Pendekar Sakti Suling Pualam Bagian 03

Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Sakti Suling Pualam Bagian 03
Bagian 03

“Kim Siauw Siancu?” Tio Bun Yang menggelengkan kepala lagi “Aku memang tidak kenal”

“Dia bersama Lie Ai Ling, kenapa engkau tidak kenal?” Tan Thiam Song heran.

“Justru membingungkan,” sahut Tio Bun Yang. “Karena aku tidak menyangka adik Ai Ling datang di Tionggoan, bahkan bersama gadis lain yang bernama Siang Koan Goat Nio.”

“Tio siauw-hiap." Tan Giok Lan memandangnya. “Engkau dan Lie Ai Ling dibesarkan di Pulau Hong Hoang To?”

“Betul,” Tio Bun Yang mengangguk. “Oh ya, jangan memanggilku Tio siauw-hiap, panggil saja namaku!”

“Baiklah.” Tan Giok Lan tersenyum.

“Bun Yang!” Tan Thiam Song memandangnya sambil tertawa-tawa. “Berapa usiamu sekarang?”

“Tujuh belas.”

"Usia putriku sudah... dua puluh. Engkau memanggil dia kakak, dia memanggilmu adik. Bagaimana?”

“Bun Yang!” Tan Thiam Song menatapnya. "Engkau masih muda, tapi kepandaianmu sudah begitu tinggi. Karena itu, aku ingin mengajukan sebuah permintaan, tapi entah dikabulkan atau tidak?”

“Permintaan apa?” tanya Tio Bun Yang.

“Permintaanku... yakni mengajar putriku ilmu silat,” Tan Thiam Song memberitahukan.

“Haah?” Mulut Tio Bun Yang ternganga lebar. Ia tidak menyangka kalau Tan Thiam Song akan mengajukan permintaan tersebut.

“Adik Bun Yang....” tanya Tan Giok Lan. “Engkau tidak sudi

mengabulkan permintaan ayahku?” “Bukan tidak sudi, melainkan....”

“Apa?”

“Tidak gampang belajar ilmu silat, lagi pula aku tidak bisa lama-lama di sini, sebab harus



meneruskan perjalanan.”

“Bun Yang,” ujar Tan Thiam Song mendesaknya. “Jangan mengecewakan kami, ajarlah putriku ilmu silat!”

"Itu....” Akhirnya Tio Bun Yang mengangguk. “Baiklah!"

“Terima kasih, Bun Yang!” ucap Tan Thiam Song sambil tertawa gelak.

“Terima kasih, Adik Bun Yang!” Wajah Tan Giok Lan berseri-seri, sebab mempunyai banyak kesempatan untuk mendekati pemuda itu.

Keesokan harinya, mulailah Tio Bun Yang mengajar Tan Giok Lan cara-cara bertatih lweekang. Itu adalah cara berlatih Pan Yok han Thian Sin Kang. Setelah gadis itu mengerti, barulah Tio Bun Yang mengajarkan Hong Hoang Kiam Hoat (Ilmu Pedang Burung Phoenix), kemudian ia pun mengajarnya Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat).

“Kakak Giok Lan, engkau harus terus berlatih lweekang,” ujar Tio Bun Yang dan menambahkan. “Ilmu Pedang Hong Hoang Kiam Hoat adalah ilmu pedang andalan bibiku, maka engkau harus tekun berlatih.”

“Ya,” Tan Giok Lan mengangguk.

“Apabila engkau tidak sanggup melawan orang yang berkepandaian lebih tinggi darimu, pergunakanlah Kiu Kiong San Tian Pou untuk meloloskan diri!” pesan Tio Bun Yang.

“Ya.” Tan Giok Lan mengangguk lagi. Setelah gadis itu berhasil menguasai semua ilmu itu, Tio Bun Yang mohon pamit. Sudah barang tentu membuat Tan Giok Lan menangis sedih, berat rasanya berpisah dengan pemuda itu.

-oo0dw0oo-



Bagian ke Enam belas



Malaikat Api Suci


Dilembah Hek Bu Kok (Lembah Kabut Hitam) terdapat sebuah bangunan yang amat besar. Karena siang malam tertutup kabut kehitam-hitaman, maka lembah itu dinamai Lembah Kabut Hitam. Bangunan besar itu adalah tempat tinggal Seng Hwee Sin Kun (Malaikat Api Suci), yang dua tahun lalu ia membunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.

Hari ini ía mengundang beberapa tokoh tua golongan hitam ke tempat tinggalnya, guna membahas sesuatu yang sangat penting.

Tokoh-tokoh tua golongan hitam yang diundangnya itu adalah Tok Chiu Ong (Raja Tangan Beracun), Pek Bin Kui (Setan Muka Putih), Hek Sim Popo (Nenek Hati Hitam), Leng Bin Hoatsu (Pendeta Muka Dingin) dan Pat Pie Lo Koay (Siluman Tua Lengan Delapan). Mereka semua rata-rata sudah berusia tujuh puluhan dan berkepandaian tinggi.

“Ha ha-ha!” Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. “Tahukah kalian kenapa aku mengundang kalian kemari?”

“Itu yang kami bingungkan,” sahut Hek Sim Popo. “Tentunya bukan untuk makan-makan, bukan?”

“Terus terang,” ujar Seng Hwee Sin Kun “Dua tahun lalu aku telah mernbunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.”

“Oh?” Para tokoh tua golongan hitam saling memandang, kemudian mereka tertawa terkekeh-kekeh. “He he he! Bagus! Bagus sekali!”

“Setelah membunuh mereka berdua....” lanjut Seng Hwee

Sin Kün, “Aku pun berangkat ke Kwan Gwa membunuh Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui.”

“Oh, ya?” para tokoh tua golongan hitam itu terperanjat. “Engkau mampu membunuh mereka?”



“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak “Tentu! Karena aku telah berhasil mempelajari Seng Hwee Sin Kang (Tenaga Sakti Api Suci)’”

“Apa?!” Mereka tertegun. “Engkau telah berhasil mempelajari ilmu itu?”

“Betul” Seng Hwee Sin Kun mengangguk, “Kalau tidak, bagaimana mungkin aku mampu mèmbunuh Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui, juga menyebut diriku Seng Hwee Sin Kun?”

“Selamat! Selamat!” ucap mereka sambil tertawa gembira. “Kami tidak menyangka engkau dapat menguasai ilmu itu”

“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun tertawa terbahak-bahak. “Belasan tahun lalu, aku berhasil memperoleh Seng Hwee Tan (Pil Api Suci), namun teman baikku justru malah memperoteh Seng Hwee Cin Keng (Kitab Pusaka Api Suci). Karena itu, aku berusaha merebut kitab pusaka itu. Dia berhasil melarikan diri dalam keadaan terluka parah, kemudian ditolong oleh Kam Pek Kian. Akan tetapi, akhirnya kitab pusaka itu jatuh ketanganku.”

“Engkau merebutnya dari tangan Kam Pek Kian itu?” tanya Tok Chiu Ong.

“Betul.” Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. “Bahkan aku pun membunuhnya. Ha ha ha...!”

“Kalau begitu....” ujar Pek Bin Kui sambil tertawa. “Kini

sudah saatnya kita bangkit berdiri.”

“Tidak salah.” Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut dan menambahkan. “Tentunya kalian tahu, Ang Bin Sat Sin adalah kakak seperguruanku, dia dibunuh oleh Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui, maka aku membunuh mereka.”

“Lalu kenapa engkau juga membunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin?” tanya Pat Pie Lo Koay mendadak.



“Karena mereka mempunyai hubungan dengan Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong, maka harus dibunuh,” sahut Seng Hwee Sin Kun.

“Oooh!” Pat Pie Lo Koay manggut-manggut.

“Bagus!” ujar Hek Sim Popo. “Pokoknya siapa yang mempunyai hubungan dengan Pek Ih Sin Hiap, harus dibantai habis!”

“Betul,” sambung Leng Bin Hoatsu. “Sebab tujuh partai besar dan kaum rimba persilatan lainnya telah mengakuinya sebagai Bu Lim Beng Cu (Ketua Rimba Persilatan).”

“Tapi....” Pat Pie Lo Koay menggeleng-gelengkan kepala.

“Kepandaian Pek Ih Sin Hiap tinggi sekali, mampu membunuh Bu Lim Sam Mo.”

“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. “Kini kita tidak perlu takut kepadanya, sebab aku menguasai Seng Hwee Sin Kang, Seng Hwee Kiam Hoat dan Seng Hwee Ciang Hoat. Ilmuku itu dapat menandinginya, lagi pula kalian pun telah memperdalam ilmu masing-masing, bukan?”

“Betul,” Hek Sim Popo mengangguk. “Lantaran memperdalam ilmu, maka kita semua tiada kesempatan bergabung dengan Bu Lim Sam Mo.”

“Namun kita mempunyai kesempatan lain,” ujar Seng Hwee Sin Kun serius. “Inilah yang akan kurundingkan bersama kalian semua.”

“Mengenai apa?” tanya Tok Chiu Ong tertarik.

“Tentunya mengenai kita,” Seng Hwee Sin Kun tertawa. “Oh ya, kalian dapat mengumpulkan berapa banyak kaum golongan hitam?”

“Kalau dijumlahkan, mungkin diatas lima puluh,” jawab Hek Sim Popo memberitahukan.



“Bagus, bagus!” Seng Hwee Sin Kun tertawa gembira. “Kini di dalam rimba persilatan sudah tiada It Ceng, Ji Khie dan Sam Mo lagi. Bahkan Bu Tek Pay juga telah bubar sekian lama oleh karena itu kita harus mendirikan suatu partai baru. Kalian setuju7"

“Setuju!” sahut mereka semua,dengan serentak.

“Kalau begitu, aku ingin mendirikan Seng Hwee Kauw (Agama Api Suci). Bagaimana menurut kalian? Seng Hwee Sin Kun memandang mereka.

“Tentunya kami tidak berkeberatan,” sahut Hek Sim Popo. “Sebab kepandaianmu lebih tinggi dari kami, maka kami harus menurut.”

“Bagus! Ha ha ha....” Seng Hwee Sin Kun tertawa gembira

sambil melanjutkan dengan suara lantang. “Dalam Seng Hwee Kauw harus ada ketua, wakil ketua, penasihat dan pelindung hukum. Oleh karena itu, kita harus menyusunnya atas kesepakatan kita bersama.”

“Betul,” Leng Bin Hoatsu manggut-manggut. “Kepandaianmu paling tinggi, maka engkau harus menjadi ketua.”

“Setuju!” sahut yang lain.

“Terima kasih!” ucap Seng Hwee Sin Kun sambil tersenyum. "Lalu siapa yang menjadi wakil ketua?”

“Menurutku....” ujar Tok Chiu Ong. “Leng Bin Hoatsu harus

menjadi wakil ketua.”

"Setuju!” sahut yang lain.

“Kalau begitu...." Wajah Seng Hwee Sin Kun tampak serius.

"Mulai sekarang Leng Bin Hoatsu sebagai wakil ketua." “Terima kasih!” ucap Leng Bin Hoatsu.



“Siapa yang cocok untuk menjadi penasihat?" tanya Seng Hwee Sin Kun sambil memandang mereka.

“Pek Bin Kui,” sahut Tok Chiu Ong. “Sebab Pek Bin Kui sangat licik dan banyak akal, dia memang cocok untuk menjadi penasihat.”

“Bagaimana?” tanya Seng Hwee Sin Kun. “Kalian setuju?” "Setuju!” Terdengar suara sahutan.

“Baik.” Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut sambil tersenyum. “Mulai sekarang, Pek Bin Kui sebagai penasihat Seng Hwee Kauw.

“Terima kasih!” ucap Pek Bin Kui.

“Sekarang harus pilih seorang pelaksana hukum,” ujar Seng Hwee Sin Kun. “Siapa yang pantas menjadi pelaksana hukum?”

“Hek Sim Popo,” sahut Leng Bin Hoatsu. “Sebab dia berhati kejam, maka pantas menjadi pelaksana hukum.”

“Balk,” Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. “Hek Sim Popo, mulai sekarang engkau Sebagai pelaksana hukum Seng Hwee Kauw.”

“Terima kasih!” ucap Hek Sim Popo sambil tertawa terkekeh-kekeh.

"Terakhir adalah Pat Pie La Koay dan Tok Chiu Ong, otomatis mereka berdua sebagai pelindung hukum,” ujar Seng Hwee Sin Kun.

“Terima kasih!” ucap Pat Pie La Koay dan Tok Chiu Ong.

“Nah!” Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. “Kini telah usai penyusunan pengurus, maka besok kalian harus pergi mengumpulkan kaum golongan hitam, tetapi harus kembali tiga hari kemudian.”

“Ya,” sahut mereka serentak.



“Kini di dalam rimba persilatan te1ah muncul Hiat Ih Hwe dan Tiong Ngie Pay, yang kedua-duanya cukup kuat. Tapi....”

Seng Hwee Sin Kun memberitahukan sambil tertawa terbahak-bahak.

“Kedua perkumpulan itu justru saling membunuh. Maka kita tidak perlu mengusik kedua perkumpulan itu. Biar mereka terus saling membunuh, akhirnya kita yang akan mengeruk keuntungan.”

“Benar,” sahut Pek Bin Kui sambil tertawa. "Setelah itu, barulah kita taklukkan kedua perkumpulan itu.”

“Tidak salah,” Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. “Bagaimana menurutmu mengenai tujuh partai besar? Perlukah kita menaklukkan partai-partai itu?”

“Untuk sementara tidak perlu,” sahut Pek Bin Kui. “Yang perlu kita taklukkan justru Kay Pang. Sebab Kay Pang sangat kuat, lagi pula mempunyai hubungan erat. dengan Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong.”

“Memang benar apa yang dikatakan Pek Bin Kui,” ujar Leng Bin Hoatsu. “Tapi....”

“Aku tahu maksudmu,” Pek Bin Kui tertawá. “Sebelum Seng Hwee Kauw kita memiliki kekuatan yang cukup, jangan mengusik Kay Pang. Ya, kan?”

“Betul,” Leng Bin Hoatsu manggut-manggut.

“Itu sudah dalam perhitunganku,” Pek Bin Kui tertawa dan menambahkan. “Namun kita boleh bergerak secara gelap untuk membantai para anggotanya.”

“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun tertawa. “Ide yang tepat, bahkan kita pun harus membunuh orang-orang yang mempunyai hubungan dengan Tio Cie Hiong!”

“Tidak salah,” Leng Bin Hoatsu mengangguk. “Setelah itu, barulah kita mengarah pada tujuh partai besar.”



“Ngmm!” Seng Hwee Sin Kun manggut. “Ingat, kita harus mempersatukan semua kaum golongan hitam, dan memecah belahkan golongan putih!”

“Ha ha ha!” Pek Bin Kui tertawa gelak. “Tentunya aku mempunyai akal untuk memecah belahkan partai-partai golongan putih."

“Bagus!” Seng Hwee Sin Kun tertawa. “Itu memang tugasmu.”

“Oh ya!” Tiba-tiba Leng Bin Hoatsu mengerutkan kening. “Kalau kita memusuhi Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong, sudah barang tentu akan menghadapi pihak pulau Hong Hoang To. Karena itu, kita harus berpikir matang.”

“Akan kita rundingkan lagi nanti, sehab sekarang Seng Hwee Kauw belum resmi berdiri,” sahut Seng Hwee Sin Kun dan menambahkan. “Pokoknya ada masalah apa pun, kita berenam harus berunding bersama demi kemajuan Seng Hwee Kauw kita.”

“Ya!” sahut yang lain serentak.

“Kalau begitu, kita beristirahat dulu sekarang,” ujar Seng Hwee Sin Kun. “Sebab besok kalian harus pergi mengumpulkan para golongan hitam.”

“Ya!” Yang lain manggut-manggut, lalu pergi beristirahat di kamar yang telah disediakan Seng

Hwee Sin Kun. Keesokan harinya, berangkatlah mereka berlima untuk melaksanakan tugas itu.

-oo0dw0oo-

Tiga hari kemudian, mereka telah kembali dan masing-masing membawa belasan orang kaum golongan hitam, sehingga membuat suasana di dalam bangUnan itu menjadi ramai sekali.



“Saudara-saudara sekalian...? ujar Seng Hwee Sin Kun dengan suara lantang. “Kalian semua terpencar-pencar tidak karuan, maka aku akan mempersatukan kalian!”

“Terima kasih!” sahut mereka semua.

“Oleh karena itu, kami berenam ingin mendirikan Seng Hwee Kauw,” Seng Hwee Sin Kun menatap mereka. “Kalian semua boleh bergabung menjadi anggota kami. Bagaimana, kalian setuju?”

“Setuju!” sahut mereka sambil bersorak sorai penuh kegembiraan.

“Akan tetapi....” ujar Seng Hwee Sin Kun serius. “Kalian

semua harus bersumpah setia kepada Seng Hwee Kauw.” “Ya!” Mereka semua mengangguk lalu bersumpah setia.

“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun tertawa gembira. “Bagus, bagus! Jadi kalian semua harus tahu, aku sebagai ketua Seng Hwee Kauw. Leng Bin Hoatsu sebagai wakil, Pek Bin Kui sebagai penasihat, Hek Sim Popo sebagai pelaksana hukum, sedangkan Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong sebagai pelindung hukum. OIeh karena itu, siapa yang berani berkhianat atau melanggar hukum yang berlaku di Seng Hwee Kauw, maka Hek Sim Popo berhak menghukum kalian."

"Ya!" sahut mereka semua.

seru Seng Hwee Sin Kun dengan suara lantang. “Hari ini kuresmikan Seng Hwee Kauw!”

“Hidup Seng Hwee Kauw! Hidup Seng Hwee Kauw...!” teriak mereka semua dengan penuh semangat.

“Kalian semua pun sudah sah menjadi anggota Seng Hwee Kauw,” ujar Seng Hwee Sin Kun dan menambahkan. “Kalian semua mempunyai seragam Seng Hwee Kauw, yaitu pakaian serba hijau.”

“Terima kasih Ketua,” sahut para anggota Serentak.



“Kalian semua harus ingat, siapa berani berkhianat pasti dihukum mati,” ujar Seng Hwee Sin Kun sungguh-sungguh. “Tapi kalau kalian memperkosa kaum wanita, itu adalah kesenangan kalian, maka tidak di hukum.”

“Horeee!” seru para anggota girang.

“Sekarang kalian semua boleh beristirahat disini, tapi jangan berisik mengganggu kami yang akan merundingkan sesuatu!”

“Ya, Ketua!" Para anggota langsung duduk dan mulai bercakap-cakap dengan wajah berseri-seri.

Sedangkan Seng Hwee Sin Kun mulai berunding dengan Leng Bin Hoatsu dan lainnya. “Kini kita sudah mempunyai anggota lima puluh orang lebih, maka harus diatur,” ujar Seng Hwee Sin Kun.

"Ketua,w"usul Pek Bin Kui. “Mereka harus jadi beberapa regu, dan setiap regu harus mempunyai seorang kepala

“Benar,” Leng Bin Hoatsu~ mangut-mangut.

"Aku yakin, tidak lama lagi anggota kita akan bertambah."

"Ngmm!” Seng Hwee Sin Kun mengangguk. "Karena itu, mereka harus diatur sebaik-baiknya.”

“Pelaksana hukum! Siapa yang berkhianat harus dihukum mati!” ujar Leng Bin Hoatsu.

“Ya, Wakil Ketua,” Hek Sun Popo mengangguk.

“Bagaimana cara kita memilih kepala regu?” tanya Tok Chiu Ong.

“Itu gampang sekali,” sahut Pek Bin Kui sambil tersenyum. “Kita suruh mereka memperlihatkan kepandaian masing-masing, agar kita bisa menilai kepandaian mereka. Siapa yang berkepandaian tinggi, dialah yang kita pilih sebagai kepa1a regu.”



“Kalau begitu, kita harus memilih sepuluh kepala regu,” ujar Leng Bin Hoatsu.

"Betul” sahut Pek Bin Kui. “Sebab pasti masih banyak kaum golongan hitam yang akan bergabung dengan kita.”

“Ha ha ha’” Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak, kalau begitu, nanti kita suruh mereka memperlihatkan kepandaian masing-masing.”

“Setelah               itu....”   sambung             Pek        Bin          Kui.        “Kita      harus

mengadakan pesta untuk merayakan berdirinya Seng Hwee Kauw kita.”

“Baik,” Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. “Kita pun harus bersulang bersama untuk itu.”

“Benar,” Hek Sim Popo tertawa terkekeh-kekeh. “Tidak lama lagi, Seng Hwee Kauw akan lahir di rimba persilatan. He he he...!”

“Lalu bagaimana rencana kita?” tanya Tok Chiu Ong. “Harus turun tangan tethadap pihak mana dulu?”

“Terhadap para anggota Kay Pang dan orang-orang yang mempunyai hubungan dengan Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong,” jawab Seng Hwee Sin Kun.

“Ketua, bukankah itu akan memancing Tio Cie Hiong keluar? Kalau dia muncul kembali dalam rimba persilatan, apakah tidak akan merepotkan kita?”

“Itu tidak jadi masalah,” tegas Seng Hwee Sin Kun dan menambahkan. “Terus terang, aku sanggup melawannya.”

“Kalau begitu, legalah hati kami,” ujar Leng Bin Hoatsu.

“Apakah kalian ragu akan kepandaianku?” tanya Seng Hwee Sin Kun sambil tertawa. “Kalau kalian ragu, akan kuperlihatkan Seng Hwee Sin Kang.”

"Itu memang ada baiknya juga," sahut Leng Bin Hoatsu.



“Baik,” Seng Hwee Sin Kun manggut-mangut, lalu berjalan ke tengah-tengah ruangan. Para anggota langsung minggir dan bersorak kegirangan karena akan menyaksikan kepandaian ketua mereka.

Seng Hwee Sin Kun berdiri di tengah-tengah ruang itu, lalu mulai menghimpun Seng Hwee Sin Kang.

“Kalian semua harus lebih jauh lagi Kalau tidak, kalian pasti mati hangus dalam jarak tiga depa,” ujar Seng Hwee Sin Kun mengingatkan.

Para anggota yang agak dekat segera minggir,sedangkan Seng Hwee Sin Kun terus menghimpun lweekangnya. Berselang sesaat, sekujur badannya mulai memancarkan cahaya kehijau-hijauan, sekaligus mengeluarkan hawa yang panas sekali.

Mendadak Seng Hwee Sin Kun membentak keras, lalu mulai memperlihatkan Seng Hwee Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Api Suci). Seketika terlihat cahaya kehijau-hijauan berkelebat ke sana kemari.

Leng Bin Hoatsu dan lainnya terbelalak. Mereka sama sekali tidak menyangka Seng Hwee Ciang Hoat begitu hebat.

Berselang beberapa saat kemudian, barulah Seng Hwee Sin Kun berhenti, namun ruang itu masih diliputi hawa panas.

“Hidup Seng Hwee Sin Kun! Hidup Seng Hwee Kauw.!” teriak para anggota riuh gemuruh.

“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak.Ia kembali ke tempat duduknya lalu bertanya. “Bagaimana ilmuku itu?”

“Sungguh hebat sekali,” sahut Leng Bin Hoatsu dan lainnya. “Kami yakin engkau dapat melawan Tio Cie Hiong."
"Mungkin malah dapat membunuhnya,” sambung Hek Sim Popo.



“Aku memang berniat membunuh Tio Cie Hiong,” sahut Seng Hwee Sin Kun. “Kalau aku berhasil membunuhnya, rimba persilatan pun pasti akan mengakui Seng Hwee Kauw sebagai Bu Lim Beng Cu. Ha-ha-ha...!”

“Benar!” sahut Leng Bin Hoatsu dan lainnya sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Setelah itu, Leng Bin Hoatsu perintah para anggota agar memperlihatkan kepandaian masing-masing.

Maka terpilihlah sepuluh kepala regu, kemudian pesta pun dimulai dengan semarak sekali.

-oo0dw0o-


Bagian ke Tujuh belas

Orang Penebus Dosa


Sementara itu, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling terus melanjutkan perjalanan menuju markas pusat Kay Pang.

Dalam perjalanan, tak henti-hentinya Lie Ai Ling berbicara dengan wajah cerah ceria.

“Hi-hi-hi...!” Gadis itu mendadak tertawa geli.

“Ai Ling, kenapa engkau tertawa geli? Apa yang menggelikanmu?” tanya Siang Koan Goat Nio dengan rasa heran.

“Tentu saja menggelikan,” sahut Lie Ai Ling memberitahukan. “Sebab kini aku adaiah Hong Hoang Lihiap, sedangkan engkau adalah Kim Siauw Siancu.”

“Engkau memang mengada-ada,” Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala dan menambahkan “Karena itu, justru akan timbul masalah”



“Masalah?" Lie Ai Ling terbelalak. “Apakah kita salah menolong Tan Tayjin yang baik hati itu?"

“Tidak salah, cuma....”

“Cuma kenapa?”

“Itu akan menyeret kita ke dalam masalah,” Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang. "Sebab pihak Hiat Ih Hwe pasti tidak akan tinggal diam."

“Kalau mereka muncul, kita hajar saja mereka....”

Ketika Lie Ai Ling baru usai berkata demikian, terdengarlah suara tawa yang memekakkan telinga, dan tak lama kemudian muncullah belasan orang berpakaian merah.

“Nona,” ujar salah seorang berpakaian merah. “Tadi engkau bilang mau menghajar kami. Nah, kami telah muncul, silakan menghajar kami!”

“Apakah kalian para anggota Hiat Ih Hwe?” tanya Lie Ai Ling sambil menghunus pedang pusakanya, sedangkan Siang Koan Goat Nio mengeluarkan suling emasnya sambil menatap mereka.

“Betul!” sahut orang berpakalan merah itu. “Aku adalah kepala regu ini. Kami kemari khususnya untuk membunuh kalian!”

“Oh?” Lie Ai Ling tertawa dingin. “Kalian kira kami patung yang tak bisa melawan?”

“Ha ha ha!” Kepala regu Hiat Ih Hwe itu tertawa gelak. “Kalian berdua sungguh cantik! Kalau bersedia menemaniku bersenang-senang, aku pasti mengampuni nyawa kalian!"

“Diam!”bentak Lie Ai Ling gusar. “Sebetulnya aku tidak mau membunub kalian, tapi karena engkau begitu kurang ajar, maka aku terpaksa mencabut nyawamu!”~



“Oh, ya?” Kepala regu Hiat Ih Hwe tertawa gelak, kemudian memberikan perintah kepada para anak buahnya. “Serang mereka!”

Seketika para anak buah itu menyerang Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio dengan berbagai macam senjata.

Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio berkelit, lalu balas menyerang. Lie Ai Ling menggunakan Hong Hoang Kiam Hoat (Ilmu Pedang Burung Phoenix), sedangkan Siang Koan Goat Nio menggunakan Cap Pwee Kim Siauw Ciang Hoat (Delapan Belas Jurus Maut Suling Emas)..

Terjadilah pertarungan sengit. Sementara kepala regu Hiat Ih Hwe itu cuma berdiri menonton.

Walau diserang belasan orang, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling masih mampu melawan. Akan tetapi, kedua gadis itu kurang berpengalaman dalam hal bertarung Karena itu, mereka mulai berada di bawah angin.

“Goat Nio ujar Lie Ai Ling “Kita mulai terdesak, terpaksa narus menggunakan Cit Loan Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling)’”

“Ya!” Siang Koan Goat Nio mengangguk.

Akan tetapi, ketika mereka baru mau menggunakan ilmu pedang tersebut, mendadak melayang turun seseorang bertopeng, yang langsung menyerang kepala regu Hiat Ih Hwe yang berdiri menonton itu.

“Aaaakh...!” Kepala regu Hiat Ih Hwe itu menjerit menyayat hati, kemudian roboh dengan mulut menyemburkan darah segar. “Engkau... eng-kau....”

Putuslah nafas kepala regu Hiat Ih Hwe itu. Tentunya sangat mengejutkan para anggota Hiat Ih Hwe yang sedang bertarung dengan Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling, sehingga meréka langsung berhenti.



"Hm!” dengus orang bertopeng. “Kalian semua harus mampus!”

Orang bertopeng langsung menyerang belasan anggota Hiat Ih Hwe itu. Dalam sekejap mata robohlah belasan anggota Hiat Ih Hwe itu dengan mulut menyemburkan darah segar, dan tak lama kemudian nyawa mereka pun melayang.

“Terima kasih atas pertolongan Tuan!” ucap Siang Koan Goat Nio sambil memberi hormat.

Orang bertopeng manggut-manggut, lalu memandang Lie Ai Ling, yang sedang memandang mayat-mayat itu dengan mata terbelalak.

“Goat Nio!” serunya kemudian. “Lima belas orang semuanya mati!”

“Ai Ling, cepatlah engkau mengucapkan terima kasih kepada Tuan penolong ini!” ujar Siang

Koan Goat Nio.

“Ya,” Lie Ai Ling menghampiri orang bertopeng itu, lalu memberi hormat dan berkata. “Terima kasih atas pertolongan Tuan !“

“Siapa kalian?” tanya orang bertopeng.

“Namaku Lie Ai Ling, dan dia bernama Siang Koan Goat Nio,” jawab Lie Ai Ling memberitahukan. “Aku Hong Hoang Lihiap, dan dia Kim Siauw Siancu.”

“Hmm!” dengus orang bertopeng “Belum berpengalaman sudah berani berkelana! Kalian berdua dari mana?”

“Dan Pulau Hong Hoang To,” sahut Lie Ai Ling sambil menatap orang bertopeng.

“Dia?” Orang bertopeng itu menunjuk Siang~oan Goat Nio.

“Dia bersamaku datang dari Pulau Hong Hoang To,” Lie Ai Ling memberitahukan secara jujur. Tapi dia bukan lahir di



pulau itu, tapi kedua orang tuanya kenal baik dengan kakek dan pamanku.”

“Oooh!” Orang bertopeng manggut-manggUt."Kalian berdua masih kecil, lebih baik kembali ke Hong Hoang To. Jangan berkelana di Tionggoan!”

