-------------------------------
-----------------------------
Bagian 20
"Kioo Kee cukup-tinggi
ilmu silatnya, hanya dalam hal sifat, ia tidak dapat disamakan dengan In
Ho," menyahuti Siong Kee, "Pada enam tahun dulu ia mengantar piauw ke
propinsi Inlam. Setibanya di Koen beng is diminta bantuannya membawa barang
barang permata untuk Pakkhia, harganya semua enampuluh laksa tail. Ia mesti
membawanya secara diam-diam. Tiba di propinsi Kang say, is mendapat susah,
ialah ditepi telaga Po yang ouw, ia dicegat dan dikepung oleh tiga anggauta
Poyang Soa gie, empat orang gagah dari Po yang ouw, dan piauwnya dirampas.
Meskipun dia menjual harta bendanya semua, tidak nanti Kioe Kee dapat mengganti
kerugian. Inipun mengenai nama baik dari Yan in Piauw kiok yang sangat kesohor
untuk wilayah utara. Karena kejadian itu, pasti perusahaan Piauw kioknya bakal
roboh. Selagi berada dirumah penginapan, saking putus asa, ia nekad hendak
menghabiskan jiwanya sendiri. Po yang Soe gie bukan orang Rimba Hijau, mengapa
mereka merampas piauw itu? Ini pun ada sebabnya. Saudara meraka yang tertua
lagi mendapat susah, saudara itu dikurung dalam penjara di kota Lam Ciang,
setiap waktu bisa menjalankan hukumannya, hukuman mati. Dua kali Soe gie coba
menolong. Mereka membongkar penjara, dua kalinya gagal. Akhirnya mereka
terpaksa mencari uang, untuk menyogok pembesar-pembesar di Lam ciang itu, cukup
asal hukuman kakak mereka diperenteng. Aku mendapat tahu perkara mereka itu,
aku tahu juga bahwa Po yang Soe gie orang baik-baik. Aku lantas bekerja uptuk
menolong kakak mereka, supaya piauwnya Kioe Kee dikembalikan kepada piauwsoe
itu. Wajah Kioe Kee memuakkan dan cara bicaranya juga tidak menyenangkan,
tetapi ia belum pernah melakukan sesuatu kejahatan dan iapun tidak pernah
mengganggu rakyat, maka aku pikir, ada baiknya juga aku menolong jiwanya. Hanya
dalam menolong dia, aku meminta Po yang Soe gie jangan menyebut nyebut namaku.
Piauw itu dipulangkan, melainkan bungkusan sulamannya yang aku tahan. Dan
barusan aku memberikan pulang bungkusan itu, maka kau tentulah telah mengerti
sendiri." i
Lian Cioe mengangguk angguk.
"Bagus perbuatanmu itu,
Sie tee." ia memuji. "Kiang Kioe Kee itu dapat dimaklumkan dan Po
yang Soe gie juga tak ada celaannya."
"Eh, Sieko," tanya
Seng Kok. "Barang apa itu yang kau serahkan pada Kie Thian Pioe?"
"itulah sembilan biji
Toan hoen Gouwkong piauw," jawabnya.
Jawaban ini membuat lima
saudara itu terperanjat. Untuk dunia Kang ouw, piauw itu ialah semacam senjata
rahasia yang kesohor sekali. Itulah senjata yang membikin naik namanya Gouw It
Beng dari Liang Cioe.
"Mengena piauw itu, aku
bertindak dengan terlalu berbesar hati," Siong Kee mengakui. "Kalau
sekarang aku mengingatnya, aku merasa bersyukur sekali bahwa aku telah lolos
dari marabahaya. Ketika itu Kie Thian Poe mengantar piauw lewat dikota Tong
kwan, diluar tahunya ia berbuat keliru terhadap satu muridnya Gouw It Beng.
Dalam pertempuran, Thian Pioe merobohkan dan melukakan parah murid orang itu.
Setelah kejadian, baru Thian Pioe menginsyafi bahwa ia telah menerbitkan onar.
Maka lekas-lekas ia menyelesaikan tugas nya sebab ia ingin segera pulang ke Kim
leng guna mengumpul kawan yang bersedia menghadapi It Beng itu. Ia baru sampai
di Lok yang, ketika di sana ia dicandak It Beng. Maka tarjadilah janji ,akan
bertarung besoknya di luar pintu barat kota Lok yang "
"Gouw It Beng lihay, tak
ada disebawahan kita, bagaimana Kie Thian Pioe dapat menandingi dia ?"
tanya In Lie Heng.
"Memang. Thian Pioe
sendiri merasa bahwa ia tidak unggulan melawan musuhnya, maka itu ia minta
bantuannya persaudaraan Kiauw dikota Lok yang itu," Siong Kee menerangkan.
"Atas permintaan itu, pihak parsaudaraan Kiauw menjawab: Kau bukan tahu
sendiri, Kie Toako, kami bukan lawan Gouw It Beng. Bukankan kau hanya
menghendaki kami membantu memberikan suara saja? Baiklah, besok pagi kami pasti
datang diluar kota barat itu !"
"Persaudaraan Kiauw
pandai menggunakan senjata rahasia, dengan Thian Pioe dibantu meteka, artinya
tiga lawan satu, mungkin It Beng dapat dilawan bingga berimbang
kekuatannya," berkata Seng Kok. "Bagaimana dengan Gouw It Beng,
apakan ia mempunyai kawan atau tidak ?"
"It Beng tidak punya
kawan," kata Siong Kee. "Yang aneh yalah dua saudara Kiauw itu. Pagi
pagi sekali besoknya Thian Pioe telah pergi kerumah mereka, terutama untuk
memastikan cara menghaadapi It Beng Ketika tiba, ia bertemu dengan penjaga pintu
yang berkata: Toaya dan Jieya mempuayai urusan yang penting yang mendadak,
mereka telah pergi ke Tongcioe. Aku dipesan untuk memberitahukan Kie Looya agar
Looya tidak usah menantikannya. Mendengar itu, Thian Pioe kaget dan mendongkol
bukan main. Beberapa tahun yang lalu, tempo dua saudara Kiauw itu nampak
kesukaran di Kanglam, Thian Pioe telah membantunya, tetapi sekarang, mulut
mereka manis, kaki mereka ngacir. Thian Pioe menginsyafi bahaya, tetapi ia
tidak mau salah janji, dari itu ia kembali kehotelnya untuk menulis pesan
terakhirnya. Sesudah memesan seperlunya kepada sekalian pembantunya, seorang
diri ia pergi keluar pintu kota barat."
"Semua kejadian itu tidak
lolos dari mataku," Siong Kee melanjutkan setelah berhenti sejenak.
"Aku sudah lantas pergi keluar pintu kota itu, Disana aku bercokol dibawah
sebuah pohon. Sengaja aku menyamar sebagai seorang pengemis. Aku melihat It
Beng dan Thian Pioe datang saling susul, terus mereka bertempur. Baru beberapa
jurus. It Beng telah habis sabar, ia lantas menyerang dengan sebatang piauwnya
yang liehay. Thian Pioe putus asa, ia meraimkan matanya menanti kebinasaan.
