"Berpakaian putih,
mengeluarkan siulan seram dan memakai kedok setan..." gumam Lim Peng Hang
sambil berpikir. Kemudian ia memandang Gouw Han Tiong seraya bertanya,
"Engkau pernah dengar tentang perkumpulan itu?"
"Tidak pernah." Gouw
Han Tiong menggelengkan kepala. "Mungkin perkumpulan baru."
"Mereka menuju
utara." Lie Ai Ling memberitahukan. "Aku ingin menguntit mereka, tapi
Goat Nio tidak setuju."
"Memang tidak baik kalian
menguntit mereka, sebab akan menimbulkan masalah," ujar Lim Peng Hang.
"Aaaah...!" Gouw Han
Tiong menghela nafas panjang, "rimba persilatan akan bertambah
kacau!"
"Oh ya!" Lim Peng
Hang memandang Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling. "Bagaimana rencana
kalian?"
"Rencana apa?" tanya
Lie Ai Ling.
"Siapa di antara kalian
yang akan mengantar Yatsumi ke Pulau Hong Hoang To menemui Cie Hiong?"
sahut Lim Peng Hang.
"Goat Nio! Bagaimana
kalau kita berdua mengantarnya ke Pulau Hong Hoang To?" tanya Ai Ling
seakan mengusulkan.
"Aku di sini saja
menunggu Bun Yang. Engkau yang mengantar Yatsumi ke sana."
"Itu...." Lie Ai
Ling mengerutkan kening sambil berpikir,
lama sekali barulah ia
berkata. "Baik lah. Tapi engkau harus menungguku di sini!"
”Ya." Siang Koan Goat Nio
mengangguk.
"Ai Ling," tanya Lim
Peng Hang. "Kapan engkau akan mengantar Yatsumi ke Pulau Ho Hoang
To?"
"Besok pagi," sahut
Lie Ai Ling dan menai bahkan. "Biar Goat Nio berada di sini menunggu Kakak
Bun Yang, sebab dia rindu sekali kepadanya."
"Oh?" Lim Peng Hang
tertawa gelak, "jadi Goat Nio dan Bun Yang sudah saling mencinta?'
"Tidak salah," sahut
Lie Ai Ling sambil tertawa. "Kelihatannya Goat Nio sudah menderita sakit
rindu."
"Ai Ling!" Wajah
Siang Koan Goat Nio langsung memerah. "Engkau...."
"Hi hi hi!" Lie Ai
Ling tertawa geli. "Mengaku sajalah, tidak usah berpura-pura!"
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus
sekali!"
Keesokan harinya, Lie Ai Ling
dan Yatsumi meninggalkan markas pusat Kay Pang, menuju pulau Hong Hoang To.
---ooo0dw0ooo---
Beberapa hari kemudian, kedua
gadis itu suka tiba di sebuah kota. Mereka bermalam di kota itu, dan keesokan
harinya melanjutkan perjalanan
lagi. Sepanjang jalan, Lie Ai Ling terusku menerus bertanya ini dan itu kepada
Yatsumi.
"Bagaimana keadaan di
Jepang? Apakah aman di sana?"
"Kalau aman..."
sahut Yatsumi sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak mungkin aku kabur
ke sini."
"Di sana juga banyak
penjahat?"
"Banyak sekali."
Yatsumi memberitahukan "Seperti di Tionggoan ini, bukankah juga banyak
penjahat?"
"Ya." Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Yatsumi, engkau sudah punya kekasih belum?"
"Cuma punya teman
biasa," sahut Yatsumi jujur. "Dia pemuda yang baik, namun kepandaian
nya tidak begitu tinggi."
"Itu tidak jadi
masalah," ujar Lie Ai Lim sambil tersenyum. "Yang penting dia
mencintai mu. Engkau tidak boleh mempermasalahkan kepandaiannya."
"Tapi...." Yatsumi menggeleng-gelengkan kepala. "Dia
berasal dari keluarga
pembesar, mungkin ayahnya tidak akan setuju."
"Itu urusan kalian
berdua. Kalau kalian berdua saling mencinta, berarti tiada urusan dengan orang
tuanya."
"Itu tidak bisa."
Yatsumi menghela nafas. "Apa bila dia berani menentang kemauan ayahnya,
pasti dihukum mati."
"Haaah?" Lie Ai Ling
tersentak. "Begitu kolot adat Jepang?"
"Bukan kolot...." Yatsumi
memberitahuku "Itu memang
sudah merupakan adat di Jepan
Orang biasa tidak boleh menikah dengan keluarga-pembesar."
"Sebetulnya di sini pun
sama," ujar Lie Ai ling. "Tapi kalau sudah saling mencinta, tentu ada
jalannya."
"Jalan apa?"
"Kelak setelah berhasil
membunuh ketua ninja itu, engkau harus mencari pemuda itu, lalu kalian berdua
kabur ke Tionggoan. Pokoknya kami pasti akan melindungi kalian."
"Terimakasih!" ucap
Yatsumi. "Aku...."
"Ha ha ha!"
Terdengar suara tawa, setelah itu muncul beberapa orang berpakaian hijau.
"Hmm!" dengus Lie Ai
Ling. "Ternyata mereka para anggota Seng Hwee Kauw!"
"Tidak salah, Nona
manis," sahut Kepala anggota Seng Hwee Kauw sambil mendekatinya.
"Kelihatannya kalian berdua sedang melakukan perjalanan. Tentu kalian merasa
lelah dan kesepian. Nah, bagaimana kalau kalian beristirahat sambil
bersenang-senang dengan kami berenam?"
"Cepat kalian enyah dari
sini!" bentak Lie Ai tjng sambil menghunus Hong Hoang Po Kiam. ”Kalau
kalian tidak enyah, aku akan bunuh kalian!"
"He he he!" Kepala
anggota Seng Hwee Kauw tertawa terkekeh-kekeh. "Aku tahu, engkau adalah
Hong Hoang Li Hiap! Namun engkau tidak mampu melawan kami berenam! Maka dari
pada engkau harus celaka, bukankah lebih baik me-layani kami bersenang-senang?"
"Diam!" bentak Lie
Ai Ling gusar, kemudian mendadak menyerangnya dengan Hong Hoan, Kiam Hoat.
"Wuah!" Kepala
anggota Seng Hwee Kau-itu tertawa. "Ha ha ha! Sungguh sadis! Ingin
membunuhku ya?"
Lie Ai Ling tidak menyahut,
melainkan terus menyerangnya. Sementara yang lain dan Yatsumi cuma berdiri diam
sambil menyaksikan pertarungan itu. Kepala anggota Seng Hwee Kauw-memang
berkepandaian tinggi, karena dengan gampang sekali ia berkelit menghindari
serangan serangan Lie Ai Ling.
Mendadak Lie Ai Ling
menghentikan serangannya, dan Kepala anggota Seng Hwee Kau itu tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kenapa
berhenti? Engkau bersedia bersenang-senang denganku?"
"Aku tidak mau menyerang
orang yang bersenjata!" sahut Lie Ai Ling dingin. "Cepat keluarkan
senjatamu!"
"Baik!" Kepala anggota
Seng Hwee Kauw segera mengeluarkan senjatanya. Ternyata sebuah pedang tipis
yang memancarkan cahaya putih "Engkau memiliki pedang pusaka, aku pun
miliki pedang pusaka ini. Ayoh, mari kita ber tarung! Kalau engkau kalah, harus
melayani bersenang-senang!"
"Hmm!" dengus Lie Ai
Ling dingin, kemudian membentak. "Lihat serangan!"
Lie Ai Ling langsung
menyerangnya. Kali ini ia menggunakan Thian Liong Kiam Hoat. Lie Man Chiu yang
mengajarnya ilmu pedang tersebut.
"Hebat!" seru kepala
anggota Seng Hwee Kauw sambil berkelit, lalu balas menyerang.
Terjadilah pertarungan sengit.
Lie Ai Ling menyerangnya mati-matian, tapi Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu
selalu dapat berkelit. Betapa penasarannya gadis itu, mendadak ia bersiul
panjang sambil menggerakkan pedangnya.
Ketika melihat gerakan pedang
Lie Ai Ling, Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu terbelalak, karena gerakan
pedang gadis itu kacau balau. Ternyata Lie Ai Ling menggunakan Cit Loan Kiam
Hoat (Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling), ciptaan Tio Cie Hiong.
Menghadapi ilmu pedang yang
amat aneh itu, Kepala anggota Seng Hwee Kauw langsung meloncat ke belakang
sambil berseru.
"Cepat serang dia!"
Para anggota Seng Hwee Kauw
segera menyerang Lie Ai Ling. Gadis itu membentak keras, sambil menangkis
serangan-serangan lawan dengan jurus Ban Kiam Hui Thian (Selaksa Pedang Terbang
Di Langit). Tampak pedangnya berkelebat secara kacau balau ke sana ke mari,
membuat para anggota Seng Hwee Kauw itu menjadi berkunang-kunang.
Trang! Trang...! Terdengar
suara benturan senjata.
Para anggota Seng Hwee Kauw
terhuyung huyung beberapa langkah. Namun sungguh sayang sekali, lweekang Lie Ai
Ling masih belum begitu tinggi. Kalau lweekangnya tinggi, para anggota Seng
Hwee Kauw itu pasti sudah terluka.
"Serang dia lagi!"
seru Kepala anggota Seng Hwee Kauw.
Ketika para anggota Seng Hwee
Kauw baru mau menyerang lagi, mendadak terdengar suara bentakan keras, kemudian
melayang turun seorang pemuda berwajah tampan di sisi Lie Ai Ling.
"Jangan takut, Nona! Aku
akan membantumu!" ujar pemuda itu sambil tersenyum. "Engkau
beristirahatlah! Biar aku yang melawan mereka'
"Terimakasih!" ucap
Lie Ai Ling dengan hati berdebar-debar aneh ketika melihat pemuda itu. lalu
melangkah ke sisi Yatsumi.
"Kalian sungguh tak tahu
malu!" bentak pemuda itu sambil menuding para anggota Seng Hwee Kauw.
"Mengeroyok seorang gadis! Kini aku akan merobohkan kalian semua!"
"Oh?" Kepala anggota
Seng Hwee Kauw itu tertawa gelak. "Anak muda, jangan omong besar”
"Aku tidak omong
besar!" sahut pemuda itu sambil menghunus pedangnya. Sungguh aneh bentuk
pedangnya, karena bergerigi-gerigi.
"Serang dia!" seru
Kepala anggota Seng Hwee Kauw.
Para anggota Seng Hwee Kauw
segera menyerang. Pemuda itu masih tetap berdiri diam di tempat. Namun ketika
senjata-senjata itu hampir menyentuhnya, sekonyong-konyong badan pemuda itu
berputar-putar melambung ke atas, dan pedangnya bergerak secepat kilat
menyambar kesana ke mari.
Trang! Trang! Trang...!
Terdengar suara benturan senjata, kemudian tampak beberapa buah senjata terlempar
ke atas.
"Bagus!" seru Lie Ai
Ling sambil bertepuk tangan. "Jurus yang hebat sekali!"
"Terimakasih atas pujian
Nona!" sahut pemuda itu sambil melayang turun.
"Cukup tinggi
kepandaianmu!" ujar Kepala mggota Seng Hwee Kauw. "Sekarang aku akan
menghadapimu!"
"Baik!" Pemuda itu
manggut-manggut.
"Lihat serangan!"
bentak Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu sambil menyerangnya.
Pemuda itu tertawa dan
sekaligus berkelit, kemudian balas menyerang. Mulailah mereka bertarung dengan
seru, dan masing-masing mengeluarkan jurus-jurus andalannya.
Tak terasa pertarungan sudah
melewati puluhan jurus. Di saat itulah pemuda tersebut bersiul panjang.
Mendadak badannya berputar-putar ka arah Kepala anggota Seng Hwee Kauw, dan
pedangnya, yang aneh itu berkelebat dan menyambal ke sana ke mari. Itu membuat
Kepala anggota Seng Hwee Kauw tidak bisa berkelit, maka terpaksa menangkis.
Trang...! Terdengar suara
benturan keras, dan bunga api berpijar ke mana-mana.
Kepala anggota Seng Hwee Kauw
itu memang berhasil menangkis serangan itu, tapi sungguh diluar dugaan, sebab
mendadak pemuda itu meng
gerakkan pedangnya membentuk sebuah lingkal an, sehingga membuat pedang
lawannya harui berputar juga. Di saat itulah ujung pedang pe muda itu menerobos
mengarah ke dada lawannya.
"Aaaakh...!" Kepala
anggota Seng Hwee Kauw itu menjerit sambil menyurut mundur beberapa langkah,
dadanya sudah berlumuran darah.
"Aku tidak akan
membunuhmu," ujar pemuda itu sambil tersenyum. "Cepatlah ajak mereka
pergi, jangan coba-coba mengganggu nona ini lagi?
"Sebutkan namamu!"
bentak Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu, namun kemudian malah merintih-rintih.
"Aduuuh...!"
"Namaku Sie Keng
Hauw!" sahut pemuda itu "Kalau engkau ingin balas dendam kelak,
silakan Tapi... saat itulah engkau akan mati di ujung pedangku!"
Kepala anggota Seng Hwee Kauw
itu menatapnya dengan mata berapi-api, lalu melangkah pergi sambil mendekap
dadanya. Para anak buahnyaa segera mengikutinya dari belakang dengan kepala
tertunduk.
”Terimakasih, Saudara
Sie!" ucap Lie Ai Ling, yang ternyata sangat tertarik padanya.
"Kok Nona tahu
margaku?" Pemuda itu heran.
"Bukankah barusan engkau
memberitahukan kepada Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu?" sahut Lie Ai
Ling sambil tersenyum manis.
"Oooh." Pemuda itu
manggut-manggut. "Nona, naaku Sie Keng Hauw. Bolehkah aku tahu
namamu?"
"Aku bernama Lie Ai
Ling," Gadis itu memperkenalkan. "Dia bernama Yatsumi, berasal dari
Jepang."
"Selamat bertemu! Selamat
bertemu!" ucap Sie Keng Hauw. "Aku sungguh gembira sekali berkenalan
dengan Nona!"
"Engkau merasa gembira
berkenalan dengan-ku atau gadis Jepang itu?" tanya Lie Ai Ling sambil
menatapnya.
"Aku merasa gembira
berkenalan denganmu," sahut Sie Keng Hauw blak-blakan. "Sebab Nona
cantik sekali."
"Oh, ya?" Hati Lie
Ai Ling berbunga-bunga mendengar pujian pemuda itu. "Aku pun gembira
sekali berkenalan denganmu."
"Sungguh?" Wajah Sie
Keng Hauw cerah ceria. "Nona tidak bohong?"
"Aku tidak bohong.
Saudara Sie, jangan memanggilku nona, panggil saja namaku!"
"Baik, Ai Ling." Sie
Keng Hauw menatapnya dengan mata berbinar-binar. "Oh ya! Bolehkah aku tahu
kalian mau ke mana?"
"Kami mau ke Pulau Hong
Hoang To," jawab, Lie Ai Ling jujur. "Engkau mau ke mana?"
"Aku mau pergi menemui
ayahku." Sie Keng Hauw memberitahukan. "Sudah belasan tahun aku tidak
bertemu ayahku."
"Engkau berada di mana
selama belasan tahun ini?" tanya Lie Ai Ling heran.
"Berada di tempat guruku
belajar ilmu silat“ sahut Sie Keng Hauw. "Aku telah berhasil menguasai
seluruh ilmu guruku, maka aku diperbolehkan pulang."
"Siapa gurumu?"
"Maaf! Guru melarangku
menyebut nama nya."
"Tidak apa-apa."
"Ai Ling...." Sie
Keng Hauw menatapnya
dalam-dalam.
"Sayang sekali, aku harus
segera pulang. Kita berpisah di sini."
"Yaaah!" Lie Ai Ling
menghela nafas panjang "Baru bertemu sudah mau berpisah! Kapan kita akan
berjumpa kembali?"
"Itu...." Sie Keng
Hauw mengerutkan kening "Oh ya! Aku
harus ke mana mencarimu?"
"Kalau engkau ingin
menemuiku, carilah aku di markas pusat Kay Pang!" sahut Lie Ai Ling. ”Aku
menantimu di sana."
"Baik." Mendadak Sie
Keng Hauw memegang bahu gadis itu. "Kita akan berjumpa lagi, aku pasti ke
markas pusat Kay Pang menemuimu."
"Aku...." Lie Ai
Ling menundukkan kepala, namun bergirang
dalam hati karena pemuda itu
memegang bahunya. "Aku pasti menantimu."
"Baiklah," ucap Sie
Keng Hauw. "Sampai jumpa?"
"Sampai jumpa, Keng
Hauw!" sahut Lie Ai ling sambil mendongakkan kepala memandangnya.
"Aku pasti menantimu di markas pusat Kay Pang."
"Ai Ling! Sampai
jumpa...." Sie Keng Hauw meleset pergi.
Walau pemuda itu sudah tidak
kelihatan, namun Lie Ai Ling masih berdiri termangu-mangu disitu.
"Ai Ling!" Yatsumi
menepuk bahunya sambil 'tersenyum. "Pemuda itu sudah pergi jauh, engkau k
masih melamun di sini?"
"Haah...?" Lie Ai
Ling tersentak kaget, wajah-nya tampak kemerah-merahan. "Aku____"
"Aku tahu...."
Yatsumi tertawa kecil. "Engkau sudah jatuh
cinta kepada pemuda itu.
Kelihatannya dia memang pemuda baik, sabar, jujur dan tampan."
"Benar!" Lie Ai Ling
mengangguk lalu bergumam. "Sie Keng Hauw! Sei Keng Hauw...."
"Eh?" Yatsumi
menatapnya heran. "Ai Ling kenapa engkau?"
"Rasanya aku pernah
mendengar nama tersebut," sahut Lie Ai Ling sambil berpikir. "Hanya
saja aku lupa dengar di mana?"
Siapa sebenarnya Sie Keng Hauw
itu? Di tidak lain adalah putra Sie Kuang Han, saudara Lu Hui San. Ketika Tio
Bun Yang, Lu Hui Sai-Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling berada di rumah Sie
Kuang Han, orang tua itu pernah menyebut nama putranya yaitu Sie Keng Hauw
Namun, Lie Ai Ling sudah tidak ingat itu lagi.
"Ai Ling...." Yatsumi menatapnya dalam-dalam.
"Kelihatannya pemuda itu
juga sangat tertarik kepadamu."
"Oh?" Lie Ai Ling
tertawa gembira. "Bagimana menurutmu, apakah aku cocok dengan dia
"Kalian berdua memang
cocok," sahut Yatsumi sambil tertawa. "Ai Ling, aku mengucapkan
selamat kepadamu! Engkau telah bertemu p muda idaman hatimu, aku turut
gembira."
"Terimakasih!" ucap
Lie Ai Ling. "Yatsumi mari kita melanjutkan perjalanan agar bisa cepat
tiba di Pulau Hong Hoang To!"
"Baik." Yatsumi
mengangguk. Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan Kali ini dalam perjalanan
wajah Sie Keng Hauw terus bermunculan di pelupuk mata Lie Ai Ling, sehingga
membuat gadis itu tersenyum sendiri.
Diam-diam Yatsumi tertawa
geli, namun sikap Lie Ai Ling justru membuatnya teringat kepada pemuda idaman
hatinya yang di Jepang.
---ooo0dw0ooo---
Bagian ke tiga puluh delapan
Berangkat ke Gunung Thian San
Tiga hari setelah Lie Ai Ling
mengantar Yatsumi ke Pulau Hong Hoang To, Siang Koan Goat Nio yang berada di
markas pusat Kay Pang mulai tak sabar menunggu, sebab Tio Bun Yang, yang
dirindukannya masih belum muncul.
Hal itu membuat gadis tersebut
sering duduk melamun. Sikapnya itu tidak terlepas dari mata Lim Peng Hang dan
Gouw Han Tiong.
"Goat Nio...." Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
mendekati gadis yang sedang
duduk melamun di ruang tengah itu.
"Kakek Lim, Kakek
Gouw!" panggil Siang Koan Goat Nio, kemudian menundukkan kepala.
"Goat Nio!" Lim Peng
Hang menatapnya seraya bertanya, "Kenapa engkau duduk melamun di sini? Apa
yang engkau pikirkan?"
"Aku...." Siang Koan
Goat Nio menghela nafas panjang.
"Memikirkan Bun
Yang?" tanya Lim Peng Hang lembut.
"Ya!" Siang Koan
Goat Nio mengangguk "Aku mencemaskannya, kenapa hingga saat ini dia belum
ke mari? Mungkinkah telah terjadi sesuatu atas dirinya?"
"Engkau tidak usah
cemas," ujar Lim Peng Han menghiburnya. "Dia tidak akan terjadi suatu
apa pun, percayalah!"
"Tapi...."
"Goat Nio...." Gouw
Hang Tiong tersenyum "Aku yakin dia
sedang merawat monyet bulu
putih itu di Thian San, maka dia belum ke mari."
"Tapi sudah sekian
lama."
"Engkau tahu, kan?"
Gouw Han Tiong ter senyum lembut. "Monyet bulu putih itu terluka parah,
tentunya membutuhkan waktu untuk merawatnya."
"Terus terang,
aku...."
"Katakanlah!" ujar
Lim Peng Hang dan menambahkan, "Bun Yang adalah cucuku, maka engkau jangan
ragu mengutarakan sesuatu ke padaku!"
"Kakek Lim, aku ingin
menyusulnya."
"Apa?" Lim Peng Hang
terbelalak. "Maksud mu ingin ke Gunung Thian San?"
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mengangguk.
"Goat Nio____" Lim
Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau harus tahu! Gunung thian
San begitu luas dan dingin sekali, bagaimana mungkin engkau mencarinya di
sana?"
"Tentunya lebih baik aku
mencarinya di sana dari pada terus melamun di sini."
"Goat Nio!" Lim Peng
Hang menatapnya tajam. "Pikirkan baik-baik jangan terlampau cepat
mengambil keputusan! Lagi pula bukankah engkau harus menunggu Ai Ling?"
"Kakek Lim, aku sudah
mengambil keputusan iu," ujar Siang Koan Goat Nio sungguh-sungguh. Besok
pagi aku akan berangkat ke Gunung Thian san."
"Goat Nio...." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku tidak bisa
melarangmu, kalau memang engkau
sudah mengambil keputusan itu,
besok pagi engkau boleh berangkat kegunung Thian San!"
"Terimakasih, Kakek
Lim!"
"Kalau engkau bertemu
dengan Bun Yang, ajak dia ke mari!" pesan Lim Peng Hang. "Sebaliknya
apabila engkau tidak berhasil mencarinya ke Gunung Thian San, engkau harus
segera Kembali."
"Ya," Siang Koan
Goat Nio mengangguk. Keesokan harinya, berangkatlah Siang Koan Goat Nio ke
Gunung Thian San. Seandainya ia bisa bersabar dua tiga hari. gadis itu pasti
bertemu Tio Bun Yang. Akan tetapi, saking rindunya kepada Tio Bun Yang
membuatnya tidak bisa sabar menunggu, maka ia mengambil keputusan berangkat ke
Gunung Thian San.
Tiga hari kemudian, sampailah
Tio Bun Yang di markas pusat Kay Pang. Begitu melihat pemuda itu, Lim Peng Hang
langsung menghela nafai panjang.
"Kakek...." Tio Bun Yang tercengang. "Kenapa Kakek
menghela nafas?"
"Kakek tahu, engkau ke
mari ingin menemui Goat Nio.
Tapi...." Lim Peng Hang
menggeleng gelengkan kepala.
"Kenapa dia?" tanya
Tio Bun Yang tegan, "Telah terjadi sesuatu atas dirinya?"
"Dia sudah berangkat ke
Gunung Thian Sal tiga hari yang lalu." Lim Peng Hang memberitahu kan.
"Maksudnya menyusulmu. Kakek menyuruhnya bersabar menunggu di sini, namun
dia ber keras berangkat kc Gunung Thian San."
"Lalu adik Ai Ling,
apakah dia juga ikut keunung Thian San?” tanya Tio Bun Yang.
"Ai Ling mengantar
Yatsumi ke Pulau Hong Hoang To," sahut Lim Peng Hang melanjutkan.
"Sedangkan Goat Nio menunggumu di sini. Namun dia tidak sabar menunggu
akhirnya mengambil keputusan
berangkat ke Gunung Thian San. Kakek tahu, dia rindu sekali kepadamu.
"Kakek, siapa Yatsumi
itu?"
"Gadis Jepang." Lim
Peng Hang menjelaskan. 'Ketika Goat Nio dan Ai Ling menuju ke mari, ketika
tengah jalan bertemu gadis Jepang itu, yang ternyata putri Michiko, kenalan
ayahmu."
"Kenapa Adik Ai Ling
mengantarnya ke Pulau Hong Hoang To?"
"Yatsumi ingin belajar
ilmu silat kepada ayah-mu, karena kedua orang tuanya mati dibunuh ketua
ninja..." tutur Lim Peng Hang tentang Michiko, ibu Yatsumi.
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut setelah mendengar penuturan itu.
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang menatapnya seraya bertanya. "Bagaimana keadaan kauw heng? Kenapa
engkau tidak membawanya ke mari?"
"Kakek...." Mata Tio
Bun Yang mulai basah. 'Kauw heng
sudah mati."
"Haaah?" Lim Peng
Hang terperanjat, kemudian wajahnya berubah murung. "Itu sungguh di luar
dugaan!"
"Kauw heng terkena
pukulan yang kan Seng Hwee Sin Kun, padahal pukulan itu diarahkan padaku. Kauw
heng telah berkorban demi menyelamatkan nyawaku."
"Aaaah...!" Lim Peng
Hang menghela nafai panjang. "Oh ya! Selama ini engkau berada di
mana?"
"Aku berada di dalam goa
es, di Gunung Thian San..." jawab Tio Bun Yang dan menutur.
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggul "Jadi kini engkau telah berhasil menguasai ilmu Kan
Kun Taylo Im Kang?"
"Ya, Kakek." Tio Bun
Yang mengangguk dan menutur lagi tentang Bokyong Sian Hoa, putri Manchuria itu.
"Pantas engkau tidak ke
mari, ternyata engkau membawa putri Manchuria itu ke Pulau Hong Hoang To
menemui ayahmu!" ujar Lim Peng Hang. "Tapi Goat Nio dan Ai Ling malah
berangkat ke mari, jadi kalian selisih jalan."
"Kakek, aku mohon pamit
untuk berangkat ke Gunung Thian San. Aku harus segera menyusul Goat Nio."
"Itu____" Lim Peng
Hang berpikir sejenak, lama sekali barulah mengangguk seraya berkata,
"Baik lah. Engkau boleh berangkat sekarang, mudah mudahan engkau berhasil
menyusulnya!"
"Terimakasih, Kakek!"
ucap Tio Bun Yang Pemuda itu segera meninggalkan markas pusat Kay Pang, dan
langsung berangkat ke Gunung thian San. Setelah berada di tempat sepi. barulah
ia menggunakan ginkangnya.
---oo0dw0ooo---
Sementara itu. Lie Ai Ling dan
Yatsumi sudah tiba di Pulau Hong Hoang To. Tentunya mengherankan para penghuni
pulau itu, dan Kou Hun bijin langsung menghujaninya dengan
pertanyaan-pertanyaan.
"Kenapa engkau pulang
seorang diri? Di mana goat Nio? Siapa gadis berpakaian aneh ini? Kenapa engkau
membawanya ke mari?"
"Aduuuh!" keluh Lie
Ai Ling sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku harus bagaimana
menjawabnya?"
"Ai Ling," sahut Tio
Hong Hoa sambil memandangnya. "Jawablah pertanyaan-pertanyaan itu satu
persatu!"
"Ibu, aku sudah lupa apa
yang ditanyakan Bibi Mijin," ujar Lie Ai Ling. "Langsung mengajukan
begitu banyak pertanyaan sih!"
"Baik." Kou Hun
Bijin manggut-manggut. "Aku akan mengajukan satu persatu pertanyaanku.
Kenapa engkau pulang seorang diri?"
"Aku mengantar Yatsumi ke
mari."
"Di mana Goat Nio?"
"Siapa gadis berpakaian
aneh ini?"
"Dia berada di markas
pusat Kay Pang."
"Dia bernama Yatsumi,
gadis berasal dai Jepang."
"Kenapa engkau membawanya
ke mari?"
"Dia ingin bertemu Paman
Cie Hiong, maka aku membawanya ke mari."
"____" Ketika Kou
Hun Bijin ingin bertanyi lagi, mendadak Sam Gan Sin Kay tertawa gelak
"Bijin! Jangan terus
bertanya, kapan gilian Cie Hiong bertanya kepadanya?" ujar pengemi tua
itu. "Gadis Jepang itu ke mari menemuinya biar Cie Hiong yang
bertanya."
"Pengemis bau!" Kou
Hun Bijin melotot. "Memangnya aku tidak boleh aku mewakili Cie Hong untuk
bertanya ?”
"Tentu boleh.
Tapi...." Sam Gan Sin Kj tertawa lagi. "Ha ha
ha! Apakah engkau tidak merasa
capek terus-menerus bertanya?"
"Justru tidak." Kou
Hun Bijin tertawa nyaring kemudian memandang Tio Cie Hiong seraya berkata,
"Adik, sekarang engkau boleh bertanya padanya."
"Biar Kakak saja yang
bertanya," sahut Cie Hiong sambil tersenyum.
"Kalau aku terus-menerus
bertanya, pengemis bau yang mau mampus itu pasti bertambah tidak senang,"
ujar Kou Hun Bijin. "Maka lebih baik engkau saja yang bertanya."
Tio Cie Hiong mengangguk, lalu
memandang Yatsumi seraya bertanya,
"Engkau berasal dari
Jepang?"
"Maaf!" ucap Yatsumi
sambil menatap Tio Cie Hiong. "Apakah aku sedang berhadapan dengan Paman
Cie Hiong?"
"Betul."
"Paman, terimalah
hormatku!" Yatsumi segera membungkukkan badannya, kemudian memberitahukan.
"Aku memang berasal dari Jepang, namaku Yatsumi."
"Siapa yang menyuruhmu ke
mari menemuiku?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Ibuku," jawab
Yatsumi dengan air mata berlinang-linang. "Ibuku bernama Michiko."
"Oh?" Tio Cie Hiong.
Lim Ceng Im dan lainnya terbelalak.
Mereka memang kenal Michiko.
"Duduklah, Yatsumi!"
ujar Lim Ceng Im.
"Terimakasih, Bibi!"
Yatsumi duduk dan memberitahukan. "Sebelum menghembuskan nafas
penghabisan, ibuku berpesan kepadaku harus ke Tionggoan mencari Paman."
"Jadi...." Tio Cie
Hiong mengerutkan kening. 'Ibumu sudah
meninggal?"
"Ya." Yatsumi
terisak-isak. "Ibu dan ayahku meninggal karena dibunuh oleh ketua ninja
baru."
"Ketua ninja baru?"
Tio Cie Hiong terkejut.
"Siapa ketua ninja baru
itu?"
"Dia adik seperguruan
ketua ninja lama, nama nya Takara Nichiba. Kepandaiannya tinggi sekali maka
ibuku menyuruhku kabur ke Tionggoan untuk mencari Paman. Aku pun disuruh
belajar ilmu silat kepada Paman agar bisa membalas dendam," ujar Yatsumi
dengan air mata berderai derai.
"Aaaah...!" Tio Cie
Hiong menghela nafas panjang. "Itu merupakan kejadian yang sungguh di luar
dugaan!"
"Oh ya!" Kou Hun
Bijin menatapnya seraya bertanya, "Bagaimana engkau bisa bertemu Ai Ling
dan putriku?"
"Secara kebetulan."
tutur Yatsumi dan menambahkan. "Setelah itu, Ai Ling dan Goat Nio
mengajakku ke markas pusat Kay Pang. Sesudah berunding, akhirnya Ai Ling
mengantarku kemari menemui Paman Cie Hiong."
"Ooooh!" Kou Hun
Bijin manggut-manggut kemudian bertanya kepada Ai Ling. "Kalian belum
bertemu Bun Yang?"
"Belum," jawab Lie
Ai Ling. "Dia tidak berada di markas pusat Kay Pang, mungkin masih berada
di Gunung Thian San!"
"Itu gara-gara kalian
tidak bisa bersabar,” tegur Kou Hun Bijin. "Maka kalian tidak bertemu Bun
Yang."
"Memangnya kenapa?"
Lie Ai Ling bingung
"Setelah kalian berangkat
ke Tionggoan, beberapa hari kemudian Bun Yang justru pulang." Tio Hoang
Hoa memberitahukan. "Dia pulang bersama Bokyong Sian Hoa."
"Oh?" Lie Ai Ling
terbelalak. "Ibu, siapa Bokyong Sian Hoa itu?"
"Mantan putri
Manchuria." Tio Hoang Hoa menjelaskan. "Ayahnya adalah raja
Manchuria, teman baik pamanmu, tapi kedua orang tuanya sudah meninggal."
"Oooh!" Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Jadi kakak Bun Yang sudah berangkat ke Tionggoan?"
"Ya." Tio Hoang Hoa mengangguk.
"Kalau begitu...."
Lie Ai Ling tersenyum. "Dia pasti bertemu
Goat Nio di markas pusat Kay
Pang, sebab Goat Nio menunggu di sana."
"Syukurlah!" ucap
Kou Hun Bijin sambil tertawa gembira. "Legalah hatiku!"
Sementara Tio Cie Hiong terus
memandang Yatsumi. Ia merasa iba pada gadis Jepang itu.
"Yatsumi," tanya Tio
Cie Hiong sungguh-sungguh. "Jadi engkau ingin belajar ilmu silat?"
"Ya, Paman," sahut
Yatsumi sambil menganggukkan kepala.
"Baiklah." Tio Cie
Hiong manggut-manggut. ’Aku akan mengajarmu ilmu silat tingkat tinggi.'
"Terimakasih,
Paman!" ucap Yatsumi gembira. 'Setelah aku berhasil menguasai ilmu silat
tingkat tinggi, aku akan segera pulang ke Jepang untuk membalas dendam kedua
orang tuaku."
"Oh ya!" Tio Cie
Hiong menatapnya seraya bertanya. "Engkau pernah belajar ilmu silat kepada
ibumu?"
"Ibuku mengajarku
ilmu Giok Siauw
Bit Ciat Kang
Khi.
Katanya Paman yang mengajarkan
padanya," ujar Yatsumi.
"Betul." Tio Cie
Hiong manggut-manggut dan menambahkan. "Besok aku akan mulai
menggemblengmu."
"Terimakasih,
Paman!" ucap Yatsumi, kemu dian melirik Lie Ai Ling seraya berkata.
"Paman, di tengah jalan kami dihadang beberapa panjahat Untung muncul
seorang pendekar muda membantu kami. Pendekar muda itu tampan sekali."
"Oh?" Tio Cie Hiong
tersenyum. "Siapa pendekar muda itu?"
"Dia bernama Sie Keng
Hauw," jawab Yatsumi memberitahukan. "Kelihatannya dia dan Ai Ling sudah
saling jatuh hati."
"Yatsumi!" Wajah Lie
Ai Ling kemerah-merahan. "Jangan omong yang bukan-bukan! Aku akan marah
lho!"
"Aku berkata
sesungguhnya, kenapa engkau akan marah?" Yatsumi heran. "Seharusnya
engkau berterus terang kepada orang tuamu."
"Eh? Engkau...." Lie
Ai Ling melotot. "Kok engkau banyak
mulut sih?"
"Ai Ling!" Lie Man
Chiu menatapnya tajam
”Bagaimana pemuda itu, apakah
dia tergolong emuda baik, jujur, ramah tamah dan sopan?"
"Ayah...." Wajah Lie
Ai Ling bertambah merah.
"Hi hi hi!" Mendadak
Kou Hun Bijin tertawa berkikikan. "Man Chiu, kenapa engkau begitu
kalut?"
"Ai Ling adalah putriku
satu-satunya, tentu-iya aku kalut karena dia sudah jatuh hati pada seorang
pemuda," sahut Lie Man Chiu sungguh-sungguh.
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan lagi. "Engkau memang keterlaluan dan tidak bisa
bersabar. Bukankah engkau boleh bertanya kepadanya di dalam kamar? Bertanya
secara terang-terangan di sini
sama juga mempermalukannya."
"Benar." Lie Man
Chiu manggut-manggut.
"Sungguh mengagumkan!"
ujar Sam Gan Sin Hay sambil tertawa gelak. "Ha ha ha! Bahkan juga sungguh
diluar dugaan. Kali ini Bijin bisa berpikir sampai sejauh itu."
"Memangnya aku tidak
punya pikiran?" sahut ou Hun Bijin sambil melotot. "Hm! Dasar
pengemis bau!"
"Ha ha ha...!" Sam
Gan Sin Kay terus tertawa gelak, sedangkan Kou Hun Bijin pun terus melototinya.
"Oh ya!" Mendadak
Lie Ai Ling teringat suatu. "Ayah, Ibu, ketika aku dan Goat Nio nuju
markas pusat Kay Pang, di tengah jalan aku mendengar suara siulan aneh yang
sangat menyeramkan. Setelah itu terdengar pula suara derap kaki kuda."
"Oh?" Lie Man Chiu
mengerutkan kening "Kemudian apa yang kalian lihat?"
"Kami melihat
segerombolan orang menung gang kuda, mereka terus mengeluarkan siulan aneh yang
menyeramkan, bahkan juga memakai kedok setan."
"Apa?" Tio Tay Seng,
majikan pulau Hong Hoang To itu tampak terkejut sekali. "Mereka juga
berpakaian serba putih?"
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk.
"Kui Bin Pang
(Perkumpulan Muka Setan)!” seru Tio Tay Seng tak tertahan dan wajahnya tampak
berubah. "Mungkinkah mereka itu para anggota Kui Bin Pang?"
"Tio Tocu!" Kou Hun
Bijin menatapnya. "Engkau tahu jelas tentang perkumpulan itu?"
"Aku cuma dengar dari
almarhum ayahku!” sahut Tio Tay Seng dan menutur. "Ketika ayahku baru
muncul di Tionggoan menggunakan Hong Hoang Leng, di luar perbatasan dekat gurun
pasir Sih Ih juga muncul sebuah perkumpulan misteri yang para anggota maupun
ketuanya memakai kedok setan, dan berpakaian serba putih. Kemunculan mereka
pasti disertai dengan suara siulan aneh yang menyeramkan. Mereka membantai ma
nusia seperti membunuh semut. Para anggota perkumpulan itu rata-rata
berkepandaian tinggi sekali, apalagi ketuanya."
"Aku pernah dengar
mengenai Kui Bin Pang itu, kira-kira sudah hampir seratus tahun yang
lalu," ujar Kou Hun Bijin.
"Tapi Kui Bin Pang itu
cuma bergerak di luar perbatasan, tidak pernah memasuki daerah Tionggoan."
"Benar." Tio Tay
Seng manggut-manggut. "Pada waktu itu, ayahku memperoleh informasi tentang
Kui Bin Pang, maka segera berangkat ke kota Giok Bun Kwan (Kota Perbatasan).
Namun ketika sampai di sebuah desa, ayahku justru malah bertemu dengan ketua
Kui Ban Pang."
"Oh?" Sam Gan Sin
Kay tertarik. "Lalu apa yang terjadi?"
"Ternyata ketua Kui Bin
Pang memasuki daerah Tionggoan dengan maksud menyelidiki keadaan rimba
persilatan Tionggoan. Setelah itu, barulah ia akan membawa para anggotanya
untuk menyerbu ke rimba persilatan Tionggoan," ujar Tio Tay Seng
memberitahukan. "Oleh karena itu, ayahku menantangnya bertarung."
"Mereka berdua jadi
bertarung?" tanya Kou iiun Bijin.
"Tentu jadi," jawab
Tio Tay Seng dan melanjutkan. "Sebab ketua Kui Bin Pang bersifat angkuh,
maka terjadilah pertarungan yang amat seru dan sengit. Beberapa ratus jurus
kemudian, ayahku berhasil memukulnya hingga jatuh ke jurang. Namun dada ayahku
juga tertendang oleh tendangannya, sehingga membuat ayahku mengalami luka dalam
yang cukup parah. Beberapa bulan kemudian, barulah ayahku bisa pulih.'
"Pantas sejak itu tiada
kabar beritanya mengenai Kui Bin Pang yang misteri itu!" ujar Kou Hun
Bijin. 'Ternyata ayahmu berhasil memukul ketua itu jatuh ke jurang!"
"Tio Tocu," tanya
Kim Siauw Suseng. "Tentang kejadian itu tiada seorang pun yang
mengetahuinya?"
"Memang tidak,"
jawab Tio Tay Seng. "Bahkan para anggota Kui Bin Pang pun tidak tahu
tentang itu”
"Kalau begitu...." Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"Kenapa kini malah muncul
para anggota Kui Bin Pang itu?"
"Aku pun tidak habis
pikir," sahut Tio 'Im Seng sambil menggeleng-gelengkan kepala, kemudian
menambahkan. "Para anggota Kui Bin Pang itu telah muncul, pertanda
perkumpulan itu sudah punya ketua. Karena itu...."
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa nyaring "Tio Tocu, engkau khawatir perkumpulan itu akab ke
mari menuntut balas?"
"Kalau terjadi itu,
bukankah ketenangan Pulau Hong Hoang To ini akan terusik?" sahut Tay Seng
sambil menghela nafas panjang. "Kita semua ingin hidup tenang dan damai di
sini.'
"Paman," ujar Tio
Cie Hiong. "Kui Bin Pang itu sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi
atas diri ketua yang dulu. tentunya mereka tidak akan ke mari menuntut
balas."
"Tapi biar bagaimanapun,
kita harus berjaga-jaga,” sahut Tio Tay Seng sungguh-sungguh.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. ”Tio Tocu, kalau Kui Bin Pang ke mari, kita habiskan
saja mereka."
"Pengemis bau...."
Tio Tay Seng
menggeleng-geengkan
kepala. "Engkau harus
tahu, para anggota Kui Bin Pang dan ketuanya berkepandaian tinggi sekali. Terus
terang, kemungkinan besar aku bukan tandingan ketuanya."
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa cekikikan. ”Tio Tocu, kenapa engkau berubah menjadi
pengecut?"
"Bijin!" Tio Tay
Seng tersenyum getir. "Aku tidak berubah menjadi pengecut, melainkan
memikirkan ketenangan pulau ini."
"Sudahlah!" tandas
Kim Siauw Suseng. "Belum tentu mereka itu para anggota Kui Bin Pang.
kalaupun benar, kita tidak usah takut."
"Tapi...." Tio Tay
Seng menghela nafas panjang. "Apabila
Kui Bin Fang muncul di rimba
persilatan, pasti akan terjadi pula bencana di rimba persilatan."
"Paman," ujar Tio
Cie Hiong. "Itu urusan rimba persilatan, kita tidak usah
mencampurinya."
"Ngmmm!" Tio Tay
Seng manggut-manggut.
Sementara Lie Ai Ling diam
saja dengan pikiran menerawang. Apa yang mereka bicarakan bagaikan angin lalu,
sebab pikirannya terus mengarah pada Sie Keng Hauw yang telah mencuri hatinya.
"Ai Ling!" Tio Hong
Hoa menatapnya seraya bertanya, "Kenapa engkau melamun. Apa yang engkau
pikirkan?"
"Ibu...." Wajah Lie Ai Ling agak kemerah merahan.
"Yatsumi tidur di kamar
mana?"
"Itu..." pikir Tio
Hong Hoa sejenak. "Sekamar saja dengan Hui San dan Bokyong Sian Hoa."
"Kalau begitu, aku akan
mengantarnya ke kamar untuk beristirahat," ujar Lie Ai Ling sambil menarik
Yatsumi ke dalam.
Perlahan-lahan Lie Ai Ling
membuka pintu kamar itu, dilihatnya Lu Hui San dan seorani gadis duduk di situ.
"Ai Ling” panggil Lu Hui
San gembira.
"Hui San!" Lie Ai
Ling menggenggam tangannya erat-erat. "Engkau kok agak kurusan?"
"Aku...." Lu Hui San
menghela nafas panjang "Oh ya, mari
kuperkenalkan! Ini adalah
Bokyon Sian Hoa, berasal dari Manchuria."
"Selamat bertemu, Sian
Hoa!" ucap Lie ai Ling sambil memberi hormat, lalu memperkenalkan Yatsumi.
"Dia berasal dari Jepang, namanya Yatsumi”
"Selamat bertemu Nona Hui
San dan Non Sian Hoa!" ucap Yatsumi sambil membungkuk badannya.
"Hi hi hi!" Bokyong
Sian Hoa tertawa geli, sekaligus balas memberi hormat dengan cara menjura.
"Kenapa engkau membungkukkan badanmu dalam-dalam begitu?"
"Ini cara Bangsa Jepang
memberi hormat," sahut Yatsumi memberitahukan sambil tersenyum.
"Ooh!" Bokyong Sian
Hoa manggut-manggut, kemudian bertanya kepada Lie Ai Ling. "Engkau bertemu
Kakak Bun Yang?"
"Tidak." Lie Ai Ling
menggelengkan kepala.
"Tapi dia bertemu seorang
pemuda tampan. Mereka berdua sudah saling jatuh hati," sela Tatsumi
memberitahukan.
"Eh? Engkau kok begitu
banyak mulut sih?" tegur Lie Ai Ling sambil melotot.
"Ai Ling!" Lu Hui
San tampak gembira. "Siapa pemuda itu? Betulkah kalian berdua sudah saling
jatuh hati?"
"Dia bernama Sie Keng
Hauw, kami berdua...." Lie Ai Ling
tidak melanjutkan ucapannya,
Mainkan tampak tersipu.
"Apa?" Lu Hui San
tersentak. "Pemuda itu bernama Sie Keng Hauw?"
"Engkau kenal dia?"
Lie Ai Ling heran.
"Mungkinkah dia putra
pamanku?" sahut Lu Hui San. "Tentunya engkau masih ingat, pamanku
adalah Sie Kuang Han."
"Ooooh!" Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Aku ingat sekarang, pantas aku merasa pernah mendengar
nama itu! Ternyata dia putra pamanmu Sungguh di luar dugaan!"
"Ai Ling..." bisik
Lu Hui San. "Ingat, engkau tidak boleh membuka tentang hubunganku dengan
Lu Thay Kam!"
"Jadi...." Lie Ai
Ling terbelalak. "Hingga kini dia belum tahu
ayah angkatmu adalah Lu Tha
Kam?"
"Dia sama sekali tidak
tahu," sahut Lui Hu San dengan suara rendah. "Kalau dia tahu, entah
apa yang akan terjadi? Sebab dia sangat men dendam kepada ayah angkatku
itu."
"Jangan khawatir!"
Lie Ai Ling tersenyum "Aku tidak akan memberitahukan tentang itu. oh ya,
ayahku sudah tahu?"
"Tentu, tahu," sahut
Lu Hui San. "Karena ayahmu mantan wakil ayah angkatku."
"Oh?" Lie Ai Ling
terbelalak.
"Ayahmu..." tutur Lu
Hui San dan menambahkan. "Namun ayahmu sama sekali tidak membuka rahasiaku
itu."
"Oooh!" Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Baik lah. Aku akan ke kamar untuk beristirahat sebentar.
Kalau engkau berjumpa Keng Hauw lalu ajaklah dia ke mari!"
"Baik." Lie Ai Ling
mengangguk, lalu melangkah ke kamarnya. Begitu memasuki kamarnya ia terbelalak
karena melihat kedua orang tua sudah menunggu di situ. "Ayah, Ibu!"
"Ai Ling," sahut Tio
Hong Hoa sambil tersenyum lembut. "Duduklah!"
Lie Ai Ling duduk di sebelah
ibunya dengan kepala tertunduk. Gadis itu yakin ibunya akan tanya ini dan itu
kepadanya.
"Ai Ling!" Tio Hong
Hoa menatapnya seraya bertanya. "Betulkah engkau bertemu seorang pemuda,
bahkan kalian berdua sudah saling jatuh hati?"
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk malu-malu.
"Siapa pemuda itu?"
tanya Lie Man Chiu. ”Apakah dia pemuda yang baik?"
"Dia bernama Sie Keng
Hauw. Menurut aku dia memang pemuda yang baik," jawab Lie Ai ling dan
menambahkan.
"Justru sungguh di luar
dugaan, ternyata pemuda itu saudara Hui San."
"Oh?" Lie Man Chiu
tertegun. "Dari mana engkau tahu?"
"Tadi Hui San
memberitahukan, maka aku pun ingat...." Lie
Ai Ling memberitahukan
sekaligus menutur tentang itu.
"Ooooh!" Lie Man
Chiu manggut-manggut sambil tersenyum, kemudian berpesan. "Ai Ling, engkau
tidak boleh memberitahukan kepada Hay Thian bahwa Lu Thay Kam adalah ayah
angkat Hui San."
"Tadi Hui San juga
berpesan begitu," ujar Lie Ai Ling melanjutkan. "Aku pun tak
menyangka jikalau Ayah pernah jadi wakil ayah angkatnya."
"Ai Ling...." Lie
Man Chiu menghela nafas panjang. "Itu
telah berlalu, jangan diungkit
lagu" "Ya, Ayah." Lie Ai Ling mengangguk.
"Ai Ling!" Tio Hong
Hoa menatapnya lembut "Apabila engkau bertemu lagi dengan pemuda itu,
ajaklah dia ke mari menemui ibu dan ayah!"
"Ibu...." Wajah Lie Ai Ling berseri. "Besok aku akan
berangkat ke markas pusat Kay
Pang sebab Goat Nio masih menunggu di sana. Lagi pula Keng Hauw akan ke markas
pusat Kay Pang menemuiku. Aku... aku harus segera berangkat ke sana."
"Baik," pesan Lie
Man Chiu sungguh-sungguh "Setelah kalian berjumpa, ajaklah dia ke
mari!"
"Ya, Ayah." Lie Ai
Ling mengangguk. Keesokan harinya, Lie Ai Ling berpamit ke pada semua orang.
"Ai Ling, kalau engkau
bertemu Bun Yang dan Goat Nio, ajaklah mereka pulang!" pesan Lim Ceng Im.
"Seandainya cuma bertemu
Goat Nio...." Kou Hun Bijin juga
ikut berpesan pada gadis itu
"Biarlah dia tetap di markas pusat Kay Pang menunggu Bun Yang."
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk.
"Ai Ling!" Sam Gan
Sin Kay menatapnyi seraya berkata. "Sampaikan pesanku kepada Peng Hang,
bahwa menyuruh dia menyelidiki Kui Biu Pang!"
Lie Ai Ling mengangguk lagi,
dan setelah itu barulah berangkat. Lie Man Chiu, Tio Hong Hoa, Tio Cie Hiong
dan Lim Ceng Im mengantarnya sampai di luar rumah.
"Syukurlah dia sudah
punya kekasih!" ucap m Cie Hiong setelah Lie Ai Ling tidak kelihatan.
"Memang sungguh di luar
dugaan!" sahut Lie lan Chiu sambil tersenyum. "Pemuda itu saudara Li
Hui San!"
'Oh, ya?" Tio Cie Hiong
tertegun. "Kok engkau tahu?"
"Ai Ling yang beritahukan,"
sahut Lie Man hiu menjelaskan. "Pemuda itu bernama Sie Keng Kauw, putra
Sie Kuang Han, paman Lu Hui San."
"Aku jadi bingung
nih," ujar Lim Ceng Im dengan kening berkerut. "Hui San bermarga Lu,
sedangkan Keng Hauw bermarga Sie. Kok ayah Seng Hauw adalah paman Hui
San?"
"Perlu
kuberitahukan..." ujar Lie Man Chiu n menutur, kemudian menambahkan.
"Kini kalian sudah tahu ayah angkat Hui San adalah Lu lay Kam, namun
jangan menceritakan kepada Hay Thian!"
"Ooh!" Tio Cie Hiong
manggut-manggut. "Tenyata begitu! Baiklah. Kami tidak akan menceritakan
tentang itu kepada Hay Thian."
"Tapi...." Lim Ceng
Im mengerutkan kening, ”Kelak Hay
Thian pasti
mengetahuinya."
"Itu urusan kelak, lagi
pula Hay Thian mungkin sudah mencintai Hui San," sahut Tio Hong Hoa
"Mudah-mudahan!"
ucap Tio Cie Hiong sambil menghela nafas panjang. "Kini yang kupikirkan
adalah Kui Bin Pang itu."
---ooo0dw0oo---
Bagian ke tiga puluh sembilan
Menanti dengan penuh kesabaran
Di ruang depan markas pusat
Kay Pang, tampah Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong sedang duduk sambil
bercakap-cakap.
"Entah Bun Yang berhasil
menyusul Goat Nio apa tidak?" ujar Lim Peng Hang sambil menghela nafas
panjang.
"Aku justru khawatir
mereka tidak bertemu” sahut Gouw Han Tiong. "Sebab Gunung Thian San begitu
luas, tinggi dan udaranya dingin. Cara bagaimana Bun Yang bisa
mencarinya?"
"Itu...." Lim Peng
Hang menggeleng-geleng kan kepala.
Di saat bersamaan, muncul
seorang pengemis tua menghadap mereka. Setelah memberi hormat pengemis itu
melapor.
"Pangcu, ada seorang
pemuda berkunjung kemari."
"Oh?" Lim Peng Hang
tercengang. "Siapa pemuda itu? Mau apa dia berkunjung ke mari?"
"Dia bernama Sie Keng
Hauw, ingin menemui Lie Ai Ling."
"Kalau begitu..."
pikir Lim Peng Hang sejenak. ”Suruh dia masuk!"
"Ya, Pangcu."
Pengemis tua itu memberi hormat lalu melangkah pergi. Tak lama muncullah Sie
Keng Hauw.
"Pangcu!" Sie Keng
Hauw menjura. "Terimalah hormatku!"
"Silakan duduk!"
sahut Lim Peng Hang sambil menatapnya tajam.
"Terimakasih!" ucap
Sie Keng Hauw lalu duduk.
"Anak muda, sebetulnya
siapa engkau?" tanya iuw Han Tiong. "Bolehkah engkau menjelas-n/
"Namaku Sie Keng Hauw.
Aku pernah bertemu Lie Ai Ling dan gadis Jepang itu." Sie Keng Hauw
memberitahukan. "Dia yang berpesan kepadaku ke mari menunggunya, karena
dia sedang mengantar gadis Jepang itu ke Pulau Hong Hoang to ”
"Ooh!" Lim Peng Hang
manggut-manggut. ”Tapi dia belum ke mari, mungkin masih dalam perjalanan menuju
ke sini."
"Kalau begitu...." Sie Keng Hauw bangkit dari
tempat
duduknya. "Aku mohon diri
saja. Beberapa hari kemudian, aku akan ke mari lagi."
"Begini saja," ujar
Gouw Han Tiong mengusulkan. "Lebih baik engkau tinggal di sini
menunggunya, jadi engkau tidak usah repot ke sana ke mari!"
"Tapi akan merepotkan
Paman-paman."
"Tidak apa-apa." Lim
Peng Hang tertawa gelak. "Engkau boleh tinggal di sini menunggu Ai Ling.
Oh ya, bolehkah kami tahu siapa orang tuamu?"
"Ayahku bernama Sie Kuang
Han." Sie Keng Hauw memberitahukan.
"Ooh!" Lim Peng Hang
manggut-manggut.
"Oh ya!" Sie Keng Hauw
teringat sesuatu, dia langsung memberitahukan. "Aku juga kenal Tio Bun
Yang dan Siang Koan Goat Nio. Mereka yang membawa Hui San pergi menemui
ayahku.'
„Oh?" Wajah Lim Peng Hang
berseri. "Sungguh diluar dugaan, engkau juga kenal cucuku!"
"Apa?" Sie Keng Hauw
tertegun. "Bun Yang adalah cucu Paman?"
"Benar." Lim Peng
Hang manggut-manggut "Ibunya adalah putriku. Oh ya, engkau juga kena! Lu
Hui San?"
"Terus terang, Hui San
dan aku bersaudara.” Sie Keng Hauw menjelaskan. "Ayahku dan ayah nya
adalah saudara kandung."
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggut lagi. "Ternyata begitu! Tak disangka Lu Thay Kam
adalah ayah angkatnya!"
"Paman, apakah Bun Yang,
Goat Nio dan Hui .San tidak berada di sini?" tanya Sie Keng Hauw.
"Mereka tidak berada di
sini. Hui San berada di Pulau Hong Hoang To, sedangkan Bun Yang dan Goat
Nio...." Lim Peng Hang memberitahukan.
"Oooh!" Sie Keng
Hauw manggut-manggut.
"Keng Hauw," ujar
Gouw Han Tiong mendadak sambil tersenyum. "Engkau jangan memanggil kami
paman, harus memanggil kami kakek!"
"Maaf!" Sie Keng
Hauw cepat-cepat minta maaf. "Aku sama sekali tidak berpikir sampai
kesitu, harap Kakek Lim dan Kakek Gouw sudi memaafkan ku!"
"Ha ha ha!" Gouw Han
Tiong tertawa gelak. ”Tidak apa-apa."
"Keng Hauw!" Lim
Peng Hang menatapnya lain. "Setelah engkau bertemu Ai Ling, bagaimana
perasaanmu terhadapnya?" tanyanya.
"Aku..." Wajah Sie
Keng Hauw agak kemerah-merahan. "Terkesan baik terhadapnya."
"Juga jatuh hati
padanya?" tanya Lim Peng Hang lagi sambil tersenyum.
"Ya." Sie Keng Hauw
mengangguk. "Tapi____"
"Kenapa?" tanya Lim
Peng Hang cepat.
"Aku tidak tahu apakah
dia juga jatuh hati padaku apa tidak," jawab Sie Keng Hauw sambil menghela
nafas panjang.
"Keng Hauw," ujar
Gouw Han Tiong sungguh sungguh. "Engkau harus bertanya kepadanya, jangan
ragu dan merasa malu untuk bertanya!"
"Ya." Sie Keng Hauw
mengangguk.
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang tertawa gelak "Dia yang menyuruhmu menunggu di sini, tentunya dia
juga telah jatuh hati padamu. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia akan menyuruh
ke mari menunggunya?"
"Benar." Wajah Sie
Keng Hauw berseri.
Lim Peng Hang dan Gouw Hang
Tiong salii memandang, kemudian keduanya tertawa terbahak bahak.
"Ha ha ha! Ha ha
ha...!"
Walau Sie Keng Hauw sudah
menunggu beberapa hari, Lie Ai Ling yang ditunggunya belum juga kunjung datang.
Namun pemuda tersebut tidak putus harapan atau patah semangat, dia tetap
menanti dengan penuh kesabaran.
Menyaksikan itu, diam-diam Lim
Peng Han dan Gouw Han Tiong memujinya dalam hati Mereka berdua juga bersyukur
dalam hati, karena Lie Ai Ling bertemu pemuda yang baik, sopan, tampan dan
penuh kesabaran.
Hari ini Lim Peng Hang, Gouw
Han Tiong in Sie Keng Houw duduk di ruang depan sambil bercakap-cakap.
"Heran?" gumam Lim
Peng Hang. "Kenapa sudah lewat lima enam hari Ai Ling masih belum
kemari?"
"Mungkin dia ada
halangan," sahut Sie Keng Hauw. "Itu tidak apa-apa, aku akan tetap
menunggunya di sini. Tapi
apakah aku tidak akan
Mengganggu Kakek Lim dan Kakek Gouw?"
"Tentu tidak." Lim
Peng Hang tersenyum. ”engkau boleh terus menunggunya di sini."
"Terimakasih, Kakek
Lim." ucap Sie Keng lauw.
"Aku yakin..." ujar
Gouw Han Tiong. "Dia pasti ke mari."
Di saat bersamaan, tampak
sosok bayangan berkelebat ke dalam, terdengar pula suara seruan nyaring.
"Kakek Lim! Kakek Gouw!"
"Ai Ling!" sahut Lim
Peng Hang dan Gouw lan Tiong sambil tertawa. "Ha ha ha! Akhirnya engkau
muncul juga!"
"Ai Ling!" Sie Keng
Hauw buru-buru mendekatinya. "Ai Ling!"
"Keng Hauw!" panggil
Lie Ai Ling sambil memandangnya dengan mata berbinar-binar. "Sudah lama
engkau menungguku di sini?"
"Tidak begitu lama,"
sahut Sie Keng Hau "Aku...."
"Tidak begitu lama, namun
sudah enam hari dia menanti di sini," ujar Lim Peng Hang memberitahukan.
"Akan tetapi, dia tetap menanti def ngan sabar sekali."
"Oh?" Wajah Lie Ai
Ling berseri. "Terima kasih, Kakek Lim dan Kakek Gouw!"
"Lho?" Lim Peng Hang
heran. "Kenapa engkau berterimakasih kepada kami?"
"Karena..." ujar Lie
Ai Ling dengan suara rendah, "karena Keng Hauw diperbolehkan tinggal di
sini menungguku."
"Ooh!" Lim Peng Hang
manggut-manggut sambil tersenyum. "Ai Ling, dia pernah bertanya sesuatu
kepada kami!"
"Apakah yang dia
tanyakan?"
"Dia bertanya, apakah
engkau juga jatuh hati padanya?"
"Dia____" Wajah Lie
Ai Ling agak kemerah-merahan, namun hatinya berbunga-bunga. "Kakek Lim,
betulkah dia bertanya begitu?"
"Betul." Lim Peng
Hang mengangguk. "Nah engkau harus memberitahukan kepadanya!"
"Kakek Lim____" Lie
Ai Ling cemberut.
"Baiklah." Ling Peng
Hang dan Gouw Hai Tiong bangkit dari tempat duduknya. "Kami ke dalam,
silakan kalian berdua saling mencurahkan isi hati masing-masing di sini!"
Usai berkata begitu, Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong berjalan ke dalam sambil tertawa gelak.
"Konyol sekali Kakek Lim
dan Kakek Gouw!" ujar Lie Ai Ling dengan suara rendah.
"Mereka tidak konyol,
melainkan demi kebaikan kita," sahut Sie Keng Hauw. "Ai Ling, mari
kita duduk!"
Lie Ai Ling mengangguk. Mereka
lalu duduk sambil saling memandang dengan mata berbinar-binar.
"Eeeh?" Lie Ai Ling
menengok ke sana ke mari. "Kok Goat Nio tidak kelihatan?"
"Dia sudah berangkat ke
Gunung Thian San." Sie Keng Hauw memberitahukan.
"Apa?" Lie Ai Ling
tertegun. "Kapan dia berangkat?"
"Entahlah." Sie Keng
Hauw menggelengkan kepala. "Kakek Lim yang memberitahukan kepadaku."
"Aaah...!" keluh Lie
Ai Ling sambil menghela nafas panjang. "Kenapa dia tidak sabar
menungguku?"
"Karena dia tak tahan
menahan rindunya kepada Bun Yang," ujar Sie Keng Hauw. ”Maka dia berangkat
ke sana."
"Oooh!" Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Seandainya aku tidak muncul hari ini, bagaimana
engkau?"
"Aku akan tetap menanti
dengan penuh ke sabaran."
"Bagaimana kalau aku
tidak muncul sama sekali?"
"Aku pasti menyusulmu ke
Pulau Hong Hoan To," ujar Sie Keng Hauw sungguh-sungguh. "Namun
dengan membawa kekecewaan."
"Lho?" Lie Ai Ling
terbelalak. "Kenapa harus membawa kekecewaan?"
"Karena engkau tidak
muncul di sini, berarti engkau sudah melupakan aku. Nah, bukankah aku akan
kecewa sekali?"
"Keng Hauw...." Lie
Ai Ling tersenyum. "Kini aku sudah
berada di sisimu, bagaimana
perasaan mu?"
"Aku gembira
sekali," sahut Sie Keng Hauw kemudian mendadak menggenggam tangan gadis
itu erat-erat. "Ai Ling, engkau jatuh hati padaku?"
"Ng!" Lie Ai Ling
mengangguk perlahan. "Engkau?"
"Sama." Sie Keng
Hauw tersenyum lembut "Oh ya! Ternyata engkau teman baik Hui San itu
sungguh di luar dugaan!"
"Benar." Lie Ai Ling
tertawa gembira. "Setelah aku tiba di Pulau Hong Hoang To, barulah aku
tahu tentang itu. Hui San yang memberitahukan kepadaku. Pantas aku merasa pernah
mendengar namamu!"
"Ai Ling, bagaimana
keadaan adikku? Dia baik-baik saja?" tanya Sie Keng Hauw penuh perhatian.
"Dia baik-baik
saja," jawab Lie Ai Ling. "Engkau tahu tentang itu dari ayahmu?"
"Ya." Sie Keng Hauw
mengangguk. "Bahkan ayahku berpesan, aku dan Hui San tidak perlu menuntut
balas terhadap Lu Thay Kam."
"Syukurlah!" ucap
Lie Ai Ling. "Tapi ketika itu, Lu Thay Kam justru nyaris mati di tangan
Hui San."
"Oh?" Sie Keng Hauw
mengerutkan kening. 'Kenapa bisa begitu?"
"Ternyata Lu Thay Kam
sangat menyayangi Kui San, maka dia rela mati di tangan Hui San." Lie Ai
Ling memberitahukan, kemudian menutur tentang kemunculan Tio Bun Yang, yang
menyelamatkan nyawa Lu Thay Kam.
"Aaaah!" Sie Keng
Hauw menghela nafas panjang. "Pada dasarnya Lu Thay Kam tidak jahat, tapi
dikarenakan politik di istana, maka dia tertaksa bertindak kejam."
"Tapi ada satu hal yang
sangat memusingkan," ujar Lie Ai Ling sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Hal apa?"
"Mengenai Kam Hay
Thian."
"Memangnya kenapa?"
