Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 1-5

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 1-5 Sinar hijau berkelebat, sebatang pedang Jing-kong-kiam menusuk cepat ke pundak kiri seorang laki-laki setengah umur.
Jilid 01
Sinar hijau berkelebat, sebatang pedang Jing-kong-kiam menusuk cepat ke pundak kiri seorang laki-laki setengah umur.

Belum lagi serangan itu mengenai sasaran, penyerang itu sudah menggeser ke samping dan menyerang pula ke leher kanan laki-laki itu.

Waktu laki-laki setengah umur itu menegakkan pedangnya, "trang", terbenturlah kedua pedang dan menerbitkan suara nyaring, menyusul sinar pedang gemerlapan pula, dalam sekejap kedua orang itu sudah saling gebrak beberapa jurus lagi.

Mendadak pedang laki-laki setengah umur tadi menebas sekuatnya ke atas kepala pemuda yang memakai pedang Jing-kong-kiam, namun sedikit mengegos ke samping, pemuda itu balas menusuk paha lawan.

Serang-menyerang kedua orang itu berlangsung cepat lagi tepat, setiap jurus seakan-akan mengadu jiwa.

Di sudut Lian-bu-thia atau ruang berlatih silat itu berduduk seorang tua berumur antara setengah abad lebih, sambil mengelus jenggotnya yang panjang, dia kelihatan sangat senang. Pada kedua sampingnya berdiri lebih 20 orang anak murid laki-laki dan perempuan, semuanya asyik mengikuti pertarungan sengit kedua orang tadi dengan penuh perhatian.

Di samping sana berduduk belasan tamu undangan, mereka pun memusatkan perhatian mengikuti pertandingan di tengah kalangan dengan mata tak berkedip.

Sementara itu sudah lebih 70 jurus pertandingan laki-laki setengah umur melawan si pemuda tadi. Serangmenyerang makin lama makin sengit dan berbahaya, tapi tetap belum tampak siapa akan menang atau kalah.

Sekonyong-konyong pedang lelaki setengah umur itu menebas sekuatnya, agaknya terlalu keras menggunakan tenaga sehingga tubuhnya kehilangan imbangan dan sedikit terhuyung. Tampak itu, tiba-tiba seorang pemuda berbaju putih di antara tetamu tadi mengikik geli, segera ia sadar kelakuannya yang tak pada tempatnya itu, cepat ia dekap mulut sendiri.

Dan pada saat itulah mendadak si pemuda yang menggunakan Jing-kong-kiam tadi memukul dengan telapak tangan kiri ke punggung laki-laki setengah umur.

Karena lelaki itu lagi sempoyongan, ia terus miringkan tubuh ke depan, berbareng pedang berputar dengan cepat sambil membentak, "Kena!"

Kontan kaki kiri lawan kena ditusuknya.

Pemuda itu sempoyongan, untung pedangnya sempat dipakai menahan ke tanah, ia tegakkan tubuh dan bermaksud bertempur lagi. Namun lelaki setengah umur itu sudah mengembalikan pedang ke sarungnya, katanya dengan tertawa, "Maaf, Tu-sute, lukamu tidak parah, bukan?"

Dengan muka pucat pemuda she Tu itu menjawab sambil menggigit bibir, "Terima kasih atas kemurahan hati Kiong-suheng!"

Kesudahan pertandingan itu rupanya membuat si kakek berjenggot tadi bertambah senang, dengan tersenyum ia berkata, "Sampai babak ini, Tang-cong (sekte timur) kami sudah menang tiga kali, tampaknya 'Kiam-ohkiong' (istana danau pedang) ini masih boleh dihuni lima tahun lagi oleh Tang-cong. Sin-sumoay, apakah kita perlu bertanding lagi?"

Seorang To-koh atau imam perempuan, yang duduk di pojok barat sana menjawab dengan penasaran, "Ya, Cosuheng ternyata pintar mendidik murid. Tapi selama lima tahun ini entah sampai di mana peyakinan Co-suheng sendiri terhadap 'Bu-liang-giok-bik'."

Tiba-tiba kakek berjenggot itu memelotot, "Apakah Sumoay sudah lupa pada peraturan golongan kita?"

Teguran itu membuat si To-koh menjadi bungkam, ia mendengus sekali dan tidak bicara lagi.

Kiranya kakek berjenggot itu bernama Co Cu-bok, dalam dunia Kangouw terkenal dengan julukan "It-kiamtin-thian-lam" atau sebatang pedang menjagoi kolong langit selatan. Ia adalah Ciangbunjin atau ketua "Buliang-kiam" sekte timur. Sedang imam perempuan tadi bergelar Siang-jing dengan julukan "Hun-kong-ciokeng" atau menembus sinar menangkap bayangan, ia adalah ketua Bu-liang-kiam sekte barat.

Bu-liang-kiam sebenarnya terbagi dalam Tang-cong, Lam-cong dan Se-cong, atau sekte timur, selatan dan barat. Tapi sudah lama sekte selatan terpencil lemah, sebaliknya sekte timur dan barat banyak timbul tunas

baru.

Sejak Bu-liang-kiam berdiri pada akhir dinasti Tong, lalu terbagi menjadi tiga sekte pada permulaan dinasti Song, seterusnya setiap lima tahun sekali anak murid dari ketiga sekte itu harus berkumpul di "Kiam-oh-kiong" untuk mengukur kekuatan, sekte mana yang menang, berhak untuk mendiami istana itu selama lima tahun, lalu bertanding lagi pada tahun keenam yang akan datang. Sekte mana yang akan memenangkan tiga babak dalam pertandingan lima babak, dianggap menang.

Maka selama jangka waktu lima tahun itu, yang kalah semakin giat melatih diri agar bisa merebut kemenangan dalam pertandingan yang akan datang, sebaliknya yang menang juga tidak berani lengah. Tapi selama berpuluh tahun itu, sekte selatan tidak pernah menang, sedangkan sekte timur dan barat masing-masing saling bergantian keluar sebagai juara.

Sampai pada tangan Co Cu-bok dan Sin Siang-jin, Tang-cong sudah menang dua kali dalam pertandingan lima tahunan itu, sebaliknya sekte barat baru sekali menang. Pertandingan laki-laki setengah umur she Kiong melawan pemuda she Tu tadi adalah babak keempat dalam pertandingan kali ini. Dengan kemenangan laki-laki she Kiong itu, sekte timur sudah menang tiga babak dari empat babak, maka babak kelima tidak perlu lagi dilanjutkan.

Nama Bu-liang-kiam sudah lama termasyhur di dunia Kangouw, ditambah lagi patuh pada peraturan pertandingan lima tahunan di antara golongan sendiri, maka ilmu pedang mereka makin lama semakin bagus.

Karena sibuk "perang saudara" itulah maka jarang mereka bertengkar dengan orang luar, tokoh-tokoh mereka kebanyakan hidup aman tenteram dan adem ayem sampai hari tua, jarang terbinasa karena bunuh-membunuh dalam permusuhan dengan orang luar. Pula sekte timur dan barat itu memandang pertandingan lima tahunan itu besar sangkut-pautnya dengan kehormatan sekte masing-masing, maka pada waktu mengajar murid, sang guru mencurahkan perhatian sepenuhnya, sebaliknya si murid giat berlatih siang malam tanpa kenal lelah, sehingga banyak jurus ilmu pedang baru yang diciptakan oleh setiap angkatan.

Di antara orang-orang yang duduk di sudut barat itu, kecuali Siang-jing, masih banyak pula tamu tokoh Bu-lim (dunia persilatan) terkemuka yang diundang oleh kedua sekte itu untuk hadir sebagai saksi dan juri.

Di antara kedelapan orang saksi yang hadir itu, semuanya jago-jago persilatan terkemuka di daerah Hunlam. Hanya si pemuda baju putih tadi yang sama sekali tidak terkenal dan dikenal, tapi justru ia tertawa geli ketika melihat lelaki she Kiong rada sempoyongan.

Pemuda berbaju putih itu ikut hadir bersama jago silat tua dari Hunlam selatan, Be Ngo-tek. Sebagai saudagar teh yang kaya raya, Be Ngo-tek terkenal bertangan sangat terbuka, setiap orang persilatan yang sedang dirundung nasib malang dan datang minta bantuannya, pasti dia melayani dengan segala senang hati. Sebab

itulah pergaulannya dengan orang Bu-lim sangat luas, sebaliknya tentang ilmu silatnya tiada sesuatu yang luar biasa.

Ketika hadir dan mendengar Be Ngo-tek memperkenalkan pemuda baju putih itu she Toan, Co Cu-bok tidak menaruh perhatian apa-apa, sebab Toan adalah nama keluarga kerajaan Tayli di daerah Hunlam yang sangat umum, ia menduga pemuda she Toan tentu adalah murid Be Ngo-tek, padahal ilmu silat kakek she Be itu hanya biasa saja, muridnya tentu juga tidak sulit untuk diukur. Maka ia hanya menyambut mereka ke tempat duduk yang sudah disediakan. Siapa duga pemuda itu berani menertawai anak murid Co Cu-bok ketika menggunakan jurus pancingan tadi.

Dalam pada itu karena sudah menang tiga kali di antara empat babak pertandingan, kemenangan sekte timur sudah pasti, maka beberapa tokoh yang menjadi juri, seperti murid tertua dari Tiam-jong-pay, Liu Ci-hi, Lengsiau-cu, imam dari kuil Giok-cin-koan di Ay-lo-san, Kah-yap Siansu dari Tay-kak-si dan Be Ngo-tek, beramairamai sama mengucapkan selamat pada Co Cu-bok.

Dengan tertawa senang Co Cu-bok berkata, "Empat murid yang diajukan Sin-sumoay tahun ini, ilmu pedangnya ternyata boleh juga, lebih-lebih babak keempat ini, kemenangan kami boleh dikatakan sangat kebetulan. Sungguh Tu-sutit yang masih muda ini tidaklah terbatas hari depannya, bukan mustahil lima tahun yang akan datang sekte timur dan barat kita akan bertukar tempat, Hahaha!"

Begitulah habis terbahak-bahak, mendadak lirikan matanya mengarah pada pemuda she Toan, lalu berkata pula, "Tadi muridku yang tak becus itu menggunakan tipu pancingan untuk mengalahkan lawan, tapi saudara ini tampaknya merasa tidak sepaham. Kita adalah orang sendiri, jika Toan-heng ada minat, marilah silakan turun kalangan memberi petunjuk sejurus-dua. Nama Be-goko mengguncangkan Tin-lam (Hunlam selatan), di bawah panglima pandai tiada prajurit lemah, tentu anak muridnya tidak boleh dipandang enteng."

Muka Be Ngo-tek menjadi merah, cepat sahutnya, "Harap Co-hiante jangan salah mengerti. Toan-heng ini bukanlah muridku. Apalagi dengan sedikit kepandaian 'cakar-kucing' yang kumiliki ini mana ada harganya menjadi guru orang, harap Co-hante jangan bergurau. Kedatangan Toan-heng ini ke sini hanya secara kebetulan saja ingin ikut menyaksikan keramaian, karena mendengar akan diadakan pertandingan di antara kedua sekte golonganmu, maka tanpa pikir aku telah mengajaknya kemari."

Mendengar pemuda she Toan itu tiada hubungan apa-apa dengan Be Ngo-tek, Co Cu-bok pikir kebetulan malah, sebab kalau dia muridnya, betapa merasa sungkan.

"Orang macam apa aku Co Cu-bok ini sehingga ada orang berani terang-terangan menertawai Bu-liang-kiam di dalam Kiam-oh-kiong sini?" Karena berpikir demikian, dengan tertawa dingin Co Cu-bok berkata pula, "O, kiranya demikian. Mohon tanya siapakah nama Toan-heng yang terhormat, entah murid orang kosen dari mana?"

"Cayhe bernama Ki, satu huruf melulu, tidak pernah mengangkat guru juga tidak pernah belajar silat," sahut pemuda she Toan itu. "Karena geli melihat orang sempoyongan akan jatuh, entah dia pura-pura atau sungguhan, aku jadi tertawa."

Mendengar jawaban yang kurang sopan itu, sedikit pun tiada rasa hormat, Co Cu-bok bertambah mendongkol, katanya, "Apanya yang menggelikan?"

"Kalau seorang berdiri baik-baik, tentu tidak lucu. Tapi kalau seorang akan jatuh, tampaknya menjadi lucu dan menggelikan," sahut Toan Ki dengan acuh tak acuh sambil mengebas kipas lempitnya.

Dengan kedudukan Co Cu-bok sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka, tentu saja hati merasa panas oleh cara bicara si pemuda yang semakin kurang ajar itu. Tapi biarpun Co Cu-bok berwatak angkuh, namun orangnya sangat hati-hati, tidak gegabah bertindak, maka ia pun tidak lantas marah-marah, katanya pada Be Ngo-tek, "Be-goko, apakah Toan-heng ini adalah sahabat baikmu?"

Be Ngo-tek adalah seorang kawakan Kangouw, sudah tentu ia paham apa maksud pertanyaan itu, terang jago Bu-liang-kiam itu sudah ambil keputusan akan memberi hajaran pada Toan Ki. Padahal ia sendiri juga baru kenal pemuda itu.

Sebagai seorang yang bertangan terbuka, ketika Toan Ki mohon ikut serta, tanpa pikir ia membawanya. Kini melihat gelagatnya, sekali turun tangan, Co Cu-bok pasti tidak sungkan-sungkan lagi. Seorang pemuda baikbaik, sayang kalau mesti mengalami aniaya demikian itu.

Maka cepat katanya, "Aku dan Toan-heng meski bukan sobat kental, tapi kami datang bersama, tampaknya tertawa Toan-heng tadi pun tidak disengaja. Baiknya begini saja, memangnya perutku sudah keroncongan, harap Co-hiante lekas keluarkan hidangan, biar kami menyuguhkan padamu tiga cawan. Hari baik yang harus gembira ini, untuk apa Co-hiante mesti urusan dengan seorang muda?"

"Jika Toan-heng bukan sobat baik Be-goko, itulah lebih baik," ujar Co Cu-bok. "Betapa pun aku perlakukan dia, takkan dianggap membikin malu pada Be-goko. Nah, Jin-kiat, tadi kau ditertawai orang, majulah dan minta pelajaran padanya!"

Laki-laki setengah umur yang bernama Kiong Jin-kiat itu memang sangat mengharapkan perintah sang guru itu, segera saja ia lolos pedang dan maju ke tengah, ia memberi hormat pada Toan Ki sambil berkata, "Marilah, sobat Toan, silakan!"

"Hm, bagus! Bolehlah kau mulai, kau berlatih, aku melihat!" ucap Toan Ki.

"Hah, apa ... apa katamu?" teriak Kiong Jin-kiat dengan gusar sehingga wajahnya merah padam.

"Kau membawa pedang, tentunya akan main pedang, bukan?" sahut Toan Ki. "Maka bolehlah mulai, biar kami sama menonton."

"Tapi guruku suruh kau pun maju ke sini, mari kita coba-coba bertanding," teriak Jin-kiat.

Toan Ki goyang-goyang kepala sambil tiada berhenti mengebas kipasnya, sahutnya, "Gurumu adalah gurumu, gurumu bukan guruku. Gurumu boleh menyuruhmu, gurumu tak boleh menyuruh aku. Gurumu suruh kau bertanding pedang dengan orang dan sudah kau lakukan tadi. Gurumu suruh aku coba-coba bertanding dengan kau, pertama aku tidak bisa, kedua aku takut kalah, ketiga takut sakit, keempat takut mati, maka aku tidak mau bertanding. Sekali aku bilang tidak, tetap tidak."

Mendengar jawaban yang serba"gurumu" yang membingungkan itu, banyak di antara hadirin menjadi tertawa geli, termasuk pula beberapa murid perempuan Sin Siang-jing, maka suasana yang tadinya angker tegang seketika buyar sirna menjadi santai.

Keruan Kiong Jin-kiat tambah murka, dengan langkah lebar ia mendekati Toan Ki, ia tuding dada pemuda itu dengan ujung pedangnya dan membentak, "Apa kau benar-benar tidak bisa atau hanya pura-pura tolol dan berlagak pilon?"

Walaupun menghadapi ancaman pedang yang bila sedikit disorong ke depan pasti dadanya akan tembus, namun sedikit pun Toan Ki tidak gentar, sahutnya, "Aku pura-pura, tapi memang juga benar-benar tidak bisa."

"Kau berani main gila ke Kiam-oh-kiong sini, apa barangkali sudah bosan hidup?" semprot Kiong Jin-kiat. "Kau sebenarnya anak murid siapa? Siapa yang menyuruhmu mengacau ke sini? Kalau tidak mengaku terus terang, jangan menyesal bila pedang tuanmu ini tidak kenal ampun."

Toan Ki tetap acuh tak acuh, ia menguap sambil mengulet kemalasan, lalu sahutnya, "Bu-liang-kiam sangat terkenal di Kangouw, asal aku tetap diam saja, rasanya tidak nanti kau bunuh aku di depan para Locianpwe sekian banyak ini."

Mendadak Kiong Jin-kiat simpan pedangnya, tapi tangan lain tiba-tiba menempeleng, "plok", dengan tepat pipi

Toan Ki kena digampar sekali.

Toan Ki sedikit miringkan kepalanya, namun tak dapat menghindar, seketika mukanya yang putih bersih itu merah bengap dan timbul cap lima jari.

Kejadian ini membikin hadirin sangat terkejut. Semula melihat sikap Toan Ki yang acuh tak acuh tanpa gentar itu, mereka menyangka pemuda itu pasti memiliki ilmu silat maha tinggi, maka berani meremehkan lawan. Siapa duga tempelengan Kiong Jin-kiat yang sepele itu tak bisa dihindarnya, tampaknya pemuda ini memang betul sedikit pun tak bisa ilmu silat.

Ini sungguh luar biasa!

Umumnya orang hanya mendengar cerita tentang jago silat kosen sengaja pura-pura bodoh untuk menggoda lawan, tapi tidak mungkin seorang yang tidak mahir ilmu silat berani main gila.

Bagi Kiong Jin-kiat sendiri yang secara mudah berhasil menempeleng orang, seketika ia rada terkesima juga. Tapi segera ia jambret dada baju Toan Ki serta diangkat ke atas sambil membentak, "Tadinya kukira seorang tokoh yang tak dikenal, siapa tahu tak becus begini!"

Terus saja ia banting tubuh orang ke tanah.

"Bluk", Toan Ki terbanting keras ke lantai, kepala membentur kaki meja hingga benjut.

Be Ngo-tek merasa tidak tega, cepat ia membangunkan pemuda itu dan berkata, "Kiranya Laute (saudara) memang tak bisa ilmu silat, lantas untuk apa ikut ke sini?"

Toan Ki meraba-raba batok kepalanya yang benjut itu, sahutnya dengan tertawa, "Memangnya aku melulu datang untuk menonton keramaian. Kulihat ilmu pedang Bu-liang-kiam paling-paling juga cuma begini saja, sang guru dan si murid berjiwa kerdil pula, tampaknya juga takkan mampu lebih maju lagi daripada ini. Biarlah aku pergi saja."

Tiba-tiba seorang murid Co Cu-bok yang lain melompat maju mengadang di depan Toan Ki, katanya, "Jika engkau tidak mahir ilmu silat, lantas mau pergi mencawat ekor begini saja memang bolehlah. Tapi kenapa kau mengolok-olok ilmu pedang kami hanya biasa saja dan paling-paling hanya sekian? Sekarang kuberi dua jalan padamu dan boleh kau pilih. Pertama boleh coba-coba ilmu pedang kami yang hanya begini saja ini, atau kau menyembah delapan kali kepada guruku dan mengaku omonganmu sendiri cuma 'kentut' belaka!"

"O, kau kentut? Kenapa tidak bau?" sahut Toan Ki dengan tertawa.

Murid muda itu menjadi gusar, segera bogem mentahnya menjotos ke hidung Toan Ki. Pukulan ini sangat keras, tampaknya hidung Toan Ki pasti akan bocor dan keluar kecapnya. Tak terduga baru kepalan sampai setengah jalan, tiba-tiba dari udara menyambar tiba sesuatu dan melilit di pergelangan tangan murid muda itu.

Benda itu lemas-lemas dingin dan licin, begitu melilit, terus bergerak merambat.

Keruan pemuda itu terkejut dan cepat menarik tangannya, waktu diperiksa, ternyata yang melilit di tangannya itu adalah seekor ular Jik-lian-coa atau ular rantai merah yang berwarna belang-bonteng menyeramkan, panjangnya kira-kira 30 senti.

Dalam kagetnya, pemuda itu menjerit sambil mengipas-kipaskan tangannya dengan maksud melepaskan lilitan ular kecil itu, tapi binatang itu semakin erat melilit di tangannya tak mau lepas.

Mendadak Kiong Jin-kiat juga berteriak, "Ular, ular!"

Wajahnya tampak berubah hebat sambil tangan menggagap ke dalam baju sendiri, lalu meraba leher, punggung dan ketiak, tapi tiada sesuatu yang kena dipegangnya, saking gugupnya sampai Jin-kiat berjingkrak-jingkrak, buru-buru ia lepas baju sendiri.

Datangnya perubahan ini sungguh sangat mendadak, selagi semua orang terkesiap dan heran, tiba-tiba terdengar di atas kepala mereka ada suara orang mengikik sekali.

Waktu semua orang mendongak, buset, ternyata di atas belandar rumah duduk seorang anak dara jelita, kedua tangannya penuh memegang bermacam ular.

Dara jelita itu berusia antara 16-17 tahun, berbaju hijau, wajah cantik, tersenyum menggiurkan. Pada tangannya sedikitnya memegangi belasan ekor ular yang kecil dan macam-macam warnanya, hijau, merah, hitam, belang dan warna lain, jelas semuanya adalah ular berbisa. Tapi dara cilik itu memegangi ular-ular berbisa itu bagai barang mainan belaka, sedikit pun tidak jeri. Bahkan beberapa ular di antaranya merayap ke muka dan pipinya bagai seorang anak lagi dimanjakan sang ibu yang penuh kasih sayang.

Semua orang hanya sekilas menengok saja, segera terdengar Kiong Jin-kiat dan Sutenya menjerit-jerit, maka cepat mereka berpaling memandang kedua orang itu. Sebaliknya Toan Ki lantas mendongak dan memandang si dara cilik itu dengan terkesima.

Gadis itu duduk di atas belandar sambil kedua kakinya berayun-ayun bagai anak kecil. Melihat dia, entah dari mana datangnya lantas timbul rasa suka dalam hati Toan Ki, katanya segera, "Nona, apakah engkau yang menolong aku?"

"Ya," sahut dara cilik itu. "Orang jahat itu memukulmu, kenapa tidak kau balas hantam dia?"

"Aku tidak bisa membalas ...." baru sekian Toan Ki menjawab, mendadak terdengar teriakan tertahan orang banyak.

Waktu Toan Ki berpaling, terlihat Co Cu-bok sudah menghunus pedang, mata pedang tampak bernoda darah, sedang ular Jik-lian-coa tadi sudah terkutung menjadi dua di lantai, terang kena ditebas mati oleh pedang Co Cu-bok itu.

Sementara itu baju atas Kiong Jin-kiat sudah terlepas semua, dengan setengah telanjang ia masih berjingkrakjingkrak kelabakan, seekor ular hijau kecil tampak merayap kian kemari di punggungnya, ia ulur tangan ke belakang hendak menangkap, tapi beberapa kali dilakukannya tetap tak berhasil.

"Jangan bergerak, Jin-kiat!" bentak Co Cu-bok.

Selagi Jin-kiat merandek, tiba-tiba sinar perak berkelebat, ular hijau itu sudah tertebas menjadi dua potong. Gerakan Co Cu-bok itu secepat kilat hingga semua orang tidak tahu jelas cara bagaimana ia turun tangan, tahutahu ular hijau itu terkutung jatuh ke lantai, sebaliknya punggung Kiong Jin-kiat sedikit pun tidak cedera. Betapa jitu dan cepat permainan pedang Co Cu-bok itu, seketika bersoraklah orang memuji.

"Hm, hanya membunuh seekor ular kecil, kenapa mesti heran?" jengek Toan Ki.

Sedang dara cilik di atas belandar lantas berteriak-teriak, "Hai, si kakek jenggot, kenapa kau binasakan dua ekor ularku? Aku tidak mau sungkan lagi padamu sekarang!"

"He, kau anak perempuan siapa, untuk apa datang ke sini?" tegur Co Cu-bok dengan gusar.

Diam-diam ia sangat heran, bilakah gadis cilik ini berada di atas belandar? Padahal di tengah ruangan besar ini terdapat sekian banyak tokoh terkemuka, masakah tiada seorang pun yang tahu, sekalipun semua orang tadi lagi asyik mengikuti pertandingan Tang-cong dan Se-cong, tapi mustahil tidak mengetahui kalau di atas kepala mereka lagi mengintip seseorang. Kalau kejadian ini tersiar di dunia Kangouw, lantas muka "Bu-liang-kiam" akan ditaruh ke mana?

Gadis cilik itu tidak menjawab pertanyaan Co Cu-bok, kedua kakinya masih bergerak-gerak ke muka dan ke belakang, tampak sepatunya bersulam bunga kuning kecil, ujung sepatu dihias sebuah bola merah terbuat dari benang wool, itulah dandanan anak perempuan kecil yang lazim.

Maka kembali Co Cu-bok berkata, "Lekas melompat turun kemari!"

"Jangan!" tiba-tiba Toan Ki berseru. "Begitu tinggi, kalau melompat turun, apa tidak terbanting? Lekas ambilkan tangga!"

Mendengar itu, banyak orang tertawa geli lagi. Beberapa murid wanita dari Se-cong sama berpikir, "Orang ini tampak cakap dan ganteng, tapi ternyata seorang dogol. Kalau gadis cilik itu mampu naik ke atas belandar tanpa diketahui jago silat sebanyak ini, dengan sendirinya ilmu silatnya pasti sangat tinggi, masakan untuk turun diperlukan tangga, kan lelucon yang tidak lucu?"

Sementara itu terdengar si gadis kecil sedang menjawab, "Harus kau ganti dulu kedua ularku, baru aku mau turun bicara padamu."

"Hanya dua ekor ular saja, kenapa dibuat pikiran, di mana-mana dapat kutangkap dua ular seperti ini," ujar Co Cu-bok.

Nyata diam-diam ia sudah jeri terhadap gadis cilik itu. Gadis semuda itu telah berani bermain ular berbisa, tak pelak lagi di belakang si gadis tentu masih ada guru atau orang tua yang sangat lihai, maka nada bicaranya sedapat mungkin mengalah pada si gadis.

Dengan tertawa gadis itu mendebat, "Omong sih gampang, cobalah kau tangkap dulu ekor ular seperti itu."

"Lekas melompat turun!" kembali Co Cu-bok mendesak.

"Tidak mau!" sahut si gadis.

"Jika tetap bandel, segera kuseret turun," ujar Co Cu-bok.

Gadis itu terkikik-kikik, jawabnya, "Boleh kau coba menarik, kalau kena, anggap kau pintar!"

Sungguh serbarunyam Co Cu-bok menghadapi seorang gadis cilik nakal seperti itu, katanya pada Siang-jing, "Sumoay, harap kau suruh seorang murid perempuan naik ke atas untuk menyeretnya turun."

"Anak murid Se-cong tiada yang memiliki Ginkang setinggi itu," sahut Siang-jing.

Co Cu-bok menjadi kurang senang, selagi hendak buka suara pula, tiba-tiba terdengar si dara cilik berseru, "He, tidak mau kau ganti ularku, ya? Nih, kuperlihatkan sesuatu yang lihai, biar kalian tahu rasa!"

Segera dari bajunya ia merogoh keluar sesuatu benda yang mirip seutas rantai emas dan disambitkan ke arah Kiong Jin-kiat.

Jin Kiat menyangka tentunya semacam Am-gi atau senjata rahasia yang aneh, maka tidak berani menangkapnya dengan tangan, melainkan melompat hendak menghindar. Tak terduga rantai emas itu adalah seekor ular emas yang kecil.

Ular kecil itu sangat gesit gerak-geriknya, sekali hinggap di punggung Kiong Jin-kiat, terus saja merayap ke dada, ke muka, ke leher dan ke perut dengan cepat luar biasa.

"Bagus, bagus! Ular emas ini sungguh sangat menarik!" seru Toan Ki sambil tertawa senang.

Ular emas kecil itu merayap makin cepat, hingga antero badan Kiong Jin-kiat seakan-akan kemilauan oleh cahaya emas dan membikin pandangan semua orang menjadi silau.

Mendadak Leng-siau-cu, itu imam dari Giok-cin-koan di Ay-lo-san, teringat sesuatu, dalam kejutnya ia berseru, "Bukankah ini Kim-leng-cu dari 'Uh-hiat-su-leng'?"

"Numpang tanya, To-heng, permainan apakah 'Uh-hiat-su-leng' itu?" tanya Be Ngo-tek.

Air muka Leng-siau-cu berubah, sahutnya, "Di sini bukan tempat bicara, kelak saja kita omong-omong lagi."

Lalu ia mendongak dan berkata pada gadis cilik di atas belandar sembari memberi hormat, "Terimalah hormat Leng-siau-cu, nona!"

Meski tangannya penuh memegang macam-macam ular, namun dara cilik itu masih sempat merogoh saku dan mengambil sebiji kuaci dan dimasukkan ke mulut, ia hanya tersenyum kepada Leng-siau-cu tanpa menjawab.

Leng-siau-cu berpaling kepada Co Cu-bok, katanya, "Kionghi atas kemenangan yang dicapai pihak Co-heng dalam pertandingan tadi, karena masih ada sesuatu urusan, maafkan kumohon diri dulu!"

Dan tanpa menunggu jawaban Co Cu-bok, buru-buru ia bertindak keluar, ketika lewat di samping Kiong Jinkiat, ia menyingkir jauh-jauh dengan rasa ketakutan.

Co Cu-bok tidak urus sikap orang itu karena lagi mencurahkan perhatian pada ular emas tadi, sebaliknya Be Ngo-tek merasa sangat heran, pikirnya, "Ilmu golok dari Giok-cin-koan terhitung salah satu kepandaian khas dalam dunia persilatan di Hunlam, biasanya Leng-siau-cu pun angkuh terhadap orang, kenapa terhadap ular emas ini ia menjadi ketakutan? Terhadap nona cilik itu pun ia sangat menghormat, entah apa sebabnya?"

Tiba-tiba terdengar gadis cilik tadi bersuit beberapa kali, mendadak ular emas merayap ke muka Kiong Jinkiat, cepat Jin-kiat menangkap dengan kedua tangannya, tapi ular emas itu teramat cepat, badan ular saja tak bisa disentuh tangan Kiong Jin-kiat. Keruan ia tambah kelabakan dan menangkap serabutan, namun tetap menangkap angin.

Segera Co Cu-bok melangkah maju, pedang menusuk cepat, tatkala itu ular emas lagi merayap ke atas mata kiri Kiong Jin-kiat, karena diserang, sekali badan ular berkeloget, dapatlah menghindar. Sebaliknya ujung pedang Co Cu-bok pun berhenti di depan kelopak mata sang murid.

Walaupun serangan itu tidak mengenai sasaran, tapi para penonton sama merasa kagum.

Bayangkan saja, asal ujung pedang setengah senti lebih maju, pasti biji mata Kiong Jin-kiat sudah dibutakan.

Diam-diam Sin Siang-jing membatin, "Ilmu pedang Co-suheng ternyata sudah sedemikian saktinya, aku harus mengaku bukan tandingannya, terutama jurus 'Kim-ciam-toh-kiap' (jarum emas menolak baju) barusan, terang aku tak bisa mengungguli dia."

Sementara itu Co Cu-bok telah menyerang pula empat kali beruntun, tapi ular emas itu seperti punya mata di punggungnya, setiap kali dapat menyelamatkan diri.

"Hai, kakek jenggot, ilmu pedangmu bagus juga!" seru si dara cilik. Tiba-tiba ia bersuit lagi, cepat ular emas itu merayap ke bawah terus menghilang.

Selagi Co Cu-bok tertegun kehilangan sasaran, tahu-tahu Kiong Jin-kiat sibuk meraba paha sambil berjingkrakjingkrak, ternyata ular emas itu telah menerobos ke dalam celananya.

"Hahahaha!" Toan Ki tertawa geli. "Tontonan hari ini benar-benar sangat menyenangkan, hahaha!"

Dalam pada itu Kiong Jin-kiat telah melepaskan celana hingga tertampak kedua pahanya yang penuh berbulu lebat. Namun dara cilik itu memang masih kekanak-kanakan, sama sekali ia tidak kenal urusan lelaki dan perempuan, bahkan ia terus berseru, "Kau terlalu jahat, suka menganiaya orang, biarkan kau telanjang bulat. Coba malu atau tidak!"

Habis berkata, ia bersuit lagi.

Ular emas itu benar-benar sangat penurut, sekali mengegos terus menyusup pula, kali ini lebih lucu lagi, celana dalam Kiong Jin-kiat yang diterobos.

Keruan Kiong Jin-kiat semakin kelabakan. Sudah tentu, bagaimanapun ia tak dapat lepas celana dalam di hadapan orang banyak. Ia menjerit sekali terus berlari keluar.

Tapi celaka tiga belas, baru berlari sampai di ambang pintu, mendadak dari luar juga menyerobot masuk seseorang, karena tak sempat mengerem "bluk", kedua orang itu saling tumbuk dengan keras.

Tabrakan ini benar-benar sangat keras, tapi Kiong Jin-kiat hanya terpental mundur beberapa tindak, sebaliknya orang dari luar itu terus jatuh terjengkang ke lantai.

"He, Yong-sute!" seru Co Cu-bok kaget.

Melihat siapa yang telah ditabrak olehnya, cepat Kiong Jin-kiat maju membangunkannya, rupanya ia lupa bahwa si ular emas masih mengeram di dalam celana. Maka baru saja orang itu ditarik bangun, begitu merasa si ular merayap di dalam celana, kembali ia menjerit sambil berusaha hendak menangkap ular nakal itu, dan karena pegangan terlepas, orang yang sudah dibangunkan itu terbanting roboh pula.

Tentu saja kejadian lucu itu sangat menggelikan si dara cilik di atas belandar, setelah puas mengikik tawa, akhirnya ia berkata, "Rasanya sudah cukup kau dihajar!"

Segera ia bersuit lagi sekali, ular emas kecil itu lantas merayap keluar dari celana dalam Kiong Jin-kiat terus merayap ke atas dinding tembok dengan kecepatan luar biasa, lalu kembali ke pangkuan si gadis.

Untuk kedua kalinya dapatlah Kiong Jin-kiat membangunkan orang tadi sambil berseru kaget, "Yong-susiok, ken ... kenapa engkau?"

Waktu Co Cu-bok memburu maju, ia lihat kedua mata orang itu mendelik beringas, wajahnya penuh rasa gusar dan dendam, tapi napasnya sudah putus. Kejut Co Cu-bok tak terkatakan, lekas ia berusaha menolong, namun tak berdaya lagi.

Kiranya orang itu bernama Yong Goan-kui, Sute atau adik seperguruan Co Cu-bok. Meski ilmu silatnya lebih rendah daripada sang Suheng, namun jauh di atas Kiong Jin-kiat. Maka aneh sekali bahwa tabrakan tadi tak bisa dihindarkannya, bahkan sekali tabrak roboh binasa.

Co Cu-bok tahu sebelum tabrakan tentu sang Sute sudah terluka parah, maka cepat ia membuka baju Yong Goan-kui untuk diperiksa. Begitu baju terbuka, segera tertampak di dada Yong Goan-kui jelas tertulis sebaris huruf, "Tengah malam ini Sin-long-pang akan membasmi Bu-liang-kiam!"

Huruf-huruf hitam yang dekuk melekat di daging itu bukan ditulis dengan tinta, juga bukan ukiran benda tajam. Setelah ditegasi, Co Cu-bok menjadi gusar, ia angkat pedangnya hingga berbunyi mendenging, teriaknya dengan murka, "Hm, lihatlah apakah Sin-long-pang yang akan membasmi Bu-liang-kiam atau Buliang-kiam yang akan memusnahkan Sin-long-pang? Sakit hati ini tidak kubalas, kusumpah tak mau hidup lagi!"

Kiranya huruf-huruf yang terdapat di dada Yong Goan-kui itu ditulis dengan semacam obat racun, daging yang terkena racun lantas membusuk dan dekuk ke dalam.

Waktu Co Cu-bok periksa tubuh Yong Goan-kui pula, ternyata tiada tanda luka lain. Segera ia membentak, "Jin-ho, Jin-kiat, melihat keluar sana!"

Karena kejadian itu, seketika suasana dalam ruangan besar itu menjadi gempar, semua orang tidak urus lagi pada Toan Ki dan dara cilik di atas belandar itu, tapi beramai-ramai merubung jenazahnya Yong Goan-kui serta mempercakapkan peristiwa ini.

"Makin lama perbuatan Sin-long-pang makin tidak pantas," kata Be Ngo-tek setelah berpikir sejenak. "Cohiante, entah sebab apa mereka bermusuhan dengan golonganmu?"

Karena berduka atas matinya sang Sute, Co Cu-bok menjawab dengan terguguk-guguk, "Itu ... itu disebabkan urusan mencari obat. Musim rontok tahun yang lalu, empat Hiangcu (hulubalang) dari Sin-long-pang datang ke Kiam-oh-kiong sini dan permisi akan mencari semacam obat di belakang gunung kami ini. Soal memetik obat sebenarnya urusan kecil, Sin-long-pang memang hidup dari memetik obat dan menjual jamu. Biasanya tiada banyak berhubungan dengan golongan kami, tapi juga tiada permusuhan apa-apa. Namun Be-goko tentu tahu, belakang gunung ini tidak sembarangan boleh didatangi orang luar, jangankan Sin-long-pang, sekalipun para sobat kental juga dilarang pesiar ke sana, ini adalah peraturan turun-temurun dari leluhur kami, dengan sendirinya kami tidak berani melanggarnya. Padahal urusan ini pun tidak jadi soal ...."

Sampai di sini, tiba-tiba dari luar melangkah masuk seorang dengan tindakan perlahan dan lesu.

Aneh, Leng-siau-cu dari Giok-cin-koan yang terburu-buru pergi karena takut pada ular emas tadi kini telah kembali.

Imam itu tunduk kepala dan lesu, mukanya terdapat sejalur luka, kopiah di atas kepalanya juga sudah lenyap, rambut terurai kusut, terang baru saja dia telah dihajar orang.

"Leng-siau Toheng, ken ... kenapa kau?" tanya Co Cu-bok kaget.

Dengan gemas Leng-siau-cu menjawab, "Sungguh belum pernah kulihat manusia sewenang-wenang seperti ini, katanya tidak boleh pergi dari sini dan ... dan aku sendirian tak ... tak mampu melawan mereka yang banyak, maka ...."

"Apakah engkau bergebrak dengan orang Sin-long-pang?" tanya Co Cu-bok.

"Ya, siapa lagi kalau bukan mereka?" sahut Leng-siau-cu penasaran. "Mereka telah menduduki jalan-jalan penting di sekitar gunung, katanya sebelum esok pagi, siapa pun dilarang turun gunung."

Dalam pada itu si dara cilik di atas belandar tadi masih asyik menyisil kuaci sambil mengayun kedua kakinya ke depan dan ke belakang. Tiba-tiba ia sambitkan kulit kuaci ke batok kepala Toan Ki dan berkata dengan tertawa, "He, kau kepingin makan kuaci tidak? Marilah naik ke sini!"

"Tidak ada tangga, aku tak sanggup naik ke situ," sahut Toan Ki.

"Itu gampang," ujar si gadis. Terus saja ia lepaskan seutas tali panjang warna hijau pupus dari pinggangnya, katanya pula, "Pegang erat tali ini, biar kukerek kau ke atas."

"Badanku cukup berat, mana mampu kau kerek diriku?" ujar Toan Ki.

"Boleh coba, paling-paling kau akan mati terbanting," sahut si gadis dengan tertawa.

Melihat tali itu tergantung di depan hidungnya, tanpa pikir Toan Ki terus memegangnya. Di luar dugaan, apa yang terpegang itu terasa basah-basah dingin, bahkan terasa kelogat-keloget bisa bergerak. Waktu ditegasi ... astaga!

Benda yang tadinya disangka tali pinggang itu ternyata adalah seutas tali hidup alias ular, cuma badan ular itu sangat panjang dan kecil, atas dan bawah sama besarnya, sepintas pandang orang pasti tak menyangka kalau itu adalah ular hidup. Keruan Toan Ki kaget dan cepat lepas tangan.

Dara cilik itu mengikik geli, katanya, "Ini adalah Jing-leng-cu, lebih lihai daripada Thi-soa-coa (ular kawat besi), biarpun ditebas dengan pedang juga takkan putus. Ayo, lekas pegang yang erat!"

Toan Ki tabahkan hati dan kerahkan seluruh keberanian buat pegang badan ular tadi, ia merasa badan ular itu rada kasap dan tidak terlalu licin.

"Pegang yang erat!" seru si gadis sambil mengangkat ke atas dengan perlahan hingga tubuh Toan Ki terapung di atas tanah. Hanya beberapa kali tarikan saja, gadis itu sudah mengerek Toan Ki ke atas belandar.

Toan Ki menjadi kagum dan takut-takut pula melihat gadis cilik itu mengikat Jing-leng-cu ke pinggangnya hingga mirip benar seutas tali pinggang, tanyanya, "Apakah ularmu tidak menggigit orang?"

"Kalau kusuruh dia menggigit, tentu dia menggigit, kalau tak kusuruh, dia takkan menggigit, jangan takut," sahut gadis itu.

"Apakah kau yang piara ular-ular ini, sudah jinak ya?" tanya Toan Ki lagi.

"Ya, coba memegangnya," kata si gadis sambil mengangsurkan seekor ular kecil padanya.

Tentu saja Toan Ki kelabakan, serunya gugup, "He, jangan, jangan! Aku tidak mau."

Ia menggoyang-goyang tangannya sembari menggeser tubuh ke belakang, dan karena duduknya kurang tepat, hampir saja ia terjungkal ke bawah belandar.

Untung si gadis keburu menjambret kuduknya dan menariknya ke samping lagi, katanya dengan tertawa, "Apakah engkau benar tak mahir ilmu silat? Sungguh aneh!"

"Kenapa aneh?" tanya Toan Ki.

"Engkau tak bisa ilmu silat, tapi berani datang ke sini seorang diri, tentu saja kau akan dianiaya oleh mereka yang jahat itu," ujar si gadis. "Sebenarnya untuk apa kau datang ke sini?"

Melihat sikap ramah si gadis, meski baru kenal, tapi menganggapnya seperti sobat lama, maka selagi Toan Ki hendak menceritakan maksud kedatangannya, tiba-tiba terdengar suara langkah orang, dari luar berlari masuk dua orang. Kiranya adalah Kam Jin-ho dan Kiong Jin-kiat berdua.

Waktu itu Kiong Jin-kiat sudah mengenakan kembali celananya, hanya bagian atas masih telanjang.

Sikap kedua murid Bu-liang-kiam itu tampak rada takut, mereka mendekati Co Cu-bok dan melapor, "Suhu, orang Sin-long-pang telah berkumpul di atas gunung depan, jalan-jalan penting telah dijaga, kita dilarang turun gunung. Karena jumlah musuh lebih banyak, sebelum mendapat perintah Suhu, kami tidak berani sembarang turun tangan."

"Ehm, ada berapa banyak mereka?" tanya Cu-bok.

"Kira-kira 70 sampai 80 orang," sahut Jin-ho.

"Hm, hanya sejumlah itu lantas ingin membasmi Bu-liang-kiam? Rasanya takkan semudah itu!" jengek Co Cubok.

Baru selesai ucapannya, tiba-tiba terdengar suara mendengung di udara, dari luar terbidik masuk sebatang panah bersuara. Tanpa pikir Kiong Jin-kiat tangkap tangkai panah itu sebelum jatuh ke tanah. Ternyata di atas panah terikat sepucuk surat. Jelas kelihatan pada sampul surat itu tertulis, "Ditujukan untuk Co Cu-bok."

Waktu Jin-kiat menyerahkan surat itu pada sang guru, Cu-bok menjadi gusar membaca tulisan pada sampul yang kurang hormat itu, katanya, "Coba membukanya!"

Jin-kiat mengiakan dan merobek sampul surat itu.

Saat itulah, si dara cilik membisiki Toan Ki, "Orang jahat yang menjotos engkau itu segera akan mampus!"

"Sebab apa?" tanya Toan Ki terheran-heran.

"Di atas panah dan surat itu beracun semua," sahut si gadis.

"Masakah begitu lihai?" ujar Toan Ki.

Sementara itu terdengar Jin-kiat membaca isi surat yang telah dibukanya itu, "Sin-long-pang memberitahukan pada Co ...." ia merandek karena tidak berani menyebut nama sang guru, lalu melanjutkan, "... kalian diberi tempo dalam satu jam, seluruhnya harus keluar dari Kiam-oh-kiong, masing-masing mengutungi tangan kanan sendiri. Kalau tidak, sebentar seantero isi istanamu, tua-muda, besar-kecil, ayam dan anjing pun tak terkecuali dari kematian."

"Hm, Sin-long-pang itu macam apa, begitu besar mulutnya!" jengek Liu Cu-hi, itu jago dari Tiam-jong-pay.

Sekonyong-konyong terdengar suara gedebukan, tahu-tahu Kiong Jin-kiat roboh terjungkal.

Saat itu Kam Jin-ho masih berdiri di samping sang Sute, ia berteriak kaget, "Sute!"

Segera ia bermaksud membangunkan saudara seperguruannya itu.

Namun Co Cu-bok keburu menyela maju, ia dorong Jin-ho ke samping sambil membentak, "Jangan sentuh tubuhnya! Mungkin beracun."

Benar juga, muka Kiong Jin-kiat tampak berkerut-kerut kejang, tangan yang memegang surat tadi dalam sekejap saja sudah berubah hitam hangus, sekali kedua kakinya berkelejet, putuslah napasnya.

Tiada satu jam lamanya, beruntun Bu-liang-kiam sekte timur sudah kematian dua jago pilihannya. Keruan para tokoh silat yang hadir di situ sama terkesiap.

"Apakah kau pun orang Sin-long-pang?" tiba-tiba Toan Ki tanya si dara cilik dengan perlahan.

"Hus, jangan kau sembarangan omong!" semprot si gadis.

"Habis, dari mana kau tahu panah dan surat itu beracun?" tanya Toan Ki.

Gadis itu tertawa, sahutnya, "Cara memberi racun itu terlalu kasar, lamat-lamat di atas panah dan surat itu kelihatan ada selapis sinar fosfor. Caranya ini hanya bisa mencelakai orang yang goblok saja."

Ucapan terakhir si gadis itu sengaja dibikin keras sehingga dapat didengar oleh semua orang di dalam ruangan.

Segera Co Cu-bok memeriksa panah dan surat tadi, tapi tak terlihat sesuatu. Waktu diawasi dari samping, benar juga lamat-lamat kelihatan gemerdepnya sinar fosfor.

"Siapakah she dan nama nona yang mulia?" segera Cu-bok tanya si gadis.

"She dan namaku yang mulia tak bisa kukatakan padamu, itu artinya rahasia tak boleh dibongkar," sahut si gadis.

Dalam keadaan tertimpa malang, mendengar pula ucapan si gadis yang menggoda itu, sedapatnya Co Cu-bok menahan perasaannya dan coba tanya pula, "Jika begitu, siapakah ayahmu dan siapa gurumu? Dapatkah memberi tahu."

"Haha, jangan kira aku bisa kau tipu," sahut si gadis dengan tertawa. "Kalau kukatakan siapa ayahku, tentu kau tahu aku she apa dan mudahlah menyelidiki namaku yang mulia. Tentang guruku ialah ibuku, nama ibuku lebih-lebih tak boleh kuberi tahukan pada orang luar."

Diam-diam Co Cu-bok mengingat-ingat siapakah gerangan tokoh persilatan di Hunlam yang suka piara ular. Tapi seketika ia pun tak ingat, sebab daerah Hunlam yang terkenal banyak pegunungan dan hutan belukar, di mana-mana banyak terdapat ular, begitu pula orang yang piara ular.

Segera Be Ngo-tek tanya Leng-siau-cu, "Leng-toheng, tadi kau sebut 'Uh-hiat-su-leng' segala, apakah itu artinya?"

"Apa? Ah, kapan aku berkata demikian? Entahlah aku tidak tahu," sahut Leng-siau-cu.

Sebagai seorang kawakan Kangouw, maka tahulah Be Ngo-tek pasti Leng-siau-cu sangat jeri terhadap 'Uhhiat-su-leng' yang disebutnya itu, sudah terang tadi tercetus dari mulutnya istilah itu, tapi kini tidak mengaku, tentu ada udang dibalik batu. Maka ia pun tidak tanya lebih jauh.

Dalam pada itu Co Cu-bok berkata pula terhadap si gadis, "Jika nona tidak sudi memberi tahu, ya sudahlah. Silakan turun saja untuk berunding, Sin-long-pang melarang setiap orang turun gunung, tentu kau pun akan dibunuh mereka."

