Bab 9
Han Ki tersenyum. Kedua orang
sumoinya ini memang aneh dan lucu. Tadi saling berlumba dan bersaing, akan
tetapi begitu yang seorang terancam bahaya, yang lain siap membela dan
melindunginya! Arca ini peninggalan Suhu, kini teiah menjadi rusak, kita harus
dapat membuatkan penggantinya.!
Han Ki lalu mencari batu
karang yang terselimut salju, membongkar sebongkah batu sebesar manusia, dan
mulai hari itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh seorang manusia.
Dan dalam usaha ini terjadi keanehan dan penemuan bakatnya. Ternyata Han Ki
memiliki bakat seni ukir yang luar biasa sekali! Maya dan Siauw Bwee berseru
terheran-teran dan kagum ketika mereka menyaksikan betapa arca buatan Han Ki
ternyata amat baik, bentuknya menyerupai manusia benar dan biarpun tidak
sehalus arca yang rusak, namun tidak kalah baik dalam bentuknya. Melihat hasil
ukirannya yang tak terduga-duga ini Han Ki menemukan bakatnya dan kini pada
setiap waktu terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir untuk
memperdalam kemahiran tangannya.
Demikianlah, Han Ki dan dua
orang sumoinya dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang amat tinggi
peninggalen Bu Kek Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa.
Kalau dua orang gadis cilik itu saja berubah menjadi orang-orang yang amat
lihai, apalagi Han Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia sudah merupakan seorang
pemuda sakti yang sukar dicari tandingannya, apalagi sekarang! Namun, di
samping ketekunan mereka yag bercita-cita dan melatih diri menjadi orang-orang
sakti, terdapatlah keruwetan-keruwetan perasaan di antara dua orang gadis
remaja yang berangkat dewasa.
Han Ki adalah seorang pemuda
yang tempan dan gagah, lagi amat pandai. Bagi kedua orang dara remaja itu, Han
Ki merupakan suheng, juga guru dan merupakan orang terpandai. Maka, anehkah
kalau di dalam hati kedua orang dara remaja ini tumbuh tunas yang sama?
Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang menyebabkan kedua orang kakak
beradik seperguruan yang sebetulnya saling menyayang ini selalu bersaing,
apalagi di depan Han Ki! Mereka bertiga yang memasuki Pulau Es yang kosong itu
tidak tahu bahwa bersama dengan mereka masuk pula setan yang mengubah diri
menjadi Cinta, Nafsu dan Cemburu. Melawan musuh yang kuat dapat mengandalkan
ilmu silat tinggi yang telah dikuasai, akan tetapi bagaimana orang-orang muda
itu akan dapat melawan setan yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri?
Kalau Han Ki sedang, melatih
silat kepada dua orang sumoinya, dia selalu merasa kagum, karena selain cerdik
dan berbakat, juga kedua orang sumoinya itu merupakan dua orang gadis remaja
yan cantik jelita. Sukar dikatakan siapa antara mereka yang cantik. Maya
memiliki kecantikan yang panas dan liar, bagaikan setangkai bunga mawar hutan,
memiliki daya tarik istimewa dan khas. Akan tetapi, daya tariknya itu sukar
dikatakan dapat mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw Bwee dengan
kehalusannya dan pengertiannya yang mendalam. Sama sekali Han Ki, pemuda yang
pernah patah hati ini, yang merasa putus asa pula dan tidak bersemangat, bahkan
diam-diam berjanji dalam hati untuk tidak mendekati wanita, tidak pernah mimpi
bahwa dialah orangnya yang akan mabok kepayang, bahkan akan menjadi akibat
daripada serangkaian peristiwa yang amat hebat!
***
Bagus sekali! Ahh, Suheng,
terima kasih! Terima kasih banyak, burung batu ini indah sekali, lihat,
seolah-olah dia bernapas!! Siauw Bwee bersorak girang ketika menerima burung
batu yang dibuat oleh Han Ki atas permintaannya. Han Ki memandang dengan wajah
berseri, diam-diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang kini usianya sudah empat
belas tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil, begitu girang memeluk
burung-burungan dari batu yang diukirnya dari batu karang putih. Siauw Bwee
lalu berlari-lari pergi mencari Maya yang berlatih di belakang istana.
Han Ki lalu pergi memasuki
ruangan dalam untuk melanjutkan usahanya. yang sudah ia kerjakan kurang lebih
setahun lamanya, yaitu menuliskan ilmu-ilmu silat tinggi yang ia gabungkan dari
ilmu-ilmu yang dipelajarinya selama ini ke dalam sebuah kitab. Bu Kek Siansu
telah berpesan kepadanya bahwa setelah kitabkitab yang ditinggalkannya di
istana itu habis dipelajari, kitab-kitab itu harus dibakar.
Kitab-kitab pelajaran iimu
silat tidak baik ditinggalkan begitu saja,! kata gurunya. Ilmu silat merupakan
ilmu yang amat berguna jika terjatuh ke tangan orang yang baik-baik, akan
tetapi sekali terjatuh ke tangan orang yang hatinya gelap tersesat, amatlah
berbahaya. Karena itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan kedua orang
sumoimu, kitab-kitab itu harus dibakar.!
Karena inilah, maka Han Ki
terpaksa membakar dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang
telah mereka pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan ilmu-ilmunya, maka
dia sendiri lalu merangkai kitab yang berisikan ilmu-ilmu yang digabungnya
sendiri dari banyak ilmu silat yang telah ia pelajari.
Tiba-tiba Han Ki mendengar
suara ribut-ribut di belakang istana. Suara Maya dan Siauw Bwee, seperti orang
bertengkar. Cepat ia menghentikan tulisannya dan lari ke belakang. Dilihatnya
Siauw Bwee dan Maya bertanding memperebutkan batu putih! Ketika Han Ki tiba di
situ, perebutan mencapai puncaknya. Maya berusaha merampas burung batu itu dari
tangan Siauw Swee yang mempertahankan. Keduanya memegang burung batu itu,
bersitegang hendak menarik dan mengerahkan tenaga.
Prakkk! Burung batu itu pecah
menjadi perkeping-keping dan jatuh berhamburan ke atas tanah!
Ohhh....! Burungku.... aih,
burungku pecah....!! Siauw Bwee berlutut, menangis memandang burung batu yang
sudah pecah berantakan di depan lututnya.
Melihat munculnya Han Ki dan
akibat perebutan itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela,
Ahh, begitu saja menangis.
Cengeng....!!
Maya-sumoi!! Apa yang
kaulakukan itu?! Han Ki membentak, marah kepada Maya dan kasihan kepada Siauw
Bwee.
Aku hanya ingin meminjam, dan
melihat sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!!
Tidak! Dia memang hendak
merampasnya!! Siauw Bwee membantah, terisak-isak.
Maya-sumoi, tidak baik
meminjam milik orang lain dengan paksa,! Han Ki kembali menegur, tidak senang
karena melihat Maya mulai bersikap keras dan memaksa kepada Siauw Bwee.
Suheng, engkau yang tidak
adil, pilih kasih! Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan tetapi tidak
kepadaku.!
Han Ki mengerutkan keningnya.
Sumoi, burung batu itu kubuat atas permintaan Khu-sumoi, bukan semata-mata aku
membuatkan untuknya. Kalau engkau juga menginginkan sebuah, mengapa tidak minta
saja kubuatkan dan merampas kepunyaan Khu-sumoi? Perbuatanmu itu tidak benar.
Kau harus minta maaf kepada Khu-sumoi!!
Sudahlah, Suheng. Suci tidak
merusak burung batuku.! Siauw Bwee bangun berdiri dan mengusap air matanya.
Melihat betapa Maya dimarahai Han Ki, timbul rasa kasihan di hati Siauw Bwee.
Lihat, Khu,sumoi begini baik
kepadamu, akan tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi,! Han Ki kembali menegur.
Sejenak sepasang mata yang
indah itu menatap wajah Han Ki, kemudian menoleh kepada Siauw Bwee. Tiba-tiba
Maya terisak dan air matanya mengucur. Memang aku selalu nakal! Memang aku
paling jahat! Lebih baik aku pergi saja agar jangan mengganggu Sumoi dan
membikin marah Suheng!! Maya membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Han Ki
dan Siauw Bwee.
Suci, kau hendak ke mana?!
Siauw Bwee hendak mengejar akan tetapi Han Ki memegang lengannya mencegah.
Kalau dia sedang marah,
dikejar dan dibujuk pun percuma. Biarkan dia, nanti kalau sudah mendingin
hatinya, tentu dia kembali sendiri.! Karena di dalam hatinya Han Ki masih marah
kepada Maya, maka dia sengaja membiarkan saja karena dipikirnya, ke mana Maya
dapat pergi? Pulau itu tidak berapa luas.
Akan tetapi, setelah malam tiba
dan Maya belum juga kembali, mulailah hati Han Ki menjadi gelisah. Juga Siauw
Bwee merasa khawatir sekali dan mereka berdua mulai mencari, mengelilingi pulau
dari dua jurusan. Akan tetapi, mereka bertemu kembali dengan tangan hampa.
Kucari kemana-mana tidak ada .
Suheng.Jangan-jangan dia....!
Tidak bisa pergi dari sini.
Perahu kita masih ada. Entah dimana nak nakal itu!!
Suheng, Suci tidak nakal!
Ahh.... dia harus dapat ditemukan kembali, Bagaimana kalau terjadi sesuatu
dengan dia? Suheng, aku khawatir sekali....!
Tenanglah. Kaupersiapkan saja
makan malam. Aku akan mencari Maya ssmpai depat.! Han Ki pergi lagi mencari,
kini dia tidak menyembunyikan kekhawatiran hatinya dan mulai berteriak-teriak
nyaring memanggil nama Maya.
Mayaaaaa....! Sumoi....! keluarlah....!
Di mana engkau....?!
Suara Han Ki bergema di
seluruh permukaan pulau karena dia mengerahkan tenaga dari dalam perutnya,
mempergunakan khi-kang yang kuat sekali. Mendengar suara itu Siauw Bwee merasa
makin khawatir. Dia melanjutkan persiapannya membuat makan malam untuk mereka
bertiga dan dia mendengarkan gema suara Han Ki dari jauh.
Maya....! Maya....! Maya....!!
Tidak ada orang lain mendengar
suara nyaring bergema ini kecuali Siauw Bwee dan tentu saja Maya yang
bersembunyi! Maya tersenyum, hatinya puas. Memang dia sejak tadi bersembunyi
dan memang itulah keinginan hatinya, bersembunyi tidak mau keluar lagi agar Han
Ki susah payah menca rinya, agar suhengnya dan sumoinya cemas memikirkannya,
terutama sekali suhengnya! Ia tersenyum mendengar suara Han Ki
memanggil-manggil namanya dan ia tahu bahwa suhengnya tentu mencarinya di
seluruh permukaan pulau itu. Tentu saja dia tidak bodoh bersembunyi di pulau
yang kosong itu. Dia bersembunyi di tempat yang tidak akan disangka-sangka oleh
suheng dan sumoinya, yaitu di dalam ruangan bawah istana!
Biar dia tahu rasa, demikian
pikir Maya. Hatinya gemas sekali kalau mengingat betapa Han Ki membuatkan
mainan sumoinya dan dalam pertengkaran tadi jelas bahwa suhengnya membela
sumoinya, bahkan memarahinya di depan sumoinya. Hatinya sakit sekali. Biar
sekarang dia mencariku setengah mati, aku tidak akan kembali kepada mereka!
Akan tetapi, ke mana dia dapat
pergi? Kalau terus bersembunyi di dalam ruangan bawah itu, tentu suheng dan
sumoinya akan dapat menemukannya. Maya mencari-cari tempat sembunyi. Melihat
arca batu yang tadinya mereka pakai sebagai alat melatih tiam-hoat, yang kini
sudah pecah dan hanya tinggal kaki dan pinggangnya saja yang masih berdiri di
situ, hatinya makin sakit, teringat ia betapa dalam latihan itu pun ia dimarahi
suhengnya karena membikin pecah arca. Ahh, pecahan arca itu masih berada di
situ.