"Hui San mencintainya,
namun Kam Hay Thian bersikap acuh tak acuh kepadanya. Lagi pula dia sangat
mendendam pada Lu Thay Kam karena....” Lie Ai Ling menceritakan
tentang kematian guru silat
Lie dan putrinya yang dibunuh para anggota Hiat Ih Hwe. "oleh karena itu,
Kam Hay Thian bersumpah akan membunuh Lu Thay Kam, sedangkan Lu Thay Kam adalah
ayah angkat Hui San."
"Itu memang sangat
memusingkan." Sie Ken, Hauw menghela nafas. "Oh ya! Apakah Kam Hay
Thian belum tahu bahwa Lu Thay Kam adalah ayah angkat Hui San?"
"Belum tahu. Karena itu,
engkau juga tidak boleh memberitahukannya apabila kalian bertemu!” pesan Lie Ai
Ling.
"Ya." Sie Keng Hauw
mengangguk. "Ai Ling aku ingin menemui Hui San. Maukah engkau mengantarku
ke Pulau Hong Hoang To?"
”Tentu mau," sahut Lie Ai
Ling sambil tersenyum manis. "Karena kedua orang tuaku pingin bertatap
muka denganmu."
"Oh? Aku...."
"Engkau tidak mau
bertatap muka dengan kedua orang tuaku?"
"Tentu mau dan memang
harus. Tapi...." Sie Keng Hauw
tersenyum, "aku agak
gugup."
"Kenapa harus
gugup?" ujar Lie Ai Ling sambil menatapnya. "Kalau engkau gugup,
pertanda... engkau tidak bersungguh-sungguh terhadapku lho!"
"Ai Ling!" Sie Keng
Hauw menatapnya lembut seraya berkata, "Aku bersungguh-sungguh terhadapmu,
percayalah!"
"Aku percaya." Lie
Ai Ling menundukkan ppala.
"Ha ha ha!"
Terdengar suara tawa gelak, muncul Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong.
”Bagaimana? Kalian berdua sudah beres menarahkan isi hati masing-masing?"
"Kakek Lim...." Lie
Ai Ling cemberut.
"Sudah, Kakek Lim,"
sahut Sie Keng Hauw sambil tersenyum. "Terimakasih atas perhatian kakek
Lim dan Kakek Gouw! Terimakasih!"
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang dan Gouw Han tertawa lagi, lalu duduk sambil memandang mereka.
"Kalian berdua merupakan pasangan yang cocok dan serasi. Kami turut
gembira."
"Kakek Lim...." Lie
Ai Ling melotot, lalu mendadak teringat
sesuatu. "Oh ya! Ada
titipan pesan dari Sam Gan Sin Kay. Beliau berpesan...."
"Ayahku berpesan
apa?" Lim Peng hang heran.
"Menyelidiki gerak gerik
Kui Bin Pang (Perkumpulan Muka Setan)!" Lie Ai Ling memberitahukan.
"Ternyata orang-orang berpakaian putih dan memakai kedok setan yang pernah
kami lihat tempo hari itu, adalah para anggota Kui Bin Pang” "Kui Bin
Pang?" Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong saling memandang,
keduanya kelihatan bingung. "Apakah Kui Bin Pang itu merupakai perkumpulan
yang baru muncul di rimba per silatan?"
"Entahlah." Lie Ai
Ling menggelengkan kepala. "Aku tidak begitu jelas. Tapi kakek Tio tahu
tentang Kui Bin Pang itu."
"Oh?" Lim Peng Hang
mengerutkan kening "Apa yang dikatakan Tio Tocu mengenai Kui Bin Pang
itu?" ,
"Kakek Tio
memberitahukan...” Lie Ai Lini menutur sesuai dengan apa yang dikatakan Tio Tay
Seng.
Setelah mendengar penuturan
Lie Ai Ling muka Lim Peng Hang dan Gouw Han Tion tampak berubah hebat.
"Kui Bin Pang..."
gumam Gouw Han Tiong "Tidak salah. Almarhum pernah menceritaka tentang
itu."
"Ayahmu tahu jelas
mengenai Kui Bin Pang“ Lim Peng Hang tertegun.
"Ketika berusia belasan,
ayahku pernah ke kota Giok Bun Kwan. Di kota perbatasan itu ayahku mendengar
tentang Kui Bin Pang," ujar Gouw Han Tiong dan melanjutkan.
"Perkumpulan itu merupakan perkumpulan misteri, ketua dan para anggotanya
berkepandaian sangat tinggi sekali. Namun perkumpulan itu tidak pernah memasuki
daerah Tionggoan."
"Kalau begitu...."
Kening Lim Peng Hang berkerut-kerut.
"Kenapa kini para anggota
Kui Bin Pang itu berada di Tionggoan?"
"Karena itu, Sam Gan Sin
Kay menyuruh kita menyelidikinya," sahut Gouw Han Tiong.
"Ngmm!" Lim Peng
Hang manggut-manggut. kita harus perintahkan beberapa anggota handal untuk
menyelidiki itu."
"Betul." Gouw Han
Tiong mengangguk. "Tapi jangan bentrok dengan mereka sehingga menimbulkan
hal-hal yang tak diinginkan!" Lim Peng Hang manggut-manggut lagi, kemudian
memandang Lie Ai Ling seraya bertanya, iTempo hari engkau dan Siang Koan Goat
melihat mereka, apakah engkau masih ingat mereka menuju mana?"
"Mereka menuju
utara!" Lie Ai Ling mem-itahukan.
"Baiklah," ujar Lim
Peng Hang. "Kami akan menyelidiki tentang itu. Oh ya, Goat Nio tidak lagi
menunggu di sini, dia sudah berangkat ke gunung Thian San."
"Keng Hauw sudah
memberitahukan kepadaku”ujar Lie Ai Ling. "Kakek Lim, aku dan Keng Hauw
harus segera berangkat ke Pulau Hong Hoang To."
"Tidak mau menunggu Goat
Nio atau Bun Yang?” tanya Lim Peng Hang. "Ayah dan ibu berpesan kepadaku,
aku harus segera membawa Keng Hauw ke Pulau Hong Hoang To," jawab Lie Ai
Ling dan menambahkan. "Lagi pula Keng Hauw ingin bertemu Hui San."
"Kapan kalian akan
berangkat?"
"Besok pagi. Oh ya! Paman
Cie Hiong berpesan, kalau Kakak Bun Yang dan Goat Nio ke mari, tolong suruh
mereka segera pulang ke Pulau Hong Hoang To!"
"Baik." Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Kalau mereka ke mari, pasti kusuruh segera pulang
ke Pulau Hong Hoang To."
"Terimakasih, Kakek
Lim!" ucap Lie Ai Ling.
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang tertawa gelak. "Ai Ling, engkau sungguh beruntung sekali, karena Keng
Hauw merupakan pemuda yang baik, tampan dan penuh kesabaran."
Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw
telah meninggalkan markas pusat Kay Pang, langsung menuju Pulau Hong Hoang To.
Perjalanan ini sung guh menggembirakan mereka. Mereka bersenda gurau, bercanda
ria dan memadukan cinta.
Oleh karena itu, tak terasa
sama sekali mereka sudah tiba di Pulau Hong Hoang To. Dapat dibayangkan, betapa
gembiranya Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa, begitu pula yang lain.
Kou Hun Bijin terus memandang
Sie Keng Hauw dengan penuh perhatian, kelihatannya seakan sedang mengamati
suatu benda antik.
"Bijin!" tegur Sam
Gan Sin Kay sambil tertawa pelak. "Ha ha ha! Kenapa engkau begitu?"
"Ngmmm!" Kou Hun
Bijin manggut-manggut. "Pemuda itu memang pantas menjadi suami Ai
Ling."
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak lagi. "Kenapa engkau berubah menjadi begitu
usil?"
"Hi hi hi!" Kou Hun
Bijin tertawa nyaring. 'Aku paling tua di sini, tentunya berhak menentukan
sesuatu."
"Oh, ya?" Sam Gan
Sin Kay terbelalak.
"Tio Tocu!" Kou Hun
Bijin menatapnya seraya bertanya, "Apakah aku tidak boleh menentukan
sesuatu di sini?"
"Tentu boleh. Tentu
boleh..." sahut Tio Tay Seng sambil tertawa terbahak-bahak.
Sementara Sie Keng Hauw
berdiri terbengong-bengong di tempat, sebab barusan Kou Hun Bijin mengatakan
bahwa dirinya paling tua, itu sungguh mengherankannya.
"Keng Hauw," bisik
Lie Ai Ling memberitahu "Kou Hun Bijin sudah berusia seratus tahun lebih.
Suaminya adalah Kim Siauw Suseng yang juga awet muda."
"Ooooh!" Sie Keng
Hauw manggut-manggu dengan mata terbelalak.
"Goat Nio putri
mereka." Lie Ai Ling mem beritahukan lagi.
"Pantas Goat Nio begitu
cantik, ternyata kedua orang tuanya awet muda!" bisik Sie Keng Hauw.
"Anak muda," ujar
Tio Tay Seng sambil tersenyum. "Duduklah! Jangan terus berdiri!"
"Terimakasih,
Kakek!" ucap Sie Keng Hauv sambil duduk. Kemudian Lie Ai Ling pun duduk di
sebelahnya dengan wajah berseri-seri.
"Bocah," ujar Kou
Hun Bijin sambil tertawa "Hi hi hi! Mari kuperkenalkan mereka semua Yang
duduk di sisiku ini suamiku tercinta, yang dekil itu adalah pengemis bau dan
yang duduk ditengah-tengah itu adalah Tio Tay Seng, majikan pulau ini."
Sie Keng Hauw terus-menerus
memberi hormat kepada mereka satu persatu. Hal itu membuat Lie Ai Ling tertawa
geli dalam hati. Sementar Lie Man Chiu dan Tio Hoang Hoa tersenyum senyum,
keduanya tampak merasa suka kepada pemuda itu.
Seusai Kou Hun Bijin memperkenalkan
mereka, muncullah Kam Hay Thian, bersama Lu Hui San, Bokyong Sian Hoa dan
Yatsumi.
"Ai Ling!" seru
gadis Jepang itu gembira
'Syukurlah engkau pulang
bersama Sie Keng Hauw!"
"Yatsumi!" Wajah Lie
Ai Ling agak kemerah-merahan. Kemudian ia berkata kepada Lu Hui San. "Hui
San, tahukah engkau siapa dia?"
"Aku tahu...." Lu
Hui San manggut-manggut. "Dia Kakak
Keng Hauw, putra
pamanku."
"Adik Hui San!"
panggil Sie Keng Hauw sama memandangnya. "Belasan tahun kita tidak
bertemu, engkau... engkau sudah dewasa!"
"Engkau juga sudah
dewasa," sahut Lu Hui San dan menambahkan. "Aku dengar... engkau dan
Ai Ling sudah saling jatuh hati. Ya, kan?"
"Ya." Sie Keng Hauw
mengangguk. "Engkau dan Kam Hay Thian pun sudah saling mencinta,
bukan?"
"Itu...." Lu Hui San
melirik Kam Hay Thian.
"Kami memang merupakan
kawan akrab," sahut Kam Hay Thian.
Betapa kecewanya Lu Hui San
mendengar ucapan itu, sehingga nyaris menangis.
"Benar." Sie Keng
Hauw tertawa. "Kalian berdua memang sudah akrab sekali. Bagus,
bagus!"
"Hi hi hi!" Mendadak
Kou Hun Bijin tertawa nyaring. "Kalian tingkatan muda, kalau mau muntahkan
isi hati atau memadu cinta, janganlah diruang ini! Di tempat yang sepi saja,
jadi tidak ada yang mengganggu."
"Biarkan saja!"
sahut Sam Gan Sian Kay.
"Kenapa engkau
usil?"
"Hai! Pengemis bau!"
Kou Hun Bijin melotot "Kenapa engkau selalu menentangku? Mau dihajar
ya?"
"Jangan, jangan!"
Sam Gan Sin Kay mengoyang-goyangkan sepasang tangannya. "Takut aku”
"Hmm!" dengus Kou
Hun Bijin dingin sekaligus mengancam. "Kalau engkau berani lagi pasti
kutampar mulutmu!"
"Ampun! Ampun!"
sahut Sam Gan Sin Kay
"Sam Gan Sin Kay,"
ujar Lie Ai Ling memberitahukan. "Aku sudah menyampaikan pesan itu kepada
Kakek Lim."
"Terimakasih!" ucap
Sam Gan Sin Kay, yang kemudian melirik Sie Keng Hauw. "Kalian berdua
memang merupakan pasangan yang serasi."
"Terimakasih, Sam Gan Sin
Kay!" ucap Sie Keng Hauw sambil memberi hormat. "Kami ber
dua...."
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak "Ha ha ha! Aku tahu, kalian berdua sudah saling
mencinta, bukan?"
"Ya." Sie Keng Hauw
mengangguk.
"Keng Hauw____"
Wajah Lie Ai Ling tampak kemerah-merahan. "Engkau...."
"Ai Ling," ujar Sie
Keng Hauw sambil tersenyum. "Di hadapan tingkatan tua, kita harus berterus
terang. Tidak boleh merasa malu.”
"Betul! Betul! Ha ha
ha...!" Sam Gan Sin Kay terus tertawa gembira, kemudian bertanya mendadak.
"Kapan kalian berdua akan melangsungkan pernikahan?"
"Eeeeh?" Sie Keng
Hauw dan Lie Ai Ling ling memandang, keduanya tidak tahu harus bagaimana
menjawabnya.
"Itu akan dirundingkan
nanti," sahut Lie Man Chu. "Sekarang mereka baru tiba, tidak baik
mengutarakan itu."
"Oh ya! Ai Ling!"
Kou Hun Bijin menatapnya seraya bertanya. "Kenapa Goat Nio dan Bun Yang
tak pulang?"
"Aku tidak bertemu Goat
Nio," sahut Lie Ai Ling memberitahukan. "Ternyata dia tidak sabar
menunggu. Karena saking rindunya pada Kakak Bun Yang, maka dia berangkat ke
Gunung Thian san."
"Dia berangkat ke Gunung
Thian San menyusul Bun Yang?" Kou Hun Bijin terbelalak.
”Kenapa jadi kacau begitu?"
"Sebab Goat Nio tidak
tahu, kalau Kakak Bun Yang sudah ke mari, bahkan juga sudah berangkat kemarkas
pusat Kay Pang. Lantaran tidak sabar nunggu, akhirnya dia berangkat ke Gunung
Thian San. Beberapa hari kemudian, Kakak Bun Yang justru tiba di markas pusat
Kay Pang, namun takk bertemu Goat Nio. Karena itu, Kakak Bun Yang segera
berangkat ke Gunung Thian San."
"Mereka berdua...."
Kou Hun Bijin menggeleng-gelengkan
kepala. "Main kejar
kejaran, kasihan sekali! Mudah-mudahan mereka akan bertemu di Gunung Thian
San!"
"Itu tidak apa-apa,"
sela Sam Gan Sin Kay "Kejar-kejaran itu akan memperdalam cinta kasih
mereka, sekaligus membuat mereka semakin rindu satu sama lain."
"Engkau senang ya
mengetahui mereka belum bertemu?" tanya Kou Hun Bijin ketus sambil
melotot.
"Aku tidak mengatakan
senang, namun...! Sam Gan Sin Kay tersenyum. "Itu merupakan suatu cobaan
bagi mereka."
"Hmm!" dengus Kou
Hun Bijin. "Diam! Jangan banyak omong!"
"Baik! Baik! Aku akan
diam." Sam Gan Sin Kay segera menutup mulutnya rapat-rapat.
"Ai Ling," ujar Tio
Hong Hoa. "Engkau boleh ke dalam untuk beristirahat. Ajak juga Sie ken
Hauw!"
"Ya." Lie Ai Ling
segera menarik Sie Ken Hauw ke dalam.
Kam Hay Thian, Lu Hui San,
Bokyong Sian Hoa dan Yatsumi pun ikut ke dalam. Mereka semua menuju ke halaman
belakang.
"Saudara Kam...."
Sie Keng Hauw menepuk bahunya. "Aku
gembira sekali bertemu
denganmu."
"Sama-sama," sahut
Kam Hay Thian sambil tersenyum. "Aku pun senang sekali bertemu
denganmu."
"Hui San adalah adikku,
aku harap engkau baik-baik menjaganya!" ujar Sie Keng Hauw mengandung
suatu maksud tertentu.
"Itu...." Kam Hay
Thian mengerutkan kening.
"Kak," ujar Lu Hui
San cepat. "Aku sudah dewasa, tentunya bisa menjaga diri sendiri."
"Adik...." Sie Keng Hauw menghela nafas panjang,
kemudian mengalihkan
pembicaraan. "Sayang sekali, aku belum bertemu Bun Yang."
"Dia tampan sekali,"
ujar Bokyong Sian Hoa mendadak sambil tersenyum. "Bahkan kepandaian nya
juga tinggi sekali."
"Sian Hoa...." Lie
Ai Ling tertegun. "Eng-kau....
"Aku tahu, Kakak Bun Yang
sangat mencintai Goat Nio," ujar Bokyong Sian Hoa. "Goat Nio pun
sangat mencintainya. Kalau mereka berdua tak saling mencinta, aku pasti
berupaya mendampingi Kakak Bun Yang."
"Ngmm!" Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Engkau adalah gadis yang blak-blakan, bahkan juga tau
diri. Bagus! Engkau memang pantas menjadi adik Bun Yang."
"Ai Ling!" Bokyong
Sian Hoa tertawa kecil, ”aku sudah memanggilnya Kakak Bun Yang."
"Sama." Lie Ai Ling
tersenyum. "Sejak kecil aku memanggilnya Kakak Bun Yang."
"Lagi pula aku pun harus
tahu diri," tambah Bokyong Sian Hoa. "Kakak Bun Yang mencintai Goat
Nio, namun dia menyayangiku. Aku sudah merasa puas. Kita harus ingat akan satu
hal, cinta tidak bisa dipaksa. Kalau dipaksa justru akan menimbulkan hal-hal
yang tak diinginkan."
"Eeeh?" Lie Ai Ling
terbelalak. "Engkau paling kecil di antara kita, tapi pikiranmu sudah
begitu jauh dan matang. Aku salut kepadamu."
"Yaah!" Bokyong Sian
Hoa menghela nafai panjang. "Terus terang, aku merasa kasihan sekali
kepada Hui San."
"Lho?" Lu Hui San
tersentak. "Kenapa?"
"Engkau begitu mencintai
Kam Hay Thian” sahut Bokyong Sian Hoa secara blak-blakan. "Namun
sebaliknya dia selalu bersikap acuh tak acuh, kelihatannya dia merindukan gadis
lain."
"Sian Hoa____" Air
muka Kam Hay Thian tampak berubah.
"Engkau harus tahu, gadis
yang engkau rindukan itu mencintai pemuda lain. Maka percuma engkau
merindukannya. Lebih baik arahkan perhatianmu pada Lu Hui San! Kalau engkau
menolak cintanya, pasti menyesal kelak," ujar Bok yong Sian Hoa.
"Engkau____" Wajah
Kam Hay Thian tampak tidak senang.
"Hmm!" dengus
Bokyong Sian Hoa. "Hui San begitu baik terhadapmu, namun engkau malah
bersikap dingin dan acuh tak acuh terhadapnya. Aku juga anak gadis, tentunya
merasa simpati padanya, tapi merasa sebal padamu."
"Sian Hoa____"
Yatsumi segera menarik tangan gadis itu. "Jangan terus menegurnya!"
"Dia adalah pemuda yang
tak tahu diri," ujar Bokyong Sian Hoa. "Setahuku, Hui San yang
membopongnya ke mari ketika dia terluka parah. tapi dia...."
"Sian Hoa!" Lie Ai
Ling merasa tidak enak. ”Sudahlah! Jangan...."
"Aku merasa kasihan pada
Hui San, sebab batinnya tersiksa sekali," sahut Bokyong Sian Hoa dan
menambahkan. "Kalau aku adalah Hui san, sudah kutendang pemuda yang begitu
macam!"
"Sian Hoa____" Lie
Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala.
Kam Hay Thian memandang mereka
semua, kemudian meninggalkan tempat itu dengan kepala tertunduk.
"Hay Thian!" panggil
Lu Hui San dengan suara rendah.
"Percuma engkau
memanggilnya," sahut Bok-Yong Sian Hoa. "Dia adalah pemuda yang tak
punya perasaan dan tidak mengenal cinta yang suci murni. Kelak dia pasti hidup
menderita karena itu."
Sementara Sie Keng Hauw diam
saja. Namun ia terus menatap iba pada Lu Hui San. Dalam hal ini, ia tidak bisa
membantu apa-apa.
---ooo0dw0ooo---
Pintu kamar Lie Ai Ling
terbuka, Lie Mu Chiu dan Tio Hong Hoa melangkah ke dalam dengan wajah
berseri-seri.
"Ayah, Ibu..." gadis
itu tercengang, karena sudah larut malam kedua orang tuanya justru datang di
kamarnya.
"Engkau belum tidur, Nak?"
tanya Tio Hong Hoa lembut.
"Aku baru mau
tidur," sahut Lie Ai Ling. "Ada urusan apa, sehingga Ibu dan Ayah ke
mari lagi malam?"
"Kami ingin membicarakan
sesuatu dengan mu," sahut Tio Hong Hoa sambil duduk di pinggir tempat
tidur, sedangkan Lie Man Chiu cuma berdiri memandangnya sambil tersenyum.
"Ibu ingin membicarakan
apa?" tanya Lie / Ling heran.
"Nak!" Tio Hong Hoa
menatapnya dalam-dalam seraya bertanya, "Engkau sungguh-sungguh mencintai
Sie Keng Hauw?"
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk.
"Dia juga
mencintaimu?" tanya Tio Hong Hoa lagi.
"Ya," jawab Lie Ai
Ling dengan wajah agak kemerah-merahan. "Dia memang mencintaiku."
"Syukurlah!" ucap
Tio Hong Hoa. "Lalu bagaimana rencana kalian?"
"Rencana apa?" Lie
Ai Ling heran.
"Tentunya mengenai
pernikahan kalian," sahut Lie Man Chiu. "Kira-kira kapan kalian akan
melangsungkan pernikahan?"
"Ayah...." Lie Ai
Ling tersipu. "Kami baru saling mencinta,
kenapa Ayah sudah membicarakan
itu? Bukankah terlampau cepat?"
"Kalau kalian berdua
sudah saling mencinta, apa salahnya segera melangsungkan pernikahan?" ujar
Lie Man Chiu sambil tertawa.
"Ayah!" Lie Ai Ling
tersenyum. "Aku tidak mau begitu cepat menikah, sebab aku belum ingin
punya anak."
"Kami justru ingin
cepat-cepat menggendong cucu," ujar Tio Hong Hoa sambil tersenyum.
"Karena itu, engkau harus segera menikah."
"Ibu, aku belum mau
menikah." Lie Ai Ling cemberut. "Aku masih muda, belum bisa mengurusi
bayi."
"Jangan khawatir! Ibu
akan mengurusinya," ujar Tio Hong Hoa sungguh-sungguh. "Jadi engkau tidak
usah mengkhawatirkan itu."
"Ibu, pokoknya aku belum
mau menikah!" Lie Ai Ling membanting-banting kaki.
"Baiklah." Tio Hong
Hoa tersenyum. "Terus terang, kami sangat menyukai Sie Keng Hauw Dia
memang merupakan pemuda baik, sopan dan penuh kesabaran."
"Dia memang sabar,"
ujar Lie Ai Ling mem beritahukan. "Dia terus menungguku di markas pusat
Kay Pang."
"Ngmm!" Tio Hong Hoa
manggut-manggut, "Nak, kini legalah hati kami karena engkau sudah punya
kekasih."
"Ibu...." Mendadak
wajah Lie Ai Ling tampak agak berubah. "Aku...."
"Ada apa, Nak?"
tanya Tio Hong Hoa sambil menatapnya. "Hatimu masih terganjel sesuatu?
Katakanlah pada ibu!"
"Aku mengkhawatirkan Hui
San." Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala. "Dia begitu mencintai
Kam Hay Thian, tapi Kam Hay Thian malah acuh tak acuh terhadapnya."
"Nak!" Tio Hong Hoa
tersenyum. "Cinta tidak bisa dipaksa, kalau Kam Hay Thian tidak mencintai
Lu Hui San, maka Lu Hui San harus menjauhinya."
"Memang." Lie Ai
Ling manggut-manggut "Tapi Hui San sudah begitu dalam mencintainya aku
khawatir mereka akan terjadi sesuatu kelak”
"Ai Ling," ujar Lie
Man Chiu sungguh-sungguh. "Engkau harus berusaha menasihatinya."
"Ya, Ayah." Lie Ai
Ling mengangguk dan memberitahukan. "Tadi Sian Hoa telah mencetuskan yang
pedas dan tajam terhadap Kam Hay Ihian, mungkin pemuda itu akan
tersinggung."
"Oh?" Tio Hong Hoa
mengerutkan kening. 'Itu akan menimbulkan suatu masalah di pulau”
"Belum tentu," ujar
Lie Man Chiu. "Sebab kam Hay Thian merupakan pemuda yang baik, hanya saja
cintanya belum tumbuh terhadap Hui san. Aku yakin suatu saat nanti, dia akan
mencintainya."
"Mudah-mudahan!"
ucap Tio Hong Hoa, kemudian berkata kepada Lie Ai Ling. "Nak, kami harap
engkau dan Keng Hauw jangan begitu cepat meninggalkan pulau ini, tinggallah di
sini beberapa bulan!"
"Baik." Lie Ai Ling
mengangguk. "Akan kuberitahukan kepadanya, mungkin dia akan menuruti
perkataanku."
"Ngmm!" Lie Man Chiu
dan Tio Hong Hoa manggut-manggut, kemudian keduanya pun tersenyum.
"Syukurlah!"
---ooo0dw0ooo---
Jilid 9
Bagian ke empat puluh
Bu Ceng Sianli (Bidadari Tanpa
Perasaan)
Sementara itu, Siang Koan Goat
Nio terus melakukan perjalanan menuju Gunung Thian San. Enam tujuh hari
kemudian, gadis itu merasa menyesal atas tindakannya. Gunung Thian San begitu
luas, tinggi dan hawanya dingin sekali. Bagaimana mungkin ia bisa mencari Tio
Bun Yang di sana? Kini barulah terpikirkan olehnya, karena itu ia merasa
menyesal. Seharusnya ia tetap
menunggu di markas pusat Kaypang. Namun sudah terlanjur, maka gadis itu
terpaksa melanjutkan perjalanan.
Hari ini Siang Koan Goat Nio
tiba di sebuah kota kecil. Ia mampir di kedai teh, karena sudah merasa haus
sekali
Setelah Siang Koan Goat Nio
duduk, pelayan kedai itu langsung menyuguhkan secangkir teh hangat seraya
bertanya,
"Nona mau pesan makanan
lain?"
"Tidak usah!" sahut
Siang Koan Goat Nio.
Di saat ia baru mau mengangkat
cangkirnya, mendadak melangkah ke dalam seorang gadis berusia dua puluhan.
Bukan main cantiknya gadis itu, sudah barang tentu membuat para tamu terpukau
menyaksikannya.
Siang Koan Goat Nio adalah
gadis yang sangal cantik, namun ia merasa mengakui akan kecantikan gadis yang
baru datang itu.
Karena tiada meja yang kosong,
maka gadis itu mendekati meja Siang Koan Goat Nio.
"Adik manis!" tanya
gadis itu. "Bolehkah aku duduk di sini?"
"Silakan!" sahut
Siang Koan Goat Nio dengan ramah sambil tersenyum lembut. "Aku gembira
sekali Kakak mau duduk bersamaku."
"Terima kasih!" ucap
gadis itu sambil duduk di hadapannya.
Pelayan segera menyuguhkan
secangkir teh, kemudian bertanya dengan sopan dan tersenyum
"Nona mau pesan makanan
lain?"
"Sajikan makanan ringan
untuk kami berdua!" sahut gadis itu.
"Ya, ya." Pelayan
itu mengangguk dan cepat- cepat menyajikan beberapa macam makanan ringan
"Adik manis, mari kita nikmati makanan ringan ini!" ujar gadis itu
sambil tersenyum ramah.
"Terimakasih, Kak!"
ucap Siang Koan Goat Nio, yang terkesan baik pada gadis itu. Mereka berdua
mulai menikmati makanan ringan sambil mengobrol, dan gadis itu memandang Siang
Koan Goat Nio.
"Adik manis, engkau
sungguh cantik!"
"Kakak lebih cantik
dariku," sahut Siang Koan Goat Nio. "Oh ya, bolehkah aku tahu siapa
Kakak?"
"Panggillah aku Kakak
Cui!"
"Baik." Siang Koan
Goat Nio mengangguk lalu memperkenalkan diri. "Namaku Siang Koan Goat Nio.
Kakak Cui boleh panggil namaku saja."
"Goat Nio, engkau
sedemikian cantik, tentunya sudah punya kekasih, bukan?" tanya gadis itu
mendadak.
Siapa sebetulnya gadis itu?
Ternyata Tu Siao Cui yang berusia delapan puluhan itu, murid Thian Gwa Sin
Hiap-Tan Liang Tie. Setelah merendam di sumur alam di dalam goa, maka Tu Siao
Cui berubah menjadi muda seperti gadis berusia dua puluhan yang cantik jelita.
"Aku...." Siang Koan
Goat Nio menundukkan kepala.
"Kenapa harus malu?
Berterus teranglah!" ujar Tu Siao Cui sambil tertawa. "Aku berterus
terang kepadamu, aku belum punya kekasih."
"Oh?" Siang Koan
Goat Nio tampak kurang percaya. "Kakak Cui secantik bidadari, bagaimana
mungkin belum punya kekasih?"
"Yaah!" Tu Siao Cui
menghela nafas panjang. "Memang banyak sekali pemuda mendekatiku, tapi
mereka kubunuh semua."
"Haaah...?" Siang
Koan Goat Nio terperanjat. "Kenapa engkau membunuh mereka?"
"Sebab mereka berlaku
kurang ajar terhadapku." Tu Siao Cui memberitahukan. "Belum apa- apa
mereka sudah berani meraba-raba diriku."
"Sungguh sadis dan tak
punya perasaan!" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.
"Bukankah mereka bisa kau usir, jadi tidak usah kau bunuh?"
"Hmm!" dengus Tu
Siao Cui dingin. "Pemuda- pemuda macam itu cuma mengotori dunia, lebih
baik dibasmi!"
"Kakak Cui...."
Siang Koan Goat Nio terbelalak.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa geli. "Kenapa engkau terbelalak? Takut padaku ya?"
"Aku tidak takut, hanya
tidak menyangka...." Siang Koan
Goat Nio menghela nafas
panjang.
"Aku memang Bu Ceng Sianli
(Bidadari Tanpa Perasaan)." Tu Siao Cui memberitahukan sambil tertawa.
"Maka engkau tidak usah merasa heran aku begitu sadis. Tapi aku tidak
sembarangan membunuh."
"Kakak Cui...." Di saat Siang Koan Goat Nio ingin
mengatakan sesuatu, mendadak
muncul belasan orang berpakaian hijau, yang tidak lain adalah anggota Seng Hwee
Kauw.
Ketika melihat Siang Koan Goat
Nio dan Tu Siao Cui, para anggota Seng Hwee Kauw itu langsung tertawa gembira.
"Ha ha ha! Ada dua gadis
cantik di kedai teh ini, sungguh beruntung kita hari ini!"
Sementara para tamu lain sudah
kabur terbirit-birit, sehingga di dalam kedai itu cuma tertinggal Siang Koan
Goat Nio dan Tu Siao Cui. Pemilik kedai itu dan beberapa pelayannya sudah
menggigil ketakutan, mereka mencemaskan kedua gadis itu.
"Ha ha ha! Nona-nona
manis!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw mendekati Siang Koan Goat Nio dan Tu
Siao Cui. "Bolehkah aku duduk di sini?"
"Tentu boleh," sahut
Tu Siao Cui sambil tersenyum manis. "Silakan duduk!"
"Terima kasih!
Terimakasih!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu gembira sekali lalu duduk
seraya bertanya, "Kalian berdua berasal dari mana?"
"Dari Kang Lam,"
sahut Tu Siao Cui.
"Pantas kalian berdua
begitu cantik!" ujar Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu sambil tertawa.
"Ternyata kalian berasal dari Kang Lam!"
"Oh ya!" Tu Siao
Cui. Tertawa kecil. "Engkau tampak begitu gagah dan membawa begitu banyak
anak buah. Bolehkah aku tahu engkau dari partai mana?"
"Seng Hwee Kauw,"
sahut Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu sambil membusungkan dada, karena
barusan Tu Siao Cui mengatakannya begitu gagah.
"Jadi kalian bukan
berasal dari tujuh partai besar!" ujar Tu Siao Cui dan menambahkan.
"Seng Hwee Kauw tidak begitu terkenal."
"Seng Hwee Kauw sangat
terkenal, bahkan tak lama lagi akan menguasai rimba persilatan."
