Jilid 01
Sinar hijau berkelebat,
sebatang pedang Jing-kong-kiam menusuk cepat ke pundak kiri seorang laki-laki
setengah umur.
Belum lagi serangan itu
mengenai sasaran, penyerang itu sudah menggeser ke samping dan menyerang pula
ke leher kanan laki-laki itu.
Waktu laki-laki setengah umur
itu menegakkan pedangnya, "trang", terbenturlah kedua pedang dan
menerbitkan suara nyaring, menyusul sinar pedang gemerlapan pula, dalam sekejap
kedua orang itu sudah saling gebrak beberapa jurus lagi.
Mendadak pedang laki-laki
setengah umur tadi menebas sekuatnya ke atas kepala pemuda yang memakai pedang
Jing-kong-kiam, namun sedikit mengegos ke samping, pemuda itu balas menusuk paha
lawan.
Serang-menyerang kedua orang
itu berlangsung cepat lagi tepat, setiap jurus seakan-akan mengadu jiwa.
Di sudut Lian-bu-thia atau
ruang berlatih silat itu berduduk seorang tua berumur antara setengah abad
lebih, sambil mengelus jenggotnya yang panjang, dia kelihatan sangat senang.
Pada kedua sampingnya berdiri lebih 20 orang anak murid laki-laki dan perempuan,
semuanya asyik mengikuti pertarungan sengit kedua orang tadi dengan penuh
perhatian.
Di samping sana berduduk
belasan tamu undangan, mereka pun memusatkan perhatian mengikuti pertandingan
di tengah kalangan dengan mata tak berkedip.
Sementara itu sudah lebih 70
jurus pertandingan laki-laki setengah umur melawan si pemuda tadi.
Serangmenyerang makin lama makin sengit dan berbahaya, tapi tetap belum tampak
siapa akan menang atau kalah.
Sekonyong-konyong pedang
lelaki setengah umur itu menebas sekuatnya, agaknya terlalu keras menggunakan
tenaga sehingga tubuhnya kehilangan imbangan dan sedikit terhuyung. Tampak itu,
tiba-tiba seorang pemuda berbaju putih di antara tetamu tadi mengikik geli,
segera ia sadar kelakuannya yang tak pada tempatnya itu, cepat ia dekap mulut
sendiri.
Dan pada saat itulah mendadak
si pemuda yang menggunakan Jing-kong-kiam tadi memukul dengan telapak tangan
kiri ke punggung laki-laki setengah umur.
Karena lelaki itu lagi
sempoyongan, ia terus miringkan tubuh ke depan, berbareng pedang berputar
dengan cepat sambil membentak, "Kena!"
Kontan kaki kiri lawan kena
ditusuknya.
Pemuda itu sempoyongan, untung
pedangnya sempat dipakai menahan ke tanah, ia tegakkan tubuh dan bermaksud
bertempur lagi. Namun lelaki setengah umur itu sudah mengembalikan pedang ke
sarungnya, katanya dengan tertawa, "Maaf, Tu-sute, lukamu tidak parah,
bukan?"
Dengan muka pucat pemuda she
Tu itu menjawab sambil menggigit bibir, "Terima kasih atas kemurahan hati
Kiong-suheng!"
Kesudahan pertandingan itu
rupanya membuat si kakek berjenggot tadi bertambah senang, dengan tersenyum ia
berkata, "Sampai babak ini, Tang-cong (sekte timur) kami sudah menang tiga
kali, tampaknya 'Kiam-ohkiong' (istana danau pedang) ini masih boleh dihuni
lima tahun lagi oleh Tang-cong. Sin-sumoay, apakah kita perlu bertanding
lagi?"
Seorang To-koh atau imam
perempuan, yang duduk di pojok barat sana menjawab dengan penasaran, "Ya,
Cosuheng ternyata pintar mendidik murid. Tapi selama lima tahun ini entah
sampai di mana peyakinan Co-suheng sendiri terhadap 'Bu-liang-giok-bik'."
Tiba-tiba kakek berjenggot itu
memelotot, "Apakah Sumoay sudah lupa pada peraturan golongan kita?"
Teguran itu membuat si To-koh
menjadi bungkam, ia mendengus sekali dan tidak bicara lagi.
Kiranya kakek berjenggot itu
bernama Co Cu-bok, dalam dunia Kangouw terkenal dengan julukan
"It-kiamtin-thian-lam" atau sebatang pedang menjagoi kolong langit
selatan. Ia adalah Ciangbunjin atau ketua "Buliang-kiam" sekte timur.
Sedang imam perempuan tadi bergelar Siang-jing dengan julukan
"Hun-kong-ciokeng" atau menembus sinar menangkap bayangan, ia adalah
ketua Bu-liang-kiam sekte barat.
Bu-liang-kiam sebenarnya
terbagi dalam Tang-cong, Lam-cong dan Se-cong, atau sekte timur, selatan dan
barat. Tapi sudah lama sekte selatan terpencil lemah, sebaliknya sekte timur
dan barat banyak timbul tunas
baru.
Sejak Bu-liang-kiam berdiri
pada akhir dinasti Tong, lalu terbagi menjadi tiga sekte pada permulaan dinasti
Song, seterusnya setiap lima tahun sekali anak murid dari ketiga sekte itu
harus berkumpul di "Kiam-oh-kiong" untuk mengukur kekuatan, sekte
mana yang menang, berhak untuk mendiami istana itu selama lima tahun, lalu
bertanding lagi pada tahun keenam yang akan datang. Sekte mana yang akan
memenangkan tiga babak dalam pertandingan lima babak, dianggap menang.
Maka selama jangka waktu lima
tahun itu, yang kalah semakin giat melatih diri agar bisa merebut kemenangan
dalam pertandingan yang akan datang, sebaliknya yang menang juga tidak berani
lengah. Tapi selama berpuluh tahun itu, sekte selatan tidak pernah menang,
sedangkan sekte timur dan barat masing-masing saling bergantian keluar sebagai
juara.
Sampai pada tangan Co Cu-bok
dan Sin Siang-jin, Tang-cong sudah menang dua kali dalam pertandingan lima
tahunan itu, sebaliknya sekte barat baru sekali menang. Pertandingan laki-laki
setengah umur she Kiong melawan pemuda she Tu tadi adalah babak keempat dalam
pertandingan kali ini. Dengan kemenangan laki-laki she Kiong itu, sekte timur
sudah menang tiga babak dari empat babak, maka babak kelima tidak perlu lagi
dilanjutkan.
Nama Bu-liang-kiam sudah lama
termasyhur di dunia Kangouw, ditambah lagi patuh pada peraturan pertandingan
lima tahunan di antara golongan sendiri, maka ilmu pedang mereka makin lama
semakin bagus.
Karena sibuk "perang
saudara" itulah maka jarang mereka bertengkar dengan orang luar, tokoh-tokoh
mereka kebanyakan hidup aman tenteram dan adem ayem sampai hari tua, jarang
terbinasa karena bunuh-membunuh dalam permusuhan dengan orang luar. Pula sekte
timur dan barat itu memandang pertandingan lima tahunan itu besar
sangkut-pautnya dengan kehormatan sekte masing-masing, maka pada waktu mengajar
murid, sang guru mencurahkan perhatian sepenuhnya, sebaliknya si murid giat
berlatih siang malam tanpa kenal lelah, sehingga banyak jurus ilmu pedang baru
yang diciptakan oleh setiap angkatan.
Di antara orang-orang yang
duduk di sudut barat itu, kecuali Siang-jing, masih banyak pula tamu tokoh
Bu-lim (dunia persilatan) terkemuka yang diundang oleh kedua sekte itu untuk
hadir sebagai saksi dan juri.
Di antara kedelapan orang
saksi yang hadir itu, semuanya jago-jago persilatan terkemuka di daerah Hunlam.
Hanya si pemuda baju putih tadi yang sama sekali tidak terkenal dan dikenal,
tapi justru ia tertawa geli ketika melihat lelaki she Kiong rada sempoyongan.
Pemuda berbaju putih itu ikut
hadir bersama jago silat tua dari Hunlam selatan, Be Ngo-tek. Sebagai saudagar
teh yang kaya raya, Be Ngo-tek terkenal bertangan sangat terbuka, setiap orang
persilatan yang sedang dirundung nasib malang dan datang minta bantuannya,
pasti dia melayani dengan segala senang hati. Sebab
itulah pergaulannya dengan
orang Bu-lim sangat luas, sebaliknya tentang ilmu silatnya tiada sesuatu yang
luar biasa.
Ketika hadir dan mendengar Be
Ngo-tek memperkenalkan pemuda baju putih itu she Toan, Co Cu-bok tidak menaruh
perhatian apa-apa, sebab Toan adalah nama keluarga kerajaan Tayli di daerah
Hunlam yang sangat umum, ia menduga pemuda she Toan tentu adalah murid Be
Ngo-tek, padahal ilmu silat kakek she Be itu hanya biasa saja, muridnya tentu
juga tidak sulit untuk diukur. Maka ia hanya menyambut mereka ke tempat duduk
yang sudah disediakan. Siapa duga pemuda itu berani menertawai anak murid Co
Cu-bok ketika menggunakan jurus pancingan tadi.
Dalam pada itu karena sudah
menang tiga kali di antara empat babak pertandingan, kemenangan sekte timur
sudah pasti, maka beberapa tokoh yang menjadi juri, seperti murid tertua dari
Tiam-jong-pay, Liu Ci-hi, Lengsiau-cu, imam dari kuil Giok-cin-koan di
Ay-lo-san, Kah-yap Siansu dari Tay-kak-si dan Be Ngo-tek, beramairamai sama
mengucapkan selamat pada Co Cu-bok.
Dengan tertawa senang Co
Cu-bok berkata, "Empat murid yang diajukan Sin-sumoay tahun ini, ilmu
pedangnya ternyata boleh juga, lebih-lebih babak keempat ini, kemenangan kami
boleh dikatakan sangat kebetulan. Sungguh Tu-sutit yang masih muda ini tidaklah
terbatas hari depannya, bukan mustahil lima tahun yang akan datang sekte timur
dan barat kita akan bertukar tempat, Hahaha!"
Begitulah habis
terbahak-bahak, mendadak lirikan matanya mengarah pada pemuda she Toan, lalu
berkata pula, "Tadi muridku yang tak becus itu menggunakan tipu pancingan
untuk mengalahkan lawan, tapi saudara ini tampaknya merasa tidak sepaham. Kita
adalah orang sendiri, jika Toan-heng ada minat, marilah silakan turun kalangan
memberi petunjuk sejurus-dua. Nama Be-goko mengguncangkan Tin-lam (Hunlam
selatan), di bawah panglima pandai tiada prajurit lemah, tentu anak muridnya
tidak boleh dipandang enteng."
Muka Be Ngo-tek menjadi merah,
cepat sahutnya, "Harap Co-hiante jangan salah mengerti. Toan-heng ini
bukanlah muridku. Apalagi dengan sedikit kepandaian 'cakar-kucing' yang
kumiliki ini mana ada harganya menjadi guru orang, harap Co-hante jangan bergurau.
Kedatangan Toan-heng ini ke sini hanya secara kebetulan saja ingin ikut
menyaksikan keramaian, karena mendengar akan diadakan pertandingan di antara
kedua sekte golonganmu, maka tanpa pikir aku telah mengajaknya kemari."
Mendengar pemuda she Toan itu
tiada hubungan apa-apa dengan Be Ngo-tek, Co Cu-bok pikir kebetulan malah,
sebab kalau dia muridnya, betapa merasa sungkan.
"Orang macam apa aku Co
Cu-bok ini sehingga ada orang berani terang-terangan menertawai Bu-liang-kiam
di dalam Kiam-oh-kiong sini?" Karena berpikir demikian, dengan tertawa
dingin Co Cu-bok berkata pula, "O, kiranya demikian. Mohon tanya siapakah
nama Toan-heng yang terhormat, entah murid orang kosen dari mana?"
"Cayhe bernama Ki, satu
huruf melulu, tidak pernah mengangkat guru juga tidak pernah belajar
silat," sahut pemuda she Toan itu. "Karena geli melihat orang
sempoyongan akan jatuh, entah dia pura-pura atau sungguhan, aku jadi
tertawa."
Mendengar jawaban yang kurang
sopan itu, sedikit pun tiada rasa hormat, Co Cu-bok bertambah mendongkol,
katanya, "Apanya yang menggelikan?"
"Kalau seorang berdiri
baik-baik, tentu tidak lucu. Tapi kalau seorang akan jatuh, tampaknya menjadi
lucu dan menggelikan," sahut Toan Ki dengan acuh tak acuh sambil mengebas
kipas lempitnya.
Dengan kedudukan Co Cu-bok
sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka, tentu saja hati merasa
panas oleh cara bicara si pemuda yang semakin kurang ajar itu. Tapi biarpun Co
Cu-bok berwatak angkuh, namun orangnya sangat hati-hati, tidak gegabah
bertindak, maka ia pun tidak lantas marah-marah, katanya pada Be Ngo-tek,
"Be-goko, apakah Toan-heng ini adalah sahabat baikmu?"
Be Ngo-tek adalah seorang
kawakan Kangouw, sudah tentu ia paham apa maksud pertanyaan itu, terang jago
Bu-liang-kiam itu sudah ambil keputusan akan memberi hajaran pada Toan Ki.
Padahal ia sendiri juga baru kenal pemuda itu.
Sebagai seorang yang bertangan
terbuka, ketika Toan Ki mohon ikut serta, tanpa pikir ia membawanya. Kini
melihat gelagatnya, sekali turun tangan, Co Cu-bok pasti tidak sungkan-sungkan
lagi. Seorang pemuda baikbaik, sayang kalau mesti mengalami aniaya demikian
itu.
Maka cepat katanya, "Aku
dan Toan-heng meski bukan sobat kental, tapi kami datang bersama, tampaknya
tertawa Toan-heng tadi pun tidak disengaja. Baiknya begini saja, memangnya
perutku sudah keroncongan, harap Co-hiante lekas keluarkan hidangan, biar kami
menyuguhkan padamu tiga cawan. Hari baik yang harus gembira ini, untuk apa
Co-hiante mesti urusan dengan seorang muda?"
"Jika Toan-heng bukan
sobat baik Be-goko, itulah lebih baik," ujar Co Cu-bok. "Betapa pun
aku perlakukan dia, takkan dianggap membikin malu pada Be-goko. Nah, Jin-kiat,
tadi kau ditertawai orang, majulah dan minta pelajaran padanya!"
Laki-laki setengah umur yang
bernama Kiong Jin-kiat itu memang sangat mengharapkan perintah sang guru itu,
segera saja ia lolos pedang dan maju ke tengah, ia memberi hormat pada Toan Ki
sambil berkata, "Marilah, sobat Toan, silakan!"
"Hm, bagus! Bolehlah kau
mulai, kau berlatih, aku melihat!" ucap Toan Ki.
"Hah, apa ... apa
katamu?" teriak Kiong Jin-kiat dengan gusar sehingga wajahnya merah padam.
"Kau membawa pedang,
tentunya akan main pedang, bukan?" sahut Toan Ki. "Maka bolehlah
mulai, biar kami sama menonton."
"Tapi guruku suruh kau
pun maju ke sini, mari kita coba-coba bertanding," teriak Jin-kiat.
Toan Ki goyang-goyang kepala
sambil tiada berhenti mengebas kipasnya, sahutnya, "Gurumu adalah gurumu,
gurumu bukan guruku. Gurumu boleh menyuruhmu, gurumu tak boleh menyuruh aku.
Gurumu suruh kau bertanding pedang dengan orang dan sudah kau lakukan tadi.
Gurumu suruh aku coba-coba bertanding dengan kau, pertama aku tidak bisa, kedua
aku takut kalah, ketiga takut sakit, keempat takut mati, maka aku tidak mau
bertanding. Sekali aku bilang tidak, tetap tidak."
Mendengar jawaban yang
serba"gurumu" yang membingungkan itu, banyak di antara hadirin
menjadi tertawa geli, termasuk pula beberapa murid perempuan Sin Siang-jing,
maka suasana yang tadinya angker tegang seketika buyar sirna menjadi santai.
Keruan Kiong Jin-kiat tambah
murka, dengan langkah lebar ia mendekati Toan Ki, ia tuding dada pemuda itu
dengan ujung pedangnya dan membentak, "Apa kau benar-benar tidak bisa atau
hanya pura-pura tolol dan berlagak pilon?"
Walaupun menghadapi ancaman
pedang yang bila sedikit disorong ke depan pasti dadanya akan tembus, namun
sedikit pun Toan Ki tidak gentar, sahutnya, "Aku pura-pura, tapi memang
juga benar-benar tidak bisa."
"Kau berani main gila ke
Kiam-oh-kiong sini, apa barangkali sudah bosan hidup?" semprot Kiong
Jin-kiat. "Kau sebenarnya anak murid siapa? Siapa yang menyuruhmu mengacau
ke sini? Kalau tidak mengaku terus terang, jangan menyesal bila pedang tuanmu
ini tidak kenal ampun."
Toan Ki tetap acuh tak acuh,
ia menguap sambil mengulet kemalasan, lalu sahutnya, "Bu-liang-kiam sangat
terkenal di Kangouw, asal aku tetap diam saja, rasanya tidak nanti kau bunuh
aku di depan para Locianpwe sekian banyak ini."
Mendadak Kiong Jin-kiat simpan
pedangnya, tapi tangan lain tiba-tiba menempeleng, "plok", dengan
tepat pipi
Toan Ki kena digampar sekali.
Toan Ki sedikit miringkan
kepalanya, namun tak dapat menghindar, seketika mukanya yang putih bersih itu
merah bengap dan timbul cap lima jari.
Kejadian ini membikin hadirin
sangat terkejut. Semula melihat sikap Toan Ki yang acuh tak acuh tanpa gentar
itu, mereka menyangka pemuda itu pasti memiliki ilmu silat maha tinggi, maka
berani meremehkan lawan. Siapa duga tempelengan Kiong Jin-kiat yang sepele itu
tak bisa dihindarnya, tampaknya pemuda ini memang betul sedikit pun tak bisa
ilmu silat.
Ini sungguh luar biasa!
Umumnya orang hanya mendengar
cerita tentang jago silat kosen sengaja pura-pura bodoh untuk menggoda lawan,
tapi tidak mungkin seorang yang tidak mahir ilmu silat berani main gila.
Bagi Kiong Jin-kiat sendiri
yang secara mudah berhasil menempeleng orang, seketika ia rada terkesima juga.
Tapi segera ia jambret dada baju Toan Ki serta diangkat ke atas sambil
membentak, "Tadinya kukira seorang tokoh yang tak dikenal, siapa tahu tak
becus begini!"
Terus saja ia banting tubuh
orang ke tanah.
"Bluk", Toan Ki
terbanting keras ke lantai, kepala membentur kaki meja hingga benjut.
Be Ngo-tek merasa tidak tega,
cepat ia membangunkan pemuda itu dan berkata, "Kiranya Laute (saudara)
memang tak bisa ilmu silat, lantas untuk apa ikut ke sini?"
Toan Ki meraba-raba batok
kepalanya yang benjut itu, sahutnya dengan tertawa, "Memangnya aku melulu
datang untuk menonton keramaian. Kulihat ilmu pedang Bu-liang-kiam
paling-paling juga cuma begini saja, sang guru dan si murid berjiwa kerdil
pula, tampaknya juga takkan mampu lebih maju lagi daripada ini. Biarlah aku
pergi saja."
Tiba-tiba seorang murid Co
Cu-bok yang lain melompat maju mengadang di depan Toan Ki, katanya, "Jika
engkau tidak mahir ilmu silat, lantas mau pergi mencawat ekor begini saja
memang bolehlah. Tapi kenapa kau mengolok-olok ilmu pedang kami hanya biasa
saja dan paling-paling hanya sekian? Sekarang kuberi dua jalan padamu dan boleh
kau pilih. Pertama boleh coba-coba ilmu pedang kami yang hanya begini saja ini,
atau kau menyembah delapan kali kepada guruku dan mengaku omonganmu sendiri
cuma 'kentut' belaka!"
"O, kau kentut? Kenapa
tidak bau?" sahut Toan Ki dengan tertawa.
Murid muda itu menjadi gusar,
segera bogem mentahnya menjotos ke hidung Toan Ki. Pukulan ini sangat keras,
tampaknya hidung Toan Ki pasti akan bocor dan keluar kecapnya. Tak terduga baru
kepalan sampai setengah jalan, tiba-tiba dari udara menyambar tiba sesuatu dan
melilit di pergelangan tangan murid muda itu.
Benda itu lemas-lemas dingin
dan licin, begitu melilit, terus bergerak merambat.
Keruan pemuda itu terkejut dan
cepat menarik tangannya, waktu diperiksa, ternyata yang melilit di tangannya
itu adalah seekor ular Jik-lian-coa atau ular rantai merah yang berwarna
belang-bonteng menyeramkan, panjangnya kira-kira 30 senti.
Dalam kagetnya, pemuda itu
menjerit sambil mengipas-kipaskan tangannya dengan maksud melepaskan lilitan
ular kecil itu, tapi binatang itu semakin erat melilit di tangannya tak mau
lepas.
Mendadak Kiong Jin-kiat juga
berteriak, "Ular, ular!"
Wajahnya tampak berubah hebat
sambil tangan menggagap ke dalam baju sendiri, lalu meraba leher, punggung dan
ketiak, tapi tiada sesuatu yang kena dipegangnya, saking gugupnya sampai
Jin-kiat berjingkrak-jingkrak, buru-buru ia lepas baju sendiri.
Datangnya perubahan ini
sungguh sangat mendadak, selagi semua orang terkesiap dan heran, tiba-tiba
terdengar di atas kepala mereka ada suara orang mengikik sekali.
Waktu semua orang mendongak,
buset, ternyata di atas belandar rumah duduk seorang anak dara jelita, kedua
tangannya penuh memegang bermacam ular.
Dara jelita itu berusia antara
16-17 tahun, berbaju hijau, wajah cantik, tersenyum menggiurkan. Pada tangannya
sedikitnya memegangi belasan ekor ular yang kecil dan macam-macam warnanya,
hijau, merah, hitam, belang dan warna lain, jelas semuanya adalah ular berbisa.
Tapi dara cilik itu memegangi ular-ular berbisa itu bagai barang mainan belaka,
sedikit pun tidak jeri. Bahkan beberapa ular di antaranya merayap ke muka dan
pipinya bagai seorang anak lagi dimanjakan sang ibu yang penuh kasih sayang.
Semua orang hanya sekilas
menengok saja, segera terdengar Kiong Jin-kiat dan Sutenya menjerit-jerit, maka
cepat mereka berpaling memandang kedua orang itu. Sebaliknya Toan Ki lantas
mendongak dan memandang si dara cilik itu dengan terkesima.
Gadis itu duduk di atas
belandar sambil kedua kakinya berayun-ayun bagai anak kecil. Melihat dia, entah
dari mana datangnya lantas timbul rasa suka dalam hati Toan Ki, katanya segera,
"Nona, apakah engkau yang menolong aku?"
"Ya," sahut dara
cilik itu. "Orang jahat itu memukulmu, kenapa tidak kau balas hantam
dia?"
"Aku tidak bisa membalas
...." baru sekian Toan Ki menjawab, mendadak terdengar teriakan tertahan
orang banyak.
Waktu Toan Ki berpaling,
terlihat Co Cu-bok sudah menghunus pedang, mata pedang tampak bernoda darah,
sedang ular Jik-lian-coa tadi sudah terkutung menjadi dua di lantai, terang
kena ditebas mati oleh pedang Co Cu-bok itu.
Sementara itu baju atas Kiong
Jin-kiat sudah terlepas semua, dengan setengah telanjang ia masih
berjingkrakjingkrak kelabakan, seekor ular hijau kecil tampak merayap kian
kemari di punggungnya, ia ulur tangan ke belakang hendak menangkap, tapi
beberapa kali dilakukannya tetap tak berhasil.
"Jangan bergerak,
Jin-kiat!" bentak Co Cu-bok.
Selagi Jin-kiat merandek,
tiba-tiba sinar perak berkelebat, ular hijau itu sudah tertebas menjadi dua
potong. Gerakan Co Cu-bok itu secepat kilat hingga semua orang tidak tahu jelas
cara bagaimana ia turun tangan, tahutahu ular hijau itu terkutung jatuh ke
lantai, sebaliknya punggung Kiong Jin-kiat sedikit pun tidak cedera. Betapa
jitu dan cepat permainan pedang Co Cu-bok itu, seketika bersoraklah orang
memuji.
"Hm, hanya membunuh
seekor ular kecil, kenapa mesti heran?" jengek Toan Ki.
Sedang dara cilik di atas
belandar lantas berteriak-teriak, "Hai, si kakek jenggot, kenapa kau
binasakan dua ekor ularku? Aku tidak mau sungkan lagi padamu sekarang!"
"He, kau anak perempuan
siapa, untuk apa datang ke sini?" tegur Co Cu-bok dengan gusar.
Diam-diam ia sangat heran,
bilakah gadis cilik ini berada di atas belandar? Padahal di tengah ruangan
besar ini terdapat sekian banyak tokoh terkemuka, masakah tiada seorang pun
yang tahu, sekalipun semua orang tadi lagi asyik mengikuti pertandingan
Tang-cong dan Se-cong, tapi mustahil tidak mengetahui kalau di atas kepala
mereka lagi mengintip seseorang. Kalau kejadian ini tersiar di dunia Kangouw,
lantas muka "Bu-liang-kiam" akan ditaruh ke mana?
Gadis cilik itu tidak menjawab
pertanyaan Co Cu-bok, kedua kakinya masih bergerak-gerak ke muka dan ke
belakang, tampak sepatunya bersulam bunga kuning kecil, ujung sepatu dihias
sebuah bola merah terbuat dari benang wool, itulah dandanan anak perempuan
kecil yang lazim.
Maka kembali Co Cu-bok
berkata, "Lekas melompat turun kemari!"
"Jangan!" tiba-tiba
Toan Ki berseru. "Begitu tinggi, kalau melompat turun, apa tidak
terbanting? Lekas ambilkan tangga!"
Mendengar itu, banyak orang
tertawa geli lagi. Beberapa murid wanita dari Se-cong sama berpikir,
"Orang ini tampak cakap dan ganteng, tapi ternyata seorang dogol. Kalau
gadis cilik itu mampu naik ke atas belandar tanpa diketahui jago silat sebanyak
ini, dengan sendirinya ilmu silatnya pasti sangat tinggi, masakan untuk turun
diperlukan tangga, kan lelucon yang tidak lucu?"
Sementara itu terdengar si
gadis kecil sedang menjawab, "Harus kau ganti dulu kedua ularku, baru aku
mau turun bicara padamu."
"Hanya dua ekor ular
saja, kenapa dibuat pikiran, di mana-mana dapat kutangkap dua ular seperti
ini," ujar Co Cu-bok.
Nyata diam-diam ia sudah jeri
terhadap gadis cilik itu. Gadis semuda itu telah berani bermain ular berbisa,
tak pelak lagi di belakang si gadis tentu masih ada guru atau orang tua yang
sangat lihai, maka nada bicaranya sedapat mungkin mengalah pada si gadis.
Dengan tertawa gadis itu
mendebat, "Omong sih gampang, cobalah kau tangkap dulu ekor ular seperti
itu."
"Lekas melompat
turun!" kembali Co Cu-bok mendesak.
"Tidak mau!" sahut
si gadis.
"Jika tetap bandel,
segera kuseret turun," ujar Co Cu-bok.
Gadis itu terkikik-kikik, jawabnya,
"Boleh kau coba menarik, kalau kena, anggap kau pintar!"
Sungguh serbarunyam Co Cu-bok
menghadapi seorang gadis cilik nakal seperti itu, katanya pada Siang-jing,
"Sumoay, harap kau suruh seorang murid perempuan naik ke atas untuk
menyeretnya turun."
"Anak murid Se-cong tiada
yang memiliki Ginkang setinggi itu," sahut Siang-jing.
Co Cu-bok menjadi kurang
senang, selagi hendak buka suara pula, tiba-tiba terdengar si dara cilik
berseru, "He, tidak mau kau ganti ularku, ya? Nih, kuperlihatkan sesuatu
yang lihai, biar kalian tahu rasa!"
Segera dari bajunya ia merogoh
keluar sesuatu benda yang mirip seutas rantai emas dan disambitkan ke arah
Kiong Jin-kiat.
Jin Kiat menyangka tentunya
semacam Am-gi atau senjata rahasia yang aneh, maka tidak berani menangkapnya
dengan tangan, melainkan melompat hendak menghindar. Tak terduga rantai emas
itu adalah seekor ular emas yang kecil.
Ular kecil itu sangat gesit
gerak-geriknya, sekali hinggap di punggung Kiong Jin-kiat, terus saja merayap
ke dada, ke muka, ke leher dan ke perut dengan cepat luar biasa.
"Bagus, bagus! Ular emas
ini sungguh sangat menarik!" seru Toan Ki sambil tertawa senang.
Ular emas kecil itu merayap
makin cepat, hingga antero badan Kiong Jin-kiat seakan-akan kemilauan oleh
cahaya emas dan membikin pandangan semua orang menjadi silau.
Mendadak Leng-siau-cu, itu
imam dari Giok-cin-koan di Ay-lo-san, teringat sesuatu, dalam kejutnya ia
berseru, "Bukankah ini Kim-leng-cu dari 'Uh-hiat-su-leng'?"
"Numpang tanya, To-heng,
permainan apakah 'Uh-hiat-su-leng' itu?" tanya Be Ngo-tek.
Air muka Leng-siau-cu berubah,
sahutnya, "Di sini bukan tempat bicara, kelak saja kita omong-omong
lagi."
Lalu ia mendongak dan berkata
pada gadis cilik di atas belandar sembari memberi hormat, "Terimalah
hormat Leng-siau-cu, nona!"
Meski tangannya penuh memegang
macam-macam ular, namun dara cilik itu masih sempat merogoh saku dan mengambil
sebiji kuaci dan dimasukkan ke mulut, ia hanya tersenyum kepada Leng-siau-cu
tanpa menjawab.
Leng-siau-cu berpaling kepada
Co Cu-bok, katanya, "Kionghi atas kemenangan yang dicapai pihak Co-heng
dalam pertandingan tadi, karena masih ada sesuatu urusan, maafkan kumohon diri
dulu!"
Dan tanpa menunggu jawaban Co
Cu-bok, buru-buru ia bertindak keluar, ketika lewat di samping Kiong Jinkiat,
ia menyingkir jauh-jauh dengan rasa ketakutan.
Co Cu-bok tidak urus sikap
orang itu karena lagi mencurahkan perhatian pada ular emas tadi, sebaliknya Be
Ngo-tek merasa sangat heran, pikirnya, "Ilmu golok dari Giok-cin-koan
terhitung salah satu kepandaian khas dalam dunia persilatan di Hunlam, biasanya
Leng-siau-cu pun angkuh terhadap orang, kenapa terhadap ular emas ini ia menjadi
ketakutan? Terhadap nona cilik itu pun ia sangat menghormat, entah apa
sebabnya?"
Tiba-tiba terdengar gadis
cilik tadi bersuit beberapa kali, mendadak ular emas merayap ke muka Kiong
Jinkiat, cepat Jin-kiat menangkap dengan kedua tangannya, tapi ular emas itu
teramat cepat, badan ular saja tak bisa disentuh tangan Kiong Jin-kiat. Keruan
ia tambah kelabakan dan menangkap serabutan, namun tetap menangkap angin.
Segera Co Cu-bok melangkah
maju, pedang menusuk cepat, tatkala itu ular emas lagi merayap ke atas mata
kiri Kiong Jin-kiat, karena diserang, sekali badan ular berkeloget, dapatlah
menghindar. Sebaliknya ujung pedang Co Cu-bok pun berhenti di depan kelopak
mata sang murid.
Walaupun serangan itu tidak
mengenai sasaran, tapi para penonton sama merasa kagum.
Bayangkan saja, asal ujung
pedang setengah senti lebih maju, pasti biji mata Kiong Jin-kiat sudah
dibutakan.
Diam-diam Sin Siang-jing
membatin, "Ilmu pedang Co-suheng ternyata sudah sedemikian saktinya, aku
harus mengaku bukan tandingannya, terutama jurus 'Kim-ciam-toh-kiap' (jarum
emas menolak baju) barusan, terang aku tak bisa mengungguli dia."
Sementara itu Co Cu-bok telah
menyerang pula empat kali beruntun, tapi ular emas itu seperti punya mata di
punggungnya, setiap kali dapat menyelamatkan diri.
"Hai, kakek jenggot, ilmu
pedangmu bagus juga!" seru si dara cilik. Tiba-tiba ia bersuit lagi, cepat
ular emas itu merayap ke bawah terus menghilang.
Selagi Co Cu-bok tertegun
kehilangan sasaran, tahu-tahu Kiong Jin-kiat sibuk meraba paha sambil
berjingkrakjingkrak, ternyata ular emas itu telah menerobos ke dalam celananya.
"Hahahaha!" Toan Ki
tertawa geli. "Tontonan hari ini benar-benar sangat menyenangkan,
hahaha!"
Dalam pada itu Kiong Jin-kiat
telah melepaskan celana hingga tertampak kedua pahanya yang penuh berbulu
lebat. Namun dara cilik itu memang masih kekanak-kanakan, sama sekali ia tidak
kenal urusan lelaki dan perempuan, bahkan ia terus berseru, "Kau terlalu
jahat, suka menganiaya orang, biarkan kau telanjang bulat. Coba malu atau
tidak!"
Habis berkata, ia bersuit
lagi.
Ular emas itu benar-benar
sangat penurut, sekali mengegos terus menyusup pula, kali ini lebih lucu lagi,
celana dalam Kiong Jin-kiat yang diterobos.
Keruan Kiong Jin-kiat semakin
kelabakan. Sudah tentu, bagaimanapun ia tak dapat lepas celana dalam di hadapan
orang banyak. Ia menjerit sekali terus berlari keluar.
Tapi celaka tiga belas, baru
berlari sampai di ambang pintu, mendadak dari luar juga menyerobot masuk
seseorang, karena tak sempat mengerem "bluk", kedua orang itu saling
tumbuk dengan keras.
Tabrakan ini benar-benar
sangat keras, tapi Kiong Jin-kiat hanya terpental mundur beberapa tindak,
sebaliknya orang dari luar itu terus jatuh terjengkang ke lantai.
"He, Yong-sute!"
seru Co Cu-bok kaget.
Melihat siapa yang telah
ditabrak olehnya, cepat Kiong Jin-kiat maju membangunkannya, rupanya ia lupa
bahwa si ular emas masih mengeram di dalam celana. Maka baru saja orang itu
ditarik bangun, begitu merasa si ular merayap di dalam celana, kembali ia
menjerit sambil berusaha hendak menangkap ular nakal itu, dan karena pegangan
terlepas, orang yang sudah dibangunkan itu terbanting roboh pula.
Tentu saja kejadian lucu itu
sangat menggelikan si dara cilik di atas belandar, setelah puas mengikik tawa,
akhirnya ia berkata, "Rasanya sudah cukup kau dihajar!"
Segera ia bersuit lagi sekali,
ular emas kecil itu lantas merayap keluar dari celana dalam Kiong Jin-kiat
terus merayap ke atas dinding tembok dengan kecepatan luar biasa, lalu kembali
ke pangkuan si gadis.
Untuk kedua kalinya dapatlah
Kiong Jin-kiat membangunkan orang tadi sambil berseru kaget, "Yong-susiok,
ken ... kenapa engkau?"
Waktu Co Cu-bok memburu maju,
ia lihat kedua mata orang itu mendelik beringas, wajahnya penuh rasa gusar dan
dendam, tapi napasnya sudah putus. Kejut Co Cu-bok tak terkatakan, lekas ia
berusaha menolong, namun tak berdaya lagi.
Kiranya orang itu bernama Yong
Goan-kui, Sute atau adik seperguruan Co Cu-bok. Meski ilmu silatnya lebih
rendah daripada sang Suheng, namun jauh di atas Kiong Jin-kiat. Maka aneh
sekali bahwa tabrakan tadi tak bisa dihindarkannya, bahkan sekali tabrak roboh
binasa.
Co Cu-bok tahu sebelum
tabrakan tentu sang Sute sudah terluka parah, maka cepat ia membuka baju Yong
Goan-kui untuk diperiksa. Begitu baju terbuka, segera tertampak di dada Yong
Goan-kui jelas tertulis sebaris huruf, "Tengah malam ini Sin-long-pang
akan membasmi Bu-liang-kiam!"
Huruf-huruf hitam yang dekuk
melekat di daging itu bukan ditulis dengan tinta, juga bukan ukiran benda
tajam. Setelah ditegasi, Co Cu-bok menjadi gusar, ia angkat pedangnya hingga
berbunyi mendenging, teriaknya dengan murka, "Hm, lihatlah apakah
Sin-long-pang yang akan membasmi Bu-liang-kiam atau Buliang-kiam yang akan
memusnahkan Sin-long-pang? Sakit hati ini tidak kubalas, kusumpah tak mau hidup
lagi!"
Kiranya huruf-huruf yang
terdapat di dada Yong Goan-kui itu ditulis dengan semacam obat racun, daging
yang terkena racun lantas membusuk dan dekuk ke dalam.
Waktu Co Cu-bok periksa tubuh
Yong Goan-kui pula, ternyata tiada tanda luka lain. Segera ia membentak,
"Jin-ho, Jin-kiat, melihat keluar sana!"
Karena kejadian itu, seketika
suasana dalam ruangan besar itu menjadi gempar, semua orang tidak urus lagi
pada Toan Ki dan dara cilik di atas belandar itu, tapi beramai-ramai merubung
jenazahnya Yong Goan-kui serta mempercakapkan peristiwa ini.
"Makin lama perbuatan
Sin-long-pang makin tidak pantas," kata Be Ngo-tek setelah berpikir
sejenak. "Cohiante, entah sebab apa mereka bermusuhan dengan
golonganmu?"
Karena berduka atas matinya
sang Sute, Co Cu-bok menjawab dengan terguguk-guguk, "Itu ... itu
disebabkan urusan mencari obat. Musim rontok tahun yang lalu, empat Hiangcu
(hulubalang) dari Sin-long-pang datang ke Kiam-oh-kiong sini dan permisi akan
mencari semacam obat di belakang gunung kami ini. Soal memetik obat sebenarnya
urusan kecil, Sin-long-pang memang hidup dari memetik obat dan menjual jamu.
Biasanya tiada banyak berhubungan dengan golongan kami, tapi juga tiada
permusuhan apa-apa. Namun Be-goko tentu tahu, belakang gunung ini tidak
sembarangan boleh didatangi orang luar, jangankan Sin-long-pang, sekalipun para
sobat kental juga dilarang pesiar ke sana, ini adalah peraturan turun-temurun
dari leluhur kami, dengan sendirinya kami tidak berani melanggarnya. Padahal
urusan ini pun tidak jadi soal ...."
Sampai di sini, tiba-tiba dari
luar melangkah masuk seorang dengan tindakan perlahan dan lesu.
Aneh, Leng-siau-cu dari
Giok-cin-koan yang terburu-buru pergi karena takut pada ular emas tadi kini
telah kembali.
Imam itu tunduk kepala dan
lesu, mukanya terdapat sejalur luka, kopiah di atas kepalanya juga sudah
lenyap, rambut terurai kusut, terang baru saja dia telah dihajar orang.
"Leng-siau Toheng, ken
... kenapa kau?" tanya Co Cu-bok kaget.
Dengan gemas Leng-siau-cu
menjawab, "Sungguh belum pernah kulihat manusia sewenang-wenang seperti
ini, katanya tidak boleh pergi dari sini dan ... dan aku sendirian tak ... tak
mampu melawan mereka yang banyak, maka ...."
"Apakah engkau bergebrak
dengan orang Sin-long-pang?" tanya Co Cu-bok.
"Ya, siapa lagi kalau
bukan mereka?" sahut Leng-siau-cu penasaran. "Mereka telah menduduki
jalan-jalan penting di sekitar gunung, katanya sebelum esok pagi, siapa pun
dilarang turun gunung."
Dalam pada itu si dara cilik
di atas belandar tadi masih asyik menyisil kuaci sambil mengayun kedua kakinya
ke depan dan ke belakang. Tiba-tiba ia sambitkan kulit kuaci ke batok kepala
Toan Ki dan berkata dengan tertawa, "He, kau kepingin makan kuaci tidak?
Marilah naik ke sini!"
"Tidak ada tangga, aku
tak sanggup naik ke situ," sahut Toan Ki.
"Itu gampang," ujar
si gadis. Terus saja ia lepaskan seutas tali panjang warna hijau pupus dari
pinggangnya, katanya pula, "Pegang erat tali ini, biar kukerek kau ke
atas."
"Badanku cukup berat,
mana mampu kau kerek diriku?" ujar Toan Ki.
"Boleh coba,
paling-paling kau akan mati terbanting," sahut si gadis dengan tertawa.
Melihat tali itu tergantung di
depan hidungnya, tanpa pikir Toan Ki terus memegangnya. Di luar dugaan, apa
yang terpegang itu terasa basah-basah dingin, bahkan terasa kelogat-keloget
bisa bergerak. Waktu ditegasi ... astaga!
Benda yang tadinya disangka
tali pinggang itu ternyata adalah seutas tali hidup alias ular, cuma badan ular
itu sangat panjang dan kecil, atas dan bawah sama besarnya, sepintas pandang
orang pasti tak menyangka kalau itu adalah ular hidup. Keruan Toan Ki kaget dan
cepat lepas tangan.
Dara cilik itu mengikik geli,
katanya, "Ini adalah Jing-leng-cu, lebih lihai daripada Thi-soa-coa (ular
kawat besi), biarpun ditebas dengan pedang juga takkan putus. Ayo, lekas pegang
yang erat!"
Toan Ki tabahkan hati dan
kerahkan seluruh keberanian buat pegang badan ular tadi, ia merasa badan ular
itu rada kasap dan tidak terlalu licin.
"Pegang yang erat!"
seru si gadis sambil mengangkat ke atas dengan perlahan hingga tubuh Toan Ki
terapung di atas tanah. Hanya beberapa kali tarikan saja, gadis itu sudah
mengerek Toan Ki ke atas belandar.
Toan Ki menjadi kagum dan
takut-takut pula melihat gadis cilik itu mengikat Jing-leng-cu ke pinggangnya
hingga mirip benar seutas tali pinggang, tanyanya, "Apakah ularmu tidak
menggigit orang?"
"Kalau kusuruh dia
menggigit, tentu dia menggigit, kalau tak kusuruh, dia takkan menggigit, jangan
takut," sahut gadis itu.
"Apakah kau yang piara
ular-ular ini, sudah jinak ya?" tanya Toan Ki lagi.
"Ya, coba
memegangnya," kata si gadis sambil mengangsurkan seekor ular kecil
padanya.
Tentu saja Toan Ki kelabakan,
serunya gugup, "He, jangan, jangan! Aku tidak mau."
Ia menggoyang-goyang tangannya
sembari menggeser tubuh ke belakang, dan karena duduknya kurang tepat, hampir
saja ia terjungkal ke bawah belandar.
Untung si gadis keburu
menjambret kuduknya dan menariknya ke samping lagi, katanya dengan tertawa,
"Apakah engkau benar tak mahir ilmu silat? Sungguh aneh!"
"Kenapa aneh?" tanya
Toan Ki.
"Engkau tak bisa ilmu
silat, tapi berani datang ke sini seorang diri, tentu saja kau akan dianiaya
oleh mereka yang jahat itu," ujar si gadis. "Sebenarnya untuk apa kau
datang ke sini?"
Melihat sikap ramah si gadis,
meski baru kenal, tapi menganggapnya seperti sobat lama, maka selagi Toan Ki
hendak menceritakan maksud kedatangannya, tiba-tiba terdengar suara langkah
orang, dari luar berlari masuk dua orang. Kiranya adalah Kam Jin-ho dan Kiong
Jin-kiat berdua.
Waktu itu Kiong Jin-kiat sudah
mengenakan kembali celananya, hanya bagian atas masih telanjang.
Sikap kedua murid
Bu-liang-kiam itu tampak rada takut, mereka mendekati Co Cu-bok dan melapor,
"Suhu, orang Sin-long-pang telah berkumpul di atas gunung depan,
jalan-jalan penting telah dijaga, kita dilarang turun gunung. Karena jumlah
musuh lebih banyak, sebelum mendapat perintah Suhu, kami tidak berani sembarang
turun tangan."
"Ehm, ada berapa banyak
mereka?" tanya Cu-bok.
"Kira-kira 70 sampai 80
orang," sahut Jin-ho.
"Hm, hanya sejumlah itu
lantas ingin membasmi Bu-liang-kiam? Rasanya takkan semudah itu!" jengek
Co Cubok.
Baru selesai ucapannya,
tiba-tiba terdengar suara mendengung di udara, dari luar terbidik masuk
sebatang panah bersuara. Tanpa pikir Kiong Jin-kiat tangkap tangkai panah itu
sebelum jatuh ke tanah. Ternyata di atas panah terikat sepucuk surat. Jelas
kelihatan pada sampul surat itu tertulis, "Ditujukan untuk Co
Cu-bok."
Waktu Jin-kiat menyerahkan
surat itu pada sang guru, Cu-bok menjadi gusar membaca tulisan pada sampul yang
kurang hormat itu, katanya, "Coba membukanya!"
Jin-kiat mengiakan dan merobek
sampul surat itu.
Saat itulah, si dara cilik
membisiki Toan Ki, "Orang jahat yang menjotos engkau itu segera akan
mampus!"
"Sebab apa?" tanya
Toan Ki terheran-heran.
"Di atas panah dan surat
itu beracun semua," sahut si gadis.
"Masakah begitu
lihai?" ujar Toan Ki.
Sementara itu terdengar
Jin-kiat membaca isi surat yang telah dibukanya itu, "Sin-long-pang
memberitahukan pada Co ...." ia merandek karena tidak berani menyebut nama
sang guru, lalu melanjutkan, "... kalian diberi tempo dalam satu jam, seluruhnya
harus keluar dari Kiam-oh-kiong, masing-masing mengutungi tangan kanan sendiri.
Kalau tidak, sebentar seantero isi istanamu, tua-muda, besar-kecil, ayam dan
anjing pun tak terkecuali dari kematian."
"Hm, Sin-long-pang itu
macam apa, begitu besar mulutnya!" jengek Liu Cu-hi, itu jago dari
Tiam-jong-pay.
Sekonyong-konyong terdengar
suara gedebukan, tahu-tahu Kiong Jin-kiat roboh terjungkal.
Saat itu Kam Jin-ho masih
berdiri di samping sang Sute, ia berteriak kaget, "Sute!"
Segera ia bermaksud membangunkan
saudara seperguruannya itu.
Namun Co Cu-bok keburu menyela
maju, ia dorong Jin-ho ke samping sambil membentak, "Jangan sentuh
tubuhnya! Mungkin beracun."
Benar juga, muka Kiong
Jin-kiat tampak berkerut-kerut kejang, tangan yang memegang surat tadi dalam
sekejap saja sudah berubah hitam hangus, sekali kedua kakinya berkelejet,
putuslah napasnya.
Tiada satu jam lamanya,
beruntun Bu-liang-kiam sekte timur sudah kematian dua jago pilihannya. Keruan
para tokoh silat yang hadir di situ sama terkesiap.
"Apakah kau pun orang
Sin-long-pang?" tiba-tiba Toan Ki tanya si dara cilik dengan perlahan.
"Hus, jangan kau
sembarangan omong!" semprot si gadis.
"Habis, dari mana kau
tahu panah dan surat itu beracun?" tanya Toan Ki.
Gadis itu tertawa, sahutnya,
"Cara memberi racun itu terlalu kasar, lamat-lamat di atas panah dan surat
itu kelihatan ada selapis sinar fosfor. Caranya ini hanya bisa mencelakai orang
yang goblok saja."
Ucapan terakhir si gadis itu
sengaja dibikin keras sehingga dapat didengar oleh semua orang di dalam
ruangan.
Segera Co Cu-bok memeriksa
panah dan surat tadi, tapi tak terlihat sesuatu. Waktu diawasi dari samping,
benar juga lamat-lamat kelihatan gemerdepnya sinar fosfor.
"Siapakah she dan nama
nona yang mulia?" segera Cu-bok tanya si gadis.
"She dan namaku yang
mulia tak bisa kukatakan padamu, itu artinya rahasia tak boleh dibongkar,"
sahut si gadis.
Dalam keadaan tertimpa malang,
mendengar pula ucapan si gadis yang menggoda itu, sedapatnya Co Cu-bok menahan
perasaannya dan coba tanya pula, "Jika begitu, siapakah ayahmu dan siapa
gurumu? Dapatkah memberi tahu."
"Haha, jangan kira aku
bisa kau tipu," sahut si gadis dengan tertawa. "Kalau kukatakan siapa
ayahku, tentu kau tahu aku she apa dan mudahlah menyelidiki namaku yang mulia.
Tentang guruku ialah ibuku, nama ibuku lebih-lebih tak boleh kuberi tahukan
pada orang luar."
Diam-diam Co Cu-bok
mengingat-ingat siapakah gerangan tokoh persilatan di Hunlam yang suka piara
ular. Tapi seketika ia pun tak ingat, sebab daerah Hunlam yang terkenal banyak
pegunungan dan hutan belukar, di mana-mana banyak terdapat ular, begitu pula
orang yang piara ular.
Segera Be Ngo-tek tanya
Leng-siau-cu, "Leng-toheng, tadi kau sebut 'Uh-hiat-su-leng' segala,
apakah itu artinya?"
"Apa? Ah, kapan aku
berkata demikian? Entahlah aku tidak tahu," sahut Leng-siau-cu.
Sebagai seorang kawakan
Kangouw, maka tahulah Be Ngo-tek pasti Leng-siau-cu sangat jeri terhadap
'Uhhiat-su-leng' yang disebutnya itu, sudah terang tadi tercetus dari mulutnya
istilah itu, tapi kini tidak mengaku, tentu ada udang dibalik batu. Maka ia pun
tidak tanya lebih jauh.
Dalam pada itu Co Cu-bok
berkata pula terhadap si gadis, "Jika nona tidak sudi memberi tahu, ya
sudahlah. Silakan turun saja untuk berunding, Sin-long-pang melarang setiap
orang turun gunung, tentu kau pun akan dibunuh mereka."
"Hah, tidak nanti mereka
berani membunuhku," sahut si gadis tertawa, "mereka hanya membunuh
orang Buliang-kiam. Justru ketika mendengar berita itu sengaja kudatang kemari
untuk menonton pembunuhan. Hai, kakek jenggot, ilmu pedang kalian lumayan juga,
tapi tidak bisa menggunakan racun, pasti bukan tandingan Sin-long-pang!"