Kalau dia tumpuk di depan rak
senjata, tentu merupakan tempat sembunyi yang baik, yaitu di belakang tumpukan,
di bawah kolong rak senjata. Berpikir demikian, Maya lalu menghampiri arca yang
tinggal setengah badan bagian bawah, kemudian ia memeluk kaki arca itu,
mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya. Namun, arca itu sama sekali tidak dapat
ia gerakkan! Ia berdiri memandang penuh penasaran. Sin-kangnya sudah kuat, masa
dia tidak dapat mengangkat batu ini? Menurut ukurannya, biar arca itu masih
utuh sekalipun pasti dia akan kuat mengangkatnya. Mengapa kaki arca ini tak
dapat dia angkat sedikit pun? Ia menjadi penasaran, kembali membungkuk, memeluk
kedua kaki arca dan mengerahkan tenaga, menarik, membetot dan memutar.
Sisa arca itu tidak terangkat
akan tetapi tergeser dan betapa heran rasa hati Maya ketika melihat bahwa di
bawah landasan kaki arca itu, lantainya berlubang? Akan tetapi keheranannya
berganti kegirangan dan ia berkata, Inilah tempat sembunyi yang baik!! Tanpa
ragu-ragu lagi ia lalu memasuki lubang itu dan kembali dia terheran-heran
karena di bawah lubang terdapat anak tangga dari batu. Dengan penuh keheranan,
lupa akan niatnya bersembunyi sehingga dia tidak menutup lagi kaki arca di atas
lubang dengan hati-hati Maya menuruni anak tangga batu itu, terus ke bawah.
Kiranya di bawah arca itu terdapat sebuah lorong rahasia ke bawah tanah!
Dengan hati-hati akan tetapi
sedikitpun juga tidak merasa takut, Maya melanjutkan perjalanannya menuruni
lorong kecil, Dia dapat menduga bahwa lorong ini memang sengaja dibuat orang,
berada di bawah istana dan hal ini selain terbukti dari adanya anak tangga
batu, juga karena lorong ini tidaklah gelap, melainkan mendapat penerangan dari
atas, yaitu datang dari sinar penerangan melalui lubang-lubang rahasia.
***
Akan tetapi karena penerangan
di malam itu hanya datang dari beberapa buah kamar saja di atas, yaitu
kamarnya, kamar Siauw Bwee dan kamar Han Ki, juga di dapur, maka makin ia turun
ke bawah makin gelaplah cuaca. Maya berhenti dan duduk mengaso.
Teringatlah ia kembali akan
tujuannya semula, yaitu bersembunyi. Ah, tempat sembunyi yang baik dan tidak
mungkin Han Ki dapat mencarinya di sini. Ia ter senyum puas, akan tetapi mulai
merasa ngeri karena tak lama kemudian tempat itu menjadi gelap sekali. Hal ini
karena adalah penerangan di dapur, yang letaknya di atas tempat itu, dipadamkan
oleh Siauw Bwee yang sudah selesai memasak.
Dia tidak ada!! Kata Han Ki sambil
menghela napas panjang, kini penuh kekhawatiran.
Begini gelap, tentu sukar
mencarinya,! kata Siauw Bwee.
Besok akan kucari lagi sampai
dapat. Heran sekali, ke mana perginya anak nakal itu?!
Dia tidak nakal, Suheng....!
Kembali pemuda itu menghela
napas, Hemm, dia seringkali mengganggumu dan kau selalu melayaninya, akan
tetapi sekarang kau selalu membelanya. Kau makanlah, Sumoi.!
Marilah, Suheng.!
Makanlah, aku tidak lapar.!
Suheng mengkhawatirkan
keselamatan Suci?!
Tentu saja. Entah di mana anak
itu. Aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Dia lenyap, bagaimana aku tidak
khawatir?!
Kalau Suheng tidak mau makan,
aku pun tidak makan.!
Makanlah, Sumoi, aku akan
pergi lagi mencarinya.! Han Ki berkelebat keluar untuk mencari lagi sumoinya
yang hilang.
Siauw Bwee berdiri menghadapi
makanan, alisnya berkerut. Dia.... dia mencintai Suci! Tiba-tiba ia menjatuhkan
diri di atas bangku dan menyandarkan muka berbantal lengan di atas meja,
pundaknya bergoyang-goyang. Siauw Bwee menangis!
Semalam itu Siauw Bwee tidak
tidur, gelisah di dalam kamarnya. Makanan yang telah dibuatnya dan disediakan
di ruangan belakang di atas meja, tidak tersentuh. Juga Han Ki tidak tidur,
bahkan semalaman itu ia tidak kembali ke istana, karena dia terus mencari Maya
di seluruh Pulau Es, beberapa kali mengelilingi pulau sehingga setiap tempat
yang mungkin dijadikan tempat sembunyi sumoinya itu dijenguknya sampai dua tiga
kali. Namun hasilnya sia-sia belaka.
Setelah matahari terbit, ia
berdiri termenung di tepi laut. Tiba-tiba ia menepuk kepalanya sendiri. Ah, ke
mana Maya dapat pergi? Tidak mungkin dapat meninggalkan pulau tanpa perahu!
Tentu berada di pulau dan karena semalam penuh ia mencari di luar istana, tentu
sumoinya itu bersembunyi di dalam istana! Mengapa dia begini bodoh? Bergegas ia
lari memasuki bangunan besar itu dan mencari-cari. Semua kamar dimasukinya dan
akhirnya ia memasuki ruangan bawah, tempat mereka berlatih tiam-hiat-hoat.
Begitu masuk, ia mencium sesuatu yang aneh, harum-harum dan amis, juga tampak
olehnya lubang di atas lantai dekat kaki arca yang pecah! Ia terbelalak heran,
kemudian tanpa ragu-ragu lagi ia merayap memasuki lubang itu.
Maya yang tertidur sambil
duduk bersandar dinding batu, terbangun dan melihat betapa tempat yang gelap
itu kini menjadi terang. Ia dapat menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi
karena sinar yang masuk dari atas adalah sinar matahari. Timbul keinginan
hatinya untuk melanjutkan penyelidikannya, maka ia terus berjalan turun,
menuruni anak tangga batu.
Dari jauh ia sudah mencium bau
harum yang aneh di sebelah bawah. Ketika ia tiba di akhir anak tangga batu dan
melihat ke depan ternyata bahwa anak tangga itu berakhir di dalam sebuah
ruangan yang lebar dan di atas lantai tampak uap mengebul memenuhi ruangan. Ia
tertarik dan mendekat.
Tiba-tiba ia menjerit dan
membalikkan tubuh hendak lari naik karena kini matanya yang sudah biasa dapat
melihat di balik uap putih itu terdapat banyak sekali ular merah. Puluhan,
bahkan ratusan ekor banyaknya! Ular-ular berkulit merah berdesis-desis saling
belit dan agaknya ular-ular itu melihat kedatangannya karena ular-ular itu
mengangkat kepala memandang kepadanya dengan lidah bergerak-gerak cepat keluar
masuk mulut yang kebiruan Dengan hati penuh kengerian Maya melangkah hendak
lari menaiki anak tangga dan pergi dari tempat yang menyeramkan itu, akan
tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pusing, pandang matanya berkunang dan seluruh
tubuhnya panas, kakinya gemetar lemas dan akhirnya gadis cilik ini terguling
roboh di atas anak tangga.
Ratusan ekor ular merayap
perlahan menghampirinya, akan tetapi karena anak tangga itu terbuat dari batu
dan licin, maka ular-ular itu tidak dapat merayap naik, baru sampai dekat kaki
Maya sudah terpeleset jatuh kembali ke bawah. Akan tetapi, uap putih harum amis
yang keluar dari mulut wereka makin tebal memenuhi ruangan. Maya tidak melihat
kengerian ini karena dia sudah pingsan, rebah terpelanting di atas anak tangga.
Maya....!! Han Ki terkejut dan
cemas sekali menyaksikan tubuh Maya menggeletak di atas anak tangga sedangkan
di bawahnya, ratusan ekor ular merah berusaha untuk merayap naik. Cepat pemuda
yang banyak pengalaman dan maklum bahwa uap putih harum itu adalah hawa
beracun, menahan napas dan menyambar tubuh Maya, dibawanya lari naik menjauhi
gumpalan uap. Kemudian ia menurunkan tubuh Maya di atas lantai lorong yang
rata, memeriksa nadi pergelangan tangan Maya. Ia bernapas lega. Jalan darah
sumoinya tidak berubah, pernapasannya biasa, hanya tubuhnya agak panas dan
mungkin sumoinya pingsan karena kaget. Cepat ia memijit beberapa jalan darah di
tengkuk dan pundak Maya.
Maya mengeluh, bergerak
perlahan, membuka mata dan napasnya mulai terengah-engah! Hal ini mengherankan
hati Han Ki, juga mendatangkan rasa khawatir. Ia memeluk tubuh sumoinya,
mengangkat kepala gadis cilik itu dan mengguncang-guncangnya.
Maya-sumoi....!!
Maya memandang kepada Han Ki.
Pemuda ini terkejut. Sepasang mata yang indah itu kini mengandung sinar yang
amat luar biasa, seolah-olah mengeluarkan api, wajah yang jelita itu menjadi
kemerahan, mengingatkan ia akan wajah kekasihnya dahulu, yaitu puteri Sung Kwi
di waktu berlumba asmara dengan dia!
Maya....!
Han Ki tidak dapat melanjutkan
kata-katanya saking kagetnya ketika tiba-tiba Maya merangkul lehernya dengan
kedua lengan, merangkul erat-erat dan menyembunyikan muka ke dadanya,
didekapkan kuat-kuat sambil berbisik, Suheng.... ah, Suheng....!! Kemudian
gadis cilik itu menangis! Suheng.... apakah kau sayang kepadaku....?!
Hati Han Ki menjadi lega
karena tangis menandakan bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan tetapi sikap
dan pertanyaan Mayamembuat ia merasa aneh.
Tentu saja aku sayang padamu,
Sumoi,! jawabnya dengan cepat, karena memang tentu saja dia sayang kepada
sumoinya, baik Maya maupun Siauw Bwee.
Jawaban ini dijawab dengan
rangkulan yang lebih ketat lagi sehingga ia merasa tidak enak sendiri, lalu
berusaha melepaskan rangkulan Maya. Akan tetapi, kedua lengan itu merangkul
makin ketat dan mulut Maya betbisik, Peluklah aku erat-erat.... Suheng....,
jangan lepaskan lagi....!!
Maya....!! Han Ki berseru
kaget dan jantungnya berdebar.
Suheng.... aku cinta padamu,
Suheng.... ahhh....!! Kini Maya mengangkat mulutnya dan membuat gerakan hendak
mencium pipi Han Ki. Pemuda itu terkejut seperti diserang ular berbisa. Melihat
mata yang penuh gairah dari sumoinya, ia mengerti bahwa tentu uap putih harum
itu yang mengandung racun aneh sehingga mempengaruhi watak Maya yang luar biasa
ini, seolah-olah gadis cilik itu berubah menjadi seorang wanita yang penuh
nafsu berahi! Cepat ia menotok tubuh sumoinya sehingga Maya mengeluh dan
terkulai lemas, kemudian ia memondongnya dan membawanya lari naik.
Suheng....! Suci kenapa....?!
Siauw Bwee ternyata mencari sucinya dan berhasil menemukan lubang rahasia. lalu
memasukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naik dari bawah memondong tubuh
sucinya yang terkulai lemas.
Khu-sumoi, lekas kembali! Di
sini berbahaya!! kata Han Ki. Ucapan ini mengejutkan Siauw Bwee dan
bersama-sama mereka lari naik dan keluar dari lubang di lantai ruangan bawah.
