Bab 15
Leng-moi, jangan begitu.
Ingatkah kita melakukan permainan cinta atas dasar suka sama suka, bukan? Tidak
ada yang memaksa! Aku adalah, seorang laki-laki yang takkan menolak cinta kasih
wanita mana pun. Aku mengusulkan agar sucimu suka bermain cinta denganku
semata-mata untuk menolongmu, yaitu agar rahasiamu tetap aman tersimpan.
Bagaimana?!
Cui Leng terisak. Kau....
kau.... mata keranjang!!
Ha-ha-ha!! Suma Hoat tertawa.
Laki-laki mana di dunia ini yang tidak mata keranjang? Asal diberi kesempatan
tidak akan ada laki-laki yang menolak kasih sayang wanita cantik! Dan sucimu
juga cantik jelita, sungguhpun tidak sepanas engkau. Bagaimana?
Cui Leng memang merasa
menyesal dan khawatir. Kalau sampai diketahui sucinya bahwa dia telah
menyerahkan kehormatannya kepada pria itu, tentu dia akan celaka dan selama
hidupnya takkan merasa aman. Akan tetapi, kalau sucinya juga terjun! dan ikut
basah, sama-sama basah seperti dia, tentu saja mereka berdua akan dapat saling
menjaga rahasia masing-masing.
Jadi kau.... kau tidak akan
memperisteri aku?!
Moi-moi? Jangan bodoh!
Hubungan kita bukanlah hubungan suami isteri, kita melakukannya karena suka
sama suka, bukan? Kita sama-santa menikmatinya, bukan? Tadinya pun aku tidak
pernah berjanji untuk mengambilmu sebagai isteri.!
Mengapa?! Dalam suara Cui Leng
terkandung putus harapan.
Mengapa? Karena aku sudah
bersumpah selamanya tidak akan beristeri! Itulah! Sekarang bagaimana, maukah
engkau membiarkan aku membujuk sucimu agar keadaannya sama denganmu ataukah
harus kutinggalkan engkau begini saja?!
Tidakf jangan tinggalkan aku.
Baiklah, lakukan apa yang kaukehendaki kepada suci kalau.... kalau.... itu
merupakan satu-satunya jalan....!
Melihat betapa wajah yang
cantik dan biasanya berseri itu kini berkerut tanda susah. Suma Hoat tertawa,
merangkul dan memondong Cui Leng. Leng-moi, hidup satu kali mengapa berduka dan
berkhawatir? Tidak pantas wajahmu yang cantik berduka. Mari kita bergembira!!
Dia membawa Cui Leng lari keluar rumah itu menuju ke sebuah sungai. Tak lama
kemudian, kedua orang itu sudah tertawa-tawa, mandi bertelanjang bulat di dalam
sungai itu, saling menyirami air, berkejaran penuh kegembiraan, saling
mencurahkan cinta kasih secara bebas seperti sepasang angsa. Cui Leng kembali
menjadi gembira, lupa sama sekali akan kekhawatirannya tadi, terbuai mabok
dalam rayuan Suma Hoat yang amat pandai menguasai hati dan tubuhnya.
Sumoi....!!
Bentakan Liang Bi mengejutkan
Cui Leng dan ia menengok dengan wajah pucat ke arah sumoinya yang sudah berdiri
di tepi sungai, sedangkan Suma Hoat malah tersenyum-senyum. Kekagetan Cui Leng
tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan rasa kaget yang memukul hati Lian
Bi ketika ia mencari sumoinya dan mendapatkan sumoinya sedang mandi bersama
pemuda penolong mereka dalam keadaan telanjang bulat seperti itu.
Ha-ha, kebetulan sekali engkau
datang Li-hiap. Marilah ikut bersama kami, di sini segar dan nyaman. Tanggalkan
pakaianmu!! kata Suma Hoat.
Saking bingung dan takutnya
melihat sucinya penuh kemarahan, Cui Leng berkata di luar kesadarannya, Benar
suci! Mari kita mandi bersama Hoat-koko....!!
Sumoi, engkau murid yang
murtad! Tidak malu melakukan perbuatan terkutuk! dengan kemarahan meluap Liang
Bi mencabut pedangnya. Manusia-manusia macam kalian harus kubunuh!!
Suci....!!
Tenanglah, Leng-moi, biar aku
yang menundukkannya!! Setelah berkata demikian sekali melompat tubuh Suma Hoat
yang telanjang bulat melayang ke darat, ke depan Liang Bi.
Selama hidupnya yang dua puluh
tahun lamanya, dalam mimpi pun belum pernah Liang Bi melihat seorang laki-laki
dewasa telanjang. Kini ada seorang laki-laki, dewasa bertelanjang bulat berdiri
di depannya, tentu saja hal ini merupakan pengalaman yang amat hebat, yang
membuat seluruh tubuhnya menggigil dan ia hampir pingsan saking malunya. Akan tetapi
kemarahannya mengatasi segala perasaan lain. Dengan teriakan ganas ia menerjang
dengan pedangnya, membacok laki-laki itu penuh kebencian.
Akan tetapi, selain tingkat
ilmu kepandaian Suma Hoat sudah amat tinggi, juga menghadapi seorang pria yang
telanjang bulat itu membuat Liang Bi merasa ngeri sehingga gerakannya terganggu
dan dengan mudah Suma Hoat menghindarkan diri dari serangan pedang yang
bertubi-tubi.
Ah, Nona yang manis, mengapa
engkau hendak membunuhku yang tidak berdosa? Sumoimu dan aku sama-sama
menikmati cinta kasih dan marilah, engkau ikut pula menikmatinya. Tegakah
engkau membunuh aku yang tidak berdosa?! Sambil mengelak dengan mempergunakan
gin-kangnya yang tinggi, Suma Hoat membujuk.
Manusia hina! Terkutuk!
Mampuslah!!
Liang Bi menerjang lagi dengan
mata setengah terpejam karena dia tidak tahan menyaksikan tubuh yang telanjang
bulat begitu dekat dengannya itu.
Kembali Suma Hoat mengelak.
Aihh, betapa tega hatimu, Nona. Akan tetapi aku tidak tega untuk mencelakaimu.
Aku cinta padamu, manis!!
Ucapan merayu ini seperti
minyak disiramkan pada api, membuat kemarahan Lian Bi makin berkobar. Kalau
pria ini mencinta sumoinya, bagaimana sekarang di depan sumoinya berani
mengeluarkan kata-kata mencintanya?
Keparat biadab!! Liang Bi
memaki makin marah, pedangnya diputar cepat sekali menjadi segulung sinar
menyilaukan yang menyambar-nyambar.
Aduh, cantik dan gagah sekali
engkau!! Suma Hoat kembali memuji dan cepat ia mengelak. Tiba-tiba Liang Bi
menendang dan paha kiri Suma Hoat yang mengelak masih diserempet ujung sepatu.
Suma Hoat terguling!
Mampuslah engkau!! Liang Bi
menubruk dan menusuk, Suma Hoat menggulingkan tubuhnya mengelak dari tusukan
yang bertubi-tubi.
Suci....!! Cui Leng yang sudah
naik ke darat dan mengenakan pakaian menjerit namun Liang Bi tidak peduli terus
mengejar dan menusuk ke arah tubuh yang bergulingan itu. Makin panas hatinya
karena tusukannya tidak pernah mengenai orang yang dibencinya.
Tiba-tiba Suma Hoat tertawa
dan ketika kembali Liang Bi menusuk, ia bergul ing dan tiba-tiba, pada saat
ujung pedang Liang Bi menyentuh tanah, tubuh
Suma Hoat mencelat ke atas dan
tahu-tahu ia telah memeluk tubuh Liang Bi, meringkus tubuh itu dengan
melingkarkan kedua lengan menelikung lengan gadis itu. Liang Bi menjerit ngeri
ketika merasa betapa tubuh yang telanjang bulat itu memeluknya begitu erat. Ia
menggigil dan merasa seluruh tubuh lemas maka ia pun roboh terguling bersama
Suma Hoat. Mereka roboh di atas tanah berumput, pedang terlepas dari tangan
Liang Bi dan gadis ini hampir pingsan ketika merasa betapa lehernya, pipinya
dan bibirnya dicium oleh pemuda yang telanjang bulat itu!
Aku cinta padamu, Nona. Aihh,
betapa cantik manis engkau....!! Suma Hoat berbisik-bisik.
Bunuh aku....! Bunuh saja
aku.... !! Liang Bi merintih dan akhirnya ia tak ingat diri, pingsan oleh rasa
jijik dan ngeri ketika merasa betapa tangan pemuda itu menggerayangi tubuhnya.
Kalau saja Suma Hoat tidak
ingat bahwa Bi adalah murid Siauw-lim-pai, dan terutama sekali tidak ingat atau
menjaga nama Cui Leng, tentu dia akan memperkosa atau membunuh Liang Bi di saat
dan di tempat itu juga. Akan tetapi dia tidak ingin menyusahkan Cui Leng yang
sudah bersikap baik kepadanya!
Kalau dia memperkosa Liang Bi,
gadis yang keras hati ini akhirnya tentu akan membunuh diri dan nama baik Cui
Leng akan ternoda. Dia harus mencari akal untuk menguasai hati dan tubuh Liang
Bi tanpa paksaan sehingga gadis itu akan berada dalam keadaan yang sama dengan
sumoinya sehingga mereka akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing. Kalau
sudah demikian, dia akan dapat meninggalkan mereka berdua sebagai seorang
sahabat dan bekas kekasih! Dan dia tidak perlu bermusuhan dengan pihak
Siauw-lim-pai yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan!
Melihat Liang Bi pingsan, Suma
Hoat melepaskannya, mengenakan pakaiannya dan berkata kepada Cui Leng yang tadi
menonton dengan penuh kekhawatiran. Sucimu keras hati, akan tetapi aku harus
menundukkannya, demi menjaga nama baikmu. Aku akan membuat dia suka melayaniku,
akan tetapi engkau harus membantuku. Semua ini kita lakukan demi kebaikanmu.!
Cui Leng tak dapat berkata
lain kecuali menarik napas panjang dan mengangguk. Diam-diam ia menyesali
perbuatannya, akan tetapi betapapun juga harus dia akui bahwa belum pernah
selama hidupnya ia merasakan kebahagiaan dan kesenangan seperti sekarang, dan
pula dia pun mengerti bahwa kalau sucinya sudah terjun pula seperti yang telah
dia lakukan, rahasianya tentu akan tertutup dan ia aman.
Ketika siuman dari pingsannya,
Liang Bi mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah rumah yang cukup bersih
dan, megah, terikat pada dipan kayu, terbelenggu kaki tangannya. Suma Hoat yang
berpakaian rapi, bersisir dan kelihatan tampan sekali duduk di pinggir
pembaringan, Cui Leng tidak tampak dan pemuda itu tersenyum memandangnya ketika
ia membuka mata.
Jahanam....!! Kata-kata yang
pertama keluar dari mulut Liang Bi adalah makian, namun hatinya agak lega bahwa
ia masih tetap berpakaian dan dirinya belum ternoda.
Suma Hoat tersenyum. Bi-moi,
engkau sungguh cantik sesuai dengan namamu. Aku cinta padamu, Bi-moi,! Suma
Hoat merayu dan mengusap dagu yang halus itu. Liang Bi membuang muka dengan
gerakan kasar.
Jangan sentuh aku! Lebih baik
kaubunuh saja!! teriaknya dan dua butir air mata meloncat keluar dari sepasang
matanya.
Aihh, sayang sekali kalau
dibunuh. Aku tidak akan membunuhmu, tidak akan mencelakakanmu. Aku cinta
padamu. Mengapa engkau berkeras kepala? Aku hanya ingin engkau membalas
cintaku! Bukankah sudah cocok sekali kalau seorang gadis jelita seperti engkau
dan seorang pemuda tampan seperti aku saling mencinta?! .
Phuih! Manusia terkutuk!
Jangan mengira bahwa semua wanita akan semudah itu kaupermainkan! Aku lebih
baik mati daripada melakukan perbuatan terkutuk!!