"Hah, tidak nanti mereka berani membunuhku," sahut si gadis tertawa, "mereka hanya membunuh orang Buliang-kiam. Justru ketika mendengar berita itu sengaja kudatang kemari untuk menonton pembunuhan. Hai, kakek jenggot, ilmu pedang kalian lumayan juga, tapi tidak bisa menggunakan racun, pasti bukan tandingan Sin-long-pang!"

Apa yang dikatakan si gadis itu tepat mengenai titik kelemahan golongan "Bu-liang-kiam." Kalau saling gebrak dengan kepandaian sejati, Kungfu Tang-cong dan Se-cong dari Bu-liang-kiam, serta delapan jago

terkemuka yang diundang datang sebagai juri itu, betapa pun takkan gentar terhadap Sin-long-pang, tapi kalau bicara tentang menggunakan racun dan menawarkannya, semuanya memang tidak becus.

Diam-diam Co Cu-bok mendongkol mendengar ucapan si gadis bahwa kedatangannya itu ingin menonton pembunuhan, seakan-akan makin banyak orang Bu-liang-kiam yang mati terbunuh, akan membuat hatinya semakin senang.

Maka ia menjengek sekali, lalu bertanya pula, "Berita apakah yang didengar nona di tengah jalan?"

Sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka, dia sudah biasa memerintah, maka ucapannya itu seakan-akan mengharuskan si gadis lekas menjawabnya.

Tak terduga, tiba-tiba dara cilik itu berkata, "Eh, kau suka makan kuaci tidak?"

Keruan Co Cu-bok semakin panas hatinya, coba kalau tidak lagi menghadapi musuh besar di luar sana, tentu sejak tadi ia sudah memberi hajaran pada anak dara itu, sedapatnya ia menahan gusar, sahutnya, "Tidak suka!"

"Kuaci apakah itu?" mendadak Toan Ki menimbrung. "Apakah digoreng dengan bawang? Atau gorengan Ngohiang? Atau bumbu vanili? Tampaknya enak juga."

"Aneh, masa begitu banyak juga cara menggoreng kuaci?" sahut si gadis. "Aku tidak tahu kuaci ini digoreng dengan bumbu apa. Yang terang, ibuku menggoreng kuaci ini dengan empedu ular. Kalau sering makan akan membikin mata terang dan otak tajam. Kau mau mencicipi?"

Habis berkata, terus saja ia meraup segenggam dan ditaruh di tangan Toan Ki.

Mendengar kuaci gorengan empedu ular, rasa hati Toan Ki menjadi mual.

"Kalau tidak biasa, memang rasanya sedikit pahit," ujar si gadis lagi. "Padahal enak dan gurih sekali."

Merasa tidak enak untuk menolak maksud baik si gadis, Toan Ki coba-coba menyisil sebiji kuaci itu, begitu menempel bibir, rasanya memang sedikit pahit, tapi sesudah disisil dan dikunyah, eh, rasanya benar gurih dan lezat, berbau harum pula. Terus saja ia menyisil kuaci itu tanpa berhenti.

Kulit kuaci satu per satu ia taruh di atas belandar, sebaliknya dara cilik itu tidak peduli, ia semburkan kulit kuaci sekenanya, keruan kulit kuaci itu beterbangan di atas kepala para jago silat itu hingga mereka sibuk menghindar sambil berkerut kening.

Maka Co Cu-bok bertanya lagi, "Berita apakah yang didengar nona di tengah jalan? Jika sudi memberi tahu, Cayhe pasti sangat berterima kasih."

"Kudengar orang Sin-long-pang bicara tentang 'Bu-liang-giok-bik' segala. Permainan macam apakah itu?" kata si gadis.

Co Cu-bok terkesiap mendengar itu, segera ia menjawab, "Bu-liang-giok-bik? Apakah maksudnya ada sesuatu Giok-bik (batu jade mestika) di Bu-liang-san sini? Hal ini tidak pernah kudengar. Apakah engkau pernah mendengarnya, Siang-jing Sumoay?"

Belum lagi Siang-jing menjawab, cepat si gadis memotong, "Sudah tentu ia pun tidak pernah mendengar! Hm, tak perlu kalian main sandiwara. Kalau tidak mau bicara, terus terang saja bilang tidak. Huh, siapa yang ingin tahu?"

Co Cu-bok serbarunyam, diam-diam ia mengakui kelihaian dara cilik itu. Segera ia berkata pula, "Ah, ingatlah aku sekarang! Apa yang dimaksudkan Sin-long-pang itu mungkin adalah Keng-bin-ciok (batu bermuka cermin) yang terdapat di puncak tertinggi dari Bu-liang-san ini. Batu itu halus dan licin bagai kaca, maka orang mengatakannya sebagai batu mestika. Padahal hanya sepotong batu biasa yang putih dan licin saja."

"Jika begitu, kenapa tadi tidak kau katakan terus terang?" ujar si gadis. "Lalu cara bagaimana kalian ikat permusuhan dengan Sin-long-pang? Sebab apa mereka hendak membasmi Bu-liang-kiam kalian hingga ayam dan anjing pun tak terkecuali?"

Sungguh konyol, pikir Co Cu-bok. Sebagai tuan rumah, masakah dia yang ditanyai seorang gadis cilik bagai terdakwa di pengadilan saja. Tapi karena ingin tahu berita apa yang didengar orang di tengah jalan, mau tak mau ia harus menjawab lebih dulu. Maka katanya, "Harap nona turun dahulu, nanti kuterangkan dengan jelas."

"Menerangkan dengan jelas kukira tidak perlu," sahut si gadis sambil kedua kakinya membuai ke depan dan ke belakang, "toh apa yang kau katakan meski ada yang benar, tapi juga banyak yang dusta, paling-paling aku hanya percaya tiga bagian saja. Maka bolehlah kau bicara sesukamu."

"Begini," tutur Co Cu-bok kewalahan, "tahun yang lalu, Sin-long-pang kutolak cari bahan obat di belakang gunung kami ini, tapi diam-diam mereka datang mencuri dan dipergoki oleh Suteku Yong Goan-kui bersama beberapa anak muridku. Ketika ditegur, mereka menjawab, 'Di sini toh bukan istana raja atau taman kaisar, kenapa orang luar dilarang kemari, memangnya Bu-liang-san sudah dikontrak oleh Bu-liang-kiam kalian?' Karena percekcokan mulut itu, akhirnya saling gebrak, tanpa ampun Yong-sute telah membunuh dua orang mereka. Waktu itu tiada seorang pun yang tahu bahwa satu di antara korban itu adalah putra tunggal Sikongpangcu dari Sin-long-pang. Maka permusuhan itu tak dapat dihindarkan lagi. Belakangan terjadi saling tempur pula di tepi sungai Lanjong dan kedua pihak jatuh korban beberapa jiwa."

"O, kiranya begitu," ujar si gadis. "Daun obat apakah yang mereka petik?"

"Itulah kurang terang," sahut Cu-bok.

"Hm, apa benar kurang terang?" jengek si gadis. "Bukankah bahan obat yang hendak mereka petik itu adalah rumput Tulah. Maka mereka mengatakan akan membabat habis rumput Tulah di Bu-liang-san ini sampai akarakarnya, sebatang pun takkan ditinggalkan."

"Kiranya nona lebih jelas daripadaku," kata Cu-bok.

Tiba-tiba gadis itu memegang lengan kanan Toan Ki sambil berkata, "Marilah kita turun!"

Berbareng ia melompat ke bawah.

Keruan Toan Ki menjerit kaget, namun tubuhnya sudah terapung di udara. Syukurlah gadis itu dapat membawanya ke tanah dengan enteng tanpa kurang apa pun sembari tetap memegangi lengan kanannya. Kata gadis itu pula, "Marilah kita keluar sana, coba lihat berapa banyak orang Sin-long-pang yang datang."

"Nanti dulu," cepat Co Cu-bok melangkah maju, "apa yang kutanya tadi, nona kan belum menjawab?"

"Buat apa kuberi tahukan padamu? Pula aku kan tidak berjanji akan menjelaskan?" sahut si gadis.

Cu-bok pikir memang benar orang tidak pernah berjanji akan menjawab pertanyaannya tadi. Tapi mana boleh orang keluar-masuk sesukanya di rumahnya ini? Walaupun saat itu Bu-liang-kiam sedang menghadapi musuh di depan rumah, namun dengan watak Co Cu-bok yang tinggi hati itu, tidak rela rasanya dipermainkan seorang nona cilik tanpa bisa berbuat apa-apa. Maka begitu mengadang di depan si gadis dan Toan Ki, katanya pula,

"Kalian keluar begini saja, kalau terjadi apa-apa, Bu-liang-kiam kami tentu merasa tidak enak."

"Kenapa kau khawatir?" sahut si gadis dengan tersenyum. "Aku toh bukan tamu undanganmu, kau pun tidak kenal she dan namaku yang mulia. Jika aku terbunuh oleh orang Sin-long-pang, ayah-bundaku juga takkan menyalahkan kalian."

Habis berkata, ia tarik Toan Ki terus melangkah keluar.

"Berhenti dulu, nona!" cepat Cu-bok merintangi, tahu-tahu tangannya sudah menghunus pedang.

"Eh, apa kau ingin berkelahi?" tanya si gadis.

"Cayhe ingin berkenalan dengan ilmu silat nona agar kelak dapat dipertanggungjawabkan kalau berjumpa dengan ayah-ibumu," kata Cu-bok sambil melintangkan pedang.

"Wah, kakek jenggot ini akan membunuh aku, bagaimana baiknya menurut pendapatmu?" tanya si gadis pada Toan Ki.

"Terserah padamu," sahut Toan Ki sembari mengipas.

"Apabila aku terbunuh, lantas bagaimana baiknya?"

"Ada rezeki kita rasakan bersama, ada malang kita tanggung berbareng. Kuaci kita makan bersama, pedang kita terima serentak!"

"Bagus, ucapanmu ini sangat tegas," ujar si gadis. "Engkau sangat baik, tidak percuma perkenalan kita ini. Marilah pergi!"

Segera ia tarik Toan Ki keluar, terhadap senjata Co Cu-bok yang kemilauan itu seakan-akan tak dihiraukannya.

Tanpa bicara lagi Cu-bok geraki pedang terus menusuk bahu kiri si gadis. Ia tidak bermaksud melukai orang, tujuannya cuma untuk merintangi kepergian kedua muda-mudi itu.

Mendadak tangan si gadis menarik pinggang, tahu-tahu seutas tali hijau menyambar ke pergelangan Co Cubok.

Dalam kagetnya cepat Cu-bok menarik kembali tangannya, tak terduga tali hijau itu adalah benda hidup, datangnya juga cepat luar biasa, tangan Cu-bok terasa sakit kena digigit sekali oleh Jing-leng-cu. "Trang", pedang jatuh ke lantai.

Habis menggigit musuh, cepat Jing-leng-cu merayap ke tanah, beberapa kali mengesot, pedang yang jatuh itu telah dililitnya, terdengarlah suara "pletak" beberapa kali, pedang panjang itu patah menjadi beberapa bagian.

Ternyata Jing-leng-cu itu adalah semacam ular aneh yang sangat lihai, kulitnya keras melebihi baja, ditambah lagi dalam asuhan ayah-bunda si gadis dalam waktu panjang, maka berubahlah semacam senjata hidup yang sangat hebat.

Kalau bicara tentang ilmu silat sejati, terang si gadis yang berusia kira-kira 16-17 tahun itu bukan tandingan Co Cu-bok. Tapi "senjata hidup" si gadis terlalu aneh dan gesit, Co Cu-bok diserang dalam keadaan tidak berjagajaga hingga pedangnya jatuh dan terlilit patah.

Biasanya Bu-liang-kiam memandang pedang mereka sebagai jiwa sendiri, kalau senjata itu kena dipatahkan atau direbut musuh, itu berarti ludeslah seluruh modal mereka. Meski gebrakan tadi sangat di luar dugaan dan tak bisa dianggap kalah bertanding, tapi dengan kedudukan Co Cu-bok sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan, ia tidak boleh ngotot merintangi orang lagi. Ia memegang pergelangan tangan sendiri dengan erat, khawatir racun ular menjalar ke dalam tubuh.

"Kalau ingin jiwa selamat, lekas kau menggodok tiga mangkuk besar air rumput Tulah dan diminum sekaligus, dalam waktu dua jam, harus merebah di ranjang, sedikit pun tidak boleh bergerak," demikian kata si gadis. Dan sesudah keluar, dengan tertawa ia berkata pada Toan Ki dengan perlahan, "Jing-leng-cu ini sebenarnya tak berbisa, tapi kakek jenggot itu pasti ketakutan setengah mati. Ilmu silat si tua itu sangat tinggi, kalau dia mengejar, aku tak mampu melawannya."

Sungguh kagum sekali Toan Ki, katanya, "Aku tidak bisa ilmu silat, makanya dianiaya orang!"

Sembari berkata, ia raba-raba pipi sendiri yang masih sakit pedas. Lalu menyambung pula, "Apabila aku pun mempunyai Jing-leng-cu seperti ini, tentu aku tidak takut lagi pada segala macam manusia jahat. Nona baik, bilakah kau mau menangkapkan seekor juga untukku?"

"Untuk menangkap seekor lagi cukup sulit," sahut si gadis. "Sayang ular ini bukan milikku, kalau punyaku, tentu akan kuhadiahkan padamu. Ini adalah milik Encekku (paman), kubawanya buat main-main, setelah pulang nanti harus kukembalikan padanya."

"Eh, she dan namamu yang mulia tak mau kau katakan kepada kakek jenggot, tentunya tidak keberatan diperkenalkan padaku, bukan?" tanya Toan Ki.

"She dan nama yang mulia apa segala?" sahut si gadis dengan tertawa. "Aku she Ciong, ayah-ibuku memanggil aku 'Ling-ji' (anak Ling). Marilah kita duduk di lereng bukit situ, katakan, untuk apa kau datang ke Bu-liangsan sini?"

Kedua muda-mudi itu lalu menuju ke lereng bukit di sebelah barat-laut sana, sembari berjalan Toan Ki sambil berkata, "Aku mengeluyur sendiri dari rumah dan terluntang-lantung ke mana-mana. Ketika tiba di kota Bohni, aku kehabisan sangu, aku datang ke rumah orang yang bernama Be Ngo-tek itu untuk makan gratis. Belakangan kudengar dia hendak ke Bu-liang-san sini, karena iseng, aku lantas minta ikut kemari."

Ciong Ling manggut-manggut, tanyanya pula, "Sebab apa kau larikan diri dari rumah?"

"Ayah-ibu suruh aku belajar silat, aku tidak mau. Mereka mendesak terus, aku lantas minggat."

Dengan mata terbelalak heran, Ciong Ling mengamat-amati Toan Ki, katanya kemudian, "Sebab apa engkau tidak mau belajar silat? Takut menderita?"

"Masa aku takut menderita?" sahut Toan Ki. "Telah kupikir pergi-datang dan tetap tidak paham. Kemudian bertengkar pula dengan Empekku. Aku dipersalahkan oleh ayah dan disuruh minta maaf pada Empek, tapi aku enggan karena merasa tak salah, lantaran itu ibu bertengkar juga dengan ayah ...."

"Ibumu tentu simpati pada pihakmu, bukan?" tanya Ciong Ling.

"Ya," sahut Toan Ki.

Ciong Ling menghela napas, katanya, "Ibuku juga begitu terhadapku."

Ia termenung sejenak memandang ke arah barat, lalu tanya lagi, "Soal apa yang kau pikirkan dan merasa tidak paham?"

"Sejak kecil aku sudah ditahbiskan ke dalam agama Buddha," tutur Toan Ki. "Ayah telah mengundang seorang guru memberi pelajaran membaca Su-si-ngo-keng (empat buku dan lima kitab) dan menggubah syair. Mengundang pula seorang paderi saleh mengajar agama padaku. Selama belasan tahun yang kupelajari melulu hal larangan membunuh, pantang gusar, harus welas asih dan macam-macam lagi. Ketika tiba-tiba ayah suruh aku belajar silat, belajar cara memukul dan membunuh orang, tentu saja aku merasa enggan. Ayah menuduh aku membangkang perintah orang tua, Empek berdebat sehari semalam denganku, dan aku tetap tidak tunduk."

"Lantas Empekmu marah-marah dan tinggal pergi, bukan?"

"Empekku tidak marah-marah dan tinggal pergi, tapi jarinya menutuk dua kali di badanku, seketika badanku terasa seakan-akan digigit beratus ribu semut serta serupa beribu lintah lagi mengisap darahku. Kata Empek, 'Enak tidak perasaan begini? Aku adalah pamanmu, sebentar tentu akan lepaskan Hiat-to yang kututuk, tapi kalau musuh yang menutukmu, tentu kau akan dibikin mati tidak hidup pun tidak. Dan kau boleh coba membunuh diri.' Sudah tentu aku tak dapat bunuh diri, pula aku takkan bunuh diri, cukup hidup senang, buat apa bunuh diri?"

Semula Ciong Ling termangu-mangu mendengarkan, tiba-tiba ia berseru keras, "Hah, Empekmu mahir ilmu Tiam-hiat? Bukankah ia menggunakan sebuah jari dan menutuk sesuatu tempat di tubuhmu, dan engkau lantas tak bisa berkutik?"

"Benar, kenapa mesti heran?" ujar Toan Ki.

Kejut dan heran meliputi perasaan Ciong Ling, sahutnya, "Kau bilang kepandaian itu tidak mengherankan? Padahal setiap orang Bu-lim, asal mendapatkan ajaran sedikit ilmu Tiam-hiat, biarkan kau suruh dia menjura seribu kali juga dia mau. Tapi kau sendiri justru tidak mau belajar, ini sungguh aneh luar biasa."

"Kulihat ilmu Tiam-hiat itu pun tiada sesuatu yang hebat," sahut Toan Ki.

Ciong Ling menghela napas, katanya, "Kata-katamu ini jangan lagi kau ucapkan, lebih-lebih jangan sampai diketahui oleh orang lain."

"Sebab apa?" tanya Toan Ki terheran-heran.

"Kalau kau tidak mahir ilmu silat, tentu banyak urusan Kangouw yang belum kau ketahui," sahut si gadis. "Ilmu Tiam-hiat keluarga Toan kalian tiada bandingannya di kolong langit ini, yaitu disebut 'It-yang-ci'. Setiap orang persilatan pasti mengiler bila mendengar nama ilmu itu, mungkin tak bisa tidur sebulan-dua bulan mengaguminya. Apabila ada yang tahu ayah dan pamanmu mahir ilmu itu, boleh jadi ada orang jahat akan menculik kau dan minta ayahmu atau pamanmu menukar dirimu dengan kitab pelajaran It-yang-ci itu. Jika terjadi demikian, lantas bagaimana?"

"Jika benar terjadi, menurut watak pamanku yang keras itu, pasti dia akan melabrak si penculik itu."

"Makanya," kata Ciong Ling, "berkelahi tanpa tujuan dengan keluarga Toan kalian tentu orang tidak berani. Tetapi untuk kitab pelajaran It-yang-ci, segala apa mungkin terjadi. Apalagi kalau kau jatuh di tangan orang, urusan tentu akan sulit diselesaikan. Maka begini saja baiknya, selanjutnya kau jangan mengaku she Toan."

"Aku tidak she Toan, lalu she apa?" ujar Toan Ki. "Padahal orang she Toan beratus ribu banyaknya di daerah Hunlam ini, belum tentu setiap orangnya mahir ilmu Tiam-hiat."

"Sementara ini boleh kau pakai she sama dengan aku," ujar si gadis.

"Baik juga," sahut Toan Ki tertawa. "Dan engkau harus panggil aku Toako. Berapa umurmu?"

"Enam belas," sahut Ciong Ling. "Dan kau?"

"Aku lebih tua tiga tahun daripadamu," sahut Toan Ki.

Ciong Ling memungut sehelai daun kering, sambil merobek daun itu sedikit demi sedikit, tiba-tiba ia goyang kepala.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya si pemuda.

"Aku tetap tak percaya bahwa engkau tidak mau belajar It-yang-ci," sahut Ciong Ling. "Kau sengaja dusta, bukan?"

Toan Ki tertawa, katanya, "Kau pandang It-yang-ci sedemikian hebatnya, memangnya ilmu itu bisa bikin perut

menjadi kenyang? Aku justru anggap Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu milikmu ini jauh lebih berguna."

"Kuharap mudah-mudahan aku bisa menukar beberapa ular ini dengan ilmu kepandaian keluargamu itu." ujar si gadis. "Cuma sayang, engkau tak bisa It-yang-ci, sebaliknya ular-ular ini pun bukan punyaku."

"Gadis sekecil dirimu ini, kenapa yang kau pikir melulu urusan berkelahi dan membunuh orang saja?"

"Kau benar-benar tidak tahu atau sengaja berlagak dungu?"

"Apa maksudmu?" tanya Toan Ki bingung.

"Lihatlah itu!" kata si gadis sambil menunjuk ke arah timur.

Menurut arah yang ditunjuk, Toan Ki melihat di pinggang gunung arah timur itu mengepul belasan gumpal asap hijau, ia tidak paham apa maksud si gadis.

"Coba, meski kau tidak ingin memukul atau membunuh orang, tapi orang lain justru akan menghajar dan membunuhmu," kata Ciong Ling pula, "lalu apa kau rela dibinasakan orang? Asap hijau itu adalah tanda orang Sin-long-pang lagi menggodok racun untuk melayani Bu-liang-kiam nanti. Kuharap semoga diam-diam kita dapat mengeluyur pergi dari sini agar tidak ikut tersangkut."

Toan Ki kebas-kebas kipasnya dan merasa kurang tepat ucapan si gadis, katanya, "Cara perkelahian orang Kangouw seperti ini makin lama makin tidak pantas. Orang Bu-liang-kiam telah membunuh putra Sikongpangcu dari Sin-long-pang, tapi kini itu Yong Goan-kui juga sudah dibinasakan mereka. Bahkan ditambah dengan Kiong Jin-kiat yang menempeleng aku itu. Balas-membalas, seharusnya sudah selesai. Seumpama masih ada sesuatu yang tidak adil, seharusnya melapor pada pembesar negeri dan minta diberi keputusan secara bijaksana, mana boleh bertindak dan menjadi hakim sendiri sesukanya? Memangnya negeri Tayli kita ini dianggap sudah tidak punya undang-undang lagi?"

"Ck, ck, ck!" mulut Ciong Ling berkecek-kecek, "mendengar ucapanmu ini seakan-akan kau ini tuan besar atau bangsawan yang berkuasa. Bagi rakyat jelata kita justru tidak urus segala tetek bengek itu."

Ia menengadah, lalu tuding ke arah barat-daya dan berkata pula, "Sebentar kalau hari sudah gelap diam-diam kita mengeluyur pergi dari situ, tentu orang Sin-long-pang takkan pergoki kita."

"Tidak!" seru Toan Ki mendadak. "Aku harus menemui Pangcu mereka untuk memberi petuah dan ceramah padanya, tidak boleh mereka sembarangan membunuh orang."

Ciong Ling merasa kasihan pada pemuda yang polos ketolol-tololan itu, katanya, "Toan-heng, engkau ini benar-benar tidak kenal tebalnya bumi dan tingginya langit. Pangcu dari Sin-long-pang itu, Sikong Hian, orangnya kejam dan ganas, suka main racun, berbeda daripada orang Bu-liang-kiam. Maka lebih baik kita jangan cari perkara, lekas pergi dari sini saja."

"Tidak, urusan ini aku harus ikut campur, jika kau takut, bolehlah kau tunggu aku di sini," sembari berkata, terus saja Toan Ki melangkah ke arah timur.

Ciong Ling memandangi kepergian pemuda itu, setelah beberapa tombak jauhnya, mendadak ia memelesat maju mengejar, ia jambret pundak Toan Ki, menyusul kaki menjegal, pemuda itu disengkelit ke depan.

Waktu tiba-tiba mendengar suara tindakan orang dari belakang, selagi Toan Ki hendak menoleh, tahu-tahu pundak dicengkeram orang, bahkan kaki keserimpet dan tubuh terus terjerungup terbanting ke depan. Keruan hidungnya mencium tanah dan bocor, keluar kecapnya.

Dengan meringis Toan Ki merangkak bangun, dan demi mengetahui orang yang menghajarnya itu adalah Ciong Ling, ia menjadi gusar, katanya, "Kenapa kau begini nakal, apa tidak sakit orang kau banting?"

"Aku hanya ingin mencoba lagi apakah engkau hanya pura-pura atau sungguh-sungguh tak mahir ilmu silat," sahut Ciong Ling. "Maksudku adalah demi kebaikanmu."

Ketika Toan Ki mengusap hidungnya, tangannya lantas berlepotan darah, bahkan darah terus menetes hingga dadanya merah dan kuyup. Sebenarnya lukanya sangat enteng, tapi melihat sekian banyak darah mengalir, terus saja ia berkaok-kaok, "Aduh, aduuuh!"

Ciong Ling menjadi rada khawatir, cepat ia keluarkan saputangan hendak mengelap darah orang. Tapi Toan Ki kadung mendongkol, tanpa pikir ia mendorong dan berkata, "Tidak perlu kau ambil hatiku, aku tak mau gubris padamu lagi."

Karena tak mahir ilmu silat, maka cara mendorong Toan Ki hanya sekenanya saja, siapa tahu justru menyentuh dada si gadis. Keruan Ciong Ling kaget, tanpa pikir dan dengan sendirinya ia pegang tangan si pemuda, sekali ditarik terus disengkelit dengan gaya judo, kembali Toan Ki terbanting pula, batok kepala belakang terbentur batu, seketika jatuh semaput.

Melihat pemuda itu menggeletak tak berkutik, Ciong Ling membentaknya, "Ayo lekas bangun, aku ingin bicara padamu!"

Tapi ia lantas gugup ketika melihat Toan Ki tetap tak bergerak, ia berjongkok dan memeriksa, ia lihat kedua mata anak muda itu mendelik, napasnya lemah, orangnya sudah kelengar. Lekas-lekas ia memijat Jin-tiong-hiat bagian atas bibir serta mengurut dada si pemuda.

Selang agak lama, perlahan barulah Toan Ki siuman. Ia merasa dirinya bersandar di tempat yang empuk, hidungnya mengendus bau wangi pula, ia membuka mata dan melihat sepasang mata-bola Ciong Ling yang jeli bening itu lagi memandangnya dengan rasa khawatir.

Melihat Toan Ki sudah siuman, Ciong Ling menghela napas lega, "Ah, syukurlah engkau tidak mati."

Melihat dirinya bersandar di pangkuan si gadis, tanpa merasa hati Toan Ki terguncang, tapi segera terasa batok kepala belakang masih kesakitan, kembali ia berkaok-kaok sakit.

Ciong Ling terkejut oleh kelakuan Toan Ki itu, "Kenapa?" tanyanya.

"Aku ... aku kesakitan!" sahut Toan Ki.

"Hanya sakit, kan tidak mati, kenapa berkaok-kaok?"

"Jika mati, masakah bisa berkaok-kaok?"

Ciong Ling mengikik tawa, ia merasa salah tanya. Ia coba angkat kepala Toan Ki, ternyata di bagian belakang benjol sebesar telur ayam, cuma tidak mengeluarkan darah, namun sakitnya tentu tidak kepalang. Maka katanya setengah mengomel, "Habis, siapa suruh kau berlaku rendah. Apabila orang lain, mungkin kontan sudah kubunuh, tapi kau hanya terbanting saja, masih murah bagimu."

Toan Ki bangun duduk, tanyanya dengan heran, "Aku berbuat ren ... rendah bagaimana? Kapan terjadi? Inilah fitnah belaka!"

Dasar perasaan gadis remaja seperti Ciong Ling yang baru mulai bersemi, terhadap urusan laki-perempuan baru taraf paham tak-paham, ia menjadi jengah oleh sangkalan Toan Ki itu, katanya dengan wajah merah, "Tak dapat kukatakan, pendek kata kau yang salah, siapa suruh kau mendorong ... mendorong sini."

Baru sekarang Toan Ki paham duduknya perkara, ia merasa kikuk, ingin dia jelaskan, tapi sukar mengucapkannya.

Maka Ciong Ling berkata lagi, "Syukur akhirnya kau siuman, bikin aku khawatir saja."

"Tadi di Kiam-oh-kiong, kalau kau tidak menolong aku, pasti aku akan dipersen dua kali tempelengan lebih banyak. Kini kau membanting dua kali diriku, biarlah kuanggap kelop, siapa pun tidak utang. Agaknya memang sudah suratan nasibku, tak bisa terhindar dari malapetaka ini."

"Demikian ucapanmu, jadi kau gusar padaku?" tanya si gadis.

"Memangnya orang sudah dipukul harus memuji dan berterima kasih pula padamu?" sahut Toan Ki.

"Ya, sudahlah, selanjutnya aku takkan pukul kau lagi," kata Ciong Ling dengan menyesal sambil memegang tangan si pemuda. "Sekarang kau tidak marah lagi, bukan?"

"Tidak, kecuali kalau aku pun balas memukulmu dua kali," ujar Toan Ki.

Ciong Ling tidak lantas menjawab, ia merasa enggan dipukul orang. Tapi demi tampak pemuda itu hendak tinggal pergi lagi dengan marah, cepat ia tegakkan leher dan berkata, "Baiklah, boleh kau pukul aku dua kali. Tapi ... tapi jangan keras-keras, ya!"

"Tidak bisa," kata Toan Ki. "Kalau tidak keras, mana bisa dianggap membalas dendam. Maka pukulanku sudah pasti sangat keras. Jika kau tidak tahan, lebih baik jangan."

Ciong Ling menghela napas, ia pejamkan mata dan berkata lirih, "Baiklah! Tapi ... tapi sesudah memukul, engkau jangan marah lagi!"

Namun sesudah ditunggu dan tunggu lagi, tangan Toan Ki masih belum juga terasa memukulnya. Waktu

membuka mata, ia lihat pemuda itu lagi memandang kesima padanya dengan wajah tertawa bukan-tertawa padanya. Ia menjadi heran, tanyanya, "He, kenapa kau tidak memukul?"

Tiba-tiba Toan Ki menyelentik perlahan dua kali di pipi Ciong Ling, katanya, "Hanya dua kali selentikan saja dan impas."

Ciong Ling tertawa manis, serunya, "Memang aku sudah tahu engkau orang baik"

Untuk sekian lamanya Toan Ki kesengsem menghadapi gadis jelita yang hanya belasan senti di depannya itu, makin dipandang makin cantik, bau harum gadis sayup-sayup menyusup hidungnya, berat nian untuk meninggalkannya pergi. Akhirnya ia berkata, "Sudahlah, sekarang sakit hatiku sudah terbalas, kini aku hendak pergi mencari Sikong Hian dari Sin-long-pang itu."

Jilid 02
"Jangan bodoh!" cepat Ciong Ling mencegah. "Urusan orang Kangouw sedikit pun engkau tidak paham, kalau sampai bikin sirik orang, aku takkan mampu menolongmu."

"Jangan khawatir bagiku" sahut Toan Ki. "Kau tunggu saja di sini, sebentar aku akan kembali."

Habis berkata, dengan langkah lebar ia terus bertindak ke arah asap tebal sana.

Ciong Ling berteriak mencegahnya lagi, dan Toan Ki tetap tidak menurut.

Setelah tertegun sejenak, mendadak gadis itu berseru, "Baiklah, engkau pernah menyatakan 'kuaci kita makan bersama, pedang kita terima serentak', biar kuikut bersamamu!"

Segera ia berlari menyusul Toan Ki dan berjalan berjajar dengan dia.

Tidak lama, dari depan tertampak memapak dua orang lelaki berbaju kuning. Seorang di antaranya yang lebih tua lantas membentak, "Siapa kalian? Mau apa datang ke sini?"

Dari jauh Toan Ki dapat melihat kedua orang itu sama memanggul sebuah kantong obat dan membawa golok lebar-pendek, segera sahutnya, "Cayhe bernama Toan Ki, ada urusan penting mohon bertemu dengan Sikongpangcu kalian."

"Urusan apa?" tanya lelaki tua tadi.

"Setelah bertemu dengan Pangcu kalian, dengan sendirinya akan kututurkan," kata Toan Ki.

"Saudara tergolong aliran mana, siapa gerangan gurumu?" tanya pula lelaki tua itu.

"Aku tidak termasuk sesuatu golongan dan aliran." sahut Toan Ki. "Guruku bernama Bing Sut-seng, beliau

khusus mempelajari Koh-bun-siang-si, dalam hal ilmu Kong-yang, dia juga mahir."

Kiranya guru yang dia maksudkan adalah guru yang mengajarkan dia membaca dan menulis. Tapi bagi pendengaran lelaki tua itu, istilah "Koh-bun-siang-si" (sastra kuno dan kitab baru) dan "Kong Yang" (cerita tentang kambing jantan) disangkanya dua macam ilmu silat yang sakti. Apalagi melihat Toan Ki mengipaskipas dengan sikap dingin, seakan-akan seorang yang memiliki ilmu kosen. Maka ia tidak berani sembrono lagi, walaupun tidak pernah mendengar ada seorang jago silat bernama Bing Sut-seng, tapi orang menegaskan mahir dalam macam-macam ilmu, tentunya bukan membual belaka. Cepat ia berkata, "Jika demikian, harap Toan-siauhiap tunggu sebentar, akan kulaporkan Pangcu."

Habis itu, buru-buru ia tinggal pergi ke balik lereng gunung sana.

"Kau bohongi dia tentang Kong-yang dan Bo-yang (kambing jantan dan kambing betina) segala, ilmu macam apakah itu?" tanya Ciong Ling. "Sebentar jika Sikong Hian hendak mengujimu, mungkin sukar bagimu menjawabnya."

"Seluruh isi Kong-yang-toan (kitab cerita tentang kambing jantan) sudah kubaca hingga hafal, kalau Sikong Hian mengujiku, tidak nanti aku kewalahan," sahut Toan Ki.

Ciong Ling terbelalak bingung oleh jawaban yang tak keruan juntrungannya. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Kong-yang-toan itu adalah nama kitab sastra karya Kong-yang Ko di zaman Chun-chiu.

Sementara itu tertampak lelaki tua tadi telah kembali dengan muka masam, katanya pada Toan Ki, "Tadi kau sembarangan mengoceh apa, sekarang Pangcu memanggilmu."

Melihat gelagatnya, agaknya dia telah didamprat oleh sang Pangcu, Sikong Hian.

Toan Ki mengangguk dan ikut di belakang orang.

"Mari kutunjukkan jalan," kata lelaki tua itu sembari menarik tangan Toan Ki. Setelah berjalan beberapa tindak, perlahan ia kerahkan tenaga di tangan.

Keruan Toan Ki kesakitan, sambil merintih tertahan ia berkaok, "Aduh! Perlahan sedikit!"

Akan tetapi genggaman lelaki tua itu semakin kencang hingga mirip tanggam kuatnya. Saking tak tahan, akhirnya Toan Ki menjerit kesakitan.

Kiranya ketika lelaki itu menyampaikan tentang "Koh-bun-siang-si" dan "Kong-yang-toan" yang dikatakan Toan Ki tadi, ia telah didamprat sang Pangcu. Karena mendongkol, ia sengaja hendak mengukur ilmu silat Toan Ki. Di luar dugaan, baru sedikit meremas, pemuda itu sudah gembar-gembor kesakitan.

Segera ia bermaksud meremas patah beberapa tulang jari orang, tapi mendadak pergelangan tangan sendiri terasa "nyes" dingin seperti dibelit oleh sesuatu. "Krek", tahu-tahu tulang pergelangan tangannya patah.

Saking sakitnya, lelaki tua itu cepat memeriksa tangan sendiri, tapi tidak tampak sesuatu benda apa pun. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa diam-diam Ciong Ling yang telah membantu Toan Ki dengan melepaskan Jing-lengcu untuk mematahkan tulang tangannya, sebaliknya ia menyangka dari tangan Toan Ki yang telah timbul semacam tenaga getaran lihai. Dalam dongkolnya, timbul juga rasa jerinya, ia pikir Lwekang orang ini sedemikian hebatnya, kalau dirinya tidak kenal gelagat, boleh jadi akan lebih celaka lagi nanti.

Meski menanggung rasa sakit luar biasa hingga keringat dingin menetes dari jidatnya sebesar kedelai, namun lelaki itu masih berlagak kuat, sedikit pun tidak merintih sakit, tetap bertindak dengan langkah lebar seakanakan tidak terjadi sesuatu.

"Engkau ini sungguh orang kasar," Toan Ki mengomel, "orang berjabatan tangan kan tidak perlu menggunakan tenaga sebesar itu, kukira engkau tidak bermaksud baik."

Lelaki itu tidak menggubrisnya, ia percepat langkahnya dan membelok ke balik lereng sana.

Waktu Ciong Ling memandang, ia lihat di tengah gundukan batu padas sana berduduk lebih 20 orang. Ia sadar telah masuk ke sarang harimau, maka ia pun cepat menyusul rapat di belakang Toan Ki.

Setelah dekat, Toan Ki melihat di tengah gerombolan orang itu berduduk seorang kakek kurus kecil di atas batu padas yang paling tinggi, berjenggot macam kambing tua, sikapnya sangat angkuh. Pantas lelaki tadi didamprat ketika melaporkan ucapan Toan Ki tentang "cerita si kambing jantan" segala, sebab ternyata kakek kurus kecil itu berjenggot ala kambing.

Toan Ki tahu pasti kakek inilah Pangcu Sin-long-pang, Sikong Hian. Segera ia memberi hormat dan berkata, "Sikong-pangcu, terimalah hormatku, Toan Ki."

Sikong Hian hanya sedikit membungkukkan badan, tapi tidak berbangkit, tanyanya, "Ada urusan apa saudara datang ke sini?"

"Kabarnya kalian ada permusuhan dengan Bu-liang-kiam," tutur Toan Ki. "Cayhe sendiri hari ini telah menyaksikan kematian dua orang Bu-liang-kiam secara mengenaskan, karena tidak tega, maka sengaja datang kemari untuk memberi jasa baik. Hendaklah diketahui bahwa permusuhan lebih baik dilenyapkan daripada diperpanjang. Apalagi bunuh-membunuh dan berkelahi juga melanggar undang-undang negara, kalau diketahui pembesar setempat, pasti sama-sama tidak enak. Maka sudilah Sikong-pangcu membatalkan maksud kurang baik ini sebelum terlambat dan lekas-lekas pergi dari sini, jangan mencari perkara lagi kepada Bu-liang-kiam."

Dengan sikap dingin dan tak acuh Sikong Hian mendengarkan cerita Toan Ki itu tanpa komentar, ia hanya meliriknya.

Maka Toan Ki berkata lagi, "Apa yang kukatakan ini timbul dari maksud baikku, harap Pangcu suka pikirkan dengan baik."

Masih dengan sikap aneh Sikong Hian memandangi pemuda itu, mendadak ia terbahak-bahak, katanya, "Siapakah kau bocah ini berani bergurau dengan tuanmu? Siapa yang suruh kau ke sini?"

"Siapa yang suruh aku ke sini?" Toan Ki menegas. "Sudah tentu aku sendiri!"

"Hm," jengek Sikong Hian mendongkol. "Selama berpuluh tahun aku berkelana di Kangouw dan belum pernah kulihat seorang bocah bernyali sebesar kau ini hingga berani main gila padaku. A Toh, tangkap kedua bocah ini."

Segera seorang laki-laki tegap mengiakan dan melompat maju hendak mencengkeram lengan Toan Ki.

"Eeh, jangan!" seru Ciong Ling cepat. "Sikong-pangcu. Toan-siangkong ini menasihati engkau dengan maksud baik, jika tidak mau menurut boleh terserah, kenapa main kekerasan?"

Lalu ia berpaling pada Toan Ki dan berkata, "Toan-heng, jika Sin-long-pang tidak mau mendengar nasihatmu, kita juga tidak perlu ikut campur urusan orang lain. Marilah pergi!"

Akan tetapi lelaki tegap tadi sudah memegangi kedua tangan Toan Ki terus ditelikung ke belakang sambil menunggu perintah sang Pangcu lebih jauh. Keruan Toan Ki meringis kesakitan.

Maka Sikong Hian berkata pula dengan dingin, "Hm, Sin-long-pang justru tidak suka orang lain ikut campur urusannya, kalian berdua bocah ini anak siapa, masa boleh pergi datang sesukamu, ha? Pasti di balik layar ada sesuatu yang mencurigakan. A Hong, tawan sekalian anak perempuan itu!"

Kembali seorang laki-laki kekar lain mengiakan terus hendak menangkap Ciong Ling.

Namun sedikit mengegos mundur, Ciong Ling berkata pula, "Sikong-pangcu, jangan kira aku takut padamu. Soalnya ayahku melarang aku bikin onar di luaran, maka aku tidak suka cari perkara. Lekas suruh orangmu melepaskan Toan-heng itu, jangan kau paksa aku turun tangan, akibatnya pasti tidak enak."

"Hahaha, anak perempuan omong besar," Sikong Hian terbahak-bahak. "A Hong, lekas kerjakan!"

Kembali lelaki bernama A Hong mengiakan terus mencengkeram lengan Ciong Ling. Di luar dugaan, sekonyong-konyong telapak tangan kiri si gadis memotong ke kuduk A Hong. Cepat A Hong menunduk, namun celakalah dia, tahu-tahu kepalan kanan Ciong Ling secepat kilat menggenjot dari bawah ke atas, "plok", janggutnya tepat kena dipukul, tanpa ampun lagi tubuh A Hong segede kerbau itu mencelat dan jatuh terjengkang serta tak bisa berkutik.

"Ehm, tampaknya anak perempuan ini boleh juga," ujar Sikong Hian tawar, "tapi kalau hendak main gila dengan Sin-long-pang, rasanya belum cukup memadai."

Segera ia mengedipi seorang tua kurus tinggi di sampingnya.

Orang tua itu tinggi lencir mirip galah bambu, tanpa suara tahu-tahu ia sudah berada di depan Ciong Ling.

Lucu juga tampaknya kedua seteru itu, yang satu teramat tinggi, yang lain pendek, selisih kedua orang hampir setengah badan.

Segera kakek itu ulur kesepuluh jarinya yang mirip cakar burung terus mencengkeram pundak Ciong Ling.

Melihat serangan lawan cukup lihai, cepat Ciong Ling berkelit ke samping, jari kakek itu menyambar lewat di samping pipinya hingga terasa angin serangan itu sangat keras, diam-diam gadis itu terperanjat, serunya cepat, "Sikong-pangcu, lekas kau perintahkan orangmu berhenti. Bila tidak, jangan salahkan aku turun tangan keji, kelak kalau aku diomeli ayah-ibu, kau pun tidak terlepas dari tanggung jawab."

Sedang Ciong Ling berkata, sementara itu si kakek jangkung beruntun sudah menyerang tiga kali lagi, tapi selalu dapat dihindarkan si gadis pada saat berbahaya.

"Tangkap dia!" bentak Sikong Hian tanpa peduli teriakan Ciong Ling.

Segera si kakek jangkung menyerang pula, tangan kanan pura-pura menghantam, tahu-tahu tangan kiri mencengkeram lengan Ciong Ling.

Gadis itu menjerit kaget, saking kesakitan hingga wajahnya pucat. Namun mendadak si gadis ayun tangan kiri ke depan, tiba-tiba selarik sinar emas menyambar, kakek jangkung itu hanya mendengus tertahan sekali terus melepaskan lengan Ciong Ling dan jatuh duduk di tanah. Kiranya Kim-leng-cu secepat kilat telah menggigit sekali punggung tangan lawan, lalu melompat kembali ke tangan Ciong Ling.

Lekas seorang laki-laki setengah umur berjubah panjang di samping Sikong Hian membangunkan si kakek jangkung, ia merasa sekujur badan sang kawan itu menggigil hebat, punggung tangan tampak bersemu hitam dan menjalar ke bagian tubuh yang lain dengan cepat.

Kembali Ciong Ling bersuit, Kim-leng-cu melejit ke muka lelaki yang menawan Toan Ki. Cepat orang itu hendak menangkis dengan tangan, tapi kebetulan bagi Kim-leng-cu, terus saja dipagutnya tangan itu.

Ilmu silat lelaki itu jauh di bawah si kakek jangkung, keruan ia lebih-lebih tak tahan, seketika ia meringkal di lantai bagai cacing sambil merintih-rintih.

Segera Ciong Ling menarik Toan Ki dan diajak pergi, bisiknya, "Kita sudah bikin onar, lekas lari!"

Orang-orang yang berada di sekitar Sikong Hian itu adalah gembong-gembong Sin-long-pang semua, selama hidup mereka berusaha mencari obat dan menjual jamu, maka segala macam ular atau lebah berbisa pernah dilihatnya, tapi Kim-leng-cu yang bisa melayang pergi datang secepat kilat dan berbisa jahat itu, tiada seorang pun di antara mereka yang kenal jenis ular apakah itu.

Dalam kagetnya, tanpa merasa Sikong Hian berseru, "He, apakah 'Uh-hiat-su-leng'? Lekas tangkap bocah perempuan itu, jangan sampai lolos!"

Segera empat lelaki di sampingnya melompat maju dan mengepung dari beberapa penjuru. Namun sekali bersuit, Ciong Ling sudah lolos Jing-leng-cu yang melilit di pinggangnya itu, sekali sabet, ia tahan dua musuh yang menubruk maju. Berbareng Kim-leng-cu telah dilepaskan hingga berturut-turut keempat lelaki itu kena dipagutnya. Cukup sekali gigit saja, setiap orang itu lantas terkapar, ada yang berkelejetan, ada pula yang meringkal bagai cacing.

Melihat ular kecil itu terlalu lihai, namun jago-jago Sin-long-pang itu tiada yang berani mundur di hadapan sang Pangcu, kembali 7-8 orang memburu maju pula sambil membentak-bentak.

"Jika ingin selamat, hendaklah jangan maju," seru Ciong Ling. "Siapa pun yang kena tergigit Kim-leng-cu ini, tiada obat penolongnya."

Jago-jago Sin-long-pang itu bersenjata semua, ada yang membawa golok, ada yang memakai cangkul pendek dan lain-lain, mereka berharap dengan senjata itu dapat menahan serangan ular emas lawan.

Namun ular kecil itu teramat gesit, lebih cepat daripada segala macam senjata rahasia, setiap kali asal senjata lawan menyerang, cukup sekali tolak ekornya di atas senjata lawan, tahu-tahu ia sudah melejit ke depan dan dapat menggigit musuh. Maka dalam sekejap saja, kembali beberapa orang roboh terjungkal pula.

Sikong Hian tak dapat tinggal diam lagi, ia gulung lengan baju dan cepat mengeluarkan sebotol obat air, ia tuang obat itu dan gosok-gosok telapak tangan dan lengannya, lalu melompat ke depan Ciong Ling dan Toan Ki sambil membentak, "Berhenti!"

Sekonyong-konyong Kim-leng-cu melejit lagi dari tangan Ciong Ling hendak menggigit batang hidung Sikong Hian. Cepat Pangcu Sin-long-pang itu angkat tangannya ke atas dengan rada mengirik sendiri, sebab ia tidak tahu apakah obat ular ciptaan sendiri itu manjur tidak untuk menghadapi ular emas yang gesit dan lihai luar biasa itu, jika tidak manjur, bukan saja nama baiknya selama ini akan hanyut, bahkan Sin-long-pang sejak itu pun akan ludes.

Untung baginya, baru saja Kim-leng-cu pentang mulut hendak pagut tangannya, mendadak binatang itu menikung di atas udara, ekornya menutul telapak tangan Sikong Hian, terus melompat kembali ke tangan Ciong Ling.

Girang Sikong Hian tak terkira, terus saja tangan kirinya memukul, saking hebat angin pukulannya itu, pula tak sempat berkelit, Ciong Ling tergetar sempoyongan, hampir saja terjungkal. Bahkan angin pukulan itu masih terus menyambar ke belakang hingga Toan Ki ikut tergetar dan roboh terjengkang.

Ciong Ling terkejut, berulang-ulang ia bersuit mendesak Kim-leng-cu menyerang musuh.

Kembali ular emas itu memelesat ke depan, namun obat yang terpoles di tangan Sikong Hian itu justru adalah obat jitu anti Kim-leng-cu, binatang itu tidak berani sembarangan memagut lagi, jika hendak menggigit muka atau bagian bawah badan, segera Sikong Hian mainkan kedua telapak tangannya sedemikian cepatnya hingga air pun tak bisa tembus.

Segera Ciong Ling putar Jing-leng-cu mengeroyoknya dari samping. Karena tidak tahu Jing-leng-cu itu tak berbisa, Sikong Hian menjadi waswas, ia menjaga diri dengan rapat sambil membentak-bentak memberi perintah kepada begundalnya.

Maka tertampaklah berpuluh orang anggota Sin-long-pang mengepung maju, setiap orang membawa segebung rumput obat yang dinyalakan, asap rumput itu mengepul tebal sekali.

Baru saja Toan Ki merangkak bangun dari jatuhnya tadi, begitu mencium bau asap rumput itu, seketika ia roboh dan pingsan pula. Lamat-lamat ia lihat Ciong Ling juga mulai sempoyongan menyusul gadis itu pun terjungkal.