“Hi-hi!” Lie Ai Ling tertawa. “Usia kami sudah enam belas, bukan anak kecil lagi. Lagi pula kami tidak bisa kembali ke Pulau Hong Hoang To.”

“Kenapa?”

“Aku datang di Tionggoan ini untuk mencari ayahku, sedangkan dia ingin mencari kakak Bun Yang’”

“Siapa ayahmu?”

“Lie Man Chiu,” jawab Lie Ai Ling sambil menghela nafas panjang. “Sudah tujuh tahun dia meninggalkanku dan ibuku Kasihan ibuku....”

“Kenapa ibumu?”

“Ibuku jadi kurus, tua dan rambutnya cepat memutih karena memikirkan ayahku. Oh ya, apakah Tuan tahu di mana ayahku?”

“Tidak tahu.”

“Aaaah!" keluh Lie Ai Ling. “Entah di mana ayahku, aku sudah rindu sekali kepadanya walau dia begitu tega meninggalkan kami.”

“Aku menasehati kalian, lebih baik kalian segera kembali ke Puiau Hong Hoang To.”

“Eh...!” Lie Ai Ling terbelalak. “Tuan punya hak apa menyuruh kami kembali ke Hong Hoang To?”

“Aku memang punya hak,” sahut orang bertopeng.



“Hi-hi!” Lie Ai Ling tertawa geli. “Kãmi tidak kenal Tuan, Tuan pun tidak kenal kami. Kenapa Tuan mengatakan punya hak?”

“Pokoknya kalian harus segera kembali ke Hong Hoang To!”

“Maaf!” ucap Siang Koan Goat Nio yang terus diam dari tadi. “Bolehkah kami tahu siapa Tuan?”

“Aku adalah... orang penebus dosa!”

“Apa?!” Siang Koan Goat Nio dan Lie Ling terbelalak. “Tuan orang penebus dosa?"

“Betul!”

“Tuan pernah melakukan dosa apa?” tanya Lie Ai Ling sambil menatapnya. “Bolehkah Tuan membenitahukan kepada kami?”

“Tidak boleh!” Orang Penebus Dosa itu menglengkañ kepala, kemudian bertanya sungguh-sungguh. “Jadi kalian tidak mau kembali ke Pulau Hong Hoang To?”

“Tidak salah,” sahut Lie Ai Ling. “Sebab aku harus mencari ayahku, kasihan ibu....”

“Kalau begitu, ke mana tujuan kalian sekarang?” tanya Orang Penebus Dosa itu dengan penuh perhatian.

“Kami mau ke markas pusat Kay Pang.” Lie Ai Ling memberitahukan.

“Oooh!” Orang Penebus Dosa itu manggut-manggut. “Kalian berdUa harus berhati-hati, sampai jumpa!"

”Orang Penebus Dosa itu melesat pergi, Siang~oan Goat Nio dan Lie Ai Ling termangu-mangu ditempat.

“Goat Nio! Sebetulnya siapa orang itu?"

“Entahlah,” Siang Koan Goat Nio menggeleng kepala. “Tapi....”



“Ada apa?"

“Kelihatannya dia sangat memperhatikanmu,” Siang Koan Goat Nio memberitahukan. “Baik maupun nada suaranya?"

“Goat Nio!” Lie Ai Ling tertawa. “Kini engkau yang mengada-ada, itu bagaimana mungkin?”

"Aku yakin tidak salah pandanganku.”

“Sudahlah! Mari kita meneruskan perjalañan!” ajak Lie Ai Ling. “Tempat ini jadi seram karena begitu banyak mayat”

“Baik! Mari kita pergi!” Siang Koan Goat Nio mengangguk. Mereka berdua meneruskan per-

jalanan menuju markas pusat Kay Pang.

Dalam perjalanan, tak henti-hentinya Lie Ai Ling membicarakan Orang Penebus Dosa itu.

“Heran!” Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala. “Kenapa dia menyebut dirinya Orang Penebus Dosa?”

“Mungkin dia pernah melakukan suatu perbuatan yang berdosa,” sahut Siang Koan Goat Nio.

“Betul,” Lie Ai Ling manggut-manggut. “Kalau tidak, bagaimana mungkin dia menyebut dirinya Orang Penebus Dosa? Ya, kan?”

“Ya,” Siang Koan Goat Nio mengangguk.

“Kepandaiannya sangat tinggi, dalam waktu sekejap dia mampu membunuh para anggota Hiat Ih Hwe hanya dengan tangan kosong.”

“Ngmm!” Lie Ai Ling manggut-manggut. “Kalau Orang Penebus Dosa itu tidak muncul, entah apa jadinya karena kita menggunakan Cit Loan Kiam Hoat!”

“Para anggota Hiat Ih Hwe itu pasti terkapar semua,” sahut Siang Koan Goat Nio. “Oh ya, aku justru masih merasa heran.”



“Heran kenapa?”

“Kenapa Orang Penebus Dosa itu harus memakai topeng?” “Benar. Kenapa ya?”

“Kalau dia tidak kenal kita, dia pasti kenal anggota Hiat Ih Hwe itu. Karena itu, dia harus pakai topeng agar dirinya tidak dikenali.”

“Masuk akal,” Lie Ai Ling mengangguk. “Tapi siapa dia?”

“Mungkinkah...,” sahut Slang Koan Goat Nio dengan kening berkerut. “Dia ayahmu?"

“Apa?!” Lie Ai Ling tertegun. “Bagaimana mungkin? Sebab suaranya begitu parau, tidak mirip suara ayahku.”

“Dia sengaja membuat suaranya menjadi parau, lagi pula...,” lanjut Siang Koan Goat Nio. "Ketika aku berbicara kepadanya, dia malah terus memandangmu. Itu sungguh mencurigakan.”

“Kenapa tadi engkau tidak bertanya kepadanya?” tegur Lie Ai Ling.

Siang Koan Goat Nio tersenyum. “Percuma,” katanya. “Kenapa percuma?”
“Dia pasti tidak akan mengaku.”

“Goat Nio aku tidak yakin kalau dia ayahku.”

“Al Ling, aku percaya dia pasti akan muncul lagi."

“Kalau dia muncul lagi, aku pasti menyambar topengnya,” ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Aku ingin tahu, betulkah dia ayahku?"

“Aku pasti membantumu,” Siang Koan Goat Nio tersenyum.

“Terima kasih!” ucap Lie Ai Ling sambil tersenyum pula. “Goat Nio, engkau baik sekali terhadapku. Aku pasti memberitahukan kepada Kakak Bun Yang.”



-oo0dw0oo-

Dua hari kemudian, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling telah tiba di markas pusat Kay Pang. Kedatangan dua gadis itu membuat Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong gembira sekali.

Lim Peng Hang langsung menyuruh mereka duduk, kemudian menyuruh salah seorang anggota menyuguhkan minuman.

“Ha-ha-ha!” Lim Peng Hang tertawa gelak,“Tak kusangka kalian sudah mulai mengembara!”

“Kakek Lim, aku mengembara karena ingin ingin mencari ayah!” Lie Ai Ling memberitahukan.

"Oh?” Lim Peng Hang tersenyum. “Lalu apa tujuan Goat Nio mengembara?”

“Mencari pengalaman,” sahut Siang Koan Goat Nio.

“Kakek Lim!” Lie Ai Ling tersenyum. “Sesungguhnya dia mengembara dengan tujuan....”

“Al Ling!” Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening.

"Apa tujuannya? Benitahukanlah!" desak Lim Peng Hang.

“Tujuannya adalah mencari Kakak Bun Yang?" Lie Ai LAng memberitahukan.

Seketika itu juga wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan, dan langsung menunduk dalam-dalam.

“Oh, ya?” Lim Peng Hang menatap Siang Koan Goat Nio yang menundukkan kepalanya, kemudian tertawa terbahak-bahak. “Ha ha ha. . .!"

“Mereka berdua memang merupakan pasángan yang serasi,” sela Gouw Han Tiong mendadak dan tertawa gelak pula.



“Betul,” Lie Ai Ling manggut-manggut. “Kakak Bun Yang dan Goat Nio sungguh merupakan pasangan yang serasi. Kakak Bun Yang tampan, Goat Nio cantik.”

“Ai Ling....” Wajah Siang Koan Goat Nio makin memerah.

“Oh ya, Kakek Lim!” tanya Lie Ai Ling. "Apakah Kakak Bun Yang sudah ke mari?”

“Sudah!” Lim Peng Hang mengangguk.

“Oh?” Lie Ai Ling nampak gembira. “Di mana? Cepatlah panggil dia ke mari, aku mau kenalkannya pada Goat Nio.”

“Sayang sekali!” Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala.

“Lho? Kenapa?” Lie Ai Ling terbelalak.

“Dia sudah meninggaikan markas ini,” Lim Peng Hang membentahukan “Dia pergi menyelidiki pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin”

“Yaaah!” Lie Ai Ling menghela nafas panjang. “Kami terlambat sampai di disini Kalau tidak

terlambat, pasti bertemu Kakak Bun Yang!”

“Tadak apa-apa” Lim Peng Hang tersenyum, “Masih banyak waktu dan kesempatan bagi Goat Nio bertemu Bun Yang”

“Betul,” Lie Ai Ling tertawa kecil seraya berkata “Takkan lari jodoh dikejar”

“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio betul-betul kewalahan digoda Lie Ai Ling terus-menerus. “Jangan terus menggodaku!”

“Goat Nio!” Lie Ai Ling tersenyum. “Aku tidak menggodamu, melainkan berkata sesungguhnya.”



Wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan. “Engkau terus mengatakan begitu, bagaimana kalau dia telah bertemu gadis lain yang cantik jelita? Ya, kan?”

“Tidak mungkin,” sahut Lie Ai Ling “Sebab Kakak Bun Yang tidak gampang jatuh hati terhadap gadis yang mana pun, percayalah’ Aku yakin, begitu dia melihatmu pasti jatuh hati kepadamu.”

“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.

Sementara Lam Peng Hang dan Gouw Han Tiong hanya saling memandang, berselang sesaat barulah ketua Kay Pang itu membuka mulut.

"Oh ya! Bagaimana pengalaman kalian dalam perjalanan menuju ke mari?”

"Wuah, bukan main!” sahut Lie Ai Ling.

"Apa yang bukan main?” tanya Gouw Han Tiong sambil tertawa. “Bolehkah engkau menjelaskan tentang ‘Bukan main’ itu?”

"Ketika kami sampai di kota Keng Ciu...,” tutur Lie Ai Ling sambil tersenyum-senyum. “Aku berhasil menyelamatkan nyawa seorang pembesar yang baik hati.”

"Syukurlah!” ucap Lim Peng Hang sambil tertawa. “Aku yakin Hong Hoang Lihiap dan Kim Siauw Siancu pasti mulai terkenal dalam rimba persilatan.”

“Tapi....”              Gouw    Han        Tiong     mengbela            nafas     panjang.

“Tentunya juga akan menjadi masalah bagi mereka berdua.”

“Betul,” Lie Ai Ling mengangguk. “Dua hari yang lalu, kami dihadang belasan anggota Hiat Ih Hwe lagi.”

“Lalu bagaimana?” tanya Lim Peng Hang.



“Mereka ingin membunuh kami, maka kami terpaksa melawan.” Lie Ai Ling memberitahukan. namun kami berdua kurang berpengalaman dalam hal bertarung.”

"Kalian berdua kalah?” tanya Gouw Han Tiong dengan kening berkerut.

“Kalah sih tidak, hanya berada di bawah angin.” Lie Ai Lang tersenyum dan melanjutkan “Oleh karena itu, kami terpaksa harus menggunakan Cit Loan Kiam Hoat, tapi. . . ."

“Kenapa?” Lim Peng Hang menatapnya.

“Di saat kami baru mau menggunakan ilmu pedang tersebut, mendadak muncul seseorang bertopeng membantu kami”

"Kemudian bagaimana?” tanya Gouw Han Tiong dengan rasa tertarik

“Dengan tangan kosong dia membunuh kepala regu anggota Hiat Ih Hwe, lalu membunuh para anak buahnya

“Oh?” Lim Peng Hang mengerutkan kening, “Dia membunuh mereka hanya dengan tangan kosong?"

“Betul” Lie Ai Ling mengangguk.

“Kalau begitu, sungguh tinggi kepandaiannya,” ujar Lim Peng Hang dan bertanya, “Kalian tahu siapa orang bertopeng itu?”

“Aku bertanya padanya, dia menyebut dirinya Orang Penebus Dosa.” Lie Ai Ling memberitahukan.

“Apa?” Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong tertegun “Orang Penebus Dosa?"

Lie Ai Ling mengangguk “Kakek Lim dan Kakek Gouw tahu siapa Orang Penebus dosa itu?”



“Kami tidak tahu” Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong menggelengkan kepala dan bergumam. “Heran? Siapa orang itu?”

“Menurut terkaanku...” sela Siang Koan Goat Nio. “Orang Penebus Dosa itu adalah Paman Man Chiu.

“Apa?” Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong terbelalak. “MenurutmU dia Lie Man Chiu?”

“Ya.” Siang Koan Goat Nio mengangguk.

“Apa alasanmu menerka begitu?” tanya Lim Peng Hang.

“Sebab ketika aku mengucapkan terima kasih kepadanya, dia diam saja tapi malah terus memandang Ai Ling.” Siang Koan Goat Nio memberitahukan. “Lagi pula dia terus-menerUs mendesak kami pulang ke Pulau Hong Hoang To.”

“Oh?” Lim Peng Hang mengerutkan kening.

“Betulkah dia Lie Man Chiu?” tanya Gouw Han Tiong seakan bergumam. “Tapi kenapa harus memakai topengT’

“Mungkin dia tidak menghendaki Ai Ling dan aku mengenalinYa, mungkin juga tidak menghendaki para anggota Hiat Ih Hwe mengenalinya,” jawab Siang Koan Goat Nio dan menambahkan. “Dia pun tampak begitu menaruh perhatian kepada ibu Ai Ling. Itulah yang membuatku menerka dirinya adalah Paman Man Chiu.”

“Orang Penebus Dosa. Orang Penebus Dosa...” gumam Lim Peng Hang. “Berarti dia pernah berbuat dosa, kini dia menebus dosanya.”

“Paman Man Chiu meningalkan anak isteri, bukankah itu merupakan suatu dosa?" ujar Siang

Koan Goat Nio.

"Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut. “Kalau begitu, memang ada kemungkinan dia Lie



Man Chiu!”

“Selama tujuh tahun ini, kita sama sekali tidak mendengar kabar beritanya. Jangan-jangan dia...” ujar Gouw Han Tiong setelah berpikir sejenak.

“Dia mengabdi kepada Lu Thay Kam, maka dia merahasiakan identitas dirinya!”

“Masuk akal,” Lim Peng Hang manggut-manggut.

“Lain kali kalau bertemu dia, aku pasti membuka topengnya,” ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. “Agar bisa tahu jelas siapa dia.”

“Kepandaiannya begitu tinggi, bagaimana mungkin engkau dapat membuka topengnya?” Lim Peng Hang tersenyum.

"Memang.” Lie Ai Ling mengangguk. “Namun aku mempunyal akal.”

“Oh, ya?” Lim Peng Hang tersenyum lagi. "Dia menyebut dirinya Orang Penebus Dosa, pertanda dia sangat menyesali perbuatannya dulu, dan berarti kini dia telah sadar. Aku yakin dia pasti akan muncul lagi menemuimu.”

“Goat Nio juga bilang demikian,” ujar Lie Ai Ling.

“Oh ya?” Gouw Han Tiong menatapnya. "Dia bertanya kalian mau ke mana?”

“Ya.” Lie Ai Ling mengangguk.

“Engkau memberitahukan?”

“Ya”

“Bagus!” Gouw Han Tiong tersenyum “Kalau begitu, kalian tinggal di sini dulu Karena aku yakin dia pasti akan ke mari.

“Oh’” Lie Ai Ling kurang yakin “Kalau Orang Penebus Dosa itu tidak kemari, bukankah kami menunggu dengan sia~sia?”



“Percayalah~” ujar Gouw Han Tiong "Kalau benar dia Lie Man Chiu, pasti kemari menemuimu.”

“Tapi kami tidak bisa lama-lama di sini” “Kenapa?”
“Kami masih ingin mengembara, lagi pula Goat Nio ingin pergi mencari Kakak Bun Yang, aku harus menemaninya”

“Cukup sepuluh hari kalian tinggal di sini, dalam sepuluh hari ini kalau Orang Penebus Dosa itu tidak keman, berarti dia bukan Lie Man Chiu,” ujar Gouw Han Tiong

“Baiklah,” Lie Ai Ling mengangguk, kemudian bertanya kepada Siang Koan Goat Nio. “Bagaimana? Engkau tidak berkeberatan, bukan?”

“Aku memang tidak berkeberatan, tapi apakah tidak akan merepotkan Kakek Lim dan Kakek Gouw?” sahut Siang Koan Goat Nio.

“Tentu tidak.” Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong tertawa.

“Kalau begitu, kami mengucapkan terima kasih!” ucap Siang Koan Goat Nio.

“Oh ya! Putra Gouw Sian Eng dan putri Lam Kiong Bie Liong sudah menjadi murid Tayli Lo Ceng,” Gouw Han Tiong memberitahukan dengan wajah berseri-seri. “Mereka berada di Gunung Thay San.”

“Oh?” Lie Ai Ling tersenyum. “Kalau begitu, mereka pasti akan memiliki kepandaian tinggi.”

“Mudah-mudahan!” ucap Gouw Han Tiong sambil tertawa. “Kalian pasti bertemu mereka kelak.”

“Sungguh menggembirakan bisa bertemu mereka!” ujar Lie Ai Ling tersenyum dan menambahkan.



“Mudah-mudahan Goat Nio bisa bertemu Kakak Bun Yang secepatnya! Katau tidak....”

“Ai Ling, jangan menggoda aku lagi!” tegur Siang Koan Goat Nio dengan wajah sedikit cemberut.

“Hi-hi-hi!” Lie Ai Ling tertawa geli.

Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang, kemudian mereka berdua pun tertawa, sehingga membuat wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan.

-oo0dw0oo-


Bagian ke delapan belas

Dendam membara

Kam Hay Thian terus melanjutkan perjalanannya. Hari ini panasnya sungguh luar biasa, sehingga pakaiannya menjadi basah oleh keringat, akhirnya ia berteduh di bawah sebuah pohon.

"Kapan aku akan berhasil mencari pembunuh ayahku?" gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mendadak ia mendengar suara 'Kraak'.

Kam Hay Thian terkejut bukan main, karena suara itu berasal dari cincin giok di jari manisnya. Ternyata cincin giok itu telah retak, kemudian pecah.

"Haaah?" Wajahnya langsung memucat, sebab menurut kepercayaan, apabila giok yang dipakai itu pecah, pertanda akan terjadi sesuatu atau telah terjadi sesuatu atas diri pemiliknya.

Cincin giok itu pemberian Lie Beng Cu, putri guru silat di kota Leng An.



"Cincin giok ini telah pecah, apakah telah terjadi sesuatu atas diri Beng Cu?" gumamnya dengan wajah pucat pias. "Aku harus segera be-iangkat ke kota Leng An."

Kam Hay Thian segera berangkat ke kota h-iscbut, dan dua hari kemudian ia telah tiba dan l.mpsung menuju rumah guru silat Lie. Seorang pembantu tua menyambutnya, dan ketika melihat Kam Hay Thian, terbelalaklah pembantu tua itu.

"Engkau... engkau Kam Hay Thian?"

"Betul, Paman," sahut Kam Hay Thian sambil mengangguk. "Di mana guru silat Lie dan Bcng Cu?"

"Mereka...." Pembantu tua itu terisak-isak. "Mari ke dalam!"

Kam Hay Thian tersentak ketika melihat pembantu tua itu terisak-isak. Ia yakin telah terjadi sesuatu atas diri guru silat Lie atau Lie Beng Cu. Kemudian ia mengikuti pembantu tua itu ke dalam.

"Mereka...."  Pembantu  tua  menunjuk sebuah meja  abu,

yang dialasnya terdapat dua buah papan nisan bertuliskan nama guru silat Lie dan nama Lie Beng Cu.

"Haaah...?" Kam Hay Thian langsung berlutut dengan air mata berderai. "Paman... Beng Cu...."

Pembantu tua itu juga menangis terisak-isak dengan air mata bercucuran, sedangkan wajah Kam Hay Thian telah berubah kehijau-hijauan.

"Paman tua, bagaimana mereka mati?" tanya Kam Hay Thian dengan suara bergemetar.

"Dua hari yang lalu...." Pembantu tua itu memberitahukan.

"Mendadak muncul belasan anggota Hiat Ih Hwe, Guru silat Lie dan Nona Beng Cu mati dibunuh oleh para anggota Hiat Ih Hwe itu."

"Kenapa para anggota Hiat Ih Hwe mcm-l bunuh Paman dan Beng Cu?"



"Sebulan yang lalu, tanpa sengaja guru silat Lie menolong beberapa orang Tiong Ngie Pay, yang dilukai pihak Hiat Ih Hwe. Karena itu, pihak Hiat Ih Hwe kemari membunuh guru silat Lie dan Nona Beng Cu," tutur pembantu tua itu dan

menambahkan. "Sebelum menghembuskan nafas penghabisan, Nona Beng Cu masih menyebut namamu."

"Beng Cu...." Kam Hay Thian menangis ge-i ung-gerungan,

kemudian bersumpah di hadapan meja abu itu. "Aku bersumpah, mulai hari ini aku .ikan membunuh para anggota Hiat Ih Hwe! Paman Lie, Beng Cu! Kalian tenanglah! Aku pasti membalaskan dendam kalian, aku pasti akan membunuh para anggota Hiat Ih Hwe!"

"Terimakasih, Hay Thian!" ucap pembantu tua dengan air mata berlinang dan memberitahukan. "Sungguh kasihan guru silat Lie dan Nona Beng Cu! Walau sudah sekarat, tapi Nona Beng Cu masih menyebut namamu."

Kam Hay Thian telah meninggalkan kota Ieng An dengan membawa dendam yang mem-l'aia. Karena guru silat Lie dan Lie Beng Cu yang begitu baik hati itu telah mati dibunuh oleh para anggota Hiat Ih Hwe, maka ia bersumpah akan membunuh para anggota perkumpulan itu.

Ketika ia memasuki sebuah rimba, mendadak mendengar suara pertarungan. Segeralah ia melesat ke tempat itu, kemudian dilihatnya beberapa orang sedang bertarung mati-matian melawan belasan orang berpakaian merah. Begitu melihat orang-orang berpakaian merah, seketika juga darahnya mendidih.

"Berhenti!" bentaknya dengan suara mengguntur.

Orang-orang yang sedang bertarung itu terkejut bukan main, dan langsung berhenti bertarung.

Kam Hay Thian menghampiri orang-orang berpakaian merah selangkah demi selangkah dengan wajah kehijau-hijauan.



"Siapa engkau?" bentak salah seorang berpakaian merah, yang rupanya kepala regu para anggota Hiat Ih Hwe itu.

"Siapa kalian?" Kam Hay Thian balik bertanya dengan dingin.

"Kami para anggota Hiat Ih Hwe!" sahut oranj" berpakaian merah itu sambil tertawa dingin. "Siapa engkau? Sungguh besar nyalimu mencampur urusan kami!"

"Bagus, bagus! Aku adalah Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat)!" sahut Kam Ha Thian dengan wajah semakin menghijau, dan pei lahan-lahan ia menghunus pedangnya. "Ajal kalian lelah tiba hari ini!"

"Hm!" dengus orang berpakaian merah itu dan berseru. "Serang dia!"

Para anggota Hiat Ih Hwe langsung menye-langnya dengan senjata tajam. Kam Hay Thian tertawa dingin sambil menggerakkan pedangnya. Seketika pedang itu mengeluarkan hawa dingin, yang tentunya sangat mengejutkan para penyeang itu.

Orang-orang yang bertarung tadi ternyata anggota Tiong Ngie Pay. Mereka tampak mencemaskan Kam Hay Thian.

Trang! Trang! Trang...! Terdengar suara benturan senjata, yang disusul oleh suara jejerkan yang menyayat hati.

"Aaaakh! Aaaaakh! Aaaaaakh...!" Tampak lima orang berpakaian merah telah roboh dengan dada berlubang, yang mengucurkan darah segar, dan nyawa mereka pun melayang seketika.

Ternyata Kam Hay Thian menggunakan Ilmu Pedang Pak Kek Kiam Hoat, dan mengeluarkan pirus Thian Gwa Kiam In (Bayangan Pedang Di luar Langit) menyerang para anggota Hiat Ih Hwe itu.



Setelah berhasil membunuh lima orang Hiat Ih Hwe, Kam Hay Thian juga menyerang lagi laksana kilat dengan jurus yang sama. Terdengar lagi suara jejerkan yang menyayat hati, lima orang

Hiat Ih Hwe roboh mandi darah dan mati seketika pula.

Menyaksikan kejadian itu, sisa-sisa anggota Hiat Ih Hwe berusaha melarikan diri. Kam Hay Thian tertawa dingin sekaligus menyerang mereka dengan jurus Hoan Thian Liak Te (Membalikkan Langit Meretakkan Bumi).

"Aaaakh! Aaaakh! Aaaakh...." Sisa-sisa ang-gota Hiat Ih

Hwe menjerit, lalu roboh tak bernyawa lagi.

Kam Hay Thian memandang mayat-mayat itu sambil tertawa dingin kemudian dengan tenang menyarungkan pedangnya.

Sementara para anggota Tiong Ngie Pay berdiri mematung di tempat. Mereka sangat kagum dan kaget akan kesadisannya. Berselang beberapa saat kemudian, barulah ada salah seorang dari mereka yang membuka mulut.

"Terimakasih, siauw hiap!"

"Tidak usah berterimakasih, aku memang ada dendam dengan Hiat Ih Hwe. Kebetulan melihat mereka bertarung dengan kalian, maka aku membunuh mereka," sahut Kam Hay Thian.

"Siauw hiap, bagaimana kalau engkau ikut kami menemui ketua?" tanya salah seorang anggota Tiong Ngie Pay.

"Kalian dari perkumpulan apa?" tanya Kami Hay Thian. "Tiong Ngie Pay."

"Oooh!" Kam Hay Thian manggut-manggut. "Baiklah. Aku akan menemui ketua kalian."



"Terimakasih, siauw hiap!" ucap para anggota Tiong Ngie Pay girang, lalu berangkat ke markas mereka bersama Kam Hay Thian.

Yo Suan Hiang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him menyambut kedatangan Kam Hay Thian dengan penuh kegembiraan, apa lagi setelah mengetahui pemuda itu telah membantu para anggotanya.

"Terimakasih, siauw hiap!" ucap Yo Suan Hiang.

"Aku adalah Chu Ok Hiap." Kam Hay Thian memberitahukan. "Maka jangan memanggilku siauw hiap!"

"Chu Ok Hiap!" Yo Suan Hiang tersenyum iainah. "Bolehkah kami tahu namamu?"

"Namaku Kam Hay Thian."

"Siapa kedua orang tuamu?"

"Ayahku bernama Kam Pek Kian, tapi sudah almarhum karena dibunuh penjahat," Kam Hay Thian memberitahukan. "Ibuku bernama Lie Siu Su-n."

"Lie Siu Sien..." gumam Yo Suan Hiang sambil berpikir keras. "Rasanya aku pernah mendengar nama tersebut."

"Tidak mungkin," Kam Hay Thian menggelengkan kepala. "Sebab ibuku bukan wanita rimba persilatan."

"Tapi aku memang pernah mendengar nama tersebut...."

Yo Suan Hiang terus berpikir, kemudian mendadak berseru girang. "Aku sudah ingat! Aku sudah ingat! Ternyata aku pernah mendengar nama ibumu dari Tio Cie Hiong!"

"Apa?!" Kam Hay Thian tertegun. "Paman Cie Hiong?"

"Benar," Yo Suan Hiang mengangguk. "Dia pernah menceritakan tentang ibumu kepada kami."

"Aku mengembara justru ingin mencari Paman Cie Hiong," Kam Hay Thian memberitahukan.



"Oh?" Yo Suan Hiang menatapnya sambil bertanya. "Kenapa engkau mau mencarinya?"

"Kata ibuku, kepandaian Paman Cie Hiong tinggi sekali. Kalau aku ingin menuntut balas kematian ayahku, harus berguru kepada Paman Cie Hiong."

"Ooooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggut "Tapi kepandaianmu sekarang sudah tinggi, di mana engkau belajar?"

"Tanpa sengaja aku memasuki sebuah goa. tutur Kam Hay Thian dan menambahkan. "Tujuh tahun kemudian, barulah aku menguasai ilmu-ilmu itu."

"Hay Thian!" Yo Suan Hiang terbelalak. "Sungguh beruntung engkau, sebab kitab-kitab pusaka itu milik Bu Lim Sam Mo. Goa itu bekas markas Bu Tek Pay. Oh ya, apakah kau bawa kedua kitab pusaka itu?"

"Tidak. Kedua kitab itu telah kubakar."

"Bagus! Kedua kitab itu memang harus dibakar. Kalau tidak, tentu akan menimbulkan ben-i ana," ujar Yo Suan Hiang dan bertanya. "Kenapa ayahmu dibunuh penjahat?"

"Dikarenakan sebuah kitab pusaka, yaitu kitab Song Hwee Cin Keng." Kam Hay Thian memberitahukan. "Pada waktu itu aku masih kecil...."

"Kitab Seng Hwee Cin Keng?" Yo Suan Hiang mengerutkan kening. "Apakah itu kitab pelajaran ilmu silat tingkat tinggi?"

"Betul," Kam Hay Thian mengangguk. "Maka kini aku sedang mencari penjahat itu."

"Oh ya, sejak kapan engkau meninggalkan rumah?" tanya Yo Suan Hiang.

"Sejak aku berusia sebelas tahun, dan kini usiaku sudah delapan belas tahun," jawab Kam Hay Thian.



"Hay Thian, kenapa engkau begitu mendendam kepada Hiat Ih Hwe?" tanya Yo Suan Hiang mendadak.

"Karena mereka membunuh guru silat Lie dan putrinya...."

tutur Kam Hay Thian melanjutkan. "Karena itu, aku bersumpah di hadapan meja abu guru silat Lie dan putrinya, bahwa aku akan membunuh semua anggota Hiat Ih Hwe."

