Bab 12
Untung bagi mereka bahwa pada
saat itu, benar seperti keterangan Hok Sun, tidak tampak murid-murid lain yang
dianggap sebagai tokoh-tokoh kelas satu. Kalau mereka itu ikut mengeroyok, tak
tahulah bagaimana jadinya dengan nasib mereka berdua.
Saudara Liem, cepat ke sini!
Kita melawan dengan saling melindungi!! teriak Siauw Bwee sambil berputaran dan
mendekati Si Pemuda Kasar yang sudah berteriak-teriak kesakitan. Hok Sun bukan
seorang bodoh. Dia mengerti apa yang dimaksudkan dara perkasa itu, maka dia pun
lalu meloncat dan di lain saat dia telah melakukan perlawanan dengan beradu
punggung bersama Siauw Bwee. Dengan cara ini, mereka berdua tidak dapat
dikurung lagi dan hanya menghadapi lawan dari depan.
Awas....!! Siauw Bwee
berbisik, aku akan melontarkanmu ke kiri melalui kepala mereka. Engkau harus
cepat melarikan diri, biar aku yang menahan mereka....!!
Ahhh, mana bisa....?! Hok Sun
menjawab dengan bantahannya, dan tidak seperti Siauw Bwee yang berbisik, pemuda
itu bicara nyaring, Aku bukan seorang pengecut yang ingin selamat sendiri dan
meninggalkan kau sendirian dikepung oleh para ....!
Siauw Bwee menjadi gemas dan
sambil menangkis tusukan tongkat seorang lawan wanita, ia sengaja menggerakkan
pinggul.
Auhhh....! Apakah pinggulmu
dari baja, Nona?! Hok Sun berteriak kesakitan ketika pinggulnya dihantam dari
belakang. Ia menggosok-gosok pinggulnya sehingga tidak sempat menghindar ketika
ada tongkat memukul kepalanya dari atas. Untung Siauw Bwee melihat atau lebih
tepat mendengar gerakan itu, maka ia cepat mendorongkan tangan kirinya ke
belakang.
Aihhh....!! Hok Sun terhuyung
akan tetapi hantaman tongkat itu luput. Bagaimana sih engkau ini, Nona? Kawan
ataukah lawan?!
Bodoh!! Siauw Bwee berbisik
gemas. Kalau engkau sudah bebas, bagiku apa sih sukarnya melarikan diri? Awas,
akan kulontarkan kau. Lekas lari!! Tiba-tiba Hok Sun merasa tubuhnya terbang ke
atas ketika Siauw Bwee mencengkeram punggung bajunya dan mendorong dengan
tenaga yang hebat bukan main. Tubuh Hok Sun terlempar melalui atas kepala para
pengeroyoknya dan ia terus melompat jauh untuk melarikan diri, diam-diam ia
makin kagum bukan main terhadap Siauw Bwee.
Setelah Si Dogol itu terbebas,
Siauw Bwee bernapas lega, memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga
lenyaplah tubuh dara perkasa ini, yang tampak hanya gulungan sinar pedangnya
dan dari dalam gulungan sinar pedang yang menangkis datangnya semua serangan
tongkat itu, menyambar keluar tenaga dahsyat dari telapak tangan kirinya yang
mengirim dorongan-dorongan. Para pengeroyoknya banyak yang terjengkang, akan
tetapi segera meloncat bangun lagi dan mengeroyok makin nekat. Ketika Siauw
Bwee memandang ke arah larinya Hok Sun, ia melihat pemuda itu kembali sudah
dikepung enam orang kaki buntung! Siauw Bwee gemas sekali. Tentu Si Dogol itu
masih tetap keras kepala dan tidak rela lari meninggalkannya. Kalau begitu
terus, Hok Sun bisa celaka, padahal kini jaraknya sudah jauh sehingga tak
mungkin lagi dia dapat menolong jika Hok Sun terancam bahaya seperti tadi. Akan
tetapi tiba-tiba enam orang pengeroyok Hok Sun itu cerai-berai ketika sesosok
bayangan berkelebat dan Cia Cen Thok sudah membantu Hok Sun. Melihat laki-laki
bercawat ini, terdengar teriakan-teriakan kaget dan para pengeroyok mereka
berdiri terbelalak seperti arca dengan muka pucat.
Siauw Bwee tersenyum geli dan
hatinya lega melihat Hok Sun dan Cia Cen Thok sudah berhasil melarikan diri,
menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mereka terkejut dan diam tak
bergerak. Tentu saja anak buah kaki buntung itu kaget setengah mati melihat dan
mengenal orang yang telah tiga tahun menjadi mayat di kamar mayat, kini
tahu-tahu telah hidup lagi dan mengamuk! Ketika melihat Siauw Bwee, mereka
tidak begitu kaget dan heran karena mereka segera mengerti bahwa dara perkasa
itu sebetulnya belum mati ketika tadi dimasukkan ke kamar jenazah. Akan tetapi
berbeda lagi dengan Cia Cen Thok yang sudah tiga tahun menjadi mayat, dan
dahulu mereka ikut pula mengeroyok dan membunuh orang ini. Dan pakaian Cia Cen
Thok yang hanya merupakan cawat itu menambah keseraman.
Setelah melihat dua orang itu
jauh dan lenyap bayangannya, Siauw Bwee tertawa nyaring, pedangnya dilempar ke
atas tanah dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan
selagi semua orang berdongak dan mengikuti gerakan luar biasa itu, tubuh Siauw
Bwee telah lari jauh dan dia menyusul ke arah larinya Hok Sun dan Cia Cen Thok.
Orang-orang berkaki buntung mengejar cepat, namun mereka itu bukanlah tandingan
Siauw Bwee dalam hal ilmu berlari cepat sehingga sebentar saja tubuh dan
bayangan Siauw Bwee telah lenyap dari pandang mata mereka. Tak lama kemudian
Siauw Bwee telah dapat mengejar Hok Sun dan Cen Thok. Dia heran melihat dua
orang itu berhenti dan kelihatan bingung.
Kenapa kalian berhenti di
sini?!
Siauw Bwee menegur.
Wah, celaka, Li-hiap!! Kini
Hok Sun yang amat kagum akan kelihaian Siauw Bwee tidak segan-segan menyebut
lihiap (pendekar wanita), Semua jalan kel uar sudah dihadang setan-setan
buntung itu!!
Siauw Bwee memandang kepada
Cen Thok dan bekas mayat hidup ini mengangguk.
Memang benar, Li-hiap. Jalan
menuju ke tempat tinggal kaum dengan buntung sudah dihadang semua dan penuh
perangkap dan jerat yang dipasang mereka. Satu-satunya jalan hanya melalui
rawa, daerah yang dianggap berbahaya dan tidak pernah ada yang berani melalui
tempat itu. Aku sendiri sama sekali tidak mengenal daerah itu, Li-hiap.! Ucapan
terakhir ini seolah-olah minta keputusan dan nasihat Siauw Bwee yang biarpun
paling muda namun mereka anggap sebagai orang yang lebih tinggi kedudukan dan
tingkatnya daripada mereka.
Kalau begitu, kita melalui
rawa!! kata Siauw Bwee dengan suara tetap,!Bagaimanapun juga, kita harus dapat
keluar dari daerah berbahaya ini!!
Baik, kalau begitu marilah
ikut bersamaku!! Cen Thok berkata dan mendahului lari. Hok Sun dan Siauw Bwee
juga meloncat dan lari mengikuti orang bercawat itu. Tak lama kemudian mereka
tibalah di daerah yang penuh rawa, daerah luas dan mati.
Ke mana jalannya?! tanya Siauw
Bwee, agak ngeri juga menyaksikan daerah luas dan mati, rawa yang seolah-olah
tanpa tepi sehingga amat mengerikan keadaannya.
Aku sendiri pun tidak tahu,
Li-hiap. Kita harus mencari jalan, akan tetapi hati-hatilah. Rawa ini kabarnya
berbahaya sekali, banyak terdapat bagian-bagian yang pada permukaannya
kelihatan rumput dan tanah, akan tetapi di bawahnya adalah lumpur yang menyedot
dan adakalanya air amat dalam.!
Siauw Bwee yang mengandalkan
gin-kangnya segera mengambil keputusan, Biarlah aku mencari jalan. Dengan
keringanan tubuh, kiranya aku tidak akan terancam bahaya.!
Tanpa menanti jawaban ia lalu
mulai menyeberangi rawa, memilih bagian yang cukup tebal dan kuat. Kalau
kakinya salah injak bagian yang tipis, sebelum ia terjeblos ia sudah dapat
meloncat lagi. Melihat ini, dua orang itu selain merasa kagum juga ngeri karena
kalau kurang tinggi ilmu gin-kangnya, tentu sekali terjeblos akan berarti
bahaya maut!
Matahari telah condong ke
barat dan mereka masih belum menemukan jalan keluar dari daerah itu karena
jalan penyeberangan rawa yang mereka tempuh membelak-belok harus memilih bagian
yang aman. Tiba-tiba Hok Sun berteriak, Aihh, apa itu....?!
Dua orang temannya menengok
dan berdongak memandang ke atas, arah yang ditunjuk oleh Hok Sun. Tampak awan
hitam memenuhi udara, akan tetapi jelas bukan awan yang bergerak terbawa angin
karena gerakan awan itu cepat sekali.
Burung-burung....!! Siauw Bwee
berseru ngeri karena belum pernah ia melihat burung-burung terbang berkelompok
sebanyak itu sehingga merupakan awan hitam yang bergerak cepat.
Eh, dia ke sini....!! Cen Thok
berseru kaget.
Mereka meluncur turun....!!
Hok Sun berteriak pula.
Benar saja. Sekumpulan burung
itu seolah-olah menerima pertanda rahasia dan mereka kini meluncur turun ke
arah tiga orang ini dan segera mereka diserang oleh ratusan ekor burung elang!
Di tengah rawa yang amat
berbahaya itu tiga orang ini menjadi repot sekali menghadapi penyerangan ribuan
ekor burung. Hok Sun menggerak-gerakkan kedua tangannya menangkis dan
menghantam burung-burung yang menyerangnya. Juga Cen Thok sibuk membela diri
dan membunuhi burung-burung yang tak terhitung banyaknya. Namun mereka ini
kewalahan, bingung dan panik, apalagi setelah kulit-kulit tangan mereka mulai
berdarah oleh patukan-patukan burung yang kuat itu. Mereka bertanding melawan
keroyokan burung-burung sambil berteriak-teriak dan tak lama kemudian Siauw
Bwee terpisah dari mereka. Dara perkasa ini pun repot menghadapi pengeroyokan
binatang-binatang yang kelihatannya marah, haus darah dan buas itu,
sampokan-sampokan kedua tangan dara ini sekaligus membunuhi banyak burung, akan
tetapi binatang-binatang itu sungguh ganas. Mati lima datang sepuluh, mati
sepuluh datang dua puluh.
***
Kepanikan menyerang hati Siauw
Bwee. Dia merasa jijik dan ngeri sekali karena para pengeroyoknya ini seperti
bukan burung-burung biasa, begitu nekat dan agaknya mereka kelaparan semua.
Bajunya mulai robekrobek, bahkan pundak dan kedua lengannya mulai berdarah.
Serangan datangnya seperti hujan, sukar untuk dihindarkan semua. Dia tidak lagi
dapat memperhatikan dua orang temannya dan teriakan-teriakan mereka sudah tidak
terdengar lagi karena mereka saling berpisah makin jauh setelah Siauw Bwee
mulai berloncatan untuk menghindarkan burung-burung itu. Dia menggunakan
gin-kangnya, meloncat tinggi dan jauh dengan maksud melarikan diri. Akan tetapi
burung-burung itu tetap mengejarnya. Sampai jauh Siauw Bwee melawan sambil
berloncatan menjauhi dan kemarahannya timbul sehingga ketika dia menggerakkan
kedua tangan, makin banyaklah burung-burung itu menjadi bangkai, memenuhi rawa.
Entah berapa jam lamanya Siauw
Bwee bertanding melawan burung-burung itu, akan tetapi kini matahari sudah
makin doyong ke barat dan sinarnya mulai menyuram. Entah berapa ratus ekor
burung telah dibunuhnya. Kepalanya menjadi pening oleh suara burung yang
menjerit-jerit sambil menyerang, pandang matanya berkunang oleh bayangan
burung-burung yang tiada hentinya menyambar di depan mukanya. Dia mulai lelah,
kepalanya pening dan patukan burung mulai banyak mengenai kulit lengannya.