Karena lubang itu kecil, maka Siauw Bwee yang keluar lebih dahulu membantu
tubuh Maya yang didorong keluar dari bawah oleh Han Ki. Kemudian Han Ki
memondong tubuh itu dibawa ke dalam kamar Maya yang berada di sebelah kamar
Siauw Bwee.
Di bawah banyak ular merah
beracun. Agaknya dia terkena racun uap putih yang keluar dari mulut ular-ular
itu,! kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh Maya. Gadis itu
segera tertidur pulas, Dia perlu beristirahat, biarkan dia tidur agar hawa
beracun lenyap dari tubuhnya.!
Sehari semalam Maya tidur
pulas, bahkan dia tidak terbangun ketika Siauw Bwee menuangkan air obat yang
dibuat oleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han Ki duduk bersila dan menempelkan
telapak tangannya di punggung Maya, menggunakan sin-kangnya untuk membersihkan!
tubuh sumoinya dari pengaruh hawa beracun. Pada keesokan harinya, Maya
terbangun dan ia bangkit duduk, mengusap-usap matanya dan memandang kepada
Siauw Bwee.
Ular.... banyak sekali....,
ular merah....!! katanya gugup.
Siauw Bwee merangkulnya dengan
hati lega. Engkau sudah aman, Suci. Suheng menyelamatkanmu.!
Aku di sini, Sumoi,! Han Ki
memasuki kamar, menekan perasaannya agar guncangan hatinya tidak terlihat di
wajahnya. Diapun menekan kemarahannya atas perbuatan Maya yang membingungkan
dia dan Siauw Bwee semalam suntuk.
Ahhh, kini aku teringat....
lubang rahasia di bawah arca.... lorong di bawah tanah.... dan ular-ular merah!
Hiiih, menjijikkan! Suheng, kaumaafkan aku, ya?!
Tidak ada yang perlu
dimaafkan, Sumoi. Aku girang bahwa engkau selamat. Ular-ular itu berbahaya
sekali, entah bagaimana bisa berada di bawah sana. Harus dibasmi.!
Aku ikut, Suheng!! Siauw Bwee
berkata penuh semangat.
Aku juga ikut!! kata Maya
sambil melompat turun dari pembaringan. Han Ki tersenyum. Maya telah pulih
kembali, telah memperlihatkan sikap tidak mau mengalah seperti biasa.
Memang aku akan mengajak
kalian akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam tadi?!
Aku belum!! jawab Maya,
mendadak merasa betapa perutnya lapar sekali. Bukan hanya semalam, sudah dua
hari dua malam aku tidak makan!!
Aku juga belum sama sekali!!
Siauw Bwee berkata.
Aihh! Mengapa Sumoi?!, Maya
bertanya.
Dia gelisah memikirkanmu, mana
bisa makan?! Han Ki berkata.
Maya memandang Siauw Bwee,
lalu merangkul dan mencium pipi sumoinya. Melihat ini, Han Ki berdebar,
teringat akan perbuatan Maya seperti itu terhadapnya ketika Maya dikuasai racun
ular.
Sumoi, kau baik sekali! Aku
sungguh sayang kepadamu, Sumoi!!
Siauw Bwee balas memeluk. Maka
jangan kau pergi lagi, Suci. Aku tidak bisa makan dan tidur kalau, kau pergi,!
jawab Siauw Bwee.
Tiba-tiba Maya menoleh kepada
Han Ki. Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?!
Jantung Han Ki berdebar. Ia
seperti melihat betapa sinar mata Maya ini berbeda dari biasanya, bukan pandang
mata kanak-kanak lagi, melainkan pandang mata seorang gadis yang sudah mulai
dewasa, pandang mata seorang wanita! Ia menekan debar jantungnya dan memasang
muka cemberut, menjawab, Aku setengah mati mencarimu, mana ingat makan dan
tidur?!
Aihh! Aku membikin susah
kalian! Maafkan saja. Biar kumasakkan yang enak untuk kalian!! Maya berlari ke
dapur dan Siauw Bwee tertawa, menoleh kepada Han Ki, berkata,
Lihat! Suci begitu baik, mana
bisa dibilang nakal?! Dan ia pun lari mengejar untuk membantu Maya
mempersiapkan makanan.
Setelah makan, tiga orang itu
lalu bersama memasuki lorong rahasia di bawah tanah. Tadinya Siauw Bwee dan
Maya membawa sebatang pedang karena mereka bermaksud untuk membunuh ular-ular
berbahaya itu. Akan tetapi mereka dilarang oleh Han Ki yang berkata,
Ular-ular itu berbahaya
sekali. Baru uap yang keluar dari mulut mereka saja sudah amat berbahaya. Tidak
mungkin kita dapat mendekati binatang-blnatang itu untuk membunuhnya.!
Habis, bagaimana baiknya,
Suheng?! tanya Maya yang masih belum tahu bahwa dia nyaris menjadi korban uap
beracun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun ular merah itu masih belum lenyap
sama sekali dari tubuhnya, yang membuat ia kini merasa ada sesuatu yang aneh
dalam hatinya terhadap Han Ki, yang mendatangkan gairah dan rangsangan berahi
namun belum dimengerti benar oleh hatinya yang masih belum matang.
Aku akan menggunakan api.
Tidak mungkin ular-ular itu berada di sana tadinya. Suhu tentu tidak akan
membuarkan ular-ular berbahaya itu memenuhi ruangan. Tentu ular-ular itu datang
dari lain tempat, maka biarlah kuusir mereka itu dari ruangan bawah tanah.
Kalau tidak mau pergi, binatang-binatang itu akan kubasmi dengan api.!
Selama tinggal di Pulau Es,
Han Ki beberapa kali pergi menggunakan perahu untuk mencari bahan makanan,
binatang buruan, buah-buahan dan sayur-sayuran, juga ranting-ranting kering
untuk bahan bakar darl pulau-pulau yang berdekatan. Kini ia merrrbawa
ranting-ranting dan daun kering serta menyalakan obor rnemasuki lorong rahasia
itu bersama kedua orang sumoinya yang juga membawa ranting-ranting kering.
Dengan hati-hati mereka
menuruni annk tangga , dan dari atas tampaklah oleh mereka ular-ular itu dengan
uap yang harum.
Kita nyalakan ranting-ranting
dan melemparkan ke bawah. Akan tetapi hati-hatilah, kalau mendekat ke sana
harus menahan napas. Jika sudah tidak tertahan, segera naik lagi dan bernapas
di tempat yang tak ada uap putihnya. UA itu berbahaya sekali!! Han Ki berkata,
Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting berapi di dekat anak tangga agar jangan
sampai menimbulkan kebakaran. Kulihat di sudut ruangan itu ada lemari dan meja,
jangan sampai barang barang itu terbakar. Siapa tahu kalau-kalau Suhu menyimpan
sesuatu di sana.!
Tiga orang itu membakar
ranting dan melemparkan ke bawah. Melihat menyambarnya ranting-ranting berapi
itu, beberapa ekor ular lalu menerjang dan tentu saja mereka bertemu dengan api
dan seketika mereka berkelojotan. Han Ki dan kedua orang sumoinya melemparkan
lagi beberapa batang ranting berapi. Kembali ular-ular itu menyerang sambil
mendesis-desis dan begitu bertemu api, binatang-binatang itu berkelojotan dan
menyerang kawan sendiri membabi buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahu
bahwa benda-benda bernyala itu berbahaya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik,
bergerak saling terjang, saling belit dan berlumba lari memasuki sebuah lubang
yang terdapat di sudut ruangan itu.
Dua tiga kali Maya dan Siauw
Bwee, meloncat naik ke atas menjauhi uap beracun untuk bernapas, sedangkan Han
Ki yang lebih kuat masih bertahan terus.
Lihat, mereka lari dari sebuah
lubang. Sudah kuduga, tentu ada lubangnya yang menembus ruangan itu. Mereka
menggunakan ruangan itu sebagai sarang!!
Dengan hati penuh rasa jijik
dan ngeri Maya dan Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerak pergi dan tak lama
kemudian, di ruangan itu hanya tinggal belasan ekor ular yang mati dan ada yang
masih berkelojotan. Uap putih yang tadi memenuhi ruangan bawah itu kini telah
lenyap pula, keluar dari lubang-lubang di atas dari mana sinar matahari
menerobos masuk. Agaknya lubang-tubang di atas itu memang sengaja dibuat untuk
lubang hawa dan lubang memasukkan sinar matahari.
Heii, di lemari itu ada
kitab-kitab!! Maya berseru dan hendak berlari turun. Akan tetapi, Han Ki
memegang lengannya mencegah,
Hati-hati, Sumoi. Biarpun
ular-ular telah pergi dan uap telah lenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh
racun bekas ular. Biarkan aku saja yang turun membersihkan tempat itu dan
memeriksa kitab-kitab.! Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Han Ki
menuruni anak tangga dan menggunakan kakinya melernpar-lemparkan bangkai dan
tubuh ular yang berkelojotan keluar dari lubang kecil di sudut ruangan.
Kemudian pemuda ini mencabut pedang, memotong dinding batu yang cukup besar
lalu menggunakan sebongkah batu itu menutupi lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan
ruangan.
Dengan pengerahan tenaganya,
ia mendorongkan batu sebesar lubang itu lebih dulu sebagal penyumbat, baru
meletakkan batu besar itu di luar lubang. Kemudian ia menghampiri lemari yang
daun pintunya terbuka separuh memperlihatkan beberapa jilid kitab tua. Akan
tetapi, baru saja tiba di depan lemari, ia melihat bahwa lemari itu tadinya
tertutup dan disegel' dengan sepotong kain sutera yang ada tulisannya. Agaknya
karena tua dan lapuk, terutama ' sekali karena bisa ular, kain itu robek dan daun
pintunya terbuka separuh. Han Ki mengenal tulisan di atas kain, yaitu tulisan
tangan suhunya dengan huruf-huruf kembang yang amat rapi, maka dia tidak berani
berlaku lancang. Dipegangnya kain sutera itu, disambungkannya kembali baru
dibaca. Kagetlah ia ketika membaca tulisan suhunya itu!
Ilmu-ilmu silat dalam
kitab-kitab ini amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka, tidak
patut dipelajari pembela-pembela kebenaran dan keadilan.
Membaca tulisan suhunya itu,
Han Ki cepat menutupkan kembali daun pintu lemari, kemudian ia meloncat naik
menghampiri kedua orang sumoinya yang memandang dengan heran.
Suheng, kitab-kitab apakah
itu?! Siauw Bwee bertanya tidak sabar. Seperti juga sucinya, dia selalu ingin
sekali melihat dan mempelajari ilmu-ilmu baru dari kitab-kitab yang berada di
istana itu.
Kenapa tidak diambil, bahkan
tidak kauperiksa isinya, Suheng?! Maya juga bertanya.
Mari kita kembali ke atas,
nanti kuceritakan,! kata Han Ki dan kedua orang sumoinya tidak banyak bertanya
lagi karena melihat wajah serius suheng mereka, setelah tiba di atas, barulah
Han Ki menarik napas panjang dan berkata.
Memang ruangan di bawah itu
hanya pantas menjadi sarang ular. Kitab-kitab itu ternyata lebih berbahaya dari
pada sekumpulan ular berbisa itu.!
Ah, kitab-kitab apakah itu,
Suheng?! tanya Maya.
Kitab-kitab itu sengaja
disembunyikan oleh Siansu agar jangan dibaca orang, dan lemari itu tadinya
dipasangi tulisan suhunya yang melarang orang membaca kitab-kitab yang katanya
amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka dan tidak patut
dipelajari oleh orang-orang gagah pembela kebenaran dan, keadilan.!
Orang buangan di Pulau Neraka?
Siapakah itu, Suheng?! Siauw Bwee bertanya.
