"Kini sudah bukan rahasia
lagi, lebih baik terbuka saja," ujar Lu Hui San sambil menghela nafas
panjang. "Ai Ling, Goat Nio, sebelumnya aku mohon maaf kepada kalian,
karena aku merahasiakan sesuatu terhadap kalian."
"Menutup apa?" tanya
Lie Ai Ling heran.
"Identitas diriku,"
sahut Lu Hui San dan melanjutkan, "Sebetulnya ayahku bukan Lu Kam Thay,
melainkan Lu Thay Kam."
"Apa?" seru Lie Ai
Ling tak tertahan. "Lu Thay Kam adalah ayahmu?"
"Ya." Lu Hui San
mengangguk. "Tapi dia bukan ayah kandungku, melainkan ayah angkat."
"Jadi____" Lie Ai
Ling terbelalak. "Kakak Bun Yang tahu tentang itu?"
"Ya. Dia memang tahu.
Namun karena masih ragu maka dia bertanya kepadaku," sahut Lu Hui San.
"Bahkan dia juga tahu asal-usulku. Maka untuk memastikan itu, dia menemuiku
di sini."
"Oh?" Lie Ai Ling
menarik nafas lega, kemudian menegur Tio Bun Yang. "Kenapa Kakak Bun Yang
tidak mau memberitahukan kepadaku dan Goat Nio?"
"Sebab aku harus
merahasiakannya, berhubung Lu Thay Kam adalah ketua Hiat Ih Hwe," sahut
Tio Bun Yang. "Jadi aku harus merahasiakannya, agar tidak menimbulkan
hal-hal yang tak diinginkan."
"Oooh!" Lie Ai Ling
manggut-manggut.
"Sekali lagi aku mohon
maaf," ucap Lu Hui San, lalu menghela nafas panjang seraya berkata,
"Karena Bu Yang telah bertemu pamanku, maka aku pun harus memberitahukan
kepada kalian mengenai identitasku."
"Apa?" Lie Ai Ling
terbelalak. "Kakak Bun Yang bertemu pamanmu? Itu—"
"Benar." Tio Bun
Yang mengangguk. "Aku memang telah bertemu pamannya, yang bernama Sie
Kuang Han—"
Tio Bun Yang menutur tentang
itu, Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio mendengar dengan penuh perhatian.
"Kakak Bun Yang,"
ujar Lie Ai Ling seusai Tio Bun Yang menutur. "Aku dan Goat Nio telah
salah paham terhadapmu, maaf ya!"
"Tidak apa-apa." Tio
Bun Yang tersenyum. "Tapi lain kali engkau tidak boleh langsung menuduh
sebelum tahu jelas suatu masalah."
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk. "Ohya, Kakak Bun Yang, bolehkah engkau menuturkan semua
pengalamanmu itu?"
"Tentu boleh." Tio
Bun Yang manggut-manggut kemudian menuturkan semua pengalamannya.
"Kakak Bun Yang, aku tak
menyangka engkau mengunjungi daerah Miauw," ujar Lie Ai Ling.
"Bagaimana keadaan daerah itu?"
"Aman dan tenang,"
sahut Tio Bun Yang memberitahukan. "Pemandangan di sana pun sangat indah
menakjubkan."
"Kakak Bun Yang...."
Lie Ai Ling tersenyum. "Kalau sempat,
bagaimana kalau kelak kita
pergi ke sana?"
"Baik." Tio Bun Yang
mengangguk. "Ohya! Besok kita semua akan berangkat ke tempat tinggal Paman
Sie, maka lebih baik kita beristirahat sekarang."
"Oh?" Lie Ai Ling
memandang Lu Hui San. "Kita tidak jadi pergi ke Gunung Hek Ciok San?"
"Setelah menemui pamanku,
barulah kita berangkat ke sana." Lu Hui San memberitahukan. "Sebab
aku harus tahu bagaimana kematian kedua orang tuaku."
"Ngmmm!" Lie Ai Ling
manggut-manggut, kemudian menarik Lu Hui San seraya berkata, "Mari kita ke
tempat lain untuk beristirahat, jangan mengganggu Kakak Bun Yang dan Goat Nio!
Mereka berdua harus mencurahkan isi hati masing-masing."
"Ai Ling____" Wajah
Siang Koan Goat Nio terasa panas. "Engkau—"
"Hi hi hi!" Lie Ai
Ling tertawa. "Kami harus memberi kesempatan kepada kalian berdua untuk
memadu cinta."
"Ai Ling!" Siang
Koan Goat Nio betul-betul salah tingkah dibuatnya. "Engkau sungguh
keterlaluan!"
"Aku tidak keterlaluan, melainkan
tahu diri," sahut Lie Ai Ling, lalu menarik Lu Hui San meninggalkan tempat
itu.
"Dia masih bersifat
kekanak-kanakan," ujar Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Namun berhati baik."
"Juga sangat polos,"
sambung Siang Koan
Goat Nio dan menambahkan.
"Aku suka sekali kepadanya."
"Goat Nio____" Tio
Bun Yang menatapnya dengan mata berbinar-binar. "Tadi Ai Ling bilang
engkau tertarik padaku, benarkah?"
"Aku____" Siang Koan
Goat Nio menundukkan kepalanya. "Ya."
"Goat Nio!" Mendadak
Tio Bun Yang memegang tangan gadis itu. "Aku pun tertarik padamu, bahkan
boleh dikatakan telah... telah jatuh hati padamu."
"Oh?" Hati Siang
Koan Goat Nio langsung berbunga-bunga. "Engkau tidak bohong?"
"Aku tidak pernah bohong,
percayalah!" sahut Tio Bun Yang lembut dan bertanya, "Engkau juga
jatuh hati padaku?"
"Ng!" Siang Koan
Goat Nio mengangguk perlahan. "Kedua orang tuaku berharap____"
"Kedua orang tuamu
berharap apa?"
"Berharap kita... bisa
bertemu secepatnya."
"Kini kita sudah bertemu.
Kalau kedua orang tuamu tahu..."
ujar Tio Bun Yang dengan
tersenyum, "pasti girang sekali."
"Ya." Siang Koan
Goat Nio manggut-manggut. Tapi kedua orang tuaku tidak tahu bahwa kita v udah
bertemu."
"Itu tidak apa-apa."
Tio Bun Yang tersenyum. "vang penting kita sudah bertemu. Ohya, betulkah
Kam Hay Thian tertarik padamu?"
"Betul." Siang Koan
Goat Nio mengangguk. "Tapi aku menolaknya secara terang-terangan, agar dia
mundur."
"Tapi____" Tio Bun
Yang mengerutkan kening.
"Bukankah Lu Hui San
jatuh hati padanya?"
"Betul." Siang Koan
Goat Nio menghela nafas panjang. "Bahkan Lam Kiong Soat Lan pun jatuh hati
padanya."
"Oh?" Tio Bun Yang
tersentak. "Kalau begitu...."
"Yaaah!" Siang Koan
Goat Nio menghela nafas panjang lagi. "Aku justru khawatir, kelak akan
terjadi sesuatu di antara mereka."
"Bagaimana mungkin?"
"Tentu saja mungkin.
Sebab cinta dapat membutakan orang, bahkan juga akan membuat keruh hati orang
yang bersangkutan."
"Kalau begitu..."
ujar Tio Bun Yang setelah berpikir sejenak. "Kita harus berusaha
menjernihkan hati mereka, agar tidak terjadi sesuatu di kemudian hari."
"Ng!" Siang Koan
Goat Nio mengangguk. "Ohya, setelah bertemu Paman Sie, kita harus segera
berangkat ke Gunung Hek Ciok San. Karena aku khawatir...."
"Akan terjadi sesuatu
atas diri Kam Hay Thian?" tanya Tio Bun Yang.
"Ya. Sebab pemuda itu
berhati keras." Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku khawatir dia akan
celaka di tangan Seng Hwee Sin Kun."
"Kalau begitu, besok pagi
kita harus menggunakan ginkang menuju tempat tinggal Paman Sie. Kita tidak
boleh membuang waktu."
"Benar." Siang Koang
Goat Nio manggut-manggut. "Kita tidak boleh membuang waktu. Mari kita
beristirahat sekarang!"
"Baik." Tio Bun Yang
mengangguk. "Tapi alangkah baiknya kita bercakap-cakap sejenak dengan Ai
Ling dan Hui San."
"Ng!" Siang Koan
Goat Nio menuju tempat kedua gadis itu, Tio Bun Yang mengikutinya dari
belakang.
-ooo0dw0ooo-
Jilid 7
"Eh?" Lie Ai Ling
terheran heran ketika melihat mereka. "Kok kalian ke maii sih? Sudah cukup
kalian mencurahkan isi hati masing-masing?"
”Ai Ling!" tegur Siang
Koan Goal Nio. "Jangan suka menggoda! Ka!au kelak engkau bertemu pemuda
idaman hatimu, aku pasti balas menggodamu."
"Tidak apa-apa,"
sahut Lie Ai Ling sambil tertawa kecil. "Ohya, besok pagi kita akan
berangkat ke tempat tinggal Paman Ste?"
"Ya," sahut Tio Bun
Yang. "Kita harus menggunakan ginkang agar cepat sampai di tempat
itu."
“Lho?” Lie Ai Ling tercengang.
"Memangnya kenapa?"
"Sebab kita masih harus
berangkat ke Gunung Hek Ciok San," ujar Siang Koan Goat Nio
memberitahukan. "Engkau sudah lupa ya?"
"Bagaimana mungkin aku
lupa? Kalau begitu, kita harus beristirahat sekarang," sahut Lie Ai Ling
dan menambahkan sambil tertawa. Tapi kalau kalian berdua masih ingin mengobrol,
terserah kalian berdua lho!"
"Adik Ai Ling!"
legui Tio Bun Yang lembut. "Tidak baik terus-menerus menggoda Goat
Nio."
"Wuah, sudah mulai
membela dia!" sahut Lie ai ling sambil tertawa. "Baru bertemu lhol Hi
hi hi...!"
-ooo0dw0ooo-
Bagian ke tiga puluh dua
Budi dan Dendam
Dua hari kemudian, Tio Bun
Yang, Siang Koan Goal Nio, Lie Ai Ling dan Lu Hui San sudah tiba di tempat
tinggal Sie Kuang
Han Kemunculan Tio Bun Yang
bersama ketiga gadis itu sangat mengherankan Sie Kuang Han.
"Bun Yang____" Sie
Kuang Han terbelalak.
"Paman!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Lihatlah siapa gadis ini?" tanyanya sambil menunjuk
Lu Hui San. Sie Kuang Han segera memperhatikan gadis tersebut.
"Engkau____"
Sepasang mata Sie Kuang Han bertambah terbelalak ketika metibat sebuah tanda di
leher gadis itu. "Engkau adalah____"
"Aku Lu Hui San."
Gadis itu memberitahukan. "Paman adalah—"
"Hui San..." gumam
Sie Kuang Han. "Tidak salah. Engkau memang Sie Hui San. Nak, akhirnya kita
bertemu "
Sie Kuang Han memandangnya
dengan air mata bercucuran. Lu Hui San langsung mendekapnya dan menangis
terisak-isak.
"Paman! Paman____"
"Nak____" Sie Kuang
Han membelainya. "Paman tak menyangka sama sekali, ternyata engkau masih
hidup."
"Paman, ceritakanlah
tentang kematian kedua orang tuaku, aku ingin mengetahuinya!"
"Duduklah!" ujar Si
Kuang Han.
Setelah Lu Hui San, Tio Bun
Yang, Siang Koan Goal Nio dan Lie Ai Ling duduk, barulah Sie Kuang Han
menceritakan tentang kematian kedua orang tua Lu Hui San.
"Jadi..." ujar Lu
Hui San dengan mata berapi-api. "Lu Thay Kam yang membunuh kedua orang
tuaku?"
"Ya." Sie Kuang Han
mengangguk. "Tapi paman berhasil meloloskan diri dengan membawa Keng Hauw.
Justru paman
tak menduga kalau engkau masih
hidup dan dibesarkan oleh Lu Thay Kam yang sangat jahat itu."
"Dia... dia..."
gumam Lu Hui San dengan suara bergemetar. "Dia yang membunuh kedua orang
tuaku, maka aku harus balas membunuhnya!"
"Betul." Sie Kuang
Han manggut-uianggut. "Engkau harus balas dendam, lagi pula engkau bisa
mendekati Lu Thay Kain."
"Paman, aku pasti balas
dendam!" ujar Lu Hui San berjanji. "Aku pasti membunuh Lu Thay
Kam!"
"Sayang sekali!" Sie
Kuang Han menggeleng-gelengkan kepala. "Keng Hauw belum pulang."
"Paman, kira-kira kapan
Kakak Keng Hauw pulang?"
"Entahlah. Mungkin dalam
tahun ini dia akan pulang," sahut Sie Kuang Han dan melanjutkan,
"Ohya, kalian bermalam di sini saja!"
"Ya." Lu Hui San
mengangguk. Namun diam-diam gadis itu telah mengambil suatu keputusan.
Ternyata di tengah malam ia
meninggalkan tempat itu tanpa memberitahu Sie Kuang Han maupun lainnya.
Dapat dibayangkan, betapa
terkejutnya Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling ketika bangun, karena tidak
melihat Lu Hui San.
"Lho? Ke mana Hui
San?" tanya Lie Ai Ling sambil berlari ke luar.
Tio Bun Yang dan Sie Kuang Han
yang sedang duduk di ruang depan tampak tersentak ketika melihat mereka berlari
ke luar.
"Goat Nio, ada apa?"
tanya Tio Bun Yang.
"Kakak Bun Yang tidak
melihat Hui San?" Siang Koan Goat Nio balik bertanya dengan kening
berkerut.
"Bukankah dia tidur bersama
kalian? Kenapa...."
"Dia tidak berada di
tempat tidur," sahut Lie Ai Ling. "Kami kira dia sudah bangun, tapi
dia tidak berada di sini."
"Apa?!" Sie Kuang
Han terkejut. "Dia tidak berada di dalam kamar?"
"Tidak ada." Lie ai
ling menggelengkan kepala. "Jangan-jangan...."
"Ah, celaka!" Sie
Kuang Han bangkit berdiri lalu berjalan mondar-mandir. "Kemungkinan besar
dia telah berangkat ke ibu kota. Aku telah bersalah semalam karena mendesaknya
harus membalas dendam."
"Kalau begitu kita harus
bagaimana?" Lie Ai Ling mengerutkan kening, kemudian memandang Tio Bun
Yang seraya bertanya. "Kakak Bun Yang, apakah kita harus berangkat ke ibu
kota juga?"
"Memang harus." Tio
Bun Yang mengangguk, lalu membelai monyet bulu putih yang duduk di bahunya.
Kauw heng, kita harus berangkat ke ibu kota."
Monyet bulu putih bercuit
manggut-manggut. Sedangkan Sie Kuang Han terus menghela nafas panjang.
"Bagaimana Paman, mau
ikut kami ke ibu kota?" tanya Tio Bun Yang.
”Tidak." Sie Kuang Han
menggelengkan kepala. "Aku telah bersumpah tidak akan kembali ke ibu kota
Kalian saja yang berangkat."
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Bun Yang," ujar Sie
Kuang Han bermohon” Tolong selamatkan Hui San!"
"Paman Sie," sahut
Lie Ai Ling. "Kami pasti berusaha menyelamatkannya, Paman tak usah
khawatir."
Terimakasih!" ucap Sie
Kuang Han. ”Terima-kasih...."
-ooo0dw0ooo-
Tio Bun Yang, Siang Koan Goat
Nio dan Lie Ai Ling sudah tiba di ibu kota. Mereka mencari rumah penginapan
karena hari sudah mulai gelap. Lie Ai Ling berjalan sambil menengok ke sana ke
mari, ternyata ia mengagumi gedung-gedung mewah yang berdiri tegak di ibu kota
"Wuah sungguh mewah dan
indah gedung-gedung itu!" seru Lie Ai Ling sambil menunjuk kian ke mari.
"Ai Ling," bisik
Siang Koan Goat Nio. "Kita ke mari bukan untuk menikmati keindahan ibu
kota, melainkan untuk mencari Hui San."
"Aku tahu." Lie Ai
Ling tersenyum. "Namun memang indah sekali ibu kota ini."
"Memang indah."
Siang Koan Goat Nio mengangguk. "Tapi kita tidak punya waktu untuk
menikmati keindahannya."
Tak seberapa !ama kemudian,
mereka sudah sampai di sebuah rumah penginapan mewah. Seorang pelayan menyambut
mereka dengan hormat sekali.
"Tuan dan Nona
membutuhkan kamar yang besar?" tanya pelayan itu dengan ramah.
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Mari ikut aku
masuk!" ujar pelayan sambil berjalan masuk, Tio Bun Yang, Siang Koan Goat
Nio dan Lie Ai Ling mengikutinya..
"Kakak Bun Yang,"
bisik Lie Ai Ling. "Kita cukup satu kamar saja?"
Tio Bun Yang mengangguk. Lie
Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio saling memandang. Berselang sesaat, mereka
sudah sampai di depan sebuah kamar.
"Kamar ini cukup besar
dan mewah, kalian merasa cocok?" tanya pelayan sambil menunjuk kamar
tersebut.
"Cocok." Tio Bun
Yang manggut manggut, lalu melangkah ke dalam diikuti Siang Koan Goat Nio dan
Lie Ai Ling.
”Tuan mau pesan makanan atau
minuman?"
”Tolong ambilkan tehl"
sahut Tio Bun Yang.
"Ya." Pelayan itu
segera melangkah pergi, tapi tak lama telah kembali dengan membawa sebuah teko
dan tiga buah cangkir. ”Tuan, ini teh wangi."
”Terimakasih!" ucap Tio
Bun Yang.
Pelayan itu menaruh apa yang
dibawanya di atas meja, lalu menuang teh wangi itu ke dalam cangkir.
"Siiakan minum!"
ucap pelayan.
”Terimakasih!" Tio Bun
Yang memberi setael perak kepada pelayan itu. Betapa girangnya pelayan
tersebut.
”Terimakasih Tuanl
Terimakasih..." ucap pelayan itu dengan wajah berseri-seri, lalu
meninggalkan kamar tersebut.
Tio Bun Yang segera merapatkan
pintu, kemudian duduk seraya berkata kepada Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai
Ling.
"Mari kita minuml"
Kedua gadis itu mengangguk.
Mereka bertiga lalu menghirup teh yang masih bangat itu.
"Kakak Bun Yang, apa
rencanamu sekarang?" tanya Lie Ai Ling mendadak sambil menatapnya.
"Rencanaku____" Tio
Bun Yang memberitahukan. "Setelah larut malam, aku akan ke tempat tinggal
Lu Thay Kam "
"Seorang diri?" Lie
Ai Ling terbelalak.
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Kakak Bun Yang...."
Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Itu
sangat membahayakan
dirimu."
'Tidak akan membahayakan
diriku, percayalah!" Tio Bun Yang tersenyum.
"Menurut aku..."
pikir Lie Ai Ung sejenak dan melanjutkan. "Lebih baik kami Ikut."
"Itu tidak perlu."
Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Sebab kalau kalian ikut, justru akan
merepotkan aku."
"Bagaimana mungkin kami
akan merepotkan-mu?" sahut Lie Ai Ling. "Kami bisa menjaga
diri."
”Tapi...." Tio Bun Yang mengerutkan kening seraya
berkata, "aku akan kurang
leluasa bergerak."
"Kakak Bun Yang...."
"Ai Ling," ujar
Siang Koan Goat Nio. "Memang lebih baik kita tidak ikut agar perhatian Kakak
Bun Yang tidak terpecahkan."
"Goat Niol" Lie Ai
Ling tidak mengerti. "Kita ikut dengan tujuan membantu, bukan untuk
memecahkan perhatiannya."
"Benar." Siang Koan
Goat Nio manggut manggut. "Namun secara tidak langsung akan memecahkan
perhatiannya, maka engkau harus mengerti."
”Tapi...."
"Adik Al Ling!" Tio
Bun Yang memandangnya sambil tersenyum. "Engkau jangan bandel!"
"Aku...."
"Ai Ling, kita tunggu di
da!am kamar ini aja, biar Bun Yang pergi seorang diri!" Siang Koan Goat
Nio memegang bahunya. "Engkau harus mengerti”
"Goat Niol" Lie Ai
Ling menatapnya dalam-dalam. "Engkau bisa berlega hati membiarkannya pergi
seorang din?”
"Kenapa tidak?"
Siang Koan Goat Nio tersenyum, kemudian wajahnya berubah serius. Tapi kalau
hingga pagi belum kembali, kita harus menyusul ke tempat tinggal Lu Thay Kam
"
"Baiklah." Lie Ai
Ling mengangguk.
Setelah larut malam, barulah
Tio Bun Yang pergi ke istana tempat tinggal Lu Thay Kam, sedangkan Siang Koan
Goat Nio dan Lie Ai Ling tetap menunggu di dalam kamar penginapan
Sementara itu. Lu Hui San
telah tiba duluan di istana bagian barat tempat tinggal Lu Thay Kam. Akan
tetapi. Lu Thay Kam tidak ada di tempat.
"Ayahku pergi ke
mana?" tanyanya pada salah seorang dayang.
"Lu Kong Kong pergi
semalam. Nona," jawab dayang memberitahukan. "Hingga saat ini masih
belum pulang."
"Kira-kira pergi ke mana
ayahku?"
"Maaf Nona, aku tidak
tahu!"
"Hmm!" dengus Lu Hui
San sambil melangkah ke ruang khusus.
Dayang itu terbelalak
menyaksikan sikap Lu Hui San yang kaku dan dingin, kemudian ia pun segera
meninggalkan tempat itu.
Lu Hui San duduk di ruang
khusus dengan wajah dingin. Setelah larut malam, tampak sosok bayangan
berkelebat memasuki ruang khusus itu, yang ternyata Lu Thay Kam.
"San Sanl" seru Lu
Thay Kam girang. "Anakku, kapan engkau kembali?"
Lu Hui San tetap duduk diam,
matanya menatap Lu Thay Kam dengan dingin sekali.
"San San!" Lu Thay
Kam tertegun menyaksikan sikap Lu Hui San yang bermusuhan itu. "Kenapa
engkau?"
Perlahan-lahan Lu Hui San
bangkit dari tempat duduknya, lalu menuding Lu Thay Kam seraya membentak,
"Engkau penjahat!"
"San San...." Lu Thay Kam terbelalak. "Aku ayahmu,
kenapa engkau mengataiku
penjahat?"
'Hrnml' dengus Lu Hui San
dingin. "Engkau pembunuh kedua orang tuaku!"
"San San!" Lu Thay
Kam tersentak. "Siapa yang bilang begitu?"
"Aku sudah bertemu Sie
Kuang Han, pamanku! Dia yang memberitahukan kepadaku tentang kematian kedua
orang tuaku!" sahut Lu Hui San sambil mendekati Lu Thay Kam. "Aku tak
menyangka sama sekali, ternyata engkau yang membunuh kedua orang tuaku!"
"Pamanmu itu sungguh tak
tahu diri!" ujar Lu Thay Kam sengit. "Tidak seharusnya dia
memberitahukan hal itu kepadamu."
"Kenapa?"
"Karena____" Lu Thay
Kam mengerutkan kening. "Sudahlah Kini engkau sudah tahu tentang itu, lalu
apa kehendakmu?"
"Aku harus
membunuhmu!" sahut Lu Hui San dengan mata berapi-api. "Aku harus
membunuhmu!"
"San San!" Lu Thay
Kam menghela nafas panjang. "Selama belasan tahun, aku membesarkanmu
dengan penuh kasih sayang. Namun kini...."
"Engkau pembunuh kedua
orang tuaku!" landas Lu Hui San. "Maka aku harus membalaskan
dendamnya!"
"Aaaah. !" Lu Thay
Kam menghela nafas panjang lagi. "San San, engkau harus tahu. Kedua orang
tuamu mati dikarenakan politik dalam istana, jadi____"
"Engkau yang membunuh
kedua orang tuaku, kan?"
"Benar."
"Kalau begitu, malam ini
pun aku harus membunuhmu!" bentak Lu Hui San sambil menghunus pedang
pusaka Han Kong Kiam
"San Sanl" Lu Thay
Kam menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sangat menyayangimu. Kalau engkau
ingin membunuhku, silakan!"
"Aku memang harus
membunuhmu!" sahut Lu Hui San dan sekaligus mendekati Lu Thay Kam dengan
menggenggam erat-erat pedang pusaka tersebut, kelihatannya gadis itu memang
ingin membunuhnya.
Sedangkan Lu Thay Kam tetap
berdiri di tempat lak bergerak, sepasang matanya memandang Lu Hui San dengan
penuh kasih sayang.
Tersentuh juga hati gadis iiu,
namun ia mengeraskan hatinya, kemudian mendadak diayunkannya pedang pusaka itu
ke arah Lu Thay Kam.
Sementara Lu Thay Kam tetap
berdiri di tempat dengan wajah berduka. Kelihatannya ia tidak mau menangkis
pedang pusaka itu.
Di saat pedang pusaka itu
sedang menyambar ke arah leher Lu Thay Kam, tiba-tiba meluncur satu benda
secepat kilat ke arah pedang pusaka itu.
Trang! Benda itu menghantam
pedang Lu Hui San.
Bukan main terkejutnya Lu Hui
San, karena merasa tangannya semutan sehmgga pedang pusaka itu terlepas dari
tangannya.
Pedang pusaka itu meluncur ke
arah dinding dan menancap di sana. Kejadian yang tak terduga itu membuat Lu
Thay Kam tertebak, bahkan sangat terperanjat. Sebab benda yang menghantam
pedang pusaka itu adalah sebutir kerikil, namun dapat membuat pedang pusaka itu
terlepas dari tangan Lu Hui San dan menancap di dinding. Dapat dibayangkan,
betapa tingginya lweekang orang yang menyambitkan kerikil itu.
Di saat itulah melesat ke
dalam sosok bayangan melalui jendela, yang ternyata Tio Bun Yang.
"Bun Yang!" seru Lu
Hui San dengan kening berkerut. "Engkau____"
"Hui San!" Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala, ia berdiri di hadapan gadis itu. "Engkau
tidak boleh membunuh Lu Tliay Kam, sebab biar bagaimana pun dia tetap ayah
angkatmu."
"Dia pembunuh kedua orang
tuaku, aku harus membunuhnya!" sahut Lu Hui San dengan mata bersimbah air.
”Tadi Lu Thay Kam telah
memberitahukan, bahwa kedua orang tuamu mati dikarenakan politik dai istana.
Maka, engkau harus mengerti. Lagi pula tadi Lu Thay Kam sama sekali tidak
melawan. Apakah engkau tega membunuh orang yang tiilak melawan?' ujar Tio Bun
Yang.
"Aku... aku..-" Lu
Hui San menundukkan kepala. "Bun Yangl Kenapa engkau ke mari mencampuri
urusan ini?"
"Aku ke mari dengan
maksud ingin menolongmu, tapi tidak tahunya____" Tio Bun Yang menghela
nafas panjang, kemudian memandang Lu Thay Kam sambil memberi hormat.
"Maafkan aku. Lu Kong Kong'"
"Anak muda...." Lu
Thay Kam terbelalak, lalu tertawa gelak.
"Engkau ke mari ingin
menolong San San, tapi malah menyelamatkan nyawaku. Anak muda, kenapa engkau
menyelamatkan nyawaku?"
"Karena Lu Kong Kong ayah
angkat Hui San. Lagi pula tadi Lu Kong Kong tidak melawan sama sekali,"
sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Itu membuktikan betapa sayangnya Lu
Kong Kong kepada Hui San."
"Ha ha ha!" Lu Thay
Kam tertawa terbahak-bahak. "Tidak salah, aku memang sayang sekali kepada
San Sanl Oleh karena itu, aku bersedia mati di tangannya."
"Aku tak menyangka sama
sekali, Lu Kong Kong memiliki perasaan itu," ujar Tio Bun Yang sambil
menghela nafas panjang. "Padahal Lu Kong Kong sangat terkenal akan
kekejamannya."
"Anak muda! Aku kejam
karena politik dalam istana. Kalau aku tidak kejam, mungkin aku sudah mati di
tangan para menteri. Tentunya engkau mengerti tentang itu."
"Maaf! Aku tidak mengerti
dan tidak mau mengerti tentang itu sebab aku bukan pembesar."
"Ha ha hal" Lu Thay
Kam tertawa gelak. "Kalau engkau ingin menjadi pembesar, aku bersedia
mengangkatmu."
”Terimakasih, Lu Kong
Kong!" ucap Tio Bun Yang. Tapi aku tidak berniat menjadi pembesar."
"Oh ya!" Lu Thay Kam
menatapnya tajam. "Engkau memasuki istanaku ini, apakah engkau membunuh
para pengawalku?"
”Tidak," Tio Bun Yang
menggelengkan kepala. "Aku hanya menotok jalan darah mereka, agar mereka
tidak bisa bergerak maupun berteriak."
*Oooh!" Lu Thay Kam
manggut-mangguL "Anak muda, engkau punya hubungan apa dengan San
San?" tanyanya.
"Sebagai teman," sahut
Tio Bun Yang memberitahukan. "Masih ada dua temannya berada di rumah
penginapan."
"Goat Nio dan Ai Ling
juga datang di ibu kota?" tanya Lu Hui San.
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Mereka ingin ikut, tapi kularang. Mereka menunggu di rumah
penginapan."
"Aaah...!" Tiba-tiba
Lu Hui San menghela nafas panjang. "Karena engkau mencampuri urusan ini,
sehingga aku tidak jadi membunuh penjahat ini!"
"Hui San" Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Lu Kong Kong bukan penjahat, dia adalah
ayah angkatmu Ihol"
“TapL..."
"San San” ujar Lu Thay
Kam sungguh-sungguh. "Kalau engkau masih ingin membunuhku, aku tetap
bersedia mati di tanganmu."
'Tidak mungkin!" Lu Hui
San menggelengkan kepala. "Bun Yang berada di sini"
"Hui San," sahut Tio
Bun Yang. "Kalau engkau masih ingin membunuh Lu Kong Kong, aku tidak akan
turut campur lagi."
"Oh?" Lu Hui San
mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Sebab aku tahu engkau
masih punya perasaan," jawab Tio Bun Yang. "Dari kecil engkau hidup
bersama Lu Kong Kong, bagaimana mungkin engkau tega membunuhnya?"
"Aku... aku____" Lu
Hui San mulai terisak-isak.
"San San!" Lu Thay
Kam mendekatinya, kemudian membelainya seraya berkata. "Aku membunuh kedua
orang tuamu karena ada surat perintah dari kaisar."
"Kalau engkau tidak
memfitnah ayahku, bagaimana mungkin keluargaku akan dihukum mati oleh
kaisar?" ujar Lu Hui San dengan air mata berderai.
"San San!" Lu Thay
Kam menghela nafas panjang. "Sebetulnya bukan aku yang memfitnah ayahmu.
Ketika aku baru mau memfitnah ayahmu, justru muncul seorang menteri memfitnah
ayahmu. Oleh karena itu, kaisar mengeluarkan surat perintah untuk menghukum
mati seluruh keluargamu. Aku yang melaksanakan tugas itu, namun____"
"Kenapa?"
"Aku tidak membunuhmu dan
membiarkan Sie Kuang Han meloloskan diri dengan membawa putranya." Lu Thay
Kam memberitahukan. "Kalau aku memang berhati kejam, tentunya engkau, Sie
Kuang Han dan putranya sudah mati."
Lu Hui San tak menyahut. Lu
Thay Kam menghela nafas seraya melanjutkan.
"Karena aku tidak
membunuhmu dan membiarkan Sie Kuang Han meloloskan diri dengan membawa
putranya, maka menteri itu memfitnah diriku. Tapi aku berhasil menuduh menteri
itu dengan berbagai alasan, akhirnya menteri itu bersama keluarganya dihukum
mati oleh kaisar.”
"Oh?" Lu Hui San
terbelalak.
"Karena itu...." Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan
kepala. "Sie Kuang Han
tidak seharusnya menyuruhmu membalas dendam."
"Pamanku tahu tentang
itu?" tanya Lu Hui San.
"Dia tahu." Lu Thay
Kam manggut-manggut dan menambahkan "Terus terang, aku dan ayahmu merupakan
kawan baik, tapi kami berdua
selalu berselisih paham, akhirnya menjadi musuh. Aaah. Itu telah berlalu, tidak
perlu kuungkit lagi"
"Kalau begitu, kenapa
tadi Lu Kong Kong tidak mau menjelaskan?" tanya Tio Bun Yang.
"Apabila aku terlambat datang, bukankah Lu Kong Kong.„."
"Yaaahl" Lu Thay Kam
menghela nafas panjang. "Memang aku yang membunuh kedua orang tuanya, maka
kalau dia ingin membunuhku, aku pun bersedia mati di tangannya."
"Aaaakhl" keluh Lu
Hui San.
"San San!" Lu Thay
Kam menatapnya dalam-dalam seraya bertanya, "Engkau masih sudi mengaku aku
sebagai ayah angkatmu?"
"Aku____" Lu Hui San
manggut-manggut.
"San San anakkul" Lu
Thay Kam memeluknya erat-erat "Tidak sia-sia aku membesarkanmu, sebab
engkau adalah gadis baik yang kenal akan budi kebaikan."
"Ayah_" panggil Lu
Hui San sambil terisak-isak.
"San Sanl" Lu Thay
Kam membelainya. "Jangan menangis, tidak baik menangis di hadapan pemuda
tampani"
"Ayah—.” Wajah Lu Hui San
agak memerah.
"Anak muda, aku belum
tahu namamu," ujar Lu Thay Kam sambil tertawa gelak. "Bentahukan
lahl"
"Namaku Tio Bun
Yang."
"Engkau masih muda, tapi
memiliki Iweekang yang begitu tinggi. Aku sungguh kagum kepadamu."