Celaka, pikirnya, tidak pernah mengira bahwa dia akan tewas oleh pengeroyokan
burung-burung. Betapa memalukan dan menyedihkan. Tewas oleh pengeroyokan
burung-burung!
Tiba-tiba di antara suara
mencicitnya burung yang memekakkan telinga, terdengar suara manusia! Lirih
saja, akan tetapi amatlah jelas seolah-olah ada yang berbisik di dekat
telinganya.
Sungguh keberanian dan
kenekatan yang bodoh! Masa manusia kalah cerdik oleh burung? Kalau berlindung
ke air bersembunyi di balik alang-alang, bukankah lebih mudah daripada melawan
dengan nekat?!
Siauw Bwee terkejut. Tidak,
dia bukan sedang mimpi, juga tidak mendengar suara setan rawa! Dia mendengar
suara manusia, seorang manusia yang berilmu tinggi dan yang menolongnya dengan
nasihat itu. Suara itu adalah suara yang dikirim dari tempat jauh menggunakan
Ilmu Coan-im-jip-bit yang hanya dapat dilakukan dengan pengerahan khi-kang yang
amat kuat! Suhengnya dapat melakukan hal itu, dan dia pun kalau mau melatih
diri, menggabungkan sin-kang dengan khi-kang, tentu akan dapat melakukannya
pula.
Suhengnya! Jantung Siauw Bwee
berdebar. Suhengnyakah orang itu? Ah, tidak mungkin. Suhengnya selalu bicara
dengan halus dan ramah kepadanya, sedangkan suara orang itu sama sekali tidak
halus dan ramah, bahkan setengah memakinya bodoh dan kalah cerdik oleh burung!
Siapa pun adanya orang itu, jelas bahwa nasihatnya patut diperhatikan. Maka ia
lalu mencari bagian rawa yang penuh alang-alang dan yang airnya agak dalam,
kemudian setelah menggerakkan kedua tangannya membunuh burung-burung yang
menyerangnya, ia lalu menjatuhkan diri ke dalam air rawa, menyembunyikan
tubuhnya sampai ke atas mulut ke dalam air di bawah alang-alang. Hidungnya
mencium bau busuk alang-alang yang membusuk, membuatnya muak, akan tetapi ia
tahankan. Benar saja, burung-burung itu hanya beterbangan di atas alang-alang,
tidak ada lagi yang menyerangnya.
Siauw Bwee merasa lega dan
berterima kasih. Akan tetapi burung-burung itu tetap saja beterbangan di atas
alang-alang, agaknya menunggu sampai dia muncul kembali dan siap menyerang.
Burung sialan, ia memaki. Merendam diri di dalam air lumpur kotor itu sungguh
bukan hal yang menyenangkan, apalagi baunya amat tidak enak dan tubuhnya mulai
merasa gatal-gatal.
Dua jam kemudian, setelah
matahari makin turun ke barat dan sinarnya sudah hampir tidak ada tenaganya
lagi, setelah Siauw Bwee hampir tidak kuat bertahan dan ingin mengamuk lagi,
tiba-tiba burung-burung itu terbang pergi meninggalkan Siauw Bwee dan
meninggalkan rawa yang banyak bangkai burungnya.
Siauw Bwee meloncat dan keluar
dari dalam air. Tiba-tiba ia menjerit-jerit dan tubuhnya mengkirik, menggigil
dengan jijik dan geli ketika ia melihat bahwa puluhan ekor lintah telah
menempel di tubuhnya dan menggigit, menghisap darahnya tanpa ia rasakan tadi!
Dengan bulu tengkuk berdiri dan mengkirik ia sibuk mencabuti dan meremas serta
membanting lintah-lintah itu sehingga darah binatang-binatang itu berceceran ke
mana-mana. Bukan darah binatang-binatang itu melainkan darahnya yang telah
dihisap mereka! Siauw Bwee sampai hampir menelanjangi tubuhnya sendiri karena
lintah-lintah itu ada yang menyelinap memasuki baju dan celananya, menggigit
dan menghisap darah tanpa memilih tempat.
Setan! Bedebah! Kurang ajar!!
Siauw Bwee memaki-maki dan membunuhi lintah-lintah itu, dan setelah memeriksa
semua tubuh dan pakaiannya, barulah ia memakai kembali pakaiannya. Sementara
itu, matahari telah tenggelam dan ketika Siauw Bwee memandang ke sekeliling,
dia tidak melihat lagi adanya dua orang temannya tadi, juga tidak dapat menduga
ke mana larinya mereka yang tadi ketakutan dikeroyok burung.
Siauw Bwee mulai melangkah
lagi melanjutkan usahanya keluar dari tempat itu. Dia tidak lagi dapat mencari
kedua orang temannya, maka dia pun kini harus mengingat keadaannya sendiri. Dia
harus dapat keluar dari daerah rawa yang amat luas ini. Dia mulai mencari-cari,
akan tetapi tetap saja tidak dapat keluar, bahkan beberapa kali ia lewat lagi
di tempat di mana dia dikeroyok burung karena di situ terdapat banyak bangkai
burung berserakan di atas rawa!
Tempat celaka! Neraka dunia!!
Ia mengomel karena kini malam sudah mulai tiba, cuaca mulai gelap. Tiba-tiba
terdengar suara air berkecipakan. Dia memandang ke depan dan bukan main
kagetnya ketika melihat serombongan ular berenang menyeberangi rawa menuju ke
arah dia berdiri! Ular-ular yang besar kecil beraneka warna, ada yang putih,
hijau, coklat, hitam dan merah! Kembali bulu tengkuk Siauw Bwee berdiri.
Teringatlah ia akan ular-ular merah di bawah Istana Pulau Es. Tak jauh dari
tempat ia berdiri terdapat sebatang pohon yang sudah tumbang tengahnya, tinggal
merupakan tonggak, akan tetapi tingginya masih ada dua meter.
Cepat Siauw Bwee mengayun
tubuh meloncat ke atas tonggak itu, berdiri tegak dan memandang ke bawah.
Betapa ngeri hatinya ketika ia melihat ular-ular itu mulai berebut,
memperebutkan bangkai-bangkai burung. Bangkai-bangkai burung yang terapung di
atas air itu mereka serang, moncong-moncong ular dibuka lebar dan
bangkai-bangkai dicaploki dan ditelan berikut bulu-bulunya sehingga tak lama
kemudian beratus buah bangkai burung itu telah habis, pindah ke dalam perut
ular-ular yang kini menggembung. Pemandangan ini amat mengerikan hati Siauw
Bwee sehingga tonggak yang ia injak bergoyang-goyang, tanda bahwa kakinya
menggigil terbawa oleh hati yang ngeri.
Baiknya dara perkasa ini sudah
memiliki gin-kang yang luar biasa, kalau tidak, ada bahayanya ia terguling
jatuh dan dikeroyok ular saking ngerinya.
Malam telah tiba dan keadaan
gelap sekali. Selagi Siauw Bwee kebingungan karena tidak mungkin kini ia
berdiri terus semalam suntuk di atas tonggak, juga tidak mungkin dia meloncat
turun tanpa mengetahui lebih dulu apakah ular-ular itu tidak berada di situ,
tiba-tiba tampak olehnya sinar terang dari jauh. Dari atas tonggak itu ia dapat
menduga bahwa sinar itu adalah obor-obor yang dipegang orang. Karena rawa itu
luas dan sinar obor-obor yang bersatu itu cukup terang, maka sebagian sinarnya
dapat mencapai tempat Siauw Bwee. Giranglah hati Siauw Bwee ketika melihat
bahwa ular-ular yang sudah kekenyangan itu kini merayap pergi, agaknya takut
akan sinar obor.
Dengan bantuan sinar yang
datang dari obor-obor itu, Siauw Bwee dapat meloncat turun ke tempat yang tidak
ada ularnya, kemudian mulailah ia berlari dengan hati-hati menuju ke arah
orang-orang yang membawa obor. Tadinya ia mengira bahwa kedua orang temannya
yang membawa obor itu, akan tetapi kini tampak olehnya bahwa yang membawa obor
adalah tiga orang, jadi jelas bukan dua orang temannya itu. Tiga orang itu
membawa enam buah obor, masing-masing dua buah yang disatukan di satu tangan.
Apakah orang-orang berkaki
buntung yang masih berusaha mengejar dan mencarinya? Siauw Bwee menggigit
bibirnya dengan gemas. Aku telah menderita karena mereka, pikirnya. Dikeroyok
burung, hampir dikeroyok ular dan benar-benar telah dikeroyok lintah! Dan
merendam tubuhnya di air kotor berbau! Kalau dia bukan bekas penghuni Pulau Es,
tentu sekarang telah menderita kedinginan luar biasa pula! Biarlah, mereka
hanya bertiga, mungkin pimpinan mereka dan sekali ini aku akan membikin mereka
tahu rasa!
Dengan hati gemas dan marah
Siauw Bwee mempercepat larinya, berloncatan menghampiri tiga orang yang membawa
obor itu dan setelah dekat ia tercengang karena tiga orang itu tidak memakai
tongkat dan kini tampak jelaslah bahwa mereka bukan tiga orang berkaki buntung,
melainkan tiga orang berlengan buntung sebelah! Kiranya mereka itu adalah tiga
orang dari kaum lengan buntung! Hati Siauw Bwee tertarik sekali dan juga
girang. Sekarang ia mendapat kesempatan untuk keluar dari daerah rawa yang
berbahaya itu! Diam-diam ia membayangi mereka dan benarlah dugaannya, tiga
orang berlengan kiri buntung itu membawanya keluar dari daerah rawa dan
memasuki sebuah hutan yang tandus.
Karena keadaan gelap dan
penerangan obor itu tidaklah cukup menerangi daerah sekitarnya, maka Siauw Bwee
tidak tahu jalan apa yang mereka tempuh sehingga dapat keluar dari daerah rawa,
akan tetapi ternyata untuk keluar dari daerah rawa itu mereka telah
menghabiskan waktu semalam suntuk!
Mereka telah memadamkan obor
dan membuangnya karena malam telah terganti pagi ketika tiga orang itu berjalan
cepat sekali menuju ke sebuah pondok bambu yang berdiri di tengah hutan tandus.
Gerak kaki mereka ketika berlari itu cepat bukan main dan diam-diam Siauw Bwee
kagum sekali. Gerakan orang-orang berlengan kiri buntung itu ternyata amat
hebat dan dalam hal berlari cepat, jelas bahwa orang-orang berkaki buntung
bukanlah lawan mereka ini! Dia sendiri harus mengerahkan gin-kangnya dan
berlari cepat-cepat untuk dapat membayangi mereka dan tidak tertinggal.
Ketika tiga orang itu
mengampiri pondok, Siauw Bwee menyelinap dan bersembunyi sambil mengintai.
Pakaiannya sudah kering kembali, akan tetapi robek-robek di bagian lutut, paha,
betis dan lengan kanan kiri. Burung-burung sialan, ia memaki. Bekal pakaiannya
masih tertinggal di atas punggung kuda hitamnya yang sekarang entah bagaimana
nasibnya.
Siauw Bwee memandang heran
ketika melihat seorang laki-laki tua renta dan bertubuh kurus kering duduk di
atas bangku bambu depan pondok itu. Laki-laki itu keadaannya amat menyedihkan.
Kedua kakinya buntung sebatas paha, lengan kirinya juga buntung seperti tiga
orang pendatang itu dan yang tinggal hanyalah lengan kanannya yang kurus dan
yang memegang sebatang tongkat seperti milik para anggauta kaum kaki buntung.
Siauw Bwee memandang heran dan menduga. Termasuk golongan manakah kakek itu?
Lengan kirinya buntung seperti
tiga orang pendatang itu, akan tetapi belum tentu dia merupakan anggauta kaum
lengan buntung karena kakinya juga buntung, tidak hanya kaki kanan, bahkan
kedua-duanya! Dan kakek itu duduk tanpa kaki seperti orang sedang bersila,
tangan kanan memegang tongkat yang melintang di depannya, lengan baju kiri
tergantung lepas tanpa isi, kedua matanya terpejam seolah-olah dia tidak tahu
akan kedatangan tiga orang itu.
Siauw Bwee mengalihkan
pandangnya. Di antara tiga orang lengan buntung ini, tidak seorang pun pernah
dilihatnya di antara mereka yang dulu pernah dilihatnya ketika lima orang
lengan buntung membawa tawanan seorang kaki buntung. Yang seorang adalah
seorang nenek yang mukanya masam dan kelihatan galak. Yang ke dua adalah
seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, lebih muda daripada Si Nenek,
sikapnya gagah dan agaknya dia yang memimpin rombongan tiga orang itu. Orang ke
tiga adalah seorang laki-laki bermuka tampan akan tetapi membayangkan
kesombongan. Ketiganya kini berdiri di depan kakek tua renta itu, kemudian
terdengarlah laki-laki tinggi tegap yang memimpin rombongan itu berkata,
Twa-supek, kami diperintah
oleh Suhu untuk memperingatkan Supek yang terakhir kalinya agar supek suka
memberitahukan rahasia gerak tangan kilat kaum kaki buntung!! Biarpun laki-laki
itu menyebut twa-supek (uwa guru tertua), namun nada suaranya amat tidak
menghormat, bahkan mengandung ancaman dan kekerasan.
Kakek itu membuka matanya dan
terkejutlah Siauw Bwee menyaksikan betapa sinar mata kakek tua renta itu
mengandung penderitaan seperti mata orang yang sakit berat! Kemudian terdengar
kakek itu berkata lirih, Sudah kukatakan bahwa aku tidak sudi mencampuri
permusuhan terkutuk itu! Pergilah kalian!!
Twa-supek! Kalau begitu benar keterangan
para penyelidik bahwa supek menerima kedatangan orang-orang berkaki buntung,
tentu supek telah membuka rahasia ilmu kami!!
Benar, mereka datang pula ke
sini membujuk akan tetapi aku tidak sudi pula membantu mereka. Seperti juga
kaum lengan buntung, kaum kaki buntung adalah anak muridku pula. Betapa aku
sudi membantu mereka yang saling bermusuhan sendiri?!
Twa-supek! Kiranya sampai
sekarang, setelah menerima kutukan dari roh para nenek moyang, Twa-supek masih
saja mengkhianati sumpah....!
Sudahlah, tutup mulutmu!!
Kakek itu membentak.
Orang itu melotot marah. Orang
tua, biarpun engkau terhitung supek sendiri, akan tetapi engkau telah hampir
mati, hanya mempunyai sebuah lengan saja. Kalau kami turun tangan, apakah kau
sanggup melawan kami?!
Kakek itu menundukkan
kepalanya. Hanya kesesatan itu yang belum kalian lakukan, kalau kalian hendak
membunuhku, silakan!!
Siauw Bwee terkejut ketika
mendengar suara kakek itu. Teringatlah ia akan suara yang dikirim dengan ilmu
Coan-im-jip-bit dan yang telah menolongnya dari serangan burung-burung liar.
Kini mendengar ancaman laki-laki lengan buntung, Siauw Bwee tidak dapat menahan
kemarahannya lagi. Dia mengenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang cepat sekali,
tahu-tahu telah berdiri di depan laki-laki tinggi tegap yang menyerang kakek
itu dengan kata-kata keras tadi.
Engkau manusia yang tak tahu
aturan!! Siauw Bwee tidak memberi kesempatan kepada tiga orang itu untuk pulih
kembali dari rasa kaget mereka melihat munculnya seorang dara yang gerakannya
seperti burung walet. Tidak menghormati supek sendiri, dan tidak menghiraukan
alasan-alasan yang begitu bijaksana, melainkan bersikap seperti tiga ekor
kerbau gila yang hanya bertindak karena dorongan nafsu bermusuhan dan haus
darah! Kalian hendak membunuh Locianpwe ini? Hi-hik, bicara sih mudah! Baru
melawan aku saja kalian sudah takkan bisa menang, apalagi melawan Locianpwe
ini!!
Tiba-tiba muncul seorang dara
jelita yang masih remaja dan datang-datang memaki-makinya membuat laki-laki
tinggi tegap bertangan satu itu tercengang dan sejenak tak dapat berkata-kata.
Akan tetapi kemudian timbul kemarahannya. Dia tadi hanya mengancam saja dan
sama sekali bukan bermaksud menyerang apalagi membunuh kakek itu. Karena
ancamannya itu kini disaksikan orang luar, tentu saja hal ini amat memalukan
dan merendahkan dirinya, maka dia amat marah.
Bocah siluman dari mana berani
mencampuri urusan kami!! bentaknya.
Bocah dari mana tak perlu kau
tahu. Pendeknya, lekas kau mentaati petintah Locianpwe inl untuk segera angkat
kaki dari tempat ini, kalau tidak, jangan sesalkan aku menggunakan kekerasan
mengusir kalian bertiga!!
Ucapan ini tekebur sekali dan
tentu saja murid kepala kaum lengan buntung itu saking marahnya sampai
memandang dengan mata mendelik. Bocah kurang ajar! Engkau ada hubungan apakah
degan kakek itu?!
Bukan sanak bukan teman, akan
tetapi aku akan melindunginya dari keganasan kalian!!
Hemm, kulihat engkau masih
amat muda, masih bocah. Ingat lebih baik jangan mencampuri urusan kaum lengan
buntng kalau kau sayang nyawamu.!
Tentu saja aku sayang nyawaku,
akan tetapi aku siap membelanya dengan nyawaku karena aku yakin nyawaku tidak
akan apa-apa kalau hanya melawan orang-orang kejam macam kalian!!
Keparat!! Laki-laki itu tak
dapat menahan kesabarannya lagi dan ia sudah menerjang dengan sambaran lengan
baju kirinya ke arah muka Siauw Bwee, dan tangan kanannya sudah cepat mengirim
susulan dengan tonjokan ke arah leher! Cepat sekali gerakannya ini, namun
terlalu lambat bagi Siauw Bwee yang sudah dapat mengelak dengan jalan menarik
muka ke belakang kemudian menggerakkan tangan kiri menangkis tangan kanan yang
memukul.
Plakk!! Tubuh Laki-laki itu
hampir terjengkang ke belakang sehingga ia mengeluarkan seruan kaget dan heran.
Siauw Bwee tidak peduli dan sudah mener jang maju dengan tamparan kedua
tangannya susul-menyusul. Akan tetapi kini dara ini yang merasa kaget karena
tubuh laki-laki itu dengan amat indah dan cepatnya sudah bergerak dan semua
tamparannya luput! Kiranya laki-laki itu mempunyai gerak langkah yang amat luar
biasa dan tiba-tiba saja kaki kiri laki-laki itu menyambar amat dahsyat dan
cepatnya! Siauw Bwee makin terkejut dan hanya dengan loncatan ke samping secara
cepat ia dapat menghindar. Namun, dengan langkah-langkah yang aneh dan
berputar, laki-laki itu telah berada di belakangnya dan lengannya mencengkeram
kepala disusul tendangan lagi yang akan melontarkan tubuh seekor kerbau bunting
saking kuatnya!
Ayaaaa....! Siauw Bwee
berteriak dan tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali kemudian dari atas,
ketika tubuhnya meluncur turun, dia telah menggerakkan kedua tangannya
melakukan gerakan mendorong. Laki-laki itu kagum sekali menyaksikan gin-kang
yang begitu sempurna, akan tetapi ia juga girang karena kalau tubuh itu turun
ia akan dapat menyambut dengan serangan dahsyat. Siapa kira, dari telapak kedua
tangan dara itu menyambar hawa yang kuat dan ketika ia berusaha menangkis, hawa
dingin yang luar biasa membuat tubuhnya menggigil dan dia terhuyung-huyung.
Aihhh....!! Laki-laki itu
berseru keras dan kini kedua orang saudara seperguruannya sudah menerjang maju
mengeroyok Siauw Bwee.
Bagus, majulah semua kalian
orang-orang tak tahu malu!! Siauw Bwee mengejek, akan tetapi segera ia mendapat
kenyataan bahwa dikeroyok tiga oleh orang-orang itu benar-benar merupakan lawan
amat berat! Tingkat sin-kang dan gin-kang mereka tidaklah seberapa hebat, akan
tetapi dia dibikin bingung oleh gerak langkah mereka yang amat luar biasa itu.
Teringatlah ia akan penuturan Cia Cen Thok bahwa kaum lengan buntung ini telah
mencipta semacam ilmu silat yang disebut gerak kaki kilat. Siauw Bwee harus
mengerahkan seluruh kepandaiannya dan kini dia terdesak terus. Sungguhpun
dengan ilmu silatnya yang tinggi, sin-kangnya yang kuat dan gin-kangnya yang
sempurna dia dapat selalu mengelak atau menangkis namun dia tidak diberi
kesempatan membalas sama sekali. Terkejutlah dara perkasa itu karena mendapat
kenyataan bahwa kaum lengan buntung ini benar-benar memiliki keistimewaan
seperti yang dimiliki kaum kaki buntung dengan gerak tangan kilat mereka!
Tiba-tiba terdengar kelepak
sayap yang riuh-rendah dan tiba-tiba udara di situ menjadi gelap tertutup
bayangan dari atas. Tiga orang lengan buntung itu memandang ke atas dan
seketika wajah mereka menjadi pucat sekali. Kini kelepak sayap itu ternyata
bukanlah sayap melainkan suara cecowetan separti suara kera yang banyak sekali
dan dari mulut tiga orang lengan buntung itu terdengar jerit ketakutan.
Celaka....! Kelelawar siang!!
Siauw Bwee menjadi heran
sekali melihat tiga orang itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi kepala
mereka dengan tubuh menggigil ketakutan. Dia mendongak dan apa yang dilihatnya
membuat ia hampir menjerit. Yang disebut kelelawar siang itu memang
sesungguhnya kelelawar, akan tetapi banyaknya bukan main, sama banyaknya dengan
burung-burung yang menyerangnya kemarin! Dan yang hebat, kelelawar-kelelawar
itu agaknya berbeda dengan kelelawar biasa, tidak takut sinar matahari dan
tubuh mereka hitam seperti arang! Biarpun merasa ngeri sekali, akan tetapi
Siauw Bwee tidak mau bersikap penakut seperti tiga orang bekas lawan itu, maka
ia masih berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan.
Nona, lekas berlutut, serendah
mungkin. Kelelawar-kelelawar itu tidak akan menyerang lebih tinggi dari satu
meter di atas tanah, dan gigitannya seekor saja cukup membuat manusia menjadi
gila!!
Mendengar suara lirih di dekat
telinganya yang sama dengan suara ketika dia dikeroyok burung, Siauw Bwee
terkejut. Pada saat itu beberapa ekor kelelawar sudah menyambar turun mengarah
kepalanya! Menjadi gila kalau digigit? Dia makin ngeri dan tanpa ragu-ragu lagi
ia lalu menjatuhkan diri berlutut seperti yang dilakukan tiga orang lengan
buntung, hanya dia tidak menutup kepalanya melainkan memandang ke atas penuh
perhatian.
Tiba-tiba terdengar bunyi
melengking tinggi dan nyaring. Siauw Bwee menoleh dan melihat bahwa suara itu
keluar dari mulut Si Kakek Tua, suara yang dikeluarkan dengan pengerahan
sin-kang yant tinggi. Aneh sekali, ketika terdengar suara melengking tinggi
penuh getaran ini, kelelawar-kelelawar itu menjadi kacau-balau terbangnya,
menabrak sana sini dan kelihatan panik. Akan tetapi, sebelum suara itu cukup
kuat untuk mengusir semua kelelawar, suara itu makin melemah dan Siauw Bwee
melihat kakek itu terengah-engah kehabisan tenaga.
Siauw Bwee adalah seorang dara
yang cerdik. Melihat ini, maklumlah bahwa cara mengeluarkan lengkingan itu
adalah cara untuk mengusir binatang-binatang mengerikan itu dan bahwa pada saat
itu Si Kakek yang lihai sedang menderita sakit maka pengerahan sin-kang yang
kuat membuatnya kehabisan tenaga. Maka dia lalu mengerahkan sin-kang dan
keluarlah suara melengking tinggi dengan getaran kuat dari dalam dada Siauw
Bwee. Dia hampir menari kegirangan ketika melihat hasil tiruannya.
Binatang-binatang itu menjadi makin panik dan kacau, beterbangan membubung
setinggi mungkin, agaknya untuk menghindari getaran lengkingan maut itu dan tak
lama kemudian mereka sudah terbang tinggi dan jauh, lenyap dari pandangan mata.
Barulah Siauw Bwee menghentikan lengkingannya dan ia meloncat berdiri memandang
tiga orang lengan buntung yang juga sudah berdiri dengan muka pucat.
Mau dilanjutkan?! Siauw Bwee
menantang berani.
Kalian bertiga tidak lekas
pergi? Melawan Nona ini berarti mencari mati sia-sia!! kata Si Kakek Tua.
Tiga orang itu sudah melihat
bukti kelihaian Siauw Bwee. Selain merasa gentar, juga mereka tahu bahwa.
berkat pertolongan gadis itulah maka mereka lolos dari bahaya yang lebih
mengerikan daripada maut, maka tanpa berkata-kata mereka lalu berlari pergi.
Siauw Bwee membalikkan tubuh
memandang kakek tua itu. Locianpwe, kau sedang menderita sakit.!
Kakek itu mengangguk,
tersenyum dan lengan tunggalnya melambai. Ke sinilah, anak baik. Siapa namamu?!
Nama saya Khu Siauw Bwee,
Locianpwe.!
Ha-ha-ha, jangan menyebut
locianpwe. Kepandaianmu lebih hebat daripada sedikit ilmu yang kumiliki.
Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang dara semuda engkau telah memiliki
sin-kang yang sedemikian hebat. Siapakah gurumu?!
Siauw Bwee sudah mendapat
pesan suhengnya bahwa mereka bertiga tidak boleh menyebut-nyebut nama Bu Kek
Siansu, sesuai dengan pesan kakek manusia dewa itu. Maka dia menjawab
menyimpang, Guruku tidak boleh disebut namanya, aku hanya belajar dari suhengku
yang bernama Kam Han Ki. Locianpwe jangan terlalu memuji dan membuatku menjadi
bangga dan sombong.!
Kembali kakek itu tertawa.
Engkau benar-benar masih bocah. Eh, Nona yang baik, engkau selain lihai juga
rendah hati, dan hatimu amat baik penuh budi dan welas asih. Engkau belum
mengenal aku akan tetapi engkau berani mempertaruhkan nyawa untuk membelaku
mati-matian.!
Siauw Bwee tertawa manis dan
dia berkata,
Aihhh, Locianpwe membikin aku
merasa malu saja. Aku tidaklah sebaik yang Locianpwe katakan. Tentu saja aku
membela mati-matian kepada Locianpwe yang telah menolongku kemarin.!
Mata kakek itu terbelalak.
Menolongmu? Apa maksudmu, Nona?!
Waah, Locianpwe pandai
berpura-pura lagi. Siapakah yang kemarin menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit
menyelamatkan aku dari serangan burung-buruhg gila? Kalau tidak ada pertolongan
Locianpwe, agaknya aku akan mati di tengah rawa!!
Ah, engkaukah orangnya? Aku
tidak mengenal siapa orangnya karena dari jauh. Aku kebetulan berjalan-jalan di
dekat rawa dan melihat orang dikeroyok burung elang. Kiranya engkaukah
orangnya?!
Hati Siauw Bwee menjadi geli.
Orang tidak mempunyai sebuah kaki pun, bagaimana bisa berjalan-jalan? Ingin dia
menyaksikan bagaimana orang tak berkaki bisa berjalan.
Akulah orangnya, Locianpwe.
Dan aku mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu itu,! Siauw Bwee
menjura dengan hormat.
Kakek itu tertawa bergelak dan
sejenak wajahnya yang muram itu berseri gembira. Wah, pengakuanmu ini
meningkatkan pandanganku terhadap dirimu, Nona. Di samping segala kebaikanmu,
engkau jujur dan ingat budi pula! Engkaulah orangnya. Ya, engkaulah orangnya
yang akan dapat menolong kedua kaum yang saling bermusuhan sehingga setiap
tahun mengorbankan banyak nyawa manusia tidak berdosa. Aku mohon kepada-mu,
Nona, sukakah engkau mewakili aku menyelamatkan mereka!!
Siauw Bwee mengerutkan
alisnya. Sikap kakek itu benar-benar patut dikasihani. Dalam keadaan seperti
itu masih mementingkan keselamatan orang lain, keselamatan kaum buntung kaki
dan buntung lengan yang memperlakukannya dengan buruk.
Apakah maksudmu, Locianpwe?
Mereka itu saling bermusuhan dan kedua pihak amat lihai. Bagaimana aku dapat
mencampuri dan betapa mungkin aku dapat menolong dua pihak yang saling
bermusuhan?!
Duduklah, Nona, dan dengarkan
ceritaku.! Siauw Bwee memang tertarik sekali akan permusuhan kedua kaum yang
cacat itu, yang sebagian sudah ia dengar dari Cia Cen Thok, maka ia lalu duduk
di atas dipan bambu di sebelah kakek itu.
Tahukah engkau mengapa kedua
kaum yang bercacat itu saling bermusuhan, Nona?!
Siauw Bwee mengangguk.
Permusuhan mereka ditanam oleh kedua orang saudara seperguruan yang bermusuhan
dan dalam pertandingan, seorang kehilangan kaki kanan dan yang seorang lagi
kehilangan lengan kiri.!
Benar, dan aku tadinya adalah
seorang di antara kaum lengan buntung itu. Akan tetapi, sejak dahulu aku tidak
menyetujui permusuhan antara saudara sendiri, karena kaum kaki buntung dan kaum
lengan buntung sebenarnya adalah saudara-saudara seperguruan. Apalagi cara
mereka menerima murid-murid yang harus dibuntungi kaki atau lengannya seperti
kaum mereka, benar-benar merupakan perbuatan yang amat keji. Aku adalah suheng
dari The Bian Le dan aku berusaha membujuk suteku yang menjadi ketua kaum
lengan buntung sekarang untuk berdamai dengan pihak kaki buntung. Pada waktu
itu akulah yang menjadi ketua kaum lengan buntung. Usul itu diterima dengan
penuh kemarahan dan mereka memberontak. Aku yang menjadi ketua mereka malah
mereka anggap pengkhianat sumpah leluhur dan aku dikeroyok, kemudian kaki
kananku mereka buntungkan dan aku diusir dengan kata-kata menghina bahwa aku
berpihak kepada kaum kaki buntung, maka kaki kananku dibuntungi dan aku
diusir.!
Kakek itu menundukkan mukanya
dan menarik napas panjang, Siauw Bwee mengepal tangannya dan berkata, Betapa
kejamnya!!
Kakek itu menggeleng kepala,
Merceka patut dikasihani, Nona. Aku tidak menyesal karena kakiku dibuntungi
sebelah, melainkan menyesal bahwa usahaku itu gagal sama sekali. Aku lalu pergi
ke tempat kaum kaki buntung. Biarpun kaki kananku sudah buntung seperti lengan
kiriku, aku tidak putus harapan dan berusaha menghubungi Liong Ki Bok, ketua
mereka yang sebenarnya kalau diperhitungkan malah suteku sendiri pula. Akan
tetapi, karena tadinya aku adalah ketua kaum lengan buntung, aku dicurigai dan
malah di sana aku dikeroyok dan kaki kiriku dibuntungi pula.!
Ahhh....! Biadab! Jahat benar
mereka itu!!
Kembali kakek itu menggeleng
kepala. Mereka, kedua pihak telah dibikin mabok oleh dendam permusuhan. Akulah
orangnya yang patut disesalkan karena berusaha mendamaikan mereka. Akan tetapi
aku malah tetap penasaran dan aku takkan dapat mati dengan meram kalau belum
berhasil mendamaikan mereka.! Kakek itu kelihatan berduka sekali dan diam-diam
Siauw Bwee merasa terharu dan kasihan, juga kagum menyaksikan iktikad baik yang
tak kunjung padam dari hati kakek yang tubuhnya sudah cacad seperti itu.
Apa hubungannya semua itu
dengan aku, Locianpwe? Kalau engkau sendiri yang tadinya adalah ketua kaum
lengan buntung sama sekali tidak dapat mendamaikan mereka bahkan dianggap
pengkhianat, bagalmana aku akan dapat mengusahakannya?!
Dengan jalan lain pasti dapat,
Khu-lihiap. Akan tetapi dengarlah dulu ceritaku. Aku terasing di antara mereka
kedua pihak dan aku, dengan tekad untuk tetap hidup dan terus berusaha
mendamaikan mereka, dapat menyeret tubuhku dengan hanya lengan kanan ini sampai
ke tempat ini, terpencil dan terasing. Sepuluh tahun lamanya aku berdiam di
sini, menggembleng diri dan terutama sekali mempelajari rahasia ilmu-ilmu kedua
pihak yang sesungguhnya memang sesumber. Dan ketekunanku selama sepuluh tahun
ini berhasil baik, Nona! Aku telah memecahkan kedua ilmu mereka, maksudku aku
telah menemukan cara pemecahannya dan cara untuk menundukkan ilmu gerak tangan
kilat dari kaum kaki buntung dan ilmu gerak kaki kilat dari kaum lengan
buntung. Dengan ilmu ini mereka tentu akan dapat ditundukkan kalau perlu dengan
kekerasan!!
Wajah Siauw Bwee berseri, dia
ikut merasa gembira akan hasil kakek itu yang akan dapat memenuhi cita-cita
hidupnya, yaitu menundukkan dan mendamaikan kedua kaum yang bersaudara akan
tetapi permusuhan itu. Bagus sekali, Locianpwe. Kalau begitu, Locianpwe
pergunakan saja ilmu itu untuk menghajar orang-orang keras kepala itu!!
serunya.
Nona, lihatlah keadaanku. Aku
hanya mempunyai sebuah lengan dan aku.... karena terlalu tekun menggembleng
diri dengan ilmu-ilmu itu, aku menderita sakit jantung yang hebat dan takkan
terobati lagi. Biarpun semua teori silat mereka sudah berada di telapak
tanganku kalau aku hanya mempunyai satu lengan saja, bagaimana mungkin aku
dapat menghadapi mereka?!
Ohhh....! Maafkan aku,
Locianpwe,! Siauw Bwee berkata dengan muka merah karena dalam kegembiraannya
tadi ia sampai lupa bahwa kakek itu tubuhnya tidak lengkap lagi.
Tidak apa, Nona. Bahkan akulah
yang minta maaf kepadamu karena berani minta engkau seorang luar untuk mewakili
aku....!
Maksudmu....?!
Ilmu kepandaianmu hebat, Nona.
Baik Liong Ki Bok maupun The Bian Le, malah aku sendiri tidak akan dapat
menandingimu. Engkau tentu murid seo rang yang amat sakti. Akan tetapi, kalau
engkau dikeroyok dan menghadapi ilmu silat gerak tangan sakti dan gerak kaki
sakti, engkau yang masih kurang pengalaman tentu akan menjadi bingung sehingga
keadaanmu akan berbahaya. Akan tetapi kalau engkau kuberi pelajaran rahasia
tentang kedua ilmu itu dan pemecahannya, dengan mudah engkau akan dapat
mengalahkan mereka. Nona, sudikah engkau memenuhi permintaan seorang tua yang
sudah hampir mati dan sudikah engkau membiarkan aku mati dalam keadaan meram
dan tenang karena menyaksikan kedua kaum itu telah dapat dipaksa berdamai?!
Kakek itu suaranya seperti orang akan menangis dan disambungnya dengan suara
parau. Andaikata aku memiliki dua buah kaki, aku akan berlutut memohon
kepadamu, Khu-lihiap!!
Siauw Bwee merasa terharu
sekali. Dia memiliki watak yang halus dan perasa, penuh welas asih, bagaimana
mungkin ia dapat menolak permintaan itu? Aihh, Locianpwe harap jangan terlalu
sungkan. Aku sudah Locianpwe tolong dari ancaman maut dikeroyok burung-burung
liar dan aku belum dapat membalas budi itu. Tentu saja aku akan berusaha untuk
memenuhi permintaanmu.!
Terima kasih, Li-hiap! Semoga
Tuhan memberkatimu! Dan jangan bicara tentang budi pertolongan dariku, karena
aku tahu bahwa tanpa kunasihatkan untuk menyelam juga, burung-burung gila itu
mana mungkin dapat menjatuhkan seorang seperti Li-hiap? Nah, marilah kita mulai
dengan latihan ilmu-ilmu tangan kilat dan kaki kilat, Nona. Waktu untuk pibu
(mengadu ilmu) di antara mereka tiga bulan lagi, cukup lama bagimu untuk
menguasai kedua ilmu itu dan kelak, dalam pertandingan pibu Nona dapat maju dan
mengalahkan mereka. Kalau ketua mereka kalah olehmu, tentu mereka tidak berani
membantah dan akan memenuhi permintaan Li-hiap untuk berdamai dan bersumpah
mengubur semua permusuhan di antara kedua kaum!!
Waktu tiga bulan bukanlah
waktu yang sebentar dan berarti bahwa perjalanan akan tertunda selama tiga
bulan. Akan tetapi waktu itu tidak dibuang sia-sia, dan sebagai seorang ahli
silat seperti Siauw Bwee, tentu saja akan girang sekali, menerima pelajaran dua
macam ilmu yang demikian hebat. Apalagi kalau diin gat bahwa dia sedang
melakukan tugas yang mulia yaitu berusaha mendamaikan permusuhan semua saudara
sehingga kalau berhasil berarti dia telah menyelamatkan entah berapa banyak
nyawa yang setiap tahun pasti ada yang jatuh menjadi korban pibu.
Demikianlah, mulai hari itu,
Siauw Bwee menerima petunjuk-petunjuk kakek cacad itu melatih diri dengan ilmu
gerak tangan kilat dan gerak kaki kilat dan karena dasar ilmu silatnya malah
lebih tinggi tingkatnya daripada kedua ilmu itu dia dapat melatih diri dengan
mudah dan hasilnya amat hebat, lebih hebat daripada kalau kedua ilmu itu
dilatih oleh tubuh Si Kakek sendiri andaikata dia tidak bercacad!
***
Terpaksa kita tinggalkan dulu
Siauw Bwee yang setiap hari tekun berlatih kedua macam ilmu silat istimewa itu
dan sebaiknya kita mengikuti perjalanan Kam Han Ki, karena hal ini untuk
memperlancar jalannya cerita.
Telah kita ketahui betapa Kam
Han Ki merana hatinya, seolah-olah kehilangan semangat dan gairah hidup ketika
kedua orang sumoinya meninggalkan Istana Pulau Es sehingga dia tinggal seorang
diri di Pulau Es. Karena tidak dapat menahan kesepian yang menggerogoti
hatinya, juga karena khawatir akan keadaan kedua orang sumoinya, Han Ki lalu
membuat sebuah perahu dan berlayarlah dia meninggalkan Pulau Es dengan maksud
hendak mencari kedua orang sumoinya, atau setidaknya, seorang di antara mereka.
Setelah mendarat di tepi
pantai daratan Tiongkok, pemuda ini menjadi bingung karena dia tidak tahu di
sebelah mana kedua orang sumoinya mendarat dan ke mana pula mereka pergi. Akan
tetapi, dia berjalan terus ke barat dan di sepanjang jalan dia berusaha
menemukan jejak kedua orang sumoinya dengan bertanya-tanya kepada orang-orang
yang dijumpainya di jalan. Akan tetapi, sampai berpekan-pekan ia melakukan
perjalanan, belum juga ia mendapatkan jejak kedua orang sumoinya. Tidak ada
seorang pun di antara mereka yang ditanyainya pernah melihat dua orang gadis
itu, sebaliknya, Han Ki mendengar akan keadaan kerajaan baru yang makin luas
saja wilayahnya, yaitu Kerajaan Cin yang dibangun oleh bangsa Yucen. Kini di
daerah utara, hampir seluruh wilayah Kerajaan Sung telah terjatuh ke tangan
Kerajaan Cin. Dari dia mendengar pula tentang pergolakan di Kerajaan Sung,
tentang para pembesar yang memberontak dan berdiri sendiri-sendiri menguasai
wilayah masing-masing. Mendengar pula akan pergerakan bangsa Mancu di samping
bangsa Yucen.
Ketika ia mendengar bahwa dia
memasuki daerah yang telah dikuasai bangsa Yucen yang mulai mengangkat
pejabat-pejabat daerah sebagai pegawai Kerajaan Cin, teringatlah Han Ki akan
kekasihnya, Sung Hong Kwi yang dahulu akan dikawinkan dengan Raja Yucen. Timbul
hasrat hatinya untuk mendengar berita tentang kekasihnya itu, dan kalau
mungkin.... menjumpainya! Masih hidupkah Hong Kwi kekasihnya itu? Apakah kini
telah menjadi seorang yang mulia di Kerajaan Cin? Ataukah hanya menjadi selir
rendahan saja? Hatinya terasa perih kalau ia mengingat akan cerita betapa
raja-raja yang berkuasa, seperti halnya Kaisar Kerajaan Sung, paling suka
mempermainkan wanita dan setiap hari berganti wanita, yang lama dicampakkan
begitu saja. Jangan-jangan seperti itu pula nasib Hong Kwi. Kekhawatiran ini
mendorong hasratnya untuk menyelidiki keadaan Hong Kwi.
Akhirnya, karena dorongan
hasrat ingin bertemu bekas kekasihnya tak dapat ditahannya lagi, Han Ki
mendatangi kota raja Yucen dan berhasil pada suatu malam menyelundup masuk ke
taman Istana Raja Yucen! Dilihatnya bahwa dia telah memasuki harem (keputren,
tempat selir-selir raja) dan ketika ia melihat beberapa orang wanita cantik
berpakaian indah bersendau-gurau di dekat kolam ikan, ia lalu melompat ke dekat
mereka. Wanita-wanita itu terkejut dan menjerit, akan tetapi Han Ki mengangkat
tangannya dan berkata halus,
Harap kalian jangan takut. Aku
datang tidak berniat buruk, hanya ingin bertemu dengan Sung Hong Kwi. Adakah
dia di sini?!
Ketika melihat bahwa yang
muncul seperti setan itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, lenyaplah
rasa takut wanita-wanita itu dan di antara mereka bahkan ada yang
tersenyum-senyum dan melirik-lirik tajam. Mereka adalah wanita-wanita yang
selalu dikurung dan hanya kadang-kadang melayani Raja Yucen yang sudah tua,
tentu saja jantung mereka berdebar tegang dan aneh ketika berhadapan dengan
seorang pemuda tampan dan gagah seperti itu. Seorang di antara mereka yang
paling berani, segera berkata,
Engkau sungguh berani mati
memasuki tempat ini. Bagaimanakah engkau tidak ditangkap dan dibunuh oleh para
pengawal yang menjaga di luar?!
Hal itu tidak penting. Yang
penting, adakah Sung Hong Kwi di sini? Aku ingin berjumpa dengan dia.!
Siapa itu Sung Hong Kwi? Kami
tidak mengenalnya dan tidak pernah mendengar namanya.!
Han Ki mengerutkan kening.
Salahkah dugaannya bahwa kekasihnya itu diboyong oleh Raja Yucen? Lima tahun
yang lalu, ada seorang puteri Kerajaan Sung dikawinkan dengan Raja Yucen....!
Ohhh! Kaumaksudkan dia?! Seorang
selir yang usianya paling tua, kurang lebih tiga puluh tahun akan tetapi masih
amat cantik, segera berkata, Puteri yang rewel itu? Dia tidak menjadi selir
sribaginda, akan tetapi diberikan kepada Pangeran Dhanu yang tergila-gila
kepadanya. Aihhh, kasihan Pangeran Dhanu yang tampan, rela tidak memelihara
selir akan tetapi isterinya itu selalu merongrongnya!!
Han Ki terkejut. Pangeran
Dhanu? Di mana istananya?!
Wanita itu tertawa. Mana ada
waktu beristirahat dengan tenang di istana? Isterinya, Puteri Sung itu terlalu
rewel, bahkan kini kabarnya sakit sehingga diajak tetirah ke Hutan Bunga Bwee
di tepi sungai!
Di mana tempat itu?!
Ihh, mau apa sih engkau
mencari puteri yang sakit-sakitan? Di sini banyak....!
Lekas katakan!! Han Ki
membentak marah ketika mendengar wanita-wanita itu mulai tertawa memikat. Kalau
tidak terpaksa aku akan membunuh kalian!! Ia sengaja mengancam dan berhasillah
dia karena wanita-wanita itu menjadi pucat dan ketakutan.
Di luar kota raja, di sebelah
utara, dekat sungai ada hutan penuh bunga bwee dan sudah beberapa hari mereka
di sana.... aihhh....!! Wanita itu dan temante mannya menjerit ketika tiba-tiba
tubuh Han Ki berkelebat dan pemuda gagah itu sudah lenyap dari depan mereka.
Setan....! Siluman....!!
Mereka berteriak-teriak sambil melarikan diri, ada yang terkencing-kencing
ketakutan dan bahkan ada yang pingsan di tempatnya! Semenjak malam itu, sampai
beberapa lama pemuda itu menjadi bahan percakapan para selir dengan penuh rasa
ngeri dan juga rindu!
Akan tetapi ketika Han Ki tiba
di hutan yang dimaksud, ia terkejut menyaksikan bekas-bekas pertempuran dan
mendapat kabar bahwa malam tadi tempat itu diserbu oleh gerombolan pasukan
Mancu yang memang telah bermusuhan dengan pihak Yucen.
Banyak terdapat mayat-mayat
bangsa Mancu dan Yucen dan ketika dia tiba di situ, pasukan Yucen sedang
mengangkuti mayat-mayat itu dan melakukan penjagaan ketat. Namun, dengan
kepandaiannya yang tinggi, Han Ki berhasil mendekati sampai di luar perkemahan
yang ditinggali Pangeran Dhanu dan isterinya. Di luar perkemahan dia dihadang
oleh para pengawal!
Berhenti! Siapa engkau dan ada
keperluan apa?! bentak pengawal-pengawal itu.
Aku hendak berjumpa dengan
Pangeran Dhanu. Aku adalah.... seorang saudara dari isterinya, hendak
menengoknya, karena kabarnya sakit.!
Para pengawal mengepungnya
dengan pandang mata curiga. Sang Pangeran sedang sibuk, Sang Puteri sakit
keras....!
Tiba-tiba Han Ki meloncat ke
dalam kemah, gerakannya amat cepat sehingga para pengawal itu sejenak melongo
karena kehilangan pemuda itu. Baru mereka tahu bahwa pemuda itu menerobos masuk
ketika mendengar pemuda itu menjerit, Hong-Kwi....!!
Mendengar kekasihnya sakit
keras, pemuda itu seperti gila dan nekat menerobos sambil memanggil nama
kekasihnya.
Han Ki-koko....? Ohhh....!
Suara ini cukup bagi Han Ki.
Dia mengerahkan tenaganya dan tubuhnya berkelebat memasuki sebuah kamar di
dalam perkemahan besar itu dan dia berdiri pucat dengan mata terbelalak
memandang tubuh kekasihnya yang rebah telentang seperti mati di atas
pembaringan. Di kepala pembaringan itu duduk seo rang laki-laki yang berkumis
tipis berpakaian indah dan bersikap gagah namun wajahnya diliputi kedukaan
besar. Laki-laki ini meloncat bangun dan tangannya meraba gagang pedangnya.
Seorang pelayan wanita mundur-mundur ketakutan memandang Han Ki.
Wajah Hong Kwi pucat sekali,
matanya sayu dan rambutnya yang hitam itu terurai lepas, tubuhnya kelihatan
lemah. Dia memandang Han Ki, beberapa kali bibirnya bergerak namun tidak ada
suara keluar. Air mata seperti butiran-butiran mutiara menetes turun dan
akhirnya dia dapat juga bersuara,
Han Ki-koko.... kau
datang....? Ahh, Koko.... bawalah aku pergi.... bawalah....!! Kedua lengannya
diangkat lemah, diulurkan ke arah Han Ki, akan tetapi tiba-tiba kedua lengannya
terkulai kembali di atas pembaringan, mukanya yang tadinya menghadap ke Han Ki
itu tergolek ke kiri, matanya terpejam, hanya mulutnya yang masih agak terbuka
seolah-olah dia belum selesai bicara.
Hong Kwi....!! Han Ki tidak
mengenal suaranya sendiri, suara yang terhenti di kerongkongannya.
Isteriku....!! Pangeran Dhanu,
laki-laki gagah itu menubruk dan menangis. Kemudian ia meloncat bangun,
memandang Han Ki dan berkata, air matanya masih menetes-netes, Jadi engkaukah
Kam Han Ki, laki-laki kejam yang menghancurkan hati isteriku? Engkau datang $
hanya untuk menyaksikan kematiannya? Betapa kejam engkau!!
Ucapan ini bagaikan petir
menyambar karena seolah-olah Han Ki baru tahu bahwa kekasihnya, telah meninggal
dunia. Dia menubruk ke depan, dipegangnya tangan kanan Hong Kwi, diguncang-guncangnya
pundak mayat itu. Hong Kwi.... Hong Kwi....! Ini aku Kam Han Ki! Aku telah
datang. Hong Kwi....! Hong Kwi, bukalah matamu, pandanglah aku, bicaralah....!!
Menyaksikan sikap pemuda itu,
Pangeran Dhanu agak berkurang kemarahannya dan memandang dengan kening,
berkerut. Di belakang Han Ki, Si Pelayan menangis sesenggukan dan di luar kamar
itu, seorang pengawal berdiri tegak menjaga, dalam keadaan siap seolah-olah
tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar, sungguhpun alisnya berkerut menandakan
bahwa dia ikut prihatin terharu.
Hong Kwi...., kekasihku....
Hong Kwi, aku berdosa padamu! Ah, kekasihku, kau bawalah aku....!! Han Ki yang
biasanya tenang itu kini tidak dapat menahan pukulan batin yang amat hebat itu.
Dia masih mencinta Hong Kwi, bahkan belum pernah dia berhenti mencintanya. Kini
melihat kekasihnya mati setelah bertemu dengannya, dia merasa berdosa dan
berduka.
Hemm, dia sudah mati baru
engkau datang dan bicara seperti itu. Kam Han Ki, engkau bukan seorang
laki-laki yang patut dipuji!!
Ucapan yang bernada keras ini
membuat Han Ki sadar bahwa dia telah berada di tempat orang, bahkan sadar bahwa
mayat yang dipeluknya itu adalah mayat isteri orang lain. Dia bangkit, menekan
perasaannya, berdiri lemas dan dengan mata merah dan pipi basah ia memandang
Pangeran Dhanu. Sejenak kedua orang laki-laki itu saling berpandangan.
Engkau tentu Pangeran
Dhanu....! katanya perlahan.
Benar! Akulah Pangeran Dhanu,
laki-laki yang mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku, yang selama
bertahun-tahun ikut menderita bersamanya, yang berusaha menghiburnya, yang
memenuhi segala permintaannya. Akan tetapi, pada saat terakhir, namamulah yang
diucapkannya!! Di dalam ucapan pangeran itu terdapat kegetiran yang hebat
sehingga diam-diam Han Ki merasa kasihan dan bersalah.
Pangeran, selama
bertahun-tahun aku berpisah darinya, dipisahkan dengan kekerasan, akan tetapi
engkau.... selama itu berada di sampingnya. Akulah yang lebih menderita
daripada engkau.!
Aku sudah mendengar akan
namamu, dia bercerita tentang dirimu. Akan tetapi kumaafkan dia asal dia dapat
membalas dan menerima cintaku. Akan tetapi.... dia selalu berduka, teringat
kepadamu, selalu sakit-sakitan.... kuajak tetirah ke mana-mana untuk
menghiburnya, kukorbankan tugas-tugasku. Semalam anjing-anjing Mancu menyerbu
perkemahan, biarpun dapat dipukul mundur akan tetapi isteriku menderita kaget
yang hebat, Jantungnya lemah.... dan.... kemudian kau datang.... ah,
isteriku....!! Pangeran itu mengusap air matanya.
Pangeran, maafkan aku.
Betapapun juga, engkau yang mencintanya telah menjadi suaminya selama lima
tahun. Engkau telah memiliki dia sebagai isteri yang tercinta....!
Memang aku memiliki tubuhnya
akan tetapi tidak memiliki hatinya. Engkau telah merampas hatinya, keparat!!
Dan orang-orang Mancu telah merampas
nyawanya. Aku akan membalas ini!!
Orang she Kam! Tidak perlu
menimpakan kesalahan kepada orang lain. Engkaulah yang telah membunuh isteriku!
Engkaulah yang menghancurkan hidupnya, dan engkau pula yang merampas
kebahagiaan hidupku! Pengawal, tengkap orang ini!!
Belasan orang pengawal
menerjang masuk dengan tombak di tangan. Han Ki berseru, Hong Kwi, kalau rohmu
masih di sini, dengarlah sumpahku. Aku tidak akan menikah dengan wanita lain di
dunia ini!! Setelah barkata demikian, tubuhnya berkelebat keluar dan robohlah
enam orang pengawal yang menghadangnya. Dia tidak membunuh karena dia maklum
betapa hancur hati Pangeran Dhanu, maklum pula bahwa pangeran itu betul-betul
mencinta Hong Kwi. Dia hanya marah kepada orang-orang Mancu karena andaikata
malam tadi orang-orang Mancu tidak menyerbu sehingga tidak mengagetkan hati
Hong Kwi yang jantungnya lemah karena sakit, tentu pertemuannya dengan bekas
kekasihnya itu tidak berskhir dengan kematian Hong Kwi!
Biarpun Pangeran Dhanu yang
marah, berduka dan sakit hati itu mengerahkan semua sisa pasukannya, namun
mereka tidak dapat mencegah Han Ki melarikan diri dan keluar dari hutan itu
dengan gerakan cepat seperti menghilang.
Han Ki berlari cepat
meninggalkan Kerajaan Yucen. Ingin sekali ia dapat menggabungkan diri dengan
barisan Kerajaan Sung, melupakan semua peristiwa yang membuat ia menjadi orang
buruan. Ingin ia membela Sung dan menghajar musuh-musuh besarnya. Akan tetapi,
tentu dia akan ditangkap begitu muncul di kota raja! Ah, biarpun tanpa pasukan,
dia tetap berusaha untuk membalas kematian Hong Kwi kepada bala tentara Mancu!
Dengan keputusan bulat, Han Ki melanjutkan perjalanannya, hatinya makin merana.
Dia tidak saja kehilangan Maya
dan Siauw Bwee, bahkan kini ditinggal mati Hong Kwi yang sampai detik terakhir
masih mencintanya! Kenyataan ini makin memberatkan hatinya, dan ia selalu
merasa telah berbuat dosa yang amat besar kepada Hong Kwi. Cinta kasih di
antara mereka yang terenggut putus, yang disangkanya hanya membuat dia seorang
menderita sengsara, kiranya lebih menyiksa lagi bagi Hong Kwi sampai dibawanya
mati! Hati Han Ki menjadi kosong dan ia merasa dirinya sudah tua sekali.
Padahal pada waktu itu, usia Han Ki baru tiga puluh satu atau tiga puluh dua
tahun
Maya membuka matanya. Sudah
matikah dia? Pertama yang berkelebat dalam pikirannya adalah bahwa dia terseret
ke dalam air yang gelap lalu ia tidak ingat apa-apa lagi. Tentu sudah mati.
Akan tetapi mengapa dia berada di atas perahu? Dan ada enam orang perajurit di
perahu itu, perahu yang didayung cepat. Tidak! Dia tentu belum mati.
Ataukah perahu ini perahu yang
akan menyeberangkannya ke alam baka dan enam orang itu malaikat-malaikat? Tak
mungkin. Mana ada malaikat berpakaian seperti perajurit dunia! Keparat, tentu
mereka ini yang membuat ia terjatuh ke air dan mereka yang menyeretnya ke dalam
air sehingga dia pingsan dan tertawan. Dia menjadi marah dan menggerakkan
tangan.... akan tetapi, kedua tangan dan kedua kakinya tidak dapat digerakkan.
Terbelenggu! Ia mengerahkan tenaga, akan tetapi dia lelah sekali sehingga
tenaganya masih belum cukup untuk mematahkan belenggu, dan ketika ia memandang,
kiranya belenggu itu terbuat daripada baja yang tebal dan kuat sekali! Maya
pura-pura masih pingsan dan tidak bergerak, diam-diam mengumpulkan hawa murni
ke lengannya.
Perahu itu kini menempel pada
sebuah perahu besar. Dia membuka mata memperhatikan.
Wah, dia sudah sadar!! kata
seorang di antara mereka yang kebetulan menengok dan melihat Maya membuka mata.
Karena sudah ketahuan, Maya
tidak berpura-pura lagi. Dengan gerakan tubuh nya, ia berhasil bangun duduk.
Siapa kalian? Mengapa aku kalian tangkap?! Akan tetapi ketika melihat pakaian
seragam mereka adalah tentara laut Kerajaan Sung, ia lalu berkata,
Hemm.... kalian tentu
anjing-anjing Kerajaan Sung!!
Perempuan liar. Bangunlah dan
ikut kami menghadap panglima, atau engkau lebih suka kami seret ke atas
perahu?!
Karena belum mendapat
kesempatan mematahkan belenggunya, Maya bangkit berdiri dan tiba-tiba kedua
kakinya membuat gerakan menendang sambil meloncat. Akibatnya, dua orang
perajurit terlempar ke dalam air!
Wah! Wah! Awas...., betina ini
liar sekali!! Seru seorang di antara mereka dan kini dari atas perahu besar
meloncat turun banyak perajurit. Tubuh Maya diringkus dan dia dipaksa naik ke
atas perahu besar. Dua orang perajurit yang bertubuh kuat memegang ujung rantai
yang membelenggu kedua tangannya, dan setengah diseret Maya dibawa memasuki
ruangan besar di atas perahu. Biarlah, pikirnya, biar aku dihadapkan panglima
mereka. Kalau nanti ada kesempatan, dia akan membasmi anjing-anjing ini!
Dengan dada membusung dan
kepala tegak Maya berjalan terpincang-pincang karena kedua kakinya dibelenggu,
memasuki ruangan. Ketika ia melihat dua orang panglima duduk di atas kursi
dalam ruangan itu, matanya terbelalak. Ia mengenal mereka! Mereka adalah
panglima-panglima perahu besar yang telah ditolongnya! Bahkan panglima muda
yang kini sudah bangkit berdiri adalah panglima muda yang ditolongnya dari
tangan Si Dampit yang lihai!
Juga panglima besar yang
berjenggot itu memandang dengan kaget. Engkau....? Engkau pendekar wanita
penolong kami....!! Ia lalu membentak anak buahnya, Apakah kalian ini buta dan
gila semua? Hayo cepat lepaskan belenggunya!!
Krek! Krekkk!! Tiba-tiba Maya
yang sudah berhasil mengumpulkan kembali tenaganya, sekali mengerahkan telah
mematahkan belenggu kaki tangannya! Dia melangkah maju dan termanyum. Ciangkun,
selamat berjumpa!!
Panglima besar itu meloncat
dari tempat duduknya dan cepat menjura. Selamat datang, Li-hiap!! Dan kepada
anak buahnya ia membentak, Lihat apakah yang telah kalian lakukan, orang-orang
tolol! Menawan dan membelenggu penolong kami! Seolah-olah belenggu kalian itu
ada artinya bagi Li-hiap yang sakti!! Kemudian ia membentak makin nyaring, Hayo
cepat berlutut, minta ampun kepada Li-hiap!!
Enam orang itu, yang dua
tertendang tadi sudah ikut naik, cepat menjatuhkan diri dan seperti
burung-burung saling sahut mereka berseru, Mohon maaf kepada Li-hiap, karena
kami tidak tahu maka....!
Maya menggerakkan tangannya.
Sudahlah! Salahku sendiri yang kurang pandai berenang sehingga mudah kalian
bekuk!!
Li-hiap, silakan duduk!!
Panglima muda yang brewok cepat menyerahkan kursinya dan ia memandang kagum.
Ketika ia ditolong dari tangan lawan dampit yang lihai dia tidak dapat melihat
jelas wajah penolongnya. Kini ia kagum bukan main melihat bahwa penolongnya
hanyalah seorang dara remaja yang masih amat muda lagi cantik jelita seperti
bidadari!
Lekas ambil pakaian bersih dan
kering untuk Li-hiap! Dan sediakan meja perjamuan!! Panglima besar itu memberi
perintah. Sibuklah anak buahnya mempersiapkan barang-barang yang diperintahkan
itu.
Li-hiap, silakan berganti
pakaian kering dulu. Nanti kita bicara,! Panglima tua itu mempersilakan. Tanpa
sungkan-sungkan Maya lalu memasuki kamar di perahu yang ditunjuk dan berganti
pakaian. Panglima besar itu berbisik-bisik dengan wajah serius dengan
pembantunya, panglima muda brewok.
Wah, betapa lucunya aku
berpakaian seperti ini!! Maya yang sudah selesai berganti pakaian dan keluar
dari kamar, tertawa memandangi pakaian panglima yang dipakainya.
Engkau gagah sekali dan patut
dalam pakaian itu, Li-hiap. Hanya kurang pedangnya. Silakan memakai pedangku.!
Panglima tua itu menyambut dan meloloskan sabuk pedangnya kemudian menghampiri
Maya dan memakaikan sabuk pedang itu di punggung Maya sehingga dara itu tampak
makin gagah perkasa.
Atas ajakan penuh hormat dari
kedua orang panglima itu, Maya kini dijamu dan sambil makan minum mereka
bercakap-cakap. Atas pertanyaan panglima tua itu, Maya menjawab, Namaku Maya
dan kuharap Ciangkun jangan menanyakan siapa guruku dan dari mana asal-usulku
karena hal itu takkan dapat kuterangkan.
Seandainya aku tidak melihat
sendiri betapa pasukan Ciangkun bertempur melawan pasukan-pasukan Sung, tentu
aku tidak akan dapat duduk semeja dengan kalian. Ciangkun siapakah, dan mengapa
pula pasukan Ciangkun bertempur melawan Pasukan Sung yang menjadi musuhku?!
***
Wajah panglima tua itu berseri
mendengar bahwa dara perkasa yang menjadi penolongnya ini menganggap Kerajaan
Sung sebagai musuhnya. Dia menyuguhkan secawan arak, setelah arak yang
disuguhkan sebagai penghormatan itu diminum, dia berkata,
Namaku Bu Gi Hoat, dan dia ini
adalah pembantuku, Panglima Muda Lai Sek. Tadinya aku adalah seorang panglima
besar Kerajaan Sung yang ditugaskan memimpin armada menjaga pantai timur. Kini
kami menjadi musuh Kerajaan Sung yang makin menyuram dan penuh kelaliman.!
Hemm...., jadi Ciangkun
memberontak terhadap Kerajaan Sung? Mengapa?!
Panglima she Bu itu menarik
napas panjang. Selama beberapa keturunan, nenek moyangku adalah
pembesar-pembesar militer yang setia kepada kerajaan. Akan tetapi, sekarang ini
Kerajaan Sung mengalami kesuraman hebat karena kelemahan Kaisar yang
dipengaruhi oleh menteri-menteri dorna, thaikam-thaikam dan panglima-panglima
jahat macam Suma-goanswe. Karena itu, banyak sekali panglima yang memberontak,
pembesar-pembesar daerah yang berdiri sendiri. Aku pun tidak dapat tinggal
diam, apalagi semenjak Menteri Kam yang amat kami hormati itu difitnah dan
tewas oleh kekejian Kerajaan Sung. Kami harus membunuh Kaisar dan kaki
tangannya yang lalim dan membentuk kerajaan baru yang bebas daripada penindasan
para pembesar korup.!
Maya mengangguk-angguk.
Diam-diam ia merasa girang karena kini mendapat kesempatan untuk membasmi
musuh-musuhnya, terutama Kerajaan Sung! Apal agi karena jelas bahwa panglima
ini bersetiakawan dengan pek-hunya, Menteri Kam. Tanpa ragu-ragu lagi ia
berkata,
Kalau begitu, aku siap
membantumu, Ciangkun!!
Bukan main girangnya hati
panglima itu. Ia mengisi cawan arak dan mengajak Maya minum kemudian berkata,
Sungguh sudah menjadi kehendak
Tuhan agaknya bahwa Kerajaan Sung yang buruk itu mesti hancur sehingga hari ini
Tuhan sendiri yang mengirim Lihiap untuk membantu kami! Belum juga aku berani
mengutarakan maksud hatiku minta bantuanmu, engkau telah menyatakan hendak
membantu. Terima kasih, Li-hiap, terima kasih!!
Ah, engkau terlalu sungkan,
Ciangkun. Memang aku pun berniat membasmi Kerajaan Sung yang kubenci sehingga
kebetulan sekali kerja sama ini. Kalau Bu-ciangkun setuju, berilah aku pasukan
yang cukup banyak dan kuat, dan sekarang juga aku akan membawa pasukan itu
menyerbu ke kota raja Sung!!
Hampir saja kedua orang
panglima perang itu tertawa bergelak mendengar ucapan ini. Betapa dangkalnya
pengetahuan dara ini tentang perang. Begitu mudahnya hendak membawa pasukan
menyerbu ke kota raja, seolah-olah jalan ke kota raja Sung itu halus lunak
tanpa rintangan. Perjalanan ribuan li itu sebelum ditempuh sepersepuluhnya
sudah akan menghadapi pasukan-pasukan besar musuh yang amat banyak jumlahnya.
Dara ini bicara tentang perang seperti orang membalikkan tangan saja mudahnya!
Akan tetapi karena maklum bahwa tentu saja dara semuda ini sama sekali tidak
mengerti tentang perang, dan agar jangan menyinggung perasaan, kedua orang
panglima itu hanya saling pandang dan menahan kegelian hati mereka.
Li-hiap, serahkan urusan
perang kepadaku karena perang melawan Kerajaan Sung tidaklah semudah itu.
Mereka masih memiliki bala tentara yang kuat dan besar jumlahnya. Akan tetapi,
kau akan kuangkat menjadi panglima muda dan kuserahi pasukan yang hendaknya kau
gembleng menjadi pasukan istimewa yang kuat dan percayalah kami hanya
mengandalkan kegagahan Li-hiap dengan pasukanmu untuk mendobrak pihak musuh di
garis depan.!
Maya mengangguk. Terserah
kepadamu, Ciangkun. Bagiku, asal aku mendapat kesempatan membasmi pasukan Sung,
cukuplah. Lebih banyak lebih baik.!
Bagus! Mulai sekarang engkau
adalah seorang panglima dan sudah selayaknya kalau engkau sebagai pembantuku
yang kupercaya, sebagai pembantu utama di samping Lai-ciangkun, tahu akan
kedudukan dan siasat kita.!
Dengan panjang lebar
Bu-ciangkun lalu memberi tahu kepada pembantunya yang baru ini bahwa dia telah
mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu yang besar dan kuat agar bersama-sama
mereka dapat menyerang ke selatan. Mendengar ini, Maya tidak ambil peduli.
Baginya, bersekutu dengan Mancu pun tidak menjadi soal asal dia dapat membalas
kepada Kerajaan Sung, Yucen dan Mongol!
Boleh saja bersekutu dengan
orang Mancu. Bu-tai-ciangkun. Asal jangan bersekutu dengan orang-orang Mongol
dan Yucen saja. Kedua bangsa itu pun masih musuhku!!
Bu-ciangkun tertawa bergelak.
Gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa sekali, akan tetapi
tidak berpengalaman sama sekali, bahkan masih memiliki sifat kekanak-kanakan
dan jujur, Ha-ha-ha! Jangan khawatir, Li-ciangkun (Panglima Wanita)! Kami tidak
mempunyai hubungan dengan bangsa Mongol! Sedangkan bangsa Yucen yang sekarang
telah mendirikan Kerajaan Cin juga merupakan musuh kita karena dia merupakan
penjajah yang mengancam bangsa dan negara. Di dalam pertempuran yang akan
kauhadapi, engkau bahkan akan melawan Bangsa Yucen dan juga pasukan Kerajaan
Sung.!
Bagus!! Maya, girang sekali.
Lekas siapkan pasukan untukku, Tai-ciangkun. Akan kulatih mereka!!
Demikianlah, mulai hari itu,
Maya mengepalai lima ratus orang pasukan dengan sepuluh orang perwira
pembantunya. Dara ini dahulu adalah seorang Puteri Khitan dan dia sudah sering
kali melihat, bahkan mengikuti cara ayahnya dan para panglima Khitan melatih tentaranya,
maka kini dengan baik sekali ia dapat melatih pasukan di bawah perintahnya.
Mereka dia beri pelajaran ilmu berkelahi dengan menurunkan beberapa jurus yang
lihai dari ilmu silatnya. Juga para perwira pembantunya ia latih sendiri dengan
beberapa jurus ilmu silat sehingga mereka pun menjadi lihai.
Mula-mula Bu-ciangkun terkejut
dan terheran-heran, juga girang menyaksikan cara Maya melatih pasukannya.
Diam-diam ia lalu menyebar para penyelidik dan tak lama kemudian dia mendengar
bahwa puteri Raja Khitan yang bernama Maya tidak ketahuan ke mana perginya
semenjak ikut bersama Menteri Kam Liong yang tewas dikeroyok oleh tentara Sung.
Diam-diam ia menjadi girang dan kagum sekali. Tidak salah lagi, melihat bentuk
wajahnya, Maya yang kini menjadi panglimanya itulah Puteri Maya, puteri Khitan
dari Raja Khitan dan keponakan dari mendiang Menteri Kam Liong! Akan tetapi
karena dara itu sudah menyatakan tidak akan menceritakan riwayatnya, ia pun
diam-diam saja, bahkan tidak memberitahukan dugaannya itu kepada siapapun juga.
Setelah selesai menggembleng
pasukan di tepi pantai sampai dua bulan lamanya, pada suatu pagi Bu-ciangkun
mengumpulkan para panglimanya yang berjumlah lima orang, Barisan Mancu yang
menjadi sekutu kita berjanji akan menyambut kita di pantai ini untuk bergabung
kemudian bergerak ke selatan. Akan tetapi, telah sebulan mereka terlambat dan
kurirnya juga belum tampak. Aku khawatir kalau-kalau ada perubahan keadaan,
maka sebaiknya seorrang di antara kalian harus membawa pasukan untuk
menghubungi mereka di perbatasan Mancu. Akan tetapi selain perjalahan itu jauh,
melalui daerah-daerah yang kering dan sukar, juga ada bahayanya akan bertemu
dengan pasukan-pasukan Mongol, terutama sekali pasukan Kerajaan Cin. Siapakah
di antara kalian yang sanggup melakukan tugas berat ini?!
Seperti telah diduganya, dan
juga diharapkannya maka dia sengaja menyebutkan bahaya pasukan Mongol dan
Yucen. Maya segera berdiri sigap dan menjawab, Aku sanggup!!
Empat orang panglima yang lain
telah mengenal kelihaian panglima wanita itu, maka mereka tidak berani berebut,
bahkan Li-ciangkun yang brewok dan dapat menangkap isi hati panglimanya, segera
berkata, Memang tugas berat ini paling tepat dilakukan oleh Li-ciangkun dengan
pasukan mautnya.!
Bu-ciangkun mengangguk-angguk.
Akan kubuatkan surat untuk pimpinan barisan Mancu yang berada di perbatasan.
Li-ciangkun tentu maklum bahwa suratku ini sama harganya dengan nyawa.!
Baiklah, Tai-ciangkun. Akan
kujaga dengan taruhan nyawaku sendiri. Harap jangan khawatir.!
Selain mengadakan hubungan
dengan mereka dan menyerahkan suratku, di sepanjang jalan harap Li-ciangkun
mencari tenaga-tenaga dari rakyat yang sekiranya akan dapat memperkuat
kedudukan kita dan dapat membantu perjuangan kita.!
Baik!! jawab Maya yang
teringat, akan rakyat Khitan. Kalau dia bisa bertemu dengan rakyat Khitan dan
membujuk mereka masuk menjadi perajurit di bawah pimpinannya, betapa akan
senang hatinya. Diam-diam timbul keinginan hatinya melihat rakyatnya bangkit di
bawah pimpinannya untuk membangun kembali Kerajaan Khitan yang besar dan jaya!
Karena persediaan kuda amat
terbatas, pasukan yang dipimpin Maya sebanyak lima ratus orang itu hanya
membawa seratus ekor kuda. Maya dan sepuluh orang perwiranya tentu saja
mempunyai masing-masing seekor kuda, adapun seratus ekor kuda itu akan
ditunggangi lima ratus orang secara bergilir, lima orang perajurit untuk setiap
kuda seekor. Maka berangkatlah pasukan itu dengan megahnya, dipimpin oleh
Panglima Muda Maya yang menunggang kuda putih berada di depan, diapit dua orang
pengawal pembawa bendera. Amat gagah dan barisan itu pun bergerak rapi, yang
berjalan kaki di depan, yang berkuda, seratus orang banyaknya, di belakang.
Bu-ciangkun sendiri mengantar berangkatnya pasukan istimewa ini sampai di luar
daerah perkemahan.
Dua buah bendera itu
berkibar-kibar. Yang sebuah bertuliskan nama pasukan yang diberi oleh
Bu-ciangkun sendiri, yaitu Pasukan Maut!! Dan bendera yang sebuah lagi
bertuliskan nama panglimanya, yaitu Panglima Wanita Maya!
Perjalanan ke barat dimulai.
Oleh gemblengan-gemblengan keras Maya selama dua bulan, tubuh anak buah pasukan
kuat-kuat dan semangat mereka juga besar. Mereka semua merasa bangga menjadi
perajurit Pasukan Maut, mempun yai seorang panglima yang mereka tahu amat
sakti, melebihi kegagahan Bu-tai-ciangkun sendiri, seperti seekor naga betina.
Belasan hari kemudian, pasukan
itu telah tiba di daerah kering tandus dan di sana-sini mereka melalui padang
pasir yang tidak berapa luas. Ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang
mulai memperlihatkan kesuburan, tiba-tiba mereka diserbu oleh pasukan Yucen
yang berjaga di situ karena daerah itu sebagian telah dikuasai oleh tentara
Yucen.
Basmi anjing-anjing Yucen!!
Maya berteriak, suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan dan
terdengar oleh semua anak buahnya sehingga mereka bertempur seperti
harimau-harimau kelaparan, pasukan Yucen yang terdiri dari tiga ratus orang
lebih dan mengira bahwa yang mereka serbu adalah pasukan Sung yang dianggap
melanggar wilayah, menjadi kewalahan. Apalagi ketika Maya sendiri turun dari
kudanya dan mengamuk, pedangnya membabati tentara musuh seperti orang membabat
rumput saja, pasukan Yucen menjadi gentar. Komandan Yucen mengeluarkan aba-aba
untuk mundur, akan tetapi dengan gerakan kilat, Maya melompat, pedangnya memenggal
leher seorang perwira musuh dan tangan kirinya mencengkeram leher baju Panglima
Yucen itu terus menariknya dari atas kuda. Panglima itu terkejut dan meronta,
heran dan kaget melihat bahwa yang menawannya adalah seorang dara jelita yang
masih muda. Akan tetapi keringatnya mengucur deras ketika ia mendengar dara itu
mendesis bengis,
Engkau Panglima Yucen keparat.
Ingatkah kepada ayahku Raja Talibu dari Khitan?!
Wajah panglima itu pucat dan
ia menggeleng-gelengkan kepala, Aku.... aku tidak....!!
Akan tetapi kata-katanya
terhenti dan lehernya terbabat putus oleh pedang Maya. Dara perkasa ini
melompat ke atas batu besar, membawa kepala Panglima Yucen sambil berseru,
Heii.... anjing-anjing Yucen!
Lihat kepala siapa ini?! Suaranya yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
khikang amat nyaringnya dan makin paniklah tentara Yucen mendengar dan melihat
kepala pemimpin mereka, sebaliknya makin bersemangatlah Pasukan Maut itu
sehingga mereka mengamuk, membunuhi musuh yang kocar-kacir dan lari
berserabutan.
Hidup Maya Li-ciangkun!! Sorak
para perajurit dan mereka mengejar musuh yang melarikan diri.
Hanya setelah ada perintah
Maya saja para perajurit berhenti mengejar. Ketika Maya memerintahkan para
perwira menghitung, dalam perang pertama ini pasukannya kehilangan dua puluh
orang akan tetapi membunuh lebih dari seratus orang musuh. Ini merupakan
kemenangan besar dan perajurit yang terluka dirawat baik-baik, sedangkan yang
tewas lalu dikubur. Mayat-mayat para perajurit Yucen dibiarkan saja berserakan.
Maya lalu memerintahkan pasukannya bergerak maju lagi.
Pasukan Maut yang gagah
perkasa. Serbu....!!
Barulah pasukan Yucen itu
menjadi panik benar-benar. Suara perintah itu datang dari atas puncak dan
mereka dapat menduga bahwa itu tentulah suara panglima wanita yang menurut
cerita perajurit Yucen yang melarikan diri memiliki ilmu kepandaian yang
mengerikan. Akan tetapi, serbuan itu datangnya bukan dari puncak, melainkan
dari bawah, dari belakang mereka!
Terjadilah perang tanding yang
jauh lebih hebat mengerikan daripada tadi, akan tetapi lebih celaka lagi
akibatnya bagi tentara Yucen karena mereka berada dalam keadaan panik dan
siasat mereka hancur sehingga mereka berada di pihak yang diserang. Keadaan
yang sama sekali di luar perhitungan mereka ini, yang membuat keadaan menjadi
berbalik secara tiba-tiba, membuat para komandan pasukan itu tidak sempat lagi
memikirkan siasat, maka satu-satunya jalan adalah melawan dan mempertahankan
diri secara kacau-balau dan mencari selamat sendiri-sendiri! Di lain pihak,
tentara Pasukan Maut yang bergerak secara terpimpin dan teratur, ditambah
kegembiraan mereka karena baru sekarang mereka tahu akan kelihaian siasat
pimpinan mereka, tumbuh semangatnya dan terjadilah penyembelihan besar-besaran
seperti yang semula direncanakan pasukan Yucen, akan tetapi sekarang merekalah
yang menjadi domba-dombanya dan pihak musuh yang menjadi jagalnya! Banyak di
antara mereka terbunuh, bukan hanya oleh senjata Pasukan Maut, akan tetapi juga
yang terjun ke jurang dan tewas dalam usaha mereka menyelamatkan diri, dan
hanya ada dua ratus orang saja yang sempat melarikan diri menerobos kepungan
musuh dan terus lari sipat-kuping ke bawah bukit!
Pertempuran yang berat sebelah
itu berlangsung sampai pagi dan dengan hati penuh kegembiraan Maya mendapat
kenyataan bahwa dalam perang kedua kalinya ini pasukannya membasmi hampir tiga
ratus orang musuh sedangkan dia hanya kehilangan tiga puluh orang, itu pun
tidak semua tewas dan masih ada yang dapat tertolong karena hanya menderita
luka-luka saja! Kemenangan yang membesarkan hatinya dan hati anak buahnya itu
sekali ini benar-benar dirayakan mereka dengan tertawa-tawa dan bersendau-gurau
menceritakan pengalaman masing-masing dalam pertempuran semalam!
Maya membawa pasukannya turun
bukit dan beristirahat setengah hari lamanya di padang rumput yang luas
sehingga mereka tidak akan dibokong musuh. Kemudian perjalanan ke barat
dilanjutkan dengan semangat penuh. Maya tidak selalu menunggang kuda di depan
pasukannya, kadang-kadang membiarkan pasukannya lewat sambil dia mengucapkan
kata-kata bersemangat dan menyapa anak buahnya sehingga semua anak buahnya
merasa bangga dan dekat dengan panglima ini. Banyak di antara mereka yang
ketika panglima di atas kuda putihnya itu menjajari mereka, berkata
terang-terangan,
Hidup Maya Li-ciangkun! Kami
siap mati membelamu!!
Maya tersenyum mengangguk dan
berkata dengan suara merdu, Aku pun siap mati membela Pasukan Maut! Setiap
orang dari Pasukan Maut adalah seperti kaki dan tanganku sendiri!! Tentu saja
ucapan panglima wanita remaja yang cantik jelita ini disambut sorak-sorai
gembira.
Ketika pasukan pada beberapa
hari kemudian melalui padang rumput, tiba-tiba pasukan berhenti. Maya yang
sedang berada di belakang membalapkan kudanya menuju ke depan. Kiranya di depan
pasukannya menghadang ribuan ekor domba. Ia mengerutkan keningnya dan
memerintahkan perwiranya men gurus hal itu. Akan tetapi sampai agak lama
pasukan masih belum bergerak maju, maka dia menjadi tidak sabar dan cepat ia
menuju ke bagian depan. Seorang perwira melaporkan bahwa para perwira dan
pengawal cekcok dengan para penggembala domba, bahkan terjadi perkelahiani Maya
terkejut, cepat ia menghampiri dan ketika melihat betapa enam orang perwira
roboh dan terluka, dia marah sekali dan cepat meloncat turun dari atas kudanya
dan lari ke depan.
Dilihatnya bahwa para
perwiranya sedang berkelahi melawan pimpinan penggembala domba. Dia tertarik
sekali menyaksikan kelihaian seorang di antara para penggembala itu. Agaknya
dia itu pemimpinnya, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh
tinggi tegap, tangan kanan memegang sebatang pecut kulit hitam, lengan kiri
memondong seekor anak domba. Gerakan penggembala muda ini hebat dan cepat
sekali dan pecutnya itu menyambar-nyambar ganas, merobohkan dua orang perwira
sekaligus dan yang masih menandinginya adalah Kwa-huciang, seorang di antara
perwiranya yang paling lihai. Kwa-huciang bersenjata pedang dan kini terjadilah
pertandingan antara kedua orang itu.
Maya menghampiri dan memandang
penuh perhatian, diam-diam kagum menyaksikan kegagahan pemuda penggembala muda
itu. Setelah bertanding belasan jurus, tiba-tiba penggembala yang melawan
Kwa-huciang sambil memondong domba itu berseru keras, pecutnya melibat pedang
Kwa-huciang dibetot dan perwira itu terlempar. Kakinya menendang lutut Si
Perwira yang jatuh terpelanting dan kini penggembala itu menginjakkan kaki
kanannya di atas dada Kwa-huciang sambil berkata nyaring,
Hayo lekas perintahkan
pasukanmu mengambil jalan memutar, kalau tidak akan kuinjak hancur dadamu!!
Eh, galak amat!! Maya berseru
sambil melompat maju. Penggembala berbau domba, kau sombong sekali. Mengapa
engkau dan kawan-kawanmu mengamuk dan merobohkan para perwiraku!!
Penggembala domba itu menengok
dan kelihatan tercengang lalu menjawab,
Domba kami banyak yang terinjak
mati, sebagian lari kocar-kacir ketakutan. Domba-domba kami sedang makan
rumput, mengapa pasukan kalian meng ganggu? Mengapa tidak mengambil jalan
memutar? Lihat, domba kecil ini sampai patah kakinya!! Ia menoleh ke arah domba
yang dipondongnya. Kemudian ia memandang lagi kepada Maya sambil bertanya, Eh,
engkau ini perajurit wanita, mau apa?!
Maya tersenyum. Orang kasar,
agaknya engkau lebih pandai bergaul dengan domba daripada dengan manusia.!
Tentu saja! Apa sih baiknya
manusia? Palsu dan berpura-pura, ganas dan kejam melebihi srigala. Domba-domba
adalah mahluk yang lemah, selalu mengalah dan....!
Dan engkau lupa bahwa kau
sendiri juga seorang manusia!! Maya memotong. Ataukah barangkali engkau ini pun
seekor domba yang menyamar manusia?!
Pemuda itu gelagapan, merasa
kalah bicara maka ia membentak, Kau siapa dan mau apa?!
Aku adalah panglima Pasukan
Maut ini!! jawab Maya dengan sikap keren.
Tiba-tiba penggembala domba
yang muda itu melepaskan injakan kakinya sehingga Kwa-huciang mampu bernapas
lagi dan Si Penggembala tertawa bergelak sampai tubuhnya berguncang-guncang dan
mukanya memandang langit.
Ha-ha-ha-ha! Panglimanya
seorang bocah perempuan belasan tahun yang halus dan cantik! Pasukan macam apa
ini? Pantas saja para perwiranya lebih lemah daripada domba!!
Kwa-huciang marah sekali. Dia
sudah bangkit duduk dan kini ia bangun sambil membentak, Penggembala kurang
ajar! Apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Li-ciangkun?!
Akan tetapi Maya menggoyang
tangan berkata, Kwa-huciang, kaumundurlah dan biar aku sendiri yang memberi
hajaran kepada bocah nakal bau domba ini. Hei, bocah! Engkau kira bahwa engkau
sudah paling jempolan setelah mengalahkan beberapa orang perwiraku yang memang
sudah kelelahan dan kehabisan tenaga. Coba kau melawan aku! Lihat, aku akan
tetap berdiri di sini, sedikit pun tidak akan memindahkan kedua kakiku. Kau
boleh menyerangku, kalau sampai aku merobah kedudukan kedua kakiku, aku mengaku
kalah padamu!!