Pendekar Satu Jurus Bab 21-25

Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Satu Jurus Bab 21-30
Pendekar Satu Jurus Bab 21-25

Bun-Ki diam-diam menghampiri Hui Giok, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tak jadi akhirnya dia tunduk malu-malu.

Air muka Liong heng-pat ciang Tham Beng tampak prihatin, dengan dingin ditatapnya Cian Hui sekejap, sedang Tonghong-ngo-hengte sama sekali tidak menunjuk reaksi apa-apa.

"Leng-kok-siang-bok!" Sin-jiu Cian Hui segera berseru dengan dahi berkerut, "meskipun nama besarmu termashur di dunia persilatan, tapi..." ia berhenti sejenak, empat jarinya mengepal ibu jarinya menghadap ke atas lalu menuding ke tanah, lalu katanya lagi dengan keras "Hari ini kalian mengganas di Long-bong-san-ceng, tidak nanti orang she Cian membiarkan kalian pergi dengan hidup!"

Perkataannya singkat tapi berwibawa matanya melotot dan rambutnya seakan-akan menegak, jelas kemarahannya telah memuncak, bersamaan dengan selesainya perkataan itu suara terompet berkumandang dan empat penjuru dan menggema di angkasa.

Air muka Leng-kok-siaug-bok yang dingin tetap kaku tanpa perubahan mereka masih tetap berdiri berjajar, seakan-akan tak mendengar perkataan lawannya.

Sekejap mata dari luar tiba-tiba bermunculan ratusan orang berbaju ringkas warna hitam, semuanya membawa busur dan panah, kemunculan ratusan orang ini bukan saja sangat cepat bahkan sama sekali tidak menimbulkan suara.

Dan sekian banyak jago persilatan yang berada dalam ruangan, ada yang sudah berdiri ada pula yang masih duduk, tapi semua membungkam tak ada yang bersuara tak ada yang bergerak, yang kedengaran cuma dengusan napas dan debaran jantung.

Di tengah keheningan yang mencekam, pelahan ketiga Mo bersaudara bangkit berdiri, mereka berpaling ke arah Cian Hui, lalu menggeleng kepala tanpa berkata-kata, mereka sedang mengumumkan kematian Mo Seng. Enam larik sorot mata yang dingin serentak dialihkan ke wajah Leng-kok siang-bok.

Sin-jiu Cian Hui menghampiri mayat Jit-sat Mo Seng dengan dahi berkerut ia termenung sebentar akhirnya tangannya diulapkan dan dua orang laki-laki segera tampil ke depan untuk menggotong pergi mayat itu.

Setelah mayat digotong pergi, setajam sembilu dia menatap Leng-kok siang-bok kemudian bentaknya dengan lantang "Semua umat persilatan yang tergabung dalam perserikatan Kanglam hiap ini bersumpah tak akan hidup berdampingan dengan Leng-kok-siang-bok apa kalian ingin kabur?"

Leng-kok-siang-bok sama sekali tidak nampak jeri menghadapi suasana yang gawat itu mereka tetap berdiri tenang, Bahwa mereka berdua memiliki nama yang tersohor di dunia persilatan, sudah tentu mereka bukan orang bodoh, mereka tahu sikap yang gugup hanya akan memancing sikap lebih garang dari pihak musuh maka mereka tetap renang untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

Pelahan, dia menengadah memandang sekejap kawanan jago yang hadir itu meskipun orang2 itu menunjuk sikap tegang, ternyata tak seorang pun tampak sedih atau menyesal, seakan2 orang yang baru saja tewas tak lebih hanya seorang manusia biasa yang asing bagi mereka se-olah2 yang mati bukan saudara seperserikatan yang baru saja ber sama2 meneguk arak darah.

Sin-jiu Cian Hui berdiri sambil mengepal meskipun dia sedang menantikan reaksi Leng kok-siang bok, tapi siapa pun tahu dia takkan menunggu terlalu lama, karena sekujur badannya kini sudah penuh diliputi kemarahan apalagi dengan jelas dia berada dalam posisi yang menguntungkan .

Orang yang posisinya lebih menguntungkan biasanya lebih suka melakukan serangan daripada menunggu diserang, cuma kemarahannya hanya lantaran Leng-kok-siang-bok telah menyinggung nama baiknya, jadi tiada sangkut pautnya dengan kematian Jit-sat Mo Seng.

Seandainya tempat kejadian ini bukan di Long bong san-ceng dan tidak berlangsung di hadapan orang-orang yang hendak dikuasainya, seandainya dia tidak merasa posisinya menguntungkan sekali pun seluruh anggota Pak-to-jit-sat dibantai orang juga dia tidak memperdulikan.

Diam-diam Hui Giok menghela napas panjang tiba-tiba ia memahami betapa berharganya kehidupan, ia merasa nilai dan suatu kehidupan bukan terletak pada kejayaan dan kemuliaan yang didapatkan semasa hidupnya, tapi masih banyak hal lainnya yang harus disayang.

Hal-hal ini mungkin tak akan dihargai Sin-jiu Cian Hui Pak to jit-sat, bahkan semua jago persilatan yang memenuhi ruangan tersebut tapi hal ini telah mengalir dengan halus masuk ke dalam hati Hui Giok yang penuh kelembutan, kebajikan dan kemuliaan itu.

Air mukanya tiba-tiba berubah menjadi begitu tenang, begitu aman, dengan langkah yang tenang juga dia menghampiri Leng-kok-siang-bok, kemudian tegurnya, "Mari kita keluar"

Tapi mendadak Sin-jiu Cian Hui membentak "Tunggu sebentar!"

"Kenapa?" Hui Giok berpaling dengan tenang.

"Apakah tidak kau dengar apa yang kukatakan tadi?" teriak Cian Hui dengan berang.

Hui Giok tersenyum. "Apa yang kau ucapkan tadi telah kudengar dengan jelas."

Sin-jiu Cian Hui segera membusungkan dada jelas dia merasa gembira karena perkataannya mendapat perhatian Tapi Hui Giok segera melanjutkan kata-katanya, "Tapi, apakah kau lupa, sampai detik ini aku masih tetap Bengcu kalian!"

Hati Sin-jiu Cian Hui bergetar keras, ucapan Hui Giok yang tenang itu seakan-akan sebuah cambuk yang tiba2 melecut mukanya dan membual dia menyurut mundur selangkah.

Hui Giok tersenyum, dia memandang sekejap pula ke arah semua orang, ujarnya lebih lanjut "Menurut apa yang kuketahui setiap orang yang tergabung dalam perserikatan Kanglam seharusnya menghormati setiap pendirian Bengcunya, bila ada yang membangkang maka kau Sin-jiu Cian Hui adalah pelindung sang Bengcu, begitu bukan?"

Biasanya dia selalu dipermainkan oleh nasib yang malang, menderita dan tersiksa oleh kesulitan hidup, hal mana membuat kecerdikannya jadi terpendam. Tapi sekarang, seperti ujung pisau telah merobek pembungkusnya, kecerdikan yang selama ini tertutup tiba2 muncul, ucapannya yang tajam ini mengejutkan semua orang, dan kekuatan ucapannya itu seperti godam yang menghantam dada setiap orang.



Sin-jiu Cian Hui terpukul oleh ucapan itu, sinar matanya yang kelabu kehijau-hijauan tampak meredup, itulah sorot mata serigala kelaparan, ia memandang sekeliling ruangan, terlihatlah liong heng-pat-ciang duduk dengan dahi berkerut dan senyuman menghiasi bibirnya, demikian pula dengan Tonghong-ngo-hengte, mereka sepertinya sayang atas kecerdikan Hui Giok.

Kim-keh Siang It-ti terbelalak heran, tapi sinar matanya memancarkan sinar seperti orang yang gembira melihat orang lain tertimpa malang. Sikap kawanan jago lainnya juga tidak banyak berbeda, hanya Jit-giau tui hun Na Hui liong yang sedang mengawasi Mo suhengte rupanya dia sedang memikirkan sesuatu.

Tiga Mo bersaudara sendiri bukan saja gusar, mereka pun sedih, meskipun juga tidak kurung rasa herannya.

Sinar mata Tham Bun ki kelihatan mencorong seperti merasa bangga, bahagia dan gembira tapi juga merasa kuatir.

Hanya Jit-giau tongcu Go Beng-si saja yang tak dapat mengendalikan rasa girangnya, setelah melihat teman yang semula dicemooh dan dihina sekarang ternyata dihormati, dia tahu perjalanan hidup yang tampaknya sederhana ini entah sudah berapa banyak penderitaan yang dialaminya selama ini.

Mendadak Cian Hui bergelak tertawa sambil mengelus jenggotnya, katanya "Hui taysianseng telah menjadi Bengcu toako kita, mana bisa orang she Cian melupakannya, bukan saja tidak lupa, bahkan barang siapa melupakan hal ini, aku orang she Cian yang akan mengingatkan dia, "

Begitu gelak tertawanya berhenti secepat kilat telapak tangannya menyapu ke samping, segulung angin pukulan yang kuat menghantam sebuah kursi di sampingnya "brak" kursi itu hancur lebur seketika.

Dengan alis menegak, Cian Hui berkata sepatah demi sepatah "Ya, akan kuperingatkan dia, agar sampai mati pun tidak melupakannya"

Hui Giok tertawa hambar. "Kalau begitu, sebelum urusanku dengan Leng-kok-siang bok diselesaikan maka urusan lain untuk sementara harus ditunda dahulu dan persengketaanmu dengan Leng kok-siang-bok hanya boleh diselesaikan olehku dan mereka."

Sin-jiu Cian Hui memandang sekejap sekelilingnya, kawanan jago mulai ribut lagi Bun-ki berseru kuatir, sedangkan ketiga Mo bersaudara menjadi murka.

Di tengah kehebohan, mendadak terdengar suara bentakan menggelegar "Perintah Bengcu, barang siapa berani membangkang akan dihukum mati" Ketika Sin-Jiu Cian Hui mengulapkan tangannya, tiba-tiba saja kawanan laki-laki baju hitam yang bermunculan dari empat penjuru tadi serentak rnengundurkan diri dari situ tanpa suara.

Selama itu air muka Leng-kok stang hok tetap dingin dan kaku, seakan-akan apa yang terjadi di depan matanya sama sekali tak ada hubungannva dengan mereka.

Sorot mata ketiga Mo bersaudara yang penuh diliputi kebencian dan kegusaran itu melotot dari ke arah Sin-jiu Cian Hui beralih ke wajah Hui Giok dan silih berganti, namun Cian Hui berlagak seolah-olah tak tahu.

"Hui-taysianseng!" dia malah berkata dengan hormat, "kalau engkau telah memutuskan demikian aku orang she Cian akan menantikan kedatanganmu kembali di sini!"

Dari nada ucapannya itu, dia memandang Bengcunya ini seakan-akan hendak pergi bermain dengan dua orang anak nakal, hanya sebentar saja dia akan kembali lagi. Padahal dia tahu kepergian Hui Giok ini tentu takkan kembali lagi, sebabnya dia berbuat demikian karena sekarang ia sudah ngeri menghadapi pemuda yang biasa tapi tolol ini, dia takut memelihara harimau mengundang bencana buat diri sendiri maka kalau bisa dia akan meminjam tangan Leng-kok siang-bok untuk melenyapkan bibit bencana itu.

"Silahkan Cianpwe berdua," Hui Giok putar badan sambil menjura kepada Leng-kok-siang-bok! Meski sinar matanya tiada rasa takut, namun ia pun tak berani beradu pandang lagi dengan kelembutan sinar mata Tham Bun-ki.

Bun ki memandangnya dengan termangu hingga pemuda itu menuruni undak-undakan batu, tiba-tiba sambil menggigit bibir ia duduk di samping ayahnya dan tidak memandang lagi ke arah pemuda itu.

Antara cinta dan bencj hanya selisih amat sedikit, makin dalam rasa cintanya makin besar pula rasa bencinya, gadis yang kasmaran ini sedang berpikir tiada hentinya, "Kau tidak merasa berat meninggalkan aku, memangnya aku harus mencintai dirimu mati-matian?"

Liong-heng-pat-ciang melirik putrinya sekejap dan diam-diam menghela napas, kembali ia pandang bayangan punggung Hui Giok.

Sesudah Hui Giok tiba di halaman, Leng-kok-siang-bok baru mulai beranjak, selama ini tatapan mata mereka tak pernah bergeser dari ketiga Mo bersaudara, Mereka tersenyum mengejek, lalu sambi, mengebaskan lengan baju mereka menyusul ke tempat Hui Giok.

Mo-si-hengte bukan orang bodoh, tentu saja mereka memahami senyum menghina Leng-kok-siang-bok, yaitu karena mereka bertiga meskipun berhadapan dengan musuh yang membunuh saudaranya tidak ada seorang pun yang berani maju untuk melakukan pembalasan.

Senyum menghina itu seketika membangkitkan rasa marah dan benci mereka demikian kuatnya dorongan tersebut sehingga Mo-si-hengte betul-betul tak tahan lagi.

Agaknya Sin jiu Cian Hui juga merasakan gelagat itu, cepat ia memburu ke hadapan mereka dan berkata dengan suara tertahan, "Bilamana Leng kok-siang-bok tak sampai mati di tangan Hui-tay sianseng, aku bersumpah akan membalaskan dendam Mo-heng"

Ia berhenti dan tiba-tiba bersenyum hambar, lalu melanjutkan. "Bila Hui-taysianseng yang menang, berarti Bengcu telah membalaskan dendam bagi kalian mi kan sama saja!"

Mo-si-hengte saling pandang sekejap lalu menghela napas dan menundukkan kepala, terhadap Hui Giok mereka telah menaruh rasa kagum dan hormat sebab mereka mulai merasakan kelemahan mereka sendiri, mereka pun tak mengira ada orang yang memandang soal mati-hidup sebagai suatu kejadian yang tak berarti.

Nama besar Pak-to jit-sat tak mungkin berkembang lagi di dunia persilatan sebab sekarang beratus-ratus pasang mata telah menyaksikan kelemahan mereka.

Dengan wajah berseri Sin-jiu Cian Hui lantas berpaling kembali, ia memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan perjamuan baru, tapi Mo si hengte berjalan keluar dengan lesu untuk membereskan layon saudaranya yang telah tiada.

Jit giau tui-hun Na Hui-hong tiba-tiba berlalu, hubunganku dengan Mo Jit cukup akrab, aku akan menghadiri pemakamannya!"

Tanpa menunggu jawaban Cian Hui dia terus menyusul Mo-si-hengte keluar Memang cerdik orang ini, dia telah manfaatkan kesempatan ini untuk menarik simpati Mo-si-hengte, sebab dia cukup kenal mereka bertiga, sekalipun memiliki kelemahan toh ketiga orang ini tetap merupakan suatu kekuatan yang tak boleh dianggap enteng.

Perserikatan Kanglam sudah terbentuk. Hui Giok tentu takkan kembali dengan hidup, bukankah itu sama artinya bahwa Sin-jiu Cian Hui otomatis akan menggantikan jabatannya sebagai Kang-lam Bengcu?



Maka dia hanya tertawa dingin menyaksikan gerak-genk Na Hui-hong itu dan tak dipikirnya di dalam hati.

Dengan rasa puas dia menengadah kebetulan Liong heng pat-ciang Tham Beng sedang memandangnya dengan tersenyum seperti dapat menerka isi hatinya.

Mendadak Jit-giau-tongcu Go Beng-si berlari keluar ruangan itu, cepat Sin Jiu Cian Hui berdehem, segera bayangan orang berkelebat di halaman luar, laki2 baju hitam dengan busur di tangan serentak muncul dan mengarahkan busurnya ke tubuh musuh, hal ini membuat Go Beng-si jadi kaget.

"E--h, apa2an kalian ini?" bentaknya sambil berpaling.

"Hehehe, masa kau tidak dengar perintah Hui taysianseng tadi? Kalau Bengcu telah memberi perintah dan melarang orang lain turut campur urusannya, maka hendaknya Go heng tetap tinggal di sini saja."

Tonghong-hengte saling berpandangan, sinar mata mereka menyala-nyala, jelas merasa tak puas atas kejadian itu, tapi Go Beng si tidak melakukan perlawanan, sambil menghela napas dia malah berkata "Aku keluar tidak untuk membantunya aku hanya ingin menyampaikan pesan agar dia jaga diri baik-baik"

"Hahaha, kau anggap Bengcu itu orang macam apa? Masa dia tak tahu menjaga diri?" Cian Hui bergelak, "Saudara Go, tidakkah kau saksikan betapa lihaynya kungfu Bengcu waktu demontrasi tadi? Belum tentu Leng-kok-siang bok berdua sanggup menahan sepuluh gebrakannya, mari-mari kita harus minum secawan arak untuk kesuksesan Bengcu kita!"

Meskipun ia angkat cawan dan mendahului menenggak isinya sampai habis, dalam hati diam-diam ia berpikir, "Hoa Giok wahai Hoa Giok, bagiku seluruh berita yang pernah kau jual selama hidupmu jika digabungkan menjadi satu belum tentu lebih berharga daripada sebuah berita yang kau beri menjelang ajalmu, sebab kau telah memberi tahu kan suatu rahasia maha besar kepadaku, yaitu meski Hui Giok memiliki ilmu silat yang lihay, namun kemahirannya hanya satu jurus. Hahaha . apabila ia mahir beberapa jurus lagi, mungkin akupun tak tahu cara bagaimana harus menghadapinya?"

Ketika anak buahnya menuangi lagi isi cawannnya, ia rnenenggak pula hingga habis pikirnya dengan bangga, "Hoa Giok wahai Hoa Giok tahu kah kau secawan arak ini sengaja kuperuntukkan untuk menghormati kau?"

Kehidupan Koay-sim Hoa Giqk selama ini hanya biasa dan terhina tapi sepanjang hidupnya ada satu hal yang patut dihargai, seandainya setelah mati dia tahu, tentu arwahnya akan bangga karenanya.

Sebab selama dia hidup dengan menjual berita, kendati ada berapa berita tidak tergolong penting, namun belum pernah ada satu berita yang merupakan isapan jempol, setiap beritanya adalah berita nyata seperti juga orang lain menyerahkan uang perak yang nyata kepadanya.

Dia terhitung seorang cerdik, kalau tidak mana mungkin ia pilih pekerjaan yang aneh dan unik ini.

Tapi, meski dia pintar, tak pernah tersangka bahwa empat huruf yang diukirnya menjelang kematiannva bisa dipandang begitu berharga oleh Sin jiu Cian Hui, padahal dia melakukan hal itu hanya dikarenakan kebiasaan dalam pekerjaannya itu kebiasaan membocorkan rahasia orang lain.

Suatu kebiasaan yang tak berubah sampai akhir hayatnya, hal ini membuktikan betapa setia dan cintanya terhadap profesinya itu, maka setelah mati ia pun pantas mendapat penghargaan sebagai seorang tokoh kecil seperti dia ini.

"Cuma Bisa Satu Jurus!" empat huruf itu memang suatu kenyataan," cuma dia tak tahu cara bagaimana Hui Giok mendapat pelajaran ilmu silat yang hebat itu.

Untuk mengetahui duduk persoalannya, marilah kita mundur lebih dulu untuk mengisahkan kejadian itu.

ooOoo ooOoo

Malam yang kelam, angin berembus sepoi, rembulan memancarkan sinarnya yang redup menyinari bumi raya yang sunyi ini.

- oO -

Kejadian itu berlangsung pada malam kedua setelah Hui Giok berjumpa dengan Leng-kok siang-bok Tham 8un-ki serta Kim tong-giok li.

Menjelang kentongan ketiga (tengah malam), karena kemurungan dan rasa rindu Tham Bun ki maka Leng-kok-siang bok dengar gusar datang mencari Hui Giok.

Hui Giok justru selalu ingat pada pesan Kim-tong-giok li sebelum pergi, diam-diam ia ngeluyur ke taman, tentu saja terjadi pertemuan yang tidak menyenangkan, dengan kesima Hui Giok mendengarkan teguran dan makian Leng kok-siang bok tapi ia tak dapat ikut mereka pergi menengok Tham Bun-ki yang sakit, sebab janjinya dengan Kim tong giok li berlangsung lebih duluan, karena sikapnya itu semakin menggusarkan Leng-kok siang-Bok.

Leng-kok-siang bok adalah manusia yang berwatak aneh dan tinggi hati mereka tak suka pada sikap membangkang pada perintah mereka dalam gusarnya mereka segera menggunakan kekerasan.

Tapi, sebelum apa yang mereka harapkan terkabul, kungfu mereka telah ketemu batunya dengan kungfu orang lain.

Bagaimana pun kungfu Kim-tong-giok-li jauh lebih hebat daripada mereka, maka mereka telah ditawan oleh Kim tong-giok-li dalam sebuah gua yang terpencil. Di dalam gua itu pula Kim-tong giok-li melaksanakan pesan Leng-gwat-sian-cu, yaitu menyerahkan sejilid kitab tipis kepada Hui Giok.

Lalu merekapun mewariskan tujuh jurus ilmu silat kepada pemuda itu.

Tetapi, oleh karena ketiga macan ilmu silat itu terlalu sulit bagi Hui Giok yang tidak memiliki dasar yang kuat, maka sebelum pertemuan Bengcu-tay hwe diselenggarakan, dia baru sempat menguasai satu jurus, sedangkan Kim-tong giok-li juga lantaran ada urusan penting harus meninggalkan Kanglam.

Meskipun mereka belum menerima Hui Giok sebagai muridnya, tapi Hui Giok yang berperasaan itu sangat berterima kasih dan menghormati mereka melebihi seorang murid umumnya terhadap sang guru.

Sebelum berpisah Hui Giok juga menanyakan tentang diri Leng-gwat-siancu, tapi jejak perempuan itu sukar diikuti, seperti kabut yang mengambang diangkasa, bahkan Kim tong-giok-li juga tidak tahu.

Ketika Hui Giok bertanya asal-usul dan suka-duka apa yang diakui perempuan itu, Giok li yang periang dan suka berterus terang itu mendadak ikut sedih dan sukar menjelaskan.

"Suatu hari kau akan mengetahui sendiri selesai mengucapkan kata-kata itu, laki-perempuan yang aneh itupun berlalu dan lenyap dalam kabut pagi yang menyelimuti udara, tertinggal di dalam gua Leng-kok-siang-bok yang tertutuk jalan darahnya serta Hui Giok yang diliputi tanda tanya.

Tidak lama kemudian jalan darah Leng-kok- siang-bok yang tertutuk akan bebas dengan sendirinya, tapi macam-macam tanda tanya yang menyelimuti benak Hui Giok entah kapan baru akan terjawab?



Namun hasratnya yang besar untuk belajar ilmu silat membuat pemuda ini di sepanjang jalan terus berlatih kungfu yang baru saja didapatnya itu.

Akibatnya Koay-sim Hoa Giok telah menggunakan kematiannya untuk mendapatkan berita yang paling berharga yang pernah diperolehnya selama hidup, yaitu, "Cuma bisa satu jurus" Semua ini benar-benar rahasia, kecuali Sin-jiu Cian Hui sendiri boleh dibilang tak ada orang lain yang mengetahui hal ini.

OoO ^ o ^ OoO

Begitulah suasana dalam ruangan sedang hiruk pikuk, di antara pembicaraan yang bersimpang siur ada yang sedang menduga asal-usul perguruan Beng cu mereka Hui-taysianseng, ada pula yang diam2 bertaruhan untuk menjagoi siapa yang bakal menang dalam pertarungan antara Leng-kok-siang-bok melawan Hui-taysianseng.

Sin-jiu Cian Hui yang menyaksikan semuanya itu diam-diam tertawa dingin, "Hehe Hui Giok pendekar satu jurus jangankan melawan Leng kok-sian-bok, melawan siapa pun dia juga cuma satu jurus, orang yang bertaruh menjagoi Hui Giok mungkin orang dungu atau sinting,"

Berpikir sampai di sini, dia memandang sekejap sekeliling ruangan, sambil terbahak-bahak katanya: "saudara Na, saudara sekalian kenapa tidak minurn arak? Apakah kalian menguatirkan keselamatan Hui-taysianseng? Hahaha...keliru... keliru besar... keliru besar."

Setelah mengulangi kata itu sampai detik ini hui taysiansing mungkin tidak setenar nama Leng kok siang bok, tapi boleh kalian buktikan kungfu Hui taysianseng tadi, hahaha, Mekipun aku juga tak tahan sampai tiga gebrakan!"

Di mulut ia berkata begitu, di dalam hati dia merasa geli, pikirnya. "Sayang dia cuma bisa satu jurus, coba kalau menguasai enam tujuh jurus, mungkin aku betul-betul tak mampu melawannya."

Dia sengaja busungkan dada dan tertawa, katanya lagi, "Apabila ada orang yang kurang percaya akan kemampuan Hui-taysianseng, aku orang she Cian berani bertaruh dengan dia!"

Baru habis berkata, seorang laki-laki baju hitam yang berdiri di belakangnya segera lari masuk ke dalam, sejenak kemudian dia muncul kembali dengan membawa satu nampan penuh uang emas yang berkilauan, emas itu diletakkan di depan Cian Hui.

Emas yang bertumpuk di atas nampan itu sedikitnya ada dua-tiga puluh potong, padahal tiap potong sedikitnya seberat sepuluh tahil, kalau di jumlahkan keseluruhannya maka tidak sedikit nilainya, tentu saja semua orang sama melengak.

Namun tak seorang pun berani menerima tantangan Sin jiu Cian Hui tersebut sekalipun mereka tahu Hui Gtok pasti kalah, apalagi sampai sekarang belum ada yang mengetahui sampai dimanakah kungfu Hui-taysianseng yang sebenarnya.