Aku sendiri pun tidak tahu
jelas, Akan tetapi ada disebut sedikit di dalam kitab yang kubaca ditempat
keramat penghuni Pulau Nelayan. Ketika kerajaan kecil di Pulau Es ini masih
berdiri, yang istananya kini kita tempati, terdapat orang-orang yang melanggar
peraturan dan dihukum buang ke sebuah pulau yang merupakan neraka dunia, sukar,
bahkan tak mungkin orang hidup di sana, disebut Pulau Neraka. Tentu hanya
orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji saja yang dibuang di sana,
dan melihat betapa rakyat Pulau Es itu saja sudah amat lihai seperti kita
buktikan pada keturunan mereka di Pulau Nelayan, maka para penja hatnya amat
lihai. Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaan orang-orang yang menjadi
tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan tetapi keji bukan
main. Setelah Suhu kita sendiri melarang, perlu apa kita melihat kitab-kitab
keji seperti itu?!
Sekali ini, kedua orang gadis
remaja itu tidak membantah. Akan tetapi diam-diam Maya merasa penasaran dan
tidak setuju. Apa sih kejinya ilmu? Tergantung kepada orangnya! Akan tetapi ia
takut untuk membantah, apalagi mengingat bahwa terdapat larangan oleh suhunya
sendiri. Semenjak peristiwa itu, Maya tidak banyak rewel seperti biasa akan
tetapi ada perubahan yang membuat hati Han Ki makin khawatir, yaitu bahwa
sering kali pandang mata Maya kepadanya mengingatkan ia akan pandang mata
Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, memandangnya penuh cinta kasih! Dia tidak
tahu bahwa diam-diam, sesuai dengan wataknya yang halus, Siauw Bwee juga sering
kali memandangnya seperti itu.
Cinta kasih bersemi di dalam
lubuk hati kedua orang gadis remaja itu terhadap suheng mereka. Dan perlumbaan
di antara mereka dahulu untuk menarik perhatian suheng mereka, kini diam-diam
mereka melanjutkan dengan perlumbaan mencinta pemuda itu!
Hal ini terjadi dengan
diam-diam karena kedua orang gadis yang berangkat dewasa itu mempunyai perasaan
kewanitaan yang halus, yang membuat mereka saling mengerti bahwa mereka
mencinta Han Ki, bukan kasih sayang seorang sumoi terhadap suhengnya, melainkan
kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria. Biarpun keduanya tidak
pernah membuka rahasia hati dari mulut mereka, namun keduanya saling mengerti.
Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Han Ki, dan masih ada lagi hal yang
tidak diketahui Han Ki, yaitu bahwa diam-diam Maya telah turun ke dalam ruangan
rahasia itu dan diam-diam membuka dan membaca kitab-kitab ciptaan tokoh-tokoh
buangan Pulau Neraka!
Yang diketahui oleh Han Ki
hanyalah bahwa kedua orang sumoinya itu belajar Ilmu dengan amat tekunnya
sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat dan semua ini membuat hatinya gembira
sekali karena ia merasa bahwa dia telah memenuhi tugas yang dibebankan suhunya
dengan baik.
Waktu berjalan dengan amat
cepatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah tinggal di atas
Pulau Es selama lima tahun, Kini Maya telah menjadi seorang dara jelita berusia
delapan belas tahun sedangkan Siauw Bwee menjadi seorang gadis cantik berusia
tujuh belas tahun. Biarpun mereka bertiga tinggal di atas pulau yang kosng,
namun untuk kepentingan mereka, Han Ki pergi menggunakan perahunya membeli
bahan-bahan pakaian untuk msreka sehingga mereka selalu dapat berpakaian dengan
baik, seperti telah dapat diduga sebelumnya oleh Han Ki, setelah kini
kepandaian kedua orang sumoinya itu menjadi matang, Siauw Bwee memiliki
gin-kang yang luar biasa sekali, yang memungkinkannya bergerak seperti seekor
burung walet dan pandai pula menggerak. kan tenaga sin-kangnya menjadi tenaga
halus yang memungkinkan dara ini mempergunakan telapak tangannya menghadapi
senjata lawan yang keras dan tajam.
Di lain pihak, Maya juga
memperoleh kemajuan luar biasa, tenaga sin-kangnya mengagumkan, kuat sekali,
terutama sekali tenaga Yang-kang sehingga kalau Maya memainkan ilmu silat yang
sifatnya panas, dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang panas seperti
api membara! Juga Maya dapat bersilat dengan gerakan indah seperti menari-nari
sehingga dara yang memilikl kecantikan luar biasa dan khas Khitan itu tampak
seperti bidadari kahyangan menari-nari.
Han Ki sendiri memperoleh
kemajuan yang sukar diukur lagi. Dia menjadi seorang pendekar sakti yang sukar
dicari tandingnya di waktu itu. Usianyn sudah tiga puluh tahun, namun sikapnya
sudah seperti seorang tua, pendiam dan sering kali bersamadhi. Di samping
kepandaian silatnya, juga kepandaiannya mengukir batu memperoleh kemajuan
karena sering ia latih. Dan pada waktu kedua orang sumoinya telah men jadi
dara-dara dewasa, Han Ki mencari tiga bongkah batu karang yang seperti batu
pualam putih, dan amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga
buah arca mereka dengan penuh ketelitian dan hati-hati.
***
Jangan tinggalkan aku....
ohhh, Koko.... jangan tinggalkan aku...., bawalah aku pergi....!! Rintihan ini
keluar dari mulut seorang wanita muda, seorang gadis berusia delapan belas
tahun yang cantik jelita, yang pakaiannya setengah telanjang dan dicobanya
membetulkan letak pakaian ketika ia turun dari pembaringan menghampiri seorang
laki-laki yang sedang berkemas membetulkan pakaian di dekat pintu kamar.
Kamar itu mewah dan indah,
kamar seorang puteri bangsawan atau hartawan, bersih dan harum semerbak. Dara
itu amat cantik, kulit muka dan lengannya putih seperti salju, halus seperti
sutera. Rambutnya terural lepas, hitam dan panjang agak berombak, berbau harum
sarl bunga. Pakaian yang dipakalnya, yang sedang dibetulkan letakrrya, juga
terbuat dari sutera halus dan mahal. DI atas meja dekat pembarlngan tampak
hiasanhiasan baju dan hiasan-hlasan- rambut daripada emas dan batu kumala,
serba indah, dan mahal.
Mudah diduga bahwa dara
berusia delapan belas tahun ini adalah puteri seorang bangsawan atau seorang
hartawan. Adapun pria yang sedang membetulkan pakaian dengan sikap tidak acuh
itu adalah seorang laki-laki yang tampan dan sikapnya gagah perkasa, berusia
kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya juga indah dan pesolek sekali
sikapnya ketika membetulkan baju dan membereskan rambutnya.
!Aku harus pergi sekarang juga
dan engkau tidak boleh ikut, bahkan tidak boleh mengingat aku lagi. Pertemuan
kita hanya sekali ini dan untuk terakhir kali, sesudah itu, tidak ada apa-apa
lagi di antara kita.!
Dara itu memandang terbelalak,
seolah-olah tidak percaya kepada telinganya sendiri. Benarkah ucapan yang tadi
penuh rayuan, yang manis dan sedap didengar, yang membahagiakan hatinya semalam
suntuk, keluar dari mulut laki-laki ini pula yang sekarang bicara dengan sikap
demikian dingin?
Ah, tidak mungkin! Dara itu
lari ke depan dan menubruk laki-laki itu, merangkul pinggangnya dari belakang
dan menjatuhkan diri berlutut, Koko...., jangan tinggalkan aku...., ahhh, tidakkah
engkau mencintaku? Bukankah tadi telah kaubisikkan kata-kata cinta kepadaku?
Mungkinkah orang seperti engkau akan begitu tega meninggalkan aku? Ahh, Koko!!
Hemm, cinta telah mati di
hatiku. Mati karena cinta palsu perempuan-perempuan sepertimu.!
Koko...., aku...., aku cinta
padamu...., uhu-uhu, dengan seluruh jiwa ragaku....?!. Dara itu menangis.
Engkau? Perempuan? Mencinta
dengan seluruh jiwa raga? Ha-ha-ha!! Laki-laki itu tertawa, akan tetapi suara
tawanya mengandung kepahitan.
Koko...., sudah kubuktikan
tadi cinta kasihku kepadamu. Bukankah sudah kuberikan kepadamu tubuhku,
cintaku, segala-galanya....?!
HA-ha-ha, itukah buktinya
cinta? Seperti semua perempuan yang telah kukenal. Bagimu, bukti cinta adalah
penyerahan tubuhmu? Ha-ha-ha, pergilah, dan biarkan aku pergi!
Tidak....! Tidak....! Koko,
jangan tinggalkan aku. Aku cinta padamu, aku mau meninggalkan semua ini, aku
mau ikut ber samamu, ke mana pun kau pergi!!
Tiba-tiba laki-laki itu
menggerakkan kakinya ke belakang dan tubuh dara itu terlempar ke atas
pembaringan. Dia terbanting ringan dan gerakan laki-laki itu cukup menjadi
bukti akan kelihaiannya. Si Dara terbanting telentang di atas pembaringan dan
menangis terisak-isak memandang laki-laki itu yang perlahan menoleh sambil
berkata,
Tidak ada cinta lagi bagiku!
Aku tidak percaya akan cinta. Yang ada hanyalah nafsu, kebutuhan tubuh. Yang
kauberikan kepadaku tadi juga nafsu! Kita saling berjumpa, saling memberi dan
meminta untuk mernuaskan nafsu, dan habis perkara. Tidak ada bakas-bekasnya lagi.
Engkau tahu aku siapa?!
Engkau seorang pendekar yang
perkasa, yang kucinta....!!
Ha-ha-ha! Sama sekali bukan,
Nona manis. Aku adalah seorang yang dikutuk banyak orang, yang dianggap
sejahat-jahatnya. Aku dijuluki Jai-hwa-sian! Engkau tahu artinya? Jai-hwa-sian
Si Dewa Pemerkosa Wanita! Entah sudah berapa banyak bunga kupetik (Jai-hwa-sian
berarti Dewa Pemetik Bunga), akan tetapi, bukan kupatahkan tangkainya melainkan
kupetik atas kerelaan si bunga sendiri. Ha-ha-ha! Aku penjahat besar
Jai-hwa-sian dan engkau seorang di antara ratusan orang korbanku. Mau Ikut?
Mencintaku? Ha-ha, menggelikan sekali. Selamat tinggal, Nona manis, apa yang
terjadi semalam itu hanya menjadi kenangan manis.!
Sekali berkelebat, laki-laki
itu telah lenyap dari dalam kamar yang mewah. Hanya bayangan saja tampak
melayang keluar dari jendela kamar yang seketika menjadi sunyi senyap, kemudian
disusul dengan isak tangis tertahan dara itu. Terbayanglah semua yang terjadi
oleh dara jelita itu. Tiga hari yang lalu, ketika dia bersama ayahnya berpesiar
naik perahu di telaga, perahunya bertumbukan dengan perahu lain dan terguling.
Untung dari perahu yang menumbuknya itu meloncat keluar seorang pemuda tampan
dan gagah yang menyambar dia dan ayahnya, bahkan membalikkan perahu sekaligus,
dan menurunkan mereka di atas perahu. Ayahnya seorang kaya raya dan tentu saja
para pelayan yang berada di perahu lain cepat memberi pertolongan, akan tetapi
andaikata tidak ada pemuda itu, agaknya ayahnya dan dia akan mengalami
kekagetan dan basah kuyup sebelum tertolong.
Setelah menolong, pemuda itu
tidak menanti ucapan terima kasih, langsung meloncat ke perahunya sendiri yang
ddidayung pergi dengan cepat, tidak mempededulikan teriakan ayahnya. Akan
tetapi, ketika tadi menolongnya, menyambar tubuhnya, ia mendengar bisikan
pemuda itu di telinganya, Malam nanti aku menerima terima kasihmu di dalam
kamarmu, Nona manis.!