"Oh, ya?" Tu Siao
Cui tertawa. "Siapa Ketua Seng Hwee Kauw?"
"Seng Hwee Sin Kun. Ketua
kami berkepandaian tinggi sekali. Kami semua pun berkepandaian cukup tinggi.
Engkau membawa pedang, apakah kalian juga gadis rimba persilatan?"
"Bukan." Tu Siao Cui
tersenyum. "Tapi kami pernah belajar ilmu silat, maka kami membawa pedang
untuk menakuti para penjahat."
"Oooh!" Kepala
anggota Seng Hwee Kauw tertawa. "Kalian berdua sudah berkenalan dengan
kami, maka kami berani jamin tiada seorang penjahat pun berani mengganggu
kalian."
"Kalau begitu, kami harus
berterima kasih kepadamu!" ucap Tu Siao Cui. "Sungguh beruntung kami
berkenalan dengan kalian!"
"Tidak salah! Ha ha ha!
Bahkan kalian pun tidak akan kesepian, sebab kami semua siap melayari kalian
berdua!"
"Oh?" Tu Siao Cui
tersenyum. "Maaf, aku tidak mengerti maksudmu! Bolehkah engkau
menjelaskan?"
"Engkau harus tahu, kami
semua lelaki gagah. Pokoknya pasti dapat memuaskan kaum anak gadis yang mana
pun. Nah, engkau mengerti?"
"Aku...." Tu Siao
Cui menggelengkan kepala. "Aku masih
kurang mengerti, tolong
jelaskan sekali lagi agar aku mengerti!"
"Begini...." Kepala
anggota Seng Hwee Kauw itu berbisik.
"Kami semua siap menemani
kalian berdua tidur."
"Oh, itu!" Tu Siao
Cui tertawa merdu. "Tapi kalau kami tidak mau, bagaimana kalian?"
"Ha ha ha! Jangan sampai
kami bertindak secara paksa!"
"Kalau begitu...."
Tu Siao Cui menatapnya. "Kalian sudah
sering memperkosa anak
gadis?"
"He he he!" Kepala
anggota Seng Hwee Kauw itu cuma tertawa terkekeh. "He he he...!"
"Jadi...." Tu Siao Cui tersenyum. "Kami berdua harus
menemani kalian tidur?"
"Betul."
"Goat Nio," ujar Tu
Siao Cui. "Bagaimana engkau, apakah engkau bersedia menemani mereka
tidur?"
"Kakak Cui!
Engkau...." Siang Koan Goat melotot.
"Kita tidak bisa melawan
mereka, maka terpaksa harus menemani mereka tidur," ujar Tu Siao Cui
sambil memberi isyarat. "Engkau tidak berkeberatan, bukan?"
"Aku...." Siang Koan
Goat Nio tidak mengerti akan isyarat
itu. "Terserah Kakak
Cui."
"Baiklah." Tu Siao
Cui manggut-manggut, kemudian memandang Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu
seraya berkata, "Kalau begitu, kita harus pergi ke tempat yang sepi."
"Benar! Benar!"
Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu tertawa gembira, lalu meninggalkan kedai teh
itu. Para anak buahnya langsung mengikutinya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Mari kita ikut
mereka!" Tu Siao Cui menarik Siang Koan Goat Nio.
"Kakak Cui...."
Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening.
"Tenang saja!" Tu
Siao Cui tersenyum. "Aku tahu engkau pun berkepandaian tinggi, tentunya
engkau tidak takut terhadap mereka."
Siang Koan Goat Nio tidak
menyahut.
Tak seberapa lama kemudian,
mereka sudah sampai di suatu tempat yang sangat sepi. Tempat itu merupakan
sebuah rimba.
"He he he!" Kepala
anggota Seng Hwee Kauw itu tertawa terkekeh. "Bagaimana dengan tempat ini?
Kalian berdua merasa cocok?"
"Cocok sekali,"
sahut Tu Siao Cui. "Kalau begitu, cepatlah kalian buka!" "Buka
apa?"
"Buka pakaian
kalian," sahut Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu sambil tertawa. "Ha
ha ha...!"
"Seharusnya kalian yang
buka duluan, tidak mungkin kaum wanita yang buka pakaian duluan, bukan?"
"Itu...." Kepala
anggota Seng Hwee
Kauw memandang
yang lain seraya bertanya.
"Bagaimana menurut kalian?"
"Apa yang dikatakan nona
itu memang benar, kita kaum lelaki yang harus buka pakaian duluan," sahut
mereka sambil tertawa. "Ha ha ha! Pokoknya kita harus bergilir secara
adil!"
"Beres." Kepala
anggota Seng Hwee Kauw tertawa terkekeh. "Seperti biasa... harus aku yang
menikmatinya duluan."
"Ayoh!" desak Tu
Siao Cui sambil tertawa genit. "Cepatlah kalian buka, pokoknya kalian
semua pasti memperoleh giliran secara memuaskan."
"Eeeh!" Siang Koan
Goat Nio terbelalak. "Kakak Cui...."
"Tenang saja!" sahut
Tu Siao Cui.
Sementara Kepala anggota Seng
Hwee Kauw dan lainnya sudah mulai melepaskan pakaian masing-masing. Setelah
tinggal tersisa celana dalam, mereka mendekati Tu Siao Cui dan Siang Koan Goat
Nio dengan penuh nafsu birahi.
"Kalian sudah siap?"
tanya Tu Siao Cui merdu.
"Nona, kami... kami sudah
tidak tahan nih! Ayohlah! Cepatan dikit!"
"Baik," sahut Tu
Siao Cui dan mendadak tertawa nyaring sambil menggerakkan jari tangannya ke
arah para anggota Seng Hwee Kauw itu.
Sungguh menakjubkan, karena
jari tangannya memancarkan cahaya, yang kemudian meluncur laksana kilat ke arah
dada para anggota Seng Hwee Kauw.
"Aaakh! Aaaakh!
Aaaakh...!" Terdengar suara jeritan yang menyayatkan hati. Belasan anggota
Seng Hwee Kauw itu telah terkapar berlumuran darah, dada mereka berlubang tertembus
Hian Goan Ci (Ilmu Jari Sakti) yang dilancarkan Tu Siao Cui.
"Engkau...
engkau...." Kepala anggota Seng Hwee Kauw
masih sempat menudingnya.
"Engkau... engkau siapa?"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa nyaring. "Aku Bu Ceng Sianli (Bidadari Tanpa Perasaan)! Hi hi
hi...!"
"Haaah...!" Mata
Kepala anggota Seng Hwee Kauw mendelik-delik, kemudian nyawanya melayang.
"Kakak Cui...."
Siang Koan Goat Nio tidak tega menyaksikan
kematian mereka.
"Engkau... engkau sungguh sadis!
"Goat Nio!" Tu Siao
Cui tersenyum. "Yang sadis aku atau mereka? Seandainya kita tidak memiliki
ilmu silat, apa yang akan terjadi atas diri kita? Bukankah mereka akan
memperkosa kita secara bergilir? Nah, mereka begitu jahat maka aku harus
membunuh mereka demi membela sesama kaum wanita."
"Kakak Cui...."
Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan
kepala.
"Goat Nio!" Tu Siao
Cui tersenyum lagi. "Mereka adalah para penjahat, jadi pantas diberantas.
Engkau berhati lemah, itu akan membahayakan dirimu sendiri lho!"
"Tapi...." Siang
Koan Goat Nio menghela nafas panjang.
"Cukup melukai mereka
saja, tidak perlu membunuh."
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikikan. "Engkau berhati bijak dan penuh rasa kasihan, maka
engkau tidak boleh berkecimpung di rimba persilatan. Lebih baik hidup tenang di
suatu tempat yang sepi."
"Aku memang tidak ingin
berkecimpung di rimba persilatan, hanya saja...." Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku sedang
mencari seseorang...."
"Mencari seseorang?"
Tu Siao Cui menatapnya seraya bertanya. "Mencari kekasihmu?"
"Ng!" Siang Koan
Goat Nio mengangguk dengan wajah agak kemerah-merahan.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa nyaring. "Engkau tidak perlu mencarinya, seharusnya dia yang
mencarimu."
"Tapi...." Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening,
kemudian menatapnya seraya
berkata. "Engkau seperti ibuku...."
"Oh, ya?"
"Engkau dan ibuku
sama-sama suka tertawa cekikikan. Heran! Kenapa bisa begitu?"
"Siapa ibumu?"
"Kou Hun Bijin."
"Apa?" Tu Siao Cui
terbelalak. "Ibumu adalah Kou Hun Bijin yang awet muda itu?"
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mengangguk. "Engkau kenal ibuku?"
"Puluhan tahun lalu, kami
pernah bertemu." Tu Siao Cui memberitahukan, kemudian menatapnya dengan
penuh keheranan. "Engkau adalah anak angkatnya?"
"Aku anak kandungnya,
ayahku adalah Kim Siauw Suseng."
"Apa?" Tu Siao Cui
tertegun. "Kim Siauw Suseng yang juga awet muda itu ayahmu?"
"Ya." Siang Koan
Goat Nio mengangguk, gadis itu memandangnya dengan mata terbelalak. "Tadi
engkau bilang, puluhan tahun lalu pernah bertemu ibuku?"
"Benar."
"Bagaimana mungkin?"
Siang Koan Goat Nio tidak percaya. "Usiamu baru dua puluhan."
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikikan. "Kalau kubilang usiaku sudah hampir sembilan puluh,
engkau percaya?"
"Tentu tidak."
"Ayah dan ibumu awet
muda, apakah aku tidak bisa dari tua kembali menjadi muda seperti anak gadis
berusia dua puluhan?"
"Itu...." Siang Koan
Goat Nio tetap tidak percaya. "Aku
tidak percaya sama
sekali."
"Kelak engkau pasti
percaya." Tu Siao Cui tersenyum. "Oh ya, Goat Nio, kita terpaksa harus
berpisah di sini, karena masih ada urusan yang harus kuselesaikan."
"Kakak Cui...."
Siang Koan Goat Nio memandangnya seraya
bertanya. "Tadi engkau
menggunakan ilmu apa membunuh para anggota Seng Hwee Kauw itu?"
"Hian Goan Ci!" Tu
Siao Cui memberitahukan.
"Hian Goan Ci?"
Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening. "Ilmu apa itu?"
"Ilmu jari sakti,"
ujar Tu Siao Cui menjelaskan. "Tadi aku menggunakan empat bagian lwee-
kangku, maka dada mereka tertembus oleh ilmu tersebut. Seandainya aku cuma
menggunakan dua atau tiga
bagian lweekangku, mereka hanya akan mengalami kelumpuhan."
"Kalau begitu, kenapa
engkau tidak melumpuhkan mereka, melainkan membunuh mereka?"
"Engkau harus tahu,
mereka adalah penjahat yang suka memperkosa wanita," sahut Tu Siao Cui.
"Oleh karena itu, mereka harus diberantas tanpa ampun."
Siang Koan Goat Nio
menggeleng-gelengkan kepala.
"Goat Nio!" Tu Siao
Cui tersenyum. "Kalau kita berjodoh, kelak pasti akan berjumpa lagi."
"Ya." Siang Koan
Goat Nio manggut-manggut.
"Goat Nio, sampai
jumpa!" ucap Tu Siao Cui lalu melesat pergi.
Siang Koan Goat Nio berdiri
termangu-mangu di tempat, kemudian memandang mayat-mayat yang bergelimpangan
itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mendadak muncul beberapa orang
berpakaian hijau, yang ternyata para anggota Seng Hwee Kauw. Begitu melihat
mayat-mayat itu, wajah mereka langsung berubah.
"Nona yang membunuh
mereka?" tanya salah seorang dari mereka.
"Bukan," sahut Siang
Koan Goat Nio. "Yang membunuh mereka telah pergi, kalian terlambat ke mari."
"Siapa orang itu?"
"Bu Ceng Sianli."
"Haaah?" Para
anggota Seng Hwee Kauw itu tampak terkejut. Mereka saling memandang. "Mari
kita bawa mayat-mayat itu ke markas!"
Siang Koan Goat Nio menatap
mereka sejenak, kemudian barulah melesat pergi. Para anggota Seng Hwee Kauw itu
tidak memperdulikannya, karena sibuk mengumpulkan mayat-mayat itu.
-ooo0dw0ooo-
Siang Koan Goat Nio
melanjutkan perjalanan menuju Gunung Thian San. Ketika berada di tempat sepi,
mendadak ia mendengar suara siulan aneh yang menyeramkan, kemudian terdengar
pula suara derap kaki kuda.
Segeralah ia melompat ke balik
sebuah pohon, lalu mengintip ke arah suara siulan aneh yang menyeramkan itu.
Berselang sesaat, tampak belasan ekor kuda berpacu cepat. Para penunggangnya
berpakaian serba putih dan memakai kedok setan.
Siang Koan Goat Nio
mengerutkan kening. Kelihatannya ia sedang berpikir. Akhirnya ia
manggut-manggut seakan telah mengambil suatu keputusan.
Setelah kuda-kuda itu lewat,
gadis itu langsung melesat menggunakan ginkang mengikuti mereka. Ketika hari
mulai gelap, sampailah ia di suatu tempat yang merupakan sebidang padang
rumput.
Siang Koan Goat Nio melesat ke
atas pohon, untuk bersembunyi di situ sambil mengintip. Tampak di padang rumput
itu telah berkumpul lima puluhan orang berpakaian putih.
Di tengah-tengah padang rumput
itu terdapat sebuah batu besar. Seorang berpakaian putih perak bergemerlapan
dan berkedok setan berdiri di atas batu itu. Di belakangnya berdiri lima orang.
Berapa usia mereka, sama sekali tidak bisa di-ketahui, karena semuanya memakai
kedok setan.
"Saudara-saudara
sekalian! Dalam waktu beberapa bulan ini, aku terus-menerus meluncurkan kembang
api
perkumpulan kita, itu agar
kalian berkumpul di sini!" ujar orang berpakaian putih perak dengan suara lantang.
"Hampir seratus tahun perkumpulan kita bubar secara tidak langsung, itu
dikarenakan ketua yang lama menghilang tiada jejaknya di daerah Tionggoan ini.
Beberapa tahun lalu, aku terjatuh ke dalam jurang, kemudian tanpa sengaja aku
memasuki sebuah goa. Di dalam goa itu aku menemukan sosok tubuh, yang ternyata
mayat Pek Kut Lojin (Orang Tua Tulang Putih). Di hadapan mayat itu terdapat
sebuah kitab catatan ilmu silat dan catatan mengenai riwayat Pek Kut Lojin,
bahkan terdapat pula sepucuk surat dari kulit binatang. Selanjutnya aku harap
Ngo Sat Kui (Lima Setan Algojo) menjelaskan kepada saudara-saudara
sekalian."
Kelima orang yang berdiri di
belakang orang itu melangkah maju, kemudian salah seorang dari mereka berkata
dengan lantang.
"Kami berlima adalah Ngo
Sat Kui, ayah kami adalah pengawal Pek Kut Lojin, ketua Kui Bin Pang. Beberapa
bulan lalu, kami melihat kembang api perkumpulan kita meluncur ke atas, maka
kami berlima segera berangkat ke mari. Kami bertemu ketua yang baru, itu telah
disahkan oleh ketua yang lama dengan surat keputusan. Kami berlima telah
membaca surat keputusan itu, bahkan kami pun telah menguji kepandaiannya. Tidak
salah, kepandaian yang dimilikinya adalah kepandaian Pek Kut Lojin, begitu pula
pakaian dan kedok yang dipakainya sekarang."
"Bagaimana ketua yang
lama berada di dalam goa itu?" tanya salah seorang anggota.
"Ketua yang lama terkena
pukulan sehingga jatuh ke dalam jurang," sahut salah seorang Ngo Sat Sin
yaitu Toa Sat Sin. "Oleh karena itu, hampir seratus tahun tiada kabar
beritanya. Kini perkumpulan kita sudah ada ketuanya, ini merupakan
keberuntungan bagi Kui Bin Pang kita."
"Siapa yang memukul jatuh
ketua yang lama?" tanya salah seorang anggota lagi.
"Ketua yang lama telah
memberitahukan di dalam kitab catatannya, ternyata adalah Tio Po Thian, majikan
Pulau Hong Hoang To," jawab Toa Sat Kui dan menambahkan. "Maka pihak
Pulau Hong Hoang To adalah musuh besar kita. Kalau sudah tiba waktunya, kita
akan membasmi pihak Pulau Hong Hoang To, bahkan juga akan membasmi Kay Pang dan
partai-partai lainnya."
Betapa terkejutnya Siang Koan
Goat Nio mendengar itu, sementara Toa Sat Kui mulai melanjutkan.
"Kini kita masih belum
berhasil menemukan Tianglo (Tetua), dan dua orang Hu Hoat (Pelindung), maka
kita belum bisa bergerak. Kami berlima akan berusaha mencari Tetua dan dua
Pelindung itu. Kalau mereka sudah wafat, tentunya mereka punya turunan. Apabila
turunan mereka tidak mau bergabung, kami berlima harus bertindak tegas terhadap
turunan mereka."
"Kami semua pasti setia
kepada ketua yang baru!" seru para anggota. "Hidup Kui Bin Pang!
Hidup ketua yang baru!"
"Bagus! Bagus!" Toa
Sat Kui tertawa gelak. "Ha ha ha! Dua bulan kemudian kita akan bertemu
kembali di markas! Sekarang kalian boleh bubar!"
Para anggota Kui Bin Pang itu mulai
melesat pergi sambil mengeluarkan siulan aneh yang menyeramkan, dan tak lama
terdengarlah suara derap kaki kuda.
Sementara Siang Koan Goat Nio
yang mengintip di atas pohon itu belum berani bergerak. Setelah ketua Kui Bin
Pang dan Ngo Sat Sin itu melesat pergi, barulah gadis itu menghela nafas lega
sambil berpikir.
Berselang beberapa saat
kemudian, ia melesat pergi menuju arah timur. Ternyata ia telah mengambil
keputusan
untuk kembali ke markas pusat
Kay Pang, karena harus memberitahukan kepada Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
tentang apa yang didengarnya tadi. Itu memang penting sekali, sebab menyangkut
Pulau Hong Hoang To.
-oo0dw0oo-
Bagian ke empat puluh satu
Perkenalan yang merepotkan
Ho Bun Yang terus melakukan
perjalanan ke Gunung Thian San. Hari ini ia tiba di sebuah desa. Kebetulan ada
sebuah kedai teh di pinggir jalan, maka ia mampir untuk melepaskan dahaga.
Cukup ramai kedai teh itu.
Para tamu terdiri dari kaum pedagang dan kaum rimba persilatan, bahkan terdapat
beberapa pelancong pula.
Begitu Tio Bun Yang duduk,
pelayan kedai itu segera menyuguhkan secangkir teh seraya bertanya.
"Tuan mau pesan makanan
lain?"
"Tidak usah," sahut
Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Sementara beberapa pedagang
bercakap-cakap dengan serius sekali. Wajah mereka tampak memucat.
"Belum lama ini di Gurun
Sih Ih telah muncul setan iblis yang menunggang kuda."
"Omong kosong! Mana ada
setan iblis me. nunggang kuda? Engkau sudah mabuk ya?"
"Aku tidak mabuk, memang
telah muncul setan iblis di Gurun Sih Ih. Aku... aku menyaksikannya dengan mata
kepala sendiri. Iiiih, sungguh menyeramkan!"
"Oh? Engkau menyaksikan
setan iblis itu dengan mata kepala sendiri?"
"Ya. Setan iblis itu
berpakaian putih, menunggang kuda sambil mengeluarkan suara siulan aneh yang
menyeramkan. Wajah mereka seram sekali!"
"Engkau melihat jelas
wajah mereka?"
"Hanya sekelebatan
saja."
"Kalau begitu... mungkin
mereka memakai kedok setan."
"Entahlah. Yang jelas
sangat menyeramkan Aku... aku nyaris pingsan seketika itu."
"Mereka menuju ke
mana?"
"Ke arah Tionggoan. Aku
yakin setan iblis itu sudah berada di daerah Tionggoan."
"Setan iblis itu tidak
mengganggumu?"
"Kalau setan iblis itu
menggangguku, bagaimana mungkin aku masih bernafas sampai di sini?"
"Menurut aku..."
ujar pedagang yang tampak agak berpengalaman. "Itu bukan setan iblis,
melainkan manusia biasa seperti kita. Hanya saja mereka berkepandaian tinggi,
dan berasal dari suatu golongan. Kita bukan kaum rimba persilatan, jadi tidak
usah takut, karena mereka tidak ikan mengganggu kita."
"Mudah-mudahan begitu!
Tapi kota Giok Bun Kwan sudah mulai sepi, sebab para pedagang tidak berani ke
daerah lain melalui Gurun Sih Ih. Aku pun sudah tidak mau berdagang ke
daerah-daerah yang berdekatan Gurun Sih Ih. Aku... aku masih merasa seram dan
takut."
Pada waktu bersamaan, di meja
lain tampak beberapa lelaki berpakaian ringkas. Mereka adalah kaum rimba
persilatan, juga sedang
membicarakan sesuatu dengan serius sekali.
"Beberapa bulan ini, di
rimba persilatan telah muncul seorang gadis yang amat cantik mempesonakan.
Siapa yang melihatnya pasti akan jatuh hati padanya. Gadis itu memang cantik
sekali."
"Aku pun pernah mendengar
tentang gadis itu. Apakah engkau pernah melihatnya?"
"Tidak pernah. Akan
tetapi gadis itu sangat uidis sekali. Siapa yang berani berlaku kurang ajar
padanya, pasti dibunuhnya tanpa ampun!"
"Itu sesuai dengan
julukannya."
"Engkau tahu
julukannya?"
"Tahu. Julukannya adalah
Bu Ceng Sianli (Bidadari Tanpa Perasaan). Gadis itu memang tak punya perasaan.
Membunuh orang sambil tersenyum, seakan membunuh seekor semut."
Mendengar penuturan itu, Tio
Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. Pada waktu bersamaan muncul pula seorang
gadis ke dalam kedai teh itu. Kecantikan gadis itu sulit diuraikan dengan
kata-kata. Begitu melihat gadis itu, para tamu terbelalak dengan mulut
ternganga lebar.
Tio Bun Yang juga memandang
gadis itu sejenak, namun sikapnya tidak seperti para tamu lain. Sementara gadis
itu menengok ke sana kt mari, kemudian mendekati meja Tio Bun Yang.
"Adik kecil, bolehkah aku
duduk di sini?"
"Tentu boleh, Kakak
besar," sahut Tio Bun Yang. Karena gadis itu memanggilnya 'Adik kecil',
maka ia memanggilnya 'Kakak besar', itu membuat gadis tersebut tertawa geli.
"Hi hi hi!" Suara
tawanya merdu bagaikan kicauan burung, menggetarkan kalbu para lelaki di kedai
itu. Gadis tersebut
duduk sambil menatap Tio Bun
Yang. "Adik kecil, engkau sungguh tampan dan lucu!"
"Kakak besar," sahut
Tio Bun Yang dan nn mandangnya. "Engkau amat cantik dan menggeli
kan."
"Oh, ya?" Gadis itu
tertawa lagi.
Siapa gadis itu? Tidak lain
adalah Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui. Kaum rimba persilatan di kedai teh itu sama
sekali tidak mengenalnya. Mereka cuma mendengar tentang dirinya tapi tidak
pernah melihatnya.
"Sungguh beruntung pemuda
itu!" bisik seseorang kepada temannya. "Gadis yang cantik jelita itu
duduk bersamanya."
"Tentu. Karena pemuda itu
sangat tampan, tidak seperti kita yang berwajah tidak karuan."
"Kalau aku bisa
memperisterinya, jadi budaknya pun aku rela."
"Gadis itu memang cantik
sekali. Kelihatannya dia tertarik pada pemuda itu. Kalau tidak, bagaimana
mungkin dia mau duduk bersamanya?"
"Sayang sekali dia tidak
mau duduk bersama kita di sini!"
"Bagaimana mungkin gadis
itu mau duduk bersama kita? Dia masih muda dan cantik sekali, sedangkan kita
berwajah tidak karuan dan sudah berusia tiga puluhan."
Sementara gadis itu
terus-menerus memandang Tio Bun Yang, sepertinya sedang mengamati sesuatu benda
antik yang sangat menarik hatinya.
"Adik kecil, bolehkah aku
tahu namamu?"
"Namaku Tio Bun
Yang."
"Oooh!" Gadis itu
manggut-manggut sambil tersenyum manis. "Kenapa engkau tidak bertanya
namaku?"
"Tidak baik sembarangan
bertanya nama seorang gadis, aku tidak mau dikatai kurang ajar."
"Kalau engkau menanyakan
namaku, tentu aku tidak akan mengataimu kurang ajar," ujar Tu Siao Cui
sambil menatapnya dalam-dalam, lalu memperkenalkan diri. "Namaku Tu Siao
Cui."
"Tu Siao Cui? Tu Siao
Cui..." gumam Tio Bun Yang dengan kening berkerut-kerut. "Tu Siao
Cui...."
"Eh? Anak kecil!" Tu
Siao Cui tertegun. "Kenapa engkau terus-menerus bergumam menyebut
namaku?"
"Aku pernah mendengar
namamu, tapi tidak mungkin dia adalah engkau," sahut Tio Bun Yang.
"Oh?" Tu Siao Cui
terbelalak. "Di mana engkau pernah mendengar namaku?"
"Aku pernah bertemu
seorang tua di dalam sebuah goa di Gunung Hong San. Orang tua itu dibelenggu
dengan rantai baja."
"Apa?" Tu Siao Cui
tampak terkejut. "Orang tua itu masih hidup?"
"Sudah mati." Tio
Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Orang tua itu punya seorang murid
perempuan yang sangat jahat. Murid perempuan itulah yang merantainya. Tapi
sebelumnya dia pun berhasil memukul murid perempuannya."
"Siapa orang tua
itu?"
"Thian Gwa Sin Hiap-Tan
Liang Tie."
"Dia yang menceritakan
itu kepadamu?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Ternyata dia salah tangan membunuh kedua orang tua Tu Siao
Cui. Demi menebus dosanya, maka dia mengurusi Tu Siao Cui."
"Hmm!" dengus Tu
Siao Cui. "Syukurlah dia sudah mampus!"
"Eh? Engkau...." Tio
Bun Yang menatapnya heran. "Kok
engkau tidak bersimpati
kepadanya?"
"Dia telah membunuh kedua
orang tua Tu Siao Cui, kenapa aku harus bersimpati kepadanya?"
"Orang tua itu sangat
menyesal, namun Tu Siao Cui itu sangat kejam," ujar Tio Bun Yang.
"Tidak ingat budi, malah menyiksanya di dalam goa itu"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikikan. "Engkau merasa kasihan pada orang tua itu?"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Tapi juga merasa kasihan pada Tu Siao Cui itu, entah
bagaimana dia?"
"Engkau juga kasihan pada
Tu Siao Cui itu?" tanya Tu Siao Cui bernada girang.
"Yaaah!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Dia pun terluka, tapi masih sempat membawa
pergi kitab Hian Goan Cin Keng. Itu adalah kejadian enam puluh tahun lampau,
maka bagaimana mungkin Tu Siao Cui itu masih hidup?"
Halaman 28-29 tidak ada
"Aku Hek Sim Popo! Engkau
pernah mendengar namaku?"
"Hek Sim Popo..."
gumam Tu Siao Cui. "Aku tidak pernah mendengar namamu tu, sungguh!"
"Engkau murid siapa?
Kenapa berani menentang Seng Hwee Kauw?" tanya Hek Sim Popo sengit
"Engkau tidak usah tahu
aku murid siapa !" sabut Tu Siao Cui sambil tertawa nyar.ng. "Para
anggota Seng Hwee Kauw itu kurang ajar terhadapku, maka aku membunuh
mereka!"
"Hmm!" dengus Hek
Sim Popo dingin. "Hari ini engkau harus mampus!"
"Oh, ya?" Tu Siao
Cui tertawa cekikikan. "Jangan-jangan engkau dan para anak buahmu itu yang
akan mampus!"
"Hek Sim Popo," ujar
Tio Bun Yang mendadak. "Seng Hwee Sin Kun, ketua kalian itu sudah
pulih?"
"Engkau...." Hek Sim Popo tersentak, kemudian
menatapnya tajam. "Engkau
adalah Giok Siauw Sin Hiap?"
"Betul." Tio Bun
Yang manggut-manggut. "Hek Sim Popo. lebih baik kalian segera enyah dari
sini! Jangan cari penyakit! Setelah Seng Hwee Sin Kun pulih, aku akan membuat
perhitungan dengannya."
"Giok Siauw Sin Hiap! Itu
adalah urusanmu dengan Seng Hwee Sin Kun, namun sekarang aku punya urusan
dengan dia!" sahut Hek Sim Popo sambil menuding Tu Siao Cui.
"Bagus! Bagus!" Tu
Siao Cui tertawa cekikikan. "H hi hi! Berarti kalian sudah bosan
hidup!"
"Bu Ceng Sianli!"
bentak Hek Sim Pono. "Hari ini engkau harus mampus!"
"Hek Sim Popo, jadi
engkau mau bertarung denganku?" tanya Tu Siao Cui dengan kening berkerut.
"Engkau takut?"
sahut Hek Sim Popo sambil tertawa dingin.
"Takut? He he he!"
Tu Siao Cui tertawa terkekeh-kekeh. "Aku sama sekali tidak kenal apa itu
takut! Mari kita bertarung di luar, agar tidak menghancurkan kedai teh
ini!"
"Baik!" Hek Sim Popo
mengangguk.
Mereka melesat ke luar, begitu
pula para anggota Seng Hwee Kauw dan Tio Bun Yang. Tu Siao Cui dan Hek Sim Popo
berdiri berhadapan, dan mula mengeluarkan Iweekang masing-masing.
Tio Bun Yang berdiri agak
jauh, namun perhatiannya dicurahkan pada Tu Siao Cui, karena ingin menyaksikan
kepandaiannya.
"Lihat serangan!"
bentak Hek Sim Popo mendadak, sekaligus menyerang Tu Siao Cui dengan ilmu
pukulan andalannya.
Tu Siao Cui tertawa nyaring,
kemudian secepat kilat berkelit dan balas menyerang. Ter-jadilah pertarungan
yang amat seru dan sengit. Belasan jurus kemudian mendadak Tu Siao Cui berseru.
"Hek Sim Popo!
Berhati-hatilah, aku akan mencabut nyawamu!"
"Engkau yang akan
mampus!" sahut Hek Sim Popo, dan tiba-tiba menyerang Tu Siao Cu dengan
senjata ranasia.
Serrt! Serrrrt! Serrrr...!
Senjata-senjata rahasia itu meluncur cepat ke arah Tu Siao Cui.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa nyaring sambil mengibaskan lengan bajunya.
Sungguh luar biasa!
Senjata-senjata rahasia itu terpukul jatuh semua. Di saat itulah Tu Siao Cui
mengeluarkan Hian Goan Ci. Tampak sinar putih berkelebat ke arah Hek Sim Popo.
Begitu cepat, sehingga Hek Sim Popo tidak sempat ber-kelit, tapi berusaha
menangkis.
Cessss!
"Aaaaakh..!" jerit
Hek Sim Popo. Ia terhuyung-huyung ke belakang lalu terkapar berlumuran darah.
Ternyata dadanya telah berlubang dan nyawanya melayang seketika.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa. "Dia yang cari mampus, bukan aku yang ingin
membunuhnya!"
"Sebetulnya engkau tidak
perlu membunuhnya, cukup melukainya saja," ujar Tio Bun Yang sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh?" sahut Tu Siao
Cui sambil tersenyum "Bahkan aku pun akan membunuh mereka semua!"
Tu Siao Cui ti bergerak,
bersamaan itu Tio Bun Yang pun bergerak menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou
(Ilmu Langkah Kilat).
"Haaah..?" Bukan
main terkejutnya Tu Siao Tui, karena Tio Bun Yang sudah berada dihadapannya.
"Sudahlah!" ujar Tio
Bun Yang, "Engkau sudah membunuh Hek Sim Popo, jangan membunuh mereka
lagi!"
"Adik kecil!
Engkau...." Tu Siao Cui mengerutkan kening.
"Engkau berani
menghalangiku?"
"Dimana masih bisa
mengampuni orang, ampunilah!" sahut Tio Bun Yang dan menambahkan.
"Membunuh merupakan perbuatan yang sangat berdosa, janganlah engkau
membuat takdir buruk pada dirimu sendiri!"
"Engkau...." Tu Siao Cui terbelalak, kemudian tertawa
geli."Hi hi hi!
Kelihatannya engkau pantang membunuh, maka seharusnya engkau pergi bertapa atau
jadi bikhu."
Sementara para anggota Seng
Hwee Kauw saling memandang. Mereka tahu nyawa mereka dalam bahaya. Namun mereka
sama sekali tidak berani kabur, hanya berharap Bu Ceng Sianli akan mendengar
perkataan Tio Bun Yang.
"Kakak!" Tio Bun
Yang menatapnya. "Engkau secantik bidadari, haruslah berhati welas asih.