Apa yang dikatakan si gadis
itu tepat mengenai titik kelemahan golongan "Bu-liang-kiam." Kalau
saling gebrak dengan kepandaian sejati, Kungfu Tang-cong dan Se-cong dari
Bu-liang-kiam, serta delapan jago
terkemuka yang diundang datang
sebagai juri itu, betapa pun takkan gentar terhadap Sin-long-pang, tapi kalau
bicara tentang menggunakan racun dan menawarkannya, semuanya memang tidak
becus.
Diam-diam Co Cu-bok mendongkol
mendengar ucapan si gadis bahwa kedatangannya itu ingin menonton pembunuhan,
seakan-akan makin banyak orang Bu-liang-kiam yang mati terbunuh, akan membuat
hatinya semakin senang.
Maka ia menjengek sekali, lalu
bertanya pula, "Berita apakah yang didengar nona di tengah jalan?"
Sebagai seorang ketua suatu
aliran persilatan terkemuka, dia sudah biasa memerintah, maka ucapannya itu
seakan-akan mengharuskan si gadis lekas menjawabnya.
Tak terduga, tiba-tiba dara
cilik itu berkata, "Eh, kau suka makan kuaci tidak?"
Keruan Co Cu-bok semakin panas
hatinya, coba kalau tidak lagi menghadapi musuh besar di luar sana, tentu sejak
tadi ia sudah memberi hajaran pada anak dara itu, sedapatnya ia menahan gusar,
sahutnya, "Tidak suka!"
"Kuaci apakah itu?"
mendadak Toan Ki menimbrung. "Apakah digoreng dengan bawang? Atau gorengan
Ngohiang? Atau bumbu vanili? Tampaknya enak juga."
"Aneh, masa begitu banyak
juga cara menggoreng kuaci?" sahut si gadis. "Aku tidak tahu kuaci
ini digoreng dengan bumbu apa. Yang terang, ibuku menggoreng kuaci ini dengan
empedu ular. Kalau sering makan akan membikin mata terang dan otak tajam. Kau
mau mencicipi?"
Habis berkata, terus saja ia
meraup segenggam dan ditaruh di tangan Toan Ki.
Mendengar kuaci gorengan
empedu ular, rasa hati Toan Ki menjadi mual.
"Kalau tidak biasa,
memang rasanya sedikit pahit," ujar si gadis lagi. "Padahal enak dan
gurih sekali."
Merasa tidak enak untuk
menolak maksud baik si gadis, Toan Ki coba-coba menyisil sebiji kuaci itu,
begitu menempel bibir, rasanya memang sedikit pahit, tapi sesudah disisil dan
dikunyah, eh, rasanya benar gurih dan lezat, berbau harum pula. Terus saja ia
menyisil kuaci itu tanpa berhenti.
Kulit kuaci satu per satu ia
taruh di atas belandar, sebaliknya dara cilik itu tidak peduli, ia semburkan
kulit kuaci sekenanya, keruan kulit kuaci itu beterbangan di atas kepala para
jago silat itu hingga mereka sibuk menghindar sambil berkerut kening.
Maka Co Cu-bok bertanya lagi,
"Berita apakah yang didengar nona di tengah jalan? Jika sudi memberi tahu,
Cayhe pasti sangat berterima kasih."
"Kudengar orang
Sin-long-pang bicara tentang 'Bu-liang-giok-bik' segala. Permainan macam apakah
itu?" kata si gadis.
Co Cu-bok terkesiap mendengar
itu, segera ia menjawab, "Bu-liang-giok-bik? Apakah maksudnya ada sesuatu
Giok-bik (batu jade mestika) di Bu-liang-san sini? Hal ini tidak pernah
kudengar. Apakah engkau pernah mendengarnya, Siang-jing Sumoay?"
Belum lagi Siang-jing
menjawab, cepat si gadis memotong, "Sudah tentu ia pun tidak pernah
mendengar! Hm, tak perlu kalian main sandiwara. Kalau tidak mau bicara, terus
terang saja bilang tidak. Huh, siapa yang ingin tahu?"
Co Cu-bok serbarunyam,
diam-diam ia mengakui kelihaian dara cilik itu. Segera ia berkata pula,
"Ah, ingatlah aku sekarang! Apa yang dimaksudkan Sin-long-pang itu mungkin
adalah Keng-bin-ciok (batu bermuka cermin) yang terdapat di puncak tertinggi
dari Bu-liang-san ini. Batu itu halus dan licin bagai kaca, maka orang
mengatakannya sebagai batu mestika. Padahal hanya sepotong batu biasa yang
putih dan licin saja."
"Jika begitu, kenapa tadi
tidak kau katakan terus terang?" ujar si gadis. "Lalu cara bagaimana
kalian ikat permusuhan dengan Sin-long-pang? Sebab apa mereka hendak membasmi
Bu-liang-kiam kalian hingga ayam dan anjing pun tak terkecuali?"
Sungguh konyol, pikir Co
Cu-bok. Sebagai tuan rumah, masakah dia yang ditanyai seorang gadis cilik bagai
terdakwa di pengadilan saja. Tapi karena ingin tahu berita apa yang didengar
orang di tengah jalan, mau tak mau ia harus menjawab lebih dulu. Maka katanya,
"Harap nona turun dahulu, nanti kuterangkan dengan jelas."
"Menerangkan dengan jelas
kukira tidak perlu," sahut si gadis sambil kedua kakinya membuai ke depan
dan ke belakang, "toh apa yang kau katakan meski ada yang benar, tapi juga
banyak yang dusta, paling-paling aku hanya percaya tiga bagian saja. Maka
bolehlah kau bicara sesukamu."
"Begini," tutur Co
Cu-bok kewalahan, "tahun yang lalu, Sin-long-pang kutolak cari bahan obat
di belakang gunung kami ini, tapi diam-diam mereka datang mencuri dan dipergoki
oleh Suteku Yong Goan-kui bersama beberapa anak muridku. Ketika ditegur, mereka
menjawab, 'Di sini toh bukan istana raja atau taman kaisar, kenapa orang luar
dilarang kemari, memangnya Bu-liang-san sudah dikontrak oleh Bu-liang-kiam
kalian?' Karena percekcokan mulut itu, akhirnya saling gebrak, tanpa ampun
Yong-sute telah membunuh dua orang mereka. Waktu itu tiada seorang pun yang
tahu bahwa satu di antara korban itu adalah putra tunggal Sikongpangcu dari
Sin-long-pang. Maka permusuhan itu tak dapat dihindarkan lagi. Belakangan
terjadi saling tempur pula di tepi sungai Lanjong dan kedua pihak jatuh korban
beberapa jiwa."
"O, kiranya begitu,"
ujar si gadis. "Daun obat apakah yang mereka petik?"
"Itulah kurang
terang," sahut Cu-bok.
"Hm, apa benar kurang
terang?" jengek si gadis. "Bukankah bahan obat yang hendak mereka
petik itu adalah rumput Tulah. Maka mereka mengatakan akan membabat habis
rumput Tulah di Bu-liang-san ini sampai akarakarnya, sebatang pun takkan
ditinggalkan."
"Kiranya nona lebih jelas
daripadaku," kata Cu-bok.
Tiba-tiba gadis itu memegang
lengan kanan Toan Ki sambil berkata, "Marilah kita turun!"
Berbareng ia melompat ke
bawah.
Keruan Toan Ki menjerit kaget,
namun tubuhnya sudah terapung di udara. Syukurlah gadis itu dapat membawanya ke
tanah dengan enteng tanpa kurang apa pun sembari tetap memegangi lengan
kanannya. Kata gadis itu pula, "Marilah kita keluar sana, coba lihat berapa
banyak orang Sin-long-pang yang datang."
"Nanti dulu," cepat
Co Cu-bok melangkah maju, "apa yang kutanya tadi, nona kan belum
menjawab?"
"Buat apa kuberi tahukan
padamu? Pula aku kan tidak berjanji akan menjelaskan?" sahut si gadis.
Cu-bok pikir memang benar
orang tidak pernah berjanji akan menjawab pertanyaannya tadi. Tapi mana boleh
orang keluar-masuk sesukanya di rumahnya ini? Walaupun saat itu Bu-liang-kiam
sedang menghadapi musuh di depan rumah, namun dengan watak Co Cu-bok yang
tinggi hati itu, tidak rela rasanya dipermainkan seorang nona cilik tanpa bisa
berbuat apa-apa. Maka begitu mengadang di depan si gadis dan Toan Ki, katanya
pula,
"Kalian keluar begini
saja, kalau terjadi apa-apa, Bu-liang-kiam kami tentu merasa tidak enak."
"Kenapa kau khawatir?"
sahut si gadis dengan tersenyum. "Aku toh bukan tamu undanganmu, kau pun
tidak kenal she dan namaku yang mulia. Jika aku terbunuh oleh orang
Sin-long-pang, ayah-bundaku juga takkan menyalahkan kalian."
Habis berkata, ia tarik Toan
Ki terus melangkah keluar.
"Berhenti dulu,
nona!" cepat Cu-bok merintangi, tahu-tahu tangannya sudah menghunus
pedang.
"Eh, apa kau ingin
berkelahi?" tanya si gadis.
"Cayhe ingin berkenalan
dengan ilmu silat nona agar kelak dapat dipertanggungjawabkan kalau berjumpa
dengan ayah-ibumu," kata Cu-bok sambil melintangkan pedang.
"Wah, kakek jenggot ini
akan membunuh aku, bagaimana baiknya menurut pendapatmu?" tanya si gadis
pada Toan Ki.
"Terserah padamu,"
sahut Toan Ki sembari mengipas.
"Apabila aku terbunuh,
lantas bagaimana baiknya?"
"Ada rezeki kita rasakan
bersama, ada malang kita tanggung berbareng. Kuaci kita makan bersama, pedang
kita terima serentak!"
"Bagus, ucapanmu ini
sangat tegas," ujar si gadis. "Engkau sangat baik, tidak percuma
perkenalan kita ini. Marilah pergi!"
Segera ia tarik Toan Ki
keluar, terhadap senjata Co Cu-bok yang kemilauan itu seakan-akan tak
dihiraukannya.
Tanpa bicara lagi Cu-bok
geraki pedang terus menusuk bahu kiri si gadis. Ia tidak bermaksud melukai
orang, tujuannya cuma untuk merintangi kepergian kedua muda-mudi itu.
Mendadak tangan si gadis
menarik pinggang, tahu-tahu seutas tali hijau menyambar ke pergelangan Co
Cubok.
Dalam kagetnya cepat Cu-bok
menarik kembali tangannya, tak terduga tali hijau itu adalah benda hidup,
datangnya juga cepat luar biasa, tangan Cu-bok terasa sakit kena digigit sekali
oleh Jing-leng-cu. "Trang", pedang jatuh ke lantai.
Habis menggigit musuh, cepat
Jing-leng-cu merayap ke tanah, beberapa kali mengesot, pedang yang jatuh itu
telah dililitnya, terdengarlah suara "pletak" beberapa kali, pedang
panjang itu patah menjadi beberapa bagian.
Ternyata Jing-leng-cu itu
adalah semacam ular aneh yang sangat lihai, kulitnya keras melebihi baja,
ditambah lagi dalam asuhan ayah-bunda si gadis dalam waktu panjang, maka
berubahlah semacam senjata hidup yang sangat hebat.
Kalau bicara tentang ilmu
silat sejati, terang si gadis yang berusia kira-kira 16-17 tahun itu bukan
tandingan Co Cu-bok. Tapi "senjata hidup" si gadis terlalu aneh dan
gesit, Co Cu-bok diserang dalam keadaan tidak berjagajaga hingga pedangnya
jatuh dan terlilit patah.
Biasanya Bu-liang-kiam
memandang pedang mereka sebagai jiwa sendiri, kalau senjata itu kena dipatahkan
atau direbut musuh, itu berarti ludeslah seluruh modal mereka. Meski gebrakan
tadi sangat di luar dugaan dan tak bisa dianggap kalah bertanding, tapi dengan
kedudukan Co Cu-bok sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan, ia tidak
boleh ngotot merintangi orang lagi. Ia memegang pergelangan tangan sendiri
dengan erat, khawatir racun ular menjalar ke dalam tubuh.
"Kalau ingin jiwa
selamat, lekas kau menggodok tiga mangkuk besar air rumput Tulah dan diminum
sekaligus, dalam waktu dua jam, harus merebah di ranjang, sedikit pun tidak
boleh bergerak," demikian kata si gadis. Dan sesudah keluar, dengan
tertawa ia berkata pada Toan Ki dengan perlahan, "Jing-leng-cu ini
sebenarnya tak berbisa, tapi kakek jenggot itu pasti ketakutan setengah mati.
Ilmu silat si tua itu sangat tinggi, kalau dia mengejar, aku tak mampu
melawannya."
Sungguh kagum sekali Toan Ki,
katanya, "Aku tidak bisa ilmu silat, makanya dianiaya orang!"
Sembari berkata, ia raba-raba
pipi sendiri yang masih sakit pedas. Lalu menyambung pula, "Apabila aku
pun mempunyai Jing-leng-cu seperti ini, tentu aku tidak takut lagi pada segala
macam manusia jahat. Nona baik, bilakah kau mau menangkapkan seekor juga
untukku?"
"Untuk menangkap seekor
lagi cukup sulit," sahut si gadis. "Sayang ular ini bukan milikku,
kalau punyaku, tentu akan kuhadiahkan padamu. Ini adalah milik Encekku (paman),
kubawanya buat main-main, setelah pulang nanti harus kukembalikan
padanya."
"Eh, she dan namamu yang
mulia tak mau kau katakan kepada kakek jenggot, tentunya tidak keberatan
diperkenalkan padaku, bukan?" tanya Toan Ki.
"She dan nama yang mulia
apa segala?" sahut si gadis dengan tertawa. "Aku she Ciong,
ayah-ibuku memanggil aku 'Ling-ji' (anak Ling). Marilah kita duduk di lereng
bukit situ, katakan, untuk apa kau datang ke Bu-liangsan sini?"
Kedua muda-mudi itu lalu
menuju ke lereng bukit di sebelah barat-laut sana, sembari berjalan Toan Ki
sambil berkata, "Aku mengeluyur sendiri dari rumah dan terluntang-lantung
ke mana-mana. Ketika tiba di kota Bohni, aku kehabisan sangu, aku datang ke
rumah orang yang bernama Be Ngo-tek itu untuk makan gratis. Belakangan kudengar
dia hendak ke Bu-liang-san sini, karena iseng, aku lantas minta ikut
kemari."
Ciong Ling manggut-manggut,
tanyanya pula, "Sebab apa kau larikan diri dari rumah?"
"Ayah-ibu suruh aku
belajar silat, aku tidak mau. Mereka mendesak terus, aku lantas minggat."
Dengan mata terbelalak heran,
Ciong Ling mengamat-amati Toan Ki, katanya kemudian, "Sebab apa engkau
tidak mau belajar silat? Takut menderita?"
"Masa aku takut
menderita?" sahut Toan Ki. "Telah kupikir pergi-datang dan tetap
tidak paham. Kemudian bertengkar pula dengan Empekku. Aku dipersalahkan oleh
ayah dan disuruh minta maaf pada Empek, tapi aku enggan karena merasa tak
salah, lantaran itu ibu bertengkar juga dengan ayah ...."
"Ibumu tentu simpati pada
pihakmu, bukan?" tanya Ciong Ling.
"Ya," sahut Toan Ki.
Ciong Ling menghela napas,
katanya, "Ibuku juga begitu terhadapku."
Ia termenung sejenak memandang
ke arah barat, lalu tanya lagi, "Soal apa yang kau pikirkan dan merasa
tidak paham?"
"Sejak kecil aku sudah
ditahbiskan ke dalam agama Buddha," tutur Toan Ki. "Ayah telah
mengundang seorang guru memberi pelajaran membaca Su-si-ngo-keng (empat buku
dan lima kitab) dan menggubah syair. Mengundang pula seorang paderi saleh
mengajar agama padaku. Selama belasan tahun yang kupelajari melulu hal larangan
membunuh, pantang gusar, harus welas asih dan macam-macam lagi. Ketika
tiba-tiba ayah suruh aku belajar silat, belajar cara memukul dan membunuh
orang, tentu saja aku merasa enggan. Ayah menuduh aku membangkang perintah
orang tua, Empek berdebat sehari semalam denganku, dan aku tetap tidak
tunduk."
"Lantas Empekmu marah-marah
dan tinggal pergi, bukan?"
"Empekku tidak
marah-marah dan tinggal pergi, tapi jarinya menutuk dua kali di badanku,
seketika badanku terasa seakan-akan digigit beratus ribu semut serta serupa
beribu lintah lagi mengisap darahku. Kata Empek, 'Enak tidak perasaan begini?
Aku adalah pamanmu, sebentar tentu akan lepaskan Hiat-to yang kututuk, tapi
kalau musuh yang menutukmu, tentu kau akan dibikin mati tidak hidup pun tidak.
Dan kau boleh coba membunuh diri.' Sudah tentu aku tak dapat bunuh diri, pula aku
takkan bunuh diri, cukup hidup senang, buat apa bunuh diri?"
Semula Ciong Ling
termangu-mangu mendengarkan, tiba-tiba ia berseru keras, "Hah, Empekmu
mahir ilmu Tiam-hiat? Bukankah ia menggunakan sebuah jari dan menutuk sesuatu
tempat di tubuhmu, dan engkau lantas tak bisa berkutik?"
"Benar, kenapa mesti
heran?" ujar Toan Ki.
Kejut dan heran meliputi
perasaan Ciong Ling, sahutnya, "Kau bilang kepandaian itu tidak
mengherankan? Padahal setiap orang Bu-lim, asal mendapatkan ajaran sedikit ilmu
Tiam-hiat, biarkan kau suruh dia menjura seribu kali juga dia mau. Tapi kau
sendiri justru tidak mau belajar, ini sungguh aneh luar biasa."
"Kulihat ilmu Tiam-hiat
itu pun tiada sesuatu yang hebat," sahut Toan Ki.
Ciong Ling menghela napas,
katanya, "Kata-katamu ini jangan lagi kau ucapkan, lebih-lebih jangan
sampai diketahui oleh orang lain."
"Sebab apa?" tanya
Toan Ki terheran-heran.
"Kalau kau tidak mahir
ilmu silat, tentu banyak urusan Kangouw yang belum kau ketahui," sahut si
gadis. "Ilmu Tiam-hiat keluarga Toan kalian tiada bandingannya di kolong
langit ini, yaitu disebut 'It-yang-ci'. Setiap orang persilatan pasti mengiler
bila mendengar nama ilmu itu, mungkin tak bisa tidur sebulan-dua bulan
mengaguminya. Apabila ada yang tahu ayah dan pamanmu mahir ilmu itu, boleh jadi
ada orang jahat akan menculik kau dan minta ayahmu atau pamanmu menukar dirimu
dengan kitab pelajaran It-yang-ci itu. Jika terjadi demikian, lantas
bagaimana?"
"Jika benar terjadi,
menurut watak pamanku yang keras itu, pasti dia akan melabrak si penculik
itu."
"Makanya," kata
Ciong Ling, "berkelahi tanpa tujuan dengan keluarga Toan kalian tentu
orang tidak berani. Tetapi untuk kitab pelajaran It-yang-ci, segala apa mungkin
terjadi. Apalagi kalau kau jatuh di tangan orang, urusan tentu akan sulit
diselesaikan. Maka begini saja baiknya, selanjutnya kau jangan mengaku she
Toan."
"Aku tidak she Toan, lalu
she apa?" ujar Toan Ki. "Padahal orang she Toan beratus ribu
banyaknya di daerah Hunlam ini, belum tentu setiap orangnya mahir ilmu
Tiam-hiat."
"Sementara ini boleh kau
pakai she sama dengan aku," ujar si gadis.
"Baik juga," sahut
Toan Ki tertawa. "Dan engkau harus panggil aku Toako. Berapa umurmu?"
"Enam belas," sahut
Ciong Ling. "Dan kau?"
"Aku lebih tua tiga tahun
daripadamu," sahut Toan Ki.
Ciong Ling memungut sehelai
daun kering, sambil merobek daun itu sedikit demi sedikit, tiba-tiba ia goyang
kepala.
"Apa yang kau
pikirkan?" tanya si pemuda.
"Aku tetap tak percaya
bahwa engkau tidak mau belajar It-yang-ci," sahut Ciong Ling. "Kau
sengaja dusta, bukan?"
Toan Ki tertawa, katanya,
"Kau pandang It-yang-ci sedemikian hebatnya, memangnya ilmu itu bisa bikin
perut
menjadi kenyang? Aku justru
anggap Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu milikmu ini jauh lebih berguna."
"Kuharap mudah-mudahan
aku bisa menukar beberapa ular ini dengan ilmu kepandaian keluargamu itu."
ujar si gadis. "Cuma sayang, engkau tak bisa It-yang-ci, sebaliknya
ular-ular ini pun bukan punyaku."
"Gadis sekecil dirimu
ini, kenapa yang kau pikir melulu urusan berkelahi dan membunuh orang
saja?"
"Kau benar-benar tidak
tahu atau sengaja berlagak dungu?"
"Apa maksudmu?"
tanya Toan Ki bingung.
"Lihatlah itu!" kata
si gadis sambil menunjuk ke arah timur.
Menurut arah yang ditunjuk,
Toan Ki melihat di pinggang gunung arah timur itu mengepul belasan gumpal asap
hijau, ia tidak paham apa maksud si gadis.
"Coba, meski kau tidak
ingin memukul atau membunuh orang, tapi orang lain justru akan menghajar dan
membunuhmu," kata Ciong Ling pula, "lalu apa kau rela dibinasakan
orang? Asap hijau itu adalah tanda orang Sin-long-pang lagi menggodok racun
untuk melayani Bu-liang-kiam nanti. Kuharap semoga diam-diam kita dapat
mengeluyur pergi dari sini agar tidak ikut tersangkut."
Toan Ki kebas-kebas kipasnya
dan merasa kurang tepat ucapan si gadis, katanya, "Cara perkelahian orang
Kangouw seperti ini makin lama makin tidak pantas. Orang Bu-liang-kiam telah
membunuh putra Sikongpangcu dari Sin-long-pang, tapi kini itu Yong Goan-kui
juga sudah dibinasakan mereka. Bahkan ditambah dengan Kiong Jin-kiat yang
menempeleng aku itu. Balas-membalas, seharusnya sudah selesai. Seumpama masih
ada sesuatu yang tidak adil, seharusnya melapor pada pembesar negeri dan minta
diberi keputusan secara bijaksana, mana boleh bertindak dan menjadi hakim
sendiri sesukanya? Memangnya negeri Tayli kita ini dianggap sudah tidak punya
undang-undang lagi?"
"Ck, ck, ck!" mulut
Ciong Ling berkecek-kecek, "mendengar ucapanmu ini seakan-akan kau ini
tuan besar atau bangsawan yang berkuasa. Bagi rakyat jelata kita justru tidak
urus segala tetek bengek itu."
Ia menengadah, lalu tuding ke
arah barat-daya dan berkata pula, "Sebentar kalau hari sudah gelap
diam-diam kita mengeluyur pergi dari situ, tentu orang Sin-long-pang takkan
pergoki kita."
"Tidak!" seru Toan
Ki mendadak. "Aku harus menemui Pangcu mereka untuk memberi petuah dan
ceramah padanya, tidak boleh mereka sembarangan membunuh orang."
Ciong Ling merasa kasihan pada
pemuda yang polos ketolol-tololan itu, katanya, "Toan-heng, engkau ini
benar-benar tidak kenal tebalnya bumi dan tingginya langit. Pangcu dari
Sin-long-pang itu, Sikong Hian, orangnya kejam dan ganas, suka main racun, berbeda
daripada orang Bu-liang-kiam. Maka lebih baik kita jangan cari perkara, lekas
pergi dari sini saja."
"Tidak, urusan ini aku
harus ikut campur, jika kau takut, bolehlah kau tunggu aku di sini,"
sembari berkata, terus saja Toan Ki melangkah ke arah timur.
Ciong Ling memandangi
kepergian pemuda itu, setelah beberapa tombak jauhnya, mendadak ia memelesat
maju mengejar, ia jambret pundak Toan Ki, menyusul kaki menjegal, pemuda itu
disengkelit ke depan.
Waktu tiba-tiba mendengar
suara tindakan orang dari belakang, selagi Toan Ki hendak menoleh, tahu-tahu
pundak dicengkeram orang, bahkan kaki keserimpet dan tubuh terus terjerungup
terbanting ke depan. Keruan hidungnya mencium tanah dan bocor, keluar kecapnya.
Dengan meringis Toan Ki
merangkak bangun, dan demi mengetahui orang yang menghajarnya itu adalah Ciong
Ling, ia menjadi gusar, katanya, "Kenapa kau begini nakal, apa tidak sakit
orang kau banting?"
"Aku hanya ingin mencoba
lagi apakah engkau hanya pura-pura atau sungguh-sungguh tak mahir ilmu
silat," sahut Ciong Ling. "Maksudku adalah demi kebaikanmu."
Ketika Toan Ki mengusap
hidungnya, tangannya lantas berlepotan darah, bahkan darah terus menetes hingga
dadanya merah dan kuyup. Sebenarnya lukanya sangat enteng, tapi melihat sekian
banyak darah mengalir, terus saja ia berkaok-kaok, "Aduh, aduuuh!"
Ciong Ling menjadi rada
khawatir, cepat ia keluarkan saputangan hendak mengelap darah orang. Tapi Toan
Ki kadung mendongkol, tanpa pikir ia mendorong dan berkata, "Tidak perlu
kau ambil hatiku, aku tak mau gubris padamu lagi."
Karena tak mahir ilmu silat,
maka cara mendorong Toan Ki hanya sekenanya saja, siapa tahu justru menyentuh
dada si gadis. Keruan Ciong Ling kaget, tanpa pikir dan dengan sendirinya ia
pegang tangan si pemuda, sekali ditarik terus disengkelit dengan gaya judo,
kembali Toan Ki terbanting pula, batok kepala belakang terbentur batu, seketika
jatuh semaput.
Melihat pemuda itu menggeletak
tak berkutik, Ciong Ling membentaknya, "Ayo lekas bangun, aku ingin bicara
padamu!"
Tapi ia lantas gugup ketika
melihat Toan Ki tetap tak bergerak, ia berjongkok dan memeriksa, ia lihat kedua
mata anak muda itu mendelik, napasnya lemah, orangnya sudah kelengar.
Lekas-lekas ia memijat Jin-tiong-hiat bagian atas bibir serta mengurut dada si
pemuda.
Selang agak lama, perlahan
barulah Toan Ki siuman. Ia merasa dirinya bersandar di tempat yang empuk,
hidungnya mengendus bau wangi pula, ia membuka mata dan melihat sepasang
mata-bola Ciong Ling yang jeli bening itu lagi memandangnya dengan rasa
khawatir.
Melihat Toan Ki sudah siuman,
Ciong Ling menghela napas lega, "Ah, syukurlah engkau tidak mati."
Melihat dirinya bersandar di
pangkuan si gadis, tanpa merasa hati Toan Ki terguncang, tapi segera terasa
batok kepala belakang masih kesakitan, kembali ia berkaok-kaok sakit.
Ciong Ling terkejut oleh
kelakuan Toan Ki itu, "Kenapa?" tanyanya.
"Aku ... aku
kesakitan!" sahut Toan Ki.
"Hanya sakit, kan tidak
mati, kenapa berkaok-kaok?"
"Jika mati, masakah bisa
berkaok-kaok?"
Ciong Ling mengikik tawa, ia
merasa salah tanya. Ia coba angkat kepala Toan Ki, ternyata di bagian belakang
benjol sebesar telur ayam, cuma tidak mengeluarkan darah, namun sakitnya tentu
tidak kepalang. Maka katanya setengah mengomel, "Habis, siapa suruh kau
berlaku rendah. Apabila orang lain, mungkin kontan sudah kubunuh, tapi kau
hanya terbanting saja, masih murah bagimu."
Toan Ki bangun duduk, tanyanya
dengan heran, "Aku berbuat ren ... rendah bagaimana? Kapan terjadi? Inilah
fitnah belaka!"
Dasar perasaan gadis remaja
seperti Ciong Ling yang baru mulai bersemi, terhadap urusan laki-perempuan baru
taraf paham tak-paham, ia menjadi jengah oleh sangkalan Toan Ki itu, katanya
dengan wajah merah, "Tak dapat kukatakan, pendek kata kau yang salah, siapa
suruh kau mendorong ... mendorong sini."
Baru sekarang Toan Ki paham
duduknya perkara, ia merasa kikuk, ingin dia jelaskan, tapi sukar
mengucapkannya.
Maka Ciong Ling berkata lagi,
"Syukur akhirnya kau siuman, bikin aku khawatir saja."
"Tadi di Kiam-oh-kiong,
kalau kau tidak menolong aku, pasti aku akan dipersen dua kali tempelengan
lebih banyak. Kini kau membanting dua kali diriku, biarlah kuanggap kelop,
siapa pun tidak utang. Agaknya memang sudah suratan nasibku, tak bisa terhindar
dari malapetaka ini."
"Demikian ucapanmu, jadi
kau gusar padaku?" tanya si gadis.
"Memangnya orang sudah
dipukul harus memuji dan berterima kasih pula padamu?" sahut Toan Ki.
"Ya, sudahlah,
selanjutnya aku takkan pukul kau lagi," kata Ciong Ling dengan menyesal
sambil memegang tangan si pemuda. "Sekarang kau tidak marah lagi,
bukan?"
"Tidak, kecuali kalau aku
pun balas memukulmu dua kali," ujar Toan Ki.
Ciong Ling tidak lantas
menjawab, ia merasa enggan dipukul orang. Tapi demi tampak pemuda itu hendak
tinggal pergi lagi dengan marah, cepat ia tegakkan leher dan berkata,
"Baiklah, boleh kau pukul aku dua kali. Tapi ... tapi jangan keras-keras,
ya!"
"Tidak bisa," kata
Toan Ki. "Kalau tidak keras, mana bisa dianggap membalas dendam. Maka
pukulanku sudah pasti sangat keras. Jika kau tidak tahan, lebih baik
jangan."
Ciong Ling menghela napas, ia
pejamkan mata dan berkata lirih, "Baiklah! Tapi ... tapi sesudah memukul,
engkau jangan marah lagi!"
Namun sesudah ditunggu dan
tunggu lagi, tangan Toan Ki masih belum juga terasa memukulnya. Waktu
membuka mata, ia lihat pemuda
itu lagi memandang kesima padanya dengan wajah tertawa bukan-tertawa padanya.
Ia menjadi heran, tanyanya, "He, kenapa kau tidak memukul?"
Tiba-tiba Toan Ki menyelentik
perlahan dua kali di pipi Ciong Ling, katanya, "Hanya dua kali selentikan
saja dan impas."
Ciong Ling tertawa manis,
serunya, "Memang aku sudah tahu engkau orang baik"
Untuk sekian lamanya Toan Ki
kesengsem menghadapi gadis jelita yang hanya belasan senti di depannya itu,
makin dipandang makin cantik, bau harum gadis sayup-sayup menyusup hidungnya,
berat nian untuk meninggalkannya pergi. Akhirnya ia berkata, "Sudahlah, sekarang
sakit hatiku sudah terbalas, kini aku hendak pergi mencari Sikong Hian dari
Sin-long-pang itu."
Jilid 02
"Jangan bodoh!"
cepat Ciong Ling mencegah. "Urusan orang Kangouw sedikit pun engkau tidak
paham, kalau sampai bikin sirik orang, aku takkan mampu menolongmu."
"Jangan khawatir
bagiku" sahut Toan Ki. "Kau tunggu saja di sini, sebentar aku akan
kembali."
Habis berkata, dengan langkah
lebar ia terus bertindak ke arah asap tebal sana.
Ciong Ling berteriak
mencegahnya lagi, dan Toan Ki tetap tidak menurut.
Setelah tertegun sejenak,
mendadak gadis itu berseru, "Baiklah, engkau pernah menyatakan 'kuaci kita
makan bersama, pedang kita terima serentak', biar kuikut bersamamu!"
Segera ia berlari menyusul
Toan Ki dan berjalan berjajar dengan dia.
Tidak lama, dari depan
tertampak memapak dua orang lelaki berbaju kuning. Seorang di antaranya yang
lebih tua lantas membentak, "Siapa kalian? Mau apa datang ke sini?"
Dari jauh Toan Ki dapat
melihat kedua orang itu sama memanggul sebuah kantong obat dan membawa golok
lebar-pendek, segera sahutnya, "Cayhe bernama Toan Ki, ada urusan penting
mohon bertemu dengan Sikongpangcu kalian."
"Urusan apa?" tanya
lelaki tua tadi.
"Setelah bertemu dengan
Pangcu kalian, dengan sendirinya akan kututurkan," kata Toan Ki.
"Saudara tergolong aliran
mana, siapa gerangan gurumu?" tanya pula lelaki tua itu.
"Aku tidak termasuk
sesuatu golongan dan aliran." sahut Toan Ki. "Guruku bernama Bing
Sut-seng, beliau
khusus mempelajari
Koh-bun-siang-si, dalam hal ilmu Kong-yang, dia juga mahir."
Kiranya guru yang dia
maksudkan adalah guru yang mengajarkan dia membaca dan menulis. Tapi bagi
pendengaran lelaki tua itu, istilah "Koh-bun-siang-si" (sastra kuno
dan kitab baru) dan "Kong Yang" (cerita tentang kambing jantan)
disangkanya dua macam ilmu silat yang sakti. Apalagi melihat Toan Ki
mengipaskipas dengan sikap dingin, seakan-akan seorang yang memiliki ilmu
kosen. Maka ia tidak berani sembrono lagi, walaupun tidak pernah mendengar ada
seorang jago silat bernama Bing Sut-seng, tapi orang menegaskan mahir dalam
macam-macam ilmu, tentunya bukan membual belaka. Cepat ia berkata, "Jika
demikian, harap Toan-siauhiap tunggu sebentar, akan kulaporkan Pangcu."
Habis itu, buru-buru ia
tinggal pergi ke balik lereng gunung sana.
"Kau bohongi dia tentang
Kong-yang dan Bo-yang (kambing jantan dan kambing betina) segala, ilmu macam
apakah itu?" tanya Ciong Ling. "Sebentar jika Sikong Hian hendak
mengujimu, mungkin sukar bagimu menjawabnya."
"Seluruh isi
Kong-yang-toan (kitab cerita tentang kambing jantan) sudah kubaca hingga hafal,
kalau Sikong Hian mengujiku, tidak nanti aku kewalahan," sahut Toan Ki.
Ciong Ling terbelalak bingung
oleh jawaban yang tak keruan juntrungannya. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa
Kong-yang-toan itu adalah nama kitab sastra karya Kong-yang Ko di zaman
Chun-chiu.
Sementara itu tertampak lelaki
tua tadi telah kembali dengan muka masam, katanya pada Toan Ki, "Tadi kau
sembarangan mengoceh apa, sekarang Pangcu memanggilmu."
Melihat gelagatnya, agaknya
dia telah didamprat oleh sang Pangcu, Sikong Hian.
Toan Ki mengangguk dan ikut di
belakang orang.
"Mari kutunjukkan
jalan," kata lelaki tua itu sembari menarik tangan Toan Ki. Setelah
berjalan beberapa tindak, perlahan ia kerahkan tenaga di tangan.
Keruan Toan Ki kesakitan,
sambil merintih tertahan ia berkaok, "Aduh! Perlahan sedikit!"
Akan tetapi genggaman lelaki
tua itu semakin kencang hingga mirip tanggam kuatnya. Saking tak tahan,
akhirnya Toan Ki menjerit kesakitan.
Kiranya ketika lelaki itu
menyampaikan tentang "Koh-bun-siang-si" dan
"Kong-yang-toan" yang dikatakan Toan Ki tadi, ia telah didamprat sang
Pangcu. Karena mendongkol, ia sengaja hendak mengukur ilmu silat Toan Ki. Di
luar dugaan, baru sedikit meremas, pemuda itu sudah gembar-gembor kesakitan.
Segera ia bermaksud meremas
patah beberapa tulang jari orang, tapi mendadak pergelangan tangan sendiri
terasa "nyes" dingin seperti dibelit oleh sesuatu. "Krek",
tahu-tahu tulang pergelangan tangannya patah.
Saking sakitnya, lelaki tua
itu cepat memeriksa tangan sendiri, tapi tidak tampak sesuatu benda apa pun.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa diam-diam Ciong Ling yang telah membantu Toan
Ki dengan melepaskan Jing-lengcu untuk mematahkan tulang tangannya, sebaliknya
ia menyangka dari tangan Toan Ki yang telah timbul semacam tenaga getaran
lihai. Dalam dongkolnya, timbul juga rasa jerinya, ia pikir Lwekang orang ini
sedemikian hebatnya, kalau dirinya tidak kenal gelagat, boleh jadi akan lebih
celaka lagi nanti.
Meski menanggung rasa sakit
luar biasa hingga keringat dingin menetes dari jidatnya sebesar kedelai, namun
lelaki itu masih berlagak kuat, sedikit pun tidak merintih sakit, tetap
bertindak dengan langkah lebar seakanakan tidak terjadi sesuatu.
"Engkau ini sungguh orang
kasar," Toan Ki mengomel, "orang berjabatan tangan kan tidak perlu
menggunakan tenaga sebesar itu, kukira engkau tidak bermaksud baik."
Lelaki itu tidak
menggubrisnya, ia percepat langkahnya dan membelok ke balik lereng sana.
Waktu Ciong Ling memandang, ia
lihat di tengah gundukan batu padas sana berduduk lebih 20 orang. Ia sadar
telah masuk ke sarang harimau, maka ia pun cepat menyusul rapat di belakang
Toan Ki.
Setelah dekat, Toan Ki melihat
di tengah gerombolan orang itu berduduk seorang kakek kurus kecil di atas batu
padas yang paling tinggi, berjenggot macam kambing tua, sikapnya sangat angkuh.
Pantas lelaki tadi didamprat ketika melaporkan ucapan Toan Ki tentang
"cerita si kambing jantan" segala, sebab ternyata kakek kurus kecil
itu berjenggot ala kambing.
Toan Ki tahu pasti kakek
inilah Pangcu Sin-long-pang, Sikong Hian. Segera ia memberi hormat dan berkata,
"Sikong-pangcu, terimalah hormatku, Toan Ki."
Sikong Hian hanya sedikit
membungkukkan badan, tapi tidak berbangkit, tanyanya, "Ada urusan apa
saudara datang ke sini?"
"Kabarnya kalian ada
permusuhan dengan Bu-liang-kiam," tutur Toan Ki. "Cayhe sendiri hari
ini telah menyaksikan kematian dua orang Bu-liang-kiam secara mengenaskan,
karena tidak tega, maka sengaja datang kemari untuk memberi jasa baik.
Hendaklah diketahui bahwa permusuhan lebih baik dilenyapkan daripada
diperpanjang. Apalagi bunuh-membunuh dan berkelahi juga melanggar undang-undang
negara, kalau diketahui pembesar setempat, pasti sama-sama tidak enak. Maka
sudilah Sikong-pangcu membatalkan maksud kurang baik ini sebelum terlambat dan
lekas-lekas pergi dari sini, jangan mencari perkara lagi kepada Bu-liang-kiam."
Dengan sikap dingin dan tak
acuh Sikong Hian mendengarkan cerita Toan Ki itu tanpa komentar, ia hanya
meliriknya.
Maka Toan Ki berkata lagi,
"Apa yang kukatakan ini timbul dari maksud baikku, harap Pangcu suka
pikirkan dengan baik."
Masih dengan sikap aneh Sikong
Hian memandangi pemuda itu, mendadak ia terbahak-bahak, katanya, "Siapakah
kau bocah ini berani bergurau dengan tuanmu? Siapa yang suruh kau ke
sini?"
"Siapa yang suruh aku ke
sini?" Toan Ki menegas. "Sudah tentu aku sendiri!"
"Hm," jengek Sikong
Hian mendongkol. "Selama berpuluh tahun aku berkelana di Kangouw dan belum
pernah kulihat seorang bocah bernyali sebesar kau ini hingga berani main gila
padaku. A Toh, tangkap kedua bocah ini."
Segera seorang laki-laki tegap
mengiakan dan melompat maju hendak mencengkeram lengan Toan Ki.
"Eeh, jangan!" seru
Ciong Ling cepat. "Sikong-pangcu. Toan-siangkong ini menasihati engkau
dengan maksud baik, jika tidak mau menurut boleh terserah, kenapa main
kekerasan?"
Lalu ia berpaling pada Toan Ki
dan berkata, "Toan-heng, jika Sin-long-pang tidak mau mendengar nasihatmu,
kita juga tidak perlu ikut campur urusan orang lain. Marilah pergi!"
Akan tetapi lelaki tegap tadi
sudah memegangi kedua tangan Toan Ki terus ditelikung ke belakang sambil
menunggu perintah sang Pangcu lebih jauh. Keruan Toan Ki meringis kesakitan.
Maka Sikong Hian berkata pula
dengan dingin, "Hm, Sin-long-pang justru tidak suka orang lain ikut campur
urusannya, kalian berdua bocah ini anak siapa, masa boleh pergi datang sesukamu,
ha? Pasti di balik layar ada sesuatu yang mencurigakan. A Hong, tawan sekalian
anak perempuan itu!"
Kembali seorang laki-laki
kekar lain mengiakan terus hendak menangkap Ciong Ling.
Namun sedikit mengegos mundur,
Ciong Ling berkata pula, "Sikong-pangcu, jangan kira aku takut padamu.
Soalnya ayahku melarang aku bikin onar di luaran, maka aku tidak suka cari
perkara. Lekas suruh orangmu melepaskan Toan-heng itu, jangan kau paksa aku
turun tangan, akibatnya pasti tidak enak."
"Hahaha, anak perempuan
omong besar," Sikong Hian terbahak-bahak. "A Hong, lekas
kerjakan!"
Kembali lelaki bernama A Hong
mengiakan terus mencengkeram lengan Ciong Ling. Di luar dugaan,
sekonyong-konyong telapak tangan kiri si gadis memotong ke kuduk A Hong. Cepat
A Hong menunduk, namun celakalah dia, tahu-tahu kepalan kanan Ciong Ling
secepat kilat menggenjot dari bawah ke atas, "plok", janggutnya tepat
kena dipukul, tanpa ampun lagi tubuh A Hong segede kerbau itu mencelat dan
jatuh terjengkang serta tak bisa berkutik.
"Ehm, tampaknya anak
perempuan ini boleh juga," ujar Sikong Hian tawar, "tapi kalau hendak
main gila dengan Sin-long-pang, rasanya belum cukup memadai."
Segera ia mengedipi seorang
tua kurus tinggi di sampingnya.
Orang tua itu tinggi lencir
mirip galah bambu, tanpa suara tahu-tahu ia sudah berada di depan Ciong Ling.
Lucu juga tampaknya kedua
seteru itu, yang satu teramat tinggi, yang lain pendek, selisih kedua orang
hampir setengah badan.
Segera kakek itu ulur kesepuluh
jarinya yang mirip cakar burung terus mencengkeram pundak Ciong Ling.
Melihat serangan lawan cukup
lihai, cepat Ciong Ling berkelit ke samping, jari kakek itu menyambar lewat di
samping pipinya hingga terasa angin serangan itu sangat keras, diam-diam gadis
itu terperanjat, serunya cepat, "Sikong-pangcu, lekas kau perintahkan
orangmu berhenti. Bila tidak, jangan salahkan aku turun tangan keji, kelak
kalau aku diomeli ayah-ibu, kau pun tidak terlepas dari tanggung jawab."
Sedang Ciong Ling berkata,
sementara itu si kakek jangkung beruntun sudah menyerang tiga kali lagi, tapi
selalu dapat dihindarkan si gadis pada saat berbahaya.
"Tangkap dia!"
bentak Sikong Hian tanpa peduli teriakan Ciong Ling.
Segera si kakek jangkung
menyerang pula, tangan kanan pura-pura menghantam, tahu-tahu tangan kiri
mencengkeram lengan Ciong Ling.
Gadis itu menjerit kaget,
saking kesakitan hingga wajahnya pucat. Namun mendadak si gadis ayun tangan
kiri ke depan, tiba-tiba selarik sinar emas menyambar, kakek jangkung itu hanya
mendengus tertahan sekali terus melepaskan lengan Ciong Ling dan jatuh duduk di
tanah. Kiranya Kim-leng-cu secepat kilat telah menggigit sekali punggung tangan
lawan, lalu melompat kembali ke tangan Ciong Ling.
Lekas seorang laki-laki
setengah umur berjubah panjang di samping Sikong Hian membangunkan si kakek
jangkung, ia merasa sekujur badan sang kawan itu menggigil hebat, punggung
tangan tampak bersemu hitam dan menjalar ke bagian tubuh yang lain dengan
cepat.
Kembali Ciong Ling bersuit,
Kim-leng-cu melejit ke muka lelaki yang menawan Toan Ki. Cepat orang itu hendak
menangkis dengan tangan, tapi kebetulan bagi Kim-leng-cu, terus saja dipagutnya
tangan itu.
Ilmu silat lelaki itu jauh di
bawah si kakek jangkung, keruan ia lebih-lebih tak tahan, seketika ia meringkal
di lantai bagai cacing sambil merintih-rintih.
Segera Ciong Ling menarik Toan
Ki dan diajak pergi, bisiknya, "Kita sudah bikin onar, lekas lari!"
Orang-orang yang berada di
sekitar Sikong Hian itu adalah gembong-gembong Sin-long-pang semua, selama
hidup mereka berusaha mencari obat dan menjual jamu, maka segala macam ular
atau lebah berbisa pernah dilihatnya, tapi Kim-leng-cu yang bisa melayang pergi
datang secepat kilat dan berbisa jahat itu, tiada seorang pun di antara mereka
yang kenal jenis ular apakah itu.
Dalam kagetnya, tanpa merasa
Sikong Hian berseru, "He, apakah 'Uh-hiat-su-leng'? Lekas tangkap bocah
perempuan itu, jangan sampai lolos!"
Segera empat lelaki di
sampingnya melompat maju dan mengepung dari beberapa penjuru. Namun sekali
bersuit, Ciong Ling sudah lolos Jing-leng-cu yang melilit di pinggangnya itu,
sekali sabet, ia tahan dua musuh yang menubruk maju. Berbareng Kim-leng-cu telah
dilepaskan hingga berturut-turut keempat lelaki itu kena dipagutnya. Cukup
sekali gigit saja, setiap orang itu lantas terkapar, ada yang berkelejetan, ada
pula yang meringkal bagai cacing.
Melihat ular kecil itu terlalu
lihai, namun jago-jago Sin-long-pang itu tiada yang berani mundur di hadapan
sang Pangcu, kembali 7-8 orang memburu maju pula sambil membentak-bentak.
"Jika ingin selamat,
hendaklah jangan maju," seru Ciong Ling. "Siapa pun yang kena
tergigit Kim-leng-cu ini, tiada obat penolongnya."
Jago-jago Sin-long-pang itu
bersenjata semua, ada yang membawa golok, ada yang memakai cangkul pendek dan
lain-lain, mereka berharap dengan senjata itu dapat menahan serangan ular emas
lawan.
Namun ular kecil itu teramat
gesit, lebih cepat daripada segala macam senjata rahasia, setiap kali asal
senjata lawan menyerang, cukup sekali tolak ekornya di atas senjata lawan,
tahu-tahu ia sudah melejit ke depan dan dapat menggigit musuh. Maka dalam
sekejap saja, kembali beberapa orang roboh terjungkal pula.
Sikong Hian tak dapat tinggal
diam lagi, ia gulung lengan baju dan cepat mengeluarkan sebotol obat air, ia
tuang obat itu dan gosok-gosok telapak tangan dan lengannya, lalu melompat ke
depan Ciong Ling dan Toan Ki sambil membentak, "Berhenti!"
Sekonyong-konyong Kim-leng-cu
melejit lagi dari tangan Ciong Ling hendak menggigit batang hidung Sikong Hian.
Cepat Pangcu Sin-long-pang itu angkat tangannya ke atas dengan rada mengirik
sendiri, sebab ia tidak tahu apakah obat ular ciptaan sendiri itu manjur tidak
untuk menghadapi ular emas yang gesit dan lihai luar biasa itu, jika tidak
manjur, bukan saja nama baiknya selama ini akan hanyut, bahkan Sin-long-pang
sejak itu pun akan ludes.
Untung baginya, baru saja
Kim-leng-cu pentang mulut hendak pagut tangannya, mendadak binatang itu
menikung di atas udara, ekornya menutul telapak tangan Sikong Hian, terus
melompat kembali ke tangan Ciong Ling.
Girang Sikong Hian tak
terkira, terus saja tangan kirinya memukul, saking hebat angin pukulannya itu,
pula tak sempat berkelit, Ciong Ling tergetar sempoyongan, hampir saja
terjungkal. Bahkan angin pukulan itu masih terus menyambar ke belakang hingga
Toan Ki ikut tergetar dan roboh terjengkang.
Ciong Ling terkejut,
berulang-ulang ia bersuit mendesak Kim-leng-cu menyerang musuh.
Kembali ular emas itu
memelesat ke depan, namun obat yang terpoles di tangan Sikong Hian itu justru
adalah obat jitu anti Kim-leng-cu, binatang itu tidak berani sembarangan
memagut lagi, jika hendak menggigit muka atau bagian bawah badan, segera Sikong
Hian mainkan kedua telapak tangannya sedemikian cepatnya hingga air pun tak
bisa tembus.
Segera Ciong Ling putar
Jing-leng-cu mengeroyoknya dari samping. Karena tidak tahu Jing-leng-cu itu tak
berbisa, Sikong Hian menjadi waswas, ia menjaga diri dengan rapat sambil
membentak-bentak memberi perintah kepada begundalnya.
Maka tertampaklah berpuluh
orang anggota Sin-long-pang mengepung maju, setiap orang membawa segebung
rumput obat yang dinyalakan, asap rumput itu mengepul tebal sekali.
Baru saja Toan Ki merangkak
bangun dari jatuhnya tadi, begitu mencium bau asap rumput itu, seketika ia
roboh dan pingsan pula. Lamat-lamat ia lihat Ciong Ling juga mulai sempoyongan
menyusul gadis itu pun terjungkal.
Segera dua anggota
Sin-long-pang menubruk maju hendak meringkus Ciong Ling, tapi Kim-leng-cu dan
Jingleng-cu teramat setia membela sang majikan, segera dipagutnya pula kedua
orang itu. Kontan yang satu meringkal keracunan bagai ebi dan yang lain tulang
kaki patah kena dibelit oleh Jing-leng-cu yang keras bagai kawat baja itu.
Seketika itu jago-jago
Sin-long-pang menjadi jeri, beramai-ramai mereka merubung kedua muda-mudi yang
menggeletak di tanah itu dan tidak berani sembarangan turun tangan.
Cepat Sikong Hian berseru,
"Bakar kunyit di sebelah timur, di sebelah selatan dibakar Sia-hio
(semacam bibit wangi dari musang), semua orang menyingkir dari
barat-laut!"
Segera anak buahnya mengikuti
perintah itu, biasanya segala macam bekal obat-obatan selalu tersedia dalam
Sin-long-pang, obat yang dibakar itu baunya sangat keras, begitu dibakar,
seketika menyiarkan asap tebal yang berbau menusuk hidung dan tertiup ke arah
Ciong Ling.
Tak terduga, meski di bawah
embusan asap yang merupakan obat anti mereka, namun Kim-leng-cu dan Jingleng-cu
masih tetap lincah dan gesit, dalam sekejap saja lagi-lagi beberapa orang
Sin-long-pang digigit roboh lagi.
Sikong Hian berkerut kening,
cepat ia mendapat akal, serunya, "Lekas gali tanah dan uruk anak perempuan
ini hidup-hidup bersama ular-ularnya."
Gegaman sebangsa cangkul dan
sebagainya selalu tersedia di tangan anak buah Sin-long-pang, cepat saja mereka
menggali tanah dan diuruk ke atas tubuh Ciong Ling.
Waktu itu pikiran sehat Toan
Ki masih belum lenyap sama sekali, ia pikir sebab musabab dari segala peristiwa
itu berpangkal atas dirinya, kalau Ciong Ling mengalami nasib mati dikubur
hidup-hidup, rasanya dirinya juga tak bisa hidup sendiri. Maka sekuatnya ia
melompat ke atas tubuh si gadis dan merangkulnya sambil berseru, "Bagaimanapun
biarlah kita gugur bersama!"
Menyusul ia merasa batu pasir
beterbangan menjatuhi badannya.
Mendengar kata-kata
"bagaimanapun biarlah kita gugur bersama" itu, hati Sikong Hian ikut
tergerak, ia lihat di sekitarnya menggeletak lebih 20 anak buahnya, beberapa di
antaranya bahkan adalah tokoh penting, termasuk pula dua orang Sutenya, jika
anak perempuan ini dibunuh untuk melampiaskan rasa gusar sendiri, namun racun
ular emas itu terlalu lihai, tanpa obat penawar si gadis, tentu sukar menolong
jiwa orang-orangnya itu. Maka cepat katanya, "Biarkan jiwa kedua bocah itu
tetap hidup, jangan uruk bagian kepala mereka!"
Ciong Ling sendiri lemas tak
bertenaga, ia merasa badan tertindih Toan Ki dan makin lama makin berat,
keduanya sama-sama tak bisa berkutik. Maka dalam sekejap saja, badan kedua
muda-mudi itu bersama Kimleng-cu dan Jing-leng-cu sudah terpendam di bawah
tanah, hanya kepala mereka yang menongol keluar.
"Anak perempuan, coba
katakan sekarang, ingin mati atau hidup?" tanya Sikong Hian dengan nada
dingin.
"Sudah tentu ingin
hidup," sahut Ciong Ling. "Jika aku dan Toan-heng tewas, kalian
rasanya juga takkan bisa hidup."
"Baik," ujar Sikong
Hian, "lekas serahkan obat penawar racun ular, lantas kuampuni
jiwamu."
"Tidak, hanya jiwaku saja
tidak cukup, harus jiwa kami berdua," kata Ciong Ling.
"Baiklah boleh kuampuni
jiwa kalian berdua," sahut Sikong Hian. "Nah, mana obat
penawarnya?"
"Aku tidak membawa obat
penawar," kata si gadis. "Racun Kim-leng-cu ini hanya ayahku saja
yang bisa mengobatinya. Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan kau paksakan
aku turun tangan, sebab ayah pasti akan marah padaku dan bagimu juga tiada
gunanya."
"Bocah cilik, dalam
keadaan begini masih berani membual!" sahut Sikong Hian bengis,
"kalau kakek kadung murka, bisa kutinggalkan kau di sini hingga mati
kelaparan."
"Eh, apa yang kukatakan
adalah sesungguhnya, kenapa engkau tidak percaya," kata Ciong Ling. "Ai,
pendek kata, urusan sudah kadung runyam, mungkin ayah tak dapat dibohongi,
lantas bagaimana baiknya?"
"Siapa nama ayahmu?"
tanya Sikong Hian.
"Usiamu sudah tua, kenapa
engkau tidak kenal aturan?" sahut si gadis. "Nama ayahku mana boleh
sembarangan kukatakan padamu?"
Sungguh kewalahan Sikong Hian,
meski berpuluh tahun dia malang melintang di dunia Kangouw, tapi menghadapi dua
bocah seperti Ciong Ling dan Toan Ki, ia benar-benar tak berdaya. Dengan gemas
ia berkata pula, "Ambilkan api, biar kubakar dulu rambut anak perempuan
ini, coba lihat dia mau mengaku atau tidak."
Segera anak buahnya
mengangsurkan sebuah obor, Sikong Hian terus mendekati Ciong Ling dengan
memegang obor itu.
Keruan Ciong Ling ketakutan
melihat wajah orang yang bengis itu, ia berteriak-teriak, "Hei, jangan!
Memangnya tidak sakit rambut dibakar? Kenapa tidak coba kau bakar jenggotmu
sendiri saja?"
"Sudah tentu kutahu
sakit, buat apa kubakar jenggot sendiri?" sahut Sikong Hian dengan tertawa
ejek. Terus saja ia angkat obor dan diabat-abitkan di depan hidung Ciong Ling,
keruan gadis itu menjerit takut.
Cepat Toan Ki memeluk tubuh si
gadis lebih kencang sambil berseru, "He, jenggot kambing, urusan ini
berpangkal kesalahanku, biar rambutku saja boleh kau bakar!"
"Jangan, kau pun akan merasa
sakit!" ujar Ciong Ling.
"Jika kau takut sakit,
lekas keluarkan obat penawarnya untuk menolong saudara kami itu," desak
Sikong Hian.
"Engkau ini orang tua,
tapi bodoh melebihi kerbau," sahut Ciong Ling. "Sejak tadi sudah
kukatakan bahwa hanya ayahku yang bisa menyembuhkan keracunan Kim-leng-cu,
bahkan ibuku pun tidak bisa. Memangnya kau sangka mudah mengobatinya?"
Mendengar sekitarnya berisik
dengan suara merintih orang yang digigit Kim-leng-cu tadi, Sikong Hian menduga
pasti racun ular ini sangat menyakitkan, bila tidak, anak buahnya yang
tergolong laki-laki gagah itu, biasanya biarpun sebelah kaki atau tangan dikutungi
orang juga tidak sudi merengek sedikit pun. Tapi kini meski sudah minum obat
penawar racun ular buatan sendiri, namun toh masih merintih tidak tahan, terang
obat ular yang biasanya sangat mujarab itu pun tidak berguna, dalam putus
asanya, Sikong Hian terus memelototi Ciong Ling sambil membentak, "Siapa
bapakmu, lekas katakan namanya!"
"Apa benar engkau ingin
tahu, kau tidak takut mendengarnya?" tanya si gadis.
Mendadak hati Sikong Hian
tergerak, ia jajarkan istilah "Uh-hiat-su-leng" dengan nama seorang,
pikirnya, "Apa mungkin 'Uh-hiat-su-leng' ini adalah piaraan orang ini?
Jika orang ini belum mati, dan selama ini dia hanya mengasingkan diri, hanya
pura-pura mati saja, lalu aku mengungkat namanya, kelak dia pasti akan bikin
repot padaku."
Sekilas Ciong Ling melihat
wajah Sikong Hian menampilkan rasa jeri, ia sangat senang, segera katanya pula,
"Makanya lekas kau lepaskan kami, supaya ayahku tidak bikin susah
padamu."
Secepat kilat benak Sikong
Hian timbul beberapa pikiran, "Bila kulepaskan dia, dan ayahnya benar
adalah orang yang kuduga, setelah nona ini ditanya, pasti dia akan tahu aku
telah dapat meraba rahasianya, lalu jiwaku pasti takkan dibiarkan hidup oleh
orang itu? Tentu dia akan membunuh diriku untuk menutupi rahasianya. Tapi kalau
kini kubunuh anak perempuan ini, para saudara yang menderita ini pun susah
dipertahankan jiwanya. Hm, sekali sudah berbuat, kepalang bila tidak kuteruskan
sampai titik terakhir!"
Setelah ambil keputusan,
diam-diam tangan kirinya terus mengerahkan tenaga dan menghantam kepala Ciong
Ling.
Melihat sikap orang mendadak
berubah, segera Ciong Ling tahu gelagat jelek, ketika melihat pula tangan orang
memukul, cepat ia berteriak, "Hai, tahan, jangan pukul dulu!"
Namun Sikong Hian tidak ambil
peduli lagi, pukulan tetap diteruskan, tapi baru saja hampir menyentuh kepala
si gadis, sekonyong-konyong bagian kuduk terasa sakit seperti digigit sesuatu,
karena itu, walaupun
pukulannya itu tetap mengenai
kepala Ciong Ling, namun tenaga sudah lenyap di tengah jalan hingga mirip mengusap
rambut si gadis saja.
Kejut Sikong Hian tak terkira,
cepat ia tarik napas panjang untuk melindungi jantungnya, tangan lain
melepaskan obor terus berputar ke belakang leher untuk menangkap tapi celaka,
lagi-lagi punggung tangan terasa digigit.
Kiranya sesudah Kim-leng-cu
terpendam dalam tanah, diam-diam ia telah menyusup keluar, dan pada saat Sikong
Hian tidak menduga-duga mendadak binatang itu menyerang. Keruan Sikong Hian
sangat cemas dan khawatir, cepat ia duduk bersila di tanah dan mengerahkan tenaga
dalam untuk mengusir racun.
Segera anak buahnya menyekop
tanah dan menguruk lagi ke atas Kim-leng-cu, namun binatang itu sempat melejit
dan menggigit roboh seorang lagi, dalam kegelapan tampak sinar emas gemerlap
beberapa kali, tahutahu dia sudah lari ke dalam semak-semak rumput.
Lekas anak buah Sikong Hian
mengambilkan obat ular untuk sang Pangcu, setelah luar-dalam memakai obat,
mulut sang Pangcu dijejal pula sebatang Jin-som untuk memperkuat tenaganya.
Berbareng Sikong Hian pun mengerahkan Lwekang untuk melawan racun ular, tapi
tiada seberapa lama, ia lemas tak tahan, terpaksa ia ambil keputusan kilat, ia
lolos sebatang golok pendek terus menebas lengan kanan sendiri hingga kutung.
Namun tengkuknya yang juga digigit ular itu kan tak mungkin kepala mesti ikut
dipenggal juga.
Melihat keadaan sang Pangcu
yang luar biasa itu, anak buah Sin-long-pang sama ngeri, lekas mereka membubuhi
lengan Sikong Hian dengan obat luka, namun darah mengucur bagai sumber air,
begitu obat dibubuhkan, segera diterjang buyar oleh air darah. Cepat seorang
anak buah sobek lengan baju sendiri untuk membalut lengan kutung sang Pangcu,
dengan demikian lambat laun darah dapat dihentikan.
Melihat itu, muka Ciong Ling
pun pucat ngeri, ia tidak berani bersuara lagi.
"Apakah ular emas tadi
adalah Kim-leng-cu dari Uh-hiat-su-leng?" tiba-tiba Sikong Hian tanya
dengan suara geram.
"Ya," sahut Ciong
Ling.
"Kalau kena digigit,
setelah linu pegal tujuh hari baru korban akan mati, betul tidak?" tanya
Sikong Hian pula.
Kembali si gadis mengiakan.
"Seret anak muda
itu," perintah Sikong Hian pada anak buahnya.
Beramai-ramai anggota
Sin-long-pang terus menyeret Toan Ki dari bawah gundukan tanah.
"He, he, urusan ini tiada
sangkut-pautnya dengan dia, jangan bikin susah padanya!" cepat Ciong Ling
berteriak sambil meronta-ronta hendak melompat bangun.
Namun anak buah Sin-long-pang
itu cepat menguruk pasir batu pula ke tempat yang luang bekas Toan Ki tadi
hingga Ciong Ling tak bisa berkutik. Saking khawatir mengira Toan Ki akan dibunuh,
gadis itu menangis tergerung-gerung.
Sebenarnya Toan Ki pun
ketakutan, tapi sedapatnya ia tenangkan diri, katanya dengan tersenyum,
"Nona Ciong, seorang jantan sejati pandang kematian bagai pulang ke rumah,
kita tidak boleh takut di hadapan kawanan orang jahat ini."
"Aku bukan jantan sejati,
maka aku tidak mau pandang kematian seperti pulang ke rumah," sahut Ciong
Ling.
Mendadak Sikong Hian memberi
perintah, "Beri minum bocah ini dengan Toan-jiong-san, pakai takaran untuk
tujuh hari lamanya."
Segera anak buahnya
mengeluarkan sebotol obat bubuk merah dan mencekoki Toan Ki dengan paksa.
Keruan Ciong Ling khawatir
setengah mati, ia berteriak-teriak, "He, he, itu racun, jangan mau
minum!"
Ketika mendengar nama
"Toan-jiong-san" atau obat bubuk perantas usus, segera Toan Ki tahu
racun itu sangat lihai, tapi dirinya sudah jatuh di bawah cengkeraman orang,
tidak minum terang tidak mungkin, maka dengan ikhlas ia telan obat bubuk itu,
malahan mulutnya sengaja berkecek-kecek, lalu katanya dengan tertawa, "Ehm,
manis juga rasanya. Eh, Sikong-pangcu, apakah kau pun akan minum barang
setengah botol?"
Sikong Hian menjengek gusar
tanpa menjawab, sebaliknya Ciong Ling yang sedang menangis itu mendadak tertawa
geli, tapi lantas menangis lagi.
"Toan-jiong-san ini baru
akan bekerja sesudah tujuh hari nanti hingga usus dan perutnya akan
hancur," kata Sikong Hian kemudian. "Maka selama tujuh hari ini
hendaknya lekas kau pergi mengambilkan obat penawar racun ular itu, bila tugas
ini kau lakukan dengan baik, nanti aku pun memberi obat penawar racun
padamu."
"Sulit," sahut Ciong
Ling. "Racun Kim-leng-cu itu hanya bisa dipunahkan dengan Lwekang khas
ayahku sendiri, selamanya tidak ada obat penawar."
"Jika begitu, suruh
ayahmu datang ke sini untuk menolongmu," kata Sikong Hian.
"Enak saja kau
bicara," sahut si gadis, "tak mungkin ayahku sembarangan keluar
rumah. Sudah pasti dia takkan keluar selangkah pun dari lembah gunung
kami."
Sikong Hian dapat memercayai
apa yang dikatakan Ciong Ling itu, seketika ia menjadi ragu-ragu.
"Paling baik begini
saja," tiba-tiba Toan Ki mengusul, "kita beramai-ramai pergi ke rumah
nona Ciong dan mohon orang tuanya menyembuhkan racun ular, cara demikian
bukankah lebih cepat dan tepat."
"Tidak, tidak boleh
jadi!" kata Ciong Ling. "Ayahku pernah menyatakan, tak peduli siapa
pun juga, asal menginjak setindak ke dalam lembah kami, orang itu harus
dibinasakan."
Sementara itu luka gigitan
ular di belakang leher Sikong Hian terasa makin pegal dan gatal, dengan gusar
ia berteriak, "Aku tak peduli tetek bengek itu, kalau kau tidak mengundang
ayahmu kemari, biarlah kita gugur bersama."
Ciong Ling pikir sejenak, lalu
katanya, "Kau lepaskan aku dulu, biar kutulis sepucuk surat kepada ayah
untuk memohon kedatangannya. Tapi harus kau suruh seorang yang tidak takut mati
untuk menyampaikan surat pada beliau."
"Bukankah bocah she Toan
ini bisa kusuruh ke sana, buat apa suruh orang lain?" kata Sikong Hian
gemas.
"Ai, engkau benar-benar
pelupa." ujar si gadis. "Bukankah sudah kukatakan, barang siapa
berani menginjak selangkah saja ke lembah kami dia akan binasa. Dan aku tidak
ingin Toan-heng ini mati, tahu tidak?"
"Jika dia takut mati, apa
anak buahku tidak takut mati?" sahut Sikong Hian. "Sudah, sudah, tak
perlu pergi, biarlah kita lihat saja, aku mati kemudian atau dia mampus
duluan."
Kembali Ciong Ling menangis
tergerung-gerung lagi, serunya, "Kau kakek jenggot kambing ini sungguh
tidak tahu malu, hanya pandai menghina seorang nona cilik! Perbuatanmu ini
apakah terhitung seorang kesatria sejati kalau diketahui orang Kangouw?"
Namun Sikong Hian tidak
menggubrisnya, ia mengerahkan Lwekang sendiri untuk melawan bisa ular.
"Biarlah aku berangkat
saja", kata Toan Ki tiba-tiba. "Nona Ciong, jika ayahmu tahu
kedatanganku ke sana adalah untuk memohon dia datang ke sini menolongmu,
kuyakin beliau pasti takkan mengapa-apakan diriku."
Tiba-tiba Ciong Ling mengunjuk
girang, katanya, "Ah, aku mendapat akal. Begini, jangan kau katakan pada
ayahku di mana aku berada. Tapi setelah kau bawa beliau ke sini, segera kau
melarikan diri, kalau tidak, tentu celaka!"
"Ehm, bagus juga akalmu
ini," ujar Toan Ki sambil manggut-manggut.
Lalu Ciong Ling berkata pula
pada Sikong Hian, "He, jenggot kambing, begitu kembali nanti Toan-heng
harus segera melarikan diri, lalu cara bagaimana engkau akan memberi obat
penawar racun padanya?"
Sikong Hian menunjuk sepotong
batu besar jauh di barat-laut sana dan berkata, "Aku akan suruh orang
menunggu di sana dengan obat penawar, begitu Toan-kongcu ini lari sampai di
sana bisa segera mendapatkan obatnya."
Ia berharap Toan Ki berhasil
mengundang ayah Ciong Ling untuk menolong jiwanya, maka panggilannya kepada Toan
Ki sekarang berubah menjadi terhormat.
Segera Sikong Hian memberi
perintah agar anak buahnya menggali keluar Ciong Ling, tapi sebagai gantinya
kedua tangan si gadis dibelenggu. Dalam pada itu tampak Jing-leng-cu masih
kelogat-keloget di dalam tanah, sedang ular kecil lainnya sudah mati terpendam.
"Kau belenggu kedua
tanganku, cara bagaimana aku bisa menulis surat?" kata Ciong Ling
kemudian.
"Kau dara cilik ini
terlalu licin, kau bilang hendak menulis surat, jangan-jangan akan main gila
lagi," ujar Sikong Hian. "Tak perlu pakai surat segala, berikan
sepotong barang milikmu kepada Toan-kongcu sebagai tanda pengenal untuk
ayahmu."
"Kebetulan," sahut
Ciong Ling tertawa. "Aku memang tidak suka tulis-menulis. Lalu benda
apakah yang berada padaku? Ah, biarlah Jing-leng-cu saja kau bawa kepada
ayahku, Toan-heng."
"He, jang ...
jangan," seru Toan Ki cepat. "Dia takkan turut perintahku, kalau di
tengah jalan aku digigitnya, kan celaka!"
"Jangan khawatir."
ujar Ciong Ling tersenyum. "Dalam saku bajuku ada sebuah kotak kemala
kecil, harap kau keluarkannya."
Segera Toan Ki masukkan tangan
ke saku si nona, tapi baru tangan menyentuh baju, cepat ia tarik kembali
tangannya. Ia merasa perbuatannya kurang sopan, masa tangan seorang pemuda
gerayangan di dalam baju seorang gadis.
Namun Ciong Ling tidak pikir
sampai di situ, desaknya malah, "Ayo, kenapa tidak lekas mengambil? Di
saku sebelah kiri!"
Toan Ki pikir urusan sudah
telanjur runyam, keadaan sangat mendesak, nona cilik ini pun masih
kekanakkanakan, sedikit pun tiada rasa perbedaan antara lelaki perempuan, maka
aku pun tidak perlu pikir yang tidaktidak.
Segera ia merogoh saku si
gadis dan mengeluarkan sepotong benda bundar yang keras dan hangat-hangat.
"Di dalam kotak kemala
itu terdapat benda anti Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu," kata Ciong Ling.
"Jika Jingleng-cu tidak menurut perintah, boleh kau ayun-ayun kotak kemala
itu di atas kepalanya, dengan sendirinya dia tak berani main gila lagi."
Toan Ki menurut, ia angkat
kotak kemala di depan kepala Jing-leng-cu, maka terdengarlah suara mendesis
aneh beberapa kali di dalam kotak itu, seketika Jing-leng-cu sangat ketakutan
hingga mengkeret badannya.
Senang sekali Toan Ki melihat
itu, "Benda apakah di dalam kotak ini? Biar kumelihatnya!"
Segera ia hendak membuka tutup
kotak itu.
Namun Ciong Ling keburu
mencegah, "He, jangan! Tutup kotak sekali-kali tak boleh dibuka!"
"Sebab apa?" tanya
Toan Ki.
Ciong Ling melirik sekejap ke
arah Sikong Hian, lalu berkata, "Ini rahasia, tidak boleh didengar orang
luar. Nanti kalau sudah kembali akan kuberi tahukan padamu."
"Baiklah," kata Toan
Ki, sebelah tangan memegang kotak kemala, tangan lain melepaskan Jing-leng-cu
dari pinggang Ciong Ling dan diikat di pinggang sendiri.
Ternyata Jing-leng-cu
membiarkan dirinya diperbuat sesukanya oleh Toan Ki, sedikit pun tidak berani
membangkang. Keruan pemuda itu sangat senang, katanya, "Hah, ular ini
menarik juga!"
"Bila dia lapar, dia akan
mencari makan sendiri, tak perlu khawatir baginya," kata Ciong Ling pula,
"dan bila kau bersuit begini, dia akan menggigit orang, kalau kau mendesis
begini, dia lantas kembali ke tanganmu."
Sembari berkata, ia bersuit
memberi contoh.
Dengan rasa tertarik, Toan Ki
menirukan ajaran si gadis.
Sebaliknya Sikong Hian tidak
sabar, ia pikir anak muda ini benar-benar kurang ajar, sudah dekat ajal, masih
main ular segala, segera ia membentak, "Lekas pergi dan cepat kembali!
Jiwa semua orang tinggal beberapa hari saja, jika ada alangan dalam perjalanan
tentu jiwa masing-masing akan melayang. Nona Ciong, dari sini ke tempat
tinggalmu makan waktu berapa lama?"
"Kalau cepat, dua hari
bisa sampai, pergi-pulang empat hari pun sudah cukup," sahut Ciong Ling.
Sikong Hian rada lega oleh
jawaban itu, ia mendesak pula, "Baiklah, lekas berangkat, lekas!"
"Tapi belum kuberi tahu
jalannya kepada Toan-heng, harap kalian menyingkir dari sini, siapa pun
dilarang
mendengarkan," kata si
gadis.
Segera Sikong Hian memberi
tanda hingga anak buahnya sama menyingkir pergi.
"Kau pun
menyingkir," kata Ciong Ling pada Sikong Hian.
Diam-diam Sikong Hian
geregetan, katanya dalam hati, "Kurang ajar! Kelak bila lukaku sudah
sembuh, kalau tidak kubalas permainkan kau, percumalah aku menjadi
manusia."
Segera ia berbangkit dan
menyingkir pergi juga.
"Toan-heng," kata
Ciong Ling kemudian sambil menghela napas lega, "baru saja kita berkenalan,
kini sudah harus berpisah."
"Tidak apa, paling lama
pergi-pulang cuma empat hari," sahut Toan Ki tertawa.
Sepasang mata bola Ciong Ling
termangu memandangi anak muda itu, katanya, "Setiba di sana, harap menemui
ibuku lebih dulu untuk menceritakan duduk perkaranya dan biar ibuku yang bicara
kepada ayahku. Dengan demikian urusan akan lebih mudah diselesaikan."
Lalu ia gunakan ujung kaki
untuk menggores-gores tanah, untuk menjelaskan jalan ke rumah tinggalnya itu.
Kiranya tempat tinggal Ciong
Ling itu terletak di sebuah lembah di tepi barat sungai Lanjong. Meski jaraknya
tidak jauh, tapi tempatnya tersembunyi dan sukar ditempuh, kalau tidak diberi
petunjuk, orang luar tak nanti menemukannya.
Namun daya ingat Toan Ki
sangat baik, apa yang ditunjukkan Ciong Ling biarpun menikung ke sana dan
membelok ke sini secara membingungkan, tapi sekali dengar ia lantas ingat.
Setelah Ciong Ling selesai
menguraikan, segera katanya, "Baiklah, sekarang aku akan berangkat!"
Terus saja ia putar tubuh dan
bertindak pergi.
Tapi baru pemuda itu berjalan
belasan tindak, tiba-tiba Ciong Ling teringat sesuatu, serunya, "Hei,
kembali!"
"Ada apa?" tanya
Toan Ki sambil memutar balik.
"Paling baik engkau
jangan mengaku she Toan, lebih-lebih jangan bilang ayahmu mahir menggunakan
It-yangci," pesan si gadis. "Sebab ... sebab mungkin sekali akan
menimbulkan prasangka ayahku."
"Baiklah," sahut
Toan Ki tertawa. Ia pikir nona ini meski masih sangat muda, tapi pikirannya
ternyata amat teliti. Segera ia bertindak pergi sembari bernyanyi-nyanyi kecil.
Tatkala itu hari sudah gelap,
sang dewi malam sudah menongol di tengah cakrawala, di bawah cahaya bulan Toan
Ki terus menuju ke barat. Meski dia tak bisa ilmu silat, tapi usianya muda,
tenaganya kuat, jalannya cukup cepat.
Setelah belasan li jauhnya, ia
sudah melintas sampai di belakang gunung Bu-liang-san. Ia dengar suara
gemerciknya air, di depan ada sebuah sungai kecil, karena merasa haus, Toan Ki
menuju ke tepi sungai itu, ia lihat air sungai sangat bening, segera ia gunakan
tangan untuk meraup air. Tapi belum lagi mulutnya mengecup air, tiba-tiba ia
dengar suara orang tertawa dingin di belakang.
Dalam kejutnya cepat Toan Ki
berpaling, maka tertampaklah gemerdepnya senjata tajam, ujung pedang sudah
mengancam di dadanya. Waktu mendongak, ia lihat seorang tersenyum mengejek,
kiranya Kam Jin-ho dari Buliang-kiam.
"Eh, kiranya kau, bikin
kaget aku saja," kata Toan Ki berlagak tertawa. "Sudah malam begini,
ada apa Kamheng berada di sini?"
"Atas perintah guruku,
aku justru lagi menunggumu di sini," sahut Kam Jin-ho. "Maka silakan
Toan-heng ikut ke Kiam-oh-kiong untuk bicara sebentar."
"Urusan apakah? Harap
tunda sampai lain hari saja," ujar Toan Ki. "Hari ini aku ada urusan
penting dan perlu lekas berangkat."
"Tidak, betapa pun harap
Toan-heng ke sana," kata Jin-ho. "Bila tidak, aku pasti akan
didamprat oleh guruku."
Melihat wajah orang mengunjuk
tanda kurang beres, hati Toan Ki tergerak, lamat-lamat ia dapat menebak apa
maksud orang, pikirnya, "Celaka, mungkin dia sengaja hendak menahan aku
agar penolong yang diundang tidak bisa datang, dengan demikian orang
Sin-long-pang akan terbinasa dan Bu-liang-kiam mereka tidak khawatir lagi
terhadap musuh utama itu."
Segera ia tanya pula,
"Dari mana Kam-heng mengetahui aku akan datang ke sini?"
"Hm," jengek Jin-ho.
"Perembukanmu dengan nona Ciong terhadap Sin-long-pang sudah kudengar dan
lihat semuanya. Bu-liang-kiam tiada dendam permusuhan apa-apa denganmu, engkau
pasti takkan dibikin susah. Yang diharap sukalah kau mampir barang beberapa
hari ke tempat kami, kemudian engkau akan dibebaskan."
"Mampir beberapa
hari?" Toan Ki menegas. "Kan bisa celaka, padahal aku telah minum
Toan-jiong-san pihak Sin-long-pang, kalau racunnya bekerja lantas
bagaimana?"
"Boleh jadi setelah minum
sedikit obat urus-urus, perutmu takkan sakit lagi," kata Kam Jin-ho
tertawa.
Diam-diam Toan Ki khawatir,
seketika ia pun tiada akal untuk meloloskan diri. Kalau ikut pergi ke
Kiam-ohkiong, mungkin dirinya akan menjadi korban, bahkan Ciong Ling, Sikong
Hian dan lain-lain juga akan binasa.
Dalam pada itu ujung pedang
Kam Jin-ho sudah mengancam di dada Toan Ki hingga terasa sakit.
"Ayo, ikut! Mau atau
tidak mau harus ikut ke sana!" kata murid Bu-liang-kiam itu.
"Dengan demikian,
bukankah kalian sengaja hendak membunuh aku?" kata Toan Ki.
"Jika sudah berani
berkelana di Kangouw, jiwa harus berani dibuat taruhan," ujar Jin-ho
tertawa. "Orang penakut macammu ini sungguh terlalu."
Habis berkata,
"sret", mendadak pedang terus mengiris ke bawah hingga baju Toan Ki
terobek sepanjang puluhan senti.
Kam Jin-ho ini tidak malu
sebagai murid pilihan Bu-liang-kiam, biarpun baju Toan Ki terobek disayat,
namun badan sedikit pun tidak terluka. Maka tertampaklah perut Toan Ki yang
putih itu, cepat pemuda itu memegangi bajunya yang kedodoran.
"Eh, putih juga, seperti
perempuan," goda Jin-ho dengan tertawa. Mendadak ia berubah bengis,
bentaknya, "Ayo, lekas jalan, jangan bikin tuanmu kehilangan sabar,
sekaligus bisa kusayat mukamu hingga berpuluh jalur merah!"
Terpaksa, Toan Ki menurut, ia pikir
nanti di tengah jalan harus mencari akal untuk meloloskan diri.
Segera ia betulkan bajunya,
lalu katanya, "Jika sebelumnya kutahu Bu-liang-kiam kalian begini jahat,
tentu aku tidak sudi ikut campur urusan kalian ini, biar kalian sekaligus
diracun mampus oleh Sin-long-pang."
"Kau mengomel apa?"
bentak Jin-ho. "Bu-liang-kiam kami adalah Eng-hiong-hohan (kesatria dan
gagah) semua, masakan jeri terhadap kawanan Sin-long-pang yang tak kenal malu
itu."
"Sret", kembali
pedangnya menggores baju di punggung Toan Ki, ketika sampai pinggang, terdengar
suara "krek", goresan pedang itu teralang sesuatu.
Mendadak barulah Toan Ki ingat
bahwa di pinggangnya terlilit Jing-leng-cu, ia merasa dirinya terlalu goblok,
kenapa sejak tadi tidak minta bantuan binatang itu? Segera ia bersuit menirukan
Ciong Ling.
Begitu kepala Jing-leng-cu
menegak, terus saja ia memagut ke muka Kam Jin-ho. Keruan jago Bu-liang-kiam
itu kaget, cepat ia menyurut mundur. Sekali pagut tidak kena, Jing-leng-cu
membalik ke bawah hendak melilit lengan Jin-ho.
Betapa lihainya ular hijau ini
sudah dikenal Jin-ho, bahkan pedang gurunya pernah dililit patah. Maka cepat ia
melompat berkelit pula.
Untung baginya, sebab Toan Ki
belum pandai mengendalikan Jing-leng-cu, ia tidak melepaskan binatang itu dari
pinggangnya, tapi terus bersuit memerintah untuk menyerang musuh, maka sebagian
besar badan Jingleng-cu masih melilit di pinggang, sebab itulah serangannya
terbatas hingga dua kali memagut dapat dihindarkan Kam Jin-ho.
Melihat Kam Jin-ho melompat
mundur, Toan Ki pikir inilah kesempatan baik, cepat ia angkat langkah seribu,
ia berlari-lari ke arah barat.
"Hai, berhenti!"
bentak Jin-ho sambil menguber. "Aku membawa obat anti ular, ular hijau itu
tidak berani menggigit aku, tak mungkin kau bisa lolos!"
Walaupun begitu katanya, namun
ia pun tidak berani mendesak terlalu dekat.
Dasar Toan Ki, belum sampai
satu li jauhnya, napasnya sudah megap-megap.
Sebaliknya Kam Jin-ho sangat
cekatan larinya, ia mendapatkan sepotong tangkai kayu pula dan digunakan
memukul punggung Toan Ki.
Dalam gugupnya tiba-tiba
timbul juga kecerdasan Toan Ki, cepat ia lepaskan Jing-leng-cu dari pinggang
sambil bersuit, sekuatnya ia ayun ular itu ke belakang. Dengan demikian Kam
Jin-ho menjadi jeri dan tertinggal lebih jauh.
Pikir jago Bu-liang-kiam itu,
"Kau anak sekolahan ini sedikit pun tak bisa ilmu silat, asal aku terus
mengintil di belakangmu, tiada sejam, tentu kau akan mati lelah."
Maka uber-menguber itu terus
berlangsung menuju ke arah barat.
Tiada lama kemudian, napas
Toan Ki benar-benar terasa hampir putus, jantung memukul keras seakan-akan
meledak. Pikirnya, "Jika aku tertawan dia, jiwa nona Ciong pasti akan ikut
menjadi korban."
Karena gugupnya ia tak bisa
pilih jalan lagi, yang ia tuju selalu rimba lebat hutan belukar, ke sanalah dia
menyusup terus.
Setelah menguber sebentar
pula, mendadak Jin-ho dengar suara gemerujuknya air yang gemuruh. Tergerak
pikirannya, waktu mendongak, ia lihat diarah barat-laut sana terdapat sebuah
air terjun raksasa dengan airnya yang dituang ke bawah bagai sungai gantung.
Cepat Jin-ho berhenti sambil
berteriak, "Hei, di depan adalah tempat larangan golongan kami, jika kau
berani maju lagi hingga melanggar larangan, pasti kau akan mati tak
terkubur!"
Bukannya Toan Ki berhenti,
sebaliknya ia sangat girang dan berlari ke depan malah, pikirnya, Jika di sana
adalah tempat larangan Bu-liang-kiam, tentu dia sendiri tidak berani mengejar
pula. Jiwaku memang lagi terancam, takut apa?"
"Hai, lekas
berhenti!" kembali Jin-ho berteriak. "Apa kau tidak pikirkan nyawamu
lagi?"
"Aku justru ingin
nyawaku, maka aku lari ...." baru sekian jawaban Toan Ki,
sekonyong-konyong kakinya terasa menginjak tempat kosong. Ia tidak mahir ilmu
silat, pula sedang berlari, tentu saja ia tidak bisa menahan diri, langsung
tubuhnya anjlok ke bawah.
"Haya!" teriak Toan
Ki kaget, namun badannya sudah terjerumus ke bawah jurang yang berpuluh tombak
dalamnya.
Waktu Jin-ho memburu sampai di
tepi jurang, yang terlihat hanya kabut tebal, apa yang terjadi di bawah jurang
sedikit pun tidak terlihat. Ia menduga Toan Ki pasti akan terbanting hancur
lebur, sedangkan tempat di mana dia berdiri adalah tempat terlarang golongan
sendiri, maka ia tidak berani lama-lama di situ, cepat ia putar balik
melaporkan kepada sang guru.
Sementara itu tubuh Toan Ki
yang terapung di udara itu, kedua tangannya meraup ke sana-sini dengan harapan
bisa menangkap sesuatu untuk menahan daya turunnya.
Kebetulan juga mendadak
Jing-leng-cu yang masih dipegang olehnya itu dapat melilit pada suatu dahan
pohon Siong yang tumbuh di dinding tebing. Beberapa kali badan ular itu
membelit dengan kencang dan kuat di atas dahan itu.
Ketika mendadak Toan Ki merasa
daya turunnya berhenti, hampir saja ia tidak kuat memegang Jing-leng-cu dan
hampir pula terberosot ke bawah. Untung Jing-leng-cu cukup cerdik, cepat
ekornya melilit beberapa kali di pergelangan tangan Toan Ki. Maka menjeritlah
mendadak anak muda itu kesakitan.
Kiranya daya turunnya tadi
sangat keras, sekali ditahan oleh ekor Jing-leng-cu secara mendadak, seketika
lengan kanannya keseleo alias terkilir.
Badan Jing-leng-cu ternyata
sangat keras dan kuat luar biasa, meski dibuat gantungan Toan Ki yang bobotnya
ratusan kati itu sambil membuai-buai, namun masih bisa bertahan dengan baik.
Waktu Toan Ki memandang ke
bawah, ia lihat awan terapung mengambang di udara jurang, betapa dalamnya
jurang itu tidak terlihat. Untuk mendaki ke atas, terang tidak mungkin, apalagi
tangannya keseleo, tenaga habis.
Pada saat itulah, badannya
yang terayun terasa menempel dinding tebing, cepat ia ulur tangan kiri untuk
meraih pangkal dahan, segera kakinya mendapatkan tempat berpijak pula, baru
sekarang ia merasa lega dan tenang.
Ketika jurang itu
diamat-amati, ia lihat di tengah jurang merekah sebuah celah panjang, di tengah
celah itu banyak terdapat sebangsa batu pasir, kalau mau, mungkin juga bisa
dibuat jalan merambat turun ke bawah dengan perlahan.
Setelah mengaso sebentar, Toan
Ki merasa serbarunyam kalau tinggal di situ, kalau tidak bisa naik ke atas,
terpaksa turun ke bawah jurang untuk mencari jalan keluar lain.
Meski dia hanya seorang
sekolahan, namun mempunyai semangat banteng. Ia pikir jiwanya toh sisa temuan,
kalau akhirnya mesti melayang lagi, biarlah. Mati ya mati, seorang laki-laki
kenapa takut mati?
Segera ia bersuit pula, lalu
mendesis-desis sebagai tanda kembalinya Jing-leng-cu.
Mendengar suara suitan,
Jing-leng-cu lantas melepas belitannya di atas dahan dan kembali ke tangan Toan
Ki. Maka badan binatang itu diikat pula pada dahan tempat berpijak, kemudian
sambil memegangi badan ular, ia merosot ke bawah.
Setelah dekat ujung ekor ular,
kakinya memperoleh tempat berpijak lagi, lalu menarik kembali Jing-leng-cu untuk
dipakai tali memberosot ke bawah pula dan begitu seterusnya. Untung bagian
bawah jurang itu tidak terlalu curam, akhirnya ia tidak perlu bantuan
Jing-leng-cu sudah dapat turun ke bawah.
Ia dengar suara gemuruh air
makin lama makin keras, ia menjadi khawatir lagi, "Jika di bawah sana ada
arus air yang dahsyat, celakalah aku."
Ia merasa butiran air sudah
berhamburan dan menciprat mukanya, begitu besar butiran air itu hingga
menimbulkan rasa sakit pedas.
Akhirnya sampailah dia di
dasar jurang. Waktu memandang ke depan, tanpa tertahan Toan Ki bersorak memuji.
Ternyata di tebing kiri sana ada sebuah air terjun raksasa yang menuangkan
airnya yang jernih ke sebuah danau besar, begitu luas danau itu hingga tidak
kelihatan tepi sebelah sana.
Walaupun dituangi air terjun
sekeras itu, namun air danau itu tidak menjadi penuh, tentu ada saluran yang
membuang air itu ke tempat lain.
Tempat air terjun menggerujuk
itu airnya bergulung-gulung, tapi belasan tombak di luar air terjun itu, air
danau tenang bening bagai kaca.
Toan Ki terkesima oleh
pemandangan alam yang menakjubkan itu. Karena itu ia sampai lupa pada sakit
lengannya yang keseleo itu.
Ketika kemudian ia sadar akan
rasa sakit itu, segera ia gulung lengan baju dan berkata pada ruas tulang yang
keseleo itu, "Wahai, ruas tulang, jika kudapat membetulkanmu, tentu takkan
sakit lagi. Tapi kalau salah sambung biarlah terserah nasib, lebih kesakitan
juga masa bodoh."
Ia kertak gigi dan menarik
sekuatnya lengan yang terkilir itu. "Krek", eh, tulang yang keseleo itu
dapat diluruskan kembali, walaupun rasa sakitnya tidak kepalang, tapi lengan
itu kini dapat bergerak dengan bebas lagi.
Toan Ki sangat girang,
walaupun sudah menderita setengah harian, namun dasar semangat banteng, ia
penuh gairah. Ia meraba Jing-leng-cu dan berkata, "Wahai, Jing-leng-cu,
hari ini kalau kau tidak menyelamatkan jiwaku, tentu sejak tadi tuanmu ini
sudah naik ke surga. Maka kelak pasti akan kusuruh tuan putrimu memiaramu
terlebih baik."
Ia mendekati tepi danau dan
meraup air untuk diminum, terasa airnya segar dan rada-rada manis pula.
Setelah tenangkan diri, Toan
Ki pikir, "Urusan hari ini sudah sangat mendesak, aku harus lekas mencari
jalan keluar, jangan-jangan Kam Jin-ho itu sebentar akan menyusul ke sini, kan
bisa celaka."
Segera ia menyusur tepi danau
untuk mencari jalan.
Danau itu ternyata berbentuk
lonjong, sebagian besar teraling-aling oleh semak-semak tetumbuhan. Toan Ki
mengitar kira-kira tiga li jauhnya, ia lihat tebing curam di sekeliling sana
terlebih terjal, hanya tebing yang dia turun tadi lebih mendingan, suasana
sunyi senyap, jangankan jejak manusia, jejak binatang pun tidak tampak, hanya
kicau burung terkadang terdengar.
Karena itu, Toan Ki sedih
lagi, ia pikir tak jadi soal dirinya mati kelaparan di situ, tapi jiwa nona
Ciong bagaimana jadinya? Ia duduk di tepi danau dengan rasa cemas dan gelisah,
sedikit pun tak berdaya.
Kemudian ia pikir, "Boleh
jadi jalanku terlalu buru-buru hingga tidak memerhatikan kalau ada sesuatu
jalan kecil yang teraling semak-semak atau tertutup batu-batu gunung?"
Karena itu ia bangkit pula,
dengan riang sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia menyusuri tepi danau lagi untuk
mencari jalan keluar.
Kali ini ia telah periksa
setiap semak pohon di tepi danau, namun di balik semak-semak itu adalah batu
karang melulu yang menempel di dinding jurang yang menjulang tinggi ke langit.
Jangankan jalan keluar, bahkan liang ular atau lubang jangkrik pun tidak tampak
sesuatu.
Makin lama makin perlahan
nyanyi Toan Ki, perasaannya semakin lama semakin tertekan. Ketika berputar
kembali sampai di depan air terjun tadi, kakinya sudah lemas, ia mendomprok ke
tanah.
Dalam putus asa, timbul
khayalannya, "Bila aku bisa menjadi seekor ikan, aku akan menyusur air
terjun itu dan berenang ke atas jurang sana."
Sambil berpikir sinar matanya
terus mengikuti jalannya air terjun itu dari bawah ke atas. Ia lihat di sebelah
kanan air terjun itu mencuat sepotong batu putih gilap bagai kemala. Melihat
gelagatnya, boleh jadi air terjun itu pada masa dahulu jauh lebih besar lagi
daripada sekarang ini, Entah sudah mengalami gerujukan berapa lama hingga
dinding batu itu tergosok rata licin bagai kaca. Kemudian air terjun berubah
kecil dan dinding batu sehalus kaca itu pun kelihatan.
Tiba-tiba Toan Ki ingat
kata-kata Sin Siang-jing sehabis bertanding di Kiam-oh-kiong, ia telah
menyindir ketua sekte timur Bu-liang-kiam, Co Cu-bok, menanyakan selama lima
tahun itu apakah sudah banyak meyakinkan pelajaran dinding kemala. Karena itu,
Co Cu-bok rada gusar dan menegur sang Sumoay apakah sudah lupa pada pantangan
perguruan sendiri, akhirnya Siang-jing bungkam.
Teringat pula olehnya sebabnya
Bu-liang-kiam bermusuhan dengan Sin-long-pang adalah karena Sin-longpang minta
mencari obat ke belakang gunung ini. Lereng gunung Bu-liang-san ini penuh
dengan hutan belukar, kalau cuma mencari sedikit bahan obat saja apa
alangannya?
Dasar otak Toan Ki sangat
cerdas, mendadak timbul rasa curiganya. Segera ia menyelami setiap pembicaraan
yang pernah didengarnya setelah datang di Kiam-oh-kiong itu, maka teringatlah
ketika Ciong Ling bertanya
tentang
"Bu-liang-giok-bik" apa segala pada Co Cu-bok, seketika ketua
Bu-liang-kiam itu tercengang dan pura-pura tidak tahu, sebaliknya Ciong Ling
terus menyindir atas sikap orang itu.
Tampaknya apa yang dimaksudkan
"Giok-bik" itu adalah dinding gunung kemala dan bukan
"Giok-bik" dari batu kemala. Sekarang di hadapannya terdapat suatu
dinding gunung yang putih gilap bagai kemala, pula terletak di belakang gunung
Bu-liang-san, terang dinding tebing gunung ini banyak hubungannya dengan apa
yang terjadi hari ini.
Menyusul teringat pula ketika
dirinya terjerumus ke dalam jurang tadi, berulang-ulang Kam Jin-ho membentaknya
agar berhenti, katanya tempat itu adalah tempat Bu-liang-kiam yang terlarang
didatangi siapa pun juga.
Maka pikirnya pula,
"Ketika aku ikut Be Ngo-tek ke Kiam-oh-kiong, pernah kutanya sebab apa
ketiga sekte Bu-liang-kiam itu setiap lima tahun harus saling bertanding sekali
dan yang menang berhak menghuni Kiamoh-kiong selama lima tahun? Namun jago tua
she Be itu hanya garuk-garuk kepala dan menyatakan itu adalah rahasia golongan
Bu-liang-kiam, orang luar tidak mengetahuinya."
Ia coba menganalisis apa yang
telah dilihat dan didengarnya itu, ia menduga di atas Giok-bik itu tentu
terukir semacam rahasia pelajaran ilmu pedang yang ditetapkan oleh leluhur
Bu-liang-kiam, bahwa sekte mana yang menang dalam pertandingan boleh tinggal di
situ untuk mempelajari ilmu pedang itu selama lima tahun.
Berpikir sampai di sini, ia
bertambah yakin akan rekaannya itu.
Sejak kecil Toan Ki sangat
dipengaruhi oleh ajaran agama Buddha, ia benci terhadap ilmu silat. Ia minggat
dari rumah juga disebabkan tidak mau belajar silat. Tapi setelah
beruntun-runtun dianiaya, dihina dan diracun orang, yang berbuat itu semuanya
adalah orang persilatan pula, maka bencinya terhadap ilmu silat makin mendalam.
Maka demi ingat dinding kemala
itu ada sangkut-pautnya dengan ilmu silat, segera ia melengos tidak sudi
memandangnya lagi. Pikirnya, "Sebabnya orang suka berkelahi dan
bunuh-membunuh di dunia ini, semuanya gara-gara ilmu silat masing-masing.
Apabila di atas dinding kemala itu terukir ilmu silat yang tiada tandingannya
di seluruh kolong langit, itu berarti akan membawa bencana lebih hebat bagi
manusia, akibatnya tentu jauh lebih celaka daripada Kim-leng-cu, Toan-jiong-san
dan sebagainya."
Ia pikir sambil berjalan
terus, namun akhirnya rasa ingin tahunya lebih kuat daripada segala pikiran
lain, ia pikir pula, "Rahasia ilmu silat yang tertera di atas dinding
kemala itu pasti sangat susah diyakinkan, bila tidak, rasanya Co Cu-bok dan
saudara-saudara seperguruannya tidak perlu bersusah payah mempelajarinya selama
lima tahun dan ternyata tidak banyak hasilnya. Aku justru ingin tahu macam
apakah ilmu silat yang aneh itu?"
Segera ia menengadah pula, ia
lihat dinding itu halus gilap seperti kaca, dari mana bisa terukir sesuatu
rahasia ilmu pedang atau ilmu silat lain? Ia coba mengincar dari samping dan
mengamati dari depan pula, namun tetap tiada sesuatu yang menarik, pikirnya
pula, "Apa yang dikatakan orang kuno belum tentu sungguh-sungguh. Boleh
jadi leluhur Bu-liang-kiam sengaja membohongi anak murid mereka agar bisa lebih
giat berlatih. Atau mungkin juga dugaanku yang salah?"
Setelah memandang sekian lama
pula, ia merasa letih dan lapar. Tanpa pikir lagi ia rebahkan diri dan tertidur.
Ketika mendusin esok paginya, perutnya semakin keroncongan, tapi di tengah
lembah itu tiada sesuatu makanan, buah-buahan pun tidak tampak.
Sampai tengah hari, saking
lapar Toan Ki terus petik beberapa bunga hutan sekadar tangsel perut. Walaupun
pahit getir rasanya bunga itu, terpaksa ia telan mentah-mentah.
Setelah beberapa jam lagi,
sang surya sudah doyong ke barat, ia lihat di angkasa danau timbul selarik
bianglala yang indah permai. Ia tahu di mana ada air terjun, pantulan sinar
matahari sering menimbulkan bayangan bianglala yang berwarna-warni. Menghadapi
pemandangan permai itu, ia merasa tidak penasaran biarpun harus terkubur di
lembah gunung itu. Setelah termenung-menung agak lama, akhirnya ia rebah dan
terpulas lagi.
Tidurnya itu nyenyak benar, ketika
mendusin, waktunya sudah tengah malam. Ia lihat sang dewi malam sedang
memancarkan cahaya yang tenang lembut. Ketika mendongak memandang ke dinding
batu sana, ia lihat di dinding itu jelas terlukis dua benda.
Toan Ki terkesiap, ia
kucek-kucek mata dan memandangnya lebih jelas, kiranya kedua benda itu hanya
bayangan saja. Yang satu berbentuk melengkung mirip pelangi yang dilihatnya
siang tadi, yang lain adalah bayangan sebatang pedang.
Bayangan pedang itu sangat
terang, baik batang pedang, tangkainya, ujungnya, semuanya mirip benar.
Setelah pikir sejenak, Toan Ki
menarik kesimpulan di depan dinding batu itu pasti ada sebatang pedang, karena
sinar bulan yang menyorot miring itu, maka bayangan pedang tercetak di atas
dinding itu.
Ia lihat ujung bayangan pedang
itu menunjuk ke pucuk bayangan benda melengkung itu. Waktu ditegasi, Toan Ki
merasa bayangan itu makin mirip pelangi. Tidak lama, awan tipis yang menutupi
sang dewi malam itu tertiup buyar oleh angin hingga bayangan hitam itu tampak
lebih jelas lagi. Dari bayangan hitam benda melengkung itu ternyata timbul
jalur aneka warna persis seperti warna-warni bianglala.
Toan Ki semakin heran,
pikirnya, "Kenapa di tengah bayangan bisa timbul warna-warni?"
Ketika pandangannya beralih ke
arah yang berlawanan dengan dinding batu itu, ia lihat di dinding tebing curam
sana lamat-lamat ada sinar berwarna yang bergoyang-goyang.
Seketika ia menjadi sadar,
kiranya di dinding situ ada terjepit sebatang pedang, di samping itu ada
sepotong batu mestika yang mengeluarkan cahaya pelangi.
Batu permata memangnya
mempunyai tujuh warna, maka sinar bulan telah memindahkan pantulan warnawarni
itu ke dinding batu sana. Pantas begitu indah menarik. Cuma sayang, tempat di
mana terdapat bendabenda mestika itu berpuluh tombak tingginya, betapa pun
sukar dicapai untuk dilihat dari dekat.
Belum lama ia menikmati
pemandangan indah itu, sang bulan sudah berpindah hingga bayangan itu mulai
menipis dan akhirnya lenyap tinggal dinding batu yang tetap halus licin itu.
Tanpa sengaja Toan Ki dapat
menemukan rahasia itu, ia pikir, "Kiranya rahasia di atas dinding kemala
Buliang-san ini beginilah adanya. Kalau tidak kebetulan tergelincir ke sini,
belum tentu aku bisa melihat bayangan tadi, sedangkan sinar bulan yang menyorot
ke atas dinding itu, dalam setahun hanya ada kesempatan beberapa hari saja.
Sebaliknya orang-orang Bu-liang-kiam yang sengaja hendak mencari rahasia itu,
kebanyakan pasti datang pada waktu siang hari untuk mengamati dinding batu itu
secara bodoh, bisa jadi mereka malah menggali dan membongkar batu pegunungan di
atas sana untuk mencari rahasia yang tidak pernah diketemukan itu. Sudah tentu
hasilnya tetap nihil."
Berpikir sampai di sini, ia
tertawa geli sendiri, "Hihi, seumpama aku memperoleh pedang serta benda
mestika yang mengeluarkan cahaya warna-warni itu, bagiku paling-paling hanya
mendapatkan dua macam mainan yang menarik saja, perlu apa mesti banyak pikiran
untuk itu? Bukankah aku terlalu goblok?"
Setelah termangu-mangu
sejenak, kemudian ia tertidur lagi.
Dalam tidurnya itu,
sekonyong-konyong ia melonjak bangun, katanya dalam hati, "He, ujung
pedang itu menunjuk ke puncak pelangi bagian bawah, jangan-jangan di balik itu
ada rahasianya lagi? Padahal untuk menjepit pedang dan batu mestika itu ke
dinding tebing tidaklah mudah dilakukan, bukan saja diperlukan ilmu silat yang
tinggi, bahkan harus ada orang mengereknya dengan tali yang panjang. Dan kalau
secara susah payah berbuat begitu, di dalamnya pasti mengandung maksud
tertentu, apakah artinya rahasianya terletak di ujung pelangi! Kalau dilihat
dari kedua bayangan itu, kecuali kesimpulan ini, terang tiada arti lain lagi.
Tapi ujung pelangi itu yang satu mengarah ke langit, ujung yang lain sebaliknya
menunjuk ke tengah danau, biarpun di dalamnya terkandung rahasia mahabesar juga
susah untuk memperolehnya."
Begitulah Toan Ki
termangu-mangu sampai lama, akhirnya ia berpendapat, "Cahaya pelangi
setiap waktu berubah-ubah, mungkin tempat yang ditunjuk bayangan pedang itu
besok akan berlainan."
Esok paginya, karena
memikirkan munculnya pelangi, ia menjadi lupa lapar. Akhirnya tiba juga sang
malam. Selarik pelangi panjang tampak menghias langit pula. Tapi begitu
melihat, Toan Ki menjadi kecewa. Ternyata kedua ujung pelangi itu sedikit pun
tiada ubahnya seperti kemarin, yang sebelah mengarah ke langit, ujung lain
menurun ke tengah danau.
Toan Ki coba mendekati tepi
danau, suara gemuruh air terjun itu membuat telinga seakan-akan pekak, hanya
sekejap saja baju sudah basah kuyup oleh cipratan air terjun. Ia lihat di
tengah danau terdapat suatu pusaran air yang sedang berputar dengan keras sekali.
Karena didekati, pelangi tadi lantas tidak kelihatan lagi.
Waktu Toan Ki hitung-hitung,
sudah hari ketiga sejak ia jatuh ke dalam jurang. Lewat empat hari lagi,
seumpama tidak mati kelaparan, kalau racun Toan-jiong-san di dalam perut mulai
bekerja, sekalipun dia tidak sampai mati, tentu kawanan Sin-long-pang akan
membunuh Ciong Ling.
Ke sana ke sini juga mati,
tidakkah lebih baik terjun ke tengah pusaran air saja untuk melihat apakah ada
sesuatu di dasar danau itu. Karena menghadapi jalan buntu, terpaksa mati-matian
mencari selamat, kedua, dia memang bersemangat banteng, sekali ingin berbuat,
segera dilaksanakannya.
Karena itu, tanpa pikir lagi
terus saja ia terjun ke tengah pusaran air itu. Seketika tubuhnya digulung oleh
suatu tenaga mahadahsyat terus berputar ke bawah. Lekas ia tutup pernapasannya,
sebaliknya pasang mata lebarlebar, ia lihat sekitarnya hanya air buram belaka,
ia terhanyut ke dasar danau oleh arus air yang keras berasal dari air terjun di
atas itu.
Toan Ki hanya sekadar bisa
berenang saja, terhanyut di tengah arus air yang keras itu, ia tak bisa
menguasai diri lagi, tubuhnya berputar-putar dan sebentar saja ia sudah
megap-megap kemasukan air, seketika pikirannya samar-samar, hanya merasa
terhanyut terus oleh arus air dan entah berapa jauhnya.
Sekonyong-konyong tubuh terasa
dilemparkan oleh tenaga pusaran ke atas permukaan air. Ketika Toan Ki
menggeraki tangannya serabutan, untung dapat menangkap seutas akar rotan, cepat
saja ia pegang kencangkencang.
Setelah tenangkan diri
sejenak, ia membuka mata dan melihat sekitarnya gelap gulita. Ia coba ulur kaki
kanan ke depan dan terasa masih menginjak tanah, segera kaki yang lain ikut
melangkah maju, tapi kedua tangan masih tidak berani melepaskan pegangannya
pada akar rotan tadi.
Setelah belasan tindak
jauhnya, ia merasa air hanya sebatas betis kaki, arus air pun tidak terlalu
keras lagi, segera ia lepaskan rotan tadi dan berdiri tegak.
Tapi mendadak
"blang", batok kepalanya kebentur sesuatu yang menonjol, saking
kesakitan hampir saja ia jatuh kelengar. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang
kurang hati-hati. Waktu meraba ke atas, benda itu terasa dingin keras, kiranya
batu padas.
Setelah berpikir sejenak, Toan
Ki tahu dirinya tadi telah terbawa ke dasar danau oleh pusaran air yang
dahsyat, tapi arus air itu ada jalan buangannya, maka dirinya ikut terbawa pula
sampai di tempat buangan air itu.
Meski keadaannya sekarang
banyak celaka daripada selamatnya, namun selama masih ada harapan, ia pantang
menyerah, segera ia merangkak maju mengikuti lorong buangan air itu. Ia dengar
suara gemerujuknya air terkadang cepat dan terkadang lambat mengalir di kanan
kirinya.
Setelah merangkak sebentar,
lorong itu makin melebar hingga akhirnya dapatlah ia berdiri sambil membungkuk.
Ia berjalan terus, akhirnya dapatlah ia berjalan dengan tegak. Cuma sering ia
menginjak lubang di bawah air hingga mendadak badan terendam air sebatas
pinggang. Lain saat di atas kepala tiba-tiba menonjol batu padas hingga hampir
kepalanya benjut lagi kebentur. Untung kedua tangannya terjulur ke depan
sebagai pembuka jalan, kalau tidak entah berapa kali kepalanya akan bertambah
telur ayam.
Setelah berjalan lagi,
tiba-tiba Toan Ki teringat pada Jing-leng-cu, ia coba meraba pinggang,
syukurlah binatang itu masih melilit di situ tanpa kurang apa-apa. Ia merasa
pengalamannya hari ini benar-benar merupakan pengalaman aneh selama hidup yang
susah diperoleh orang lain.
Sudah turun-temurun ahli waris
Bu-liang-kiam suka termangu-mangu memandangi dinding batu itu, tapi sekali-kali
tidak mereka sangka bahwa orang harus terjun ke dalam jurang, di situlah mereka
akan menemukan apa yang diharapkan itu pada malam hari di bawah sinar bulan
purnama.
Namun seumpama sudah melihat
bayangan pedang dan batu mestika di dinding itu, kalau tiada punya semangat
berani mati, rasanya juga takkan berani melompat ke tengah pusaran air yang
berarus dahsyat itu.
Semakin dipikir, semakin
senang hati Toan Ki. Tanpa tertahan lagi ia terbahak-bahak, lalu ia bergumam
sendiri, "Wahai, Toan Ki! Jika hari ini jiwamu jadi melayang, itu berarti
tamatlah riwayatmu. Tapi kalau beruntung bisa keluar dengan selamat, bolehlah
kau mengejek Co Cu-bok dan murid-muridnya yang sombong tapi tak becus
itu."
Habis berkata, ia
terbahak-bahak pula dengan keras.
Tak tersangka, mendadak di
sebelah kanan sana juga ada orang menirukan tertawanya yang terbahak-bahak itu.
Keruan Toan Ki kaget, ia berhenti tertawa, segera suara tawa itu pun lenyap.
"Siapa itu?" seru
Toan Ki.
"Siapa itu?"
terdengar pula suara serupa di sana.
"Kau setan atau
manusia?" teriak Toan Ki lagi.
"Kau setan atau
manusia?" suara itu tetap menirukannya.
Setelah tertegun sejenak,
akhirnya Toan Ki sadar dan tertawa geli sendiri, gerutunya, "Kurang ajar,
kiranya adalah kumandang suaraku sendiri."
Tapi segera timbul curiganya
lagi, "Hanya lembah gunung atau sebuah ruangan besar yang dapat
menimbulkan kumandang suara. Jika begitu, di sebelah kanan sana tentu ada suatu
tempat yang luas. Haha, jika bukannya aku kegirangan hingga terbahak-bahak
tawa, tentu aku takkan tahu di sini masih ada suatu tempat lain lagi."
Jilid 03
Begitulah ia terus
berteriak-teriak sambil menuju ke tempat datangnya suara itu. Tiada lama ia
merasa berada di suatu tempat yang luang, tangannya tidak meraba sesuatu lagi.
Tiba-tiba kehilangan sentuhan,
Toan Ki merasa takut malah. Setindak demi setindak ia maju terus, kaki merasa
tidak mendapat rintangan apa-apa lagi. Sekonyong-konyong tangan menyentuh
sesuatu yang dingin. Begitu tersenggol, benda itu terus menerbitkan suara
nyaring "cring”, ketika diraba lagi lebih teliti, kiranya sebuah gembok
besar.
Kalau ada gembok dengan
sendirinya ada pintu.
Maka cepat Toan Ki meraba-raba
pula, benar juga dari atas ke bawah ada belasan paku pintu yang besar-besar.
Dalam kejut dan girangnya ia heran pula kenapa di tempat seperti ini ada
penghuninya?
Segera ia angkat gembok tadi
mengetuk pintu beberapa kali. Tapi sampai lama tiada jawaban apa-apa dari
dalam. Kembali ia ketuk-ketuk dan tetap tiada suara sahutan. Maka ia coba
dorong pintu itu.
Pintu itu sangat antap seperti
terbuat dari baja. Tapi tidak dipalang dari dalam, maka perlahan Toan Ki
mendorong dan segera pintu itu terbuka. Dengan suara lantang Toan Ki lantas
berseru, "Cayhe Toan Ki secara sembrono telah masuk ke sini, mohon tuan
rumah suka memaafkan.”
Ia berhenti sejenak dan tidak
mendengar sesuatu suara di dalam, lalu ia melangkah masuk.
Meski waktu itu ia sudah
berada di dalam pintu, tapi biarpun matanya melotot hingga biji mata
seakan-akan melompat keluar tetap tidak melihat sesuatu benda, hanya hidungnya
merasakan bau di sini tidak selembap seperti di lorong air tadi. Ia berjalan
terus ke depan, mendadak "blang”, sungguh sial, kembali batok kepalanya
kebentur sesuatu.
Syukur ia berjalan perlahan,
maka benturan itu tidak terlalu sakit. Waktu diraba, kiranya di situ ada sebuah
pintu pula. Perlahan Toan Ki mendorongnya hingga terbuka, tapi di dalam tetap
gelap gulita.
Dan begitulah seterusnya,
beruntun-runtun Toan Ki telah melalui enam buah pintu. Ketika memasuki pintu
keenam itu, mendadak
pandangannya terbeliak terang, kontan jantung Toan Ki ikut memukul, serunya di
dalam hati, "Ah, akhirnya dapatlah kukeluar dengan selamat!”
Waktu ia perhatikan, kiranya
tempat itu adalah sebuah kamar batu berbentuk bulat, sinar terang itu tembus
dari sudut kiri sana, cuma agak remang-remang, seperti bukan cahaya matahari.
Ia coba mendekati lubang yang tembus sinar itu, tiba-tiba dilihatnya ada seekor
udang besar berenang lewat. Ia sangat heran, ia maju lebih dekat, terlihat pula
beberapa ekor ikan berwarna-warni sedang berenang di luar sana dengan bebasnya.
Ketika diawasi lagi, kiranya lubang jendela itu terbuat dari sepotong batu
kristal yang dipasang di dinding itu, besarnya kira-kira sama dengan baskom dan
sinar tembus dari kaca yang berjumlah tiga buah itu.
Toan Ki coba mengintip keluar
melalui kaca itu, ia lihat di luar sana warna air hijau kebiruan bergerak-gerak
tak pernah berhenti, banyak jenis ikan dan udang berenang kian kemari dengan
bebasnya.
Maka pahamlah Toan Ki bahwa
tempat dirinya berada ini pasti berada di dasar air, kalau bukan di dasar
danau, tentu di dasar sungai.
Rupanya pembangun rumah ini
dahulu telah banyak mengorbankan jerih payah tenaga dan pikiran baru dapat
menarik cahaya air itu ke dalam ruangan, dan ketiga potong batu kaca itu jelas
adalah batu mestika yang tiada tara nilainya.
Ketika berpaling, Toan Ki
melihat di tengah kamar batu itu terdapat sebuah meja batu, di depan meja ada
bangku, di atas meja tertaruh sebuah cermin perunggu. Di samping cermin
terdapat sebangsa sisir, tusuk kundai dan sebagainya. Agaknya bekas kamar kaum
wanita.
Cermin perunggu itu tepinya
sudah berlumut, di atas meja juga banyak debunya, entah sudah berapa lama tiada
orang menginjak kamar ini.
Melihat keadaan itu, seketika
Toan Ki terkesima malah, pikirnya, "Lama berselang, tentu ada seorang
wanita tinggal kesepian di sini. Entah sebab apa hingga dia begitu sedih hingga
meninggalkan pergaulan ramai untuk mengasingkan diri di sini.”
Setelah termangu-mangu
sejenak, ia periksa pula kamar itu, ia lihat di sekitar dinding kamar penuh
terpasang cermin perunggu, sekadar dihitung saja sudah lebih dari 30 buah. Toan
Ki makin heran, pikirnya, "Tampaknya wanita yang tinggal di sini ini pasti
cantik tiada bandingannya, maka setiap hari senantiasa bercermin, suasana
begini sungguh memesona.”
Ia mondar-mandir di dalam
kamar itu, sebentar berkecek-kecek kagum, lain saat menghela napas gegetun, ia
kasihan pada wanita cantik
yang belum pernah dikenalnya itu.
Selang agak lama, mendadak ia
teringat, "Haya, celaka! Aku hanya memikirkan urusan orang lain tapi lupa
pada kepentingan sendiri. Kalau di sini pun tiada jalan keluar, lalu bagaimana
nasibku?”
Waktu ia periksa sekitar
kamar, terang sekali tiada jalan tembus lain lagi, dalam keadaan putus asa, ia
duduk di atas bangku batu sambil mengomel diri sendiri, "Aku Toan Ki
sungguh seorang lelaki dungu, kalau mati di sini hanya bikin kotor tempat si
cantik saja. Kalau mau mati, sepantasnya mati di lorong sana. Eh, sebelum ajal,
biarlah kulihat wajahku sendiri ini macam apa?”
Segera ia gunakan lengan baju
untuk menggosok cermin perunggu di atas meja itu hingga gilap, lalu ia duduk di
bangku untuk mengaca, tapi letak cermin agak jauh hingga mukanya kurang jelas,
maka ia bermaksud menggeser cermin itu lebih dekat.
Tak tersangka cermin itu
ternyata menempel erat di atas meja batu, sekali cermin itu ditarik, seketika
bangku yang diduduki itu terasa bergoyang.
Dalam kagetnya Toan Ki sangat
girang, cepat ia berbangkit dan menarik cermin itu lebih kuat, maka
terdengarlah suara keriang-keriut, bangku batu mulai bergeser hingga tertampak
sebuah lubang di bawahnya. Ketika dipandang, di bawah lubang itu terdapat
undak-undakan batu yang menurun ke bawah.
"Terima kasih kepada langit
dan bumi, akhirnya aku Toan Ki mendapatkan jalan keluar,” seru Toan Ki
kegirangan. Terus saja ia turun ke bawah mengikuti undak-undakan batu itu.
Kira-kira belasan undakan,
kemudian membelok ke atas, berlingkar-lingkar, makin jauh makin tinggi, setelah
menikung beberapa kali lagi, akhirnya pandangan Toan Ki terbeliak terang, tapi
mendadak ia menjerit kaget pula ketika tahu-tahu di depannya berdiri seorang
wanita cantik berpakaian putri istana dengan pedang terhunus lagi mengancam
dadanya.
Sekilas Toan Ki merasa wanita
ini cantik luar biasa dan sukar dilukiskan, selama hidupnya belum pernah
melihat wanita ayu seperti ini. Saking kejutnya sampai mulut Toan Ki ternganga.
Selang agak lama, ia lihat
wanita ini tetap tidak bergerak sedikit pun, ketika diawasi ia lihat wanita itu
meski cantik dan agung, tapi bukan manusia hidup.
Waktu diperhatikan lagi
barulah ia tahu orang hanya sebuah patung yade putih saja. Cuma patung ini
besarnya seperti manusia biasa, baju sutera putih yang dipakai juga bisa
bergerak-gerak, yang lebih aneh adalah biji matanya seakan-akan bersinar hidup.
Saking terpesona Toan Ki
sendiri tidak menyadari sudah berapa lama ia memandang patung itu, akhirnya ia
pun tahu biji mata patung itu adalah buatan dari batu permata hitam. Dan
sebabnya patung itu mirip benar dengan manusia hidup adalah karena biji matanya
yang bersinar yang terbuat dari batu permata itu. Bahkan muka patung jelita
yang terukir dari batu kemala putih ini pun bersemu merah hingga tiada ubahnya
seperti manusia hidup.
Ketika Toan Ki miringkan
kepala memandang patung itu, ia lihat sorot mata patung itu pun ikut mengerling
ke sana seakan-akan hidup, keruan Toan Ki terkejut, ia coba memandangnya dari
arah lain lagi, dan sorot mata patung itu pun mengerling mengikuti arahnya, dari
sudut mana dia memandang, sorot mata patung juga selalu memandang kepadanya,
perasaan yang terkandung dalam sinar mata patung itu pun sukar diraba, seperti
girang, seakan-akan sedih, entah suka, entah marah, seperti kemalu-maluan, tapi
juga seperti lagi murung.
Toan Ki terkesima sejenak, ia
kemudian membungkuk tubuh memberi hormat, katanya, "Enci Dewi, hari ini
Toan Ki beruntung dapat bertemu dengan engkau, sungguh mati pun aku tidak
menyesal. Enci Dewi tinggal seorang diri di sini, apakah tidak merasa kesepian?”
Aneh bin ajaib, sorot mata
patung itu seakan-akan berubah lain, agaknya dapat menerima apa yang diucapkan
Toan Ki itu. Sebaliknya pemuda itu sendiri seakan-akan kesurupan setan saja,
pandangannya tidak pernah lagi meninggalkan patung kemala itu. Katanya pula,
"Enci Dewi, entah siapakah namamu?”
Segera ia pikir barangkali di
sekitar sini dapat ditemukan sesuatu catatan. Ia coba memandang seputarnya,
tapi baru beberapa kejap, tak tahan lagi ia memandang patung itu lagi.
Kini barulah ia tahu bahwa
rambut patung itu adalah rambut manusia tulen, gelung yang agak mengendur ke
bawah seakan-akan tersampir di pundak, di atas gelungan terdapat sebuah tusuk
kundai kemala berhiaskan dua butir mutiara mestika sebesar jari yang bersinar
mengilat.
Ia lihat di sekitar dinding
ruangan penuh terhias macam-macam batu permata hingga menyilaukan mata. Di
dinding sebelah barat sana jelas tertampak ada delapan huruf yang dibentuk dari
batu intan kecil. Arti dari kedelapan huruf itu adalah, "Rahasia Bu-liang
dapat ditemukan dengan membuka baju.”
Toan Ki terperanjat, gumamnya
sendiri, "Membuka baju Enci Dewi? Mana boleh jadi!”
Walaupun patung itu bukan
manusia hidup, tapi sekali pandang Toan Ki sudah kesengsem, sedikit pun ia
tidak berani berlaku kurang ajar. Pikirnya, "Memangnya aku tidak ingin
tahu segala rahasia apa, umpama ingin juga tidak berani berbuat sembrono
terhadap Enci Dewi. Untung sebelum ini tiada orang lain mendatangi tempat ini
lebih dulu, kalau tidak, wanita cantik tiada bandingannya ini bukankah akan
dibikin kotor oleh segala manusia rendah? Ehm, paling baik aku harus hilangkan
huruf-huruf itu agar kelak bila ada orang lain datang ke sini tidak akan bikin
kotor patung cantik ini.”
Ia lihat di pojok kamar sana
banyak tertumpuk cermin perunggu, sedikitnya ada ratusan buah. Segera ia
mengambilnya sebuah dan dipakai menggempur batu permata yang membentuk
kedelapan huruf tadi. Khawatir masih ada bekasnya, Toan Ki gosok-gosok pula
lubang-lubang kecil bekas gigitan batu permata itu hingga rata benar.
Selesai itu, Toan Ki merasa
sudah berjasa bagi "patung dewi” itu, betapa senangnya sukar dikatakan.
Kembali di depan patung itu,
ia termangu-mangu lagi seperti orang linglung, bahkan hidungnya seakan-akan
mencium bau wangi. Dari suka timbul rasa hormatnya, dari hormat ia menjadi
kesengsem. Mendadak ia berteriak, "Enci Dewi, jika engkau bisa hidup dan
bicara sepatah saja padaku, biarpun aku harus mati seratus kali, bahkan seribu
kali bagimu, aku rela dan senang tak terhingga.”
Tiba-tiba ia berlutut dan
menyembah pada patung dewi. Dan karena berlututnya inilah baru ia tahu bahwa di
depan patung itu memang terdapat dua buah kasuran tikar seperti disediakan
untuk orang bersembahyang. Tikar yang dipakai berlutut Toan Ki itu agak besar,
di dekat kaki patung masih ada sebuah kasur tikar yang lebih kecil, agaknya
disediakan bila yang sembahyang menjura dengan manggutkan kepala ke lantai.
Ketika Toan Ki mulai
menyembah, ia lihat di tepi kedua sepatu patung itu seperti tersulam tulisan.
Ketika diperhatikan, ia dapat
membaca tulisan di tepi sepatu kiri berbunyi, "Menjura seribu kali, turut
segala perintahku.”
Dan di tepi sepatu kanan
bertulis, "Pasti mengalami malapetaka, badan celaka nama musnah.”
Tulisan-tulisan yang
masing-masing terdiri dari delapan huruf itu kecil bagai lalat, sepatu patung
itu berwarna hijau tua, kalau tidak menyembah pasti tak mengetahui di bawah
situ ada tulisannya. Sekalipun dapat melihatnya, orang biasa bila membaca
kata-kata, "Menjura seribu kali, turut segala perintahku”, tentu akan
merasa enggan, bagi yang berwatak keras dan tinggi hati, boleh jadi patung itu
akan didepak.
Apalagi tulisan yang berbunyi,
"Pasti mengalami malapetaka, badan celaka nama musnah”, lebih-lebih
membikin siapa pun marah bila
membacanya.
Tapi kini Toan Ki sudah
kesengsem benar-benar terhadap patung dewi itu, ia merasa menjura seribu kali
juga pantas, malahan kalau bisa menjadi pesuruh sang dewi, itulah melebihi
harapannya. Sedang mengenai bakal mengalami malapetaka, badan celaka dan nama musnah
demi sang dewi, betapa pun ia rela.
Sebenarnya kalau orang biasa,
bila melihat tulisan itu, andaikan tidak marah, paling-paling juga tertawa dan
anggap sepele saja. Tapi dasar Toan Ki sudah kesengsem bagai orang linglung, ia
benar-benar terus menjura, sekali, dua kali, tiga kali ... empat belas, lima
belas ... dua puluh ... tiga puluh ....
Sambil mulutnya menghitung,
dengan sangat khidmat ia menjura tiada hentinya.
Kira-kira menjura lebih 500
kali, Toan Ki merasa kaki sakit, boyok pegal, leher cengeng. Tapi demi sang
dewi, betapa pun harus bertahan sampai titik penghabisan, ia sudah bertekad
menjura sampai selesai 1.000 kali.
Sampai lebih 800 kali,
tiba-tiba kasur kecil yang dibuat ganjal anggukan kepala itu perlahan ambles ke
bawah. Setiap kali kepalanya mengangguk, kasur kecil itu lantas ambles lagi
sedikit.
Setelah berpuluh kali menjura
pula, tiba-tiba dilihatnya tempat yang ambles itu menongol tiga buah ujung
panah yang mengarah miring ke atas dan tepat mengincar batok kepalanya.
Lamat-lamat tertampak ujung panah itu gemerlapan, batang panah terpasang pegas.
Setelah berpikir sejenak,
segera Toan Ki paham persoalannya. Katanya di dalam hati, "Wah, hampir
celaka! Kiranya di bawah situ ada perangkapnya berupa panah beracun. Untung aku
menjura dengan menghormat sungguh-sungguh sehingga kasur itu ambles perlahan
dan panah berbisa itu tidak menjeplak keluar. Jika aku berlaku kasar dan
mendepak-depak kasuran itu, sekali alat perangkap terguncang, panah berbisa itu
mungkin sudah menancap di perutku. Biarlah kuhabiskan menjura seribu kali,
ingin kulihat ada perubahan apa lagi.”
Segera ia menjura pula dan
selesaikan jumlah 1.000 kali itu. Ketika mendongak, ia lihat tempat yang ambles
tadi terdapat sepotong pelat baja, di atasnya ada ukiran tulisan, segera Toan
Ki ambil pelat baja itu dan membacanya, "Karena kau sudah menjura seribu
kali, kini kau telah menjadi muridku. Nasibmu selanjutnya akan sangat
mengenaskan. Ilmu silat golongan kita yang tiada bandingannya di kolong langit
ini berada di dalam kamar batu, harap dipelajari dengan tenang.”
Sungguh kecewa Toan Ki. Justru
karena tak mau belajar silat, maka ia minggat dari rumah. Dengan sendirinya
sekarang ia pun tidak ingin belajar ilmu silat tiada bandingan di kolong langit
apa segala.
Dengan hati-hati ia kembalikan
pelat baja tadi ke tempatnya. Ketika berdiri lagi, ia merasa kaki kemeng kaku
seluruhnya, hampir saja ia jatuh terguling.
Setelah termangu-mangu
sejenak, kemudian ia memberi hormat pula dan berkata, "Enci Dewi, aku
tidak mau menjadi muridmu, ilmu silatmu yang tiada bandingan di kolong langit
pun aku tidak mau belajar. Hari ini aku masih ada urusan penting, sementara ini
kumohon diri. Nanti kalau nona Ciong sudah kuselamatkan, tentu aku akan datang
kemari untuk berkumpul lagi dengan Enci Dewi.”
Dengan perasaan berat ia
melangkah keluar kamar batu itu. Ia lihat undak-undakan batu di luar kamar
miring ke atas, ia melangkah naik dengan ragu-ragu, beberapa kali ia ingin
menoleh ke belakang untuk memandang patung cantik itu, syukur imannya cukup teguh,
akhirnya ia bisa mengekang diri.
Kira-kira ratusan undakan ke
atas, ia sudah membelok tiga kali, lamat-lamat terdengar suara gemuruh air.
Setelah beratus undakan lagi, suara air semakin keras seakan-akan memekak
telinga, lalu tertampak ada cahaya menembus masuk dari depan sana.
Toan Ki percepat langkahnya
hingga tibalah di ujung terakhir undak-undakan batu itu. Ternyata di situ ada
sebuah lubang yang cukup untuk dilalui tubuh manusia. Ia coba melongok keluar
dengan kepala menongol lebih dulu, tapi ia menjadi kaget.
Di luar sana arus
mendebur-debur, gulung-gemulung dengan hebatnya, ternyata sebuah sungai besar.
Kedua tepi sungai penuh tebing curam, batu padas sungsang timbul di sana-sini,
Toan Ki yakin tempat ini pasti lembah sungai Lanjong.
Kejut dan girang rasa hati
Toan Ki. Cepat ia merangkak keluar dari lubang gua itu. Ternyata tempat dirinya
berada ini kira-kira belasan tombak tingginya di atas permukaan sungai, biarpun
air sungai naik pasang melanda juga takkan mencapai mulut gua ini.
Tapi untuk bisa mencapai
daratan, ia perlu juga merayap melalui tebing-tebing curam. Namun berkat
bantuan Jing-leng-cu, walaupun dengan susah payah, akhirnya dapatlah Toan Ki
sampai di tempat yang aman. Ia ingat baik-baik keadaan sekitar tempat ini agar
kelak bila urusannya beres, ia ingin datang lagi ke tempat yang maharahasia
ini.
Ia melanjutkan perjalanan
dengan menyusur tepi sungai yang penuh batu karang, setelah beberapa li
jauhnya, Toan Ki melihat sebuah pohon Tho yang lagi berbuah, memangnya sudah
sangat lapar, segera Toan Ki panjat ke atas pohon dan petik buah Tho itu untuk
tangsel perut. Habis makan, semangatnya dapat dipulihkan.
Setelah belasan li lagi,
akhirnya sampailah di suatu jalan kecil. Ia maju terus mengikuti jalan kecil
itu. Ketika hampir magrib baru ia menemukan, "jembatan rantai besi” yang
melintang terapung di antara kedua tepi sungai. Ia lihat di atas batu ujung
jembatan gantung itu terukir tiga huruf "Sian-jin-toh” atau jembatan orang
bajik.
Melihat nama jembatan itu,
kembali Toan Ki bergirang, memang itulah jembatan yang dicari sesuai dengan
petunjuk Ciong Ling. Terus saja ia menyeberangi jembatan.
Jembatan itu terdiri dari
empat utas rantai besi yang sambung-menyambung, dua utas bagian bawah diberi
papan kayu untuk jalan, dua utas yang lain dipakai pegangan orang menyeberang.
Begitu Toan Ki menginjak
jembatan gantung itu, segera rantai jembatan bergontai-gontai. Sampai di tengah
sungai, guncangan jembatan itu semakin hebat. Sekilas pandang ke bawah, air
sungai tampak mengombak dan berdebur dengan hebatnya, bila terpeleset jatuh ke
bawah, betapa pun pandai berenang rasanya juga takkan mampu melawan ombak yang
luar biasa itu.
Toan Ki tak berani menengok
lagi ke bawah, ia pandang lurus ke depan, dengan berdebar-debar setindak demi
setindak ia merambat ke ujung sana.
Ia duduk mengaso sejenak di
tepi jembatan, kemudian baru melanjutkan perjalanan menurut petunjuk yang
pemberian Ciong Ling itu.
Menurut Ciong Ling, lembah
pegunungan kediamannya itu bernama "Ban-jiat-kok” atau lembah berlaksa
maut. Jalan masuknya adalah sebuah kuburan.
Setelah berliku-liku melintasi
bukit dan menyusur rimba, ketika sampai di tempat kuburan yang dicari itu, hari
sudah remang-remang gelap.
Ia hitung dari kiri ke kanan
dan mendapatkan kuburan nomor tujuh, ia lihat di depan kuburan itu terdapat sepotong
batu nisan yang bertuliskan "Kuburan Ban Siu Toan.”
Toan Ki tercengang, pikirnya:
"Aneh benar nama ini? Kenapa bernama ‘Siu Toan’ (dendam pada Toan)?”
Waktu Ciong Ling
memberitahukan tempat tinggalnya, gadis itu menjelaskan kalau mesti mencari
kuburan ketujuh dihitung dari kiri, tapi tidak menerangkan apa yang tertulis
pada batu nisan.
Kini melihat nama "Ban
Siu Toan” yang aneh itu, Toan Ki menjadi ragu. Ia lihat sekitarnya sunyi senyap
penuh kuburan, hanya terkadang terdengar suara keresek daun pohon yang bergerak
terembus angin senja.
Toan Ki tak berani ayal,
segera ia menurut petunjuk Ciong Ling dan menarik batu nisan tadi ke kiri,
menyusul menarik lagi dua kali ke kanan dan kembali sekali pula ke kiri. Habis
itu ia mendepak tiga kali ke tengahtengah tulisan pada batu nisan itu. Tulisan
yang tepat didepaknya itu adalah huruf "Toan”, yaitu nama keluarga Toan Ki
sendiri. Diam-diam ia geli sendiri, bila orang lain, tidak sudi mendepak huruf
yang menjadi nama keluarga sendiri itu.
Dalam pada itu tiba-tiba dua
potong batu di samping kuburan itu mendadak bergerak hingga tertampak sebuah
lubang masuk.
Toan Ki coba melongok ke
dalam, tapi keadaan gelap gulita, ia tabahkan diri dan melangkah masuk lubang
itu, sambil tangan meraba-raba dan membelok suatu tikungan, akhirnya ia melihat
di depan sana ada setitik sinar pelita. Segera ia mendekatinya, tapi ia menjadi
kaget, ternyata di samping pelita itu terdapat sebuah peti mati.
Sesuai petunjuk Ciong Ling,
Toan Ki lantas tiup padam pelita itu hingga keadaan menjadi gelap pekat. Selang
tak lama terdengar suara keriang-keriut beberapa kali, tutup peti mati tadi
terbuka sendiri, lalu terdengar suara seorang wanita sedang menegur,
"Apakah Siocia yang datang?”
"Cayhe bernama Toan Ki,”
cepat Toan Ki menyahut, "atas permintaan nona Ciong, kuingin bertemu
dengan Kokcu (pemilik lembah).”
Terdengar wanita itu bersuara
heran, rupanya agak terkejut atas kedatangan Toan Ki, katanya, "Ja ...
jadi kau orang luar? Dan di manakah Siocia kami?”
"Nona Ciong terancam
bahaya, Cayhe membawa berita kemari,” sahut Toan Ki.
"Tunggu sebentar, biar
kulaporkan pada Hujin (nyonya),” kata wanita itu.
Toan Ki menyatakan baik, ia
pikir kebetulan, memangnya nona Ciong suruh aku menemui ibunya lebih dulu,
tampaknya urusan ini memberi harapan bagus.
Setelah agak lama berdiri
menunggu dalam kegelapan, akhirnya Toan Ki mendengar suara tindakan orang
mendatangi, terdengar suara wanita itu berkata padanya, "Hujin menyilakan
tuan tamu masuk!”
"Aku tidak bisa melihat,”
kata Toan Ki, "terlalu gelap!”
Tiba-tiba terasa sebuah tangan
terjulur menarik tangan kanannya dan melangkah masuk ke dalam peti mati, lalu
menurun melalui undak-undakan batu.
Setelah beberapa ratus tindak,
mendadak pandangannya menjadi terang. Rupanya Toan Ki telah dibawa ke suatu
tempat yang penuh tumbuh-tumbuhan bunga. Wanita itu lepaskan tangan Toan Ki
yang digandengnya dan berkata, "Tuan tamu silakan ikut padaku.”
Di bawah sinar bulan, Toan Ki
melihat wanita itu berusia antara 14-15 tahun, berdandan pelayan, mungkin
adalah dayang yang melayani Ciong Ling.
Maka Toan Ki coba bertanya,
"Siapakah nama Cici?”
"Sssstt!” pelayan itu
mendesis sambil menoleh dan menggoyang-goyang tangan tanda jangan bersuara.
Melihat wajah pelayan itu
menampilkan rasa takut, maka Toan Ki tidak tanya lebih lanjut.
Dayang itu membawa Toan Ki
menyusur rimba dan menuju ke kiri melalui suatu jalan kecil. Sampai di depan
sebuah rumah genting, perlahan pelayan itu mengetok pintu tiga kali, dengan
perlahan daun pintu lantas terpentang.
Pelayan itu memberi tanda,
Toan Ki disilakan masuk dahulu, ia sendiri berdiri ke samping pintu.
Waktu Toan Ki melangkah ke
dalam, ia lihat di situ adalah sebuah ruangan tamu, di atas meja tersulut
sebatang lilin besar hingga jelas kelihatan perabotan dalam ruangan itu sangat
indah, di atas dinding tergantung beberapa lukisan, dekorasi dalam ruangan tamu
yang tidak terlalu luas itu ternyata sangat serasi.
Sesudah Toan Ki ambil tempat
duduk, pelayan tadi menyuguhkan teh, katanya, "Silakan Kongcu minum,
sebentar Hujin akan keluar!”
Sehabis Toan Ki minum,
terdengarlah suara tindakan orang perlahan, dari dalam muncul seorang nyonya
berbaju sutera hijau muda, usianya sekitar 40-an tahun, wajahnya putih ayu dan
rada mirip dengan Ciong Ling.
Menduga tentu inilah ibu Ciong
Ling, cepat Toan Ki berbangkit dan memberi hormat, katanya, "Wansing (saya
yang muda) Toan Ki menyampaikan salam pada Pekbo (bibi).”
Mendengar itu, nyonya Ciong
rada tercengang, dengan sikap yang anggun ia membalas hormat orang. Ketika Toan
Ki mendongak hingga mukanya kelihatan jelas, mendadak air muka Ciong-hujin
berubah hebat sambil terhuyung-huyung mundur dua tindak, katanya dengan
tergegap, "Kau ... kau ....”
"Ada apa Pekbo?” tanya
Toan Ki heran.
"Kau ... kau juga she
Toan?” Ciong-hujin menegas.
Barulah sekarang Toan Ki ingat
pada pesan Ciong Ling yang pernah minta agar dia jangan mengaku she Toan. Tapi
ia pikir orang she Toan di dunia ini sangat banyak, melulu daerah Hunlam saja
tidak kurang beratus ribu lelaki she Toan, belum tentu setiap orang she Toan
mahir ilmu It-yang-ci, sebab itulah ia tidak perhatikan pesan gadis itu.
Kini demi tampak wajah
Ciong-hujin yang terkejut itu, baru Toan Ki paham apa yang dikatakan Ciong Ling
itu sebenarnya mengandung maksud mendalam. Tapi urusan sudah terlambat,
terpaksa ia menjawab, "Ya, Wansing she Toan.”
"Kongcu berasal dari
mana? Dan siapakah nama orang tua Kongcu?” tanya nyonya Ciong lagi.
Toan Ki pikir sekarang harus
berdusta agar asal usulku tak diketahui, maka jawabnya, "Wansing berasal
dari Li-an-hu di daerah Kanglam, ayah bernama Toan Liong.”
Ciong-hujin menghela napas
lega oleh jawaban itu, setelah tenangkan diri, katanya pula, "Silakan
Kongcu duduk.”
Setelah kedua orang sama-sama
ambil tempat duduk, nyonya Ciong tidak membuka suara lagi, tapi terus
mengamat-amati Toan Ki dari
kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan. Keruan Toan Ki menjadi kikuk, akhirnya ia
bicara lebih dulu, "Putri nyonya sedang terancam bahaya, Wansing sengaja
datang memberi kabar.”
"Ah! Kenapa dengan
putriku?” seru Ciong-hujin tersadar dari lamunannya.
Segera Toan Ki melepaskan
Jing-leng-cu dari pinggangnya dan diserahkan pada nyonya rumah, katanya,
"Harap Pekbo periksa, ini adalah benda pengenal putrimu yang dibawakan
pada Wansing.”
Melihat ular hijau itu,
Ciong-hujin berkerut kening dan mengunjuk rasa jemu, ia sedikit menghindar ke
belakang sambil berkata, "Kiranya Kongcu juga tidak takut pada binatang
berbisa ini. Harap letakkan di pojok rumah sana saja.”
Diam-diam Toan Ki heran
melihat nyonya rumah itu jeri pada ular. Ia taruh Jing-leng-cu di sudut ruangan
yang ditunjuk itu. Lalu menceritakan pertemuannya dengan Ciong Ling di
Kiam-oh-kiong di atas Bu-liang-san dan cara bagaimana dirinya menerbitkan
gara-gara hingga bikin marah kawanan Sin-long-pang, di mana terpaksa Ciong Ling
melepaskan Kim-leng-cu, tapi akhirnya gadis itu tertawan serta dirinya dipaksa
datang kemari minta pertolongan. Semuanya Toan Ki ceritakan, hanya
pengalamannya melihat patung kemala di dasar danau itu tak disebut-sebut.
Sambil mendengarkan,
Ciong-hujin diam saja, air mukanya makin lama makin menampilkan rasa sedih.
Setelah Toan Ki menutur, dengan menghela napas barulah ia berkata, "Anak
perempuan ini memang terlalu nakal, begitu keluar rumah lantas bikin onar.”
"Peristiwa ini adalah
gara-gara perbuatanku, tak boleh menyalahkan nona Ciong,” ujar Toan Ki.
Dengan termangu-mangu
Ciong-hujin memandangi anak muda itu, sahutnya dengan lirih, "Ya, memang
tak dapat menyalahkan dia. Dahulu aku pun demikian ....”
"Apa itu?” Toan Ki
menegas.
Ciong-hujin terkesiap hingga
wajah bersemu merah, meski usianya sudah setengah umur, tapi sikap malu-malu
kucingnya itu ternyata tiada ubahnya seperti gadis remaja. Dengan likat ia
menjawab, "O, aku ... aku hanya teringat pada sesuatu kejadian.”
Dan karena berkata
"sesuatu kejadian” itu, wajahnya tampak semakin merah jengah, cepat ia
membelokkan pokok pembicaraan, "Kukira urusan ... urusan ini agak sulit
diselesaikan.”
Melihat sikap nyonya rumah
yang kemalu-maluan itu, diam-diam Toan Ki pikir sang ibu ternyata lebih pemalu
daripada putrinya yang lincah dan binal itu.
Pada saat itulah, tiba-tiba
terdengar suara seorang berkata di luar sana dengan nada dingin, "Hm,
apakah tidak pernah kau dengar peraturan di Ban-jiat-kok kami ini?”
Cong-hujin terkejut mendengar
suara itu, dengan perlahan katanya pada Toan Ki, "Suamiku datang, dia ...
dia suka mencurigai orang, sementara harap Toan-kongcu bersembunyi dahulu.”
"Tapi akhirnya Wansing
toh harus menjumpai Ciong-cianpwe, lebih baik ....” belum selesai ucapan Toan
Ki, cepat tangan Ciong-hujin sudah mendekap mulutnya, lalu menyeretnya ke suatu
kamar di sebelah timur sana.
"Sembunyi saja di sini,
sekali-kali jangan bersuara,” pesan nyonya rumah. "Watak suamiku sangat
keras dan pemarah, bila ketahuan jiwamu akan terancam dan aku pun tak bisa
menolongmu.”
Jangan sangka nyonya rumah itu
tampaknya lemah lembut, ilmu silatnya ternyata sangat lihai, sedikit pun Toan
Ki tak bisa berkutik kena dipegang dan diseret tadi, terpaksa ia menurut saja.
Hanya dalam hati pemuda itu rada mendongkol, "Jauh-jauh kudatang memberi
kabar, jelek-jelek aku adalah tamu, kenapa mesti disuruh main sembunyi seperti
pencuri saja?”
Dalam pada itu terdengar pula
suara seorang wanita di balik dinding papan sana sedang berkata, "Suciku
ini dipagut ular berbisa, jiwanya terancam bahaya, maka mohon Locianpwe suka
memberi pertolongan ....”
Sembari berkata, terdengar
suara tindakan tiga orang memasuki ruangan sebelah.
Waktu Toan Ki mengintip
melalui celah-celah dinding, ia lihat seorang wanita berbaju hijau, menggembol
pedang di punggung, tangan memondong seorang wanita lain dan tiada hentinya
minta ditolong.
Di samping sana ada seorang
laki-laki berbaju hitam bertubuh tinggi kurus, muka menghadap ke luar, maka
wajahnya tidak kelihatan, cuma dari kedua tangannya yang lebar terjulur ke
bawah itu, jelas bentuknya sangat aneh luar biasa.
Kemudian terdengar suara
Ciong-hujin lagi tanya, "Siapakah kedua tamu ini? Ada keperluan apakah
datang ke
lembah sini?”
Wanita baju hijau tadi menaruh
kawan yang dipondongnya itu ke lantai, lalu bertanya, "Nyonya tentulah
Ciong-hujin?”
Ciong-hujin mengangguk.
"Siaulicu (aku perempuan
yang muda) bernama Hoan He, anak murid Hoa-san-pay dari Siamsay, terimalah
hormatku ini,” kata wanita baju hijau sambil memberi hormat.
"Ah, nona Hoan tak perlu
banyak adat,” cepat Ciong-hujin membalas hormat sembari membangunkan orang.
Toan Ki melihat Hoan He itu
kira-kira berusia 27-28 tahun, beralis tebal dan bermata besar, gagah mirip kaum
pria.
Terdengar ia berkata lagi,
"Siaulicu bersama Suci, Si Hun, oleh karena ada keperluan berkunjung ke
daerah Hunlam sini, ketika lewat Bu-liang-san, Suci yang kurang hati-hati
mendadak dipagut oleh seekor ular emas kecil ....”
Mendengar kata-kata "ular
emas kecil”, hati Toan Ki tergerak, pikirnya, "Jangan-jangan yang
dimaksudkan itu adalah Kim-leng-cu piaraan nona Ciong?”
"Sebab apakah sampai
dipagut oleh ular emas itu?” tanya nyonya Ciong.
"Waktu itu kami merasa
lelah dan duduk mengaso di tepi jalan,” demikian tutur Hoan He. "Tiba-tiba
tertampak seekor ular emas kecil merayap keluar dari semak-semak rumput, karena
tertarik oleh warna emas gemerlap ular itu. Suci telah mencukitnya dengan
pedang. Tak tersangka ular kecil itu terus melejit ke atas dan menggigit sekali
pada pergelangan tangan Suci. Seketika itu juga Suci jatuh pingsan ....”
Tiba-tiba laki-laki berbaju
hitam tadi menyela, "Asal kau bunuh ular emas itu dan telan empedunya,
jiwa lantas dapat tertolong.”
Jawab Hoan He,
"Pergi-datang ular emas itu teramat cepat, sekali melejit lagi lantas
menghilang di tengahtengah semak-semak rumput, pula Siaulicu sibuk menolong
Suci, tidak terpikir bahwa ular itu harus dibunuh.”
"Bagus bila kau tahu
bahwa pergi-datang Kim-leng-cu itu secepat kilat,” kata laki-laki baju hitam
itu dengan terbahak-bahak. "Orang yang berilmu silat sepuluh kali lebih
tinggi daripadamu juga takkan mampu mengatasi binatang itu. Dasar cari
penyakit, tanpa sebab kenapa mesti mengutik-utik ular itu dengan pedang? Ha,
mampus juga pantas.”
"Sudahlah, orang sudah
terluka dan jauh-jauh datang ke sini minta tolong padamu, buat apa menyakiti
perasaan orang malah?” ujar sang istri.
Mendengar nada ucapan
Ciong-hujin itu, barulah Toan Ki tahu bahwa laki-laki berbaju hitam itu
tak-lain takbukan adalah ayah Ciong Ling, pemilik Ban-jiat-kok ini.
Dalam pada itu lelaki baju
hitam itu sedang terbahak-bahak pula sambil berpaling. Melihat mukanya, Toan Ki
menjadi kaget. Ternyata muka orang ini berbentuk lonjong mirip muka kuda, kedua
mata tumbuh terlalu tinggi, hidungnya yang besar sebaliknya hampir berdesakan
dengan mulutnya yang lebar, hingga di tengah muka terluang suatu bagian yang
kosong.
Wajah Ciong Ling cantik molek,
sungguh tak nyana bahwa ayah kandungnya bisa begini jelek mukanya.
Tadinya wajah Ciong-kokcu itu
penuh senyum ejekan, tapi demi berpaling ke arah sang istri, wajahnya yang
jelek itu tampak berubah lemah lembut, katanya dengan tertawa, "Baiklah,
apa yang Niocu (istriku) katakan, aku hanya menurut saja.”
Diam-diam Toan Ki heran pula,
pikirnya, "Aneh! Tadi ketika mendengar sang suami datang, Ciong-hujin
tampak sangat takut, tapi kalau melihat sikap Ciong-kokcu sekarang, ia justru
sangat cinta dan menghormat kepada sang istri.”
Rupanya Hoan He juga sudah
dapat melihat gelagat itu, segera ia berlutut dan berkata pula, "Mohon
Ciongkokcu dan Ciong-hujin sudi menolong jiwa Suciku, bukan saja kami berdua
akan sangat berterima kasih, pun guruku akan merasa utang budi.”
"Gurumu tentunya si
bopeng Pho Pek-ki, bukan?” tanya Ciong-kokcu. "Hm, dia adalah angkatan
muda, perlu apa kuharapkan dia utang budi padaku. Dahulu ketika aku meninggal,
kenapa dia tidak datang melawat? Apa dia kira aku tidak tahu? Aku justru tahu
jelas biarpun berada di dalam peti mati ini.”
Ucapannya itu tidak hanya
membikin Toan Ki tercengang, sekalipun Hoan He juga dibuatnya bingung.
Pikirnya, "Engkau masih hidup segar bugar seperti ini, kenapa bilang sudah
meninggal dan bicara tentang melawat serta peti mati segala?”
Tiba-tiba Ciong-kokcu tanya
lagi dengan suara keras, "Sudah sekian tahun aku meninggal dunia, orang
luar tiada yang tahu bahwa aku masih hidup. Lalu siapakah yang memberi petunjuk
padamu untuk mencariku ke sini dan dari mana kau kenal jalan masuk
Ban-jiat-kok?”
Pertanyaan ini dilakukan
dengan nada bengis, alisnya menekuk ke bawah dan mulut merot, sikapnya sangat
menakutkan.
Maka jawablah Hoan He,
"Waktu Siaulicu merasa bingung ingin menolong jiwa Suci dan lekas-lekas
berlari ke kota untuk mencari tabib, tiba-tiba kulihat di tepi jalan ada
seorang nona berbaju hitam sedang mengulur tangan hendak menangkap seekor ular
kecil. Ular itu berwarna emas mengilat, terang itu ular berbisa yang baru saja
memagut Suci. Maka cepat Siaulicu berseru memperingatkan nona baju hitam itu
agar jangan main-main dengan ular berbisa jahat itu. Tak tersangka nona itu
sama sekali tidak gubris pada peringatanku, ia malah menangkap ular emas itu
terus dimasukkan ke dalam bajunya. Melihat itu, Siaulicu menjadi girang, sebab
kupikir orang yang dapat mengatasi ular itu tentu dapat pula mengobati pagutan
sang ular. Segera Siaulicu memohon dengan sangat, namun nona itu menjawab tak
bisa mengobati bisa ular itu, ia bilang di seluruh jagat hanya ada seorang yang
mampu menyembuhkan pagutan ular emas itu, maka aku diberi petunjuk untuk datang
kemari mohon pertolongan Ciong-kokcu. Ketika Siaulicu minta tanya nama nona
baju hitam itu, namun dia tak mau memberi tahu.”
Mendengar uraian itu,
Ciong-kokcu dan sang istri saling pandang sekejap, lalu berkata dengan
menjengek, "Huh, kiranya dia. Orang ini tidak bermaksud baik, selalu ingin
memaksa aku keluar dari lembah ini. Ya, semuanya gara-gara Ling-ji, dia
sembarangan membawa Kim-leng-cu keluar lembah hingga menimbulkan onar saja.”
Lalu ia berpaling dan tanya
Hoan He, "Lalu, apa yang dikatakan lagi oleh perempuan itu?”
"Tidak ada lagi,” sahut
Hoan He.
"Betul tidak ada lagi?”
Ciong-kokcu menegas dengan dingin.
Hoan He menyahut dengan
gelagapan, "Nona ... nona itu seperti berkata bahwa ‘Jalan hidup melulu
satu ini, cuma, sekali sudah masuk ke sana, belum tentu dapat keluar lagi
dengan selamat. Maka kau pikir masak-masak sebelumnya.”
"Benar!” ujar
Ciong-kokcu. "Dan kau sudah pikirkan tidak?”
Cepat Hoan He berlutut menjura
pula sambil memohon, "Mohon belas kasihan Ciong-kokcu dan Hujin.”
"Bangunlah,” sahut
Ciong-kokcu. "Aku mempunyai dua jalan bagimu dan boleh kau pilih mana
suka. Pertama, kau dan Sucimu selama hidup tinggal di lembah ini melayani
istriku. Jalan kedua, tangan kalian berdua harus dipotong, lidah diiris, agar
sesudah keluar dari sini tidak membocorkan rahasiaku.”
"Tapi ... tapi Siaulicu
ditugaskan Suhu untuk menyelesaikan suatu urusan penting di Hunlam sini,” sahut
Hoan He setengah meratap, "sebelum tugas itu terlaksana, bukankah berarti
melanggar perintah guru bila harus tinggal di sini ....”
"Jadi kau pilih jalan
kedua saja?” kata Ciong-kokcu.
Tiba-tiba Hoan He merangkak
maju dan merangkul kedua kaki Ciong-hujin sambil meratap, "Mohon belas
kasihan Hujin, Siaulicu berjanji sesudah keluar lembah ini pasti akan tutup
mulut serapatnya, kalau berani bicara satu patah kata saja, biarlah aku mati
tercencang tak terkubur.”
"Hm, aku Ciong Ban-siu
bila bukan lantaran terlalu percaya pada sumpah orang, rasanya hari ini takkan
mengumpet di lembah maut ini sebagai orang mati, mengkeret serupa kura-kura,”
tiba-tiba Ciong-kokcu tertawa menjengek, dan tangan kiri terulur, tahu-tahu
leher baju Hoan He kena dicengkeramnya terus diangkat ke atas.
Perawakan tubuh Hoan He di
kalangan wanita sudah tergolong tinggi, tapi kena diangkat oleh Ciong Ban-siu,
kakinya lantas kontal-kantil setinggi hampir satu meter. Saking kaget dan
takutnya Hoan He menjerit, berbareng kaki kanan terus menendang ke dada Ciong
Ban-siu.
Namun sama sekali Ciong
Ban-siu tak menghindar, ia membiarkan dada ditendang orang. Maka terdengarlah
suara "krek” sekali, tahu-tahu tulang kaki Hoan He sendiri yang patah
malah.
Menyusul tangan kanan Ciong Ban-siu
bergerak, sinar tajam berkelebat, agaknya tangannya itu telah menyiapkan
semacam senjata pendek sebangsa belati, maka terdengarlah suara
"crat-cret” dua kali, kedua tangan Hoan He terkutung sebatas pergelangan.
Ciong-hujin hanya mendengus
saja menyaksikan itu.
Segera Ciong Ban-siu
memasukkan jarinya pula ke mulut Hoan He, terdengar nona itu berseru tertahan
sekali, darah lantas mengucur dari mulutnya, lidah telah diiris putus juga.
Berdebar hati Toan Ki
menyaksikan adegan mengerikan itu, ia dekap mulut sendiri, sedikit pun tak
berani bersuara, pikirnya, "Meski kau kutungi kedua tangan dan iris
lidahnya, dia kan masih punya kaki yang dapat dipakai menggores tulisan di atas
tanah, akhirnya dia bisa juga membocorkan rahasia Ban-jiat-kok ini.”
Ia lihat Ciong Ban-siu
melemparkan tubuh Hoan He yang sudah pingsan saking kesakitan itu, lalu Si Hun
yang menggeletak di tanah tak sadarkan diri itu diseretnya dan diperlakukan
seperti Hoan He, kedua tangannya dikutungi dan lidahnya dipotong.
Melihat kekejaman orang, Toan
Ki naik darah, tak terpikir lagi olehnya akibat apa yang bakal menimpa dirinya,
mendadak ia membentak, "Pengecut yang rendah tak kenal malu, kau
benar-benar terlalu keji!”
Bentakan Toan Ki membuat Ciong
Ban-siu kaget, lebih-lebih Ciong-hujin, ia ketakutan hingga pucat bagai kertas.
Dengan langkah lebar terus
saja Toan Ki keluar dari balik dinding papan itu, ia tuding Ciong Ban-siu dan
mendamprat, "Ciong siansing, nyalimu terlalu kecil, caramu ini bukanlah
perbuatan seorang laki-laki sejati!”
Melihat wajah Toan Ki, air
muka Ciong Ban-siu berubah hebat dan terkesiap, katanya, "Apakah kau ...
kau ... ah, tak mungkin ....”
"Cayhe bernama Toan Ki,”
segera pemuda itu perkenalkan diri, "sedikit pun aku tidak paham ilmu
silat, maka hendak kau korek atau kau bunuh, boleh kau lakukan sesukamu. Tapi
kalau kau lepaskan aku dari sini, perbuatanmu yang kejam tak berperikemanusiaan
ini pasti akan kusiarkan di dunia Kangouw, biar setiap orang kenal manusia
macam apakah Ciong Ban-siu itu?”
"Hahaha!” tidak gusar
Ciong Ban-siu, malah tertawa. "Manusia macam apa Ciong Ban-siu, masakah
orang Kangouw tidak tahu? Kau bocah ini apa tidak kenal julukanku dahulu di
dunia Kangouw?”
"Tidak tahu,” sahut Toan
Ki.
"Aku Ciong Ban-siu,
berjuluk ‘Kian-jin-ciu-sat’ (melihat orang lantas membunuh)!” kata Ciong
Ban-siu
dengan sikap sangat bangga.
Toan Ki tercengang oleh
julukan itu, tapi dalam dadanya segera bergolak pula oleh semangat banteng,
dengan lantang katanya, "Jadi membunuh secara kejam orang tak berdosa
memang dasar watakmu. Cuma umumnya kalau orang suka membunuh, biasanya pasti
tidak takut pada langit dan gentar pada bumi, masakan bisa pengecut seperti
kau, takut kepala sembunyi buntut, jeri di muka khawatir di belakang.”
Rupanya ucapan Toan Ki itu
tepat menusuk perasaan Ciong Ban-siu hingga seketika ia malah tidak gusar.
Toan Ki memang tidak pikirkan
mati hidupnya sendiri lagi, segera ia berkata pula, "Kulihat ilmu silatmu
sangat tinggi, kusangka engkau tentu seorang laki-laki berjiwa baja, bila tak
bisa mengalahkan orang, seharusnya kau labrak dia mati-matian, sekalipun
akhirnya harus gugur bersama. Tapi engkau justru main sembunyi, khawatir orang
membocorkan tempat mengumpetmu, lantas kau siksa dan menganiaya seorang wanita
yang tak mampu melawan kau, apakah ... apakah perbuatanmu ini adalah kelakuan
seorang jantan tulen?”
Wajah Ciong Ban-siu tampak
sebentar pucat sebentar merah padam, seakan-akan apa yang dikatakan Toan Ki itu
setiap kalimatnya kena benar menusuk lubuk hatinya, tiba-tiba sinar matanya
yang bengis mencorong tajam, tampaknya segera akan membunuh orang.
Tapi setelah tertegun sejenak,
mendadak ia menggebrak meja, "blang”, meja di sebelahnya sempal separuh,
menyusul sebelah kakinya melayang, dinding papan jebol berlubang, sambil tutup
mukanya dengan kedua tangan sendiri segera berseru, "Ya, aku pengecut, aku
pengecut!”
Mendadak ia lari keluar.
Dalam keadaan demikian, saking
ketakutan Ciong-hujin sampai gemetar dan bersandar di dinding, sama sekali tak
tersangka olehnya sekali ini sang suami tidak membunuh Toan Ki.
Ia menoleh dan tanya,
"Toan-kongcu, apa be ... benar kau tak bisa ilmu silat?”
Sembari berkata, dengan
perlahan tangan menabok punggung pemuda itu.
Tempat yang ditabok itu adalah
tempat mematikan di tubuh manusia, asal sedikit ia gunakan Lwekang, tidak mati
pun Toan Ki akan terluka parah. Namun pemuda itu memang benar-benar tak bisa ilmu
silat, maka sedikit pun ia tak kenal bahaya, dengan jujur ia menjawab,
"Wansing memang tak pernah belajar silat, kepandaian
yang melulu dipakai mencelakai
orang ini tiada harganya untuk kupelajari.”
"Be ... besar amat
nyalimu, ternyata se ... serupa benar dengan dia,” kata Ciong-hujin.
"Serupa dengan siapa?”
Toan Ki menegas.
Kembali wajah Ciong-hujin
bersemu merah, ia tidak menjawab pertanyaan orang, sebaliknya ia tepuk tangan
dua kali, maka keluarlah pelayan tadi.
"Bubuhi obat luka pada
kedua nona itu untuk mencegah darah mengucur terlampau banyak,” pesan nyonya
rumah itu.
Pelayan itu mengiakan dan
memondong Si Hun dan Hoan He ke dalam kamar, dari sikapnya yang sedikit pun
tidak heran atau kaget, agaknya soal sang suami membunuh dan menganiaya orang
sudah biasa dilihatnya.
Sambil bertopang dagu
Ciong-hujin terombang-ambing dalam lamunannya, seperti ada sesuatu kesulitan
mahabesar yang sukar diputuskan.
Tadi Toan Ki hanya terdorong
oleh darah panas yang timbul seketika, maka berani mendamprat Ciong Ban-siu,
tatkala itu ia sudah nekat. Tapi kini demi melihat darah berlumuran di lantai,
hatinya menjadi takut lagi. Pikirnya, "Aku harus lekas-lekas berusaha
melarikan diri, kalau tidak, bukan saja jiwa akan melayang, bahkan akan mati
dengan mengenaskan.”
Segera ia menghampiri ambang
pintu sambil memberi hormat pada nyonya rumah dan berkata, "Wansing sudah
menunaikan tugas menyampaikan berita, kini mohon Hujin lekas berdaya untuk
menolong putrimu.”
"Nanti dulu, Kongcu,”
sahut Ciong-hujin.
Karena itu Toan Ki tidak jadi
tinggal pergi.
"Mungkin Kongcu tidak
tahu bahwa suamiku pernah bersumpah selama hidup takkan keluar dari lembah
ini,” kata nyonya rumah itu kemudian. "Sebab itulah, meski putriku itu
tertawan musuh, rasanya suamiku takkan pergi menolongnya .... Ah, urusan sudah
telanjur begini, terpaksa aku saja yang ikut pergi bersama Kongcu.”
Kejut dan girang Toan Ki,
sahutnya, "Bila Ciong-hujin sudi pergi bersamaku, itulah paling baik.”
Tiba-tiba ia teringat pada apa
yang dikatakan Ciong Ling bahwa satu-satunya orang yang sanggup menyembuhkan
racun Kim-leng-cu hanya ayahnya saja, maka cepat ia tanya pula nyonya rumah
apakah juga bisa mengobati racun Kim-leng-cu?
Ciong-hujin geleng-geleng
kepala, sahutnya, "Aku tak bisa mengobati.”
"Jika ... jika begitu
....” namun belum selesai Toan Ki berkata, nyonya rumah itu sudah tinggal masuk
ke kamarnya.
Setelah tinggalkan secarik
surat singkat dan berbenah seperlunya, segera Ciong-hujin keluar lagi dan
berkata, "Marilah kita berangkat!”
Segera ia mendahului jalan di
depan.
Tersipu-sipu Toan Ki mengikut
di belakang nyonya rumah itu, namun dia masih sempat menjemput pula Jingleng-cu
dan diubet di pinggang.
Jangan sangka Ciong-hujin
tampaknya lemah gemulai, jalannya ternyata jauh lebih cepat daripada Toan Ki.
Karena tahu nyonya rumah itu
tak bisa mengobati racun Kim-leng-cu, betapa pun Toan Ki masih merasa khawatir.
Maka ia coba tanya lagi, "Jika Hujin tak bisa menyembuhkan racun ular,
mungkin Sin-long-pang tak mau membebaskan putrimu itu.”
"Siapa yang ingin minta
mereka bebaskan Ling-ji?” sahut Ciong-hujin tak acuh. "Kalau Sin-long-pang
berani menahan putriku untuk memeras aku, itu berarti mereka sudah bosan hidup.
Kalau tak bisa menolong orang, masakan membunuh tak mampu?”
Toan Ki bergidik, ia merasa
kata-kata Ciong-hujin yang sederhana itu, maksudnya membunuh orang yang
terkandung di dalamnya tidak di bawah perbuatan Ciong Ban-siu yang bengis dan
kejam itu. Namun lahirnya Ciong-hujin lemah lembut, kalau dibandingkan, rasanya
lebih menakutkan orang.
Sambil bicara, kedua orang
sudah berlari beberapa li jauhnya. Tiba-tiba terdengar suara teriakan orang di
belakang, "Hujin, engkau ... engkau hendak ke mana?”
Waktu Toan Ki menoleh, siapa
lagi dia kalau bukan Ciong Ban-siu yang sedang mengejar datang secepat terbang.
Sekonyong-konyong Ciong-hujin
ulur tangan ke ketiak Toan Ki sambil membentak, "Lekas!”
Segera ia angkat tubuh pemuda
itu dan dibawa melesat ke depan.
Seketika Toan Ki merasa kedua
kaki terapung di atas tanah, ia dikempit oleh Ciong-hujin dan tak bisa
berkutik. Maka kejar-mengejar itu segera berlangsung dengan cepat, dalam
sekejap saja mereka sudah berlari sepuluh tombak jauhnya.
Ginkang atau ilmu
mengentengkan tubuh Ciong-hujin ternyata lebih tinggi setingkat daripada sang
suami, cuma betapa pun ia membawa beban seorang, yaitu Toan Ki, maka lambat
laun dapatlah disusul oleh Ciong Ban-siu.
Diam-diam Toan Ki ikut
khawatir, ia tahu asal bisa keluar mulut lembah, Ciong Ban-siu sudah bersumpah
itu tentu takkan mengudak lebih jauh.
Dalam saat demikian, terkilas
suatu pikiran dalam benaknya, "Meski ilmu silat adalah kepandaian yang
suka bikin celaka orang, tapi kalau aku mahir Ginkang, rasanya ada faedahnya
juga.”
Nyata, dalam keadaan kepepet
begini, ia jadi ingin bisa berlari lebih cepat.
Sementara itu tinggal belasan
tombak lagi sudah bisa keluar dari lembah itu. Toan Ki merasa suara napas Ciong
Ban-siu sudah terdengar di belakangnya. Mendadak, "bret”, Toan Ki merasa
punggungnya silir dingin, bajunya kena dijambret sobek sebagian oleh Ciong
Ban-siu.
Tiba-tiba Ciong-hujin angkat
tubuh Toan Ki dan dilemparkan sekuatnya ke depan sambil membentak, "Lekas
lari!”
Menyusul tangan yang lain
sudah lantas lolos pedang terus menusuk ke belakang dengan maksud merintangi
kejaran sang suami.
Hakikatnya Ciong-hujin tiada
maksud mencelakai suami sendiri. Tak terduga tusukannya itu benar-benar
mengenai dada sang suami. Ternyata sama sekali Ciong Ban-siu tidak menghindar
atau berkelit, tapi rela ditusuk oleh sang istri.
Keruan Ciong-hujin terkejut,
cepat ia menoleh, seketika ia tidak berani tarik pedangnya, ia lihat wajah sang
suami penuh rasa sesal dan cemas, kelopak matanya mengembeng air, dadanya
berlumuran darah, katanya, "Wan-jing, jadi akhir ... akhirnya akan kau
tinggalkan daku?”
Melihat tusukannya itu tepat
mengenai dada sang suami, meski tidak mengenai ulu hati, tapi ujung pedang juga
ambles beberapa senti ke dalam, karena khawatir akan jiwa sang suami, cepat
Ciong-hujin mencabut pedang terus menubruk maju untuk menutupi luka tusukan
itu, ia lihat darah menyembur keluar melalui celah-celah jarinya.
"Kenapa engkau tidak
menghindar?” tegur Ciong-hujin dengan gusar.
"Jika engkau toh akan
tinggalkan diriku, lebih baik aku mati saja,” sahut Ciong Ban-siu tersenyum
getir.
"Siapa bilang aku hendak
meninggalkan kau?” kata Ciong-hujin. "Aku hanya pergi buat beberapa hari
saja dan segera kembali. Kepergianku adalah untuk menolong putri kita.”
Segera ia ceritakan secara
singkat tentang tertawannya Ciong Ling oleh orang-orang Sin-long-pang.
Menyaksikan itu, Toan Ki
terkesima, ia tidak jadi melarikan diri, tapi setelah menenangkan diri, cepat
ia sobek lengan baju sendiri dan hendak membalut luka Ciong Ban-siu.
Tak terduga mendadak sebelah
kaki Ciong Ban-siu terangkat hingga Toan Ki kena ditendang terjungkal,
bentaknya, "Anak haram, aku tidak sudi melihat cecongormu!”
Lalu ia berpaling kepada sang
istri dan berkata, "Aku ... aku tidak percaya, tentu kau berdusta, sudah
terang dia ... dia datang ke sini mengundangmu. Anak jadah ini sekalipun
menjadi abu juga aku mengenalnya, malah dia ... dia tadi telah menghinaku.”
Habis berkata, ia
terbatuk-batuk dengan hebat.
Dan karena batuk, darah yang
mengucur dari lukanya itu bertambah hebat. Mendadak ia teringat sesuatu,
katanya kepada Toan Ki, "Ayolah maju, kenapa tidak maju? Meskipun aku
terluka parah, belum tentu kujeri pada kau punya It-yang-ci! Ayolah maju!”
Karena tendangan tadi, jidat
Toan Ki membentur sepotong batu kecil yang tajam hingga terluka, cepat ia
merangkak bangun sambil memegangi jidatnya yang benjut itu, lalu menjawab,
"Cayhe Toan Ki dari daerah Kanglam, sesungguhnya tidak paham tentang
It-yang-ci segala!”
Kembali Ciong Ban-siu
terbatuk-batuk, bentaknya dengan gusar, "Anak jadah, apa kau berlagak
dungu? Pergilah me ... memanggil bapakmu kemari!”
Karena gusarnya itu, batuknya
makin menjadi-jadi.
"Dalam keadaan demikian,
penyakitmu suka curiga tetap tidak berubah,” kata Ciong-hujin. "Kalau
engkau tidak percaya padaku, lebih baik aku mati di hadapanmu saja.”
Terus saja ia jemput pedangnya
dan hendak menggorok leher sendiri.
Cepat Ciong Ban-siu rebut
pedang itu, air mukanya berubah girang, katanya, "Niocu, jadi sungguh
engkau bukan hendak ikut minggat dengan anak jadah ini?”
"Orang adalah Toan-kongcu
yang terhormat, kenapa kau maki dia anak jadah segala?” omel Ciong-hujin.
"Kepergianku ikut Toan-kongcu adalah hendak membunuh habis Sin-long-pang
untuk menolong putri mestika kita.”
Walaupun terluka parah, namun
demi tampak sikap sang istri yang mengomel dan marah kecil, rasa cinta kasih
Ciong Ban-siu semakin berkobar, dengan tersenyum ia menyahut, "Jika
demikian halnya, ya, akulah yang salah.”
Ketika Ciong-hujin periksa
luka sang suami, ia lihat darah masih merembes keluar dengan deras. "Ba
... bagaimana baiknya, ini?” ratapnya khawatir.
Girang Ciong Ban-siu tidak
kepalang, ia rangkul pinggang sang istri dan berkata, "Wan-jing, engkau
begini memerhatikan diriku, biarpun aku mati seketika juga rela.”
Muka Ciong-hujin menjadi
merah, perlahan ia buang tangan sang suami dan menyahut, "Toan-kongcu
berada di sini, kenapa main pegang-pegang begini?”
Dan karena melihat keadaan
sang suami tampak bertambah payah dan wajah pucat, ia menjadi khawatir, katanya
pula, "Sudahlah aku tak pergi menolong Ling-ji, dia berbuat onar sendiri,
biar dia terima nasib saja.”
Lalu ia bangunkan sang suami
dan berkata kepada Toan Ki, "Toan-kongcu, harap kau sampaikan pada Sikong
Hian bahwa suamiku sudah ... sudah mati. Jika dia berani mengganggu seujung
rambut putriku itu, suruh jangan lupa pada keganasan ‘Hiang-yok-jeh Bok
Wan-jing’!”
Melihat keadaan demikian, Toan
Ki pikir Ciong Ban-siu jelas takkan ikut pergi, Ciong-hujin juga tidak tega
meninggalkan sang suami untuk menolong putrinya, hanya mengandalkan kata-kata
"Hiang-yok-jeh (si kuntilanak) Bok Wan-jing” apakah dapat menggertak
Sikong Hian, sungguh masih disangsikan. Tampaknya racun "Toan-jiong-san”
yang masih mengeram di dalam perutku sendiri ini pasti tak dapat diobati lagi.
Untuk sejenak ia tertegun, ia
pikir urusan sudah demikian, banyak omong juga percuma, maka sahutnya kemudian,
"Jika begitu, baiklah Wansing segera berangkat menyampaikan pesan Hujin
itu.”
Melihat ketegasan anak muda
itu, sekali bilang berangkat lantas berangkat, sedikit pun tidak ragu-ragu, hal
ini membuat Ciong-hujin teringat pada seseorang. Segera serunya, "Nanti
dulu, Toan-kongcu, masih ada yang hendak kukatakan!”
Perlahan ia taruh sang suami
ke tanah, lalu memburu ke dekat Toan Ki, ia mengeluarkan sepotong barang dan
diserahkan pada pemuda itu, bisiknya, "Bawalah benda ini kepada Toan
Cing-bing, lekas ....”
Mendengar nama "Toan
Cing-bing”, air muka Toan Ki berubah.
Dasar nyonya Ciong atau Bok
Wan-jing memang cermat, ketika mengucapkan "Toan Cing-bing” tadi, dia
memang ingin tahu perubahan wajah Toan Ki. Karena itulah perlahan ia menghela
napas, katanya pula, "Apakah sekarang engkau hendak membohongi aku?
Lekaslah kau pergi dan semoga bisa tiba di sana tepat pada waktunya, agar jiwa
Ling-ji dan kau sendiri tertolong.”
Tanpa menunggu jawaban Toan
Ki, segera ia putar balik ke samping sang suami dan membawanya pergi.
Waktu Toan Ki periksa barang
yang diterimanya dari Ciong-hujin, ia lihat benda itu adalah sebuah kotak kecil
bersepuh emas yang sangat indah.
Ketika tutup kotak ia buka,
tertampak isinya hanya secarik kertas melulu yang warnanya sudah menguning,
terang karena disimpan terlalu lama, malahan di atas kertas lamat-lamat masih
kelihatan ada bekas tetesan darah.
Di atas kertas tertulis,
"Tahun Kui-hay, bulan dua, tanggal lima, waktu Niu.”
Gaya tulisannya bagus dan
halus, seperti ditulis oleh kaum wanita. Lebih dari itu tiada barang lain lagi.
Diam-diam Toan Ki membatin,
"Ini adalah surat lahir (Pek-ji) seseorang, Ciong-hujin menyuruhku
menyerahkannya pada ayah, entah apakah maksud tujuannya. Masakah secarik surat
lahir begini bisa menolong jiwa nona Ciong dan nyawaku? Tampaknya Ciong-hujin
sudah dapat menerka bahwa aku adalah putranya ayah, sebaliknya Ciong Ban-siu
berulang-ulang memaki aku, agaknya ia pun kenal wajahku mirip ayah. Apakah
barangkali dia ada permusuhan dengan ayah?”
Sedang Toan Ki melamun sambil
berjalan, tiba-tiba dari belakang terdengar suara seruan seorang tua,
"Tunggu dulu Toan-kongcu!”
Waktu Toan Ki menoleh, ia
lihat seorang tua berbaju pendek kasar lagi menyusulnya dengan cepat. Sesudah
dekat, orang tua itu memberi hormat dan berkata, "Hamba bersama Ciong Hok.
Atas perintah Hujin agar membawa Kongcu keluar lembah ini.”
"Baik,” sahut Toan Ki
mengangguk.
Segera Ciong Hok berjalan di
depan, akhirnya mereka tiba di mulut lembah, yaitu melalui peti mati dan
kuburan yang pernah dimasuki Toan Ki itu. Lalu Ciong Hok membawa Toan Ki
melalui suatu jalan kecil lain hingga 6-7 li pula jauhnya, akhirnya sampailah
di depan sebuah gedung besar.
"Harap Kongcu tunggu
sebentar,” kata Ciong Hok. Tanpa mengetuk pintu lagi, terus saja hamba itu
melompat ke dalam gedung dengan melintasi pagar tembok.
Sementara itu hari sudah
gelap, memandangi sinar bintang yang berkelip-kelip di tengah cakrawala,
tiba-tiba Toan Ki terkenang pada patung dewi cantik yang dijumpainya di dasar
danau itu.
Tengah pikiran Toan Ki melayang-layang
jauh, tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda di halaman gedung, mendengar suara
binatang yang nyaring panjang itu, tak tertahan Toan Ki berseru memuji,
"Kuda bagus!”
Kemudian tampak pintu gedung
terbuka dan menongol sebuah kepala kuda, di tengah malam gelap, kedua mata
binatang itu tampak bersinar, hanya sekali pandang saja sudah kelihatan kuda
itu memang lain dari yang lain.
"Prak-prak” dua kali,
seekor kuda hitam mulus tampak melangkah keluar. Perlahan sekali suara yang
dijangkitkan derap kaki binatang itu, agaknya seekor kuda kecil. Tapi bila
melihat perawakan kuda itu, ternyata keempat kakinya panjang, tangkas gagah.
Yang menuntun kuda adalah seorang pelayan kecil, dalam kegelapan tidak jelas
mukanya, usianya kira-kira belasan tahun dan tentunya wajahnya juga tidak
jelek.
Ciong Hok ikut keluar di
belakang kuda itu, katanya, "Toan-kongcu, Hujin khawatir engkau tak bisa
tepat waktunya tiba di Tayli, maka sengaja pinjam kuda bagus ini pada tuan
rumah di sini untuk tunggangan Kongcu.”
Sudah banyak juga kuda bagus
yang pernah dilihat Toan Ki, dari suara ringkikan kuda ini tadi, ia tahu pasti
seekor kuda bagus pilihan yang jarang terdapat.
Maka sahutnya, "Terima
kasih!”
Segera ia hendak menarik tali
kendali.
Perlahan kacung tadi mengelus
leher kuda itu, katanya dengan suara halus, "Oh-bi-kui, Oh-bi-kui! Siocia
meminjamkanmu kepada Kongcuya ini, kau harus menurut perintahnya. Lekas pergi
dan cepat kembali!”
Kuda hitam yang diberi nama
Oh-bi-kui atau mawar hitam itu berpaling dan menggosok-gosokkan lehernya ke
lengan si pelayan, sikapnya sangat manja. Lalu pelayan itu menyerahkan tali
kendali kepada Toan Ki dan berpesan, "Kuda ini jangan dipecut, semakin
baik kau perlakukan dia, semakin cepat larinya.”
"Baiklah,” sahut Toan Ki.
"Nah, Siocia mawar hitam, terimalah hormatku ini!”
Sembari berkata, ia
benar-benar membungkukkan tubuh kepada binatang itu.
Pelayan kecil itu mengikik
geli, katanya, "Lucu juga engkau ini. Eh, hati-hati, ya! Jangan terperosot
jatuh!”
Namun soal menunggang kuda tidaklah
asing bagi Toan Ki, sejak kecil ia sudah biasa. Maka dengan enteng saja ia
mencemplak ke atas kuda hitam itu dan berkata pada si pelayan, "Sampaikan
terima kasihku kepada Siociamu!”
"Dan tidak terima kasih
padaku?” ujar si pelayan tertawa.
Toan Ki memberi hormat,
katanya, "Terima kasih pada Cici, Nanti kalau datang lagi akan kubawakan
banyak permen untukmu.”
"Sudahlah, jiwamu sendiri
perlu dijaga baik-baik, bisa datang lagi atau tidak masih disangsikan, siapa
ingin pada permen segala?” sahut si pelayan tertawa manis.
Ciong Hok ikut berkata juga,
"Harap Kongcu menjaga diri baik-baik, dari sini lurus ke utara akan sampai
di jalan raya yang menuju ke Tayli, maafkan hamba tidak mengantar lebih jauh.”
Toan Ki melambaikan tangan
sebagai tanda berpisah, lalu melarikan kudanya ke depan.
Oh-bi-kui alias mawar hitam
itu ternyata tidak perlu diperintah, di tengah malam buta larinya secepat
terbang. Toan Ki hanya merasa tumbuh-tumbuhan di sekitarnya tiada hentinya
melesat lewat di sampingnya.
Yang paling hebat adalah
anteng sekali menunggang di atas kuda itu, sangat sedikit terasa
guncanganguncangan, pikir Toan Ki, "Demikian cepat lari kuda ini, rasanya
lewat tengah hari besok sudah bisa sampai di Tayli. Tapi ayah belum tentu sudi
ikut campur urusan tetek bengek di dunia Kangouw ini, apakah aku terpaksa harus
memohon Toapek (paman tertua)? Ai, urusan sudah telanjur begini, terpaksa harus
kuserahkan pada Toapek dan ayah.”
Tiada sejam lamanya, sudah
puluhan li jauhnya, dalam malam gelap terasa angin silir sejuk, hawa malam
sangat nyaman. Selagi Toan Ki merasa senang, sekonyong-konyong ada seorang
membentak di depan, "Perempuan keparat, lekas berhenti!”
Menyusul sinar tajam
berkelebat, sebatang golok lantas membacok.
Namun kuda hitam itu benar-benar
teramat cepat, baru golok itu diayunkan, binatang itu sudah melompat lewat
sejauh setombak lebih. Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat dua laki-laki bersenjata
golok dan tombak lagi mengejar dari belakang dengan cepat sambil memaki kalang
kabut, "Perempuan keparat! Pakai menyamar segala, apa dikira Locu (bapak)
dapat kau kelabui demikian saja?”
Tapi hanya sekejap saja si
mawar hitam sudah jauh meninggalkan kedua pengejar itu. Namun kedua laki-laki
itu masih belum kapok, mereka masih memburu terus hingga tidak selang lama
suara teriakan dan makian mereka pun tidak terdengar lagi.
Diam-diam Toan Ki membatin,
"Kedua orang memaki aku sebagai ‘perempuan keparat’ segala dan menuduh aku
menyamar sebagai lelaki. Ya, tentu mereka hendak cari setori pada majikan si mawar
hitam ini. Kenal kuda tapi tak kenal orangnya, sungguh tolol benar!”
Setelah lebih satu li lagi,
tiba-tiba Toan Ki teringat, "Wah, celaka! Berkat kecepatan kuda ini aku
bisa lolos dari sergapan kedua orang tadi. Tampaknya ilmu silat kedua orang itu
pun tidak lemah, jikalau Siocia yang memberi pinjam kuda ini tidak tahu
kejadianku ini dan jalan-jalan keluar, mungkin dia akan disergap musuh. Rasanya
aku harus kembali ke sana dulu untuk memberi tahu padanya.”
Segera ia berhentikan kuda,
katanya pada binatang itu, "Oh-bi-kui, ada orang hendak membunuh Siociamu,
kita harus lekas kembali dan memberi tahu padanya agar dia berjaga-jaga dan
jangan keluar rumah.”
Segera ia putar kuda dan lari
kembali ke arah tadi. Ketika dekat tempat sergapan kedua laki-laki itu, ia
desak si mawar hitam, "Lekas, lekas lari!”
Binatang itu ternyata mengerti
maksud orang, di bawah desakan "lekas lari” itu, ia benar-benar
mencongklang terlebih pesat.
Namun kedua laki-laki itu
ternyata sudah tidak di situ lagi, karena itu Toan Ki menjadi lebih khawatir
malah, pikirnya, "Jika mereka berdua sudah menyerbu masuk ke rumah Siocia
itu, hal ini pasti lebih celaka lagi!”
Segera ia membentak si mawar
hitam agar lari lebih cepat.
Seketika lari si mawar hitam
seolah terapung di atas tanah, secepat terbang ia lari pulang.
Ketika hampir sampai di depan
gedung besar itu, mendadak dari samping dua batang pentung menyerang kaki kuda.
Namun tidak perlu Toan Ki memberi perintah, kontan si mawar hitam melompat
menghindarkan diri, menyusul kaki belakang terus mendepak, "bluk”, salah
seorang penyerang gelap itu kena didepak mencelat.
Dan sekali melompat lagi, si
mawar hitam sudah sampai di depan pintu gedung itu. Dalam kegelapan mendadak
tampak 4-5 orang muncul dan serentak hendak menarik tali kendali Oh-bi-kui
menyusul Toan Ki merasa lengan sendiri kena dicengkeram orang terus diseret ke
tanah. Segera seorang di antaranya membentak, "Siaucu (anak muda), untuk
apa kau datang ke sini?”
Diam-diam Toan Ki mengeluh,
"Celaka, rumah ini ternyata sudah dikepung musuh, entah tuan rumahnya sudah
mengalami nasib malang atau belum?”
Ia merasa lengan kanan yang
dicengkeram orang itu seakan-akan terjepit tanggam, separuh tubuhnya merasa
kaku, maka cepat katanya, "Ada urusan hendak kucari tuan rumah di sini,
kenapa kau begini kasar?”
Lalu terdengar suara seorang
tua lain berkata, "Siaucu ini menunggang kuda hitam milik perempuan hina
itu, boleh jadi adalah kawan karibnya, biar kita lepaskan dia ke dalam, babat
rumput harus sampai ke akar-akarnya, nanti kita bereskan sekalian.”
Hati Toan Ki berdebar tak
keruan, pikirnya, "Aku ini benar-benar ular mencari gebuk, seperti ikan
masuk jala sendiri. Sudah enak-enak pergi, sekarang datang kembali cari
penyakit. Urusan sudah kadung begini, hendak lari juga tidak mungkin lagi,
terpaksa masuk ke sana dan melihat gelagat menurut keadaan nanti.”
Ia merasa cengkeram orang
telah dikendurkan, segera ia betulkan bajunya, lalu melangkah masuk ke dalam
rumah dengan membusung dada.
Di pekarangan ada suatu jalan
batu, kedua samping penuh tanaman bunga mawar yang menyiarkan bau harum.
Jalan batu itu berliku-liku,
setelah menembus sebuah pintu bundar, jalanan itu lurus ke depan.
Toan Ki melihat di sekitarnya
di sana-sini banyak berdiri orang. Ketika mendengar ada suara dehem di tempat
ketinggian, ia mendongak dan melihat di atas pagar tembok sana juga berdiri 7-8
orang dengan senjata terhunus. Di tengah malam gelap, sinar senjata yang
gemilapan itu cukup membuat jeri siapa saja yang
melihatnya.
Diam-diam Toan Ki membatin,
"Gedung ini meski sekian besarnya, tapi belum tentu dapat dihuni orang
sekian banyaknya. Tentu mereka ini adalah musuh tuan rumah, apa benar-benar
mereka akan membunuh seisi rumah ini habis-habisan?”
Dalam kegelapan remang-remang
Toan Ki melihat orang-orang itu sama melotot padanya dan pegang-pegang senjata
utj menakuti. Tapi Toan Ki bisa tenangkan diri, akhirnya ia sampai di suatu
ruangan besar yang berjendela panjang, di dalam ruangan tampak sinar lampu
terang benderang.
Toan Ki mendekati deretan
jendela panjang itu, lalu berseru lantang, "Cayhe Toan Ki, ada urusan
mohon bertemu dengan tuan rumah!”
"Siapa? Gusur masuk!”
suara seorang tua serak membentaknya.
Toan Ki mendongkol, ia dorong
daun jendela panjang itu dan melangkah masuk. Tapi ia menjadi kaget melihat di
dalam ruangan penuh dengan orang pula, ada yang berdiri, ada yang duduk,
sedikitnya 17-18 orang.
Di tengah seorang wanita baju
hitam duduk mungkur, muka menghadap ke dalam, maka wajahnya tidak kelihatan.
Tapi dari perawakannya yang tampak langsing, rambutnya hitam gilap dan
berkundai ciodah, dari dandanannya jelas seorang gadis remaja.
Kecuali itu, di sana-sini ada
lagi belasan orang lelaki dan perempuan, ada pula dua Hwesio dan tiga Tosu.
Di antara orang-orang itu
kecuali seorang kakek yang duduk di kursi malas di sudut timur sana dan seorang
nenek serta kedua Hwesio, yang bertangan kosong, selebihnya sama bersenjata.
Di depan nenek itu menggeletak
seorang, lehernya luka terbacok, agaknya sudah mati.
Segera Toan Ki dapat
mengenalinya sebagai Ciong Hok, itu hamba tua yang membawanya ke sini untuk
pinjam kuda itu.
Meski Toan Ki baru kenal orang
tua itu, tapi ia merasa orang sangat sopan dan menghormat padanya. Ia menjadi
sedih dan gusar melihat nasib hamba tua yang malang itu, terutama bila teringat
dirinya yang
menyebabkan kematiannya itu.
"Untuk apa kau datang ke
sini?” dengan suara serak si kakek membentak pula. Meski antero rambut kakek
ini sudah beruban, tapi janggutnya ternyata halus kelimis.
Sejak melangkah masuk tadi,
Toan Ki sudah ambil keputusan, "Sekali sudah masuk sarang harimau, kalau
bisa meloloskan diri, itulah baik. Kalau tidak bisa, tiada gunanya juga banyak
bicara dengan manusia yang tampak bengis dan jahat ini.”
Tapi sesudah melihat mayat
Ciong Hok menggeletak di situ, seketika malah menimbulkan jiwa kesatrianya yang
bersemangat banteng, dengan garang ia menjawab, "Aku bernama Toan Ki.
Rasanya Lotiang (bapak tua) adalah seorang terhormat, engkau hanya lebih lama
hidup beberapa tahun, kenapa kau panggil orang Siaucu segala secara tak sopan?”
Jilid 04
Kedua alis kakek itu menegak,
sinar matanya menyorot tajam, sikapnya keren, tapi tak menjawab. Sebaliknya
seorang laki-laki yang berdiri di sebelahnya lantas membentak, "Bangsat
kecil, apa kau sudah bosan hidup, berani sembarang mengoceh! Loyacu ini sudi
bicara dengan kau, hal ini sudah untung bagimu, apa kau kenal siapa Loyacu ini?
Hm, matamu benar-benar buta!"
Melihat lagak kakek itu
benar-benar lain dari yang lain, betapa pun timbul juga sedikit rasa hormat
Toan Ki, maka sahutnya, "Aku pun tahu Lotiang ini pasti bukan orang
sembarangan. Bolehkah mohon tanya siapakah nama Lotiang yang terhormat?"
Belum lagi si kakek menjawab,
lelaki tadi sudah berkata pula, "Baiklah, supaya kau bisa mati dengan
merem, dengarlah yang jelas. Loyacu ini adalah No-kang-ong, Sam-ciang-coat-beng
Cin-loyacu!"
"Sam-ciang-coat-beng?"
Toan Ki menegas, "Seorang tua baik-baik, kenapa pakai gelaran yang tak
enak didengar itu? Dan kenapa di sebut No-kang-ong pula, Cin-loyacu."
Kiranya No-kang-ong, si raja
sungai mengamuk, Sam-ciang-coat-beng atau tiga kali pukulan melenyapkan nyawa,
nama lengkapnya adalah Cin Goan-cun. Tidak saja namanya mengguncangkan daerah
selatan, terhitung tokoh terkemuka dalam dunia persilatan di wilayah Hunlam,
bahkan di sekitar lembah Hongho dan kedua tepi sungai Yangcu, setiap jago silat
juga segan pada namanya.
Tak terduga, sesudah mendengar
nama dan gelar itu, Toan Ki anggap sepele saja, sedikit pun tidak heran.
Tentu saja No-kang-ong,
Sam-ciang-coat-beng Cin Goan-cun sangat gusar. Sejak namanya terkenal, jarang
ia mendapat tandingan, sekalipun lawan yang berilmu silat lebih tinggi kalau
mendengar namanya juga akan tergetar, sedikit pun tidak berani memandang
enteng.
Sudah tentu ia tidak tahu
bahwa hakikatnya Toan Ki tidak pernah merantau Kangouw, mengenai seluk-beluk
kejadian dunia persilatan, sedikit pun tak diketahuinya, Jangankan nama
Sam-ciang-coat-beng Cin Goan-cun, sekalipun gelar "Sam-sian-su-ok",
yaitu tokoh-tokoh "tiga orang bajik dan empat manusia jahat" yang
diagungkan dunia persilatan, juga takkan membuatnya jeri.
Umumnya jago silat mana pun
juga, dalam hal "nama" dipandangnya sangat penting. Maka Cin Goan-cun
menyangka perbuatan Toan Ki ini sengaja hendak menghina dirinya, meski dalam
hati sangat gusar, namun
melihat sikap Toan Ki yang
acuh tak acuh, kalau bukan memiliki ilmu silat yang diandalkan, rasanya pasti
tidak berani begitu kurang ajar.
Karena menyangka Toan Ki pasti
seorang jago sangat lihai, maka Cin Goan-cun cepat mencegah dua orangnya yang
hendak maju melabrak pemuda itu, lalu tanyanya, "Saudara dari golongan dan
aliran mana? Siapa gurumu?"
"Untuk belajar, kenapa
rewel tentang golongan segala?" sahut Toan Ki. "Cayhe tidak masuk
golongan dan aliran mana-mana, guruku khusus meyakinkan 'Kong-yang-ci-hak',
namanya kalau kukatakan juga kau tidak kenal."
Meski ilmu silat Cin Goan-cun
sangat tinggi, tapi dalam hal ilmu sastra tentang "Kong-yang-ci-hak"
segala, selama hidupnya tak pernah mendengar, maka ia menyangka apa yang
dikatakan Toan Ki itu tentunya semacam ilmu sakti yang belum pernah dilihatnya.
Diam-diam ia merasa syukur dirinya tidak gegabah bertindak, maka ia bertambah
hati-hati lagi menghadapi pemuda itu, tanyanya pula, "Lalu kedatangan
saudara ini ada urusan apa?"
Melihat Cin Goan-cun makin
sungkan pada Toan Ki, semua orang yang hadir di situ menyangka juga pemuda itu
pasti seorang tokoh silat pendaman.
Maka terdengar Toan Ki
menjawab, "Kedatangan Cayhe ke sini adalah ingin menyampaikan sesuatu
kabar pada tuan rumah."
"Kabar apa?" tanya
Cin Goan-cun.
Toan Ki menghela napas dulu,
lalu sahutnya, "Kedatanganku sudah terlambat, kukatakan atau tidak kabar
itu, sama saja."
"Menyampaikan kabar apa?
Lekas katakan!" desak Cin Goan-cun lagi. Nadanya makin bengis.
"Kalau sudah berhadapan
dengan tuan rumah, dengan sendirinya akan kukatakan, apa gunanya bicara
padamu?" sahut Toan Ki.
Cin Goan-cun tertawa dingin,
selang sejenak, ia berkata pula, "Kau ingin bicara berhadapan dengan tuan
rumah? Kukira tak perlu kau katakan, biar sebentar lagi kalian boleh bertemu
saja di akhirat."
"Yang manakah tuan
rumah?" tanya Toan Ki. "Ingin kusampaikan terima kasih telah diberi
pinjam kuda."
Karena ucapan ini, sorot mata
semua orang sama beralih kepada si nona berbaju hitam yang duduk mungkur tadi.
Toan Ki terkesiap, pikirnya,
"Apakah nona ini pemilik rumah? Seorang gadis lemah seperti dia telah
dikepung musuh sebanyak ini, tampaknya jiwanya sukar diselamatkan."
Dalam pada itu terdengarlah
wanita baju hitam sedang berkata, "Kuberi pinjam kuda adalah karena
permintaan orang lain, perlu apa terima kasih segala? Tidak lekas kau pergi
menolong orang, buat apa kembali lagi ke sini?"
Sembari bicara mukanya tetap
menghadap ke dalam tanpa menoleh.
Maka Toan Ki menjawab,
"Cayhe menunggang si mawar hitam, sampai di tengah jalan telah disergap
musuh yang salah sangka Cayhe sebagai nona serta dicaci maki. Cayhe rasa kurang
enak, maka sengaja balik ke sini untuk memberi kabar pada nona."
"Kabar apa?" tanya
perempuan itu, nadanya nyaring merdu, tapi sedikit pun tidak membawa rasa
simpatik, hingga bagi yang mendengarkan rasanya tidak enak, seakan-akan wanita
ini sudah terasing dari dunia ramai dan sama sekali tidak peduli terhadap
segala apa di dunia ini, seperti setiap orang adalah musuh besarnya, kalau bisa
setiap orang akan dibunuhnya.
Tentu saja Toan Ki rada
mendongkol oleh jawaban orang. Tapi lantas teringat olehnya bahwa nona itu
sudah jatuh di tangan kepungan musuh, keadaannya sangat berbahaya, kalau
sikapnya menjadi kasar juga tak boleh salahkan dia. Karena itu, timbul juga
rasa solider Toan Ki.
Maka dengan ramah ia menjawab,
"Cayhe pikir kedua orang jahat itu akan bikin susah nona, hal itu tentu
belum diketahui nona, maka sengaja kukembali ke sini untuk memberi kabar agar
sebelumnya nona menyingkir. Tak terduga tetap terlambat juga, musuh sudah tiba
lebih dulu, sungguh aku menyesal."
"Begini baik sengaja kau
bela aku, sebenarnya apa maksud tujuanmu?" tanya wanita itu dingin.
Toan Ki menjadi gemas,
sahutnya keras, "Selamanya tidak kukenal nona, cuma kutahu ada orang
hendak bikin
susah padamu, masa aku boleh
berpeluk tangan dan diam saja?"
"Apakah kau tahu siapa
aku?" tanya wanita itu.
"Tidak" sahut Toan
Ki.
"Kudengar cerita Ciong
Hok, katanya sama sekali engkau tidak mahir ilmu silat, tapi berani kau damprat
terang-terangan di hadapan Ciong-kokcu. nyalimu sungguh tidak kecil, tapi kau
sudah terlibat dalam kejadian ini, apa kehendakmu sekarang?"
"Sebenarnya sehabis
menyampaikan berita ini, segera akan pulang ke rumah secepatnya," sahut
Toan Ki. Ia menghela napas, lalu menyambung, "Tapi tampaknya nona bakal
celaka dan aku pun tak terhindar dari malapetaka. Cuma entah cara bagaimana
nona bermusuhan dengan orang-orang ini?"
"Berdasarkan apa kau
berani tanya padaku?" nona itu menjengek.
Kembali Toan Ki tercengang,
tapi segera katanya, "Urusan pribadi orang memang aku tidak pantas tanya.
Baiklah, aku sudah menyampaikan kabar padamu, selesailah kewajibanku."
"Tentunya kau tidak
menduga jiwamu bakal melayang di sini, bukan? Apa engkau menyesal?" tanya
si wanita.
Mendengar kata orang bernada
menyindir, kontan Toan Ki menjawab, "Perbuatan seorang Taytianghu
(lakilaki sejati), asal demi kebaikan sesamanya, kenapa mesti menyesal?"
"Hm, hanya macam kau juga
berani mengaku sebagai laki-laki sejati?" jengek wanita baju hitam itu.