Disaat itu aku melompat maju. Aku menanggapi piauw maut itu. It Brng kaget,
heran dan gusar. Ia lantas saja menegur aku dan menanya aku orang dari partay
Pengemis atau bukan. Aku tertawa saja, tidak menjawab: Dalam gusar dan
penasarannya, delapan kali beruntun ia menyerang aku dengaa sepasang senjata
rahasia nya itu, yang semua aku tanggapi dengan berhasil. Dia benar-henar
lihay. Sedang aku, aku tidak berani menanggapi dengan menggunakan ilmu silat
kita. Aku takut ia mengenali aku. Begitulah aku berpura pura pincang sebelah
kakiku dan mati tanganku yang kanan, aku menggunakan saja tangan kiri, dan ilmu
yang digunakan olehku ialah ilmu silat Siauw lim pay. Semua senjata itu aku
bekap, hampir telapakan tanganku terluka piauw yang ke tujuh. Dia lantas
membentak, menanyakan aku muridnya Siauw lim sie yang mana. Aku tetap
membungkam dan berlagak tuli. Aku bicara ah an uh uh saja. It Beng mengerti
bahwa ia tidak akan sanggup melawan aku, ia lantas ngeloyor pergi dengan
mendongkol. Setibanya di Liangcoe, di rumahnya, seterusnya ia menutup pintu,
selama beberapa tahun ini ia tidak pernah muncul lagi dalam dunia Kang
ouw."
Seng Kok jujur dan polos, ia
tidak mengerti sikapnya kakak seperguruan itu yang menolong Kioe Kee dan
menentang It Beng. Thio Coei San sebaliknya tahu, bahwa dengan itu Siong Kee
hendak meredakan permusuhan yang disebabkan pembunuhan keluarga Liong boen
Piauw kiok. Houw po Piauw kiok adalah piauwkiok paling ternama uptuk Kang Lam.
Untuk wilayah Utara yalah Yan in Piauwkiok, dan di Barat daya yaitu Chin yang
Piauw kiok. Dengan terjadinya pembunuhan pada keluarga Liong boen Piauwkiok
itu, dua yang lainnya tentulah bakal turun tangan, maka Song Kee diam-diam
menumpuk perbuatan baik atau budi, yang diaturnya sedemikian rupa hingga orang
tidak akan menyangka bahwa itulah usaha berencana.
"Sieko," kata Coei
San akhirnya sambil menangis sesenggukan, "kita berada diantara saudara
sendiri, tidak usah aku menghaturkan terima kasih lagi padamu. Semua itu ialah
sembrononya iparmu, yang bertindak menuruti hawa amarahnya hingga mendatangkan
bahaya besar."
Sampai disitu, tanpa tedeng
aling aling, Coei San menuturkan perbuatan isterinya, So So yang menyamar menjadi
ia dan sudah menyatroni dan membunuh keluarga Liong boen Piauwkiok di waktu
malam. Kemudian ia menambahkan: "Sieko, bagaimana urusan ini dapat
diselesaikan di kemudian hari? Aku memohon pikiranmu."
Thio Siong Kee berdiam untuk
berpikir. "Aku pikir dalam urusan ini perlu kita mengundang Soehoe turun
gunung, supaya Soehoe yang
memberi petunjuk,"
katanya. "Perkara telah terjadi, orang yang sudah mati tidak dapat hidup
kembali, sedang Tee hoe sudah menginsyafi kesalahan nya dan mengubahnya. Ia
sekarang bukan lagi si wanita pembunuh yang telengas. Maka itu, perlu kita
mengerti maksudnya pepatah kuno: tahu bersalah dan dapat mengubahnya, itulah
paling baik. Kau lihat, Toako bukankah ini benar?"
Song Wan Kiauw, yang ditanya
itu, berdiam saja. Soal itu menyangkut perkara jiwanya beberapa puluh orang.
Itulah perkara sangat besar, ia
ragu-ragu
"Tidak salah." Jie
Lian Cioe menalangi kakak seperguruannya. Ia mengangguk.
Ketika In Lie Heng mendengar
suaranya kakak she Jie ini, bukan main luga hatinya. la memang paling jeri
terhadap ini kakak seperguruan
yang nomor dua, yang saking
jujurnya, membenci perbuatan jahat seperti dia membenci musuhnya yang dalam
segala pertimbangan tidak mengenal urusan peribadi. Tadinya ia berkuatir untuk
So So, isterinya Coei San itu, iparnya. Siapa nyana, demikian singkat dan
bijaksana putusannya Jieko itu.
"Benar", ia lantas
turut bicara. "Kalau nanti ada orang luar yang menanyakan, Ngoko, kau
jawab saja bahwa bukan kau yang membunuh mereka itu. Kau bukan mendusta, sebab
memang bukan kau yang membunuhnya,"
Song Wan Kiauw melotot
terhadap adik seperguruan ini, katanya: "Dengan menyangkal begitu, mana
hati Ngotee bisa tenang? Kita menamakan diri kita orang-orang gagah mulia.
Apakah kita bisa merasakan tenteram ?"
"Habis bagaimana ?"
tanya Lie Heng;
"Menurut pikiranku, kita
harus berbuat begini", berkata sang Toako. "Paling dulu kita menanti
sampai selesai perayaan ulang tahun Soehoe. Setelah itu kita pergi mencari
anaknya Ngotee. Habis itu pada rapat besar di Hong ho lauw kita membereskan
urusannya Kim mo Say ong Cia Soen. Lalu sesudah itu, kita berenam saudara
dibantu oleh Ngo tee hoe, berangkat ke Kang lam. Didalam tempo tiga tahun, kita
masing-masing harus melakukan perbuatan-perbuatan baik sebanyak sepuluh macam
"
"Akur! Akur!" Thio
Siong Kee berseru menepuk-nepuk tangan. "Liong boen Piauwkiok kematian
tujuh puluh jiwa, kita bertujuh melakukan masing-masing sepuluh rupa kebaikan.
Asal kita semua bisa menolong seratus sampai duaratus orang yang bersengsara
atau terfitnah, maka dengan itu dapatlah kita menebus jiwanya tujuh puluh orang
yang mati kecewa itu!"
"Pikiran Toako sangat
sempurna," Jie Lian Cioe memuji. "Aku percaya soehoe pun akan
menyetujuinya. Kalau tidak demikian, untuk tujuhpuluh jiwa itu, Teehoe
mengganti dengan satu jiwanya. Apakah artinya penggantian satu jiwa itu ?"
Coei San girang berbareng
terharu.
"Nanti aku bicara
padanya!" katanya. Ia maksudkan isterinya. Lantas ia lari masuk kedalam
untuk menuturkan semua itu kepada So So.