Akan tetapi Suma Hoat tertawa
dan dengan gerakan mesra mulailah ia membe lai dan menciumi. Liang Bi
meronta-ronta, memaki-maki dan menangis. Melihat betapa gadis itu sama sekali
tidak bergerak hatinya oleh cumbu rayunya, Suma Hoat menghentikan perbuatannya.
Hemm, engkau benar keras hati
dan keras kepala. Hendak kulihat sampai di mana kekerasanmu!! Pemuda yang kalau
berhadapan dengan wanita menjadi keji dan ganas seperti iblis itu lalu
mengambil secawan arak, yaitu obat perangsang yang sudah dipersiapkan.
Kauminumlah arak obat ini, manis!!
Tidak sudi! Engkau telah
menipu, menjatuhkan hati Sumoi yang lemah dengan tipuanmu. Jarum itu sama
sekali tidak mengandung racun berbahaya. Tanpa pengobatan pun akan lenyap
sendiri rasa gatal dan panas, namun engkau membohongi Sumoi. Engkau katakan
bahwa racun itu akan membuat muka menjadi bopeng, buktinya aku tidak apa-apa!
Aku tidak sudi minum obatmu yang terkutuk!! Liang Bi membuang muka ke samping.
Akan tetapi sambil tertawa
Suma Hoat menggunakan tangan kiri memegang dagu, dengan jari-jari tangannya
yang kuat ia memaksa mulut Liang Bi terbuka dan ia menuangkan isi cawan ke
dalam mulut dara itu. Liang Bi gelagapan terpaksa menelan arak obat itu sampai
habis. Ia terbatuk-batuk dan memaki-maki.
Binatang! Iblis! Aku bersumpah
untuk membunuhmu! Engkau telah menghina murid-murid Siauw-lim-pai!! ia
meronta-ronta dan memandang Suma Hoat yang tertawa-tawa penuh kebencian.
Suma Hoat hanya duduk dan
memandang sambil tersenyum. Tak lama kemudian obat itu mulai bekerja. Liang Bi
menjadi gelisah. Seluruh tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup kencang,
pandang matanya kabur, kepalanya pening. Makin lama makin panas rasanya
sehingga ia mengira bahwa tubuhnya telah kemasukan racun dan ia akan mati. Akan
tetapi ia tidak peduli. Yang amat mengganggu hatinya adalah perasaan aneh yang
mendorong-dorongnya, menimbulkan rangsangan birahi, membuat ia seolah-olah
dipaksa dari dalam untuk menyerah, untuk menerima pemuda itu yang kelihatan
amat tampan dan menggairahkan. Namun, karena pada dasarnya dia tidak sudi
melakukan perbuatan yang dianggapnya terkutuk itu, dia dapat melawan perasaan
aneh ini dan dia memejamkan mata agar tidak melihat wajah yang tampan dan
senyum manis itu.
Suci, mengapa Suci tidak mau
menurut! Hoat-koko orangnya amat baik, Suci. Aku.... aku cinta padanya dan
kalau Suci menurut, Suci pun akan jatuh cinta padanya.!!
Mendengar suara sumoinya ini,
Liang Bi membuka mata dan menoleh. Perempuan hina! Perempuan rendah! Orang
macam engkau ini seribu kali lebih baik membunuh diri saja, tidak ada harganya
untuk hidup!! .
Muka Cui Leng menjadi merah,
akan tetapi Suma Hoat sudah memeluknya sambil tertawa, Leng-moi, sucimu lebih
suka mati, lebih suka menderita. Biarlah, kita berdua lebih senang untuk
memilih hidup dan bersenang, ha-ha-ha!! Suma Hoat lalu menarik tangan Cui Leng
ke atas pembaringan dimana Liang Bi terbelenggu, kemudian ia mulai membelai Cui
Leng. Tanpa malu-malu, di depan mata Liang Bi dia mengajak Cui Leng bermain
cinta! Biarpun Cui Leng merasa sungkan dan malu sekali, akan tetapi karena dia
maklum bahwa perbuatan ini dilakukan oleh kekasihnya untuk menggerakkan hati
sucinya dan dia amat memerlukan sucinya ikut terjun dalam permainan itu yang
akan menyelamatkan rahasianya, maka ia pun menurut saja.
Dapat dibayangkan betapa
tersiksa rasa hati Liang Bi yang dipaksa menyaksikan adegan yang dianggap
terkutuk itu berlangsung di depan matanya! Dia memejamkan mata dan membuang
muka, namun telinganya masih mendengar. Ia tersiksa sekali karena rangsangan
didalam tubuhnya makin menghebat, nafsu berahinya menggelora dengan disuguhkannya
adegan yang amat dekat itu, dan ia memaksa batinnya sekuat tenaga untuk melawan
godaan yang datangnya dari dalam. Di luar kehendaknya, karena rangsangan yang
amat hebat, beberapa kali ia menoleh, membuang mata dan memandang mereka. Kalau
sudah tidak kuat, ia mengeluh dan memaksa kedua matanya untuk dipejamkan. Ia
merintih-rintih dan berkali-kali bersambat, Bunuhlah aku.... bunuhlah.... ahhh,
terkutuk kalian.... bunuhlah aku....!! Kemudian diakhiri dengan tangis
terisak-isak dengan air mata bercucuran di atas kedua pipinya.
Suma Hoat yang melakukan
perbuatan tak tahu malu itu dengan niat untuk menggerakkan, hati Liang Bi,
turun dari pembaringan, menghampiri Liang Bi dan menciumnya, mengusap air
matanya. Bimoi.... aku pun mencintamu seperti aku mencinta Leng-moi...., kau
menurutlah sayang dan kita bertiga hidup bahagia....! Jari tangannya membelai
dan hampir saja Liang Bi tidak kuat menahan, hampir runtuh batinnya. Namun dia
menggigit bibir dan menggeleng kepada dengan mata dipejamkan, tak kuasa
menjawab.
Suma Hoat menjadi jengkel.
Belum pernah ia menjumpai seorang gadis yang begini keras pertahanan hatinya.
Arak obatnya tidak mempan, juga adegan yang ia pamerkan tidak! Hemmm, kau
berkeras, ya? Kau lebih senang tersiksa? Baiklah!!
Ia lalu menotok tubuh Liang
Bi, melepaskan belenggunya dan memondong tubuhnya keluar dari rumah itu.
Hoat-ko....!! Cui Leng cepat
mengejar, khawatir karena menyangka bahwa pemuda itu hendak membunuh sucinya.
Marilah, Leng-moi. Aku ingin melihat sampai dimana keteguhan dan kekerasan
hatinya!!
Pemuda itu membawa tubuh Liang
Bi ke belakang rumah dan meletakkannya di atas rumput. Kemudian ia mengeluarkan
sulingnya dan meniup suling aneh itu. Cui Leng memandang penuh perhatian dengan
mata terbelalak. Terdengarlah bunyi lengking yang aneh, disusul bunyi
berkerasakan di antara rumpun alang-alang dan rumput. Tak lama kemudian,
muncullah tiga ekor ular hijau yang beracun, merayap mendekati Liang Bi!
Hoat-ko....!! Cui Leng
menjerit.
Akan tetapi Suma Hoat
memandang kepadanya sambil menggeleng kepala dan melanjutkan tiupan sulingnya.
Mengertilah Cui Leng bahwa kekasihnya hanya hendak. mertakut-nakuti Liang Bi.
Yang menyiksa dan
mengkhawatirkan hati Cui Leng adalah bahwa sucinya itu paling jijik dan takut
melihat ular. Kini ada tiga ekor ular merayap mendekatinya, tentu saja sucinya
menjadi takut setengah mati. Mata Liang Bi terbelalak, melirik ke arah
ular-ular itu dan wajahnya pucat sekali.
Suma Hoat menghentikan tiupan
sulingnya dan dengan sulingnya ia mencegah ular-ular itu datang terlalu dekat.
Bagaimana, Bi-moi? Kalau kau tidak mau menyerah, ular-ular ini akan menggigitmu
dan sekali gigit saja tubuhmu akan bengkak-bengkak!!
Liang -Bi sudah tertotok,,
tubuhnya lemas dan lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat berkata ketus, Bunuhlah aku!
Aku tidak sudi!!
Suma Hoat makin panasaran,
ditiupnya lagi sulingnya dan kini tiga ekor ular itu mendekati tubuh Lian Bi
yang menjadi makin ketakutan. Lidah-lidah ular yang merah dan bergerak-gerak
keluar masuk itu, taring yang putih mengkilap dan melengkung ke dalam, mata
yang merah dan liar, benar-benar membuat ia hampir pingsan saking takutnya.
Betapa mudahnya untuk mengucapkan kata-kata menyerah dan ia akan terbebas dari
ancaman ular-ular ini!
Dia menikmati cinta kasih
seperti yang diiihatnya tadi dinikmati sumoinya. Akan tetapi, dia mengeraskan
hatinya, bertekad lebih baik mati daripada menyerah dan terperosok ke dalam
pecomberan yang berupa perbuatan melanggar, susila yang terkutuk dan
menjijikkan. Tidak, dia tidak akan menyerah. Bagi seorang gagah, kehormatan
seribu kali lebih berharga daripada nyawa! Seribu kali lebih baik mati sebagai
seorang pendekar wanita yang bersih daripada hidup sebagai seorang perempuan
ternoda!
Bunuhlah! Aku tidak takut
mati!! Ia berteriak.
Sinar yang buas terpancar keluar
dari pandang mata Suma Hoat. Dia mulai marah dan dia lupa akan janjinya kepada
Cui Leng, maka kini dia meniup sulingnya dengan nada makin tinggi. Tiga ekor
ular itu mendesis-desis, siap menerjang dan menggigit tubuh wanita yang
terbujur di atas tanah.
Crat-crat-crat!!
Sinar putih menyilaukan mata
itu lenyap dan disitu telah berdiri dua orang wanita dengan pedang di tangan
dan tiga ekor ular tadi telah putus kepalanya, tinggal tubuhnya yang
menggeliat-geliat dalam sekarat.
Cui Leng dan Suma Hoat terkejut
sekali, akan tetapi dengan tenang Suma Hoat mengangkat kepala memandang. Yang
muncul dan membunuh tiga ekor ular dengan pedang itu adalah dua orang wanita
yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun, keduanya bersikap
gagah perkasa dan masih nampak cantik. Melihat persamaan wajah mereka, mudah
diduga bahwa mereka ini tentulah kakak beradik. Kini wanita yang lebih tua
menudingkan pedangnya kepada Suma Hoat dan membentak,
Penjahat keji, perbuatanmu
melampaui batas perikemanusiaan. Sekarang, setelah kami datang bersiaplah untuk
mati!!
Setelah berkata demikian,
tubuhnya mencelat ke depan menyerang Suma Hoat yang cepat menggunakan sulingnya
menangkis.
Dan engkau wanita kejam patut
mampus, juga!! teriak wanita ke dua yang juga cepat sekali gerakannya menerjang
Cui Leng. Terpaksa gadis, ini mencabut pedang menangkis.
Cringgg...., tranggg....!!
Pertemuan pedang kedua orang
wanita gagah itu dengan suling Suma Hoat dan pedang Cui Leng menimbulkan, bunga
api yang muncrat menyilaukan mata. Wanita yang lebih tua terkejut bukan main
karena tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, tanda bahwa pemuda tampan
yang memegang suling itu memiliki sin-kang yang amat kuat.
Adapun wanita ke dua juga
merasa bahwa dara cantik yang menjadi teman pemuda itu pun memiliki gerakan
yang tangkas dan kuat. Namun keduanya tidak gentar dan cepat menyerang dengan
dahsyat.
Namun, Suma Hoat yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi dapat mengimbangi permainan pedang lawan sehingga mereka
telah bertanding dengan seru.
Diam-diam ia kagum karena
ternyata wanita baju hijau yang usianya sekitar empat puluh tahun ini memiliki
kepandaian yang luar biasa. Maka dia pun cepat melolos pedangnya dan balas
menyerang.