Dengan sorot mata yang tajam, Sin-jiu Cian Hui menyapu pandang sekeliling ruangan, ia dapat menebak jalan pikiran orang-orang itu maka sambil tertawa kembali katanya, "Hahaha, aku memang keterlaluan masa dengan jumlah taruhan yang tak berarti hendak mengganggu kegembiraan minum arak kalian?"

Kepada anak buahnya yang ada di belakang dia lantas membentak: "Budak yang tak tahu diri ambil lagi yang banyak sebagai hadiah hiburan para pahlawan setelah minum arak"

Laki-laki baju hitam tadi mengiakan dan berlari pergi pula, sepanjang peristiwa ini berlangsung Liong-heng-pat-ciang dan Tonghong-hengte hanya menyaksikan dengan dingin, sedangkan Tham Bun-ki dan Go Beng-si juga mengikuti tingkah pola tuan rumah itu dengan tak acuh.

Sesaat kemudian. muncul empat orang laki2 baju hitam, masing-masing membawa satu nampan uang emas yang berkilauan tertimpa cahaya lampu.

"Hahaha, jumlah yang tak seberapa, harap jangan ditertawakan!" Sin-jiu Cian Hui lantas berseru.

Liong heng-pat-ciang berdehem, tiba2 ia berkata, "Ciong-yang, kemari !"

Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang yang duduk semeja dengan Tonghong Kiam, Tonghong Ceng, Tonghong Kang dan Tonghong Ouw segera mengiakan dan memburu ke depan.

"Ciong-yang, apakah kau membawa uang?" tanya Tham Beng dengan perlahan, namun cukup menggetarkan setiap orang persilatan yang hadir.

Suasana mulai gaduh, helaan napas dan suara berbisik-bisik memenuhi ruangan. Tapi sekejap kemudian suasana kembali jadi hening pula.

Mula-muia Sin-jiu Cian Hui agak tertegun lalu sambil terbahak-bahak serunya "Tham-lopiautau, apakah engkau juga tertarik akan taruhan ini?"

"Entah Cian-cengcu mengizinkan aku ikut serta dalam permainan yang menarik ini atau tidak?" Liong-heng-pat-ciang balas bertanya sambil tersenyum .

"O, tentu . tentu saja," meski Cian Hui tetap bersenyum, dalam hati ia tak menyangka kalau Liong-heng-pat-ciang bisa ikut dalam pertaruhan ini. ia berpikir pula "Ya. sekalipun kalah juga tak mengapa"

Tanpa terasa ia melirik juga kelima nampan uang emasnya itu dengan perasaan berat.

Sementara itu Liong-heng-pat-ciang telah menyambut setumpuk uang kertas dari Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang, dia melolos dua lembar uang kertas itu, sambil memandang lagi uang emas di meja, katanya dengan tersenyum, "Kurs uang emas dan perak sekarang kan lima banding satu bukan."

"Betul! Betul!" sahut Cian Hui.

Liong-heng-pat-ciang Tham Beng tersenyum.

Kiong Cing-yang memberi hormat dan ikut bicara.

"Menurut taksiran, setiap nampan uang emas milik Cian-cengcu itu berjumlah dua ratus empat puluh tahil, semuanya kalau ditotal jadi seribu dua ratus tahil emas, bila kita kurskan dalam uang perak sama dengan enam ribu tahil tepat bukan!"

"Hahaha, Kiong-piautau memang bermata tajam serta perhitungan yang tepat." kata Cian Hui sambil terkekeh-kekeh. "Hehehe kukira untuk jabatan kasir Hui-hong-piaukiok seharusnya diangkat Kiong-heng."

Habis berkata, dengan pandangan menghina ia melirik sekejap lengan Kiong Cing-yang yang buntung, kemudian ia tertawa terbahak bahak.

Air muka Koay-be sin-to Kiong Cing-yang berubah hebat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia mengundurkan diri dari situ, semenjak itu dendamnya pada Sin-jiu Cian Hui makin menghebat. Tham Beng lantas tersenyum dan berkata pendapat Cian-heng memang bagus orang yang cacat biasanya jauh lebih baik daripada orang yang berotak bebal, Cing-yang, kau musti mengucapkan terima kasih atas pujian Cian-cengcu ini.

"Hahaha, . . .tidak berani... tidak berani . "

Si Tangan Sakti ini sebenarnya hendak menyindir lagi, tapi seketika tidak berhasil menemukan kata-kata yang cocok, maka ia pun membungkam.

"Nah, inilah uang kertas dan Hui-hong nilai nominalnya enam ribu lima ratus tahil, silakan Cian-cengcu periksa!" kata Tharn Beng lagi sambil tertawa dan menyodorkan dua lembar cek itu ke tangan Cian Hui.

"Hahaha, kupercaya tak bakal salah lagi!" kata Cian Hui sambil tertawa, ia menerima kedua lembar cek itu dan ditindih di bawah tumpukan emas, lagaknya scakan-akan dalam pertaruhan tersebut dia yang pasti menang.

Sambil tertawa lalu dia berkata lagi, "Kecuali Tham-lopiautau yang tertarik akan pertaruhan ini, apakah masih ada saudara lain. ."

Belum habis kata-katanya tiba-tiba Tonghong Tiat menyela, "Aku jadi gatal tangan melihat per taruhan ini."

Cian Hui tertegun, tapi segera ia tertawa: "Tonghong-tayhiap hahaha bagus! bagus sekali!"

"Siaute tidak membawa uang kontan bagaimana kalau kugunakan benda lain untuk pertaruhan ini?-" sambil berkata pemuda itu melepaskan sebuah batu pualam kuno berwarna hijau tua dari ikat pinggangnya, lalu diangsurkan ke muka. Berturut-turut Tonghong-hengte yang lain pun maju untuk ikut bertaruh.

Senyuman memang masih menghiasi bibir Cian Hui tapi senyuman itu sudah lebih mirip menyengir tak terkirakan rasa gelisahnya, tak disangkanya permainan yang semula hanya bertujuan untuk meramaikan suasana ternyata telah berubah menjadi serius.

Dia melirik sekejap kelima macam benda mestika di meja itu, lalu masuk ke ruang dalam, ketika muncul kembali, ia membawa satu nampan penuh intan permata, suasana dalam ruangan jadi sepi seperti kuburan, semua orang mengalihkan perhatiannya ke arah Cian Hui dan mengikuti langkahnya setindak demi setmdak.

Di tengah keheningan itu, tiba-tiba suara gelak tertawa nyaring memecahkan kesunyian, ternyata Kim-keh Siang It-ti yang terbahak-bahak, malahan sambil memukul meja dia berteriak "Sungguh menarik, permainan ini benar-beuar menarik sekali!"

"O, jadi Siang-heng juga berminat akan pertaruhan ini?" air muka Cian Hui agak berubah.

"Hahaha, akan menyesal selama hidupku bila orang she Siang tidak ikut mengambil bagian dalam pertaruhan yang luar biasa ini!"

Dia menggapai ke luar, dan sana lantas masuk sembilan orang laki-laki kekar berbaju warna-warni mereka berdiri tegak di hadapan si Ayam Emas.

Kesembilan orang itu berperawakan kekar dan berotot, bersinar mata tajam, penuh semangat dan cekatan, sekalipun bukan jagoan lihai, tapi kungfu mereka tentu tidak lemah, kepada Kim-keh Siang It-ti ke sembilan orang itu memberi hormat, sedang kepada orang lain kelihaian bersikap angkuh.

Terbahak-bahaklah Kim-keh Siang It-ti "Ha haha, seperti juga kehidupanku yang serba aneh selama ini, hari ini orang she Siang juga ingin mengadakan suatu pertaruhan aneh dengan Cian-cengcu."

Ia berhenti tertawa dan berpaling ke arah ke sembilan orang itu lalu bertanya dengan suara berat, "Eh, darimanakah datangnya jiwa-raga kalian bersembilan?"

"Tubuh milik ayan emas nyawa milik avam emas, bila ayam emas ada perintah, mati seratus kali juga tidak menyesal!" jawab kesembilan orang itu serentak.

Cukup satu orang saja suaranya sudah nyaring, apalagi sembilan orang buka suara bersama demikian nyaringnya suara itu hingga seluruh ruangan bergetar keras, bahkan cawan dan mangkuk juga seakan-akan ikut berdentingan karena getaran itu.

Kim keh Siang It-ti kembali terbahak-bahak katanya pula, "Taruhan yang akan kulakukan dengan Cian-cengcu ini tidak lain adalah nyawa ke sembilan orang ini."

Sin-jiu Cian Hui kaget, kawanan jago juga kaget. Di dunia ini mana ada pertaruhan seaneh ini, sementara itu Siang It li telah melanjutkan kata-katanya, "Cian cengcu, engkau berbudi dan setia kawan, engkau juga seorang pemuka persilatan kukira orang yang bersedia jual nyawa bagi Cian cengcu tentu tidak sedikit asal kau tampilkan sembilan orang, urusan kan menjadi beres!"

Suasana dalam ruangan kembali sunyi, beratus pasang mata sama memandang Cian Hui dan ingin tahu bagaimanakah tanggapannya atas tantangan lawan.

Dengan pandangan tajam, Cian Hui mengawasi wajah kesembilan orang itu satu demi satu, dilihatnya mereka tetap tenang, tiada rasa gelisah atau takut.

Dengan dahi berkerut mendadak Liong~heng-pat-ciang Tham Beng berdiri, pelahan dihampirinya kesembilan orang itu, katanya dengan tegas.

"Jiwa manusia pemberian Thian dan tidak boleh dibuat permainan, benarkah kalian bersembilan rela mengorbankan jiwa..."

Kesembilan orang itu memandang jauh ke depan jangankan memandang si penanya, malah sikap mereka seakan-akan tak mendengar pertanyaan itu seperti juga mereka sengaja membungkam untuk menyindir sikap Tham Beng vang suka mencampuri urusan orang.

"Eh, apa yang diucapkan Tham-congpiautau tidak kalian dengar?" bentak Kim keh Siang It-ti Tiba-tiba ia menutulkan ujung tongkatnya melayang ke depan dan "plak-piok", suara tamparan berkumandang susul menyusup di antara berkelebatnya telapak tangan, tahu-tahu dia sudah menghadiahkan delapan belas kali tamparan keras pada muka kesembilan orang itu.

Para jago berseru kaget, tapi kesembilan orang yang masing-masing mendapat dua kali tamparan itu bukan saja tidak berubah wajahnya, malahan serentak memberi hormat sambil menvahut "Hamba sudah mendengar!"

"Kalau sudah mendengar, mengapa tidak kalian jawab pertanyaan Tham-lopiautau itu?"

Kesembilan orang itu serentak berpaling dan memberi hormat kepada Tham Beng, lalu menyahut berbareng, "Raja menghadiahkan kematian bagi patihnya dan sang patih tak berani hidup, ayah memerintahkan anaknya mati, anak tak berani tidak mati, Siang toako baik budi kepada kami melebihi raja dan ayah, maka kami bersembilan dengan kerelaan hati bersedia mengorbankan jiwa bagi Siang-toako"

Sepanjang mengucapkan kata-kata itu mereka bersembilan selalu membuka mulut bersama dan tutup mulut berbareng, jelas sudah terlatih dengan baik.

Liong-heng-pat ciang tersenyum, dia lantas menjura kepada Siang lt-ti sambil berkata, "Siang-pangcu, maaf bila aku banyak urusan!"

Pelahan ia kembali ke tempatnya semula, diam-diam dia menghela napas sambil berpikir. "Tak kusangka manusia yang aneh dan licik ini juga mempunyai anak buah yang rela berkorban baginya!"

Dalam pada itu si Ayam Emas tambah bangga, ditatapnya Cian Hui yang sedang termenung itu lekat-lekat, lalu katanya seraya tertawa: "Cian-cengcu, apakah engkau sedang memaki kesembilan saudara ekor-ayamku ini terlalu goblok sehingga tidak setimpal untuk ditandingkan dengan anak buahmu?"

"Ah, perkataan Siang-pangcu terlalu berlebih-lebihan." Cian Hui tertawa "tapi..."

"Kalau begitu," potong Siang It-ti. "biarlah cayhe suruh kesembilan ekor-ayam ini mendemonstrasikan sedikit kejelekannya di hadapan Cengcu"

Sambil berpaling dia lantas memberi tanda "Pergi sana!"

Ke sembilan orang itu mengiakan, sekejap saja seluruh halaman telah dipenuhi oleh kain warna warni yang berkeliaran kian kemari, gerakan mereka lincah seperti kupu-kupu yang terbang di antara bunga, pada mulanya kawanan jago itu menyangka ke sembilan orang itu sedang mendemonstrasikan kegesitan mereka, tapi mendadak terdengar suara bentakan, menyusul kesembilan orang ini lantas berkumpul kembali di depan ruangan, hanya di tangan pemimpin mereka telah bertambah dengan sebatang toya besi.



Bayangan mereka kembali berpisah, kesembilan orang itu memegangi ujung tongkat besi itu. empat orang di sebelah kiri dan empat orang di sebelah kanan, ketika orang yang ada di tengah itu membentak lagi, orang-orang itu lantas membetot dan tongkat besi itupun tertarik hingga makin panjang, gemuknya berubah seperti kawat, dari sini dapat terlihat betapa hebat tenaga betotan kedelapan orang itu.

"Putus" bentak orang yang berada di tengah itu tiba-tiba, telapak tangannya lantas membacok ke bawah Tongkat besi yang sudah berubah seperti kawat itu seketika juga patah jadi dua.

Tepuk tangan dan sorak-sorai memuji bergema memenuhi seluruh ruangan, ke sembilan orang itu segera memberi hormat dan berjalan kembali ke hadapan Siang It-tu air muka mereka tetap tenang.

Terkesiap juga si Tangan Sakti Cian Hui, kendatipun kungfu kesembilan orang itu tergolong ilmu kasaran dan jauh kalau dibandingkan dengar jagoan lwekang, tapi ia pun menyadari bahwa anak buahnya yang bertenaga setaraf itu tak banyak jumlahnya.

Meskipun dia tinggi hati namun tak sampai keblinger, sudah tentu dia tak mau mengorbankan sembilan anak buahnya dalam suatu pertaruhan yang belum tentu ada harapan untuk menang.

Walaupun begitu ia juga harus menjaga harga diri, gengsi dan kedudukannya apalagi ditantang di depan umum, bagaimanapun juga dia tak dapat mengabaikan tantangan Kim-keh Siang It-ti yang berbau ejekan itu.

Sementara ia masih ragu-ragu, Liong-heng-bat-eiang Tham Beng berkata pula sambil tersenyum, "Cian-cengcu, kalau engkau yakin bahwa kemenangan pasti berada pada pihakmu, sekalipun taruhan ini luar biasa, kenapa tidak kuterima tantangannya?"

Cian Hui terpojok, terpaksa ia menjawab dengan terbahak-bahak, "Hahaha... benar, benar!"

Sambil bertepuk tangan dia lantas berpaling Yu Peng, coba keluar dan lihatkan ada berapa orang saudara kita yang mau datang kemari?"

Yu Peng, laki-laki baju hitam yang selalu berdiri di belakangnya itu segera mengiakan dan mengundurkan diri dengan air muka yang agak berubah.

Melihat itu, Kim-keh Siang It-ti terbahak-bahak "Hahaha, orang she Siang paling gemar berjudi, baru hari ini betul-betul ketemu tandingannya!"

Cian Hui tidak berkata apa-apa. beruntun ia tenggak tiga cawan arak.

Semua orang mulai gelisah dan tak tenang, mereka ingin tahu siapakah yang akan keluar sebagai pemenang dalam taruhan itu.

Mereka pun ikut tegang bagi Cian Hui, malahan ada yang berpikir Kungfu Hui-taysianseng pasti lihay sekali, kalau tidak, Cian Sin-jiu yang cerdik masa berani bertaruh baginya.

Semua orang saling pandang seolah-olah mereka pun terlibat dalam pertaruhan ini dengan jantung berdebar mereka memandang keluar pintu, mereka tak tahu harus menunggu berapa lama lagi dan apakah Hui-taysianseng akan masuk kembali ke ruangan itu?

Di mata sekian banyak orang hanya Cian Hui yang tak pernah menengok ke pintu walau hanya sekejap saja, sebab dia tahu dengan jelas bahwa mengharapkan masuknya kembali Hui-taysianseng melalui pintu tersebut sama dengan menantikan munculnya seekor ikan paus di daratan, hakikatnya tidak mungkin terjadi.

Demkianlah, di tengah ketegangan itu, malam terasa tiba lebih cepat daripada hari biasa, cahaya lampu sudah menerangi seluruh ruangan.

Tiba-tiba dan luar muncul sesosok bayangan, suasana jadi semakin tegang, orang ingin tahu Hui Giok yang muncul atau Leng-kok-siang-bok yang kembali, tapi orang itu ternyata tak lain daripada Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong.

Begitu melangkah masuk ke dalam ruangan dia lantas berseru sambil tertawa nyaring- "Sungguh berbahaya, hampir saja aku ketinggalan dalam permainan yang menarik ini!"

"Benar, benar!" jawab si Ayam emas sambil berbangkit, tampaknya hari ini Cian-cengcu sedang keranjingan bertaruh, bila Na-heng tidak ikut serta dalam pertaruhan ini, mungkin di kemudian hari kau tak akan menemukan lagi kesempatan bertaruh sebagus ini."

Na Hui-hong tertawa, sebetulnya aku bukan seorang penjudi, tapi ketika mendengar kabar, kakiku seperti tiba-tiba tumbuh sayap dan tanpa kusadari terus berlari kemari.

Ketika ia menengadah, Cian Hui sedang memandangnya dengan senyuman kaku, hal ini membuat gelak tertawanya bertambah nyaring, pikirnya:

"Cian Hui, wahai Cian Hui, orang cerdik seperti kau juga bisa berbuat tolol. Hmm, jika tidak kubikin kau bangkrut, hehehe mulai detik ini jangan panggil aku sebagai Jit-giau-tui-hun.

Maka dengan tersenyum dia berkata, "Barusan, ketika Yu-koankeh mengumpulkan jago berani mati di luar, baru ku tahu Siang-heng telah menemukan sistem taruhan yang unik ini, sayang sekali Siaute tidak memiliki modal taruhan semacam itu, maka aku hanya membawa lima ratus selongsong perak untuk bertaruh dengan Cian heng, tapi apabila Cian-heng merasa jumlah ini terlalu sedikit, di kota Soh-ciu aku masih punya sebidang tanah dan bangunannya, sekalipun kalah besarnya dengan Long bong-san-ceng, tapi rasanya cukup sebagai modal taruhan Nah, Biar kusodorkan semua itu untuk bertaruh denganmu!"

Dia bicara dengan seenaknya, seakan-akan seorang anak nakal yang bertaruh dengan kacang saja. Tapi semua orang lantas berseru kaget. malahan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng juga berubah air mukanya.

Maklumlah, lima ratus longsong perak sama dengan lima puluh laksa tahil perak, ditambah lagi perkampungan Jit-giau-san-cengnya yang termasyhur di dunia persilatan, nilainya sungguh sangat mengejutkan.

Na Hui-hong melirik sekejap sekitarnya, lalu ujarnya lagi sambil tertawa, "Selama hidupku tak pernah berjudi, tapi sekali berjudi harus berjudi sampai puas, sekalipun hartaku ludes semua juga rela, paling banter bekerja keras sepuluh tahun lagi . . . Hahaha, saudara Cian, kenapa kau tidak berbicara?"

Cian Hui melengak. seperti baru sadar dari impian dia berpaling dan tertawa, "Hahaha, meskipun taruhan yang kuselenggarakan ini hanya bersifat iseng, rupanya kalian semua telah bertaruh dengan sungguh-sungguh "

"Memangnya kau anggap taruhanku tidak sungguh-sungguhan." tanya Jit-giau-tui-hun dengan kurang senang.

Meski Cian Hui masih bersenyum, tari sorot matanya penuh rasa benci, andaikata sinar matanya dapat melukai orang, mungkin Na Hui hong sudah mati beberapa kali.

Maklumlah, kalau taruhan tadi belum menjadi soal bagi Cian Hui, tapi taruhan Na Hui hong sekarang cukup membuat seseorang menjadi bangkrut dan jatuh miskin, sekalipun Cian Hui terhitung seorang tokoh Lok-lim yang kaya, tapi oleh karena dia sangat royal, maka tabungannya tidak seberapa banyak, dalam gudang paling banyak juga cuma tersedia hanya puluh laksa tahil perak.

Na Hui-hong ini seakan-akan dapat menaksir kekayaan yang dimilikinya maka dia mengajukan pertaruhan seperti itu, dengan tujuan supaya Cian Hui jatuh pailit, bahkan dia ingin menangkan pula tempat tinggal Cian Hui sehingga kalau bisa lawannya akan dibikin tidur di emper rumah orang Cian Hui bukan orang bodoh, sudah tentu dia paham maksud lawannya, bisa dibayangkan betapa gemas dan bencinya, dalam hati dia menyumpah, "Na Hui-hong, wahai Na Hui-hong aku tak pernah bermusuhan dengan dirimu, mengapa kau bertindak sekeji itu kepadaku? Hmm, bila suatu ketika kau terjatuh ke tanganku , .. hnim, hm..."



Tapi dia lantas tertawa, katanya, "Aku tak bermaksud demikian, masa tidak percaya pada Na heng, tapi kau pun harus tahu, medan judi sama seperti medan tempur sekali orang terjun ke gelanggang pertaruhan, sekalipun saudara sekandung juga harus membuat perhitungan dan lagi di medan judi yang diutarakan adalah taruhan nyata kalau cuma omong kosong tanpa bukti hitam di atas putih. rasanya rasanya tidak masuk hitungan..."

Tiba-tiba ia menemukan alasan yang tepat untuk menolak tantangan Na Hui-hong maka ia tertawa senang.

"Ucapan Cian-heng memang tepat, taruhan harus ada barangnya," Na Hui hong tertawa, Maka kebetulan sudah kubawa lima puluh laksa tahil perak itu, meskipun tidak berada dalam sakuku, tapi dalam waktu satu jam sudah bisa dibawa kemari sedangkan mengenai perkampunganku itu sekarang juga akan kubuatkan surat kontrak, para jago persilatan lain boleh bertindak menjadi saksi untuk ini ingin kuminta bantuan Tham-lopiautau dan Siang pangcu agar suka menjadi wasit, siapa yang kalah, dalam waktu setengah bulan harus mengosongkan perkampungannya dan menyerahkan kepada pihak yang menang... Hahaha, ucapan saudara Cian memang benar siapa yang terjun ke arena perjudian, sekalipun saudara sekandung juga mesti bikin perhitungan Hahaha..."

Kim-keh Siang It-ti merasa mendapat kesempatan, segera ia menimpali: "walaupun Siaute bukan orang yang suka mencari urusan, tapi jabatan sebagai penengah ini pasti kuterima."

"Betul, bila Na-tayhiap menghargai diriku tentu saja aku pun tidak menolak." sambung Liong heng-pat-ciang Tham Beng sambil tersenyum.

Sin-jiu Cian Hui berdiri tertegun seperti patung, tiba-tiba ia cabut kipasnya dan menggoyangkannya dengan keras lalu menyimpan kembali kipasnya terus menenggak beberapa cawan arak.

Sekalipun dia seorang tokoh persilatan yang hebat, tapi harta benda yang dikumpulnya dengan susah payah selama bertahun-tahun bakal ludes di atas meja pertaruhan dan jelas tak ada harapan untuk menang, bagaimanapun tebal imannya tidak urung berubah juga air mukanya.

Semua orang memandangnya dengan menahan napas, demikian tegangnya sehingga suara bisik-bisik pun ikut lenyap, keadaan menjadi sunyi, Mendadak Cian Hui terbahak-bahak, "Baik baik! Kalau saudara Na berniat untuk bertaruh tentu saja aku akan mengiringimu dengan senang hati."

Sambil mengulapkan tangannya dia berseru lagi, "Siapkan alat tulis..."

Seorang Piautau yang terkenal bertulisan bagus didorong keluar untuk menulis surat kontrak tapi sewaktu dia mengambil pit dan mulai menulis, jelas tangannya gemetar keras.

Cian Hui berdiri kaku menyaksikan di samping, meski pengaruh arak memperkuat ketabahannya tak urung keringat membasahi jidatnya.

Apalagi ketika tiba gilirannya untuk membubuhi tanda tangan, butiran keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar, hal ini membuat para jago yang hadir itu merasa tercengang, "Heran, biasanya Cian Sin-jiu selalu tenang, kenapa sikapnya sekarang tampak gugup?"

Andaikan mereka tahu bagaimana perasaan Cian Hui ketika itu, mungkin tak ada orang yang berpendapat demikian, Sampai-sampai Liong-heng-pet-ciang juga merasa heran.

Setelah surat kontrak diteken, dua lembar kertas itu berikut kedua lembar cek tadi ditaruh di bawah nampan yang berisi uang emas itu.

Cian Hui kelihatan gelisah, sebentar duduk dan sebentar berdiri. Sinar mata kawanan jago pun tak berkedip mengawasi pintu.

Yu Peng, si kepala rumah tangga Long bong san-ceng mendadak lari masuk, sekalipun jelas tahu siapa yang muncul toh jantung semua orang berdebar keras.

Maka setiap ada bayangan orang muncul dan luar, semua orang lantas menjadi tegang.