Mendengar keterangan suamiana,
So So menjadi bersemangat. Ia percaya lihaynya enam jago Boe tong pay itu, maka
ia percaya juga yang Boe kie, anaknya, bakal dapat dicari. Ia memangnya bukan
sakit berat, ia hanya bersusah hati. Sekarang ia terbuka hatinya, dan sakitnya
lalu berkurang setiap hari.
===========================
Lewat beberapa hari maka
tibalah Sie gwee Cap pee, tanggal delapan bulan keempat. Tanpa, bersangsi lagi,
Thio Sam Hong membuka pintu kuilnya. Besok adalah hari ulang tahunnya yang ke
seratus, murid-muridnya pasti bakal datang untuk merayakannya. Sebenarnya,
sesudah Jie Thay Giam terluka bercacad dan Thio Coei San lenyap, ia sangat
berduka. Tetapi, bahwa ia telah bisa memasuki usia seratus tahun, adalah hal
yang tak dapat dilewatkan dengan begitu saja.
Selain itu, ia juga yakin,
bahwa lima silatr Thay kek Sin kang sudah mencapai kesempurnaannya, itu
artinya, di dalam ilmu silat, ia telah membuat suatu jasa yang tak kurang
daripada jasanya Tatmo Couwsoe dari Siauw-lim-sie.
Pagi pagi Thio Sam Hong
membuka kedua daun pintu kamarnya. Untuk herannya, orang yang pertama ia lihat
bukan lain daripada Thio Coei San, muridnya yang telah hilang sepuluh tahun. Ia
mengucek matanya, kuatir nanti keliru melihat.
Coei San sendiri sudah lantas
menuju untuk menubruk gurunya itu.
"Soehoe !" serunya
sambil menangis sesenggukan. Saking terharunya, ia lupa berlutut untuk
menjalankan kehormatan.
Song Wan Kiauw berlima lantas
turut maju. "Selamat, Soehoe !" berseru mereka. "Saudara yang
kelima sudah pulang!"
Thio Sam Hong sudah berumur seratus
tahun, itu artinya ia telah belajar silat dan melatihnya selama delapan puluh
tahun. Ppengalamannya luas dan hatinya sudah terbuka. Akan tetapi dengan
ketujuh murid muridnya ini ia bergaul sangat erat, seperti ayah dan
anaknya.Mmaka begitu melihat Coei San, tak tahan ia akan rasa terharunya. Ia
pun memeluk erat erat dan air matanya mengucur turun.
Segera setelah itu, keenam
murid itu melayani guru mereka menyisir rambut, mencuci muka dan mulut serta
berdandan, kemudian mereka duduk memasang omong. Coei San tidak berani omong
perihal segala apa yang dapat memusingkan kepala, maka ia menuturkan saja
mengenai pulau Peng hwee to, tentang yang indah dan menarik hati, juga perihal
ia sudah menikah.
Jilid 17
Girang guru itu mengetahui
muridnya sudah beristeri. "Mana isterimu itu?" katanya. "Lekas
ajak ia menemui aku!"
Coei San lantas saja berlutut
didepan gurunya.
"Soehoe, muridmu bernyali
besar," katanya. "Untuk menikah, dia tidak memberitahukan terlebih
dulu kepada Soehoe... "
Sang guru mengurut kumisnya
dan tertawa.
"Kau berada dipulau Peng
hwee to selama sepuluh tahun dan tidak dapat pulang, apakah kau mesti menanti
sepuluh tahun dan sesudah memberitahukan aku baru kau menikah?" katanya.
"Ngaco, ngaco! Lekas bangun, tidak usah kau memohon maaf. Mana Thio Sam
Hong mempunyai murid yang tidak tahu aturan!"
Tetapi Coei San tetap
berlutut.
"Tapi muridmu
beristerikan orang yang asal usulnya sesat," katanya pula. "Dia .....
dialah gadisnya In Kauwcoe dari Peh bie kauw ....."
Kembali guru itu mengurut
kumisnya.
"Apakah halangannya
itu?" katanya sambil bersenyum. "Asal kelakuan isterimu tidak ada
celaannya, sudah cukup! Atau umpama kata pribadinya tidak baik, setelah dia
naik kegunung kita, apakah dia tidak dapat dididik untuk menjadi baik? Pula, apa
artinya Peh bie kauw? Coei San, yang terutama untuk menjadi manusia ialah
jangan cupat pandangan ! Jangan kita menganggap, sebab diri kita dari golongan
sejati lantas kita memandang enteng kepada lain orang! Dua huruf sejati dan
sesat itu, sulit untuk dibedakannya. Murid golongan sejati juga, kalau hatinya
tidak lurus, ia menjadi sesat, dan murid pihak sesat, apabila hatinya benar,
dia dapat menjadi seorang koencoe!"
Bukan main girangnya Coei San.
la tidak menyangka ganjalan hatinya selama sepuluh tahun itu, yang sangat
menguatirkannya sekarang buyar dalam sedetik dengan kata-kata bijaksana
gurunya.
Maka ia lantas berbangkit
dengan wajahnya riang gembira.
"Mertuamu itu. In
Kouwcoe, adalah sahabatku," kata sang guru kemudian. "Aku mengagumi
ilmu silatnya. Dialah seorang laki-laki yang luar biasa. Walaupun sifatnya agak
sesat, dia bukan seorang buruk. Maka kami dapat menjadi sahabat satu dengan
yang lain."
Kembali kata-kata ini
melegakan hati Coei San. Wan Kiauw dan yang lainnyapun berpikir: "Sungguh
Soehoe sangat mencintai muridnya yang ke lima ini hingga sekalipun mertuanya,
siraja iblis, dia senang menjadikannya sahabatnya."
Selagi guru dan murid-muridnya
itu berbicara, seorang kacung masuk untuk menyampaikan kabar. "In Kauwcu
dari Peh bie kauw mengirim orang membawa hadiah untuk Ngo soesiok!"
"Mertuamu mengirim
bingkisan!" berkata Thio Sam Hong sambil tertawa "Coei san, pergi kau
sambut tamu!"
"Baik soehoe !"
jawab murid itu.
"Nanti aku ikut bersama
!" kata In Lie Heng.
Thio Siong Kee tertawa dan berkata:
"Yang mengirim bingkisan bukannya Kim pian Kie Loo enghiong. Buat apa kau
repot tidak keruan?"
Mukanya Lie Heng menjadi merah
tetapi ia diam saja, terus ia mengikuti Coei San.
Di toa thia, ruang depan,
terlibat dua orang yang usianya sudah lanjut. Mereka berdandan sebagai bujang
tetapi pakaian mereka rapi. Begitu mereka melihat Coei San, mereka maju
beberapa tindak untuk memberi hormat sambil berlutut seraya berkata: "Thio
Kouwya baik ! Terimalah horrnat kami In Boe Hok dan In Boe Lok!"
Coei san membalas hormat kedua
orang itu dengan mengangguk.