"Jadi guru silat Lie dan putrinya dibunuh karena tanpa sengaja guru silat Lie menolong beberapa anggotaku?" tanya Yo Suan Hiang de ngan wajah murung.

"Ya," Kam Hay Thian mengangguk.

"Aaaakh...!" keluh Yo Suan Hiang. "Sungguh diluar dugaan!"

"Hmm!" dengus Kam Hay Thian dingin dan penuh dendam. "Pokoknya aku harus membunuh semua anggota Hiat Ih Hwe!"

"Hay Thian!" Yo Suan Hiang menatapnya. "Apakah kini engkau masih ingin mencari Tio Cie Hiong?"

"Bagaimana menurut Bibi?" tanya Kam Hay Thian.

"Menurutku sudah tidak perlu," jawab Yo Suan Hiang. "Sebab kepandaianmu sudah begitu tinggi."

"Tapi aku belajar tanpa petunjuk orang! mungkin ada sedikit kesalahan," ujar Kam Hai Thian. "Maka kepandaianku belum mencapai tingkat atas, karena itu aku harus minta petunjuk kepada Paman Cie Hiong."

"Tempat tinggal Cie Hiong jauh sekali, yaitu di Pulau Hong Hoang To," Yo Suan Hiang memberitahukan. "Jadi... oh ya! Cie Hiong mempunyai seorang putra bernama Tio Bun Yang, yang berkepandaian sangat tinggi. Aku telah menyaksikan kepandaiannya. Dia pernah ke mari tapi kini «iitah berada di mana. Aku yakin engkau akan bertemu dia kelak, jadi engkau boleh minta petunjuk kepadanya."



"Benarkah kepandaiannya sudah tinggi sekali?"

"Benar," Yo Suan Hiang mengangguk. "Mungkin telah menyamai kepandaian ayahnya."

"Kalau begitu, aku harus minta petunjuk kepadanya."

"Itu memang baik sekali," Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Oh ya, Hay Thian. Maukah engkau bergabung dengan kami?"

"Aku bersedia bergabung, namun tidak mau terikat," sahut Kam Hay Thian terus terang. "Kareena aku masih harus pergi mencari pembunuh ayahku, bahkan juga harus mencari Bun Yang."

"Itu tidak menjadi masalah," Yo Suan Hiang teisenyum. "Jadi sementara ini engkau boleh tinggal di sini, dan kapan pun engkau mau pergi, kami tidak akan menahanmu."

"Baiklah! Terimakasih!" ucap Kam Hay Thian.

Di ruang khusus dalam istana bagian barat tempat tinggal Lu Thay Kam, tampak Lu Thay Kam sedang duduk dengan wajah serius. Lie Man Chiu duduk di sebelahnya, namun tampak mela mun.

"Man Chiu!" Lu Thay Kam menatapnya. "Ke napa engkau melamun? Apa yang terganjel dala hatimu?"

"Tidak." Lie Man Chiu menggelengkan kq pala.

"Tentunya engkau tahu, banyak anggota kit, yang musnah kepandaiannya, bahkan juga hanya' yang mati," ujar Lu Thay Kam dengan kenin berkerut. "Bagaimana engkau mengurusi itu?"

"Yang memusnahkan kepandaian anggota kita adalah Giok Siauw Sin Hiap, yang membunuh anggota kita adalah orang bertopeng dan Chu O Hiap," jawab Lie Man Chiu memberitahukan.



"Kalau begitu...." Lu Thay Kam menatapnya lagi. "Sudah

waktunya engkau turun tangan"

"Ya, Lu Kong Kong."

"Yaaah!" Mendadak Lu Thay Kam menghe nafas panjang. "Entah kini San San merantai sampai di mana? Aku... aku rindu sekali kepadanya."

"Lu Kong Kong rindu kepadanya?"

"Ya," Lu Thay Kam mengangguk. Tentu engkau tahu, dia bukan anak kandungku. Aku telah dikebiri jadi Thay Kam, bagaimana mungkin bisa punya anak?"

"Dia putri angkat Lu Kong Kong, namun Lu Kong Kong kelihatan begitu sayang kepadanya."

"Benar," Lu Thay Kam manggut-manggut. "Aku memang sayang sekali kepadanya."

"Lu Kong Kong...." Lie Man Chiu menundukkan kepala.

"Engkau ingin mengatakan apa, katakanlah!" Lu Kong Kong tersenyum. "Jangan ragu, sudah lujuh tahun lebih engkau mengabdi kepadaku."

"Lu Kong Kong...." Lie Man Chiu menghela nafas panjang.

"Belum lama ini aku selalu teringat kepada anak isteriku."

"Oh?" Lu Kong Kong menatapnya. "Kalau begitu, lebih baik kau ajak mereka tinggal di sini suja."

"Terimakasih atas maksud baik Lu Kong Kong!" ucap Lie Man Chiu. "Terus terang, aku...."

"Engkau ingin mengundurkan diri, bukan?"

"Betul," Lie Man Chiu mengangguk. "Sebab |ku sudah rindu sekali kepada anak isteriku."

"Aku maklum," Lu Thay Kam manggut-mang-|ut. "Namun aku masih sangat membutuhkan bantuanmu."



"Lu Kong Kong...."

"Jadi engkau ingin pergi menengok anak isteri-mu?” "Ya."

"Tidak mau kembali ke sini lagi?"

"Ya."

"Man Chiu...." Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala.

"Kenapa engkau mau melepaskan kehidupanmu yang serba mewah di sini?"

"Lu Kong Kong, kini aku baru sadar bahwa anak isteriku melebihi segala apa pun. Oleh karena itu aku ingin hidup tenang, damai dan bahagia bersama anak isteriku."

"Man Chiu...." Lu Thay Kam menghela nafas. "Tentunya

aku tidak akan menghadangmu, namun alangkah baiknya engkau kembali ke sini lagi."

"Lu Kong Kong, aku tidak berani berjanji tentang itu," ujar Lie Man Chiu sungguh-sungguh.

"Kalau begitu... baiklah. Kapan engkau akan pergi?" tanya Lu Thay Kam dengan wajah muram.

"Sekarang," jawab Lie Man Chiu.

"Sekarang?" Lu Thay Kam terbelalak. "Kenapa begitu cepat?"

"Lu Kong Kong, aku sudah rindu sekali kepada anak isteriku, sudah tujuh tahun lebih aku berpisah dengan mereka."

"Yaah!" Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau begitu, aku harus memberimu sedikit hadiah ...."

"Terimakasih! Itu tidak usah, Lu Kong Kong,' potong Lie Man Chiu cepat. "Lu Kong Kong tida| melarangku pergi, aku sudah berterimakasih sekali pada Lu Kong Kong."



"Terus terang," ujar Lu Kong Kong sungguh-sungguh. "Kalau aku tidak mempunyai anak angkat, mungkin aku tidak akan memahami perasaanmu. Sebaliknya aku malah akan mencap dirimu sebagai pengkhianat. Tapi... aku mempunyai anak, yaitu San San yang sangat kusayangi."

"Lu Kong Kong.." Lie Man Chiu tersentak.

"Jangan cemas!" Lu Thay Kam tersenyum. "Aku yakin engkau pasti tahu, betapa jahatnya aku karena selalu membunuh pembesar dan jenderal yang setia. Tapi di antara kita terdapat rasa persahabatan yang dalam sekali. Ingat, selamanya kita tetap sahabat!"

"Lu Kong Kong...." Mendadak Lie Man Chiu menjatuhkan

diri berlutut di hadapan Lu Thay Kam.

"Man Chiu, engkau boleh pergi sekarang untuk menemui anak isteri mu. Mudah-mudahan anak isterimu akan memaafkanmu!" ujar Lu Thay Kam dan menambahkan. "Aku pun mempercayaimu tidak akan membocorkan tentang San San yang pergi merantau itu."

"Jangan khawatir Lu Kong Kong!"

"Baiklah. Engkau boleh pergi sekarang, semoga kita akan berjumpa lagi!" usai berkata begitu, Lu Thay Kam meninggalkan ruang khusus itu.

Lama sekali Lie Man Chiu berlutut di situ, kini ia kebingungan dan tidak habis berpikir! Sebetulnya Lu Thay Kam jahat atau baik? Yang jelas ia telah berhutang budi kepadanya.

---ooo0dw0ooo---

Di ruang depan markas pusat Kay Pang, tampak Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Siangi Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling sedang duduk. Kening Lie Ai Ling terus berkerut-kerut.



"Sudah hampir sepuluh hari kami tinggal di sini, tapi Orang Penebus Dosa itu tetap tidak muncul. Lebih baik kami pergi saja," ujar Lie Ai Ling.

"Ai Ling!" Lim Peng Hang tersenyum. "Ber-j sabarlah beberapa hari lagi! Kalau Orang Penebus Dosa itu masih tidak muncul, barulah kalian pergi."

"Mungkinkah Orang Penebus Dosa itu bukan Lie Man Chiu?" tanya Gouw Han Tiong dengan kening berkerut.

"Kalau dia tetap tidak muncul, berarti bukan Lie Man Chiu," sahut Lim Peng Hang.

"Aku ingin cepat-cepat pergi mencari Kakak Bun Yang," ujar Lie Ai Ling.

"Kenapa engkau yang kalut?" tanya Gouw Han Tiong sambil tersenyum.

"Aku kalut karena Goat Nio," sahut Lie Ai Ling.

"Kenapa karena aku?" Wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan. "Jangan bawa-bawa diriku lho!"

"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa. "Memangnya aku tidak tahu? Setiap malam engkau duduk melamun di dalam kamar, tentunya memikirkan Kakak Bun Yang."

"Bertemu juga belum, kenapa aku harus memikirkannya?" sahut Siang Koan Goat Nio dengan wajah memerah.

"Engkau...." Ucapan Lie Ai Ling terhenti mendadak, karena

di saat bersamaan tampak sesosok bayangan berkelebat memasuki ruangan itu.

"Siapa?" bentak Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong serentak.

Orang  yang  berkelebat  ke  dalam  itu  memakai  topeng.

Begitu melihat orang bertopeng itu, Siang Koan Goat Nio dan
Lie Ai Ling langsung berseru.



"Orang Penebus Desa!"

"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Silakan duduk, Orang Penebus Dosa! Kami memang sedang menunggu kedatanganmu."

Orang Penebus Dosa diam saja, tapi terus memandang Lie Ai Ling, kemudian dengan perlahan-lahan melepaskan topengnya. Orang itu ternyata benar Lie Man Chiu.

"Ha ha ha!" Lim Peng Hang dan Gouw Han

Tiong tertawa. "Dugaan kami tidak meleset, engkau memang Lie Man Chiu!"

"Paman Lim, Paman Gouw!" panggil Lie Man Chiu sambil memberi hormat.

"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Engkau bersembunyi di mana selama tujuh tahun ini?"

"Aku...."               Lie          Man       Chiu       menggeleng-gelengkan                kepala,

kemudian memandang Lie Ai Ling seraya berkata. "Ai Ling, engkau sudah besar...."

"Diam!" bentak Lie Ai Ling mendadak dengan air mata berderai-derai. "Engkau sungguh kejam, jahat dan tak punya perasaan!"

"Ayah terima semua cacianmu, Nak," ujar Lie Man Chiu dengan mata basah. "Ayah terima semua cacianmu."

"Engkau begitu tega meninggalkan kami! Karena itu, ibu sering sakit!" Lie Ai Ling menangis terisak-isak sambil menuding Lie Man Chiu. "Eng kau bukan ayahku! Cepat pergi! Pergiiii!"

"Nak!" Air mata Lie Man Chiu meleleh "Maafkanlah ayah, kini ayah telah sadar."

"Ayah...." Panggil Lie Ai Ling, sekaligus meri dekap di dada

Lie Man Chiu.



"Nak! Ooooh, anakku!" Lie Man Chiu memj belainya dengan penuh kasih sayang dan terisak isak. "Engkau sudi memaafkan ayah?"

"Ng!" Lie Ai Ling mengangguk. "Ayah kasihan ibu." "Ayah tahu...." Lie Man Chiu terus membelainya.

"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Semua yang buruk telah berlalu, habis gelap terbitlah terang! Man Chiu, sudah waktunya engkau kembali ke Pulau Hong Hoang To."

"Ya, Paman Lim." Lie Man Chiu manggut-manggut.

"Selamat Paman Man Chiu!" ucap Siang Koan Goat Nio mendadak sambil tersenyum. "Tidak lama lagi Paman Man Chiu akan berkumpul kembali dengan isteri."

"Terimakasih!" sahut Lie Man Chiu. "Oh ya, engkau putri Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Hijin?"

"Ya," Siang Koan Goat Nio mengangguk.

"Terimakasih atas kesediaanmu mendampingi Ai Ling mencariku!" ucap Lie Man Chiu.

"Ayah!" Lie Ai Ling mulai tersenyum. "Sesungguhnya dia ingin mencari Kakak Bun Yang."

"Oh? Dia sudah kenal Bun Yang?"

"Belum, tapi...."

"Ai Ling!" Wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan. "Jangan mulai menggoda aku!"

"Hi hi!" Lie Ai Ling tertawa, padahal barusan ia menangis dengan air mata berderai-derai, namun kini sudah bisa tertawa!

"Man Chiu!" Gouw Han Tiong menatapnya, "'selama ini engkau berada di mana?"



"Paman Gouw!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang. "Semua itu telah berlalu, jadi tidak usah diceritakan lagi."

Gouw Han Tiong manggut-manggut, kemudian memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Man Chiu, ayahku dan Lam Kiong hujin mati dibunuh orang."

"Apa?!" Lie Man Chiu terkejut bukan main. "Kapan terjadi?"

"Dua tahun yang lalu," jawab Gouw Han Tiong. "Ayahku dan Lam Kiong hujin terkena semacam pukulan yang menghanguskan badan mereka."

"Oh?" Lie Man Chiu terbelalak. "Ilmu pukulan apa itu?"

"Kami tidak mengetahuinya," sahut Gouw Han Tiong dan menambahkan. "Bahkan hingga saat ini kami juga tidak tahu siapa pelakunya."

"Heran!" gumam Lie Man Chiu. "Ilmu pukulan apa itu?"

"Ilmu pukulan yang mengandung api," ujar Lim Pang Heng. "Itu merupakan ilmu pukulan yang sangat dahsyat."

"Aaakh...!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang. "Terus terang, aku sudah jenuh akan rimba persilatan."

"Ayah," tanya Lie Ai Ling mendadak. "Kapan ayah akan pulang ke Pulau Hong Hoang To?"

"Besok," jawab Lie Man Chiu dan melanjutn kan. "Kalian berdua juga harus ikut aku pulang."

"Tidak mau ah!" sahut Lie Ai Ling cepat. "Aku masih ingin mengembara, lagi pula kami belum bertemu Kakak Bun Yang."

"Begini," ujar Lie Man Chiu lembut. "Kita pulang dulu, setelah itu barulah kalian mengembara lagi."

"Tapi...." Lie Ai Ling tampak ragu, kemudian memandang

Siang Koan Goat Nio seakan minta pendapatnya.



"Itu baik juga. Kita berdua memang harus pulang bersama Paman Man Chiu, agar tidak mencemaskan ibumu," ujar Siang Koan Goat Nio.

"Kalau begitu, bukankah engkau tidak bertemu Kakak Bun Yang?" Lie Ai Ling mengerutkan kening.

"Bukankah kita masih akan mengembara? Berarti masih banyak kesempatan, bukan?" Siang Koan Goat Nio tersenyum.

"Baru asyik mengembara, sudah harus pulang!" Lie Ai Ling menghela nafas panjang.

"Nak!" Lie Man Chiu tersenyum lembut. "Selelah pulang, kalian masih boleh pergi mengembara."

"Baiklah," Lie Ai Ling manggut-manggut.

"Oh ya!" Siang Koan Goat Nio menatap Lie Man Chiu. "Kenapa Paman membunuh para anggotata Hiat Ih Hwe itu?"

"Untuk menutup mulut mereka," sahut Lie Man Chiu tanpa berpikir.

"Kalau begitu, Paman pasti mempunyai hubungan dengan Hiat Ih Hwe, bukan?" Siang Koan Goat Nio menatapnya lagi.

"Yaaah!" Lie Man Chiu menggeleng-gelengkan kepala. "Semua itu telah berlalu, tidak perlu diungkit kembali."

Siang Koan Goat Nio diam. Sedangkan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang, kemudian mereka berdua pun manggut-manggut.

"Man Chiu," tanya Lim Peng Hang. "Jadi engkau akan berangkat besok?"

"Ya," Lie Man Chiu mengangguk.

"Tolong sampaikan salamku kepada semua orang yang di sana!" pesan Lim Peng Hang.

"Pasti kusampaikan," ujar Lie Man Chiu.



"Terimakasih, Man Chiu!" ucap Lim Peng Hang sambil tersenyum.

"Sama-sama," Lie Man Chiu juga tersenyum

"Man Chiu!" Mendadak Lim Peng Hang me natapnya dalam-dalam seraya bertanya. "Kenapa tujuh tahun yang lalu, engkau mempunyai pikiran untuk mengangkat nama di rimba persilatan?"

"Aaaah!" Lie Man Chiu menghela nafas. "Itu dikarenakan dengki, sehingga timbul pula suat ambisi."

"Oh?" Lim Peng Hang heran. "Engkau dengki karena apa?"

"Karena Tio Cie Hiong," jawab Lie Man Chiu terus terang. "Dia dipuji dan disanjung, bahkan tujuh partai besar dan kaum rimba persilatan lannya mengakuinya sebagai Bu Lim Beng Cu. Itu membuatku jadi dengki."

"Ayah," tegur Lie Ai Ling. "Paman Cie Hiong begitu baik dan menghargai Ayah, sebaliknya Ayah malah merasa dengki kepadanya. Kalau kita sudah sampai di Pulau Hong Hoang To, Ayah harus minta maaf kepadanya!"

"Tentu," Lie Man Chiu mengangguk. "Bahkan aku pun harus mohon ampun kepada kakek dan ibumu."

"Bagus!" Lie Ai Ling tertawa gembira. "Kini Ayah telah sadar akan kesalahan itu, karena itu aku merasa bahagia sekali."

"Nak...." Lie Man Chiu tersenyum.

"Syukurlah!" ucap Lim Peng Hang. "Man Chiu, aku ucapkan selamat padamu, semoga tidak lama lagi engkau dapat berkumpul kembali bersama liong Hoa!"

"Man Chiu!" Gouw Han Tiong tersenyum. "Aku pun mengucapkan selamat padamu!"

"Terimakasih Paman Lim! Terimakasih Paman Gouw!" ucap Lie Man Chiu terharu sekali. "Terimakasih!"



---ooo0dw0ooo---


Bagian ke sembilan belas

Kemunculan para anggota Seng Hwee Kauw ( Agama Api Suci)

Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan yang mulai mengembara itu telah tiba di kota Keng Ciu. Mereka berdua mengembara bukan demi mengangkat nama maupun mencari pengalaman, melainkan berusaha mencari jejak pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.

Ketika tiba di kota itu, mereka terbelalak, karena melihat begitu banyak prajurit kerajaan memukuli dan menyiksa para penduduk.

"Beng Kiat," bisik Lam Kiong Soat Lan. "Bagaimana kalau kita menolong mereka?"

Toan Beng Kiat menggelengkan kepala. "Jangan mencampuri urusan kerajaan!"

"Tapi...."

"Hari sudah senja, lebih baik kita mencari rumah penginapan," potong Toan Beng Kiat.

Lam Kiong Soat Lan terpaksa menurut. Tak lama kemudian mereka sudah sampai di sebuah rumah penginapan yang cukup mewah. Pelayan segera menghampiri mereka sambil tersenyum senyum, kemudian bertanya ramah.

"Tuan muda dan Nona membutuhkan kamar?” "Ada kamar besar?" tanya Toan Beng Kiat. "Ada," sahut pelayan itu. "Mari ikut aku!"

Pelayan itu mengajak mereka ke dalam, lalu berhenti di depan sebuah kamar yang cukup besar.



"Bagaimana kamar ini?" tanya pelayan sambil membuka pintu kamar itu.

Toan Beng Kiat melongok ke dalam, kemudian manggut-manggut.

"Kamar ini saja," ujarnya.

"Tuan muda dan Nona mau pesan makanan atau minuman?" tanya pelayan itu dengan hormat.

"Tolong ambilkan teh!" sahut Toan Beng Kiat.

"Ya." Pelayan itu melangkah pergi.

Sedangkan Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan melangkah memasuki kamar itu, lalu duduk berhadapan.

"Heran!" ujar Lam Kiong Soat Lan sambil mengerutkan kening. "Kenapa prajurit kerajaan memukuli dan menyiksa para penduduk kota?"

"Soan Lan!" Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala. "Lebih baik jangan banyak m usan!"

"Tapi sungguh kasihan para penduduk kota Itu." Lam Kiong Soat Lan menghela nafas panjang.

"Sudahlah!" Toan Beng Kiat menatapnya. "Kita masih harus ke markas pusat Kay Pang, jangan menimbulkan urusan yang tak diinginkan!"

Lam Kiong Soat Lan diam. Tak lama muncullah pelayan membawakan satu teko teh dan sebuah cangkir.

"Tuan muda!" Pelayan itu memberitahukan degan wajah berseri. "Ini teh wangi."

"Terimakasih!" ucap Toan Beng Kiat sekaligus memberikan persen kepada pelayan itu.

"Terimakasih, Tuan Muda!" Pelayan itu girang bukan main. "Terimakasih...."



"Pelayan!" panggil Lam Kiong Soat Lan mendadak. "Bolehkah aku bertanya satu hal kepadamu?"

"Silakan, Nona!" Pelayan itu mengangguk. "Nona mau bertanya tentang apa?"

"Kenapa prajurit-prajurit kerajaan memukuli dan menyiksa para penduduk kota itu?" tanya Lam Kiong Soat Lan.

"Itu...." Pelayan tersebut menghela nafas panjang sekaligus

memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Setelah Tan Tayjin mengundurkan diri dari jabatannya di kota ini, beliau diganti oleh seorang pembesar yang bertindak sewenang-wenang. Pajak penduduk di kota ini dinaikkan, dan siapa yang tidak membayar pajak pasti dipukul dan disiksa."

"Oooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut. "Ternyata begitu!"

"Nona masih mau bertanya apa?"

Lam Kiong Soat Lan menggelengkan kepala. Maka pelayan itu lalu meninggalkan kamar ter sebut.

"Beng Kiat," bisik Lam Kiong Soat Lan. "Kita harus pergi menghajar pembesar itu."

"Soat     Lan...."  Toan      Beng      Kiat        menggeleng       polengkan

kepala. "Itu urusan kerajaan, kita jangan turut campur."

"Tapi prajurit-prajurit itu sungguh keterlaluan, begitu pula pembesar itu. Maka... malam ini kita harus pergi menghajar pembesar itu."

"Soat Lan...." Toan Beng Kiat berpikir lama sekali, akhirnya

mengangguk.

"Terimakasih, Beng Kiat!" ucap Lam Kiong Soat Lan dengan wajah berseri.



"Tapi ingat! Engkau tidak boleh melukai sia-papun," pesan Toan Beng Kiat sambil menatapnya. "Cukup menakuti pembesar itu saja."

"Ya." Lam Kiong Soat Lan mengangguk.

--ooo0dw0ooo--


Setelah larut malam, tampak dua sosok bayangan berkelebat di wuwungan rumah pembesar kota itu, kemudian meloncat turun sekaligus mendekati sebuah jendela. Dua sosok bayangan itu ternyata Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.

Mereka berdua mengintip ke dalam jendela, yang kebetulan kamar pembesar itu. Tampak pembesar itu sedang duduk bersama seorang wanita berusia empat puluhan. Wajah mereka kelihatan muram.

"Walau ditambah dengan harta kekayaan kita, masih tidak bisa mencukupi target yang ditentu kan Lu Thay Kam. Ini sungguh celaka...."

"Lalu harus bagaimana?" tanya wanita ituf berkeluh.

"Aaaah...!" Pembesar itu menghela nafas pan jang. "Lu Thay Kam pasti menghukum kita."

Di saat bersamaan, daun jendela itu terbuka kemudian tampak dua sosok bayangan melesat kel dalam, yang tidak lain Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.

"Perampok!" jerit wanita itu.

"Kami bukan perampok!" sahut Lam Kion Soat Lan sambil menatap pembesar itu dengan tajam.

"Kalian berdua mau apa ke mari?" tanya pem besar itu dengan kening berkerut.



"Mau menghajarmu!" sahut Lam Kiong Soa Lan. "Karena para anak buahmu memukuli da menyiksa para penduduk kota ini!"

"Oh, itu!" Pembesar tersebut manggut-manggut. "Kalau begitu, kalian berdua sama sekali tid tahu tentang masalah ini."

"Masalah apa?" Lam Kiong Soat Lan melot

"Lu Thay Kam mengangkatku menjadi pembesar di kota ini, namun mengharuskan aku menaikkan pajak di kota ini pula. Aku terpaksa harus mentaatinya, sebab kalau tidak aku pasti hukum."

"Hm!" dengus Lam Kiong Soat Lan. "Kalau begitu, engkau yang menyuruh prajurit-prajurit itu memukuli dan menyiksa para penduduk kota ini?"

"Memang!" Pembesar itu mengangguk. "Tapi hanya terhadap orang kaya yang tidak mau membayar pajak!"

"Nona...." ujar wanita itu sambil menghela nafas. "Tahukah

engkau, kami bersedia mengorbankan harta benda kami demi mencukupi target yang ditentukan Lu Thay Kam! Karena kami sama sekali tidak memungut pajak dari penduduk miskin."

"Betulkah begitu?" tanya Lam Kiong Soat Lan kurang percaya.

"Betul." Pembesar itu mengangguk, kemudian menunjuk sebuah kotak yang ada di atas meja. "Kotak itu berisi perhiasan isteriku. Barang-ba-iang itu bukan hasil korupsi, melainkan pemberian orang tuanya ketika kami menikah."

"Oh?" Lam Kiong Soat Lan melirik Toan Beng kiat.

"Kalau begitu, Paman bukan pembesar jahat," ujar Toan Beng Kiat. "Maaf, kami telah salah menilai!"



"Tidak apa-apa." Pembesar itu tersenyum. "Aku ini asal dari rakyat, sudah barang tentu harus membela rakyat. Tapi nyawa kami terancam...."

"Kenapa terancam?" tanya Lam Kiong Soat Lan.

"Kalau kami berani melanggar perintah Lu Thay Kam, maka kami pasti dibunuh." Pembesar itu memberitahukan.

"Oooh!" Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut.

"Maaf, Paman!" tanya Toan Beng Kiat. "Betulkah di kota ini terdapat orang kaya yang tak maui membayar pajak?"

"Betul." Pembesar itu mengangguk. "Mereka pura-pura tidak mempunyai uang, dan mengemu-kakan berbagai alasan untuk menolak kenaikan pajak."

"Paman tahu siapa mereka?" tanya Toan Bengl Kiat lagi.

"Mereka adalah hartawan Liauw, hartawan Lim dan hartawan Phang," jawab pembesar itu.

"Paman tahu di mana rumah mereka?" "Tahu." Pembesar itu memberitahukan.

"Kalau begitu, kami mohon pamit, sebentar akan kembali ke mari lagi," ujar Toan Beng Kiai sambil memberi isyarat kepada Lam Kiong Soal Lan. Gadis itu mengangguk, dan mereka berdul lalu melesat pergi.

"Mereka mau ke mana?" Tanya wanita itu.

"Tentu ke rumah para hartawan itu," sahul pembesar itu sambil tersenyum. "Para hartawa! itu memang harus dihajar biar kapok! Kalau tidak, mereka sama sekali tidak mau membayar pajak!"

"Tapi...." Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala. "Kita

tidak bisa bertahan lama, sebab...."



"Aku tahu, tapi apa boleh buat? Padahal aku ingin mengundurkan diri, namun tiada alasan."

"Ada." Wanita itu tersenyum. "Berpura-pura snkit, kemudian mohon pengunduran diri."

"Ide yang bagus!" Pembesar itu tertawa. "Lebih baik kita hidup tenang di kampung."

"Betul...."

Mendadak Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan melesat ke dalam, dan tangan gadis itu membawa sebuah bungkusan.

"Benar apa yang dikatakan Paman," ujar Toan beng Kiat. "Para hartawan itu bersenang-senang dengan beberapa wanita cantik. Kami mengancam mereka sehingga mereka mengeluarkan harta benda masing-masing. Nah, bungkusan ini berisi harta benda mereka, kini kuserahkan kepada Paman."

"Terimakasih, siauw hiap!" ucap pembesar itu dan menambahkan. "Secara tidak langsung kalian pun telah menolong rakyat miskin."

"Maksud Paman?" tanya Toan Beng Kiat.

"Maksudku rakyat miskin tidak usah membayar pajak dengan adanya harta benda para d u tawan ini." Pembesar tersebut memberitahukan.

"Paman," ujar Lam Kiong Soat Lan sungguh-auij'guh. "Menurutku, lebih baik Paman mengundurkan diri saja."

"Kami memang telah memikirkan hal itu, tapi...." Pembesar

itu mengerutkan kening. "Kalau yang menggantikan aku adalah pembesar korup, celakalah penduduk miskin di kota ini."

"Maaf!" ucap Toan Beng Kiat. "Kami tidak bisa terus-menerus menolong Paman, sebab kami masih harus melanjutkan perjalanan."



"Aku  tahu  itu...."  Pembesar  tersebut  manggut-manggut.

"Oh ya! Bolehkah aku tahu nama kali an?"

"Namaku Beng Kiat, nama adikku Soat Lan,' sahut Toan Beng Kiat, kemudian menarik Lan Kiong Soat Lan, sekaligus diajaknya melesat pergi

Pembesar itu dan isterinya termangu-mangu Mereka saling memandang lalu menghela nafi panjang.

"Sungguh hebat kepandaian mereka!" ujar pembesar itu. "Kalau mereka bersedia mengabdi kepada kerajaan, mungkin Dinasti Beng masih dapat dipertahankan."

