“Kim Siauw Siancu?” Tio Bun
Yang menggelengkan kepala lagi “Aku memang tidak kenal”
“Dia bersama Lie Ai Ling,
kenapa engkau tidak kenal?” Tan Thiam Song heran.
“Justru membingungkan,” sahut
Tio Bun Yang. “Karena aku tidak menyangka adik Ai Ling datang di Tionggoan,
bahkan bersama gadis lain yang bernama Siang Koan Goat Nio.”
“Tio siauw-hiap." Tan
Giok Lan memandangnya. “Engkau dan Lie Ai Ling dibesarkan di Pulau Hong Hoang
To?”
“Betul,” Tio Bun Yang
mengangguk. “Oh ya, jangan memanggilku Tio siauw-hiap, panggil saja namaku!”
“Baiklah.” Tan Giok Lan
tersenyum.
“Bun Yang!” Tan Thiam Song
memandangnya sambil tertawa-tawa. “Berapa usiamu sekarang?”
“Tujuh belas.”
"Usia putriku sudah...
dua puluh. Engkau memanggil dia kakak, dia memanggilmu adik. Bagaimana?”
“Bun Yang!” Tan Thiam Song
menatapnya. "Engkau masih muda, tapi kepandaianmu sudah begitu tinggi.
Karena itu, aku ingin mengajukan sebuah permintaan, tapi entah dikabulkan atau
tidak?”
“Permintaan apa?” tanya Tio
Bun Yang.
“Permintaanku... yakni mengajar
putriku ilmu silat,” Tan Thiam Song memberitahukan.
“Haah?” Mulut Tio Bun Yang
ternganga lebar. Ia tidak menyangka kalau Tan Thiam Song akan mengajukan
permintaan tersebut.
“Adik Bun Yang....” tanya Tan
Giok Lan. “Engkau tidak sudi
mengabulkan permintaan
ayahku?” “Bukan tidak sudi, melainkan....”
“Apa?”
“Tidak gampang belajar ilmu
silat, lagi pula aku tidak bisa lama-lama di sini, sebab harus
meneruskan perjalanan.”
“Bun Yang,” ujar Tan Thiam
Song mendesaknya. “Jangan mengecewakan kami, ajarlah putriku ilmu silat!”
"Itu....” Akhirnya Tio
Bun Yang mengangguk. “Baiklah!"
“Terima kasih, Bun Yang!” ucap
Tan Thiam Song sambil tertawa gelak.
“Terima kasih, Adik Bun Yang!”
Wajah Tan Giok Lan berseri-seri, sebab mempunyai banyak kesempatan untuk
mendekati pemuda itu.
Keesokan harinya, mulailah Tio
Bun Yang mengajar Tan Giok Lan cara-cara bertatih lweekang. Itu adalah cara
berlatih Pan Yok han Thian Sin Kang. Setelah gadis itu mengerti, barulah Tio
Bun Yang mengajarkan Hong Hoang Kiam Hoat (Ilmu Pedang Burung Phoenix),
kemudian ia pun mengajarnya Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat).
“Kakak Giok Lan, engkau harus
terus berlatih lweekang,” ujar Tio Bun Yang dan menambahkan. “Ilmu Pedang Hong
Hoang Kiam Hoat adalah ilmu pedang andalan bibiku, maka engkau harus tekun
berlatih.”
“Ya,” Tan Giok Lan mengangguk.
“Apabila engkau tidak sanggup
melawan orang yang berkepandaian lebih tinggi darimu, pergunakanlah Kiu Kiong
San Tian Pou untuk meloloskan diri!” pesan Tio Bun Yang.
“Ya.” Tan Giok Lan mengangguk
lagi. Setelah gadis itu berhasil menguasai semua ilmu itu, Tio Bun Yang mohon
pamit. Sudah barang tentu membuat Tan Giok Lan menangis sedih, berat rasanya
berpisah dengan pemuda itu.
-oo0dw0oo-
Bagian ke Enam belas
Malaikat Api Suci
Dilembah Hek Bu Kok (Lembah
Kabut Hitam) terdapat sebuah bangunan yang amat besar. Karena siang malam
tertutup kabut kehitam-hitaman, maka lembah itu dinamai Lembah Kabut Hitam.
Bangunan besar itu adalah tempat tinggal Seng Hwee Sin Kun (Malaikat Api Suci),
yang dua tahun lalu ia membunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.
Hari ini ía mengundang
beberapa tokoh tua golongan hitam ke tempat tinggalnya, guna membahas sesuatu
yang sangat penting.
Tokoh-tokoh tua golongan hitam
yang diundangnya itu adalah Tok Chiu Ong (Raja Tangan Beracun), Pek Bin Kui
(Setan Muka Putih), Hek Sim Popo (Nenek Hati Hitam), Leng Bin Hoatsu (Pendeta
Muka Dingin) dan Pat Pie Lo Koay (Siluman Tua Lengan Delapan). Mereka semua
rata-rata sudah berusia tujuh puluhan dan berkepandaian tinggi.
“Ha ha-ha!” Seng Hwee Sin Kun
tertawa gelak. “Tahukah kalian kenapa aku mengundang kalian kemari?”
“Itu yang kami bingungkan,”
sahut Hek Sim Popo. “Tentunya bukan untuk makan-makan, bukan?”
“Terus terang,” ujar Seng Hwee
Sin Kun “Dua tahun lalu aku telah mernbunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.”
“Oh?” Para tokoh tua golongan
hitam saling memandang, kemudian mereka tertawa terkekeh-kekeh. “He he he!
Bagus! Bagus sekali!”
“Setelah membunuh mereka
berdua....” lanjut Seng Hwee
Sin Kün, “Aku pun berangkat ke
Kwan Gwa membunuh Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui.”
“Oh, ya?” para tokoh tua
golongan hitam itu terperanjat. “Engkau mampu membunuh mereka?”
“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun
tertawa gelak “Tentu! Karena aku telah berhasil mempelajari Seng Hwee Sin Kang
(Tenaga Sakti Api Suci)’”
“Apa?!” Mereka tertegun.
“Engkau telah berhasil mempelajari ilmu itu?”
“Betul” Seng Hwee Sin Kun
mengangguk, “Kalau tidak, bagaimana mungkin aku mampu mèmbunuh Kwan Gwa Siang
Koay dan Lak Kui, juga menyebut diriku Seng Hwee Sin Kun?”
“Selamat! Selamat!” ucap
mereka sambil tertawa gembira. “Kami tidak menyangka engkau dapat menguasai
ilmu itu”
“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun
tertawa terbahak-bahak. “Belasan tahun lalu, aku berhasil memperoleh Seng Hwee
Tan (Pil Api Suci), namun teman baikku justru malah memperoteh Seng Hwee Cin
Keng (Kitab Pusaka Api Suci). Karena itu, aku berusaha merebut kitab pusaka
itu. Dia berhasil melarikan diri dalam keadaan terluka parah, kemudian ditolong
oleh Kam Pek Kian. Akan tetapi, akhirnya kitab pusaka itu jatuh ketanganku.”
“Engkau merebutnya dari tangan
Kam Pek Kian itu?” tanya Tok Chiu Ong.
“Betul.” Seng Hwee Sin Kun
manggut-manggut. “Bahkan aku pun membunuhnya. Ha ha ha...!”
“Kalau begitu....” ujar Pek
Bin Kui sambil tertawa. “Kini
sudah saatnya kita bangkit
berdiri.”
“Tidak salah.” Seng Hwee Sin
Kun manggut-manggut dan menambahkan. “Tentunya kalian tahu, Ang Bin Sat Sin
adalah kakak seperguruanku, dia dibunuh oleh Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui,
maka aku membunuh mereka.”
“Lalu kenapa engkau juga
membunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin?” tanya Pat Pie Lo Koay mendadak.
“Karena mereka mempunyai
hubungan dengan Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong, maka harus dibunuh,” sahut Seng
Hwee Sin Kun.
“Oooh!” Pat Pie Lo Koay manggut-manggut.
“Bagus!” ujar Hek Sim Popo.
“Pokoknya siapa yang mempunyai hubungan dengan Pek Ih Sin Hiap, harus dibantai
habis!”
“Betul,” sambung Leng Bin
Hoatsu. “Sebab tujuh partai besar dan kaum rimba persilatan lainnya telah
mengakuinya sebagai Bu Lim Beng Cu (Ketua Rimba Persilatan).”
“Tapi....” Pat Pie Lo Koay
menggeleng-gelengkan kepala.
“Kepandaian Pek Ih Sin Hiap
tinggi sekali, mampu membunuh Bu Lim Sam Mo.”
“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun
tertawa gelak. “Kini kita tidak perlu takut kepadanya, sebab aku menguasai Seng
Hwee Sin Kang, Seng Hwee Kiam Hoat dan Seng Hwee Ciang Hoat. Ilmuku itu dapat
menandinginya, lagi pula kalian pun telah memperdalam ilmu masing-masing,
bukan?”
“Betul,” Hek Sim Popo
mengangguk. “Lantaran memperdalam ilmu, maka kita semua tiada kesempatan
bergabung dengan Bu Lim Sam Mo.”
“Namun kita mempunyai
kesempatan lain,” ujar Seng Hwee Sin Kun serius. “Inilah yang akan kurundingkan
bersama kalian semua.”
“Mengenai apa?” tanya Tok Chiu
Ong tertarik.
“Tentunya mengenai kita,” Seng
Hwee Sin Kun tertawa. “Oh ya, kalian dapat mengumpulkan berapa banyak kaum
golongan hitam?”
“Kalau dijumlahkan, mungkin
diatas lima puluh,” jawab Hek Sim Popo memberitahukan.
“Bagus, bagus!” Seng Hwee Sin
Kun tertawa gembira. “Kini di dalam rimba persilatan sudah tiada It Ceng, Ji
Khie dan Sam Mo lagi. Bahkan Bu Tek Pay juga telah bubar sekian lama oleh
karena itu kita harus mendirikan suatu partai baru. Kalian setuju7"
“Setuju!” sahut mereka
semua,dengan serentak.
“Kalau begitu, aku ingin mendirikan
Seng Hwee Kauw (Agama Api Suci). Bagaimana menurut kalian? Seng Hwee Sin Kun
memandang mereka.
“Tentunya kami tidak
berkeberatan,” sahut Hek Sim Popo. “Sebab kepandaianmu lebih tinggi dari kami,
maka kami harus menurut.”
“Bagus! Ha ha ha....” Seng
Hwee Sin Kun tertawa gembira
sambil melanjutkan dengan
suara lantang. “Dalam Seng Hwee Kauw harus ada ketua, wakil ketua, penasihat
dan pelindung hukum. Oleh karena itu, kita harus menyusunnya atas kesepakatan
kita bersama.”
“Betul,” Leng Bin Hoatsu
manggut-manggut. “Kepandaianmu paling tinggi, maka engkau harus menjadi ketua.”
“Setuju!” sahut yang lain.
“Terima kasih!” ucap Seng Hwee
Sin Kun sambil tersenyum. "Lalu siapa yang menjadi wakil ketua?”
“Menurutku....” ujar Tok Chiu
Ong. “Leng Bin Hoatsu harus
menjadi wakil ketua.”
"Setuju!” sahut yang
lain.
“Kalau begitu...." Wajah
Seng Hwee Sin Kun tampak serius.
"Mulai sekarang Leng Bin
Hoatsu sebagai wakil ketua." “Terima kasih!” ucap Leng Bin Hoatsu.
“Siapa yang cocok untuk
menjadi penasihat?" tanya Seng Hwee Sin Kun sambil memandang mereka.
“Pek Bin Kui,” sahut Tok Chiu
Ong. “Sebab Pek Bin Kui sangat licik dan banyak akal, dia memang cocok untuk
menjadi penasihat.”
“Bagaimana?” tanya Seng Hwee
Sin Kun. “Kalian setuju?” "Setuju!” Terdengar suara sahutan.
“Baik.” Seng Hwee Sin Kun
manggut-manggut sambil tersenyum. “Mulai sekarang, Pek Bin Kui sebagai
penasihat Seng Hwee Kauw.
“Terima kasih!” ucap Pek Bin
Kui.
“Sekarang harus pilih seorang
pelaksana hukum,” ujar Seng Hwee Sin Kun. “Siapa yang pantas menjadi pelaksana
hukum?”
“Hek Sim Popo,” sahut Leng Bin
Hoatsu. “Sebab dia berhati kejam, maka pantas menjadi pelaksana hukum.”
“Balk,” Seng Hwee Sin Kun
manggut-manggut. “Hek Sim Popo, mulai sekarang engkau Sebagai pelaksana hukum
Seng Hwee Kauw.”
“Terima kasih!” ucap Hek Sim
Popo sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Terakhir adalah Pat Pie
La Koay dan Tok Chiu Ong, otomatis mereka berdua sebagai pelindung hukum,” ujar
Seng Hwee Sin Kun.
“Terima kasih!” ucap Pat Pie
La Koay dan Tok Chiu Ong.
“Nah!” Seng Hwee Sin Kun
tertawa gelak. “Kini telah usai penyusunan pengurus, maka besok kalian harus
pergi mengumpulkan kaum golongan hitam, tetapi harus kembali tiga hari
kemudian.”
“Ya,” sahut mereka serentak.
“Kini di dalam rimba
persilatan te1ah muncul Hiat Ih Hwe dan Tiong Ngie Pay, yang kedua-duanya cukup
kuat. Tapi....”
Seng Hwee Sin Kun
memberitahukan sambil tertawa terbahak-bahak.
“Kedua perkumpulan itu justru
saling membunuh. Maka kita tidak perlu mengusik kedua perkumpulan itu. Biar
mereka terus saling membunuh, akhirnya kita yang akan mengeruk keuntungan.”
“Benar,” sahut Pek Bin Kui
sambil tertawa. "Setelah itu, barulah kita taklukkan kedua perkumpulan
itu.”
“Tidak salah,” Seng Hwee Sin
Kun tertawa gelak. “Bagaimana menurutmu mengenai tujuh partai besar? Perlukah
kita menaklukkan partai-partai itu?”
“Untuk sementara tidak perlu,”
sahut Pek Bin Kui. “Yang perlu kita taklukkan justru Kay Pang. Sebab Kay Pang
sangat kuat, lagi pula mempunyai hubungan erat. dengan Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie
Hiong.”
“Memang benar apa yang
dikatakan Pek Bin Kui,” ujar Leng Bin Hoatsu. “Tapi....”
“Aku tahu maksudmu,” Pek Bin
Kui tertawá. “Sebelum Seng Hwee Kauw kita memiliki kekuatan yang cukup, jangan
mengusik Kay Pang. Ya, kan?”
“Betul,” Leng Bin Hoatsu
manggut-manggut.
“Itu sudah dalam
perhitunganku,” Pek Bin Kui tertawa dan menambahkan. “Namun kita boleh bergerak
secara gelap untuk membantai para anggotanya.”
“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun
tertawa. “Ide yang tepat, bahkan kita pun harus membunuh orang-orang yang
mempunyai hubungan dengan Tio Cie Hiong!”
“Tidak salah,” Leng Bin Hoatsu
mengangguk. “Setelah itu, barulah kita mengarah pada tujuh partai besar.”
“Ngmm!” Seng Hwee Sin Kun
manggut. “Ingat, kita harus mempersatukan semua kaum golongan hitam, dan
memecah belahkan golongan putih!”
“Ha ha ha!” Pek Bin Kui
tertawa gelak. “Tentunya aku mempunyai akal untuk memecah belahkan
partai-partai golongan putih."
“Bagus!” Seng Hwee Sin Kun
tertawa. “Itu memang tugasmu.”
“Oh ya!” Tiba-tiba Leng Bin Hoatsu
mengerutkan kening. “Kalau kita memusuhi Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong, sudah
barang tentu akan menghadapi pihak pulau Hong Hoang To. Karena itu, kita harus
berpikir matang.”
“Akan kita rundingkan lagi
nanti, sehab sekarang Seng Hwee Kauw belum resmi berdiri,” sahut Seng Hwee Sin
Kun dan menambahkan. “Pokoknya ada masalah apa pun, kita berenam harus
berunding bersama demi kemajuan Seng Hwee Kauw kita.”
“Ya!” sahut yang lain
serentak.
“Kalau begitu, kita
beristirahat dulu sekarang,” ujar Seng Hwee Sin Kun. “Sebab besok kalian harus
pergi mengumpulkan para golongan hitam.”
“Ya!” Yang lain
manggut-manggut, lalu pergi beristirahat di kamar yang telah disediakan Seng
Hwee Sin Kun. Keesokan
harinya, berangkatlah mereka berlima untuk melaksanakan tugas itu.
-oo0dw0oo-
Tiga hari kemudian, mereka
telah kembali dan masing-masing membawa belasan orang kaum golongan hitam,
sehingga membuat suasana di dalam bangUnan itu menjadi ramai sekali.
“Saudara-saudara sekalian...?
ujar Seng Hwee Sin Kun dengan suara lantang. “Kalian semua terpencar-pencar
tidak karuan, maka aku akan mempersatukan kalian!”
“Terima kasih!” sahut mereka
semua.
“Oleh karena itu, kami berenam
ingin mendirikan Seng Hwee Kauw,” Seng Hwee Sin Kun menatap mereka. “Kalian
semua boleh bergabung menjadi anggota kami. Bagaimana, kalian setuju?”
“Setuju!” sahut mereka sambil
bersorak sorai penuh kegembiraan.
“Akan tetapi....” ujar Seng
Hwee Sin Kun serius. “Kalian
semua harus bersumpah setia
kepada Seng Hwee Kauw.” “Ya!” Mereka semua mengangguk lalu bersumpah setia.
“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun
tertawa gembira. “Bagus, bagus! Jadi kalian semua harus tahu, aku sebagai ketua
Seng Hwee Kauw. Leng Bin Hoatsu sebagai wakil, Pek Bin Kui sebagai penasihat,
Hek Sim Popo sebagai pelaksana hukum, sedangkan Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu
Ong sebagai pelindung hukum. OIeh karena itu, siapa yang berani berkhianat atau
melanggar hukum yang berlaku di Seng Hwee Kauw, maka Hek Sim Popo berhak
menghukum kalian."
"Ya!" sahut mereka
semua.
seru Seng Hwee Sin Kun dengan
suara lantang. “Hari ini kuresmikan Seng Hwee Kauw!”
“Hidup Seng Hwee Kauw! Hidup
Seng Hwee Kauw...!” teriak mereka semua dengan penuh semangat.
“Kalian semua pun sudah sah
menjadi anggota Seng Hwee Kauw,” ujar Seng Hwee Sin Kun dan menambahkan.
“Kalian semua mempunyai seragam Seng Hwee Kauw, yaitu pakaian serba hijau.”
“Terima kasih Ketua,” sahut
para anggota Serentak.
“Kalian semua harus ingat,
siapa berani berkhianat pasti dihukum mati,” ujar Seng Hwee Sin Kun
sungguh-sungguh. “Tapi kalau kalian memperkosa kaum wanita, itu adalah
kesenangan kalian, maka tidak di hukum.”
“Horeee!” seru para anggota
girang.
“Sekarang kalian semua boleh
beristirahat disini, tapi jangan berisik mengganggu kami yang akan merundingkan
sesuatu!”
“Ya, Ketua!" Para anggota
langsung duduk dan mulai bercakap-cakap dengan wajah berseri-seri.
Sedangkan Seng Hwee Sin Kun
mulai berunding dengan Leng Bin Hoatsu dan lainnya. “Kini kita sudah mempunyai
anggota lima puluh orang lebih, maka harus diatur,” ujar Seng Hwee Sin Kun.
"Ketua,w"usul Pek
Bin Kui. “Mereka harus jadi beberapa regu, dan setiap regu harus mempunyai
seorang kepala
“Benar,” Leng Bin Hoatsu~
mangut-mangut.
"Aku yakin, tidak lama
lagi anggota kita akan bertambah."
"Ngmm!” Seng Hwee Sin Kun
mengangguk. "Karena itu, mereka harus diatur sebaik-baiknya.”
“Pelaksana hukum! Siapa yang
berkhianat harus dihukum mati!” ujar Leng Bin Hoatsu.
“Ya, Wakil Ketua,” Hek Sun
Popo mengangguk.
“Bagaimana cara kita memilih
kepala regu?” tanya Tok Chiu Ong.
“Itu gampang sekali,” sahut
Pek Bin Kui sambil tersenyum. “Kita suruh mereka memperlihatkan kepandaian
masing-masing, agar kita bisa menilai kepandaian mereka. Siapa yang
berkepandaian tinggi, dialah yang kita pilih sebagai kepa1a regu.”
“Kalau begitu, kita harus
memilih sepuluh kepala regu,” ujar Leng Bin Hoatsu.
"Betul” sahut Pek Bin
Kui. “Sebab pasti masih banyak kaum golongan hitam yang akan bergabung dengan
kita.”
“Ha ha ha’” Seng Hwee Sin Kun
tertawa gelak, kalau begitu, nanti kita suruh mereka memperlihatkan kepandaian
masing-masing.”
“Setelah itu....” sambung Pek Bin Kui. “Kita harus
mengadakan pesta untuk
merayakan berdirinya Seng Hwee Kauw kita.”
“Baik,” Seng Hwee Sin Kun
manggut-manggut. “Kita pun harus bersulang bersama untuk itu.”
“Benar,” Hek Sim Popo tertawa
terkekeh-kekeh. “Tidak lama lagi, Seng Hwee Kauw akan lahir di rimba
persilatan. He he he...!”
“Lalu bagaimana rencana kita?”
tanya Tok Chiu Ong. “Harus turun tangan tethadap pihak mana dulu?”
“Terhadap para anggota Kay
Pang dan orang-orang yang mempunyai hubungan dengan Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie
Hiong,” jawab Seng Hwee Sin Kun.
“Ketua, bukankah itu akan
memancing Tio Cie Hiong keluar? Kalau dia muncul kembali dalam rimba
persilatan, apakah tidak akan merepotkan kita?”
“Itu tidak jadi masalah,”
tegas Seng Hwee Sin Kun dan menambahkan. “Terus terang, aku sanggup
melawannya.”
“Kalau begitu, legalah hati
kami,” ujar Leng Bin Hoatsu.
“Apakah kalian ragu akan
kepandaianku?” tanya Seng Hwee Sin Kun sambil tertawa. “Kalau kalian ragu, akan
kuperlihatkan Seng Hwee Sin Kang.”
"Itu memang ada baiknya
juga," sahut Leng Bin Hoatsu.
“Baik,” Seng Hwee Sin Kun
manggut-mangut, lalu berjalan ke tengah-tengah ruangan. Para anggota langsung
minggir dan bersorak kegirangan karena akan menyaksikan kepandaian ketua
mereka.
Seng Hwee Sin Kun berdiri di
tengah-tengah ruang itu, lalu mulai menghimpun Seng Hwee Sin Kang.
“Kalian semua harus lebih jauh
lagi Kalau tidak, kalian pasti mati hangus dalam jarak tiga depa,” ujar Seng
Hwee Sin Kun mengingatkan.
Para anggota yang agak dekat
segera minggir,sedangkan Seng Hwee Sin Kun terus menghimpun lweekangnya.
Berselang sesaat, sekujur badannya mulai memancarkan cahaya kehijau-hijauan,
sekaligus mengeluarkan hawa yang panas sekali.
Mendadak Seng Hwee Sin Kun membentak
keras, lalu mulai memperlihatkan Seng Hwee Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Api Suci).
Seketika terlihat cahaya kehijau-hijauan berkelebat ke sana kemari.
Leng Bin Hoatsu dan lainnya
terbelalak. Mereka sama sekali tidak menyangka Seng Hwee Ciang Hoat begitu
hebat.
Berselang beberapa saat
kemudian, barulah Seng Hwee Sin Kun berhenti, namun ruang itu masih diliputi
hawa panas.
“Hidup Seng Hwee Sin Kun!
Hidup Seng Hwee Kauw.!” teriak para anggota riuh gemuruh.
“Ha ha ha!” Seng Hwee Sin Kun
tertawa gelak.Ia kembali ke tempat duduknya lalu bertanya. “Bagaimana ilmuku
itu?”
“Sungguh hebat sekali,” sahut
Leng Bin Hoatsu dan lainnya. “Kami yakin engkau dapat melawan Tio Cie
Hiong."
"Mungkin malah dapat
membunuhnya,” sambung Hek Sim Popo.
“Aku memang berniat membunuh
Tio Cie Hiong,” sahut Seng Hwee Sin Kun. “Kalau aku berhasil membunuhnya, rimba
persilatan pun pasti akan mengakui Seng Hwee Kauw sebagai Bu Lim Beng Cu.
Ha-ha-ha...!”
“Benar!” sahut Leng Bin Hoatsu
dan lainnya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Setelah itu, Leng Bin Hoatsu
perintah para anggota agar memperlihatkan kepandaian masing-masing.
Maka terpilihlah sepuluh
kepala regu, kemudian pesta pun dimulai dengan semarak sekali.
-oo0dw0o-
Bagian ke Tujuh belas
Orang Penebus Dosa
Sementara itu, Siang Koan Goat
Nio dan Lie Ai Ling terus melanjutkan perjalanan menuju markas pusat Kay Pang.
Dalam perjalanan, tak
henti-hentinya Lie Ai Ling berbicara dengan wajah cerah ceria.
“Hi-hi-hi...!” Gadis itu
mendadak tertawa geli.
“Ai Ling, kenapa engkau
tertawa geli? Apa yang menggelikanmu?” tanya Siang Koan Goat Nio dengan rasa
heran.
“Tentu saja menggelikan,”
sahut Lie Ai Ling memberitahukan. “Sebab kini aku adaiah Hong Hoang Lihiap,
sedangkan engkau adalah Kim Siauw Siancu.”
“Engkau memang mengada-ada,”
Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala dan menambahkan “Karena itu,
justru akan timbul masalah”
“Masalah?" Lie Ai Ling
terbelalak. “Apakah kita salah menolong Tan Tayjin yang baik hati itu?"
“Tidak salah, cuma....”
“Cuma kenapa?”
“Itu akan menyeret kita ke
dalam masalah,” Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang. "Sebab pihak
Hiat Ih Hwe pasti tidak akan tinggal diam."
“Kalau mereka muncul, kita
hajar saja mereka....”
Ketika Lie Ai Ling baru usai
berkata demikian, terdengarlah suara tawa yang memekakkan telinga, dan tak lama
kemudian muncullah belasan orang berpakaian merah.
“Nona,” ujar salah seorang
berpakaian merah. “Tadi engkau bilang mau menghajar kami. Nah, kami telah
muncul, silakan menghajar kami!”
“Apakah kalian para anggota
Hiat Ih Hwe?” tanya Lie Ai Ling sambil menghunus pedang pusakanya, sedangkan
Siang Koan Goat Nio mengeluarkan suling emasnya sambil menatap mereka.
“Betul!” sahut orang
berpakalan merah itu. “Aku adalah kepala regu ini. Kami kemari khususnya untuk
membunuh kalian!”
“Oh?” Lie Ai Ling tertawa
dingin. “Kalian kira kami patung yang tak bisa melawan?”
“Ha ha ha!” Kepala regu Hiat
Ih Hwe itu tertawa gelak. “Kalian berdua sungguh cantik! Kalau bersedia
menemaniku bersenang-senang, aku pasti mengampuni nyawa kalian!"
“Diam!”bentak Lie Ai Ling
gusar. “Sebetulnya aku tidak mau membunub kalian, tapi karena engkau begitu
kurang ajar, maka aku terpaksa mencabut nyawamu!”~
“Oh, ya?” Kepala regu Hiat Ih
Hwe tertawa gelak, kemudian memberikan perintah kepada para anak buahnya.
“Serang mereka!”
Seketika para anak buah itu
menyerang Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio dengan berbagai macam senjata.
Lie Ai Ling dan Siang Koan
Goat Nio berkelit, lalu balas menyerang. Lie Ai Ling menggunakan Hong Hoang
Kiam Hoat (Ilmu Pedang Burung Phoenix), sedangkan Siang Koan Goat Nio
menggunakan Cap Pwee Kim Siauw Ciang Hoat (Delapan Belas Jurus Maut Suling
Emas)..
Terjadilah pertarungan sengit.
Sementara kepala regu Hiat Ih Hwe itu cuma berdiri menonton.
Walau diserang belasan orang,
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling masih mampu melawan. Akan tetapi, kedua
gadis itu kurang berpengalaman dalam hal bertarung Karena itu, mereka mulai
berada di bawah angin.
“Goat Nio ujar Lie Ai Ling
“Kita mulai terdesak, terpaksa narus menggunakan Cit Loan Kiam Hoat (Ilmu
Pedang Pusing Tujuh Keliling)’”
“Ya!” Siang Koan Goat Nio
mengangguk.
Akan tetapi, ketika mereka
baru mau menggunakan ilmu pedang tersebut, mendadak melayang turun seseorang
bertopeng, yang langsung menyerang kepala regu Hiat Ih Hwe yang berdiri
menonton itu.
“Aaaakh...!” Kepala regu Hiat
Ih Hwe itu menjerit menyayat hati, kemudian roboh dengan mulut menyemburkan
darah segar. “Engkau... eng-kau....”
Putuslah nafas kepala regu
Hiat Ih Hwe itu. Tentunya sangat mengejutkan para anggota Hiat Ih Hwe yang
sedang bertarung dengan Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling, sehingga meréka
langsung berhenti.
"Hm!” dengus orang
bertopeng. “Kalian semua harus mampus!”
Orang bertopeng langsung
menyerang belasan anggota Hiat Ih Hwe itu. Dalam sekejap mata robohlah belasan
anggota Hiat Ih Hwe itu dengan mulut menyemburkan darah segar, dan tak lama
kemudian nyawa mereka pun melayang.
“Terima kasih atas pertolongan
Tuan!” ucap Siang Koan Goat Nio sambil memberi hormat.
Orang bertopeng
manggut-manggut, lalu memandang Lie Ai Ling, yang sedang memandang mayat-mayat
itu dengan mata terbelalak.
“Goat Nio!” serunya kemudian.
“Lima belas orang semuanya mati!”
“Ai Ling, cepatlah engkau
mengucapkan terima kasih kepada Tuan penolong ini!” ujar Siang
Koan Goat Nio.
“Ya,” Lie Ai Ling menghampiri
orang bertopeng itu, lalu memberi hormat dan berkata. “Terima kasih atas
pertolongan Tuan !“
“Siapa kalian?” tanya orang
bertopeng.
“Namaku Lie Ai Ling, dan dia
bernama Siang Koan Goat Nio,” jawab Lie Ai Ling memberitahukan. “Aku Hong Hoang
Lihiap, dan dia Kim Siauw Siancu.”
“Hmm!” dengus orang bertopeng
“Belum berpengalaman sudah berani berkelana! Kalian berdua dari mana?”
“Dan Pulau Hong Hoang To,”
sahut Lie Ai Ling sambil menatap orang bertopeng.
“Dia?” Orang bertopeng itu
menunjuk Siang~oan Goat Nio.
“Dia bersamaku datang dari
Pulau Hong Hoang To,” Lie Ai Ling memberitahukan secara jujur. Tapi dia bukan
lahir di
pulau itu, tapi kedua orang
tuanya kenal baik dengan kakek dan pamanku.”
“Oooh!” Orang bertopeng
manggut-manggUt."Kalian berdua masih kecil, lebih baik kembali ke Hong
Hoang To. Jangan berkelana di Tionggoan!”