Sesudah berlari masuk, segera Yu Peng berseru, "Saudara kita semuanya siap jual nyawa bagi Cengcu, lantaran jumlahnya terlalu banyak maka hanya kupilihkan sembilan orang.

Jit-giau-tui-hun tertawa dingin, "Hehe, Cian heng memang disayang anak buah . hehe..."

Padahal ia saksikan sendiri di luar kebanyakan anak buahnya enggan mempertaruhkan nyawa secara sia-sia.

Merah wajah Cian Hui mendengar sindiran itu dia lantas berteriak, Suruh mereka masuk."

Terdengar sembilan orang laki-laki berbaju hitam mengiakan dan berlari masuk ke dalam ruangan dan tepat berhadapan muka dengan kesembilan orang berbaju warna-warni tadi, ketika delapan belas pasang mata saling bertemu, terjadilah saling pandang dan entah apa yang mereka pikirkan di dalam hati.

Kim-keh Siang It-ti memperhatikan wajah ke sembilan orang itu, sekilas pandang saja dia tahu bahwa Sin-jiu Cian Hui memang tidak malu sebagai seorang tokoh persilatan, kekuatan yang terhimpun di pihaknya ternyata bukan kaum keroco.

Gerak-gerik kesenbilan laki-laki berbaju hitam nampak tangkas, hanya saja mereka tidak setenang anak buahnya.

"Bagus... bagus..." Cian Hui mengangguk berulang kali, dia berpaling dan membisikkan sesuatu kepada Yu Peng.

Kim-keh Siang lt-ti lantas tertawa dingin, "Hehe, saudara Na, tahukah kau, apabila hari ini aku kalah urusan masih mendingan, tapi kalau menang hem, untuk keluar dan sini mungkin akan jauh lebih sukar daripada waktu masuk kemari tadi!"

Hebat perubahan air muka Cian Hui, ia pun tertawa dingin, "Hehehe, saudara Siang, masa kau begitu pandang hina atas diriku ini?"

"O, niat jahat untuk mencelakai orang jangan sekali kali ada, tapi hati-hati terhadap segala kemungkinan jangan sekali lengah, itulah ajaran kuno yang sudah kita ketahui bersama."

Berkerutlah kening Cian Hui, katanya dengan lantang, "Yu Peng, coba jelaskan kepada mereka, apa yang barusan kukatakan kepadamu?"

"Cengcu memerintahkan pada hamba agar mempersiapkan ganti rugi untuk keluarga ke sembilan saudara ini!" sahut Yu Peng dengan kepala tertunduk.

Mendadak Jit-giau-tui-hun terbahak-bahak "Hahaha., .. menang atau kalah belum jelas, kenapa Cian-heng malahan sudah mengharapkan kemenangan bagi orang lain dan melenyapkan wibawa pihak sendiri?" - Habis berkata kembali ia menengadah dan terbahak-bahak.

Jit-giau-tongcu Go Beng-si juga ikut sedih meski ia tak senang pada sifat Cian Hui yang jelek tapi iba juga menyaksikan keadaannya dipandang nya sekejap barang taruhan di meja, lalu ditatapnya juga kedelapan belas orang itu kemudian ia berkata sambil menghela napas panjang, "Terlepas dari siapa yang akan menang, tapi selama hidup Cian cengcu bisa bertaruh sebesar ini, betapapun engkau harus merasa bangga!"

Cian Hui tersenyum dengan perasaan berterima kasih, "Go-siauhiap..." belum lanjut ucapannya.



Tiba-tiba dari samping berkumandang suara tertawa dingin yang tak enak didengar serentak para jago mengalihkan perhatian mereka ke arah sana, ternyata suara tertawa dingin itu berasal dan Tham Bun-ki, puteri kesayangan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, di bawah cahaya lampu wajahnya yang jelita itu rada pucat tapi matanya yang hening tampak buram.

Dengan termangu-mangu ia memandang tangan sendjri yang halus, sorot mata ratusan orang itu seperti tidak dirasakannya sama sekali.

"Kalau pertaruhan ini disebut pertaruhan terbesar hm, kukira pertaruhan terbesar di dunia ini akan terlampau banyak?" katanya dingin.

Dia seperti bergumam sendiri, seakan-akan tak tahu kalau beberapa patah-katanya yang singkat itu telah menghebohkan semua orang.

Air muka Sin-jiu Cian Hui berubah hebat, Kim-keh Siang It ti dan Jit-giau Lui hun Na Hui-hong saling berpandang dengan bingung, sementara Liong-heng pat-ciang mengernyitkan alis.

Akhirnya Liong-heog pat-ciang juga yang menegur puterinya, "Anak Ki, jangan sembarangan berbicara?"

Dia sangat menyayangi Bun-ki, betapapun ia merasa berat untuk mengomelinya di depan umum. Tak terduga Bun-ki tetap kaku, sikapnya tetap dingin seakan-akan tidak mendengar teguran sama sekali.

Jit-giau tui-hun Na Hui-hong tak sabar lagi dia lantas berseru- "Jadi maksud nona Tham masih ada cara taruhan lain yang jauh lebih hebat?"

"Ya, benar" gadis itu menyahut dengan dingin dan perlahan bangkit berdiri.

"Duduk" kembali Tham Bcng membentak.

Tapi keadaan Bun-ki sekarang bagaikan orang linglung, pelahan ia menghampiri Sin-jiu Cian Hui.

Tampaknya pemilik Long-bong-san-ceng ini pun terpengaruh oleh sikap si nona yang aneh itu serunya, "Nona Tham, kau ... . "

"Aku hendak bertaruh sesuatu denganmu, ba rang taruhan itu jauh lebih berharga daripada benda apapun, beranikah kau terima tantanganku ini?"

Sekali lagi Na Hui-hong dan Siang It-ti saling pandang, sorot mata mereka terpancar rasa gembira yang meluap, sementara para jago yang memenuhi ruangan itu pun ikut berdiri semua, malahan Tonghong-ngo-hengte yang selama ini cuma berpeluk tangan belaka juga ikut bangkit, beratus pasang mata sama tertuju ke atas tubuh si nona yang aneh itu.

Dengan pandangan setengah bertanya Sin-jiu Cian Hui berpaling sekejap ke arah Tham Beng. Tapi dalam keadaan demikian Tham Beng sendiri tak dapat memaksa puteri kesayangannya pergi dan situ, apalagi ia pun mengharapkan Cian Hui jatuh bangkrut maka setiap tindakan yang bisa mendatangkan kerugian bagi Cian Hui semakin baik baginya, ditambah lagi dia yakin Cian Hui tiada harapan untuk memenangkan pertaruhan tersebut, maka bukan saja ia tidak memberikan reaksi, bahkan mengerling pun tidak.

Dengan dingin Bun-ki menatap Cian Hui, ketajaman matanya seperti seekor kucing di tengah kegelapan yang sedang memandang hina dan mengejek seekor tikus yang sudah tak berdaya.

Karena terdesak, akhirnya Cian Hui menghela napas panjang, "Nona. kalau kau berminat untuk bertaruh, katakan saja apa barang taruhannya!"

"Jika kau setuju bertaruh baru akan kusebut kan!"

"Bila nona tidak menerangkan lebih dulu, darimana orang she Cian bisa menjawab mau atau tidak?"

Menyaksikan kegugupan orang, Bun-ki tertawa dingin "Hehehe? jadi kau tidak ada keberanian untuk menerima tantangan bertaruh dan seorang perempuan?"

Cian Hui mengusap keringat yang membasahi jidatnya, tokoh persilatan yang tersohor ini entah sebab apa ternyata merinding menghadapi tantangan nona ini.

Setelah termenung sebentar, tanyanya dengan gugup seandainya aku tidak memiliki benda itu?

"Kau pasti punya?" tukas Bun-ki singkat.

Kontan kawanan jago yang hadir di situ merasa jantung berdebar keras seakan-akan mau melompat keluar dan rongga dadanya.

Dengan pandangan tajam Sin-jiu Cian hiu menyapu pandang sekejap sekeliling ruangan, tiba-tiba ia membusungkan dada, ia pikir masa aku kena di gertak oleh puteri musuh bebuyutanku?"

Berpikir demikian, ia lantas berseru dengan tantang "Kalau begitu, baiklah! Apa pun yang hendak nona pertaruhkan pasti akan kuterima.

Di luar ia berkata demikian dalam hati ia berpikir "Bagaimanapun juga pertaruhan tadi sudah cukup untuk bikin aku bangkrut bila ditambah lagi juga tak menjadi soal!"

Bun-ki tertawa dingin, "Hehe. yang hendak kupertaruhkan denganmu adalah..."

ia sengaja berhenti sebentar, matanya yang dngin itu menyapu pandang sekeliling ruangan.

Semua orang menahan napas, sementara nona itu melanjutkan ucapannya sepatah demi sepatah "Yang hendak kupertaruhkan adalah sepasang matamu!"

Kawanan jago yang menakut napas serentak berseru kaget.

Air muka Tham Bun-ki yang pucat tapi cantik masih tetap kaku tanpa perubahan katanya, lebih jauh dengan dingin, pertaruhan kita ini berakhir sampai tengah hari esok, pada waktu itu pertarungan antara Hui Giok dengan Leng-kok-siang bok tentu sudah berakhir begitu bukan?"

Dengan ragu Cian Hui menjawab Ya, kukira... kukira memang begitulah!"

Perhatian pura jago kembali beralih ke wajah Tham Bun-ki, gadis itu berkata lagi dengan dingin "Pada saat Hui Giok muncul kembali di ruangan ini kedua mataku segera akan kucukil keluar dan kupersembahkan kepadamu, tapi bila sebaliknya yang terjadi , hm, sekalipun tidak kuterangkan tentunya kau pun tahu..."

Kata itu diucapkan dengan suara dingin kaku tanpa emosi, seakan-akan sepasang mata yang dipertaruhkannya itu bukan miliknya sendiri.

Semua orang sama menarik napas dingin, kendatipun mereka adalah manusia yang mencari sesuap nasi di ujung golok, tapi sepanjang hidupnya belum pernah menemui seorang gadis sedingin itu, segera ada yang melirik ke arah Liong-heng-pat-ciang, mereka mengira Tham Beng pasti akan terkejut setelah mendengar taruhan yang diajukan puteri kesayangannya itu.

Ternyata Tham Beng tetap tenang saja, malahan ia duduk sambil mengelus jenggotnya, tentu saja tak seorang pun yang bisa menebak apa yang sedang dipikir tokoh persilatan ini.

Tham Beng bukan orang yang ceroboh, justeru karena dia yakin Hui Giok pasti bukan tandingan Leng-kok-siang-bok, maka ia hanya membungkam saja, malahan kalau ada orang hendak bertaruh kepalanya juga dia akan menerimanya.

Karena itulah ia tidak kaget atau menegur tindakan puterinya itu, malah diam-diam ia memuji kebagusan ide itu ia merasa gadis itu pandai memanfaatkan kesempatan, keenceran otaknya sedikit pun tidak di bawahnya.

Padahal, tokoh persilatan yang tersohor ini mana dapat menebak isi hati puterinya yang sebenarnya.



Hanya Jit-giau tongcu Go Beng-si saja yang diam-diam menghela napas, pikirnya, "Ai, agaknya kepergian saudara Hui tadi telah sangat menyakiti hati nona ini, andaikata dia menang, mungkin nona ini benar-benar akan mengorek keluar sepasang matanya, sebab ia sudah tak ingin berjumpa lagi dengan pemuda itu!"

Seperti orang yang kehilangan semangat, lama sekali Sin jiu Cian Hui berdiri termangu-mangu tapi akhirnya dia tertawa terkekeh-kekeh. "Hehehe sebenarnya buat apa nona pertaruhan sepasang matamu itu dengan diriku? Ketahuilah bahwa sepasang mataku ini tidak seberapa berharga, tapi bila Hui-taysianseng menang dan nona harus mengorek matamu yang jeli itu, O sungguh bikin hatiku tak tega! Hehehe . bukankah begitu saudara sekalian?"

Ia berharap dengan kata2 yang ringan itu dapat menutupi perasaan sendiri yang tegang, ia pun berharap dengan kata2 itu bisa menggerakkan hati Tham Bun-ki agar membatalkan niatnya, selain daripada itu ia pun berharap bisa memancing simpati orang lain terhadapnya.

Benarkah demikian..." jengek Bun-ki, tiba-tiba air mukanya berubah hebat, serunya, "Andaikata Hui Giok menang, bukan saja mataku akan kukorek keluar lidahku juga akan kupotong, sebab aku tak sudi bertemu dan berbicara lagi dengan dia.

Semua orang tercengang, siapa pun tak tahu apa sebabnya sikap nona itu mendadak berubah begitu? Hanya Jit-giau-tongcu Go Beng-si saja yang memahami duduknya perkara, hanya dia yang menghela napas penuh rasa iba.

Karena dia tahu, gadis yang biasa dimanja, gadis yang berwatak keras dan suka menang itu, akhirnya mengutarakan juga perasaan yang sebenarnya.

Waktu itu, perhatian semua orang dalam ruangan sama tertuju kepada Tham Bun-ki seorang orang-orang yang ada di halaman juga berkerumun ke depan pintu ruangan, beratus pasang mata tertarik oleh si nona, siapapun tidak memperhatikan bahwa dari luar diam-diam telah muncul sesosok bayangan, bayangan yang bergeser perlahan seperti badan halus.

Karena ucapan Tham Bun-ki itu, dia telah menghentikan langkahnya, lantaran ucapan si gadis pula ia menghela napas sedih, bintang yang bertaburan di angkasa, cahaya lampu dalam ruangan menyinari raut wajahnya.

Itulah wajah yang pucat, wajah yang putih seperti wajah badan halus ia berdiri ragu di luar pintu lama dan lama sekali.

Akhirnya dia membusungkan dada, ia menyisihkan kerumunan orang di sekitar pintu dan perlahan masuk ke dalam ruangan.

Semua orang yang berada dalam ruangan masih memandangi Tham Bun-ki dengan kesima, kemudian entah siapa yang mulai dulu, tiba-tiba terdengar jeritan kaget memecah kesunyian.

"Hui... ..Hui...."

Walau hanya satu kata, tapi daya teriaknya jauh melebihi berita dunia kiamat, pandangan setiap orang, termasuk juga Tham Bun-ki, seperti orang kena sihir, semuanya beralih ke arah pintu.

Orang yang berkerumun waktu itu sudah menyingkir seperti kena tenung, dalam sekejap terbukalah sebuah jalan lewat yang lebar. Lalu seorang pelahan berjalan masuk melalui jalan yang lebar dan lengang itu.

Meski langkahnya sangat pelahan tapi suara langkah kakinya yang pelahan seolah-olah berubah menjadi suara kapak raksasa yang membelah bukit menggetar hati mereka.

Setelah keheningan, akhirnya meledak sorak-sorai yang gegap gempita, beratus orang serentak berseru. "Hui taysianseng!"

Kejutan yang tak terkirakan dahsyatnya itu membuat Kim keh Siang It-ti dan Jit giau-tui-hun Na Hui-houg lupa akan kekecewaan mereka, membuat Sin-jiu Cian Hui lupa bersorak kegirangan membuat Jit-giau-tongcu Go Beng-si lupa menyongsong rekannya dan membuat Tham Bun-ki lupa atas taruhannya.

Air muka Hui Giok tampak pucat, dirundung kekecewaan, seperti juga air muka Tham Bun-ki tadi.

Hanya sorot matanya tidak seterang mata Tham Bun-ki, sebab perasaan Bun-ki waktu itu adalah gusar dan benci sebaliknya perasaan Hui Giok sekarang hanya kecewa dan putus asa.

Sin-jiu Cian Hui memandang pemuda itu dengan termangu, ia tak tahu harus bergembira atau kecewa, meski taruhan tadi merupakan suatu jumlah pertaruhan yang luar biasa, tapi sampai detik terakhir ia belum pernah mengharapkan kemenangan Hui Giok, seperti juga Tonghong-ngo-heogte yang tidak mengharapkan dia kalah dan mati.

Tapi akhirnya Cian Hui bersorak juga dengan gembira.

Siang It-ti dan Na Hui-hong saling pandang dengan lesu, Liong-beng-pat-ciang bangkit berdiri, Go Beng-si lari ke depan menghampiri rekannya dan Tham Bun-ki, dengan tangan yang gemetar segera hendak mencolok kedua biji matanya sendiri.

"Anak Ki!" bentak Liong-heng-pat ciang, dengan cepat ia tutuk jalan darah di pinggang puteri kesayangannya.

Bun-ki berkeluh tertahan pelahan ia roboh ke dalam pangkuan ayahnya.

Keadaan Hui Giok waktu itu bagaikan sebuah planet yang jatuh ke bumi, semua perhatian, pandangan semua orang sama tertuju padanya, sampai berkumandangnya suara bentakan dan keluhan tertahan, orang2 itu baru sama-sam berpaling.

Sin-jiu Cian Hui menjapu pandang sekeliling, katanya dengan dingin. pertaruhan tadi bukanlah usulku, harap Tham-lopiautau jangan melupakan nya dengan begitu saja!"

"Apa maksudmu?" jengek Liong heng-put-ciang dengan air muka berubah hebat.

"Hahaha, memangnya Tham-tay enghiong yang mengutamakan kebajikan dan kebenaran tak takut ditertawakan oleh setiap umat persilatan?" Cian Hui tertawa bergelak.

Sambil tertawa ia berpaling dan ujarnya lagi "Hui-heng, ada beberapa orang yang punya mata tapi tak bisa melihat, mereka tidak percaya engkau dapat mengalahkan Leng kok siang-bok"

Selangkah demi selangkah Hui Giok maju ke depan, air mukanya kaku tanpa emosi, tiba-tiba tukasnya dengan dingin, "Siapa bilang aku menang?"

"Habis, apakah Hui heng kalah?" Cian Hui berseru kaget.

Perasaannya sekarang sungguh sukar dilukiskan oleh siapa pun, ketika mendengar Hui Giok menang hatinya merasa agak kecewa, tapi dalam kekecewaan tersebut ia pun merasa sedikit gembira, sekarang demi mendengar Hui Giok kalah, iapun merasa kecewa, meski dibalik kekecewaan terdapat pula sedikit rasa gembira, jadi perasaannya ketika itu sebetulnya gembira atau kecewa, dia sendiripun tidak dapat menjawabnya dengan pasti.

Perasaan para jago waktu itu pun sebentar sedih sebentar girang, hanya Liong-heng pat-ciang Tham Beng saja diam-diam mengembus napas lega setelah didengarnya Hui Giok tidak menang.

Didengarnya Kim-keh Siang It-ti dan Jit-giau tui-hun Na Hui hong sekali lagi saling pandang, wajah mereka pun mengunjuk rasa girang.

Siapa tahu Hui Giok lantas menjawab lagi dengan dingin "Siapa bilang aku kalah?"

Kembali terjadi kegaduhan suasana, ruangan yang semula sunyi senyap bagaikan kuburan itu kini berubah jadi gaduh sekali.



"Tenang! Tenang! Harap saudara sekalian tenang dulu" teriak Cian Hui.

Meskipun bentakan itu cukup berhasil namun nasib banyak juga orang bersuara di sana sini Sin-jiu Cian Hui menunggu cukup lama, akhirnya dia menghela napas dan bertanya: "Hui-heng, sebenarnya kau menang atau kalah"

"Menang. Menang?" jawab Hui Giok kaku seketika Tham Beng, Siang It-ti dan Na Hui hong merasa cemas.

"Eh, kalah, kalahl" sambung Hui Giok pula tiba-tiba jawaban yang tak keruan ini membuat Cian Hui berkerut kening, diam-diam ia menyumpah Sialan, mungkin orang ini sudah sinting?"

"Ya menang, ya kalah...." Hui Giok menambahkan dengan senyuman yang aneh dan sukar diraba

-ooOoo- - ooOoo-

Kiranya setelah meninggalkan Long-bong-san ceng tadi, Hui Giok tidak pedulikan apakah Leng kok-siang-bok akan menyusulnya atau tidak, dia hanya berjalan dengan kepala tertunduk seperti seorang yang sedang berjalan-jalan mencari angin sedangkan Leng-kok-siang-bak yang berwatak aneh itu mengintilnya di belakang, sama sekali tidak mendesaknya.

Setelah mengitari tempat pemberhentian kereta di depan pintu perkampungan dia kembali menuju ke hutan yang sepi dan rimbun itu.

"Cuaca dalam bulan lima benar-benar menawan hati!"

Ia memandang burung yang berkicau di dahan pohon, diam diam ia bergumam, perasaannya terasa tenang, sama sekali tidak rasa gugup akan menghadapi maut, juga bukan ketenangan semacam orang yang pasrah nasib ketenangannya waktu itu adalah ketenangan yang sangat aneh.

Leng-kok-siang-bok saling pandang dengan heran bahwa anak muda itu sedemikian tenangnya Tiba-tiba Hui Giok berpaling dan berkata, "Apakah kalian setuju bila kita bertarung di sini saja?" Leng Ko-bok berdehem, setelah mengerling sekejap kearah Leng Han-tiok, jawabnya "Tempat ini sangat bagus!"

Bagus, jika demikian kalian berdua boleh segera turun tangan!" ucap Hui Giok dengan tersenyum.

"Baik..." Leng Han-tioJc juga berdehem sambil berpaling dan menatap Ko-bok lekat-lekat, meski tidak mengucapkan sepatah katapun, tapi dari pandangan tersebut dapat diketahui bahwa meminta agar Leng Ko-bok yang maju lebih dulu.

Dengan suara berat Leng Ko-bok berseru "Oh, lebih baik kau saja yang maju!"

"Aku?" Leng Han-tiok tergagap.

"Ya, kau yang harus turun tangan lebih dulu!" ternyata kedua bersaudara itu tak seorangpun yang bersedia melaksanakan tugas batas dendam yang pada hakikatnya adalah suatu perbuatan yang pantas sekalipun mereka sendiri tahu bahwa untuk mewujudkan keinginan tersebut dapat dicapainya dengan sangat mudah.

Leng Han-tiok seperti terpaksa, dengan perasaan apa boleh buat ia menghela napas panjang "baiklah biar aku yang maju saja!" - selangkah demi selangkah dia lantas maju ke depan pemuda itu.

"Silahkan!" ujar Hui Giok sambil tersenyum. Waktu Leng Han-tiok menengadah dilihatnya betapa gagah dan wajar sikap anak muda itu dengan mengulum senyum, seakan-akan seorang jago kelas tinggi yang sedang berhadapan dengan seorang musuh yang tak tahu diri, seandainya dia tidak mengetahui sampai di manakah kelihaian Kungfu anak muda itu, tentu dia akan menghadapi lawannva dengan lebih hati-hati.

Tapi. sikapnya sekarang seakan-akan tidak bergairah untuk berkelahi katanya dengan tak acuh kenapa kau tidak menyerang dulu?"

Hui Giok tersenyum "Aku tiada bermaksud berkelahi dengan kalian, adalah kalian yang menantang aku bertarung, tentu saja kau yang harus turuno tangan duluan"

Leng Han-tiok mengangguk, agaknya ia setuju dengan alasan lawan "Kalau begitu, biarlah aku menyerang dulu" katanya kemudian.

Setelah berdehem, dia maju selangkah ke muka, lalu ayun telapak tangannya dan memukul pemuda itu, serangannya ini sama sekali tak bertenaga, bahkan arah serangan dan ketepatan waktu juga tidak diperhatikan seperti seorang ibu yang enggan memukul putera-puterinya, yang ia sendiri sebenarnya sayang untuk memukulnya.

Hui Giok tertegun dia angkat tangannya untuk menangkis, Leng Han tiok pun menarik kembali serangannya, lalu mengangkat tangan yang lain untuk memukul lagi dengan tak bersemangat.

Hui Giok melenggong tapi ia menangkis juga dengan pelahan seperti apa yang dilakukan semula.

Leng Han-tiok ganti tangan dan memukul lagi tanpa semangat.

Hui Giok mundur selangkah, sekali ini ia pun enggan menangkis.

"Eh, kenapa tidak kau balas seranganku?"

Leng Han-tiok segera berteriak

"Bukankah sudah kulepaskan serangan balasan!" sahut Hui Giok, segera ia melancarkan suatu pukulan balasan.

Leng Han-tiok menangkis, hanya sekali bergerak saja tangannya telah mengunci urat nadi pergelangan tangan Hui Giok.

Tapi ia cuma membentuk saja, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia putar badan dan berlalu dari situ.

Setibanya di depan Leng Ko bok. ia berdiri termangu sekian lamanya, kemudian berkata dengan suara keras: "Bila kau hendak membalas sakit hati, kenapa tidak turun tangan sendiri Aku . aku... lelah sekali..."

Di balik sinar mata Leng Ko-bok yang tajam seakan-akan terlintas secercah senyuman, dia mengangguk, "Baik, baik, biar aku yang maju!"

Setibanya di depan Hui Giok, pelahan ia menggulung lengan bajunya, tapi sama sekali tidak ada niat untuk turun tangan Melihat tingkah laku kedua orang itu, Hui Giok merasakan kehangatan, ia tak menyangka di balik tubuh kedua orang aneh yang dingin dan kaku itu terdapat juga perasaan hangat insani.

Lama sekali Leng Ko-bok menggulung lengan bajunya seakan-akan pekerjaan menggulung lengan baju adalah pekerjaan yang lebih sulit daripada pekerjaan apa pun jua.

Melihat itu, sorot mata Leng Han-tiok juga memancarkan setitik senyuman, tapi ia menegur dengan dingin: "Tanpa gulung lengan baju kan juga bisa bertarung?"

Leng Ko-bok berpaling sambil melotot sekejap, akhirnya dia mengangkat juga telapak tangannya dan menyerang.

Kali ini Hui Giok memandangi datangnya telapak tangan itu dengan termangu, ia tidak berkelit atau menangkis.

Ketika serangan itu mencapai tengah jalan tiba-tiba Leng Ko-bok menarik kembali telapak tangannya, lalu bergumam "Tak bisa, tidak bisa Lebih baik kami bunuh habis semua orang yang berada di Long-bong-san-ceng daripada mengadu kepandaian dengan seorang yang tak mengerti ilmu silat Loji, betul tidak ?"

"Betul... betul!" sambil maju Leng Han-tiok membenarkannya.

Setelah melenggong sejenak, tiba-tiba Leng Ko-boh berkata lagi dengan suara lantang, "Tapi Leng-kok-siang-bok adalah jagoan terhormat kami rela dihina orang dengan begitu saja, gurunya tak ditemukan muridlah yang dituntut hal ini adalah kejadian yang umum. Betul tidak Loji?"



"Betul, betul... " kembali Leng Ko bok mengangguk, "lalu bagaimana sekarang?"

Setelah termenung lagi sejenak akhirnya dia berpaling dan berkata kepada Hui Giok "Meski kau tak pandai bersilat tapi kepandaian lain tentunya ada bukan?"

Hui Giok mengangguk tanpa sadar."

"Kalau begitu pilihlah salah satu jenis kepandaian yang kau kuasai untuk dipertandingkan dengan kami" ucap Leng-Ko-bok pula, "baik kepandaian main kecapi, main catur, melukis atau menulis pendek kata baik soal Bun (sastra) maupun Bu (silat), boleh kau pilih secara bebas!"

Sekarang kedua bersaudara itu benar-benar tidak berniat lagi mencelakai jiwa Hui Giok, maka mereka sengaja mengusulkan cara lain untuk menyelesaikan perkasa mereka.

Padahal, kecuali ilmu silat kepandaian lain tak banyak yang mereka kuasai.

Tapi setelah Hui Giok termenung, disadarinya bahwa kecuali ilmu silat ia pun tidak menguasai kepandaian lainnya,

Sejak kecil ia hidup sebatangkara, sampai dewasa pun berkat kebaikan orang-orang Hui-liong-piaukiok yang memeliharanya. Sebagai orang persilatan, kecuali ilmu silat pemuda itu tak pernah mendapat kesempatan untuk belajar kepandaian bermain khim bermain catur bersyair dan lain sebagainya.

Selama ini, kecuali dua tiga jilid kitab yang pernah dibaca kecuali pekerjaan kasar yang dilakukannya, setiap hari sebagian besar waktunya hanya dihabiskan dengan berduduk di undak2an rumah dan memandang awan di udara sambil melamun.

Kemudian, setelah ia minggat dan Hui-liong-piaukiok, hidupnya makin sengsara, ia harus bergelandangan banting tulang untuk menyambung hidup, dalam lingkungan kehidupan yang serba susah begitu tentu saja lebih-lebih tak mungkin baginya untuk belajar kepandaian apa pun, kalau pun ada, siapa yang bersedia mengajarnya.

Lama sekali ia berdiri dengan termangu, makin dipikir makin sedih, ia benci pada ketidak becusan sendiri, ia benci pada kebodohannya, begitu benci sehingga hati terasa sakit.

Ketidak becusan, ketidak tahuan sungguh sesuatu yang mengerikan.

Tak aneh kalau pemuda itu membenci terhadap diri sendiri, tapi pemuda itu melupakan sesuatu, bahwa meski dia tidak memiliki kepandaian dan pengetahuan seperti orang lain, sebenarnya ia memiliki sebuah hati yang bajik dan bijak.

Dengan sedih pemuda itu menghela napas, "Ai terus terang kukatakan, selama hidupku ini, aku... aku..." ia tak mampu meneruskan ucapannya sebab air mata hampir saja bercucuran.

"Masa kau tidak bisa apa-apa?" tanya Leng Ko-bok dengan melengak.

Hui Giok berusaha menahan cucuran air matanya, ia mengangguk pelahan.

Leng kok-siang-bok saling pandang sekejap ketika sorot mata mereka beralih lagi ke arah Hui Giok, selain rasa heran dan kagum tadi, kini bertambah pula dengan perasaan hangat dan kasihan.

Ketika angin berembus sepoi-sepoi, kedua orang bersaudara itu tiba-tiba duduk bersila di tanah mereka memandang ke dalam hutan dengan termangu.

Sejak kecil nasib mereka berdua sangat buruk karena itu terciptalah watak yang menyendiri dan benci kepada sesamanya, tercipta juga sikap dingin kaku dan aneh.

Tapi sekarang, mereka melihat penderitaan anak muda ini ternyata lebih mengenaskan daripada nasib mereka, tapi pemuda itu menerima semua itu dengan pasrah nasib, dia hanya bersedih bagi dirinya sendiri, tiada rasa dendam pada orang lain padahal semestinya jauh memiliki perasaan dendam kepada orang lain seperti apa yang mereka rasakan.

Daun hijau yang masih segar rontok terembus angin, memandangi daun yang gugur ini, tiba-tiba ia merasakan kehidupan pribadinya seperti daun yang rontok sebelum waktunya itu.

"Asal aku diberi kecerdikan dalam sehari saja, agar aku dapat menikmati betapa indahnya kehidupan ini. sekali pun harus mati aku akan mati dengan tertawa."

Senja sudah hampir tiba, ketiga orang tua dan muda sedang meresapi apa artinya kehidupan, mereka lupa akan waktu yang berlalu dengan cepat.

Ketika terdengar bunyi burung gagak yang tebang kembali ke sarangnya, tiba-tiba satu ingatan terlintas dalam benak Leng Han-tiok. wajahnya yang dingin kaku menampilkan rasa gembira.

Akhirnya dia teringat pada sesuatu masalah yang menggirangkan.

Malam pun menyelimuti bumi, bintang bertebaran melancarkan sinarnya yang redup.

Dengan wajah berseri Leng Han tiok berpaling.

"Apa yang kau girangkan?" Leng Ko-bok menegur dengan dingin.

"Jika kita tak dapat beradu silat dengan dia, kitapun tak dapat mengampuni dia dengan begitu saja..." teriak Leng Han tiok, "tapi selain ilmu silat dia tak bisa apa-apa..."

"Ya benar," Leng Ko-bok menjawab dengan tak bersemangat "aku tak habis mengerti, urusan apa yang membuat hatimu bergirang?"

Sekarang aku berhasil menemukan satu cara yang sangat bagus sekali!" ucap Leng Han-tiok dengan tersenyum.

Ia bangkit dan menepuk pelahan bahu Hui Giok, katanya lebih jauh, "Kulihat meski usiamu masih muda, tapi perkataanmu sangat jujur. tak nanti kau berbohong bukan?"

Dengan tercengang Hui Gjok menengadah, "selamanya ini belum pernah berbohong" katanya dengan tergagap.

"Bagus!" Leng Han-tiok mengangguk tentunya kau pun benar-benar tak bisa apa-apa bukan?"

Kembali Hui Giok mengangguk sedih.

"Walau begitu, kami tetap akan bertanding denganmu!" ujar Leng Han tiok lebih jauh, "bila kau kalah bertaruh, maka sebagaimana mestinya kau harus membayar penghinaan yang pernah dilakukan gurumu terhadap kami itu."

Hui Giok membusungkan dada, tapi sebelum menjawah, Leng Ko-bok berkerut dahi sedang Leng Han-tiok tersenyum, tiba-tiba katanya lagi. "Sejak hari ini, setiap waktu setiap saat kami akan mengajarkan pelbagai kepandaian padamu, jika kau tak dapat mempelajarinya dalam waktu paling singkat, maka kaulah yang kalah dalam pertaruhan ini."

Leng Ko-bok berkerut kening pula, sedang Hui Giok dengan wajah berseri segera berteriak "Benarkah itu?"

Senyum yang semula menghiasi wajah Leng Han tiok tiba-tiba berubah dingin dan kaku pula katanya lagi, "Jangan keburu senang dulu, tidak gampang urusan ini dikerjakan. Ketahuilah pelajaran yang hendak kami ajarkan bukan melulu ilmu silat saja tapi termasuk juga kepandaian lain seperti memetik khim, bermain catur, membuat sajak dan melukis. pokoknya semua kepandaian yang kami ajarkan harus dapat kau kuasai dalam waktu paling singkat, kalau tidak maka siksaan dan penderitaan yang akan kau terima mungkin lebih parah daripada apa yang kau bayangkan sekarang,"

Hui Giok berpaling. ia tahu hati kedua orang ini tidak sedingin wajah mereka, apalagi dengan menggunakan kesempatan itu mereka bermaksud merangsang semangatnya agar maju ke depan, siapa yang akan percaya kalau kehangatan semacam ini muncul dari Leng-kok-siang bok yang termasyhur"



Betapa pun pemuda itu merasa berterima kasih dan juga gembira di samping rasa kuatir, ia tak tahu apakah dengan kebodohannya, dapat mempelajari pengetahuan baru itu?

Leng-kok-siang-bok saling pandang sekejap, lalu berkatalah Leng Han-tiok, "Bersediakah kau menerima cara bertanding semacam itu?"

Sedapat mungkin Hui Giok mengendalikan pergolakan perasaannya, sebab dia tak ingin menunjukkan rasa gembira dan terima kasihnya di hadapan kedua orang aneh ini.

"Baik!" katanya kemudian, walaupun hanya sepatah kata, namun di situlah seluruh perasaannya dilimpahkan keluar.

"Kalau begitu, mulai sekarang kau harus ikut kami," kata Leng Ko-bok.

"Ya, aku tahu!" anak muda itu mengangguk.

"Adakah urusan yang perlu kau selesaikan dulu di Long-bong-sanceng?" Leng Han-tiok bertanya.

Sebenarnya Hui Giok ingin mengatakan "Tidak ada!" sebab ia hanya sebatangkara, tiada sanak tanpa keluarga.

Tapi kemudian ketika ia teringat akan kekuatiran Go Beng-si dan Tham Bun-ki atas dirinya, segera sahutnya "Harap kalian tunggu sejenak di sini, sebentar aku akan kembali!"

Pergilah pemuda itu diiringi pandangan Leng kok-siang-bok dengan senyuman hangat.

"Aku merasa kehidupan kita belakangan ini terlalu kesepian," kata Leng Ko-bok kemudian sambil tersenyum, "memang ada baiknya kalau kita bawa serta bocah ini. ia tidak punya sanak tanpa keluarga, lagipula seorang anak laki-laki, berbeda dengan Bun ki, meski dia seorang anak baik, namun sayang banyak peraturan mengalangi hubungan kita dengan dia!"

"Bukan cuma begitu saja..." sambung Leng Han tiok sambil tersenyum "kitapun dapat menyelamat kan bocah itu dari rencana busuk si Cian Hui. Bayangkan sendiri, mereka telah mengangkat seorang bocah seperti dia menjadi Kanglam Bengcu. mustahil di balik semua itu tiada rencana busuk namanya? kulihat bocah itu seorang yang berbakat tentu banyak yang bisa dia pelajari selama mengikuti kita berdua."

Leng Ko-bok termenung sejenak, lalu berkata "Padahal, kalau kita tinjau dari watak serta caranya menghadapi orang, bocah itu memang lebih cocok menjadi Lok-lim-bengcu daripada siapa pun jua."

"Ya. dia memang cocok menjadi Bengcu" tukas Leng Han-tiok, "sayang dia terlalu ramah, terlalu bajik, mana bisa menghadapi kelicikan manusia2 licin itu!"

Tiba-tiba Leng Ko-bok tertawa, "Tahukah kau betapa licik dan busuknya suatu rencana keji mungkin berguna terhadap orang lain tapi dihadapan kebajikan dan kemuliaan, kebusukan itu justru akan musnah dengan sendirinya, ibaratnya.... Ibaratnya..." ia merenung sesaat rupanya sedang putar otak untuk mencari ungkapan yang dirasakan paling cocok.

"ibaratnya salju bertemu dengan matahari maksudmu?" sambung Leng Han-tiok sambil tertawa

"Ya, betul!" Leng Ko-bok ikut tertawa, "Ibaratnya salju bertemu matahari.

Tiba2 mereka teringat akan sesuatu, bukankah hati mereka yang dingin dan beku dibuat cair setelah berjumpa dengan Hui Giok? Senyum yang menghiasi wajah mereka pun tambah cerah.

Pembicaraan mereka berdua di depan orang dan pada waktu tiada orang lain memang sangat berbeda, sayang Hui Giok telah pergi jauh dan tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.

Dengan langkah lebar dan penuh kegembiraan anak muda itu meneruskan perjalanan teringat akan betapa banyak pengetahuan baru yang akan didapatkan ingin rasanya kakinya bersayap sehingga perjalanan bisa dilakukan secepatnya.

Angin malam di bulan lima terasa sejuk dan nyaman, semua peristiwa yang tidak menyenangkan seolah-olah ikut menjadi buyar musnah mengikuti embusan angin itu.

Terhadap kesedihan, ketidak beruntungan dan sakit hati ia paling mudah melupakannya. mungkin hal ini dikarenakan ia masih muda, memiliki hati yang bajik dan bijak.

Ketika memasuki perkampungan Long-hon san-ceng, ia temukan suasana yang begitu tenang begitu hening, walau kereta dan kuda masih memenuhi di luar pintu perkampungan namun keheningan yang mencekam terasa sangat aneh, terasa begitu banyak manusia vang berjubel di depan pintu ruangan.

Dia heran, apa gerangan yang terjadi di dalam peristiwa apa yang sedang berlangsung di situ.

Seketika suatu perasaan tak enak timbul dalam hatinya, tiba-tiba ia mendengar suara Tham Bun-ki, mendengar perkataannya yang menyakitkan hati meski ia suka memaafkan kesalahan orang lain, meski ia dapat menahan penderitaan namun ucapan Tham Bun-ki yang tak berperasaan itu dirasakannya se-akan2 berpuluh batang jarum tajam menancap di hatinya.

Akhirnya dia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan membawa perasaan yang terluka.

-oo0oo~ - oo0oo-

Kini ia berdiri di tengah ruangan itu, untuk pertama kalinya selama hidup hatinya merasa terluka.

Cinta memang paling mudah melukai dibandingkan urusan lain.

Luka yang dirasakannya sekarang berbeda dengan kesedihan yang dirasakannya tadi, sedih karena ketidak becusannya... meski kedua-duanya sama-sama menimbulkan sakit yang menyiksa, tentu saja semua orang tidak memahami perasaannya, mereka hanya memandangnya dengan terbelalak, memandang bibirnya yang gemetar dan menunggu keterangannya, menangkah atau kalahkah.

Saat penantian tentu saja merupakan saat yang mendebarkan dan menggelisahkan, terutama bagi Siang It-ti dan Cian Hui sekalian/

"Menangkah? atau kalahkah?

Hui Giok memandang sekejap wajah orang yang diliputi kegelisahan itu, tiba-tiba dari lubuk hatinya timbul semacam perasaan yang memandang hina, perasaan yang memandang rendah terhadap sesama manusia yang selama ini belum pernah di rasakannya.

"Dalam tiga tahun, kalian tidak akan tahu hasil pertarungan ini!" katanya kemudian dengan tenang.

Semua orang melenggong, mereka tak mengerti apa yang dimaksudkan pemuda itu.

"Sebab aku sendiri pun belum tahu hasilnya!" Hui Giok menyambung kata katanya dengan kaku. Kemudian ia beranjak seakan-akan hendak tinggalkan ruangan itu.

Sin-jiu Cian Hui, Kim-keh Siang It ti dan Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong serentak membentak dengan singkat mereka bertanya, "Apa yang terjadi sebenarnya?"

Secara ringkas Hui Giok lantas menerangkan sebab-sebabnya, ia beranggapan, setelah terjadi pertaruhan yang besar dan luar biasa ini mereka berhak untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.



Dia ingin menjadi seorang yang adil.

Untuk sesaat, semua orang sama termangu-mangu, melongo tercengang.

Pertaruhan mereka memang kejadian yang luar biasa, tapi cara pertarungan antara Hui Giok dengan Leng kok-siong-bok lebih hebat lagi.

Semua orang hanya bisa saling pandang, siapa pun tak tahu bagaimana harus menyelesaikan urusaan ini.

Liong-heng-pat-ciang berkerut kening, ia memandang sekejap barang pertaruhan di atas meja, lalu melirik putrinya yang berada dalam rangkulannya, kemudian, sesudah berdehem ia berkata dengan suara yang berat, "Kalau memang begitu lebih baik kita batalkan saja semua pertaruhan ini! Anggaplah uang perak di meja itu adalah sumbanganku untuk anak buah Cian-cengcu!"

Kemudian sambil berpaling ke arah Hui Giok ia menambahkan "Lebih baik kau batalkan pertandinganmu yang aneh itu! ikut pergi saja padaku."

"Ucapan yang telah keluar dari mulut tak mungkin dijilat kembali janji tetap tinggal janji" kata Hui Giok dengan tegas

Cian Hui melirik sekejap Bun-ki yang mendekap di pangkuan Tham Beng itu, tiba-tiba sorot matanya berubah jadi kejam seperti ular berbisa.

"Ya, betul" teriaknya cepat, "janji yang telah diucapkan tak bisa ditarik kembali!"

Dengan cepat Siang lt-ti dan Na Hui-hong bertukar pandang sekejap, lalu ikut berteriak, Betul, pertaruhan ini tak dapat dibatalkan lagi, harus dilanjutkan sampai akhir!"

Air muka Liong-heng-pat-ciang berubah kelam, sedangkan Go Beng-si berbisik-bisik bicara dengan Hui Giok. Suasana kembali menjadi gaduh, semua orang ramai membicarakan persoalan ini.

Jit-giau-tui-hun Na Hui Hong merenung sejenak, tiba-tiba dia berseru dengan lantang, Sebelum menang atau kalah menjadi jelas, semua barang mestika yang dijadikan taruhan harus disimpan oleh seseorang, siapapun dilarang menyentuhnya sebelum keputusan terakhir."

Ia melirik sekejap ke arah Siang It ti, kemudian melanjutkan "ltu berarti termasuk juga kedelapanbelas saudara yang dijadikan taruhan, mereka tak boleh sembarangan bergerak, seperti benda mestika lainnya, mereka diawasi dan diserahkan kepada seseorang, sampai menang atau kalah akhirnya diketahui."

Berbicara sampai di sini, dia menjura keempat penjuru dan berseru lagi dengan lantang, "Sahabat-sahabat sekalian. adilkah usulku ini?"

Para jago kembali berbisik ada yang mempertahankan kebetulannya ada pula yang segera berteriak: "Pertaruhan beginilah baru menarik hati!"

"Ya, pertaruhan seperti inilah baru pertaruhan yang paling adil." sambung yang lain.

Tapi ada orang yang bertanya, "Lantas bagai mana caranya untuk menyelesaikan benda-benda mestika itu?"

Dengan pandangan tajam Jit-giau-tui-hun memandang ke arah Tonghong-ngo-hengte yang duduk tenang di sudut kemudian sahutnya segera dengan senyum, Nama besar Tonghong-ngo-hengte sudah tersohor didunia persilatan, Hui-leng-po juga merupakan tempat suci bagi umat persilatan, apalagi nama besar Tonghong-lopocu dikenal siapa pun, kalau bukan mereka berlima yang kita serahi tugas ini. siapa lagi yang cocok? Meskipun pertaruhan ini hanya suatu permainan, tapi kurasa Hui-leng-po adalah tempat yang paling aman dan adil untuk menyimpan barang taruhan itu setuju tidak?"

Pertanyaan itu tidak diajukan kepada Tham Beng, tidak juga kepada Cian Hui dan lain-lain, tapi langsung diajukan kepada kawanan jago yang memenuhi seluruh ruangan, sebab dia tahu suara yang terbanyak itulah keputusan sehingga sukar di bantah lagi.

Benar juga, kawanan jago itu segera memberikan dukungan sepenuhnya, Tonghong-ngo-hengte berbangkit untuk menyatakan rasa terima kasihnya, mereka hendak menolak tapi melihat wajah berseri semua orang, terpaksa mereka menerimanya tanpa banyak bicara.

Keadaan Sin-Jiu Cian Hui paling serba salah waktu itu, ia merasa dirinya betul-betul mencari penyakit buat diri sendiri tapi nasi sudah menjadi bubur, terpaksa sambil bertepuk tangan ia berseru dengan lantang, "Kalau begitu, lantas bagaimana dengan pertaruhan nona Tham?"

Air muka Liong-heng-pat-ciang Tham Beng berubah hebat, cepat ia menyela, "Dia masih muda, masa perkataannya yang melantur juga kalian anggap sungguh-sungguh?"

"Jika dia bicara melantur mengapa Tham-piautau tidak mencoba untuk mengalanginya tadi?" tukas Sm-jiu Cian Hui dengan ketus, "apakah lantaran tadi Tham-lopiautau yakin benar akan menang, maka sengaja membungkam dan sekarang setelah tiada keyakinan untuk menang lantas ingin memungkir ucapannya?"

"Kurang-ajar!" teriak Liong-heng pat-ciang dengan gusar, "selama puluhan tahun belum pernah ada orang berani berbicara sekasar ini terhadapku, Cian-cengcu jangan lupa, aku sudah kelewat sungkan padamu"

Perkataan Cian Hui barusan secara telak mengenai sasarannya, memang demikianlah jalan pikiran Tham Beng tadi, betapa malu dan mendongkolnya Tham Beng setelah isi hatinya dibongkar secara blak-blakan di hadapan orang banyak. dari malu ia jadi murka.

Koay-be-sm-to Kiong Cing-yang dan Pat-kwa-ciang Liu Hui yang berdiri di sebelah majikannya juga bersiap siaga.

Sungkan? Hahaha., "Sin jui Cian Hui terbahak-bahak. "Hehehe, tentunya para hadirin mendengar apa yang telah diucapkan Tham-lopiautau yang berbudi luhur dan dapat pegang janji ini"

Di tengah heboh terdengarlah suara ejekan berkumandang dan sana sini, suasana bertambah panas.

Seperti diketahui sebagian besar jago yang hadir dalam pertemuan ini adalah jago-jago dan kalangan Lok-lim, tentu saja mereka berada di pihak yang memusuhi Liong-heng pat ciang Tham Beng sebagai seorang jago kawakan, Tham Beng sendiri memaklumi situasi yang dihadapinya sekarang.

Selagi ia hendak mengucapkan sesuatu, Siang It-ti dan Na Hui-hong tiba-tiba membentak "Hui heng, harap tunggu sebentar!"

Rupanya di tengah kegaduhan itu secara ringkas Hui Giok lelah mengutarakan isi hatinya kepada Go Beng-si ia merasa tempat itu tiada sesuatu yang pantas dikenang lagi, lalu ia hendak tinggal pergi.

Siang It li menutul tongkat besinya dan melayang ke udara, dengan suatu gerakan cepat ia menghadang jalan pergi pemuda itu.

"Apa yang hendak kau lakukan?" tegur Hui Giok ketus. Meski dia seorang pemuda yang baik hati, tapi hadiah pukulan Siang It-ti tempo hari belum dilupakannya sekalipun ia berusaha tidak mengingatnya lagi.

Dalam keadaan seperti ini, Kim-keh Siang It-ti tak berani unjuk sikap kurang hormat ia merenung sejenak, lalu menjura, katanya. "Jika Anda pergi, bagaimana caranya kami dapat mengetahui hasil pertarunganmu nanti?"

"Jika aku tidak pergi, bagaimana pula menang kalah bisa ditentukan?" Hui Giok balik bertanya dengan dingin.

Sementara Siang lt-ti dibikin melenggong, Hui Giok terus lewat di sampingnya dan keluar dari ruangan itu.



Setelah menang kalah diketahui kalian tentu akan mendapat kabar tersebut, terdengar suara yang lembut nyaring berkumadang dari luar pintu.

Beberapa orang bermaksud menyusul pemuda itu, tapi Sin-jiu Cian Hui segera menghardik: "Siapa berani berbuat kurang-ajar terhadap Bengcu?"

Meskipun bentakan itu nyaring berwibawa, pada hakekatnya dalam hati ia sangat berharap Hui Giok dapat cepat-cepat pergi dari situ.

Si Ayam Emas Siang It ti termangu sejenak, tiba-tiba ia berteriak pula, Bagaimana pun juga tetap akan kukirim orang untuk mengikuti jejaknya.."

"Ya, benar!" Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong ikut berseru "Aku juga akan berbuat demikian."

Sin-jiu Cian Hui merenung sebentar, lalu menjawab: "Kalau begitu, lebih baik kita masing-masing mengirim seorang utusan untuk mengikuti jejaknya, dengan begitu kitapun akan lebih cepat mengetahui hasil pertarungannya."

Berbicara sampai di sini sorot matanya pertama-tama dialihkan ke arah Tonghong-ngo-hengte untuk menanyakan pendapatnya, terpaksa kelima bersaudara itu mengangguk perlahan.

Agak lega Sin-jiu Cian Hui setelah mengetahui bahwa kelima bersaudara itu tidak berdiri dipihak Tham Beng, maka ujarnya lagi dengan dingin- "Bagaimana pendapat Tham lopiautau?"

Tham Beng tertawa dingin "Sombong amat ucapanmu sekarang, jangan kau kira aku sudah jatuh di bawah kekuasaanmu!"

"Hahaha..." Si Tangan Sakti tertawa, aku tak berani berniat demikian. tapi fakta berbicara demikian.

Liong-heng-pat-ciang Tham Beng memandang sekejap sekitar tempat itu lalu ia pun bergelak:

"Hahaha, sudah puluhan tahun aku malang melintang di dunia persilatan. memangnya kau anggap hari ini aku datang ke Long-bong-san ceng ini tanpa persiapan?"

Ketika ia mulai bergelak Cian Hui berhenti tertawa, tertampak Liong-heng-pat-crang menyapu pandang seluruh ruangan dengan sorot matanya yang tajam berkilat.

"Cian Hui!" serunya lebih jauh, dengan cara apa kau sambut kedatanganku. dengan cara yang sama pula kau harus mengantar kepergianku kalau tidak, aku akan membikin Long-bong-san-ceng ini banjir darah dan berubah menjadi puing-puing!"

Tokoh persilatan ini tadi bersikap halus. Dengan bicara keras, sikapnya jadi lebih kereng, lebih berwibawa dan membuat orang keder.

Air muka Sin-jiu Cian Hui berubah sedingin es. Bayangan orang berseliweran di luar sana menjadi tegang.

Pelahan Tonghong-ngo-hengte bangkit berdiri suasana dalam ruangan seketika tenggelam dalam keheningan yang luar biasa, entah berapa banyak tangan yang secara diam-diam meraba senjata masing-masing.

Di antara sekian banyak jago, hanya Jit-giau-tougcu Go Beng-si saja yang tetap tersenyum, diam-diam ia menyelinap keluar ruangan tatkala suasana berubah tegang.

Liong-heng-pat-ciang Tham Beng memondong puteri kesayangannya yang tertidur nyenyak karena tutukannya tadi, ia menyapu pandang sekejap ke arah kawanan jago ini dengan sorot mata dingin dan sikapnya yang amis dan angkuh dapat ditarik kesimpulan bahwa dia tak pandang sebelah mata terhadap ratusan jago yang berkumpul di situ.

Sinar matanya yang dingin berubah menjadi lembut tatkala tertuju ke wajah puteri kesayangannya, walaupun perawakan yang kekar sudah termakan usia, tapi masih tetap sekeras baja, siapapun tak dapat menebak berapa besar kekuatan yang tersimpan di dalam tubuh yang tegap itu.

Air muka Sin-jiu Cian Hui tampak kelam, dari sorot matanya jelas dia sedang mempertimbangkan sesuatu, yaitu harus Cian (perang) atau Hui (kabur)?

Sebelum keputusannya diambil, siapa pun tak tahu bagaimana kejadian selanjutnya.

Suasana yang hening dan tegang tak berlangsung lama, tapi bagi pandangan semua orang, masa tersebut adalah masa yang terpanjang dalam hidup mereka.

Air muka Sin-jiu Cian Hui kelihatan tenang tapi diam-diam lagi berpikir "Meninjau dan situasi sekarang ini, kekuatan musuh jauh lebih lemah daripada kekuatan kami, Tonghong-ngo-hengte bisa jadi berpihak pada mereka, namun kehadiran mereka juga tidak berarti suatu bantuan besar baginya. Jika Long-heng-pat-ciang dapat kubunuh dalam pertarungan ini, lain waktu aku tak perlu meminjam lagi tenaga orang lain dan dapatlah kujadi Kanglam Bengcu. Waktu itu pengaruh Hui-liong piaukiok otomatis akan runtuh, apalagi sekarang adalah kesempatan yang paling baik bagiku untuk membunuhnya, orang persilatan tak akan menyalahkan diriku karena peristiwa ini, Jika aku tetap sangsi untuk mengambil keputusan, kesempatan baik ini sukar didapat lagi di kemudian hari!"

Tangannya mengepal semakin kencang matanya memancarkan cahaya makin tajam, tapi ingatan lain segera melintas dalam benaknya, "Tapi sampai sekarang sikap Liong-heng-pat-ciang tetap tenang sekalipun orang yang memiliki ilmu silat tinggi tentu juga akan keder berhadapan dengan lawan begini banyak serta jago panah yang siap di luar halaman. Wah, jangan-jangan seperti apa yang dikatakannya tadi, dia memang sudah menyiapkan bala bantuan di luar perkampunganku.

Kepalanya makin mengendor, sinar matanya ikut menjadi pudar pikirnya lebih jauh "Konon ilmu silat Liong-heng-pat-ciang lihaynya bukan kepalang, sekalipun dia bakal mampus di sini bila dia sudah berniat beradu jiwa denganku, rasanya sulit bagiku untuk melepaskan diri dari bencana.

Berpikir sampai di sini, semangat tempur makin kendur, dia lantas memutuskan untuk mengalihkan situasi tegang itu dengan kata-kata yang lain.

Tapi, sebelum dia berucap di pihak lain Jit giau-tui-hun Na Hui-hong telah mengalihkan pandangnya ke tengah arena, selain siap sedia menghadapi musuh ia pun memperhatikan situasi dihadapannya dan berpikir "Sepintas lalu posisi Sin jiu Cian Hui se-akan2 lebih tangguh tapi sesungguhnya posisi Liong-heng-pat-ciang juga tidak lemah, sebab itulah kedua pihak terus ngotot sampai sekarang. Cian Hui tak berani bergerak disebabkan kuatir bala bantuan tersembunyi dan Liong-heng pat-ciang, mungkin ia pun jeri terhadap kungfu musuh yang luar biasa dan kuatir dalam keadaan terdesak mengajak adu jiwa padanya. Tapi bagaimana dengan aku? segenap kekuatan inti ku tidak berada di sini, tujuan lawan juga bukan diriku setiap saat aku bisa kabur saja dari sini.

Berpikir demikian ia lantas tertawa dingin, pikirnya lebih lanjut "Kalau posisinya menguntungkan bagiku, kenapa tidak kumanfaatkan kesempatan ini untuk mengadu domba mereka hingga ke dua belah pihak sama-sama hancur berantakan. Siapa yang menang atau kalah bagiku hanya ada keuntungan dan tanpa ada kerugian apa yang meski kutunggu pula?"

Hawa napsu membunuh segera terpancar dari matanya, diam-diam dia sudah mengambil keputusan.

Dalam pada itu Liong-heng-pat-ciang Tham Beng tetap bersikap tenang, tangan yang satu digunakan merangkul puterinya, sedang tangan yang lain seakan-akan sudah siap dengan kekuatan penuh untuk melancarkan serangan.

Kakek yang perkasa itu pun sedang berpikir jika ditinjau situasi sekarang, Sin-jiu Cian Hmuipasti tak berani berbuat sesuatu padaku di tempat ini, dia licik dan bisa berpikir panjang, tak nanti dia mau jadi orang berdosa dunia persilatan. Salahku sendiri datang tanpa membawa bala bantuan, gertak sambalku mungkin bisa menciutkan hati Cian Hui, tapi bisakah menciutkan juga hati Jit giau-tui hun Na Hui-hong dan Kim-keh Siang It ti. Di dalam keadaan seperti ini mereka pasti ingin menarik keuntungan secara tidak langsung, mereka tentu berharap terjadinya suatu pertumpahan darah di antara kami berdua!"

Diam-diam ia melirik Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang serta Pat-kwa-ciang Liu Hui yang berada do sisinya, kemudian berpikir lagi: "Dua orang ini meski setia padaku, tapi kungfu mereka bukan jago kelas tinggi, apalagi dalam keadaan seperti ini tak banyak bantuan yang bisa kuharapkan dari mereka untuk lolos keluar dari sini rasanya tidak menjadi soal mengingat kungfuku tapi bagaimana dengan..."

Kembali ia tundukkan kepala memandang puteri kesayangannya, Tham Bun ki yang terlelap dalam pangkuannya.

Melihat mukanya yang pucat bersemu merah, Tham Beng menghela napas, pikirannya, "Ai bagaimana dengan anak ini ? seandainya bukan lantaran dia, tentu aku takkan datang ke Kang-lam, juga tak mungkin mengalami posisi yang tidak menguntungkan seperti sekarang ini!"

Tiba-tiba ia membatin pula "Rupanya Na Hui hong berniat mengadu domba, banjir darah segera akan terjadi Ah, aku punya akal! jika sampai pertempuran berkobar, serahkan saja anak Ki kepada tiga Tonghong hengte agar mereka mautak-mau harus turun tangan untuk melindunginya. Hmm. aku yakin tak seorangpun berani memusuhi orang Hui leng-po."

Demikianlah, tatkala Sin Jiu Cian Hui berusaha melunakkan suasana yang semakin tegang, Jit giau tui hun Na Hui Hong sebaliknya memanfaatkan kesempatan itu dengan baik.

Sambil tertawa dingin ia berseru "Saudara-saudara sekalian, apa yang kalian tunggu lagi? Mari kita hancurkan tua bangka yang keji ini untuk membalaskan dendam Cian toako kita."

Dengan licin ia melimpahkan lagi semua tanggung jawab terjadinya peristiwa ini ke pundak Cian Hui.

Sudah tentu Cian Hui terperanjat, seketika itu suasana menjadi kalut, suara bentakan, suara senjata yang dicabut, suara terbaliknya meja kursi dan pecahnya cawan mangkuk berdentingan...

Malah ada yang membentak: "Tutup pintu keluar, jangan beri kesempatan sasaran kita meloloskan diri."

Berbareng dengan suara bentakan tadi, Jit giau tui hun segera ayun telapak tangannya ke muka, tiga titik cahaya hitam secepat kilat langsung menyambar tubuh Pat kwa ciang Liu Hui.

Hampir bersamaan waktunya Kim-keh Siang It ti memutar tongkatnya dan menghantam kepala Koay be sin to Kiong Cing-yang.

Begitulah sifat kelicikan mereka, yang berat diberikan kepada orang lain, yang ringan dihadapi sendiri, pertarungan serupun segera berkobar.

Dengan demikian, tersisalah Liong heng pat ciang Tham Beng seorang yang khusus akan menghadapi Sin Jiu Cian Hui.

Liong heng pat ciang sendiri tidak berani bertindak gegabah, mendadak ia mendorong puteri kesayangannya ke tangan Tonghong Ceng seraya berseru: "Kuserahkan tanggung jawab atas puteriku ini kepada keponakan sekalian."

Sebelum mendapat jawaban, segera ia bergerak lebih lanjut dengan memukul rontok tiga batang anak panah yang tertuju kepadanya.

Selagi Tonghong Ceng melenggong, tahu-tahu nona cantik itu sudah berada di dalam pelukannya.

Tonghong Tiat berkerut kening, ujarnya: "Losam, baik-baik menjaga nona Tham, tampaknya kita tak dapat berpeluk tangan belaka menghadapi pertarungan ini."

Liong heng pat ciang sempat menangkap ucapan itu, seketika semangatnya berkobar, kedua tangan direntangkan sambil membentak: "Tham Beng ada disini, siapa yang ingin menantang aku? Cian Hui! Wahai Cian Hui kau dimana?"

Bentakan itu amat nyaring ibarat guntur membelah bumi di siang hari bolong, seketika itu ratusan orang yang berada dalam ruangan merasakan telinganya mendengung keras dan terasa sakit, tapi tak seorangpun diantara mereka itu berani turun tangan secara gegabah.

Menghadapi situasi seperti ini, Sin jiu Cian Hui hanya bisa menghela napas belaka, rasa bencinya terhadap Jit giau tui hun betul-betul merasuk tulang sumsum.

Rasa bencinya itu semakin menjadi ketika dilihatnya Na Hui hong tidak bertempur secara sungguhan, walaupun sedang bertarung melawan Pat kwa ciang Liu Hui, namun jurus serangannya amat kendur, dan tidak tampak menggunakan tenaga penuh, apalagi langkahnya makin lama semakin bergeser ke arah jendela, Cian Hui semakin memahami niat jahat orang.

Sambil mengetak gigi Cian Hui menyumpah: "Na Hui-hong, setelah mengadu domba kau ingin kabur?"

Sambil mencabut kipasnya dan membanting keras-keras ke lantai, ia membentak: "Saudara sekalian, pertarungan hari ini menyangkut mati hidup kita di wilayah Kanglam, barang siapa yang merasa dirinya anggota Liok-lim daerah Kanglam tidak diperkenankan angkat kaki lebioh dulu dari sini. Sobat-sobat sekalian cukup menjaga pintu dan jendela saja, dengan begitu sudah berarti membantu aku orang she Cian. Dengarkan rekan yang berada di luar halaman! Bilamana ada yang kabur dari ruangan ini, baik kawan maupun lawan, hujani anak panah tanpa ampun."

Kemudian sambil melepaskan jubah panjangnya, ia menerjang Liong heng pat ciang dengan ganas, ia telah mengambil keputusan, menang atau kalah pokoknya Jit giau tui hun tetap akan dilibatkan dalam pertarungan ini!"

Jit giau tui hun sendiri menjadi gugup setelah mendengar bentakan itu, sambil melepaskan pukulan gencar ia berpikir: "Ah, tampaknya Cian Hui akan memaksa aku untuk tetap tinggal di sini!"

Karena berpikir, serangannya jadi kendur.

Pat kwa ciang Liu Hui segera manfaatkan kesempatan itu, sambil membentak ia menerjang ke muka, secepat kilat melancarkan empat kali pukulan berantai.

Terkesiap Jit-giau tui hun, cepat dia mengegos dan mundur dua langkah, tapi terus menubruk maju pula.

Hanya beberapa kali gebrakan, Pat-Kwa-ciang sudah terdesak hingga hanya bisa menangkis dan tak mampu melancarkan serangan balasan.

Tapi justeru dalam keadaan itulah, Jit-giau tui-hun lantas mengendurkan pula serangannya. Meski keheranan Liu Hui tak berani manfaatkan kesempatan itu untuk melancarkan serangan balasan lagi.

Demikianlah, ketika Jit-giau tui-hun merasa kemenangan pasti akan berada di tangannya, lalu ia mengalihkan perhatiannya ke sana, di mana Liong heng-pat-ciang sedang bertarung sengit melawan si Tangan Sakti Cian Hui

Jika Cian Hui berhasil menangkan pertarungan ini, dia akan segera binasakan Pat-kwa-ciang, kalau sebaliknya, tentu saja dia harus pikir-pikir dulu untuk menyesuaikan keadaan.



Orang ini licik dan lihay, dia tak ingin menjadi musuh Liong-heng pat ciang yang disegani itu. Berbeda dengan Kim-keh Siang It-ti di sebelah sana, meski kaki pincang, permainan tongkatnya betul-betul luar biasa.

Dasar kungfu Koay-be-sin to tak terlalu tinggi, lagi sesudah lengan kanannya buntung dan sekarang bertarung tanpa senjata, beberapa gebrakan ia sudah terdesak, ia merasa tongkat si Ayam emas menyambar dari kiri kanan, depan dan belakang, mengurungnya dengan rapat.

Lewat beberapa jurus kemudian, jangankan menyerang, untuk menangkispun ia merasa kewalahan.

Dalam keadaan demikian. ia hanya berusaha bertahan dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya. Ia sadar bila tiada bantuan yang datang tepat waktunya, bencana maut pasti sukar dihindari lagi. Ketika itu air mukanya sudah berubah merah napasnya tersengal, peluh membasahi sekujur badannya dan gerak tangannya semakin lamban.

Meski jago yang hadir dalam ruangan itu banyak jumlahnya tapi orang yang betul betul terlibatn dalam pertarungan ini hanya enam orang saja. Meja kursi sudah tersingkir ke samping, bahkan ada yang terlempar keluar jendela. porak poranda keadaannya sementara kawanan jago ada yang berdiri dengan senjata terhunus, ada pula yang menutup jendela dan pintu dengan meja kursi setiap kali Sin-jiu Cian HUi atau Kim-keh siang It-ti ataupun Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong kelihatan terdesak, banyak di antara mereka bersiap sedia untuk memberi bantuan.

Kesembilan orang laki-laki berbaju perlente tadi, kesembilan bersaudara ekor ayam beserta ke sembilan laki-iaki berbaju hitam anak buah Cian Hui, masih berdiri berjajar di sudut ruangan.

Agaknya kedelapan belas orang itu tahu bahwa mereka telah menjadi barang taruhan dan tidak bebas lagi, ternyata tak seorang pun di antara mereka berniat ikut turun tangan.

Seandainya kedelapan belas orang itu ikut turun tangan juga percuma, karena kehadiran mereka tidak akan mempengaruhi situasi pertarungan, perhatian ratusan pasang mata kawanan jago tentu saja tercurahkan pada pertarungan antara Liong-heug pat-ciang Tham Beng melawan si Tangan sakti Cian Hui, sebab menang atau kalah di antara mereka selain mempengaruhi situasi hari itu, mempengaruhi juga keadaan dunia persilatan pada umumnya.

Pada hakikatnya, sebelum terjadi pertarungan melawan Tham Beng tadi, si Tangan Sakti Cian Hui sudah timbul rasa jeri kepada lawannya.

Sebagaimana diketahui Liong-heng-pat ciang termasyhur karena ilmu pukulan telapak tangannya sejak terjun ke dunia persilatan di masa mudanya sampai sekarang ia sudah mempunyai pengalaman selama tiga puluh tahun, bukan saja namanva harum, pengaruhnya luas, biarpun sangat jarang turun tangan sendiri, namun belum pernah ia menderita kalah satu kali pun.

Sin jui Cian Hui juga bukan anak kemarin sore, namanya sudah lama termashur dalam dunia persilatan, tapi kalau dibandingkan jago tua itu, maka dia masih terhitung seorang angkatan muda.

Namun tokoh kaum penyamun ini juga mempunyai pengalaman yang cukup luas, rasa takutnya dapat ia sembunyikan sebaik-baiknya, kewaspadaan dipertingkat, sekarang dia cuma mencari kesempatan dan tidak terlalu bernafsu merobohkan lawan.

Dengan alasan inilah, maka sejak pertarungan berkobar Cian Hui lantas memperketat pertahanannya. Terlihatlah angin pukulan menyelimuti sesosok tubuh berwarna merah dengan rapatnya sehingga setetes airpun sukar menembusnya.

Liong-hong-pat-ciang melayani musuh dengan kelincahan yang luar biasa entengnya, jangan dilihat tubuhnya tinggi besar, kelincahannya malah lebih gesit dan pada seorang anak kecil.

Hanya saja tenaga pukulan jago tua itu ternyata tidak lebih dahsyat dari apa yang dibayangkan Cian Hui, perubahan serangannya juga tidak setajam dan secepat apa yang diduganya semula.

Kalau hendak dinilai secara tepat, maka serangan telapak tangan tokoh ini tak lebih cuma lebih "lincah" belaka.

Kenyataan ini tentu saja di luar dugaan Cian Hui, demikian pula kawanan jago lainnya.

Meski indah gerakan tubuh kedua orang jago itu namun tak satu juruspun pernah terjadi benturan secara kekerasan benturan yang mendebarkan hati dan dinantikan oleh setiap jago yang hadir di situ.

"Huh, Liong-heng-pat-ciang yang tersohor masa tak becus dan bernama kosong belaka?

Berpikir demikian keberanian Sin-jiu Cian Hui semakin tebal, mendadak kedua telapak tangannya menyodok ke atas, telapak tangan kiri di depan dan telapak tangan kanan di belakang.

Kedua serangan mencapai tengah jalan cepat tangan kanan ditarik menerobos ke bawah lewat telapak tangan kiri, dengan kuat dia sodok jalan darah Siang-ci hiat di bawah iga kanan Tham Beng

Dalam serangan ini bukan saja tenaga serangannya sangat kuat, bahkan ketepatan waktu, ketepatan sasaran dan ketepatan perubahan betul-betul luar biasa, tak disangkal lagi Cian Hui telah menggunakan jurus maut Hong-peng-ciang, ilmu pukulan andalannya.

Pada dasarnya ilmu pukulan Cian Hui adalah ilmu silat aliran Kanglam yang mengutamakan kelincahan serta kegesitan, tapi lantaran tenaga dalamnya cukup sempurna, maka ilmu pukulan yang mengutamakan kegesitan itu dapat dimainkan dengan kuat pula.

Liong-heng-pat-ciang Tham Beng memutar tubuh dan bergeser ke samping, tampaknya ia selain menghindari benturan secara kekerasan.

Melihat itu, Cian Hui membentak keras, menubruk maju, telapak tangan kiri membacok ke depan, sementara telapak tangan kanan membacok secara melintang .. . . "Sret! Sret!" beruntun ia lepaskan serangan dengan jurus Yok-sui-siang-peng (sepasang daun mengapung di atas air), masing2 mengarah jalan darah Hun-sui dan Ciau-keng di tubuh Tham Beng.

Tham Beng memutar tubuh dan menyelinap ke samping kanan Cian Hui, jari tangannya setajam pedang balas menutuk jalan darah Sang-hai hiat di dada lawan.

Meskipun serangan ini dilancarkan secara tepat dan indah, tapi tetap bukan serangan adu muka secara terang-terangan.

Sin-jiu Cian Hui semakin geram, semangatnya berkobar, ia menyerang secara keras lawan keras dengan gerakan Tay-sui-pay-jiu (ilmu pegang dan banting) yang dahsyat.

Sekali lagi Liong-heng pat-ciang menarik diri dan kembali dia menyurut mundur.

Setelah tiga jurus berlalu. para jago mulai bersorak-sorai

"Cian-loji, ayo perketat seranganmu"" seorang berteriak dengan suara keras.

Orang itu adalah seorang bandit yang selalu bekerja seorang diri di wilayah Cuan-tiong, namanya Pa-san-hou (harimau bukit Pasan) Ui Tay-hu

Sejak permulaan tadi ia sudah merasa gatal tangan dan ingin turun tangan sendiri untuk menghajar Liong-heng-pat-ciang yang "bernama kosong" itu.



Tonghong ngo hengte berdiri di sisi gelanggang, tegang dan siap siaga, mereka saling pandang sekejap, rupanya mereka enggan menyaksikan pertarungan itu lagi se akan2 kecewa oleh ketidak becusan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, juga se-akan2 yakin Liong heng-pat-ciang pasti dapat menangkan pertarungan itu, maka tak perlu mereka perhatikan lagi.

"Kiong Cing-yang mungkin tak tahan lagi" Tonghong Kiam berbisik setelah memandang sekejap sekitar arena, "biar kugantikan dia!"

Tapi Tonghong Tiat segera menggeleng kepala sambil berbisik. "Kita tak boleh bertindak gegabah agar keadaan tidak semakin kalut. Coba lihat sudah jelas dalam beberapa gebrakan saja paman Tham dapat membereskan Sin Jiu Cian Hui, tapi nyatanya dia tidak menggunakan kungfu yang sebenarnya, dia takut bila Cian Hui dikalahkan, tentu lebih banyak orang yang akan maju. Ya, bila sampai Cian Hui kalah, pertarungan massal pasti akan terjadi. waktu itu tentu lebih banyak korban yang akan berjatuhan, paman Tham sendiri saja tak berani yakin dapat lolos dan sini, apalagi kita?"

"Masa kungfunya lebih lihay daripada kita?" tanya Tonghong Kiam sesudah merenung sebentar Tonghong Tiat mendengus, "Kungfu orang ini sukar diukur, setiap kali bertarung dia tak pernah menggunakan segenap kepandaiannya jangankan kita, ayah sendiripun tak dapat menilai berapa dalam kungfu nya yang sebenarnya"

Sementara mereka blcara, bahu kanan Koay-be sin to Kiong Cing-yang telah terhajar oleh tongkat Siang lt-ti.

Sambil mengaduh kesakitan orang she Kiong itu memberikan perlawanan yang gigih

Tonghong Kiam mengerutkan dahi seraya berseru "Kita harus bertindak, bila terlambat Kiong Cing-yang pasti akan mampus di ujung tongkat Siang lt-ti""

"Ai, tampaknya kita bersaudara memang harus turun tangan," kata Tonghong Tiat sambil menghela napas, " bagaimanapun kita tak boleh membiarkan Kiong Cing-yang mampus di tangan orang"

Semenjak tadi, Tonghong Kang dan Tonghong Ouw sudah habis kesabarannya, begitu mendengar perkataan Toakonya, semangat mereka segera berkobar.

"Jika mau turun tangan, kita jangan membuang waktu lagi." seru Tonghong Kiam dengan penuh semangat

Air muka Tonghong Tiat berubah serius tak lama ia memberi komando, "Serbu!"

Diiringi suara dentingan nyaring, cahaya senjata gemerdep menyilaukan mata, hawa pedang serasa menyayat badan, serentak Tonghong Tiat, Tonghong Kiam, Tonghong Kang dan Tonghong Ouw melolos senjata masing-masing.

Tindakan ini segera di sambut dengan kehebohan di pihak lain, belasan laki-laki kekar yang semula berdiri di atas meja dan kursi serentak melompat mundur bersiap siaga.

Dari sudut kiri melompat maju pula belasan laki-laki dengan senjata lengkap, disusul munculnya belasan cahaya mengkilat di sudut kanan.

Pi-san hou Ui Tay-hu sendiri juga melolos kapak besar dari pinggang dengan mata melotot.

Liong-heng pat-ciang Tham Beng melihat gawatnya situasi segera ia berpekik nyaring dan bertindak cepat, kedua telapak tangannya direntangkan dan melepaskan serangan maut.

Di Waktu itu Cian Hui sedang menyerang dengan liong ciong jiu (pukulan berantai), ketika dilihatnya songsongan telapak tangan Tham Beng membawa angin serangan yang kuat, ia jadi kaget:

"Celaka!: teriaknya di dalam hati, sekarang ia baru menyadari akan kelihayan Tham Beng, jelas selama ini jago tua itu hanya berpura-pura belaka, namun sudah terlambat, suatu benturan keras tak bisa dihindarkan lagi.

"Plak!" Cian Hui merasa sekujur badan bergetar keras, ia tak mampu berdiri tegak lagi dan terpental sejauh lima depa dari posisi semula.

Walaupun tubuhnya berhasil ditegakkan kembali, darah kental tak urung meleleh di bibirnya dalam keadaan begini seandainya Tham Beng menambahi dengan suatu pukulan lagi niscaya dia tak mampu menangkis.

Di pihak lam, Kim-keh Siang It-ti telah memutar tongkat dan siap membinasakan Koay-be sin-to Kio:ig Cing yang.

Cepat Tonghong-hengte menerjang maju untuk memberi bantuan, tapi kawanan jago yang lain menyongsong kedatangan mereka suasana jadi gawat.

Di tengah ketegangan inilah tiba-tiba terdengar suara derap kuda yang ramai berkumandang dari luar disusul seorang berteriak nyaring "Congpiautau, kami telah siap semua di sini, apakah engkau mengalami apa-apa"? Bagaimana apakah kami perlu masuk ke situ?"


Suara itu sangat keras, sepatah demi sepatah dapat terdengar dengan jelas ini membuat para jago dalam ruangan jadi terperanjat.

Diam-diam Sin jiu Cian Hui mengeluh "Wah, ternyata dugaanku tidak meleset!" Tham Beng memang sudah mempersiapkan diri, Tonghong-hengte juga berpikir "Tak tersangka paman Tham bisa bertindak secermat ini, rupanya sudah mempersiapkan diri sebelum datang ke mari, kalau begitu percumalah bantuan kami berempat."

"Siapakah yang datang?" demikian Liong-heng pat ciang sendiri juga sedang berpikir keheranan, kedatanganku kemari sama sekali tidak diketahui orang2 dari cabang kantor di daerah Kanglam, lagi logat orang itu terasa asing bagiku, siapakah dia?"

Dengan sendirinya rasa herannya tak sampai diperlihatkannya seketika itu semua orang sama merandek, tidak ada yang berani turun tangan lagi secara gegabah, sementara itu suara derap kuda di luar masih terdengar, entah berapa orang dan berapa banyak kuda yang datang!"

Yang pasti di antara derap kaki kuda yang ramai terdengar suara bentakan nyaring yang bertenaga, jelas kawanan yang dikirim pihak "Hui-liong-piaukiok" ini rata-rata berkepandaian tinggi.

Setajam sembilu sinar mata Liong-heng-pat-ciang menyapu sekeliling tempat itu, ternyata tak seorang di antara para jago itu berani beradu pandang dengan dia, mereka semua menundukkan kepalanya rendah-rendah.

Kim-keh Siang it-ti dan Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong yang sebetulnya ingin menggagap ikan di air keruh juga tak berani berkutik atau berbicara bahkan setelah mendengar suara bentakan tadi mereka sama kuatir tak bisa mengundurkan diri dari situ dengan selamat.

Sin jiu Cian Hui sendiri masih berdiri tegak namun air mukanya hijau kelam noda darah masih membekas di ujung bibirnya, dibawah cahaya lampu tertampaklah perkasanya tokoh yang terdesak ini.

Padahal barisan panah sudah siap di luar halaman, senjata juga sudah dilolos dari sarungnya namun setelah mendengar derap kaki kuda yang ramai di luar itu, tak seorangpun berani berkutik malah mereka yang berdiri dekat jendela diam-diam menggeser ke ruang tengah, tak seorangpun di antara mereka berani melongok keluar.

"Tham-congpiautau!" suara di luar kembali berteriak, "Perlukah kami menyerbu ke dalam?" Tiba-tiba Liong-heng-pat-ciang terkejut sekarang ia dapat mendengar kejanggalan suara teriakan tersebut.



Dia tahu dengan jelas, semua Piautau yang bekerja di perusahaan Hui-hong-piaukiok baik di kantor pusat atau kantor cabang, tak seorangpun yang menyebut dia dengan "Tham-congpiautau" itu berarti orang yang berada di luar itu harus disangsikan.

Sekalipun menemukan kejanggalan tokoh sakti dari dunia persilatan ini masih bersikap dingin di mana sorot matanya memandangi kawanan itu sama menunduk dengan takut.

Satu ingatan cepat melintas dalam benaknya, hahaha ia tertawa dingin, lalu berseru, "Selama hidup aku tak pernah membunuh musuhku sampai ke-akar2nya, biarlah hari ini kuampuni jiwa kalian semua"

Lalu sambil berpaling, serunya lagi "Tonghong-siheng, Ciong-yang, kita mundur"

Tonghong ngo-hengte saling pandang sekejap diam-diam mereka mengagumi kebijaksanaan Liong-heng-pat ciang ini, tanpa banyak bicara serentak mereka beranjak dari situ.

Ketika Liong-heng-pat-ciang melangkah keluar ruangan, para jago sama menyingkir ke samping dan memberi jalan, mereka menunduk lesu, tak seorangpun berani angkat kepala bertatap pandang dengan dia.

Menyaksikan semua itu. Sin-jiu Cian Hui menghela napas panjang, sepucat mayat wajahnya, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia berpaling ke belakangm ditatapnya sepasang "lian" di atas dinding itu dengan termangu.

Lama sekali, matanya berkaca-kaca dan akhirnya titik air mata jatuh membasahi pipinya, air mata itu berbaur dengan noda darah di bibir dan membasahi jenggotnya.

Sekokoh batu karang dan tegap langkah Liong heng-pat-ciang ketika melewati halaman luar, tiba-tiba ia berseru "Tonghong-si-heng, lewat sini!"

Segesit burung walet dia melambung ke atas dinding pekarangan lalu melayang kekuar, Tonghong-hengte tertegun, namun cepat juga mereka menyusul dari belakang.

Di antara gulungan debu yang beterbangan di udara, kuda berlarian ke sana kemari.

Hanya saja, semua pelana kuda itu kosong tak berpenunggang, di kejauhan tiga sosok bayangan abu-abu sedang menggerakkan kuda-kuda itu sekilas pandang dapat diketahui mereka adalah tiga bersaudara Mo dari Pak-to-jit-sat.

Mereka tidak ayal lagi masing-masing melompat ke atas kuda dan melarikan kudanya sekencang-kencangnya meninggalkan tempat tersebut.

-o0o- ooo -oOo-

Begitulah, meskipun dalam pertemuan Toan-yang di perkampungan Long bong-san-ceng tidak menghasilkan keputusan apa-apa, pertarungan yang mendebarkan hatipun tidak menghasilkan keputusan siapa menang dan siapa kalah, tapi pertarungan itu telah menggetarkan dunia persilatan dan juga sangat besar mempengaruhi dunia persilatan.

Sejak tokoh misterius berkedok di masa lampau meruntuhkan beberapa Piaukiok dengan tokoh pimpinannya di utara dan selatan sungai besar, dunia persilatan yang tenang kembali bergolak oleh terjadinya peristiwa itu, dan pergolakan itu ternyata mempunyai hubungan yang sangat erat dengan seorang pemuda yang lemah dan amat sederhana.

Demikian rendahnya mutu ilmu silat pemuda itu bahkan boleh dibilang sama sekali tak berkepandaian silat. Akan tetapi tersiar di dunia Kangouw sebagai seorang tokoh maha sakti dan berilmu tinggi yang sukar diukur.

Pemuda itu berasal dan keluarga yang biasa dengan kehidupan yang penuh penderitaan tapi dalam dunia persilatan tersiar kabar bahwa dia adalah keturunan dan keluarga ternama, atau murid dari seorang tokoh maha sakti yang hidup mengasingkan diri di luar samudera.

Pemuda yang berhati mulia, bijaksana dan jujur itu ternyata dikabarkan sebagai seorang pemuda yang licin dan berotak tajam, sebab dengan usianya yang masih begitu muda ternyata ia sanggup menjadi Kanglam-lok-lim-bengcu.

Pemuda yang menghebohkan itu bernama Hui Giok. Tapi orang persilatan tak pernah menyebut namanya secara langsung, mereka menghormatinya dengan sebutan Hui Taysianseng, tuan besar Hui.

Begitulah, Hui Giok yang masih muda belia dan sederhana dilukiskan sebagai tokoh yang misterius oleh orang2 di dunia persilatan ini/

-oo0oo- -oo0oo-

Seusai pertempuran di Long bong san-seng Tonghong-hengte segera pulang ke benteng Hui-lengpo.

Keesokan harinya setelah mereka tiba di rumah, muncul delapan belas orang laki-laki kekar yang membawa harta kekayaan bernilai sepuluh laksa lebih dan mohon bertemu dengan Siau-pocu (tuan muda) dari Hui-in-po.

Rupanya setelah pertarungan sengit itu pihak Long-bong san-ceng, Kim keh pang dan Jit-giau tui-hun masih belum melupakan taruhan mereka yang luar biasa itu.

Bagaimana dengan Liong-heng pat-ciang Tham Beng?

Sejak pertarungan berakhir, ia segera pulang ke Tionggoan, untuk sementara waktu ia tidak melakukan gerakan apa pun.

Tapi semua orang tahu, tokoh persilatan yang luar biasa ini tak nanti akan melepaskan Sin jiu Cian Hui dengan begitu saja, pertarungan sengit yang kedua kalinya cepat atau lambat pasti akan berlangsung lagi, dan di dalam pertarungan tersebut baik mungkin akan berakhir seperti pertama kalinya, sebelum menang atau kalah diketahui.

Selain daripada itu, dalam pertarungan tersebut nanti kecuali akan melibatkan orang-orang Hui-liong-piaukiok dan Long-bong-san-ceng, kawanan jago dari kedua belah tepi sungai besarpun akan terlibat karenanya setiap umat persilatan sama menunggu tibanya saat pertarungan itu dengan hati berdebar.

Tentang keberhasilan Liong-heng pat-ciang mengundurkan diri dari perkampungan Long-bong-sanceng pun dalam dunia persilatan tersiar beberapa macam isyu, tapi apa gerangan yang sebenarnya terjadi, sampai saat terakhir belum juga terungkap maka nama besar Liong-heng-pat-ciang semakin tersohor. makin disegani dan makin cemerlang.

Kejadian semacam itu cukup menggembirakan, cukup menggemparkan tapi perhatian orang persilatan tidak terletak pada peristiwa itu.

Perhatian dan kegembiraan mereka terletak pada...

-0- -0 - -0-

Bulan sembilan telah tiba namun hawa masih terasa panas.

Angin musim rontok mulai berhembus, langit cerah dan bersih dan gumpalan awan.

Jalan besar antara kota Ki-bun sampai bukit Hong-san yang pada hari2 biasa sangat jarang dilalui orang, tiba-tiba saja berubah menjadi ramai banyak orang yang bermunculan di situ.

Yang lebih mengherankan lagi sebagian besar pejalan kaki itu adalah kawanan jago silat yang bersenjata lengkap, tentu saja ada pula yang membawa kuda, tapi yang mengherankan ternyata kawanan jago itu muncul secara berkelompok.

Jangan-jangan di puncak Hong-san telah terjadi suatu peristiwa besar yang menggetarkan dunia? Tapi kalau dilihat dan sikap mereka yang berlari seenaknya hal ini tak mungkin terjadi. Sepanjang perjalanan mereka bergurau dan saling menyapa, perjalanan dilakukan sangat lambat. seakan-sekelompok manusia iseng yang bersama-sama mencari hiburan sehabis bersantap, yang lebih aneh lagi ada sekelompok penjual makanan dan- pedagang kecil yang ikut bergabung jadi sekelompok, ada yang jual makanan dan minuman, ada pula yang jualan baju sepatu dan alat kebutuhan lainnya, dagangan mereka berjalan lancar ini menunjukkan bahwa kelompok yang sangat aneh ini sudah lama bergabung, bahkan telah melakukan perjalanan yang cukup jauh sebelum sampai situ.



Mereka berjalan amat lambai sebentar2 berhenti lalu berjalan lagi, ada kalanya muncul pula sekelompok manusia dari belakang dan bertanya kepana rombongan yang berada di depan dengan penuh ketegangan.

"Bagaimana? Sudah ada kabarnya?" demikian mereka saling bertanya, "Kabar? Kabar apa yang dimaksud? Kabar penting apakah yang menarik perhatian khusus dari kawanan jago persilatan itu? Berita apakah yang membuat kawanan jago itu tak segan-segan jauh-jauh dari Tionggoan datang kemari untuk bergabung dengan rombongan itu?

Kurang-lebih beberapa tombak di depan rombongan itu terdapat pula sekelompok jago persilatan, hanya jumlah mereka tidak banyak, total jendral cuma enam orang, meski begitu sikap mereka jauh lebih tegang dan serius daripada rombongan yang di belakang, dan lagi mereka selalu menjaga selisih jarak tertentu dengan mereka.

Sama juga dengan rombongan yang berada di belakang, mereka selalu bertanya dengan lirih "Sudah ada kabar??"

Di antara mereka segera ada yang memburu ke depan dan menengok beberapa kejap bila mendapat pertanyaan itu, hanya mereka tak berani berjalan terlalu dekat karena dari depan mereka seringkali menggelegar bentakan bentakan yang dingin dan menyeramkan: "Enyah jauh-jauh dari situ?"

Jika bentakan itu terdengar, mereka lalu cepat2 berlalu dan menggeleng kepala dengan lesu gelengan itu berarti, "Belum ada kabamya!"

Kabar? Lagi-lagi kabar? sebenarnya kabar apa yang sedang mereka nantikan?

Di antara sekian orang, hanya seorang laki-laki yang paling menarik perhatian laki-laki itu bertubuh kekar tegap, bercambang, berotot, memakai baju merah dan ikat kepala warna merah pula.

Ia berjalan sambil menuntun seekor kuda bagus berwarna merah juga meski lambat sekali langkahnya, namun air mukanya tampak gelisah, bahkan seringkali menyumpahi "Sialan" sialan benar! Bukan orang lain yang ditunjuk, justeru aku yang ditugaskan melakukan pekerjaan berat ini"

Pada hal dia sendirilah yang minta ditugaskan untuk pekerjaan berat ini.

Kalau jengkel kadang-kadang dia terus kabur ke bagian belakang sana untuk minum arak dan makan enak.

Dalam keadaan demikian, pasti banyak orang yang berebutan membayarkan rekeningnya, tujuan mereka hanya ingin bertanya: "Pau-lotoa. bagaimana? Sudah ada kabar?"

Kalau pertanyaan itu sudah dilontarkan, dengan jengkel laki-laki baju merah itu akan membanting mangkuk araknya di meja sambil mencaci maki "Kabar apa? Hm, kentut pun tak ada, mungkin kita harus menunggu tiga-lima tahun, lihat saja . . sialan, sepatupun aku sudah ganti dua pasang."

"Ya, betul!" orang laki menanggapi sambil tertawa. "kalau sepatu Pau-lotoa berlubang, memang sukar mencarikan gantinya"

Seorang pedagang kecil yang berada di sisinya dengan cepat berteriak "jangan kuatir, telah kusiapkan beberapa pasang sepatu merah yang besar tanggung cocok ukurannya!"

Gelak tertawapun terdengar laki-laki baju merah memaki sambil tertawa "Sialan, pintar juga caramu mencari duit!" - Dan ia pun berlalu dari situ, sekalipun sikapnya angkuh dan rada latah, namun terhadap seorang berjubah panjang di antar keenam orang itu, sikapnya ternyata menghormat. Sering pula dia melirik seorang laki-laki kurus kecil dengan rada takut-takut, jika orang itu berpaling kearahnya sambil tertawa. maka cepat-cepat dia melengos ke arah lain.

Dalam dunia persilatan laki-laki baju merah itu mempunyai nama yang cukup tersohor dia adalah orang kedua dari Kim keh-pang, orang menyebutnya sebagai Keh-koan (si jengger ayam) Pau Siau thian.

Lelaki berjubah panjang ini adalah satu-satunya orang yang mengenakan jubah panjang dan tindak tanduknya ramah-tamah, tapi orang lainpun bersikap menghormat kepadanya.

Orang ini bertubuh kurus, sedikit berjenggot usianya sekitar empat puluhan, sekilas pandang dandanannya mirip Siucay yang tidak lulus, mirip juga seorang saudagar kaya, sekalipun melakukan perjalanan di bawah terik matahari, ia tidak nampak lelah.

Kadang-kadang ia bersenandung juga beberapa lagu, mungkin lirik lagu itu ia karang sepanjang perjalanan menuju Hong-sea. Kendati demikian ia jarang bercakap dengan orang di sekitar, dibalik keramah-tamahannya terselip juga sikapnya yang angkuh, hal ini disebabkan karena asal usulnya memang tidak boleh diremehkan.

Orang ini adalah pengurus rumah tangga Hui leng-po yang tersohor di Kanglam di Hui-leng-po orang menyebutnya sebagai "Koan Ji," sedang orang lain menghormatinya, dengan sebutan "Koan jiya " tidak kecuali laki-laki kurus kering di sisinya, Karena wajahnya selalu berseri dihiasi senyuman.

Lain halnya dengan laki-laki kurus kering itu, sikapnya terhadap orang lain selalu sinis, seolah tak sudi bergaul dengan orang lain, sendirian menunggang keledai hitamnya, tapi tak berani juga terlampau cepat ke depan, sebenarnya si laki laki baju merah atau si Jengger Ayam Pau Siau-thian hendak mencarikan kesulitan baginya siapa tahu orang cukup cerdik, ia dapat menghadapi keadaan dengan cekatan, maka akibatnya Pau Siau-thian sendiri yang telan pil pahit malah.

Tampaknya ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi juga keledai hitam tunggangannya itupun kurus dan kecil.

Jelek-jelek begitu dia mempunyai nama yang cukup termashur, dia adalah piauthau kenamaan dari Hui-liong piaukiok, orang menyebutnya sebagai Hek-lu-tui-hong (keledai hitam pengejar angin) Cia Pin. Pada hakikatnya tak ada orang yang memerintahkan dia mengikuti rombongan enam orang itu, ia berbuat demikian karena sukarela, sebab dia tertarik dan menaruh perhatian khusus terhadap berita itu.

Wajah yang cukup dikenal lainnya adalah seorang tokoh penting dan Long-bong-san-ceng dia bernama Tiat-suipoa (suipoa baja) Yu Peng.

Orang itu diikuti oleh seorang pemuda tampan yang berusia enam-tujuh belas tahunan, pemuda itu malas bekerja, Yu Peng menyebutnya sebagai "Mia-su". si kutu buku, pemuda tersebut taklain adalah kacung si Sin jiu Cian Hui.

Masih ada seorang lagi bertubuh gemuk seperti babi, badannya selalu basah kuyup oleh peluh, napasnya tersengal dan seringkali merogoh saku mengambil sekeping dendeng dan dijejalkan ke dalam mulut. Orang ini kocak potongan badannya, selalu tertawa bila bertemu orang, apapun yang ditanyakan kepadanya ia selalu menjawab tak tahu.

Sebaliknya jika dia yang bertanya, senyumnya akan membuat orang mau-tak-mau menjawab dengan sejujurnya.

Karena gemuk dan tindak tanduknya yang dogol semua orang jadi keheranan kenapa Jit-giau-tui hun Na Hui-hong yang cermat itu bisa mengutus orang tolol untuk melaksanakan tugas ini.

Ia menyebut dirinya sebagai "Ong Tek ko, sebaliknya orang lain menyebutnya sebagai Ong gendut.



Di mana orang-orang itu tiba, sekalipun dusun yang paling miskin juga secara tiba-tiba akan menjadi ramai dan makmur, hanya saja gerak-gerik mereka sama sekali tidak leluasa sebab di belakang itu mengikut rombongan lain ke mana pun keenam orang itu pergi, sebaliknya ke enam orang yang di depan pun mengikuti rombongan lain yang berada di paling depan.

Kurang-lebih belasan tombak di depan rombongan keenam orang itu terdapat pula rombongan lain, mereka tak lain-tak-bukan adalah Leng-kok siang-bok dan Hui Giok.

Sepanjang perjalanan Leng-kok-siang bok jalan amat lambat, di mana ada pemandangan alam yang indah, mereka berhenti untuk menikmatinya waktu mereka meninggalkan lembah sana memang bertujuan pesiar dan menikmati pemandangan alam.

Ada kalanya, kedua orang itupun berbisik membicarakan sesuatu, hanya orang lain tak tahu yang mereka bicarakan.

Bagaimana, dengan Hui Giok? sebagian besar waktunya dihabiskan untuk merenung dan merenung terus, kadangkala ia mengeluarkan sejilid kitab-kitab itu sudah dibacanya sejenak senyuman di atas tersungging di ujung bibirnya, dan kitab itu disimpan kembali ke dalam saku.

Di pandang dari sikap mereka yang beqitu rileks, mereka seperti tidak sadar bahwa mereka bertiga telah menjadi berita yang menggetarkan dunia persilatan, mereka seolah-olah tak tahu bahwa di mana pun mereka tiba, dusun sepi akan berubah jadi ramai, puing yang berserakan akan berubah jadi dusun.

Selama empat bulan terakhir, pikiran pemuda seakan-akan hanyut ke dunia lain, ia tak pernah menaruh perhatian terhadap kejadian di sekelilingnya, tak mendengarkan pembicaraan disekitar. ia hanya tahu belajar, belajar dan belajar, bahkan ia pun tak menyadari bahwa kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar itu benar-benar mengerikan.

Setiap kali beristirahat di rumah penginapan Leng-kok-siang bok tentu mengajarkan beberapa macam kunci ilmu silat kepadanya, bila melanjutkan perjalanan pemuda itu disuruh membaca kitab.

Boleh dibilang mereka tak memberi peluang kepadanya, sebaliknya pemuda itupun tak memikir bahwa dirinya membutuhkan waktu untuk beristirahat, sebab bila pikirannya mulai melayang-layang, bayangan tubuh Tham Bun-ki segera akan mengisi kekosongan tersebut.

Ada kalanya, bila tengah malam tak bisa tidur, pemuda itu lantas memandang bintang yang bertaburan di langit sambil bertanya pada diri sendiru, haruskah aku menang? Ataukah harus kalah?" seandainya dia menang, Sin-jiu Cian Hui akan menggunakan segala kemampuannya untuk mendapatkan sepasang biji mata Tham Bun-ki yang dipertaruhkan itu, kadangkala timbul niatnya untuk mengorbankan diri, sebab kendatipun gadis itu telah melukai hatinya, akan tetapi ia tak rela menyaksikan orang lain mencelakainya.

Walau begitu, ia tak dapat mengendalikan perasaan ingin tahunya yang sangat, sampai kini meskipun baru pengetahuan dasar ilmu silat yang diajarkan Leng-kok-siang-bok kepadanya, namun semua itu belum pernah dikenalnya dahulu.

Dengan gembira seperti anak kecil yang di beri baju baru dia menerima semuanya itu, makin lama sikap dan air mukanya mengalami banyak perubahan. cuma perubahan itu belum begitu kentara.

Ia sendiripun agak terkejut atas perubahan dirinya, dia belum tahu bahwa hal yang paling luar biasa di dunia ini adalah "pengetahuan"

Meskipun tidak berbentuk nyata, tapi pengetahuan bukan saja dapat mengubah jalan pikiran seseorang, dapat pula mengubah sikap serta wajahnya.

Sampai detik itu, Leng-kok-siang-bok masih belum tercengang oleh kemampuan Hui Giok yang dapat menyerap pelajaran yang diberikannya, kebanyakan orang memang amat cepat menerima dasar-dasar pelajaran.

Terhadap rombongan "ekor" yang selama ini membuntuti mereka, mereka pun tidak terlalu merasa muak atau sebal, sebaliknya mereka merasa gembira di samping rasa ingin tahu, bahkan secara diam-diam mereka pun mengamati gerak-gerik orang-orang itu.

Kadangkala Leng Han-tiok sengaja bertanya kenapa tidak kita hindari saja kuntitan makhluk-makhluk yang menjemukan itu?.

Sambil tertawa dingin Leng Ko-bok akan menjawab "Mereka tidak menghindari kita, masa kita harus menghindari mereka?"

Maka lambat laun Hui Giok mulai dapat mengenali watak yang sebenarnya dan kedua kakek itu.

Dia tahu, di balik wajah yang dingin kaku dari kakek itu sebetulnya tersembunyi perasaan yang hangat.

Begitulah, dengan langkah seenaknya akhirnya sampailah mereka di bukit Hong-san yang tersohor keindahan alamnya Leng-kok-siang bok berdua akan mencari suatu tempat yang sepi untuk mengajarkan serangkaian ilmu silat yang sulit Hui Giok.

-OO00O- 0000O-

Si Jengger Ayam Pau Siau-thian berdiri di atas punggung kuda sambil meneropong ke depan, ia merasa gembira dan bangga sebab di kejauhan terdengar ada orang berkeplok memuji "Tak nyana Pau-lotoa mahir benar menunggang kuda!"

Hek-lu-tui-hong (si keledai hitam pengejar angin) Cia Pin menjengek dan menimpali "Ya. memang hebat! Bandit kuda dari perbatasan tak lebih juga cuma begitu saja."

Diam2 Pau Siau-thian menyumpah di dalam hati, masa dirinya disamakan dengan kaum bandit. Tiba2 dilihatnya Leng-kok-siang-hok dan Hui Giok sudah mulai mendaki gunung, maka ia pun berteriak "mereka sudah naik gunung!"

Dengan gaya Yau-cu-hoan-sin (burung belibis berjungkir balik) ia melompat turun dan kudanya jangan kira badannya tinggi besar dan kaku, ternyata ilmu meringankan tubuhnya tidak jelek.

Koan-jiya menghela napas panjang, setelah melirik sekejap ke arah rombongan di belakangnya pelahan ia berkata, setelah begini, pegunungan yang indah ini pasti akan rusak."

Ia tak berani membayangkan bagaimana jadinya bila orang sebanyak itu sekaligus mendaki bukit kenamaan itu, tentu akan merusak keindahan alam di sana.

Tiat-suipoa Yu Peng tersenyum. "Kalau begitu kita tak usah naik gunung bersama-sama". katanya "asalkan ada dua-tiga orang yang ikut naik ke sana kan sudah cukup, sedang lainnya menunggu di kaki bukit kau sama saja"

"Ya, betul! Memang harus begitu" teriak Koan jiya kegirangan, pendapat Yu-heng memang tepat tapi siapakah yang ditugaskan ikut naik ke atas gunung?"

"Kalau aku sih lebih suka minum arak di bawah bukit, hidupku akan terasa lebih tenteram " seru "si Jengger Ayam Pau Siau thian dengan cepat.

"Di antara kita hanya Pau heng dan Cia-heng yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling sempurna," Tiat-suipoa Yu Peng berseru sambil tersenyum "Kukira kalian berdualah yang pantas menrima tugas ini?"



Cahaya kebanggaan sempat memancar dari balik mata Keh-koan Pau Siau-thian namun di mulut dia pura2 menghela napas panjang seraya berkata dengan lagak seperti apa boleh buat, "Walau begitu. terpaksa aku harus melanjutkan perjalanan lagi."

"Aku tidak ikut." tiba2 Cia Pin yang bertengger atas keledai hitamnya menukas dengan ketus Tiat-suipoa tertegun mendengar perkataan itu, tapi dengan cepat ia berkata pula, "kalau begini, biar aku saja yang membuntuti mereka !"

"Kalian tak usah pergi semua!" seru Cia Pin lagi "setelah mendaki Hong san, memangnya mereka tak akan turun lagi?"

Pau Siau-thian sengaja menengadah dan terbahak2. "Hahaha... betul memang betul mereka tentu akan turun lagi."

Tertawanya berhenti setengah jalan. kemudian tambahnya dengan dingin: "Tapi hehehe apakah mereka suka kita ikuti dari belakang? Tidak mungkinkah secara diam2 mereka akan kabur"

Menirukan lagak si Jengger Ayam, Hek lu tui liong ikut menengadah dan terbahak "Hahaha betul, mereka bisa kabur secara diam-diam"

Sesudah berhenti sebentar, lalu sambungnya dengan nada dingin: "Jika mereka tidak menghendaki jejaknya kita ikuti, sejak mula sudah banyak kesempatan baik bagi mereka untuk kabur siapakah yang mampu menyusul kecepatan gerak Leng-kok-siang-bok? Jika dulu mereka tak kabur-kabur, mungkin kah sekarang mereka akan kabur?"

Dengan perawakannya yang kurus kecil, ketika menirukan gaya serta gerak gerik Pau Siau thiau maka tampaklah gayanya yang kocak dan lucu, bukan saja semua orang dibuat bergelak bahkan Koan-jiya yang alim pun ikut tertawa geli.

Tak terkirakan gusar Pau Siau-thian, matanya merah se-akan2 menyemburkan api.

Hek-lu-tui-hong tidak perduli kemarahan orang sambil menuntun keledai hitamnya pelahan ia menghampiri sebuah pohon yang rindang dan duduk di situ lalu memesan sayur dan arak untuk bersantap.

"Koan-jiya" serunya kemudian sambil tertawa "mari kita bergembira dengan bebas."

Sambil membelai bulu suri keledainya, ia bergumam lagi sambil tertawa" "Nak, ada sementara orang ternyata lebih goblok daripadamu tahukah kau manusia manakah itu? Coba lihatlah, hawa begini panas, tapi mereka ngotot hendak naik gunung. Haha lihatlah kita, bukankah lebih nyaman duduk di sini?"

Tampaknya keladai hitam itu dapat memahami perkataan manusia, ia meringkik pelahan sambil anggukkan kepalanya, tentu saja mereka yang menyaksikan adegan ini tak dapat mengendalikan rasa gelinya.

Hanya Keh koan Pau Siau-than seorang yang tidak tertawa, mukanya berubah jadi pucat kehijauan, matanya yang merah hampir saja melotot keluar.

Untuk menyatakan bahwa ia tidak lebih bodoh daripada keledai, segera teriaknya dengan nyaring. "Hm, siapa yang bilang aku mau naik ke atas? Sejak tadi aku memang ingin duduk di sini!"

Dengan langkah lebar dia menghampiri penjual makanan. setelah membeli daging dan arak ia pun bersantap dengan lahapnya.

Sementara itu Tiat-suipou Yu Peng juga sedang berpikir. "Tampaknya apa yang dikatakan Cia Pin memang betul juga."

Orang ini cukup cerdik, banyak akal dan pandai melihat gelagat, justeru karena kelebihan tersebut jenazah Koay-sin Hoa Giok yang sudah tertanam berhasil ditemukan oleh dia.

Karena kelebihannya itulah maka Sin-jiu Cian Hui mengutusnya untuk mencari berita, bila orang lain, mungkin sejak dulu ia sudah bentrok dengan Cia Pin yang sombong dari Hui-liong piauwkiok.

Begitulah, setelah berpikir dia sendiripun ikut duduk di bawah pohon untuk beristirahat. Sementara Ong gendut dengan senyum manis selalu menghiasi wajahnya juga sudah duduk di bawah pohon untuk makan minum.

Maka di kaki bukit Hong-san lantas berubah menjadi suatu dusun yang ramai, meski dusun yang bersifat sementara.

Ketika malam hampir tiba, di sekitar tempat itu bermunculan lagi penjual lentera, penjual makanan dan penjual arak, mereka berdatangan dari sekitar kota Ci-bun, kawanan jago silat itu duduk berkelompok mengitari lampu lentera sambil berpesta pora, ketika angin malam berembus, terasalah hawa yang sejuk.

Tapi sehari sudah lewat tanpa kabar, menyusul kemudian hari kedua dan hari ketiga Leng kok-siang-bok maupun Hui Giok belum juga muncul di kaki bukit.

oOo oOOo oOo

Di atas Hong-san ada awan, ada pohon siong batu karang serta sumber mata air Lautan awan di Hong-san begitu indah dan sedap dipandang.

Lautan pohong siong membentang luas, batu padas berwarna warni, entah berapa banyak penyair dan pelukis yang terpesona oleh keindahan di puncak gunung tersebut.

Tidak banyak sumber mata air di Hong san, tapi setiap sumber mata air yang ada tentu melukiskan suatu pemandangan yang menawan apalagi telaga Kiu-hong tham yang indah laksana seekor naga, betul-betul membikin orang terpesona.

Hong-san adalah "gadis paling cantik" bagi penyair dan pelukis, dan kini "gadis cantik" itu mempesonakan pula Leng kok siang bok dan Hui Giok.

Sang surya mulai terbenam, senja menjelang tiba pemandangan alam pegunungan Hong san tampak lebih cantik dan menawan hati.

Hui Giok baru pertama kali ini mendaki gunung kenamaan mi, ia betul-betul kegirangan gembira seperti menemukan dunia baru.

Sepanjang perjalanan mendaki gunung, pemuda itu selalu mengagumi akan betapa luasnya jagat raya ini, betapa besarnya kekuasaan Thian serta betapa kecilnya diri sendiri.

Diam-diam ia menyesali dirinya yang tidak memiliki bakat sebagai penyair, sebagai seorang seniman, sehingga perasaan yang terpendam di dalam hati tak dapat tertumpah keluar.

Leng-kok sian,g-bok yang berwajah kaku dan selalu bersikap dingin kini pun lebih sering memperlihatkan perasaannya yang hangat.

Berdin di puncak Si-Sin-hong, dikelilingi lautan pohon siong yang menyelimuti lereng dan tebing curam, Leng Han-tiok tersenyum, pelahan ujarnya, "Aneh, kenapa orang-orang yang menjemukan itu tidak ikut naik ke sini?"

"Mungkin mereka mengira kita akan turun gunung lewat jalan yang sama, maka dengan tenang mereka menunggu kita di bawah gunung," kata Leng Ko bok dengan tertawa, "padahal apa salahnya kalau kita melintasi Tiat-boan to, melewati puncak Si-sin-hong dan turun melalui sebelah belakang? Hehehe biar orang-orang yang menjemukan itu menunggu dengan gelisah."

Leng Han-tiok memandang sekeliling tempat itu, entah karena pengaruh keindahan alam di sini mendadak manusia aneh yang berwajah dingin ini tertawa terbahak-bahak "Hahaha bagus. bagus sekali.."

Cahaya senja telah lenyap, suasana hening malam sudah mulai kelam.

Apa yang telah diputuskan kedua bersaudara ini tak pernah berubah, maka sesuai dengan rencana semula, mereka langsung mendaki puncak Sin li-liong untuk turun ke balik gunung sana.



Sepanjang perjalanan kesempatan itu mereka gunakan untuk mengajarkan ilmu meringankan tubuh pada Hui Giok, jalan pegunungan ini terjal dan curam sehingga merupakan ujian berat bagi anak muda itu.

Hui Giok riang gembira dan sama sekali tidak merasakan segala kesulitan itu, bahkan ia merasa gerakan tubuhnya sekarang beberapa kali lipat lebih lincah daripada hari-hari sebelumnya.

Leng-kok-siang-bok saling pandang sekejap, keduanya sama-sama menampilkan rasa gembira dari sinar mata masing-masing.

Setibanya di puncak Si-si hong nanti kata Leng Han-tiok dengan dingin, "Kau harus siap sedia belajar serangkaian ilmu pukulan Hm. Ku kira kepandaian ini belum tentu dapat kukuasai dengan cepat."

Setiap kali ia berbicara dengan Hui Giok, suaranya tentu dingin dari kaku, namun Hui Giok sudah terbiasa dengan sikap seperti itu, bahkan menerimanya dengan senang hati.

Dengan riang gembira ia menerima pesan itu, tiba-tiba dilihatnya Si sin-hong sudah mengadang di depan, dilihatnya pula bahwa ia semakin dekat dengan bintang yang berkedip di angkasa, cahaya bintang se-olah-olah berada di atas kepalanya.

Cahaya bintang itu gemerdep tak hentinya. timbul kenangan khayalan di masa kanak-kanak, "Dapatkah bintang di angkasa kutangkap?"

Mendadak suara Lang Han-tiok menyadarkan pemuda itu dari lamunannya.

Di tengah kegelapan, terlihat Leng-kok-siang-bok berdiri dengan wajah terkejut.

"Loji" kata Leng Ko-bok sambil menatap tajam ke depan, "coba lihat sinar itu, apakah sinar lampu?"

"Ya, betul," jawab Leng Han-tiok sambil mengangguk jelas sinar lampu.

Bukan sembarangan urusan dapat membuat kedua bersaudara ini merasa kaget tapi dalam keadaan dan waktu seperti ini, di puncak Si-sin-hong yang terjal ini bisa muncul cahaya lampu, hal ini memang cukup membuat orang terperanjat.

Angin gunung berembus makin kencang, Hui Giok merasakan hawa dingin yang muncul dan dasar kaki, mendadak Leng-kok-siang bok menerjang ke arah cahaya lampu itu.

Ketika Hui Giok tenangkan diri, dirinya ternyata berdiri di atas sepotong batu yang menonjol keluar, rasanya "seperti berdiri di pusat bumi. Untuk mengejar gerak tubuh Leng-kok siang bok yang cepat itu tentu saja ia tak mampu, terpaksa ia duduk bersila di atas batu itu, embusan angin gunung mengibarkan bajunya, ia membenahinya dengan tak tenang.

Tiba2 ia rasakan batu gunung yang didudukinya itu ikut bergerak, sekalipun hanya suatu goncangan yang pelahan, tapi dalam keadaan demikian cukup menggetarkan perasaannya.

Dengan gerakan yang sangat berhati hati ia melompat turun, mendadak ditemukan di dasar batu gunung itupun ada setitik sinar.

Ia terkejut, ia berpaling, tapi bayangan Leng kok-siang-bok sudah tertelan dalam kegelapan gunung.

Hui Giok termenung sebentar, akhirnya ia berjongkok dan coba mendorong batu gunung itu. Hah, ternyata batu gunung itu dapat bergeser pelahan ke samping.

Selarik sinar terpancar keluar dan bawah batu gunung dan terasa menyilaukan ia memejamkan mata, waktu membuka kembali matanya, dengan tangan rada gemetar ia mendorong lagi batu itu hingga muncul sebuah liang rahasia.

Bau apek dan agak busuk berembus keluar dari liang tersebut, cepat ia berpaling ia meraba jantung sendiri berdetak keras.

Leng-kok siang-bok belum juga kelihatan jejaknya, bintang yang bertaburan di angkasa seakan-akan jauh meninggalkannya, angin malam yang berembus lewat terasa bertambah dingin.

Ia tidak bersuara, entah karena keberaniannya yang cukup atau hanya ingin menjaga harga diri, pemuda itu berdiri kaku di depan mulut liang itu sampai didengarnya suara rintihan dari dalam liang tadi.

Rintihan itu sangat lemah, penuh penderitaan berduka dan rada gemetar, seakan akan sebatang jarum tajam dingin menusuk ulu hatinya. Hui Giok bergidik ia mengepal kencang-kencang, peluh dingin membasahi telapak tangannya.

Setelah rintihan pertama, menyusul terdengar pula rintihan kedua yang penuh menderita suara itu tersiar sayup-sayup dan terputus-putus.

Rintihan tersebut membuat napas dan darahnya bagaikan air yang membeku di musim dingin.

Ngeri dan seram ditambah lagi terkejut suara rintihan tersebut terasa sudah dikenalnya.

Ya, suara itu sudah dikenalnya dengan baik tapi seketika itu ia tak ingat suara siapakah itu?

Seperti juga impian buruk dimasa kanak-kanak, terasa samar-samar, tapi juga begitu jelas.

Akhirnya ia menggigit bibir, mengaturkan mata terus melompat turun ke dalam liang rahasia itu.

Pemuda yang aneh ini memiliki suatu keberanian yang luar biasa yang muncul secara tiba-tiba, ia berani menerima penderitaan yang tak sanggup dirasakan oleh orang lain, ia berani menghadapi kengerian dan keseraman yang tak berani dihadapi orang lain, justeru karena keberanian inilah ia telah banyak melakukan hal-hal yang tak berani dilakukan orang lain.

Ini tidak berarti ia tak kenal arti keseraman bahkan kedua kakinya ketika itu terasa lemas karena ngerinya.

Rasa takut yang muncul tatkala menghadapi bahaya adalah reaksi yang normal yang menunjukkan bahwa orang itu sehat dan berakal.

Hanya saja pada pemuda ini ada kelebihan sedikit, ia mampu mengubah rasa ngeri menjadi keberanian dan keberanian adalah reaksi yang cerdik untuk menghadapi bahaya.

"Blang!" ia jatuh di atas batu yang keras dan dingin, cepat pemuda itu merangkak bangun dan coba meraba sekitar itu.

Tatkala tangannya meraba, tiba2 ia merasa tangannya tidak meraba batu yang dingin lagi, tapi meraba sebuah tangan yang kaku kurus dan dingin.

Suatu perasaan yang sukar dilukiskan segera timbul, ia melompat bangun dengan terperanjat.

Ia memeriksa sekitar tempat tadi, di tengah remang-remang kelihatan di situ tergeletak sepotong kutungan tangan.

Di samping kutungan tangan terdapat sebuah kotak kayu hitam yang buruk bentuknya, tiga atau lima kutungan telapak tangan yang sama terserak disisi kotak kayu itu.

Semua kutungan tangan tadi sudah kisut, kering dan mengecil, itu berarti sudah terpotong cukup lama, terutama kuku-kuku pada kutungan tangan itu kelihatan berwarna pucat kelabu.

Hui Giok merasa mual dan ingin muntah, cepat anak muda itu berlari ke depan sana sambil mendekap mulutnya, tapi akhirnya tertumpah juga air kecut dan perutnya.

Ia coba menengadah, dilihatnya didepan sana adalah sebuah lorong sempit, sebuah obor yang hampir habis terbakar tertancap di dinding karang bawah obor ada sebilah kutungan pedang, gagang pedang berada di sebelah kiri, ujung pedang terlempar di sebelah kanan ada potongan secomot rambut, maju lagi ke sana terdapat secarik kain seperti ujung jubah yang terpapas oleh senjata.



Di ujung lorong sebelah kiri tampaknya terdapat sebuah gua cahaya terang terpancar keluar dan situ, di tengah cahaya lamat2 ada sesosok bayangan hitam yang panjang tercetak di atas batu yang kelabu, Anehnya, meski Hui Giok sudah mengeluarkan suara muntah tadi, suasana dalam gua tetap hening,se-akan2 semua penghuninya sudah mampus.

Hui Giok menyeka ujung bibirnya dengan tangan, tiba-tiba suara peletikan api memecahkan keheningan, api obor padam dan lorong itu menjadi gelap gulita, angin dingin yang berembus kencang membekukan punggung.

Tanpa terasa ia menyurut mundar beberapa langkah.

Tapi suara rintihan yang penuh penderitaan dan cukup dikenalnya tadi seakan-akan mendengung lagi di tepi telinganya.

Sambil membusungkan dada ia maju selangkah demi selangkah, pikimya "Bagaimana pun kedatanganku ini tidak bermaksud jahat, masa orang lain akan memperlakukan diriku dengan jahat."

Orang yang berhati mulia selalu mempunyai jalan pikiran yang mulia pula terhadap orang lain dan seringkali jalan pikiran yang mulia akan mengurangi rasa gugup yang mencekam perasaannya.

Berpikir demikian, ia terus maju ke depan cahaya lampu di depan terasa makin dekat, jantung pun makin berdebar.

Namun bayangan hitam di balik sinar tetap tak bergerak, tampaknya bayangan manusia itu duduk menghadap ke arah sinar api.

"Mungkinkah bayangan manusia itu yang mengeluarkan suara rintihan? jangan jangan dia sudan mati."

Mendadak ia menerjang ke sana, sesosok bayangan punggung berwarna putih segera terlintas dalam pandangannya itulah baju yang putih mulus dan rambut yang hitam.

Kakinya terasa lemas, ia tak mampu maju lagi barang selangkah pun Tiba-tiba orang itu berpaling, itulah seraut wajah yang penuh derita. penuh kedukaan dan sudah dikenal olehnya, seketika ia tergetar.

Pada detik itu beratus macam pikiran terlintas dalam benak Hui Giok dan mengalami perubahan yang kalut, akhirnya perasaan tersebut membeku dan berubah menjadi rasa kaget, heran dan girang.

Perasaan yang bercampur aduk, sebab raut wajah yang muncul di depannya ini sedemikian pucat.

Sedemikian berduka dan lagi dikenalnva dengan baik raut wajah tersebut seakan-akan sebuah cambuk yang tak berwujud yang mencambuk lubuk hatinya yang dalam

"Ken . . kenapa bisa kau?" jeritnya gemetar.

Mimpi pun ia tak menyangka orang yang duduk bersila di dalam gua rahasia di puncak Hong-san yang sepi ini bukan lain adalah Leng-goat-siancu Ay Cing.

Leng-goat-siancu Ay Cing berpaling, dilihatnya sesosok bayangan berdiri di balik kegelapan sana, waktu itu ia belum sempat melihat jelas wajah Hui Giok, tapi jeritan kaget pemuda itu telah menggetarkan daya ingatannya, tanpa terasa ia pun berseru kaget: "Ken . kenapa bisa kau!"

Hui Giok menerjang maju, tapi mendadak langkahnya berhenti pula.

Gua itu adalah sebuah gua yang amat dalam batu karang yang mencuat ke sana kemari memantulkan sinar berwarna warni ketika tertimpa oleh sinar lentera yang redup.

Di bawah batu yang berwarna-warni dan menonjol keluar itu duduk bersila dua orang, yang di sebelah kiri berwajah pucat tapi bersih berkening lebar dan basah oleh butir keringat, rambut yang hitam dikundai jadi satu, tapi tak rapi, baju yang semula bersih sekarang sudah dekil dan mengenaskan cuma sinar matanya masih setajam sembilu, tatapannya yang tajam sedang mengawasi orang yang duduk di di depannya, kedua telapak tangannya terungkap di depan dada, di tengah kedua telapak tangannya terjepit sebatang ujung pedang.

Ujung pedang itu mengkilat selisihnya cuma satu inci di depan dadanya, batu karang yang didudukinya sudah mencekung ke dalam karena tindihan badannya yang berat.

Dia duduk tak bergerak melirik sekejap pun, tidak ke arah Hui Giok meski kemunculan pemuda itu sangat tiba-tiba. Di bawah sinar lampu yang redup, mereka bagaikan dua arca yang terbuat dari batu.

Orang itu juga sudah dikenal oleh Hui Giok, dia tak lain adalah seorang tokoh persilatan yang namanya pernah menggetarkan dunia Kangouw.

Dialah Cian jiu suseng, sastrawan bertangan seribu yang disegani setiap insan persilatan.

Di sebelah sana duduk pula seorang lelaki, dia juga bermuka pucat, baik rambutnya yang digulung dan bajunya yang putih dan sudah menjadi dekil, sinar matanya yang tajam juga menatap musuh tanpa berkedip, ia juga merangkap kedua tangannya di depan dada, di antara telapak tangannya menjepit sebilah ujung pedang, ujung pedang itu pun hampir menyentuh dadanya.

Orang ini juga sangat dikenal oleh Hui Giok sebab dia adalah seorang tokoh persilatan yang namanya menggetarkan dunia Kangouw. ia pun bukan lain daripada Cian-jiu-suseng, si sastrawan bertangan seribu yang disegani.

Aneh bin ajaib! Ada Jian-jiu suseng kembar"

Mereka berdua duduk berhadapan kedua ujung pedang berdempetan satu dengan yang lain dalam keadaan begini, bila salah seorang mengendurkan tekanan telapak tangannya niscaya akan binasa dengan dada berlubang.

Jelas kedua orang itu sedang bertarung mati-matian dengan saling mengerahkan segenap tenaga dalam masing-masing, rupanya kedua pihak saling ngotot dan bertahan siapapun tak mau mengendurkan tekanan tenaganya.

Sejak dulu pertarungan mengadu jiwa yang sering terjadi belum pernah ada pertarungan sengit yang sedemikian tegang seperti apa yang dilakukan kedua orang ini.

Kecuali mereka berdua bersamaan waktunya menghapus tenaga dan berbareng melompat mundur kalau tidak, jika salah seorang diantaranya mengundurkan diri atau mengendurkan sedikit tenaganya niscaya pedang yang berada digenggaman musuh akan menghujam hulu hatinya dan merenggut nyawanya.

Ditinjau dan potongan tubuhnya, raut wajahnya, kedua orang itu ibaratnva pinang dibelah dua, meski jumlah manusia tak terhitung banyaknya di dunia ini, namun kecuali saudara kembar, tak mungkin kiranya ada dua orang yang memiliki wajah maupun potongan badan yang sama.

Tapi sungguh aneh, jika mereka saudara kembar, mengapa kedua orang ini bisa terlibat dalam permusuhan begini?

Hui Giok terkesima hampir tak percaya pada apa yang terlihat, mimpi pun ia tak menyangka akan menyaksikan adegan yang mendebarkan hati ini, terasa tubuhnya seakan-akan ikan yang beku di antara timbunan salju, kaku dan tak sanggup bergerak.

Cahaya lampu menyinari pedang yang berwarna hijau, gemerdep sinar itu seolah-olah tatapan mata sekelompok manusia yang menghina kerlipan mata yang mengejek ditambah pula pantulan cahaya yang berwarna warni dari batu gua, hampir saja ia mengira dirinya sedang bermimpi buruk.



Akhirnya ia menggeser sorot matanya ke arah Ay Cing.

Mendadak ia menjerit, pakaian Ay Cing yang putih itu penuh berlepotan darah, di antara gumpalan darah tertancap berpuluh jarum yang bersinar.

Hui Giok merasa berkunang-kunang matanya, kakinya terasa lemas dan "bluk", akhirnya jatuh terduduk di tanah

Ia tak habis mengerti, musibah mengerikan apakah yang telah terjadi di dalam gua ini? ia tak mengerti, dendam kesumat apakah yang melihat kan ketiga orang ini sehingga kecuali pilihan antara hidup dan mati, seakan-akan di dunia ini tiada jalan lain yang mampu menyelesaikan urusan mereka.

Tiba-tiba ia teringat pada kejadian dulu, pada malam ketika ia baru kabur dari Hui-liong-piaukiok.

Malam tersebut adalah malam yang paling mendebarkan baginya bila terbayang kembali.

Tiba-tiba ia teringat pula pada waktu mereka membicarakan asal-usul Leng goat-siancu, lalu terlihat perubahan air muka Kim-tong giok-li.

Semua itu bukan saja tak dapat menjelaskan keadaan sekarang sebaliknya malah menambah keseraman kengerian serta kemisteriusan masalah ini.

Dengan bingung ia duduk di lantai.

Dengan pandangan yang sedih dan hampa Leng goat siancu memandang beberapa kejap ke arahnya

Dadanya yang montok bergelombang naik-turun, berpuluh batang jarum menantap disekitar situ dan bergetar mengikuti guncangan itu.

Kemudiau ia berpaling, memandang kedua "arca" yang sedang mengadu jiwa itu. kini di dunia ini tiada seorang atau kekuatan apa pun dapat mengalihkan kembali perhatiannya, memencarkan rasa kuatirnya, sebab dia dan salah satu di antara mereka itu mempunyai hubungan yang sangat eray, mempunyai hubungan yang terukir dan tak mungkin terhapus selamanya yakni hubungan cinta, dendam, budi dan benci.

Kilasan cahaya yang terpantul menyinari wajah kedua orang itu, sebentar tampak berubah sepucat kertas sebentar berubah semerah darah, sebentar lagi merubah jadi hijau kelabu, cahaya keputus-asaan..

Suasana terasa hening, sepi dan menyesakkan napas, hanya angin yang berembus pelahan, seperti ada seperti juga tak ada.

Mendadak, pedang panjang itu bergeser ke sebelah kiri, makin lama semakin menempel di atas pakaian orang di sebelah kiri, pelahan tampak otot hijau di atas keningnya menonjol keluar nyatanya berubah jadi merah berapi.

Leng-goat-siancu terbelalak terlihat rasa kuatir kejut dan cemas, tubuhnya gemetar.

Dia begitu menguatirkan keselamatannya perhatian yang mendalam ini sampai Hui Giok yang berada di belakangnya juga dapat merasakannya.

Pemuda itu terheran-heran, ia berpikir kenapa ia tidak membantunya? Cukup tangannya bergerak dan orang di sebelah kanan akan segera terancam bencana."

Ia mengerti siapapun di antara kedua orang itu tak akan mampu membendung tenaga serangan yang datang dari pihak ketiga, sekalipun tinju seorang anak kecil sudah cukup membikin amblas nyawa mereka.

Dia ragu juga heran, ia tak tahan dan perlahan berdiri, dia ingin memberikan suatu pukulan ringan pada orang yang berada di sebelah kanan itu.

Cukup pukulan yang enteng akan dapat membebaskan orang di sebelah kiri itu dari ancaman bahaya.

Walaupun ia mempunyai budi dan dendam dengan kedua orang itu tapi ia tak dapat membedakan siapakah di antara mereka yang pernah menutuk jalan darah bisu tulinya, ia bertindak hanya demi Leng-goat-siancu, sebab ia merasa utang budi dan merasa amat berterima kasih kepadanya.

Pada saat itu pelahan pedang itu bergeser maju lagi ke arah kanan, makin lama semakin menempel baju orang di sebelah kanan itu.

Air muka orang di sebelah kiri mulai kelihatan tenang, sebaliknya air muka orang di sebelah kanan semakin tegang oleh rasa kuatir dan ngeri.

Diam-diam Hiu Giok mengembus napas lega ia berpaling ke arah Leng-goat-siancu tapi apa yang dilihatnya adalah perempuan itu masih juga berduduk dengan gemetar dan wajah penuh rasa kuatir.

Rasa kuatirnya yang sangat dan perhatiannya yang besar ternyata juga tertuju kepada orang di sebelah kanan.

Hal ini membuat Hui Giok terkesima, dengan kebingungan ia duduk pula di tanah Apa yang dibayangkannya, begitu rumit persoalan antara ke tiga orang itu sungguh sukar untuk dimengerti.

Cahaya lampu masih gemerdep, pertarungan mengadu jiwa ini seakan-akan berlanjut tanpa batas, suasana yang mencekam menyesakkan napas seperti bukit yang menindih tubuh membuat Hui Giok tak dapat berbuat apa-apa.

Leng-goat siancu Ay Cmg masih juga berduduk seakan-akan sudah lupa akan kehadiran anak muda itu.

Sinar matanya masih berkisar antara kedua orang itu, tatapan yang hampa, sedih dan kuatir "Hui Giok! Kau berada di mana?" tiba-tiba terdengar suara orang memanggil berkumandang dari kejauhan.

Suara itu meski sayup-sayup dan berasal dari tempat jauh, tapi berkumandang tiada putusnya ke dalam lorong seperti terbawa embusan ingin.

Sekali mendengar suara itu siapapun akan tahu orang yang bersuara itu bertenaga besar, tak perlu disangsikan lagi pasti seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi.

"Siapakah dia?" Ay Cmg berpaling seraya membentak

Hui Giok menundukkan kepalanya, ia tak berani beradu pandang lagi dengan dia, jawabnya, "Mereka adalah orang yang mendaki Hong-san bersamaku"

Air muka Leng-goat-siancu berubah pucat "Apakah mereka juga menemukan gua ini?" tanyanya kuatir.

"Mungkin..."sahut Hui Giok tergagap setelah merenung sejenak.

Ay Cing berbangkit dengan kaku, jarum yang penuh menancap ditubuhnya itu pun bergetar.

"Kena... kenapa kau?" tanya Hui Giok dengan air muka berubah cepat ia pun berdiri.

Tapi sebelum ia memayangnya, perempuan itu telah duduk kembali dengan lemas sambil berbisik "Beritahukan kepada mereka agar tangan masuk ke sini!"

Hui Giok menunduk memandangi wajah yang pucat itu memandang noda darah yang membasahi tubuhnya, jarum yang berkilat itu. Setiap orang yang berperasaan tak akan menolak permohonan perempuan yang sedang berduka dan harus dikasihani ini, apalagi dia adalah Hui Giok yang berhati mulia, berutang budi dan amat berterima kasih kepadanya?

Tanpa ragu ia putar badan terus lari keluar, bahkan sama sekali tidak bertanya: "Mengapa?" Maklumlah. untuknya, apa pun pasti akan dilakukannya.

Suara langkah yang enteng kian lama kian menjauh.

Leng-goat-siaocu memutar badannya dan titik air mata jatuh membasahi ujung jarum yang berkilat itu.

"Mengapa? Mengapa kalian harus begini..." keluhnya penuh kedukaan.

Padahal ia mengetahui dengan jelas kenapa ke kedua orang itu berbuat demikian. Tak lain tak bukan adalah karena dia.

Karena budi dan benci yang terjalin dengan tetesan air mata dan darah, karena takdir yang tak bisa dilawan, karena watak pembawaan manusia.

Keluhan yang penuh kepiluan itu bahkan tidak berhasil menggerakkan sinar mata kedua orang di hadapannya, jarak antara mati dan hidup bagi mereka ibaratnya jarak ujung pedang di depan dada mereka.

Akhinya, dengan putus asa Ay Cmg menghela napas, ia menunduk dan memandang ujung jarum yang memenuhi tubuhnya.

Jarum tersebut dia yang menusuknya satu per satu ke tubuh sendiri, tapi sayang, tindakan yang mengerikan itu tetap gagal mencegah pertarungan mengadu jiwa antara kedua orang itu, sedang penderitaan badaniah juga sama sekali tak dapat mengalihkan penderitaan batinnya.

Ia termenung putus asa, tiba2 tersembul senyuman pada wajahnya.

Sebab dia tahu, bagaimanapun jua, hari ini nasibnya yang penuh penderitaan dan kepedihan serta pertikaiannya dengan kedua orang ini, baik soal cinta, dendam, budi dan apapun akan mengalami penyelesaian yang abadi.

Dalam pada itu Hui Giok sedang berlari ke luar, lorong rahasia yang dirasakan amat panjang dan tiada habisnya ketika datang tadi, sekarang rasanya berubah menjadi jauh lebih pendek.

Dalam sekejap ia sudah mencapai ujung lorong, ia lihat cahaya yang memancar masuk ke lorong rahasia.

Sambil mengembuskan napas lega ia berpikir.

Lorong rahasia ini sangat gelap gulita, pantas Leng-si-hengte belum juga menemukan jalan masuk lorong ini.

Berpikir demikian, kembali ia membatin "Mungkin sinar lampu yang mereka lihat tadi terpancar keluar dari celah2 gua di mana Leng goal siancu berada, tentu saja mereka tak menemukan tempatnya, sebab di situ tidak ada pintu masuknya.

Berpikir demikian ia lantas melompat ke atas, telapak tangannya bertahan pada pinggiran gua dan melejit ke atas.

Kungfunya sekarang telah peroleh kemajuan yang pesat, tatkala badannya mengapung ke atas tiba2 sebuah telapak tangan yang dingin mencengkeram urat nadi pergelangan tangannya, suatu kekuatannya yang amat besar menariknya ke atas"

"Jangan tegang, aku.." orang itu berbisik sesudah kaki menginjak permukaan tanah di bawah sinar bintang tertampaklah Leng-kok-siang bok yang bermuka dingin sedang memandangnya dengan penuh perasaan kuatir.

"Ke mana kau telah pergi? Apakah menemukan sesuatu?" segera Leng Han-tiok menegur.

"Meskipun dingin suaranya tapi penuh rasa kuatir dan perhatian besar, Hui Giok merasakan betapa hangatnya sikap mereka berdua, perasaannya seperti halnya bertemu dengan sanak keluarga sendiri.

Secara ringkas ia ceritakan kejadian aneh yang ditemuinya barusan kemudian dengan nada bersungguh-sungguh ia memohon kepada mereka agar jangan ikut masuk ke dalam gua rahasia, selamanya ia tak pernah menipu selamanya tak pernah berbohong untuk mencapai apa yang diinginkan.

Secara jujur dan berterus terang ia memohon, cara demikian biasanya dapat membuat orang sungkan untuk menolak permintaannya.

Leng-kok-Siang-bok tercengang sehabis mendengar penuturan tersebut

Bahkan bagi Leng kok-siang-bok yang angkuh dan dingin, nama besar Cian jiu-suseng serta Leng goat-siancu cukup cemerlang.

Dengan rasa terkejut mereka saling pandang sekejap, tiba-tiba Leng Han-tiok tertawa, " Siapa yang percaya? Siapa yang akan percaya!" gumannya

"Percaya apa?" tanya Hui Giok bingung, "apa yang kukatakan adalah kejadian yang sebenarnya!"

"Siapa tahu bahwa seorang pemuda yang mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan Liong-heng pat-ciang, Leng-goat siancu dan Kim-tong-giok-li, sebetulnya cuma seorang yang tak mahir ilmu silat," tukas Leng Han-tiok sambil tertawa, "dan siapa pula yang menyangka kalau pemuda yang sama sekali tak berilmu silat itu dalam waktu setahun telah mempunyai nama besar yang menggetarkan dunia persilatan?"

"Ya, mungkin kejadian tersebut merupakan peristiwa yang belum pernah terjadi di dunia persilatan, "Leng Ko bok menambahkan sambil tersenyum.

Sejak kedua orang ini berkumpul dengan Hui Giok, senyuman yang menghiasi wajah mereka sudah bukan kejadian yang aneh. Kadang2 kemulian dan kebajikan serupa embusan angin di musim semi yang hangat dan dapat melumerkan salju yang dingin.

Hui Giok melenggong "Kukira kalian sedang keheranan dan tidak percaya pada apa yang kukatakan " gumamnya.

Leng Han tiok tersenyum "Jian-jiu-suseng yang termasyhur dalam dunia persilatan ternyata ada dua? sekujur badan Leng-goat-siancu tertancap jarum, walaupun semuanya merupakan kejadian yang cukup bikin orang ter-heran2, tapi semua kejadian itu bila dibandingkan dengan kejadian yang menimpa dirimu, semua itu tidak terhitung apa2, hanya kau sendiri saja tidak mengetahuinya!"

"Bila kau hendak turun ke bawah lagi, cepatlah lakukan!" ujar Leng Ko-bok, "Kami akan menantimu di sini"

Hui Giok termangu sejenak, seakan2 sedang meresapi makna ucapan mereka, seakan-akan merasa aneh mengapa kata-kata mereka dapat berubah selembut itu.

Kemudian ia tertawa dengan rasa terima kasih lalu ia melompat turun lagi ke dalam liang rahasia.

Memandang bayangan pemuda yang lenyap di dalam liang, Leng Ko-bok menghela napas panjang dan berkata: "Ai, bocah ini.. selamanya ia lebih memperhatikan urusan orang lain daripada urusan sendiri".

Leng Han-tiok tersenyum, tiba-tiba ia berkata dengan kening berkerut "Sungguh tak nyana Jian-jiu-suseng itu ada dua orang, pantas orang persilatan sama bilang tindak tanduk Jian jiu-suseng kadang baik dan sering juga jahat, jejaknya sukar diikuti, hari ini berbuat kebaikan di wilayah Kanglam, besok paginya sudah berbuat kejahatan di wilayah Hopak, maklum, pemegang perannya ternyata ada dua orang kembar.

Leng Ko-bok menghela napas panjang, "Sebetulnya dalam dunia persilatan terdapat banyak tokoh-tokoh semacam dongeng, banyak cerita yang luar biasa, tapi di balik manusia dan cerita tersebut seringkali tersimpan sesuatu yang tak akan di ketahui orang dan merupakan rahasia sepanjang jaman, seperti halnya. . . seperti halnya..."

"Seperti halnya dengan kita berdua bukan?" sambung Leng Han-tiok.

Dua orang bersaudara itu saling pandang dengan tersenyum, betapapun kencangnya angin malam yang berembus di puncak Hong-san tak nanti akan membuyarkan senyuman pada wajah kedua orang itu.

Sinar bintang semakin redup, karena kabut tebal telah menyelimuti lereng pegunungan itu.

Di dalam lorong rahasia menggemalah suara Leng-goat-siancu yang memilukan dan menyayat hati "Sudahlah, hentikan pertarungan mengapa kau harus berbuat demikian. Dendam kesumat pada empat puluh tahun yang lalu apakah tak dapat diselesaikan sampai di sini saja? Apalagi dia... dia sudah sudah menyadari kesalahannya?"

Tanpa sadar Hui Giok meringankan langkah kakinya,



Terdengar ia berkata lagi, "la telah menerima penderitaan serta penghinaan yang tak dapat diterima oleh siapapun, semua ini bukankah lantaran kau? Apakah semua itu masih belum cukup untuk menebus kesalahannya pada masa kecil? Tidak seharusnya kau desak dia sehingga buntu, kau... kau ... masakah kau tega membinasakan saudara kandungmu sendiri."

Betapa sedih dan memilukan ucapan tersebut, membuat siapapun akan iba bila mendengarnya.

Hui Giok merasakan kepedihan yang luar biasa muncul dari hati sanubarinya langkah kakinya semakin ringan.

Kata-kata memilukan itu terputus, lalu disambung lagi lebih jauh, "Tiong jim, kau sudah menerima banyak penderitaan serta percobaan, apakah kau tak dapat bersabar sedikit lagi? Bagaimanapun juga, engkaulah yang salah? Engkau yang salah lebih dulu kepadanya, bukankah demikian?"

Kata-kata yang diselingi isak tangis kembali menggema, "Aku tahu semuanya ini lantaran diriku, bila tiada aku, sebetulnya kalian dapat dapat lebih sabar, tapi, kalian harus tahu aku juga manusia, dapatkah kusaksikan semua kejadian ini?? Aku bersedia mati di hadapan kalian detik ini juga, tapi... tapi aku tak tega menyaksikan salah seorang di antara kalian mati ditangan kalian sendiri, darah..."

Perkataannya terhenti, dalam lorong yang seram hanya bergema kata "darah", kata tersebut mendengung tiada hentinya.

Bagaimanapun jua darah adalah cairan yang kental" katanya lagi dengan terisak kumohon kepadamu... lepaslah tangan kalian, mau bukan?"

Hui Giok hampir saja tak berani bernapas keras-keras, selangkah demi selangkah ia maju ke muka dan akhirnya tiba di ujung sana.

Sinar lampu masih redup, ia memandang ke depan, suatu pemandangan yang mengerikan.

Siapa tahu, pada waktu sorot matanya bergeser air muka orang di sebelah kiri yang kaku seperti arca tiba-tiba mengalami perubahan, menyusul perubahan yang hampir sukar terlihat itu, kedua telapak tangannya yang dirangkap satu sama lain itu mendadak mengendur dan terbuka.

Air muka Leng-goat-siancu berubah hebat "Tiong-jim . " teriaknya.

Belum habis teriakan tersebut, terkilas senyuman pada wajah orang di sebelah kanan, telapak tangannya yang dirangkap menjadi satu tiba-tiba juga direntangkan keluar.

Ujung pedang yang tajam seketika menancap di dada . , . hampir bersamaan waktunya menancap di dada mereka.

Darah kental berwarna merah bermuncratan, darah panas masing-masing muncrat ke tubuh lawan, darah mereka saling berbaur, tubuh mereka saling menempel, mereka tak dapat menyaksikan lagi kesedihan atau kegembiraan Ay Cing, hanya jeritan kaget melengking perempuan itu akan menggema untuk selamanya di telinga mereka, mengiringi mereka menuju ke alam yang baka.

Detak jantung orang yang di sebelah kiri telah berhenti, dia adalah sang kakak ia sedetik lebih cepat meninggalkan dunia yang fana ini daripada lawannya, ia sedetik lebih cepat mengakhiri hidupnya.

Orang di sebelah kanan mulai mengatupkan kelopak matanya, tapi tenggorokannya masih sempat meninggalkan serentetan suara: "Baa. . bagaimana pun jua, dia, dia tetap menyayangi aku."

Suara itu makin lama makin lirih, dan akhirnya lenyap bersama jiwanya, pertarungan telah berhenti, jiwa pun lenyap.

Cinta, dendam, budi, benci, akhirnya ikut hanyut bersama buyarnya kehidupan mereka!

Semua pertikaian yang sukar diselesaikan semua dendam kesumat yang terukir dalam hati, semua penderitaan maupun kegembiraan akhirnya dengan paruh harus tunduk di hadapan kematian.

Hanya darah kental mereka berdua masih menetes dan menggumpal menjadi satu, hingga sukar untuk dibedakan lagi.

Kehidupan kedua bersaudara yang penuh keanehan dan cemerlang, tapi juga penuh derita itu hampir dimulai pada saat yang sama, dan sekarang juga berakhir hampir pada waktu yang sama.

Leng-goat-siancu bukan dewi lagi, pada saat itu, baik jiwa maupun raganya seakan-akan berubah jadi beku, jerit lengking yang memekak telinga masih mendengung dalam lorong rahasia, masih mendengung di telinga Hui Giok.

Ia berdiri dengan kaku, hingga Ay Cing menjerit untuk kedua kalinya sambil menubruk tubuh kedua orang itu.

Hui Giok merasa suasana sedemikian hening seakan-akan dunia telah kiamat, isak tangis yang semula masih terdengar, lambat laun pun lenyap satu ingatan tiba2 berkelebat dalam benaknya.

"Leng-goat siancu sangat sedih mengapa tidak menangis?"

Bagaimanapun dia memang anak yang pandai, ia tahu hanya ada dua jawaban atas pertanyaan ini. Kecuali rasa sedih yang kelewat batas membuatnya jadi kaku dan tak sadar atau dia tidak perlu sedih lagi karena ia telah mengambil keputusan nekat akan bunuh diri.

Tak terkirakan rasa kuatirnya setelah berpikir demikian, cepat ia memburu maju dan berseru dengan gemetar "Ay, kau... kau... pelahan Leng-goat siancu berpaling, meski wajahnya yang pucat masih penuh air rnata, tapi kerlingan matanya yang tajam menunjukkan keteguhan hatinya.

Ia memandang beberapa kejap ke arah Hui Giok, lalu menjawab, "Anak Giok, kembali kita berjumpa lagi"

Kata-kata yang seharusnya diucapkan semenjak tadi ternyata baru sekarang dikatakan, tentu saja arti katanya sudah jauh berbeda.

Diam-diam Hui Giok menghela napas, Ai selama beberapa hari belakangan ini, kau. Kau sebenarnya dia ingin bertanya, "Baik kah kau?"

Tapi dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba ia merasa pertanyaan semacam itu sebenarnya tak perlu diajukan.

Maka iapun menghela napas pula dan berkata, "Beberapa bulan berselang aku telah bertemu dengan..."

"Aku tahu," tukas Ay Cing sambil mengangguk "akulah yang suruh mereka ke sana, anak Giok . kau tahu aku menyukai dirimu, sebab jarang sekali orang berhati mulia yang kujumpai di dunia ini."

Hui Giok berusaha menekan rasa sedihnya, tapi himpunan kepedihan di dalam dada terasa bagaikan batu besar yang menindihnya sehingga tak mampu berbicara.

Di antara kilatan cahaya yang terpantul dan batuf tiba-tiba Leng-goat-siancu tersenyum, senyuman dalam kepedihan ini tampak jauh lebih mengharukan dari pada isak tangis.

Dengan senyuman semacam itu dia amati Hui Giok beberapa kejap, kemudian ucapnya dengan lembut, "Aku benar-benar gembira karena dapat berjumpa lagi denganmu, kau... kau banyak berubah dan lebih besar daripada dulu, sekarang kau... tampak sebagai seorang laki-laki dewasa daripada seorang bocah. Ai dapat menyaksikan kau tumbuh dewasa, sungguh hal yang sangat baik."

Ia memandang kegelapan di kejauhan, itulah sinar mata yang penuh kepedihan penuh kedukaan dan kehampaan.

Hui Giok menunduk, katanya dengan tergagap.

"Lain waktu, kau dapat lebih sering bertemu denganku..." Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ia berbisik lagi, "Bo.. bolehkah kucabutkan jarum yang menancap di tubuhmu itu?"



Pandangan Ay Cing masih terarah ke tempat jauh seakan akan tidak mendengar perkataannya.

Seakan-akan tenggelam dalam kenangan masa silam yang penuh dengan suka dan duka, lama dan lama sekali, akhirnya ia menghela napas.

"Sekarang, kau telah dewasa, entah masihkah kau menurut pada perkataanku seperti dulu?"

"Apa yang kuperintahkan kepadaku, pasti... pasti akan ku lakukan nya," sahut Hui Giok cepat.

Kembali senyuman tersembul di wajah Ay Cing. "Benarkah itu? Baiklah, kalau begitu, sekarang lekaslah kau berlututlah dan bersumpah akan memenuhi tiga permintaanku, bagaimana pun dan apa pun yang terjadi kau harus melaksanakan menurut permintaanku dan tak akan kau pungkiri."

Seandainya orang lain yang mengucapkan kata-kata ini tentu ia akan mempertimbangkan lebih dulu, sebab ia kuatir orang akan menyuruhnya melakukan sesuatu yang tak diinginkannya.

Tapi Ay Cing, seperti memiliki suatu kekuatan gaib, tanpa berpikir Hui Giok lantas berlutut seraya berseru dengan lantang, "Aku Hui Giok, apabila , . apabila . . " ia tak pandai bersumpah, maka tidak tahu apa yang harus diucapkannya.

Terpaksa Ay Cmg membantunya, "Apabila tak mengikuti apa yang dikatakan Ay Cing, biarlah aku disambar geledek dan mati secara mengerikan!"

"Ya, begitulah, aku Hui Gtok, apabila tidak mengikuti apa yang dikatakan Ay Cing, biar disambar geledek dan mati secara mengerikan!" demikian Hui Giok menirukan.

Kemudian sambil melompat bangun, tanyanya "Apa permintaanmu?"

Dengan sedih Ay Cmg menghela napas, "Pertama, mulai sekarang sampai akhir hidupmu, selamanya tak boleh melukai hati perempuan mana pun jua, baik kau mencintainya atau tidak asal ia baik kepadamu maka kaupun harus baik-baik melindunginya, peduli alasan apa pun, tak boleh membiarkan dia dicelakai atau dirugikan orang lain, Bersediakah kau?"

"Aku memang tak mengizinkan orang lain mencelakai atau merugikan seorang perempuan yang baik kepadaku," seru Hui Giok segera.

Sinar kepedihan terpancar keluar dan balik mata Ay Cing, pelahan katanya lagi "Sepintas lalu, pekerjaan ini tampaknya gampang dilaksanakan padahal Ai, sulit.. sulit sekali, sebab di dunia ini selalu akan muncul pelbagai alasan yang aneh2 yang akan membuat kau mau-tak-mau harus melakukan perbuatan jahat terhadap orang yang kau cintai itu!"

"Tidak, selamanya aku tak kan berbuat demikian," seru Hui Giok sambil membusungkan dada, Dengan perasaan lega Ay Cing mengangguk, "Anak baik, ingat baik-baik perkataanmu hari ini. Kedua, aku minta kau bersedia menemani aku selama tiga hari di sini, walaupun penderitaan apa pun yang akan kau alami, kau tak boleh meninggalkan aku. Ai, tiga hari ini tentu merupakan tiga hari yang paling sengsara, karena kegelapan, lelah, dahaga dan lapar, semua ini merupakan musuh besar bagi umat manusia sejak dulu kala, semuanya akan segera berdatangan. Dapatkah kau menahan semua penderitaan itu? Bersediakah kau?"

"Aku bersedia," Hui Giok mengangguk penderitaan seperti apa pun jua, aku sanggup menerimanya."

Tiba-tiba ia teringat pada Leng-bok-siang-bok yang menanti di luar, timbul perasaan menyesal dalam hatinya.

sementara itu, Leng-goat siancu telah berkata lagi setelah menghela napas, "Anak baik, aku tahu kau dapat menahan semua penderitaan itu demi aku tapi akupun berjanji kepadamu, semua penderitaan yang bakal kau alami itu akan memperoleh balas jasa yang berpuluh kali lebih besar daripada apa yang kau korbankan!"

"Aku tidak menginginkan balas jasa!" teriak Hui Giok keras-keras, "aku... , aku.."

Ay Cing tertawa pedih, sorot matanya memancarkan rasa lega dan kagum, ia bergumam, "Bila aku dapat menyumbangkan sisa kemampuanku kepada anak ini agar dia menjadi manusia baik dan membuat pahala bagi umat manusia dalam dunia persilatan, sekalipun harus mati aku akan mati dengan senyum dikulum."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar