"Kauw heng menyertainya,
maka engkau tidak usah mengkhawatirkan apa-apa," sela Tio Hong Hoa sambil
tersenyum lembut.
"Kakak Hong Hoa...."
Lim Ceng Im mulai terisak-isak.
"Jangan menangis, Adik
Ceng Im" Tio Hong Hoa membelainya. "Engkau bukan gadis cengeng,
kan?"
"Ng" Lim Ceng im
mengangguk, kemudian memandang Tlo Cie Hiong dan sekaligus mendekap di dadanya.
"Kakak Hiong...."
"Adik Im" Tio Cie
Hiong membelainya. "Aku pasti pulang secepat mungkin, engkau
tenanglah" "Kakak Hiong...." Air mata Lim Ceng Im meleleh.
Sebelum berangkat, Tio cie
Hiong terlebih dahulu menyusun beberapa formasi di depan biara, agar pihak
musuh tidak mudah memasuki biara tersebut.
Bukan main kagumnya Tio Tay
seng dan it sim sin Ni, karena formasi-formasi itu tampak begitu sederhana,
namun justru sungguh lihay dan banyak perubahannya.
Seusai menyusun
formasi-formasi tersebut, barulah Tio Cie Hiong berangkat bersama monyet bulu
putih, dengan tetap memakai kedok kulit.
Malam harinya, tampak sosok
bayangan berkelebat di sekitar markas Bu Tek Pay. Ternyata Tio Cie Hiong yang
sedang melakukan penyelidikan di tempat tersebut. Tiada jebakan apa pun di sekitar
tempat itu, maka Tio Cie Hiong pun bergirang dalam hati.
Setelah menyelidik sekaligus
memperhatikan tempat itu dengan seksama, barulah Tio Cie Hiong kembali ke
Gunung Hong Lay san. Betapa gembiranya Lim Ceng 1m. la menyambut Tio Cie Hiong
dengan pelukan mesra. "Kakak Hiong...."
"Adik Im...." Tio
Cie Hiong membelainya dengan penuh cinta kasih. "Ya, kan? Aku cuma pergi
beberapa hari saja, dan kini
sudah kembali ke sisimur "Kakak Hiong...." Lim Ceng Im tersenyum
mesra.
"Cie Hiong" seru sam
Gan sin Kay mendadak, pengemis sakti itu memang usil sekali. "Bukankah
engkau akan pergi lagi esok pagi?"
"Apa?" Lim Ceng Im
terbelalak. "Kakak Hiong Engkau akan pergi lagi esok pagi?"
"Kakekmu cuma
menggoda," sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Ha ha ha" sam Gan
sin Kay tertawa gelak. "Langsung kaget dan melotot"
"Kakek bau Kakek jahat
Kakek...." Lim Ceng im membanting-banting kaki.
"Terus, terus Apa
lagi?" sam Gan sin Kay tertawa gelak dan tak henti-hentinya hingga
badannya bergoyang-goyang. "Huaha ha ha..."
Kim siauw suseng dan Tui Hun
Lojin saling memandang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"cie Hiong,
duduklah" ujar Lim Peng Hang.
"Ya." Tio Cie Hiong
duduk. Lim Ceng im duduk di sebelahnya dengan wajah berseri-seri.
"Bagaimana keadaan di
sekitar markas Bu Tek Pay itu?" tanya Tio Tay seng. "Apakah terdapat
jebakan? "
"Tidak ada jebakan. Aku
telah memperhatikan tempat itu dengan seksama." jawab Tio Cie Hiong
memberitahukan. "Ternyata markas Bu Tek Pay berada di dalam sebuah goa.
mungkin di dalam goa itu terdapat jebakan."
"Kalau begitu...."
Lim Peng Hang mengerutkan kening. "Bagaimana cara kita menyerbu ke
dalam?"
"Kita harus memancing
mereka keluar," sahut Tio Cie Hiong. "Caranya harus dengan api."
"Benar." sam Gan sin
Kay manggut-manggut. "Kita lempar kayu yang telah dibakar ke dalam goa
itu, agar mereka berhambur ke luar."
"Tidak salah," sahut
Kim siauw suseng. "Kalau mereka tidak keluar, berarti mereka akan mati
hangus."
"Ide yang bagus" Tui
Hun Lojin mengangguk. "Lalu kapan kita menyerang ke sana?"
"Tentang ini perlu kita
rundingkan bersama," ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Kita tidak
boleh bertindak ceroboh, sebab kita tidak boleh gagal."
Di saat bersamaan, muncul It
Sim sin Ni bersama Tio Hong Hoa. It Sim Sin Ni memandang mereka, lalu bertanya
dengan kening berkerut. "Kalian sedang berunding untuk menyerang Bu Tek
Pay?"
"Ya,
lbu,"sahutTioTay seng. "Cie Hiong sudah pulang, dia memberitahukan
tentang keadaan di sekitar markas Bu Tek Pay."
"Harus dipikirkan secara
matang, Jangan sembarangan menyerang" ujar it sim sin Ni. "Agar tidak
mencelakai diri sendiri."
"Kami justru sedang
merundingkan itu, Nek." ujar Tio Cie Hiong. "Kami tidak akan
menyerang secara ceroboh."
It sim sin Ni manggut-manggut
sambil duduk.
"Sayang sekali, aku telah
bersumpah tidak akan mencampuri urusan rimba persilatan"
"Memang lebih baik ibu
tidak mencampuri urusan ini, sebab akan mengotori tangan ibu," ujar Tio
Tay seng dan menambahkan. "Ceng Im akan menemani ibu."
"Aku ikut Kakak
Hiong," sela Lim Ceng im cepat. "Pokoknya aku ikut."
"Ceng Im, engkau tidak
boleh ikut," ujar Lim Peng Hang. "Kami bukan pergi pesiar, melainkan
pergi bertarung."
"Adik Im" Tio Cie
Hiong menatapnya lembut. "Engkau di sini menemani nenekku saja."
"Kakak Hiong...." Wajah Lim Ceng Im berubah muram.
"Ceng Im" It sim sin
Ni tersenyum lembut sambil menatapnya. "Memang lebih baik engkau tidak
ikut, Jangan bandel"
"Sin Ni...." Lim
Ceng Im menundukkan kepala.
"Jadi kita terdiri dari
Bu Lim Ji Khie, Tio Tay Seng, Tio Lo Toa, Tui Hun Lojin, Lim Peng Hang, Gouw
Han Tiong, Lie Man chiu, Tio Hong Hoa dan Tio Cie Hiong. Kita semua berjumlah
sepuluh orang, sedangkan mereka terdiri dari Bu Lim Sam Mo, Kwan Gwa Siang
Koay, Lak Kui dan Ang Bin Sat Sin. Karena itu...." Sam Gan sin Kay
mengerutkan kening. "Harus kita atur bagaimana menghadapi mereka yang
berjumlah dua belas orang"
"Begini saja," ujar
Tio Cie Hiong mengatur.
"Aku menghadapi Bu Lim
Sam Mo, paman sastrawan dan kakek pengemis menghadapi siang Koay, paman
menghadapi Ciak Bin Kui, sedangkan yang lain menghadapi Ang Bin Sat Sin, Tok
Gan Kui, ok Sim Kui, Toa Thau Kui, Tiau Am Kui dan Bu Ceng Kui. Dengan demikian
kita dapat mengatasi mereka, bahkan akan dibantu kauw heng pula."
"Ngmm" Kim siauw
Suseng manggut-manggut. "Cie Hiong menghadapi Bu Lim Sam Mo, aku dan
pengemis bau menghadapi Siang Koay, Tio Lo Toa menghadapi Ang Bin Sat Sin,
sedangkan yang lain menghadapi Lak Kui. Benar, memang harus begitu."
"Menghadapi mereka, lebih
baik pergunakan Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat), karena kauw heng
akan membantu kalian," ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Kita
tidak boleh gagal. Apabila gagal berarti kita yang akan celaka."
"Baik." Tio Tay Seng
mengangguk. "Ini merupakan keputusan tetap. Lalu kapan kita berangkat ke
sana?"
"Besok pagi," sahut
Tio Cie Hiong.