“Hi-hi!” Lie Ai Ling tertawa.
“Usia kami sudah enam belas, bukan anak kecil lagi. Lagi pula kami tidak bisa
kembali ke Pulau Hong Hoang To.”
“Kenapa?”
“Aku datang di Tionggoan ini
untuk mencari ayahku, sedangkan dia ingin mencari kakak Bun Yang’”
“Siapa ayahmu?”
“Lie Man Chiu,” jawab Lie Ai
Ling sambil menghela nafas panjang. “Sudah tujuh tahun dia meninggalkanku dan
ibuku Kasihan ibuku....”
“Kenapa ibumu?”
“Ibuku jadi kurus, tua dan
rambutnya cepat memutih karena memikirkan ayahku. Oh ya, apakah Tuan tahu di
mana ayahku?”
“Tidak tahu.”
“Aaaah!" keluh Lie Ai
Ling. “Entah di mana ayahku, aku sudah rindu sekali kepadanya walau dia begitu
tega meninggalkan kami.”
“Aku menasehati kalian, lebih
baik kalian segera kembali ke Puiau Hong Hoang To.”
“Eh...!” Lie Ai Ling
terbelalak. “Tuan punya hak apa menyuruh kami kembali ke Hong Hoang To?”
“Aku memang punya hak,” sahut
orang bertopeng.
“Hi-hi!” Lie Ai Ling tertawa
geli. “Kãmi tidak kenal Tuan, Tuan pun tidak kenal kami. Kenapa Tuan mengatakan
punya hak?”
“Pokoknya kalian harus segera
kembali ke Hong Hoang To!”
“Maaf!” ucap Siang Koan Goat
Nio yang terus diam dari tadi. “Bolehkah kami tahu siapa Tuan?”
“Aku adalah... orang penebus
dosa!”
“Apa?!” Siang Koan Goat Nio
dan Lie Ling terbelalak. “Tuan orang penebus dosa?"
“Betul!”
“Tuan pernah melakukan dosa
apa?” tanya Lie Ai Ling sambil menatapnya. “Bolehkah Tuan membenitahukan kepada
kami?”
“Tidak boleh!” Orang Penebus
Dosa itu menglengkañ kepala, kemudian bertanya sungguh-sungguh. “Jadi kalian
tidak mau kembali ke Pulau Hong Hoang To?”
“Tidak salah,” sahut Lie Ai
Ling. “Sebab aku harus mencari ayahku, kasihan ibu....”
“Kalau begitu, ke mana tujuan
kalian sekarang?” tanya Orang Penebus Dosa itu dengan penuh perhatian.
“Kami mau ke markas pusat Kay
Pang.” Lie Ai Ling memberitahukan.
“Oooh!” Orang Penebus Dosa itu
manggut-manggut. “Kalian berdUa harus berhati-hati, sampai jumpa!"
”Orang Penebus Dosa itu
melesat pergi, Siang~oan Goat Nio dan Lie Ai Ling termangu-mangu ditempat.
“Goat Nio! Sebetulnya siapa
orang itu?"
“Entahlah,” Siang Koan Goat
Nio menggeleng kepala. “Tapi....”
“Ada apa?"
“Kelihatannya dia sangat
memperhatikanmu,” Siang Koan Goat Nio memberitahukan. “Baik maupun nada
suaranya?"
“Goat Nio!” Lie Ai Ling
tertawa. “Kini engkau yang mengada-ada, itu bagaimana mungkin?”
"Aku yakin tidak salah
pandanganku.”
“Sudahlah! Mari kita
meneruskan perjalañan!” ajak Lie Ai Ling. “Tempat ini jadi seram karena begitu
banyak mayat”
“Baik! Mari kita pergi!” Siang
Koan Goat Nio mengangguk. Mereka berdua meneruskan per-
jalanan menuju markas pusat
Kay Pang.
Dalam perjalanan, tak
henti-hentinya Lie Ai Ling membicarakan Orang Penebus Dosa itu.
“Heran!” Lie Ai Ling
menggeleng-gelengkan kepala. “Kenapa dia menyebut dirinya Orang Penebus Dosa?”
“Mungkin dia pernah melakukan
suatu perbuatan yang berdosa,” sahut Siang Koan Goat Nio.
“Betul,” Lie Ai Ling manggut-manggut.
“Kalau tidak, bagaimana mungkin dia menyebut dirinya Orang Penebus Dosa? Ya,
kan?”
“Ya,” Siang Koan Goat Nio
mengangguk.
“Kepandaiannya sangat tinggi,
dalam waktu sekejap dia mampu membunuh para anggota Hiat Ih Hwe hanya dengan
tangan kosong.”
“Ngmm!” Lie Ai Ling
manggut-manggut. “Kalau Orang Penebus Dosa itu tidak muncul, entah apa jadinya
karena kita menggunakan Cit Loan Kiam Hoat!”
“Para anggota Hiat Ih Hwe itu
pasti terkapar semua,” sahut Siang Koan Goat Nio. “Oh ya, aku justru masih merasa
heran.”
“Heran kenapa?”
“Kenapa Orang Penebus Dosa itu
harus memakai topeng?” “Benar. Kenapa ya?”
“Kalau dia tidak kenal kita,
dia pasti kenal anggota Hiat Ih Hwe itu. Karena itu, dia harus pakai topeng
agar dirinya tidak dikenali.”
“Masuk akal,” Lie Ai Ling
mengangguk. “Tapi siapa dia?”
“Mungkinkah...,” sahut Slang
Koan Goat Nio dengan kening berkerut. “Dia ayahmu?"
“Apa?!” Lie Ai Ling tertegun.
“Bagaimana mungkin? Sebab suaranya begitu parau, tidak mirip suara ayahku.”
“Dia sengaja membuat suaranya
menjadi parau, lagi pula...,” lanjut Siang Koan Goat Nio. "Ketika aku
berbicara kepadanya, dia malah terus memandangmu. Itu sungguh mencurigakan.”
“Kenapa tadi engkau tidak
bertanya kepadanya?” tegur Lie Ai Ling.
Siang Koan Goat Nio tersenyum.
“Percuma,” katanya. “Kenapa percuma?”
“Dia pasti tidak akan
mengaku.”
“Goat Nio aku tidak yakin
kalau dia ayahku.”
“Al Ling, aku percaya dia
pasti akan muncul lagi."
“Kalau dia muncul lagi, aku
pasti menyambar topengnya,” ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Aku ingin
tahu, betulkah dia ayahku?"
“Aku pasti membantumu,” Siang
Koan Goat Nio tersenyum.
“Terima kasih!” ucap Lie Ai
Ling sambil tersenyum pula. “Goat Nio, engkau baik sekali terhadapku. Aku pasti
memberitahukan kepada Kakak Bun Yang.”
-oo0dw0oo-
Dua hari kemudian, Siang Koan
Goat Nio dan Lie Ai Ling telah tiba di markas pusat Kay Pang. Kedatangan dua
gadis itu membuat Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong gembira sekali.
Lim Peng Hang langsung
menyuruh mereka duduk, kemudian menyuruh salah seorang anggota menyuguhkan
minuman.
“Ha-ha-ha!” Lim Peng Hang
tertawa gelak,“Tak kusangka kalian sudah mulai mengembara!”
“Kakek Lim, aku mengembara
karena ingin ingin mencari ayah!” Lie Ai Ling memberitahukan.
"Oh?” Lim Peng Hang
tersenyum. “Lalu apa tujuan Goat Nio mengembara?”
“Mencari pengalaman,” sahut
Siang Koan Goat Nio.
“Kakek Lim!” Lie Ai Ling
tersenyum. “Sesungguhnya dia mengembara dengan tujuan....”
“Al Ling!” Siang Koan Goat Nio
mengerutkan kening.
"Apa tujuannya?
Benitahukanlah!" desak Lim Peng Hang.
“Tujuannya adalah mencari
Kakak Bun Yang?" Lie Ai LAng memberitahukan.
Seketika itu juga wajah Siang
Koan Goat Nio kemerah-merahan, dan langsung menunduk dalam-dalam.
“Oh, ya?” Lim Peng Hang
menatap Siang Koan Goat Nio yang menundukkan kepalanya, kemudian tertawa
terbahak-bahak. “Ha ha ha. . .!"
“Mereka berdua memang
merupakan pasángan yang serasi,” sela Gouw Han Tiong mendadak dan tertawa gelak
pula.
“Betul,” Lie Ai Ling
manggut-manggut. “Kakak Bun Yang dan Goat Nio sungguh merupakan pasangan yang
serasi. Kakak Bun Yang tampan, Goat Nio cantik.”
“Ai Ling....” Wajah Siang Koan
Goat Nio makin memerah.
“Oh ya, Kakek Lim!” tanya Lie
Ai Ling. "Apakah Kakak Bun Yang sudah ke mari?”
“Sudah!” Lim Peng Hang
mengangguk.
“Oh?” Lie Ai Ling nampak
gembira. “Di mana? Cepatlah panggil dia ke mari, aku mau kenalkannya pada Goat
Nio.”
“Sayang sekali!” Lim Peng Hang
menggeleng-gelengkan kepala.
“Lho? Kenapa?” Lie Ai Ling
terbelalak.
“Dia sudah meninggaikan markas
ini,” Lim Peng Hang membentahukan “Dia pergi menyelidiki pembunuh Tui Hun Lojin
dan Lam Kiong hujin”
“Yaaah!” Lie Ai Ling menghela
nafas panjang. “Kami terlambat sampai di disini Kalau tidak
terlambat, pasti bertemu Kakak
Bun Yang!”
“Tadak apa-apa” Lim Peng Hang
tersenyum, “Masih banyak waktu dan kesempatan bagi Goat Nio bertemu Bun Yang”
“Betul,” Lie Ai Ling tertawa
kecil seraya berkata “Takkan lari jodoh dikejar”
“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio
betul-betul kewalahan digoda Lie Ai Ling terus-menerus. “Jangan terus
menggodaku!”
“Goat Nio!” Lie Ai Ling
tersenyum. “Aku tidak menggodamu, melainkan berkata sesungguhnya.”
Wajah Siang Koan Goat Nio
kemerah-merahan. “Engkau terus mengatakan begitu, bagaimana kalau dia telah
bertemu gadis lain yang cantik jelita? Ya, kan?”
“Tidak mungkin,” sahut Lie Ai
Ling “Sebab Kakak Bun Yang tidak gampang jatuh hati terhadap gadis yang mana
pun, percayalah’ Aku yakin, begitu dia melihatmu pasti jatuh hati kepadamu.”
“Ai Ling!” Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan kepala.
Sementara Lam Peng Hang dan
Gouw Han Tiong hanya saling memandang, berselang sesaat barulah ketua Kay Pang
itu membuka mulut.
"Oh ya! Bagaimana
pengalaman kalian dalam perjalanan menuju ke mari?”
"Wuah, bukan main!” sahut
Lie Ai Ling.
"Apa yang bukan main?”
tanya Gouw Han Tiong sambil tertawa. “Bolehkah engkau menjelaskan tentang
‘Bukan main’ itu?”
"Ketika kami sampai di
kota Keng Ciu...,” tutur Lie Ai Ling sambil tersenyum-senyum. “Aku berhasil
menyelamatkan nyawa seorang pembesar yang baik hati.”
"Syukurlah!” ucap Lim
Peng Hang sambil tertawa. “Aku yakin Hong Hoang Lihiap dan Kim Siauw Siancu
pasti mulai terkenal dalam rimba persilatan.”
“Tapi....” Gouw Han Tiong mengbela nafas panjang.
“Tentunya juga akan menjadi
masalah bagi mereka berdua.”
“Betul,” Lie Ai Ling mengangguk.
“Dua hari yang lalu, kami dihadang belasan anggota Hiat Ih Hwe lagi.”
“Lalu bagaimana?” tanya Lim
Peng Hang.
“Mereka ingin membunuh kami,
maka kami terpaksa melawan.” Lie Ai Ling memberitahukan. namun kami berdua
kurang berpengalaman dalam hal bertarung.”
"Kalian berdua kalah?”
tanya Gouw Han Tiong dengan kening berkerut.
“Kalah sih tidak, hanya berada
di bawah angin.” Lie Ai Lang tersenyum dan melanjutkan “Oleh karena itu, kami
terpaksa harus menggunakan Cit Loan Kiam Hoat, tapi. . . ."
“Kenapa?” Lim Peng Hang
menatapnya.
“Di saat kami baru mau
menggunakan ilmu pedang tersebut, mendadak muncul seseorang bertopeng membantu
kami”
"Kemudian bagaimana?”
tanya Gouw Han Tiong dengan rasa tertarik
“Dengan tangan kosong dia
membunuh kepala regu anggota Hiat Ih Hwe, lalu membunuh para anak buahnya
“Oh?” Lim Peng Hang
mengerutkan kening, “Dia membunuh mereka hanya dengan tangan kosong?"
“Betul” Lie Ai Ling
mengangguk.
“Kalau begitu, sungguh tinggi
kepandaiannya,” ujar Lim Peng Hang dan bertanya, “Kalian tahu siapa orang
bertopeng itu?”
“Aku bertanya padanya, dia
menyebut dirinya Orang Penebus Dosa.” Lie Ai Ling memberitahukan.
“Apa?” Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong tertegun “Orang Penebus Dosa?"
Lie Ai Ling mengangguk “Kakek
Lim dan Kakek Gouw tahu siapa Orang Penebus dosa itu?”
“Kami tidak tahu” Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong menggelengkan kepala dan bergumam. “Heran? Siapa orang
itu?”
“Menurut terkaanku...” sela
Siang Koan Goat Nio. “Orang Penebus Dosa itu adalah Paman Man Chiu.
“Apa?” Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong terbelalak. “MenurutmU dia Lie Man Chiu?”
“Ya.” Siang Koan Goat Nio
mengangguk.
“Apa alasanmu menerka begitu?”
tanya Lim Peng Hang.
“Sebab ketika aku mengucapkan
terima kasih kepadanya, dia diam saja tapi malah terus memandang Ai Ling.”
Siang Koan Goat Nio memberitahukan. “Lagi pula dia terus-menerUs mendesak kami
pulang ke Pulau Hong Hoang To.”
“Oh?” Lim Peng Hang
mengerutkan kening.
“Betulkah dia Lie Man Chiu?”
tanya Gouw Han Tiong seakan bergumam. “Tapi kenapa harus memakai topengT’
“Mungkin dia tidak menghendaki
Ai Ling dan aku mengenalinYa, mungkin juga tidak menghendaki para anggota Hiat
Ih Hwe mengenalinya,” jawab Siang Koan Goat Nio dan menambahkan. “Dia pun
tampak begitu menaruh perhatian kepada ibu Ai Ling. Itulah yang membuatku
menerka dirinya adalah Paman Man Chiu.”
“Orang Penebus Dosa. Orang
Penebus Dosa...” gumam Lim Peng Hang. “Berarti dia pernah berbuat dosa, kini
dia menebus dosanya.”
“Paman Man Chiu meningalkan
anak isteri, bukankah itu merupakan suatu dosa?" ujar Siang
Koan Goat Nio.
"Benar." Lim Peng
Hang manggut-manggut. “Kalau begitu, memang ada kemungkinan dia Lie
Man Chiu!”
“Selama tujuh tahun ini, kita
sama sekali tidak mendengar kabar beritanya. Jangan-jangan dia...” ujar Gouw
Han Tiong setelah berpikir sejenak.
“Dia mengabdi kepada Lu Thay
Kam, maka dia merahasiakan identitas dirinya!”
“Masuk akal,” Lim Peng Hang
manggut-manggut.
“Lain kali kalau bertemu dia,
aku pasti membuka topengnya,” ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. “Agar bisa tahu
jelas siapa dia.”
“Kepandaiannya begitu tinggi,
bagaimana mungkin engkau dapat membuka topengnya?” Lim Peng Hang tersenyum.
"Memang.” Lie Ai Ling
mengangguk. “Namun aku mempunyal akal.”
“Oh, ya?” Lim Peng Hang
tersenyum lagi. "Dia menyebut dirinya Orang Penebus Dosa, pertanda dia
sangat menyesali perbuatannya dulu, dan berarti kini dia telah sadar. Aku yakin
dia pasti akan muncul lagi menemuimu.”
“Goat Nio juga bilang
demikian,” ujar Lie Ai Ling.
“Oh ya?” Gouw Han Tiong
menatapnya. "Dia bertanya kalian mau ke mana?”
“Ya.” Lie Ai Ling mengangguk.
“Engkau memberitahukan?”
“Ya”
“Bagus!” Gouw Han Tiong
tersenyum “Kalau begitu, kalian tinggal di sini dulu Karena aku yakin dia pasti
akan ke mari.
“Oh’” Lie Ai Ling kurang yakin
“Kalau Orang Penebus Dosa itu tidak kemari, bukankah kami menunggu dengan
sia~sia?”
“Percayalah~” ujar Gouw Han
Tiong "Kalau benar dia Lie Man Chiu, pasti kemari menemuimu.”
“Tapi kami tidak bisa
lama-lama di sini” “Kenapa?”
“Kami masih ingin mengembara,
lagi pula Goat Nio ingin pergi mencari Kakak Bun Yang, aku harus menemaninya”
“Cukup sepuluh hari kalian
tinggal di sini, dalam sepuluh hari ini kalau Orang Penebus Dosa itu tidak
keman, berarti dia bukan Lie Man Chiu,” ujar Gouw Han Tiong
“Baiklah,” Lie Ai Ling mengangguk,
kemudian bertanya kepada Siang Koan Goat Nio. “Bagaimana? Engkau tidak
berkeberatan, bukan?”
“Aku memang tidak
berkeberatan, tapi apakah tidak akan merepotkan Kakek Lim dan Kakek Gouw?”
sahut Siang Koan Goat Nio.
“Tentu tidak.” Lim Peng Hang dan
Gouw Han Tiong tertawa.
“Kalau begitu, kami
mengucapkan terima kasih!” ucap Siang Koan Goat Nio.
“Oh ya! Putra Gouw Sian Eng
dan putri Lam Kiong Bie Liong sudah menjadi murid Tayli Lo Ceng,” Gouw Han
Tiong memberitahukan dengan wajah berseri-seri. “Mereka berada di Gunung Thay
San.”
“Oh?” Lie Ai Ling tersenyum.
“Kalau begitu, mereka pasti akan memiliki kepandaian tinggi.”
“Mudah-mudahan!” ucap Gouw Han
Tiong sambil tertawa. “Kalian pasti bertemu mereka kelak.”
“Sungguh menggembirakan bisa
bertemu mereka!” ujar Lie Ai Ling tersenyum dan menambahkan.
“Mudah-mudahan Goat Nio bisa
bertemu Kakak Bun Yang secepatnya! Katau tidak....”
“Ai Ling, jangan menggoda aku
lagi!” tegur Siang Koan Goat Nio dengan wajah sedikit cemberut.
“Hi-hi-hi!” Lie Ai Ling
tertawa geli.
Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong saling memandang, kemudian mereka berdua pun tertawa, sehingga membuat
wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan.
-oo0dw0oo-
Bagian ke delapan belas
Dendam membara
Kam Hay Thian terus
melanjutkan perjalanannya. Hari ini panasnya sungguh luar biasa, sehingga
pakaiannya menjadi basah oleh keringat, akhirnya ia berteduh di bawah sebuah
pohon.
"Kapan aku akan berhasil
mencari pembunuh ayahku?" gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mendadak ia mendengar suara 'Kraak'.
Kam Hay Thian terkejut bukan
main, karena suara itu berasal dari cincin giok di jari manisnya. Ternyata
cincin giok itu telah retak, kemudian pecah.
"Haaah?" Wajahnya
langsung memucat, sebab menurut kepercayaan, apabila giok yang dipakai itu
pecah, pertanda akan terjadi sesuatu atau telah terjadi sesuatu atas diri
pemiliknya.
Cincin giok itu pemberian Lie
Beng Cu, putri guru silat di kota Leng An.
"Cincin giok ini telah
pecah, apakah telah terjadi sesuatu atas diri Beng Cu?" gumamnya dengan
wajah pucat pias. "Aku harus segera be-iangkat ke kota Leng An."
Kam Hay Thian segera berangkat
ke kota h-iscbut, dan dua hari kemudian ia telah tiba dan l.mpsung menuju rumah
guru silat Lie. Seorang pembantu tua menyambutnya, dan ketika melihat Kam Hay
Thian, terbelalaklah pembantu tua itu.
"Engkau... engkau Kam Hay
Thian?"
"Betul, Paman,"
sahut Kam Hay Thian sambil mengangguk. "Di mana guru silat Lie dan Bcng
Cu?"
"Mereka...."
Pembantu tua itu terisak-isak. "Mari ke dalam!"
Kam Hay Thian tersentak ketika
melihat pembantu tua itu terisak-isak. Ia yakin telah terjadi sesuatu atas diri
guru silat Lie atau Lie Beng Cu. Kemudian ia mengikuti pembantu tua itu ke
dalam.
"Mereka...." Pembantu
tua menunjuk sebuah meja abu,
yang dialasnya terdapat dua
buah papan nisan bertuliskan nama guru silat Lie dan nama Lie Beng Cu.
"Haaah...?" Kam Hay
Thian langsung berlutut dengan air mata berderai. "Paman... Beng
Cu...."
Pembantu tua itu juga menangis
terisak-isak dengan air mata bercucuran, sedangkan wajah Kam Hay Thian telah
berubah kehijau-hijauan.
"Paman tua, bagaimana
mereka mati?" tanya Kam Hay Thian dengan suara bergemetar.
"Dua hari yang
lalu...." Pembantu tua itu memberitahukan.
"Mendadak muncul belasan
anggota Hiat Ih Hwe, Guru silat Lie dan Nona Beng Cu mati dibunuh oleh para
anggota Hiat Ih Hwe itu."
"Kenapa para anggota Hiat
Ih Hwe mcm-l bunuh Paman dan Beng Cu?"
"Sebulan yang lalu, tanpa
sengaja guru silat Lie menolong beberapa orang Tiong Ngie Pay, yang dilukai
pihak Hiat Ih Hwe. Karena itu, pihak Hiat Ih Hwe kemari membunuh guru silat Lie
dan Nona Beng Cu," tutur pembantu tua itu dan
menambahkan. "Sebelum
menghembuskan nafas penghabisan, Nona Beng Cu masih menyebut namamu."
"Beng Cu...." Kam
Hay Thian menangis ge-i ung-gerungan,
kemudian bersumpah di hadapan
meja abu itu. "Aku bersumpah, mulai hari ini aku .ikan membunuh para
anggota Hiat Ih Hwe! Paman Lie, Beng Cu! Kalian tenanglah! Aku pasti
membalaskan dendam kalian, aku pasti akan membunuh para anggota Hiat Ih Hwe!"
"Terimakasih, Hay
Thian!" ucap pembantu tua dengan air mata berlinang dan memberitahukan.
"Sungguh kasihan guru silat Lie dan Nona Beng Cu! Walau sudah sekarat,
tapi Nona Beng Cu masih menyebut namamu."
Kam Hay Thian telah
meninggalkan kota Ieng An dengan membawa dendam yang mem-l'aia. Karena guru
silat Lie dan Lie Beng Cu yang begitu baik hati itu telah mati dibunuh oleh
para anggota Hiat Ih Hwe, maka ia bersumpah akan membunuh para anggota
perkumpulan itu.
Ketika ia memasuki sebuah
rimba, mendadak mendengar suara pertarungan. Segeralah ia melesat ke tempat
itu, kemudian dilihatnya beberapa orang sedang bertarung mati-matian melawan
belasan orang berpakaian merah. Begitu melihat orang-orang berpakaian merah,
seketika juga darahnya mendidih.
"Berhenti!" bentaknya
dengan suara mengguntur.
Orang-orang yang sedang
bertarung itu terkejut bukan main, dan langsung berhenti bertarung.
Kam Hay Thian menghampiri
orang-orang berpakaian merah selangkah demi selangkah dengan wajah
kehijau-hijauan.
"Siapa engkau?" bentak
salah seorang berpakaian merah, yang rupanya kepala regu para anggota Hiat Ih
Hwe itu.
"Siapa kalian?" Kam
Hay Thian balik bertanya dengan dingin.
"Kami para anggota Hiat
Ih Hwe!" sahut oranj" berpakaian merah itu sambil tertawa dingin.
"Siapa engkau? Sungguh besar nyalimu mencampur urusan kami!"
"Bagus, bagus! Aku adalah
Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat)!" sahut Kam Ha Thian dengan wajah
semakin menghijau, dan pei lahan-lahan ia menghunus pedangnya. "Ajal
kalian lelah tiba hari ini!"
"Hm!" dengus orang
berpakaian merah itu dan berseru. "Serang dia!"
Para anggota Hiat Ih Hwe
langsung menye-langnya dengan senjata tajam. Kam Hay Thian tertawa dingin
sambil menggerakkan pedangnya. Seketika pedang itu mengeluarkan hawa dingin,
yang tentunya sangat mengejutkan para penyeang itu.
Orang-orang yang bertarung
tadi ternyata anggota Tiong Ngie Pay. Mereka tampak mencemaskan Kam Hay Thian.
Trang! Trang! Trang...!
Terdengar suara benturan senjata, yang disusul oleh suara jejerkan yang
menyayat hati.
"Aaaakh! Aaaaakh!
Aaaaaakh...!" Tampak lima orang berpakaian merah telah roboh dengan dada
berlubang, yang mengucurkan darah segar, dan nyawa mereka pun melayang
seketika.
Ternyata Kam Hay Thian
menggunakan Ilmu Pedang Pak Kek Kiam Hoat, dan mengeluarkan pirus Thian Gwa
Kiam In (Bayangan Pedang Di luar Langit) menyerang para anggota Hiat Ih Hwe
itu.
Setelah berhasil membunuh lima
orang Hiat Ih Hwe, Kam Hay Thian juga menyerang lagi laksana kilat dengan jurus
yang sama. Terdengar lagi suara jejerkan yang menyayat hati, lima orang
Hiat Ih Hwe roboh mandi darah
dan mati seketika pula.
Menyaksikan kejadian itu,
sisa-sisa anggota Hiat Ih Hwe berusaha melarikan diri. Kam Hay Thian tertawa
dingin sekaligus menyerang mereka dengan jurus Hoan Thian Liak Te (Membalikkan
Langit Meretakkan Bumi).
"Aaaakh! Aaaakh!
Aaaakh...." Sisa-sisa ang-gota Hiat Ih
Hwe menjerit, lalu roboh tak
bernyawa lagi.
Kam Hay Thian memandang
mayat-mayat itu sambil tertawa dingin kemudian dengan tenang menyarungkan
pedangnya.
Sementara para anggota Tiong
Ngie Pay berdiri mematung di tempat. Mereka sangat kagum dan kaget akan
kesadisannya. Berselang beberapa saat kemudian, barulah ada salah seorang dari
mereka yang membuka mulut.
"Terimakasih, siauw
hiap!"
"Tidak usah berterimakasih,
aku memang ada dendam dengan Hiat Ih Hwe. Kebetulan melihat mereka bertarung
dengan kalian, maka aku membunuh mereka," sahut Kam Hay Thian.
"Siauw hiap, bagaimana
kalau engkau ikut kami menemui ketua?" tanya salah seorang anggota Tiong
Ngie Pay.
"Kalian dari perkumpulan
apa?" tanya Kami Hay Thian. "Tiong Ngie Pay."
"Oooh!" Kam Hay
Thian manggut-manggut. "Baiklah. Aku akan menemui ketua kalian."
"Terimakasih, siauw
hiap!" ucap para anggota Tiong Ngie Pay girang, lalu berangkat ke markas
mereka bersama Kam Hay Thian.
Yo Suan Hiang, Tan Ju Liang,
Lim Cin An dan Cu Tiang Him menyambut kedatangan Kam Hay Thian dengan penuh
kegembiraan, apa lagi setelah mengetahui pemuda itu telah membantu para
anggotanya.
"Terimakasih, siauw
hiap!" ucap Yo Suan Hiang.
"Aku adalah Chu Ok
Hiap." Kam Hay Thian memberitahukan. "Maka jangan memanggilku siauw
hiap!"
"Chu Ok Hiap!" Yo
Suan Hiang tersenyum iainah. "Bolehkah kami tahu namamu?"
"Namaku Kam Hay
Thian."
"Siapa kedua orang
tuamu?"
"Ayahku bernama Kam Pek Kian,
tapi sudah almarhum karena dibunuh penjahat," Kam Hay Thian
memberitahukan. "Ibuku bernama Lie Siu Su-n."
"Lie Siu Sien..."
gumam Yo Suan Hiang sambil berpikir keras. "Rasanya aku pernah mendengar
nama tersebut."
"Tidak mungkin," Kam
Hay Thian menggelengkan kepala. "Sebab ibuku bukan wanita rimba
persilatan."
"Tapi aku memang pernah
mendengar nama tersebut...."
Yo Suan Hiang terus berpikir,
kemudian mendadak berseru girang. "Aku sudah ingat! Aku sudah ingat!
Ternyata aku pernah mendengar nama ibumu dari Tio Cie Hiong!"
"Apa?!" Kam Hay
Thian tertegun. "Paman Cie Hiong?"
"Benar," Yo Suan
Hiang mengangguk. "Dia pernah menceritakan tentang ibumu kepada
kami."
"Aku mengembara justru
ingin mencari Paman Cie Hiong," Kam Hay Thian memberitahukan.
"Oh?" Yo Suan Hiang
menatapnya sambil bertanya. "Kenapa engkau mau mencarinya?"
"Kata ibuku, kepandaian
Paman Cie Hiong tinggi sekali. Kalau aku ingin menuntut balas kematian ayahku,
harus berguru kepada Paman Cie Hiong."
"Ooooh!" Yo Suan
Hiang manggut-manggut "Tapi kepandaianmu sekarang sudah tinggi, di mana
engkau belajar?"
"Tanpa sengaja aku
memasuki sebuah goa. tutur Kam Hay Thian dan menambahkan. "Tujuh tahun
kemudian, barulah aku menguasai ilmu-ilmu itu."
"Hay Thian!" Yo Suan
Hiang terbelalak. "Sungguh beruntung engkau, sebab kitab-kitab pusaka itu
milik Bu Lim Sam Mo. Goa itu bekas markas Bu Tek Pay. Oh ya, apakah kau bawa
kedua kitab pusaka itu?"
"Tidak. Kedua kitab itu
telah kubakar."
"Bagus! Kedua kitab itu
memang harus dibakar. Kalau tidak, tentu akan menimbulkan ben-i ana," ujar
Yo Suan Hiang dan bertanya. "Kenapa ayahmu dibunuh penjahat?"
"Dikarenakan sebuah kitab
pusaka, yaitu kitab Song Hwee Cin Keng." Kam Hay Thian memberitahukan.
"Pada waktu itu aku masih kecil...."
"Kitab Seng Hwee Cin
Keng?" Yo Suan Hiang mengerutkan kening. "Apakah itu kitab pelajaran
ilmu silat tingkat tinggi?"
"Betul," Kam Hay
Thian mengangguk. "Maka kini aku sedang mencari penjahat itu."
"Oh ya, sejak kapan
engkau meninggalkan rumah?" tanya Yo Suan Hiang.
"Sejak aku berusia
sebelas tahun, dan kini usiaku sudah delapan belas tahun," jawab Kam Hay
Thian.
"Hay Thian, kenapa engkau
begitu mendendam kepada Hiat Ih Hwe?" tanya Yo Suan Hiang mendadak.
"Karena mereka membunuh
guru silat Lie dan putrinya...."
tutur Kam Hay Thian
melanjutkan. "Karena itu, aku bersumpah di hadapan meja abu guru silat Lie
dan putrinya, bahwa aku akan membunuh semua anggota Hiat Ih Hwe."
"Jadi guru silat Lie dan
putrinya dibunuh karena tanpa sengaja guru silat Lie menolong beberapa
anggotaku?" tanya Yo Suan Hiang de ngan wajah murung.
"Ya," Kam Hay Thian
mengangguk.
"Aaaakh...!" keluh
Yo Suan Hiang. "Sungguh diluar dugaan!"
"Hmm!" dengus Kam
Hay Thian dingin dan penuh dendam. "Pokoknya aku harus membunuh semua
anggota Hiat Ih Hwe!"
"Hay Thian!" Yo Suan
Hiang menatapnya. "Apakah kini engkau masih ingin mencari Tio Cie
Hiong?"
"Bagaimana menurut
Bibi?" tanya Kam Hay Thian.
"Menurutku sudah tidak
perlu," jawab Yo Suan Hiang. "Sebab kepandaianmu sudah begitu
tinggi."
"Tapi aku belajar tanpa
petunjuk orang! mungkin ada sedikit kesalahan," ujar Kam Hai Thian.
"Maka kepandaianku belum mencapai tingkat atas, karena itu aku harus minta
petunjuk kepada Paman Cie Hiong."
"Tempat tinggal Cie Hiong
jauh sekali, yaitu di Pulau Hong Hoang To," Yo Suan Hiang memberitahukan.
"Jadi... oh ya! Cie Hiong mempunyai seorang putra bernama Tio Bun Yang,
yang berkepandaian sangat tinggi. Aku telah menyaksikan kepandaiannya. Dia
pernah ke mari tapi kini «iitah berada di mana. Aku yakin engkau akan bertemu
dia kelak, jadi engkau boleh minta petunjuk kepadanya."
"Benarkah kepandaiannya
sudah tinggi sekali?"
"Benar," Yo Suan
Hiang mengangguk. "Mungkin telah menyamai kepandaian ayahnya."
"Kalau begitu, aku harus
minta petunjuk kepadanya."
"Itu memang baik
sekali," Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Oh ya, Hay Thian. Maukah
engkau bergabung dengan kami?"
"Aku bersedia bergabung,
namun tidak mau terikat," sahut Kam Hay Thian terus terang. "Kareena
aku masih harus pergi mencari pembunuh ayahku, bahkan juga harus mencari Bun
Yang."
"Itu tidak menjadi
masalah," Yo Suan Hiang teisenyum. "Jadi sementara ini engkau boleh
tinggal di sini, dan kapan pun engkau mau pergi, kami tidak akan
menahanmu."
"Baiklah!
Terimakasih!" ucap Kam Hay Thian.
Di ruang khusus dalam istana
bagian barat tempat tinggal Lu Thay Kam, tampak Lu Thay Kam sedang duduk dengan
wajah serius. Lie Man Chiu duduk di sebelahnya, namun tampak mela mun.
"Man Chiu!" Lu Thay
Kam menatapnya. "Ke napa engkau melamun? Apa yang terganjel dala hatimu?"
"Tidak." Lie Man
Chiu menggelengkan kq pala.
"Tentunya engkau tahu,
banyak anggota kit, yang musnah kepandaiannya, bahkan juga hanya' yang
mati," ujar Lu Thay Kam dengan kenin berkerut. "Bagaimana engkau
mengurusi itu?"
"Yang memusnahkan
kepandaian anggota kita adalah Giok Siauw Sin Hiap, yang membunuh anggota kita
adalah orang bertopeng dan Chu O Hiap," jawab Lie Man Chiu memberitahukan.
"Kalau begitu...."
Lu Thay Kam menatapnya lagi. "Sudah
waktunya engkau turun
tangan"
"Ya, Lu Kong Kong."
"Yaaah!" Mendadak Lu
Thay Kam menghe nafas panjang. "Entah kini San San merantai sampai di
mana? Aku... aku rindu sekali kepadanya."
"Lu Kong Kong rindu
kepadanya?"
"Ya," Lu Thay Kam
mengangguk. Tentu engkau tahu, dia bukan anak kandungku. Aku telah dikebiri
jadi Thay Kam, bagaimana mungkin bisa punya anak?"
"Dia putri angkat Lu Kong
Kong, namun Lu Kong Kong kelihatan begitu sayang kepadanya."
"Benar," Lu Thay Kam
manggut-manggut. "Aku memang sayang sekali kepadanya."
"Lu Kong Kong...."
Lie Man Chiu menundukkan kepala.
"Engkau ingin mengatakan
apa, katakanlah!" Lu Kong Kong tersenyum. "Jangan ragu, sudah lujuh
tahun lebih engkau mengabdi kepadaku."
"Lu Kong Kong...."
Lie Man Chiu menghela nafas panjang.
"Belum lama ini aku
selalu teringat kepada anak isteriku."
"Oh?" Lu Kong Kong
menatapnya. "Kalau begitu, lebih baik kau ajak mereka tinggal di sini
suja."
"Terimakasih atas maksud
baik Lu Kong Kong!" ucap Lie Man Chiu. "Terus terang, aku...."
"Engkau ingin
mengundurkan diri, bukan?"
"Betul," Lie Man
Chiu mengangguk. "Sebab |ku sudah rindu sekali kepada anak isteriku."
"Aku maklum," Lu
Thay Kam manggut-mang-|ut. "Namun aku masih sangat membutuhkan
bantuanmu."
"Lu Kong Kong...."
"Jadi engkau ingin pergi
menengok anak isteri-mu?” "Ya."
"Tidak mau kembali ke
sini lagi?"
"Ya."
"Man Chiu...." Lu
Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa engkau mau
melepaskan kehidupanmu yang serba mewah di sini?"
"Lu Kong Kong, kini aku
baru sadar bahwa anak isteriku melebihi segala apa pun. Oleh karena itu aku
ingin hidup tenang, damai dan bahagia bersama anak isteriku."
"Man Chiu...." Lu
Thay Kam menghela nafas. "Tentunya
aku tidak akan menghadangmu,
namun alangkah baiknya engkau kembali ke sini lagi."
"Lu Kong Kong, aku tidak
berani berjanji tentang itu," ujar Lie Man Chiu sungguh-sungguh.
"Kalau begitu... baiklah.
Kapan engkau akan pergi?" tanya Lu Thay Kam dengan wajah muram.
"Sekarang," jawab
Lie Man Chiu.
"Sekarang?" Lu Thay
Kam terbelalak. "Kenapa begitu cepat?"
"Lu Kong Kong, aku sudah
rindu sekali kepada anak isteriku, sudah tujuh tahun lebih aku berpisah dengan
mereka."
"Yaah!" Lu Thay Kam
menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau begitu, aku harus memberimu sedikit
hadiah ...."
"Terimakasih! Itu tidak
usah, Lu Kong Kong,' potong Lie Man Chiu cepat. "Lu Kong Kong tida|
melarangku pergi, aku sudah berterimakasih sekali pada Lu Kong Kong."
"Terus terang," ujar
Lu Kong Kong sungguh-sungguh. "Kalau aku tidak mempunyai anak angkat,
mungkin aku tidak akan memahami perasaanmu. Sebaliknya aku malah akan mencap
dirimu sebagai pengkhianat. Tapi... aku mempunyai anak, yaitu San San yang
sangat kusayangi."
"Lu Kong Kong.." Lie
Man Chiu tersentak.
"Jangan cemas!" Lu
Thay Kam tersenyum. "Aku yakin engkau pasti tahu, betapa jahatnya aku
karena selalu membunuh pembesar dan jenderal yang setia. Tapi di antara kita
terdapat rasa persahabatan yang dalam sekali. Ingat, selamanya kita tetap
sahabat!"
"Lu Kong Kong...."
Mendadak Lie Man Chiu menjatuhkan
diri berlutut di hadapan Lu
Thay Kam.
"Man Chiu, engkau boleh
pergi sekarang untuk menemui anak isteri mu. Mudah-mudahan anak isterimu akan
memaafkanmu!" ujar Lu Thay Kam dan menambahkan. "Aku pun
mempercayaimu tidak akan membocorkan tentang San San yang pergi merantau
itu."
"Jangan khawatir Lu Kong
Kong!"
"Baiklah. Engkau boleh
pergi sekarang, semoga kita akan berjumpa lagi!" usai berkata begitu, Lu
Thay Kam meninggalkan ruang khusus itu.
Lama sekali Lie Man Chiu
berlutut di situ, kini ia kebingungan dan tidak habis berpikir! Sebetulnya Lu
Thay Kam jahat atau baik? Yang jelas ia telah berhutang budi kepadanya.
---ooo0dw0ooo---
Di ruang depan markas pusat
Kay Pang, tampak Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Siangi Koan Goat Nio dan Lie Ai
Ling sedang duduk. Kening Lie Ai Ling terus berkerut-kerut.
"Sudah hampir sepuluh
hari kami tinggal di sini, tapi Orang Penebus Dosa itu tetap tidak muncul.
Lebih baik kami pergi saja," ujar Lie Ai Ling.
"Ai Ling!" Lim Peng
Hang tersenyum. "Ber-j sabarlah beberapa hari lagi! Kalau Orang Penebus
Dosa itu masih tidak muncul, barulah kalian pergi."
"Mungkinkah Orang Penebus
Dosa itu bukan Lie Man Chiu?" tanya Gouw Han Tiong dengan kening berkerut.
"Kalau dia tetap tidak
muncul, berarti bukan Lie Man Chiu," sahut Lim Peng Hang.
"Aku ingin cepat-cepat
pergi mencari Kakak Bun Yang," ujar Lie Ai Ling.
"Kenapa engkau yang
kalut?" tanya Gouw Han Tiong sambil tersenyum.
"Aku kalut karena Goat
Nio," sahut Lie Ai Ling.
"Kenapa karena aku?"
Wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan. "Jangan bawa-bawa diriku
lho!"
"Hi hi hi!" Lie Ai
Ling tertawa. "Memangnya aku tidak tahu? Setiap malam engkau duduk melamun
di dalam kamar, tentunya memikirkan Kakak Bun Yang."
"Bertemu juga belum,
kenapa aku harus memikirkannya?" sahut Siang Koan Goat Nio dengan wajah
memerah.
"Engkau...." Ucapan
Lie Ai Ling terhenti mendadak, karena
di saat bersamaan tampak
sesosok bayangan berkelebat memasuki ruangan itu.
"Siapa?" bentak Lim
Peng Hang dan Gouw Han Tiong serentak.
Orang yang
berkelebat ke dalam
itu memakai topeng.
Begitu melihat orang bertopeng
itu, Siang Koan Goat Nio dan
Lie Ai Ling langsung berseru.
"Orang Penebus
Desa!"
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Silakan duduk, Orang Penebus Dosa! Kami memang
sedang menunggu kedatanganmu."
Orang Penebus Dosa diam saja,
tapi terus memandang Lie Ai Ling, kemudian dengan perlahan-lahan melepaskan
topengnya. Orang itu ternyata benar Lie Man Chiu.
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang dan Gouw Han
Tiong tertawa. "Dugaan
kami tidak meleset, engkau memang Lie Man Chiu!"
"Paman Lim, Paman
Gouw!" panggil Lie Man Chiu sambil memberi hormat.
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang tertawa gelak. "Engkau bersembunyi di mana selama tujuh tahun
ini?"
"Aku...." Lie Man Chiu menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian memandang Lie Ai Ling
seraya berkata. "Ai Ling, engkau sudah besar...."
"Diam!" bentak Lie
Ai Ling mendadak dengan air mata berderai-derai. "Engkau sungguh kejam,
jahat dan tak punya perasaan!"
"Ayah terima semua
cacianmu, Nak," ujar Lie Man Chiu dengan mata basah. "Ayah terima
semua cacianmu."
"Engkau begitu tega
meninggalkan kami! Karena itu, ibu sering sakit!" Lie Ai Ling menangis
terisak-isak sambil menuding Lie Man Chiu. "Eng kau bukan ayahku! Cepat
pergi! Pergiiii!"
"Nak!" Air mata Lie
Man Chiu meleleh "Maafkanlah ayah, kini ayah telah sadar."
"Ayah...." Panggil
Lie Ai Ling, sekaligus meri dekap di dada
Lie Man Chiu.
"Nak! Ooooh,
anakku!" Lie Man Chiu memj belainya dengan penuh kasih sayang dan terisak
isak. "Engkau sudi memaafkan ayah?"
"Ng!" Lie Ai Ling
mengangguk. "Ayah kasihan ibu." "Ayah tahu...." Lie Man
Chiu terus membelainya.
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang tertawa gelak. "Semua yang buruk telah berlalu, habis gelap terbitlah
terang! Man Chiu, sudah waktunya engkau kembali ke Pulau Hong Hoang To."
"Ya, Paman Lim." Lie
Man Chiu manggut-manggut.
"Selamat Paman Man
Chiu!" ucap Siang Koan Goat Nio mendadak sambil tersenyum. "Tidak
lama lagi Paman Man Chiu akan berkumpul kembali dengan isteri."
"Terimakasih!" sahut
Lie Man Chiu. "Oh ya, engkau putri Kim Siauw Suseng dan Kou Hun
Hijin?"
"Ya," Siang Koan
Goat Nio mengangguk.
"Terimakasih atas
kesediaanmu mendampingi Ai Ling mencariku!" ucap Lie Man Chiu.
"Ayah!" Lie Ai Ling
mulai tersenyum. "Sesungguhnya dia ingin mencari Kakak Bun Yang."
"Oh? Dia sudah kenal Bun
Yang?"
"Belum, tapi...."
"Ai Ling!" Wajah
Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan. "Jangan mulai menggoda aku!"
"Hi hi!" Lie Ai Ling
tertawa, padahal barusan ia menangis dengan air mata berderai-derai, namun kini
sudah bisa tertawa!
"Man Chiu!" Gouw Han
Tiong menatapnya, "'selama ini engkau berada di mana?"
"Paman Gouw!" Lie
Man Chiu menghela nafas panjang. "Semua itu telah berlalu, jadi tidak usah
diceritakan lagi."
Gouw Han Tiong
manggut-manggut, kemudian memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Man Chiu, ayahku dan Lam
Kiong hujin mati dibunuh orang."
"Apa?!" Lie Man Chiu
terkejut bukan main. "Kapan terjadi?"
"Dua tahun yang
lalu," jawab Gouw Han Tiong. "Ayahku dan Lam Kiong hujin terkena
semacam pukulan yang menghanguskan badan mereka."
"Oh?" Lie Man Chiu
terbelalak. "Ilmu pukulan apa itu?"
"Kami tidak
mengetahuinya," sahut Gouw Han Tiong dan menambahkan. "Bahkan hingga
saat ini kami juga tidak tahu siapa pelakunya."
"Heran!" gumam Lie
Man Chiu. "Ilmu pukulan apa itu?"
"Ilmu pukulan yang
mengandung api," ujar Lim Pang Heng. "Itu merupakan ilmu pukulan yang
sangat dahsyat."
"Aaakh...!" Lie Man
Chiu menghela nafas panjang. "Terus terang, aku sudah jenuh akan rimba
persilatan."
"Ayah," tanya Lie Ai
Ling mendadak. "Kapan ayah akan pulang ke Pulau Hong Hoang To?"
"Besok," jawab Lie
Man Chiu dan melanjutn kan. "Kalian berdua juga harus ikut aku
pulang."
"Tidak mau ah!"
sahut Lie Ai Ling cepat. "Aku masih ingin mengembara, lagi pula kami belum
bertemu Kakak Bun Yang."
"Begini," ujar Lie
Man Chiu lembut. "Kita pulang dulu, setelah itu barulah kalian mengembara
lagi."
"Tapi...." Lie Ai
Ling tampak ragu, kemudian memandang
Siang Koan Goat Nio seakan
minta pendapatnya.
"Itu baik juga. Kita
berdua memang harus pulang bersama Paman Man Chiu, agar tidak mencemaskan
ibumu," ujar Siang Koan Goat Nio.
"Kalau begitu, bukankah
engkau tidak bertemu Kakak Bun Yang?" Lie Ai Ling mengerutkan kening.
"Bukankah kita masih akan
mengembara? Berarti masih banyak kesempatan, bukan?" Siang Koan Goat Nio
tersenyum.
"Baru asyik mengembara,
sudah harus pulang!" Lie Ai Ling menghela nafas panjang.
"Nak!" Lie Man Chiu
tersenyum lembut. "Selelah pulang, kalian masih boleh pergi
mengembara."
"Baiklah," Lie Ai
Ling manggut-manggut.
"Oh ya!" Siang Koan
Goat Nio menatap Lie Man Chiu. "Kenapa Paman membunuh para anggotata Hiat
Ih Hwe itu?"
"Untuk menutup mulut
mereka," sahut Lie Man Chiu tanpa berpikir.
"Kalau begitu, Paman
pasti mempunyai hubungan dengan Hiat Ih Hwe, bukan?" Siang Koan Goat Nio
menatapnya lagi.
"Yaaah!" Lie Man
Chiu menggeleng-gelengkan kepala. "Semua itu telah berlalu, tidak perlu
diungkit kembali."
Siang Koan Goat Nio diam.
Sedangkan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang, kemudian mereka
berdua pun manggut-manggut.
"Man Chiu," tanya
Lim Peng Hang. "Jadi engkau akan berangkat besok?"
"Ya," Lie Man Chiu
mengangguk.
"Tolong sampaikan salamku
kepada semua orang yang di sana!" pesan Lim Peng Hang.
"Pasti kusampaikan,"
ujar Lie Man Chiu.
"Terimakasih, Man
Chiu!" ucap Lim Peng Hang sambil tersenyum.
"Sama-sama," Lie Man
Chiu juga tersenyum
"Man Chiu!" Mendadak
Lim Peng Hang me natapnya dalam-dalam seraya bertanya. "Kenapa tujuh tahun
yang lalu, engkau mempunyai pikiran untuk mengangkat nama di rimba
persilatan?"
"Aaaah!" Lie Man
Chiu menghela nafas. "Itu dikarenakan dengki, sehingga timbul pula suat
ambisi."
"Oh?" Lim Peng Hang
heran. "Engkau dengki karena apa?"
"Karena Tio Cie
Hiong," jawab Lie Man Chiu terus terang. "Dia dipuji dan disanjung,
bahkan tujuh partai besar dan kaum rimba persilatan lannya mengakuinya sebagai
Bu Lim Beng Cu. Itu membuatku jadi dengki."
"Ayah," tegur Lie Ai
Ling. "Paman Cie Hiong begitu baik dan menghargai Ayah, sebaliknya Ayah
malah merasa dengki kepadanya. Kalau kita sudah sampai di Pulau Hong Hoang To,
Ayah harus minta maaf kepadanya!"
"Tentu," Lie Man
Chiu mengangguk. "Bahkan aku pun harus mohon ampun kepada kakek dan
ibumu."
"Bagus!" Lie Ai Ling
tertawa gembira. "Kini Ayah telah sadar akan kesalahan itu, karena itu aku
merasa bahagia sekali."
"Nak...." Lie Man
Chiu tersenyum.
"Syukurlah!" ucap
Lim Peng Hang. "Man Chiu, aku ucapkan selamat padamu, semoga tidak lama
lagi engkau dapat berkumpul kembali bersama liong Hoa!"
"Man Chiu!" Gouw Han
Tiong tersenyum. "Aku pun mengucapkan selamat padamu!"
"Terimakasih Paman Lim!
Terimakasih Paman Gouw!" ucap Lie Man Chiu terharu sekali.
"Terimakasih!"
---ooo0dw0ooo---
Bagian ke sembilan belas
Kemunculan para anggota Seng
Hwee Kauw ( Agama Api Suci)
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan yang mulai mengembara itu telah tiba di kota Keng Ciu. Mereka berdua
mengembara bukan demi mengangkat nama maupun mencari pengalaman, melainkan
berusaha mencari jejak pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.
Ketika tiba di kota itu,
mereka terbelalak, karena melihat begitu banyak prajurit kerajaan memukuli dan
menyiksa para penduduk.
"Beng Kiat," bisik
Lam Kiong Soat Lan. "Bagaimana kalau kita menolong mereka?"
Toan Beng Kiat menggelengkan
kepala. "Jangan mencampuri urusan kerajaan!"
"Tapi...."
"Hari sudah senja, lebih
baik kita mencari rumah penginapan," potong Toan Beng Kiat.
Lam Kiong Soat Lan terpaksa
menurut. Tak lama kemudian mereka sudah sampai di sebuah rumah penginapan yang
cukup mewah. Pelayan segera menghampiri mereka sambil tersenyum senyum,
kemudian bertanya ramah.
"Tuan muda dan Nona
membutuhkan kamar?” "Ada kamar besar?" tanya Toan Beng Kiat.
"Ada," sahut pelayan itu. "Mari ikut aku!"
Pelayan itu mengajak mereka ke
dalam, lalu berhenti di depan sebuah kamar yang cukup besar.
"Bagaimana kamar ini?"
tanya pelayan sambil membuka pintu kamar itu.
Toan Beng Kiat melongok ke
dalam, kemudian manggut-manggut.
"Kamar ini saja,"
ujarnya.
"Tuan muda dan Nona mau
pesan makanan atau minuman?" tanya pelayan itu dengan hormat.
"Tolong ambilkan
teh!" sahut Toan Beng Kiat.
"Ya." Pelayan itu
melangkah pergi.
Sedangkan Toan Beng Kiat dan
Lam Kiong Soat Lan melangkah memasuki kamar itu, lalu duduk berhadapan.
"Heran!" ujar Lam
Kiong Soat Lan sambil mengerutkan kening. "Kenapa prajurit kerajaan
memukuli dan menyiksa para penduduk kota?"
"Soan Lan!" Toan
Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala. "Lebih baik jangan banyak m
usan!"
"Tapi sungguh kasihan
para penduduk kota Itu." Lam Kiong Soat Lan menghela nafas panjang.
"Sudahlah!" Toan
Beng Kiat menatapnya. "Kita masih harus ke markas pusat Kay Pang, jangan
menimbulkan urusan yang tak diinginkan!"
Lam Kiong Soat Lan diam. Tak
lama muncullah pelayan membawakan satu teko teh dan sebuah cangkir.
"Tuan muda!" Pelayan
itu memberitahukan degan wajah berseri. "Ini teh wangi."
"Terimakasih!" ucap
Toan Beng Kiat sekaligus memberikan persen kepada pelayan itu.
"Terimakasih, Tuan
Muda!" Pelayan itu girang bukan main. "Terimakasih...."
"Pelayan!" panggil
Lam Kiong Soat Lan mendadak. "Bolehkah aku bertanya satu hal kepadamu?"
"Silakan, Nona!"
Pelayan itu mengangguk. "Nona mau bertanya tentang apa?"
"Kenapa prajurit-prajurit
kerajaan memukuli dan menyiksa para penduduk kota itu?" tanya Lam Kiong
Soat Lan.
"Itu...." Pelayan
tersebut menghela nafas panjang sekaligus
memberitahukan sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Setelah Tan Tayjin mengundurkan diri dari
jabatannya di kota ini, beliau diganti oleh seorang pembesar yang bertindak
sewenang-wenang. Pajak penduduk di kota ini dinaikkan, dan siapa yang tidak membayar
pajak pasti dipukul dan disiksa."
"Oooh!" Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut. "Ternyata begitu!"
"Nona masih mau bertanya
apa?"
Lam Kiong Soat Lan
menggelengkan kepala. Maka pelayan itu lalu meninggalkan kamar ter sebut.
"Beng Kiat," bisik
Lam Kiong Soat Lan. "Kita harus pergi menghajar pembesar itu."
"Soat Lan...." Toan Beng Kiat menggeleng polengkan
kepala. "Itu urusan
kerajaan, kita jangan turut campur."
"Tapi prajurit-prajurit
itu sungguh keterlaluan, begitu pula pembesar itu. Maka... malam ini kita harus
pergi menghajar pembesar itu."
"Soat Lan...." Toan
Beng Kiat berpikir lama sekali, akhirnya
mengangguk.
"Terimakasih, Beng
Kiat!" ucap Lam Kiong Soat Lan dengan wajah berseri.
"Tapi ingat! Engkau tidak
boleh melukai sia-papun," pesan Toan Beng Kiat sambil menatapnya.
"Cukup menakuti pembesar itu saja."
"Ya." Lam Kiong Soat
Lan mengangguk.
--ooo0dw0ooo--
Setelah larut malam, tampak
dua sosok bayangan berkelebat di wuwungan rumah pembesar kota itu, kemudian
meloncat turun sekaligus mendekati sebuah jendela. Dua sosok bayangan itu
ternyata Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
Mereka berdua mengintip ke
dalam jendela, yang kebetulan kamar pembesar itu. Tampak pembesar itu sedang
duduk bersama seorang wanita berusia empat puluhan. Wajah mereka kelihatan
muram.
"Walau ditambah dengan
harta kekayaan kita, masih tidak bisa mencukupi target yang ditentu kan Lu Thay
Kam. Ini sungguh celaka...."
"Lalu harus
bagaimana?" tanya wanita ituf berkeluh.
"Aaaah...!" Pembesar
itu menghela nafas pan jang. "Lu Thay Kam pasti menghukum kita."
Di saat bersamaan, daun
jendela itu terbuka kemudian tampak dua sosok bayangan melesat kel dalam, yang
tidak lain Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
"Perampok!" jerit
wanita itu.
"Kami bukan
perampok!" sahut Lam Kion Soat Lan sambil menatap pembesar itu dengan
tajam.
"Kalian berdua mau apa ke
mari?" tanya pem besar itu dengan kening berkerut.
"Mau menghajarmu!"
sahut Lam Kiong Soa Lan. "Karena para anak buahmu memukuli da menyiksa
para penduduk kota ini!"
"Oh, itu!" Pembesar
tersebut manggut-manggut. "Kalau begitu, kalian berdua sama sekali tid
tahu tentang masalah ini."
"Masalah apa?" Lam
Kiong Soat Lan melot
"Lu Thay Kam mengangkatku
menjadi pembesar di kota ini, namun mengharuskan aku menaikkan pajak di kota
ini pula. Aku terpaksa harus mentaatinya, sebab kalau tidak aku pasti
hukum."
"Hm!" dengus Lam
Kiong Soat Lan. "Kalau begitu, engkau yang menyuruh prajurit-prajurit itu
memukuli dan menyiksa para penduduk kota ini?"
"Memang!" Pembesar
itu mengangguk. "Tapi hanya terhadap orang kaya yang tidak mau membayar
pajak!"
"Nona...." ujar
wanita itu sambil menghela nafas. "Tahukah
engkau, kami bersedia
mengorbankan harta benda kami demi mencukupi target yang ditentukan Lu Thay
Kam! Karena kami sama sekali tidak memungut pajak dari penduduk miskin."
"Betulkah begitu?"
tanya Lam Kiong Soat Lan kurang percaya.
"Betul." Pembesar
itu mengangguk, kemudian menunjuk sebuah kotak yang ada di atas meja.
"Kotak itu berisi perhiasan isteriku. Barang-ba-iang itu bukan hasil
korupsi, melainkan pemberian orang tuanya ketika kami menikah."
"Oh?" Lam Kiong Soat
Lan melirik Toan Beng kiat.
"Kalau begitu, Paman
bukan pembesar jahat," ujar Toan Beng Kiat. "Maaf, kami telah salah
menilai!"
"Tidak apa-apa."
Pembesar itu tersenyum. "Aku ini asal dari rakyat, sudah barang tentu
harus membela rakyat. Tapi nyawa kami terancam...."
"Kenapa terancam?"
tanya Lam Kiong Soat Lan.
"Kalau kami berani
melanggar perintah Lu Thay Kam, maka kami pasti dibunuh." Pembesar itu memberitahukan.
"Oooh!" Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut.
"Maaf, Paman!" tanya
Toan Beng Kiat. "Betulkah di kota ini terdapat orang kaya yang tak maui
membayar pajak?"
"Betul." Pembesar
itu mengangguk. "Mereka pura-pura tidak mempunyai uang, dan mengemu-kakan
berbagai alasan untuk menolak kenaikan pajak."
"Paman tahu siapa
mereka?" tanya Toan Bengl Kiat lagi.
"Mereka adalah hartawan
Liauw, hartawan Lim dan hartawan Phang," jawab pembesar itu.
"Paman tahu di mana rumah
mereka?" "Tahu." Pembesar itu memberitahukan.
"Kalau begitu, kami mohon
pamit, sebentar akan kembali ke mari lagi," ujar Toan Beng Kiai sambil
memberi isyarat kepada Lam Kiong Soal Lan. Gadis itu mengangguk, dan mereka
berdul lalu melesat pergi.
"Mereka mau ke
mana?" Tanya wanita itu.
"Tentu ke rumah para
hartawan itu," sahul pembesar itu sambil tersenyum. "Para hartawa!
itu memang harus dihajar biar kapok! Kalau tidak, mereka sama sekali tidak mau
membayar pajak!"
"Tapi...." Wanita
itu menggeleng-gelengkan kepala. "Kita
tidak bisa bertahan lama,
sebab...."
"Aku tahu, tapi apa boleh
buat? Padahal aku ingin mengundurkan diri, namun tiada alasan."
"Ada." Wanita itu
tersenyum. "Berpura-pura snkit, kemudian mohon pengunduran diri."
"Ide yang bagus!"
Pembesar itu tertawa. "Lebih baik kita hidup tenang di kampung."
"Betul...."
Mendadak Toan Beng Kiat dan
Lam Kiong Soat Lan melesat ke dalam, dan tangan gadis itu membawa sebuah
bungkusan.
"Benar apa yang dikatakan
Paman," ujar Toan beng Kiat. "Para hartawan itu bersenang-senang dengan
beberapa wanita cantik. Kami mengancam mereka sehingga mereka mengeluarkan
harta benda masing-masing. Nah, bungkusan ini berisi harta benda mereka, kini
kuserahkan kepada Paman."
"Terimakasih, siauw
hiap!" ucap pembesar itu dan menambahkan. "Secara tidak langsung
kalian pun telah menolong rakyat miskin."
"Maksud Paman?"
tanya Toan Beng Kiat.
"Maksudku rakyat miskin
tidak usah membayar pajak dengan adanya harta benda para d u tawan ini."
Pembesar tersebut memberitahukan.
"Paman," ujar Lam
Kiong Soat Lan sungguh-auij'guh. "Menurutku, lebih baik Paman mengundurkan
diri saja."
"Kami memang telah
memikirkan hal itu, tapi...." Pembesar
itu mengerutkan kening.
"Kalau yang menggantikan aku adalah pembesar korup, celakalah penduduk
miskin di kota ini."
"Maaf!" ucap Toan
Beng Kiat. "Kami tidak bisa terus-menerus menolong Paman, sebab kami masih
harus melanjutkan perjalanan."
"Aku tahu
itu...." Pembesar tersebut
manggut-manggut.
"Oh ya! Bolehkah aku tahu
nama kali an?"
"Namaku Beng Kiat, nama adikku
Soat Lan,' sahut Toan Beng Kiat, kemudian menarik Lan Kiong Soat Lan, sekaligus
diajaknya melesat pergi
Pembesar itu dan isterinya
termangu-mangu Mereka saling memandang lalu menghela nafi panjang.
"Sungguh hebat kepandaian
mereka!" ujar pembesar itu. "Kalau mereka bersedia mengabdi kepada
kerajaan, mungkin Dinasti Beng masih dapat dipertahankan."
"Aaaah!" Wanita itu
menghela nafas panjang lagi. "Kelihatannya tidak lama lagi Dinasti Ben
akan runtuh."
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan terus melanjutkan perjalanan ke markas pusat Kay Pang. Dalam
perjalanan mereka terus menerus membicarakan tentang itu.
"Beng Kiat, kalau begitu,
yang jahat adalah Lu Thay Kam."
"Benar," Toan Beng
Kiat mengangguk. "Tapi itu urusan kerajaan, kita tidak perlu turut
campur."
"Aku tidak menyangka
pembesar itu begitu baik. Untung kita tidak sembarangan turun tangan
melukainya!"
"Makanya lain kali kalau
mau bertindak, harus berpikir dulu."
"Ya." Lam Kiong Soat
Lan mengangguk. "Sejak kita memasuki Tionggoan, sudah banyak yang kita
dengar tentang Hiat Ih Hwe dan Tiong Ngie Pay. Hiat Ih Hwe selalu membunuh para
pembesar dan jenderal setia, sedangkan Tiong Ngie Pay malah selalu menentang
Hiat Ih Hwe, sehingga kedua perkumpulan itu sering saling bunuh membunuh."
"Itu urusan Hiat Ih Hwe
dan Tiong Ngie Pay, kita boleh dengar tapi jangan turut campur. Eng-k .m harus
ingat itu!" pesan Toan Beng Kiat.
"Beng Kiat!" Lam
Kiong Soat Lan mengerutkan kening. "Kenapa engkau kelihatan begitu ikut
akan urusan sih?"
"Bukannya takut,
melainkan tugas kita jauh lebih berat," sahut Toan Beng Kiat. "Apakah
engkau lupa, bahwa kita masih harus mencari jejak pembunuh Tui Hun Lojin dan
Lam Kiong hujin?"
"Bagaimana aku
lupa?" ujar Lam Kiong Soal Lan. "Lam Kiong hujin adalah nenekku,
sedang kan Tui Hun Lojin adalah kakek tuamu."
"Oleh karena itu, kita
jangan menimbulka urusan lain di rimba persilatan! Itu akan me repotkan
kita."
"Ya, aku menurut."
"Nah, harus begitu."
Toan Beng Kiat tcr senyum. Mendadak muncul beberapa orang ber pakaian hijau,
yang kemudian memandang Toa Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan sambil tc
tawa-tawa.
"Ha ha ha! Kita
ditugaskan untuk membun mereka, ternyata mereka masih sedemikian muda ujar
salah seorang berpakaian hijau. "Kita janga membunuh gadis itu, lebih baik
bersenang-scna dulu dengannya. Bagaimana?"
"Setuju!" sahut yang
lain sambil tertawa geli "Kita harus bergilir!"
"Siapa kalian?"
bentak Lam Kiong Soat gusar, karena mereka mengeluarkan kata-ka kotor.
"Kami adalah anggota Seng
Hwee Kauw (Agama Api Suci)!" sahut orang yang merupakan pala. "Kalian
berdua pasti bernama Toan Be Kiat dan Lam Kiong Soat Lan, bukan?"
"Kok kalian tahu nama
kami?" Toan Beng Kiat tertegun.
"Tentu tahu!" Orang
berpakaian hijau itu tertawa. "Karena kami ditugaskan untuk membunuh kalian!"
"Oh?" Toan Beng Kiat
dan Lam Kiong Soat lian mengerutkan kening, kemudian mereka pun menghunus
pedang masing-masing.
"Wuah! Mau melawan
ya?"
"Hm!" dengus Toan
Beng Kiat. "Kalian kira pampang membunuh kami? Sebaliknya malah kalian
yang akan mati di ujung pedang kami!"
"Mari kita serang
mereka!" seru orang berpakaian hijau itu.
Tampak beberapa bilah pedang
mengarah ke Tuan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan Segera berkelit, kemudian balas menyerang menggunakan Thian Liong Kiam
Hoat (Ilmu Pedang Naga Kahyangan).
Terjadilah pertarungan sengit.
Belasan jurus kemudian, Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat lian terpaksa
mengeluarkan jurus-jurus andalan.
Toan Beng Kiat mengeluarkan
jurus Thian Liong Jip Hai (Naga Kahyangan Masuk Ke Laut), sedangkan Lam Kiong
Soat Lan mengeluarkan jurus Thian Liong Cioh Cu (Naga Kahyangan Merebut
Mutiara)
"Aaakh! Aaaakh!
Aaaakh...!" Terdengarlah suara jeritan. Para anggota Seng Hwee Kauw itu
terhuyung-huyung. Mereka telah terluka dan darah mereka pun terus mengucur.
"Hm!" dengus Toan
Beng Kiat. "Cepatlah kalian enyah! Kalau tidak, kalian pasti mati di ujung
pedang kami!"
Para anggota Seng Hwee Kauw
saling memandang, lalu meninggalkan tempat itu. Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan memandang punggung mereka sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Kemudian
Toan Beng Kiat berkata dengan kening berkerut-kerut.
"Aku tidak menyangka
kalau mereka tahu nama kita."
"Heran!" gumam Lam
Kiong Soat Lan. "Dari mana mereka tahu nama kita? Padahal kita baru
menginjak Tionggoan ini."
"Menurutku, Seng Hwee
Kauw pasti mempunyai dendam dengan orang tua kita. Sebali mereka muncul untuk
membunuh kita."
"Tapi sejak kita memasuki
daerah Tionggoan, sama sekali tidak pernah mendengar tentang perkumpulan itu.
Namun justru muncul mendadak untuk membunuh kita."
"Soat Lan, kita harus
segera berangkat ke markas pusat Kay Pang untuk memberitahukan kepada kakekku
tentang kejadian ini," ujar Toan Beng Kiat. "Mungkin Seng Hwee Kauw
yang membunuh kakek tuaku dan nenekmu."
"Agama Api Suci...."
gumam Lam Kiong Soat Lan. "Agama Api.... Api.... Benar, mungkin pihak Seng
Hwee Kauw yang membunuh nenekku dan kakek tuamu."
"Ayoh, mari kita
berangkat!" ajak Toan Beng Kiat. Lam Kiong Soat Lan mengangguk. Mereka
berdua segera meninggalkan tempat itu menuju markas pusat Kay Pang. Dalam
perjalanan, Toan Heng Kiat terus berpikir dengan kening berkerut-kerut.
"Beng Kiat, kenapa
engkau?" tanya Lam Kiong Soat Lan. "Kenapa dari tadi keningmu
berkerut-kerut?"
"Aku sedang memikirkan
Seng Hwee Kauw itu." sahut Toan Beng Kiat. "Padahal kita baru
memasuki daerah Tionggoan, bagaimana mereka bisa tahu nama kita? Bukankah itu
sangat mengherankan?"
"Benar," Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut. "Bahkan mereka berniat membunuh kita."
"Aku yakin, Seng Hwee
Kauw yang membunuh kakek tuaku dan nenekmu," ujar Toan Heng Kiat dan
menambahkan. "Sebab mereka juga mau membunuh kita."
"Mungkin tidak salah
dugaanmu." Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut lagi. "Oleh karena itu,
kita harus memburu waktu agar cepat sampai di markas pusat Kay Pang."
"Maka...," tegas
Toan Beng Kiat. "Jangan menimbulkan masalah lain dalam perjalanan, sebabl
itu akan menghambat waktu kita."
"Ya." Lam Kiong Soat
Lan mengangguk.
--ooo0dw0ooo--
Beberapa hari kemudian, sampailah
mereka di markas pusat Kay Pang, yang tentunya sangat menggirangkan Gouw Han
Tiong dan Lim Peng Hang.
"Kakek!" panggil
Toan Beng Kiat.
"Kakek Lim!" Lam
Kiong Soat Lan juga memanggil mereka dengan hormat. Gouw Han Tiong dan Lim Peng
Hang tertawa gembira.
"Beng Kiat!" Gouw
Han Tiong terus menatapnya dengan penuh perhatian. "Ternyata engkau sudah
besar!"
"Tentu." Toan Beng
Kiat tersenyum. "Kini usiaku sudah enam belas, sudah hampir dewasa.'
"Betul, betul! Ha ha
ha!" Gouw Han Tionj tertawa. "Ayoh, kalian duduklah!"
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong
Soat Lan duduk, sedangkan Gouw Han Tiong masih tetap memandang Toan Beng Kiat
sambil tertawa gem bira.
"Kalian berdua adalah
murid Tayli Lo Ceng, tentunya sudah berkepandaian tinggi, bukan?" tanya
Gouw Han Tiong.
"Entahlah," Toan
Beng Kiat menggelengkan kepala. "Kami tidak mengetahuinya."
"Apa yang kalian pelajari
dari Tayli Lo Ceng?" tanya Lim Peng Hang sambil tersenyum.
"Beberapa macam ilmu
pukulan dan ilmu pedang." Toan Beng Kiat memberitahukan. "Setelah
itu, barulah guru mengajar kami Kim Kong Sin Kang dan Kim Kong Ciang
Hoat."
"Oh?" Gouw Han Tiong
terbelalak. "Apakah itu merupakan ilmu simpanan Tayli Lo Ceng?"
"Betul," Lam Kiong
Soat Lan mengangguk. "Guru juga memberitahukan, bahwa ilmu tersebut tidak
diajarkan kepada Paman Man Chiu!"
"Kenapa?" tanya Gouw
Han Tiong dengan rasa heran.
"Kata guru, Paman Man
Chiu terlampau berambisi dan...
dan...." Wajah Lam Kiong Soat Lan kemerah-merahan,
kemudian memandang Toan Beng
Kiat seraya bertanya. "Engkau ingat?"
"Aku pun sudah
lupa," sahut Toan Beng Kiat.
"Ha ha ha!" Gouw Han
Tiong dan Lim Peng Hang tertawa. "Itu tidak apa-apa. Lupa yah
sudahlah!"
"Guru mengingatkan kami,
kalau tidak terpaksa jangan mengeluarkan ilmu tersebut." Toan Beng Kiat
memberitahukan. "Sebab ilmu pukulan tersebut sangat hebat dan lihay."
"Oooh!" Gouw Han
Tiong manggut-manggut. "Oh ya!" ujar Lim Peng Hang memberitahukan.
"Kalian terlambat datang. Beberapa hari lalu Lie Ai Ling dan Siang Koan
Goat Nio berada di sini. Lie Ai Ling adalah putri Lie Man Chiu, sedangkan Siang
Koan Goat Nio adalah putri Kim Siauw Suseng."
"Oh?" Toan Beng Kiat
menggeleng-gelengkan kepala. "Sayang sekali! Kalau kami tidak terlambat
kemari, pasti bertemu mereka!"
"Benar," Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Oh ya, bagaimana pengalaman kalian dalam perjalanan
ke mari?"
"Cukup menegangkan,"
jawab Toan Beng Kiat dan menutur tentang kejadian yang mereka alami.
"Apa?!" Kening Lim
Peng Hang dan Gouw Han Tiong berkerut-kerut ketika mendengar tentang Seng Hwee
Kauw. "Jadi kini di rimba persilatan telah muncul Seng Hwee Kauw?"
"Ya," Toan Beng Kiat
mengangguk. "Menurut kami, kemungkinan besar kakek tua dan Lan Kiong hujin
dibunuh pihak Seng Hwee Kauw."
"Oh?" Gouw Han Tiong
tersentak dan ber gumam. "Seng Hwee (Api Suci)...."
"Itu memang
mungkin," sela Lim Peng Hang "Sebab Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin
mat hangus, mungkin terkena Seng Hwee?"
"Mungkin tapi belum
pasti," sahut Gouw Hai
Tiong, kemudian memandang Toan
Beng Kiat M-raya berkata. "Sungguh sayang sekali kalian terlambat sampai
di sini, karena Lie Man Chiu, Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio telah
berangkat ke Hong Hoang To beberapa hari yang lalu. Seandainya kalian tidak
terlambat, mereka akan membawa berita ini ke pulau itu."
"Apa? Paman Man Chiu...."
Toan Beng Kiat terbelalak.
"Dia telah sadar, maka
ikut putrinya dan Siang Koan Goat Nio pulang ke Pulau Hong Hoang To." Gouw
Han Tiong memberitahukan, lalu menghela nafas panjang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Rimba persilatan akan banjir ilarah lagi,
karena kemunculan Seng Hwee Kauw!"
"Kakek," ujar Toan
Beng Kiat. "Kami akan tinggal di sini beberapa hari, setelah itu kami akan
pergi menyelidiki Seng Hwee Kauw."
"Itu...." Gouw Han
Tiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu sungguh berbahaya,
lebih baik Kalian jangan menyelidikinya."
"Kakek!" Toan Beng
Kiat tersenyum. "Guru kami menitip sepucuk surat untuk orang tua
kami," katanya.
"Oh? Bagaimana isi surat
itu?" tanya Gouw Han Tiong.
"Surat itu
berbunyi...." Toan Beng Kiat memberitahukan.
"Maka kami diperbolehkan
pergi ke Tionggoan."
"Oooh!" Gouw Han
Tiong manggut-manggut "Kalau begitu, kalian tinggal di sini beberapa hari
barulah pergi menyelidiki Seng Hwee Kauw itu!
"Ya, Kakek," Toan
Beng Kiat mengangguk.
"Kalian berdua harus
ingat," pesan Lim Pen Hang. "Kalau ada apa-apa, kalian berdua haru
segera kemari."
"Ya," Toan Beng Kiat
dan Lam Kiong Soi Lan mengangguk.
Mereka berdua tinggal di
markas pusat Kay Pang beberapa hari, setelah itu, barulah mereld pergi
menyelidiki Seng Hwee Kauw.
Lie Man Chiu, Siang Koan Goat
Nio dan Lie Ai Ling telah tiba di Pulau Hong Hoang To. Tampak Lie Man Chiu
berlutut di hadapan Lie Tay Seng, sedangkan Tio Tay Seng menatapnya dengan
dingin sekali.
"Engkau masih punya muka
kemari?" bentak Tio Tay Seng gusar. "Engkau bukan manusia melainkan
binatang yang tak kenal budi!"
"Mantu mohon ampun, mantu
memang telah bersalah...," ujar Lie Man Chiu terisak-isak.
"Hmm!" dengus Tio
Tay Seng. "Lebih baik engkau segera meninggalkan pulau ini, aku tidak sudi
menerimamu lagi!"
"Tio Tocu," ujar Sam
Gan Sin Kay sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kini dia telah menyadari
semua kesalahannya, bahkan sudah pulung dan mau insyaf pula. Maka dia harus
di-ampuni agar bisa berkumpul kembali bersama isterinya, berilah dia kesempatan
untuk bertobat!"
"Tidak bisa!" Tio
Tay Seng menggelengkan kepala.
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan. "Sudahlah, jangan terus berpura-pura marah. Aku
tahu engkau bergirang dalam hati karena dia telah pulang bersama putrinya dan
putriku."
"Bijin...." Tio Tay
Seng mengerutkan kening.
"Ha ha ha!" Kim
Siauw Suseng tertawa gelak. "Tio Tocu, semua itu telah berlalu. Aku yakin
mulai sekarang putrimu pasti hidup tenang dan bahagia."
"Paman!" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Jangan membuat Kakak Hong Hoa bertambah menderita. Kini
Man Chiu telah pulang, maka Kakak Hong Moa harus hidup bahagia."
"Heran?" gumam Tio
Tay Seng. "Kenapa kalian semua membela Man Chiu yang telah melakukan
kesalahan?"
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa nyaring, "Tio Tocu, kami tidak membelanya, melainkan membela
putrimu yang telah menderita tujuh tahun lebih."
"Aaaah...!" Tio Tay
Seng menghela nafas. "Man Chiu, cepatlah engkau ke kamar menemui Hong
Hoa!"
"Ya." Lie Man Chiu
mengangguk dan girang bukan main, karena ucapan itu pertanda Tio Taji Seng
telah mengampuninya. Maka segeralah ia ke dalam menuju kamar Tio Hong Hoa.
Sementara Lie Ai Ling terus
menerus menghibur Tio Hong Hoa, karena Tio Hong Hoa menangis dengan air mata
berderai-derai, berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya.
"Ibu, maafkanlah
ayah!" ujar Lie Ai Ling dan menambahkan. "Kini ayah telah
sadar."
"Dia kejam! Dia tak punya
perasaan. Dia...” Ucapan Tio Hong Hoa terputus, karena pintu kamarnya terbuka.
Lie Man Chiu berjalan ke dalam sambil memandangnya. Ketika melihat Tio Hong Hoa
begitu kurus dan rambutnya mulai memutih, melelehlah air matanya.
Begitu melihat ayahnya
memasuki kamar itu, Lie Ai Ling segera meninggalkan kamar itu menuju ruangan
depan.
Sementara Lie Man Chiu
mendekati Tio Hong Hoa dengan air mata berlinang-linang. Tio Hong Hoa
menundukkan kepala sambil menangis ter isak-isak dengan air mata
berderai-derai.
"Adik Hong Hoa,
isteriku..." panggil Lie Mal Chiu dengan suara serak.
"Mau apa engkau pulang?
Ayoh, cepat pergi!" hentak Tio Hong Hoa.
"Isteriku...." Lie
Man Chiu duduk di sisinya. "Aku mohon ampun padamu, aku memang
bersalah...."
"Engkau kejam, dan tak
punya perasaan!" Tio liong Hoa menudingnya. "Aku bukan
isterimu!"
"Adik Hong Hoa!" Lie
Man Chiu memandangnya dengan air mata bercucuran. "Aku memang kejam dan
tak punya perasaan, tapi kini «ku telah sadar. Adik Hong Hoa, engkau adalah
isteriku yang tercinta."
"Hmm!" dengus Tio
Hong Hoa. "Tujuh tahun lebih aku hidup menderita bersama Ai Ling,
sebaliknya engkau...."
"Aaaah...!" Lie Man
Chiu menghela nafas panjang, kemudian mendadak menjatuhkan diri berlutut di
hadapan Tio Hong Hoa. "Adik Hong Hoa, aku mohon ampun!"
Tio Hong Hoa diam saja.
"Adik Hong Hoa, berilah
aku kesempatan untuk memperbaiki diri, agar dapat menebus dosaku!"
Tio Hong Hoa tetap diam,
bahkan membuang muka.
"Adik Hong Hoa, engkau
tidak sudi meng-ampuniku?" Lie Man Chiu menatapnya putus asa. ”Baiklah!
Aku akan mati di hadapanmu untuk menebus dosaku."
Lie Man Chiu menghunus
pedangnya, namun mendadak Tio Hong Hoa memeluknya erat-erat. "Kakak
Chiu...."
"Adik Hong Hoa!" Lie
Man Chiu membelainya. "Engkau sudi mengampuniku?"
Tio Hong Hoa mengangguk dengan
air mata berderai, lalu mendekap di dada Lie Man Chiu sambil menangis
tersedu-sedu.
"Isteriku," ujar Lie
Man Chiu lembut. "Jangan menangis lagi! Mulai sekarang kita tidak akar
berpisah, aku akan selalu mendampingimu dengar penuh cinta kasih...."
"Kakak Chiu...." Perlahan-lahan Tio Hong, Hoa
mendongakkan kepalanya
memandang suaminya, kemudian tersenyum.
"Isteriku!" Lie Man
Chiu mengangkatnya ke tempat tidur. Mereka berdua duduk di pinggir tempat tidur
untuk mencurahkan rasa rindunya Sementara itu, Lie Ai Ling sudah sampai di
ruang depan. Sam Gan Sin Kay yang tak sabaran itu langsung bertanya.
"Bagaimana? Beres?"
"Apanya yang beres?"
Lie Ai Ling balik bertanya dengan heran.
"Apakah ayah dan ibumu
sudah berpeluk pelukan?" Sam Gan Sin Kay menatapnya sambil tersenyum.
"Entahlah," sahut
Lie Ai Ling sambil dudu "Aku tidak melihatnya, karena begitu ayahku masuk,
aku langsung keluar."
"Engkau sungguh
bodoh." Sam Gan Sin Kay menggeleng-gelengkan kepala. "Seharusnya
engkau tetap di situ menyaksikannya."
"Itu urusan orang tua,
mana boleh aku menyaksikannya?" sahut Lie Ai Ling.
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan. "Pengemis bau, engkau memang sudah pikun."
"Kalau mereka berdua
sudah berpeluk-pelukan, kita pun ikut gembira," ujar Sam Gan Sin Kay
sambil tertawa terbahak-bahak. "Artinya mereka sudah akur...."
"Dasar pengemis
bau!" tegur Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. "Mereka berdua
adalah suami isteri, tentunya akan akur kembali."
"Betul, betul! Ha ha
ha...!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak.
"Oh ya!" Kou Hun
Bijin menatap putrinya seraya bertanya. "Apakah engkau sudah bertemu Bun
Yang?"
Siang Koan Goat Nio menggelengkan
kepala.
"Apa?" Kou Hun Bijin
terbelalak. "Engkau belum bertemu Bun Yang kok sudah pulang?"
"Ibu, aku...." Siang
Koan Goat Nio melirik Lie Ai Ling.
"Dia menemani kami
pulang," ujar Lie Ai Ling cepat.
"Yah, ampun!" Kou
Hun Bijin menepuk keningnya sendiri. "Tujuanmu ke Tionggoan bukankah demi
mencari Bun Yang? Kenapa engkau malah menemani mereka pulang? Dasar anak
bodoh!"
"Ibu...." Siang Koan
Goat Nio menundukkan kepala.
"Kami terlambat sampai di
markas pusat Kay Pang. Kalau tidak terlambat, kami pasti bertemu Kakak Bun
Yang." Lie Ai Ling memberitahukan!
"Jadi...." Wajah Tio
Cie Hiong dan Lim Ceng Im langsung
berseri. "Bun Yang sudah
ke markas pusat Kay Pang?"
"Ya," Lie Ai Ling
mengangguk. "Kata Kakek Lim, kepandaian Kakak Bun Yang sudah tinggi
sekali."
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
kelihatan gembira sekali.
Sementara Kou Hun Bijin terus
memandang putrinya, lama sekali barulah membuka mulut.
"Kenapa kalian terlambat
sampai di markas pusat Kay Pang?"
"Ketika kami sampai di
kota Keng Ciu, kami menolong seorang pembesar yang baik hati...," jawab
Siang Koan Goat Nio dan menutur tentang pengalaman itu.
"Ternyata begitu!"
Kou Hun Bijin manggut-manggut.
"Berarti..." ujar
Tio Cie Hiong setelah berpikir sejenak. "Man Chiu mempunyai hubungan dengan
pihak Hiat Ih Hwe!"
"Benar," Tio Tay
Seng mengangguk. "Biar nanti dia yang menceritakannya, sebab kita harus
tahu itu."
"Heran?" gumam Sam
Gan Sin Kay mendadak. "Kenapa mereka berdua begitu lama di dalam kamar?
Jangan-jangan...."
"Jangan-jangan kenapa?"
tanya Lie Ai Ling tercengang. "Tidak mungkin ayah dan ibu akan
ribut."
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Jangan-jangan ayah dan ibumu sedang...."
"Pengemis bau!"
tegur Kim Siauw Suseng. "Jangan omong sembarangan di depan anak-anak! Dasar...."
"Maksudku jangan-jangan
mereka berdua sudah akur dan asyik," sahut Sam Gan Sin Kay dan tertawa
lagi.
"Itu yang
kuharapkan," ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Jadi kita pun harus
ikut gembira."
"Betul, betul." Sam
Gan Sin Kay manggut-manggut. "Memang itu yang kita harapkan. Ha ha
ha...!"
"Kakek," ujar Lie Ai
Ling sambil memandang lio Tay Seng. "Aku dan Goat Nio masih mau ke
l'ionggoan."
"Maksudmu pergi
mengembara?" tanya Tio lay Seng.
"Ya," Lie Ai Ling
mengangguk. "Sebab Goat Nio belum bertemu Kakak Bun Yang."
"Tapi...." Tio
Tay Seng mengerutkan
kening. "Itu akan
dibicarakan nanti saja.
Tergantung pada keputusan kedua orang tuamu."
"Ayah yang menjanjikan
begitu," Lie Ai Ling memberitahukan.
"Oh?" Tio Tay Seng
menatapnya. "Jadi ayahmu memperbolehkanmu pergi ke Tionggoan lagi?"
"Ayah yang menjanjikan
itu," sahut Lie Ai Ling.
"Kalau Goat Nio belum
bertemu Bun Yang, aku tetap penasaran," sela Kou Hun Bijin. "Oleh
karena itu, aku mengijinkan Goat Nio ke Tionggoan mencari Bun Yang."
"Ibu...." Wajah
Siang Koan Goat Nio memerah.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa. "Bijin, kenapa engkau yang penasaran sih?"
"Tentu." Kou Hun
Bijin mengangguk. "Goat Nio adalah putriku, tentunya aku berharap dia
mempunyai suami yang baik."
"Oooh!" Sam Gan Sin
Kay manggut-manggut. "Tidak salah, Bun Yang memang merupakan calon suami
yang baik. Aku berani menjamin."
"Kuingat selalu ucapanmu
itu," sahut Kou Hun Bijin. "Apabila ternyata tidak, pipimu pasti
bengkak kutampar."
"Celaka!" keluh Sam
Gan Sin Kay. "Gara-gara banyak mulut jadi masalah!"
"Makanya lain kali jangan
banyak mulut," ujar Kim Siauw Suseng sambil tertawa gelak.
Bersamaan itu, muncullah Lie
Man Chiu dengan wajah berseri, begitu pula Tio Hong Hoa yang di sampingnya.
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan. "Kayak pengantin saja! Sudah beres kalian?"
"Beres," sahut Lie
Man Chiu sambil tersenyum, dan kemudian mendekati Tio Cie Hiong sekaligus
menjura. "Cie Hiong, aku minta maaf!"
"Lho? Kenapa engkau minta
maaf kepadaku?" tanya Tio Cie Hiong dengan rasa heran.
"Karena...." Lie
Man Chiu menghela
nafas panjang dan
melanjutkan. "Tujuh tahun
yang lalu, aku merasa dengki dan iri kepadamu, sehingga membuatku
berambisi."
"Kenapa begitu?"
"Engkau selalu dipuji,
disanjung dan dihormati pula. Oleh karena itu, aku dengki dan iri
kepadamu."
"Engkau...." Tio Cie
Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Oleh karena itu, maka
aku berambisi mengangkat namaku untuk menyaingimu. Akhirnya aku meninggalkan
anak
isteri...." ujar Lie Man
Chiu sambil menghela nafas panjang.
"Sepasang kakiku membawa
diriku sampai di ibu kota. Di sana aku bertemu Lu Thay Kam, kemudian aku
mengabdi kepadanya."
"Ternyata begitu!"
Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Apakah Lu Thay Kam ketua Hiat Ih
Hwe?"
"Betul," Lie Man
Chiu mengangguk. "Dia mengajarku ilmu Ie Hoa Ciap Bok, lalu mengangkatku
sebagai wakilnya, merangkap sebagai kepala pengawal di tempat tinggalnya."
"Tentunya engkau hidup
senang di situ," ujar Tio Tay Seng dengan wajah tak sedap dipandangi
"Memang begitulah,"
Lie Man Chiu mengaku "Tapi selama tujuh tahun, aku tidak pernah tidur
bersama dayang yang mana pun."
"Tak terduga sama sekali,
engkau masih dapat mengekang hawa nafsu!" ujar Sam Gan Sin Ka dan
menambahkan. "Pantas tadi begitu lama di dalam kamar!"
"Kakek pengemis...."
Wajah Lie Man Chiu memerah.
"Lalu bagaimana engkau
bisa sadar dari kesalahanmu itu?" tanya Kou Hun Bijin mendada
"Aku melihat seekor anak burung...." Lie Ma Chiu
memberitahukan. "Karena
itu hatiku tersentuh dan seketika teringat pula kepada Hong Hoa dan putriku di
pulau ini."
”Syukurlah!" Kim Siauw
Suseng manggu manggut. "Lalu apa rencanamu sekarang?"
"Tidak akan meninggalkan
pulau ini lagi, lama-lamanya mendampingi Hong Hoa untuk lewati hari-hari yang
indah dan bahagia," ja Lie Man Chiu sungguh-sungguh.
"Bagus, bagus!" ujar
Sam Gan Sin Kay sambil tertawa. "Ha ha ha...!"
"Oh ya!" Tio Tay
Seng teringat sesuatu. "Betulkah engkau telah berjanji pada Ai Ling, bahwa
engkau memperbolehkannya ke Tionggoan lagi?"
"Betul," Lie Man
Chiu mengangguk. "Aku memang pernah menjanjikan itu."
"Ayah tidak boleh ingkar
janji lho!" ujar Lie Ai Ling cepat.
"Tentu." Lie Man
Chiu tersenyum. "Tapi itu pun tergantung pada ibumu."
"Ibu tidak berkeberatan,
kan?" tanya Lie Ai Ling sambil tersenyum.
"Akan dirundingkan lagi
mengenai itu," sahut lio Hong Hoa dan menambahkan. "Kalau semuanya
setuju, ibu pun tidak berkeberatan!"
"Aku yakin semuanya
setuju, terutama Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin," ujar Lie Ai ling dan
melanjutkan. "Sebab aku harus menemani Goat Nio ke Tionggoan mencari Kakak
Bun Yang."
"Betul, betul,"
sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa cekikikan. "Hi hi hi...!"
"Isteriku setuju, aku pun
setuju," sambung Knn Siauw Suseng. "Pengemis bau! Bagaimana
engkau?"
"Aku tidak
berkeberatan," sahut Sam Gan Sin Kny, kemudian bertanya kepada Tio Tay
Seng. "Tio Tocu, bagaimana engkau?"
"Terserah kepada kedua
orang tuanya," sahut Tio Tay Seng.
"Kami berdua...,"
ujar Lie Man Chiu sambi memandang Lie Ai Ling dengan penuh kasih sayang.
"Tentunya juga tidak berkeberatan. Tapi kami baru berkumpul, jadi tidak
boleh cepat-cepat ke Tionggoan."
"Terimakasih Ayah,"
ucap Lie Ai Ling dengari wajah berseri. "Terimakasih Ibu!"
--ooo0dw0ooo-
Bagian ke dua puluh
Gadis cantik suku Miauw
Tio Bun Yang terus melanjutkan
perjalanan bersama monyet bulu putih. Ia berusaha keras untuk menguak misteri
kematian Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.
Hari ini ketika ia sampai di
tempat sep mendadak ia mendengar suara ribut-ribut di depan. Segeralah ia
melesat ke arah asal datangnya suara itu kemudian meloncat ke atas sebuah
pohon.
Dilihatnya seorang gadis
cantik dikerumuni beberapa orang berpakaian hijau. Gadis itu berpakaian aneh
warna warni, sepasang tangan dan kakinya memakai gelang, dan telinganya memakai
anting yang bergemerlapan.
Begitu melihat gadis tersebut,
Tio Bun Yang tahu bahwa gadis itu bukan gadis Tionggoan. Tampak gadis itu
marah-marah sambil menuding orang-orang berpakaian hijau itu, bahkan membentak
pula.
"Kalian jangan kurang
ajar! Kata ibuku, orang Tionggoan baik-baik, tidak tahunya begitu kurang
Ajar!"
"Kami memang orang
baik-baik," sahut salah seorang berpakaian hijau. "Kalau kami jahat,
tentunya tidak akan mengajakmu bersenang-senang. Ha ha ha...!"
"Jangan kurang
ajar!" bentak gadis itu lagi.
"Nona cantik, engkau dari
mana?" tanya orang Itu sambil menatapnya dengan penuh nafsu birahi.
"Kalian tidak usah tahu
aku datang dari mana!" sahut gadis itu dan mengancam. "Kalau kalian
berani kurang ajar terhadapku, aku pasti tidak memberi ampun kepada
kalian!"
"Ha ha ha! Kami tidak
minta ampun, melainkan ingin minta dirimu menemani kami!" Orang berpakaian
hijau itu mendekatinya, lalu mendadak menjulurkan tangannya untuk meraba pipi
gadis itu
Gadis itu cepat-cepat
berkelit, sekaligus menghunus pedangnya. Ditatapnya mereka dengan tajam seraya
berkata.
"Aku tidak menyangka
orang Tionggoan sedemikian tak tahu diri!"
"He he he! Engkau
menghunus pedang? Mau bertarung dengan kami? Lebih baik jangan, sebab kami
tidak sampai hati melukaimu. Alangkah baiknya engkau menemani kami tidur,
pokoknya...."
Sebelum orang berpakaian hijau
itu usai berkata, gadis itu telah mengayunkan pedangnya.
Breeet! Pakaian orang itu
tersobek. Untung ia cepat berkelit, kalau tidak ia pasti terluka.
"Serang dia!" seru
orang berpakaian hijau itu.
Teman-temannya langsung
menyerang gadis! itu dengan pedang dan golok. Gadis itu berkelit! lalu balas
menyerang.
Tio Bun Yang terbelalak ketika
melihat gerakan pedang gadis itu, karena gerakan pedang itu ternyata Tui Hun
Kiam Hoat (Ilmu Pedang! Pengejar Roh).
Sayang sekali, gadis itu belum
berpengalaman maka belasan jurus kemudian sudah berada dibawah angin.
"Ha ha ha!"
Orang-orang berpakaian hijau tertawa terkekeh. "Sudahlah! Lebih baik
engkau menyerah saja! Kami merasa tidak tega melukai mu!"
"Berhenti!"
Terdengar suara bentakan da mendadak melayang turun seseorang, yang tidak lain
Tio Bun Yang bersama monyet bulu puti yang duduk di bahunya.
Orang-orang berpakaian hijau
terperanjat. Mereka langsung berhenti menyerang gadis itu, kemudian memandang
Tio Bun Yang dengan kening berkerut.
"Siapa engkau?"
"Siapa kalian?"
"Kami anggota Seng Hwee
Kauw, maka engkau jangan coba-coba mencampuri urusan kami kalau ingin
selamat!"
"Seng Hwee Kauw?"
Tio Bun Yang berpikir, karena tidak pernah mendengar nama perkumpulan itu.
"Cepatlah engkau enyah,
jangan cari mati di sini!" Ujar salah seorang berpakaian hijau itu.
"Seharusnya kalian yang
enyah dari sini, bukan aku!" sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.
"Oh?" Orang
berpakaian hijau itu tertawa. "Siapa engkau? Kenapa berani omong besar di
hadapan kami?"
"Aku adalah Giok Siauw
Sin Hiap!" sahut Tio Kun Yang sambil memperlihatkan suling pualamnya.
"Haaah?" Orang-orang
berpakaian hijau tampak terkejut, kemudian mendadak menyerangnya.
"Kalian memang cari
penyakit!" ujar Tio Bun Yang sambil berkelit. Kemudian ia balas menyerang
menggunakan Giok Siauw Bit Ciat Kang khi (Ilmu Suling Kumala Pemusnah
Kepandaian), dan mengeluarkan jurus Cian In Giok Siauw (Ribuan Bayangan Suling
Kumala).
"Aaaakh! Aaaakh!
Aaaaakh...!" Terdengar, suara jeritan yang saling menyusul. Orang-orang'
berpakaian hijau itu roboh dengan mulut mengeluarkan darah. Ternyata salah satu
urat penting mereka telah
putus, dan kepandaian mereka musnah seketika.
Hanya dengan satu jurus Tio
Bun Yang berhasil memusnahkan kepandaian mereka, itu karena kepandaian mereka
masih rendah.
"Cepatlah kalian
pergi!" bentak Tio Bun Yang.
Orang-orang berpakaian hijau
itu berusaha bangkit untuk berdiri, lalu berjalan pergi dengari sempoyongan.
"Hi hi hi!" Gadis
itu tertawa geli.
"Nona!" ujar Tio Bun
Yang. "Sudah amari sekarang, engkau boleh meninggalkan tempat ini."
Gadis itu terbelalak.
"Kenapa engkau mengusirku?"
"Aku tidak mengusirmu,
melainkan...." Mendadak Tio Bun
Yang teringat sesuatu.
"Oh ya, siapa yang mengajarmu ilmu pedang Tui Hun Kiam Hoat?"
"Kok engkau tahu?"
tanya gadis itu dengan rasa heran.
"Aku melihat gerakan
pedangmu tadi," Tio Bun Yang memberitahukan. "Maka aku tahu."
"Oooh!" Gadis itu
manggut-manggut. "Ibu yang mengajarku."
"Siapa ibumu?"
"Jangan terus bertanya,
aku sudah capek berdiri!" tandas gadis itu. "Lebih baik kita
mengobrol di bawah pohon saja."
"Baik." Tio Bun Yang
mengangguk sambil tersenyum.
Mereka berdua lalu duduk di
bawah sebuah pohon. Gadis itu terus menatapnya sehingga membuat Tio Bun Yang
terheran-heran.
"Kenapa engkau terus
memandangku?"
"Engkau sungguh
tampan," sahut gadis itu. "Monyet yang duduk di bahumu juga indah
sekali bulunya."
"Engkau...." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala.
Sedangkan monyet bulu putih
itu bercuit-cuit seakan merasa gembira sekali karena dipuji.
"Oh ya! Aku lupa menjawab
pertanyaanmu tadi." Gadis itu tersenyum. "Ibuku adalah putri kepala
suku Miauw."
"Kalau begitu... engkau
gadis Miauw?"
"Betul."
"Kok engkau begitu lancar
berbahasa Han?"
"Sejak kecil aku sudah
belajar bahasa Han." Gadis Miauw itu memberitahukan. "Ibu yang
mengajarku."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut. "Oh ya, siapa yang mengajar ibumu ilmu pedang itu?"
"Orang Han."
"Kapan?"
"Sudah lama sekali,
mungkin dua puluhan tahun yang lalu. Aku datang di Tionggoan justru mau cari
orang Han itu, ibu yang menyuruhku mencarinya."
"Bolehkah aku tahu nama
orang Han itu?"
"Namanya Tio Cie
Hiong."
"Apa?!" Tio Bun Yang
terbelalak. "Engkau mau mencarinya?"
"Ya." Gadis Miauw
itu mengangguk. "Engkau tahu Tio Cie Hiong berada di mana?"
"Tahu." Tio Bun Yang
mengangguk. "Tio Cie Hiong adalah ayahku."
"Apa?!" Kini giliran
gadis Miauw itu yana terbelalak. "Engkau... engkau puteranya?"
"Betul."
"Syukurlah!" ucap
gadis Miauw itu dan men dadak memeluknya erat-erat. "Aku gembira sekali
bertemu denganmu. Cepatlah ajak aku pergi me nemui ayahmu!"
"Eh? Nona...."
Wajah Tio Bun Yang langsung memerah
karena dipeluk. Namun
sebaliknya monyet bulu putih itu malah membelainya.
"Kenapa?" Gadis
Miauw itu melepaskan pelukannya, kemudian memandang Tio Bun Yan dengan mata
berbinar-binar. "Barusan engka membelaiku?"
"Bukan," Tio Bun
Yang memberitahukan. "Yang membelaimu barusan kauw heng."
"Kauw heng? Monyet bulu
putih ini?" Gadis Miauw itu menatap monyet bulu putih dengan mata
terbelalak.
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk dan tersenyum. "Dia sayang kepadamu, maka membelaimu."
"Oooh!" Gadis Miauw
itu tertawa geli. "Terimakasih, kauw heng!"
Monyet bulu putih itu bercuit
dan manggut-manggut.
"Kenapa dia?" tanya
gadis itu.
"Dia menerima ucapan
terimakasihmu."
"Eh?" Gadis Miauw
itu melongo. "Kauw heng mengerti bahasa manusia?"
"Mengerti." Tio Bun
Yang mengangguk dan memberitahukan. "Usianya sudah tiga ratus tahun lebih
lho!"
"Apa?!" Mulut gadis
Miauw itu ternganga lebar. "Usianya sudah tiga ratus lebih? Engkau tidak
membohongiku?"
"Untuk apa aku
membohongimu?" Tio Bun Yang tersenyum. "Itu memang benar."
Monyet bulu putih itu segera
bercuit, kemudian manggut-manggut.
"Dia bilang apa?"
"Dia bilang aku tidak
bohong."
"Oooh!" Gadis Miauw
itu tertawa geli. "Kalau begitu, engkau pun mengerti bahasa monyet?"
"Kira-kira
begitulah." Tio Bun Yang mengangguk. "Sebab sejak aku lahir, dia pun
bantu meng-urusiku."
"Bukan main!" Gadis
Miauw itu tertawa lagi. "Sungguh luar biasa!"
"Oh ya, aku belum tahu
namamu. Kenapa engkau tidak memberitahukan?" tanya Tio Bun Yang mendadak.
"Namaku Cing Cing,"
sahut gadis Miauw itu. "Engkau tidak bertanya, bagaimana mungkin akui
memberitahukan."
"Engkau telah
memberitahukan namamu, maka aku pun harus memberitahukan namaku."
"Oooh, begitu!" Cing
Cing menatapnya. "Kata ibuku, orang Tionggoan baik-baik. Kini aku baru
percaya."
"Tidak semua orang
Tionggoan baik, ada pula yang jahat," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh
"Di daerahmu juga tentu ada orang jahat, bukan?”
"Betul. Maka ibu
menyuruhku ke Tionggoar mencari Tio Cie Hiong. Sudah hampir seminggj aku berada
di Tionggoan, dan sudah bertanya d sana-sini, namun tiada seorang pun yang tahi
tentang ayahmu."
"Engkau bertanya kepada
siapa?"
"Pelayan kedai teh,
pelayan toko dan pelayan rumah penginapan."
"Tentu mereka tidak tahu,
sebab mereka bukan kaum rimba persilatan," ujar Tio Bun Yang.
"Seharusnya engkau bertanya kepada kaum rimba persilatan."
"Tadi aku bertemu
orang-orang berpakaian hijau, dan aku bertanya kepada mereka. Mereka bilang
kenal Tio Cie Hiong, tapi...." Cing Cing mengerutkan kening.
"Kenapa?"
"Mereka bersedia
mengajakku menemui Tio Cie Hiong, tapi aku harus memenuhi syarat mereka."
"Apa syarat mereka?"
"Aku harus menemani
mereka tidur."
"Apa?" Tio Bun Yang
tertegun. "Mereka sungguh jahat, padahal belum tentu mereka kenal
ayahku!"
"Aku bilang mereka harus
mengajakku menemui Tio Cie Hiong dulu, setelah itu...."
"Engkau mau menemani
mereka tidur?"
"Cisss! Kebagusan
mereka!" Wajah Cing Cing langsung memerah. "Siapa sudi menemani
mereka tidur? Kalau menemanimu tidur, aku masih mau."
"Eeeh? Engkau...."
Wajah Tio Bun Yang memerah. Ia sama
sekali tidak menyangka gadis
Miauw itu akan mengatakan begitu. Sedangkan monyet bulu putih itu bercuit-cuit,
seakan tertawa
"Engkau harus tahu, bahwa
dulu ada satu aturan di daerah kami." Cing Cing memberitahukan.
"Apabila gadis Miauw menyukai seseorang yang bukan suku Miauw, maka gadis
Miauw itu boleh menemani orang itu tidur!"
"Peraturan apa itu?"
Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Tapi kemudian peraturan
itu dihapus oleh kakekku atas usul ibuku," Cing Cing memberi tahukan.
"Itu dikarenakan ibuku mendengar nasihat ayahmu, maka mengusul kepada
kakekku!”
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut "Jadi peraturan itu sudah tidak berlaku lagi?"
"Betul."
"Tapi tadi kenapa engkau
masih mengatakal begitu?" "Kalau cuma mengatakan, tidak apa-apa, kan?
"Memang tidak apa-apa,
tapi aku yang merafl tidak enak," ujar Tio Bun Yang. "Oh ya, kenapa
ibumu menyuruhmu ke Tionggoan mencari ayal ku?"
"Sebab ibuku membutuhkan
bantuan ayahmu," Cing Cing memberitahukan. "Ayah dan ibu ditangkap
orang, dan dikurung di suatu tempat. Kata orang itu, apabila ada orang lain
mampu mengalahkannya, dia akan membebaskan ayah dan ibuku."
"Siapa orang itu?"
"Sebetulnya dia teman
ibuku, bahkan ia mencintai ibuku. Tapi ibuku mencintai lelaki itu Oleh karena
itu dia frustrasi sehingga meninggalkan daerah Miauw." Cing Cing
memberitahukan. "Beberapa bulan yang lalu, mendadak dia muncul. Ayah dan
ibuku tak mampu melawannya, akhirnya ayah dan ibuku ditangkap, dan dikurung di
suatu tempat. Karena itu, ibu menyuruhku ke Tionggoan mencari ayahmu."
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut. "Oh ya, di mana kakek dan nenekmu?"
"Sudah meninggal. Kini
orang itu mengangkat dirinya sebagai kepala suku di sana. Karena dia
berkepandaian tinggi sekali, maka tiada seorang pun yang berani
menentangnya."
"Dia juga orang
Miauw?"
"Ya, namanya Pahto,"
sahut Cing Cing dan mendesaknya. "Ayoh, bawa aku pergi menemui
ayahmu!"
"Tempat tinggal ayahku
jauh sekali."
"Pokoknya engkau harus
membawaku ke sana," desak Cing Cing lagi. "Berapa jauh pun engkau
harus membawaku ke sana."
"Karena ibumu kenal
ayahku, maka aku bersedia menolong ibumu," ujar Tio Bun Yang
sungguh-sungguh.
"Apa?" Cing Cing
terbelalak. "Engkau yang akan pergi menolong ibu dan ayahku?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk.
"Berapa usiamu
sekarang?" tanya Cing Cing mendadak sambil menatapnya dalam-dalam.
"Tujuh belas."
"Hi hi hi!" Cing
Cing tertawa geli.
"Kenapa engkau tertawa
geli?" tanya Tio Bun Yang.
"Engkau masih sedemikian
muda, bagaimana mungkin dapat melawan Pahto yang berkepandaian tinggi itu?
Sudahlah! Cepat bawa aku pergi menemui ayahmu saja!"
"Engkau harus percaya,
aku dapat melawan Pahto itu. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berani ke sana
menolong ibumu?"
"Itu...." Cing Cing berpikir lama sekali, kemudian
mengangguk dan berkata.
"Baiklah. Tapi kalau engkau celaka, jangan mempersalahkan aku, ya?"
"Aku pasti tidak akan
mempersalahkanmu." Tio Bun Yang tersenyum.
"Wuah!" Cing Cing
menatapnya. "Bukan main senyumanmu!"
"Kenapa?" Tio Bun
Yang tercengang.
"Sungguh mempesona,
sehingga membuatku nyaris memelukmu lagi," sahut Cing Cing sambil tertawa.
"Engkau...." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala.
Ia sangat menyukai kepolosal
gadis itu. "Oh ya, berapa usiamu?"
"Hampir enam belas,"
sahut Cing Cing. "Aku lebih kecil, maka harus memanggilmu Kakak Bun Yang,
dan engkau harus memanggilku Adik Cini Cing, bukan?"
"Betul!" Tio Bun
Yang mengangguk. "Kakak Bun Yang, mari kita berangkat!" ajak Cing
Cing.
"Daerah Miauw itu sangat
jauh, lebih baik kita menunggang kuda," usul Tio Bun Yang. "Bagaimana?"
"Baik." Cing Cing
mengangguk. "Di depan sana ada penjual kuda, mari kita ke sana!"
Tio Bun Yang tersenyum, dan
mereka lalu ke tempat penjual kuda itu. Tio Bun Yang membeli dua ekor kuda,
setelah itu berangkatlah mereka menuju ke daerah Miauw. Dalam perjalanan tak
henti-hentinya Cing Cing tertawa riang gembira, sedangkan monyet bulu putih pun
bercuit-cuit.
Belasan hari kemudian, mereka
sudah memasuki daerah Miauw. Mendadak muncul beberapa orang Miauw bersenjata
tombak menghadang mereka. Betapa gusarnya Cing Cing dan langsung
membentak-bentak dengan bahasa Miauw. Setelah itu, ia pun memandang Tio Bun
Yang.
"Ada apa?" tanya Tio
Bun Yang.
"Ada perintah dari Pahto,
siapa yang ingin menemuinya harus melewati tiga rintangan," Cing Cing
memberitahukan.
"Rintangan apa?"
tanya Tio Bun Yang.
"Kesatu Barisan Ular,
kedua Telaga Beracun dan ketiga Lembah Beracun." Cing Cing memberitahukan
dengan wajah muram. "Ketiga rintangan itu tidak gampang dilewati, lebih
baik engkau pulang saja."
"Biar aku coba melewati
ketiga rintangan itu,” ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh.
"Jangan cari mati, sebab
sudah banyak oranaL mati di situ," Cing Cing menggeleng-gclengkarl kepala.
"Lebih baik engkau pulang dan suruh ayahmu kemari!"
"Yakinlah!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Aku pasti bisa melewati ketiga rintangan itu."
"Oh?" Cing Cing
menatapnya seraya berkata "Baik, aku percaya kepadamu. Kalau engkau mati
di sana, aku pasti berkabung lima tahun."
"Aku tidak akan mati di
sana," Tio Bun Yang tersenyum lagi. "Beritahukan, aku harus menuju ke
mana?"
Cing Cing segera berbicara
kepada orang orang Miauw itu.
Mereka kelihatan terkejut dai
memandang Tio Bun Yang.
"Kakak Bun Yang, ikutlah
mereka!" ujari Cing Cing dan menambahkan. "Engkau begil baik, kalau
engkau mati, aku pasti berkabung untukmu."
"Cing Cing!" Tio Bun
Yang tertawa. "Percayalah! Aku tidak akan mati di tempat itu."
"Kakak Bun Yang!"
Cing Cing menatapnya dalam-dalam. "Semoga engkau berhasil melewati ketiga
rintangan itu!"
Tio Bun Yang mengangguk, lalu mengikuti
orang-orang Miauw itu. Berselang beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di
sebuah rimba. Orang-orang Miauw itu menunjuk ke arah rimba itu, Tio Bun Yang
manggut-manggut.
"Kauw heng, kita akan
memasuki rimba itu."
Monyet bulu putih itu bercuit
sambil mengangkat dada, pertanda ia tidak takut sama sekali.
"Bagus!" Tio Bun
Yang tersenyum.
Mulailah ia melangkah memasuki
rimba itu, jikan tetapi, tiada keanehan apa pun di dalam rimba tersebut.
Berselang sesaat, mereka sudah
sampai di sebidang tanah kosong yang luas sekali, tapi tiada pohon atau
rumput-rumput sedikitpun.
Mendadak terdengar suara
suling yang bernada aneh, dan tak lama kemudian terdengar pula luara
mendesis-desis.
"Kauw heng, suara apa
itu?"
Monyet bulu putih itu
menggerakkan tangannya memberitahukan, Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Ternyata suara desis ular...." Belum usai ucapannya,
sudah tampak ribuan ular
berbisa merayap ke arahnya, yang ternyata barisan ular.
Tio Bun Yang mengerutkan
kening, lalu bersama monyet putih membunuh ular-ular beracun itu. Namun sungguh
mengherankan! Begitu suara suling itu berubah, ribuan ular berbisa itu segen
berpencar mengurung Tio Bun Yang. Monyel bulu putih itu bercuit-cuit, sedangkan
Tio Bui Yang terus mendengarkan nada suara suling itu dengan penuh perhatian.
Sementara ribuan ular beracun
itu sudah sel makin mendekat. Di saat itulah Tio Bun Yang tersenyum sambil
duduk bersila, kemudian mengeluarkan suling pualamnya, sekaligus meniupnya!
Ternyata ia meniru nada suara
suling itu Suara suling pualamnya sangat nyaring, sehingga suara suling itu
tertindih.
Ribuan ular berbisa itu tampak
kebingungan Ular-ular itu mendongakkan kepala, kemudial merayap pergi.
Setelah ribuan ular berbisa
itu tak kelihatan barulah Tio Bun Yang berhenti meniup sulinj pualamnya. Dalam
waktu bersamaan, muncullai seorang lelaki berusia lima puluhan sambil tertav
gelak.
"Sungguh hebat engkau,
anak muda!" uji lelaki itu dengan bahasa Han. "Aku tidak nr"
nyangka engkau begitu mahir meniup suling, ba kan mampu meniru nada suara
sulingku. Ha ha...!"
"Paman bisa berbahasa
Han?" tanya Tio Bun Yang heran.
"Tentu." Lelaki itu
tertawa lagi sambil menatapnya. "Engkau siapa? Kenapa ingin menemui
Pahto?"
"Namaku Tio Bun Yang,
Paman," sahutnya jujur. "Aku ke mari karena ingin menolong ibu dan
ayah Cing Cing."
"Oh?" Wajah lelaki
itu tampak berseri. "Kalau begitu, engkau pasti putera Tio Cie
Hiong."
"Betul," Tio Bun
Yang mengangguk. "Paman kenal ayahku?"
"Ha ha ha!" Lelaki
itu tertawa gelak. "Tentu kenal, sebab ayahmu pernah menyelamatkan ibu
Cing Cing."
"Oh?" Giranglah Tio
Bun Yang. "Paman, sekarang aku harus menuju ke mana?"
"Lurus ke depan, lalu
belok ke kiri." Lelaki liu memberitahukan. "Di situ terdapat sebuah
sungai beracun, dan engkau harus menyeberanginya. Tapi harus berhati-hati,
sebab air telaga itu beracun. Kalau engkau kecipratan air telaga itu, mati
keracunan."
"Terimakasih,
Paman!" ucap Tio Bun Yang, lalu melangkah pergi menuju tempat itu.
Tak seberapa lama kemudian, ia
melihat sebuah telaga yang airnya sangat bening. Namun di sisi telaga itu
tampak
banyak tulang belulang
binatang. Mungkin binatang-binatang itu minum di telaga tersebut, akhirnya mati
keracunan di situ.
Tio Bun Yang berdiri di
pinggir telaga beracun itu, dan monyet bulu putih tetap duduk di atas bahunya.
Dari tempat ia berdiri ke seberang sana, jaraknya kira-kira lima puluh depa
lebih.
"Kauw heng! Cara
bagaimana kita menyeberang ke sana?" tanya Tio Bun Yang.
Monyet bulu putih itu
bercuit-cuit sambil menggerak-gerakkan sepasang tangannya.
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut sambil tersenyum. "Jadi kita berjungkir ke depan sesuai
dengan apa yang pernah ayah ajarkan kepadaku?"
Monyet bulu putih itu
mengangguk, kemudian menarik nafas seakan memberi petunjuk kepada nya.
"Aku mengerti," ujar
Tio Bun Yang. "Meloncat ke depan lalu menarik nafas dalam-dalar agar badan
melambung ke atas, lalu melesat kedepan lagi. Begitu kan?"
Monyet itu mengangguk,
kemudian bercuit cuit.
"Engkau akan menyeberang
duluan memt petunjuk kepadaku?"
Monyet bulu putih
manggut-manggut. Mendadak ia melesat ke depan belasan depa, setel itu menarik
nafas dalam-dalam, kemudian badannya melambung ke atas sekaligus berjungkir
kedepan. Dengan cara demikian monyet bulu putih itu berhasil sampai di
seberang.
Kini giliran Tio Bun Yang. Ia
melesat ke depan dan melakukan seperti yang dilakukan monyet bulu putih,
akhirnya ia pun sampai di seberang. Monyet bulu putih itu bertepuk tangan, lalu
meloncat ke atas bahunya.
"Ha ha ha!"
Terdengar suara tawa gelak. "Sungguh hebat sekali! Aku tidak menyangka
monyet ini dan engkau mampu menyeberang ke mari. Itu pertanda ginkang kalian
sudah tinggi sekali."
Muncul seorang lelaki berusia
lima puluhan, yang kemudian berkata dengan bahasa Han sambil menatap Tio Bun
Yang dengan penuh perhatian.
"Anak muda, kenapa engkau
ingin bertemu Pahto?"
"Paman," sahut Tio
Bun Yang memberitahukan. "Aku ingin menolong ibu dan ayah Cing Cing."
"Oooh!" Lelaki itu
manggut-manggut. "Kalau begitu engkau pasti mempunyai hubungan dengan Tio
Cie Hiong."
"Dia ayahku."
"Syukurlah!" Lelaki
itu tertawa gembira. "Nah, sekarang engkau harus melewati rintangan
terakhir yaitu lembah beracun."
"Paman kenal
ayahku?"
"Orang-orang Miauw di
sini pasti kenal ayahmu, sebab ayahmu pernah menyelamatkan nyawa ibu Cing
Cing." Lelaki itu memberitahukan. "Sekarang engkau harus melewati
lembah beracun itu, setelah itu engkau akan bertemu Pahto. Hati-hati,
kepandaiannya tinggi sekali!"
"Terimakasih atas
petunjuk Paman! Oh ya, aku harus menuju ke mana?"
"Lurus saja, nanti engkau
akan melihat sebuah lembah. Itulah lembah beracun."
"Terimakasih!" ucap
Tio Bun Yang, lalu beri jalan menuju lembah beracun.
Tak seberapa lama kemudian,
Tio Bun Yang telah sampai di hadapan lembah beracun itu. Ia tersenyum, sebab ia
memang
kebal terhadap racun apa pun.
Tio Cie Hiong, ayahnya dua kali makan buah ajaib Kiu Yap Ling Che, itu membuat
ayahnya kebal terhadap racun. Ia adalah anaknya, otomatis darahnya juga
mengandung sari buah ajaib Kiu Yap Ling Che, yang membuatnya kebal pula
terhadap berbagai macam racun.
Walau demikian, Tio Bun Yang
tetap menelai sebutir pil anti racun. Bagaimana monyet bulu putih itu? Ternyata
monyet bulu putih itu pun kebal terhadap racun apa pun.
Tio Bun Yang mulai melangkah
memasuki lembah beracun itu, sedangkan monyet bulu putih itu tetap duduk diam
di bahunya.
Tio Bun Yang terus melangkah,
berselang beberapa saat kemudian, ia telah melewati tembat itu. Di saat
bersamaan, terdengarlah suara tawa gelak dan muncul seorang lelaki gagah
berusia empat puluhan. Lelaki itu terus menatap Tio Bun Yang dengan penuh
perhatian.
"Engkau masih muda,
tentunya bukan Tio Cie Hiong," ujar lelaki itu dengan bahasa Han.
"Siapa engkau, anak muda?"
"Namaku Tio Bun Yang,
putera Tio Cie Hiong."
"Ha ha ha!" Lelaki
itu tertawa gelak lagi. "Pantas engkau begitu hebat, ternyata putera Tio
Cie Hiong yang sangat dikagumi orang-orang Miauw!"
"Maaf! Bolehkah aku tahu
siapa Paman?"
"Bukankah engkau ingin
menemui aku?" sahut lelaki itu.
"Jadi Paman adalah
Pahto?" Tio Bun Yang segera memberi hormat. "Paman Pahto, aku telah
melewati tiga rintangan itu."
"Aku tahu. Ha ha
ha!" Pahto tertawa terbahak-bahak. "Aku tidak menyangka engkau sopan
sekali."
"Paman Pahto!" Tio
Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa Paman mengurung ibu dan ayah
Cing Cing?"
"Engkau perlu
ketahui," sahut Pahto sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sangat
mencintai ibu Cing Cing, tapi dia malah kawin dengan laki lain. Itu membuatku
frustrasi dan kecewa sekali."
"Apakah ibu Cing Cing
juga mencintai Paman Pahto?" tanya Tio Bun Yang mendadak.
"Aku pernah bertanya
kepadanya, dia menjawab tidak," sahut Pahto jujur. "Itu membuatku
sakit hati, akhirnya dia menikah dengan lelaki itu. Maka aku lalu meninggalkan
daerah Miauw ini."
"Paman Pahto, semua itu
telah berlalu. Kenapa Paman kemari lagi dan menangkap mereka? Itu merupakan
perbuatan yang tak terpuji, Paman."
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa. "Aku harus melampiaskan rasa sakit hatiku. Sudah bagus aku tidak
membunuh mereka."
"Berarti Paman masih
mempunyai rasa peri kemanusiaan. Oleh karena itu, aku mohon Paman melepaskan
mereka."
"Boleh." Pahto
mengangguk. "Tapi engkau harus dapat mengalahkan aku, barulah aku
melepaskan mereka."
"Kenapa hati Paman begitu
jahat?" Tio Bu Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku berhati jahat?"
Patho tertawa. "Kali aku berhati jahat, aku sudah membunuh Cing Cing.
Buktinya dia bisa ke Tionggoan dan mengajakmu ke mari."
"Paman Pahto!" Tio
Bun Yang menghela nafas. "Cinta tidak bisa dipaksa, lagi pula kini Cing
Cing sudah besar. Jangan memperbesar masalah jangan merusak rumah tangga orang,
itu tidak baik."
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa. "Engkau masih kecil tapi berani menasihati aku?"
"Karena hati Paman telah
tertutup oleh rasa kebencian dan sakit hati itu, maka aku harus berusaha
menyadarkan Paman."
"Aku akan sadar apabila
engkau mampu mengalahkan aku. Aku dengar Tio Cie Hiong berkepandaian tinggi
sekali. Engkau adalah anaknya, tentunya tidak akan mempermalukan orang tuamu,
kan?"
"Jadi Paman ingin
bertanding denganku?"
"Itu kalau engkau
menghendaki ibu dan ayah Cing Cing bebas."
"Kalau begitu...." Tio
Bun Yang mengangguk.
'Baiklah.
Maafkan kelancanganku berani
bertanding dengan Paman!"
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa gelak. "Engkau memang anak baik, aku terkesan baik
terhadapmu."
"Terimakasih Paman."
"Jadi kita bertanding
secara praktis saja," ujar Pahto. "Aku akan menyerangmu tiga jurus,
engkau boleh balas dan menangkis. Apabila engkau sanggup menahan tiga jurus
pukulanku, aku pasti membebaskan ibu dan ayah Cing Cing."
"Terimakasih Paman!"
"Nah, engkau harus
berhati-hati." Pahto mengikutkannya. "Sebab pukulanku lihay
sekali."
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk, kemudian berkata kepada monyet bulu putih. "Kauw heng,
turunlah!"
Monyet bulu putih langsung
meloncat turun. Tio Bun Yang dan Pahto berdiri berhadapan.
Tio Bun Yang mulai menghimpun
Pan Yok Hian Thian Sin Kang, sedangkan Pahto sudah menghimpun Iweekangnya.
"Jurus pertama!"
seru Pahto sambil menyerangnya.
Tio Bun Yang segera berkelit
menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou. Itu sungguh mengejutkan Pahto.
"Ha ha ha! Sungguh gesit
engkau! Nah, ini jurus kedua!" Pahto langsung menyerang ke belan kang.
Ternyata lelaki itu tahu Tio Bun Yang berdiri di belakangnya.
Tio Bun Yang berkelit lagi
menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou. Akan tetapi, di saat itu pula Pahto
menyerangnya lagi secepat kilat dan dahsyai bukan main.
"Jurus ketiga!"
serunya.
Tio Bun Yang tidak sempat
berkelit. Karera itu ia terpaksa mengerahkan empat bagian Iwee kang Kan Kun
Taylo Sin Kang untuk menangkis dan mengeluarkan jurus Kan Kun Taylo Bu Piej
(Alam Semesta Tiada Batas).
Daaaar! Terdengar seperti
suara ledakan dahsyat.
Tio Bun Yang tetap berdiri
tegak di tempat, sedangkan Pahto terpental tiga langkah dengan wajah pucat.
Setelah berdiri diam, ia menatap Tio Bun Yang dengan mata terbelalak.
"Ha ha ha!" Pahto
tertawa gelak. "Engkau sungguh hebat, anak muda! Aku kagum dan mengaku
kalah."
"Terimakasih atas
kemurahan hati Paman yang lelah mengalah kepadaku," ucap Tio Bun Yang.
"Terimakasih!"
"Engkau memang
hebat!" ujar Pahto sungguh-sungguh. "Belasan tahun aku belajar ilmu
silat kepada seorang pertapa sakti di Gunung Hima-laya, namun masih kalah
melawanmu. Guruku pernah bilang, di atas gunung masih ada gunung. Ternyata
benar. Baiklah. Tunggu sebentar, aku akan pergi membebaskan ibu dan ayah Cing
Cing."
"Terimakasih,
Paman!" ucap Tio Bun Yang.
Pahto melesat pergi, dan Tio
Bun Yang ber-diri termangu-mangu. Ia juga tidak menyangka kalau Pahto
berkepandaian begitu tinggi.
Berselang beberapa saat
kemudian, Pahto sudah kembali bersama ibu dan ayah Cing Cing.
"Anak muda, mereka adalah
ibu dan ayah Cing Cing," ujar Pahto memberitahukan. "Mereka berdua
tidak kurang suatu apa pun, kan?"
"Terimakasih,
Paman!"
Pahto memandang kedua orang
tua Cing Cing, kemudian mereka bertiga berbicara dengan bahasa Miauw. Tio Bun
Yang sama sekali tidak mengerti, apa yang mereka katakan, maka ia diam saja.
"Anak muda!" Pahto
menatapnya seraya bertanya. "Bolehkah engkau memberitahukan pada ku, ilmu
apa yang engkau gunakan tadi?"
"Itu adalah ilmu Kan Kun
Taylo Sin Kang.” Tio Bun Yang memberitahukan dengan jujur.
"Terimakasih, anak muda!
Mudah-mudahar kita akan berjumpa lagi kelak!" ujar Pahto dai melesat
pergi.
Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala sementara ibu Cing Cing terus menatapnya dengan
penuh perhatian.
"Engkau pasti putera Tio
Cie Hiong," ujarnya kemudian. "Engkau mirip dia, tapi... engkau lebih
tampan."
"Bibi, Paman!" Tio
Bun Yang segera memberi hormat. "Aku memang putera Tio Cie Hiong!"
"Bagus, bagus!" Ibu
Cing Cing tertawa gembira.
"Bibi, Paman Pahto bukan
orang jahat," ujar Tio Bun Yang dan menambahkan. "Hanya saja dia
sakit hati terhadap Bibi."
"Benar." Ibu Cing
Cing manggut-manggi "Karena aku menikah dengan dia."
Ibu Cing Cing menunjuk
suaminya. Ayah Cing Cing manggut-manggut seraya berkata,
"Dia memang bukan orang
jahat. Sesunggu nya dia teman baikku. Setelah ayahmu meninggalkan daerah Miauw,
kami berdua sama-sama jatuh cinta kepada ibu Cing Cing. Ternyata ibu Cing Cing
mencintaiku. Itulah yang membuat teman baikku itu jadi sakit hati, lalu
meninggalkan daerah Miauw. Beberapa bulan yang lalu, dia muncul...."
"Cing Cing telah
menceritakan itu kepadaku," ujar Tio Bun Yang.
"Oh ya, kenapa ayahmu
tidak ke mari?" tanya ibu Cing Cing mendadak.
"Ayahku tinggal di Pulau Hong
Hoang To, sedangkan aku mengembara di Tionggoan." Tio Hun Yang
memberitahukan. "Kebetulan aku bertemu Cing Cing...."
"Kalian memang
berjodoh." Ibu Cing Cing tertawa gembira. "Bisa bertemu begitu
kebetulan."
"Bibi..." Wajah Tio
Bun Yang memerah.
"Oh ya, kami belum tahu
namamu," ujar ibu Cing Cing. "Namaku Tio Bun Yang."
"Bun Yang, mari ke tempat
tinggal kami!" njak ibu Cing Cing.
Tio Bun Yang mengangguk, lalu
mengikuti ibu dan ayah Cing Cing ke tempat tinggal mereka, berselang beberapa
saat kemudian, sampailah mereka di tempat tersebut. Para pengawal di situ
langsung bersorak-sorak penuh kegembiraan.
Pada saat bersamaan, tampak
seorang gadis cantik berlari-lari menghampiri mereka, yaitul Cing Cing.
"Ayah, Ibu!" serunya
dengan wajah berseri-seri dan langsung mendekap di dada ibunya.
"Nak...." Ibunya
membelainya dengan penuh kasih sayang,
ayannya juga membelainya.
Setelah itu, Cing Cing segera
mendekati Tio Bun Yang, dan mendadak mengecup pipinya.
"Eeeh...?" Wajah Tio
Bun Yang langsung memerah.
Monyet bulu putih
bertepuk-tepuk tangan, kelihatannya gembira sekali.
"Bun Yang," ujar ibu
Cing Cing sambil tersenyum. "Kecupan itu merupakan penghormatan istimewa,
engkau jangan salah paham!"
"Ya, Bibi!" Tio Bun
Yang mengangguk Ayoh, kita ke dalam!" ajak ibu Cing Cing.
Mereka berjalan ke dalam
rumah, lalu duduk di ruang depan. Para pelayan segera menyuguhkan berbagai
macam makanan dan minuman.
"Bun Yang mari
minum!" ujar ibu Cing Cing
Tio Bun Yang meneguk
minumannya. Monyet bulu putih itu juga tidak mau ketinggalan, langsung meneguk
pula, yang tentunya membuat ibu dan ayah Cing Cing tertawa geli.
"Kakak Bun Yang, aku
tidak jadi berkabung untukmu," ujar Cing Cing mendadak.
"Eh?" tegur ibu Cing
Cing. "Jangan omong sembarangan!"
"Ibu, aku tidak omong
sembarangan, melainkan omong sesungguhnya. Apabila Kakak Bun Yang mati di tiga
rintangan itu atau mati di tangan Pahto, maka aku akan berkabung lima
tahun."
"Nak, engkau...." Ibu
Cing Cing menggeleng-gelengkan
kepala.
"Kakak Bun Yang, aku
tidak menyangka kepandaianmu begitu tinggi. Bolehkah engkau ajarkan
kepadaku?"
"Itu...." Tio Bun
Yang tampak ragu.
"Bun Yang!" Ibu Cing
Cing tersenyum. "Ajari-lah dia! Sebab dia memang suka belajar ilmu
silat."
"Baiklah." Tio Bun
Yang mengangguk. "Terimakasih, Kakak Bun Yang!" ucap Cing Cing sambil
tersenyum manis.
Keesokan harinya, Tio Bun Yang
mengajar Cing Cing cara-cara berlatih Giok Li Sin Kang, juga mengajarnya ilmu
pedang Lui Tian Kiam Hoat. Setelah itu, barulah Tio Bun Yang berpamit kembali
ke Tionggoan.
-oo0dw0oo-
Jilid 5
Bab-21 Berkenalan
Lu Hui San putri angkat Lu
Thay Kam yang mulai berkelana itu telah tiba di sebuah kota yang cukup besar,
ramai dan tampak gedung-gedung mewah. Ia terus berjalan perlahan sambil
menengok kesana ke mari menikmati keindahan kota itu. Disaat itulah mendadak ia
mendengar suara jeritan. Segeralah ia menoleh, dilihatnya beberapa pengawal
pembesar sedang memukuli seorang tua.
"Kalau engkau tidak bayar
pajak, kami pasti memukulmu sampai mampus!” bentak kepala pengawal itu. “Ayoh,
cepat bayar pajak!”
"Tuan, jangan kata bayar
pajak, buat makan pun susah,” ujar orang tua itu sambil merintih-rintih.
“Aduuuh!”
"Hmm!” dengus kepala
pengawal itu. “Kami tidak mau tahu ada untuk makan atau tidak, yang penting
engkau harus bayar pajak!”
"Tuan....”
Plaaak! Plaaaak! Kepala
pengawal itu menampar pipi Si orang tua.
"Aduuuh!” jerit orang tua
itu dengan mulut mengeluarkan darah. “Aduuuh!”
"Jangan siksa ayahku!
Jangan siksa ayahku!” teriak seorang gadis berusia dua puluhan. “Nanti akan
kami bayar pajak itu!”
"Wuaah!” Para pengawal
itu terbelalak memandang gadis itu, karena gadis itu cukup cantik.
"Tak disangka orang tua
jelek ini mempunyai anak gadis begitu cantik!”
"Tuan,” ujar gadis itu
dengan air mata berderai. “Jangan siksa ayahku....”
"Tapi dia harus membayar
pajak!” “Kami minta tempo beberapa hari.”
“Tidak bisa! Pokoknya sekarang
harus bayar, kalau tidak....” Kepala pengawal itu tertawa dingin. “Ayahmu akan
kami tangkap, lalu kami masukkan ke penjara!”
“Tuan, tolonglah kami, berilah
kami tempo beberapa hari!”
“Itu....” Kepala pengawal itu menatap gadis tersebut,
kemudian berbisik. “Kami bisa
memberi tempo beberapa hari, asal... engkau mau menemani kami.”
“Tuan, itu tidak bisa.” Gadis
itu menggelengkan kepala. “Aku....”
"Hmm!” dengus kepalá
pengawal itu. “Kalau engkau tidak bisa, maka ayahmu harus ditangkap!”
“Jangan, Tuan!” Gadis itu
terus memohon. “Tuan, jangan tangkap ayahku...!”
“Boleh, asal....” Kepala
pengawal itu mendekati si gadis,
sekaligus menowel pipinya.
“Asal engkau bersedia menemani kami!”
Di saat itulah Lu Hui San
mendekati mereka dengan wajah dingin. Beberapa pengawal sudah melihat akan
kehadiran gadis yang cantik.
“Wuaaah, gadis ini lebih
cantik!”
“Jangan main-main! Dia membawa
pedang, berarti dia gadis rimba persilatan”
“Kalian semua pengawal
pembesar mana?” tanya Lu Hui San sambil menatap mereka dengan tajam.
Begitu mendengar suara yang
merdu itu, kepala pengawal langsung menoleh dan seketika juga matanya
berbinar-binar.
“Wuaaah, Nona sungguh cantik!”
ujarnya terbelalak.
“Engkau adalah kepala
pengawal?” tanya Lu Hui San sambil tersenyum.
“Betul, betul!” Kepala
pengawal itu mengangguk. “Aku adalah kepala pengawal yang gagah.”
“Gagah terhadap orang tua yang
tak berdaya?” tanya Lu Hui San.
“Nona, kami menjalankan
tugas,” sahut kepala pengawal itu.
“Menjalankan tugas apa?"
Lu Hui San mengerutkan kening.
“Menagih pajak para penduduk
kota ini.” Kepala pengawal memberitahukan. “Kami adalah pengawal Ma Tayjin
(Pembesar Ma)!”
“Siapa itu Ma Tayjin?”
“Pembesar di kota ini. Beliau
yang menugaskan kami menagih pajak. Orang tua itu tidak mau bayar pajak....”
“Karena itu kalian
memukulnya?”
“Kalau kami tidak memukulnya,
dia pasti tidak mau bayar pajak.”
"Oh?” Lu Hui San tertawa.
“Orang tua itu sangat miskin, mungkin untuk makan pun susah, kenapa kalian
begitu tega memukulnya?”
“Eh? Nona....” Kepala pengawal menatapnya. “Engkau
bukan penduduk sini, lebih
baik jangan turut campur! Kami berhak menangkapmu lho!”
“Tadi engkau menowel pipi
gadis itu?”
“Tidak salah.” Kepala pengawal
itu tertawa. “Kalau ayahnya tidak bayar pajak, dia pun harus menemani kami!”
“Apakah itu merupakan hukum
yang berlaku di kota ini?”
“Betul.” Kepala pengawal itu
mengangguk. “Ma Tayjin sudah berpesan kepada kami, apabila ada orang tidak mau
membayar pajak, kalau dia mempunyai anak gadis harus ditangkap untuk dijadikan
jaminan.”
“Oh, ya?” Wajah Lu Hui San
berubah dingin sekali. “Apakah itu merupakan peraturan dari ibu kota?”
“Kami tidak tahu.”
“Begini,” ujar Lu Hui San.
“Orang tua itu memang tidak mampu membayar pajak, jadi kalian boleh
menangkapku.”
“Nona....” kepala pengawal itu
tertegun. “Engkau bukan
penduduk sini, lagi pula tidak
punya salah, bagaimana mungkin kami menangkapmu?”
“Oh, begitu!” Lu Hui San
tersenyum. “Baik, aku akan membuat salah agar kalian menangkapku.”
Mendadak Lu Hui San
mengayunkan tangannya, dan terdengarlah suara ‘Plak Plok’ keras sekali.
“Aduh!” Jerit kepata pengawal
itu sambil memegang pipinya.
Ternyata Lu Hui San
menamparnya. Gadis itu memandangnya sambil tersenyum-senyum.
“Tadi engkau berani memegang
pipi gadis itu, maka aku pun berani menamparmu.”
“Kurang ajar!” bentak kepala
pengawal itu dan sekaligus menyerañgnya dengan sebuah pukulan.
Lu Hui San mengelak, kemudian
mendadak mengayunkan kakinya menendang kepala pengawal itu dan tepat mengenai
perutnya, sehingga tubuh kepala pengawal itu terpental lalu jatuh.
“Aduh!” jerit kepala pengawal
itu, lalu memberi perintah pada para anak buahnya “Cepat kalian serang dia!"
Beberapa pengawal langsung
menyerang Lu Hui San dengan tangan kosong. Gadis itu berkelit ke sana ke mari,
kemudian balas menyerang.
Plaak! Ploook! Plaaak! Ploook!
“Aduuuh!” Beberapa pengãwal
itu sudah tertampar.
Para penduduk yang menyaksikan
kejadian segera bersorak sorai, mereka memang benci sekali kepada para pengawal
itu.
“Nona! Hajar mereka, karena
mereka selalu bertindak sewenang-wenang dan sering mengganggu anak isteri
orang!” seru beberapa penduduk kota itu.
“Baik!” Lu Hui San mengangguk.
“Aku akan menghajar mereka lagi!”
Gadis itu mengayunkan kakinya
menendang ke sana ke mari. Para pengawal itu tertendang
hingga terpental jatuh, dan
mereka merintih-rintih kesakitan.
“Horeee!” sorak para penduduk
kota, termasuk orang tua dan putrinya “Rasakan! Hari ini giliran kalian
dihajar”
“Ampun Nona, ampun. . .!“
Kepala pengawal itu memohon-mohon. "Kami cuma menjalankan tugas.
Ampun...!”
“Aku ingin bertanya, kalian
harus menjawab secara jujur! Kalau tidak, kalian akan kuhajar lagi!”
“Ya, ya. Kami pasti menjawab
secara jujur.”
“Apakah pembesar kota ini
selalu menaikkan pajak tanpa persetujuan dan ibu kota?"
“Betul. Pembesar itu sering
melakukan tindak korupsi,” jawab para pengawal itu serentak.
“Betulkah dia sering menyuruh
kalian menangkap kaum gadis, yang orang tuanya tidak mampu membayar pajak?”
“Betul.”
“Kalian juga ikut-ikutan
berbuat begitu?"
“Kami....” Kepala pengawal itu menundukkan kepala.
“Pembesar kami boleh berbuat
begitu, maka sudah barang tentu kami pun mengikutinya.”
“Jadi pembesar kalian dan
kalian telah membuat sengsara para penduduk kota ini, maka sekarang juga aku
harus menghukum kalian.”
“Ampun ampun..!”
“Para penduduk kota ini!"
seru Lu Hui San. "Siapa yang ingin menghajar para pengawal itu, silakan!”
Para penduduk kota itu diam,
namun kemudian muncul beberapa lelaki menghampiri Lu Hui San.
“Kami mau menghajar mereka.
Sebab mereka pernah menyita ayam dagangan kami sehingga membuat kami bangkrut,”
ujar beberapa lelaki itu.
“Betulkah kalian pernah
menyita ayam dagangan mereka?” tanya Lu Hui San kepada kepala pengawal itu.
“Nona, ampunilah kami!”
“Aku akan mengampuni kalian,
tapi kalian semua harus tengkurap. Karena beberapa lelaki itu ingin menghajar
kalian!”
“Jangan, jangan.!” Kepala
pengawal itu ketakutan. “Kami...
kami bersedia mengganti rugi.”
“Baik. Cepatlah kalian ganti rugi!”
“Ya, ya....” Kepala pengawal itu dan beberapa anak
buahnya langsung mengeluarkan
uang masing-masing, lalu diserahkan pada lelaki itu.
Beberapa lelaki itu menghitung
uang perak tersebut, kemudian berkata pada Lu Hui San.
“Nona, uang ini lebih banyak!”
“Lebihnya diberikan pada paman
tua itu!” Lu Hui San menunjuk orang tua yang dipukul kepala pengawal itu.
“Ya!” Beberapa lelaki itu
segera memberikan uang perak pada orang tua tersebut.
"Terima kasih Nona!
Terimakasih....” Ucap orang tua itu
terharu.
Lu Hui San tersenyum, kemudian
memandang kepala pengawal itu dan berkata dengan nada dingin.
“Sekarang kalian harus
mengantarku menemui pembesar itu, aku akan menghajarnya.”
“Haaah?” Kepala pengawal itu
terbelalak.
“Nona. . . ."
"Kalian harus mengaku
menangkapku, karena aku ingin lihat bagaimana reaksi pembesar Itu."
“Ya....” Kepala pengawal itu
mengangguk. “Mari ikut kami,
Nona!”
Lu Hui San mengikuti mereka
menuju kantor pembesar Ma. Para penduduk kota itu pun tidak mau ketinggalan,
mereka juga ikut ke kantor itu.
Tak seberapa lama kemudian,
mereka sudah sampai di kantor Ma Tayjin. Seperti biasa, kalau ada kasus, kepala
pengawal itu pasti memukul tambur yang di sudut ruang kantor itu.
Dung! Dung! Dung! Terdengar
suara tambur itu.
Sesaat kemudian terdengar pula
suara seruan dari dalam.
“Ma Tayjin akan memeriksa
kasus! Ma Tayjin akan memeriksa kasus..!”
“Ooooohhh!” Kepala pengawal
dan para anak buahnya langsung berseru. Tak lama muncullah beberapa petugas
yang lalu berbaris. Setelah itu, muncullah Ma Tayjin bersama penasihatnya.
“Ada kasus apa?” tanya Ma
Tayjin setelah duduk.
"Tayjin, ada kasus gadis
ini," sahut kepala pengawal sambil menunjuk Lu Hui San yang berdiri
ditengah-tengah ruang itu.
"Ayahnya tidak mau
membayar pajak, maka kalian tangkap dia?" tanya Ma Tayjin sambil menatap
Lu Hui San dengan terbelatak. “Wuah. Bukan main cantiknya!"
“Betul, Tayjin,” bisik
penasihat sambil tersenyum. “Belum pernah aku melihat gadis secantik itu.”
“Tapi gadis itu membawa
pedang.” Ma Tayjin mengerutkan kening. “Apakah dia gadis rimba persilatan?”
“Tidak mungkin. Sebab gadis
itu begitu halus, mungkin pedang itu cuma pedang mainan,” sahut penasihat itu.
“Ngmm!” Ma Tayjin
manggut-manggut, kemudian membentak Lu Hui San. “Cepatlah engkau berlutut!”
Akan tetapi, Lu Hui San tetap
berdiri tegak sambil menatap Ma Tayjin dengan dingin.
“Kurang ajar!” Ma Tayjin
memukul meja. “Sungguh berani engkau tidak berlutut? Pengawal! Cepat hajar
dia!”
Akan tetapi, para pengawal
diam saja dengan kepala tertunduk. Itu membuat Ma Tayjin bertambah gusar.
“Kenapa kalian tidak menuruti
perintahku?”
Disaat bersamaan, mendadak Lu
Hui San tertawa dingin. "Apakah engkau Ma Tayjin?”
“Betul! Cepatlah engkau
berlutut!” bentak Ma Tayjin dengan mata melotot. “Kalau engkau masih berdiri,
kakimu akan dipatahkan!”
"Oh?” Lu Hui San tertawa
dingin lagi. “Begitukah sikap seorang pembesar?”
“Kurang ajar engkau!” Ma
Tayjin memukul meja lagi. “Petugas, cepat hukum gadis liar itu!”
“Ya, Tayjin,” sahut beberapa
petugas, dan segera mendekati Lu Hui San.
“Hukum dia dengan sepuluh kali
pukulan!” Ma Tayjin memberi perintah lagi.
“Ya.” Petugas-petugas itu
mengangguk.
Akan tetapi, di saat bersamaan
mendadak Lu Hui San mengayunkan tangannya, dan terdengarlah suara Plak Plok
Plak Plok!
“Aduuuh!” jerit para petugas
itu sambil memegang pipi.
“Haah?” Ma Tayjin terkejut
bukan main, sehingga matanya terbelalak lebar. “Gadis liar! Engkau berani
menampar para petugas?”
“Hmmm!” dengus Lu Hui San
dingin. “Hari ini aku harus menghukummu, karena engkau telah berlaku
sewenang-wenang terhadap para penduduk kota ini!”
“Apa?!” Ma Tayjin tertegun.
Sementara para penduduk yang
berdiri di luar kantor sudah mulai berteriak-teriak.
“Hukum Ma Tayjin! Dia telah
membuat para penduduk kota ini sengsara!”
“Pengawal, cepat usir
orang-orang itu!” bentak Ma Tayjin.
Para pengawal diam saja. Maka
sudah barang tentu Ma Tayjin menjadi bertambah gusar, Sehingga wajahnya menjadi
merah padam.
“Kenapa kalian diam saja?
Apakah kalian juga mau dihukum?”
“Ma Tayjin!” sahut Lu Hui San
dingin. “Mereka takut kepadaku. Maka bagaimana mungkin mereka berani menuruti
perintahmu?"
“Engkau....” Ma Tayjin
melotot.
“Ma Tayjin, hari ini aku harus
menghukummu!” tegas Lu Hui San sambil melangkah maju ke hadapan pembesar itu,
kemudian mengeluarkan sebuah medali pemberian Lu Thay Kam.
“Kenal benda ini?”
“Haaah...?” Ma Tayjin dan
penasihatnya terbelalak, dan sekujur badan mereka pun mulai menggigil ketakutan.
“Maaf! Maaf....”
Ma Tayjin dan penasihatnya
segera memberi hormat kepada Lu Hui San, tetapi gadis itu hanya tersenyum
dingin.
“Kini kalian berdua sebagai
terdakwa, maka cepat berdiri di sana!” bentak Lu Hui San.
“Ya, ya....”
Ma Tayjin dan penasihatnya
menurut, lalu
segera berdiri di
tengah-tengah ruang itu dengan kaki bergemetar. Ternyata mereka mengenali
medali itu.
Sementara para pengawal,
petugas dan penduduk kota yang berdiri di luar terheran-heran menyaksikannya.
Mereka sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi.
Lu HUi San duduk di kursi Ma
Tayjin, kemudian mendadak ia memukul meja, sehingga membuat jantung Ma Tayjin
dan penasihat itu nyaris copot.
“Kalian berdua masih belum
berlutut?”
Ma Tayjin dan penasihatñya
segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Lu Hui San. Para pengawal dan para
petUgas tercengang melihatnya. Sedangkan para penduduk kota yang ada diluar
langsung bersorak-sorak.
“Ma Tayjin berlutut! Ha ha
ha!”
“Ma Tayjin harus dihukum,
karena dia pembesar korup!”
Betapa terkejutnya Ma Tayjin
dan penasihat itu ketika mendengar suara seruan. Wajah mereka langsung berubah
pucat pias
“Nona, aku bukan pembesar
korup!” “Bóhong!” Terdengar suara sahutan di luar.
“Dia sembarangan menaikkan
pajak demi kantongnya sendiri!”
“Nona, itu. . . itu. . .
“Tergagap Ma Tayjin.
“Maksudmu itu adalah peraturan
dari ibu kota?" tanya Lu Hui San.
“Yaa!” Ma Tayjin mengangguk.
“Oh?” Lu Hui San menatap
penasihat itu, kemudian tanyanya dingin. “Betulkah itu peraturan dari ibu kota?”
Penasihat itu menundukkan
kepala.
“Baik!" Lu Hui San
tertawa dingin. “Kalau engkau tidak mau menjawab dengan jujur, akan kupenggal
kepalamu!”
“Ampun! Ampun...!” Penasihat
itu segera membenturkan kepalanya ke lantai. “Jangan penggal kepalaku!”
“Kalau begitu, engkau harus
menjawab dengan jujur!” bentak Lu Hui San.
“Sebetulnya, itu bukan
peraturan dari ibu kota, me1ainkan. . .”
“Dia yang mengusulkan
menaikkan pajak para penduduk kota ini!” potong Ma Tayjin berkilah sambil
menuding penasihat itu.
“Ma Tayjin bertanya padaku,
karena isterinya lebih dan sepuluh. Mereka harus hidup mewah. Karena itu, aku
terpaksa mengusulkan begitu,” sahut penasihat itu.
“Isterinya juga banyak, lebih
dan lima! Maka hasil kenaikan pajak itu kami bagi dua.” Ma Tayjin memberitahukan.
“Bagus! Bagus!” Lui Hui San
tertawa dingin. “Kalian berdua memang telah bekerja-sama, maka aku harus
menghukum kalian!”
“Ampun! Ampun...!”
“Nona!” Terdengar suara seruan
di luar. “Jangan memberi ampun pada mereka!”
Lui Hui San manggut~manggUt,
kemudian berseru.
“Petugas!”
"Ya!" Sahut para
petugas itu sambil memberi hormat.
“Siapa di antara kalian yang
bersedia melaksanakan tugas untuk memukul pantat mereka berdua?” tanya Lui Hui
San.
“Kami semua bersedia!” sahut
para petugas. Mereka memang merasa sakit hati terhadap Ma Tayjin dan
penasihatnya, lantaran sering dicaci-maki.
Ma Tayjin dan penasihat itu
bersenang-senang dengan para isterinya, sementara mereka harus menghadapi para
penduduk kota yang kadang-kadang mengamuk di kantor itu.
“Bagus!” Lu Hui San
manggut-manggut lalu berseru. “Pengawal!”
“Ya!” Sahut para pengawal
sambil memberi hormat. “Tengkurapkan Ma Tayjin dan penasihatnya!”
Para pengawal itu langsung
menekan badan Ma Tayjin dan penasihat itu sampai tengkurap dilantai.
“Ampun, Nona! Ampun... kami
tidak akan bertindak sewenang-wenang lagi!” ujar Ma Tayjin berjanji.
“Tapi sesuai dengan hukum
kerajaan, kalian berdua harus ditindak!” sahut Lui Hui San, lalu memberi
perintah kepada para petugas. "Pukul pantat mereka masing-masing dua puluh
lima kali!”
Para petugas segera mengambil
alat pemukul.
"Ampun.!"
Tak lama kemudian terdengar
suara pukulan.
“Aduuuh! Aduuuh!" jerit
Ma Tayjin dan penasihat itu kesakitan. “Aduuh. . . .!"
“Asyiiik!” seru para penduduk
kota yang diluar. “Rasakan sekarang, mereka berdua sering menyuruh para petugas
memukul kita, kini giliran mereka dipukul! Asyiiiik!”
Setelah memukul dua puluh lima
kali, barulah para petugas itu berhenti. Ma Tayjin dan penasihatnya
merintih-rintih. Pantat mereka membengkak dan memar.
“Nona!” ujar para petugas
sambil memberi hormat. “Kami ingin mengundurkan diri, tidak mau jadi petugas di
sini lagi!”
“Baik!” Lui Hui San
mengangguk.
“Kami juga tidak mau jadi
pengawal di sini lagi!” ujar para pengawal sambil memberi hormat.
“Tidak apa-apa!” Lu Hui San
manggut-manggut, kemudian menuding penasihat yang masih tengkurap di lantai.
“Cepat berikan mereka pesangon tiga bulan gaji, cepat!”
Penasihat itu
segera bangkit berdiri,
tapi terjatuh lagi.
Terpaksalah ia merangkak ke
dalam.
“Horeee!” Seru para penduduk
kota yang diluar. “Ada anjing merangkak-rangkak!”
Tak seberapa lama kemudian,
penasihat itu sudah kembali ke ruang depan dengan tertatih-tatih. Ia lalu
memberikan uang pesangon kepada para petugas dan pengawal tersebut.
“Nona! Kami ucapkan banyak
terimakasih. Sampai jumpa!” Mereka segera meninggalkan ruang kantor itu sambil
tertawa-tawa.
“Nah, dengar baik-baik! Mulai
sekarang kalian tidak boleh bertindak sewenang-wenang lagi! Kalau kalian masih
berlaku begitu....”
“Ya, ya!" Ma Tayjin
berusaha bangkit berdiri. “Kami tidak berani lagi!”
“Bagus, bagus!" Lu Hui
San tertawa, lalu meninggalkan ruang kantor itu sambil tersenyum-senyum. Para
penduduk kota bersorak sorai penuh kegembiraan.
“Terimakasih, Nona! Terimakasih...!”
Sementara Ma Tayjin dan penasihatnya berbisik-bisik.
Wajahnya masih tampak pucat
pias.
“Tahukah engkau siapa gadis
itu?”
“Tentunya dia utusan dan Lu
Kong Kong,” jawab penasihat itu dengan suara rendah.
“Kalau tidak salah, gadis itu
adalah putri kesayangan Lu Kong Kong.” Ma Tayjin memberitahukan.
“Haaah?!” Penasihat itu nyaris
pingsan seketika, kemudian meraba-raba kepalanya seraya berkata. “Untung
kepalaku tidak copot!”
-oo0dw0oo-
Setelah meninggalkan kota itu,
Lu Hui San melanjutkan perjalanannya. Hatinya merasa geli teringat akan
kejadian yang lucu tadi. Hingga hari menjelang sore, Ia sampai di sebuah tempat
yang agak sepi. Mendadak Ia mendengar suara dentangan senjata, seperti suara
pertarungan. Cepat dia melesat menuju tempat asalnya suara itu.
Setibanya di situ, ia melihat
belasan orang berpakaian merah tengah mengeroyok seorang pemuda dan seorang
gadis. Menyaksikan itu, timbullah niatnya untuk membantu.
“Sungguh tak tahu malu kalian,
belasan orang mengeroyok dua orang!” bentak Lu Hui San sambil mendekati mereka
yang sedang bertarung, membuat mereka berhenti seketika.
“Siapa engkau?” bentak salah
seorang berpakaian merah.
“Kalian tidak perlu tahu siapa
aku. Pokoknya aku harus bantu mereka!” sahut Lu Hui San sambil menghunus
pedangnya.
“Haaaa?” Terbelalak belasan
orang berpakaian merah. Mereka tampak terkejut. “Han Kong Kiam (Pedang Cahaya
Dingin)! Mari kita kabur!”
Belasan orang berpakaian merah
langsung melarikan diri. Melihat hal itu Lu Hui San tercengang. Kemudian ia menyarung
pedangnya kembali.
“Kenapa mereka begitu takut
pada pedangku?” gumamnya dengan kening berkerut.
“Nona!” Pemuda itu mendekati
Lu Hui San sambil memberi hormat “Terimakasih atas bantuanmu.
“Sama-sama,” sahut Lu Hui San
sambil tersenyum.
“Terimakasih Nona.” Gadis itU
pun memberi hormat. “Namaku Lam Kiong Soat Lan, dan kawanku Toan Beng Kiat.
Bolehkah kami tahu namamu?”
“Namaku Lu Hui San!” jawabnya
sambil balas memberi hormat.
“Nàma yang indah sekali...”
ujar Toan Beng Kiat. Namun ucapan itu ditahannya. Dan wajahnya tampak memerah.
“Terimakasih atas pujianmu,”
ucap Lu Hui San.
“Beng Kiat!" Lam Kiong
Soat Lan tertawa kecil. “Selain indah namanya, orangnya pun cantik sekali,”
ujarnya bernada menyindir.
“Soat Lan...” Wajah Toan Beng
Kiat bertambah merah.
Sementara Lu Hui San
tersenyum-senyum lalu bertanya. “Kalian berdua kàkak beradik?"
“Boleh dikatakan begitu,”
sahut Lam Kiong Soat Lan menjelaskan. “Karéna kami adalah famili dekat.”
“Oooh!” Lu Hui San
manggut-manggut. “Oh ya, siapa sebenarnya orang-orang berpakaian merah
itu?"
“Mereka para anggota Hiat Ih
Hwe,” jawab Toan Beng Kiat.
“Kenapa kalian bertarung
dengan mereka?" tanya Lui Hui San lagi.
“Mereka ingin membunuh kami,
maka kami terpaksa melawan,” jawab Lam Kiong Soat Lan.
“Kalian punya dendam dengan
mereka?"
“Sesungguhnya tidak.”
"Kalau begitu, kenapa
mereka ingin membunuh kalian?"
“Entahlah!” Toan Beng Kiat
menggeleng kepala. “Ketika kami sampai di sini, mendadak mereka muncul dan
langsung menyerang kami.”
“Kalau begitu, mungkin ada
salah paham?" tukas Lu Hui San.
“Kami sama sekali tidak
mengerti,” Lam Kiong Soat Lan menggeleng~gelengkan kepala. “Oh ya! Kenapa
mereka begitu takut melihat pedangmu?”
“Aku sendiri justru tidak
habis berpikir,” ujar Lu Hui San. “Memang membingungkan.”
“Siapa yang menghadiahkan
pedang itu padamu?” tanya Toan Beng Kiat mendadak sambil memandangnya. Ia
sangat terkesan baik terhadap gadis itu.
“Ayahku!” Lu Hui San
memberitahUkan.
“Kalau begitu....” Toan Beng
Kiat tersenyum. “Ayahmu pasti
sangat terkenal sekali.
Orang-orang tadi méngenali pedang milik ayahmu.”
Lu Hui San hanya tersenyum.
“Siapa ayahmu?” tanya Lam
Kiong Soat Lan.
“Ayahku bernama Lu Kam Thay,”
jawab Lu Hui San, sengaja membalikkan kata ‘Thay Kam’ jadi ‘Kam Thay’.
“Lu Kam Thay..?” gumam Lam
Kiong Soat Lan. “Maaf bolehkah kami mengetahui julukan ayahmu?”
“Ayahku tidak punya julukan,”
sahut Lu Hui San sambil tersenyum.
“Oooh!” Lam Kiong Soat Lan
manggut-manggut.
Tiba-tiba muncul beberapa
orang yang segera memberi hormat pada Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soan Lan, dan
Lu Hui San.
“Maaf, kami mengganggu
kalian!” ucap salah seorang itu dan memberitahukan. “Kami adalah anggota Tiong
Ngie Pay....”
“Tiong Ngie Pay?” tanya Toan
Beng Kiat dengan wajah berseri, karena pernah mendengar perkumpulan tersebut
dari kakeknya.
“Ya!” Orang itu mengangguk dan
memberi hormat lagi. “Ketua kami mengundañg kalian kemarkas!”
Toan Beng Kiat melirik Lam
Kiong Soat Lan. Terdengar suara menggumam dan mulutnya, Seperti ragu untuk
mengucapkan kata-kata. Namun Lam Kiong Soat Lan mendahuluinya.
“Baik!” Gadis itu mengangguk.
“Terimakasih!” ucap anggota
Tiong Ngie Pay itu sambil tertawa gembira “Mari ikut kami’”
Sementara Toan Beng Kiat
memandang Lu Hui San, kemudian berkata dengan penuh harap. "Nona Hui San,
mari ikut kami ke markas Tiong Ngie Pay!”
“Baik!” Lu Hui San mengangguk
“Terimakasih!” ucap Toan Beng
Kiat tanpa sadar.
“Eh?” Lu Hui San tersenyum
“Kenapa engkau mengucapkan tenmakasih padaku? Itu tidak perlu!”
“Aku. . .“ Toan Beng Kiat tergagap
dengan wajah kemerah-merahan
“Karena girang, maka
mengucapkan terimakasih padamu!” sindir Lam Kiong Soat Lan sambil tertawa
“Jadi, dia mengucapkan terimakasih atas kesediaanmu ikut ke markas Tiong Ngie
Pay!”
“Oooh!” Lu Hui San tersenyum
lagi.
Mereka bertiga mengikuti para
anggota Tiong Ngie Pay menuju markas mereka. Beberapa saat kemudian, sampailah
mereka di markas tersebut
Yo Suan Hiang, Tan Ju Liang,
Lim Cin An dan Cu Tiang Him menyambut kedatangan mereka dengan penuh
kegembiraan dan kehangatan.
“Terimakasih atas kedatangan
kalian!” ucap Yo Suan Hiang “Silakan duduk!"
Mereka bertiga duduk, Toan
Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan terus memandang Yo Suan Hiang
"Ka1au tidak salah,
engkau pasti Bibi Suan Hiang, kan?”
“Betul” Yo Suan Hiang mengangguk.
“Siapa yang memberitahukan pada kalian?”
“Kakekku,” jawab Toan Beng
Kiat.
Yo Suan Hiang manggut-manggut
sambil tersenyum. “Kakekmu pasti Gouw Han Tiong, dan ayahmu tentunya Toan Wie
Kie, sedangkan ibumu bernama Gouw Sian Eng! Ya, kan?”
“Bagaimana Bibi bisa tahu?”
tanya Toan Beng Kiat, merasa heran.
“Tentu tahu, sebab aku kenal
kakek dan kedua orang tuamu,” ujar Yo Suan Hiang sambil memandang Lam Kiong
Soat Lan. “Engkau pasti putri
kesayangan Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian. Begitu, bukan?”
Lam Kiong Soat Lan tercengang
mendengar ucapan wanita itu.
“Karena aku kenal kedua orang
tuamu, bahkan juga kenal Lam Kiong hujin yang telah tiada itu!”
Lam Kiong Soat Lan
manggut-manggut.
“Gadis ini...” Yo Suan Hiang
menatap Lu Hui San, karena tidak mengenalnya. “Siapa gadis ini?”
“Namanya Lu Hui San,” jawab
Toan Beng Kiat memperkenalkan. “Kami baru berkenalan, dia membantu kami
mengusir para anggota Hiat Ih Hwe.”
Yo Suan Hiang manggut-manggut
sambil tersenyum. “Terima kasih atas kedatanganmu, Nona!”
Lu Hui San juga tersenyum.
“Bibi, panggil namaku saja!” pintanya merendah.
“Baik.” Yo Suan Hiang
mengangguk. “Oh ya, Tio Bun Yang telah ke mari, tapi sudah pergi.”
“Sayang sekali!” Toan Beng
Kiat menggeleng-gelengkan kepala. “Padahal kami ingin sekali bertemu dia!”
“Oh ya!” Yo Suan Hiang
memberitahukan. “Kam Hay Thian juga sudah kemari?
“Kam Hay Thian? Siapa dia?”
tanya Toan Beng Kiat.
“Dia putra Kam Pek Kian dan
Lie Siu Sien. Ayahnya sudah meninggal” Yo Suan Hiang memberitahukan. “Ayah Tio
Bun Yang kenal mereka. Beberapa hari yang lalu, dia meninggalkan markas ini!”
Sementara beberapa anggota
sibuk menyuguhkan minuman. Tak lama kemudian mereka bersulang bersama sambil
tertawa riang gembira.
“Oh ya,” ujar Yo Suan Hiang.
“Bagaimana jika kalian tinggal di sini beberapa hari?”
“Maaf, Bibi!” jawab Toan Beng
Kiat. “Kami masih ada urusan lain, jadi tidak bisa tinggal disini!”
“Kalau begitu...” Yo Suan
Hiang tersenyum. “Malam ini kalian menginap di sini saja, besok baru pergi?
Toan Beng Kiat mengangguk.
“Baiklah, Bibi."
Mereka menginap
semalam di markas
Tiong Ngie Pay.
Keesokan harinya barulah
mereka meninggalkan markas itu.
-oo0dw0oo-
Sementara itu, para anggota
Hiat Ih Hwe telah sampai di markas. Mereka langsung melapor pada Gak Cong Heng
yang baru diangkat menjadi wakil ketua, menggantikan Lie Man Chiu yang sekian
lama tak kembali ke markas.
“Wakil Ketua, ketika kami
bertarung dengan seorang pemuda dan seorang gadis, mendadak muncul gadis lain
yang menggunakan pedang Han Kong Kiam...”
“Apa?!” Bukan main terkejutnya
Gak Cong Heng mendengar laporan itu. “Kalian bertarung dengan gadis itu?”
“Tidak, Wakil Ketua. Kami
langsung kabur!”
“Bagus!” Gak Cong Heng
menghela nafas lega. “Untung kalian tidak bertarung dengan gadis itu!”
“Wakil Ketua, bolehkah kami
bertanya....”
“Aku tahu, kalian mau bertanya
apa. Kenapa tidak boleh mengganggu gadis pemilik pedang Han Kong Kiam,
kan?"
“Betul.”
"Aku akan memberitahukan
pada kalian. Tapi kalian tidak boleh membocorkan rahasia ini! Siapa yang berani
membocorkan, akan dihukum mati!”
Para anggota menganggukkan
kepala.
“Kalian harus tahu, gadis itu
adalah... putri kesayangan Lu Kong Kong!”
“Haaah?” Wajah para anggota
itu langsung berubah pucat. “Untung kami tidak bertarung dengan gadis itu.”
“Ingat, apabila kalian bertemu
gadis itu, harus segera melarikan diri. Pokoknya tidak boleh
mengganggunya!"
Malam harinya, ketika Lu Thay
Kam datang ke markas Hiat Ih Hwe, segeralah Gak Cong Heng melapor tentang itu.
“Ngmmm!" Lu Thay Kam manggut-manggut
dan menegaskan. “Pokoknya para anggota tidak boleh mengganggu putriku jika
bertemu dia harus segera kabur!”
Gak Cong Heng mengangguk.
“Aku dengar, belum lama ini
telah muncul Seng Hwee Kauw dalam rimba persilatan Kalian, harus selidiki siapa
ketua Seng Hwee Kauw itu?”
“Baik, Lu Kong Kong.” Gak Cong
Heng mengangguk lagi.
“Alangkah baiknya kita bisa
bekerjasama dengan Seng Hwee Kauw. Jadi, perkumpulan kita pasti jadi kuat
sekali.”
“Aku akan coba melaksanakan
itu,” ujar Gak Cong Heng berjanji. “Apabila Hiat Ih Hwe bisa bekerjasama dengan
Seng Hwee Kauw,kita pun boleh memanfaatkan mereka untuk membunuh para menteri
dan jenderal yang setia.”
“Betul! Ha-ha-ha...!” Lu Thay
Kam tertawa gelak. “Ha-ha-ha...!”
-oo0dw0oo-
Bagian 22 Membunuh para
Anggota Seng Hwee Kauw
Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat
Lan, dan Lu Hui San melanjutkan perjalanan sambil tertawa riang gembira.
Hubungan mereka semakin akrab, bahkan Toan Beng Kiat kelihatan telah jatuh hati
padanya. Akan tetapi, sikap Lu Hui San biasa-biasa saja. Itu membuat Toan Beng
Kiat agak kecewa tapi tetap penuh harapan. Semua itu tidak terlepas dari mata
Lam Kiong Soat Lan. Tampaknya ia berniat membantu Toan Beng Kiat secara
diam-diam.
Hari ini mereka bertiga sampai
di sebuah rimba. Ketiganya beristirahat di bawah sebuah pohon.
"Sungguh indah rimba
ini!" ujar Toan Beng Kiat sambil menoleh ke arah Lu Hui San yang duduk di
sisi Lam Kiong Soat Lan.
"Sebetulnya rimba ini
tidak indah,” sahut Lam Kiong Soat Lan sambil tersenyum. “Hanya karena keberadaan
Hui San di sini, membuat rimba ini berubah indah.”
"Soat Lan!” Wajah Toan
Beng Kiat agak kemerah-merahan “AkU bicara sesungguhnya.”
"Aku pun bicara
sesungguhnya,” sahut Lam Kiong Soat Lan sambil melirik Lu Hui San “Ya, kan”
"Bagaimana mungkin diriku
bisa menambah keindahan rimba ini” tukas Lu Hui San menyelak pembicaraan itu.
Mulutnya tertawa geli.
"Itu menurut pandangan
Beng Kiat” Lam Kiong Soat Lan tertawa dan menambahkan “Hui San, Beng Kiat
kelihatan sangat tertarik padamu,” bisiknya kepada Hui San.
"Oh?” Lu Hui San
tersenyum. “Sesungguhnya kita semua adalah teman....”
"Jadi engkau tidak
tertarik pada Beng Kiat?” tanya Lam Kiong Soat Lan mendadak sambil menatapnya.
“Itu akan mengecewakan Beng Kiat, lho!”
"Kita baru berkenalan,
belum waktunya untuk membicarakan tentang itu.” sahut Lu Hui San, tersenyum.
“Kalau begitu...” Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut. “Masih perlu waktu."
“Soat Lan!” tegur Toan Beng
Kiat. “Jangan membicarakan ini, sebab Hui San akan tersinggung.”
“Aku tidak akan tersinggung,
kita sama-sama teman. Bagaimana mungkin aku begitu gampang tersinggung?” ujar
Lu Hui San.
“Bagus!” Lam Kiong Soat Lan
tersenyum lebar. “Hüi San, engkau memang gadis yang baik!”
“Engkaupun begitu.”
Mendadak mereka mendengar
suara jeritan wanita minta tolong. Mereka bertiga saling memandang, lalu segera
beriari menuju tempat asal suara itu.
Terlihat belasan orang
berpakatan hijau berusaha memperkosa seorang wanita. Mati-matian wanita itu
meronta, menendang, dan menggigit.
Plaaak! Salah seorang
berpakaian hijau menamparnya.
“Aduuuh!”Wanita itu jatuh.
Pakaiannya telah tersobek sana-sini tidak karuan.
Betapa gusarnya Toan Beng
Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San menyaksikan. Mereka bertiga serentak
membentak.
“Berhenti!”
Belasan orang berpakaian hijau
menoleh Ketika melihat Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San, tertawalah mereka.
“Ha ha ha! Ada gadis cantik
mengantarkan diri, kita akan bersenang-senang dengan mereka!”
“Siapa kalian? Kenapa begitu
kurang ajar?” tanya Toan Beng Kiat sambil mengerutkan kening.
“Kami anggota Seng Hwee Kauw!”
“Oooh!” Toan Beng Kiat
manggut-manggut. “Ternyata kalian para anggota Seng Hwee Kauw. Katakan, siapa
ketua kalian!”
“Ketua kami adalah Seng Hwee
Sin Kun!” sahut salah seorang angota Seng Hwee Kauw sambil menatapnya. “Oooh,
kalian....”
“Memang kami!” Toan Beng Kiat
manggut-manggut. “Bukankah tempo hari kawan-kawan kalian yang ingin membunuh
kami?”
“Ha ha ha!” Anggota Seng Hwee
Kauw tertawa gelak. “Kami memang sedang cari kalian, tak disangka bertemu di
sini! Ha ha! Hari ini kalian harus mampus!”
“Oh?” Toan Beng Kiat mulai
menghunus pedangnya, begitu pula Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San.
“Serang mereka!” seru anggota
Seng Hwee Kauw yang rupanya pimpinan gerombolan berpakaian hijau itu.
Belasan anggota Seng Hwee Kauw
langsung menyerang Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San dengan
berbagai macam senjata tajam.
Terjadilah pertarungan sengit,
Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan menggunakan Thian Liong Kiam Hoat,
sedangkan Lu Hui San menggunakan Ie Hoa Ciap Bok Kam Hoat.
Pertarungan berjalan imbang,
karena belasan anggota Seng Hwee Kauw berkepandaian cukup tinggi. Karena itu,
Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San harus mengeluarkan
jurus-jurus andalan.
Toan Beng Kiat berhasil
melukai salah seorang anggota Seng Hwee Kauw, setelah mengeluarkan jurus Thian
Liong Jip Hai (Naga Kahyangan Masuk Ke Laut).
Lam Kiong Soat Lan juga
berhasil melukai seorang anggota Seng Hwee Kauw. Ternyata ia mengeluarkan jurus
Thian Liong Cioh Cu (Naga Kahyangan Merebut Mutiara). Mereka berdua masih belum
menggunakan Kim Kong Cap Sah Ciang (Tiga Betas Jurus Pukulan Cahaya Emas),
sebab mereka belum dalam bahaya.
Lu Hui San juga telah berhasil
melukai lawannya, Ia mengeluarkan jurus Hoa Khay Yap Cing (Bunga Memekar Daun
Menghijau).
Tiga anggota Seng Hwee Kauw
telah terluka, mereka roboh dengan mulut merintih-rintih kesakitan, karena bahu
mereka terluka oleh pedang.
"Cepat serang mereka
dengan senjata rahasia!” seru kepala anggota Seng Hwee Kauw.
Seketika para anggota Seng
Hwee Kauw menyerang mereka bertiga dengan berbagai macam senjata rahasia
Sementara Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San segera berdiri ke
arah tiga jurusan dengan punggung saling bertemu punggung.
Begitu mendengar suara desiran
senjata rahasia, mereka pun langsung memutarkan pedang masing-masing membentuk
payung untuk menangkis serangan maut itu.
Ting! Tang! Tring! Semua
senjata rahasia tertangkis dan jatuh berpentalan.
Bersamaan dengan itu tampak
sosok bayangan melayang turun. Tanpa berbasa-basi lagi, orang itu langsung
menyerang para anggota Seng Hwee Kauw itu. Sosok bayangan yang ternyata Kam Hay
Thian menyerang mereka menggunakan Pak Kek Kiam Hoat. Mengeluarkan jurus Keng
Thian Tung Te (Mengejutkan Langit Menggetarkan Bumi). Seketika terdengar suara
jeritan yang menyayat hati. Dua anggota Seng Hwee Kauw terkapar berlumuran
darah. Dada mereka berlubang tertembus pedang Kam Hay Thian. Dua nyawa pun
melayang seketika.
Kemunculan Kam Hay Thian
membuat Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lu Hui San merasa memperoleh
bantuan. Mereka menyerang lebih cepat Hingga hanya beberapa jurus mereka
berhasil melukai iawan-lawannya.
Yang paling ganas adalah Kam
Hay Thian. Dia sama sekàli tidak memberi ampun pada para anggota Seng Hwee
Kauw. Hanya sebentar saja ia telah membunuh delapan anggota Seng Hwee Kauw.
Sisa enam orang telah dilukai Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lui Hui
San.
Keenam anggota Seng Hwee Kauw
itu merintih-rintih kesakitan. Saat itu Kam Hay Thian mengayunkan pedangnya ke
arah mereka.
“Aaakh! Aaaakh....!" Terdengarlah
suara yang menyayat
hati. Dada keenam anggota Seng
Hwee Kauw tertembus pedang Kam Hay Thian. Darah segar mengucur deras, membasahi
tubuh mereka yang seketika itu juga telah berjatuhan tewas
Dengan tenang Kam Hay Thian
menyarungkan pedangnya. Sementara Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, dan Lui
Hui San menatapnya terbelalak kaget Mereka tidak menyangka pemuda itu begitu
sadis.
“Terima kasih atas bantuan
Anda.” ucap Toan Beng Kiat seraya mendekatinya. “Aku bernama Toan Beng Kiat,
mereka berdua bernama Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San.”
“Oooh!” Kam Hay Thian balas
memberi hormat. “Namaku Kam Hay Thian, julukanku adalah Chu Ok Hiap (Pendekar
Pembasmi Penjahat)!”
“Kam Hay Thian?” Terperangah
Toan Beng Kiat. Begitu pula Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San.
“Kalian kenal aku?” Kam Hay
Thian juga tertegun akan sikap mereka, padahal ia tidak kenal mereka.
“Kami tahu tentang engkau,”
sahut Toan Beng Kiat sambil tersenyum. “Bibi Suan Hiang yang memberitahukan.”
“Kalau begitu, tentunya kalian
sudah pergi kemarkas Tiong Ngie Pay,” tukas Kam Hay Thian sambil tersenyum.
“Betul.” Kam Hay Thian
mengangguk.
“Eeeeh?” Mendadak Lam Kiong
Soat Lan menengók ke sana ke mari. “Kemana wanita itu?”
“Sudah pergi,” sahut Kam Hay
Thian. “Aku melihat dia kabur terbirit-birit ketakutan.”
“Oooh!” Lam Kiong Soat Lan
manggut-manggut sambil menatapnya. Kelihatannya gadis ini sangat tertarik pada
pemuda itu.
“Julukanmu Chu Ok Hiap, pantas
tidak memberi ampun pada mereka,” ujar Toan Beng Kiat.
“Kita jangan mengobrol di
sini!” sela Lam Kiong Soat Lan. “Tempat ini sudah berubah seram dengan adanya
mayat-mayat itu. Mari kita cari tempat lain saja!”
Mereka meninggalkan tempat
itu, menuju sebuah sungai tak jauh dan tempat pertempuran.
“Mari kita duduk di pinggir
sungai. Lihat, àirnya jernih sekali!” seru Lam Kiong Soat Lan girang.
“Baik!” Kam Hay Thian
menyambut gembira.
Mereka segera menuju ke
pinggir sungai, kemudian duduk di sana dan mulai mengobrol.
Kam Hay Thian manggut-manggut
sambil memandangi Toan Beng Kiat.
“Saudara Kam, kepandaianmu
sungguh tinggi sekali,” puji Toan Beng Kiat kagum. “Bolehkah kami tahu siapa
gurumu?”
“Aku....” Tergagap
Kam Hay Thian
sambil menggeleng-
gelengkan kepala. “Aku tidak
punya guru.”
“Luar biasa!” sela Lam Kiong
Soat Lan sambil tertawa kecil. “Tidak punya guru kok bisa berkepandaian begitu
tinggi?”
“Aku belajar sendiri di dalam
sebuah goa....” jawab Kam
Hay Thian lalu menuturkan
tentang itu.
“Oh” Toan Beng Kiat terbelalak
“Guru kami pernah menceritakan tentang kitab pusaka itu!"
“Siapa guru kalian?”
“Tayli Lo Ceng” sahut Toan
Beng Kiat “Guru kami bilang, kitab-kitab pusaka itu milik Bu Lim Sam Mo’”
Toan Beng Kiat menyapa sambil
memandangi Kam Hay Thian, “Saudara Kam, engkau sungguh beruntung memperoleh
kitab-kitab pusaka itu. Tapi harus hati-hati, jangan sampai direbut orang!”
ujar Toan Beng Kiat
“Kitab-kitab pusaka itu telah
kubakar, aku khawatir akan direbut penjahat.”
“Hay Thian!” Lam Kiong Soat
Lan memanggil namanya “Kenapa engkau begitu sadis? Sama sekali tidak memberi
ampun pada para anggota Seng Hwee Kauw tadi”
“Nona Soat Lan,” Kam Hay Thian
menjelaskan. “Sesuai dengan julukan, àku tidak memberi ampun pada para
penjahat”
“Chu Ok Hiap’” Lam Kiong Soat
Lan tertawa “Julukan itu memang cocok untukmu!”
Kam Hay Thian manggut-manggut,
sementara Lu Hui San yang sejak tadi terdiam mulai membuka mulut.
“Kenapa engkau begitu membenci
para penjahat””
“Sebab ayahku dibunuh
penjahat, maka aku harus membasmi mereka!” sahut Kam Hay Thian.
“Oh ya, kenapa kalian juga
bertarung dengan para penjahat itu?”
“Mereka ingin memperkosa
wanita yang kabur terbirit-birit itu,” jawab Lam Kiong Soat Lan.
“Kalian tahu siapa mereka
itu?”
“Mereka para anggota Seng Hwee
Kauw.”
“Seng Hwee Kauw?” gumam Kam
Hay Thian dengan wajah berubah.
“Eh”” Lam Kiong Soat Lan
menatapnya “Kenapa engkau?”
“Kalian tahu siapa ketua
mereka?” tanya Kam Hay Thian dengan mata mulai membara.
“Seng Hwee Sin Kun.”
“Pasti dia! Pasti dia!” seru
Kam Hay Thian sambil meloncat bangun “Aku harus bunuh dia! Aku harus bunuh
dia!”
“Saudara Kam!” Toan Beng Kiat
segera bangkit berdiri. Dipegangnya bahu pemuda itu. “Tenang, duduklah!”
“Maaf!” ucap Kam Hay Thian
sambil duduk kembali. “Aku terlampau emosi!”
“Engkau kenal Seng Hwee Sin
Kun itu?” tanya Lam Kiong Soat Lan sambil menatapnya. “Ada dendam di antara
kalian?”
“Mungkin Seng Hwee Sin Kun
itulah pembunuh ayahku,” jawab Kam Hay Thian penuh kegeraman. “Tanpa sengaja
ayahku menotong Seorang tua, sebelum orang tua itu menghembuSkan nafas
penghabisan, dia menyerahkan sebuah kitab pada ayahku," Kam Hay Thian
menghela nafas dan melanjutkan, “Karena kitab itu, maka ayahku dibunuh penjahat
itu.”
“Penjahat itu merebut kitab
tersebut?” tanya Toan Beng Kiat.
“Ya!” Kam Hay Thian
mengangguk.
“Kitab apa itu?" tanya
Lam Kiong Soat Lan.
“Kitab Seng Hwee Cin Keng,”
jawab Kam Hay Thian memberitahukan “Kitab ilmu silat yang amat tinggi sekali.
“Seng Hwee Cin Keng “gumam
Toan Beng Kiat. “Seng Hwee.... tidak salah lagi, Seng Hwee Sin Kun adalah
penjahat
yang membunuh ayahku, mungkin
juga dialah pembunuh kakek tuaku”
“Memang mungkin’” Lam Kiong
Soat Lan manggut-manggut “Penjahat itu juga pembunuh nenekku.”
“Oh? Bagaimana cara kematian
mereka “ tanya Kam Hay Thian.
“Mati hangus.” Lam Kiong Soat
Lan memberitahukan.
“Kalau begitu tidak salah
lagi, pasti penjahat itu!” ujar Kam Hay Thian. “Karena Seng Hwee Sin Kang
mengandung semacam hawa api yang dapat menghanguskan apapun!”
“Kita punya musuh yang sama!” ujar
Lam Kiong Soat Lan. “Bagaimana kalau kita menyerang ke markas mereka?”
“Kita tidak tahu di mana
markas mereka” Kam Hay Thian menggeleng-gelengkan kepala.
“Lain kali kalau kita bertemu
anggota Seng Hwee Kauw lagi, kita harus bertanya di mana markas mereka itu.”
“Aku setuju,” Kam Hay Thian
manggut-manggut.
“Jangan berlaku ceroboh!” sela
Toan Beng Kiat. “Lebih baik memberitahukan dulu pada kakekku dan kakek Lim,
bagaimana menurut pendapat mereka!”
“Kalau begitu, lebih baik aku
saja yang pergi menyerang markas Seng Hwee Kauw itu,” tandas Kam Hay Thian.
“Jangan gegabah!” ujar Lu Hui
San memperingatkan. “Kepandaian Seng Hwee Sin Kun itu sangat tinggi, dia pasti
telah berbasil mempelajari Seng Hwee Cin Keng itu. Kalau tidak, bagaimana
mungkin dia mendirikan Seng Hwee Kauw dan menyebut dirinya Seng Hwee Sin Kun!
Karena itu, sebelum bertindak, lebih baik kita pikirkan secara matang dulu!”
“Betul!” sahut Toan Beng Kiat.
“Nona Hui San,” ujar Kam Hay
Thian dengan kening berkerut. “Aku bukan sok jago, aku tak sabar ingin membalas
dendam.”
“Aku mengerti itu.” Lu Hui San
manggut-manggut. “Tapi, alangkah baiknya kita terima saran Beng Kiat.”
Kam Hay Thian berpikir lama
sekali, sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah, aku menuruti pendapat Saudara
Toan!”
“Setelah kita tahu di mana
markas Seng Hwee Kauw, barulah kita pergi ke markas pusat Kay Pang,” ujar Lam
Kiong Soat Lan. “Sekarang belum perlu. Kemudian, kalau ada apa-apa, lebih baik
kita berunding dulu.”
“Betul!” Lu Hui San
manggut-manggut. “Kita semua sudah saling berteman, jadi di antara kita mesti
ada saling pengertian. Jauhkan sikap keras kepala kita!”
“Nona Hui San!” Kam Hay Thian
tersenyum. “Sebetulnya aku tidak keras kepala, cuma... ingin lekas-lekas
membalas dendam saja!”
“Nah!” Lu Hui San tertawa
kecil. “Engkau mengatakan begitu, itu berarti telah mengaku dirimu keras
kepala.
"Eeeh?” Kam Hay Thian
tertegun. “Aku....?"
“Maaf!” ucap Lu Hui San sambil
tersenyum. “Apabila ucapanku tadi menyinggung perasaanmu, aku mohon maaf."
“Aku tidak tersinggung,
sungguh!” Kam Hay Thian tersenyum. “Oh ya, kalian mestinya bisa bersikap adil
pula.”
“Memangnya kenapa?" tanya
Lam Kiong Soat Lan.
“Kalian tahu orang tuaku, tapi
aku belum tahu siapa orang tua kalian, bukankah kurang adil?”
“Oooh, itu!” Lam Kiong Soat
Lan tertawa. “Ayahku bernama Lam Kiong Bie Liong, ibuku bernama Toan Pit Lian!”
“Ayahku bernama Toan Wie Kie,
kakak kandungnya Toan Pit Lian!” Toan Beng Kiat menimpali. “Ibuku bernama Gouw
Sian Eng, kakekku adalah wakil ketua Kay Pang!”
“Oooh!” Kam Hay Thian
manggut-manggut, kemudian bertanya pada Lu Hui San yang diam itu. “Siapa kedua
orang tuamu?
“Ayahku bernama Lu Kam Thay.
Ibuku... sudah lama meninggal,” ujar Lu Hui San.
“Nah!” ujar Toan Beng Kiat.
“Kini kita berempat adalah teman baik, maka kita harus bersatu melawan Seng
Hwee Kauw.”
Kam Hay Thian manggut-manggut.
“Tapi....” Mendadak Toan Beng
Kiat memandang Lu Hui
San. “Hui San tidak punya
dendam apa-apa dengan Seng Hwee Sin Kun.”
“Aku ingin membantu,” potong
Lu Hui San. “Boleh, kan?”
“Tentu bo!eh, namun akan
membahayakan dirimu! Aku pikir....,” Toan Beng Kiat menatapnya.
“Tidak perlu dipikir lagi,
sebab aku sudah mengambil keputusan untuk membantu kalian!”
“Terima kasih!” ucap Toan Beng
Kiat, Kam Hay Thian, Lam Kiong Soat Lan serentak sambil tersenyum.
“Ayo!” ajak Lu Hui San sambil
bangkit berdiri. “Sudah lama kita duduk di sini, kita lanjutkan perjalanan!”
“Menuju ke mana?” tanya Kam
Hay Thian. “Kemana pun boleh,” sahut Lu Hui San. “Ya, kan?” “Betul!” Toan Beng
Kiat manggut-manggut. Mereka berempat meneruskan perjalanan.
“Mudah-mudahan pihak Seng Hwee
Kauw akan muncul, jadi kita bisa bertanya pada mereka berada di mana markas
itu,” ujar Kam Hay Thian.
“Tapi ingat!” pesan Lam Kiong
Soat Lan. "Jangan langsung membunuh mereka, agar kita bisa bertanya pada
mereka!”
“Cukup sisakan satu saja,”
sahut Kam Hay Thian. “Aku adalah Chu Ok Hiap, tidak bisa mengampuni mereka!”
Lam Kiong Soat Lan
menggeleng-gelengkan kepala.
“Kalian harus tahu,” ujar Kam
Hay Thian sungguh-sungguh. "Betapa jahatñya para anggota Seng Hwee Kauw,
mereka pasti sering memperkosa dan membunuh. Buktinya mereka juga ingin
membunuh kalian, maka apa salahnya aku membasmi mereka?”
“Tapi....” Lu Hui San menghela
nafas. “...terlampau sadis!”
"Mereka memperkosa dan membunuh,
apakah itu tidak sadis?" sahut Kam Hay Thian sambil menatapnya.
"Kalau hanya dilukai dengan senjata mereka akan kembali berlaku jahat
apabila sudah sembuh. Dan kejahatan mereka akan semakin merajatela. Aku tak
inginkan semua itu. Coba kau pikir kalau tidak dibasmi habis para penjahat itu,
entah berapa banyak orang yang akan mati ditangan mereka!”
“Sudahlah!” sela Toan Beng
Kiat sambil tertawa. “Kita tidak perlu memperdebatkan itu, sebab pikiran orang
berbeda. Yang penting, kita jangan melakukan kejahatan.”
“Aaah....” Lu Hui San menghela
nafas panjang. "Kini aku
baru tahu, dalam rimba
persilatan memang penuh kejahatan. Pantas ayahku berpesan padaku harus
berhati-hati hidup di rimba persilatan.
“Ayahmu benar, maka engkau
harus berhati-hati,” ujar Toan Beng Kiat lembut sambil memandangnya. “Aku pun
akan melindungimu."
“Terimakasih,” ucap Lu Hui San
dengan wajah agak kemerah-merahan.
“Jadi engkau cuma
melindunginya, lalu bagaimana aku?" tanya Lam Kiong Soat Lan sambil
tersenyum. "Ingat, aku adikmu!”
"Jangan cemas!” sahut
Toan Beng Kiat sambil tertawa. “Saudara Kam melindungimu!”
“Eh? Aku...” sahut Kam Hay
Thian menggeragap “Aku pun harus melindungi diriku sendiri.”
“Dasar bodoh engkau!” Toan
Beng Kiat melototinya “Tidak mengerti sama sekali”
“Lho? Kenapa?” tanya Kam Hay
Thian bingung. “Aku berbicara sesungguhnya.”
Toan Beng Kiat
menggeleng-gelengkan kepala. “Engkau betul-betul bodoh!”
“Aku... aku mungkin memang
bodoh.” Hay Thian menundukkan kepala, membuat Lam Kiong Soat Lan tertawa geli.
“Engkau tidak bodoh. Kau
terlalu jujur dan polos, sobat. Tapi itu sifat yang baik,” ujar Lam Kiong Soat
Lan. “Aku suka denganmu!"
“Nah!” Toan Beng Kiat tertawa.
“Engkau suka apa?"
“Suka sifatnya itu,” sahut Lam
Kiong Soat Lan dengan wajah kemerah-merahan, "Memangnya kenapa?”
“Aku kira. . ." Toan Beng
Kiat tersenyum-senyum.
“Kau kira apa, heh?"
tanya Lam Kiong Soat Lan dengan mata melotot.
“Aku kira itu. . . “ gumam
Toan Beng Kiat sambil tertawa “Ha-ha-ha. . . .!“
-oo0dw0oo-
Bagian 23 Berangkat ke Tionggoan
Beberapa hari ini, Lie Ai Ling
selalu marah-marah tidak karuan Tentu saja ini sangat membingungkan kedua orang
tuanya Bahkan Tio Tay Seng, kakeknya, juga tidak habis pikir, kenapa cucunya
itu selalu marah-marah.
"Cie Hiong!” ujar Tio Tay
Seng sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kenapa beberapa hari ini Lie Ai Ling
selalu marah-marah?”
Tio Cie Hiong hanya tersenyum.
"Itu karena kedua orang tuanya belum memperbolehkannya ke Tionggoan,”
jawabnya kemudian.
"Oh, itu!” Tio Tay Seng
manggut-manggut. “Cie Hiong, bagaimana menurutmu?"
"Maksud Paman?”
"Bolehkah kita
mengijinkan dia pergi ke Tionggoan?"
"Kini dia sudah cukup
dewasa, memang tidak baik juga terus mengekangnya. Ada baiknya kita
mengijinkannya ke Tionggoan. Lagipula ayahnya telah menjanjikan itu. Tidak baik
membohongi anak!”
"Kalau begitu, kita harus
membicarakannya dengan kedua orang tuanya,” ujar Tio Tay Seng sungguh-sungguh.
"Benar!” Tio Cie Hiong
manggut-manggut.
"Kakak Hiong..” ujar Lim
Ceng Im. “Ada baiknya dia pergi ke Tionggoan bersama Goat Nio.”
"Tentu saja.” Tio Cie
Hiong manggut-manggut.
Kebetulan muncul Lie Man Chiu
dan Tio Hong Hoa. Tio Tay Seng segera mempersilakan mereka duduk.
“Ada apa, Ayah?” tanya Tio
Hong Hoa.
“Tahukah kalian kenapa Ai Ling
marah-marah?” Tio Tay Seng balik bertanya sambil memandang mereka.
Tio Hong Hoa mengangguk. “ini
karena kami belum mengijinkannya ke Tionggoan!”
“Kenapa?” Tio Tay Seng
mengerutkan kening.
“Dia masih kecil”
“Kini dia sudah dewasa, lagi
pula Man chiu pernah menjanjikannya. Jadi tidak baik mengulur-ulur janji.”
“Ayah setuju dia ke
Tionggoan?” tanya Tio Hong Hoa.
“Yaah.” Tio Tay Seng menghela
nafas panjang. “Dia sudah cukup dewasa, ada baiknya juga dia menimba pengalaman
di Tionggoan. Lagipula dia akan berangkat bersama Goat Nio.”
“Kalau Ayah setuju, kami pun
tidak berkeberatan,” ujar Tio Hong Hoa. “Kami akan memberitahukan padanya.”
Sementara itu muncul pula Sam
Gan Sin Kay, Kim Siauw Suseng, dan Kou Hun Bijin.
“Hi-hi-hi!” Kou Hun Bijin
tertawa cekikikan. “Ada apa nih? Kok berkumpul disini?”
“Kami sedang membicarakan Ai
Ling,” sahut Tio Tay Seng.
“Kenapa dia?” tanya Kim Siauw
Suseng heran.
“Beberapa hari ini, dia selalu
marah-marah. Apakah kalian tidak tahu itu?” Tio Tay Seng balik bertanya.
“Tentu tahu!” Kim Siauw Suseng
tertawa. “Dia marah-marah karena belum diijinkan ke Tionggoan!”
"Kini kami sudah setuju,
tapi harus berangkat bersama Goat Nio," ujar Tio Tay Seng.
"Tentu," sahut Kou
Hun Bijin sambil tertawa nyaring. “Goat Nio memang harus pergi ke Tionggoan mencari
Bun Yang.”
“Kalau begitu, kita harus
memberjtahukan padanya, agar hatinya merasa gembira,” ujar Lim Ceng Im.
“Siapa yang terus cemberut?”
Mendadak muncul Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio.
“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay
tertawa gelak. “Engkau yang cemberut! Namun sebentar lagi wajahmu pasti
berseri.”
“Hmm!” dengus Lie Ai Ling.
“Ha ha ha!” Sam Gan Sin Kay
tertawa lagi. "Ai Ling, tahukah engkau kami sudah setuju?”
“Ah! Bohong!”
“Ai Ling!” Tio Hong Hoa
tersenyum lembut. “Kami tidak bohong, kami mengijinkan engkau ke Tionggoan
lagi!”
“Oh?” Wajah Lie Ai Ling
langsung berseri. “Ibu dan ayah sudah setuju?”
“Kami semua sudah setuju,”
sahut Lie Man Chiu sambil tersenyum. “Tapi harus berangkat bersama Goat Nio.”
“Itu sudah pasti,” Lie Ai Ling
tertawa. “Sebab Goat Nio harus bertemu Kakak Bun Yang.”
“Mulai, ya!” Siang Koan Goat
Nio menoleh dengan mata melotot, merasa digoda Ai Ling.
“Mulai apa?” Lie Ai Ling
tertawa.
Siang Koan Goat Nio diam saja,
sedangkan Lie Ai Ling terus tertawa gembira.
“Tidak lama lagi, Hong Hoang
Lihiap dan Kim Siauw Siancu akan muncul di Tionggoan!" ujarnya.
“Julukan-julukan itu memang
tepat bagi kalian,” ujar Kou Hun Bijin sambil tertawa. “Putriku memang Kim
Siauw Siancu, dan engkau Hong Hoang Lihiap! Hi hi hi...!”
“Kapan kalian akan berangkat?”
tanya Tio Tay Seng.
“Besok,” sahut Lie Ai Ling.
“Baiklah,” Tio Tay Seng
manggut-manggut, kemudian memberi nasihat dan lain sebagainya.
Lie Ai Ling mendengar dengan
penuh perhatian, begitu pula Siang Koan Goat Nio.
Keesokan harinya, berangkatlah
mereka ke Tionggoan dengan hati penuh rasa kegembiraan.
-oo0dw0oo-
Belasan hari kemudian, Siang
Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling sudah tiba di Tionggoan. Mereka melanjutkan
perjalanan menuju ke markas pusat Kay Pang.
“Goat Nio!” ujar Lie Ai Ling
sambil tersenyum. “Kali ini kita harus berhasil bertemu Kakak Bun Yang.
Siang Koan Goat Nio hanya
tersenyum. “Engkau rindu sekali padanya”
“Tentu” Lie Ai Ling mengangguk
“Sudah hampir tiga tahun aku tidak bertemu dia”
"Jangan-jangan. . ."
Siang Koan Goat Nio menghentikan ucapannya. Dipandangnya Ai Ling.
"Kenapa tidak
dilanjutkan?” sergah Ai Ling.
“Maksudku, jangan-jangan
engkau mencintainya,” ujar Siang Koan Goat Nio sambil tertawa kecil.
“Memang!" Lie Ai Ling
mengangguk “Tempo hari sudah kukatakan padamu, babwa aku mencintainya sebagai
kakak, bukan sebagai kekasih. Jadi, engkau harus paham, dia adalah kakakku yang
paling baik di dunia”
“Oh, ya?” Siang Koan Goat Nio
tersenyum.
"Sungguh!" ujar Lie
Ai Ling “Aku berharap engkau berjodoh dengan dia, itu karena aku sangat cocok
dengan engkau!”
“Aku tahu maksud baikmu, tapi
Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala “Belum tentu dia akan tertarik
padaku”
“Aku berani jamin!” Lie Ai
Ling tertawa kecil “Kalau dia bertemu engkau, pasti tertarik”
Sekonyong-konyong terdengar
suara tawa, lalu muncul belasan orang berpakaian hijau.
“Ha ha ha! Sungguh kebetulan,
kita bertemu dua gadis yang cantik sekali Sungguh beruntung kita hari ini!”
“Siapa kalian?” bentak Lie Ai
Ling.
"Kami anggota-anggota
Seng Hwee Kauw. Nona sungguh cantik sekali, tentunya kalian tak menolak
bersenang-senang dengan kami,” ujar orang berpakaian hijau yang merupakan
kepala anggota-anggota Seng Hwee Kauw itu.
“Ciss!” dengus Lie Ai Ling.
“Apakah kalian tidak berkaca?"
“Kami tidak perlu mengaca,
karena biar bagaimanapun kalian berdua harus melayani kami bersenang-senang,”
ujar kepala anggota Seng Hwee Kauw itu sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Kami juga harus
bersenang~senang dengan mereka!" seru yang lain. “Jangan melupakan kami!”
“Jangan khawatir!” Kepala
anggota Seng Hwee Kauw itu tertawa. “Kalian semua pasti mendapat giliran, tapi
jangan berebutan!”
Betapa gusarnya Siang Koan
Goat Nio dan Lie Ai Ling mendengar percakapan kotor itu.
Siang Koan Goat Nio segera
mengeluarkan suling emasnya, sedangkan Lie Ai Ling menghunus pedang pusaka Hong
Hoang Kiam. Kelihatannya kegua gadis itu sudah siap bertarung.
“He-he-he!” Kepala anggota
Seng Hwee Kauw tértawa. “Kalian ingin bertarung dengan kami?”
“Ya!” Sahut Lie Ai Ling. “Kami
tidak takut pada kalian!”
“Nona, Nona! Dari pada kita
bertarung dengan senjata, bukankah lebih baik kita bertarung yang enak dan
penuh kenikmatan? Pokoknya kalian berdua akan merasa puas."
Kegusaran Lie Ai Ling telah
memuncak. Ia langsung menyerang dengan menggunakan ilmu pedang Hong Hoang Kiam
Hoat.
Begitu melihat Lie Ai Ling
mulai menyerang, Siang Koan Goat Nio juga menyusulnya. Gadis itu menggunakan
Cap Pwee Kim Siauw Ciat Hoat.
Seketika terjadilah
pertarungan sengit, belasan jurus kemudian, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling
tampak mulai terdesak. Sehingga kedüanya harus mengeluarkan jurus-jurus
andalan.
Di saat itulah mendadak
berkelebatan beberapa sosok bayangan, langsung menyerang para anggota Seng Hwee
Kauw itu. Ternyata mereka Toan Beng Kiat, Lam Kiong Soat Lan, Lu Hui San dan
Kam Hay Thian.
Dapat dibayangkan, betapa
terkejutnya para anggota Seng Hwee Kauw saat itu. Mereka bertarung sambil
mundur siap melarikan diri.
Akan tetapi, bagaimana mungkin
Kam Hay Thian membiarkan mereka melarikan diri. Pedangnya berkelebatan ke sana
ke mari laksana kilat. Dia mengeluarkan jurus Thian Gwa Kiam In (Bayangan
Pedang di Luar Langit). Terdengarlah suara jeritan menyayat hati. Tiga anggota
Seng Hwee Kauw telah roboh berlumur darah. Dada mereka berlubang tertembus
pedang Kam Hay Thian.
“Hay Thian! Jangan bunuh
mereka semua!” seru Toan Beng Kiat mengingatkannya.
“Ya!” sahut Kam Hay Thian.
Sementara Siang Koan Goat Nio
dan Lie Ai Ling juga telah berhasil melukai lawannya. Begitu pula Toan Beng Kiat,
Lam Kiong Soat Lan dan Lu Hui San. Para anggota Seng Hwee Kauw yang terluka itu
bergelimpangan dan mengerang kesakitan. Sedangkan Kam Hay Thian terus
menyerang. Terdengar lagi suara jeritan, tiga anggota Seng Hwee Kauw roboh
mandi darah lagi. Dada mereka pun berlubang mengucurkan darah segar.
Mayat-mayat bergelimpangan berlumur darah.
Pertarungan itu berhenti.
Tampak beberapa anggota Seng Hwee Kauw yang terluka itu masih merintih-rintih.
Kam Hay Thian mendekati mereka
dengan tatapan dingin, kemudian mendadak menggerakkan pedangnya.
“Aaaakh! Aaaakh! Aaaakh...!”
Para anggota yang terluka itu pun dibunuhnya tanpa ampun, hanya tersisa satu
orang.
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai
Ling menyaksikan itu dengan mata terbeliak ngeri. Mereka berdua sama sekali
tidak menyangka pemuda itu begitu bengis.
"Engkau harus menjawab
dengan jujur, mungkin aku akan mengampuni nyawamu!” bentak Kam Hay Thian pada
anggota Seng Hwee Kauw itu.
“Ya! Ya....” jawab orang itu
ketakutan.
“Berada di mana markas Seng
Hwee Kauw?"
“Di. . .di. . .Lembah Kabut
Hitam!”
“Terletak di mana Lembah Kabut
Hitam itu?"
“Di... di kaki Hek Ciok San
(Gunung Batu Hitam)!” “Engkau pernah memasuki Lembah Kabut Hitam itu?”
“Tidak pernah! Sebab... sebab
kami cuma merupakan anggota biasa. Jadi tidak boleh masuk!”
“Di lembah itu terdapat
jebakan?”
“Bagus!” Kam Hay Thian tertawa
dingin, kelihatannya ia sudah siap menghabiskan nyawa orang itu.
“Tahan, Saudâra Kam!” teriak
Toan Beng Kiat memperingatkan. “Biar dia kembali ke sana untuk melapor!”
Kam Hay Thian mengangguk, lalu
menatap orang itu. “Cepat enyah dan sini!”
Dengan sempoyongan orang itu
berlari meninggalkan tempat pertempuran, Kam Hay Thian terus tertawa dingin.
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai
Ling mendekati mereka, lalu memberi hormat. “Terimakasih atas bantuan kalian!”
“Sama-sama,” sahut Lam Kiong
Soat Lan sambil memandang mereka. "Kita tidak pernah bertemu, tapi rasanya
sudah tahu.”
Lie Ai Ling tertegun
memandangi mereka.
“Kalau tidak salah..? ujar Lam
Kiong Soat Lan sambil tersenyum. “Kalian bérdua pasti Siang Koan Goat Nio dan
Lie Ai Ling.
“Dari mana kau tahu?” tanya
Lie Ai Ling dengan mata membeliak.
Lam Kiong Soat Lan tersenyum,
sementara Siang Koan Goat Nio terus memandanginya.
“Kalau begitu, kalian pasti
Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat.”
“Betul,” Lam Kiong Soat Lan
tertawa gembira, kemudian menunjuk Lu Hui San dan Kam Hay Thian dan
memperkenalkan mereka. “Mereka adalah Lu Hui San dan Kam Hay Thian.”
Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai
Ling segera memberi hormat pada mereka, Lu Hui San dan Kam Hay Thian langsung
balas memberi hormat.
“Selamat berjumpa!” ucap Lu
Hui San sambil tersenyum.
“Sama-sama,” sahut Lie Ai Ling
sambil tertawa. “Bagus, kita semua berkumpul disini.”
“Aku Toan Beng Kiat,” ujar
pemuda itu memperkenalkan diri, lalu tanyanya. “Kenapa kalian bertarung dengan
para anggota Seng Hwee Kauw itu?”
“Kami tidak paham sama sekali.
Mereka muncul lalu mencetuskan kata-kata kotor, membuat kami tersinggung dan
merasa diremehkan,” tutur Ai Ling.
“Mereka memang jahat,” ujar
Kam Hay Thian, "Karena itu, aku tidak memberi ampun pada mereka!"
“Engkau sungguh sadis!"
ujar Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala. "Yang sudah terluka pun
engkau bunuh. huh! Aku jadi seram dan takut.”
“Terhadapku?” tanya Kam Hay
Thian dengan kening berkerut.
"Ya!" Lie Ai Ling
mengangguk. “Engkau sangat bengis.”
“Jangan merasa seram maupun
takut!” sela Toan Beng Kiat sambil tersenyum dan melanjutkan. “Dia sadis cuma
terhadap penjahat, karena dia adalah ChU Ok Hiap!”
“Pendekar Pembasmi Penjahat?”
"Ya!"
“Pantas tidak memberi ampun
pada para penjahat” Lie Ai Ling manggut-manggut
“Apa julukan kalian?"
tanya Lam Kiong Soat Lan ingin mengetahuinya. “Bolehkan engkau memberitahukan
pada kami?”
Lie Ai Ling tersenyum.
“Julukanku Hong Hoang Lihiap, julukan Goat Nio adalah Kim Siauw Siancu.”
“Sungguh indah julukan-julukan
itu!” Lam Kiong Soat Lan tertawa kecil. “Aku belum punya julukan.”
“Tidak apa-apa,” ujar Lie Ai
Ling. “Kelak engkau pasti punya julukan.
Lam Kiong Soat Lan tersenyum.
Sementara Toan Beng Kiat memandang mereka seraya bertanya. “Nona Ai Ling, kedua
orang tuamu adalah Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa?”
“Betul.” Lie Ai Ling
mengangguk. “Kedua orang tuamu pasti Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng.”
“Betul,” Toan Beng Kiat
manggut-manggut. “Orang tua kita merupakan teman baik, kita pun harus jadi
teman baik.”
“Tentu.” Lie Ai Ling tertawa.
“Oh ya.” Lam Kiong Soat Lan
menatap Siang Koan Goat Nio. “Kedua orang tuamu pasti Kim Siauw Suseng dan Kou
Hun Bijin yang awet muda itu.”
“Betul!” Siang Koan Goat Nio
mengangguk. “Aku pun tahu kedua orang tuamu. Mereka adalah Lam Kiong Bie Liong
dan Toan Pit Lan.”
“Tidak salah.” Lam Kiong Soat
Lan tersenyum, kemudian memberitahukan. “Kedua orang tua Kam Hay Thian adalah
Kam Pek Kian dan Lie Siu Sien, paman Cie Hiong kenal mereka.”
“Oooh!” Lie Ai Ling
manggut-manggut, lalu memandang Lu Hui San seraya bertanya. “Siapa kedua orang
tuamu?”
“Ayahku adalali Lu Kam Thay,
sedangkan ibuku sudah lama meninggal," jawab Lu Hui San.
Sementara Kam Hay Thian terus
memandang Siang Koan Goat Nio. Dia kelihatan tertarik pada gadis itU.
“Ei! Engkau!" Mendadak
Lie Ai Ling menünjuk Kam Hay Thian. "Engkau begitu membenci para anggota
Seng Hwee Kauw, kelihatannya punya dendam dengan mereka.”
"Betul.” Kam Hay Thian mengangguk.
“Ketua mereka membunuh ayahku!”
Lie Ai Ling manggut-manggut.
“Pantas kalau begitu,” gumamnya.
“Ketua Seng Hwee Kauw itu pun
membunuh kakek tuaku.” Toan Beng Kiat memberitahukan.
“Maksudmu Tui Hun Lojin?”
tanya Lie Ai Ling.
“Ya!” Toan Beng Kiat
mengangguk.
“Nenekku pun dibunuhnya.” Lam
Kiong Soat Lan memberitahukan. “Maka kami semua ingin membunuh Seng Hwee Sin
Kun itu!”
“Seng Hwee Sin Kun?” Lie Ai
Ling tertegun. “Siapa dia?" “Ketua Seng Hwee Kauw,” sahut Lam Kiong Soat
Lan.
“Kalau begitu, kami harus
membantu,” ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. “Goat Nio juga pasti mau membantu?
“Terima kasih,” ucap Toan Beng
Kiat.
“Kalau begitu, mari kita
menyerbu ke markas Seng Hwee Kauw!” ujar Kam Hay Thian mendadak. “Kita sudah
tahu di mana markas itu.”
“Kita memang sudah tahu markas
Seng Hwee Kauw, tapi kita tidak boleh langsung menyerbu ke sana.” ujar Toan
Beng Kiat.
“Kenapa?” Kam Hay Thian
mengerutkan kening.
“Bukankah tadi orang itu
memberitahukan bahwa di sana terdapat jebakan? Lagipula kita kurang pengalaman.
Lebih baik kita berunding dulu dengan kakekku dan kakek Lim,” usul Toan Beng
Kiat dan menambahkan. “Kita tidak boleh bertindak ceroboh!”
Kening Kam Hay Thian terus
berkerut, seperti hendak berkata tapi diurungkan.
“Memang lebih baik berunding
dulu dengan kedua kakek itu. Sebab, mereka sangat berpengalaman,” ujar Siang
Koan Goat Nio. “Kita tidak boleh bertindak semau kita, terlalu berbahaya!”
Kam Hay Thian mengangguk
sambil memandang Siang Koan Goat Nio “Aku menuruti pendapatmu.”
Lam Kiong Soat Lan dan Lui Hui
San saling memandang, sedangkan Toan Beng Kiat tampak melongo.
“Eeeh?” Terheran-heran Lie Ai
Ling sambil memandang mereka. “Kenapa kalian jadi begitu, persis seperti orang
bloon?”
Toan Beng Kiat tersenyum.
“Ucapan Hay Thian tadi....”
“Kenapa ucapannya?”
“Katanya dia menuruti pendapat
Goat Nio!” Toan Beng Kiat memberitahukan. “Itu yang mengejutkan kami.”
“Kenapa harus terkejut?
Pendapat yang benar memang harus dituruti, jadi tidak usah terkejut!” sahut Ai
Ling keheranan.
Sementara wajah Kam Hay Thian
telah kemerah-merahan, tadi dia mengucapkan kata-kata tanpa disadari.
Sedangkan Siang Koan Goat Nio
cuma bersikap biasa-biasa saja. Semua percakapan Itu bagaikan angin lalu
baginya.
“Ayoh!” ajak Lam Kiong Soat
Lan mendadak. “Mari kita berangkat ke markas pusat Kay Pang!”
Yang lain mengangguk, mereka
lalu berangkat menuju ke markas pusat Kay Pang.
-oo0dw0oo-
Di ruang tengah di dalam
markas Seng Hwee Kauw, tampak Seng Hwee Sin Kun, Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui,
Pat Pie Lo Koay, Tok Chiu Ong, dan Hek Sim Popo dengan wajah serius.
Kelihatannya mereka sedang merundingkan sesuatu.
"Kita semua telah
menerima laporan itu, bahwa telah muncul Chu Ok Hiap dan lainnya membunuh para
anggota kita. Maka aku ingin bertanya, bagaimana menurut kalian?” Seng Hwee Sin
Kun bertanya kepada mereka.
“Tentunya kita harus membunuh
mereka,” sahut Hek Sim Popo.
“Benar!” sambung Tok Chiu Ong.
“Kita harus membunuh mereka, sebab telah membunuh puluhan anggota kita.”
“Ngmm!” Seng Hwee Sin Kun
manggut-manggut. “Sebetulnya sasaranku adalah orang tua mereka.”
“Kalau begitu,” ujar Pat Pie
Lo Koay mengemukakan pendapatnya. “Kita tidak perlu membunuh mereka. Kita buat
mereka terluka agar orangtua mereka muncul! Bagaimana menurut Kauwcu?”
“Aku setuju,” sahut Seng Hwee
Sin Kun manggut-manggut, kemudian memandang Pek Bin Kui. “Bagaimana menurutmu?”
“Apa yang dikatakan Pat Pie Lo
Koay memang bisa diterima,” sahut Pek Bin Kui sambil tersenyum. “Kita melukai
mereka dengan tujuan memancing orangtua mereka keluar. Setelah itu kita
membunuh orangtua mereka!”
“Benar!” Seng Hwee Sin Kun
tertawa gelak. “Itu tujuan utama kita.”
“Tapi “ ujar Pek Bin Kui untuk
melukai mereka, tentunya tidak bisa mengandalkan pada para anggota kita.
Kepandaian mereka masih terlalu rendah. Oleh karena itu, kita harus memilih
beberapa anggota berkepandaian cukup tinggi, ditambah dua orang di antara kita,
barulah bisa melukai mereka!”
“Ngmmm!” Seng Hwee Sin Kun
manggut-manggut “Kalau begitu, siapa di antara kalian bersedia melakukan pekerjaan
ini?"
“Aku!” sabut Pat Pie Lo Koay.
“Aku!." sahut Tok Chiu
Ong kemudian “Kami berdua bersedia!”
“Bagus! Kalau begitu, tugas
kuserahkan pada kaliàn berdua,” ujar Seng Hwee Sin Kun.
“Ya Kauwcu,” sahut Pat Pie Lo
Koay dan Tok Chiu Ong.
“Pek Bin Kui!” Seng Hwee Sin
Kun menatapnya “Engkau masih punya rencana lain?”
“Ada, Kauwcu!” Pek Bin Kui
mengangguk.
“Apa rencanamu?”
"Begini,” sahut Pek Bin
Kui. “Seng Hwee Kauw harus mulai membuat kejutan dalam rimba persilatan.
Maksudku Seng Hwee Kauw harus mulai membunuh para anggota Kay Pang, para murid
Siauw Lim Pay dan Butong Pay!”
“Ngmrnm!” Seng Hwee Sin Kun
manggut-manggut. “Benar. Sebab Kay Pang, Siauw Lim Pay dan Butong Pay sangat
kuat bagi rimba persilatan. Kalau Seng Hwee Kauw ingin menguasai rimba
persilatan, terlebih dahulu harus turun tangan terhadap Kay Pang, Siauw Lim
Pay, dan Butong Pay!”
"Kalau begitu..."
ujar Leng Bin Hoatsu. "Kita harus pilih anggota-anggota yang handal untuk
membantai para anggota Kay Pang, para murid Siauw Lim Pay, dan para murid
Butong Pay!"
"Tugas tersebut
kuserahkan padamu!” ujar Seng Hwee Sin Kun.
“Ya, Kauwcu?" Leng Bin
Hoatsu mengangguk.
“Oh ya!” ujar Pek Bin Kui
mendadak. “Hiat Ih Hwe cukup kuat dalam rimba persilatan, kelihatannya Hiat Ih
Hwe agak sehaluan dengan kita. Alangkah baiknya kita bekerja sama dengan
mereka!”
“Gagasan bagus!” Seng Hwee Sin
Kun tertawa. “Kalian tahu siapa ketua Hiat Ih Hwe itu?”
“Tahu!” sahut Tok Chiu Ong.
“Ketua Hiat Ih Hwe adalah Lu Kong Kong.”
“Apa?" Terbelalak mata
Seng Hwee Sin Kun. “Betulkah Lu Thay Kam ketua Hiat Ih Hwe?”