Jangan suka membunuh menodai dirimu sendiri, lepaskanlah mereka!"
"Bagaimana kalau aku
tidak bersedia melepaskan mereka?"
"Aku terpaksa
menghadapimu," tegas Tio Bun Yang. "Karena aku tidak mau melihat
engkau membunuh lagi."
"Engkau membela
mereka?" Tu Siao Cui mengerutkan kening. "Mereka adalah para penjahat
lho!"
"Terus terang, yang
kubela adalah dirimu. Sama sekali bukan mereka," sahut Tio Bun Yang
sungguh-sungguh. "Engkau pun harus tahu, sebetulnya mereka dan ketuanya
adalah musuhku. Tapi aku akan membuat perhitungan dengan Seng Hwee Sin Kun,
ketua mereka itu, bukan terhadap mereka."
"Oh?" Tu Siao Cui
tersenyum. "Bagaimana engkau membela diriku?"
"Agar engkau tidak
berbuat dosa lagi," sahut Tio Bun Yang. "Nah, bukankah aku
membelamu?"
"Ngmm!" Tu Siao Cui
manggut-manggut. "Masuk akal juga apa yang engkau katakan! Baiklah Aku
melepaskan mereka."
"Terimakasih,
Kakak!" ucap Tio Bun Yang. lalu memandang para anggota Seng Hwee Kauw
seraya berkata. "Cepatlah kalian pergi, kalau pikiran Bu Ceng Sianli
berubah celakalah kalian!"
"Terimakasih, Giok Siauw
Sin Hiap!" ucap mereka sambil memberi hormat. "Kami telah berhutang
budi kepadamu. Sampai jumpa!"
Para anggota Seng Hwee Kauw
berjalan pergi, sekaligus menggotong mayat Hek Sim Popo meninggalkan tempat
itu.
"Adik kecil!" Tu
Siao Cui tersenyum. "Engkau memang berhati bajik, maka tidak seharusnya
engkau berkecimpung di rimba persilatan."
"Aaah...!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. "Aku memang sudah jenuh akan rimba
persilatan."
"Adik kecil...." Tu Siao Cui menatapnya dalam-dalam,
kemudian ujarnya
sungguh-sungguh. "Kelihatannya hatimu terganjel sesuatu. Katakanlah
kepadaku, siapa tahu aku bisa membantumu!"
"Terimakasih atas maksud
baikmu!" ucap Tio Bun Yang. "Tapi, tiada suatu apa pun terganjel
dalam hatiku."
"Adik kecil..." Tu
Siao Cui menatapnya dengan mata berbinar-binar. "Entah apa sebabnya, aku
merasa suka sekali padamu."
"Kakak...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala,
lalu melangkah pergi.
Akan tetapi, Tu Siao Cui
segera mengikutinya. Puluhan langkah kemudian, Tio Bun Yang terpaksa berhenti
karena Tu Siao Cui masih terus mengikutinya.
"Eeeh?" Tio Bun Yang
mengerutkan kening. "Kenapa engkau terus mengikutiku? Aku masih harus
menempuh perjalanan, jangan menggangguku!"
"Adik kecil!" Tu
Siao Cui tertawa. "Aku tidak mengganggumu, melainkan ingin melakukan
perjalanan bersamamu. Boleh kan?"
"Untuk apa?" Tio Bun
Yang menggeleng- gelengkan kepala. "Lagi pula kita baru berkenalan, jadi
tidak baik melakukan perjalanan bersama."
"Pokoknya aku harus ikut
engkau," tegas Tu Siao Cui dan menambahkan. "Engkau ke mana, aku
pasti ikut."
"Engkau sudah gila
ya?"
"Aku memang tergila-gila
padamu," sahut Tu Siao Cui sambil tertawa cekikikan. "Oleh karena
itu, aku harus ikut engkau."
"Kakak! Jangan bergurau,
itu... bagaimana mungkin? Sudahlah! Jangan menggangguku! Aku harus segera
melakukan perjalanan!"
"Pokoknya aku harus
ikut!"
"Engkau tidak boleh
ikut!"
"Aku harus ikut! Pokoknya
ikut!"
"Kakak...." Tio Bun Yang betul-betul kewalahan
menghadapi Bu Ceng Sianli,
akhirnya ia duduk di bawah sebuah pohon.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikikan sambil duduk di sebelahnya. "Adik kecil, kenapa
engkau kelihatan takut padaku!"
"Aku tidak takut padamu,
melainkan tidak baik kita melakukan perjalanan bersama. Aku sudah punya
kekasih, lagi pula kita baru berkenalan."
"Itu tidak jadi
masalah." Mendadak Tu Siao Cui memegang tangannya. "Adik kecil, aku
suka sekali padamu."
"Kakak...." Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Terus
terang, aku pun suka padamu.
Tapi engkau kuanggap sebagai kakak."
"Terima kasih!
Terimakasih!" ucap Tu Siao Cui. Tiba-tiba ia membaringkan dirinya, lalu
memandang Tio Bun Yang dengan penuh gairah nafsu.
Tio Bun Yang menghela nafas
panjang, sedangkan Tu Siao Cui terus memikat sekaligus menggodanya dengan
berbagai gaya merangsang.
Akan tetapi, Tio Bun Yang
tetap duduk tenang di tempat, kelihatannya sama sekali tidak terangsang. Betapa
penasarannya Tu Siao Cui, ia tidak percaya iman Tio Bun Yang begitu teguh.
Perlahan-lahan ia melebarkan
sepasang kakinya, menghadap ke arah Tio Bun Yang. Setelah itu, ia menyingkap
pakaiannya sehingga pahanya yang putih mulut itu tertampak sedikit.
Perlu diketahui, Tu Siao Cui
juga memiliki semacam ilmu sesat yang merangsang kaum lelaki. Kalau lelaki itu
telah terangsang, tapi tidak disalurkan padanya, maka lelaki itu akan mati
secara mengenaskan.
Namun Tu Siao Cui justru tidak
tahu, kalau Tio Bun Yang memiliki ilmu Penakluk Iblis. Karena itu, ia sama
sekali tidak akan tergoda maupun terangsang. Itu sungguh membahayakan diri Tu
Siao Cui sendiri, sebab akan terjadi senjata makan tuan.
Tio Bun Yang tahu tentang itu,
sehingga timbul rasa cemasnya. Sedangkan Tu Siao Cui sudah tidak bisa menarik
kembali ilmu sesatnya itu, membuat wajahnya mulai memucat.
Tiba-tiba Tio Bun Yang
teringat sesuatu. Maka ia segera mengeluarkan sulingnya dengan wajah
berseri-seri.
Tak lama terdengarlah suara
alunan suling yang sangat menyentuh hati. Begitu mendengar suara suling itu,
sekujur badan Tu Siao Cui tampak tergetar keras.
Berselang beberapa saat
kemudian, wajahnya yang memucat itu mulai berubah seperti semula.
Perlahan-lahan ia bangkit duduk di hadapan Tio Bun Yang, lalu menatapnya dengan
penuh kekaguman.
"Adik kecil..." ujar
Tu Siao Cui seusai Tio Bun Yang meniup sulingnya. "Aku sama sekali tidak
menyangka, engkau begitu mahir meniup suling, bahkan suara sulingmu juga
mengandung kekuatan yang dapat membersihkan hati maupun batin orang yang
tersesat. Aku sungguh kagum padamu!"
"Kakak tidak usah
heran," ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Kalau aku tidak memiliki
ilmu Penakluk Iblis, pasti sudah tergoda!"
"Apa!" Tu Siao Cui
terbelalak. "Engkau masih sedemikian muda, tapi sudah memiliki ilmu
itu?"
"Sejak kecil aku sudah
belajar ilmu Penakluk Iblis." Tio Bun Yang memberitahukan. "Aku juga
tahu, kalau engkau memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali. Aku harap,
mulai sekarang engkau jangan terlampau gampang membunuh orang, sebab akan
menciptakan suatu karma buruk untukmu."
"Adik kecil, terimakasih
atas nasihatmu!" ujar Tu Siao Cui sungguh-sungguh. "Baru kali ini aku
bertemu dengan pemuda yang begitu luar biasa. Padahal usiaku sudah delapan
puluh lebih."
"Kakak!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Aku tak menyangka, kakak pun suka bergurau."
"Adik kecil, kelak engkau
akan percaya mengenai usiaku. Sampai jumpa!" Tu Siao Cui melesat pergi.
Sayup-sayup terdengar suara seruannya. "Aku suka padamu...."
Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala, berselang sesaat barulah ia melesat pergi
melanjutkan perjalanannya.
-ooo0dw0ooo-
Beberapa hari kemudian, Tio
Bun Yang sudah tiba di Kota Kang Shi. Mendadak ia teringat pada Ngo Tok
Kauwcu-Phang Ling Cu Maka, segeralah ia menjadi markas Ngo Tok Kauw.
"Adik Bun Yang...."
Betapa gembiranya Ngo Tok Kauwcu.
"Aku tak menyangka engkau
akan ke mari."
"Maaf, Kakak!" ucap
Tio Bun Yang jujur. "Aku bukan sengaja kemari, kebetulan berada di kota
ini, maka aku mampir menengok Kakak."
"Terima kasih!" Ngo
Tok Kauwcu tersenyum. "Silakan duduk!"
Tio Bun Yang duduk, kemudian
memandang Ngo Tok Kauwcu seraya bertanya dengan penuh perhatian.
"Bagaimana keadaan Kakak
selama ni?"
"Aku baik baik
saja," sahut Ngo Tok Kauwcu. "Oh ya, engkau baik-baik saja? Bagimana
keadaan kauw heng?"
"Aku baik-baik saia.
Tapi...." Tio Bun Yang menghela nafas
panjang. Kauw heng sudah ma
.."
"Oh!" Ngo Tok Kauwcu
menggeleng-geleng- kan kepala. "Sungguh kasihan kauw heng itu! Dia
berkorban dem menyelamatkan nyawamu."
"Aaaah!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang lagi. "Aku berhutang budi kepada monyet bulu
putih itu. Maka aku bersumpah, turunanku tidak boleh membunuh monyet jenis apa
pun."
"Ngmm!" Ngo Tok
Kauwcu manggut-manggut. "Oh ya, kenapa engkau datang di kota ini!"
"Aku sedang menuju ke Gunung Thian San."
"Lho?" Ngo Tok
Kauwcu tertegun. "Kenapa engkau ke sana lagi?"
"Itu dikarenakan Goat Nio...." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Maka aku
berangkat ke sana lagi."
"Ternyata begitu!
Tapi...." Ngo Tok Kauwcu mengerutkan
kening. "Siapa pun yang
pergi ke Gunung Thian San, harus melalui kota ini. Namun para anggotaku tidak
melihat adanya seorang gadis menuju Gunung Thian San."
"Oh?" Tio Bun Yang
tertegun. "Mungkinkah dia mengambil jalan lain?"
"Tidak mungkin,"
ujar Ngo Tok Kauwcu. "Perjalanan ke Gunung Thian San harus melalui kota
ini, jadi aku yakin Goat Nio belum sampai kota ini.”
"Bagaimana mungkin dia
belum sampai di kota ini?" Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Dia
berangkat duluan karena mengira aku masih di Gunung Thian San"
"Kalau begitu...."
Wajah Ngo Tok Kauwcu agak berubah.
"Apakan telah terjadi
sesuatu atas dirinya?"
"Itu...." Tio Bun
Yang mulai cemas. "Kepandaiannya cukup
tinggi, tidak mungkin akan
terjadi sesuatu atas dirinya. Oh ya, engkau tahu bagamana keadaan Seng Hwee Sin
Kun? Apakah dia sudah pulih?"
"Aku telah memperoleh
informasi mengenai Seng Hwee Sin Kun," jawab Ngo Tok Kauwcu
memberitahukan. "Dalam bulan ini dia akan pulih, maka engkau harus
berhati-hati."
"Ya." Tio Bun Yang
manggut-manggut.
"Adik Bun Yang!" Ngo
Tok Kauwcu menatapnya seraya bertanya. "Bagaimana kepandaianmu sekarang?
Apakah sudah bertambah maju?"
"Kepandaianku memang
sudan bertambah maju..." jawab Tio Bun Yang dan menutur tentang
keberhasilannya mempelajari ilmu Kan Kun Taylo Im Kang.
"Syukurlah!" ucap
Ngo Tok Kauwcu dengan wajah berseri "jadi engkau pasti sudah dapat
menandingi Seng Hwee Sin Kun."
"Mudah-mudahan!"
sahut Tio Bun Yang sambil menghela nafas panjang. "Kini yang kupikirkan
adalah Goat Nio. Kalau aku belum bertemu dia, sama sekali tidak bisa
tenang."
"Adik Bun Yang...." Ngo Tok Kauwcu menggeleng-
gelengkan kepala. "Oh ya,
aku akan menyuruh beberapa anggotaku untuk mencari Goat Nio. Apabila ada kabar
beritanya, aku pasti ke markas
pusat Kay Pang memberitahukan kepada mu."
'Terimakasih, Kak!" ujar
Tio Bun Yang dan melanjutkan. "Tapi biar bagiamanapun, aku harus ke Gunung
Thian San. "
"Baik." Ngo Tok
Kauwcu manggut-manggut. "Bertemu atau tidak dengan Goat Nio, aku harap
engkau ke mari lagi!"
"Itu sudah pasti." Tio
Bun Yang mengangguk. "Karena aku pulang dari Thian San harus melalui kota
ini."
"Kapan engkau akan
berangkat ke Gunung Thian San?"
"Sekarang."
"Apa?" Ngo Tok
Kauwcu terbelalak. "Engkau mau berangkat sekarang? Tidak bermalam di
sini?"
"Aku harus cepat-cepat
sampai di sana," sahut Tio Bun Yang sekaligus berpamit. "Kakak, aku
mohon diri!"
"Adik Bun Yang,"
pesan Ngo Tok Kauwcu. "Pulang dari Gunung Thian San, jangan lupa mampir!
Sebab aku pun akan menyuruh beberapa orang pergi menyelidiki tentang Goat Nio."
"Terimakasih, Kak! Sampai
jumpa!" ucap Tio Bun Yang lalu berangkat ke Gunung Thian San dengan
perasaan cemas.
-ooo0dw0oo-
Beberapa hari kemudian, Tio
Bun Yang sudah sampai di Gunung Thian San. Akan tetap walau ia sudah mencari ke
sana ke mari di gunung itu, namun tetap tidak berhasil menemukan Siang Koan
Goat Nio.
Akhirnya ia menuju goa tempat
tinggal monyet bulu putih. Begitu memasuki goa tersebut, ia langsung
menjatuhkan d duduk di hadapan makam monyet bulu putih.
"Kauw heng...."
Sepasang mata Tio Bun Yang bersimbah
air. "Aku datang di
Gunung Thian San ini untuk mencari Goat
Nio, namun dia tidak berada di
gunung in Maka aku ke mari menengokmu, kauw heng...."
Tio Bun Yang terisak-isak.
Berselang sesaat barulah ia baugkit berdiri dan berkata.
"Kauw heng, aku tidak
bisa lama-lama di sini karena masih harus pergi mencari Goat Nio maafkan
aku!"
Tio Bun Yang terus menatap
makam monyet bulu putih itu, lama sekali barulah meninggalkan goa tersebut.
la melakukan perjalanan dengan
menggunakan ginkang. Beberapa hari kemudian ia sudah sampai di kota Kang Shi,
dan langsung menuju markas Ngo Tok Kauw.
"Adik Bun Yang...." Ngo Tok Kauwcu menatapnya.
"Duduklah!"
Tio Bun Yang duduk sambil
menghela nafas panjang, kemudian menggeleng- gelengkan kepala seraya berkata.
"Kakak, aku tidak bertemu
Goat Nio." "Berarti dia tidak ke Gunung Thian San. Aku pun belum
memperoleh kabar beritanya."
"Aaah...!" keluh Tio
Bun Yang dengan wajah cemas. "Mungkinkah telah terjadi sesuatu atas
dirinya?"
"Menurut aku tidak,"
ujar Ngo Tok Kauwcu. "Kemungkinan besar dia kembali ke markas pusat Kay
Pang. Maka alangkah baiknya engkau ke markas pusat Kay Pang saja. Kalau aku
memperoleh kabar beritanya, pasti ke sana memberitahukan kepadamu."
"Baiklah." Tio Bun
Yang mengangguk. "Kalau begitu, aku harus segera berangkat ke markas pusat
Kay Pang. Sampai jumpa Kak!"
-ooo0dw0ooo-
Bagian ke empat puluh dua
Siang Koan Goat Nio ditangkap
Sementara itu di markas Seng
Hwee Kauw, tampak Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui, Pat Pie Lo Koay dan Tok Clu Ong
duduK dengan wajah serius. Berselang beberapa saat kemudian, terdengarlah suara
tawa terbahak-bahak, muncullah Seng Hwee Sin Kun dengan wajah berseri-seri.
"Ha ha ha! Ha ha
ha...!"
"Selamat, Ketua!"
ucap mereka berempat sambil bangkit berdiri, sekaligus memberi hormat kepada
Seng Hwee Sin Kun.
"Terimakasih!
Terimakasih! Ha ha ha...!" sahut Seng Hwee Sin Kun tertawa sambil duduk.
Leng Bin Hoatsu dan lainnya
juga ikut duduk. Seng Hwee Sin Kun menatap mereka dengan penuh perhatian.
"Tidak sampai setahun aku
sudah pulih, bahkan Iweekangku juga bertambah tinggi setelah makan sisa pil
Seng Hwee Tan itu. Kini sudah saatnya Seng Hwee Kauw menguasai rimba
persilatan."
"Benar, Kauwcu,"
sahut Leng Bin Hoatsu. "Kini Kauwcu telah pulih, berarti sudah saatnya
Seng Hwee Kauw menguasai rimba persilatan."
"Ngmm!" Seng Hwee
Sin Kun manggut-manggut. "Oh ya, bagaimana keadaan rimba persilatan selama
aku berada di dalam ruang rahasia?"
"Tidak terjadi
apa-apa," sahut Pek Bin Kui. "Tapi belum lama ini di rimba persilatan
telah muncul Bu Ceng Sianli."
"Bu Ceng Sianli?"
Seng Hwee Sin Kun mengerutkan kening. "Siapa dia dan bagaimana
kepandaiannya?"
"Dia seorang gadis
berusia dua puluhan, parasnya cantik sekali dan berkepandaian sangat
tinggi." Pek Bin Kui memberitahukan. "Siapa gurunya dan berasal dari
mana serta perguruan mana, kami sama sekali tidak mengetahuinya."
"Oh?" Seng Hwee Sin
Kun mengerutkan kening lagi seraya bertanya. "Apakah dia menentang
perkumpulan kita?"
"Dia memang sering
membunuh para anggota kita, tapi juga pernah membunuh kaum persilatan dari
golongan putih," jawab Pek Bin Kui.
"Kalian diam saja? Sama
sekali tidak mengambil suatu tindakan terhadap Bu Ceng Sianli itu?" tanya
Seng Hwee Sin Kun bernada gusar.
"Kauwcu!" Leng Bin
Hoatsu memberitahukan. "Aku telah mengutus Hek Sim Popo pergi
memberesinya, tapi...."
"Kenapa?" tanya Seng
Hwee Sin Kun dengan kening berkerut-kerut. "Telah terjadi sesuatu?"
"Ya." Leng Bin
Hoatsu mengangguk. "Hek Sim Popo telah mati, belasan anggota kita
pulang...."
"Apa?" Air muka Seng
Hwee Sin Kun berubah hebat. "Hek Sim Popo dibunuh oleh Bu Ceng Sianli
itu?"
"Ya," sahut Pat Pie
Lo Koay. "Kalau waktu itu Giok Siauw Sin Hiap tidak berada di tempat,
belasan anggota kita pun pasti dibunuh."
"Giok Siauw Sin Hiap bersama
Bu Ceng Sianli itu?" tanya Seng Hwee Sin Kun sambil mengepal tinju.
"Mereka berdua memang
bersama, tapi mereka tiada hubungan satu sama lain." Pat Pie Lo Koay
memberitahukan. "Kauwcu, secara tidak langsung kita berhutang budi kepada
Giok Siauw Sin Hiap."
"Kita berhutang budi pada
Giok Siauw Sin Hiap? Ha ha ha...!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak.
"Omong kosong!"
"Itu memang
benar..." ujar Pat Pie Lo Koay.
"Seng Hwee Kauw tidak
berhutang budi kepada siapa pun," sahut Seng Hwee Sin Kun ketus. "Oh
ya, bagaimana Lu Thay Kam? Apakah dia pernah mengutus orangnya ke mari?"
"Gak Cong Heng, wakil Lu
Thay Kam memang pernah ke mari, namun tidak membicarakan apa pun pada kami,
hanya sekedar mengobrol lalu pergi," jawab Leng Bin Hoatsu. "Karena
Kauwcu menutup diri di ruang rahasia, sejak itu pihak Lu Thay Kam tidak pernah
ke mari lagi."
"Ngmm!" Seng Hwee
Sin Kun manggut-mang- gut. "Kini Seng Hwee Kauw harus mulai bertindak,
maksudku harus membasmi Kay Pang dan partai-partai lainnya, agar Seng Hwee Kauw
dapat menguasai rimba persilatan."
"Maaf Kauwcu!" ujar
Pat Pie Lo Koay. "Menurut aku, lebih baik kita membereskan Bu Ceng Sianli
dulu. Setelah itu, barulah kita membasmi Kay Pang dan partai-partai besar
lainnya".
"Kalian tahu Bu Ceng
Sianli itu berada di mana?" tanya Seng Hwee Sin Kun.
"Kami tidak tahu,"
sahut Leng Bin Hoatsu sambil menggelengkan kepala.
"Kalau begitu...."
Seng Hwee Sin Kun mengerutkan kening.
"Cara bagaimana kita
memberesinya?"
"Kauwcu!" Leng Bin
Hoatsu memberitahukan. "Sebetulnya Bu Ceng Sianli bersifat agak sesat.
Kalau kita bisa menariknya untuk bergabung, itu sungguh baik sekali."
"Tapi bukankah dia sering
membunuh para anggota kita?"
"Benar." Leng Bin
Hoatsu mengangguk. "Namun itu dikarenakan para anggota kita yang
mengganggunya duluan, maka dia membunuh mereka. Bu Ceng Sianli pun pernah
membunuh para pesilat dari golongan putih. Apabila dia mau
bergabung dengan kita,
bukankah kita dapat meman-faatkannya untuk membunuh para pesilat golongan
putih?"
"Ide yang
cemerlang!" ujar Seng Hwee Sin Kun sambil tertawa gelak. "Kalau
begitu, kalian harus berusaha mengundangnya ke mari. Itu adalah tugas kalian,
laksanakan dengan baik!"
"Ya," sahut mereka
serentak, kemudian Pek Bin Kui memberitahukan. "Kauwcu, kami telah
menerima informasi, bahwa Siang Koan Goat Nio sedang menuju markas pusat Kay
Pang."
"Oh?" Wajah Seng
Hwee Sin Kun tampak berseri. "Kalau begitu, cepatlah kalian pergi tangkap
dia!"
"Kauwcu," tanya Pat
Pie Lo Koay. "Kenapa gadis itu harus ditangkap?"
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa. "Kalau dia kutangkap, tentunya dia tidak akan tiba
di markas pusat Kay Pang. Nah, bukankah itu akan mencemaskan pihak Kay
Pang?"
"Maksud Kauwcu
menyanderanya?" tanya Pat Pie Lo Koay.
"Kira-kira
begitulah," Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. "Setelah itu, barulah
kita kirim berita ke markas pusat Kay Pang, agar mereka datang ke mari. Di saat
itulah kita membantai mereka."
"Betul." Pek Bin Kui
mengangguk. "Kita harus bertindak begitu."
"Tapi...." Pat Pie
Lo Koay menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu pasti akan
mengundang kemarahan pihak Pulau Hong Hoang To, yang tentunya akan membahayakan
Seng Hwee Kauw."
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa terbahak-bhak. "Aku justru ingin memancing mereka ke
mari, kalian harus
tahu. Kepandaianku kini boleh
dikatakan sudah tiada tanding di kolong langit. Nah, apa yang harus
ditakuti?"
Pat Pie Lo Koay diam,
sedangkan yang lain justru tertawa gembira. Berselang sesaat Seng Hwee Sin Kun
berkata.
"Kalian berempat cepat
pergi menangkap Siang Koan Goat Nio, tapi jangan melukainya! Pergunakan bom
asap agar dia pingsan, barulah kalian tangkap!"
"Ya, Kauwcu," sahut
mereka berempat, lalu berangkat pergi untuk menangkap Siang Koan Goat Nio.
-oo0dw0oo-
Siang Koan Goat Nio terus
melakukan perjalanan menuju markas pusat Kay Pang. Ketika sampai di tempat yang
sepi, mendadak melayang turun beberapa orang di hadapannya. Mereka ternyata
Leng Bin Hoatsu, Pek Bin Kui, Pat Pie Lo Koay dan Tok Chiu Ong.
"Ha ha ha!" Leng Bin
Hoatsu tertawa seraya berkata. "Nona, kita bertemu lagi!"
"Kalian mau apa?"
tanya Siang Koan Goat Nio dingin sambil mengeluarkan sulingnya.
"Nona," sahut Pat
Pie Lo Koay memberitahukan. "Kami ke mari bermaksud mengundangmu ke markas
kami, itu adalah perintah Kauwcu kami ”
"Bagaimana kalau aku
menolak?"
"Kami terpaksa harus
menggunakan kekerasan," ujar Leng Bin Hoatsu. "Oleh karena itu, kami
harap Nona menurut!"
"Hmm!" dengus Siang
Koan Goat Nio dingin. "Aku tidak akan menurut, pokoknya aku akan melawan
mati-matian!"
"Baik!" Leng Bin
Hoatsu tertawa dan berseru. "Mari kita serang Nona Siang Koan ini!"
Seketika mereka berempat
langsung menyerang Siang Koan Goat Nio dengan tangan kosong. Gadis itu bergerak
cepat berkelit, kemudian balas menyerang dengan sulingnya, menggunakan ilmu Cap
Pwee Kim Siauw Ciat Hoat (Delapan Belas Jurus Maut Suling Emas).
Akan tetapi, belasan jurus
kemudian Siang Koan Goat Nio tampak mulai berada di bawah angin. Di saat itulah
ia menggunakan Cit Loan Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling) ciptaan
Tio Cie Hiong.
Begitu Siang Koan Goat Nio
menggunakan ilmu tersebut, Leng Bin Hoatsu dan lainnya segera meloncat ke
belakang. Pek Bin Kui merogoh ke dalam bajunya, mengeluarkan suatu benda ber-
bentuk bulat, lalu dilemparkannya ke arah gadis itu.
Daaar! Benda itu meledak dan
mengeluarkan asap.
"Haaah...?" Siang
Koan Goat Nio terperanjat.
Ia tahu asap itu mengandung
racun, tapi sudah tidak sempat menutup pernafasannya, akhirnya ia terkulai
pingsan.
"Ha ha ha!" Pek Bin
Kui tertawa. "Kita berhasil, Kauwcu pasti gembira sekali!"
"Mari kita bawa dia
pulang!" sahut Leng Bin Hoatsu. "Jangan membuang waktu di sini!"
"Baik." Pat Pie Lo
Koay mengangguk, kemudian membopong Siang Koan Goat Nio.
"Ha ha ha!" Leng Bin
Hoatsu tertawa gelak.
"Mari kita kembali ke
markas!"
-ooo0dw0ooo-
Betapa gembiranya Seng Hwee
Sin Kun karena Siang Koan Goat Nio sudah tertangkap. Pat Pie Lo Koay menaruh
gadis itu ke bawah. Ternyata gadis itu masih dalam keadaan pingsan.
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun terus tertawa terbahak-bahak. "Kini gadis itu berada di
tangan kita, pihak Kay Pang pasti cemas sekali!"
"Kauwcu," tanya Pat
Pie Lo Koay. "Kapan Kauwcu akan mengutus orang ke markas Kay Pang?"
"Tidak perlu begitu
cepat," sahut Seng Hwee Sin Kun. "Aku ingin membuat pihak Kay Pang
dan pihak Pulau Hong Hoang To dicekam rasa gelisah terutama kedua orang tua
gadis itu! Ha ha ha...!"
"Kauwcu,"ujar Pek
Bin Kui mengusulkan, "Bagaimana kita musnahkan kepandaiannya?"
"Itu ..."Seng Hwee Sin Kun tampak ragu, "Tidak perlu,"sela
Pat Pie Lo Koay cepat.
"Kalau kita memusnahkan
kepandaian gadis itu, sama juga mempermalukan Seng Hwee kauw, bukan?"
"Benar," Seng Hwee
kauwcu manggut-manggut. "Kalau begitu,kurung saja dia dan biarkan dia
sadar sendiri."
"Ya" PatPie Lo Koay
mengangguk,sekaligus membopong Siang Koan Goat Nio lalu dibawa ke dalam.
Berselang sesaat, Pat Pie Lo Koay sudah kembali ke ruang depan.
"Bagaimana?"tanya
Seng Hwee Sin Kun.dis itu sudah dikurung?"
"Sudah, Kauwcu" Pat
Pie Lo Koay mengangguk.
"Baiklah" Seng Hwee
Sin Kun manggut-manggut. "Sekarang kalian boleh beristirahat."
"Terimakasih,
Kauwcu!"ucap mereka sentak, kemudian pergi ke kamar masing-masing
Begitu memasuki kamar, Pat Pie
Lo Koay berjalan mondar-mandir dengan kening berkerut-kerut, kelihatannya ia
sedang memikirkan sesuatu, berselang beberapa saat kemudian ia manggut-manggut
epertinya sudah mengambil suatu keputusan.
Malam harinya, Pat Pie Lo Koay
berjalan berendap-endap menuju halaman belakang, lalu melesat ke atas sebuah
pohon. Sungguh di luar dugaan, ternyata ada seekor burung merpati di atas pohon
itu.
Pat Pie Lo Koay mengikat
sesuatu di kaki burung merpati itu, kemudian menepuk kepala burung merpati
tersebut seraya berkata
"Cepatlah engkau terbang
ke markas Ngo Tok Kauw, tapi harus berhati-hati!" Burung merpati itu manggut-manggut,
lalu terbang meluncur ke angkasa. Pat pie Lo Koay menghela nafas lega, dan
segera kembali ke kamarnya.
-ooo0dw0ooo-
Perlahan-lahan Siang Koan Goat
Nio membuka matanya, ternyata gadis itu telah sadar dan tampak tercengang
karena mendapatkan dirinya berada di dalam kamar batu.
"Eh? Aku berada
dimana?" gumamnya sambil menengok ke sana ke mari. "Apakah aku sudah
ditangkap?"
Siang Koan Goat Nio mencoba
menghimpun lweekangnya, namun tidak berhasil karena sekujur badannya masih
lemas.
"Haaah?" Gadis itu
terkejut bukan main. "Aku telah kehilangan hawa murni?"
Mendadak pintu kamar batu itu
terbuka, Pat Pie Lo Koay berjalan ke dalam. Begitu melihat Pat Pie Lo Koay itu,
Siang Koan Goat Nio menudingnya.
"Cepat lepaskan aku!
Cepaaat!"
"Tenang, Nona!"
sahut Pat Pie Lo Koay. "Kauwcu kami ingin menemuimu, mari ikut aku ke
ruang depan!"
"Hmm!" dengus Siang
Koan Goat Nio dingin. "Aku tidak sudi menemui Seng Hwee Sin Kun yang licik
itu!"
"Nona...." Pat Pie
Lo Koay menatapnya dalam- dalam. "Mari
ikut aku agar tidak terjadi
hal-hal yang tak diinginkan!"
Siang Koan Goat Nio
mengerutkan kening, lama sekali barulah mengangguk, lalu bersama Pat Pie Lo
Koay menuju ruang depan.
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Apa kabar, Nona Siang Koan? Tentunya engkau
baik-baik saja, bukan?"
"Hmm!" dengus Siang
Koan Goat Nio dingin.
"Silakan duduk, Nona
Siang Koan!" ucap Seng Hwee Sin Kun.
Siang Koan Goat Nio duduk,
Seng Hwee Sin Kun menatapnya tajam, kemudian tertawa seraya berkata.
"Ha ha ha! Tahukah engkau
kenapa kami menangkapmu?"
"Tahu," sahut Siang
Koan Goat Nio. "Pertanda kalian semua pengecut!"
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Kalau kami pengecut, engkau pasti sudah jadi
mayat!"
"Oh?" Siang Koan
Goat Nio tertawa dingin. "Kalau begitu, cepatlah bunuh aku!"
"Bunuh engkau?" Seng
Hwee Sin Kun tertawa lagi. "Kami tidak akan membunuhmu, hanya mengurungmu
di sini saja."
"Seng Hwee Sin Kun, lebih
baik engkau segera melepaskan aku!" bentak Siang Koan Goat Nio.
"Kalau tidak...."