Sehari itu Si Dara gelisah,
akan tetapi kadang-kadang kedua pipinya menjadi merah dan jantungnya berdebar
tidak karuan kalau ia terbayang akan wajah yang tampan, bentuk tubuh yang gagah
dan sikap yang halus dari pemuda itu. Dan dia tidak berani menceritakan tentang
bisikan itu kepada orang tuanya. Benarkah pemuda itu membisikkan kata-kata
seperti itu?! Ah, tidak mungkin! Betapapun juga, hatinya menjadi gelisah dan
malam itu ia mengunci semua jendela dan pintu kamarnya. Setelah merebahkan diri
dan menjelang malam baru pulas dengan hati lega akan tetapi juga kecewa, lega
karena yang dlkhawatirkan tidak terjadi akan tetapi juga kecewa mengapa tidak terjadi
(wanita memang aneh), tertidurlah Si Dara manis.
Akan tetapi, belum lama ia
pulas, ia terbangun dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mendapat,
kenyataan bahwa pemuda yang dibayangkan setiap detik sebelum pulas tadi kini
telah rebah di sampingnya! Dia memang ada mengharapkan hal ini, akan tetapi
setelah benar-benar terjadi ia kaget dan takut, lalu membuka mulut hendak
menjerit.
Akan tetapi sekali bergerak,
jari tangan pemuda itu telah menotok jalan darah di lehernya membuat dia tak
dapat mengeluarkan suara. Kemudian, dengan halus dan menarik, pemuda itu
mencumbu rayu, membujuk-bujuk dengan halus sehingga ketika totokannya
dibebaskan, dara ini sama sekali tidak menjerit atau melawan. Jangankan
melawan, bahkan dia membalas setiap rayuan laki-laki yang telah menjatuhkan
hatinya itu. Dia jatuh dan mabok, menyerahkan segalanya dengan hati rela karena
dia merasa yakin bahwa pemuda itu mencintanya, maka tentu akan meminangnya.
Aahhh....!! Dara itu menangis
makin sedih ketika teringat akan itu semua. Kiranya dia menjadi korban seorang
laki-laki yang keji! Dan tidak lama kemudian, terdengar suara aneh dari dalam
kamar itu, seperti suara leher dicekik, suara yang akan menggegerkan seisi
rumah pada esok harinya karena suara itu keluar dari kerongkongan dara yang
tadi menggantung diri di kamarnya!
Laki-laki itu bukan lain
adalah Suma Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena patah hati
sebagai akibat terputusnya cinta kasihnya dengan Ciok Kun Hwa, kemudian
ditambah lagi dengan peristiwa bersama ibu tirinya sehingga dia diusir oleh
ayahnya sendlri, Suma Hoat menjadi seorang laki-laki yang suka mempermainkan
cinta wanita. Mula-mula dia hanya ingin membalaskan sakit hatinya kepada
wanita, akan tetapi lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan dan menjadi
penyakit sehingga dia berubah menjadi seorang yang selalu mencari korban,
seperti seekor burung elang yang selalu kelaparan mengintai dari angkasa
mencari anak ayam! Karena ilmu kepandaiannya tinggi dan tidak pernah ia dapat
ditangkap, bahkan banyak orang gagah yang roboh ketika berusaha menangkapnya,
Suma Hoat diberl julukan Jai-hwa-slan (Dewa Pemetik Bunga), bahkan nama
aselinya dilupakan orang.
Nona hartawan yang menggantung
diri di kamarnya itu adalah korban yang entah ke berapa ratus, dan begitu
keluar dari kamar, Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan diri
dara yang telah menjadi korbannya. Dia tahu bahwa banyak di antara mereka yang
membunuh diri untuk lari dari aib dan malu, ada pula yang diam-diam
merahasiakan peristiwa satu malam itu, akan tetapi dia tidak peduli dan juga
tidak ingin tahu. Begitu keluar dari kamar, dianggapnya bahwa di antara dia dan
korbannya sudah tidak ada sangkut-paut lagi, tidak ada hubungan atau urusan
apa-apa lagi.
Sudah lebih dari lima tahun ia
meninggalkan kota raja, meninggalkan orang tuanya dan selama perantauannya di
dunia kang-ouw, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sepak terjang
orang-orang gagah dan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang
golongan hitam. Biarpun dia sendiri tidak berani menganggap dirinya sebagai
orang gagah atau pendekar budiman, namun di lubuk hatinya ia selalu merasa
kagum kepada para pendekar itu dan muak menyaksikan kelakuan tokoh-tokoh dunia
hitam. Mulailah terbuka mata hatinya betapa ayahnya selama ini melakukan
perbuatan-perbuatan sewenang-wenang dan mulailah ia menaruh penghargaan kepada
Menteri Kam,
paman tuanya yang amat ia
takuti itu. Dan ia berjanji di dalam hatinya untuk berusaha menjadi atau
sedikitnya mencontoh perbuatan-perbuatan para orang gagah. Karena itu, pemuda
ini selalu mengulurkan tangan kepada pihak yang tertindas dan menentang
golongan dunia hitam sungguhpun ia tidak dapat naeninggalkan kesukaannya merayu
wanita-wanita untuk menjadi korbannya, bahkan kalau perlu menggunakan kekerasan!
Ia maklum bahwa perbuatannya itu tidak baik, akan tetapi dia sudah mencandu dan
tidak dapat menghentikannya, terutama sekali kalau ia ingat akan sakit hati dan
patah hatinya. Inilah sebabnya, di samping kebiasaannya memperkosa wanita, ia
pun seringkali menolong orang-orang lemah tertindas sehingga dia di samping
julukan Pemetik Bunga (Pemerkosa) juga di juluki Dewa!
Pada masa itu, terjadilah
perubahan besar. Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan, terutama sekali oleh
Kerajaan Yucen yang menjadi makin kuat, kemudian malah barisan Mongol ikut pula
menyerbu, diam-diam dibantu oleh pasukan-pasukan Sung yang berada dalam
kekuasaan Jenderal Suma Kiat, maka Kerajaan Yucen boleh dibilang tidak ada lagi
saingannya di daerah utara di luar tembok besar. Benar bahwa bangsa Mongol
sudah mulai memperlihatkan kekuatannya, namun bangsa ini sedang membangun dan
menyusun kekuatan mengatasi bentrokan-bentrokan di dalam, di antara bangsa
sendiri. Maka bangsa Yucen menjadi makin kuat sehingga bangsa ini mendirikan
sebuah wangsa baru yang disebut Wangsa Cin.
Namun segera menjadi kenyatean
pahit bagi Kerajaan Sung bahwa Kerajaan Cin yang baru ini ternyata lebih bengis
dan sewenang-wenang daripada Kerajaan Khitan yang sudah runtuh. Biarpun dahulu
Kerajaan Khitan juga merupakan kerajaan kuat yang selalu menjadi ancaman untuk
Kerajaan Sung, dan setiap tahun Kerajaan Sung mengirim upeti sebagai tanda
persahabatan, namun Raja Talibu dari Kerajaan Khitan yang masih ingat akan
darahnya yang separuh darah Han, tidak terlalu mendesak dan selalu
memperlihatkan sikap yang bersahabat dan saling menghormat. Kini bangsa Cin
yang tahu akan kelemahan Sung, menuntut upeti yang lebih besar dan yang
sifatnya memaksa, seolah-olah upeti harus dlberikan sebagai tanda pengakuan
kebesaran kerajaan baru Cin.
Kalau dahulu bangsa Khitan
tidak pernah mengganggu Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai memperlihatkan
keserakahannya, bersikap menghina kepada bangsa Han, bahkan sedikit demi
sedikit daerah-daerah di utara yang termasuk wilayah Sung dirampas dengan
kekerasan. Kerajaan Sung tak dapat mempertahankan daerah ini dan selalu didesak
mundur ke selatan.
Melihat keadaan ini, bangsa
Han pada umumnya, terutama sekali kaum patriot dan orang gagah, menjadi cemas
dan kecewa sekali. Tentu saja kekecewaan ini terutama mereka tujukan kepada
pemerintah Sung yang amat lemah. Kaisar telah berada dalam cengkeraman para
pembesar tinggi yang korup, hidup Kaisar dan keluarganya terlalu mewah, yang
diperhatikan hanyalah kesenangan-kesenangan pribadi saja, seolah-olah tidak
mempedulikan betapa rakyatnya di sebelah utara ditindas, dirampok, ditawan dan
dipaksa oleh bangsa Yucen yang kini mempunyai Kerajaan Cin yang makin kuat.
Pesta pora, bersenang-senang, melakukan pemilihan dara-dara muda jelita setiap
bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara cantik, membuang-buang
kakayaan semena-mena tanpa mempedulikan bahwa semua itu adalah hasil keringat
rakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakanoleh kaisar dan keluarganya setiap
saat
Di luar istana,
pembesar-pembesar korup berbuat sekehendak hatinya, merajalela tanpa ada
pengawasan, masing-masing mempunyai kekuasaan seperti raja-raja kecil di daerah
masing-masing, mempergunakan kekuasannya untuk melakukan apa saja demi
kesenangan diri pribadi, memeras, memaksa, merampas dan mengadakan
peraturan-peraturan yang menekan bawahan. Setiap protes dan nasihat dianggap
melawan kekuasaan dan terjadilah penangkapan-penangkapan dan hukuman-hukuman
serta pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang.
Di sebelah dalam istana
sendiri, Kaisar hanya seperti boneka hidup yang tenggelam dalam pelukan
data-dara muda jelita, dalam arak-arak wangi dan hidangan serba lezat, mabok
oleh tubuh ramping berlenggak-lenggok menari, terbuai suara musik dan
nyanyian-nyanyian merdu, dan terlena oleh bisik dan bujuk rayu kaum penjilat.
Kekuasaan yang sesungguhnya tidak terletak di tangan Kaisar, melainkan dipegang
oleh para pembesar thaikam (orang kebiri) melalui lidah dan tubuh menggairahkan
pera selir.
Sedemikian besar kekuasaan dan
pengaruh para thaikam dan selir muda itu sehingga boleh dibilang seluruh urusan
kerajaan merekalah yang memutuskannya. Urusan pengangkatan pembesar-pembesar,
baik sipil maupun militer tergantung kepada mereka. Mereka mengajukan usul dan
Kaisar menelannya begitu saja. Karena ini, timbullah sistim konco-isme,
keluarga-isme, dan sogok-isme, sogokan yang berupa apa saja, benda mati maupun
benda hidup, benda mati berupa emas permata dan sutera-sutera halus, benda
hidup berupa dara-dara jelita!
Keadaan semacam ini tentu saja
mengakibatkan makin lemahnya Kerajaan Sung. Para tokoh kang-ouw, para
partai-partai persilatan dan perkumpulan-perkumpulan orang gagah merasa marah
sekali dan kecewa bukan main sehingga mereka mulai membenci kerajaan yang
dipimpin oleh orang-orang lalim itu. Mereka ini lalu terpecah-pecah, mendukung
dan membantu pembesar-pembesar dan raja-raja muda yang menguasai daerah-daerah
dan yang mulai memberontak dan tidak mengakui kedaulatan pemerintah Kerajaan
Sung pusat.
Yang paling dibenci oleh
tokoh-tokoh kang-ouw dan oleh pembesar-pembesar daerah, di antara para pembesar
daerah, di antara pembesar pusat yang korup, adalah Jenderal Suma Kiat.
Kebencian mereka memuncak ketika pera pembesar daerah ini mendengar akan
perbuatam Suma Kiat terhadap Menteri Kam yang mereka hormati, mereka percaya
sepenuhnya sebagai penegak keadilan dan satu-satunya pembesar yang paling
berani dalam menentang perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri, menjadi
tewas. Bukan hanya para pmbesar daerah yang membenci Suma Kiat, juga terutama
sekali para tokoh kang-ouw yang menaruh hormat kepada putera Suling Emas itu,
menjadi sakit hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri Kam.