"Kalau begitu, mari kita
istirahat sekarang" usul Sam Gan Sin Kay. "Sebab besok pagi kita
harus melakukan perjalanan yang cukup jauh."
"Baik." Tio Tay seng
manggut-manggut. "Mari kita ke ruang istirahat"
Mereka menuju ruang istirahat,
namun Tio Cie Hiong dan Lim Ceng im malah menuju halaman. "Eh?" Tio
Tay seng mengerutkan kening. "Cie Hiong, kenapa engkau tidak mau
beristirahat?"
"Ha ha ha" sam Gan
sin Kay tertawa. "saudara Tay seng, cie Hiong cukup bersemedi sejenak
saja, sudah jauh bersemangat dari kita."
"oh?" Tio Tay seng
kurang percaya.
"Percayalah" ujar
sam Gan sin Kay. "sebab aku pernah menyaksikannya, jadi engkau tidak usah
ragu."
"oooh" TioTay seng
manggut-manggut.
Sementara Tio Cie Hiong dan
Lim Ceng im telah sampai di halaman. Mereka duduk bersandar di sebuah pohon.
"Kakak Hiong" Lim
Ceng Im menatapnya. "Engkau yakin dapat menghadapi Bu Lim sam Mo?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"Kakek dan kakek
sastrawan mampu melawan Kwan Gwa siang Koay?" tanya Lim Ceng im dengan
kening berkerut.
"Mungkin akan kalah dalam
hal hveekang, namun mereka bisa berkelit dengan Kiu Kiong san Tian Pou, juga
akan dibantu kauw heng," jawab Tio Cie Hiong. seketika terdengar suara
cuit-cuit monyet bulu putih yang duduk di bahunya.
"Kakak Hiong, kauw heng
bilang apa?"
"Dia bilang pasti
membantu mereka."
"oh?" Lim Ceng Im
tersenyum. "Terimakasih kauw heng oh ya, tolong jaga Kakak Hiong baik-baik
ya Kalau dia terjadi apa-apa, aku juga tidak akan hidup,"
Monyet bulu putih bercuit tiga
kali, lalu manggut-manggut sekaligus membelai rambut gadis itu.
"Terimakasih kauw heng" ucap Lim Ceng Im terharu.
"Terimakasih...."
Bu Lim sam Mo, Kwan Gwa siang
Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin tertawa gelak setelah menerima laporan dari
salah seorang anggota mereka yang menjaga di luar, bahwa anggota tersebut
melihat sosok bayangan berkelebat di sekitar goa.
"Ha ha ha" scusai
tertawa Tang Hai LoMo berkata. "Tidak salah kan perhitunganku, salah
seorang dari mereka pasti ke mari menyelidiki tempat kita. Karena di luar tidak
ada jebakan, tentu mereka akan menyerang ke mari."
"Kalau begitu, bagaimana
rencana kita?" tanya Thian Mo.
"Perintahkan kepada para
anggota, semuanya harus melawan mereka" sahut Tang Hai Lo Mo dan
melanjutkan. "Setelah itu barulah kabur."
"Lalu bagaimana
kita?" tanya Kwan Gwa siang Koay.
"Pintu goa akan
kututup," jawab Tang Hai Lo Mo memberitahukan. "setelah itu, kita
akan pergi melalui terowongan rahasia, kemudian menuju Gunung Hong Lay
san."
"Ha ha ha" Kwan Gwa
siang Koay tertawa terbahak-bahak. "Mereka sama sekali tidak akan
menyangka siasat kita ini. setelah penyerangan mereka sia-sia, mereka pasti
pulang."
"Tentunya akan terkejut
setengah mati begitu mereka tiba di Gunung Hong Lay san. Ha ha
ha..." Tang Hai Lo Mo
tertawa gelak. "Pokoknya kita tangkap saja siapa yang berada di biara
itu."
"Benar." Thian Mo
manggut-manggut dan menambahkan. "Kita pun Jangan meninggalkan jejak, agar
mereka kebingungan."
"Mudah-mudahan Lim Ceng
1m itu tidak ikut, jadi kita bisa menangkapnya lagi" ujar Te Mo dan
tertawa keras. "Setelah itu, kita diam saja satu dua bulan agar mereka
bertambah kalut dan kebingungan."
"Kita kembali ke
mari?" tanya siluman Kurus.
"Tentu." Tang Hai Lo
Mo mengangguk. "sebab hanya kita yang tahu tentang terowongan rahasia itu,
pihak lain tidak akan mengetahuinya Jadi mereka pasti kebingungan, sedangkan
kita tetap menikmati kesenangan di sini."
"Benar." Thian Mo
manggut-manggut dan melanjutkan. "Satu dua bulan kemudian, barulah kita
mengutus seseorang untuk memberitahukan kepada mereka."
"Ha ha ha" Kwan Gwa
Siang Koay tertawa gelak. "Oh ya, bagaimana dengan para pemain musik dan
penari?"
"Di saat kita berangkat
ke Hong Lay San, kita kurung mereka di ruang batu," sahut Tang Hai LOMo.
"Setelah kita pulang ke mari, barulah kita keluarkan."
"Ha ha ha" Thian Mo
tertawa terbahak-bahak. "Kalau begitu, kita tunggu saja mereka. Ha ha
ha..."
Bab 79 Penyerangan yang
sia-sia
Salah seorang anggota Bu Tek
Pay memasuki markas melapor kepada Bu Lim Sam Mo, bahwa pihak Kay Pang sedang
menuju tempat itu. Begitu menerima laporan tersebut, Bu Lim Sam Mo, Kwan Gwa
Siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin Sat Sin tertawa terbahak-bahak.
Setelah itu, Bu Lim Sam Mo
perintahkan semua anggota agar meninggalkan markas. Dia lalu menekan sebuah
tombol rahasia, kemudian pintu goa tertutup seketika.
"Ha ha ha" Te Mo
tertawa. "Sekarang kita kurung para pemain musik dan penari itu, barulah
kita berangkat ke Gunung Hong Lay San."
"Ohya" Siluman Kurus
teringat sesuatu. Kemudian ia memandang Te Mo seraya bertanya serius.
"Bagaimana kalau mereka mendobrak pintu goa itu?"
"Pintu goa itu tidak bisa
didobrak." sahut Te Mo sambil tersenyum. "Perlu diketahui, pintu goa
itu dibuat dari baja yang sangat tebal Jadi tidak dapat dihancurkan dengan apa
pun."
"Oooh" Kwan Gwa
siang Koay berlega hati.
Setelah mengurung para pemain
musik dan penari, mereka meninggalkan markas melalui sebuah terowongan rahasia.
Sementara itu, di sekitar
markas tersebut telah terjadi pertarungan, dan sudah banyak anggota Bu Tek Pay
yang mati terbunuh.
Sam Gan sin Kay, Tui Hun Lojin
dan Lim Peng Hang sama sekali tidak memberi ampun kepada para anggota Bu Tek
Pay. Akhirnya anggota-anggota Bu Tek Pay yang belum terbunuh, segera kabur
tanpa menghiraukan yang lain.
Itu merupakan pembunuhan
besar-besaran, Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala menyaksikannya .
"Kakek pengemis cukuplah
Jangan membunuh lagi" seru Tio Cie Hiong merasa tidak tega menyaksikan
anggota-anggota Bu Tek Pay itu dibunuh.
"Mereka sangatjahat,
harus dihabiskan." sahut sam Gan sin Kay.
Mendadak salah seorang anggota
Bu Tek Pay menjatuhkan diri berlutut di hadapan sam Gan sin Kay. Monyet bulu
putih yang duduk di bahu Tio Cie Hiong terus menatap anggota Bu Tek Pay itu
dengan tajam sekali.
"Lo cianpwee, ampunilah
aku" ujar anggota Bu Tek Pay itu.
"Ha ha ha" Sam Gan
Sin Kay tertawa. "Minta diampuni? Hm Sudah berapa banyak orang tak berdosa
yang kau bunuh?"
"Aku... aku tidak pernah
membunuh orang. sumpah"
"Hmm" dengus sam Gan
sin Kay dingin sambil mengangkat longkat bambunya.
Mendadak berkelebat sosok
bayangan putih ke arahnya, sekaligus menyambar tongkat bambu di tangan sam Gan
sin Kay.
Betapa terkejutnya sam Gan sin
Kay, sebab tongkat bambu itu telah lenyap dari tangannya. "Eeeh?" sam
Gan sin Kay mengerutkan kening. "Kauw heng...."
Tio Cie Hiong segera melesat
ke hadapan sam Gan sin Kay. Dipandangnya monyet bulu putih itu seraya berkata.
"Kauw heng, kembalikan
tongkat itu kepada kakek pengemis"
Monyet bulu putih menurut.
Dilemparkannya tongkat bambu itu ke arah sam Gan sin Kay.
"Cie Hiong Kenapa kauw
heng berbuat begitu?" tanya sam Gan sin Kay heran sambil menyambut tongkat
bambunya.
"Dia menolong orang itu,
pertanda orang itu tidak jahat," sahut Tio Cie Hiong. "Kakek
pengemis, lepaskanlah orang itu"
"Benarkah orang itu bukan
penjahat?" sam Gan sin Kay tampak ragu. Monyet bulu putih bercuit tiga
kali, kemudian manggut-manggut.
"Kauw heng bilang
benar." Tio Cie Hiong memberitahukan, lalu bertanya kepada orang itu.
"saudara, kenapa engkau mau menjadi anggota Bu Tek Pay?"
"Tuan...." orang itu
menghela nafas panjang. "Aku terpaksa, karena anggota Bu Tek Pay telah
mencetuskan ancaman. Kalau aku
tidak menjadi anggota Bu Tek Pay, mereka akan membunuh anak isteriku. Karena
itu, aku terpaksa ikut mereka. Tapi selama bergabung dengan Bu Tek Pay, aku
sama sekali tidak pernah membunuh siapa pun."
"Aku percaya." Tio
Cie Hiong mengangguk. "Nah, engkau boleh pergi sekarang."
"Terimakasih, Tuan Terima
kasih lo cianpwee" ucap orang itu terharu. "Terimakasih monyet
sakti"
Tio Cie Hiong menghela nafas,
sedangkan orang itu sudah melangkah pergi. Tak lama kemudian, muncullah Kim
siauw suseng, Tio Tay seng dan lainnya. "Bagaimana?" tanya sam Gan
sin Kay.
"Sudah kami bereskan
semua," sahut Kim siauw suseng sambil tertawa. " Hanya beberapa orang
yang kabur."
"Bagus" sam Gan sin
Kay tertawa gelak.
"Heran" gumam Kim
siauw suseng. "Kenapa Bu Lim sam Mo, Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang
Bin sat sin tidak muncul?"
"Mereka pasti bersembunyi
di dalam markas," sahut sam Gan sin Kay. "Mereka takut maka tidak
berani keluar."
"Tidak mungkin mereka
takut," ujar Tio Cie Hiong dengan kening berkerut. "Aku yakin mereka
sedang mengatur suatu siasat untuk menghadapi kita. Karena itu, kita harus
hati-hati."
"Cie Hiong" tanya
Tio Tay seng. "Bagaimana kalau kita serang ke dalam?"
Tio cie Hiong berpikir
sejenak. kemudian baru menjawab.
"Kita ke goa itu dulu,
lapi jangan sembarangan masuk" pesan Tio Cie Hiong dan menambahkan.
"Di dalam goa itu pasti telah dipasang berbagai macamjeb akan, kita jangan
sampai terjebak oleh siasat mereka."
"Benar." Tio Tay
seng manggut-manggut. "Tapi kita tetap harus ke goa itu."
"Mari kita ke sana"
seru sam Gan sin Kay.
Mereka semua lalu menuju goa
tersebut. Na-mun mereka tercengang ketika sampai di depan goa itu, karena goa
itu telah ditutup,
"Sungguh di luar
dugaan" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Goa ini ternyata
ada pintunya"
Sam Gan sin Kay mendekati
pintu goa, kemudian diketuk- ketuknya dengan sebuah batu.
"Pintu goa ini dibuat
dari baja yang sangat tebal, tidak mungkin kita dapat mendobraknya." sam
Gan sin Kay memberitahukan.
"Kalau begitu, apa yang
harus kita lakukan sekarang?" Kim siauw suseng mengerutkan kening.
"BerartiBu Lim sam Mo dan
lainnya masih berada di dalam goa," sahut Tio Tay seng. "Bagaimana
kalau kita tunggu di sini beberapa hari? Mereka pasti mengira kita sudah pergi,
tentunya pintu goa ini akan dibuka. Nah, barulah kita menyerbu ke dalam."
"Ngmmm" Bu Lim Ji
Khie manggut-manggut. "Kalau begitu, kita tunggu di sini saja beberapa
hari."
"Seandainya mereka tetap
tidak membuka pintu?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"PerTanda mereka tidak
ada di dalam. Kemungkinan besar mereka sudah pergi," sahut Kim siauw
suseng.
"Heran..." gumam Tio
Cie Hiong. "Kenapa mereka menghindari kita? seharusnya mereka keluar untuk
bertarung dengan kita."
"Mungkinkah..." sela
Lim Peng Hang. "Mereka pergi melalui jalan rahasia?"
"Tidak mungkin,"
sahut Tio Cie Hiong. "Karena aku telah memeriksa dengan cermat
tempat-tempat di sekitar ini, sama sekali tidak menemukan suatu tempat yang
mencurigakan. "
"Begini saja," usul
Tio Tay seng. "Kita tunggu di sini beberapa hari lagi, apabila pintu goa
ini tetap tidak dibuka, barulah kita pulang ke Gunung Hong Lay san untuk
berunding."
"Baiklah." Tio cie
Hiong mengangguk.
Inilah kesalahan mereka.
seandainya mereka langsung kembali ke Gunung Hong Lay san, mungkin masih sempat
mencegah suatu kejadian di sana. Karena mereka menunggu beberapa hari, justru
memberi kesempatan kepada Bu Lim sam Mo, Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang
Bin sat sin.
Walau mereka sudah menunggu
beberapa hari, pintu goa itu tetap tidak dibuka. sudah barang tentu mereka
tercengang, sehingga timbul pula berbagai dugaan. "Mungkinkah mereka tidak
ada didalam goa?" gumam sam Gan sin Kay.
"Jangan-jangan mereka
pergi ketika kita mulai menyerang" sahut Kim siauw suseng. "Aku yakin
mereka masih punya markas lain yang sangat rahasia."
"Tidak seharusnya mereka
pergi tanpa bertarung dengan kita," ujar Tio Tay seng dan menambahkan.
" Kemungkinan besar ini merupakan siasat mereka."
"Siasat apa?" tanya
Tio Cie Hiong.
"Siasat...." Tio Tay
seng berpikir sejenak. kemudian mendadak wajahnya berubah pucat pias. "
Celaka"
"Apa yang celaka,
Paman?" tanya Tio Cie Hiong tersentak.
"Kita harus segera
kembali ke Gunung Hong Lay san, aku berfirasat buruk," sahut Tio Tay seng.
"Mari kita cepat kembali ke sana"
"Haaah...? Tio Cie Hiong
terkejut bukan kepalang."Nenek, Adik Im, Tan Li cu dan kedua murid nenek
berada di dalam biara."
Tio Cie Hiong langsung melesat
pergi, dan yang lain segera mengikutinya dengan perasaan cemas.
Kini mereka telah tiba di
Gunung Hong Lay san. Ketika mendekati biara tersebut, Tio Cie Hiong terbelalak
karena melihat formasi-formasi yang disusunnya telah porak poranda.
"Celaka" Wajah Tio
Cie Hiong bertambah pucat. la melesat ke biara itu laksana kilat. "Nenek
Adik Im Adik Im...."
Tiada sahutan. Tio Cie Hiong
menerjang ke dalam dan bertambah cemas, karena di dalam biara tampak
porak-poranda tidak karuan. "Ibu Ibu..." teriak Tio Tay seng.
"Ceng Im Ceng Im..."
teriak Lim Peng Hang dengan wajah pucat pias.
"Nenek Nenek..."
teriak Tio Hong Hoa dengan suara gemetar, dan matanya sudah bersim-bah air.
"Nenek...."
"Tenang, Adik Hoa"
Lie Man chiu memegang bahunya. "Nenekku...." Tio Hong Hoa mulai
terisak-isak. "Nenekku...."
"Tenanglah" Lie Man
chiu menggenggam tangan gadis itu erat-erat. "Tidak akan terjadi apa-apa
atas diri nenekmu."
Semeniara Tio Cie Hiong memeriksa
semua kamar di dalam biara, namun tidak tampak It sim sin Ni, Lim Ceng Im
maupun kedua murid neneknya. segeralah ia ke ruang medilasi, juga tidak
kelihata Tan Li cu.
"Aaaakh..." Tio cie
Hiong berdiri di tempat. "Adik Im...."
"Ibu...." Tio Tay
seng jatuh duduk di lantai. Begitu pula Tio Hong Hoa, sam Gan sin Kay dan Lim
Peng Hang.
Sedangkan Kim siauw suseng,
Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong saling memandang dengan kening berkerut-kerut.
"Ini... ini...." sam
Gan sin Kay bersandar pada dinding. "Siapa yang ke mari?"
"Sudah pasti Bu Lim sam
Mo, Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin," sahut Kim siauw
suseng sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Mereka ke mari di saat kita
menyerang ke sana."
"Tapi...." Tio cie
Hiong juga jatuh duduk di lantai. "Kita tidak melihat mereka."
"Ketika kita menyerang
para anggota Bu Tek Pay mereka pasti meninggalkan goa itu, sekaligus menutup
pintunya, lalu mengambil jalan lain menuju ke mari."
"Sungguh licik
mereka" geram sam Gan sin Kay.
"Mereka jauh lebih pintar
dari kita, tentunya sudah memperhitungkan bahwa kita akan menyerang ke sana.
Padahal mereka sudah tahu kita berada di sini, namun mereka tidak menyerbu ke
mari, ternyata sudah mengatur siasat itu," ujar Kim siauw suseng sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Kita kalah cerdik dibandingkan dengan
mereka."
"Berarti mereka telah
menangkap nenek, Adik Im, Tan Li cu dan kedua murid nenekku, bukan?" tanya
Tio Cie Hiong.
"Memang tidak
salah." Kim siauw suseng mengangguk. "Tapi kila tidak usah khawatir,
sebab mereka tidak akan mencelakai It sim sin Ni dan lainnya."
"Kalau begitu...."
Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Untuk apa Bu Lim sam Mo menangkap
mereka?"
"Tujuan mereka pasti
untuk memaksamu menyerah," sahut Tui Hun Lojin. "Karena mereka sudah
tahu, bahwa orang yang membawa monyet punya hubungan dengan Kay Pang."
"Aaakh..." keluh Tio
Cie Hiong. "Kejadian dua tahun lampau itu akan terulang lagi sungguh di
luar dugaan"
"Tapi mereka masih belum
tahu engkau adalah Tio Cie Hiong jadi mereka pun tidak akan bertindak
sembarangan," ujar Kim siauw su.seng.
"Lalu...." Tio Cie
Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Apa yang harus kita lakukan
sekarang?"
"Kita cuma bisa
menunggu," sahut Kim siauw suseng singkat.
"Menunggu apa?"
tanya Tio Cie Hiong dengan kening berkerut.
"Mereka pasti akan
mengutus seseorang ke mari, jadi kita tunggu saja" sahut Kim siauw suseng
dan menambahkan. "Dalam hal ini, kita harus tenang dan memperhitungkan
langkah-langkah kita. sebab It sim sin Ni dan lainnya berada di tangan mereka."
"Aaakh..." keluh Tio
cie Hiong lagi. "Kenapa bisa jadi begini? Aku betul-betul jenuh terhadap
urusan rimba persilatan."
"Cie Hiong" Lim Peng
Hang menatapnya.
"Biar bagaimana pun, kita
memang harus tenang. salah bertindak, It sim sin Ni dan putriku serta yang lain
pasti celaka."
"Kalau begitu...,"
sela Tio Tay seng. "Kita tunggu saja Memang telah terjadi, kalau kita
kalut dan bingung juga percuma. Karena itu, kita harus tenang sambil
menunggu."
Sudah lewat beberapa hari,
namun masih belum ada yang muncul menemui mereka. Itu membuat mereka tercengang
dan cemas, sehingga Tio Tay seng dan Tio Cie Hiong terus berjalan mondar-mandir
di ruang tengah dengan wajah murung.
Sam Gan sin Kay dan Lim Peng
Hang duduk diam dengan kening berkerut-kerut,yang lain juga tampak cemas.
"Kenapa masih belum ada
yang ke mari?" tanya Tio Cie Hiong. pertanyaan tersebut entah ditujukan
kepada siapa, karena semua orang dalam kebingungan. "Mungkinkah bukan Lim
sam Mo yang menangkap mereka?"
"Sudah pasti Bu Lim sam
Mo," sahut Kim siauw suseng. "Hanya mereka yang mampu mengalahkan It
sim sin Ni."
"Tapi... kenapa belum ada
yang ke mari?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"Menurutku...,"
sahut TUi Hun Lojin. "Mereka sengaja membuat kita kebingungan, sekaligus
memancing keluar Cie Hiong."
"Kalau begitu, lebih baik
aku pergi mencari mereka," ujar Tio Cie Hiong, yang sudah tidak sabaran
menunggu.
"Tunggu lagi beberapa
hari, apabila tetap tiada orang ke mari, barulah engkau pergi mencari
mereka." Tio Tay seng menatapnya.
"Ya, Paman." Tio Cie
Hiong mengangguk dengan wajah muram.
Tak terasa sudah lewat
beberapa hari, tapi tetap tiada seorang pun muncul menemui mereka.
Itu sungguh mencemaskan Tio
Cie Hiong Tio Tay Seng, sam Gan sin Kay dan Lim Peng Hang.
"Aku harus berangkat
sekarang," ujar Tio Cie Hiong setelah mengambil keputusan. "Tidak
bisa menunggu lagi."
"Engkau berangkat besok
pagi saja," ujar Tio Tay seng dan menambahkan. "aku akan berangkat
bersamamu."
"Paman, lebih baik aku
pergi seorang diri," sahut Tio Cie Hiong. "sebab Paman dan yang lain
tidak boleh berpencar. Aku khawatir di saat aku pergi, mereka akan ke
mari."
"Benar." Kim siauw
suseng manggul-manggut. "Biar Tio Cie Hiong pergi seorang diri saja. Kita
tetap berada di sini, dan tidak boleh berpencar, agar tidak mengurangi kekuatan
kita."
"Terus terang...,"
ujar Tio Tay Seng dengan kening berkerut. "Tempat ini sudah tidak aman,
lagi pula kita juga tidak mampu melawan mereka."
"Lalu kita harus
bagaimana?" tanya sam Gan sin Kay.
"Ibu pernah
memberitahukan, tak jauh dari sini terdapat sebuah goa rahasia .Jadi untuk
sementara kita tinggal di goa itu menunggu cie Hiong culang ," jawab Tio
Tay seng.
"Tio Tocu" Mendadak
sam Gan sin Kay menudingnya. "Kenapa tempo hari engkau tidak
memberitahukan tentang goa itu? Bukankah It sim sin Ni dan lainnya bisa tinggal
di goa itu?"
"Pengemis bau" tegur
Kim siauw suseng. "siapa akan menduga Bu Lim sam Mo punya siasat itu?
Kalau perlu tinggal di goa ilu, tentunya It sim sin Ni sudah membawa yang lain
ke sana. Maka percuma Tio Tocu memberitahukan tentang goa itu kepada
kita."
"Iya." sam Gan sin
Kay mengangguk. kemudian menjura kepada Tio Tay seng. "Tocu, aku minta
maaf"
"Aku memang bersalah,
tidak berpikir sampai ke situ," sahut Tio Tay seng sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Tocu" sela Kim siauw
suseng. "Kita semua yang bersalah, sebab tidak menduga Bu Lim sam Mo
begitu licik."
"sudahlah" ujar Tio
cie Hiong sambil menghela nafas. "jangan saling mempersalahkan Yang
penting aku akan pergi mencari mereka besok pagi bersama kauw heng."
Monyet bulu putih langsung
manggut-manggut. sejak It sim sin Ni dan lainnya hilang tak berbekas, monyet
bulu putih itu juga tampak murung sekali.
"Kauw heng" ucap Tio
cie Hiong sambil membelainya. "Mudah-mudahan kita dapat mencari
mereka"
Sementara itu. di markas Bu
Tek Pay yang di dalam goa terdengar alunan suata musik yang diselingi tawa
terbahak-bahak. tampak pula beberapa wanita muda menari lemah gemulai sambil
tersenyum-scnyum.
"Ha ha ha" Tang Hai
Lo Mo terus tertawa terbahak-bahak. "Kini merupakan hari-hari yang penuh
kegembiraan"
"Tidak salah," sahut
Thian Mo. "Namun dipihak lain pasti kebingungan. Ha ha ha..."
"Mereka pasti tidak
menduga, kalau kita berada di dalam markas ini," sela Te Mo sambil meneguk
minumannya. "Mereka pasti kelabakan, terutama sam Gan sin Kay dan Lim Peng
Hang."
"Siasat kalian bertiga
memang hebat sekali" Kwan Gwa siang Koay tertawa gelak. "Bagaimana
mungkin mereka akan menduga, kita akan kembali di tempat ini? Mereka pasti
berpikir, kita bersembunyi di suatu tempat yang rahasia."
"Kita pun tidak
menyangka...," ujar Tiau Am Kui sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Di dalam biara itu terdapat seorang biarawati yang begitu tinggi
kepandaiannya. Kalau sam Mo tidak turun tangan, mungkin agak sulit
membekuknya."
"Benar." Kwan Gwa
Siang Koay mengangguk. "Kita bisa membunuhnya, namun sulit sekali
menangkapnya hidup, hidup."
"Heran" Thian Mo
menghela nafas. "Biarawati tua itu begitu tinggi kepandaiannya, namun kami
sama sekali tidak kenal dia."
"Yang kita kenal hanyalah
Lim Ceng Im," ujar Te Mo. "Tempo hari kita menangkapnya, tapi
kemudian muncul Kou Hun Bijin."
"Eeeeh?" Tang Hai Lo
Mo teringat sesuatu. "Bukankah Kou Hun Bijin bilang mau menerimanya
sebagai murid? Tapi kenapa gadis itu malah berada di biara itu? Mungkin Kou Hun
Bijin berpihak kepada mereka?"
"Kukira tidak."
sahut siluman Gemuk. "Kou Hun Bijin tahu bahwa gadis itu putri Lim Peng
Hang, maka membawanya ke Gunung Hong Lay san. Namun ketua Kay Pang itu tidak
mengijinkan putrinya berguru kepada Kou Hun Bijin, karena itu Kou Hun Bijin
mengembalikan gadis tersebut kepadanya. setelah itu, Kou Hun Bijin langsung
pergi jadi aku yakin Kou Hun Bijin tidak berpihak kepada mereka."
"Mungkin begitu."
Tang Hai Lo Mo manggut-manggut dan menambahkan. "Kini kita sudah tahu
orang yang membawa monyet itu punya hubungan dengan Kay Pang. Kita harus
menggunakan Lim Ceng Im dan lainnya untuk memaksa orang itu menyerah, seperti halnya
dengan Tio Cie Hiong. Ha ha ha..."
"Sesungguhnya kita tidak
perlu takut kepada orang itu Kami akan bertarung dengan dia," ujar Kwan
Gwa siang Koay.
"Benar." Thian Mo
mengangguk. "Tapi itu agak merepotkan, lebih baik kita paksa dia
menyerah."
"Seandainya dia tidak mau
menyerah?" tanya Bu Ceng Kui. "Kita harus bertindak bagaimana?"
"Bunuh saja Ceng Im dan
lainnya," sahut Tang Hai Lo Mo dan melanjutkan, "setelah itu, barulah
kila bertarung dengan mereka."
"Benar." Bu Ceng Kui
tertawa gelak.
"Kapan kila akan mengutus
seseorang untuk pergi menemui mereka?" tanya siluman Kurus mendadak.
"Satu dua bulan
kemudian," sahut Tang Hai Lo Mo. "Kita membuat mental mereka turun
dan kebingungan, sedangkan kita tetap bersenang-senang di sini. Ha ha"
"Kita akan berada di
dalam markas ini selama satu dua bulan, tentu tidak akan tahu bagaimana keadaan
di luar," ujar siluman Kurus. "Seandainya pada waktu itu mereka tidak
berada di Gunung Hong Lay san, kita harus bagaimana?"
"Aku sudah memikirkan
tentang itu," sahut Tang Hai Lo Mo. "Tentunya kita akan memerintahkan
para ketua tujuh partai besar untuk mencari mereka. Nah, bereskan?"
"Benar, benar."
siluman Kurus tertawa sambil mengacungkan jempolnya ke hadapan Tang Hai Lo Mo.
"Engkau sungguh cerdik, kami kagum dan salut kepadamu."
"Ha ha ha..." Tang
Hai Lo Mo tertawa bangga.
"Tapi...." siluman
Gemuk menghela nafas. "Banyak anggota kita yang menjadi korban."
"Itu tidak menjadi
masalah," sahut Thian Mo. "Yang penting kita sudah menangkap Ceng Im
dan lainnya, lagi pula berapa harga nyawa para anggota kita itu?"
"Memang. Tapi...."
Toa Thau Kui menggeleng-gelengkan kepala. "otomatis Bu Tek Pay pun
bubar."
"Itu hanya sementara
waktu, namun kelak Bu Tek Pay akan menguasai seluruh Tionggoan," ujar Tang
Hai Lo Mo sambil tertawa. "Ha ha ha Pada waklu itu, kaisarpun akan takut
terhadap kita."
"Benar, benar."
Thian Mo dan Te Mo juga tertawa gelak. "Nah, mari kita bersulang
lagi"
Mereka lalu bersulang sambil
tertawa terbahak-bahak. Para penari pun terus menari lemah gemulai sambil
tersenyum-senyum. Akan tetapi, sesungguhnya itu hanya merupakan senyuman paksa.
Kalau mereka tidak tersenyum, nyawa mereka pasti melayang.
Bab 80 Bertemu pemuda
Manchuria
Mengenai penyerangan Bu Tek
Pay ke markas pusat Kay Pang, kemudian pihak Kay Pang
menyerang ke markas Bu Tek Pay
kejadian-kejadian itu telah masuk ke telinga para ketua tujuh partai. oleh
karena itu, Hui Khong Taysu ketua partai Siauw Lim pun segera mengutus beberapa
muridnya pergi mengundang para ketua Butong Pay, Hoa san Pay, Kun Lun Pay,
Khong Tong Pay, Go Bie Pay dan swat San Pay, dan itu dilaksanakan secara
rahasia sekali.
Kini di ruang tengah biara
siauw Lim telah dipenuhi para ketua tujuh partai. Mereka saling memberi hormat
lalu duduk.
"Maaf" ucap Hui
Khong Taysu. "Aku mengundang kalian ke mari, sesungguhnya untuk
merundingkan sesuatu."
"Apa yang akan kita
rundingkan, Taysu?" tanya It Hian Tojin, ketua partai Butong.
"Tentang
kejadian-kejadian yang belum lama ini, yang tentunya kalian semua pun telah
mendengarnya, "jawab Hui Khong Taysu. "Itu berkaitan dengan
partai-partai kita. selama ini kita cuma diam saja, namun Kay Pang yang berani
menentang Bu Tek Pay."
"Benar." It Hian
Tojin mengangguk. " Karena itu, kita semua harus merasa malu terhadap Kay
Pang."
"Lalu kita harus berbuat
apa?" tanya Wie Hian Cinjin, ketua partai Kun Lun.
"omitohud" ucap Hui
Khong Taysu. "sudah waktunya kita bergabung kembali dengan Kay Pang, untuk
membasmi Bu Lim sam Mo, Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin."
"Taysu sudah berpikir
secara matang?" tanya It Hian Tojin sambil mengerutkan kening.
"omitohud" ucap Hui
Khong Taysu. "Aku telah berpikir secara matang. Kalau tidak, bagaimana
mungkin aku mengundang kalian ke mari untuk berunding?"
"Tapi...." Ceng sim
suthay menggeleng-gelengkan kepala. "Itu sungguh membahayakan kita,
sebab kita bertujuh bergabung
pun belum tentu dapat mengalahkan kedua siluman itu. oleh karena itu, kita
tidak boleh bertindak ceroboh."
"Benar." Hui Khong
Taysu manggut-manggut. "sesungguhnya partai siauw Lim sudah tidak mau
mencampuri urusan rimba persilatan, namun mengingat akan pengorbanan Tio Cie
Hiong, maka kita harus membantu Kay Pang."
"Itu tidak salah, tapi
kekuatan kita terbatas sekali." Hui Liong sin Kiam, ketua partai Hoa san
menghela nafas panjang. "Bagaimana mungkin kita membantu Kay Pang?"
"ohya" ujar It Hian
Tojin dengan wajah serius. "Apakah kalian tahu, bahwa belum lama ini dalam
rimba persilatan telah muncul Tui Beng Li, Thian Liong Kiam Khek dan Hong Hoang
Leng?"
"Tentunya kami sudah
tahu," sahut Pek Bie Lojin, ketua swat san Pay. "Mereka justru
menentang Bu Tek Pay."
"Kemunculan Hong Hoang
Leng memang sangat mengejutkan, sebab tujuh puluh lima tahun lampau, Hong Hoang
Leng pernah muncul." ujar wie Hian cinjin ketua Kun Lun Pay.
"omitohud" ucap Hui
Khong Taysu. "Hong Hoang Leng pun menentang Bu Tek Pay, itu sungguh
membingungkan"
"Jadi bagaimana keputusan
kita?" tanya It Hian Tojin mendadak. "Perlukah kita bergabung kembali
dengan Kay Pang?"
"Begini saja." usul
Hui Liong sin Kiam. "Kita pergi menemui Sam Gan sin Kay dan Lim Peng Hang,
kita coba berunding dengan mereka."
"omitohud Memang lebih
baik begitu," ucap Hui Khong Taysu. "Tapi kita tidak tahu mereka
berada di mana sekarang."
"Mereka berada di Gunung
Hong Lay san," sahut It Hian Tojin. "salah seorang muridku bertemu
anggota Bu Tek Pay yang kabur dari markas, dia memberitahukan bahwa pihak Kay
Pang berada di Gunung Hong Lay san."
"Kalau begitu, mari kita
berangkat ke Gunung Hong Lay san Bagaimana?" tanya Wie Hian Cinjin, ketua
Kun Lun Pay.
"omitohud Mari kita
berangkat sekarang" ucap Hui Khong Taysu. Kenapa hweeshio tua ini ingin
sekali menemui sam Gan sin Kay? Ternyata pengemis sakti itu pernah berbisik
kepadanya, bahwa Tio Cie Hiong belum mati, maka ia ingin tahu jelas tentang itu
Lagi pula ia juga memperoleh suatu informasi mengenai munculnya seorang lelaki
berkepandaian tinggi yang selalu membawa seekor monyet putih. Hui Khong Taysu
yakin bahwa sam Gan sin Kay pasti tahu siapa lelaki tersebut.
Para ketua tujuh partai besar
telah tiba di Gunung Hong Lay san. Di saat mereka sedang mencari ke sana ke
mari, mendadak muncul seorang tua sambil membentak mereka. "
“Siapa kalian? Kenapa memasuki
Gunung Hong Lay san ini?"
"Omitohud Maaf"
sahut Hui Khong Taysu. "Aku ketua partai siauw Lim. Kami ke mari ingin
menemui Bu Lim Ji Khie dan ketua Kay Pang."
"Ha ha ha" Terdengar
suara tawa, lalu muncul sam Gan sin Kay dan Kim siauw suseng. sam Gan sin Kay
menatap Hui Khong Taysu seraya bertanya. "Kepala gundul, ada urusan apa
kalian ke mari?"
"omitohud" Hui Khong
Taysu tersenyum. "sin Kay, sudah sekian lama kita tidak bertemu. Engkau
tetap sehat, omitohud"
"Taysu" Kim siauw
suseng menatapnya sambil mengerutkan kening. "Jelaskanlah, ada urusan apa
kalian ke mari?"
"Kami ke mari ingin
berunding dengan kalian." jawab Hui Khong Taysu dan menambahkan.
"se-bab kami sudah tahu pihak Bu Tek Pay menyerang markas pusat Kay Pang,
setelah itu kalian pun balas menyerang Bu Tek Pay. oleh karena itu, kami ke
mari ingin berunding."
"Baiklah." sam Gan
sin Kay manggut-mang-gut. "Mari ikut kami ke goa"
Bu Lim Ji Khie dan orang tua
yang muncul duluan itu segera melesat pergi. Para ketua tujuh partai besar pun
segera melesat mengikuti mereka.
Tak seberapa lama kemudian, Bu
Lim Ji Khie dan orang tua itu berhenti di depan sebuah goa. "Mari
kuperkenalkan" ujar sam Gan sin Kay. "orang ini pembantu setia Tio
Tocu." "Pemilik pulau?" Hui Khong Taysu tersentak. "Pulau
apa?"
"Hong Hoang Te,"
sahut sam Gan sin Kay memberitahukan. "Ayoh, mari kita ke dalam goa"
"omitohud" ucap Hui Khong Taysu lalu mengikuti mereka memasuki goa
tersebut.
Setelah berada di dalam goa,
sam Gan sin Kay juga memperkenalkan mereka satu persatu. Mereka lalu saling
memberi hormat. Para ketua tujuh partai besar terkejut bukan main setelah
mengetahui Tio Tay seng adalah pemilik pulau Hong Hoang Te.
"omitohud Kalau begitu,
Tio Tecu adalah pemilik Hong Hoang Leng?" tanya Hui Khong Taysu.
"Ya." Tio Tay seng
mengangguk dan menambahkan. "Tujuh puluh lima tahun lalu, yang muncul di
Tionggoan adalah ayahku."
"oooh" Hui Khong
Taysu manggut-manggut dan bertanya. "Kenapa Tio Tocu menentang Bu Tek
Pay?"
"Karena Bu Lim sam Mo
membunuh adikku, maka kami pihak Hong Hoang Te harus menuntut balas,"
sahut Tio Tay seng.
"siapa adik Tio
Tecu?" tanya It Hian Tojin.
"Adikku adalah Tio It
seng."
"Haaah...?" Mulut
para tujuh partai besar ternganga lebar. "Tak disangka Tio It seng adalah
keturunan pemilik Hong Hoang Leng Kalau begitu, Tio Cie Hiong...."
"Tentunya dia
keponakanku, dan Tio Hong Hoa adalah putriku." Tio Tay seng menjelaskan.
"It sim sin Ni adalah ibuku."
"It sim sin Ni... It sim
sin Ni..." gumam Hui Khong Taysu sambil berpikir keras.
"Taysu kenal ibuku?"
tanya Tio Tay seng.
"Tidak kenal, namun aku
pernah mendengar dari guruku," jawab Hui Khong Taysu dan melanjutkan.
" Hanya tidak begitu jelas, yang di luar dugaan It sim sin Ni ternyata
ibumu."
"Itu memang benar."
Tio Tay seng tersenyum getir, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"omitohud" ucap Hui
Khong Taysu, lalu memandang sam Gan sin Kay seraya bertanya, "sin Kay, bagaimana
Tio Cie Hiong?"
"Eh? Kok...?" sam
Gan sin Kay terbelalak. "Kepala gundu...."
"omitohud" Hui Khong
Taysu tersenyum. "Jangan pura-pura lupa Bukankah sin Kay pernah berbisik
kepadaku...."
"oh Aku ingat." sam
Gan sin Kay manggut-manggut. "Kalau begitu, aku akan menjelaskannya.
sesungguhnya dua tahun yang lalu, Tio Cie Hiong tidak mati, melainkan dia
dibawa pergi oleh Tayli Lo Ceng." tutur sam Gan sin Kay dan melanjutkan
dengan suara rendah. " Lelaki yang membawa monyet putih adalah Tio Cie
Hiong."
"omitohud syukurlah"
ucap Hui Khong Taysu. sedangkan para ketua partai lain terbelalak.
"Lalu di mana Cie Hiong
sekarang?" tanya It Hian Tojin.
"Dia pergi kemarin
pagi...," jawab sam Gan sin Kay sekaligus memberitahukan tentang hilangnya
It sim sin Ni, cucunya, Tan Li cu dan kedua murid It sim sin Ni.
"Jadi...." Wajah It
Hian Tojin berubah agak pucat. "Mereka ditangkap oleh Bu Lim sam Mo?"
"Ya." sam Gan sin
Kay mengangguk. "Hampir sepuluh hari kami menunggu munculnya Bu Lim sam
Mo, namun tidak muncul sehingga Cie Hiong pergi mencari mereka."
"omitohud" Hui Khong
Taysu menggeleng-gelengkan kepala. "Kami sama sekali tidak tahu tentang
kejadian itu."
"Sin Kay" sela It
Hian Tojin. "sebetulnya kami ke mari untuk bergabung, namun...."
"Terima kasih atas
kesediaan kalian bergabung dengan kami, tapi kami terpaksa menolak." ujar
sam Gan sin Kay sungguh-sungguh. "sebab akan menyusahkan kalian semua."
"Begini saja," It
Hian Tojin tampak serius. "Kami akan berusaha mencari jejak Bu Lim sam Mo.
Apabila kami tahu jejak mereka, kami pasti ke mari memberitahukan."
"Terima kasih Terima
kasih" ucap sam Gan sin Kay.
"omitohud" ucap Hui
Khong Taysu. "Kalau begitu, kami mohon pamit"
"Baiklah." sam Gan
sin Kay manggut-manggut. "Kalian harus hati-hati, jangan sampai terlihat
oleh anggota Bu Tek Pay"
"Ya." Hui Khong
Taysu mengangguk. "omitohud, sampai jumpa"
Sementara itu, Tio Cie Hiong
langsung menuju markas Bu Tek Pay, Ia masih penasaran akan tempat itu, maka
timbul niatnya untuk menyelidiki lagi tempat tersebut.
Pintu goa tetap tertutup
rapat. cukup lama Tio cie Hiong berdiri di situ, lalu menyelidiki sekitar
tempat itu. Akan tetapi, sama sekali tidak menemukan suatu tempat yang
mencurigakan. Akhirnya ia meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan agak
kacau, sebab ia tidak tahu harus ke mana mencari Bu Lim sam Mo.
Oleh karena itu, ia mencari
mereka ke sana ke mari tanpa arah tujuan. Dua hari kemudian, ia memasuki sebuah
rimba. Mendadak ia mendengar suara kecapi yang sangat merdu. Lantaran hatinya
tertarik. maka ia meloncat ke atas sebuah pohon, sekaligus memandang ke arah
suara kecapi itu.
Tampak seorang pemuda berusia
sekitar dua puluh empat tahun duduk di bawah pohon, sedang memainkan alat musik
itu. Di sisi kiri kanannya berdiri dua orang lelaki berbadan kekar.
Sungguh merdu suara kecapi
itu, sehingga membuat Tio Cie Hiong tanpa sadar mengeluarkan suling kumalanya,
lalu meniupnya mengiringi suara kecapi tersebut.
Semula pemuda itu tampak
terkejut, tapi kemudian malah tersenyum dan terus memainkan kecapinya.
Berselang beberapa saat, barulah ia berhenti seraya berseru:
"Siapa yang meniup
suling, silakan memperlihatkan diri" suara pemuda itu cukup berwibawa.
Tio Cie Hiong memandang ke
arah pemuda tersebut, kelihatannya bukan orang Tionggoan, sebab pakaiannya agak
aneh tapi indah sekali, sedangkan kedua lelaki yang berdiri mematung di sisinya
berpakaian ringkas.
Setelah berpikir cukup lama,
Tio cie Hiong melesat ke hadapan pemuda itu. seketika kedua lelaki tersebut
menghadang di depannya.
"Jangan kurang ajar"
bentak pemuda itu. "Kalian berdua cepat mundur"
Kedua lelaki itu mengangguk.
lalu mundur ke sisi pemuda tersebut. Tio cie Hiong menatap pemuda itu sambil
tersenyum dan menjura. "Maaf, aku telah mengganggu ketenangan Anda"
"Tidak apa-apa."
Pemuda itu tersenyum ramah. "silakan duduk.. Tuan"
"Terimakasih" ucap
Tio Cie Hiong lalu duduk di hadapan pemuda itu. "sungguh mahir Anda
memainkan alat musik itu"
"Tuan pun pandai meniup
suling," sahut pemuda itu. "ohya, bolehkah aku tahu nama Tuan?"
"Aku bermarga Tio."
Tio Cie Hiong memberitahukan marganya tanpa menyebut namanya. "Anda siapa?
Tentunya bukan orang Tionggoan, kan?"
"Aku memang bukan orang
Tionggoan." Pemuda itu tersenyum. "Aku datang dari Manchuria, namaku
Patoho."
"Manchuria?" Tio Cie
Hiong mengerutkan kening, la tahu suku Manchuria tergolong suku liar, tapi
pemuda itu justru begitu ramah. "saudara Patoho, setahuku suku Manchuria
jarang memasuki daerah Tionggoan, namun saudara Patoho...."
"Terus terang, aku mau ke
ibukota." Patoho memberitahukan secara jujur, kemudian menatapnya seraya
bertanya, "saudara Tio, kenapa engkau tidak bersedia memperkenalkan
namamu? Apakah engkau kurang percaya kepadaku?"
"Saudara Patoho...,"
Tio Cie Hiong menarik nafas dalam-dalam, setelah itu barulah memberitahukan
namanya. "Namaku Cie Hiong."
"Nama yang bagus"
puji Patoho dan tersenyum lagi. "Engkau membawa monyet, maka aku yakin
bahwa engkau kaum rimba persilatan, dan tentu berkepandaian tinggi,
bukan?"
"Tidak juga." Tio
cie Hiong tersenyum. "sebaliknya saudara Patoho yang berkepandaian tinggi,
aku yakin itu."
"Ha ha" Patoho
tertawa. "Sejak kecil aku memang menyukai ilmu silat dan seni musik, namun
belum tentu ilmu silatku bisa lebih tinggi dari engkau."
"Engkau terlampau
merendah."
"Aku berkata
sesungguhnya," ujar Patoho sambil menatapnya. "ohya, karena aku
sangat gemar ilmu silat, maka aku harap engkau tidak akan mengecewakanku"
"Memangnya kenapa?"
Tio Cie Hiong heran.
"Terus terang, kedua
pengawalku ini berkepandaian cukup tinggi. Bagaimana kalau kalian bertanding
untuk mempererat hubungan kita?" ujar Patoho sambil tersenyum.
"Kepandaianku sangat
rendah, aku tidak berani bertanding dengan kedua pengawalmu," ujar Tio Cie
Hiong.
"Nah, engkau telah
mengecewakanku." Patoho menggeleng-gelengkan kepala dan menambahkan.
"Aku dengar, di rimba persilatan Tionggoan terdapat kaum pesilat yang
gagah berani. Namun kenapa engkau begitu pengecut?"
"Aku bukan
pengecut." Tio Cie Hiong tersenyum. "Melainkan tidak mau bertanding
dengan kedua pengawalmu, sebab akan merusak rasa persahabatan kita."
"Itu tidak akan terjadi,
karena kami Bangsa Manchuria selalu menjunjung tinggi kegagahan orang jadi
kuharap engkau jangan menolak. layanilah kedua pengawalku beberapa jurus"
desak Patoho.
"Kalau begitu...."
Tio cie Hiong mengangguk. "Baiklah."
"Terimakasih" Patoho
tertawa gembira, kemudian berbicara dengan kedua pengawalnya menggunakan Bahasa
Manchuria.
Kedua pengawalnya
manggut-manggul, lalu melangkah ke depan. Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan
kepala. sesungguhnya ia tidak mau bertanding, namun tidak mau juga dikatakan
pengecut. Karena itu, ia terpaksa melayani kedua pengawal itu. "Kauw heng,
turunlah dulu"
Monyet bulu putih langsung meloncat
turun, kemudian Tio Cie Hiong berjalan ke hadapan kedua pengawal ilu.
"Silakan kalian menyerang
dulu" ujar Tio Cie Hiong.
Kedua pengawal itu saling
memandang, kemudian menyerang Tio Cie Hiong sambil membentak-bentak keras.
Tio cie Hiong hanya tersenyum.
Mendadak badannya bergerak ke sana ke mari, tahu-tahu kedua pengawal itu telah
berdiri seperti patung. Ternyata Tio cie Hiong telah menotok jalan darah
mereka, sehingga mereka tak bisa bergerak.
"Haah...?" Mulut
Patoho ternganga lebar, karena tidak menyangka kalau Tio Cie Hiong begitu
gampang melumpuhkan kedua pengawalnya. la segera mendekati mereka sekaligus
membebaskan totokan itu, akan tetapi ia pun terbelalak seketika, sebab tidak
mampu membebaskan totokan tersebut. "Eeeeh...?"
"Saudara Patoho" Tio
Cie Hiong tersenyum. "Itu adalah totokan istimewa, tidak gampang
dibebaskan."
"oh? Ha ha ha"
Patoho tertawa. "Engkau memang berkepandaian tinggi. Hanya dalam satu
jurus engkau sudah dapat melumpuhkan kedua pengawalku. Aku kagum
kepadamu."
Tio Cie Hiong tersenyum,
kemudian mengibaskan lengan bajunya ke arah kedua pengawal itu, dan seketika
mereka berdua pun bisa bergerak.
Kedua pengawal itu memandang
Tio Cie Hiong dengan mala terbelalak. kemudian memberi hormat sambil
mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti oleh Tio Cie Hiong.
Tio Cie Hiong balas memberi
hormat kepada kedua pengawal, namun memandang ke arah Patoho.
"Kedua pengawalku
mengucapkan kata-kata pujian kepadamu." Patoho memberitahukan.
"Mereka sangat kagum akan kepandaianmu, begitu pula aku."
Tio Cie Hiong hanya tersenyum,
sedangkan Patoho menatapnya dalam-dalam, lalu berkata sambil tersenyum.
"Kalau aku bertanding
denganmu, tentu aku kalah. oleh karena itu, aku ingin mempertunjukkan
kepandaianku, sudilah engkau memberi petunjuk padaku apabila terdapat gerakan
yang salah"
"Saudara Patoho...."
Tio Cie Hiong ingin menolak, tapi Patoho sudah mulai mempertunjukkan
ilmu pedangnya. Karena itu,
Tio Cie Hiong mau tidak mau harus memperhatikannya .
Ilmu pedang Patoho memang
hebat dan lihay, kepandaiannya setingkat dengan Lam Kiong Bie Liong. Akan
tetapi, terdapat pula kelemahannya.
"Bagaimana ilmu
pedangku?" lanya Patoho seusai mempertunjukkannya. "Apakah terdapat
kekurangan atau kelemahannya?"
"Maaf" sahut Tio Cie
Hiong sungguh-sungguh. " Ilmu pedangmu memang terdapat sedikit kelemahan.
Apabila engkau bertemu lawan tangguh, pasti bisa melihat kelemahan itu."
"Oh?" Patoho kurang
percaya. "Benarkah?"
"Benar." Tio Cie
Hiong mengangguk, setelah itu ia mulai bergerak. "Haah...?" Mulut
Patoho ternganga lebar, karena Tio Cie Hiong mempertunjukkan ilmu pedangnya
itu.
"Nah" ujar Tio cie
Hiong sekaligus berhenti bergerak. "Jurus ini terdapat kelemahan. Kalau
aku menyerang dengan cara demikian, tentu dadamu akan tertusuk pedang ku,
bukan?" Patoho memperhatikan dengan seksama, kemudian manggut-manggut
seraya berkata, "Benar. Lalu aku harus bagaimana?"
"Engkau harus bergerak
begini..." Tio cie Hiong memberi penjelasan sekaligus memberi petunjuk.
Patoho mendengarkan dengan
penuh perhatian, berselang beberapa saat Tio Cie Hiong bertanya. "Engkau
sudah mengerti?"
"Sudah." Patoho
memegang bahunya. "Engkau sungguh hebat, aku senang sekali jadi
sahabatmu."
"Kita sudah menjadi
sahabat," sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Mari kita duduk"
ajak Patoho.
Mereka berdua duduk di bawah
sebuah pohon, sedangkan monyet bulu putih langsung meloncat ke bahu Tio Cie
Hiong.
"ohya" Patoho
menatap Tio Cie Hiong dalam-dalam dan bertanya serius sekali. "Benarkah
kita sudah menjadi sahabat?"
"Tentu." Tio Cie
Hiong mengangguk. "Tidak perlu diragukan."
"Kalau begitu...,"
ujar Patoho setelah berpikir sejenak. "Aku harus berterus terang
kepadamu."
"Mengenai apa?"
"Sebetulnya aku ke
ibukota menemui seorang Thay Kam (Sida-sida), guna membicarakan suatu kerja
sama."
"oh?" Tio Cie Hiong
tercengang.
"Aku Putra Mahkota
Manchuria." Patoho memberitahukan dengan suara rendah. "Ayah yang
mengutusku menemui Thay Kam itu."
"Jadi...." Tio Cie
Hiong tersentak. "Pihak Manchuria akan bekerja sama dengan Thay Kam itu
untuk menggulingkan kerajaan
Beng?"
"Kira-kira
begitulah." Patoho menghela nafas panjang. "saudara Tio, itu bukan
atas kemauanku, melainkan atas kemauan ayahku."
"Kalau begitu...."
Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"Jangan khawatir, saudara
Tio" Patoho tersenyum. "Sebab aku akan mengajukan beberapa syarat
berat, agar Thay Kam itu menolak. otomatis akan batal kerja sama itu. Lagi pula
aku masih bisa menasehati ayah, hanya saja...."
"Kenapa?"
"Adikku itu...." Patoho
menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa adikmu?"
"Adikku sangat berambisi,
selalu berupaya menggeserku." Patoho menghela nafas panjang. "Kalau
aku bisa menggantikan ayahku kelak. tentunya tidak ada masalah. Tapi... kalau
adikku menjadi raja...."
"Dia ingin menyerang
Tionggoan?"
"Menyerang secara
diam-diam."
"Maksudmu?"
"Dia akan bersekongkol
dengan Thay Kam, sedangkan Thay Kam itu akan mempengaruhi Kaisar Beng, agar
Kaisar Beng berada dalam tangannya."
"saudara Patoho" Tio
Cie Hiong tersenyum. "Terima kasih atas penjelasanmu, namun aku tidak mau
mencampuri urusan kerajaan."
"Engkau orang gagah,
kalau tanah airmu diserang pihak lain, apakah engkau akan tetap diam?"
"Tentu. Aku tidak mau
memusingkan urusan kerajaan, sebab itu urusan para jenderal."
"Baik." Patoho
memegang bahunya. "Kita sebagai sahabat, kalau aku menjadi raja Manchuria
kelak. aku pasti tidak akan bekerja sama dengan Thay Kam untuk menggulingkan
kerajaan Beng."
"Terima kasih, saudara
Patoho Engkau benar-benar sahabatku. Karena itu, aku pun harus berterus
terang."
"Oh?"
"Sesungguhnya aku memakai
kedok." Tio Cie Hiong melepaskan kedoknya perlahan-lahan.
"Haah?" Patoho
terbelalak. "Ternyala engkau lebih muda dariku, bahkan sangat tampan"
Tio cie Hiong tersenyum, kemudian memakai kedok itu.
"Saudara Tio, kenapa
engkau harus memakai kedok?" tanya Patoho heran. "Apakah engkau dalam
kesulitan?"
"Menghindari hal-hal yang
tak diinginkan" sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"oooh" Patoho
manggut-manggut. "Aku tidak menyangka, engkau masih muda tapi begitu
tinggi kepandaianmu. Aku kagum sekali kepadamu."
"Saudara Patoho" Tio
Cie Hiong menatapnya dalam-dalam. "Janganlah menciptakan peperangan, sebab
rakyat yang akan menderita"
"Jangan khawatir, saudara
Tio" Patoho tersenyum. "Kalau aku menjadi raja Manchuria kelak. tentu
tidak akan menyerang Tionggoan. Percayalah kepadaku"