"Aaaah!" Wanita itu menghela nafas panjang lagi. "Kelihatannya tidak lama lagi Dinasti Ben akan runtuh."

Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan terus melanjutkan perjalanan ke markas pusat Kay Pang. Dalam perjalanan mereka terus menerus membicarakan tentang itu.

"Beng Kiat, kalau begitu, yang jahat adalah Lu Thay Kam."

"Benar," Toan Beng Kiat mengangguk. "Tapi itu urusan kerajaan, kita tidak perlu turut campur."

"Aku tidak menyangka pembesar itu begitu baik. Untung kita tidak sembarangan turun tangan melukainya!"

"Makanya lain kali kalau mau bertindak, harus berpikir dulu."

"Ya." Lam Kiong Soat Lan mengangguk. "Sejak kita memasuki Tionggoan, sudah banyak yang kita dengar tentang Hiat Ih Hwe dan Tiong Ngie Pay. Hiat Ih Hwe selalu membunuh para pembesar dan jenderal setia, sedangkan Tiong Ngie Pay malah selalu menentang Hiat Ih Hwe, sehingga kedua perkumpulan itu sering saling bunuh membunuh."



"Itu urusan Hiat Ih Hwe dan Tiong Ngie Pay, kita boleh dengar tapi jangan turut campur. Eng-k .m harus ingat itu!" pesan Toan Beng Kiat.

"Beng Kiat!" Lam Kiong Soat Lan mengerutkan kening. "Kenapa engkau kelihatan begitu ikut akan urusan sih?"

"Bukannya takut, melainkan tugas kita jauh lebih berat," sahut Toan Beng Kiat. "Apakah engkau lupa, bahwa kita masih harus mencari jejak pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin?"

"Bagaimana aku lupa?" ujar Lam Kiong Soal Lan. "Lam Kiong hujin adalah nenekku, sedang kan Tui Hun Lojin adalah kakek tuamu."

"Oleh karena itu, kita jangan menimbulka urusan lain di rimba persilatan! Itu akan me repotkan kita."

"Ya, aku menurut."

"Nah, harus begitu." Toan Beng Kiat tcr senyum. Mendadak muncul beberapa orang ber pakaian hijau, yang kemudian memandang Toa Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan sambil tc tawa-tawa.

"Ha ha ha! Kita ditugaskan untuk membun mereka, ternyata mereka masih sedemikian muda ujar salah seorang berpakaian hijau. "Kita janga membunuh gadis itu, lebih baik bersenang-scna dulu dengannya. Bagaimana?"

"Setuju!" sahut yang lain sambil tertawa geli "Kita harus bergilir!"

"Siapa kalian?" bentak Lam Kiong Soat gusar, karena mereka mengeluarkan kata-ka kotor.

"Kami adalah anggota Seng Hwee Kauw (Agama Api Suci)!" sahut orang yang merupakan pala. "Kalian berdua pasti bernama Toan Be Kiat dan Lam Kiong Soat Lan, bukan?"

"Kok kalian tahu nama kami?" Toan Beng Kiat tertegun.



"Tentu tahu!" Orang berpakaian hijau itu tertawa. "Karena kami ditugaskan untuk membunuh kalian!"

"Oh?" Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat lian mengerutkan kening, kemudian mereka pun menghunus pedang masing-masing.

"Wuah! Mau melawan ya?"

"Hm!" dengus Toan Beng Kiat. "Kalian kira pampang membunuh kami? Sebaliknya malah kalian yang akan mati di ujung pedang kami!"

"Mari kita serang mereka!" seru orang berpakaian hijau itu.

Tampak beberapa bilah pedang mengarah ke Tuan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.

Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan Segera berkelit, kemudian balas menyerang menggunakan Thian Liong Kiam Hoat (Ilmu Pedang Naga Kahyangan).

Terjadilah pertarungan sengit. Belasan jurus kemudian, Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat lian terpaksa mengeluarkan jurus-jurus andalan.

Toan Beng Kiat mengeluarkan jurus Thian Liong Jip Hai (Naga Kahyangan Masuk Ke Laut), sedangkan Lam Kiong Soat Lan mengeluarkan jurus Thian Liong Cioh Cu (Naga Kahyangan Merebut Mutiara)

"Aaakh! Aaaakh! Aaaakh...!" Terdengarlah suara jeritan. Para anggota Seng Hwee Kauw itu terhuyung-huyung. Mereka telah terluka dan darah mereka pun terus mengucur.

"Hm!" dengus Toan Beng Kiat. "Cepatlah kalian enyah! Kalau tidak, kalian pasti mati di ujung pedang kami!"

Para anggota Seng Hwee Kauw saling memandang, lalu meninggalkan tempat itu. Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan memandang punggung mereka sambil menggeleng-



gelengkan kepala. Kemudian Toan Beng Kiat berkata dengan kening berkerut-kerut.

"Aku tidak menyangka kalau mereka tahu nama kita."

"Heran!" gumam Lam Kiong Soat Lan. "Dari mana mereka tahu nama kita? Padahal kita baru menginjak Tionggoan ini."

"Menurutku, Seng Hwee Kauw pasti mempunyai dendam dengan orang tua kita. Sebali mereka muncul untuk membunuh kita."

"Tapi sejak kita memasuki daerah Tionggoan, sama sekali tidak pernah mendengar tentang perkumpulan itu. Namun justru muncul mendadak untuk membunuh kita."

"Soat Lan, kita harus segera berangkat ke markas pusat Kay Pang untuk memberitahukan kepada kakekku tentang kejadian ini," ujar Toan Beng Kiat. "Mungkin Seng Hwee Kauw yang membunuh kakek tuaku dan nenekmu."

"Agama Api Suci...." gumam Lam Kiong Soat Lan. "Agama Api.... Api.... Benar, mungkin pihak Seng Hwee Kauw yang membunuh nenekku dan kakek tuamu."

"Ayoh, mari kita berangkat!" ajak Toan Beng Kiat. Lam Kiong Soat Lan mengangguk. Mereka berdua segera meninggalkan tempat itu menuju markas pusat Kay Pang. Dalam perjalanan, Toan Heng Kiat terus berpikir dengan kening berkerut-kerut.

"Beng Kiat, kenapa engkau?" tanya Lam Kiong Soat Lan. "Kenapa dari tadi keningmu berkerut-kerut?"

"Aku sedang memikirkan Seng Hwee Kauw itu." sahut Toan Beng Kiat. "Padahal kita baru memasuki daerah Tionggoan, bagaimana mereka bisa tahu nama kita? Bukankah itu sangat mengherankan?"

"Benar," Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut. "Bahkan mereka berniat membunuh kita."



"Aku yakin, Seng Hwee Kauw yang membunuh kakek tuaku dan nenekmu," ujar Toan Heng Kiat dan menambahkan. "Sebab mereka juga mau membunuh kita."

"Mungkin tidak salah dugaanmu." Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut lagi. "Oleh karena itu, kita harus memburu waktu agar cepat sampai di markas pusat Kay Pang."

"Maka...," tegas Toan Beng Kiat. "Jangan menimbulkan masalah lain dalam perjalanan, sebabl itu akan menghambat waktu kita."

"Ya." Lam Kiong Soat Lan mengangguk.

--ooo0dw0ooo--


Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di markas pusat Kay Pang, yang tentunya sangat menggirangkan Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang.

"Kakek!" panggil Toan Beng Kiat.

"Kakek Lim!" Lam Kiong Soat Lan juga memanggil mereka dengan hormat. Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang tertawa gembira.

"Beng Kiat!" Gouw Han Tiong terus menatapnya dengan penuh perhatian. "Ternyata engkau sudah besar!"

"Tentu." Toan Beng Kiat tersenyum. "Kini usiaku sudah enam belas, sudah hampir dewasa.'

"Betul, betul! Ha ha ha!" Gouw Han Tionj tertawa. "Ayoh, kalian duduklah!"

Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan duduk, sedangkan Gouw Han Tiong masih tetap memandang Toan Beng Kiat sambil tertawa gem bira.

"Kalian berdua adalah murid Tayli Lo Ceng, tentunya sudah berkepandaian tinggi, bukan?" tanya Gouw Han Tiong.



"Entahlah," Toan Beng Kiat menggelengkan kepala. "Kami tidak mengetahuinya."

"Apa yang kalian pelajari dari Tayli Lo Ceng?" tanya Lim Peng Hang sambil tersenyum.

"Beberapa macam ilmu pukulan dan ilmu pedang." Toan Beng Kiat memberitahukan. "Setelah itu, barulah guru mengajar kami Kim Kong Sin Kang dan Kim Kong Ciang Hoat."

"Oh?" Gouw Han Tiong terbelalak. "Apakah itu merupakan ilmu simpanan Tayli Lo Ceng?"

"Betul," Lam Kiong Soat Lan mengangguk. "Guru juga memberitahukan, bahwa ilmu tersebut tidak diajarkan kepada Paman Man Chiu!"

"Kenapa?" tanya Gouw Han Tiong dengan rasa heran.

"Kata guru, Paman Man Chiu terlampau berambisi dan...

dan...." Wajah   Lam        Kiong     Soat       Lan         kemerah-merahan,
kemudian memandang Toan Beng Kiat seraya bertanya. "Engkau ingat?"

"Aku pun sudah lupa," sahut Toan Beng Kiat.

"Ha ha ha!" Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang tertawa. "Itu tidak apa-apa. Lupa yah sudahlah!"

"Guru mengingatkan kami, kalau tidak terpaksa jangan mengeluarkan ilmu tersebut." Toan Beng Kiat memberitahukan. "Sebab ilmu pukulan tersebut sangat hebat dan lihay."

"Oooh!" Gouw Han Tiong manggut-manggut. "Oh ya!" ujar Lim Peng Hang memberitahukan. "Kalian terlambat datang. Beberapa hari lalu Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio berada di sini. Lie Ai Ling adalah putri Lie Man Chiu, sedangkan Siang Koan Goat Nio adalah putri Kim Siauw Suseng."



"Oh?" Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala. "Sayang sekali! Kalau kami tidak terlambat kemari, pasti bertemu mereka!"

"Benar," Lim Peng Hang manggut-manggut. "Oh ya, bagaimana pengalaman kalian dalam perjalanan ke mari?"

"Cukup menegangkan," jawab Toan Beng Kiat dan menutur tentang kejadian yang mereka alami.

"Apa?!" Kening Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong berkerut-kerut ketika mendengar tentang Seng Hwee Kauw. "Jadi kini di rimba persilatan telah muncul Seng Hwee Kauw?"

"Ya," Toan Beng Kiat mengangguk. "Menurut kami, kemungkinan besar kakek tua dan Lan Kiong hujin dibunuh pihak Seng Hwee Kauw."

"Oh?" Gouw Han Tiong tersentak dan ber gumam. "Seng Hwee (Api Suci)...."

"Itu memang mungkin," sela Lim Peng Hang "Sebab Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin mat hangus, mungkin terkena Seng Hwee?"

"Mungkin tapi belum pasti," sahut Gouw Hai

Tiong, kemudian memandang Toan Beng Kiat M-raya berkata. "Sungguh sayang sekali kalian terlambat sampai di sini, karena Lie Man Chiu, Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio telah berangkat ke Hong Hoang To beberapa hari yang lalu. Seandainya kalian tidak terlambat, mereka akan membawa berita ini ke pulau itu."

"Apa? Paman Man Chiu...." Toan Beng Kiat terbelalak.

"Dia telah sadar, maka ikut putrinya dan Siang Koan Goat Nio pulang ke Pulau Hong Hoang To." Gouw Han Tiong memberitahukan, lalu menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Rimba persilatan akan banjir ilarah lagi, karena kemunculan Seng Hwee Kauw!"



"Kakek," ujar Toan Beng Kiat. "Kami akan tinggal di sini beberapa hari, setelah itu kami akan pergi menyelidiki Seng Hwee Kauw."

"Itu...." Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala.

"Itu sungguh berbahaya, lebih baik Kalian jangan menyelidikinya."

"Kakek!" Toan Beng Kiat tersenyum. "Guru kami menitip sepucuk surat untuk orang tua kami," katanya.

"Oh? Bagaimana isi surat itu?" tanya Gouw Han Tiong.

"Surat itu berbunyi...." Toan Beng Kiat memberitahukan.

"Maka kami diperbolehkan pergi ke Tionggoan."

"Oooh!" Gouw Han Tiong manggut-manggut "Kalau begitu, kalian tinggal di sini beberapa hari barulah pergi menyelidiki Seng Hwee Kauw itu!

"Ya, Kakek," Toan Beng Kiat mengangguk.

"Kalian berdua harus ingat," pesan Lim Pen Hang. "Kalau ada apa-apa, kalian berdua haru segera kemari."

"Ya," Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soi Lan mengangguk.

Mereka berdua tinggal di markas pusat Kay Pang beberapa hari, setelah itu, barulah mereld pergi menyelidiki Seng Hwee Kauw.

Lie Man Chiu, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling telah tiba di Pulau Hong Hoang To. Tampak Lie Man Chiu berlutut di hadapan Lie Tay Seng, sedangkan Tio Tay Seng menatapnya dengan dingin sekali.

"Engkau masih punya muka kemari?" bentak Tio Tay Seng gusar. "Engkau bukan manusia melainkan binatang yang tak kenal budi!"

"Mantu mohon ampun, mantu memang telah bersalah...," ujar Lie Man Chiu terisak-isak.



"Hmm!" dengus Tio Tay Seng. "Lebih baik engkau segera meninggalkan pulau ini, aku tidak sudi menerimamu lagi!"

"Tio Tocu," ujar Sam Gan Sin Kay sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kini dia telah menyadari semua kesalahannya, bahkan sudah pulung dan mau insyaf pula. Maka dia harus di-ampuni agar bisa berkumpul kembali bersama isterinya, berilah dia kesempatan untuk bertobat!"

"Tidak bisa!" Tio Tay Seng menggelengkan kepala.

"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Sudahlah, jangan terus berpura-pura marah. Aku tahu engkau bergirang dalam hati karena dia telah pulang bersama putrinya dan putriku."

"Bijin...." Tio Tay Seng mengerutkan kening.

"Ha ha ha!" Kim Siauw Suseng tertawa gelak. "Tio Tocu, semua itu telah berlalu. Aku yakin mulai sekarang putrimu pasti hidup tenang dan bahagia."

"Paman!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Jangan membuat Kakak Hong Hoa bertambah menderita. Kini Man Chiu telah pulang, maka Kakak Hong Moa harus hidup bahagia."

"Heran?" gumam Tio Tay Seng. "Kenapa kalian semua membela Man Chiu yang telah melakukan kesalahan?"

"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring, "Tio Tocu, kami tidak membelanya, melainkan membela putrimu yang telah menderita tujuh tahun lebih."

"Aaaah...!" Tio Tay Seng menghela nafas. "Man Chiu, cepatlah engkau ke kamar menemui Hong Hoa!"

"Ya." Lie Man Chiu mengangguk dan girang bukan main, karena ucapan itu pertanda Tio Taji Seng telah mengampuninya. Maka segeralah ia ke dalam menuju kamar Tio Hong Hoa.



Sementara Lie Ai Ling terus menerus menghibur Tio Hong Hoa, karena Tio Hong Hoa menangis dengan air mata berderai-derai, berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya.

"Ibu, maafkanlah ayah!" ujar Lie Ai Ling dan menambahkan. "Kini ayah telah sadar."

"Dia kejam! Dia tak punya perasaan. Dia...” Ucapan Tio Hong Hoa terputus, karena pintu kamarnya terbuka. Lie Man Chiu berjalan ke dalam sambil memandangnya. Ketika melihat Tio Hong Hoa begitu kurus dan rambutnya mulai memutih, melelehlah air matanya.

Begitu melihat ayahnya memasuki kamar itu, Lie Ai Ling segera meninggalkan kamar itu menuju ruangan depan.

Sementara Lie Man Chiu mendekati Tio Hong Hoa dengan air mata berlinang-linang. Tio Hong Hoa menundukkan kepala sambil menangis ter isak-isak dengan air mata berderai-derai.

"Adik Hong Hoa, isteriku..." panggil Lie Mal Chiu dengan suara serak.

"Mau apa engkau pulang? Ayoh, cepat pergi!" hentak Tio Hong Hoa.

"Isteriku...." Lie Man Chiu duduk di sisinya. "Aku mohon ampun padamu, aku memang bersalah...."

"Engkau kejam, dan tak punya perasaan!" Tio liong Hoa menudingnya. "Aku bukan isterimu!"

"Adik Hong Hoa!" Lie Man Chiu memandangnya dengan air mata bercucuran. "Aku memang kejam dan tak punya perasaan, tapi kini «ku telah sadar. Adik Hong Hoa, engkau adalah isteriku yang tercinta."

"Hmm!" dengus Tio Hong Hoa. "Tujuh tahun lebih aku hidup menderita bersama Ai Ling, sebaliknya engkau...."



"Aaaah...!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang, kemudian mendadak menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tio Hong Hoa. "Adik Hong Hoa, aku mohon ampun!"

Tio Hong Hoa diam saja.

"Adik Hong Hoa, berilah aku kesempatan untuk memperbaiki diri, agar dapat menebus dosaku!"

Tio Hong Hoa tetap diam, bahkan membuang muka.

"Adik Hong Hoa, engkau tidak sudi meng-ampuniku?" Lie Man Chiu menatapnya putus asa. ”Baiklah! Aku akan mati di hadapanmu untuk menebus dosaku."

Lie Man Chiu menghunus pedangnya, namun mendadak Tio Hong Hoa memeluknya erat-erat. "Kakak Chiu...."

"Adik Hong Hoa!" Lie Man Chiu membelainya. "Engkau sudi mengampuniku?"

Tio Hong Hoa mengangguk dengan air mata berderai, lalu mendekap di dada Lie Man Chiu sambil menangis tersedu-sedu.

"Isteriku," ujar Lie Man Chiu lembut. "Jangan menangis lagi! Mulai sekarang kita tidak akar berpisah, aku akan selalu mendampingimu dengar penuh cinta kasih...."

"Kakak  Chiu...."                Perlahan-lahan Tio          Hong,    Hoa

mendongakkan kepalanya memandang suaminya, kemudian tersenyum.

"Isteriku!" Lie Man Chiu mengangkatnya ke tempat tidur. Mereka berdua duduk di pinggir tempat tidur untuk mencurahkan rasa rindunya Sementara itu, Lie Ai Ling sudah sampai di ruang depan. Sam Gan Sin Kay yang tak sabaran itu langsung bertanya. "Bagaimana? Beres?"

"Apanya yang beres?" Lie Ai Ling balik bertanya dengan heran.



"Apakah ayah dan ibumu sudah berpeluk pelukan?" Sam Gan Sin Kay menatapnya sambil tersenyum.

"Entahlah," sahut Lie Ai Ling sambil dudu "Aku tidak melihatnya, karena begitu ayahku masuk, aku langsung keluar."

"Engkau sungguh bodoh." Sam Gan Sin Kay menggeleng-gelengkan kepala. "Seharusnya engkau tetap di situ menyaksikannya."

"Itu urusan orang tua, mana boleh aku menyaksikannya?" sahut Lie Ai Ling.

"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Pengemis bau, engkau memang sudah pikun."

"Kalau mereka berdua sudah berpeluk-pelukan, kita pun ikut gembira," ujar Sam Gan Sin Kay sambil tertawa terbahak-bahak. "Artinya mereka sudah akur...."

"Dasar pengemis bau!" tegur Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. "Mereka berdua adalah suami isteri, tentunya akan akur kembali."

"Betul, betul! Ha ha ha...!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak.

"Oh ya!" Kou Hun Bijin menatap putrinya seraya bertanya. "Apakah engkau sudah bertemu Bun Yang?"

Siang Koan Goat Nio menggelengkan kepala.

"Apa?" Kou Hun Bijin terbelalak. "Engkau belum bertemu Bun Yang kok sudah pulang?"

"Ibu, aku...." Siang Koan Goat Nio melirik Lie Ai Ling.

"Dia menemani kami pulang," ujar Lie Ai Ling cepat.

"Yah, ampun!" Kou Hun Bijin menepuk keningnya sendiri. "Tujuanmu ke Tionggoan bukankah demi mencari Bun Yang? Kenapa engkau malah menemani mereka pulang? Dasar anak bodoh!"



"Ibu...." Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala.

"Kami terlambat sampai di markas pusat Kay Pang. Kalau tidak terlambat, kami pasti bertemu Kakak Bun Yang." Lie Ai Ling memberitahukan!

"Jadi...." Wajah Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im langsung

berseri. "Bun Yang sudah ke markas pusat Kay Pang?"

"Ya," Lie Ai Ling mengangguk. "Kata Kakek Lim, kepandaian Kakak Bun Yang sudah tinggi sekali."

Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im kelihatan gembira sekali.

Sementara Kou Hun Bijin terus memandang putrinya, lama sekali barulah membuka mulut.

"Kenapa kalian terlambat sampai di markas pusat Kay Pang?"

"Ketika kami sampai di kota Keng Ciu, kami menolong seorang pembesar yang baik hati...," jawab Siang Koan Goat Nio dan menutur tentang pengalaman itu.

"Ternyata begitu!" Kou Hun Bijin manggut-manggut.

"Berarti..." ujar Tio Cie Hiong setelah berpikir sejenak. "Man Chiu mempunyai hubungan dengan pihak Hiat Ih Hwe!"

"Benar," Tio Tay Seng mengangguk. "Biar nanti dia yang menceritakannya, sebab kita harus tahu itu."

"Heran?" gumam Sam Gan Sin Kay mendadak. "Kenapa mereka berdua begitu lama di dalam kamar? Jangan-jangan...."

"Jangan-jangan kenapa?" tanya Lie Ai Ling tercengang. "Tidak mungkin ayah dan ibu akan ribut."

"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Jangan-jangan ayah dan ibumu sedang...."



"Pengemis bau!" tegur Kim Siauw Suseng. "Jangan omong sembarangan di depan anak-anak! Dasar...."

"Maksudku jangan-jangan mereka berdua sudah akur dan asyik," sahut Sam Gan Sin Kay dan tertawa lagi.

"Itu yang kuharapkan," ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Jadi kita pun harus ikut gembira."

"Betul, betul." Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Memang itu yang kita harapkan. Ha ha ha...!"

"Kakek," ujar Lie Ai Ling sambil memandang lio Tay Seng. "Aku dan Goat Nio masih mau ke l'ionggoan."

"Maksudmu pergi mengembara?" tanya Tio lay Seng.

"Ya," Lie Ai Ling mengangguk. "Sebab Goat Nio belum bertemu Kakak Bun Yang."

"Tapi...."  Tio  Tay  Seng  mengerutkan  kening.  "Itu  akan

dibicarakan nanti saja. Tergantung pada keputusan kedua orang tuamu."

"Ayah yang menjanjikan begitu," Lie Ai Ling memberitahukan.

"Oh?" Tio Tay Seng menatapnya. "Jadi ayahmu memperbolehkanmu pergi ke Tionggoan lagi?"

"Ayah yang menjanjikan itu," sahut Lie Ai Ling.

"Kalau Goat Nio belum bertemu Bun Yang, aku tetap penasaran," sela Kou Hun Bijin. "Oleh karena itu, aku mengijinkan Goat Nio ke Tionggoan mencari Bun Yang."

"Ibu...." Wajah Siang Koan Goat Nio memerah.

"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Bijin, kenapa engkau yang penasaran sih?"



"Tentu." Kou Hun Bijin mengangguk. "Goat Nio adalah putriku, tentunya aku berharap dia mempunyai suami yang baik."

"Oooh!" Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Tidak salah, Bun Yang memang merupakan calon suami yang baik. Aku berani menjamin."

"Kuingat selalu ucapanmu itu," sahut Kou Hun Bijin. "Apabila ternyata tidak, pipimu pasti bengkak kutampar."

"Celaka!" keluh Sam Gan Sin Kay. "Gara-gara banyak mulut jadi masalah!"

"Makanya lain kali jangan banyak mulut," ujar Kim Siauw Suseng sambil tertawa gelak.

Bersamaan itu, muncullah Lie Man Chiu dengan wajah berseri, begitu pula Tio Hong Hoa yang di sampingnya.

"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Kayak pengantin saja! Sudah beres kalian?"

"Beres," sahut Lie Man Chiu sambil tersenyum, dan kemudian mendekati Tio Cie Hiong sekaligus menjura. "Cie Hiong, aku minta maaf!"

"Lho? Kenapa engkau minta maaf kepadaku?" tanya Tio Cie Hiong dengan rasa heran.

"Karena...."  Lie  Man  Chiu  menghela  nafas  panjang  dan

melanjutkan. "Tujuh tahun yang lalu, aku merasa dengki dan iri kepadamu, sehingga membuatku berambisi."

"Kenapa begitu?"

"Engkau selalu dipuji, disanjung dan dihormati pula. Oleh karena itu, aku dengki dan iri kepadamu."

"Engkau...." Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.

"Oleh karena itu, maka aku berambisi mengangkat namaku untuk menyaingimu. Akhirnya aku meninggalkan anak



isteri...." ujar Lie Man Chiu sambil menghela nafas panjang.

"Sepasang kakiku membawa diriku sampai di ibu kota. Di sana aku bertemu Lu Thay Kam, kemudian aku mengabdi kepadanya."

"Ternyata begitu!" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Apakah Lu Thay Kam ketua Hiat Ih Hwe?"

"Betul," Lie Man Chiu mengangguk. "Dia mengajarku ilmu Ie Hoa Ciap Bok, lalu mengangkatku sebagai wakilnya, merangkap sebagai kepala pengawal di tempat tinggalnya."

"Tentunya engkau hidup senang di situ," ujar Tio Tay Seng dengan wajah tak sedap dipandangi

"Memang begitulah," Lie Man Chiu mengaku "Tapi selama tujuh tahun, aku tidak pernah tidur bersama dayang yang mana pun."

"Tak terduga sama sekali, engkau masih dapat mengekang hawa nafsu!" ujar Sam Gan Sin Ka dan menambahkan. "Pantas tadi begitu lama di dalam kamar!"

"Kakek pengemis...." Wajah Lie Man Chiu memerah.

"Lalu bagaimana engkau bisa sadar dari kesalahanmu itu?" tanya Kou Hun Bijin mendada

"Aku      melihat seekor  anak      burung...."          Lie          Ma         Chiu

memberitahukan. "Karena itu hatiku tersentuh dan seketika teringat pula kepada Hong Hoa dan putriku di pulau ini."

”Syukurlah!" Kim Siauw Suseng manggu manggut. "Lalu apa rencanamu sekarang?"

"Tidak akan meninggalkan pulau ini lagi, lama-lamanya mendampingi Hong Hoa untuk lewati hari-hari yang indah dan bahagia," ja Lie Man Chiu sungguh-sungguh.

"Bagus, bagus!" ujar Sam Gan Sin Kay sambil tertawa. "Ha ha ha...!"



"Oh ya!" Tio Tay Seng teringat sesuatu. "Betulkah engkau telah berjanji pada Ai Ling, bahwa engkau memperbolehkannya ke Tionggoan lagi?"

"Betul," Lie Man Chiu mengangguk. "Aku memang pernah menjanjikan itu."

"Ayah tidak boleh ingkar janji lho!" ujar Lie Ai Ling cepat.

"Tentu." Lie Man Chiu tersenyum. "Tapi itu pun tergantung pada ibumu."

"Ibu tidak berkeberatan, kan?" tanya Lie Ai Ling sambil tersenyum.

"Akan dirundingkan lagi mengenai itu," sahut lio Hong Hoa dan menambahkan. "Kalau semuanya setuju, ibu pun tidak berkeberatan!"

"Aku yakin semuanya setuju, terutama Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin," ujar Lie Ai ling dan melanjutkan. "Sebab aku harus menemani Goat Nio ke Tionggoan mencari Kakak Bun Yang."

"Betul, betul," sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa cekikikan. "Hi hi hi...!"

"Isteriku setuju, aku pun setuju," sambung Knn Siauw Suseng. "Pengemis bau! Bagaimana engkau?"

"Aku tidak berkeberatan," sahut Sam Gan Sin Kny, kemudian bertanya kepada Tio Tay Seng. "Tio Tocu, bagaimana engkau?"

"Terserah kepada kedua orang tuanya," sahut Tio Tay Seng.

"Kami berdua...," ujar Lie Man Chiu sambi memandang Lie Ai Ling dengan penuh kasih sayang. "Tentunya juga tidak berkeberatan. Tapi kami baru berkumpul, jadi tidak boleh cepat-cepat ke Tionggoan."



"Terimakasih Ayah," ucap Lie Ai Ling dengari wajah berseri. "Terimakasih Ibu!"

--ooo0dw0ooo-


Bagian ke dua puluh

Gadis cantik suku Miauw


Tio Bun Yang terus melanjutkan perjalanan bersama monyet bulu putih. Ia berusaha keras untuk menguak misteri kematian Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.

Hari ini ketika ia sampai di tempat sep mendadak ia mendengar suara ribut-ribut di depan. Segeralah ia melesat ke arah asal datangnya suara itu kemudian meloncat ke atas sebuah pohon.

Dilihatnya seorang gadis cantik dikerumuni beberapa orang berpakaian hijau. Gadis itu berpakaian aneh warna warni, sepasang tangan dan kakinya memakai gelang, dan telinganya memakai anting yang bergemerlapan.

Begitu melihat gadis tersebut, Tio Bun Yang tahu bahwa gadis itu bukan gadis Tionggoan. Tampak gadis itu marah-marah sambil menuding orang-orang berpakaian hijau itu, bahkan membentak pula.

"Kalian jangan kurang ajar! Kata ibuku, orang Tionggoan baik-baik, tidak tahunya begitu kurang Ajar!"

"Kami memang orang baik-baik," sahut salah seorang berpakaian hijau. "Kalau kami jahat, tentunya tidak akan mengajakmu bersenang-senang. Ha ha ha...!"

"Jangan kurang ajar!" bentak gadis itu lagi.

"Nona cantik, engkau dari mana?" tanya orang Itu sambil menatapnya dengan penuh nafsu birahi.



"Kalian tidak usah tahu aku datang dari mana!" sahut gadis itu dan mengancam. "Kalau kalian berani kurang ajar terhadapku, aku pasti tidak memberi ampun kepada kalian!"

"Ha ha ha! Kami tidak minta ampun, melainkan ingin minta dirimu menemani kami!" Orang berpakaian hijau itu mendekatinya, lalu mendadak menjulurkan tangannya untuk meraba pipi gadis itu

Gadis itu cepat-cepat berkelit, sekaligus menghunus pedangnya. Ditatapnya mereka dengan tajam seraya berkata.

"Aku tidak menyangka orang Tionggoan sedemikian tak tahu diri!"

"He he he! Engkau menghunus pedang? Mau bertarung dengan kami? Lebih baik jangan, sebab kami tidak sampai hati melukaimu. Alangkah baiknya engkau menemani kami tidur, pokoknya...."

Sebelum orang berpakaian hijau itu usai berkata, gadis itu telah mengayunkan pedangnya.

Breeet! Pakaian orang itu tersobek. Untung ia cepat berkelit, kalau tidak ia pasti terluka.

"Serang dia!" seru orang berpakaian hijau itu.

Teman-temannya langsung menyerang gadis! itu dengan pedang dan golok. Gadis itu berkelit! lalu balas menyerang.

Tio Bun Yang terbelalak ketika melihat gerakan pedang gadis itu, karena gerakan pedang itu ternyata Tui Hun Kiam Hoat (Ilmu Pedang! Pengejar Roh).

Sayang sekali, gadis itu belum berpengalaman maka belasan jurus kemudian sudah berada dibawah angin.

"Ha ha ha!" Orang-orang berpakaian hijau tertawa terkekeh. "Sudahlah! Lebih baik engkau menyerah saja! Kami merasa tidak tega melukai mu!"



"Berhenti!" Terdengar suara bentakan da mendadak melayang turun seseorang, yang tidak lain Tio Bun Yang bersama monyet bulu puti yang duduk di bahunya.

Orang-orang berpakaian hijau terperanjat. Mereka langsung berhenti menyerang gadis itu, kemudian memandang Tio Bun Yang dengan kening berkerut.

"Siapa engkau?"

"Siapa kalian?"

"Kami anggota Seng Hwee Kauw, maka engkau jangan coba-coba mencampuri urusan kami kalau ingin selamat!"

"Seng Hwee Kauw?" Tio Bun Yang berpikir, karena tidak pernah mendengar nama perkumpulan itu.

"Cepatlah engkau enyah, jangan cari mati di sini!" Ujar salah seorang berpakaian hijau itu.

"Seharusnya kalian yang enyah dari sini, bukan aku!" sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.

"Oh?" Orang berpakaian hijau itu tertawa. "Siapa engkau? Kenapa berani omong besar di hadapan kami?"

"Aku adalah Giok Siauw Sin Hiap!" sahut Tio Kun Yang sambil memperlihatkan suling pualamnya.

"Haaah?" Orang-orang berpakaian hijau tampak terkejut, kemudian mendadak menyerangnya.

"Kalian memang cari penyakit!" ujar Tio Bun Yang sambil berkelit. Kemudian ia balas menyerang menggunakan Giok Siauw Bit Ciat Kang khi (Ilmu Suling Kumala Pemusnah Kepandaian), dan mengeluarkan jurus Cian In Giok Siauw (Ribuan Bayangan Suling Kumala).

"Aaaakh! Aaaakh! Aaaaakh...!" Terdengar, suara jeritan yang saling menyusul. Orang-orang' berpakaian hijau itu roboh dengan mulut mengeluarkan darah. Ternyata salah satu



urat penting mereka telah putus, dan kepandaian mereka musnah seketika.

Hanya dengan satu jurus Tio Bun Yang berhasil memusnahkan kepandaian mereka, itu karena kepandaian mereka masih rendah.

"Cepatlah kalian pergi!" bentak Tio Bun Yang.

Orang-orang berpakaian hijau itu berusaha bangkit untuk berdiri, lalu berjalan pergi dengari sempoyongan.

"Hi hi hi!" Gadis itu tertawa geli.

"Nona!" ujar Tio Bun Yang. "Sudah amari sekarang, engkau boleh meninggalkan tempat ini."

Gadis itu terbelalak. "Kenapa engkau mengusirku?"

"Aku tidak mengusirmu, melainkan...." Mendadak Tio Bun

Yang teringat sesuatu. "Oh ya, siapa yang mengajarmu ilmu pedang Tui Hun Kiam Hoat?"

"Kok engkau tahu?" tanya gadis itu dengan rasa heran.

"Aku melihat gerakan pedangmu tadi," Tio Bun Yang memberitahukan. "Maka aku tahu."

"Oooh!" Gadis itu manggut-manggut. "Ibu yang mengajarku."

"Siapa ibumu?"

"Jangan terus bertanya, aku sudah capek berdiri!" tandas gadis itu. "Lebih baik kita mengobrol di bawah pohon saja."

"Baik." Tio Bun Yang mengangguk sambil tersenyum.

Mereka berdua lalu duduk di bawah sebuah pohon. Gadis itu terus menatapnya sehingga membuat Tio Bun Yang terheran-heran.

"Kenapa engkau terus memandangku?"



"Engkau sungguh tampan," sahut gadis itu. "Monyet yang duduk di bahumu juga indah sekali bulunya."

"Engkau...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.

Sedangkan monyet bulu putih itu bercuit-cuit seakan merasa gembira sekali karena dipuji.

"Oh ya! Aku lupa menjawab pertanyaanmu tadi." Gadis itu tersenyum. "Ibuku adalah putri kepala suku Miauw."

"Kalau begitu... engkau gadis Miauw?"

"Betul."

"Kok engkau begitu lancar berbahasa Han?"

"Sejak kecil aku sudah belajar bahasa Han." Gadis Miauw itu memberitahukan. "Ibu yang mengajarku."

"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Oh ya, siapa yang mengajar ibumu ilmu pedang itu?"

"Orang Han."

"Kapan?"

"Sudah lama sekali, mungkin dua puluhan tahun yang lalu. Aku datang di Tionggoan justru mau cari orang Han itu, ibu yang menyuruhku mencarinya."

"Bolehkah aku tahu nama orang Han itu?"

"Namanya Tio Cie Hiong."

"Apa?!" Tio Bun Yang terbelalak. "Engkau mau mencarinya?"

"Ya." Gadis Miauw itu mengangguk. "Engkau tahu Tio Cie Hiong berada di mana?"

"Tahu." Tio Bun Yang mengangguk. "Tio Cie Hiong adalah ayahku."

"Apa?!" Kini giliran gadis Miauw itu yana terbelalak. "Engkau... engkau puteranya?"



"Betul."

"Syukurlah!" ucap gadis Miauw itu dan men dadak memeluknya erat-erat. "Aku gembira sekali bertemu denganmu. Cepatlah ajak aku pergi me nemui ayahmu!"

"Eh? Nona...." Wajah  Tio Bun  Yang langsung memerah

karena dipeluk. Namun sebaliknya monyet bulu putih itu malah membelainya.

"Kenapa?" Gadis Miauw itu melepaskan pelukannya, kemudian memandang Tio Bun Yan dengan mata berbinar-binar. "Barusan engka membelaiku?"

"Bukan," Tio Bun Yang memberitahukan. "Yang membelaimu barusan kauw heng."

"Kauw heng? Monyet bulu putih ini?" Gadis Miauw itu menatap monyet bulu putih dengan mata terbelalak.

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk dan tersenyum. "Dia sayang kepadamu, maka membelaimu."

"Oooh!" Gadis Miauw itu tertawa geli. "Terimakasih, kauw heng!"

Monyet bulu putih itu bercuit dan manggut-manggut.

"Kenapa dia?" tanya gadis itu.

"Dia menerima ucapan terimakasihmu."

"Eh?" Gadis Miauw itu melongo. "Kauw heng mengerti bahasa manusia?"

"Mengerti." Tio Bun Yang mengangguk dan memberitahukan. "Usianya sudah tiga ratus tahun lebih lho!"

"Apa?!" Mulut gadis Miauw itu ternganga lebar. "Usianya sudah tiga ratus lebih? Engkau tidak membohongiku?"

"Untuk apa aku membohongimu?" Tio Bun Yang tersenyum. "Itu memang benar."



Monyet bulu putih itu segera bercuit, kemudian manggut-manggut.

"Dia bilang apa?"

"Dia bilang aku tidak bohong."

"Oooh!" Gadis Miauw itu tertawa geli. "Kalau begitu, engkau pun mengerti bahasa monyet?"

"Kira-kira begitulah." Tio Bun Yang mengangguk. "Sebab sejak aku lahir, dia pun bantu meng-urusiku."

"Bukan main!" Gadis Miauw itu tertawa lagi. "Sungguh luar biasa!"

"Oh ya, aku belum tahu namamu. Kenapa engkau tidak memberitahukan?" tanya Tio Bun Yang mendadak.

"Namaku Cing Cing," sahut gadis Miauw itu. "Engkau tidak bertanya, bagaimana mungkin akui memberitahukan."

"Engkau telah memberitahukan namamu, maka aku pun harus memberitahukan namaku."

"Oooh, begitu!" Cing Cing menatapnya. "Kata ibuku, orang Tionggoan baik-baik. Kini aku baru percaya."

"Tidak semua orang Tionggoan baik, ada pula yang jahat," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh "Di daerahmu juga tentu ada orang jahat, bukan?”

"Betul. Maka ibu menyuruhku ke Tionggoar mencari Tio Cie Hiong. Sudah hampir seminggj aku berada di Tionggoan, dan sudah bertanya d sana-sini, namun tiada seorang pun yang tahi tentang ayahmu."

"Engkau bertanya kepada siapa?"

"Pelayan kedai teh, pelayan toko dan pelayan rumah penginapan."



"Tentu mereka tidak tahu, sebab mereka bukan kaum rimba persilatan," ujar Tio Bun Yang. "Seharusnya engkau bertanya kepada kaum rimba persilatan."

"Tadi aku bertemu orang-orang berpakaian hijau, dan aku bertanya kepada mereka. Mereka bilang kenal Tio Cie Hiong, tapi...." Cing Cing mengerutkan kening.

"Kenapa?"

"Mereka bersedia mengajakku menemui Tio Cie Hiong, tapi aku harus memenuhi syarat mereka."

"Apa syarat mereka?"

"Aku harus menemani mereka tidur."

"Apa?" Tio Bun Yang tertegun. "Mereka sungguh jahat, padahal belum tentu mereka kenal ayahku!"

"Aku bilang mereka harus mengajakku menemui Tio Cie Hiong dulu, setelah itu...."

"Engkau mau menemani mereka tidur?"

"Cisss! Kebagusan mereka!" Wajah Cing Cing langsung memerah. "Siapa sudi menemani mereka tidur? Kalau menemanimu tidur, aku masih mau."

"Eeeh? Engkau...." Wajah Tio Bun Yang memerah. Ia sama

sekali tidak menyangka gadis Miauw itu akan mengatakan begitu. Sedangkan monyet bulu putih itu bercuit-cuit, seakan tertawa

"Engkau harus tahu, bahwa dulu ada satu aturan di daerah kami." Cing Cing memberitahukan. "Apabila gadis Miauw menyukai seseorang yang bukan suku Miauw, maka gadis Miauw itu boleh menemani orang itu tidur!"

"Peraturan apa itu?" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.



"Tapi kemudian peraturan itu dihapus oleh kakekku atas usul ibuku," Cing Cing memberi tahukan. "Itu dikarenakan ibuku mendengar nasihat ayahmu, maka mengusul kepada kakekku!”

"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut "Jadi peraturan itu sudah tidak berlaku lagi?"

"Betul."

"Tapi tadi kenapa engkau masih mengatakal begitu?" "Kalau cuma mengatakan, tidak apa-apa, kan?

"Memang tidak apa-apa, tapi aku yang merafl tidak enak," ujar Tio Bun Yang. "Oh ya, kenapa ibumu menyuruhmu ke Tionggoan mencari ayal ku?"

"Sebab ibuku membutuhkan bantuan ayahmu," Cing Cing memberitahukan. "Ayah dan ibu ditangkap orang, dan dikurung di suatu tempat. Kata orang itu, apabila ada orang lain mampu mengalahkannya, dia akan membebaskan ayah dan ibuku."

"Siapa orang itu?"

"Sebetulnya dia teman ibuku, bahkan ia mencintai ibuku. Tapi ibuku mencintai lelaki itu Oleh karena itu dia frustrasi sehingga meninggalkan daerah Miauw." Cing Cing memberitahukan. "Beberapa bulan yang lalu, mendadak dia muncul. Ayah dan ibuku tak mampu melawannya, akhirnya ayah dan ibuku ditangkap, dan dikurung di suatu tempat. Karena itu, ibu menyuruhku ke Tionggoan mencari ayahmu."

"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Oh ya, di mana kakek dan nenekmu?"

"Sudah meninggal. Kini orang itu mengangkat dirinya sebagai kepala suku di sana. Karena dia berkepandaian tinggi sekali, maka tiada seorang pun yang berani menentangnya."

"Dia juga orang Miauw?"



"Ya, namanya Pahto," sahut Cing Cing dan mendesaknya. "Ayoh, bawa aku pergi menemui ayahmu!"

"Tempat tinggal ayahku jauh sekali."

"Pokoknya engkau harus membawaku ke sana," desak Cing Cing lagi. "Berapa jauh pun engkau harus membawaku ke sana."

"Karena ibumu kenal ayahku, maka aku bersedia menolong ibumu," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh.

"Apa?" Cing Cing terbelalak. "Engkau yang akan pergi menolong ibu dan ayahku?"

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.

"Berapa usiamu sekarang?" tanya Cing Cing mendadak sambil menatapnya dalam-dalam.

"Tujuh belas."

"Hi hi hi!" Cing Cing tertawa geli.

"Kenapa engkau tertawa geli?" tanya Tio Bun Yang.

"Engkau masih sedemikian muda, bagaimana mungkin dapat melawan Pahto yang berkepandaian tinggi itu? Sudahlah! Cepat bawa aku pergi menemui ayahmu saja!"

"Engkau harus percaya, aku dapat melawan Pahto itu. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berani ke sana menolong ibumu?"

"Itu...." Cing       Cing       berpikir                lama      sekali,   kemudian

mengangguk dan berkata. "Baiklah. Tapi kalau engkau celaka, jangan mempersalahkan aku, ya?"

"Aku pasti tidak akan mempersalahkanmu." Tio Bun Yang tersenyum.

"Wuah!" Cing Cing menatapnya. "Bukan main senyumanmu!"



"Kenapa?" Tio Bun Yang tercengang.

"Sungguh mempesona, sehingga membuatku nyaris memelukmu lagi," sahut Cing Cing sambil tertawa.

"Engkau...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.

Ia sangat menyukai kepolosal gadis itu. "Oh ya, berapa usiamu?"

"Hampir enam belas," sahut Cing Cing. "Aku lebih kecil, maka harus memanggilmu Kakak Bun Yang, dan engkau harus memanggilku Adik Cini Cing, bukan?"

"Betul!" Tio Bun Yang mengangguk. "Kakak Bun Yang, mari kita berangkat!" ajak Cing Cing.

"Daerah Miauw itu sangat jauh, lebih baik kita menunggang kuda," usul Tio Bun Yang. "Bagaimana?"

"Baik." Cing Cing mengangguk. "Di depan sana ada penjual kuda, mari kita ke sana!"

Tio Bun Yang tersenyum, dan mereka lalu ke tempat penjual kuda itu. Tio Bun Yang membeli dua ekor kuda, setelah itu berangkatlah mereka menuju ke daerah Miauw. Dalam perjalanan tak henti-hentinya Cing Cing tertawa riang gembira, sedangkan monyet bulu putih pun bercuit-cuit.

Belasan hari kemudian, mereka sudah memasuki daerah Miauw. Mendadak muncul beberapa orang Miauw bersenjata tombak menghadang mereka. Betapa gusarnya Cing Cing dan langsung membentak-bentak dengan bahasa Miauw. Setelah itu, ia pun memandang Tio Bun Yang.

"Ada apa?" tanya Tio Bun Yang.

"Ada perintah dari Pahto, siapa yang ingin menemuinya harus melewati tiga rintangan," Cing Cing memberitahukan.

"Rintangan apa?" tanya Tio Bun Yang.



"Kesatu Barisan Ular, kedua Telaga Beracun dan ketiga Lembah Beracun." Cing Cing memberitahukan dengan wajah muram. "Ketiga rintangan itu tidak gampang dilewati, lebih baik engkau pulang saja."

"Biar aku coba melewati ketiga rintangan itu,” ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh.

"Jangan cari mati, sebab sudah banyak oranaL mati di situ," Cing Cing menggeleng-gclengkarl kepala. "Lebih baik engkau pulang dan suruh ayahmu kemari!"

"Yakinlah!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku pasti bisa melewati ketiga rintangan itu."

"Oh?" Cing Cing menatapnya seraya berkata "Baik, aku percaya kepadamu. Kalau engkau mati di sana, aku pasti berkabung lima tahun."

"Aku tidak akan mati di sana," Tio Bun Yang tersenyum lagi. "Beritahukan, aku harus menuju ke mana?"

Cing Cing segera berbicara kepada orang orang Miauw itu.

Mereka kelihatan terkejut dai memandang Tio Bun Yang.

"Kakak Bun Yang, ikutlah mereka!" ujari Cing Cing dan menambahkan. "Engkau begil baik, kalau engkau mati, aku pasti berkabung untukmu."

"Cing Cing!" Tio Bun Yang tertawa. "Percayalah! Aku tidak akan mati di tempat itu."

"Kakak Bun Yang!" Cing Cing menatapnya dalam-dalam. "Semoga engkau berhasil melewati ketiga rintangan itu!"

Tio Bun Yang mengangguk, lalu mengikuti orang-orang Miauw itu. Berselang beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di sebuah rimba. Orang-orang Miauw itu menunjuk ke arah rimba itu, Tio Bun Yang manggut-manggut.

"Kauw heng, kita akan memasuki rimba itu."



Monyet bulu putih itu bercuit sambil mengangkat dada, pertanda ia tidak takut sama sekali.

"Bagus!" Tio Bun Yang tersenyum.

Mulailah ia melangkah memasuki rimba itu, jikan tetapi, tiada keanehan apa pun di dalam rimba tersebut.

Berselang sesaat, mereka sudah sampai di sebidang tanah kosong yang luas sekali, tapi tiada pohon atau rumput-rumput sedikitpun.

Mendadak terdengar suara suling yang bernada aneh, dan tak lama kemudian terdengar pula luara mendesis-desis.

"Kauw heng, suara apa itu?"

Monyet bulu putih itu menggerakkan tangannya memberitahukan, Tio Bun Yang manggut-manggut.

"Ternyata            suara     desis      ular...." Belum   usai        ucapannya,

sudah tampak ribuan ular berbisa merayap ke arahnya, yang ternyata barisan ular.

Tio Bun Yang mengerutkan kening, lalu bersama monyet putih membunuh ular-ular beracun itu. Namun sungguh mengherankan! Begitu suara suling itu berubah, ribuan ular berbisa itu segen berpencar mengurung Tio Bun Yang. Monyel bulu putih itu bercuit-cuit, sedangkan Tio Bui Yang terus mendengarkan nada suara suling itu dengan penuh perhatian.

Sementara ribuan ular beracun itu sudah sel makin mendekat. Di saat itulah Tio Bun Yang tersenyum sambil duduk bersila, kemudian mengeluarkan suling pualamnya, sekaligus meniupnya!

Ternyata ia meniru nada suara suling itu Suara suling pualamnya sangat nyaring, sehingga suara suling itu tertindih.

Ribuan ular berbisa itu tampak kebingungan Ular-ular itu mendongakkan kepala, kemudial merayap pergi.



Setelah ribuan ular berbisa itu tak kelihatan barulah Tio Bun Yang berhenti meniup sulinj pualamnya. Dalam waktu bersamaan, muncullai seorang lelaki berusia lima puluhan sambil tertav gelak.

"Sungguh hebat engkau, anak muda!" uji lelaki itu dengan bahasa Han. "Aku tidak nr" nyangka engkau begitu mahir meniup suling, ba kan mampu meniru nada suara sulingku. Ha ha...!"

"Paman bisa berbahasa Han?" tanya Tio Bun Yang heran.

"Tentu." Lelaki itu tertawa lagi sambil menatapnya. "Engkau siapa? Kenapa ingin menemui Pahto?"

"Namaku Tio Bun Yang, Paman," sahutnya jujur. "Aku ke mari karena ingin menolong ibu dan ayah Cing Cing."

"Oh?" Wajah lelaki itu tampak berseri. "Kalau begitu, engkau pasti putera Tio Cie Hiong."

"Betul," Tio Bun Yang mengangguk. "Paman kenal ayahku?"

"Ha ha ha!" Lelaki itu tertawa gelak. "Tentu kenal, sebab ayahmu pernah menyelamatkan ibu Cing Cing."

"Oh?" Giranglah Tio Bun Yang. "Paman, sekarang aku harus menuju ke mana?"

"Lurus ke depan, lalu belok ke kiri." Lelaki liu memberitahukan. "Di situ terdapat sebuah sungai beracun, dan engkau harus menyeberanginya. Tapi harus berhati-hati, sebab air telaga itu beracun. Kalau engkau kecipratan air telaga itu, mati keracunan."

"Terimakasih, Paman!" ucap Tio Bun Yang, lalu melangkah pergi menuju tempat itu.

Tak seberapa lama kemudian, ia melihat sebuah telaga yang airnya sangat bening. Namun di sisi telaga itu tampak



banyak tulang belulang binatang. Mungkin binatang-binatang itu minum di telaga tersebut, akhirnya mati keracunan di situ.

Tio Bun Yang berdiri di pinggir telaga beracun itu, dan monyet bulu putih tetap duduk di atas bahunya. Dari tempat ia berdiri ke seberang sana, jaraknya kira-kira lima puluh depa lebih.

"Kauw heng! Cara bagaimana kita menyeberang ke sana?" tanya Tio Bun Yang.

Monyet bulu putih itu bercuit-cuit sambil menggerak-gerakkan sepasang tangannya.

"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut sambil tersenyum. "Jadi kita berjungkir ke depan sesuai dengan apa yang pernah ayah ajarkan kepadaku?"

Monyet bulu putih itu mengangguk, kemudian menarik nafas seakan memberi petunjuk kepada nya.

"Aku mengerti," ujar Tio Bun Yang. "Meloncat ke depan lalu menarik nafas dalam-dalar agar badan melambung ke atas, lalu melesat kedepan lagi. Begitu kan?"

Monyet itu mengangguk, kemudian bercuit cuit.

"Engkau akan menyeberang duluan memt petunjuk kepadaku?"

Monyet bulu putih manggut-manggut. Mendadak ia melesat ke depan belasan depa, setel itu menarik nafas dalam-dalam, kemudian badannya melambung ke atas sekaligus berjungkir kedepan. Dengan cara demikian monyet bulu putih itu berhasil sampai di seberang.

Kini giliran Tio Bun Yang. Ia melesat ke depan dan melakukan seperti yang dilakukan monyet bulu putih, akhirnya ia pun sampai di seberang. Monyet bulu putih itu bertepuk tangan, lalu meloncat ke atas bahunya.



"Ha ha ha!" Terdengar suara tawa gelak. "Sungguh hebat sekali! Aku tidak menyangka monyet ini dan engkau mampu menyeberang ke mari. Itu pertanda ginkang kalian sudah tinggi sekali."

Muncul seorang lelaki berusia lima puluhan, yang kemudian berkata dengan bahasa Han sambil menatap Tio Bun Yang dengan penuh perhatian.

"Anak muda, kenapa engkau ingin bertemu Pahto?"

"Paman," sahut Tio Bun Yang memberitahukan. "Aku ingin menolong ibu dan ayah Cing Cing."

"Oooh!" Lelaki itu manggut-manggut. "Kalau begitu engkau pasti mempunyai hubungan dengan Tio Cie Hiong."

"Dia ayahku."

"Syukurlah!" Lelaki itu tertawa gembira. "Nah, sekarang engkau harus melewati rintangan terakhir yaitu lembah beracun."

"Paman kenal ayahku?"

"Orang-orang Miauw di sini pasti kenal ayahmu, sebab ayahmu pernah menyelamatkan nyawa ibu Cing Cing." Lelaki itu memberitahukan. "Sekarang engkau harus melewati lembah beracun itu, setelah itu engkau akan bertemu Pahto. Hati-hati, kepandaiannya tinggi sekali!"

"Terimakasih atas petunjuk Paman! Oh ya, aku harus menuju ke mana?"

"Lurus saja, nanti engkau akan melihat sebuah lembah. Itulah lembah beracun."

"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang, lalu beri jalan menuju lembah beracun.

Tak seberapa lama kemudian, Tio Bun Yang telah sampai di hadapan lembah beracun itu. Ia tersenyum, sebab ia memang



kebal terhadap racun apa pun. Tio Cie Hiong, ayahnya dua kali makan buah ajaib Kiu Yap Ling Che, itu membuat ayahnya kebal terhadap racun. Ia adalah anaknya, otomatis darahnya juga mengandung sari buah ajaib Kiu Yap Ling Che, yang membuatnya kebal pula terhadap berbagai macam racun.

Walau demikian, Tio Bun Yang tetap menelai sebutir pil anti racun. Bagaimana monyet bulu putih itu? Ternyata monyet bulu putih itu pun kebal terhadap racun apa pun.

Tio Bun Yang mulai melangkah memasuki lembah beracun itu, sedangkan monyet bulu putih itu tetap duduk diam di bahunya.

Tio Bun Yang terus melangkah, berselang beberapa saat kemudian, ia telah melewati tembat itu. Di saat bersamaan, terdengarlah suara tawa gelak dan muncul seorang lelaki gagah berusia empat puluhan. Lelaki itu terus menatap Tio Bun Yang dengan penuh perhatian.

"Engkau masih muda, tentunya bukan Tio Cie Hiong," ujar lelaki itu dengan bahasa Han. "Siapa engkau, anak muda?"

"Namaku Tio Bun Yang, putera Tio Cie Hiong."

"Ha ha ha!" Lelaki itu tertawa gelak lagi. "Pantas engkau begitu hebat, ternyata putera Tio Cie Hiong yang sangat dikagumi orang-orang Miauw!"

"Maaf! Bolehkah aku tahu siapa Paman?"

"Bukankah engkau ingin menemui aku?" sahut lelaki itu.

"Jadi Paman adalah Pahto?" Tio Bun Yang segera memberi hormat. "Paman Pahto, aku telah melewati tiga rintangan itu."

"Aku tahu. Ha ha ha!" Pahto tertawa terbahak-bahak. "Aku tidak menyangka engkau sopan sekali."

"Paman Pahto!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa Paman mengurung ibu dan ayah Cing Cing?"



"Engkau perlu ketahui," sahut Pahto sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sangat mencintai ibu Cing Cing, tapi dia malah kawin dengan laki lain. Itu membuatku frustrasi dan kecewa sekali."

"Apakah ibu Cing Cing juga mencintai Paman Pahto?" tanya Tio Bun Yang mendadak.

"Aku pernah bertanya kepadanya, dia menjawab tidak," sahut Pahto jujur. "Itu membuatku sakit hati, akhirnya dia menikah dengan lelaki itu. Maka aku lalu meninggalkan daerah Miauw ini."

"Paman Pahto, semua itu telah berlalu. Kenapa Paman kemari lagi dan menangkap mereka? Itu merupakan perbuatan yang tak terpuji, Paman."

"Ha ha ha!" Pahto tertawa. "Aku harus melampiaskan rasa sakit hatiku. Sudah bagus aku tidak membunuh mereka."

"Berarti Paman masih mempunyai rasa peri kemanusiaan. Oleh karena itu, aku mohon Paman melepaskan mereka."

"Boleh." Pahto mengangguk. "Tapi engkau harus dapat mengalahkan aku, barulah aku melepaskan mereka."

"Kenapa hati Paman begitu jahat?" Tio Bu Yang menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku berhati jahat?" Patho tertawa. "Kali aku berhati jahat, aku sudah membunuh Cing Cing. Buktinya dia bisa ke Tionggoan dan mengajakmu ke mari."

"Paman Pahto!" Tio Bun Yang menghela nafas. "Cinta tidak bisa dipaksa, lagi pula kini Cing Cing sudah besar. Jangan memperbesar masalah jangan merusak rumah tangga orang, itu tidak baik."

"Ha ha ha!" Pahto tertawa. "Engkau masih kecil tapi berani menasihati aku?"



"Karena hati Paman telah tertutup oleh rasa kebencian dan sakit hati itu, maka aku harus berusaha menyadarkan Paman."

"Aku akan sadar apabila engkau mampu mengalahkan aku. Aku dengar Tio Cie Hiong berkepandaian tinggi sekali. Engkau adalah anaknya, tentunya tidak akan mempermalukan orang tuamu, kan?"

"Jadi Paman ingin bertanding denganku?"

"Itu kalau engkau menghendaki ibu dan ayah Cing Cing bebas."

"Kalau  begitu...."  Tio  Bun  Yang  mengangguk.  'Baiklah.

Maafkan kelancanganku berani bertanding dengan Paman!"

"Ha ha ha!" Pahto tertawa gelak. "Engkau memang anak baik, aku terkesan baik terhadapmu."

"Terimakasih Paman."

"Jadi kita bertanding secara praktis saja," ujar Pahto. "Aku akan menyerangmu tiga jurus, engkau boleh balas dan menangkis. Apabila engkau sanggup menahan tiga jurus pukulanku, aku pasti membebaskan ibu dan ayah Cing Cing."

"Terimakasih Paman!"

"Nah, engkau harus berhati-hati." Pahto mengikutkannya. "Sebab pukulanku lihay sekali."

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk, kemudian berkata kepada monyet bulu putih. "Kauw heng, turunlah!"

Monyet bulu putih langsung meloncat turun. Tio Bun Yang dan Pahto berdiri berhadapan.

Tio Bun Yang mulai menghimpun Pan Yok Hian Thian Sin Kang, sedangkan Pahto sudah menghimpun Iweekangnya.

"Jurus pertama!" seru Pahto sambil menyerangnya.