Segera dua anggota Sin-long-pang menubruk maju hendak meringkus Ciong Ling, tapi Kim-leng-cu dan Jingleng-cu teramat setia membela sang majikan, segera dipagutnya pula kedua orang itu. Kontan yang satu meringkal keracunan bagai ebi dan yang lain tulang kaki patah kena dibelit oleh Jing-leng-cu yang keras bagai kawat baja itu.

Seketika itu jago-jago Sin-long-pang menjadi jeri, beramai-ramai mereka merubung kedua muda-mudi yang menggeletak di tanah itu dan tidak berani sembarangan turun tangan.

Cepat Sikong Hian berseru, "Bakar kunyit di sebelah timur, di sebelah selatan dibakar Sia-hio (semacam bibit wangi dari musang), semua orang menyingkir dari barat-laut!"

Segera anak buahnya mengikuti perintah itu, biasanya segala macam bekal obat-obatan selalu tersedia dalam Sin-long-pang, obat yang dibakar itu baunya sangat keras, begitu dibakar, seketika menyiarkan asap tebal yang berbau menusuk hidung dan tertiup ke arah Ciong Ling.

Tak terduga, meski di bawah embusan asap yang merupakan obat anti mereka, namun Kim-leng-cu dan Jingleng-cu masih tetap lincah dan gesit, dalam sekejap saja lagi-lagi beberapa orang Sin-long-pang digigit roboh lagi.

Sikong Hian berkerut kening, cepat ia mendapat akal, serunya, "Lekas gali tanah dan uruk anak perempuan ini hidup-hidup bersama ular-ularnya."

Gegaman sebangsa cangkul dan sebagainya selalu tersedia di tangan anak buah Sin-long-pang, cepat saja mereka menggali tanah dan diuruk ke atas tubuh Ciong Ling.

Waktu itu pikiran sehat Toan Ki masih belum lenyap sama sekali, ia pikir sebab musabab dari segala peristiwa itu berpangkal atas dirinya, kalau Ciong Ling mengalami nasib mati dikubur hidup-hidup, rasanya dirinya juga tak bisa hidup sendiri. Maka sekuatnya ia melompat ke atas tubuh si gadis dan merangkulnya sambil berseru, "Bagaimanapun biarlah kita gugur bersama!"

Menyusul ia merasa batu pasir beterbangan menjatuhi badannya.

Mendengar kata-kata "bagaimanapun biarlah kita gugur bersama" itu, hati Sikong Hian ikut tergerak, ia lihat di sekitarnya menggeletak lebih 20 anak buahnya, beberapa di antaranya bahkan adalah tokoh penting, termasuk pula dua orang Sutenya, jika anak perempuan ini dibunuh untuk melampiaskan rasa gusar sendiri, namun racun ular emas itu terlalu lihai, tanpa obat penawar si gadis, tentu sukar menolong jiwa orang-orangnya itu. Maka cepat katanya, "Biarkan jiwa kedua bocah itu tetap hidup, jangan uruk bagian kepala mereka!"

Ciong Ling sendiri lemas tak bertenaga, ia merasa badan tertindih Toan Ki dan makin lama makin berat, keduanya sama-sama tak bisa berkutik. Maka dalam sekejap saja, badan kedua muda-mudi itu bersama Kimleng-cu dan Jing-leng-cu sudah terpendam di bawah tanah, hanya kepala mereka yang menongol keluar.

"Anak perempuan, coba katakan sekarang, ingin mati atau hidup?" tanya Sikong Hian dengan nada dingin.

"Sudah tentu ingin hidup," sahut Ciong Ling. "Jika aku dan Toan-heng tewas, kalian rasanya juga takkan bisa hidup."

"Baik," ujar Sikong Hian, "lekas serahkan obat penawar racun ular, lantas kuampuni jiwamu."

"Tidak, hanya jiwaku saja tidak cukup, harus jiwa kami berdua," kata Ciong Ling.

"Baiklah boleh kuampuni jiwa kalian berdua," sahut Sikong Hian. "Nah, mana obat penawarnya?"

"Aku tidak membawa obat penawar," kata si gadis. "Racun Kim-leng-cu ini hanya ayahku saja yang bisa mengobatinya. Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan kau paksakan aku turun tangan, sebab ayah pasti akan marah padaku dan bagimu juga tiada gunanya."

"Bocah cilik, dalam keadaan begini masih berani membual!" sahut Sikong Hian bengis, "kalau kakek kadung murka, bisa kutinggalkan kau di sini hingga mati kelaparan."

"Eh, apa yang kukatakan adalah sesungguhnya, kenapa engkau tidak percaya," kata Ciong Ling. "Ai, pendek kata, urusan sudah kadung runyam, mungkin ayah tak dapat dibohongi, lantas bagaimana baiknya?"

"Siapa nama ayahmu?" tanya Sikong Hian.

"Usiamu sudah tua, kenapa engkau tidak kenal aturan?" sahut si gadis. "Nama ayahku mana boleh sembarangan kukatakan padamu?"

Sungguh kewalahan Sikong Hian, meski berpuluh tahun dia malang melintang di dunia Kangouw, tapi menghadapi dua bocah seperti Ciong Ling dan Toan Ki, ia benar-benar tak berdaya. Dengan gemas ia berkata pula, "Ambilkan api, biar kubakar dulu rambut anak perempuan ini, coba lihat dia mau mengaku atau tidak."

Segera anak buahnya mengangsurkan sebuah obor, Sikong Hian terus mendekati Ciong Ling dengan memegang obor itu.

Keruan Ciong Ling ketakutan melihat wajah orang yang bengis itu, ia berteriak-teriak, "Hei, jangan! Memangnya tidak sakit rambut dibakar? Kenapa tidak coba kau bakar jenggotmu sendiri saja?"

"Sudah tentu kutahu sakit, buat apa kubakar jenggot sendiri?" sahut Sikong Hian dengan tertawa ejek. Terus saja ia angkat obor dan diabat-abitkan di depan hidung Ciong Ling, keruan gadis itu menjerit takut.

Cepat Toan Ki memeluk tubuh si gadis lebih kencang sambil berseru, "He, jenggot kambing, urusan ini berpangkal kesalahanku, biar rambutku saja boleh kau bakar!"

"Jangan, kau pun akan merasa sakit!" ujar Ciong Ling.

"Jika kau takut sakit, lekas keluarkan obat penawarnya untuk menolong saudara kami itu," desak Sikong Hian.

"Engkau ini orang tua, tapi bodoh melebihi kerbau," sahut Ciong Ling. "Sejak tadi sudah kukatakan bahwa hanya ayahku yang bisa menyembuhkan keracunan Kim-leng-cu, bahkan ibuku pun tidak bisa. Memangnya kau sangka mudah mengobatinya?"

Mendengar sekitarnya berisik dengan suara merintih orang yang digigit Kim-leng-cu tadi, Sikong Hian menduga pasti racun ular ini sangat menyakitkan, bila tidak, anak buahnya yang tergolong laki-laki gagah itu, biasanya biarpun sebelah kaki atau tangan dikutungi orang juga tidak sudi merengek sedikit pun. Tapi kini meski sudah minum obat penawar racun ular buatan sendiri, namun toh masih merintih tidak tahan, terang obat ular yang biasanya sangat mujarab itu pun tidak berguna, dalam putus asanya, Sikong Hian terus memelototi Ciong Ling sambil membentak, "Siapa bapakmu, lekas katakan namanya!"

"Apa benar engkau ingin tahu, kau tidak takut mendengarnya?" tanya si gadis.

Mendadak hati Sikong Hian tergerak, ia jajarkan istilah "Uh-hiat-su-leng" dengan nama seorang, pikirnya, "Apa mungkin 'Uh-hiat-su-leng' ini adalah piaraan orang ini? Jika orang ini belum mati, dan selama ini dia hanya mengasingkan diri, hanya pura-pura mati saja, lalu aku mengungkat namanya, kelak dia pasti akan bikin repot padaku."

Sekilas Ciong Ling melihat wajah Sikong Hian menampilkan rasa jeri, ia sangat senang, segera katanya pula, "Makanya lekas kau lepaskan kami, supaya ayahku tidak bikin susah padamu."

Secepat kilat benak Sikong Hian timbul beberapa pikiran, "Bila kulepaskan dia, dan ayahnya benar adalah orang yang kuduga, setelah nona ini ditanya, pasti dia akan tahu aku telah dapat meraba rahasianya, lalu jiwaku pasti takkan dibiarkan hidup oleh orang itu? Tentu dia akan membunuh diriku untuk menutupi rahasianya. Tapi kalau kini kubunuh anak perempuan ini, para saudara yang menderita ini pun susah dipertahankan jiwanya. Hm, sekali sudah berbuat, kepalang bila tidak kuteruskan sampai titik terakhir!"

Setelah ambil keputusan, diam-diam tangan kirinya terus mengerahkan tenaga dan menghantam kepala Ciong Ling.

Melihat sikap orang mendadak berubah, segera Ciong Ling tahu gelagat jelek, ketika melihat pula tangan orang memukul, cepat ia berteriak, "Hai, tahan, jangan pukul dulu!"

Namun Sikong Hian tidak ambil peduli lagi, pukulan tetap diteruskan, tapi baru saja hampir menyentuh kepala si gadis, sekonyong-konyong bagian kuduk terasa sakit seperti digigit sesuatu, karena itu, walaupun

pukulannya itu tetap mengenai kepala Ciong Ling, namun tenaga sudah lenyap di tengah jalan hingga mirip mengusap rambut si gadis saja.

Kejut Sikong Hian tak terkira, cepat ia tarik napas panjang untuk melindungi jantungnya, tangan lain melepaskan obor terus berputar ke belakang leher untuk menangkap tapi celaka, lagi-lagi punggung tangan terasa digigit.

Kiranya sesudah Kim-leng-cu terpendam dalam tanah, diam-diam ia telah menyusup keluar, dan pada saat Sikong Hian tidak menduga-duga mendadak binatang itu menyerang. Keruan Sikong Hian sangat cemas dan khawatir, cepat ia duduk bersila di tanah dan mengerahkan tenaga dalam untuk mengusir racun.

Segera anak buahnya menyekop tanah dan menguruk lagi ke atas Kim-leng-cu, namun binatang itu sempat melejit dan menggigit roboh seorang lagi, dalam kegelapan tampak sinar emas gemerlap beberapa kali, tahutahu dia sudah lari ke dalam semak-semak rumput.

Lekas anak buah Sikong Hian mengambilkan obat ular untuk sang Pangcu, setelah luar-dalam memakai obat, mulut sang Pangcu dijejal pula sebatang Jin-som untuk memperkuat tenaganya. Berbareng Sikong Hian pun mengerahkan Lwekang untuk melawan racun ular, tapi tiada seberapa lama, ia lemas tak tahan, terpaksa ia ambil keputusan kilat, ia lolos sebatang golok pendek terus menebas lengan kanan sendiri hingga kutung. Namun tengkuknya yang juga digigit ular itu kan tak mungkin kepala mesti ikut dipenggal juga.

Melihat keadaan sang Pangcu yang luar biasa itu, anak buah Sin-long-pang sama ngeri, lekas mereka membubuhi lengan Sikong Hian dengan obat luka, namun darah mengucur bagai sumber air, begitu obat dibubuhkan, segera diterjang buyar oleh air darah. Cepat seorang anak buah sobek lengan baju sendiri untuk membalut lengan kutung sang Pangcu, dengan demikian lambat laun darah dapat dihentikan.

Melihat itu, muka Ciong Ling pun pucat ngeri, ia tidak berani bersuara lagi.

"Apakah ular emas tadi adalah Kim-leng-cu dari Uh-hiat-su-leng?" tiba-tiba Sikong Hian tanya dengan suara geram.

"Ya," sahut Ciong Ling.

"Kalau kena digigit, setelah linu pegal tujuh hari baru korban akan mati, betul tidak?" tanya Sikong Hian pula.

Kembali si gadis mengiakan.

"Seret anak muda itu," perintah Sikong Hian pada anak buahnya.

Beramai-ramai anggota Sin-long-pang terus menyeret Toan Ki dari bawah gundukan tanah.

"He, he, urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan dia, jangan bikin susah padanya!" cepat Ciong Ling berteriak sambil meronta-ronta hendak melompat bangun.

Namun anak buah Sin-long-pang itu cepat menguruk pasir batu pula ke tempat yang luang bekas Toan Ki tadi hingga Ciong Ling tak bisa berkutik. Saking khawatir mengira Toan Ki akan dibunuh, gadis itu menangis tergerung-gerung.

Sebenarnya Toan Ki pun ketakutan, tapi sedapatnya ia tenangkan diri, katanya dengan tersenyum, "Nona Ciong, seorang jantan sejati pandang kematian bagai pulang ke rumah, kita tidak boleh takut di hadapan kawanan orang jahat ini."

"Aku bukan jantan sejati, maka aku tidak mau pandang kematian seperti pulang ke rumah," sahut Ciong Ling.

Mendadak Sikong Hian memberi perintah, "Beri minum bocah ini dengan Toan-jiong-san, pakai takaran untuk tujuh hari lamanya."

Segera anak buahnya mengeluarkan sebotol obat bubuk merah dan mencekoki Toan Ki dengan paksa.

Keruan Ciong Ling khawatir setengah mati, ia berteriak-teriak, "He, he, itu racun, jangan mau minum!"

Ketika mendengar nama "Toan-jiong-san" atau obat bubuk perantas usus, segera Toan Ki tahu racun itu sangat lihai, tapi dirinya sudah jatuh di bawah cengkeraman orang, tidak minum terang tidak mungkin, maka dengan ikhlas ia telan obat bubuk itu, malahan mulutnya sengaja berkecek-kecek, lalu katanya dengan tertawa, "Ehm, manis juga rasanya. Eh, Sikong-pangcu, apakah kau pun akan minum barang setengah botol?"

Sikong Hian menjengek gusar tanpa menjawab, sebaliknya Ciong Ling yang sedang menangis itu mendadak tertawa geli, tapi lantas menangis lagi.

"Toan-jiong-san ini baru akan bekerja sesudah tujuh hari nanti hingga usus dan perutnya akan hancur," kata Sikong Hian kemudian. "Maka selama tujuh hari ini hendaknya lekas kau pergi mengambilkan obat penawar racun ular itu, bila tugas ini kau lakukan dengan baik, nanti aku pun memberi obat penawar racun padamu."

"Sulit," sahut Ciong Ling. "Racun Kim-leng-cu itu hanya bisa dipunahkan dengan Lwekang khas ayahku sendiri, selamanya tidak ada obat penawar."

"Jika begitu, suruh ayahmu datang ke sini untuk menolongmu," kata Sikong Hian.

"Enak saja kau bicara," sahut si gadis, "tak mungkin ayahku sembarangan keluar rumah. Sudah pasti dia takkan keluar selangkah pun dari lembah gunung kami."

Sikong Hian dapat memercayai apa yang dikatakan Ciong Ling itu, seketika ia menjadi ragu-ragu.

"Paling baik begini saja," tiba-tiba Toan Ki mengusul, "kita beramai-ramai pergi ke rumah nona Ciong dan mohon orang tuanya menyembuhkan racun ular, cara demikian bukankah lebih cepat dan tepat."

"Tidak, tidak boleh jadi!" kata Ciong Ling. "Ayahku pernah menyatakan, tak peduli siapa pun juga, asal menginjak setindak ke dalam lembah kami, orang itu harus dibinasakan."

Sementara itu luka gigitan ular di belakang leher Sikong Hian terasa makin pegal dan gatal, dengan gusar ia berteriak, "Aku tak peduli tetek bengek itu, kalau kau tidak mengundang ayahmu kemari, biarlah kita gugur bersama."

Ciong Ling pikir sejenak, lalu katanya, "Kau lepaskan aku dulu, biar kutulis sepucuk surat kepada ayah untuk memohon kedatangannya. Tapi harus kau suruh seorang yang tidak takut mati untuk menyampaikan surat pada beliau."

"Bukankah bocah she Toan ini bisa kusuruh ke sana, buat apa suruh orang lain?" kata Sikong Hian gemas.

"Ai, engkau benar-benar pelupa." ujar si gadis. "Bukankah sudah kukatakan, barang siapa berani menginjak selangkah saja ke lembah kami dia akan binasa. Dan aku tidak ingin Toan-heng ini mati, tahu tidak?"

"Jika dia takut mati, apa anak buahku tidak takut mati?" sahut Sikong Hian. "Sudah, sudah, tak perlu pergi, biarlah kita lihat saja, aku mati kemudian atau dia mampus duluan."

Kembali Ciong Ling menangis tergerung-gerung lagi, serunya, "Kau kakek jenggot kambing ini sungguh tidak tahu malu, hanya pandai menghina seorang nona cilik! Perbuatanmu ini apakah terhitung seorang kesatria sejati kalau diketahui orang Kangouw?"

Namun Sikong Hian tidak menggubrisnya, ia mengerahkan Lwekang sendiri untuk melawan bisa ular.

"Biarlah aku berangkat saja", kata Toan Ki tiba-tiba. "Nona Ciong, jika ayahmu tahu kedatanganku ke sana adalah untuk memohon dia datang ke sini menolongmu, kuyakin beliau pasti takkan mengapa-apakan diriku."

Tiba-tiba Ciong Ling mengunjuk girang, katanya, "Ah, aku mendapat akal. Begini, jangan kau katakan pada ayahku di mana aku berada. Tapi setelah kau bawa beliau ke sini, segera kau melarikan diri, kalau tidak, tentu celaka!"

"Ehm, bagus juga akalmu ini," ujar Toan Ki sambil manggut-manggut.

Lalu Ciong Ling berkata pula pada Sikong Hian, "He, jenggot kambing, begitu kembali nanti Toan-heng harus segera melarikan diri, lalu cara bagaimana engkau akan memberi obat penawar racun padanya?"

Sikong Hian menunjuk sepotong batu besar jauh di barat-laut sana dan berkata, "Aku akan suruh orang menunggu di sana dengan obat penawar, begitu Toan-kongcu ini lari sampai di sana bisa segera mendapatkan obatnya."

Ia berharap Toan Ki berhasil mengundang ayah Ciong Ling untuk menolong jiwanya, maka panggilannya kepada Toan Ki sekarang berubah menjadi terhormat.

Segera Sikong Hian memberi perintah agar anak buahnya menggali keluar Ciong Ling, tapi sebagai gantinya kedua tangan si gadis dibelenggu. Dalam pada itu tampak Jing-leng-cu masih kelogat-keloget di dalam tanah, sedang ular kecil lainnya sudah mati terpendam.

"Kau belenggu kedua tanganku, cara bagaimana aku bisa menulis surat?" kata Ciong Ling kemudian.

"Kau dara cilik ini terlalu licin, kau bilang hendak menulis surat, jangan-jangan akan main gila lagi," ujar Sikong Hian. "Tak perlu pakai surat segala, berikan sepotong barang milikmu kepada Toan-kongcu sebagai tanda pengenal untuk ayahmu."

"Kebetulan," sahut Ciong Ling tertawa. "Aku memang tidak suka tulis-menulis. Lalu benda apakah yang berada padaku? Ah, biarlah Jing-leng-cu saja kau bawa kepada ayahku, Toan-heng."

"He, jang ... jangan," seru Toan Ki cepat. "Dia takkan turut perintahku, kalau di tengah jalan aku digigitnya, kan celaka!"

"Jangan khawatir." ujar Ciong Ling tersenyum. "Dalam saku bajuku ada sebuah kotak kemala kecil, harap kau keluarkannya."

Segera Toan Ki masukkan tangan ke saku si nona, tapi baru tangan menyentuh baju, cepat ia tarik kembali tangannya. Ia merasa perbuatannya kurang sopan, masa tangan seorang pemuda gerayangan di dalam baju seorang gadis.

Namun Ciong Ling tidak pikir sampai di situ, desaknya malah, "Ayo, kenapa tidak lekas mengambil? Di saku sebelah kiri!"

Toan Ki pikir urusan sudah telanjur runyam, keadaan sangat mendesak, nona cilik ini pun masih kekanakkanakan, sedikit pun tiada rasa perbedaan antara lelaki perempuan, maka aku pun tidak perlu pikir yang tidaktidak.

Segera ia merogoh saku si gadis dan mengeluarkan sepotong benda bundar yang keras dan hangat-hangat.

"Di dalam kotak kemala itu terdapat benda anti Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu," kata Ciong Ling. "Jika Jingleng-cu tidak menurut perintah, boleh kau ayun-ayun kotak kemala itu di atas kepalanya, dengan sendirinya dia tak berani main gila lagi."

Toan Ki menurut, ia angkat kotak kemala di depan kepala Jing-leng-cu, maka terdengarlah suara mendesis aneh beberapa kali di dalam kotak itu, seketika Jing-leng-cu sangat ketakutan hingga mengkeret badannya.

Senang sekali Toan Ki melihat itu, "Benda apakah di dalam kotak ini? Biar kumelihatnya!"

Segera ia hendak membuka tutup kotak itu.

Namun Ciong Ling keburu mencegah, "He, jangan! Tutup kotak sekali-kali tak boleh dibuka!"

"Sebab apa?" tanya Toan Ki.

Ciong Ling melirik sekejap ke arah Sikong Hian, lalu berkata, "Ini rahasia, tidak boleh didengar orang luar. Nanti kalau sudah kembali akan kuberi tahukan padamu."

"Baiklah," kata Toan Ki, sebelah tangan memegang kotak kemala, tangan lain melepaskan Jing-leng-cu dari pinggang Ciong Ling dan diikat di pinggang sendiri.

Ternyata Jing-leng-cu membiarkan dirinya diperbuat sesukanya oleh Toan Ki, sedikit pun tidak berani membangkang. Keruan pemuda itu sangat senang, katanya, "Hah, ular ini menarik juga!"

"Bila dia lapar, dia akan mencari makan sendiri, tak perlu khawatir baginya," kata Ciong Ling pula, "dan bila kau bersuit begini, dia akan menggigit orang, kalau kau mendesis begini, dia lantas kembali ke tanganmu."

Sembari berkata, ia bersuit memberi contoh.

Dengan rasa tertarik, Toan Ki menirukan ajaran si gadis.

Sebaliknya Sikong Hian tidak sabar, ia pikir anak muda ini benar-benar kurang ajar, sudah dekat ajal, masih main ular segala, segera ia membentak, "Lekas pergi dan cepat kembali! Jiwa semua orang tinggal beberapa hari saja, jika ada alangan dalam perjalanan tentu jiwa masing-masing akan melayang. Nona Ciong, dari sini ke tempat tinggalmu makan waktu berapa lama?"

"Kalau cepat, dua hari bisa sampai, pergi-pulang empat hari pun sudah cukup," sahut Ciong Ling.

Sikong Hian rada lega oleh jawaban itu, ia mendesak pula, "Baiklah, lekas berangkat, lekas!"

"Tapi belum kuberi tahu jalannya kepada Toan-heng, harap kalian menyingkir dari sini, siapa pun dilarang

mendengarkan," kata si gadis.

Segera Sikong Hian memberi tanda hingga anak buahnya sama menyingkir pergi.

"Kau pun menyingkir," kata Ciong Ling pada Sikong Hian.

Diam-diam Sikong Hian geregetan, katanya dalam hati, "Kurang ajar! Kelak bila lukaku sudah sembuh, kalau tidak kubalas permainkan kau, percumalah aku menjadi manusia."

Segera ia berbangkit dan menyingkir pergi juga.

"Toan-heng," kata Ciong Ling kemudian sambil menghela napas lega, "baru saja kita berkenalan, kini sudah harus berpisah."

"Tidak apa, paling lama pergi-pulang cuma empat hari," sahut Toan Ki tertawa.

Sepasang mata bola Ciong Ling termangu memandangi anak muda itu, katanya, "Setiba di sana, harap menemui ibuku lebih dulu untuk menceritakan duduk perkaranya dan biar ibuku yang bicara kepada ayahku. Dengan demikian urusan akan lebih mudah diselesaikan."

Lalu ia gunakan ujung kaki untuk menggores-gores tanah, untuk menjelaskan jalan ke rumah tinggalnya itu.

Kiranya tempat tinggal Ciong Ling itu terletak di sebuah lembah di tepi barat sungai Lanjong. Meski jaraknya tidak jauh, tapi tempatnya tersembunyi dan sukar ditempuh, kalau tidak diberi petunjuk, orang luar tak nanti menemukannya.

Namun daya ingat Toan Ki sangat baik, apa yang ditunjukkan Ciong Ling biarpun menikung ke sana dan membelok ke sini secara membingungkan, tapi sekali dengar ia lantas ingat.

Setelah Ciong Ling selesai menguraikan, segera katanya, "Baiklah, sekarang aku akan berangkat!"

Terus saja ia putar tubuh dan bertindak pergi.

Tapi baru pemuda itu berjalan belasan tindak, tiba-tiba Ciong Ling teringat sesuatu, serunya, "Hei, kembali!"

"Ada apa?" tanya Toan Ki sambil memutar balik.

"Paling baik engkau jangan mengaku she Toan, lebih-lebih jangan bilang ayahmu mahir menggunakan It-yangci," pesan si gadis. "Sebab ... sebab mungkin sekali akan menimbulkan prasangka ayahku."

"Baiklah," sahut Toan Ki tertawa. Ia pikir nona ini meski masih sangat muda, tapi pikirannya ternyata amat teliti. Segera ia bertindak pergi sembari bernyanyi-nyanyi kecil.

Tatkala itu hari sudah gelap, sang dewi malam sudah menongol di tengah cakrawala, di bawah cahaya bulan Toan Ki terus menuju ke barat. Meski dia tak bisa ilmu silat, tapi usianya muda, tenaganya kuat, jalannya cukup cepat.

Setelah belasan li jauhnya, ia sudah melintas sampai di belakang gunung Bu-liang-san. Ia dengar suara gemerciknya air, di depan ada sebuah sungai kecil, karena merasa haus, Toan Ki menuju ke tepi sungai itu, ia lihat air sungai sangat bening, segera ia gunakan tangan untuk meraup air. Tapi belum lagi mulutnya mengecup air, tiba-tiba ia dengar suara orang tertawa dingin di belakang.

Dalam kejutnya cepat Toan Ki berpaling, maka tertampaklah gemerdepnya senjata tajam, ujung pedang sudah mengancam di dadanya. Waktu mendongak, ia lihat seorang tersenyum mengejek, kiranya Kam Jin-ho dari Buliang-kiam.

"Eh, kiranya kau, bikin kaget aku saja," kata Toan Ki berlagak tertawa. "Sudah malam begini, ada apa Kamheng berada di sini?"

"Atas perintah guruku, aku justru lagi menunggumu di sini," sahut Kam Jin-ho. "Maka silakan Toan-heng ikut ke Kiam-oh-kiong untuk bicara sebentar."

"Urusan apakah? Harap tunda sampai lain hari saja," ujar Toan Ki. "Hari ini aku ada urusan penting dan perlu lekas berangkat."

"Tidak, betapa pun harap Toan-heng ke sana," kata Jin-ho. "Bila tidak, aku pasti akan didamprat oleh guruku."

Melihat wajah orang mengunjuk tanda kurang beres, hati Toan Ki tergerak, lamat-lamat ia dapat menebak apa maksud orang, pikirnya, "Celaka, mungkin dia sengaja hendak menahan aku agar penolong yang diundang tidak bisa datang, dengan demikian orang Sin-long-pang akan terbinasa dan Bu-liang-kiam mereka tidak khawatir lagi terhadap musuh utama itu."

Segera ia tanya pula, "Dari mana Kam-heng mengetahui aku akan datang ke sini?"

"Hm," jengek Jin-ho. "Perembukanmu dengan nona Ciong terhadap Sin-long-pang sudah kudengar dan lihat semuanya. Bu-liang-kiam tiada dendam permusuhan apa-apa denganmu, engkau pasti takkan dibikin susah. Yang diharap sukalah kau mampir barang beberapa hari ke tempat kami, kemudian engkau akan dibebaskan."

"Mampir beberapa hari?" Toan Ki menegas. "Kan bisa celaka, padahal aku telah minum Toan-jiong-san pihak Sin-long-pang, kalau racunnya bekerja lantas bagaimana?"

"Boleh jadi setelah minum sedikit obat urus-urus, perutmu takkan sakit lagi," kata Kam Jin-ho tertawa.

Diam-diam Toan Ki khawatir, seketika ia pun tiada akal untuk meloloskan diri. Kalau ikut pergi ke Kiam-ohkiong, mungkin dirinya akan menjadi korban, bahkan Ciong Ling, Sikong Hian dan lain-lain juga akan binasa.

Dalam pada itu ujung pedang Kam Jin-ho sudah mengancam di dada Toan Ki hingga terasa sakit.

"Ayo, ikut! Mau atau tidak mau harus ikut ke sana!" kata murid Bu-liang-kiam itu.

"Dengan demikian, bukankah kalian sengaja hendak membunuh aku?" kata Toan Ki.

"Jika sudah berani berkelana di Kangouw, jiwa harus berani dibuat taruhan," ujar Jin-ho tertawa. "Orang penakut macammu ini sungguh terlalu."

Habis berkata, "sret", mendadak pedang terus mengiris ke bawah hingga baju Toan Ki terobek sepanjang puluhan senti.

Kam Jin-ho ini tidak malu sebagai murid pilihan Bu-liang-kiam, biarpun baju Toan Ki terobek disayat, namun badan sedikit pun tidak terluka. Maka tertampaklah perut Toan Ki yang putih itu, cepat pemuda itu memegangi bajunya yang kedodoran.

"Eh, putih juga, seperti perempuan," goda Jin-ho dengan tertawa. Mendadak ia berubah bengis, bentaknya, "Ayo, lekas jalan, jangan bikin tuanmu kehilangan sabar, sekaligus bisa kusayat mukamu hingga berpuluh jalur merah!"

Terpaksa, Toan Ki menurut, ia pikir nanti di tengah jalan harus mencari akal untuk meloloskan diri.

Segera ia betulkan bajunya, lalu katanya, "Jika sebelumnya kutahu Bu-liang-kiam kalian begini jahat, tentu aku tidak sudi ikut campur urusan kalian ini, biar kalian sekaligus diracun mampus oleh Sin-long-pang."

"Kau mengomel apa?" bentak Jin-ho. "Bu-liang-kiam kami adalah Eng-hiong-hohan (kesatria dan gagah) semua, masakan jeri terhadap kawanan Sin-long-pang yang tak kenal malu itu."

"Sret", kembali pedangnya menggores baju di punggung Toan Ki, ketika sampai pinggang, terdengar suara "krek", goresan pedang itu teralang sesuatu.

Mendadak barulah Toan Ki ingat bahwa di pinggangnya terlilit Jing-leng-cu, ia merasa dirinya terlalu goblok, kenapa sejak tadi tidak minta bantuan binatang itu? Segera ia bersuit menirukan Ciong Ling.

Begitu kepala Jing-leng-cu menegak, terus saja ia memagut ke muka Kam Jin-ho. Keruan jago Bu-liang-kiam itu kaget, cepat ia menyurut mundur. Sekali pagut tidak kena, Jing-leng-cu membalik ke bawah hendak melilit lengan Jin-ho.

Betapa lihainya ular hijau ini sudah dikenal Jin-ho, bahkan pedang gurunya pernah dililit patah. Maka cepat ia melompat berkelit pula.

Untung baginya, sebab Toan Ki belum pandai mengendalikan Jing-leng-cu, ia tidak melepaskan binatang itu dari pinggangnya, tapi terus bersuit memerintah untuk menyerang musuh, maka sebagian besar badan Jingleng-cu masih melilit di pinggang, sebab itulah serangannya terbatas hingga dua kali memagut dapat dihindarkan Kam Jin-ho.

Melihat Kam Jin-ho melompat mundur, Toan Ki pikir inilah kesempatan baik, cepat ia angkat langkah seribu, ia berlari-lari ke arah barat.

"Hai, berhenti!" bentak Jin-ho sambil menguber. "Aku membawa obat anti ular, ular hijau itu tidak berani menggigit aku, tak mungkin kau bisa lolos!"

Walaupun begitu katanya, namun ia pun tidak berani mendesak terlalu dekat.

Dasar Toan Ki, belum sampai satu li jauhnya, napasnya sudah megap-megap.

Sebaliknya Kam Jin-ho sangat cekatan larinya, ia mendapatkan sepotong tangkai kayu pula dan digunakan memukul punggung Toan Ki.

Dalam gugupnya tiba-tiba timbul juga kecerdasan Toan Ki, cepat ia lepaskan Jing-leng-cu dari pinggang sambil bersuit, sekuatnya ia ayun ular itu ke belakang. Dengan demikian Kam Jin-ho menjadi jeri dan tertinggal lebih jauh.

Pikir jago Bu-liang-kiam itu, "Kau anak sekolahan ini sedikit pun tak bisa ilmu silat, asal aku terus mengintil di belakangmu, tiada sejam, tentu kau akan mati lelah."

Maka uber-menguber itu terus berlangsung menuju ke arah barat.

Tiada lama kemudian, napas Toan Ki benar-benar terasa hampir putus, jantung memukul keras seakan-akan meledak. Pikirnya, "Jika aku tertawan dia, jiwa nona Ciong pasti akan ikut menjadi korban."

Karena gugupnya ia tak bisa pilih jalan lagi, yang ia tuju selalu rimba lebat hutan belukar, ke sanalah dia menyusup terus.

Setelah menguber sebentar pula, mendadak Jin-ho dengar suara gemerujuknya air yang gemuruh. Tergerak pikirannya, waktu mendongak, ia lihat diarah barat-laut sana terdapat sebuah air terjun raksasa dengan airnya yang dituang ke bawah bagai sungai gantung.

Cepat Jin-ho berhenti sambil berteriak, "Hei, di depan adalah tempat larangan golongan kami, jika kau berani maju lagi hingga melanggar larangan, pasti kau akan mati tak terkubur!"

Bukannya Toan Ki berhenti, sebaliknya ia sangat girang dan berlari ke depan malah, pikirnya, Jika di sana adalah tempat larangan Bu-liang-kiam, tentu dia sendiri tidak berani mengejar pula. Jiwaku memang lagi terancam, takut apa?"

"Hai, lekas berhenti!" kembali Jin-ho berteriak. "Apa kau tidak pikirkan nyawamu lagi?"

"Aku justru ingin nyawaku, maka aku lari ...." baru sekian jawaban Toan Ki, sekonyong-konyong kakinya terasa menginjak tempat kosong. Ia tidak mahir ilmu silat, pula sedang berlari, tentu saja ia tidak bisa menahan diri, langsung tubuhnya anjlok ke bawah.

"Haya!" teriak Toan Ki kaget, namun badannya sudah terjerumus ke bawah jurang yang berpuluh tombak dalamnya.

Waktu Jin-ho memburu sampai di tepi jurang, yang terlihat hanya kabut tebal, apa yang terjadi di bawah jurang sedikit pun tidak terlihat. Ia menduga Toan Ki pasti akan terbanting hancur lebur, sedangkan tempat di mana dia berdiri adalah tempat terlarang golongan sendiri, maka ia tidak berani lama-lama di situ, cepat ia putar balik melaporkan kepada sang guru.

Sementara itu tubuh Toan Ki yang terapung di udara itu, kedua tangannya meraup ke sana-sini dengan harapan bisa menangkap sesuatu untuk menahan daya turunnya.

Kebetulan juga mendadak Jing-leng-cu yang masih dipegang olehnya itu dapat melilit pada suatu dahan pohon Siong yang tumbuh di dinding tebing. Beberapa kali badan ular itu membelit dengan kencang dan kuat di atas dahan itu.

Ketika mendadak Toan Ki merasa daya turunnya berhenti, hampir saja ia tidak kuat memegang Jing-leng-cu dan hampir pula terberosot ke bawah. Untung Jing-leng-cu cukup cerdik, cepat ekornya melilit beberapa kali di pergelangan tangan Toan Ki. Maka menjeritlah mendadak anak muda itu kesakitan.

Kiranya daya turunnya tadi sangat keras, sekali ditahan oleh ekor Jing-leng-cu secara mendadak, seketika lengan kanannya keseleo alias terkilir.

Badan Jing-leng-cu ternyata sangat keras dan kuat luar biasa, meski dibuat gantungan Toan Ki yang bobotnya ratusan kati itu sambil membuai-buai, namun masih bisa bertahan dengan baik.

Waktu Toan Ki memandang ke bawah, ia lihat awan terapung mengambang di udara jurang, betapa dalamnya jurang itu tidak terlihat. Untuk mendaki ke atas, terang tidak mungkin, apalagi tangannya keseleo, tenaga habis.

Pada saat itulah, badannya yang terayun terasa menempel dinding tebing, cepat ia ulur tangan kiri untuk meraih pangkal dahan, segera kakinya mendapatkan tempat berpijak pula, baru sekarang ia merasa lega dan tenang.

Ketika jurang itu diamat-amati, ia lihat di tengah jurang merekah sebuah celah panjang, di tengah celah itu banyak terdapat sebangsa batu pasir, kalau mau, mungkin juga bisa dibuat jalan merambat turun ke bawah dengan perlahan.

Setelah mengaso sebentar, Toan Ki merasa serbarunyam kalau tinggal di situ, kalau tidak bisa naik ke atas, terpaksa turun ke bawah jurang untuk mencari jalan keluar lain.

Meski dia hanya seorang sekolahan, namun mempunyai semangat banteng. Ia pikir jiwanya toh sisa temuan, kalau akhirnya mesti melayang lagi, biarlah. Mati ya mati, seorang laki-laki kenapa takut mati?

Segera ia bersuit pula, lalu mendesis-desis sebagai tanda kembalinya Jing-leng-cu.

Mendengar suara suitan, Jing-leng-cu lantas melepas belitannya di atas dahan dan kembali ke tangan Toan Ki. Maka badan binatang itu diikat pula pada dahan tempat berpijak, kemudian sambil memegangi badan ular, ia merosot ke bawah.

Setelah dekat ujung ekor ular, kakinya memperoleh tempat berpijak lagi, lalu menarik kembali Jing-leng-cu untuk dipakai tali memberosot ke bawah pula dan begitu seterusnya. Untung bagian bawah jurang itu tidak terlalu curam, akhirnya ia tidak perlu bantuan Jing-leng-cu sudah dapat turun ke bawah.

Ia dengar suara gemuruh air makin lama makin keras, ia menjadi khawatir lagi, "Jika di bawah sana ada arus air yang dahsyat, celakalah aku."

Ia merasa butiran air sudah berhamburan dan menciprat mukanya, begitu besar butiran air itu hingga menimbulkan rasa sakit pedas.

Akhirnya sampailah dia di dasar jurang. Waktu memandang ke depan, tanpa tertahan Toan Ki bersorak memuji. Ternyata di tebing kiri sana ada sebuah air terjun raksasa yang menuangkan airnya yang jernih ke sebuah danau besar, begitu luas danau itu hingga tidak kelihatan tepi sebelah sana.

Walaupun dituangi air terjun sekeras itu, namun air danau itu tidak menjadi penuh, tentu ada saluran yang membuang air itu ke tempat lain.

Tempat air terjun menggerujuk itu airnya bergulung-gulung, tapi belasan tombak di luar air terjun itu, air danau tenang bening bagai kaca.

Toan Ki terkesima oleh pemandangan alam yang menakjubkan itu. Karena itu ia sampai lupa pada sakit lengannya yang keseleo itu.

Ketika kemudian ia sadar akan rasa sakit itu, segera ia gulung lengan baju dan berkata pada ruas tulang yang keseleo itu, "Wahai, ruas tulang, jika kudapat membetulkanmu, tentu takkan sakit lagi. Tapi kalau salah sambung biarlah terserah nasib, lebih kesakitan juga masa bodoh."

Ia kertak gigi dan menarik sekuatnya lengan yang terkilir itu. "Krek", eh, tulang yang keseleo itu dapat diluruskan kembali, walaupun rasa sakitnya tidak kepalang, tapi lengan itu kini dapat bergerak dengan bebas lagi.

Toan Ki sangat girang, walaupun sudah menderita setengah harian, namun dasar semangat banteng, ia penuh gairah. Ia meraba Jing-leng-cu dan berkata, "Wahai, Jing-leng-cu, hari ini kalau kau tidak menyelamatkan jiwaku, tentu sejak tadi tuanmu ini sudah naik ke surga. Maka kelak pasti akan kusuruh tuan putrimu memiaramu terlebih baik."

Ia mendekati tepi danau dan meraup air untuk diminum, terasa airnya segar dan rada-rada manis pula.

Setelah tenangkan diri, Toan Ki pikir, "Urusan hari ini sudah sangat mendesak, aku harus lekas mencari jalan keluar, jangan-jangan Kam Jin-ho itu sebentar akan menyusul ke sini, kan bisa celaka."

Segera ia menyusur tepi danau untuk mencari jalan.

Danau itu ternyata berbentuk lonjong, sebagian besar teraling-aling oleh semak-semak tetumbuhan. Toan Ki mengitar kira-kira tiga li jauhnya, ia lihat tebing curam di sekeliling sana terlebih terjal, hanya tebing yang dia turun tadi lebih mendingan, suasana sunyi senyap, jangankan jejak manusia, jejak binatang pun tidak tampak, hanya kicau burung terkadang terdengar.

Karena itu, Toan Ki sedih lagi, ia pikir tak jadi soal dirinya mati kelaparan di situ, tapi jiwa nona Ciong bagaimana jadinya? Ia duduk di tepi danau dengan rasa cemas dan gelisah, sedikit pun tak berdaya.

Kemudian ia pikir, "Boleh jadi jalanku terlalu buru-buru hingga tidak memerhatikan kalau ada sesuatu jalan kecil yang teraling semak-semak atau tertutup batu-batu gunung?"

Karena itu ia bangkit pula, dengan riang sambil bernyanyi-nyanyi kecil ia menyusuri tepi danau lagi untuk mencari jalan keluar.

Kali ini ia telah periksa setiap semak pohon di tepi danau, namun di balik semak-semak itu adalah batu karang melulu yang menempel di dinding jurang yang menjulang tinggi ke langit. Jangankan jalan keluar, bahkan liang ular atau lubang jangkrik pun tidak tampak sesuatu.

Makin lama makin perlahan nyanyi Toan Ki, perasaannya semakin lama semakin tertekan. Ketika berputar kembali sampai di depan air terjun tadi, kakinya sudah lemas, ia mendomprok ke tanah.

Dalam putus asa, timbul khayalannya, "Bila aku bisa menjadi seekor ikan, aku akan menyusur air terjun itu dan berenang ke atas jurang sana."

Sambil berpikir sinar matanya terus mengikuti jalannya air terjun itu dari bawah ke atas. Ia lihat di sebelah kanan air terjun itu mencuat sepotong batu putih gilap bagai kemala. Melihat gelagatnya, boleh jadi air terjun itu pada masa dahulu jauh lebih besar lagi daripada sekarang ini, Entah sudah mengalami gerujukan berapa lama hingga dinding batu itu tergosok rata licin bagai kaca. Kemudian air terjun berubah kecil dan dinding batu sehalus kaca itu pun kelihatan.

Tiba-tiba Toan Ki ingat kata-kata Sin Siang-jing sehabis bertanding di Kiam-oh-kiong, ia telah menyindir ketua sekte timur Bu-liang-kiam, Co Cu-bok, menanyakan selama lima tahun itu apakah sudah banyak meyakinkan pelajaran dinding kemala. Karena itu, Co Cu-bok rada gusar dan menegur sang Sumoay apakah sudah lupa pada pantangan perguruan sendiri, akhirnya Siang-jing bungkam.

Teringat pula olehnya sebabnya Bu-liang-kiam bermusuhan dengan Sin-long-pang adalah karena Sin-longpang minta mencari obat ke belakang gunung ini. Lereng gunung Bu-liang-san ini penuh dengan hutan belukar, kalau cuma mencari sedikit bahan obat saja apa alangannya?

Dasar otak Toan Ki sangat cerdas, mendadak timbul rasa curiganya. Segera ia menyelami setiap pembicaraan yang pernah didengarnya setelah datang di Kiam-oh-kiong itu, maka teringatlah ketika Ciong Ling bertanya

tentang "Bu-liang-giok-bik" apa segala pada Co Cu-bok, seketika ketua Bu-liang-kiam itu tercengang dan pura-pura tidak tahu, sebaliknya Ciong Ling terus menyindir atas sikap orang itu.

Tampaknya apa yang dimaksudkan "Giok-bik" itu adalah dinding gunung kemala dan bukan "Giok-bik" dari batu kemala. Sekarang di hadapannya terdapat suatu dinding gunung yang putih gilap bagai kemala, pula terletak di belakang gunung Bu-liang-san, terang dinding tebing gunung ini banyak hubungannya dengan apa yang terjadi hari ini.

Menyusul teringat pula ketika dirinya terjerumus ke dalam jurang tadi, berulang-ulang Kam Jin-ho membentaknya agar berhenti, katanya tempat itu adalah tempat Bu-liang-kiam yang terlarang didatangi siapa pun juga.

Maka pikirnya pula, "Ketika aku ikut Be Ngo-tek ke Kiam-oh-kiong, pernah kutanya sebab apa ketiga sekte Bu-liang-kiam itu setiap lima tahun harus saling bertanding sekali dan yang menang berhak menghuni Kiamoh-kiong selama lima tahun? Namun jago tua she Be itu hanya garuk-garuk kepala dan menyatakan itu adalah rahasia golongan Bu-liang-kiam, orang luar tidak mengetahuinya."

Ia coba menganalisis apa yang telah dilihat dan didengarnya itu, ia menduga di atas Giok-bik itu tentu terukir semacam rahasia pelajaran ilmu pedang yang ditetapkan oleh leluhur Bu-liang-kiam, bahwa sekte mana yang menang dalam pertandingan boleh tinggal di situ untuk mempelajari ilmu pedang itu selama lima tahun.

Berpikir sampai di sini, ia bertambah yakin akan rekaannya itu.

Sejak kecil Toan Ki sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Buddha, ia benci terhadap ilmu silat. Ia minggat dari rumah juga disebabkan tidak mau belajar silat. Tapi setelah beruntun-runtun dianiaya, dihina dan diracun orang, yang berbuat itu semuanya adalah orang persilatan pula, maka bencinya terhadap ilmu silat makin mendalam.

Maka demi ingat dinding kemala itu ada sangkut-pautnya dengan ilmu silat, segera ia melengos tidak sudi memandangnya lagi. Pikirnya, "Sebabnya orang suka berkelahi dan bunuh-membunuh di dunia ini, semuanya gara-gara ilmu silat masing-masing. Apabila di atas dinding kemala itu terukir ilmu silat yang tiada tandingannya di seluruh kolong langit, itu berarti akan membawa bencana lebih hebat bagi manusia, akibatnya tentu jauh lebih celaka daripada Kim-leng-cu, Toan-jiong-san dan sebagainya."

Ia pikir sambil berjalan terus, namun akhirnya rasa ingin tahunya lebih kuat daripada segala pikiran lain, ia pikir pula, "Rahasia ilmu silat yang tertera di atas dinding kemala itu pasti sangat susah diyakinkan, bila tidak, rasanya Co Cu-bok dan saudara-saudara seperguruannya tidak perlu bersusah payah mempelajarinya selama lima tahun dan ternyata tidak banyak hasilnya. Aku justru ingin tahu macam apakah ilmu silat yang aneh itu?"

Segera ia menengadah pula, ia lihat dinding itu halus gilap seperti kaca, dari mana bisa terukir sesuatu rahasia ilmu pedang atau ilmu silat lain? Ia coba mengincar dari samping dan mengamati dari depan pula, namun tetap tiada sesuatu yang menarik, pikirnya pula, "Apa yang dikatakan orang kuno belum tentu sungguh-sungguh. Boleh jadi leluhur Bu-liang-kiam sengaja membohongi anak murid mereka agar bisa lebih giat berlatih. Atau mungkin juga dugaanku yang salah?"

Setelah memandang sekian lama pula, ia merasa letih dan lapar. Tanpa pikir lagi ia rebahkan diri dan tertidur. Ketika mendusin esok paginya, perutnya semakin keroncongan, tapi di tengah lembah itu tiada sesuatu makanan, buah-buahan pun tidak tampak.

Sampai tengah hari, saking lapar Toan Ki terus petik beberapa bunga hutan sekadar tangsel perut. Walaupun pahit getir rasanya bunga itu, terpaksa ia telan mentah-mentah.

Setelah beberapa jam lagi, sang surya sudah doyong ke barat, ia lihat di angkasa danau timbul selarik bianglala yang indah permai. Ia tahu di mana ada air terjun, pantulan sinar matahari sering menimbulkan bayangan bianglala yang berwarna-warni. Menghadapi pemandangan permai itu, ia merasa tidak penasaran biarpun harus terkubur di lembah gunung itu. Setelah termenung-menung agak lama, akhirnya ia rebah dan terpulas lagi.

Tidurnya itu nyenyak benar, ketika mendusin, waktunya sudah tengah malam. Ia lihat sang dewi malam sedang memancarkan cahaya yang tenang lembut. Ketika mendongak memandang ke dinding batu sana, ia lihat di dinding itu jelas terlukis dua benda.

Toan Ki terkesiap, ia kucek-kucek mata dan memandangnya lebih jelas, kiranya kedua benda itu hanya bayangan saja. Yang satu berbentuk melengkung mirip pelangi yang dilihatnya siang tadi, yang lain adalah bayangan sebatang pedang.

Bayangan pedang itu sangat terang, baik batang pedang, tangkainya, ujungnya, semuanya mirip benar.

