Awan bergerak, angin menderu.
Sudah akhir tahun, cuaca di
kota Po-Ting jauh lebih dingin daripada biasanya, sampai2 sungai pelindung kota
yang mengitari benteng kota juga membeku menjadi selapis es yang tebal, begitu
tebal lapisan es itu sehingga kereta kuda dapat berlari diatasnya.
Salju sudah berhenti, namun
cuaca malam semakin menambah dinginnya bumi raya ini. Di langit tentu saja
tiada bintang, apalagi bulan. Sebab itulah bumi ini terasa makin kelam, sampai
salju juga kelihatan ke kelabuannya.
Didalam kota orang yang
berlalu lalang tentu saja jauh berkurang daripada biasanya, kecuali tandu
berlapis selimut tebal yang berisi kaum pembesar dan hartawan, siapa yang mau
berkeliaran di jalanan yang dingin membeku itu. Seumpama ada beberapa buah kereta
penumpang, kebanyakan juga rapat ditutup oleh tirai kain, hanya saisnya
menggigil kedinginan ditempat kusir sambil berkeluh-kesah atas cuaca buruk ini.
Dalam suasana demikian pada
jalanan yang menjurus ke pintu kota selatan tiba2 muncul seekor kuda tangkas
berwarna hitam mulus, penunggangnya adalah seorang lelaki setengah baya dengan
kumis kecil menghias bibirnya, ia memakai topi kulit yang biasanya dipakai oleh
penduduk Kwan-gwa (di luar tembok besar), topi rapat dan panjang, sampai daun
telinga juga tertutup.
Sebab itulah hakekatnya tak
kelihatan bagaimana wajah, hanya terasa di bawah cuaca yang dingin ini dia
masih tetap berduduk tegak di kudanya, seolah2 tidak menghiraukan hawa dingin
yang merasuk tulang ini.
Di tepi jalan sana ada sebuah
rumah makan yang tidak terlalu besar, saat itu hampir seluruh mejanya sudah
dipenuhi tetamu. Ada seorang lelaki pendek kecil tapi kelihatan gesit mendadak
melangkah keluar dari dalam rumah makan itu, karena ditiup angin yang kencang
di luar ia menggigil kedinginan dan menggerutu.
"Uhhh, dingin!"
Dia menyurut mundur ke dalam
pintu hanya kepalanya yang melongok keluar dan meludah. Waktu menengadah,
kebetulan dilihatnya lelaki penunggang kuda yang aneh tadi ia berkerut kening
dan diam2 berguman.
"Aneh, mengapa dia berada
di sini?"
Cepat ia menarik kepala dan
menyelinap masuk lagi ke dalam. Lelaki penunggang kuda tadi melarikan kudanya
dengan perlahan2 seakan2 tidak melihat orang melongok tadi, ia menarik topinya
sehingga mukanya tertutup lebih rapat lagi.
Bau arak yang keluar dari
rumah makan itu membuat si penunggang kuda menelan air liur, tampaknya
sedapatnya ia menahan hasratnya minum arak dan tetap melarikan kudanya ke
depan.
Derap tapal kuda pada salju
beku itu menimbulkan suara nyaring, suara khas bila barang logam berbentur.
Penunggangnya gagah, kudanya bagus menimbulkan semacam rasa perkasa bagi yang
memandangnya.
Akhirnya suara denting nyaring
tapal kuda itu makin menjauh. Setelah membelok ke benteng Bunbio akan sampailah
pintu gerbang selatan. Seorang prajurit bertombak berjaga di sudut pintu yang
terhindar dari tiupan angin, melihat kuda dan penunggangnya yang gagah itu,
tanpa terasa ia bergumam memuji " Hebat benar orang ini"
Setelah berada di luar kota
kuda itu dilarikan agak cepat menyusuri jalan raya yang lenggang dan akhirnya
berhenti di bawah suatu pohon tua. Penunggang kuda itu seperti sedang
menantikan sesuatu, mukanya dingin dan kelam.
Tunggu punya tunggu yang
ditunggu belum muncul wajahnya mulai terlintas perasaan gelisah, ia
mempermainkan cambuk kuda, sambil bergumam " Heran, kenapa belum
dating?"
Selang sejenak pula ia tidak
sabar lagi kudanya hendak dilarikan tapi setelah memandang jauh ke depan,
ketika dilihatnya hanya tanah datar terbentang tanpa jejak seorangpun ia
berpikir sejenak dan membatalkan niatnya untuk beranjak. Malam sunyi dan
mengerikan, hanya bunyi ranting pohon yang terhembus angin menerbitkan suara
gemerisik, suara inilah satu2nya suara yang terdengar di tengah malam yang
gelap dan dingin.
Penunggang kuda itu makin tak
sabar. Ia lompat turun dari kudanya, mendekam di tanah dan menempelkan
telinganya di permukaan salju, sesaat kemudian mukanya tampak berseri, ia
melompat bangun, walau bunga salju menodai wajahnya ia tak perdulikan dan tidak
merasa kedinginan, ia menyekanya dengan tangan.
Dikeluarkan sepotong
saputangan besar dan berwarna putih, warna yang kontras dengan bajunya,
saputangan digunakan untuk menutupi wajahnya, hanya kedua mata yang bersinar
tajam mencorong di balik saputangan, dia mengawasi kejauhan dengan penuh
perhatian.
Tak lama kemudian dari depan
muncul suara derap kaki kuda, bagi jago kawakan dari suara derap kaki kuda itu
dapat diketahui bahwa jumlahnya tidak hanya satu, kuda2 itu dilarikan dengan
kecepatan tinggi. Derap kaki kuda kian dekat, dengan suatu gerakan yang gesit
laki2 berkedok itu melompat ke atas kudanya dan menarik tali kendali ke kiri
sehingga kudanya tepat mengalangi jalan raya tersebut.
Dua ekor kuda tangkas muncul
dari depan ditengah udara yang dingin, uap panas mengepul di atas kepala kuda,
kedua penunggang kuda itu berbaju warna hijau dan bermantel, dandanan kaum
pelancong yang biasa dijumpai dan tiada sesuatu yang istimewa tapi lantaran
muak mereka kelihatan cerdas dan matanya bersinar siapapun akan tahu bahwa
mereka bukan orang biasa.
Dan kejauhan kedua penunggang
kuda itu melihat seekor kuda-kuda yang menghalang di tengah jalan salah seorang
yang berjenggot dan usianya lebih tua berkerut kening dan berkata " coba
lihat agaknya di depan itulah yang dimaksudkan" logat suaranya adalah
orang Holam asli. "Kurangi kecepatan kuda kita " sahut yang lain.
Tapi karena sayang pada kudanya, mereka membiarkan kudanya lari sekian jauh
lagi baru menarik tali kendali. Dengan begitu ketika kedua ekor kuda itu benar2
terhenti, jaraknya dengan penunggang berkedok itu sudah tak seberapa jauh lagi.
Agak berubah air muka laki2
yang berusia lebih tua itu demi melihat penunggang kuda berkedok itu,
jantungnya berdebar keras, tapi sebagai seorang jago kawakan dan biasa hidup di
ujung golok, ia tetap bersikap tenang. "Maaf sudilah memberi jalan lewat
bagi kami" katanya dengan halus. Penunggang kuda berkedok itu membungkam
tiada jawaban yang terdengar kecuali tatapan tajam dan tak berkedip, seketika
suasana menjadi beku.
Kemudian mendadak orang
berkedok itu terbahak2, gelak tawanya melengking nyaring, membuat bunga salju
yang tertimbun di atas dahan pohon sama berguguran. Kedua penunggang tadi
tertegun dengan jeri dan bingung mereka pandang orang berkedok itu. Gelak
tertawa si penunggang kuda berkedok berhenti lalu dengan nada kaku dan dingin
ia berkata " Bukankah kalian ini kedua saudara dari keluarga Hui yang
tersohor di Holam dan Hopek sebagai ciang-kiam-bu-sek (ombak dan pedang tanpa
tandingan)?" - sikap waktu berucap penuh mengandung nada ejekan dan tantangan.
Laki2 yang lebih tua itu tak
menjawab, ia termenung dan baru saja mau menjawab pertanyaan itu tiba2 laki2
yang lebih muda telah menyahut " Tajam amat pandanganmu sobat besar. Aku
inilah Koa-heng-kiam (si pedang melengkung) Hui Goan, sedang dia ini kakakku
Kou-lian-ciang (si tombak arit) Hui Yang."
Ia tertawa dingin lalu
menambahkan " Sobat, ditengah malam buta kau tunggu kedatangan kami di
sini, apakah ada sesuatu petunjuk untuk kami berdua."
"Hahaha, kudengar orang
bilang, Hui-jihiap bersifat terus terang, setelah bertemu sekarang terbukti
nyata bahwa kabar itu memang benar." Kata penunggang kuda berkedok sambil
tertawa nyaring. Begitu tertawanya berhenti segera sikapnya berubah dingin pula
meski tak nampak bagaimana muka airnya dibalik saputangan tersebut tapi dari
pancaran sinar matanya yang tajam, dapat dirasakan betapa seram dan mengerikan.
Ia berkata pula" Kalau
begitu, rasanya akupun tak perlu menahan rahasia lagi, kedatanganku kemari
tiada maksud lain kecuali ingin minta sebuah benda kalian."
"Oh, ingin minta sesuatu
barang dari kami" jengek Koan-heng-kiam Hui Goan sambil tertawa dingin.
"Hehehe, boleh saja asal sobat unjuk sedikit saja kemahiranmu. Ketahuilah
barang kami tidak sembarangan diberikan kepada orang lain dengan begitu
saja."
Jawabannya makin dan tidak
sungkan2 seolah sudah tau bahwa orang bukan saja bermaksud jelek kepadanya,
bahkan mempunyai rencana busuk tertentu.
Meski ucapannya itu bernada
keras dan tak sungkan2, namun tidak menyebabkan berkobarnya kemarahan si
penunggang kuda berkedok itu. "Bukan benda lain yang kuinginkan,"
demikian ia berkata sambil tertawa ditariknya ke atas sedikit sapu-tangannya
yang menutupi wajahnya itu, ia melanjutkan "Aku cuma ingin mendapatkan
batok kepala kalian serta mainan yang berada didalam baju kalian."
Saking gusarnya Koan-heng-kiam
Hui goan berbalik tertawa keras, suaranya nyaring menggema angkasa, dari sini
dapat diketahui tenaga dalamnya yang sempurna, bahkan sudah mencapai puncaknya.
"Hui-jihiap, persoalan
apa yang membuat kau tertawa?' tegur orang berkedok itu sambil menatap tajam
tawanya. "Huh, sudah puluhan tahun kami bersaudara dari keluarga Hui
berkecimpung di dunia persilatan tapi belum pernah ada orang berani mengucapkan
kata2 sepedas ini di hadapan kami. Sobat apa ynag kau andalkan sehingga berani
bicara takabur kepada kami? Hehehe, memangnya kau sudah bosan hidup."
Kou-lian-ciang Hui yang lebih
pendiam dan sabar tidak urung panas juga hatinya sekarang ikut membentak "
Sobat tak ada gunanya banyak bicara, lebih baik kita bereskan persoalan ini
dengan kungfu masing."
"Hahaha, bagus... bagus,
dua bersaudara keluarga Hui memang lelaki sejati, bila siaute tak memenuhi
harapanmu ini, biarlah namaku tercoret dari dunia persilatan."
Koan-heng-kiam Hui Goan
mendengus " hehehe, kalau cecunguk yang beraninya menyembunyikan muka
macam kaupun mempunyai nama, maka dunia persilatan ini tentu penuh sesak
sebangsa 'tokoh" macam kau ini."
Sinar mata yang bengis
mencorong keluar dari balik kedok orang itu tanpa mengucapkan katapun ia
menjalankan kudanya perlahan2 ke tempat yang lebih sepi dijalan. Kemudian
berpaling dan berkata " silahkan ikut ke sini! Tempat yang paling cocok
bagi persemayaman kalian".
Ucapan ini benar2 suatu ejekan
yang brutal seakan2 kedua tokoh she Hui sama sekali tiada harganya, bahkan
menganggapnya sudah tiada harapan lagi untuk menangkan pertarungan mereka
nanti.
Kedua bersaudara keluarga Hui
bukanlah manusia sembarangan, mereka sudah lama terjun ke dunia persilatan,
pengalaman cukup luas, meski gusar kedua orang itu tidak gegabah dan
sembarangan turun tangan, melihat lawan begitu yakin akan mengalahkan mereka,
jantung tanpa terasa berdetak keras.
Kedua orang itu saling
berpandangan sekejap mereka tingkatkan kewaspadaan masing2 kudapun dijalankan
perlahan mengikut di belakang musuh. Suasana sunyi senyap, masing2 tak dapat
melihat perubahan wajah lawannya, udara sangat dingin, membuat ketiga ekor kuda
itu gelisah dan mendepak2kan kakinya sambil meringkik perlahan.
Dengan suatu gerakan orang itu
memang hebat sebab siapapun tak dapat melihat jelas dengan gerakan apakah orang
itu melayang turun dari pelana kudanya, tampaknya orang itu masih duduk di
punggung kudanya, tapi dalam sekejap sudah berdiri di tanah. Tiba2
Kou-lian-ciang berkata.
"Sobat, kepandaianmu
memang hebat, selama puluhan tahun kami berkecimpung di dunia persilatan belum
pernah menjumpai orang sehebat engkau, dari sini dapat diketahui sobat pasti
jago kenamaan. Ya, kalau sobat sudah tahu tentang barang yang kami kawal
sekarang, tentunya kaupun tahu asal-usul benda tersebut, maka aku orang she Hui
sungguh berani memikul tanggung jawabnya. Bila sobat menghargai kami, sebutlah
namamu, selama gunung masih hijau dan air tetap mengalir, di kemudian hari aku
orang she Hui pasti akan membalas kebaikan sobat!"
Dari nada ucapannya dengan
jelas menunjukkan bahwa ia merasa jeri terhadap lawannya, ini bukan berarti ia
adalah seorang laki2 lemah atau pengecut, sebab siapakah di dunia ini yang
bersedia mempertaruhkan jiwanya untuk bertanding dengan seseorang tanpa alasan
yang jelas apalagi menurut peraturan dunia persilatan sebelum pertarungan
berlangsung kedua pihak harus menyebutkan namanya.
Tapi orang berkedok itu
seakan2 tidak mengerti peraturan segala, kedua kakinya berdiri dalam gaya
seperti "T" dan mirip "V", tegak dan kuat tampaknya dan tak
tergoyahkan. Sikapnya yang congkak itu seketika membuat Koan-heng-kiam Hui goan
yang dasarnya berwatak berangasan menjadi habis sabarnya, ia membentak keras:
"Toako, apa gunanya kita banyak omong dengan bangsa cecunguk macam
dia."
Dengan cepat ia loncat turun
dari kudanya lalu mengulapkan tangannya kuda itu perlahan lantas menyingkir ke
samping dan berdiri dengan tenangnya di sana, dari sini dapat ditarik
kesimpulan bahwa kuda itu sudah terlatih. Diam2 Kou-cian-liang Hui yang
menghela napas panjang, ia sadar keselamatan segenap keluarga bergantung dari
hasil pertarungan ini bila beruntung pertarungan ini dapat menang, siapa nama
lawannya saja tak diketahui, sebaliknya bila kalah, maka nyawa mereka berdua
akan terkubur di jalan raya Po-ting ini.
Peristiwa ini tidak adil, tapi
tiada pilihan lain bagi mereka, tentu saja dengan kedudukan dan nama baik
Hu-si-siang-kiat, mereka tak dapat melarikan diri dengan begitu saja, apalagi
juga belum tentu mereka bisa lolos. Akhirnya iapun turun dari kudanya, mereka
bertiga berdiri dalam posisi segi tiga masing2 siap siaga, siapapun tak berani
lengah dan gegabah.
Selama pengembaraan di dunia
persilatan, Hui yang selalu bertindak waspada dan hati2 dalam keadaan seperti
ini tentu saja ia tak mau turun tangan lebih dahulu, pula diam2 mereka berdua
telah ada sepakat, mereka takkan memperdulikan soal tata cara dan peraturan
persilatan lagi, sekali pihak lawan turun tangan serentak mereka akan
mengerubutinya bersama. Orang berkedok itu mengerling sekejap, lalu tertawa
dingin ujarnya: "Kukira lebih baik kalian maju bersama saja daripada aku
repot menyelesaikan kalian satu demi satu."
"Tentu saja kami maju
bersama" sahut Koan-heng-Kiam Hui goan sambil tertawa dingin: "Kami
tak akan bicara soal peraturan persilatan dengan kaum cecunguk macam kau, sebab
kau tak pantas untuk itu"
" Hahaha! Bagus! Bagus!
Aku memang tak pantas" seru orang itu sambil tertawa latah berbareng ia
melayang maju dan menyerang Hui Goan. Dengan cekatan Hui Goan menyingkir ke samping,
siapa tahu mendadak orang berkedok itu memutar tubuh dan berganti arah sekarang
yang diserang adalah Hui Yang. Kecepatan dan kegesitannya sangat mengagumkan
dari sini dapat dinilai tinggi-rendahnya kungfu seseorang.
Hui Yang tak malu sebagai
jagoan terkemuka daerah utara, ia mengegos ke samping dengan gerakan To cay jit
seng poh (ilmu langkah tujuh bintang) enteng seperti mega melayang diangkasa ia
bergerak ke samping sekali berputar tahu2 tombak berkepala sabit sudah dilolos
keluar. Dalam keadaan itu, Hui Goan juga telah meloloskan senjata andalannya
cahaya tajam berkilau ia tebas punggung orang berkedok itu dengan jurus Lek pi
hoa gak (menggugur bukit Hoa).
Orang berkedok itu tertawa
dingin dia menggeser dengan cepat, tebasan Hui Goan mengenai tempat kosong,
berbareng jari orang itupun balas menutuk satu dua gerakan sungguh lihai dan
mengejutkan. Hui Yang mengangkat tombaknya dan diputar, mendadak ia menusuk
Siau yau Hiat di bawah pinggang lawannya. Diam2 orang berkedok itu mengangguk
memuji ketangkasan Hui Yang.
Ia tak berani memandang enteng
musuhnya lagi sambil berpekik nyaring telapak tangannya bergerak, sebentar
menyerang dengan telapak tangan sebentar lagi serangan kepalan dan berubah pula
serangan cengkeraman dari Lo han kun Siaulimpay berubah menjadi Kim na jitu
Hoat (Ilmu cengkeraman) dan Gong jiu ji pek jim (merebut senjata dengan tangan
kosong) dari Bu-tong serta pukulan Sin ho ciang dari Go-bi-pay serentak
dimainkan dengan gencarnya.
Beberapa jurus serangan itu
memang sering terlihat di dunia persilatan, akan tetapi belum pernah ada orang
yang mampu mainkan gabungan beberapa macam jurus serangan tersebut. Tapi
sekarang bukan saja orang berkedok itu dapat melebur beberapa macam kungfu itu
menjadi satu, bahkan dikombinasikan secara jitu dan hebat. Hal ini membuat Hui
bersaudara terkejut, mereka bukannya menarik keuntungan tapi mereka merasa
kewalahan.
Angin serangan menderu2 tiap
pukulan orang berkedok itu sama tertuju pada bagian2 tubuh yang mematikan,
bukan saja ketepatannya mengarah Hiat to dalam kegelapan sangat mengagumkan
malah ketepatan menggunakan peluang serta luasnya pengalaman menghadapi
serangan musuh boleh dibilang sangat mengagumkan.
"Siapa gerangan orang
ini? Kenapa tak pernah dengar di dunia persilatan terdapat orang jagoan begini
hebat" demikian pikir Hui Yang. Padahal Hui Yang cukup tersohor namanya.
Pergaulannya sangat luas dan sahabatnya di dunia persilatan amat banyak. Boleh
dibilang sebagian besar tokoh terkenal pada jaman ini dikenalnya namun sebab
itulah puluhan tahun mereka mengusahakan perusahaan ekspedisi "Hengte Piau
Kiok" tak sekalipun mengalami kegagalan. Tapi sekarang, kendati Hui Yang
telah peras otak tak dapat menebak asal usul orang berkedok ini.
Bila ditinjau dari logat
bicaranya mestinya orang ini berasal dari wilayah Hopak, akan tetapi bila
ditilik dari gerak tubuhnya, ternyata ia menggunakan beberapa macam kungfu khas
dari beberapa perguruan ternama. Walaupun diam2 mereka masih berusaha meraba
identitas lawannya, namun gerakan mereka tidak menjadi kendur, tapi meski
mereka telah bekerja sama dan menyerang dengan sepenuh tenaga, tatap juga tidak
berhasil dapat menahan serangan musuh. Padahal dari usia dan kungfu orang
seharusnya sudah lama namanya termasyhur di dunia persilatan. Tap Hui
bersaudara toh tetap tak dapat mengetahui siapa dia ini benar2 sangat aneh.
Malam semakin kelam angin
kembali berhembus, bunga salju berhamburan ketiga ekor itu menggigil
kedinginan, namun tidak menyingkir pergi. Ketika bunga salju berjatuhan di
sekitar arena pertarungan terdampar oleh tenaga serangan mereka bunga salju
bertebaran lebih jauh. Hui Goan dengan senjata yang panjangnya tak sampai tiga
kaki itu menyerang dengan gencar kebagian yang mematikan.
"Satu inci lebih pendek
satu inci lebih berbahaya" demikian menurut ajaran kitab perang mengenai
senjata. Apalagi pada waktu itu Hui Goan diliputi kegusaran yang memuncak
hampir semua serangan yang digunakan adalah jurus2 adu jiwa. Meski orang
berkedok itu sudah di atas angin namun dalam waktu singkat ia pun tak mampu melukai
lawannya, ia mulai gelisah dan tak sabar mendadak ia bersiul nyaring dan
melambung ke atas.
Selagi Hui bersaudara terkejut
orang itu sudah ganti posisinya di udara, dengan kepala di bawah dan kakinya di
atas, kedua telapak tangannya membawa deru angin pukulan yang dahsyat segera
menebas batok kepala Hui Goan. Digunakan jurus serangan ini serta merta membuat
Hui Goan kaget: "Oh rupanya kau." Cepat Hui Goan angkat senjatanya
menusuk dari bawah ke atas dengan jurus Pah Ong ki teng (raja lalim mengangkat
wajan) berbareng tubuhnya berputar cepat ke samping. Siapa tahu orang itu
mendadak menekuk pinggang sambil melambung beberapa kaki lebih ke atas, kaki
kirinya mendepak ke bawah dan tepat mengenai punggung Hui Yang.