"Kesatria atau bukan,
masakah ditentukan dalam hal tinggi rendahnya ilmu silat?" sahut Toan Ki
dongkol. "Sekalipun ilmu silatnya tiada tandingan di kolong langit, kalau
kelakuannya rendah memalukan juga tak bisa disebut sebagai 'Taytianghu'!"
"Cin-losiangsing,"
tiba-tiba wanita baju hitam itu berpaling pada Cin Goan-cun, "kau dengar
tidak ucapan Toan-ya ini? Kelakuan kalian ini rasanya tak dapat dikatakan
terang-terangan, bukan?"
"Perempuan hina,"
mendadak nenek yang duduk di samping Cin Goan-cun itu memaki, "apa kau
sengaja mengulur waktu? Bangkitlah untuk bertempur ...."
"Usiamu sudah lanjut
begini, ingin mampus juga tidak perlu terburu-buru," sahut si baju hitam
dengan tajam. "Jing-siong Tojin, kau pun datang mencari perkara padaku,
apa orang Ban-jiat-kok mengetahuinya?"
Air muka Tosu berjenggot itu
rada berubah, sahutnya, "Tujuanku adalah membalas dendam murid, apa
sangkut pautnya dengan Ban-jiat-kok?"
"Ingin kutanya,
sebelumnya kau minta bantuan Hiang-yok-jeh atau tidak?" tanya si wanita.
Tosu itu menjadi gusar,
sahutnya, "Sekian banyak tokoh terkemuka berkumpul di sini, masakah masih
tidak bisa memberesi dirimu?"
"Jawabanmu tidak jelas,
tentu pernah kau minta bantuan Hiang-yok-jeh," kata wanita baju hitam.
"Dan kau ternyata bisa keluar lagi dari Ban-jiat-kok dengan selamat, boleh
dikata rezekimu tidak kecil."
"Aku tidak masuk ke
Ban-jiat-kok, siapa bilang aku pergi ke sana?" sahut Jing-siong Tojin.
"Ehm, jika begitu,
tentunya telah kau kirim seorang lain ke sana sebagai pengantar jiwa,"
kata wanita itu mengangguk-angguk.
Sekilas wajah Jing-siong Tojin
merasa malu, segera ia berteriak, "Marilah kita putuskan dengan senjata,
kenapa banyak mulut?"
Menyaksikan percakapan wanita
baju hitam dengan orang-orang itu, Toan Ki dapat melihat rombongan Cin Goan-cun
itu masih belum pasti di atas angin, kalah atau menang baru bisa diketahui
sesudah bertanding. Tapi dari nada Jing-siong Tojin tadi, terang Tosu itu
sangat jeri pada si wanita baju hitam. Diam-diam Toan Ki sangat heran,
orang-orang itu berulang kali menantang, tapi tetap tiada seorang pun yang
berani mulai bergebrak.
Tiba-tiba terdengar si wanita
baju hitam berkata kepada Toan Ki, "Hai orang she Toan, sekian banyak
orangorang ini hendak mengeroyok diriku, menurut kau, bagaimana baiknya."
"Si mawar hitam berada di
luar," ujar Toan Ki. "Kalau engkau bisa terjang keluar dari kepungan,
lekas menunggangnya melarikan diri. Teramat cepat lari binatang itu, pasti
mereka tak mampu menyusulmu."
"Lalu bagaimana dengan
kau sendiri?" tanya nona itu.
"Selamanya aku tidak
kenal mereka, tiada dendam tak ada sakit hati, boleh jadi mereka takkan bikin
susah padaku" ujar Toan Ki.
Wanita baju hitam itu tertawa
dingin, katanya, "Hm, jika mereka mau pakai aturan, tentunya aku takkan
dikeroyok orang sebanyak ini. Jiwamu sudah pasti akan melayang. Bila aku bisa
lolos, adakah sesuatu pesan tinggalanmu?"
Toan Ki menjadi sedih,
sahutnya, "Ada seorang nona Ciong telah ditawan oleh Sin-long-pang di
Bu-liang-san, ibunya memberikan kotak emas ini kepadaku dan minta disampaikan
kepada ayahku agar berusaha menolong nona Ciong itu, Ji ... jika nona dapat
lolos, harapanku adalah sudi melaksanakan tugasku ini, untuk mana aku merasa
sangat terima kasih."
Sembari berkata, ia melangkah
maju dan mengangsurkan kotak emas itu.
Kini jaraknya di belakang
wanita baju hitam itu hanya setengah meter saja, tiba-tiba hidungnya mengendus
semacam bau wangi yang mirip bunga anggrek, tapi bukan anggrek, seperti mawar,
tapi bukan mawar. Meski bau harum itu tidak keras, namun membuat orang merasa
pusing, tubuh Toan Ki menjadi sempoyongan sedikit.
Wanita itu ternyata tidak
menerima kotak itu, tapi bertanya, "Kabarnya nona Ciong itu sangat cantik,
apakah ia kekasihmu?"
"Bukan, bukan!"
sahut Toan Ki cepat. "Nona Ciong masih terlalu muda, lincah dan
kekanak-kanakan, mana ... mana bisa timbul maksudku yang tidak senonoh
itu?"
Baru sekarang wanita itu
ulurkan tangan ke belakang untuk mengambil kotak emas yang diangsurkan Toan Ki.
Pemuda itu melihat tangan orang memakai sarung tangan sutera hitam hingga sama
sekali tidak kelihatan kulit badannya.
Perlahan wanita itu masukkan
kotak emas itu ke dalam bajunya, lalu berkata, "Nah, Jing-siong Tojin,
lekas enyah dari sini!"
"Apa ... apa
katamu?" Tosu itu menegas dengan tergegap.
"Enyah keluar, hari ini
aku tidak ingin membunuhmu," kata si wanita.
Mendadak Jing-siong Tojin
angkat pedangnya dan membentak, "Kau mengoceh apa segala?"
Tapi suaranya gemetar, entah
saking gusar atau karena ketakutan?
"Kau tahu tidak bahwa
mengingat Sumoaymu, maka aku mengampuni jiwamu," kata si wanita baju hitam
lagi. "Nah, lekas enyah!"
Wajah Jing-siong Tojin sepucat
mayat, perlahan pedangnya menurun ke bawah.
Melihat wanita baju hitam itu
berlaku kasar dan membentak Jing-siong Tojin enyah dari situ, Toan Ki menyangka
Tosu itu pasti akan murka, siapa tahu wajah Tosu itu tampak ragu sebentar, lalu
tampak jeri pula, sekonyong-konyong pedang jatuh ke lantai, ia tutup mukanya
dengan kedua tangan terus lari keluar.
Tapi sial baginya, baru tangan
hendak mendorong pintu, si nenek yang duduk di samping Cin Goan-cun telah ayun
tangannya, sebilah Hui-to atau pisau terbang melayang cepat dan tepat mengenai
punggung Jing-siong Tojin. Tanpa ampun lagi Tosu itu terjungkal, setelah
merangkak beberapa kali, akhirnya terkapar binasa.
Toan Ki menjadi gusar,
teriaknya, "Hai, Lothaythay (nenek tua), Tosu itu kan kawanmu, kenapa kau
serang dia sekeji itu?"
Dengan gaya loyo nenek itu
berbangkit, dengan penuh perhatian ia pandang si wanita baju hitam, ucapan Toan
Ki itu seperti tak didengarnya.
Serentak kawan-kawannya juga
siap siaga untuk mengerubut, asal sekali diberi komando, kontan wanita baju
hitam pasti akan dicacah mereka.
Melihat keadaan demikian,
sungguh Toan Ki merasa penasaran, "Hai, kalian semua laki-laki hendak
mengerubut seorang perempuan lemah, di manakah letaknya keadilan ini?"
Segera ia pun melangkah maju
hingga wanita baju hitam teraling di belakangnya, lalu bentuknya pula,
"Ayo, kalian masih berani turun tangan?"
Meski sama sekali Toan Ki
tidak bisa silat, tapi sikapnya gagah perkasa dengan semangat banteng yang tak
gentar pada siapa pun.
"Jadi saudara sudah pasti
ingin ikut campur urusan ini?" dengan kalem Cin Goan-cun menegur.
"Ya," teriak Toan
Ki. "Aku melarang kalian main keroyok, menganiaya seorang wanita
lemah."
"Hubungan famili apa
antara saudara dengan perempuan hina ini, atas suruhan siapa hingga kau berani
ikut campur urusan ini?" tanya Cin Goan-cun lagi.
"Aku dan nona ini bukan
sanak bukan kadang, cuma segala apa di dunia ini tidak terlepas dari
'keadilan', maka kunasihati kalian supaya sudahi urusan ini, mengeroyok seorang
gadis lemah, terhitung orang gagah macam apa?" sahut Toan Ki tegas. Lalu
ia berbisik pada si wanita baju hitam, "Lekas nona lari, biar kurintangi
mereka."
Wanita itu pun menjawab dengan
suara lirih, "Jiwamu akan melayang demi membela diriku, apa takkan
menyesal?"
"Biar mati tidak
menyesal," sahut Toan Ki.
"Kau benar-benar tidak
takut mati? Tetapi ...." mendadak suara wanita itu diperkeras,
"sedikit pun kau tak bertenaga, masih kau berani berlagak kesatria?"
Sekonyong-konyong ia ayun
tangannya, dua tali berwarna tahu-tahu melayang hingga kedua tangan dan kedua
kaki Toan Ki terikat dengan erat.
Berbareng pada saat itu juga,
sebelah tangan lain si wanita pun mengayun bergerak, Toan Ki hanya mendengar
suara gemerencing dan gedubrakan beberapa kali, di sana-sini beberapa orang
lantas jatuh terjungkal, menyusul sinar senjata gemerlapan menyilaukan mata,
pandangan menjadi gelap, segenap lilin di dalam ruangan telah dipadamkan semua
oleh orang. Segera Toan Ki merasa tubuhnya terapung seakan-akan terbang
dibawa seseorang.
Semua kejadian itu datangnya
terlalu cepat sehingga dalam sekejap itu Toan Ki tidak tahu dirinya sudah
berada di mana. Hanya terdengar sekeliling ruangan ramai suara bentakan orang,
"Jangan sampai lolos perempuan hina itu!"
"Jangan takut pada panah
beracunnya!"
"Sambitkan Hui-to,
sambitkan Hui-to!"
Menyusul terdengar pula suara
gemerencing yang ramai, banyak senjata rahasia terbentur jatuh.
Ketika Toan Ki merasakan
badannya berguncang lagi, menyusul terdengar suara derap kuda berlari, nyata
dirinya sudah berada di atas kuda, kaki tangan terikat, sedikit pun tak bisa
berkutik. Ia merasa tengkuknya bersandar di badan seseorang, hidung mengendus
bau wangi, itulah bau harum dari badan si wanita baju hitam.
Suara derapan kuda berdetak-detak,
enteng dan anteng, suara bentak dan kejar musuh makin lama makin ketinggalan
jauh di belakang.
Oh-bi-kui berbulu hitam,
antero tubuh wanita itu pun hitam, ditambah malam pekat dengan bau harum
semerbak, suasana menjadi agak seram.
Sekaligus Oh-bi-kui alias si
mawar hitam berlari sampai beberapa li jauhnya.
Akhirnya Toan Ki berseru,
"Nona, tidak sangka kepandaianmu begini hebat, harap lepaskan aku."
Wanita itu mendengus sekali
tanpa menjawab.
Karena kaki tangan terikat,
setiap kali kuda itu mencongklang, tali pengikat bertambah kencang, makin lama
Toan Ki makin kesakitan, ditambah lagi kepalanya terjuntai ke bawah hingga
mirip orang tergantung, Toan Ki menjadi pening tak tertahan. Maka serunya lagi,
"Nona, lekas lepaskan aku!"
"Plak," mendadak ia
dipersen sekali tempelengan, dengan dingin nona itu berkata, "Jangan
cerewet, tahu?
Nona tidak tanya, dilarang
bicara!"
"Sebab apa?" teriak
Toan Ki penasaran.
"Plak, plak,"
kembali ia digampar dua kali terlebih keras daripada tadi.
Keruan Toan Ki merah bengap
mukanya, telinga pun mendenging hampir-hampir pekak.
Dasar watak Toan Ki memang
bandel, segera ia berteriak pula, "Kenapa sedikit-sedikit kau pukul orang?
Lekas lepaskan aku, aku tidak sudi bersama kau."
Mendadak Toan Ki merasa
tubuhnya terapung, tahu-tahu sudah terbanting di tanah, tapi anggota badannya
masih terikat, bahkan ujung lain dari tali pengikat itu masih dipegang orang
hingga badan Toan Ki terseret di tanah oleh Oh-bi-kui.
Wanita itu membentak tertahan
menyuruh Oh-bi-kui berjalan perlahan, lalu tanyanya pada Toan Ki, "Kau
menyerah tidak sekarang? Mau dengar perintahku tidak?"
"Tidak, tidak!"
gembor Toan Ki. "Tadi meski terancam mati saja aku tidak gentar, apalagi
sekarang hanya disiksa begini? Aku ...."
Sebenarnya ia ingin bilang,
"Aku tidak takut," tapi kebetulan waktu itu badannya yang terseret di
tanah itu membentur jalan yang tidak rata sehingga kata-katanya itu terputus.
"Kau takut, bukan?"
kata si nona baju hitam dengan dingin. Segera ia sendal talinya, Toan Ki
terangkat ke atas kuda lagi.
"Aku takut apa?"
sahut Toan Ki. "Lekas lepaskan aku!"
"Hm, di hadapanku, tiada
seorang pun berhak bicara," kata wanita itu. "Aku justru hendak
menyiksa kau, biar mati tidak, hidup pun tidak, apa kau kira hanya sedikit
siksaan begini saja?"
Habis berkata, kembali ia
lemparkan Toan Ki ke tanah dan diseret pula.
Gusar Toan Ki tidak kepalang,
pikirnya, "Semua orang tadi memaki dia sebagai perempuan hina, nyatanya
ada benarnya juga"
Segera ia berseru pula,
"Lepaskan aku! Kalau tidak, awas, aku akan memaki, lho."
"Kalau berani, boleh coba
memaki," sahut nona itu. "Selama hidupku ini memang sudah kenyang
dicaci maki orang."
Mendengar kata-kata orang yang
terakhir itu diucapkan dengan nada penuh rasa sesal dan derita, caci maki Toan
Ki yang sudah hampir dilontarkan itu menjadi urung dikeluarkan, hatinya menjadi
lunak.
Menunggu sekian saat tidak
terdengar makian Toan Ki, wanita itu berkata pula, "Hm, masakah kau berani
memaki!"
"Mengapa tidak
berani?" seru Toan Ki mendongkol. "Soalnya aku menjadi kasihan
padamu, maka tidak tega memaki. Memangnya kau kira aku takut padamu?"
Wanita itu tidak menggubrisnya
lagi, mendadak ia bersuit mempercepat kudanya, segera Oh-bi-kui mencongklang
pesat ke depan. Keruan yang payah adalah Toan Ki, badannya tergesek oleh batu
pasir yang tajam hingga babak belur dan darah mengucur.
"Kau mau menyerah atau
tidak?" seru si wanita.
Dengan suara keras Toan Ki
memaki malah, "Kau perempuan galak yang tak kenal aturan!"
"Aku memang perempuan
galak, tak perlu kau katakan pun kutahu sendiri." sahut wanita itu.
"Dan di mana aku tidak kenal aturan segala?"
"Aku ... aku bermaksud
baik padamu ...." mendadak kepala Toan Ki membentur sepotong batu di tepi
jalan, hingga seketika ia tak sadarkan diri.
Entah sudah selang berapa lama
lagi, ketika mendadak Toan Ki merasa kepalanya dingin segar, ia siuman,
menyusul terasa air merembes masuk ke dalam mulut, cepat ia tahan napasnya,
namun tak keburu lagi, ia terbatuk-batuk sesak. Dan karena batuknya itu, air
masuk lebih banyak lagi ke dalam mulut dan hidung.
Kiranya ia diseret oleh wanita
baju hitam di tanah, ketika mengetahui Toan Ki jatuh pingsan, nona itu sengaja
menyeberangi sebuah sungai kecil, karena terendam air, Toan Ki lantas sadar.
Untung sungai itu kecil dan dangkal, sekali lompat si mawar hitam sudah
menyeberanginya.
Dengan baju basah kuyup, perut
kembung tercekok air sungai, ditambah badan memang babak belur, keruan antero
badan Toan Ki terasa sakit.
"Sekarang menyerah
tidak?" kembali wanita baju hitam itu tanya.
"Sungguh sukar dipahami
bahwa di dunia ini ada perempuan sewenang-wenang seperti ini," demikian
pikir Toan Ki. "Aku sudah tercengkeram di tangannya, banyak bicara juga
tiada gunanya."
Karena itu, ketika beberapa
kali si wanita baju hitam tanya lagi, "Kau mau menyerah tidak? Sudah cukup
tahu rasa belum?"
Toan Ki tetap tidak
menggubrisnya dan anggap tidak mendengar saja.
Nona itu menjadi gusar,
dampratnya, "Apa kau tuli? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?"
Tetap Toan Ki tak gubris
padanya.
Mendadak nona itu tahan
kudanya, ingin tahu apakah Toan Ki sebenarnya sudah sadar atau belum.
Tatkala itu sang surya sudah
menongol di ufuk timur dengan cahayanya yang remang-remang, maka nona itu dapat
melihat jelas kedua mata Toan Ki lagi mendelik padanya dengan gusar.
Nona itu menjadi murka,
dampratnya pula, "Bagus, jadi kau tidak pingsan, tapi sengaja main gila
padaku. Baiklah, mari coba-coba kita adu bandel, apa kau lebih tahan atau aku
lebih kejam?"
Ia terus melompat turun dari
kudanya, dengan enteng ia melompat ke atas mendapatkan sepotong ranting pohon,
"plak," segera ia sabet sekali di muka Toan Ki.
Baru untuk pertama kali ini
Toan Ki berhadapan muka dengan wanita itu, ia lihat muka orang berkerudung
selapis kain hitam tebal, hanya dua lubang matanya tertampak sepasang biji
matanya yang hitam bersinar tajam.
Toan Ki tersenyum, katanya di
dalam hati, "Kau ingin kujawab pertanyaanmu, hm, mungkin lebih sulit
daripada naik ke langit."
"Dalam keadaan begini kau
masih bisa tersenyum? Apa yang kau gelikan?" omel nona itu.
Tapi Toan Ki sengaja
mengiming-iming dengan muka kocak, lalu tertawa lagi.
"Plak-plok,
plak-plok," kembali nona itu menghujani sabetan beberapa kali. Namun Toan
Ki sudah tidak pikirkan jiwanya lagi, ia tetap diam.
Cara menghajar wanita itu
sangat keji, setiap kali sabetannya pasti mengenai tempat Toan Ki yang paling
sakit. Saking tak tahan, beberapa kali Toan Ki hampir-hampir menjerit, tapi
syukur ia masih bisa mengekang diri.
Melihat pemuda itu sedemikian
bandel, setelah berpikir sejenak, segera wanita itu berkata, "Baik, kau
purapura tuli, biar kubikin benar-benar menjadi tuli!"
Terus saja ia keluarkan
sebilah belati, dengan sinar gemerlap perlahan ia mendekati Toan Ki. Ia angkat
belatinya dan ancam telinga kiri pemuda itu sambil membentak, "Kau dengar
kata-kataku tidak? Apa kau tidak ingin daun kupingmu ini?"
Masih tetap Toan Ki tak
menggubris, sinar mata nona itu menyorot beringas, selagi belati diangkat
hendak menyayat kuping Toan Ki, tiba-tiba di tempat sejauh belasan tombak sana
ada orang membentak, "Perempuan hina, kau akan mengganas lagi, ya?"
Suaranya lantang berwibawa.
Cepat wanita itu angkat tali
pengikatnya hingga tubuh Toan Ki tergantung di atas dahan pohon. Waktu menoleh,
Toan Ki melihat orang yang bersuara itu adalah seorang laki-laki tinggi besar
bertangan kosong, pada pinggangnya terselip sebuah golok. Laki-laki itu tidak
berlari, tapi tahu-tahu sudah sampai di depan mereka, cepatnya bukan main.
Toan Ki melihat muka orang itu
kuning langsat, berbaju pendek warna kuning, bermuka lebar, kedua kaki dan
tangan jauh lebih panjang daripada orang biasa, usianya sekitar 30-an tahun,
kedua matanya bersinar tajam.
"Tentunya kau inilah Kim
Tay-peng?" tegur nona tadi. "Orang bilang Ginkangmu sangat hebat,
tapi, hm, kalau sepanjang jalan aku tidak menanyai bocah ini hingga jalanku
terlambat, rasanya kau pun tak mampu menyusulku."
"Dan kalau bukan ada
urusan lain hingga jalanku terlambat, rasanya kau pun takkan bisa lolos,"
sahut laki-laki itu ketus.
"Dan sekarang sudah dapat
kau susul aku," kata si nona. "Nah, Kim Tay-peng, kau mau apa
sekarang?"
"Si tukang obat,
Ong-lohan, di kota Sengtoh itu, dibunuh olehmu bukan?" tanya laki-laki
itu.
"Kalau benar, mau
apa?" sahut si nona.
"Ong-lohan adalah
sahabatku, dia suka menolong kaum miskin, selama hidupnya tidak pernah berbuat
jahat, sebab apa kau bunuh dia?"
"Sebabnya?" sahut nona
itu. "Hm, sebab ada orang terkena panahku yang berbisa, Ong-lohan sengaja
tampil untuk mengobatinya, hal ini kau tahu tidak?"
"Menjual obat bertujuan
menyembuhkan orang, itu memang kewajiban Ong-lohan" kata orang itu alias
Kim Tay-peng.
Sekonyong-konyong terdengar
suara mendesir perlahan, menyusul suara "cring" sekali pula, sebatang
panah kecil menancap di samping kaki Kim Tay-peng.
Panjang panah itu hanya
belasan senti, hampir seluruhnya ambles ke dalam tanah.
Dalam pada itu tampak Kim
Tay-peng pun memasukkan goloknya ke dalam sarung yang tergantung di
pinggangnya.
Kiranya dalam sekejap itu saja
si nona sudah menyerang Kim Tay-peng dengan panah, tapi Kim Tay-peng sempat
cabut golok untuk menangkis. Nyata, diam-diam kedua orang sudah saling gebrak sejurus.
"Cepat juga gerakanmu,
ya?" kata si nona.
"Kau pun tidak
lamban," sahut Kim Tay-peng. "Nyata, nama Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing
memang bukan omong kosong."
Toan Ki terperanjat mendengar
nama itu, cepat ia berteriak, "He, engkau salah, Kim-heng, dia bukan
Hiangyok-jeh Bok Wan-jing!"
"Dari mana kau
tahu?" tanya Kim Tay-peng.
"Kukenal Bok Wan-jing
dengan baik, Bok Wan-jing adalah Ciong-hujin, tapi perempuan jahat ini adalah
seorang nona lain," kata Toan Ki.
Sekilas wajah Kim Tay-peng
mengunjuk heran, katanya, "Jadi Hiang-yok-jeh sudah kawin? Entah orang she
Ciong mana yang sial itu."
Tiba-tiba terdengar suara
mendesir dua kali, dua batang senjata rahasia jatuh di samping Toan Ki, yang
satu adalah panah kecil berwarna hitam, yang lain adalah sebuah mata uang. Di
tengah mata uang itu berlubang dan tepat panah itu menancap di tengah lubang
itu.
Kiranya wanita itu telah
menyambit ke belakang hendak memanah Toan Ki, tapi Kim Tay-peng sempat
menimpukkan mata uang itu hingga jiwa Toan Ki tertolong.
Melihat itu, barulah Toan Ki
sadar barusan jiwanya telah berpiknik ke pintu gerbang akhirat, untung bisa
balik
lagi. Ia dengar wanita itu
bertanya dengan gusar, "Siapa bilang aku Bok Wan-jing sudah kawin?
Laki-laki di jagat ini tiada seorang pun yang baik, siapa yang setimpal menjadi
suamiku?"
"Ya, agaknya saudara ini
salam paham," ujar Kim Tay-peng.
Mendadak wanita baju hitam itu
mengaku sebagai "Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing" atau si kuntilanak
berbau harum, Toan Ki pikir di balik ini tentu ada sesuatu yang tak beres,
sekalipun nona ini ganas dan jahat, rasanya tidak nanti sudi mengaku sebagai
istri orang. Maka katanya, "Betul juga ucapan Kim-heng, yang kutahu ialah
istrinya Kian-jin-ciu-sat Ciong Ban-siu yang bernama Bok Wan-jing."
"Cis, jadi perempuan
keparat itu telah memalsukan namaku sebagai Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing?"
teriak wanita baju hitam dengan gusar.
"Kim-heng," kata
Toan Ki, "Ciong Ban-siu itu suka membunuh orang tak berdosa, dengan nona
baju hitam ini sungguh suatu pasangan yang setimpal."
Baru selesai ucapannya itu
tiba-tiba sinar hijau berkelebat di depan mata, sesuatu senjata telah membacok
ke arahnya.
Dalam keadaan terikat dan
terjungkir, dengan sendirinya Toan Ki tak dapat menghindar, namun biar dia bisa
bergerak dan bersenjata sekalipun tentu juga sukar menghindari serangan kilat
itu. Maka dengan pejamkan mata ia sudah pasrah nasib.
Mendadak terdengar suara
gemerantang beberapa kali, senjata nona baju hitam itu ternyata tidak sampai di
tubuhnya. Ketika membuka mata, ia lihat di depan sana sesosok bayangan hitam
dan segulung kabut kuning lagi melayang kian kemari dengan cepat luar biasa, di
tengah bayangan hitam dan kabut kuning itu terlihat berkelebatnya sinar putih
pula, menyusul riuh ramai dengan suara saling beradunya senjata.
"Tuhan Maha Pengasih,
semoga Kim-heng ini diberi kemenangan," diam-diam Toan Ki berdoa.
Tiba-tiba terdengar si nona
baju hitam alias Bok Wan-jing membentak nyaring, kedua orang sama-sama melompat
mundur, tampak golok Kim Tay-peng sudah dimasukkan ke sarungnya, dengan tenang
berdiri di tempatnya.
Sebaliknya dengan pedang
terhunus, Bok Wan-jing lagi memandang lawan dengan penuh perhatian.
"Kalah menang belum
terjadi, kenapa nona Bok tidak terus bertempur?" kata Kim Tay-peng.
"Hm, 'It-hui-ciong-thian
Kim Tay-peng', suatu tokoh gemilang di dunia Kangouw paling akhir ini,
huh!" sahut Bok Wan-jing.
"Ada apa maksudmu?"
tanya Tay-peng.
"Dalam 500 jurus belum
tentu dapat kau menangkan nonamu!" sahut Wan-jing.
"Benar!" kata
Tay-peng, "Jika lebih dari 500 jurus?"
"Marilah boleh kita
coba-coba," ujar Bok Wan-jing. Berbareng ujung pedangnya terus mengarah
tenggorokan Kim Tay-peng.
"Trang," Kim
Tay-peng melolos golok buat menangkis dan kembalikan golok ke sarungnya pula,
lalu membentak, "Kim Tay-peng adalah seorang laki-laki sejati, mana bisa
bertempur sampai lebih 500 jurus dengan perempuan siluman kecil macammu? Utang
darah penjual jamu Ong-lohan sementara ini biar kutunda dulu. Cuma kau harus
berjanji takkan mencelakai jiwa saudara ini."
"Lalu utang piutang kita
sendiri kapan akan diselesaikan?" tanya Bok Wan-jing.
"Nanti kalau dalam 500
jurus aku sudah dapat membereskanmu, dengan sendirinya akan kubikin perhitungan
padamu," sahut Kim Tay-peng. "Jelas belum pesanku tadi?"
"Hm, bilakah pernah kau
dengar Hiang-yok-jeh menerima pesan seseorang?" sahut Bok Wan-jing dengan
angkuh.
"Baiklah, kuhormati
kepandaianmu yang hebat, anggaplah aku yang memohonkan keselamatan saudara
ini," kata Tay-peng.
"Jadi kau sendiri yang
memohon padaku?" Bok Wan-jing menegas.
"Ya, kumohon
padamu," sahut Tay-peng dengan suara berat.
Maka terbahaklah senang sekali
Bok Wan-jing, selama bertemu dengan dia, untuk pertama kali inilah Toan Ki
mendengar suara tertawa nona itu yang penuh gembira ria, tidak saja senang luar
biasa, bahkan membawa sifat kekanak-kanakan.
Terdengar ia berseru pula,
"Haha, It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng ternyata memohon sesuatu pada aku
Bok Wan-jing, maksud baik permohonan ini rasanya tidak pantas kalau kutolak.
Cuma aku hanya berjanji tidak membunuh orang ini, menghajarnya atau mengutungi
kaki tangannya tidak termasuk dalam jaminanku ini."
Habis berkata, tanpa menunggu
jawaban Kim Tay-peng lagi, ia bersuit, dengan cepat si mawar hitam
mendekatinya, sekali cemplak Bok Wan-jing sudah berada di atas kuda, berbareng
ia sambitkan pedangnya hingga tali gantungan pada dahan pohon itu terpapas
putus. Toan Ki bersama pedang itu jatuh ke bawah, dan pada saat itulah dengan
tepat Oh-bi-kui atau si mawar hitam berlari sampai di bawah pohon, tangan kanan
Bok Wan-jing menyambar kembali pedangnya, tangan kiri mencengkeram kuduk Toan
Ki dan ditaruh di atas pelana kuda. Sekali congklang, secepat terbang Oh-bi-kui
sudah berlari jauh.
Melihat pertunjukan Bok
Wan-jing ketika hendak pergi itu, mau tak mau Kim Tay-peng memuji,
"Sungguh lihai perempuan siluman ini."
Setelah Bok Wan-jing simpan
pedangnya, ia berkata di atas kuda, "It-hui-ciong-thian yang namanya
terkenal di seluruh jagat ini hari ini juga tak bisa mengapa-apakan diriku. Hm,
biarpun dia memperdalam pula ilmu silatnya, memangnya setiap hari aku hanya
tidur saja dan ilmu kepandaianku takkan bertambah? Wahai, bocah she Toan,
sekarang kau menyerah tidak padaku?"
Toan Ki hanya diam saja tak
menggubrisnya, tetap berlagak bisu dan tuli.
Agaknya hati Bok Wan-jing
sangat riang, kembali ia berkata, "Orang Kangouw sama bilang
It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng adalah jago muda yang jarang ada bandingannya,
kecuali tokoh-tokoh angkatan tua seperti 'Sam-sian-su-ok', dia terhitung jago
paling lihai. Tapi hari ini dia toh sudi memohon padaku."
Toan Ki menjadi dongkol,
katanya di dalam hati, "Dia hanya merasa seorang laki-laki tidak pantas
melabrak seorang perempuan, makanya mengampunimu, masa engkau sembarangan
membual segala?"
Tapi ia sendiri pun
menyaksikan sikap Kim Tay-peng, ia tahu meski nama 'It-hui-ciong-thian' (sekali
terbang menjulang ke langit) terkenal di seluruh jagat, jelas juga tidak berani
memandang enteng Bok Wan-jing. Ia
pikir perempuan siluman ini
meski keji dan ganas, tapi ilmu silatnya memang benar-benar sangat lihai.
Selagi Toan Ki termenung,
mendadak pundaknya ditarik Bok Wan-jing hingga mukanya berpaling ke arahnya,
demi tampak wajah pemuda itu belum lenyap dari rasa kagum, Bok Wan-jing
terbahak-bahak, katanya, "Bocah bandel, di mulut kau tidak bicara, tapi di
dalam hati kau menyerah padaku, bukan?"
Dan karena hatinya lagi
senang, sepanjang jalan ia tidak siksa Toan Ki lagi.
Tidak lama, si mawar hitam
telah membawa mereka ke suatu pekuburan. Segera Toan Ki dapat mengenali tempat
itu adalah jalan masuk ke Ban-jiat-kok.
Ia lihat Bok Wan-jing melompat
turun dari kudanya terus menarik batu nisan kuburan itu, cara menarik batu
nisan itu persis seperti apa yang Ciong Ling ajarkan pada Toan Ki.
Begitu pintu kuburan
terpentang, terus saja Bok Wan-jing jinjing Toan Ki melangkah ke dalam.
Perawakan Toan Ki sedikitnya
belasan senti lebih tinggi daripada nona itu, bicara tentang bobot badan,
sedikitnya juga lebih berat 30-40 kati. Tapi terjinjing olehnya, ternyata
enteng saja bagai membawa sebuah keranjang.
Setelah masuk pula ke dalam
peti mati, penyambutnya tetap si pelayan kecil yang menerima Toan Ki itu.
Sampai di tempat yang terang,
pelayan itu kaget dan bertanya, "Hei, Bok-kohnio, ken ... kenapa kau bawa
Toan-kongcu ke sini? Di ... di manakah Siocia kami?"
"Panggil keluar
nyonyamu!" bentak Bok Wan-jing sambil banting Toan Ki ke lantai.
"Loya terluka parah,
Hujin tak dapat meninggalkan beliau, silakan nona masuk ke dalam saja,"
kata si pelayan.
"Peduli apa dengan Loyamu
yang terluka segala, suruh nyonyamu keluar!" bentak Bok Wan-jing bengis.
"Sekalipun Loyamu saat ini akan mampus juga harus suruh nyonyamu lekas
keluar!"
Pelayan itu tak berani bicara
lagi, ia mengiakan dengan ketakutan, lalu cepat masuk ke dalam.
Tidak lama, Ciong-hujin tampak
keluar dengan tergesa-gesa, katanya, "Nona Bok, kenapa tidak duduk dan
bicara di dalam saja?"
Bok Wan-jing tidak menyahut,
ia menengadah ke atas dan tidak menggubris.
Ciong-hujin seperti sangat
jeri kepada nona baju hitam itu, dengan sabar ia berkata pula,
"Bok-kohnio, apakah aku berbuat sesuatu kesalahan padamu?"
"Kau panggil siapa
sebagai 'Bok-kohnio'?" tanya Bok Wan-jing tiba-tiba.
"Sudah tentu memanggil
engkau," sahut nyonya Ciong.
"Hm, kusangka kau berkata
pada dirimu sendiri," jengek Bok Wan-jing. "Kabarnya kau sekarang
sudah ganti nama dan tukar she, kau pun bernama 'Bok Wan-jing'. Sungguh tidak
nyana bahwa nama 'Bok Wan-jing' bisa mendapat perhatian orang, tapi julukan
'Hiang-yok-jeh' toh bukan nama yang enak di dengar, kalau benar-benar mau, biar
kuberikan padamu dengan tangan terbuka."
Wajah Ciong-hujin sebentar
merah sebentar pucat, katanya kemudian dengan suara halus, "Nona Bok, aku
memalsukan namamu, hal ini memang tidak pantas. Soalnya karena aku terlalu
mengkhawatirkan putriku, dengan harapan menggunakan namamu yang besar dapatlah
menakutkan kawanan Sin-long-pang agar Ling-ji bisa dilepaskan mereka."
Mendengar itu, Bok Wan-jing
berkata pula dengan nada agak halus, "Apa benar namaku mempunyai pengaruh
begitu besar?"
Ciong-hujin kenal watak si
nona yang suka dipuji dan diumpak, maka cepat sahutnya, "Sudah tentu! Nama
besar nona di kalangan Kangouw, siapa saja yang tidak takut? Maka kuyakin bila
mendengar nama nona, biarpun nyali orang Sin-long-pang sebesar langit juga tak
berani mengganggu seujung rambut Ling-ji."
"Baiklah, tentang
memalsukan namaku, tak perlu kuusut lebih jauh," kata Bok Wan-jing.
"Tapi awas, bila lain kali sembarangan kau pakai namaku lagi, tentu urusan
takkan berakhir begini saja. Kau adalah istri Ciong Bansiu, apakah ... apakah
... huk!" mendadak ia mengentak kaki ke lantai dengan keras.
Lekas-lekas Ciong-hujin
menanggapinya dengan tertawa, "Ya, ya, memang akulah yang salah! Karena
bingung memikirkan Ling-ji, aku menjadi lupa pada nama baik nona yang masih
suci bersih."
Bok Wan-jing mendengus sekali,
lalu tanya pula, "Jing-siong Tojin datang mencari perkara padaku, hal ini
sebelumnya sudah kau ketahui, bukan?"
Air muka Ciong-hujin berubah
seketika, sahutnya terputus-putus, "Ya, dia ... dia pernah datang minta
bantuan kami berdua untuk mengeroyok nona. Tapi ... coba pikir, mana bisa kami
berbuat demikian?"
"Ilmu silat suamimu
sangat tinggi, kalau dia ikut mengeroyok, mungkin jiwaku akan melayang,"
kata Bok Wan-jing.
"Hubungan kami dengan
nona sangat baik sejak dulu, mana bisa kami berbuat begitu?" sahut
Ciong-hujin. Dan demi melihat sorot mata Bok Wan-jing di balik topeng hitamnya
itu berkilat-kilat menyeramkan, cepat ia berkata pula, "Untuk bicara terus
terang, sebenarnya kami pernah berunding tentang urusan itu. Tapi suamiku
menduga biarpun No-kang-ong Cin Goan-cun, ditambah It-hui-ciong-thian Kim
Tay-peng, Hui-sian Taysu dari Siau-lim-si dan lain-lain ikut mengerubut belum
tentu mereka mampu menangkap nona, sebab itulah, meski Jing-siong Tojin memohon
dengan sangat, tetap suamiku tak mau."
"Ucapanmu ini adalah
karanganmu belaka atau benar-benar keluar dari mulut suamimu?" tanya
Wan-jing.
"Kata-kata ini diucapkan
suamiku sendiri kepada Jing-siong Tojin," sahut Ciong-hujin. "Bila
nona tidak percaya, boleh cari Jing-siong Tojin untuk ditanyai."
Bok Wan-jing
mengangguk-angguk, katanya kemudian, "Jika demikian, jadi Ciong-siansing
sendiri merasa bukan tandinganku?"
"Kata suamiku, ilmu silat
nona sukar dijajaki, apalagi cerdik tiada bandingan, kami berdua hidup aman
tenteram mengasingkan diri, buat apa mesti mencari permusuhan lagi."
"Hah, Ciong-siansing
jelas jeri padaku, tapi masih pakai kata-kata begitu untuk menutupi rasa
malunya," jengek Wan-jing.
Wajah Ciong-hujin tampak
merasa malu, sahutnya, "Usia suamiku sudah lanjut, kalau lebih muda 20
tahun,
boleh jadi masih sanggup
melayani nona seratus-dua ratus jurus."
Kembali Bok Wan-jing tertawa
dingin, nyata hatinya sangat senang.
Toan Ki yang terbanting di
lantai itu dapat mengikuti percakapan mereka dengan jelas, pikirnya,
"Ciong-hujin terus-menerus mengumpak nona ini, sedikit pun tidak kentara,
terang ia pun seorang yang sangat lihai. Dasar nona galak suka diumpak orang,
tapi aku justru ingin mengolok-oloknya."
Maka mendadak ia berseru,
"Waduh, lagaknya! Melawan Kim Tay-peng seorang saja Bok-kohnio tak bisa
menang, sekarang malah omong besar segala? Tadi mereka berdua saling gebrak,
jelas Kim Tay-peng lebih unggul, nona Bok dihajar hingga berlutut minta ampun,
dan setelah ia dipaksa memanggil sepuluh kali 'Kimyaya' (kakek Kim) baru
jiwanya diampuninya ...."
Selagi Toan Ki hendak
mencerocos lagi, tiba-tiba Bok Wan-jing melompat datang dan mendepak dua kali
pinggangnya sambil membentak, "Siapa bilang aku kalah? Siapa yang
menyembah minta ampun padanya?"
"Ciong-hujin, aku bicara
padamu," kata Toan Ki, "Nona Bok beruntun-runtun melepaskan 18 batang
panah kecil, tapi semuanya dijatuhkan Kim Tay-peng dengan 18 buah mata uang. Ia
dihajar Kim Tay-peng hingga minta ampun dan berjanji takkan membunuh diriku
...."
Keruan Bok Wan-jing sangat
murka, sekali tangan kanan terangkat, segera anak muda itu hendak dibunuhnya
dengan panah berbisa.
Syukur Ciong-hujin sempat
berseru sambil melompat mengadang di depan Toan Ki, "Jangan, nona Bok!
Asal usul Toan kongcu ini tidak sembarangan, jangan kau bunuh dia."
"Huh, hanya seorang
pelajar lemah yang tak bisa ilmu silat, asal usulnya bisa hebat apa?
Paling-paling calon menantu 'Kian-jin-ciu-sat' Ciong Ban-siu saja!" jengek
Bok Wan-jing.
Ciong-hujin menjadi jengah,
sahutnya, "Kami adalah keluarga Kangouw yang kasar, mana berani
mengharapkan menantu seperti Toan-kongcu."
"Untung dia bukan orang
Kangouw, jika dia bisa sedikit ilmu silat saja, tentu sekali tebas sudah
kucabut nyawanya." kata Bok Wan-jing. Segera ia teringat pada janji
sendiri pada Kim Tay-peng untuk tidak membunuh Toan Ki, maka katanya pula,
"Mending juga bocah ini ada sedikit baiknya, ketika tahu ada orang hendak
bikin susah padaku, dengan cepat ia putar kuda kembali memberi kabar. Waktu Cin
Goan-cun dan
begundalnya mengerubuti
diriku, ia pun berusaha melindungi aku. Hehe, cuma sayang, semangat besar,
tenaga kurang, jiwa kesatrianya sih boleh dipuji, tapi tiada punya kepandaian
sebagai seorang gagah."
Bicara sampai di sini, nada
suaranya menjadi ramah, ia sambung pula, "Ciong-hujin, hati bocah ini jauh
lebih baik daripadamu. Kau tahu Jing-siong Tojin dan lain-lain hendak
mengeroyok aku, tapi sengaja suruh Ciong Hok minta pinjam kudaku si mawar hitam
sehingga aku tidak punya tunggangan dan sukar meloloskan diri. Sungguh hebat
akalmu ini, sungguh keji muslihatmu ini!"
"Saking bingung
memikirkan keselamatan putriku, sungguh aku tiada maksud membikin susah
nona," sahut Ciong-hujin. "Kami suami istri juga sudah tahu bahwa Cin
Goan-cun dan kawan-kawannya tak nanti mampu mengutik seujung rambut nona,
pernah juga kami nasihatkan Jing-siong Tojin jangan cari mati sendiri, dan
sekarang mungkin jiwanya sudah melayang di bawah pedang nona."
Padahal kematian Jing-siong
Tojin itu hanya dugaannya saja, ia lihat Bok Wan-jing tak kurang suatu apa pun,
sedangkan ilmu silat Jing-siong Tojin jauh di bawah Cin Goan-cun dan lain-lain,
tentu Tosu itu yang paling dulu menjadi korban.
Maka sahut Bok Wan-jing,
"Hm, pandanganmu cukup jitu juga!"
Habis berkata, sekali melesat,
tahu-tahu ia sudah sampai di samping Toan Ki, sekali angkat, kembali pemuda itu
dijinjingnya terus bertindak pergi.
"Nona Bok, tunggu dulu,
aku ingin mohon sesuatu," seru Ciong-hujin.
"Berdasarkan apa kau hendak
memohon padaku?" sahut Bok Wan-jing dengan dingin sambil menoleh.
"Apa yang akan kau mohon rasanya aku pun takkan menyanggupi, maka lebih
baik jangan kau katakan saja."
Selagi Ciong-hujin tertegun
oleh jawaban itu, sementara itu Bok Wan-jing sudah tinggal pergi sambil
menjinjing Toan Ki.
Setelah keluar dari liang
kubur dan mengembalikan batu nisan ke tempatnya, Bok Wan-jing bersuit memanggil
Oh-bi-kui, ia taruh Toan Ki di atas pelana, lalu ia sendiri mencemplak ke atas.
Sepanjang jalan beberapa kali
Bok Wan-jing ajak bicara Toan Ki, tapi pemuda itu tetap bungkam tak menggubris
padanya. Namun bila membayangkan betapa keji dirinya disiksa nona itu semalam,
diam-diam
Toan Ki kebat-kebit juga dan
tidak berani membikin marah si nona lagi.
Setengah harian kuda itu
dilarikan, kedua orang itu boleh dikatakan sementara itu dapat hidup damai
berdampingan.
Sampai tengah hari, wah,
celaka, mendadak perut Toan Ki terasa mulas. Pikirnya ingin minta Bok Wan-jing
melepaskan dia agar bisa buang hajat, tapi kedua tangannya terikat, tak bisa
memberi tanda, andaikan bisa, cara memberi tanda pun rada-rada runyam.
Terpaksa ia buka mulut,
"Aku ingin buang air, harap nona lepaskan aku!"
"Bagus, sekarang kau
tidak bisu lagi, ya? Kenapa ajak bicara padaku?" olok-olok si nona.
"Ya, terpaksa,"
sahut Toan Ki. "Aku tak berani bikin kotor nona. Nona adalah
'Hiang-yok-jeh' (kuntilanak berbau wangi), kalau aku berubah menjadi
'Jau-siau-cu' (bocah berbau busuk) kan runyam?"
Mau tak mau Bok Wan-jing
mengikik geli juga, ia pikir terpaksa harus melepaskan anak muda itu, maka ia
potong tali pengikat Toan Ki dengan pedangnya, lalu menyingkir pergi.
Karena sudah sekian lamanya
diringkus, tangan dan kaki Toan Ki menjadi kaku dan tak dapat bergerak, ia
mengesot sampai sekian lamanya di tanah baru kemudian dapat berdiri.
Selesai buang hajat alias
kuras perut, Toan Ki melihat si mawar hitam lagi makan rumput di dekatnya
dengan jinak, pikirnya, "Inilah kesempatan bagus untuk melarikan
diri!"
Perlahan ia mencemplak ke atas
kuda dan si mawar hitam ternyata menurut saja.
Sekali tarik tali kendali,
terus saja Toan Ki melarikan Oh-bi-kui ke utara dengan cepat.
Ketika mendengar suara derap
kaki kuda, segera Bok Wan-jing mengejar, namun lari si mawar hitam teramat
cepat, betapa pun tinggi Ginkang Bok Wan-jing juga tidak mampu menyusulnya.
"Sampai ketemu lagi,
Bok-kohnio," kata Toan Ki sambil memberi salam, sementara itu sudah
berpuluh tombak
jauhnya si mawar hitam
mencongklang. Waktu Toan Ki menoleh pula, ia lihat bayangan Bok Wan-jing sudah
teraling-aling pohon tak kelihatan lagi.
Bisa lolos dari cengkeraman
hantu perempuan itu, Toan Ki merasa senang sekali, berulang kali ia berseru
agar si mawar hitam lari terlebih cepat. Ia pikir saat itu sekalipun Bok
Wan-jing menyerangnya dengan Am-gi atau senjata rahasia juga takkan mencapainya
lagi.
Setelah berlari satu li
jauhnya, selagi Toan Ki termenung ragu entah masih keburu menolong Ciong Ling
atau tidak, apakah menuju langsung ke Bu-liang-san atau pulang ke Tayli dulu,
sekonyong-konyong dari belakang berkumandang suara suitan yang panjang nyaring.
Mendengar suara itu, seketika
si mawar hitam putar haluan dan berlari kembali ke arah tadi.
Toan Ki sangat terkejut, cepat
ia berteriak-teriak, "Kuda yang baik, jangan kembali ke sana, jangan
kembali ke sana kudaku sayang!"
Sekuatnya ia menarik tali
kendali agar si mawar ganti arah lagi.
Namun meski tali kendali
sedemikian kencangnya ditarik Toan Ki hingga kepala si mawar ikut miring, namun
binatang itu masih lari lurus ke depan, sedikit pun tidak mau lagi menurut
perintah Toan Ki.
Hanya sekejap saja, Oh-bi-kui
sudah berlari sampai di samping Bok Wan-jing, lalu tak bergerak. Keruan Toan Ki
serbarunyam, malu tercampur dongkol.
"Aku pernah berjanji pada
Kim Tay-peng dan takkan bunuh kau." kata Bok Wan-jing." Tapi sekarang
kau bermaksud melarikan diri, bahkan hendak menggondol lari kudaku si mawar.
Maka apa yang kujanjikan pada Kim Tay-peng itu selanjutnya kubatalkan!"
Toan Ki melompat turun dari
kuda, dengan gagah berani ia menjawab, "Oh-bi-kui sejak mula kau sendiri
yang meminjamkan padaku dan sampai kini belum kukembalikan padamu, mana boleh
bilang aku mencuri kudamu? Mau bunuh, lekas bunuhlah diriku, seorang laki-laki
sejati, tak perlu kuterima budi dari siapa pun."
"Sret", Bok Wan-jing
lolos pedangnya, katanya dengan dingin, "Hm, nyalimu benar-benar tidak
kecil, apa kau sangka aku tidak berani membunuhmu? Kau andalkan pengaruh siapa
hingga berulang kali berani padaku?"
"Asal setiap perbuatanku
dapat kupertanggungjawabkan, buat apa aku mesti mengandalkan pengaruh orang
lain?" sahut Toan Ki.
Sorot mata Bok Wan-jing
setajam kilat memandang Toan Ki, tapi anak muda itu pun balas melotot. Setelah
saling melotot sekian saat, mendadak Bok Wan-jing masukkan kembali pedangnya
dan membentak, "Sudahlah, lekas enyah! Buah kepalamu biar kutitipkan di
atas lehermu, kapan-kapan bila nona merasa perlu, setiap saat juga bisa kutagih
kepalamu."
Sebenarnya Toan Ki sudah
nekat, sungguh tak tersangka olehnya bahwa si nona akan membebaskannya begitu
saja. Untuk sejenak ia tercengang, tapi segera ia pun tinggal pergi.
Sambil memandangi bayangan
pemuda itu, diam-diam Bok Wan-jing berkata di dalam hati, "Lelaki bandel
seperti ini sungguh jarang ada di dunia ini. Padahal jago silat umumnya kalau
melihat aku tentu ketakutan setengah mati, tapi bocah ini sedikit pun ternyata
tidak gentar."
Setelah belasan tombak jauhnya,
Toan Ki tidak mendengar suara kuda, waktu menoleh, ia lihat Bok Wan-jing masih
berdiri di tempatnya dengan termangu-mangu, pikirnya, "Hm, tentu dia lagi
pikirkan sesuatu akal keji, serupa kucing mempermainkan tikus, aku hendak
digodanya habis-habisan, kemudian baru aku dibunuhnya. Baiklah, toh aku tidak
bisa lari, segala apa terserah dia."
Tapi makin jauh ia berjalan,
tetap tak mendengar suara Bok Wan-jing mengejarnya, setelah melintasi beberapa
simpang jalan, barulah ia merasa lega dan percaya nona galak itu takkan
mengejarnya.
Dan karena hatinya sedikit
lega, ia merasa tubuhnya yang babak belur itu sakit perih, seorang diri ia
bergumam, "Ai, perangai nona ini demikian aneh, boleh jadi karena kedua
orang tuanya sudah meninggal, selama hidupnya banyak mengalami macam-macam
kemalangan. Mungkin juga wajahnya teramat jelek maka tidak sudi memperlihatkan
muka aslinya pada orang. Ai, dia boleh dikatakan seorang yang perlu dikasihani
juga."
Kemudian ia pikir pula,
"Kalau aku berjalan seperti ini, mungkin sebelum sampai di Tayli aku sudah
mati keracunan Toan-jiong-san. Padahal nona Ciong lagi mengharapkan
pertolonganku dengan tak sabar, bila aku tidak tampak kembali ke sana dan
ayahnya juga tak pergi menolongnya, tentu ia menyangka aku tidak memenuhi kewajiban
mengirim berita pada ayahnya. Biarlah, bagaimanapun jadinya, aku harus memburu
ke Bu-liang-san sana untuk bersama dengan dia, agar dia tahu aku tidak
mengkhianati harapannya."
Setelah ambil keputusan
begitu, segera ia ambil arah yang tepat dan menuju ke Bu-liang-san.
Lembah sungai Lanjong itu
sunyi senyap, berpuluh li jauhnya tidak tampak seorang penduduk pun. Hari itu
terpaksa ia mencari buah-buahan sekadar tangsel perut, malam harinya tidur
meringkuk seadanya di lereng bukit.
Besoknya lewat tengah hari,
kembali ia menyeberangi sungai Lanjong. Dekat magrib, sampailah ia di suatu
kota kecil.
Uang sangu yang dibawanya
sudah terhanyut di danau tempo hari, ia tahu pakaian sendiri sudah
compangcamping, ditambah perut sangat lapar, teringat olehnya ada sebentuk
hiasan batu giok di kopiahnya yang nilainya tak terkira.
Segera ia tanggalkan batu
permata itu dan membawanya ke suatu warung kelontong satu-satunya di kota itu
untuk di jual.
Karena tidak kenal benda
mestika, pemilik warung itu hanya berani membeli dengan harga tiga tahil perak,
apa boleh buat, dengan uang itu Toan Ki masuk ke suatu warung nasi untuk makan.
Pikirnya hendak membeli
pakaian pula, tapi di kota sekecil itu tak ada toko kelontong yang menjual
pakaian. Selagi sulit, tiba-tiba dilihatnya di samping warung nasi itu, di
suatu lapangan ada orang menjemur dua potong kain hitam.
Seketika pikirannya tergerak,
teringat olehnya Ciong-hujin sengaja memalsukan nama "Hiang-yok-jeh Bok
Wan-jing" untuk menolong putrinya, pikir Toan Ki, "Kenapa aku tidak
menyamar sebagai perempuan galak itu untuk menggertak Sikong Hian?
Paling-paling gagal dan mati, tapi kalau berhasil menggertak Sikong Hian, kan
hebat!"
Dasar watak orang muda, apa
yang dia pikir segera dikerjakan, segera ia membeli sepotong kain hitam, ia
pinjam gunting dan jarum serta benang, lalu berlagak sebagai penjahit ulung
untuk membuat pakaian di belakang warung nasi itu.
Selama hidup Toan Ki hanya
kenal buku, membaca dan menulis, kini memegang jarum, walaupun benda sekecil
itu, namun rasanya seberat palu. Untung bukan menjahit pakaian bagus, hanya
diperlukan membalut antero tubuh saja asal tidak kelihatan, maka di mana ada
bagian renggang, di situ lantas dijahit, kalau ada lubang lantas ditambal.
Begitulah ia sibuk sendiri
hingga mandi keringat, pegawai warung nasi menyangka Toan Ki agak kurang waras
otaknya, maka tidak urus perbuatannya itu. Sampai malam, orang sudah pergi
tidur, Toan Ki masih sibuk
menjahit di warung itu.
Hampir tengah malam, baru
selesai Toan Ki menunaikan tugas. Ia coba pakai baju baru itu, mending juga
badannya bisa tertutup rapat. Sepasang sarung tangannya juga kasar, tapi
kesepuluh jarinya dapat masuk dan bergerak dengan bebas.
Senang sekali Toan Ki, sambil
mengenakan pakaian serbahitam itu, ia coba ingat-ingat suara Bok Wan-jing yang
tajam melengking itu, lalu tekuk suara menirukan beberapa kali.
Ia tidak yakin suaranya mirip
orang, tapi bila mengingat Sikong Hian juga belum tentu pernah melihat dan
mendengar suara Bok Wan-jing, betapa pun memang sengaja untung-untungan,
biarpun rahasianya terbongkar nanti, apa mau dikatakan lagi?
Setelah menyamar, ia coba-coba
merancang bagaimana nanti kalau berhadapan dengan Sikong Hian, kemudian
meninggalkan warung nasi itu dan menuju Bu-liang-san.
Kota kecil itu letaknya sudah
di kaki gunung Bu-liang-san. Di bawah sinar bulan, Toan Ki dapat menempuh arah
yang tepat. Setelah dua jam lamanya, dari jauh tertampak di lereng gunung sana
sinar api berkelip-kelip, ia tahu di sanalah tempat tinggal Sin-long-pang,
segera ia menuju ke tempat sinar api itu.
Kira-kira belasan tombak
sebelum sampai di tempat sinar api itu, sekonyong-konyong dari tempat gelap
melompat keluar seorang sambil membentak, "Siapa yang datang ini? Ada
keperluan apa?"
Toan Ki tertawa dingin sekali,
ia tekuk suaranya dan menyahut dengan garang, "Hm, macammu juga ingin
tanya siapa diriku? Di mana Sikong Hian? Suruh dia menemui aku!"
Melihat antero tubuh Toan Ki
tertutup kain hitam, di bawah sinar bulan hanya tertampak kedua biji matanya, orang
itu terkesiap, teringat olehnya dandanan seorang iblis wanita yang
mengguncangkan dunia Kangouw, maka tanyanya dengan suara gemetar, "Apakah
engkau ... engkau Hiang ... yok ...."
"Namaku boleh sembarangan
kau sebut?" bentak Toan Ki dengan gusar.
Karena terpengaruh oleh nama
besar "Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing", nyali orang itu pecah, dengan
gugup ia menjawab, "Sikong-pangcu terluka parah, tak bisa ... tak bisa
berjalan, harap nona sudi ... sudilah ke sana!"
Sial pikir Toan Ki, masakan
seorang jejaka 'ting-ting' disangka nona segala. Diam-diam ia pun bersyukur
orang tak dapat mengenalnya, maka sengaja ia mendengus menirukan lagak angkuh
Bok Wan-jing, katanya, "Lekas tunjukkan jalannya!"
Perlahan Toan Ki ikut orang
itu ke depan. Ia tahu, semakin lambat jalannya, semakin sulit terbongkar
rahasianya.
Sampai di tempat api unggun,
ia lihat di sana-sini menggeletak beberapa orang yang terpagut oleh Kim-leng-cu
itu. Ciong Ling diringkus kedua tangannya, begitu melihat Toan Ki, ia menjadi
girang, terus saja ia berseru, "Bok-cici, engkau telah datang menolong
aku!"
Selama tersiksa beberapa hari,
keadaan Sikong Hian memang sudah payah, ketika melihat bentuk Toan Ki, ia sudah
menduga pasti "Hiang-yok-jeh" yang namanya mengguncangkan Kangouw
itu.
Maka ia berusaha bangun, kedua
tangannya menahan di pundak kedua anak buahnya, lalu berkata, "Cayhe
terkena racun ular, tidak bisa menjalankan peradatan, harap ... harap nona suka
memaafkan."
"Nona Ciong adalah
sobatku, kau tahu tidak?" tegur Toan Ki dengan suara melengking.
"Sesungguhnya Cayhe tidak
tahu, harap maaf," sahut Sikong Hian.
"Lekas lepaskan
dia," kata Toan Ki lagi.
Walaupun Sikong Hian gentar
pada nama Hiang-yok-jeh yang besar itu, ia tahu sekalipun dirinya tidak
terluka, untuk bertanding juga bukan lawan orang, bila Ciong Ling dibebaskan,
kalau tiada obat penawar racun Kimleng-cu, tidak lama lagi dirinya bersama anak
buahnya tentu mati, dalam keadaan demikian, betapa pun hebat risikonya tak
terpikir pula, segera jawabnya, "Apakah nona membawa obat penawar racun
ular ini?"
Toan Ki mengeluarkan sebuah
kotak emas dari bajunya, itulah barang yang diterimanya dari Ciong-hujin, cuma
ketika di warung nasi ia sudah keluarkan surat di dalamnya dan menggantinya
dengan adukan nasi dan tanah hingga penuh sekotak. Lalu katanya, "Ini
adalah obat khas milik 'Kian-jin-ciu-sat' Ciong Ban-siu, dia sudi memberikan
padamu, boleh dikatakan nasibmu lagi mujur."
Sembari berkata, ia lemparkan
kotak itu ke tanah.
Memangnya Sikong Hian sudah
dapat menerka ayah Ciong Ling adalah "Kian-jin-ciu-sat" Ciong
Ban-siu, kini diperkuat oleh keterangan Toan Ki itu, ia tambah percaya lagi.
Maka cepat jawabnya, "Banyak terima kasih nona, banyak terima kasih juga
kepada Ciong-tayhiap."
Segera ada bawahannya
menjemput kotak itu untuk diserahkan pada Sikong Hian. Ia buka kotak itu dan
mengendus isinya, ia mencium isi kotak itu berbau amisnya ikan, rada-rada
berbau tanah juga.
Setiap anggota Sin-long-pang
adalah ahli obat-obatan, lebih-lebih Sikong Hian, segala macam obat, sekali
diciumnya tentu diketahuinya betapa kadar obat yang terkandung di dalamnya.
Apalagi sekarang obat itu merupakan penyelamat jiwanya, tentu saja ia periksa
lebih cermat.
Ketika diendus lagi dan merasa
sedikit pun tiada bau obat, seketika timbul rasa curiganya. Segera ia tanya,
"Tolong tanya nona, obat ini bagaimana memakainya?"
"Setiap orang minum
setitik saja, lewat 12 jam, racun Kim-leng-cu akan lenyap," sahut Toan Ki.
"Nah, lekas kau bebaskan nona Ciong!"
"Ya," sahut Sikong
Hian sambil berjongkok mengambil sebatang kayu yang terbakar untuk menerangi
tubuh Toan Ki.
Kalau di tempat gelap masih
mendingan, kini sekali disinari, seketika terbongkarlah borok Toan Ki.
Tertampaklah pakaiannya yang hitam mulus itu di sana-sini tidak keruan
jahitannya, hakikatnya tidak serupa pakaian.
Keruan Sikong Hian bertambah
curiga. Ia melangkah maju lebih dekat dan mencium sekuatnya beberapa kali, tapi
sedikit pun tidak mengendus bau harum apa-apa. Pikirnya, "Menurut cerita
orang Kangouw, tubuh Hiangyok-jeh mengeluarkan semacam bau harum yang khas,
dari jauh orang sudah menciumnya, sebab itulah diperoleh julukan
'Hiang-yok-jeh'. Tapi orang ini sama sekali tiada bau wangi apa pun, sebaliknya
malah radarada bau apak. Apa mungkin orang ini hanya samaran saja?"
Melihat sikap orang, Toan Ki
tahu dirinya sudah mulai dicurigai. Keruan hatinya kebat-kebit, tapi ia masih
coba membentak, "Kusuruh kau lepaskan nona Ciong, kau dengar tidak?"
Walaupun sudah curiga, namun
Sikong Hian masih tidak berani main kasar, dengan merendah ia menjawab,
"Harap nona maklum, sekian banyak orang kami telah dipagut ular, jiwa
masing-masing tinggal sehari-duahari, jika obat pemberian Ciong-tayhiap ini
tidak manjur, kan jiwa kami akan melayang semua? Bukanlah
Cayhe berani membangkang
perintah Bok-kohnio, kami hanya minta nona Ciong bersabar beberapa hari lagi
dan tinggal bersama kami, bila racun ular kami sudah disembuhkan, pasti kami
akan mengantar nona Ciong ke rumah, sekalian mengaturkan terima kasih juga
kepada Bok-kohnio."
"Kenapa kau berani
mengoceh lagi, kukatakan lepaskan dia dan harus kau lakukan!" kata Toan Ki
dengan gusar. Segera ia berpaling kepada seorang tua yang berdiri di samping
Ciong Ling dan membentaknya, "Lekas buka tali ringkusannya!"
Dan karena gugupnya, suara
Toan Ki lupa ditekuk hingga kentara sekali bersuara pria.
Kakek yang dibentak itu cukup
cerdik, di bawah sinar api ia lihat pula isyarat sang Pangcu, maka pikirnya,
"Orang ini entah tulen atau palsu, kalau Pangcu sendiri segan padanya, aku
hanya bawahan, kasar sedikit tentu tidak apalah. Bila dia benar-benar Hiang-yok-jeh,
tentu Pangcu akan mintakan maaf bagiku."
Karena pikiran itu, segera ia
menjawab dengan suara keras, "Bok-kohnio, tidaklah sulit untuk melepaskan
nona Ciong. Tapi wajah asli nona harus diperlihatkan kepada kami barang sekejap
saja."
"Kau berani minta lihat
wajahku, apa barangkali kau sudah bosan hidup?" damprat Toan Ki.
Diam-diam kakek itu berpikir,
"Betapa lihai ilmu silatnya, wanita ini hanya seorang diri. Dengan jumlah
kami sebanyak ini masakah tak bisa melawan seorang wanita?"
Namun demikian pikirnya, nama
"Hiang-yok-jeh" sesungguhnya teramat besar, banyak cerita orang
Bu-lim yang memujanya setinggi langit, kalau pakai kekerasan, bisa jadi dirinya
akan celaka lebih dulu.
Maka dengan tertawa katanya
pula dengan merendah diri, "Sekalipun Siauloji (aku orang tua yang rendah)
punya sepuluh nyawa serep juga tidak berani pada nona. Cuma sudah lama kami
dengar nama nona yang mahabesar, hati kami kagum tak terhingga, maka sangat
berharap dapat menambah pengalaman bila nona sudi memberi petunjuk barang
sejurus-dua jurus ilmu sakti."
Diam-diam Toan Ki mengeluh,
cepat sahutnya, "Kemahiran nona adalah kepandaian membunuh orang melulu,
tapi di sini agaknya tiada orang yang mau dibunuh."
Seorang tokoh Sin-long-pang di
daerah Kuiciu menjadi tidak sabar, dengan suara keras ia menyela, "Kau
minta kami bebaskan orang, paling sedikit harus kau unjuk sejurus-dua
dulu."
Sembari berkata, ia lantas
tampil ke muka.
Dalam pada itu rasa curiga
Sikong Hian sudah tak tertahankan, segera ia pun berkata, "Baiklah, Ui-hiati,
boleh coba-coba kau minta petunjuk nona Bok."
Tokoh she Ui itu menjadi tabah
mendapat dorongan sang Pangcu, segera ia lolos Kim-pwe-to atau golok
berpunggung tebal, sekali bergerak, lima gelang baja yang terpasang di atas
golok itu berbunyi gemerantang, dengan gagah ia berdiri di depan Toan Ki.
Diam-diam Toan Ki mengeluh,
"Celaka, tidak jadi soal kalau rahasiaku terbongkar, tapi nona Ciong bakal
menjadi korban juga."
Dan demi tampak kegarangan
lawan, tanpa terasa ia menyurut mundur dua tindak.
Melihat langkah Toan Ki enteng
tanpa kuda-kuda, hakikatnya seorang tak bisa ilmu silat, orang she Ui itu
menjadi makin berani. Ia mendesak maju lagi dua tindak, goloknya pura-pura
membacok ke depan hingga gelang baja menerbitkan suara gemerencing.
Saking ketakutan berulang Toan
Ki mundur beberapa tindak, sampai akhirnya punggung sudah menyandar di suatu
pohon beringin.
Saat itu, beratus pasang mata
orang Sin-long-pang sama tertuju atas diri Toan Ki, dan karena mundur beberapa
tindak, walaupun belum kentara samarannya, namun sudah jelas kelihatan kalau
dia tak bisa ilmu silat. Banyak di antara orang Sin-long-pang saling berbisik
membicarakan hal itu dengan heran.
"Bok-kohnio," kata
Sikong Hian kemudian. "Silakan kau beri ajaran sedikit pada Ui-hiati itu.
Cuma sukalah nona berlaku murah hati, asal menyentuh badan, lantas
sudahi."
"Aku tak bisa menyentuh
badan saja, sekali turun tangan, pasti bereskan nyawanya," kata Toan Ki.
"Makanya, hai, orang she Ui, lebih baik kau undurkan diri saja."
Walaupun bicaranya masih
angkuh sekali, namun suaranya sudah gemetar hingga kentara perasaannya yang
ketakutan.
"Silakan, memang jiwa
orang she Ui hidup di ujung senjata," bentak jago she Ui itu mendadak
sambil angkat goloknya.
"Jangan bergerak,"
seru Toan Ki berlagak garang. "Sekali aku turun tangan, seketika jiwamu
bakal melayang. Maka kunasihatkanmu undurkan diri saja lebih selamat."
"Silakan nona memberi
ajaran," sahut jago she Ui itu.
Dan demi tampak kedua kaki
Toan Ki rada gemetar, tanpa bicara lagi goloknya yang tebal besar itu terus
membacok ke dada Toan Ki.
Cuma nama
"Hiang-yok-jeh" sesungguhnya teramat disegani, maka serangannya ini
masih tetap pura-pura saja, ketika golok itu hampir mengenai dada Toan Ki,
mendadak ia belokkan arahnya ke samping, "sret", baju hitam di bahu
kiri Toan Ki yang terpapas sebagian.
Keruan Toan Ki terkejut,
sementara itu punggungnya sudah kepepet di batang pohon, untuk mundur lagi
terang sudah buntu, diam-diam ia mengeluh, cepat ia berteriak, "Nona
Ciong, lekas ... lekas melarikan diri!"
Sudah lama Ciong Ling kenal
dengan Bok Wan-jing, maka begitu lihat perawakan Toan Ki, tingkah laku dan
lagak lagunya yang sangat berbeda daripada Bok Wan-jing, sejak tadi gadis itu
sudah tahu Hiang-yok-jeh palsu, cuma tak diketahuinya siapa gerangan pemalsu
itu. Kini demi mendengar suara teriakan Toan Ki, seketika ia kenal anak muda
itu dan berseru, "Hah, engkau Toan ...."
Belum lanjut ucapannya,
mendadak golok jago she Ui tadi sudah menyambar lagi hingga lengan baju kanan
Toan Ki terpapas pula sebagian.
"Haha!" orang she Ui
itu terbahak-bahak. "Hiang-yok-jeh, hari ini aku justru ingin melihat
wajahmu yang sebenarnya, apakah secantik bidadari, atau jelek seperti Yok-jeh
(genderuwo)?"
Dengan tertawa segera seorang
kawannya menanggapi dari samping, "Dia bernama Yok-jeh, tentu seorang
genderuwo tua bangka, kalau tidak, untuk apa selalu mengerudungi muka
sendiri."
Melihat dua kali bacokan
kawannya berhasil tanpa mendapat perlawanan, bahkan Toan Ki tampak kelabakan
ketakutan, mereka menjadi berani, banyak sindiran dan olok-olok kasar tercetus
dari mulut mereka.
Di tengah sindir ejek
orang-orang itu, mendadak golok orang she Ui itu menyambar pula ke muka Toan Ki
dengan gerak tipu "Giok-liong-sia-hui" atau naga putih terbang
miring, cepat Toan Ki mendoyong ke belakang, karena itu, kedua tangannya
seakan-akan terangkat ke atas.
Pada saat itulah, tiba-tiba
terdengar suara "bluk," tahu-tahu tubuh jago she Ui yang besar itu
jatuh terjengkang, menyusul "trang" sekali, goloknya terpental juga
hingga gelang baja di atasnya menerbitkan suara nyaring.
Ketika memandang orang she Ui
itu, tertampak dia sudah roboh telentang, batok kepalanya tertancap sebatang
panah kecil warna hitam dan tak berkutik lagi.
Dalam kejutnya, cepat dua
orang Sin-long-pang sudah memburu maju dan memeriksa sang kawan, demi
mengetahui orang she Ui itu sudah putus nyawanya, kedua orang itu menjadi
murka, dengan senjata terhunus mereka menubruk pula ke arah Toan Ki.
Tapi baru saja tubuh mereka
bergerak, tiba-tiba terdengar suara mendesir dua kali, tahu-tahu kedua orang
itu terbanting hingga meringkuk bagai cacing, setelah kelejetan beberapa kali
lalu tak bergerak lagi.
Seketika kawanan Sin-long-pang
menjadi panik, segera ada yang menganjurkan mengerubut maju semua. Benar juga,
lebih 20 orang sekaligus lantas menerjang ke arah Toan Ki dari berbagai
jurusan.
Melihat sekelilingnya penuh
musuh bersenjata dan bermuka beringas, saking ketakutan Toan Ki sampai
terkesima.
Jilid 05
Tak terduga belum lagi
setombak mendekati Toan Ki, tahu-tahu lebih 20 orang itu sudah dipapak pula
oleh sambaran senjata rahasia, seketika ramai dengan suara mendesir, hujan
panah terjadi, sekejap saja orang-orang itu sama menggeletak terbinasa.
Orang-orang itu adalah sisa
kawanan Sin-long-pang yang masih kuat, tapi dalam sekejap saja sudah mati
semua, keruan Sikong Hian sangat terkejut. Apalagi sebelumnya sudah berpuluh
anak buahnya terpagut Kimleng-cu, sisa anak buahnya sekarang hanya tinggal kelas
rendahan saja.
"Hiang ... Hiang-yok-jeh,
sungguh tak bernama kosong, keji amat cara turun tanganmu!" dengan dendam
Sikong Hian berkata.
Mimpi pun Toan Ki tidak
menyangka bahwa dalam sekejap saja penyerang sebanyak itu bisa roboh dan mati
semua, terang diam-diam ada orang kosen telah menolongnya, tapi sekitarnya
sunyi senyap, di mana ada orang kosen?
Ketika melihat kematian
orang-orang itu cukup mengenaskan, ia merasa tidak tega, maka katanya,
"Sikongpangcu, engkaulah yang memaksa aku, sungguh aku merasa men ...
menyesal."
Sikong Hian menjadi gusar,
katanya, "Jiwaku hanya satu ini, hendak kau bunuh atau disembelih boleh
silakan. Sin-long-pang hancur di tangan Sikong Hian, memangnya aku pun tidak
ingin hidup lagi."
"Aku tiada bermaksud
mencelakaimu," sahut Toan Ki menyesal. "Le ... lekas kau bebaskan
nona Ciong saja."
Dalam keadaan terharu, nada
suara Toan Ki menjadi berbeda sekali daripada suara Bok Wan-jing yang dingin.
Tapi Sikong Hian sudah kalap
menyaksikan anak buahnya habis terbunuh, tak diperhatikan lagi apakah suara
Toan Ki itu suara orang laki-laki atau perempuan, tulen atau palsu, segera ia
membentak, "Akhirnya juga mati, Thio-hiati, kau bunuh dulu anak perempuan
she Ciong itu!"
Anak buahnya yang she Thio itu
mengiakan terus mendekati Ciong Ling, golok terangkat terus membacok kepala
Cong Ling. Tapi belum lagi senjata itu diayunkan, sekonyong-konyong suara
mendesir berjangkit lagi
sekali, di mana panah kecil
itu sampai, kontan orang she Thio itu roboh terjengkang, golok membacok di muka
sendiri hingga berlumuran darah.
Sebenarnya orang she Thio itu
sudah menduga bahwa "Hiang-yok-jeh" pasti akan menimpukkan panahnya
untuk merintangi bacokannya itu, maka waktu membacok, ia sudah mencurahkan
segenap perhatian ke arah Toan Ki, asal tangan "Hiang-yok-jeh" itu
sedikit bergerak, segera ia bermaksud berjongkok untuk menghindar. Siapa duga
datangnya panah itu sedikit pun tiada tanda apa pun.
Tadi waktu berpuluh orang mengepung
Toan Ki, dalam keadaan hiruk-pikuk hujan anak panah, semua orang juga tidak
jelas dari mana datangnya panah berbisa itu. Kini secepat kilat orang she Thio
itu jatuh binasa pula, dari mana menyambarnya panah terlebih tiada seorang pun
yang tahu. Keruan sisa anak buah Sin-long-pang menjadi ketakutan, beberapa di
antaranya yang bernyali kecil menjadi lemas kakinya hingga dan terkulai tak
sanggup berdiri.
"Kau lepaskan nona
Ciong," Toan Ki tunjuk seorang laki-laki setengah umur.
Orang itu tahu bila tidak
menurut perintah, sekejap saja jiwanya pun akan melayang seperti kawan-kawan
lain. Sekalipun disiplin Sin-long-pang cukup keras, tapi demi keselamatan jiwa
sendiri, terpaksalah ia mendekati Ciong Ling dengan takut-takut, ia lolos
sebilah pisau dan memotong tali pengikat gadis itu.
Setelah bebas, Ciong Ling
mendekati Sikong Hian, katanya, "Keluarkan obat di dalam kotak emas itu
dan kembalikan kotaknya padaku."
Meski Sikong Hian sangsikan
khasiat obat di dalam kotak itu, tapi toh dikoreknya juga semua isi kotak di
telapak tangannya, lalu menyerahkan kotak kosong itu kepada Ciong Ling.
Diam-diam ia cari akal cara bagaimana melawan panah berbisa Hiang-yok-jeh.
Setelah terima kotak emas itu,
kembali Ciong Ling ulurkan tangan dan berkata, "Serahkan sini!"
"Apa lagi?" tanya
Sikong Hian mendongkol.
"Obat pemunah racun
Toan-jiong-san," sahut Ciong Ling. "Toan-kongcu telah mencarikan obat
bagimu, harus kau berikan obat penawarnya pula."
Tergerak pikiran Sikong Hian,
ia mendapat akal, serunya lantas, "Ambilkan obatnya!"
Lalu ia sebut beberapa nama
ramuan obat.
Cepat dua anak buahnya
mengeluarkan ramuan obat yang dimintanya itu dari peti obat. Setelah dicampur
dan dibungkus. Sikong Hian berkata pula, "Serahkan pada nona Ciong."
Setelah terima obat itu, Ciong
Ling berkata, "Kalau obat ini tidak manjur, akan kubunuh habis
Sin-long-pang kalian!"
"Sudah tentu obat ini
tidak bisa menyembuhkan racun Toan-jiong-san," sahut Sikong Hian dingin.
"Apa katamu?" tanya
Ciong Ling dengan kaget.
"Obat ini hanya menunda
bekerjanya racun Toan-jiong-san selama tujuh hari, habis itu kalau aku tidak
mati, bolehlah kau minta obat penawarnya padaku," sahut Sikong Hian.
Sungguh gusar Ciong Ling tidak
kepalang, ia berpaling pada Toan Ki dan berkata, "Bok-cici, tua bangka ini
tidak bisa dipercaya, boleh kau panah mampus dia."
"Ingar, di dunia ini
hanya aku seorang yang sanggup meracik obat penawar Toan-jiong-san," kata
Sikong Hian.
Toan Ki menjadi khawatir,
pikirnya, "Obat yang kuberikan padanya memangnya palsu, hanya adukan dari
sisa nasi dan tanah, dengan sendirinya tidak manjur, nanti kalau racun
Kim-leng-cu dalam tubuhnya bekerja, seketika dia akan mati, lalu bagaimana
baiknya?"
Ciong Ling memandang Toan Ki
tanpa berdaya, dalam gugupnya tiba-tiba timbul sifat keremajaannya, tangan
Sikong Hian terus ditariknya sambil berkata, "Sikong-pangcu, marilah ikut
padaku untuk menjenguk Toankongcu."
"Hei, macam apa pakai
tarik-tarik begini?" seru Sikong Hian gusar.
"Saat ini Toan-kongcu
tentu berada di rumahku, marilah kita pergi melihatnya," sahut Ciong Ling.
"Bila racun Kim-leng-cu bekerja dalam tubuhmu, ayah bisa juga
mengobatimu."
Toan Ki pikir akal si gadis
itu bagus sekali, maka ia pun berkata dengan dingin, "Marilah kita
berangkat bersama, kau takkan mati!"
Sikong Hian memandangnya
sekejap, ia pikir kalau membangkang hingga membikin marah
"Hiang-yok-jeh," bukan mustahil jiwanya akan melayang di bawah panah
beracun orang. Tapi dirinya adalah seorang Pangcu, anak buahnya sudah banyak
yang jadi korban, kini dirinya kena dibekuk orang pula, apa jadinya kalau kelak
jiwanya selamat?
Karena itu ia menjadi
serbasalah.
"Sikong-pangcu,"
Ciong Ling tak sabar, ia terus menyeretnya, "marilah berangkat lekas! Kau
sendiri boleh minum obat penawar itu dulu, sisanya berikan kepada anak
buahmu."
Walaupun ragu, namun Sikong
Hian minum juga sebagian "obat penawar" tadi, ia khawatir khasiat
obat kurang manjur, maka sebagian besar ia minum sendiri, sisanya tinggal
sedikit baru diberikannya kepada anak buahnya.
Tanpa bicara lagi Ciong Ling
menyeret pergi Pangcu Sin-long-pang yang sial itu.
Walaupun terluka parah, tapi
kalau Sikong Hian mau mengipatkan tangan Ciong Ling, dengan mudah ia dapat
bebaskan diri. Cuma, pertama ia jeri pada "Hiang-yok-jeh" yang ganas
itu, kedua, khawatir obat penawar yang diminum tadi tidak manjur, biarpun bisa
meloloskan diri, akhirnya juga mati, maka lebih baik ikut pergi saja dengan
mereka.
"Memangnya aku ingin
bertemu dengan ayahmu, ingin kuminta keadilan padanya," dengan mengucapkan
katakata yang bersifat menutupi malunya, segera ia melangkah lebih dulu.
Cepat Ciong Ling memegang
lengan ketua Sin-long-pang. Ketika lewat di samping Toan Ki, sekalian ia
gandeng tangan pemuda itu pula.
Melihat sang Pangcu diseret
pergi orang, sisa anak buah Sin-long-pang menjadi ribut dan berisik
membicarakannya. Keruan Sikong Hian merasa malu dan menundukkan kepala.
Dengan bungkam Ciong Ling
menggandeng tangan kedua orang dan berjalan terus, diam-diam ia pikir,
"Kalau kubongkar rahasia Toan-kongcu, tentu si tua Sikong Hian ini akan
berontak dan kami berdua jelas bukan tandingannya. Namun Bok-cici terang
bersembunyi di sekitar sini, tadi anak buah Sin-long-pang banyak yang terbunuh,
dengan sendirinya akibat perbuatannya."
Berpikir begitu, segera ia
berseru dengan suara yang sengaja diperkeras, "Banyak terima kasih atas
pertolongan Bok-cici tadi."
Toan Ki terperanjat ketika
mendadak mendengar seruan si nona, sejenak kemudian dengan suara yang
dibuatbuat baru ia menjawab, "Ah, orang sendiri, tak perlu sungkan."
"Huh, masih berani
bersandiwara," pikir Ciong Ling geli.
Tiba-tiba ia puntir tangannya
hingga Toan Ki kesakitan, hampir saja ia menjerit. Ketika melirik si gadis,
tampak Ciong Ling lagi tersenyum-senyum geli. Berbareng itu, diam-diam gadis
itu jejalkan kotak emas dan bungkusan obat penawar yang diterimanya dari Sikong
Hian tadi ke tangan Toan Ki.
Toan Ki tahu gadis itu sudah
mengetahui rahasianya, maka ia mengangguk tanda terima kasih.
Pada saat itulah, tiba-tiba di
jurusan barat sana ada suara suitan orang, menyusul dari sebelah selatan ada
suara orang bertepuk tangan pula. Habis itu, sesosok bayangan secepat terbang
tampak memapak dari depan.
Kira-kira beberapa meter di
depan Toan Ki bertiga, mendadak orang itu berhenti dan membentak dengan suara
yang serak, "Hiang-yok-jeh, memangnya kau bisa melarikan diri?"
Dari suaranya, Toan Ki dapat
mengenali adalah Sam-ciang-coat-beng Cin Goan-cun, si raja pengaduk sungai.
Pada saat lain, terdengar pula
suara seorang tertawa dingin di belakang, waktu Toan Ki menoleh, di bawah sinar
bulan yang remang-remang tertampaklah seorang nenek dengan golok terhunus dan
tangan lain memegang sebatang gurdi baja bersinar kemilau.
"Celaka!" diam-diam
Toan Ki mengeluh. "Semoga nona Bok lekas datang menolong!"
Ia menjadi bingung, apakah
harus tetap memalsukan nama Hiang-yok-jeh atau membuka baju hitam menunjuk
muka aslinya sendiri?
Sedang ragu-ragu, sementara
itu dari kanan-kiri sudah bertambah lagi masing-masing seorang.
Yang sebelah kiri adalah
seorang Hwesio tua berjubah kuning, membawa senjata Hong-pian-jan atau sekop
serbaguna, suatu alat yang lazim dibawa kaum padri. Dan orang yang di sebelah
kanan kurang jelas wajahnya, agaknya seorang laki-laki berusia belum lanjut,
punggung menyandang pedang.
Ternyata dalam sekejap saja
Toan Ki alias Hiang-yok-jeh palsu sudah terkepung dari empat jurusan. Ia kenal
Cin Goan-cun, si nenek dan si Hwesio itu adalah kawanan pengeroyok di rumah Bok
Wan-jing, kini mereka mengejar pula sampai di sini, dengan sendirinya laki-laki
satunya tentu adalah komplotan mereka juga.
"Kalian hendak cari
Bok-cici, bukan?" tanya Ciong Ling tiba-tiba.
"Benar," sahut si
Hwesio. "Siapakah nona ini dan Cianpwe itu? Silakan menyingkir ke samping
saja."
Belum lagi Ciong Ling
menjawab, cepat Sikong Hian menimbrung, "Taysu tentu adalah Hui-sian Taysu
dari Siau-lim-si, bukan? Dan yang ini tentunya No-kang-ong Cin-loyacu, dan yang
itu adalah Sin-sipopo. Cayhe Sikong Hian dari Sin-long-pang. Maafkan
kedangkalan pengalamanku, numpang tanya siapa pula nama yang mulia saudara yang
ini?"
Laki-laki tak dikenal itu
melangkah maju dua tindak hingga wajahnya kini jelas kelihatan, lalu sahutnya,
"Cayhe she Su ...."
"Ah, kiranya adalah
Oh-pek-kiam Su An, Su-tayhiap!" belum orang selesai memperkenalkan diri,
cepat Sikong Hian sudah memotong. "Selamat bertemu, selamat bertemu!"
Su An itu balas hormat orang,
sahutnya, "Sudah lama kudengar nama besar Sikong-pangcu dari
Sin-long-pang, betapa bahagia hari ini bisa berjumpa di sini."
Toan Ki kini dapat melihat
usia Su An itu kira-kira baru 30-an tahun, perawakannya sedang tapi gagah
perkasa, jiwa kesatrianya tampak nyata pada sikapnya yang kereng, berbeda
sekali dengan sifat Cin Goan-cun dan Sinsipopo yang sombong tak mau kalah itu. Diam-diam
timbul rasa suka Toan Ki kepada pendekar muda itu.
Sebagai seorang tokoh Bu-lim
yang sudah lama menetap di daerah Hunlam, banyak juga jago silat terkemuka yang
dikenal Sikong Hian, cuma sedikit yang tak dikenalnya. Di antara empat tokoh
itu hanya Cin Goan-cun yang sudah pernah bertemu, ketiga orang yang lain hanya
dikenalnya dari senjata serta diterka dari umur mereka, tapi nyatanya tepat
juga dugaannya.
Ia tahu betapa lihai ilmu
pukulan Cin Goan-cun, sedang Hui-sian Taysu itu adalah satu di antara delapan
Houhoat atau pembela agama dari Siau-lim-si, ilmu permainan Hong-pian-jan
terhitung nomor satu di kalangan murid Buddha.
Adapun Sin-sipopo mempunyai
kepandaian khas tunggal juga dengan golok dan gurdi bajanya yang dapat
dimainkan sekaligus dengan ganas dan keji.
Su An terkenal dengan julukan
Oh-pek-kiam atau pedang hitam putih, paling akhir ini namanya sangat cemerlang
di daerah Kanglam. Walaupun ilmu silatnya yang sejati belum diketahui sampai di
mana tingkatannya, namun dapat diduga juga pasti bukan jago keroco.
Yang paling kebetulan adalah
keempat tokoh ini sekaligus datang mencari Hiang-yok-jeh, tentu saja Sikong
Hian tidak sia-siakan kesempatan bagus ini untuk meminjam tangan keempat tokoh
itu melenyapkan suatu penyakit bagi dunia persilatan.
Dengan keputusan itulah segera
ia pura-pura angkat tangan memberi hormat sambil berkata, "Dan entah ada
keperluan apakah kedatangan kalian berempat ke Bu-liang-san sini?"
Berbareng itu, tanpa menunggu
jawaban Cin Goan-cun berempat mendadak ia kipatkan tangannya hingga Ciong Ling
dan Toan Ki tersentak mundur, bahkan Toan Ki yang tak bisa ilmu silat terus
terjungkal roboh.
Sementara itu Sikong Hian
sudah lantas melompat ke samping. Tapi karena racun Kim-leng-cu teramat berat
mengeram dalam tubuhnya, kakinya masih terasa lemas, ia sempoyongan dan hampir
jatuh.
Semula Hui-sian berempat
mengira Sikong Hian adalah begundalnya Bok Wan-jing, walaupun tahu ilmu
silatnya belum termasuk kelas wahid, tapi Sin-long-pang adalah suatu klik
paling berkuasa di daerah Hunlam, orangnya banyak, pengaruhnya besar, suka main
obat racun dan asap berbisa, untuk itu agak susah juga untuk dilawan. Kini demi
tampak Sikong Hian melompat menyingkir dengan sempoyongan, mereka baru tahu
Pangcu Sin-long-pang itu dalam keadaan terluka parah.
Sekali Sikong Hian putar
tubuh, sambil bersandar di samping Hui-sian ia berkata dengan pedih,
"Teramat keji cara turun tangan Hiang-yok-jeh, sekaligus berpuluh anak
buah Sin-long-pang sudah menjadi korban
keganasannya, sakit hatiku ini
pasti kubalas."
"Nona cilik," segera
Hui-sian berkata. "Lekas menyingkir ke samping."
"Kalian takkan mampu
melawan Bok-cici, lebih baik lekas pergi saja," sahut Ciong Ling.
"Dia adalah putrinya
'Kian-jin-ciu-sat' Ciong Ban-siu," Sikong Hian coba mengisiki Hui-sian.
"Kabarnya ayahnya masih hidup, paling baik kalau tawan dia saja."
Nyata ia berharap Hui-sian
dapat menawan Ciong Ling sebagai jaminan agar kelak Ciong Ban-siu terpaksa
mengobati racun Kim-leng-cu di dalam tubuhnya itu.
Mendengar
"Kian-jin-ciu-sat" Ciong Ban-siu masih hidup, Hui-sian rada
tercengang. Ia tahu iblis besar itu sangat sukar dilawan, sekali terlibat
bermusuhan dengan dia, selanjutnya Siau-lim-pay pasti takkan pernah aman, maka
sesungguhnya ia tidak ingin mengikat musuh yang lihai itu.
Mendadak "ser"
sekali, Hong-pian-jan atau sekop serbaguna, menyambar ke atas kepala Ciong
Ling.
Cepat gadis itu mengegos, tak
terduga sekop itu terus ditarik kembali hingga punggung sekop menggantol kuduk
si gadis.
Jurus serangan ini disebut
"Sui-ong-sit-hoan" atau seperti maju ke depan, tapi sebenarnya putar
kembali. Yaitu suatu tipu serangan paling lihai di antara 36 jurus
"Hok-mo-jan-hoat" atau permainan sekop penakluk iblis. Gerak tipunya
di luar dugaan orang, cepatnya luar biasa pula, maka musuh sukar menghindarkan
diri.
Baru saja Ciong Ling menjerit
kaget, tahu-tahu punggung sekop sudah menempel tengkuknya. Sekonyongkonyong
sinar putih berkelebat, "cring", Su An telah lolos pedang menyampuk
jatuh sebuah panah kecil.
Sementara itu Hui-sian sudah
tarik sekopnya hingga Ciong Ling ikut terseret ke sampingnya, sekali pegang,
tangan kiri Hui-sian telah pencet pergelangan tangan si nona hingga tak bisa
berkutik, lalu katanya, "Terima kasih atas pertolongan Su-tayhiap."
Bila membayangkan kejadian
barusan, tanpa tertahan padri itu berkeringat dingin. Coba kalau Su An tidak
awas dan cekatan hingga panah gelap itu tersampuk jatuh, mungkin jiwanya
sekarang sudah melayang.
Tampak Su An berpaling ke arah
datangnya panah gelap itu sambil membentak, "Silakan keluar saja,
Bokkohnio!"
Diam-diam Cin Goan-cun dan
lain-lain sama malu diri, "Kiranya orang berbaju hitam ini bukan
Hiang-yok-jeh, untung Su An cukup cerdik dan cekatan."
Ketika mereka memandang ke
sana, namun di situ keadaan sunyi senyap, gelap gulita tiada bayangan seorang
pun.
Mendadak, di sebelah kiri
terdengar suara "tek" sekali, sepotong batu kelihatan jatuh di tanah,
cepat semua orang berpaling, tapi pada saat yang sama, kembali terdengar suara
mendesirnya panah menyambar, "cring", lagi-lagi Su An menyampuk
dengan pedang hingga sebatang panah kecil yang mengincar belakang kepala
Sinsipopo dapat dipukul jatuh.
Ternyata sehabis menyerang
Hui-sian, dengan cepat penyerang tadi sudah mengisar ke kanan, ia pancing orang
memandang ke kiri dengan sepotong batu, berbareng ia membokong Sin-sipopo pula.
Keruan nenek itu terkejut dan
gusar, ia putar goloknya dengan kencang hingga tubuhnya seakan-akan terbungkus
segulung sinar putih, terus menerjang ke semak-semak rumput di sebelah kanan
sana. Rumput alang-alang di situ menjadi bertebaran kena dipapas goloknya, tapi
tiada bayangan seorang pun kelihatan.
Tiba-tiba terdengar Su An
bersuit nyaring, segera ia melayang ke atas sebatang pohon besar di arah barat
sana, menyusul terdengarlah suara "crang-creng" beberapa kali,
sekaligus pedang Su An sudah menyerang empat kali.
Selagi Hui-sian pentang mata
dan pasang kuping mengikuti pertarungan kawan di atas pohon itu, mendadak dari
udara menubruk turun sesosok bayangan hitam ke atas kepalanya. Cepat juga
reaksi Hui-sian, sekali tangan kanan terangkat, Hong-pian-jan lantas menyabet
ke arah bayangan itu.
Namun bayangan itu sempat
mengentak kakinya ke batang sekop, dengan tenaga pantulan itu, tahu-tahu
pedangnya menusuk si nenek alias Sin Si-nio.
Sekuat tenaga Sin Si-nio ayun
goloknya menangkis, "cret", tahu-tahu ujung golok putus tertebas
pedang musuh, menyusul sinar pedang musuh menyambar mukanya.
Karena tak keburu menolong,
cepat Cin Goan-cun menghantam punggung musuh.
Agaknya orang itu pun tahu
betapa lihai ilmu pukulan Cin Goan-cun, maka tidak berani menangkis dari depan,
cepat pedangnya menepuk pundak Sin Si-nio, sekali tahan, sekali loncat, dengan
enteng orangnya sudah melayang pergi.
Kalau orang itu tidak terpaksa
karena digencet oleh pukulan Cin Goan-cun dari belakang, tentu pedangnya itu
tidak menepuk melainkan menebas, jika begitu tentu tubuh Sin Sin-nio sudah
terbelah menjadi dua.
Namun walaupun sudah dua kali
jiwanya hampir melayang, Sin Si-nio masih belum kapok, ia menubruk maju pula
dengan kalap. Berbareng itu Cin Goan-cun dan Hui-sian pun menyerang dari
kanan-kiri.
Tapi biarpun dikeroyok tiga,
orang itu masih bisa menyusup kian kemari di antara lawan-lawan itu dengan
lincah dan luwes, nyata itulah dia Hiang-yok-jeh tulen alias Bok Wan-jing.
Sementara itu Su An sudah
melompat turun dari atas pohon, tapi ia tidak ikut mengeroyok sebaliknya
masukkan pedangnya ke sarung, lalu berdiri di samping untuk menonton.
"Su-heng," kata Toan
Ki tiba-tiba mendekati Su An, "harap kau suruh mereka jangan
berkelahi."
Sungguh di luar dugaan Su An
ucapan Toan Ki itu. Ia coba melirik "Hiang-yok-jeh" palsu itu lalu
bertanya, "Siapakah saudara sebenarnya?"
"Cayhe bernama Toan Ki.
Sungguh aku tidak paham percekcokan di antara Bok-kohnio dengan kalian
ini," demikian sahut Toan Ki. "Cuma cara bertempur mati-matian begini
rasanya bukanlah jalan yang baik. Salah atau benar, seharusnya bisa
diselesaikan secara berunding saja."
Su An memandang sekejap pada
pemuda itu, pikirnya, "Benar juga ucapannya ini. Tapi percekcokan di
antara orang Kangouw selamanya diselesaikan dalam ilmu silat, bila pakai
berunding segala, buat apa lagi orang belajar silat. Namanya Toan Ki? Siapakah
dia ini, belum pernah kudengar nama seorang tokoh demikian."
Selagi ia hendak tanya Toan Ki
pula, tiba-tiba terdengar Ciong Ling sedang memanggil pemuda itu di sebelah
sana.
Segera Toan Ki mendekati nona
itu dan tanya, "Ada apa?"
"Marilah lekas kita lari,
kalau ayal mungkin tak keburu lagi," ajak si gadis.
"Tapi Bok-cici lagi
dikeroyok orang, mana boleh kita tinggal lari?" sahut Toan Ki.
"Kepandaian Bok-cici
teramat lihai, dia pasti ada jalan buat meloloskan diri," ujar Ciong Ling.
Namun Toan Ki masih
geleng-geleng kepala, katanya, "Tidak, dia datang kemari untuk menolong
jiwa kita, kalau kita tinggal pergi begini saja, hatiku merasa tidak
enak."
"Tolol," omel si
gadis mendongkol. "Kau tinggal di sini, apakah bisa kau bantu
Bok-cici?"
Dalam pada itu Cin Goan-cun,
Sin Si-nio dan Hui-sian bertiga masih sengit menempur Bok Wan-jing. Kedua
telapak tangan Cin Goan-cun sedemikian gencar mengerahkan tenaga pukulannya.
Sekop serbaguna Hui-sian menyambar kian kemari dengan hebat, golok Sin Si-nio
pun tidak ketinggalan membacok dan membabat di mana ada lubang. Namun Bok
Wan-jing tampak sedikit pun tidak kewalahan, bahkan percakapan Toan Ki, Su An
dan Ciong Ling barusan dapat diikutinya.
Ia dengar Toan Ki sedang
berkata pula, "Ciong-kohnio, bolehlah kau lari dulu. Bukanlah semestinya
aku mengingkari kebaikan Bok-cici dengan meninggalkannya di bawah keroyokan
orang, Biarlah kutinggal di sini, bila akhirnya ternyata Bok-cici tak bisa melawan
mereka, aku akan menasihati mereka dengan baik-baik, boleh jadi keadaan masih
bisa dikendalikan."
"Masih kau berlagak?
Paling-paling jiwamu akan ikut melayang nanti!" seru Ciong Ling gusar.
"Memangnya jiwaku ini
sejak tadi sudah melayang kalau bukan ditolong oleh Bok-cici, aku orang she
Toan kalau lupa pada kebaikan orang, ayah dan pamanku sendiri juga takkan
mengampuni aku," sahut Toan Ki tegas.
"Tolol benar-benar!
Percuma banyak bicara denganmu!" kata si gadis. Terus saja ia tarik tangan
anak muda itu dan diseret lari.
"Tidak, tidak! Aku tak
mau pergi!" teriak Toan Ki.
Tapi tenaga Ciong Ling lebih
kuat daripadanya, ia menjadi sempoyongan kena diseret oleh gadis itu.
Melihat itu, diam-diam Su An
terheran-heran, pikirnya, "Orang ini terang sedikit pun tak bisa ilmu
silat, tapi jiwa setia kawannya sungguh harus dipuji. Lama kudengar bahwa
'Hiang-yok-jeh' ganas dan keji, tiada punya seorang teman pun, entah mengapa
orang she Toan ini sedemikian berani hendak bicara tentang kebaikan dan setia
kawan dengan momok perempuan itu?"
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar Bok Wan-jing berseru, "Ciong Ling, kau sendiri lekas enyah,
dilarang menyeret dia!"
Ciong Ling semakin ketakutan,
ia seret Toan Ki terlebih cepat.
Mendadak terdengar suara
mendesing sekali, tahu-tahu di atas kundai Ciong Ling menancap sebatang panah
kecil. Berbareng terdengar Bok Wan-jing membentak, "Kalau tidak lepaskan
dia, awas, akan kupanah biji matamu!"
Ciong Ling kenal watak Bok
Wan-jing, sekali berkata tentu bisa dilakukannya juga, tidak pernah omong
mainmain. Jika dirinya tetap bandel, bukan mustahil biji matanya akan dipanah
sungguh-sungguh. Karena itu, terpaksa Ciong Ling lepaskan tangan Toan Ki.
"Lekas kau enyah dan
pulang, lekas!" bentak Bok Wan-jing pula.
Ciong Ling tak berani
membantah, katanya kepada Toan Ki, "Toan-heng, harap engkau jangan berbuat
kejahatan, jagalah dirimu baik-baik."
Habis bicara, dengan rasa
berat ia berlari pergi dan sekejap saja sudah menghilang di tempat gelap.
"Tunggu dulu,
Ciong-kohnio!" teriak Sikong Hian. "Obat penawar dari ayahmu tadi
manjur atau tidak?"
Mana Ciong Ling mau peduli.
Segera Sikong Hian bermaksud mengejar, tapi baru melangkah dua tindak, kaki
sendiri terasa lemas dan jatuh tersungkur.
Sambil membentak pergi Ciong
Ling, Bok Wan-jing tetap bergerak kian kemari di antara ketiga pengeroyoknya
dengan cepat, ia tetap di atas angin.
Menyaksikan itu diam-diam Su
An menimbang, "Kegesitan perempuan ini ternyata masih jauh di atas
kepandaianku. Hanya dalam hal ilmu pedang belum tentu dia mampu melawan
aku."
Dan karena jaga martabat
sendiri, ia tidak sudi ikut mengeroyok seorang perempuan, ia tunggu bila nanti
ketiga orang itu dikalahkan baru ia sendiri akan maju.
Tak lama kemudian, mendadak
permainan pedang Bok Wan-jing berubah, sinar pedang menyambar ke sanasini bagai
hujan mencurah dari langit dan sukar ditentukan arah serangannya.
Su An terkejut, serunya,
"Kiam-hoat bagus!"
Di tengah sorak pujiannya itu,
tiba-tiba terdengar Hui-sian menjerit sekali, iganya kena tusukan pedang.
Menyusul pedang Bok Wan-jing menyambar pula ke depan beruntun tiga kali hingga
Cin Goan-cun terpaksa melompat keluar kalangan untuk menghindar. Ketika arah
pedang Bok Wan-jing berganti pula, tanpa ampun lagi Sin Si-nio sudah terkurung
di tengah sinar pedangnya.
Tampaknya sekejap pula jiwa
Sin Si-nio pasti akan menghadap raja akhirat, Su An tidak bisa tinggal diam
lagi, cepat pedangnya bergerak, bagai kilat menyambar, ia menyela di antara
lingkaran sinar pedang Bok Wan-jing, terdengarlah suara gemerencing beberapa
kali, kedua pedang saling beradu beberapa kali dengan kecepatan luar biasa.
Meski Su An turun tangan tepat
pada waktunya, namun tidak urung tubuh Sin Si-nio terluka tiga tempat. Sedikit
pun nenek itu tidak menghiraukan lukanya, dengan kalap ia menubruk pula ke arah
Bok Wan-jing.
Dalam pada itu pedang Bok
Wan-jing sedang bertempelan dengan pedang Su An. Sejak gebrakan di atas pohon
tadi ia sudah tahu ilmu pedang orang tidak boleh dibuat mainan, maka begitu Su
An terjun ke kalangan pertempuran, antero perhatiannya lantas dicurahkan pada
lawan tangguh ini, sedikit pun tidak berani ayal.
Siapa duga cara bertempur Sin
Si-nio itu ternyata sedemikian nekatnya, begitu menubruk maju, ia jatuhkan diri
terus menggelinding ke samping Bok Wan-jing, gurdi baja di tangan kanan terus
menikam betis lawan itu.
Syukur Bok Wan-jing sempat
ayun kakinya dan berbalik Sin Si-nio terdepak pergi.
Dan karena sedikit ayal itu,
tusukan pedang Su An sudah sampai di depan mukanya. Dalam detik bahaya itu,
pedang Bok Wan-jing secepat kilat menangkis ke atas, ia sadar menyusul mana
serangan musuh pasti akan lebih gencar, maka ia tidak mau didahului, berbareng
3-4 jurus mematikan sekaligus dilontarkan ke arah Su An.
Cara serangan Bok Wan-jing itu
adalah karena dalam keadaan kepepet, musuh dipaksa harus menyelamatkan diri
lebih dulu. Maka terpaksa Su An berkelit sambil menarik kembali pedangnya untuk
menjaga diri.
Melihat gerakan musuh itu. Bok
Wan-jing menarik napas lega. Selagi hendak ganti serangan pula, mendadak
"nyes," pundak kiri terasa kesakitan, ternyata kesempatan tadi telah
digunakan Sin Si-nio untuk menikam dengan gurdi bajanya. Tapi Bok Wan-jing pun
tidak tinggal diam, kontan tangannya menggaplok ke belakang hingga muka Sin
Si-nio seketika hancur luluh dan terbinasa.
Sementara itu Cin Goan-cun dan
Hui-sian lantas mengerubut maju lagi hingga keadaan kembali menjadi tiga lawan
satu.
"Hai, hai! Tiga laki-laki
mengeroyok seorang perempuan, apa kalian tidak merasa malu?" segera Toan
Ki bergembar-gembor.
Su An memang ada maksud
menarik diri dari pertempuran keroyokan itu, demi mendengar teriakan Toan Ki,
seketika ia melompat mundur setombak jauhnya sambil berseru, "Bok Wan-jing,
lekas buang pedangmu dan menyerah saja!"
Tapi semakin gencar permainan
pedang Bok Wan-jing, ia tidak sempat mencabut gurdi baja yang menancap di
pundaknya itu, dengan menahan sakit secepat kilat ia serang Cin Goan-cun dua
kali dan menusuk Hui-sian sekali. Betapa lihai ketiga jurus serangan itu, tanpa
ampun lagi pipi kanan Cin Goan-cun kontan tersayat suatu garis luka, begitu
pula leher Hui-sian lecet keserempet pedang.
Walaupun luka kedua orang
hanya ringan saja, tapi tempat yang terluka itu adalah tempat mematikan,
sedikit ayal saja jiwa mereka tentu sudah melayang. Saking kagetnya kedua
orang, berbareng mereka melompat pergi dengan napas terengah.
"Sayang, sayang!"
diam-diam Bok Wan-jing gegetun tak berhasil mampuskan kedua lawan itu.
Tiba-tiba ia bersuit nyaring,
segera terdengar suara derap kaki kuda, tahu-tahu Oh-bi-kui muncul dari balik
bukit sana. Sekali cemplak, Bok Wan-jing melompat ke atas kuda itu. Ketika
lewat di samping Toan Ki, sekali ulur tangan, Bok Wan-jing cengkeram kuduk Toan
Ki dan diangkat ke atas kuda pula. Dua orang satu tunggangan terus berlari ke
barat dengan cepat.
Tidak jauh, sekonyong-konyong
dari dalam hutan di tepi jalan terdengar hiruk-pikuk bentakan, berpuluh orang
mendadak melompat keluar mengadang di tengah jalan. Seorang kakek tinggi besar
yang berdiri di tengah lantas membentak, "Hiang-yok-jeh! Sudah lama
kutunggu di sini!"
Berbareng tali kendali si
mawar hitam terus hendak ditariknya.
Namun sedikit Bok Wan-jing
kesampingkan kudanya, berbareng tangan lain terayun, tiga panah kecil terus
disambitkan. Kontan di antara gerombolan pengadang itu terjungkal tiga orang.
Tengah kakek tadi terkesiap
oleh serangan mendadak itu, Bok Wan-jing sudah sendal tali kendalinya hingga
Oh-bi-kui sekonyong-konyong melompat ke depan melalui atas kepala gerombolan
orang itu. Dan sekali si mawar hitam mencongklang, mana bisa lagi kawanan
pengadang itu mengejarnya?
Sebenarnya tidak kurang jago
pilihan di antara para pengadang itu, tapi semuanya jeri pada panah berbisa Bok
Wan-jing yang lihai, walaupun masih coba mengudak juga, namun sebentar saja
mereka sudah ketinggalan jauh.
Toan Ki mendengar gerombolan
orang itu mencaci maki kalang kabut di belakang, "Perempuan bangsat, para
kesatria Hok-gu-ceh tidak ingin hidup bersamamu!"
"Biarpun kau lari sampai
ujung langit juga akan kami bekuk kau!"
"Marilah kejar,
kawan-kawan! Bekuk perempuan bangsat itu dan cencang dia untuk membalas sakit
hati Cotoako!"
Suara caci maki itu lambat
laun menjauh dan tidak terdengar lagi. Tapi rasa dendam kesumat yang terkandung
dalam caci maki mereka itu masih terus mengiang di telinga Toan Ki.
Selama beberapa hari ini ia
sudah banyak mengalami bahaya, tapi caci maki dengan rasa dendam yang tak
terimpas baru sekali ini
paling hebat. Karena itu, diam-diam ia mengirik.
Bok Wan-jing membiarkan
Oh-bi-kui berlari sesukanya di lereng yang gelap itu. Sampai di suatu bukit, ia
lihat di depan sana ada jurang, terpaksa ia turun dari kuda untuk mencari jalan
lain.
Jalan pegunungan di
Bu-liang-san itu ternyata berliku-liku, mendadak di depan sana ada suara seruan
orang pula, "Itu dia, kudanya sudah kelihatan!"
"Awas, cegat sebelah
sana!"
"Ya, jangan sampai
perempuan hina itu lolos lagi!"
Dalam keadaan terluka, Bok
Wan-jing tidak ingin bertempur lagi, cepat ia belokkan kuda ke arah lain.
Walaupun bukan lagi jalan pegunungan, syukur si mawar hitam cukup tangkas, di
lereng bukit yang penuh batu padas itu ia masih terus berlari secepat terbang.
Setelah berlari tak lama lagi,
mendadak kaki depan si mawar tersandung sepotong batu, seketika larinya menjadi
lambat, dengan kaki pincang binatang itu mulai tampak payah.
Toan Ki menjadi khawatir,
katanya, "Bok-kohnio, harap turunkan aku saja, biar kau sendiri mudah
melarikan diri. Aku tiada permusuhan apa-apa dengan mereka, andaikan aku
tertangkap juga tidak menjadi soal."
"Hm, kau tahu apa?"
jengek Bok Wan-jing. "Jika kau tertangkap orang Hok-gu-ceh, biarpun
sepuluh nyawamu juga akan melayang."
"Tapi mereka teramat
dendam pada nona, ada lebih baik nona menyelamatkan diri lebih dulu," ujar
Toan Ki.
Memangnya pundak Bok Wan-jing
lagi kesakitan, Toan Ki masih terus mencerocos saja, keruan nona itu menjadi
gusar, "Hendaklah kau tutup mulut, jangan banyak bicara."
Toan Ki tertawa, sahutnya,
"Tempo hari aku tidak suka bicara dan justru kau paksa aku buka mulut.
Kini aku ajak bicara padamu, sebaliknya malah kau larang aku bicara. Ai,
sungguh nona yang susah diladeni."
Saking kesakitan, Bok Wan-jing
menjadi gemas, sekali cengkeram, pundak Toan Ki diremas hingga berkeriutan,
jika keras lagi sedikit, boleh jadi tulang pundak Toan Ki akan remuk.
"Ya, sudahlah, aku takkan
buka mulut lagi!" cepat Toan Ki berteriak sambil meringis.
Tiba-tiba si mawar hitam mendaki
jalan pegunungan, karena jalanan cukup rata, langkah binatang itu menjadi
cepat.
Sementara itu sudah menjelang
fajar, cuaca sudah remang-remang, Toan Ki dapat mengenali jalanan itu, katanya,
"He, jalan ini menuju ke Kiam-oh-kiong, apakah nona ada permusuhan dengan
orang Bu-liangkiam?"
Ia merasa dengan segala orang
Bok Wan-jing suka bermusuhan, andaikan tiada permusuhan dengan Bu-liangkiam,
rasanya nona itu pun takkan bersahabat dengan mereka.
Maka Bok Wan-jing menjawab,
"Hm, untuk bermusuhan bukanlah sangat mudah, bunuh saja beberapa orang
mereka, bukankah lantas jadi?"
Tengah bicara, Kiam-oh-kiong
yang megah sudah tampak dari jauh.
Sudah beberapa hari ini
Bu-liang-kiam siap siaga menantikan datangnya serangan Sin-long-pang, tapi
sampai kini masih tiada terjadi apa-apa. Maka jago-jago yang diundang itu
seperti Be Ngo-tek dan lain-lain sudah sama mohon diri karena tidak ingin
terlibat dalam persengketaan itu.
Tapi Bu-liang-kiam sekte barat
betapa pun adalah orang sendiri, walaupun di antara mereka sendiri ada
perselisihan, namun melihat sesama golongannya terancam bahaya, tak bisa tidak
mereka harus tinggal di situ untuk membantu.
Maka waktu itu di sekeliling
Kiam-oh-kiong secara bergiliran dijaga oleh anak murid Bu-liang-kiam dari
Tangcong dan Se-cong.
Di depan istana yang megah itu
tampak dijaga oleh empat murid Bu-liang-kiam. Menjelang fajar, mereka sama
kantuk dan letih, ketika tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda mendatangi
dengan cepat, seketika semangat keempat orang itu terbangkit, cepat mereka
menghunus pedang dan mengadang ke depan.
Pemimpin keempat orang itu
bernama Tong Jin-hong, segera ia membentak, "Siapa itu yang datang? Kawan
atau lawan? Lekas beri tahu namamu!"
Melihat demikian garang
sambutan orang Bu-liang-kiam itu, Bok Wan-jing jadi mendongkol, kalau turuti
wataknya, tentu segera diterjangnya dahulu dan urusan belakang.
Tapi kini ia terluka parah,
pundaknya masih menancap sebuah gurdi yang belum berani dicabutnya, sebab
khawatir akan keluar darah terlalu banyak.
Ia pun kenal ketua
Bu-liang-kiam, Co Cu-bok terkenal lihai dengan ilmu pedangnya, tergolong tokoh
terkemuka di daerah Hunlam. Maka dengan sabar ia tahan kudanya dan menjawab,
"Ada orang mengejar kami, terpaksa harus menghindari sebentar ke
Kiam-oh-kiong, lekas kalian menyingkir!"
Sungguh gusar sekali Tong
Jin-hong, pikirnya, "Kurang ajar benar orang ini! Kau diuber musuh,
seharusnya kau mohon perlindungan pada kami dengan baik-baik, kenapa bicara
sedemikian kasar?"
Maka sekali pedangnya
melintang ke depan, segera ia berkata, "Siapa kau ini? Ada hubungan apa
dengan golongan kami?"
Pada saat itulah dari jauh
sana terdengar suara teriakan orang, nyata Cin Goan-cun dan kawan-kawannya
serta orang Hok-gu-ceh sudah menguber datang.
Tanpa bicara lagi, sekali
tarik tali kendali kuda, Bok Wan-jing membentak nyaring, sekonyong-konyong si
mawar hitam mencongklang ke depan terus melompat lewat di atas kepala Tong
Jin-hong berempat dan menerjang ke arah Kiam-oh-kiong.
Walaupun kaki Oh-bi-kui
terluka, tapi di bawah keprakan sang majikan, dengan gagah kuat ia masih bisa
lari dengan pesat. Keruan Tong Jin-hong berempat terkejut, sambil
membentak-bentak mereka terus mengudak.
Tapi Bok Wan-jing tidak ambil
pusing lagi, ia bedal si mawar hitam dan menerjang masuk pintu gerbang
Kiam-oh-kiong, menerobos ke ruangan tengah dan menembus ke serambi belakang.
Seketika Kiam-oh-kiong menjadi panik, ada 7-8 anak murid Bu-liang-kiam hendak maju
merintangi, tapi mereka pun kacau-balau, kalau tidak didepak oleh si mawar,
tentu kena ditusuk pedang Bok Wan-jing.
Tatkala itu Co Cu-bok baru
bangun tidur. Selama beberapa hari ini ia memang tidak pernah hidup tenteram,
kini mendengar di dalam istana terjadi ramai-ramai, segera ia memburu keluar
dengan pedang terhunus.
Tiba-tiba ia dipapak oleh
seekor kuda hitam, ia menyangka Sin-long-pang telah mulai menyerbu, sama sekali
tak terduga di tengah istana itu ada kuda berkeliaran, tanpa bicara ia ulur tangan
hendak menarik tali kendali kuda.
Tapi mendadak angin tajam
menyambar mukanya, ujung pedang musuh sudah berada di depan batok kepalanya.
Betapa cepat serangan musuh itu sungguh tak pernah dialaminya selama hidup.
Untung Co Cu-bok adalah jago
kawakan, cepat ia menunduk dengan gaya "Hong-tiam-thau" atau burung
Hong angguk kepala. Menyusul pedangnya menangkis ke atas, "trang",
kedua pedang saling beradu.
Memang benar dugaannya,
serangan lawan datangnya secara beruntun-runtun. Mendadak Co Cu-bok jatuhkan
diri ke tanah sambil menangkis lagi sekali, tapi mendadak pergelangan tangan
kiri terasa sakit sekali, kiranya kena didepak oleh si mawar.
Sekuatnya Co Cu-bok lompat ke
samping, sekilas dapat dikenalnya Toan Ki berada di atas kuda itu.
"He, kiranya kau!"
tanpa merasa ia berseru. Tapi segera dilihatnya pula di belakang pemuda itu
berduduk lagi seorang yang seantero tubuhnya terbungkus baju hitam mulus,
tiba-tiba ia ingat seseorang, tak tertahan ia merinding
"Hiang ... Hiang-yok
...." demikian Co Cu-bok berteriak dengan gemetar, dalam pada itu Bok
Wan-jing sudah keprak si mawar menuju ke taman bunga di belakang.
Sebenarnya Co Cu-bok masih
mempunyai sejurus serangan dengan menimpuk pedang, kalau pedangnya ditimpukkan,
tentu dapat menancap di pantat si mawar. Tapi pada saat pedang hampir terlepas
dari tangan, ia lihat dandanan Bok Wan-jing maka pedang ditarik kembali
mentah-mentah. Dan sedikit ayal itulah Bok Wanjing sudah keprak kudanya menuju
ke belakang.
Di taman belakang itu dijaga
delapan anak murid Bu-liang-kiam, Kam Jin-kiat termasuk di antaranya. Ketika
mendadak tampak seekor kuda hitam berlari datang dari ruangan depan, mereka
menjadi terheran-heran.
Dalam pada itu Bok Wan-jing
sudah bedal kudanya sampai di pintu taman, sekali tebas, gembok pintu
dikutunginya.
"Hei, hei! Bukit di
belakang adalah daerah terlarang, tidak boleh sembarangan terobosan ke
sana!" cepat Kam Jin-kiat berseru.
Namun Oh-bi-kui sudah
mencongklang keluar dengan dua penunggangnya.
Walaupun Co Cu-bok sangat jeri
pada Bok Wan-jing, tapi orang telah menerjang sesukanya di dalam Kiam-ohkiong,
kini berlari ke bagian terlarang pula di gunung belakang, betapa pun ia tak
bisa tinggal diam lagi.
Segera ia memberi perintah,
kawan-kawan dari Se-cong diminta menjaga Kiam-oh-kiong kalau-kalau diserbu oleh
Sin-long-pang, ia sendiri lantas memimpin berpuluh anak muridnya mengudak ke
belakang gunung.
Melihat arah yang dituju
Oh-bi-kui itu adalah jalan yang pernah didatanginya, segera Toan Ki berkata,
"Bokkohnio, di depan sana ada rintangan jurang, kita harus mengitar ke
arah lain."
"Dari mana kau
tahu?" tanya si nona dengan tercengang.
"Jalanan itu pernah
kulalui," sahut Toan Ki.
Bok Wan-jing dapat
memercayainya, ia tahan kudanya dan ragu-ragu sejenak, lalu belokkan Oh-bi-kui
ke jalan kecil di sebelah kiri.
Tak terduga jalan itu terus
menuju ke suatu lereng bukit yang panjang, makin jauh makin tinggi dan
berlikuliku, dengan susah payah, akhirnya mereka dapat mencapai suatu tebing di
atas bukit.
Waktu Bok Wan-jing menoleh, ia
lihat para pengejarnya terbagi dalam tiga kelompok sedang mengurungnya dari
kanan kiri dan belakang. Yang sebelah kiri membawa pedang semua, itulah Co
Cu-bok dari Bu-liang-kiam dan anak muridnya, Sebelah kanan hanya tiga orang,
yaitu Su An, Cin Goan-cun dan Hui-sian. Sedang pengejar di belakang adalah
orang-orang Hok-gu-ceh.
Su An tampak gesit sekali,
secepat terbang ia melompat dari batu padas yang satu ke batu padas yang lain.
Melihat itu, diam-diam Bok Wan-jing terperanjat, tanpa banyak pikir terus ia
keprak kudanya ke depan.
Tidak jauh, mendadak di depan
terbentang sebuah jurang yang lebarnya belasan meter, dalamnya sukar dijajaki.
Oh-bi-kui meringkik kaget dan cepat berhenti serta menyurut mundur beberapa
langkah.
Menghadapi jalan buntu, sedang
dari belakang pengejar makin dekat, cepat Bok Wan-jing ambil keputusan, segera
ia tanya Toan Ki, "Aku akan bedal kuda melompat ke seberang jurang sana.
Kau akan ikut aku menghadapi bahaya atau turun di sini saja?"
Toan Ki pikir kalau beban kuda
itu berkurang, melompatnya tentu akan lebih mudah, maka sahutnya, "Biarlah
nona menyeberang dahulu, nanti menarik aku lagi dengan tali."
Tapi waktu Bok Wan-jing
menoleh, ia lihat Su An sudah menguber datang, jaraknya cuma beberapa puluh meter
saja. Maka katanya cepat, "Sudah tidak sempat lagi!"
Ia tarik si mawar mundur
beberapa meter jauhnya, perlahan ia tepuk perut kuda itu sambil berseru,
"Melompatlah ke sana, kudaku sayang!"
Sekonyong-konyong si mawar
membedal secepatnya ke depan, sampai di tepi jurang, binatang itu melompat
sekuatnya. Seketika Toan Ki merasa seakan-akan terbang di udara, jantungnya
seolah-olah ikut melompat keluar dari rongga dadanya.
Di bawah desakan sang majikan,
Oh-bi-kui yang sudah terluka dan terlalu capek itu melompat sepenuh tenaga,
tapi hanya kedua kaki depan dapat mencapai tepi jurang sana, kaki belakang tak
sanggup lagi menginjak tanah, tubuhnya terjerumus ke bawah.
Syukur Bok Wan-jing dapat
bertindak cepat, pada saat berbahaya itu ia melayang sekuatnya ke depan sambil
jambret Toan Ki sekenanya. Lebih dulu Toan Ki jatuh di tanah, menyusul Bok
Wan-jing ikut terbanting ke dalam pangkuannya. Khawatir gadis itu terluka,
cepat Toan Ki merangkulnya erat-erat.
Dalam pada itu terdengar suara
ringkik si mawar yang panjang mengerikan, binatang itu sudah tergelincir ke
dalam jurang yang tak terkira dalamnya.
Bok Wan-jing sangat berduka,
ia meronta lepas dari pelukan Toan Ki dan berlari ke tepi jurang. Namun permukaan
jurang itu penuh tertutup kabut tebal, si mawar hitam sudah tak kelihatan lagi.
Saat itu kebetulan Su An juga
baru mencapai tepi jurang dan menyaksikan adegan ngeri itu, ia ikut ternganga
kesima.
Melihat pengejarnya tidak
mampu menyeberangi jurang, hati Bok Wan-jing rada lega. Tapi sekonyongkonyong
kepala terasa pening, langit dan bumi seakan-akan berputar, kakinya menjadi
lemas pula, seketika robohlah dia tak sadarkan diri.
Keruan Toan Ki kaget, cepat ia
memburu maju untuk menyeretnya mundur agar gadis itu tidak tergelincir ke dalam
jurang. Ia lihat kedua mata si nona terpejam rapat dan sudah pingsan.
Selagi bingung entah apa yang
harus dilakukannya, tiba-tiba di seberang jurang sana ada orang berteriak,
"Lepaskan panah, mampuskan kedua keparat itu!"
Waktu Toan Ki memandang, ia
lihat di seberang sana sudah berdiri 7-8 orang, kalau benar-benar mereka
melepaskan panah, bisa celakalah dirinya.
Segera ia pondong Bok
Wan-jing, dengan susah payah ia membawanya lari mundur. Syukur badan si nona
tiada 100 kati beratnya, maka Toan Ki masih sanggup memondongnya lari.
"Serr", mendadak
sebatang panah menyambar lewat di samping telinganya.
Dengan gugup Toan Ki berlari
ke depan sambil sedikit berjongkok, "serr", kembali sebatang panah
menyambar lewat di atas kepalanya. Ia lihat di samping kiri sana ada sepotong
batu besar, segera ia lari maju untuk sembunyi di belakang batu.
Dalam sekejap itu, anak panah
sudah berseliweran dan bermacam-macam Am-gi membentur batu padas dan sama
terpental jatuh.
Sedikit pun Toan Ki tidak
berani bergerak. "Bluk", sekonyong-konyong sepotong batu sebesar
mangga jatuh di sampingnya. Nyata, penimpuk batu itu sangat besar tenaganya,
cuma jaraknya agak jauh, maka incarannya kurang tepat.
Toan Ki pikir kalau sembunyi
di situ, akhirnya kepala pasti akan tertimpa batu sambitan itu, segera ia
pondong si nona lagi dan berlari ke depan hingga belasan meter jauhnya, ia
menduga senjata rahasia musuh takkan mencapainya lagi, lalu berhenti.
Setelah bernapas lega, Toan Ki
taruh si gadis di belakang batu karang, ia coba mengintai ke seberang jurang
sana. Ternyata jumlah orang sudah bertambah banyak dan kedengaran berisik
sekali lagi mencaci maki kalang kabut, tampaknya seketika para pengejar itu tidak
mampu menyeberang kemari.
Toan Ki pikir, "Jika
mereka mengitar jalan dan mendaki dari sebelah sana, rasanya nasib kami berdua
susah juga lolos dengan selamat."
Ia coba menuju ke tepi jurang
sebelah lain, tapi sekali melongok, seketika kakinya ikut lemas saking
kejutnya.
Ternyata di bawah jurang itu
ombak mendebur dengan hebatnya, suatu sungai dengan airnya yang bergelombang
besar tepat berada di bawah jurang itu.
Ternyata di situ termasuk
lembah sungai Lanjong. Melihat arus air yang begitu hebat, untuk mendaki dari
situ terang tidak mungkin, tapi kalau musuh lebih dulu turun ke jurang, lalu
memanjat ke atas, dirinya tak mengerti silat pasti sukar mencegahnya.
Ia menghela napas, ia pikir
biarlah untuk sementara terhindar dari bahaya, bagaimana jadinya nanti akan
melihat gelagat saja.
Ia kembali ke samping Bok
Wan-jing, ia lihat gadis itu masih belum sadar. Selagi Toan Ki hendak berdaya
menolongnya, tiba-tiba terlihat pundak si nona masih tertancap sebuah gurdi
baja, bajunya basah kuyup oleh darah.
Keruan Toan Ki terkejut, dalam
keadaan terburu-buru menyelamatkan diri tadi, ia tidak mengetahui gadis itu
terluka, kini melihat darah mengucur cukup banyak, pikiran pertama-tama timbul
adalah, "Jangan-jangan dia telah meninggal?"
Maka dengan agak takut-takut
ia coba membuka sedikit kerudung muka Bok Wan-jing untuk memeriksa napas di
hidungnya, syukur gadis itu masih bernapas perlahan.
Pikir Toan Ki, "Aku harus
mencabut gurdi itu untuk mencegah darah mengucur lebih banyak."
Tapi ia lihat gurdi itu
menancap sangat dalam, kalau dicabut hingga dan membikin jiwanya melayang, kan
celaka? Namun dalam keadaan begitu, jalan lain tiada lagi, diam-diam ia hanya
berdoa, "Bok-kohnio, tujuanku
hanya menolongmu, bila karena
itu malah mencelakai jiwamu, ya, apa mau dikatakan lagi, toh seumpama aku tidak
menolongmu, kau pun akan binasa juga."
Segera Toan Ki pegang batang
gurdi, dengan mengertak gigi segera hendak dicabutnya. Tapi karena tidak biasa,
saking kedernya hingga badan sendiri gemetar. Sementara itu di seberang jurang
sana terdengar ramai dengan suara caci maki musuh, tanpa pikir lagi Toan Ki
terus mencabut sekuatnya, darah yang merembes keluar membikin muka dan kepala
Toan Ki penuh darah.
Saking kesakitan, Bok Wan-jing
menjerit sekali dan siuman kembali, tapi menyusul lantas pingsan lagi.
Dengan mati-matian Toan Ki
berusaha menutupi luka si nona agar darah tidak mengucur, namun darah yang
merembes keluar bagai mata air dan sukar dicegah. Toan Ki menjadi kelabakan, ia
coba cabut beberapa tumbuhan rumput di sekitarnya dan dikunyah, kemudian
dibubuhkan pada luka Bok Wan-jing. Tapi sekali kena diterjang darah, luluhan
rumput itu lantas buyar.
Tiba-tiba Toan Ki ingat gadis
ini jago silat, boleh jadi ia sendiri membawa obat luka. Ia coba merogoh saku
si gadis. Sekonyong-konyong tangannya menyentuh sesuatu yang lunak licin, dalam
kagetnya cepat ia tarik tangannya. Kiranya adalah Kim-leng-cu.
"Hei, Kim-leng-cu, jangan
kau gigit aku!" seru Toan Ki khawatir.
Menurut juga ular itu. Padahal
Kim-leng-cu tidak paham perkataannya. Soalnya pada badan Toan Ki terdapat kotak
kemala pemberian Ciong Ling yang berisi barang antiular berbisa. Setiap ular
atau serangga beracun, asal mencium bau benda itu, pasti akan tunduk dan
ketakutan.
Maka cepat Toan Ki masukkan
tangannya ke saku Bok Wan-jing lagi. Kali ini tidak menyentuh benda hidup pula,
satu per satu ia keluarkan isi baju si nona. Mula-mula dikeluarkannya sebuah
sisir emas, lalu sebuah cermin tembaga kecil dan dua potong saputangan warna
jambon, kecuali itu ada pula tiga buah kotak atau dus kecil.
Melihat barang-barang yang
biasanya dipakai anak gadis itu, Toan Ki tertegun sejenak, baru teringat
olehnya kelakuannya yang tidak sopan. Orang masih perawan suci, masakah tangan
sendiri bergerayangan dalam saku orang.
Ia coba membuka kotak-kotak
kecil itu. Kotak pertama ternyata Yanci (pemerah bibir) yang berbau harum,
Kotak kedua berisi bubuk putih dan kotak ketiga bubuk warna kuning. Ia coba
mengendusnya, bubuk putih itu tiada bau apa-apa, tapi bubuk kuning itu berbau
pedas keras hingga ia bersin. Pikirnya, "Entah bubuk ini obat
luka atau bukan, kalau racun
hingga salah pakai, kan bisa celaka malah?"
Segera ia pijat-pijat tengkuk
si nona, tidak lama, perlahan nona itu membuka matanya. Toan Ki sangat girang,
cepatnya tanyanya, "Bok-kohnio, obat dalam kotak mana yang boleh
dibubuhkan pada lukamu?"
"Yang merah," sahut
Bok Wan-jing singkat, lalu pejamkan matanya lagi. Ketika Toan Ki tanya pula, ia
tidak mau menjawab.
Toan Ki menjadi heran, sudah
terang bubuk merah itu adalah Yanci, mana bisa dipakai mengobati luka? Tapi
orang mengatakan demikian, biarlah dicoba dulu daripada menggunakannya secara
ngawur.
Segera ia sobek sedikit baju
di tempat luka si nona, ia bubuhi sedikit bubukan Yanci itu. Ketika jari Toan
Ki menyentuh luka Bok Wan-jing, meski dalam keadaan tak sadar toh nona itu
mengejang kesakitan.
"Jangan khawatir, darahmu
takkan keluar lebih banyak," Toan Ki menghiburnya.
Aneh juga, Yanci itu ternyata
obat mujarab benar, cespleng, seketika darah berhenti mengucur keluar. Selang
sebentar, dari luka itu merembes keluar air kuning.
Melihat keanehan itu Toan Ki
menggerundel sendiri, "Obat luka juga dibikin seperti Yanci, sungguh
pikiran anak gadis sukar diraba."
Setelah capek setengah hari,
baru sekarang perasaan Toan Ki tenang kembali. Ia dengar suara berisik di
seberang jurang sana tadi sudah berhenti. Pikirnya, "Jangan-jangan mereka
benar-benar memanjat kemari melalui bawah jurang?"
Cepat ia merayap ke tepi
jurang sana dan melongok ke bawah. Astaga celaka 13, dugaannya ternyata benar,
belasan orang di seberang jurang itu sedang memberosot ke bawah dengan
perlahan. Betapa dalam jurang itu tentu juga ada dasarnya, asal orang-orang itu
sudah mencapai dasar jurang, tidak berapa lama pasti akan memanjat ke sebelah
sini.
Toan Ki menjadi bingung,
pikirnya, "Kalau musuh naik kemari, aku dan Bok-kohnio terpaksa terima
ajal saja, lantas bagaimana baiknya sekarang?"
Walaupun tak bisa silat,
menghadapi pilihan antara hidup dan mati, terpaksa ia berdaya sebisanya.
Ia coba periksa sekitarnya,
lebih dulu ia memondong Bok Wan-jing ke balik sebuah batu padas yang menonjol,
lalu sibuk mengumpulkan batu di tepi jurang sana. Memangnya di situ banyak
terdapat batu, maka tiada lama, sudah beratus potong batu disiapkan.
Setelah selesai tugasnya, ia
duduk di samping Bok Wan-jing untuk memulihkan semangat. Sepanjang malam ia
tidak tidur, sesungguhnya ia sangat lelah, sedikit pejamkan mata, rasanya sudah
akan pulas. Tapi menyadari kalau musuh tidak lama bakal datang, mana berani ia
tidur?
Sayup-sayup ia mencium bau
wangi yang teruar dari badan Bok Wan-jing, pikirnya, "Nona Bok ini
berjuluk 'Hiang-yok-jeh', sungguh janggal juga bau harum demikian
dihubung-hubungkan dengan poyokannya sebagai kuntilanak."
Tadi waktu mencoba pernapasan
hidung Bok Wan-jing, ia telah sedikit menyingkap kain kedok mukanya di bawah
hidung, tatkala itu ia tidak perhatikan bagaimana bentuk mulut hidungnya, entah
pesek, entah mancung. Tapi kini ia tidak berani sembarangan membuka lagi kedok
si gadis untuk melihatnya lebih jelas.
Bila diingat-ingat kembali,
rasanya kulit muka nona itu sangat putih, ya, paling tidak, pasti tidak
menakutkan.
Dalam keadaan tak sadarkan
diri, kalau Toan Ki mau membuka kedok Bok Wan-jing pasti takkan diketahui
olehnya. Tapi Toan Ki merasa ragu, ingin melihat mukanya, rasanya takut pula,
pikirnya, "Tanpa sebab apa-apa aku ikut menempuh bahaya dengan dia,
tampaknya 9/10 bagian pasti akan gugur bersama. Bila sampai saat binasa aku
masih belum melihat mukanya yang sebenarnya, bukankah penasaran sekali?"
Namun dalam hati kecilnya ia
berkhawatir pula kalau-kalau muka si gadis benar-benar sejelek setan, sebab
kalau tidak jelek, kenapa sepanjang masa selalu berkedok?
Apalagi orang berjuluk
"Hiang-yok-jeh", si kuntilanak harum, harumnya memang tulen, bermuka
sejelek setan mungkin juga tidak palsu. Kalau melihat tindak tanduknya yang
ganas keji, rasanya gadis itu pun tidak berjodoh dengan wajah "cantik
molek". Karena itulah ia ambil keputusan takkan melihatnya.
Dalam keadaan ragu-ragu itu,
akhirnya Toan Ki terpulas saking letihnya.
Entah sudah berapa lamanya,
mendadak ia terjaga bangun dan berlari ke tepi jurang. Ia lihat ada 5-6
laki-laki diam-diam sedang memanjat ke atas jurang. Dinding jurang itu teramat
curam, tidak mudah untuk mendaki ke
atas, orang-orang itu hanya
merayap dengan susah payah dengan berpegangan akar tumbuh-tumbuhan di tepi
jurang itu.
Diam-diam Toan Ki bersyukur
musuh belum sampai naik ke atas, segera ia ambil sepotong batu dan disambitkan
ke bawah sambil berteriak, "Jangan naik, kalau tidak, jangan menyesal bila
aku main kasar!"
Jarak orang-orang itu masih
berpuluh meter dari Toan Ki, untuk menyerang dengan senjata rahasia terang tak
sampai, maka demi mendengar ancaman Toan Ki itu, mereka berhenti sambil
mendongak, setelah ragu-ragu sejenak, kembali mereka merayap naik lagi di bawah
lindungan batu karang yang menonjol di sana-sini.
Menimpuk batu dari atas ke
bawah tidaklah susah, maka beruntun Toan Ki melemparkan beberapa potong batu.
Segera terdengar suara jeritan ngeri dua kali, dua orang di antaranya kena tertimpuk
batu dan jatuh tergelincir ke bawah jurang, terang mereka pasti akan jatuh
hancur lebur.
Sejak kecil Toan Ki rajin
menjalankan ibadah agama, ilmu silat saja tidak sudi dilatihnya. Kini untuk
pertama kalinya membunuh orang, ia menjadi ketakutan sendiri hingga pucat lesi.
Semula ia hanya bermaksud
menggertak saja agar orang-orang itu mau pergi, tak terduga dua orang telah
terbinasa oleh batunya itu. Ia merasa tidak tenteram, walaupun tahu juga bila
orang berhasil memanjat ke atas, maka dirinya dan Bok Wan-jing yang akan
terbunuh oleh mereka.
Dalam pada itu, khawatir kalau
diserang lagi dari atas, sebagian orang itu terus merayap balik ke bawah. Ada
satu di antaranya agak gugup hingga terpeleset dan jatuh ke jurang lagi.
Toan Ki terkesima sejenak, kemudian
ia kembali ke samping Bok Wan-jing, ia lihat gadis itu sudah duduk sambil
bersandar di batu. Kejut dan girang sekali Toan Ki, tanyanya, "Kau ... kau
sudah baik, nona Bok?"
Bok Wan-jing tak menjawabnya,
dengan termangu-mangu ia pandang pemuda itu, sinar matanya yang memancar dari
balik kedok itu tampak bengis tak kenal ampun.
"Rebahlah, mengaso saja,
akan kucarikan air minum untukmu," demikian Toan Ki menghiburnya.
"Ada orang hendak
memanjat kemari, bukan?" tanya sinona.
Tak tertahan lagi air mata
Toan Ki berlinang-linang, katanya dengan terguguk-guguk, "Ya, aku ... aku
telah mem ... membunuh dua orang tanpa sengaja ... dan ... dan seorang pula
jatuh binasa ketakutan."
Bok Wan-jing menjadi heran
melihat pemuda itu menangis, tanyanya, "Lalu, kenapa?
"O, Tuhan Maha Pengasih,
tan ... tanpa sebab aku telah membunuh orang, ti ... tidak kecil dosaku
ini!" demikian Toan Ki meratap. Ia merandek sejenak, lalu menyambung lagi,
"Kalau ketiga orang itu punya anak istri dan orang tua, bila mendengar
berita kematian mereka, tentu akan ... akan sangat sedih, O, sung ... sungguh
aku berdosa ... aku berdosa!"
Baru sekarang Bok Wan-jing
paham sebab apa pemuda itu menangis, katanya dengan tertawa dingin, "Huh,
kau sendiri kan juga punya anak istri dan orang tua?"
"Orang tua sih punya,
istri belum," sahut Toan Ki.
Sekilas Bok Wan-jing
memancarkan sinar mata yang aneh, tapi sorot mata aneh itu hanya sekejap lantas
lenyap, segera kembali pada sinar matanya yang tajam dan dingin itu, katanya,
"Dan kalau mereka berhasil memanjat ke sini, mereka akan membunuhmu dan
membunuhku atau tidak?"
"Ya, mungkin sekali
mereka akan membunuh kita," sahut Toan Ki.
"Hm, jadi kau lebih suka
dibunuh daripada membunuh?" begitu tanya Wan-jing.
Toan Ki berpikir sejenak,
kemudian menjawab, "Jika ... jika melulu diriku, aku pasti takkan membunuh
orang. Tapi ... tapi aku tak dapat membiarkan engkau dibunuh mereka."
"Sebab apa?" bentak
Bok Wan-jing dengan bengis.
"Engkau pernah
menolongku, dengan sendirinya aku pun ingin menolongmu," sahut Toan Ki.
"Ingin kutanya padamu,
jika kau berdusta, segera panah dalam bajuku ini akan mencabut nyawamu,"
kata si nona pula sambil sedikit angkat tangannya mengincar tenggorokan Toan
Ki.
"Eh, sekian banyak orang
yang kau bunuh, kiranya panahmu dibidikkan dari dalam lengan baju," ujar
Toan Ki.
"Tolol, kau takut tidak
padaku?" tanya si nona
"Engkau toh takkan
membunuh aku, kenapa aku takut?"
"Jika kau bikin marah
padaku, bukan mustahil kau akan kubunuh," kata Wan-jing "Sekarang
jawablah pertanyaanku, diam-diam kau melihat wajahku atau tidak?"
"Tidak," sahut Toan
Ki menggeleng kepala.
"Benar-benar tidak?"
si nona menegas. Suaranya makin lama makin rendah, kedok di jidatnya itu tampak
basah sebagian, agaknya terlalu keras memakai tenaga, maka keringat merembes
keluar, namun suaranya masih tetap bengis.
"Ya, buat apa aku
dusta," demikian sahut Toan Ki pula.
"Pada waktu aku pingsan,
kenapa tidak kau buka kedokku?"
"Yang kupikir hanya
mengobati luka pada bahumu itu, tidak kupikirkan hal itu," ujar Toan Ki.
Mendadak Bok Wan-jing ingat
sesuatu, ia menjadi gusar dan gugup, dengan napas tersengal-sengal ia berkata,
"Jadi ... jadi kau telah melihat ... melihat kulit badanku bagian bahu?
Kau membubuhkan obat pada lukaku?"
"Ya," sahut Toan Ki
dengan tertawa. "Sungguh tidak nyana bahwa Yancimu itu ternyata begitu
manjur."
"Coba kau kemari, payang
aku sebentar," pinta si nona.
"Baiklah," sahut
Toan Ki. "Memangnya engkau tak perlu banyak bicara, lebih baik mengaso
dulu, nanti mencari jalan buat menyelamatkan diri."
Sembari berkata, terus saja
Toan Ki mendekati si nona. Tak tersangka, belum lagi tangannya memegang tangan
si nona, "plok", tahu-tahu pipi kena dipersen sekali gamparan.
Begitu keras tempelengan itu
hingga kepala Toan Ki pusing tujuh keliling, tubuh sampai ikut berputar.
"Ken ... kenapa kau pukul
aku?" tanya Toan Ki sambil memegang pipinya.
"Bangsat kurang ajar, kau
berani menyentuh badanku dan ... dan melihat bahuku ...." saking gusarnya
saja Bok Wan-jing jatuh pingsan lagi.
Dalam kejutnya Toan Ki menjadi
lupa orang baru saja menggampar pipinya, cepat ia memburu maju untuk membangunkan
si gadis. Ia lihat lukanya mengeluarkan darah lagi, rupanya waktu menampar Toan
Ki tadi, nona itu banyak mengeluarkan tenaga, maka lukanya yang mulai rapat itu
menjadi pecah pula.
Toan Ki menjadi ragu, si nona
telah marah-marah karena kulit badannya dilihat orang, tapi kalau tak ditolong,
mungkin jiwanya akan melayang karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Urusan
sudah kadung begini, terpaksa berbuat sebisanya, paling-paling dipersen lagi
dua kali tamparan. Demikian pikir Toan Ki.
Segera ia robek kain baju
sendiri untuk membersihkan darah di sekitar luka si nona. Ia lihat kulit badan
nona itu putih bersih laksana salju. Ia tidak berani lama-lama memandangnya,
buru-buru ia poles sedikit Yanci tadi pada lukanya.
Sekali ini Bok Wan-jing cepat
siuman, dengan sorot mata yang bengis ia pelototi Toan Ki. Takut digampar lagi,
Toan Ki tidak berani dekat-dekat dengan gadis itu.
"Kembali kau ... kau
...." karena merasa bahunya silir-silir dingin, Bok Wan-jing tahu pemuda itu
telah membubuhi obat di atas lukanya lagi.
"Ya, terpaksa, aku ...
aku tak dapat tinggal diam," sahut Toan Ki sambil angkat bahu.
Saking gugupnya hingga napas
Bok Wan-jing tersengal-sengal, dalam keadaan lemas, ia menjadi susah berbicara.
Toan Ki mendengar di sisi kiri
sana ada suara gemerciknya air, segera ia berlari ke sana dan mendapatkan
sebuah selokan dengan air pegunungan yang jernih.
Ia cuci bersih kedua tangan
sendiri, lalu meraup air gunung itu untuk diminum beberapa ceguk. Kemudian ia
meraup air jernih itu kembali ke samping Bok Wan-jing, katanya, "Bukalah
mulutmu, minum air ini!"
Setelah banyak mengeluarkan
darah, mulut Bok Wan-jing memang terasa kering, segera ia singkap sebagian kain
kedoknya sehingga tertampak mulutnya.
Tatkala itu sudah tengah hari,
di atas pegunungan itu terang benderang. Toan Ki melihat dagu si gadis agak
lonjong, nyata mukanya potongan daun sirih, kulit mukanya putih halus seperti
bahunya, mulutnya yang kecil mungil dengan bibir tipis, kedua larik giginya
seputih mutiara dan rajin. Hati Toan Ki terguncang, "Dia ... sesungguhnya
seorang gadis cantik!"
Sementara itu air merembes
jatuh dari sela-sela jari tangan Toan Ki, muka Bok Wan-jing terciprat
butir-butir air hingga mirip rintik embun di atas bunga teratai pada pagi hari.
Toan Ki terkesima sejenak, ia
tidak berani lama-lama memandangnya, cepat ia berpaling ke arah lain.
"Lagi, ambilkan
lagi!" pinta si nona sehabis minum air dari tangan Toan Ki itu.
Berturut-turut tiga kali Toan
Ki meraupkan air gunung itu baru lenyap rasa dahaga Bok Wan-jing.
Kemudian Toan Ki mengintai
pula ke tepi jurang, ia lihat di seberang sana masih tinggal beberapa orang
dengan busur dan panah lagi mengawasi seberang sini.
Ketika melongok pula ke bawah
jurang, ia tidak melihat ada orang memanjat ke atas. Tapi dapat diduga musuh
pasti tak mau berhenti begitu saja, tentu sedang berusaha mencari jalan untuk
mengejar kemari.
Tiba-tiba Toan Ki ingat racun
Toan-jiong-san yang diminumnya dari Sikong Hian itu dalam beberapa hari ini
pasti akan mulai bekerja, andaikan musuh tidak mengejar kemari dan mereka
berdua tidak mati oleh luka dan racun masing-masing, akhirnya tentu juga akan
mati kelaparan di atas bukit yang tandus ini.
Karena itu, dengan lesu Toan
Ki kembali ke samping Bok Wan-jing lagi, katanya, "Sayang di atas gunung
tiada
tetumbuhan apa pun, kalau ada
akan kupetik beberapa biji untuk melenyapkan kelaparanmu."
"Sudahlah, apa gunanya
banyak bicara yang tidak-tidak?" sahut Bok Wan-jing. "Coba ceritakan,
bagaimana kau kenal anak dara keluarga Ciong itu? Kenapa kau berani sembarangan
memalsukan aku untuk menolongnya?"
Toan Ki menjadi malu oleh
pertanyaan itu, sahutnya, "Aku memang tidak pantas menyamar dirimu untuk
menolongnya. Soalnya karena terpaksa, maka kuharap engkau jangan marah."
Bok Wan-jing hanya mendengus
saja sekali, tidak menyatakan marah, juga tidak bilang tidak marah.
Maka berceritalah Toan Ki cara
bagaimana ia kenal Ciong Ling di Kiam-oh-kiong tempo hari ketika dirinya
dianiaya orang dan gadis itu telah menolongnya.
"Hm, kalau tidak paham
ilmu silat, kenapa ikut campur urusan Kangouw? Apa barangkali kau sudah bosan
hidup?" jengek Bok Wan-jing seusai mendengarkan cerita Toan Ki.
"Urusan sudah telanjur
begini, menyesal juga tak berguna," ujar Toan Ki gegetun. "Cuma
membikin nona ikut susah, aku merasa tidak enak sekali".
"Kau bikin susah aku
apa?" kata si nona. "Permusuhanku dengan orang-orang itu adalah karena
perbuatanku sendiri. Sekalipun di dunia ini tiada seorang kau, mereka juga
tetap akan mengeroyok aku. Tapi, bila tiada dirimu, tentu aku tidak perlu
khawatir dan bisa ... bisa membunuh sepuas-puasku daripada mati konyol di atas
karang tandus ini."
Ketika mengucapkan kata-kata
"tidak perlu khawatir", ia merandek sejenak, ia merasa ucapan terus
terang menyatakan khawatir atas diri pemuda itu rada kurang patut, ia merasa
jengah. Untung ia berkedok hingga mimik wajahnya tidak kelihatan.
Toan Ki tidak memerhatikan
nada ucapan orang yang agak aneh itu, sebaliknya menyangka nona itu bicara
dalam keadaan sedih, maka ia malah menghiburnya, "Sudahlah, asal nona
mengaso beberapa hari lagi hingga luka bahumu sembuh, lalu kita terjang keluar,
belum tentu musuh mampu menahan nona."
"Hm, enak saja kau
bicara," kata Bok Wan-jing dengan menjengek, "melulu itu Oh-pek-kiam
Su An saja aku hanya sanggup bertempur sama kuat dengan dia, apalagi aku
menderita luka ...."
Belum habis ucapannya,
sekonyong-konyong dari seberang karang sana berkumandang suara suitan tajam
mengerikan hingga udara seluruh lembah gunung ikut mendenging-denging.
Mendengar suara suitan aneh
itu, tak tertahan lagi hati Bok Wan-jing tergetar, katanya dengan suara
gemetar, "Dia ... dia datang!"
Segera tangan Toan Ki
dipegangnya erat-erat.
Suara suitan itu masih terus
mendengung hingga lama di angkasa pegunungan dan sahut-menyahut, suara
kumandangnya juga semakin keras hingga telinga Toan Ki seakan-akan pekak. Ia
merasa tangan Bok Wan-jing gemetar tiada hentinya, jelas gadis itu sangat
ketakutan.
Sejak Toan Ki kenal dia,
biarpun di tengah kerubutan musuh, gadis itu tetap berlaku tenang, musuh
dianggap barang sepele saja. Tapi kini, begitu suara suitan itu berbunyi,
seketika Hiang-yok-jeh yang biasanya ditakuti orang itu berbalik ketakutan
sendiri, maka dapatlah dibayangkan betapa lihai orang yang datang itu.
Sampai lama sekali, perlahan
suara suitan tadi barulah berhenti.
"Siapa orang itu?"
tanya Toan Ki perlahan.
"Sekali orang ini datang,
jiwaku pasti tak bisa selamat lagi," ujar si nona. "Maka lebih baik
kau cari jalan buat lari saja, jangan ... jangan urus diriku lagi."