Setelah pikir sejenak, Toan Ki menarik kesimpulan di depan dinding batu itu pasti ada sebatang pedang, karena sinar bulan yang menyorot miring itu, maka bayangan pedang tercetak di atas dinding itu.

Ia lihat ujung bayangan pedang itu menunjuk ke pucuk bayangan benda melengkung itu. Waktu ditegasi, Toan Ki merasa bayangan itu makin mirip pelangi. Tidak lama, awan tipis yang menutupi sang dewi malam itu tertiup buyar oleh angin hingga bayangan hitam itu tampak lebih jelas lagi. Dari bayangan hitam benda melengkung itu ternyata timbul jalur aneka warna persis seperti warna-warni bianglala.

Toan Ki semakin heran, pikirnya, "Kenapa di tengah bayangan bisa timbul warna-warni?"

Ketika pandangannya beralih ke arah yang berlawanan dengan dinding batu itu, ia lihat di dinding tebing curam sana lamat-lamat ada sinar berwarna yang bergoyang-goyang.

Seketika ia menjadi sadar, kiranya di dinding situ ada terjepit sebatang pedang, di samping itu ada sepotong batu mestika yang mengeluarkan cahaya pelangi.

Batu permata memangnya mempunyai tujuh warna, maka sinar bulan telah memindahkan pantulan warnawarni itu ke dinding batu sana. Pantas begitu indah menarik. Cuma sayang, tempat di mana terdapat bendabenda mestika itu berpuluh tombak tingginya, betapa pun sukar dicapai untuk dilihat dari dekat.

Belum lama ia menikmati pemandangan indah itu, sang bulan sudah berpindah hingga bayangan itu mulai menipis dan akhirnya lenyap tinggal dinding batu yang tetap halus licin itu.

Tanpa sengaja Toan Ki dapat menemukan rahasia itu, ia pikir, "Kiranya rahasia di atas dinding kemala Buliang-san ini beginilah adanya. Kalau tidak kebetulan tergelincir ke sini, belum tentu aku bisa melihat bayangan tadi, sedangkan sinar bulan yang menyorot ke atas dinding itu, dalam setahun hanya ada kesempatan beberapa hari saja. Sebaliknya orang-orang Bu-liang-kiam yang sengaja hendak mencari rahasia itu, kebanyakan pasti datang pada waktu siang hari untuk mengamati dinding batu itu secara bodoh, bisa jadi mereka malah menggali dan membongkar batu pegunungan di atas sana untuk mencari rahasia yang tidak pernah diketemukan itu. Sudah tentu hasilnya tetap nihil."

Berpikir sampai di sini, ia tertawa geli sendiri, "Hihi, seumpama aku memperoleh pedang serta benda mestika yang mengeluarkan cahaya warna-warni itu, bagiku paling-paling hanya mendapatkan dua macam mainan yang menarik saja, perlu apa mesti banyak pikiran untuk itu? Bukankah aku terlalu goblok?"

Setelah termangu-mangu sejenak, kemudian ia tertidur lagi.

Dalam tidurnya itu, sekonyong-konyong ia melonjak bangun, katanya dalam hati, "He, ujung pedang itu menunjuk ke puncak pelangi bagian bawah, jangan-jangan di balik itu ada rahasianya lagi? Padahal untuk menjepit pedang dan batu mestika itu ke dinding tebing tidaklah mudah dilakukan, bukan saja diperlukan ilmu silat yang tinggi, bahkan harus ada orang mengereknya dengan tali yang panjang. Dan kalau secara susah payah berbuat begitu, di dalamnya pasti mengandung maksud tertentu, apakah artinya rahasianya terletak di ujung pelangi! Kalau dilihat dari kedua bayangan itu, kecuali kesimpulan ini, terang tiada arti lain lagi. Tapi ujung pelangi itu yang satu mengarah ke langit, ujung yang lain sebaliknya menunjuk ke tengah danau, biarpun di dalamnya terkandung rahasia mahabesar juga susah untuk memperolehnya."

Begitulah Toan Ki termangu-mangu sampai lama, akhirnya ia berpendapat, "Cahaya pelangi setiap waktu berubah-ubah, mungkin tempat yang ditunjuk bayangan pedang itu besok akan berlainan."

Esok paginya, karena memikirkan munculnya pelangi, ia menjadi lupa lapar. Akhirnya tiba juga sang malam. Selarik pelangi panjang tampak menghias langit pula. Tapi begitu melihat, Toan Ki menjadi kecewa. Ternyata kedua ujung pelangi itu sedikit pun tiada ubahnya seperti kemarin, yang sebelah mengarah ke langit, ujung lain menurun ke tengah danau.

Toan Ki coba mendekati tepi danau, suara gemuruh air terjun itu membuat telinga seakan-akan pekak, hanya sekejap saja baju sudah basah kuyup oleh cipratan air terjun. Ia lihat di tengah danau terdapat suatu pusaran air yang sedang berputar dengan keras sekali. Karena didekati, pelangi tadi lantas tidak kelihatan lagi.

Waktu Toan Ki hitung-hitung, sudah hari ketiga sejak ia jatuh ke dalam jurang. Lewat empat hari lagi, seumpama tidak mati kelaparan, kalau racun Toan-jiong-san di dalam perut mulai bekerja, sekalipun dia tidak sampai mati, tentu kawanan Sin-long-pang akan membunuh Ciong Ling.

Ke sana ke sini juga mati, tidakkah lebih baik terjun ke tengah pusaran air saja untuk melihat apakah ada sesuatu di dasar danau itu. Karena menghadapi jalan buntu, terpaksa mati-matian mencari selamat, kedua, dia memang bersemangat banteng, sekali ingin berbuat, segera dilaksanakannya.

Karena itu, tanpa pikir lagi terus saja ia terjun ke tengah pusaran air itu. Seketika tubuhnya digulung oleh suatu tenaga mahadahsyat terus berputar ke bawah. Lekas ia tutup pernapasannya, sebaliknya pasang mata lebarlebar, ia lihat sekitarnya hanya air buram belaka, ia terhanyut ke dasar danau oleh arus air yang keras berasal dari air terjun di atas itu.

Toan Ki hanya sekadar bisa berenang saja, terhanyut di tengah arus air yang keras itu, ia tak bisa menguasai diri lagi, tubuhnya berputar-putar dan sebentar saja ia sudah megap-megap kemasukan air, seketika pikirannya samar-samar, hanya merasa terhanyut terus oleh arus air dan entah berapa jauhnya.

Sekonyong-konyong tubuh terasa dilemparkan oleh tenaga pusaran ke atas permukaan air. Ketika Toan Ki menggeraki tangannya serabutan, untung dapat menangkap seutas akar rotan, cepat saja ia pegang kencangkencang.

Setelah tenangkan diri sejenak, ia membuka mata dan melihat sekitarnya gelap gulita. Ia coba ulur kaki kanan ke depan dan terasa masih menginjak tanah, segera kaki yang lain ikut melangkah maju, tapi kedua tangan masih tidak berani melepaskan pegangannya pada akar rotan tadi.

Setelah belasan tindak jauhnya, ia merasa air hanya sebatas betis kaki, arus air pun tidak terlalu keras lagi, segera ia lepaskan rotan tadi dan berdiri tegak.

Tapi mendadak "blang", batok kepalanya kebentur sesuatu yang menonjol, saking kesakitan hampir saja ia jatuh kelengar. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang kurang hati-hati. Waktu meraba ke atas, benda itu terasa dingin keras, kiranya batu padas.

Setelah berpikir sejenak, Toan Ki tahu dirinya tadi telah terbawa ke dasar danau oleh pusaran air yang dahsyat, tapi arus air itu ada jalan buangannya, maka dirinya ikut terbawa pula sampai di tempat buangan air itu.

Meski keadaannya sekarang banyak celaka daripada selamatnya, namun selama masih ada harapan, ia pantang menyerah, segera ia merangkak maju mengikuti lorong buangan air itu. Ia dengar suara gemerujuknya air terkadang cepat dan terkadang lambat mengalir di kanan kirinya.

Setelah merangkak sebentar, lorong itu makin melebar hingga akhirnya dapatlah ia berdiri sambil membungkuk. Ia berjalan terus, akhirnya dapatlah ia berjalan dengan tegak. Cuma sering ia menginjak lubang di bawah air hingga mendadak badan terendam air sebatas pinggang. Lain saat di atas kepala tiba-tiba menonjol batu padas hingga hampir kepalanya benjut lagi kebentur. Untung kedua tangannya terjulur ke depan sebagai pembuka jalan, kalau tidak entah berapa kali kepalanya akan bertambah telur ayam.

Setelah berjalan lagi, tiba-tiba Toan Ki teringat pada Jing-leng-cu, ia coba meraba pinggang, syukurlah binatang itu masih melilit di situ tanpa kurang apa-apa. Ia merasa pengalamannya hari ini benar-benar merupakan pengalaman aneh selama hidup yang susah diperoleh orang lain.

Sudah turun-temurun ahli waris Bu-liang-kiam suka termangu-mangu memandangi dinding batu itu, tapi sekali-kali tidak mereka sangka bahwa orang harus terjun ke dalam jurang, di situlah mereka akan menemukan apa yang diharapkan itu pada malam hari di bawah sinar bulan purnama.

Namun seumpama sudah melihat bayangan pedang dan batu mestika di dinding itu, kalau tiada punya semangat berani mati, rasanya juga takkan berani melompat ke tengah pusaran air yang berarus dahsyat itu.

Semakin dipikir, semakin senang hati Toan Ki. Tanpa tertahan lagi ia terbahak-bahak, lalu ia bergumam sendiri, "Wahai, Toan Ki! Jika hari ini jiwamu jadi melayang, itu berarti tamatlah riwayatmu. Tapi kalau beruntung bisa keluar dengan selamat, bolehlah kau mengejek Co Cu-bok dan murid-muridnya yang sombong tapi tak becus itu."

Habis berkata, ia terbahak-bahak pula dengan keras.

Tak tersangka, mendadak di sebelah kanan sana juga ada orang menirukan tertawanya yang terbahak-bahak itu. Keruan Toan Ki kaget, ia berhenti tertawa, segera suara tawa itu pun lenyap.

"Siapa itu?" seru Toan Ki.

"Siapa itu?" terdengar pula suara serupa di sana.

"Kau setan atau manusia?" teriak Toan Ki lagi.

"Kau setan atau manusia?" suara itu tetap menirukannya.

Setelah tertegun sejenak, akhirnya Toan Ki sadar dan tertawa geli sendiri, gerutunya, "Kurang ajar, kiranya adalah kumandang suaraku sendiri."

Tapi segera timbul curiganya lagi, "Hanya lembah gunung atau sebuah ruangan besar yang dapat menimbulkan kumandang suara. Jika begitu, di sebelah kanan sana tentu ada suatu tempat yang luas. Haha, jika bukannya aku kegirangan hingga terbahak-bahak tawa, tentu aku takkan tahu di sini masih ada suatu tempat lain lagi."

Jilid 03
Begitulah ia terus berteriak-teriak sambil menuju ke tempat datangnya suara itu. Tiada lama ia merasa berada di suatu tempat yang luang, tangannya tidak meraba sesuatu lagi.

Tiba-tiba kehilangan sentuhan, Toan Ki merasa takut malah. Setindak demi setindak ia maju terus, kaki merasa tidak mendapat rintangan apa-apa lagi. Sekonyong-konyong tangan menyentuh sesuatu yang dingin. Begitu tersenggol, benda itu terus menerbitkan suara nyaring "cring”, ketika diraba lagi lebih teliti, kiranya sebuah gembok besar.

Kalau ada gembok dengan sendirinya ada pintu.

Maka cepat Toan Ki meraba-raba pula, benar juga dari atas ke bawah ada belasan paku pintu yang besar-besar. Dalam kejut dan girangnya ia heran pula kenapa di tempat seperti ini ada penghuninya?

Segera ia angkat gembok tadi mengetuk pintu beberapa kali. Tapi sampai lama tiada jawaban apa-apa dari dalam. Kembali ia ketuk-ketuk dan tetap tiada suara sahutan. Maka ia coba dorong pintu itu.

Pintu itu sangat antap seperti terbuat dari baja. Tapi tidak dipalang dari dalam, maka perlahan Toan Ki mendorong dan segera pintu itu terbuka. Dengan suara lantang Toan Ki lantas berseru, "Cayhe Toan Ki secara sembrono telah masuk ke sini, mohon tuan rumah suka memaafkan.”

Ia berhenti sejenak dan tidak mendengar sesuatu suara di dalam, lalu ia melangkah masuk.

Meski waktu itu ia sudah berada di dalam pintu, tapi biarpun matanya melotot hingga biji mata seakan-akan melompat keluar tetap tidak melihat sesuatu benda, hanya hidungnya merasakan bau di sini tidak selembap seperti di lorong air tadi. Ia berjalan terus ke depan, mendadak "blang”, sungguh sial, kembali batok kepalanya kebentur sesuatu.

Syukur ia berjalan perlahan, maka benturan itu tidak terlalu sakit. Waktu diraba, kiranya di situ ada sebuah pintu pula. Perlahan Toan Ki mendorongnya hingga terbuka, tapi di dalam tetap gelap gulita.

Dan begitulah seterusnya, beruntun-runtun Toan Ki telah melalui enam buah pintu. Ketika memasuki pintu

keenam itu, mendadak pandangannya terbeliak terang, kontan jantung Toan Ki ikut memukul, serunya di dalam hati, "Ah, akhirnya dapatlah kukeluar dengan selamat!”

Waktu ia perhatikan, kiranya tempat itu adalah sebuah kamar batu berbentuk bulat, sinar terang itu tembus dari sudut kiri sana, cuma agak remang-remang, seperti bukan cahaya matahari. Ia coba mendekati lubang yang tembus sinar itu, tiba-tiba dilihatnya ada seekor udang besar berenang lewat. Ia sangat heran, ia maju lebih dekat, terlihat pula beberapa ekor ikan berwarna-warni sedang berenang di luar sana dengan bebasnya. Ketika diawasi lagi, kiranya lubang jendela itu terbuat dari sepotong batu kristal yang dipasang di dinding itu, besarnya kira-kira sama dengan baskom dan sinar tembus dari kaca yang berjumlah tiga buah itu.

Toan Ki coba mengintip keluar melalui kaca itu, ia lihat di luar sana warna air hijau kebiruan bergerak-gerak tak pernah berhenti, banyak jenis ikan dan udang berenang kian kemari dengan bebasnya.

Maka pahamlah Toan Ki bahwa tempat dirinya berada ini pasti berada di dasar air, kalau bukan di dasar danau, tentu di dasar sungai.

Rupanya pembangun rumah ini dahulu telah banyak mengorbankan jerih payah tenaga dan pikiran baru dapat menarik cahaya air itu ke dalam ruangan, dan ketiga potong batu kaca itu jelas adalah batu mestika yang tiada tara nilainya.

Ketika berpaling, Toan Ki melihat di tengah kamar batu itu terdapat sebuah meja batu, di depan meja ada bangku, di atas meja tertaruh sebuah cermin perunggu. Di samping cermin terdapat sebangsa sisir, tusuk kundai dan sebagainya. Agaknya bekas kamar kaum wanita.

Cermin perunggu itu tepinya sudah berlumut, di atas meja juga banyak debunya, entah sudah berapa lama tiada orang menginjak kamar ini.

Melihat keadaan itu, seketika Toan Ki terkesima malah, pikirnya, "Lama berselang, tentu ada seorang wanita tinggal kesepian di sini. Entah sebab apa hingga dia begitu sedih hingga meninggalkan pergaulan ramai untuk mengasingkan diri di sini.”

Setelah termangu-mangu sejenak, ia periksa pula kamar itu, ia lihat di sekitar dinding kamar penuh terpasang cermin perunggu, sekadar dihitung saja sudah lebih dari 30 buah. Toan Ki makin heran, pikirnya, "Tampaknya wanita yang tinggal di sini ini pasti cantik tiada bandingannya, maka setiap hari senantiasa bercermin, suasana begini sungguh memesona.”

Ia mondar-mandir di dalam kamar itu, sebentar berkecek-kecek kagum, lain saat menghela napas gegetun, ia

kasihan pada wanita cantik yang belum pernah dikenalnya itu.

Selang agak lama, mendadak ia teringat, "Haya, celaka! Aku hanya memikirkan urusan orang lain tapi lupa pada kepentingan sendiri. Kalau di sini pun tiada jalan keluar, lalu bagaimana nasibku?”

Waktu ia periksa sekitar kamar, terang sekali tiada jalan tembus lain lagi, dalam keadaan putus asa, ia duduk di atas bangku batu sambil mengomel diri sendiri, "Aku Toan Ki sungguh seorang lelaki dungu, kalau mati di sini hanya bikin kotor tempat si cantik saja. Kalau mau mati, sepantasnya mati di lorong sana. Eh, sebelum ajal, biarlah kulihat wajahku sendiri ini macam apa?”

Segera ia gunakan lengan baju untuk menggosok cermin perunggu di atas meja itu hingga gilap, lalu ia duduk di bangku untuk mengaca, tapi letak cermin agak jauh hingga mukanya kurang jelas, maka ia bermaksud menggeser cermin itu lebih dekat.

Tak tersangka cermin itu ternyata menempel erat di atas meja batu, sekali cermin itu ditarik, seketika bangku yang diduduki itu terasa bergoyang.

Dalam kagetnya Toan Ki sangat girang, cepat ia berbangkit dan menarik cermin itu lebih kuat, maka terdengarlah suara keriang-keriut, bangku batu mulai bergeser hingga tertampak sebuah lubang di bawahnya. Ketika dipandang, di bawah lubang itu terdapat undak-undakan batu yang menurun ke bawah.

"Terima kasih kepada langit dan bumi, akhirnya aku Toan Ki mendapatkan jalan keluar,” seru Toan Ki kegirangan. Terus saja ia turun ke bawah mengikuti undak-undakan batu itu.

Kira-kira belasan undakan, kemudian membelok ke atas, berlingkar-lingkar, makin jauh makin tinggi, setelah menikung beberapa kali lagi, akhirnya pandangan Toan Ki terbeliak terang, tapi mendadak ia menjerit kaget pula ketika tahu-tahu di depannya berdiri seorang wanita cantik berpakaian putri istana dengan pedang terhunus lagi mengancam dadanya.

Sekilas Toan Ki merasa wanita ini cantik luar biasa dan sukar dilukiskan, selama hidupnya belum pernah melihat wanita ayu seperti ini. Saking kejutnya sampai mulut Toan Ki ternganga.

Selang agak lama, ia lihat wanita ini tetap tidak bergerak sedikit pun, ketika diawasi ia lihat wanita itu meski cantik dan agung, tapi bukan manusia hidup.

Waktu diperhatikan lagi barulah ia tahu orang hanya sebuah patung yade putih saja. Cuma patung ini besarnya seperti manusia biasa, baju sutera putih yang dipakai juga bisa bergerak-gerak, yang lebih aneh adalah biji matanya seakan-akan bersinar hidup.

Saking terpesona Toan Ki sendiri tidak menyadari sudah berapa lama ia memandang patung itu, akhirnya ia pun tahu biji mata patung itu adalah buatan dari batu permata hitam. Dan sebabnya patung itu mirip benar dengan manusia hidup adalah karena biji matanya yang bersinar yang terbuat dari batu permata itu. Bahkan muka patung jelita yang terukir dari batu kemala putih ini pun bersemu merah hingga tiada ubahnya seperti manusia hidup.

Ketika Toan Ki miringkan kepala memandang patung itu, ia lihat sorot mata patung itu pun ikut mengerling ke sana seakan-akan hidup, keruan Toan Ki terkejut, ia coba memandangnya dari arah lain lagi, dan sorot mata patung itu pun mengerling mengikuti arahnya, dari sudut mana dia memandang, sorot mata patung juga selalu memandang kepadanya, perasaan yang terkandung dalam sinar mata patung itu pun sukar diraba, seperti girang, seakan-akan sedih, entah suka, entah marah, seperti kemalu-maluan, tapi juga seperti lagi murung.

Toan Ki terkesima sejenak, ia kemudian membungkuk tubuh memberi hormat, katanya, "Enci Dewi, hari ini Toan Ki beruntung dapat bertemu dengan engkau, sungguh mati pun aku tidak menyesal. Enci Dewi tinggal seorang diri di sini, apakah tidak merasa kesepian?”

Aneh bin ajaib, sorot mata patung itu seakan-akan berubah lain, agaknya dapat menerima apa yang diucapkan Toan Ki itu. Sebaliknya pemuda itu sendiri seakan-akan kesurupan setan saja, pandangannya tidak pernah lagi meninggalkan patung kemala itu. Katanya pula, "Enci Dewi, entah siapakah namamu?”

Segera ia pikir barangkali di sekitar sini dapat ditemukan sesuatu catatan. Ia coba memandang seputarnya, tapi baru beberapa kejap, tak tahan lagi ia memandang patung itu lagi.

Kini barulah ia tahu bahwa rambut patung itu adalah rambut manusia tulen, gelung yang agak mengendur ke bawah seakan-akan tersampir di pundak, di atas gelungan terdapat sebuah tusuk kundai kemala berhiaskan dua butir mutiara mestika sebesar jari yang bersinar mengilat.

Ia lihat di sekitar dinding ruangan penuh terhias macam-macam batu permata hingga menyilaukan mata. Di dinding sebelah barat sana jelas tertampak ada delapan huruf yang dibentuk dari batu intan kecil. Arti dari kedelapan huruf itu adalah, "Rahasia Bu-liang dapat ditemukan dengan membuka baju.”

Toan Ki terperanjat, gumamnya sendiri, "Membuka baju Enci Dewi? Mana boleh jadi!”

Walaupun patung itu bukan manusia hidup, tapi sekali pandang Toan Ki sudah kesengsem, sedikit pun ia tidak berani berlaku kurang ajar. Pikirnya, "Memangnya aku tidak ingin tahu segala rahasia apa, umpama ingin juga tidak berani berbuat sembrono terhadap Enci Dewi. Untung sebelum ini tiada orang lain mendatangi tempat ini lebih dulu, kalau tidak, wanita cantik tiada bandingannya ini bukankah akan dibikin kotor oleh segala manusia rendah? Ehm, paling baik aku harus hilangkan huruf-huruf itu agar kelak bila ada orang lain datang ke sini tidak akan bikin kotor patung cantik ini.”

Ia lihat di pojok kamar sana banyak tertumpuk cermin perunggu, sedikitnya ada ratusan buah. Segera ia mengambilnya sebuah dan dipakai menggempur batu permata yang membentuk kedelapan huruf tadi. Khawatir masih ada bekasnya, Toan Ki gosok-gosok pula lubang-lubang kecil bekas gigitan batu permata itu hingga rata benar.

Selesai itu, Toan Ki merasa sudah berjasa bagi "patung dewi” itu, betapa senangnya sukar dikatakan.

Kembali di depan patung itu, ia termangu-mangu lagi seperti orang linglung, bahkan hidungnya seakan-akan mencium bau wangi. Dari suka timbul rasa hormatnya, dari hormat ia menjadi kesengsem. Mendadak ia berteriak, "Enci Dewi, jika engkau bisa hidup dan bicara sepatah saja padaku, biarpun aku harus mati seratus kali, bahkan seribu kali bagimu, aku rela dan senang tak terhingga.”

Tiba-tiba ia berlutut dan menyembah pada patung dewi. Dan karena berlututnya inilah baru ia tahu bahwa di depan patung itu memang terdapat dua buah kasuran tikar seperti disediakan untuk orang bersembahyang. Tikar yang dipakai berlutut Toan Ki itu agak besar, di dekat kaki patung masih ada sebuah kasur tikar yang lebih kecil, agaknya disediakan bila yang sembahyang menjura dengan manggutkan kepala ke lantai.

Ketika Toan Ki mulai menyembah, ia lihat di tepi kedua sepatu patung itu seperti tersulam tulisan.

Ketika diperhatikan, ia dapat membaca tulisan di tepi sepatu kiri berbunyi, "Menjura seribu kali, turut segala perintahku.”

Dan di tepi sepatu kanan bertulis, "Pasti mengalami malapetaka, badan celaka nama musnah.”

Tulisan-tulisan yang masing-masing terdiri dari delapan huruf itu kecil bagai lalat, sepatu patung itu berwarna hijau tua, kalau tidak menyembah pasti tak mengetahui di bawah situ ada tulisannya. Sekalipun dapat melihatnya, orang biasa bila membaca kata-kata, "Menjura seribu kali, turut segala perintahku”, tentu akan merasa enggan, bagi yang berwatak keras dan tinggi hati, boleh jadi patung itu akan didepak.

Apalagi tulisan yang berbunyi, "Pasti mengalami malapetaka, badan celaka nama musnah”, lebih-lebih

membikin siapa pun marah bila membacanya.

Tapi kini Toan Ki sudah kesengsem benar-benar terhadap patung dewi itu, ia merasa menjura seribu kali juga pantas, malahan kalau bisa menjadi pesuruh sang dewi, itulah melebihi harapannya. Sedang mengenai bakal mengalami malapetaka, badan celaka dan nama musnah demi sang dewi, betapa pun ia rela.

Sebenarnya kalau orang biasa, bila melihat tulisan itu, andaikan tidak marah, paling-paling juga tertawa dan anggap sepele saja. Tapi dasar Toan Ki sudah kesengsem bagai orang linglung, ia benar-benar terus menjura, sekali, dua kali, tiga kali ... empat belas, lima belas ... dua puluh ... tiga puluh ....

Sambil mulutnya menghitung, dengan sangat khidmat ia menjura tiada hentinya.

Kira-kira menjura lebih 500 kali, Toan Ki merasa kaki sakit, boyok pegal, leher cengeng. Tapi demi sang dewi, betapa pun harus bertahan sampai titik penghabisan, ia sudah bertekad menjura sampai selesai 1.000 kali.

Sampai lebih 800 kali, tiba-tiba kasur kecil yang dibuat ganjal anggukan kepala itu perlahan ambles ke bawah. Setiap kali kepalanya mengangguk, kasur kecil itu lantas ambles lagi sedikit.

Setelah berpuluh kali menjura pula, tiba-tiba dilihatnya tempat yang ambles itu menongol tiga buah ujung panah yang mengarah miring ke atas dan tepat mengincar batok kepalanya. Lamat-lamat tertampak ujung panah itu gemerlapan, batang panah terpasang pegas.

Setelah berpikir sejenak, segera Toan Ki paham persoalannya. Katanya di dalam hati, "Wah, hampir celaka! Kiranya di bawah situ ada perangkapnya berupa panah beracun. Untung aku menjura dengan menghormat sungguh-sungguh sehingga kasur itu ambles perlahan dan panah berbisa itu tidak menjeplak keluar. Jika aku berlaku kasar dan mendepak-depak kasuran itu, sekali alat perangkap terguncang, panah berbisa itu mungkin sudah menancap di perutku. Biarlah kuhabiskan menjura seribu kali, ingin kulihat ada perubahan apa lagi.”

Segera ia menjura pula dan selesaikan jumlah 1.000 kali itu. Ketika mendongak, ia lihat tempat yang ambles tadi terdapat sepotong pelat baja, di atasnya ada ukiran tulisan, segera Toan Ki ambil pelat baja itu dan membacanya, "Karena kau sudah menjura seribu kali, kini kau telah menjadi muridku. Nasibmu selanjutnya akan sangat mengenaskan. Ilmu silat golongan kita yang tiada bandingannya di kolong langit ini berada di dalam kamar batu, harap dipelajari dengan tenang.”

Sungguh kecewa Toan Ki. Justru karena tak mau belajar silat, maka ia minggat dari rumah. Dengan sendirinya sekarang ia pun tidak ingin belajar ilmu silat tiada bandingan di kolong langit apa segala.

Dengan hati-hati ia kembalikan pelat baja tadi ke tempatnya. Ketika berdiri lagi, ia merasa kaki kemeng kaku seluruhnya, hampir saja ia jatuh terguling.

Setelah termangu-mangu sejenak, kemudian ia memberi hormat pula dan berkata, "Enci Dewi, aku tidak mau menjadi muridmu, ilmu silatmu yang tiada bandingan di kolong langit pun aku tidak mau belajar. Hari ini aku masih ada urusan penting, sementara ini kumohon diri. Nanti kalau nona Ciong sudah kuselamatkan, tentu aku akan datang kemari untuk berkumpul lagi dengan Enci Dewi.”

Dengan perasaan berat ia melangkah keluar kamar batu itu. Ia lihat undak-undakan batu di luar kamar miring ke atas, ia melangkah naik dengan ragu-ragu, beberapa kali ia ingin menoleh ke belakang untuk memandang patung cantik itu, syukur imannya cukup teguh, akhirnya ia bisa mengekang diri.

Kira-kira ratusan undakan ke atas, ia sudah membelok tiga kali, lamat-lamat terdengar suara gemuruh air. Setelah beratus undakan lagi, suara air semakin keras seakan-akan memekak telinga, lalu tertampak ada cahaya menembus masuk dari depan sana.

Toan Ki percepat langkahnya hingga tibalah di ujung terakhir undak-undakan batu itu. Ternyata di situ ada sebuah lubang yang cukup untuk dilalui tubuh manusia. Ia coba melongok keluar dengan kepala menongol lebih dulu, tapi ia menjadi kaget.

Di luar sana arus mendebur-debur, gulung-gemulung dengan hebatnya, ternyata sebuah sungai besar. Kedua tepi sungai penuh tebing curam, batu padas sungsang timbul di sana-sini, Toan Ki yakin tempat ini pasti lembah sungai Lanjong.

Kejut dan girang rasa hati Toan Ki. Cepat ia merangkak keluar dari lubang gua itu. Ternyata tempat dirinya berada ini kira-kira belasan tombak tingginya di atas permukaan sungai, biarpun air sungai naik pasang melanda juga takkan mencapai mulut gua ini.

Tapi untuk bisa mencapai daratan, ia perlu juga merayap melalui tebing-tebing curam. Namun berkat bantuan Jing-leng-cu, walaupun dengan susah payah, akhirnya dapatlah Toan Ki sampai di tempat yang aman. Ia ingat baik-baik keadaan sekitar tempat ini agar kelak bila urusannya beres, ia ingin datang lagi ke tempat yang maharahasia ini.

Ia melanjutkan perjalanan dengan menyusur tepi sungai yang penuh batu karang, setelah beberapa li jauhnya, Toan Ki melihat sebuah pohon Tho yang lagi berbuah, memangnya sudah sangat lapar, segera Toan Ki panjat ke atas pohon dan petik buah Tho itu untuk tangsel perut. Habis makan, semangatnya dapat dipulihkan.

Setelah belasan li lagi, akhirnya sampailah di suatu jalan kecil. Ia maju terus mengikuti jalan kecil itu. Ketika hampir magrib baru ia menemukan, "jembatan rantai besi” yang melintang terapung di antara kedua tepi sungai. Ia lihat di atas batu ujung jembatan gantung itu terukir tiga huruf "Sian-jin-toh” atau jembatan orang bajik.

Melihat nama jembatan itu, kembali Toan Ki bergirang, memang itulah jembatan yang dicari sesuai dengan petunjuk Ciong Ling. Terus saja ia menyeberangi jembatan.

Jembatan itu terdiri dari empat utas rantai besi yang sambung-menyambung, dua utas bagian bawah diberi papan kayu untuk jalan, dua utas yang lain dipakai pegangan orang menyeberang.

Begitu Toan Ki menginjak jembatan gantung itu, segera rantai jembatan bergontai-gontai. Sampai di tengah sungai, guncangan jembatan itu semakin hebat. Sekilas pandang ke bawah, air sungai tampak mengombak dan berdebur dengan hebatnya, bila terpeleset jatuh ke bawah, betapa pun pandai berenang rasanya juga takkan mampu melawan ombak yang luar biasa itu.

Toan Ki tak berani menengok lagi ke bawah, ia pandang lurus ke depan, dengan berdebar-debar setindak demi setindak ia merambat ke ujung sana.

Ia duduk mengaso sejenak di tepi jembatan, kemudian baru melanjutkan perjalanan menurut petunjuk yang pemberian Ciong Ling itu.

Menurut Ciong Ling, lembah pegunungan kediamannya itu bernama "Ban-jiat-kok” atau lembah berlaksa maut. Jalan masuknya adalah sebuah kuburan.

Setelah berliku-liku melintasi bukit dan menyusur rimba, ketika sampai di tempat kuburan yang dicari itu, hari sudah remang-remang gelap.

Ia hitung dari kiri ke kanan dan mendapatkan kuburan nomor tujuh, ia lihat di depan kuburan itu terdapat sepotong batu nisan yang bertuliskan "Kuburan Ban Siu Toan.”

Toan Ki tercengang, pikirnya: "Aneh benar nama ini? Kenapa bernama ‘Siu Toan’ (dendam pada Toan)?”

Waktu Ciong Ling memberitahukan tempat tinggalnya, gadis itu menjelaskan kalau mesti mencari kuburan ketujuh dihitung dari kiri, tapi tidak menerangkan apa yang tertulis pada batu nisan.

Kini melihat nama "Ban Siu Toan” yang aneh itu, Toan Ki menjadi ragu. Ia lihat sekitarnya sunyi senyap penuh kuburan, hanya terkadang terdengar suara keresek daun pohon yang bergerak terembus angin senja.

Toan Ki tak berani ayal, segera ia menurut petunjuk Ciong Ling dan menarik batu nisan tadi ke kiri, menyusul menarik lagi dua kali ke kanan dan kembali sekali pula ke kiri. Habis itu ia mendepak tiga kali ke tengahtengah tulisan pada batu nisan itu. Tulisan yang tepat didepaknya itu adalah huruf "Toan”, yaitu nama keluarga Toan Ki sendiri. Diam-diam ia geli sendiri, bila orang lain, tidak sudi mendepak huruf yang menjadi nama keluarga sendiri itu.

Dalam pada itu tiba-tiba dua potong batu di samping kuburan itu mendadak bergerak hingga tertampak sebuah lubang masuk.

Toan Ki coba melongok ke dalam, tapi keadaan gelap gulita, ia tabahkan diri dan melangkah masuk lubang itu, sambil tangan meraba-raba dan membelok suatu tikungan, akhirnya ia melihat di depan sana ada setitik sinar pelita. Segera ia mendekatinya, tapi ia menjadi kaget, ternyata di samping pelita itu terdapat sebuah peti mati.

Sesuai petunjuk Ciong Ling, Toan Ki lantas tiup padam pelita itu hingga keadaan menjadi gelap pekat. Selang tak lama terdengar suara keriang-keriut beberapa kali, tutup peti mati tadi terbuka sendiri, lalu terdengar suara seorang wanita sedang menegur, "Apakah Siocia yang datang?”

"Cayhe bernama Toan Ki,” cepat Toan Ki menyahut, "atas permintaan nona Ciong, kuingin bertemu dengan Kokcu (pemilik lembah).”

Terdengar wanita itu bersuara heran, rupanya agak terkejut atas kedatangan Toan Ki, katanya, "Ja ... jadi kau orang luar? Dan di manakah Siocia kami?”

"Nona Ciong terancam bahaya, Cayhe membawa berita kemari,” sahut Toan Ki.

"Tunggu sebentar, biar kulaporkan pada Hujin (nyonya),” kata wanita itu.

Toan Ki menyatakan baik, ia pikir kebetulan, memangnya nona Ciong suruh aku menemui ibunya lebih dulu, tampaknya urusan ini memberi harapan bagus.

Setelah agak lama berdiri menunggu dalam kegelapan, akhirnya Toan Ki mendengar suara tindakan orang mendatangi, terdengar suara wanita itu berkata padanya, "Hujin menyilakan tuan tamu masuk!”

"Aku tidak bisa melihat,” kata Toan Ki, "terlalu gelap!”

Tiba-tiba terasa sebuah tangan terjulur menarik tangan kanannya dan melangkah masuk ke dalam peti mati, lalu menurun melalui undak-undakan batu.

Setelah beberapa ratus tindak, mendadak pandangannya menjadi terang. Rupanya Toan Ki telah dibawa ke suatu tempat yang penuh tumbuh-tumbuhan bunga. Wanita itu lepaskan tangan Toan Ki yang digandengnya dan berkata, "Tuan tamu silakan ikut padaku.”

Di bawah sinar bulan, Toan Ki melihat wanita itu berusia antara 14-15 tahun, berdandan pelayan, mungkin adalah dayang yang melayani Ciong Ling.

Maka Toan Ki coba bertanya, "Siapakah nama Cici?”

"Sssstt!” pelayan itu mendesis sambil menoleh dan menggoyang-goyang tangan tanda jangan bersuara.

Melihat wajah pelayan itu menampilkan rasa takut, maka Toan Ki tidak tanya lebih lanjut.

Dayang itu membawa Toan Ki menyusur rimba dan menuju ke kiri melalui suatu jalan kecil. Sampai di depan sebuah rumah genting, perlahan pelayan itu mengetok pintu tiga kali, dengan perlahan daun pintu lantas terpentang.

Pelayan itu memberi tanda, Toan Ki disilakan masuk dahulu, ia sendiri berdiri ke samping pintu.

Waktu Toan Ki melangkah ke dalam, ia lihat di situ adalah sebuah ruangan tamu, di atas meja tersulut sebatang lilin besar hingga jelas kelihatan perabotan dalam ruangan itu sangat indah, di atas dinding tergantung beberapa lukisan, dekorasi dalam ruangan tamu yang tidak terlalu luas itu ternyata sangat serasi.

Sesudah Toan Ki ambil tempat duduk, pelayan tadi menyuguhkan teh, katanya, "Silakan Kongcu minum,

sebentar Hujin akan keluar!”

Sehabis Toan Ki minum, terdengarlah suara tindakan orang perlahan, dari dalam muncul seorang nyonya berbaju sutera hijau muda, usianya sekitar 40-an tahun, wajahnya putih ayu dan rada mirip dengan Ciong Ling.

Menduga tentu inilah ibu Ciong Ling, cepat Toan Ki berbangkit dan memberi hormat, katanya, "Wansing (saya yang muda) Toan Ki menyampaikan salam pada Pekbo (bibi).”

Mendengar itu, nyonya Ciong rada tercengang, dengan sikap yang anggun ia membalas hormat orang. Ketika Toan Ki mendongak hingga mukanya kelihatan jelas, mendadak air muka Ciong-hujin berubah hebat sambil terhuyung-huyung mundur dua tindak, katanya dengan tergegap, "Kau ... kau ....”

"Ada apa Pekbo?” tanya Toan Ki heran.

"Kau ... kau juga she Toan?” Ciong-hujin menegas.

Barulah sekarang Toan Ki ingat pada pesan Ciong Ling yang pernah minta agar dia jangan mengaku she Toan. Tapi ia pikir orang she Toan di dunia ini sangat banyak, melulu daerah Hunlam saja tidak kurang beratus ribu lelaki she Toan, belum tentu setiap orang she Toan mahir ilmu It-yang-ci, sebab itulah ia tidak perhatikan pesan gadis itu.

Kini demi tampak wajah Ciong-hujin yang terkejut itu, baru Toan Ki paham apa yang dikatakan Ciong Ling itu sebenarnya mengandung maksud mendalam. Tapi urusan sudah terlambat, terpaksa ia menjawab, "Ya, Wansing she Toan.”

"Kongcu berasal dari mana? Dan siapakah nama orang tua Kongcu?” tanya nyonya Ciong lagi.

Toan Ki pikir sekarang harus berdusta agar asal usulku tak diketahui, maka jawabnya, "Wansing berasal dari Li-an-hu di daerah Kanglam, ayah bernama Toan Liong.”

Ciong-hujin menghela napas lega oleh jawaban itu, setelah tenangkan diri, katanya pula, "Silakan Kongcu duduk.”

Setelah kedua orang sama-sama ambil tempat duduk, nyonya Ciong tidak membuka suara lagi, tapi terus

mengamat-amati Toan Ki dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan. Keruan Toan Ki menjadi kikuk, akhirnya ia bicara lebih dulu, "Putri nyonya sedang terancam bahaya, Wansing sengaja datang memberi kabar.”

"Ah! Kenapa dengan putriku?” seru Ciong-hujin tersadar dari lamunannya.

Segera Toan Ki melepaskan Jing-leng-cu dari pinggangnya dan diserahkan pada nyonya rumah, katanya, "Harap Pekbo periksa, ini adalah benda pengenal putrimu yang dibawakan pada Wansing.”

Melihat ular hijau itu, Ciong-hujin berkerut kening dan mengunjuk rasa jemu, ia sedikit menghindar ke belakang sambil berkata, "Kiranya Kongcu juga tidak takut pada binatang berbisa ini. Harap letakkan di pojok rumah sana saja.”

Diam-diam Toan Ki heran melihat nyonya rumah itu jeri pada ular. Ia taruh Jing-leng-cu di sudut ruangan yang ditunjuk itu. Lalu menceritakan pertemuannya dengan Ciong Ling di Kiam-oh-kiong di atas Bu-liang-san dan cara bagaimana dirinya menerbitkan gara-gara hingga bikin marah kawanan Sin-long-pang, di mana terpaksa Ciong Ling melepaskan Kim-leng-cu, tapi akhirnya gadis itu tertawan serta dirinya dipaksa datang kemari minta pertolongan. Semuanya Toan Ki ceritakan, hanya pengalamannya melihat patung kemala di dasar danau itu tak disebut-sebut.

Sambil mendengarkan, Ciong-hujin diam saja, air mukanya makin lama makin menampilkan rasa sedih. Setelah Toan Ki menutur, dengan menghela napas barulah ia berkata, "Anak perempuan ini memang terlalu nakal, begitu keluar rumah lantas bikin onar.”

"Peristiwa ini adalah gara-gara perbuatanku, tak boleh menyalahkan nona Ciong,” ujar Toan Ki.

Dengan termangu-mangu Ciong-hujin memandangi anak muda itu, sahutnya dengan lirih, "Ya, memang tak dapat menyalahkan dia. Dahulu aku pun demikian ....”

"Apa itu?” Toan Ki menegas.

Ciong-hujin terkesiap hingga wajah bersemu merah, meski usianya sudah setengah umur, tapi sikap malu-malu kucingnya itu ternyata tiada ubahnya seperti gadis remaja. Dengan likat ia menjawab, "O, aku ... aku hanya teringat pada sesuatu kejadian.”

Dan karena berkata "sesuatu kejadian” itu, wajahnya tampak semakin merah jengah, cepat ia membelokkan pokok pembicaraan, "Kukira urusan ... urusan ini agak sulit diselesaikan.”

Melihat sikap nyonya rumah yang kemalu-maluan itu, diam-diam Toan Ki pikir sang ibu ternyata lebih pemalu daripada putrinya yang lincah dan binal itu.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara seorang berkata di luar sana dengan nada dingin, "Hm, apakah tidak pernah kau dengar peraturan di Ban-jiat-kok kami ini?”

Cong-hujin terkejut mendengar suara itu, dengan perlahan katanya pada Toan Ki, "Suamiku datang, dia ... dia suka mencurigai orang, sementara harap Toan-kongcu bersembunyi dahulu.”

"Tapi akhirnya Wansing toh harus menjumpai Ciong-cianpwe, lebih baik ....” belum selesai ucapan Toan Ki, cepat tangan Ciong-hujin sudah mendekap mulutnya, lalu menyeretnya ke suatu kamar di sebelah timur sana.

"Sembunyi saja di sini, sekali-kali jangan bersuara,” pesan nyonya rumah. "Watak suamiku sangat keras dan pemarah, bila ketahuan jiwamu akan terancam dan aku pun tak bisa menolongmu.”

Jangan sangka nyonya rumah itu tampaknya lemah lembut, ilmu silatnya ternyata sangat lihai, sedikit pun Toan Ki tak bisa berkutik kena dipegang dan diseret tadi, terpaksa ia menurut saja. Hanya dalam hati pemuda itu rada mendongkol, "Jauh-jauh kudatang memberi kabar, jelek-jelek aku adalah tamu, kenapa mesti disuruh main sembunyi seperti pencuri saja?”

Dalam pada itu terdengar pula suara seorang wanita di balik dinding papan sana sedang berkata, "Suciku ini dipagut ular berbisa, jiwanya terancam bahaya, maka mohon Locianpwe suka memberi pertolongan ....”

Sembari berkata, terdengar suara tindakan tiga orang memasuki ruangan sebelah.

Waktu Toan Ki mengintip melalui celah-celah dinding, ia lihat seorang wanita berbaju hijau, menggembol pedang di punggung, tangan memondong seorang wanita lain dan tiada hentinya minta ditolong.

Di samping sana ada seorang laki-laki berbaju hitam bertubuh tinggi kurus, muka menghadap ke luar, maka wajahnya tidak kelihatan, cuma dari kedua tangannya yang lebar terjulur ke bawah itu, jelas bentuknya sangat aneh luar biasa.

Kemudian terdengar suara Ciong-hujin lagi tanya, "Siapakah kedua tamu ini? Ada keperluan apakah datang ke

lembah sini?”

Wanita baju hijau tadi menaruh kawan yang dipondongnya itu ke lantai, lalu bertanya, "Nyonya tentulah Ciong-hujin?”

Ciong-hujin mengangguk.

"Siaulicu (aku perempuan yang muda) bernama Hoan He, anak murid Hoa-san-pay dari Siamsay, terimalah hormatku ini,” kata wanita baju hijau sambil memberi hormat.

"Ah, nona Hoan tak perlu banyak adat,” cepat Ciong-hujin membalas hormat sembari membangunkan orang.

Toan Ki melihat Hoan He itu kira-kira berusia 27-28 tahun, beralis tebal dan bermata besar, gagah mirip kaum pria.

Terdengar ia berkata lagi, "Siaulicu bersama Suci, Si Hun, oleh karena ada keperluan berkunjung ke daerah Hunlam sini, ketika lewat Bu-liang-san, Suci yang kurang hati-hati mendadak dipagut oleh seekor ular emas kecil ....”

Mendengar kata-kata "ular emas kecil”, hati Toan Ki tergerak, pikirnya, "Jangan-jangan yang dimaksudkan itu adalah Kim-leng-cu piaraan nona Ciong?”

"Sebab apakah sampai dipagut oleh ular emas itu?” tanya nyonya Ciong.

"Waktu itu kami merasa lelah dan duduk mengaso di tepi jalan,” demikian tutur Hoan He. "Tiba-tiba tertampak seekor ular emas kecil merayap keluar dari semak-semak rumput, karena tertarik oleh warna emas gemerlap ular itu. Suci telah mencukitnya dengan pedang. Tak tersangka ular kecil itu terus melejit ke atas dan menggigit sekali pada pergelangan tangan Suci. Seketika itu juga Suci jatuh pingsan ....”

Tiba-tiba laki-laki berbaju hitam tadi menyela, "Asal kau bunuh ular emas itu dan telan empedunya, jiwa lantas dapat tertolong.”

Jawab Hoan He, "Pergi-datang ular emas itu teramat cepat, sekali melejit lagi lantas menghilang di tengahtengah semak-semak rumput, pula Siaulicu sibuk menolong Suci, tidak terpikir bahwa ular itu harus dibunuh.”

"Bagus bila kau tahu bahwa pergi-datang Kim-leng-cu itu secepat kilat,” kata laki-laki baju hitam itu dengan terbahak-bahak. "Orang yang berilmu silat sepuluh kali lebih tinggi daripadamu juga takkan mampu mengatasi binatang itu. Dasar cari penyakit, tanpa sebab kenapa mesti mengutik-utik ular itu dengan pedang? Ha, mampus juga pantas.”

"Sudahlah, orang sudah terluka dan jauh-jauh datang ke sini minta tolong padamu, buat apa menyakiti perasaan orang malah?” ujar sang istri.

Mendengar nada ucapan Ciong-hujin itu, barulah Toan Ki tahu bahwa laki-laki berbaju hitam itu tak-lain takbukan adalah ayah Ciong Ling, pemilik Ban-jiat-kok ini.

Dalam pada itu lelaki baju hitam itu sedang terbahak-bahak pula sambil berpaling. Melihat mukanya, Toan Ki menjadi kaget. Ternyata muka orang ini berbentuk lonjong mirip muka kuda, kedua mata tumbuh terlalu tinggi, hidungnya yang besar sebaliknya hampir berdesakan dengan mulutnya yang lebar, hingga di tengah muka terluang suatu bagian yang kosong.

Wajah Ciong Ling cantik molek, sungguh tak nyana bahwa ayah kandungnya bisa begini jelek mukanya.

Tadinya wajah Ciong-kokcu itu penuh senyum ejekan, tapi demi berpaling ke arah sang istri, wajahnya yang jelek itu tampak berubah lemah lembut, katanya dengan tertawa, "Baiklah, apa yang Niocu (istriku) katakan, aku hanya menurut saja.”

Diam-diam Toan Ki heran pula, pikirnya, "Aneh! Tadi ketika mendengar sang suami datang, Ciong-hujin tampak sangat takut, tapi kalau melihat sikap Ciong-kokcu sekarang, ia justru sangat cinta dan menghormat kepada sang istri.”

Rupanya Hoan He juga sudah dapat melihat gelagat itu, segera ia berlutut dan berkata pula, "Mohon Ciongkokcu dan Ciong-hujin sudi menolong jiwa Suciku, bukan saja kami berdua akan sangat berterima kasih, pun guruku akan merasa utang budi.”