Tio Bun Yang segera berkelit menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou. Itu sungguh mengejutkan Pahto.

"Ha ha ha! Sungguh gesit engkau! Nah, ini jurus kedua!" Pahto langsung menyerang ke belan kang. Ternyata lelaki itu tahu Tio Bun Yang berdiri di belakangnya.

Tio Bun Yang berkelit lagi menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou. Akan tetapi, di saat itu pula Pahto menyerangnya lagi secepat kilat dan dahsyai bukan main.

"Jurus ketiga!" serunya.

Tio Bun Yang tidak sempat berkelit. Karera itu ia terpaksa mengerahkan empat bagian Iwee kang Kan Kun Taylo Sin Kang untuk menangkis dan mengeluarkan jurus Kan Kun Taylo Bu Piej (Alam Semesta Tiada Batas).

Daaaar! Terdengar seperti suara ledakan dahsyat.

Tio Bun Yang tetap berdiri tegak di tempat, sedangkan Pahto terpental tiga langkah dengan wajah pucat. Setelah berdiri diam, ia menatap Tio Bun Yang dengan mata terbelalak.

"Ha ha ha!" Pahto tertawa gelak. "Engkau sungguh hebat, anak muda! Aku kagum dan mengaku kalah."

"Terimakasih atas kemurahan hati Paman yang lelah mengalah kepadaku," ucap Tio Bun Yang. "Terimakasih!"

"Engkau memang hebat!" ujar Pahto sungguh-sungguh. "Belasan tahun aku belajar ilmu silat kepada seorang pertapa sakti di Gunung Hima-laya, namun masih kalah melawanmu. Guruku pernah bilang, di atas gunung masih ada gunung. Ternyata benar. Baiklah. Tunggu sebentar, aku akan pergi membebaskan ibu dan ayah Cing Cing."

"Terimakasih, Paman!" ucap Tio Bun Yang.



Pahto melesat pergi, dan Tio Bun Yang ber-diri termangu-mangu. Ia juga tidak menyangka kalau Pahto berkepandaian begitu tinggi.

Berselang beberapa saat kemudian, Pahto sudah kembali bersama ibu dan ayah Cing Cing.

"Anak muda, mereka adalah ibu dan ayah Cing Cing," ujar Pahto memberitahukan. "Mereka berdua tidak kurang suatu apa pun, kan?"

"Terimakasih, Paman!"

Pahto memandang kedua orang tua Cing Cing, kemudian mereka bertiga berbicara dengan bahasa Miauw. Tio Bun Yang sama sekali tidak mengerti, apa yang mereka katakan, maka ia diam saja.

"Anak muda!" Pahto menatapnya seraya bertanya. "Bolehkah engkau memberitahukan pada ku, ilmu apa yang engkau gunakan tadi?"

"Itu adalah ilmu Kan Kun Taylo Sin Kang.” Tio Bun Yang memberitahukan dengan jujur.

"Terimakasih, anak muda! Mudah-mudahar kita akan berjumpa lagi kelak!" ujar Pahto dai melesat pergi.

Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala sementara ibu Cing Cing terus menatapnya dengan penuh perhatian.

"Engkau pasti putera Tio Cie Hiong," ujarnya kemudian. "Engkau mirip dia, tapi... engkau lebih tampan."

"Bibi, Paman!" Tio Bun Yang segera memberi hormat. "Aku memang putera Tio Cie Hiong!"

"Bagus, bagus!" Ibu Cing Cing tertawa gembira.

"Bibi, Paman Pahto bukan orang jahat," ujar Tio Bun Yang dan menambahkan. "Hanya saja dia sakit hati terhadap Bibi."



"Benar." Ibu Cing Cing manggut-manggi "Karena aku menikah dengan dia."

Ibu Cing Cing menunjuk suaminya. Ayah Cing Cing manggut-manggut seraya berkata,

"Dia memang bukan orang jahat. Sesunggu nya dia teman baikku. Setelah ayahmu meninggalkan daerah Miauw, kami berdua sama-sama jatuh cinta kepada ibu Cing Cing. Ternyata ibu Cing Cing mencintaiku. Itulah yang membuat teman baikku itu jadi sakit hati, lalu meninggalkan daerah Miauw. Beberapa bulan yang lalu, dia muncul...."

"Cing Cing telah menceritakan itu kepadaku," ujar Tio Bun Yang.

"Oh ya, kenapa ayahmu tidak ke mari?" tanya ibu Cing Cing mendadak.

"Ayahku tinggal di Pulau Hong Hoang To, sedangkan aku mengembara di Tionggoan." Tio Hun Yang memberitahukan. "Kebetulan aku bertemu Cing Cing...."

"Kalian memang berjodoh." Ibu Cing Cing tertawa gembira. "Bisa bertemu begitu kebetulan."

"Bibi..." Wajah Tio Bun Yang memerah.

"Oh ya, kami belum tahu namamu," ujar ibu Cing Cing. "Namaku Tio Bun Yang."
"Bun Yang, mari ke tempat tinggal kami!" njak ibu Cing Cing.

Tio Bun Yang mengangguk, lalu mengikuti ibu dan ayah Cing Cing ke tempat tinggal mereka, berselang beberapa saat kemudian, sampailah mereka di tempat tersebut. Para pengawal di situ langsung bersorak-sorak penuh kegembiraan.

Pada saat bersamaan, tampak seorang gadis cantik berlari-lari menghampiri mereka, yaitul Cing Cing.



"Ayah, Ibu!" serunya dengan wajah berseri-seri dan langsung mendekap di dada ibunya.

"Nak...." Ibunya membelainya dengan penuh kasih sayang,

ayannya juga membelainya.

Setelah itu, Cing Cing segera mendekati Tio Bun Yang, dan mendadak mengecup pipinya.

"Eeeh...?" Wajah Tio Bun Yang langsung memerah.

Monyet bulu putih bertepuk-tepuk tangan, kelihatannya gembira sekali.

"Bun Yang," ujar ibu Cing Cing sambil tersenyum. "Kecupan itu merupakan penghormatan istimewa, engkau jangan salah paham!"

"Ya, Bibi!" Tio Bun Yang mengangguk Ayoh, kita ke dalam!" ajak ibu Cing Cing.

Mereka berjalan ke dalam rumah, lalu duduk di ruang depan. Para pelayan segera menyuguhkan berbagai macam makanan dan minuman.

"Bun Yang mari minum!" ujar ibu Cing Cing

Tio Bun Yang meneguk minumannya. Monyet bulu putih itu juga tidak mau ketinggalan, langsung meneguk pula, yang tentunya membuat ibu dan ayah Cing Cing tertawa geli.

"Kakak Bun Yang, aku tidak jadi berkabung untukmu," ujar Cing Cing mendadak.

"Eh?" tegur ibu Cing Cing. "Jangan omong sembarangan!"

"Ibu, aku tidak omong sembarangan, melainkan omong sesungguhnya. Apabila Kakak Bun Yang mati di tiga rintangan itu atau mati di tangan Pahto, maka aku akan berkabung lima tahun."

"Nak,  engkau...."  Ibu  Cing  Cing  menggeleng-gelengkan

kepala.



"Kakak Bun Yang, aku tidak menyangka kepandaianmu begitu tinggi. Bolehkah engkau ajarkan kepadaku?"

"Itu...." Tio Bun Yang tampak ragu.

"Bun Yang!" Ibu Cing Cing tersenyum. "Ajari-lah dia! Sebab dia memang suka belajar ilmu silat."

"Baiklah." Tio Bun Yang mengangguk. "Terimakasih, Kakak Bun Yang!" ucap Cing Cing sambil tersenyum manis.

Keesokan harinya, Tio Bun Yang mengajar Cing Cing cara-cara berlatih Giok Li Sin Kang, juga mengajarnya ilmu pedang Lui Tian Kiam Hoat. Setelah itu, barulah Tio Bun Yang berpamit kembali ke Tionggoan.

-oo0dw0oo-


Jilid 5

Bab-21 Berkenalan

Lu Hui San putri angkat Lu Thay Kam yang mulai berkelana itu telah tiba di sebuah kota yang cukup besar, ramai dan tampak gedung-gedung mewah. Ia terus berjalan perlahan sambil menengok kesana ke mari menikmati keindahan kota itu. Disaat itulah mendadak ia mendengar suara jeritan. Segeralah ia menoleh, dilihatnya beberapa pengawal pembesar sedang memukuli seorang tua.

"Kalau engkau tidak bayar pajak, kami pasti memukulmu sampai mampus!” bentak kepala pengawal itu. “Ayoh, cepat bayar pajak!”

"Tuan, jangan kata bayar pajak, buat makan pun susah,” ujar orang tua itu sambil merintih-rintih. “Aduuuh!”

"Hmm!” dengus kepala pengawal itu. “Kami tidak mau tahu ada untuk makan atau tidak, yang penting engkau harus bayar pajak!”



"Tuan....”

Plaaak! Plaaaak! Kepala pengawal itu menampar pipi Si orang tua.

"Aduuuh!” jerit orang tua itu dengan mulut mengeluarkan darah. “Aduuuh!”

"Jangan siksa ayahku! Jangan siksa ayahku!” teriak seorang gadis berusia dua puluhan. “Nanti akan kami bayar pajak itu!”

"Wuaah!” Para pengawal itu terbelalak memandang gadis itu, karena gadis itu cukup cantik.

"Tak disangka orang tua jelek ini mempunyai anak gadis begitu cantik!”

"Tuan,” ujar gadis itu dengan air mata berderai. “Jangan siksa ayahku....”

"Tapi dia harus membayar pajak!” “Kami minta tempo beberapa hari.”
“Tidak bisa! Pokoknya sekarang harus bayar, kalau tidak....” Kepala pengawal itu tertawa dingin. “Ayahmu akan kami tangkap, lalu kami masukkan ke penjara!”

“Tuan, tolonglah kami, berilah kami tempo beberapa hari!”

“Itu....” Kepala  pengawal            itu           menatap              gadis      tersebut,

kemudian berbisik. “Kami bisa memberi tempo beberapa hari, asal... engkau mau menemani kami.”

“Tuan, itu tidak bisa.” Gadis itu menggelengkan kepala. “Aku....”

"Hmm!” dengus kepalá pengawal itu. “Kalau engkau tidak bisa, maka ayahmu harus ditangkap!”

“Jangan, Tuan!” Gadis itu terus memohon. “Tuan, jangan tangkap ayahku...!”



“Boleh, asal....” Kepala pengawal itu mendekati si gadis,

sekaligus menowel pipinya. “Asal engkau bersedia menemani kami!”

Di saat itulah Lu Hui San mendekati mereka dengan wajah dingin. Beberapa pengawal sudah melihat akan kehadiran gadis yang cantik.

“Wuaaah, gadis ini lebih cantik!”

“Jangan main-main! Dia membawa pedang, berarti dia gadis rimba persilatan”

“Kalian semua pengawal pembesar mana?” tanya Lu Hui San sambil menatap mereka dengan tajam.

Begitu mendengar suara yang merdu itu, kepala pengawal langsung menoleh dan seketika juga matanya berbinar-binar.

“Wuaaah, Nona sungguh cantik!” ujarnya terbelalak.

“Engkau adalah kepala pengawal?” tanya Lu Hui San sambil tersenyum.

“Betul, betul!” Kepala pengawal itu mengangguk. “Aku adalah kepala pengawal yang gagah.”

“Gagah terhadap orang tua yang tak berdaya?” tanya Lu Hui San.

“Nona, kami menjalankan tugas,” sahut kepala pengawal itu.

“Menjalankan tugas apa?" Lu Hui San mengerutkan kening.

“Menagih pajak para penduduk kota ini.” Kepala pengawal memberitahukan. “Kami adalah pengawal Ma Tayjin (Pembesar Ma)!”

“Siapa itu Ma Tayjin?”

“Pembesar di kota ini. Beliau yang menugaskan kami menagih pajak. Orang tua itu tidak mau bayar pajak....”



“Karena itu kalian memukulnya?”

“Kalau kami tidak memukulnya, dia pasti tidak mau bayar pajak.”

"Oh?” Lu Hui San tertawa. “Orang tua itu sangat miskin, mungkin untuk makan pun susah, kenapa kalian begitu tega memukulnya?”

“Eh?       Nona....”              Kepala  pengawal            menatapnya.     “Engkau

bukan penduduk sini, lebih baik jangan turut campur! Kami berhak menangkapmu lho!”

“Tadi engkau menowel pipi gadis itu?”

“Tidak salah.” Kepala pengawal itu tertawa. “Kalau ayahnya tidak bayar pajak, dia pun harus menemani kami!”

“Apakah itu merupakan hukum yang berlaku di kota ini?”

“Betul.” Kepala pengawal itu mengangguk. “Ma Tayjin sudah berpesan kepada kami, apabila ada orang tidak mau membayar pajak, kalau dia mempunyai anak gadis harus ditangkap untuk dijadikan jaminan.”

“Oh, ya?” Wajah Lu Hui San berubah dingin sekali. “Apakah itu merupakan peraturan dari ibu kota?”

“Kami tidak tahu.”

“Begini,” ujar Lu Hui San. “Orang tua itu memang tidak mampu membayar pajak, jadi kalian boleh menangkapku.”

“Nona....” kepala pengawal itu tertegun. “Engkau bukan

penduduk sini, lagi pula tidak punya salah, bagaimana mungkin kami menangkapmu?”

“Oh, begitu!” Lu Hui San tersenyum. “Baik, aku akan membuat salah agar kalian menangkapku.”

Mendadak Lu Hui San mengayunkan tangannya, dan terdengarlah suara ‘Plak Plok’ keras sekali.



“Aduh!” Jerit kepata pengawal itu sambil memegang pipinya.

Ternyata Lu Hui San menamparnya. Gadis itu memandangnya sambil tersenyum-senyum.

“Tadi engkau berani memegang pipi gadis itu, maka aku pun berani menamparmu.”

“Kurang ajar!” bentak kepala pengawal itu dan sekaligus menyerañgnya dengan sebuah pukulan.

Lu Hui San mengelak, kemudian mendadak mengayunkan kakinya menendang kepala pengawal itu dan tepat mengenai perutnya, sehingga tubuh kepala pengawal itu terpental lalu jatuh.

“Aduh!” jerit kepala pengawal itu, lalu memberi perintah pada para anak buahnya “Cepat kalian serang dia!"

Beberapa pengawal langsung menyerang Lu Hui San dengan tangan kosong. Gadis itu berkelit ke sana ke mari, kemudian balas menyerang.

Plaak! Ploook! Plaaak! Ploook!

“Aduuuh!” Beberapa pengãwal itu sudah tertampar.

Para penduduk yang menyaksikan kejadian segera bersorak sorai, mereka memang benci sekali kepada para pengawal itu.

“Nona! Hajar mereka, karena mereka selalu bertindak sewenang-wenang dan sering mengganggu anak isteri orang!” seru beberapa penduduk kota itu.

“Baik!” Lu Hui San mengangguk. “Aku akan menghajar mereka lagi!”

Gadis itu mengayunkan kakinya menendang ke sana ke mari. Para pengawal itu tertendang

hingga terpental jatuh, dan mereka merintih-rintih kesakitan.



“Horeee!” sorak para penduduk kota, termasuk orang tua dan putrinya “Rasakan! Hari ini giliran kalian dihajar”

“Ampun Nona, ampun. . .!“ Kepala pengawal itu memohon-mohon. "Kami cuma menjalankan tugas. Ampun...!”

“Aku ingin bertanya, kalian harus menjawab secara jujur! Kalau tidak, kalian akan kuhajar lagi!”

“Ya, ya. Kami pasti menjawab secara jujur.”

“Apakah pembesar kota ini selalu menaikkan pajak tanpa persetujuan dan ibu kota?"

“Betul. Pembesar itu sering melakukan tindak korupsi,” jawab para pengawal itu serentak.

“Betulkah dia sering menyuruh kalian menangkap kaum gadis, yang orang tuanya tidak mampu membayar pajak?”

“Betul.”

“Kalian juga ikut-ikutan berbuat begitu?"

“Kami....”             Kepala  pengawal            itu           menundukkan  kepala.

“Pembesar kami boleh berbuat begitu, maka sudah barang tentu kami pun mengikutinya.”

“Jadi pembesar kalian dan kalian telah membuat sengsara para penduduk kota ini, maka sekarang juga aku harus menghukum kalian.”

“Ampun ampun..!”

“Para penduduk kota ini!" seru Lu Hui San. "Siapa yang ingin menghajar para pengawal itu, silakan!”

Para penduduk kota itu diam, namun kemudian muncul beberapa lelaki menghampiri Lu Hui San.

“Kami mau menghajar mereka. Sebab mereka pernah menyita ayam dagangan kami sehingga membuat kami bangkrut,” ujar beberapa lelaki itu.



“Betulkah kalian pernah menyita ayam dagangan mereka?” tanya Lu Hui San kepada kepala pengawal itu.

“Nona, ampunilah kami!”

“Aku akan mengampuni kalian, tapi kalian semua harus tengkurap. Karena beberapa lelaki itu ingin menghajar kalian!”

“Jangan, jangan.!” Kepala pengawal itu ketakutan. “Kami...

kami bersedia mengganti rugi.” “Baik. Cepatlah kalian ganti rugi!”
“Ya,        ya....”    Kepala  pengawal            itu           dan        beberapa            anak

buahnya langsung mengeluarkan uang masing-masing, lalu diserahkan pada lelaki itu.

Beberapa lelaki itu menghitung uang perak tersebut, kemudian berkata pada Lu Hui San.

“Nona, uang ini lebih banyak!”

“Lebihnya diberikan pada paman tua itu!” Lu Hui San menunjuk orang tua yang dipukul kepala pengawal itu.

“Ya!” Beberapa lelaki itu segera memberikan uang perak pada orang tua tersebut.

"Terima kasih Nona! Terimakasih....” Ucap orang tua itu

terharu.

Lu Hui San tersenyum, kemudian memandang kepala pengawal itu dan berkata dengan nada dingin.

“Sekarang kalian harus mengantarku menemui pembesar itu, aku akan menghajarnya.”

“Haaah?” Kepala pengawal itu terbelalak.

“Nona. . . ."

"Kalian harus mengaku menangkapku, karena aku ingin lihat bagaimana reaksi pembesar Itu."



“Ya....” Kepala pengawal itu mengangguk. “Mari ikut kami,

Nona!”

Lu Hui San mengikuti mereka menuju kantor pembesar Ma. Para penduduk kota itu pun tidak mau ketinggalan, mereka juga ikut ke kantor itu.

Tak seberapa lama kemudian, mereka sudah sampai di kantor Ma Tayjin. Seperti biasa, kalau ada kasus, kepala pengawal itu pasti memukul tambur yang di sudut ruang kantor itu.

Dung! Dung! Dung! Terdengar suara tambur itu.

Sesaat kemudian terdengar pula suara seruan dari dalam.

“Ma Tayjin akan memeriksa kasus! Ma Tayjin akan memeriksa kasus..!”

“Ooooohhh!” Kepala pengawal dan para anak buahnya langsung berseru. Tak lama muncullah beberapa petugas yang lalu berbaris. Setelah itu, muncullah Ma Tayjin bersama penasihatnya.

“Ada kasus apa?” tanya Ma Tayjin setelah duduk.

"Tayjin, ada kasus gadis ini," sahut kepala pengawal sambil menunjuk Lu Hui San yang berdiri ditengah-tengah ruang itu.

"Ayahnya tidak mau membayar pajak, maka kalian tangkap dia?" tanya Ma Tayjin sambil menatap Lu Hui San dengan terbelatak. “Wuah. Bukan main cantiknya!"

“Betul, Tayjin,” bisik penasihat sambil tersenyum. “Belum pernah aku melihat gadis secantik itu.”

“Tapi gadis itu membawa pedang.” Ma Tayjin mengerutkan kening. “Apakah dia gadis rimba persilatan?”

“Tidak mungkin. Sebab gadis itu begitu halus, mungkin pedang itu cuma pedang mainan,” sahut penasihat itu.



“Ngmm!” Ma Tayjin manggut-manggut, kemudian membentak Lu Hui San. “Cepatlah engkau berlutut!”

Akan tetapi, Lu Hui San tetap berdiri tegak sambil menatap Ma Tayjin dengan dingin.

“Kurang ajar!” Ma Tayjin memukul meja. “Sungguh berani engkau tidak berlutut? Pengawal! Cepat hajar dia!”

Akan tetapi, para pengawal diam saja dengan kepala tertunduk. Itu membuat Ma Tayjin bertambah gusar.

“Kenapa kalian tidak menuruti perintahku?”

Disaat bersamaan, mendadak Lu Hui San tertawa dingin. "Apakah engkau Ma Tayjin?”
“Betul! Cepatlah engkau berlutut!” bentak Ma Tayjin dengan mata melotot. “Kalau engkau masih berdiri, kakimu akan dipatahkan!”

"Oh?” Lu Hui San tertawa dingin lagi. “Begitukah sikap seorang pembesar?”

“Kurang ajar engkau!” Ma Tayjin memukul meja lagi. “Petugas, cepat hukum gadis liar itu!”

“Ya, Tayjin,” sahut beberapa petugas, dan segera mendekati Lu Hui San.

“Hukum dia dengan sepuluh kali pukulan!” Ma Tayjin memberi perintah lagi.

“Ya.” Petugas-petugas itu mengangguk.

Akan tetapi, di saat bersamaan mendadak Lu Hui San mengayunkan tangannya, dan terdengarlah suara Plak Plok Plak Plok!

“Aduuuh!” jerit para petugas itu sambil memegang pipi.



“Haah?” Ma Tayjin terkejut bukan main, sehingga matanya terbelalak lebar. “Gadis liar! Engkau berani menampar para petugas?”

“Hmmm!” dengus Lu Hui San dingin. “Hari ini aku harus menghukummu, karena engkau telah berlaku sewenang-wenang terhadap para penduduk kota ini!”

“Apa?!” Ma Tayjin tertegun.

Sementara para penduduk yang berdiri di luar kantor sudah mulai berteriak-teriak.

“Hukum Ma Tayjin! Dia telah membuat para penduduk kota ini sengsara!”

“Pengawal, cepat usir orang-orang itu!” bentak Ma Tayjin.

Para pengawal diam saja. Maka sudah barang tentu Ma Tayjin menjadi bertambah gusar, Sehingga wajahnya menjadi merah padam.

“Kenapa kalian diam saja? Apakah kalian juga mau dihukum?”

“Ma Tayjin!” sahut Lu Hui San dingin. “Mereka takut kepadaku. Maka bagaimana mungkin mereka berani menuruti perintahmu?"

“Engkau....” Ma Tayjin melotot.

“Ma Tayjin, hari ini aku harus menghukummu!” tegas Lu Hui San sambil melangkah maju ke hadapan pembesar itu, kemudian mengeluarkan sebuah medali pemberian Lu Thay Kam.

“Kenal benda ini?”

“Haaah...?” Ma Tayjin dan penasihatnya terbelalak, dan sekujur badan mereka pun mulai menggigil ketakutan. “Maaf! Maaf....”



Ma Tayjin dan penasihatnya segera memberi hormat kepada Lu Hui San, tetapi gadis itu hanya tersenyum dingin.

“Kini kalian berdua sebagai terdakwa, maka cepat berdiri di sana!” bentak Lu Hui San.

“Ya,  ya....”  Ma  Tayjin  dan  penasihatnya  menurut,  lalu

segera berdiri di tengah-tengah ruang itu dengan kaki bergemetar. Ternyata mereka mengenali medali itu.

Sementara para pengawal, petugas dan penduduk kota yang berdiri di luar terheran-heran menyaksikannya. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi.

Lu HUi San duduk di kursi Ma Tayjin, kemudian mendadak ia memukul meja, sehingga membuat jantung Ma Tayjin dan penasihat itu nyaris copot.

“Kalian berdua masih belum berlutut?”

Ma Tayjin dan penasihatñya segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Lu Hui San. Para pengawal dan para petUgas tercengang melihatnya. Sedangkan para penduduk kota yang ada diluar langsung bersorak-sorak.

“Ma Tayjin berlutut! Ha ha ha!”

“Ma Tayjin harus dihukum, karena dia pembesar korup!”

Betapa terkejutnya Ma Tayjin dan penasihat itu ketika mendengar suara seruan. Wajah mereka langsung berubah pucat pias

“Nona, aku bukan pembesar korup!” “Bóhong!” Terdengar suara sahutan di luar.
“Dia sembarangan menaikkan pajak demi kantongnya sendiri!”

“Nona, itu. . . itu. . . “Tergagap Ma Tayjin.



“Maksudmu itu adalah peraturan dari ibu kota?" tanya Lu Hui San.

“Yaa!” Ma Tayjin mengangguk.

“Oh?” Lu Hui San menatap penasihat itu, kemudian tanyanya dingin. “Betulkah itu peraturan dari ibu kota?”

Penasihat itu menundukkan kepala.

“Baik!" Lu Hui San tertawa dingin. “Kalau engkau tidak mau menjawab dengan jujur, akan kupenggal kepalamu!”

“Ampun! Ampun...!” Penasihat itu segera membenturkan kepalanya ke lantai. “Jangan penggal kepalaku!”

“Kalau begitu, engkau harus menjawab dengan jujur!” bentak Lu Hui San.

“Sebetulnya, itu bukan peraturan dari ibu kota, me1ainkan. . .”

“Dia yang mengusulkan menaikkan pajak para penduduk kota ini!” potong Ma Tayjin berkilah sambil menuding penasihat itu.

“Ma Tayjin bertanya padaku, karena isterinya lebih dan sepuluh. Mereka harus hidup mewah. Karena itu, aku terpaksa mengusulkan begitu,” sahut penasihat itu.

“Isterinya juga banyak, lebih dan lima! Maka hasil kenaikan pajak itu kami bagi dua.” Ma Tayjin memberitahukan.

“Bagus! Bagus!” Lui Hui San tertawa dingin. “Kalian berdua memang telah bekerja-sama, maka aku harus menghukum kalian!”

“Ampun! Ampun...!”

“Nona!” Terdengar suara seruan di luar. “Jangan memberi ampun pada mereka!”

Lui Hui San manggut~manggUt, kemudian berseru.



“Petugas!”

"Ya!" Sahut para petugas itu sambil memberi hormat.

“Siapa di antara kalian yang bersedia melaksanakan tugas untuk memukul pantat mereka berdua?” tanya Lui Hui San.

“Kami semua bersedia!” sahut para petugas. Mereka memang merasa sakit hati terhadap Ma Tayjin dan penasihatnya, lantaran sering dicaci-maki.

Ma Tayjin dan penasihat itu bersenang-senang dengan para isterinya, sementara mereka harus menghadapi para penduduk kota yang kadang-kadang mengamuk di kantor itu.

“Bagus!” Lu Hui San manggut-manggut lalu berseru. “Pengawal!”

“Ya!” Sahut para pengawal sambil memberi hormat. “Tengkurapkan Ma Tayjin dan penasihatnya!”

Para pengawal itu langsung menekan badan Ma Tayjin dan penasihat itu sampai tengkurap dilantai.

“Ampun, Nona! Ampun... kami tidak akan bertindak sewenang-wenang lagi!” ujar Ma Tayjin berjanji.

“Tapi sesuai dengan hukum kerajaan, kalian berdua harus ditindak!” sahut Lui Hui San, lalu memberi perintah kepada para petugas. "Pukul pantat mereka masing-masing dua puluh lima kali!”

Para petugas segera mengambil alat pemukul.

"Ampun.!"

Tak lama kemudian terdengar suara pukulan.

“Aduuuh! Aduuuh!" jerit Ma Tayjin dan penasihat itu kesakitan. “Aduuh. . . .!"



“Asyiiik!” seru para penduduk kota yang diluar. “Rasakan sekarang, mereka berdua sering menyuruh para petugas memukul kita, kini giliran mereka dipukul! Asyiiiik!”

Setelah memukul dua puluh lima kali, barulah para petugas itu berhenti. Ma Tayjin dan penasihatnya merintih-rintih. Pantat mereka membengkak dan memar.

“Nona!” ujar para petugas sambil memberi hormat. “Kami ingin mengundurkan diri, tidak mau jadi petugas di sini lagi!”

“Baik!” Lui Hui San mengangguk.

“Kami juga tidak mau jadi pengawal di sini lagi!” ujar para pengawal sambil memberi hormat.

“Tidak apa-apa!” Lu Hui San manggut-manggut, kemudian menuding penasihat yang masih tengkurap di lantai. “Cepat berikan mereka pesangon tiga bulan gaji, cepat!”

Penasihat  itu  segera  bangkit  berdiri,  tapi  terjatuh  lagi.

Terpaksalah ia merangkak ke dalam.

“Horeee!” Seru para penduduk kota yang diluar. “Ada anjing merangkak-rangkak!”

Tak seberapa lama kemudian, penasihat itu sudah kembali ke ruang depan dengan tertatih-tatih. Ia lalu memberikan uang pesangon kepada para petugas dan pengawal tersebut.

“Nona! Kami ucapkan banyak terimakasih. Sampai jumpa!” Mereka segera meninggalkan ruang kantor itu sambil tertawa-tawa.

“Nah, dengar baik-baik! Mulai sekarang kalian tidak boleh bertindak sewenang-wenang lagi! Kalau kalian masih berlaku begitu....”

“Ya, ya!" Ma Tayjin berusaha bangkit berdiri. “Kami tidak berani lagi!”



“Bagus, bagus!" Lu Hui San tertawa, lalu meninggalkan ruang kantor itu sambil tersenyum-senyum. Para penduduk kota bersorak sorai penuh kegembiraan.

“Terimakasih, Nona! Terimakasih...!”

Sementara          Ma         Tayjin    dan        penasihatnya     berbisik-bisik.

Wajahnya masih tampak pucat pias.

“Tahukah engkau siapa gadis itu?”

“Tentunya dia utusan dan Lu Kong Kong,” jawab penasihat itu dengan suara rendah.

“Kalau tidak salah, gadis itu adalah putri kesayangan Lu Kong Kong.” Ma Tayjin memberitahukan.

“Haaah?!” Penasihat itu nyaris pingsan seketika, kemudian meraba-raba kepalanya seraya berkata. “Untung kepalaku tidak copot!”