"He he he!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh. "Engkau harus tahu apa sebabnya aku
mengurungmu di sini! Itu agar pihak Kay Pang dan pihak Pulau Hong Hoang To ke
mari, karena aku ingin membunuh mereka semua!"
"Oh?" Siang Koan
Goat Nio tidak terkejut, sebaliknya malah tertawa dingin dan berkata.
"Seng Hwee Sin Kun, jangan menyombongkan diri! Mungkin engkau yang akan
mati di tangan Kakak Bun Yang!"
"Maksudmu Giok Siauw Sin
Hiap itu?"
"Ya."
"Ha ha ha!" Seng
Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Kalau waktu itu monyet bulu putih tidak
menangkis pukulanku, Giok Siauw Sin Hiap pasti sudah mati!"
"Hm!" dengus Siang
Koan Goat Nio, kemudian bertanya mendadak. "Seng Hwee Sin Kun, kenapa
engkau begitu dendam kepada kami?"
"Karena aku memang punya
dendam dengan pihak Kay Pang dan pihak Pulau Hong Hoang To!" Seng Hwee Sin
Kun memberitahukan. "Terutama terhadap Kou Hun Bijin itu, karena gara-
gara dia kakak seperguruanku mati di tangan Kwan Gwa Siang Koay dan Ngo
Kui!"
"Oh?" Siang Koan
Goat Nio mengerutkan kening. Ia memang cerdik maka tidak membocorkan identitas
dirinya.
"Pat Pie Lo Koay, bawa
dia ke dalam kamar batu itu!" ujar Seng Hwee Sin Kun. "Dan jangan
lupa beri dia minum racun pelemas badan!"
"Ya, Kauwcu." Pat
Pie Lo Koay mengangguk, kemudian membawa Siang Koan Goat Nio ke kamar batu.
Gadis itu menurut, karena tahu
bahwa melawan pun percuma, bahkan akan membahayakan dirinya. Namun ia tetap
berharap Tio Bun Yang akan muncul menolongnya.
-oo0dw0ooo-
Sementara itu, Tio Bun Yang
telah sampai di markas pusat Kay Pang. Akan tetapi, Siang Koan Goat Nio tidak
berada di markas itu.
"Jadi...." Lim Peng Hang menatapnya. "Engkau tidak
bertemu Goat Nio di Gunung
Thian San?"
"Tidak." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Menurut Ngo Tok Kauwcu, Goat Nio tidak
ke Gunung Thian San."
"Kenapa Ngo Tok Kauwcu
mengatakan begitu?" Lim Peng Hang heran.
"Sebab siapapun yang
pergi ke Gunung Thian San, harus melalui Kota Kang Shi," jawab Tio Bun
Yang memberitahukan. "Tapi para anggota Ngo Tok Kauw sama sekali tidak
melihat Goat Nio di kota itu. Maka Ngo Tok Kauwcu berkesimpulan, bahwa Goat Nio
tidak pergi ke Gunung Thian San."
"Oooh!" Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Kalau begitu, pergi ke mana Goat Nio?"
"Mungkinkah..." ujar
Gouw Han Tiong dengan kening berkerut-kerut, "telah terjadi sesuatu atas
dirinya?"
"Goat Nio berkepandaian
cukup tinggi, tidak mungkin akan terjadi sesuatu atas dirinya," sahut Lim
Peng Hang.
"Lalu kenapa tiada kabar
beritanya?" Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala dan menambahkan.
"Bun Yang, lebih baik engkau tunggu disini. Engkau jangan ke mana-mana,
jadi kalian tidak akan selisih jalan lagi!"
"Ya." Tio Bun Yang
mengangguk. "Aku merasa heran, sebetulnya dia pergi ke mana? Kenapa tiada
jejaknya sama sekali?"
"Begini," ujar Lim
Peng Hang sungguh-sungguh. "Kakek akan menyuruh beberapa orang menyelidiki
jejak Goat Nio, engkau tinggal di sini saja,"
"Ya, Kakek." Tio Bun
Yang mengangguk. Wajahnya tampak cemas dan muram sekali. "Seandainya Goat
Nio terjadi sesuatu...."
"Bun Yang!" Gouw Han
liong tersenyum. ''Jangan memikirkan yang bukan-bukan! Goat Nio tidak akan
terjadi apa-apa. Percayalah!"
"Mudah-mudahan!"
ucap Tio Bun Yang. Kemudian mendadak ia teiingat sesuatu. "Oh ya, apakah
Kakek pernah mendengar tentang Bu Ceng Sianli?"
"Bu Ceng Sianli?"
Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Kakek tidak pernah mendengar
tentang dia. Mungkinkah dia adalah pendekar wanita yang baru muncul di rimba
persilatan! Engkau bertemu dia?"
"Aku memang telah bertemu
Bu Ceng Sianli tu." Tio Bun Yang memberitahukan sambil menghela nafas.
"Dia cantik jelita berusia dua puluhan, namun berhati kejam. Dia membunuh
orang seperti membunuh semut."
"Oh?" Lim Peng Hang
mengerutkan kening. "Dia membunuh siapa?"
"Membunuh Hek
Sim Popo...." Tio
Bun Yang menutur
tentang kejadian itu dan
menambahkan. "Bahkan dia pun ingin membunuh para anggota Seng Hwee Kauw,
tapi aku mencegahnya."
"Kenapa dia membunuh
pihak Seng Hwee Kauw?" Gouw Han Tiong heran. "Apakah dia punya dendam
dengan pihak Seng Hwee Kauw?"
"Sebetulnya dia tidak
punya dendam apa pun dengan pihak Seng Hwee Kauw, hanya dikarenakan para
anggota Seng Hwee Kauw menggodanya, maka dia membunuh mereka."
"Engkau bentrok dengan Bu
Ceng Sianli itu?" tanya Lim Peng Hang sambil menatapnya.
"tidak" Tio Bun Yang
menghela nafas. "Ketika aku mencegahnya membunuh para anggota Seng Hwee
Kauw, dia tampak gusar tapi kemudian malah menuruti perkataanku."
"Engkau tahu namanya dan
bagaimana kepandaiannya?" tanya Gouw Han Tiong.
"Dia bernama Tu Siao Cui
kepandaiannya tinggi sekali," jawab Tio Bun Yang memberitahukan.
"Hanya Belasan jurus dia telah berhasil membunuh Hek Sim Popo."
"Oh?" Lim Peng Hang
terperanjat. "Kalau begitu, kepandaiannya memang tinggi sekali."
"Bun Yang," tanya
Gouw Han Tiong. "Enakau tahu siapa gurunya?"
"Tidak tahu." Tio
Bun Yang menggeleng- gelengkan kepala. "Aku justru bingung
memikirkannya."
"Kenapa bingung?"
Lim Peng Hang menatapnya tajam.
"Kakek jangan salah
paham!" ujar Tio Bun Yang dengan wajah agak kemerah-merahan. "Yang
kupikirkan adalah identitasnya, sebab aku pernah bertemu Thian Gwa Sin Hiap di
dalam goa, di Gunung Hong San...."
Tio Bun Yang menutur tentang
itu. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong mendengar dengan penuh peihatian.
"Thian Gwa Sin
Hiap..." gumam Lim Peng liang seusai Tio Bun Yang menutur, kemudian
bertanya kepada Gouw Han Tiong. "Engkau pernah mendengar tentang Thian Gwa
Sin Hiap dan Tu Siao Cui?"
"Tidak pernah" Gouw
Han Tiong menggelengkan kepala.
"Kalau begitu..."
ujar Lim Peng Hang. "Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui itu bukan Tu Siao Cui,
murid Thian Gwa Sin Hiap itu.
Mungkin kebetulan nama mereka
sama, sebab Tu Siao Cui murid Thian Gwa Sin Hiap itu sudah berusia delapan
puluhan, sedangkan Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui baru berusia dua puluhan."
”Kakek, aku pun berpikir
begitu." Tio Bun Yang memberitahukan. "Tapi Bu Ceng Sianli justru
mengaku, bahwa dirinya adalah Tu Siao Cui murid Thian Gwa Sin Hiap itu."
"Menurut aku..."
ujar Lim Peng Hang setelah berpikir sejenak. "Gadis itu pasti bercanda
denganmu."
"Aku pun beranggapan
begitu. Tidak mungkin Bu Ceng Sianli itu adalah Tu Siao Cui murid Thian Gwa Sin
hiap." Tio Bun Yang menggeleng- gelengkan kepala. "Tapi dia justru
mengatakan, kelak aku akan mengetahuinya."
"Oh?" Lim Peng Hang
mengerutkan kening dan berpesan. "Bun Yang, engkau harus berhati- hati
terhadapnya. Kakek yakin dia berasal dari golongan sesat."
"Benar, Kakek." Tio
Bun Yang mengangguk. "Gadis itu memang memiliki ilmu sesat. Dia... dia
menggunakan ilmu sesat itu untuk merangsang diriku."
"Bagaimana engkau?"
tanya Lim Peng Hang tegang. "Apakah engkau terangsang olehnya?"
"Tidak." Tio bun
Yang tersenyum. "Kakek sudah lupa ya? Aku memiliki ilmu Penakluk Iblis
"
"Oooh!" lim Peng
Hang manggut-manggut sambil menarikk nafas lega. "Kakek melupakan
itu."
"Kakek," ujar Tio
Bun Yang sungguh-sungguh. "Kalau aku tidak memiliki ilmu Penakluk Iblis,
mungkin akan terangsang."
"Bun Yang," tanya
Gouw Han Tiong mendadak. "Bagaimana cara gadis itu merangsangmu?"
"Caranya... " Tio
Ban Yarg memberitahukan dengan wajah agak kemerah-merahan, kemudian
menambahkan. "Aku
mengeluarkan sulingku
sekaligus meniupnya, akhirnya dia tersentak sadar."
"Bukan main!" Gouw
Han Tiong menggeleng- gelengkan kepala "lelaki mana yang tidak akan
terangsang?"
"Tapi?" Lim Peng
Hang mengerutkan kening. "Menurut aku, dia cuma ingin mcncoba
dirimu."
"Kenapa Kakek mengatakan
begitu?" Tio Ban Yang heran.
"Coba engkau pikir, para
anggota Seng Hwee Kauw menggodanya, dia langsung membunuh mereka tanpa ampun!
Berarti dia bukan gadis yang bukan-bukan. Namun terhadapmu, dia malah...."
Lim Peng Hang menjelaskan. "Nah, bukankah dia ingin mencoba bagaimana
keteguhan imanmu?"
"Benar juga, Kakek."
'Tio Bun Yang tersenyum. "Aku sama sekali tidak berpikir sampai ke situ,
tapi dia bilang suka kepadaku. Itu sungguh memusingkan pikiranku'"
"Tidak apa-apa,"
sahut Lim Peng Hang sungguh-sungguh. "Mungkin dia telah menganggapmu
sebagai adik, maka berani mencetuskan ucapan itu."
"Kakek, aku memang
berharap begitu. Kalau tidak, repotlah aku," ujar Tio Bun Yang sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Karena Goat Nio akan menaruh salah paham
padaku."
"Jangan khawatir!"
Lim Peng Hang tersenyum. "Kakek akan menjelaskan kepada Goat Nio."
"Terimakasih, Kakek!
Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang. "Tapi entah kapan Goat Nio akan
muncul di sini! Aku... aku mengkhawatirkannya."
"Tenang saja!" ujar
Lim Peng Hang menghiburnya. "Percayalah Goat Nio tidak akan terjadi
apa-apa."
"Yaaah!" Tio Bun
Yang menghela nafas panjang. Mudah-mudahan dia tidak akan terjadi apa-
apa!"
-ooo0dw0ooo-
Bagian ke empat puluh tiga
Berkumpul di Markas Pusat Kay Pang
Kini kepandaian Kam Hay Thian
sudah maju pesat dan lweekangnya pun bertambah tinggi Oleh karena itu, ia
memohon pamit kepada Tio Cie Hiong.
"Paman, aku ingin kembali
ke Tionggoan."
"Ngmm!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut. "Memang sudah waktunya engkau kembali ke Tionggoan,
tapi engkau harus ingat! Jangan terlampau gampang membunuh orang, sebab akan
menimbulkan karma buruk bagi dirimu sendiri! Ingatlah itu!"
"Ya, Paman." Kam Hay
Thian mengangguk.
"Hay Thian!" Lim
Ceng Im menatapnya seraya berkata. "Hui San adalah gadis yang baik, bahkan
sangat mencintaimu. Oleh karena itu, janganlah engkau menyia-nyiakannya!"
"Bibi...." Kam Hay
Thian mengerutkan kening.
"Engkau tidak
mencintainya?" tanya Lim Ceng Im sambil menatapnya tajam.
"Aku...." Kam Hay
Thian menundukkan kepala. "Aku...."
"Hay Thian!" Lim
Ceng Im menghela nafas panjang. "Kalau menolak cintanya, engkau pasti akan
menyesal."
Kam Hay Thian tidak menyahut.
Tio Cie Hiong memandangnya,
kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Cinta memang tidak bisa
dipaksakan, namun... Hui San merupakan gadis yang lemah lembut, bahkan boleh
dikatakan
dia yang menyelamatkan
nyawamu. Engkau harus ingat itu!" katanya.
"Aku pasti ingat,
Paman," ujar Kam Hay Thian. "Tapi mengenai soal cinta, memang tidak
bisa dipaksa."
"Baiklah." Tio Cie
Hiong manggut-manggut. "Besok pagi engkau boleh kembali ke
Tionggoan."
Dalam waktu bersamaan,
muncullah Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw. Keduanya lalu menghampiri Kam Hay
Thian sambil tersenyum.
"Hay Thian," ujar
Sie Keng Hauw sambil memandangnya. "Adikku mencarimu ke mana- mana,
ternyata engkau berada di sini!"
"Aku mohon pamit kepada
Paman dan Bibi." Kam Hay Thian memberitahukan. "Besok pagi aku akan
kembali ke Tionggoan!"
"Apa?" Lie Ai Ling
terbelalak. "Besok pagi engkau akan kembali ke Tionggoan?"
"Ya." Kam Hay Thian
mengangguk.
"Lalu bagaimana Hui
San?" tanya Lie Ai Ling tanpa sadar. "Engkau tidak mengajaknya?"
"Aku...." Kam Hay
Thian menundukkan kepala.
"Ai Ling," ujar Sie
Keng Hauw. "Bagaimana kalau kita dan Hui San juga berangkat ke
Tionggoan?"
"Setuju," sahut Lie
Ai Ling dengan wajah berseri.
"Ai Ling," ujar Lim
Ceng Im sambil menatapnya. "Lebih baik engkau minta ijin kepada kedua
orang tuamu dulu, Keng Hauw juga harus ikut menghadap!"
"Ya, Bibi," sahut
Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling serentak, lalu bermohon diri.
Mereka berdua pergi menemui
Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa, sedangkan Kam Hay Thian masih tetap berdiri di
tempat.
"Hay Thian, pergilah engkau
menemui Hui San!" ujar Tio Cie Hiong. "Beritahukan kepadanya, bahwa
engkau akan kembali ke Tionggoan esok! Kalau dia mau ikut, ajaklah!"
"Ya, Paman," Kam Hay
Thian mengangguk, lalu melangkah pergi dengan kepala tertunduk.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
saling memandang, kemudian mereka menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela
nafas panjang.
"Aku khawatir..."
ujar Tio Cie Hiong perlahan, "di antara mereka akan terjadi sesuatu
kelak."
"Maksudmu Kam Hay Thian
dan Lu Hui San?" tanya Lim Ceng Im.
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Sebab Kam Hay Thian sangat dendam pada Lu Thay Kam, sedangkan
Lu Hui San adalah anak angkat Lu Thay Kam itu. Nah, itu...."
"Mudah-mudahan tidak akan
terjadi suatu apa pun!" ucap Lim Ceng Im.
"Ya, mudah-mudahan!"
sahut Tio Cie Hiong. "Namun semua itu sudah merupakan takdir."
-ooo0dw0ooo-
Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa
terbelalak ketika mendengar putrinya menyatakan ingin berangkat ke Tionggoan.
"Apa?" Lie Man Chiu
menatap mereka. "Kalian berdua ingin berangkat ke Tionggoan?"
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk. "Kami ingin ke markas pusat Kay Pang, mungkin Kakak Bun Yang
dan Goat Nio berada di sana."
"Tapi...." Lie Man Chiu mengerutkan kening. "Ayah,
ijinkanlah kami ke
Tionggoan!" desak Lie Ai Ling. "Sebab besok pagi Hay Thian juga akan
kembali ke Tionggoan."
"Oh?" Tio Hong Hoa
tertegun. "Dia sudah mengambil keputusan itu?"
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk. "Dia sudah minta ijin kepada paman dan bibi, kami ingin
berangkat bersamanya."
"Bagaimana Hui San?"
tanya Tio Hong Hoa. "Dia pasti ikut,"
sahut Lie Ai Ling. "Ibu,
ijinkanlah kami ke Tionggoan!"
"Itu...." Tio Hong
Hoa memandang Lie Man Chiu seraya
bertanya. "Bagaimana?
Engkau memperbolehkan mereka ke Tionggoan?"
"Kita memang tidak bisa
terus menahan mereka di sini, karena itu kita harus memperbolehkan mereka ke
Tionggoan," sahut Tio Hong Hoa sambil tersenyum.
"Terimakasih, Ibu!"
ucap Lie Ai Ling. "Terimakasih, Bibi!" ucap Sie Keng Hauw dengan
wajah berseri dan menambahkan. "Aku pasti baik-baik menjaga Ai Ling."
"Ngmm!" Tio Hong Hoa
manggut-manggut. "Bibi mempercayaimu, tapi kalian harus langsung menuju ke
markas pusat Kay Pang!"
"Ya, Ibu." Lie Ai
Ling mengangguk.
"Ingat!" pesan Lie
Man Chiu. "Ada apa-apa, harus berunding dengan Kakek Lim dan Kakek
Gouw."
"Ya." Lie Ai Ling
dan Sie Keng Hauw mengangguk. Mereka berdua lalu pergi menemui Lu Hui San yang
berada di halaman belakang.
Sampai di tempat itu, mereka
melihat Kam Hay Thian, Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa, sedangkan Lu Hui San
menundukkan kepala.
"Ternyata kalian
berkumpul di sini!" seru Lie Ai Ling sambil tertawa. "Oh ya! Besok
kami akan berangkat ke Tionggoan."
"Ai Ling," tanya Lu
Hui San. "Ayah dan ibumu memperbolehkannya?"
"Ya." Lie Ai Ling
mengangguk.
"Kalau begitu..."
ujar Lu Hui San sambil memandang Sie Keng Hauw. "Aku ikut!"
"Kami memang ingin
mengajakmu." Sie Keng Hauw tersenyum. "Besok pagi kita berempat
berangkat bersama."
"Yaaah!" keluh
Bokyong Sian Hoa. "Tinggal aku dan Yatsumi di sini, sepi deh!"
"Sian Hoa!" Lie Ai
Ling tersenyum. "Kalau engkau sudah menguasai semua ilmu yang diturunkan
paman, boleh menyusul ke markas pusat Kay Pang."
"Benar." Bokyong
Sian Hoa tertawa kecil. "Kita akan berkumpul di sana. Kakak Bun Yang dan
Kakak Goat Nio pasti berada di sana."
"Aku yang celaka,"
sela Yatsumi sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Akan tinggal aku seorang
diri di sini. Aku pasti kesepian."
"Begini," ujar Lie
Ai Ling. "Alangkah baiknya engkau dan Bokyong Sian Hoa berangkat bersama
ke Tionggoan."
"Benar." Bokyong
Sian Hoa tertawa gembira. "Yatsumi, kita berangkat bersama nanti."
"Baik." Yatsumi
mengangguk.
Keesokan harinya, Kam Hay
Thian, Lie Ai Ling, Sie Keng Hauw dan Lu Hui San berpamit kepada semua orang.
Setelah itu, barulah mereka berangkat ke Tionggoan.
Dalam perjalanan menuju Tionggoan,
yang paling gembira adalah Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw. Mereka berdua terus
bersenda gurau sambil tertawa gembira.
Sebaliknya Lu Hui San dan Kam
Hay Thian terus membungkam. Itu tidak terlepas dari mata Sie Keng Hauw.
Diam-diam pemuda itu menghela nafas panjang,
"Hei!" seru Lie Ai
Ling. "Kenapa kalian berdua terus membungkam seperti orang bisu?
Ber-cakap-cakaplah!"
"Aku...." Lu Hui San
tersenyum getir.
"Hay Thian!" Sie
Keng Hauw memandangnya. "Kenapa engkau diam saja? Ada sesuatu terganjel dalam
hatimu?"
"Tidak," sahut Kam
Hay Thian sambil meng- geleng-gelengkan kepala. "Aku... aku rindu sekali
pada ibuku."
"Oh?" Sie Keng Hauw
tersenyum. "Jadi engkau ingin pulang menengok ibumu!"
"Entahlah." Kam Hay
Thian menghela nafas panjang. "Aku bingung sekali."
"Kenapa bingung?"
tanya Lie Ai Ling sambil menatapnya. "Apa yang engkau bingungkan? Bolehkah
kami tahu?"
"Itu...." Kam Hay
Thian mengerutkan kening, kelihatannya
dia tidak mau memberitahukan.
"Beritahukanlah!"
desak Lie Ai Ling.
"Ai Ling, jangan
mendesaknya!" cegah Sie Keng Hauw. "Itu tidak baik."
"Aaaa...!" Mendadak
Lu Hui San menghela nafas panjang. "Mungkin dikarenakan aku."
"Kenapa dikarenakan
engkau?" Lie Ai Ling tercengang.
"Karena...." Mata Lu Hui San mulai basah. "Yaaah,
sudahlah!"
"Adik!" Sie Keng
Hauw memandangnya, kemudian memandang Kam Hay Thian seraya berkata, "Apa
kekurangan adikku, sehingga engkau bersikap begitu dingin terhadapnya?"
"Kak!" Lu Hui San
memandang Sie Keng Hauw sambil menggelengkan kepala, itu agar Sie Keng Hauw
diam.
"Memang," sela Lie
Ai Ling sambil memandang Kam Hay Thian dengan wajah tidak senang. "Engkau
sungguh keterlaluan, Hui San begitu baik dan amat mencintaimu, tapi engkau
malah...."
"Kalian harus tahu
perasaanku," sahut Kam Hay Thian, kemudian menghela nafas panjang.
"Aku...."
"Kenapa engkau?"
tanya Lie Ai Ling ketus.
"Terlampau banyak yang
kupikirkan, sehingga membuat diriku...." Kam Hay Thian menggeleng-
gelengkan kepala. "Aku mohon maaf!"
"Sudahlah!" Sie Keng
Hauw tersenyum. "Biar bagaimana pun, kita semua tetap kawan baik!"
"Terimakasih!" ucap
Kam Hay Thian.
Mereka berempat melanjutkan
perjalanan lagi menuju markas pusat Kay Pang. Malam harinya mereka bermalam di
rumah penginapan. Sie Keng Hauw sekamar dengan Kam Hay Thian, Lie Ai Ling
sekamar dengan Lu Hui San.
Keesokan harinya ketika hari
baru mulai terang, Lie Ai Ling dan Lu Hui San dikejutkan oleh suara ketukan
pintu. Kedua gadis itu segera meloncat bangun seraya bertanya.
"Siapa?"
"Aku!" suara sahutan
Sie Keng Hauw.
Lie Ai Ling cepat-cepat
membuka pintu kamar. Dilihatnya wajah Sie Keng Hauw agak lain.
"Keng Hauw, apa yang
terjadi?"
"Hay Thian pergi tanpa
pamit," sahut Sie Keng Hauw sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa?" Lie Ai Ling
tertegun. "Maksudmu Hay Thian pergi secara diam-diam?"
"Ya." Sie Keng Hauw
mengangguk sambil melirik Lu Hui San. Wajah gadis itu nampak murung sekali.
"Dia... dia telah pergi
seorang diri?" tanya Lu Hui San seakan bergumam. "Kenapa dia
memisahkan diri dengan kita?"
"Dia memang keterlaluan,"
ujar Lie Ai Ling dengan wajah tidak senang. "Bahkan juga tak tahu
diri."
"Sudahlah!" Lu Hui
San menggeleng-gelengkan kepala. "Biarlah dia pergi, mungkin itu akan
membebaskan beban pikirannya."
"Aku sungguh tidak
mengerti," ujar Sie Keng Hauw dengan kening berkerut-kerut. "Kenapa
dia begitu macam? Aaaah...!"
"Keng Hauw, mungkinkah
dia pergi ke Gunung Hek Ciok San (Gunung Batu Hitam) untuk bertarung dengan
Seng Hwee Sin Kun?" tanya Lie Ai Ling dengan wajah berubah.
"Itu...." Pikir Sie Keng Hauw sejenak, kemudian
menggelengkan kepala seraya
berkata. "Mungkin tidak, kemungkinan besar dia pulang ke rumahnya menengok
ibunya. Bukankah kemarin dia bilang rindu sekali kepada ibunya?"
"Benar." Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke rumahnya?"
"Engkau tahu
rumahnya?" tanya Sie Keng Hauw.
"Tidak tahu," sahut
Lie Ai Ling sambil memandang Lu Hui San seraya bertanya. "Engkau
tahu?"
"Aku pun tidak
tahu," jawab Lu Hui San.
"Yaah!" Lie Ai Ling
menggeleng-gelengkan kepala. "Kita bertiga tidak tahu rumahnya, lalu apa
langkah kita?"
"Melanjutkan perjalanan,
ke markas pusat Kay Pang, lalu kita berunding dengan Kakek Lim dan Kakek
Gouw," ujar Sie Keng Hauw.
"Benar." Lie Ai Ling
mengangguk. "Kalau begitu, mari kita berangkat! Jangan membuang- buang
waktu di sini!"
Sie Keng Hauw dan Lu Hui San
mengangguk. Mereka bertiga lalu berangkat ke markas pusat Kay Pang. Lu Hui San
membungkam dengan wajah murung sepajang jalan, Sie Keng Hauw
menggeleng-gelengkan kepala.
"Adik, sudahlah!"
ujarnya lembut. "Jangan terus memikirkan Hay Thian, dia begitu macam,
tiada guna memikirkannya!"
"Aku...." Lu Hui San
menundukkan kepala. "Tidak disangka,
hatinya begitu dingin!"
"Hmm!" dengus Lie Ai Ling. "Dia memang tak tahu diri dan tak
kenal budi. Engkau yang membopongnya sampai ke Pulau Hong Hoang To, bahkan demi
dirinya engkau pun tahan lapar dan ngantuk terus membopongnya. Tapi sebaliknya
dia...."
"Aaaah...!" Lu Hui
San menghela nafas panjang. "Jangan mempersalahkannya! Dia adalah kawan
baik kita, maka aku...
aku harus membopongnya sampai
di Pulau Hong Hoang To itu."
"Hui San...." Li Ai Ling menatapnya iba, kemudian
menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudahlah! Mulai sekarang engkau tidak perlu memikirkannya lagi!"
"Ng!" Lu Hui San
mengangguk. "Aku akan berusaha melupakannya."
"Benar." Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Engkau memang harus melupakannya, tiada artinya engkau
memikirkannya."
-ooo0dw0ooo-
Beberapa hari kemudian, mereka
bertiga sudah tiba di markas pusat Kay Pang.
Betapa gembiranya Lie Ai Ling
ketika melihat Tio Bun Yang berada di situ. Kemudian gadis itu berseru-seru.
"Kakak Bun Yang! Kakak
Bun Yang!" Lie Ai Ling langsung mendekap di dadanya. "Kakak Bun
Yang...."
"Adik Ai Ling!" Tio
Bun Yang membelainya dengan penuh kasih sayang. "Oh ya, pemuda
itu...."
"Dia adalah Sie Keng
Hauw. Kakak Bun Yang pasti ingat dia," sahut Lie Ai Ling sambil tertawa
gembira.
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut. "Dia putra Sie Kuang Han! Bagus! Bagus!"
"Saudara Tio!" Sie
Keng Hauw memberi hormat. "Terimakasih atas budi pertolonganmu yang telah
menyelamatkan nyawa ayahku, bahkan mempertemukan Hui San dengan ayahku
pula!"
"Saudara Sie!" Tio
Bun Yang tersenyum. "Engkau tidak usah berterimakasih kepadaku. Kita semua
adalah kawan baik, jadi... harus tolong- menolong dalam hal apa pun."
"Saudara Tio, engkau
sungguh berjiwa besar!" ujar Sie Keng Hauw, kemudian memberi hormat kepada
Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong. "Kakek Lim, Kakek Gouw!"
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang tertawa gelak. "Silakan duduk! Silakan duduk!"
"Terimakasih!" ucap
Sie Keng Hauw sambil duduk, Lie Ai Ling duduk di sebelahnya.
"Eeeh?" Gadis itu
menengok ke sana ke mari, seperti sedang mencari sesuatu. "Kok Goat Nio
tidak kelihatan? Apakah dia berada di dalam?"
"Dia belum kembali,"
sahut Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sudah ke
Gunung Thian San, namun tidak bertemu dia."
"Apa?" Lie Ai Ling
terbelalak. "Jadi hingga saat ini dia belum kembali? Apakah telah terjadi
sesuatu atas dirinya?"
"Itulah yang ku
khawatirkan," Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala lagi.
"Kakak Bun Yang,"
tanya Lie Ai Ling. "Kenapa engkau tidak pergi mencarinya?"
"Aku memang
ingin pergi mencarinya,
tapi...." Tio Bun
Yang memandang Lim Peng Hang.
"Kakek melarangku pergi mencarinya."
"Lho? Kenapa?" Lie
Ai Ling heran.
"Percuma Bun Yang pergi
mencari Goat Nio, sebab kita sama sekali tidak tahu dia berada di mana. Lalu
Bun Yang harus ke mana mencarinya? Bukankah lebih baik menunggu di sini, agar
tidak terjadi selisih jalan lagi?" ujar Lim Peng Hang, kemudian bertanya,
"Oh ya, bagaimana keadaan Kam Hay Thian, Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa di
sana?"
"Mereka baik-baik saja.
Tapi Kam Hay Thian...." Lie Ai Ling
menghela nafas panjang.
"Kenapa dia?" tanya
Tio Bun Yang tegang,
"Sebetulnya dia ke mari
bersama kami, tapi di tengah jalan dia pergi secara diam-diam," jawab Lie
Ai Ling memberitahukan. "Dia memang sengaja memisahkan diri dengan
kami."
"Kenapa begitu?" Tio
Bun Yang mengerutkan kening. "Apakah kalian bertengkar?"
Lie Ai Ling menghela nafas panjang.
"Hui San sangat mencintainya, tapi dia malah bersikap dingin dan acuh tak
acuh terhadap Hui San...."
"Ai Ling!" panggil
Lu Hui San, agar Lie Ai Ling tidak melanjutkan ucapannya. "Sudahlah!
Jangan membicarakan tentang itu lagi!"
"Hui San...."
Lie Ai Ling
menggeleng-gelengkan kepala.
"Terus terang, aku... aku
bersimpati dan merasa kasihan kepadamu."
"Ai Ling!" Lui Hui
San tersenyum getir. "Mungkin sudah nasibku, mau bilang apa?"
"Kalau aku bertemu Kam
Hay Thian, aku pasti akan menasihatinya." ujar Tio Bun Yang berjanji.
"Bun Yang!" Lim Peng
Hang mengerutkan kening. "Percuma engkau menasihatinya."
"Kenapa, Kakek?"
tanya Tio Bun Yang heran.
"Sebab...." Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Cinta tidak bisa dipaksa, maka percuma
engkau menasihatinya."
"Tapi...." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Hui San...."
"Terimakasih atas maksud
baikmu, Kakak Bun Yang!" ucap Lu Hui San dan menambahkan. "Memang
tidak salah, cinta tidak bisa dipaksa. Maka engkau tidak usah menasihatinya
mengenai ini, percuma!"
"Tio Bun Yang
manggut-manggut, kemudian mengalihkan pembicaraan tentang Bu Ceng Sianli.
"Oh?" Lie Ai Ling
terbelalak setelah mendengar penuturan itu. "Bidadari Tanpa Perasaan
merupakan gadis yang cantik jelita?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Tapi dia sadis sekali."
"Hi hi hi!" Lie Ai
Ling tertawa. "Kalau dia tidak sadis, bagaimana mungkin memperoleh julukan
itu? Namun orang-orang yang dibunuhnya itu adalah para penjahat."
"Walau para penjahat,
tapi seharusnya dia memberi ampun kepada mereka. Dia tidak perlu membunuh,
cukup melukai mereka saja," ujar Tio Bun Yang.
"Saudara Tio!" Sie
Keng Hauw tersenyum. "Kalau kita memberi ampun kepada para penjahat,
justru akan membuat mereka semakin jahat."
"Itu belum tentu,"
sahut Tio Bun Yang. "Mungkin mereka akan kembali ke jalan yang
benar."
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang tertawa gelak. "Engkau memang seperti ayahmu, berhati bajik, bijak
dan selalu mengampuni orang."