"Gurumu tentunya si bopeng Pho Pek-ki, bukan?” tanya Ciong-kokcu. "Hm, dia adalah angkatan muda, perlu apa kuharapkan dia utang budi padaku. Dahulu ketika aku meninggal, kenapa dia tidak datang melawat? Apa dia kira aku tidak tahu? Aku justru tahu jelas biarpun berada di dalam peti mati ini.”

Ucapannya itu tidak hanya membikin Toan Ki tercengang, sekalipun Hoan He juga dibuatnya bingung. Pikirnya, "Engkau masih hidup segar bugar seperti ini, kenapa bilang sudah meninggal dan bicara tentang melawat serta peti mati segala?”

Tiba-tiba Ciong-kokcu tanya lagi dengan suara keras, "Sudah sekian tahun aku meninggal dunia, orang luar tiada yang tahu bahwa aku masih hidup. Lalu siapakah yang memberi petunjuk padamu untuk mencariku ke sini dan dari mana kau kenal jalan masuk Ban-jiat-kok?”

Pertanyaan ini dilakukan dengan nada bengis, alisnya menekuk ke bawah dan mulut merot, sikapnya sangat menakutkan.

Maka jawablah Hoan He, "Waktu Siaulicu merasa bingung ingin menolong jiwa Suci dan lekas-lekas berlari ke kota untuk mencari tabib, tiba-tiba kulihat di tepi jalan ada seorang nona berbaju hitam sedang mengulur tangan hendak menangkap seekor ular kecil. Ular itu berwarna emas mengilat, terang itu ular berbisa yang baru saja memagut Suci. Maka cepat Siaulicu berseru memperingatkan nona baju hitam itu agar jangan main-main dengan ular berbisa jahat itu. Tak tersangka nona itu sama sekali tidak gubris pada peringatanku, ia malah menangkap ular emas itu terus dimasukkan ke dalam bajunya. Melihat itu, Siaulicu menjadi girang, sebab kupikir orang yang dapat mengatasi ular itu tentu dapat pula mengobati pagutan sang ular. Segera Siaulicu memohon dengan sangat, namun nona itu menjawab tak bisa mengobati bisa ular itu, ia bilang di seluruh jagat hanya ada seorang yang mampu menyembuhkan pagutan ular emas itu, maka aku diberi petunjuk untuk datang kemari mohon pertolongan Ciong-kokcu. Ketika Siaulicu minta tanya nama nona baju hitam itu, namun dia tak mau memberi tahu.”

Mendengar uraian itu, Ciong-kokcu dan sang istri saling pandang sekejap, lalu berkata dengan menjengek, "Huh, kiranya dia. Orang ini tidak bermaksud baik, selalu ingin memaksa aku keluar dari lembah ini. Ya, semuanya gara-gara Ling-ji, dia sembarangan membawa Kim-leng-cu keluar lembah hingga menimbulkan onar saja.”

Lalu ia berpaling dan tanya Hoan He, "Lalu, apa yang dikatakan lagi oleh perempuan itu?”

"Tidak ada lagi,” sahut Hoan He.

"Betul tidak ada lagi?” Ciong-kokcu menegas dengan dingin.

Hoan He menyahut dengan gelagapan, "Nona ... nona itu seperti berkata bahwa ‘Jalan hidup melulu satu ini, cuma, sekali sudah masuk ke sana, belum tentu dapat keluar lagi dengan selamat. Maka kau pikir masak-masak sebelumnya.”

"Benar!” ujar Ciong-kokcu. "Dan kau sudah pikirkan tidak?”

Cepat Hoan He berlutut menjura pula sambil memohon, "Mohon belas kasihan Ciong-kokcu dan Hujin.”

"Bangunlah,” sahut Ciong-kokcu. "Aku mempunyai dua jalan bagimu dan boleh kau pilih mana suka. Pertama, kau dan Sucimu selama hidup tinggal di lembah ini melayani istriku. Jalan kedua, tangan kalian berdua harus dipotong, lidah diiris, agar sesudah keluar dari sini tidak membocorkan rahasiaku.”

"Tapi ... tapi Siaulicu ditugaskan Suhu untuk menyelesaikan suatu urusan penting di Hunlam sini,” sahut Hoan He setengah meratap, "sebelum tugas itu terlaksana, bukankah berarti melanggar perintah guru bila harus tinggal di sini ....”

"Jadi kau pilih jalan kedua saja?” kata Ciong-kokcu.

Tiba-tiba Hoan He merangkak maju dan merangkul kedua kaki Ciong-hujin sambil meratap, "Mohon belas kasihan Hujin, Siaulicu berjanji sesudah keluar lembah ini pasti akan tutup mulut serapatnya, kalau berani bicara satu patah kata saja, biarlah aku mati tercencang tak terkubur.”

"Hm, aku Ciong Ban-siu bila bukan lantaran terlalu percaya pada sumpah orang, rasanya hari ini takkan mengumpet di lembah maut ini sebagai orang mati, mengkeret serupa kura-kura,” tiba-tiba Ciong-kokcu tertawa menjengek, dan tangan kiri terulur, tahu-tahu leher baju Hoan He kena dicengkeramnya terus diangkat ke atas.

Perawakan tubuh Hoan He di kalangan wanita sudah tergolong tinggi, tapi kena diangkat oleh Ciong Ban-siu, kakinya lantas kontal-kantil setinggi hampir satu meter. Saking kaget dan takutnya Hoan He menjerit, berbareng kaki kanan terus menendang ke dada Ciong Ban-siu.

Namun sama sekali Ciong Ban-siu tak menghindar, ia membiarkan dada ditendang orang. Maka terdengarlah suara "krek” sekali, tahu-tahu tulang kaki Hoan He sendiri yang patah malah.

Menyusul tangan kanan Ciong Ban-siu bergerak, sinar tajam berkelebat, agaknya tangannya itu telah menyiapkan semacam senjata pendek sebangsa belati, maka terdengarlah suara "crat-cret” dua kali, kedua tangan Hoan He terkutung sebatas pergelangan.

Ciong-hujin hanya mendengus saja menyaksikan itu.

Segera Ciong Ban-siu memasukkan jarinya pula ke mulut Hoan He, terdengar nona itu berseru tertahan sekali, darah lantas mengucur dari mulutnya, lidah telah diiris putus juga.

Berdebar hati Toan Ki menyaksikan adegan mengerikan itu, ia dekap mulut sendiri, sedikit pun tak berani bersuara, pikirnya, "Meski kau kutungi kedua tangan dan iris lidahnya, dia kan masih punya kaki yang dapat dipakai menggores tulisan di atas tanah, akhirnya dia bisa juga membocorkan rahasia Ban-jiat-kok ini.”

Ia lihat Ciong Ban-siu melemparkan tubuh Hoan He yang sudah pingsan saking kesakitan itu, lalu Si Hun yang menggeletak di tanah tak sadarkan diri itu diseretnya dan diperlakukan seperti Hoan He, kedua tangannya dikutungi dan lidahnya dipotong.

Melihat kekejaman orang, Toan Ki naik darah, tak terpikir lagi olehnya akibat apa yang bakal menimpa dirinya, mendadak ia membentak, "Pengecut yang rendah tak kenal malu, kau benar-benar terlalu keji!”

Bentakan Toan Ki membuat Ciong Ban-siu kaget, lebih-lebih Ciong-hujin, ia ketakutan hingga pucat bagai kertas.

Dengan langkah lebar terus saja Toan Ki keluar dari balik dinding papan itu, ia tuding Ciong Ban-siu dan mendamprat, "Ciong siansing, nyalimu terlalu kecil, caramu ini bukanlah perbuatan seorang laki-laki sejati!”

Melihat wajah Toan Ki, air muka Ciong Ban-siu berubah hebat dan terkesiap, katanya, "Apakah kau ... kau ... ah, tak mungkin ....”

"Cayhe bernama Toan Ki,” segera pemuda itu perkenalkan diri, "sedikit pun aku tidak paham ilmu silat, maka hendak kau korek atau kau bunuh, boleh kau lakukan sesukamu. Tapi kalau kau lepaskan aku dari sini, perbuatanmu yang kejam tak berperikemanusiaan ini pasti akan kusiarkan di dunia Kangouw, biar setiap orang kenal manusia macam apakah Ciong Ban-siu itu?”

"Hahaha!” tidak gusar Ciong Ban-siu, malah tertawa. "Manusia macam apa Ciong Ban-siu, masakah orang Kangouw tidak tahu? Kau bocah ini apa tidak kenal julukanku dahulu di dunia Kangouw?”

"Tidak tahu,” sahut Toan Ki.

"Aku Ciong Ban-siu, berjuluk ‘Kian-jin-ciu-sat’ (melihat orang lantas membunuh)!” kata Ciong Ban-siu

dengan sikap sangat bangga.

Toan Ki tercengang oleh julukan itu, tapi dalam dadanya segera bergolak pula oleh semangat banteng, dengan lantang katanya, "Jadi membunuh secara kejam orang tak berdosa memang dasar watakmu. Cuma umumnya kalau orang suka membunuh, biasanya pasti tidak takut pada langit dan gentar pada bumi, masakan bisa pengecut seperti kau, takut kepala sembunyi buntut, jeri di muka khawatir di belakang.”

Rupanya ucapan Toan Ki itu tepat menusuk perasaan Ciong Ban-siu hingga seketika ia malah tidak gusar.

Toan Ki memang tidak pikirkan mati hidupnya sendiri lagi, segera ia berkata pula, "Kulihat ilmu silatmu sangat tinggi, kusangka engkau tentu seorang laki-laki berjiwa baja, bila tak bisa mengalahkan orang, seharusnya kau labrak dia mati-matian, sekalipun akhirnya harus gugur bersama. Tapi engkau justru main sembunyi, khawatir orang membocorkan tempat mengumpetmu, lantas kau siksa dan menganiaya seorang wanita yang tak mampu melawan kau, apakah ... apakah perbuatanmu ini adalah kelakuan seorang jantan tulen?”

Wajah Ciong Ban-siu tampak sebentar pucat sebentar merah padam, seakan-akan apa yang dikatakan Toan Ki itu setiap kalimatnya kena benar menusuk lubuk hatinya, tiba-tiba sinar matanya yang bengis mencorong tajam, tampaknya segera akan membunuh orang.

Tapi setelah tertegun sejenak, mendadak ia menggebrak meja, "blang”, meja di sebelahnya sempal separuh, menyusul sebelah kakinya melayang, dinding papan jebol berlubang, sambil tutup mukanya dengan kedua tangan sendiri segera berseru, "Ya, aku pengecut, aku pengecut!”

Mendadak ia lari keluar.

Dalam keadaan demikian, saking ketakutan Ciong-hujin sampai gemetar dan bersandar di dinding, sama sekali tak tersangka olehnya sekali ini sang suami tidak membunuh Toan Ki.

Ia menoleh dan tanya, "Toan-kongcu, apa be ... benar kau tak bisa ilmu silat?”

Sembari berkata, dengan perlahan tangan menabok punggung pemuda itu.

Tempat yang ditabok itu adalah tempat mematikan di tubuh manusia, asal sedikit ia gunakan Lwekang, tidak mati pun Toan Ki akan terluka parah. Namun pemuda itu memang benar-benar tak bisa ilmu silat, maka sedikit pun ia tak kenal bahaya, dengan jujur ia menjawab, "Wansing memang tak pernah belajar silat, kepandaian

yang melulu dipakai mencelakai orang ini tiada harganya untuk kupelajari.”

"Be ... besar amat nyalimu, ternyata se ... serupa benar dengan dia,” kata Ciong-hujin.

"Serupa dengan siapa?” Toan Ki menegas.

Kembali wajah Ciong-hujin bersemu merah, ia tidak menjawab pertanyaan orang, sebaliknya ia tepuk tangan dua kali, maka keluarlah pelayan tadi.

"Bubuhi obat luka pada kedua nona itu untuk mencegah darah mengucur terlampau banyak,” pesan nyonya rumah itu.

Pelayan itu mengiakan dan memondong Si Hun dan Hoan He ke dalam kamar, dari sikapnya yang sedikit pun tidak heran atau kaget, agaknya soal sang suami membunuh dan menganiaya orang sudah biasa dilihatnya.

Sambil bertopang dagu Ciong-hujin terombang-ambing dalam lamunannya, seperti ada sesuatu kesulitan mahabesar yang sukar diputuskan.

Tadi Toan Ki hanya terdorong oleh darah panas yang timbul seketika, maka berani mendamprat Ciong Ban-siu, tatkala itu ia sudah nekat. Tapi kini demi melihat darah berlumuran di lantai, hatinya menjadi takut lagi. Pikirnya, "Aku harus lekas-lekas berusaha melarikan diri, kalau tidak, bukan saja jiwa akan melayang, bahkan akan mati dengan mengenaskan.”

Segera ia menghampiri ambang pintu sambil memberi hormat pada nyonya rumah dan berkata, "Wansing sudah menunaikan tugas menyampaikan berita, kini mohon Hujin lekas berdaya untuk menolong putrimu.”

"Nanti dulu, Kongcu,” sahut Ciong-hujin.

Karena itu Toan Ki tidak jadi tinggal pergi.

"Mungkin Kongcu tidak tahu bahwa suamiku pernah bersumpah selama hidup takkan keluar dari lembah ini,” kata nyonya rumah itu kemudian. "Sebab itulah, meski putriku itu tertawan musuh, rasanya suamiku takkan pergi menolongnya .... Ah, urusan sudah telanjur begini, terpaksa aku saja yang ikut pergi bersama Kongcu.”

Kejut dan girang Toan Ki, sahutnya, "Bila Ciong-hujin sudi pergi bersamaku, itulah paling baik.”

Tiba-tiba ia teringat pada apa yang dikatakan Ciong Ling bahwa satu-satunya orang yang sanggup menyembuhkan racun Kim-leng-cu hanya ayahnya saja, maka cepat ia tanya pula nyonya rumah apakah juga bisa mengobati racun Kim-leng-cu?

Ciong-hujin geleng-geleng kepala, sahutnya, "Aku tak bisa mengobati.”

"Jika ... jika begitu ....” namun belum selesai Toan Ki berkata, nyonya rumah itu sudah tinggal masuk ke kamarnya.

Setelah tinggalkan secarik surat singkat dan berbenah seperlunya, segera Ciong-hujin keluar lagi dan berkata, "Marilah kita berangkat!”

Segera ia mendahului jalan di depan.

Tersipu-sipu Toan Ki mengikut di belakang nyonya rumah itu, namun dia masih sempat menjemput pula Jingleng-cu dan diubet di pinggang.

Jangan sangka Ciong-hujin tampaknya lemah gemulai, jalannya ternyata jauh lebih cepat daripada Toan Ki.

Karena tahu nyonya rumah itu tak bisa mengobati racun Kim-leng-cu, betapa pun Toan Ki masih merasa khawatir. Maka ia coba tanya lagi, "Jika Hujin tak bisa menyembuhkan racun ular, mungkin Sin-long-pang tak mau membebaskan putrimu itu.”

"Siapa yang ingin minta mereka bebaskan Ling-ji?” sahut Ciong-hujin tak acuh. "Kalau Sin-long-pang berani menahan putriku untuk memeras aku, itu berarti mereka sudah bosan hidup. Kalau tak bisa menolong orang, masakan membunuh tak mampu?”

Toan Ki bergidik, ia merasa kata-kata Ciong-hujin yang sederhana itu, maksudnya membunuh orang yang terkandung di dalamnya tidak di bawah perbuatan Ciong Ban-siu yang bengis dan kejam itu. Namun lahirnya Ciong-hujin lemah lembut, kalau dibandingkan, rasanya lebih menakutkan orang.

Sambil bicara, kedua orang sudah berlari beberapa li jauhnya. Tiba-tiba terdengar suara teriakan orang di belakang, "Hujin, engkau ... engkau hendak ke mana?”

Waktu Toan Ki menoleh, siapa lagi dia kalau bukan Ciong Ban-siu yang sedang mengejar datang secepat terbang.

Sekonyong-konyong Ciong-hujin ulur tangan ke ketiak Toan Ki sambil membentak, "Lekas!”

Segera ia angkat tubuh pemuda itu dan dibawa melesat ke depan.

Seketika Toan Ki merasa kedua kaki terapung di atas tanah, ia dikempit oleh Ciong-hujin dan tak bisa berkutik. Maka kejar-mengejar itu segera berlangsung dengan cepat, dalam sekejap saja mereka sudah berlari sepuluh tombak jauhnya.

Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh Ciong-hujin ternyata lebih tinggi setingkat daripada sang suami, cuma betapa pun ia membawa beban seorang, yaitu Toan Ki, maka lambat laun dapatlah disusul oleh Ciong Ban-siu.

Diam-diam Toan Ki ikut khawatir, ia tahu asal bisa keluar mulut lembah, Ciong Ban-siu sudah bersumpah itu tentu takkan mengudak lebih jauh.

Dalam saat demikian, terkilas suatu pikiran dalam benaknya, "Meski ilmu silat adalah kepandaian yang suka bikin celaka orang, tapi kalau aku mahir Ginkang, rasanya ada faedahnya juga.”

Nyata, dalam keadaan kepepet begini, ia jadi ingin bisa berlari lebih cepat.

Sementara itu tinggal belasan tombak lagi sudah bisa keluar dari lembah itu. Toan Ki merasa suara napas Ciong Ban-siu sudah terdengar di belakangnya. Mendadak, "bret”, Toan Ki merasa punggungnya silir dingin, bajunya kena dijambret sobek sebagian oleh Ciong Ban-siu.

Tiba-tiba Ciong-hujin angkat tubuh Toan Ki dan dilemparkan sekuatnya ke depan sambil membentak, "Lekas lari!”

Menyusul tangan yang lain sudah lantas lolos pedang terus menusuk ke belakang dengan maksud merintangi

kejaran sang suami.

Hakikatnya Ciong-hujin tiada maksud mencelakai suami sendiri. Tak terduga tusukannya itu benar-benar mengenai dada sang suami. Ternyata sama sekali Ciong Ban-siu tidak menghindar atau berkelit, tapi rela ditusuk oleh sang istri.

Keruan Ciong-hujin terkejut, cepat ia menoleh, seketika ia tidak berani tarik pedangnya, ia lihat wajah sang suami penuh rasa sesal dan cemas, kelopak matanya mengembeng air, dadanya berlumuran darah, katanya, "Wan-jing, jadi akhir ... akhirnya akan kau tinggalkan daku?”

Melihat tusukannya itu tepat mengenai dada sang suami, meski tidak mengenai ulu hati, tapi ujung pedang juga ambles beberapa senti ke dalam, karena khawatir akan jiwa sang suami, cepat Ciong-hujin mencabut pedang terus menubruk maju untuk menutupi luka tusukan itu, ia lihat darah menyembur keluar melalui celah-celah jarinya.

"Kenapa engkau tidak menghindar?” tegur Ciong-hujin dengan gusar.

"Jika engkau toh akan tinggalkan diriku, lebih baik aku mati saja,” sahut Ciong Ban-siu tersenyum getir.

"Siapa bilang aku hendak meninggalkan kau?” kata Ciong-hujin. "Aku hanya pergi buat beberapa hari saja dan segera kembali. Kepergianku adalah untuk menolong putri kita.”

Segera ia ceritakan secara singkat tentang tertawannya Ciong Ling oleh orang-orang Sin-long-pang.

Menyaksikan itu, Toan Ki terkesima, ia tidak jadi melarikan diri, tapi setelah menenangkan diri, cepat ia sobek lengan baju sendiri dan hendak membalut luka Ciong Ban-siu.

Tak terduga mendadak sebelah kaki Ciong Ban-siu terangkat hingga Toan Ki kena ditendang terjungkal, bentaknya, "Anak haram, aku tidak sudi melihat cecongormu!”

Lalu ia berpaling kepada sang istri dan berkata, "Aku ... aku tidak percaya, tentu kau berdusta, sudah terang dia ... dia datang ke sini mengundangmu. Anak jadah ini sekalipun menjadi abu juga aku mengenalnya, malah dia ... dia tadi telah menghinaku.”

Habis berkata, ia terbatuk-batuk dengan hebat.

Dan karena batuk, darah yang mengucur dari lukanya itu bertambah hebat. Mendadak ia teringat sesuatu, katanya kepada Toan Ki, "Ayolah maju, kenapa tidak maju? Meskipun aku terluka parah, belum tentu kujeri pada kau punya It-yang-ci! Ayolah maju!”

Karena tendangan tadi, jidat Toan Ki membentur sepotong batu kecil yang tajam hingga terluka, cepat ia merangkak bangun sambil memegangi jidatnya yang benjut itu, lalu menjawab, "Cayhe Toan Ki dari daerah Kanglam, sesungguhnya tidak paham tentang It-yang-ci segala!”

Kembali Ciong Ban-siu terbatuk-batuk, bentaknya dengan gusar, "Anak jadah, apa kau berlagak dungu? Pergilah me ... memanggil bapakmu kemari!”

Karena gusarnya itu, batuknya makin menjadi-jadi.

"Dalam keadaan demikian, penyakitmu suka curiga tetap tidak berubah,” kata Ciong-hujin. "Kalau engkau tidak percaya padaku, lebih baik aku mati di hadapanmu saja.”

Terus saja ia jemput pedangnya dan hendak menggorok leher sendiri.

Cepat Ciong Ban-siu rebut pedang itu, air mukanya berubah girang, katanya, "Niocu, jadi sungguh engkau bukan hendak ikut minggat dengan anak jadah ini?”

"Orang adalah Toan-kongcu yang terhormat, kenapa kau maki dia anak jadah segala?” omel Ciong-hujin. "Kepergianku ikut Toan-kongcu adalah hendak membunuh habis Sin-long-pang untuk menolong putri mestika kita.”

Walaupun terluka parah, namun demi tampak sikap sang istri yang mengomel dan marah kecil, rasa cinta kasih Ciong Ban-siu semakin berkobar, dengan tersenyum ia menyahut, "Jika demikian halnya, ya, akulah yang salah.”

Ketika Ciong-hujin periksa luka sang suami, ia lihat darah masih merembes keluar dengan deras. "Ba ... bagaimana baiknya, ini?” ratapnya khawatir.

Girang Ciong Ban-siu tidak kepalang, ia rangkul pinggang sang istri dan berkata, "Wan-jing, engkau begini memerhatikan diriku, biarpun aku mati seketika juga rela.”

Muka Ciong-hujin menjadi merah, perlahan ia buang tangan sang suami dan menyahut, "Toan-kongcu berada di sini, kenapa main pegang-pegang begini?”

Dan karena melihat keadaan sang suami tampak bertambah payah dan wajah pucat, ia menjadi khawatir, katanya pula, "Sudahlah aku tak pergi menolong Ling-ji, dia berbuat onar sendiri, biar dia terima nasib saja.”

Lalu ia bangunkan sang suami dan berkata kepada Toan Ki, "Toan-kongcu, harap kau sampaikan pada Sikong Hian bahwa suamiku sudah ... sudah mati. Jika dia berani mengganggu seujung rambut putriku itu, suruh jangan lupa pada keganasan ‘Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing’!”

Melihat keadaan demikian, Toan Ki pikir Ciong Ban-siu jelas takkan ikut pergi, Ciong-hujin juga tidak tega meninggalkan sang suami untuk menolong putrinya, hanya mengandalkan kata-kata "Hiang-yok-jeh (si kuntilanak) Bok Wan-jing” apakah dapat menggertak Sikong Hian, sungguh masih disangsikan. Tampaknya racun "Toan-jiong-san” yang masih mengeram di dalam perutku sendiri ini pasti tak dapat diobati lagi.

Untuk sejenak ia tertegun, ia pikir urusan sudah demikian, banyak omong juga percuma, maka sahutnya kemudian, "Jika begitu, baiklah Wansing segera berangkat menyampaikan pesan Hujin itu.”

Melihat ketegasan anak muda itu, sekali bilang berangkat lantas berangkat, sedikit pun tidak ragu-ragu, hal ini membuat Ciong-hujin teringat pada seseorang. Segera serunya, "Nanti dulu, Toan-kongcu, masih ada yang hendak kukatakan!”

Perlahan ia taruh sang suami ke tanah, lalu memburu ke dekat Toan Ki, ia mengeluarkan sepotong barang dan diserahkan pada pemuda itu, bisiknya, "Bawalah benda ini kepada Toan Cing-bing, lekas ....”

Mendengar nama "Toan Cing-bing”, air muka Toan Ki berubah.

Dasar nyonya Ciong atau Bok Wan-jing memang cermat, ketika mengucapkan "Toan Cing-bing” tadi, dia memang ingin tahu perubahan wajah Toan Ki. Karena itulah perlahan ia menghela napas, katanya pula, "Apakah sekarang engkau hendak membohongi aku? Lekaslah kau pergi dan semoga bisa tiba di sana tepat pada waktunya, agar jiwa Ling-ji dan kau sendiri tertolong.”

Tanpa menunggu jawaban Toan Ki, segera ia putar balik ke samping sang suami dan membawanya pergi.

Waktu Toan Ki periksa barang yang diterimanya dari Ciong-hujin, ia lihat benda itu adalah sebuah kotak kecil bersepuh emas yang sangat indah.

Ketika tutup kotak ia buka, tertampak isinya hanya secarik kertas melulu yang warnanya sudah menguning, terang karena disimpan terlalu lama, malahan di atas kertas lamat-lamat masih kelihatan ada bekas tetesan darah.

Di atas kertas tertulis, "Tahun Kui-hay, bulan dua, tanggal lima, waktu Niu.”

Gaya tulisannya bagus dan halus, seperti ditulis oleh kaum wanita. Lebih dari itu tiada barang lain lagi.

Diam-diam Toan Ki membatin, "Ini adalah surat lahir (Pek-ji) seseorang, Ciong-hujin menyuruhku menyerahkannya pada ayah, entah apakah maksud tujuannya. Masakah secarik surat lahir begini bisa menolong jiwa nona Ciong dan nyawaku? Tampaknya Ciong-hujin sudah dapat menerka bahwa aku adalah putranya ayah, sebaliknya Ciong Ban-siu berulang-ulang memaki aku, agaknya ia pun kenal wajahku mirip ayah. Apakah barangkali dia ada permusuhan dengan ayah?”

Sedang Toan Ki melamun sambil berjalan, tiba-tiba dari belakang terdengar suara seruan seorang tua, "Tunggu dulu Toan-kongcu!”

Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat seorang tua berbaju pendek kasar lagi menyusulnya dengan cepat. Sesudah dekat, orang tua itu memberi hormat dan berkata, "Hamba bersama Ciong Hok. Atas perintah Hujin agar membawa Kongcu keluar lembah ini.”

"Baik,” sahut Toan Ki mengangguk.

Segera Ciong Hok berjalan di depan, akhirnya mereka tiba di mulut lembah, yaitu melalui peti mati dan kuburan yang pernah dimasuki Toan Ki itu. Lalu Ciong Hok membawa Toan Ki melalui suatu jalan kecil lain hingga 6-7 li pula jauhnya, akhirnya sampailah di depan sebuah gedung besar.

"Harap Kongcu tunggu sebentar,” kata Ciong Hok. Tanpa mengetuk pintu lagi, terus saja hamba itu melompat ke dalam gedung dengan melintasi pagar tembok.

Sementara itu hari sudah gelap, memandangi sinar bintang yang berkelip-kelip di tengah cakrawala, tiba-tiba Toan Ki terkenang pada patung dewi cantik yang dijumpainya di dasar danau itu.

Tengah pikiran Toan Ki melayang-layang jauh, tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda di halaman gedung, mendengar suara binatang yang nyaring panjang itu, tak tertahan Toan Ki berseru memuji, "Kuda bagus!”

Kemudian tampak pintu gedung terbuka dan menongol sebuah kepala kuda, di tengah malam gelap, kedua mata binatang itu tampak bersinar, hanya sekali pandang saja sudah kelihatan kuda itu memang lain dari yang lain.

"Prak-prak” dua kali, seekor kuda hitam mulus tampak melangkah keluar. Perlahan sekali suara yang dijangkitkan derap kaki binatang itu, agaknya seekor kuda kecil. Tapi bila melihat perawakan kuda itu, ternyata keempat kakinya panjang, tangkas gagah. Yang menuntun kuda adalah seorang pelayan kecil, dalam kegelapan tidak jelas mukanya, usianya kira-kira belasan tahun dan tentunya wajahnya juga tidak jelek.

Ciong Hok ikut keluar di belakang kuda itu, katanya, "Toan-kongcu, Hujin khawatir engkau tak bisa tepat waktunya tiba di Tayli, maka sengaja pinjam kuda bagus ini pada tuan rumah di sini untuk tunggangan Kongcu.”

Sudah banyak juga kuda bagus yang pernah dilihat Toan Ki, dari suara ringkikan kuda ini tadi, ia tahu pasti seekor kuda bagus pilihan yang jarang terdapat.

Maka sahutnya, "Terima kasih!”

Segera ia hendak menarik tali kendali.

Perlahan kacung tadi mengelus leher kuda itu, katanya dengan suara halus, "Oh-bi-kui, Oh-bi-kui! Siocia meminjamkanmu kepada Kongcuya ini, kau harus menurut perintahnya. Lekas pergi dan cepat kembali!”

Kuda hitam yang diberi nama Oh-bi-kui atau mawar hitam itu berpaling dan menggosok-gosokkan lehernya ke lengan si pelayan, sikapnya sangat manja. Lalu pelayan itu menyerahkan tali kendali kepada Toan Ki dan berpesan, "Kuda ini jangan dipecut, semakin baik kau perlakukan dia, semakin cepat larinya.”

"Baiklah,” sahut Toan Ki. "Nah, Siocia mawar hitam, terimalah hormatku ini!”

Sembari berkata, ia benar-benar membungkukkan tubuh kepada binatang itu.

Pelayan kecil itu mengikik geli, katanya, "Lucu juga engkau ini. Eh, hati-hati, ya! Jangan terperosot jatuh!”

Namun soal menunggang kuda tidaklah asing bagi Toan Ki, sejak kecil ia sudah biasa. Maka dengan enteng saja ia mencemplak ke atas kuda hitam itu dan berkata pada si pelayan, "Sampaikan terima kasihku kepada Siociamu!”

"Dan tidak terima kasih padaku?” ujar si pelayan tertawa.

Toan Ki memberi hormat, katanya, "Terima kasih pada Cici, Nanti kalau datang lagi akan kubawakan banyak permen untukmu.”

"Sudahlah, jiwamu sendiri perlu dijaga baik-baik, bisa datang lagi atau tidak masih disangsikan, siapa ingin pada permen segala?” sahut si pelayan tertawa manis.

Ciong Hok ikut berkata juga, "Harap Kongcu menjaga diri baik-baik, dari sini lurus ke utara akan sampai di jalan raya yang menuju ke Tayli, maafkan hamba tidak mengantar lebih jauh.”

Toan Ki melambaikan tangan sebagai tanda berpisah, lalu melarikan kudanya ke depan.

Oh-bi-kui alias mawar hitam itu ternyata tidak perlu diperintah, di tengah malam buta larinya secepat terbang. Toan Ki hanya merasa tumbuh-tumbuhan di sekitarnya tiada hentinya melesat lewat di sampingnya.

Yang paling hebat adalah anteng sekali menunggang di atas kuda itu, sangat sedikit terasa guncanganguncangan, pikir Toan Ki, "Demikian cepat lari kuda ini, rasanya lewat tengah hari besok sudah bisa sampai di Tayli. Tapi ayah belum tentu sudi ikut campur urusan tetek bengek di dunia Kangouw ini, apakah aku terpaksa harus memohon Toapek (paman tertua)? Ai, urusan sudah telanjur begini, terpaksa harus kuserahkan pada Toapek dan ayah.”

Tiada sejam lamanya, sudah puluhan li jauhnya, dalam malam gelap terasa angin silir sejuk, hawa malam sangat nyaman. Selagi Toan Ki merasa senang, sekonyong-konyong ada seorang membentak di depan, "Perempuan keparat, lekas berhenti!”

Menyusul sinar tajam berkelebat, sebatang golok lantas membacok.

Namun kuda hitam itu benar-benar teramat cepat, baru golok itu diayunkan, binatang itu sudah melompat lewat sejauh setombak lebih. Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat dua laki-laki bersenjata golok dan tombak lagi mengejar dari belakang dengan cepat sambil memaki kalang kabut, "Perempuan keparat! Pakai menyamar segala, apa dikira Locu (bapak) dapat kau kelabui demikian saja?”

Tapi hanya sekejap saja si mawar hitam sudah jauh meninggalkan kedua pengejar itu. Namun kedua laki-laki itu masih belum kapok, mereka masih memburu terus hingga tidak selang lama suara teriakan dan makian mereka pun tidak terdengar lagi.

Diam-diam Toan Ki membatin, "Kedua orang memaki aku sebagai ‘perempuan keparat’ segala dan menuduh aku menyamar sebagai lelaki. Ya, tentu mereka hendak cari setori pada majikan si mawar hitam ini. Kenal kuda tapi tak kenal orangnya, sungguh tolol benar!”

Setelah lebih satu li lagi, tiba-tiba Toan Ki teringat, "Wah, celaka! Berkat kecepatan kuda ini aku bisa lolos dari sergapan kedua orang tadi. Tampaknya ilmu silat kedua orang itu pun tidak lemah, jikalau Siocia yang memberi pinjam kuda ini tidak tahu kejadianku ini dan jalan-jalan keluar, mungkin dia akan disergap musuh. Rasanya aku harus kembali ke sana dulu untuk memberi tahu padanya.”

Segera ia berhentikan kuda, katanya pada binatang itu, "Oh-bi-kui, ada orang hendak membunuh Siociamu, kita harus lekas kembali dan memberi tahu padanya agar dia berjaga-jaga dan jangan keluar rumah.”

Segera ia putar kuda dan lari kembali ke arah tadi. Ketika dekat tempat sergapan kedua laki-laki itu, ia desak si mawar hitam, "Lekas, lekas lari!”

Binatang itu ternyata mengerti maksud orang, di bawah desakan "lekas lari” itu, ia benar-benar mencongklang terlebih pesat.

Namun kedua laki-laki itu ternyata sudah tidak di situ lagi, karena itu Toan Ki menjadi lebih khawatir malah, pikirnya, "Jika mereka berdua sudah menyerbu masuk ke rumah Siocia itu, hal ini pasti lebih celaka lagi!”

Segera ia membentak si mawar hitam agar lari lebih cepat.

Seketika lari si mawar hitam seolah terapung di atas tanah, secepat terbang ia lari pulang.

Ketika hampir sampai di depan gedung besar itu, mendadak dari samping dua batang pentung menyerang kaki kuda. Namun tidak perlu Toan Ki memberi perintah, kontan si mawar hitam melompat menghindarkan diri, menyusul kaki belakang terus mendepak, "bluk”, salah seorang penyerang gelap itu kena didepak mencelat.

Dan sekali melompat lagi, si mawar hitam sudah sampai di depan pintu gedung itu. Dalam kegelapan mendadak tampak 4-5 orang muncul dan serentak hendak menarik tali kendali Oh-bi-kui menyusul Toan Ki merasa lengan sendiri kena dicengkeram orang terus diseret ke tanah. Segera seorang di antaranya membentak, "Siaucu (anak muda), untuk apa kau datang ke sini?”

Diam-diam Toan Ki mengeluh, "Celaka, rumah ini ternyata sudah dikepung musuh, entah tuan rumahnya sudah mengalami nasib malang atau belum?”

Ia merasa lengan kanan yang dicengkeram orang itu seakan-akan terjepit tanggam, separuh tubuhnya merasa kaku, maka cepat katanya, "Ada urusan hendak kucari tuan rumah di sini, kenapa kau begini kasar?”

Lalu terdengar suara seorang tua lain berkata, "Siaucu ini menunggang kuda hitam milik perempuan hina itu, boleh jadi adalah kawan karibnya, biar kita lepaskan dia ke dalam, babat rumput harus sampai ke akar-akarnya, nanti kita bereskan sekalian.”

Hati Toan Ki berdebar tak keruan, pikirnya, "Aku ini benar-benar ular mencari gebuk, seperti ikan masuk jala sendiri. Sudah enak-enak pergi, sekarang datang kembali cari penyakit. Urusan sudah kadung begini, hendak lari juga tidak mungkin lagi, terpaksa masuk ke sana dan melihat gelagat menurut keadaan nanti.”

Ia merasa cengkeram orang telah dikendurkan, segera ia betulkan bajunya, lalu melangkah masuk ke dalam rumah dengan membusung dada.

Di pekarangan ada suatu jalan batu, kedua samping penuh tanaman bunga mawar yang menyiarkan bau harum.

Jalan batu itu berliku-liku, setelah menembus sebuah pintu bundar, jalanan itu lurus ke depan.

Toan Ki melihat di sekitarnya di sana-sini banyak berdiri orang. Ketika mendengar ada suara dehem di tempat ketinggian, ia mendongak dan melihat di atas pagar tembok sana juga berdiri 7-8 orang dengan senjata terhunus. Di tengah malam gelap, sinar senjata yang gemilapan itu cukup membuat jeri siapa saja yang

melihatnya.

Diam-diam Toan Ki membatin, "Gedung ini meski sekian besarnya, tapi belum tentu dapat dihuni orang sekian banyaknya. Tentu mereka ini adalah musuh tuan rumah, apa benar-benar mereka akan membunuh seisi rumah ini habis-habisan?”

Dalam kegelapan remang-remang Toan Ki melihat orang-orang itu sama melotot padanya dan pegang-pegang senjata utj menakuti. Tapi Toan Ki bisa tenangkan diri, akhirnya ia sampai di suatu ruangan besar yang berjendela panjang, di dalam ruangan tampak sinar lampu terang benderang.

Toan Ki mendekati deretan jendela panjang itu, lalu berseru lantang, "Cayhe Toan Ki, ada urusan mohon bertemu dengan tuan rumah!”

"Siapa? Gusur masuk!” suara seorang tua serak membentaknya.

Toan Ki mendongkol, ia dorong daun jendela panjang itu dan melangkah masuk. Tapi ia menjadi kaget melihat di dalam ruangan penuh dengan orang pula, ada yang berdiri, ada yang duduk, sedikitnya 17-18 orang.

Di tengah seorang wanita baju hitam duduk mungkur, muka menghadap ke dalam, maka wajahnya tidak kelihatan. Tapi dari perawakannya yang tampak langsing, rambutnya hitam gilap dan berkundai ciodah, dari dandanannya jelas seorang gadis remaja.

Kecuali itu, di sana-sini ada lagi belasan orang lelaki dan perempuan, ada pula dua Hwesio dan tiga Tosu.

Di antara orang-orang itu kecuali seorang kakek yang duduk di kursi malas di sudut timur sana dan seorang nenek serta kedua Hwesio, yang bertangan kosong, selebihnya sama bersenjata.

Di depan nenek itu menggeletak seorang, lehernya luka terbacok, agaknya sudah mati.

Segera Toan Ki dapat mengenalinya sebagai Ciong Hok, itu hamba tua yang membawanya ke sini untuk pinjam kuda itu.

Meski Toan Ki baru kenal orang tua itu, tapi ia merasa orang sangat sopan dan menghormat padanya. Ia menjadi sedih dan gusar melihat nasib hamba tua yang malang itu, terutama bila teringat dirinya yang

menyebabkan kematiannya itu.

"Untuk apa kau datang ke sini?” dengan suara serak si kakek membentak pula. Meski antero rambut kakek ini sudah beruban, tapi janggutnya ternyata halus kelimis.

Sejak melangkah masuk tadi, Toan Ki sudah ambil keputusan, "Sekali sudah masuk sarang harimau, kalau bisa meloloskan diri, itulah baik. Kalau tidak bisa, tiada gunanya juga banyak bicara dengan manusia yang tampak bengis dan jahat ini.”

Tapi sesudah melihat mayat Ciong Hok menggeletak di situ, seketika malah menimbulkan jiwa kesatrianya yang bersemangat banteng, dengan garang ia menjawab, "Aku bernama Toan Ki. Rasanya Lotiang (bapak tua) adalah seorang terhormat, engkau hanya lebih lama hidup beberapa tahun, kenapa kau panggil orang Siaucu segala secara tak sopan?”

Jilid 04
Kedua alis kakek itu menegak, sinar matanya menyorot tajam, sikapnya keren, tapi tak menjawab. Sebaliknya seorang laki-laki yang berdiri di sebelahnya lantas membentak, "Bangsat kecil, apa kau sudah bosan hidup, berani sembarang mengoceh! Loyacu ini sudi bicara dengan kau, hal ini sudah untung bagimu, apa kau kenal siapa Loyacu ini? Hm, matamu benar-benar buta!"

Melihat lagak kakek itu benar-benar lain dari yang lain, betapa pun timbul juga sedikit rasa hormat Toan Ki, maka sahutnya, "Aku pun tahu Lotiang ini pasti bukan orang sembarangan. Bolehkah mohon tanya siapakah nama Lotiang yang terhormat?"

Belum lagi si kakek menjawab, lelaki tadi sudah berkata pula, "Baiklah, supaya kau bisa mati dengan merem, dengarlah yang jelas. Loyacu ini adalah No-kang-ong, Sam-ciang-coat-beng Cin-loyacu!"

"Sam-ciang-coat-beng?" Toan Ki menegas, "Seorang tua baik-baik, kenapa pakai gelaran yang tak enak didengar itu? Dan kenapa di sebut No-kang-ong pula, Cin-loyacu."

Kiranya No-kang-ong, si raja sungai mengamuk, Sam-ciang-coat-beng atau tiga kali pukulan melenyapkan nyawa, nama lengkapnya adalah Cin Goan-cun. Tidak saja namanya mengguncangkan daerah selatan, terhitung tokoh terkemuka dalam dunia persilatan di wilayah Hunlam, bahkan di sekitar lembah Hongho dan kedua tepi sungai Yangcu, setiap jago silat juga segan pada namanya.

Tak terduga, sesudah mendengar nama dan gelar itu, Toan Ki anggap sepele saja, sedikit pun tidak heran.

Tentu saja No-kang-ong, Sam-ciang-coat-beng Cin Goan-cun sangat gusar. Sejak namanya terkenal, jarang ia mendapat tandingan, sekalipun lawan yang berilmu silat lebih tinggi kalau mendengar namanya juga akan tergetar, sedikit pun tidak berani memandang enteng.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa hakikatnya Toan Ki tidak pernah merantau Kangouw, mengenai seluk-beluk kejadian dunia persilatan, sedikit pun tak diketahuinya, Jangankan nama Sam-ciang-coat-beng Cin Goan-cun, sekalipun gelar "Sam-sian-su-ok", yaitu tokoh-tokoh "tiga orang bajik dan empat manusia jahat" yang diagungkan dunia persilatan, juga takkan membuatnya jeri.

Umumnya jago silat mana pun juga, dalam hal "nama" dipandangnya sangat penting. Maka Cin Goan-cun menyangka perbuatan Toan Ki ini sengaja hendak menghina dirinya, meski dalam hati sangat gusar, namun

melihat sikap Toan Ki yang acuh tak acuh, kalau bukan memiliki ilmu silat yang diandalkan, rasanya pasti tidak berani begitu kurang ajar.

Karena menyangka Toan Ki pasti seorang jago sangat lihai, maka Cin Goan-cun cepat mencegah dua orangnya yang hendak maju melabrak pemuda itu, lalu tanyanya, "Saudara dari golongan dan aliran mana? Siapa gurumu?"

"Untuk belajar, kenapa rewel tentang golongan segala?" sahut Toan Ki. "Cayhe tidak masuk golongan dan aliran mana-mana, guruku khusus meyakinkan 'Kong-yang-ci-hak', namanya kalau kukatakan juga kau tidak kenal."

Meski ilmu silat Cin Goan-cun sangat tinggi, tapi dalam hal ilmu sastra tentang "Kong-yang-ci-hak" segala, selama hidupnya tak pernah mendengar, maka ia menyangka apa yang dikatakan Toan Ki itu tentunya semacam ilmu sakti yang belum pernah dilihatnya. Diam-diam ia merasa syukur dirinya tidak gegabah bertindak, maka ia bertambah hati-hati lagi menghadapi pemuda itu, tanyanya pula, "Lalu kedatangan saudara ini ada urusan apa?"

Melihat Cin Goan-cun makin sungkan pada Toan Ki, semua orang yang hadir di situ menyangka juga pemuda itu pasti seorang tokoh silat pendaman.

Maka terdengar Toan Ki menjawab, "Kedatangan Cayhe ke sini adalah ingin menyampaikan sesuatu kabar pada tuan rumah."

"Kabar apa?" tanya Cin Goan-cun.

Toan Ki menghela napas dulu, lalu sahutnya, "Kedatanganku sudah terlambat, kukatakan atau tidak kabar itu, sama saja."

"Menyampaikan kabar apa? Lekas katakan!" desak Cin Goan-cun lagi. Nadanya makin bengis.

"Kalau sudah berhadapan dengan tuan rumah, dengan sendirinya akan kukatakan, apa gunanya bicara padamu?" sahut Toan Ki.

Cin Goan-cun tertawa dingin, selang sejenak, ia berkata pula, "Kau ingin bicara berhadapan dengan tuan rumah? Kukira tak perlu kau katakan, biar sebentar lagi kalian boleh bertemu saja di akhirat."

"Yang manakah tuan rumah?" tanya Toan Ki. "Ingin kusampaikan terima kasih telah diberi pinjam kuda."

Karena ucapan ini, sorot mata semua orang sama beralih kepada si nona berbaju hitam yang duduk mungkur tadi.

Toan Ki terkesiap, pikirnya, "Apakah nona ini pemilik rumah? Seorang gadis lemah seperti dia telah dikepung musuh sebanyak ini, tampaknya jiwanya sukar diselamatkan."

Dalam pada itu terdengarlah wanita baju hitam sedang berkata, "Kuberi pinjam kuda adalah karena permintaan orang lain, perlu apa terima kasih segala? Tidak lekas kau pergi menolong orang, buat apa kembali lagi ke sini?"

Sembari bicara mukanya tetap menghadap ke dalam tanpa menoleh.

Maka Toan Ki menjawab, "Cayhe menunggang si mawar hitam, sampai di tengah jalan telah disergap musuh yang salah sangka Cayhe sebagai nona serta dicaci maki. Cayhe rasa kurang enak, maka sengaja balik ke sini untuk memberi kabar pada nona."

"Kabar apa?" tanya perempuan itu, nadanya nyaring merdu, tapi sedikit pun tidak membawa rasa simpatik, hingga bagi yang mendengarkan rasanya tidak enak, seakan-akan wanita ini sudah terasing dari dunia ramai dan sama sekali tidak peduli terhadap segala apa di dunia ini, seperti setiap orang adalah musuh besarnya, kalau bisa setiap orang akan dibunuhnya.

Tentu saja Toan Ki rada mendongkol oleh jawaban orang. Tapi lantas teringat olehnya bahwa nona itu sudah jatuh di tangan kepungan musuh, keadaannya sangat berbahaya, kalau sikapnya menjadi kasar juga tak boleh salahkan dia. Karena itu, timbul juga rasa solider Toan Ki.

Maka dengan ramah ia menjawab, "Cayhe pikir kedua orang jahat itu akan bikin susah nona, hal itu tentu belum diketahui nona, maka sengaja kukembali ke sini untuk memberi kabar agar sebelumnya nona menyingkir. Tak terduga tetap terlambat juga, musuh sudah tiba lebih dulu, sungguh aku menyesal."

"Begini baik sengaja kau bela aku, sebenarnya apa maksud tujuanmu?" tanya wanita itu dingin.

Toan Ki menjadi gemas, sahutnya keras, "Selamanya tidak kukenal nona, cuma kutahu ada orang hendak bikin

susah padamu, masa aku boleh berpeluk tangan dan diam saja?"

"Apakah kau tahu siapa aku?" tanya wanita itu.

"Tidak" sahut Toan Ki.

"Kudengar cerita Ciong Hok, katanya sama sekali engkau tidak mahir ilmu silat, tapi berani kau damprat terang-terangan di hadapan Ciong-kokcu. nyalimu sungguh tidak kecil, tapi kau sudah terlibat dalam kejadian ini, apa kehendakmu sekarang?"

"Sebenarnya sehabis menyampaikan berita ini, segera akan pulang ke rumah secepatnya," sahut Toan Ki. Ia menghela napas, lalu menyambung, "Tapi tampaknya nona bakal celaka dan aku pun tak terhindar dari malapetaka. Cuma entah cara bagaimana nona bermusuhan dengan orang-orang ini?"

"Berdasarkan apa kau berani tanya padaku?" nona itu menjengek.

Kembali Toan Ki tercengang, tapi segera katanya, "Urusan pribadi orang memang aku tidak pantas tanya. Baiklah, aku sudah menyampaikan kabar padamu, selesailah kewajibanku."

"Tentunya kau tidak menduga jiwamu bakal melayang di sini, bukan? Apa engkau menyesal?" tanya si wanita.

Mendengar kata orang bernada menyindir, kontan Toan Ki menjawab, "Perbuatan seorang Taytianghu (lakilaki sejati), asal demi kebaikan sesamanya, kenapa mesti menyesal?"

"Hm, hanya macam kau juga berani mengaku sebagai laki-laki sejati?" jengek wanita baju hitam itu.