Perubahan serangan ini sama
sekali di luar dugaan, betapa dahsyatnya tenaga injaknya tersebut Hui Yang
menjerit sebelum darah tumpah keluar nyawanya sudah keburu melayang. Sementara
orang-orang berkedok itu telah melayang turun dengan gerakan yang indah. Merah
membara Hui Goan teriaknya: "Ada permusuhan antara kami denganmu! Mengapa
kau turun tangan sekeji ini?' seperti benteng ketaton ia terjang mush dengan
kalap. Orang berkedok itu tertawa dingin salah seorang lawan sudah binasa,
kemenangannya sudah jelas di tangannya kendatipun Hui Goan menyerang dengan
kalap namun dengan kungfu lebih setingkat ia dapat patahkan setiap serangan itu
dengan mudah.
Bertempur dengan secara kalap
seperti Hui Goan itu jelas sangat makan tenaga, tidak sampai belasan gebrak,
napasnya mulai tersengal dan tenagapun melemah. Orang itu berdiri dengan
tenangnya tiba rentangkan tangannya hingga terbukalah bagian dadanya bila Hui
Goan berkepala dingin pasti akan curiga mengapa tiba2 pihak lawan membuka
kesempatan baginya. Sayang benak Hui Goan sedang dipenuhi perasaan dendam, ia
tak sempat berpikir sampai di situ begitu dada musuh terbuka, segera ia
menyerang dan menusuk dada lawan. Sambil tertawa terbahak2 orang itu tarik
napas panjang sehingga dadanya menyurut beberapa inci ke dalam dengan
kesempurnaan tenaga dalamnya ini mak tusukan pedang Hui Goan tak dapat mencapai
sasaran.
Begitu serangan mengenai
tempat kosong semangat jago berpengalaman Hui Goan sadar gelagat tak
menguntungkan cepat ia melejit ke belakang tapi pada saat itu orang berkedok
itu mendadak maju ia tak memberi kesempatan baik pihak lawan kedua telapak
tangannya terangkat lurus dan menghantam kedua bahu Hui Goan. "Duk,
Duk" dengan pukulan yang maha dahsyat itu seketika tulang pundak Hui Goan
hancur lalu menjerit kedua kakinya terpaku setengah meter kedalam permukaan
salju tentu saja jiwanya melayang ke akhirat.
Salju masih turun dengan
hebatnya, suasana sunyi kembali, permukaan salju yang putih terkapar sosok
mayat Hui bersaudara. Kedua ekor kuda mereka yang berada di samping sana
meringkik panjang dan lari pergi seakan2 tahu bahwa majikannya telah tiada,
mungkin juga karena tak tahan oleh hawa dingin. Lama sekali orang berkedok itu
berdiri, tegak di situ sinar matanya mencorong tajam akhirnya ia menghampiri
jenazah Hui Yang, perlahan ia menggeledah bajunya, namun tiada sesuatu yang
didapatnya kemudian menggeledah pula baju Hui Goan tiba2 ia kegirangan ia
mengambil sebuah benda dari saku mayat itu dan disimpannya dengan hati2 ke
dalam baju sendiri. Kemudian ia bersihkan bunga salju di tubuhnya, sekali lagi ia
memeriksa sekitarnya tempat itu, setelah yakin tak ada seorangpun ia mencemplak
ke atas kuda dan berlalu dari sana.
Hui Siang kiat telah mati,
"Pek Giok ciam cu" (katak kemala hijau) pusaka yang mereka bawa ikut
lenyap, berita itu dengan cepatnya tersiar ke dunia persilatan. Tapi siapakah
pembunuh kedua orang gagah dari keluarga Hui itu? Tak seorangpun yang tahu.
Hati orang mulai tak tenang
setiap orang persilatan merasa kuatir dan gelisah sebab mereka cukup tahu
sampai dimanakah kelihayan kedua orang bersaudara dari keluarga Hui, tapi
sekarang pembunuh tersebut dapat membinasakan kedua jago terkenal di daerah
Holam dan Hopak ini, bisa dibayangkan sampai dimana kesaktian di pembunuh.
Sejak itulah tiap perusahaan Piaukiok mulai meningkatkan kewaspadaannya tapi
oleh karena persaingan usaha pengawalan barang di masa itu siapapun tak sudi
melakukan kerja-sama dengan perusahaan yang lain, mereka sudi membagi kekuatan
mereka bagi kepentingan Piaukiok.
Tak sampai tiga empat bulan
tujuh belas Cong-piauthau (pemimpin umum) dari enam belas orang perusahaan
Piaukiok di kedua propinsi itu ada tiga orang diantaranya telah tewas menjadi
korban orang berkedok yang misterius itu. Diantara tiga belas orang tokoh
persilatan itu ada yang terbunuh ditengah jalan ketika sedang mengawal barang,
ada pula yang mati dirumah, lebih dulu mereka dipancing keluar rumah
kediamannya lalu dibunuh secara keji.
Selama beraksi, orang berkedok
itu selalu kerja sendirian tidak membawa pembantu juga tidak membawa senjata,
tapi tak seorangpun yang dapat lolos dari cengkeramannya dalam keadaan hidup.
Sejak itulah bukan saja dunia persilatan di daerah Holam dan Hopak dibikin
gempar, bahkan seluruh daratan Tionggoan ikut merasakan gelombang pergolakan
itu. Setiap umat persilatan mulai menebak dan menduga2 asal-usul orang berkedok
itu tapi saying tak seorangpun diantara yang hidup di dunia sempat melihat
wajah asli orang misterius ini.
Dengan tewasnya Cong-piathau
perusahaan ekspedisipun bagaikan naga kehilangan kepala, tentu saja tak
seorangpun berani bertanggung jawab otomatis perusahaan tutup. Dari empat
Piaukiok yang masih tersisa, kedua Cong-piautau dari Hong Wan piaukiok yang
berada di wilayah Hopak yakni Pat Kwa to (Golok Pat Kwa) Li Piau dan Gin Piam (
Ruyung Perak) Suto Beng karena sudah lanjut usia dan lagi kungfunya rendah,
lekas2 menyatakan cuci tangan dan tidak melakukan pekerjaan itu lagi, dengan
memboyong sanak keluarganya mereka mengasingkan diri.
Maka di wilayah Hopak dan
Holam yang begitu luas kini tinggal dua perusahaan besar saja yang masih
beroperasi yang satu adalah Hiong hong Piaukiok yang berkedudukan di Holam
sedangkan yang lain Hui liong Piaukiok yang berdomisili di Hopak. Cong Piautau
dari Hiong hong Piaukiok Tiong ciu it kiam (pedang sakti dari Tiong ciu) Auw
Yang Pengci usianya mendekati tujuh puluhan ibarat jahe, makin tua semakin
pedas, ilmu pedangnya dari Tiam Cong Pay yang dipelajarinya selama berpuluh
tahun jadi semakin lihay.
Walaupun pada saat itu suasana
bagi perusahaan pengawalan terancam bahaya, namun kakek berwatak keras ini
justru sesumbar ingin beradu kepandaian dengan manusia berkedok itu. Cong
piautau dari Hui Liong Piaukiok lebih ternama lagi ketika pertama kali terjun
di dunia Kangouw, Liong Heng pat ciang (delapan jurus telapak tangan gaya naga)
Tham Beng baru berumur likuran tapi telapak tangannya telah menjagoi dunia
persilatan.
Meski kungfunya lihay, ia tak
pernah menyusahkan orang, setiap pertarungan selalu diakhiri dengan seri saja,
namun setiap orang persilatan cukup tajam pandangannya dan dapat menilai tentu
saja rasa kagum mereka terhadap jago muda inipun makin besar, selama puluhan
tahun Liong Heng pat ciang Tham Beng selalu dianggap sebagai tokoh yang paling
menonjol di daerah Holam dari Hopak.
Walaupun begitu orang
persilatan te tap tak tahu sampai tarap bagaimanakah kungfu tokoh ini bahkan
Tiong ciu it kiam dengan wataknya yang enggan tunduk kepada siapapun segera
akan mengacungkan jempolnya bila menyinggung tentang Tham Beng. Sejak tiga
belas perusahaan Ekspedisi di wilayah Holam dan Hopak tertimpa musibah, Liong
heng ciang lantas menampilkan diri dan melakukan suatu tindakan yang mulia dan
bijaksana ia telah mengumpulkan anak2 piatu keturunan dari tiga belas
Congpiatau yang tewas itu dan memelihara mereka di rumahnya.
Perlu diketahui jago persilatan
itu orang2 yang royal dan suka menolong kaum lemah dengan harta mereka, uang
yang didapatkan tiap harinya seringkali lantas ludes pula setelah berada
ditangan. Dalam keadaan begitu sudah tentu mereka tak punya tabungan apalagi
harta peninggalan. Dengan sendirinya kehidupan anak yatim yang masih kecil
betul2 patut dikasihani. Dengan demikian tindakan Liong Heng Pat Ciang Tham
Beng itu boleh dibilang suatu tindakan yang sangat mulia serta merta semua jago
persilatan yang berada di kedua propinsi it tambah kagum dan tunduk padanya.
Meski begitu, Liong heng Pat
ciang tak pernah menampilkan rasa sombong atau tinggi, selama tiga bulan
terakhir seringkali ia jatuh sakit dan tak banyak melakukan pekerjaannya,
terhadap keganasan manusia berkedok yang misterius itu iapun tak pernah memberi
komentar apa2. tiap kali ada orang menyinggung tentang masalah itu ia hanya
tersenyum saja tanpa bicara.
Maka semua orang semakin
menaruh kepercayaan terhadap kelihaian ilmu silatnya. Semua orang berharap agar
ia dapat menumpas orang berkedok itu. Disinilah keuntungan bagi mereka yang
pendiam sebab tidak berbicara justeru sering memberikan hasil yang lebih besar
daripada banyak bicara.
Musim dingin telah lalu, musim
panas telah tiba kota Peking telah pulih kembali dengan kehidupan yang biasa,
warung the di depan pintu gerbang tiba2 kedatangan dua orang. Begitu dua orang
itu masuk ke dalam warung the, sembilan dari sepuluh orang yang berada di situ
segera berbangkit dan beri hormat. Salah seorang kedua orang itu berusia 70-an
tapi mukanya kelihatan segar dan merah membawa dua bola baja hingga berbunyi
tiada hentinya langkahnya lebar dan tangkas.
Yang lebih muda berusia 30-an
mata tajam, hidung elang, mulut lebar tampang kereng. Orang inilah dihormati
tetamu di warung the tersebut. Mereka tak kenal asal usul orang muda ini lalu
dalam hati bertanya: "Siapa gerangan orang". Akan tetapi setelah
menyaksikan kegagahan dan wibawa terpancar dari orang tersebut diam2 mereka
merasa kagum.
Kakek itu memilih tempat duduk
dekat jendela, sambil duduk ia berkata kepada laki-laki kekar dan lebih muda
itu: "Kota Peking memang serba menarik, manusianya ramah pemandangan
indah. Hari ini aku si tua betul2 merasa terbuka matanya."
Suara kakek itu nyaring
seperti genta dengan logat Kui Ciu. Mendengar ucapan tersebut laki2 muda sambil
tersenyum menjawab: "Auyang Locianpwe beristirahat dulu nanti Wanpwe
menemani engkau berpesiar lagi ke tempat lain."
"Hahaha, Tham Lote,
jangan sebut aku, Locianpwe bisa jadi aku si tua akan mati kaku." - meski
di luar berkata begitu tak urung dia gembira juga mendengarnya. Laki2 muda itu
kembali tersenyum: "Wanpwe sangat menyesal harus merepotkan locianpwe
dating kemari dari tempat jauh, sepantasnya Wanpwe yang harus berkunjung
padamu..."
"Apa salahnya aku datang kemari
lebih dulu. Aku kan bisa sekalian pesiar kemari? Meskipun selama beberapa bulan
ini keparat itu telah mengacau-balaukan wilayah ini, sebenarnya tidak perlu ku
datang ke sini jauh2 dari Holam."
Semua tamu dalam warung teh
itu sama pasang telinga mendengarkan pembicaraan itu, bagi mereka yang tahu
seluk beluk dunia persilatan segera dapat menebak bahwa kakek itu adalah Cong
piautau dari Holam Tiong ciu it kiam Auyang Pengci adanya.
"Tapi dia kan jago di
wilayah Holam? Kenapa logatnya seperti orang Kui ciu?" demikian pikir
mereka dengan keheranan " Jangan2 bukan dia." Padahal kakek itu
memang betul si pedang sakti dari Tiong Ciu Auyang Pengci sejak kecil ia memang
hidup di wilayah Hun-lam, kemudian belajar di perguruan Tiam Cong setelah
dewasa baru pindah ke wilayah Holam, otomatis logat bicaranya masih berbau
tempat asalnya. Dan siapa laki2 muda yang lain? Dia adalah Liong Heng Pat Ciang
Tham Beng yang termasyhur itu.
Adapun kedatangan Auyang
pengci ke kotaraja ini adalah untuk mengajak Tham Beng bersama2 membicarakan
tindakan pencegahan terhadap keganasan manusia berkedok misterius itu, hanya
karena wataknya meski demikian tujuannya, ia tak mau mengakui begitu saja
malahan ngotot mengatakan ingin pesiar saja. Kedua orang sudah lama kenal nama,
Liong heng pat ciang sebagai tuan rumah segera menemani Auyang Peng-ci yang
sudah tua itu pesiar ke tempat2 terkenal di kotaraja itu.
Auyang Peng ci memang luar
biasa meski sudah berpesiar dua hari ia masih belum puas.
Tapi pada malam hari kedua
orang berkedok yang misterius telah berkunjung ke Hui-liong-piau-kiok.
Bagaimanapun juga Auyang
Pengci sudah tua setelah berpesiar siang harinya malam itu pula ia tertidur
pulas. Meski begitu sebagai seorang jago kawakan yang sudah berpengalaman,
tentu saja ia berbeda jauh dengan manusia biasa, ketika di atap rumah terdengar
suara langkah kaki pejalan malam seketika ia bangun.
Dengan suatu gerakan cepat ia
mengenakan pakaian, latihannya selama puluhan tahun membuat ia dapat
menyelesaikan persiapan dalam waktu yang singkat lalu diam2 ia membuka jendela.
Meski heran dan tak tahu jago dari manakah yang begitu berani mencari gara2 ke
Hui liong Piaukiok akan tetapi dengan wataknya yang keras kakek itu tak mau
berpeluk tangan setelah mengetahui kejadian tersebut. Dengan kegesitan seperti
seekor kucing, ia melompat keluar jendela dan menengok sekeliling tempat itu,
benar juga sesosok bayangan ditemukan berada di atas atap tembok.
Ia tidak membawa pedangnya
disinilah letak ketelitiannya seorang jago tersohor selama puluhan tahun sudah
tentu setiap tindak tanduk sangat cermat. Segera ia merayap ke atap rumah,
didengarnya Ya Heng Jin (orang berjalan malam) itu mendengus lalu dengan
kecepatan luar biasa melayang ke belakang rumah. Tanpa berpikir panjang kakek
itu mengejar sambil berlari diam2 ia menertawai Tham Beng pikirnya:
"Bagaimanapun bocah itu masih muda, masa tidur seperti babi mampus, sampai
ada orang berkunjung saja tak diketahuinya."
Halaman itu tetap dalam
kesunyian, selang beberapa waktu seorang anak laki2 berlari keluar dan kencing
di sudut pekarangan ketika secara tiba2 ia melihat kelebatan bayangan manusia
ia terperanjat sehingga air kencingnya hampir tercecer di celananya. Tapi bocah
itu punya nyali lebih besar dari anak biasa tanpa menimbulkan suara dia
bersembunyi di sudut tembok, dilihatnya sesosok bayangan dengan kecepatan luar
biasa menyelinap masuk ke dalam rumah. Meski bocah itu belum dewasa tapi cerdas
dan punya daya tangkap yang tajam, apalagi sejak sudah belajar silat, hanya
tidak mendapat didikan dari guru yang pandai, kelebatan bayangan itu seperti
Tham Beng.
"Aneh, kenapa malam2
begini paman Tham Beng baru pulang?" demikian dia berpikir dengan
keheranan. Tapi bayangan tadi dengan melayang keluar rumah lagi ke atas atap
rumah, kecepatannya luar biasa sehingga tak terlihat jelas siapa dia? Bocah itu
mulai sangsi dengan pendapatnya semula, ia berpikir: "Ah, mungkin orang
itu bukan paman Tham Beng, kalau dia, kenapa baru pulang lantas pergi
lagi?"
Anak itu kebelet kencing, maka
tengah malam terjaga bangun, rasa mengantuk membuat matanya jadi sepat, bocah
itu tak berpikir panjang lagi, ia kembali ke kamarnya dan tidur pula. Keesokan
harinya ketika fajar baru menyingsing, kota Peking telah dibuat gempar oleh
peristiwa besar.
Kiranya si Pedang dari Tiong
Ciu Auyang Pengci yang datang dari Holam telah ditemukan tewas di luar kota,
tulang iganya terhajar telak hingga dadanya remuk. Walaupun kakek itu tewas
namun dengan kesaktiannya menjelang kematiannya ia berhasil pula melenyapkan
bencana bagi dunia persilatan ternyata lawannya juga berhasil dihantam batok
kepalanya hingga hancur dan tewas. Musuh lihay ini tak lain adalah manusia
berkedok misterius itu.
Ini dapat dilihat dari
dandanannya serta potongan tubuhnya, meski mukanya sudah hancur tak keruan tapi
masih dapat dilihat bahwa dia inilah orang berkedok itu, sayang raut wajahnya
hancur dan sukar dikenal identitasnya. Manusia berkedok itu sudah tewas, namun
asal usulnya tetap merupakan teka teki bagi umat persilatan, selamanya tak
seorangpun yang tahu siapa gerangan orang tersebut. Tewasnya Tiong ciu it kiam
membuat Tham Beng amat menyesal dan tiada habisnya menyalahkan dirinya sendiri.
Ia telah melakukan upacara penguburan yang megah bagi kakek dan orang dari
berbagai tokoh dunia persilatan ikut juga menghadirinya. Selama hidupnya Tiong
ciu it kiam membujang tak punya anak cucu maka Tham Beng memakai pakaian
berkabung sebagai puteranya.
Meski Auyang Pengci telah mati
tapi nama besarnya lebih besar sebelum dia hidup dulu serta keluhuran budi dan
kebesarannya mendapat pujian dari orang banyak. Dengan demikian kedudukan Liong
heng patciang Tham Beng meningkat tinggi di dunia persilatan usaha
pengawalannya terbentang luas dari wilayah utara sampai ke selatan tidak ada
orang yang berani mengganggu. Bahkan jika terjadi pertikaian di dunia
persilatan begitu datang Hui Liong atau panji naga terbang maka persoalan akan
terselesaikan. Begitu jadi di dunia persilatan di wilayah Holam dan Hopak ada
14 orang yang menjadi korban keganasan orang berkedok misterius itu. Ke 14 orang
itu semuanya pemimpin Piaukiok, orang berkedok itu seolah2 cuma memusuhi orang
Piaukiok saja, sebab orang di luar Piaukiok tiada yang diganggu.
Anak2 keturunan para Piauthau
yang tewas baik laki2 atau perempuan dipelihara oleh Liong heng pat ciang Tham
Beng bukan saja dijamin hidupnya bahkan diberi pelajaran silat. Kebesaran jiwa
dan kesetiaan kawan yang diperlihatkan Tham Beng ini semakin mendapat pujian
pelbagai lapisan masyarakat.
Waktu berlalu dengan cepatnya,
beberapa tahun sudah lewat tanpa terasa. Peristiwa besar yang terjadi beberapa
tahun yang lalu itu dilupakan orang. Manusia berkedok yang misterius dan ganas
itupun telah tewas dan tak pernah disinggung orang lagi. Bahkan Tiong ciu it
kiam yang pernah termashur itu mulai dilupakan orang. Hanya seorang saja yang
bintangnya makin cemerlang, kedudukannya makin lama makin tinggi dan terhormat,
dialah Liong heng pat ciang Tham Beng.
Ibarat surya bercahaya di
tengah langit bukan saja Hui liong Piaukiok telah menguasai seluruh wilayah
Hopak dan Holam bahkan sampai ke daerah kanglam, di Say Gwa diluar tempat
besarpun terdapat kantor2 cabang. Belum ada di dunia persilatan terdapat
perusahaan pengawalan barang tersohor dan kuat yang tersebar luas seperti Hui
liong piaukiok.
Tham Beng sendiri jarang keluar
mengawal barang sebag pekerjaan tersebut tak perlu penampilannya lagi, maka
sepanjang hari dia hanya menganggur hidup senang. Sementara itu anak keturunan
para piautau yang dibunuh manusia berkedok dahulu telah meningkat dewasa, yang
paling kecilpun berusia tiga belas tahun, kadangkala bial ada waktu senggang
Tham Beng suka mengajarkan ilmu silatnya kepada mereka.
Ketika itu putri tunggal Tham
Beng sendiri sudah berusia lima belas tahun, Tham Beng sudah berusia setengah
baya, terhadap segala macam kejadian dunia persilatan tampaknya sudah tidak
terlalu menarik, meski begitu bial di dunia persilatan terjadi pertikaian yang
tak dapat diselesaikan dari jauh orangpun masih berdatangan untuk memohon
bantuannya.
Dari angkatan muda dunia
persilatan juga muncul jago2 lihay yang tidak sedikit, tapi bicara soal ilmu
silat dan nama besar tak seorangpun dapat menandingi Tham Beng. Sementara
keturunan para piautau yang terbunuh dulu entah disebabkan bakat mereka yang
jelek atau mereka yang berhasil menguasai sepersepuluh bagian kepandaian Tham
Beng yang pernah diajarkan kepada mereka.
Musim semi kembali tiba, tahun
ini adalah musim semi ke enam sejak kematian Tiong ciu it kiam. Fajar baru
menyingsing tapi pagi2 sekali dalam kompleks sudah ada orang berlatih silat di
lapangan kompleks perumahan Hui Liong Piaukiok. Orang2 itu adalah seorang anak
muda yang berusia 15-16 tahunan, alis matanya panjang lentik, matanya bersinar
tajam, walaupun perawakannya tidak tinggi tapi pertumbuhannya boleh dibilang
normal sekilas pandang pemuda itu boleh diberi predikat "tampan".
Pemuda itu berdiri dengan
kuda2 yang kuat, baik pukulan maupun tendangannya semuanya dapat dilakukan
dengan penggunaan tenaga yang tepat, permainan jurus pukulan pun tidak kacau
Cuma sayang serangkaian ilmu pukulan itu hanya Tay ang kun yang sangat umum di
dunia persilatan.
Jurus pukulan Tay ang kun ini
kaku dan lamban, hanya boleh digunakan sebagai senam utk menyehatkan badan,
namun tak bisa dipakai untuk membela diri, apalagi untuk menyerang musuh,
kendati begitu anak muda itu tetap berlatih dengan tekun dan bersungguh2.
ketika serangkaian pukulan itu selesai dilatih, peluh membasahi jidatnya dari
sini semakin jelas terlihat bahwa bocah itu sama sekali tidak memiliki dasar
tenaga dalam.
Ia tarik napas beberapa kali
lalu berjalan perlahan mengitari tembok perkarangan, meskipun wajahnya
mencerminkan kecerdikan otaknya tapi tampak sayu dan murung. Pemuda itu tak
adalah putera tunggal Kou lian ciang Hui Yang, salah seorang Ciang kiam sian
kiat yang mati terbunuh oleh orang berkedok. Anak ini bernama Hui Giok, selama
beberapa tahun belakangan ini setiap hari dia selalu berlatih silat dengan
tekun dan rajin, akan tetapi walaupun ia berlatih sedemikian giatnya,
hakikatnya tiada kemajuan apapun yang berhasil dicapainya jangankan lawan
tangguh seorang pesuruh Hui Liong Piaukiok saja tak dapat dikalahkannya.
Anak ini menjadi putus asa,
diam2 ia benci kebodohannya sendiri, tiap kali Tham Beng memberi pelajaran dia
selalu memperhatikan dengan seksama dan melatihnya dengan bersungguh2 tapi
hasilnya tetap nihil. Seringkali Tham Beng mengatakan mereka terlalu bodoh,
bila berlatih cara begitu, sampai tuapun takkan berhasil. Sejak itu ia mulai
merasa sangsi mulai curiga jangan2 paman Tham Beng tidak bersungguh2 mengajarkan
ilmunya namun sikap Tham Beng terhadap mereka selama ini ramah dan baik apapun
ia tidak berani menaruh curiga lebih jauh terhadap tuan penolong itu.
Ada sesuatu yang aneh, yakni
setiap kali para Piausu berlatih, Tham Beng selalu melarang mereka menonton,
alasannya kuatir mengacaukan pikiran mereka. Hui Giok berwatak keras, ia tak
mau melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki orang lain, tapi ilmu silat
menimbulkan daya pikat yang terlalu besar baginya sebab itulah tiap hari ia
murung dan kesal lama kelamaan melenyapkan kecerdikannya serta kelincahannya.
Tiap pagi sebelum fajar
menyingsing ia selalu bangun untuk berlatih silat, sebenarnya ada sembilan anak
yang berada bersama dia, mereka semuanya adalah keturunan para piautau yang
terbunuh dahulu tapi Tham Beng memisahkan mereka, ada yang dikirim ke wilayah
Holam ada ang dikirim ke Kanglam katanya mereka akan digembleng di sana hanya
Hui Giok dan seorang anak perempuan terkecil saja yang tetap berdiam dikompleks
perusahaan di dalam kota Peking. Anak perempuan itu bernama Wan Lu Tin
keturunan Toan Hun Piau (Piau pemutus nyawa) Wan it Liang meski usianya masih
kecil, tapi sangat pintar sepasang matanya yang besar berkilat2 kesana kemari
seakan2 dapat melihat isi pikiranmu.
Hui Giok sangat menyukainya
sering kali mereka berjalan dan keluar rumah kompleks perumahan bila pikiran
kesal. Ia pun sering mengajak dia bercakap2 padahal usia mereka masih muda
untuk murung sebenarnya masih terlampau pagi. Isteri Hui Yang menghembuskan
napas terakhirnya ketika melahirkan Hui Giok sejak kecil bocah itu sebatang
kara dan sekarangpun mondok di rumah orang lain, dasar jiwanya angkuh dan
tinggi hati, dia ingin sekali bisa hidup berdikari.
Tapi ia tidak mempunyai
kemahiran apa2 sama sekali tak tahu cara bagaimana hidup berdikari apalagi
seringkali Tham Beng menghiburnya dan suruh dia tinggal saja baik2 di rumahnya.
Masih ada satu hal yang merupakan rahasia dirinya, rahasia ini berhubungan
dengan Tham Ben putri kesayangan Tham beng tapi rahasia ini selalu dipendamnya
dilubuk hati bahkan sering ia berusaha mengendalikan diri agar tidak
memikirkannya, tapi jiwa manusia memang aneh, sesuatu yang makin ditekan makin
mudah pula meledak.
Ia mengitari tembok pekarangan
hari telah terang dan akhirnya ia berhenti, dengan termangu2 ditatapnya sang
surya yang baru mengintip di ufuk timur, entah apa yang sedang dipikirnya pada
saat itu? Tiba2 meluncur sebiji batu dan telak mengenai kepalanya dengan
terkejut anak muda itu berpaling, tertampak seorang anak dara dengan baju
sutera warna ungu berdiri sambil bersandar di rak senjata dan lagi tersenyum
geli ke arahnya.
Tenaga sambitan batu itu tidak
terlampau keras, namun membuat kepalanya kesakitan. "Pantas ayah bilang
kau ini bodoh" demikian anak dara itu berseru sambil tersenyum " Coba
lihat sekian lama belajar kungfu tapi kenyataannya kau sama sekali tak
merasakan ada orang yang menyergapmu dari belakang, untung Cuma batu, coba
kalau Am gi (senjata rahasia) niscaya kepalamu akan berbunga." Nona cantik
ini adalah puteri kesayangan Tham beng bukan saja rupawan suaranya merdu dan
senyumnya laksana sekuntum bunga yang sedang mekar apalagi lesung pipitnya
membuat nona itu semakin cantik.
Hui Giok tertawa, sudah
terlampau sering mendengar ucapan semacam itu dan lama kelamaan kata2 semacam
itu jadi terbiasa baginya, setiap orang yang berada dalam Hui Liong Piaukiok
mengatakan ia bodoh dan ia sendiripun mulai merasa bahwa dirinya memang bodoh,
karenanya ia jarang berbicara sebab ia tahu bila banyak bicara ia akan semakin
bodoh.
Dengan langkah yang lemah
gemulai Tham Bun-ki menghampiri anak muda itu, kedua matanya yang besar
berkedip, lalu tegurnya:
"Sudah selesai berlatih
ilmu pukulan itu?"
Hui Giok mengangguk.
"Ah, kau ini sungguh
menjengkelkan" omel Tham Bun ki sambil men-depak2an kakinya ke tanah. "orang
berbicara dengan kau, selalu sikapmu seperti orang bisu!"
Hui Giok tetap membungkam, ini
menyebabkan nona itu makin dongkol, binirnya dicibirkan tinggi2 dan
omelnyalagi: "Hm, aku tahu, aku tak pantas berbicara dengan kau, hanya
adik Wan seorang yang cocok bercakap denganmu, begitu bukan? Baik !" - ia
mendepakkan lagi kakinya ke tanah, lalu serunya sambil putar badan:
"Selanjutnya tak perlu kau gubris diriku!"
Aneh sekali perubahan muka Hui
Giok seakan2 berusaha mengendalikan perasaannya ketika Tham Bun ki pergi lagi
beberapa langkah dan berpaling sambil melirik hatinya bergerak cepat serunya;
"Adik Ki...." Kata2 seterusnya tak dilanjutkan, hanya hatinya terasa
manis dan hangat. Tham Bun ki tertawa sambil berhenti serunya: "Ah, kau
ini memang menjemukan! Siapa suruh kau menggubris aku lagi?"
Diam2 Hui Giok menghela napas
dan berpikir: "Ai, apa yang harus kulakukan sekarang?"
Hui Giok masih muda,
pandangannya masih samar2 tentang cinta, belum jelas apa yang diartikan cinta
itu. Setiap kali bila tak bertemu dengan Tham Bun-ki, ia berharap bisa
menjumpainya, tapi bila sudah bertemu, ia ingin cepat berlalu, karena se-akan2
merasa dirinya tidak pantas mendampingi nona cantik itu.
Tentu saja Tham Bun-ki tidak
tahu perasaan Hui Giok yang serba bertentangan itu, ia sudah terlalu biasa
dimanja, meski lahirnya ia mencemooh pemuda itu bodoh, tidaklah demikian dalam
hatinya, nona itu merasa amat gembira bila berada bersamanya, tapi watak anak
muda itu aneh sekali, sebentar panas sebentar dingin, watak semacam ini membuat
Bun-ki bingung dan tak habis mengerti, ia tak tahu apa sebabnya pemuda yang
diam2 dicintainya itu bersikap demikian?
Setiap kali bila dilihatnya
Hui Giok bermain atau bergurau dengan Wan Lu Tin, Bun Ki lantas keki dan
cemburu maka bila berjumpa lagi pada kesempatan lain ia pasti mengusiknya
sampai Hui Giok marah, namun bila pemuda itu benar2 marah lalu lantas ia
menyesal. Begitulah Hui Giok berdiri tak bergerak dari tempat tadi, sinar
matahari yang baru terbit menyinari wajahnya hingga kedua pipinya menjadi
merah.
Tham Bun Ki berjalan mondar
mandir di depannya tiba2 ia mengeluarkan sebuah benda dan dilemparkan ke atas,
di bawah cahaya sang surya benda itu tampak berkilat, kiranya adalah sebuah
kiancu, permainan yang terbuat dari bulu ayam. Diam2 Hui Giok mengeluh sembari
memandangi "kiancu" yang dilontarkan dari bulu ayam.
"Hayo, siapa yang mau
bermain kiancu dengan aku?' demikian Bun Ki berseru. Hui Giok tak berani
menjawab, Tham Bun Ki menjadi mendongkol sambil membawa mainan itu dia berlari
kedepan Hui giok dan berseru manja: "kau mau tidak bermain dengan
aku." Wajahnya yang cantik hampir menempel ke wajah Hui giok. Mengendus
bau harum anak gadis, tak kuasa Hui Giok menyurut mundur beberapa langkah.
"Mau, mau!' ujarnya.
"Nah, begitulah baru
pintar." Seru Bun Ki sambil menepuk bahu Hui Giok dan tertawa. Hui Giok
merasa jantungnya berdetak keras, apalagi melihat lesung pipit si nona yang
mempesona itu ia jadi termangu2. Tham Bun ki mengambil mainan bulu ayam itu dan
menyepaknya dengan telapak kaki. Kiancu itu berlompatan ke atas dan ke bawah
dengan ringannya dengan bangga ia berpaling ke arah Hui Giok dan tertawa sambil
menyepak mainan berbulu ayam itu.
Sudah puluhan kali mainan itu
naik turun disepak tiba2 Bun Ki berpaling dan berteriak lagi " he, mengapa
tidak kau hitung bagiku" - tubuhnya yang mungil itu tampak lincah seperti
kupu2 yang berterbangan di antara bebungaan. Makin bemain Tham Bun ki semakin
gembira ketika ia melirik dan mengetahui Hui Giok sedang memandanginya dengan
kesima tiba ia tertawa geli.
Karena sedikit meleng kiancu
melesat jauh, dengan enteng dan gesit nona itu melejit kesana, menyusul ke arah
jatuhnya bulu ayam, indah sekali gerakannya, membuat Hui Giok menjadi sedih,
pikirnya;" Ai, seandainya memiliki gerakan seindah dan seenteng dia,
betapa senang hatiku. Sayang aku tak bisa, benarkah aku sebodoh itu"
diantara kibaran ujung baju dan lambaian rambut yang bertebaran, Tham Bun Ki
bagaikan bidadari yang sedang menari, tiba2 ia putar badan dengan lincah kedua
kakinya menyepak secara bergantian, bulu ayam itu dilontarkan tinggi2 kemudian
ditangkap dengan tangannya.
Beberapa gerakan ini dilakukan
hampir bersamaan waktunya dengan gaya indah dan lincah, lalu dia berhenti
bermain. Napasnya tampak agak tersengal tapi makin menambah daya pesona anak
dara itu, ia berkata manja: "Aku sudah menyepak dua ratus kali, sekarang
giliranmu." Dihampirinya Hui giok dan bulu ayam itu diangsurkan kepadanya.
Lalu katanya lagi: "Kalau kau tak bisa menyepak 200 kali, lihat saja nanti,
aku tak akan mengampuni dirimu."
"kalau aku bisa?"
tiba2 Hui Giok bertanya sambil memperlihatkan senyuman yang aneh. Tham Bun Ki
tertawa cekikikan, dalam benaknya terlintas gaya bodoh anak muda itu. Ketika
bermain jangankan 200 kali sepuluh kali saja belum tentu bisa, maka sahutnya
sambil tertawa:" Uh, masa kau bisa menyepak 200 kali." Sambil
bertolak pinggang dan muka agak merah, ujarnya;" baiklah, kalau kau bisa
bermain 200 kali terserah apa yang kau inginkan."
"Benar2 terserah
kepadaku?' Tanya Hui Giok.
"Kau jahat!" omel
nona itu dengan muka merah suatu perasaan aneh yang sukar dilukiskan mendadak
timbul dalam hatinya. Tampaknya Hui Giok juga mengerti mengapa nona itu
mengomelinya pipinya berubah lebih merah dari nona itu dengan kepala tertunduk
ia menerima dan mulai menyepak bulu ayam itu.
"Satu, dua,
tiga....." dengan riang Tham Bun Ki mulai menghitung tapi suaranya makin
lama makin kecil, sampai akhirnya tenaga menghitungpun tiada. Kiranya meski Hui
Giok tidak memiliki kegesitan macam Bun Ki gayanya juga tidak seindah dia tapi
bulu ayam itu seakan2 telah tumbuh mata, naik turun selalu teratur dan tetap
ditempat semula tidak oleh ke kiri dan ke kanan. Karena itu setiap kali disepak
oelh pemuda itu sang bulu ayampun melayang lagi ke telapak kakinya untuk kemudian
disepak kembali ke atas. Dalam waktu singkat Hui Giok mencapai seratus kali
lebih. Heran dan gelisah Bun Ki menyaksikan itu, ia heran mengapa tiba2 pemuda
itu dapat bermain dengan bagus iapun gelisah karena ia bakal kalah jika pemuda
itu berhasil mencapai dua ratus kali.
Tentu saja ia tak tahu bahwa
Hui Giok ini berwatak keras, setelah ditertawakan dan dicemooh oleh Tham Bun Ki
dalam permaian tempo hari, ia merasa penasaran maka diam2 dibuatnya kiancu dan
tiap malam ia melatihnya secara diam2 ia bersumpah harus bermain lebih baik
daripada gadis itu.
Permainan bulu ayam ini memang
tak ada soal teknik, yang diperlukan untuk mencapai kemahiran hanya kematangan
berlatih, apalagi dasar pemuda ini memang cerdik ia hanya merasa rendah diri
karena sejak kecil hidup terkekang. Maka tak lama setelah berlatih ia dapat
bermain dengan baik dan dapat menuruti sesuka hatinya sekalipun ia sudah mahir
hal ini tak pernah dikatakan kepada siapapun hanya dalam hati ia berpikir:
"Nanti kalau kau mengajak aku bermain kiancu akan kubikin kau kaget."
Dan sekarang nona itu betul2
kaget dan keheranan, ia mengomel terus disamping: "Bagus, kau memang
jahat, tentunya kau berlatih secara diam2 bukan? Kenapa tidak kau beritahukan
kepadaku sehingga aku tertipu?"
Hui Giok tidak menjawab senyum
bangga terlintas di wajahnya sementara hitungan tak terputus " satu
sembilan tiga, satu sembilan empat...." Tiba2 Tham Bun ki maju ke depan
dan menyerobot bulu ayam itu serunya manja: "kau jahat, kau jahat."
"Hahaha, kau sudah kalah
masa mau ingkar janji." sahut Hui Giok sambil terbahak2. selama beberapa
tahun belakangan ini tak pernah hatinya segembira ini sebagai pemuda yang
berwatak keras ia pun ingin memiliki rasa ingin menang tapi karena setiap hari
berada dalam tekanan hidupnya tak bebas maka ia selalu murung dan kesal.
Hampir seluruh tubuh Tham Bun
Ki bersandar di dada Hui Giok seru nona itu sambil tertawa: "Baiklah, aku
kalah, baiklah apa yang kau inginkan." Hati Hui Giok berdebar, sementara
sang surya mulai memancarkan sinarnya keseluruh jagat raya saatnya terbaik bagi
orang muda untuk madu cinta sinar mentari pagi menyoroti wajah Tham Bun Ki
membiaskan warna emas indah bagaikan dalam mimpi.
Napas si nona agak terengah
dan terembus ke wajah Hui Giok dan mendatangkan rasa hangat bagi pemuda itu.
Jantung Hui Giok berdebar makin keras, akhirnya ia tak menguasai diri lagi
pemuda itu tundukan kepalanya dan mengecup pipi yang halus lembut itu.
Tatkala bibirnya menempel di
pipi si nona, kedua orang itu sama2 tergetar keras bagaikan kena aliran listrik
bertegangan tinggi, mereka merasakan sekujur badan jadi kaku kesemutan dalam
keadaan demikian kendati langit ambruk dan bumi merekah takkan mereka hiraukan,
mereka merasa segala apa di dunia ini diciptakan untuk ciuman mereka ini.
Pada saat mereka sedang lupa
daratan itulah tiba2 ada orang berdehem. Keruan mereka terkejut dan segera
berpisah ketika mereka berpaling dan tahu siapakah yang muncul disitu, serta
merta muka mereka menjadi pucat saking terkejutnya sukma serasa meninggalkan
raganya.
Orang yang muncul pada saat
yang tidak mereka harapkan ini ternyata tak lain adalah Liong heng pat ciang
Tham Beng orang tua ini berdiri disamping mereka dengan wajah sedingin es.
Sekalipun Bun Ki biasa dimanja namun sekarang ia ketakutan, jantung berdebar keras,
mukanya sebentar merah sebentar pucat, kepalanya yang tertunduk tak berani lagi
didongakkan.
Hui Giok lebih kelabakan lagi,
mukanya lebih merah daripada kepiting rebus tangannya garuk sana sini dengan
tak tenang, seolah2 tak tahu kemana harus menaruh kedua tangannya itu. Setajam
sembilu sorot mata Tham beng menatap mereka tiba berpaling dan membentak:
"Anak Ki, kembali ke kamar!" - kemudian tanpa bicara lagi, dengan
langkah lebar ia berlalu dari sana. Dengan murung Bun Ki mengikuti di belakang
ayahnya baru berjalan beberapa langkah ai tak tahan ia berpaling dan memandang
sekejap ke arah Hui Giok seluruh hatinya waktu itu tanpa disadari telah
diletakkan pada diri anak muda itu.
Hui Giok masih berdiri bingung
di sana, tatapan Tham Bun Ki sewaktu mau pergi takkan dilupakan untuk selamanya
terutama air mata yang mengembang di kelopak mata si nona membuat pemuda itu
menderita, hatinya pedih bagaikan disayat2. "Akulah yang salah, akulah
yang membikin susah dia" demikian ia berpikir, menyusul lantas ia berpikir
pula: "paman Tham Beng pasti menganggap aku terlampau bodoh, tak pantas
mendapat puterinya, maka ia marah, dasar aku sendiri tak becus, kalau aku
pintar atau lebih cerdik daripada sekarang, bukankah aku bisa hidup lebih
bahagia."
Lama sekali ia termangu2
ketika memandang ke tanah dan kebetulan ditemuinya seekor semut sedang
mengangkat bangkai serangga yang jauh lebih besar daripada tubuhnya, meski
begitu dengan susah payah tapi penuh semangat semut itu menyeret dan menariknya
selangkah demi selangkah. Pemuda itu tertegun, semut itu diperhatikan lebih
seksama seketika itu juga timbul suatu kekuatan yang sebelumnya tak pernah
terlintas dalam benaknya. "Walaupun aku agak bodoh tapi aku harus
mempunyai cita2 untuk masa depanku sendiri. Laki2 macam apakah aku ini bila
setiap hari hanya berdiam dirumah orang dan makan menganggur. Jika keadaan
seperti ini dilanjutkan sungguh malu aku terhadap orang tua yang telah tiada,
akupun malu terhadap adik Ki, malu terhadap diriku sendiri."
Ia mengepal kedua tinjunya
dengan semangat yang menyala2 ia berpikir lebih jauh: "aku harus menerobos
keluar dari tempat ini. Pergi mengembara dan mengadu untung bila aku berhasil
dengan segala kecemerlangan aku akan kembali lagi kesini. Saat itu paman Tham
Beng tentu tak akan menganggap diriku anak tak becus lagi, siapa tahu kalau dia
akan mengizinkan aku berkumpul dengan adik Ki."
Setelah timbul pikiran
demikian, tiba2 ia merasa sekujur badannya penuh semangat hidup yang berkobar,
ia merasa seakan2 tak betah berdiam lebih lama lagi disini, tentu saja tak
terpikir olehnya betapa sengsaranya nanti bila hidup sebatang kara didunia yang
luas ini tanpa sanak tanpa keluarga. "Bila siau-sumoay tahu aku pergi, ia
tentu akan sedih", demikian ia jadi teringat kepada Wan Lun Tin namun ingatan
lain cepat melintas pula dalam benaknya: "Tapi kalau kelak aku pulang
dengan sukses bukankah sepuluh kali lipat dia akan gembira."
Dengan wataknya yang keras apa
yang sudah diputuskan selamanya takkan berubah lagi. Ia tiada memikirkan
akibatnya lagi, apakah ia akan gagal dan mengalami kesukaran semuanya tak
dipikirkan. Yang dipikirnya sekarang adalah suatu harapan yang berkobar,
harapan itu telah menguasai jiwanya, ia tak ingin rencananya mendapatkan
rintangan apapun, ia menengadah dan memandang dinding pekarangan yang
terbentang di atas.
Ia tahu daerah di luar tembok
pekarangan itu bukan milik perusahaan Hui liong Piaukiok lagi. Ia lari ke bawah
dinding pekarangan itu , sekuat tenaga ia melompat ke atas dan berusaha
melintasi dinding itu. Sayang tenaganya tidak memadai, hakikatnya ia tak punya
dasar ilmu meringankan tubuh, tentu saja dinding setinggi beberapa meter tak
mampu dilampaunya..."Bluk" ia terperosot jatuh ke tanah, pantat
terasa sakit.
Pemuda itu tak kapok ia
bangkit kembali tanpa membersihkan debu yang menodai bajunya dia melompat lagi
ke atas. Kali ini tangannya berhasil meraih ujung dinding, ia memegangnya erat
sekali dan sekuat tenaga merambat ke atas dinding perkarangan itu. Di luar
dinding sekarang adalah sebuah lorong waktu itu kebetulan ada seorang penjual
sayur sedang lewat di bawahnya dengan kaget bercampur keheranan ia menengadah
dan memandangnya sekejap namun tidak memperhatikan kemudian lantas berlalu.
Hui Giok menggigit bibir
meskipun jarak tembok pekarangan dengan permukaan tanah cukup tinggi namun ia
tak perduli segera ia melompat ke bawah. Tindakan anak muda itu hanya terdorong
oleh emosi ia tak pernah mempertimbangkan bagaimana akhirnya hidup sebatang
kara di dunia yang luas apa yang terpikir olehnya hanyalah bagaimana caranya
meninggalkan Hui Liong Piaukiok secepatnya.
Ia pejamkan mata dan melompat
ke bawah "bluk" kembali badannya bergetar keras hingga terasa sakit
untung kali ini ia tak sampai terjungkal. Lorong ini tidak terlalu lebar tapi
membentang panjang. Hui Giok menimbang sebentar ia tahu bila berbelok ke kiri
akan sampai ke pintu gerbang Hui liong piaukiok maka memutuskan menuju sebelah
kanan lorong panjang itu. Perasaannya sekarang diliputi kegembiraan meski belum
tahu apa yang akan terjadi pada masa depannya, tapi benaknya penuh khayalan
yang muluk sebab kenyataan belum lagi menyulitkannya, persoalan orang hidup
masih belum menjadi beban pikirannya.
Setelah keluar dari lorong itu
ia sampai di sebuah jalan lebar yang beralaskan batu hijau jalan itu kembali
membentang ke kiri dan kanan karena tanpa tujuan maka ia belok ke sebelah
kanan. Waktu itu hari masih pagi tidak banyak orang berlalu lalang di jalanan
dari depan sana muncul sebuah tandu yang digotong oleh delapan orang. Di depan
tandu terdapat orang yang membawa papan yang bertuliskan tenang dan menyingkir,
ia tahu itulah pembesar yang pulang dari menghadap raja di istana, pemuda
itupun menyingkir ke tepi jalan dan membiarkan tanda itu lewat.
Gorden pada tandu itu tertutup
rapat, tak namapk jelas siapa yang duduk didalamnya, dengan perasaan heran
pemuda itu berpikir: "Saat ini entah apa yang sedang dipikirkan oleh orang
yang duduk di dalam tandu itu." Tapi akhirnya ia mendapatkan jawaban yang
rasanya cocok: "Yang dipikirkannya pasti tak lain daripada nama dan kedudukan".
Ia tertawa sendiri ia merasa
keadaannya jauh lebih gembira, jahu lebih bahagia daripada orang yang duduk
didalam tandu kebesaran itu, sebab paling tidak ia bebas sepenuhnya leluasa dan
tidak terikat oleh segala tata cara kehidupan yang kolot itu. Hatinya bagaikan
tumbuh sayap ia ingin terbang ke tempat yang jauh. Pakaiannya waktu itu
berwarna biru air sepatunya terbuat dari kulit yang tipis, itulah dandanan
untuk berlatih silat untuk berjalan terasa enteng dan nyaman.
Setelah keluar dari jalan itu,
sampailah Hui Giok di sebuah pasar yang ramai, banyak orang berbelanja di sana
suasana gaduh dan bising. Ia melanjutkan perjalanan ke depan, perasaannya
enteng dan riang, tak lama kemudian perutnya terasa lapar. Inilah persoalan
pertama yang menyangkut kenyataan orang hidup mulai memusingkan kepalanya,
aneka macam penganan dijajakan di pasar, ada siomay, kueh lapis, dan aneka
macam makanan terkenal lainnya di kota peking yang biasanya sangat disukainya
semuanya itu membuat perutnya tambah lapar, air liur sampai menetes dia ingin
membeli dan makan sepuasnya.
Tapi sekeping uangpun tak
dimilikinya, ia hanya bisa melihat dan tak dapat menikmatinya. Untuk pertama
kalinya ia mulai merasakan betapa berharganya uang betapa sengsara dan
tersiksanya orang yang tak beruang. Sejak munculnya persoalan ini pelbagai
masalah lain yang menyangkut kenyataan orang hidup mulai berkecamuk dalam
benaknya. Hidup adalah masalah terpenting yang dihadapi setiap manusia untuk
mempertahankan kehidupan seseorang tak boleh kekurangan sesuatu yakni uang.
Sebab uang seakan2 mewakili segala apa yang ada di dunia ini. "Bagaimana
caraku mempertahankan hidup".
Hui Giok mulai risau,
jangankan soal lain, untuk memecahkan soal ini perut hari inipun ia tak mampu,
apalagi masalah lain yang lebih pelik? Maka ia mulai takut dan panik. Melihat
dandanannya yang lumayan, banyak penjajah makanan yang menawarkan barang
dagangannya, tapi ia hanya menggeleng kepala saja, sudah tentu ia sangat ingin
beli makanan yang lezat itu? Tapi apa daya, napsu makan ada uang punya.
Perutnya makin terasa lapar
hingga terasa pedih, hati Hui Giok juga tambah bingung, ia berpikir lagi:
"Tengah hari ini aku bisa berpuasa tapi malam nanti kan aku harus makan
umpama dengan esok? Dan lusa." Ia menghela napas panjang kecuali melakukan
sedikit pekerjaan kasar yang sama sekali tak berguna ia tak mempunyai
kepandaian lain untuk mencari nafkah. Anak muda itu mulai rada menyesal, tapi
apa yang telah diputuskan tak akan berubah untuk selamanya.: "Lebih baik
mati kelaparan, daripada berubah keputusan yang telah kulakukan."
Ia berjalan mengikuti arus
manusia di sekitar tempat itu, namun arus pikiran yang berkecamuk dalam
benaknya berpuluh kali lebih kalut daripada arus manusia itu. Tiba2 ada seorang
menepuk bahunya, dengan bingung ia berpaling, tampak seorang laki2 bertampang
jelek sedang tersenyum padanya. Yang lebih aneh lagi adalah pada saat itu ia
tak dapat menguasai dirinya serta merta diikutinya kemana orang itu pergi.
Ketika orang itu berjalan
cepat ia pun ikut jalan cepat, bila orang itu berjalan lambat iapun lambat,
meski kesadarannya masih baik namun tubuhnya seakan2 tak mau menurut perintah
lagi. Laki2 bertampang jelek itu berjalan keluar kompleks pasar, setelah
berputar kesana kemari akhirnya masuk ke sebuah lorong yang sempit bangunan
rumah yang berderet di lorong ini semuanya rendah tapi berloteng, begitu
sempitnya lorong sehingga benda yang berada di dalam jendela rumah seberang
bisa diambil dari rumah yang lain. Setiba di beberapa rumah terakhir di ujung
lorong itu, laki2 tadi memasuki sebuah pintu kecil, sementara Hui Giok sendiri
bagaikan kena guna2 terus ikut masuk pula ke dalam.
Rumah itu kecil lagi berbau
busuk, beberapa orang perempuan yang berdandan seperti siluman duduk di bawah
loteng dan sedang bersenda gurau dengan suara keras, sedikitpun tidak
menunjukkan sifat kewanitaannya. Tatkala Hui Giok masuk mengikuti laki2 itu
perempuan itu maju mengerumuninya dengan jahil mereka meraba dan mencolek tubuh
Hui Giok seorang diantaranya memuji:
"Ehm, bagus juga barang
dagangan ini." Ada pula yang meraba wajah Hui Giok dan berkata sambil
tertawa:" Coba kalian lihat, kulit barang dagangan ini lembut sekali,
mukanya bulat telur seperti akan pecah bila tersentuh kalau didandani tanggung
dia akan persis perempuan asli."
Dalam keadaan linglung Hui
Giok merasa marah, akan tetapi benaknya terasa kusut, perasaan marahpun tidak
terlampau jelas baginya. Laki2 tadi kelihatan bangga didorongnya perempuan yang
makin lama makin jahil itu serunya berkata:" Aku akan naik ke loteng untuk
membantu mendandani dia." Lalu ia tertawa lebar sehingga kelihatan sebaris
giginya yang kuning terlampau banyak keju itu. Laki2 itu naik ke loteng Hui
Giok juga ikut mereka masuk ke sebuah kamar, besar sekali ruangan itu tapi
kecuali sebuah pembaringan besar tidak nampak benda yang lain. Sesudah itu Hui
Giok berada di dalam ruangan. Laki2 itu segera menggerayangi sekujur badannya
dari atas sampai ke bawah lalu mengembuskan napas panjang seakan2 merasa sangat
puas.
Dari dalam sebuah peti kayu
yang berada di kolong pembaringan ia mengambil keluar beberapa stel pakaian
perempuan, setelah diukur dengan badan Hui Giok akhirnya ia memilih satu stel
baju berwarna merah dan diletakkan di atas pembaringan sedangkan baju lainnya
disimpan kembali ke dalam peti. Kemudian ia membantu Hui Giok tukar baju merah
itu, kemudian anak muda itu didorong ke atas pembaringan lalu ia keluar ruangan
itu sambil menutup pintunya dan menguncinya dari luar.
Dalam keadaan begini Hui Giok
ibaratnya sesosok mayat yang kehilangan suka, ia tak bisa melawan tak bisa
meronta tak bisa berbuat apa2 benaknya dirasakan kosong, hanya lamat2 dirasakan
kejadian ini aneh. Sejak didorong ke atas pembaringan, ia tak berubah posisi
bergerak sedikitpun tidak, entah berapa lama sudah lewat dalam keadaan begitu.
Akhirnya pintu terbuka dan
masuklah seorang laki2 gemuk setelah memperhatikan Hui Giok sekejap kepalanya
melongok keluar dan berbicara beberapa kata dengan orang di luar, kemudian
"blang" pintu ditutup rapat. Kendati sudah begitu Hui Giok sama sekali
tidak paham apa yang telah berlangsung ini meski pikirannya tidak sadar pemuda
itu merasakan juga gelagat yang kurang beres, saying sekujur badannya terasa
lemah tak bertenaga, sedikitpun tak mampu melakukan perlawanan.
Tampaknya laki2 gemuk ini sudah
ahli dan berpengalaman dalam bidang ini setelah mengamati wajah Hui Giok dengan
sempoyongan ia keluar ruangan itu, kemudian muncul kembali dengan membawa air
bersih setelah diminum lalu disemburkan ke muka Hui Giok. Rupanya si gemuk tahu
Hui Giok terpengaruh dan tak sadar, ia merasa permainannya nanti akan kurang
hot bila lawannya tak beres, maka ia menyadarkan dulu anak muda ini, tak
tahunya tindakan ini justeru telah menolong Hui Giok malah.
Setelah disemprot air segar,
Hui Giok sadar kembali dari pengaruh Poh ho jiu hoat sebab air adalah satu2nya
obat penawar bagi orang terpengaruh oleh tenaga gaib itu. Lalu si gemuk mulai
menggerayangi lagi tubuh Hui Giok dan hendak menelanjangi anak muda itu, tapi
Hui Giok sekarang bukan lagi Hui Giok tai tangannya telah pulih kembali, meski
ia tak tahu apa gerangan yang akan dilakukan orang itu kepadanya tapi ia tahu
perbuatannya pasti perbuatan yang tidak baik. Dalam keadaan mabuk arak si gemuk
merayu:
"O, sayang jangan takut,
mari! Ayolah kemari!" Hui Giok jadi gusar ia melompat bangun dari
pembaringan tapi si gemuk itu berkata lagi sambil tertawa lebar:" Anak
manis, sayangku, kau mau apa? Hayolah......mari......" belum habis
ucapannya plok bogem mentah Hui Gok telah bersarang di hidungnya sehingga si gemuk
menjerit kesakitan saking sakitnya sampai air matapun ikut bercucuran.
"Anak busuk, kau sudah
gila!" makinya. Hui Giok juga tambah murka sekali lagi ia hantam muka si
gemuk. Ilmu silatnya memang cetek tapi sebagai seorang pemuda yang sudah
bertahun berlatih kungfu dengan sendirinya baik badan maupun tenaga jauh lebih
kuat dari orang biasa, mana si gemuk mampu menahan jotosannya itu.
Dengan gusar Hui Giok
menggebuk beberapa kali lagi sehingga si gemuk menjerit seperti babi
disembelih, teriaknya sambil merintih kesakitan "Aduh mak! Tolong!
Tolong." Suara langkah kaki yang ramai berkumandang dari arah tangga
loteng, menyusul dua orang laki2 kekar bergegas naik ke tempat kejadian,
agaknya mereka adalah tukang pukul sarang pelacuran.
Tapi si gemuk tadi telah
mengunci pintu kamar itu dari dalam maka kedua tukang pukul itu jadi kelabakan
di luar dan tak bisa berbuat apa. Pada saat itu Hui Giok masih terus menghajar
si gemuk dengan pukulan bertubi2 si gemuk semakin menjerit makin keras karena
kesakitan. Akhirnya suara jeritannya makin lemah makin lirih, tampaknya ia tak
tahan lagi dan bisa mampus hal ini semakin mencemaskan kedua tukang pukul yang
kelabakan di luar pintu itu. Untuk menjaga keamanan langganan nya maka dua
orang itu akhirnya mendobrak pintu dan menerobos ke dalam ruangan.
Saat itu Hui giok sedang
menunggangi badan si gemuk orang ini telah kenyang dihajar, keadaannya sudah
lemas dan kempas kempis serentak kedua tukang pukul tadi memaki: "Bajingan
cilik, apa kau sudah bosan hidup." Dengan telapak tangan mereka yang
lebar, kedua tukang pukul itu menerkam dan menarik kuduk baju Hui Giok terus
menyeretnya turun. Hui Giok masih muda, ilmu silatnya juga Cuma begitu2 saja,
ditambah pula perawakannya tidak tinggi besar, tentu saja ia bukan tandingan
kedua tukang pukul yang berbadan gede kerbau itu, dengan mudah saja ia
ditangkap dan diangkat.
Kamar itu terlalu sempit kedua
tukang pukul itu tak leluasa mendemonstrasikan kekuatannya di situ, maka mereka
seret keluar pintu lalu ayun telapak tangannya hendak menempeleng. "Anak
jadah." Makinya, "Tidak kau Tanya2 dulu tempat apakah sini? Hm, kau
berani main gila pingin mampus barangkali." Di bawah cengkeraman kedua
tukang pukul yang bertenaga kerbau ini, Hui Giok sama sekali tak dapat
berkutik, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah seorang pemuda yang pernah
belajar silat, dalam keadaan kepepet, mendadak sikutnya menyodok ke belakang,
"duk duk" iga kedua tukang pukul itu tersikut telak.
Kedua tukang pukul menjerit
kesakitan dengan sendirinya cengkeraman merekapun mengendur. Hui Giok segera
manfaatkan kesempatan utk melarikan diri tapi kedua orang itu tidak mau
melepaskannya, sambil mengejar mereka memaki : "Bangsat, hari ini tuanmu
harus memberi hajaran setimpal padamu!" Hui Giok tahu dirinya bukan
tandingan kedua orang itu, diam2 ia mengeluh ia memandang di sekitarnya
mendadak dilihatnya sebuah jendela terbentang lebar di serambi sana.
Pada waktu ia dibawa ke atas
loteng tadi dalam keadaan lamat2 ia tak tahu bangunan rumah itu terdiri dari
tingkat atas dan tingkat bawah karenanya sewaktu melihat ada jendela ia lantas
berpikir apapun yang akan terjadi biarlah ku lompat keluar jendela ini!
Sementara itu kedua tukang pukul tadi telah menerjang tiba dengan garangnya,
cepat tangan kirinya bertahan dan kepalan tangan menghantam dada orang yang
berada di depan. Setelah tersikut dan kesakitan tadi laki2 itu tak berani
bertindak gegabah lagi, melihat tibanya pukulan ia tangkis dengan satu tangan
kemudian dengan tangan yang lain ia balas menghantam pundak Hui Giok.
Tak tahunya anak muda itu
telah mempunyai perhitungan sendiri meski bahunya terhajar ia sama sekali tak
perduli tiba2 ia mendak ke bawah terus menerobos lewat dan melompat ke atas
jendela dengan sekuat tenaga tanpa berpaling atau memandang ke bawah lagi ia
loncat ke bawah. Untung loteng itu tidak terlampau tinggi meski begitu ketika
kakinya menyentuh tanah sekujur badan tergetar keras, hilang imbangan badannya
ia jatuh terduduk di tanah.
Tentu saja bantingan ini cukup
keras tapi apa yang terpikir olehnya sekarang adalah bagaimana caranya kabur
dari situ secepatnya maka tanpa memikirkan lagi rasa sakit di pantatnya, ia
merangkak bangun, tanpa membedakan arah lagi ia lari terbirit2 ke depan. Lorong
ini adalah tempat yang paling mesum di kotaraja ini, pada waktu itu banyak
sekali kaum bencong yang bukan laki dan bukan perempuan duduk cari angin
disekitar lorong itu, ketika melihat ada orang melompat turun dari loteng
kemudian kabur dalam hati masing2 mempunyai perhitungan sendiri, maka tak ada
yang merasa kaget, tak seorangpun yang mengalangi larinya Hui Giok.
Inilah solidaritas perasaan
senasib. Sekalipun orang itu melakukan perbuatan amoral, melakukan pekerjaan
kotor namun siapakah yang suka bekerja dengan hati yang rela? Kalau bukan
dipaksa oleh keadaan, siapakah yang sudi melakukan pekerjaan semacam itu. Hui
Giok merasa pandangan menjadi gelap namun tetap lari dan lari terus, akhirnya
berhasil juga anak muda itu lolos dari lorong yang sempit.
Entah berapa lama dia berlari,
orang di jalan memandangnya dengan keheranan, dan menganggap dia sebagai
perempuan gila untunglah penduduk ibukota umumnya bersifat sederhana dan tidak
suka ikut campur urusan orang lain maka tak seorangpun yang menegurnya.
Akhirnya anak muda itu merasa tak kuat berlari lagi, ia coba berpaling setelah
yakin tak ada yang mengejar, ia baru menghentikan larinya, napasnya tersengal2
terbayang olehnya peristiwa yang baru dialaminya setelah dipikir kembali ia
merasa benar2 seperti mendapat impian buruk, dengan usianya yang masih muda, ia
tak tahu perbuatan mesum apakah tadi.
Ia melanjutkan perjalanannya
ke depan perasaannya mulai tenang kembali ke empat anggota badannya mulai
terasa lemas, entah karena ketakutan yang melampaui batas atau disebabkan
terlalu lapar. Ia mencoba memperhatikan keadaan sekitarnya, kiranya tanpa
disadari ia telah berada di bagian kota yang dihuni lapisan masyarakat miskin,
rumah2 yang berserakan di sekitar tempat itu kebanyakan terbuat dari papan yang
kasar mereka yang berdiam di situpun merupakan masyarakat jembel.
Tiba2 Hui Giok merasa
pandangan semua orang tertuju ke arahnya, ia sendiri ikut menunduk dan melihat.
Sekarang baru ditemukan letak keanehan yang menjadi daya tarik pandangan orang
banyak itu, rupanya saat itu ia masih mengenakan baju perempuan dengan sepatu
orang lelaki.
Dandanan semacam itu sudah
tentu kelihatan aneh dan lucu, sayang tak ada cermin sehingga ia tak tahu
bagaimanakah mukanya saat itu, tapi yang jelas pasti mengenaskan dan tak
keruan. Ada anak kecil dan perempuan yang mengolok dirinya sambil tertawa tapi Hui
giok hanya tunduk kepala dengan muka merah, secepatnya ia menjauhi cemoohan
orang2 itu.
Memang begitulah pembawaan
manusia bila dirinya merasa tak pantas dilihat orang segera dia menuju ke
tempat yang jauh dari manusia. Makin jauh Hui Giok menuju ke tempat yang sepi
waktu itu malam sudah tiba, meski berada di musim semi namun angin malam yang
berhembus mendatangkan rasa dingin, diantara suara jangkrik dan bunyi serangga
lain, lambaian rumput yang baru tumbuh pikiran Hui Giok bergolak ibarat air bah
yang membanjir.
Dunia seluas ini, tiada sanak
tanpa keluarga ia tak tahu kemana harus pergi, sedikit lemah pendirian Hui Giok
ia bisa segera kembali ke Hui liong piaukiok sebab disana paling sedikit dia
akan hidup aman. Tapi sebagai pemuda yang keras hati, Hui Giok rela menderita
rela kedinginan dan kelaparan dari pada kembali ke Hui liong Piaukiok ia merasa
matanya agak basah air mata serasa ingin meleleh keluar, tapi cepat ia
mengendalikan rasa ingin menangis ia merasa menangis bukanlah perbuatan seorang
laki2 sejati. Tiba2 didengarnya di belakang seperti ada orang bicara dengan
bisik2 dilihatnya beberapa sosok bayangan orang sedang mengikutinya, dalam
keadaan samar2 kegelapan malam, ia tak tahu apa maksud mereka.
Jantungnya mulai berdebar
keras, pengalamannya membuat anak muda ini ibaratnya burung yang nyaris kena
bidikan, ia kuatir, takut dan ngeri terhadap segala apa yang mungkin terjadi ia
kuatir akan tertimpa kemalangan lagi, maka ia berjalan setengah berlari2, ingin
cepat2 meninggalkan orang2 itu.
Akan tetapi bila ia berjalan
cepat, orang2 iu mengikutinya dengan cepat, jarak mereka kian mendekat, Hui
Giok mula mengeluh, pikirnya: "Nasib! Mengapa aku selalu menemui kejadian2
yang menyebalkan ini." Karena melamun jalannya jadi kurang hati2 kakinya
tersandung sebutir batu, anak muda itu jatuh terjerembab.
Gelak tertawa berkumandang
dari belakang menyusul beberapa sosok bayangan manusia yang berbaju kotor usia
mereka masih muda, kepala memakai topi semangka, lengan baju bergulung tinggi2,
dilihat dari tingkah laku mereka bisa disimpulkan bahwa orang2 ini adalah
sebangsa buaya atau dicokot, bajingan yang kerjanya hanya mengganggu orang.
Sebelum Hui Giok sempat merangkak bangun berandal2 itu terus menyerbu maju, ada
yang menahan badannya, ada yang meraba dan menggerayangi sambil mengucapkan
kata2 cabul. Tergerak pikiran Hui Giok tahulah dia maksud berandal2 itu:
"Kiranya mereka menyangka aku ini perempuan."
Ia mendongkol, geli dan juga
gelisah, sekuat tenaga dicobanya meronta untuk melepaskan dari tindihan berandal2
itu, tapi tenaga mereka terlalu kuat, apalagi masih muda2 dan jumlahnya bukan
cuma seorang, sekalipun ia sudah berusaha meronta sepenuh tenaga, toh sama
sekali tidak mendatangkan hasil apa2. Gelak tertawa beberapa orang berandal itu
semakin lama semakin keras, makin lama semakin jalang, tingkah laku mereka
mulai kurang, ada yang mulai menggerayangi pantatnya ada pula yang menarik
celananya, sambil bekerja merekapun menggerundel:" Sudah beberapa hari ini
bokek, hehehe, siapa tahu dari langit melayang turun nona manis ini buat kita,
ini namanya rejeki nomplok."
Hui Giok mulai berteriak
saking paniknya dalam keadaan begini ia hanya bisa berteriak meminta tolong
belaka. Diam2 ia pun menggerutu akan kebodohan sendiri:" Kalau ilmu
silatku terlatih baik, siapa yang berani lagi mempermainkan diriku."
Sekuatnya ia mendepak seorang jatuh tersungkur, tapi yang lain segera menubruk
dan kembali menindih di atas tubuhnya. Pada saat gawat begini, untunglah dari
kejauhan berkumandang suara derap kaki kuda, suara itu kedengarannya sangat
menusuk telinga ditengah keheningan malam.
"Ada orang!"
beberapa berandal itu berbisik, mereka hentikan aksinya dan pasang kuping
mendengarkan. Diam2 Hui Giok bersyukur namun ia takut orang itu tidak dating ke
arah sini, maka ia lantas berteriak, tapi seorang cepat mendekap mulutnya
sambil mengancam:" Berani berteriak, segera kubunuh kau!" Derap kaki
kuda itu makin menjauh dan lalu begitu saja, sementara berandalan2 tadi mulai
lagi dengan operasinya, Hui Giok Panik sekali dan tak tahu apa yang harus
dilakukan, ingin meronta, tapi tangan dan kaki terasa tak bertenaga.
Tiba2 suara derap kaki kuda
tadi berkumandang lagi, kali ini menuju arah sini, ini menyebabkan berandal2
itu kaget dan gugup, tapi mereka tidak menyingkir, mereka tak taku karena
jumlahnya lebih banyak, seorang diantara mereka berkata:" Kalau orang itu
berani mencampuri urusan kita, bersama kita sikat dia!" baru selesai
berkata, seekor kuda sudah muncul secepat terbang. Kuda itu putih mulus dan
gagah setelah berputar satu lingkaran di depan berandal itu, kemudian
penunggangnya menegur dengan lantang:" Siapa kalian? apa yang kalian
lakukan di sini." Hui Giok kegirangan, betapapun datanglah penolongnya.
"Keparat, siapa pula
kau?" hardik berandal itu:" Kalau tahu diri, jangan coba2 mencampuri
urusan tuanmu, sebelum terlambat kuanjurkan padamu cepatlah pergi dari
sini....." Belum habis ucapan berandal itu, "Tarr" tahu cambuk
orang telah mampir di kepalanya, ia menjerit kesakitan dan melompat bangun.
Suasana kalut, beberapa berandalan itu ikut marah, mereka menyerbu ke muka
sambil memaki:" Sialan, kau berani memukul orang." Seorang hendak
menarik tangan, yang lain membetot kaki mereka hendak menarik penunggang itu
agar jatuh terjungkal ke tanah.
Penunggang kuda itu menjadi gusar,
sambil membentak cambuknya menyebat tubuh berandal tersebut. Jangan sangka
cambuk itu kecil, ketika mengenai tubuh orang2 itu ternyata membawa kekuatan
besar, kontan berandal itu menjerit kesakitan.
Dipihak lain Hui Giok sudah
bangun berduduk di bawah cahaya bintang samar2 ia lihat penunggang kuda itu
adalah seorang sastrawan, usianya tidak terlampau besar, ini dapat didengar
dari suaranya meski begitu ia dapat menghajar berandal2 itu hanya dengan sebuah
cambuk yang kecil, gagah perkasa bagaikan malaikat dari langit, dalam hati Hui
Giok sangat kagum, ia tahu kungfu orang ini pasti tinggi sekali. Berandal2 itu
memang bandel, sudah dihajar sampai terguling di tanah, mereka belum kabur,
malahan mencaci maki dengan kata2 yang kotor:" Hayo pukul terus, pukul
lagi sesukamu."
Tubuh yang bergulingan di atas
tanah itu tiba2 menerjang ke samping kuda dan merangkul kakinya, tak terduga
kuda itu bukan kuda biasa, mendadak kakinya mendepak sehingga orang itu
mencelat terbanting mampus. Penunggang kuda itupun marah, cambuknya tiba2
digunakan menutuk, cambuk yang lemas tahu2 menegang lurus di tangannya,
diiringi desing angin tajam, ia tutuk "Koh cing hiat" di pundak salah
seorang. Cara menutuk jalan darah dengan senjata lemas terhitung suatu
kepandaian yang sangat jarang ditemui di dunia persilatan, apalagi senjata yang
dipakai adalah cambuk kuda, ini lebih hebat lagi.
Selama hidup belum pernah kaum
berandal itu melihat jago silat selihay ini, hanya sekejap saja dua orang sudah
tertutuk roboh dan tak dapat bangun. Melihat rekannya tak berkutik lagi,
berandal lainnya baru terperanjat, mereka lari tunggang langgang sambil
berteriak:" Ada pembunuhan! tolong, ada pembunuhan?" meski ilmu Hui
Giok tidak tinggi, tapi dia dilahirkan dan hidup dalam lingkungan keluarga
persilatan sudah banyak yang ia dengar dan lihat selama ini, ia cukup kenal
kualitas orang yang di depannya ini, dalam hati diam2 ia berpikir:" Orang
ini sungguh lihay kungfunya."
Sementara itu si penunggang
kuda tadi sedang mengawasi bayangan kawanan berandal2 yang kabur itu sambil
tertawa dingin. Hui Giok lantas berdiri, dia ingin menyatakan terima kasihnya
kepada orang itu, ketika menengadah dan melihat sekejap badan orang itu putih
mulus, matanya besar bersinar terang, meski dalam kegelapan sorot matanya seolah2
gemerdep dan sedang memandang dirinya. Seketika timbul rasa rendah diri Hui
Giok. Lama sekali orang itu mengamatinya, kemudian bertanya:
"Dimanakah rumahmu?"
Hui Giok jadi bingung pelbagai kemurungan berkecamuk dalam benaknya, ia tidak
menjawab tapi berpikir: "Tampaknya selisih umur antara orang ini dengan
aku hanya sedikit tapi kungfunya berlipat kali lebih hebat dari aku. Ai,
terhitung manusia apakah aku ini? Aku tak punya apa2, tak punya sanak, tak
punya rumah, ilmupun tak ada....." begitulah ia tertunduk sedih.
Karena Hui Giok tidak
menjawab, dengan tak sabar orang itu menegur lagi: "Apa kau tak punya
rumah? Kenapa tidak menjawab." Hui Giok mengangguk dan menjura dalam2
setelah itu tanpa mengucapkan sepatah katapun dia lantas berlalu dari sana. Rasa
duka hatinya saat ini sungguh sukar dilukiskan, ia merasa tenggorokannya
seolah2 tersumbat satu patah katapun tak sanggup diutarakannya.
Memandangi bayangan punggung
anak muda itu, air muka si penunggang kuda yang semula kaku tanpa emosi tiba2
terlintas perasaan iba dan kasihan. Diketuknya pelana kuda dengan cambuknya
hatinya sangat gelisah mendadak ia berseru:" Hei, anak perempuan kembali
ke sini."
Hui Giok berhenti dia tahu
"anak perempuan" yang dimaksud ialah dirinya, namun dia enggan
memberi penjelasan, sebab keadaannya sangat memalukan, bagaimana ia harus
menjawab andaikata orang itu menanyakan mengapa ia mengenakan baju perempuan.
Dasar wataknya memang keras dan suka menang, ia enggan menerima belas kasihan
orang lain, lebih2 ia benci terhadap cemoohan orang. Tapi akhirnya ia putar
balik juga dan berdiri di depan orang itu, setelah memandanginya sejenak
kelihatan rada terkejut dan keheranan tiba2 ia berkata:" Bila kau tak
punya rumah maukah kau ikut bersamaku."
Ia menengadah dan menghela
napas panjang lalu sambungnya :" Sebab aku pun tak punya rumah."
Logatnya adalah logat daerah Kanglam, bicaranya singkat dan cepat, suaranya
mengandung perasaan sedih, menimbulkan rasa simpatik Hui Giok. Tapi sebelum ia
mengucapkan sesuatu, orang itu telah berkata lagi, "Selain itu, dapat pula
kuajarkan ilmu silat padamu agar kelak kau tidak dipermainkan orang lagi. Tapi
berapa banyak yang dapat kau raih akan bergantung pada bakat dan kepintaranmu
sendiri."
Dibalik perkataannya seakan2
hendak menyatakan ilmu silat yang dimilikinya terlampau dalam sehingga sulit
untuk dipelajari keseluruhannya oleh orang lain. Hui Giok sangat gembira,
mukanya berseri tapi tatkala ingatan lain terlintas dalam benaknya cepat ia
berkata dengan tersipu2:" tapi aku terlampau bodoh, berlatih segiatnya
tetap tiada kemajuan apa."
"O, jadi kau pernah
belajar silat?" Tanya itu dengan heran. Hui Giok mengangguk. "Hm,
siapa bilang kau bodoh?' dengus orang itu, "Dari siapa kau peroleh belajar
silat."
"Liong heng pat ciang
Tham Beng!" jawab Hui Giok, dia menyangka setelah nama besar itu disebut,
niscaya orang akan kaget. Siapa tahu orang tetap cuma mendengus saja"
"Huh, manusia macam apa
dia?" Hui Giok jadi tertegun malah, maklumlah nama maupun kedudukan Liong
heng pat ciang Tham Beng ketika itu boleh dikatakan luar biasa, tapi orang ini
justru bersikap sinis setelah mendengar nama Tham Beng, lalu siapakah gerangan
orang ini.
"Mungkinkah ilmu silatnya
lebih tingi daripada paman Tham Beng?" pikir Hui Giok. Tapi kelihatannya
orang masih muda tak mungkin ilmu silatnya mencapai taraf setinggi itu.
Tampaknya berangasan watak orang ini, ia berseru pula dengan tak sabar:"
Bagaimana, kau mau ikut aku tidak?"
"Apa salahnya kuikut
orang ini ?" demikian Hui Giok berpikir lagi. "Siapa tahu dengan
belajar ilmu silat kepadanya aku benar2 berhasil dan tercapai apa yang aku
cita2kan...." Tapi ia tak berani berpikir lebih jauh, sebab semua itu
hanya khayalan saja. Hui Giok mengangguk akhirnya, orang itupun tak bicara
lagi, ia angkat cambuknya dan melarikan kuda itu beberapa langkah ke depan
kemudian tangannya meraih ke bawah, dirangkulnya pinggang Hui Giok.
Hui Giok merasakan pinggangnya
mengencang tahu2 badannya mengapung ke atas dan berduduk di depan orang itu.
Sayang Hui Giok masih terlampau muda, banyak persoalan tak dapat
dipertimbangkannya dengan baik, andaikata ia masih berpikir dengan seksama
dengan dandanannya dan keadaan sekarang, orang itu pasti telah menganggapnya
perempuan asli, malahan sekarang orang mengajaknya pergi bersama, memeluk pula
pinggangnya erat2 bukankah itupun menandakan orang mempunyai maksud tertentu
terhadap dirinya.
Hui Giok duduk di depan, kuda
itu lari seperti terbang di awang2 selama hidup baru pertama kali ini ia naik
kuda dengan kecepatan seperti itu, hatinya menjadi riang. Ngebut memang suatu
kenikmatan. Lebih lagi bagi orang yang suka akan ketegangan dan rangsangan.
Anak muda itu pejamkan matanya untuk dinikmatinya perasaan yang baru pertama
kali ini baru dirasakan selama hidupnya, sementara hidungnya mengendus bau
harus yang tipis, bau harus yang timbul dari tubuh si penunggang kuda yang
berada dibelakangnya.
"Aneh benar bau badan
orang ini bagaikan harum anak perempuan" demikian pikir Hui Giok dengan
heran. Selagi heran orang yang berada di belakang itu telah berkata dengan nada
dingin
"Sebagai anak perempuan
kau sebelum melakukan kau harus berpikir masak dan berhati, selanjutnya jangan
suka ngelayap seorang diri sebelum ilmu silatnya berhasil diyakinkan dengan
baik, mengerti!"
Hui Giok menyengir serba salah
dan tak menjawab. Orang itu kembali berkata : "hari ini, tanpa banyak
omong kau terus ikut pergi bersamaku untung ketemu aku, coba orang lain, bisa
kau dilalap orang lain."
"Aku.....Aku......: Hui
Giok ingin memberi penjelasan namun sukar berucap. "Sudah, tak perlu banyak
bicara lagi!' kata orang dengan bengis, suaranya enak didengar tapi keras
ditambah lagi mengandung nada yang mengancam mau tak mau anak muda itu terpaksa
tutup mulut.
"Selanjutnya kau boleh
sebut aku guru" kata si penunggang kuda. Lalu kuda itu kembali ngebut ke
depan, udara kian gelap dan suasana bertambah sepi, mungkin sudah dekat tengah
malam. Hui Giok tak tahu mereka akan menuju kemana orang itu tak bicara, ia pun
tak berani bertanya. Entah berapa lama sudah lari, tiba2 dilihatnya dikejauhan
ada sinar lampu, mungkin di sana adalah sebuah kota. Kuda itu masih ngebut
terus, setelah dekat dengan cahaya lampu itu baru mengendur larinya sekarang
Hui Giok dapat melihat dengan jelas tempat itu memang betul sebuah kota, bahkan
cukup ramai suasananya sebab ditengah malam begini sinar lampu masih terang
benderang.
Semenjak berada di Peking, Hui
Giok belum pernah keluar rumah, sudah tentu iapun tak tahu kota manakah yang
disinggahi ini. Mereka masuk ke dalam kota kuda dijalankan pelan. Orang itu
menarik tali kendali. Tiba2 Hui Giok merasakan badan orang menempel punggungnya
itu lembek sekali, ia menjadi heran:
"Aneh, ilmu silatnya
begini tinggi, kenapa badannya begini lembek?" kuda berhenti di depan
sebuah hotel yang besar, orang itu melompat turun dari kudanya. Hui Giok juga
ikut melompat turun ia di daerah utara, menunggang kuda tentu bukan asing
baginya. "Kau mahir naik kuda?" orang itu bertanya dengan agak heran,
tapi sebelum Hui Giok menjawab ia sudah mendahului melangkah ke dalam hotel
itu.
Pelayan hotel umumnya sudah
berpengalaman terhadap setiap tamu yang dihadapinya, maka ketika penunggang
kuda itu muncul dengan bajunya yang perlente serta kudanya yang bagus, cepat ia
menyongsong, lalu diiringi tertawanya yang dibuat2 ia berkata:" Hehehe,
apakah tuan tamu cari kamar?" Dengan tak sabar "Paman Leng"
mengangguk "Kenapa nyonya tidak ikut masuk?" pelayan itu bertanya
lagi. Kiranya Hui Giok masih berdiri di depan pintu. Dongkol dan geli juga dia
mendengar orang menyebutnya sebagai nyonya namun ia pun tak dapat memberi
penjelasan, terpaksa ikut masuk ke dalam.
Dengan melongo heran pelayan
itu mengawasi kaki Hui Giok, rupanya ia heran melihat sepatu yang dipakai anak
muda itu. Mau tak mau paman Leng ikut memandang ke arah yang membuat heran
pelayan tiu, demi melihat kaki dan sepatunya seketika iapun berkerut kening.
Hui Giok menyengir dengan tersipu, baru sekarang dia dapat melihat dengan jelas
paman Leng. "Cakap amat orang ini!" diam2 ia memuji didalam hati.
Ternyata paman Leng ini beralis panjang lentik, sinar matanya bening tajam,
mulutnya tidak terbilang kecil tapi bukan mulut yang besar, sedang, begitulah.
Malah hidungnya juga mancung boleh dikatakan jauh lebih cakap dari Hui Giok.
Ketika paman Leng melihat Hui
Giok sedang mengawasinya tanpa berkedip, diam2 dia heran, pikirnya:" aneh
benar sikap anak perempuan ini?" bagaimanapun juga tentu tak pernah
terpikir olehnya bahwa gadis yang nyaris diperkosa kaum berandal itu sebenarnya
cuma gadis gadungan. Dalam pada itu si pelayan telah berkata lagi sambil tertawa:
"Hehehe, kamar2 kami sudah penuh semua, hanya tinggal satu, bagaimana
kalau kalian ambil saja, kamar itu cukup bersih dan tenang....."
Ia tidak bicara dengan munduk2
lagi seperti tadi, sedikit banyak pelayan ini sudah melihat ada sesuatu yang
tak beres atas kedua orang tamunya ini, maka sikapnya tidak seramah dulu.
"Baik bawa kami ke atas." Seru paman leng tak sabar. Sedari kecil Hui
Giok sudah biasa tidur sekamar dengan orang lain, maka iapun tidak keberatan
atau merasa tak leluasa untuk bermalam dengan si penunggang kuda yang bernama
paman leng ini, ia lupa bahwa dandanannya sekarang adalah seorang anak gadis,
degan sendirinya orang memandang mereka berdua sebagai satu lelaki dan satu
perempuan. Mengapa paman Leng mengajak dia tidur sekamar? Apakah mungkin paman
leng inipun mengidap semacam penyakit aneh.
Baru saja masuk ke kamar,
paman leng sudah tak sabar dan mengusir pelayan itu lekas pergi, lalau sambil
mengunci kamar ia berkata:" buka pakaianmu dan lalu tidur, besok pagi2
kita harus melanjutkan perjalanan lagi!" Hui Giok menjadi kikuk hal ini
bukan disebabkan apa2 melainkan kuatir nanti paman leng bertanya kepadanya
mengapa dia mengenakan baju perempuan bilamana jenis aslinya terlihat. Berbeda
dengan paman leng, ia salah artikan kekikukan anak muda itu, ia berkata dengan
tertawa:" Apakah kau malu membuka baju di depanku? Jangan kuatir sebentar
lagi kau akan tahu biarpun telanjang di depanku juga tidak menjadi soal."
Sambil berkata dia lantas
mengusap2 mukanya dan melepaskan pakaian sendiri, bukan jubah luarnya saja yang
dicopot, malahan dalam juga ditanggalkan. Waktu itu Hui Giok sedang bingung
apakan harus menjelaskan musibah yang menimpa dirinya atau tidak, tapi ketika
ia menengadah dan menyaksikan pemandangan yang luar biasa itu, seketika
jantungnya melompat keluar dari rongga dadanya. Kiranya setelah buka pakaian,
terlihatlah semua anggota tubuh paman Leng pantatnya yang padat dan payudara
yang montok dai ternyata seorang perempuan.
Perempuan itu sama sekali
tidak memperhatikan perubahan air muk Hui Giok sambil menggerundel ia seperti
memberi nasihat pula: "Nah, tentu sekarang kautahu apa yang kumaksudkan
tadi, sesungguhnya aku ini bukan lelaki." Setelah mendengus ia menambahkan
lagi:" Hm, bila aku ini lelaki, tentu kau bisa runyam!" semenjak
keluar dari rahim ibunya, belum pernah melihat perempuan bertelanjang bulan
dihadapannya, dapat dibayangkan betapa kikuknya Hui Giok sekarang, jantungnya
berdebar seakan2 melompat keluar dari rongga dadanya, muka yang sudah merah
makin membara, ia tertunduk dengan ketakutan, sekejap saja tak berani melirik
paman Leng yang berada dalam keadaan yang mengerikan.
Tiba2 paman Leng tertawa,
katanya: "rupanya aku ada jodoh dengan kau! Sejak pertama kali melihat
kau, aku lantas merasa kasihan dan menaruh simpatik pada penderitaan yang kau
alami. Kau hidup sebatangkara dan sering dipermainkan orang, maka kuputuskan
untuk menerima kau sebagai muridku, jangan kau anggap kejadian ini begini mudah
dan sederhana, kelak biar kau ceritakan kepada orang lain akan peristiwa ini,
belum tentu mereka mau percaya pada ceritamu."
Hui Giok coba menengadah
seketika matanya mendengung dan matanya silau oleh pemandangan
"seram" dihadapannya, merah mukanya menjalar sampai keleher, cepat ia
menunduk lebih rendah. Kiranya sekarang paman Leng betul 100% telanjang bulat
tanpa sehelai benang menempel di tubuhnya, tertampaklah garis tubuh yang indah,
payudaranya yang montok, pinggulnya yang gempal serta pahanya yang mulus
dan.......semuanya, menawan dan merangsang.
"kau jangan heran,"
kembali paman Leng berkata ketika dilihatnya Hui Giok tertunduk jengah
"Sejak kecil aku sudah terbiasa tidur dalam keadaan begini," - ia
tertawa, kemudian menambahkan: "Kau kan sudah dewasa, kenapa malu2 kucing?
Hayo lepaskan pakaianmu dan tidur! Sesudah kau tahu aku adalah perempuan tulen,
apalagi yang kau takuti!"
"Pa......paman.....paman
leng.....cep...cepatlah ber.....pakaian, aku....aa...aku...aku ini
lelaki!" seru Hui Giok akhirnya dengan gelagapan.
"Apa kau bilang?"
teriak paman Leng kaget, pengakuan itu serasa halilintar membelah bumi di siang
hari bolong, ia terhuyung mundur selangkah. "Aku adalah laki2 tulen!"
Hui Giok mengulangi lagi pengakuannya," aku......"
Sebelum kata2 itu selesai
diucapkan, paman Leng melompat ke depannya, sebelum Hui Giok mengetahui apa
yang akan dilakukan orang tahu2 badannya terasa kaku dan tak bisa berkutik
lagi. Secepat kilat paman Leng meraba dadanya tapi blong, dada itu datar
seperti lapangan, tanpa tonjolan barang sedikitpun, jelaslah sudah bahwa
perempuan yang disangkanya semula itu memang sebetulnya seorang lelaki. Merah
padam mukanya, kontan tangannya melayang dan "Plak", ia menghadiahkan
suatu tamparan di pipi Hui Giok.
"Kunyuk,! Kau ingin
mampus?" bentaknya gusar, "Berani kau permainkan nyonyamu!"
"Siapa permainkan
kau?" keluh Hui Giok di dalam hati, dia ingin memberi penjelasan sebab2
kejadian itu, tapi sepatah katapun sukar diucapkan. Paman Leng tundukkan
kepalanya, dilihatnya mata Hui Giok masih melotot ke tubuhnya dia hadiahkan
pula sebuah tempelengan lagi, mukanya berubah makin merah, semerah buah apel
yang sudah masak, dengan gerakan paling cepat, ia menyambar jubah luar dan
dikenakannya.
"Kunyuk! Dia mendamprat
pula , "Kalau tidak kumampuskan kau, aku tidak perlu disebut Leng Gwat
Siancu lagi!" Bila orang lain mendengar nama Leng gwat siancu dalam
keadaan seperti sekarang, mustahil kalau tidak jatuh kelengar. Kiranya belasan
tahun terakhir ini di dunia persilatan telah muncul seorang jago termashur,
orang itu bernama Jian jiu suseng (sastrawan bertangan seribu), jejaknya
misterius dan sukar dijajaki tapi ilmu silatnya hebat luar biasa, apa yang
dilakukan selalu mengikuti suara hati sendiri tanpa mempedulikan apakah orang
akan mengatakan perbuatannya itu sesat atau mulia, tidak juga ada orang yang
tahu siapa nama aslinya, sebab belum pernha ada orang yang melihat wajah aslinya.
Selama ini ia memegang teguh
satu prinsip hidupnya yakni: "Bila orang tidak mengganggunya maka ia pun
tak akan menyatroni orang tapi sekali orang cari gara2 padanya, maka jangan
harap kau akan lolos dari cengkeramannya. Setiap orang akan mengacungkan jempol
dan menunjukkan sikap hormat bila membicarakan Jian Ju Suseng, tapi banyak pula
yang segan dan ketakutan mendengar nama besarnya. Leng gwat siancu yang
dijumpai Hui Giok ini tak lain istri Jian Ju Suseng kabarnya ia lebih ganas
dari suaminya.
Kemudian entah apa sebabnya
suami istri telah bercerai, hubungan antara Leng gwat siancu dengan Jian ju
suseng putus, semenjak itu jejak Jian ju suseng tiba2 lenyap dari dunia
persilatan sementara Leng gwat siancu sendiri makin sering berkelana kesana kemari,
jejaknya sukar diketahui, sebab ia gemar berdandan sebagai laki2 kadangkala
sebagai perempuan, siapa berani menyalahi dia berarti jiwa seseorang bisa
melayang setiap saat, maka banyak orang berusaha menghindari sejauh2nya bila
berjumpa dengan dia.
Jangan orang lain dengan
kedudukan dan ilmu silat Long heng pat ciang Tham Beng saja air mukanya juga
akan berubah hebat bila membicarakan suami istri itu, maka dapat dibayangkan
sampai dimana kehebatan dan keganasan kedua orang itu. Dan sekarang secara kebetulan
Hui giok jumpa Leng gwat siancu malahan terjadi peristiwa yang sukar diberi
penjelasannya, kalau menurut watak Leng gwat siancu di masa lampau mustahil
anak muda itu tak dicabut olehnya.
Rasa menyesal, malu dan tak
tenang terpancar dari sorot matanya, namun tidak ada tanda2 akan memohon dan
merengek supaya diampuni, sebab memang begitulah watak anak muda itu, sekalipun
golok dipalangkan di tengkuknya, dia tak akan memohon kepada orang lain biarpun
cuma sepatah kata.
Warna merah di wajah Leng gwat
siancu belum lenyap kecuali suaminya belum ada yang pernah melihat tubuhnya
dalam keadaan telanjang, malahan beberapa tahun belakangan ini hampir tak
seorangpun yang melihatnya lagi termasuk juga suaminya. Tapi sekarang, seorang
pemuda yang dikenalnya telah memandangnya sampai puas sekujur badannya yang
telanjang tentu saja dia marah tapi entah mengapa tiba2 timbul perasaan lain
yang sukar dilukiskan. Perasaan aneh ini justru membuatnya tidak tenang dan
semakin mendorong niatnya akan membunuh Hui Giok, untuk ini baginya boleh
dikatakan sangat mudah, cukup sekali angkat tangan saja, tapi aneh ia merasa
sangsi untuk turun tangan.
Dari pancaran sinar mata Hui
Giok ia menemukan semacam ketulusan yang belum pernah ditemuinya selama ini,
ketulusan ini membuat hatinya tergerak. Sejak kecil Leng Gwat siancu hidup
sebatang kara tapi berjiwa angkuh dan tinggi hati, watak semakin aneh lagi
setelah ia menikah dengan Jian Ju suseng.
Cinta suaminya itu ternyata
tidak murni, tidak setia, setelah hal ini diketahui olehnya, dengan membawa
kemarahan yang tak terperikan ia minggat meninggalkan suaminya. Sejak
perpisahan itu ia tambah membenci kaum lelaki, ia memandang tiap lelaki yang
ada di dunia ini sebagai musuh besarnya. Tapi sekarang ketika ia menemukan
ketulusan sinar mata Hui Giok hatinya goyah kembali.
Maklumlah setiap manusia di
dunia ini bisa saja menipu perasaan cinta dari orang lain dengan pelbagai cara
tapi hanyalah perasaan yang tulus akan memperoleh perasaan yang tulus pula.
Hanya ketulusan yang dapat mengharukan orang lain, menggerakan perasaan orang
lain. Leng Gwat siancu telah angkat telapak tangannya keatas tapi entah cara
bagaimana, mendadak arahnya berubah tahu2 ia hanya menepuk Giok tin di belakang
kepala Hui Giok. Hui Giok menghembuskan napas dalam2 ia tahu jalan darahnya
tadi ditutuk orang.
"Sebenarnya siapakah
kau?" dengan ketus dan sorot mata yang dingin kembali Leng gwat siancu
menegur. Meski Hui Giok tajhu jalan darahnya tadi tertutuk, tapi ia tak tahu
kalau jiwanya bar saja lolos dari ujung tanduk sebag biasanya teramat sedikit
orang yang dapat lolos dari cengkraman Leng gwat siancu.
Lama juga anak muda itu
terpekur, akhirnya ia berkisah menceritakan asal usulnya dan semua peristiwa di
dalamnya. Leng gwat siancu (Dewi rembulan dingin) Ay cing memang berwajah
dingin dan kaku, tindak tanduknya keji, caranya membunuh orang tak kenal ampun,
namun sesungguhnya iapun perempuan yang berjiwa hangat, berperasaan halus,
hanya perasaan itu jarang diperlihatkan kepada orang lain.
Banyak orang di dunia ini mengalami
nasib yang jauh lebih buruk dan menyedihkan daripada Hui Giok, Ay Cing tak
pernah bertanya dan peduli tak pernah menaruh perhatian tapi sekarang setelah
kisah hidup Hui Giok keadaan ikut berubah. Perasaan manusia terkadang memang
dapat berubah mengikuti sasarannya, suatu peristiwa yang sama, tapi terjadi
pada dua orang yang berbeda maka kesan yang timbul juga akan berbeda. Hui Giok
adalah pemuda yang tak pernha bicara, apalagi pada dasarnya ia memang tak
pernah banyak bicara, maka setiap perkataannya selau diutarakan dengan singkat,
tegas dan menggetarkan perasaan orang. Ucapan orang yang tak suka banyak bicara
memang sering lebih mengena dan mempesona pendengarnya.
Sekarang rasa malu, kiku tak
tenang yang tadi berkecamuk dalam hati kedua orang itu hilang tak berbekas,
sebagai gantinya antara mereka timbul perasaan simpatik dan saling mengerti
yang mendalam. Ay Cing tak pernah membuka rahasia hidup selama ini, tapi ia toh
menyinggungnya sedikit, sekalipun secara samar2 katanya dengan menghela napas panjang:
"Kau jangan berduka, apa
yang pernah ku alami dalam kehidupan masa lalu jauh berbeda dengan nasibmu kau
sama sekali tak bodoh, asal mau berlatih dengan tekun dan rajin siapa tahu ilmu
silatmu di kemudian hari jauh lebih tangguh daripada diriku? Biarlah soal ini
kita bicarakan lagi di kemudian hari."
Walau hanya ucapan yang
singkat, tapi menegaskan Ay Cing ini sudah melebihi janji seribu kata bagi Hui
Giok anak muda ini tidak mempunyai nafsu berahi terhadap perempuan yang usianya
hampir satu kali dari usianya lebih tua daripadanya ini, tapi suatu perasaan
yang sukar dilukiskan diam2 bersemi dihati. Perasaan ini mirip perasaan kasih
sayang anak terhadap ibunya sudah bertahun2 lamanya perasaan ini tak pernah
timbul dalam hati Hui Giok.
Leng gwat siancu kelihatan
agak lelah kedatangannya ke utara dengan tergesa2 ini bukan lantaran hendak
berpesiar atau mengunjungi sahabat, ia sedang menghindarkan pengejaran seorang
musuh yang sangat lihay sepanjang perjalanan ia tak mudah berhenti dan
beristirahat tentu saja ia sangat lelah.
Beberapa kali ia menguap
matanya terasa sepat dan mengantuk akhirnya ia berkata: "lekas
tidur!" - tapi setelah perkataan itu diutarakan kembali pipinya bersemu
merah, sebab teringat oleh nya bahwa bagaimanapun juga pihak lain adalah
seorang laki2. tiba 2 terdengar bunyi pelahan pintu kamar secepat kilat Ay Cing
melompat ke ambang pintu setelah membetulkan pakaiannya cepat ia membuka pintu,
tapi suasana tetap hening, di luar tak nampak sesosok bayangan apapun, bahkan
serambi panjang juga sepi tak tampak bayangan orang.
Angin malam berembus
mengibarkan ujung bajunya dengan muka merah cepat perempuan itu menarik bajunya
agar jangan sampai tersingkap, kemudian berpaling dan melirik sekejap ke Hui
Giok. Kemana arah pandangannya menuju, kembali ia tersentak kaget. Saat itu Hui
Giok telah menyapa dengan suara tertahan:
"Pa......Paman Leng,
tentunya engkau sangat capek, beristirahatlah dahulu biar aku berdiri saja
diluar sini, kan sebentar lagi fajar!" Ay Cing tidak menjawab seakan2 tidak
mendengar perkataannya ia tertunduk seperti memikirkan sesuatu tiba2 ia berkata
dengan gemas :" Hm, rupanya kalian, barangkali kalian sudah bosan
hidup!".
Hui Giok memandang perempuan
itu dengan bingung, ia tercengang mengapa Ay Cing mengucapkan kata2 yang sama
sekali tak dipahaminya. Tampaknya Ay Cing juga mengetahui kecengangan orang, ia
tersenyum sambil menunjuk ke dua pintu kamar : "Coba kau lihat!"
Hui Giok juga terkejut
dilihatnya sebuah gambar berbentuk bintang yang dilukis dengan kapur tertera jelas
di daun pintu kamar itu. Sudah cukup lama anak muda itu hidup perusahaan
pengawalan barng, banyak pula ia dengar cerita dunia persilatan dari para
piautau yang lebih tua, maka setelah melihat tanda gambar yang tertera di pintu
itu tahulah dia bahwa ada suatu komplotan penjahat meninggalkan pemberitahuan
sebelum melakukan pekerjaan mereka. Atau dengan perkataan lain, komplotan
penjahat seolah berkata demikian: "Barang ini sudah kami pesan, orang lain
jangan coba menyerobotnya!"
"Apakah kau tahu siapakah
mereka?" Tanya Hui Giok. Ay Cing mengangguk sahutnya sambil menunjuk
gambar bintang itu: "Coba perhatikanlah dengan seksama, apakah bintang itu
terdapat sesuatu yang aneh!" Hui giok memeriksanya dengan cermat anak muda
ini sebenarnya cerdik tapi lantaran mendapat pengekangan selama bertahun2
sehingga kehilangan kepercayaan dalam kemampuan dirinya sendiri, ibaratnya
sepotong batu permata yang belum digosok, sebelum digarap oleh seorang ahli
takkan terpancar sinarnya.
Selang sejenak ia menjawab:
"Gambar bintang yang sering kita lihat berbentuk segi lima, tapi bintang
ini bersegi tujuh, malahan enam segi bentuknya kecil dan satu diantaranya agak
besaran!" Ay Cing tersenyum memuji pikirnya :" Tajam juga daya
pengamatan anak muda ini." Sambil merapatkan pintu kamar itu katanya
kemudian:
"Benar inilah lambang
yang ditinggalkan oleh tujuh orang paling jahat di kolong langit ini. Hmm,
mereka berani mencari aku berarti sudah tibalah ajal mereka!"
"Siapakah mereka?"
Tanya Hui Giok. "Mereka adalah tujuh bersaudara yang menyebut dirinya
sebagai Pak to jit sat (Tujuh bintang malaikat maut) banyak kejahatan yang
telah mereka lakukan, kungfunya lihay, terutama Losam dan Lojit dari ke tujuh
bersaudara itu, mereka paling suka menggoda perempuan......." - sampai disini
tiba2 mukanya merah.
Hui Giok hanya mendengarkan
keterangan dengan seksama tanpa memperhatikan perubahan air muka seseorang.
Setelah merandek sejenak lalu Ay Cing menyambung pula : "baru kulihat
gambar bintang ini, pada segi yang besar bila menghitungnya dari atas ke
bawah......" Tiba2 ia berhenti lagi, tanyanya kepada Hui Giok: "Masih
ingatkah kau segi keberapa yang lebih besar?'
"Yang ketiga!" jawab
Hui Giok tanpa pikir. Sekali lagi Ay Cing tertawa kembali pikirnya,
"Pemuda ini segalanya memang hebat, kecerdikan dan ketajaman matanya
sampai daya ingatannya juga hebat.." Satu ingatan tiba2 melintas dalam
benaknya dia berpikir lebih jauh: "Dengan bakat serta kecerdasannya, tak
mungkin ia gagal belajar ilmu silat, padahal Liong heng pat ciang jelek2 juga
seorang yang ternama di dunia persilatan, sudah lama ia menyelami ilmu
pukulannya masa anak didiknya begini rendah ilmu silatnya!" ia menjadi
curiga, makin dikupas persoalan ini semakin dirasakan ada hal2 yang tak beres.
Akhirnya berpikir pula : "Anak jelas cerdik dan berbakat mengapa Liong
heng pat ciang mengatakan dia goblok?"
Leng gwat siancu betul2 tak
habis pikir, meskipun dia yakin di balik urutan ini pasti ada hal2 yang ganjil,
akan tetapi ia tak berani sembarangan menerkanya secara gegabah. "Lain
waktu akan kuselidiki persoalan ini sampai jelas!" demikian ia berjanji
dalam hati. Melihat Leng gwat siancu terpekur dan tidak bicara pula, dasar
pemuda timbul rasa ingin tahunya, Hui Giok lantas bertanya " Jadi menurut
tanda gambar ini, orang yang bakal dating nanti adalah Losam dari ketujuh
bersaudara itu."
"Benar" Ay Cing
mengangguk setelah tertawa dingin ia berkata pula : "Bila ia dating
mungkin tak dapat pergi lagi dari sini!"
"Jadi dia pasti akan
dating kemari setelah meninggalkan tanda pengenal ini" Tanya pemuda itu
lagi. Sekarang ia sudah menaruh kepercayaan atas kemampuan kungfu Ay Cing maka
dalam hati kecilnya ia malah berharap akan kedatangan ketujuh malaikat maut itu
secara lengkap agar ia sempat menyaksikan suatu pertarungan besar yang belum pernah
dijumpainya selama ini.
Ia tidak tahu Pak to jit sat
bukan manusia sembarangan, ilmu silat mereka pun sangat mendingan kalau yang
dating hanya seorang, andaikata ke tujuh orang bersaudara itu benar muncul
sekaligus, mungkin Leng gwat siancu akan kewalahan menghadapi mereka.
Ay Cing tersenyum :
"Datang sih pasti dating, Cuma kita tak tahu bilakah mereka muncul!"
setelah menghela napas panjang ia menambahkan :" yang lain tak perlu
dibicarakan, tampaknya malam ini aku tak bisa tidur nyenyak lagi?" kepalanya
tertunduk tiba2 ia melihat tubuhnya masih tertutup oleh baju luar saja, bagian
bawahnya terbuka sehingga tampak kulit badannya yang putih bersih bagaikan
kemala, cepat ia berpaling ke arah Hui Giok , tapi pemuda tampak bersandar di
meja, seperti sudah tidur dibawah cahaya lampu muka anak muda itu memang halus
seperti anak perempuan.
Kembali ia tersenyum, ia
terbayang kembali perbuatannya membuka pakaian di hadapan bocah itu mukanya
menjadi merah pula. Karena kehidupannya yang menyendiri dan wataknya yang
angkuh Ay Cing jarang tersenyum, tapi sekarang entah apa sebabnya seperti
terjadi perubahan besar dalam perasaannya untuk ini ia sendiripun tidak
mengerti. Perlahan ia berbangkit, maksudnya hendak berpakaian agar bila nanti
terjadi pertarungan gerakannya lebih leluasa, tapi baru saja tubuhnya bergeser,
Hui Giok telah membuka matanya ternyata pemuda itu belum tertidur.
"Mereka sudah
datang?" Bisik Hui Giok sambil kucek2 matanya. "Belum!" Ay Cing
menggeleng, "berbaliklah kau menghadap kesana, aku......" Hui Giok
tahu maksud perempuan itu, ia putar badan dan menatap ke dinding, tapi pantulan
sinar lampu di atas dinding tetap memancarkan bayangan tubuh Ay Cing ketika
melepaskan pakaian.
Hui Giok sudah terhitung
dewasa darah muda yang panas bergolak bagaikan ombak samudra akhirnya ia tak
than melihat sorot dinding tersebut ia pejamkan mata dan tak berani berpikir
lagi. Sekejap kemudian Ay Cing selesai saat itulah di atas atap rumah terdengar
gerakan yang sangat aneh, suara itu demikian lirihnya sehingga sama sekali tak
terdengar oleh Hui Giok tapi air muka Ay Cing kontan berubah cepat tangannya
mengebas lampu seketika padam. Gerakan itu dilakukan dengan enteng dan seperti
acuh tak acuh, namun kenyataannya amat cepat dan penuh tenaga, tak mungkin bisa
dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki ketajaman mata dan pendengaran
serta tenaga dalam yang telah mencapai puncak kesempurnaan.
Hui Giok merasakan
pandangannya menjadi gelap, sinar lampu tahu2 sudah padam, dia ingin berteriak
namun ingatan lain segera terlintas dalam benaknya ia pikir mungkin penyatron
ini telah dating?.
Maka ia urung bersuara,
melalui cahaya remang yang menembus masuk lewat jendela matanya terpentang
lebar2 memandang keluar. Tiba2 terasa napas hangat mengembus di samping ia
berpaling, hawa hangat itu terasa lebih kuat lagi kiranya Ay Cing telah berada
disampingnya.
"Jangan sembarangan
bergerak!" perempuan itu memperingati, "dan jangan bersuara dia sudah
dating." - Harum semburan napasnya dan memabukkan orang. Hui Giok benar2
tak berani bersuara bernapaspun tidak berani keras2 jantungnya berdebar sangat
keras sehingga Ay Cing dapat mendengarnya dan bertanya dengan suara tertahan :
"Kau takut ?"
Merah muka Hui Giok ia tahu
bukan lantaran takut jantungnya berdebar keras, tapi mana ia dapat menjawabnya.
Jendela kamar tiba2 terbuka dengan sendirinya walaupun tidak terembus angin,
menyusul bayangan berkelebat di depan jendela setelah ragu2 kemudian menerobos
masuk kedalam. Dari tindak tanduknya yang ceroboh bisa diketahui mungkin orang
ini meremehkan orang didalam kamar. Perawakan orang ini tinggi besar
gerak-geriknya enteng dan gesit, sewaktu melayang turun, sedikitpun tidak
menimbulkan suara, ini membuktikan bahwa kungfunya memang hebat.
Hal ini tidak perlu diragukan
lagi, sebab tanpa bekal yang cukup tak nanti ia berani menerobos masuk ke hotel
tanpa menguatirkan akibatnya. Leng gwat siancu mendengus, meski lirih suaranya
namun orang itu tampaknya sudah ulung dengan segera ia dapat menangkan suara
yang mencurigakan. Dia menyapu pandang sekeliling ruangan, kemudian hatinya
terkesiap juga setelah mengetahui ada dua sosok bayangan orang berduduk di
dalam kamar. Cepat penyantron ini melolos senjata, lalu dengan suara berat :
"Apakah rekan segaris yang berada di dalam kamar ini? Siaute Mo Se harpa
sebutkan namamu?"
Leng gwat siancu menarik
lengan Hui giok ia memberi tanda agar jangan bicara. Karena tiada jawaban
dengan tak sabar Mo Se berkata lagi: "Sobat malaikat sakti manakah kau?
Bila tetap membungkam jangan menyesal aku tidak sungkan2 lagi!" Orang yang
mengaku bernama Mo Se ini sebenarnya adalah jago kawakan yang berpengalaman
sekalipun barusan ia menerobos masuk ke dalam kamar secara gegabah, itupun
disebabkan ia terlalu memandang enteng musuh.
Tentu saja hal ini adalah
kecerobohannya, sebab ia pun tinggal di hotel ini, ketika Leng gwat siancu dan
Hui Giok mencari kamar tadi, dengan matanya yang tajam, sekali pandang saja ia
lantas tahu bahwa Ay Cing adalah perempuan yang menyaru laki2. Dasar gemar
bermain perempuan entah sudah berapa banyak perempuan baik2 yang rusak di
tangannya, ia jadi kesengsem melihat gaya Ay Cing yang memikat itu.
Ia tak berani memandang
terlalu lama, takut memukul mengejutkan ular, tapi diam menguntit dari
belakang, terhadap Hui Giok malah tidak perhatian, samar2 dia hanya tahu Ay
Cing masih didampingi seorang perempuan lain. Orang yang gila perempuan
biasanya nyalinya besar, ditambah kungfunya memang memang lihay semua ini
membuat Mo Se berani bertindak seenaknya mimpipun ia tak menyangka kalau
sasaran adalah Leng gwat siancu yang ganas itu, sebelum tengah malam tiba dia
sudah terburu2 menyatroni kamar orang.
Setelah Ay Cing mendengus, ia
baru sadar bahwa penglihatannya meleset, rupanya barang incarannya ini bukan
makanan empuk. "bahaya juga perempuan ini?" demikian berpikir,
"meski perempuan berdandan sebagai laki, agaknya ilmu silatnya lihay
juga." Otaknya lantas berputar dia coba mengingat siapakah di dunia
persilatan yang gemar berdandan sebagai laki2. selang sesaat hatinya tersasa
mantap sebab orang itu pada umumnya kungfunya selihay dia, nama dan kedudukan
juga tidak tinggi dan termashur dia.
Sayang seribu kali sayang di
telah melupakan seseorang, ia melupakan tokoh yang bernama Leng gwat siancu ini
disebabkan nama perempuan itu terlalu besar, terlampau disegani orang sebangsa
Mo Se sama sekali tidak menyangka perempuan cantik yang lemah lembut yang
ditemuinya sekarang ini adalah gembong perempuan yang bikin takut orang bila
mendengarnya.
Leng gwat siancu tertawa
dingin dan berkata " Hehehe, kau belum berhak untuk mengetahui nama besar
bibimu." Mendadak ia memotong secuil ujung meja dan dipergunakan sebagai
senjata rahasia. Dalam suasana yang gelap dengan sendirinya Mo Se tak tahu
senjata rahasia apakah yang digunakan orang ketika merasa desing angin tajam menyambar
tiba disertai tenaga dalam yang dahsyat sadarlah dia bahwa musuh lihay. Ia tak
berani gegabah secepatnya badannya bergetar dan mengegos ke samping, sekalipun
begitu terkesiap juga hatinya, sebab senjata rahasia tersebut menyambar lewat
di depan dadanya dan menghantam dinding.
Mo Se cukup berpengalaman,
melihat cara melepaskan senjata rahasia yang dilakukan oleh perempuan itu dia
makin yakin bahwa kungfu orang memang lihay dan belum pernah dilihatnya selama
ini. "Siapa gerangan orang ini?" pikirnya dengan terkesiap, tanpa
ajal ia terus menerobos keluar jendela. Leng gwat siancu tertawa dingin,
katanya sambil berpaling ke arah Hui Giok:
"Tunggu, aku disini
sebentar lagi aku kembali !" baru Hui giok mau menjawab tahu2 bayangan
Leng gwat siancu sudah lenyap dari pandangan. Melihat kelihayan orang Hui Giok
menghela napas dan berpikir : "Bilakah aku bar dapat mencapai ilmu selihay
ini?" - karena kesal ia menjadi lelah dan merasa lapar.
Kalau Cuma lelah masih
mendingan, rasa lapar itulah yang menyiksanya sudah seharian penuh dia berpuasa
dan sekarang tengah malam sudah kemana akan mencari makanan. Dalam pada itu,
dengan beberapa kali loncatan Mo Se sudah berada beberapa tombak jauhnya dari
tempat semula, memang ilmu meringankan tubuhnya terhitung paling tinggi di
antara ke tujuh saudaranya, namanya di dunia ini cukup terkenal dalam hal
Ginkang. Dengan kepandaian andalannya itu ia yakin dapat lolos dari cengkeraman
orang, ia cukup cerdik pandai melihat gelagat dan cepat pula reaksinya
merasakan gelagat tidak menguntungkan ia lantas kabur. Sebab itulah kendati
sudah banyak kejahatan yang dilakukannya namun sejak terjun ke dunia persilatan
belum pernah orang menderita kerugian besar.
Ia sangka keadaan yang
dihadapinya sekarang tidak berbeda meskipun niatnya tidak kesampaian, toh tidak
sampai kecundang. Siap tahu, tiba2 dari belakang terdengar suara orang tertawa
dingin, suara itu seakan2 timbul dari belakang punggungnya dalam kejutnya Mo Se
tak berani berpaling lagi, ia tancap gas dan meluncur ke sebelah kiri. Ia
menyangka perempuan itu pasti akan ketinggalan jauh siapa tahu suara tertawa
dingin itu masih berkumandang tiada hentinya, selalu muncul di belakang
punggungnya meski pelbagai cara telah ia gunakan untuk meloloskan diri akan
tetapi suara tertawa dingin itu seperti melengket di belakang seolah2 bayangan
sendiri.
Sekarang dia baru kenal
rasanya takut, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, ia sadar ilmu
meringankan tubuh orang ternyata beberapa lebih tinggi daripadanya, ia menjadi
nekat mendadak ia putar badan, secepat kilat senjata goloknya diloloskan dan
menabas ke belakang serangan gencar dan nekat sama sekali tidak memakai
perhitungan.
Mendingan kalau ia ngebut
terus ke depan begitu putar badan rasa ngeri dan kagetnya tak terperikan. Di
belakangnya kosong melompong dan tidak ada sesuatu, kecuali atap rumah di
kejauhan yang remang2 tersorot sinar bintang, tiada sesuatu apapun yang
ditemuinya hanya keheningan dan kegelapan belaka, bayangan setanpun tidak
kelihatan.
Baru saja ia putar badan lagi,
suara tertawa dingin itu kembali berkumandang pula di belakang ia berpaling
cepat, tetap nihil hasilnya. Kedua lututnya terasa lemas sejak terjun ke dunia
persilatan belum pernah Mo So mengalami ketegangan dan kengerian seperti ini,
kalau bisa dia ingin kabur sejauh-jauhnya dari tempat celaka ini dan
menyembunyikan diri. Dalam panik dan gugupnya Mo Se berhasil juga mendapatkan
akal bagus, tentu saja tanpa pengetahuan dan pengalaman yang cukup tak nanti
dapat menemukan akal ini.
Mendadak ia menjatuhkan diri
sikut, bahu dan tumit digunakan bersama sekaligus diatas atap rumah itu, juga
dia mendemonstrasikan kehebatan ilmu Yan Cing Cap Pwe hoan (18 kali jumpalitan
gaya Yan Cing) yang lihay. Tokoh Yan cing dalam cerita 108 pahlawan liangshan
tersohor karena ilmu meringankan tubuhnya yang dijadikan andalan pada waktu
malang melintang di dunia persilatan.
Maka sekarang Mo Se juga
menggunakan ilmu itu untuk melepaskan diri dari gangguan tertawa dingin yang
selalu menempel di belakang punggungnya. Memang jarang sekali ada jago
persilatan yang dapat mendemonstrasikan ilmu kepandaian tersebut di atas atap
rumah, sebab untuk bisa mempergunakan secara jitu, orang harus dapat
menggunakan tenaga yang tepat dan seimbang pada bagian punggung, sikut, bahu
dan lutut serta tumit kaki, ibaratnya seekor kucing yang jumpalitan sedikit
meleng saja akan tergelincir jatuh ke bawah.
Bukan begitu saja usaha Mo Se
untuk menyelamatkan diri, berbareng goloknya berputar kencang menciptakan
selapis cahaya putih berkilau untuk melindungi badannya. Dalam keadaan begini
ia tidak berharap akan melukai musuh yang penting lolos dulu dari cengkeraman
musuh, karenanya setelah bergulingan tiga kali, cahaya goloknya mulai berputar
menciptakan satu garis bianglala berwarna perak. "Siuut", mendadak ia
melayang ke bawah rumah sebelah belakang.
Licin juga malaikat ketiga Pak
to jit sat ini caranya meloloskan diri dari kesulitan yang dihadapinya ternyata
istimewa, setelah gagal kabur dari cengkraman orang dengan ilmu meringankan
tubuhnya, ia memutuskan untuk menyusup kebawah rumah, bila ada kesempatan dia
akan sembunyi di tempat gelap atau bila perlu bersembunyi di dalam salah satu
rumah penduduk yang terbesar disekitar situ, dengan begitu akan sulitlah bagai
Leng gwat siancu untuk mencari jejaknya.
Bagus juga perhitungan swipoa
orang ini, di luar dugaan baru saja ujung kakinya menjejak permukaan tanpa
suara tertawa dingin yang menyeramkan tadi sudah berkumandang lagi di belakang.
Mo Se betul2 panik, goloknya serta merta menabas ke belakang, angin mendesing
tajam, boleh juga tenaganya.
Tapi iapun menyadari bacokan
itu takkan bisa berhasil mengenai sasarannya cepat ia berputar di antara cahaya
golok yang membentuk setengah lingkaran mendadak golok disentak ke atas
menyusul ia menabas dan membacok dengan Giok tay wi yau ( (sabuk kemala melilit
pinggang) serta Bwe hoa ciok liok (bunga bwe jatuh berguguran). Sreet! Sreet!
Setiap serangan dia lakukan dengan keji, ganas dan cepat.
Tapi setiap serangan itu
selalu mengenai tempat kosong. Diantara gulungan cahaya golok yang bertebaran
kelihatan sessosok bayangan berwarna putih yang berkelebatan seperti baying
setan yang melayang kian kemari disampingnya, sekarang peluh dingin membasahi
telapak tangannya membasahi pula gagang goloknya namun Mo Se tak berani menghentikan
serangannya, ia putar terus senjatanya sedemikian rupa sehingga tak tertembus
air sekalipun. Leng gwat siancu tertawa dingin, ia msih terus berputar di
sekeliling lawan, kedua tangannya tampak terjulur ke bawah ia tidak balas
menyerang, namun Mo Se yang sudah menggunakan segenap jurus ilmu golok Ngo hou
toan bun to ( lima harimau pemutus sukma ) tetap belum berhasil menyentuh ujung
baju lawan.
Tempat pertarungan itu
berlangsung di halaman belakang rumah penginapan, tentu saja pertarungan itu
segera mengejutkan tetamu lain namun tak seorangpun yang berani keluar untuk
mencampuri urusan itu, mereka malah menutup pintu dan jendelanya rapat2
memandang sekejap saja tidak berani.
Malam cukup dingin, namun
butiran keringat menghiasi jidat Mo Se mengucur terus dengan derasnya,
permainan goloknya makin kacau, tenaga dalamnya mulai habis. Sreet! Sreet!
Beruntun ia melancarkan tiap kali tabasan kilat dengan tenaga penuh, habis itu
mendadak ia meloncat ke belakang ia berdiri dengan punggung menempel di dinding.
Goloknya masih diacungkan ke
depan, ditatapnya wajah Leng gwat siancu dengan napas tersengal lalu berkata :
"Ilmu silat orang she Mo kurang becus, mataku buta dan tidak tahu akan
kelihayan sobat, untuk itu aku mengaku kalah. Sobat hendaklah mengingat sesama
orang persilatan, harap sebutkan namamu, selama gunung yang menghijau dan air
tetap mengalir, bila berjumpa di kemudian hari kami bersaudara Mo pasti akan
membalas budi ini!"
Ucapan itu tidak terlalu
angkuh juga tidak terlalu merendahkan derajat sendiri, sekalipun sudah
kecundang, akan tetapi cukup terhormat. Mendingan kalau Leng gwat siancu mau
terima ucapan itu, sayang perempuan ini tak doyan yang empuk juga tidak suka
pada yang keras, sekalipun digunakan kata2 yang paling manis, tak nantik hatinya
akan tergerak atau menjadi iba.
Sambil tertawa dingin
selangkah demi selangkah Leng gwat siancu maju ke muka mendekati musuh yang
makin ketakutan. Ia masih memakai baju laki2 ketika ada angina berhembus dan
mengibarkan ujung bajunya terlihat bentuk badannya yang padat dan mempesona
itu. Tapi biarpun Mo se biasanya memang mata keranjang, sekarang ia tak berani
lagi melirik tubuh yang menawan ini, ia malah menggigil ketakutan katanya lagi
dengan suara terputus2: "Sobat, orang she Mo kan belum menyentuh tubuhmu,
mengapa kau mendesak terus diriku ini?" nadanya jelas menunjukkan rasa
jerinya.
Ay Cing tidak menjawab, ia
tertawa dingin, seakan2 tidak paham ucapannya itu, salah Mo Se sendiri malaikat
maut nomor tiga dari Pak to jit sat ini sudah tersohor kebejatan moralnya
karena itulah Leng gwat siancu tak mengampuni jiwanya. Ia berjalan sangat
lambat, selangkah demi selangkah maju ke muka namun setiap kakinya itu seakan2
menghancur lumatkan hati Mo se rasa takutnya sekarang tercermin nyata pada
wajahnya. "Sobat!" akhirnya dia berkata sambil menghela napas "
aku mengaku kalah aku tak bisa berbuat apa2 lagi, terserah apa yang hendak
kaulakukan atas diriku!"
Ia buang goloknya ke tanha
lalu angkat tangannya ke atas, tapi pada detik itu juga dengan kecepatan yang
tinggi tangannya terayun ked epan, berpuluh2 bintik cahaya tajam menyamber
keluar dari lengan bajunya dan mengurung sekujur tubuh lawan, itulah Jit seng
sia au (busur sakti tujuh bintang) andalannya. Meskipun Jit seng sia au disebut
sebagai busur akan tetapi yang dipakai bukan anak panah tapi melainkan sebangsa
jarum lembut yang beracun.
Jarum beracun itu disimpan
dalam sebuah tabung rahasia yang letaknya di balik ujung lengan baju bila
tombol rahasia pada tabung tersebut dipencet maka menyemburlah tujuh batang
jarum dari tiap tabung rahasia tersebut, baik ditangan kiri maupun kanannya.
Apabila jiwanya tidak terancam benda ini jarang sekali digunakan ia tak suka
memakainya secara gegabah tapi itu satu digunakan musuh harus dirobohkan.
Sekarang kedua belah tangannya
bergerak sekaligus , empatbelas batang jarum beracun serentak menyembur ke
depan, wilayah seluas dua tombak di sekitar arena talh berada dalam lingkaran
jangkauannya. Padalah waktu itu Leng gwat siancu hanya berdiri tujuh delapan
kaki di depannya dalam keadaan begini tampaknya ia akan binasa oleh jarum
rahasia tersebut.
Entah berapa puluh kali
pertarungan seru pernah dialami Mo se dan entah berapa banyak jago kenamaan
yang sudah jatuh kecundang oleh 14 batang jarum beracunnya itu, sekarang ia merasa
yakin bahwa serangan yang paling diandalkan tiu pasti akan mendatangkan hasil
yang diinginkan. Leng gwat siancu tetap tertawa dingin, dia hanya mengebaskan
tangannya dengan enteng, tahu2 ke 14 batang jarum lembut itu lenyap tak
berbekas, entah kemana hilangnya.
Pucat muka Mo se menyaksikan
peristiwa itu bayangan seseorang seketika melintas dalam bentaknya ia menjerit
kaget: "Hah? Jian Ju suseng!" sekarang ia hanya bisa bersandar di
dinding dengan lemas, sedikitpun tak bertenaga untuk melakukan perlawanan lagi.
Apabila Ay Cing mementalkan serangan jarum beracun itu dengan pukulan jarak
jauh atau menghindar dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, meski Mo
se akan terperanjat namun rasa kagetnya tak akan sehebat sekarang, sebab
kepandaian yang didemonstrasikan Ay Cing barusan tak lain adalah ilmu Ban liu
kui cong (selaksa aliran akhirnya bertemu menjadi satu) kepandaian khas Jian Ju
Suseng ilmu inipun kebanggaan Kiu sianseng, seorang tokoh aneh yang termashur
pada puluhan tahun berselang.
Sudah lama sekali Mo se
berkelana didunia persilatan, sekalipun belum pernah menyaksikan ilmu sakti
ini, tapi sudah terlalu banyak yang didengarnya tentang kepandaian ini, dan
dikolong langit hanya Ban liu kui cong saja yang menghisap senjata rahasia Jit
seng sin nu andalan Mo se ini.
Sebaliknya dalam dunia
persilatan hanya Jian ju suseng suami istri pula yang bisa mempergunakan ilmu
sakti yang luar biasa ini keruan serta merta ia teringat pada gembong iblis
yang disegani itu. Dalam jeritannya tadi Mo se telah menyebutkan Jian ju suseng
namun dalam hati ia pun tahu jelas bahwa perempuan yang dihadapinya sekarang
bukan lain adalah Leng gwat siancu. Seketika tubuhnya menggigil.
Perlahan Ay cing maju ke muka,
kian lama jarak mereka kian mendekat malaikat mautpun makin dekat akan
merenggut jiwanya, tiba2 Mo se meraung keras, kesepuluh jari tangannya
terpentang lebar, seperti harimau kelaparan diterkamnya perempuan itu secara
ganas gerakan yang bukan pencak bukan silat, hanya nekat, kalau bisa hendak
mencabik2 tubuh musuh. Mo se menjerit kesakitan, ke empat belas batang jarum
beracun itu serentak menancap di sekujur tubuhnya Jit seng sin nu yang
diandalkan olehnya sekarang merenggut nyawanya sendiri.
Selesai melepaskan serangan
itu, Leng gwat siancu putar badan dan berlalu dari sana, ia tak pernah
memandang lagi ke arah korbannya bayangan putih berkelebat di halaman yang
sunyi hanya tertinggal Mo Se yang masih mengerang menantikan ajalnya. Dengan
kecepatan paling tinggi Ay Cing meronda satu kali di seputar hotel itu, kemudian
menemukan kembali kamarnya yang masih terbuka jendelanya ia menerobos masuk
tanpa berpikir panjang, dilihatnya Hui Giok dengan baju merahnya telah
berbaring di ranjang, tampaknya anak muda itu sudah tertidur pulas. Ay Cing
tersenyum, bisiknya " Eh kau sudah tidur?"
Hui Giok tidak bergerak dia
berbaring dengan kepala menghadap kesana. Ay Cing menguap ia merasa lelah, maka
tanpa melepaskan pakaiannya lagi ia berbaring di sudut tempat tidur. Entah
mengapa meski mata terasa mengantuk dan badan terasa lemas sukar rasanya untuk
pulas ia hanya pejamkan mata untuk memulihkan tenaga. Gelap ruangan kamar yang
remang sinar bintang yang terpantul ke dalam kamar tiba2 ia merasa dingin,
dalam keadaan layap2 ia merasa tubuh Hui Giok seperti bergerak sedikit dia membuka
mata dan menengok kebetulan cahaya bintang menyinari wajah yang berada
disampingnya, seketika ia menjadi kaget.
Ternyata orang ini bukan Hui
Giok bahkan orang ini sedang memandanginya sambil mendengus. Pucat muka Ay cing
sekuat tenaga ia hendak melompat bangun, tapi baru bergerak orang itu tidak
kurang cepatnya tahu2 pinggang Ay Cing terasa kesemutan, kontan ia roboh
terkapar lagi di tempat tidur. Orang itu tersenyum puas, sekali bergerak dengan
enteng ia melompat turun setelah melepaskan pakaian perempuan warna merah itu,
tertampaklah baju ringkasnya yang terbuat dari bahan mahal.
Ia berjalan ke belakang
pembaringan dan memandang sekejap ke arah Hui giok yang menggeletak di lantai
dengan jalan darah tertutuk, tersembul senyuman keji di ujung bibirnya, setelah
mengenakan kembali jubah abu2 yang tergantung di balik pembaringan itu,
dihampirinya Ay Cing sambil berseru:
"Tentu tak kau sangka aku
akan datang kemari bukan!" nadanya dongkol dan menyesal " Lebih2 kau
takkan mengira akhirnya kau akan tertangkap olehku bukan?" jengek orang
itu dengan sinar tajam bagaikan sorot mata burung elang ejeknya lebih jauh
sambil tertawa dingin " Hehehe, sekarang apa yang akan kau katakan
lagi?"
Seperti elang mencengkeram
anak ayam ia angkat tubuh Ay cing dengan enteng dan tenang. Sebelum
meninggalkan ruangan itu, dengan tertawa dingin ia melompat ke belakang
pembaringan dengan jari tangannya yang tajam ia tusuk dua kali di tubuh Hui
Giok kemudian putar badan dan melayang keluar. Begitu enteng dan gesit gerak
tubuh orang itu, seakan2 segumpal asap yang terhembus angin, Hui Giok merasa
penasaran karena diperlakukan sewenangnya tapi apa yang terjadi inipun
membuatnya bingung.
Tadi setelah mengawasi Ay cing
berlalu dengan rasa kagum Hui Giok merasa lelah dan lapar apalagi ketika
melihat baju perempuan berwarna merah yang dikenakannya itu, ia merasa malu
bercampur geram terlalu banyak pengalaman yang ditemuinya dalam sehari ini hari
pertama ia meninggalkan Hui liong piaukiok apa yang dialaminya dalam sehari
rasanya jauh lebih banyak daripada pengalaman hidupnya selama ini, ia merasa
sedih, tapi juga bersemangat. Dilepaskannya pakaian perempuan yang dikenakannya
itu, tapi sebelum selesai tiba2 ia dengar sesuatu suara cepat ia menengadah.
Dilihatnya sejak kapan seorang
laki2 jangkung berbadan kurus telah berdiri di situ, wajah orang itu tak jelas
terlihat ia menjerit kaget dan menyurut mundur. Orang berjubah panjang warna
abu2 dengan membesarkan nyalinya Hui giok mencoba menegur : "Siapa
kau?"
"Siapa pula kau?"
bukan menjawab orang itu malah balik bertanya sambil menjawab. Merinding Hui
giok dia tergegap dan tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Kembali orang
tersebut tertawa dingin, dai menggeser lebih ke depan, dan tegurnya lagi "
dimana Ay Cing?" kebetulan orang itu berpaling, di bawah cahaya remang2
yang menembus masuk lewat jendela Hui Giok sempat melihat wajah orang itu dari
samping, orang ini berdahi lebar dan berhidung elang.
"Dimana Ay cing?"
kembali orang itu mendesak sambil maju selangkah lagi ke depan. "Dia
keluar!' sahut Hui Giok seraya menuding ke luar jendela. Berputar biji mata
orang itu mendadak ia menubruk maju pinggang Hui Giok terasa kesemutan Hiat to
bagian punggungnya sudah tertutuk. "Makanya tak kutemukan dia, kiranya dia
punya laki2 lain!' guman orang itu sambil mencengkeram tengkuk anak muda itu
dan mengangkatnya. Ia menatap wajah Hui Giok sambil meludah ia memaki :
"Tak nyana ia dapat tertarik oleh kunyuk yang laki bukan perempuan bukan
macam kau ini!"
Hui Giok tak tahu apa yang
dimaksudkan orang ia pun tak tahu siapa orang itu, tapi samar2 dapat memahami
katanya yang terakhir ia merasa penasaran tapi tak dapat membantah.
"Bluk!" orang itu membanting Hui Giok ke belakang pembaringan, anak
muda itu merasa ke empat anggota badannya jadi lemas dan kesemutan, sedikitpun
tak mampu berkutik lagi. Rupanya sebelum tinggal pergi, kembali orang itu
menutuk lagi di dada dan pinggangnya.
Entah berapa lama sudah lewat,
mungkin hanya sebenar, namun ia merasa waktu berlalu dengan sangat lambat
seakan2 sudah setahun lamanya, telinganya yang menempel di permukaan tanah
mendadak mendengar sedikit suara seketika bulu roma pada berdiri tanpa terasa
tenggorokannya mengeluarkan suara rintihan. Pandangannya terasa kabur, sepasang
sepatu kain yang besar tahu2 sudah berada di depannya, ia tak dapat bergerak,
karenanya tak dapat melihat badan bagian atas orang itu.
Menyusul orang itu menggeser
kakinya dan mendepak dua kali di pinggangnya Hui giok merasa kesakitan namun
tubuhnya terasa kaku dan tak mampu berkutik. Agak nya orang itu jadi kaget, ia
bergumam sendiri : "Oh kiranya tutukan khas miliknya"
Dia angkat tubuh Hui Giok
dengan cepat dia menepuk belasan kali di punggung anak muda itu. Ruas tulang
sekujur badan Hui giok serasa lepas semua, tiba2 ia tumpah segumpal riak kental
meski badannya masih terasa sakit tapi sekarang dapat bergerak leluasa.
Pelahan dia merangkak bangun,
dilihatnya orang itu adalah seorang laki2 berjubah warna perak, air mukanya
seakan2 memandang rendah padanya, ia berjenggot pendek mukanya tampan tapi angkuh
dalam pandangan Hui Giok orang ini mirip malaikat teringat dirinya yang tak
bisa apa2 timbul perasaan mindernya ia merasa dirinya terlalu kecil, terlampau
bodoh dan tidak sebanding denga orang.
Sementara fajar sudah tiba,
remang2 Hui Giok dapat melihat air muka orang dan orang inipun dapat melihat
air muka Hui Giok ia berkerut kening tampaknya merasa jijik. Tak terperihkan
sedih Hui Giok kepalanya tertunduk rendah ia merasa suasana begitu tenang suara
apapun tak terdengar olehnya, bumi raya ini seolah2 tertidur nyenyak.
Tiba2 ia merasa orang itu
mendepaknya lagi ia menengadah dilihatnya orang itu menggerakan bibirnya
seperti lagi mengucapkan sesuatu kepadanya, tapi ia tak mendengar apa2 timbul
rasa ngerinya dia ingin berteriak sekerasnya, namun yang keluar hanya suara
"ah-ih" belaka. Saking cemasnya ia menjambak rambut sendiri seketika
perasaannya seperti tertindih oleh belasan batu bernapas saja sukar.
Orang itu mengamati Hui giok,
tiada rasa kasihan sedikitpun pada sinar matanya, dunia ini seolah2 tiada
sesuatu persoalan yang berharga untuk dikasihani olehnya, ia hanya memandang
dengan sinis. Dijambaknya rambut Hui Giok dan diamati pula sekejap, mendadak
dilepaskan pula lalu gumamnya lirih: "bangsat itu sungguh terlampau
keji." Kemudian ia memandang Hui Giok dan menambahkan lagi: "Salahmu
sendiri tak becus?"
Tanpa bicara lagi ia terus
melayang pergi, cepat sekali gerakan tubuh orang itu, seakan2 lebih cepat dari
pandangan orang, baru Hui Giok tahu2 jejaknya sudah lenyap tak berbekas. Air
mata jatuh membasahi wajah Hui Giok ia tahu bukan saja telinganya sendiri jadi
tuli, bahkan juga bisu. Meski tidak terdengar olehnya apa yang dikatakan laki2
tadi, tapi dari wajahnya yang sinis dapat dirasakan olehnya betapa orang
menghinanya. Watak Hui giok cukup angkuh sekarang dihina di sana sini, ketika
bertemu dengan Leng gwat siancu baru saja timbul harapannya akan belajar lebih
mahir, tahu2 terjadi hal seperti ini hingga punah pula harapannya malah dirinya
berubah menjadi seorang yang cacat dan tuli.
Sampai sekian lama ia pegang
leher sendiri dengan perasaan sedih, mungkin dia ingin mati saja daripada hidup
menanggung derita. Dunia ini dan nasib sungguh terlalu kejam kepadanya, sebagai
seorang yang penuh pengharapan, sepantasnya ia mirip sang surya ditengah hari
yang cemerlang, akan tetapi nasib telah berbicara lain, ia ditakdirkan
menderita, bagaikan langit yang mendung, bagaikan malam yang gelap diselingi
hujan badai.
Fajar telah menyingsing sang
surya memancarkan sinarnya ke empat penjuru dan menyoroti ruangan kamar itu
hingga terang benderang. Cahaya sang surya yang menyoroti debu di ruangan itu
menciptakan selakur tiang debu warna kelabu, Hui Giok termangu2 merenungi
nasibnya, ia bertanya pada dirinya sendiri: "Mengapa hanya ditempat yang
bersih baru terlihat debu." Tapi ia segera menemukan jawabannya bagi
dirinya sendiri: "Ya sinarlah yang menerangi debu2 itu hingga terlihat
jelas, di tempat yang tak ada sinar juga ada debu, Cuma saja tidak
kelihatan."
Tertunduk kepalanya ia merasa
hatinya makin hampa pikirnya lebih jauh : "Betapa tidak adil dunia ini,
mengapa cahaya di dunia tak dapat menerangi semua debu dan kotaoran yang ada
dibumi ini? Mengapa ada pula debu kotoran yang dibiarkan sembunyi di balik
kegelapan? "
Tiba2 pintu diketuk orang
menyusul terdengar suara pelayan di luar: "Tuan tamu, hari sudah terang,
bangunlah bila mau melanjutkan perjalanan!" suara pelayan itu cukup keras
dan lantang akan tetapi Hui giok tidak mendengar apa2 waktu itu cahaya sang
surya yang memancar masuk lewat jendela semakin cemerlang, tapi hatinya justru
kebalikan daripada suasana di luar.
"Hari sudah terang, aku
harus pergi! Tapi kemana aku harus pergi?" demikian pikirnya. Meskipun ia
menahan perasaannya sedapatnya, tak urung meleleh juga air matanya.
"Seorang laki2 sejati lebih baik mengucurkan darah daripada mengucurkan
air mata, aku tak boleh menangis," sambil menggertak gigi ia bangkit
berdiri dan memeriksa sekeliling ruangan itu.
Dilihatnya buntalan kecil
milik Leng gwat siancu itu masih berada di atas meja, ia menjadi sangsi dan
berpikir: "buntalan ini bukan milikku bolehkah aku bawa pergi?"
bimbang tapi ia teringat olehnya setelah menginap di hotel ini kan harus
membayar sewa kamar. Maka ia lantas menghampiri meja dan membuka buntalan itu,
dilihatnya isi buntalan itu ada sepotong emas dan beberapa kepingan uang perak.
Diambilnya sedikit uang perak
itu, kemudian dibungkusnya kembali buntalan itu, setelah membetulkan bajunya ia
keluar dari kamar itu, karena terjadinya pertarungan sengit semalam mau tak mau
pelayan memandang lain terhadap Hui Giok, karena itu meski heran bahwa kemarin
ada dua orang yang masuk ke dalam kamar, tapi hari ini hanya seorang yang
keluar.
Pula kemarin Hui Giok
berdandan sebagai perempuan pagi ini telah berubah menjadi laki2. tap pelayan
tak berani bertanya ia malah memperingatkan dirinya sendiri " Awas jangan
mencampuri urusan orang siapa tahu dia ini seorang perompak samudera, kalau
mencampuri urusannya, bisa jadi sekali bacok akan mengirim kau pulang ke rumah
nenek!"
Maka dengan hormat dia
menghampiri tamunya Hui giok memberinya beberapa keeping uang perak kepadanya
sambil memberi tanda maksudnya ingin berkata : "Sisanya tak perlu kembali
ambil saja!" pelayan itu mencoba menghitung kepingan uang tersebut, tapi
bukannya ada kelebihan sebaliknya malah kurang sedikit, akan tetapi ia tak
berani bicara, dituntunnya kuda milik Ay Cing itu ke hadapan Hui Giok sambil
tersenyum yang dibuat2 katanya " Selamat jalan!'
Walaupun ramah di luar,
pelayan itu menyumpah di dalam hati: "Monyet bayar saja yang kurang
lagaknya cukong gede, Hm! Melihat tampangmu ini, delapan bagian pasti
bencong."
Sudah tentu Hui Giok tidak
tahu dikutuki maklum apa yang diucapkan pelayan itupun Hui Giok tak dengar
apalagi yang dipikirkan orang. Setelah memegang les kuda itu, dengan girang
pikirnya : "Ah dengan kuda ini, dapatlah ku pergi kemana2 saja
kuinginkan!"
Sudah tentu sedikit rasa
gembira ini masih selisih jauh bila dibandingkn dengan kesedihannya. Sambil
menuntun kudanya, pemuda sebatang kar yang kini telah menjadi tuna rungu dan
tuna wicara itu berjalan sambil melamun, merenungkan tempat yang akan
ditujunya.
Tiba2 ia tersentak kaget ada
dua orang berjubah panjang dan membawa gada sedang menghampirinya salah seorang
diantaranya yang memakai koyo di kedua belah pelipis, begitu mendekat terus
mendorong anak muda itu dan menegur: "Hei darimana kau curi kuda
ini?" Hui Giok tertegun, ia tidak mendengar dan tidak tahu pula apa yang
terjadi.
"Hayo ikut kami
kantor?" kembali laki2 itu membentak sambil mengayunkan gadanya. Orang2
yang berlalu lalang ditempat itu sama membatin didalam hati " Agaknya opas
ini berhasil menangkap pencuri kuda!" Padahal kedua orang laki2 itu memang
petugas keamanan, akan tetapi tuduhan mereka itu sama sekali tak berdasar, yang
benar semalam mereka habis bergadang dan kalah main Pay ku gaji sebulan ludas
di meja judi, maka pagi ini mereka berkeliaran mencari mangsa yang sekiranya
dapat diperas.
Kebetulan dijumpainya Hui Giok
yang kelihatan mencurigakan, mereka bertambah bangga lagi ketika anak muda itu
tidak menjawab atau memberi reaksi apa2 segera mereka menghardik lagi,
"Orang ini pasti maling kesiangan, coba lihatlah pakaiannya jelek dan
dekil tapi kudanya adalah seekor kuda jempolan, kalau bukan hasil curian
darimana ia memperoleh kuda ini ? "tanpa banyak bicara lagi orang itu
merampas kuda itu dengan kaget Hui Giok berusaha mempertahankannya, ia ingin
berbicara, namun tak sepotong katapun tercetus.
"Plak!' opas itu
menempelengnya sekali, lalu memaki lagi : "Anak jadah, masa kau berani
menyangkal ! "- menyusul ia menggampar lagi. Gusar dan dongkol Hui Giok ia
melompat ke depan dan menjotos. "bajingan kau berani melawan!" teriak
opas itu makin berang. Ia pura2 menghantam, kaki lantas mendepak kontan Hui
Giok terjatuh ke atas tanah, opas itu memburu maju dan menyepaknya lagi
beberapa kali dengan gemas.
Kasihan Hui Giok, sudah sekian
tahun belajar silat pada Liong heng pat ciang Tham Beng akan tetapi sekarang ia
dihajar dengan mudah oleh seorang opas tanpa bisa melawan. Menghajar maling
memang pekerjaan rutin bagi petugas itu, yang satu menyepak sambil mencaci maki
yang lain picingkan mata dan pura melerai sambil berkata " Lothio,
sudahlah! Tak perlu digebuki lagi, cukup kita bawa barang curiannya... coba
lihat pencoleng patut kita kasihani, kita bebaskan saja!"
Opas yang memakai koyo pada
pelipisnya ini melirik sekejap kearah kuda bagus itu, setelah memperkirakan
uang kekalahannya semalam sudah kembali, bahkan masih ada kelebihannya, rasa
penasarannya segera lenyap sebagian besar. Ia meludah ke wajah Hui Giok sambil
menuntun kuda itu ia siap2 berlalu. Tiba2 laki kurus kawannya berkata lagi
"Lothio coba lihat maling
ini membawa sebuah buntalan siapa tahu kalau barang curian juga? Coba kita
periksa isinya!" Buntalan kecil yang dipertahankan Hui Giok mati2an
akhirnya dirampas juga oleh opas itu, dengan mata yang bersinar terang dan muka
yang berseri mereka ambil semua uang perak yang ada didalam buntalan itu
dibuang ditanah dan kedua orang itu berlalu.
Hui Giok meronta bangun, rasa
sakit badan sama sekali tak dipikir oleh pemuda itu tapi rasa penasaran karena
dihina dan dianiaya semua inilah yang membuat hatinya hampir saja meledak.
Dengan bungkam ia menengadah, memandangi langit dan mengeluh : "Mengapa
orang2 itu menganiaya diriku? Menghina aku? Beginikah nasibku? Apakah hidupku
ini hanya untuk dihina dan dipermainkan orang lain!"
Ia sangat benci kepada kedua
petugas yang telah merampas kudanya ia pun membenci orang yang berada di
sekitar jalanan, mereka melihat perbuatan sewenang2 tapi tiada seorangpun berani
membuat keadilan. Tapi hanya marah dan benci saja takkan mendatangkan manfaat
apa2 dengan sempoyongan ia pungut kembali buntalan tadi, ia berharap dapat
menemukan sekeping uang perak untuk membeli penganan dan menangsal perutnya
yang lapar, akan tetapi kembali ia kecewa tak sekeping uang pun yang tersisa
yang masih ada cuma dua jilid kitab yang tipis.
Sampul kitab itu terbuat dari
kertas berwarna hitam, tiada tulisan di atas sampul, sekarang iapun tiada minat
untuk membaca kitab. Entah berapa jauh dia berjalan, perutnya terasa semakin
lapar dan hampir2 tak tahan. Meski demikian, ia tak sudi mengemis, merengek2
minta belas kasihan orang lain. Pekerjaan ini tak sudi dilakukannya. Ia
berhenti di tengah jalan, mukanya sayu dan mengenaskan seorang laki2 gemuk
penjual siopia beriba hati, diambilnya dua potong kueh itu dan diberikan
padanya dengan senyum dikulum.
Hui Giok sangat terharu dan
terima kasih atas kebaikan orang itu, ia merasa tenggorokannya seakan2
tersumbat, selama hidup belum pernah ia menerima pemberian yang begitu
berharga, wajah si gemuk diamatinya dengan seksama dan diukir didalam hatinya
" Mukamu bulat, sebuah tahi lalat besar di daun telinga kiri selama hidup
takkan kulupakan dirimu, suatu ketika pasti akan kubalas budi kebaikannmu
ini!".
Waktu itu si gemuk sedang
melayani pembelinya, membungkus siopia dengan secarik kertas kumal, sambil
makan siopia tadi hati Hui giok tergerak satu ingatan melintas dalam benaknya
dua jilid kitab tua yang berada didalam buntalan itu segera dikeluarkannya dan
diserahkan kepada si gemuk maksudnya hendak berkata " Aku telah makan
kuemu, sekarang kubayar dengan dua jilid kitab ini dan dapat kau gunakan untuk
membungkus daganganmu!" nyata anak muda ini tak suka menerima kebaikan
orang dengan percuma. Laki gemuk itu membalik halaman kedua jilid kitab itu,
lalu diserahkan kembali kepada Hui Giok, tangannya digoyangkan beberapa kali
maksudnya : "Tidak, aku tak mau membaca" kembali ia mengambil satu
biji siopia dan diangsurkan kepada anak muda itu.
Hui Giok menerima kembali
kitabnya dan berlari pergi, ia sangka si gemuk mengira dia ingin makan siopia
lagi, dia merasa sedih dan penasaran merasa tersinggung, sambil berlari matanya
kembali basah, air mata berlinang-linang. Tiada kejadian yang lebih menyedihkan
di dunia ini daripada seorang yang berwatak angkuh tapi justru dihina dan
diremehkan orang lain tapi ia tak dapat melawan, bahkan tak dapat menjelaskan
penderitaan yang dialaminya.
Hui giok ibaratnya sebutir
berlian yang belum diasah, belum memancarkan sinarnya yang mengkilat, tapi
tercampur baur dengan batu kerikil di jalanan, terinjak2 oleh kaki manusia yang
lewat dan tak seorangpun yang memperhatikan nilainya yang tinggi. Tapi apakah
nasib berlian itu akan terus suram. Tetap terinjak oleh kaki manusia dan tiada
kesempatan baginya untuk memancarkan sinarnya yang gilang gemilang.
Malam itu, di depan pintu
rumah penginapan telah bertambah dengan seorang kacung pencuci kuda, cuciannya
jauh lebih bersih daripada rekannya tapi upah yang diterimanya paling sedikit
daripada yang lainnya, itupun berkat Lotoa yang memimpin gerombolan bikocot di
depan rumah penginapan merasa kasihan kepadanya, maka diberikannya pekerjaan
mencuci kuda milik tamu yang kelihatan pelit dan takkan banyak memberi imbalan.
Dan orang itu tak perlu
dijelaskan lagi ialah Hui Giok ia merasa mencari sesuap nasi dengan tenaga
sendiri, bukan pekerjaan yang memalukan maka diputuskannya untuk menyambung
hidupnya dengan melakukan pekerjaan kasar itu. Bila malam tiba, ia pun tidur
dibawah emper rumah, dengan kedua jilid kitab kumal itu sebagai bantal sebab
hanya benda itulah miliknya, hanya benda itu pula yang tak dirampas.
Terkadang ditengah malam
dingin ia terjaga dari tidurnya seringkali ia bangun dan berlatih ilmu pukulan
Tay Ang kun untuk menghangatkan badannya, sekalipun I a tahu ilmu pukulan itu
sama sekali tak berguna, tapi setiap kali dia selalu menghibur diri sendiri :
"Musim panas sudah hampir
tiba.." tapi sebelum musim panas tiba, di kota ini telah kedatangan
seorang kakek pemain acrobat ia membawa seekor kuda tua yang kurus serta
seorang nona kecil berusia 17-18 tahun. Mereka main acrobat di sebuah tanah
lapang tepat di depan rumah penginapan, sang kakek memukul tambur, si nona
bermain golok terbelalak Hui Giok menyaksikan permainannya yang indah itu,
selesai bermain aneka macam acrobat, si kakek dengan suara yang serak
mengucapkan beberapa kata, tapi meskipun banyak yang menonton sedikit sekali
yang memberi uang.
Kakek itu kelihatan kecewa,
sambil membungkukkan badan dan terbatuk2 ia membereskan alatnya, nona itu
membantu sambil menghela napas panjang. Hari mulai gelap sambil menuntun kuda
kurus itu mereka menuju ke rumah penginapan pelayan menerima mereka dengan acuh
tak acuh. Hui Giok mendekati si Kakek memberi tanda sebagai ingin membantu
membersihkan bulu kuda tapi kakek itu menggeleng kepala Hui Giok lantas menulis
di atas tanah " tak usah bayar "
Kakek itu tertawa dan
menyerahkan kuda tersebut kepadanya, ketika Hui Giok berpaling melihat si nona
sedang memandangnya dengan matanya yang besar dan senyum dikulum. "Indah
benar matanya! "diam2 Hui Giok membatin, tapi dengan cepat ia menyetop
semua pikirannya dalam keadaan begini bahkan iapun tak berani membayangkan Tham
Bun Ki lagi sebab setiap kali terbayang akan nona itu, hatinya lantas pedih.
Kembali malam itu ia tidur
dengan dua jilid kitab rongsokan itu sebagai bantal seperti juga hari2 yang
lewat, ketika tengah malam ia terjaga oleh hembusan angin yang dingin dan waktu
ia berlatih Tay ang ku untuk menghangatkan badan kecuali bintang yang berkelip
diangkasa ada pula pula sepasang mata yang jeli sedang mengawasinya, dia tak
lain si kakek penjual acrobat tadi. Pelahan kakek itu keluar rumah penginapan
lalu dengan kapur ditulisnya beberapa huruf di atas tanah "Kau pernah belajar
silat! "
Hui Giok mengangguk, kakek itu
berpikir sejenak, lalu tulisnya lagi " Bersediakah kau ikut kami berkelana
di dunia persilatan, meskipun kadangkala harus menahan lapar tapi itu lebih
enakan daripada kerja mencuci kuda di sini! Sebagai orang muda, sepantasnya kau
ikut berkelana untuk menambah pengalaman!"
Hui Giok kegirangan, dia
mengangguk tiada hentinya, si kakek yang wajahnya telah berkeriput pun tampak
senang, bagaimanapun juga ia memang sudah tua, kulit badannya yang berwarna
kecoklatan kelihatan kendur, adalah menguntungkan baginya bila ada seorang
pemuda kekar dan gagah mau membantunya, apalagi ia merasa suka terhadap pemuda
bisu tuli ini.
Maka mulai pada esoknya dari
seorang kacung pencuci kuda, Hui giok telah menjadi seorang pemain acrobat kelilingan,
ia mengikuti si kakek berkelana dari kota kekota lainnya di seputar wilayah
kanglam, pada siang hari ia memukul gendering, main senjata dan kadangkala
bermain beberapa jurus pukulan itu, bila malam tiba ia membereskan alat senjata
dan tidur bersama kakek itu.
Musim panas telah tiba, ia
mulai kegerahan. Lamunannya di masa lalu kini sudah terhapus hingga tak
membekas oleh gemblengan yang diterimanya dalam kehidupan yang nyata tapi bila
malam menjelang, ketika ia belum tidur kadangkala ia melamun kembali soal2 yang
indah, melamunkan ilmu silatnya berhasil mencapai puncak kesempurnaan, dimana
kemampuannya membuat Tham Beng terkejut dan mengawinkan puterinya kepadanya.
Kadang2 ia teringat kembali
akan Leng gwat siancu terbayang kembali potongan tubuhnya yang indah, yang
pernah dilihatnya dengan jelas. Tapi pada siang hari tatkala ia menyaksikan
sepasang mata besar mata yang jeli seakan2 membawa senyuman itu, ia lantas
melupakan banyak persoalan, mungkin terlampau banyak yang ia lupakan, tapi
bagaimanapun juga mengenang kembali masa lampau hanya mendatangkan kesedihan
baginya, lalu apa gunanya mengenang kembali kejadian sudah lalu. Kakek itu dia
memberi nama buat dirinya sendiri sebagai Hoa to (golok kembangan) Sun Pin
sedangkan puterinya nona bermata besar itu bernama Sun Kim Peng.
Nona itu sangat baik terhadap
Hui Giok memandangnya sebagai saudara sendiri, hali cukup memberikan hiburan
batin bagi Hui giok yang sejak kecil telah kehilangan orang tua, apa lagi
sepasang mata si nona yang besar itu tiap kali memandang kearahnya selalu
disertai pula dengan senyuman manis.
Makin jauh mereka tinggalkan
kota kanglam hari itu sampailah mereka di kota Liong tham hujan turun dengan
hebatnya. Hujan adalah pengalang yang mungkin teratasi bagi mereka yang cari
makan dengan menjual permainan acrobat, kedua alis Hoa to Sun Pin tampak
berkerijit rapat, sedih. Malam itu Hui giok terjaga dari tidurnya ia bermimpi
seakan2 Tham Beng bergolok dan hendak membacoknya tapi Tham bun ki menarik
ayahnya dari samping karena merasa ngeri ia terjaga dari tidurnya.
Ia berpaling ternyata Sun Pin
tak ada di pembaringan perlahan iapun merangkak turun dari pembaringan yang
terdiri dari papan kayu, setelah memasang lentera dan memakai sepatu, ia keluar
dari kamar yang sempit dan pengap itu untuk mencari angin. Hujan telah
berhenti, malam terasa nyaman jarang sekali Hui giok temui udara sesegar itu.
Ketika tiba di halaman belakang, belum nampak juga bayangan Sun Pin anak muda
ini mulai heran.
"Aneh sudah jauh malam,
kemana perginya Sun Lotia?" demikian ia berpikir. Ia mencoba menghampiri
dinding tembok pendek di depan situ dan memanjat, ia mengintip ke sebelah sana.
Tapi apa yang dilihatnya dibalik dinding itu hampir saja membuat Hui Giok
terjungkal dari atas tembok.
Kiranya di suatu tanah lapang
yang tak begitu luas sedang berlangsung pertarungan yang sengit cahaya golok
berkilauan memenuhi angkasa Hoa to Sun Pin dengan sebilah golok besar
menciptakan selapis cahaya tajam bertarung melawan seorang yang bersenjatakan pedang
Song bun kiam dan seorang lagi bersenjata Poan Koan pit, angin golok itu
menderu dengan jurus serangan yang mantap ini menandakan bahwa paling sedikit
ia mempunyai kekuatan latihan berpuluh tahun dalam permainan golok itu, mana
lagi ada tanda pemain acrobat yang tertatih2 hal ini membuat Hui Giok terkesima
dan memandangnya dengan terbelalak. Orang yang menggunakan Song Bun kiam adalah
seorang laki2 kurus, sebuah codet panjang tertera nyata di pipi kirinya
sementara orang yang menggunakan poan koat pit adalah seorang laki2 kecil
pendek tapi kekar jurus serangan yang mereka gunakan semuanya gans dan keji
arah yang ditujupun bagina2 tubuh yang mematikan.