Bagian 41
"Beritahukanlah "
"Belasan tahun lalu,
paman memperoleh sebuah kotak pusaka. Namun kemudian dibunuh oleh Bu Lim sam
Mo." Tio Hong Hoa memberitahukan berdasarkan apa yang didengarnya dari
ayahnya.
"Aaakh..." It sim sin
Ni menghela nafas panjang. "Nenek sama sekali tidak tahu tentang kejadian
itu, sebab sudah puluhan tahun nenek tidak mencampuri urusan rimba persilatan.
Lalu bagaimana anak-anaknya?"
"suan suan mati, putra
paman hidup tapi...." Tio Hong Hoa menggeleng-gelengkan kepala. "Dua
tahun lalu putra paman juga
mati di tangan Bu Lim sam Mo."
"Aaaakh..." It sim
sin Ni menghela nafas lagi. "Nenek tidak menyangka, kedua cucu itu telah
mati...."
"Omitohud Nama putra
pamanmu?" tanya Tayli Lo Ceng mendadak.
"Tio Cie Hiong."
"Hah? Apa? Tio Cie
Hiong?" Tayli Lo Ceng dan It sim sin Ni tertegun. "Tio Cie Hiong
putra Tio It seng?"
"Ya." Tio Hong Hoa
mengangguk.
"Omitohud
Omitohud..." ucap Tayli Lo Ceng dan memberitahukan. "Tio Cie Hiong
belum mati."
"Apa?" Tio Lo Toa
dan Tio Hong Hoa terbelalak. "Adik Cie Hiong belum mati?"
"Belum. Aku yang
membawanya ke puncak Gunung Thian San," sahut Tayli Lo Ceng dan
menambahkan. "Mudah-mudahan dia akan sembuh"
"syukurlah" Tio Hong
Hoa menarik nafas lega.
"Aku tidak menyangka sama
sekali kalau Tio Cie Hiong ternyata cucuku. Padahal aku pernah bertemu dia satu
kali..." It sim sin Ni menggeleng-gelengkan kepala.
"sin Ni" tanya Tayli
Lo Ceng. " Ketika bertemu dia, engkau tidak bertanya tentang
identitasnya?"
"Mungkin tanya mungkin
juga tidak. Karena pada waktu itu aku tidak begitu memperhatikannya,"
jawab It sim sin Ni. "Kalau aku tahu dia cucuku, aku pasti menemuinya
ketika dia ke mari kedua kalinya."
"Lo Ceng?" tanya Tio
Hong Hoa mendadak. " Kira- kira kapan Adik Cie Hiong akan sembuh?"
"Mungkin tidak lama
lagi."
" Kenapa Lo Ceng tidak ke
puncak Gunung Thian san menemuinya?"
"Omitohud" Tayli Lo
Ceng menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak boleh sembarangan ke sana, sebab
puncak gunung itu dijaga oleh seekor kera sakti."
"Kalau begitu, Adik Cie
Hiong...."
"Justru monyet sakti itu
yang akan mengobatinya...." Tayli Lo Ceng memberitahukan.
"Oooh" Tio Hong Hoa
manggut-manggut.
"sin Ni" ujar Tayli
Lo Ceng mendadak. "Engkau memiliki Kiu Yang sin Rang, apakah Kakek Hong
Hoa yang mengajarmu?"
"Ya." It sim sin Ni
mengangguk. "Memang dia yang mengajarku."
"Hong Hoang Leng..."
gumam Tayli Lo Ceng "Pulau Hong Hoang To...."
"Lo Ceng?" Tio Hong
Hoa tercengang karena Tayli Lo Ceng bergumam begitu.
"Hong Hoa" Tayli Lo
Ceng memandangnya seraya bertanya "Hong Hoang Po Kiam berada padamu?"
"Benar. Kenapa?"
"Omitohud Memang jodoh Ha
ha ha...." Tayli Lo ceng tertawa gembira. "Itu memang jodoh."
"Lo ceng" It Sim Sin
Ni agak kebingungan. "Apa maksudmu mengucapkan begitu? Jelaskan-lah Jangan
membingungkan kami"
"Aku lelah memberikan
Thian Liong Po Kiam kepada muridku. Pedang pusaka itu merupakan pasangan dengan
Hong Hoang Po Kiam. Nah, bukankah itu jodoh?" sahut Tayli Lo ceng dan
tertawa gembira lagi. "Hong Hoa, mundku itu bernama Lie Man chiu. Dia
pemuda tampan dan baik."
"Lo ceng...." Wajah
Tio Hong IHoa tampak kemerah-merahan.
"Eh?" It Sim Sin Ni
tersenyum. "Lo ceng, engkau ingin menjodohkan muridmu dengan cucuku
ini?"
"Mereka berdua memang
berjodoh." ujar Tayli Lo ceng sungguh-sungguh. "Tapi biar mereka
bertemu dulu. Kalau mereka saling mencinta, barulah kita membicarakan
perjodohan mereka. Ha ha..."
"Lo ceng ada-ada saja
ah" Tio Hong Hoa cemberut.
"cucuku" It Sim Sin
Ni tersenyum lembut. "Lo ceng tidak mengada-ada. Kalau muridnya tidak
tampan dan tidak baik, bagaimana mungkin dia berani berkata begitu di hadapan
nenek?"
"Nenek...." Wajah
Tio Hong Hoa bertambah merah.
"Oh ya" Itsimsin Ni
menatapnya seraya bertanya. "Ayahmu tidak akan menyusul kalian?"
"Entahlah." Tio Hong
Hoa menggelengkan kepala. "Ketika kami mau berangkat, ayah bilang tidak
mau ke Tionghoan."
"Omitohud" Tayli Lo
Ceng tersenyum. "Percayalah Ayahmu pasti menyusul dalam waktu dekat
ini."
"oh?" Tio Hong Hoa
tampak girang. "Kalau aku bertemu ayah, pasti kuajak ayah ke mari menemui
nenek."
"Nenek memang sudah rindu
sekali kepadanya," sahut It sim sin Ni sungguh-sungguh. "Cucu,
apabila engkau bertemu ayahmu, bawalah dia ke mari Tapi jangan bilang aku
adalah ibunya, agar dia terkejut"
"Baiklah." Tio Hong
Hoa mengangguk sambil tersenyum. "Memang merupakan kejutan."
"Benar." It sim sin
Ni tertawa. " Nenek ingin membuat kejutan."
"Kalau begitu, aku dan
Paman Lo Toa mau mohon pamit" ujar Tio Hong Hoa sambil bangkit berdiri
"Kalian harus
hati-hati" pesan Tayli Lo Ceng. "Bu Lim sam Mo tidak akan melepaskan
kalian begitu saja. sebab kalian telah menghancurkan markas-markas cabang Bu
Tek Pay."