"Kesatria atau bukan, masakah ditentukan dalam hal tinggi rendahnya ilmu silat?" sahut Toan Ki dongkol. "Sekalipun ilmu silatnya tiada tandingan di kolong langit, kalau kelakuannya rendah memalukan juga tak bisa disebut sebagai 'Taytianghu'!"

"Cin-losiangsing," tiba-tiba wanita baju hitam itu berpaling pada Cin Goan-cun, "kau dengar tidak ucapan Toan-ya ini? Kelakuan kalian ini rasanya tak dapat dikatakan terang-terangan, bukan?"

"Perempuan hina," mendadak nenek yang duduk di samping Cin Goan-cun itu memaki, "apa kau sengaja mengulur waktu? Bangkitlah untuk bertempur ...."

"Usiamu sudah lanjut begini, ingin mampus juga tidak perlu terburu-buru," sahut si baju hitam dengan tajam. "Jing-siong Tojin, kau pun datang mencari perkara padaku, apa orang Ban-jiat-kok mengetahuinya?"

Air muka Tosu berjenggot itu rada berubah, sahutnya, "Tujuanku adalah membalas dendam murid, apa sangkut pautnya dengan Ban-jiat-kok?"

"Ingin kutanya, sebelumnya kau minta bantuan Hiang-yok-jeh atau tidak?" tanya si wanita.

Tosu itu menjadi gusar, sahutnya, "Sekian banyak tokoh terkemuka berkumpul di sini, masakah masih tidak bisa memberesi dirimu?"

"Jawabanmu tidak jelas, tentu pernah kau minta bantuan Hiang-yok-jeh," kata wanita baju hitam. "Dan kau ternyata bisa keluar lagi dari Ban-jiat-kok dengan selamat, boleh dikata rezekimu tidak kecil."

"Aku tidak masuk ke Ban-jiat-kok, siapa bilang aku pergi ke sana?" sahut Jing-siong Tojin.

"Ehm, jika begitu, tentunya telah kau kirim seorang lain ke sana sebagai pengantar jiwa," kata wanita itu mengangguk-angguk.

Sekilas wajah Jing-siong Tojin merasa malu, segera ia berteriak, "Marilah kita putuskan dengan senjata, kenapa banyak mulut?"

Menyaksikan percakapan wanita baju hitam dengan orang-orang itu, Toan Ki dapat melihat rombongan Cin Goan-cun itu masih belum pasti di atas angin, kalah atau menang baru bisa diketahui sesudah bertanding. Tapi dari nada Jing-siong Tojin tadi, terang Tosu itu sangat jeri pada si wanita baju hitam. Diam-diam Toan Ki sangat heran, orang-orang itu berulang kali menantang, tapi tetap tiada seorang pun yang berani mulai bergebrak.

Tiba-tiba terdengar si wanita baju hitam berkata kepada Toan Ki, "Hai orang she Toan, sekian banyak orangorang ini hendak mengeroyok diriku, menurut kau, bagaimana baiknya."

"Si mawar hitam berada di luar," ujar Toan Ki. "Kalau engkau bisa terjang keluar dari kepungan, lekas menunggangnya melarikan diri. Teramat cepat lari binatang itu, pasti mereka tak mampu menyusulmu."

"Lalu bagaimana dengan kau sendiri?" tanya nona itu.

"Selamanya aku tidak kenal mereka, tiada dendam tak ada sakit hati, boleh jadi mereka takkan bikin susah padaku" ujar Toan Ki.

Wanita baju hitam itu tertawa dingin, katanya, "Hm, jika mereka mau pakai aturan, tentunya aku takkan dikeroyok orang sebanyak ini. Jiwamu sudah pasti akan melayang. Bila aku bisa lolos, adakah sesuatu pesan tinggalanmu?"

Toan Ki menjadi sedih, sahutnya, "Ada seorang nona Ciong telah ditawan oleh Sin-long-pang di Bu-liang-san, ibunya memberikan kotak emas ini kepadaku dan minta disampaikan kepada ayahku agar berusaha menolong nona Ciong itu, Ji ... jika nona dapat lolos, harapanku adalah sudi melaksanakan tugasku ini, untuk mana aku merasa sangat terima kasih."

Sembari berkata, ia melangkah maju dan mengangsurkan kotak emas itu.

Kini jaraknya di belakang wanita baju hitam itu hanya setengah meter saja, tiba-tiba hidungnya mengendus semacam bau wangi yang mirip bunga anggrek, tapi bukan anggrek, seperti mawar, tapi bukan mawar. Meski bau harum itu tidak keras, namun membuat orang merasa pusing, tubuh Toan Ki menjadi sempoyongan sedikit.

Wanita itu ternyata tidak menerima kotak itu, tapi bertanya, "Kabarnya nona Ciong itu sangat cantik, apakah ia kekasihmu?"

"Bukan, bukan!" sahut Toan Ki cepat. "Nona Ciong masih terlalu muda, lincah dan kekanak-kanakan, mana ... mana bisa timbul maksudku yang tidak senonoh itu?"

Baru sekarang wanita itu ulurkan tangan ke belakang untuk mengambil kotak emas yang diangsurkan Toan Ki. Pemuda itu melihat tangan orang memakai sarung tangan sutera hitam hingga sama sekali tidak kelihatan kulit badannya.

Perlahan wanita itu masukkan kotak emas itu ke dalam bajunya, lalu berkata, "Nah, Jing-siong Tojin, lekas enyah dari sini!"

"Apa ... apa katamu?" Tosu itu menegas dengan tergegap.

"Enyah keluar, hari ini aku tidak ingin membunuhmu," kata si wanita.

Mendadak Jing-siong Tojin angkat pedangnya dan membentak, "Kau mengoceh apa segala?"

Tapi suaranya gemetar, entah saking gusar atau karena ketakutan?

"Kau tahu tidak bahwa mengingat Sumoaymu, maka aku mengampuni jiwamu," kata si wanita baju hitam lagi. "Nah, lekas enyah!"

Wajah Jing-siong Tojin sepucat mayat, perlahan pedangnya menurun ke bawah.

Melihat wanita baju hitam itu berlaku kasar dan membentak Jing-siong Tojin enyah dari situ, Toan Ki menyangka Tosu itu pasti akan murka, siapa tahu wajah Tosu itu tampak ragu sebentar, lalu tampak jeri pula, sekonyong-konyong pedang jatuh ke lantai, ia tutup mukanya dengan kedua tangan terus lari keluar.

Tapi sial baginya, baru tangan hendak mendorong pintu, si nenek yang duduk di samping Cin Goan-cun telah ayun tangannya, sebilah Hui-to atau pisau terbang melayang cepat dan tepat mengenai punggung Jing-siong Tojin. Tanpa ampun lagi Tosu itu terjungkal, setelah merangkak beberapa kali, akhirnya terkapar binasa.

Toan Ki menjadi gusar, teriaknya, "Hai, Lothaythay (nenek tua), Tosu itu kan kawanmu, kenapa kau serang dia sekeji itu?"

Dengan gaya loyo nenek itu berbangkit, dengan penuh perhatian ia pandang si wanita baju hitam, ucapan Toan Ki itu seperti tak didengarnya.

Serentak kawan-kawannya juga siap siaga untuk mengerubut, asal sekali diberi komando, kontan wanita baju hitam pasti akan dicacah mereka.

Melihat keadaan demikian, sungguh Toan Ki merasa penasaran, "Hai, kalian semua laki-laki hendak mengerubut seorang perempuan lemah, di manakah letaknya keadilan ini?"

Segera ia pun melangkah maju hingga wanita baju hitam teraling di belakangnya, lalu bentuknya pula, "Ayo, kalian masih berani turun tangan?"

Meski sama sekali Toan Ki tidak bisa silat, tapi sikapnya gagah perkasa dengan semangat banteng yang tak gentar pada siapa pun.

"Jadi saudara sudah pasti ingin ikut campur urusan ini?" dengan kalem Cin Goan-cun menegur.

"Ya," teriak Toan Ki. "Aku melarang kalian main keroyok, menganiaya seorang wanita lemah."

"Hubungan famili apa antara saudara dengan perempuan hina ini, atas suruhan siapa hingga kau berani ikut campur urusan ini?" tanya Cin Goan-cun lagi.

"Aku dan nona ini bukan sanak bukan kadang, cuma segala apa di dunia ini tidak terlepas dari 'keadilan', maka kunasihati kalian supaya sudahi urusan ini, mengeroyok seorang gadis lemah, terhitung orang gagah macam apa?" sahut Toan Ki tegas. Lalu ia berbisik pada si wanita baju hitam, "Lekas nona lari, biar kurintangi mereka."

Wanita itu pun menjawab dengan suara lirih, "Jiwamu akan melayang demi membela diriku, apa takkan menyesal?"

"Biar mati tidak menyesal," sahut Toan Ki.

"Kau benar-benar tidak takut mati? Tetapi ...." mendadak suara wanita itu diperkeras, "sedikit pun kau tak bertenaga, masih kau berani berlagak kesatria?"

Sekonyong-konyong ia ayun tangannya, dua tali berwarna tahu-tahu melayang hingga kedua tangan dan kedua kaki Toan Ki terikat dengan erat.

Berbareng pada saat itu juga, sebelah tangan lain si wanita pun mengayun bergerak, Toan Ki hanya mendengar suara gemerencing dan gedubrakan beberapa kali, di sana-sini beberapa orang lantas jatuh terjungkal, menyusul sinar senjata gemerlapan menyilaukan mata, pandangan menjadi gelap, segenap lilin di dalam ruangan telah dipadamkan semua oleh orang. Segera Toan Ki merasa tubuhnya terapung seakan-akan terbang

dibawa seseorang.

Semua kejadian itu datangnya terlalu cepat sehingga dalam sekejap itu Toan Ki tidak tahu dirinya sudah berada di mana. Hanya terdengar sekeliling ruangan ramai suara bentakan orang, "Jangan sampai lolos perempuan hina itu!"

"Jangan takut pada panah beracunnya!"

"Sambitkan Hui-to, sambitkan Hui-to!"

Menyusul terdengar pula suara gemerencing yang ramai, banyak senjata rahasia terbentur jatuh.

Ketika Toan Ki merasakan badannya berguncang lagi, menyusul terdengar suara derap kuda berlari, nyata dirinya sudah berada di atas kuda, kaki tangan terikat, sedikit pun tak bisa berkutik. Ia merasa tengkuknya bersandar di badan seseorang, hidung mengendus bau wangi, itulah bau harum dari badan si wanita baju hitam.

Suara derapan kuda berdetak-detak, enteng dan anteng, suara bentak dan kejar musuh makin lama makin ketinggalan jauh di belakang.

Oh-bi-kui berbulu hitam, antero tubuh wanita itu pun hitam, ditambah malam pekat dengan bau harum semerbak, suasana menjadi agak seram.

Sekaligus Oh-bi-kui alias si mawar hitam berlari sampai beberapa li jauhnya.

Akhirnya Toan Ki berseru, "Nona, tidak sangka kepandaianmu begini hebat, harap lepaskan aku."

Wanita itu mendengus sekali tanpa menjawab.

Karena kaki tangan terikat, setiap kali kuda itu mencongklang, tali pengikat bertambah kencang, makin lama Toan Ki makin kesakitan, ditambah lagi kepalanya terjuntai ke bawah hingga mirip orang tergantung, Toan Ki menjadi pening tak tertahan. Maka serunya lagi, "Nona, lekas lepaskan aku!"

"Plak," mendadak ia dipersen sekali tempelengan, dengan dingin nona itu berkata, "Jangan cerewet, tahu?

Nona tidak tanya, dilarang bicara!"

"Sebab apa?" teriak Toan Ki penasaran.

"Plak, plak," kembali ia digampar dua kali terlebih keras daripada tadi.

Keruan Toan Ki merah bengap mukanya, telinga pun mendenging hampir-hampir pekak.

Dasar watak Toan Ki memang bandel, segera ia berteriak pula, "Kenapa sedikit-sedikit kau pukul orang? Lekas lepaskan aku, aku tidak sudi bersama kau."

Mendadak Toan Ki merasa tubuhnya terapung, tahu-tahu sudah terbanting di tanah, tapi anggota badannya masih terikat, bahkan ujung lain dari tali pengikat itu masih dipegang orang hingga badan Toan Ki terseret di tanah oleh Oh-bi-kui.

Wanita itu membentak tertahan menyuruh Oh-bi-kui berjalan perlahan, lalu tanyanya pada Toan Ki, "Kau menyerah tidak sekarang? Mau dengar perintahku tidak?"

"Tidak, tidak!" gembor Toan Ki. "Tadi meski terancam mati saja aku tidak gentar, apalagi sekarang hanya disiksa begini? Aku ...."

Sebenarnya ia ingin bilang, "Aku tidak takut," tapi kebetulan waktu itu badannya yang terseret di tanah itu membentur jalan yang tidak rata sehingga kata-katanya itu terputus.

"Kau takut, bukan?" kata si nona baju hitam dengan dingin. Segera ia sendal talinya, Toan Ki terangkat ke atas kuda lagi.

"Aku takut apa?" sahut Toan Ki. "Lekas lepaskan aku!"

"Hm, di hadapanku, tiada seorang pun berhak bicara," kata wanita itu. "Aku justru hendak menyiksa kau, biar mati tidak, hidup pun tidak, apa kau kira hanya sedikit siksaan begini saja?"

Habis berkata, kembali ia lemparkan Toan Ki ke tanah dan diseret pula.

Gusar Toan Ki tidak kepalang, pikirnya, "Semua orang tadi memaki dia sebagai perempuan hina, nyatanya ada benarnya juga"

Segera ia berseru pula, "Lepaskan aku! Kalau tidak, awas, aku akan memaki, lho."

"Kalau berani, boleh coba memaki," sahut nona itu. "Selama hidupku ini memang sudah kenyang dicaci maki orang."

Mendengar kata-kata orang yang terakhir itu diucapkan dengan nada penuh rasa sesal dan derita, caci maki Toan Ki yang sudah hampir dilontarkan itu menjadi urung dikeluarkan, hatinya menjadi lunak.

Menunggu sekian saat tidak terdengar makian Toan Ki, wanita itu berkata pula, "Hm, masakah kau berani memaki!"

"Mengapa tidak berani?" seru Toan Ki mendongkol. "Soalnya aku menjadi kasihan padamu, maka tidak tega memaki. Memangnya kau kira aku takut padamu?"

Wanita itu tidak menggubrisnya lagi, mendadak ia bersuit mempercepat kudanya, segera Oh-bi-kui mencongklang pesat ke depan. Keruan yang payah adalah Toan Ki, badannya tergesek oleh batu pasir yang tajam hingga babak belur dan darah mengucur.

"Kau mau menyerah atau tidak?" seru si wanita.

Dengan suara keras Toan Ki memaki malah, "Kau perempuan galak yang tak kenal aturan!"

"Aku memang perempuan galak, tak perlu kau katakan pun kutahu sendiri." sahut wanita itu. "Dan di mana aku tidak kenal aturan segala?"

"Aku ... aku bermaksud baik padamu ...." mendadak kepala Toan Ki membentur sepotong batu di tepi jalan, hingga seketika ia tak sadarkan diri.

Entah sudah selang berapa lama lagi, ketika mendadak Toan Ki merasa kepalanya dingin segar, ia siuman, menyusul terasa air merembes masuk ke dalam mulut, cepat ia tahan napasnya, namun tak keburu lagi, ia terbatuk-batuk sesak. Dan karena batuknya itu, air masuk lebih banyak lagi ke dalam mulut dan hidung.

Kiranya ia diseret oleh wanita baju hitam di tanah, ketika mengetahui Toan Ki jatuh pingsan, nona itu sengaja menyeberangi sebuah sungai kecil, karena terendam air, Toan Ki lantas sadar. Untung sungai itu kecil dan dangkal, sekali lompat si mawar hitam sudah menyeberanginya.

Dengan baju basah kuyup, perut kembung tercekok air sungai, ditambah badan memang babak belur, keruan antero badan Toan Ki terasa sakit.

"Sekarang menyerah tidak?" kembali wanita baju hitam itu tanya.

"Sungguh sukar dipahami bahwa di dunia ini ada perempuan sewenang-wenang seperti ini," demikian pikir Toan Ki. "Aku sudah tercengkeram di tangannya, banyak bicara juga tiada gunanya."

Karena itu, ketika beberapa kali si wanita baju hitam tanya lagi, "Kau mau menyerah tidak? Sudah cukup tahu rasa belum?"

Toan Ki tetap tidak menggubrisnya dan anggap tidak mendengar saja.

Nona itu menjadi gusar, dampratnya, "Apa kau tuli? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?"

Tetap Toan Ki tak gubris padanya.

Mendadak nona itu tahan kudanya, ingin tahu apakah Toan Ki sebenarnya sudah sadar atau belum.

Tatkala itu sang surya sudah menongol di ufuk timur dengan cahayanya yang remang-remang, maka nona itu dapat melihat jelas kedua mata Toan Ki lagi mendelik padanya dengan gusar.

Nona itu menjadi murka, dampratnya pula, "Bagus, jadi kau tidak pingsan, tapi sengaja main gila padaku. Baiklah, mari coba-coba kita adu bandel, apa kau lebih tahan atau aku lebih kejam?"

Ia terus melompat turun dari kudanya, dengan enteng ia melompat ke atas mendapatkan sepotong ranting pohon, "plak," segera ia sabet sekali di muka Toan Ki.

Baru untuk pertama kali ini Toan Ki berhadapan muka dengan wanita itu, ia lihat muka orang berkerudung selapis kain hitam tebal, hanya dua lubang matanya tertampak sepasang biji matanya yang hitam bersinar tajam.

Toan Ki tersenyum, katanya di dalam hati, "Kau ingin kujawab pertanyaanmu, hm, mungkin lebih sulit daripada naik ke langit."

"Dalam keadaan begini kau masih bisa tersenyum? Apa yang kau gelikan?" omel nona itu.

Tapi Toan Ki sengaja mengiming-iming dengan muka kocak, lalu tertawa lagi.

"Plak-plok, plak-plok," kembali nona itu menghujani sabetan beberapa kali. Namun Toan Ki sudah tidak pikirkan jiwanya lagi, ia tetap diam.

Cara menghajar wanita itu sangat keji, setiap kali sabetannya pasti mengenai tempat Toan Ki yang paling sakit. Saking tak tahan, beberapa kali Toan Ki hampir-hampir menjerit, tapi syukur ia masih bisa mengekang diri.

Melihat pemuda itu sedemikian bandel, setelah berpikir sejenak, segera wanita itu berkata, "Baik, kau purapura tuli, biar kubikin benar-benar menjadi tuli!"

Terus saja ia keluarkan sebilah belati, dengan sinar gemerlap perlahan ia mendekati Toan Ki. Ia angkat belatinya dan ancam telinga kiri pemuda itu sambil membentak, "Kau dengar kata-kataku tidak? Apa kau tidak ingin daun kupingmu ini?"

Masih tetap Toan Ki tak menggubris, sinar mata nona itu menyorot beringas, selagi belati diangkat hendak menyayat kuping Toan Ki, tiba-tiba di tempat sejauh belasan tombak sana ada orang membentak, "Perempuan hina, kau akan mengganas lagi, ya?"

Suaranya lantang berwibawa.

Cepat wanita itu angkat tali pengikatnya hingga tubuh Toan Ki tergantung di atas dahan pohon. Waktu menoleh, Toan Ki melihat orang yang bersuara itu adalah seorang laki-laki tinggi besar bertangan kosong, pada pinggangnya terselip sebuah golok. Laki-laki itu tidak berlari, tapi tahu-tahu sudah sampai di depan mereka, cepatnya bukan main.

Toan Ki melihat muka orang itu kuning langsat, berbaju pendek warna kuning, bermuka lebar, kedua kaki dan tangan jauh lebih panjang daripada orang biasa, usianya sekitar 30-an tahun, kedua matanya bersinar tajam.

"Tentunya kau inilah Kim Tay-peng?" tegur nona tadi. "Orang bilang Ginkangmu sangat hebat, tapi, hm, kalau sepanjang jalan aku tidak menanyai bocah ini hingga jalanku terlambat, rasanya kau pun tak mampu menyusulku."

"Dan kalau bukan ada urusan lain hingga jalanku terlambat, rasanya kau pun takkan bisa lolos," sahut laki-laki itu ketus.

"Dan sekarang sudah dapat kau susul aku," kata si nona. "Nah, Kim Tay-peng, kau mau apa sekarang?"

"Si tukang obat, Ong-lohan, di kota Sengtoh itu, dibunuh olehmu bukan?" tanya laki-laki itu.

"Kalau benar, mau apa?" sahut si nona.

"Ong-lohan adalah sahabatku, dia suka menolong kaum miskin, selama hidupnya tidak pernah berbuat jahat, sebab apa kau bunuh dia?"

"Sebabnya?" sahut nona itu. "Hm, sebab ada orang terkena panahku yang berbisa, Ong-lohan sengaja tampil untuk mengobatinya, hal ini kau tahu tidak?"

"Menjual obat bertujuan menyembuhkan orang, itu memang kewajiban Ong-lohan" kata orang itu alias Kim Tay-peng.

Sekonyong-konyong terdengar suara mendesir perlahan, menyusul suara "cring" sekali pula, sebatang panah kecil menancap di samping kaki Kim Tay-peng.

Panjang panah itu hanya belasan senti, hampir seluruhnya ambles ke dalam tanah.

Dalam pada itu tampak Kim Tay-peng pun memasukkan goloknya ke dalam sarung yang tergantung di pinggangnya.

Kiranya dalam sekejap itu saja si nona sudah menyerang Kim Tay-peng dengan panah, tapi Kim Tay-peng sempat cabut golok untuk menangkis. Nyata, diam-diam kedua orang sudah saling gebrak sejurus.

"Cepat juga gerakanmu, ya?" kata si nona.

"Kau pun tidak lamban," sahut Kim Tay-peng. "Nyata, nama Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing memang bukan omong kosong."

Toan Ki terperanjat mendengar nama itu, cepat ia berteriak, "He, engkau salah, Kim-heng, dia bukan Hiangyok-jeh Bok Wan-jing!"

"Dari mana kau tahu?" tanya Kim Tay-peng.

"Kukenal Bok Wan-jing dengan baik, Bok Wan-jing adalah Ciong-hujin, tapi perempuan jahat ini adalah seorang nona lain," kata Toan Ki.

Sekilas wajah Kim Tay-peng mengunjuk heran, katanya, "Jadi Hiang-yok-jeh sudah kawin? Entah orang she Ciong mana yang sial itu."

Tiba-tiba terdengar suara mendesir dua kali, dua batang senjata rahasia jatuh di samping Toan Ki, yang satu adalah panah kecil berwarna hitam, yang lain adalah sebuah mata uang. Di tengah mata uang itu berlubang dan tepat panah itu menancap di tengah lubang itu.

Kiranya wanita itu telah menyambit ke belakang hendak memanah Toan Ki, tapi Kim Tay-peng sempat menimpukkan mata uang itu hingga jiwa Toan Ki tertolong.

Melihat itu, barulah Toan Ki sadar barusan jiwanya telah berpiknik ke pintu gerbang akhirat, untung bisa balik

lagi. Ia dengar wanita itu bertanya dengan gusar, "Siapa bilang aku Bok Wan-jing sudah kawin? Laki-laki di jagat ini tiada seorang pun yang baik, siapa yang setimpal menjadi suamiku?"

"Ya, agaknya saudara ini salam paham," ujar Kim Tay-peng.

Mendadak wanita baju hitam itu mengaku sebagai "Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing" atau si kuntilanak berbau harum, Toan Ki pikir di balik ini tentu ada sesuatu yang tak beres, sekalipun nona ini ganas dan jahat, rasanya tidak nanti sudi mengaku sebagai istri orang. Maka katanya, "Betul juga ucapan Kim-heng, yang kutahu ialah istrinya Kian-jin-ciu-sat Ciong Ban-siu yang bernama Bok Wan-jing."

"Cis, jadi perempuan keparat itu telah memalsukan namaku sebagai Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing?" teriak wanita baju hitam dengan gusar.

"Kim-heng," kata Toan Ki, "Ciong Ban-siu itu suka membunuh orang tak berdosa, dengan nona baju hitam ini sungguh suatu pasangan yang setimpal."

Baru selesai ucapannya itu tiba-tiba sinar hijau berkelebat di depan mata, sesuatu senjata telah membacok ke arahnya.

Dalam keadaan terikat dan terjungkir, dengan sendirinya Toan Ki tak dapat menghindar, namun biar dia bisa bergerak dan bersenjata sekalipun tentu juga sukar menghindari serangan kilat itu. Maka dengan pejamkan mata ia sudah pasrah nasib.

Mendadak terdengar suara gemerantang beberapa kali, senjata nona baju hitam itu ternyata tidak sampai di tubuhnya. Ketika membuka mata, ia lihat di depan sana sesosok bayangan hitam dan segulung kabut kuning lagi melayang kian kemari dengan cepat luar biasa, di tengah bayangan hitam dan kabut kuning itu terlihat berkelebatnya sinar putih pula, menyusul riuh ramai dengan suara saling beradunya senjata.

"Tuhan Maha Pengasih, semoga Kim-heng ini diberi kemenangan," diam-diam Toan Ki berdoa.

Tiba-tiba terdengar si nona baju hitam alias Bok Wan-jing membentak nyaring, kedua orang sama-sama melompat mundur, tampak golok Kim Tay-peng sudah dimasukkan ke sarungnya, dengan tenang berdiri di tempatnya.

Sebaliknya dengan pedang terhunus, Bok Wan-jing lagi memandang lawan dengan penuh perhatian.

"Kalah menang belum terjadi, kenapa nona Bok tidak terus bertempur?" kata Kim Tay-peng.

"Hm, 'It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng', suatu tokoh gemilang di dunia Kangouw paling akhir ini, huh!" sahut Bok Wan-jing.

"Ada apa maksudmu?" tanya Tay-peng.

"Dalam 500 jurus belum tentu dapat kau menangkan nonamu!" sahut Wan-jing.

"Benar!" kata Tay-peng, "Jika lebih dari 500 jurus?"

"Marilah boleh kita coba-coba," ujar Bok Wan-jing. Berbareng ujung pedangnya terus mengarah tenggorokan Kim Tay-peng.

"Trang," Kim Tay-peng melolos golok buat menangkis dan kembalikan golok ke sarungnya pula, lalu membentak, "Kim Tay-peng adalah seorang laki-laki sejati, mana bisa bertempur sampai lebih 500 jurus dengan perempuan siluman kecil macammu? Utang darah penjual jamu Ong-lohan sementara ini biar kutunda dulu. Cuma kau harus berjanji takkan mencelakai jiwa saudara ini."

"Lalu utang piutang kita sendiri kapan akan diselesaikan?" tanya Bok Wan-jing.

"Nanti kalau dalam 500 jurus aku sudah dapat membereskanmu, dengan sendirinya akan kubikin perhitungan padamu," sahut Kim Tay-peng. "Jelas belum pesanku tadi?"

"Hm, bilakah pernah kau dengar Hiang-yok-jeh menerima pesan seseorang?" sahut Bok Wan-jing dengan angkuh.

"Baiklah, kuhormati kepandaianmu yang hebat, anggaplah aku yang memohonkan keselamatan saudara ini," kata Tay-peng.

"Jadi kau sendiri yang memohon padaku?" Bok Wan-jing menegas.

"Ya, kumohon padamu," sahut Tay-peng dengan suara berat.

Maka terbahaklah senang sekali Bok Wan-jing, selama bertemu dengan dia, untuk pertama kali inilah Toan Ki mendengar suara tertawa nona itu yang penuh gembira ria, tidak saja senang luar biasa, bahkan membawa sifat kekanak-kanakan.

Terdengar ia berseru pula, "Haha, It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng ternyata memohon sesuatu pada aku Bok Wan-jing, maksud baik permohonan ini rasanya tidak pantas kalau kutolak. Cuma aku hanya berjanji tidak membunuh orang ini, menghajarnya atau mengutungi kaki tangannya tidak termasuk dalam jaminanku ini."

Habis berkata, tanpa menunggu jawaban Kim Tay-peng lagi, ia bersuit, dengan cepat si mawar hitam mendekatinya, sekali cemplak Bok Wan-jing sudah berada di atas kuda, berbareng ia sambitkan pedangnya hingga tali gantungan pada dahan pohon itu terpapas putus. Toan Ki bersama pedang itu jatuh ke bawah, dan pada saat itulah dengan tepat Oh-bi-kui atau si mawar hitam berlari sampai di bawah pohon, tangan kanan Bok Wan-jing menyambar kembali pedangnya, tangan kiri mencengkeram kuduk Toan Ki dan ditaruh di atas pelana kuda. Sekali congklang, secepat terbang Oh-bi-kui sudah berlari jauh.

Melihat pertunjukan Bok Wan-jing ketika hendak pergi itu, mau tak mau Kim Tay-peng memuji, "Sungguh lihai perempuan siluman ini."

Setelah Bok Wan-jing simpan pedangnya, ia berkata di atas kuda, "It-hui-ciong-thian yang namanya terkenal di seluruh jagat ini hari ini juga tak bisa mengapa-apakan diriku. Hm, biarpun dia memperdalam pula ilmu silatnya, memangnya setiap hari aku hanya tidur saja dan ilmu kepandaianku takkan bertambah? Wahai, bocah she Toan, sekarang kau menyerah tidak padaku?"

Toan Ki hanya diam saja tak menggubrisnya, tetap berlagak bisu dan tuli.

Agaknya hati Bok Wan-jing sangat riang, kembali ia berkata, "Orang Kangouw sama bilang It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng adalah jago muda yang jarang ada bandingannya, kecuali tokoh-tokoh angkatan tua seperti 'Sam-sian-su-ok', dia terhitung jago paling lihai. Tapi hari ini dia toh sudi memohon padaku."

Toan Ki menjadi dongkol, katanya di dalam hati, "Dia hanya merasa seorang laki-laki tidak pantas melabrak seorang perempuan, makanya mengampunimu, masa engkau sembarangan membual segala?"

Tapi ia sendiri pun menyaksikan sikap Kim Tay-peng, ia tahu meski nama 'It-hui-ciong-thian' (sekali terbang menjulang ke langit) terkenal di seluruh jagat, jelas juga tidak berani memandang enteng Bok Wan-jing. Ia

pikir perempuan siluman ini meski keji dan ganas, tapi ilmu silatnya memang benar-benar sangat lihai.

Selagi Toan Ki termenung, mendadak pundaknya ditarik Bok Wan-jing hingga mukanya berpaling ke arahnya, demi tampak wajah pemuda itu belum lenyap dari rasa kagum, Bok Wan-jing terbahak-bahak, katanya, "Bocah bandel, di mulut kau tidak bicara, tapi di dalam hati kau menyerah padaku, bukan?"

Dan karena hatinya lagi senang, sepanjang jalan ia tidak siksa Toan Ki lagi.

Tidak lama, si mawar hitam telah membawa mereka ke suatu pekuburan. Segera Toan Ki dapat mengenali tempat itu adalah jalan masuk ke Ban-jiat-kok.

Ia lihat Bok Wan-jing melompat turun dari kudanya terus menarik batu nisan kuburan itu, cara menarik batu nisan itu persis seperti apa yang Ciong Ling ajarkan pada Toan Ki.

Begitu pintu kuburan terpentang, terus saja Bok Wan-jing jinjing Toan Ki melangkah ke dalam.

Perawakan Toan Ki sedikitnya belasan senti lebih tinggi daripada nona itu, bicara tentang bobot badan, sedikitnya juga lebih berat 30-40 kati. Tapi terjinjing olehnya, ternyata enteng saja bagai membawa sebuah keranjang.

Setelah masuk pula ke dalam peti mati, penyambutnya tetap si pelayan kecil yang menerima Toan Ki itu.

Sampai di tempat yang terang, pelayan itu kaget dan bertanya, "Hei, Bok-kohnio, ken ... kenapa kau bawa Toan-kongcu ke sini? Di ... di manakah Siocia kami?"

"Panggil keluar nyonyamu!" bentak Bok Wan-jing sambil banting Toan Ki ke lantai.

"Loya terluka parah, Hujin tak dapat meninggalkan beliau, silakan nona masuk ke dalam saja," kata si pelayan.

"Peduli apa dengan Loyamu yang terluka segala, suruh nyonyamu keluar!" bentak Bok Wan-jing bengis. "Sekalipun Loyamu saat ini akan mampus juga harus suruh nyonyamu lekas keluar!"

Pelayan itu tak berani bicara lagi, ia mengiakan dengan ketakutan, lalu cepat masuk ke dalam.

Tidak lama, Ciong-hujin tampak keluar dengan tergesa-gesa, katanya, "Nona Bok, kenapa tidak duduk dan bicara di dalam saja?"

Bok Wan-jing tidak menyahut, ia menengadah ke atas dan tidak menggubris.

Ciong-hujin seperti sangat jeri kepada nona baju hitam itu, dengan sabar ia berkata pula, "Bok-kohnio, apakah aku berbuat sesuatu kesalahan padamu?"

"Kau panggil siapa sebagai 'Bok-kohnio'?" tanya Bok Wan-jing tiba-tiba.

"Sudah tentu memanggil engkau," sahut nyonya Ciong.

"Hm, kusangka kau berkata pada dirimu sendiri," jengek Bok Wan-jing. "Kabarnya kau sekarang sudah ganti nama dan tukar she, kau pun bernama 'Bok Wan-jing'. Sungguh tidak nyana bahwa nama 'Bok Wan-jing' bisa mendapat perhatian orang, tapi julukan 'Hiang-yok-jeh' toh bukan nama yang enak di dengar, kalau benar-benar mau, biar kuberikan padamu dengan tangan terbuka."

Wajah Ciong-hujin sebentar merah sebentar pucat, katanya kemudian dengan suara halus, "Nona Bok, aku memalsukan namamu, hal ini memang tidak pantas. Soalnya karena aku terlalu mengkhawatirkan putriku, dengan harapan menggunakan namamu yang besar dapatlah menakutkan kawanan Sin-long-pang agar Ling-ji bisa dilepaskan mereka."

Mendengar itu, Bok Wan-jing berkata pula dengan nada agak halus, "Apa benar namaku mempunyai pengaruh begitu besar?"

Ciong-hujin kenal watak si nona yang suka dipuji dan diumpak, maka cepat sahutnya, "Sudah tentu! Nama besar nona di kalangan Kangouw, siapa saja yang tidak takut? Maka kuyakin bila mendengar nama nona, biarpun nyali orang Sin-long-pang sebesar langit juga tak berani mengganggu seujung rambut Ling-ji."

"Baiklah, tentang memalsukan namaku, tak perlu kuusut lebih jauh," kata Bok Wan-jing. "Tapi awas, bila lain kali sembarangan kau pakai namaku lagi, tentu urusan takkan berakhir begini saja. Kau adalah istri Ciong Bansiu, apakah ... apakah ... huk!" mendadak ia mengentak kaki ke lantai dengan keras.

Lekas-lekas Ciong-hujin menanggapinya dengan tertawa, "Ya, ya, memang akulah yang salah! Karena bingung memikirkan Ling-ji, aku menjadi lupa pada nama baik nona yang masih suci bersih."

Bok Wan-jing mendengus sekali, lalu tanya pula, "Jing-siong Tojin datang mencari perkara padaku, hal ini sebelumnya sudah kau ketahui, bukan?"

Air muka Ciong-hujin berubah seketika, sahutnya terputus-putus, "Ya, dia ... dia pernah datang minta bantuan kami berdua untuk mengeroyok nona. Tapi ... coba pikir, mana bisa kami berbuat demikian?"

"Ilmu silat suamimu sangat tinggi, kalau dia ikut mengeroyok, mungkin jiwaku akan melayang," kata Bok Wan-jing.

"Hubungan kami dengan nona sangat baik sejak dulu, mana bisa kami berbuat begitu?" sahut Ciong-hujin. Dan demi melihat sorot mata Bok Wan-jing di balik topeng hitamnya itu berkilat-kilat menyeramkan, cepat ia berkata pula, "Untuk bicara terus terang, sebenarnya kami pernah berunding tentang urusan itu. Tapi suamiku menduga biarpun No-kang-ong Cin Goan-cun, ditambah It-hui-ciong-thian Kim Tay-peng, Hui-sian Taysu dari Siau-lim-si dan lain-lain ikut mengerubut belum tentu mereka mampu menangkap nona, sebab itulah, meski Jing-siong Tojin memohon dengan sangat, tetap suamiku tak mau."

"Ucapanmu ini adalah karanganmu belaka atau benar-benar keluar dari mulut suamimu?" tanya Wan-jing.

"Kata-kata ini diucapkan suamiku sendiri kepada Jing-siong Tojin," sahut Ciong-hujin. "Bila nona tidak percaya, boleh cari Jing-siong Tojin untuk ditanyai."

Bok Wan-jing mengangguk-angguk, katanya kemudian, "Jika demikian, jadi Ciong-siansing sendiri merasa bukan tandinganku?"

"Kata suamiku, ilmu silat nona sukar dijajaki, apalagi cerdik tiada bandingan, kami berdua hidup aman tenteram mengasingkan diri, buat apa mesti mencari permusuhan lagi."

"Hah, Ciong-siansing jelas jeri padaku, tapi masih pakai kata-kata begitu untuk menutupi rasa malunya," jengek Wan-jing.

Wajah Ciong-hujin tampak merasa malu, sahutnya, "Usia suamiku sudah lanjut, kalau lebih muda 20 tahun,

boleh jadi masih sanggup melayani nona seratus-dua ratus jurus."

Kembali Bok Wan-jing tertawa dingin, nyata hatinya sangat senang.

Toan Ki yang terbanting di lantai itu dapat mengikuti percakapan mereka dengan jelas, pikirnya, "Ciong-hujin terus-menerus mengumpak nona ini, sedikit pun tidak kentara, terang ia pun seorang yang sangat lihai. Dasar nona galak suka diumpak orang, tapi aku justru ingin mengolok-oloknya."

Maka mendadak ia berseru, "Waduh, lagaknya! Melawan Kim Tay-peng seorang saja Bok-kohnio tak bisa menang, sekarang malah omong besar segala? Tadi mereka berdua saling gebrak, jelas Kim Tay-peng lebih unggul, nona Bok dihajar hingga berlutut minta ampun, dan setelah ia dipaksa memanggil sepuluh kali 'Kimyaya' (kakek Kim) baru jiwanya diampuninya ...."

Selagi Toan Ki hendak mencerocos lagi, tiba-tiba Bok Wan-jing melompat datang dan mendepak dua kali pinggangnya sambil membentak, "Siapa bilang aku kalah? Siapa yang menyembah minta ampun padanya?"

"Ciong-hujin, aku bicara padamu," kata Toan Ki, "Nona Bok beruntun-runtun melepaskan 18 batang panah kecil, tapi semuanya dijatuhkan Kim Tay-peng dengan 18 buah mata uang. Ia dihajar Kim Tay-peng hingga minta ampun dan berjanji takkan membunuh diriku ...."

Keruan Bok Wan-jing sangat murka, sekali tangan kanan terangkat, segera anak muda itu hendak dibunuhnya dengan panah berbisa.

Syukur Ciong-hujin sempat berseru sambil melompat mengadang di depan Toan Ki, "Jangan, nona Bok! Asal usul Toan kongcu ini tidak sembarangan, jangan kau bunuh dia."

"Huh, hanya seorang pelajar lemah yang tak bisa ilmu silat, asal usulnya bisa hebat apa? Paling-paling calon menantu 'Kian-jin-ciu-sat' Ciong Ban-siu saja!" jengek Bok Wan-jing.

Ciong-hujin menjadi jengah, sahutnya, "Kami adalah keluarga Kangouw yang kasar, mana berani mengharapkan menantu seperti Toan-kongcu."

"Untung dia bukan orang Kangouw, jika dia bisa sedikit ilmu silat saja, tentu sekali tebas sudah kucabut nyawanya." kata Bok Wan-jing. Segera ia teringat pada janji sendiri pada Kim Tay-peng untuk tidak membunuh Toan Ki, maka katanya pula, "Mending juga bocah ini ada sedikit baiknya, ketika tahu ada orang hendak bikin susah padaku, dengan cepat ia putar kuda kembali memberi kabar. Waktu Cin Goan-cun dan

begundalnya mengerubuti diriku, ia pun berusaha melindungi aku. Hehe, cuma sayang, semangat besar, tenaga kurang, jiwa kesatrianya sih boleh dipuji, tapi tiada punya kepandaian sebagai seorang gagah."

Bicara sampai di sini, nada suaranya menjadi ramah, ia sambung pula, "Ciong-hujin, hati bocah ini jauh lebih baik daripadamu. Kau tahu Jing-siong Tojin dan lain-lain hendak mengeroyok aku, tapi sengaja suruh Ciong Hok minta pinjam kudaku si mawar hitam sehingga aku tidak punya tunggangan dan sukar meloloskan diri. Sungguh hebat akalmu ini, sungguh keji muslihatmu ini!"

"Saking bingung memikirkan keselamatan putriku, sungguh aku tiada maksud membikin susah nona," sahut Ciong-hujin. "Kami suami istri juga sudah tahu bahwa Cin Goan-cun dan kawan-kawannya tak nanti mampu mengutik seujung rambut nona, pernah juga kami nasihatkan Jing-siong Tojin jangan cari mati sendiri, dan sekarang mungkin jiwanya sudah melayang di bawah pedang nona."

Padahal kematian Jing-siong Tojin itu hanya dugaannya saja, ia lihat Bok Wan-jing tak kurang suatu apa pun, sedangkan ilmu silat Jing-siong Tojin jauh di bawah Cin Goan-cun dan lain-lain, tentu Tosu itu yang paling dulu menjadi korban.

Maka sahut Bok Wan-jing, "Hm, pandanganmu cukup jitu juga!"

Habis berkata, sekali melesat, tahu-tahu ia sudah sampai di samping Toan Ki, sekali angkat, kembali pemuda itu dijinjingnya terus bertindak pergi.

"Nona Bok, tunggu dulu, aku ingin mohon sesuatu," seru Ciong-hujin.

"Berdasarkan apa kau hendak memohon padaku?" sahut Bok Wan-jing dengan dingin sambil menoleh. "Apa yang akan kau mohon rasanya aku pun takkan menyanggupi, maka lebih baik jangan kau katakan saja."

Selagi Ciong-hujin tertegun oleh jawaban itu, sementara itu Bok Wan-jing sudah tinggal pergi sambil menjinjing Toan Ki.

Setelah keluar dari liang kubur dan mengembalikan batu nisan ke tempatnya, Bok Wan-jing bersuit memanggil Oh-bi-kui, ia taruh Toan Ki di atas pelana, lalu ia sendiri mencemplak ke atas.

Sepanjang jalan beberapa kali Bok Wan-jing ajak bicara Toan Ki, tapi pemuda itu tetap bungkam tak menggubris padanya. Namun bila membayangkan betapa keji dirinya disiksa nona itu semalam, diam-diam

Toan Ki kebat-kebit juga dan tidak berani membikin marah si nona lagi.

Setengah harian kuda itu dilarikan, kedua orang itu boleh dikatakan sementara itu dapat hidup damai berdampingan.

Sampai tengah hari, wah, celaka, mendadak perut Toan Ki terasa mulas. Pikirnya ingin minta Bok Wan-jing melepaskan dia agar bisa buang hajat, tapi kedua tangannya terikat, tak bisa memberi tanda, andaikan bisa, cara memberi tanda pun rada-rada runyam.

Terpaksa ia buka mulut, "Aku ingin buang air, harap nona lepaskan aku!"

"Bagus, sekarang kau tidak bisu lagi, ya? Kenapa ajak bicara padaku?" olok-olok si nona.

"Ya, terpaksa," sahut Toan Ki. "Aku tak berani bikin kotor nona. Nona adalah 'Hiang-yok-jeh' (kuntilanak berbau wangi), kalau aku berubah menjadi 'Jau-siau-cu' (bocah berbau busuk) kan runyam?"

Mau tak mau Bok Wan-jing mengikik geli juga, ia pikir terpaksa harus melepaskan anak muda itu, maka ia potong tali pengikat Toan Ki dengan pedangnya, lalu menyingkir pergi.

Karena sudah sekian lamanya diringkus, tangan dan kaki Toan Ki menjadi kaku dan tak dapat bergerak, ia mengesot sampai sekian lamanya di tanah baru kemudian dapat berdiri.

Selesai buang hajat alias kuras perut, Toan Ki melihat si mawar hitam lagi makan rumput di dekatnya dengan jinak, pikirnya, "Inilah kesempatan bagus untuk melarikan diri!"

Perlahan ia mencemplak ke atas kuda dan si mawar hitam ternyata menurut saja.

Sekali tarik tali kendali, terus saja Toan Ki melarikan Oh-bi-kui ke utara dengan cepat.

Ketika mendengar suara derap kaki kuda, segera Bok Wan-jing mengejar, namun lari si mawar hitam teramat cepat, betapa pun tinggi Ginkang Bok Wan-jing juga tidak mampu menyusulnya.

"Sampai ketemu lagi, Bok-kohnio," kata Toan Ki sambil memberi salam, sementara itu sudah berpuluh tombak

jauhnya si mawar hitam mencongklang. Waktu Toan Ki menoleh pula, ia lihat bayangan Bok Wan-jing sudah teraling-aling pohon tak kelihatan lagi.

Bisa lolos dari cengkeraman hantu perempuan itu, Toan Ki merasa senang sekali, berulang kali ia berseru agar si mawar hitam lari terlebih cepat. Ia pikir saat itu sekalipun Bok Wan-jing menyerangnya dengan Am-gi atau senjata rahasia juga takkan mencapainya lagi.

Setelah berlari satu li jauhnya, selagi Toan Ki termenung ragu entah masih keburu menolong Ciong Ling atau tidak, apakah menuju langsung ke Bu-liang-san atau pulang ke Tayli dulu, sekonyong-konyong dari belakang berkumandang suara suitan yang panjang nyaring.

Mendengar suara itu, seketika si mawar hitam putar haluan dan berlari kembali ke arah tadi.

Toan Ki sangat terkejut, cepat ia berteriak-teriak, "Kuda yang baik, jangan kembali ke sana, jangan kembali ke sana kudaku sayang!"

Sekuatnya ia menarik tali kendali agar si mawar ganti arah lagi.

Namun meski tali kendali sedemikian kencangnya ditarik Toan Ki hingga kepala si mawar ikut miring, namun binatang itu masih lari lurus ke depan, sedikit pun tidak mau lagi menurut perintah Toan Ki.

Hanya sekejap saja, Oh-bi-kui sudah berlari sampai di samping Bok Wan-jing, lalu tak bergerak. Keruan Toan Ki serbarunyam, malu tercampur dongkol.

"Aku pernah berjanji pada Kim Tay-peng dan takkan bunuh kau." kata Bok Wan-jing." Tapi sekarang kau bermaksud melarikan diri, bahkan hendak menggondol lari kudaku si mawar. Maka apa yang kujanjikan pada Kim Tay-peng itu selanjutnya kubatalkan!"

Toan Ki melompat turun dari kuda, dengan gagah berani ia menjawab, "Oh-bi-kui sejak mula kau sendiri yang meminjamkan padaku dan sampai kini belum kukembalikan padamu, mana boleh bilang aku mencuri kudamu? Mau bunuh, lekas bunuhlah diriku, seorang laki-laki sejati, tak perlu kuterima budi dari siapa pun."

"Sret", Bok Wan-jing lolos pedangnya, katanya dengan dingin, "Hm, nyalimu benar-benar tidak kecil, apa kau sangka aku tidak berani membunuhmu? Kau andalkan pengaruh siapa hingga berulang kali berani padaku?"

"Asal setiap perbuatanku dapat kupertanggungjawabkan, buat apa aku mesti mengandalkan pengaruh orang lain?" sahut Toan Ki.

Sorot mata Bok Wan-jing setajam kilat memandang Toan Ki, tapi anak muda itu pun balas melotot. Setelah saling melotot sekian saat, mendadak Bok Wan-jing masukkan kembali pedangnya dan membentak, "Sudahlah, lekas enyah! Buah kepalamu biar kutitipkan di atas lehermu, kapan-kapan bila nona merasa perlu, setiap saat juga bisa kutagih kepalamu."

Sebenarnya Toan Ki sudah nekat, sungguh tak tersangka olehnya bahwa si nona akan membebaskannya begitu saja. Untuk sejenak ia tercengang, tapi segera ia pun tinggal pergi.

Sambil memandangi bayangan pemuda itu, diam-diam Bok Wan-jing berkata di dalam hati, "Lelaki bandel seperti ini sungguh jarang ada di dunia ini. Padahal jago silat umumnya kalau melihat aku tentu ketakutan setengah mati, tapi bocah ini sedikit pun ternyata tidak gentar."

Setelah belasan tombak jauhnya, Toan Ki tidak mendengar suara kuda, waktu menoleh, ia lihat Bok Wan-jing masih berdiri di tempatnya dengan termangu-mangu, pikirnya, "Hm, tentu dia lagi pikirkan sesuatu akal keji, serupa kucing mempermainkan tikus, aku hendak digodanya habis-habisan, kemudian baru aku dibunuhnya. Baiklah, toh aku tidak bisa lari, segala apa terserah dia."

Tapi makin jauh ia berjalan, tetap tak mendengar suara Bok Wan-jing mengejarnya, setelah melintasi beberapa simpang jalan, barulah ia merasa lega dan percaya nona galak itu takkan mengejarnya.

Dan karena hatinya sedikit lega, ia merasa tubuhnya yang babak belur itu sakit perih, seorang diri ia bergumam, "Ai, perangai nona ini demikian aneh, boleh jadi karena kedua orang tuanya sudah meninggal, selama hidupnya banyak mengalami macam-macam kemalangan. Mungkin juga wajahnya teramat jelek maka tidak sudi memperlihatkan muka aslinya pada orang. Ai, dia boleh dikatakan seorang yang perlu dikasihani juga."

Kemudian ia pikir pula, "Kalau aku berjalan seperti ini, mungkin sebelum sampai di Tayli aku sudah mati keracunan Toan-jiong-san. Padahal nona Ciong lagi mengharapkan pertolonganku dengan tak sabar, bila aku tidak tampak kembali ke sana dan ayahnya juga tak pergi menolongnya, tentu ia menyangka aku tidak memenuhi kewajiban mengirim berita pada ayahnya. Biarlah, bagaimanapun jadinya, aku harus memburu ke Bu-liang-san sana untuk bersama dengan dia, agar dia tahu aku tidak mengkhianati harapannya."

Setelah ambil keputusan begitu, segera ia ambil arah yang tepat dan menuju ke Bu-liang-san.

Lembah sungai Lanjong itu sunyi senyap, berpuluh li jauhnya tidak tampak seorang penduduk pun. Hari itu terpaksa ia mencari buah-buahan sekadar tangsel perut, malam harinya tidur meringkuk seadanya di lereng bukit.

Besoknya lewat tengah hari, kembali ia menyeberangi sungai Lanjong. Dekat magrib, sampailah ia di suatu kota kecil.

Uang sangu yang dibawanya sudah terhanyut di danau tempo hari, ia tahu pakaian sendiri sudah compangcamping, ditambah perut sangat lapar, teringat olehnya ada sebentuk hiasan batu giok di kopiahnya yang nilainya tak terkira.

Segera ia tanggalkan batu permata itu dan membawanya ke suatu warung kelontong satu-satunya di kota itu untuk di jual.

Karena tidak kenal benda mestika, pemilik warung itu hanya berani membeli dengan harga tiga tahil perak, apa boleh buat, dengan uang itu Toan Ki masuk ke suatu warung nasi untuk makan.

Pikirnya hendak membeli pakaian pula, tapi di kota sekecil itu tak ada toko kelontong yang menjual pakaian. Selagi sulit, tiba-tiba dilihatnya di samping warung nasi itu, di suatu lapangan ada orang menjemur dua potong kain hitam.

Seketika pikirannya tergerak, teringat olehnya Ciong-hujin sengaja memalsukan nama "Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing" untuk menolong putrinya, pikir Toan Ki, "Kenapa aku tidak menyamar sebagai perempuan galak itu untuk menggertak Sikong Hian? Paling-paling gagal dan mati, tapi kalau berhasil menggertak Sikong Hian, kan hebat!"

Dasar watak orang muda, apa yang dia pikir segera dikerjakan, segera ia membeli sepotong kain hitam, ia pinjam gunting dan jarum serta benang, lalu berlagak sebagai penjahit ulung untuk membuat pakaian di belakang warung nasi itu.

Selama hidup Toan Ki hanya kenal buku, membaca dan menulis, kini memegang jarum, walaupun benda sekecil itu, namun rasanya seberat palu. Untung bukan menjahit pakaian bagus, hanya diperlukan membalut antero tubuh saja asal tidak kelihatan, maka di mana ada bagian renggang, di situ lantas dijahit, kalau ada lubang lantas ditambal.

Begitulah ia sibuk sendiri hingga mandi keringat, pegawai warung nasi menyangka Toan Ki agak kurang waras otaknya, maka tidak urus perbuatannya itu. Sampai malam, orang sudah pergi tidur, Toan Ki masih sibuk

menjahit di warung itu.

Hampir tengah malam, baru selesai Toan Ki menunaikan tugas. Ia coba pakai baju baru itu, mending juga badannya bisa tertutup rapat. Sepasang sarung tangannya juga kasar, tapi kesepuluh jarinya dapat masuk dan bergerak dengan bebas.

Senang sekali Toan Ki, sambil mengenakan pakaian serbahitam itu, ia coba ingat-ingat suara Bok Wan-jing yang tajam melengking itu, lalu tekuk suara menirukan beberapa kali.

Ia tidak yakin suaranya mirip orang, tapi bila mengingat Sikong Hian juga belum tentu pernah melihat dan mendengar suara Bok Wan-jing, betapa pun memang sengaja untung-untungan, biarpun rahasianya terbongkar nanti, apa mau dikatakan lagi?

Setelah menyamar, ia coba-coba merancang bagaimana nanti kalau berhadapan dengan Sikong Hian, kemudian meninggalkan warung nasi itu dan menuju Bu-liang-san.

Kota kecil itu letaknya sudah di kaki gunung Bu-liang-san. Di bawah sinar bulan, Toan Ki dapat menempuh arah yang tepat. Setelah dua jam lamanya, dari jauh tertampak di lereng gunung sana sinar api berkelip-kelip, ia tahu di sanalah tempat tinggal Sin-long-pang, segera ia menuju ke tempat sinar api itu.

Kira-kira belasan tombak sebelum sampai di tempat sinar api itu, sekonyong-konyong dari tempat gelap melompat keluar seorang sambil membentak, "Siapa yang datang ini? Ada keperluan apa?"

Toan Ki tertawa dingin sekali, ia tekuk suaranya dan menyahut dengan garang, "Hm, macammu juga ingin tanya siapa diriku? Di mana Sikong Hian? Suruh dia menemui aku!"

Melihat antero tubuh Toan Ki tertutup kain hitam, di bawah sinar bulan hanya tertampak kedua biji matanya, orang itu terkesiap, teringat olehnya dandanan seorang iblis wanita yang mengguncangkan dunia Kangouw, maka tanyanya dengan suara gemetar, "Apakah engkau ... engkau Hiang ... yok ...."

"Namaku boleh sembarangan kau sebut?" bentak Toan Ki dengan gusar.

Karena terpengaruh oleh nama besar "Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing", nyali orang itu pecah, dengan gugup ia menjawab, "Sikong-pangcu terluka parah, tak bisa ... tak bisa berjalan, harap nona sudi ... sudilah ke sana!"

Sial pikir Toan Ki, masakan seorang jejaka 'ting-ting' disangka nona segala. Diam-diam ia pun bersyukur orang tak dapat mengenalnya, maka sengaja ia mendengus menirukan lagak angkuh Bok Wan-jing, katanya, "Lekas tunjukkan jalannya!"

Perlahan Toan Ki ikut orang itu ke depan. Ia tahu, semakin lambat jalannya, semakin sulit terbongkar rahasianya.

Sampai di tempat api unggun, ia lihat di sana-sini menggeletak beberapa orang yang terpagut oleh Kim-leng-cu itu. Ciong Ling diringkus kedua tangannya, begitu melihat Toan Ki, ia menjadi girang, terus saja ia berseru, "Bok-cici, engkau telah datang menolong aku!"

Selama tersiksa beberapa hari, keadaan Sikong Hian memang sudah payah, ketika melihat bentuk Toan Ki, ia sudah menduga pasti "Hiang-yok-jeh" yang namanya mengguncangkan Kangouw itu.

Maka ia berusaha bangun, kedua tangannya menahan di pundak kedua anak buahnya, lalu berkata, "Cayhe terkena racun ular, tidak bisa menjalankan peradatan, harap ... harap nona suka memaafkan."

"Nona Ciong adalah sobatku, kau tahu tidak?" tegur Toan Ki dengan suara melengking.

"Sesungguhnya Cayhe tidak tahu, harap maaf," sahut Sikong Hian.

"Lekas lepaskan dia," kata Toan Ki lagi.

Walaupun Sikong Hian gentar pada nama Hiang-yok-jeh yang besar itu, ia tahu sekalipun dirinya tidak terluka, untuk bertanding juga bukan lawan orang, bila Ciong Ling dibebaskan, kalau tiada obat penawar racun Kimleng-cu, tidak lama lagi dirinya bersama anak buahnya tentu mati, dalam keadaan demikian, betapa pun hebat risikonya tak terpikir pula, segera jawabnya, "Apakah nona membawa obat penawar racun ular ini?"

Toan Ki mengeluarkan sebuah kotak emas dari bajunya, itulah barang yang diterimanya dari Ciong-hujin, cuma ketika di warung nasi ia sudah keluarkan surat di dalamnya dan menggantinya dengan adukan nasi dan tanah hingga penuh sekotak. Lalu katanya, "Ini adalah obat khas milik 'Kian-jin-ciu-sat' Ciong Ban-siu, dia sudi memberikan padamu, boleh dikatakan nasibmu lagi mujur."

Sembari berkata, ia lemparkan kotak itu ke tanah.

Memangnya Sikong Hian sudah dapat menerka ayah Ciong Ling adalah "Kian-jin-ciu-sat" Ciong Ban-siu, kini diperkuat oleh keterangan Toan Ki itu, ia tambah percaya lagi. Maka cepat jawabnya, "Banyak terima kasih nona, banyak terima kasih juga kepada Ciong-tayhiap."

Segera ada bawahannya menjemput kotak itu untuk diserahkan pada Sikong Hian. Ia buka kotak itu dan mengendus isinya, ia mencium isi kotak itu berbau amisnya ikan, rada-rada berbau tanah juga.

Setiap anggota Sin-long-pang adalah ahli obat-obatan, lebih-lebih Sikong Hian, segala macam obat, sekali diciumnya tentu diketahuinya betapa kadar obat yang terkandung di dalamnya. Apalagi sekarang obat itu merupakan penyelamat jiwanya, tentu saja ia periksa lebih cermat.

Ketika diendus lagi dan merasa sedikit pun tiada bau obat, seketika timbul rasa curiganya. Segera ia tanya, "Tolong tanya nona, obat ini bagaimana memakainya?"

"Setiap orang minum setitik saja, lewat 12 jam, racun Kim-leng-cu akan lenyap," sahut Toan Ki. "Nah, lekas kau bebaskan nona Ciong!"

"Ya," sahut Sikong Hian sambil berjongkok mengambil sebatang kayu yang terbakar untuk menerangi tubuh Toan Ki.

Kalau di tempat gelap masih mendingan, kini sekali disinari, seketika terbongkarlah borok Toan Ki. Tertampaklah pakaiannya yang hitam mulus itu di sana-sini tidak keruan jahitannya, hakikatnya tidak serupa pakaian.

Keruan Sikong Hian bertambah curiga. Ia melangkah maju lebih dekat dan mencium sekuatnya beberapa kali, tapi sedikit pun tidak mengendus bau harum apa-apa. Pikirnya, "Menurut cerita orang Kangouw, tubuh Hiangyok-jeh mengeluarkan semacam bau harum yang khas, dari jauh orang sudah menciumnya, sebab itulah diperoleh julukan 'Hiang-yok-jeh'. Tapi orang ini sama sekali tiada bau wangi apa pun, sebaliknya malah radarada bau apak. Apa mungkin orang ini hanya samaran saja?"

Melihat sikap orang, Toan Ki tahu dirinya sudah mulai dicurigai. Keruan hatinya kebat-kebit, tapi ia masih coba membentak, "Kusuruh kau lepaskan nona Ciong, kau dengar tidak?"

Walaupun sudah curiga, namun Sikong Hian masih tidak berani main kasar, dengan merendah ia menjawab, "Harap nona maklum, sekian banyak orang kami telah dipagut ular, jiwa masing-masing tinggal sehari-duahari, jika obat pemberian Ciong-tayhiap ini tidak manjur, kan jiwa kami akan melayang semua? Bukanlah

Cayhe berani membangkang perintah Bok-kohnio, kami hanya minta nona Ciong bersabar beberapa hari lagi dan tinggal bersama kami, bila racun ular kami sudah disembuhkan, pasti kami akan mengantar nona Ciong ke rumah, sekalian mengaturkan terima kasih juga kepada Bok-kohnio."

"Kenapa kau berani mengoceh lagi, kukatakan lepaskan dia dan harus kau lakukan!" kata Toan Ki dengan gusar. Segera ia berpaling kepada seorang tua yang berdiri di samping Ciong Ling dan membentaknya, "Lekas buka tali ringkusannya!"

Dan karena gugupnya, suara Toan Ki lupa ditekuk hingga kentara sekali bersuara pria.

Kakek yang dibentak itu cukup cerdik, di bawah sinar api ia lihat pula isyarat sang Pangcu, maka pikirnya, "Orang ini entah tulen atau palsu, kalau Pangcu sendiri segan padanya, aku hanya bawahan, kasar sedikit tentu tidak apalah. Bila dia benar-benar Hiang-yok-jeh, tentu Pangcu akan mintakan maaf bagiku."

Karena pikiran itu, segera ia menjawab dengan suara keras, "Bok-kohnio, tidaklah sulit untuk melepaskan nona Ciong. Tapi wajah asli nona harus diperlihatkan kepada kami barang sekejap saja."

"Kau berani minta lihat wajahku, apa barangkali kau sudah bosan hidup?" damprat Toan Ki.

Diam-diam kakek itu berpikir, "Betapa lihai ilmu silatnya, wanita ini hanya seorang diri. Dengan jumlah kami sebanyak ini masakah tak bisa melawan seorang wanita?"

Namun demikian pikirnya, nama "Hiang-yok-jeh" sesungguhnya teramat besar, banyak cerita orang Bu-lim yang memujanya setinggi langit, kalau pakai kekerasan, bisa jadi dirinya akan celaka lebih dulu.

Maka dengan tertawa katanya pula dengan merendah diri, "Sekalipun Siauloji (aku orang tua yang rendah) punya sepuluh nyawa serep juga tidak berani pada nona. Cuma sudah lama kami dengar nama nona yang mahabesar, hati kami kagum tak terhingga, maka sangat berharap dapat menambah pengalaman bila nona sudi memberi petunjuk barang sejurus-dua jurus ilmu sakti."

Diam-diam Toan Ki mengeluh, cepat sahutnya, "Kemahiran nona adalah kepandaian membunuh orang melulu, tapi di sini agaknya tiada orang yang mau dibunuh."

Seorang tokoh Sin-long-pang di daerah Kuiciu menjadi tidak sabar, dengan suara keras ia menyela, "Kau minta kami bebaskan orang, paling sedikit harus kau unjuk sejurus-dua dulu."

Sembari berkata, ia lantas tampil ke muka.

Dalam pada itu rasa curiga Sikong Hian sudah tak tertahankan, segera ia pun berkata, "Baiklah, Ui-hiati, boleh coba-coba kau minta petunjuk nona Bok."

Tokoh she Ui itu menjadi tabah mendapat dorongan sang Pangcu, segera ia lolos Kim-pwe-to atau golok berpunggung tebal, sekali bergerak, lima gelang baja yang terpasang di atas golok itu berbunyi gemerantang, dengan gagah ia berdiri di depan Toan Ki.

Diam-diam Toan Ki mengeluh, "Celaka, tidak jadi soal kalau rahasiaku terbongkar, tapi nona Ciong bakal menjadi korban juga."

Dan demi tampak kegarangan lawan, tanpa terasa ia menyurut mundur dua tindak.

Melihat langkah Toan Ki enteng tanpa kuda-kuda, hakikatnya seorang tak bisa ilmu silat, orang she Ui itu menjadi makin berani. Ia mendesak maju lagi dua tindak, goloknya pura-pura membacok ke depan hingga gelang baja menerbitkan suara gemerencing.

Saking ketakutan berulang Toan Ki mundur beberapa tindak, sampai akhirnya punggung sudah menyandar di suatu pohon beringin.

Saat itu, beratus pasang mata orang Sin-long-pang sama tertuju atas diri Toan Ki, dan karena mundur beberapa tindak, walaupun belum kentara samarannya, namun sudah jelas kelihatan kalau dia tak bisa ilmu silat. Banyak di antara orang Sin-long-pang saling berbisik membicarakan hal itu dengan heran.

"Bok-kohnio," kata Sikong Hian kemudian. "Silakan kau beri ajaran sedikit pada Ui-hiati itu. Cuma sukalah nona berlaku murah hati, asal menyentuh badan, lantas sudahi."

"Aku tak bisa menyentuh badan saja, sekali turun tangan, pasti bereskan nyawanya," kata Toan Ki. "Makanya, hai, orang she Ui, lebih baik kau undurkan diri saja."

Walaupun bicaranya masih angkuh sekali, namun suaranya sudah gemetar hingga kentara perasaannya yang ketakutan.

"Silakan, memang jiwa orang she Ui hidup di ujung senjata," bentak jago she Ui itu mendadak sambil angkat goloknya.

"Jangan bergerak," seru Toan Ki berlagak garang. "Sekali aku turun tangan, seketika jiwamu bakal melayang. Maka kunasihatkanmu undurkan diri saja lebih selamat."

"Silakan nona memberi ajaran," sahut jago she Ui itu.

Dan demi tampak kedua kaki Toan Ki rada gemetar, tanpa bicara lagi goloknya yang tebal besar itu terus membacok ke dada Toan Ki.

Cuma nama "Hiang-yok-jeh" sesungguhnya teramat disegani, maka serangannya ini masih tetap pura-pura saja, ketika golok itu hampir mengenai dada Toan Ki, mendadak ia belokkan arahnya ke samping, "sret", baju hitam di bahu kiri Toan Ki yang terpapas sebagian.

Keruan Toan Ki terkejut, sementara itu punggungnya sudah kepepet di batang pohon, untuk mundur lagi terang sudah buntu, diam-diam ia mengeluh, cepat ia berteriak, "Nona Ciong, lekas ... lekas melarikan diri!"

Sudah lama Ciong Ling kenal dengan Bok Wan-jing, maka begitu lihat perawakan Toan Ki, tingkah laku dan lagak lagunya yang sangat berbeda daripada Bok Wan-jing, sejak tadi gadis itu sudah tahu Hiang-yok-jeh palsu, cuma tak diketahuinya siapa gerangan pemalsu itu. Kini demi mendengar suara teriakan Toan Ki, seketika ia kenal anak muda itu dan berseru, "Hah, engkau Toan ...."

Belum lanjut ucapannya, mendadak golok jago she Ui tadi sudah menyambar lagi hingga lengan baju kanan Toan Ki terpapas pula sebagian.

"Haha!" orang she Ui itu terbahak-bahak. "Hiang-yok-jeh, hari ini aku justru ingin melihat wajahmu yang sebenarnya, apakah secantik bidadari, atau jelek seperti Yok-jeh (genderuwo)?"

Dengan tertawa segera seorang kawannya menanggapi dari samping, "Dia bernama Yok-jeh, tentu seorang genderuwo tua bangka, kalau tidak, untuk apa selalu mengerudungi muka sendiri."

Melihat dua kali bacokan kawannya berhasil tanpa mendapat perlawanan, bahkan Toan Ki tampak kelabakan ketakutan, mereka menjadi berani, banyak sindiran dan olok-olok kasar tercetus dari mulut mereka.

Di tengah sindir ejek orang-orang itu, mendadak golok orang she Ui itu menyambar pula ke muka Toan Ki dengan gerak tipu "Giok-liong-sia-hui" atau naga putih terbang miring, cepat Toan Ki mendoyong ke belakang, karena itu, kedua tangannya seakan-akan terangkat ke atas.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara "bluk," tahu-tahu tubuh jago she Ui yang besar itu jatuh terjengkang, menyusul "trang" sekali, goloknya terpental juga hingga gelang baja di atasnya menerbitkan suara nyaring.

Ketika memandang orang she Ui itu, tertampak dia sudah roboh telentang, batok kepalanya tertancap sebatang panah kecil warna hitam dan tak berkutik lagi.

Dalam kejutnya, cepat dua orang Sin-long-pang sudah memburu maju dan memeriksa sang kawan, demi mengetahui orang she Ui itu sudah putus nyawanya, kedua orang itu menjadi murka, dengan senjata terhunus mereka menubruk pula ke arah Toan Ki.

Tapi baru saja tubuh mereka bergerak, tiba-tiba terdengar suara mendesir dua kali, tahu-tahu kedua orang itu terbanting hingga meringkuk bagai cacing, setelah kelejetan beberapa kali lalu tak bergerak lagi.

Seketika kawanan Sin-long-pang menjadi panik, segera ada yang menganjurkan mengerubut maju semua. Benar juga, lebih 20 orang sekaligus lantas menerjang ke arah Toan Ki dari berbagai jurusan.

Melihat sekelilingnya penuh musuh bersenjata dan bermuka beringas, saking ketakutan Toan Ki sampai terkesima.

Jilid 05
Tak terduga belum lagi setombak mendekati Toan Ki, tahu-tahu lebih 20 orang itu sudah dipapak pula oleh sambaran senjata rahasia, seketika ramai dengan suara mendesir, hujan panah terjadi, sekejap saja orang-orang itu sama menggeletak terbinasa.

Orang-orang itu adalah sisa kawanan Sin-long-pang yang masih kuat, tapi dalam sekejap saja sudah mati semua, keruan Sikong Hian sangat terkejut. Apalagi sebelumnya sudah berpuluh anak buahnya terpagut Kimleng-cu, sisa anak buahnya sekarang hanya tinggal kelas rendahan saja.

"Hiang ... Hiang-yok-jeh, sungguh tak bernama kosong, keji amat cara turun tanganmu!" dengan dendam Sikong Hian berkata.

Mimpi pun Toan Ki tidak menyangka bahwa dalam sekejap saja penyerang sebanyak itu bisa roboh dan mati semua, terang diam-diam ada orang kosen telah menolongnya, tapi sekitarnya sunyi senyap, di mana ada orang kosen?

Ketika melihat kematian orang-orang itu cukup mengenaskan, ia merasa tidak tega, maka katanya, "Sikongpangcu, engkaulah yang memaksa aku, sungguh aku merasa men ... menyesal."

Sikong Hian menjadi gusar, katanya, "Jiwaku hanya satu ini, hendak kau bunuh atau disembelih boleh silakan. Sin-long-pang hancur di tangan Sikong Hian, memangnya aku pun tidak ingin hidup lagi."

"Aku tiada bermaksud mencelakaimu," sahut Toan Ki menyesal. "Le ... lekas kau bebaskan nona Ciong saja."

Dalam keadaan terharu, nada suara Toan Ki menjadi berbeda sekali daripada suara Bok Wan-jing yang dingin.

Tapi Sikong Hian sudah kalap menyaksikan anak buahnya habis terbunuh, tak diperhatikan lagi apakah suara Toan Ki itu suara orang laki-laki atau perempuan, tulen atau palsu, segera ia membentak, "Akhirnya juga mati, Thio-hiati, kau bunuh dulu anak perempuan she Ciong itu!"

Anak buahnya yang she Thio itu mengiakan terus mendekati Ciong Ling, golok terangkat terus membacok kepala Cong Ling. Tapi belum lagi senjata itu diayunkan, sekonyong-konyong suara mendesir berjangkit lagi

sekali, di mana panah kecil itu sampai, kontan orang she Thio itu roboh terjengkang, golok membacok di muka sendiri hingga berlumuran darah.

Sebenarnya orang she Thio itu sudah menduga bahwa "Hiang-yok-jeh" pasti akan menimpukkan panahnya untuk merintangi bacokannya itu, maka waktu membacok, ia sudah mencurahkan segenap perhatian ke arah Toan Ki, asal tangan "Hiang-yok-jeh" itu sedikit bergerak, segera ia bermaksud berjongkok untuk menghindar. Siapa duga datangnya panah itu sedikit pun tiada tanda apa pun.

Tadi waktu berpuluh orang mengepung Toan Ki, dalam keadaan hiruk-pikuk hujan anak panah, semua orang juga tidak jelas dari mana datangnya panah berbisa itu. Kini secepat kilat orang she Thio itu jatuh binasa pula, dari mana menyambarnya panah terlebih tiada seorang pun yang tahu. Keruan sisa anak buah Sin-long-pang menjadi ketakutan, beberapa di antaranya yang bernyali kecil menjadi lemas kakinya hingga dan terkulai tak sanggup berdiri.

"Kau lepaskan nona Ciong," Toan Ki tunjuk seorang laki-laki setengah umur.

Orang itu tahu bila tidak menurut perintah, sekejap saja jiwanya pun akan melayang seperti kawan-kawan lain. Sekalipun disiplin Sin-long-pang cukup keras, tapi demi keselamatan jiwa sendiri, terpaksalah ia mendekati Ciong Ling dengan takut-takut, ia lolos sebilah pisau dan memotong tali pengikat gadis itu.

Setelah bebas, Ciong Ling mendekati Sikong Hian, katanya, "Keluarkan obat di dalam kotak emas itu dan kembalikan kotaknya padaku."

Meski Sikong Hian sangsikan khasiat obat di dalam kotak itu, tapi toh dikoreknya juga semua isi kotak di telapak tangannya, lalu menyerahkan kotak kosong itu kepada Ciong Ling. Diam-diam ia cari akal cara bagaimana melawan panah berbisa Hiang-yok-jeh.

Setelah terima kotak emas itu, kembali Ciong Ling ulurkan tangan dan berkata, "Serahkan sini!"

"Apa lagi?" tanya Sikong Hian mendongkol.

"Obat pemunah racun Toan-jiong-san," sahut Ciong Ling. "Toan-kongcu telah mencarikan obat bagimu, harus kau berikan obat penawarnya pula."

Tergerak pikiran Sikong Hian, ia mendapat akal, serunya lantas, "Ambilkan obatnya!"

Lalu ia sebut beberapa nama ramuan obat.

Cepat dua anak buahnya mengeluarkan ramuan obat yang dimintanya itu dari peti obat. Setelah dicampur dan dibungkus. Sikong Hian berkata pula, "Serahkan pada nona Ciong."

Setelah terima obat itu, Ciong Ling berkata, "Kalau obat ini tidak manjur, akan kubunuh habis Sin-long-pang kalian!"

"Sudah tentu obat ini tidak bisa menyembuhkan racun Toan-jiong-san," sahut Sikong Hian dingin.

"Apa katamu?" tanya Ciong Ling dengan kaget.

"Obat ini hanya menunda bekerjanya racun Toan-jiong-san selama tujuh hari, habis itu kalau aku tidak mati, bolehlah kau minta obat penawarnya padaku," sahut Sikong Hian.

Sungguh gusar Ciong Ling tidak kepalang, ia berpaling pada Toan Ki dan berkata, "Bok-cici, tua bangka ini tidak bisa dipercaya, boleh kau panah mampus dia."

"Ingar, di dunia ini hanya aku seorang yang sanggup meracik obat penawar Toan-jiong-san," kata Sikong Hian.

Toan Ki menjadi khawatir, pikirnya, "Obat yang kuberikan padanya memangnya palsu, hanya adukan dari sisa nasi dan tanah, dengan sendirinya tidak manjur, nanti kalau racun Kim-leng-cu dalam tubuhnya bekerja, seketika dia akan mati, lalu bagaimana baiknya?"

Ciong Ling memandang Toan Ki tanpa berdaya, dalam gugupnya tiba-tiba timbul sifat keremajaannya, tangan Sikong Hian terus ditariknya sambil berkata, "Sikong-pangcu, marilah ikut padaku untuk menjenguk Toankongcu."

"Hei, macam apa pakai tarik-tarik begini?" seru Sikong Hian gusar.

"Saat ini Toan-kongcu tentu berada di rumahku, marilah kita pergi melihatnya," sahut Ciong Ling. "Bila racun Kim-leng-cu bekerja dalam tubuhmu, ayah bisa juga mengobatimu."

Toan Ki pikir akal si gadis itu bagus sekali, maka ia pun berkata dengan dingin, "Marilah kita berangkat bersama, kau takkan mati!"

Sikong Hian memandangnya sekejap, ia pikir kalau membangkang hingga membikin marah "Hiang-yok-jeh," bukan mustahil jiwanya akan melayang di bawah panah beracun orang. Tapi dirinya adalah seorang Pangcu, anak buahnya sudah banyak yang jadi korban, kini dirinya kena dibekuk orang pula, apa jadinya kalau kelak jiwanya selamat?

Karena itu ia menjadi serbasalah.

"Sikong-pangcu," Ciong Ling tak sabar, ia terus menyeretnya, "marilah berangkat lekas! Kau sendiri boleh minum obat penawar itu dulu, sisanya berikan kepada anak buahmu."

Walaupun ragu, namun Sikong Hian minum juga sebagian "obat penawar" tadi, ia khawatir khasiat obat kurang manjur, maka sebagian besar ia minum sendiri, sisanya tinggal sedikit baru diberikannya kepada anak buahnya.

Tanpa bicara lagi Ciong Ling menyeret pergi Pangcu Sin-long-pang yang sial itu.

Walaupun terluka parah, tapi kalau Sikong Hian mau mengipatkan tangan Ciong Ling, dengan mudah ia dapat bebaskan diri. Cuma, pertama ia jeri pada "Hiang-yok-jeh" yang ganas itu, kedua, khawatir obat penawar yang diminum tadi tidak manjur, biarpun bisa meloloskan diri, akhirnya juga mati, maka lebih baik ikut pergi saja dengan mereka.

"Memangnya aku ingin bertemu dengan ayahmu, ingin kuminta keadilan padanya," dengan mengucapkan katakata yang bersifat menutupi malunya, segera ia melangkah lebih dulu.

Cepat Ciong Ling memegang lengan ketua Sin-long-pang. Ketika lewat di samping Toan Ki, sekalian ia gandeng tangan pemuda itu pula.

Melihat sang Pangcu diseret pergi orang, sisa anak buah Sin-long-pang menjadi ribut dan berisik membicarakannya. Keruan Sikong Hian merasa malu dan menundukkan kepala.

Dengan bungkam Ciong Ling menggandeng tangan kedua orang dan berjalan terus, diam-diam ia pikir, "Kalau kubongkar rahasia Toan-kongcu, tentu si tua Sikong Hian ini akan berontak dan kami berdua jelas bukan tandingannya. Namun Bok-cici terang bersembunyi di sekitar sini, tadi anak buah Sin-long-pang banyak yang terbunuh, dengan sendirinya akibat perbuatannya."

Berpikir begitu, segera ia berseru dengan suara yang sengaja diperkeras, "Banyak terima kasih atas pertolongan Bok-cici tadi."

Toan Ki terperanjat ketika mendadak mendengar seruan si nona, sejenak kemudian dengan suara yang dibuatbuat baru ia menjawab, "Ah, orang sendiri, tak perlu sungkan."

"Huh, masih berani bersandiwara," pikir Ciong Ling geli.

Tiba-tiba ia puntir tangannya hingga Toan Ki kesakitan, hampir saja ia menjerit. Ketika melirik si gadis, tampak Ciong Ling lagi tersenyum-senyum geli. Berbareng itu, diam-diam gadis itu jejalkan kotak emas dan bungkusan obat penawar yang diterimanya dari Sikong Hian tadi ke tangan Toan Ki.

Toan Ki tahu gadis itu sudah mengetahui rahasianya, maka ia mengangguk tanda terima kasih.

Pada saat itulah, tiba-tiba di jurusan barat sana ada suara suitan orang, menyusul dari sebelah selatan ada suara orang bertepuk tangan pula. Habis itu, sesosok bayangan secepat terbang tampak memapak dari depan.

Kira-kira beberapa meter di depan Toan Ki bertiga, mendadak orang itu berhenti dan membentak dengan suara yang serak, "Hiang-yok-jeh, memangnya kau bisa melarikan diri?"

Dari suaranya, Toan Ki dapat mengenali adalah Sam-ciang-coat-beng Cin Goan-cun, si raja pengaduk sungai.

Pada saat lain, terdengar pula suara seorang tertawa dingin di belakang, waktu Toan Ki menoleh, di bawah sinar bulan yang remang-remang tertampaklah seorang nenek dengan golok terhunus dan tangan lain memegang sebatang gurdi baja bersinar kemilau.

"Celaka!" diam-diam Toan Ki mengeluh. "Semoga nona Bok lekas datang menolong!"

Ia menjadi bingung, apakah harus tetap memalsukan nama Hiang-yok-jeh atau membuka baju hitam menunjuk

muka aslinya sendiri?

Sedang ragu-ragu, sementara itu dari kanan-kiri sudah bertambah lagi masing-masing seorang.

Yang sebelah kiri adalah seorang Hwesio tua berjubah kuning, membawa senjata Hong-pian-jan atau sekop serbaguna, suatu alat yang lazim dibawa kaum padri. Dan orang yang di sebelah kanan kurang jelas wajahnya, agaknya seorang laki-laki berusia belum lanjut, punggung menyandang pedang.

Ternyata dalam sekejap saja Toan Ki alias Hiang-yok-jeh palsu sudah terkepung dari empat jurusan. Ia kenal Cin Goan-cun, si nenek dan si Hwesio itu adalah kawanan pengeroyok di rumah Bok Wan-jing, kini mereka mengejar pula sampai di sini, dengan sendirinya laki-laki satunya tentu adalah komplotan mereka juga.

"Kalian hendak cari Bok-cici, bukan?" tanya Ciong Ling tiba-tiba.

"Benar," sahut si Hwesio. "Siapakah nona ini dan Cianpwe itu? Silakan menyingkir ke samping saja."

Belum lagi Ciong Ling menjawab, cepat Sikong Hian menimbrung, "Taysu tentu adalah Hui-sian Taysu dari Siau-lim-si, bukan? Dan yang ini tentunya No-kang-ong Cin-loyacu, dan yang itu adalah Sin-sipopo. Cayhe Sikong Hian dari Sin-long-pang. Maafkan kedangkalan pengalamanku, numpang tanya siapa pula nama yang mulia saudara yang ini?"

Laki-laki tak dikenal itu melangkah maju dua tindak hingga wajahnya kini jelas kelihatan, lalu sahutnya, "Cayhe she Su ...."

"Ah, kiranya adalah Oh-pek-kiam Su An, Su-tayhiap!" belum orang selesai memperkenalkan diri, cepat Sikong Hian sudah memotong. "Selamat bertemu, selamat bertemu!"

Su An itu balas hormat orang, sahutnya, "Sudah lama kudengar nama besar Sikong-pangcu dari Sin-long-pang, betapa bahagia hari ini bisa berjumpa di sini."

Toan Ki kini dapat melihat usia Su An itu kira-kira baru 30-an tahun, perawakannya sedang tapi gagah perkasa, jiwa kesatrianya tampak nyata pada sikapnya yang kereng, berbeda sekali dengan sifat Cin Goan-cun dan Sinsipopo yang sombong tak mau kalah itu. Diam-diam timbul rasa suka Toan Ki kepada pendekar muda itu.

Sebagai seorang tokoh Bu-lim yang sudah lama menetap di daerah Hunlam, banyak juga jago silat terkemuka yang dikenal Sikong Hian, cuma sedikit yang tak dikenalnya. Di antara empat tokoh itu hanya Cin Goan-cun yang sudah pernah bertemu, ketiga orang yang lain hanya dikenalnya dari senjata serta diterka dari umur mereka, tapi nyatanya tepat juga dugaannya.

Ia tahu betapa lihai ilmu pukulan Cin Goan-cun, sedang Hui-sian Taysu itu adalah satu di antara delapan Houhoat atau pembela agama dari Siau-lim-si, ilmu permainan Hong-pian-jan terhitung nomor satu di kalangan murid Buddha.

Adapun Sin-sipopo mempunyai kepandaian khas tunggal juga dengan golok dan gurdi bajanya yang dapat dimainkan sekaligus dengan ganas dan keji.

Su An terkenal dengan julukan Oh-pek-kiam atau pedang hitam putih, paling akhir ini namanya sangat cemerlang di daerah Kanglam. Walaupun ilmu silatnya yang sejati belum diketahui sampai di mana tingkatannya, namun dapat diduga juga pasti bukan jago keroco.

Yang paling kebetulan adalah keempat tokoh ini sekaligus datang mencari Hiang-yok-jeh, tentu saja Sikong Hian tidak sia-siakan kesempatan bagus ini untuk meminjam tangan keempat tokoh itu melenyapkan suatu penyakit bagi dunia persilatan.

Dengan keputusan itulah segera ia pura-pura angkat tangan memberi hormat sambil berkata, "Dan entah ada keperluan apakah kedatangan kalian berempat ke Bu-liang-san sini?"

Berbareng itu, tanpa menunggu jawaban Cin Goan-cun berempat mendadak ia kipatkan tangannya hingga Ciong Ling dan Toan Ki tersentak mundur, bahkan Toan Ki yang tak bisa ilmu silat terus terjungkal roboh.

Sementara itu Sikong Hian sudah lantas melompat ke samping. Tapi karena racun Kim-leng-cu teramat berat mengeram dalam tubuhnya, kakinya masih terasa lemas, ia sempoyongan dan hampir jatuh.

Semula Hui-sian berempat mengira Sikong Hian adalah begundalnya Bok Wan-jing, walaupun tahu ilmu silatnya belum termasuk kelas wahid, tapi Sin-long-pang adalah suatu klik paling berkuasa di daerah Hunlam, orangnya banyak, pengaruhnya besar, suka main obat racun dan asap berbisa, untuk itu agak susah juga untuk dilawan. Kini demi tampak Sikong Hian melompat menyingkir dengan sempoyongan, mereka baru tahu Pangcu Sin-long-pang itu dalam keadaan terluka parah.

Sekali Sikong Hian putar tubuh, sambil bersandar di samping Hui-sian ia berkata dengan pedih, "Teramat keji cara turun tangan Hiang-yok-jeh, sekaligus berpuluh anak buah Sin-long-pang sudah menjadi korban

keganasannya, sakit hatiku ini pasti kubalas."

"Nona cilik," segera Hui-sian berkata. "Lekas menyingkir ke samping."

"Kalian takkan mampu melawan Bok-cici, lebih baik lekas pergi saja," sahut Ciong Ling.

"Dia adalah putrinya 'Kian-jin-ciu-sat' Ciong Ban-siu," Sikong Hian coba mengisiki Hui-sian. "Kabarnya ayahnya masih hidup, paling baik kalau tawan dia saja."

Nyata ia berharap Hui-sian dapat menawan Ciong Ling sebagai jaminan agar kelak Ciong Ban-siu terpaksa mengobati racun Kim-leng-cu di dalam tubuhnya itu.

Mendengar "Kian-jin-ciu-sat" Ciong Ban-siu masih hidup, Hui-sian rada tercengang. Ia tahu iblis besar itu sangat sukar dilawan, sekali terlibat bermusuhan dengan dia, selanjutnya Siau-lim-pay pasti takkan pernah aman, maka sesungguhnya ia tidak ingin mengikat musuh yang lihai itu.

Mendadak "ser" sekali, Hong-pian-jan atau sekop serbaguna, menyambar ke atas kepala Ciong Ling.

Cepat gadis itu mengegos, tak terduga sekop itu terus ditarik kembali hingga punggung sekop menggantol kuduk si gadis.

Jurus serangan ini disebut "Sui-ong-sit-hoan" atau seperti maju ke depan, tapi sebenarnya putar kembali. Yaitu suatu tipu serangan paling lihai di antara 36 jurus "Hok-mo-jan-hoat" atau permainan sekop penakluk iblis. Gerak tipunya di luar dugaan orang, cepatnya luar biasa pula, maka musuh sukar menghindarkan diri.

Baru saja Ciong Ling menjerit kaget, tahu-tahu punggung sekop sudah menempel tengkuknya. Sekonyongkonyong sinar putih berkelebat, "cring", Su An telah lolos pedang menyampuk jatuh sebuah panah kecil.

Sementara itu Hui-sian sudah tarik sekopnya hingga Ciong Ling ikut terseret ke sampingnya, sekali pegang, tangan kiri Hui-sian telah pencet pergelangan tangan si nona hingga tak bisa berkutik, lalu katanya, "Terima kasih atas pertolongan Su-tayhiap."

Bila membayangkan kejadian barusan, tanpa tertahan padri itu berkeringat dingin. Coba kalau Su An tidak awas dan cekatan hingga panah gelap itu tersampuk jatuh, mungkin jiwanya sekarang sudah melayang.

Tampak Su An berpaling ke arah datangnya panah gelap itu sambil membentak, "Silakan keluar saja, Bokkohnio!"

Diam-diam Cin Goan-cun dan lain-lain sama malu diri, "Kiranya orang berbaju hitam ini bukan Hiang-yok-jeh, untung Su An cukup cerdik dan cekatan."

Ketika mereka memandang ke sana, namun di situ keadaan sunyi senyap, gelap gulita tiada bayangan seorang pun.

Mendadak, di sebelah kiri terdengar suara "tek" sekali, sepotong batu kelihatan jatuh di tanah, cepat semua orang berpaling, tapi pada saat yang sama, kembali terdengar suara mendesirnya panah menyambar, "cring", lagi-lagi Su An menyampuk dengan pedang hingga sebatang panah kecil yang mengincar belakang kepala Sinsipopo dapat dipukul jatuh.

Ternyata sehabis menyerang Hui-sian, dengan cepat penyerang tadi sudah mengisar ke kanan, ia pancing orang memandang ke kiri dengan sepotong batu, berbareng ia membokong Sin-sipopo pula.

Keruan nenek itu terkejut dan gusar, ia putar goloknya dengan kencang hingga tubuhnya seakan-akan terbungkus segulung sinar putih, terus menerjang ke semak-semak rumput di sebelah kanan sana. Rumput alang-alang di situ menjadi bertebaran kena dipapas goloknya, tapi tiada bayangan seorang pun kelihatan.

Tiba-tiba terdengar Su An bersuit nyaring, segera ia melayang ke atas sebatang pohon besar di arah barat sana, menyusul terdengarlah suara "crang-creng" beberapa kali, sekaligus pedang Su An sudah menyerang empat kali.

Selagi Hui-sian pentang mata dan pasang kuping mengikuti pertarungan kawan di atas pohon itu, mendadak dari udara menubruk turun sesosok bayangan hitam ke atas kepalanya. Cepat juga reaksi Hui-sian, sekali tangan kanan terangkat, Hong-pian-jan lantas menyabet ke arah bayangan itu.

Namun bayangan itu sempat mengentak kakinya ke batang sekop, dengan tenaga pantulan itu, tahu-tahu pedangnya menusuk si nenek alias Sin Si-nio.

Sekuat tenaga Sin Si-nio ayun goloknya menangkis, "cret", tahu-tahu ujung golok putus tertebas pedang musuh, menyusul sinar pedang musuh menyambar mukanya.

Karena tak keburu menolong, cepat Cin Goan-cun menghantam punggung musuh.

Agaknya orang itu pun tahu betapa lihai ilmu pukulan Cin Goan-cun, maka tidak berani menangkis dari depan, cepat pedangnya menepuk pundak Sin Si-nio, sekali tahan, sekali loncat, dengan enteng orangnya sudah melayang pergi.

Kalau orang itu tidak terpaksa karena digencet oleh pukulan Cin Goan-cun dari belakang, tentu pedangnya itu tidak menepuk melainkan menebas, jika begitu tentu tubuh Sin Sin-nio sudah terbelah menjadi dua.

Namun walaupun sudah dua kali jiwanya hampir melayang, Sin Si-nio masih belum kapok, ia menubruk maju pula dengan kalap. Berbareng itu Cin Goan-cun dan Hui-sian pun menyerang dari kanan-kiri.

Tapi biarpun dikeroyok tiga, orang itu masih bisa menyusup kian kemari di antara lawan-lawan itu dengan lincah dan luwes, nyata itulah dia Hiang-yok-jeh tulen alias Bok Wan-jing.

Sementara itu Su An sudah melompat turun dari atas pohon, tapi ia tidak ikut mengeroyok sebaliknya masukkan pedangnya ke sarung, lalu berdiri di samping untuk menonton.

"Su-heng," kata Toan Ki tiba-tiba mendekati Su An, "harap kau suruh mereka jangan berkelahi."

Sungguh di luar dugaan Su An ucapan Toan Ki itu. Ia coba melirik "Hiang-yok-jeh" palsu itu lalu bertanya, "Siapakah saudara sebenarnya?"

"Cayhe bernama Toan Ki. Sungguh aku tidak paham percekcokan di antara Bok-kohnio dengan kalian ini," demikian sahut Toan Ki. "Cuma cara bertempur mati-matian begini rasanya bukanlah jalan yang baik. Salah atau benar, seharusnya bisa diselesaikan secara berunding saja."

Su An memandang sekejap pada pemuda itu, pikirnya, "Benar juga ucapannya ini. Tapi percekcokan di antara orang Kangouw selamanya diselesaikan dalam ilmu silat, bila pakai berunding segala, buat apa lagi orang belajar silat. Namanya Toan Ki? Siapakah dia ini, belum pernah kudengar nama seorang tokoh demikian."

Selagi ia hendak tanya Toan Ki pula, tiba-tiba terdengar Ciong Ling sedang memanggil pemuda itu di sebelah sana.

Segera Toan Ki mendekati nona itu dan tanya, "Ada apa?"

"Marilah lekas kita lari, kalau ayal mungkin tak keburu lagi," ajak si gadis.

"Tapi Bok-cici lagi dikeroyok orang, mana boleh kita tinggal lari?" sahut Toan Ki.

"Kepandaian Bok-cici teramat lihai, dia pasti ada jalan buat meloloskan diri," ujar Ciong Ling.

Namun Toan Ki masih geleng-geleng kepala, katanya, "Tidak, dia datang kemari untuk menolong jiwa kita, kalau kita tinggal pergi begini saja, hatiku merasa tidak enak."

"Tolol," omel si gadis mendongkol. "Kau tinggal di sini, apakah bisa kau bantu Bok-cici?"

Dalam pada itu Cin Goan-cun, Sin Si-nio dan Hui-sian bertiga masih sengit menempur Bok Wan-jing. Kedua telapak tangan Cin Goan-cun sedemikian gencar mengerahkan tenaga pukulannya. Sekop serbaguna Hui-sian menyambar kian kemari dengan hebat, golok Sin Si-nio pun tidak ketinggalan membacok dan membabat di mana ada lubang. Namun Bok Wan-jing tampak sedikit pun tidak kewalahan, bahkan percakapan Toan Ki, Su An dan Ciong Ling barusan dapat diikutinya.

Ia dengar Toan Ki sedang berkata pula, "Ciong-kohnio, bolehlah kau lari dulu. Bukanlah semestinya aku mengingkari kebaikan Bok-cici dengan meninggalkannya di bawah keroyokan orang, Biarlah kutinggal di sini, bila akhirnya ternyata Bok-cici tak bisa melawan mereka, aku akan menasihati mereka dengan baik-baik, boleh jadi keadaan masih bisa dikendalikan."

"Masih kau berlagak? Paling-paling jiwamu akan ikut melayang nanti!" seru Ciong Ling gusar.

"Memangnya jiwaku ini sejak tadi sudah melayang kalau bukan ditolong oleh Bok-cici, aku orang she Toan kalau lupa pada kebaikan orang, ayah dan pamanku sendiri juga takkan mengampuni aku," sahut Toan Ki tegas.

"Tolol benar-benar! Percuma banyak bicara denganmu!" kata si gadis. Terus saja ia tarik tangan anak muda itu dan diseret lari.

"Tidak, tidak! Aku tak mau pergi!" teriak Toan Ki.

Tapi tenaga Ciong Ling lebih kuat daripadanya, ia menjadi sempoyongan kena diseret oleh gadis itu.

Melihat itu, diam-diam Su An terheran-heran, pikirnya, "Orang ini terang sedikit pun tak bisa ilmu silat, tapi jiwa setia kawannya sungguh harus dipuji. Lama kudengar bahwa 'Hiang-yok-jeh' ganas dan keji, tiada punya seorang teman pun, entah mengapa orang she Toan ini sedemikian berani hendak bicara tentang kebaikan dan setia kawan dengan momok perempuan itu?"

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Bok Wan-jing berseru, "Ciong Ling, kau sendiri lekas enyah, dilarang menyeret dia!"

Ciong Ling semakin ketakutan, ia seret Toan Ki terlebih cepat.

Mendadak terdengar suara mendesing sekali, tahu-tahu di atas kundai Ciong Ling menancap sebatang panah kecil. Berbareng terdengar Bok Wan-jing membentak, "Kalau tidak lepaskan dia, awas, akan kupanah biji matamu!"

Ciong Ling kenal watak Bok Wan-jing, sekali berkata tentu bisa dilakukannya juga, tidak pernah omong mainmain. Jika dirinya tetap bandel, bukan mustahil biji matanya akan dipanah sungguh-sungguh. Karena itu, terpaksa Ciong Ling lepaskan tangan Toan Ki.

"Lekas kau enyah dan pulang, lekas!" bentak Bok Wan-jing pula.

Ciong Ling tak berani membantah, katanya kepada Toan Ki, "Toan-heng, harap engkau jangan berbuat kejahatan, jagalah dirimu baik-baik."

Habis bicara, dengan rasa berat ia berlari pergi dan sekejap saja sudah menghilang di tempat gelap.

"Tunggu dulu, Ciong-kohnio!" teriak Sikong Hian. "Obat penawar dari ayahmu tadi manjur atau tidak?"

Mana Ciong Ling mau peduli. Segera Sikong Hian bermaksud mengejar, tapi baru melangkah dua tindak, kaki sendiri terasa lemas dan jatuh tersungkur.