-oo0dw0oo-


Setelah meninggalkan kota itu, Lu Hui San melanjutkan perjalanannya. Hatinya merasa geli teringat akan kejadian yang lucu tadi. Hingga hari menjelang sore, Ia sampai di sebuah tempat yang agak sepi. Mendadak Ia mendengar suara dentangan senjata, seperti suara pertarungan. Cepat dia melesat menuju tempat asalnya suara itu.

Setibanya di situ, ia melihat belasan orang berpakaian merah tengah mengeroyok seorang pemuda dan seorang gadis. Menyaksikan itu, timbullah niatnya untuk membantu.

“Sungguh tak tahu malu kalian, belasan orang mengeroyok dua orang!” bentak Lu Hui San sambil mendekati mereka yang sedang bertarung, membuat mereka berhenti seketika.

“Siapa engkau?” bentak salah seorang berpakaian merah.



“Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Pokoknya aku harus bantu mereka!” sahut Lu Hui San sambil menghunus pedangnya.

“Haaaa?” Terbelalak belasan orang berpakaian merah. Mereka tampak terkejut. “Han Kong Kiam (Pedang Cahaya Dingin)! Mari kita kabur!”

Belasan orang berpakaian merah langsung melarikan diri. Melihat hal itu Lu Hui San tercengang. Kemudian ia menyarung pedangnya kembali.

“Kenapa mereka begitu takut pada pedangku?” gumamnya dengan kening berkerut.

“Nona!” Pemuda itu mendekati Lu Hui San sambil memberi hormat “Terimakasih atas bantuanmu.

“Sama-sama,” sahut Lu Hui San sambil tersenyum.

“Terimakasih Nona.” Gadis itU pun memberi hormat. “Namaku Lam Kiong Soat Lan, dan kawanku Toan Beng Kiat. Bolehkah kami tahu namamu?”

“Namaku Lu Hui San!” jawabnya sambil balas memberi hormat.

“Nàma yang indah sekali...” ujar Toan Beng Kiat. Namun ucapan itu ditahannya. Dan wajahnya tampak memerah.

“Terimakasih atas pujianmu,” ucap Lu Hui San.

“Beng Kiat!" Lam Kiong Soat Lan tertawa kecil. “Selain indah namanya, orangnya pun cantik sekali,” ujarnya bernada menyindir.

“Soat Lan...” Wajah Toan Beng Kiat bertambah merah.

Sementara Lu Hui San tersenyum-senyum lalu bertanya. “Kalian berdua kàkak beradik?"

“Boleh dikatakan begitu,” sahut Lam Kiong Soat Lan menjelaskan. “Karéna kami adalah famili dekat.”



“Oooh!” Lu Hui San manggut-manggut. “Oh ya, siapa sebenarnya orang-orang berpakaian merah itu?"

“Mereka para anggota Hiat Ih Hwe,” jawab Toan Beng Kiat.

“Kenapa kalian bertarung dengan mereka?" tanya Lui Hui San lagi.

“Mereka ingin membunuh kami, maka kami terpaksa melawan,” jawab Lam Kiong Soat Lan.

“Kalian punya dendam dengan mereka?"

“Sesungguhnya tidak.”

"Kalau begitu, kenapa mereka ingin membunuh kalian?"

“Entahlah!” Toan Beng Kiat menggeleng kepala. “Ketika kami sampai di sini, mendadak mereka muncul dan langsung menyerang kami.”

“Kalau begitu, mungkin ada salah paham?" tukas Lu Hui San.

“Kami sama sekali tidak mengerti,” Lam Kiong Soat Lan menggeleng~gelengkan kepala. “Oh ya! Kenapa mereka begitu takut melihat pedangmu?”

“Aku sendiri justru tidak habis berpikir,” ujar Lu Hui San. “Memang membingungkan.”

“Siapa yang menghadiahkan pedang itu padamu?” tanya Toan Beng Kiat mendadak sambil memandangnya. Ia sangat terkesan baik terhadap gadis itu.

“Ayahku!” Lu Hui San memberitahUkan.

“Kalau begitu....” Toan Beng Kiat tersenyum. “Ayahmu pasti

sangat terkenal sekali. Orang-orang tadi méngenali pedang milik ayahmu.”

Lu Hui San hanya tersenyum.

“Siapa ayahmu?” tanya Lam Kiong Soat Lan.



“Ayahku bernama Lu Kam Thay,” jawab Lu Hui San, sengaja membalikkan kata ‘Thay Kam’ jadi ‘Kam Thay’.

“Lu Kam Thay..?” gumam Lam Kiong Soat Lan. “Maaf bolehkah kami mengetahui julukan ayahmu?”

“Ayahku tidak punya julukan,” sahut Lu Hui San sambil tersenyum.

“Oooh!” Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut.

Tiba-tiba muncul beberapa orang yang segera memberi hormat pada Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soan Lan, dan Lu Hui San.

“Maaf, kami mengganggu kalian!” ucap salah seorang itu dan memberitahukan. “Kami adalah anggota Tiong Ngie Pay....”

“Tiong Ngie Pay?” tanya Toan Beng Kiat dengan wajah berseri, karena pernah mendengar perkumpulan tersebut dari kakeknya.

“Ya!” Orang itu mengangguk dan memberi hormat lagi. “Ketua kami mengundañg kalian kemarkas!”

Toan Beng Kiat melirik Lam Kiong Soat Lan. Terdengar suara menggumam dan mulutnya, Seperti ragu untuk mengucapkan kata-kata. Namun Lam Kiong Soat Lan mendahuluinya.

“Baik!” Gadis itu mengangguk.

“Terimakasih!” ucap anggota Tiong Ngie Pay itu sambil tertawa gembira “Mari ikut kami’”

Sementara Toan Beng Kiat memandang Lu Hui San, kemudian berkata dengan penuh harap. "Nona Hui San, mari ikut kami ke markas Tiong Ngie Pay!”

“Baik!” Lu Hui San mengangguk

“Terimakasih!” ucap Toan Beng Kiat tanpa sadar.



“Eh?” Lu Hui San tersenyum “Kenapa engkau mengucapkan tenmakasih padaku? Itu tidak perlu!”

“Aku. . .“ Toan Beng Kiat tergagap dengan wajah kemerah-merahan

“Karena girang, maka mengucapkan terimakasih padamu!” sindir Lam Kiong Soat Lan sambil tertawa “Jadi, dia mengucapkan terimakasih atas kesediaanmu ikut ke markas Tiong Ngie Pay!”

“Oooh!” Lu Hui San tersenyum lagi.

Mereka bertiga mengikuti para anggota Tiong Ngie Pay menuju markas mereka. Beberapa saat kemudian, sampailah mereka di markas tersebut

Yo Suan Hiang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him menyambut kedatangan mereka dengan penuh kegembiraan dan kehangatan.

“Terimakasih atas kedatangan kalian!” ucap Yo Suan Hiang “Silakan duduk!"

Mereka bertiga duduk, Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan terus memandang Yo Suan Hiang

"Ka1au tidak salah, engkau pasti Bibi Suan Hiang, kan?”

“Betul” Yo Suan Hiang mengangguk. “Siapa yang memberitahukan pada kalian?”

“Kakekku,” jawab Toan Beng Kiat.

Yo Suan Hiang manggut-manggut sambil tersenyum. “Kakekmu pasti Gouw Han Tiong, dan ayahmu tentunya Toan Wie Kie, sedangkan ibumu bernama Gouw Sian Eng! Ya, kan?”

“Bagaimana Bibi bisa tahu?” tanya Toan Beng Kiat, merasa heran.

“Tentu tahu, sebab aku kenal kakek dan kedua orang tuamu,” ujar Yo Suan Hiang sambil memandang Lam Kiong



Soat Lan. “Engkau pasti putri kesayangan Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian. Begitu, bukan?”

Lam Kiong Soat Lan tercengang mendengar ucapan wanita itu.

“Karena aku kenal kedua orang tuamu, bahkan juga kenal Lam Kiong hujin yang telah tiada itu!”

Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut.

“Gadis ini...” Yo Suan Hiang menatap Lu Hui San, karena tidak mengenalnya. “Siapa gadis ini?”

“Namanya Lu Hui San,” jawab Toan Beng Kiat memperkenalkan. “Kami baru berkenalan, dia membantu kami mengusir para anggota Hiat Ih Hwe.”

Yo Suan Hiang manggut-manggut sambil tersenyum. “Terima kasih atas kedatanganmu, Nona!”

Lu Hui San juga tersenyum. “Bibi, panggil namaku saja!” pintanya merendah.

“Baik.” Yo Suan Hiang mengangguk. “Oh ya, Tio Bun Yang telah ke mari, tapi sudah pergi.”

“Sayang sekali!” Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala. “Padahal kami ingin sekali bertemu dia!”

“Oh ya!” Yo Suan Hiang memberitahukan. “Kam Hay Thian juga sudah kemari?

“Kam Hay Thian? Siapa dia?” tanya Toan Beng Kiat.

“Dia putra Kam Pek Kian dan Lie Siu Sien. Ayahnya sudah meninggal” Yo Suan Hiang memberitahukan. “Ayah Tio Bun Yang kenal mereka. Beberapa hari yang lalu, dia meninggalkan markas ini!”

Sementara beberapa anggota sibuk menyuguhkan minuman. Tak lama kemudian mereka bersulang bersama sambil tertawa riang gembira.



“Oh ya,” ujar Yo Suan Hiang. “Bagaimana jika kalian tinggal di sini beberapa hari?”

“Maaf, Bibi!” jawab Toan Beng Kiat. “Kami masih ada urusan lain, jadi tidak bisa tinggal disini!”

“Kalau begitu...” Yo Suan Hiang tersenyum. “Malam ini kalian menginap di sini saja, besok baru pergi?

Toan Beng Kiat mengangguk. “Baiklah, Bibi."

Mereka  menginap  semalam  di  markas  Tiong  Ngie  Pay.

Keesokan harinya barulah mereka meninggalkan markas itu.

-oo0dw0oo-


Sementara itu, para anggota Hiat Ih Hwe telah sampai di markas. Mereka langsung melapor pada Gak Cong Heng yang baru diangkat menjadi wakil ketua, menggantikan Lie Man Chiu yang sekian lama tak kembali ke markas.

“Wakil Ketua, ketika kami bertarung dengan seorang pemuda dan seorang gadis, mendadak muncul gadis lain yang menggunakan pedang Han Kong Kiam...”

“Apa?!” Bukan main terkejutnya Gak Cong Heng mendengar laporan itu. “Kalian bertarung dengan gadis itu?”

“Tidak, Wakil Ketua. Kami langsung kabur!”

“Bagus!” Gak Cong Heng menghela nafas lega. “Untung kalian tidak bertarung dengan gadis itu!”

“Wakil Ketua, bolehkah kami bertanya....”

“Aku tahu, kalian mau bertanya apa. Kenapa tidak boleh mengganggu gadis pemilik pedang Han Kong Kiam, kan?"

“Betul.”



"Aku akan memberitahukan pada kalian. Tapi kalian tidak boleh membocorkan rahasia ini! Siapa yang berani membocorkan, akan dihukum mati!”

Para anggota menganggukkan kepala.

“Kalian harus tahu, gadis itu adalah... putri kesayangan Lu Kong Kong!”

“Haaah?” Wajah para anggota itu langsung berubah pucat. “Untung kami tidak bertarung dengan gadis itu.”

“Ingat, apabila kalian bertemu gadis itu, harus segera melarikan diri. Pokoknya tidak boleh mengganggunya!"

Malam harinya, ketika Lu Thay Kam datang ke markas Hiat Ih Hwe, segeralah Gak Cong Heng melapor tentang itu.

“Ngmmm!" Lu Thay Kam manggut-manggut dan menegaskan. “Pokoknya para anggota tidak boleh mengganggu putriku jika bertemu dia harus segera kabur!”

Gak Cong Heng mengangguk.

“Aku dengar, belum lama ini telah muncul Seng Hwee Kauw dalam rimba persilatan Kalian, harus selidiki siapa ketua Seng Hwee Kauw itu?”

“Baik, Lu Kong Kong.” Gak Cong Heng mengangguk lagi.

“Alangkah baiknya kita bisa bekerjasama dengan Seng Hwee Kauw. Jadi, perkumpulan kita pasti jadi kuat sekali.”

“Aku akan coba melaksanakan itu,” ujar Gak Cong Heng berjanji. “Apabila Hiat Ih Hwe bisa bekerjasama dengan Seng Hwee Kauw,kita pun boleh memanfaatkan mereka untuk membunuh para menteri dan jenderal yang setia.”

“Betul! Ha-ha-ha...!” Lu Thay Kam tertawa gelak. “Ha-ha-ha...!”

-oo0dw0oo-






Bagian 22 Membunuh para Anggota Seng Hwee Kauw


Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San melanjutkan perjalanan sambil tertawa riang gembira. Hubungan mereka semakin akrab, bahkan Toan Beng Kiat kelihatan telah jatuh hati padanya. Akan tetapi, sikap Lu Hui San biasa-biasa saja. Itu membuat Toan Beng Kiat agak kecewa tapi tetap penuh harapan. Semua itu tidak terlepas dari mata Lam Kiong Soat Lan. Tampaknya ia berniat membantu Toan Beng Kiat secara diam-diam.

Hari ini mereka bertiga sampai di sebuah rimba. Ketiganya beristirahat di bawah sebuah pohon.

"Sungguh indah rimba ini!" ujar Toan Beng Kiat sambil menoleh ke arah Lu Hui San yang duduk di sisi Lam Kiong Soat Lan.

"Sebetulnya rimba ini tidak indah,” sahut Lam Kiong Soat Lan sambil tersenyum. “Hanya karena keberadaan Hui San di sini, membuat rimba ini berubah indah.”

"Soat Lan!” Wajah Toan Beng Kiat agak kemerah-merahan “AkU bicara sesungguhnya.”

"Aku pun bicara sesungguhnya,” sahut Lam Kiong Soat Lan sambil melirik Lu Hui San “Ya, kan”

"Bagaimana mungkin diriku bisa menambah keindahan rimba ini” tukas Lu Hui San menyelak pembicaraan itu. Mulutnya tertawa geli.

"Itu menurut pandangan Beng Kiat” Lam Kiong Soat Lan tertawa dan menambahkan “Hui San, Beng Kiat kelihatan sangat tertarik padamu,” bisiknya kepada Hui San.



"Oh?” Lu Hui San tersenyum. “Sesungguhnya kita semua adalah teman....”

"Jadi engkau tidak tertarik pada Beng Kiat?” tanya Lam Kiong Soat Lan mendadak sambil menatapnya. “Itu akan mengecewakan Beng Kiat, lho!”

"Kita baru berkenalan, belum waktunya untuk membicarakan tentang itu.” sahut Lu Hui San, tersenyum.

“Kalau begitu...” Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut. “Masih perlu waktu."

“Soat Lan!” tegur Toan Beng Kiat. “Jangan membicarakan ini, sebab Hui San akan tersinggung.”

“Aku tidak akan tersinggung, kita sama-sama teman. Bagaimana mungkin aku begitu gampang tersinggung?” ujar Lu Hui San.

“Bagus!” Lam Kiong Soat Lan tersenyum lebar. “Hüi San, engkau memang gadis yang baik!”

“Engkaupun begitu.”

Mendadak mereka mendengar suara jeritan wanita minta tolong. Mereka bertiga saling memandang, lalu segera beriari menuju tempat asal suara itu.

Terlihat belasan orang berpakatan hijau berusaha memperkosa seorang wanita. Mati-matian wanita itu meronta, menendang, dan menggigit.

Plaaak! Salah seorang berpakaian hijau menamparnya.

“Aduuuh!”Wanita itu jatuh. Pakaiannya telah tersobek sana-sini tidak karuan.

Betapa gusarnya Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San menyaksikan. Mereka bertiga serentak membentak.

“Berhenti!”



Belasan orang berpakaian hijau menoleh Ketika melihat Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San, tertawalah mereka.

“Ha ha ha! Ada gadis cantik mengantarkan diri, kita akan bersenang-senang dengan mereka!”

“Siapa kalian? Kenapa begitu kurang ajar?” tanya Toan Beng Kiat sambil mengerutkan kening.

“Kami anggota Seng Hwee Kauw!”

“Oooh!” Toan Beng Kiat manggut-manggut. “Ternyata kalian para anggota Seng Hwee Kauw. Katakan, siapa ketua kalian!”

“Ketua kami adalah Seng Hwee Sin Kun!” sahut salah seorang angota Seng Hwee Kauw sambil menatapnya. “Oooh, kalian....”

“Memang kami!” Toan Beng Kiat manggut-manggut. “Bukankah tempo hari kawan-kawan kalian yang ingin membunuh kami?”

“Ha ha ha!” Anggota Seng Hwee Kauw tertawa gelak. “Kami memang sedang cari kalian, tak disangka bertemu di sini! Ha ha! Hari ini kalian harus mampus!”

“Oh?” Toan Beng Kiat mulai menghunus pedangnya, begitu pula Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San.

“Serang mereka!” seru anggota Seng Hwee Kauw yang rupanya pimpinan gerombolan berpakaian hijau itu.

Belasan anggota Seng Hwee Kauw langsung menyerang Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San dengan berbagai macam senjata tajam.

Terjadilah pertarungan sengit, Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan menggunakan Thian Liong Kiam Hoat, sedangkan Lu Hui San menggunakan Ie Hoa Ciap Bok Kam Hoat.



Pertarungan berjalan imbang, karena belasan anggota Seng Hwee Kauw berkepandaian cukup tinggi. Karena itu, Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San harus mengeluarkan jurus-jurus andalan.

Toan Beng Kiat berhasil melukai salah seorang anggota Seng Hwee Kauw, setelah mengeluarkan jurus Thian Liong Jip Hai (Naga Kahyangan Masuk Ke Laut).

Lam Kiong Soat Lan juga berhasil melukai seorang anggota Seng Hwee Kauw. Ternyata ia mengeluarkan jurus Thian Liong Cioh Cu (Naga Kahyangan Merebut Mutiara). Mereka berdua masih belum menggunakan Kim Kong Cap Sah Ciang (Tiga Betas Jurus Pukulan Cahaya Emas), sebab mereka belum dalam bahaya.

Lu Hui San juga telah berhasil melukai lawannya, Ia mengeluarkan jurus Hoa Khay Yap Cing (Bunga Memekar Daun Menghijau).

Tiga anggota Seng Hwee Kauw telah terluka, mereka roboh dengan mulut merintih-rintih kesakitan, karena bahu mereka terluka oleh pedang.

"Cepat serang mereka dengan senjata rahasia!” seru kepala anggota Seng Hwee Kauw.

Seketika para anggota Seng Hwee Kauw menyerang mereka bertiga dengan berbagai macam senjata rahasia Sementara Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San segera berdiri ke arah tiga jurusan dengan punggung saling bertemu punggung.

Begitu mendengar suara desiran senjata rahasia, mereka pun langsung memutarkan pedang masing-masing membentuk payung untuk menangkis serangan maut itu.

Ting! Tang! Tring! Semua senjata rahasia tertangkis dan jatuh berpentalan.



Bersamaan dengan itu tampak sosok bayangan melayang turun. Tanpa berbasa-basi lagi, orang itu langsung menyerang para anggota Seng Hwee Kauw itu. Sosok bayangan yang ternyata Kam Hay Thian menyerang mereka menggunakan Pak Kek Kiam Hoat. Mengeluarkan jurus Keng Thian Tung Te (Mengejutkan Langit Menggetarkan Bumi). Seketika terdengar suara jeritan yang menyayat hati. Dua anggota Seng Hwee Kauw terkapar berlumuran darah. Dada mereka berlubang tertembus pedang Kam Hay Thian. Dua nyawa pun melayang seketika.

Kemunculan Kam Hay Thian membuat Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San merasa memperoleh bantuan. Mereka menyerang lebih cepat Hingga hanya beberapa jurus mereka berhasil melukai iawan-lawannya.

Yang paling ganas adalah Kam Hay Thian. Dia sama sekàli tidak memberi ampun pada para anggota Seng Hwee Kauw. Hanya sebentar saja ia telah membunuh delapan anggota Seng Hwee Kauw. Sisa enam orang telah dilukai Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lui Hui San.

Keenam anggota Seng Hwee Kauw itu merintih-rintih kesakitan. Saat itu Kam Hay Thian mengayunkan pedangnya ke arah mereka.

“Aaakh!  Aaaakh....!"  Terdengarlah  suara  yang  menyayat

hati. Dada keenam anggota Seng Hwee Kauw tertembus pedang Kam Hay Thian. Darah segar mengucur deras, membasahi tubuh mereka yang seketika itu juga telah berjatuhan tewas

Dengan tenang Kam Hay Thian menyarungkan pedangnya. Sementara Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lui Hui San menatapnya terbelalak kaget Mereka tidak menyangka pemuda itu begitu sadis.



“Terima kasih atas bantuan Anda.” ucap Toan Beng Kiat seraya mendekatinya. “Aku bernama Toan Beng Kiat, mereka berdua bernama Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San.”

“Oooh!” Kam Hay Thian balas memberi hormat. “Namaku Kam Hay Thian, julukanku adalah Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat)!”

“Kam Hay Thian?” Terperangah Toan Beng Kiat. Begitu pula Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San.

“Kalian kenal aku?” Kam Hay Thian juga tertegun akan sikap mereka, padahal ia tidak kenal mereka.

“Kami tahu tentang engkau,” sahut Toan Beng Kiat sambil tersenyum. “Bibi Suan Hiang yang memberitahukan.”

“Kalau begitu, tentunya kalian sudah pergi kemarkas Tiong Ngie Pay,” tukas Kam Hay Thian sambil tersenyum.

“Betul.” Kam Hay Thian mengangguk.

“Eeeeh?” Mendadak Lam Kiong Soat Lan menengók ke sana ke mari. “Kemana wanita itu?”

“Sudah pergi,” sahut Kam Hay Thian. “Aku melihat dia kabur terbirit-birit ketakutan.”

“Oooh!” Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut sambil menatapnya. Kelihatannya gadis ini sangat tertarik pada pemuda itu.

“Julukanmu Chu Ok Hiap, pantas tidak memberi ampun pada mereka,” ujar Toan Beng Kiat.

“Kita jangan mengobrol di sini!” sela Lam Kiong Soat Lan. “Tempat ini sudah berubah seram dengan adanya mayat-mayat itu. Mari kita cari tempat lain saja!”

Mereka meninggalkan tempat itu, menuju sebuah sungai tak jauh dan tempat pertempuran.



“Mari kita duduk di pinggir sungai. Lihat, àirnya jernih sekali!” seru Lam Kiong Soat Lan girang.

“Baik!” Kam Hay Thian menyambut gembira.

Mereka segera menuju ke pinggir sungai, kemudian duduk di sana dan mulai mengobrol.

Kam Hay Thian manggut-manggut sambil memandangi Toan Beng Kiat.

“Saudara Kam, kepandaianmu sungguh tinggi sekali,” puji Toan Beng Kiat kagum. “Bolehkah kami tahu siapa gurumu?”

“Aku....”  Tergagap  Kam  Hay  Thian  sambil  menggeleng-

gelengkan kepala. “Aku tidak punya guru.”

“Luar biasa!” sela Lam Kiong Soat Lan sambil tertawa kecil. “Tidak punya guru kok bisa berkepandaian begitu tinggi?”

“Aku belajar sendiri di dalam sebuah goa....” jawab Kam

Hay Thian lalu menuturkan tentang itu.

“Oh” Toan Beng Kiat terbelalak “Guru kami pernah menceritakan tentang kitab pusaka itu!"

“Siapa guru kalian?”

“Tayli Lo Ceng” sahut Toan Beng Kiat “Guru kami bilang, kitab-kitab pusaka itu milik Bu Lim Sam Mo’”

Toan Beng Kiat menyapa sambil memandangi Kam Hay Thian, “Saudara Kam, engkau sungguh beruntung memperoleh kitab-kitab pusaka itu. Tapi harus hati-hati, jangan sampai direbut orang!” ujar Toan Beng Kiat

“Kitab-kitab pusaka itu telah kubakar, aku khawatir akan direbut penjahat.”

“Hay Thian!” Lam Kiong Soat Lan memanggil namanya “Kenapa engkau begitu sadis? Sama sekali tidak memberi ampun pada para anggota Seng Hwee Kauw tadi”



“Nona Soat Lan,” Kam Hay Thian menjelaskan. “Sesuai dengan julukan, àku tidak memberi ampun pada para penjahat”

“Chu Ok Hiap’” Lam Kiong Soat Lan tertawa “Julukan itu memang cocok untukmu!”

Kam Hay Thian manggut-manggut, sementara Lu Hui San yang sejak tadi terdiam mulai membuka mulut.

“Kenapa engkau begitu membenci para penjahat””

“Sebab ayahku dibunuh penjahat, maka aku harus membasmi mereka!” sahut Kam Hay Thian.

“Oh ya, kenapa kalian juga bertarung dengan para penjahat itu?”

“Mereka ingin memperkosa wanita yang kabur terbirit-birit itu,” jawab Lam Kiong Soat Lan.

“Kalian tahu siapa mereka itu?”

“Mereka para anggota Seng Hwee Kauw.”

“Seng Hwee Kauw?” gumam Kam Hay Thian dengan wajah berubah.

“Eh”” Lam Kiong Soat Lan menatapnya “Kenapa engkau?”

“Kalian tahu siapa ketua mereka?” tanya Kam Hay Thian dengan mata mulai membara.

“Seng Hwee Sin Kun.”

“Pasti dia! Pasti dia!” seru Kam Hay Thian sambil meloncat bangun “Aku harus bunuh dia! Aku harus bunuh dia!”

“Saudara Kam!” Toan Beng Kiat segera bangkit berdiri. Dipegangnya bahu pemuda itu. “Tenang, duduklah!”

“Maaf!” ucap Kam Hay Thian sambil duduk kembali. “Aku terlampau emosi!”



“Engkau kenal Seng Hwee Sin Kun itu?” tanya Lam Kiong Soat Lan sambil menatapnya. “Ada dendam di antara kalian?”

“Mungkin Seng Hwee Sin Kun itulah pembunuh ayahku,” jawab Kam Hay Thian penuh kegeraman. “Tanpa sengaja ayahku menotong Seorang tua, sebelum orang tua itu menghembuSkan nafas penghabisan, dia menyerahkan sebuah kitab pada ayahku," Kam Hay Thian menghela nafas dan melanjutkan, “Karena kitab itu, maka ayahku dibunuh penjahat itu.”

“Penjahat itu merebut kitab tersebut?” tanya Toan Beng Kiat.

“Ya!” Kam Hay Thian mengangguk.

“Kitab apa itu?" tanya Lam Kiong Soat Lan.

“Kitab Seng Hwee Cin Keng,” jawab Kam Hay Thian memberitahukan “Kitab ilmu silat yang amat tinggi sekali.

“Seng Hwee Cin Keng “gumam Toan Beng Kiat. “Seng Hwee.... tidak salah lagi, Seng Hwee Sin Kun adalah penjahat
yang membunuh ayahku, mungkin juga dialah pembunuh kakek tuaku”

“Memang mungkin’” Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut “Penjahat itu juga pembunuh nenekku.”

“Oh? Bagaimana cara kematian mereka “ tanya Kam Hay Thian.

“Mati hangus.” Lam Kiong Soat Lan memberitahukan.

“Kalau begitu tidak salah lagi, pasti penjahat itu!” ujar Kam Hay Thian. “Karena Seng Hwee Sin Kang mengandung semacam hawa api yang dapat menghanguskan apapun!”

“Kita punya musuh yang sama!” ujar Lam Kiong Soat Lan. “Bagaimana kalau kita menyerang ke markas mereka?”



“Kita tidak tahu di mana markas mereka” Kam Hay Thian menggeleng-gelengkan kepala.

“Lain kali kalau kita bertemu anggota Seng Hwee Kauw lagi, kita harus bertanya di mana markas mereka itu.”

“Aku setuju,” Kam Hay Thian manggut-manggut.

“Jangan berlaku ceroboh!” sela Toan Beng Kiat. “Lebih baik memberitahukan dulu pada kakekku dan kakek Lim, bagaimana menurut pendapat mereka!”

“Kalau begitu, lebih baik aku saja yang pergi menyerang markas Seng Hwee Kauw itu,” tandas Kam Hay Thian.

“Jangan gegabah!” ujar Lu Hui San memperingatkan. “Kepandaian Seng Hwee Sin Kun itu sangat tinggi, dia pasti telah berbasil mempelajari Seng Hwee Cin Keng itu. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia mendirikan Seng Hwee Kauw dan menyebut dirinya Seng Hwee Sin Kun! Karena itu, sebelum bertindak, lebih baik kita pikirkan secara matang dulu!”

“Betul!” sahut Toan Beng Kiat.

“Nona Hui San,” ujar Kam Hay Thian dengan kening berkerut. “Aku bukan sok jago, aku tak sabar ingin membalas dendam.”

“Aku mengerti itu.” Lu Hui San manggut-manggut. “Tapi, alangkah baiknya kita terima saran Beng Kiat.”

Kam Hay Thian berpikir lama sekali, sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah, aku menuruti pendapat Saudara Toan!”

“Setelah kita tahu di mana markas Seng Hwee Kauw, barulah kita pergi ke markas pusat Kay Pang,” ujar Lam Kiong Soat Lan. “Sekarang belum perlu. Kemudian, kalau ada apa-apa, lebih baik kita berunding dulu.”



“Betul!” Lu Hui San manggut-manggut. “Kita semua sudah saling berteman, jadi di antara kita mesti ada saling pengertian. Jauhkan sikap keras kepala kita!”

“Nona Hui San!” Kam Hay Thian tersenyum. “Sebetulnya aku tidak keras kepala, cuma... ingin lekas-lekas membalas dendam saja!”

“Nah!” Lu Hui San tertawa kecil. “Engkau mengatakan begitu, itu berarti telah mengaku dirimu keras kepala.

"Eeeh?” Kam Hay Thian tertegun. “Aku....?"

“Maaf!” ucap Lu Hui San sambil tersenyum. “Apabila ucapanku tadi menyinggung perasaanmu, aku mohon maaf."

“Aku tidak tersinggung, sungguh!” Kam Hay Thian tersenyum. “Oh ya, kalian mestinya bisa bersikap adil pula.”

“Memangnya kenapa?" tanya Lam Kiong Soat Lan.

“Kalian tahu orang tuaku, tapi aku belum tahu siapa orang tua kalian, bukankah kurang adil?”

“Oooh, itu!” Lam Kiong Soat Lan tertawa. “Ayahku bernama Lam Kiong Bie Liong, ibuku bernama Toan Pit Lian!”

“Ayahku bernama Toan Wie Kie, kakak kandungnya Toan Pit Lian!” Toan Beng Kiat menimpali. “Ibuku bernama Gouw Sian Eng, kakekku adalah wakil ketua Kay Pang!”

“Oooh!” Kam Hay Thian manggut-manggut, kemudian bertanya pada Lu Hui San yang diam itu. “Siapa kedua orang tuamu?

“Ayahku bernama Lu Kam Thay. Ibuku... sudah lama meninggal,” ujar Lu Hui San.

“Nah!” ujar Toan Beng Kiat. “Kini kita berempat adalah teman baik, maka kita harus bersatu melawan Seng Hwee Kauw.”

Kam Hay Thian manggut-manggut.



“Tapi....” Mendadak Toan Beng Kiat memandang Lu Hui

San. “Hui San tidak punya dendam apa-apa dengan Seng Hwee Sin Kun.”

“Aku ingin membantu,” potong Lu Hui San. “Boleh, kan?”

“Tentu bo!eh, namun akan membahayakan dirimu! Aku pikir....,” Toan Beng Kiat menatapnya.

“Tidak perlu dipikir lagi, sebab aku sudah mengambil keputusan untuk membantu kalian!”

“Terima kasih!” ucap Toan Beng Kiat, Kam Hay Thian, Lam Kiong Soat Lan serentak sambil tersenyum.

“Ayo!” ajak Lu Hui San sambil bangkit berdiri. “Sudah lama kita duduk di sini, kita lanjutkan perjalanan!”

“Menuju ke mana?” tanya Kam Hay Thian. “Kemana pun boleh,” sahut Lu Hui San. “Ya, kan?” “Betul!” Toan Beng Kiat manggut-manggut. Mereka berempat meneruskan perjalanan.

“Mudah-mudahan pihak Seng Hwee Kauw akan muncul, jadi kita bisa bertanya pada mereka berada di mana markas itu,” ujar Kam Hay Thian.

“Tapi ingat!” pesan Lam Kiong Soat Lan. "Jangan langsung membunuh mereka, agar kita bisa bertanya pada mereka!”

“Cukup sisakan satu saja,” sahut Kam Hay Thian. “Aku adalah Chu Ok Hiap, tidak bisa mengampuni mereka!”

Lam Kiong Soat Lan menggeleng-gelengkan kepala.

“Kalian harus tahu,” ujar Kam Hay Thian sungguh-sungguh. "Betapa jahatñya para anggota Seng Hwee Kauw, mereka pasti sering memperkosa dan membunuh. Buktinya mereka juga ingin membunuh kalian, maka apa salahnya aku membasmi mereka?”



“Tapi....” Lu Hui San menghela nafas. “...terlampau sadis!”

"Mereka memperkosa dan membunuh, apakah itu tidak sadis?" sahut Kam Hay Thian sambil menatapnya. "Kalau hanya dilukai dengan senjata mereka akan kembali berlaku jahat apabila sudah sembuh. Dan kejahatan mereka akan semakin merajatela. Aku tak inginkan semua itu. Coba kau pikir kalau tidak dibasmi habis para penjahat itu, entah berapa banyak orang yang akan mati ditangan mereka!”

“Sudahlah!” sela Toan Beng Kiat sambil tertawa. “Kita tidak perlu memperdebatkan itu, sebab pikiran orang berbeda. Yang penting, kita jangan melakukan kejahatan.”

“Aaah....” Lu Hui San menghela nafas panjang. "Kini aku

baru tahu, dalam rimba persilatan memang penuh kejahatan. Pantas ayahku berpesan padaku harus berhati-hati hidup di rimba persilatan.

“Ayahmu benar, maka engkau harus berhati-hati,” ujar Toan Beng Kiat lembut sambil memandangnya. “Aku pun akan melindungimu."

“Terimakasih,” ucap Lu Hui San dengan wajah agak kemerah-merahan.

“Jadi engkau cuma melindunginya, lalu bagaimana aku?" tanya Lam Kiong Soat Lan sambil tersenyum. "Ingat, aku adikmu!”

"Jangan cemas!” sahut Toan Beng Kiat sambil tertawa. “Saudara Kam melindungimu!”

“Eh? Aku...” sahut Kam Hay Thian menggeragap “Aku pun harus melindungi diriku sendiri.”

“Dasar bodoh engkau!” Toan Beng Kiat melototinya “Tidak mengerti sama sekali”

“Lho? Kenapa?” tanya Kam Hay Thian bingung. “Aku berbicara sesungguhnya.”



Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala. “Engkau betul-betul bodoh!”

“Aku... aku mungkin memang bodoh.” Hay Thian menundukkan kepala, membuat Lam Kiong Soat Lan tertawa geli.

“Engkau tidak bodoh. Kau terlalu jujur dan polos, sobat. Tapi itu sifat yang baik,” ujar Lam Kiong Soat Lan. “Aku suka denganmu!"

“Nah!” Toan Beng Kiat tertawa. “Engkau suka apa?"

“Suka sifatnya itu,” sahut Lam Kiong Soat Lan dengan wajah kemerah-merahan, "Memangnya kenapa?”

“Aku kira. . ." Toan Beng Kiat tersenyum-senyum.

“Kau kira apa, heh?" tanya Lam Kiong Soat Lan dengan mata melotot.

“Aku kira itu. . . “ gumam Toan Beng Kiat sambil tertawa “Ha-ha-ha. . . .!“

-oo0dw0oo-


Bagian 23 Berangkat ke Tionggoan


Beberapa hari ini, Lie Ai Ling selalu marah-marah tidak karuan Tentu saja ini sangat membingungkan kedua orang tuanya Bahkan Tio Tay Seng, kakeknya, juga tidak habis pikir, kenapa cucunya itu selalu marah-marah.

"Cie Hiong!” ujar Tio Tay Seng sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kenapa beberapa hari ini Lie Ai Ling selalu marah-marah?”



Tio Cie Hiong hanya tersenyum. "Itu karena kedua orang tuanya belum memperbolehkannya ke Tionggoan,” jawabnya kemudian.

"Oh, itu!” Tio Tay Seng manggut-manggut. “Cie Hiong, bagaimana menurutmu?"

"Maksud Paman?”

"Bolehkah kita mengijinkan dia pergi ke Tionggoan?"

"Kini dia sudah cukup dewasa, memang tidak baik juga terus mengekangnya. Ada baiknya kita mengijinkannya ke Tionggoan. Lagipula ayahnya telah menjanjikan itu. Tidak baik membohongi anak!”

"Kalau begitu, kita harus membicarakannya dengan kedua orang tuanya,” ujar Tio Tay Seng sungguh-sungguh.

"Benar!” Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"Kakak Hiong..” ujar Lim Ceng Im. “Ada baiknya dia pergi ke Tionggoan bersama Goat Nio.”

"Tentu saja.” Tio Cie Hiong manggut-manggut.

Kebetulan muncul Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa. Tio Tay Seng segera mempersilakan mereka duduk.

“Ada apa, Ayah?” tanya Tio Hong Hoa.

“Tahukah kalian kenapa Ai Ling marah-marah?” Tio Tay Seng balik bertanya sambil memandang mereka.

Tio Hong Hoa mengangguk. “ini karena kami belum mengijinkannya ke Tionggoan!”

“Kenapa?” Tio Tay Seng mengerutkan kening.

“Dia masih kecil”

“Kini dia sudah dewasa, lagi pula Man chiu pernah menjanjikannya. Jadi tidak baik mengulur-ulur janji.”

“Ayah setuju dia ke Tionggoan?” tanya Tio Hong Hoa.



“Yaah.” Tio Tay Seng menghela nafas panjang. “Dia sudah cukup dewasa, ada baiknya juga dia menimba pengalaman di Tionggoan. Lagipula dia akan berangkat bersama Goat Nio.”

“Kalau Ayah setuju, kami pun tidak berkeberatan,” ujar Tio Hong Hoa. “Kami akan memberitahukan padanya.”

Sementara itu muncul pula Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw Suseng, dan Kou Hun Bijin.

“Hi-hi-hi!” Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. “Ada apa nih? Kok berkumpul disini?”

“Kami sedang membicarakan Ai Ling,” sahut Tio Tay Seng.

“Kenapa dia?” tanya Kim Siauw Suseng heran.

“Beberapa hari ini, dia selalu marah-marah. Apakah kalian tidak tahu itu?” Tio Tay Seng balik bertanya.

“Tentu tahu!” Kim Siauw Suseng tertawa. “Dia marah-marah karena belum diijinkan ke Tionggoan!”

"Kini kami sudah setuju, tapi harus berangkat bersama Goat Nio," ujar Tio Tay Seng.

"Tentu," sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. “Goat Nio memang harus pergi ke Tionggoan mencari Bun Yang.”

“Kalau begitu, kita harus memberjtahukan padanya, agar hatinya merasa gembira,” ujar Lim Ceng Im.

“Siapa yang terus cemberut?” Mendadak muncul Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio.

“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. “Engkau yang cemberut! Namun sebentar lagi wajahmu pasti berseri.”

“Hmm!” dengus Lie Ai Ling.

“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay tertawa lagi. "Ai Ling, tahukah engkau kami sudah setuju?”

“Ah! Bohong!”



“Ai Ling!” Tio Hong Hoa tersenyum lembut. “Kami tidak bohong, kami mengijinkan engkau ke Tionggoan lagi!”

“Oh?” Wajah Lie Ai Ling langsung berseri. “Ibu dan ayah sudah setuju?”

“Kami semua sudah setuju,” sahut Lie Man Chiu sambil tersenyum. “Tapi harus berangkat bersama Goat Nio.”

“Itu sudah pasti,” Lie Ai Ling tertawa. “Sebab Goat Nio harus bertemu Kakak Bun Yang.”

“Mulai, ya!” Siang Koan Goat Nio menoleh dengan mata melotot, merasa digoda Ai Ling.

“Mulai apa?” Lie Ai Ling tertawa.

Siang Koan Goat Nio diam saja, sedangkan Lie Ai Ling terus tertawa gembira.

“Tidak lama lagi, Hong Hoang Lihiap dan Kim Siauw Siancu akan muncul di Tionggoan!" ujarnya.

“Julukan-julukan itu memang tepat bagi kalian,” ujar Kou Hun Bijin sambil tertawa. “Putriku memang Kim Siauw Siancu, dan engkau Hong Hoang Lihiap! Hi hi hi...!”

“Kapan kalian akan berangkat?” tanya Tio Tay Seng.

“Besok,” sahut Lie Ai Ling.

“Baiklah,” Tio Tay Seng manggut-manggut, kemudian memberi nasihat dan lain sebagainya.

Lie Ai Ling mendengar dengan penuh perhatian, begitu pula Siang Koan Goat Nio.

Keesokan harinya, berangkatlah mereka ke Tionggoan dengan hati penuh rasa kegembiraan.

-oo0dw0oo-



Belasan hari kemudian, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling sudah tiba di Tionggoan. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke markas pusat Kay Pang.

“Goat Nio!” ujar Lie Ai Ling sambil tersenyum. “Kali ini kita harus berhasil bertemu Kakak Bun Yang.

Siang Koan Goat Nio hanya tersenyum. “Engkau rindu sekali padanya”

“Tentu” Lie Ai Ling mengangguk “Sudah hampir tiga tahun aku tidak bertemu dia”

"Jangan-jangan. . ." Siang Koan Goat Nio menghentikan ucapannya. Dipandangnya Ai Ling.

"Kenapa tidak dilanjutkan?” sergah Ai Ling.

“Maksudku, jangan-jangan engkau mencintainya,” ujar Siang Koan Goat Nio sambil tertawa kecil.

“Memang!" Lie Ai Ling mengangguk “Tempo hari sudah kukatakan padamu, babwa aku mencintainya sebagai kakak, bukan sebagai kekasih. Jadi, engkau harus paham, dia adalah kakakku yang paling baik di dunia”

“Oh, ya?” Siang Koan Goat Nio tersenyum.

"Sungguh!" ujar Lie Ai Ling “Aku berharap engkau berjodoh dengan dia, itu karena aku sangat cocok dengan engkau!”

“Aku tahu maksud baikmu, tapi Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala “Belum tentu dia akan tertarik padaku”

“Aku berani jamin!” Lie Ai Ling tertawa kecil “Kalau dia bertemu engkau, pasti tertarik”

Sekonyong-konyong terdengar suara tawa, lalu muncul belasan orang berpakaian hijau.

“Ha ha ha! Sungguh kebetulan, kita bertemu dua gadis yang cantik sekali Sungguh beruntung kita hari ini!”



“Siapa kalian?” bentak Lie Ai Ling.

"Kami anggota-anggota Seng Hwee Kauw. Nona sungguh cantik sekali, tentunya kalian tak menolak bersenang-senang dengan kami,” ujar orang berpakaian hijau yang merupakan kepala anggota-anggota Seng Hwee Kauw itu.

“Ciss!” dengus Lie Ai Ling. “Apakah kalian tidak berkaca?"

“Kami tidak perlu mengaca, karena biar bagaimanapun kalian berdua harus melayani kami bersenang-senang,” ujar kepala anggota Seng Hwee Kauw itu sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Kami juga harus bersenang~senang dengan mereka!" seru yang lain. “Jangan melupakan kami!”

“Jangan khawatir!” Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu tertawa. “Kalian semua pasti mendapat giliran, tapi jangan berebutan!”

Betapa gusarnya Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling mendengar percakapan kotor itu.

Siang Koan Goat Nio segera mengeluarkan suling emasnya, sedangkan Lie Ai Ling menghunus pedang pusaka Hong Hoang Kiam. Kelihatannya kegua gadis itu sudah siap bertarung.

“He-he-he!” Kepala anggota Seng Hwee Kauw tértawa. “Kalian ingin bertarung dengan kami?”

“Ya!” Sahut Lie Ai Ling. “Kami tidak takut pada kalian!”

“Nona, Nona! Dari pada kita bertarung dengan senjata, bukankah lebih baik kita bertarung yang enak dan penuh kenikmatan? Pokoknya kalian berdua akan merasa puas."

Kegusaran Lie Ai Ling telah memuncak. Ia langsung menyerang dengan menggunakan ilmu pedang Hong Hoang Kiam Hoat.



Begitu melihat Lie Ai Ling mulai menyerang, Siang Koan Goat Nio juga menyusulnya. Gadis itu menggunakan Cap Pwee Kim Siauw Ciat Hoat.

Seketika terjadilah pertarungan sengit, belasan jurus kemudian, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling tampak mulai terdesak. Sehingga kedüanya harus mengeluarkan jurus-jurus andalan.

Di saat itulah mendadak berkelebatan beberapa sosok bayangan, langsung menyerang para anggota Seng Hwee Kauw itu. Ternyata mereka Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, Lu Hui San dan Kam Hay Thian.

Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya para anggota Seng Hwee Kauw saat itu. Mereka bertarung sambil mundur siap melarikan diri.

Akan tetapi, bagaimana mungkin Kam Hay Thian membiarkan mereka melarikan diri. Pedangnya berkelebatan ke sana ke mari laksana kilat. Dia mengeluarkan jurus Thian Gwa Kiam In (Bayangan Pedang di Luar Langit). Terdengarlah suara jeritan menyayat hati. Tiga anggota Seng Hwee Kauw telah roboh berlumur darah. Dada mereka berlubang tertembus pedang Kam Hay Thian.

“Hay Thian! Jangan bunuh mereka semua!” seru Toan Beng Kiat mengingatkannya.

“Ya!” sahut Kam Hay Thian.

Sementara Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling juga telah berhasil melukai lawannya. Begitu pula Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San. Para anggota Seng Hwee Kauw yang terluka itu bergelimpangan dan mengerang kesakitan. Sedangkan Kam Hay Thian terus menyerang. Terdengar lagi suara jeritan, tiga anggota Seng Hwee Kauw roboh mandi darah lagi. Dada mereka pun berlubang mengucurkan darah segar. Mayat-mayat bergelimpangan berlumur darah.



Pertarungan itu berhenti. Tampak beberapa anggota Seng Hwee Kauw yang terluka itu masih merintih-rintih.

Kam Hay Thian mendekati mereka dengan tatapan dingin, kemudian mendadak menggerakkan pedangnya.

“Aaaakh! Aaaakh! Aaaakh...!” Para anggota yang terluka itu pun dibunuhnya tanpa ampun, hanya tersisa satu orang.

Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling menyaksikan itu dengan mata terbeliak ngeri. Mereka berdua sama sekali tidak menyangka pemuda itu begitu bengis.

"Engkau harus menjawab dengan jujur, mungkin aku akan mengampuni nyawamu!” bentak Kam Hay Thian pada anggota Seng Hwee Kauw itu.

“Ya! Ya....” jawab orang itu ketakutan.

“Berada di mana markas Seng Hwee Kauw?"

“Di. . .di. . .Lembah Kabut Hitam!”

“Terletak di mana Lembah Kabut Hitam itu?"

“Di... di kaki Hek Ciok San (Gunung Batu Hitam)!” “Engkau pernah memasuki Lembah Kabut Hitam itu?”

“Tidak pernah! Sebab... sebab kami cuma merupakan anggota biasa. Jadi tidak boleh masuk!”

“Di lembah itu terdapat jebakan?”

“Bagus!” Kam Hay Thian tertawa dingin, kelihatannya ia sudah siap menghabiskan nyawa orang itu.

“Tahan, Saudâra Kam!” teriak Toan Beng Kiat memperingatkan. “Biar dia kembali ke sana untuk melapor!”

Kam Hay Thian mengangguk, lalu menatap orang itu. “Cepat enyah dan sini!”



Dengan sempoyongan orang itu berlari meninggalkan tempat pertempuran, Kam Hay Thian terus tertawa dingin.

Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling mendekati mereka, lalu memberi hormat. “Terimakasih atas bantuan kalian!”

“Sama-sama,” sahut Lam Kiong Soat Lan sambil memandang mereka. "Kita tidak pernah bertemu, tapi rasanya sudah tahu.”

Lie Ai Ling tertegun memandangi mereka.

“Kalau tidak salah..? ujar Lam Kiong Soat Lan sambil tersenyum. “Kalian bérdua pasti Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling.

“Dari mana kau tahu?” tanya Lie Ai Ling dengan mata membeliak.

Lam Kiong Soat Lan tersenyum, sementara Siang Koan Goat Nio terus memandanginya.

“Kalau begitu, kalian pasti Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat.”

“Betul,” Lam Kiong Soat Lan tertawa gembira, kemudian menunjuk Lu Hui San dan Kam Hay Thian dan memperkenalkan mereka. “Mereka adalah Lu Hui San dan Kam Hay Thian.”

Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling segera memberi hormat pada mereka, Lu Hui San dan Kam Hay Thian langsung balas memberi hormat.

“Selamat berjumpa!” ucap Lu Hui San sambil tersenyum.

“Sama-sama,” sahut Lie Ai Ling sambil tertawa. “Bagus, kita semua berkumpul disini.”

“Aku Toan Beng Kiat,” ujar pemuda itu memperkenalkan diri, lalu tanyanya. “Kenapa kalian bertarung dengan para anggota Seng Hwee Kauw itu?”



“Kami tidak paham sama sekali. Mereka muncul lalu mencetuskan kata-kata kotor, membuat kami tersinggung dan merasa diremehkan,” tutur Ai Ling.

“Mereka memang jahat,” ujar Kam Hay Thian, "Karena itu, aku tidak memberi ampun pada mereka!"

“Engkau sungguh sadis!" ujar Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala. "Yang sudah terluka pun engkau bunuh. huh! Aku jadi seram dan takut.”

“Terhadapku?” tanya Kam Hay Thian dengan kening berkerut.

"Ya!" Lie Ai Ling mengangguk. “Engkau sangat bengis.”

“Jangan merasa seram maupun takut!” sela Toan Beng Kiat sambil tersenyum dan melanjutkan. “Dia sadis cuma terhadap penjahat, karena dia adalah ChU Ok Hiap!”

“Pendekar Pembasmi Penjahat?” "Ya!"

“Pantas tidak memberi ampun pada para penjahat” Lie Ai Ling manggut-manggut

“Apa julukan kalian?" tanya Lam Kiong Soat Lan ingin mengetahuinya. “Bolehkan engkau memberitahukan pada kami?”

Lie Ai Ling tersenyum. “Julukanku Hong Hoang Lihiap, julukan Goat Nio adalah Kim Siauw Siancu.”

“Sungguh indah julukan-julukan itu!” Lam Kiong Soat Lan tertawa kecil. “Aku belum punya julukan.”

“Tidak apa-apa,” ujar Lie Ai Ling. “Kelak engkau pasti punya julukan.

Lam Kiong Soat Lan tersenyum. Sementara Toan Beng Kiat memandang mereka seraya bertanya. “Nona Ai Ling, kedua orang tuamu adalah Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa?”



“Betul.” Lie Ai Ling mengangguk. “Kedua orang tuamu pasti Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng.”

“Betul,” Toan Beng Kiat manggut-manggut. “Orang tua kita merupakan teman baik, kita pun harus jadi teman baik.”

“Tentu.” Lie Ai Ling tertawa.

“Oh ya.” Lam Kiong Soat Lan menatap Siang Koan Goat Nio. “Kedua orang tuamu pasti Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin yang awet muda itu.”

“Betul!” Siang Koan Goat Nio mengangguk. “Aku pun tahu kedua orang tuamu. Mereka adalah Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lan.”

“Tidak salah.” Lam Kiong Soat Lan tersenyum, kemudian memberitahukan. “Kedua orang tua Kam Hay Thian adalah Kam Pek Kian dan Lie Siu Sien, paman Cie Hiong kenal mereka.”

“Oooh!” Lie Ai Ling manggut-manggut, lalu memandang Lu Hui San seraya bertanya. “Siapa kedua orang tuamu?”

“Ayahku adalali Lu Kam Thay, sedangkan ibuku sudah lama meninggal," jawab Lu Hui San.

Sementara Kam Hay Thian terus memandang Siang Koan Goat Nio. Dia kelihatan tertarik pada gadis itU.

“Ei! Engkau!" Mendadak Lie Ai Ling menünjuk Kam Hay Thian. "Engkau begitu membenci para anggota Seng Hwee Kauw, kelihatannya punya dendam dengan mereka.”

"Betul.” Kam Hay Thian mengangguk. “Ketua mereka membunuh ayahku!”

Lie Ai Ling manggut-manggut. “Pantas kalau begitu,” gumamnya.

“Ketua Seng Hwee Kauw itu pun membunuh kakek tuaku.” Toan Beng Kiat memberitahukan.



“Maksudmu Tui Hun Lojin?” tanya Lie Ai Ling.

“Ya!” Toan Beng Kiat mengangguk.

“Nenekku pun dibunuhnya.” Lam Kiong Soat Lan memberitahukan. “Maka kami semua ingin membunuh Seng Hwee Sin Kun itu!”

“Seng Hwee Sin Kun?” Lie Ai Ling tertegun. “Siapa dia?" “Ketua Seng Hwee Kauw,” sahut Lam Kiong Soat Lan.

“Kalau begitu, kami harus membantu,” ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. “Goat Nio juga pasti mau membantu?

“Terima kasih,” ucap Toan Beng Kiat.

“Kalau begitu, mari kita menyerbu ke markas Seng Hwee Kauw!” ujar Kam Hay Thian mendadak. “Kita sudah tahu di mana markas itu.”

“Kita memang sudah tahu markas Seng Hwee Kauw, tapi kita tidak boleh langsung menyerbu ke sana.” ujar Toan Beng Kiat.

“Kenapa?” Kam Hay Thian mengerutkan kening.

“Bukankah tadi orang itu memberitahukan bahwa di sana terdapat jebakan? Lagipula kita kurang pengalaman. Lebih baik kita berunding dulu dengan kakekku dan kakek Lim,” usul Toan Beng Kiat dan menambahkan. “Kita tidak boleh bertindak ceroboh!”

Kening Kam Hay Thian terus berkerut, seperti hendak berkata tapi diurungkan.

“Memang lebih baik berunding dulu dengan kedua kakek itu. Sebab, mereka sangat berpengalaman,” ujar Siang Koan Goat Nio. “Kita tidak boleh bertindak semau kita, terlalu berbahaya!”

Kam Hay Thian mengangguk sambil memandang Siang Koan Goat Nio “Aku menuruti pendapatmu.”



Lam Kiong Soat Lan dan Lui Hui San saling memandang, sedangkan Toan Beng Kiat tampak melongo.

“Eeeh?” Terheran-heran Lie Ai Ling sambil memandang mereka. “Kenapa kalian jadi begitu, persis seperti orang bloon?”

Toan Beng Kiat tersenyum. “Ucapan Hay Thian tadi....”

“Kenapa ucapannya?”

“Katanya dia menuruti pendapat Goat Nio!” Toan Beng Kiat memberitahukan. “Itu yang mengejutkan kami.”

“Kenapa harus terkejut? Pendapat yang benar memang harus dituruti, jadi tidak usah terkejut!” sahut Ai Ling keheranan.

Sementara wajah Kam Hay Thian telah kemerah-merahan, tadi dia mengucapkan kata-kata tanpa disadari.

Sedangkan Siang Koan Goat Nio cuma bersikap biasa-biasa saja. Semua percakapan Itu bagaikan angin lalu baginya.

“Ayoh!” ajak Lam Kiong Soat Lan mendadak. “Mari kita berangkat ke markas pusat Kay Pang!”

Yang lain mengangguk, mereka lalu berangkat menuju ke markas pusat Kay Pang.

-oo0dw0oo-


Di ruang tengah di dalam markas Seng Hwee Kauw, tampak Seng Hwee Sin Kun, Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui, Pat Pie Lo Koay, Tok Chiu Ong, dan Hek Sim Popo dengan wajah serius. Kelihatannya mereka sedang merundingkan sesuatu.

"Kita semua telah menerima laporan itu, bahwa telah muncul Chu Ok Hiap dan lainnya membunuh para anggota kita. Maka aku ingin bertanya, bagaimana menurut kalian?” Seng Hwee Sin Kun bertanya kepada mereka.



“Tentunya kita harus membunuh mereka,” sahut Hek Sim Popo.

“Benar!” sambung Tok Chiu Ong. “Kita harus membunuh mereka, sebab telah membunuh puluhan anggota kita.”

“Ngmm!” Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. “Sebetulnya sasaranku adalah orang tua mereka.”

“Kalau begitu,” ujar Pat Pie Lo Koay mengemukakan pendapatnya. “Kita tidak perlu membunuh mereka. Kita buat mereka terluka agar orangtua mereka muncul! Bagaimana menurut Kauwcu?”

“Aku setuju,” sahut Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut, kemudian memandang Pek Bin Kui. “Bagaimana menurutmu?”

“Apa yang dikatakan Pat Pie Lo Koay memang bisa diterima,” sahut Pek Bin Kui sambil tersenyum. “Kita melukai mereka dengan tujuan memancing orangtua mereka keluar. Setelah itu kita membunuh orangtua mereka!”

“Benar!” Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. “Itu tujuan utama kita.”

“Tapi “ ujar Pek Bin Kui untuk melukai mereka, tentunya tidak bisa mengandalkan pada para anggota kita. Kepandaian mereka masih terlalu rendah. Oleh karena itu, kita harus memilih beberapa anggota berkepandaian cukup tinggi, ditambah dua orang di antara kita, barulah bisa melukai mereka!”

“Ngmmm!” Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut “Kalau begitu, siapa di antara kalian bersedia melakukan pekerjaan ini?"

“Aku!” sabut Pat Pie Lo Koay.

“Aku!." sahut Tok Chiu Ong kemudian “Kami berdua bersedia!”



“Bagus! Kalau begitu, tugas kuserahkan pada kaliàn berdua,” ujar Seng Hwee Sin Kun.

“Ya Kauwcu,” sahut Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong.

“Pek Bin Kui!” Seng Hwee Sin Kun menatapnya “Engkau masih punya rencana lain?”

“Ada, Kauwcu!” Pek Bin Kui mengangguk.

“Apa rencanamu?”

"Begini,” sahut Pek Bin Kui. “Seng Hwee Kauw harus mulai membuat kejutan dalam rimba persilatan. Maksudku Seng Hwee Kauw harus mulai membunuh para anggota Kay Pang, para murid Siauw Lim Pay dan Butong Pay!”

“Ngmrnm!” Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. “Benar. Sebab Kay Pang, Siauw Lim Pay dan Butong Pay sangat kuat bagi rimba persilatan. Kalau Seng Hwee Kauw ingin menguasai rimba persilatan, terlebih dahulu harus turun tangan terhadap Kay Pang, Siauw Lim Pay, dan Butong Pay!”

"Kalau begitu..." ujar Leng Bin Hoatsu. "Kita harus pilih anggota-anggota yang handal untuk membantai para anggota Kay Pang, para murid Siauw Lim Pay, dan para murid Butong Pay!"

"Tugas tersebut kuserahkan padamu!” ujar Seng Hwee Sin Kun.

“Ya, Kauwcu?" Leng Bin Hoatsu mengangguk.

“Oh ya!” ujar Pek Bin Kui mendadak. “Hiat Ih Hwe cukup kuat dalam rimba persilatan, kelihatannya Hiat Ih Hwe agak sehaluan dengan kita. Alangkah baiknya kita bekerja sama dengan mereka!”

“Gagasan bagus!” Seng Hwee Sin Kun tertawa. “Kalian tahu siapa ketua Hiat Ih Hwe itu?”



“Tahu!” sahut Tok Chiu Ong. “Ketua Hiat Ih Hwe adalah Lu Kong Kong.”

“Apa?" Terbelalak mata Seng Hwee Sin Kun. “Betulkah Lu Thay Kam ketua Hiat Ih Hwe?”


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar