Bun-Ki diam-diam menghampiri
Hui Giok, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tak jadi akhirnya dia
tunduk malu-malu.
Air muka Liong heng-pat ciang
Tham Beng tampak prihatin, dengan dingin ditatapnya Cian Hui sekejap, sedang Tonghong-ngo-hengte
sama sekali tidak menunjuk reaksi apa-apa.
"Leng-kok-siang-bok!"
Sin-jiu Cian Hui segera berseru dengan dahi berkerut, "meskipun nama
besarmu termashur di dunia persilatan, tapi..." ia berhenti sejenak, empat
jarinya mengepal ibu jarinya menghadap ke atas lalu menuding ke tanah, lalu
katanya lagi dengan keras "Hari ini kalian mengganas di
Long-bong-san-ceng, tidak nanti orang she Cian membiarkan kalian pergi dengan
hidup!"
Perkataannya singkat tapi
berwibawa matanya melotot dan rambutnya seakan-akan menegak, jelas kemarahannya
telah memuncak, bersamaan dengan selesainya perkataan itu suara terompet
berkumandang dan empat penjuru dan menggema di angkasa.
Air muka Leng-kok-siaug-bok
yang dingin tetap kaku tanpa perubahan mereka masih tetap berdiri berjajar,
seakan-akan tak mendengar perkataan lawannya.
Sekejap mata dari luar
tiba-tiba bermunculan ratusan orang berbaju ringkas warna hitam, semuanya
membawa busur dan panah, kemunculan ratusan orang ini bukan saja sangat cepat
bahkan sama sekali tidak menimbulkan suara.
Dan sekian banyak jago
persilatan yang berada dalam ruangan, ada yang sudah berdiri ada pula yang
masih duduk, tapi semua membungkam tak ada yang bersuara tak ada yang bergerak,
yang kedengaran cuma dengusan napas dan debaran jantung.
Di tengah keheningan yang
mencekam, pelahan ketiga Mo bersaudara bangkit berdiri, mereka berpaling ke
arah Cian Hui, lalu menggeleng kepala tanpa berkata-kata, mereka sedang
mengumumkan kematian Mo Seng. Enam larik sorot mata yang dingin serentak
dialihkan ke wajah Leng-kok siang-bok.
Sin-jiu Cian Hui menghampiri
mayat Jit-sat Mo Seng dengan dahi berkerut ia termenung sebentar akhirnya
tangannya diulapkan dan dua orang laki-laki segera tampil ke depan untuk
menggotong pergi mayat itu.
Setelah mayat digotong pergi,
setajam sembilu dia menatap Leng-kok siang-bok kemudian bentaknya dengan
lantang "Semua umat persilatan yang tergabung dalam perserikatan Kanglam
hiap ini bersumpah tak akan hidup berdampingan dengan Leng-kok-siang-bok apa
kalian ingin kabur?"
Leng-kok-siang-bok sama sekali
tidak nampak jeri menghadapi suasana yang gawat itu mereka tetap berdiri
tenang, Bahwa mereka berdua memiliki nama yang tersohor di dunia persilatan,
sudah tentu mereka bukan orang bodoh, mereka tahu sikap yang gugup hanya akan
memancing sikap lebih garang dari pihak musuh maka mereka tetap renang untuk
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Pelahan, dia menengadah
memandang sekejap kawanan jago yang hadir itu meskipun orang2 itu menunjuk
sikap tegang, ternyata tak seorang pun tampak sedih atau menyesal, seakan2
orang yang baru saja tewas tak lebih hanya seorang manusia biasa yang asing
bagi mereka se-olah2 yang mati bukan saudara seperserikatan yang baru saja ber
sama2 meneguk arak darah.
Sin-jiu Cian Hui berdiri
sambil mengepal meskipun dia sedang menantikan reaksi Leng kok-siang bok, tapi
siapa pun tahu dia takkan menunggu terlalu lama, karena sekujur badannya kini
sudah penuh diliputi kemarahan apalagi dengan jelas dia berada dalam posisi
yang menguntungkan .
Orang yang posisinya lebih
menguntungkan biasanya lebih suka melakukan serangan daripada menunggu
diserang, cuma kemarahannya hanya lantaran Leng-kok-siang-bok telah menyinggung
nama baiknya, jadi tiada sangkut pautnya dengan kematian Jit-sat Mo Seng.
Seandainya tempat kejadian ini
bukan di Long bong san-ceng dan tidak berlangsung di hadapan orang-orang yang
hendak dikuasainya, seandainya dia tidak merasa posisinya menguntungkan sekali
pun seluruh anggota Pak-to-jit-sat dibantai orang juga dia tidak memperdulikan.
Diam-diam Hui Giok menghela
napas panjang tiba-tiba ia memahami betapa berharganya kehidupan, ia merasa
nilai dan suatu kehidupan bukan terletak pada kejayaan dan kemuliaan yang
didapatkan semasa hidupnya, tapi masih banyak hal lainnya yang harus disayang.
Hal-hal ini mungkin tak akan
dihargai Sin-jiu Cian Hui Pak to jit-sat, bahkan semua jago persilatan yang
memenuhi ruangan tersebut tapi hal ini telah mengalir dengan halus masuk ke
dalam hati Hui Giok yang penuh kelembutan, kebajikan dan kemuliaan itu.
Air mukanya tiba-tiba berubah
menjadi begitu tenang, begitu aman, dengan langkah yang tenang juga dia
menghampiri Leng-kok-siang-bok, kemudian tegurnya, "Mari kita keluar"
Tapi mendadak Sin-jiu Cian Hui
membentak "Tunggu sebentar!"
"Kenapa?" Hui Giok
berpaling dengan tenang.
"Apakah tidak kau dengar
apa yang kukatakan tadi?" teriak Cian Hui dengan berang.
Hui Giok tersenyum. "Apa
yang kau ucapkan tadi telah kudengar dengan jelas."
Sin-jiu Cian Hui segera
membusungkan dada jelas dia merasa gembira karena perkataannya mendapat
perhatian Tapi Hui Giok segera melanjutkan kata-katanya, "Tapi, apakah kau
lupa, sampai detik ini aku masih tetap Bengcu kalian!"
Hati Sin-jiu Cian Hui bergetar
keras, ucapan Hui Giok yang tenang itu seakan-akan sebuah cambuk yang tiba2
melecut mukanya dan membual dia menyurut mundur selangkah.
Hui Giok tersenyum, dia
memandang sekejap pula ke arah semua orang, ujarnya lebih lanjut "Menurut
apa yang kuketahui setiap orang yang tergabung dalam perserikatan Kanglam
seharusnya menghormati setiap pendirian Bengcunya, bila ada yang membangkang
maka kau Sin-jiu Cian Hui adalah pelindung sang Bengcu, begitu bukan?"
Biasanya dia selalu
dipermainkan oleh nasib yang malang, menderita dan tersiksa oleh kesulitan
hidup, hal mana membuat kecerdikannya jadi terpendam. Tapi sekarang, seperti
ujung pisau telah merobek pembungkusnya, kecerdikan yang selama ini tertutup
tiba2 muncul, ucapannya yang tajam ini mengejutkan semua orang, dan kekuatan
ucapannya itu seperti godam yang menghantam dada setiap orang.
Sin-jiu Cian Hui terpukul oleh
ucapan itu, sinar matanya yang kelabu kehijau-hijauan tampak meredup, itulah
sorot mata serigala kelaparan, ia memandang sekeliling ruangan, terlihatlah
liong heng-pat-ciang duduk dengan dahi berkerut dan senyuman menghiasi
bibirnya, demikian pula dengan Tonghong-ngo-hengte, mereka sepertinya sayang
atas kecerdikan Hui Giok.
Kim-keh Siang It-ti terbelalak
heran, tapi sinar matanya memancarkan sinar seperti orang yang gembira melihat
orang lain tertimpa malang. Sikap kawanan jago lainnya juga tidak banyak
berbeda, hanya Jit-giau tui hun Na Hui liong yang sedang mengawasi Mo suhengte
rupanya dia sedang memikirkan sesuatu.
Tiga Mo bersaudara sendiri
bukan saja gusar, mereka pun sedih, meskipun juga tidak kurung rasa herannya.
Sinar mata Tham Bun ki
kelihatan mencorong seperti merasa bangga, bahagia dan gembira tapi juga merasa
kuatir.
Hanya Jit-giau tongcu Go
Beng-si saja yang tak dapat mengendalikan rasa girangnya, setelah melihat teman
yang semula dicemooh dan dihina sekarang ternyata dihormati, dia tahu
perjalanan hidup yang tampaknya sederhana ini entah sudah berapa banyak
penderitaan yang dialaminya selama ini.
Mendadak Cian Hui bergelak
tertawa sambil mengelus jenggotnya, katanya "Hui taysianseng telah menjadi
Bengcu toako kita, mana bisa orang she Cian melupakannya, bukan saja tidak
lupa, bahkan barang siapa melupakan hal ini, aku orang she Cian yang akan
mengingatkan dia, "
Begitu gelak tertawanya
berhenti secepat kilat telapak tangannya menyapu ke samping, segulung angin
pukulan yang kuat menghantam sebuah kursi di sampingnya "brak" kursi
itu hancur lebur seketika.
Dengan alis menegak, Cian Hui
berkata sepatah demi sepatah "Ya, akan kuperingatkan dia, agar sampai mati
pun tidak melupakannya"
Hui Giok tertawa hambar.
"Kalau begitu, sebelum urusanku dengan Leng-kok-siang bok diselesaikan
maka urusan lain untuk sementara harus ditunda dahulu dan persengketaanmu
dengan Leng kok-siang-bok hanya boleh diselesaikan olehku dan mereka."
Sin-jiu Cian Hui memandang
sekejap sekelilingnya, kawanan jago mulai ribut lagi Bun-ki berseru kuatir,
sedangkan ketiga Mo bersaudara menjadi murka.
Di tengah kehebohan, mendadak
terdengar suara bentakan menggelegar "Perintah Bengcu, barang siapa berani
membangkang akan dihukum mati" Ketika Sin-Jiu Cian Hui mengulapkan
tangannya, tiba-tiba saja kawanan laki-laki baju hitam yang bermunculan dari
empat penjuru tadi serentak rnengundurkan diri dari situ tanpa suara.
Selama itu air muka Leng-kok
stang hok tetap dingin dan kaku, seakan-akan apa yang terjadi di depan matanya
sama sekali tak ada hubungannva dengan mereka.
Sorot mata ketiga Mo
bersaudara yang penuh diliputi kebencian dan kegusaran itu melotot dari ke arah
Sin-jiu Cian Hui beralih ke wajah Hui Giok dan silih berganti, namun Cian Hui
berlagak seolah-olah tak tahu.
"Hui-taysianseng!"
dia malah berkata dengan hormat, "kalau engkau telah memutuskan demikian
aku orang she Cian akan menantikan kedatanganmu kembali di sini!"
Dari nada ucapannya itu, dia memandang
Bengcunya ini seakan-akan hendak pergi bermain dengan dua orang anak nakal,
hanya sebentar saja dia akan kembali lagi. Padahal dia tahu kepergian Hui Giok
ini tentu takkan kembali lagi, sebabnya dia berbuat demikian karena sekarang ia
sudah ngeri menghadapi pemuda yang biasa tapi tolol ini, dia takut memelihara
harimau mengundang bencana buat diri sendiri maka kalau bisa dia akan meminjam
tangan Leng-kok siang-bok untuk melenyapkan bibit bencana itu.
"Silahkan Cianpwe
berdua," Hui Giok putar badan sambil menjura kepada Leng-kok-siang-bok!
Meski sinar matanya tiada rasa takut, namun ia pun tak berani beradu pandang
lagi dengan kelembutan sinar mata Tham Bun-ki.
Bun ki memandangnya dengan
termangu hingga pemuda itu menuruni undak-undakan batu, tiba-tiba sambil
menggigit bibir ia duduk di samping ayahnya dan tidak memandang lagi ke arah
pemuda itu.
Antara cinta dan bencj hanya
selisih amat sedikit, makin dalam rasa cintanya makin besar pula rasa bencinya,
gadis yang kasmaran ini sedang berpikir tiada hentinya, "Kau tidak merasa
berat meninggalkan aku, memangnya aku harus mencintai dirimu mati-matian?"
Liong-heng-pat-ciang melirik
putrinya sekejap dan diam-diam menghela napas, kembali ia pandang bayangan
punggung Hui Giok.
Sesudah Hui Giok tiba di halaman,
Leng-kok-siang-bok baru mulai beranjak, selama ini tatapan mata mereka tak
pernah bergeser dari ketiga Mo bersaudara, Mereka tersenyum mengejek, lalu
sambi, mengebaskan lengan baju mereka menyusul ke tempat Hui Giok.
Mo-si-hengte bukan orang bodoh,
tentu saja mereka memahami senyum menghina Leng-kok-siang-bok, yaitu karena
mereka bertiga meskipun berhadapan dengan musuh yang membunuh saudaranya tidak
ada seorang pun yang berani maju untuk melakukan pembalasan.
Senyum menghina itu seketika
membangkitkan rasa marah dan benci mereka demikian kuatnya dorongan tersebut
sehingga Mo-si-hengte betul-betul tak tahan lagi.
Agaknya Sin jiu Cian Hui juga
merasakan gelagat itu, cepat ia memburu ke hadapan mereka dan berkata dengan
suara tertahan, "Bilamana Leng kok-siang-bok tak sampai mati di tangan
Hui-tay sianseng, aku bersumpah akan membalaskan dendam Mo-heng"
Ia berhenti dan tiba-tiba
bersenyum hambar, lalu melanjutkan. "Bila Hui-taysianseng yang menang,
berarti Bengcu telah membalaskan dendam bagi kalian mi kan sama saja!"
Mo-si-hengte saling pandang
sekejap lalu menghela napas dan menundukkan kepala, terhadap Hui Giok mereka
telah menaruh rasa kagum dan hormat sebab mereka mulai merasakan kelemahan
mereka sendiri, mereka pun tak mengira ada orang yang memandang soal mati-hidup
sebagai suatu kejadian yang tak berarti.
Nama besar Pak-to jit-sat tak
mungkin berkembang lagi di dunia persilatan sebab sekarang beratus-ratus pasang
mata telah menyaksikan kelemahan mereka.
Dengan wajah berseri Sin-jiu
Cian Hui lantas berpaling kembali, ia memerintahkan anak buahnya untuk
menyiapkan perjamuan baru, tapi Mo si hengte berjalan keluar dengan lesu untuk
membereskan layon saudaranya yang telah tiada.
Jit giau tui-hun Na Hui-hong
tiba-tiba berlalu, hubunganku dengan Mo Jit cukup akrab, aku akan menghadiri
pemakamannya!"
Tanpa menunggu jawaban Cian
Hui dia terus menyusul Mo-si-hengte keluar Memang cerdik orang ini, dia telah
manfaatkan kesempatan ini untuk menarik simpati Mo-si-hengte, sebab dia cukup
kenal mereka bertiga, sekalipun memiliki kelemahan toh ketiga orang ini tetap
merupakan suatu kekuatan yang tak boleh dianggap enteng.
Perserikatan Kanglam sudah
terbentuk. Hui Giok tentu takkan kembali dengan hidup, bukankah itu sama
artinya bahwa Sin-jiu Cian Hui otomatis akan menggantikan jabatannya sebagai
Kang-lam Bengcu?
Maka dia hanya tertawa dingin
menyaksikan gerak-genk Na Hui-hong itu dan tak dipikirnya di dalam hati.
Dengan rasa puas dia
menengadah kebetulan Liong heng pat-ciang Tham Beng sedang memandangnya dengan
tersenyum seperti dapat menerka isi hatinya.
Mendadak Jit-giau-tongcu Go
Beng-si berlari keluar ruangan itu, cepat Sin Jiu Cian Hui berdehem, segera
bayangan orang berkelebat di halaman luar, laki2 baju hitam dengan busur di
tangan serentak muncul dan mengarahkan busurnya ke tubuh musuh, hal ini membuat
Go Beng-si jadi kaget.
"E--h, apa2an kalian
ini?" bentaknya sambil berpaling.
"Hehehe, masa kau tidak
dengar perintah Hui taysianseng tadi? Kalau Bengcu telah memberi perintah dan
melarang orang lain turut campur urusannya, maka hendaknya Go heng tetap
tinggal di sini saja."
Tonghong-hengte saling
berpandangan, sinar mata mereka menyala-nyala, jelas merasa tak puas atas
kejadian itu, tapi Go Beng si tidak melakukan perlawanan, sambil menghela napas
dia malah berkata "Aku keluar tidak untuk membantunya aku hanya ingin
menyampaikan pesan agar dia jaga diri baik-baik"
"Hahaha, kau anggap
Bengcu itu orang macam apa? Masa dia tak tahu menjaga diri?" Cian Hui
bergelak, "Saudara Go, tidakkah kau saksikan betapa lihaynya kungfu Bengcu
waktu demontrasi tadi? Belum tentu Leng-kok-siang bok berdua sanggup menahan
sepuluh gebrakannya, mari-mari kita harus minum secawan arak untuk kesuksesan
Bengcu kita!"
Meskipun ia angkat cawan dan
mendahului menenggak isinya sampai habis, dalam hati diam-diam ia berpikir,
"Hoa Giok wahai Hoa Giok, bagiku seluruh berita yang pernah kau jual
selama hidupmu jika digabungkan menjadi satu belum tentu lebih berharga
daripada sebuah berita yang kau beri menjelang ajalmu, sebab kau telah memberi
tahu kan suatu rahasia maha besar kepadaku, yaitu meski Hui Giok memiliki ilmu
silat yang lihay, namun kemahirannya hanya satu jurus. Hahaha . apabila ia
mahir beberapa jurus lagi, mungkin akupun tak tahu cara bagaimana harus
menghadapinya?"
Ketika anak buahnya menuangi
lagi isi cawannnya, ia rnenenggak pula hingga habis pikirnya dengan bangga,
"Hoa Giok wahai Hoa Giok tahu kah kau secawan arak ini sengaja
kuperuntukkan untuk menghormati kau?"
Kehidupan Koay-sim Hoa Giqk
selama ini hanya biasa dan terhina tapi sepanjang hidupnya ada satu hal yang
patut dihargai, seandainya setelah mati dia tahu, tentu arwahnya akan bangga
karenanya.
Sebab selama dia hidup dengan
menjual berita, kendati ada berapa berita tidak tergolong penting, namun belum
pernah ada satu berita yang merupakan isapan jempol, setiap beritanya adalah
berita nyata seperti juga orang lain menyerahkan uang perak yang nyata
kepadanya.
Dia terhitung seorang cerdik,
kalau tidak mana mungkin ia pilih pekerjaan yang aneh dan unik ini.
Tapi, meski dia pintar, tak
pernah tersangka bahwa empat huruf yang diukirnya menjelang kematiannva bisa
dipandang begitu berharga oleh Sin jiu Cian Hui, padahal dia melakukan hal itu
hanya dikarenakan kebiasaan dalam pekerjaannya itu kebiasaan membocorkan
rahasia orang lain.
Suatu kebiasaan yang tak
berubah sampai akhir hayatnya, hal ini membuktikan betapa setia dan cintanya
terhadap profesinya itu, maka setelah mati ia pun pantas mendapat penghargaan
sebagai seorang tokoh kecil seperti dia ini.
"Cuma Bisa Satu
Jurus!" empat huruf itu memang suatu kenyataan," cuma dia tak tahu
cara bagaimana Hui Giok mendapat pelajaran ilmu silat yang hebat itu.
Untuk mengetahui duduk
persoalannya, marilah kita mundur lebih dulu untuk mengisahkan kejadian itu.
ooOoo ooOoo
Malam yang kelam, angin
berembus sepoi, rembulan memancarkan sinarnya yang redup menyinari bumi raya
yang sunyi ini.
- oO -
Kejadian itu berlangsung pada
malam kedua setelah Hui Giok berjumpa dengan Leng-kok siang-bok Tham 8un-ki
serta Kim tong-giok li.
Menjelang kentongan ketiga
(tengah malam), karena kemurungan dan rasa rindu Tham Bun ki maka
Leng-kok-siang bok dengar gusar datang mencari Hui Giok.
Hui Giok justru selalu ingat
pada pesan Kim-tong-giok li sebelum pergi, diam-diam ia ngeluyur ke taman,
tentu saja terjadi pertemuan yang tidak menyenangkan, dengan kesima Hui Giok
mendengarkan teguran dan makian Leng kok-siang bok tapi ia tak dapat ikut
mereka pergi menengok Tham Bun-ki yang sakit, sebab janjinya dengan Kim tong
giok li berlangsung lebih duluan, karena sikapnya itu semakin menggusarkan
Leng-kok siang-Bok.
Leng-kok-siang bok adalah
manusia yang berwatak aneh dan tinggi hati mereka tak suka pada sikap
membangkang pada perintah mereka dalam gusarnya mereka segera menggunakan
kekerasan.
Tapi, sebelum apa yang mereka
harapkan terkabul, kungfu mereka telah ketemu batunya dengan kungfu orang lain.
Bagaimana pun kungfu
Kim-tong-giok-li jauh lebih hebat daripada mereka, maka mereka telah ditawan
oleh Kim tong-giok-li dalam sebuah gua yang terpencil. Di dalam gua itu pula
Kim-tong giok-li melaksanakan pesan Leng-gwat-sian-cu, yaitu menyerahkan
sejilid kitab tipis kepada Hui Giok.
Lalu merekapun mewariskan
tujuh jurus ilmu silat kepada pemuda itu.
Tetapi, oleh karena ketiga
macan ilmu silat itu terlalu sulit bagi Hui Giok yang tidak memiliki dasar yang
kuat, maka sebelum pertemuan Bengcu-tay hwe diselenggarakan, dia baru sempat
menguasai satu jurus, sedangkan Kim-tong giok-li juga lantaran ada urusan
penting harus meninggalkan Kanglam.
Meskipun mereka belum menerima
Hui Giok sebagai muridnya, tapi Hui Giok yang berperasaan itu sangat berterima
kasih dan menghormati mereka melebihi seorang murid umumnya terhadap sang guru.
Sebelum berpisah Hui Giok juga
menanyakan tentang diri Leng-gwat-siancu, tapi jejak perempuan itu sukar
diikuti, seperti kabut yang mengambang diangkasa, bahkan Kim tong-giok-li juga
tidak tahu.
Ketika Hui Giok bertanya
asal-usul dan suka-duka apa yang diakui perempuan itu, Giok li yang periang dan
suka berterus terang itu mendadak ikut sedih dan sukar menjelaskan.
"Suatu hari kau akan
mengetahui sendiri selesai mengucapkan kata-kata itu, laki-perempuan yang aneh
itupun berlalu dan lenyap dalam kabut pagi yang menyelimuti udara, tertinggal
di dalam gua Leng-kok-siang-bok yang tertutuk jalan darahnya serta Hui Giok
yang diliputi tanda tanya.
Tidak lama kemudian jalan
darah Leng-kok- siang-bok yang tertutuk akan bebas dengan sendirinya, tapi
macam-macam tanda tanya yang menyelimuti benak Hui Giok entah kapan baru akan terjawab?
Namun hasratnya yang besar
untuk belajar ilmu silat membuat pemuda ini di sepanjang jalan terus berlatih
kungfu yang baru saja didapatnya itu.
Akibatnya Koay-sim Hoa Giok
telah menggunakan kematiannya untuk mendapatkan berita yang paling berharga
yang pernah diperolehnya selama hidup, yaitu, "Cuma bisa satu jurus"
Semua ini benar-benar rahasia, kecuali Sin-jiu Cian Hui sendiri boleh dibilang
tak ada orang lain yang mengetahui hal ini.
OoO ^ o ^ OoO
Begitulah suasana dalam
ruangan sedang hiruk pikuk, di antara pembicaraan yang bersimpang siur ada yang
sedang menduga asal-usul perguruan Beng cu mereka Hui-taysianseng, ada pula
yang diam2 bertaruhan untuk menjagoi siapa yang bakal menang dalam pertarungan
antara Leng-kok-siang-bok melawan Hui-taysianseng.
Sin-jiu Cian Hui yang
menyaksikan semuanya itu diam-diam tertawa dingin, "Hehe Hui Giok pendekar
satu jurus jangankan melawan Leng kok-sian-bok, melawan siapa pun dia juga cuma
satu jurus, orang yang bertaruh menjagoi Hui Giok mungkin orang dungu atau
sinting,"
Berpikir sampai di sini, dia
memandang sekejap sekeliling ruangan, sambil terbahak-bahak katanya:
"saudara Na, saudara sekalian kenapa tidak minurn arak? Apakah kalian
menguatirkan keselamatan Hui-taysianseng? Hahaha...keliru... keliru besar...
keliru besar."
Setelah mengulangi kata itu
sampai detik ini hui taysiansing mungkin tidak setenar nama Leng kok siang bok,
tapi boleh kalian buktikan kungfu Hui taysianseng tadi, hahaha, Mekipun aku
juga tak tahan sampai tiga gebrakan!"
Di mulut ia berkata begitu, di
dalam hati dia merasa geli, pikirnya. "Sayang dia cuma bisa satu jurus,
coba kalau menguasai enam tujuh jurus, mungkin aku betul-betul tak mampu
melawannya."
Dia sengaja busungkan dada dan
tertawa, katanya lagi, "Apabila ada orang yang kurang percaya akan
kemampuan Hui-taysianseng, aku orang she Cian berani bertaruh dengan dia!"
Baru habis berkata, seorang
laki-laki baju hitam yang berdiri di belakangnya segera lari masuk ke dalam,
sejenak kemudian dia muncul kembali dengan membawa satu nampan penuh uang emas
yang berkilauan, emas itu diletakkan di depan Cian Hui.
Emas yang bertumpuk di atas
nampan itu sedikitnya ada dua-tiga puluh potong, padahal tiap potong sedikitnya
seberat sepuluh tahil, kalau di jumlahkan keseluruhannya maka tidak sedikit
nilainya, tentu saja semua orang sama melengak.
Namun tak seorang pun berani
menerima tantangan Sin jiu Cian Hui tersebut sekalipun mereka tahu Hui Gtok
pasti kalah, apalagi sampai sekarang belum ada yang mengetahui sampai dimanakah
kungfu Hui-taysianseng yang sebenarnya.
Dengan sorot mata yang tajam,
Sin-jiu Cian Hui menyapu pandang sekeliling ruangan, ia dapat menebak jalan
pikiran orang-orang itu maka sambil tertawa kembali katanya, "Hahaha, aku
memang keterlaluan masa dengan jumlah taruhan yang tak berarti hendak
mengganggu kegembiraan minum arak kalian?"
Kepada anak buahnya yang ada
di belakang dia lantas membentak: "Budak yang tak tahu diri ambil lagi
yang banyak sebagai hadiah hiburan para pahlawan setelah minum arak"
Laki-laki baju hitam tadi
mengiakan dan berlari pergi pula, sepanjang peristiwa ini berlangsung
Liong-heng-pat-ciang dan Tonghong-hengte hanya menyaksikan dengan dingin,
sedangkan Tham Bun-ki dan Go Beng-si juga mengikuti tingkah pola tuan rumah itu
dengan tak acuh.
Sesaat kemudian. muncul empat
orang laki2 baju hitam, masing-masing membawa satu nampan uang emas yang
berkilauan tertimpa cahaya lampu.
"Hahaha, jumlah yang tak
seberapa, harap jangan ditertawakan!" Sin-jiu Cian Hui lantas berseru.
Liong heng-pat-ciang berdehem,
tiba2 ia berkata, "Ciong-yang, kemari !"
Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang
yang duduk semeja dengan Tonghong Kiam, Tonghong Ceng, Tonghong Kang dan
Tonghong Ouw segera mengiakan dan memburu ke depan.
"Ciong-yang, apakah kau
membawa uang?" tanya Tham Beng dengan perlahan, namun cukup menggetarkan
setiap orang persilatan yang hadir.
Suasana mulai gaduh, helaan
napas dan suara berbisik-bisik memenuhi ruangan. Tapi sekejap kemudian suasana
kembali jadi hening pula.
Mula-muia Sin-jiu Cian Hui
agak tertegun lalu sambil terbahak-bahak serunya "Tham-lopiautau, apakah
engkau juga tertarik akan taruhan ini?"
"Entah Cian-cengcu
mengizinkan aku ikut serta dalam permainan yang menarik ini atau tidak?"
Liong-heng-pat-ciang balas bertanya sambil tersenyum .
"O, tentu . tentu
saja," meski Cian Hui tetap bersenyum, dalam hati ia tak menyangka kalau
Liong-heng-pat-ciang bisa ikut dalam pertaruhan ini. ia berpikir pula "Ya.
sekalipun kalah juga tak mengapa"
Tanpa terasa ia melirik juga
kelima nampan uang emasnya itu dengan perasaan berat.
Sementara itu
Liong-heng-pat-ciang telah menyambut setumpuk uang kertas dari Koay-be-sin-to
Kiong Cing-yang, dia melolos dua lembar uang kertas itu, sambil memandang lagi
uang emas di meja, katanya dengan tersenyum, "Kurs uang emas dan perak
sekarang kan lima banding satu bukan."
"Betul! Betul!"
sahut Cian Hui.
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng
tersenyum.
Kiong Cing-yang memberi hormat
dan ikut bicara.
"Menurut taksiran, setiap
nampan uang emas milik Cian-cengcu itu berjumlah dua ratus empat puluh tahil,
semuanya kalau ditotal jadi seribu dua ratus tahil emas, bila kita kurskan
dalam uang perak sama dengan enam ribu tahil tepat bukan!"
"Hahaha, Kiong-piautau
memang bermata tajam serta perhitungan yang tepat." kata Cian Hui sambil
terkekeh-kekeh. "Hehehe kukira untuk jabatan kasir Hui-hong-piaukiok
seharusnya diangkat Kiong-heng."
Habis berkata, dengan
pandangan menghina ia melirik sekejap lengan Kiong Cing-yang yang buntung,
kemudian ia tertawa terbahak bahak.
Air muka Koay-be sin-to Kiong
Cing-yang berubah hebat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia mengundurkan
diri dari situ, semenjak itu dendamnya pada Sin-jiu Cian Hui makin menghebat.
Tham Beng lantas tersenyum dan berkata pendapat Cian-heng memang bagus orang
yang cacat biasanya jauh lebih baik daripada orang yang berotak bebal,
Cing-yang, kau musti mengucapkan terima kasih atas pujian Cian-cengcu ini.
"Hahaha, . . .tidak
berani... tidak berani . "
Si Tangan Sakti ini sebenarnya
hendak menyindir lagi, tapi seketika tidak berhasil menemukan kata-kata yang
cocok, maka ia pun membungkam.
"Nah, inilah uang kertas
dan Hui-hong nilai nominalnya enam ribu lima ratus tahil, silakan Cian-cengcu
periksa!" kata Tharn Beng lagi sambil tertawa dan menyodorkan dua lembar
cek itu ke tangan Cian Hui.
"Hahaha, kupercaya tak
bakal salah lagi!" kata Cian Hui sambil tertawa, ia menerima kedua lembar
cek itu dan ditindih di bawah tumpukan emas, lagaknya scakan-akan dalam
pertaruhan tersebut dia yang pasti menang.
Sambil tertawa lalu dia berkata
lagi, "Kecuali Tham-lopiautau yang tertarik akan pertaruhan ini, apakah
masih ada saudara lain. ."
Belum habis kata-katanya
tiba-tiba Tonghong Tiat menyela, "Aku jadi gatal tangan melihat per
taruhan ini."
Cian Hui tertegun, tapi segera
ia tertawa: "Tonghong-tayhiap hahaha bagus! bagus sekali!"
"Siaute tidak membawa
uang kontan bagaimana kalau kugunakan benda lain untuk pertaruhan ini?-"
sambil berkata pemuda itu melepaskan sebuah batu pualam kuno berwarna hijau tua
dari ikat pinggangnya, lalu diangsurkan ke muka. Berturut-turut Tonghong-hengte
yang lain pun maju untuk ikut bertaruh.
Senyuman memang masih
menghiasi bibir Cian Hui tapi senyuman itu sudah lebih mirip menyengir tak
terkirakan rasa gelisahnya, tak disangkanya permainan yang semula hanya bertujuan
untuk meramaikan suasana ternyata telah berubah menjadi serius.
Dia melirik sekejap kelima
macam benda mestika di meja itu, lalu masuk ke ruang dalam, ketika muncul
kembali, ia membawa satu nampan penuh intan permata, suasana dalam ruangan jadi
sepi seperti kuburan, semua orang mengalihkan perhatiannya ke arah Cian Hui dan
mengikuti langkahnya setindak demi setmdak.
Di tengah keheningan itu,
tiba-tiba suara gelak tertawa nyaring memecahkan kesunyian, ternyata Kim-keh
Siang It-ti yang terbahak-bahak, malahan sambil memukul meja dia berteriak
"Sungguh menarik, permainan ini benar-beuar menarik sekali!"
"O, jadi Siang-heng juga
berminat akan pertaruhan ini?" air muka Cian Hui agak berubah.
"Hahaha, akan menyesal
selama hidupku bila orang she Siang tidak ikut mengambil bagian dalam
pertaruhan yang luar biasa ini!"
Dia menggapai ke luar, dan
sana lantas masuk sembilan orang laki-laki kekar berbaju warna-warni mereka
berdiri tegak di hadapan si Ayam Emas.
Kesembilan orang itu
berperawakan kekar dan berotot, bersinar mata tajam, penuh semangat dan
cekatan, sekalipun bukan jagoan lihai, tapi kungfu mereka tentu tidak lemah,
kepada Kim-keh Siang It-ti ke sembilan orang itu memberi hormat, sedang kepada
orang lain kelihaian bersikap angkuh.
Terbahak-bahaklah Kim-keh
Siang It-ti "Ha haha, seperti juga kehidupanku yang serba aneh selama ini,
hari ini orang she Siang juga ingin mengadakan suatu pertaruhan aneh dengan
Cian-cengcu."
Ia berhenti tertawa dan
berpaling ke arah ke sembilan orang itu lalu bertanya dengan suara berat,
"Eh, darimanakah datangnya jiwa-raga kalian bersembilan?"
"Tubuh milik ayan emas
nyawa milik avam emas, bila ayam emas ada perintah, mati seratus kali juga
tidak menyesal!" jawab kesembilan orang itu serentak.
Cukup satu orang saja suaranya
sudah nyaring, apalagi sembilan orang buka suara bersama demikian nyaringnya
suara itu hingga seluruh ruangan bergetar keras, bahkan cawan dan mangkuk juga
seakan-akan ikut berdentingan karena getaran itu.
Kim keh Siang It-ti kembali terbahak-bahak
katanya pula, "Taruhan yang akan kulakukan dengan Cian-cengcu ini tidak
lain adalah nyawa ke sembilan orang ini."
Sin-jiu Cian Hui kaget,
kawanan jago juga kaget. Di dunia ini mana ada pertaruhan seaneh ini, sementara
itu Siang It li telah melanjutkan kata-katanya, "Cian cengcu, engkau
berbudi dan setia kawan, engkau juga seorang pemuka persilatan kukira orang
yang bersedia jual nyawa bagi Cian cengcu tentu tidak sedikit asal kau
tampilkan sembilan orang, urusan kan menjadi beres!"
Suasana dalam ruangan kembali
sunyi, beratus pasang mata sama memandang Cian Hui dan ingin tahu bagaimanakah
tanggapannya atas tantangan lawan.
Dengan pandangan tajam, Cian
Hui mengawasi wajah kesembilan orang itu satu demi satu, dilihatnya mereka
tetap tenang, tiada rasa gelisah atau takut.
Dengan dahi berkerut mendadak
Liong~heng-pat-ciang Tham Beng berdiri, pelahan dihampirinya kesembilan orang
itu, katanya dengan tegas.
"Jiwa manusia pemberian
Thian dan tidak boleh dibuat permainan, benarkah kalian bersembilan rela
mengorbankan jiwa..."
Kesembilan orang itu memandang
jauh ke depan jangankan memandang si penanya, malah sikap mereka seakan-akan
tak mendengar pertanyaan itu seperti juga mereka sengaja membungkam untuk
menyindir sikap Tham Beng vang suka mencampuri urusan orang.
"Eh, apa yang diucapkan
Tham-congpiautau tidak kalian dengar?" bentak Kim keh Siang It-ti
Tiba-tiba ia menutulkan ujung tongkatnya melayang ke depan dan
"plak-piok", suara tamparan berkumandang susul menyusup di antara
berkelebatnya telapak tangan, tahu-tahu dia sudah menghadiahkan delapan belas
kali tamparan keras pada muka kesembilan orang itu.
Para jago berseru kaget, tapi
kesembilan orang yang masing-masing mendapat dua kali tamparan itu bukan saja
tidak berubah wajahnya, malahan serentak memberi hormat sambil menvahut
"Hamba sudah mendengar!"
"Kalau sudah mendengar,
mengapa tidak kalian jawab pertanyaan Tham-lopiautau itu?"
Kesembilan orang itu serentak
berpaling dan memberi hormat kepada Tham Beng, lalu menyahut berbareng,
"Raja menghadiahkan kematian bagi patihnya dan sang patih tak berani
hidup, ayah memerintahkan anaknya mati, anak tak berani tidak mati, Siang toako
baik budi kepada kami melebihi raja dan ayah, maka kami bersembilan dengan
kerelaan hati bersedia mengorbankan jiwa bagi Siang-toako"
Sepanjang mengucapkan
kata-kata itu mereka bersembilan selalu membuka mulut bersama dan tutup mulut
berbareng, jelas sudah terlatih dengan baik.
Liong-heng-pat ciang
tersenyum, dia lantas menjura kepada Siang lt-ti sambil berkata, "Siang-pangcu,
maaf bila aku banyak urusan!"
Pelahan ia kembali ke
tempatnya semula, diam-diam dia menghela napas sambil berpikir. "Tak
kusangka manusia yang aneh dan licik ini juga mempunyai anak buah yang rela
berkorban baginya!"
Dalam pada itu si Ayam Emas
tambah bangga, ditatapnya Cian Hui yang sedang termenung itu lekat-lekat, lalu
katanya seraya tertawa: "Cian-cengcu, apakah engkau sedang memaki
kesembilan saudara ekor-ayamku ini terlalu goblok sehingga tidak setimpal untuk
ditandingkan dengan anak buahmu?"
"Ah, perkataan
Siang-pangcu terlalu berlebih-lebihan." Cian Hui tertawa
"tapi..."
"Kalau begitu,"
potong Siang It-ti. "biarlah cayhe suruh kesembilan ekor-ayam ini
mendemonstrasikan sedikit kejelekannya di hadapan Cengcu"
Sambil berpaling dia lantas
memberi tanda "Pergi sana!"
Ke sembilan orang itu
mengiakan, sekejap saja seluruh halaman telah dipenuhi oleh kain warna warni
yang berkeliaran kian kemari, gerakan mereka lincah seperti kupu-kupu yang
terbang di antara bunga, pada mulanya kawanan jago itu menyangka ke sembilan
orang itu sedang mendemonstrasikan kegesitan mereka, tapi mendadak terdengar
suara bentakan, menyusul kesembilan orang ini lantas berkumpul kembali di depan
ruangan, hanya di tangan pemimpin mereka telah bertambah dengan sebatang toya
besi.
Bayangan mereka kembali
berpisah, kesembilan orang itu memegangi ujung tongkat besi itu. empat orang di
sebelah kiri dan empat orang di sebelah kanan, ketika orang yang ada di tengah
itu membentak lagi, orang-orang itu lantas membetot dan tongkat besi itupun
tertarik hingga makin panjang, gemuknya berubah seperti kawat, dari sini dapat
terlihat betapa hebat tenaga betotan kedelapan orang itu.
"Putus" bentak orang
yang berada di tengah itu tiba-tiba, telapak tangannya lantas membacok ke bawah
Tongkat besi yang sudah berubah seperti kawat itu seketika juga patah jadi dua.
Tepuk tangan dan sorak-sorai
memuji bergema memenuhi seluruh ruangan, ke sembilan orang itu segera memberi
hormat dan berjalan kembali ke hadapan Siang It-tu air muka mereka tetap
tenang.
Terkesiap juga si Tangan Sakti
Cian Hui, kendatipun kungfu kesembilan orang itu tergolong ilmu kasaran dan
jauh kalau dibandingkan dengar jagoan lwekang, tapi ia pun menyadari bahwa anak
buahnya yang bertenaga setaraf itu tak banyak jumlahnya.
Meskipun dia tinggi hati namun
tak sampai keblinger, sudah tentu dia tak mau mengorbankan sembilan anak
buahnya dalam suatu pertaruhan yang belum tentu ada harapan untuk menang.
Walaupun begitu ia juga harus
menjaga harga diri, gengsi dan kedudukannya apalagi ditantang di depan umum,
bagaimanapun juga dia tak dapat mengabaikan tantangan Kim-keh Siang It-ti yang
berbau ejekan itu.
Sementara ia masih ragu-ragu,
Liong-heng-bat-eiang Tham Beng berkata pula sambil tersenyum,
"Cian-cengcu, kalau engkau yakin bahwa kemenangan pasti berada pada
pihakmu, sekalipun taruhan ini luar biasa, kenapa tidak kuterima
tantangannya?"
Cian Hui terpojok, terpaksa ia
menjawab dengan terbahak-bahak, "Hahaha... benar, benar!"
Sambil bertepuk tangan dia
lantas berpaling Yu Peng, coba keluar dan lihatkan ada berapa orang saudara
kita yang mau datang kemari?"
Yu Peng, laki-laki baju hitam
yang selalu berdiri di belakangnya itu segera mengiakan dan mengundurkan diri
dengan air muka yang agak berubah.
Melihat itu, Kim-keh Siang
It-ti terbahak-bahak "Hahaha, orang she Siang paling gemar berjudi, baru
hari ini betul-betul ketemu tandingannya!"
Cian Hui tidak berkata
apa-apa. beruntun ia tenggak tiga cawan arak.
Semua orang mulai gelisah dan
tak tenang, mereka ingin tahu siapakah yang akan keluar sebagai pemenang dalam
taruhan itu.
Mereka pun ikut tegang bagi
Cian Hui, malahan ada yang berpikir Kungfu Hui-taysianseng pasti lihay sekali,
kalau tidak, Cian Sin-jiu yang cerdik masa berani bertaruh baginya.
Semua orang saling pandang
seolah-olah mereka pun terlibat dalam pertaruhan ini dengan jantung berdebar
mereka memandang keluar pintu, mereka tak tahu harus menunggu berapa lama lagi
dan apakah Hui-taysianseng akan masuk kembali ke ruangan itu?
Di mata sekian banyak orang
hanya Cian Hui yang tak pernah menengok ke pintu walau hanya sekejap saja,
sebab dia tahu dengan jelas bahwa mengharapkan masuknya kembali Hui-taysianseng
melalui pintu tersebut sama dengan menantikan munculnya seekor ikan paus di
daratan, hakikatnya tidak mungkin terjadi.
Demkianlah, di tengah
ketegangan itu, malam terasa tiba lebih cepat daripada hari biasa, cahaya lampu
sudah menerangi seluruh ruangan.
Tiba-tiba dan luar muncul
sesosok bayangan, suasana jadi semakin tegang, orang ingin tahu Hui Giok yang
muncul atau Leng-kok-siang-bok yang kembali, tapi orang itu ternyata tak lain
daripada Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong.
Begitu melangkah masuk ke
dalam ruangan dia lantas berseru sambil tertawa nyaring- "Sungguh
berbahaya, hampir saja aku ketinggalan dalam permainan yang menarik ini!"
"Benar, benar!"
jawab si Ayam emas sambil berbangkit, tampaknya hari ini Cian-cengcu sedang
keranjingan bertaruh, bila Na-heng tidak ikut serta dalam pertaruhan ini,
mungkin di kemudian hari kau tak akan menemukan lagi kesempatan bertaruh
sebagus ini."
Na Hui-hong tertawa,
sebetulnya aku bukan seorang penjudi, tapi ketika mendengar kabar, kakiku
seperti tiba-tiba tumbuh sayap dan tanpa kusadari terus berlari kemari.
Ketika ia menengadah, Cian Hui
sedang memandangnya dengan senyuman kaku, hal ini membuat gelak tertawanya
bertambah nyaring, pikirnya:
"Cian Hui, wahai Cian
Hui, orang cerdik seperti kau juga bisa berbuat tolol. Hmm, jika tidak kubikin
kau bangkrut, hehehe mulai detik ini jangan panggil aku sebagai Jit-giau-tui-hun.
Maka dengan tersenyum dia
berkata, "Barusan, ketika Yu-koankeh mengumpulkan jago berani mati di
luar, baru ku tahu Siang-heng telah menemukan sistem taruhan yang unik ini,
sayang sekali Siaute tidak memiliki modal taruhan semacam itu, maka aku hanya
membawa lima ratus selongsong perak untuk bertaruh dengan Cian heng, tapi
apabila Cian-heng merasa jumlah ini terlalu sedikit, di kota Soh-ciu aku masih
punya sebidang tanah dan bangunannya, sekalipun kalah besarnya dengan Long
bong-san-ceng, tapi rasanya cukup sebagai modal taruhan Nah, Biar kusodorkan
semua itu untuk bertaruh denganmu!"
Dia bicara dengan seenaknya,
seakan-akan seorang anak nakal yang bertaruh dengan kacang saja. Tapi semua
orang lantas berseru kaget. malahan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng juga berubah
air mukanya.
Maklumlah, lima ratus longsong
perak sama dengan lima puluh laksa tahil perak, ditambah lagi perkampungan
Jit-giau-san-cengnya yang termasyhur di dunia persilatan, nilainya sungguh
sangat mengejutkan.
Na Hui-hong melirik sekejap
sekitarnya, lalu ujarnya lagi sambil tertawa, "Selama hidupku tak pernah
berjudi, tapi sekali berjudi harus berjudi sampai puas, sekalipun hartaku ludes
semua juga rela, paling banter bekerja keras sepuluh tahun lagi . . . Hahaha,
saudara Cian, kenapa kau tidak berbicara?"
Cian Hui melengak. seperti
baru sadar dari impian dia berpaling dan tertawa, "Hahaha, meskipun
taruhan yang kuselenggarakan ini hanya bersifat iseng, rupanya kalian semua
telah bertaruh dengan sungguh-sungguh "
"Memangnya kau anggap
taruhanku tidak sungguh-sungguhan." tanya Jit-giau-tui-hun dengan kurang
senang.
Meski Cian Hui masih
bersenyum, tari sorot matanya penuh rasa benci, andaikata sinar matanya dapat
melukai orang, mungkin Na Hui hong sudah mati beberapa kali.
Maklumlah, kalau taruhan tadi
belum menjadi soal bagi Cian Hui, tapi taruhan Na Hui hong sekarang cukup
membuat seseorang menjadi bangkrut dan jatuh miskin, sekalipun Cian Hui
terhitung seorang tokoh Lok-lim yang kaya, tapi oleh karena dia sangat royal,
maka tabungannya tidak seberapa banyak, dalam gudang paling banyak juga cuma
tersedia hanya puluh laksa tahil perak.
Na Hui-hong ini seakan-akan
dapat menaksir kekayaan yang dimilikinya maka dia mengajukan pertaruhan seperti
itu, dengan tujuan supaya Cian Hui jatuh pailit, bahkan dia ingin menangkan
pula tempat tinggal Cian Hui sehingga kalau bisa lawannya akan dibikin tidur di
emper rumah orang Cian Hui bukan orang bodoh, sudah tentu dia paham maksud
lawannya, bisa dibayangkan betapa gemas dan bencinya, dalam hati dia menyumpah,
"Na Hui-hong, wahai Na Hui-hong aku tak pernah bermusuhan dengan dirimu,
mengapa kau bertindak sekeji itu kepadaku? Hmm, bila suatu ketika kau terjatuh
ke tanganku , .. hnim, hm..."
Tapi dia lantas tertawa,
katanya, "Aku tak bermaksud demikian, masa tidak percaya pada Na heng,
tapi kau pun harus tahu, medan judi sama seperti medan tempur sekali orang
terjun ke gelanggang pertaruhan, sekalipun saudara sekandung juga harus membuat
perhitungan dan lagi di medan judi yang diutarakan adalah taruhan nyata kalau
cuma omong kosong tanpa bukti hitam di atas putih. rasanya rasanya tidak masuk
hitungan..."
Tiba-tiba ia menemukan alasan
yang tepat untuk menolak tantangan Na Hui-hong maka ia tertawa senang.
"Ucapan Cian-heng memang
tepat, taruhan harus ada barangnya," Na Hui hong tertawa, Maka kebetulan
sudah kubawa lima puluh laksa tahil perak itu, meskipun tidak berada dalam
sakuku, tapi dalam waktu satu jam sudah bisa dibawa kemari sedangkan mengenai
perkampunganku itu sekarang juga akan kubuatkan surat kontrak, para jago
persilatan lain boleh bertindak menjadi saksi untuk ini ingin kuminta bantuan
Tham-lopiautau dan Siang pangcu agar suka menjadi wasit, siapa yang kalah,
dalam waktu setengah bulan harus mengosongkan perkampungannya dan menyerahkan
kepada pihak yang menang... Hahaha, ucapan saudara Cian memang benar siapa yang
terjun ke arena perjudian, sekalipun saudara sekandung juga mesti bikin
perhitungan Hahaha..."
Kim-keh Siang It-ti merasa
mendapat kesempatan, segera ia menimpali: "walaupun Siaute bukan orang
yang suka mencari urusan, tapi jabatan sebagai penengah ini pasti
kuterima."
"Betul, bila Na-tayhiap
menghargai diriku tentu saja aku pun tidak menolak." sambung Liong
heng-pat-ciang Tham Beng sambil tersenyum.
Sin-jiu Cian Hui berdiri
tertegun seperti patung, tiba-tiba ia cabut kipasnya dan menggoyangkannya
dengan keras lalu menyimpan kembali kipasnya terus menenggak beberapa cawan
arak.
Sekalipun dia seorang tokoh
persilatan yang hebat, tapi harta benda yang dikumpulnya dengan susah payah
selama bertahun-tahun bakal ludes di atas meja pertaruhan dan jelas tak ada
harapan untuk menang, bagaimanapun tebal imannya tidak urung berubah juga air
mukanya.
Semua orang memandangnya
dengan menahan napas, demikian tegangnya sehingga suara bisik-bisik pun ikut
lenyap, keadaan menjadi sunyi, Mendadak Cian Hui terbahak-bahak, "Baik
baik! Kalau saudara Na berniat untuk bertaruh tentu saja aku akan mengiringimu
dengan senang hati."
Sambil mengulapkan tangannya
dia berseru lagi, "Siapkan alat tulis..."
Seorang Piautau yang terkenal
bertulisan bagus didorong keluar untuk menulis surat kontrak tapi sewaktu dia
mengambil pit dan mulai menulis, jelas tangannya gemetar keras.
Cian Hui berdiri kaku
menyaksikan di samping, meski pengaruh arak memperkuat ketabahannya tak urung
keringat membasahi jidatnya.
Apalagi ketika tiba gilirannya
untuk membubuhi tanda tangan, butiran keringat sebesar kacang kedelai mengucur
keluar, hal ini membuat para jago yang hadir itu merasa tercengang,
"Heran, biasanya Cian Sin-jiu selalu tenang, kenapa sikapnya sekarang
tampak gugup?"
Andaikan mereka tahu bagaimana
perasaan Cian Hui ketika itu, mungkin tak ada orang yang berpendapat demikian,
Sampai-sampai Liong-heng-pet-ciang juga merasa heran.
Setelah surat kontrak diteken,
dua lembar kertas itu berikut kedua lembar cek tadi ditaruh di bawah nampan
yang berisi uang emas itu.
Cian Hui kelihatan gelisah,
sebentar duduk dan sebentar berdiri. Sinar mata kawanan jago pun tak berkedip
mengawasi pintu.
Yu Peng, si kepala rumah tangga
Long bong san-ceng mendadak lari masuk, sekalipun jelas tahu siapa yang muncul
toh jantung semua orang berdebar keras.
Maka setiap ada bayangan orang
muncul dan luar, semua orang lantas menjadi tegang.
Sesudah berlari masuk, segera
Yu Peng berseru, "Saudara kita semuanya siap jual nyawa bagi Cengcu,
lantaran jumlahnya terlalu banyak maka hanya kupilihkan sembilan orang.
Jit-giau-tui-hun tertawa
dingin, "Hehe, Cian heng memang disayang anak buah . hehe..."
Padahal ia saksikan sendiri di
luar kebanyakan anak buahnya enggan mempertaruhkan nyawa secara sia-sia.
Merah wajah Cian Hui mendengar
sindiran itu dia lantas berteriak, Suruh mereka masuk."
Terdengar sembilan orang
laki-laki berbaju hitam mengiakan dan berlari masuk ke dalam ruangan dan tepat
berhadapan muka dengan kesembilan orang berbaju warna-warni tadi, ketika
delapan belas pasang mata saling bertemu, terjadilah saling pandang dan entah
apa yang mereka pikirkan di dalam hati.
Kim-keh Siang It-ti
memperhatikan wajah ke sembilan orang itu, sekilas pandang saja dia tahu bahwa
Sin-jiu Cian Hui memang tidak malu sebagai seorang tokoh persilatan, kekuatan
yang terhimpun di pihaknya ternyata bukan kaum keroco.
Gerak-gerik kesenbilan
laki-laki berbaju hitam nampak tangkas, hanya saja mereka tidak setenang anak
buahnya.
"Bagus... bagus..."
Cian Hui mengangguk berulang kali, dia berpaling dan membisikkan sesuatu kepada
Yu Peng.
Kim-keh Siang lt-ti lantas
tertawa dingin, "Hehe, saudara Na, tahukah kau, apabila hari ini aku kalah
urusan masih mendingan, tapi kalau menang hem, untuk keluar dan sini mungkin
akan jauh lebih sukar daripada waktu masuk kemari tadi!"
Hebat perubahan air muka Cian
Hui, ia pun tertawa dingin, "Hehehe, saudara Siang, masa kau begitu
pandang hina atas diriku ini?"
"O, niat jahat untuk
mencelakai orang jangan sekali kali ada, tapi hati-hati terhadap segala
kemungkinan jangan sekali lengah, itulah ajaran kuno yang sudah kita ketahui
bersama."
Berkerutlah kening Cian Hui,
katanya dengan lantang, "Yu Peng, coba jelaskan kepada mereka, apa yang
barusan kukatakan kepadamu?"
"Cengcu memerintahkan
pada hamba agar mempersiapkan ganti rugi untuk keluarga ke sembilan saudara
ini!" sahut Yu Peng dengan kepala tertunduk.
Mendadak Jit-giau-tui-hun
terbahak-bahak "Hahaha., .. menang atau kalah belum jelas, kenapa
Cian-heng malahan sudah mengharapkan kemenangan bagi orang lain dan melenyapkan
wibawa pihak sendiri?" - Habis berkata kembali ia menengadah dan
terbahak-bahak.
Jit-giau-tongcu Go Beng-si
juga ikut sedih meski ia tak senang pada sifat Cian Hui yang jelek tapi iba
juga menyaksikan keadaannya dipandang nya sekejap barang taruhan di meja, lalu
ditatapnya juga kedelapan belas orang itu kemudian ia berkata sambil menghela
napas panjang, "Terlepas dari siapa yang akan menang, tapi selama hidup
Cian cengcu bisa bertaruh sebesar ini, betapapun engkau harus merasa
bangga!"
Cian Hui tersenyum dengan
perasaan berterima kasih, "Go-siauhiap..." belum lanjut ucapannya.
Tiba-tiba dari samping
berkumandang suara tertawa dingin yang tak enak didengar serentak para jago
mengalihkan perhatian mereka ke arah sana, ternyata suara tertawa dingin itu
berasal dan Tham Bun-ki, puteri kesayangan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, di
bawah cahaya lampu wajahnya yang jelita itu rada pucat tapi matanya yang hening
tampak buram.
Dengan termangu-mangu ia
memandang tangan sendjri yang halus, sorot mata ratusan orang itu seperti tidak
dirasakannya sama sekali.
"Kalau pertaruhan ini
disebut pertaruhan terbesar hm, kukira pertaruhan terbesar di dunia ini akan
terlampau banyak?" katanya dingin.
Dia seperti bergumam sendiri,
seakan-akan tak tahu kalau beberapa patah-katanya yang singkat itu telah
menghebohkan semua orang.
Air muka Sin-jiu Cian Hui
berubah hebat, Kim-keh Siang It ti dan Jit-giau Lui hun Na Hui-hong saling
berpandang dengan bingung, sementara Liong-heng pat-ciang mengernyitkan alis.
Akhirnya Liong-heog pat-ciang
juga yang menegur puterinya, "Anak Ki, jangan sembarangan berbicara?"
Dia sangat menyayangi Bun-ki,
betapapun ia merasa berat untuk mengomelinya di depan umum. Tak terduga Bun-ki
tetap kaku, sikapnya tetap dingin seakan-akan tidak mendengar teguran sama
sekali.
Jit-giau tui-hun Na Hui-hong
tak sabar lagi dia lantas berseru- "Jadi maksud nona Tham masih ada cara
taruhan lain yang jauh lebih hebat?"
"Ya, benar" gadis
itu menyahut dengan dingin dan perlahan bangkit berdiri.
"Duduk" kembali Tham
Bcng membentak.
Tapi keadaan Bun-ki sekarang
bagaikan orang linglung, pelahan ia menghampiri Sin-jiu Cian Hui.
Tampaknya pemilik
Long-bong-san-ceng ini pun terpengaruh oleh sikap si nona yang aneh itu
serunya, "Nona Tham, kau ... . "
"Aku hendak bertaruh
sesuatu denganmu, ba rang taruhan itu jauh lebih berharga daripada benda
apapun, beranikah kau terima tantanganku ini?"
Sekali lagi Na Hui-hong dan
Siang It-ti saling pandang, sorot mata mereka terpancar rasa gembira yang
meluap, sementara para jago yang memenuhi ruangan itu pun ikut berdiri semua,
malahan Tonghong-ngo-hengte yang selama ini cuma berpeluk tangan belaka juga
ikut bangkit, beratus pasang mata sama tertuju ke atas tubuh si nona yang aneh
itu.
Dengan pandangan setengah
bertanya Sin-jiu Cian Hui berpaling sekejap ke arah Tham Beng. Tapi dalam
keadaan demikian Tham Beng sendiri tak dapat memaksa puteri kesayangannya pergi
dan situ, apalagi ia pun mengharapkan Cian Hui jatuh bangkrut maka setiap
tindakan yang bisa mendatangkan kerugian bagi Cian Hui semakin baik baginya,
ditambah lagi dia yakin Cian Hui tiada harapan untuk memenangkan pertaruhan
tersebut, maka bukan saja ia tidak memberikan reaksi, bahkan mengerling pun
tidak.
Dengan dingin Bun-ki menatap
Cian Hui, ketajaman matanya seperti seekor kucing di tengah kegelapan yang
sedang memandang hina dan mengejek seekor tikus yang sudah tak berdaya.
Karena terdesak, akhirnya Cian
Hui menghela napas panjang, "Nona. kalau kau berminat untuk bertaruh,
katakan saja apa barang taruhannya!"
"Jika kau setuju bertaruh
baru akan kusebut kan!"
"Bila nona tidak
menerangkan lebih dulu, darimana orang she Cian bisa menjawab mau atau
tidak?"
Menyaksikan kegugupan orang,
Bun-ki tertawa dingin "Hehehe? jadi kau tidak ada keberanian untuk
menerima tantangan bertaruh dan seorang perempuan?"
Cian Hui mengusap keringat
yang membasahi jidatnya, tokoh persilatan yang tersohor ini entah sebab apa
ternyata merinding menghadapi tantangan nona ini.
Setelah termenung sebentar,
tanyanya dengan gugup seandainya aku tidak memiliki benda itu?
"Kau pasti punya?"
tukas Bun-ki singkat.
Kontan kawanan jago yang hadir
di situ merasa jantung berdebar keras seakan-akan mau melompat keluar dan
rongga dadanya.
Dengan pandangan tajam Sin-jiu
Cian hiu menyapu pandang sekejap sekeliling ruangan, tiba-tiba ia membusungkan
dada, ia pikir masa aku kena di gertak oleh puteri musuh bebuyutanku?"
Berpikir demikian, ia lantas
berseru dengan tantang "Kalau begitu, baiklah! Apa pun yang hendak nona
pertaruhkan pasti akan kuterima.
Di luar ia berkata demikian
dalam hati ia berpikir "Bagaimanapun juga pertaruhan tadi sudah cukup
untuk bikin aku bangkrut bila ditambah lagi juga tak menjadi soal!"
Bun-ki tertawa dingin,
"Hehe. yang hendak kupertaruhkan denganmu adalah..."
ia sengaja berhenti sebentar,
matanya yang dngin itu menyapu pandang sekeliling ruangan.
Semua orang menahan napas,
sementara nona itu melanjutkan ucapannya sepatah demi sepatah "Yang hendak
kupertaruhkan adalah sepasang matamu!"
Kawanan jago yang menakut
napas serentak berseru kaget.
Air muka Tham Bun-ki yang
pucat tapi cantik masih tetap kaku tanpa perubahan katanya, lebih jauh dengan
dingin, pertaruhan kita ini berakhir sampai tengah hari esok, pada waktu itu
pertarungan antara Hui Giok dengan Leng-kok-siang bok tentu sudah berakhir
begitu bukan?"
Dengan ragu Cian Hui menjawab
Ya, kukira... kukira memang begitulah!"
Perhatian pura jago kembali
beralih ke wajah Tham Bun-ki, gadis itu berkata lagi dengan dingin "Pada
saat Hui Giok muncul kembali di ruangan ini kedua mataku segera akan kucukil
keluar dan kupersembahkan kepadamu, tapi bila sebaliknya yang terjadi , hm,
sekalipun tidak kuterangkan tentunya kau pun tahu..."
Kata itu diucapkan dengan
suara dingin kaku tanpa emosi, seakan-akan sepasang mata yang dipertaruhkannya
itu bukan miliknya sendiri.
Semua orang sama menarik napas
dingin, kendatipun mereka adalah manusia yang mencari sesuap nasi di ujung
golok, tapi sepanjang hidupnya belum pernah menemui seorang gadis sedingin itu,
segera ada yang melirik ke arah Liong-heng-pat-ciang, mereka mengira Tham Beng
pasti akan terkejut setelah mendengar taruhan yang diajukan puteri
kesayangannya itu.
Ternyata Tham Beng tetap
tenang saja, malahan ia duduk sambil mengelus jenggotnya, tentu saja tak
seorang pun yang bisa menebak apa yang sedang dipikir tokoh persilatan ini.
Tham Beng bukan orang yang
ceroboh, justeru karena dia yakin Hui Giok pasti bukan tandingan Leng-kok-siang-bok,
maka ia hanya membungkam saja, malahan kalau ada orang hendak bertaruh
kepalanya juga dia akan menerimanya.
Karena itulah ia tidak kaget
atau menegur tindakan puterinya itu, malah diam-diam ia memuji kebagusan ide
itu ia merasa gadis itu pandai memanfaatkan kesempatan, keenceran otaknya
sedikit pun tidak di bawahnya.
Padahal, tokoh persilatan yang
tersohor ini mana dapat menebak isi hati puterinya yang sebenarnya.
Hanya Jit-giau tongcu Go
Beng-si saja yang diam-diam menghela napas, pikirnya, "Ai, agaknya
kepergian saudara Hui tadi telah sangat menyakiti hati nona ini, andaikata dia
menang, mungkin nona ini benar-benar akan mengorek keluar sepasang matanya,
sebab ia sudah tak ingin berjumpa lagi dengan pemuda itu!"
Seperti orang yang kehilangan
semangat, lama sekali Sin jiu Cian Hui berdiri termangu-mangu tapi akhirnya dia
tertawa terkekeh-kekeh. "Hehehe sebenarnya buat apa nona pertaruhan
sepasang matamu itu dengan diriku? Ketahuilah bahwa sepasang mataku ini tidak
seberapa berharga, tapi bila Hui-taysianseng menang dan nona harus mengorek
matamu yang jeli itu, O sungguh bikin hatiku tak tega! Hehehe . bukankah begitu
saudara sekalian?"
Ia berharap dengan kata2 yang
ringan itu dapat menutupi perasaan sendiri yang tegang, ia pun berharap dengan
kata2 itu bisa menggerakkan hati Tham Bun-ki agar membatalkan niatnya, selain
daripada itu ia pun berharap bisa memancing simpati orang lain terhadapnya.
Benarkah demikian..."
jengek Bun-ki, tiba-tiba air mukanya berubah hebat, serunya, "Andaikata
Hui Giok menang, bukan saja mataku akan kukorek keluar lidahku juga akan
kupotong, sebab aku tak sudi bertemu dan berbicara lagi dengan dia.
Semua orang tercengang, siapa
pun tak tahu apa sebabnya sikap nona itu mendadak berubah begitu? Hanya
Jit-giau-tongcu Go Beng-si saja yang memahami duduknya perkara, hanya dia yang
menghela napas penuh rasa iba.
Karena dia tahu, gadis yang
biasa dimanja, gadis yang berwatak keras dan suka menang itu, akhirnya
mengutarakan juga perasaan yang sebenarnya.
Waktu itu, perhatian semua
orang dalam ruangan sama tertuju kepada Tham Bun-ki seorang orang-orang yang
ada di halaman juga berkerumun ke depan pintu ruangan, beratus pasang mata
tertarik oleh si nona, siapapun tidak memperhatikan bahwa dari luar diam-diam
telah muncul sesosok bayangan, bayangan yang bergeser perlahan seperti badan
halus.
Karena ucapan Tham Bun-ki itu,
dia telah menghentikan langkahnya, lantaran ucapan si gadis pula ia menghela
napas sedih, bintang yang bertaburan di angkasa, cahaya lampu dalam ruangan
menyinari raut wajahnya.
Itulah wajah yang pucat, wajah
yang putih seperti wajah badan halus ia berdiri ragu di luar pintu lama dan
lama sekali.
Akhirnya dia membusungkan
dada, ia menyisihkan kerumunan orang di sekitar pintu dan perlahan masuk ke
dalam ruangan.
Semua orang yang berada dalam
ruangan masih memandangi Tham Bun-ki dengan kesima, kemudian entah siapa yang
mulai dulu, tiba-tiba terdengar jeritan kaget memecah kesunyian.
"Hui... ..Hui...."
Walau hanya satu kata, tapi
daya teriaknya jauh melebihi berita dunia kiamat, pandangan setiap orang,
termasuk juga Tham Bun-ki, seperti orang kena sihir, semuanya beralih ke arah
pintu.
Orang yang berkerumun waktu
itu sudah menyingkir seperti kena tenung, dalam sekejap terbukalah sebuah jalan
lewat yang lebar. Lalu seorang pelahan berjalan masuk melalui jalan yang lebar
dan lengang itu.
Meski langkahnya sangat
pelahan tapi suara langkah kakinya yang pelahan seolah-olah berubah menjadi
suara kapak raksasa yang membelah bukit menggetar hati mereka.
Setelah keheningan, akhirnya
meledak sorak-sorai yang gegap gempita, beratus orang serentak berseru.
"Hui taysianseng!"
Kejutan yang tak terkirakan
dahsyatnya itu membuat Kim keh Siang It-ti dan Jit giau-tui-hun Na Hui-houg
lupa akan kekecewaan mereka, membuat Sin-jiu Cian Hui lupa bersorak kegirangan
membuat Jit-giau-tongcu Go Beng-si lupa menyongsong rekannya dan membuat Tham
Bun-ki lupa atas taruhannya.
Air muka Hui Giok tampak
pucat, dirundung kekecewaan, seperti juga air muka Tham Bun-ki tadi.
Hanya sorot matanya tidak
seterang mata Tham Bun-ki, sebab perasaan Bun-ki waktu itu adalah gusar dan
benci sebaliknya perasaan Hui Giok sekarang hanya kecewa dan putus asa.
Sin-jiu Cian Hui memandang
pemuda itu dengan termangu, ia tak tahu harus bergembira atau kecewa, meski
taruhan tadi merupakan suatu jumlah pertaruhan yang luar biasa, tapi sampai
detik terakhir ia belum pernah mengharapkan kemenangan Hui Giok, seperti juga
Tonghong-ngo-heogte yang tidak mengharapkan dia kalah dan mati.
Tapi akhirnya Cian Hui bersorak
juga dengan gembira.
Siang It-ti dan Na Hui-hong
saling pandang dengan lesu, Liong-beng-pat-ciang bangkit berdiri, Go Beng-si
lari ke depan menghampiri rekannya dan Tham Bun-ki, dengan tangan yang gemetar
segera hendak mencolok kedua biji matanya sendiri.
"Anak Ki!" bentak
Liong-heng-pat ciang, dengan cepat ia tutuk jalan darah di pinggang puteri
kesayangannya.
Bun-ki berkeluh tertahan
pelahan ia roboh ke dalam pangkuan ayahnya.
Keadaan Hui Giok waktu itu
bagaikan sebuah planet yang jatuh ke bumi, semua perhatian, pandangan semua
orang sama tertuju padanya, sampai berkumandangnya suara bentakan dan keluhan
tertahan, orang2 itu baru sama-sam berpaling.
Sin-jiu Cian Hui menjapu
pandang sekeliling, katanya dengan dingin. pertaruhan tadi bukanlah usulku,
harap Tham-lopiautau jangan melupakan nya dengan begitu saja!"
"Apa maksudmu?"
jengek Liong heng-put-ciang dengan air muka berubah hebat.
"Hahaha, memangnya
Tham-tay enghiong yang mengutamakan kebajikan dan kebenaran tak takut
ditertawakan oleh setiap umat persilatan?" Cian Hui tertawa bergelak.
Sambil tertawa ia berpaling
dan ujarnya lagi "Hui-heng, ada beberapa orang yang punya mata tapi tak
bisa melihat, mereka tidak percaya engkau dapat mengalahkan Leng kok
siang-bok"
Selangkah demi selangkah Hui
Giok maju ke depan, air mukanya kaku tanpa emosi, tiba-tiba tukasnya dengan
dingin, "Siapa bilang aku menang?"
"Habis, apakah Hui heng
kalah?" Cian Hui berseru kaget.
Perasaannya sekarang sungguh
sukar dilukiskan oleh siapa pun, ketika mendengar Hui Giok menang hatinya
merasa agak kecewa, tapi dalam kekecewaan tersebut ia pun merasa sedikit
gembira, sekarang demi mendengar Hui Giok kalah, iapun merasa kecewa, meski
dibalik kekecewaan terdapat pula sedikit rasa gembira, jadi perasaannya ketika
itu sebetulnya gembira atau kecewa, dia sendiripun tidak dapat menjawabnya
dengan pasti.
Perasaan para jago waktu itu
pun sebentar sedih sebentar girang, hanya Liong-heng pat-ciang Tham Beng saja
diam-diam mengembus napas lega setelah didengarnya Hui Giok tidak menang.
Didengarnya Kim-keh Siang
It-ti dan Jit-giau tui-hun Na Hui hong sekali lagi saling pandang, wajah mereka
pun mengunjuk rasa girang.
Siapa tahu Hui Giok lantas
menjawab lagi dengan dingin "Siapa bilang aku kalah?"
Kembali terjadi kegaduhan
suasana, ruangan yang semula sunyi senyap bagaikan kuburan itu kini berubah
jadi gaduh sekali.
"Tenang! Tenang! Harap
saudara sekalian tenang dulu" teriak Cian Hui.
Meskipun bentakan itu cukup
berhasil namun nasib banyak juga orang bersuara di sana sini Sin-jiu Cian Hui
menunggu cukup lama, akhirnya dia menghela napas dan bertanya: "Hui-heng,
sebenarnya kau menang atau kalah"
"Menang. Menang?"
jawab Hui Giok kaku seketika Tham Beng, Siang It-ti dan Na Hui hong merasa
cemas.
"Eh, kalah, kalahl"
sambung Hui Giok pula tiba-tiba jawaban yang tak keruan ini membuat Cian Hui
berkerut kening, diam-diam ia menyumpah Sialan, mungkin orang ini sudah
sinting?"
"Ya menang, ya
kalah...." Hui Giok menambahkan dengan senyuman yang aneh dan sukar diraba
-ooOoo- - ooOoo-
Kiranya setelah meninggalkan
Long-bong-san ceng tadi, Hui Giok tidak pedulikan apakah Leng kok-siang-bok
akan menyusulnya atau tidak, dia hanya berjalan dengan kepala tertunduk seperti
seorang yang sedang berjalan-jalan mencari angin sedangkan Leng-kok-siang-bak
yang berwatak aneh itu mengintilnya di belakang, sama sekali tidak mendesaknya.
Setelah mengitari tempat
pemberhentian kereta di depan pintu perkampungan dia kembali menuju ke hutan
yang sepi dan rimbun itu.
"Cuaca dalam bulan lima
benar-benar menawan hati!"
Ia memandang burung yang
berkicau di dahan pohon, diam diam ia bergumam, perasaannya terasa tenang, sama
sekali tidak rasa gugup akan menghadapi maut, juga bukan ketenangan semacam
orang yang pasrah nasib ketenangannya waktu itu adalah ketenangan yang sangat
aneh.
Leng-kok-siang-bok saling
pandang dengan heran bahwa anak muda itu sedemikian tenangnya Tiba-tiba Hui
Giok berpaling dan berkata, "Apakah kalian setuju bila kita bertarung di
sini saja?" Leng Ko-bok berdehem, setelah mengerling sekejap kearah Leng
Han-tiok, jawabnya "Tempat ini sangat bagus!"
Bagus, jika demikian kalian
berdua boleh segera turun tangan!" ucap Hui Giok dengan tersenyum.
"Baik..." Leng
Han-tioJc juga berdehem sambil berpaling dan menatap Ko-bok lekat-lekat, meski tidak
mengucapkan sepatah katapun, tapi dari pandangan tersebut dapat diketahui bahwa
meminta agar Leng Ko-bok yang maju lebih dulu.
Dengan suara berat Leng Ko-bok
berseru "Oh, lebih baik kau saja yang maju!"
"Aku?" Leng Han-tiok
tergagap.
"Ya, kau yang harus turun
tangan lebih dulu!" ternyata kedua bersaudara itu tak seorangpun yang
bersedia melaksanakan tugas batas dendam yang pada hakikatnya adalah suatu
perbuatan yang pantas sekalipun mereka sendiri tahu bahwa untuk mewujudkan
keinginan tersebut dapat dicapainya dengan sangat mudah.
Leng Han-tiok seperti
terpaksa, dengan perasaan apa boleh buat ia menghela napas panjang
"baiklah biar aku yang maju saja!" - selangkah demi selangkah dia
lantas maju ke depan pemuda itu.
"Silahkan!" ujar Hui
Giok sambil tersenyum. Waktu Leng Han-tiok menengadah dilihatnya betapa gagah
dan wajar sikap anak muda itu dengan mengulum senyum, seakan-akan seorang jago
kelas tinggi yang sedang berhadapan dengan seorang musuh yang tak tahu diri,
seandainya dia tidak mengetahui sampai di manakah kelihaian Kungfu anak muda
itu, tentu dia akan menghadapi lawannva dengan lebih hati-hati.
Tapi. sikapnya sekarang
seakan-akan tidak bergairah untuk berkelahi katanya dengan tak acuh kenapa kau
tidak menyerang dulu?"
Hui Giok tersenyum "Aku
tiada bermaksud berkelahi dengan kalian, adalah kalian yang menantang aku
bertarung, tentu saja kau yang harus turuno tangan duluan"
Leng Han-tiok mengangguk,
agaknya ia setuju dengan alasan lawan "Kalau begitu, biarlah aku menyerang
dulu" katanya kemudian.
Setelah berdehem, dia maju
selangkah ke muka, lalu ayun telapak tangannya dan memukul pemuda itu,
serangannya ini sama sekali tak bertenaga, bahkan arah serangan dan ketepatan
waktu juga tidak diperhatikan seperti seorang ibu yang enggan memukul putera-puterinya,
yang ia sendiri sebenarnya sayang untuk memukulnya.
Hui Giok tertegun dia angkat
tangannya untuk menangkis, Leng Han tiok pun menarik kembali serangannya, lalu
mengangkat tangan yang lain untuk memukul lagi dengan tak bersemangat.
Hui Giok melenggong tapi ia
menangkis juga dengan pelahan seperti apa yang dilakukan semula.
Leng Han-tiok ganti tangan dan
memukul lagi tanpa semangat.
Hui Giok mundur selangkah,
sekali ini ia pun enggan menangkis.
"Eh, kenapa tidak kau
balas seranganku?"
Leng Han-tiok segera berteriak
"Bukankah sudah
kulepaskan serangan balasan!" sahut Hui Giok, segera ia melancarkan suatu
pukulan balasan.
Leng Han-tiok menangkis, hanya
sekali bergerak saja tangannya telah mengunci urat nadi pergelangan tangan Hui
Giok.
Tapi ia cuma membentuk saja,
lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia putar badan dan berlalu dari situ.
Setibanya di depan Leng Ko
bok. ia berdiri termangu sekian lamanya, kemudian berkata dengan suara keras:
"Bila kau hendak membalas sakit hati, kenapa tidak turun tangan sendiri
Aku . aku... lelah sekali..."
Di balik sinar mata Leng
Ko-bok yang tajam seakan-akan terlintas secercah senyuman, dia mengangguk,
"Baik, baik, biar aku yang maju!"
Setibanya di depan Hui Giok,
pelahan ia menggulung lengan bajunya, tapi sama sekali tidak ada niat untuk
turun tangan Melihat tingkah laku kedua orang itu, Hui Giok merasakan
kehangatan, ia tak menyangka di balik tubuh kedua orang aneh yang dingin dan
kaku itu terdapat juga perasaan hangat insani.
Lama sekali Leng Ko-bok
menggulung lengan bajunya seakan-akan pekerjaan menggulung lengan baju adalah
pekerjaan yang lebih sulit daripada pekerjaan apa pun jua.
Melihat itu, sorot mata Leng
Han-tiok juga memancarkan setitik senyuman, tapi ia menegur dengan dingin:
"Tanpa gulung lengan baju kan juga bisa bertarung?"
Leng Ko-bok berpaling sambil
melotot sekejap, akhirnya dia mengangkat juga telapak tangannya dan menyerang.
Kali ini Hui Giok memandangi
datangnya telapak tangan itu dengan termangu, ia tidak berkelit atau menangkis.
Ketika serangan itu mencapai
tengah jalan tiba-tiba Leng Ko-bok menarik kembali telapak tangannya, lalu
bergumam "Tak bisa, tidak bisa Lebih baik kami bunuh habis semua orang
yang berada di Long-bong-san-ceng daripada mengadu kepandaian dengan seorang
yang tak mengerti ilmu silat Loji, betul tidak ?"
"Betul... betul!"
sambil maju Leng Han-tiok membenarkannya.
Setelah melenggong sejenak,
tiba-tiba Leng Ko-boh berkata lagi dengan suara lantang, "Tapi
Leng-kok-siang-bok adalah jagoan terhormat kami rela dihina orang dengan begitu
saja, gurunya tak ditemukan muridlah yang dituntut hal ini adalah kejadian yang
umum. Betul tidak Loji?"
"Betul, betul... "
kembali Leng Ko bok mengangguk, "lalu bagaimana sekarang?"
Setelah termenung lagi sejenak
akhirnya dia berpaling dan berkata kepada Hui Giok "Meski kau tak pandai
bersilat tapi kepandaian lain tentunya ada bukan?"
Hui Giok mengangguk tanpa
sadar."
"Kalau begitu pilihlah
salah satu jenis kepandaian yang kau kuasai untuk dipertandingkan dengan kami"
ucap Leng-Ko-bok pula, "baik kepandaian main kecapi, main catur, melukis
atau menulis pendek kata baik soal Bun (sastra) maupun Bu (silat), boleh kau
pilih secara bebas!"
Sekarang kedua bersaudara itu
benar-benar tidak berniat lagi mencelakai jiwa Hui Giok, maka mereka sengaja
mengusulkan cara lain untuk menyelesaikan perkasa mereka.
Padahal, kecuali ilmu silat
kepandaian lain tak banyak yang mereka kuasai.
Tapi setelah Hui Giok
termenung, disadarinya bahwa kecuali ilmu silat ia pun tidak menguasai
kepandaian lainnya,
Sejak kecil ia hidup
sebatangkara, sampai dewasa pun berkat kebaikan orang-orang Hui-liong-piaukiok
yang memeliharanya. Sebagai orang persilatan, kecuali ilmu silat pemuda itu tak
pernah mendapat kesempatan untuk belajar kepandaian bermain khim bermain catur
bersyair dan lain sebagainya.
Selama ini, kecuali dua tiga
jilid kitab yang pernah dibaca kecuali pekerjaan kasar yang dilakukannya,
setiap hari sebagian besar waktunya hanya dihabiskan dengan berduduk di
undak2an rumah dan memandang awan di udara sambil melamun.
Kemudian, setelah ia minggat
dan Hui-liong-piaukiok, hidupnya makin sengsara, ia harus bergelandangan
banting tulang untuk menyambung hidup, dalam lingkungan kehidupan yang serba
susah begitu tentu saja lebih-lebih tak mungkin baginya untuk belajar
kepandaian apa pun, kalau pun ada, siapa yang bersedia mengajarnya.
Lama sekali ia berdiri dengan
termangu, makin dipikir makin sedih, ia benci pada ketidak becusan sendiri, ia
benci pada kebodohannya, begitu benci sehingga hati terasa sakit.
Ketidak becusan, ketidak
tahuan sungguh sesuatu yang mengerikan.
Tak aneh kalau pemuda itu
membenci terhadap diri sendiri, tapi pemuda itu melupakan sesuatu, bahwa meski
dia tidak memiliki kepandaian dan pengetahuan seperti orang lain, sebenarnya ia
memiliki sebuah hati yang bajik dan bijak.
Dengan sedih pemuda itu
menghela napas, "Ai terus terang kukatakan, selama hidupku ini, aku...
aku..." ia tak mampu meneruskan ucapannya sebab air mata hampir saja
bercucuran.
"Masa kau tidak bisa apa-apa?"
tanya Leng Ko-bok dengan melengak.
Hui Giok berusaha menahan
cucuran air matanya, ia mengangguk pelahan.
Leng kok-siang-bok saling
pandang sekejap ketika sorot mata mereka beralih lagi ke arah Hui Giok, selain
rasa heran dan kagum tadi, kini bertambah pula dengan perasaan hangat dan
kasihan.
Ketika angin berembus
sepoi-sepoi, kedua orang bersaudara itu tiba-tiba duduk bersila di tanah mereka
memandang ke dalam hutan dengan termangu.
Sejak kecil nasib mereka
berdua sangat buruk karena itu terciptalah watak yang menyendiri dan benci
kepada sesamanya, tercipta juga sikap dingin kaku dan aneh.
Tapi sekarang, mereka melihat
penderitaan anak muda ini ternyata lebih mengenaskan daripada nasib mereka,
tapi pemuda itu menerima semua itu dengan pasrah nasib, dia hanya bersedih bagi
dirinya sendiri, tiada rasa dendam pada orang lain padahal semestinya jauh
memiliki perasaan dendam kepada orang lain seperti apa yang mereka rasakan.
Daun hijau yang masih segar
rontok terembus angin, memandangi daun yang gugur ini, tiba-tiba ia merasakan
kehidupan pribadinya seperti daun yang rontok sebelum waktunya itu.
"Asal aku diberi
kecerdikan dalam sehari saja, agar aku dapat menikmati betapa indahnya
kehidupan ini. sekali pun harus mati aku akan mati dengan tertawa."
Senja sudah hampir tiba,
ketiga orang tua dan muda sedang meresapi apa artinya kehidupan, mereka lupa
akan waktu yang berlalu dengan cepat.
Ketika terdengar bunyi burung
gagak yang tebang kembali ke sarangnya, tiba-tiba satu ingatan terlintas dalam
benak Leng Han-tiok. wajahnya yang dingin kaku menampilkan rasa gembira.
Akhirnya dia teringat pada
sesuatu masalah yang menggirangkan.
Malam pun menyelimuti bumi,
bintang bertebaran melancarkan sinarnya yang redup.
Dengan wajah berseri Leng Han
tiok berpaling.
"Apa yang kau
girangkan?" Leng Ko-bok menegur dengan dingin.
"Jika kita tak dapat
beradu silat dengan dia, kitapun tak dapat mengampuni dia dengan begitu
saja..." teriak Leng Han tiok, "tapi selain ilmu silat dia tak bisa
apa-apa..."
"Ya benar," Leng
Ko-bok menjawab dengan tak bersemangat "aku tak habis mengerti, urusan apa
yang membuat hatimu bergirang?"
Sekarang aku berhasil
menemukan satu cara yang sangat bagus sekali!" ucap Leng Han-tiok dengan
tersenyum.
Ia bangkit dan menepuk pelahan
bahu Hui Giok, katanya lebih jauh, "Kulihat meski usiamu masih muda, tapi
perkataanmu sangat jujur. tak nanti kau berbohong bukan?"
Dengan tercengang Hui Gjok
menengadah, "selamanya ini belum pernah berbohong" katanya dengan
tergagap.
"Bagus!" Leng
Han-tiok mengangguk tentunya kau pun benar-benar tak bisa apa-apa bukan?"
Kembali Hui Giok mengangguk
sedih.
"Walau begitu, kami tetap
akan bertanding denganmu!" ujar Leng Han tiok lebih jauh, "bila kau
kalah bertaruh, maka sebagaimana mestinya kau harus membayar penghinaan yang
pernah dilakukan gurumu terhadap kami itu."
Hui Giok membusungkan dada,
tapi sebelum menjawah, Leng Ko-bok berkerut dahi sedang Leng Han-tiok
tersenyum, tiba-tiba katanya lagi. "Sejak hari ini, setiap waktu setiap
saat kami akan mengajarkan pelbagai kepandaian padamu, jika kau tak dapat
mempelajarinya dalam waktu paling singkat, maka kaulah yang kalah dalam
pertaruhan ini."
Leng Ko-bok berkerut kening
pula, sedang Hui Giok dengan wajah berseri segera berteriak "Benarkah
itu?"
Senyum yang semula menghiasi
wajah Leng Han tiok tiba-tiba berubah dingin dan kaku pula katanya lagi,
"Jangan keburu senang dulu, tidak gampang urusan ini dikerjakan.
Ketahuilah pelajaran yang hendak kami ajarkan bukan melulu ilmu silat saja tapi
termasuk juga kepandaian lain seperti memetik khim, bermain catur, membuat
sajak dan melukis. pokoknya semua kepandaian yang kami ajarkan harus dapat kau
kuasai dalam waktu paling singkat, kalau tidak maka siksaan dan penderitaan
yang akan kau terima mungkin lebih parah daripada apa yang kau bayangkan
sekarang,"
Hui Giok berpaling. ia tahu
hati kedua orang ini tidak sedingin wajah mereka, apalagi dengan menggunakan
kesempatan itu mereka bermaksud merangsang semangatnya agar maju ke depan,
siapa yang akan percaya kalau kehangatan semacam ini muncul dari Leng-kok-siang
bok yang termasyhur"
Betapa pun pemuda itu merasa
berterima kasih dan juga gembira di samping rasa kuatir, ia tak tahu apakah
dengan kebodohannya, dapat mempelajari pengetahuan baru itu?
Leng-kok-siang-bok saling
pandang sekejap, lalu berkatalah Leng Han-tiok, "Bersediakah kau menerima
cara bertanding semacam itu?"
Sedapat mungkin Hui Giok
mengendalikan pergolakan perasaannya, sebab dia tak ingin menunjukkan rasa
gembira dan terima kasihnya di hadapan kedua orang aneh ini.
"Baik!" katanya
kemudian, walaupun hanya sepatah kata, namun di situlah seluruh perasaannya
dilimpahkan keluar.
"Kalau begitu, mulai
sekarang kau harus ikut kami," kata Leng Ko-bok.
"Ya, aku tahu!" anak
muda itu mengangguk.
"Adakah urusan yang perlu
kau selesaikan dulu di Long-bong-sanceng?" Leng Han-tiok bertanya.
Sebenarnya Hui Giok ingin
mengatakan "Tidak ada!" sebab ia hanya sebatangkara, tiada sanak
tanpa keluarga.
Tapi kemudian ketika ia
teringat akan kekuatiran Go Beng-si dan Tham Bun-ki atas dirinya, segera
sahutnya "Harap kalian tunggu sejenak di sini, sebentar aku akan
kembali!"
Pergilah pemuda itu diiringi
pandangan Leng kok-siang-bok dengan senyuman hangat.
"Aku merasa kehidupan
kita belakangan ini terlalu kesepian," kata Leng Ko-bok kemudian sambil
tersenyum, "memang ada baiknya kalau kita bawa serta bocah ini. ia tidak
punya sanak tanpa keluarga, lagipula seorang anak laki-laki, berbeda dengan Bun
ki, meski dia seorang anak baik, namun sayang banyak peraturan mengalangi hubungan
kita dengan dia!"
"Bukan cuma begitu
saja..." sambung Leng Han tiok sambil tersenyum "kitapun dapat
menyelamat kan bocah itu dari rencana busuk si Cian Hui. Bayangkan sendiri,
mereka telah mengangkat seorang bocah seperti dia menjadi Kanglam Bengcu.
mustahil di balik semua itu tiada rencana busuk namanya? kulihat bocah itu
seorang yang berbakat tentu banyak yang bisa dia pelajari selama mengikuti kita
berdua."
Leng Ko-bok termenung sejenak,
lalu berkata "Padahal, kalau kita tinjau dari watak serta caranya
menghadapi orang, bocah itu memang lebih cocok menjadi Lok-lim-bengcu daripada
siapa pun jua."
"Ya. dia memang cocok
menjadi Bengcu" tukas Leng Han-tiok, "sayang dia terlalu ramah,
terlalu bajik, mana bisa menghadapi kelicikan manusia2 licin itu!"
Tiba-tiba Leng Ko-bok tertawa,
"Tahukah kau betapa licik dan busuknya suatu rencana keji mungkin berguna
terhadap orang lain tapi dihadapan kebajikan dan kemuliaan, kebusukan itu
justru akan musnah dengan sendirinya, ibaratnya.... Ibaratnya..." ia merenung
sesaat rupanya sedang putar otak untuk mencari ungkapan yang dirasakan paling
cocok.
"ibaratnya salju bertemu
dengan matahari maksudmu?" sambung Leng Han-tiok sambil tertawa
"Ya, betul!" Leng
Ko-bok ikut tertawa, "Ibaratnya salju bertemu matahari.
Tiba2 mereka teringat akan
sesuatu, bukankah hati mereka yang dingin dan beku dibuat cair setelah berjumpa
dengan Hui Giok? Senyum yang menghiasi wajah mereka pun tambah cerah.
Pembicaraan mereka berdua di
depan orang dan pada waktu tiada orang lain memang sangat berbeda, sayang Hui
Giok telah pergi jauh dan tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.
Dengan langkah lebar dan penuh
kegembiraan anak muda itu meneruskan perjalanan teringat akan betapa banyak
pengetahuan baru yang akan didapatkan ingin rasanya kakinya bersayap sehingga
perjalanan bisa dilakukan secepatnya.
Angin malam di bulan lima
terasa sejuk dan nyaman, semua peristiwa yang tidak menyenangkan seolah-olah
ikut menjadi buyar musnah mengikuti embusan angin itu.
Terhadap kesedihan, ketidak
beruntungan dan sakit hati ia paling mudah melupakannya. mungkin hal ini
dikarenakan ia masih muda, memiliki hati yang bajik dan bijak.
Ketika memasuki perkampungan
Long-hon san-ceng, ia temukan suasana yang begitu tenang begitu hening, walau
kereta dan kuda masih memenuhi di luar pintu perkampungan namun keheningan yang
mencekam terasa sangat aneh, terasa begitu banyak manusia vang berjubel di
depan pintu ruangan.
Dia heran, apa gerangan yang
terjadi di dalam peristiwa apa yang sedang berlangsung di situ.
Seketika suatu perasaan tak
enak timbul dalam hatinya, tiba-tiba ia mendengar suara Tham Bun-ki, mendengar
perkataannya yang menyakitkan hati meski ia suka memaafkan kesalahan orang
lain, meski ia dapat menahan penderitaan namun ucapan Tham Bun-ki yang tak
berperasaan itu dirasakannya se-akan2 berpuluh batang jarum tajam menancap di
hatinya.
Akhirnya dia melangkah masuk
ke dalam ruangan dengan membawa perasaan yang terluka.
-oo0oo~ - oo0oo-
Kini ia berdiri di tengah
ruangan itu, untuk pertama kalinya selama hidup hatinya merasa terluka.
Cinta memang paling mudah
melukai dibandingkan urusan lain.
Luka yang dirasakannya
sekarang berbeda dengan kesedihan yang dirasakannya tadi, sedih karena ketidak
becusannya... meski kedua-duanya sama-sama menimbulkan sakit yang menyiksa,
tentu saja semua orang tidak memahami perasaannya, mereka hanya memandangnya
dengan terbelalak, memandang bibirnya yang gemetar dan menunggu keterangannya,
menangkah atau kalahkah.
Saat penantian tentu saja
merupakan saat yang mendebarkan dan menggelisahkan, terutama bagi Siang It-ti
dan Cian Hui sekalian/
"Menangkah? atau
kalahkah?
Hui Giok memandang sekejap
wajah orang yang diliputi kegelisahan itu, tiba-tiba dari lubuk hatinya timbul
semacam perasaan yang memandang hina, perasaan yang memandang rendah terhadap
sesama manusia yang selama ini belum pernah di rasakannya.
"Dalam tiga tahun, kalian
tidak akan tahu hasil pertarungan ini!" katanya kemudian dengan tenang.
Semua orang melenggong, mereka
tak mengerti apa yang dimaksudkan pemuda itu.
"Sebab aku sendiri pun
belum tahu hasilnya!" Hui Giok menyambung kata katanya dengan kaku.
Kemudian ia beranjak seakan-akan hendak tinggalkan ruangan itu.
Sin-jiu Cian Hui, Kim-keh
Siang It ti dan Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong serentak membentak dengan singkat
mereka bertanya, "Apa yang terjadi sebenarnya?"
Secara ringkas Hui Giok lantas
menerangkan sebab-sebabnya, ia beranggapan, setelah terjadi pertaruhan yang
besar dan luar biasa ini mereka berhak untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Dia ingin menjadi seorang yang
adil.
Untuk sesaat, semua orang sama
termangu-mangu, melongo tercengang.
Pertaruhan mereka memang
kejadian yang luar biasa, tapi cara pertarungan antara Hui Giok dengan Leng
kok-siong-bok lebih hebat lagi.
Semua orang hanya bisa saling
pandang, siapa pun tak tahu bagaimana harus menyelesaikan urusaan ini.
Liong-heng-pat-ciang berkerut
kening, ia memandang sekejap barang pertaruhan di atas meja, lalu melirik
putrinya yang berada dalam rangkulannya, kemudian, sesudah berdehem ia berkata
dengan suara yang berat, "Kalau memang begitu lebih baik kita batalkan
saja semua pertaruhan ini! Anggaplah uang perak di meja itu adalah sumbanganku
untuk anak buah Cian-cengcu!"
Kemudian sambil berpaling ke
arah Hui Giok ia menambahkan "Lebih baik kau batalkan pertandinganmu yang
aneh itu! ikut pergi saja padaku."
"Ucapan yang telah keluar
dari mulut tak mungkin dijilat kembali janji tetap tinggal janji" kata Hui
Giok dengan tegas
Cian Hui melirik sekejap
Bun-ki yang mendekap di pangkuan Tham Beng itu, tiba-tiba sorot matanya berubah
jadi kejam seperti ular berbisa.
"Ya, betul"
teriaknya cepat, "janji yang telah diucapkan tak bisa ditarik
kembali!"
Dengan cepat Siang lt-ti dan
Na Hui-hong bertukar pandang sekejap, lalu ikut berteriak, Betul, pertaruhan
ini tak dapat dibatalkan lagi, harus dilanjutkan sampai akhir!"
Air muka Liong-heng-pat-ciang
berubah kelam, sedangkan Go Beng-si berbisik-bisik bicara dengan Hui Giok.
Suasana kembali menjadi gaduh, semua orang ramai membicarakan persoalan ini.
Jit-giau-tui-hun Na Hui Hong
merenung sejenak, tiba-tiba dia berseru dengan lantang, Sebelum menang atau
kalah menjadi jelas, semua barang mestika yang dijadikan taruhan harus disimpan
oleh seseorang, siapapun dilarang menyentuhnya sebelum keputusan
terakhir."
Ia melirik sekejap ke arah
Siang It ti, kemudian melanjutkan "ltu berarti termasuk juga
kedelapanbelas saudara yang dijadikan taruhan, mereka tak boleh sembarangan
bergerak, seperti benda mestika lainnya, mereka diawasi dan diserahkan kepada
seseorang, sampai menang atau kalah akhirnya diketahui."
Berbicara sampai di sini, dia
menjura keempat penjuru dan berseru lagi dengan lantang, "Sahabat-sahabat
sekalian. adilkah usulku ini?"
Para jago kembali berbisik ada
yang mempertahankan kebetulannya ada pula yang segera berteriak:
"Pertaruhan beginilah baru menarik hati!"
"Ya, pertaruhan seperti
inilah baru pertaruhan yang paling adil." sambung yang lain.
Tapi ada orang yang bertanya,
"Lantas bagai mana caranya untuk menyelesaikan benda-benda mestika
itu?"
Dengan pandangan tajam
Jit-giau-tui-hun memandang ke arah Tonghong-ngo-hengte yang duduk tenang di
sudut kemudian sahutnya segera dengan senyum, Nama besar Tonghong-ngo-hengte
sudah tersohor didunia persilatan, Hui-leng-po juga merupakan tempat suci bagi
umat persilatan, apalagi nama besar Tonghong-lopocu dikenal siapa pun, kalau
bukan mereka berlima yang kita serahi tugas ini. siapa lagi yang cocok?
Meskipun pertaruhan ini hanya suatu permainan, tapi kurasa Hui-leng-po adalah tempat
yang paling aman dan adil untuk menyimpan barang taruhan itu setuju
tidak?"
Pertanyaan itu tidak diajukan
kepada Tham Beng, tidak juga kepada Cian Hui dan lain-lain, tapi langsung
diajukan kepada kawanan jago yang memenuhi seluruh ruangan, sebab dia tahu
suara yang terbanyak itulah keputusan sehingga sukar di bantah lagi.
Benar juga, kawanan jago itu
segera memberikan dukungan sepenuhnya, Tonghong-ngo-hengte berbangkit untuk
menyatakan rasa terima kasihnya, mereka hendak menolak tapi melihat wajah berseri
semua orang, terpaksa mereka menerimanya tanpa banyak bicara.
Keadaan Sin-Jiu Cian Hui
paling serba salah waktu itu, ia merasa dirinya betul-betul mencari penyakit
buat diri sendiri tapi nasi sudah menjadi bubur, terpaksa sambil bertepuk
tangan ia berseru dengan lantang, "Kalau begitu, lantas bagaimana dengan
pertaruhan nona Tham?"
Air muka Liong-heng-pat-ciang
Tham Beng berubah hebat, cepat ia menyela, "Dia masih muda, masa
perkataannya yang melantur juga kalian anggap sungguh-sungguh?"
"Jika dia bicara melantur
mengapa Tham-piautau tidak mencoba untuk mengalanginya tadi?" tukas Sm-jiu
Cian Hui dengan ketus, "apakah lantaran tadi Tham-lopiautau yakin benar
akan menang, maka sengaja membungkam dan sekarang setelah tiada keyakinan untuk
menang lantas ingin memungkir ucapannya?"
"Kurang-ajar!"
teriak Liong-heng pat-ciang dengan gusar, "selama puluhan tahun belum
pernah ada orang berani berbicara sekasar ini terhadapku, Cian-cengcu jangan
lupa, aku sudah kelewat sungkan padamu"
Perkataan Cian Hui barusan
secara telak mengenai sasarannya, memang demikianlah jalan pikiran Tham Beng
tadi, betapa malu dan mendongkolnya Tham Beng setelah isi hatinya dibongkar
secara blak-blakan di hadapan orang banyak. dari malu ia jadi murka.
Koay-be-sm-to Kiong Cing-yang
dan Pat-kwa-ciang Liu Hui yang berdiri di sebelah majikannya juga bersiap
siaga.
Sungkan? Hahaha., "Sin
jui Cian Hui terbahak-bahak. "Hehehe, tentunya para hadirin mendengar apa
yang telah diucapkan Tham-lopiautau yang berbudi luhur dan dapat pegang janji
ini"
Di tengah heboh terdengarlah
suara ejekan berkumandang dan sana sini, suasana bertambah panas.
Seperti diketahui sebagian
besar jago yang hadir dalam pertemuan ini adalah jago-jago dan kalangan
Lok-lim, tentu saja mereka berada di pihak yang memusuhi Liong-heng pat ciang
Tham Beng sebagai seorang jago kawakan, Tham Beng sendiri memaklumi situasi
yang dihadapinya sekarang.
Selagi ia hendak mengucapkan
sesuatu, Siang It-ti dan Na Hui-hong tiba-tiba membentak "Hui heng, harap
tunggu sebentar!"
Rupanya di tengah kegaduhan
itu secara ringkas Hui Giok lelah mengutarakan isi hatinya kepada Go Beng-si ia
merasa tempat itu tiada sesuatu yang pantas dikenang lagi, lalu ia hendak
tinggal pergi.
Siang It li menutul tongkat
besinya dan melayang ke udara, dengan suatu gerakan cepat ia menghadang jalan
pergi pemuda itu.
"Apa yang hendak kau
lakukan?" tegur Hui Giok ketus. Meski dia seorang pemuda yang baik hati,
tapi hadiah pukulan Siang It-ti tempo hari belum dilupakannya sekalipun ia
berusaha tidak mengingatnya lagi.
Dalam keadaan seperti ini,
Kim-keh Siang It-ti tak berani unjuk sikap kurang hormat ia merenung sejenak,
lalu menjura, katanya. "Jika Anda pergi, bagaimana caranya kami dapat
mengetahui hasil pertarunganmu nanti?"
"Jika aku tidak pergi,
bagaimana pula menang kalah bisa ditentukan?" Hui Giok balik bertanya
dengan dingin.
Sementara Siang lt-ti dibikin
melenggong, Hui Giok terus lewat di sampingnya dan keluar dari ruangan itu.
Setelah menang kalah diketahui
kalian tentu akan mendapat kabar tersebut, terdengar suara yang lembut nyaring
berkumadang dari luar pintu.
Beberapa orang bermaksud
menyusul pemuda itu, tapi Sin-jiu Cian Hui segera menghardik: "Siapa
berani berbuat kurang-ajar terhadap Bengcu?"
Meskipun bentakan itu nyaring
berwibawa, pada hakekatnya dalam hati ia sangat berharap Hui Giok dapat
cepat-cepat pergi dari situ.
Si Ayam Emas Siang It ti
termangu sejenak, tiba-tiba ia berteriak pula, Bagaimana pun juga tetap akan
kukirim orang untuk mengikuti jejaknya.."
"Ya, benar!" Jit-giau-tui-hun
Na Hui-hong ikut berseru "Aku juga akan berbuat demikian."
Sin-jiu Cian Hui merenung
sebentar, lalu menjawab: "Kalau begitu, lebih baik kita masing-masing
mengirim seorang utusan untuk mengikuti jejaknya, dengan begitu kitapun akan
lebih cepat mengetahui hasil pertarungannya."
Berbicara sampai di sini sorot
matanya pertama-tama dialihkan ke arah Tonghong-ngo-hengte untuk menanyakan
pendapatnya, terpaksa kelima bersaudara itu mengangguk perlahan.
Agak lega Sin-jiu Cian Hui
setelah mengetahui bahwa kelima bersaudara itu tidak berdiri dipihak Tham Beng,
maka ujarnya lagi dengan dingin- "Bagaimana pendapat Tham lopiautau?"
Tham Beng tertawa dingin
"Sombong amat ucapanmu sekarang, jangan kau kira aku sudah jatuh di bawah
kekuasaanmu!"
"Hahaha..." Si
Tangan Sakti tertawa, aku tak berani berniat demikian. tapi fakta berbicara
demikian.
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng
memandang sekejap sekitar tempat itu lalu ia pun bergelak:
"Hahaha, sudah puluhan
tahun aku malang melintang di dunia persilatan. memangnya kau anggap hari ini
aku datang ke Long-bong-san ceng ini tanpa persiapan?"
Ketika ia mulai bergelak Cian
Hui berhenti tertawa, tertampak Liong-heng-pat-crang menyapu pandang seluruh
ruangan dengan sorot matanya yang tajam berkilat.
"Cian Hui!" serunya
lebih jauh, dengan cara apa kau sambut kedatanganku. dengan cara yang sama pula
kau harus mengantar kepergianku kalau tidak, aku akan membikin
Long-bong-san-ceng ini banjir darah dan berubah menjadi puing-puing!"
Tokoh persilatan ini tadi
bersikap halus. Dengan bicara keras, sikapnya jadi lebih kereng, lebih
berwibawa dan membuat orang keder.
Air muka Sin-jiu Cian Hui
berubah sedingin es. Bayangan orang berseliweran di luar sana menjadi tegang.
Pelahan Tonghong-ngo-hengte
bangkit berdiri suasana dalam ruangan seketika tenggelam dalam keheningan yang
luar biasa, entah berapa banyak tangan yang secara diam-diam meraba senjata
masing-masing.
Di antara sekian banyak jago,
hanya Jit-giau-tougcu Go Beng-si saja yang tetap tersenyum, diam-diam ia
menyelinap keluar ruangan tatkala suasana berubah tegang.
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng
memondong puteri kesayangannya yang tertidur nyenyak karena tutukannya tadi, ia
menyapu pandang sekejap ke arah kawanan jago ini dengan sorot mata dingin dan
sikapnya yang amis dan angkuh dapat ditarik kesimpulan bahwa dia tak pandang
sebelah mata terhadap ratusan jago yang berkumpul di situ.
Sinar matanya yang dingin
berubah menjadi lembut tatkala tertuju ke wajah puteri kesayangannya, walaupun
perawakan yang kekar sudah termakan usia, tapi masih tetap sekeras baja,
siapapun tak dapat menebak berapa besar kekuatan yang tersimpan di dalam tubuh
yang tegap itu.
Air muka Sin-jiu Cian Hui
tampak kelam, dari sorot matanya jelas dia sedang mempertimbangkan sesuatu,
yaitu harus Cian (perang) atau Hui (kabur)?
Sebelum keputusannya diambil,
siapa pun tak tahu bagaimana kejadian selanjutnya.
Suasana yang hening dan tegang
tak berlangsung lama, tapi bagi pandangan semua orang, masa tersebut adalah
masa yang terpanjang dalam hidup mereka.
Air muka Sin-jiu Cian Hui
kelihatan tenang tapi diam-diam lagi berpikir "Meninjau dan situasi
sekarang ini, kekuatan musuh jauh lebih lemah daripada kekuatan kami,
Tonghong-ngo-hengte bisa jadi berpihak pada mereka, namun kehadiran mereka juga
tidak berarti suatu bantuan besar baginya. Jika Long-heng-pat-ciang dapat
kubunuh dalam pertarungan ini, lain waktu aku tak perlu meminjam lagi tenaga
orang lain dan dapatlah kujadi Kanglam Bengcu. Waktu itu pengaruh Hui-liong
piaukiok otomatis akan runtuh, apalagi sekarang adalah kesempatan yang paling
baik bagiku untuk membunuhnya, orang persilatan tak akan menyalahkan diriku
karena peristiwa ini, Jika aku tetap sangsi untuk mengambil keputusan,
kesempatan baik ini sukar didapat lagi di kemudian hari!"
Tangannya mengepal semakin
kencang matanya memancarkan cahaya makin tajam, tapi ingatan lain segera
melintas dalam benaknya, "Tapi sampai sekarang sikap Liong-heng-pat-ciang
tetap tenang sekalipun orang yang memiliki ilmu silat tinggi tentu juga akan keder
berhadapan dengan lawan begini banyak serta jago panah yang siap di luar
halaman. Wah, jangan-jangan seperti apa yang dikatakannya tadi, dia memang
sudah menyiapkan bala bantuan di luar perkampunganku.
Kepalanya makin mengendor,
sinar matanya ikut menjadi pudar pikirnya lebih jauh "Konon ilmu silat
Liong-heng-pat-ciang lihaynya bukan kepalang, sekalipun dia bakal mampus di
sini bila dia sudah berniat beradu jiwa denganku, rasanya sulit bagiku untuk
melepaskan diri dari bencana.
Berpikir sampai di sini, semangat
tempur makin kendur, dia lantas memutuskan untuk mengalihkan situasi tegang itu
dengan kata-kata yang lain.
Tapi, sebelum dia berucap di
pihak lain Jit giau-tui-hun Na Hui-hong telah mengalihkan pandangnya ke tengah
arena, selain siap sedia menghadapi musuh ia pun memperhatikan situasi
dihadapannya dan berpikir "Sepintas lalu posisi Sin jiu Cian Hui se-akan2
lebih tangguh tapi sesungguhnya posisi Liong-heng-pat-ciang juga tidak lemah,
sebab itulah kedua pihak terus ngotot sampai sekarang. Cian Hui tak berani
bergerak disebabkan kuatir bala bantuan tersembunyi dan Liong-heng pat-ciang,
mungkin ia pun jeri terhadap kungfu musuh yang luar biasa dan kuatir dalam
keadaan terdesak mengajak adu jiwa padanya. Tapi bagaimana dengan aku? segenap
kekuatan inti ku tidak berada di sini, tujuan lawan juga bukan diriku setiap
saat aku bisa kabur saja dari sini.
Berpikir demikian ia lantas
tertawa dingin, pikirnya lebih lanjut "Kalau posisinya menguntungkan
bagiku, kenapa tidak kumanfaatkan kesempatan ini untuk mengadu domba mereka
hingga ke dua belah pihak sama-sama hancur berantakan. Siapa yang menang atau
kalah bagiku hanya ada keuntungan dan tanpa ada kerugian apa yang meski
kutunggu pula?"
Hawa napsu membunuh segera
terpancar dari matanya, diam-diam dia sudah mengambil keputusan.
Dalam pada itu
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng tetap bersikap tenang, tangan yang satu
digunakan merangkul puterinya, sedang tangan yang lain seakan-akan sudah siap
dengan kekuatan penuh untuk melancarkan serangan.
Kakek yang perkasa itu pun
sedang berpikir jika ditinjau situasi sekarang, Sin-jiu Cian Hmuipasti tak
berani berbuat sesuatu padaku di tempat ini, dia licik dan bisa berpikir
panjang, tak nanti dia mau jadi orang berdosa dunia persilatan. Salahku sendiri
datang tanpa membawa bala bantuan, gertak sambalku mungkin bisa menciutkan hati
Cian Hui, tapi bisakah menciutkan juga hati Jit giau-tui hun Na Hui-hong dan
Kim-keh Siang It ti. Di dalam keadaan seperti ini mereka pasti ingin menarik
keuntungan secara tidak langsung, mereka tentu berharap terjadinya suatu
pertumpahan darah di antara kami berdua!"
Diam-diam ia melirik
Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang serta Pat-kwa-ciang Liu Hui yang berada do
sisinya, kemudian berpikir lagi: "Dua orang ini meski setia padaku, tapi
kungfu mereka bukan jago kelas tinggi, apalagi dalam keadaan seperti ini tak
banyak bantuan yang bisa kuharapkan dari mereka untuk lolos keluar dari sini
rasanya tidak menjadi soal mengingat kungfuku tapi bagaimana dengan..."
Kembali ia tundukkan kepala
memandang puteri kesayangannya, Tham Bun ki yang terlelap dalam pangkuannya.
Melihat mukanya yang pucat
bersemu merah, Tham Beng menghela napas, pikirannya, "Ai bagaimana dengan
anak ini ? seandainya bukan lantaran dia, tentu aku takkan datang ke Kang-lam,
juga tak mungkin mengalami posisi yang tidak menguntungkan seperti sekarang
ini!"
Tiba-tiba ia membatin pula
"Rupanya Na Hui hong berniat mengadu domba, banjir darah segera akan
terjadi Ah, aku punya akal! jika sampai pertempuran berkobar, serahkan saja
anak Ki kepada tiga Tonghong hengte agar mereka mautak-mau harus turun tangan
untuk melindunginya. Hmm. aku yakin tak seorangpun berani memusuhi orang Hui
leng-po."
Demikianlah, tatkala Sin Jiu
Cian Hui berusaha melunakkan suasana yang semakin tegang, Jit giau tui hun Na Hui
Hong sebaliknya memanfaatkan kesempatan itu dengan baik.
Sambil tertawa dingin ia
berseru "Saudara-saudara sekalian, apa yang kalian tunggu lagi? Mari kita
hancurkan tua bangka yang keji ini untuk membalaskan dendam Cian toako
kita."
Dengan licin ia melimpahkan
lagi semua tanggung jawab terjadinya peristiwa ini ke pundak Cian Hui.
Sudah tentu Cian Hui
terperanjat, seketika itu suasana menjadi kalut, suara bentakan, suara senjata
yang dicabut, suara terbaliknya meja kursi dan pecahnya cawan mangkuk berdentingan...
Malah ada yang membentak:
"Tutup pintu keluar, jangan beri kesempatan sasaran kita meloloskan
diri."
Berbareng dengan suara
bentakan tadi, Jit giau tui hun segera ayun telapak tangannya ke muka, tiga
titik cahaya hitam secepat kilat langsung menyambar tubuh Pat kwa ciang Liu
Hui.
Hampir bersamaan waktunya
Kim-keh Siang It ti memutar tongkatnya dan menghantam kepala Koay be sin to
Kiong Cing-yang.
Begitulah sifat kelicikan
mereka, yang berat diberikan kepada orang lain, yang ringan dihadapi sendiri,
pertarungan serupun segera berkobar.
Dengan demikian, tersisalah
Liong heng pat ciang Tham Beng seorang yang khusus akan menghadapi Sin Jiu Cian
Hui.
Liong heng pat ciang sendiri
tidak berani bertindak gegabah, mendadak ia mendorong puteri kesayangannya ke
tangan Tonghong Ceng seraya berseru: "Kuserahkan tanggung jawab atas
puteriku ini kepada keponakan sekalian."
Sebelum mendapat jawaban,
segera ia bergerak lebih lanjut dengan memukul rontok tiga batang anak panah
yang tertuju kepadanya.
Selagi Tonghong Ceng
melenggong, tahu-tahu nona cantik itu sudah berada di dalam pelukannya.
Tonghong Tiat berkerut kening,
ujarnya: "Losam, baik-baik menjaga nona Tham, tampaknya kita tak dapat
berpeluk tangan belaka menghadapi pertarungan ini."
Liong heng pat ciang sempat
menangkap ucapan itu, seketika semangatnya berkobar, kedua tangan direntangkan
sambil membentak: "Tham Beng ada disini, siapa yang ingin menantang aku?
Cian Hui! Wahai Cian Hui kau dimana?"
Bentakan itu amat nyaring
ibarat guntur membelah bumi di siang hari bolong, seketika itu ratusan orang
yang berada dalam ruangan merasakan telinganya mendengung keras dan terasa
sakit, tapi tak seorangpun diantara mereka itu berani turun tangan secara
gegabah.
Menghadapi situasi seperti
ini, Sin jiu Cian Hui hanya bisa menghela napas belaka, rasa bencinya terhadap
Jit giau tui hun betul-betul merasuk tulang sumsum.
Rasa bencinya itu semakin
menjadi ketika dilihatnya Na Hui hong tidak bertempur secara sungguhan,
walaupun sedang bertarung melawan Pat kwa ciang Liu Hui, namun jurus
serangannya amat kendur, dan tidak tampak menggunakan tenaga penuh, apalagi
langkahnya makin lama semakin bergeser ke arah jendela, Cian Hui semakin
memahami niat jahat orang.
Sambil mengetak gigi Cian Hui
menyumpah: "Na Hui-hong, setelah mengadu domba kau ingin kabur?"
Sambil mencabut kipasnya dan
membanting keras-keras ke lantai, ia membentak: "Saudara sekalian,
pertarungan hari ini menyangkut mati hidup kita di wilayah Kanglam, barang
siapa yang merasa dirinya anggota Liok-lim daerah Kanglam tidak diperkenankan
angkat kaki lebioh dulu dari sini. Sobat-sobat sekalian cukup menjaga pintu dan
jendela saja, dengan begitu sudah berarti membantu aku orang she Cian.
Dengarkan rekan yang berada di luar halaman! Bilamana ada yang kabur dari
ruangan ini, baik kawan maupun lawan, hujani anak panah tanpa ampun."
Kemudian sambil melepaskan
jubah panjangnya, ia menerjang Liong heng pat ciang dengan ganas, ia telah
mengambil keputusan, menang atau kalah pokoknya Jit giau tui hun tetap akan dilibatkan
dalam pertarungan ini!"
Jit giau tui hun sendiri
menjadi gugup setelah mendengar bentakan itu, sambil melepaskan pukulan gencar
ia berpikir: "Ah, tampaknya Cian Hui akan memaksa aku untuk tetap tinggal
di sini!"
Karena berpikir, serangannya
jadi kendur.
Pat kwa ciang Liu Hui segera
manfaatkan kesempatan itu, sambil membentak ia menerjang ke muka, secepat kilat
melancarkan empat kali pukulan berantai.
Terkesiap Jit-giau tui hun,
cepat dia mengegos dan mundur dua langkah, tapi terus menubruk maju pula.
Hanya beberapa kali gebrakan,
Pat-Kwa-ciang sudah terdesak hingga hanya bisa menangkis dan tak mampu
melancarkan serangan balasan.
Tapi justeru dalam keadaan
itulah, Jit-giau tui-hun lantas mengendurkan pula serangannya. Meski keheranan
Liu Hui tak berani manfaatkan kesempatan itu untuk melancarkan serangan balasan
lagi.
Demikianlah, ketika Jit-giau
tui-hun merasa kemenangan pasti akan berada di tangannya, lalu ia mengalihkan
perhatiannya ke sana, di mana Liong heng-pat-ciang sedang bertarung sengit
melawan si Tangan Sakti Cian Hui
Jika Cian Hui berhasil
menangkan pertarungan ini, dia akan segera binasakan Pat-kwa-ciang, kalau
sebaliknya, tentu saja dia harus pikir-pikir dulu untuk menyesuaikan keadaan.
Orang ini licik dan lihay, dia
tak ingin menjadi musuh Liong-heng pat ciang yang disegani itu. Berbeda dengan
Kim-keh Siang It-ti di sebelah sana, meski kaki pincang, permainan tongkatnya
betul-betul luar biasa.
Dasar kungfu Koay-be-sin to
tak terlalu tinggi, lagi sesudah lengan kanannya buntung dan sekarang bertarung
tanpa senjata, beberapa gebrakan ia sudah terdesak, ia merasa tongkat si Ayam
emas menyambar dari kiri kanan, depan dan belakang, mengurungnya dengan rapat.
Lewat beberapa jurus kemudian,
jangankan menyerang, untuk menangkispun ia merasa kewalahan.
Dalam keadaan demikian. ia
hanya berusaha bertahan dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya. Ia sadar bila
tiada bantuan yang datang tepat waktunya, bencana maut pasti sukar dihindari
lagi. Ketika itu air mukanya sudah berubah merah napasnya tersengal, peluh
membasahi sekujur badannya dan gerak tangannya semakin lamban.
Meski jago yang hadir dalam
ruangan itu banyak jumlahnya tapi orang yang betul betul terlibatn dalam
pertarungan ini hanya enam orang saja. Meja kursi sudah tersingkir ke samping,
bahkan ada yang terlempar keluar jendela. porak poranda keadaannya sementara
kawanan jago ada yang berdiri dengan senjata terhunus, ada pula yang menutup
jendela dan pintu dengan meja kursi setiap kali Sin-jiu Cian HUi atau Kim-keh
siang It-ti ataupun Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong kelihatan terdesak, banyak di
antara mereka bersiap sedia untuk memberi bantuan.
Kesembilan orang laki-laki
berbaju perlente tadi, kesembilan bersaudara ekor ayam beserta ke sembilan
laki-iaki berbaju hitam anak buah Cian Hui, masih berdiri berjajar di sudut
ruangan.
Agaknya kedelapan belas orang
itu tahu bahwa mereka telah menjadi barang taruhan dan tidak bebas lagi,
ternyata tak seorang pun di antara mereka berniat ikut turun tangan.
Seandainya kedelapan belas orang
itu ikut turun tangan juga percuma, karena kehadiran mereka tidak akan
mempengaruhi situasi pertarungan, perhatian ratusan pasang mata kawanan jago
tentu saja tercurahkan pada pertarungan antara Liong-heug pat-ciang Tham Beng
melawan si Tangan sakti Cian Hui, sebab menang atau kalah di antara mereka
selain mempengaruhi situasi hari itu, mempengaruhi juga keadaan dunia
persilatan pada umumnya.
Pada hakikatnya, sebelum
terjadi pertarungan melawan Tham Beng tadi, si Tangan Sakti Cian Hui sudah
timbul rasa jeri kepada lawannya.
Sebagaimana diketahui
Liong-heng-pat ciang termasyhur karena ilmu pukulan telapak tangannya sejak
terjun ke dunia persilatan di masa mudanya sampai sekarang ia sudah mempunyai
pengalaman selama tiga puluh tahun, bukan saja namanva harum, pengaruhnya luas,
biarpun sangat jarang turun tangan sendiri, namun belum pernah ia menderita
kalah satu kali pun.
Sin jui Cian Hui juga bukan
anak kemarin sore, namanya sudah lama termashur dalam dunia persilatan, tapi
kalau dibandingkan jago tua itu, maka dia masih terhitung seorang angkatan
muda.
Namun tokoh kaum penyamun ini
juga mempunyai pengalaman yang cukup luas, rasa takutnya dapat ia sembunyikan
sebaik-baiknya, kewaspadaan dipertingkat, sekarang dia cuma mencari kesempatan
dan tidak terlalu bernafsu merobohkan lawan.
Dengan alasan inilah, maka
sejak pertarungan berkobar Cian Hui lantas memperketat pertahanannya.
Terlihatlah angin pukulan menyelimuti sesosok tubuh berwarna merah dengan
rapatnya sehingga setetes airpun sukar menembusnya.
Liong-hong-pat-ciang melayani
musuh dengan kelincahan yang luar biasa entengnya, jangan dilihat tubuhnya
tinggi besar, kelincahannya malah lebih gesit dan pada seorang anak kecil.
Hanya saja tenaga pukulan jago
tua itu ternyata tidak lebih dahsyat dari apa yang dibayangkan Cian Hui,
perubahan serangannya juga tidak setajam dan secepat apa yang diduganya semula.
Kalau hendak dinilai secara
tepat, maka serangan telapak tangan tokoh ini tak lebih cuma lebih
"lincah" belaka.
Kenyataan ini tentu saja di
luar dugaan Cian Hui, demikian pula kawanan jago lainnya.
Meski indah gerakan tubuh
kedua orang jago itu namun tak satu juruspun pernah terjadi benturan secara
kekerasan benturan yang mendebarkan hati dan dinantikan oleh setiap jago yang
hadir di situ.
"Huh, Liong-heng-pat-ciang
yang tersohor masa tak becus dan bernama kosong belaka?
Berpikir demikian keberanian
Sin-jiu Cian Hui semakin tebal, mendadak kedua telapak tangannya menyodok ke
atas, telapak tangan kiri di depan dan telapak tangan kanan di belakang.
Kedua serangan mencapai tengah
jalan cepat tangan kanan ditarik menerobos ke bawah lewat telapak tangan kiri,
dengan kuat dia sodok jalan darah Siang-ci hiat di bawah iga kanan Tham Beng
Dalam serangan ini bukan saja
tenaga serangannya sangat kuat, bahkan ketepatan waktu, ketepatan sasaran dan
ketepatan perubahan betul-betul luar biasa, tak disangkal lagi Cian Hui telah
menggunakan jurus maut Hong-peng-ciang, ilmu pukulan andalannya.
Pada dasarnya ilmu pukulan
Cian Hui adalah ilmu silat aliran Kanglam yang mengutamakan kelincahan serta
kegesitan, tapi lantaran tenaga dalamnya cukup sempurna, maka ilmu pukulan yang
mengutamakan kegesitan itu dapat dimainkan dengan kuat pula.
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng
memutar tubuh dan bergeser ke samping, tampaknya ia selain menghindari benturan
secara kekerasan.
Melihat itu, Cian Hui
membentak keras, menubruk maju, telapak tangan kiri membacok ke depan,
sementara telapak tangan kanan membacok secara melintang .. . . "Sret!
Sret!" beruntun ia lepaskan serangan dengan jurus Yok-sui-siang-peng
(sepasang daun mengapung di atas air), masing2 mengarah jalan darah Hun-sui dan
Ciau-keng di tubuh Tham Beng.
Tham Beng memutar tubuh dan
menyelinap ke samping kanan Cian Hui, jari tangannya setajam pedang balas
menutuk jalan darah Sang-hai hiat di dada lawan.
Meskipun serangan ini
dilancarkan secara tepat dan indah, tapi tetap bukan serangan adu muka secara
terang-terangan.
Sin-jiu Cian Hui semakin
geram, semangatnya berkobar, ia menyerang secara keras lawan keras dengan gerakan
Tay-sui-pay-jiu (ilmu pegang dan banting) yang dahsyat.
Sekali lagi Liong-heng
pat-ciang menarik diri dan kembali dia menyurut mundur.
Setelah tiga jurus berlalu.
para jago mulai bersorak-sorai
"Cian-loji, ayo perketat
seranganmu"" seorang berteriak dengan suara keras.
Orang itu adalah seorang
bandit yang selalu bekerja seorang diri di wilayah Cuan-tiong, namanya
Pa-san-hou (harimau bukit Pasan) Ui Tay-hu
Sejak permulaan tadi ia sudah
merasa gatal tangan dan ingin turun tangan sendiri untuk menghajar
Liong-heng-pat-ciang yang "bernama kosong" itu.
Tonghong ngo hengte berdiri di
sisi gelanggang, tegang dan siap siaga, mereka saling pandang sekejap, rupanya
mereka enggan menyaksikan pertarungan itu lagi se akan2 kecewa oleh ketidak
becusan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, juga se-akan2 yakin Liong
heng-pat-ciang pasti dapat menangkan pertarungan itu, maka tak perlu mereka
perhatikan lagi.
"Kiong Cing-yang mungkin
tak tahan lagi" Tonghong Kiam berbisik setelah memandang sekejap sekitar
arena, "biar kugantikan dia!"
Tapi Tonghong Tiat segera
menggeleng kepala sambil berbisik. "Kita tak boleh bertindak gegabah agar
keadaan tidak semakin kalut. Coba lihat sudah jelas dalam beberapa gebrakan
saja paman Tham dapat membereskan Sin Jiu Cian Hui, tapi nyatanya dia tidak
menggunakan kungfu yang sebenarnya, dia takut bila Cian Hui dikalahkan, tentu
lebih banyak orang yang akan maju. Ya, bila sampai Cian Hui kalah, pertarungan
massal pasti akan terjadi. waktu itu tentu lebih banyak korban yang akan berjatuhan,
paman Tham sendiri saja tak berani yakin dapat lolos dan sini, apalagi
kita?"
"Masa kungfunya lebih
lihay daripada kita?" tanya Tonghong Kiam sesudah merenung sebentar
Tonghong Tiat mendengus, "Kungfu orang ini sukar diukur, setiap kali
bertarung dia tak pernah menggunakan segenap kepandaiannya jangankan kita, ayah
sendiripun tak dapat menilai berapa dalam kungfu nya yang sebenarnya"
Sementara mereka blcara, bahu
kanan Koay-be sin to Kiong Cing-yang telah terhajar oleh tongkat Siang lt-ti.
Sambil mengaduh kesakitan
orang she Kiong itu memberikan perlawanan yang gigih
Tonghong Kiam mengerutkan dahi
seraya berseru "Kita harus bertindak, bila terlambat Kiong Cing-yang pasti
akan mampus di ujung tongkat Siang lt-ti""
"Ai, tampaknya kita
bersaudara memang harus turun tangan," kata Tonghong Tiat sambil menghela
napas, " bagaimanapun kita tak boleh membiarkan Kiong Cing-yang mampus di
tangan orang"
Semenjak tadi, Tonghong Kang
dan Tonghong Ouw sudah habis kesabarannya, begitu mendengar perkataan Toakonya,
semangat mereka segera berkobar.
"Jika mau turun tangan,
kita jangan membuang waktu lagi." seru Tonghong Kiam dengan penuh semangat
Air muka Tonghong Tiat berubah
serius tak lama ia memberi komando, "Serbu!"
Diiringi suara dentingan
nyaring, cahaya senjata gemerdep menyilaukan mata, hawa pedang serasa menyayat
badan, serentak Tonghong Tiat, Tonghong Kiam, Tonghong Kang dan Tonghong Ouw
melolos senjata masing-masing.
Tindakan ini segera di sambut
dengan kehebohan di pihak lain, belasan laki-laki kekar yang semula berdiri di
atas meja dan kursi serentak melompat mundur bersiap siaga.
Dari sudut kiri melompat maju
pula belasan laki-laki dengan senjata lengkap, disusul munculnya belasan cahaya
mengkilat di sudut kanan.
Pi-san hou Ui Tay-hu sendiri
juga melolos kapak besar dari pinggang dengan mata melotot.
Liong-heng pat-ciang Tham Beng
melihat gawatnya situasi segera ia berpekik nyaring dan bertindak cepat, kedua
telapak tangannya direntangkan dan melepaskan serangan maut.
Di Waktu itu Cian Hui sedang
menyerang dengan liong ciong jiu (pukulan berantai), ketika dilihatnya
songsongan telapak tangan Tham Beng membawa angin serangan yang kuat, ia jadi
kaget:
"Celaka!: teriaknya di
dalam hati, sekarang ia baru menyadari akan kelihayan Tham Beng, jelas selama
ini jago tua itu hanya berpura-pura belaka, namun sudah terlambat, suatu
benturan keras tak bisa dihindarkan lagi.
"Plak!" Cian Hui
merasa sekujur badan bergetar keras, ia tak mampu berdiri tegak lagi dan
terpental sejauh lima depa dari posisi semula.
Walaupun tubuhnya berhasil
ditegakkan kembali, darah kental tak urung meleleh di bibirnya dalam keadaan
begini seandainya Tham Beng menambahi dengan suatu pukulan lagi niscaya dia tak
mampu menangkis.
Di pihak lam, Kim-keh Siang
It-ti telah memutar tongkat dan siap membinasakan Koay-be sin-to Kio:ig Cing
yang.
Cepat Tonghong-hengte
menerjang maju untuk memberi bantuan, tapi kawanan jago yang lain menyongsong
kedatangan mereka suasana jadi gawat.
Di tengah ketegangan inilah
tiba-tiba terdengar suara derap kuda yang ramai berkumandang dari luar disusul
seorang berteriak nyaring "Congpiautau, kami telah siap semua di sini,
apakah engkau mengalami apa-apa"? Bagaimana apakah kami perlu masuk ke
situ?"
Suara itu sangat keras,
sepatah demi sepatah dapat terdengar dengan jelas ini membuat para jago dalam
ruangan jadi terperanjat.
Diam-diam Sin jiu Cian Hui
mengeluh "Wah, ternyata dugaanku tidak meleset!" Tham Beng memang
sudah mempersiapkan diri, Tonghong-hengte juga berpikir "Tak tersangka
paman Tham bisa bertindak secermat ini, rupanya sudah mempersiapkan diri
sebelum datang ke mari, kalau begitu percumalah bantuan kami berempat."
"Siapakah yang
datang?" demikian Liong-heng pat ciang sendiri juga sedang berpikir
keheranan, kedatanganku kemari sama sekali tidak diketahui orang2 dari cabang
kantor di daerah Kanglam, lagi logat orang itu terasa asing bagiku, siapakah
dia?"
Dengan sendirinya rasa
herannya tak sampai diperlihatkannya seketika itu semua orang sama merandek,
tidak ada yang berani turun tangan lagi secara gegabah, sementara itu suara
derap kuda di luar masih terdengar, entah berapa orang dan berapa banyak kuda
yang datang!"
Yang pasti di antara derap
kaki kuda yang ramai terdengar suara bentakan nyaring yang bertenaga, jelas
kawanan yang dikirim pihak "Hui-liong-piaukiok" ini rata-rata
berkepandaian tinggi.
Setajam sembilu sinar mata
Liong-heng-pat-ciang menyapu sekeliling tempat itu, ternyata tak seorang di
antara para jago itu berani beradu pandang dengan dia, mereka semua menundukkan
kepalanya rendah-rendah.
Kim-keh Siang it-ti dan
Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong yang sebetulnya ingin menggagap ikan di air keruh
juga tak berani berkutik atau berbicara bahkan setelah mendengar suara bentakan
tadi mereka sama kuatir tak bisa mengundurkan diri dari situ dengan selamat.
Sin jiu Cian Hui sendiri masih
berdiri tegak namun air mukanya hijau kelam noda darah masih membekas di ujung
bibirnya, dibawah cahaya lampu tertampaklah perkasanya tokoh yang terdesak ini.
Padahal barisan panah sudah
siap di luar halaman, senjata juga sudah dilolos dari sarungnya namun setelah
mendengar derap kaki kuda yang ramai di luar itu, tak seorangpun berani
berkutik malah mereka yang berdiri dekat jendela diam-diam menggeser ke ruang
tengah, tak seorangpun di antara mereka berani melongok keluar.
"Tham-congpiautau!"
suara di luar kembali berteriak, "Perlukah kami menyerbu ke dalam?"
Tiba-tiba Liong-heng-pat-ciang terkejut sekarang ia dapat mendengar kejanggalan
suara teriakan tersebut.
Dia tahu dengan jelas, semua
Piautau yang bekerja di perusahaan Hui-hong-piaukiok baik di kantor pusat atau
kantor cabang, tak seorangpun yang menyebut dia dengan
"Tham-congpiautau" itu berarti orang yang berada di luar itu harus
disangsikan.
Sekalipun menemukan
kejanggalan tokoh sakti dari dunia persilatan ini masih bersikap dingin di mana
sorot matanya memandangi kawanan itu sama menunduk dengan takut.
Satu ingatan cepat melintas
dalam benaknya, hahaha ia tertawa dingin, lalu berseru, "Selama hidup aku
tak pernah membunuh musuhku sampai ke-akar2nya, biarlah hari ini kuampuni jiwa
kalian semua"
Lalu sambil berpaling, serunya
lagi "Tonghong-siheng, Ciong-yang, kita mundur"
Tonghong ngo-hengte saling
pandang sekejap diam-diam mereka mengagumi kebijaksanaan Liong-heng-pat ciang
ini, tanpa banyak bicara serentak mereka beranjak dari situ.
Ketika Liong-heng-pat-ciang
melangkah keluar ruangan, para jago sama menyingkir ke samping dan memberi
jalan, mereka menunduk lesu, tak seorangpun berani angkat kepala bertatap
pandang dengan dia.
Menyaksikan semua itu. Sin-jiu
Cian Hui menghela napas panjang, sepucat mayat wajahnya, tanpa mengucapkan
sepatah katapun ia berpaling ke belakangm ditatapnya sepasang "lian"
di atas dinding itu dengan termangu.
Lama sekali, matanya
berkaca-kaca dan akhirnya titik air mata jatuh membasahi pipinya, air mata itu
berbaur dengan noda darah di bibir dan membasahi jenggotnya.
Sekokoh batu karang dan tegap
langkah Liong heng-pat-ciang ketika melewati halaman luar, tiba-tiba ia berseru
"Tonghong-si-heng, lewat sini!"
Segesit burung walet dia
melambung ke atas dinding pekarangan lalu melayang kekuar, Tonghong-hengte
tertegun, namun cepat juga mereka menyusul dari belakang.
Di antara gulungan debu yang
beterbangan di udara, kuda berlarian ke sana kemari.
Hanya saja, semua pelana kuda
itu kosong tak berpenunggang, di kejauhan tiga sosok bayangan abu-abu sedang
menggerakkan kuda-kuda itu sekilas pandang dapat diketahui mereka adalah tiga
bersaudara Mo dari Pak-to-jit-sat.
Mereka tidak ayal lagi
masing-masing melompat ke atas kuda dan melarikan kudanya sekencang-kencangnya
meninggalkan tempat tersebut.
-o0o- ooo -oOo-
Begitulah, meskipun dalam
pertemuan Toan-yang di perkampungan Long bong-san-ceng tidak menghasilkan
keputusan apa-apa, pertarungan yang mendebarkan hatipun tidak menghasilkan
keputusan siapa menang dan siapa kalah, tapi pertarungan itu telah menggetarkan
dunia persilatan dan juga sangat besar mempengaruhi dunia persilatan.
Sejak tokoh misterius berkedok
di masa lampau meruntuhkan beberapa Piaukiok dengan tokoh pimpinannya di utara
dan selatan sungai besar, dunia persilatan yang tenang kembali bergolak oleh
terjadinya peristiwa itu, dan pergolakan itu ternyata mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan seorang pemuda yang lemah dan amat sederhana.
Demikian rendahnya mutu ilmu
silat pemuda itu bahkan boleh dibilang sama sekali tak berkepandaian silat.
Akan tetapi tersiar di dunia Kangouw sebagai seorang tokoh maha sakti dan
berilmu tinggi yang sukar diukur.
Pemuda itu berasal dan
keluarga yang biasa dengan kehidupan yang penuh penderitaan tapi dalam dunia
persilatan tersiar kabar bahwa dia adalah keturunan dan keluarga ternama, atau
murid dari seorang tokoh maha sakti yang hidup mengasingkan diri di luar
samudera.
Pemuda yang berhati mulia,
bijaksana dan jujur itu ternyata dikabarkan sebagai seorang pemuda yang licin
dan berotak tajam, sebab dengan usianya yang masih begitu muda ternyata ia
sanggup menjadi Kanglam-lok-lim-bengcu.
Pemuda yang menghebohkan itu
bernama Hui Giok. Tapi orang persilatan tak pernah menyebut namanya secara
langsung, mereka menghormatinya dengan sebutan Hui Taysianseng, tuan besar Hui.
Begitulah, Hui Giok yang masih
muda belia dan sederhana dilukiskan sebagai tokoh yang misterius oleh orang2 di
dunia persilatan ini/
-oo0oo- -oo0oo-
Seusai pertempuran di Long
bong san-seng Tonghong-hengte segera pulang ke benteng Hui-lengpo.
Keesokan harinya setelah
mereka tiba di rumah, muncul delapan belas orang laki-laki kekar yang membawa
harta kekayaan bernilai sepuluh laksa lebih dan mohon bertemu dengan Siau-pocu
(tuan muda) dari Hui-in-po.
Rupanya setelah pertarungan
sengit itu pihak Long-bong san-ceng, Kim keh pang dan Jit-giau tui-hun masih
belum melupakan taruhan mereka yang luar biasa itu.
Bagaimana dengan Liong-heng
pat-ciang Tham Beng?
Sejak pertarungan berakhir, ia
segera pulang ke Tionggoan, untuk sementara waktu ia tidak melakukan gerakan
apa pun.
Tapi semua orang tahu, tokoh
persilatan yang luar biasa ini tak nanti akan melepaskan Sin jiu Cian Hui
dengan begitu saja, pertarungan sengit yang kedua kalinya cepat atau lambat
pasti akan berlangsung lagi, dan di dalam pertarungan tersebut baik mungkin
akan berakhir seperti pertama kalinya, sebelum menang atau kalah diketahui.
Selain daripada itu, dalam
pertarungan tersebut nanti kecuali akan melibatkan orang-orang
Hui-liong-piaukiok dan Long-bong-san-ceng, kawanan jago dari kedua belah tepi
sungai besarpun akan terlibat karenanya setiap umat persilatan sama menunggu
tibanya saat pertarungan itu dengan hati berdebar.
Tentang keberhasilan
Liong-heng pat-ciang mengundurkan diri dari perkampungan Long-bong-sanceng pun
dalam dunia persilatan tersiar beberapa macam isyu, tapi apa gerangan yang
sebenarnya terjadi, sampai saat terakhir belum juga terungkap maka nama besar
Liong-heng-pat-ciang semakin tersohor. makin disegani dan makin cemerlang.
Kejadian semacam itu cukup
menggembirakan, cukup menggemparkan tapi perhatian orang persilatan tidak
terletak pada peristiwa itu.
Perhatian dan kegembiraan
mereka terletak pada...
-0- -0 - -0-
Bulan sembilan telah tiba
namun hawa masih terasa panas.
Angin musim rontok mulai
berhembus, langit cerah dan bersih dan gumpalan awan.
Jalan besar antara kota Ki-bun
sampai bukit Hong-san yang pada hari2 biasa sangat jarang dilalui orang,
tiba-tiba saja berubah menjadi ramai banyak orang yang bermunculan di situ.
Yang lebih mengherankan lagi
sebagian besar pejalan kaki itu adalah kawanan jago silat yang bersenjata
lengkap, tentu saja ada pula yang membawa kuda, tapi yang mengherankan ternyata
kawanan jago itu muncul secara berkelompok.
Jangan-jangan di puncak
Hong-san telah terjadi suatu peristiwa besar yang menggetarkan dunia? Tapi
kalau dilihat dan sikap mereka yang berlari seenaknya hal ini tak mungkin
terjadi. Sepanjang perjalanan mereka bergurau dan saling menyapa, perjalanan
dilakukan sangat lambat. seakan-sekelompok manusia iseng yang bersama-sama
mencari hiburan sehabis bersantap, yang lebih aneh lagi ada sekelompok penjual
makanan dan- pedagang kecil yang ikut bergabung jadi sekelompok, ada yang jual
makanan dan minuman, ada pula yang jualan baju sepatu dan alat kebutuhan
lainnya, dagangan mereka berjalan lancar ini menunjukkan bahwa kelompok yang
sangat aneh ini sudah lama bergabung, bahkan telah melakukan perjalanan yang
cukup jauh sebelum sampai situ.
Mereka berjalan amat lambai
sebentar2 berhenti lalu berjalan lagi, ada kalanya muncul pula sekelompok
manusia dari belakang dan bertanya kepana rombongan yang berada di depan dengan
penuh ketegangan.
"Bagaimana? Sudah ada
kabarnya?" demikian mereka saling bertanya, "Kabar? Kabar apa yang
dimaksud? Kabar penting apakah yang menarik perhatian khusus dari kawanan jago
persilatan itu? Berita apakah yang membuat kawanan jago itu tak segan-segan
jauh-jauh dari Tionggoan datang kemari untuk bergabung dengan rombongan itu?
Kurang-lebih beberapa tombak
di depan rombongan itu terdapat pula sekelompok jago persilatan, hanya jumlah
mereka tidak banyak, total jendral cuma enam orang, meski begitu sikap mereka
jauh lebih tegang dan serius daripada rombongan yang di belakang, dan lagi
mereka selalu menjaga selisih jarak tertentu dengan mereka.
Sama juga dengan rombongan
yang berada di belakang, mereka selalu bertanya dengan lirih "Sudah ada
kabar??"
Di antara mereka segera ada
yang memburu ke depan dan menengok beberapa kejap bila mendapat pertanyaan itu,
hanya mereka tak berani berjalan terlalu dekat karena dari depan mereka
seringkali menggelegar bentakan bentakan yang dingin dan menyeramkan:
"Enyah jauh-jauh dari situ?"
Jika bentakan itu terdengar, mereka
lalu cepat2 berlalu dan menggeleng kepala dengan lesu gelengan itu berarti,
"Belum ada kabamya!"
Kabar? Lagi-lagi kabar?
sebenarnya kabar apa yang sedang mereka nantikan?
Di antara sekian orang, hanya
seorang laki-laki yang paling menarik perhatian laki-laki itu bertubuh kekar
tegap, bercambang, berotot, memakai baju merah dan ikat kepala warna merah
pula.
Ia berjalan sambil menuntun
seekor kuda bagus berwarna merah juga meski lambat sekali langkahnya, namun air
mukanya tampak gelisah, bahkan seringkali menyumpahi "Sialan" sialan
benar! Bukan orang lain yang ditunjuk, justeru aku yang ditugaskan melakukan
pekerjaan berat ini"
Pada hal dia sendirilah yang
minta ditugaskan untuk pekerjaan berat ini.
Kalau jengkel kadang-kadang
dia terus kabur ke bagian belakang sana untuk minum arak dan makan enak.
Dalam keadaan demikian, pasti
banyak orang yang berebutan membayarkan rekeningnya, tujuan mereka hanya ingin
bertanya: "Pau-lotoa. bagaimana? Sudah ada kabar?"
Kalau pertanyaan itu sudah
dilontarkan, dengan jengkel laki-laki baju merah itu akan membanting mangkuk
araknya di meja sambil mencaci maki "Kabar apa? Hm, kentut pun tak ada,
mungkin kita harus menunggu tiga-lima tahun, lihat saja . . sialan, sepatupun
aku sudah ganti dua pasang."
"Ya, betul!" orang
laki menanggapi sambil tertawa. "kalau sepatu Pau-lotoa berlubang, memang
sukar mencarikan gantinya"
Seorang pedagang kecil yang
berada di sisinya dengan cepat berteriak "jangan kuatir, telah kusiapkan
beberapa pasang sepatu merah yang besar tanggung cocok ukurannya!"
Gelak tertawapun terdengar
laki-laki baju merah memaki sambil tertawa "Sialan, pintar juga caramu
mencari duit!" - Dan ia pun berlalu dari situ, sekalipun sikapnya angkuh
dan rada latah, namun terhadap seorang berjubah panjang di antar keenam orang
itu, sikapnya ternyata menghormat. Sering pula dia melirik seorang laki-laki
kurus kecil dengan rada takut-takut, jika orang itu berpaling kearahnya sambil
tertawa. maka cepat-cepat dia melengos ke arah lain.
Dalam dunia persilatan
laki-laki baju merah itu mempunyai nama yang cukup tersohor dia adalah orang
kedua dari Kim keh-pang, orang menyebutnya sebagai Keh-koan (si jengger ayam)
Pau Siau thian.
Lelaki berjubah panjang ini
adalah satu-satunya orang yang mengenakan jubah panjang dan tindak tanduknya
ramah-tamah, tapi orang lainpun bersikap menghormat kepadanya.
Orang ini bertubuh kurus,
sedikit berjenggot usianya sekitar empat puluhan, sekilas pandang dandanannya
mirip Siucay yang tidak lulus, mirip juga seorang saudagar kaya, sekalipun melakukan
perjalanan di bawah terik matahari, ia tidak nampak lelah.
Kadang-kadang ia bersenandung
juga beberapa lagu, mungkin lirik lagu itu ia karang sepanjang perjalanan
menuju Hong-sea. Kendati demikian ia jarang bercakap dengan orang di sekitar,
dibalik keramah-tamahannya terselip juga sikapnya yang angkuh, hal ini
disebabkan karena asal usulnya memang tidak boleh diremehkan.
Orang ini adalah pengurus
rumah tangga Hui leng-po yang tersohor di Kanglam di Hui-leng-po orang
menyebutnya sebagai "Koan Ji," sedang orang lain menghormatinya,
dengan sebutan "Koan jiya " tidak kecuali laki-laki kurus kering di
sisinya, Karena wajahnya selalu berseri dihiasi senyuman.
Lain halnya dengan laki-laki
kurus kering itu, sikapnya terhadap orang lain selalu sinis, seolah tak sudi
bergaul dengan orang lain, sendirian menunggang keledai hitamnya, tapi tak
berani juga terlampau cepat ke depan, sebenarnya si laki laki baju merah atau
si Jengger Ayam Pau Siau-thian hendak mencarikan kesulitan baginya siapa tahu
orang cukup cerdik, ia dapat menghadapi keadaan dengan cekatan, maka akibatnya
Pau Siau-thian sendiri yang telan pil pahit malah.
Tampaknya ilmu meringankan
tubuhnya cukup tinggi juga keledai hitam tunggangannya itupun kurus dan kecil.
Jelek-jelek begitu dia mempunyai
nama yang cukup termashur, dia adalah piauthau kenamaan dari Hui-liong
piaukiok, orang menyebutnya sebagai Hek-lu-tui-hong (keledai hitam pengejar
angin) Cia Pin. Pada hakikatnya tak ada orang yang memerintahkan dia mengikuti
rombongan enam orang itu, ia berbuat demikian karena sukarela, sebab dia
tertarik dan menaruh perhatian khusus terhadap berita itu.
Wajah yang cukup dikenal
lainnya adalah seorang tokoh penting dan Long-bong-san-ceng dia bernama
Tiat-suipoa (suipoa baja) Yu Peng.
Orang itu diikuti oleh seorang
pemuda tampan yang berusia enam-tujuh belas tahunan, pemuda itu malas bekerja,
Yu Peng menyebutnya sebagai "Mia-su". si kutu buku, pemuda tersebut
taklain adalah kacung si Sin jiu Cian Hui.
Masih ada seorang lagi
bertubuh gemuk seperti babi, badannya selalu basah kuyup oleh peluh, napasnya
tersengal dan seringkali merogoh saku mengambil sekeping dendeng dan dijejalkan
ke dalam mulut. Orang ini kocak potongan badannya, selalu tertawa bila bertemu
orang, apapun yang ditanyakan kepadanya ia selalu menjawab tak tahu.
Sebaliknya jika dia yang
bertanya, senyumnya akan membuat orang mau-tak-mau menjawab dengan sejujurnya.
Karena gemuk dan tindak
tanduknya yang dogol semua orang jadi keheranan kenapa Jit-giau-tui hun Na
Hui-hong yang cermat itu bisa mengutus orang tolol untuk melaksanakan tugas
ini.
Ia menyebut dirinya sebagai
"Ong Tek ko, sebaliknya orang lain menyebutnya sebagai Ong gendut.
Di mana orang-orang itu tiba,
sekalipun dusun yang paling miskin juga secara tiba-tiba akan menjadi ramai dan
makmur, hanya saja gerak-gerik mereka sama sekali tidak leluasa sebab di
belakang itu mengikut rombongan lain ke mana pun keenam orang itu pergi,
sebaliknya ke enam orang yang di depan pun mengikuti rombongan lain yang berada
di paling depan.
Kurang-lebih belasan tombak di
depan rombongan keenam orang itu terdapat pula rombongan lain, mereka tak
lain-tak-bukan adalah Leng-kok siang-bok dan Hui Giok.
Sepanjang perjalanan
Leng-kok-siang bok jalan amat lambat, di mana ada pemandangan alam yang indah,
mereka berhenti untuk menikmatinya waktu mereka meninggalkan lembah sana memang
bertujuan pesiar dan menikmati pemandangan alam.
Ada kalanya, kedua orang
itupun berbisik membicarakan sesuatu, hanya orang lain tak tahu yang mereka
bicarakan.
Bagaimana, dengan Hui Giok?
sebagian besar waktunya dihabiskan untuk merenung dan merenung terus,
kadangkala ia mengeluarkan sejilid kitab-kitab itu sudah dibacanya sejenak
senyuman di atas tersungging di ujung bibirnya, dan kitab itu disimpan kembali
ke dalam saku.
Di pandang dari sikap mereka
yang beqitu rileks, mereka seperti tidak sadar bahwa mereka bertiga telah
menjadi berita yang menggetarkan dunia persilatan, mereka seolah-olah tak tahu
bahwa di mana pun mereka tiba, dusun sepi akan berubah jadi ramai, puing yang
berserakan akan berubah jadi dusun.
Selama empat bulan terakhir,
pikiran pemuda seakan-akan hanyut ke dunia lain, ia tak pernah menaruh
perhatian terhadap kejadian di sekelilingnya, tak mendengarkan pembicaraan
disekitar. ia hanya tahu belajar, belajar dan belajar, bahkan ia pun tak
menyadari bahwa kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar itu benar-benar
mengerikan.
Setiap kali beristirahat di
rumah penginapan Leng-kok-siang bok tentu mengajarkan beberapa macam kunci ilmu
silat kepadanya, bila melanjutkan perjalanan pemuda itu disuruh membaca kitab.
Boleh dibilang mereka tak
memberi peluang kepadanya, sebaliknya pemuda itupun tak memikir bahwa dirinya
membutuhkan waktu untuk beristirahat, sebab bila pikirannya mulai
melayang-layang, bayangan tubuh Tham Bun-ki segera akan mengisi kekosongan
tersebut.
Ada kalanya, bila tengah malam
tak bisa tidur, pemuda itu lantas memandang bintang yang bertaburan di langit
sambil bertanya pada diri sendiru, haruskah aku menang? Ataukah harus
kalah?" seandainya dia menang, Sin-jiu Cian Hui akan menggunakan segala
kemampuannya untuk mendapatkan sepasang biji mata Tham Bun-ki yang
dipertaruhkan itu, kadangkala timbul niatnya untuk mengorbankan diri, sebab
kendatipun gadis itu telah melukai hatinya, akan tetapi ia tak rela menyaksikan
orang lain mencelakainya.
Walau begitu, ia tak dapat
mengendalikan perasaan ingin tahunya yang sangat, sampai kini meskipun baru
pengetahuan dasar ilmu silat yang diajarkan Leng-kok-siang-bok kepadanya, namun
semua itu belum pernah dikenalnya dahulu.
Dengan gembira seperti anak
kecil yang di beri baju baru dia menerima semuanya itu, makin lama sikap dan
air mukanya mengalami banyak perubahan. cuma perubahan itu belum begitu
kentara.
Ia sendiripun agak terkejut
atas perubahan dirinya, dia belum tahu bahwa hal yang paling luar biasa di
dunia ini adalah "pengetahuan"
Meskipun tidak berbentuk
nyata, tapi pengetahuan bukan saja dapat mengubah jalan pikiran seseorang,
dapat pula mengubah sikap serta wajahnya.
Sampai detik itu, Leng-kok-siang-bok
masih belum tercengang oleh kemampuan Hui Giok yang dapat menyerap pelajaran
yang diberikannya, kebanyakan orang memang amat cepat menerima dasar-dasar
pelajaran.
Terhadap rombongan
"ekor" yang selama ini membuntuti mereka, mereka pun tidak terlalu
merasa muak atau sebal, sebaliknya mereka merasa gembira di samping rasa ingin
tahu, bahkan secara diam-diam mereka pun mengamati gerak-gerik orang-orang itu.
Kadangkala Leng Han-tiok
sengaja bertanya kenapa tidak kita hindari saja kuntitan makhluk-makhluk yang
menjemukan itu?.
Sambil tertawa dingin Leng
Ko-bok akan menjawab "Mereka tidak menghindari kita, masa kita harus
menghindari mereka?"
Maka lambat laun Hui Giok
mulai dapat mengenali watak yang sebenarnya dan kedua kakek itu.
Dia tahu, di balik wajah yang
dingin kaku dari kakek itu sebetulnya tersembunyi perasaan yang hangat.
Begitulah, dengan langkah
seenaknya akhirnya sampailah mereka di bukit Hong-san yang tersohor keindahan
alamnya Leng-kok-siang bok berdua akan mencari suatu tempat yang sepi untuk
mengajarkan serangkaian ilmu silat yang sulit Hui Giok.
-OO00O- 0000O-
Si Jengger Ayam Pau Siau-thian
berdiri di atas punggung kuda sambil meneropong ke depan, ia merasa gembira dan
bangga sebab di kejauhan terdengar ada orang berkeplok memuji "Tak nyana
Pau-lotoa mahir benar menunggang kuda!"
Hek-lu-tui-hong (si keledai
hitam pengejar angin) Cia Pin menjengek dan menimpali "Ya. memang hebat!
Bandit kuda dari perbatasan tak lebih juga cuma begitu saja."
Diam2 Pau Siau-thian menyumpah
di dalam hati, masa dirinya disamakan dengan kaum bandit. Tiba2 dilihatnya
Leng-kok-siang-hok dan Hui Giok sudah mulai mendaki gunung, maka ia pun
berteriak "mereka sudah naik gunung!"
Dengan gaya Yau-cu-hoan-sin
(burung belibis berjungkir balik) ia melompat turun dan kudanya jangan kira
badannya tinggi besar dan kaku, ternyata ilmu meringankan tubuhnya tidak jelek.
Koan-jiya menghela napas
panjang, setelah melirik sekejap ke arah rombongan di belakangnya pelahan ia
berkata, setelah begini, pegunungan yang indah ini pasti akan rusak."
Ia tak berani membayangkan
bagaimana jadinya bila orang sebanyak itu sekaligus mendaki bukit kenamaan itu,
tentu akan merusak keindahan alam di sana.
Tiat-suipoa Yu Peng tersenyum.
"Kalau begitu kita tak usah naik gunung bersama-sama". katanya
"asalkan ada dua-tiga orang yang ikut naik ke sana kan sudah cukup, sedang
lainnya menunggu di kaki bukit kau sama saja"
"Ya, betul! Memang harus
begitu" teriak Koan jiya kegirangan, pendapat Yu-heng memang tepat tapi
siapakah yang ditugaskan ikut naik ke atas gunung?"
"Kalau aku sih lebih suka
minum arak di bawah bukit, hidupku akan terasa lebih tenteram " seru
"si Jengger Ayam Pau Siau thian dengan cepat.
"Di antara kita hanya Pau
heng dan Cia-heng yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling sempurna,"
Tiat-suipoa Yu Peng berseru sambil tersenyum "Kukira kalian berdualah yang
pantas menrima tugas ini?"
Cahaya kebanggaan sempat
memancar dari balik mata Keh-koan Pau Siau-thian namun di mulut dia pura2
menghela napas panjang seraya berkata dengan lagak seperti apa boleh buat,
"Walau begitu. terpaksa aku harus melanjutkan perjalanan lagi."
"Aku tidak ikut."
tiba2 Cia Pin yang bertengger atas keledai hitamnya menukas dengan ketus
Tiat-suipoa tertegun mendengar perkataan itu, tapi dengan cepat ia berkata
pula, "kalau begini, biar aku saja yang membuntuti mereka !"
"Kalian tak usah pergi
semua!" seru Cia Pin lagi "setelah mendaki Hong san, memangnya mereka
tak akan turun lagi?"
Pau Siau-thian sengaja
menengadah dan terbahak2. "Hahaha... betul memang betul mereka tentu akan
turun lagi."
Tertawanya berhenti setengah
jalan. kemudian tambahnya dengan dingin: "Tapi hehehe apakah mereka suka
kita ikuti dari belakang? Tidak mungkinkah secara diam2 mereka akan kabur"
Menirukan lagak si Jengger
Ayam, Hek lu tui liong ikut menengadah dan terbahak "Hahaha betul, mereka
bisa kabur secara diam-diam"
Sesudah berhenti sebentar,
lalu sambungnya dengan nada dingin: "Jika mereka tidak menghendaki
jejaknya kita ikuti, sejak mula sudah banyak kesempatan baik bagi mereka untuk
kabur siapakah yang mampu menyusul kecepatan gerak Leng-kok-siang-bok? Jika
dulu mereka tak kabur-kabur, mungkin kah sekarang mereka akan kabur?"
Dengan perawakannya yang kurus
kecil, ketika menirukan gaya serta gerak gerik Pau Siau thiau maka tampaklah
gayanya yang kocak dan lucu, bukan saja semua orang dibuat bergelak bahkan
Koan-jiya yang alim pun ikut tertawa geli.
Tak terkirakan gusar Pau
Siau-thian, matanya merah se-akan2 menyemburkan api.
Hek-lu-tui-hong tidak perduli
kemarahan orang sambil menuntun keledai hitamnya pelahan ia menghampiri sebuah
pohon yang rindang dan duduk di situ lalu memesan sayur dan arak untuk
bersantap.
"Koan-jiya" serunya
kemudian sambil tertawa "mari kita bergembira dengan bebas."
Sambil membelai bulu suri
keledainya, ia bergumam lagi sambil tertawa" "Nak, ada sementara
orang ternyata lebih goblok daripadamu tahukah kau manusia manakah itu? Coba
lihatlah, hawa begini panas, tapi mereka ngotot hendak naik gunung. Haha
lihatlah kita, bukankah lebih nyaman duduk di sini?"
Tampaknya keladai hitam itu
dapat memahami perkataan manusia, ia meringkik pelahan sambil anggukkan
kepalanya, tentu saja mereka yang menyaksikan adegan ini tak dapat
mengendalikan rasa gelinya.
Hanya Keh koan Pau Siau-than
seorang yang tidak tertawa, mukanya berubah jadi pucat kehijauan, matanya yang
merah hampir saja melotot keluar.
Untuk menyatakan bahwa ia
tidak lebih bodoh daripada keledai, segera teriaknya dengan nyaring. "Hm,
siapa yang bilang aku mau naik ke atas? Sejak tadi aku memang ingin duduk di
sini!"
Dengan langkah lebar dia
menghampiri penjual makanan. setelah membeli daging dan arak ia pun bersantap
dengan lahapnya.
Sementara itu Tiat-suipou Yu
Peng juga sedang berpikir. "Tampaknya apa yang dikatakan Cia Pin memang
betul juga."
Orang ini cukup cerdik, banyak
akal dan pandai melihat gelagat, justeru karena kelebihan tersebut jenazah
Koay-sin Hoa Giok yang sudah tertanam berhasil ditemukan oleh dia.
Karena kelebihannya itulah
maka Sin-jiu Cian Hui mengutusnya untuk mencari berita, bila orang lain,
mungkin sejak dulu ia sudah bentrok dengan Cia Pin yang sombong dari Hui-liong
piauwkiok.
Begitulah, setelah berpikir
dia sendiripun ikut duduk di bawah pohon untuk beristirahat. Sementara Ong
gendut dengan senyum manis selalu menghiasi wajahnya juga sudah duduk di bawah
pohon untuk makan minum.
Maka di kaki bukit Hong-san
lantas berubah menjadi suatu dusun yang ramai, meski dusun yang bersifat
sementara.
Ketika malam hampir tiba, di
sekitar tempat itu bermunculan lagi penjual lentera, penjual makanan dan
penjual arak, mereka berdatangan dari sekitar kota Ci-bun, kawanan jago silat
itu duduk berkelompok mengitari lampu lentera sambil berpesta pora, ketika
angin malam berembus, terasalah hawa yang sejuk.
Tapi sehari sudah lewat tanpa
kabar, menyusul kemudian hari kedua dan hari ketiga Leng kok-siang-bok maupun
Hui Giok belum juga muncul di kaki bukit.
oOo oOOo oOo
Di atas Hong-san ada awan, ada
pohon siong batu karang serta sumber mata air Lautan awan di Hong-san begitu indah
dan sedap dipandang.
Lautan pohong siong membentang
luas, batu padas berwarna warni, entah berapa banyak penyair dan pelukis yang
terpesona oleh keindahan di puncak gunung tersebut.
Tidak banyak sumber mata air
di Hong san, tapi setiap sumber mata air yang ada tentu melukiskan suatu
pemandangan yang menawan apalagi telaga Kiu-hong tham yang indah laksana seekor
naga, betul-betul membikin orang terpesona.
Hong-san adalah "gadis
paling cantik" bagi penyair dan pelukis, dan kini "gadis cantik"
itu mempesonakan pula Leng kok siang bok dan Hui Giok.
Sang surya mulai terbenam,
senja menjelang tiba pemandangan alam pegunungan Hong san tampak lebih cantik
dan menawan hati.
Hui Giok baru pertama kali ini
mendaki gunung kenamaan mi, ia betul-betul kegirangan gembira seperti menemukan
dunia baru.
Sepanjang perjalanan mendaki
gunung, pemuda itu selalu mengagumi akan betapa luasnya jagat raya ini, betapa
besarnya kekuasaan Thian serta betapa kecilnya diri sendiri.
Diam-diam ia menyesali dirinya
yang tidak memiliki bakat sebagai penyair, sebagai seorang seniman, sehingga
perasaan yang terpendam di dalam hati tak dapat tertumpah keluar.
Leng-kok sian,g-bok yang
berwajah kaku dan selalu bersikap dingin kini pun lebih sering memperlihatkan
perasaannya yang hangat.
Berdin di puncak Si-Sin-hong,
dikelilingi lautan pohon siong yang menyelimuti lereng dan tebing curam, Leng
Han-tiok tersenyum, pelahan ujarnya, "Aneh, kenapa orang-orang yang
menjemukan itu tidak ikut naik ke sini?"
"Mungkin mereka mengira
kita akan turun gunung lewat jalan yang sama, maka dengan tenang mereka
menunggu kita di bawah gunung," kata Leng Ko bok dengan tertawa,
"padahal apa salahnya kalau kita melintasi Tiat-boan to, melewati puncak
Si-sin-hong dan turun melalui sebelah belakang? Hehehe biar orang-orang yang
menjemukan itu menunggu dengan gelisah."
Leng Han-tiok memandang
sekeliling tempat itu, entah karena pengaruh keindahan alam di sini mendadak
manusia aneh yang berwajah dingin ini tertawa terbahak-bahak "Hahaha
bagus. bagus sekali.."
Cahaya senja telah lenyap,
suasana hening malam sudah mulai kelam.
Apa yang telah diputuskan
kedua bersaudara ini tak pernah berubah, maka sesuai dengan rencana semula,
mereka langsung mendaki puncak Sin li-liong untuk turun ke balik gunung sana.
Sepanjang perjalanan
kesempatan itu mereka gunakan untuk mengajarkan ilmu meringankan tubuh pada Hui
Giok, jalan pegunungan ini terjal dan curam sehingga merupakan ujian berat bagi
anak muda itu.
Hui Giok riang gembira dan
sama sekali tidak merasakan segala kesulitan itu, bahkan ia merasa gerakan
tubuhnya sekarang beberapa kali lipat lebih lincah daripada hari-hari
sebelumnya.
Leng-kok-siang-bok saling
pandang sekejap, keduanya sama-sama menampilkan rasa gembira dari sinar mata
masing-masing.
Setibanya di puncak Si-si hong
nanti kata Leng Han-tiok dengan dingin, "Kau harus siap sedia belajar
serangkaian ilmu pukulan Hm. Ku kira kepandaian ini belum tentu dapat kukuasai
dengan cepat."
Setiap kali ia berbicara
dengan Hui Giok, suaranya tentu dingin dari kaku, namun Hui Giok sudah terbiasa
dengan sikap seperti itu, bahkan menerimanya dengan senang hati.
Dengan riang gembira ia
menerima pesan itu, tiba-tiba dilihatnya Si sin-hong sudah mengadang di depan,
dilihatnya pula bahwa ia semakin dekat dengan bintang yang berkedip di angkasa,
cahaya bintang se-olah-olah berada di atas kepalanya.
Cahaya bintang itu gemerdep
tak hentinya. timbul kenangan khayalan di masa kanak-kanak, "Dapatkah
bintang di angkasa kutangkap?"
Mendadak suara Lang Han-tiok
menyadarkan pemuda itu dari lamunannya.
Di tengah kegelapan, terlihat
Leng-kok-siang-bok berdiri dengan wajah terkejut.
"Loji" kata Leng
Ko-bok sambil menatap tajam ke depan, "coba lihat sinar itu, apakah sinar
lampu?"
"Ya, betul," jawab
Leng Han-tiok sambil mengangguk jelas sinar lampu.
Bukan sembarangan urusan dapat
membuat kedua bersaudara ini merasa kaget tapi dalam keadaan dan waktu seperti
ini, di puncak Si-sin-hong yang terjal ini bisa muncul cahaya lampu, hal ini
memang cukup membuat orang terperanjat.
Angin gunung berembus makin
kencang, Hui Giok merasakan hawa dingin yang muncul dan dasar kaki, mendadak
Leng-kok-siang bok menerjang ke arah cahaya lampu itu.
Ketika Hui Giok tenangkan
diri, dirinya ternyata berdiri di atas sepotong batu yang menonjol keluar, rasanya
"seperti berdiri di pusat bumi. Untuk mengejar gerak tubuh Leng-kok siang
bok yang cepat itu tentu saja ia tak mampu, terpaksa ia duduk bersila di atas
batu itu, embusan angin gunung mengibarkan bajunya, ia membenahinya dengan tak
tenang.
Tiba2 ia rasakan batu gunung
yang didudukinya itu ikut bergerak, sekalipun hanya suatu goncangan yang
pelahan, tapi dalam keadaan demikian cukup menggetarkan perasaannya.
Dengan gerakan yang sangat
berhati hati ia melompat turun, mendadak ditemukan di dasar batu gunung itupun
ada setitik sinar.
Ia terkejut, ia berpaling,
tapi bayangan Leng kok-siang-bok sudah tertelan dalam kegelapan gunung.
Hui Giok termenung sebentar,
akhirnya ia berjongkok dan coba mendorong batu gunung itu. Hah, ternyata batu
gunung itu dapat bergeser pelahan ke samping.
Selarik sinar terpancar keluar
dan bawah batu gunung dan terasa menyilaukan ia memejamkan mata, waktu membuka
kembali matanya, dengan tangan rada gemetar ia mendorong lagi batu itu hingga
muncul sebuah liang rahasia.
Bau apek dan agak busuk
berembus keluar dari liang tersebut, cepat ia berpaling ia meraba jantung
sendiri berdetak keras.
Leng-kok siang-bok belum juga
kelihatan jejaknya, bintang yang bertaburan di angkasa seakan-akan jauh
meninggalkannya, angin malam yang berembus lewat terasa bertambah dingin.
Ia tidak bersuara, entah
karena keberaniannya yang cukup atau hanya ingin menjaga harga diri, pemuda itu
berdiri kaku di depan mulut liang itu sampai didengarnya suara rintihan dari
dalam liang tadi.
Rintihan itu sangat lemah,
penuh penderitaan berduka dan rada gemetar, seakan akan sebatang jarum tajam
dingin menusuk ulu hatinya. Hui Giok bergidik ia mengepal kencang-kencang,
peluh dingin membasahi telapak tangannya.
Setelah rintihan pertama,
menyusul terdengar pula rintihan kedua yang penuh menderita suara itu tersiar
sayup-sayup dan terputus-putus.
Rintihan tersebut membuat
napas dan darahnya bagaikan air yang membeku di musim dingin.
Ngeri dan seram ditambah lagi
terkejut suara rintihan tersebut terasa sudah dikenalnya.
Ya, suara itu sudah dikenalnya
dengan baik tapi seketika itu ia tak ingat suara siapakah itu?
Seperti juga impian buruk
dimasa kanak-kanak, terasa samar-samar, tapi juga begitu jelas.
Akhirnya ia menggigit bibir,
mengaturkan mata terus melompat turun ke dalam liang rahasia itu.
Pemuda yang aneh ini memiliki
suatu keberanian yang luar biasa yang muncul secara tiba-tiba, ia berani
menerima penderitaan yang tak sanggup dirasakan oleh orang lain, ia berani
menghadapi kengerian dan keseraman yang tak berani dihadapi orang lain, justeru
karena keberanian inilah ia telah banyak melakukan hal-hal yang tak berani
dilakukan orang lain.
Ini tidak berarti ia tak kenal
arti keseraman bahkan kedua kakinya ketika itu terasa lemas karena ngerinya.
Rasa takut yang muncul tatkala
menghadapi bahaya adalah reaksi yang normal yang menunjukkan bahwa orang itu
sehat dan berakal.
Hanya saja pada pemuda ini ada
kelebihan sedikit, ia mampu mengubah rasa ngeri menjadi keberanian dan
keberanian adalah reaksi yang cerdik untuk menghadapi bahaya.
"Blang!" ia jatuh di
atas batu yang keras dan dingin, cepat pemuda itu merangkak bangun dan coba
meraba sekitar itu.
Tatkala tangannya meraba,
tiba2 ia merasa tangannya tidak meraba batu yang dingin lagi, tapi meraba
sebuah tangan yang kaku kurus dan dingin.
Suatu perasaan yang sukar
dilukiskan segera timbul, ia melompat bangun dengan terperanjat.
Ia memeriksa sekitar tempat
tadi, di tengah remang-remang kelihatan di situ tergeletak sepotong kutungan
tangan.
Di samping kutungan tangan
terdapat sebuah kotak kayu hitam yang buruk bentuknya, tiga atau lima kutungan
telapak tangan yang sama terserak disisi kotak kayu itu.
Semua kutungan tangan tadi
sudah kisut, kering dan mengecil, itu berarti sudah terpotong cukup lama,
terutama kuku-kuku pada kutungan tangan itu kelihatan berwarna pucat kelabu.
Hui Giok merasa mual dan ingin
muntah, cepat anak muda itu berlari ke depan sana sambil mendekap mulutnya,
tapi akhirnya tertumpah juga air kecut dan perutnya.
Ia coba menengadah, dilihatnya
didepan sana adalah sebuah lorong sempit, sebuah obor yang hampir habis
terbakar tertancap di dinding karang bawah obor ada sebilah kutungan pedang,
gagang pedang berada di sebelah kiri, ujung pedang terlempar di sebelah kanan
ada potongan secomot rambut, maju lagi ke sana terdapat secarik kain seperti
ujung jubah yang terpapas oleh senjata.
Di ujung lorong sebelah kiri
tampaknya terdapat sebuah gua cahaya terang terpancar keluar dan situ, di
tengah cahaya lamat2 ada sesosok bayangan hitam yang panjang tercetak di atas
batu yang kelabu, Anehnya, meski Hui Giok sudah mengeluarkan suara muntah tadi,
suasana dalam gua tetap hening,se-akan2 semua penghuninya sudah mampus.
Hui Giok menyeka ujung
bibirnya dengan tangan, tiba-tiba suara peletikan api memecahkan keheningan,
api obor padam dan lorong itu menjadi gelap gulita, angin dingin yang berembus
kencang membekukan punggung.
Tanpa terasa ia menyurut
mundar beberapa langkah.
Tapi suara rintihan yang penuh
penderitaan dan cukup dikenalnya tadi seakan-akan mendengung lagi di tepi
telinganya.
Sambil membusungkan dada ia
maju selangkah demi selangkah, pikimya "Bagaimana pun kedatanganku ini
tidak bermaksud jahat, masa orang lain akan memperlakukan diriku dengan
jahat."
Orang yang berhati mulia
selalu mempunyai jalan pikiran yang mulia pula terhadap orang lain dan
seringkali jalan pikiran yang mulia akan mengurangi rasa gugup yang mencekam
perasaannya.
Berpikir demikian, ia terus
maju ke depan cahaya lampu di depan terasa makin dekat, jantung pun makin
berdebar.
Namun bayangan hitam di balik
sinar tetap tak bergerak, tampaknya bayangan manusia itu duduk menghadap ke
arah sinar api.
"Mungkinkah bayangan
manusia itu yang mengeluarkan suara rintihan? jangan jangan dia sudan
mati."
Mendadak ia menerjang ke sana,
sesosok bayangan punggung berwarna putih segera terlintas dalam pandangannya
itulah baju yang putih mulus dan rambut yang hitam.
Kakinya terasa lemas, ia tak
mampu maju lagi barang selangkah pun Tiba-tiba orang itu berpaling, itulah
seraut wajah yang penuh derita. penuh kedukaan dan sudah dikenal olehnya,
seketika ia tergetar.
Pada detik itu beratus macam
pikiran terlintas dalam benak Hui Giok dan mengalami perubahan yang kalut,
akhirnya perasaan tersebut membeku dan berubah menjadi rasa kaget, heran dan
girang.
Perasaan yang bercampur aduk,
sebab raut wajah yang muncul di depannya ini sedemikian pucat.
Sedemikian berduka dan lagi
dikenalnva dengan baik raut wajah tersebut seakan-akan sebuah cambuk yang tak
berwujud yang mencambuk lubuk hatinya yang dalam
"Ken . . kenapa bisa
kau?" jeritnya gemetar.
Mimpi pun ia tak menyangka
orang yang duduk bersila di dalam gua rahasia di puncak Hong-san yang sepi ini
bukan lain adalah Leng-goat-siancu Ay Cing.
Leng-goat-siancu Ay Cing
berpaling, dilihatnya sesosok bayangan berdiri di balik kegelapan sana, waktu
itu ia belum sempat melihat jelas wajah Hui Giok, tapi jeritan kaget pemuda itu
telah menggetarkan daya ingatannya, tanpa terasa ia pun berseru kaget:
"Ken . kenapa bisa kau!"
Hui Giok menerjang maju, tapi
mendadak langkahnya berhenti pula.
Gua itu adalah sebuah gua yang
amat dalam batu karang yang mencuat ke sana kemari memantulkan sinar berwarna
warni ketika tertimpa oleh sinar lentera yang redup.
Di bawah batu yang
berwarna-warni dan menonjol keluar itu duduk bersila dua orang, yang di sebelah
kiri berwajah pucat tapi bersih berkening lebar dan basah oleh butir keringat,
rambut yang hitam dikundai jadi satu, tapi tak rapi, baju yang semula bersih
sekarang sudah dekil dan mengenaskan cuma sinar matanya masih setajam sembilu,
tatapannya yang tajam sedang mengawasi orang yang duduk di di depannya, kedua
telapak tangannya terungkap di depan dada, di tengah kedua telapak tangannya
terjepit sebatang ujung pedang.
Ujung pedang itu mengkilat
selisihnya cuma satu inci di depan dadanya, batu karang yang didudukinya sudah
mencekung ke dalam karena tindihan badannya yang berat.
Dia duduk tak bergerak melirik
sekejap pun, tidak ke arah Hui Giok meski kemunculan pemuda itu sangat
tiba-tiba. Di bawah sinar lampu yang redup, mereka bagaikan dua arca yang
terbuat dari batu.
Orang itu juga sudah dikenal
oleh Hui Giok, dia tak lain adalah seorang tokoh persilatan yang namanya pernah
menggetarkan dunia Kangouw.
Dialah Cian jiu suseng,
sastrawan bertangan seribu yang disegani setiap insan persilatan.
Di sebelah sana duduk pula
seorang lelaki, dia juga bermuka pucat, baik rambutnya yang digulung dan
bajunya yang putih dan sudah menjadi dekil, sinar matanya yang tajam juga
menatap musuh tanpa berkedip, ia juga merangkap kedua tangannya di depan dada,
di antara telapak tangannya menjepit sebilah ujung pedang, ujung pedang itu pun
hampir menyentuh dadanya.
Orang ini juga sangat dikenal
oleh Hui Giok sebab dia adalah seorang tokoh persilatan yang namanya
menggetarkan dunia Kangouw. ia pun bukan lain daripada Cian-jiu-suseng, si
sastrawan bertangan seribu yang disegani.
Aneh bin ajaib! Ada Jian-jiu
suseng kembar"
Mereka berdua duduk berhadapan
kedua ujung pedang berdempetan satu dengan yang lain dalam keadaan begini, bila
salah seorang mengendurkan tekanan telapak tangannya niscaya akan binasa dengan
dada berlubang.
Jelas kedua orang itu sedang
bertarung mati-matian dengan saling mengerahkan segenap tenaga dalam
masing-masing, rupanya kedua pihak saling ngotot dan bertahan siapapun tak mau
mengendurkan tekanan tenaganya.
Sejak dulu pertarungan mengadu
jiwa yang sering terjadi belum pernah ada pertarungan sengit yang sedemikian
tegang seperti apa yang dilakukan kedua orang ini.
Kecuali mereka berdua
bersamaan waktunya menghapus tenaga dan berbareng melompat mundur kalau tidak,
jika salah seorang diantaranya mengundurkan diri atau mengendurkan sedikit
tenaganya niscaya pedang yang berada digenggaman musuh akan menghujam hulu
hatinya dan merenggut nyawanya.
Ditinjau dan potongan
tubuhnya, raut wajahnya, kedua orang itu ibaratnva pinang dibelah dua, meski
jumlah manusia tak terhitung banyaknya di dunia ini, namun kecuali saudara
kembar, tak mungkin kiranya ada dua orang yang memiliki wajah maupun potongan
badan yang sama.
Tapi sungguh aneh, jika mereka
saudara kembar, mengapa kedua orang ini bisa terlibat dalam permusuhan begini?
Hui Giok terkesima hampir tak
percaya pada apa yang terlihat, mimpi pun ia tak menyangka akan menyaksikan
adegan yang mendebarkan hati ini, terasa tubuhnya seakan-akan ikan yang beku di
antara timbunan salju, kaku dan tak sanggup bergerak.
Cahaya lampu menyinari pedang
yang berwarna hijau, gemerdep sinar itu seolah-olah tatapan mata sekelompok
manusia yang menghina kerlipan mata yang mengejek ditambah pula pantulan cahaya
yang berwarna warni dari batu gua, hampir saja ia mengira dirinya sedang
bermimpi buruk.
Akhirnya ia menggeser sorot
matanya ke arah Ay Cing.
Mendadak ia menjerit, pakaian
Ay Cing yang putih itu penuh berlepotan darah, di antara gumpalan darah
tertancap berpuluh jarum yang bersinar.
Hui Giok merasa
berkunang-kunang matanya, kakinya terasa lemas dan "bluk", akhirnya
jatuh terduduk di tanah
Ia tak habis mengerti, musibah
mengerikan apakah yang telah terjadi di dalam gua ini? ia tak mengerti, dendam
kesumat apakah yang melihat kan ketiga orang ini sehingga kecuali pilihan
antara hidup dan mati, seakan-akan di dunia ini tiada jalan lain yang mampu
menyelesaikan urusan mereka.
Tiba-tiba ia teringat pada
kejadian dulu, pada malam ketika ia baru kabur dari Hui-liong-piaukiok.
Malam tersebut adalah malam
yang paling mendebarkan baginya bila terbayang kembali.
Tiba-tiba ia teringat pula
pada waktu mereka membicarakan asal-usul Leng goat-siancu, lalu terlihat
perubahan air muka Kim-tong giok-li.
Semua itu bukan saja tak dapat
menjelaskan keadaan sekarang sebaliknya malah menambah keseraman kengerian
serta kemisteriusan masalah ini.
Dengan bingung ia duduk di
lantai.
Dengan pandangan yang sedih
dan hampa Leng goat siancu memandang beberapa kejap ke arahnya
Dadanya yang montok
bergelombang naik-turun, berpuluh batang jarum menantap disekitar situ dan
bergetar mengikuti guncangan itu.
Kemudiau ia berpaling,
memandang kedua "arca" yang sedang mengadu jiwa itu. kini di dunia
ini tiada seorang atau kekuatan apa pun dapat mengalihkan kembali perhatiannya,
memencarkan rasa kuatirnya, sebab dia dan salah satu di antara mereka itu
mempunyai hubungan yang sangat eray, mempunyai hubungan yang terukir dan tak
mungkin terhapus selamanya yakni hubungan cinta, dendam, budi dan benci.
Kilasan cahaya yang terpantul
menyinari wajah kedua orang itu, sebentar tampak berubah sepucat kertas
sebentar berubah semerah darah, sebentar lagi merubah jadi hijau kelabu, cahaya
keputus-asaan..
Suasana terasa hening, sepi
dan menyesakkan napas, hanya angin yang berembus pelahan, seperti ada seperti
juga tak ada.
Mendadak, pedang panjang itu
bergeser ke sebelah kiri, makin lama semakin menempel di atas pakaian orang di
sebelah kiri, pelahan tampak otot hijau di atas keningnya menonjol keluar
nyatanya berubah jadi merah berapi.
Leng-goat-siancu terbelalak
terlihat rasa kuatir kejut dan cemas, tubuhnya gemetar.
Dia begitu menguatirkan
keselamatannya perhatian yang mendalam ini sampai Hui Giok yang berada di belakangnya
juga dapat merasakannya.
Pemuda itu terheran-heran, ia
berpikir kenapa ia tidak membantunya? Cukup tangannya bergerak dan orang di
sebelah kanan akan segera terancam bencana."
Ia mengerti siapapun di antara
kedua orang itu tak akan mampu membendung tenaga serangan yang datang dari
pihak ketiga, sekalipun tinju seorang anak kecil sudah cukup membikin amblas
nyawa mereka.
Dia ragu juga heran, ia tak
tahan dan perlahan berdiri, dia ingin memberikan suatu pukulan ringan pada
orang yang berada di sebelah kanan itu.
Cukup pukulan yang enteng akan
dapat membebaskan orang di sebelah kiri itu dari ancaman bahaya.
Walaupun ia mempunyai budi dan
dendam dengan kedua orang itu tapi ia tak dapat membedakan siapakah di antara
mereka yang pernah menutuk jalan darah bisu tulinya, ia bertindak hanya demi
Leng-goat-siancu, sebab ia merasa utang budi dan merasa amat berterima kasih
kepadanya.
Pada saat itu pelahan pedang
itu bergeser maju lagi ke arah kanan, makin lama semakin menempel baju orang di
sebelah kanan itu.
Air muka orang di sebelah kiri
mulai kelihatan tenang, sebaliknya air muka orang di sebelah kanan semakin
tegang oleh rasa kuatir dan ngeri.
Diam-diam Hiu Giok mengembus
napas lega ia berpaling ke arah Leng-goat-siancu tapi apa yang dilihatnya adalah
perempuan itu masih juga berduduk dengan gemetar dan wajah penuh rasa kuatir.
Rasa kuatirnya yang sangat dan
perhatiannya yang besar ternyata juga tertuju kepada orang di sebelah kanan.
Hal ini membuat Hui Giok
terkesima, dengan kebingungan ia duduk pula di tanah Apa yang dibayangkannya,
begitu rumit persoalan antara ke tiga orang itu sungguh sukar untuk dimengerti.
Cahaya lampu masih gemerdep,
pertarungan mengadu jiwa ini seakan-akan berlanjut tanpa batas, suasana yang
mencekam menyesakkan napas seperti bukit yang menindih tubuh membuat Hui Giok
tak dapat berbuat apa-apa.
Leng-goat siancu Ay Cmg masih
juga berduduk seakan-akan sudah lupa akan kehadiran anak muda itu.
Sinar matanya masih berkisar
antara kedua orang itu, tatapan yang hampa, sedih dan kuatir "Hui Giok!
Kau berada di mana?" tiba-tiba terdengar suara orang memanggil
berkumandang dari kejauhan.
Suara itu meski sayup-sayup
dan berasal dari tempat jauh, tapi berkumandang tiada putusnya ke dalam lorong
seperti terbawa embusan ingin.
Sekali mendengar suara itu
siapapun akan tahu orang yang bersuara itu bertenaga besar, tak perlu
disangsikan lagi pasti seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi.
"Siapakah dia?" Ay
Cmg berpaling seraya membentak
Hui Giok menundukkan
kepalanya, ia tak berani beradu pandang lagi dengan dia, jawabnya, "Mereka
adalah orang yang mendaki Hong-san bersamaku"
Air muka Leng-goat-siancu
berubah pucat "Apakah mereka juga menemukan gua ini?" tanyanya
kuatir.
"Mungkin..."sahut
Hui Giok tergagap setelah merenung sejenak.
Ay Cing berbangkit dengan
kaku, jarum yang penuh menancap ditubuhnya itu pun bergetar.
"Kena... kenapa
kau?" tanya Hui Giok dengan air muka berubah cepat ia pun berdiri.
Tapi sebelum ia memayangnya,
perempuan itu telah duduk kembali dengan lemas sambil berbisik
"Beritahukan kepada mereka agar tangan masuk ke sini!"
Hui Giok menunduk memandangi
wajah yang pucat itu memandang noda darah yang membasahi tubuhnya, jarum yang
berkilat itu. Setiap orang yang berperasaan tak akan menolak permohonan perempuan
yang sedang berduka dan harus dikasihani ini, apalagi dia adalah Hui Giok yang
berhati mulia, berutang budi dan amat berterima kasih kepadanya?
Tanpa ragu ia putar badan
terus lari keluar, bahkan sama sekali tidak bertanya: "Mengapa?"
Maklumlah. untuknya, apa pun pasti akan dilakukannya.
Suara langkah yang enteng kian
lama kian menjauh.
Leng-goat-siaocu memutar
badannya dan titik air mata jatuh membasahi ujung jarum yang berkilat itu.
"Mengapa? Mengapa kalian
harus begini..." keluhnya penuh kedukaan.
Padahal ia mengetahui dengan
jelas kenapa ke kedua orang itu berbuat demikian. Tak lain tak bukan adalah
karena dia.
Karena budi dan benci yang
terjalin dengan tetesan air mata dan darah, karena takdir yang tak bisa
dilawan, karena watak pembawaan manusia.
Keluhan yang penuh kepiluan
itu bahkan tidak berhasil menggerakkan sinar mata kedua orang di hadapannya,
jarak antara mati dan hidup bagi mereka ibaratnya jarak ujung pedang di depan
dada mereka.
Akhinya, dengan putus asa Ay
Cmg menghela napas, ia menunduk dan memandang ujung jarum yang memenuhi
tubuhnya.
Jarum tersebut dia yang
menusuknya satu per satu ke tubuh sendiri, tapi sayang, tindakan yang
mengerikan itu tetap gagal mencegah pertarungan mengadu jiwa antara kedua orang
itu, sedang penderitaan badaniah juga sama sekali tak dapat mengalihkan
penderitaan batinnya.
Ia termenung putus asa, tiba2
tersembul senyuman pada wajahnya.
Sebab dia tahu, bagaimanapun
jua, hari ini nasibnya yang penuh penderitaan dan kepedihan serta pertikaiannya
dengan kedua orang ini, baik soal cinta, dendam, budi dan apapun akan mengalami
penyelesaian yang abadi.
Dalam pada itu Hui Giok sedang
berlari ke luar, lorong rahasia yang dirasakan amat panjang dan tiada habisnya
ketika datang tadi, sekarang rasanya berubah menjadi jauh lebih pendek.
Dalam sekejap ia sudah
mencapai ujung lorong, ia lihat cahaya yang memancar masuk ke lorong rahasia.
Sambil mengembuskan napas lega
ia berpikir.
Lorong rahasia ini sangat
gelap gulita, pantas Leng-si-hengte belum juga menemukan jalan masuk lorong
ini.
Berpikir demikian, kembali ia
membatin "Mungkin sinar lampu yang mereka lihat tadi terpancar keluar dari
celah2 gua di mana Leng goal siancu berada, tentu saja mereka tak menemukan
tempatnya, sebab di situ tidak ada pintu masuknya.
Berpikir demikian ia lantas
melompat ke atas, telapak tangannya bertahan pada pinggiran gua dan melejit ke
atas.
Kungfunya sekarang telah
peroleh kemajuan yang pesat, tatkala badannya mengapung ke atas tiba2 sebuah
telapak tangan yang dingin mencengkeram urat nadi pergelangan tangannya, suatu
kekuatannya yang amat besar menariknya ke atas"
"Jangan tegang,
aku.." orang itu berbisik sesudah kaki menginjak permukaan tanah di bawah
sinar bintang tertampaklah Leng-kok-siang bok yang bermuka dingin sedang memandangnya
dengan penuh perasaan kuatir.
"Ke mana kau telah pergi?
Apakah menemukan sesuatu?" segera Leng Han-tiok menegur.
"Meskipun dingin suaranya
tapi penuh rasa kuatir dan perhatian besar, Hui Giok merasakan betapa hangatnya
sikap mereka berdua, perasaannya seperti halnya bertemu dengan sanak keluarga
sendiri.
Secara ringkas ia ceritakan
kejadian aneh yang ditemuinya barusan kemudian dengan nada bersungguh-sungguh
ia memohon kepada mereka agar jangan ikut masuk ke dalam gua rahasia, selamanya
ia tak pernah menipu selamanya tak pernah berbohong untuk mencapai apa yang
diinginkan.
Secara jujur dan berterus
terang ia memohon, cara demikian biasanya dapat membuat orang sungkan untuk
menolak permintaannya.
Leng-kok-Siang-bok tercengang
sehabis mendengar penuturan tersebut
Bahkan bagi Leng kok-siang-bok
yang angkuh dan dingin, nama besar Cian jiu-suseng serta Leng goat-siancu cukup
cemerlang.
Dengan rasa terkejut mereka
saling pandang sekejap, tiba-tiba Leng Han-tiok tertawa, " Siapa yang
percaya? Siapa yang akan percaya!" gumannya
"Percaya apa?" tanya
Hui Giok bingung, "apa yang kukatakan adalah kejadian yang
sebenarnya!"
"Siapa tahu bahwa seorang
pemuda yang mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan Liong-heng pat-ciang,
Leng-goat siancu dan Kim-tong-giok-li, sebetulnya cuma seorang yang tak mahir
ilmu silat," tukas Leng Han-tiok sambil tertawa, "dan siapa pula yang
menyangka kalau pemuda yang sama sekali tak berilmu silat itu dalam waktu
setahun telah mempunyai nama besar yang menggetarkan dunia persilatan?"
"Ya, mungkin kejadian
tersebut merupakan peristiwa yang belum pernah terjadi di dunia persilatan,
"Leng Ko bok menambahkan sambil tersenyum.
Sejak kedua orang ini
berkumpul dengan Hui Giok, senyuman yang menghiasi wajah mereka sudah bukan
kejadian yang aneh. Kadang2 kemulian dan kebajikan serupa embusan angin di
musim semi yang hangat dan dapat melumerkan salju yang dingin.
Hui Giok melenggong
"Kukira kalian sedang keheranan dan tidak percaya pada apa yang kukatakan
" gumamnya.
Leng Han tiok tersenyum
"Jian-jiu-suseng yang termasyhur dalam dunia persilatan ternyata ada dua?
sekujur badan Leng-goat-siancu tertancap jarum, walaupun semuanya merupakan
kejadian yang cukup bikin orang ter-heran2, tapi semua kejadian itu bila
dibandingkan dengan kejadian yang menimpa dirimu, semua itu tidak terhitung
apa2, hanya kau sendiri saja tidak mengetahuinya!"
"Bila kau hendak turun ke
bawah lagi, cepatlah lakukan!" ujar Leng Ko-bok, "Kami akan menantimu
di sini"
Hui Giok termangu sejenak,
seakan2 sedang meresapi makna ucapan mereka, seakan-akan merasa aneh mengapa
kata-kata mereka dapat berubah selembut itu.
Kemudian ia tertawa dengan
rasa terima kasih lalu ia melompat turun lagi ke dalam liang rahasia.
Memandang bayangan pemuda yang
lenyap di dalam liang, Leng Ko-bok menghela napas panjang dan berkata:
"Ai, bocah ini.. selamanya ia lebih memperhatikan urusan orang lain
daripada urusan sendiri".
Leng Han-tiok tersenyum,
tiba-tiba ia berkata dengan kening berkerut "Sungguh tak nyana
Jian-jiu-suseng itu ada dua orang, pantas orang persilatan sama bilang tindak
tanduk Jian jiu-suseng kadang baik dan sering juga jahat, jejaknya sukar
diikuti, hari ini berbuat kebaikan di wilayah Kanglam, besok paginya sudah
berbuat kejahatan di wilayah Hopak, maklum, pemegang perannya ternyata ada dua
orang kembar.
Leng Ko-bok menghela napas
panjang, "Sebetulnya dalam dunia persilatan terdapat banyak tokoh-tokoh
semacam dongeng, banyak cerita yang luar biasa, tapi di balik manusia dan
cerita tersebut seringkali tersimpan sesuatu yang tak akan di ketahui orang dan
merupakan rahasia sepanjang jaman, seperti halnya. . . seperti halnya..."
"Seperti halnya dengan
kita berdua bukan?" sambung Leng Han-tiok.
Dua orang bersaudara itu
saling pandang dengan tersenyum, betapapun kencangnya angin malam yang berembus
di puncak Hong-san tak nanti akan membuyarkan senyuman pada wajah kedua orang
itu.
Sinar bintang semakin redup,
karena kabut tebal telah menyelimuti lereng pegunungan itu.
Di dalam lorong rahasia
menggemalah suara Leng-goat-siancu yang memilukan dan menyayat hati
"Sudahlah, hentikan pertarungan mengapa kau harus berbuat demikian. Dendam
kesumat pada empat puluh tahun yang lalu apakah tak dapat diselesaikan sampai
di sini saja? Apalagi dia... dia sudah sudah menyadari kesalahannya?"
Tanpa sadar Hui Giok
meringankan langkah kakinya,
Terdengar ia berkata lagi,
"la telah menerima penderitaan serta penghinaan yang tak dapat diterima
oleh siapapun, semua ini bukankah lantaran kau? Apakah semua itu masih belum
cukup untuk menebus kesalahannya pada masa kecil? Tidak seharusnya kau desak
dia sehingga buntu, kau... kau ... masakah kau tega membinasakan saudara
kandungmu sendiri."
Betapa sedih dan memilukan
ucapan tersebut, membuat siapapun akan iba bila mendengarnya.
Hui Giok merasakan kepedihan
yang luar biasa muncul dari hati sanubarinya langkah kakinya semakin ringan.
Kata-kata memilukan itu
terputus, lalu disambung lagi lebih jauh, "Tiong jim, kau sudah menerima
banyak penderitaan serta percobaan, apakah kau tak dapat bersabar sedikit lagi?
Bagaimanapun juga, engkaulah yang salah? Engkau yang salah lebih dulu
kepadanya, bukankah demikian?"
Kata-kata yang diselingi isak
tangis kembali menggema, "Aku tahu semuanya ini lantaran diriku, bila
tiada aku, sebetulnya kalian dapat dapat lebih sabar, tapi, kalian harus tahu
aku juga manusia, dapatkah kusaksikan semua kejadian ini?? Aku bersedia mati di
hadapan kalian detik ini juga, tapi... tapi aku tak tega menyaksikan salah
seorang di antara kalian mati ditangan kalian sendiri, darah..."
Perkataannya terhenti, dalam
lorong yang seram hanya bergema kata "darah", kata tersebut
mendengung tiada hentinya.
Bagaimanapun jua darah adalah
cairan yang kental" katanya lagi dengan terisak kumohon kepadamu...
lepaslah tangan kalian, mau bukan?"
Hui Giok hampir saja tak
berani bernapas keras-keras, selangkah demi selangkah ia maju ke muka dan
akhirnya tiba di ujung sana.
Sinar lampu masih redup, ia
memandang ke depan, suatu pemandangan yang mengerikan.
Siapa tahu, pada waktu sorot
matanya bergeser air muka orang di sebelah kiri yang kaku seperti arca
tiba-tiba mengalami perubahan, menyusul perubahan yang hampir sukar terlihat
itu, kedua telapak tangannya yang dirangkap satu sama lain itu mendadak
mengendur dan terbuka.
Air muka Leng-goat-siancu berubah
hebat "Tiong-jim . " teriaknya.
Belum habis teriakan tersebut,
terkilas senyuman pada wajah orang di sebelah kanan, telapak tangannya yang
dirangkap menjadi satu tiba-tiba juga direntangkan keluar.
Ujung pedang yang tajam
seketika menancap di dada . , . hampir bersamaan waktunya menancap di dada
mereka.
Darah kental berwarna merah
bermuncratan, darah panas masing-masing muncrat ke tubuh lawan, darah mereka
saling berbaur, tubuh mereka saling menempel, mereka tak dapat menyaksikan lagi
kesedihan atau kegembiraan Ay Cing, hanya jeritan kaget melengking perempuan
itu akan menggema untuk selamanya di telinga mereka, mengiringi mereka menuju
ke alam yang baka.
Detak jantung orang yang di
sebelah kiri telah berhenti, dia adalah sang kakak ia sedetik lebih cepat
meninggalkan dunia yang fana ini daripada lawannya, ia sedetik lebih cepat
mengakhiri hidupnya.
Orang di sebelah kanan mulai
mengatupkan kelopak matanya, tapi tenggorokannya masih sempat meninggalkan
serentetan suara: "Baa. . bagaimana pun jua, dia, dia tetap menyayangi
aku."
Suara itu makin lama makin
lirih, dan akhirnya lenyap bersama jiwanya, pertarungan telah berhenti, jiwa
pun lenyap.
Cinta, dendam, budi, benci,
akhirnya ikut hanyut bersama buyarnya kehidupan mereka!
Semua pertikaian yang sukar
diselesaikan semua dendam kesumat yang terukir dalam hati, semua penderitaan
maupun kegembiraan akhirnya dengan paruh harus tunduk di hadapan kematian.
Hanya darah kental mereka
berdua masih menetes dan menggumpal menjadi satu, hingga sukar untuk dibedakan
lagi.
Kehidupan kedua bersaudara
yang penuh keanehan dan cemerlang, tapi juga penuh derita itu hampir dimulai
pada saat yang sama, dan sekarang juga berakhir hampir pada waktu yang sama.
Leng-goat-siancu bukan dewi
lagi, pada saat itu, baik jiwa maupun raganya seakan-akan berubah jadi beku,
jerit lengking yang memekak telinga masih mendengung dalam lorong rahasia,
masih mendengung di telinga Hui Giok.
Ia berdiri dengan kaku, hingga
Ay Cing menjerit untuk kedua kalinya sambil menubruk tubuh kedua orang itu.
Hui Giok merasa suasana
sedemikian hening seakan-akan dunia telah kiamat, isak tangis yang semula masih
terdengar, lambat laun pun lenyap satu ingatan tiba2 berkelebat dalam benaknya.
"Leng-goat siancu sangat
sedih mengapa tidak menangis?"
Bagaimanapun dia memang anak
yang pandai, ia tahu hanya ada dua jawaban atas pertanyaan ini. Kecuali rasa
sedih yang kelewat batas membuatnya jadi kaku dan tak sadar atau dia tidak
perlu sedih lagi karena ia telah mengambil keputusan nekat akan bunuh diri.
Tak terkirakan rasa kuatirnya
setelah berpikir demikian, cepat ia memburu maju dan berseru dengan gemetar
"Ay, kau... kau... pelahan Leng-goat siancu berpaling, meski wajahnya yang
pucat masih penuh air rnata, tapi kerlingan matanya yang tajam menunjukkan
keteguhan hatinya.
Ia memandang beberapa kejap ke
arah Hui Giok, lalu menjawab, "Anak Giok, kembali kita berjumpa lagi"
Kata-kata yang seharusnya
diucapkan semenjak tadi ternyata baru sekarang dikatakan, tentu saja arti
katanya sudah jauh berbeda.
Diam-diam Hui Giok menghela
napas, Ai selama beberapa hari belakangan ini, kau. Kau sebenarnya dia ingin
bertanya, "Baik kah kau?"
Tapi dalam keadaan seperti
ini, tiba-tiba ia merasa pertanyaan semacam itu sebenarnya tak perlu diajukan.
Maka iapun menghela napas pula
dan berkata, "Beberapa bulan berselang aku telah bertemu dengan..."
"Aku tahu," tukas Ay
Cing sambil mengangguk "akulah yang suruh mereka ke sana, anak Giok . kau
tahu aku menyukai dirimu, sebab jarang sekali orang berhati mulia yang kujumpai
di dunia ini."
Hui Giok berusaha menekan rasa
sedihnya, tapi himpunan kepedihan di dalam dada terasa bagaikan batu besar yang
menindihnya sehingga tak mampu berbicara.
Di antara kilatan cahaya yang
terpantul dan batuf tiba-tiba Leng-goat-siancu tersenyum, senyuman dalam
kepedihan ini tampak jauh lebih mengharukan dari pada isak tangis.
Dengan senyuman semacam itu
dia amati Hui Giok beberapa kejap, kemudian ucapnya dengan lembut, "Aku
benar-benar gembira karena dapat berjumpa lagi denganmu, kau... kau banyak
berubah dan lebih besar daripada dulu, sekarang kau... tampak sebagai seorang
laki-laki dewasa daripada seorang bocah. Ai dapat menyaksikan kau tumbuh
dewasa, sungguh hal yang sangat baik."
Ia memandang kegelapan di
kejauhan, itulah sinar mata yang penuh kepedihan penuh kedukaan dan kehampaan.
Hui Giok menunduk, katanya
dengan tergagap.
"Lain waktu, kau dapat
lebih sering bertemu denganku..." Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ia
berbisik lagi, "Bo.. bolehkah kucabutkan jarum yang menancap di tubuhmu
itu?"
Pandangan Ay Cing masih
terarah ke tempat jauh seakan akan tidak mendengar perkataannya.
Seakan-akan tenggelam dalam
kenangan masa silam yang penuh dengan suka dan duka, lama dan lama sekali,
akhirnya ia menghela napas.
"Sekarang, kau telah dewasa,
entah masihkah kau menurut pada perkataanku seperti dulu?"
"Apa yang kuperintahkan
kepadaku, pasti... pasti akan ku lakukan nya," sahut Hui Giok cepat.
Kembali senyuman tersembul di
wajah Ay Cing. "Benarkah itu? Baiklah, kalau begitu, sekarang lekaslah kau
berlututlah dan bersumpah akan memenuhi tiga permintaanku, bagaimana pun dan
apa pun yang terjadi kau harus melaksanakan menurut permintaanku dan tak akan
kau pungkiri."
Seandainya orang lain yang
mengucapkan kata-kata ini tentu ia akan mempertimbangkan lebih dulu, sebab ia
kuatir orang akan menyuruhnya melakukan sesuatu yang tak diinginkannya.
Tapi Ay Cing, seperti memiliki
suatu kekuatan gaib, tanpa berpikir Hui Giok lantas berlutut seraya berseru
dengan lantang, "Aku Hui Giok, apabila , . apabila . . " ia tak
pandai bersumpah, maka tidak tahu apa yang harus diucapkannya.
Terpaksa Ay Cmg membantunya,
"Apabila tak mengikuti apa yang dikatakan Ay Cing, biarlah aku disambar
geledek dan mati secara mengerikan!"
"Ya, begitulah, aku Hui
Gtok, apabila tidak mengikuti apa yang dikatakan Ay Cing, biar disambar geledek
dan mati secara mengerikan!" demikian Hui Giok menirukan.
Kemudian sambil melompat
bangun, tanyanya "Apa permintaanmu?"
Dengan sedih Ay Cmg menghela
napas, "Pertama, mulai sekarang sampai akhir hidupmu, selamanya tak boleh
melukai hati perempuan mana pun jua, baik kau mencintainya atau tidak asal ia
baik kepadamu maka kaupun harus baik-baik melindunginya, peduli alasan apa pun,
tak boleh membiarkan dia dicelakai atau dirugikan orang lain, Bersediakah
kau?"
"Aku memang tak
mengizinkan orang lain mencelakai atau merugikan seorang perempuan yang baik
kepadaku," seru Hui Giok segera.
Sinar kepedihan terpancar
keluar dan balik mata Ay Cing, pelahan katanya lagi "Sepintas lalu,
pekerjaan ini tampaknya gampang dilaksanakan padahal Ai, sulit.. sulit sekali,
sebab di dunia ini selalu akan muncul pelbagai alasan yang aneh2 yang akan
membuat kau mau-tak-mau harus melakukan perbuatan jahat terhadap orang yang kau
cintai itu!"
"Tidak, selamanya aku tak
kan berbuat demikian," seru Hui Giok sambil membusungkan dada, Dengan
perasaan lega Ay Cing mengangguk, "Anak baik, ingat baik-baik perkataanmu
hari ini. Kedua, aku minta kau bersedia menemani aku selama tiga hari di sini,
walaupun penderitaan apa pun yang akan kau alami, kau tak boleh meninggalkan
aku. Ai, tiga hari ini tentu merupakan tiga hari yang paling sengsara, karena
kegelapan, lelah, dahaga dan lapar, semua ini merupakan musuh besar bagi umat
manusia sejak dulu kala, semuanya akan segera berdatangan. Dapatkah kau menahan
semua penderitaan itu? Bersediakah kau?"
"Aku bersedia," Hui
Giok mengangguk penderitaan seperti apa pun jua, aku sanggup menerimanya."
Tiba-tiba ia teringat pada
Leng-bok-siang-bok yang menanti di luar, timbul perasaan menyesal dalam
hatinya.
sementara itu, Leng-goat
siancu telah berkata lagi setelah menghela napas, "Anak baik, aku tahu kau
dapat menahan semua penderitaan itu demi aku tapi akupun berjanji kepadamu,
semua penderitaan yang bakal kau alami itu akan memperoleh balas jasa yang
berpuluh kali lebih besar daripada apa yang kau korbankan!"
"Aku tidak menginginkan
balas jasa!" teriak Hui Giok keras-keras, "aku... , aku.."
Ay Cing tertawa pedih, sorot
matanya memancarkan rasa lega dan kagum, ia bergumam, "Bila aku dapat
menyumbangkan sisa kemampuanku kepada anak ini agar dia menjadi manusia baik
dan membuat pahala bagi umat manusia dalam dunia persilatan, sekalipun harus
mati aku akan mati dengan senyum dikulum."