"Ayah” Lu Hui San
memberitahukan. "Dia putra Tio Cie Hiong, yang sangat terkenal itu."
.
"Oh!" Lu Thay Kam
terbelalak. "Pek Ih Sin Hiap adalah ayahmu?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Kalau begitu...."
Lu Thay Kam teringat sesuatu. "... engkau
adalah Giok Siauw Sin
Hiap?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk lagi.
”Tapi____" Lu Thay Kam
mengerutkan kening.
"Setahuku, ada seekor
monyet bulu putih menyertaimu. Kenapa tidak tampak monyet bulu putih itu?"
"Aku tidak ajak kauw heng
ke mari," ujar Tio Bun Yang. "Kauw heng berada di dalam kamar
penginapan menemani Goat Nio dan Al Ling."
"Kenapa tidak engkau ajak
mereka ke mari?" tanya Lu Thay Kam mendadak.
"Aku khawatir akan
terjadi sesuatu di sini, maka aku tidak mengajak mereka ke mari," sahut
Tio Bun Yang dan menambahkan. Tapi apabila aku tidak kembali pagi hari, mereka
akan menyusul ke sini."
"Kalau begitu, biar
mereka menyusul ke sini sajal" ujar Lu Thay Kam sambil tertawa.
"Maaf. Lu Kong
Kongl" ucap Tio Bun Yang.
"Aku harus mohon diri
sekarang, sebab urusan di sini sudah beres."
"Ayah, aku juga mau mohon
pamit," sambung Lu Hui San dan melanjutkan. "Karena masih ada urusan
lain yang harus kuselesaikan”
"San San____" Lu
Thay Kam menghela nafas panjang. "Engkau baru pulang-..."
"Ayah, kalau urusanku itu
sudah beres, aku pasti kembali," ujar Lu Hui San sungguh-sungguh.
"Jadi Ayah jangan melarangku pergi sekarang, sebab aku harus menemui Goat
Nio dan Ai Ling."
"Baiklah," Lu Thay
Kam manggut-manggut. “Tapi...“ "Ada apa, Ayah?" tanya Lu Hui San
heran.
"Pemuda ini harus
bertanding tiga jurus dengan ayah, barulah ayah memperbolehkan engkau
pergi," sahut Lu Thay Kam sambil memandang Tio Bun Yang.
"Ayah____" Lu Hui
San mengerutkan kening.
"Anak mudai" Lu Thay
Kam tertawa. "Bagaimana, engkau bersedia bertanding tiga jurus dengan
aku?"
"Lu Kong Kong...” Tio Bun
Yang menggelengkan kepala. "Kita tidak perlu bertanding. Bagaimana kalau
aku mengaku kalah saja?"
"Mengaku kalah? Ha ha ha
Tentunya aku tidak terimal Nah, alangkah baiknya kita bertanding tiga jurus
sajal" desak Lu Thay Kam. "Anak muda, jangan mengecewakan aku dan
mempermalukan Pek lh Sin Hiap, ayahmu!"
"Lu Kong Kong, aku ke
mari bukan untuk bertanding"
"Kalau engkau tidak
bersedia bertanding de ngan aku, tentu aku akan melarang San San pergi,"
tegas Lu Thay Kam.
"Ayah—" Lu Hui San
mengerutkan kening."Kenapa Ayah mendesaknya untuk bertanding?*
"Ha ha ha!" Lu Thay
Kam tertawa. "San San,, engkau harus tahu, ayah mau bertanding dengan dia,
itu berarti ayah menghargai dia."
"Oh?" Lu Hui San
memandang Tio Bun Yang.
"Kalau begitu—"
Pemuda itu menghela nafas, "maafkan atas kelancanganku bertanding dengan
Lu Kong Kong!"
"Ha ha hal Anak
muda!" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Engkau memang pemuda yang sopan,
aku suka kepadamu. Nah, bersiap-siaplah, aku akan menyerangmu dengan tangan
kosong!"
Tio Bun Yang mengangguk,
sekaligus mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang, sedangkan Lu Thay Kam juga
mengerahkan Iweekangnya.
"Anak muda,
hati-hati!" seru Lu Thay Kam dan langsung menyerangnya dengan ilmu Ie Hoa
Ciap Bok Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Memindahkan Bunga Menyambung Pohon), ia
mengeluarkan jurus Hoa Kay Cang Cun (Bunga Mekar Sepanjang Musim Semi).
Sungguh hebat jurus tersebut,
sebab sepasang tangan Lu Thay Kam berubah menjadi ratusan kuntum bunga mengarah
kepada Tio Bun Yang.
Tio Bun Yang terperanjat
menyaksikan jurus itu la ingin berkelit tapi sudah terlambat. Maka, ia terpaksa
menangkis dengan ilmu Jari Sakti Bit Ciat Sin Ci. mengeluarkan jurus Cian Ci
Soh Te (Ribuan Jari Menyapu Bumi).
Betapa terkejutnya Lu Thay Kam
menyaksikan jurus tersebut. Cepat-cepat ia menarik kembali serangannya, kemudian
menyerang lagi dengan jurus Ki Yauw Yap Lok (Dahan Bergoyang Daun Rontok).
Daaar! Terdengar suara
benturan dahsyat.
Lu Thay Kam berdiri tak
bergeming, sedangkan tubuh Tio Bun Yang tampak bergoyang-goyang.
"Ha ha ha!" Lu Thay
Kam tertawa terbahak-bahak. "Sungguh luar biasa! Ternyata engkau memang
berisi! Kini hanya tinggal satu jurus, engkau harus berhati-hati! Karena jurus
ini akan kusertai dengan Iweekang sepenuhnya, maka eng kau jangan menganggapku
main-main!"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk, lalu menghimpun Kari Kun Taylo Sin Kang.
Lu Thay Kam menatapnya tajam,
kemudian mendadak bersiul panjang sambil menyerang dengan jurus le Hoa Ciap Bok
(Memindahkan Bunga Menyambung Pohon), jurus tersebut amat lihay dan hebat,
bahkan disertai pula dengan Iweekang sepenuhnya.
Menyaksikan serangan itu,
wajah Lu Hui San langsung memucat. Gadis itu tidak menyangka kalau ayah
angkatnya akan mengeluarkan jurus tersebut untuk menyerang Tio Bun Yang.
"Ayah...." Lu Hui
San memejamkan matanya karena merasa
tidak tega menyaksikan tubuh
Tio Bun Yang akan hancur berkeping-keping.
Kenapa Lu Thay Kam
mengeluarkan jurus tersebut? Ternyata Lu Thay Kam tahu Tio Bun Yang
berkepandaian sangat tinggi. Kalau ia tidak menyerangnya dengan
sungguh-sungguh, tentunya pemuda itu tidak akan mengeluarkan jurus andalannya
pula. Oleh karena itu, Lu Thay Kam terpaksa harus mengeluarkan jurus
andalannya.
Ketika menyaksikan serangan
itu, Tio Bun Yang tahu Lu Thay Kam tidak main-main, maka iapun menggunakan Kan
Kun Taylo Ciang Hoat, mengeluarkan jurus Kan Kun Taylo Hap It (Segala-galanya
Menyatu Di Alam Semesta) untuk menangkis.
Blaaaml Terdengar suara
benturan dahsyat.
Tio Bun Yang terhuyung-huyung
ke belakang tiga langkah. Lu Thay Kam begitu juga, bahkan wajahnya tampak pucat
pias. Sedangkan wajah Tio Bun Yang tetap tampak seperti biasa.
"Bun Yang..." keluh
Lu Hui San tidak berani membuka matanya. Gadis itu yakin tubuh Tio Bun Yang
telah hancur berkeping-keping.
"Anak muda!" ujar Lu
Thay Kam sambil menatapnya terbelalak. "Engkau memang luar biasa sekali!
Aku sungguh kagum kepadamu!"
”Tenmakasih atas kemurahan
hati Lu Kong Kong!" sahut Tio Bun Yang dan sekaligus memberi hormat.
Mendengar suara itu, barulah
Lu Hui San membuka matanya. Begitu melihat Tio Bun Yang tidak kurang sualu apa
pun, berserilah wajahnya.
"Bun Yang!" serunya
girang. "Engkau tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa,"
sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. ”Terimakasih atas perhatianmu!"
"Sungguh
keterlaluan!" ujar Lu Thay Kam dengan tertawa. "San San, engkau sama
sekali tidak menaruh perhatian pada ayahmu, malah menaruh perhatian pada Bun
Yang."
"Ayah...." Wajah Lu
Hui San memerah. "Ayah tidak apa-
apa?"
"Kalau ayah tak memiliki
leekang le Hoa Ciap Bok, ayah pasti sudah terkapar tak bernyawa di sini,"
sahut Lu Thay Kam sungguh-sungguh.
"Oh?" Lu Hui San
tampak kurang percaya. "Ayah jangan bergurau!"
"Ayah tidak bergurau,
sesungguhnya memang begitu” ujar Lu Thay Kam sambil menatap Tio Bun Yang.
"Anak muda, tadi engkau menggunakan ilmu apa untuk menangkis seranganku?"
"Aku menggunakan Kan Kun
Taylo Ciang Hoat." Tio Bun Yang memberitahukan. "Kalau aku tidak
menggunakan ilmu tersebut, aku pasti sudah menjadi mayat."
"Sungguh bebat ilmu
itul" ujar Lu Thay Kam sambil menghela nafas. "Dapat balik menyerang
dengan Iweekang Si Penyerang pula. Apabila Iweekang le Hoa Ciap Bok tak
memiliki keistimewaan, nyawaku pasti sudah melayang."
"Lu Kong Kong! Sungguh
luar biasa ilmu le Hoa Ciap Bok itu, sebab Kan Kun Taylo Sin Kangku tidak mampu
membalikkan seluruh Iweekang le Hoa Ciap Bok tersebut, bahkan masih menerobos
menyerangku."
"Itulah keistimewaan
Iweekang tersebut, tapi tetap tidak mampu melukaimu."
"Karena aku masih
memiliki Pan Yok Hian Thian Sin Kang yang melindungi diriku."
"Ooohi" Lu Thay Kam
manggut-manggut. "Pantas engkau tidak terluka sama sekalil Ternyata engkau
masih memiliki Iweekang pelindung tubuh, sungguh bukan main!"
"Tapi kalau Lu Kong Kong
tidak mengurangi Iweekang di saat menyerang, mungkin aku sudah terluka,"
Tio Bun Yang memberitahukan.
"Kalau aku tidak
mengurangi Iweekangku itu, aku pun sudah terluka parah," sahut Lu Thay Kam
sambil tertawa gelak. "Ha ha ha! Pertandingan tadi sungguh memuaskan! Oh
ya, apabila engkau bersedia menjadi pembesar, aku pasti mengangkatmu
setinggi-tingginya."
"Maaf, Lu Kong Kong, aku
tidak berniat menjadi pembesar! Kini sudah hampir pagi, aku harus segera
kembali ke rumah penginapan."
"Baiklah." Lu Thay
Kam manggut-manggut, "Mudah-mudahan kita akan berjumpa lagi kelak!"
"Permisi!" ucap Tio
Bun Yang.
Lu Thay Kam mangut-manggut
lagi, kemudian memandang Lu Hui San seraya berpesan.
"San San, setelah
urusanmu itu beres, engkau harus kembali ke sinil"
"Ya, Ayah," Lu Hui
San mengangguk. "Sampai jumpa, Ayah!"
"San San," tanya Lu
Thay Kam mendadak. "Engkau sudah punya kekasih belum?"
"Ayah...." Wajah Lu
Hui San langsung memerah.
"San San," ujar Lu
Thay Kam sambil tertawa. "Bun Yang adalah pemuda tampan dan baik,
janganlah membiarkannya terbang ke dalam pelukan gadis lain!"
"Ayah!" Lu Hui San
tersenyum. "Bun Yang sudah punya kekasih, maka Ayah jangan mengharapkan
yang bukan-bukan!"
"Oh?" Lu Thay Kam
menghela nafas panjang. "Sungguh sayang sekalil"
"Lu Kong Kong," ucap
Tio Bun Yang. "Sampai jumpa!"
"Sampai jumpa, anak
mudai" sahut Lu Kong Kong sambil tertawa. "Ingat! Pintu tempat
tinggalku ini selalu terbuka untukmu!"
”Terimakasih, Lu Kong
Kongl" Tio Bun Yang melangkah pergi Lu Hui San segera mengikutinya,
sedangkan Lu Thay Kam memandang punggung mereka sambil menghela nafas panjang.
Di dalam kamar penginapan, Lie
Ai Ling berjalan mondar-mandir dengan kening berkerut-kerut, sedangkan Siang
Koan Goat Nio duduk tenang di kursi.
"Goat Niol" Mendadak
Ue Ai Ling menunjuknya seraya berkata. "Aku sangat cemas, sebaliknya
engkau malah begitu tenang duduk di kursi. Engkau tidak memikirkan Kakak Bun
Yang dan Lu Hui San?"
"Tentu memikirkan mereka
" sahut Siang Koan Goat Nio, yang tetap tampak tenang. "Namun aku
yakin Bun Yang tidak akan terjadi sesuatu, maka aku bisa tenang dan berlega
hati."
"Sudah hampir pagi,
bagaimana kalau kita menyusu! ke istana?" usul Lie Ai Ling, yang kelihatan
tidak sabaran.
"Kita tunggu lagi
sebentar, jangan terburu-buru menyusul ke sana!" ujar Siang Koan Goat Nio.
"Jadi tidak akan selisih jalan."
"Tapi___" Ketika Lie
Ai Ling baru mau mengatakan sesuatu, tiba-tiba kamar itu terbuka, Tio Bun Yang
dan Lu Hui San berjalan masuk.
"Ai Ling, Goat Nio!"
panggil Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Kakak Bun Yang!"
seru Lie Ai Ling girang. "Syukurlah kalian tidak terjadi apa-apa!"
"Al Ling!" Lu Hui
San tersenyum. ”Terima kasih atas perhatianmu!"
"Hi hi hil" Lie Ai
Ling tertawa. "Dari semalam kami tidak bisa tidur. Aku terus berjalan
mondar-mandir, sedangkan Goat Nio terus duduk mematung di kursi."
"Oh7" Tio Bun Yang
memandang Siang Koan Goat Nio. "Goat Nio...."
"Bun Yang..." sahut
Siang Koan Goat Nio lembut. "Aku... aku sangat mencemaskan mu "
"Goat Nio____" Tio
Bun Yang tersenyum. ”Terimakasihl"
"Eh? Goat Niol" Lie
Ai Ling terbelalak. „Tadi engkau kelihatan begitu tenang, kenapa sekarang bisa
bilang mencemaskan Kakak Bun Yang?"
"Aku mencemaskannya dalam
bati, maka tetap kelihatan tenang," sahut Siang Koan Goat Nio
memberitahukan.
"Oooohl" Lie Ai Ling
manggut-manggut sambjl tertawa. "Mencemaskan Kakak Bun Yang dalam
hati....“
Siang Koan Goat Nio tersenyum
dengan wajah agak kemerah-merahan, kemudian memandang Tio Bun Yang seraya
bertanya,
"Engkau bertemu Lu Thay
Kam?"
"Ng!" Tio Bun Yang
mengangguk, lalu menutur dan menambahkan. "Aku tak menyangka sama sekati
kalau Lu Thay Kam begitu menyayangi dan mencintai Hui San."
"Itu memang sungguh di
luar dugaan." Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang. ”Ternyata Lu
Thay Kam masih punya rasa kasih sayang dan cinta terhadap Hui San."
"Kalau begitu..."
ujar Lie Ai Ling. "Lu Thay Kam sesungguhnya tidak jahat, sebab dia masih
mau membesarkan Hui San, bahkan juga membiarkan Sie Kuang Han meloloskan diri
dengan membawa anaknya."
"Yaaahl" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Semua itu dikarenakan politik dalam istana,
sehingga menimbulkan berbagai pergolakan."
"Kakak Bun Yang,"
Lie Ai Ling menatapnya. "Urusan di sini telah beres, kita akan langsung
berangkat ke Gunung Hek Ciok San?" tanyanya.
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Sekarang sudah pagi, mari kita berangkat!"
"Kita harus makan dulu,
setelah itu barulah berangkat," sahut Lie Ai Ling dengan tersenyum.
"Jangan berangkat perut
dalam keadaan kosong, bahkan kita pun harus beli sedikit makanan kering!"
"Benar." Tio Bun
Yang mengangguk. "Mari kita pergi makan dulu lalu berangkat! Kita tidak
boleh membuang waktu lagi."
-ooo0dw0ooo-
Bagian ke tiga puluh tiga
Pertarungan Dimulut Lembah
Kabut Hitam
Kam Hay Thian memang benar
berangkat ke Lembah Kabut Hilam di Gunung Hek Ciok San. Namun ia belum tiba di
lembah itu karena mengambil jalan putar Hal itu dilakukannya agar Seng Hwee Sin
Kun tidak mengetahui kedatangannya, tapi justru banyak menyila waktunya.
Ketika dia hampir mendekati
Gunung Hek Ciok San, sekonyong-konyong melayang turun seorang gadis di
hadapannya. Betapa terkejutnya Kam Hay Thian, ia menatap gadis itu dengan Lajam
dan siap bertarung.
"Selamat bertemu Saudara
Kam!" ucap gadis itu sambil tersenyum dan sekaligus memberi hormat.
"Namaku Phang Ling Cu, ketua Ngo Tok Kauw."
"Nona Phang. kok kenal
aku?" Kam Hay Thian mengerutkan kening. "Padahal kita tidak pernah
bertemu."
"Aku bertemu Bibi Suan
Hiang, ketua liong Ngie Pay, dia yang menceritakan kepadaku tentang
dirimu," sahut gadis itu, yang ternyata Phang Ling Cu, ketua Ngo Tbk Kauw.
"Oooh!" Kam Hay
Thian manggut-manggut.
"Bahkan____" Ngo Tok
Kauwcu memberitahukan sambil tersenyum. "Aku pun sudah bertemu Tio Bun
Yang!"
"Oh?" Kam Hay Thian
menatapnya. "Maaf! Ada urusan apa Nona Pbang muncul di sini
menemuiku?"
"Saudara Kam!" Ngo
Tok Kauwcu tersenyum lagi. "Terus terang, kita punya musuh yang
sama."
"Siapa musuhmu?"
"Seng Hwee Sin Kun."
"Apa?" Kam Hay Thian
tertegun. "Dia musuhmu juga?"
"Betul." Ngo Tok
Kauwcu mengangguk. "Dia pembunuh ayahku, maka aku harus membalaskan
dendam."
"Dia pembunuh
ayahmu?" Kam Hay Thian terbelalak. "Nona Phang, bolehkah engkau
menutur mengenai kejadian itu?"
"Tentu boleh." Ngo
Tok Kauwcu mengangguk lalu menutur. "Dia membunuh ayahku gara-gara sebuah
kitab pusaka Seng Hwee Cin Keng."
"Apa?" Kam Hay Thian
mengerutkan kening. "Dia membunuh ayahku juga dikarenakan kitab pusaka
itu. kalau begitu—"
"Ayahmu bernama Kam Pek
Kian, bukan?"
"Betul. Dari mana Nona
Phang lahu?"
"Ketika ayahku terluka
parah oleh pukulan Seng Hwee Sin Kun, tiba-tiba muncul ayahmu berusaha menolong
ayahku." Ngo Tok Kauwcu memberitahukan. "Ayahku memberikan kitab
pusaka itu kepada ayahmu, setelah itu ayahku menghembus nafas penghabisan.
Sungguh lak terduga. Seng Hwee Sin Kun tahu kitab pusaka itu jatuh ke tangan
ayahmu...."
"Ooooh!" Kam Hay
Thian manggut-manggut. "Ternyata begitu! Namun kenapa Seng Hwee Sin Kun
bisa tahu ayahmu memperoleh kitab pusaka itu?"
"Sebetulnya dia dan
ayahku merupakan kawan akrab. Dia memperoleh Seng Hwee Tan (Pil Mujarab Api
Suci), sedangkan ayahku memperoleh kitab pusaka Seng Hwee Cin Keng. Akan
tetapi, dia berhati serakah dan berupaya membunuh ayahku demi memperoleh kitab
pusaka itu.“
"Ooohl Kam Hay Thian
menghela nafas. "Gara-gara kitab pusaka itu, kawan pun jadi lawan, bahkan
ayahku mati lantaran kitab pusaka tersebut."
"Karena Itu, dia musuh
kita berdua," ujar Ngo tok Kauwcu dengan mata membara. "Kita harus
membunuhnya."
"Kalau begitu, mari kita
ke Lembah Kabul Hitami" ajak Kam Hay Thian dan memberitahukan,
"Markas Seng Hwee Kauw berada di lembah itu."
"Baik." Ngo Tok
Kauwcu mengangguk. Mereka berdua lalu melesat ke arah lembah tersebut.
-oo0dw0oo-
Sementara itu, di dalam markas
Seng Hwee Kauw terdengar suara tawa terbahak-bahak, ternyata Seng Hwee Sin Kun
yang tertawa.
"Ha ha ha! Chu Ok Hiap
(Pendekar Pembasmi Penjahat) dan Ngo Tok Kauwcu sedang menuju ke mari! Berarti
mereka mengantar diri, bagus Bagus sekali!"
"Kauwcu, apa rencanamu
sekarang?" tanya Leng Bin Hoatsu
"Aku akan membunuh Chu Ok
Hiap, sedang kan kalian berlima menghadapi Ngo Tok Kauwcu tapi harus
berhati-hati terhadap racunnya!" sahut Seng Hwee Sin Kun dan melanjutkan.
”Mengingat almarhum ayahnya adalah kawan baikku, maka kalian tidak usah
membunuhnya, cukup menahan nya saja."
"Menahannya?" Lcng
Bin Hoatsu tidak mengerti. "Maksud Kauwcu?"
"Maksudku kalian menahannya
agar dia tidak ikut menyerangku, sebab aku tidak ingin melukainya." Seng
Hwee Sin Kun menjelaskan. "Kalian mengerti?"
"Ya." Leng Bin
Hoatsu dan lainnya mengangguk.
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gelak sambil bangkit dari tempat duduknya. "Mari kita
ke mulut lembah menyambut kedatangan merekal Hari ini aku harus turun tangan
membunuh Chu Ok Hiap."
Mereka berenam menlngalkan
ruang itu. Begitu sampai di luar markas, mereka mengerahkan ginkang menuju
mulut lembah.
Sementara itu, Kam Hay Thian
dan Ngo Tok Kauwcu teiah sampai di mulut lembah tersebut. Mereka berdua tidak
langsung masuk, melainkan cuma berdiri di mulut lembah itu.
"Mungkinkah di dalam
lembah terdapat jebakan?" tanya Kam Hay Thian dengan kening berkerut.
"Mungkin." Ngo Tok
Kauwcu mengangguk. "Maka kita harus berhati-hati, jangan bergerak
scmbaranganl"
"Biar bagaimana pun, kita
harus memasuki lembah ini. Aku...." Ucapan Kam Hay Thian di putuskan oleh
suara tawa keras.
"Ha ha hal Chu Ok Hiap,
sungguh besar nyalimu untuk ke mani" Melayang turun Seng Hwee Sin Kun di
hadapan Kam Hay Thian.
Setelah itu, melayang turun
lagi Leng Bin Hoatsu dan lainnya, yang langsung mengurung Ngo Tok Kauwcu.
"Engkaukah Seng Hwee Sin
Kun?" tanya Kam Hay Thian dingin sambil menatapnya dengan mata berapi-api.
"Betul!" sahut Seng
Hwee Sin Kun. "Hari ini engkau barus mampus! Ha hal"
"Seng Hwee Sin Kun!"
bentak Kam Hay Thian mengguntur. "Aku ke mari untuk membalas dendam!
Bersiap-siaplah untuk mati!"
"Anak muda!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa terkekeh. "He he he! Kematianmu sudah berada di
ambang pintu, namun masih berani omong besari"
"Hmm!" dengus Kam
Hay Thian sambil mengerahkan Pak Kek Sin Kang (Tenaga Sakti Kutub Utara).
"Eh?" Seng Hwee Sin
Kun mengerutkan kening. Ternyata ia merasa ada hawa dingin. Seketika juga ia
menghimpun Seng Hwee Sin Kang (Tenaga Sakti Api Suci).
Kam Hay Thian tampak terkejut,
karena merasa ada hawa panas. Mereka berdua saling menatap, kemudian mendadak
Kam Hay Thian mulai menyerang.
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa. "Bagus, bagus!"
Seng Hwee Sin Kun berkelit
sekaligus balas menyerang, maka terjadilah pertarungan sengit. Mereka bertarung
dengan tangan kosong.
Ngo Tok Kauwcu menyaksikan
pertarungan itu dengan penuh perhatian, begitu pula Leng Bin Hoatsu dan lainnya.
Tak terasa pertarungan sudah
melewati belasan jurus. Kam Hay Thian tampak mulai berada di bawah angin.
Karena itu, ia mulai mengeluarkan jurus-jurus andalannya.
Sekonyong-konyong ia menyerang
Seng Hwee Sin Kun dengan jurus Han Thian Soh Swat (Menyapu Salju Hari Dingin).
Menyaksikan serangan itu, Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak.
"Ha ha ha! Serangan yang
bagus! Nah, bersiap-siaplah menghadapi jurusku!" serunya sambil berkelit,
kemudian mendadak balas menyerang dengan jurus Seng Hwee Sauh Thian (Api Suci Membakar
Langit).
Bukan main lihay dan
dahsyatnya jurus terbut karena sepasang telapak tangan Seng Hwee Sin Kun
memancarkan cahaya kehijau-hijauan yang mengandung api.
Kam Hay Thian tidak bisa
berkelit, maka terpaksa menangkis dengan jurus Leng Swat Teng Hai (Salju
Menutupi Laut), sekaligus mengerahkan Pak Kek Sin Kang sepenuhnya. Sepasang
telapak tangannya mengeluarkan hawa dingin.
Daaar! Terdengar suara
benturan dahsyat.
Kam Hay Thian terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belalang, pakaiannya telah hangus. Sedangkan Seng Hwee Sin
Kun tetap berdiri di tempat, keningnya tampak berkerut-kerut.
"Hebat juga engkaul"
ujar Seng Hwee Sin Kun. "Mampu menangkis serangankul"
"Hmml" dengus Kam
Hay Thian. Wajahnya pucat pias, ternyata dadanya terkena pukulan itu.
Mendadak ia membentak keras
sambil menyerang dengan mengeluarkan jurus Swat Hoa Phiau Phiau (Bunga Sarju
Berterbangan).
Seng Hwee Sin Kun tidak
berkelit, melainkan menangkis dengan jurus Seng Hwee Jip Te (Api Suci Masuk Ke
Bumi).
Daaaarl Terdengar suara
benturan yang amat dahsyat memekakkan telinga, disusul suara jeritan Kam Hay
Thian.
"Aaaakh...!"
Badannya terpental belasan depa, kemudian roboh telentang dengan dada hangus
dan nafasnya tampak lemah sekali.
"Ha ha hal" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Chu Ok Hiap, ajalmu telah tibal Ha ha
ha...l"
Seng Hwee Sin Kun mendekati
Kam Hay Thian selangkah demi selangkah. Sementara wajah Ngo Tok Kauwcu tampak
memucat, kemudian
perlahan-lahan menggerakkan tangannya.
"Jangan bergerak
sembaranganl" bentak Pat
Pie Lo Koay melotot sambil
menyerangnya, sekalgus berbisik kepadanya menggunakan ilmu menyampaikan suara.
"Nona Phang, cepat kabur!"
Ngo Tok Kauwcu berkelit
meloncat ke belakang. Sungguh mengherankanl Ngo Tok Kauwcu tidak tampak
terkejut sama sekali akan suara bisikan itu, sepertinya mereka berdua punya
suatu hubungan.
Sementara Seng Hwee Sin Kun
terus mendekati Kam Hay Thian, kelihatannya ia ingin menghabisi nyawa pemuda
itu. Namun di saat bersamaan, terdengarlah suara bentakan keras.
"Berhenti!"
Tampak seseorang melayang
turun di hadapan Seng Hwee Sin Kun, yang ternyata Tio Bun Yang bersama monyet
bulu putih yang duduk di bahunya.
"Haah?!" Seng Hwee
Sin Kun tertegun ketika metibat kemunculan Tio Bun Yang, yang mendadak itu,
ialu tertawa gelak. "Ha ha ha! Tak disangka Giok Siauw Sin Hiap yang
muncull Bagus, bagus!"
"Seng Hwee Sin Kun!"
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Sungguh kejam hatimu!"
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa lagi. "Aku memang kejam, karena akan membunuhmu
juga!"
Sementara Ngo Tok Kauwcu
tampak gembira sekali, tapi juga merasa cemas karena tidak begitu yakin Tio Bun
Yang mampu mengalahkan Seng Hwee Sin Kun.
"Adik Bun Yang,
hali-hatil" serunya mengingatkan.
”Terimakasih atas perhatian
Kakak Ling Cui” sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Oooh” Seng Hwee Sin Kun
manggut-manggut. "Ternyata kalian adalah teman, bagus. Aku akan membunuh
kalian semual"
Pada waktu bersamaan,
berkelebat tiga sosol bayangan ke sisi Tio Bun Yang. Tiga sosok bayangan itu
ternyata Siang Koan Goat Nio, Lie A Ling dan Lu Hui San.
"Goat Nio, Adik Ai
Ling" bisik Tio Bun Yang "Kalian bantu Ngo Tok Kauwcu! Hui San
menjaga pemuda itul"
”Tapi engkau..." Lie Ai
Ling mengerutkan kening.
"Jangan khawatir!"
sahut Tio Bun Yang. "Aki mampu melawan Seng Hwee Sin Kun, percaya
lahl"
"Bun Yang,
hati-hati!" pesan Siang Koan Coa Nin, lalu bersama Lie Ai Ling mendekati
Ng Tok Kauwcu. Sedangkan Lu Hui San segera berlari menghampiri Kam Hay Thian.
"Kakak Hay Thian!"
panggil gadis itu terisak isak. "Bagaimana keadaanmu?"
"Hui San, aku...
aku____" Suara Kam Hay TTiia lemah sekali. "Aku telah terluka parah,
mungkin... mungkin tidak hisa hidup lama lagi...."
"Kakak Hay Thian, engkau
jangan berkata begitu!" Air mata Lu Hui San berderai-derai.
"Engkau... engkau tidak akan mati...."
"Hui San...." Kam
Hay Thian menatapnya dengan mata
redup. "Aku... aku sudah
tidak tahan. Aku,..."
"Bertahanlah Kakak Hay
Thian! Bertalianlah!" Lu Hui San memeluknya erat-erat.
Menyaksikan Itu, Seng Hwee Sin
Kun justru tertawa terkekeh-kekeh, kelihatan gembira sekali.
"He he hel Chu Ok Hiap,
nasibmu sungguh tragis. Di saat akan menemui ajal, malah muncul gadis cantik
menemanimu!"
"Diam!" bentak Lu
Hui San mendadak sambil nrenghunus pedang Han Kong Kiam
Begitu melihat pedang tersebut,
kening Seng Hwee Sin Kun berkerut.
"Pedang apa itu?"
tanyanya.
"Pedang Han Kong
Kiam."
"Kalau begitu...."
Seng Hwee Sin Kun menatapnya tajam.
"Engkau adalah putri Lu
Thay Kam. Ya, kan?"
"Ya." Lu Hui San
mengangguk.
"Ngmm" Seng Hwee Sin
Kun manggul-mang-nt. "Aku tidak akan membunuhmu, lebih baik engkau segera
meninggalkan tempat inil"
"Aku tidak akan
pergi!" sahut Lu Hui San.
"Engkau boleh membunuhku,
pokoknya aku tidak akan pergi!"
"Oh?" Seng Hwee Sin
Kun tertawa, kemudian menatap Tio Bun Yang dengan dingin sekali. "Kecuali
Lu Hui San, kalian semua harus mampus hari mil"
"Belum tentu," sahut
Tio Bun Yang. Sedangkan monyet bulu putih bercuit-cuit dan menyeringai,
kelihatan marah sekali.
"He he he” Seng Hwee Sin
Kun tertawa terkekeh. "Monyet bulu putih itu pun harus mampus!"
"Oh?" Tio Bun Yang
tertawa dingin. Ia mengeluarkan suling pualamnya sekaligus menghimpun Pan Yok
Hian Thian Sin Kang untuk melindungi diri, karena tahu Seng Hwee Sin Kun pasti
menyerangnya.
"Ha ha hal" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gelak sambil mengerahkan Iweekangnya, kelihatannya sudah
siap bertarung.
Suasana di tempat itu mulai
mencekam. Leng Bin Hoatsu dan lainnya langsung mengarah pada mereka, begitu
pula Siang Koan Goat Nio, Lie Ai Ung, Ngn Tok Kauwcu dan Lu Hui San Sementara
Kam Hay Thian diam saja, temyata pemuda itu telah pingsan.
"Giok Siauw Sin
Hiap!" seru Seng Hwee Sin Kun. "Berhati-hatilah! Aku akan
menyerangmu!
"Seng Hwee Sin Kun,
terimakasih atas peringatanmu!" sahut Tio Bun Yang. "Aku sudah siap
menyambut seranganmul"
"Bagusi Lihat
serangan!" bentak Seng Hwee Sin Kun sambil menyerangnya.
Tio Bun Yang berkelit,
kemudian berbisik kepada monyet hulu putih.
"Kauw heng,
turunlah!"
Monyet hulu putih langsung
meloncat turun, sedangkan Seng Hwee Sin Kun mulai menyerang lagi.
Tio Bun Yang cepat-cepat
berkelit menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat), kemudian
halas menyerang dengan ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi (Ilmu Suling Kumata
Pemusnah Kepandaian), mengeluarkan jurus San Pang Te Liak (Gunung Runtuh Bumi
Retak).
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gelak. 'Bagus! Engkau masih mampu menyerangl"
Ketua Seng Hwee Kauw itu
mengelak, sekaligus balas menyerang dengan ujung lengan jubahnya.
Tio Bun Yang tidak berkelit,
melainkan menangkis serangan itu dengan jurus Hoan Thian uoan Te (Membalikkan
Langit Memutarkan Bumi).
Blaml Terdengar suara
benturan.
Seng Hwee Sin Kun berdiri tak
bergeming di tempat, sedangkan Tio Bun Yang terpental beberapa langkah. Dapat
dibayangkan, betapa terkejutnya pemuda itu.
"Ha ha hal" Seng
Hwee Sin Kun tertawa. "Hebat juga engkau, mampu menangkis seranganku! Nah,
sambut lagi seranganku”
Seng Hwee Sin Kun menyerangnya
dengan sepasang telapak tangan. Mendadak Tio Bun Yang bersiul panjang sambil
menggerakkan sulingnya.
Seng Hwee Sin Kun tersentak
ketika menyaksikan gerakan suling itu, karena tampak kacau balau dan membuat
matanya berkunang-kunang. Ternyata Tio Bun Yang menggunakan Cit Loan Kiam Hoat
(Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling), mengeluarkan jurus Ban Kiam Hui Thian
(Selaksa Pedang Terbang Di Langit). Tampak suling itu berkelebatan tidak karuan
ke arah Ser.g Hwee Sin Kun.
"Haaah?" Bukan main
terkejutnya Seng Hwee Sin Kun. Ia segera meloncat ke belakang.
Akan tetapi, suling itu tetap
berkelebatan menyerangnya, bahkan membuatnya pusing sekali.
Breeetl Jubah Seng Hwee Sin
Kun telahi berlubang.
"Hiyaatl" teriaknya
sambil mengibaskan lengan jubahnya, kemudian secepat kilat meloncat ke samping.
Akan tetapi, Tio Bun Yang
terus menyerangnya, sehingga Seng Hwee Sin Kun kalang kabut menghindar ke sana
ke mari.
"Kakak Bun Yang"
seru Lie Ai Ling sambi bertepuk tangan. "Terus serang dia, jangan
membiarkan dia lolos!"
Suara seruan itu membangkitkan
kegusaran Seng Hwee Sin Kun. Mendadak ia bersiul panjang sambil bersalto ke
belakang secepat kilat. Ketika melayang turun, sepasang matanya telah
dipejamkan.
Tentunya membuat Tio Bun Yang
terheran heran.
"He he he!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh. "Coba serang aku lagi!"
Tio Bun Yang mengerutkan kening.
Ia tidak tahu apa sebabnya Seng Hwee Sin Kun memejamkan sepasang matanya.
Kemudian ia mulai menyerang lagi menggunakan Cit Loan Kiam Hoat.
Akan tetapi, kali ini Seng
Hwee Sin Kun dapat berkelit dengan mudah sekali, bahkan mampu balas menyerang.
Tio Bun Yang tersentak. Kini
ia sudah tahu bahwa Seng Hwee Sin Kun mengandalkan ketajaman pendengarannya.
Hal itu dikarenakan sepasang matanya berkunang-kunang dan merasa pusing
menghadapi ilmu pedang tersebut, maka kini ia menghadapi ilmu pedang itu dengan
mata dipejamkan.
Walau mata dipejamkan, namun
Seng Hwee Sin Kun lebih dapat bergerak dengan gesit menghindari
serangan-serangan yang dilancarkan Tio Bun Yang, bahkan balas menyerangnya.
Setelah pertarungan melewati
belasan jurus, mendadak Seng Hwee Sin Kun bersiul panjangi dan berdiri diam.
Tio Bun Yang menyaksikannya.
Ia pun berhenti menyerang, namun memandangnya dengan penuh perhatian. Berselang
sesaat, wajah Tio B-uti Yang tampak berubah karena melihat sepasang telapak
tangan Seng Hwee Sin Kun berubah agak kehijau-hijauan.
Pemuda itu tahu, bahwa Seng
Hwee Sin Kun akan mengeluarkan ilmu andalannya. Oleh karena itu, ia segera
menyimpan sulingnya lalu menghimpun Kan Kun Taylo Sin Kang.
Tak seberapa lama kemudian,
sepasang telapak tangan Seng Hwee Sin Kun mengeluarkan hawa yang panas sekali.
Betapa terkejutnya Siang Koan
Goat Nio, Li AI Ling, Lu Hui San dan Ngo Tok Kauwcu menyaksikannya.
"Hati-hati Kakak Bun
Yangl" seru Lie Ai Ling, tak tertahan.
Sementara itu, monyet bulu
putih yang berdiri tak jauh dari tempat itu pun tampak tegang sekali
Mendadak Seng Hwee Sin Kun
membentak keras sambil menyerang Tio Bun Yang dengan Seng Hwee Ciang Hoat (Ilmu
Pukulan Api Suci) mengeluarkan jurus Seng Hwee Sauh Thian (Api Suci Membakar
Langit).
Sepasang telapak tangan Seng
Hwee Sin Kun yang kehijau-hijauan berkelebatan ke arah Tio Kun Yang. Tak ada
waktu bagi Tio Bun Yang untuk berkelit, maka terpaksa menangkis menggunakan Kan
Kun Taylo Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Alam Semesta), mengeluarkan jurus Kan Kun
Taylo Bu Pien (Alam Semesta Tiada Batas).
Blaaam! Kedua tenaga sakti itu
beradu sehingga menimbulkan suara ledakan dahsyat.
Perlu diketahui, ilmu Kan Kun
Taylo Sin Kang berfungsi untuk bertahan sekaligus membalikkan Iweekang pihak
lawan, sedangkan pan Yok Hian lliian Sin Kang berfungsi melindungi diri.
Akan tetapi, terjadi suatu hal
yang sungguh di luar dugaan. Ternyata Kan Kun Taylo Sin Kang hanya mampu
membalikkan sebagian kecil Seng Hwee Sin Kang itu, sebaliknya Seng Hwee Sin
Kung tersebut malah dapat membobolkan pertahanan Kan Kun Taylo Sin Kang. Maka,
ketika terjadi benturan. Seng Hwee Sin Kang pun menerobos menyerang Tio Bun
Yang.
Itu membuat Tio Bun Yang
terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah dengan wajah pucat pias, dan
pakaiannya pun telah hangus. "He he he!" Seng Hwee Sin Kun tertawa
gelak. "Giok Siauw Sin Hiap, hari ini engkau pasti pampus! Ha ha ha.
"
Seng Hwee Sin Kun mulai
menyerangnya lagi. kali ini Tio Bun Yang bergerak cepat menghindar menggunakan
Kiu Kiong Sen Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat). Ia memang berhasil menghindar,
namun Seng Hwee Sin Kun terus menyerangnya Tio Bun Yang kewalahan berkelit,
sehingga terpaksa menangkis dengan mengeluarkan jurus Kan Kun Taylo Hap It
(Segala-galanya Menyatu Di Alam Semesta).
Blaaam! Terdengar suara benturan
dahsyat.
Seng Hwee Sin Kun
terhuyung-huyung be berapa langkah, sedangkan Tio Bun Yang terpental beberapa
depa, barulah bisa berdiri tegak.
Betapa terkejutnya Siang Koan
Goat Nio, Lie Ai Ling, Lu Hui San dan Ngo Tok Kauwcu, karena melihat dada Tio Bun
Yang telah hangus.
"Bun Yang. " jerit
Siang Koan Goat Nio.
"Kakak Bun Yang!"
teriak Lie Ai Ling denga suara gemetar.
Lu Hui San dan Ngo Tok Kauwcu
juga menjerit tak tertahan.
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gela "Giok Siauw Sin Hiap, engkau memang harus mampus
hari ini! Ha ha ha !"
Kini Tio Bun Yang tahu jelas
dirinya bukan tandingan Seng Hwee Sin Kun, karena itu harus meloloskan diri.
Mendadak ia bergerak ke arah Kam Hay Thian yang tergeletak pingsan itu,
sekaligus menyambarnya dan berseru.
"Mari kita pergi!"
Lu Hui San, Siang Koan Goat
Nio, Lie I Ling dan Ngo Tok Kauwcu langsung melesat pergi secepat kilat.
"He he he!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa kekeh-kekeh "Giok Siauw Sin Hiapl Engkau tidak akan
bisa kabur!"
Seng Hwee Sin Kun melesat ke
arahnya. Sepasang telapak tangannya tampak memancarkan cahaya kehijau-hijauan.
Ternyata ia telah menghimpun Seng Hwee Sin Kang sampai
pada puncaknya, bahkan
mengeluarkan jurus yang paling dahsyat untuk menyerang Tio Bun Yang, yaitu
jurus Thian Te Seng Hwee (Api Suci Langit Humi).
Apabila Tio Bun Yang terkena
pukulan itu, biarpun tidak mati, tapi pasti terluka parah, pada waktu
bersamaan, tampak sosok bayangan putih melesat secepat kilat menghadang Seng
Hwee Sin Kun, sekaligus menangkis serangannya. Sosok bayangan putih itu
ternyata monyet hulu putih. Di saat itu pula Tio Bun Yang melesat pergi dengan
mengapit Kam Hay Thian.
Daaaarf Terdengar suara
seperti ledakan. Monyet bulu putih berhasil menangkis serangan Seng Hwee Sin
Kun. Akan tetapi, monyet itu terpental berapa depa dan bulunya telah hangus,
begitu pula dadanya. Namun monyet itu masih mampu melesat pergi menyusul Tio
Bun Yang.
Sedangkan Seng Hwee Sin Kun
terhuyung-huyung beberapa langkah, kemudian mulutnya memuntahkan darah segar.
Leng Bin Hoatsu dan lainnya
segera menghampirinya. Seng Hwee Sin Kun menarik nafas dalam-dalam untuk
mengatur pernafasannya.
"Kauwcul Bagaimana
keadaanmu?" tanya Lena Bin Hnatsu.
"Aaaah " Seng Hwee
Sin Kun mengheli nafas panjang. "Aku sama sekali tidak menyangka, kalau
monyet bulu putih itu memiliki lwekang begitu tinggi. Aku... aku telah terluka
dalam."
"Kauwcul Bagaimana kalau
kami pergi kejar mereka?" tanya Pek Bin Kui.
"Tidak usah!" Seng
Hwee Sin Kun mengg4 lengkan kepala. "Mari kita kembali ke markas
saja!"
Sementara itu, Tio Bun Yang
dan lainnya telah berhenti di dalam sebuah rimba. Tio Bun Yang segera memeriksa
luka
Kam Hay Thian, lal
mengeluarkan sebutir pil dan dimasukkannya ke mulut pemuda itu.
"Bun Yang, bagaimana
lukamu?" tanya Sian Koan Crnnl Nio cemas.
"Cuma luka ringan,"
sahut Tio Bun Yang dai memberitahukan. "Namun Kam Hay Thian mengalami luka
parah, maka kita harus segera membawanya ke Pulau Hong Hoang To. Kalau tidak ?
dia pasti akan mati."
"Kalau begitu...."
Lu Hui San cemas sekali "Mari kita segera
berangkat, jangan membuang
buang waktu lagi"
Di saat bersamaan, muncullah
monyet bulu putih terhuyung-huyung lalu roboh di hadapan Tio Bun Yang,
"Kauw hengl" seru
Tio Bun Yang sambil mendekatinya. "Engkau terluka?"
Monyet bulu putih manggut-manggut,
kemudian bercuit lemah sambil memandang Tio Bun Yang dengan mata redup.
"Kauw heng____" Tio
Bun Yang segera menggendongnya. "Aaaakh! Tubuhmu telah hangus,
engkau..."
Monyet bulu putih bercuit
lemah lagi. Tio Bun Yang segera mengambil sebutir pil lalu dimasukkannya ke
mulut monyet butu putih. Berselang sesaat, monyet bulu putih itu puri
bercuit-cuit sambil menunjuk ke atas.
"Kauw heng...." Tio
Bun Yang memandangnya dengan air
mata berderai-derai.
"Engkau menyuruhku membawamu ke Gunung Thian San, tempat tinggalmu?"
Monyet bulu putih
manggut-manggut, kemudian menunjuk dadanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa? Dadamu terluka
parah?"
Monyet bulu putih mengangguk
dan terus menunjuk ke atas, lalu menunjuk dirinya sendiri.
"Aku harus segera
membawamu ke Gunung Thian San? Engkau sudah tidak bisa bertahan lama?"
tanya Tio Bun Yang dengan suara bergemetar.
Monyet bulu putih mengangguk.
Tio Bun Yang memeluknya erat-erat sambil terisak-isak.
"Kauw heng," ujarnya
dengan air mata bercucuran. "Engkau telah menyelamatkan nyawaku,
namun...."
Monyet bulu putih bercuit
lemah dalam pelukan Tio Bun Yang, dan nafasnya pun tampak lemah sekali.
"Baik. Aku akan segera
membawamu ke Gunung Thian San," ujar Tio Bun Yang sambil memandang Siang
Koan Goat Nio. "Kalian bertiga harus segera membawa Kam Hay Thian ke Pulau
Hong Hoang To, mungkin ayahku dapat menolongnya."
"Tapi engkau...." Siang Koan Goat Nio merasa berat
berpisah dengan Tio Bun Yang.
"Aku harus segera membawa
kauw heng ke Gunung Thian San, sebab dia... dia sudah sekarat," Tio Bun
Yang memberitahukan.
"Bagaimana kalau aku Ikut
ke sana?" tanya Siang Koan Goat Nio penuh harap.
"Lebih baik engkau
menyertai Adik Ai Ling dan Hui San ke Pulau Hong Hoang To, sebab lebih aman di
sana," sahut Tio Bun Yang lalu berkata kepada Ngo Tok Kauwcu. "Kakak
Ling Cu, aku mohon bantuanmu!"
"Katakanlah apa yang
harus kubantu!"
"Pergilah ke markas pusat
Kay Pang menemui kakekku, beritahukan tentang kejadian ini!"
"Baik." Ngo Tok
Kauwcu mengangguk. "Aku pasti segera ke sana."
”Terirnakasih, Kakak Ling
Cu!" ucap Tio Bun Yang, kemudian memandang Siang Koan Goat Nio seraya
berkata. "Setelah membawa kauw heng ke Gunung Thian San, aku pasti segera
kembali ke Pulau Hong Hoang To."
"Bun Yang...." Wajah
Siang Koan Goat Nio tampak murung.
"Aku—"
"Goat Nio," ujar Tio
Bun Yang sungguh-sungguh- "Kam Hay Thian sudah sekarat, cepatlah kalian
hawa ke Pulau Hong Hoang Tol Jangan membuang waktu di sini, sebab kalau
terlambat, dia tidak akan tertolong."
"Biar aku berangkat duluan."
ujar Lu Hui San yang langsung menggendong Kam Hay Thian lalu melesat pergi.
"Goat Nio, Adik Ai Ling,
cepat ikut dial" seru Tio Bun Yang.
"Baik." Siang Koan
Goat Nio dan Lie Ai Ling mengangguk, kemudian keduanya segera melesat pergi
menyusul Lu Hui San.
"Maaf, Kakak Ling
Cul" ucap Tio Bun Yang. "Aku pun harus segera pergi."
"Baik," sahut Ngo
Tok Kauwcu. "Aku pasti ke markas pusat Kay Pang menemui kakekmu
memberitahukan tentang kejadian ini."
”Terirnakasih, Kakak Ling Cul
Sampai jumpa!" ucap Tio Bun Yang kemudian melesat pergi dengan menggendong
monyet bulu putih yang terluka parah
-ooo0dw0oo-
Phang Ling Cu Ngo Tok Kauwcu
telah tiba di markas pusat Kay Pang. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong menyambut
kedatangannya dengan penuh keheranan sebab mereka sama sekali tidak kenal
wanita itu.
"Maaf! Bolehkah kami tahu
siapa Nona?" tanya Lim Peng Hang.
"Namaku phang Ling
Cu," sahut Ngo Tok Kauwcu sambi! memberi hormat. "Aku adalah Ngo Tok
Kauwcu, sengaja ke mari untuk menemui Lim Pangcu."
"Ngo Tok Kauwcu?"
Lim Peng Hang tersentak, sebab selama ini Kay Pang tidak punya hubungan dengan
Ngo Tok Kauwcu, lagi pula Ngo Tok Kauwcu tergolong perkumpulan sesat.
"Ya." Ngo Tbk Kauwcu
mengangguk sambil tersenyum. "Adik Bun Yang yang menyuruhku ke mari."
"Oh?" Lim Peng Hang
terkejut. 'Di mana cucuku? Kenapa dia menyuruh Anda ke mari?"
"Adik Bun Yang sudah
berangkai ke Gunung Thian San." Ngo Tok Kauwcu memberitahukan.
"Monyet bulu putih terluka parah."
"Apa?!" Bukan main
terperanjatnya Lim Peng liang. "Bagaimana kauw heng bisa terluka parah?
Apa yang telah terjadi? Cepat tuturkan!"
"Lim Pangcu!" Ngo
Tok Kauwcu tertawa kecil. "Apakah aku harus menutur dengan cara
berdiri?"
"Maaf, maaf]" ucap
Lim Peng Hang- "Silakan duduk!" ”Terirnakasih!" Ngo Tok Kauwcu
duduk.
"Ngo Tok Kauwcu,"
desak Lim Peng Hang. ”Tuturkanlah apa yang telah terjadi, bagaimana kauw beng
bisa terluka parah?"
"Adik Bun Yang bertarung
dengan Seng Hwee Sin Kun. Monyet bulu putih menolongnya sehingga terkena
pukulan yang dilancarkan Seng Hwee Sin Kun." Ngo Tok Kauwcu
memberitahukan.
"Ngo Tok Kauwcu,"
ujar Gouw Han Tiong. ”Harap tuturkan lebih jelas!"
"Baik, aku akan menutur
dari awal." Ngo Tok kauwcu menutur tentang pertemuannya dengan !io Bun
Yang dan lain sebagainya.
Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong mendngarkan dengan penuh perhatian, kemudian Gouw Han Tiong menghela
nafas seraya berkata.
"Kalau begitu, kita punya
musuh yang sama."
"Oh?" Ngo Tok Kauwcu
tertegun. "Maksud Gouw Tianglo?"
"Seng Hwee Sin Kun juga
membunuh ayahku, bahkan membunuh para anggota kami." Lim Peng Hang
memberitahukan.
"Oooh!" Ngo Tok
Kauwcu manggut-manggut. "Kepaudaian Seng Hwee Sin Kun memang tinggi
sekali. Kelihaiannya Adik Bun Yang juga masih bukan tandingannya."
"Cucuku cuma mengalami
luka ringan?" tanya Lim Peng Hang tampak cemas.
"Adik Bun Yang cuma
terbakar ringan. Yang terluka berat adalah Kam Hay Thian dan monyet bulu putih
"
"Goat Nio, Ai Ling dan Lu
Hui San membawa Kam Hay Thian ke Pulau Hong Hoang To?" tanya Gouw Han
Tiong.
"Ya." Ngo Tok Kauwcu
mengangguk. "Monyet bulu putih menyuruh Adik Bun Yang membawanya ke Gunung
Thian San. Kelihatannya monyet bulu putih sudah sekarat."
"Aaaakh!" keluh Lim
Peng Hang. "Kauw heng.„"
"Ngo Tok Kauwcu,"
tanya Gouw Han Tiong. "Seng Hwee Sin Kun sama sekali tidak terluka oleh
tangkisan monyet bulu putih?"
"Dia juga terluka dalam.
Kalau tidak, mungkin kami semua tidak akan bisa meloloskan diri,” jawab Ngo Tok
Kauwcu.
"Tapi...." Gouw Han Tiong mengerutkan ke ning.
"Bukankah Seng Hwee Sin
Kun punya bawahan yang berkepandaian tinggi? Kenapa mereka tidak mengejar
kalian?"
"Mereka bukan tandingan
Adik Bun Yang, maka mereka tidak berani mengejar kami," ujar Ngo Tok
Kauwcu dan menambahkan, "Lagi pula Pat Pie Lo Koay adalah saudara angkat
ayahku."
"Apa?" Gouw Han Tiong
tercengang. "Pat Pie Lo Koay saudara angkat ayahmu?"
"Ya." Ngo Tok Kauwcu
mengangguk. "Namun Seng Hwee Sin Kun tidak mengetahuinya, maka tidak
bercuriga sama sekali."
"Oh yaf" Gouw Han
Tiong teringat sesuatu. ”Toan Beng Kiat pernah memberitahukan kepadaku, ketika
dia bertarung dengan Pat Pie Lo Koay, kelihatannya Pat Pie Lo Koay tidak
bersungguh-sungguh menyerangnya. Tahukah engkau apa sebabnya?"
"Toan Beng Kiat?"
Ngo Tok Kauwcu kebingungan.
"Dia adalah anak Gouw
Sian Eng putriku, ayahnya adalah Toan Wie Kie." Gouw Han Tiong
memberitahukan.
"Oooh!" Ngo Tok
Kauwcu manggut-manggut. "Itu disebabkan Tui Hun Lojin."
"Apa?” Gouw Han Tiong
terbelalak. "Kenapa disebabkan almarhum ayahku?"
"Sebab Tui Hun Lojin
pernah menyelamatkan nyawa Pai Pie Lo Koay," ujar Ngo Tok Kauwcu
menjelaskan. "Maka ketika bertarung dengan Toan Beng Kiat, Pat Pie Lo Koay
tidak menyerangmu dengan sungguh-sungguh."
"Oooh!" Gouw Han
Tiong manggut-manggut "Kalau begitu, engkau yang mengutus Pat Pie Ia Koay
memata-matai Seng Hwee Sin Kun?"
"Itu cuma kebetulan saja.
Karena Seng H Sin Kun yang menguudangnya untuk bergabung jadi kumanfaatkan
kesempatan untuk memata-matai gerak-gerik Seng Hwee Sin Kun melalu Pat Pie Lo
Koay," ujar Ngo Tok Kauwcu dai menambahkan sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku justru tak menyangka, Seng Hwee Si Kun berkepandaian begitu
tinggi."
"Benar” Lim Peng Hang
manggut-manggut "Dia mampu melukai kauw heng, pertanda 'kepandaiannya
memang tinggi sekali. Mungkin cuma Tio Cie Hiong yang mampu melawannya."
"Itu pun belum
tentu," sahut Gouw Han Tion, sambil mengerutkan kening. "Sebab
kepandaian Bun Yang sudah begitu tinggi, tapi masih terluka.”
"Aku yakin itu karena Bun
Yang kurang berpengalaman, maka Seng Hwee Sin Kun dapat melukainya," ujar
Lim Peng Hang.
"Belum tentu karena
itu," sela Ngo Tok Kaucu. "Aku menyaksikan pertarungan itu, kepadaian
Adik Bun Yang memang masih di bawah tingkat kepandaian Seng Hwee Sin Kun."
"Oh?" Lim Peng Hang
mengerutkan kenin "Kalau begitu, mungkinkah Seng Hwee Sin Kun mampu mengalahkan
Tio Cie Hiong?"
"Menurut aku, tidak
gampang bagi Seng Hwee Sin Kun mengalahkan Tio Cie Hiong," sahut Gouw Han
Tiong, kemudian menghela nafas panjang. "Kita entah harus bagaimana,
perlukah kita berangkat ke Pulau Hong Huang To?"
"Tidak perlu." Lim
Peng Hang menggelengkan kepala. Tapi kita harus tahu bagaimana gerak-gerik Seng
Hwee Kauw. Mungkinkah mereka akan menyerang ke mari?"
"Itu tidak mungkin,"
ujar Ngo Tok Kauwcu. "Sebab Seng Hwee Sin Kun telah terluka, lagi pula Pat
Pie Lo Koay pasti akan mencegah penyerangan ke mari."
"Benar." Gouw Han
Tiong manggut-manggut.
"Maafl" Ngo Tok
Kauwcu bangkit dari tempat duduknya lalu berpamit, "Aku mau mohon
diri!"
"Baiklah." Lim Peng
Hang mengangguk sambil herdiri. "Terimakasih atas kedatanganmu untuk menyampaikan
tentang kejadian itu!"
"Adik Bun Yang
menyembuhkan wajahku, maka aku pun harus membantunya," ujar Ngo Tok Kauwcu
sungguh-sungguh. "Maka Lim Pangcu tidak usah berterimakasih
kepadaku."
"Ngo Tok Kauwcu!"
Lim Peng Hang tertawa. 'Aku harap engkau jangan memanggilku Lim Pangcu, lebih
baik panggil saja aku paman!"
"Baik, Paman!" Ngo
Tok Kauwcu tersenyum. Tapi Paman pun jangan memanggilku Ngo Tok Kauwcu, cukup
panggil namaku saja!"
"Baiklah." Lim Peng
Hang tertawa. "Oh ya, engkau mau ke mana?"
"Aku harus segera kembali
ke markas, karena aku masih harus menghimpun kekuatan Ngo Tok Kauw, agar kelak
mampu melawan Seng Hwee Kauw," ujar Ngo Tok Kauwcu. "Paman, sampai
jumpa!"
"Selamat jalan, Ling
Cu!" sahut Lim Peng Hang dan bersama Gouw Han Tiong mengantarnya sampai di
luar.
Setelah Ngo Tok Kauwcu melesai
pergi, barulah mereka berdua kembali masuk.
"Entah bagaimana keadaan
kauw heng?" gumam Lim Peng liang dengan wajah muram "Mudah-mudahan
monyet bulu putih itu tidak apa-apa”
Bagaimana keadaan luka Seng
Hwee Sin Kun ? Apakah separah luka monyet bulu putih? Luka ketua Seng Hwee Kauw
itu memang parah. Ketika sampai di markas, ia pun berkata kepada Leng Bin
Hoatsu.
”Tangkisan monyet bulu putih
itu membuat aku terluka dalam, maka aku harus beristirahat setahun agar bisa
pulih. Karena itu, mulai saat ini engkau harus menangani semua urusan Seng Hwee
Kauw."
"Ya, Kauwcu." Leng
Bin Hoatsu mengangguk.
'Dalam waktu setahun,
janganlah kalian mengganggu aku" pesan Seng Hwee Sin Kun sungguh-sungguh.
"Sebab aku harus memperdalam Seng Hwee Sin Kang. Tentunya kalian masih
ingat, aku masih menyimpan Seng Hwee Tan (Pil Api Suci). Nah, kini sudah
waktunya aku makan sisa pil itu."
"Oooh!" Leng Bin
Hoatsu manggut-manggut.
"Kauwcu," tanya Pek
Bin Kui. "Setahun kemudian, Iweekang Kauwcu pasti bertambah tinggi. Ya,
kan?"
"Betul." Seng Hwee
Sin Kun mengangguk.
"Kalau begitu," ujar
Pek Bin Kui sambil tersenyum. "Sudah waktunya kita menguasai rimba
persilatan."
"Tidak salah." Seng
Hwee Sin Kun manggut-manggut dan berpesan. "Oh ya, dalam waktu setahun
ini, kalian pun harus memperdalam kepandaian masing-masing."
"Ya." Pek Bin Kui
dan lainnya mengangguk.
"Sekarang aku akan ke
ruang rahasia untuk mengobati luka dalamku, setahun kemudian barulah kita
bertemu," ujar Seng Hwee Sin Kun lalu melangkah ke dalam menuju ruang
rahasia.
Leng Bin Hoatsu dan lainnya
saling memandang, kemudian mereka duduk dengan kening berkerut kerut
"Kini Seng Hwee Sin Kun
telah memasuki ruang rahasia, setahun kemudian kita baru bertemu dia. Menurut
kalian apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Leng Bin Ituatsu.
"Seng Hwee Sin Kun telah
berpesan tadi, kita harus memperdalam kepandaian masing-masing, itu yang harus
kita lakukan," sahut Pek Bin Kui.
"Menurut aku," ujar
Hek Sim Popo dengan tertawa. "Bagaimana kalau kita menyerang Kay
Pang?"
"Itu tidak boleh."
Pat Pie Lo Koay menggelengkan kepala. "Karena kita harus mentaati pesan
Seng Hwee Sin Kun, maka alangkah baiknya kita memperdalam kepandaian
saja."
"Benar." Tok Chiu
Ong manggut-manggut dan menambahkan, "Setahun kemudian barulah kita
berunding dengan Seng Hwee Sin Kun, apakah kita perlu menyerang Kay Pang atau
tidak?"
"Ngmm!" Leng Bin
Hoalsu mengangguk. "Memang harus begitu, jadi kita tidak melanggar apa
yang dipesankan Seng Hwee Sin Kun."
"Lalu bagaimana para
anggota kita?" tanya Hek Sim Popo mendadak. "Apakah kita masih perlu
melatih mereka?"
"Tentu perlu," sahut
Leng Bin Hoatsu. "Ka rena setahun kemudian, kita harus menyerang Kay Pang
dan tujuh partai besar lainnya."
"Ha ha hal" Pek Bin
Kui tertawa gelak. "Setahun kemudian, Seng Hwee Kauw pasti akan menguasai
dunia persilatan!"
"Betul." Leng Bin
Hoatsu manggut-manggut dan tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha. "
"Setahun kemudian, Kay
Pang dan tujuh partai besar harus tunduk kepada Seng Hwee Kauwl" ujar Hek
Sim Popo sambil tertawa terkekeh-kekeh. "He he hel"
"Eh?" Pek Bin Kui
memandang Pai Pie Lo Koay. "Lo Koay, kenapa engkau diam saja?"
"Dulu Bu Lim Sam Mo ingin
menguasai rimba persilatan, tapi akhirnya mereka bertiga malah mati. Oleh
karena itu...." Pat Pie Lo Koay menggeleng-gelengkan kepala.
"Maksudmu Seng Hwee Kauw
tidak mampu menguasai rimba persilatan?" tanya Pek Bin Kui dengan kening
berkerut.
"Kita harus tahu,
kepandaian Tio Cie Hiong tinggi sekali," sahut Pat Pie Lo Kuay
"Kelihatannya Seng Hwee Sin Kun masih tidak mampu mengalahkan putranya,
apalagi melawan Tio Cie Hiong."
"Tapi kita pun harus
tahu," ujar Pek Bin Kui sungguh-sungguh. "Kini Seng Hwee Sin Kun
sudah memasuki ruang rahasia untuk mengobati lukanya, sekaligus memperdalam
lwekangnya. Nah, setahun kemudian Iweekangnya pasti tinggi sekali. Aku yakin
Tio Cie Hiong bukan lawannya."
"Tidak salah," sela
Tok Chiu Ong. "Kareni itu, setahun kemudian Seng Hwee Kauw pasti dapat
menguasai rimba persilatan."
"Mudah-mudabanI"
ucap Pat Pie Lo Koay lalu tertawa gelak. "Ha ha ha! Mulai sekarang, kita
pun harus memperdalam kepandaian maslng masing."
--ooo0dw0ooo--
Bagian ke tiga puluh empat
Monyet Bulu Putih Menemui
Ajalnya
Setelah menempuh perjalanan siang
malam beberapa hari, akhirnya Tio Bun Yang tiba juga di Gunung Thian San dengan
menggendong erat erat monyet bulu putih
Setibanya di gunung itu, Tio
Bun Yang segera mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kan untuk menghangatkan
monyet bulu pulih yang digendongnya. Ia pun menggunakan ginkang menuju goa
tempat tinggal monyet bulu putih, da-n ketika hari mulai sore barulah sampai di
tersebut.
"Kauw heng, kita sudah
sampai." Tio Bun Yang memberitahukan.
Monyet bulu putih menengok ke
sana ke mari dengan mata redup, kemudian bercuit lemah.
"Kauw heng!" Tio Bun
Yang duduk bersila. Ditaruhnya monyet bulu putih itu di pangkuannya, lalu
dibelainya. "Gembirakah engkau berada di dalam goa ini?"
Monyet bulu putih mengangguk
sambil bercuit, menunjuk dirinya lalu menunjuk ke kiri.
"Kauw heng____" Tio
Bun Yang terisak-isak.
"Engkau bilang setelah
engkau mati, aku harus ke arah timur puncak gunung ini?"
Monyet bulu pulih
manggut-manggut lemah. Tio Bun Yang memandangnya dengan air mata
herderai-derai.
"Kauw heng, engkau...
engkau tidak akan mati____" Tio Bun Yang terus membelainya.
Monyet bulu putih
menggeleng-gelengkan kepala, kemudian air matanya pun meleleh, sekaligus
menjulurkan tangannya memegang lengan Tio Bun Yang.
"Kauw heng____" Tio
Bun Yang juga menggenggam tangannya erat-erat. "Engkau tidak akan
mati____"
Monyet bulu putih bercuit-cuit
lemam.
"Maksudmu aku harus ke
arah timur puncak punung ini?"
tanya Tio Bun Yang. "Di
sana terdapat sebuah goa es?"
Monyet bulu putih itu
mengangguk, nafasnya semakin lemah.
"Kauw heng...." Tio Bun Yang memeluknya erat-erat.
"Kauw heng...."
Monyet bulu putih itu bercuit,
kemudian kepalanya terkulai.
Seketika juga Tio Bun Yang
menjerit.
"Kauw hengl Kauw heng
"
Monyet bulu putih itu diam
saja, ternyati nafasnya telah putus. Dapat dibayangkan, betapa sedihnya hati
Tio Bun Yang. Ia terus membelai monyet bulu putih itu sambil menangis meraung
raung.
"Kauw beng. Kenapa engkau
tinggalkan aku Kauw heng...."
Tio Bun Yang terus menangis
meraung-raung, akhirnya pingsan.
Berselang beberapa saat,
barulah ia siuman dan segera memeluk monyet bulu putih itu lagi.
"Kauw heng! Engkau mati
karena menyelamatkan nyawaku. Aku bersumpah, semua keturunanku tidak boleh
membunuh monyet jenis apa pun. Kauw heng, aku bersumpahl"
Setelah bersumpah, barulah Tio
Bun Yang mengubur monyet bulu putih tersebut, lalu berangkat ke arah timur
puncak gunung itu.
-ooo0dw0ooo-
Bukan main dinginnya hawa di
puncak sebelah Timur Gunung Thian San. Sejauh mata memandang hanya tampak
salju. Tio Bun Yang tidak habis pikir, kenapa monyet bulu putih itu menyuruhnya
ke tempat tersebut.
Setibanya di tempat itu, ia
melihat sebuah jurang yang ribuan kaki dalamnya. Tio Bun Yang berdiri di
pinggir jurang itu sambil mengerutkan kening, la yakin monyet bulu putih itu
punya maksud tertentu menyuruhnya ke mari. Karena itu, tanpa ragu ia menuruni
jurang tersebut sekali gus mengerahkan Pan Yok Hian Sin Kang, agar tidak
kedinginan.
Tak seberapa lama, sampailah
Tio Bun Yang di dasar juraog Sungguh dingin dan indah dasar jurang itu, Tio Bun
Yang merasa dirinya seperti berada di dalam sebuah kaca besar, karena di tempat
itu hanya terdapat salju beku. Kalau ia tidak memiliki Pan Yok Hian Thian Sin
Kang, mungkin sudah mati beku di dasar jurang itu.
Tio Bun Yang menengok ke sana
ke mari. tiba tiba dilihatnya sebuah goa, dan segeralah ia menuju goa itu.
Sampai di depan goa, ia tidak
berani langsung masuk, melainkan berdiri di situ sambil memandang ke dalam.
Sungguh mengherankan, karena goa itu tampak terang.
Berselang sesaat, barulah Tio
Bun Yang melangkah memasuki goa itu. Bukan main indahnya goa itu, sehingga
sukar diuraikan dengan kata-kata. Tampak berbagai macam bentuk balok es berdiri
di dalam goa, dan dinginnya sungguh luar biasa.
Tio Bun Yang telah mengerahkan
Pan Yok Hian Thian Sin Kang, tapi ia masih merasa dingin., Tiba-tiba ia melihat
beberapa baris tulisan terukir pada dinding goa, ternyata merupakan huruf-huruf
Han kuno. Tio Bun Yang mengerti, sebab ketika masih kecil, ayahnya pernah
mengajarnya huruf-huruf Han kuno tersehut. Maka, segeralah ia membacanya
Engkau telah memasuki goa es
ini, pertanda monyet salju itu telah mati oleh pukulan Seng Hwee Ciang Hoat
yang mengandung api
Itu memang sudah takdir, maka
engkau tak usah sedih. Tentunya engkau merasa heran, kenapa monyet salju itu
menyuruhmu ke mari, itu merupakan pesanku, sebab Seng Hwee Sin Karg telah
muncul di rimba persilatan.
Oleh karena itu, engkau harus
mempelajari Kan Kun Taylo Sin Kang yang mengandung hawa dingin di dalam goa es
ini. Perlu engkau ketahui bahwa Kan Kun Taylo Sin Kang yang engkau miliki
mengandung hawa panas yang disebut 'Yang', begitu pula Pan Yok Hian Thian Sin
Kang yang engkau miliki.
Walau engkau memiliki Pan Yok
Hian Thian Sin Kang pelindung diri, namun tidak akan terluput dari serangan
Seng Hwee Sin Kang yang mengandung semacam api, yang akan membuatmu terluka
dalam.
Apabila engkau cuma terluka
luar, berarti engkau memiliki mutiara inti es yang di dalam batu es di dalam
goa hangat tempat tinggal monyet salju. Sungguh beruntung engkau memiliki
mutiara inti es itu, karena akan mempermudah engkau mempelajari Kan Kun Taylo
Im Kang (Tenaga Sakti Alam Semesta Yang Mengandung Hawa Dingin).
Kalau engkau telah berhasil
mempelajari Kan Kun Taylo Im Kang, barulah engkau mampu melawan Seng Hwee Sin
Kang.
Kan Kun Taylo Sin Kang dan
Seng Hwee Sin Kang berasal dari Persia, apabila Seng Hwee Sin Kang muncul, maka
Hian Goan Sin Kang pun akan muncul (Tenaga Sakti Melumpuhkan Lawan). Ilmu
tersebutpun berasal dari Persia. Seandainya ilmu tersebut dimiliki penjahat,
celakalah rimba persilatan, sebab Pan Yok Hian Thian Sin Kang dan Kan Kun Taylo
Sin Kang maupun Seng Hwee Sin Kang masih di bawah tingkat Hian Goan Sin Kang.
Oleh karena itu, engkau harus berhati-hati menghadapi orang yang memiliki Hian
Goan Sin Kang.
Kini engkau boleh mulai
mempelajari Kan Kun Aiylo Im Kang. Ikuti saja petunjuk-petunjuk berikutnyal
Engkau harus duduk bersila, sepasang telapak tanganmu harus memegang mutiara
inti es itu.
Dengan penuh perhatian Tio Bun
Yang membaca petunjuk-petunjuk tersebut. Ia bergirang dalam hati karena telah
memperoleh mutiara inti es tersebut.
Seusai membaca
petunjuk-petunjuk itu, se geralah ia mengeluarkan kantong kulit dari dalam
bajunya, lalu mengambil mutiara inti es di dalam kantong kulit itu.
Tio Bun Yang duduk bersila
sambil menggenggam mutiara inti es dengan kedua telapak tangannya. Seketika ia
merasa hawa yang amat dingin menerobos ke dalam tubuhnya melalui kedua telapak
tangannya. Cepat-cepat lah ia mengatur pernafasannya sesuai petunjuk-petunjuk
yang dibacanya tadi dengan mata dipejamkan, ia mulai mempelajari Kan Kun Taylo
Im Kang.
--ooo0dw0ooo--
Para penghuni Pulau Hong Hoang
To terheran-heran bercampur gembira karena kemunculan Tayli Lo Ceng yang
mendadak itu. Seketika Kou Hun Bijin tertawa cekikikan.
"Kepala gunduli Aku kira
engkau sudah mampus, tidak tahunya masih hidup!"
”Omitohudl" ucap Tayli Lo
Ceng sambil tertawa. "Ha ha ha! Apakah kalian senang apabila aku
mampus?"
"Kami pasti berkabung
untukmu!" sahut Kou Hun Bijin. "Kepala gundul, engkau muncul mendadak
di pulau ini, tentunya ada sesuatu yang penting. Ya, kan?"
"Betul." Tayli Lo
Ceng mengangguk, kemudian menatap Lie Man Chiu. "Omitohud! Kenapa engkau
tidak bersujud kepadaku?"
"Aku sudah tidak punya
muka bersujud di hadapan Lo Ceng," sahut Lie Man Chiu dengan kepala
tertunduk.
"Ha ha hal" Tayli Lo
Ceng tertawa. "Engkau adalah muridku, maka harus bersujud di
hadapanku."
"Guru!" panggil Lie
Man Chiu dengan suara bergemetar saking terharu, lalu bersujud di hadapan Tayli
Lo Ceng sambil terisak-isak.
"Muridku, kenapa engkau
terisak-isak?" tanya Tayli Lo Ceng sambil tersenyum lembut.
"Guru, aku pernah
melakukan kesalahan," jawab Lie Man Chiu. "Mohon Guru sudi
menghukumku!"
"Omitohudl Aku telah
menghukummu, maka kini aku tidak perlu menghukummu lagi."
"Guru telah
menghukumku?"
"Ya." Tayli Lo Ceng
mengangguk. "Batinmu selalu tertekan oleh perbuatanmu itu merupakan
hukuman bagimu. Mengerti?"
"Mengerti, Guru,"
ujar Lie Man Chiu. "Guru, bebaskanlah hukumanku itu! Aku... aku sudah
tidak tahan."
"Muridku!" Tayli Lo
Ceng tersenyum. "Bangunlah! Aku telah membebaskan hukumanmu.'
"Terirnakasih,
Guru!" ucap Lie Man Chh sambil bangkit berdiri.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak "Lo Ceng, mari kita masuk!"
"Terirnakasih!"
Tayli Lo Ceng manggut-manggut, lalu melangkah ke dalam
Begitu sampai di dalam, Tio
Tay Seng seger mempersilakannya duduk.
"Silakan duduk, Lo
Ceng!"
"Terirnakasih, Tio
Tocu!" sahut Tayli Lo Ce sambil duduk.
Pada waktu bersamaan,
muncullah Toan Ber Kiat dan Lam Kiong Soat Lan seraya berse dengan penuh
kegembiraan.
"Guru!"
"Gurul"
Mereka berdua langsung
bersujud di hadapi Tayli Lo Ceng.
Padri tua itu memandang mereka
sambil tertawa.
"Ha ha ha! Ternyata
kalian berada di sini bagus, bagus!"
ujar Tayli Lo Ceng.
"Bangunlah!"
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan bangkit berdiri, kemudian duduk di sisi Tayli Lo Ceng. Tak lama,
muncullah Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im.
"Lo Ceng!" panggil
mereka sambil bersujud.
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng sambil tersenyum lembut. "Sungguh bahagia kalian berdua,
bangun lah"
”Terimakasih, Lo Ceng!"
ucap Tio Cie Hiong sekaligus bangkit berdiri, begitu pula Lim Ceng Im.
"Kepala gundul!"
tanya Kou Hun Bijin. "Sebetulnya ada urusan apa, sehingga engkau harus ke
mari?"
"Aku ke mari untuk
melihat-lihat," sahut Tayli Lo Ceng sambil tertawa. "Apakah aku tidak
boleh ke mari kalau tiada urusan?"
”Tentu boleh, Lo Ceng,"
sahut Tio Tay Seng. "Kehadiran Lo Ceng merupakan suatu kehormatan bagi
kami semua."
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng menghela nafas panjang. "Belum lama ini, mendadak aku merasa tidak
tenang, maka aku segera ke mari."
"Murid-muridmu berada di
sini, tentunya sekarang engkau sudah bisa tenang," ujar Kou Hun Bijin
sambil tertawa nyaring. "Ya, kan?"
"Sebetulnya ya,
namun...." Tayli Lo
Ceng mengerutkan
kening, "hatiku masih
berdebar-debar. seakan telah terjadi sesuatu."
"Oh?" Kou Hun Bijin
menatapnya. "Apa yang telah terjadi?"
"Aku justru tidak
tahu." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala. ”Tapi aku yakin, ke
jadian itu pasti berkaitan dengan kita."
"Kepala gundul, apakah
itu tidak salah?" tany Kou Hun Bijin dengan kening berkerut kerut
"Engkau harus tahu, bahwa Lie Ai Ling, Tio Bu Yang dan putriku tidak
berada di sini. Mungkinkah telah terjadi sesuatu atas diri mereka?"
"Maaf!” sahut Tayli Lo
Ceng. "Aku tidak berani memastikan, maka aku pun tidak berani sembarangan
menjawab."
"Lo Ceng?" Wajah Lim
Ceng Im tampak lagi cemas. "Sudah lama putra kami tidak pula
apakah...."
"Omitohud! Aku tidak
berani memastikan nya " ujar Tayli Lo Ceng dengan kening berkerut kerut.
"Mudah-mudahan mereka tidak akan terjadi sesuatu!"
"Lo Cengl" Sam Gan
Sin Kay menatapnya "Kami semua menjadi cemas. Beritahukanlah kira kira apa
yang telah terjadi!"
"Aku yakin telah terjadi
sesuatu, namun tidak berani memastikan apa yang telah terjadi," ujar Tayli
Lo Ceng sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau begitu____"
Kou Hun Bijin tampak serius. "Besok aku dan suamiku harus ke
Tionggoan."
"Bijin...." Kim
Siauw Suseng tersentak. "Besok kita akan ke
Tionggoan?"
"Ya." Kou Hun Bijin
mengangguk. "Kita harus mencari Goat Nio dan Ai Ling, sebab aku khawatir
telah terjadi sesuatu atas diri mereka."
"Itu tidak perlu,"
ujar Tayli Lo Ceng dan menambahkan. "Lebih baik kita tunggu beberapa hari,
kalau mereka masih belum pulang, barulah kalian berangkat ke Tionggoan mencari
mereka."
"Itu____" Kou Hun
Bijin mengerutkan kening.
"Kakak,” ujar Tio Cie
Hiong. "Kita tunggu saja beberapa hari, kalau mereka masih belum pulang,
barulah kita ke Tionggoan "
"Engkau dan Ceng Im juga
mau ke Tiong goan ?" tanya Kou Hun Bijin.
"Apa boleh buat!"
Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Kita harus mencari
mereka."
"Aku pun harus
ikut," sela Sam Gan Sin Kay.
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng. "Kemungkinan besar kalian tidak perlu ke Tionggoan."
"Kenapa?" tanya Kou
Hun Bijin.
"Sebab..." jawab
Tayli Lo Ceng sungguh-sungguh, "aku merasa ada beberapa orang sedang
menuju ke mari."
"Kepala gundul!" Kou
Hun Bijin menatapnya tajam "Perasaanmu tidak akan salah?" "Aku
yakin tidak akan salah."
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa. "Mari kita buktikan! Mungkin Lo Ceng tidak akan omong
kosong."
"Kalau kepala gundul itu
berani omong kosong, kepalanya yang gundul itu pasti benjoli ”sahut Kou Hun Bijin
samhil tertawa cekikikan "Aku pasti mengetuk kepalanya!"
”Omitohud...." Tayli Lo
Ceng tersenyum,
"Tidak salah," ujar
Tio Cie Hiong mendadal "Aku mendengar suara langkah berat menuju
kemari."
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng manggut manggut. "Sungguh tajam pendengaranmu! Sekarang aku baru
mendengar suara langkah."
"Benar," sahut Kou
Hun Bijin. "Aku pun sudah mendengar langkah."
Berselang beberapa saat,
muncullah Sian Koan Goat Nio, Lie Ai Ling dan Lu Hui San memapah Kam Hay Thian.
Kemunculan mereka membuat semua orang melongo bercampur terkejut, sebab Kam Hay
Thian dalam keadaan pingsan dan wajahnya pun pucat pias.
”Tolong dia! Tolong dia!"
seru Lo Hui San dengan air mata berderai-derai sambil membaringkan Kam Hay
Thian di lantai.
Tio Cie Hiong segera mendekati
Kam Hay Thian, lalu memeriksanya dengan teliti sekali Setelah itu, ia duduk
bersila di lantai dan sebelah telapak tangannya ditempelkan di dada Kam Hay
Thian yang hangus itu, sekaligus mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang.
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng sambil menghela nafas panjang. "Pemuda itu terkena pukulan
Seng Hwee Gang Hoat (Ilmu Pukulan Api Suci)]"
"Seng Hwee Gang
Hoat?" Kini Siauw Suseng, Kou Hun Bijin, Sam Gan Sin Kay dan Tio Tay ng
terkejut bukan main. Mereka saling memandang sambil mengerutkan kening.
”Ya.” Tayli Lo Ceng
mengangguk.
"Lo Ceng, apakah Cie
Hiong dapat menyelamatkan nyawanya?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Mudah-mudahan!"
sahut Tayli Lo Ceng. Sementara Tio Cie Hiong sudah berhenti mengerahkan Pan Yok
Hian Thian Sin Kang. Ia bangkit berdiri sambil menghela nafas lega.
"Paman, bagaimana
keadaannya?" tanya Lu Huii San cemas.
"Masih bisa
ditolong," sahut Tio Cie Hiong. Kemudian ia berkata kepada Toan Beng Kiat.
"Beng Kiat, gendong dia ke kamar!"
"Ya, Paman." Toan
Beng Kiat segera menggendong Kam Hay Thian yang masih dalam keadaan pingsan itu
ke kamar. Tio Cie Hiong juga ikut ke kamar. Lu Hui San tidak ketinggalan. Gadis
itu mengikuti dari belakang.
Toan Beng Kiat membaringkan
Kam Hay Thian di tempat tidur, sedangkan Tio Cie Hiong mengambil dua butir pil,
kemudian dimasukkan ke mulut Kam Hay Thian, dan setelah itu ia berkata.
"Pemuda itu akan siuman
esok, mari kita ke ruang depan!"
"Paman, aku... aku ingin
menjaganya," ujar Lu Hui San sambil menundukkan kepala.
"Dia tak perlu dijaga.
Lebih baik engkau ikut ke ruang depan," sahut Tio Cie Hiong dan sekaligus
berjalan ke ruang depan.
"Hui San, mari kita ke
ruang depan!" ajak Toan Beng Kiat. "Engkau harus menuruti perkataan
Paman Cie Hiong."
Lu Hui San mengangguk, lalu
bersama Toan Beng Kiat berjalan ke ruang depan. Mereka duduk di sebelah Lam
Kong Soat Lan. Suasana di ruang itu tampak agak luar biasa.
"Cie Hiong, bagaimana
keadaan pemuda itu?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Dia akan siuman
esok," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Namun aku masih merasa
heran."
"Kenapa merasa
heran?" tanya Kim Siauw Suseng.
"Mungkinkah dia punya
hubungan dengan Bui Lim Sam Mo?" Tio Cie Hiong mengerutkan ke ning.
"Karena dia memiliki Pak Kek Sin Kang "
"Oh?" Sam Gan Sin
Kay tertegun. "Kalau begitu, mungkinkah dia murid Bu Lim Sam Mo?"
"Pengemis bau, engkau
sudab pikun barangkali!" ujar Kui Hun Bijin sambil tertawa. "Sudah
hampir dua puluh tahun Bu Lim Sam Mo mati, sedangkan pemuda itu berusia dua
puluhan! Coba-lebih pikir, mungkinkah pemuda itu murid Bu Lim Sam Mo?"
"Oh, ya! Aku...."
Sam Gan Sin Kay tertawa. "Aku memang
sudah pikun, tidak memikirkan
itu."
"Goat Nio, tuturkanlah
apa yang telah terjadi!" ujar Kou Hun Bijin sambil menatap putrinya.
"Kam Hay Thian bertarung
dengan Seng Hwee Sin Kun..." tutur Siang Koan Goat Nio mengenai kejadian
itu.
"Jadi engkau dan Ai Ling
sudah bertemu Bun Yang?" tanya Kou Hun Bijin dengan wajah berseri.
"Ya." Siang Koan
Goal Nio mengangguk. Wajahnya tampak agak kemerah-merahan. "Tapi____"
"Kenapa?" Kim Siauw
Suseng memandangnya dalam-dalam.
"Dia... dia terluka
ringan." Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Kauw beng terluka parah
kali, aku khawatir...."
'Omitohud!" ucap Tayli Lo
Ceng sambil menghela nafas panjang. "Sungguh kasihan monyet bulu putih itu!"
"Bagaimana kauw heng bisa
terluka parah?" tanya Tio Cie Hiong cemas. "Dan bagaimana keadaan Bun
Yang?"
"Kauw neng menyelamatkan
nyawa Bun Yang, maka terkena pukulan yang dilancarkan Seng Hwee Sin Kun,"
jawab Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Bun Yang membawa Kauw heng ke
gunung Thian San."
"Kenapa Bun Yang membawa
kauw beng ke sana?" Lim Ceng Im mengerutkan kening. "Seharusnya Bun
Yang membawa kauw heng ke mari."
"Itu atas kemauan kauw
heng. Kelihatannya____" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.
"Kauw heng tidak bisa hidup lama lagi"
"Benar," sambung Lie
Ai Ling dengan mata basah. "Kauw heng tidak bisa hidup lama, karena
dadanya telah hangus."
"Aaakh...!" keluh
Tio Cie Hiong dengan mati bersimbah air. "Engkau menyelamatkan Bun Yang
namun harus mengorbankan dirimu Kauw heng kami berhutang budi kepadamu!”
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng. "Itu memang sudah merupakan takdir. Kalau tiada monyet bulu
pulih itu, aku yakin Bun Yang pasti celaka di tangan Seng Hwee Sin Kun."
"Goat Nio, benarkah Seng
Hwee Sin Kun berkepandaian tinggi sekali?" tanya Kou Hui Bijin.
"Benar." Siang Koan
Goat Nio menganggut "Kepandaian Bun Yang masih di bawah
kepandaiannya."
"Tapi dia pun terluka
oleh tangkisan kauw heng." Lie Ai Ling memberitahukan. "Kalau tidak,
dia pasti mengejar kami."
"Dia juga terluka
parah?" tanya Sam Gan Sin Kay.
"Entahlah." Lie Ai
Ling menggelengkan kepala. "Kami tidak mengetahuinya, sebab kami langsung
kabur ketika kauw heng menangkis pukulannya."
"Seng Hwee Sin Kun dapat
melukai kauw heng, pertanda kepandaiannya tinggi sekali. Namun aku pun yakin
dia terluka oleh tangkisan kauw heng, hanya tidak separah kauw heng," ujar
Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Kepandaiannya masih di atas Bu Lim Sam
Mo."
"Sungguh tak disangka
sama sekali____" Tio Tay Seng menggeleng-gelengkan kepala. "Seng Hwee
Sin Kun berkepandaian begitu tinggi...."
"Omitohud!" sahut
Tayli Lo Ceng memberi-tahukan "Seng Hwee Sin Kang berasal dan Persia, ilmu
itu telah muncul. Mungkin tidak lama lagi semacam ilmu lain berasal dari Persia
juga akan muncul di rimba persilatan."
"Ilmu apa itu?"
tanya Kou Hun Bijin.
"Hian Goan Sin Kang
(Tenaga Sakti Melumpuhkan Lawan)," jawab Tayli Lo Ceng dan menambahkan,
"Ada beberapa macam ilmu berasal dari Persia, yaitu Kan Kun Taylo Sin
Kang, Seng Hwee Sin Kang dan Hian Goan Sin Kang Tio Cie Hiong memiliki Kan Kun
Taylo Sin Kang, Seng Hwee Sin Kun memiliki Seng Hwee Sin Kang. Namun Hian Goan
Sin Kang-..."
"Siapa yang memiliki ilmu
Itu?" tanya Kira Siauw Suscng.
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan
kepala. "Seharusnya yang
memiliki ilmu itu adalah adik seperguruanku."
"Apa?" Kou Hun Bijin
tertegun. "Kepala gundul, engkau punya adik seperguruan?"
"Ya." Tayli Lo Ceng
mengangguk.
"Siapa adik seperguruanmu
itu?" tanya Ku Hun Bijin heran. "Kenapa engkau tidak pernah
menceritakannya?"
"Omitohud____" Tayli
Lo Ceng menghela nafas panjang. "Percuma aku menceritakannya."
"Kenapa?" Kou Hun
Bijin heran.
"Karena...." Tayli
Lo Ceng menghela nafas panjang lagi.
"Sudah delapan puluh
tahun aku tidak bertemu dia, entah menghilang ke mana adik seperguruanku?"
"Kalau begitu...." Sam Gan Sin Kay memandangnya.
"Delapan puluh tahun
lalu, Lo Ceng masih bertemu dia, kan?"
"Ya." Tayli Lo Ceng
mengangguk. "Pada watu itu dia berusia empat puluh lebih, gagah tampan dan
berkepandaian tinggi sekali. Dia menggandeng seorang anak gadis berusia sekitar
lima 11 tahun. Aku tersentak ketika menyaksikan anak gadis itu."
"Lho? Kenapa?" tanya
Sam Gan Sin Kay heran.
"Sebab wajah anak gadis
itu penuh diliputi dendam, bahkan juga mengandung hawa membunuh yang sangat
berat." Tayli Lo Ceng memberitahukan. "Karena itu, aku bertanya
kepada adik seperguruanku, siapa anak gadis tersebut. Katanya anak gadis itu
bernama Tu Siao Cui, calon muridnya."
"Kepala gundul, engkau
tidak bertanya asal-usul anak gadis itu?" tanya Kou Hun Bijin.
"Aku bertanya, namun adik
seperguruanku itu tidak mau menjawab. Maka aku tidak bertanya lagi, hanya
berpesan kepadanya harus berhati-hati terhadap anak gadis itu," jawab
Tayli Lo Ceng dan melanjutkan. "Justru ada satu hal yang sungguh di luar
dugaanku, ternyata tanpa sengaja adik seperguruanku itu memperoleh sebuah
kitab."
"Kitab apa?" tanya
Tio Tay Seng tertarik.
"Hian Goan Cin Keng
(Kitab Pusaka Ilmu Silat)" jawab Tayli Lo Ceng memberitahukan. "Aku
tak menyangka, dia yang memperoleh Kitab pusaka tersebut."
"Kepala gundul,
sebetulnya siapa adik seperguruanmu itu?" tanya Kou Hun Bijin mendadak.
"Tan Liang Tie,
julukannya adalah Thian Gwa Sin Hiap (Pendekar Sakti Luar Langit)," jawab
Tayli Lo Ceng dan menambahkan, "Adik seperguruanku itu dan Thian Gwa Sin
Mo (Iblis Sakti Luar Langit) adalah kawan baik."
"Oh?" Kou Hun Bijin
tertegun. „Thian Gwa Sin Hiap adalah adik seperguruanmu? Itu... sungguh di luar
dugaanl"
"Benar." Tayli Lo
Ceng mengangguk.
"Aku memang pernah
bertemu dia bersama Thian Gwa Sin Mo, tapi setelah itu tidak pernah bertemu dia
lagi," ujar Kou Hun Bijin. "Mungkinkah dia telah... mati?"
"Mungkin." Tayli Lo
Ceng manggui-manggut sambil menghela nafas panjang. 'Kalau tidak bagaimana
mungkin aku tidak bertemu dia hampir delapan puluh tahun?"
"Lo Ceng," tanya Sam
Gan Sin Kay. "Muridnya itu juga tiada kabar beritanya sama sekali ?”
"Tidak ada." Tayli
Lo Ceng menggelengku kepala. "Itu sungguh membingungkan!"
"Mungkinkah adik
seperguruanmu dan muridnya itu telah mati?" tanya Kou Hun Bijin.
"Omitohud!” sahut Tayli
Lo Ceng. "Aku tidak berani memastikan itu, tapi... mungkin mereka telah
mati."
"Kalau begitu, ilmu Hian
Goan Sin Kang pasti tidak akan muncul di rimba persilatan." ujar Ki Siauw
Suseng.
"Itu yang
diharapkan," sahut Tayli Lo Ceng
"Kepala gundul,"
tanya Kou Hun Bijin. "Bagaimana kehebatan ilmu Hian Goan Sin Kang
itu?"
"Berapa kehebatan ilmu
itu, aku tidak mengetahuinya," jawab Tayli Lo Ceng jujur. "Yang
jelas, ilmu itu hebat bukan main."
"Lo Ceng, bagaimana kalau
dibandingkan dengan ilmu Kan Kun Taylo Sin Kang?" tanya Tio Cie Hiong.
"Kedua ilmu itu belum
bertemu, maka sulit membandingkannya. Namun..." sahut Tayli Lo Ceng
sungguh-sungguh. "Siapa yang terserang Hian Goan Sin Kang, pasti akan
menjadi lumpuh tak ber-kepandaian lagi."
"Kalau begitu...."
Tio Cie Hiong manggut-iiMnggut. "Ilmu itu
sangat hebat sekali!"
"Benar," ujar Tayli
Lo Ceng- "Apabila yang memiliki ilmu itu berhati jahat, pasti akan
menimbulkan bencana dalam rimba persilatan.—-”
"Kepala gundul" Kou
Hun Bijin tertawa nyaring. "Bagaimana mungkin ilmu itu akan muncul?
Bukankah adik seperguruanmu itu sudah tiada kabar beritanya?"
"Omitohud!" ucap
Tayli Lo Ceng- "Mudah mudahan ilmu itu tidak muncul, jadi tidak akan
menimbulkan suatu masalah lagi dalam rimba persilatan!"
"Kalau pun muncul, itu
tidak apa-apa," sahut Kui Hun Bijin. "Sebab kini rimba persilatan
memang sudah kacau."
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng menggeleng-gelengkan kepala. "Bijin, engkau memang suka akan
kekacauan."
"Omong kosongi"
kilah Kou Hun Bijin. "Siapa bilang aku suka akan kekacauan? Dasar kepala
gundul"
"Omitohud...." Tayli
Lo Ceng menghela
nafas panjang.
"Bijin, engkau sama
sekali tidak tahu akan satu hal." "Hal apa?" Kou Hun Bijin
mengerutkan kening.
"Aku pernah ke tempat
tinggalmu, yang di Kwan Gwa. Siang Koay dan Ngo Kui sudah menjadi tulang
belulang." Tayli Lo Ceng memberilahukan. "Aku yang menguburkan tulang
belulang itu."
"Apa?" Betapa
terkejutnya Kou Hun Bijin "Maksudmu mereka sudah mati semua?"
"Ya." Tayli Lo Ceng
mengangguk.
"Siapa yang membunuh
mereka?" tanya Kui Hun Bijin dengan mata berapi-api.
"Seng Hwee Sin Kun."
"Dari mana engkau tahu
Seng Hwee Sin Ku yang membunuh mereka?"
"Sebab tulang mereka ada
yang hangus, maka aku yakin mereka terkena pukulan Seng Hwee-Sin Ciang."
"Kalau begitu," ujar
Kou Hun Bijin sambii berkertak gigi. "Aku harus pergi membunuh Seng Hwee
Sin Kuni"
"Omitohud!" Tayli Lo
Ceng menggeleng-gelengkan kepala. 'Engkau harus sabar, jangan emosi!"
”Aaaakh...” keluh Kou Hun
Bijin.
"Ibu," ujar Siang
Koan Goat Nio dengan mata bersimbah air. "Paman-paman itu telah mati semua
sungguh kasihan mereka,"
"Jangan berduka.
Nak!" hibur Kim Siauw Suseng "Kelak kita akan menuntut balas kepada
Seng Hwee Sin Kun."
"Heran" gumam Kou
Hun Bijan. "Kenapa Seng Hwee Sin Kun membunuh Siang Koay dan Nyo
Kui?"
"Aku yakin mereka punya
dendam. Kalau tidak, bagaimana mungkin Seng Hwee Sin Kun membunuh mereka?"
sahut Tayli Lo Ceng.
"Kalau begitu," ujar
Sam Gan Sin Kay dengan kening berkerut. "Kenapa Seng Hwee Sin Kun membunuh
Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin?"
”Itu..." Tayli Lo Ceng
menggeleng-gelengkan kepala. "Itu memang agak membingungkan. Sudahlah, aku
mau pergi!"
"Kok begitu cepat,
Guru?" ujar Toan Beng Kiat. Lam Kiong Soat Lan dan Lie Man Chiu serentak.
"Omitohud!" sahut
Tayli Lo Ceng. "Guru memang harus pergi, kalian baik-baiklah menjaga
diri!"
"Kepala gundul,"
tanya Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. "Kapan kita akan bertemu lagi”
"Omitohud Apabila aku
belum-mati, kita semua pasti akan bertemu kembali kelak. Selamat tinggal!"
ucap Tayli Lo Ceng lalu melesat pergi. Dalam waktu sekejab ia telah hilang dari
pandangan semua orang.
--ooo0dw0ooo--
Perlahan-lahan Kam Hay Thian
membuka matanya, namun masih tidak mampu menggerakkan badannya, karena tak
bertenaga sama sekali
"Hay Thian...." panggil Lu Hui San girang "Engkau...
engkau sudah sadari"
"Aku... aku berada di
mana?" tanya Kam Hay Thian bingung. "Apa yang telah terjadi?"
"Engkau pingsan belasan
hari, kami membawamu ke mari." Lu Hui San memberitahunya
"Oh?" Kam Hay Thian
menatapnya. "Aku aku berada di mana sekarang? Siapa yang menyelamatkan
nyawaku?"
"Engkau berada di Pulau
Hong Hoang tempat tinggal kami. Kakak Bun Yang yang menolongmu di Lembah Kabut
Hitam,
dan kami yang membawamu ke
mari. Paman Cie Hiong yang menyelamatkan nyawamu." sahut Lie ai ling.
"Aku berada di Pulau Hong
Hoang To? Paman Cie Hiong yang menyelamatkan nyawaku?" Kam Hay Thian
tampak tertegun.
"Ya." Lu Hui San
mengangguk.
Di saat bersamaan, Tio Cie
Hiong dan Lim Ceng Im melangkah ke dalam kamar itu. Betapa girangnya mereka,
ketika melihat Kam Hay Thian telah siuman.
"Syukurlah engkau sudah
siumanl" ucap Tio Cie Hiong dengan wajah berseri-seri. Tapi engkau masih
tidak boleh bergerak, harus tetap berbaring di tempat tidur."
"Maaf. Paman!" Kam
Hay Thian memandangnya.
"Aku adalah Tio Cie
Hiong, kawan baik ayah dan ibumu." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Paman Tio, maafkan aku
karena tidak bisa memberi hormat"
”Tidak apa-apa." Tio Cie
Hiong tersenyum, "Engkau masih belum bisa bergerak, beberapa hari kemudian
barulah engkau bisa bergerak."
”Terimakasih Paman Tio telah
menyelamatkan nyawakul"
ucap Kam Hay Thian. ”Terima
kasih!"
"Seharusnya engkau
berterimakasih kepada mereka bertiga." Tio Cie Hiong menunjuk Lu Hui Sam,
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling. "Kalau mereka terlambat membawamu ke
mari, nyawamu pasti sulit diselamatkan."
Kam Hay Thian memandang ketiga
gadis itu bergantian, kemudian ucapnya terharu.
”Terimakasih atas pertolongan
kalian bertiga aku...."
"Hi hi hil" Lie ai
ling tertawa geli. ”Tidakusah mengucapkan terimakasih kepada kami ingat kita
semua adalah teman baik"
"Ya, ya." Kam Hay
Thian mengangguk. "Kita semua memang teman baik. Terimakasih"
Siang Koan Goat Nio melirik Lu
Hui san gadis itu tersenyum malu-malu sambil menundukkan kepala.
Itu tidak terlepas dari mata
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im, mereka berdua tersenyum.
"Hay Tiran," tanya Tio
Cie Hiong sambil menatapnya dalam-dalam. "Engkau punya hubungan dengan Bu
Lim Sam Mo?"
"Bu Lim Sam Mo?" Kam
Hay Thian tampak tertegun. "Aku tidak kenal Bu Lim Sam Mo Paman."
"Oh?" Tio Cie Hiong
mengerutkan keniing "Kalau begitu, engkau belajar Pak Kek Sin Kang dari
mana?"
"Ketika aku berusia
sebelas tahun, ibuku memberitahukan kepadaku tentang Paman. Katanya kalau aku
ingin menuntut balas kepada pembunuh ayahku, maka aku harus berguru kepada
Paman Karena itu, aku meninggalkan rumah dengan tujuan mencari Paman. Aku
sampai di kota Leng An, lalu belajar ilmu silat kepada guru silat Lie..."
tutur Kam Hay Thian dan menambahkan, "Namun ketika aku kembali ke kota
Leng An, guru silat Lie dan putrinya yang baik hati itu telah mati dibunuh oleh
para anggota Hiat Ih Hwe."
"Oooh!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut seusai mendengar penuturan Kam Hay Thian. "Sungguh
di luar dugaan, ternyata engkau memperoleh kitab-kitab pusaka itu di dalam goa
bekas markas Bu Tek Pay! Pantas engkau memiliki Pak Kek Sin Kangl Hanya saja
belum begitu tinggi lweekangmu."
"Paman, aku mohon diberi
petunjuk!" ujar Kam Hay Thian. "Aku harus membalaskan dendam ayahku
kepada Seng Hwee Sin Kun."
"Kami pun harus menuntut
balas padanya." sela Toan Beng Kiai dan Lam Kiong Soat Lan serentak.
"Kalian____" Tio Cie
Hiong menghela nafas panjang. "Balas membalas, kapan akan berakhir
itu!"
"Paman, aku
mohon...."
"Hay Thian, aku pasti
memberi petunjuk kepadamu, namun harus menunggu engkau pulih dulu." ujar
Tio Cie Hiong.
"Terirnakasih,
Paman!" ucap Kam Hay Thian. "Oh ya. Paman, kira-kira kapan aku akan
pulih?"
"Mungkin membutuhkan
waktu enam atau tujuh bulan." Tio Cie Hiong memberitahukan "Setelah
engkau pulih, barulah aku membimbing mu."
"Kenapa harus begitu lama
aku baru pulih?" Kam Hay Thian menghela nafas.
"Itu...."
"Engkau harus sabar, lagi
pula Seng Hwee Sin Kun pun telah terluka," ujar Tio Cie Hiong "Dia
harus mengobati lukanya, yang tentunya juga membutuhkan waktu."
"Oohl" Kam Hay Thian
manggut-manggut "Paman, siapa yang mampu melukai Seng Hwee Sin Kun?"
"Kauw heng," jawab
Tio Cie Hiong samb menghela nafas. "Namun monyet bulu putih itupun terluka
parah."
"Paman, siapa pemilik
monyet bulu putih itu!” Kam Hay Thian heran.
"Aku." Tio Cie Hiong
memberitahukan. "Tapi kauw heng itu ikut Bun Yang pergi mengembara”
"Jadi Bun Yang adalah
putra Paman?"
"Ya." Tio Cie Hiong
manggut-manggut, kemudian menghela nafas panjang lagi. "Dia membawa Kauw
heng ke Gunung Thian San, mungkin kauw heng tidak bisa hidup lama lagi."
"Paman, kenapa Bun Yang
membawa monyet bulu pulih itu ke Gunung Thian San?" tanya Kam Hay Thian
heran.
"Itu atas kemauan Kauw
heng. Sebab tempat tinggal Kauw heng berada di Gunung Thian San sahut Tio Cie
Hiong sambil menggeleng gelengkan kepala. "Kemauan kauw heng begitu, pertanda-.."
"Paman?" tanya Lie
Ai Ling dengan air mata becucuran "Betulkah kauw heng tidak bisa hidup
lagi?"
"Yaaahl" Tio Cie
Hiong menarik nafas. "Kira-kira begitulah.''
"Aaaahl Kauw heng...." Lie Ai Ling terisak-isak. "Dia
berkorban demi menyelamatkan Kakak
Bun Yang. Kita semua berhutang budi kepada monyet bulu putih itu!"
"Benar." Siang Koan
Goat Nio manggut manggut dan matanya pun tampak basah. "Kita semua
berhutang budi kepada kauw heng."
"Memang tidak
salah," ujar Tio Cie Hiong. "Kauw heng pun pernah menyelamatkan
nyawaku, dan kini menyelamatkan nyawa Bun Yang. Oleh karena itu, aku harap
kalian semua jangan membunuh monyet jenis apa pun!"
"Ya," sahut Siang
Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling serentak. Sedangkan Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut.
"Baiklah." Tio Cie
Hiong tersenyum "Engkau beristirahatlah kami mau ke ruang depan!"
"Paman, aku... aku tetap
di sini menemani Hay Thian." ujar Lu Hui San dengan kepala tertunduk.
"Itu...." Tio Cie Hiong memandang Lim Ceng Im.
"Bagaimana
menurutmu?"
"Tentu boleh," sahut
Lim Ceng Im sambil tersenyum, lalu memandang Lu Hui San seraya berkata,
"Engkau boleh tetap di sini menemani Hay Thian!"
"Terimakasih, Bibil"
ucap Lu Hui San dengan wajah agak kemerah-merahan.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
saling memandang, kemudian mereka meninggalkan kamar itu menuju ruang depan,
diikuti Siang Koan Goa Nio, Lie Ai Ling, Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan
dari belakang.
"Cie Hiong, pemuda itu
sudah sadar?" tanya Sam Gan Sin Kay ketika melihat kemuncullannya
"Dia sudah sadar,"
sahut Tio Cie Hiong sambi duduk dan memberitahukan. "Ternyata dia
memperoleh kitab kitab pusaka itu di dalam goa bekas markas Bu Tek Pay."
"Oooh!" Sam Gan Sin
Kay manggut-manggul "Sungguh beruntung pemuda itu!"
"Hanya saja—" Tio
Cie Hiong menggeleng gelengkan kepala. "Aku membutuhkan waktu sekitar enam
atau tujuh bulan untuk mengobatinya barulah dia bisa pulih. Setelah itu, aku
pun hari memberinya petunjuk mengenai ilmu silatnya. Karena dia belajar Pak Kek
Sin Kang tanpa guru maka belum mencapai tingkat tertinggi."
"Ngmm!" Sam Gan Sin
Kay manggut-manggu "Memang ada baiknya engkau rnembimbingnya sebab dia
sangat sadis terhadap penjahat."
"Ya" Tio Cie Hiong
manggut-manggut.
"Sadis terhadap penjahat
tidak ada salahnya," sela Kou Hun Bijin. "Karena dia adalah Chu Ok
Hiap (Pendekar Pembasmi
Penjahat). Kalau dia tidak
sadis terhadap penjahat, itu berarti dia bukan Chu Ok Hiap."
"Kakak____" Tio Cie
Hiong menggeleng gelengakan kepala.
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa nyaring, 'Engkau berhati bajik, namun orang lain belum tentu akan
berhati bajik lho!"
"Karena itu, aku harus
membimbingnya agar berhati bajik," sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.
Di saat bersamaan, tampak Lie
Man Chiu dan Tio Hong Hoa berjalan ke dalam dengan wajah berseri-seri.
"Eeeh?" Kou Hun
Bijin memaudang mereka dengan mata terbelalak- "Kenapa wajah kalian
berseri-seri? Apa yang membuat kalian begitu gembira?"
"Bijin!" Terdengar
suara sahutan. "Kami yang membuat mereka gembira."
Muncul beberapa orang, yaitu
Toan Wie Kie, Gouw Sian Eng, Lam Kiong Bie Liong dan Toan Put Lian.
"Kalian...?" Tio Cie
Hiong dan Lim Ceng Im membelalak, kemudian mereka segera bangkit berdiri
menyambut kedatangan Toan Wie Kie dan lainnya.
"Ayah, Ibu!" seru
Lam Kiong Soat Lan, yang langsung berlari menghampiri Toan Put Lian. la
mendekap di dadanya.
"Soat Lan—" Toan Pit
Lian membelairnya dengan penuh kasih sayang.
Sementara Toan Beng Kiat juga
menghampiri kedua orang tuanya. Toan Wie Kie memandang nya sambil manggut-manggut.
"Nak..." panggilnya
lembut.
"Ayah, Ibu!" Panggil
Toan Beng Kiat sambil tersenyum.
"Nak____" Gou Sian
Eng membelainya. "Aku rindu sekali kepadamu."
"Acara mencurahkan
kerinduan telah usai ”ujar Sam Gan Sin Kay sambil tertawa. "Ha ha Sekarang
kalian duduklah!"
Toan Beng Kiat, Gouw Sian Eng,
Lam Kio Bie Liong dan Toan Pit Lian segera menghormat kepada mereka lalu duduk.
"Dari mana kalian tahu
Beng Kiat dan Sot Lan berada di sini?" tanya Tio Cie Hiong heran
"Kami ke markas pusat Kay
Pang dulu, Pang Lim dan Paman Gouw yang memberitahu kami bahwa Beng Kiat dan
Soal Lan berada di Pulau Hong Hoang To, maka kami ke mari "jawab Toan Wie
Kie dan menambahkan. "Mereka pun menceritakan tentang kejadian ku."
"Ooohl" Tio Cie
Hiong manggut-manggut, kemudian memandang Lie Ai Ling seraya bertanya.
"Bagaimana kalian bisa kenal Ngo Tok kauwcu?"
"Kakak Bun Yang yang
kenal dia. Namun karena buru-buru menolong Kam Hay Thian, maka Kakak Bun Yang
tidak sempat memperkenalkan kami," jawab Lie Ai Ling menjelaskan. 'Kakak
Bun Yang minta bantuan Ngo Tok Kauw m untuk ke markas pusat Kay Pang menemui
kakek Lim."
"Heran?" gumam Tio
Cie Hiong. "Bagaimana Bun Yang bisa kenal Ngo Tok Kauwcu yang tergolong,
sesat itu?"
"Kakak Cie Hiong,"
ujar Lim Ceng Im sambil tersenyurn. "Walau sesat, tapi Ngo Tok Kauwcu itu
tidak jahat!"
"Oh yal" Toan Beng
Kiat memberitahukan. ”Paman Lim juga menceritakan bahwa Bun Yang yang mengobati
wajah Ngo Tok Kauwcu."
"Oh?" Tio Cie Hiong
mengerutkan kening.
"Adik," ujar Kou Hun
Bijin sungguh-sungguh, ”tidak usah mencemaskan Bun Yang! Bukankah kakak juga
tergolong wanita sesat? Nah, buktinya kakak tidak jahat kok."
"Betul, Paman,"
sambung Siang Koan Goat Nio. "Kelihatannya Kakak Phang adalah gadis yang
baik, bahkan punya dendam pula terhadap Seng Hwee Sin Kun."
"Oh? Dia punya dendam apa
terhadap Seng Hwee Sin Kun?" tanya Tio Cie Hiong.
"Hay Thian tahu tentang
itu," jawab Sia Koan Goat Hio. "Lebih baik Paman bertanya kepadanya,
agar akan lebih jelas."
"Ngmm” Tio Cie Hiong
manggut-manggut
"Kini kita sudah tahu
siapa pembunuh kakekku dan Lam Kiong hujin, maka kita harus pergi
membunuhnya," ujar Gouw Sian Eng sungguh-sungguh.
"Seng Hwee Sin Kun telah
terluka, jadi tidak perlu pergi membunuhnya,” sahut Tio Hiong.
"Ini justru merupakan
kesempatan baik buat kita untuk menyerbu ke markas Seng Hwee Kauw ”sela Lam
Kiong Bie Liong. "Janganlah kita menyia-nyiakan kesempatan ini, mari kita
segera menyerbu ke sana membunuh Seng Hwee Kunl"
"Kita bukan
pengecut," sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Tentunya kita tidak
akan bertindak begitu. Ya, kan?"
"Ini...." Wajah
Lam Kiong Bie
Liong tampaki kemerah-
merahan.
Pada waktu bersamaan, muncul
Lu Hui San sambil memapah Kam Hay Thian. Seketika , Tio Cie Hiong mengerutkan
kening.
"Hui San, kenapa engkau
papah dia ke mari?” tanya Tio Cie Hiong bernada teguran.
"Maaf, Paman!" jawab
Lu Hui San dengan kepala tertunduk. "Hay Thian yang menyuruhku memapahnya
ke mari."
"Betul, Paman."
sambung Kam Hay Thian. "Harap Paman jangan mempersalahkan Hui Sanl"
"Hay Thian...." Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan
kepala. "Engkau masih
tidak boleh tergerak, namun malah—" "Paman, aku____" Kam Hay
Thian menundukkan kepala.
"Hui San," ujar Lim
Ceng Im. "Cepatlah papah dia ke tempat duduk!"
"Ya, Bibi." Lu Hui
San segera memapahnya ke tempat duduk. Setelah itu gadis tersebut duduk di
sebelahnya-
"Dia Kam Hay Thian."
Tio Cie Hiong memperkenalkan. "Putra Kam Pek Kian dan Lie Siu Sien, namun
ayahnya telah meninggal dibunuh Seng Hwee Sin Kun."
"Ooohl" Toan Wie Kie
dan Lam Kiong Bie liong manggut-manggut,
"Hay Thian, bagaimana
engkau bisa kenal Ngo Tok Kauwcu?" tanya Lim Ceng Im mendadak.
"Ketika aku hampir tiba
di Lembah Kabut Hitam, tiba-tiba dia muncul," jawab Kam Hay Thian
memberitahukan. "Setelah itu. kami pun berkenalan Kemudian dia
menceritakan tentang kematian ayahnya, yang ternyata dibunuh oleh Seng Hwee Sin
Kun gara-gara sebuah kitab pusaka, yakni Seng Hwee Cin Keng."
"Oooh!" Lim Ceng Im
manggut-manggut. ”Dia tidak menceritakan bagaimana berkenalan dengan Bun
Yang?"
"Dia tidak menceritakan
tentang itu, hanya bilang kenal Bun Yang," ujar Kam Hay Thian ”Tapi dia
memberitahukan, bahwa Bun Yang yang menyembuhkan wajahnya."
"Oh?" Lim Ceng Im
mengerutkan kening "Kenapa wajahnya?"
"Entahlah." Kam Hay
Thian menggelengkan kepala. "Dia tidak memberitahukan kepadaku."
"Cie Hiong," ujar
Lam Kiong Bie Liong sambil memandangnya. "Apa rencanamu sekarang?"
tanya nya.
"Rencana apa?" Tio
Cie Hiong heran.
"Mengenai Seng Hwee Sin
Kun" sahut Lam Kiong Bie Liong.
"Maaf!" Tio Cie
Hiong menghela nafas pa jang. "Aku tidak punya rencana apa pun, sebab aku
sudah tidak mau mencampuri urusan dunia persilatan."
"Cie Hiong...." Lam
Kiong Bie Liong mengeleng-gelengkan
kepala. "Engkau—"
"Kini Seng Hwee Sin Kun
telah terluka," ujar Tio Tay Seng, majikan Pulau Hong Hoang "Kita
tunggu saja bagaimana perkembangannya setelah itu barulah kita berunding."
"Baiklah." Lam Kiong
Bie Liong manggut-«unggul. "Tapi kami tidak bisa lama-lama di sini, sebab
Toan Hong Ya telah berpesan kepada kami harus segera membawa Soat Lari dan Beng
Kiat pulang ke Tayli."
"Oooh!" Tio Cie
Hiong manggul-manggut. "Kapan kalian akan pulang ke Tayli?"
"Lusa," jawab Toan
Wie Kie.
"Kok begitu cepat?"
Tio Cie Hiong memandangnya. "Padahal kalian baru tiba di sini."
"Maafl" ucap Toan
Wie Kie. "Ayahku yang terpesan begitu, maka kami harus menurut."
"Oh ya!" Tio Cie
Hiong memberitahukan. ”Tayli Lo Ceng ke mari, tapi sudah pergi kemarin."
"Oh?" Toan Wie Kie
tertegun. "Apakah Lo Ceng berpesan sesuatu untuk kami?"
"Tidak" Tio Cie
Hiong menggelengkan kepala.
"Sayang sekali!"
Toan Wie Kie menghela nafas panjang "Kami tidak bertemu padri tua
itu!"
'Kenapa harus merasa sayang
tidak bertemu dia?” tanya Kou Hun Bijin mendadak, kemudian ter tawa nyaring.
"Dia berkepala gundu!, apakah kalian juga ingin menggundulkan
kepala?"
"Bijin, kami-." Toan
Wie Kie tergagap. "Kami.-."
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak, "Bijin, engkau senang apabila mereka juga berkepala
gundu!?"
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan "Kalau kepala mereka digundulkan, isteri mereka
pasti merana! Hi hi hi..-!"
--ooo0dw0ooo--
Bagian ke tiga puluh lima
Hian Goan Sin Kang (Tenaga
Sakt! Melumpuhkan Lawan)
Di Lembah Ang Hoa Kok (Lembah
Bunga Merah) terdapat sebuah goa yang amat besar dan indah. Lembah tersebut
ditumbuhi bunga-bunga liar berwarna merah, maka dinamai Lembah Bunga Merah.
Tampak seorang nenek berusia
delapan puluhan duduk di dalam goa itu. Kelihatannya nenek itu sedang melatih
semacam Iweekang. Berselang sesaat, ubun-ubun nenek itu mengeluarkan uap putih.
Itu pertanda Iweekangnya telah mencapai tingkat yang sangat tinggi.
Justru sungguh mengherankan,
karena uap itu sama sekali tidak buyar, melainkan terus berputar di atas kepala
nenek itu. Beberapa saat kemudian, uap putlb itu menerobos ke dalam ubun-ubun
nenek tersebut.
Perlahan lahan nenek itu
membuka matanya, lulu tertawa nyaring menggetarkan goa itu, bahkan berkumandang
di luar goa pula. Siapa nenek itu? Ternyata Tu Siao Cut murid Thiaan Gwa Sin
Hiap - Tan Liang Tie, adik seperguruan Tayli Lo Ceng. "Hi hi hil Aku telah
berhasil menguasai ilmu Hian Goan Sin Kang! Hi hi hi..." Tu Siao Cui terus
tertawa nyaring dan bergumam. "Akhirnya aku berhasil menguasai ilmu itu!
Tapi...."
Mendadak Tu Siao Cui menangis
meraung-raung dengan air mata berderai-derai, setelah itu bergumam lagi.
"Tapi... aku telah
kehilangan masa mudaku. Enam puluh tahun lebih aku berada di dalam goa ini
sehingga membuat masa mudaku habis di dalam goa ini pula. Aku benci kepada
guruku itu! Benciii...!"
Kenapa Tu Siao Cui membenci
gurunya? Kenapa sekian lama ia berada di dalam goa itu? Apakah dikarenakan
berlatih Hian Goan Sin Kang?
"He he he!"
Tiba-tiba Tu Siao Cui tertawa terkekeh kekeh. "Tapi aku pun telah
mengurungnya di dalam goa di Gunung Hong San, mungkin dia sudah mampus! He lie
he..!"
Seusai tertawa terkekeh-kekeh
dan bergumam, Tu Siao Cui bangkit berdiri sambil bergumam lagi.
"Puluhan tahun aku tidak
pernah berjalan ke dalam, karena terluka parah oleh pukulan yang dilancarkan
guruku! Namun hari ini aku sudah kuat berjalan ke dalam. Aku ingin tahu, ada
apa di dalamnya."
Tu Siao Cui mengayunkan
kakinya ke dalam Goa itu memang aneh, sebab batu-batu yang dindingnya
memancarkan cahaya, sehingga
membuat goa itu menjadi agak terang.
Kenapa selama puluhan tahun
ini Tu Si Cui tidak pernah berjalan ke dalam menelusuri goa tersebut? Ternyata
ia menderita luka parah akibat terkena pukulan gurunya, sehingga membuat
sepasang kakinya lumpuh.
Oleh karena itu, ia harus
mengobati lukanya. Setelah lukanya sembuh, barulah ia mulai mempelajari Hian
Goan Sin Kang. Kini sepasang kaki nya telah sembuh, maka ia berjalan ke dalam
melihat-lihat goa yang dihuninya itu.
Ketika sampai di ujung goa, ia
terbelalak melihat sebuah sumur alam, dan tampak kabut kemerah-merahan di
permukaan sumur itu.
Tu Siao Cui tercengang. Ia
menghampiri sumur alam itu dan melihat airnya. Sungguh mengherankan, ternyata
air sumur alam itu berwarna merah.
"Herani" gumam Tu
Siao CuL "Kenapa sumur alam ini berwarna merah? Mungkin mengandung
racun?"
Tu Siao Cui memungut selembar
daun kering lalu dicelupkan ke air sumur alam itu. Lama sekali barulah diangkat
daun kering itu, lalu diperiksanya dengan teliti sekali. Daun kering itu tampak
segar, oleh karena Itu. Tu Sisa Cui yakin air sumur alam itu tidak mengandung
racun.
"Hi hi hi!" Nenek
itu tertawa girang. "Aku akan mandi sepuas-puasnya! Hi hi hi..."
Tu Siao Cui mulai menanggalkan
pakaiannya yang dibuat dari kulit pohon. Usianya sudah delapan puluh lebih,
tentunya tubuhnya sangat tak sedap dipandang. Dia lalu mencebur ke dalam sumur
alam itu.
Sungguh di luar dugaan, sumur
alam itu cukup dalam sehingga kaki Tu Siao Cui tidak menyentuh dasar sumur alam
itu.
Sambil tertawa gembira Tu Siao
Cui berenang ke sana ke mari, kemudian menyelam ke dasar sumur itu. Bukan main
indahnya dasar sumur tersebut karena batu-batu di situ memancarkan cahaya.
Karena ingin menyaksikan keindahan dari sumur itu, maka ia menghimpun Hian Goan
Sin Kang untuk menahan nafasnya.
Entah berapa lama kemudian,
barulah ia muncul di permukaan air, lalu naik ke atas. Setelah Ia berada di
atas, ia pun terbelalak melihat sepasang tangannya. Ternyata sepasang tangannya
berubah bersih dan halus, begitu pula sepasang payudara nya tampak agak padat.
Dapat dibayangkan, betapa kaget
dan gembiranya Tu Siao Cui. Cepat-cepat ia melihat wajahnya di permukaan air
sumur itu. Begitu melihat, membuatnya terheran heran, karena wajahnya yang
keriput itu tampak segar dan agak halus.
"Haaah..?" Mulutnya
ternganga lebar. "Mungkinkah air sumur itu akan membuat diriku muda
kembali, apabila aku menghimpun Hian Goan Sin Kang di dalam air sumur alam
itu?"
Berpikir begitu, mendadak Tu
Siao Cui meloncat ke sumur alam itu, sekaligus menghimpun Hian Goan Sin Kang.
Tu Siao Cui memang tidak tahu,
bahwa sumur itu mengandung semacam obat yang menghaluskan kulit. Apalagi ia
menghimpun Hian Goan Sin Kang, sehingga mempercepat proses penghalusan itu.
Beberapa bulan kemudian, Tu
Siao Cui yang berusia delapan puluhan itu telah berubah menjadi seorang gadis
berusia dua puluh, bahkan sangat cantik pula. Itu boleh dikatakan tidak masuk
akal, namun Tu Siao Cui memang mengalami perubahan itu.
"Hi hi hil Hi hi
hil" Tu Siao Cui tertawa girang sehingga sepasang matanya mengucur, air
mata. "Aku sudah muda
kembali, aku sudah muda
kembalil Aku akan segera meninggalkan goa inil Hi hi hi..!'
--ooo0w0ooo--
Sementara itu, di dalam goa es
di Gunung Thian San, Tio Bun Yang telah berhasil mengusai ilmu Kan Kun Taylo Im
Kang. Buktinya mutiara inti es yang digenggamnya itu telah lenyap.
"Aku telah
berhasil!" sorak Tio Bun Yang dengan wajah berseri. "Aku akan
meninggalkan goa es ini—"
Tio Bun Yang melesat ke luar,
kemudian mengerahkan ginkangnya meluncur ke atas. Dalam waktu sekejap, ia sudah
mencapai pinggir jurang, lalu melesat ke arah goa hangat tempat tinggal monyet
bulu putih.
"Kauw heng...." Tio
Bun Yang berlutut di hadapan makam
monyet bulu putih. "Hari
ini aku akan meninggalkan Gunung Thian San. Kalau ada sempat kelak, aku pasti
ke mari lagi."
Tio Bun Yang terisak-isak
dengan air mata berderai-derai. Sejak ia lahir, monyet bulu putih itu sudah
menemaninya. Namun kini monyet bulu pulih itu telah tiada, betapa sedihnya hati
Tio Bun Yang.
"Kauw heng, aku bersumpah
lagi, semua keturunanku dilarang membunuh monyet jenis apa pun! Kauw heng, aku
pergi__"
Tio Bun Yang bangkit berdiri,
lalu melesat pergi meninggalkan goa tersebut, tujuannya ke markas pusat Kay
Pang.
Beberapa hari kemudian, ia
melewati sebuah lembah di Gunung Hong San. Mendadak ia mendengar suara pekikan yang
amat seram, menyerupai suara pekikan setan iblis.
Tio Bun Yang bukan penakut,
namun suara pekikan itu membuatnya merinding juga. Karena merasa heran, maka ia
melesat ke arah suara itu
Tak seberapa lama, ia sudah
sampai di hadapan sebuah goa. Ternyata suara pekikan itu berasal dari dalam goa
tersebut. Suara pekikan itu makin terdengar jelas, kemudian berubah memilukan.
Tio Bun Yang mengerutkan
kening, la yakin itu adalah suara pekikan manusia. Oleh karena itu, ia
memberanikan diri melesat memasuki goa
"Ha ha ha! Ha ha ha !”
Suara pekikan itu mendadak berubah menjadi suara tawa, kemudian terdengar suara
seruan parau. "Hei! Anak muda cepatlah engkau ke mari"
Tio Bun Yang mempercepat
langkahnya. Ketika sampai di hadapan orang itu, wajahnya langsung berubah dan
terbelalak. Ternyata orang itu sudah tua sekari dan telanjang bulat. Sungguh
mengenaskan keadaan orang tua itu, sepasang kaki dan tulang punggungnya
terbelenggu rantai baja.
"Paman tua...." Tio
Bun Yang memandangi dengan iba.
"Anak mudai" Orang
tua itu tertawa lagi. 'iha hal Jangan takut, aku bukan setan iblis!"
"Aku tahu, tapi keadaan
Paman tua...."
"Aaaakh!" keluh
erang tua itu. "Memang sudah nasib dan takdirku harus dikurung di dalam
gua ini. Namun di saat ajalku tiba. justru muncul seorang anak muda ke mari. Ha
ha ha! Sungguh menggembira kan!"
”Paman tua, aku mengerti
sedikit ilmu pengobatan. Bolehkah aku memeriksamu?"
"Oh?" Orang tua itu
menatapnya dengan mata redup "Percuma, sebab ajalku telah tiba."
"Paman tua!" Tio Bun
Yang segera memeriksanya kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Ha ha! Ajalku sudah tiba
kan?" Orang tua itu tertawa.
Tio Bun Yang tidak menyahut,
melainkan mengambil sebutir pil dari dalam bajunya lalu dimasukkannya ke mulut
orang tua itu.
Setelah menelan pil itu, tak
lama wajah orang tua itu tampak agak segar.
"Bukan main obat
itu!" ujar si kakek sambil tertawa. "Bisa memperpanjang nyawaku untuk
beberapa saat!"
"Paman tua," tanya
Tio Bun Yang. "Kenapa Paman tua dikurung di sini? Siapa yang berbuat
begitu kejam terhadap Paman tua?"
"Aaaakh___!:” Orang tua
itu menghela nafas panjang. "Anak muda, siapa engkau?"
"Namaku Tio Bun
Yang."
"Ngmm!" Orang tua
iiu manggut-manggut. "Baiklah. Aku akan menceritakan tentang kejadianku.
Aku bernama Tan Liang Tie, julukanku Thian Gwa Sin Hiap. Delapan puluh tahun
yang lalu, pada wakiu itu aku baru berusia empat puluhan. Akan tetapi, aku
justru melakukan suatu kesalahan."
"Kesalahan apa?"
"Membunuh sepasang suami
isteri." Tan Liari Tie menghela nafas panjang lalu melanjutkan
"Sepasang suami isteri itu adalah perampok, kebetulan aku memergoki mereka
merampok rumah seorang hartawan. Karena itu, aku turun tangan membunuh mereka.
Sebelum perampok wanita itu menghembuskan nafas penghabisan dia berpesan
kepadaku agar aku ke rumahnya”
"Paman tua ke rumah
wanita itu?"
"Tentunya aku tidak mau.
Namun setelah mereka mati.-" Tan Liang Tie menggeleng-gelengkan kepala.
"Muncullah para penduduk kampung itu. Begitu mereka melihatku, para
penduduk kampung itu mencaci maki aku."
"Lho?" Tio Bun Yang
beran. "Kenapa mesti mencaci maki Paman tua?"
"Ternyata mereka berdua
adalah peramok budiman." Tan Liang Tie memberitahukan, "mereka
merampok di rumah para hartawan yang berlaku sewenang-wenang, lalu hasil rampok
itu dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Aku sama sekali tidak tahu tentang itu,
maka...."
"Paman tua terlalu cepat
membunuh suamii itu." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku sungguh menyesal
Karena itu aku sejera ke rumah mereka," lanjut Tan Liang Tie. Ternyata ada
seorang anak gadis berusia sekitar lima tahun di dalam rumah itu. Dia adalah
anak suami isteri yang kubunuh itu, namanya Tu Siao Cui. Aku sungguh kasihan
kepadanya, maka aku bersumpah dalam hati akan mengurusi anak gadis itu."
"Kemudian
bagaimana?"
"Aku memberitahukan
kepadanya bahwa kedua orang tuanya sudah mati. Anak gadis itu menangis sedih,
lalu masuk ke kamar. Namun lak lama kemudian, dia keluar lagi dengan membawa
buah kitab."
"Kitab apa itu?"
"Hian Goan Cin
Keng." Tan Liang Tie memberitahukan. "Kitab itu adalah kitab pusaka
yang berisi pelajaran ilmu silat tinggi sekali. Sungguh di luar dugaan, kitab
pusaka tersebut tersimpan di rumah anak gadis itu."
"Anak gadis itu tidak
memberitahukan dari mana kitab pusaka itu?"
"Dia tidak memberitahukan,
tapi kedua orang tuanya pernah berpesan, apabila mereka mati, kitab pusaka itu
harus diserahkan kepada orang yang mendalangi rumahnya."
"Pantas anak gadis itu
mengeluarkan kitab pusaka itu!"
"Bahkan dia pun
menyerahkan kitab pusaka itu kepadaku," ujar Tan Liang Tie sambi!
mengeleng-gelengkan kepala. "Aku melihat anak gadis itu begitu polos dan
belum tahu apa-apa, maka aku pun tidak memberitahukannya tentang kematian kedua
orang tuanya."
"Paman tua tinggal di
rumah itu?"
"Tidak. Aku membawanya ke
goa ini. Maksud aku ingin membesarkannya di dalam goa ini," sahut Tan
Liang Tie sambil melanjutkan. "Tapi di tengah jalan aku justru
memberitahukannya bahwa kedua orang tuanya mati dibunuh orang "
"Kenapa Paman tua
memberitahukannya?"
"Yaaah!" Tan Liang
Tie menghela nafas panjang. "Dia terus bertanya, maka aku terpaksa
memberitahukannya. Dia... dia bersumpah akan membalas dendam."
"Paman tua memberitahukan
siapa pembun kedua orang tuanya?" tanya Tio Bun Yang sambil mengerutkan
kening.
"Tentu tidak," sahut
Tan Liang Tie. "Di saat itu, aku pun bertemu saudara seperguruanku”
"Siapa saudara
seperguruan Paman tua?"
"Saudara seperguruanku
bernama Kong Su Hok, julukannya Tayli Sin Ceng. Dia mahir meramal. Ketika
melihat anak gadis itu, dia berpesan kepadaku harus berhati-hati padanya. Aku
diam saja."
"Oh?"
"Setelah sampai di goa
ini, mulailah aku mengajarnya menulis, membaca dan ilmu silat. Sedang kan aku
mulai mempelajari Hian Goan Cin Keng yang berisi Hian Goan Sin Kang (Tenaga
Sakli Melumpuhkan Lawan), Hian Goan Ci (Jari Sakti Melumpuhkan), ilmu pukulan
dan ilmu pedang."
"Bagaimana ilmu-ilmu
itu?" tanya Tio Bun Yang tertarik.
"Bukan main
hebatnya," jawab Tan Liang Tie sunggub-sungguh dan melanjutkan sambil
menggeleng gelengkan kepala. "Ketika Tu Siao Cui berusia sepuluh tahun,
mulailah aku mengajarnya ilmu-ilmu itu."
"Setelah itu
bagaimana?"
"Aaaahl" Tan Liang
Tie menghela nafas panjang dan suaranya mulai lemah. "Dia terus bertanya
kepadaku, siapa pembunuh kedua orang tuanya. Aku selalu menjawab tidak tahu.
Namun tak terduga sama sekali...."
"Apa yang telah
terjadi?"
"Setelah dia berusia dua
puluh, secara diam-diam pergi menyelidiki kematian kedua orang tuanya."
"Berhasilkah dia
menyelidikinya?"
"Kalau tidak berhasil,
tentunya aku tidak akan dirantai di sini." Tan Liang Tie
menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak tahu tentang itu, bahkan juga
tidak bercuriga, sebab dia bersikap seperti biasa. Tapi... secara diam-diam dia
meracuniku dengan arak."
"Oh?" Tio Bun Yang
terbelalak.
"Setelah minum arak yang
disuguhkannya itu aku pun tahu kalau arak itu mengandung racun Aku berusaha
mendesak keluar racun itu dengan Iweekangku, tapi cuma berhasil mendesak racun
itu tidak menyerang jantungku. Oleh karena itu aku menghimpun lweekangku pada
sepasang telapak tanganku."
"Paman tua ingin
memukulnya?"
"Ya." Tan Liang Tie
mengangguk. "Karena Iweekangku disalurkan pada sepasang telapak tanganku,
maka sekujur badanku jadi lemas. Di situlah Tu Siao Cui muncul sambil tertawa
terkekeh-kekeh. Ketika dia mendekat, aku langsung melancarkan sebuah pukulan ke
arahnya. Dia memang hebat karena berhasil meloncat ke atas maka pukulanku cuma
menghantam sepasang kkaki nya. Dia terpental hingga membentur dinding goa ini,
sedangkan aku terkulai dan pingsan."
"Lalu bagaimana?"
"Ketika aku siuman, dia
sudah tidak kelihatan Kitab Hian Goan Cin Keng pun lenyap." Tan Liang Tie
menghela nafas panjang. "Aku yang bersalah, tidak seharusnya aku
menyerangnya sebab belum tentu dia akan membunuhku. Disebabkan aku menyerangnya,
dia merantai diriku”
"Kejadian yang sungguh
tragis!" Tio Bun Yang Menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku yang bersalah,"
ujar Tan Liang Tie dengan suara lemah. "Oh ya, pernahkah engkau mendengar
seorang nenek bernama Tu Siao Cui muncul di rimba persilatan?"
"Tidak pernah, tapi aku
kenal Kou Hun Bijin-" Tio Bun Yang memberitahukan. "Mungkinkah Kou
Hun Bijin adalah Tu Siao Cui?"
"Apa?" Tan Liang Tie
terbelalak. "Engkau kenal Kou Hun Bijin? Dia... dia masih hidup?"
"Kou Hun Bijin masih
hidup, ayahku dan dia adalah kawan baik," sahut Tio Bun Yang dan
menambahkan. "Kou Hun Bijin sudah menikah dengan Kim Siauw Suseng. Mereka
punya seorang putri yang seusia denganku."
"Oh?" Tan Liang Tie
tampak tertegun, kemudian tertawa gelak. "Ha ha ha! Kou Hun Bijin telah
menikah? Ha ha ha!
Kalau Thian Gwa Sin Mo (Iblis
Sakti Luar Langit) tahu, dia pasti mati penasaran."
Tio Bun Yang diam. Ia sama
sekali tidak kenal Thian Gwa Sin Mo. Siapa Thian Gwa Sin Mo? tidak lain adalah
paman guru Tang Hai Lomo, adalah seorang Bu Lim Sam Mo.
"Anak muda," ujar
Tan Liang Tie dengan nafas mulai memburu. "Mungkin Tu Siao Cui telah mati
terkena pukulanku, namun aku tetap ingin mohon bantuanmu. Aku harap engkau sudi
membantuku!"
"Paman tua, apa yang
dapat kubantu?" tanyi Tio Bun Yang sungguh-sungguh.
"Setelah aku mati, tolong
cari Tayli Sin Ceng' jawab Tan Liang Tie dengan suara semakin lemah dan
menambahkan. "Engkau tidak usah mengubur mayatku, sebab rantai baja ini
tidak bisa diputuskan dengan Iweekang, kecuali dengan pedang pusaka."
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. Ia tahu bahwa ajal orang tua itu telah tiba. Kalau tadi tidak
memberikannya pil Sok Beng Tan (Pil penyambung Nyawa), orang tua itu pasti
sudah mati.
"Ha ha ha!" Tan
Liang Tie tertawa gembira "Terirnakasih, anak muda..."
Suara tawanya makin lama makin
lemah akhirnya tak terdengar dan kepala orang tua itu terkulai.
"Paman tual" panggil
Tio Bun Yang.
Tan Liang Tie tidak menyahut,
ternyata nyawa orang tua itu telah putus. Tio Bun Yang memandangnya sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Setelah memberi hormat, barulah ia meninggalkan
goa itu.
--000odw0ooo--
Dua hari kemudian, Tio Bun
Yang telah sampai di sebuah kota. ketika ia baru mau mampir di kedai teh,
mendadak ia mendengar suara gembrengan. Segeralah ia berpaling, tampak seorang
pria berusia lima puluhan dan seorang gadis berusia sekitar tujuh belas berada
di pinggir jalan.
Dari pakaian mereka, Tio Bun
Yang sudah dapat menerka, bahwa mereka adalah pemain silat keliling. Walau
gadis itu cukup cantik, namun Tio Bun Yang sama sekali tidak tertarik,
sebaliknya malah tertarik pada seekor monyet yang bersama mereka.
Oleh karena itu, ia mendekati
tempat tersebut Banyak pula orang berkerumun di situ.
"Saudara-saudara
sekalian!" ujar orang tua itu sambil memberi hormat ke empat penjuru.
"Aku bernama Liok Ah Peng, dan ini adalah putriku, yang bernama Liok Eng
Eng. Kami ayah dan anak berasal dari Shantung, mencari nafkah berkeliling
mempertunjukkan ilmu silatl Bahkan kami pun menjual obat koyo yang dapat
menyembuhkan penyakit encok, salah urat dan luka dalam terkena pukulan."
”Tidak salah" sambung
gadis bernama Liok Eng Eng itu sambil tersenyum manis. "Obat koyo itu
memang serba guna, harganya tidak begitu mahal."
"Nahl" ujar Liok Ah
Peng- "Sebelum kami mulai menjual obat koyo itu, terlebih dahulu kami akan
mempertunjukkan ilmu silat aliran Shantung."
"Paman-paman dan
bibi-bibi sekalianl" sen Liok Eng Eng. "Ayahku akan mempertunjukkan
ilmu pukulan yang sangat dahsyat Silakan menyaksikannyal"
Liok Ah Peng segera memberi hormat
ke empat penjuru, setelah itu barulah ia mulai mempertunjukkan ilmu pukulan
tangan kosong. Sepasang tangannya bergerak cepat sekali, kemudian berubah
menjadi puluhan pasang dan menimbulkan suara yang menderu-deru.
Menyaksikan ilmu pukulan itu,
Tio Bun Yan manggut-manggut dan membatin sambil tersenyum Cukup tinggi ilmu
silat orang tua itu, begitu pula Iweekangnya!
Mendadak terdengar suara tepuk
sorak yang riuh gemuruh, ternyata orang tua itu telah usai mempertunjukkan ilmu
silatnya.
"Terirnakasih!
Terirnakasih..." ucap Liok Ah Peng sambil memberi hormat. "Nahl
Sekarang putriku akan mempertunjukkan ilmu pedang. Silahkan menyaksikannya tapi
jangan terlampau dekat hati-hati dengan sambaran pedangnya! Ha ha...l"
Liok Eng Eng menghunus
pedangnya. Segera memberi hormat ke empat penjuru, barulah! mulai menggerakkan
pedangnya.
Seketika terdengarlah suara
sorak-sorai yang riuh gemuruh. Ternyata badan gadis itu bergerak lemah gemulai,
namun pedangnya bergerak cepat sekali.
Kagum juga Tio Bun Yang
menyaksikan ilmu pedang Liok Eng Eng. Karena itu ia mengeluarkan suling
kumalanya, sekaligus meniupnya mengiringi gerakan gadis itu.
Tentunya sangat mengejutkan
para penonton, begitu pula Liok Ah Peng dan putrinya. Mereka berdua langsung
memandang ke arah Tio Bun Yang Pemuda itu tersenyum-senyum, sehingga membuat
hati gadis itu berdebar-debar aneh.
Justru membuat Liok Ah Peng
terkejut bukan main, karena mendadak putrinya mengikuti irama suling itu. Namun
sungguh indah sekali gerakan pedang anak gadisnya itu, sehingga membuat Liok Ah
Peng terbelalak menyaksikannya.
Berselang beberapa saat
kemudian, suara suling itu berhenti. Pedang di tangan gadis itu pun ikut
berhenti. Sambil tersenyum Liok Eng Eng memberi hormat ke empat penjuru,
lalu memandang Tio Bun Yang
dengan mata berbinar-binar, terdengar pula suara tepuk sorak dari para
penonton.
”Terirnakasih!
Terirnakasih..." ucap Liok Ah Teng sambil memberi hormat. "Putriku
telah mempertunjukkan kejelekannya. Kini aku akan suruh monyet itu main
akrobat, tentunya akan menggembirakan saudara sandara sekalian."
Liok Ah Peng mengambil sebuah
cambuk. Monyet itu tampak ketakutan. Ketika Liok Ah Peng menggerakkan cambuk
itu ke bawah, geraian monyet itu bersalto beberapa kali.
"Ha ha ha... " Para
penunlon tertawa lor babak-babak. "Lucu sekali monyet itul"
Akan tetapi, setelah bersalto
beberapa kali mendadak monyet itu jatuh gedebuk, kemudian bercuit-cuit seakan
kesakitan.
Liok Ah Peng tampak gusar
sekali dan langsung mengayunkan cambuknya ke arah monyet Itu.
Taar...!
Monyet itu tersambar cambuk,
sehingga jatuh terguling-guling sekaligus bercuit-cuit kesakitan! Di saat
bersamaan, terdengarlah suara bentakan yang mengguntur.
"Jangan siksa monyet
itu!" ternyata Tio Bun Yang yang membentak gusar.
Betapa terkejutnya para
penonton, begitu pula Liok Ah Peng dan putrinya, mereka berdua langsung
memandang ke arah Tio Bun Yang.
Pemuda itu menatap gusar ke
arah Liok A Peng, kemudian memandang monyet itu sambil mengeluarkan suara
cuit-cuit. Terjadilah hal yang di luar dugaan, karena mendadak monyet itu
meloncat ke bahu Tio Bun Yang.
"Sungguh kasihan engkau,
monyet kecil!" kata Tio Bun Yang sambil membelai belai monyet dengan penuh
kasih sayang-
Terbelalaklah para penonton
dan Liok Ah Peng serta putrinya. Mereka mengira pemuda itu tidak waras. Akan
tetapi, sungguh mengherankan karena monyet itu kelihatan menurut sekali pada
pemuda tersebut.
"Monyet kecil!" Tio
Bun Yang menggeleng-lengkan kepala.
"Engkau masih belum bisa
bersalto Lebih baik aku mengajarmu."
Monyet itu bercuit-cuit,
tentunya membuat semua orang terheran-heran, begitu pula Liok Ah Peng dan
putrinya.
”Monyet kecil, turunlah!"
ujar Tio Bun Yang. Monyet itu segera meloncat turun. Hal itu membuat Liok Eng
Eng terbelalak, karena monyet itu mengerti apa yang dikatakan pemuda tersebut.
"Monyet kecil,
kalau berrsalto harus
begini...." Tio Bun
Yang memberi petunjuk kepada
monyet itu dengan cara menggerak-gerakkan tangannya.
Monyet itu manggut-manggut,
lalu bersalto mengikuti petunjuk Tio Bun Yang sambil bercuit-cuit. tampaknya
gembira sekali.
"Ha ha" Tio Bun Yang
tertawa. "Monyet kecil, engkau telah berhasil bersalto! Ha ha
ha....!"
Para penonton dan Liok Ah Peng
serta putrinya menyaksikan itu dengan mata terbeliak lebar dan mulutnya pun
ternganga.
"Paman!" panggil Tio
Bun Yang sambil menghampirinya. "Aku harap mulai sekarang Paman tidak
menyiksa monyet kecil itu!"
"Anak muda," sahut
Liok Ah Peng. "Aku tidak menyiksanya, melainkan cuma menakuti nya."
"Tapi...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Tadi Paman telah
memukulnya dengan cambuk."
"Itu karena dia tidak mau
bersalto.."
"Monyet kecil itu belum
bisa bersalto, namun Paman memaksanya," potong Tio Bun Yang. "Kalau
Paman masih ingin memukulnya, lebih baik aku bawa monyet kecil itu."
"Anak muda—" Liok Ah
Peng mengerutkan kening.
"Kami... kami berjanji
tidak akan memukul monyet itu lagi!" sela Liok Eng Eng dengan wajah agak
kemerah-merahan.
"Eng Eng...." Liok
Ah Peng menatapnya heran. "Engkau...."
"Ayah, mulai sekarang
Ayah jangan memukul monyet itu lagi!" sahut Liok Eng Eng.
"Kasihan...."
"Baiklah." Liok Ah
Peng tertawa gelak. "Ayah berjanji, mulai sekarang tidak akan memukul
monyet itu lagi!"
"Terimakasih,
Paman!" ucap Tio Bun Yan lalu bercuit memanggil monyet tersebut.
Monyet itu segera
mendekatinya. Tio Bun Yang membelainya seraya berkata lembut.
"Monyet kecil, mulai
sekarang Paman itu tidak akan memukulmu dengan cambuk lagi, engkau tidak perlu
takut."
Monyet itu bercuit-tuit sambil
Memandang Tio Bun Yang, kemudian manggut-manggut,
"Monyet kecil" Liok
Eng Eng membelainya. ”Engkau tidak usah takut, mulai sekarang ayahku tidak akan
memukulmu lagi dengan cambuk. Percayalah"
Monyet itu diam saja. Tentunya
mengherankan gadis itu.
Ditatapnya Tio Bun Yang seraya
bertanya.
"Eh Kenapa monyet kecil
itu diam saja?"
"Karena.." Tio Bun
Yang tersenyum. "Engkau bejum memiliki perasaan kasih sayang kepadanya,
maka dia diam saja."
"Oh?" Liok Eng Eng
tertawa geli. "Jadi... aku harus menyayanginya?"
”Tentu." Tio Bun Yang
mengangguk. "Walau dia adalah hewan, namun punya perasaan juga."
"Kalau begitu..."
ujar Liok Eng Eng sungguh mngguh. "Mulai sekarang aku pasti
menyayanginya"
"Bagus." Tio Bun
Yang manggut-manggut dan berkata kepada monyet tiu. "Monyet kecil, mulai
sekarang nona itu pasti menyayangimu, jadi engkau tidak perlu takut lagi."
Monyet itu bercuit, lalu
memandang Liok Eng Eng dengan mata berkedip-kedip, kelihatannya masih kurang
percaya kepada gadis itu.
"Monyet kecil, aku
berjanji akan menyayangimu, percayalah!" ujar Liok Eng Eng sambil tertawa.
"Monyet kecil," ujar
Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Nona itu tidak akan membohongi nah
Percayalah!"
Monyet itu manggut-manggut,
kemudian mendekati Liok Eng Eng, yang kemudian langsung membelainya.
"Ha ha hal" Liok Ah
Peng tertawa gelak "Baru kali ini aku melihat manusia bisa berbicara
dengan monyet! Oh ya, anak muda! Sebetulnya siapa engkau? Kok engkau mengerti
bahasa monyet?"
"Namaku Tio Bun Yang,
Paman," sahut muda itu sambil tersenyum ramah. "Sejak kecil aku sudah
bergaul dengan monyet, maka aku mengerti bahasanya."
"Oh?" Liok Ah Peng
terbelalak. "Kalau begitu, engkau lahir di dalam hutan?"
"Aku lahir di sebuah
pulau."
"Ooohl" Liok Ah Peng
manggut-manggut "Engkau mahir sekali meniup suling, sejak kapan engkau
meniup suling?"
"Sejak kecil."
"Kakak Bun Yang..."
Ketika Liok Eng Eng baru mau mengatakan sesuatu, mendadak terdengar suara tawa
yang menyeramkan, kemudian melayang turun seseorang bertampang seram pula
"He he he! Liok Ah Peng, ternyata engkau berada di sini bersama putrimu!
Hari ini kalian berdua tidak bisa kabur lagil He he he. I'
"Shantung Khie Hiap
(Pendekar Aneh Shantung)!" seru Liok Ah Peng dengan wajah pucat
"He he he!" Shantung
Khie Hiap tertawa terkekeh-kekeh. "Liok Ah Peng, engkau membunuh adik seperguruanku,
maka hari ini aku harus membunuhmu!"
---ooo0dw0ooo---
Jilid 8
"Shantung Khie
Hiap," sahut Liok Ah Pcng ambil menggeleng-gelengkan kepala. "Adik
seperguruanmu itu sangat jahat, sering merampok dan memperkosa....'
"Diam!". bentak
Shantung Khie Hiap. "Pokoknya engkau dan putrimu harus mampus hari ini!”
"Shantung Khie
Hiap!" Liok Ah Peng mengerutkan kening. "Aku tak sengaja membunuhnya,
dia... dia terus
menyerangku. Lagi pula... dia
ingin memperkosa putriku, maka....!"
"Diam!" bentak Shantung
Khie Hiap gusar. "Ayoh, cepat keluarkan senjatamu untuk bertarung
denganku!"
"Shantung Khie
Hiap...." Liok Ah
Pcng menghela nafas
panjang. "Baiklah! Aku
akan melawanmu dengan tangan kosong!"
"He he he!" Shantung
Khie Hiap tertawa terkekeh-kekeh. "Kalau begitu, mari kitu bertarung
dengan tangan kosong!"
Sementara Tio Bun Yang diam
saja karena tidak mau mencampuri urusan pribadi orang. Yang paling gembira
adalah para penonton, sebab mereka akan menyaksikan suatu pertarungan yang
sangat seru.
Pertarungan sudah mulai, yang
menyerang duluan adalah Liok Ah Peng. Shantung Khie Hiap berkelit sekaligus
balas menyerang. Mereka sama sama menggunakan jurus-jurus andalan.
Akan tetapi, puluhan jurus
kemudian, Liok Ah Peng mulai di bawah angin. Menyaksikan itu, pucatlah wajah
Liok Eng Eng. Gadis itu menggenggam pedangnya erat-erat, kelihatannya siap
membantu ayahnya.
"Aaaakh!" jerit Liok
Ah Peng.
Ternyata dadanya terkena
pukulan Shantung Khie Hiap. Ia terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah
dengan mulut menyemburkan darah segar.
"Ayah!" teriak Liok
Eng Eng sambil mc nyerang Shantung Khie Hiap dengan pedangnya
"Ha ha ha!" Shantung
Khie Hiap tertawa gelak. "Engkau pun harus mampus!"
Liok Eng Eng tidak menyahut.
Gadis itu terus menyerangnya dengan sengit, namun dengan mudah sekali
Shantung Khie Hiap berkelit,
bahkan mulai balas menyerang dengan tangan kosong.
Tio Bun Yang mendekati Liok Ah
Peng, kemudian memasukkan sebutir pil ke dalam mulutnya.
"Terimakasih!" ucap
Liok Ah Peng. "Anak muda, tolong selamatkan putriku!"
Tio Bun Yang mengangguk, lalu
mengeluarkan serulingnya sekaligus meniup dengan nada tinggi.
Sungguh mengherankan, begitu
mendengar suara suling itu, gerakan pedang Liok Eng eng berubah cepat laksana
kilat.
Breeet! Pakaian Shantung Khie
Hiap sobek tersabet pedang itu.
Betapa terkejutnya Shantung
Khie Hiap. Cepat-cepatlah ia meloncat ke belakang sambil memandang Tio Bun
Yang. Liok Eng Eng pun menghentikan serangannya lalu melirik Tio Bun Yang
dengan mata berbinar-binar.
"Anak muda!" seru
Shantung Khie Hiap. "Kenapa engkau mencampuri urusan kami?"
"Maaf, Shantung Khie
Hiap!" sahut Tio Bun Yang sambil menatapnya tajam. "Aku cuma membela
kebenaran!"
”Hmm!" dengus Shantung
Khie Hiap dingin ”Baik, mari kita bertanding! Kalau engkau mampu mengalahkan
aku, aku berjanji tidak akan membunuh Liok Ah Peng dan putrinya!"
"Shantung Khie
Hiap," ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Kita tidak perlu
bertanding...."
"Engkau takut? Kalau
begitu, cepatlah enyah dari sini!"
"Aku tidak takut, melainkan
punya Suatu cara untuk menghindari pertandingan," sahut Tio Bun Yang
memberitahukan. "Paman boleh memukulku tiga kali, kalau
Paman berhasil melukaiku, aku
akan meninggalkan tempat ini!"
"Anak muda!"
Shantung Khie Hiap terbelalak. "Apakah engkau sudah bosan hidup?"
"Bukan bosan hidup, namun
aku yakin Paman tidak akan mampu melukaiku dengan pukulan." ujar Tio Bun
Yang sungguh-sungguh.
Tapi Shantung Khie Hiap malah
merasa dihina, maka timbullah kegusarannya.
"Baik! Aku akan memukulmu
tiga kali!" Shantung Khie Hiap menudingnya. "Biar engkau
mampus!"
"Silakan!" Tio Bun
Yang tersenyum sambil mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang.
"Kakak Bun Yang...."
Liok Eng Eng tampak cemas sekali,
begitu pula Liok Ah Peng.
"Anak muda! Jangan
mempersalahkan aku, karena engkaulah yang sudah bosan hidup!" ujar
Shantung Khie Hiap, kemudian mendadak melan carkan sebuah pukulan ke arah dada
Tio Bun Yang.
Duuuuk! Dada Tio Bun Yang
terpukul.
"Aaaakh...!" Yang
menjerit malah Liok Eng Eng. Gadis itu terkejut sekali dan yakin Tio Bun Yang
pasti terluka.
Namun justru sungguh di luar
dugaan, ternyata Tio Bun Yang masih berdiri di tempat sambil tersenyum-senyum.
"Haaah?" Shantung
Khie Hiap terbelalak, karena ketika tinjunya mendarat di dada Tio Bun Yang, ia
merasa memukul sesuatu yang sangat lunak.
"Silakan pukul
lagi!" ujar Tio Bun Yang.
Shantung Khie Hiap penasaran
sekali. Ia menghimpun Iweekangnya lalu melancarkan pukulan ke arah dada Tio Bun
Yang.
Sementara Tio Bun Yang telah
mengerahkan tiga bagian Kan Ku n Taylo lm Kang.
Duuuuk! Dada Tio Bun Yang
terpukul, namun yang menjerit malah Shantung Khie Hiap.
"Aaaakh...!"
Shantung Khie Hiap terpental tiga depa dan sekujur badannya menggigil
kedinginan.
Liok Ah Peng dan putrinya
terperangah menyaksikan kejadian itu, begitu pula para penonton.
"Aaaakh, dingin! Dingin
sekali...!" Shantung Khie Hiap merintih-rintih dengan wajah agak
kehijau-hijauan karena kedinginan. "Aduuuh, dingin sekali...!"
Tio Bun Yang menghampirinya,
lalu memegang bahunya sekaligus menyalurkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang ke
dalam tubuhnya. Tak seberapa lama kemudian, Shantung Khie Hiap tidak menggigil
lagi dan wajahnya pun tampak agak kemerah-merahan.
"Anak muda!"
Shantung Khie Hiap meml dangnya terbelalak. "Terimakasih! Oh ya,
sebetulnya engkau siapa?"
"Namaku Tio Bun
Yang!"
"Apa?" Shantung Khie
Hiap tampak terkejut dan gembira. "Engkau... engkau Giok Siauw Sin
Hiap?"
"Ya."
"Kalau begitu...." Wajah
Shantung Khie Hij
berseri-seri.
"Engkau pasti putra Pek
Ih Sin Hia Tio Cie Hiong!" "Dari mana Paman tahu?" Tio Bun Ya
tercengang.
"Bun Yang!" Shantung
Khie Hiap memegang bahunya dan menatapnya kagum. "Engkau sungguh gagah dan
bijaksana seperti ayahmu!"
"Paman kenal
ayahku?"
"Pernah kenal."
Shantung Khie Hiap memberitahukan. "Ayahmu pernah menyelamatkan nyawaku,
maka aku berhutang budi kepada ayahmu”
"Paman...." Tio
Bun Yang tersenyum.
"Jangan berkata
begitu!"
"Bun Yang!" Shantung
Khie Hiap tertawa gelak. "Mulai sekarang aku sudah tidak menark dendam
kepada Liok Ah Peng."
"Terimakasih, Shantung
Khie Hiap!" ucap Liok Ah Peng. "Terimakasih...."
"Paman!" Wajah Liok
Eng Eng berseri. "Terimakasih!"
"Ha ha ha!" Shantung
Khie Hiap tertawa terbahak-bahak. "Seharusnya kalian berterima-kasih
kepada Giok Siauw Sin Hiap ini!"
'Terimakasih, Giok Siauw Sin
Hiap!" ucap Liok Ah Peng sambil memberi hormat.
"Paman...." Tio Bun
Yang segera balas mem-lieri hormat.
"Tidak usah
berterimakasih!"
"Kakak Bun Yang!"
Liok Eng Eng memberi hormat. "Terimakasih!"
"Nona...."
"Kok panggil aku
Nona?" Liok Eng Eng cemberut.
"Aku...."
"Bun Yang," ujar
Shantung Khie Hiap. "Engkau harus memanggilnya Adik Eng Eng."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut. ”Adik Eng Eng!"
"Kakak Bun Yang...." Wajah Liok Eng Eng kemerah-
merahan.
"Ha ha ha!" Shantung
Khie Hiap dan Liok Ah Peng tertawa gelak, kemudian Shantung Khie hiap berkata.
"Liok Ah Peng, aku minta maaf!"
"Terimakasih! Aku...." Liok Ah Peng menghela nafas
panjang.
"Aaaah!" Shantung
Khie Hiap juga menghela nafas panjang. "Adik seperguruanku itu memang
jahat. Yah, sudahlah!"
"Shantung Khie Hiap,
sekali lagi kuucapkan terimakasih karena engkau mau menyudahi urusan itu."
"Adik seperguruanku yang
bersalah, hanya saja... aku adalah kakak seperguruannya, maka mau tidak mau
harus menuntut balas kepadamu Namun... aku telah bertindak salah, untung ada
Giok Siauw Sin Hiap. Kalau tidak...."
"Ha ha ha!" Liok Ah
Peng tertawa. "Aku pasti mati di tanganmu, begitu pula putriku."
"Aku...." Wajah Shantung Khie Hiap memerah karena
merasa malu.
"Paman," ujar Tio
Bun Yang mendadak. "Urusan ini sudah selesai, aku mau pergi."
"Kakak Bun Yang...." Wajah Liok Eng Eng langsung
berubah murung. "Engkau
begitu cepat mau pergi?"
"Adik Eng Eng!" Tio
Bun Yang tersenyum. "Kita akan berjumpa lagi kelak."
"Kakak Bun
Yang...." Mata Liok
Eng Eng mulai
basah.
"Aku...."
"Adik Eng Eng!" Tio
Bun Yang memegang bahunya. "Percayalah! Kita pasti berjumpa lagi
kelak."
"Ba... bagaimana
mungkin?" Liok Eng Eng mulai terisak-isak.
"Adik Eng Eng, engkau
jangan menangis, kita pasti berjumpa kelak!" Tio Bun Yang menepuk bahunya,
kemudian mendekati monyet itu. "Monyet kecil, kita akan berpisah sekarang,
namun pasti berjumpa lagi kelak."
Monyet itu bercuit-cuit sedih.
"Monyet kecil...." Tio
Bun Yang membelainya.
"Jangan
sedih, kita akan berjumpa lagi
kelak! Paman, Paman dan Adik Eng Eng, sampai jumpa!" Mendadak Tio Bun Yang
melesat pergi menggunakan ginkang, dan dalam waktu sekejap ia sudah menghilang
dari pandangan semua orang.
"Dia... dia bisa
terbang!" teriak salah seorang penonton.
"Jangan-jangan dia adalah
Sin Tong (Bocah Dewa)!" sahut yang lain.
Sementara Shantung Khie Hiap
dan Liok Ah Peng cuma saling memandang, sedangkan Liok Eng Eng terus menangis
terisak-isak.
"Eng Eng, mari kita
pulang ke Shantung!" ujar Liok Ah Peng.
"Aku tidak mau pulang,
Ayah," sahut Liok Hng Eng. "Aku... aku mau pergi cari Kakak Bun
Yang."
"Eng Eng!" Liok Ah
Peng menggeleng-gelengkan kepala. "Itu tidak mungkin, lebih baik kita
pulang."
"Ayah...."
"Kalian pulang
saja!" ujar Shantung Khie Hiap. "Kalau aku bertemu Giok Siauw Sin
Hiap, aku pasti bermohon kepadanya untuk mengunjungi kalian."
"Terimakasih, Shantung
Khie Hiap!" ucap Liok Ah Peng.
"Terimakasih,
Paman!" ucap Liok Eng Eng. "Tapi... bagaimana mungkin dia akan
mengunjungi kami di Shantung?"
"Jangan khawatir!"
Shantung Khie Hiap tersenyum. "Aku punya cara, yang penting aku bisa
bertemu dia."
"Terimakasih,
Paman!" ucap Liok Eng Eng. "Terimakasih...."
"Ha ha ha!" Shantung
Khie Hiap tertawa gelak, lalu melesat pergi.
"Eng Eng!" Liok Ah
Peng memegang bahu putrinya. "Mari kita pulang ke Shantung!"
"Ya." Liok Eng Eng
mengangguk dengan air mata berlinang-Iinang. "Kakak Bun Yang...."
---oo0dw0ooo---
Bagian ke Tiga puluh enam
Gadis Manchuria
Tio Bun Yang terus melakukan
perjalanan me nuju markas pusat Kay Pang. Hari ini, ketika sampai di tempat
sepi, mendadak ia mendengar suara bentakan anak gadis. Segeralah ia menoleh kan
kepalanya, ternyata tak jauh dari situ terdapat seorang gadis berpakaian aneh
yang sedang dikerumuni beberapa orang berpakaian hijau, mereka adalah anggota
Seng Hwee Kauw.
"Kalian jangan kurang
ajar!" bentak gadis itu gusar.
"Nona manis, tempat ini
sangat sepi, alangkah baiknya kita bersenang-senang," ujar salah seorang
dari mereka dengan tertawa.
"Hm!" dengus gadis
itu. "Jangan memaksaku membunuh kalian!"
"Apa?" Kepala
anggota Seng Hwee Kauw tertawa terkekeh-kekeh. "He he he! Engkau berniat
membunuh kami?"
"Ya!" Gadis itu
mengangguk. "Itu kalau kalian berlaku tidak senonoh terhadap diriku!"
"Kami cuma ingin
mengajakmu bersenang-senang, bukan berlaku tidak senonoh terhadapmu. Nona!
Ayohlah! Mari kita bersenang-senang!"
Kepala anggota Seng Hwee Kauw
itu menowel pipinya. Betapa gusarnya gadis itu, sehingga langsung mengayunkan
tangannya.
Plok!
"Aduh!" jerit Kepala
anggota Seng Hwee Kauw sambil mengusap pipinya yang kena tampar. "Kuning
ajar!"
"Hm!" dengus gadis
itu. "Yang kurang ajar malah engkau, maka pantas kutampar!"
"Nona!" ujar Kepala
anggota Seng Hwee Kauw. Engkau memang ingin dihajar! Kawan-kawan! Cepat hajar
gadis binal itu!"
Para anggota Seng Hwee Kauw
itu langsung menghampiri gadis tersebut, namun mendadak gadis itu membentak
sambil menghunus pedang nya.
"Kalau kalian berani
menyerangku aku tidak akan mengampuni kalian!"
"Serang dia dengan
senjata!" seru Kepali anggota Seng Hwee Kauw.
Seketika para anggota
mengeluarkan senjata masing-masing, kemudian menyerang gadis itu dengan
serentak.
Tiang! Trang! Trang-..!
Terdengar suara bentturan senjata.
Terjadilah pertarungan sengit.
Gadis itu bergerak cepat dan gesit berkelit ke sana ke mari, pedangnya pun
berkelebatan menyerang mereka
Akan tetapi, puluhan jurus
kemudian, gadis itu mulai kewalahan melawan mereka.
"Ha ha ha!" Anggota
Seng Hwee Kauw tertawa tergelak menyaksikan itu. "Nona manis, lebih baik
engkau menyerah. Mari kita bersenann senang!"
"Berhenti!"
Terdengar suara bentakan yangi mengguntur, kemudian tampak melayang seseorang,
yang ternyata Tio Bun Yang.
Para anggota yang menyerang
gadis itu langsung berhenti, karena dikejutkan oleh suara bentakan Tio Bun
Yang.
"Siapa engkau?"
lanya Kepala anggota Seng Hwee Kauw sambil menatapnya dengan kening berkerut.
"Engkau tidak perlu tahu
siapa aku!" sahut Tio Bun Yang dingin. "Cepatlah kalian enyah!"
"He he he!" Kepala
anggota Seng Hwee Kauw itu tertawa terkekeh-kekeh. "Engkaulah yang harus
enyah!"
"Jangan cari
penyakit!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Cepat serang dia!"
seru Kepala anggota Seng Hwee Kauw.
Para anggota Seng Hwee Kauw
segera menyerang Tio Bun Yang dengan senjata, namun Tio Bun Yang tetap berdiri
di tempat. Hal itu sungguh mengejutkan gadis berpakaian aneh tersebut.
"Hei!" serunya.
"Hati-hati!"
Tio Bun Yang tersenyum,
sekaligus mengibaskan lengan bajunya ke arah para penyerang itu.
"Aaaakh...!" jerit
mereka dan terpental beberapa depa, lalu terkulai dengan wajah pucat pias.
Ternyata kepandaian mereka telah musnah digempur oleh Iweekang Tio Bun Yang.
"Haah?" Bukan main
terkejutnya Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu. "Engkau...?"
"Kini giliranmu!"
Tio Bun Yang menghampirinya selangkah demi selangkah.
Kepala anggota Seng Hwee Kauw
itu menyurut mundur, kemudian mengambil langkah seribu.
Akan tetapi, Tio Bun Yang
bergerak cepat sambil mengibaskan lengan bajunya ke arah Kepala anggota Seng
Hwee Kauw itu.
"Aaaakh!" jerit
Kepala anggota Seng Hwefl Kauw. Ia terpental lalu terkulai dengan wajah pucat
pias dan kepandaiannya pun telah musnah "Si... siapa engkau?"
"Giok Siauw Sin
Hiap!"
"Haaah?" Saking
terkejut kepala anggota Seng Hwee Kauw itu pingsan.
"Hi hi hi!" Gadis
berpakaian aneh itu tertawa geli, kemudian memandang Tio Bun Yang dengan kagum.
"Engkau hebat sekali!"
"Tidak begitu
hebat," sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Sekarang sudah aman,
engkau boleh melanjutkan perjalanan."
"Aku ikut engkau,"
ujar gadis berpakaian aneh itu mendadak.
"Apa?!" terbelalak
Tio Bun Yang. "Ikut aku? Mana boleh?"
"Lho? Kenapa tidak
boleh?" Gadis berpakaian aneh itu menatapnya dalam-dalam. "Aku tidak
punya teman di
Tionggoan. Apakah engkau tega
melihat aku berkeliaran seorang diri? Bagaimana kalau aku bertemu penjahat
lagi?"
"Eh? Nona...."
"Jangan memanggilku nona!
Namaku Bokyong Sian Hoa, panggil saja aku Sian Hoa!"
"Nona Sian Hoa...."
"Kok masih memanggilku
nona?" Bokyong Sian Hoa cemberut. "Engkau harus memanggilku Sian
Hoa!"
"Sian Hoa...."
"Nah, begitu!" Gadis
itu tertawa gembira. "Ei! Tidak baik kita bercakap-cakap dengan cara
berdiri, lebih baik kita duduk di bawah pohon."
"Tapi...." Tio Bun
Yang mengerutkan kening.
"Engkau menolak?"
Bokyong Sian Hoa cemberut lagi.
"Aku...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku...."
"Hmm!" dengus
Bokyong Sian Hoa. "Orang Tionggoan memang jahat semua, tiada satupun yang
baik!"
"Sian Hoa! Baiklah!"
Tio Bun Yang manggut-manggut. "Mari kita duduk di bawah pohon!"
Mereka berdua lalu duduk di
bawah sebuah pohon. Sementara para anggota Seng Hwee Kauw telah meninggalkan
tempat itu. Begitu pula Kepala anggota Seng Hwee Kauw, setelah siuman ia pun
langsung kabur.
"Ei! Engkau hebat
sekali!" Bokyong Sian Hoa menatapnya dengan mata berbinar-binar. "Oh
ya, bolehkah aku tahu namamu?"
"Namaku Tio Bun
Yang."
"Berapa usiamu?"
"Hampir dua puluh."
"Usiaku baru tujuh belas,
aku lebih kecil” Bokyong Sian Hoa tersenyum seraya berkata "Jadi aku harus
memanggilmu Kakak Bun Yang”
"Aku pun harus
memanggilmu Adik Sian Hoa” ujar Tio Bun Yang dan bertanya. "Engkau berasal
dari mana? Kenapa pakaianmu begitu aneh?"
"Aku dari
Manchuria," jawab Bokyong Sian Hoa dengan wajah murung. "Ayah dan
ibuku telah mati."
"Oh?" Tio Bun Yang
tertegun.
"Paman yang membunuh ayah
dan ibuku Bokyong Sian Hoa memberitahukan dengan mata bercucuran. "Sebelum
ayahku menghembuskan nafas penghabisan, aku disuruh kabur ke Tionggoan."
"Kenapa harus kabur ke
Tionggoan?"
"Kalau tidak, paman pasti
membunuhku juga Maka aku segera kabur ke Tionggoan mencari seseorang."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggu' "Kenapa pamanmu membunuh kedua orang tua mu?"
"Kakak Bun Yang, engkau
orang baik atau orang jahat?" tanya Bokyong Sian Hoa mendadak
"Aku bukan orang
jahat," jawab Tio Bun Yau sambil tersenyum geli. "Kenapa engkau
bertanya begitu?"
"Karena aku harus
memberitahukan identitas diriku. Kalau engkau orang jahat, pasti akan
nangkapku."
"Oh?"
"Ayahku bernama
Patoho." Bokyong Sian Hoa irmberitahukan. "Raja Manchuria."
"Apa?" Tio Bun Yang
tertegun. "Kalau begitu, aku berhadapan dengan Tuan Putri Manchuria!"
"Sekarang aku bukan Tuan
Putri lagi." Bok-yong Sian Hoa menggeleng-gelengkan kepala. "Aku
sudah menjadi buronan, kini pamanku yang menjadi raja Manchuria. Mungkin tak
lama lagi dia akan mengutus orang ke mari untuk membunuhku."
"Di sini daerah
Tionggoan, orang Manchuria tdak bisa sembarangan memasuki daerah ini."
"Siapa bilang? Setahuku
pamanku itu akan bekerja sama dengan Lu Thay Kam. Kemungkinan besar pasukan
Manchuria akan menyerbu Tionggoan."
"Oh?" Tio Bun Yang
terkejut. "Apakah Lu thay Kam telah mengutus orang ke Manchuria?"
"Ya." Bokyong Sian
Hoa mengangguk. "Pada waktu itu ayahku masih menjadi raja Manchuria,
mereka menolak untuk bekerja sama. Karena itu, pamanku amat gusar sehingga
bertempur dengan ayahku."
"Kenapa ayahmu tidak mau
bekerja sama dengan Lu Thay Kam?"
"Karena ayahku telah
berjanji kepada teman baiknya yang di Tionggoan, bahwa ayahku tidak akan
menyerbu Tionggoan."
"Oooh?" Tio Bun Yang
manggut-manggut "Siapa teman baik ayahmu itu?"
"Aku harus memanggilnya
paman," jawab Bok yong Sian Hoa memberitahukan. "Paman Tio."
"Paman Tio?" Tio Bun
Yang tersentak. "Namai nya?"
"Cie Hiong."
"Apa?" Tio Bun Yang
terbelalak. "Teman baik ayahmu bernama Tio Cie Hiong?"
"Ya." Bokyong Sian
Hoa mengangguk. "Engkau kenal dia?"
"Kenal." Tio Bun
Yang mengangguk. "Bahkan aku pun sangat dekat padanya, karena aku adalah
anaknya."
"Oh?" Bokyong Sian
Hoa kurang percaya. "Bagaimana mungkin begitu kebetulan sih? Aku ingin
mencari Paman Tio, justru bertemu anaknya."
"Adik Sian Hoa, aku
memang anaknya," ujar Tio Bun Yang dan teringat sesuatu. "Oh ya, aku
punya bukti."
"Bukti apa?"
"Nih!" Tio Bun Yang
memperlihatkan kalung pemberian ayahnya. "Kalung ini membuktikan bahwa aku
anak Tio Cie Hiong."
"Tidak salah." Wajah
Bokyong Sian Hoa berseri. "Ayahku pernah memberitahukan, kalungnya telah
dihadiahkan kepada Paman Tio teman baiknya di Tionggoan. Inilah kalung
ayahku."
"Nah!" Tio Bun Yang
tersenyum. "Aku tidak bohong kan?"
"Sekarang aku baru yakin
bahwa engkau anak Taman Tio," ujar Bokyong Sian Hoa sambil tersenyum.
"Kakak Bun Yang, kita memang berjodoh."
"Eh? Adik Sian
Hoa...."
"Kalau kita tidak
berjodoh, bagaimana mungkin bisa bertemu di sini? Kita bertemu di sini pertanda
berjodoh."
"Adik Sian Hoa...."
"Kakak Bun Yang!"
Bokyong Sian Hoa menatapnya dalam-dalam. "Kenapa engkau tampak
cemas?"
"Aku...."
"Oooh!" Bokyong Sian
Hoa tersenyum. "Aku tahu, bahwa engkau pasti sudah punya kekasih."
"Ng!" Tio Bun Yang
mengangguk.
"Jangan cemas!"
Bokyong Sian Hoa tertawa kecil. "Aku tidak akan mengganggu kalian. Oh ya,
engkau harus membawaku menemui ayahmu."
"Oh? Apakah itu merupakan
pesan almarhum?"
"Betul. Ayahku berpesan
kepadaku harus belajar ilmu silat kepada paman Tio, maka aku harus
menemuinya."
"Tapi...." Tio Bun
Yang mengerutkan kening.
"Kenapa?" Bokyong
Sian Hoa menatapnya heran.
"Tempat tinggal kami jauh
sekali." Tio Bun Yang memberitahukan. "Di Pulau Hong Hoang To."
"Biar bagaimana pun aku
harus menemui ayahmu," tegas Bokyong Sian Hoa. "Jauh ke ujung langit
pun aku harus ke sana."
"Baik." Tio Bun Yang
tersenyum. Ia memang sudah rindu kepada Siang Koan Goat Nio, karena itu ia
membatalkan niatnya pergi ke markas pusat Kay Pang, dan akan langsung menuju
Pulau Honj Hoang To.
"Kakak Bun Yang, kapan
kita berangkat?"
"Sekarang."
"Baik." Bokyong Sian
Hoa manggut-manggut sambil tersenyum. "Mari kita berangkat sekarang!"
"Tapi ingat! Dalam
perjalanan ke Pulau Hong Hoang To, engkau tidak boleh nakal!" pesan Tio.
Bun Yang dan menambahkan. "Juga tidak boleh menimbulkan masalah apa
pun!"
"Ya." Bokyong Sian
Hoa mengangguk. "Pokoknya aku menurut kepadamu."
Di Pulau Hong Hoang To, tampak
Siang Koan Goat Nio duduk termenung di bawah pohon, bahkan menghela nafas
panjang.
"Goat Nio!" panggil
Lie Ai Ling sambil mendekatinya. "Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata
engkau duduk melamun di sini! Sedang memikirkan Kakak Bun Yang ya?"
"Ai Ling...." Siang
Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku...."
"Aku tahu." Lie Ai
Ling tersenyum. "Engkau sudah rindu kepada Kakak Bun Yang, yang sedang
pergi ke Gunung Thian San. Sudah setengah tahun, tapi dia masih belum
pulang...."
"Aku khawatir...."
"Khawatir terjadi sesuatu
atas dirinya?"
"Ya."
"Itu tidak mungkin,"
ujar Lie Ai Ling. "Menurut aku, kemungkinan besar dia sedang berlatih di
sana."
"Namun...." Siang
Koan Goat Nio
menghela nafas lagi,
"tidak mungkin begitu
lama."
"Goat Nio," bisik
Lie Ai Ling. "Bagaimana kalau kita menyusul ke Gunung Thian San?"
"Belum tentu orang tua
kita mengijinkan." Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.
"Begini..." bisik
Lie Ai Ling lagi sambil ter-enyum. "Kalau orang tua kita tidak mengijinkan
kita pergi menyusul Kakak Bun Yang, maka kita...mogok makan saja."
"Mogok makan?"
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk. "Anggap saji kita diet."
"Ngmm!" Siang Koan
Goat Nio manggut-manggut. "Akal yang bagus! Kalau kita mogok makan, orang
tua kita pasti mengijinkan kita pergi menyusul Kakak Bun Yang."
"Tidak salah." Lie
Ai Ling tertawa gembira "Ayoh, mari pergi menemui orang tuamu!"
Kedua gadis itu melesat pergi.
Begitu sampai di rumah, mereka berdua terbelalak karena melihat semua orang
sudah berkumpul di ruang depan.
"Eeeeh?" Lie Ai Ling
dan Siang Koan Goat Nio berjalan ke dalam. "Ada apa nih? Kok kumpul semua
di sini?"
"Kami semua sedang mogok
makan," sahut Sam Gan Sin Kay. "Oleh karena itu, kalian berdua tidak
boleh ke mana-mana."
"Apa?" Lie Ai Ling
terbelalak. "Kalian semua mogok makan?"
"Ya." Lie Man Chiu
dan Tio Hong Mol mengangguk. "Kami harus mendahului mogok makan, sebab
kalau tidak, kalian berdua yang akan mogok makan, bukan?"
"Kami...." Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio
menundukkan kepala.
"Ai Ling, kenapa engkau
mengajak Goat Nio yang bukan-bukan?" tanya Lie Man Chiu sambil menatapnya.
"Dari mana Ayah
tahu?" Lie Ai Ling heran.
"Kakek pengemis pergi
memberitahukan. "Melihat bawah pohon...."
mencari kalian." Lie Man
Chiu kalian berdua berbisik-bisik di
"Oooh!" Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Jadi kakek pengemis yang mencuri dengar pembicaraan
kami! Pantas...!"
"Pantas apa?" tanya
Sam Gan Sin Kay sambil icrtawa.
"Pantas seluruh penghuni
pulau ini berkumpul di sini!" sahut Lie Ai Ling sambil tertawa geli.
"Apakah ingin menyidang kami?"
"Tentu tidak," ujar
Kim Siauw Suseng. "Hanya kami pun
ingin mogok makan agar kalian
tidak meninggalkan pulau ini."
"Ayah...." Siang
Koan Goat Nio membanting-banting kaki.
"Ayah jahat ah!"
"Maka kalian jangan
coba-coba mogok makan!" ujar Kim Siauw Suseng sambil tertawa. "Kalau
ingin pergi menyusul Bun Yang, berundinglah dengan kami! Jangan menggunakan
akal!"
"Kalau tidak menggunakan
akal, bagaimana mungkin kami diperbolehkan pergi menyusul Kakak Bun Yang?"
sahut Lie Ai Ling.
"Oh?" Kim Siauw Suseng
tertawa lagi.
"Ai Ling!" Tio Hong
Hoa menatapnya sambil tersenyum. "Goat Nio ingin pergi menyusul Bun Yang,
itu dikarenakan dia sangat rindu kepadanya maka dapat dimaklumi. Namun kenapa
engkau juga ingin pergi menyusul Bun Yang?"
"Aku menemani Goat
Nio," jawab Lie Ai Ling, "Lagi pula aku juga rindu kepada Kakak Bun
Yang, karena dia boleh dikatakan adalah kakak ku."
"Oooh!" Tio Hong Hoa
manggut-manggut "Dia memang kakakmu, sebab ayahnya adalah adikku."
"Goat Nio, betulkah
engkau ingin pergi menyusul Bun Yang?" tanya Kou Hun Bijin sambil
menatapnya.
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mengangguk.
"Kenapa engkau ingin
pergi menyusulnya?" tanya Kou Hun Bijin lagi.
"Ibu, aku...." Wajah Siang Koan Goat Nid kemerah-
merahan.
"Berterus teranglah,
jangan malu-malu! Engkau mencintai Bun Yang?" tanya Kou Hun Bijin
mendadak.
"Ibu kok jahat sih!"
tegur Siang Koan Goat Nio sambil menundukkan kepala. "Aku...."
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa nyaring, "Baik. Ibu memperbolehkanmu pergi menyusul Bun
Yang."
"Terimakasih, Ibu!"
ucap Siang Koan Goat Nio dengan wajah berseri-seri. "Terimakasih....'!
"Ayah! Ibu! Aku ikut Goat
Nio," ujar Lie Ai Ling mendadak.
"Ai Ling!" Tio Hong
Hoa menggelengkan kepala. "Kalau engkau ikut, bukankah akan mengganggu
Goat Nio?"
"Ibu, aku tidak pernah
mengganggu mereka." Lie Ai Ling memberitahukan. "Kalau mereka berdua
memadu cinta, aku pasti menyingkir jauh-jauh. Tapi... kadang-kadang aku
mengintip juga."
"Apa?" Air muka
Siang Koan Goat Nio berubah kemerah-merahan. "Engkau pernah mengintip kami
berduaan?"
"Memangnya tidak
boleh?" sahut Lie Ai Ling umbil tertawa geli.
"Engkau...." Siang
Koan Goat Nio menudingnya, kemudian
menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau sungguh keterlaluan!"
"Jangan gusar!" ujar
Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Lain kali aku tidak akan mengintip
lagi."
"Ai Ling!" tegur Tio
Hong Hoa dengan kening berkerut. "Engkau tidak boleh berbuat begitu, tidak
baik lho!"
"Ya, Ibu." Lie Ai
Ling mengangguk, lalu minta msaf kepada Siang Koan Goat Nio. "Aku minta
maaf."
"Sudahlah!" Siang
Koan Goat Nio menghela nafas panjang. "Aku yakin engkau tidak sengaja
berbuat begitu."
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk.
"Goat Nio, jadi engkau
sudah mengambil keputusan untuk pergi menyusul Bun Yang?" tanya Kou Hun
Bijin.
"Ya, Ibu." Siang
Koan Goat Nio mengangguk pasti.
"Kalau begitu...." Kou Hun Bijin tersenyum "Ibu
mengijinkanmu pergi
menyusulnya."
"Terimakasih, Ibu!"
ucap Siang Koan Goal Nio dengan wajah berseri. "Terimakasih!"
"Ibu...." Lie Ai
Ling memandang Tio Hong Hoa. "Aku... aku ikut Goat Nio pergi menyusul
kakak Bun Yang."
"Itu...." Tio Hong
Hoa melirik Lie Man Chu
"Baiklah." Lie Man
Chiu manggut-manggut "Tapi engkau tidak boleh nakal, harus menurut
perkataan Goat Nio."
"Ya, Ayah." Wajah
Lie Ai Ling berseri. "Terimakasih!"
"Goat Nio," pesan
Lim Ceng Im. "Kalau bertemu Bun Yang, ajak dia pulang!"
"Ya, Bibi." Siang
Koan Goat Nio mengangguk,
"Kapan kalian akan
berangkat ke Tionggoan” tanya Tio Cie Hiong sambil memandang mereka
"Se... sekarang,"
jawab Siang Koan Goat Nio lalu menundukkan wajahnya dalam-dalam.
"Apa?" Kim Siauw
Suseng tertegun. "Engkau mau berangkat sekarang? Tidak bisa menunggu
besok?"
"Ayah, aku...."
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak
”Sastrawan sialan, putrimu
sudah rindu sekali kepada Bun Yang, biarlah dia berangkat sekalung!"
"Itu...." Kim Siauw
Suseng melirik Kou Hun Hijin seraya
bertanya, "Bagaimana?
Engkau setuju?"
"Kalau tidak setuju. Goat
Nio pasti ngambek." tahut Kou Hun Bijin sambil tertawa. "Dari pada
dia ngambek tidak karuan, lebih baik kita perbolehkan berangkat sekarang."
"Terimakasih, Ibu!"
ucap Siang Koan Goat Nio girang. "Ibu baik sekali!"
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan. 'Nah, engkau boleh berangkat sekarang."
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mengangguk.
"Goat Nio, Ai Ling.
setelah kalian bertemu Bun Yang, ajaklah dia pulang!" pesan Tio Cie Hiong.
"Ya, Paman," sahut
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling serentak, lalu kedalam untuk berkemas.
Setelah itu, barulah mereka berangkat ke Tonggoan.
Seandainya mereka bisa bersabar
beberapa hari, tentu akan bertemu Bun Yang, yang pulang bersama Bokyong Sian
Hoa.
---oo0dw0oo--
Kini Kam Hay Thian telah
sembuh, maka Tio Cie Hiong mulai memberi petunjuk kepadanya mengenai Pak Kek
Sin Kang dan ilmu silat lainnya. Sudah barang tentu kepandaian Kam Hay Thian
bertambah tinggi.
Akan tetapi, pemuda itu merasa
kecewa sekali karena Siang Koan Goat Nio mencintai Tio Bun Yang. Bahkan gadis
itu pergi menyusul Tio Bun Yang. Oleh karena itu, Kam Hay Thian jadi melamun.
"Hay Thian..." panggil
Lu Hui San sambil mendekatinya.
"Oh, Hui San!" sahut
Kam Hay Thian. "Silakan duduk!"
Lu Hui San duduk di
sebelahnya, kemudian memandangnya seraya bertanya dengan keninf berkerut.
"Kenapa engkau duduk
melamun di sini?"
"Aku...." Kam Hay
Thian menundukkan kepala. "Goat Nio
dan Ai Ling sudah berangkat ki
Tionggoan, kenapa engkau tidak ikut mereka?"!
"Aku...." Wajah Lu
Hui San agak kemerah merahan. "Aku
merasa betah tinggal di pulau
ini'
"Hui San, betulkah ayahmu
bernama Lu Kam Thay?" tanya Kam Hay Thian sambil menatapnya tajam.
"Be... betul." Lu
Hui San mengangguk. Ternyata Siang Koan Goat Nio dan Lie Al Ling tidak
memberitahukan kepada Kam Hay Thian mengenai identitas Lu Hui San, maka pemuda
itu tidak tahu ayah Lu Hui San adalah Lu Ihay Kam.
"Hui San....”Kam Hay Thian menghela nafas panjang.
"Sebetulnya aku sangat
berterimakasih kepadamu, karena engkau yang menggendongku sampai di Pulau Hong
Hoang To ini, aku... aku berhutang budi kepadamu."
"Jangan berkata
begitu...." Lu Hui San ter-lenyum. "Karena
kita...."
"Kita adalah teman baik,
aku tahu itu," ujar kam Hay Thian. "Namun aku tetap berhutang budi
kepadamu."
"Hay Thian," ujar Lu
Hui San sungguh-sungguh. "Engkau tidak berhutang budi kepadaku, melainkkan
kepada Bun Yang.
"Aku tahu." Kam Hay
Thian manggut-mang-jut. "Kalian telah menceritakan kepadaku, kalau dia
tidak muncul tepat pada waktunya, aku pasti sudah mati di tangan Seng Hwee Sin
Kun. Aku... aku berhutang budi kepadanya."
"Kini Paman Cie Hiong pun
memberi petunjuk kepadamu mengenai ilmu silat. Betapa baiknya mereka
terhadapmu. Oleh karena itu...."
"Aku harus membalas budi
kebaikan mereka?"
"Itu sih tidak perlu.
Hanya saja...." Lu Hui memandangnya.
"Engkau jangan
tersinggung”
"Lanjutkanlah! Aku tidak
akan tersinggung."
"Engkau tidak usah
memikirkan Goat Nio lagi, sebab dia mencintai Bun Yang," ujar Lu Hui San
dengan suara rendah. "Mereka berdua saling mencinta, percuma engkau
memikirkan Goat Nio”
"Hui San!" Wajah Kam
Hay Thian berubah tak sedap dipandang. "Engkau...."
"Maaf!" Lu Hui San
menundukkan kepala "Aku berkata sesungguhnya, tidak bermaksud menyinggung
perasaanmu."
"Hui San, aku mau
memikirkan siapa, itu adalah urusanku! Engkau tidak berhak mencampurinya,"
ujar Kam Hay Thian setengah membentak lalu meninggalkan tempat itu.
"Hai Thian!" panggil
Lu Hui San.
Kam Hay Thian terus melangkah
pergi tanpa menghiraukan Lu Hui San. Gadis itu tetap duduk di tempat, kemudian
menangis terisak-isak. Mendadak muncul seseorang menghampirinya, yal ternyata
Lie Man Chiu.
"San San!"
panggilnya lembut.
"Paman Chiu!" Air
mata Lu Hui San melelel
"Aaaah...!" Lie Man
Chiu menghela nafas panjang. "Sudahlah, jangan menangis! Pemuda itu memang
agak keras hati."
"Paman Chiu...." Lu
Hui San terisak-isak
"San San!" Lie Man
Chiu menatapnya. "Goat Nio dan Ai Ling tahu mengenai identitas dirimu?”
"Tahu." Lu Hui San
mengangguk.
"Mereka berdua sama
sekali tidak membocorkannya, aku salut pada mereka," ujar Lie Man Chiu dan
bertanya, "Hay Thian tahu identitasmu?"
"Tidak tahu." Lu Hui
San menggelengkan kepala. "Kalau dia tahu, mungkin akan membenciku."
"Kenapa?" Lie Man
Chiu heran.
"Sebab...." Lu Hui
San menutur tentang kematian guru silat
Lie dan putrinya berdasarkan
penuturan Kam Hay Thian.
"Oooh!" Lie Man Chiu
manggut-manggut. "Tapi Lu Thay Kam cuma merupakan ayah angkatmu, lagi pula
kematian guru silat Lie dan putrinya tiada kaitannya dengan dirimu."
"Memang, tapi...." Lu Hui San menggeleng-gelengkan
kepala. "Hay Thian sangat
mendendam kepada ayah angkatku. Dia bersumpah akan membunuh ayah angkatku
itu."
"Aaaah...!" Lie Man
Chiu menghela nafas panjang. "Oh ya, engkau pernah kembali ke
istana?"
"Pernah. Bahkan... aku
nyaris membunuh ayah angkatku." Lu Hui San memberitahukan.
"Lho?" Lie Man Chiu
terkejut. "Kenapa begitu“
"Aku telah
bertemu pamanku...." Lu
Hui San menutur
tentang Tio Bun Yang
mengajaknya ke tempat tinggal Sie Kuang Han dan lain sebagainya, kemudian
menambahkan, "Kalau Bun Yang tidak muncul, ayah angkatku pasti sudah mati
di bawah pedangku."
"Ternyata begitu...."
Lie Man Chiu mengha nafas panjang.
"Aku sama sekali tidak
menyangka kalau ayahmu masih punya
perasaan dan sangiat
menyayangimu. Itu sungguh di luar dugaan!"
"Memang di luar
dugaan." Lu Hui San manggut-manggut. "Oh ya, Paman Chiu jangan membocorkan
identitas diriku kepada Hay Thian!"
"Jangan khawatir!"
Lie Man Chiu tersenyul "Aku berjanji!"
"Terimakasih, Paman
Chiu!" ucap Lu Hui Si sambil menundukkan kepala. "Aku... aku sangat
kacau...."
"Tidak usah kacau!"
Lie Man Chiu menatap nya seraya berkata sungguh-sungguh. "Cepatlah engkau
susul Hay Thian, hiburlah dia!"
"Tapi...."
"Kalau engkau
sungguh-sungguh mencinta nya, haruslah sabar dan mencairkan hatinya yang beku
itu."
"Ya, Paman Chiu." Lu
Hui San menganggul lalu melangkah pergi.
Lie Man Chiu
menggeleng-gelengkan kepala Di saat ia menghela nafas panjang, muncullah
Tio-Hoang Hoa, isterinya.
"Kakak Chiu...."
"Adik Hoa!" Lie Man
Chiu agak terperanjat ketika melihat kemunculan isterinya. "Engkau.
"Aku telah
melihat...."
"Jangan salah paham!"
"Tapi engkau harus
menjelaskan! Kalau tidak, aku pasti menaruh curiga dan salah paham!"
"Adik Hoa!" Lie Man
Chiu terpaksa men-klaskan. "Terus terang, dia adalah putri angkat Lu Thay
Kam...."
"Oooh!" Tio Hong Hoa
manggut-manggut setelah mendengar penjelasan itu. "Aku tidak menyangka,
ternyata
gadis itu mencintai Kam Hay
Thian! Namun Kam Hay Thian malah jatuh cinta 'kepada Siang Koan Goat Nio."
"Yaaah!" Lie Man
Chiu menghela nafas. "Mudah-mudahan tidak akan terjadi karena itu!"
"Tentunya Kam Hay Thian
tahu Goat Nio mencintai Bun Yang, lagi pula Bun Yang yang telah menyelamatkan
nyawanya. Oleh karena itu, aku yakin Kam Hay Thian tidak akan berbuat sesuatu
yang bukan-bukan," ujar Tio Hong Hoa.
"Mudah-mudahan
begitu!" ucap Lie Man Chiu. ”Adik Hoa, sesungguhnya aku sangat
berharap...."
"Berharap apa?"
"Sudah percuma."
Katakanlah!"
"Semula aku sangat
berharap putri kita ber-Jodoh dengan Bun Yang, tapi Bun Yang malah mencintai
Goat Nio."
"Aku pun berharap
begitu." Tio Hong Hoa menghela nafas panjang. "Namun tidak bisa,
sebab hubungan Ai Ling dengan Bun Yang bagaikan kakak beradik kandung."
"Memang." Lie Man
Chiu manggut-manggut dan bergumam. "Entah siapa jodoh putri kita?"
"Ai Ling masih begitu
muda," sahut Tio Hong Hoa sambil tersenyum. "Jadi engkau tidak usah
kalut."
Lie Man Chiu mengangguk dan
tersenyum kemudian menggandeng isterinya meninggalkan tempat itu.
"Seharusnya Hay Thian
mencintai Hui San," ujar Tio Hong Hoa mendadak. "Karena gadis itu
yang menggendongnya sampai di pulau ini. Lapi pula gadis itu sangat cantik,
baik hati dan lemah lembut."
"Tidak salah." Lie
Man Chiu manggut-manggut. "Mudah-mudahan mereka berdua akan saling
mencinta!"
---ooo0dw0oo---
Tio Bun Yang telah tiba di
Pulau Hong Hoang To bersama Bokyong Sian Hoa. Betapa gembira nya Tio Cie Hiong,
Lim Ceng Im, Tio Tay Seng Sam Gan Sin Kay, Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa.
Sedangkan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin saling memandang dengan kening
berkerut kerut.
"Ayah! Ibu!" panggil
Tio Bun Yang.
"Nak!" Lim Ceng Im
langsung memeluknya erat-erat sambil tertawa gembira. "Engkau bertambah
tinggi lho!"
"Bun Yang, siapa gadis
ini?" tanya Tio Cie Hiong sambil menatapnya tajam.
"Ayah, dia
adalah...."
"Paman Tio, namaku
Bokyong Sian Hoa." sela gadis itu sambil tersenyum. "Ayahku bernama
Patoho, teman baik Paman."
"Patoho?" Tertegun
Tio Cie Hiong. "Engkau...engkau adalah putrinya?"
"Ya!" Bokyong Sian
Hoa mengangguk.
"Sian Hoa!" Tio Cie
Hiong tampak gembira. ”Bagaimana kabarnya ayahmu? Dia baik-baik saja?"
tanyanya.
"Ayah dan ibuku...."
Mendadak Bokyong Sian hoa menangis
terisak-isak, padahal barusan
gadis itu tersenyum-senyum.
"Eeeh?" Tio Cie
Hiong terperangah.
"Sian Hoa!" Lim Ceng
Im menggandengnya ke tempat duduk. "Duduklah!"
"Bun Yang, engkau juga
boleh duduk," ujar Tio Cie Hiong sambil menatapnya.
"Ya, Ayah." Tio Bun
Yang mengangguk. Ia memmberi hormat kepada Tio Tay Seng, Sam Gan im Kay, Kim
Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin. Setelah itu, barulah ia duduk.
"Tuuuh!" bisik Kou
Hun Bijin kepada Kira Siauw Suseng-"Sungguh tampan Bun Yang itu,
kelihatannya juga lemah lembut dan sopan."
"Betul." Kim Siauw
Suseng manggut-manggul. "Tapi kok dia bersama gadis berpakaian aneh
itu?"
"Akan kutegur dia,"
sahut Kou Hun Bijin, kemudian memandang Tio Bun Yang seraya berseru, "Anak
muda, engkau adalah Tio Bun Yang?"
"Benar." Tio Bun
Yang heran. Ia memang belum kenal Kou Hun Bijin. "Maaf, Bibi
adalah...."
"Bun Yang, dia adalah Kou
Hun Bijin." Lim Ccng Im memberitahukan.
"Haaah?" Tio Bun
Yang terbelalak. "Bibi ada lah Kou Hun Bijin?"
"Tidak salah," sahut
Kou Hun Bijin sambil tersenyum dingin. "Goat Nio adalah putri
kesayanganku. Dia begitu mencintaimu, tapi... engkau malah pulang bersama gadis
lain. Hmm! Sungguh keterlaluan!"
"Bibi, aku...." Tio
Bun Yang tergagap. "Aku....”
"Bibi Kou Hun Bijin,
memangnya aku tidak boleh kemari bersama Kakak Bun Yang?" tanya Bokyong
Sian Hoa mendadak dengan suara nyaring.
"Diam!" bentak Kou
Hun Bijin.
"Galak amat sih!"
Bokyong Sian Hoa menatapnya dan menambahkan, "Kalau aku tidak kemari bersama
Kakak Bun Yang, bagaimana mungkin aku bisa bertemu Paman Tio?"
"Sian Hoa," tanya
Tio Cie Hiong cepat, agar gadis itu tidak terus berdebat dengan Kou Hun Bijin.
"Bagaimana kabarnya ayahmu? Dia baik-baik saja?"
"Ayah dan ibuku mati
dibunuh oleh pamanku," jawab Bokyong Sian Hoa dan mulai menangis
terisak-isak lagi.
"Apa?" Tio Cie Hiong
tertegun. "Kenapa pamanmu membunuh kedua orang tuamu? Bolehkah engkau
menjelaskan?"
"Ayahku tidak setuju
bekerja sama dengan Lu thay Kam, sebaliknya pamanku justru setuju."
Bokyong Sian Hoa menjelaskan dengan air mata berlinang linang. "Karena
itu, terjadilah pertarungan. Pamanku berhasil melukai ayahku, kemudian melukai
ibuku. Di saat pamanku ingin melukaiku, muncul Pancha menolongku."
"Oh?" Tio Cie Hiong
mengerutkan kening. "Aku masih ingat, ayahmu pernah berjanji kepadaku,
bahwa dia tidak akan mengirim pasukannya untuk menyerang Tionggoan."
katanya.
"Karena itu...."
Bokyong Sian Hoa menangis sedih. "Ayah
dan ibuku mati di tangan
pamanku. Sebelum menghembuskan nafas penghabisan, ayah menyuruhku ke Tionggoan
menemui Paman Tio! padahal di waktu itu pamanku juga ingin menghabiskan
nyawaku, namun putranya yang bernama Pancha itu membelaku mati-matian, maka aku
berhasil meloloskan diri. Aku langsung ke Tionggoan mencari Paman Tio."
"Kalau begitu, engkau
bertemu Bun Yang secara kebetulan?" tanya Lim Ceng Im sam tersenyum.
"Ya." Bokyong Sian
Hoa manggut-manggut "Ketika itu muncul beberapa orang berpakaian hijau
menghadangku. Mereka berlaku kurang ajar pula. Di saat itulah muncul Kakak Bun
Yang, saat kami berkenalan dan aku pun memberitahukan nya bahwa aku ingin
menemui Paman Tio. Ternyata Paman
Tio adalah ayahnya, maka aku
mendesaknya untuk membawaku ke mari."
"Oooh!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut sambil menghela nafas panjang. "Sungguh di luar
dugaan, ayahmu yang baik hati itu dibunuh oleh pamanmu!"
"Setelah ayahku mati,
pamanku mengangkat dirinya sebagai raja Manchuria. Mungkin tidak lama lagi, dia
akan mengutus Pancha dan Koksu (Guru Silat Istana) ke Tionggoan menemui Lie
Thay Kam." Bokyong Sian Hoa memberitahukan
"Sian Hoa!" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Itu adalah urusan kerajaan, aku tidak mau turut
campur."
"Paman Tio...."
Bokyong Sian Hoa terbelalak "Kalau begitu,
Paman juga tidak mau
mengajarku ilmu silat?"
"Engkau ingin belajar
ilmu silat?" Tio Cie Hiong balik bertanya sambil menatapnya.
"Itu pesan almarhum, maka
aku harus menurut," sahut Bokyong Sian Hoa dan menambahkan, "Paman
Tio, aku ingin menjadi muridmu."
"Sian Hoa!" Tio Cie
Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Paman Tio tidak sudi
menerimaku menjadi murid?" tanya Bokyong Sian Hoa kecewa, kemudian
menangis tersedu-sedu.
"Dasar gadis
cengeng!" ujar Kou Hun Bijin dan mendengus. "Hmm...!"
"Kenapa engkau
usil!" Bokyong Sian Hoa melotot, lalu memandang Tio Bun Yang seraya
berkata, "Kakak Bun Yang, jangan mencintai putrinya! Dia begitu macam,
putrinya pasti sama seperti dia."
"Hei! Gadis liar!"
bentak Kou Hun Bijin. ”engkau berani kurang ajar? Mau kutampar ya?"
"Isteriku," bisik
Kim Siauw Suseng. "Sudahlah, jangan meladeni gadis kecil itu!"
"Dia begitu kurang
ajar!" sahut Kou Hun Bijin sambil mengerutkan kening. "Aku harus
menghajarnya!"
"Bijin," ujar Tio
Tay Seng. "Sudahlah! Gadis itu masih kecil, tidak usah diladeni!"
"Adik Sian Hoa,"
ujar Tio Bun Yang. "Engkau tidak boleh kurang ajar terhadap Kou Hun Bijin.
Tahukah engkau berapa usianya sekarang?"
"Belum enam puluh,
kan?" sahut Bokyong Sian Hoa dan melanjutkan. "Sebetulnya aku juga
tahu kesopanan, tapi dia terus memojokkanku.”
"Sian Hoa!" Tio Cie Hiong
menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau harus tahu, usia Kou Hun Bijin sudah
di atas seratus dua puluh, maka engkau tidak boleh berlaku kurang ajar terhadap
nya."
"Apa?" Bokyong Sian
Hoa terbelalak, kemudian tertawa geli. "Aku tak menyangka Paman Tio suka
bergurau juga."
"Sian Hoa," ujar Tio
Cie Hiong sungguh-sungguh. "Aku sama sekali tidak bergurau."
"Benar," sambung Tio
Bun Yang. "Adik Sian Hoa, ayahku memang tidak bergurau. Kou Hun Bijin
sudah berusia di atas seratus dua puluh, sedangkan Kim Siauw Suseng berusia
hampir seratus."
"Tapi...." Bokyong
Sian Hoa terus memandang Kou Hun
Bijin dan Kim Siauw Suseng.
"Mereka kelihatan baru berusia enam puluhan."
"Mereka awet
muda...." Tio Cie
Hiong memberitahukan
tentang mereka. "Karena
itu, kami semua sama sekali tidak berani berlaku kurang ajar terhadap mereka
berdua."
"Oooh!" Bokyong Sian
Hoa manggut-manggut. "Kou Hun Bijin, aku mohon maaf karena berani bersikap
kurang ajar!" katanya.
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa nyaring. "Tidak apa-apa! Tidak apa-apa! Terus terang, aku
suka kepadamu!"
"Terimakasih!" ucap
Bokyong Sian Hoa. "Oh ya, aku harus memanggil apa?"
"Maksudmu memanggil aku
apa?"
"Ya."
"Panggil saja bibi!"
"Bibi yang baik!"
panggil Bokyong Sian Hoa. "Aku ingin belajar ilmu silat tingkat tinggi,
sudikah Bibi mengajarku?"
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa nyaring lagi. "Jangan khawatir! Pokoknya kami semua pasti
mengajarmu ilmu silat tingkat tinggi."
"Terimakasih, Bibi!
Terimakasih..." ucap Bokyong Sian Hoa dengan wajah berseri-seri. "Oh
ya! Bibi, di mana Kakak Goat Nio?"
"Dia dan Ai Ling sudah
berangkat ke Tionggoan beberapa hari yang lalu." Kou Hun Bijin
memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Goat Nio ingin
menyusul Bun Yang, sedangkan Ai Ling menemaninya."
"Apa?" Wajah Tio Bun
Yang langsung berubah kecewa. "Goat Nio sudah berangkat ke
Tionggoan?"
"Ya." Lim Ceng Im
mengangguk. "Mereka ke Tionggoan menuju ke markas pusat Kay Pang, setelah
itu barulah berangkat ke Gunung Thian San."
"Aaaah...!" keluh
Tio Bun Yang. "Kami selisih jalan...."
"Itu tidak apa-apa."
Lim Ceng Im tersenyum.
"Engkau boleh segera
berangkat ke Tionggoan menyusulnya."
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Bun Yang, bagaimana kauw
heng?" tanya Tio Cie Hiong sambil menatapnya.
"Kauw heng...." Wajah
Tio Bun Yang
berubah murung
sekali. "Sudah mati,
jantungnya hangus terkena pukulan Seng Hwee Sin Kun."
"Aaaah!" keluh Tio
Cie Hiong dan Lim CcnJ Im. "Kauw heng...."
"Sungguh kasihan monyet
bulu putih itu!"Sam Gan Sin Kay menghela nafas panjang.
"Sebelum menghembuskan
nafas penghabisan, kauw heng berpesan kepadaku agar ke gua es, yang terletak di
sebelah timur puncak Gunung Thian San." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Oh?" Tio Cie Hiong
tertegun. "Untuk apa kauw heng berpesan begitu kepadamu? Engkau ke sana
setelah kauw heng mati?"
"Aku ke sana...."
Tio Bun Yang menuturkan tentang itu.
"Oooh!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut seraya berkata. "Ternyata Kan Kun Taylo Sin Kang
terdiri dari hawa ’Im' dan 'Yang’, jadi boleh disebut Kan Kun Taylo Im Yang Sin
Kang."
"Kalau begitu..."
sela Kou Hun Bijin. "Kan Kun Taylo Im Kang pasti mampu menandingi Seng
Hwee Sin Kang."
"Mungkin," sahut Tio
Cie Hiong sambil mengangguk.
"Oh ya!" Tio Bun
Yang teringat sesuatu. "Ketika aku melewati Gunung Hong San, aku mendengar
suara pekikan yang sangat menyeramkan."
Tio Bun Yang menutur tentang
Thian Gwa Sin Hiap-Tan Liang Tie, semua orang mendengar dengan mulut ternganga
lebar.
"Engkau bertemu
dia?" Kou Hun Bijin kelihatan kurang percaya.
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Yang membelenggunya adalah Tu Siao Cui, muridnya. Bahkan muridnya itu
juga membawa kabur kitab pusaka Hian Goan Sin Kang."
"Benar apa yang
diceritakan Tayli Lo Ceng," ujar Sam Gan Sin Kay.
"Oh ya!" ujar Tio
Bun Yang memberitahukan. 'Orang tua itu pun berpesan kepadaku agar mencari
seseorang."
"Mencari siapa?"
tanya Tio Cie Hiong.
"Tayli Sin Ceng-Kong Sun
Hok," jawab Tio Hun Yang dan bertanya. "Ayah kenal siapa Tayli In
Ceng-Kong Sun Hok!"
"Ayah tidak kenal."
Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.
"Aku kenal," sahut
Kou Hun Bijin sambil tertawa. "Tayli Sin Ceng-Kong Sun Hok adalah Tayli Lo
Ceng."
"Haaah?" Tio Bun
Yang tertegun. "Ternyata Tayli Sin Ceng adalah Tayli Lo Ceng!"
"Ketika masih muda,
julukan Tayli Lo Cefl adalah Tayli Sin Ceng!" Kou Hun Bijin
memberitahukan.
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut.
"Aku yakin..." ujar
Sam Gan Sin Kay mendadak. "Tu Siao Cui pasti sudah mati, sebab dia tidak
pernah muncul di rimba persilatan."
"Mudah-mudahan!"
sahut Kim Siauw Suseng kemudian bertanya kepada Kou Hun Bijin. "isteriku,
bagaimana kalau kita juga mengajar Sian Hoa ilmu silat?"
"Aku setuju." Kou
Hun Bijin menganggul sambil tersenyum, lalu memandang Bokyong Sian Hoa seraya
berkata. "Mulai besok kami semua akan mengajarmu ilmu silat tingkat
tinggi."
"Terimakasih, Bibi!"
ucap Bokyong Sian Hoa dengan wajah berseri. "Terimakasih...."
"Oh ya, Ayah," tanya
Tio Bun Yang mendadak. "Bagaimana keadaan Kam Hay Thian Apakah dia sudah
sembuh?"
"Dia sudah sembuh,"
jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Tapi kalau dia tidak memiliki Pak Kck
Sin Kang dan engkau tidak memberinya makan pil Sok Beng Tan (Pil Penyambung
Nyawa), nyawanya pasti sudah melayang sebelum sampai di sini.
"Ayah, Hui San masih
berada di sini?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Gadis selalu menemaninya, mereka berdua merupakan pasangan
yang serasi."
"Ayah, Hui San...."
Ucapan Tio Bun Yang terputus karena
mendadak muncul Kam Hay Thian
dan Lu Hui San.
"Bun Yang!" seru
gadis itu girang.
"Hui San!" Tio Bun
Yang tersenyum, kemudian memandang Kam Hay Thian seraya bertanya. ”Saudara Kam,
engkau sudah pulih?"
"Aku sudah pulih,"
sahut Kam Hay Thian sambil menatapnya tajam. "Terimakasih atas
pertolonganmu!"
"Tidak usah mengucapkan
terimakasih kepadaku." Tio Bun Yang tersenyum lagi dan melimbahkan,
"Seharusnya engkau berterimakasih kepada Hui San."
"Ya." Kam Hay Thian
mengangguk.
"Adik Sian Hoa!" Tio
Bun Yang memperkenaikan. "Dia adalah Lu Hui San dan Kam Hay Thian."
"Selamat bertemu!"
ucap Bokyong Sian Hoa samhil memberi hormat kepada mereka berdua. Kalian berdua
memang merupakan pasangan yang serasi lho!"
"Eh? Adik Sian
Hoa...." Wajah Lu Hui San memerah.
"Memang benar kok."
Bokyong Sian Hoa tertawa kecil. "Jadi kakak Hui San tidak usah merasa
malu."
"Benar." Tio Bun
Yang manggut-manggut "Mereka berdua sungguh merupakan pasangan yang
sepadan."
"Engkau pun sepadan dan
serasi dengan Goat Nio," ujar Lu Hui San.
"Kakak Hui San,"
tanya Bokyong Sian FlA mendadak. "Betulkah kakak Goat Nio begitu
cantik?"
"Betul!" Lu Hui San
mengangguk.
"Kakak Hui San, siapa
yang lebih cantik aku atau Kakak Goat Nio?" tanya Bokyong Siai Hoa.
"Kalian berdua sama
cantiknya," sahut Lu Hu San sambil tersenyum. "Namun sifat kalian
berbeda. Dia bersifat lemah lembut, kalem dan anggun, sedangkan engkau bersifat
periang, lincah dan masih kekanak-kanakkan."
"Usiaku sudah tujuh
belas, bukan kanak-kanak lagi lho!" sahut Bok Yong Sian Hou dia
menambahkan. "Kami suku Manchuria, berusia tiga belas sudah boleh
menikah."
"Oh?" Lu Hui San
terbelalak. "Engkau gadis Manchuria?"
"Betul." Bokyong
Sian Hoa memberitahukan "Sesungguhnya aku adalah putri raja Manchuria tapi
kedua orang tuaku sudah mati dibunuh oleh pamanku."
"Engkau...." Lu Hui San tersentak. "Engkau putri raja
Manchuria?"
"Sekarang sudah
tidak," sahut Bokyong Sian Hoa. "Karena kedua orang tuaku sudah mati,
maka aku menjadi gadis biasa."
"Oooh!" Lu Hui San
manggut-manggut.
"Hui San, ajaklah Sian
Hoa ke kamarmu, kalian tidur sekamar saja!" ujar Lim Ceng Im.
"Ya." Lu Hui San
segera mengajak Bokyong Sian Hoa ke kamar.
"Aaaah...!" Tio Cie
Hiong menghela nafas panjang. "Patoho sudah mati, aku yakin tidak lama
lagi pasukan Manchuria akan menyerbu Tionggoan!"
"Itu adalah urusan
kerajaan, kita tidak usah memusingkannya," sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum.
"Seandainya pasukan Manchuria menyerbu ke mari, barulah kita menghabiskan
mereka."
"Aaaah...!" Sam Gan
Sin Kay menghela nafas panjang. "Kita adalah bangsa Han, apakah kita harus
diam saja melihat daratan Tionggoan di serbu bangsa liar itu?"
"Ha ha ha!" Kim
Siauw Suseng tertawa. "Kita sudah tua, percuma memikirkan itu!"
"Benar." Tio Tay
Seng manggut-manggut. "Kita bukan pembesar, jadi tidak perlu memusingkan
tentang itu."
"Yaaah!" Tio Cie
Hiong mcnggeleng-gelengkan kepala. "Mungkin sudah waktunya dinasti Beng
runtuh."
"Ayah," ujar Tio Bun
Yang mendadak. "Aku akan berangkat ke Tionggoan esok menyusul Goai
Nio."
"Apa?" Tio Cie Hiong
terbelalak. "Engkau baru pulang kok sudah mau pergi?"
"Nak," ujar Lim Ceng
Im. "Tinggal di sini beberapa hari, setelah itu barulah engkau
berangkat."
"Ibu...."
"Jangan bantah,
Nak!"
"Ya, Ibu." Tio Bun
Yang mengangguk.
Beberapa hari kemudian,
barulah Tio Bun Yang berangkat ke Tionggoan. Karena tertunda beberapa hari,
maka ia tidak bertemu Siang Koan Goat Nio.
-ooo0dw0ooo-
Bagian ke tiga puluh tujuh
Gadis Jepang
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai
Ling telai memasuki daerah Tionggoan. Kedua gadis itu terus melakukan
perjalanan menuju markas pusat Kay Pang.
Ketika hari mulai gelap,
mereka tiba disebuah lembah. Mendadak terdengar semacam suara siulan yang amat
menyeramkan. Mereka saling memandang dengan sekujur badan merinding.
"Goat Nio," bisik
Lie Ai Ling dengan wajah agak pucat. "Apakah itu suara siulan setan
iblis?"
"Kita harus cepat
bersembunyi," sahut Siang Koan Goat Nio sambil menarik Lie Ai Ling ke
balik sebuah pohon.
Tak seberapa lama kemudian,
terdengar pula suara derap kaki kuda, dan suara siulan aneh yang menyeramkan
itu pun makin terdengar jelas.
"Iiiih!" bisik Lie
Ai Ling bergemetar. "Jangan-jangan memang suara setan iblis!"
"Ai Ling!" Siang
Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala. "Bagaimana mungkin setan iblis
menunggang kuda?"
”Tapi...."
Suara derap kaki kuda itu
makin mendekat, kemudian tampak belasan kuda berpacu kencang. Dalam waktu sekejap,
kuda-kuda itu telah melewati mereka yang bersembunyi di balik pohon.
Para penunggang kuda itu
berpakaian putih semua, muka memakai kedok setan yang menyeramkan.
”ih! Seram sekali kedok yang
dipakai mereka itu!" ujar Lie Ai Ling sambil menarik nafas.
"Yang jelas mereka bukan
setan iblis," sahut Siang Koan Goat Nio dan menambahkan. "Aku yakin
mereka adalah para anggota suatu perkumpulan."
"Benar” Lie Ai Ling
manggut-manggut "Mereka menuju utara, bagaimana kalau kita kuntit?"
"Jangan cari masalah!"
sahut Siang Koan Goat Nio. "Lagi pula kita sedang memburu waktu menuju
markas pusat Kay Pang."
"Goat Nio!" Lie Ai
Ling tertawa. "Engkau kok begitu ngebet sih terhadap Kakak Bun Yang?"
"Eh?" Siang Koan
Goat Nio melotot. "Mula! menggodaku ya?"
"Aku tidak menggodamu,
melainkan berkata sesungguhnya." Lie Ai Ling tertawa lagi.
"Sudahlah!" Siang
Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala. "Kita harus segera berang kat
ke kota yang terdekat, sebab hari sudah mulat malam."
"Tidak mungkin kita akan
sampai di kota terdekat," sahut Lie Ai Ling sambil tersenyum
"Kelihatannya malam ini kita harus bermalam di sini, besok pagi kita baru
berangkat."
"Baiklah." Siang
Koan Goat Nio mengang guk.
Kedua gadis itu terpaksa
bermalam di lembah tersebut. Keesokan harinya barulah mereka berangkat ke
markas pusat Kay Pang.
Ketika meteka sampai di suatu
tempat, tiba-tiba terdengar suara benturan senjata tajam.
"Eh?" Lie Ai Ling
mengerutkan kening. "Itu suara pertempuran, mari kita ke sana!"
"Ai Ling!" Siang
Koan Goat Nio menggeleng kepala. "Jangan mencampuri urusan itu!"
"Kalau begitu..."
ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Engkau menunggu di sini, aku akan
ketempat pertempuran itu!"
"Ai Ling...." Siang
Koan Goat Nio menghela nafas. "Baiklah!
Mari kita ke sana!"
Kedua gadis itu segera melesat
ke arah suara pertempuran. Sampai di tempat itu, mereka melihat seorang gadis
berpakaian aneh sedang bertarung dengan beberapa orang berpakaian hijau.
"Mereka para anggota Seng
Hwee Kauw," bisik Lie Ai Ling memberitahukan.
"Aku tahu," sahut
Siang Koan Goat Nio sambil memperhatikan gadis yang sedang bertarung itu. 'Dia
menggunakan suling."
"Hi hi hi!" Lie Ai
Ling tertawa. "Sulingnya berwarna putih, jangan-jangan suling perak!"
"Eeeeh?" Mendadak
Siang Koan Goat Nio terbelalak. "Ai Ling, perhatikanlah gerakannya!
bukankah gerakannya mirip dengan ilmu Giok Siauw Bi Ciat Kang Khi ciptaan Paman
Cie Hiong?"
"Betul." Lie Ai Ling
mengangguk. "Dia memang menggunakan ilmu itu. Heran? Kok dia mahir
menggunakan ilmu itu?"
"Mungkin gadis itu punya
hubungan dengan Paman Cie Hiong," ujar Siang Koan Goat Nio.
"Tidak mungkin." Lie
Ai Ling menggeleng kepala. "Gadis itu masih begitu muda, bagaimana mungkin
dia punya hubungan dengan Paman Cl Hiong?"
"Kalau begitu..."
pikir Siang Koan Goat Nio "Mungkin orang tuanya punya hubungan dengan
Paman Cie Hiong."
"Itu, memang mungkin.
Tapi dia bukan gadis Tionggoan," sahut Lie Ai Ling sambil tertawa kecil.
"Pakaiannya begitu aneh, entah dia berasal dari mana?"
"Dia mulai
terdesak." Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening. "Para anggota Seng
Hwei Kauw itu berkepandaian tinggi sekali."
"Tapi...." Lie Ai Ling terbelalak. "Dia masih mampu
berkelit."
"Benar." Siang Koan
Goat Nio manggut-mangut. "Dia menggunakan Kiu Kiong San Tian Poh (Ilmu
Langkah Kilat). Aku semakin yakin orang tuanya punya hubungan dengan Pamam Cie
Hiong."
"Betul." Lie Ai Ling
mengangguk. "Cuma sayang, dia belum begitu mahir menggunakan Kiu Kiong San
Tian Poh."
"Ai Ling, dia semakin
terdesak," ujar Siang Koan Goat Nio. "Kita harus segera turun tangan
membantunya."
"Baik." Lie Ai Ling
mengangguk.
Kedua gadis itu membentak
keras sambil melesat ke tempat itu. Kemunculan mereka berdua sangat mengejutkan
para anggota Seng Hwee Kauw.
"Haah...?" seru
mereka serentak. "Kim Siauw Siancu dan Hong Hoang Li Hiap! Kita harus
hati-hati menghadapi mereka!"
"Hmm!" dengus Lie Ai
Ling dingin, gadis itu bertolak pinggang. "Seng Hwee Sin Kun masih belum
sembuh, kalian sudah berani berlaku sewenang-wenang! "
"He he he!" Salah
seorang dari mereka tertawa gelak. "Bagus sekali kalian muncul!”
"Kami akan
bersenang-senang dengan kalian bertiga! He he he...!"
"Oh?" Lie Ai Ling
tertawa dingin sambil menghunus Hong Hoang Po Kiam (Pedang Pusaka Gunung
Phoenbc).
Siang Koan Goat Nio juga
mengeluarkan suling emasnya.
Kedua gadis itu sudah siap
bertaung.
"Serang mereka!"
seru Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu.
Para anggota Seng Hwee Kauw
langsung menyerang kedua gadis itu dengan berbagai macam senjata tajam.
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai
Ling segera berkelit, kemudian balas menyerang. Siang Koan Goat Nio menggunakan
Cap Pwee Kim Siam Ciat Hoat (Delapan Jurus Maut Suling Emas) sedangkan Lie Ai
Ling menggunakan Hong Hoan Kiam Hoat (Ilmu Pedang Burung Phoenix), maka
terjadilah pertarungan sengit.
Sementara gadis berpakaian
aneh itu cuma berdiri diam sambil menyaksikan pertarungan itu Ia kagum sekali
akan kepandaian Siang Koa Goat Nio dan Lie Ai Ling.
Mendadak gadis itu terbelalak,
ternyata Siang Koan Goat Nio mulai menyerang mereka dengan ilmu Giok Siauw Bit
Ciat Kang Khi, menggunakan jurus San Pang Te Liak (Gunung Runtuh Bumi Retak).
"Aaaakh...!"
Terdengar suara jeritan. Salah seorang anggota Seng Hwee Kauw terhuyung huyung
dengan mulut mengeluarkan darah. Punggungnya terhajar suling emas, bahkan salah
satu uratnya putus, sehingga musnahlah kepandaianya.
"Aaakh...!"
Terdengar suara jeritan lagi.
Ternyata Lie Ai Ling juga
berhasil melukai salah seorang anggota Seng Hwee Kauw yang menyerangnya. Gadis
itu menggunakan jurus Hong Hoang Coan Sin (Burung Phoenix Memutari Badan).
Menyaksikan itu, Kepala
anggota Seng Hwe Kauw itu pucat wajahnya, lalu berseru. "Mari kita
kabur!"
Mereka segera lari
pontang-panting meninggalkan tempat itu. Lie Ai Ling tertawa geli, Siang koan
Goat Nio dan gadis itu cuma tersenyum.
”Terimakasih atas pertolongan
kalian!" ucap gadis berpakaian aneh itu.
"Sama-sama," sahut
Siang Koan Goat Nio sambil memandangnya dengan penuh perhatian. 'Maaf, engkau
berpakaian begitu aneh. Bolehkah kami tahu engkau berasal dari mana?"
"Aku berasal dari
Jepang." Gadis itu memberitahukan. "Namaku Yatsumi. Kepandaian kalian
berdua tinggi sekali, bolehkah aku tahu siapa kalian?"
"Namaku Siang Koan Goat
Nio, dan dia bernama Lie Ai Ling," sahut Siang Koan Goat Nio sambil
tersenyum lembut. "Tadi engkau mempergunakan ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang
Khi. Dari mana engkau mendapat ilmu itu?"
"Ibuku," jawab
Yatsumi heran. "Engkau pun l»isa menggunakan ilmu itu, apakah engkau punya
hubungan dengan Paman Cie Hiong?"
"Eeeeh?" Lie Ai Ling
terbelalak. "Engkau kenal Paman Cie Hiong?"
"Aku tidak kenal, tapi
ibuku kenal dia," sahut Yatsumi dengan mata bersimbah air. "Ibuku
bernama Michiko."
"Michiko?" Lie Ai
Ling dan Siang Koan Goat Nio saling memandang. Kedua gadis itu sama sekali
tidak tahu tentang Michiko, karena Tio Cie Hiong tidak pernah menceritakannya
kepada mereka.
"Paman Cie Hiong pernah
mengajar ibu ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi, maka ibuku berhasil membunuh
ketua Ninja." Yatsumi mem beritahukan. "Setelah itu, ibuku pulang ke
Jepang lalu menikah."
"Oooh!" Siang Koan
Goat Nio dan Lie Ai Ling manggut-manggut. "Ternyata begitu! Kemudian
bagaimana?"
"Beberapa bulan lalu,
mendadak muncul se orang ninja berkepandaian tinggi," tutur Yatsuni dengan
air mata berlinang linang. "Ninja itu adalah adik seperguruan ketua ninja
yang dulu. Dia berhasil membunuh ayahku dan melukai ibuku Akan tetapi, ibuku
berhasil meloloskan diri bersamaku. Di tengah jalan ibuku berpesan."
"Apa pesan ibumu?"
tanya Siang Koan Goi Nio dan merasa kasihan pada gadis Jepang itu.
"Ibuku berpesan...."
Yatsumi memberitahu kan. "Aku harus
berangkat ke Tionggoan menemui
Paman Cie Hiong, dan aku pun harus belajar ilmu silat kepadanya, agar bisa
membalas dendam kelak."
"Oooh!" Siang Koan
Goat Nio manggut manggut. "Engkau tahu Paman Cie Hiong tinggal
dimana?"
"Aku tidak tahu."
Yatsumi menggelengkan kepala. "Tapi ibuku menyuruhku harus ke markas
puisat Kay Pang, karena Paman Cie Hiong punya hubungan dengan Kay Pang."
"Betul," sahut Lie
Ai Ling. "Kami pun tahu tempat tinggal Paman Cie Hiong, tapi alangkah
baiknya kita ke markas pusat Kay Pang dulu, kita runding di sana saja."
"Terimakasih!" ucap
Yatsumi.
"Oh ya!" Lie Ai Ling
menatapnya kagum. "Kok engkau begitu lancar berbahasa Han?"
"Sejak kecil aku sudah
belajar bahasa Han, bahkan aku pun bisa menulis huruf-huruf Han." Yatsumi
memberitahukan. "Oh ya, kita harus segera berangkat ke markas pusat Kay
Pang."
"Memangnya kenapa?"
Lie Ai Ling heran.
"Aku khawatir Takara
Nichiba akan menyusul kemari," ujar Yatsumi dengan wajah agak memucat.
"Siapa Takara
Nichiba?" tanya Siang Koan ilnat Nio.
"Dia adik seperguruan
ketua ninja lama, juga membunuh kedua orang tuaku. Dia tahu aku kabur ke
Tionggoan, maka kemungkinan besar dia akan menyusulku ke mari," sahut
Yatsumi bernada ketakutan. "Kepandaiannya tinggi sekali, bahkan kini dia
sebagai ketua ninja di Jepang."
"Oh?" Lie Ai Ling
terbelalak tapi kemudian malah tertawa. "Kalau dia menyusul ke mari, kami
akan menghajarnya hingga dia pulang ke Jepang."
"Kepandaian kalian berdua memang tinggi, namun...."
Yatsumi mengerutkan kening.
"Menurut aku, kalian berdua masih bukan tandingannya."
"Oh, ya?" Siang Koan
Goat Nio menatapnya. "Apakah dia memiliki kepandaian luar biasa?"
"Ya." Yatsumi
mengangguk. "Dia bisa menyusup ke dalam tanah dan menghilang mendadak.
Itulah ilmu istimewa kaum ninja Jepang."
"Hebat!" ujar Lie Ai
Ling. "Tapi biar bagaimana pun, aku harus melawannya!"
"Ai Ling, kita harus
segera berangkat ke markas pusat Kay Pang." Siang Koan Goat Nio
mengingatkannya. "Jangan terus mengobrol di sini!"
"Betul." Lie Ai Ling
tersenyum. "Engkau ingin buru-buru bertemu Kakak Bun Yang. Baiklah. Mari
kita berangkat sekarang!"
--ooo0dw0ooo--
Betapa gembiranya Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong ketika mengetahui kedatangan Siang Koang Goat Nio serta
Lie Ai Ling. Namun mereka juga merasa heran karena kedua gadis itu datang
bersama seorang gadis asing.
"Kakek Lim, Kakek
Gouw!" Panggil Siang koan Goat Nio dan Lie Ai Ling sekaligus
memperkenalkan gadis Jepang itu. "Dia berasal dari Jepang, namanya
Yatsumi, putri Michiko."
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggut. 'Kami kenal baik ibunya."
"Yatsumi, bagaimana kabar
ibu dan ayahmu?" tanya Gouw Han Tiong sambil memandangnya. "Ibu dan
ayahku sudah meninggal," jawabnya sambil menangis terisak-isak dengan air
mata berderai-derai.
"Oh?" Gouw Han Tiong
dan Lim Peng hang tersentak kaget.
"Kedua orang tuanya
dibunuh oleh Takara Nichiba, adik seperguruan ketua ninja lama." Lie Ai
Ling memberitahukan.
"Oh?" Lim Peng Hang
mengerutkan kening. ”Sungguh tak disangka, ketua ninja itu punya adik
seperguruan!"
"Kepandaiannya tinggi
sekali, hanya beberapa jurus dia berhasil membunuh ayah dan melukai
lbuku," ujar Yatsumi dan menambahkan. "Sabetan pedangnya secepat
kilat."
"Ngmm!" Lim Peng
Hang manggut-manggut. ”Lalu apa rencanamu sekarang?"
"Aku harus menemui Paman
Cie Hiong," sahut Yatsumi. "Itu adalah pesan dari ibuku, bahkan aku
pun harus belajar ilmu silat kepada Paman Cie Hiong, agar kelak bisa
membalaskan dendam kedua orang tuaku."
"Tapi...." Lim Peng
Hang mengerutkan kening. "Cie Hiong
tidak berada di sini, dia
tinggal di Pulau Hong Hoang To."
"Tidak apa-apa,"
ujar Yatsumi. "Aku akan ke Pulau Hong Hoang To menemuinya. Itulah
tekadku."
"Kalau begitu...."
Lim Peng Hang memandang Siang Koan
Goat Nio dan Lie Ai Ling.
"Salah satu di antara kalian harus mengantarnya ke Pulau Hong Hoang
To."
"Kakek Lim," ujar
Lie Ai Ling. "Kami kemari ingin menemui Kakak Bun Yang, apakah dii sudah
ke mari?"
"Dia belum ke mari."
Lim Peng Hang memberitahukan. "Tapi Ngo Tok Kauwcu yang kemari mengabarkan
tentang pertarungan di Lembah Ka but Hitam. Kalian berdua dan Lu Hui San
membawa Kam Hay Thian ke Pulau Hong Hoang To sedangkan Bun Yang membawa kauw
heng ke Gunung Thian San."
"Hingga kini dia belum ke
mari?" tanya Siang Koan Goat Nio cemas.
"Ya." Lim Peng Hang
mengangguk. "Mungkin dia menemani kauw heng di Gunung Thian San.'
"Mungkin." Siang
Koang Goat Nio manggut manggut.
"Oh ya! Bagaimana keadaan
Kam Hay Thian? tanya Gouw Han Tiong. "Apakah dia sudah pulih?"
"Dia sudah pulih,"
sahut Lic Ai Ling. "Paman Cie Hiong sudah mulai memberi petunjuk kepadanya
mengenai ilmu silat."
"Oooh!" Gouw Han
Tiong manggut-manggut.
"Oh ya!" Siang Koan
Goat Nio teringat sesuatu. "Beng Kiat dan Soat Lan sudah pulang ke Tayli."
"Kami sudah tahu."
Gouw Han Tiong tersenyum. "Mereka juga mampir di sini, setelah itu barulah
mereka berangkat ke Tayli."
"Kakek Lim!"
Mendadak wajah Siang Koan Hoat Nio berubah serius. "Ketika kami melewati
sebuah lembah sebelum bertemu Yatsumi, kami melihat segerombolan orang
berpakaian putih menunggang kuda. Mereka mengeluarkan suara siulan yang
menyeramkan, bahkan mereka memakai kedok setan. Kakek Lim tahu mereka dari
perkumpulan apa?"