"Silahkan koankee
bangun," katanya (Koankee itu kuasa rumah). Meski begitu, ia heran dan
berkata didalam hatinya: "Nama mereka ini aneh. Orang biasa memakai nama
Pang An dan lain-lain sebagainya untuk bujang. Kenapa mereka memakai nama Boe
Hok dan Boe Lok yang berarti tidak punya rejeki dan tidak jaya?"
Ia memandang kedua pegawai
mertuanya itu, dimana terlihat olehnya pada muka In Boe Hok ada tapak bacokan
golok yang panjang, dari jidat kanan turun kebawah, mengenai hidung dan bibir
kiri, sedang In Boe Lok bekas diserang cacar. Terang wajah mereka buruk sekali.
Usia mereka masing-masing sudah lima puluh tahuh lebih.
"Apa kedua mertuaku baik
?" tanya Coei San. "Setelah ada ketikanya, bersama nonamu aku akan
pergi menjenguknya. Tidak disangka, sekarang kedua orang tua itu telah
mendahului mengirim bingkisan. Bagaimana aku dapat menerimanya? Kamu baru
datang dari tempat yang jauh, silahkan duduk dan minum teh."
Boe Hok dan Boe Lok tidak
berani duduk. Mereka hanya menyerahkan daftar barang- barang bawaannya itu.
Sikapnya sangat menghormat. Kata mereka: "Looya dan Thay thay kami
mengatakan agar ini sedikit barang sukalah kouwya menerimanya tanpa dibuat
tertawaan."
Mereka itu menyebut kouwya,
atau baba mantu.
"Terima kasih!"
berkata Coei San yang lantas membeber daftar itu, melihat mana, ia terperanjat.
Ia mendapatkan belasan helai daftar dengan huruf air emas yang menyebutkan nama
namanya dua ratus rupa barang yang menjadi hadiah itu, umpamanya sepasang singa-singaan
kemala, sepasang burung hong batu hijau, alat tulis dari bulu serigala serta
bak dan bakhinya yang istimewa. Rupanya Peh bie Kauwcoe mengetahui mantunya
mengerti ilmu sastra, maka ia mengirim perabot tulis yang berhanga mahal itu.
Yang lainnya tarnyata rupa pakaian, kopia, rupa-rupa perhiasan dan lain
lainnya, yang lengkap sekali.
Selama itu Boe Hok telah pergi
keluar untuk kembali bersama sepuluh tukang pikul yang memikul barang-barang
itu.
Coei San ragu-ragu.
"Aku biasa hidup melarat
dan sederhana, untuk apa semua barang mewah ini?" pikirnya. "Tapi
mertuaku mengirimnya dari tempat demikian jauh. Kalau aku menampik, aku jadi
berlaku tidak hormat"
Maka terpaksa ia menerimanya.
Sekali lagi ia mengucapkan terima kasih.
"Nona kamu habis melakukan
perjalanan jauh, kesehatannya sedikit tenganggu," katanya kepada kedua
pesuruh itu. "Maka itu, koankee, lebih baik kamu berdiam dulu disini untuk
beberapa hari, nanti baru kamu menemui nona kamu itu,"
"Looya dan Thay thay
sangat kangen kepada Kouwnio. Mereka mengharuskan kami pulang hari ini juga
untuk menyampaikan balasan kabar," kata Boe Hok. "Kalau Kouwnio
kurang sehat, kami hanya memohon untuk bertemu saja sebentar guna menghaturkan
hormat kami, habis ltu kami segera berangkat pulang."
"Kalau begitu, harap
tunggu sebentar," berkata Coei San. Ia lantas masuk, untuk menemui
isterinya, guna menyampaikan warta girang.
So So girang sekali lekas
lekas ia menyisir rambutnya dan berdandan, lalu ia pergi keruang samping untuk
menemui kedua pegawai ayahnya itu. Ia menanyakan kesehatan orang tua serta
kakaknya, setelah mana, ia minta mereka dahar dan minum dulu.
Boe Hok dan Boe Lok lantas
meminta diri untuk segera berangkat pulang.
Sesaat Coei San bersangsi
ataukah kedua pesuruh itu harus diberi persen, tapi ia tak punya uang. Biarpun
semua uang digunung itu dikumpulkan masih belum cukup untuk menhadiahkan mereka
berdua. Dasar polos, sembari tertawa, ia berkata: "Nona kalian menikah
dengan orang miskin yang tidak bisa memberi persen pada kalian, harap kalian
maklum saja!"
Boe Hok dan Boe Lok
merendahkan diri.
"Tidak apa," kata
mereka. "Kamipun tidak berani menerima. Malah kami bersyukur selalu telah
dapat melihat wajahnya Boe tong Ngohiap!"
"Mereka bicara rapi
sekali, mereka tentu mengerti baik ilmu surat," pikir Coei San selagi ia
mengantar orang sampai dipintu. "Cukup Kouw ya. Kami hanya mengharap
Kouwya dan Kouwnio lekas datang menjenguk agar Looya dan Thaythay tidak terlalu
lama mengharap harap. Semua anggauta kami juga mengharap sekali dapat melihat wajah
Kouwya!"
Atas itu, Coei San melainkan
bersenyum.
"Ah! hampir aku
lupa!" kata In Boe Lok tiba-tiba. "Hal ini perlu disampaikan kepada
Kouwya. Dalam perjalanan kemari, dirumah penginapan di Siangyang kami bertemu
dengan tiga piauwsioe, sambil berbicara mereka itu menyebut nyebut nama
Kouwnio...."
"Oh begitu!" Kata
Coey San. "Apakah kata mereka?"
"Kata yang seorang,"
berkata Boe Lok "Meskipun Boe tong Cit hiap telah melepas budi besar
terhadap kita, akan tetapi soal jiwanya tujuh puluh lebih orang-orang Liong
boen Piauw kiok tidak dapat dibikin habis secara begini saja. Bicara lebih jauh
mereka mengatakan, biarpun mereka tak dapat memperhatikan lagi urusan itu
tetapi mereka hendak pergi pada Sin Chio Tin Pat hong Tam Loolonghiong di kota
Kay hong untuk minta biarlah jago tua itu sendiri yang berurusan dengan
Kouwya."
Mendengar itu, Coei San hanya
mengangguk. Ia tidak mengatakan suatu apa.
In Boe Lok merogo sakunya,
mengeluarkan tiga batang bendera kecil berbentuk segitiga. Sembari mengangsurkan
itu kepada Coei San dengan kedua tangannya, ia berkata pula: "Oleh karena
mendengar ketiga piauwsoe itu bernyali demikian besar, berani membentur kepalan
batu, maka urusan ini kami telah mengalihkan kepada Peh bie kauw."
Coei San terkejut melihat
ketiga bendera tiga itu. Yang pertama bersulamkan harimau galak, kepalanya
dimiringkan, mulutnya dipentang lebar, dan tubuhnya lagi nongkrong. Itulah
benderanya Houw po Piauwkiok. Bendera yang kedua bergambar sulaman seekor
burung ho putih lagi terbang ditengah udara, itulah benderanya Chin Yang
Piauwkiok, sebab burung itu diartikan in Ho, ketua piauwkiok itu. Bendera yang
ketiga yang disulam juga, sulamannya merupakan sembiIan ekor burung walet
(yan). Terang itulah bendera Yan In Piauwkiok, sebab disitu ada huruf yan itu,
yang berarti "walet" sedang "sembilan" walet, bilangan
"sembilan" (kioe) diambil dari namanya Kiong Kioe Kee.
"Kenapa kau mengambil
bendera mereka itu?" ia tanya dengan heran.
"Kouwya toh baba mantunya
Peh bie kauw!" menyahut In Boe Lok. "Dan Kie Thian Pioe dan Kiong
Kioe Kee ketiga orang itu makhluk-makhluk macam apa? Mereka tahu bahwa mereka
hutang budi kepada Boe tong Cit hiap, kenapa mereka masih mau pergi kepada Sin
chio Tin pat hong, si tua bangka she Tam di Kay hong itu? Agar si tua bangka
datang berurusan dengan Kouw ya? Bukankah itu terlalu tidak pantas? Sebenarnya
Looya dan Thay thay hanya menugaskan kepada kami untuk mengantar hadiah kepada
Kouwya, tetapi setelah dapat mendengar kata kata ketiga orang piauwsoe itu yang
kurang ajar....."
"Sebenarnya mereka tidak
kurang ajar..." kata Coei San.
"Benar, sebab Kouwya
sangat bijaksana dan pemurah," kata Boe Hok, "Tetapi kami yang tidak
dapat menahan sabar sudah lantas membereskan mereka semuanya dan mengambil
sekalian bendera mereka ini....."
Thio Coei San terkejut. Ia
tahu Kie Thian Pioe bertiga adalah Piauwsee piauwsoe kenamaan. Meskipun mereka
itu bukan orang Rimba Persilatan nomor satu, mereka mempunyai masing masing
kepandaian sendiri sendiri. Kenapa dua orang sebawahan In Thian Ceng ini
memandang mereka enteng sekali?
Umpama In Noe Hok ngoceh saja,
toh bendera ketiga piauwkiok itu telah berada ditangan mereka berdua. Bukankah
jangan kata mengambilnya dengan berterang, dengan jalan mencuripun sukar? Maka
itu, apa mungkin mereka merobohkan tiga Piauwsoe itu dengan obat atau hio
pulas?
"Bagaimana caranya
bendera ini diambil dari tangan mereka?" akhirnya ia tanya.
"Ketika itu Jie tee Boe
Lok menantang mereka", Boe Hok memberikan keterangan. "Tempat yang
dipilih yalah pintu luar kota selatan. Mereka bertiga, kamipun bertiga."
"Pertaruhan kita yalah
jikalau mereka yang kalah, mereka mesti menyerahkan bendera mereka dengan
mereka mesti mengutungkan sebelah tangan sendiri serta untuk selanjutnya tidak
dapat mereka menaruh kaki, sekalipun satu tindak di wilayah propinsi Ouw
pak."
Coei San jadi bertambah heran.
Hebat pertaruhan itu. Ia jadi semakin tidak berani memandang enteng kepada
kedua Koankee itu.
"Bagaimana kemudian
jadinya?" ia tanya pula.
"Kemudian tidak ada apa
apa yang aneh" kata Boe Hok. "Mereka itu menyerahkan bendera mereka
serta masing-masing menabas kutung lengan mereka yang kanan seraya mengatakan
untuk seumur hidupnya mereka tidak akan menginjak pula wilayah Ouw pak."
Diam-diam giris hatinya Coei
San. Pikirnya: "Benar-benar telengas orang-orang Peh bie kauw itu..."
Boe Hok berkata pula:
"Seandainya Kouwya menganggap turun tangan kami terlalu enteng, sekarang
juga kami pergi menyusul mereka, untuk mengambil kepala mereka!"
"Bukannya enteng, bahkan
berat!" berkata Coei San cepat-cepat.
"Kamipun berpikir,"
kata Boe Hok pula. "kami datang untuk mengantar hadiah kepada Kouwya. Itu
artinya girang dibalik girang, maka jikalau kami mengambil jiwa orang, itulah
berarti alamat tidak baik."
"Benar, kamu memikir
sempurna sekali," Coei San memuji. "Barusan kamu menyebut kamu datang
bertiga, mana dia satu lagi?"
"Dialah saudara kami, In
Boe Sioe," menyahut Boe Hok.
"Sesudah mengusir ketiga
piauwsoe itu, kami berdua lantas berangkat kemari menjeguk kouwya, sedang
saudaraku itu terus berangkat ke Kayhong. Kami kuatir situa bangka she Tam
nanti keburu mendapat kabar dan lantas datang untuk banyak rewel. Ya, Boe Sioe
meminta kami mewakilkan menyampaikan hormatnya kepada Kouwya."
Habis berkata, koankee itu
berlutut dan mengangguk untuk memberi hormat.
Coei San membalas dengan
menjura. Ia merendah dan berkata bahwa tidak dapat ia menerima kehormatan itu.
Didalam hatinya, baba mantunya
Peh bie Kauwcoe lantas memikirkan jago tua Tam Soei Lay, yang oleh dua saudara
Boe ini menamakan "si tua bangka she Tam". Ia bergelar Sin Chio Tin
Pat Hong, artinya ia jago ilmu silat yang menggetarkan delapan penjuru negara.
Ia tahu orang itu telah menjagoi selama empatputuh tahun. Dengan perginya In
Boe Sioe seorang diri, ia berkuatir. Siapapun yang akan terluka diantara mereka
berdua, hatinya tidak senang.
"Sudah lama aku mendengar
nama Tam Soei Lay," katanya. "Ia seorang Koencoe. Maka Jiewie tolong
kamu lekas pergi menyusul ke Kayhong, untuk minta toako Boe Sioe... Bukan!
Untuk berbicara dengan Soei Lay. Jikalau mereka berdua sama-sama besikap keras
dan jadi bentrok, itulah tidak bagus."
"Jangan Kouwya merasa
kuatir", berkata Boe Lok dengan tawar. "Tua bangka she Tam itu tidak
nanti berani melawan Shatee Boe Sioe. Jikalau Shatee memberitahukan dia untuk
jangan usilan, pasti dia akan mendengar kata."
"Begitu?" tanya Coei
San bersangsi. Ia pikir mungkin Tam Soey Lay sendiri sudah tua dan dapat
berlaku sabar, tetapi bagaimana dengan orang orang didalam rumahnya? Sedikitnya
Soei Lay mempunyai duapuluh murid yang sudah lihay, mana mereka jeri terhadap
Boe Sioe?
Boe Hok dapat melihat roman
ragu ragu dari baba mantu majikannya. Ia berkata: "Pada duapuluh tahun
yang lalu, tua bangka she Tam itu ialah pecundangnya Boe Sioe. Juga ada sesuatu
yang penting yang berada ditangan kami. Maka Kouwya jangan kuatir. Harap Kouwya
tetap baik!" tambahnya dan bersama saudaranya ia lantas memberi hormat
untuk meminta diri dan berangkat pergi.
Coei San membiarkan mereka itu
berlalu. Tangannya masih memegang ketiga helai bendera piauwkiok. Pikirannya
bekerja. Tadinya ia memikir untuk minta dua orang itu pergi mendengar dengar
halnya Boe Kie, anaknya, tetapi berat untuk ia mengatakannya. Ia kuatir merusak
nama kakaknya yang nomor dua. Maka diakhirnya, dengan ayal-ayalan ia kembali
kekamarnya.
In So So duduk menyender
diatas pembaringan sambil memeriksa daftar barang-barang bingkisan ayah dan
ibunya. Disamping itu, ia berduka dan berkuatir untuk Boe Kie yang dibawa lari
musuh. Sekarang ini entah bagaimana nasib anak itu. Ketika ia melihat suaminya
masuk, ia heran melihat roman suaminya itu tidak tenang.
"Kenapa eh ?"
tanyanya.
"Sebenarnya Boe Hok, Boe
Lok dan Boe Sioe itu orang macam apa?" sang suami balik menanya.
Sudah 10 tahun So So menikah
dengan Coei San. Ia tahu suami itu tidak menyukai Peh bie kauw, kumpulan agama
yang dipimpin ayahnya. Dari itu, mengenai agamanya itu serta rumah tangganya,
tidak mau ia membicarakannya, sedang suaminyapun tidak pernah menanyakannya.
Maka itu, heran juga ia mendengar pertanyaan suaminya ini. Tapi ia menjawab:
"Mereka bertiga, pada duapuluh tahun yang sudah adalah penjahat-penjahat
besar yang telah malang melintang diwilayah barat daya. Pada suatu hari mereka
kena dikepung serombongan jago, sampai mereka tidak berdaya untuk melawan atau
melolos kan diri. Kebetulan ayahku lewat di situ dan melihatnya. Senang ayah
melihat keberanian mereka yang tidak sudi menyerah kalah. Maka ayah lantas
mengulurkan tangan, menolong mereka. Lantaran itu, mereka jadi sangat bersyukur
dan mereka bersumpah bahwa seumurnya mereka rela menjadi hamba-hamba ayah.
Mereka membuang she dan nama mereka. Mereka memakai nama yang sekarang: In Boe
Hok, Boe Lok dan Boe Sioe. Sejak kecil aku berlaku baik kepada mereka, tidak
berani aku memandang rendah. Mereka tidak diperlakukan sebagai bujang-bujang
biasa. Ibu pernah memberitahukan aku, mengenai kepandaian mereka. Walaupun ahli
silat yang kenamaan belum tentu gampang-gampang dapat menandingi mereka"
"Begitu!" kata Coei
San yang terus menuturkan cerita Boe Kok tentang bertempuran dengan ketiga
piauwsoe itu, yang benderanya dirampas serta bagaimana ketiga piauwsoe itu
mengutungi lengannya sendiri.
Mendengar itu, In So So
mengerutkan alis.
"Dengan berbuat begitu,
mereka sebenarnya bermaksud baik," kata si isteri. "Aku tidak menyangka
bahwa kelakuan orang-orang yang menyebut diri dari kalangan sejati, mirip
dengan orang kaum sesat. Ngoko, urusan ini dapat menambah kepusingan untukmu.
Ah, aku tidak tahu bagaimana baiknya ini diatur....."
Ia berhenti sejenak, untuk
kemudian menambahkan: "Biarlah nanti setelah Boe Kie dapat dicari, kita
balik lagi ke Peng Hwee to ...."
Belum lagi Coei San menanggapi
kata-kata isterinya itu, diluar terdengar suara berisik dari In Lie Heng yang
berseru: "Ngoko, Mari lekas! Kau ambil pit besar. Lekas kau menulis lian
dan lain lainnya!" Kata-katanya itu lantas disusul dengan: "Ngo so,
jangan kau menyesalkan aku yang mengajak Ngo ko keluar! Siapa suruh dia
dijuluki Ginkauw Tiat hoa?"
Maka keluarlah Coei San, untuk
selanjutnya lohor itu bekerja berenam, mengepalai saudara-saudaranya menghias
kuil mereka, terutama untuk memajang banyak lian pilihan Song Wan Kiauw yang
ditulis oleh Coei San. (peep: lian = ???)
Besoknya pagi-pagi, Wan Kiauw
semua berdandan rapi dengan pakaian baru mereka. Disaat mereka hendak memayang
Jie Thay Giam, untuk diajak pergi keluar memberi selamat kepada guru mereka,
tiba-tiba datang satu tootong, yaitu kacung imam, yang membawa sehelai karcis
nama.
Song Wan Kiauw yang
menyambuti, tetapi mata Thio Siong Kee yang liehay sudah lantas membaca tulisan
diatasnya, bunyinya: "Ho Thay Ciong yang muda dari Koen loen san beserta
sekalian muridnya memberi selamat kepada Thio Cinjin. Semoga panjang umur
sebagai gunung Selatan!" Maka heranlah ia dan lantas ia berkata:
"Ketua dari Koen loen pay datang sendiri memberi hormat kepada Soeho! Ia
datang dari tempat jauh selaksa ialah suatu pemberian muka terang yang tak
kecil!"
Wan Kiau pun berkata:
"Tetamu kita ini bukan tetamu sembarangan, harus kita minta Soe hoe
sendiri yang menyambutnya!" Maka ia lantas lari masuk guna memberitahukan
gurunya.
"Ciangboenjin dari Koen
loen pay Ini kabarnya belum pernah datang ke Tionggoan. Maka luar biasa yang ia
mendapat tahu hari ulang tahunku," berkata sang guru, yang lantas memimpin
keenam muridnya melakukan penyambutan.
Ho Thay Ciong mengenakan jubah
kuning, romannya ramah dan agung, agaknya tepat ia menjadi ketua sebuah partai
persilatan. Ia diiringi deIapan muridnya antaranya terdapat See hoa coe serta
Wie Soe Nio.
Thio Sam Hong menyambut sambil
menjura dan lantas menghaturkan terima kasihnya. Song Wan Kiauw berenam memberi
hormat sambil berlutut.
Ho Thay Ciong membalas
hormatnya tuan rumah, sedang hormatnya Wan Kiauw beramai di balas dengan
setengah kehormatan. "Nama Boe tong Liok hiap tersohor sekali, maka itu
hormatmu itu tidak dapat aku menerimanya," katanya.
Tetamu itu lalu diundang
keruang tengah, dimana ia dipersilahkan duduk dan disuguhkan teh.
Belum lama, satu tootong
datang pula dengan selembar karcis nama. Ketika Wan Kiauw menerimanya, ternyata
itulah kartu nama dari rombongan Khong tong pay.
Didalam kalangan persilatan
masa itu, Siauw lim pay yang namanya paling tersohor, Koen loen pay dan Go bie
pay yang kedua, baru Khong Tong pay. Maka itu, kedudukannya orang Khong tong
pay ini seimbang dengan Song Wan Kiauw. Akan tetapi Thio Sam Hong manis budi,
ia berbangkit seraya berkata kepada tetamunya: "Ada tetamu dari Khong tong
pay, hendak aku menyambutnya, dari itu minta sudilah Ho looyoe menanti
sebentar."
Ho Thay Ciong mengangguk, akan
tetapi di dalam hatinya ia berkata: "Yang datang hanya orang Khong tong
pay, cukup kalau mereka disambut saja oleh seorang murid....."
Tidak lama muncullah Khong
tong Ngo loo bersama muridnya. Ho Thay Ciong menemui mereka itu tanpa
berbangkit, ia melainkan membungkuk sambil berduduk.
Tidak lama pula datanglah
lain-lain tetamu, Seperti dari partai Sin koen boen, Hay see pay, Kie keng
pang, Boe san pay dan lainnya. Maka repotlah Wan Kiauw dan saudara-saudaranya.
Mereka ini bermaksud bersuka-ria bersama gurunya saja. Siapa tahu telah datang
demikian banyak tetamu.
Thio Sam Hong juga tidak gemar
ramai-ramai. Ketika ia berulangtahun usia tujuhpuluh, delapan puluh dan
sembilan puluh, ia telah memesan murid muridnya untuk jangan memberitahukan itu
pada banyak orang. Maka ia tidak menyangka kali ini ia kedatangan begitu banyak
tetamu, sehingga tidaklah heran, kursipun sampai kekurangan hingga terpaksa Wan
Kiauw beramai menggunakan batu-batu bundar sebagai gantinya.
Semua ketua partai dapat duduk
dikursi, tetapi murid murid mereka terpaksa duduk dibatu bundar itu. Untuk
minum teh juga, cawan kehabisan dan sebagai gantinya dipakai mangkok nasi.
Selagi Thio Siong Kee dan Thio
Coei San beara dikamar sebelah timur, sang kakak menanya adik seperguruannya:
"Ngo tee, apakah kau dapat melihat sesuatu?"
"Agaknya mereka telah
berdamai Iebih dulu," berkata Coei San. "Lihatlah sikap mereka di
waktu mereka baru bertemu satu pada yang lain. Beberapa orang tampaknya heran
tetapi terang itulah berpura-pura belaka."
"Kau benar. Mereka ini
bukannya bersungguh hati datang untuk memberi selamat kepada Soehoe," kata
Siong Kee kemudian.
"Memberi selamat hanya
alasan. Yang benar mereka datang untuk menegur!" Kata Coei San.
"Bukan, bukan
menegur." kita Siong Kee. "Perkara jiwa keluarga Liong boen Piauw
kiok tidak nanti dapat mengundang Ho Thay Ciong dari Koen loen pay."
"Habis apakah itu untuk
urusannya Kim mo Say ong Cia Soen ?" tanya Coei San.
Siong Kee tertawa dingin.
"Hmm! Mereka memandang
terlalu enteng pada Boe tong pay!" katanya. "Walauputn mereka
mengandalkan jumlah yang banyak untuk memperoleh kemenangan, apakah mereka
menyangka murid-murid Boe tong pay dapat menjual sahabatnya? Ngo tee, meski Cia
Soen itu jahat tak berampun, tidak nanti saudaramu membuka mulut untuk
memberitahukan hal dia."
"Sieko benar. Sekarang
bagaimana kita harus bertindak ?"
Siong Kee berdiam untuk
berpikir. "Sekarang ini kita berhati-hati saja," sahutnya.
"Cukup asal kita bersatu padu, Boe tong Cit hiap sudah kenyang menghadapi
badai dan gelombang dahsyat, dari itu mana kita jeri terhadap mereka ini?"
Siong Kee tetap menyebut Boe
tong Cit hiap, tujuh jago dari Boe tong pay, walaupun Jie Thay Giam telah
bercacad. Ia tidak ingin gurunya sampai turun tangan, terutama sebab guru itu
lagi merayakan ulang tahunnya yang keseratus. la menghibur saudaranya itu meski
ia merasa urusan sulit sekali.
Selanjutnya, Wan Kiauw bertiga
Jie Lian Cioe dan In Lie Heng yang melayani tetamu-tetamu di toathia, ruang
besar. Mereka merasa semakin pasti bahwa sikap sekalian tetamu itu luar biasa.
Selagi orang berbicara,
kembali ada kacung yang masuk dengan wartanya: 'Murid kepala dari Go bie pay,
Ceng hian Soe thay, datang bersama lima Soetee dan Soemaynya untuk memberi
selamat kepada Soe couw !"
Mendengar warta itu, Wan Kiauw
dan Lian Cioe bersenyum. Keduanya memandang Lie Heng. Justeru itu Boh Seng Kok
pun tampak masuk bersama sembilan tetamunya yang baru tiba, sedang Thio Siong
Kee dan Thio Coei San baru muncul dari dalam. Mereka ini juga mendengar warta
itu, mereka turut memandang Lie Heng sambil bersenyum.
Saudara she In ini menjadi
merah mukanya, likat sikapnya. Tapi tanpa memperhatikan itu, Coei-San menarik
tangannya Soe tee itu, untuk diajak keluar sambil tertawa, ia kata: "Mari,
mari... Mari kita menyambut tetamu!"
Diluar terlihat Ceng hian Soe
Thay tengah menanti bersama lima adik seperguruannnya. Bhiksuni itu berusia
empatpuluh lebih, tubuhnya tinggi dan besar, romannya gagah. Ia seorang wanita,
tetapi tubuhnya lebih tinggi daripada kebanyakan pria. Dari lima saudara seperguruannya,
satu adalah seorang pria kurus, usia tigapuluh tahun, dua yang wanita, satu
antaranya yalah Ceng hie Soe thay, yang Coei San pernah ketemukan didalam
perahu ditengah laut. Dua wanita lainnya, yang satu yalah nona umur kurang
lebih duapuluh tahun, yang mulutnya senantiasa tersungging senyuman, dan yang
lainnya berkulit halus, tubuhnya jangkung, romannya cantik. Dia ini, terus
menunduk kan kepala dan tangannya selalu membuat main ujung bajunya. Sebab
ialah Nona Kie yang menjadi tunangannya In Lie Heng.
Bersama Lie Heng, Coei San
menyambut tetamu dari Go bie san yang mereka pimpin masuk ke dalam. Selama itu,
Lie Heng tidak berani mengawasi Siauw Hoe, tunangannya. Hanya setibanya
dipaseban, selagi yang lainnya sudah berada disebelah depan, baru ia berpaling,
justeru si nona pun melirik kearahnya. Dengan begitu bentroklah sinar mata
mereka.
Adik seperguruan Siauw Hoe
melihat langak soe cienya ini, dia berdehem, sehingga kedua muda mudi itu
menjadi kemalu-maluan, keduanya lantas berpaling kelain arah. Soemoay itu
tertawa geli dan berkata: "Soecie, lihat, In Soeko lebih pemaluan dari
padamu!"
Hati Siong Kee lega juga
karena datangnya rombongan Go Bie pay. Ia percaya, kalau sampai terjadi
sesuatu, Ceng hian Soe thay tentu bakal membantu pihaknya, mengingat Nona Kie
tunangannya Lie Heng.
Sedang tetamu datang begitu
banyak, pihak Giok hie koan tidak bersiap siaga. Mana bisa di adakan perjamuan
besar? Maka juga pihak imam ini hanya bisa menyuguhkan masing-masing tetamu
semangkok nasi putih campur sayur tauwhoe dan kwacay.
Wan Kiauw berulang ulang minta
maaf karena dia tidak dapat menjamu semua tetamunya lebih dari pada itu.
Sebaliknya kawanan tetamu itu sembari dahar mereka saban-saban memandang ke
arah luar seperti juga mereka lagi menantikan orang.
Diam diam Song Wan Kiauw dan
saudara saudaranya memperhatikan gerak gerik mereka. Semua ciang boen jin atau
Pangcoe tidak ada yang membekal senjara, tetapi banyak murid mereka membawa
senjata. Hanya murid-murid Go bie pay, Koen loan pay dan Khong tong pay yang
bertangan kosong.
Boe tong pay belum lama
didirikan, di kaki gunung belum dipasang "Kay Kiam Giam", yaitu batu
tanda untuk meletakkan pedang. Dengan "pedang" diartikan pelbagai
macam senjata tajam. Karena itu, meskipun ada yang membawa pedang naik kegunung
dan termasuk perbuatan kurang pantas, sekalian tetamu itu tidak dapat dilarang
kedatangannya. Tuan rumah sendiripun tidak dapat menegur. Cuma di dalam hati
merasa tidak puas. Kata Wan Kiauw didalam hatinya: "Kalian datang untuk
memberi selamat pada guruku, mengapa kalian diam-diam membekal senjata?"
Ada lagi yang tidak memuaskan
pihak Boe tong pay, yang membikin terlebih nyata bahwa tetamu-tetamu itu
mengandung sesuatu maksud. Pelbagai bingkisan yang dibawa oleh mereka, mieshoa
dan lainnya, semua barang pembelian sambil lalu disusun di kaki gunung Boe tong
san, semua dibeli secara kesusu. Bingkisan semacam itu tidak saja tidak tepat
untuk Thio Sam Hong, juga tidak sesuai dengan derajatnya pelbagai tetamu
golongan ketua itu. Melainkan bingkisan Go bie pay yang tepat, ialah enam belas
perabot kumala berikut sepotong jubah warna merah yang sekalian disulamkan
seratus huruf "Sioe" (umur) pelbagai model.
Thio Sam Hong girang sekali.
Ia mengucapkan terima kasih. Ia memuji kepandaian menyulam itu. Murid murid Go
bie pay bukan hanya pandai silat, katanya.
Selagi gurunya itu berkata
kata, Siong Kee terus berpikir: "Entah semua orang ini masih menantikan
siapa lagi.... Soehoe tidak gemar akan keramaian. Maka juga sahabat-sahabat Boe
tong pay tidak ada yang diundang. Kalau tidak, tidaklah kita menjadi mencil
semacam ini hingga kita tidak mempunyai bala bantuan....."
Thio Sam Hong biasa merantau.
Tujuh murid nya juga banyak perbuatan baiknya. Jikalau melepas undangan
mendatanglah banyak sahabat yang liehay.
Jie Lian Cioe, yang berpikir
seperti Siong Kee, berbisik pada adik seperguruannya itu: "Kita sudah
pikir sehabis ulang tahun Soehoe, akan melepas undangan guna rapat orang gagah
di Lauw teng Hong ho lauw, siapa tahu karena kita berayal, sekarang kita mengalami
kegagalan ini."
Ia bermaksud didalam rapat itu
memberi ketika kepada Thio Coei San untuk menjelaskan, bahwa Coei San tidak
menjual sahabat agar dia bebas, atau kalau ada yang mendesaknya, pihaknya
mungkin memperoleh simpati dan bantuan dari banyak hadirin lainnya. Diluar
dugaan, pihak "musuh" telah mendahului, sekarang mereka meluruk
datang.
"Sekarang kita cuma dapat
berkelahi mati-matian," berbisik Siong Kee kemudian.
Diantara Boe tong Cit hiap,
Siong Kee yang paling pandai berpikir. Setiap ada kesulitan, saban-saban ialah
yang memperoleh pikiran baik. Maka itu, mendengar suaranya Soetee ini, Jie Lian
Cioe kata didalam hatinya: "Sampaipun Soetee tidak berdaya, rupanya enam
murid Boe tong pay harus mengucurkan darahnya diatas gunungnya ini."
Coba orang berkelahi satu demi
satu, hanya Thie khiem Siang seng Ho Thay Ciong yang dapat menandingi Boe tong
Liok hiap. Tetapi orang pasti akan mengepung, itu artinya bukan satu lawan
duapuluh tetapi satu lawan empatpuluh.
Siong Kee menarik ujung baju
Lian Cioe untuk diajak kebelakang ruang. Ia kata pada kakaknya yang nomor dua
itu: "Kalau sebentar pembicaraan memuncak kesuasana buruk, kita mesti
menantang satu lawan satu. Syukur kalau siasat kita ini kesampaian. Kalau
tidak, terang mereka bakal main keroyok ...." Lian Cioe mengangguk.
"Dalam kesulitan ini,
paling perlu kita menolong Shatee," katanya. "Kita mesti jaga hingga
ia tidak terjatuh kedalam tangan musuh, supaya ia tidak menderita pula, baik
bathin maupun lahir. Tugas ini aku serahkan padamu. Ngo teehoe telah sembuh
tetapi ia belum pulih benar kesehatannya, maka itu kau mintalah Ngotee yang
melindunginya. Untuk menyambut, tugasnya terjatuh padaku dan Toako
berempat."
Siong Kee mengangguk.
"baik," katanya. Ia berdiam sejenak, lantas ia berkata pula:
"Mungkin ada jalan untuk kita lolos dari bahaya..."
"Apakah itu, Soetee? Biar
kita mesti menerjang bahaya dulu, tidak apa."
"Aku memikir untuk
menggunakan siasat, ialah kita berenam masing-masing meyerbu satu lawan"
Siang Kee mengutarakan pikirannya. "Didalam satu jurus, kita mesti
berhasil membekuk musuh itu agar musuh lainnya menjadi jeri dan tidak berani
mendesak kita..."