Bagaimana cara engkau memberesi urusan
itu?"
"Tidak begitu
sulit," jawab Tio Bun Yan sambil tersenyum. "Karena Bu Ceng
Sianli-Tui Siao Cui menuruti usulku, dia menyembuhkan Paman Wie Kie dan Paman
Bie Liong, lalu pergi”
"Syukurlah!" ucap
Gouw Han Tiong dan berlega hati. "Oh ya, bagaimana luka Tayli Lo Ceng?”
"Sudah sembuh."
"Bagaimana keadaan Sian
Eng?"
"Bibi Sian Eng baik-baik
saja. Tapi aku tidak bercakap-cakap dengan mereka, karena Tayli Ceng menyuruhku
cepat-cepat pulang."
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggu kemudian wajahnya berubah serius. "Bun Yan sudah ada
kabar beritanya tentang Goat Nio.'
"Oh! Dia berada di
mana?" tanya Tio Bun Yang girang tapi juga tegang. "Dia... dia bera
di mana? Apa yang telah terjadi atas dirinya?"
"Adik Bun Yang,
tenanglah!" sahut Ngo Tc Kauwcu. "Siang Koan Goat Nio ditangkap..”
"Apa?" cemaslah Tio
Bun Yang. "Siapa yang menangkapnya?"
"Pihak Seng Hwee Sin
Kun," jawab Ngo Tok Kauwcu dan menambahkan, "Tapi engkau tidak usah
cemas, Goat Nio dalam keadaan baik-baik saja."
"Kakak Ling Cu!"
tanya Tio Bun Yang. "Engkau tahu dari mana?"
"Aku memperoleh kabar
berita itu dari Pat Pie Lo Koay..." jawab Ngo Tok Kauwcu dan sekaligus
menutur, "...maka engkau tidak usah cemas."
"Oooh!" Tio Bun Yang
menarik nafas lega, kemudian memandang Lim Peng Hang seraya bertanya,
"Kakek, apa rencana kita?"
"Menunggu," sahut
Lim Peng Hang singkat.
"Menunggu apa?" Tio
Bun Yang bingung. "Apakah kita harus membiarkan Goat Nio terus menderita di
sana?"
"Adik Bun Yang!" Ngo
Tok Kauwcu tersenyum. "Engkau harus sabar, sebab tidak lama lagi. Seng
Hwee Sin Kun pasti mengutus orang ke mari."
"Tapi Goat
Nio...." Tio Bun
Yang sangat mencemaskan
gadis pujaan hatinya itu.
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menatapnya lembut, sekaligus menghiburnya. "Engkau tenang saja, Goat
Nio tidak akan terjadi apa-apa."
"Adik Bun Yang, aku
berani jamin, Goat Nio pasti selamat." ujar Ngo Tok Kauwcu sungguh-sugguh.
"Yaaah...!" Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sama sekali tak menyangka kalau
Seng Hwee Sin Kun begitu licik dan pengecut, kenapa dia menangkap Goat
Nio?"
"Untuk dijadikan
sandera," sahut Ngo Tok Kauwcu.
"Aaah!" keluh Tio
Bun Yang sambil menghela nafas panjang, kemudian mendadak sepasang matanya
berapi-api. "Kalau Seng Hwee Sin Kun berani mencelakai Goat Nio, aku pasti
tidak akan mengampuninya!"
"Adik Bun Yang, kita
memang tidak boleh mengampuni Seng Hwee Sin Kun," ujar Ngok Tok Kauwcu.
"Kita harus membasminya sekaligus memusnahkan markas Seng Hwee Kauw."
"Ya." Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Kakak Bun Yang...." Mendadak Yatsumi menatapnya
seraya berkata, "Kini
engkau sudah kembali, maka... aku pun ingin pulang ke Jepang."
"Engkau ingin pulang ke
Jepang?" tanya Tii Bun Yang. "Yatsumi, bukankah lebih baik engkau
tinggal di sini beberapa hari lagi?"
"Aku... aku harus segera
membalas dendarr. tidak bisa terus tinggal di sini," sahut Yatsumi.
"Yatsumi!" sela Lie
Ai Ling. "Jangan cepai cepat pulang ke Jepang, lihat beberapa hari lagil
"Tapi...." Yatsumi
tampak berpikir, lama
sekali barulah
mengangguk.
"Baiklah."
"Bun Yang, lebih baik
sekarang engkau beristirahatlah," ujar Lim Peng Hang. "Nanti malam
kita baru bercakap-cakap lagi."
"Ya, Kakek." Tio Bun
Yang berjalan menuju kamarnya, pikirannya justru menerawang.
-ooo0dw0ooo-
Malam harinya, Tio Bun Yang
datang di ruang lengah menemui Lim Peng Hang dan Gouw Han liong. Kebetulan cuma
mereka berdua yang berada di ruang tengah itu, sedangkan yang lain sudah lulur.
"Kakek..."
panggilnya.
"Duduklah, Bun
Yang!" sahut Lim Peng Hang sambil tersenyum lembut. "Engkau sudah
tidak merasa lelah?"
"Ng!" Tio Bun Yang
mengangguk sambil duduk. "Kakek...."
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menatapnya, 'Engkau ingin menyampaikan sesuatu pada kami?"
"Ya." Wajah Tio Bun
Yang tampak serius.
"Mengenai apa?"
tanya Lim Peng Hang dan yakin pasti sesuatu yang penting, sebab wajah Tio Bun
Yang tampak begitu serius.
"Kui Bin Pang."
"Apa?" Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong tersentak. "Engkau bertemu para anggota perkumpulan
itu?"
"Kakek, aku bertemu
seorang tua pincang."! Tio Bun Yang memberitahukan. "Orang tua itulah
yang menceritakan kepadaku tentang Kui Bin Pang."
"Siapa orang tua
itu?" tanya Lim Peng Hangafl
"Kakek dan Kakek Gouw
harus berjanji, tidakl akan memberitahukan kepada orang lain!" tegas Tio
Bun Yang. "Sebab menyangkut keselamatan!! orang tua itu dan
muridnya."
Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong saling memandang, kemudian keduanya mengangguk.
"Baik, kami
berjanji," ujar Lim Peng Hang.
"Orang tua itu ternyata
guru Sie Keng Hauw." Tio Bun Yang memberitahukan dengan suara rendah.
"Juga anak Tetua Kui Bin Pang."
"Haaah?" Bukan main
terkejutnya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong. "Kalau begitu...."
"Memang sungguh di luar
dugaan, Kui Bin Pang punya dendam pada kakek tua, majikan lama Pulau Hong Hoang
To."
"Maksudmu Tio Po
Thian?" Lim Peng Hang terbelalak.
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk dan menutur semua yang didengarnya dari orang tua pincang.
"Jadi ketua baru itu
berniat menguasai rimba persilatan, bahkan juga ingin membalas dendam terhadap
pihak pulau Hong Hoang To?" tanya
Gouw Han Tiong dengan kening
berkerut-kerut.
"Ya." Tio Bun Yang
manggut-manggut, kemudian menghela nafas panjang. "Urusan dengan Seng Hwee
Kauw belum beres, kini malah timbul urusan lain!"
"Bun Yang," tanya
Lim Peng Hang. "Orang tua pincang itu memberitahukan kepandaian ketua baru
Kui Bin Pang itu kepadamu?"
"Ya. Menurut orang tua
pincang itu, kepandaian ketua baru Kui Bin Pang sangat tinggi sekali. Dia
memiliki Pek Kut Im Sat Kang (Tenaga Hawa Dingin Beracun), yang sangat lihay
dan hebat!"
"Aaaah...!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Sungguh di luar dugaan! Lalu kita harus
bagaimana? Haruskah kita ke pulau Hong Hoang Po memberitahukan kepada Tio Tay
Seng?"
"Kita sedang menghadapi
Seng Hwee Kauw, bagaimana mungkin berangkat ke pulau Hong Hoang To?" sahut
Gouw Han Tiong sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Menurut orang tua
pincang itu, sementara ini Kui Bin Pang belum bisa bergerak, karena belum
menemukan tetuanya. Jadi kita tidak usah memikirkan tentang itu, lebih baik
kita curahkan perhatian pada Seng Hwee Kauw saja."
"Ngmm!" Lim Peng
Hang manggut-manggut dan menambahkan, "Setelah urusan ini selesai, barulah
kita ke pulau Hong Hoang To."
"Memang harus
begitu." Gouw Han Tiong mengangguk. "Sekarang sudah larut malam,
lebih baik engkau pergi tidur."
"Ya." Tio Bun Yang
meninggalkan ruang tengah itu, namun tidak menuju kemarnya, melainkan ke
halaman belakang.
Tio Bun Yang melihat sosok
bayangan di bawah pohon. Ia tertegun dan segera mendekat sosok bayangan itu
yang ternyata Yatsumi.
"Eh?" Tio Bun Yang
tercengang. "Yatsumi kenapa engkau duduk di sini?"
"Aku...." Gadis
Jepang itu menundukkan
ke pala. "Aku
teringat pada almarhum dan
almarhumah...."
"Sudahlah, jangan
dipikirkan!" ujar Tio Bui Yang sambil duduk di sisinya. "Kini
kepandaianmi sudah tinggi, engkau bisa membalas dendam."
"Memang, tapi...."
"Masih ada masalah
lain?"
"Aaaah...!" Yatsumi
menghela nafas panjang kemudian memandang jauh ke depan. "Terus terang,
aku mencintai seorang pemuda."
"Oh?" Tio Bun Yang
menatap dalam-dalarr "Siapa pemuda itu? Apakah dia orang Han?"
"Dia juga orang Jepang,
tapi...."
"Kenapa?"
"Dia putra seorang
pembesar di Jepang, tentunya orang tuanya tidak akan merestui hubunga
kami."
"Pemuda itu
mencintaimu?"
"Kami... kami sudah
saling mencinta. Ketika aku mau berangkat ke Tionggoan ini, aku pun
memberitahukan kepadanya. Dia berjanji menantiku dengan setia."
"Kalau begitu, engkau
tidak perlu gelisah." lio Bun Yang tersenyum. "Kalian berdua sudah
.saling.mencinta, jadi... tidak ada urusan dengan orang tuanya. Ya, kan?"
"Tapi...." Yatsumi
menggeleng-gelengkan kepala. "Menurut
adat kami, anak pembesar tidak
boleh menikah dengan orang biasa."
"Oh?" Tio Bun Yang
menghela nafas panjang. 'Tidak disangka adat Jepang lebih kolot dibandingkan
dengan adat Han!"
"Oleh karena itu,
aku...."
"Yatsumi," ujar Tio
Bun Yang memberi usul. "Setelah dendammu itu terbalas, engkau boleh
mengajak pemuda itu ke Tionggoan. Aku yakin orang tua pemuda itu tidak akan
menyusul sampai ke mari."
"Aaaah...!" Yatsumi
menghela nafas panjang. "Kalau kami berbuat begitu, sama juga menghina dan
mempermalukan Bangsa Jepang."
"Lalu... kalian berdua
harus bagaimana?"
"Entahlah." Yatsumi
menggelengkan kepala. "Aku... aku pusing sekali."
"Oh ya, engkau pernah
bertemu orang tua pemuda itu?" tanya Tio Bun Yang mendadak.
"Tidak."
"Begini...." Tio Bun
Yang menyarankan. "... engkau harus
memberanikan diri menemui
orang tua pemuda itu, aku yakin orang tua pemuda itu pasti merestui
kalian."
"Itu... itu bagaimana
mungkin?"
"Engkau harus yakin dan
percaya diri."
"Betul." Tiba-tiba
terdengar suara sahutan, muncullah Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw sambil
tertawa-tawa.
"Eh?" Tio Bun Yang
terbelalak. "Kalian berdua kok belum tidur?"
"Terus terang,"
sahut Sie Keng Hauw sambil tersenyum. "Dari tadi kami berdua bersembunyi
di balik pohon. Ketika kami ingin keluar menemui Yatsumi, engkau justru ke
mari."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut. "Tentunya kalian berdua mendengar pembicaraan kami.'
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk. "Memang tepat saranmu, begitu pula apa yang kau katakan
barusan, Yatsumi harus yakin dan percaya diri."
"Tapi...." Yatsumi
menggeleng-gelengkan kepala. "Orang
tua pemuda itu adalah
pembesar."
"Percayalah!" ujar
Tio Bun Yang. "Pembesar itu pasti juga menghendaki menantu baik. Sedangkan
engkau adalah gadis yang lemah lembutJ cantik jelita dan sopan santun. Maka aku
yakin orang tua pemuda itu pasti merestuinya."
"Benar," sela Lie Ai
Ling sambil tertawa "Yatsumi, engkau harus percaya itu."
"Ya." Yatsumi
mengangguk. "Terimakasih atas dukungan kalian, terimakasih."
"Tidak usah mengucapkan
terimakasih," sahut Iie Ai Ling sungguh-sungguh. "Kita semua adalah
kawan baik, jadi harus tolong-menolong dan bantu membantu dalam hal apa
pun."
"Terimakasih," ucap
Yatsumi lagi. "Kalau be-ptu, aku mengambil keputusan pulang esok."
"Apa?" Lie Ai Ling
terbelalak. "Kok begitu cepat engkau mengambil keputusan, pikir-pikir
dulu!"
"Ai Ling!" Yatsumi
tampak serius. "Aku harus membunuh ketua ninja lalu pergi menemui pemuda
itu."
"Baiklah." Lie Ai
Ling manggut-manggut. "Mudah-mudahan engkau berhasil!"
"Terimakasih," ucap
Yatsumi sambil membungkukkan badannya. "Terimakasih atas perhatian
kalian."
Pagi harinya, ketika Yatsumi
sudah bersiap uap meninggalkan markas pusat Kay Pang, di saat bersamaan justru
muncul seorang pengemis tua menghadap Lim Peng Hang.
"Lapor pada Pangcu! Kami
melihat beberapa anggota Seng Hwee Kauw mengantar seorang! berpakaian serba
hitam ke Gunung Hek Ciok San."
"Siapa orang berpakaian
serba hitam itu?" tanya Lim Peng Hang heran.
"Maaf Pangcu, kami tidak
mengetahuinya," jawab pengemis tua itu.
"Kakek pengemis,"
tanya Yatsumi mendadak. "Muka orang itu juga ditutup dengan kain
hitam?"
"Betul."
"Haaah...!" Yatsumi
tersentak. "Kalau begitu, dia pasti Takara Nichiba, ketua ninja itu."
"Oh?" Lim Peng Hang
mengerutkan kening. "Berarti dia memburumu sampai ke Tionggoan."
"Ada baiknya juga,"
ujar Gouw Han Tiong "Jadi Yatsumi tidak usah pulang ke Jepang."
"Kakek...." Tio Bun
Yang menggeleng-geleng' kan kepala.
"Aku justru merasa heran,
kenapi ketua ninja itu ke markas Seng Hwee Kauw?"
"Mungkin ingin bergabung
dengan Seng Hwee Kauw," jawab Lim Peng Hang dan menambahkan "Oleh
karena itu, kita pun harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan."
"Aku yang menghadapi
ketua ninja itu!" ujar Yatsumi dengan mata berapi-api. "Dia membunuh
kedua orang tuaku, aku pun harus membunuh nya!"
"Aaaah...!" Mendadak
Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Dalam rimba persilatan penuh
diliputi dendam dan kebencian, sedangkan di istana diliputi pergolakan politik.
Akhirnya... rakyat jelata yang menderita."
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menatapnya. "Engkau...."
"Kakek!" Tio Bun
Yang tersenyum getir. "Kalau aku sudah berkumpul kembali dengan Goat Nio,
alangkah baiknya kami hidup tenang di pulau liong Hoang To."
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menghela nafas. ”Apakah Pulau Hong Hoang To akan aman?"
"Kakek...." Tio Bun
Yang menundukkan kepala.
"Dulu ayahmu juga berkata
begitu, tapi akhirnya toh dia juga yang menyelamatkan rimba peralatan. Kini
kelihatannya engkau harus mengikuti jijak ayahmu," ujar Gouw Han Tiong.
"Karena kipandaianmu paling tinggi di antara kita semua."
"Yaaah!" Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Sesungguhnya aku sudah jenuh akan
urusan rimba persilatan, rasanya ingin hidup tenang di suatu tempat."
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menatapnya. "Masih banyak urusan yang harus kau selesaikan, maka
engkau harus bersemangat."
"Bersemangat?" Tio
Bun Yang tersenyum geli. "Kini Goat Nio dikurung di markas Seng Hwee Kauw,
bagaimana mungkin aku bersemangat?"
"Adik Bun Yang!" Ngo
Tok Kauwcu mengerutkan kening. "Kalau engkau tidak bersemangat, bagaimana
mungkin dapat menolong Goal Nio?"
"Kakak Bun Yang," sela
Lie Ai Ling. "Bia bagaimana pun engkau harus bersemangat. Kalau tidak,
Goat Nio yang akan celaka."
"Goat Nio...." Tio
Bun Yang tampak tesentak. "Benar. Aku
memang harus bersemangat
"Nah, begitu!" Lie
Ai Ling tertawa gembira kemudian memandang Yatsumi seraya berkata
"Sekarang engkau sudah tahu ketua ninja itu ke markas Seng Hwee Kauw, lalu
apa rencanamu!”
"Aku harus ke markas Seng
Hwee Kauw mencari ketua ninja itu," sahut Yatsumi. "Aku harus
membunuhnya."
"Kalau engkau ke markas
Seng Hwee Kauw justru engkau yang akan terbunuh di sana," sahut Ngo Tok
Kauwcu. "Engkau tidak boleh ke sana,
"Apakah aku harus diam
saja?" tanya Yatsumi sambil mengerutkan kening.
"Kita semua memang harus
diam untuk menanti," sahut Ngo Tok Kauwcu dan menambahkan "Percayalah!
Tidak lama lagi Seng Hwee Sin Ku pasti mengutus orang ke mari."
"Itu tidak akan
meleset?" Yatsumi tampak ragu. "Aku berani menjamin tidak akan
meleset” Ngo Tok Kauwcu tersenyum. "Percayalah!"
"Aku percaya," ujar
Lim Peng Hang dan melanjutkan, "Seng Hwee Sin Kun pasti berunding dengan
ketua ninja itu, lalu mengutus orang ke mari."
"Benar." Gouw Han
Tiong manggut-manggut. "Oleh karena itu, kita harus sabar menunggu."
"Baik." Yatsumi
mengangguk. "Aku menurut saja." -ooo0dw0ooo-
Bagian ke empat puluh sembilan
Utusan Seng Hwee Sin Kun
Di markas Seng Hwee Kauw,
terdengar suara tawa gembira. Tampak beberapa orang sedang bersulang. Mereka
adalah Seng Hwee Sin Kun, Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui, Pat Pie Lo Koay dan Tok
Chiu Ong. Selain mereka, tampak pula seorang berpakaian serba hitam, yang
ternyata Takara Nichiba, ketua Ninja Jepang.
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gelak. Takara Nichiba, terimakasih atas kunjunganmu."
"Ha ha ha!" Takara
Nichiba juga tertawa gelak. "Terimakasih atas penyambutan kalian."
"Jangan sungkan-sungkan,
kita memang harus bantu-membantu!" ujar Seng Hwee Sin Kun. "Ayoh mari
kita bersulang lagi untuk penjalinan per sahabatan kita!"