Mulailah terjadi
kesimpangsiuran dan bentrokan-bentrokan ketika pata pembesar daerah ini
berkuasa dan berdaulat di daerah masing-masing dan mulailah penghidupan para
pembesar kerajaan Sung menjadi tidak aman, setiap saat mereka terancam oleh
pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw dan juga mata-mata
para pembesar daerah.
Hampir semua partai persilatan
mengadakan aksi anti Kaisar dan anti Kerajaan Sung. Kecuali Siauw-lim-pai. Pada
waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tua yang amat
tinggi ilmunya, yaitu Kian Ti Ho Siang. Menghadapi kekacauan di Kerajaan Sung,
ketika para muridnya menyatakan pendapat ketua mereka, Kian Ti Hosiang
merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata,
Omitohud...., segala peristiwa
telah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan menjadi akibat daripada sepak terjang
manusia yang selalu dikuasai nafsu pribadinya! Kita adalah orang-orang beragama
yang bertugas menyebarkan agama, ada sangkut-paut apakah dengan urusan
kerajaan? Siapa pun yang menjadi pembesar, bagi kita sama saja, mereka adalah
manusia-manusia yang belum sadar dan sudah menjadi kewajiban kita untuk memberi
penerangan. Mengikuti perputaran dan pertentangan kerajaan, berarti terjatuh ke
dalam api permusuhan dan hal ini sungguh bertentangan dengan sifat kita. Tidak,
Siauw-lim-pai tidak boleh terbawa-bawa dan kalian semua pinceng larang untuk
mencampuri pertentangan di antara pembesar-pembesar daerah, orang-orang kangouw
dan pemerintah pusat.!
Maaf, Supek, teecu sekalian
tentu saja mentaati pesan Supek dan semua nasihat Supek benar belaka,! kata
seorang hwesio yang menjadi murid kepala, yaitu Ceng San Hwesio yang dianggap
sebagai seorang hwesio yang paling maju! dan yang diharapkan kelak menggantikan
kedudukan Ketua Siauw-lim-pai setelah ketua sekarang yang terhitung supeknya
itu mengundurkan diri, akan tetapi apabila badai mengamuk, semua pohon besar
kecil akan diamuk badai. Binatang-binataang kecil seperti burung sekalipun akan
berusaha menyelamatkan diri, apakah kita harus mandah saja menjadi korban
keganasan badai?!
Dengan ucapannya ini, Ceng San
Hwesio hendak mengatakan bahwa pertentangan antara para pembesar daerah dibantu
orang kang-ouw dengan pemerintah pusat tentu akan mendatangkan perang dan
mereka tentu akan terlanda akibat perang.
Kian Ti Hosiang
mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim-pai, disamping menjadi
kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian, penegak
kebenaran dan tentu saja merasa penasaran menyaksikan kelaliman merajalela.
Pohon akan tunduk oleh
kekuasaan alam dan akan condong ke mana angin bertiup tanpa perlawanan.
Mencontoh sifat pohon bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak
dapat mencontohnya tirulah sifat burung dilanda badai, yaitu mencari
perlindungan dan keselamatan diri tanpa merusak dan merugikan pihak lain. Nah,
kalian tentu mengerti dan laksanakanlah pesan pinceng ini. Setelah berkata
demikian, Kian Ti Hosiang bersila dan memejamkan matanya. Ini merupakan tanda
bagi para murid bahwa ketua itu mengakhiri wawancara dan telah mulai
bersamadhi. Maka mereka pun bubaran.
Demikian sikap Ketua
Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh semua
cabang-cabang Siauw-lim-pai yang tersebar dimana-mana. Sikap ini adalah tidak
ingin mencampuri pertentangan dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan, tidak
melakukan perbuatan permulaan ke arah permusuhan, namun hanya boleh bertindak
menyelamatkan orang lain.
Cabang Siauw-lim-pai di kota
Lo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para hwesio Siauw-lim-pai di cabang
itu melakukan tugas mereka sehari-hari di dalam kelenteng dengan tekun dan
tenteram, menyebar pelajaran tentang kasih sayang dan membantu rakyat yang
membutuhkan bantuan. Beberapa kali mereka didatangi tokoh-tokoh kang-ouw, kaki
tangan para pembesar daerah, dan petugas-petugas pembesar pusat untuk menarik
mereka yang merupakan tenaga kuat untuk berpihak, namun semua permintaan
ditolak dengan halus oleh Gin Sin Hwesio, ketua kelenteng Siauw-lim-pai di
Lo-kiu itu.
Pada waktu itu memang belum
ada terjadi perang terbuka, namun telah ada bentrokan-bentrokan kecil antara
kaki tangan masing-masing pihak dan di mana-mana, termasuk di Lo-kiu, terdapat
pertentangan paham dan diam-diam terdapat mata-mata semua pihak yang saing
menyelidiki. Namun seperti biasa, rakyat yang sudah kenyang akan pertentangan
itu dan mash melanjutkan usaha mereka seperti biasa, seolah-olah tidak pernah
terjadi sesuatu.Perdagangan masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran masih
penuh tamu yang datang untuk makan minum sambil bercakap-cakap.
Di tempat-tempat seperti
inilah sering kali dijadikan tempat pertemuan antara teman golongan
masing-masing sehingga tidak jarang pula terjadi bentrokan-bentrokan yang
mengakibatkan luka-luka dan kematian. Akan tetapi, hal ini amatlah mengherankan
dan mengagumkan pihak yang melakukan bentrokan selalu mengganti kerugian
pemilik restoran atau rakyat yang menderita rugi akibat bentrokan-bentrokan
itu.
Hal ini adalah karena
masing-masing golongan bukan hanya saling bermusuhan, akan tetapi juga berlumba
untuk merebut hati rakyat yang amat diperlukan dukungannya. Karena itulah, maka
pemilik restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya bentrokan-bentrokan
bahkan sebagai pedagang-pedagang cerdik, setiap terjadi bentrokan yang
merusakkan perabot restoran, mereka berkesempatan menarik keuntungan dengan
menaikkan jumlah penafsiran ganti rugi! Juga para pembesar setempat selalu
bersikap bijaksana, tidak mencampuri bentrokan-bentrokan itu karena sekali
mereka ini mencampuri dan berat sebelah, berarti mereka akan menanam
permusuhan!
Pada suatu pagi, restoran itu
sudah hampir penuh oleh tamu yang datang berbelanja. Ketika seorang pemuda
tampan yang pakaiannya indah, dengan pedang bergantung di punggung, gagah
sekali sikapnya, memasuki restoran, pelayan menyambutnya dengan ramah dan
mempersilakan duduk di meja sudut sebelah dalam yang kosong. Pemuda ini bukan
lain adalah Suma Hoat. Semenjak meninggalkan gadis yang kemudian membunuh diri,
dua hari yang lalu, dia belumi bertemu dengan wanita yang menggerakkan
berahinya sehingga hatinya menjadi kesal. Ia memasuki kota Lo-kiu, juga dengan
niat mencari calon korbannya, akan tetapi wanita di daerah ini tidak ada yang
menarik hatinya.
Ia menanggalkan pedang
buntalan pakaiannya, meletakkan di atas meja dan memesan makanan dan minuman.
Setelah pelayan pergi untuk melayani pesanannya, pemuda ini menyapu ruangan
restoran dengan pandang matanya. Tamu yang memenuhi tempat itu terdiri dari
bermacam-macam golongan, dan ramailah mereka itu bercakap-cakap dengan teman
masing-masing yang duduk semeja. Tidak ada yang menarik perhatian Suma Hoat,
karena mereka itu terdiri dari pedagang-pedagang dan pelancong-pelancong.
Melihat betapa para pedagang dan pelancong memenuhi restoran sambil
bercakap-cakap bersendau-gurau, keadaan nampaknya tenang tenteram dan damai.
Akan tetapi ketika seorang
tamu baru memasuki restoran, perhatian Suma Hoat segera tertarik sekali. Orang
ini adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya, paling tinggi dua
puluh lima tahun usianya, pakaiannya sederhana sekali, bahkan yang amat
mencolok adalah kakinya yang tidak bersepatu, telanjang sama sekali! Laki-laki
ini memanggul sebuah tongkat dan ujung tongkat tampak sebuah buntalan kain
kuning yang agaknya berisi pakaian. Wajah laki-laki ini kurus seperti tubuhnya,
dan tidak ada keanehan menonjol pada dirinya, kecuali kaki telanjang itu dan
sinar matanya yang tajam, senyumnya yang seolah-olah mengejek pada kea daan di
sekitarnya. Rambutnya diikat ke atas dan dia lebih mirip seorang tosu perantau,
hanya pakaiannya tidak seperti pendeta To-kauw (Agama To), melainkan seperti
seorang petani yang bangkrut!
Tidaklah mengherankan apabila
pelayan restoran menyambut tamu istimewa ini dengan alis berkerut, hati curiga
dan pandang mata pelayan itu naik turun melalui pakaian sederhana dan kaki
telanjang. Laki-laki itu menglkuti pandang mata Si Pelayan lalu berkata,
Bung Pelayan, engkau tidak
melayani pakaian dan sepatu, bukan? Yang kaulayani bukan pula orangnya,
melainkan uangnya, bukan? Nah, aku mempunyai uang itu, maka jangan ragu-ragu
melayani uangku!! Setelah berkata demikian, laki-laki itu menepuk-nepuk bungkusannya
dan terdengarlah suara berkerincingnya perak. Pelayan itu cepat membungkuk dan
mempersilakan tamu aneh itu dan tidak jauh dari meja Suma Hoat.
Ketika melewati meja ini,
laki-laki tadi melirik ke arah pedang yang terletak di meja Suma Hoat, mengerling
tajam ke arah Suma Hoat, lalu tersenyum dan membungkuk. Akan tetapi, betapapun
tertarik hatinya, Suma Hoat pura-pura tidak melihatnya. Di dalam hatinya ia
merasa geli dan menganggap betapa tepatnya ucapan orang aneh itu. Memang tidak
dapat disangkal betapa palsu sikap manusia yang matanya sudah tertutup oleh
bayangan perak dan emas, silau oleh harta dunia sehingga setiap gerakan mereka
merupakan pengabdian terhadap harta dunia!
Orang menilai orang lain bukan
dari orangnya, melainkan dari pakaian, kekayaan, dan kedudukannya, pendeknya
yang dinilai adalah hal-hal yang sekiranya dapat mendatangkan kesenangan dan
keuntungan bagi yang menilai! Buktinya tersebar di mana-mana. Datanglah ke
rumah seseorang ddengan pakaian butut dan nama tak terkenal, maka engkau akan
disambut dengan penuh curiga, pandang rendah dan penghinaan karena Si Tuan
Rumah menganggap bahwa engkau hanya akan mendatangkan kerugian dan
ketidaksenangan belaka. Sebaliknya, kalau engkau datang dengan pakaian serba
indah, dengan kekayaan berlimpah, dengan kereta mewah dan dengan nama besar
serta kedudukan, tentu engkau akan disambut dengan terbongkok-bongkok dan
tersenyum-senyum karena engkau dianggap akan mendatangkan keuntungan atau
kesenangan! Hal ini tak mungkin dapatdibantah lagi karena memang kenyataannya
demikianlah.
Maka, biarpun sikapnya tak
acuh, diam-diam Suma Hoat memperlihatkan laki-laki itu dan menduga bahwa orang
itu tentulah bukan orang sembarangan, sungguhpun tak tampak sebatang pun
senjata pada dirinya. Timbul kegembiraannya kaena ada sesuatu yang menarik
hatinya dan di dalam hatinya timbul pula keyakinan bahwa munculnya seorang
tokoh luar biasa seperti ini tentu akan disusul dengan peristiwa yang menarik.
Akan tetapi ia meragu. Jangan-jangan orang yang masih muda ini hanya berlagak
saja, karena pada waktu itu memang tidak jarang orang berlagak dengan pakaian
dan sikap yang aneh-aneh agar dianggap orang aneh, atau setidaknya agar
dianggap bahwa dia adalah lain daripada yang lain!
Si Pelayan yang sudah biasa
melayani orang-orang kang-ouw, kalau tadinya menganggap laki-laki itu sebangsa
pengemls yang merugikan, kini dapat menduga pula bahwa orang aneh itu tentulah
seorang kang-ouw maka ia bertanya dengan sikap hormat.
Sicu hendak memesan apakah?!
Akah tetapi orang itu tidak menjawab,
hanya memandang ke arah pintu depan. Si Pelayan menoleh ke arah pintu dan
tiba-tiba mukanya berubah, senyumnya melebar dan serta-merta ia meninggalkan
orang itu dan lari terbungkuk-bungkuk menyambut datangnya serombongan tamu yang
tiba. Melihat ini, Suma Hoat memandang pula dan diam-diam ia menaruh perhatian
karena dapat menduga dari langkah-langkah kaki dan sikap lima orang itu bahwa
mereka adalah orang-orang penting dan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi.
Mereka itu terdiri dari dua
orang yang pakaiannya seperti perwira tinggi, dua orang pula berpakaian sebagai
orang-orang kang-ouw dengan pedang di punggung, dan seorang lagi adalah hwesio
berkepala gundul dan berpakaian serba kuning. Pada waktu sekacau itu, melihat
seorang pendeta hwesio memasuki restoran bukan merupakan penglihatan aneh. Lima
orang itu memasuki ruangan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, sedangkan Si
Pelayan yang menyambut -segera berkata,
Selamat datang, Ngo-wi (Tuan
Berlima) yang terhormat! Pesanan ciangkun kemarin telah kami sediakan. Silakan,
di sanalah tempat terhormat Ngo-wi!! Pelayan itu dengan bantuan beberapa orang
temannya lalu mengatur meja, tiga meja disatukan di tengah ruangan itu, di
depan meja Suma Hoat dan orang bertelanjang kaki. Dengan sikap angkuh lima
orang itu menarik kursi dan duduk mengelilingi meja, dua orang perwira
membelakangi Suma Hoat dan Si Tosu membelakangi meja laki-laki berkaki
telanjang.
Suma Hoat mulai makan, akan
tetapi diam-diam ia mempe rhatikan lima orang itu, dan juga memperhatikan Si
Kaki Telanjang yang masih belum memesan makanan karena ditinggalkan pelayan
yang kini sibuk melayani lima orang itu. Karena lima orang itu menanti pesanan
makanan mereka yang amat banyak sambil bercakap-cakap perlahan, Suma Hoat
sambil makan memasang telinga dan menangkap percakapan mereka.
Sungguh menjemukan sekali
keledai-keledai gundul itu!! kata seorang perwira yang bertubuh tinggi besar.
Akan tetapi, mulai malam nanti
mereka tidak akan dapat tinggal diam lagi!! kata perwira kurus sambil tertawa.
Kabarnya mereka lihai,! kata
orang yang berpakaian tokoh kang-ouw, bajunya berwarna biru.
Aahh, yang lihai hanya
ketuanya, dan pinto sanggup melawannya,! kata Si Tosu dengan suara rendah.
Pinto akan memperkenalkan diri sebagai tokoh Hoasan....!
Sstt, harap Totiang
hati-hati,! perwira gemuk mencela dan menoleh ke kanan kiri.
Takut apa?! Tosu itu berseru
dan melirik ke arah Suma Hoat yang masih makan dan berpura-pura tidak
mendengar. Semua sudah diatur baik.!
Memang Hoa-totiang benar.
Kalau pusat perkumpulan mereka mendengar bahwa cabang mereka terbasmi oleh
perwira Sung dan tokoh Hoa-san, hendak kulihat apakah ketua pusatnya akan tetap
dingin saja,! kata pula perwira kurus.
Percakapan mereka terhenti
karena munculnya empat orang pelayan yang membawa hidangan yang mereka pesan.
Banyak benar hidangan itu dan mereka sudah mempersiapkan sumpit ketika mereka
dikejutkan oleh suara orang menggebrak meja sambil berseru,
He, Bung Pelayan yang tidak
adil! Aku sudah datang lebih dulu dan pesan lebih dulu, mengapa orang-orang
lain yang datang belakangan dilayani lebih dulu? Sungguh menjemukan!!
Sicu, harap bersabar....!!
Pelayan membujuk dengan wajah ketakutan, bukan takut terhadap Si Kaki
Telanjang, melainkan takut kepada rombongan lima orang itu karena ia
membungkuk-bungkuk kepada dua orang perwira sambil menggumam, Ciangkun,
maafkan....!!
Melihat ini, Suma Hoat menjadi
panas perutnya dan ia pun berkata, Pelayan, tugasmu melayani tamu yang
sama-sama membayar tanpa pilih kedudukan dan pilih kasih!!
Pelayan itu makin ketakutan
dan empat orang pelayan mundur-mundur ketika melihat betapa lima orang itu
melototkan mata mereka. Si Perwira kurus memencet hidungnya dan berkata,
Wah-wah, banyak sekali lalat di sini! Membikin orang kurang bernafsu makan
saja! Biar kubasmi lalat-lalat ini!! katanya dan menyambar kain lap dari pundak
seorang pelayan, kain itu ia gerakkan ke atas, ke kanan kiri dan.... belasan
ekor lalat yang memang banyak terdapat di situ terkena sambaran angin pukulan,
runtuh semua ke atas meja Si Kaki Telanjang!
Si Kaki Telanjang melihat
bangkai belasan ekor lalat di atas mejanya, dan terdengarlah suara ketawa lima
orang itu terbahak-bahak, Ha-ha-ha!! Si Perwira Kurus yang memperlihatkan
kepandaiannya itu tertawa. Kalau sudah amat kelaparan, lalat pun merupakan
hidangan yang lumayan!!
Ha-ha-ha-ha!! Lima orang itu
bertawa lagi, yang paling keras ketawanya adalah Si Perwira Kurus karena ia
sengaja hendak menghina Si Kaki telanjang yang menoleh sambil tertawa
mangerling ke arah Si Kaki Telanjang.
Ha-ha-ha-hauuup....!!
Tiba-tibe Si Perwira kurus menghentikan ketawanya, matanya mendelik, ia
terbatuk-batuk dan berusaha mengeluarkan tiga ekor lalat yang menyambar
memasuki mulutnya yang tadi tertawa dan kini bersarang ke tenggorokkannya.
Haaak-agghh....
haaakk-huaaakkk!!
Eh, kau kenapa?! Temannya, Si
Perwira Gemuk, bertanya, juga tiga orang lainnya memandang heran, menghentikan
ketawa mereka.
Ughh-ughh...., lalat....,
masuk mulut...., si bedebah!! Perwira kurus itu terbatuk-batuk dan empat orang
temannya tertawa-tawa geli, akan tetapi mereka itu menjadi terheran-heran juga
mengapa ada lalat bisa masuk ke mulut teman mereka.
Tiga ekor...., ihh, huakk, si
keparat!! Perwira itu menyumpah-nyumpah dan terpaksa menelan tiga ekor lalat
itu karena tidak berhasil mengeluarkannya. Empat orang temannya makin terheran.
Suma Hoat memandang dengan
kagum. Ia melihat tadi betapa Si Kaki Telanjang itu menggunakan telunjuk
kirinya menyentil tiga ekor bangkai lalat dari atas mejanya dan menerbangkan
bangkai tiga ekor lalat itu memasuki mulut Si Perwira Kurus. Dia ikut merasa
gembira dan tak dapat menahan ketawanya.
Ha-ha-ha, memang bagi yang
kelaparan, tiga ekor bangkai lalat juga merupakan hidangan lumayan!!
Lima orang itu semua menengok
kepada Suma Hoat, dan Si Perwira Gemuk lalu minum araknya setelah berkata,
Menangkap lalat banyak caranya, aku suka dengan cara ini!! Setelah minum arak
semulut penuh, ia lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke arah lalat-lalat yang
beterbangan. Belasan ekor lalat disambar percikan arak, dan berikut percikan
araknya, bangkai-bangkai lalat itu menyambar ke arah Suma Hoat! Ini pun
merupakan demonstrasi kepandaian yang tidak rendah karena seperti halnya Si
Perwira Kurus tadi, Si Gemuk itu pun menyembur dengan pengerahan tenaga
sin-kang yang kuat.
Dengan tenang Suma Hoat
melambaikan tangan kirinya dan percikan arak bersama bangkai-bangkai lalat itu
terputar-putar kemudian ia mengangkat mangkok kuah dan semua percikan arak
berikut bangkai lalat masuk ke dalam mangkok itu, semua masuk dengan tepat
seolah-olah dituangkan ke situ. Suma Hoat memandang kepada Si Gemuk dan
berkata,
Kalau orang gemar kuah deging
lalat, silakan minum!! Maka terbanglah mangkok dan kuah itu ke arah Si Perwira
Gemuk.
Setan....!! Si Perwira berseru
dan mengelak dengan jalan melempar tubuh ke belakang, akan tetapi mangkok itu
melayang dari atas dan mengguyur kepalanya sehingga kepa lanya dan mukanya
tersiram kuah dan bangkai-bangkai lalat. Biarpun ia gelagapan dan mukanya
terasa perih, tangan perwira gemuk itu masih berhasil menangkap mangkok dan
sekali remas mangkok itu hancur berkeping-keping!
Ha-ha-ha! Hebat! Hebat! Ada
yang suka mengganyang lalat mentah-mentah, ada pula yang suka mandi kuah lalat,
ha-ha-ha!! Kini Si Kaki Telanjang yang berjingkrak dan bertepuk tangan,
diam-diam ia kagum sekali menyaksikan kepandaian pemuda pesolek tampan yang
tadi sudah menarik perhatiannya itu.
Makanlah!! Si Perwira Kurus
menyambar dua buah mangkok sayurnya yang belum dimakan sesendok pun,
dilemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Akan tetapi orang aneh ini menerima dua
buah mangkok itu dengan kedua tangannya, tangkas sekali gerakannya sehingga
ketika ia meletakkan dua buah mangkok itu, tidak ada setetes pun kuahnya
tumpah.
Ha-ha-ha, lagi! Lagi....!!
katanya gembira.
Dua orang kang-ouw yang
melihat ini menjadi penasaran, mereka pun menyambar mangkok-mangkok masakan dan
melemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Cepat sekali sambaran mangkok-mangkok
itu, namun Si Kaki Telanjang lebih cepat lagi menerima mangkok-mangkok itu
seperti seorang pemain akrobat yang mahir dan susulan mangkok-mangkok
berikutnya diterima semua sampai semua hidangan dari atas meja lima orang itu
kini pindah ke mejanya.
Singggg....!! Tiba-tiba tampak
sinar berkelebat, sinar putih yang menyambar cepat bukan main ke arah Si Kaki
Telanjang. Melihat ini, Suma Hoat terkejut. Yang melempar itu adalah Si Tosu
dan yang dilemparkan sebuah piring sehingga senjata rahasia! itu menyambar
cepat bukan main, padahal saat itu, Si Kaki Telanjang sedang sibuk menerima
sambaran mangkok-mangkok terakhir.
Ke sini....!! Suma Hoat
membentak, tangannya diulur ke depan dengan pengerahan sin-kangnya yang kuat
dan...., piring yang berubah menjadi sinar putih itu seperti bernyawa,
berputaran dan melayang ke arah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan
tenang meletakkannya ke arah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan
tenang meletakannya ke atas meja.
Lima orang itu terkejut bukan
main. Tak mereka sangka bahwa di dalam restoran itu terdapat dua orang yang
demikian lihai. Mereka tahu diri, bahkan Si Tosu yang memiliki kepandaian
tertinggi di antara mereka cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat.
Maafkan pinto dan teman-teman
yang tidak melihat dua buah Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata.!
Ucapan ini biasa dilakukan oleh orang-orang kang-ouw yang mengakui keunggulan
orang pandai.
Empat orang temannya juga
sudah bangkit berdiri dan menjura. Akan tetapi Suma Hoat dan Si Kaki Telanjang
itu sama sekali tidak berdiri, tetap duduk dengan tenang.
Mohon tanya, Ji-wi-enghiong dari
aliran manakah?! Tiba-tiba Si Kurus, perwira yang tadi mengganyang tiga ekor
lalat, bertanya.
Aku bukan dari aliran apapun
juga dan tidak mempunyai urusan dengan siapapun juga,! kata Suma Hoat acuh.
Heh-heh, dan aku pun hanya
seorang perantau yang tidak mempunyai backing (sandaran), seorang manusia biasa
biarpun bukan tergolong lalat hijau,! kata Si Kaki Telanjang sambil tertawa.
Kalau begitu, sekali lagi
maaf,! kata Si Perwira Kurus. Karena belum mengenal, kami telah bersikap
lancang, dan harap Ji-wi tidak mencampuri urusan kami.!
Ha-ha-ha, sahabat yang baik,
engkau terlalu merendah. Setelah menjamu kami dengan hidangan-hidangan yang
begitu komplit, siapa bilang bahwa kalian belum mengenal kami? Terima kasih,
ya?!
Perwira Gemuk yang kini
bersikap hormat dan berhati-hati, menjura ke arah Si Kaki Telanjang sambil
berkata, Hidangan kami hanya sekedarnya, harap Jiwi-enghiong suka menerimanya
dengan senang hati. Kami mohon diri!! Lima orang itu lalu menjura dan
membalikkan tubuh hendak meninggalkan restoran itu.
Eh, eh, sahabat-sahabat baik,
nanti dulu!! Si Kaki Telanjang bangkit berdiri dan menggapai. Harap jangan
mempermainkan aku orang miskin, dan jangan akal-akalan, ya? Hidangan ini belum
dibayar, kalau kalian pergi tanpa membayar, tentu aku yang ditagih, bisa repot
aku membayarnya!!
Sahabat, biarlah aku yang
membayarnya!! Suma Hoat berkata, menganggap Si Kaki Telanjang itu keterlaluan
sekali.
Tidak, mereka memberi hadiah,
kenapa harus kita bayar sendiri?! Si Kaki Telanjang berkata membantah.
Perwira gemuk merogoh kantung
bajunya dan menggapai pelayan yang datang membungkuk-bungkuk, Ini bayaran
hidangan!! kata Si Perwira mengeluarkan beberapa buah uang perak dan memberikan
kepada Si Pelayan. Si Pelayan menerima dan matanya terbelalak. Uang itu terlampau
banyak, akan tetapi dia bergidik ketika menerimanya. Perwira itu tidak peduli
dan pergilah dia bersama empat temannya meninggalkan restoran.
Heii! Kenapa kau bengong?
Apakah bayarannya kurang?! Si Kaki Telanjang menegur pelayan. Kalau kurang bilang
saja, mereka harus menambahnya!!!Tidak...., tidak kurang malah lebih...., akan
tetapi....! Pelayan itu memperlihatkan perak yang berada di telapak tangannya
dan ternyata bahwa potongan-potongan uang perak itu kini telah menjadi satu
seperti dijepit jepitan baja yang amat kuat!
Si Kaki Telanjang tertawa,
Bagus, kalau lebih, berikan kelebihannya untuk menambah arak!! Pelayan ini
pergi tanpa berani membantah karena kalau lima orang itu saja bersikap mengalah
dan gentar terhadap dua orang aneh ini, apalagi dia!
Mari, sahabat yang tampan.
Kita makan bersama!!
Suma Hoat menjawab, Makanlah
sendiri. Aku tidak rakus!!
Si Kaki Telanjang terbelalak,
kemudian bangkit berdiri dan membungkuk. Aihh...., dasar aku si tukang rakus!
Perkenalkan, aku tidak mempunyai nama, akan tetapi orang-orang sinting di dunia
ini menyebutku Im-yang Seng-cu.!
Suma Hoat terkejut. Dia sudah
mendengar nama besar orang aneh ini dan sama sekali tidak pernah disangkanya
bahwa orangnya masih begitu muda, namun namanya sudah menggemparkan dunia
persilatan. Menurut kabar yang ia peroleh, Im-yang Seng-cu adalah seorang tokoh
Hoa-san-pai yang dianggap murtad!, menjadi seorang perantau yang ilmunya
tinggi, wataknya aneh dan gila-gilaan akan tetapi selalu menindas kejahatan. Ia
pun menjura dan berkata, Aku pun tidak mempunyai nama, dan orang-orang suci di
dunia ini menyebutku Jai-hwa-sian!!
Haiii!! Im-yang Seng-cu
meloncat bangun, kemudian menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan
tangannya, Jangan berkelakar, kawan. Orang seperti engkau ini tidak patut
disebut Jai-hwa-sian!!
Akan tetapi memang benar
akulah Jai-hwa-sian, dan kalau engkau merasa terlalu suci untuk berdekatan
dengan....!
Wah-wah, stop! Biar engkau
Jai-hwa-sian atau Jai-hwa-kwi (setan) aku tidak peduli. Yang penting kita berdua
hari ini bertemu secara kebetulan dan menyenangkan sekali. Kupersilakan engkau
sudi menemaniku, makanan di mejamu tentu sudah kotor kena percikan arak bau
dari mulut orang tadi!!
Suma Hoat memang tertarik
sekali untuk berkenalan dengan orang aneh yang telah ia lihat sendiri
kelihaiannya tadi, maka ia lalu bangkit berdiri dan pindah duduk, menghadapi
meja Si Kaki Telanjang. Mereka lalu makan minum, dan karena Im-yang Seng-cu
makan dengan lahapnya tanpa bicara, Suma Hoat juga makan tanpa berkata sesuatu.
Benarkah engkau Jai-hwa-sian?!
Tiba-tiba Im-yang Seng-cu bertanya.
Kalau benar mengapa?! Suma
Hoat balas bertanya.
Im-yang Seng-cu tertawa.
Engkau jantan sejati. Akan tetapi aku masih tak bisa percaya. Akan tetapi aku
tidak bisa percaya bahwa engkau adalah Jai-hwa-sian yang tersohor itu.!
Kalau engkau ragu-ragu, aku
pun meragukan apakah benar engkau ini Im-Yang Seng-cu yang terkenal.!
Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Apakah
artinya nama julukan? Yang penting kecocokan hati, dan aku cocok sekali
denganmu. Biarlah kita saling menutup mata terhadap nama. Eh, sahabat,
bagaimana pendapatmu tentang lima orang tadi?!
Mereka lihai, akan tetapi
sombong.!
Im-yang Seng-cu
mengangguk-angguk. Mereka merupakan lawan-lawan tangguh, terutama si tosu bau
yang hendak menodai nama Hoa-san-pai tadi. Dan Si Gemuk yang mencengkeram uang
perak membuktikan bahwa sin-kangnya tinggi. Eh, apa yang hendak kaulakukan
terhadap rencana mereka?!
Rencana yang mana? Tentang
niat mereka menyerbu kelenteng? Aku tidak mengerti dan tidak peduli,! jawab
Suma Hoat.
Aihhh! Engkau sudah tahu
mereka akan menyerbu kelenteng dan membasmi hwesio-hwesio di sana, dan masih
tidak peduli? Dengar baik-baik, yang hendak mereka serbu adalah kelenteng
cabang Siauw-lim-pai, dan mereka itu hendak membakar hati tokoh-tokoh
Siauw-lim-pai, terutama Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang!!
Biarpun Im-yang Seng-cu bicara
penuh gairah dan semangat, Suma Hoat mendengarkan dengan sikap dingin dan
melanjutkan menyumpit dan makan potongan daging.
Tidak ada sangkut-pautnya
dengan aku,! jawabnya.
Apa?! Im-yang Seng-cu
membelalakkan matanya. Jai -Hwa-sian, kalau benar kau Jai-hwa-sian, salahkan
pendengaranku selama ini bahwa di samping.... eh.... kebiasaanmu yang tidak
terpuji, engkau adalah seorang pendekar yang selalu siap mengulurkan tangan
menentang kejahatan?!
Mendengar ini, Suma Hoat
menunda sumpitnya dan memandang tajam. Im-yang Seng-cu, tentang kebiasaanku,
itu adalah urusan pribadi. Dan tentang sifat pendekar, aku bukan seorang
pendekar, akan tetapi aku bukan pula seorang yang suka mencampuri urusan
permusuhan orang lain, sedangkan aku belum tahu siapa salah dan siapa yang
benar.!
Im-yang Seng-cu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Aih-aihh...., sampai begitu jauhkah engkau
mengerti tentang keadaan di dunia kang-ouw dan kerajaan?!
Aku tidak ada urusan dengan
kerajaan dan dunia kang-ouw.!
Kalau begitu, engkau perlu
mengerti. Dengarlah baik-baik,! Im-yang Seng-cu lalu menceritakan pendirian
Siauw-lim-pai tentang pertentangan-pertentangan yang timbul antara Kerajaan
Sung dan banyak pembesar-pembesar daerah yang hendak berdiri sendiri. Kemudian
ia menambahkan, Nah, siapakah yang tidak kagum akan kebijaksanaan Kian Ti
Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti itu? Akan tetapi sekarang, lima orang
cecunguk tadi hendak merusak pendiriannya yang bijaksana itu.
Si Tosu hendak menyamar
sebagai tosu Hoa-san-pai membunuh ketua cabang Siauw-lim-si, hal ini berarti
mereka hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kemudian, dua
orang perwira tadi hendak menyamar sebagai perwira-perwira Sung, ini berarti
orang-orang ini hendak melawan Kerajaan Sung dan membantu para pemberontak!
Tidak kasihankah engkau kepada pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang tidak berdosa
dan tidak sayangnya engkau kalau melihat pendirian yang bijaksana itu menjadi
berantakan?!
Suma Hoat tertarik sekali. Dia
sudah mendengar bahwa di antara para tokoh besar, kedudukan Ketua
Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, amatlah tinggi dan kesaktiannya dapat
disejajarkan dengan paman tuanya. Menteri Kam Liong. Dia sudah mendengar pula
bahwa Menteri Kam telah tewas dikeroyok pasukan kerajaan di bawah pimpinan
ayahnya sendiri, hal yang amat menyesalkan hatinya.
Im-yang Seng-cu, bagaimana
engkau bisa tahu bahwa mereka tadi hendak membasmi para hwesio kelenteng
Siauw-lim-si ?!
Yang ditanya tertawa, Biarpun
dalam hal ilmu kepandaian aku masih kalah jauh dibandingkan denganmu, akan
tetapi agaknya tentang dunia kang-ouw aku lebih tahu. Mereka bicara tentsng
keledai-keledai gundul yang berarti hwesio, dan di kota Lo-kiu ini satu-satunya
kelenteng yang memiliki hwesio-hwesio lihai hanyalah kelenteng Siauw-lim-si di
sebelah barat kota. Dan percakapan mereka tadi cocok dengan keadaan pada waktu
ini. Sudahlah, kalau memang engkau tidak memiliki kegagahan biar aku sendiri
yang akan membela para hwesio Siauw-lim-pai!!
Suma Hoat tersenyum dingin.
Silakan!!
Im-yang Seng-cu menenggak
araknya, lalu bangkit berdiri dengan sikap marah.
Sebaiknya mulai saat ini,
julukanmu dirubah menjadi Jai-hwa-kwi (Setan Pemetik Bunga) saja! Selamat tinggal!!
Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan Suma Hoat dan pergi dengan cepat, memanggul
tongkat dan buntalan pakaiannya. Tak lama kemudian, Suma Hoat juga meninggalkan
restoran itu setelah membayar makanan yang dipesannya tadi.