"Kakak Bun Yang memang
begitu," sela Lie Ai Ling lalu memandang Sie Keng Hauw seraya berkata,
"Engkau harus belajar seperti Kakak Bun Yang lho!"
"Ya." Sie Keng Hauw
mengangguk sambil tersenyum. "Aku menuruti perkataanmu."
"Keng Hauw!" Lie Ai
Ling tersenyum manis. "Sungguh baik engkau, mudah mudahan selamanya engkau
tetap begini terhadapku!"
"Jangan khawatir!"
Sie Keng Hauw menggenggam tangannya erat-erat. "Cintaku terhadapmu takkan
luntur selama-lamanya."
"Terimakasih, Keng
Hauw!" ucap Lie Ai Ling, kemudian mendadak mengecup pipinya.
"Haaah...?" Wajah
Sie Keng Hauw kemerah-merahan, namun bergirang dalam hati. Kalau hanya
berduaan, pemuda itu pasti balas mengecupnya.
"Ha ha ha!" Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong tertawa terbahak-bahak. "Bukan main kecupan itu,
sungguh mengesankan!"
Wajah Lie Ai Ling langsung
memerah. Gadis itu tidak menyangka Lim Peng Hang akan menggodanya.
"Kakek Lim...."
Lie Ai Ling
cemberut. "Memangnya aku
tidak boleh mengecupnya?"
"Tentu boleh, tapi...." Lim Peng Hang tertawa lagi.
"Alangkah baiknya di saat
berduaan saja."
"Kakek Lim...." Lie
Ai Ling membanting- banting kaki.
Sementara Gouw Han Tiong terus
memandang Lu Hui San, berselang beberapa saat kemudian ia pun bertanya.
"Hui San, apa rencanamu
selanjutnya?"
"Aku ingin pergi ke ibu
kota menengok ayah angkatku,"
jawab Lu Hui San. "Aku
rindu kepadanya."
"Kapan engkau akan
berangkat?" tanya Lim Peng Hang.
"Sekarang," sahut
Lui Hui San singkat.
"Apa?" Lie Ai Ling
terbelalak. "Engkau mau berangkat sekarang? Tidak bisa tunggu besok atau
lusa?"
"Ai Ling!" Lu Hui
San menghela nafas panjang. "Lebih baik aku berangkat sekarang."
"Baiklah." Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Tapi engkau harus berhati-hati menjaga diri!"
pesannya.
"Ya, Kakek Lim." Lu
Hui San mengangguk.
Setelah berpamit, barulah ia
meninggalkan markas pusat Kay Pang. Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala, sedangkan Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling
mengantar gadis itu sampai di luar markas.
"Adik!" Sie Keng
Hauw menggenggam tangannya. "Kapan engkau akan kembali ke sini lagi?"
"Entahlah." Lu Hui
San menggelengkan kepala. "Oh ya, kapan kalian punya waktu, kalian boleh
ke ibu kota menemuiku."
"Baik." Sie Keng
Hauw mengangguk. "Adik, selamat jalan!"
"Kak!" Mata Lu Hui
San mulai basah. "Sampai jumpa!"
"Hui San...." Mata Lie Ai Ling sudah bersimbah air.
"Selamat jalan!"
"Ai Ling!" Lu Hui
San tersenyum getir. "Selamat tinggal, sampai jumpa kelak!"
Lu Hui San melangkah pergi.
Setelah gadis itu tidak kelihatan, barulah Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling
kembali ke dalam markas sambil menghela nafas panjang.
"Kasihan dia!" Lie
Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala. "Dia betul-betul patah hati."
"Mudah-mudahan Hay Thian
akan mencintainya kelak!" sahut Sie Keng Hauw dan menambahkan. "Aku
justru masih merasa heran."
"Heran kenapa?"
"Menurut aku...."
Sie Keng Hauw
mengerutkan kening.
"Sesungguhnya Kam Hay
Thian juga mencintai Hui San, hanya saja ada sesuatu terganjal di dalam hatinya
yang membuatnya bersikap dingin dan acuh-tak acuh terhadap Hui San."
"Oh?" Lie Ai Ling
tertegun. "Kira-kira apa yang terganjel di dalam hati Kam Hay Thian?"
"Entahlah." Sie Keng
Hauw menggelengkan kepala. "Aku tidak mengetahuinya."
"Mungkinkah...." Lie
Ai Ling mengerutkan kening. "Kam Hay
Thian tahu Hui San adalah
putri angkat Lu Thay Kam?"
"Iya." Sie Keng Hauw
mengangguk. "Mungkin karena itu, maka dia bersikap begitu terhadap Hui
San."
"Tapi tiada seorang pun
memberitahukan pada Kam Hay Thian, bahwa Lu Thay Kam adalah ayah angkat Hui
San. Jadi bagaimana mungkin Kam Hay Thian mengetahuinya?"
"Ai Ling!" Sie Keng
Hauw tersenyum. "Engkau harus tahu, Kam Hay Thian sangat cerdas, tentunya
dia sudah menduga sampai ke situ."
"Kalau begitu...."
Kening Lie Ai Ling berkerut-kerut. "Bukan
karena Goat Nio?"
"Pasti bukan," sahut
Sie Keng Hauw. "Sebab dia tahu Goat Nio tidak mencintainya, lagi pula dia
telah berhutang budi kepada Paman Cie Hiong, tentunya dia tidak berani
memikirkan yang bukan- bukan."
"Benar." Lie Ai Ling
mengangguk. "Kalau begitu...."
Di saat bersamaan, muncullah
Tio Bun Yang sambil memandang mereka, kemudian tersenyum seraya berkata.
"Maaf! Aku telah
mengganggu kalian!"
"Kakak Bun Yang,"
sahut Lie Ai Ling. "Jangan berkata begitu ah! Masa sih engkau akan
mengganggu kami."
"Kelihatannya kalian
sedang asyik bercakap- cakap, maka...."
"Kami sedang membicarakan
Lu Hui San dan Kam Hay Thian," potong Lie Ai Ling memberitahukan.
"Oooh!" Tio Bun Yang
manggut-manggut. "Kupikir. Hay Thian mungkin sudah tahu Hui San adalah
putri angkat Lu Thay Kam, maka dia menolak cintanya. Padahal Hay Thian pun mencintai
Hui San, tapi...."
"Kakak Bun Yang,"
ujar Lie Ai Ling. "Kami pun berpikir begitu. Kini Hui San telah kembali ke
ibu kota, kita harus bagaimana?"
"Kita tidak bisa turut
campur," sahut Tio Bun Yang dan menambahkan. "Biar dia yang
menyelesaikan urusan itu. Kalau kita turut campur, mungkin akan mengeruhkan
urusan itu."
"Benar." Sie Keng
Hauw manggut-manggut. "Tapi belum tentu Hay Thian akan ke ibu kota. Aku
justru khawatir dia akan pergi menantang Seng Hwee Sin Kun."
"Itu pun mungkin.
Sebab...." Tio Bun Yang mengerutkan
kening. "Dia sangat
dendam kepada Seng Hwee Sin Kun."
"Kalau begitu...."
Wajah Lie Ai Ling agak pucat. "Bagaimana
kalau kita pergi membantu
dia?"
"Aku bukan tidak mau
pergi bantu dia, melainkan...." Tio
Bun Yang menghela nafas
panjang. "Adik Ai Ling, aku harus menunggu Goat Nio."
"Tapi Hay Thian...."
"Ai Ling!" Sie Keng
Hauw memandangnya seraya berkata, "Engkau tidak usah cemas, sebab belum
tentu Kam Hay Thian akan pergi mencari Seng Hwee Sin Kun, dia tidak akan
bertindak sebodoh itu."
Lie Ai Ling manggut-manggut.
Tio Bun Yang memandang mereka lalu berkata,
"Mari kita masuk
dulu!"
Mereka bertiga masuk. Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong masih duduk di situ.
"Bun Yang," tanya
Lim Peng Hang. "Hui San sudah pergi?"
"Sudah, Kek," jawab
Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dia kelihatan berduka
sekali."
"Yaah!" Lim Peng
Hang menghela nafas panjang. "Entah apa yang akan terjadi?"
"Sesungguhnya," ujar
Gouw Han Tiong. "Kam Hay Thian pun mencintainya. Mungkin dia tahu Hui San
adalah putri angkat Lu Thay Kam, maka Kam Hay Thian menolak cintanya."
"Kami juga berpikir begitu, tapi...." Tio Bun Yang
mengerutkan kening. "Yang
kami cemaskan adalah Kam Hay Thian, mungkin dia pergi menantang Seng Hwee Sin
Kun."
"Itu belum tentu,"
sahut Lim Peng Hang. "Sebab kalian sudah memberitahukan, bahwa Kam Hay
Thian pernah bilang rindu sekali kepada ibunya. Karena itu, dia pasti pulang ke
rumahnya untuk menengok ibunya."
"Setelah itu...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Dia pasti akan
pergi ke Gunung Hek Ciok San. Aku tidak bisa pergi membantunya, sebab harus
menunggu Goat Nio."
"Kakek Lim," tanya
Lie Ai Ling mendadak. "Bolehkah kami berdua pergi membantu Kam Hay
Thian?"
"Tidak boleh." Lim
Peng Hang menggelengkan kepala. "Itu sama juga pergi mencari mati."
"Tapi Kam Hay
Thian...." Lie Ai Ling mengerutkan kening.
"Dia adalah kawan baik
kami."
"Benar." Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Dia memang kawan baik kalian, namun belum tentu dia
akan pergi ke Gunung Hek Ciok San. Lagi pula sementara ini belum ada kabar
beritanya mengenai Seng Hwee Sin Kun, karena itu, aku yakin Kam Hay Thian tidak
pergi ke Gunung Hek Ciok San, melainkan akan ke ibu kota."
"Kalau begitu...,"
ujar Lie Ai Ling. "Hui San dan dia pasti akan bertemu di ibu kota."
"Ada baiknya mereka
bertemu. Mudah-mudahan urusan itu dapat diselesaikan dengan baik!" ujar
Lim Peng Hang dan
melanjutkan. "Sementara
ini kalian bertiga tetap di sini menunggu Goat Nio, jangan ke mana-mana!"
Tio Bun Yang, Sie Keng Hauw dan
Lie Ai Ling mengangguk. Di saat itulah Lim Peng Hang teringat sesuatu. Kemudian
ketua Kay Pang itu berkata sambil mengerutkan kening.
"Kelihatannya rimba
persilatan akan semakin kacau karena kemunculan Kui Bin Pang (Perkumpulan Muka
Setan) yang misterius itu."
"Oh ya, apakah Kakek Lim
sudah berhasil menyelidiki tentang Kui Bin Pang tu?" tanya Lie Ailng.
"Belum." Lim Peng
Hang menggelengkan kepala. "Sebab sulit sekali melacak Kui Bin Pang
itu."
"Kui Bin Pang?" Sie
Keng Hauw tampak terkejut. "Bagaimana perkumpulan itu muncul di rimba
Persilatan lagi?"
"Keng Hauw!" Lie Ai
Ling tercengang. "Engkau tahu tentang Kui Bin Pang itu?"
"Tahu sedikit,"
jawab Sie Keng Hauw memberitahukan. "Guruku pernah menceritakan kepadaku,
perkumpulan itu merupakan perkumpulan misteri sekitar seratus tahun yang silam.
Tapi perkumpulan itu tidak pernah memasuki daerah Tionggoan, hanya bergerak di
daerah Gurun Sih lh dan sekitarnya. Ketua dan para anggota perkumpulan itu
berkepandain tinggi sekali, namun pada waktu itu, perkumpulan tersebut mendadak
bubar."
"Kalau begitu...." Lim Peng Hang menatapnya tajam.
"Gurumu pasti punya
hubungan dengan Kui Bin Pang itu."
"Entahlah." Sie Keng
Hauw menggelengkan kepala. 'Aku tidak mengetahuinva."
"Keng Hauw," tanya
Gouw Han Tiong. "Bolehkah Kami tahu siapa gurumu?"
"Itu...." Sie Keng
Hauw menghela nafas panjang. "Maaf,
Kakek Gouw! Guruku melarangku
menyebut nama maupun julukannya, aku tidak berani melanggarnya."
"Ooon!" Gouw Han
Tiong manggut-manggut. "Tidak apa-apa. Tap, bolehkah engkau menceritakan
lagi tentang Kui Bin Pang :tu?"
Sie Keng Hauw mengangguk,
kemudian mulai menceritakan berdasarkan apa yang didengar dari gurunya.
"Kata guruku, ketua
perkumpulan itu memiliki ilmu hitam yang sangat hebat, semacam hipnotis. Siapa
yang memandang sepasang matanya, pasti akan terpengaruh oleh ilmu hitamnya
itu."
"Oh?" Lim Peng Kang
mengerutkan kei .ng.
"Tapi kira-kira seratus
tahun silam, mendadak ketua perkumpulan itu hilang tiada jejaknya sama sekali.
Sudah barang tentu perkumpulan itu jadi bubar. Bagaimana mungkin kini muncul
lagi?" ujar Sie Keng Hauw kurang percaya.
"Aku dan Goat Nio pernah
melihat mereka...," sahut Lie Ai Ling dan menutur tentang itu.
"Oh?" Sie Keng Hauw
tertegun. "Kalau begitu, mereka memang para anggota Kui Bin Pang. Tapi
siapa ketua baru itu? Tidak mungkin ketua lama itu masih hidup."
"Kui Bin Pang itu masih
belum resmi muncul di rimba persilatan. Mungkin ketua baru itu sedang
menghimpun kekuatan, memanggil para anggota yang bubar itu," ujar Lim Peng
Hang sambil menghela nafas panjang. "Aaaah! Itu merupakan ancaman bagi
rimba persilatan."
"Kalau begitu memang
tidak salah," ujar Tio Bun Yang memberitahukan. "Aku pun pernah
mendengar tentang Kui Bin Pang dari para pedagang. Mereka bilang melihat setan
iblis naik kuda, berpakaian serba putih dan wajah menyerupai
setan iblis, bahkan juga
mengeluarkan siulan aneh yang menyeramkan."
"Betul." Lie Ai Ling
manggut-manggut. "Mereka memang mengeluarkan siulan aneh yang menyeramkan,
memakai kedok setan dan berpakaian serba putih."
"Aaaah...." Gouw
Han Tiong menghela
nafas panjang.
"Rimba persilatan sudah
tidak aman karena Seng Hwee Kauw dan Hiat Ih Hwe, kini malah muncul Kui Bin
Pang lagi!"
"Kalau aku sudah bertemu
Goat Nio, aku ingin mengajaknya pulang ke Pulau Hong Hoang To," ujar Tio
Bun Yang sungguh-sungguh. "Aku sudah jenuh akan rimba persilatan yang tak
pernah aman, tenang dan damai. Ada saja pertikaian."
"Lalu bagaimana dengan
Seng Hwee Sin Kun?" tanya Lim Peng Hang mendadak sambil menatapnya.
"Dia memang telah
membunuh kauw heng, tapi perlukah aku menuntut balas kepadanya?" Tio Bun
Yang mengerutkan kening. "Kalau kita balas-membalas kapan akan
berakhir?"
"Bun Yang...." Lim
Peng Hang menghela nafas panjang.
"Engkau bersifat seperti
Cie Hiong ayahmu, namun kalian justru berkepandaian sangat tinggi."
"Kakek...." Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Bun Yang!" Gouw Han
Tiong menatapnya tajam seraya berkata, "Kauw heng menyuruhmu ke goa es
belajar ilmu Kan Kun Taylo Im Kang, itu agar engkau dapat melawan Seng Hwee Sin
Kun, sekaligus membalaskan dendamnya."
"Tentang itu, bagaimana
nanti saja," sahut Tio Bun Yang.
Pemuda itu memang tiada nafsu
untuk membalas dendam.
"Itu terserah
kepadamu," ujar Gouw Han Tiong. "Kami tidak akan mendesakmu menuntut
balas kepada Seng Hwee Sin Kun. Tapi...."
"Bun Yang," sambung
Lim Peng Hang. "Kelihatannya tidak lama lagi, suatu bencana akan melanda
rimba persilatan, apakah engkau mau tinggal diam?"
"Kakek!" Tio Bun
Yang tersenyum. "Itu urusan nanti, lebih baik dibicarakan nanti saja. Kini
aku cuma memikirkan Goat Nio."
"Kakak Bun Yang,"
usul Lie Ai Ling. "Bagaimana kalau kita bertiga pergi mencari Goat
Nio?"
"Kakekku sudah bilang
tadi, kita harus menunggu di sini agar tidak selisih jalan dengan Goat
Nio," sahut Tio Bun Yang. "Jadi kita tidak boleh pergi mencari Goat
Nio."
"Memang lebih baik kita
menunggu di sini saja," sela Sie Keng Hauw dan menambahkan. "Kita
lihat bagaimana perkembangan selanjutnya, setelah itu barulah kita
membahasnya."
"Benar." Lim Peng
Hang manggut-manggut. "Sekarang kalian pergi beristirahat saja."
"Ya," sahut Tio Bun
Yang, Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling serentak, lalu semuanya pergi ke ruangan
belakang.
---o0dw0ooo-
Bagian ke empat puluh empat
Kedukaan yang memuncak
Ke mana Kam Hay Thian? Apakah
ia pergi ke Gunung Hek Ciok San? Ternyata tidak, melainkan pulang ke rumahnya
karena sangat rindu kepada ibunya. Kenapa ia memisahkan diri dengan Sie Keng
Hauw, Lie Ai Ling dan Lu HuiSan? Memang tidak salah, ia sudah tahu bahwa Lu Hui
San adalah putri angkat Lu Thay Kam. Tanpa sengaja ia mendengar percakapan
mereka, maka ia tahu Lu Thay Kam adalah ayah angkat Lu Hui San. Oleh karena
itu, ia menolak cinta dari
gadis tersebut. Padahal
sesungguhnya, ia mulai mencintai gadis itu. Tapi ada selapis tembok
menghalanginya, yakni Lu Thay Kam itu. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk
berpisah dengan Lu Hui San.
Kurang lebih sepuluh hari
kemudian, Kam Hay Thian sudah sampai di rumahnya. Ia berlari- lari memasuki
halaman rumah sambil berseru-seru dengan penuh kegembiraan.
"Ibu! Ibu! Aku sudah
pulang! Ibu...!"
Seorang tua berhambur ke luar
menyambutnya. Ia adalah pembantu tua di rumah itu.
"Tuan muda...."
"Paman tua!" panggil
Kam Hay Thian sambil tersenyum. "Di mana ibuku? Aku sudah rindu sekali kepadanya."
"Tuan muda...."
Pembantu tua itu menundukkan kepala,
kemudian menangis
terisak-isak.
"Paman tua...."
Wajah Kam Hay Thian pucat pias.
"Tuan muda...." Air mata pembantu tua itu sudah
bercucuran. "Ibumu sudah
meninggal beberapa bulan yarg lalu."
"Apa?" Sekujur badan
Kam Hay Thian menggigil, kemudian menjerit. "Ibu! Ibu...!"
"Tuan muda! Tuan
muda...!" panggil pembantu t ua itu.
Kam Hay Thian berdiri diam,
sepasang matanya mendelik lalu terkulai dan pingsan seketika.
"Tuan muda' Tuan muda.. !"
Kalutlah pembantu tua itu, ia berusaha menyadarkannya.
Berselang beberapa saat
kemudian, sepasang mata Kam Hay Thian terbuka per lahan-lahan, maka legalah
hati pembantu tua itu.
"Tuan muda...."
"Paman tua...." Kam
Hay Thian berlutut di depan meja
sembahyarg dan menangis
meraung- raung. "Ibu! Ibu...!"
Pembantu tua itu membiarkannya
terus menangis. Itu memang lebih baik dari pada Kam Hay Thian menahan duka
dalam hati, akan membahayakan dirinya.
"Ibu! Ibu...!" Kam
Hay Thian terus menangis meraung-raung
Lama sekali barulah Kam Hay
Thian berhenti menangis, lalu memandang pembantu tua itu seraya bertanya.
"Paman tua! Apa yang
terjadi? Apa yang terjadi?" teriak Kam Hay Thian sambil berlari ke dalam
rumah.
Sesampainya di dalam rumah, ia
melihat sebuah meja sembayang di ruang depan, dan sebuah tempat abu di atas
meja itu.
"Bagaimana ibuku
meninggal?"
"Nyonya.... nyonya dibunuh," jawab pembantu tua itu
dengan air mata
berderai-derai.
"Apa?" Kam Hay Thian
meloncat bangun. "Ibuku mati dibunuh? Siapa yang membunuh?"
"Para anggota Hiat Ih
Hwe."
"Para anggota Hiat Ih
Hwe?" Sepasang mata Kam Hey Thian langsung berapi-api. "Kenapa mereka
membunuh ibuku?"
"Malam itu..." tutur
pembantu tua itu. "Beberapa orang memasuki halaman rumah. Nyonya mendengar
suara itu maka segera membuka pintu. Nyonya melihat beberapa orang itu terluka
parah. Mereka ternyata para pejuang yang dikejar Hiat Ih Hwe. Nvonya
menyembunyikan mereka didalam rumah."
"Kemudian
bagaimana?"
"Tak lama muncullah
belasan orang berpakaian merah. Mereka adalah para anggota Hiat Ih Hwe. Nyonya
melarang menggeledah, namun salah seorang anggota Hiat Ih Hwe mengayunkan
goloknya, dan kepala nyonya terpenggal jatuh menggelinding di lantai."
"Haaah...?" Kam Hay
Thian nyaris pingsan lagi. Ia menggenggam ujung meja sembayang erat-erat.
Braaaak! Tiba-tiba ujung meja
sembayang itu hancur menjadi debu. Ternyata tanpa sengaja Kam Hay Thian
mengerahkan Iweekangnya
"Tuan muda...."
Pembantu tua itu terkejut bukan main.
"Setelah itu
bagaimana?" tanya Kam Hay Thian dengan wajah kehijau-hijauan.
"Para anggota Hiat Ih Hwe
mulai menggeledah, akhirnya mereka menemukan pejuang-pejuang itu, dan kemudian
mereka bunuh secara sadis sekali." Pembantu tua itu memberitahukan.
"Untung mereka tidak menemukan aku, maka aku terhindar dari
kematian."
"Aku harus menuntut
balas! Aku harus membunuh Lu Thay Kam itu!" ujar Kam Hay Thian dengan mata
membara. "Walau dia ayah angkat Hui San, namun aku tetap harus
membunuhnya!"
"Tuan muda!"
Pembantu tua itu terisak-isak. "Sungguh mengenaskan kematian nyonya!"
"Aku bersumpah, akan
membunuh Lu Thay Kam dan membasmi Hiat Ih Hwe!" ucap Kam Hay Thian
mengangkat sumpah itu dengan mata berapi-api. Kemudian ia memasang hio dan
bersujud di depan tempat abu itu.
-ooo0dw0ooo-
Sementara itu, Lu Hui San juga
sudah tiba di ibu kota.
Dapat dibayangkan, betapa
gembiranya Lu Thay Kam.
"Nak..." panggilnya dengan suara
tergetar- getar.
"Ayah...." Lu Hui
San mendekap di dada Lu Thay Kam.
"Ayah, aku sudah
kembali."
"Nak!" Lu Thay Kam
membelainya dengan penuh kasih sayang. "Syukurlah engkau sudah kembali,
ayah gembira sekali!"
"Ayah...." Lu Hui
San terisak-isak.
"Nak!" Lu Thay Kam
menatapnya heran. "Kenapa engkau tampak berduka? Apa yang telah
terjadi?"
"Ayah...." Lu Hui
San menggeleng-gelengkan kepala, lalu
duduk dengan kepala tertunduk.
"Nak...." Lu Thay Kam duduk di hadapannya.
"Beritahukanlah! Apa yang
membuatmu berduka?"
"Ayah, aku sudah bertemu
Sie Keng Hauw," Lu Hui San memberitahukan. "Tentunya Ayah masih ingat
kepadanya, kan?"
"Sie Keng
Hauw...." Lu Thay
Kam manggut- manggut.
"Putra Sie Kuang Han
kan?"
"Betul, Ayah." Lu
Hui San mengangguk. "Kepandaiannya sangat tinggi."
"Oh?" Lu Thay Kam
tersenyum. "Bagus! Mungkin dia akan ke mari menuntut balas, bukan?"
"Ayah telah salah
menerka." Lu Hui San menggelengkan kepala. "Pamanku melarang kami
membalas dendam."
"Oh?" Lu Thay Kam
menatapnya, kemudian menghela nafas panjang. "Syukurlah kalau
begitu!"
"Tapi...." Lu Hui
San menghela nafas panjang.
"Ada apa, San San?"
tanya Lu Thay Kam dan menambahkan. "Beritahukanlah! Jangan ragu!"
"Aku...."
"Kenapa engkau?" Lu
Thay Kam menatapnya dalam-dalam. "Apakah engkau sudah punya kekasih?"
"Ayah...." Wajah Lu
Hui San memerah.
"Beritahukanlah!"
desak Lu Thay Kam. "Apakah engkau sudah punya kekasih?"
"Aku..." jawab Lu
Hui San dengan kepala tertunduk. "Aku mencintainya, namun... dia tidak
mencintaiku."
"Oh? Siapa dia? Sungguh
berani dia menolak cintamu?" Lu Thay Kam mengerutkan kening. "Apakah
dia tidak tahu aku adalah ayah angkatmu?"
"Mungkin dia tahu,
maka... dia berusaha menjauhi diriku," sahut Lu Hui San sambil menghela
nafas dan memberitahukan. "Dia bernama Kam Hay Thian."
"Kam Hay Thian?"
"Julukannya adalah Chu Ok
Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat)."
"Ayah pernah mendengar
itu. Tapi kenapa dia menjauhi dirimu, apakah dia punya dendam kepadaku?"
"Aaaah...!" Lu Hui
San menghela nafas panjang lagi. "Para anggota Hiat Ih Hwee membunuh guru
silat Lie dan Lie Beng Cu, maka dia sangat dendam kepada Hiat Ih Hwe, mungkin
dia pun akan membunuh Ayah."
"Dia punya hubungan apa
dengan guru silat Lie dan Lie Beng Cu?"
"Dia berhutang budi
kepada mereka ayah dan anak. Karena para anggota Hiat Ih Hwe membunuh mereka,
jadi dia pun ingin membalas dendam."
"Tapi...." Lu Thay
Kam mengerutkan kening. "Ayah sama
sekali tidak kenal guru silat
Lie itu, lagi pula ayah tidak pernah
perintahkan para anggota Hiat
Ih Hwe membunuh guru silat Lie maupun putrinya itu."
"Yaaah!" Lu Hui San
menghela nafas. "Karena Ayah ketua Hiat Ih Hwe, maka dia pun akan menuntut
balas kepada Ayah."
"Oh?" Lu Thay Kam
menggeleng-gelengkan kepala. "Lalu apa kehendakmu, Nak?"
"Aku mohon kepada Ayah,
jangan turun tangan membunuhnya! Aku.... Aku sangat mencintainya! Aku...."
"Nak!" Lu Thay Kam
tertawa gelak. "Baik. Ayah berjanji tidak akan membunuhnya!"
"Terimakasih, Ayah!"
ucap Lui Hui San sambil bersujud di hadapan Lu Thay Kam, ayah angkatnya itu.
"Terimakasih!"
"Bangunlah Nak!" Lu
Thay Kam segera mem-bangukannya. "Engkau memang gadis yang lemah lembut
dan baik hati. Ayah merasa bangga sekali!"
"Ayah...." Lu Hui
San mendekap di dada Lu Thay Kam.
"Terimakasih!"
"Nak!" Lu Thay Kam
membelai-belainya. "Ayah berjanji, kalau dia ke mari membalas dendam, ayah
pasti tidak akan membunuhnya. Legakanlah hatimu, Nak!"
Lu Hui San manggut-manggut.
Saking terharu gadis itu menangis terisak-isak.
"Nak, bagaimana sifat
pemuda itu?" tanya Lu Thay Kam.
"Agak keras hati, namun
dia pemuda baik, jujur dan tampan." Lu Hui San memberitahukan.
"Ooooh!" Lu Thay Kam
manggut-manggut sambil tersenyum. "Syukurlah kalau begitu!"
"Ayah." ujar Lu Hui
San. "Aku kembali justru karena khawatir dia akan ke mari membalas dendam
kepada Ayah. Aku ingin mendamaikan kalian."
"Nak...." Lu Thay
Kam tertawa gembira. "Kalau dia mau
berdamai dengan ayah, itu
memang baik sekali."
"Aku berharap begitu,
Ayah." Lu Hui San tersenyum. "Oh ya, bagaimana keadaan Ayah selama
ini?"
"Baik-baik saja,"
sahut Lu Thay Kam. "Tapi...."
"Ada apa, Ayah?"
"Kini dalam istana telah
muncul seorang menteri yang cukup berkuasa, hanya ayah yang mampu menyaingi
kekuasaannya itu." Lu Thay Kam memberitahukan dengan kening
berkerut-kerut. "Belum lama ini, menteri itu mengutus beberapa orang
kepercayaannya ke Manchuria, kelihatannya menteri itu berniat bersekongkol
dengan bangsa liar itu."
"Oh?" Lu Hui San
memandang Lu Thay Kam. "Kalau tidak salah, Ayah pun pernah mengutus orang
pergi menemui raja Manchuria, kan?"
"Benar." Lu Thay Kam
mengangguk. "Tapi raja Manchuria tidak mau bekerja sama dengan ayah."
"Raja Manchuria itu kenal
Paman Cie Hiong, maka dia tidak mau menyerbu ke Tionggoan, otomatis tidak mau
bekerja sama dengan Ayah." Lu Hui San memberitahukan. "Tapi raja
Manchuria itu telah mati dibunuh oleh adik kandungnya, dan kini yang menjadi
raja di Manchuria adalah adik kandungnya itu."
"Oh?" Lu Thay Kam
mengerutkan kening. "Kok engkau tahu begitu jelas tentang itu?"
"Aku tinggal di Pulau
Hong Hoang To selama ini. Kemudian Bokyong Sian Hoa juga muncul di pulau
itu," jawab Lu Hui
San. "Bun Yang yang
membawanya ke sana, jadi kami pun berkenalan."
"Siapa Bokyong Sian Hoa
itu?"
"Dia putri almarhum raja
Manchuria itu..." tutur Lu Hui San dan menambahkan. "Kini dia masih
berada di Pulau Hong Hoang To!"
"Ooh!" Lu Thay Kam
manggut-manggut, kemudian menghela nafas panjang. "Seandainya para
penghuni Pulau Hong Hoang To bersedia membantu kerajaan, ayah yakin Dinasti
Beng tidak akan runtuh."
"Maksud Ayah?" Lu
Hui San tertegun.
"Aaaah...!" Lu Thay
Kam menghela nafas panjang. "Menteri itu berniat meminjam pasukan
Manchuria, alasannya pada kaisar yakni demi memberantas para pemberontak yang
dipimpin Lie Tsu Seng. Tapi tujuan menteri itu tidak lain ingin meruntuhkan
dinasti Beng."
"Menteri itu ingin
menjadi kaisar?"
"Betul." Lu Thay Kam
mengangguk. "Kalau dia berhasil menjadi kaisar, itu tidak masalah. Namun
yang ayah khawatirkan justru pasukan Manchuria itu akan memberontak terhadapnya
Nah, bukankah kita akan dikuasai oleh Bangsa Manchuria?"
"Maksud Ayah Bangsa
Manchuria akan menjajah negeri kita?" tanya Lu Hui San dengan wajah
berubah.
"Kira-kira
begitulah." Lu Thay Kam menghela nafas. "Tapi kini menteri itu masih
tidak berani bertindak, karena masih merasa segan kepada ayah. Kalau ayah mati,
menteri itu pasti bertindak sewenang-wenang."
"Ayah...." Lu Hui
San menatapnya. "Lebih baik Ayah hidup
tenang di suatu tempat saja.
Aku bersedia mendampingi Ayah."
"Omong kosong!"
sahut Lu Thay Kam sambil tertawa. "Bagaimana mungkin engkau mendampingi
Ayah? Bukankah engkau harus mendampingi buah hatimu itu?"
"Ayah...." Wajah Lu
Hui San langsung memerah.
"Lagi pula..."
tambah Lu Thay Kam. "Kalau ayah mengundurkan diri sekarang, menteri itu
yang akan memperoleh keuntungan, dinasti Beng pasti runtuh di tangannya!"
"Ayah...." Lu Hui San memandangnya dengan penuh
keheranan. "Aku jadi
bingung, sebetulnya Ayah jahat atau baik?"
"Nak...." Lu
Thay Kam menghela
nafas panjang. "Pada
dasarnya ayah adalah orang
baik, tapi dipaksa menjadi orang jahat."
"Kenapa begitu?"
"Nak..." sahut Lu
Thay Kam sambil memandang jauh ke depan. "Ayahku adalah seorang hakim yang
sangat bijaksana, adil dan tidak pernah korupsi. Suatu ketika, ayahku menghukum
berat seorang anak menteri, karena anak menteri itu memperkosa seorang anak
gadis, kemudian membunuhnya pula. Kedua orang tua gadis itu mengadu di
pengadilan, maka ayahku segera perintahkan beberapa petugas pergi menangkap
anak menteri itu."