"Terimakasih," ucap
Takara Nichiba, mereka mulai bersulang lagi sambil tertawa-tawa.
"Takara Nichiba,"
tanya Pat Pie Lo Koay "Kedatanganmu di Tionggoan khusus untuk memburu
Yatsumi?"
"Betul." Takara
Nichiba mengangguk. "Namun aku juga ingin bergaul dengan kaum pesilat di
Tionggoan."
"Oooh!" Pat Pie Lo
Koay manggut-manggul "Engkau sudah tahu Yatsumi itu berada di mana?
"Aku sama sekali tidak
tahu," jawab Takai Nichiba jujur. "Maka aku minta bantuan kalian”
"Jangan khawatir!"
ujar Leng Bin Hoatsu san bil tertawa. "Kami sudah mengutus beberapa orang
untuk menyelidiki gadis itu."
"Terimakasih,
terimakasih..." ucap Takara Nichiba.
Di saat bersamaan, muncullah
seseorang menghadap mereka. Setelah memberi hormat, orang itu melapor.
"Kauwcu, kami telah
memperoleh informasi bahwa Yatsumi berada di markas pusat Kay Pang
"Oh?" Wajah Seng
Hwee Sin Kun berseri "Bisa dipercaya informasi itu?"
"Bisa." Orang itu
mengangguk dan menambahkan, "Bahkan Tio Bun Yang, Ngo Tok Kauw-cu, Sie
Keng Hauw dan Lie Ai Ling juga berada di sana.'
"Ha ha ha! Bagus,
bagus." Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Nah, sekarang engkau boleh
beristirahat."
"Terimakasih,
Kauwcu." ucap orang itu, yang kemudian meninggalkan ruang tersebut.
"Takara Nichiba,"
ujar Seng Hwee Sin Kun memberitahukan. "Ternyata Yatsumi berada di markas
pusat Kay Pang."
"Kalau begitu, aku akan
ke sana membunuhnya," sahut Takara Nichiba.
"Sabar!" Seng Hwee
Sin Kun tertawa. "Aku justru ingin memancing mereka ke mari. Setelah
mereka ke mari, engkau boleh membunuh Yatsumi."
"Baik." Takara
Nichiba mengangguk.
"Bagaimana menurut
kalian?" tanya Seng Hwee Sin Kun. "Apakah sudah waktunya aku mengutus
orang ke sana?"
"Memang sudah
waktunya," sahut Leng Bin Hoatsu. "Kita pancing mereka ke mari, lalu
kita bantai."
"Kita jebak mereka! Ha ha
ha...!" Tok Chiu Ong tertawa.
"Menurut aku..."
ujar Pat Pie Lo Koay sungguh sungguh. "Kita tidak perlu menjebak mereka,
cukup menantang mereka
bertarung. Kalau dengan akal
licik menjebak mereka, itu akan mempermalukan diri kita."
"Ngmm!" Seng Hwee
Sin Kun manggut-manggut. "Baik, kita undang mereka ke mari! Kita bertarung
dengan mereka di Lembah Kabut Hitam ini! Ha ha ha...!"
"Kauwcu," ujar
Takara Nichiba. "Aku akan bertarung dengan Yatsumi, itu adalah urusanku.”
"Baik." Seng Hwee
Sin Kun manggut-manggut "Tapi engkau harus berhati-hati
menghadapinya."
"Terimakasih atas
perhatian Kauwcu," uca Takara Nichiba.
"Kauwcu," tanya Leng
Bin Hoatsu. "Kapan Kauwcu akan mengutus orang ke markas pusat Kay
Pang?"
"Besok pagi," sahut
Seng Hwee Sin Kun memberitahukan. "Aku mengutus engkau dan Pek Bin Kui ke
sana."
"Ya." Leng Bin
Hoatsu dan Pek Bin Kui mengangguk.
"Undang mereka ke mari
tanggal lima belas kita akan bertarung di Lembah Kabut Hitam“ pesan Seng Hwee
Sin Kun.
"Ya." Leng Bin
Hoatsu mengangguk.
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gelak "Setelah kita membasmi mereka, kita pun akan
menguasai rimba persilatan! Ha ha ha...!"
-oo0dw0oo-
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong
dan lainnya sedang bercakap-cakap di ruang depan markas pusat Kay Pang dengan
serius sekali. Yang tampak tidak sabar adalah Yatsumi, bahkan keningnya pun berkerut-kerut.
"Kok hingga sekarang
belum muncul utusan dari Seng Hwee Sin Kun?"
"Yatsumi!" Ngo Tok
Kauwcu menatapnya. ”Engkau harus sabar. Percayalah, dalam beberapa hari ini.
Seng Hwee Sin Kun pasti mengutus orang kemari."
"Kalau beberapa hari ini tetap
tidak muncul utusan Seng Hwee Sin Kun ke mari, aku akan kesana membunuh Takara
Nichiba."
"Yatsumi, sabarlah!"
ujar Tio Bun Yang. "Aku yang paling cemas, tapi tetap harus
bersabar."
"Kita semua memang harus
bersabar. Kalau tidak, justru kita sendiri yang akan celaka," ujar Lim
Peng Hang. "Sebab kita tidak boleh menyerbu kesana, maka kita harus tetap
bersabar."
Di saat bersamaan, muncul
seorang pengemis tua menghadap Lim Peng Hang, lalu melapor.
"Pangcu! Utusan Seng Hwee
Sin Kun ke mari!"
"Oh?" Lim Peng Hang
manggut-manggut. "Undang mereka ke mari!"
"Ya, Pangcu."
Pengemis tua itu segera pergi.
Tak seberapa lama kemudian,
masuklah dua orang yang tidak lain Leng Bin Hoatsu dan Pek Bin Kui. Mereka
berdua memberi hormat dengan sikap angkuh, kemudian berkata.
"Seng Hwee Sin Kun
mengutus kami ke mari.”
"Silakan duduk!"
sahut Lim Peng Hang sambil menatap mereka tajam.
Leng Bin Hoatsu dan Pek Bin
Kui duduk seraya berkata dengan suara dalam.
"Kami ke mari untuk
menyampaikan sesuatu pada Lim Pangcu, harap Lim Pangcu dengar baik-baik!"
"Ha ha ha!" Ucapan
mereka berdua tidak membuat Lim Pang Hang gusar, sebaliknya ketua Kay Pang itu
malah tertawa gelak. "Katakanlah!!”
"Kami menantang pihakmu
bertarung di Lembah Kabut Hitam," ujar Leng Bin Hoatsu memberitahukan.
"Oh?" Lim Peng Hang
tertawa lagi. "Kapan?!”
"Tanggal lima
belas," sahut Pek Bin Kui dan menambahkan. "Kami harap kedatangan
kalian, jangan tidak berani ke sana!"
"Ha ha ha!" Gouw Han
Tiong tertawa terbahak-bahak. "Beritahukan kepada Seng Hwe Sin Kun, kami
pasti datang tepat pada waktunya
"Baik." Pek Bin Kui
mengangguk.
"Leng Bin Hoatsu,"
tanya Tio Bun Yan mendadak. "Bagaimana keadaan Goat Nio yan kalian kurung?
Apakah dia baik-baik saja?"
"Kalian sudah tahu?"
Leng Bin Hoatsu balik bertanya dengan heran.
"Kami memang sudah
tahu," sahut Tio Bun Yang dingin. "Beritahukanlah! Bagaimana
keadaannya?"
"Dia baik-baik
saja," ujar Leng Bin Hoatsu. "Apabila kalian menang dalam pertarungan
nanti, Goat Nio pasti dibebaskan."
"Jangan ingkar
janji!" Tio Bun Yang menatapnya tajam.
"Ha ha ha!" Leng Bin
Hoatsu tertawa gelak. "Perlukah kami ingkar janji? Itu tidak perlu
kan?"
"Bagus!" Tio Bun
Yang manggut-manggut.
"Oh ya!" Pek Bin Kui
menatap Yatsumi. "Bukankah engkau gadis Jepang?"
"Betul." Yatsumi
mengangguk dan bertanya, " Takara Nichiba berada di tempat kalian
kan?"
"Kok tahu?" Pek Bin Kui heran.
"Tentu tahu," sahut
Yatsumi. "Aku menantangnya bertarung."
"Itu sudah pasti,"
ujar Pek Bin Kui sambil tertawa. "Ketua ninja itu memang ingin bertarung denganmu."
"Bagus, bagus!"
Yatsumi manggut-manggut." Itu yang kukehendaki. Suruh dia bersiap-siap
tindik mati!"
”He he he!" Leng Bin
Hoatsu tertawa terkekeh, 'sungguh sayang sekali Nona masih sedemikian muda,
namun akan mati pada tanggal lima belas! lebih baik Nona bergabung dengan kami,
maka ketua ninja itu tidak akan membunuhmu."
"Hei!" bentak Lie Ai
Ling mendadak. "Jangan banyak omong kosong di sini! Cepatlah kalian enyah
dari sini!"
"Engkau pasti Lie Ai
Ling!" Leng Bin Hoatsu menatapnya tajam. "Engkau jangan kurang ajar
jangan cari mati sekarang!"
"Mau bertarung?"
tantang Lie Ai Ling.
"Engkau...." Wajah
Leng Bin Hoatsu merah padam. "Aku
akan membunuhmu!"
"Tenang!" Pek Bin
Kui cepat-cepat memegang tangan Leng Bin Hoatsu sambil bangkit berdiri
"Baiklah! Kami mohon diri!"
"Silakan!" sahut Lim
Peng Hang.
"Lim Pangcu!" Pek
Bin Kui mengingatkan "Jangan lupa tanggal lima belas!"
"Pasti." Lim Peng
Hang tertawa gelak. "Tanggal lima belas kami pasti ke sana, memenuh
undangan kalian."
"Bagus, bagus!" Leng
Bin Hoatsu manggut manggut. "Sampai jumpa!"
Setelah mereka berdua pergi,
Lim Peng Hang| Gouw Han Tiong dan lainnya segera berunding
"Beberapa hari lagi sudah
tanggal lima belas kita harus bagaimana?" tanya Lim Peng Hang
"Mumpung masih ada waktu,
alangkah baik nya kita berlatih," sahut Gouw Han Tiong.
"Benar." Lim Peng
Hang manggut-manggulj "Kita memang harus berlatih mempersiapkan di untuk
bertarung nanti."
"Tapi...." Tio
Bun Yang mengerutkan
kening kemudian
memandang Ngo Tok Kauwcu seraya
bertanya, "Kakak Ling Cu, engkau tahu kekuatan Seng Hwee Kauw?"
"Tahu." Ngo Tok
Kauwcu mengangguk. "Di dalam Seng Hwee Kauw terdapat belasan anggota yang
berkepandaian tinggi, termasuk Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui, Pat Pie Lo Koay
dan Tok Chiu Ong. Kini ditambah ketua ninja itu."
"Ketua ninja itu
lawanku," ujar Yatsumi.
"Ng!" Ngo Tok Kauwcu
mengangguk. "Kita pun harus mengatur suatu cara untuk menghadapi
mereka."
"Benar." Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Oh ya, berapa banyak anggota Seng Hwee Kauw?"
"Seratusan orang."
Ngo Tok Kauwcu mem-beiitahukan. "Aku sudah mengatur puluhan anggotaku di
sekitar Lembah Kabut Hitam, namun kurang kuat menghadapi para anggota Seng Hwee
Kauw yang berjumlah lebih besar itu."
"Kalau begitu..."
ujar Lim Peng Hang. "Aku pun harus mengatur seratus anggota Kay Pang untuk
ikut serta, agar dapat mengimbangi mereka."
"Benar." Gouw Han
Tiong manggut-manggut.
"Begini..." ujar Lim
Peng Hang sambil memandang Tio Bun Yang. "Engkau melawan Seng Hwee Sin
Kun, aku dan Gouw
Han Tiong me-biwan Leng Bin
Hoatsu dan Pek Bin Kui, Ling i u melawan Tok Chiu Ong, sedangkan Ai Ling dan
Keng Hauw melawan anggota Seng Hwee Kauw yang berkepandaian tinggi."
"Kok Pat Pie Lo Koay
tidak masuk hitungan?” tanya Sie Keng Hauw heran.
"Dia orangku." Ngo
Tok Kauwcu memberitahukan. "Tugasnya membebaskan Goat Nio di saat terjadi
pertarungan."
"Oooh!" Sie Keng
Hauw manggut-manggut.
"Tapi kalian harus
berhati-hati." pesan Lim Peng Hang. "Sebab banyak jebakan di
sana."
"Jangan khawatir!"
Ngo Tok Kauwcu ter senyum. "Pat Pie Lo Koay pasti sudah merusak semua
jebakan itu."
"Oh?" Lim Peng Hang
menatapnya. "Benar kah itu?"
"Benar." Ngo Tok
Kauwcu mengangguk. "Aku sudah mengatur itu, jadi kita tidak usah takul
akan jebakan-jebakan di sana lagi."
"Kakak Ling Cu,"
tanya Tio Bun Yang. "Apa kah Seng Hwee Sin Kun tidak akan mencuriga Pat
Pie Lo Koay?"
"Tentu tidak." Ngo
Tok Kauwcu tersenyum "Sebab Pat Pie Lo Koay sangat cerdik, bisa me
ngelabui mata Seng Hwee Sin Kun."
"Syukurlah!" ucap
Tio Bun Yang.
"Nah, mulai hari ini,
kita semua harus berlatih Tanggal lima belas kita akan sampai di Lembai Kabut
Hitam." ujar Lim Peng Hang.
Sementara itu, Leng Bin Hoatsu
dan Pek Bin Kui sudah sampai di markas Seng Hwee Kauw. Mereka lalu melapor
kepada Seng Hwee Sin Kun.
"Kauwcu, pihak Kay Pang
pasti datang pada tanggal lima belas."
"Bagus! Ha ha
ha...!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Kita habiskan mereka
nanti!"
"Yatsumi juga berada di
sana. Dia akan bertarung dengan Takara Nichiba." ujar Pek Bin Kui.
"He he he!" Ketua
ninja tertawa terkekeh-kekeh. "Dia pasti mati di tanganku. Aku harus
membunuhnya."
"Kauwcu...." Pat Pie Lok Koay memandangnya seraya
berkata, "Apakah Kauwcu
sudah berpikir masak-masak?"
"Maksudmu?" tanya
Seng Hwee Sin Kun sambil mengerutkan kening.
"Seandainya kita dapat
membunuh mereka, namun...." Pat
Pie Lo Koay mengingatkan.
"Kita masih harus menghadapi pihak Pulau Hong Hoang To!"
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gelak. Kalian percayalah, aku sanggup menghadapi Tio Cie
Hiong dan lainnya. Tentunya mereka tidak akan mengeroyokku."
"Tapi...." Pat Pie
Lo Koay menghela nafas panjang. "Pek Ih
Sin Hiap-Tio Cie Hiong
ber-kepandaian tinggi sekali."
"Aku tahu itu."
Wajah Seng Hwee Sin Kun tampak serius. "Tapi aku masih sanggup
menghadapinya, bahkan aku pun yakin kini kepandaianku berada di atas
kepandaiannya."
"Syukurlah kalau
begitu!" ucap Pat Pie Lob Koay.
"Jadi kuatur
begini..." ujar Seng Hwee SinB Kun. "Terlebih dahulu Takara Nichiba
bertarung dengan Yatsumi. Seusai mereka bertarung, aku akan turun tangan
bertarung dengan Tio Bui Yang. Di saat itulah kalian harus menyerang yang lain,
jangan sampai ada yang lolos."
"Ya, Kauwcu," sahut
Leng Bin Hoatsu dan lainnya.
"Setelah kita membunuh
mereka, pihak Pulau Hong Hoang To pasti muncul," ujar Seng Hwe Sin Kun
melanjutkan. "Kalau mereka mengeroyok diriku, tentunya aku kalah. Namun
apabila satt lawan satu, aku pasti menang. Ha ha ha...!"
"Kalau tidak
salah...." Pat Pie Lo Koay mem beritahukan.
"Sam Gan Sin Kay, Kim
Siauw Su seng, Kou Hun Bijin, Tio Tay Seng dan Tio Ci Hiong berkepandaian
tinggi sekali. Seandainya mereka muncul nanti, Kauwcu akan menantang mereka
satu lawan satu?"
"Ya." Seng Hwee Sin
Kun mengangguk. "Mereka pasti tidak akan mengeroyokku."
"Aku yakin Kauwcu pasti
menang," ujar Pek Bin Kui sambil tertawa gelak. "Ha ha ha! Tidak lama
lagi kita akan menguasai rimba persilatan
"Ha ha ha! Itu sudah
pasti!" Seng Hwee Sin Kun juga tertawa. "Oh ya, mulai sekarang,
kalian harus berlatih."
"Ya," sahut Leng Bin
Hoatsu dan lainnya. 'Pokoknya kami akan menghabiskan mereka semua."
"Pat Pie Lo Koay!"
pesan Seng Hwee Sin Kun. "Engkau harus periksa semua jebakan, apabila
perlu, kita akan menjebak mereka! Ha ha ha...!"
"Ya, Kauwcu." Pat
Pie Lo Koay mengangguk.
"Oh ya!" Seng Hwee
Kauwcu menatapnya. "Di saat kami bertarung, engkau harus ke ruang batu
untuk membunuh Goat Nio."
"Ya, Kauwcu." Pat
Pie Lo Koay mengangguk lagi. "Agar mereka patah semangat, aku akan membawa
kepala Goat Nio diperlihatkan mereka. Aku yakin Tio Bun Yang langsung pingsan,
begitu pula yang lain. Nah, bukankah gampang sekali membunuh mereka?"
"Betul. Ha ha
ha...!" Seng Hwee Sin Kun tertawa terbahak-bahak. "Idemu sungguh
cemerlang! Bagus! Bagus!"
-oo0dw0ooo-
Bagian ke lima puluh
Markas Seng Hwee Kauw musnah
Pada hari yang ditentukan itu,
Seng Hwee Si Kun dan lainnya sudah menunggu pihak Kay Pang di Lembah Kabut
Hitam. Para anggota berbaris rapi dengan senjata di tangan.
Berselang beberapa saat
kemudian, muncul lah pihak Kay Pang. Para anggota Ngo Tok Kau bergabung dengan
para anggota Kay Pang. Mereka berbaris rapi dengan berbagai macam senjata di
tangan.
"He he he!" Seng
Hwee Sin Kun tertawl terkekeh. "Selamat datang! Selamat datang!"
"Selamat bertemu, Seng
Hwee Sin Kun!" sahut Tio Bun Yang.
"Anak muda!" Seng Hwee
Sin Kun menatapnya tajam. "Kau memang panjang umur. Setahun lalu kalau
monyet sialan itu tidak menangkis pukulanku, kau pasti sudah mati."
Ketika Seng Hwee Sin Kun
menyinggung monyet bulu putih, timbullah rasa duka dalam hati Tio Bun Yang.
"Seng Hwee Sin Kun!"
sahutnya sunggul sungguh. "Kalau kau mau membebaskan Goat Nio, aku pasti
melepaskanmu."
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa terbahak-bahak. "Aku akan membebaskan Goat Nio, namun
cuma tinggal kepalanya."
"Apa?" Wajah Tio Bun
Yang langsung berubah pucat pias. "Engkau... engkau telah
membunuhnya?"
"Sementara ini
belum," ujar Seng Hwee Sin Kun. "Tapi sebentar lagi kepalanya akan
berpisah dengan tubuhnya."
"Engkau____" Suara
Tio Bun Yang bergemetar karena menahan emosi.
"Seng Hwee Sin Kun!"
Lim Peng Hang menudingnya. "Bersikaplah gagah, jangan jadi pengecut’
"Tentu, tentu,"
sahut Seng Hwee Sin Kun sambil tertawa. "Kita tidak perlu berbasa basi
lagi, langsung saja bertarung."
"Bagaimana cara kita
bertarung?" tanya Lim Peng Hang.
"Terlebih dahulu ketua
ninja akan bertarung dengan Yatsumi. Itu urusan mereka berdua, kita tidak perlu
turut campur," sahut Seng Hwee Sin Kun.
"Baik." Lim Peng
Hang mengangguk.
Bersamaan itu, Takara Nichiba
pun berjalan ke tengah. Yatsumi segera melangkah ke hadapannya, lalu
menudingnya sambil membentak dengan bahasa Jepang.
Takara Nichiba juga menyahut
dengan bahasa Jepang yang tidak dimengerti orang. Setelah itu, ia mengeluarkan
pedangnya, Yatsumi mengeluarku sulingnya. Mendadak Takara Nichiba memekik
keras, kemudian menyerang Yatsumi.
"Hiyaaat!" Gadis
Jepang itu pun mcmekikl sambil berkelit, kemudian mulai balas menyerang! dengan
ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi.
Serangan balasan itu membuat
ketua ninja terkejut bukan main. Tiba-tiba ia bersiul panjangi dan seketika
juga sekujur badannya mengeluarkan asap. Terjadilah suatu keanehan, karena
ketua ninja itu mendadak menghilang. Itulah ilmu istimewa kaum ninja Jepang.
Terbelalaklah yanb menyaksikan itu.
Sementara Yatsumi tetap
berdiri di tempat! Ternyata Tio Cie Hiong telah memberi petunjuk kepadanya cara
menghadapi ilmu istimewa itu!
Oleh karena itu, Yatsumi sama sekali tidak gugup. Ia berdiri tenang di tempat,
namun terus pasang telinga.
Sekonyong-konyong Takara
Nichiba muncul di belakangnya sambil mengayunkan pedangnya Yatsumi sudah
menangkap suara itu, dan tanpa melihat ia langsung mengayunkan sulingnya ke
belakang untuk menangkis pedang lawan.
Trang! Terdengar suara
benturan.
Takara Nichiba
terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah, begitu pula Yatsumi. DI saat
terjadi benturan, ketua ninja itu tampak tersentak.
"Hiyaaaat!" pekik
Yatsumi sambil menyerang. Kali ini ia menggunakan Cit Loan Kiam Hoa (Ilmu
Pedang Pusing Tujuh Keliling). Tampak Miling di tangan Yatsumi berkelebatan
secara kacau balau mengarah ketua ninja itu.
Di saat itulah Takara Nichiba
menggunakan ilmu istimewa lagi, yakni ilmu menyusup ke dalam tanah.
Yatsumi tidak terkejut, namun
Seng Hwee Sin Kun dan lainnya justru terkejut bukan main, Karena mereka tidak
pernah menyaksikan ilmu tersebut.
Tio Bun Yang, Sie Keng Hauw.
Lie Ai Ling ilan Ngo Tok Kauwcu juga tidak pernah menyaksikan ilmu itu, tapi
pernah mendengarnya. Namun mereka pun tampak terkejut.
Sementara Yatsumi berdiri di
tempat, tampak tenang sekali. Mendadak permukaan tanah dibelakang Yatsumi
tampak bergerak-gerak menuju kearah gadis Jepang itu, sepertinya ada sesuatu di
dalam tanah.
Sekonyong-konyong Takara
Nichiba muncul dan dalam tanah, sekaligus menyerang Yatsumi dari belakang.
Kalau pendengaran gadis Jepang
itu belum terlatih, ia pasti mati terserang pedang Takara Nichiba. Akan tetapi,
Tio Cie
Hiong telah melatih
pendengarannya guna menghadapi ketua ninja itu.
Seng Hwee Sin Kun dan lainnya
yakin bahwa gadis Jepang itu pasti mati di bawah pedang Takara Nichiba. Namun
di saat ujung pedang Takara Nichiba hampir mengenai leher Yatsumi pada waktu
bersamaan badan gadis Jepang itu bergerak secepat kilat, berkelebat ke belakang
ketua ninja.
"Plaaak! Punggung Takara
Nichiba terpukul suling Yatsumi.
"Aaakh...!" jerit
ketua ninja itu. Badannya terpental beberapa depa dan mulutnya menyemburkan
darah segar.
"Uaaaakh...!"
Ternyata Yatsumi menggunakan
Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat) untuk berkelit ke belakang Takara
Nichiba, sekaligus menyerangnya dengan jurus Kiam Im Ap San (Bayanga Pedang
Menekan Gunung). Maka, tanpa ampun lagi punggung ketua ninja itu terhajar
suling Yatsumi.
Di saat Takara Nichiba
terpental, gadis Jepang itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Tampak badannya
bergerak laksana kilat ke arah ketua ninja, sekaligus menyerangnya.
Takara Nichiba sudah terluka
parah, bagaimana mungkin ia dapat berkelit maupun menangkis? Akan tetapi, ketua
ninja itu tetap berusaha berkelit. Walau ia berusaha berkelit, suling itu tetap
menghajar kepalanya.
Plaaak!
"Aaakh...!" jerit
Takara Nichiba. Ia terkulai kemudian menatap Yatsumi dengan mata melotot
"Engkau... engkau...."
Gadis Jepang itu memandangnya
dingin. Berselang sesaat kepala Takara Nichiba terkulai, dan putuslah nafasnya.
Yatsumi melangkah ke belakang
dengan mata basah. Ia telah berhasil membalas dendam kedua orang tuanya.
"He he he!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa terkekeh. "Yatsumi berhasil membunuh Takara Nichiba,
kini giliranku maju! Nah, siapa yang akan maju melawanku?"
"Aku!" sahut Tio Bun
Yang sambil menghampirinya.
"Bagus, bagus!" Seng
Hwee Sin Kun. "Ha ha ha! Hari ini kau pasti mampus!"
"Seng Hwee Sin Kun!"
ujar Tio Bun Yang. "Asal kau bersedia membebaskan Goat Nio, aku bersedia
melepaskanmu!"
"Ajalmu sudah dekat,
kenapa masih banyak cincong!" sahut Seng Hwee Sin Kun, kemudian mendadak
menyerangnya.
Tio Bun Yang mengelak. Setelah
diserang terus-menerus barulah Tio Bun Yang balas menyerang. Mereka mulai
bertarung dengan sengit. Belasan jurus telah lewat dan tiba-tiba Seng Hwee Sin
Kun berhenti menyerang.
Ia berdiri tegak di tempat.
Tio Bun Yang juga berdiri tegak di hadapannya. Ternyata Seng Hwee Sin Kun mulai
mengerahkan Seng Hwee Sin Kang.
Menyaksikan itu, Tio Bun Yang
segera mengerahkan Kan Kun Taylo Im Kang. Bukan main Sepasang telapak tangan
Seng Hwee Sin Kun berubah kehijau-hijauan, begitu pula mukanya bahkan badannya
juga mengeluarkan hawa panas
Sedangkan sepasang telapak
tangan dan muka Tio Bun Yang berubah putih bagaikan salju dan sekujur badannya
mengeluarkan hawa dingin. D saat itu, mendadak Leng Bin Hoatsu berseru.
"Serang mereka!"
Para anggota Seng Hwee Kauw
langsung menyerang para anggota Kay Pang dan Ngo Tol Kauw. Leng Bin Hoatsu
menyerang Lim Pen Hang, Pek Bin Kui menyerang Gouw Han Tionj Tok Chiu Ong
menyerang Ngo Tok Kauwcu beberapa
anggota Seng Hwee Kauw yang
berkepandaian tinggi menyerang Lie Ai Ling dan Si Keng Hauw. Terjadilah
pertarungan yang amat seru dan sengit. Pat Pie Lo Koay tidak turun bertarung,
melainkan berlari memasuki lembah itu.
"He he he!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh. "Tio Bun Yang, kau pasti mampus hari
ini!"
"Seng Hwee Sin Kun, lebih
baik engkau membebaskan Goat Nio!"
"He he he!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh lagi. "Sebentar lagi kau akan melihat
kepalanya! He he he...!"
"Seng Hwee Sin Kun!"
Betapa terkejutnya Tio Bun Yang. "Engkau...."
"Aku sudah menyuruh
seseorang pergi membunuhnya!" Seng Hwee Sin Kun memberitahukan,
"Orang itu akan memenggal kepala Goat Nio, lalu membawanya ke mari untuk
diperlihatkan kepadamu! He he he...!"
"Seng Hwee Sin Kun!"
Betapa cemasnya hati Tio Bun Yang.
Di saat itulah Seng Hwee Sin
Kun mulai menyerangnya. Tio Bun Yang segera berkelit dengan ilmu Kiu Kiong San
Tian Pou.
"He he he!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa. ”Aku punya cara menghadapi ilmu Langkah itu, sebab aku
telah menciptakan Ngo Heng Pou (Ilmu Langkah Lima Elemen) guna menghadapi ilmu
Langkahmu itu! He he he...!"
Sementara pertarungan antara
Lim Peng Hang dengan Leng Bin Hoatsu semakin seru. Lewat puluhan jurus
kemudian, Leng Bin Hoatsu mulai berada di bawah angin karena Lim Peng Hang
menyerangnya dengan Tah Kauw Kun Hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Anjing), yaitu ilmu
andalan Lim Peng Hang.
Betapa lihay dan dahsyatnya
ilmu tongkat tersebut, maka tidak heran kalau ketua Kay Pang itu memperoleh
julukan Si Tongkat Maut.
"Aaaakh...!"
Mendadak Leng Bin Hoatsu menjerit Ternyata punggungnya terhajar tongkat Lim
Peng Hang.
Itu membuat Leng Bin Hoatsu
makin bernafsu membunuh Lim Peng Hang. Maka ia jadi nekat menyerangnya tanpa
menghiraukan keselamatan dirinya sendiri.
Lim Peng Hang terpaksa
menyurut mundur dan mendadak ia bersiul panjang sekaligus balas menyerang. Kali
ini ketua Kay Pang menggunakan Sam Ciat Kun Hoat (Tiga Jurus Tongkat Maut)
Tongkatnya berkelebatan
mengarah ke Leng Bin Hoatsu, sehingga membuat Leng Bin Hoatsu terdesak.
Ternyata Lim Peng Hang mengeluarkan jurus Hoan Thian Cai Goat (Membalikkan
Langj Memetik Bulan).
Trang! terdengar suara
benturan.
Walau sudah terluka, namun
Leng Bin Hoatsi masih dapat menangkis serangan itu. Di saa bersamaan, Lim Peng
Hang menyerangnya lagi dengan jurus Liak San Cien Hai (Memecahkai Gunung
Memindahkan Laut), yakni jurus yang paling lihay dan dahsyat dari Sam Ciat Kun
Hoal
Tongkat Lim Peng Hang
berkelebatan sehingga mengeluarkan suara menderu-deru. Kali ini Leng Bin Hoatsu
tidak mampu berkelit maupun menangkis lagi, sehingga dadanya terhajar ujung
tongkat Lim Peng Hang.
"Uaaaakh...!" Mulut
Leng Bin Hoatsu memuntahkan darah segar dan tubuhnya terpental beberapa depa.
Ia mendekap dadanya sendiri kemudian roboh dan nafasnya putus seketika.
Sementara Gouw Han Tiong juga
telah berhasil membunuh Pek Bin Kui. Tok Chiu Ong juga sudah mati terkena racun
Ngo Tok Kauwcu. Sedangkan Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw juga
telah berhasil membunuh para
anggota Seng Hwee kauw yang berkepandaian tinggi. Kini mereka dengan tegang
sekali menyaksikan pertarungan Seng Hwee Sin Kun yang terus-menerus menyela ng
Tio Bun Yang.
Pemuda itu tampak terdesak.
Hal itu dikarenakan pikirannya sedang menerawang. Betapa girangnya Seng Hwee
Sin Kun, yang terus menyerangnya dengan hebat.
"He he he!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa dan berkata memecahkan perhatian Tio Bun Yang. 'Orangku
itu pasti sudah memenggal kepala Goat Nio! He he he...!"
"Seng Hwee Sin Kun!"
Perhatian Tio Bun Yang betul-betul tidak bisa dipusatkan, sehingga punggungnya
nyaris terkena pukulan lawan.
"Adik Bun Yang! Engkau
harus tenang! Orang yang dimaksudkan itu adalah Pat Pie Lo Koay, dia pergi
menolong Goat Nio!" seru Ngo Tok kauwcu
Suara seruan itu membuat Tio
Bun Yang lu i semangat, namun justru membuat Seng Hwee Sin kun terkejut bukan
kepalang karena melihat Leng Bin Hoatsu dan lainnya sudah jadi mayat.
"Hari ini kalian semua
harus mampus!" bentak Seng Hwee Sin Kun sambil menyerang Tio Bu Yang,
sekaligus mengerahkan Seng Hwee Sin Kang sampai pada puncaknya.
Tio Bun Yang tahu, maka ia
juga mengerahkan Kan Kun Taylo Im Kang sampai pada puncaknya pula.
Seng Hwee Sin Kun menyerangnya
dengan jurus Seng Hwee Sauh Thian (Api Suci Membaka Langit). Berkelebat-kelebatlah
cahaya kehijau-hijauan mengarah pada Tio Bun Yang, bahkan juga mengandung hawa
yang panas sekali.
Tio Bun Yang sama sekali tidak
gugup. Ia segera menangkis dengan mengeluarkan jurus Kan Kun Taylo Bu Pien
(Alam Semesta Tiada Batas)
Tampak cahaya seputih salju membendung cahay kehijau-hijauan itu.
Blaaam! Terdengar suara
benturan dahsyat.
Seng Hwee Sin Kun
terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah, begitu juga Tio Bun Yang. Namun
kemudian Seng Hwee Sin Kun mulai menyerang lagi dengan jurus Seng Hwe Jip Te
(Api Suci Masuk Ke Bumi).
Tio Bun Yang menangkisnya
dengan jurus Kan Kun Taylo Hap It (Segala-galanya Menyatu Di Alam Semesta).
Blaaamm! Terdengar suara
benturan yang lebih dahsyat.
Seng Hwee Sin Kun terpental
beberapa depa begitu pula Tio Bun Yang. Mereka saling memandang, lalu sama-sama
maju lagi. Betapa tegangnya Lim Peng Hang dan lainnya. Mereka menyaksikan
pertarungan itu dengan mata tak berkedip sambil menahan nafas.
Seng Hwee Sin Kun membentak
keras menyerang Tio Bun Yang dengan jurus Thian Te leng Hwee (Api Suci Langit
Bumi), sedangkan Tio Bun Yang menangkis dengan jurus Kan Kun Taylo Kwi Gong
(Segala-galanya Kembali Ke Alam Semesta).
Daaar! Blaaammm...! Suara
benturan dahsyat kedua lweekang itu, disusul pula suara jeritan Seng Hwee Sin
Kun.
"Aaaakh...!" Badan
Seng Hwee Sin Kun terkulai belasan depa. Begitu pula Tio Bun Yang, bahkan
pakaiannya sudah hangus.
"Bun Yang...." Lim Peng Hang melesat kearahnya.
"Bagaimana engkau?
Terluka parahkah?"
Tio Bun Yang menggelengkan kepala
sambil menarik nafas dalam-dalam. Kemudian barulah menjawab.
"Aku tidak apa-apa,
Kakek."
"Syukurlah!" Lim
Peng Hang menarik nafas lega
Sementara Seng Hwee Sin Kun
yang terpental itu sudah terkulai. Sekujur badannya menggigil dan mulutnya mengeluarkan
darah segar. Ternyata ia telah terluka dalam yang sangat parah.
Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menghampirinya dengan maksud ingin
memeriksa lukanya.
Akan tetapi, di saat Tio Bun
Yang melangkah mendekatinya, tiba-tiba melayang turun lima sosok bayangan
putih. Ternyata lima orang berpakaian serba putih, dan memakai kedok setan
warna hijau.
"Haaah...!" Bukan
main terkejutnya Lim Peng Hang, serunya tak tertahan. "Kui Bin
Pang...!"
Kelima orang itu tidak
mengucapkan sepatah katapun, langsung membopong Seng Hwee Sin Kun lalu melesat
pergi.
Lim Peng Hang dan lainnya
terheran-heran menyaksikannya, karena kemunculan kelima orang itu begitu
mendadak, begitu pula perginya.
Tio Bun Yang berdiri diam di
tempat, sama sekali tidak mencegah mereka. Hal itu membuat Lie Ai Ling
penasaran sekali.
"Kakak Bun Yang! Kenapa
kau biarkan mereka pergi?"
"Adik Ai Ling..."
sahut Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Mereka berlima
tidak menggangguku, maka aku pun tidak boleh menimbulkan masalah lain."
"Tapi mereka membawa
kabur Seng Hwel Sin Kun," ujar Lie Ai Ling dengan wajah tidal senang.
"Biarlah mereka
membawanya pergi, scsungguhnya aku pun tidak berniat membunuhnya," ujar
Tio Bun Yang.
"Apakah Kakak Bun Yang
lupa bahwa Seng Hwee Sin Kun yang membunuh kauw heng?"
"Adik Ai Ling!" Tio
Bun Yang memberitahukan. "Seng Hwee Sin Kun sudah terluka parah,
kemungkinan besar dia tidak akan bisa hidup lama lagi."
"Oooh!" Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Pantas engkau membiarkannya dibawa pergi oleh kelima
orang Kui Bin Pang itu!"
"Ng!" Tio Bun Yang
mengangguk.
Sementara pertarungan para
anggota Seng Hwee Kauw dengan para anggota Kay Pang dan para anggota Ngo Tok
Kauw pun sudah berhenti. Banyak sekali para anggota Seng Hwee Kauw yang mati dan
terluka, sisanya pada kabur semua.
Tiba-tiba muncul Pat Pie Lo
Koay menuntun seorang gadis ke tempat itu. Siapa gadis itu? Tidak lain Siang
Koan Goat Nio. Wajahnya tampak pucat pias tapi berseri ketika melihat Tio Bun
Yang
"Kakak Bun Yang...!"
serunya lemah.
"Goat Nio! Goat
Nio...." Tio Bun Yang berlari kearahnya.
"Goat Nio...."
"Kakak Bun Yang...."
Siang Koan Goat Nio mendekap di
dada Tio Bun Yang sambil
menangis terisak-isak. "Kakak Bun Yang, aku... kukira kita tidak bisa
berjumpa lagi."
"Goat Nio...." Tio Bun Yang memeluknya erat-erat,
kemudian membelainya seraya
berkata lembut. "Jangan menangis, aku sudah berada di hadapanmu!"
"Kakak Bun Yang, kita
harus berterimakasihl kepada Pat Pie Lo Koay." Siang Koan Goat Nio
memberitahukan. "Kalau tidak ada paman tua itu, mungkin aku sudah
dibunuh."
"Ooooh!" Tio Bun
Yang manggut-manggut, kemudian memberi hormat kepada Pat Pie Lo Koay.
"Terimakasih, Paman."
"Ha ha ha!" Pat Pie
Lo Koay tertawa gelak "Jangan sungkan! Engkau yang menyembuhkanl wajah Ling
Cu, maka aku pun harus membantumu."
"Tapi Paman yang
menyelamatkan Goat Nio!” Tio Bun Yang memberi hormat lagi kepada Pai Pie Lo
Koay.
"Ha ha ha!" Pat Pie
Lo Koay tertawa gelak sambil menggeleng-gelengkan kepala dan berkala
"Engkau memang pemuda baik, aku kagum dari salut kepadamu."
"Pat Pie Lo Koay!"
Lim Peng Hang mendekatinya sambil tertawa. "Terimakasih atas
bantuanmu!"
"Lim Pangcu!" Pat
Pie Lo Koay menghela nafas panjang. "Aku berhutang budi kepada Tu Hun
Lojin, lagi pula Tio Bun Yang yang menyembuhkan wajah Ling Cu. Nah, apakah aku
harus tinggal diam?"
"Pat Pie Lo Koay!"
Gouw Han Tiong tertawa. "Aku sama sekali tidak menyangka kalau almarhum
pernah menolongmu."
"Kalau ayahmu tidak
menolongku, tentunya aku sudah mampus dari dulu. Aku sungguh berhutang budi
kepadanya."
"Yaah!" Gouw Han
Tiong menghela nafas panjang. "Sayang sekali, ayahku sudah tiada!"
"Oh ya!" Pat Pie Lo
Koay teringat sesuatu, "kita harus segera meninggalkan tempat ini, karena
sebentar lagi akan terjadi ledakan dahsyat."
"Paman telah memasang
obat peledak di markas Seng Hwee Kauw?" tanya Ngo Tok Kauwcu.
"Ya." Pat Pie Lo
Koay mengangguk. "Sesuai dengan rencana kita."
"Kalau begitu, mari kita
cepat meninggalkan tempat ini!" seru Ngo Tok Kauwcu.
Segeralah mereka meninggalkan
Lembah Kabut Hitam. Tak seberapa lama kemudian, terdengarlah suara ledakan
dahsyat. Tampak asap membumbung tinggi, dan api pun mulai berkobar-kobar
melalap markas Seng Hwee Kauw.
"Ha ha ha!" Pat Pie
Lo Koay tertawa gembira. Mulai sekarang Seng Hwee Kauw sudah musnah!"
"Seng Hwee Kauw memang
sudah musnah, tapi...." Lim
Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala.
"Ada apa, Lim
Pangcu?" tanya Pat Pie Lo Koay heran.
"Seng Hwee Sin Kun dibawa
kabur oleh lima orang berpakaian serba putih yang memakai kedok setan warna
kuning...." Lim Peng Hang memberitahukan.
"Haaah...!" Air muka
Pat Pie Lo Koay berubah hebat. "Kui Bin Pang...."
"Paman tahu tentang Kui
Bin Pang?" tanya Ngo Tok Kauwcu sambil memandangnya.
"Aaaah...!" Pat Pie
Lo Koay menghela nafas panjang. "Aku pernah dengar dari guruku tentang Kui
Bin Pang. Namun perkumpulan muka setan itu cuma bergerak di sekitar gurun Sih
Ih. Lagi pula sudah hampir seratus tahun tiada kabar beritanya. Bagaimana Kui
Bin Pang itu bisa muncul di Tionggoan?"
"Pat Pie Lo Koay!"
sela Lim Peng Hang. "Mari kita bicara di markas saja!"
"Baik." Pat Pie Lo
Koay mengangguk, kemudian mereka semua berangkat ke markas pusa Kay Pang.
Seharusnya mereka bergembira atas kemenangan itu, namun mereka malah tampak
tercekam, dikarenakan kemunculan lima orang Kui Bin Pang yang membawa kabur
Seng Hwo Sin Kun.
-ooo0dw0ooo-
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong
dan lainnya duduk dengan wajah serius di ruang depan markas pusat Kay Pang.
Berselang beberapa saat, barulah Lim Peng Hang membuka mulut.
"Kelihatannya lima orang
Kui Bin Pang itu bermaksud menolong Seng Hwee Sin Kun. Mungkinkah Seng Hwee Sin
Kun punya hubungan dengan Kui Bin Pang?"
"Menurut aku tidak,"
sahut Gouw Han Tiong. "Kalau Seng Hwee Sin Kun punya hubungan dengan Kui
Bin Pang, tentunya kita akan berhadapan dengan Kui Bin Pang pula, bukan?"
Lim Peng Hang manggut-manggut.
"Kalau begitu, apa maksud pihak Kui Bin Pang menolong Seng Hwee Sin
Kun?"
"Mungkin...," ujar
Gouw Han Tiong setelah berpikir sejenak. "... ketua Kui Bin Pang berniat
menarik Seng Hwee Sin Kun menjadi anggotanya."
"Itu memang
mungkin." Lim Peng Hang mengangguk. "Maka ketua Kui Bin Pang mengutus
kelima orang itu menolong Seng Hwee Sin Kun."
"Mungkin dan tak
mungkin," ujar Pat Pie Lo Koay mendadak. "Guruku pernah bilang, ketua
Kui Bin Pang memiliki semacam ilmu sesat yang dapat mengendalikan pikiran
orang. Oleh karena itu aku yakin ketua Kui Bin Pang itu punya maksud tertentu
terhadap Seng Hwee Sin Kun."
"Maksud Paman ketua Kui
Bin Pang akan mengendalikan pikiran Seng Hwee Sin Kun?” tanya Ngo Tok Kauwcu
dengan kening berkerut
"Ya." Pat Pie Lo
Koay manggut-manggut kemudian menghela nafas panjang. "Kini Seng Hwee Kauw
telah musnah, tapi malah muncul Kui Bin Pang yang amat menakutkan itu."
"Menakutkan?" Ngo Tok
Kauwcu tersentak "Kenapa menakutkan?"
"Sangat sadis, tidak
pernah memberi ampun kepada siapa pun." Pat Pie Lo Koay memberitahukan.
"Kelihatannya rimba persilatan akan dilanda banjir darah."
"Paman!" Ngo Tok
Kauwcu mengerutkan kening. "Mungkinkah ketua itu adalah ketua yang
lama?"
"Tidak mungkin." Pat
Pie Lo Koay menggelengkan kepala. "Aku yakin ketua sekarang itu adalah
ketua baru."
"Heran?" gumam Ngo
Tok Kauwcu. "Sebetulnya siapa ketua baru itu?"
"Sudahlah Ling Cu!"
ujar Pat Pie Lo Koay sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak usah
memikirkan itu, kita harus cepat-cepat pulang ke markas."
"Ya, Paman." Ngo Tok
Kauwcu menganggut lalu berpamit. "Maaf, kami mau mohon diri pulang ke
markas."
"Kok begitu cepat pulang,
Kakak Ling Cu?” Tio Bun Yang ingin menahannya.
"Adik Bun Yang!" Ngo
Tok Kauwcu tersenyum. "Kelak kita pasti berjumpa lagi, sampai berjumpa
semua!"
Ngo Tok Kauwcu memberi hormat
kepada Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong lalu melangkah pergi. Pat Pie Lo Koay
pun memberi hormat kepada mereka, kemudian segera menyusul Ngo Tok Kauwcu.
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong,
Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio mengantar mereka sampai di luar markas.
Setelah mereka berdua melesat pergi, barulah Lim Peng Hang dan lainnya kembali
ke markas.
-oo0dw0oo-
Jilid 11
"Yatsumi!" Lim Peng
Hang memandangnya sambil duduk. "Engkau telah berhasil membunuh ketua
ninja itu, lalu apa rencanamu selanjutnya?"
"Kakek Lim," jawab
Yatsumi. "Aku akan segera pulang ke Jepang."
"Ngmmm!" Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Engkau berasal dari Jepang, tentunya harus pulang
ke Jepang."
"Aku...." Sepasang mata Yatsumi bersimbah air. "Aku
sangat berterimakasih kepada
Kakek Lim, Kakek Gouw dan lainnya."
"Yatsumi," sela Lie
Ai Ling sambil tertawa. "Jangan berkata begitu. Hubungan kita sudah
bagaikan kakak beradik."
"Betul," sambung
Siang Koan Goat Nio dengan wajah berseri. "Kita boleh dikatakan bagaikan
kakak beradik."
"Aku...." Yatsumi
terharu sekali, sehingga
membuatnya
menangis-terisak.
"Aku...."
"Yatsumi!" Lie Ai
Ling menatapnya dalam-dalam. "Engkau harus yakin dan percaya diri. Begitu
engkau tiba di Jepang, harus memberanikan diri menemui orang tua pemuda
itu."
"Ai Ling...." Wajah
Yatsumi kemerah-merahan.
"Eeeeh?" Lim Peng
Hang tertawa gelak. "Kini kalian membicarakan urusan pribadi, maka
alangkah baiknya kalian ke halaman belakang saja."
"Betul," sahut Lie
Ai Ling sambil tertawa! "Ayoh, mari kita ke halaman belakang!"
Gadis itu langsung menarik Sie
Keng Hauw ke belakang. Tio Bun Yang, Siang Koan Goat Nio dan Yatsumi mengikuti
mereka dari belakang.'
"Hi hi hi!" Lie Ai
Ling tertawa setelah berada di halaman belakang. "Aku gembira
sekali."
"Ai Ling!" Sie Keng
Hauw menatapnya heran. "Kenapa engkau gembira?"
"Apakah engkau tidak
merasa gembira?" Lie Ai Ling balik bertanya. "Kini Kakak Bun Yang
sudah berkumpul kembali dengan Goat Nio."
"Betul." Sie Keng
Hauw manggut-manggut. "Kita harus mengucapkan selamat kepada mereka
berdua."
"Terimakasih,
terimakasih..." sahut Tio Bun Yang sambil tertawa gembira. "Terimakasih...."
"Aaaah...." Mendadak
Yatsumi menghela nafas panjang.
"Yatsumi," ujar Tio
Bun Yang. "Percayalah' orang tua pemuda itu pasti merestui kalian, aku
yakin itu."
"Mudah-mudahan!"
sahut Yatsumi. "Kalau aku menikah dengan pemuda itu, aku dan dia pasti ke
mari mengunjungi kalian."
"Nah!" seru Lie Ai
Ling. "Jangan ingkar janji Hio!"
"Aku tidak akan ingkar
janji. Percayalah padaku!" Yatsumi tersenyum. "Aku pasti ke mari
mengunjungi kalian."
Beberapa hari kemudian,
Yatsumi bertolak ke Jepang. Sedangkan Tio Bun Yang, Siang Koan lioat Nio, Sie
Keng Hauw dan Lie Ai Ling berangkat ke Pulau Hong Hoang To.
-ooo0dw0ooo-
Bagian ke lima puluh satu
Markas Kui Bin Pang
Tentang musnahnya markas Seng
Hwee Kauw, telah tersiar luas dalam rimba persilatan. Setelah mendengar berita
tersebut, para ketua tujuh
partai besar segera berangkat ke markas pusat Kay Pang.
"Lim Pangcu," ujar
Hui Khong Taysu ketua Siauw Lim Pay. "Kami ke mari memberi selamai
kepadamu."
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang tertawa gelak "Taysu dan para ketua lain, silakan duduk!"
Mereka duduk, beberapa anggota
Kay Pang segera menyuguhkan teh. Seusai meneguk teh, Hui Khong Taysu berkata,
"Lim Pangcu, partaimu
sangat berjasa bagi rimba persilatan, karena telah menumpas Seni Hwee
Kauw."
"Sesungguhnya...."
Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Bukan Kay Pang
yang berjasa dalam hal ini, melainkan Tio Bun Yang, Ngo Tok Kauwcu, Sie Keng
Hauw, Lie Ai Linj dan Pat Pie Lo Koay."
"Tapi kalau tidak ada Kay
Pang, belum tentu mereka dapat menumpas Seng Hwee Kauw," ujar It Hian
Tojin ketua Butong Pay
"Yang jelas mereka yang
berjasa," tandas Lini Peng Hang. "Tapi...."
"Kenapa?" tanya Wie
Hian Cinjin, ketua Kun Lun Pay. "Apakah masih ada masalah lain?"
"Apakah kalian pernah
mendengar tentang Kui Bin Pang?" Lim Peng Hang balik bertanya mendadak
sambil memandang para ketua itu.
Mereka saling memandang, namun
air muka Hui Khong Taysu berubah hebat begitu Lim Peng Hang mengajukan
pertanyaan tersebut.
"Kui Bin Pang...?"
gumamnya.
"Ya." Lim Peng Hang
mengangguk. "Taysu pernah mendengar tentang perkumpulan itu?"
"Guruku pernah
memberitahukan tentang Kui Rin Pang yang misteri itu, kenapa Lim Pangcu
bertanya tentang itu?"
"Sebab...." Lim Pangcu menggeleng-gelengkan kepala.
"Seng Hwee Sin Kun terluka
parah oleh pukulan Tio Bun Yang, namun mendadak muncul lima orang berpakaian
serba putih memakai kedok setan membawanya kabur."
"Haah?" Bukan main
terkejutnya Hui Khong Taysu. "Omitohud!"
"Taysu!" It Hian
Tojin menatapnya. "Beritahu-kanlah tentang Kui Bin Pang!"
"Omitohud!" Hui
Khong Taysu menghela nafas panjang. "Sudah hampir seratus tahun Kui Bin
Pang tiada kabar beritanya, namun kini malah muncul di Tionggoan. Guruku pernah
melihat Kui Hin Pang di daerah gurun Sih Ih. Pada waktu itu Kui Bin Pang sedang
membantai suatu suku di daerah gurun Sih Ih. Guruku segera turun tangan
menolong suku itu, namun ketua Kui Bin Pang berhasil mengalahkan guruku."
"Oh?" Lim Peng Hang
terbelalak. "Begitu imggi kepandaian ketua Kui Bin Pang itu?"
"Omitohud!" sahut
Hui Khong Taysu. "Memang tinggi sekali kepandaian ketua Kui Bin Pang ituu.
Gurukupun memberitahukan, bahwa Kui Bin Pang cuma bergerak di daerah Sih Ih,
tidak memasuki daerah Tionggoan. Tapi kini...."
"Aaaah...!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Kini Kui Bin Pang telah memasuki daerah
Tionggoan, bahkan menolong Seng Hwee Sin Kun."
"Omitohud!" Hui
Khong Taysu menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau begitu, tidak lama lagi
rimba persilatan akan dilanda banjir darah."
"Siapa ketua Kui Bin Pang
itu?" tanya Pek Bie Lojin, ketua Swat San Pay.
"Tidak tahu," sahut
Lim Peng Hang dan menambahkan, "Mereka semua memakai kedok setan dan
berpakaian serba putih."
"Yaaah!" Hui Liong
Sin Kiam, ketua Hwa San Pay menghela nafas panjang. "Seng Hwee Kauw telah
ditumpas, tapi muncul lagi Kui Bin Pang!"
"Omitohud!" ucap Hui
Khong Taysu. "Kui Bin Pang lebih ganas dan sadis dibandingkan dengan Seng
Hwee Kauw, kini kaum rimba persilatan dalam bencana."
"Oh ya!" Beng Leng
Tojin, ketua Khong Tong Pay memandang Lim Peng Hang seraya bertanytil "Di
mana Tio Bun Yang?"
"Cucuku dan lainnya sudah
pulang ke Pulau Hong Hoang To," jawab Lim Peng Hang melanjutkan.
"Tentang Kui Bin Pang, dia pasti memberitahukan kepada Tio Cie
Hiong."
"Kalau Kui Bin Pang
mengganas di rimba persilatan, apakah pihak Pulau Hong Hoang To akan turun
tangan menumpas mereka?" tanya It Nian Tojin, ketua Butong Pay.
"Itu bagaimana nanti
saja." jawab Lim Peng liang.
"Apabila Kui Bin Pang
berani mengusik pihak Pulau Hong Hoang To, sudah barang tentu pihak Pulau Hong
Hoang To akan turun langan menumpasnya," ujar Gouw Han Tiong
MJiigguh-sungguh.
"Omitohud...!" ucap
Hui Khong Taysu. "Kapan rimba persilatan akan tenang aman dan damai?
Omitohud...!"
-oo0dw0ooo-
Mo Kui San (Gunung Setan
Iblis) terletak di sebelah utara Tionggoan. Gunung tersebut tidak pernah
dijamah manusia sebab sangat seram sekali. Konon gunung itu merupakan
tempat bermukimnya para setan
iblis, oleh karena itu, tiada seorang pun berani memasukinya.
Akan tetapi, sungguh
mengherankan. Di puncak gunung itu justru tampak sebuah bangunan yang sangat
besar, sepertinya belum lama dibangun.
Tidak salah. Bangunan megah
itu memang belum lama dibangun, itu adalah markas Kui Bi Pang.
Di ruang tengah markas itu
tampak belasan orang berkumpul di situ. Yang memakai kedok setan warna merah
adalah ketua Kui Bin Pan duduk di kursi batu yang mengkilap, yang memakai kedok
setan warna kuning adalah Dua Pelindung. Lima Setan Algojo memakai kedok setan
warna hijau, sedangkan para anggota berkepandaian tinggi memakai kedok setan
warna putih.
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa terbahak-bahak. "Ngo Sat Kui (Lima Setan Algojo),
kalian berlima berhasil menolong kabur Seng Hwee Sin Kun, pertanda kalian
berlima telal berjasa!"
"Terimakasih,
Ketua," ucap Toa Sat Kui (Setan Algojo Tertua).
"Maaf, Ketua," ucap
salah seorang pelindung dan bertanya. "Kenapa Ketua perintahkan Ngo Sat
Kui menolong Seng Hwee Sin Kun?"
"Ha ha ha?" Ketua
Kui Bin Pang tertawa gelak. "Tentunya aku punya suatu rencana. H; ha
ha...!"
"Bolehkah kami tahu
mengenai rencana Ke tua?" tanya Toa Sat Kui.
"Boleh," sahut ketua
Kui Bin Pang. "Aku akan menyembuhkan lukanya, sekaligus menggunakan ilmu
hitamku untuk mengendalikan pikirannya."
"Oooh!" Toa Sat Kui
manggut-manggut. "Ketua ingin mengendalikan pikirannya untuk membunuh
orang?"
"Ya." Ketua Kui Bin
Pang mengangguk. "Aku akan menyuruhnya membunuh orang-orang tertentu,
bahkan juga akan menyuruhnya membuat gila para ketua tujuh partai besar.
Setelah itu, barulah kita menguasai rimba persilatan. Otomatis pihak Pulau Hong
Hoang To akan muncul .
"Rencana yang
bagus," ujar Toa Sat Kui sambil tertawa. "Ketua memang berotak
cemerlang."
"Ketua," tanya salah
seorang pelindung. "Kenapa kita tidak menyerbu ke Pulau Hong Hoang
Ro?"
"Itu sangat membahayakan
kita," sahut ketua Kui Bin Pang. "Sebab kita sama sekali tidak tahu
keadaan pulau itu. Maka lebih baik biar mereka tang menyerbu ke mari."
"Seandainya pihak Pulau
Hong Hoang To tidak menyerbu ke mari?" tanya Toa Sat Kui.
"Ha ha ha!" Ketua
Kui Bin Pang tertawa gelak. Kalau kita membunuh Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong, apakah pihak Pulau Hong Hoang To akan tinggal diam saja?"
"Betul, betul." Toa
Sat Kui tertawa gelak.
"Kalian semua harus tahu,
pihak Pulau Hong Hoang To adalah musuh kita," ujar ketua Kui Bi Pang.
"Karena Tio Po Thian yang memukul ketua lama hingga jatuh ke dalam jurang,
maka ki harus membalas dendam itu."
"Tapi...." Salah
seorang pelindung menggeleng-gelengkan
kepala. "Kita masih belum
menemuka tetua, jadi kita tidak boleh bergerak."
"Dalam tiga bulan ini,
kalau kita tidak menemukan tetua, aku akan perintahkan para anggota bergerak
dalam rimba persilatan, bahkan Seng Hwee Sin Kun yang dibawah
pengaruhku akan mulai beraksi.
Ha ha ha...!" Ketua Kui Bi Pang tertawa terbahak-bahak.
"Ketua," ujar salah
seorang pelindung. "Bukankah lebih baik kita menunggu tetua?"
"Aku sudah bilang,
apabila dalam tiga bulan ini tetua itu masih belum muncul, maka Kui Bin Pang
akan mulai bergerak di rimba persilatan!” sahut ketua Kui Bin Pang. "Para
anggota harus mulai membunuh kaum pesilat golongan putih, sedangkan Seng Hwee
Sin Kun harus membuat gila para ketua tujuh partai besar, bahkan juga harus
membunuh Lim Peng Hang dan Gouw Ha" Tiong. Ha ha ha...!"
"Ide yang bagus,"
ujar Toa Sat Kui. "Aku yakin pihak Pulau Hong Hoang To pasti muncul. Ht he
he!"
"Tio Tay Seng, Tio Cie
Hiong dan Tio Bui Yang harus mati di tanganku," ujar ketua Kui Bin Pang
sambil mengepaliean tinju. "Terutama Tio Bun Yang, aku akan membunuhnya
dengan cara vang paling sadis."
-oo0dw0oo-
Sementara itu, Tio Bun Yang
dan lainnya sudah tiba di Pulau Hong Hoang To. Betapa gembiranya Tio Tay Seng,
Tio Cie Hiong, Lim Hong Im dan lainnya, terutama Kou Hun Bijin.
"Oooh! Goat Nio,
syukurlah engkau sudah pulang bersama Bun Yang!" Kou Hun Bijin memeluk
Siang Koan Goat Nio erat-erat.
"Ibu...." Gadis itu
menangis terisak-isak.
"Nak!" Kou Hun Bijin
membelainya seraya bertanya, "Kenapa engkau menangis? Dan kenapa kulanmu
kurus? Apakah Bun Yang menghinamu"
"Kakak Bun Yang sangat
menyayangiku. Bagaimana mungkin dia menghinaku? Dia...."
"Kenapa dia?" Kou
Hun Bijin menatapnya. 'Apakah dia sudah berbuat begitu atas dirimu?"
"Ibu kok omong
sembarangan sih?" Wajah Siang Koan Goat Nio langsung memerah.
"Tapi...." Kou Hun Bijin mengerutkan kening, kenapa
badanmu kurus? Pasti ada suatu
masalah kan?"
"Ibu!" Siang Koan
Goat Nio tertawa kecil "Masalah itu telah lewat."
"Eh?" Kou Hun Bijin
terbelalak. "BagaimanJ engkau, tadi menangis sekarang malah tertawa?”
"Bijin," ujar Sam
Gan Sin Kay sambil tertawa. "Jangan terus berdiri, duduklah!"
"Tumben!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan. "Hari ini engkau begitu baik terhadapku,
jangan-jangan...."
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa lagi "Kita sama-sama tinggal di satu pulau, tentunya harus
baik satu sama lain, bukan?"
"Betul. Hi hi hi!"
Kou Hun Bijin tertawa nyaring sambil menarik Siang Koan Goat Nio untuk diajak
duduk.
"Nak...," panggil
Kim Siauw Suseng denga suara rendah.
"Ayah!" sahut Siang
Koan Goat Nio sambi tersenyum.
"Nak!" bisik Kim
Siauw Suseng. "Syukur engkau sudah pulang bersama Bun Yang, ayah merasa
gembira sekali."
"Hei!" seru Sam Gan
Sin Kay. Jangan bisik-bisik, bicaralahh terang-terangan!"
"Apa urusanmu?"
sahut Kim Siauw Suseng "Aku berbisik-bisik dengan putriku kok."
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa geli kemudian memandang Tio Bun Yang seraya berkata, "Bun
Yang, ceritakanlah pengalaman kalian!"
"Sungguh bukan
main!" sela Lie Ai Ling mendadak. "Memang bukan main!"
"Apa yang bukan
main?" tanya Sam Gan Sin Kay terbelalak. "Apakah engkau sudah
bermain-main dengan Keng Hauw, maka terus mengatakan Bukan main'?"
"Kakek tua pengemis...." Wajah Lie Ai Ling kemerah-
merahan. "Maksudku
pengalaman kami bukan main."
"Oh?" Sam Gan Sin
Kay tertawa. "Kalau begitu, ceritakanlah yang bukan main itu!"
"Goat Nio ditangkap pihak
Seng Hwee Kauw...," tutur Lie Ai Ling tentang semua kejadian itu.
".... akhirnya markas Seng Hwee Kauw diledakkan sampai musnah."
"Bagus, bagus! Ha ha
ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gembira. "Kini rimba persilatan
Tiong-goan pasti sudah aman."
"Tapi...." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Ada apa, Bun Yang?"
tanya Tio Cie Hiong sambil menatapnya dengan penuh perhatian.
"Ketika Seng Hwee Sin Kun
terluka parah, mendadak muncul lima orang berpakaian serba putih dan memakai
kedok setan."
"Haaah?" Air muka
Tio Tay Seng langsung berubah hebat. "Kui Bin Pang!"
"Kakek tahu tentang Kui
Bin Pang?" tanya Tio Bun Yang.
"Aaaah...!" Tio Tay
Seng menghela nafas panjang. "Seng Hwee Kauw telah musnah, tapi kini malah
muncul Kui Bin Pang, pertanda rimba persilatan Tionggoan akan dilanda banjir
darah lagi!"
"Ayah!" Tio Bun Yang
memberitahukan. "Aku sudah tahu jelas mengenai Kui Bin Pang itu."
"Oh?" Tio Cie Hiong
tertegun. "Beritahukan-lah!"
"Kini Kui Bin Pang memang
sudah berada di Tionggoan. Sasaran mereka adalah kita," ujar Tio Bun Yang.
"Karena ketua lama Kui Bin Pane punya dendam dengan majikan lama pulau
ini. Karena itu, ketua baru Kui Bin Pang ingin menuntut balas."
"Bun Yang!" Tio Tay
Seng tersentak. "Engkau tahu dari siapa tentang itu?"
"Aku bertemu seorang tua,
dia yang memberitahukan kepadaku," jawab Tio Bun Yang tanpa menceritakan
ciri-ciri orang tua tersebut, sebab Sie Keng Hauw berada di situ.
"Siapa orang tua
itu?" tanya Tio Cie Hiong.
"Aku tidak tahu,
Ayah," sahut Tio Bun Yang sambil memberi isyarat.
"Oooh!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut karena sudah tahu akan arti isyarat Tio Bun Yangl
"Aaaah...!" Tio Tay
Seng menghela nafas panjang. "Cie Hiong, bukankah aku sudah menuturkan
tentang itu?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Tidak apa-apa,"
ujar Sam Gan Sin Kay. "Kalau mereka berani menyerbu ke mari, kita
habisiean saja mereka satu persatu."
"Pengemis bau!"
sahut Kim Siauw Suseng. "bagaimana mungkin Kui Bin Pang akan menyerbu ke
mari? Mereka tidak tolol lho!"
"Tidak salah," ujar
Tio Cie Hiong. "Kui Bin Pang tidak akan menyerbu ke mari, tapi kemungkinan
besar akan menyerbu ke markas pusat Kay Pang."
"Haah?" Lim Ceng Im
terkejut bukan main. "Kalau begitu, bukankah ayahku dalam bahaya?"
"Itu...." Tio Cie
Hiong mengerutkan kening.
"Ibu," ujar Tio Bun
Yang. "Sementara ini, Kui Bin Pang tidak akan menyerbu ke markas pusat kay
Pang."
"Memangnya kenapa?"
tanya Lim Ceng Im heran.
"Karena pihak Kui Bin
Pang belum menemukan tetua mereka, maka sementara ini Kui Bin Pang belum bisa
bergerak," jawab Tio Bun Yang memberitahukan. "Namun entah bagaimana
kelak?"
"Aku yakin...." Tio
Cie Hiong mengerutkan kening seraya
berkata, "Tidak lama lagi
Kui Bin Pang pasti bergerak dalam rimba persilatan. Sasaran Kui Bin Pang pasti
Kay Pang dan tujuh partai besar."
"Benar." Sam Gan Sin
Kay manggut-manggu dan melanjutkan, "Kui Bin Pang tidak beran menyerbu ke
mari, tapi akan memancing kita ke Tionggoan."
"Tidak salah," sahut
Kim Siauw Suseng. "Itu lah tujuan Kui Bin Pang. Namun kalau Kui Bir Pang
bertindak begitu, tentunya kita tidak akar tinggal diam."
"Kita semua sudah
bersumpah tidak akar mencampuri urusan rimba persilatan. Bagaimana! mungkin
kita ke Tionggoan?" Tio Tay Seng menggeleng-gelengkan kepala.
"Tio Tocu!" Sam Gan
Sin Kay tertawa. "Itu bukan urusan rimba persilatan, melainkan urusan
kita. Karena Kui Bin Pang menuntut balas terhadap kita."
"Memang." Tio Tay
Seng manggut-manggut "Ini urusan Pulau Hong Hoang To, tiada sangku pautnya
dengan Kay Pang maupun tujuh parta besar...."
"Justru termasuk urusan
Kay Pang." potong Sam Gan Sin Kay serius. "Sebab Tio Cie Hiong
menantu Lim Peng Hang,
ketua Kay Pang. Sedangkan aku
mantan tetua Kay Pang pula. Bahkan sudah sekian lama tinggal di Pulau Hong
Hoang To ini. Nah, bukankah diriku termasuk bagian dari Pulau Hong Hoang
To?"
"Sama," sahut Kim
Siauw Suseng. "Aku pun termasuk bagian dari pulau Hong Hoang To."
"Sama," sela Kou Hun
Bijin sambil tertawa cekikian. "Goat Nio adalah calon isteri Bun Yang.
berarti kami akan berbesan dengan pihak Pulau Hiong Hoang To ini, bukan? Hi hi
hi...!"
"Tidak salah,
isteriku," ujar Kim Siauw Suseng sambil tersenyum.
"Begitu mesranya!"
goda Sam Gan Sin Kay sambil tertawa gelak. "Ha ha ha!"
"Bagaimana menurut
kalian?" tanya Tio Tay Seng mendadak dengan wajah serius sekali.
"Kita lihat saja bagaimana perkembangan selanjutnya.
Beres kan?" sahut Sam Gan
Sin Kay.
"Beres?" Kim Siauw
Suseng menggeleng-gelengkan kepala. "Kita semua berada di pulau ini,
bagaimana bisa tahu perkembangan di Tiong-l-oan?"
"Kalau ada sesuatu, Peng
Hang pasti mengutus orang ke mari memberitahukan kepada kita," »ahut Sam
Gan Sin Kay.
"Masalah itu lebih baik
kita bicarakan nanti jaja," ujar Tio Tay Seng. "Sekarang Bun Yang
tlan lainnya perlu beristirahat dulu."
"Betul." Sam Gan Sin
Kay manggut-manggut. "Nah, kalian kaum muda pergilah beristirahat!"
"Ya." Tio Bun Yang
dan lainnya mengangguk lalu melangkah ke dalam.
"Goat Nio!" panggil
Kou Hun Bijin. "Engkau ke kamar, ibu ingin bicara denganmu."
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mengangguk lal melangkah ke kamarnya.
Sementara Tio Bun Yang sudah
berada dalam kamarnya.
Tak seberapa lama kemudia
muncullah Tio Cie Hiong.
"Bun Yang...." Tio
Cie Hiong memandangnya "Isyaratmu
tadi...."
"Ayah, aku tidak bisa
berterus terang di sana” ujar Tio Bun Yang sambil duduk.
"Kenapa?" Tio Cie
Hiong duduk di hadapannya.
"Sebab Sie Keng Hauw
berada di situ," jawal Tio Bun Yang melanjutkan. "Orang tua yang
kuceritakan tadi itu gurunya!"
"Apa?" Tio Cie Hiong
tertegun. "Orang tua yang kau ceritakan itu guru Sie Keng Hauw?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Orang tua pincang itu berpesan kepadaku tidak boleh membuka
rahasia dirinya pada Sie Keng Hauw, karena akan membahayakan dirinya."
"Oooh!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut "Kalau begitu, orang tua pincang itu pasti punya
hubungan dengan Kui Bin Pang."
"Tidak salah. Ayah orang
tua pincang itu tetua Kui Bin Pang, namun orang tua pincang itu tidak mau
bergabung dengan Kui Bin Pang."
"Tapi...." Tio Cie
Hiong mengerutkan kenin "..almu silat
mereka—"
"Orang tua pincang itu
memang cerdik." Tio Bun Yang memberitahukan. "Sebelum menerima Sie
Keng Hauw sebagai murid, beliau telah mengubah semua gerakan ilmu silat yang
dimilikinya."
"Oooh!" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Memang cerdik orang tua pincang itu. Jadi dia yang
menceritakan kepadamu tentang Kui Bin Pang?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Dia memberitahukan
kepadamu siapa ketua baru Kui Bin Pang?" tanya Tio Cie Hiong.
"Beliau juga tidak tahu
siapa ketua baru perkumpulan itu, sebab mereka semua memakai kedok setan."
"Dia memberitahukan
kepadamu mengenai ilmu silat ketua baru Kui Bin Pang itu?"
"Beliau
memberitahukan," ujar Tio Bun Yang. "Ketua Kui Bin Pang memiliki
kepandaian yang mngat tinggi, yakni Pek Kut Im Sat Kang (Tenaga Jlawa Dingin
Beracun) dan ilmu hitam. Tapi .Menurut orang tua pincang, ketua baru Kui Bin
Pang juga memiliki ilmu lain. Jadi kepandaiannya jauh lebih tinggi dari ketua
lama."
"Oh?" Tio Cie Hiong
mengerutkan kening. "Mungkinkah ketua baru Kui Bin Pang itu berkepandaian
lebih tinggi dari Seng Hwee Sin Kun?"
"Entahlah." Tio Bun
Yang menggelengkan kepala. "Tapi sungguh mengherankan, kenapa pi-hak Kui
Bin Pang menolong kabur Seng Hwee Sin Kun?"
"Mungkin ketua Kui Bin
Pang punya suatu rencana tertentu." Tio Cie Hiong menggeleng gelengkan
kepala. "Kay Pang dan tujuh partai besar dalam bahaya."
"Kakak Cie
Hiong...." Muncul Lim
Ceng Im "...barusan
engkau bilang Kay Pang dan
tujuh partai besar dalam bahaya! Lalu kita harus bagii mana? Apakah membiarkan
ayahku dibunuh pihak Kui Bin Pang?"
"Itu belum terjadi,
engkau tidak usah cemas Tio Cie Hiong tersenyum.
"Kalau terjadi, itu sudah
terlambat." Lim Ceng Im menghela nafas panjang. "Kita harus
memikirkan hal itu."
"Kita akan berunding
dengan paman, Sai Gan Sin Kay dan lainnya. Jadi engkau tidak peri begitu
cemas." Tio Cie Hiong menggengga tangannya.
"Heran!" gumam Lim
Ceng Im. "Kenapa rimba persilatan tidak pernah tenang? Setelah Bu Li Sam
Mo mati, kini rimba persilatan malah be tambah kacau."
"Yaaah!" Tio Cie
Hiong menggeleng-gclen kan kepala. "Oleh karena itu, kita hidup tenang di
Pulau Hong Hoang To ini."
"Tapi kali
ini...." Wajah Lim
Ceng Im tampak
cemas,
"....menyangkut
keselamatan ayahku."
"Adik Im, aku tahu
itu." Tio Cie Hiong tersenyum. "Tentunya aku harus memikirkan jalan
keluarnya kelak."
"Terimakasih, Kakak Cie
Hiong," ucap Lim Ceng Im.
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong tersenyum lagi. 'Ayahmu adalah mertuaku, aku harus memikirkan
keselamatannya."
"Kakak Cie Hiong!"
Lim Ceng Im tersenyum htihagia.
Betapa gembiranya Tio Bun Yang
menyaksikan kemesraan kedua orang tuanya. Ia sangat bersyukur punya orang tua
yang hidup bahagia.
"Ayah, Ibu," ujarnya
kemudian. "Mengenai musuh Kui Bin Pang, Ayah dan Ibu tidak perlu
Memikirkannya. Biar aku yang memikirkannya saja. Ayah dan Ibu tetap hidup
tenang dan bahagia di pulau ini."
"Nak!" Lim Ceng Im
tersenyum. "Oh ya, kapan engkau akan menikah dengan Goat Nio?"
"Sebetulnya aku sudah
ingin menikahinya, tapi kini malah muncul urusan Kui Bin Pang. Oleh karena itu,
terpaksalah
harus menunggu urusan m
selesai dulu, barulah bisa tenang," jawab Tio Hun Yang.
"Ngmmm!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut. itu terserah engkau dan Goat Nio, kami pasti
merestuinya."
"Terimakasih, Ayah,"
ucap Tio Bun Yang.
Sementara di kamar lain, yaitu
di kamar Siang Koan Goat Nio, juga sedang berlangsung pembicaraan serius.
"Goat Nio," ujar Kou
Hun Bijin. "Kapi engkau akan menikah dengan Bun Yang yang ganteng
itu?"
"Kok Ibu yang kalut
sih?" Wajah gadis iti memerah.
"Goat Nio!" Kou Hun
Bijin tersenyum. "Tahu kah engkau, ibu sudah ingin sekali menggendog cucu.
Kalau engkau belum menikah dengan Bun Yang, bagaimana ibu menggendong
cucu?"
"Ibu...." Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala.
"Sesungguhnya kami sudah
mau menikah tapi...."
"Kenapa?"
"Kini justru muncul
urusan Kui Bin Pang. itu menyangkut para penghuni pulau ini." Siang Koan
Goat Nio memberitahukan. "Aku pernah menguntit para anggota Kui Bin
Pang."
"Oh?" Kou Hun Bijin
terbelalak. "Kalau begitu, Kay Pang dan tujuh partai besar memang dalam
bahaya."
"Karena itu...."
Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Bagaimana
mungkin kami menikah? Kakak Bun Yang pasti memikirkan itu."
"Nak!" Kou Hun Bijin
tersenyum. "Itu terserah kalian, dalam situasi ini kalian memang tidak
bisa melangsungkan pernikahan."
"Terimakasih atas
pengertian Ibu," ucap Siang Koan Goat Nio.
"Tapi...." Kou Hun Bijin menggeleng-gelengkan kepala.
"Entah kapan ibu akan
menggendong cucu?"
"Benar." Terdengar
suara sahutan kemudian Muncullah Kim Siauw Suseng sambil tersenyum, 'kapan ayah
akan menggendong cucu?"
"Ayah...." Siang
Koan Goat Nio cemberut.
"Sebetulnya..." ujar
Kim Siauw Suseng sungguh-sungguh. "....engkau dan Bun Yang boleh menikah
sekarang, tiada hubungannya dengan urusan Kui Bin Pang lho!"
"Memang!" Siang Koan
Goat Nio mengangguk. "Tapi Kakak Bun Yang pasti tidak mau."
"Biar ayah bicara dengan
kedua orang tuanya," ujar Kim Siauw Suseng dan menambahkan. "Kalau
kalian sudah menikah, legalah hati kami."
"Ayah jangan membicarakan
tentang ini dengan kedua orang tua Bun Yang, aku malu kan?"
"Kenapa malu?" Kou
Hun Bijin tersenyum, itu urusan orang tua, ibu dan ayahmu akan menemui Tio Cie
Hiong."
"Ibu...." Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala.
"Suamiku," ujar Kou
Hun Bijin pada Kim Siauw Suseng. "Ayolah! Mari kita ke kamar mereka!"
"Baik, isteriku
sayang," sahut Kim Siauw Suseng. Mereka berdua lalu pergi ke kamar Tio Cie
Hiong. Siang Koan Goat Nio terpaksa ikut karena ingin menemui Tio Bun Yang.
Mereka justru berpapasan dengan
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im yang sedang melangkah ke luar dari kamar Tio Bun
Yang.
"Adik!" Kou Hun
Bijin tertawa. "Mari kita ke ruang tengah, aku ingin bicara
denganmu!"
"Baik." Tio Cie
Hiong mengangguk.
Mereka lalu ke ruang tengah,
sedangkan Sian Koan Goat Nio ke kamar Tio Bun Yang. Sebelum gadis itu melangkah
ke dalam, Tio Bun Yaij sudah ke luar dari kamarnya.
"Adik Goat Nio!"
panggil Tio Bun Yang dengan wajah berseri.
"Kakak Bun Yang...."
Siang Koan Goat Ni tersenyum mesra.
"Mari kita ke halaman
depan, kita bercakap cakap di sana!" ajak Tio Bun Yang lembut.
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mengangguk.
Mereka berdua menuju ke
halaman depan kemudian duduk di bawah sebuah pohon rindang
"Adik Goat Nio!" Tio
Bun Yang memandangnya seraya bertanya. "Ada apa kedua orang tuan menemui
orang tuaku?"
"Itu...." Siang Koan
Goat Nio tersenyum malu malu. "Ingin
membicarakan sesuatu."
"Mengenai Kui Bin
Pang?"
"Bukan." Wajah Siang
Koan Goat Nio aga memerah. "Mengenai kita...."
"Mengenai kita?" Tio
Bun Yang tertegun "Memangnya kenapa?"
"Kakak Bun Yang, aku
berterus terang saja," ujar Siang Koan Goat Nio dengan suara rendah,
"kedua orang tuaku menghendaki kita segera menikah."
"Oh?" Tio Bun Yang
tersenyum. "Sebetulnya aku pun ingin cepat-cepat menikah denganmu,
tapi....
"Terhalang oleh urusan
Kui Bin Pang, bukan?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Kalau kita sudah menikah, tentu engkau akan hamil. Bagaimana
kalau di saat itu pihak Kui Bin Pang menyerbu Kay Pang?"
"Itu...." Siang Koan
Goat Nio mengerutkan kening.
"Di saat itu, tentu
engkau tidak akan membiarkan aku seorang diri ke Tionggoan kan? Sedangkan
engkau dalam keadaan hamil, lalu kita harus bagaimana?"
"Kalau begitu, kita
jangan menikah dulu," ujar Siang Koan Goat Nio sambil tersenyum dan melimbahkan.
"Yang penting kita selalu berkumpul, jangan berpisah."
"Betul." Tio Bun
Yang mengangguk sambil tersenyum. "Adik Goat Nio, pokoknya mulai sekarang,
kita tidak boleh berpisah lagi."
"Asyiiik!" Terdengar
suara tawa. "Berduaan nih ya?" Muncul Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw.
Mereka menghampiri Tio Bun
Yang dan Siang Koan Goat Nio sambil tersenyum-senyum.
"Kalian...." Siang
Koan Goat Nio
melotot "Mengganggu
orang saja!"
"Kalau tidak mau
diganggu, lebih baik kalian di kamar saja," sahut Lie Ai Ling sambil
tertawa
"Nah! Ketahuan ya!"
Siang Koan Goat Nio menunjuk Lie Ai Ling sambil tertawa-tawa. "Engkau dan
dia pasti sering berduaan di dalam kamar, Ya, kan?"
"Eh? Engkau...." Wajah
Lie Ai Ling
langsung memerah.
"Engkau sudah bisa menggoda
orang ya!"
"Siapa suruh engkau mulai
duluan?" sahut Siang Koan Goat Nio. "Boleh kan aku menbalasmu?"
"Tentu boleh." Lie
Ai Ling lalu duduk. Sie Keng Hauw juga ikut duduk di sisi gadis itu.
"Bun Yang," ujar Sie
Keng Hauw sambil menghela nafas panjang. "Sungguh tak disangka kini malah
muncul Kui Bin Pang!"
"Yaaah!" Tio Bun
Yang tersenyum getir. "Mau bilang apa, mungkin sudah merupakan nasib rimba
persilatan."
"Oh ya!" ujar Lie Ai
Ling mendadak. "Entah bagaimana keadaan Sian Hoa yang berada di
Tayli?"
"Tentunya selalu berduaan
dengan Bong Kiat” sahut Siang Koan Goat Nio dan menambahkan
"Kita harus turut
bergembira tentang itu."
"Goat Nio, tahukah engkau
Bokyong Sian Moa itu sangat cantik?" Lie Ai Ling memandangnya. "Kalau
dia belum bersama Beng Kiat, aku yakin engkau pasti cemburu padanya."
"Lho?" Siang Koan
Goat Nio tercengang. "Memangnya kenapa?"
"Sebab..." sahut Lie
Ai Ling dan bersikap serius, "....gadis
itu sangat baik terhadap Kakak
bun Yang."
"Oh?" Siang Koan
Goat Nio tersenyum.
"Eh?" Lie Ai Ling
terbelalak. "Kok engkau lidak cemburu?"
"Karena aku mempercayai
Kakak Bun Yang," jawab Siang Koan Goat Nio sambil melirik Tio Bun Yang
dengan mesra.
"Oooh!" Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Tapi kalau aku melihat ada gadis berlaku baik pada Keng
Hauw, aku pasti merasa cemburu."
"Adik Ai Ling!" Sie
Keng Hauw tersenyum. "Itu namanya cemburu buta. Engkau tidak boleh begitu
lho! Karena akan menimbuliean hal-hal yang tak diinginkan."
"Kakak Keng Hauw!"
Lie Ai Ling tersenyum manis. "Aku percaya padamu."
"Nah!" Sie Keng Hauw
memandangnya mesra. "Memang harus begitu."
"Oh ya!" Tio Bun
Yang teringat sesuatu, "Entah bagaimana dan berada di mana Kam Hay Thian
dan Lu Hui San?"
"Mereka...." Sie Keng Hauw menghela nafa panjang.
"Sungguh kasihan mereka!
Setelah Lu Thai Kam mati, Lu Hui San pun tiada kabar beritanya. Padahal mereka
berdua merupakan pasangan yang serasi, hanya...."
"Kam Hay Thian terlampau
keras hati, bahkan juga tidak tahu diri," ujar Lie Ai Ling bernada kurang
senang terhadap pemuda tersebut. "Hui San begitu mencintainya, tapi dia
malah...."
"Adik Ai Ling!" Tio
Bun Yang menggelengi gelengkan kepala. "Dalam hal itu, kita tidak bisa
menyalahkannya. Sesungguhnya dia pun sangat menderita sekali."
"Menderita apa?"
sahut Lie Ai Ling scngill "Yang paling menderita adalah Hui San. Kalau
bertemu Kam Hay Thian, rasanya ingin sekali aku menamparnya."
"Adik Ai Ling." Sie
Keng Hauw tersenyum. "Jangan begitu galak, aku jadi takut nih."
"Jangan takut!" Lie
Ai Ling tersenyum. "Aku tidak akan menamparmu, sebaliknya...."
"Engkau pasti akan
menciumku kan?" sambung Sie Keng Hauw sambil tertawa kecil.
"Idiiih! Dasar tak tahu
malu!" Lie Ai Ling cemberut. "Engkau yang sering mencium aku."
"Nah!" Tio Bun Yang
tertawa. "Ketahuan ya. Kalian berdua sering cium-ciuman. Pantas di saat
kalian berduaan, sering terdengar suara cup-cupan!”
"Eeeh?" Sie Keng
Hauw menatapnya terbelalak. "Bisa juga engkau menggoda orang!"
"Sekali-kali," ujar
Tio Bun Yang. "Boleh kan?"
"Tentu boleh," sahut
Lie Ai Ling sambil memandang mereka. "Kalian berdua tidak pernah berciuman
ya?"
"Itu rahasia kami."
Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Tidak boleh kuberitahukan."
"Oh ya, rahasia
nih!" Lie Ai Ling tertawa. "Tapi aku pernah melihat kalian berdua
berpeluk-pelukan. Hi hi hi...!"
-oo0dw0ooo-
Bagian ke lima puluh dua
Gadis gila dalam Rimba
Seorang gadis duduk di bawah
pohon. Pakaiannya kumal dan mukanya dekil sekali. Gadis itu ber-nyanyi-nyanyi
kecil, kemudian menangis meraung-raung dan berteriak-teriak.
"Kam Hay Thian! Aku benci
padamu! Aku benci padamu...."
Siapa gadis yang tak waras
itu? Ternyata Lu Hui San, yang sungguh mengenasiean keadaannya.
"Engkau membunuh ayah
angkatku, aku... aku benci padamu? Tapi...." Lu Hui San terus bergumam
sambil
menangis, kemudian tertawa-tawa,
”...tapi aku mencintaimu! Tidak, aku benci padamu! Benci padamu...."
Mendadak melayang sosok
bayangan ke hadapan Lu Hui San, yang tidak lain Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui.
Setelah berdiri di hadapan Li Hui San, ia menatapnya dengan penuh perhatian
Sedangkan Lu Hui San sama
sekali tidak memperdulikannya, terus menangis dan bergumaan
"Kam Hay Thian, aku
mencintaimu! Tapi. kenapa engkau malah membunuh ayah angkatku! Engkau tidak
mencintaiku
tidak jadi masalah, namun
kenapa membunuh ayah angkatku? Kam Haj Thian! Aku benci padamu! Aku benci
padamu....”
"Sungguh kasihan gadis
ini!" Bu Ceng Sianli Tu Siao Cui menggeleng-gelengkan kepala. "Gara
gara cinta jadi tidak waras, aku harus menyembuhkannya."
"Kenapa aku harus
membencinya? Kenapa..” Lu Hui San bergumam lagi. "Aku begitu mencintainya,
kenapa harus membencinya? Aaaa Kam Hay Thian...."
"Gadis yang bernasib
malang!" Tu Siao Cui menatapnya dalam-dalam seraya bertanya, "Siapa
engkau?"
"Aku...." Lu Hui San
tampak tertegun. "Siapa aku? Siapa
engkau? Kenapa engkau berada
sini?"
"Aku adalah Bu Ceng
Sianli-Tu Siao Cui."
"Hi hi hi!" Lu Hui
San tertawa. "Engkau tak punya perasaan? Tapi engkau begitu cantik lho!
Kok tak punya perasaan?"
"Aku membenci kaum lelaki
yang tak punya nurani," sahut Tu Siao Cui memberitahukan. "Maka aku
sering membunuh mereka."
"Membunuh mereka?"
Lu Hui San terbelalak. "Engkau begitu kejam? Aku masih ingat, Kakak Bun
Yang selalu berkata, bahwa membunuh melupakan suatu dosa berat...."
"Engkau kenal Bun
Yang?" Tu Siao Cui tersentak.
"Kenal." Lu Hui San
tersenyum. "Dia pemuda yang sangat baik, lemah lembut dan berhati
bajik."
"Betul." Tu Siao Cui
tertawa. "Bahkan dia juga sangat bijaksana dan adil, aku kagum dan salut
padanya."
"Engkau kenal Kakak Bun
Yang?"
"Kenal."
"Siapa engkau?"
"Bukankah aku sudah
bilang tadi?"
"Kapan engkau
bilang?"
"Tadi." Tu Siao Cui
memberitahukan. "Aku adalah Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui, engkau siapa?
Bolehkah memberitahukan padaku?"
"Aku...." Lu Hui San
menggeleng-gelengkan kepala. "Aku
sudah lupa, tapi aku ingat
pada Kam Hay Thian. Dia... dia juga tak punya perasaan."
"Adik!" Tu Siao Cui
menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau mengalami tekanan batin, maka engkau
jadi tidak waras."
"Apa itu tidak
waras?"
"Tidak waras artinya
gila."
"Hi hi hi!" Lu Hui
San tertawa cekikikan "Siapa bilang aku gila? Jangan-jangan engkau yang
gila!"
"Adik!" Tu Siao Cui
tersenyum lembut, kemudian menggenggam tangannya seraya bertanya "Maukah
engkau menjadi temanku?"
"Teman? Apa itu
teman?"
"Teman artinya sangat baik
satu sama lain bahkan juga saling menolong."
"Oooh!" Lu Hui San
manggut-manggut. "Kakak Bun Yang juga sering bilang begitu."
"Nah! Kita harus menjadi
teman," ujar Tu Siao Cui dan menambahkan. "Sebab aku jugi kenal Bun
Yang. Dia memanggilieu kakak dan aku memanggilnya adik."
"Oh?" Wajah Lu Hui
San yang dekil itu tampak berseri. "Baik. Kita jadi teman, aku memanggilmu
kakak."
"Tapi...." Tu Siao
Cui menatapnya lembut, ”engkau harus
menuruti perkataanku
lho!"
"Ya, ya," Lu Hui San
mengangguk. "Aku pasti menuruti perkataanmu. Oh ya, engkau perempuan atau
lelaki?"
"Perempuan."
"Bagus, bagus. Aku punya
kakak perempuan. Aku... aku gembira sekali. Kakak pasti sayang kepadaku
bukan?"
"Tentu." Tu Siao Cui
tersenyum lembut, lalu membelainya. "Aku sangat sayang padamu, Dik."
"Terimakasih Kakak,
terimakasih."
"Nah, engkau harus mandi
agar badanmu jadi bersih."
"Aku tidak mau mandi
ah!"
"Kenapa?"
"Nanti ada orang jahat
mengintip."
"Jangan khawatir!"
Tu Siao Cui tertawa. "Aku akan menjagamu. Tidak akan ada orang jahat
berani mengintipmu."
"Ya, ya." Lu Hui San
mengangguk. "Nanti aku akan mandi!"
"Bagus!" Tu Siao Cui
menatapnya lembut. "Sekarang aku akan memeriksamu, agar engkau tepat
sembuh."
"Ya, ya." Lu Hui San
mengangguk lagi.
Tu Siao Cui segera memeriksa
Lu Hui San. Berselang sesaat kening Tu Siao Cui tampak berkerut-kerut seakan
terkejut.
"Engkau memiliki Iweekang
yang begitu tinggi. Siapa yang mengajarmu Iweekang?" tanya Tu Siao Cui
seusai memeriksanya.
"Lweekang? Aku tidak
kenal Iweekang," sahut Luu Hui San sambil tertawa dan bertanya,
"Kenapa kakak periksaku? Apakah aku sakit?"
"Engkau memang sakit,
maka engkau harus menuruti semua perkataanku," ujar Tu Siao Cuil
"Engkau adalah kakakku,
aku harus menuruti perkataanmu," sahut Lu Hui San dan menambahkan,
"Aku adikmu yang baik, kan?"
"Engkau adikku yang
paling baik." Tu Siao Cui menggenggam tangannya erat-erat. "Adikl
engkau mengalami suatu pukulan dahsyat. Itu membuat batinmu tergoncang hingga
jadi tidal waras. Namun aku mampu menyembuhkanmu sebab aku memiliki Hian Goan
Sin Kang!"
Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui
memang baik sekali terhadap Lu Hui San yang tak waras itu. Setiap hari ia pasti
menyuruhnya mandi dan mengganti pakaian, bahkan juga mengobatinya dengan Hian
Goan Sin Kang.
Belasan hari kemudian, Lu Hui
San sudah tampak ada perubahan membaik, sehingga Tu Siao Cui merasa girang.
"Adik!" Tu Siao Cui
menatapnya. "Sudah ingat siapa dirimu? Beritahukanlah!"
"Aku... aku...." Kening Lu Hui
San
terus
berkerut,
kelihatannya ia sedang
berpikir keras
"Aku...."
"Engkau kenal Tio Bun
Yang?"
"Tio Bun Yang? Dia Kakak
Bun Yang..." sahut Lu Hui San. "Dia adalah pemuda baik, dia... dia
yang menolong Kam Hay Thian."
"Siapa Kam Hay Thian
itu?"
"Dia... dia pemuda jahat.
Dia...
dia
pembunuh
ayah
angkatku. Aku... aku benci
dia."
"Engkau ingat Tio Bun
Yang dan Kam Hay thian, tentunya juga ingat akan diri sendiri. Cobalah ingat
siapa dirimu!"
"Aku... aku...."
Mendadak Lu Hui San berteriak. "Aku sudah
ingat!"
"Nah,
beritahukanlah!" Tu Siao Cui tampak gembira sekali.
"Aku Lu Hui San, Lu Thay
Kam adalah ayah angkatku. Tapi...." Kini Lu Hui San telah ingat semua itu.
"....ayah angkatku mati di tangan Kam Hay Thian."
"Adik Hui San!" Tu
Siao Cui memeluknya. 'Syukurlah engkau sudah sembuh, aku gembira sekali."
katanya.
"Engkau...." Lu Hui
San terbelalak. "Siapa enkau?"
"Aku adalah Bu Ceng
Sianli-Tu Siao Cui. Aku yang menyembuhkanmu," sahut Tu Siao Cui
memberitahukan.
"Engkau...." Lu Hui
San mengerutkan kening, kemudian
mendadak mendekap di dada Tu
Siao
Cui sambil menangis
terisak-isak. "Kakak”
"Jangan menangis,
Dik!" Tu Siao Cui membelainya. "Kini engkau sudah sembuh, maka tidak
boleh banyak berpikir yang bukan-bukan."
"Terimakasih,
Kakak," ucap Lu Hui San dengan air mata berderai-derai.
"Terimakasih...."
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikika "Tidak usah berterimakasih kepadaku, aku ini
mengobatimu karena merasa cocok denganmu.”
"Kakak...."
"Hui San, beritahukanlah
kenapa Kam Hay Thian membunuh ayah angkatmu?"
"Karena...." Lu Hui
San memberitahukan sambil menangis
terisak-isak.
"....padahal dia tahu aku sangat mencintainya.
Namun dia tetap membunuh ayah
angkatku."
"Cinta...." Tu Siao Cui menggeleng-gelengkan kepala.
"Usiaku sudah delapan
puluh lebih, namun aku tidak pernah bercinta dengan siapa pun "
”Apa.. ?” Lu Hui Sian
terbelalak ”Usia kakak sudah delapan puluh lebih? Itu... bagaimana
mungkin?"
"Adik!" Tu Siao Cui
tersenyum membohongimu, percayalah!" "Aku tidak membohongimu,
percayalah ”
"Aku tidak mungkin
percaya. Jangan-jangan Kakak juga tidak waras seperti aku tempo hari”
"Adik!" Tu Siao Cui
terpaksa menutur tentang apa yang dialaminya, sehingga membuat dirinya menjadi
muda lagi,
”Haaah...?" Mulut Lu Hui
San ternganga lebar. "Itu sungguh tak masuk akal lho!"
"Engkau harus tahu,"
ujar Tu Siao Cui memberitahukan. "Di alam semesta ini memang mengandung
kegaiban dan kemujizatan. Apa yang kualami cuma merupakan sebagian kecil dari
itu."
"Oh?" Lu Hui San
terbelalak.
"Oleh karena itu, menghadapi
segala sesuatu luruslah tabah!" Tu Siao Cui menasihatinya. "Dan
hingan terlampau cepat putus harapan maupun lulus asa!"
"Ya, Kakak." Lu Hui
San mengangguk. "Aku tahu...."
Tu Siao Cui menatapnya sambil
tersenyum. "Engkau sangat mencintai Kam Hay Thian. Ya, kan?"
"Ya, Kakak." Wajah
Lu Hui San tampak kemerah-merahan. ”Yapi...”
”Dia membunuh ayah angkatmu,
itu membuat hatimu terpukul hebat, sehingga menjadi tidak waras sekaligus
membencinya pula ” Tu Sioa Cui menggeleng-gelengkan
kepala dan menambahkan ”kalau
engkau masih mencintainya, carilah dia!"
"Itu...." Lu Hui San
menghela nafas panjang. Hiu tidak
mungkin, sebab dia sama sekali
tidak mencintaiku."
"kalau begitu...."
Tu Siao Cui menatapnya dalam dalam.
"Apa rencanamu
sekarang?"
"Aku...." Mata Lu
Hui San mulai basah. "Aku ingin menjadi
biarawati saja. Bagaimana
menurut Kakak?"
"Adik!" Tu Siao Cui
tersenyum. "Itu terserah engkau, namun apabila engkau dan Kam Hay Thian
berjodoh, pasti akan berjumpa kembali."
"Kakak...." Lu Hui
San menundukkan kepala "Oh ya, Kakak
kenal Tio Bun Yang?"
"Kenal." Tu Siao Cui
tertawa. "Kami sudah mengangkat saudara. Dia memang pemuda yang baik,
lemah lembut, sopan, jujur, bijaksana, adil dai berpengertian. Aku kagum dan
salut padanya."
"Dia sudah tahu akan
asal-usul, Kakak?"
"Sudah tahu."
"Sekarang dia berada di
mana?"
"Entahlah?"
"Aaaah!" Lu Hui San
menghela nafas panjang "Kalau Kam Hay Thian bersifat seperti dia...."
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikika "Sifat orang mana bisa sama, pasti berbeda."
"Kakak...." Lu Hui
San memandangnya dengan air mata berderai. "Aku... aku telah berhutang
budi kepadamu."
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa nyaring "Jangan berkata begitu, Adik! Engkau sama seki tidak
berhutang budi kepadaku."
"Tapi Kakak telah
menyembuhkanku, sudah barang tentu aku berhutang budi kepada Kakak” ujar Lu Hui
San sungguh-sungguh.
"Aku menyembuhkanmu tanpa
pamrih, maka engkau tidak berhutang budi kepadaku." Tu Siao Cui menatapnya
penuh perhatian. "Betuliean eng-kau ingin menjadi biarawati?"
"Ya." Lu Hui San
mengangguk pasti.
"Kalau begitu...."
Tu Siao Cui menghela nafas panjang.
"Tak jauh dari sini
terdapat sebuah kuil biarawali, engkau ke sanalah!"
"Kakak...."
"Adik!" Tu Siao Cui
tersenyum lembut. "Jangan berduka, kita akan berjumpa lagi kelak!"
"Kakak...."
"Kita berpisah di sini.
Kalau tekadmu telah niat, berangkatlah engkau ke kuil biarawati itu!"
"Ya."
"Adik, sampai
jumpa!" ucap Tu Siao Cui sambil melesat pergi.
"Kakak! Kakak...!"
teriak Lu Hui San memanggilnya, namun Tu Siao Cui sudah tidak kelihatan.
Lu Hui San menghela nafas
panjang, lalu melesat pergi menuju kuil biarawati tersebut.
-oo0dw0oo-
Lu Hui San berdiri di depan
Pek Yun Am (Kuil biarawati Awan Putih). Berselang beberapa saat kemudian, pintu
kuil itu
terbuka. Tampak dua biarawati
berjalan ke luar. Segeralah Lu Hui San memberi hormat
"Maaf, aku ingin menemui
ketua kuil ini!"
"Oh?" Kedua
biarawati menatapnya deng penuh perhatian. "Ada urusan apa engkau ingi
menemui ketua kami?
"Aku...." Lu Hui San menundukkan kepal "Aku ingin
menjadi biarawati di sini.
Maka, pq kenankanlah aku menemui ketua kalian!"
"Siancay! Siancay!"
pujian para biarawati pada Sang Budha. "Mari ikut kami ke dalam!"
"Terimakasih!" ucap
Lu Hui San dan kemudian mengikuti mereka ke dalam.
"Silakan duduk! Kami ke
dalam membe tahukan kepada ketua," ujar salah seorang biar] wati itu
"Terimakasih!" ucap
Lu Hui San sambil duduk
Tak seberapa lama kemudian,
kedua biaraw itu sudah kembali ke sana dengan wajah berse "Ketua bersedia
menemuimu, mari ikut ka ke ruang samadi!" Biarawati itu memberitahuku
sekaligus mengantar Lu Hui San ke ruang samaj Tampak seorang biarawati tua
duduk bersih kedua biarawati itu berdiri di luar
"Sian Kouw (Biarawati
Welas Asih)!" pangj Lu Hui San sambil bersujud di hadapan biarawa* tua
itu.
Biarawati tua itu menatapnya
tajam tapi lembut, berselang sesaat ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Siancay! Siancay!
Duduklah!" ucap biarawati lua itu.
"Ya!" Lu Hui San
segera duduk dengan kepala tunduk.
"Aku adalah Khong Sim
Nikouw. Siapa engkau dan mau apa ke mari?" tanya biarawati tua itu sambil
tersenyum lembut.
"Khong Sim Nikouw, aku...
aku ingin menjadi 'iarawati," jawab Lu Hui San dengan mata basah.
"Namamu?"
"Lu Hui San."
"Hui San!" Khong Sim
Nikouw tersenyum lagi. ”Engkau tidak berjodoh menjadi biarawati, sebab engkau
harus menikah dan punya anak."
"Tapi...."
"Siancay! Siancay! Engkau
ingin menjadi biarawati karena merasa putus asa terhadap sesuatu, artiinya
tidak dengan setulus hati, maka engkau tidak bisa menjadi biarawati."
"Khong Sim Nikouw, terimalah aku...." Lu Hui San
menangis terisak-isak.
"Siancay! Siancay!"
Khong Sim Nikouw memndangnya lembut. "Engkau cuma menghadapi suatu
percobaan, haruslah tabah menghadapinya. Kaau engkau menjadi biarawati, engkau
tidak akan mencapai kesempurnaan, malah akan membuatmu menderita kelak."
"Aku... aku sudah
membulatkan tekad menjadi biarawati."
"Itu dikarenakan engkau
merasa putus asa Padahal sesungguhnya itu cuma merupakan suatu percobaan."
"Khong Sim Nikouw...."
"Engkau berkepandaian
tinggi, namun masih tidak bisa memusatkan pikiran dan mcnguatkan batinmu.
Akhirnya engkau menjadi tidak waras Kalau tiada seseorang menyembuhkanmu, saat
ini engkau masih dalam keadaan tidak waras."
"Haaah?" Lu Hui San
terkejut. Ia tidak menyangka Khong Sim Nikouw tahu tentang itu.
"Siancay! Siancay!"
Khong Sim Nikouw tersenyum. "Aku bisa melihat sampai ke dalam hatimu”
"Oh?" Lu Hui San
semakin terkejut.
"Karena suatu hal dan
putus cinta, maka engkau ingin menjadi biarawati. Begitu kan?"
"Ya."
"Oleh karena itu, aku
tidak bisa menerimanl Engkau tidak berjodoh menjadi biarawati, namun engkau
boleh tinggal di sini."
"Terimakasih, Khong Sim
Nikouw!" ucap Lu Hui San dan cepat-cepat bersujud di hadapan biarawati tua
itu.
"Siancay! Siancay!"
Khong Sim Nikouw itu senyum lembut dan penuh welas asih, kemudian menambahkan.
"Kebahagiaan sudah berada di ambang pintu, tunggulah dengan sabar!"
Ucapan itu membuat Lu Hui San
tertegun, la memandang Khong Sim Nikouw dengan tidak mengerti, sedangkan
biarawati tua itu hanya tersenyum-senyum.
-oo0dw0oo-
Di sebuah kedai arak di suatu
kota, tampak seorang pemuda dekil sedang meneguk arak. Pemuda itu sudah dalam
keadaan mabuk, namun masih terus meneguk arak yang di atas meja.
"Ha ha ha!" Pemuda
itu tertawa gelak. "Aku telah membunuh ayah angkatnya, dia... dia pasti
membenciku! Sesungguhnya... aku pun sangat mencintainya, hanya saja...."
Pemuda itu terus tertawa
sambil mengoceh. Siapa pemuda itu? Ternyata Hay Thian, yang tidak berhasil mencari
Lu Hui San. Karena merasa berdosa terhadap gadis itu, maka ia terus
ber-mabuk-mabukan.
"Tuan...." Pelayan mendekatinya kemudian bertanya.
"Engkau sudah mabuk,
jangan minum lagi!"
"Engkau takut aku tidak
mampu bayar?" sahut Kam Hay Thian. "Ha ha ha! Aku memang tidak punya
uang."
"Tuan...." Pelayan
itu mengerutkan kening.
"Jangan khawatir, aku
pasti bayar!" ujar Kam Hay Thian, yang kemudian meneguk araknya sambil
tertawa-tawa. "Ha ha ha! Hidup tiada artinya, lebih baik bermabuk-mabukan
sepanjang hari! Ha ha ha...!"
Di saat bersamaan, seorang
gadis cantik jelita melangkah ke dalam kedai arak itu. Para tamu terbelalak
seketika. Kecantikan gadis itu telah membuat mereka terpukau.
Kam Hay Thian yang dalam
keadaan mabuk pun telah melihat kehadiran gadis itu. dan lansung tertawa gelak
seraya bergumam.
"Gadis cantik selalu
bernasib malang. Di mana ada gadis cantik, di situ pasti akan timbul masalah Ha
ha ha...!"
"Hi hi hi!" Gadis
itu tertawa cekikikan sambil menghampirinya, lalu duduk.
"Pemuda dekil, kenapa
engkau mencela kaum gadis cantik?" tanyanya.
"Engkau memang
cantik...." Kam Hay Thian menatapnya.
"Tapi nasibmu sial."
"Omong kosong!"
Gadis itu melotot, kemudian tertawa seraya bertanya. "Pemuda dekil, siapa
engkau?"
"Aku Chu Ok Hiap
(Pendekar Pembasmi Penjahat)! Siapa Nona?"
"Hi hi hi! Aku Bu Ceng
Sianli." Sungguh diluar dugaan, gadis itu ternyata adalah Bu Ceng
Sianli-Tu Siao Cui.
"Bidadari Tanpa
Perasaan?" Kam Hay Thian terbelalak. "Engkau memang secantik
bidadari, bagaimana mungkin tak berperasaan? Itu tidak mungkin!"
"Aku memang tak
berperasaan terhadap kaum lelaki." Tu Siao Cui menatapnya penuh perhatian.
"Kelihatannya engkau sangat membenci kaum wanita, itu apa sebabnya?"
"Sebetulnya aku tidak
membenci kaum wanita, malah aku...
aku telah melakukan suatu dosa
terhadap seorang wanita,"
sahut Kam Hay Thian.
"Maka dia sangat membenciku."
"Kenapa begitu?"
"Dia sangat mencintaiku,
namun aku menolak tintanya karena suatu hal. Aaaah! Memang aku yang
bersalah."
"Chu Ok Hiap, bolehkah aku
tahu namamu!"
"Namaku Kam Hay
Thian."
"Apa?" Mata Tu Siao
Cui langsung membara, dan tangannya melayang ke arah pipi Kam Hay thian.
Plaak! Plook! Plaaak! Plooook!
"Aduuuh!" Kam Hay
Thian menjerit kesakitan, mabuknya pun langsung lenyap. Ia mengusap pipinya
sambil memandang Tu Siao Cui dengan mata terbelalak. "Kenapa engkau
menamparku?"
"Aku memang harus
menghajarmu?" sahut Tu Siao Cui.
"Eeeh?" Kam Hay
Thian segera melesat k luar. "Engkau kok tidak tahu aturan? Aku tida
berlaku kurang ajar terhadapmu, tapi kenapa engkau ingin menghajarku?"
"Aku mewakili Lu Hui San
menghajarmu!"
"Apa?" Kam Hay Thian
tertegun. "Lu Hui San?"
"Ya." Tu Siao Cui
mengangguk. "Nah, bersiap-siaplah! Aku akan mulai menghajarmu!"
"Silakan!" sahut Kam
Hay Thian.
"Terimalah
tendanganku!" seru Tu Siao Cui sambil menendangnya beberapa kali dengan
sekuat tenaga.
Duuk! Duuuk! Duuuuk!
Kam Hay Thian tetap tak
bergeming dari tempatnya dan membiarkan dirinya ditendang. Untung Tu Siao Cui
tidak mengerahkan lweekangnya. Seandainya Tu Siao Cui mengerahkan lweekangnya
untuk menendang, Kam Hay Thiai pasti sudah terluka parah.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa. "Ternyata engkau masih tahu diri, sama sekali tidak
melawan!"
"Aku malah sangat
berterimakasih kepadamu, sebab engkau bersedia mewakilinya menghajari ku?"
sahut Kam Hay Thian. "Ayolah! Hajar aku lagi!"
"Tidak!" Tu Siao Cui
menggelengkan kepala. "Kini engkau telah sadar akan kesalahanmu, maka aku
tidak akan menghajarmu lagi!"
"Terimakasih!" ucap
Kam Hay Thian. "Oh ya, aku...."
"Engkau ingin tahu Lu Hui
San berada di mana kan?" Tu Siao Cui tertawa nyaring.
"Betul, betul. Nona,
beritahukanlah!"
"Aku akan memberitahukan,
tapi harus ada syaratnya."
"Apa syaratmu?"
"Syaratku...." Tu Siao Cui tersenyum-senyum. ”Engkau
harus menyembah di
hadapanku."
"Baik." Kam Hay
Thian langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tu Siao Cui.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikikan. ”Ternyata engkau masih punya nurani! Engkau membunuh
ayah angkatnya, namun dia tetap mencintaimu. Karena itu, dia jadi gila."
"Apa?" Wajah Kam Hay
Thian memucat. "Dia... dia jadi gila?"
"Tapi kini sudah
sembuh."
"Oooh!" Kam Hay
Thian menghela nafas lega. "Siapa yang menyembuhkannya?"
"Aku," sahut Tu Siao
Cui. "Aku yang menyembuhkannya."
"Terimakasih, Nona!"
ucap Kam Hay Thian sambil membentur-benturkan kepalanya di tanah.
”Terimakasih...!"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa nyaring. "Lu Hui San berada di Pek Yun Am, engkau harus menuju
ke timur."
"Terimakasih!
Terimakasih!" ucap Kam Hay Thian. Ketika ia mendongakkan kepalanya, ia
terbelalak karena Tu Siao Cui sudah tidak berada di hadapannya. "Sungguh
tinggi kepandaian gadis itu!"
Setelah bergumam, barulah ia
melesat pergi ke arah timur, sesuai dengan petunjuk Tu Siao' Cui.
-oo0dw0oo-
Bagian ke lima puluh tiga
Berlutut dengan setulus hati
Perlahan-lahan Kam Hay Thian
mengetuk pinti Pek Yun Am. Berselang sesaat terbukalah pintul itu. Dua
biarawati berdiri di situ sambil menatapnya dengan penuh keheranan.
"Maaf, aku telah
mengganggu ketenangan Pek Yun Am!" ucap Kam Hay Thian sambil memberi
hormat.
"Siancay! Siancay! Ada
urusan apa engkau ke mari?"
"Aku... aku ingin bertemu
Lu Hui San."
"Lu Hui San?"
"Ya." Kam Hay Thian
mengangguk. "Dia berada di sini kan?"
"Betul." Salah satu
biarawati itu mengangguk. "Lu Hui San memang berada di sini. Bolehkah kami
tahu siapa engkau?"
"Namaku Kam Hay
Thian." "Oooh!" Kedua biarawati itu manggut-manggut.
"Baiklah. Engkau tunggu di sini, kami kedalam memberitahukan kepada ketua!
Ingat, jangan sembarangan masuk!"
"Ya." Kam Hay Thian
mengangguk. Kedua biarawati itu berjalan ke ruang samadi. Sampai di pintu ruang
itu, salah seorang dari mereka melapor.
"Ketua, Kam Hay Thian ke
mari."
"Siancay! Siancay!"
sahut Khong Sim Nikouw sambil manggut-manggut, kemudian memandang Luu Hui San
yang duduk di sisinya. "Hui San, engkau sudah dengar kan?"
"Ya, Sian Kouw (Biarawati
Welas Asih)." Lu Hui San mengangguk. Air mukanya tampak terus berubah tak
menentu.
"Bagaimana? Engkau
bersedia menemui pemuda itu?"
"Tidak," jawab Lu
Hui San. "Aku tidak mau menemuinya, aku benci dia."
"Siancay! Siancay!"
Khong Sim Nikouw tersenyum. "Kenapa ucapanmu berlawanan dengan suara
hatimu?"
"Aku...." Lu Hui San menundukkan kepala kemudian
berjalan ke depan, dengan air
mata berderai-derai.
Sementara Kam Hay Thian
menunggu disitu
”Dia ke mari pertanda dia
telah sadar akan kesalahannya, maka engkau harus memaafkannya, sekaligus
menerimanya pula," ujar Khong Sing Nikouw dan menambahkan dengan
sungguh-sund guh. "Ketika engkau baru ke mari, bukankah ak pernah
mengucapkan sesuatu?"
"Maaf, Sian Kouw! Aku...
aku lupa." "Kebahagiaan telah berada di ambang pinti tunggulah dengan
sabar. Inilah yang kuucapkai hari itu, dan kini sudah tiba. Engkau mengerti ”
"Sian Kouw...." Lu
Hui San terbelalak. "Tapi...”
"Engkau masih ragu
terhadapnya?"
"Ya"
"Kalau begitu...." Khong Sim Nikouw "Engkau boleh
mencoba bagaimana hatinya”
"Caranya?" Lu Hui
San tertarik. "Kedua muridku itu akan memberitahukan kepadanya, bahwa
engkau tidak sudi menemuinya. Apabila dia berlutut di depan kuil dengan setulus
hati, berarti dia bersungguh-sungguh terhadapmu. Mengerti?"
"Mengerti."
"Siancay! Siancay!"
ucap Khong Sim Nikou lalu berseru. "Kalian berdua beritahukan kepada nya,
bahwa Lu Hui San tidak sudi menemuinya”
"Ya, Guru," sahut
kedua biarawati itu kemudian berjalan kedepan.
Sementara itu Kam Hay Thian
menunggu disitu dengan hati
berdebar-debar. Ketika melihat
kedua biarawati menghampirinya, ia segera bertanya, "Bagaimana, Sian
Kouw?"
”Siancay! Siancay!" Salah
satu biarawati itu menggeleng-gelengkan kepala. "Lu Hui San tidak sudi
menemuimu. Maaf. kami tidak bisa berbuat apa-apa?"
"Sian Kouw...."
Wajah Kam Hay Thian pucat pasi
"Siancay! Siancay!"
Kedua biarawati itu menghela nafas panjang, kemudian melangkah kedalam
sekaligus menutup pintu
"Adik Hui San! Adik Hui
San! Aku ...aku rindu padamu..." gumam Kam Hay Thian kemudian menjatuhkan
diri berlutut di depan Pek Yun Am itu.
-oo0dw0oo-
Khong Sim Nikouw, Lu Hui San
dan kedua murid biarawati tua itu duduk di ruang samadi. Wajah Lu Hui San terus
berubah tak menentu.
"Siancay! Siancay!"
ucap Khong Sim Nikouw sambil memandang Lu Hui San. "Sudah tiga hari tiga
malam Kam Hay Thian berlutut di situ tanpa makan dan minum, itu pertanda dia
berlutut dengan setulus hati. Maka, engkau harus menyelami perasaannya
sekarang."
"Sian Kouw...." Lu
Hui San menundukkan kepala.
"Hui San!" Khong Sim
Nikouw tersenyum lembut. "Kini sudah saatnya engkau meninggaliean Pek Yun
Am ini."
"Sian Kouw...."
"Oh ya!" Mendadak
wajah Khong Sim Nikouw berubah serius. "Aku yakin Tu Siao Cui yang
menyuruhnya ke mari. Tu Siao Cui muda kembali itu merupakan suatu berkah bagi
dirinya. Kini di. telah berbuat kebaikan. Siancay! Siancay! Kalau engkau
bertemu dia, sampaikan pesanku kepada nya! Dia harus banyak berbuat kebaikan
untuk menebus dosanya terhadap Thian Gwa Sin Hiap Engkau harus menyampaikan
pesanku ini kepada nya, karena demi kebaikannya pula."
"Ya, Sian Kouw. Aku pasti
menyampaikan kepadanya."
"Siancay! Siancay!"
ucap Khong Sim Nikow sambil memandangnya. Ia mengeluarkan sebuni tusuk konde
lalu diserahkan kepada Lu Hui San. seraya berkata, "Simpan tusuk konde ini
baik-baik kalau engkau bertemu Tayli Lo Ceng, berikan kepadanya!"
"Haaah?" Lu Hui San
tertegun. "Sian Ko kenal Tayli Lo Ceng?"
"Siancay! Siancay!"
Khong Sim Nikouw menghela nafas panjang. "Sudah hampir delapan puluh tahun
kami tidak bertemu. Siancay! Siancay! Semua itu telah berlalu, lagi pula
aku...."
"Guru...." Wajah
kedua muridnya berubah pucat pias.
"Siancay! Sincay!"
Khong Sim Nikouw tersenyum. "Segala apa yang ada di dunia, itu hanya
kepalsuan belaka. Kosong dan segala itu memang kosong."
"Sian Kouw...." Lu
Hui San tercengang mendengarnya.
"Hui San!" Khong Sim
Nikouw tersenyum lembut. "Engkau boleh pergi sekarang bersama pemuda itu.
Tempuhlah hidup yang bahagia! Jangan menyia-nyiakan hidup yang teramat singkat
m!
"Ya, Sian Kouw." Lu
Hui San segera bersujud. ”Sian Kouw, aku mohon diri!"
"Bangunlah, Hui
San!" Khong Sim Nikouw berpesan, "Simpanlah baik-baik tusuk konde
itu!"
"Ya, Sian Kouw." Lu
Hui San mengangguk sambil bangkit berdiri, kemudian berpamit dengan air mata
bercucuran.
"Semoga engkau hidup
bahagia, Hui San!" ucap Khong Sim Nikouw sambil memandangnya dengan lembut
sekali.
"Sian Kouw...."
"Pergilah!" Khong Si
Nikouw memejamkan matanya.
Lu Hui San bersujud lagi.
Setelah memberi hormat kepada kedua biarawati itu, barulah melangkah ke luar.
Kedua biarawati itu men antarnya sampai di depan kuil, setelah itu mereka
menutup pintu.
"Adik Hui San! Adik Hui
San...!" seru Ka Hay Thian dengan mata bersimbah air. "Adik Hui
San...."
Lu Hui San tidak menyahut,
namun air mata nya sudah berderai-derai. Perlahan-lahan Kam. Hay Thian
mendekatinya, lalu menjatuhkan dan berlutut di hadapan gadis itu.
"Adik Hui San, maafkanlah
aku!"
"Kakak Hay
Thian...." Lu Hui San juga menjatuhkan diri berlutut di hadapan pemuda itu
"Aku... aku memaafkanmu."
"Terimakasih, Adik Hui
San!" ucap Kam Hay Thian sambil menjulurkan tangannya untuk memegang bahu
gadis itu. "Adik Hui San, aku... aku cinta padamu."
"Kakak Hay
Thian..-." Lu Hui San menangis terisak-isak saking girang. "Aku...
aku sudah mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. Tapi engkau..."
"Adik Hui San!" Kam
Hay Thian menatapnya lembut. "Itu telah berlalu, jangan kau ungkit lagi
Yang jelas... kini kita sudah saling mencintai takkan berpisah selama-lamanya.”
"Kakak Hay
Thian...." Lu Hui San mendekap di dadanya.
"Aku... aku bahagia
sekali."
"Adik Hui San, maafkanlah
aku yang telah membunuh ayah angkatmu! Sekali lagi aku minta maaf!" ucap
Kam Hay Thian sambil membelainya dengan penuh cinta kasih.
"Ibumu juga dibunuh oleh
para anggota Hiat Ih Hwe. Yaaah! Sudahlah! Semua itu telah ber-lalu, anggaplah
sebagai mimpi buruk saja!"
"Ya." Kam Hay Thian
mengangguk, sekaligus mengangkatnya bangun. "Adik Hui San, apa rencanamu
sekarang?"
"Aku sudah rindu kepada
pamanku. Bagaimana kalau kita ke sana?" sahut Lu Hui San malu-malu.
"Benar." Kam Hay
Thian manggut-manggut. Aku memang harus mengunjungi pamanmu."
"Kalau begitu, mari kita
berangkat sekarang!" ajak Lu Hui San.
"Baik." Kam Hay
Thian mengangguk. Mereka berdua berangkat ke tempat tinggal ie Kuang Han. Dalam
perjalanan itu mereka Li senda gurau penuh kegembiraan.
-oo0dw0oo-
Dalam perjalanan menuju tempat
tinggal Sie Kuang Han, Kam Hay Thian dan Lu Hui San juga mendengar tentang
musnahnya markas Seng Hwe Kauw. Itu sungguh menggembirakan mereka berdua. Namun
ada satu hal yang membuat Kam Hay Thian tidak habis pikir, yakni tidak adanya
kabar mengenai Seng Hwee Sin Kun.
"Heran!" gumam Kam
Hay Thian dengan kening berkerut-kerut. "Kenapa tiada kabar beritl
mengenai Seng Hwee Sin Kun? Apakah Bun Yan berhasil membunuhnya?"
"Kalau Bun Yang berhasil
membunuhnya, tentunya akan tersiar berita tersebut. Namun tidak.
Mungkin..." ujar Lu Hui San setelah berpikir sejenak. "Seng Hwee Sin
Kun berhasil melolosieah diri."
"Itu memang
mungkin." Kam Hay Thian manggut-manggut "Lebih baik kita tanyakan
kepada Kakek Lim nanti"
"Benar." Lu Hui San
mengangguk.
Beberapa hari kemudian, mereka
sudah sampai di tempat tinggal Sie Kuang Han. Betapa gembiranya orang tua itu
ketika melihat Lu Hui San datang bersama seorang pemuda.
"Paman!" panggil
gadis itu.
"Hui San!" Sie Kuang
Han tertawa gembira "Ha ha ha! Duduklah!"
"Paman, dia Kam Hay Thian...." Lu Hui San
memperkenalieannya, dan pemuda
itu segera mem beri hormat.
"Paman, terimalah
hormatku!" ucap Kam Hay I hian.
"Tidak usah
sungkan-sungkan! Ha ha ha!" Sie Kuang Han tertawa gelak. "Ayolah!
Duduk!"
Lu Hui San dan Kam Hay Thian
lalu duduk. Sie Kuang Han memandang Lu Hui San seraya bertanya.
"Kenapa Keng Hauw tidak
kemari?"
"Dia...." Lu Hui San
tersenyum. "Dia berada di Pulau Hong
Hoang To, dan sudah punya
kekasih."
"Oh?" Wajah Sie
Kuang Han berseri. "Siapa kekasihnya!"
"Lie Ai Ling, putri
kesayangan Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa." Lu Hui San memberitahukan.
"Oooh!" Sie Kuang
Han manggut-manggut gembira. "Syukurlah!"
"Paman," ujar Lu Hui
San. "Lu Thay Kam telah mati."
"Oh?" Sie Kuang Han
tampak terkejut. "Apakah dia mati dibunuh?"
"Ya." Lu Hui San
mengangguk.
"Siapa yang
membunuhnya?" tanya Sie Kuang llan sambil menghela nafas panjang.
"Dia." Lu Hui San
menunjuk Kam Hay Thian.
"Apa?" Sie Kuang Han
terbelalak. "Kok bisa begitu? Hui San, tuturkanlah kejadian itu!"
"Paman...." Lu Hui
San menutur tentang semua kejadian
itu, kemudian menambahkan.
"Aku aku telah memaafkannya."
"Aaaah...." Sie
Kuang Han menghela nafas "Mungkin itu
sudah merupakan takdir!"
"Paman," ujar Kam
Hay Thian sambit mengeleng-gelengkan kepala. "Aku telah melakukan
kesalahan, sebab kini istana bertambah kacau Muncul seorang menteri berniat
berkhianat."
"Yaaah! Dinasti Beng
sulit dipertahankan lagi segera akan tumbang!" Sie Kuang Han menghela
nafas panjang. "Oh ya, kalian tinggal di sini beberapa hari!"
"Ya!" Lu Hui San
mengangguk. "Kami akan tinggal di sini beberapa hari, setelah itu hari
berangkat ke markas pusat Kay Pang."
"Itu memang baik
sekali." Sie Kuang Han manggut-manggut. "Oh ya, kalau kalian bertema!
Keng Hauw, suruh dia kemari bersama Lie Ling!"
"Ya, Paman." Lu Hui
San tersenyum. "Pama pasti akan menyayangi Ai Ling, sebab dia canti lincah
dan periang."
"Syukurlah kalau
begitu!" ucap Sie Kuang Ha sambil tertawa gembira. "Ha ha ha!"
-oo0dw0oo-
Beberapa hari kemudian, Lu Hui
San dan Kam Hay Thian berpamit kepada Sie Kuang Han. Mereka berdua langsung
menuju markas pusat Kay Pang. Kini jalinan cinta mereka bertambah dalam, maka
tidak heran kalau wajah mereka tampak bahagia.
Kira-kira empat hari kemudian,
mereka sudah Sampai di markas pusat Kay Pang. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
menyambut kedatangan mereka dengan mulut ternganga
lebar, karena mereka tahu
tentang Lu Hui San dan Kam Hay thian. Namun kini mereka justru muncul bersama,
maka mencengangkan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong.
"Kakek Lim, Kakek
Gouw!" panggil Lu Hui san sambil tersenyum.
"Kalian...." Lim Peng Hang terbelalak. "Silakan duduk!
Silakan duduk!"
Lu Hui San dan Kam Hay Thian
duduk, sedangkan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong masih terus memandang mereka
dengan penuh rasa heran.
"Kami...." Lu Hui
San menundukkan kepala.
"Bukankah kalian...." Lim
Peng Hang menggaruk-garuk
kepala. "Kok kini malah
ke mari berduaan?"
"Kakek Lim,
kami...." Kam Hay
Thian memberitahukan
tentang kejadian mereka itu
dan menambahkan, "....kalau aku
tidak bertemu Bu Ceng
Sianli-Tu Siao Cui, mungkin tidak bisa bertemu Hui San."
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggu "Ternyata begitu, syukurlah!"
"Kakak Hay Thian!"
Lu Hui San menatapnya "Jadi Kakak Siao Cui yang memberitahukanmu mengenai
diriku berada di Pek Yun Am?"
"Ya." Kam Hay Thian
mengangguk sambil tersenyum. "Kami bertemu dia di kedai arak. Setelah tahu
aku adalah Hay Thian, maka dia langsung menampar dan menendangku."
"Dia yang menyembuhkan
aku."
"Dia pun memberitahukan
kepadaku." Kam Hay Thian menggeleng-gelengkan kepala. "Adik Hui San,
aku...."
"Kakak Hay Thian!"
Lu Hui San tersenyum lembut. "Itu telah berlalu, jangan diungkit sehingga
merusak suasana!"
"Ya." Kam Hay Thian
mengangguk. "Oh ya kepandaian Nona Siao Cui itu sungguh tinggi
sekali."
"Engkau tahu berapa
usianya?" tanya Lu Hui San mendadak.
"Dua puluhan," sahut
Kam Hay Thian ”masih begitu muda, tapi kepandaiannya sangat tinggi
sekali."
"Engkau keliru." Lu
Hui San tertawa kecil "Keliru?" Kam Hay Thian heran. "Keliru
napa?"
"Usia Kakak Siao Cui
sudah hampir sembilan puluh, bukan dua puluhan lho!" Lu Hui San
memberitahukan.
"Apa?" Kam Hay Thian
terbelalak, kemudian tertawa gelak. "Adik Hui San, aku tidak menyangka
engkau bisa bergurau juga."
"Itu memang benar, aku
tidak bergurau." ujar Lu Hui San sungguh-sungguh lalu menutur tentang apa
yang dialami Tu Siao Cui.
"Itu... itu sungguh
merupakan suatu kegaiban. Nenek-nenek berusia hampir sembilan puluh, namun
masih tampak remaja. Tak masuk akal tapi nyata, sungguh luar biasa!" Kam
Hay Thian menggeleng-gelengkan kepala. "Seperti halnya dengan Kou Hun
Bijin."
"Tapi kini Kou Hun Bijin
sudah kelihatan tua, karena dia menikah dengan Kim Siauw Suseng," ujar Lim
Peng Hang. "Kalau tidak, dia dan Kim Siauw Suseng pasti tetap tampak
seperti berusia empat puluhan."
"Kalau begitu..."
tanya Lu Hui San. "....Bu Ceng Sianli akan
tua juga bila menikah?"
"Mungkin." Lim Peng
Hang mengangguk. "Oh ya! Di mana Kakak Bun Yang, Ai Ling dan
lainnya?" tanya Lu Hui San mendadak.
"Mereka sudah pulang ke
Pulau Hong Hoang to," jawab Lim Peng Hang. "Apakah kalian sudah laliu
tentang Seng Hwee Kauw?"
"Sudah, tapi tidak begitu
jelas," ujar Kam Hay
Thian dan bertanya, "Kok
tiada kabar beritanya mengenai Seng Hwee Sin Kun?"
"Aaah...." Gouw Han
Tiong menghela nafas panjang. "Seng
Hwee Sin Kun terluka parah
oleh pukulan yang dilancarkan Bun Yang, tapi disaat itu mendadak muncul lima
orang berpakaian serba putih dan memakai kedok setan."
"Oh?" Kam Hay Thian
terperanjat.
"Kui Bin Pang?" Air
muka Lu Hui San berubah.
"Ya." Gouw Han Tiong
manggut-manggut "Kelima orang itu membawa kabur Seng Hwe Sin Kun."
"Kakek Gouw, apakah Seng
Hwee Sin Kun punya hubungan dengan Kui Bin Pang itu?" tanya Kam Hay Thian.
"Entahlah." Gouw Han
Tiong menggeleng gelengkan kepala, kemudian memandang Lim Pera Hang seraya
berkata, "Pangcu, engkau saja yang memberitahukannya!"
Lim Peng Hang menghela nafas
panjang, lama sekali barulah membuka mulut dengan wajah serius.
"Ketua lama Kui Bin Pang
punya dendam dengan majikan lama Pulau Hong Hoang To. Sebetulnya Kui Bin Pang
cuma bergerak di sekita Gurun Sih Ih..." tutur Lam Peng Hang sejelas
jelasnya, setelah itu menambahkan pula. "...tiada seorang pun tahu siapa
ketua baru Kui Bin Pari lu."
"Kakek Lim," tanya
Lu Hui San. "Mungkinkah Kui Bin Pang akan menyerbu Pulau Hong Hoang
To?"
"Kalau Kui Bin Pang
berani menyerbu kesana, malah lebih baik," sahut Lim Peng Hang. ”Namun Kui
Bin Pang tidak akan menyerbu kesana, mereka tidak sebodoh itu."
"Kalau begitu, apakah Kui
Bin Pang diam saja?" tanya Kam Hay Thian.
"Sesungguhnya mereka
sudah mulai bergerak, Tapi secara diam-diam," jawab Lim Peng Hang.
Buktinya kelima orang itu telah muncul menolong Seng Hwee Sin Kun. Ya,
kan?"
"Heran?" gumam Kam
Hay Thian. "Kenapa Kui Bin Pang menolong Seng Hwee Sin Kun? Mungkinkah
punya suatu tujuan tertentu?"
"Itu memang
mungkin." Gouw Han Tiong manggut-manggut. "Kalau tidak, bagaimana
mungkin pihak Kui Bin Pang akan menolongnya? Hanya saja... kita tidak tahu apa
tujuan Kui Bin Pang itu."
"Aaaah...." Kam Hay
Thian menghela nafas panjang. "Seng
Hwee Sin Kun belum mati, aku
harus membunuhnya!"
"Kakak Hay Thian!"
Lu Hui San memancingnya dengan kening berkerut. "Engkau...."
"Adik HuiSan, aku...." Kam Hay Thian menundukkan
kepala.