Di lain pihak, Cui Leng
kewalahan menghadapi lawannya yang lihai. Terpaksa Cui Leng mengeluarkan
seluruh ilmu kepandaiannya memainkan ilmu pedang Siauw-lim-pai yang mempunyai
daya tahan kokoh kuat.
Tahan....!! Tiba-tiba wanita
yang melawan Cui Leng berteriak dan melompat mundur diikuti encinya. Wanita ini
memandang Cui Leng dan bertanya, Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai? Ilmu
pedangmu adalah ilmu pedang Siauw-lim-pai!!
Cui Leng menjadi bingung,
tidak tahu harus menjawab bagaimana. Kalau tidak dalam keadaan seperti
sekarang, tentu tanpa ragu-ragu ia akan mengaku. Akan tetapi dalam keadaan
seperti itu, ingin ia menyembunyikan kenyataan bahwa dia adalah murid
Siauw-lim-pai. Akan tetapi Suma Hoat sudah mendahuluinya, tertawa sambil
memandang kedua wanita itu.
Tidak salah dugaan Ji-wi
Toanio yang cantik dan gagah! Dia dan sucinya itu adalah murid-murid
Siauw-lim-pai, dan aku adalah sahabatnya. Kami bertiga sedang main-main,
mengapa Ji-wi membunuh ular-ularku dan menyerang kami?!
Kedua orang wanita itu saling
pandang, kelihatan terkejut sekali dan terheran. Tanpa mempedulikan ucapan Suma
Hoat yang main-main, Juga panggilan dengan embel-embel
yang cantik dan gagah! yang
pada saat lain tentu akan menimbulkan kemarahan mereka, kini wanita tertua
menghadapi Cui Leng dan bertanya.
Engkau.... dan sucimu....
apakah wakil-wakil dari Siauw-lim-pai untuk bertemu dengan Beng-kauw?!
Cui Leng menjadi makin
bingung. Dia tidak tahu siapa kedua orang wanita itu, akan tetapi dia menduga
bahwa mereka tentulah orang-orang Beng-kauw, maka dia menjadi makin bingung.
Aku.... aku....! Sukar sekali
dia melanjutkan kata-katanya.
Kembali Ji-wi Toanio benar.
Adik Kim Cui Leng dan adik Liang Bi ini adalah wakil Siauw-lim-pai. Ji-wi
siapakah? Biarlah aku mewakili kedua adikku tercinta ini untuk berunding. Mari
kita ke rumah kami.! Suma Hoat berkata dan senyumnya amat menarik.
Aihhh...., bagaimana ini?
Wanita yang lebih muda, berpakaian biru berkata dan kelihatan bingung
Hui-moi, mari kita pergi! kata
wanita baju hijau yang lebih tua. Adiknya mengangguk dan keduanya berkelebat
pergi meninggalkan tempat itu.
Cui Leng membanting-bantingkan
kakinya. Celaka, Koko. Kenapa Koko mengaku bahwa kami berdua adalah orang-orang
Siauw-lim-pai? Kita tidak tahu mereka itu siapa!!
Suma Hoat tertawa, Takut apa,
Moi moi? Ada aku di sini, mengapa takut?!
Cui Leng memandang sucinya
yang masih rebah telentang, dan ternyata sucinya telah pingsan saking ngerinya
tadi ketika akan digigit ular-ular itu.
Wah, bagaimana ini? Kau belum
juga berhasil dengan suci, dan sekarang ada dua orang wanita itu. Rahasia tentu
akan terbongkar....!!
Ha-ha-ha, jangan khawatir,
Sucimu takut ular, aku masih ada jalan lain.! Setelah berkata demikian, Suma
Hoat memondong tubuh Liang Bi dan kembali ke dalam rumah diikuti oleh Cui Leng
yang amat gelisah hatinya dan menduga-duga siapa gerangan kedua orang wanita
yang lihai itu. Mereka itu lihai dan kalau mereka bertempur terus, belum tentu
dia dan Suma Hoat akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi mengapa mereka
berdua tadi terus lari pergi setelah mendengar bahwa dia adalah murid dan wakil
Siauw-lim-pai? Siapakah mereka?
Ya, siapakah mereka? Dua orang
wanita itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang selama belasan tahun bersembunyi
di Ta-liang-san. Mereka adalah cucu dari pendiri Beng-kauw yang selama hampir
dua puluh tahun bersembunyi di Ta-liang-san, menggembleng diri dengan ilmu
silat di bawah pimpinan paman kakek mereka, yaitu Kauw Bian Cinjin seorang
tokoh besar Beng-kauw. Kakak beradik ini bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang
Hui, dan mereka ini bukan lain adalah kedua orang kakak dari Kam Han Ki! Mereka
adalah puteri dari Kam Bu Sin adik tiri Suling Emas, sedangkan ibu mereka
adalah Liu Hwe, keturunan ketua Beng-kauw (baca cerita MUTIARA HITAM)!
Kedua orang kakak beradik ini
tadinya sudah menikah dengan dua orang pendekar ternama di selatan, akan tetapi
kedua suami mereka telah gugur ketika berjuang melawan musuh-musuh Beng-kauw.
Mereka belum mempunyai keturunan dan selama ini hidup sebagai jandajanda yang
tekun melatih diri di puncak Ta-liang-san dan menanti kesempatan untuk
membangun kembali Beng-kauw yang sudah hancur. Mereka merasa prihatin sekali
ketika anak buah Beng-kauw kini jatuh ke dalam cengkeraman seorang pendeta dari
Tibet yang amat lihai dan yang membangun sarang di Pegunungan Heng-toan di
lembah Sungai Ci-sha.
Pendeta Tibet ini berjuluk
Hoat Bhok Lama, seorang pendeta berjubah merah yang amat lihai dan yang
melanjutkan perkumpulan Agama Beng-kauw dan memaksa bekas anak buah Beng-kauw
menjadi anak buahnya. Akan tetapi, dengan pimpinan di tangannya, Beng-kauw
diselewengkan dan dia tidak segan melakukan perbuatan yang jahat. Namun karena
lihainya, segala usaha keturunan pendiri Beng-kauw mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu
Gan, yaitu kedua orang wanita she Kam itu, selalu gagal. Bahkan suami mereka
pun tewas di tangan Hoat Bhok Lama! Juga Kauw Bian Cinjin yang sudah amat tua,
paman kakek dan juga mereka, tewas di tangan Hoat Bhok Lama!
Demikianlah, dalam usaha
mereka untuk menentang, Hoat Bhok Lama, bukan semata-mata membalas dendam
kematian suami dan keluarga mereka, melainkan dalam usaha mereka untuk merampas
kembali Beng-kauw dan membersihkan perkumpulan itu dari penyelewengan, Kam Sian
Kui dan Kam Siang Hui menghubungi Siauw-lim-pai untuk mohon pertolongan Ketua
Siauw-lim-pai.
Tentu saja. mereka segera
turun tangan ketika menyaksikan seorang gadis disiksa dan akan dibunuh dengan
ular-ular beracun. Akan tetapi ketika mendengar bahwa gadis-gadis itu adalah
murid-murid Siauw-lim-pai yang katanya akan dikirim oleh Ketua Siauw-lim-pai
sebagai wakil, dan yang kini malah membantu pemuda tampan itu, kedua orang
kakak beradik ini menjadi segan mencampuri. Mereka mengharapkan bantuan
Siauw-lim-pai, kalau mereka kini bentrok dengan murid Siauw-lim-pai, apa
jadinya? Maka mereka bergegas pergi mencari Ketua Siauw-lim-pai untuk
melaporkan peristiwa yang mereka lihat di hutan itu.
Kam Siang Kui dan Kam Siang
Hui mendengar akan nasib buruk yang menimpa keluarga keturunan Suling Emas,
pek-hu (uwa) mereka. Akan tetapi mereka hanya dapat menangis mendengar akan
kematian Raja Talibu, Mutiara Hitam dan Kam Liong yang menjadi saudara-saudara
misan mereka. Mereka tidak berdaya berbuat sesuatu karena mereka sendiri pun
mengalami nasib yang tidak baik. Suami mereka gugur, Beng-kauw dirampas orang
dan diselewengkan.
Mereka tidak dapat
mengharapkan bantuan saudara-saudara lain karena mereka menganggap bahwa adik
mereka, Kam Han Ki, telah tewas. Mereka tidak tahu bahwa adik mereka itu masih
hidup. Maka satu-satunya harapan mereka adalah Siauw-lim-pai yang mereka tahu
memiliki banyak orang pandai dan yang selalu siap membela kebenaran. Apalagi
karena perampas Beng-kauw adalah seorang pendeta, sedikit banyak hal ini akan
mencemarkan pula nama Siauw-lim-pai yang menjunjung tinggi Agama Buddha.
Demikianlah, mereka bergegas
mencari ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, untuk melaporkan dan sekalian
untuk berunding dengan ketua itu sendiri mengenai urusan mereka menghadapi Hoat
Bhok Lama yang amat lihai. Kebetulan sekali bahwa pada waktu itu, Kian Ti
Hosiang berada di kota Cun-ek, di kaki Pegunungan Ciung-lai, tidak jauh dari
situ di dalam sebuah kuil cabang Siauw-lim-pai.
Kian Ti Hosiang menerima
kedatangan mereka dan dengan sabar dan tenang mendengarkan penuturan mereka.
Biarpun di dalam hatinya hwesio yang berwajah tenang ini terkejut sekali
mendengar akan keadaan kedua orang muridnya, namun dengan sikap tenang ia
berkata,
Omitohud...., Ji-wi Toanio
telah bertindak tepat dengan memberitahukan kepada pinceng. Mereka masih muda
dan belum berpengalaman. Pinceng tak dapat menduga apakah yang terjadi dan
siapa laki-laki muda itu. Biarlah pinceng sendiri yang akan menengok mereka.!
Sebaiknya begitu Locianpwe.
Mari kami antarkan Locianpwe mengunjungi tempat itu,! kata Kam Siang Kui yang
merasa tidak enak sekali karena dia menduga bahwa tentu dua orang murid
Siauw-lim-pai itu jatuh ke tangan seorang yang amat jahat dan keji, penjahat
berwajah tampan dan bersikap ramah yang lihai itu.
Biarpun Kian Ti Hosiang sudah
tua, namun betapapun dua orang tokoh Bengkauw itu menggunakan seluruh
kepandaian berlari cepat, hwesio yang keliha tan melangkah seenaknya itu selalu
berada di samping mereka. Hal ini menlmbulkan rasa hormat dan kagum dalam hati
mereka dan diam-diam mereka harus mengakui bahwa dalam hal ilmu lari cepat,
biar mendiang Kauw Bian Cinjin guru dan paman kakek mereka sendiri tidak akan
dapat menandingi Ketua Siauw-lim-pai ini.
Di dalam perjalanan ini, kedua
orang wanita tokoh Beng-kauw itu menceritakan keadaan Beng-kauw dan kembali
mereka mengajukan permohonan agar Ketua Siauw-lim-pai itu suka membantu mereka
untuk menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Kian Ti Hosiang mendengarkan dengan
penuh kesabaran, kemudian menjawab bahwa urusan itu akan mereka bicarakan
setelah perkara kedua muridnya selesai, dan akan dirundingkan dengan para
pemimpin Siauw-lim-pai.
Saya rasa bahwa Locianpwe
seorang saja yang akan mampu menolong kami,! Kam Siang Kui berkata penuh
permohonan. Lama itu lihai bukan main, dan kiranya hanya Locianpwe seorang di
dunia ini yang akan dapat mengalahkannya.!
Ketua Siauw-lim-pai itu
menghela napas panjang. Kita lihat sajalah nanti, Toanio. Pinceng sudah lama
menghentikan pendirian bahwa kejahatan harus diakhiri dengan kekerasan dan
pernbunuhan. Pinceng tidak tahu siapakah yang lebih jahat antara penjahat yang
dibunuh dengan orang yang membunuhnya!!
Mendengar ucapan ini, Kam
Siang Kui dan Kam Siang Hui saling pandang penuh keheranan dan tidak berani
lagi bicara tentang permohonan bantuan sebelum hwesio ini selesai menolong
murid-muridnya. Perjalanan dilakukan dengan cepat dan sunyi, seolah-olah mereka
bertiga tenggelam dalam lamunan masing-masing yang dibangkitkan oleh ucapan
terakhir hwesio itu.
***
Liang Bi terikat kaki
tangannya pada sebatang tiang di ruangan rumah bekas kepala rampok. Ia
memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Suma Hoat dan Kim Cui Leng.
Dilihatnya Suma Hoat yang tersenyum-senyum meloncat pergi meninggalkannya
setelah selesai mengikat tubuhnya dan meno tok jalan darah di pundaknya
sehingga tubuhnya menjadi lemas dan tidak mampu menggunakan sin-kang untuk
melepaskan diri.
Cui Leng memandang kepada
sucinya dengan sinar mata penuh penyesalan dan kekhawatiran. Kemudian ia
melangkah maju, membujuk, Suci, mengapa engkau berkeras? Suci, Hoat-koko
benar-benar mencinta kita, dia tidak bermaksud jahat. Dia mencinta kita dan dia
baik sekali. Suci, di dunia ini sukarlah berternu dengan seorang pria seperti
dia. Tampan, berilmu tinggi, menarik hati dan.... dan.... engkau tentu akan
merasa bahagia sekali kalau suka melayani dan membalas cinta kasihnya. Suci, ke
mana-mana kita berdua, kita mengalami suka-duka berdua, mengalami bahaya maut
berdua. Sekarang...., aku menikmati kebahagiaan, aku pun ingin agar kita
menikmatinya berdua....!
Cihh! Perempuan rendah! Cui
Leng, tidak malukah engkau? Apakah sudah hilang harga dirimu? Engkau menyeret
nama dan kehormatanmu ke pecomberan! Aihhh, bagaimana engkau sampai dapat
terperosok serendah ini?!
Suci, apakah artinya malu?
Kalau kita suka melakukan suatu perbuatan tanpa merugikan orang lain, mengapa
mesti malu? Pula, malu kepada siapakah? Tidak ada orang lain yang akan
mengetahuinya! Suci, kausambutlah Hoat-koko, dan kita bertiga akan hidup
bahagia, dan dengan kita bertiga menjadi satu, kita takut kepada siapakah?
Hoat-koko amat lihai, aku sudah membuktikan betapa ia memiliki sin-kang yang
amat kuat, memiliki pukulan-pukulan lihai seperti Tiat-ciang-kang dan memiliki
ilmu aneh-aneh. Kalau kita berbaik kepadanya kita dapat belajar ilmu dari dia,
alangkah senangnya!!
Sumoi! Aku masih dapat
memaafkan engkau karena kau telah terbujuk. Kaulepaskan aku, mari kita pergi
dari tempat terkutuk ini, Sumoi. Marilah, selagi dia tidak ada. Engkau belum
tersesat terlalu jauh....!
Akan tetapi Cui Leng
menggeleng kepala. Tidak mungkin, Suci. Aku tidak dapat mundur lagi. Kalau
engkau suka melayaninya seperti yang telah kulakukan dan kita menikmati
kebahagiaan bersama, setelah itu.... tentu Hoat-koko tidak akan mengganggumu
lagi dan kita dapat hidup bersama dia atau meninggalkannya dengan hati
aman....!
Liang Bi membelalakkan
matanya. Gadis ini tidak mengerti mengapa sumoinya bersikeras minta agar dia
melayani niat keji pemuda itu!
Senja telah mendatang ketika
dari jauh terdengar suara suling yang membuat bulu tengkuk Liang Bi berdiri
meremang. Dia merasa ngeri karena teringat bahwa suara itu adalah suara suling
Si Pemuda yang pandai menguasai ular dengan sulingnya. Padahal, di antara
segala mahluk di dunia ini, ular adalah binatang yang paling ia takuti. Sejak
kecil ia merasa jijik dan takut kepada ular sehingga biarpun kini telah menjadi
seorang pendekar wanita yang lihai, tetap saja dia merasa jijik dan ngeri kalau
melihat ular.
Wajahnya menjadi pucat dan
napasnya terengah. Cui Leng juga mendengar suara ini dan ia melangkah mundur,
memandang dengan sinar mata aneh dan bibirnya tersenyum.
Engkau mencari sengsara sendiri,
Suci. Ingin aku melihat apakah engkau mampu melawan Hoat-koko!!
Makin pucat wajah Liang Bi
ketika ia melihat Suma Hoat datang berjalan perlahan sambil meniup sulingnya
dan.... di depan pemuda itu tampak seekor ular besar dan panjang merayap maju
mengerikan! Ular ini lebih dari dua meter panjangnya, sebesar betis orang,
kulitnya mengkilap berwarna hijau kekuningan, matanya merah. Setelah tiba di
ruangan itu, Suma Hoat menghentikan tiupannya dan ular itu pun berhenti,
mengangkat kepala menoleh ke kanan kiri seperti bingung mengapa suara suling
itu lenyap.
Bi-moi, bagaimana? Apakah
engkau masih keras kepala? Sekali lagi kuminta engkau suka menerima cintaku
seperti yang dilakukan sumoimu, dan kita bertiga hidup bahagia.!
Tidak sudi. Lebih baik mati!!
Begitukah? Hemm.... biarlah
ularku yang akan menjawab pertanyaanmu ini. Kalau engkau sudah merasa cukup dan
tidak keras kepala lagi, katakan saja bahwa engkau menyerah. Akan tetapi kalau
engkau lebih suka memilih mati, engkau akan mati dengan nyawa masih penuh rasa
takut dan jijik sehingga rohmu akan berkeliaran dikejar ketakutan hebat!! Suma
Hoat lalu meniup sulingnya. Terdengarlah suara melengking aneh dan ular itu
mengangkat tubuh atas tinggi-tinggi, kemudian berlenggak-lenggok seperti menari
dan perlahan-lahan merayap mendekati kaki Liang Bi dengan lidah bergerak-gerak
keluar masuk mulutnya yang merah.
Liang Bi memandang ular itu
dengan wajah pucat dan mata terbelalak, bibirnya menggigil dan dadanya
bergelombang. Rasa jijik dan takut hampir membuat ia menjerit. Ia berusaha
menguatkan hatinya, akan tetapi ketika ular itu mulai merayap dari kakinya
terus ke atas melalui betisnya, pahanya, perutnya.... Liang Bi hampir pingsan.
Dia hanya mengharapkan ular itu menggigitnya agar dia lekas mati. Bagi seorang
gagah seperti dia kematian bukan apa-apa dan akan dihadapinya dengan mata
terbuka. Akan tetapi, bukan kematian yang membuat ia takut kepada ular,
melainkan rasa geli dan jijik.
Namun celaka baginya, Suma
Hoat meniup sulingnya terus dan ular itu sama sekali tidak menggigitnya,
melainkan melingkari tubuhnya dengan kuat. Liang Bi merasa betapa tubuh ular
itu berdenyut-denyut dingin sekali, licin dan menggelikan, menjijikkan,
kemudian kepala ular itu bergerak-gerak di depan mukanya, lidahnya keluar dan
menjilat-jilat! Liang Bi memejamkan mata, membuang muka akan tetapi ia masih
merasa betapa lidah ular itu menjilat-jilat mukanya, pipinya, bibirnya,
lehernya. Ia bergidik. Ular itu seolah-olah sedang menciumnya penuh nafsu! Ia
muak, jijik dan seluruh tubuhnya menggigil.
Bunuh aku.... iihhhh.... bunuh
aku.... uhu-hu-huu.... suruh dia pergi....!! Akhirnya ia merintih.
Akan tetapi Suma Hoat tidak
menghentikan tiupan sulingnya dan si ular terus menggerayangi muka dan leher
Lian Bi dengan moncongnya yang menjijikkan. Liang Bi menggeliat-geliat, hampir
pingsan. Kalau dia pingsan atau mati seperti yang ia harapkan dia akan
terbebas. Akan tetapi celaka, dia masih sadar dan harus merasakan penderitaan
yang amat menyiksa hatinya. Kalau dia disiksa dengan rasa nyeri, disayat
sedikit demi sedikit kulit dagingnya, dia akan menghadapinya dengan tabah. Akan
tetapi perasaan jijik ini benar-benar hampir tidak kuat ia menahannya.
Suci, menyerahlah....!!
Terdengar suara Cui Leng membujuk. Gadis ini berdiri di dekat meja tinggi, menaruh
lengan kiri di atas meja, lengan kanan bertolak pinggang, menonton pertunjukan
itu dengan hati ngeri dan iba kepada sucinya. Akan tetapi, karena ia maklum
bahwa sebelum sucinya menyerah dia takkan pernah merasa aman hatinya, maka ia
menguatkan hatanya. Dia pun tidak menjadi benci kepada Suma Hoat yang menyiksa
sucinya seperti itu, karena dia menganggap bahwa Suma Hoat melakukan itu untuk
membujuk sucinya agar suka menerima cintanya, dan Si Pemuda ini terpaksa
melakukan hal ini atas permintaannya, dengan maksud untuk menyelamatkannya!
Yah, apa saja yang takkan
dilakukan oleh mahluk yang disebut manusia kalau dia sudah tercengkeram oleh
nafsu! Sikap yang diperlihatkan Cui Leng hanyalah sebuah di antara sikap-sikap
keji yang banyak dilakukan wanita yang sudah mabok oleh nafsu berahi dan
didasari rasa iba diri, diselimuti oleh rasa ingin mendapatkan kawan kalau
dirinya sendiri terperosok! Sifat buruk ini, sebuah di antara banyak sekali
sifat buruk lain yang timbul dari sayang diri dan iba diri, hampir mencengkeram
watak semua manusia, merupakan semacam penyakit yang sukar diobati, yaitu sifat
yang selalu ingin minta kawan dalam derita! Dari anak-anak pun sudah mulai
tampak gejala sifat buruk ini. Seorang anak kecil yang jatuh dan menangis, akan
berhenti tangisnya, bahkan bisa tertawa kalau kita pura-pura jatuh pula di
dekatnya dan mengeluh kesakitan! Menyaksikan penderitaan orang lain yang lebih
besar merupakan semacam hiburan! bagi seorang yang sedang menderita. Memang
amatlah buruk sekali sifat ini, namun tanpa disadarinya, penyakit! ini telah
diderita oleh banyak sekali manusia di dunia ini.
Perbuatan Suma Hoat amat keji.
Tentu saja hal ini tidak terasa olehnya sendiri. Perbuatan-perbuatannya
terhadap wanita timbul dari rasa bencinya terhadap wanita, dan dia hendak
melampiaskan rasa bencinya itu dengan menggunakan nafsu berahinya untuk merusak
wanita sebanyak mungkin! Karena bencinya timbul sifat kejam dan dia merasa
gembira melihat korbannya tersiksa, terutama sekali tersiksa batinnya! Dia
menganggap bahwa batinnya sendiri sudah hancur lebur karena wanita! Bahkan,
melihat wanita tersiksa seperti yang dialami Liang Bi sekarang ini membuat
nafsu berahinya berkobar! Makin hebat seorang wanita tersiksa, makin
menggairahkan bagi Jai-hwa-sian, Si Dewa Pemetik Bunga ini!
Tubuh Liang Bi yang
menggeliat-geliat menjadi makin lemah dan ketika suara suling melengking makin
tinggi, tiba-tiba ular itu berubah gerakannya kini kepalanya mulai
menyusup-nyusup dan menyelinap di balik baju bagian dada Liang Bi!
Iihhhh.... ouhhhh....! Liang
Bi merintih-rintih dan seluruh tubuhnya menggigil ketika kepala ular itu
menyusup makin dalam. Aduuuuhhhh.... tolongggg.... ihhhh.... ambil dia....
ambil binatang ini.... uhu-hu-huuuu....!!
Engkau menyerah?! Suma Hoat
bertanya.
Dengan tubuh menggigil, air
mata bercucuran dan mata dipejamkan Liang Bi mengangguk lemah. ....aku
menyerah.... hu-hu-huuuuhh....!
Suma Hoat melompat ke dekat,
sekali sambar ia mengambil ular itu dan melemparkannya jauh ke luar, ke kebun
di mana ular yang ketakutan itu cepat menyusup di antara rumput. Sambil
tersenyum-senyum Suma Hoat melepaskan belenggu kaki tangan Liang Bi,
membebaskan totokannya. Akan tetapi Liang Bi tidak kuat berdiri, tubuhnya
menggigil dan ia tentu roboh kalau tidak cepat dipondong oleh Suma Hoat. Liang
Bi menangis ketika Suma Hoat memondongnya masuk ke dalam kamar.
Cui Leng berdiri dengan wajah
agak pucat. Ia merasa ngeri juga menyaksikan penderitaan Liang Bi tadi. Akan
tetapi kini hatinya lega dan ia berdiri tak bergerak, mendengarkan isak tangis
Liang Bi yang terdengar dari dalam kamar. Cui Leng menarik napas panjang. Sukar
dia mengatakan apakah tarikan napas itu saking lega hatinya ataukah karena
menyesal membayangkan betapa pria yang dicintanya itu kini direbut lain wanita!
Perlahan ia melangkah memasuki kamarnya sendiri dan semalam itu ia mendengar
isak tangis Liang Bi yang tidak pernah berhenti. Sambil mendengarkan isak
tangis itu, Cui Leng rebah telentang, matanya menatap langit-langit dan tanpa
disadarinya, dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Hatinya lega, karena
sekarang dia mendapat kawan!
Sekarang rahasianya yang
mencemaskan hati akan terlindung dan aman. Akan tetapi senangkah dia?
Pertanyaan yang takkan dapat ia jawab karena dua butir ait matanya menjadi
bukti akan kebimbangan hatinya.
Mereka bertiga berjalan-jalan
di antara bunga-bunga yang tumbuh di belakang rumah, Suma Hoat
tersenyum-senyum, lengan kiri melingkari pinggang Liang Bi, lengan kanan
melingkari pinggang Cui Leng. Sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau ia menoleh
ke kanan kiri untuk mencium pipi kedua orang kekasihnya. Cui Leng juga berseri
wajahnya dan pipinya kemerahan. Akan tetapi Liang Bi tidak tampak berseri.
Wajahnya pucat rambutnya kusut dan pandang matanya redup, sayu merenung ke
depan seolah-olah dia hidup di alam mimpi.
Suma Hoat mengajak dua orang
wanita itu duduk di antara bunga-bunga. Dipetiknya dua kuntum bunga dan dengan
mesra dipasangkan bunga-bunga itu di rambut Liang Bi dan Cui Leng.
Ahh, kalian benar-benar cantik
jelita!! katanya sambil mencium bibir Liang Bi, kemudian Cui Leng. Liang Bi
mandah saja, tidak seperti Cui Leng yang membalas ciuman itu dengan mesra.
Koko, sekarang tentu hatimu
amat berbahagia, bukan?! Tiba-tiba Cui Leng bertanya, tangannya dengan mesra
membelai dagu pemuda itu.
Wajah Suma Hoat yang berseri
itu tiba-tiba lenyap sinarnya. Ia merenung dan bibirnya bergerak perlahan.
Bahagia? Aku berbahagia....?! Ia menghela napas dan mengeluarkan sulingnya dari
pinggang. Melihat ini, wajah Liang Bi menjadi makin pucat.
Jangan....! Jangan panggil
ular....! Ia merintih.
Suma Hoat merangkulnya,
mencubit dagunya. Bi-moi, kekasihku tercinta. Jangan takut, masa aku mau
menakutkan engkau lagi?! Dia lalu meniup sulingnya dan terdengarlah tiupan lagu
yang merayu-rayu, lagu yang membuat kedua orang gadis itu terpesona dan
perlahan-lahan bertitiklah air mata dari sepasang mata mereka. Lagu itu
terdengar begitu sedih, menyayat hati, seolah-olah dalam tiupan itu mereka
mendengar hati peniupnya menjerit-jerit dan menangis penuh duka. Tak lama kemudian,
suara suling berhenti dan Suma Hoat yang masih termenung, seperti tidak sadar
akan keadaan sekelilingnya, memandang sinar matahari pagi yang menerobos di
antara celah-celah daun dan bunga, kemudian dia membuka mulut bernyanyi.
Bahagia, siapakah gerangan
Anda?
Seribu kali bayanganmu
menggapai
kuraih kupeluk mesra
hanya mendapatkan kenyataan
hampa
bahwa semua bayanganmu itu
bukanlah anda!
serasa tampak anda mengintai
di balik kelopak bunga
mengharum
menunggang cahaya matahari
pagi
di balik senyum kekasih jelita
di antara tawa sahabat-sahabat
di dalam gelak anak-anak
di antara tumpukan harta benda
di atas kedudukan mulia
di balik kemasyhuran nama
namun....
setelah didekap dalam pelukan
semua itu pun hampa
bukan anda?
duhai kebahagiaan
siapa dan di mana gerangan
anda?
Belum habis gema suara
nyanyian Suma Hoat yang keluar dengan suara gemetar dan selagi kedua orang
gadis itu masih terpesona, tiba-tiba terdengar suara yang parau dan lirih namun
jelas seolah-olah suara itu diucapkan oleh mulut yang dekat dengan telinga
mereka, mulut yang tak tampak.
Mempunyai mata seperti buta
sudah ada dicari-cari keluar
menjauh
siapa bisa memisahkan bayangan
dari badan?
yang mencari takkan
mendapatkan
yang mendapatkan takkan
memiliki
yang memiliki akan kehilangan
yang mengharap akan kecewa
tanpa dicari, tanpa diharap
tanpa dimiliki, tanpa pamrih
hanya membuka mata ke dalam
sadar bahwa semua telah ada
setelah bersatu dengan keadaan
apa lagi yang dicari?
Suma Hoat meloncat bangun,
suling di tangannya, wajahnya berubah tegang karena kata-kata parau itu
seolah-olah merupakan ujung pedang yang menusuk hatinya. Kedua orang gadis itu
pun bangkit berdiri karena sebagai ahli silat tingkat tinggi mereka maklum
bahwa ada orang pandai telah mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara
Dari Jauh) yang hebat sekali. Apalagi karena suara itu tidak asing bagi kedua
orang dara Siauw-lim-pai sehingga mereka memandang ke depan dengan wajah agak
pucat.
Kian Ti Hosiang nampak keluar
dengan langkah tenang diikuti Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui. Melihat guru
mereka seperti yang telah mereka duga dan khawatirkan ketika mendengar suara
tadi, Liang Bi menjerit dan berlari menghampiri hwesio itu, diikuti oleh Cui
Leng.
Suhu....!! Liang Bi menangis
terisak-isak di depan kaki gurunya sedangkan Cui Leng menunduk dengan muka
pucat.
Omitohud....!! Kian Ti Hosiang
menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang berulang-ulang. Sekali
pandang saja dia sudah maklum bencana apa yang menimpa kedua orang muridnya
itu. Kemudian perlahan ia mengangkat kepala memandang Suma Hoat yang berdiri
tegak dengan sikap tenang. Sejenak mereka bertemu pandang dan Kian Ti Hosiang
lalu berkata, Sayang....! Sungguh sayang sekali....! Orang muda, kalau pinceng
tidak salah sangka, bukankah engkau ini yang dijuluki orang Jai-hwa-sian?!
Suma Hoat terkejut sekali,
jantungnya berdebar. Tadinya dia hendak merahasiakan julukannya dari kedua
orang gadis itu, dia mendapatkan sesuatu yang aneh, yang tak pernah ia rasai
selama petualangannya dengan ratusan orang wanita. Dia merasa enggan dan sayang
meninggalkan mereka, bahkan dia akan berpikir-pikir dulu untuk mencelakakan
mereka. Agaknya, kalau keadaan mengijinkan, dia bersedia menghentikan
petualangannya dan hendak mencoba untuk belajar mencinta sungguh-sungguh dan
berusaha menjangkau kebahagiaan bersama kedua orang kekasihnya itu. Akan
tetapi, siapa kira kini hwesio itu begitu bertemu telah mengenalnya! Akan
tetapi, dia adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, maka ia tersenyum
dan menjura sambil berkata,
Tidak salah dugaan Locianpwe.
Saya adalah Suma Hoat yang dijuluki Jai-hwa-sian dan sungguh merupakan
kehormatan besar berjumpa dengan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang
sakti!!
Oohhhh....!! Seruan ini keluar
dari mulut Liang Bi dan Cui Leng. Mereka berdua terkejut setengah mati ketika
mendengar bahwa pria yang mereka serahi tubuh dan hati mereka kiranya adalah
Jai-hwa-sian, penjahat cabul tukang memperkosa yang dimusuhi semua orang gagah
di dunia! Liang Bi terguling roboh pingsan di depan kaki gurunya, sedangkan Cui
Leng memeluk sucinya sambil menangis tersedu-sedu dengan hati seperti
disayat-sayat karena dia merasa bahwa dialah yang mendatangkan malapetaka besar
itu!
Kau.... kau.... Suma
Hoat....?! Kam Siang Kui juga berkata dengan mata terbelalak, kemudian dia
saling pandang dengan adiknya.
Kian Ti Hosiang melangkahi
tubuh Liang Bi dan maju menghampiri Suma Hoat. Matanya bersinar tajam, namun
wajahnya penuh kesabaran ketika dia berkata,
Orang muda, pinceng mengenal
baik keluargamu yang besar. Pinceng mengenal siapa Panglima Suma Kiat yang
menjadi ayahmu, maka pinceng mengerti bahwa di dalam tubuhmu masih mengalir
darah pendekar-pendekar yang amat pinceng kagumi. Juga pinceng mendengar betapa
dalam sepak terjangmu, engkau merupakan seorang pendekar yang budiman. Akan
tetapi sayang.... nafsu telah merusak hatimu sehingga engkau menjadi kejam
terhadap wanita, engkau memancing kenikmatan dengan cara merusak wanita lahir
batin! Betapa sayang seorang yang berjiwa pendekar seperti nenek moyang dari
nenekmu, terusak oleh jiwa sesat warisan nenek moyang nenekmu keluarga Suma!!
Tiba-tiba Suma Hoat tertawa
bergelak, suara ketawa yang mirip tangis dan matanya beringas memandang Kian Ti
Hosiang, telunjuknya menuding,
Kian Ti Hosiang! Engkau tahu
satu tidak tahu dua! Engkau tahu ekornya tidak mengenal kepalanya! Aku merusak
wanita lahir batin? Benar, akan tetapi tahukah engkau bahwa aku telah hancur
lahir batin oleh wanita? Engkau memaki nenek moyangku, keluarga Suma yang
sesat. Memang, siapakah tidak mengenal kakek buyutku Pangeran Suma Kong yang
terkenal korup dan jahat? Siapa tidak mengenal kakekku Suma Boan yang berhati
keji dan dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Siapa yang tidak
mengenal ayahku, Jenderal Suma Kiat yang.... memberatkan selirnya daripada
putera tunggalnya? Ha-ha-ha! Dan siapa tidak mengenal Jai-hwa-sian Suma Hoat?
Aku berdarah keluarga Suma yang sesat, dan memang aku jahat, kotor dan sesat.
Sebaliknya engkau adalah Ketua Siauw-lim-pai yang paling suci, gagah dan
budiman. Eh, hwesio tua, apakah pekerjaanmu? Mengapa engkau menjadi seorang
pendeta, Kian Ti Hosiang?!
Kam Siang Kui dan Kam Siang
Hui mendengarkan ucapan pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan.
Betapa kurang ajarnya! Dua orang muda itu bukan lain adalah keponakan mereka
sendiri! Ayah pemuda ini, Suma Kiat, adalah saudara misan mereka, putera bibi
mereka, putera Kam Sian Eng adik kandung ayah mereka (baca cerita Mutiara
Hitam)!