"Lalu bagaimana?"
"Para petugas itu tidak
berani, sebab terdakwa itu seorang anak menteri. Ayahku tidak perduli, tetap
perintahkan para petugas pergi menangkap anak menteri itu. Tentunya membuat
gusar menteri itu. Beliau membiarkan para petugas menangkap anaknya. Akan
tetapi, menteri itu justru pergi menghadap kaisar sekaligus memfitnah
ayahku."
"Oh?" Lu Hui San
tertegun. "Kemudian bagaimana?"
"Kaisar turunkan perintah
penangkapan ayahku sekeluarga." Lu Thay Kam memberitahukan. "Pada
waktu itu, aku baru berusia tujuh tahun. Salah seorang pengawal ayahku berhasil
membawaku kabur. Namun kedua orang tuaku dan lainnya ditangkap semua, kemudian
dihukum mati."
"Haaah?" Lu Hui San
terkejut bukan main.
"Setelah aku berusia
sembilan tahun, pengawal ayahku itu membawaku ke istana." Tutur Lu Thay
Kam. "Aku dikebiri jadi sida-sida istana."
"Kok Ayah mau
dikebiri?" tanya Lu Hui San sambil mengerutkan kening.
"Itu memang atas
kemauanku," jawab Lu Thay Kam sambil menghela nafas panjang.
"Tujuanku demi membalas dendam."
"Oooh!" Lu Hui San
manggut-manggut.
"Ayah semakin besar,
sedangkan kaisar itu semakin tua," ujar Lu Thay Kam dan menam-bahkan.
"Pada waktu itu, Putra Mahkota sangat baik terhadap ayah. Setelah kaisar
tua wafat, Putra Mahkota itu naik tahta. Sejak itu, kaisar baru sangat
mempercayai ayah. Mulailah ayah membalas dendam terhadap keluarga menteri
itu."
"Ternyata begitu!"
Lu Hui San menghela nafas panjang. "Pantas Ayah sering memfitnah para
menteri dan jenderal, agar kaisar menghukum mati mereka!"
"Nak," ujar Lu Thay
Kam dengan wajah murung. "Ayah menyesal sekali memfitnah ayah kandungmu.
Padahal kami berdua kawan baik. Hanya dikarenakan salah pendapat sehingga
terjadi suatu perdebatan, akhirnya ayah memfitnahnya."
"Itu sudah berlalu, tidak
usah diungkit kembali," tandas Lu Hui San. "Lagi pula paman dan aku
telah memaafkan Ayah. Bukankah Ayah bersedia mati di tanganku saat itu?"
"Nak...." Lu
Thay Kam tersenyum
getir. "Engkau telah
membuka pintu hati nurani
ayah. Mulai sekarang ayah harus menjadi Thay Kam yang baik demi dinasti
Beng."
"Kalau begitu, Ayah akan
membubarkan Hiat Ih Hwe?"
"Ngmm!" Lu Thay Kam
manggut-manggut. "Mungkin ayah akan perintahkan mereka bergabung dengan
Lie Tsu Seng."
"Oh?" Wajah Lu Hui
San berseri. "Tapi bukankah Ayah sudah bekerja sama dengan Seng
Hwee Kauw? Bagaimana kalau
Seng Hwee Sin Kun tahu tentang itu?"
"Tidak ada urusan dengan
Seng Hwee Sin Kun. Oh ya, ayah pun sudah dengar bahwa Seng Hwee Sin Kun dilukai
oleh monyet milik Tio Bun Yang. Engkau tahu tentang itu?"
"Tahu." Lu Hui San
mengangguk sekaligus menutur tentang kejadian itu.
"Oooh!" Lu Thay Kam
manggut-manggut. "Ternyata engkau yang membopong Kam Hay Thian ke Pulau
Hong Hoang To! Lalu bagaimana keadaan Tio Bun Yang dan monyetnya itu?"
"Kepandaian Bun Yang
bertambah tinggi, tapi kauw heng itu sudah mati." Lu Hui San
memberitahukan.
"Ngmm!" Lu Thay Kam
mengerutkan kening. "Bagaimana kepandaian Kam Hay Thian?"
"Sudah maju pesat di
bawah bimbingan Paman Cie Hiong, tapi belum tentu mampu melawan Seng Hwee Sin
Kun."
"Kalau begitu, dia masih
bukan lawanku," ujar Lu Thay Kam. "Kalau dia ke mari...."
"Ingat Ayah!" Lu Hui
San menatapnya. "Ayah telah berjanji tidak akan membunuhnya, jangan ingkar
janji lho!"
"Ayah tidak akan lupa
itu," sahut Lu Thay Kam sambil tertawa gelak. "Maksud ayah kalau dia
ke mari, ayah akan bicara baik-baik dengan dia."
"Oooh!" Lu Hui San
langsung berlega hati. "Ayah...."
"Ha ha ha!" Lu Thay
Kam tertawa terbahak- bahak. "Ha ha ha...!"
-ooo0dw0ooo-
Beberapa hari kemudian, di
saat Lu Hui San sedang duduk termenung di halaman belakang istana tempat
tinggal Lu Thay Kam, mendadak melayang turun seseorang yang tidak lain adalah
Kam Hay Thian yang mengenakan pakaian berkabung.
"Hay Thian..."
panggil Lu Hui San terbelalak dan bergirang dalam hati.
Akan tetapi, Kam Hay Thian
menatapnya dengan dingin sekali, tentunya sangat mengejutkan hati gadis itu.
"Hay Thian, kenapa
engkau...."
"Dimana ayah angkatmu?
Cepat suruh dia ke luar bertarung denganku!" sahut Kam Hay Thian dengan
mata berapi-api. "Cepaaat suruh dia keluar!"
"Hay Thian...."
"Diam!" bentak Kam
Hay Thian dingin. "Jangan panggil namaku!"
"Kenapa engkau membenciku?
Kenapa? Kenapa...?" sahut Lu Hui San dengan air mata berderai-derai.
"Jelaskan! Engkau harus menjelaskannya!"
"Karena engkau putri
angkat Lu Thay Kam!" Kam Hay Thian memberitahukan. "Semula aku cuma
berusaha menjauhimu, tapi kini aku justru membencimu!"
"Kenapa?" Wajah Lu
Hui San pucat pias.
"Karena..." sahut
Kam Hay Thian sambil ber- kertak gigi. "Beberapa bulan lalu, para anggota
Hiat Ih Hwe membunuh ibuku!"
"Apa?" Lu Hui San
terbelalak. Barulah ia tahu kenapa Kam Hay Thian mengenakan pakaian kabung.
"Nah, engkau dengar
baik-baik! Aku benci padamu dan harus membunuh ayah angkatmu itu!"
"Hay Thian...." Lu
Hui San menghela nafas panjang. "Kami
sama sekali tidak tahu tentang
itu. Beberapa bulan lalu, bukankah kita masih berada di Pulau Hong Hoang
To?"
"Benar! Tapi aku tetap
benci padamu, karena engkau adalah putri angkat Lu Thay Kam!"
"Apakah engkau tidak
tahu? Sesungguhnya aku putri Sie Kuang Weng. Ayah kandungku justru mati
lantaran fitnahan Lu Thay Kam, namun aku dan pamanku telah memaafkannya."
"Hm!" dengus Kam Hay
Thian dingin. "Itu karena engkau ingin hidup senang di sini!"
"Hay Thian! Kalau aku
ingin hidup senang di sini, tidak mungkin aku pergi berkelana!"
"Sudahlah! Jangan banyak
bicara, cepatlah panggil ayah angkatmu itu ke mari!"
"Ha ha ha!"
Terdengar suara tawa gelak. "Anak muda, kenapa engkau begitu bernafsu
ingin membunuhku?"
Melayang turun seseorang yang
ternyata Lu Thay Kam. la memandang Kam Hay Thian dengan penuh perhatian.
"Anjing tua!" bentak
Kam Hay Thian. "Hari ini adalah hari kematianmu!"
"Anak muda!" Lu Thay
Kam mengerutkan kening. "Kenapa engkau begitu kurang ajar, padahal San San
memuji dirimu di hadapanku! Engkau Kam Hay Thian kan?"
"Tidak salah! Engkau
memang Kam Hay Thian!" sahut pemuda itu. "Aku ke mari ingin mencabut
nyawamu!"
"Hay Thian...." Lu
Thay Kam menghela nafas panjang. "Di
antara kita tiada dendam apa
pun, kenapa engkau begitu bernafsu ingin membunuhku?"
"Para anak buahmu
membunuh guru silat Lie dan putrinya, itu masih dapat kumaafkan! Tapi beberapa
bulan lalu, para anak buahmu justru membunuh ibuku secara sadis sekali!"
sahut Kam Hay Thian sengit dengan mata berapi-api. "Leher ibuku putus
terpenggal oleh salah seorang anak buahmu, sehingga kepala ibuku menggelinding
di lantai! Nah, hari ini aku harus membalas dendam!"
"Hay Thian!" bentak
Lu Thay Kam. "Itu perbuatan para anggota, bukan perbuatan ayah angkatku!
Engkau harus tahu itu!"
"Tapi ayahmu ketua Hiat
Ih Hwe, maka aku harus membunuhnya!" sahut Kam Hay Thian dan menambahkan.
"Kalau engkau tidak menyingkir, aku pun akan membunuhmu pula!"
"Bagus! Bagus! Cepat
bunuhlah aku! Cepat!" Lu Hui San maju ke hadapan Kam Hay Thian. Itu
membuat pemuda tersebut terpaksa menyurut mundur beberapa langkah.
"Cepatlah
menyingkir!" bentak Kam Hay Thian dengan kening berkerut-kerut.
"Bukankah engkau ingin
membunuhku? Nah, cepat bunuhlah aku! Tunggu apalagi?" tantang Lu Hui San
yang memang sudah merasa kccewa terhadap pemuda itu.
"Engkau...." Mendadak Kam Hay Thian mengayunkan
tangannya.
Plaaak! Sebuah tamparan keras
mendarat di pipi gadis itu.
"Aduuuh!" jerit Lu
Hui San kesakitan sambil mengusap pipinya. "Engkau... engkau...."
"Siapa suruh engkau tidak
mau menyingkir? Hmmm...!" dengus Kam Hay Thian.
"Anak muda!" bentak
Lu Thay Kam. "Sungguh berani engkau menampar putriku! Kalau aku tidak
berjanji padanya, engkau pasti sudah mati sekarang!"
"Oh?" Kam Hay Thian
tertawa dingin, lalu mendadak menyerang Lu Thay Kam.
Lu Thay Kam terpaksa berkelit,
tapi Kam Hay Thian menyerangnya lagi. Apa boleh buat, Lu Thay Kam terpaksa
balas menyerangnya. Terjadilah pertarungan sengit, sebab Kam Hay Thian
menyerangnya menggunakan Pak Kek Sin Ciang yang mengeluarkan hawa dingin.
"San San! Cepat
menyingkir!" seru Lu Thay Kam sambil menangkis serangan Kam Hay Thian.
"Ayah!" ujar Lu Hui
San sambil menyingkir. "Jangan ingkar janji!"
"Nak... baiklah! Ayah
tidak akan ingkar janji!" sahut Lu Thay Kam
Sementara Kam Hay Thian terus
menyerangnya. Lu Thay Kam tampak kewalahan, akhirnya terpaksa mengeluarkan Ie
Hoa Ciap Bok Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Memindahkan Bunga Dan Menyambung Pohon).
Lu Hui San menyaksikan
pertarungan itu dengan hati berdebar-debar tegang. Gadis itu sama sekali tidak
menghendaki ada yang mati. Tapi pertarungan itu makin seru, Kam Hay Thian mati-matian
menyerang Lu Thay Kam.
Puluhan jurus kemudian,
mendadak Kam Hay Thian bersiul panjang sekaligus menyerang Lu Thay Kam dengan
jurus Swat Hoa Phiau Phiau (Bunga Salju Berterbangan).
Menyaksikan jurus itu, Lu Thay
Kam terpaksa menangkisnya dengan jurus Hoa Khay Yap Cing (Bunga Memekar Daun
Menghijau).
Tampak tubuh mereka
berkelebatan kemudian terdengarlah suara benturan.
Daaar...!
Ternyata Kam Hay Thian telah
mengadu pukulan dengan Lu Thay Kam. Kam Hay Thian terhuyung-huyung ke belakang
beberapa langkah, begitu pula Lu Thay Kam.
"Bagus! Bagus!" ujar
Lu Thay Kam sambil tertawa gelak. "Engkau memang pantas menjadi kekasih
putriku!"
"Jangan banyak omong,
anjing tua!" bentak Kam Hay Thian. "Bersiap-siaplah untuk
mampus!"
Kam Hay Thian bersiul panjang,
kemudian menyerang Lu Thay Kam dengan jurus Han Thian Soh Swat (Menyapu Salju
Di Hari Dingin). Tampak sepasang tangan Kam Hay Thian bergerak cepat, sepasang
kakinya pun menendang secepat kilat.
"Bagus!" seru Lu
Thay Kam sambil menangkis dengan jurus Ki Yauw Yap Lok (Dahan Bergoyang Daun
Rontok)
Blaaam! Terdengar suara
benturan dahsyat.
Lu Thay Kam dan Kam Hay Thian
sama-sama terpental beberapa langkah. Lweekang mereka kelihatan seimbang.
"Ha ha ha!" Lu Thay
Kam tertawa gelak. "Anak muda, engkau memang hebat! Tidak heran pilihan
putriku jatuh padamu!"
"Anjing tua!" bentak
Kam Hay Thian sambil mengerahkan Pak Kek Sin Kang hingga kepuncaknya,
kelihatannya ia ingin mengeluarkan jurus yang paling dahsyat untuk menyerang Lu
Thay Kam.
Namun itu tidak terlepas dari
mata Lu Thay Kam, maka ia pun menghimpun Ie Hoa Ciap Bok Sin Kang sampai pada
puncaknya.
"Lihat serangan!"
bentak Kam Hay Thian sambil menyerang dengan sepenuh tenaga, mengeluarkan jurus
Leng Swat Teng Hai (Salju Menutupi Laut).
Serangan itu sungguh dahsyat
dan lihay, bahkan mengeluarkan hawa yang sangat dingin. Apa boleh buat! Lu Thay
Kam terpaksa menyambut serangan itu dengan jurus Ie Hoa Ciap Bok (Memindahkan
Bunga Menyambung Pohon).
"Ayah...!" Terdengar
seruan Lu Hui San, yang tahu jurus tersebut akan merenggut nyawa Kam Hay Thian.
Suara seruan Lu Hui San
membuat Lu Thay Kam teringat akan janjinya, maka ia cepat-cepat menarik kembali
dua bagian Iweekangnya.
Blaaam! Terdengar suara
benturan dahsyat memekakkan telinga.
Kam Hay Thian terhuyung-huyung
beberapa langkah, sedangkan Lu Thay Kam terpental beberapa depa, sekujur badan
menggigil dan mulutnya mengeluarkan darah.
"Anjing tua! Hari ini
engkau harus mampus!" teriak Kam Hay Thian sambil menyerang Lu Thay Kam.
Lu Thay Kam telah terluka
dalam, maka bagaimana mungkin mampu menyambut pukulan yang dilancarkan Kam Hay
Thian? Ia ingin berkelit tapi sudah terlambat.
"Hay Thian,
jangan...!" pekik Lu Hui San.
Akan tetapi, pukulan yang
dilancarkan Kam Hay Thian telah menghantam dada Lu Thay Kam.
"Aaaakh...!" jerit
Lu Thay Kam. Badannya, terpental bagaikan layang-layang putus tali kemudian
jatuh gedebuk sambil menyemburkan darah segar dari mulutnya.
"Ayah! Ayah...!" Lu
Hui San berlari-lari mendekati Lu Thay Kam. "Ayah...!"
"Nak...!" panggil Lu
Thay Kam sambil tersenyum. "Ayah....
Ayah tidak ingkar janji kan?
Ayah....
"Ayah!
Ayah...!"
Lu
Hui
San
memeluknya
erat-erat.
"Ayah...!"
"Nak...!" Lu Thay
Kam membelainya. "Ayah merasa puas sekali, engkau... engkau sangat
berbakti kepadaku. Tapi... tidak lama lagi engkau akan menjadi sebatang
kara...."
"Ayah...!" panggil Lu Hui San sambil
menangis
sedih
dengan air mata berderai
derai. "Ayah...!"
Sementara Kam Hay Thian cuma
berdiri termangu-mangu di tempat, sama sekali tidak tahu apa yang telah
terjadi. Kenapa mendadak Lu Thay Kam menarik lweekangnya ketika ia menyerang
dengan dahsyat?
"Nak...!" Suara Lu
Thay Kam makin lemah. "Nak, ayah... ayah sudah tidak tahan. Engkau...
engkau jangan mendendam pada... pada pemuda itu...."
"Ayah...!"
"Nak...!" Mendadak
kepala Lu Thay Kam terkulai, ternyata nafasnya sudah putus.
"Ayah! Ayah...!"
jerit Lu Hui San sambil menangis meraung-raung. "Ayah, engkau telah
berkorban demi janji itu. Aku...
aku yang mencelakaimu,
Ayah...."
Mendadak Lu Hui San bangkit
berdiri, lalu memandang Kam Hay Thian dengan mata berapi- api.
"Kini engkau sudah puas
kan? Engkau sudah puas kan? Ayah angkatku tidak membunuh ibumu, tapi engkau
malah membunuhnya. Ketika aku ke mari, aku bermohon kepadanya agar tidak turun
tangan membunuhmu! Ayah angkatku menyanggupinya, maka ketika ayah angkatku
menangkis dengan jurus Ie Hoa Ciap Bok, ayahku justru menarik kembali
lweekangnya, sehingga terluka oleh pukulanmu! Namun engkau begitu kejam, ayah
angkatku sudah terluka dalam, engkau masih menyerangnya! Kini ayah angkatku
telah mati, engkau merasa puas? Kalau belum merasa puas, silakan bunuh aku
juga!"
"Hui San...!"
panggil Kam Hay Thian dengan suara bergemetar. "Aku...."
"Jangan panggil namaku!"
bentak Lu Hui San sambil tertawa dan menangis. "Aku benci padamu! Aku
benci padamu...!"
"Hui San!" Kam Hay
Thian ingin mendekatinya.
Akan tetapi, Lu Hui San malah
melangkah ke belakang sambil menudingnya.
"Engkau adalah iblis! He
he he!" Lu Hui San tertawa terkekeh-kekeh. "Engkau adalah iblis!
Engkau pembunuh ayah angkatku! Aku benci, engkau aku benci padamu...!"
"Hui San, maafkanlah
aku!"
"Aku tidak akan memaafkan
mu! Aku benci padamu...!" sahut Lu Hui San sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku benci padamu...!"
Tiba-tiba Lu Hui San melesat
pergi. Kam Hay Thian ingin mencegahnya, tapi gadis itu langsung menyerangnya.
"Aku benci padamu! Cepat
minggir!" bentak Lu Hui San sambil menangis. "Kalau engkau tidak
minggir, aku akan bunuh diri di sini!"
"Hui San...." Kam
Hay Thian terpaksa menyingkir.
Lu Hui San tertawa
terkekeh-kekeh, lalu melesat pergi dan masih terdengar suara tawanya.
"Hui San..." gumam
Kam Hay Thian. Mendadak ia melesat pergi, maksudnya ingin menyusul Lu Hui San.
Akan tetapi, gadis itu sudah tidak kelihatan.
"Aaaah...!" keluh
Kam Hay Thian. "Kalau Hui San jadi gila, itu adalah dosaku! Aku harus
mencarinya! Harus mencarinya!"
-oo0dw0oo-
Bagian ke empat puluh lima
Tayly Lo Ceng terluka
Di halaman istana Tayli,
tampak Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan sedang duduk sambil
bercakap-cakap.
"Sudah hampir setahun
kita tidak ke Pulau Hong Hoang To, entah bagaimana keadaan di sana?" ujar
Toan Beng Kiat sambil menggeleng- gelengkan kepala. "Aku rindu sekali pada
mereka."
"Sama," sahut Lam
Kiong Soat Lan. "Ingin rasanya sekarang berangkat ke Hong Hoang To."
"Itu bagaimana
mungkin?" Toan Beng Kiat menghela nafas panjang. "Orang tua kita
tidak akan memperbolehkan kita ke sana, itu sungguh menjengkelkan!"
"Beng Kiat, bagaimana
kalau kita pergi secara diam-diam?" tanya Lam Kiong Soat Lan seakan
mengusulkan.
"Aku tidak berani."
Toan Beng Kiat menggelengkan kepala. "Sebab akan membuat gusar orang tua
kita. Lebih baik kita minta ijin saja."
"Tidak mungkin orang tua
kita mengijinkan- nya!" Lam Kiong Soat Lan menghela nafas. "Aku sudah
rindu sekali pada mereka, lagi pula bosan rasanya terus diam di istana
ini."
"Soat Lan!" Toan
Beng Kiat menatapnya seraya berkata, "Bagaimana kalau nanti malam kita
berunding dengan orang tua kita?"
"Baik." Lam Kiong
Soat Lan mengangguk. "Tapi...."
Mendadak ucapan gadis itu
terputus, karena terganggu oleh suara tawa cekikikan. "Hi hi hi! Hi hi
hi...!”
"Siapa?" bentak Toan
Beng Kiat. "Cepatlah menampakkan diri, jangan sampai aku bertindak!"
"Bocah! Engkau mau
bertindak apa?" tanya orang yang tertawa tadi, kemudian melayang
seseorang.
Begitu melihat orang itu,
terbelalaklah Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan, karena orang itu merupakan
gadis cantik jelita berusia dua puluhan. Siapa gadis itu? Ternyata Bu Ceng
Sianli - Tu Siao Cui.
"Siapa Kakak?" tanya
Lam Kiong Soat Lan.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa nyaring sekaligus balik bertanya. "Kalian berdua siapa?"
"Aku bernama Lam Kiong
Soat Lan dan dia bernama Toan Beng Kiat." sahut Lam Kiong Soat Lan.
"Siapa orang tua
kalian?" tanya Tu Siao Cui sambil menatap mereka dengan tajam.
"Ayahku bernama Lam Kiong
Bie Liong, ibuku bernama Toan Pit Lian," jawab Lam Kiong Soat Lan.
"Ayahku bernama Toan Wie
Kie, ibuku bernama Gouw Sian Eng." Toan Beng Kiat memberitahukan.
"Aku tidak kenal."
Tu Siao Cui menggelengkan kepala. "Oh ya, kalian punya hubungan dengan
Toan Hong Ya?"
"Toan Hong Ya adalah
kakek kami," sahut Toan Beng Kiat.
"Oooh!" Tu Siao Cui
manggut-manggut. "Kalau begitu, cepatlah kalian antar aku menemui Toan
Hong Ya!"
"Maaf, Kakak!" ucap
Lam Kiong Soat Lan. "Kami masih belum tahu siapa Kakak!".
"Namaku Tu Siao Cui,
julukanku adalah Bu Ceng Sianli. Nah, cepatlah kalian antar aku menemui Toan
Hong Ya!"
"Maaf, kami tidak
berani!" Lam Kiong Soat Lan menggelengkan kepala. "Sebab akan
dimarahi orang tua kami."
"Kalau begitu...."
Tu Siao Cui tertawa. "Aku akan masuk
sendiri menemui Toan Hong
Ya."
"Kakak!" Toan Beng
Kiat segera menghadang di hadapannya. "Ini istana Tayli, engkau tidak
boleh berlaku semaumu!"
"Oh?" Tu Siao Cui
tertawa cekikikan. "Hi hi hi! Bocah, apakah engkau mampu
menghadangku?"
"Kenapa tidak?"
sahut Toan Beng Kiat sambil menatapnya. "Kalau Kakak berkeras ingin masuk,
aku terpaksa harus bertindak."
"Bertindak
bagaimana?" tanya Tu Siao Cui sambil tersenyum.
"Menghadangmu." Toan
Beng Kiat kelihatan sudah bersiap menghadangnya apabila Tu Siao Cui berkeras
menerobos ke dalam.
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa nyaring. "Aku tahu, kepandaian kalian berdua cukup tinggi.
Tapi kalian berdua masih tidak mampu menghadangku."
"Kalau Kakak berkeras
ingin menerobos ke dalam, kami terpaksa berlaku kurang ajar terhadap
Kakak," ujar Lam Kiong Soat Lan.
"Oh, ya? Hi hi
hi...!" Tu Siao Cui tertawa cekikikan.
Bersamaan itu, muncullah
beberapa orang. Mereka adalah Toan Wie Kie, Gouw Siang Eng, Lam Kiong Bie Liong
dan Toan Pit Lian.
"Siapa Nona?" tanya
Toan Beng Kiat dengan kening berkerut-kerut "Ada urusan apa Nona ke
mari?"
"Kalian tentu para orang
tua mereka berdua," sahut Tu Siao Cui sambil menunjuk Toan Beng Kiat dan
Lam Kiong Soat Lan. "Ya, kan?"
"Betul." Toan Wie
Kie mengangguk. "Ada masalah?"
"Aku menyuruh mereka
mengantarku menemui Toan Hong Ya, tapi nereka tidak mau," ujar Tu Siao Cui
memberitahukan. "Sebaliknya malah ingin menghadangku."
"Mereka berdua memang
harus menghadangmu," sahut Toan Pit Lian dan menambahkan. "Sebab
orang luar tidak boleh memasuki istana ini semaunya."
"Kalau aku ingin memasuki
istana Tayli ini semauku, kalian mau apa?" tanya Tu Siao Cui menantang.
"Eh?" Toan Pit Lian
mengerutkan kening. "Engkau berani menghina kami?"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa geli. "Sungguh lucu sekali Siapa yarg menghina kalian?"
"Engkau ingin memasuki
istana ini semaumu! Berarti menghina kami." sahut Toan Pit Lian.
"Hi hi hi...!" Tu
Siao Cui tertawa cekikikan. "Engkau harus tahu, aku mau memasuki istana
ini, sebetulnya merupakan suatu kehormatan bagi Toan Hong Ya."
"Omong kosong!"
bentak Toan Pit Lian. "Cepat beritahukan, siapa engkau!"
"Namaku Tu Siao Cui,
julukanku adalah Bu Ceng Sianli. Engkau sudah tahu aku siapa, cepatlah antar
aku ke dalam menemui Toan Hong Ya!"
"Ada urusan apa engkau
ingin menemui ayah?" tanya Toan Wie Kie sambil menatapnya tajam.
"Aku ingin menanyakan
sesuatu kepadanya," jawab Tu Siao Cui dan menambahkan sambil tersenyum.
"Kalian tidak usah khawatir, aku tidak berniat jahat terhadap Toan Hong
Ya. Percayalah!"
"Baiklah." Toan Wie
Kie manggut-manggut. "Kebetulan ayahku berada di ruang tengah, silakan
Nona ikut kami ke sana!"
"Terimakasih!" ucap
Tu Siao Cui.
Mereka masuk ke dalam menuju
ruang tengah. Toan Hong Ya memang sedang duduk di ruang itu membaca buku.
Ketika melihat Tu Siao Cui, terbelalaklah Toan Hong Ya. Itu tidak usah heran.
Sebab Tu Siao Cui sangat cantik sekali, bahkan juga memiliki daya tarik yang
luar biasa, maka membuat Toan Hong Ya terpukau menyaksikan kecantikannya.
"Ayah!" Toan Wie Kie
memberitahukan. "Nona Tu ingin bertemu Ayah."
"Oh?" Toan Hong Ya
tercengang. "Ada urusan apa Nona Tu ingin bertemu aku? Siapa yang
mengutusmu ke mari?"
"Toan Hong Ya,"
sahut Tu Siao Cui tanpa memberi hormat. "Aku harus dipersilakan duduk
dulu."
"Nona jangan kurang ajar
terhadap ayahku!" bentak Toan Pit Lian. "Cepatlah beri hormat!"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa cekikikan. "Kenapa aku harus memberi hormat kepadanya?"
"Nona!" Toan Pit
Lian mengerutkan kening. "Ayahku adalah raja Tayli, maka engkau harus
memberi hormat kepadanya!"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa lagi. "Aku adalah Bu Ceng Sianli, seharusnya ayahmu yang
memberi hormat kepadaku."
"Kurang ajar!"
bentak Toan Pit Lian gusar.
"Ha ha ha!" Toan
Hong Ya tertawa sambil memberi isyarat kepada Toan Pit Lian agar putrinya itu
jangan gusar dan melanjutkan. "Nona Tu, engkau masih muda, aku sudah
berusia lanjut. Oleh karena itu, engkau tidak boleh kurang ajar
terhadapku."
"Berapa usiamu, Toan Hong
Ya?" tanya Tu Siao Cui mendadak.
"Tujuh puluh satu,"
sahut Toan Hong Ya sambil tersenyum. "Engkau harus memanggilku kakek
lho!"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa nyaring. "Toan Hong Ya, tahukah engkau berapa usiaku?"
"Dua puluhan."
"Salah." Tu Siao Cui
tersenyum sambil memberitahukan. "Usiaku sudah hampir sembilan
puluh."
"Nona Tu!" Toan Hong
Ya menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau jangan berhumor, itu tidak
baik!"
"Toan Hong Ya, aku
berkata sesungguhnya," sahut Tu Siao Cui sungguh-sungguh. "Sama
sekali tidak berhumor."
"Dasar sinting!"
sela Toan Pit Lian dan menambahkan. "Engkau harus segera enyah dari
sini!"
"Apa?" Tu Siao Cui
melotot. "Perempuan cerewet, engkau berani mengusirku?"
"Kenapa tidak?"
sahut Toan Pit Lian gusar. "Apabila perlu, aku akan menghajarmu!"
Tiba-tiba Tu Siao Cui bergerak
cepat, tampak badannya berkelebat laksana kilat ke arah Toan Pit Lian.
Plaaak! Terdengar suara
tamparan.
Ternyata pipi Toan Pit Lian
yang terkena tampar, membuatnya menjerit kesakitan.
"Aduuuh!"
"Engkau...." Lam
Kiong Bie Liong
menudingnya. "Akan
kuhajar engkau!"
"Kakak!" bentak Lam
Kiong Soat Lan. "Engkau berani menampar ibuku? Akan kubalas...."
"Soat Lan!" seru
Toan Hong Ya. "Diam di tempat, jangan kurang ajar!"
"Kakek," sahut Lam
Kiong Soat Lan. "Dia menampar ibu, aku harus membalasnya."
"Sudahlah!" Toan
Hong Ya mengerutkan kening, kemudian menatap Tu Siao Cui tajam. "Nona Tu,
engkau ingin cari gara-gara di sini?"
"Aku ke mari secara baik-baik, tapi...." Tu Siao Cui
menunjuk Toan Pit Lian seraya
berkata, "Dia yang cari gara-gara denganku, maka aku memberi pelajaran
kepadanya."
"Nona Tu," tanya
Toan Hong Ya. "Sebetulnya ada urusan apa engkau datang ke mari
menemuiku?"
"Aku ke mari ingin
bertanya sesuatu kepadamu." sahut Tu Siao Cui sekaligus bertanya, "Di
mana Tayli Sin Ceng-Kong Sun Hok?"
"Apa?" Toan Hong Ya
tampak tertegun, sebab orang lain tidak tahu bahwa itu adalah julukan Tayli Lo
Ceng ketika masih muda, Kong Sun Hok adalah namanya. Bukankah mengherankan
sekali Tu Siao Cui mengetahui tentang itu? "Engkau kenal Tayli Lo
Ceng?"
"Aku tidak kenal Tayli Lo
Ceng, hanya kenal Tayli Sin Ceng," sahut Tu Siao Cui. "Aku akan
membuat perhitungan dengan padri sialan itu!"
"Nona...." Toan Hong Ya terbelalak. "Kapan engkau
bertemu Tayli Sin Ceng (Padri
Sakti Tayli) itu?"
"Kira-kira delapan puluh
tahun lalu."
"Haaah...?" Mulut
Toan Hong Ya ternganga lebar, begitu pula yang lain.
"Ayah," ujar Toan
Wie Kie. "Dia gadis gila, tidak usah diladeni! Biar kuusir dia!"
"Wie Kie!" Toan Hong
Ya menatapnya. "Diamlah!"
"Hi hi hi!" Tu Siao
Cui tertawa. "Bagus! Bagus! Sebentar lagi kita boleh bertanding!"
"Sekarang pun
boleh!" tantang Toan Wie Kie yang mulai kesal terhadap Tu Siao Cui itu.
"Oh, ya?" Tu Siao
Cui tertawa. "Kalau begitu, keluarkanlah senjatamu!"
Ketika Toan Wie Kie ingin
mengeluarkan kipasnya, Gouw Sian Eng berkata setengah berbisik.
"Jangan emosi, akan
merusak suasana!"
"Tapi...." Toan Wie
Kie mengerutkan kening. "Gadis itu