"Lo Ceng Kami pasti
hati-hati," ujar Tio Hong Hoa berjanji.
Cucuku Apabila engkau bertemu
Cie Hiong, ceritakanlah semua ini" pesan It sim sin Ni. "Ya,
Nenek" sahut Tio Hong Hoa. " Nenek, Lo Ceng sampai jumpa"
"Lo Ceng, nyonya besar Hamba
mohon diri" Tio Lo Toa memberi hormat kepada mereka. "Lo Toa, jaga
Hong Hoa baik-baik" pesan It sim sin Ni.
"Ya, Nyonya besar."
Tio Lo Toa mengangguk. "Hamba pasti menjaganya baik-baik."
Sementara itu, Michiko telah
meninggalkan markas pusat Kay Pang, diikuti Tio Cie Hiong secara diam-diam.
Gadis Jepang itu berterima kasih sekali kepada Tio Cie Hiong, sebab Tio Cie
Hiong memikirkan keselamatannya.
Michiko terus berjalan
perlahan. Ketika ia sampai di sebuah jalan yang agak sepi, tiba-tiba muncul beberapa
orang menghadang di depannya. Mereka ternyata anggota Bu Tek Pay.
"Eh? Engkau berasal dari
mana? Kok dandananmu agak aneh?" tanya salah seorang anggota Bu Tek Pay
itu.
"Kalian anggota Bu Tek
Pay?" Michiko balik bertanya dengan dingin.
"Betul Betul Ha ha ha
Kita bertemu di tempat yang sepi ini, bagaimana kalau kita ber-senang-senang
dulu?"
Kalian jangan cari mati"
sahut Michiko " Lebih baik kalian segera pergi melapor, bahwa aku Michiko
sedang mencari Takara Yahatsu"
"Apa?" mereka
terbelalak. " Eng kaukah Michiko yang dicari-cari itu?"
"Benar" Michiko
mengangguk. " Cepatlah kalian beritahukan kepada Takara Yahatsu, bahwa aku
menunggunya di sini"
"Baik Kami akan
melapor" Anggota-anggota Bu Tek Pay itu segera ke markas untuk melapor.
Begitu sampai di markas,
mereka langsung melapor kepada Bu Lim sam Mo. Mendengar laporan itu Bu Lim sam
Mo sangat gembira, apalagi Takara Yahatsu.
"Takara Yahatsu"
ujar Tang Hai Lo Mo. "Kini adalah kesempatanmu untuk membunuh
Michiko."
"Benar." Takara
Yahatsu manggut-manggut sambil tertawa. "Aku akan berangkat
sekarang."
"Tunggu," cegah
Thian Mo sambil mengerutkan kening. "Dia menghilang begitu lama, kini
muncul mendadak dan menantangmu. Mungkinkah ada sesuatu di balik itu atau dia
telah menyusun suatu jebakan untukmu?"
"Dia cuma seorang diri,
tidak mungkin bisa menyusun suatu jebakan," sahut Takara Yahatsu.
"Ngmm" Thian Mo
manggut-manggut. "Bagaimana kalau kami menyuruh beberapa orang membantumu?
"
Takara Yahatsu berpikir
sejenak, kemudian menganguk. "Baiklah."
Thian Mo segera menyuruh
beberapa orang pergi bersama ketua aliran Ninja itu. setelah mereka pergi,
mendadak muncul salah seorang anggota dan melapor.
Ketua, pemilik Hong Hoang Leng
telah memberantas markas cabang yang lain, dan semua anggota mati
terbunuh."
"Apa?" Tang Hai Lo
Mo langsung memukul meja. Wajahnya tampak merah padam.
"Tenang" ujar Kwan
Gwa Siang Koay. "Setelah urusan Takara Yahatsu beres, barulah kita
rundingkan tentang ini."
"Benar." Tiau Am Kui
manggut-manggut. "sementara ini kita jangan emosi."
"Baiklah." Tang Hai
Lo Mo mengangguk. "Kita rundingkan nanti saja."
Bab 67 Ketua Aliran Ninja
menemui ajalnya
Michiko duduk di bawah pohon
menunggu kemunculan Takara Yahatsu. sementara hari sudah mulai gelap. namun ia
tetap duduk di situ.
Berselang beberapa saat
kemudian, ia mendengar suara langkah ke arahnya. segeralah ia bangkit berdiri
sambil mengeluarkan sulingnya. Begitu menoleh, sepasang matanya langsung
membara karena melihat orang yang ditunggunya.
"Ha ha ha" Takara
Yahatsu tertawa gelak, kemudian membentak dengan bahasa Jepang.
Michiko menyahut dengan bahasa
Jepang. Beberapa anggota Bu Tek Pay cuma saling memandang, karena tidak
mengerti. "Hiyaaaat" Takara Yahatsu mulai menyerang.
Gadis Jepang itu menangkis dan
balas menyerang, sehingga terjadilah pertarungan sengit dan seru. Beberapa
anggota Bu Tek Pay segera mengambil posisi mengurung Michiko, siap membantu
Takara Yahatsu.
Pertarungan Michiko dengan
Takara Yahatsu makin sengit. Ketua aliran Ninja itu menggunakan pedang panjang,
bahkan kadang- kadang juga menyerang Michiko dengan senjata rahasia.
Kalau Michiko tidak mendapat
petunjuk dari Tio Cie Hiong, mungkin saat ini ia telah terkapar menjadi mayat.
Semakin lama bertarung, Takara
Yahatsu semakin terkejut, karena tidak menyangka kalau kepandaian Michiko telah
bertambah tinggi. Mendadak ia membentak, kemudian menghilang.
Michiko tidak terkejut, karena
tahu ketua aliran Ninja menggunakan ilmu istimewa, yakni ilmu menelusup ke
dalam tanah. oleh karena itu, ia berdiri diam di tempat.
Sekonyong-konyong Takara
Yahatsu muncul di belakangnya sekaligus menyerang. Namun Michiko tidak gugup.
la langsung meloncat ke depan menghindari serangan ilu.
Takara Yahatsu juga meloncat
ke depan sambil menyerang, namun mendadak Michiko memutar tubuh sekaligus balas
menyerang dengan sulingnya. Betapa dahsyatnya serangan itu, karena Michiko
mengeluarkan jurus Hoan Thian Coan Te (Membalikkan Langit Memutarkan Bumi). Ternyata
ia mulai menggunakan ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Hoat, ciptaan Tio Cie Hiong.
Tuuuk Dada Takara Yahatsu
terpukul suling Michiko.
Betapa gusarnya ketua aliran
Ninja itu. la membentak keras sambil menyerang dengan dahsyat.
Michiko berkelit ke samping,
lalu mendadak balas menyerangnya dengan jurus Hai Lang ThauThau (ombak Laut
Menderu-deru). Plaak Punggung Takara Yahatsu terpukul.
"uaaaakh..." Mulut
ketua aliran Ninja menyembur darah segar. Kelihatannya ia telah terluka parah.
"Hiyaaat" teriak
Michiko nyaring sambil menyerang dengan jurus san Pang Te Liat (Gunung Runtuh
Bumi Retak). Plaaak Punggung Takara Yahatsu terpukul lagi.
"uaaakh..." Ketua
aliran Ninja itu terus memuntahkan darah segar. "uaakh uaaaakh..."
Kemudian tubuhnya terkulai,
namun matanya terus memandang Michiko. Tampaknya ia tidak percaya terhadap apa
yang terjadi, meskipun saat ini tenaga telah habis karena kepandaiannya telah
musnah.
Selangkah demi selangkah
Michiko mendekatinya sambil tertawa dingin, lalu mendadak mengayunkan sulingnya
ke arah kepala Takara Yahatsu. Plaaak....
"Aaaaakh..."jerit
ketua aliran ninja. Ternyata kepalanya pecah dan nyawanya pun melayang
seketika.
Beberapa anggota Bu Tek Pay
menggigil ketakutan menyaksikan kejadian itu.
"Cepatlah kalian
enyah." bentak Michiko kepada mereka.
Para anggota Bu Tek Pay itu
langsung kabur terbirit-birit. setelah mereka pergi, tampak sosok bayangan
putih melayang turun di tempat itu.
Sosok bayangan itu ternyata
Tio Cie Hiong. la memakai kedok, dan tampak monyet berbulu putih duduk di
bahunya.
"Adik Michiko..."
Tio Cie Hiong memandang mayat Takara Yahatsu sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
"Kakak Cie Hiong, aku
terpaksa membunuhnya." Michiko terisak-isak. "sebab dia telah
membunuh guru dan kakakku."
"Yaaah" Tio Cie
Hiong menghela nafas, kemudian berkata kepada monyet bulu putih. "Kauw
heng, galilah sebuah lubang untuk mengubur mayat itu"
Monyet bulucutih bercuit dan
langsung meloncat turun lalu menggali lubang dengan sepasang tangannya. setelah
itu, diseretnya mayat Takara Yahatsu ke dalam lubang itu, kemudian diurugnya.
"Terimakasih, kauw
heng" ucap Tio Cie Hiong.
Monyet bulu putih bercuit-cuit
sambil membersihkan sepasang tangan dan kakinya, setelah itu barulah meloncat
ke bahu Tio Cie Hiong.
"Adik Michiko, kini
Takara Yahatsu telah mati apa rencanamu selanjutnya?" tanya Tio Cie Hiong
lembut.
"Aku akan pulang ke
Jepang," jawab Michiko dengan air mata berderai.
"Kapan?"
"Sekarang?"
"Apa?" Tio Cie Hiong
tertegun. "sekarang?"
"Ya." Michiko
mengangguk. "Engkau tidak perlu mengantarku sampai dipelabuhan, lebih baik
engkau segera kembali ke markas pusat Kay Pang, agar Adik Ceng Im tidak
mencemaskanmu"
"Jadi engkau tidak
kembali ke markas pusat Kay Pang lagi?"
"Tidak." Michiko
menggelengkan kepala. "Adik Ceng Im sangat mencintaimu, maka aku tidak mau
menimbulkan kesalahpahaman. Kakak Cie Hiong, sampai jumpa"
"Adik Michiko..."
Tio Cie Hiong menghela nafas.
"Kakak Cie Hiong,
selamanya aku tidak akan lupa kepadamu. selamat tinggal" ucap Michiko
terisak-isak. lalu melangkah pergi.
Tio Cie Hiong memandang
punggung gadis Jepang itu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
setelah itu, ia pun melesat
pergi menuju markas pusat Kay Pang.
Beberapa anggota Bu Tek Pay
yang kabur terbirit-birit tadi telah tiba di markas. Mereka melapor kepada Bu
Lim sam Mo dengan nafas terengah-engah. " Ketua, Takara Yahatsu telah
mati...."
"Siapa yang
membunuhnya?" tanya Tang Hai Lo Mo terkejut.
"Gadis Jepang itu."
"Michiko?"
"Ya."
"Kalian boleh
pergi," ujar Tang Hai Lo Mo, kemudian bergumam dengan kening berkerut.
"Heran Bagaimana mungkin gadis Jepang itu mampu membunuh Takara
Yahatsu?"
"Perlukah kita menyuruh
beberapa orang yang berkepandaian tinggi pergi membunuh gadis Jepang itu?"
tanya Thian Mo.
"Tidak perlu," sahut
siluman Kurus. "Michiko pasti telah pulang ke Jepang. Lagipula itu urusan
pribadi mereka berdua. Kini Takara Yahatsu sudah mati, berarti tiada urusan
dengan kita lagi."
"Betul." TeMo
manggut-manggut. "Yang harus kita pikirkan adalah Tui Beng Li, Thian Liong
Kiam Khek dan pemilik Hong Hoang Leng."
"Para Tetua Kita harus
bertindak bagaimana terhadap mereka?" tanya Tang Hai Lo Mo pada Kwan Gwa
siang Koay dan Lak Kui.
"Menurutku...,"
sahut TiauAm Kui. "Kita lihat lagi perkembangan selanjutnya, setelah itu
barulah kita bertindak"
"Baiklah." Bu Lim
sam Mo mengangguk.
"Sekarang mari kita
bersenang-senang" ajak Kwan Gwa siang Koay. "suruh para penari ke
mari Ha ha ha..."
Sementara itu, Tio Cie Hiong
telah tiba di markas pusat Kay Pang. Lim Ceng Im langsung mendekap di dadanya,
dan Tio Cie Hiong membelainya dengan penuh cinta kasih. sedangkan monyet bulu
putih bercuit-cuit, sepertinya turut bergembira.
"Cie Hiong" ujar Lim
Peng Hang lembut. "Duduklah"
"Ha ha ha" sam Gan
sin Kay tertawa gelak. "Bagaimana mungkin dia bisa duduk? Ceng Im masih
mendekap di dadanya...."
"Kakek" Lim Ceng Im
cemberut. "Heran, tidak boleh orang senang ya?"
"Kenapa engkau mendekap
di dada Cie Hiong di hadapan kami? kalau mau berdekap dekapan hendaknya di
kamar Itu lebih asyik."
"Kakek...." Wajah
Lim Ceng Im memerah.
"Adik Im" bisik Tio
Cie Hiong sambil tersenyum. "Mari kita duduk"
Mereka berdua lalu duduk. Kim
siauw suseng memandangnya seraya bertanya.
"Bagaimana urusan gadis
Jepang itu? Apakah sudah beres?"
"Sudah." Tio Cie
Hiong memberitahukan. "Michiko telah membunuh Takara Yahatsu."
Mendadak monyet bulu putih itu bercuit-cuit sambil memperlihatkan sepasang
tangannya.
"Eh? Kenapa monyet
itu?" tanya sam Gan sin Kay heran. "Dia mau minta apa?"
"Dia memberitahukan,
bahwa dia yang mengubur mayat Takara Yahatsu,"juwab Tio Cie Hiong sambil
tersenyum.
"Oooh" sam Gan sin
Kay manggut-manggut sambil tersenyum. "Kauw heng, engkau memang baik
sekali."
Monyet bulu putih bercuit-cuit
sambil bertepuk-tepuk tangan. Kelihatannya ia merasa gembira sekali karena
mendapat pujian.
"Aaaakh..." Mendadak
Kim siauw suseng mengeluarkan suara keluhan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Eh? sastrawan
sialan" sam Gan sin Kay menatapnya heran. "Kenapa engkau
mengeluh?"
"Aku teringat kepada Tok
Pie sin wan," sahut Kim siauw suseng sambil menghela nafas. "Kalau
tidak mati, kini dia punya saudara."
"Benar." sam Gan sin
Kay juga menghela nafas panjang. "Tok Pie sin wan memang mirip kauw
heng."
"Cie Hiong Kenapa Michiko
tidak ikut ke mari?"
"Dia langsung ke
pelabuhan."
"Kakak Hiong, apakah dia
langsung pulang ke Jepang? Kenapa tidak mau ke mari?" tanya Lim Ceng Im
bernada kecewa.
"Adik Im" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Dia tidak mau menimbulkan kesalahpahaman di sini, maka
langsung pergi.
"Kesalahpahaman tentang
apa?" Lim Ceng Im merasa heran.
"Dasar gadis bodoh"
ujar sam Gan sin Kay dan menambahkan. "Dia khawatir engkau akan
cemburu."
"Cemburu?" Lim Ceng
Im terbelalak. "Bagai-mana mungkin aku cemburu terhadapnya?"
"Kalau dia sering-sering
mendekati Cie Hiong, engkau tidak akan cemburu?" tanya sam Gan sin Kay
sambil memandangnya.
"Kakek" Lim Ceng Im
tersenyum. "Dalam hati Kakak Hiong cuma terdapat aku seorang, jadi...
akupun tidak akan merasa cemburu terhadap Michiko."
"Yah, ampun" sam Gan
sin Kay menepuk keningnya sendiri. "Di hadapan sedemikian banyak orang,
engkau berani berkata begitu?"
"Kenapa tidak?"
sahut Lim Ceng Im tersenyum lagi, kemudian memandang Tio Cie Hiong seraya
bertanya. "Kakak Hiong, dalam hatimu cuma terdapat aku seorang, kan?"
"Benar, Adik Im" Tio
Cie Hiong mengangguk.
"Kami mau
dikemanakan?" sela Tui Hun Lojin mendadak.
"Kita semua berada di
luar hati Cie Hiong."
"Ha ha ha" Bu Lim Ji
Khie tertawa gelak.
Monyet bulu putih pun ikut
bercuit-cuit, bahkan berjingkrak-jingkrak di atas bahu Tio Cie Hiong.
"Dasar monyet...."
Caci sam Gan sin Kay dan seketika ia tersentak. "Maaf, kauw heng engkau
adalah monyet sakti."
"Takut ditampar,
ya?" ejek Kim siauw suseng sambil tertawa.
"Eeeh?" sam Gan sin
Kay melotot. "Perlukah aku menamparmu lagi seperti tempo hari?"
"Aku pasti
membalas," sahut Kim siauw suseng tegas. "Nan, boleh coba"
Lim Peng Hang
menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah mereka, kemudian berkata kepada Tio
Cie Hiong.
"Kini urusan Michiko
telah beres, lalu apa rencanamu selanjutnya?"
"Aku harus mengawasi
gerak-gerik pihak Bu Tek Pay. juga harus menemui Tui Beng Li, Thian Liong Kiam
Khek dan pemilik Hong Hoang Leng." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Kakak Hiong mau pergi
lagi?" tanya Lim Ceng Im dengan air muka berubah.
"Adik Im, aku tidak bisa
berdiam diri di sini," jawab Tio Cie Hiong memberi pengertian. "Dan
aku pun tetap memakai kedok. agar pihak Bu Tek Pay tidak mengenaliku. Jadi
tidak akan menimbulkan urusan di sini."
"Tapi...." Lim Ceng
Im menundukkan kepala.
"Adik Im Kekuatan kita di
sini masih terbatas, maka aku harus menemui Tui Hun Li, Thian Liong Kiam Khek
dan pemilik Hong Hoang Leng, agar mereka bergabung dengan kita. Kalau tidak.
sulit bagi kita untuk memberantas Bu Tek Pay."
"Kakak Hiong...."
Mata Lim Ceng Im mulai basah.
"Nak" ujar Lim Peng
Hang. "Apa yang dikatakan Cie Hiong memang benar, karena itu, engkau tidak
boleh melarangnya pergi."
"Ayah...." Air mata
Lim Ceng Im mulai meleleh.
"Begini..." ujar Tio
Cie Hiong setelah teringat akan sesuatu. "Kelak Kay Pang pasti akan
bertarung dengan pihak Bu Tek Pay. oleh karena itu, aku harus menurunkan
semacam ilmu silat."
"Maksudmu menurunkan ilmu
silat kepada kami?" tanya sam Gan sin Kay.
"Betul." Tio Cie
Hiong mengangguk. "sebab kelak mungkin Kakek pengemis dan lainnya akan
berhadapan dengan Kwan Gwa siang Koay dan Lak Kui. Maka...."
"Tidak jadi
masalah," sahut Kim siauw suseng dan bertanya. :"Ilmu silat apa
itu?"
"Kan Kun Ciang
Hoat." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Ilmu pukulan tersebut sangat
aneh dan dahsyat. Kalau digunakan bertarung melawan Kwan Gwa siang Koay atau
Lak Kui, mungkin tidak akan kalah."
"Cie Hiong" tanya
sam Gan sin Kay. "Engkau belajar dari mana ilmu pukulan itu?" Tio Cie
Hiong menunjuk monyet bulu putih yang duduk di bahunya.
"Oh?" Terbelalak Bu
Lim Ji Khie.
"Kauw heng" ujar Tio
Cie Hiong sambil tersenyum. "Perlihatkan ilmu pukulan itu" Monyet
bulu putih itu manggut-manggut, lalu meloncat turun dan mulailah bergerak.
Seketika Bu Lim Ji Khie, Tui
Hun LejinrLim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan Lim Ceng Im terbelalak menyaksikan
gerakan-gerakannya. Mereka sama sekali tidak bisa mengikutinya.
Berselang beberapa saat,
barulah monyet itu berhenti lalu bercuit-cuit seakan menyuruh mereka meniru
gerakan-gerakannya tadi.
"Cie Hiong, kauw heng
bilang apa?" tanya sam Gan sin Kay.
"Dia menyuruh kalian
meniru gerakan-gerakannya." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Bagaimana
mungkin...." Sam Gan Sin Kay menggeleng-gelengkan kemala. "Mata ku
silau
menyaksikan gerakan-gerakan
itu Kauw heng sungguh hebat."
"Itu adalah Kan Kun ciang
Hoat." ujar Tio Cie Hiong. Kemudian ia pun mempertunjukkan ilmu pukulan
itu secara lamban.
Bu Lim Ji Khie, Tui Hun Lojin.
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan Lim Ceng Im terus memperhatikannya. Tio Cie
Hiong mengulang dan mengulang lagi ilmu pukulan tersebut, setelah itu, barulah
berhenti seraya bertanya.
"Bagaimana? sudah bisakah
kalian mengikuti gerakan-gerakanku?"
Bu Lim Ji Khie dan lainnya
mengangguk. kemudian mulai berlatih bersama. Tio Cie Hiong menyaksikan mereka
dengan penuh perhatian, sekaligus memberi petunjuk.
Beberapa hari kemudian,
barulah mereka dapat menguasai ilmu pukulan itu, namun masih agak lamban
gerakannya.
Ketika mereka sedang berlatih
di halaman belakang, mendadak monyet bulu putih yang di bahu Tio Cie Hiong
bercuit-cuit.
"Kauw heng, engkau ingin
mempertunjukkan sesuatu?" tanya Tio Cie Hiong dengan heran.
Monyet bulucutih
manggut-manggut. Tio Cie Hiong cun mengangguk dan sebera menyuruh mereka
berhenti berlatih.
"Berhenti dulu Kauw heng
ingin mempertunjukkan sesuatu."
"Kauw heng ingin mempertunjukkan
apa?" tanya sam Gan sin Kay dan merasa heran.
"Mungkin kauw heng ingin
mempertunjukkan semacam ilmu lagi," sahut Tio Cie Hiong.
"Bagus Bagus" sam
Gan sin Kay tertawa gembira.
Monyet bulu putih meloncat ke
tengah-tengah halaman, lalu bercuit-cuit dan mulai bergerak.
Tio Cie Hiong terbelalak
menyaksikan gerakan-gerakan itu, sebab tampak kacau balau. Bu Lim Ji Khie dan
lainnya menjadi pusing ketika menyaksikan gerakan-gerakan monyet itu, bahkan
mata mereka menjadi berkunang-kunang.
sementara Tio Cie Hiong terus
memperhatikan gerakan monyet bulu putih dengan cermat.
Namun sesaat kemudian monyet
itu berhenti.
"Ulangi sekali lagi, kauw
heng" ujar Tio Cie Hiong.
Monyet bulucutih
manggut-manggut, lalu mulai bergerak lagi. Tio Cie Hiong sebera memusatkan
perhatiannya untuk menyaksikan semua gerakan monyet itu.
Berselang beberapa saat
kemudian, barulah monyet bulu putih berhenti, lalu bercuit-cuit sambil
memandang Tio Cie Hiong.
"Terimakasih, kauw
heng" ucap Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Aku sudah hafal semua
gerakan itu."
"Apa?" Bu Lim Ji
Khie terbelalak. " Engkau sudah hafal semua gerakan itu?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. kemudian mulai bergerak. "Tampak bayangannya berkelebat ke
sana ke mari, begitu pula sepasung tangannya.
"Aduuuh Pusing"
keluh Bu Lim Ji Khie, begitu pula yang lain.
Berselang beberapa saat,
barulah Tio Cie Hiong berhenti. Monyet bulu putih bertepuk-tepuk tangan,
kelihatannya gembira sekali.
"Bukan main" Tui Hun
Lojin menggeleng-gelengkan kepala. "Itu... entah ilmu pukulan apa?"
"Memang lihay sekali ilmu
pukulan ini, bahkan sangat aneh," sahut Tio Cie Hiong. "Aku pun tidak
menyangka, kalau kauw heng memiliki ilmu pukulan yang sedemikian lihay dan
aneh."
"Namai saja Ilmu Pukulan
Monyet sakti" ujar sam Gan sin Kay.
Mendadak monyet bulu putih
bercuit-cuit dan manggut-manggut, kelihatannya setuju.
"Ha ha ha" sam Gan
sin Kay tertawa gelak. "Kauw heng, engkau setuju ilmu pukulan itu kunamai
Ilmu Pukulan Monyet sakti?"
Monyet bulu putih
manggut-manggut lagi. seketika sam Gan sin Kay tertawa gelak lagi. "Bagus?
Itu adalah Ilmu Pukulan Monyet sakti. Aku harus belajar"
"Benar." Tio Cie
Hiong mengangguk. "Kini akan kuajarkan kepada kalian semua. Nah,
perhatikan baik-baik"
Tio Cie Hiong mulai bergerak
lagi, namun kali ini ia bergerak lamban, agar gerakannya bisa
dilihat dengan jelas. setelah
itu, Bu Lim Ji Khie dan lainnya mulai menirukan gerakan-gerakan itu.
Apabila terdapat kesalahan,
Tio Cie Hiong pasti memberikan petunjuk.
"Adik Im Aku pernah
mengajarmu Pan Yok Hian Thian sin Kang, tapi kenapa Iweekangmu masih belum
bertambah maju?" tanya Tio Cie Hiong.
"Aku...." Lim Ceng
Im menundukkan kepala.
"Dia jarang
melatih." Lim Peng Hang memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Adik Im, kenapa engkau tidak berlatih ilmu lweekang itu?" Tio Cie
Hiong mengerutkan kening. "Cie Hiong" sahut sam Gan sin Kay.
"Dia mana punya waktu untuk berlatih lweekang itu?" "Kenapa
tidak punya waktu?" Tio Cie Hiong merasa heran.
"Sebab waktunya
dihabiskan untuk memikirkanmu." sam Gan sin Kay memberitahukan. "Jadi
bagaimana mungkin dia bisa berlatih?"
"Oooh" Tio Cie Hiong
tersenyum lalu memegang bahu gadis itu seraya berkata lembut. "Adik Im,
mulai sekarang engkau harus giat berlatih Pan Yok Hian Thian sin Kang"
"Ya, Kakak Hiong."
Lim Ceng Im mengangguk.
Seminggu kemudian, barulah Bu
Lim Ji Khie dan lainnya berhasil menguasai Ilmu Pukulan Monyet sakti. oleh
karena itu Tio Cie Hiong merasa gembira sekali.
Malam ini, Tio Cie Hiong dan
Lim Ceng Im duduk berdampingan di halaman belakang, menikmati keindahan malam
purnama.
"Kakak Hiong...."
Lim Ceng Im menatapnya mesra. "Entah bagaimana keadaan Adik sian Eng di
Tayli? Apakah dia sudah
mempunyai anak?"
"Mungkin sudah,"
sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Adik Im, setelah urusan dengan Bu
Tek Pay beres, bagaimana kalau kita pergi ke Tayli menengok mereka?"
"Baik." Lim Ceng Im
mengangguk. "Kemudian kita ajak mereka ke Tionggoan."
"Kenapa kita harus
mengajak mereka ke Tionggoan?"
"Apakah Kakak Hiong
lupa?"
"Lupa apa?"
"Kita harus melangsungkan
pernikahan, tentunya mereka harus hadir, kan?"
"Oooh" Tio Cie Hiong
manggut dan memegang tangan Lim Ceng Im erat-erat. "Benar, kita harus
melangsungkan pernikahan."
"Kakak Hiong, setelah
kita menikah, apakah kita akan tinggal di puncak Gunung Thian san?"
"Begini...." Tio Cie
Hiong menatapnya lembut. "Soal itu terserah padamu saja. Yang jelas kita
tidak usah mencampuri urusan
rimba persilatan lagi."
"Kakak Hiong...."
Lim Ceng Im tersenyum. "Aku menurut kepadamu saja."
"Setelah kita menikah
nanti, barulah kita rundingkan kembali," ujar Tio Cie Hiong dan
melanjutkan. "Adik Im, besok pagi aku akan pergi."
"Kakak Hiong...."
Wajah Lim Ceng Im langsung berubah murung. "Kenapa engkau tega
meninggalkanku? "
"Sebetulnya aku tidak
tega, tapi aku harus mencari Tun Hun Li, Thian Liong Kiam Khek danpemilik Hong
Hoang Leng. Bahkan aku pun harus mengawasi gerak-gerik pihak Bu Tek Pay. Maka
harap engkau maklum dan mengerti"
"Aku bisa maklum dan
mengerti, namun...." Air mata gadis itu mulai meleleh. "Kita akan
berpisah lagi."
"Aku pergi tidak akan
lama, sebab harus kembali untuk berunding." Tio Cie Hiong membelainya.
"Adik Im, engkau tidak usah cemas...."
"Kakak Hiong" Lim
Ceng Im mulai terisak-isak. lalu mendekap di dada Tio Cie Hiong. "Kakak
Hiong...."
"HahahaHahaha"
Mendadak muncul Bu Lim Ji Khie. Mereka berdua memandang Lim Ceng Im sambil
tertawa gelak.
"Dekap-dekapan lagi
ya" ujar sam Gan sin Kay.
"Kakek" Lim Ceng Im
langsung melepaskan dekapannya, lalu menatap sam Gan sin Kay dengan mata
melotot. " Heran, kenapa Kakek selalu usil sih? Tidak boleh orang senang
ya?"
"Tentu boleh," sahut
sam Gan sin Kay. "Tapi barusan engkau menangis terisak-isak, kenapa
sih?"
"Kakak Hiong...."
"Dia nakal atau kurang
ajar terhadapmu?"
"Dia... dia...." Lim
Ceng Im mulai terisak-isak lagi. "Dia...."
"Eh?" sam Gan sin
Kay terbelalak. "Kenapa dia? Apakah dia menghinamu? Baik, kakek akan
menghajarnya."
"Jangan Kakek" cegah
Lim Ceng Im. "Dia tidak menghinaku, melainkan akan pergi esok."
"Kakek sudah
mendengar." sam Gan sin Kay tertawa. "Bagaimana mungkin kakek bisa
menghajarnya?"
"Kakekmu yang akan
dihajar Kakak Hiong- mu," sela Kim siauw suseng sambil tertawa. "Aku
sedang sedih, Kakek dan Kakek sastrawan malah terus tertawa. sungguh
keterlaluan"
"siapa yang keterlaluan,
Nak?" Mendadak muncul Lim Peng Hang bersama Tui Hun Lojin dan Gouw Han
Tiong.
"Yaaah..." Lim Ceng
Im menghela nafas panjang. "Kenapa berkumpul di sini semua?"
"Ha ha? Tui Hun Lojin
tertawa. "Mengganggu kalian berdua, kan?"
Lim Ceng Im diam, namun
mulutnya cemberut. Lim Peng Hang tersenyum sambil mendekatinya, sekaligus
membelainya.
"Nak, kenapa matamu
basah?" tanya Lim Peng Hang lembut.
"Kakak Hiong akan pergi
esok. maka hatiku sedih...." Lim Ceng Im mulai terisak.
"Oooh" Lim Peng Hang
manggut-manggut.
Kemudian berkata kepada Tio
Cie Hiong dengan sungguh-sungguh. "Cie Hiong, engkau boleh pergi mencari
Tui Hun Li, Thian Liong Kiam Khek dan pemilik Hong Hoang Leng, tapi jangan
terlampau lama, sebab akan mencemaskan ceng Im"
"Ya, Paman." Tio Cie
Hiong mengangguk. "Dalam waktu satu bulan aku pasti kembali."
"Satu bulan?" Lim
Ceng Im menggelengkan kepala. "Kenapa begitu lama? Apakah tidak bisa lebih
cepat?"
"Adik Im Kalau bisa, aku
akan kembali selekasnya." ujar Tio Cie Hiong berjanji. "Oh ya, engkau
jangan lupa berlatih Pan Yok Hian Thian sin Kang"
"Ng" Lim Ceng Im
mengangguk, lalu memandangnya dengan air mata meleleh. "Kakak Hiong,
engkau akan berangkat esok pagi?"
"Ya," sahut Tio Cie
Hiong sambil memegang bahu Lim Ceng Im. "Engkau harus tenang, jangan
memikirkan yang bukan-bukan"
"Kakak Hiong...."
Lim Ceng Im memeluknya.
Kali ini sam Gan sin Kay tidak
menggoda gadis itu lagi, sebab ia tahu hati cucunya sedang sedih karena akan
ditinggal Tio Cie Hiong.
Bab 68 Thian Liong Kiam Khek
membantu Tui Beng Li
Setelah melepaskan dahaga di
kedai teh, Tui Beng Li-Tan Li Cu lalu meninggalkan kedai itu. Namun tiba-tiba
keningnya berkerut lalu ia menghentikan langkahnya. Ternyata ia mendengar suara
langkah mendekatinya. Tak lama muncullah belasan orang, yang semuanya ternyata
anggota Bu Tek Pay.
"Tui Beng Li" bentak
salah seorang, yang ternyata pemimpin mereka. "Hari ini engkau harus
mampus"
"Aku yang mampus atau
kalian yang harus mati?" sahut Tan Li Cu sambil tertawa dingin.
"Engkau telah banyak membunuh kawan-kawan kami, maka aku tidak akan
mengampunimu"
"Engkau kira aku akan
mengampuni kalian?" Tan Li Cu menatap mereka dengan tajam. "Hm Kenapa
Liu siauw Kun tidak berani muncul melawanku?"
"Ha ha ha" orang itu
tertawa gelak. "Tuan muda tidak perlu turun tangan, sebab kami juga
cukup,"
"Hmm" dengus Tan Li
Cu dingin. " Jadi kalian ingin membunuhku?"
"Benar Ha ha ha"
Pemimpin itu tertawa gelak. "Tui Beng Li, ajalmu telah tiba hari ini"
"Kalian yang akan mati hari ini" Tan Li Cu mengeluarkan pedang Loan
Kang Pokiamnya.
Pada waktu bersamaan,
terdengarlah suara seruan yang mengguntur, kemudian melayang turun seseorang.
"Tui Beng Li, aku akan
membantumu menghabiskan mereka" Seorang pemuda berdiri di sisi Tan Li cu.
"Terimakasih, Thian Liong
Kiam Khek" ucap Tan Li cu. sungguh di luar dugaan, pemuda itu ternyata Lie
Man chiu, murid Tayli Lo Ceng.
"Bagus Bagus Ha ha
ha." Pemimpin itu tertawa. "Kalian berdua harus mampus"
"Hm" dengus Thian
Liong Kiam KheksLie Man chiu, lalu berkata kepada Tan Li cu sambil tersenyum.
"Tui Beng Li, mereka berjumlah empat belas orang. Lihatlah siapa di antara
kita yang lebih banyak membunuh mereka"
"Baik." Tan Li cu
mengangguk.
"Serang mereka"
bentak pemimpin itu.
Seketika belasan anggota Bu
Tek Pay itu langsung menyerang Tan Li cu dan Lie Man Chiu. Tan Li Cu tertawa
dingin, sedangkan Lie Man chiu bersiul panjang sambil menggerakkan Thian Liong
Po Kiamnya. la menangkis sekaligus balas menyerang dengan jurus Thian Liong Pah
Bwe (Naga Khayangan Mengibaskan Ekor). Badannya bergerak dan pedang pusakanya
pun berkelebatan secepat kilat.
Sementara Tan Li cu pun sudah
mulai balas menyerang. la mengeluarkan jurus Lui Ming Tian soh (Petir
Menggelegar Kilat Menyambar) . "Aaaakh Aaaaakh..." Terdengarlah suara
jeritan.
"Bagus" seru Lie Man
chiu. "Engkau telah membunuh tiga orang."
"Engkau pun telah
membunuh tiga orang, jadi kita seri. Ayoh, kita serang lagi mereka" sahut
Tan Li Cu dan langsung menggerakkan pedang pusakanya.
Lie Man chiu tidak mau
ketinggalan. la pun segera menggerakkan pedang pusakanya.
Tan Li Cu mengeluarkan jurus
Lui Tian Liam Te (Petir Kilat Membelah Bumi), sedangkan Lie Man Chiu
mengeluarkan jurus Thian Liong Cioh Cu (Naga Khayangan Merebut Mutiara).
"Aaaakh Aaaakh Aaaakh..." Terdengar lagi suara jeritan.
"Tui Beng Li, aku telah
membunuh tiga orang" seru Lie Man Chiu sambil tertawa.
"Sama," sahut Tan Li
Cu. "Akupun telah membunuh tiga orang. Kini cuma tersisa dua orang,
bagaimana seorang satu?" "Baik." Lie Man Chiu menyerang pemimpin
itu.
Tan Li cu menyerang yang lain.
Terdengarlah suara jeritan, dan dampak pemimpin itu terhuyung-huyung. sepasang
tangannya menutupi sepasang telinganya yang telah berlumuran darah.
orang yang diserang Tan Li cu
telah terkapar tak bernyawa. Ketika melihat pemimpin itu belum mati, Tan Li Cu
tampak tercengang, namun kemudian tertawa.
"Thian Liong Kiam Khek
Engkau ingin melepaskan orang itu agar melapor kepada ketuanya?"
"Benar." Lie Man
Chiu manggut-manggut. "Tapi dia telah kupotong sepasang telinganya. Ha ha
ha..."
"Bagus" Tan Li Cu
tersenyum, lalu menatap dingin pemimpin itu. " Engkau boleh kembali ke
markas untuk melapor Beritahukan juga kepada Liu siauw Kun, bahwa aku
menunggunya"
"Ya Ya...." Pemimpin
itu segera kabur.
"Ha ha ha" Lie Man
chiu tertawa, kemudian memandang mayat-mayat yang bergelimpangan itu sambil
menghela nafas panjang. "Akh, aku berhati kejam, namun mereka telah banyak
melakukan kejahatan"
"Benar." Tan Li cu
menggeleng-gelengkan kepala.
"Tui Beng Li, mari kita
pergi" ajak Lie Man chiu. "oh ya, bagaimana kalau kita mengisi perut
dulu? "
"Baik." Tan Li cu
mengangguk.
Lie Man chiu dan Tan Li cu
memasuki sebuah kedai. Pelayan kedai segera menghampiri mereka sambil
tersenyum-senyum. "silakan duduk silakan duduk" Lie Man chiu dan Tan
Li cu lalu duduk
"Tui Beng Li, engkau mau
makan apa?" tanya Lie Man chiu.
"Sup sapi saja,"
sahut Tan Li cu.
"Pelayan, tolong ambilkan
satu poci arak dan dua mangkok sup sapi" pesan Lie Man Chiu.
"Ya, Tuan." Pelayan
itu segera pergi. Tak lama ia sudah kembali dengan membawa satu poci arak, dua
mangkok sup sapi dan dua buah cangkir. "silakan makan, Tuan dan Nona"
"Terimakasih" ucap
Lie Man chiu. la lalu menuang arak ke dalam kedua cangkir itu. "Tui Beng
Li, mari kita bersulang"
"Mari" sahut Tan Li
Cu sambil mengangkat minuman keras itu, lalu meneguknya. setelah itu ia
bertanya. "Bolehkan aku tahu namamu?"
"Namaku Lie Man Chiu.
Namamu?"
"Tan Li Cu. oh ya, siapa
gurumu?"
"Tayli Lo Ceng."
"Apa?" Tan Li Cu
terbelalak. " Gurumu Tayli Lo Ceng?"
"Ya." Lie Man Chiu
mengangguk dan tercengang. "Engkau kenal guruku?"
"Kenal." Tan Li Cu
memberitahukan. " Gurumu pernah menyelamatkan diriku, bahkan juga
membawaku ke Gunung Hong Lay san."
"jadi,..." Lie Man
Chiu gembira sekali. "Engkau murid It sim sin Ni?"
"Benar." Tan Li cu
manggut-manggut sambil tersenyum. "Tidak disangka kita bertemu di tempat
ini, bahkan engkau sempat pula membantuku membunuh para anggota Bu Tek
Pay"
"Oh ya" Lie Man Chiu
menatapnya seraya bertanya. "Siapa Liu siauw Kun? Kenapa engkau kelihatan
begitu dendam kepadanya?"
"Dia murid Bu Lim sam Mo.
Dia... dia...." Wajah Tan Li Cu berubah murung dan matanya
berkaca-kaca. "Dia
membunuh suami, ayah dan anakku yang belum berusia setahun."
"Apa?" sepasang mata
Lie Man Chiu langsung berapi-api. "Begitu kejam orang itu? Karena dia
membunuh suami, ayah dan anakmu?"
"Karena...." tutur
Tan Li Cu diawali dari Pang-gung Cari Jodoh dan lain sebagainya. "Karena
itu,
dia sangat sakit hati dan
dendam kepadaku."
"Oooh" Lie Man Chiu
manggut-manggut. "sejak itu engkau kenal Tio Cie Hiong?"
"Ya." Tan Li Cu
mengangguk. "Cie Hiong adalah pemuda yang sangat baik, tapi...."
"Dia mengorbankan dirinya
demi menolong Kay Pang, tujuh partai besar dan lainnya. Guruku telah
memberitahukan tentang itu. Aku kagum dan salut padanya, namun entah dia sembuh
atau belum?"
"Sebetulnya aku ingin ko
markas pusat Kay Pang menanyakan tentang Cie Hiong, tapi khawatir akan
mencelakai pihak Kay Pang."
"Benar. Sebab kini Kay
Pang masih di bawah perintah Bu Tek Pay, maka kalau engkau ke sana, Kay Pang
pasti akan celaka. Menurutku, apabila Tio Cie Hiong sudah sembuh dan
kepandaiannya pulih, dia pasti muncul di rimba persilatan. Tidak sulit bagi dia
mencarinya."
"Ya."
"Guruku telah berpesan
bahwa aku harus membantunya."
"Guruku pun berpesan
begitu."
"Oh? Kalau begitu, kita
harus mencari informasi tentang dirinya.Jadi mulai sekarang kita bergabung
untuk memberantas para anggota Bu Tek Pay."
"Baik."
Sementara itu, pemimpin yang
dipotong telinganya telah tiba di markas. la langsung menghadap Bu Lim Sam Mo
untuk melapor tentang kejadian itu.
"Apa?" Seketika juga
Tang Hai Lo Mo melotot setelah menerima laporan tersebut. "Thian Liong
Kiam Khek membantu Tui Beng Li membunuh para anak buahmu?"
"Ya." Pemimpin itu
mengangguk dan menambahkan. "Tui Beng Lipun bilang, dia menunggu Tuan
muda."
"Bagus Bagus" Tang
Hai LoMo gusar sekali. "Sekarang engkau boleh pergi mengobati
telingamu." "Terimakasih, Ketua" ucap pemimpin itu dan segera
pergi.
"Thian Liong Kiam Khek...
Tui Beng Li" gumam Tang Hai Lo Mo sambil berkertak gigi. "Aku harus
mencincang kalian"
"Ketua" usul Ang Bin
sat sin. "Biar aku dan Liu siauw Kun pergi menangkap mereka"
"Baik," Tang Hai Lo
Mo mengangguk. "Lebih baik kalian gunakan bom asap beracun"
"Ya, Ketua" Ang Bin
sat sin mengangguk. kemudian memandang Liu siauw Kun seraya berkata. "Mari
kita berangkat"
"Ya, Guru," sahut
Liu siauw Kun, lalu memberi hormat kepada Bu Lim sam Mo, Kwan Gwa siang Koay
dan Lak Kui.
Setelah itu, barulah mereka
pergi. Tang Hai Lo Mo memandang punggung mereka sambil manggut-manggut.
"Mereka berdua pasti
dapat menangkap Thian Liong Kiam Khek dan Tui Beng Li. sebab mereka akan
menggunakan bom asap beracun." ujarnya.
"Benar." Thian Mo
dan Te Mo manggut-manggut.
"Tang Hai Lo Mo masih ada
berapa markas cabang kita?" tanya Tiau Am Kui mendadak.
"Cuma tinggal satu,"
jawab Tang Hai Lo Mo.
"Kenapa?"
"Aku yakin pemilik Hong
Hoang Leng akan ke sana," jawab Tiau Am Kui. "oleh karena itu,
alangkah baiknya kami berenam ke sana untuk menangkap pemilik Hong Hoang Leng
itu."
"Benar," sambung Toa
Thau Kui. "Pemilik Hong Hoang Leng pasti ke sana, maka kami berenam harus
mendahuluinya ke sana."
"Ngmmm" Siluman
Kurus manggut-manggut. "Ide yang bagus Setelah berhasil kita tangkap.
mereka harus kita bakar hidup, hidup,"
"Kalau begitu..,"
Tiau Am Kui berpikir sejenak. "Kami berangkat sekarang, suruh salah
seorang anggota menunjuk jalan"
"Ya." Tang Hai Lo Mo
mengangguk. kemudian menyuruh seseorang mengantar Lak Kui ke markas cabang itu.
Seusai bersantap. Lie Man Chiu
dan Tan Li Cu meninggalkan kedai itu. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap.
Tak seberapa lama kemudian, hari pun mulai gelap.
"Tui Beng Li, bagaimana
kalau kita bermalam di penginapan?" tanya Lie Man Chiu.
"Baik." Tan Li Cu
mengangguk. Mereka berdua lalu menuju sebuah penginapan. Pelayan penginapan itu
segera membawa mereka ke sebuah kamar.
"Ini adalah kamar yang
paling besar dan bersih. Kalian cocok?" tanya sipelayan.
"Cocok," sahut Lie
Man Chiu setelah melongok ke dalam kamar itu.
"Tuan mau pesan minuman
apa?"
"Arak saja."
"Tidak pesan
makanan?"
"Kami masih
kenyang," sahut Lie Man Chiu sambil melangkah memasuki kamar. Tan Li Cu
mengikutinya dari belakang, kemudian mereka duduk berhadapan.
Pelayan itu muncul dengan
membawa sepoci arak dan dua buah cangkir. Kemudian, setelah menaruh arak dan
cangkir itu di atas meja, ia lalu pergi.
"Nanti engkau tidur di
ranjang," ujar Lie Man chiu dan menambahkan. "Aku akan tidur di
kursi."
"Terima kasih" ucap
Tan Li cu. "Oh y a, engkau mau minum?"
"Aku tidak berani minum
lagi," sahut Tan Li cu sambil tersenyum. "Takut mabuk." Lie Man
chiu tersenyum, lalu minum sendiri.