Akan tetapi, karena menghormat
Ketua Siauw-lim-pai, mereka hanya mengertak gigi menahan kemarahan, dan betapa
heran hati mereka melihat hwesio itu sama sekali tidak marah, bahkan
tenang-tenang saja menjawab,
Suma Hoat, pinceng menjadi
pendeta karena melihat kekotoran yang mengua sai batin manusia di dunia.
Pekerjaan pinceng adalah mengajarkan kasih sayang di antara semua mahluk agar
kasih sayang merupakan sinar yang mencuci bersih kekotoran itu.!
Ha-ha-ha! Amat berlawanan
dengan aku, bukan? Aku dikatakan pembuat kotor dan engkau adalah pembersih yang
kotor. Eh, hwesio! Karena tugasmu, tentu engkau selalu siap untuk memberantas
kejahatan, tentu engkau benci kejahatan, benci kepada orang-orang yang
melakukan perbuatan yang dianggap jahat, seperti aku! Dalam tugasmu, engkau
membenci kejahatan, seolah-olah engkau lupa bahwa sesungguhnya karena adanya
kejahatan, karena adanya orang-orang jahat macam aku inilah, maka membuka
kemungkinan dan kesempatan kepada orang-orang seperti engkau untuk memakai
jubah pendeta! Kalau orang-orang jahat macam aku sudah kaubasmi semua, kalau
kejahatan sudah tidak ada lagi, ha-ha-ha, hwesio tua, engkau mau bekerja
apakah?!
Kedua orang wanita tokoh
Beng-kauw itu makin marah, bahkan kini Liang Bi dan Cui Leng juga memandang
pucat, tidak mengira sama sekali bahwa laki-laki yang telah merebut tubuh dan
hati mereka itu adalah seorang yang mempunyai pendirian sedemikian kacau dan
jahatnya!
Akan tetapi Kian Ti Hosiang
tetap tenang. Jai-hwa-sian Suma Hoat, pinceng merasa kasihan sekali kepadamu.
Engkau mengalami himpitan jiwa. Jiwamu sakit tertekan oleh nafsu-nafsu yang
menguasai dirimu. Pinceng sama sekali tidak membenci orang yang sesat, bahkan
merasa kasihan dan ingin menolong mereka, termasuk engkau, Suma-sicu!!
Kalau saja Ketua Siauw-lim-pai
itu marah-marah dan menerjang Suma Hoat dengan serangan lihai, tentu pemuda itu
suka menerima, karena menganggap hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi,
mendengar pendeta ini menaruh kasihan kepadanya, dan ingin menolongnya,
kemarahannya menjadi makin meluap. Dia merasa dipandang rendah sekali,
seolah-olah perbuatannya hanyalah perbuatan seorang anak kecil yang nakal!
Kian Ti Hosiang! Dengar
baik-baik. Aku telah menodai kedua orang murid perempuanmu! Nah, bukankah
perbuatanku amat terkutuk? Bukankah engkau sebagai gurunya wajib menghukumku
dengan hukuman paling berat? Apakah ini belum cukup hebat?!
Kian Ti Hosiang tersenyum dan
menggeleng-geleng kepalanya. Perbuatanmu amat jahat dan sesat, Suma Hoat dan
perasaan pinceng sebagai guru tertikam oleh perbuatanmu dan murid-murid
pinceng. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau adalah keturunan keluarga pendekar
sakti Suling Emas, yakin bahwa perbuatanmu ini tentu ada sebab-sebab yang
menimbulkannya, pinceng merasa lebih berkewajiban lagi untuk mengingatkanmu,
memberi penerangan kepadamu.!
Pendeta sombong! Katakan saja
engkau takut melawan aku!!
Suma Hoat manusia iblis!! Kam
Siang Kui membentak marah sekali.
Suma Hoat tersenyum lebar.
Engkau sudah setengah tua akan tetapi masih bersemangat dan cantik, hemmm,
kalau ada kesempatan aku suka melayanimu bermain cinta....!
Jahanam!! Kam Siang Hui yang
mendengar encinya dihina seperti itu, sudah tidak dapat mehahan lagi hatinya
dan dia sudah menerjang maju dan mengirim pukulan maut yang digerakkan
sin-kang. Sebagai murid Kauw Bian Cinjin, tentu saja dia memiliki ilmu silat
yang hebat, maka pukulannya itu pun mendatangkan angin dahsyat.
Plak! Plak!! Dua kali Suma
Hoat menangkis dan dia terhuyung mundur, juga Kam Siang Hui terhuyung dan
merasa lengannya panas. Hemm, bocah ini lihai juga, pikirnya.
Adapun Suma Hoat diam-diam
terkejut karena kini maklumlah dia bahwa kalau kemarin kedua orang wanita itu
menyerang dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia dan Cui Leng akan mampu
mengalahkan mereka! Akan tetapi, hatinya sudah panas karena sikap Kian Ti
Hosiang, maka dia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil memandang
Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu.
Hemm, Kian Ti Hosiang, apakah
engkau begitu pengecut, tidak berani maju sendiri lalu mengandalkan bantuan dua
orang wanita ini, dan masih berusaha membujuknya dengan kata-kata halus?!
Suma Hoat, bocah celaka!! Kam
Siang Kui kembali membentak.
Harap Toanio tidak mencampuri
urusan pinceng dengan dia,! kata Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu
kembali melepaskan tangan yang tadinya sudah meraba gagang pedang.
Kian Ti Hosiang, pendeta
pikun. Bagaimanakah engkau hendak memberi penerangan padaku? Menyuruh aku
menggunduli rambut dan memakai jubah pendeta?! Suma Hoat mengejek lagi dengan
hati panas mengapa hwesio itu sama sekali tidak pernah marah bahkan
memandangnya dengan sinar mata begitu lembut penuh iba. Itulah yang amat
mengganggu hatinya. Dia tidak ingin dikasihani! Dia malah ingin semua orang
membenci dan memusuhinya! Dia tidak takut menghadapi mereka semua dan dia
berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya.
Suma-sicu, pada dasarnya
engkau mempunyai jiwa pendekar. Mengapa engkau tidak mau membuka mata menyadari
bahwa amatlah tidak baik kalau engkau menumpahkan kebencianmu terhadapi wanita?
Dengan merusak kaum wanita, berarti engkau merusak kehormatan kaum ibu, karena
ibumu sendiri pun seorang wanita! Kasihanilah mereka, keluarga mereka, orang
tua mereka, masa depan mereka. Engkau dapat menebus semua kesesatanmu dengan
memupukkan perbuatan baik dan dengan hati bertobat. Setelah apa yang kaulakukan
terhadap kedua orang murid pinceng, jadilah engkau suami mereka dan jauhi semua
perbuatan sesat. Pinceng akan berbesar hati melihatnya.!
Wajah Suma Hoat menjadi merah.
Kalau aku menolak?! Ia mengharapkan kemarahan pendeta itu dan dia tidak
menyesal kalau harus mati di tangan pendeta ini karena semua perbuatannya yang
lalu jelas tidak mendatangkan kepuasan dan kebahagiaan baginya. Ia ingin
mengakhiri hidupnya di tangan pendeta itu. Mati di tangan Kian Ti Hosiang,
Ketua Siauw-lim-pai, adalah mati terhormat!
Kian Ti Hosiang menghela napas
panjang. Kalau engkau menolak, pinceng hanya dapat berdoa untuk keselamatan
jiwamu, orang muda. Pinceng hanya dapat merasa makin iba melihat seorang
keturunan keluarga pendekar besar tersesat makin jauh.!
Apa? Engkau tidak marah dan
tidak membunuhku?!
Kian Ti Hosiang menggeleng
kepalanya. Pinceng bukan pembunuh, pinceng tidak bisa membikin mati karena
pinceng tidak bisa membikin hidup.!
Pendeta sombong! Engkau takut
kepadaku?!
Kian Ti Hosiang menggeleng
kepala dan tersenyum. Pinceng tidak takut kepada siapapun juga, kecuali kepada
kegelapan yang meliputi hati dan pikiran sendiri, Sicu.!
Baik, pendeta sombong! Aku mau
bertobat, mau menuruti nasihatmu asal engkau suka menerima dua kali pukulanku.
Bagaimana?!
Kian Ti Hosiang mengangguk
tenang. Omitohud....! Kalau dengan cara itu berarti pinceng akan dapat
mendatangkan penerangan di dalam hatimu, pengorbanan itu masih terlalu murah.
Pinceng menerima syarat itu....!
Locianpwe....!! Kam Siang Hui
dan Kam Siang Kui meloncat maju dengan wajah pucat.
Bagaimana Locianpwe membiarkan
saja bedebah ini bersikap kurang ajar? Biarkan kami membasminya!!
Harap Ji-wi Toanio suka
mundur. Pinceng sudah melepaskan janji menerima syaratnya.! Terpaksa kedua
orang wanita itu mundur dengan tangan dikepal saking marahnya.
Kian Ti Hosiang melangkah maju
mendekati Suma Hoat. Sicu, berjanjilah bahwa setelah memukul pinceng dua kali,
engkau benar-benar akan merubah jalan hidupmu, tidak akan melakukan perbuatan
sesat lagi, membersihkan nama Jai-hwa-sian dengan perbuatan-perbuatan baik.!
Hampir Suma Hoat tidak dapat
percaya. Hwesio ini bersedia menerima dua kali pukulannya! Apa? Engkau menerima
dan engkau tidak akan mengelak, menangkis atau melawan?!
Kian Ti Hosiang menggeleng
kepala. Pengorbanan ini masih terlalu murah. Namun kata-kata seorang gagah
harus dapat dipegang. Pinceng berjanji takkan melawan dan berjanjilah bahwa
engkau pun akan membuang semua perbuatan sesat.!
Kemarahan Suma Hoat mencapai
puncaknya. Dia benar-benar merasa dipandang rendah sekali, bukan hanya sebagai
seorang anak kecil yang nakal, bahkan agaknya pukulannya dianggap ringan oleh
hwesio ini. Baik, aku berjanji!! bentaknya.
Nah, silakan memukul dua kali,
Sicu.! Hwesio itu berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda,
memandang tenang ke depan dengan telapak tangan dirangkap di depan dada seperti
orang berdoa.
Suma Hoat menggerak-gerakkan
kedua tangannya, mengerahkan sernua sin-kang di tubuhnya, disalurkan ke arah
kedua tangan. Gerakan ini membuat kedua lengannya mengeluarkan bunyi
berkerotokan, tanda bahwa kedua lengannya sudah dialiri tenaga sin-kang yang
dahsyat sekali. Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw memandang dengan mata
terbelalak dan kedua orang murid hwesio itu pun memandang dengan muka pucat.
Suma Hoat merasa dipandang ringan oleh Ketua Siauw-lim-pai itu.
Dia maklum bahwa hwesio itu
amat sakti, termasuk seorang tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi,
sikap hwesio itu keterlaluan, terlalu baik sehingga merupakan penghinaan yang
baginya lebih menyakitkan hati daripada makian atau serangan. Dia, seorang yang
telah menggegerkan dunia kang-ouw, kini hanya dianggap seperti seorang anak
kecil yang nakal saja oleh hwesio ini. Akan tetapi, dia tidak percaya bahwa
hwesio itu akan benar-benar menerima pukulannya tanpa melawan.
Mungkin takkan mengelak, akan
tetapi pasti akan menggunakan sin-kang untuk menangkis. Ataukah kepandaiannya
sudah begitu tinggi sehingga pukulannya takkan ada artinya! Dia tidak percaya
maka kini Suma Hoat mengerahkan tenaga, kemudian menerjang maju dengan dua
pukulan susul-menyusul ke arah kedua paha kaki Kian Ti Hosiang. Angin dahsyat
menyambar ketika kedua tangan Suma Hoat dengan jari-jari terbuka menyambar ke
arah Kian Ti Hosiang. Hebat bukan main pukulan itu karena Suma Hoat telah
mengerahkan seluruh sin-kangnya dan menggunakan ilmu pukulan
Hun-kin-swee-kut-ciang (Puku lan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang)!
Krekkk! Krekkkk!! Cepat sekali
datangnya dua kali pukulan yang bertubi itu. Terdengar jeritan tertahan kedua
orang wanita Beng-kauw dan kedua murid hwesio itu sedangkan tubuh Kian Ti
Hosiang jatuh terduduk dalam keadaan bersila, kedua kakinya lumpuh karena
tulang-tulang kakinya remuk dan otot-ototnya hancur oleh pukulan dahsyat itu.
Suma Hoat membelalakkan kedua
mata, wajahnya pucat memandang hwesio yang memandangnya sambil tersenyum penuh
kesabaran dan kemenangan itu! Hwesio itu sama sekali tidak melawan! Kedua kaki
hwesio itu menjadi rusak, lumpuh dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi! Dan
biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, hwesio itu masih memandang kepadanya dengan
senyum sabar. Inilah yang membuat hati Suma Hoat tidak kuat menahan.
Kau.... kau....! Biar tidak
kepalang, kalau kau ingin mati.... terimalah ini....!! Suma Hoat yang merasa
ngeri kalau kelak melihat hwesio yang dipukulnya tanpa melawan menjadi seorang
lumpuh selama hidupnya, kini menerjang maju dan memukul dengan pukulan paling
hebat ke arah dada Kian Ti Hosiang. Lebih baik melihat hwesio ini mati daripada
melihat ia cacad selamanya karena pukulannya yang tidak dilawan!
Kembali pukulan ini diterima
tanpa mengelak atau menangkis oleh Kian Ti Hosiang akan tetapi sepasang mata
hwesio itu mengeluarkan sinar yang luar biasa.
Desss....!! Telapak tangan
Suma Hoat dengan tepat mengenai dada Kian Ti Hosiang dan akibatnya.... tubuh
Suma Hoat terlempar jauh ke belakang, sampai lima enam meter jauhnya di mana ia
roboh terbanting dan muntahkan darah segar! Dia merangkak bangun, mendekap dada
yang terasa sesak, memandang ke arah hwesio yang masih bersila itu dengan
pandang mata penuh kaget, heran dan kagum bukan main. Tahulah dia bahwa kalau
hwesio ketua Siauw-lim-pai itu melawan, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu
akan roboh dan kehilangan nyawa!
Janjinya hanya dua kali
pukulan, Suma Hoat. Mengapa engkau memukul lagi?! Dengan tenang Kian Ti Hosiang
menegur perlahan. Suma Hoat tak dapat menjawab karena napasnya makin sesak.
Pukulannya tadi mengandung sin-kang sekuatnya dan semua tenaga itu membalik dan
menghantam dadanya sendiri. Ia terhuyung dan cepat menjatuhkan diri duduk
bersila, mengatur napas untuk menghindarkan isi dadanya dari ancaman luka yang
akan mematikannya.
Oohhh, bocah setan yang
kejam....!! Kam Siang Kui menggeram.
Manusia iblis yang patut
dibasmi!! Kam Siang Hui juga membentak. Kedua orang wanita Beng-kauw ini sudah
mencabut pedang dengan kemarahan meluap. Akan tetapi kembali terdengar suara
Kian Ti Hosiang,
Ji-wi Toanio, harap jangan
menggagalkan usaha pinceng. Akan sia-sialah pengorbanan pinceng kalau Ji-wi
tidak dapat mengendalikan kemarahan!! Mendengar ini, kedua orang itu mundur dan
Kian Ti Hosiang berkata lagi,
Bagaimana, Suma Hoat. Apakah
engkau akan memegang janji?! Pertanyaan ini ditujukan kepada Suma Hoat yang
masih duduk bersila, enam meter jauhnya dari tempat hwesio itu bersila dengan
kedua kaki lumpuh dan kini berubah menjadi merah menghitam.
Suma Hoat membuka kedua
matanya dan tampak dua titik air mata menetes turun. Selama hidupnya, baru
sekali ini ia merasa menyesal bukan main. Tadinya ia mengira bahwa hwesio itu
hanya membujuknya saja, siapa tahu bahwa hwesio itu benar-benar telah mengorbankan
kedua kakinya menjadi lumpuh selamanya hanya untuk melihat dia dapat menjadi
seorang baik-baik! Di dunia ini, mana mungkin ditemukan keduanya manusia
seperti Ketua Siauw-lim-pai ini? Dia merasa menyesal sekali dan dengan suara
gemetar dia menjawab,
Locianpwe, aku bersumpah akan
bertobat, akan berusaha menghilangkan perbuatan yang kotor, akan tetapi.... aku
tidak yakin apakah akan berhasil....!
Berhasil atau tidak merupakan
hal kedua, yang terutama sekali adalah kesanggupanmu untuk berusaha. Bagus, pinceng
akan girang sekali kalau melihat engkau dapat kembali ke jalan benar, Sicu.!
Aku berjanji, Locianpwe. Hanya
untuk menjadi suami kedua orang muridmu, aku tidak sanggup karena aku pun tidak
pernah berjanji untuk menjadi suami mereka. Aku telah bersumpah untuk tidak
menikah selama hidup....!
Suma Hoat menghentikan
kata-katanya karena terdengar jerit mengerikan disusul robohnya Liang Bi dan
Kim Cui Leng dengan tubuh mandi darah. Kiranya ketika mendengar bahwa pria itu
adalah Jai-hwa-sian, kemudian menyaksikan betapa gurunya mengalami bencana
sampai kedua kakinya lumpuh dan mendengar ucapan terakhir Suma Hoat yang
menusuk hatinya. Liang Bi menganggap bahwa dosanya dan dosa sumoinya tak
terampunkan lagi. Ia menjadi beringas, dan mencabut pedang, tiba-tiba menyerang
sumoinya dengan tusukan kilat yang menembus dada Cui Leng, kemudian ia menusuk
dadanya sendiri sampai tembus.
Kian Ti Hosiang menoleh
merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata, Omitohud.... dosa ditambah
dosa lagi. Dengan kelemahan batinnya, mana mungkin manusia dapat bertahan
menghadapi godaan nafsunya sendiri? Ji-wi Toanio dari Beng-kauw, Ji-wi melihat
sendiri betapa pinceng kini tak mungkin dapat menghadapi Hoat Bhok Lama, maka
harap suka memaafkan kalau pinceng tidak dapat membantu Ji-wi.! Setelah berkata
demikian, tiba-tiba tubuh yang sudah lumpuh kedua kakinya itu, dalam keadaan
masih bersila, mencelat ke depan, kedua lengannya menyambar jenazah Liang Bi
dan Kim Cui Leng, kemudian sambil memanggul dua mayat muridnya itu, tubuh yang tak
dapat menggunakan kedua kaki lagi itu berloncatan ke depan dengan cepat,
sebentar saja lenyap dari situ.
Suma Hoat memandang dengan
mata terbelalak dan muka pucat. Penyesalan besar sekali menghimpit hatinya.
Biasanya, melihat wanita-wanita membunuh diri karena menjadi korbannya, dia
bisa tertawa-tawa. Akan tetapi, menghadapi kematian dua orang murid
Siauw-lim-pai itu, melihat pengorbanan Ketua Siauw-lim-pai yang tiada taranya,
ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Kembali dua butir air mata menetes
dari matanya dan biarpun ia maklum bahwa dua orang wanita gagah itu dengan
penuh kemarahan telah meloncat maju di depannya, Suma Hoat memejamkan mata dan
menundukkan muka.
Bocah setan! Sudah lama
mendengar tentang kejahatan Jai-hwa-sian, siapa tahu kenyataannya lebih jahat
lagi!! terdengar Kam Siang Kui berkata penuh kemarahan.
Manusia iblis yang hanya
mengotorkan dunia!! Kam Siang Hui juga berkata penuh kebencian, Tidak hanya
jahat, kejam dan pengecut hina, juga engkau telah menggagalkan bantuan Ketua
Siauw-lim-pai kepada kami!!
Suma Hoat sedang menderita
penyesalan yang hebat. Hatinya kesal dan sedih, akan tetapi wataknya untuk
mencemooh wanita masih belum lenyap sama sekali. Ia membuka mata, memandang
mereka berdua dan tersenyum.
Ji-wi Toanio, sekarang dua
orang gadis itu telah mati, biarpun aku terluka akan tetapi kalau hanya
melayani kalian bermain cinta, aku masih sanggup!!
Keparat bermulut busuk!! Kam
Siang Hui membentak, tangannya bergerak.
Plakkk!! Suma Hoat hampir
terguling ketika pipinya kena tampar yang keras sekali, akan tetapi ia tetap
tersenyum biarpun ujung bibirnya berdarah oleh tamparan yang hebat itu. Baru
saja engkau berjanji kepada Kian Ti Hosiang, sekarang telah kaulanggar,
bedebah!!
Ha-ha, Toanio tidak adil!
Memang aku berjanji untuk tidak melakukan kejahatan, termasuk memperkosa
wanita. Akan tetapi, kalau ada wanita yang dengan suka rela hati mau melayani
aku, mau kuajak berenang dalam lautan cinta, apakah ia juga jahat namanya?
Tidak, Toanio, kalau Toanio berdua mau, tidak usah malu-malu, di sini tidak ada
orang lain. Aku suka sekali melayani karena biarpun sudah agak tua, Toanio
berdua masih cantik dan tentu lebih banyak pengalaman yang hebat-hebat....!!
Plak-plak!! Kini Suma Hoat
terguling, matanya berkunang dan kepalanya pening karena dua kali tamparan
tangan Kam Siang Hui itu lebih dahsyat lagi. Akan tetapi ia tersenyum dan
memang dia sengaja memancing kemarahan kedua orang wanita gagah itu agar dia
dibunuhnya saja untuk mengakhiri penyesalan yang menyesak di dada bersama luka
akibat sin-kang yang dikembalikan Kian Ti Hosiang tadi.
Wanita seperti Toanio sudah
berpengalaman, ibarat buah sedang masakmasaknya, manis dan....!
Kubunuh engkau!! Kam Siang Hui
membentak dan srat!! pedangnya sudah tercabut, akan tetapi lengannya dipegang
oleh encinya.
Hui-moi, tahan! Dia sengaja
memanaskan hati kita agar kita membunuhnya! Terlalu enak baginya kalau begitu,!
Kam Siang Kui melangkah maju memandang wajah Suma Hoat yang masih tersenyum itu
lalu berkata, suaranya dingin.
Suma Hoat, tertawalah karena
engkau sudah berani menghina dan mempermainkan kami. Dengarlah dan kenalilah
siapa adanya kami yang telah kauhina ini. Aku adalah Kam Siang Kui dan dia
adalah adikku, Kam Siang Hui! Nenekmu, Kam Siang Eng, adalah bibi kami dan
engkau adalah keponakan kami sendiri. Engkau telah bersikap kurang ajar dan
menghina kedua orang bibimu sendiri. Nah, bersenanglah engkau!! Kam Siang Kui
menarik tangan adiknya dan mereka berlari pergi dari situ, meninggalkan Suma
Hoat yang tiba-tiba menjadi pucat mukanya.
Ahhhh....!! Suma Hoat menutup
muka dengan kedua tangannya. Pukulan batin yang dilontarkan Kam Siang Hui itu
hebat sekali. Penyesalan hati yang menghimpit perasaannya menjadi makin berat.
Ia mengeluh, muntahkan darah segar lalu tubuhnya terguling pingsan!
Aduhhh.... ampunkan aku....
kedua bibi.... ampunkan aku....! ketika siuman, Suma Hoat merintih-rintih,
suaranya mengandung penuh penyesalan. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama
kedua orang wanita itu, dan ia sudah mendengar bahwa mereka adalah kedua orang
enci dari Kam Han Ki, puteri paman ayahnya yang bernama Kam Bu Sin. Maka mereka
adalah pendekar-pendekar wanita Beng-kauw, bibi-bibinya sendiri, dan dia sudah
berani mengajak mereka bermain gila, mengejek dan menghina mereka, bersikap
kurang ajar sekali!
Betapa baiknya orang yang
masih mampu menyesali perbuatan sendiri dan bertobat lahir batin....!
Suma Hoat terkejut. Dia tidak
ingat lagi berapa lama pingsan, dan kini ia merasa betapa ada telapak tangan
menempel di punggungnya, tangan yang mengeluarkan hawa hangat dan orang itu
ternyata sedang menyalurkan sin-kang untuk mengobatinya! Ia menoleh dan
mendapat kenyataan bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Im-yang
Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang aneh dan berkaki telanjang itu! Ia menjadi
terharu sekali. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya,
yang kebetulan saja pernah bertemu dengannya, kini tanpa diminta telah
menolongnya.
Ahhh.... mengapa kau
menolongku? Akan lebih baik kalau kau membiarkan aku mati....! Suma Hoat
mengeluh ketika mendapat kenyataan betapa pertolongan orang aneh ini telah
menyembuhkan rasa sesak di dadanya.
Jai-hwa-sian.... baru sekali
ini selama hidupku aku menjumpai hal yang amat mengherankan. Seorang gagah
perkasa seperti engkau kudapati pingsan di situ dan menerita luka dalam yang
hanya dapat dilakukan oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuatnya. Itu
masih belum aneh, yang lebih aneh lagi, engkau putus asa, berduka minta-minta
ampun. Aihhh.... apakah yang terjadi? Anggaplah aku sebagai sahabat, aku yang
amat mengagumimu, atau saudaramu.... ceritakanlah apa yang terjadi?!
Suma Hoat menganggap bahwa
dirinya selalu dimusuhi dan dibenci orang, bahkan ayahnya sendiri mengusirnya,
juga uwanya, Menteri Kam Liong yang sakti, membencinya. Ia merasa seperti hidup
sebatang kara, kini melihat sikap orang aneh yang amat baik ini, mengingat akan
perbuatannya terhadap Ketua Siauw-lim-pai, terhadap dua orang bibinya, tak
tertahankan lagi ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil!
Im-yang Seng-cu yang biasanya
berwatak gembira dan jenaka, kini melongo keheranan. Kemudian, sambil terisak,
Suma Hoat menceritakan semua riwayatnya, semenjak hatinya rusak karena kekasih
yang benar-benar dicintanya, yang diharapkan menjadi isterinya, Ciok Kim Hwa,
membunuh diri, kemudian betapa Menteri Kam Liong menentangnya, godaan selir
ayahnya dan betapa ia diusir oleh ayahnya sehingga ia menjadi benci kepada
wanita, benci di samping dorongan berahinya sehingga berubahlah dia menjadi
Jai-hwa-sian. Diceritakan pula betapa dia telah melumpuhkan kedua kaki Kian Ti
Hosiang dan bersikap kurang ajar terhadap kedua orang bibinya, tokoh-tokoh
Beng-kauw!
Berkali-kali Im-yang Seng-cu
menahan napas mendengar penuturan yang hebat itu dan dia hanya dapat
menggeleng-geleng kepalanya, penasaran dan menyesal menyaksikan nasib seorang
pendekar yang begini buruk sehingga terseret ke dalam kesesatan yang
mengerikan.
Setelah selesai bercerita,
menumpahkan segala perasaan yang menggelora di hatinya, Suma Hoat menangis
dengan tubuh lemas.
Aihhh...., betapa banyak aku
bertemu orang yang hidupnya seolah-olah merupakan siksaan, akan tetapi tidak
sehebat penderitaanmu, Jai-hwa-sian. Namamu Suma-hoat? Jadi engkau adalah
putera Panglima Suma Kiat yang terkenal itu dan engkau masih keponakan Menteri
Kam Liong? Ah.... ah...., kiranya engkau masih terhitung keluarga pendekar
besar Suling Emas! Pantas.... pantas....! Dan engkau telah melumpuhkan kedua
kaki Ketua Siauw-lim-pai tanpa dia melawan? Benar-benar ajaib Ketua
Siauw-lim-pai itu. Aihh! Sekarang mengerti aku! Aku mengerti mengapa dia
mengorbankan dirinya begitu rupa!!
Suma Hoat menyusut air
matanya, mengangkat muka memandang sahabat barunya ini dengan sedih. Dia
mengorbankan diri semata-mata untuk menyadarkan aku, akan tetapi terlambat....!
Aku sudah terlalu rusak, mana mungkin dapat dibetulkan lagi? Aku sudah terlalu
kotor, mana bisa dibersihkan lagi? Dia telah mengorbankan diri dengan sia-sia
dan aku merasa makin berat batinku....!
Akan tetapi Im-yang Seng-cu
menggeleng kepala. Mengalahkan orang lain, hal itu tidaklah terlalu
mengagumkan. Mengalahkan hawa nafsu dalam diri sendiri, barulah mengagumkan!
Kian Ti Hosiang adalah seorang budiman yang sukar dicari keduanya di dunia ini.
Dia tidak hanya berkorban karena hendak menyadarkanmu, saudara Suma Hoat,
melainkan karena dia hendak membalas budimu ketika engkau membela Siauw-lim-pai
mati-matian, dan di samping itu, hemmm.... kalau aku tidak salah duga, orang
tua yang sakti dan bijaksana itu SENGAJA membuat dirinya menjadi lumpuh karena
urusan Beng-kauw!
Mendengar ini, Suma Hoat
tertarik sekali dan terheran-heran. Dia teringat akan ucapan seorang di antara
bibinya yang menyalahkan dia sebagai orang yang telah menggagalkan bantuan
Ketua Siauw-lim-pai kepada mereka.
Apa maksudmu, Im-yang
Seng-cu?!
Tidak tahukah engkau bahwa
kedua orang bibimu itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang berusaha merampas
kembali Beng-kauw yang terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama? Karena Hoat Bhok Lama
menguasai Beng-kauw dan orang ini amat sakti, bahkan semua tokoh Beng-kauw yang
hendak menundukkannya banyak yang tewas di tangannya, maka kedua orang bibimu
itu minta bantuan Kian Ti Hosiang maka agaknya pendeta itu sengaja membuat
dirinya lumpuh tak berdaya!!
Eh, mengapa begitu?!
Im-yang Seng-cu menghela napas
dan memandang wajah sahabatnya yang dikaguminya itu penuh perhatian. Saudara
Suma Hoat, apakah engkau tidak tahu akan sifat orang-orang yang sudah mencapai
kesaktian tinggi seperti Kian Ti Hosiang? Semenjak dahulu, ada saja orang sakti
seperti dia. Ada tiga macam orang sakti yang mengambil jalan hidup
berbeda-beda. Pertama adalah orang-orang sakti yang menjadi tokoh kaum sesat,
menjadi datuk-datuk kaum sesat, di antaranya seperti Hoat Bhok Lama itulah.
Yang ke dua adalah orang-orang sakti seperti mendiang Menteri Kam Liong dan
mendiang Mutiara Hitam, juga ayah mereka, pendekar sakti Suling Emas yang
menggunakan kesaktian untuk menentang kejahatan atau membela negara sebagai
patriot-patriot sejati.
Orang ke tiga, yang sebetulnya
memiliki tingkat lebih tinggi, adalah orang-orang seperti Kian Ti Hosiang dan
Bu Kek Siansu, yang sama sekali tidak mau mempergunakan kesaktian untuk
berkelahi, melainkan menggunakan kesaktian untuk menolong siapa saja, untuk
mengembangkan kasih sayang antara manusia, untuk menyadarkan yang sesat, kalau
perlu mengorbankan diri sendiri. Kian Ti Hosiang termasuk orang golongan ke
tiga inilah. Dia tidak dapat menolak begitu saja permohonan tolong kedua orang
bibimu dari Beng-kauw, akan tetapi dia pun merasa enggan untuk menggunakan
kekerasan terhadap Hoat Bhok Lama. Maka, dia sengaja menerima pukulanmu agar
menjadi lumpuh sehingga dia mempunyai alasan untuk tidak menghadapi Hoat Bhok
Lama di satu pihak, di lain pihak dia mengorbankan diri untuk menyadarkanmu.!
Suma Hoat terkejut sekali,
wajahnya pucat, alisnya berkerut. Aihhhh....! Dan seorang yang berbudi mulia
seperti itu kupukul sampai cacat! Dan kepada dua orang bibiku yang demikian
gagah perkasa aku telah bersikap kurang ajar. Manusia macam apa aku ini?! Dia
mengeluh penuh penyesalan.
Im-yang Seng-cu menggeleng
kepala. Tidak aneh kalau dalam hidup ini kita sebagai manusia melakukan
penyelewengan-penyelewengan, terseret oleh nafsu kita sendiri. Akan tetapi yang
terpenting adalah kesadaran akan kesalahan sendiri dan belum terlambat untuk
menebus kesalahan, juga kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu.!
Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?
Ah, engkau yang kuanggap sahabat atau saudara, yang telah kuceritakan semua
riwayatku yang belum pernah kubicarakan dengan orang lain, katakanlah, apa yang
harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?! Suma Hoat memegang lengan Im-yang
Seng-cu yang menjadi terharu hatinya. Ia membalas pegangan itu dan berkata,
Kedua bibimu berjuang untuk
merampas kembali Beng-kauw yang dibawa menyeleweng oleh Hoat Bhok Lama. Kini
harapan mereka musnah karena Kian Ti Hosiang tidak dapat membantu mereka.
Marilah kita berdua membantu mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai.
Dengan jalan ini, selain menebus kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu, juga
berarti kita melakukan pekerjaan besar menolong Beng-kauw kembali ke jalan
benar dan terbebas dari tangan seorang sakti yang sesat seperti Hoat Bhok
Lama.!
Timbul semangat Suma Hoat. Ia
melompat berdiri dan wajahnya berseri. Bagus sekali! Terima kasih atas
nasihatmu, Im-yang Seng-cu. Marilah kita pergi sekarang juga. Aku menyediakan
nyawaku untuk membantu kedua orang bibiku itu!!
Im-yang Seng-cu bangkit sambil
tertawa lebar. Kegembiraannya datang kembali.
Aku tahu! Aku tahu bahwa
sebetulnya lebih banyak darah keluarga Suling Emas mengalir dalam tubuhmu,
ha-ha-ha! Marilah kutunjukkan jalannya, sahabatku!! Kedua orang yang berilmu
tinggi ini lalu melesat pergi menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk menyusul
kedua orang tokoh wanita Beng-kauw yang menuju ke Ta-liang-san.
***
Setelah sibuk membagi-bagi
perintah dan mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang akan bergabung dengan
pasukan-pasukannya yang akan malam nanti menyerang barisan Sung yang dipimpin
Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan diri, beristirahat mencari angin
sejuk di dalam hutan kecil di belakang perkemahan. Dia memilih tempat sunyi ini
untuk beristirahat dan membayangkan kembali siasatnya untuk serbuan malam nanti
agar tidak sampai ada hal yang sampai terlupa atau terlewat. Malam masih jauh,
saat itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai menjelang
tengah malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan telah
diatur lengkap, dia melamun. Tersenyum-senyum panglima wanita yang perkasa ini
teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala domba yang tampan kasar, jujur dan
tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang miskin itu adalah penyamaran
Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan selama ini pangeran itu telah
menjadi pembantunya yang setia!
Akan tetapi Maya mengerutkan
sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung indah itu kalau ia
teringat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Mereka itu adalah orang-orang yang
paling dekat dengannya karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam, bibinya.
Dia merasa sesuatu yang aneh terdapat dalam hubungan di antara kedua orang itu.
Ada ia melihat sikap yang bertentangan dalam kata-kata mereka, akan tetapi
sejenak saja sikap bertentangan itu berubah menjadi kemesraan ketika mereka
bergandeng tangan memasang perkemahan berdua! Apakah kemesraan itu pun hanya
akan berlangsung pendek saja, seperti sikap pertentangan mereka?