Sambil membentak pergi Ciong Ling, Bok Wan-jing tetap bergerak kian kemari di antara ketiga pengeroyoknya dengan cepat, ia tetap di atas angin.

Menyaksikan itu diam-diam Su An menimbang, "Kegesitan perempuan ini ternyata masih jauh di atas kepandaianku. Hanya dalam hal ilmu pedang belum tentu dia mampu melawan aku."

Dan karena jaga martabat sendiri, ia tidak sudi ikut mengeroyok seorang perempuan, ia tunggu bila nanti ketiga orang itu dikalahkan baru ia sendiri akan maju.

Tak lama kemudian, mendadak permainan pedang Bok Wan-jing berubah, sinar pedang menyambar ke sanasini bagai hujan mencurah dari langit dan sukar ditentukan arah serangannya.

Su An terkejut, serunya, "Kiam-hoat bagus!"

Di tengah sorak pujiannya itu, tiba-tiba terdengar Hui-sian menjerit sekali, iganya kena tusukan pedang. Menyusul pedang Bok Wan-jing menyambar pula ke depan beruntun tiga kali hingga Cin Goan-cun terpaksa melompat keluar kalangan untuk menghindar. Ketika arah pedang Bok Wan-jing berganti pula, tanpa ampun lagi Sin Si-nio sudah terkurung di tengah sinar pedangnya.

Tampaknya sekejap pula jiwa Sin Si-nio pasti akan menghadap raja akhirat, Su An tidak bisa tinggal diam lagi, cepat pedangnya bergerak, bagai kilat menyambar, ia menyela di antara lingkaran sinar pedang Bok Wan-jing, terdengarlah suara gemerencing beberapa kali, kedua pedang saling beradu beberapa kali dengan kecepatan luar biasa.

Meski Su An turun tangan tepat pada waktunya, namun tidak urung tubuh Sin Si-nio terluka tiga tempat. Sedikit pun nenek itu tidak menghiraukan lukanya, dengan kalap ia menubruk pula ke arah Bok Wan-jing.

Dalam pada itu pedang Bok Wan-jing sedang bertempelan dengan pedang Su An. Sejak gebrakan di atas pohon tadi ia sudah tahu ilmu pedang orang tidak boleh dibuat mainan, maka begitu Su An terjun ke kalangan pertempuran, antero perhatiannya lantas dicurahkan pada lawan tangguh ini, sedikit pun tidak berani ayal.

Siapa duga cara bertempur Sin Si-nio itu ternyata sedemikian nekatnya, begitu menubruk maju, ia jatuhkan diri terus menggelinding ke samping Bok Wan-jing, gurdi baja di tangan kanan terus menikam betis lawan itu.

Syukur Bok Wan-jing sempat ayun kakinya dan berbalik Sin Si-nio terdepak pergi.

Dan karena sedikit ayal itu, tusukan pedang Su An sudah sampai di depan mukanya. Dalam detik bahaya itu, pedang Bok Wan-jing secepat kilat menangkis ke atas, ia sadar menyusul mana serangan musuh pasti akan lebih gencar, maka ia tidak mau didahului, berbareng 3-4 jurus mematikan sekaligus dilontarkan ke arah Su An.

Cara serangan Bok Wan-jing itu adalah karena dalam keadaan kepepet, musuh dipaksa harus menyelamatkan diri lebih dulu. Maka terpaksa Su An berkelit sambil menarik kembali pedangnya untuk menjaga diri.

Melihat gerakan musuh itu. Bok Wan-jing menarik napas lega. Selagi hendak ganti serangan pula, mendadak "nyes," pundak kiri terasa kesakitan, ternyata kesempatan tadi telah digunakan Sin Si-nio untuk menikam dengan gurdi bajanya. Tapi Bok Wan-jing pun tidak tinggal diam, kontan tangannya menggaplok ke belakang hingga muka Sin Si-nio seketika hancur luluh dan terbinasa.

Sementara itu Cin Goan-cun dan Hui-sian lantas mengerubut maju lagi hingga keadaan kembali menjadi tiga lawan satu.

"Hai, hai! Tiga laki-laki mengeroyok seorang perempuan, apa kalian tidak merasa malu?" segera Toan Ki bergembar-gembor.

Su An memang ada maksud menarik diri dari pertempuran keroyokan itu, demi mendengar teriakan Toan Ki, seketika ia melompat mundur setombak jauhnya sambil berseru, "Bok Wan-jing, lekas buang pedangmu dan menyerah saja!"

Tapi semakin gencar permainan pedang Bok Wan-jing, ia tidak sempat mencabut gurdi baja yang menancap di pundaknya itu, dengan menahan sakit secepat kilat ia serang Cin Goan-cun dua kali dan menusuk Hui-sian sekali. Betapa lihai ketiga jurus serangan itu, tanpa ampun lagi pipi kanan Cin Goan-cun kontan tersayat suatu garis luka, begitu pula leher Hui-sian lecet keserempet pedang.

Walaupun luka kedua orang hanya ringan saja, tapi tempat yang terluka itu adalah tempat mematikan, sedikit ayal saja jiwa mereka tentu sudah melayang. Saking kagetnya kedua orang, berbareng mereka melompat pergi dengan napas terengah.

"Sayang, sayang!" diam-diam Bok Wan-jing gegetun tak berhasil mampuskan kedua lawan itu.

Tiba-tiba ia bersuit nyaring, segera terdengar suara derap kaki kuda, tahu-tahu Oh-bi-kui muncul dari balik bukit sana. Sekali cemplak, Bok Wan-jing melompat ke atas kuda itu. Ketika lewat di samping Toan Ki, sekali ulur tangan, Bok Wan-jing cengkeram kuduk Toan Ki dan diangkat ke atas kuda pula. Dua orang satu tunggangan terus berlari ke barat dengan cepat.

Tidak jauh, sekonyong-konyong dari dalam hutan di tepi jalan terdengar hiruk-pikuk bentakan, berpuluh orang mendadak melompat keluar mengadang di tengah jalan. Seorang kakek tinggi besar yang berdiri di tengah lantas membentak, "Hiang-yok-jeh! Sudah lama kutunggu di sini!"

Berbareng tali kendali si mawar hitam terus hendak ditariknya.

Namun sedikit Bok Wan-jing kesampingkan kudanya, berbareng tangan lain terayun, tiga panah kecil terus disambitkan. Kontan di antara gerombolan pengadang itu terjungkal tiga orang.

Tengah kakek tadi terkesiap oleh serangan mendadak itu, Bok Wan-jing sudah sendal tali kendalinya hingga Oh-bi-kui sekonyong-konyong melompat ke depan melalui atas kepala gerombolan orang itu. Dan sekali si mawar hitam mencongklang, mana bisa lagi kawanan pengadang itu mengejarnya?

Sebenarnya tidak kurang jago pilihan di antara para pengadang itu, tapi semuanya jeri pada panah berbisa Bok Wan-jing yang lihai, walaupun masih coba mengudak juga, namun sebentar saja mereka sudah ketinggalan jauh.

Toan Ki mendengar gerombolan orang itu mencaci maki kalang kabut di belakang, "Perempuan bangsat, para kesatria Hok-gu-ceh tidak ingin hidup bersamamu!"

"Biarpun kau lari sampai ujung langit juga akan kami bekuk kau!"

"Marilah kejar, kawan-kawan! Bekuk perempuan bangsat itu dan cencang dia untuk membalas sakit hati Cotoako!"

Suara caci maki itu lambat laun menjauh dan tidak terdengar lagi. Tapi rasa dendam kesumat yang terkandung dalam caci maki mereka itu masih terus mengiang di telinga Toan Ki.

Selama beberapa hari ini ia sudah banyak mengalami bahaya, tapi caci maki dengan rasa dendam yang tak

terimpas baru sekali ini paling hebat. Karena itu, diam-diam ia mengirik.

Bok Wan-jing membiarkan Oh-bi-kui berlari sesukanya di lereng yang gelap itu. Sampai di suatu bukit, ia lihat di depan sana ada jurang, terpaksa ia turun dari kuda untuk mencari jalan lain.

Jalan pegunungan di Bu-liang-san itu ternyata berliku-liku, mendadak di depan sana ada suara seruan orang pula, "Itu dia, kudanya sudah kelihatan!"

"Awas, cegat sebelah sana!"

"Ya, jangan sampai perempuan hina itu lolos lagi!"

Dalam keadaan terluka, Bok Wan-jing tidak ingin bertempur lagi, cepat ia belokkan kuda ke arah lain. Walaupun bukan lagi jalan pegunungan, syukur si mawar hitam cukup tangkas, di lereng bukit yang penuh batu padas itu ia masih terus berlari secepat terbang.

Setelah berlari tak lama lagi, mendadak kaki depan si mawar tersandung sepotong batu, seketika larinya menjadi lambat, dengan kaki pincang binatang itu mulai tampak payah.

Toan Ki menjadi khawatir, katanya, "Bok-kohnio, harap turunkan aku saja, biar kau sendiri mudah melarikan diri. Aku tiada permusuhan apa-apa dengan mereka, andaikan aku tertangkap juga tidak menjadi soal."

"Hm, kau tahu apa?" jengek Bok Wan-jing. "Jika kau tertangkap orang Hok-gu-ceh, biarpun sepuluh nyawamu juga akan melayang."

"Tapi mereka teramat dendam pada nona, ada lebih baik nona menyelamatkan diri lebih dulu," ujar Toan Ki.

Memangnya pundak Bok Wan-jing lagi kesakitan, Toan Ki masih terus mencerocos saja, keruan nona itu menjadi gusar, "Hendaklah kau tutup mulut, jangan banyak bicara."

Toan Ki tertawa, sahutnya, "Tempo hari aku tidak suka bicara dan justru kau paksa aku buka mulut. Kini aku ajak bicara padamu, sebaliknya malah kau larang aku bicara. Ai, sungguh nona yang susah diladeni."

Saking kesakitan, Bok Wan-jing menjadi gemas, sekali cengkeram, pundak Toan Ki diremas hingga berkeriutan, jika keras lagi sedikit, boleh jadi tulang pundak Toan Ki akan remuk.

"Ya, sudahlah, aku takkan buka mulut lagi!" cepat Toan Ki berteriak sambil meringis.

Tiba-tiba si mawar hitam mendaki jalan pegunungan, karena jalanan cukup rata, langkah binatang itu menjadi cepat.

Sementara itu sudah menjelang fajar, cuaca sudah remang-remang, Toan Ki dapat mengenali jalanan itu, katanya, "He, jalan ini menuju ke Kiam-oh-kiong, apakah nona ada permusuhan dengan orang Bu-liangkiam?"

Ia merasa dengan segala orang Bok Wan-jing suka bermusuhan, andaikan tiada permusuhan dengan Bu-liangkiam, rasanya nona itu pun takkan bersahabat dengan mereka.

Maka Bok Wan-jing menjawab, "Hm, untuk bermusuhan bukanlah sangat mudah, bunuh saja beberapa orang mereka, bukankah lantas jadi?"

Tengah bicara, Kiam-oh-kiong yang megah sudah tampak dari jauh.

Sudah beberapa hari ini Bu-liang-kiam siap siaga menantikan datangnya serangan Sin-long-pang, tapi sampai kini masih tiada terjadi apa-apa. Maka jago-jago yang diundang itu seperti Be Ngo-tek dan lain-lain sudah sama mohon diri karena tidak ingin terlibat dalam persengketaan itu.

Tapi Bu-liang-kiam sekte barat betapa pun adalah orang sendiri, walaupun di antara mereka sendiri ada perselisihan, namun melihat sesama golongannya terancam bahaya, tak bisa tidak mereka harus tinggal di situ untuk membantu.

Maka waktu itu di sekeliling Kiam-oh-kiong secara bergiliran dijaga oleh anak murid Bu-liang-kiam dari Tangcong dan Se-cong.

Di depan istana yang megah itu tampak dijaga oleh empat murid Bu-liang-kiam. Menjelang fajar, mereka sama kantuk dan letih, ketika tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda mendatangi dengan cepat, seketika semangat keempat orang itu terbangkit, cepat mereka menghunus pedang dan mengadang ke depan.

Pemimpin keempat orang itu bernama Tong Jin-hong, segera ia membentak, "Siapa itu yang datang? Kawan atau lawan? Lekas beri tahu namamu!"

Melihat demikian garang sambutan orang Bu-liang-kiam itu, Bok Wan-jing jadi mendongkol, kalau turuti wataknya, tentu segera diterjangnya dahulu dan urusan belakang.

Tapi kini ia terluka parah, pundaknya masih menancap sebuah gurdi yang belum berani dicabutnya, sebab khawatir akan keluar darah terlalu banyak.

Ia pun kenal ketua Bu-liang-kiam, Co Cu-bok terkenal lihai dengan ilmu pedangnya, tergolong tokoh terkemuka di daerah Hunlam. Maka dengan sabar ia tahan kudanya dan menjawab, "Ada orang mengejar kami, terpaksa harus menghindari sebentar ke Kiam-oh-kiong, lekas kalian menyingkir!"

Sungguh gusar sekali Tong Jin-hong, pikirnya, "Kurang ajar benar orang ini! Kau diuber musuh, seharusnya kau mohon perlindungan pada kami dengan baik-baik, kenapa bicara sedemikian kasar?"

Maka sekali pedangnya melintang ke depan, segera ia berkata, "Siapa kau ini? Ada hubungan apa dengan golongan kami?"

Pada saat itulah dari jauh sana terdengar suara teriakan orang, nyata Cin Goan-cun dan kawan-kawannya serta orang Hok-gu-ceh sudah menguber datang.

Tanpa bicara lagi, sekali tarik tali kendali kuda, Bok Wan-jing membentak nyaring, sekonyong-konyong si mawar hitam mencongklang ke depan terus melompat lewat di atas kepala Tong Jin-hong berempat dan menerjang ke arah Kiam-oh-kiong.

Walaupun kaki Oh-bi-kui terluka, tapi di bawah keprakan sang majikan, dengan gagah kuat ia masih bisa lari dengan pesat. Keruan Tong Jin-hong berempat terkejut, sambil membentak-bentak mereka terus mengudak.

Tapi Bok Wan-jing tidak ambil pusing lagi, ia bedal si mawar hitam dan menerjang masuk pintu gerbang Kiam-oh-kiong, menerobos ke ruangan tengah dan menembus ke serambi belakang. Seketika Kiam-oh-kiong menjadi panik, ada 7-8 anak murid Bu-liang-kiam hendak maju merintangi, tapi mereka pun kacau-balau, kalau tidak didepak oleh si mawar, tentu kena ditusuk pedang Bok Wan-jing.

Tatkala itu Co Cu-bok baru bangun tidur. Selama beberapa hari ini ia memang tidak pernah hidup tenteram, kini mendengar di dalam istana terjadi ramai-ramai, segera ia memburu keluar dengan pedang terhunus.

Tiba-tiba ia dipapak oleh seekor kuda hitam, ia menyangka Sin-long-pang telah mulai menyerbu, sama sekali tak terduga di tengah istana itu ada kuda berkeliaran, tanpa bicara ia ulur tangan hendak menarik tali kendali kuda.

Tapi mendadak angin tajam menyambar mukanya, ujung pedang musuh sudah berada di depan batok kepalanya. Betapa cepat serangan musuh itu sungguh tak pernah dialaminya selama hidup.

Untung Co Cu-bok adalah jago kawakan, cepat ia menunduk dengan gaya "Hong-tiam-thau" atau burung Hong angguk kepala. Menyusul pedangnya menangkis ke atas, "trang", kedua pedang saling beradu.

Memang benar dugaannya, serangan lawan datangnya secara beruntun-runtun. Mendadak Co Cu-bok jatuhkan diri ke tanah sambil menangkis lagi sekali, tapi mendadak pergelangan tangan kiri terasa sakit sekali, kiranya kena didepak oleh si mawar.

Sekuatnya Co Cu-bok lompat ke samping, sekilas dapat dikenalnya Toan Ki berada di atas kuda itu.

"He, kiranya kau!" tanpa merasa ia berseru. Tapi segera dilihatnya pula di belakang pemuda itu berduduk lagi seorang yang seantero tubuhnya terbungkus baju hitam mulus, tiba-tiba ia ingat seseorang, tak tertahan ia merinding

"Hiang ... Hiang-yok ...." demikian Co Cu-bok berteriak dengan gemetar, dalam pada itu Bok Wan-jing sudah keprak si mawar menuju ke taman bunga di belakang.

Sebenarnya Co Cu-bok masih mempunyai sejurus serangan dengan menimpuk pedang, kalau pedangnya ditimpukkan, tentu dapat menancap di pantat si mawar. Tapi pada saat pedang hampir terlepas dari tangan, ia lihat dandanan Bok Wan-jing maka pedang ditarik kembali mentah-mentah. Dan sedikit ayal itulah Bok Wanjing sudah keprak kudanya menuju ke belakang.

Di taman belakang itu dijaga delapan anak murid Bu-liang-kiam, Kam Jin-kiat termasuk di antaranya. Ketika mendadak tampak seekor kuda hitam berlari datang dari ruangan depan, mereka menjadi terheran-heran.

Dalam pada itu Bok Wan-jing sudah bedal kudanya sampai di pintu taman, sekali tebas, gembok pintu

dikutunginya.

"Hei, hei! Bukit di belakang adalah daerah terlarang, tidak boleh sembarangan terobosan ke sana!" cepat Kam Jin-kiat berseru.

Namun Oh-bi-kui sudah mencongklang keluar dengan dua penunggangnya.

Walaupun Co Cu-bok sangat jeri pada Bok Wan-jing, tapi orang telah menerjang sesukanya di dalam Kiam-ohkiong, kini berlari ke bagian terlarang pula di gunung belakang, betapa pun ia tak bisa tinggal diam lagi.

Segera ia memberi perintah, kawan-kawan dari Se-cong diminta menjaga Kiam-oh-kiong kalau-kalau diserbu oleh Sin-long-pang, ia sendiri lantas memimpin berpuluh anak muridnya mengudak ke belakang gunung.

Melihat arah yang dituju Oh-bi-kui itu adalah jalan yang pernah didatanginya, segera Toan Ki berkata, "Bokkohnio, di depan sana ada rintangan jurang, kita harus mengitar ke arah lain."

"Dari mana kau tahu?" tanya si nona dengan tercengang.

"Jalanan itu pernah kulalui," sahut Toan Ki.

Bok Wan-jing dapat memercayainya, ia tahan kudanya dan ragu-ragu sejenak, lalu belokkan Oh-bi-kui ke jalan kecil di sebelah kiri.

Tak terduga jalan itu terus menuju ke suatu lereng bukit yang panjang, makin jauh makin tinggi dan berlikuliku, dengan susah payah, akhirnya mereka dapat mencapai suatu tebing di atas bukit.

Waktu Bok Wan-jing menoleh, ia lihat para pengejarnya terbagi dalam tiga kelompok sedang mengurungnya dari kanan kiri dan belakang. Yang sebelah kiri membawa pedang semua, itulah Co Cu-bok dari Bu-liang-kiam dan anak muridnya, Sebelah kanan hanya tiga orang, yaitu Su An, Cin Goan-cun dan Hui-sian. Sedang pengejar di belakang adalah orang-orang Hok-gu-ceh.

Su An tampak gesit sekali, secepat terbang ia melompat dari batu padas yang satu ke batu padas yang lain. Melihat itu, diam-diam Bok Wan-jing terperanjat, tanpa banyak pikir terus ia keprak kudanya ke depan.

Tidak jauh, mendadak di depan terbentang sebuah jurang yang lebarnya belasan meter, dalamnya sukar dijajaki. Oh-bi-kui meringkik kaget dan cepat berhenti serta menyurut mundur beberapa langkah.

Menghadapi jalan buntu, sedang dari belakang pengejar makin dekat, cepat Bok Wan-jing ambil keputusan, segera ia tanya Toan Ki, "Aku akan bedal kuda melompat ke seberang jurang sana. Kau akan ikut aku menghadapi bahaya atau turun di sini saja?"

Toan Ki pikir kalau beban kuda itu berkurang, melompatnya tentu akan lebih mudah, maka sahutnya, "Biarlah nona menyeberang dahulu, nanti menarik aku lagi dengan tali."

Tapi waktu Bok Wan-jing menoleh, ia lihat Su An sudah menguber datang, jaraknya cuma beberapa puluh meter saja. Maka katanya cepat, "Sudah tidak sempat lagi!"

Ia tarik si mawar mundur beberapa meter jauhnya, perlahan ia tepuk perut kuda itu sambil berseru, "Melompatlah ke sana, kudaku sayang!"

Sekonyong-konyong si mawar membedal secepatnya ke depan, sampai di tepi jurang, binatang itu melompat sekuatnya. Seketika Toan Ki merasa seakan-akan terbang di udara, jantungnya seolah-olah ikut melompat keluar dari rongga dadanya.

Di bawah desakan sang majikan, Oh-bi-kui yang sudah terluka dan terlalu capek itu melompat sepenuh tenaga, tapi hanya kedua kaki depan dapat mencapai tepi jurang sana, kaki belakang tak sanggup lagi menginjak tanah, tubuhnya terjerumus ke bawah.

Syukur Bok Wan-jing dapat bertindak cepat, pada saat berbahaya itu ia melayang sekuatnya ke depan sambil jambret Toan Ki sekenanya. Lebih dulu Toan Ki jatuh di tanah, menyusul Bok Wan-jing ikut terbanting ke dalam pangkuannya. Khawatir gadis itu terluka, cepat Toan Ki merangkulnya erat-erat.

Dalam pada itu terdengar suara ringkik si mawar yang panjang mengerikan, binatang itu sudah tergelincir ke dalam jurang yang tak terkira dalamnya.

Bok Wan-jing sangat berduka, ia meronta lepas dari pelukan Toan Ki dan berlari ke tepi jurang. Namun permukaan jurang itu penuh tertutup kabut tebal, si mawar hitam sudah tak kelihatan lagi.

Saat itu kebetulan Su An juga baru mencapai tepi jurang dan menyaksikan adegan ngeri itu, ia ikut ternganga kesima.

Melihat pengejarnya tidak mampu menyeberangi jurang, hati Bok Wan-jing rada lega. Tapi sekonyongkonyong kepala terasa pening, langit dan bumi seakan-akan berputar, kakinya menjadi lemas pula, seketika robohlah dia tak sadarkan diri.

Keruan Toan Ki kaget, cepat ia memburu maju untuk menyeretnya mundur agar gadis itu tidak tergelincir ke dalam jurang. Ia lihat kedua mata si nona terpejam rapat dan sudah pingsan.

Selagi bingung entah apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba di seberang jurang sana ada orang berteriak, "Lepaskan panah, mampuskan kedua keparat itu!"

Waktu Toan Ki memandang, ia lihat di seberang sana sudah berdiri 7-8 orang, kalau benar-benar mereka melepaskan panah, bisa celakalah dirinya.

Segera ia pondong Bok Wan-jing, dengan susah payah ia membawanya lari mundur. Syukur badan si nona tiada 100 kati beratnya, maka Toan Ki masih sanggup memondongnya lari.

"Serr", mendadak sebatang panah menyambar lewat di samping telinganya.

Dengan gugup Toan Ki berlari ke depan sambil sedikit berjongkok, "serr", kembali sebatang panah menyambar lewat di atas kepalanya. Ia lihat di samping kiri sana ada sepotong batu besar, segera ia lari maju untuk sembunyi di belakang batu.

Dalam sekejap itu, anak panah sudah berseliweran dan bermacam-macam Am-gi membentur batu padas dan sama terpental jatuh.

Sedikit pun Toan Ki tidak berani bergerak. "Bluk", sekonyong-konyong sepotong batu sebesar mangga jatuh di sampingnya. Nyata, penimpuk batu itu sangat besar tenaganya, cuma jaraknya agak jauh, maka incarannya kurang tepat.

Toan Ki pikir kalau sembunyi di situ, akhirnya kepala pasti akan tertimpa batu sambitan itu, segera ia pondong si nona lagi dan berlari ke depan hingga belasan meter jauhnya, ia menduga senjata rahasia musuh takkan mencapainya lagi, lalu berhenti.

Setelah bernapas lega, Toan Ki taruh si gadis di belakang batu karang, ia coba mengintai ke seberang jurang sana. Ternyata jumlah orang sudah bertambah banyak dan kedengaran berisik sekali lagi mencaci maki kalang kabut, tampaknya seketika para pengejar itu tidak mampu menyeberang kemari.

Toan Ki pikir, "Jika mereka mengitar jalan dan mendaki dari sebelah sana, rasanya nasib kami berdua susah juga lolos dengan selamat."

Ia coba menuju ke tepi jurang sebelah lain, tapi sekali melongok, seketika kakinya ikut lemas saking kejutnya.

Ternyata di bawah jurang itu ombak mendebur dengan hebatnya, suatu sungai dengan airnya yang bergelombang besar tepat berada di bawah jurang itu.

Ternyata di situ termasuk lembah sungai Lanjong. Melihat arus air yang begitu hebat, untuk mendaki dari situ terang tidak mungkin, tapi kalau musuh lebih dulu turun ke jurang, lalu memanjat ke atas, dirinya tak mengerti silat pasti sukar mencegahnya.

Ia menghela napas, ia pikir biarlah untuk sementara terhindar dari bahaya, bagaimana jadinya nanti akan melihat gelagat saja.

Ia kembali ke samping Bok Wan-jing, ia lihat gadis itu masih belum sadar. Selagi Toan Ki hendak berdaya menolongnya, tiba-tiba terlihat pundak si nona masih tertancap sebuah gurdi baja, bajunya basah kuyup oleh darah.

Keruan Toan Ki terkejut, dalam keadaan terburu-buru menyelamatkan diri tadi, ia tidak mengetahui gadis itu terluka, kini melihat darah mengucur cukup banyak, pikiran pertama-tama timbul adalah, "Jangan-jangan dia telah meninggal?"

Maka dengan agak takut-takut ia coba membuka sedikit kerudung muka Bok Wan-jing untuk memeriksa napas di hidungnya, syukur gadis itu masih bernapas perlahan.

Pikir Toan Ki, "Aku harus mencabut gurdi itu untuk mencegah darah mengucur lebih banyak."

Tapi ia lihat gurdi itu menancap sangat dalam, kalau dicabut hingga dan membikin jiwanya melayang, kan celaka? Namun dalam keadaan begitu, jalan lain tiada lagi, diam-diam ia hanya berdoa, "Bok-kohnio, tujuanku

hanya menolongmu, bila karena itu malah mencelakai jiwamu, ya, apa mau dikatakan lagi, toh seumpama aku tidak menolongmu, kau pun akan binasa juga."

Segera Toan Ki pegang batang gurdi, dengan mengertak gigi segera hendak dicabutnya. Tapi karena tidak biasa, saking kedernya hingga badan sendiri gemetar. Sementara itu di seberang jurang sana terdengar ramai dengan suara caci maki musuh, tanpa pikir lagi Toan Ki terus mencabut sekuatnya, darah yang merembes keluar membikin muka dan kepala Toan Ki penuh darah.

Saking kesakitan, Bok Wan-jing menjerit sekali dan siuman kembali, tapi menyusul lantas pingsan lagi.

Dengan mati-matian Toan Ki berusaha menutupi luka si nona agar darah tidak mengucur, namun darah yang merembes keluar bagai mata air dan sukar dicegah. Toan Ki menjadi kelabakan, ia coba cabut beberapa tumbuhan rumput di sekitarnya dan dikunyah, kemudian dibubuhkan pada luka Bok Wan-jing. Tapi sekali kena diterjang darah, luluhan rumput itu lantas buyar.

Tiba-tiba Toan Ki ingat gadis ini jago silat, boleh jadi ia sendiri membawa obat luka. Ia coba merogoh saku si gadis. Sekonyong-konyong tangannya menyentuh sesuatu yang lunak licin, dalam kagetnya cepat ia tarik tangannya. Kiranya adalah Kim-leng-cu.

"Hei, Kim-leng-cu, jangan kau gigit aku!" seru Toan Ki khawatir.

Menurut juga ular itu. Padahal Kim-leng-cu tidak paham perkataannya. Soalnya pada badan Toan Ki terdapat kotak kemala pemberian Ciong Ling yang berisi barang antiular berbisa. Setiap ular atau serangga beracun, asal mencium bau benda itu, pasti akan tunduk dan ketakutan.

Maka cepat Toan Ki masukkan tangannya ke saku Bok Wan-jing lagi. Kali ini tidak menyentuh benda hidup pula, satu per satu ia keluarkan isi baju si nona. Mula-mula dikeluarkannya sebuah sisir emas, lalu sebuah cermin tembaga kecil dan dua potong saputangan warna jambon, kecuali itu ada pula tiga buah kotak atau dus kecil.

Melihat barang-barang yang biasanya dipakai anak gadis itu, Toan Ki tertegun sejenak, baru teringat olehnya kelakuannya yang tidak sopan. Orang masih perawan suci, masakah tangan sendiri bergerayangan dalam saku orang.

Ia coba membuka kotak-kotak kecil itu. Kotak pertama ternyata Yanci (pemerah bibir) yang berbau harum, Kotak kedua berisi bubuk putih dan kotak ketiga bubuk warna kuning. Ia coba mengendusnya, bubuk putih itu tiada bau apa-apa, tapi bubuk kuning itu berbau pedas keras hingga ia bersin. Pikirnya, "Entah bubuk ini obat

luka atau bukan, kalau racun hingga salah pakai, kan bisa celaka malah?"

Segera ia pijat-pijat tengkuk si nona, tidak lama, perlahan nona itu membuka matanya. Toan Ki sangat girang, cepatnya tanyanya, "Bok-kohnio, obat dalam kotak mana yang boleh dibubuhkan pada lukamu?"

"Yang merah," sahut Bok Wan-jing singkat, lalu pejamkan matanya lagi. Ketika Toan Ki tanya pula, ia tidak mau menjawab.

Toan Ki menjadi heran, sudah terang bubuk merah itu adalah Yanci, mana bisa dipakai mengobati luka? Tapi orang mengatakan demikian, biarlah dicoba dulu daripada menggunakannya secara ngawur.

Segera ia sobek sedikit baju di tempat luka si nona, ia bubuhi sedikit bubukan Yanci itu. Ketika jari Toan Ki menyentuh luka Bok Wan-jing, meski dalam keadaan tak sadar toh nona itu mengejang kesakitan.

"Jangan khawatir, darahmu takkan keluar lebih banyak," Toan Ki menghiburnya.

Aneh juga, Yanci itu ternyata obat mujarab benar, cespleng, seketika darah berhenti mengucur keluar. Selang sebentar, dari luka itu merembes keluar air kuning.

Melihat keanehan itu Toan Ki menggerundel sendiri, "Obat luka juga dibikin seperti Yanci, sungguh pikiran anak gadis sukar diraba."

Setelah capek setengah hari, baru sekarang perasaan Toan Ki tenang kembali. Ia dengar suara berisik di seberang jurang sana tadi sudah berhenti. Pikirnya, "Jangan-jangan mereka benar-benar memanjat kemari melalui bawah jurang?"

Cepat ia merayap ke tepi jurang sana dan melongok ke bawah. Astaga celaka 13, dugaannya ternyata benar, belasan orang di seberang jurang itu sedang memberosot ke bawah dengan perlahan. Betapa dalam jurang itu tentu juga ada dasarnya, asal orang-orang itu sudah mencapai dasar jurang, tidak berapa lama pasti akan memanjat ke sebelah sini.

Toan Ki menjadi bingung, pikirnya, "Kalau musuh naik kemari, aku dan Bok-kohnio terpaksa terima ajal saja, lantas bagaimana baiknya sekarang?"

Walaupun tak bisa silat, menghadapi pilihan antara hidup dan mati, terpaksa ia berdaya sebisanya.

Ia coba periksa sekitarnya, lebih dulu ia memondong Bok Wan-jing ke balik sebuah batu padas yang menonjol, lalu sibuk mengumpulkan batu di tepi jurang sana. Memangnya di situ banyak terdapat batu, maka tiada lama, sudah beratus potong batu disiapkan.

Setelah selesai tugasnya, ia duduk di samping Bok Wan-jing untuk memulihkan semangat. Sepanjang malam ia tidak tidur, sesungguhnya ia sangat lelah, sedikit pejamkan mata, rasanya sudah akan pulas. Tapi menyadari kalau musuh tidak lama bakal datang, mana berani ia tidur?

Sayup-sayup ia mencium bau wangi yang teruar dari badan Bok Wan-jing, pikirnya, "Nona Bok ini berjuluk 'Hiang-yok-jeh', sungguh janggal juga bau harum demikian dihubung-hubungkan dengan poyokannya sebagai kuntilanak."

Tadi waktu mencoba pernapasan hidung Bok Wan-jing, ia telah sedikit menyingkap kain kedok mukanya di bawah hidung, tatkala itu ia tidak perhatikan bagaimana bentuk mulut hidungnya, entah pesek, entah mancung. Tapi kini ia tidak berani sembarangan membuka lagi kedok si gadis untuk melihatnya lebih jelas.

Bila diingat-ingat kembali, rasanya kulit muka nona itu sangat putih, ya, paling tidak, pasti tidak menakutkan.

Dalam keadaan tak sadarkan diri, kalau Toan Ki mau membuka kedok Bok Wan-jing pasti takkan diketahui olehnya. Tapi Toan Ki merasa ragu, ingin melihat mukanya, rasanya takut pula, pikirnya, "Tanpa sebab apa-apa aku ikut menempuh bahaya dengan dia, tampaknya 9/10 bagian pasti akan gugur bersama. Bila sampai saat binasa aku masih belum melihat mukanya yang sebenarnya, bukankah penasaran sekali?"

Namun dalam hati kecilnya ia berkhawatir pula kalau-kalau muka si gadis benar-benar sejelek setan, sebab kalau tidak jelek, kenapa sepanjang masa selalu berkedok?

Apalagi orang berjuluk "Hiang-yok-jeh", si kuntilanak harum, harumnya memang tulen, bermuka sejelek setan mungkin juga tidak palsu. Kalau melihat tindak tanduknya yang ganas keji, rasanya gadis itu pun tidak berjodoh dengan wajah "cantik molek". Karena itulah ia ambil keputusan takkan melihatnya.

Dalam keadaan ragu-ragu itu, akhirnya Toan Ki terpulas saking letihnya.

Entah sudah berapa lamanya, mendadak ia terjaga bangun dan berlari ke tepi jurang. Ia lihat ada 5-6 laki-laki diam-diam sedang memanjat ke atas jurang. Dinding jurang itu teramat curam, tidak mudah untuk mendaki ke

atas, orang-orang itu hanya merayap dengan susah payah dengan berpegangan akar tumbuh-tumbuhan di tepi jurang itu.

Diam-diam Toan Ki bersyukur musuh belum sampai naik ke atas, segera ia ambil sepotong batu dan disambitkan ke bawah sambil berteriak, "Jangan naik, kalau tidak, jangan menyesal bila aku main kasar!"

Jarak orang-orang itu masih berpuluh meter dari Toan Ki, untuk menyerang dengan senjata rahasia terang tak sampai, maka demi mendengar ancaman Toan Ki itu, mereka berhenti sambil mendongak, setelah ragu-ragu sejenak, kembali mereka merayap naik lagi di bawah lindungan batu karang yang menonjol di sana-sini.

Menimpuk batu dari atas ke bawah tidaklah susah, maka beruntun Toan Ki melemparkan beberapa potong batu. Segera terdengar suara jeritan ngeri dua kali, dua orang di antaranya kena tertimpuk batu dan jatuh tergelincir ke bawah jurang, terang mereka pasti akan jatuh hancur lebur.

Sejak kecil Toan Ki rajin menjalankan ibadah agama, ilmu silat saja tidak sudi dilatihnya. Kini untuk pertama kalinya membunuh orang, ia menjadi ketakutan sendiri hingga pucat lesi.

Semula ia hanya bermaksud menggertak saja agar orang-orang itu mau pergi, tak terduga dua orang telah terbinasa oleh batunya itu. Ia merasa tidak tenteram, walaupun tahu juga bila orang berhasil memanjat ke atas, maka dirinya dan Bok Wan-jing yang akan terbunuh oleh mereka.

Dalam pada itu, khawatir kalau diserang lagi dari atas, sebagian orang itu terus merayap balik ke bawah. Ada satu di antaranya agak gugup hingga terpeleset dan jatuh ke jurang lagi.

Toan Ki terkesima sejenak, kemudian ia kembali ke samping Bok Wan-jing, ia lihat gadis itu sudah duduk sambil bersandar di batu. Kejut dan girang sekali Toan Ki, tanyanya, "Kau ... kau sudah baik, nona Bok?"

Bok Wan-jing tak menjawabnya, dengan termangu-mangu ia pandang pemuda itu, sinar matanya yang memancar dari balik kedok itu tampak bengis tak kenal ampun.

"Rebahlah, mengaso saja, akan kucarikan air minum untukmu," demikian Toan Ki menghiburnya.

"Ada orang hendak memanjat kemari, bukan?" tanya sinona.

Tak tertahan lagi air mata Toan Ki berlinang-linang, katanya dengan terguguk-guguk, "Ya, aku ... aku telah mem ... membunuh dua orang tanpa sengaja ... dan ... dan seorang pula jatuh binasa ketakutan."

Bok Wan-jing menjadi heran melihat pemuda itu menangis, tanyanya, "Lalu, kenapa?

"O, Tuhan Maha Pengasih, tan ... tanpa sebab aku telah membunuh orang, ti ... tidak kecil dosaku ini!" demikian Toan Ki meratap. Ia merandek sejenak, lalu menyambung lagi, "Kalau ketiga orang itu punya anak istri dan orang tua, bila mendengar berita kematian mereka, tentu akan ... akan sangat sedih, O, sung ... sungguh aku berdosa ... aku berdosa!"

Baru sekarang Bok Wan-jing paham sebab apa pemuda itu menangis, katanya dengan tertawa dingin, "Huh, kau sendiri kan juga punya anak istri dan orang tua?"

"Orang tua sih punya, istri belum," sahut Toan Ki.

Sekilas Bok Wan-jing memancarkan sinar mata yang aneh, tapi sorot mata aneh itu hanya sekejap lantas lenyap, segera kembali pada sinar matanya yang tajam dan dingin itu, katanya, "Dan kalau mereka berhasil memanjat ke sini, mereka akan membunuhmu dan membunuhku atau tidak?"

"Ya, mungkin sekali mereka akan membunuh kita," sahut Toan Ki.

"Hm, jadi kau lebih suka dibunuh daripada membunuh?" begitu tanya Wan-jing.

Toan Ki berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Jika ... jika melulu diriku, aku pasti takkan membunuh orang. Tapi ... tapi aku tak dapat membiarkan engkau dibunuh mereka."

"Sebab apa?" bentak Bok Wan-jing dengan bengis.

"Engkau pernah menolongku, dengan sendirinya aku pun ingin menolongmu," sahut Toan Ki.

"Ingin kutanya padamu, jika kau berdusta, segera panah dalam bajuku ini akan mencabut nyawamu," kata si nona pula sambil sedikit angkat tangannya mengincar tenggorokan Toan Ki.

"Eh, sekian banyak orang yang kau bunuh, kiranya panahmu dibidikkan dari dalam lengan baju," ujar Toan Ki.

"Tolol, kau takut tidak padaku?" tanya si nona

"Engkau toh takkan membunuh aku, kenapa aku takut?"

"Jika kau bikin marah padaku, bukan mustahil kau akan kubunuh," kata Wan-jing "Sekarang jawablah pertanyaanku, diam-diam kau melihat wajahku atau tidak?"

"Tidak," sahut Toan Ki menggeleng kepala.

"Benar-benar tidak?" si nona menegas. Suaranya makin lama makin rendah, kedok di jidatnya itu tampak basah sebagian, agaknya terlalu keras memakai tenaga, maka keringat merembes keluar, namun suaranya masih tetap bengis.

"Ya, buat apa aku dusta," demikian sahut Toan Ki pula.

"Pada waktu aku pingsan, kenapa tidak kau buka kedokku?"

"Yang kupikir hanya mengobati luka pada bahumu itu, tidak kupikirkan hal itu," ujar Toan Ki.

Mendadak Bok Wan-jing ingat sesuatu, ia menjadi gusar dan gugup, dengan napas tersengal-sengal ia berkata, "Jadi ... jadi kau telah melihat ... melihat kulit badanku bagian bahu? Kau membubuhkan obat pada lukaku?"

"Ya," sahut Toan Ki dengan tertawa. "Sungguh tidak nyana bahwa Yancimu itu ternyata begitu manjur."

"Coba kau kemari, payang aku sebentar," pinta si nona.

"Baiklah," sahut Toan Ki. "Memangnya engkau tak perlu banyak bicara, lebih baik mengaso dulu, nanti mencari jalan buat menyelamatkan diri."

Sembari berkata, terus saja Toan Ki mendekati si nona. Tak tersangka, belum lagi tangannya memegang tangan si nona, "plok", tahu-tahu pipi kena dipersen sekali gamparan.

Begitu keras tempelengan itu hingga kepala Toan Ki pusing tujuh keliling, tubuh sampai ikut berputar.

"Ken ... kenapa kau pukul aku?" tanya Toan Ki sambil memegang pipinya.

"Bangsat kurang ajar, kau berani menyentuh badanku dan ... dan melihat bahuku ...." saking gusarnya saja Bok Wan-jing jatuh pingsan lagi.

Dalam kejutnya Toan Ki menjadi lupa orang baru saja menggampar pipinya, cepat ia memburu maju untuk membangunkan si gadis. Ia lihat lukanya mengeluarkan darah lagi, rupanya waktu menampar Toan Ki tadi, nona itu banyak mengeluarkan tenaga, maka lukanya yang mulai rapat itu menjadi pecah pula.

Toan Ki menjadi ragu, si nona telah marah-marah karena kulit badannya dilihat orang, tapi kalau tak ditolong, mungkin jiwanya akan melayang karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Urusan sudah kadung begini, terpaksa berbuat sebisanya, paling-paling dipersen lagi dua kali tamparan. Demikian pikir Toan Ki.

Segera ia robek kain baju sendiri untuk membersihkan darah di sekitar luka si nona. Ia lihat kulit badan nona itu putih bersih laksana salju. Ia tidak berani lama-lama memandangnya, buru-buru ia poles sedikit Yanci tadi pada lukanya.

Sekali ini Bok Wan-jing cepat siuman, dengan sorot mata yang bengis ia pelototi Toan Ki. Takut digampar lagi, Toan Ki tidak berani dekat-dekat dengan gadis itu.

"Kembali kau ... kau ...." karena merasa bahunya silir-silir dingin, Bok Wan-jing tahu pemuda itu telah membubuhi obat di atas lukanya lagi.

"Ya, terpaksa, aku ... aku tak dapat tinggal diam," sahut Toan Ki sambil angkat bahu.

Saking gugupnya hingga napas Bok Wan-jing tersengal-sengal, dalam keadaan lemas, ia menjadi susah berbicara.

Toan Ki mendengar di sisi kiri sana ada suara gemerciknya air, segera ia berlari ke sana dan mendapatkan sebuah selokan dengan air pegunungan yang jernih.

Ia cuci bersih kedua tangan sendiri, lalu meraup air gunung itu untuk diminum beberapa ceguk. Kemudian ia meraup air jernih itu kembali ke samping Bok Wan-jing, katanya, "Bukalah mulutmu, minum air ini!"

Setelah banyak mengeluarkan darah, mulut Bok Wan-jing memang terasa kering, segera ia singkap sebagian kain kedoknya sehingga tertampak mulutnya.

Tatkala itu sudah tengah hari, di atas pegunungan itu terang benderang. Toan Ki melihat dagu si gadis agak lonjong, nyata mukanya potongan daun sirih, kulit mukanya putih halus seperti bahunya, mulutnya yang kecil mungil dengan bibir tipis, kedua larik giginya seputih mutiara dan rajin. Hati Toan Ki terguncang, "Dia ... sesungguhnya seorang gadis cantik!"

Sementara itu air merembes jatuh dari sela-sela jari tangan Toan Ki, muka Bok Wan-jing terciprat butir-butir air hingga mirip rintik embun di atas bunga teratai pada pagi hari.

Toan Ki terkesima sejenak, ia tidak berani lama-lama memandangnya, cepat ia berpaling ke arah lain.

"Lagi, ambilkan lagi!" pinta si nona sehabis minum air dari tangan Toan Ki itu.

Berturut-turut tiga kali Toan Ki meraupkan air gunung itu baru lenyap rasa dahaga Bok Wan-jing.

Kemudian Toan Ki mengintai pula ke tepi jurang, ia lihat di seberang sana masih tinggal beberapa orang dengan busur dan panah lagi mengawasi seberang sini.

Ketika melongok pula ke bawah jurang, ia tidak melihat ada orang memanjat ke atas. Tapi dapat diduga musuh pasti tak mau berhenti begitu saja, tentu sedang berusaha mencari jalan untuk mengejar kemari.

Tiba-tiba Toan Ki ingat racun Toan-jiong-san yang diminumnya dari Sikong Hian itu dalam beberapa hari ini pasti akan mulai bekerja, andaikan musuh tidak mengejar kemari dan mereka berdua tidak mati oleh luka dan racun masing-masing, akhirnya tentu juga akan mati kelaparan di atas bukit yang tandus ini.

Karena itu, dengan lesu Toan Ki kembali ke samping Bok Wan-jing lagi, katanya, "Sayang di atas gunung tiada

tetumbuhan apa pun, kalau ada akan kupetik beberapa biji untuk melenyapkan kelaparanmu."

"Sudahlah, apa gunanya banyak bicara yang tidak-tidak?" sahut Bok Wan-jing. "Coba ceritakan, bagaimana kau kenal anak dara keluarga Ciong itu? Kenapa kau berani sembarangan memalsukan aku untuk menolongnya?"

Toan Ki menjadi malu oleh pertanyaan itu, sahutnya, "Aku memang tidak pantas menyamar dirimu untuk menolongnya. Soalnya karena terpaksa, maka kuharap engkau jangan marah."

Bok Wan-jing hanya mendengus saja sekali, tidak menyatakan marah, juga tidak bilang tidak marah.

Maka berceritalah Toan Ki cara bagaimana ia kenal Ciong Ling di Kiam-oh-kiong tempo hari ketika dirinya dianiaya orang dan gadis itu telah menolongnya.

"Hm, kalau tidak paham ilmu silat, kenapa ikut campur urusan Kangouw? Apa barangkali kau sudah bosan hidup?" jengek Bok Wan-jing seusai mendengarkan cerita Toan Ki.

"Urusan sudah telanjur begini, menyesal juga tak berguna," ujar Toan Ki gegetun. "Cuma membikin nona ikut susah, aku merasa tidak enak sekali".

"Kau bikin susah aku apa?" kata si nona. "Permusuhanku dengan orang-orang itu adalah karena perbuatanku sendiri. Sekalipun di dunia ini tiada seorang kau, mereka juga tetap akan mengeroyok aku. Tapi, bila tiada dirimu, tentu aku tidak perlu khawatir dan bisa ... bisa membunuh sepuas-puasku daripada mati konyol di atas karang tandus ini."

Ketika mengucapkan kata-kata "tidak perlu khawatir", ia merandek sejenak, ia merasa ucapan terus terang menyatakan khawatir atas diri pemuda itu rada kurang patut, ia merasa jengah. Untung ia berkedok hingga mimik wajahnya tidak kelihatan.

Toan Ki tidak memerhatikan nada ucapan orang yang agak aneh itu, sebaliknya menyangka nona itu bicara dalam keadaan sedih, maka ia malah menghiburnya, "Sudahlah, asal nona mengaso beberapa hari lagi hingga luka bahumu sembuh, lalu kita terjang keluar, belum tentu musuh mampu menahan nona."

"Hm, enak saja kau bicara," kata Bok Wan-jing dengan menjengek, "melulu itu Oh-pek-kiam Su An saja aku hanya sanggup bertempur sama kuat dengan dia, apalagi aku menderita luka ...."

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong dari seberang karang sana berkumandang suara suitan tajam mengerikan hingga udara seluruh lembah gunung ikut mendenging-denging.

Mendengar suara suitan aneh itu, tak tertahan lagi hati Bok Wan-jing tergetar, katanya dengan suara gemetar, "Dia ... dia datang!"

Segera tangan Toan Ki dipegangnya erat-erat.

Suara suitan itu masih terus mendengung hingga lama di angkasa pegunungan dan sahut-menyahut, suara kumandangnya juga semakin keras hingga telinga Toan Ki seakan-akan pekak. Ia merasa tangan Bok Wan-jing gemetar tiada hentinya, jelas gadis itu sangat ketakutan.

Sejak Toan Ki kenal dia, biarpun di tengah kerubutan musuh, gadis itu tetap berlaku tenang, musuh dianggap barang sepele saja. Tapi kini, begitu suara suitan itu berbunyi, seketika Hiang-yok-jeh yang biasanya ditakuti orang itu berbalik ketakutan sendiri, maka dapatlah dibayangkan betapa lihai orang yang datang itu.

Sampai lama sekali, perlahan suara suitan tadi barulah berhenti.

"Siapa orang itu?" tanya Toan Ki perlahan.

"Sekali orang ini datang, jiwaku pasti tak bisa selamat lagi," ujar si nona. "Maka lebih baik kau cari jalan buat lari saja, jangan ... jangan urus diriku lagi."

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar