Bab 21
Akan tetapi, di luar warung
telah berkumpul puluhan orang tentara Mancu yang dipimpin oleh empat orang
perwira Mancu yang lihai. Begitu perwira Mancu ini menggerakkan senjata mereka,
tahulah Siauw Bwee bahwa empat orang ini lihai, maka dia pun cepat menggerakkan
senjatanya yang berkelebat seperti sinar kilat, membuat keempat orang itu
cepat-cepat menangkis dan mengelak kaget. Mereka segera mengurung dan memberi
aba-aba kepada anak buah mereka. Siauw Bwee dikeroyok dan dikurung ketat, namun
dara ini yang sudah marah sekali mengamuk terus, lupa bahwa dia telah mengamuk
di kandang harimau dan akan menghadapi bala tentara musuh yang jumlahnya ribuan
orang!
Sepak terjang Siauw Bwee
menggiriskan hati pasukan Mancu dan dalam pertandingan mati-matian itu kembali
Siauw Bwee telah merobohkan belasan orang. Hanya empat orang perwira itu saja
yang masih dapat bertahan, dibantu oleh anak buah mereka yang mengurung dari
jarak jauh dan dengan sikap jerih. Betapapun juga, dikeroyok oleh empat orang
perwira Mancu yang dibantu oleh pasukan yang kini makin banyak karena bala
bantuan datang, Siauw Bwee menjadi lelah dan dia maklum bahwa sukarlah baginya
untuk dapat keluar dari kepungan itu.
Aku akan mengadu nyawa dengan
kalian anjing-anjing Mancu!! bentaknya dan pedangnya bergerak makin cepat,
diikuti tubuhnya yang mencelat ke sana ke mari sukar diikuti pandang mata para
pengeroyoknya. Namun, ke mana juga tubuh Siauw Bwee berkelebat, dia selalu
dihadapi oleh puluhan orang tentara dan di sebelah luar, kepungan masih ada
ratusan orang musuh yang bersiap-siap dan berteriak-teriak mengepungnya.
Tiba-tiba kepungan itu agak
kacau, terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya orang-orang yang mengepung
Siauw Bwee. Tadinya dara ini mengira bahwa Coa Leng Bu yang datang membantunya,
akan tetapi betapa herannya ketika ia melihat seorang pemuda tampan yang sama
sekali tidak dikenalnya. Di bawah sinar penerangan lampu-lampu di depan rumah
dan obor-obor yang dibawa oleh para pasukan, dia melihat bahwa pemuda itu
tersenyum-senyum, wajahnya tampan pandang matanya tajam, akan tetapi gerakan
kedua tangan pemuda itu lihai bukan main. Yang membuat dia terheran-heran
adalah gerakan yang dikenalnya baik-baik karena itulah ilmu silat yang dia
pelajari dari mendiang Ouw-pangcu, yaitu Ouw Teng ketua kaum liar, dan dia
mengenal pula pukulan Jit-goat-sin-kang yang dipergunakan pemuda itu,
pukulan-pukulan yang mengeluarkan hawa panas dan kadang-kadang dingin!
Nona, harap lekas lari melalui
pintu gerbang selatan. Cepat, biar aku yang menahan mereka!! Pemuda tampan itu
kini sudah bergerak mendekati Siauw Bwee, berdiri saling membelakangi dengan
dara ini dan menuding ke selatan.
Biarpun dia tidak mengenal
pemuda itu, namun melihat pemuda itu mengamuk dengan gerakan lihai sekali, dia
percaya bahwa pemuda ini tentu bermaksud baik, maka dia hanya berkata, Terima
kasih!! dan tubuhnya cepat meloncat dan menerobos melalui kepungan di sebelah
selatan yang sudah terbuka karena dikacau oleh pemuda itu. Ketika dia lari
melewati tubuh pemuda itu, dia merasakan getaran hawa pukulan
Jit-goat-sin-kang, dan diam-diam merasa kagum sekali. Hawa pukulan pemuda ini
tidak di sebelah bawah tingkat Coa Leng Bu maupun mendiang Ouw Teng sendiri!
Dan kini pemuda itu telah merampas sebatang tombak, mainkan tombak itu dengan gerakan
yang amat lincah seolah-olah seekor naga yang mengamuk di antara awan-awan
angkasa. Dalam amukannya ini, pemuda itu masih dapat tersenyum memandang Siauw
Bwee, bahkan mengejapkan mata kirinya dengan lucu akan tetapi juga menarik
sekali!
Kalau saja pemuda itu tidak
terbukti telah membantunya keluar dari kepungan tentu Siauw Bwee akan marah dan
menganggapnya kurang ajar. Dia cepat mengerahkan gin-kangnya dan meloncat jauh
ke depan, merobohkan tiga orang serdadu yang menghadapinya. Karena kini empat orang
perwira itu dihadapi Si Pemuda yang sengaja mencegah mereka mengejar Siauw
Bwee, maka dara perkasa ini tentu saja dengan mudah dapat menerobos keluar
karena hanya dihadang dan dihalangi oleh pasukan yang dapat dibabatnya dengan
mudah. Dia lalu berlari cepat ke selatan, dikejar oleh pasukan yang
berteriak-teriak.
Ketika tiba di pintu gerbang
sebelah selatan, di situ sedang terjadi keributan pula dan dilihatnya supeknya,
Coa Leng Bu sedang mengamuk, dikeroyok para penjaga pintu gerbang. Melihat ini,
Siauw Bwee menjadi girang dan dia terjun ke dalam medan pertempuran sehingga
para pengeroyok Coa Leng Bu menjadi kocar-kacir setelah dalam beberapa gebrakan
saja belasan orang di antara mereka roboh oleh pedang rampasan Siauw Bwee. Coa
Leng Bu juga mengamuk dengan hebat. Kedua tangannya menyambari tubuh-tubuh para
pengeroyok dan melempar-lemparkannya ke arah serdadu lain. Di sekeliling tempat
itu sudah penuh dengan tubuh korban yang malang-melintang.
Coa Leng Bu juga girang sekali
melihat munculnya Siauw Bwee yang memang sudah dinanti-nantinya, maka dia cepat
berkata, Syukur engkau tidak terlambat datang. Lekas ikut aku, cepat!!
Siauw Bwee maklum bahwa kalau
mereka terus mengamuk di situ, para pasukan musuh tentu akan datang membanjiri
dan kalau pintu gerbang sudah tertutup dan mereka dikurung oleh ratusan orang
serdadu, tidak ada harapan lagi untuk keluar dari kota itu. Apalagi kalau
sampai para panglima Mancu keluar. Baru empat orang perwira saja yang
mengeroyoknya tadi, sudah memiliki kepandaian yang lihai, apalagi kalau para
panglima seperti yang ia saksikan ketika mereka berperang tanding melawan para
Panglima Sung!
Kini mereka berdua menerobos
kepungan dan berhasil keluar dari pintu gerbang selatan yang terkurung oleh air
yang cukup lebar. Dan jembatan gantung di luar pintu itu tentu saja terangkat
naik sehingga tidak ada jalan keluar lagi meninggalkan tempat itu.
Bagaimana, Supek?! Siauw Bwee
bertanya bingung, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengejar terdekat.
Aku sudah siap dengan alat
penyeberang di sana. Itu, mari!! Kakek ahli obat ini menuding ke kanan. Siauw
Bwee memandang di tempat gelap itu, terkena cahaya penerangan dari atas
benteng, dia melihat sebatang kayu balok yang panjangnya ada tiga meter.
Kiranya supeknya selain telah mendapatkan jalan juga telah siap dengan sebatang
balok untuk menyeberang! Biarpun tidak sebaik sebuah perahu, namun cukup untuk
menyeberangkan mereka. Maka dia lalu mengikuti supeknya. Kemudian keduanya
meloncat ke atas balok itu dan dengan tenaga tekanan kaki mereka, balok itu
meluncur ke tengah!
Baru saja balok yang mereka
injak dan mereka dorong dengan tekanan tenaga kaki itu bergerak, berserabutan
muncul melalui pintu gerbang itu para serdadu sambil berteriak-teriak dan
mengacungkan obor, kemudian mereka berlari mendekati tepi sungai dan
mengacung-acungkan senjata.
Serang dengan anak panah!!
terdengar teriakan seorang perwira yang baru datang dan tak lama kemudian
datanglah hujan anak panah dari tepi sungai dan dari atas benteng! Coa Leng Bu
yang tidak memegang senjata, sudah menanggalkan bajunya dan dengan baju ini,
dia menangkis semua anak panah yang datang menyerang, memutar bajunya sehingga
seluruh tubuhnya tertutup. Siauw Bwee memutar pedang dan sinar pedangnya
bergulung-gulung menjadi perisai tubuhnya. Semua anak panah gagal mengenai
sasaran dan kini balok itu telah tiba di tengah sungai, penuh dengan anak panah
yang menancap di situ.
Awas perahu-perahu musuh!! Coa
Leng Bu berbisik. Dari kanan kiri meluncurlah perahu-perahu yang ditumpangi
oleh serdadu Mancu. Semua ada enam buah perahu, tiga dari kanan dan tiga dari
kiri, setiap perahu dipimpin oleh seorang perwira yang kelihatan lihai.
Supek, cepat dorong balok ke
seberang, biar aku yang menahan mereka,! kata Siauw Bwee. Dia menyelipkan
pedang rampasannya di pinggang, kemudian kedua tangannya sibuk mencabuti anak-anak
panah yang menancap di atas balok, ada puluhan batang banyaknya. Coa Leng Bu
mengerti bahwa murid keponakannya ini memiliki kepandaian yang jauh lebih
tinggi daripadanya, maka dia mengangguk dan cepat mengerahkan tenaga sin-kang
ke kaki mendorong balok itu dengan tekanan kuat, kemudian malah berjongkok dan
membantu dengan kedua tangannya yang dipergunakan sebagai dayung. Balok itu
meluncur cepat sekali menuju ke seberang yang hanya tampak gelap menghitam di
malam itu.
Wir-wir-wirrr....!! Siauw Bwee
kini melontarkan anak-anak panah itu dengan kedua tangannya, menyerang ke arah
perahu-perahu musuh yang meluncur dari kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan
dari atas perahu-perahu itu ketika anak-anak panah yang dilontarkan namun
kecepatannya tidak kalah oleh luncuran anak panah yang terlepas dari gendewa
itu membuat beberapa orang tentara Mancu terjungkal.
Tiba-tiba dari atas sebuah
perahu yang datang dari kanan, terdengar suara berdesing nyaring. Siauw Bwee
terkejut melihat menyambarnya beberapa batang anak panah. Ia maklum bahwa
anak-anak panah itu dilepaskan oleh orang yang memiliki tenaga kuat, maka ia
berseru,
Coa-supek, awas anak panah!!
Dengan pedangnya dia sudah
menangkis, akan tetapi sebatang anak panah melesat dan kalau saja Coa Leng Bu
tidak cepat miringkan tubuh, tentu punggungnya sudah menjadi sasaran. Betapapun
juga, anak panah yang amat cepat dan kuat luncurannya itu masih mengenai pundak
kanannya, menancap di bawah tulang pundak dari belakang sampai menembus ke
depan! Coa Leng Bu tidak mengaduh, hanya menggigit bibir dan melanjutkan
pekerjaannya menyeberangkan balok. Siauw Bwee marah sekali. Tangan kirinya yang
menggenggam lima batang anak panah, dia gerakkan dan lima batang anak panah itu
melayang ke arah perahu dari mana datangnya anak-anak panah yang cepat tadi.
Trak-trakk!! Siauw Bwee
melihat betapa lima batang anak panahnya runtuh dan lenyap ke dalam air.
Tak lama kemudian dari atas
perahu yang sudah mendekat itu, tampak berkelebat bayangan yang meloncat ke
arah balok. Karena keadaan gelap, Siauw Bwee hanya melihat tubuh yang langsing
dari orang itu. Seorang wanita, pikirnya heran dan kagum. Gerakan wanita itu
benar-benar hebat, seperti seekor burung terbang saja, akan tetapi yang
mengejutkan hati Siauw Bwee adalah pedang di tangan orang itu karena pedang ini
mengeluarkan cahaya kilat yang hebat, juga membawa hawa yang mengerikan hati.
Tentu seorang Panglima Mancu, pikir Siauw Bwee dengan kaget dan heran karena
tidak diduganya bahwa yang melepas anak panah tadi dan yang kini melayang ke
arah mereka adalah seorang wanita. Namun dia tidak sempat terheran terlalu lama
karena tubuh orang yang menyambar dari perahu itu telah berjungkir-balik di
udara dan kini menyerangnya dengan pedang yang bersinar kilat dengan tusukan ke
arah lehernya!
Siauw Bwee maklum bahwa selain
pedang itu amat ampuh, juga tenaga yang mendorong gerakan pedang itu tentu kuat
sekali, maka dia tidak berani memandang ringan, lalu mengerahkan sin-kangnya
yang disalurkan melalui pedang rampasannya, dan berbareng dia menghantam dengan
telapak tangan kirinya, mengerahkan sin-kang dan menggunakan pukulan
Jit-goat-sin-kang!
Trakkk....! Aiiihhh....!!
Jeritan ini keluar dari mulut
dua orang wanita, yaitu Siauw Bwee dan wanita yang menyerangnya, karena
keduanya terkejut bukan main akan akibat bentrokan pertama ini. Pedang Siauw
Bwee patah menjadi dua ketika bertemu dengan pedang yang bersinar kilat itu,
akan tetapi wanita itu pun terkejut setengah mati ketika pedangnya bertemu
dengan pedang lawan, tangan kanannya tergetar, apalagi ketika ada pukulan yang
amat dingin menghantam dadanya. Cepat wanita itu mencelat dengan jalan
berjungkir-balik di udara, turun ke ujung balok di belakang Siauw Bwee dan
ketika Siauw Bwee cepat membalik dan mendorongkan kedua tangannya, kini dengan
pengerahan sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es, wanita lawannya yang berpedang
kilat itu telah mengenjotkan kakinya pada balok dan tubuhnya sudah melayang
kembali ke atas perahu! Seorang lawan yang hebat, pikir Siauw Bwee. Namun dia
sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menanti dengan pandang mata tajam
ditujukan ke arah perahu itu. Akan tetapi, agaknya wanita yang berpedang kilat
itu pun terkejut dan ragu-ragu untuk menyerang lagi, apalagi kini balok itu
telah tiba di seberang, sedangkan perahu-perahu yang besar itu tidak dapat
mepet di tepi sungai yang dangkal.
Siauw Bwee tentu saja tidak
pernah menduga bahwa wanita yang menyerangnya tadi adalah Ok Yan Hwa, murid
Mutiara Hitam! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, dan pedang itu tentu saja
amat ampuh karena yang dipegang nya adalah sebatang di antaru Sepasang Pedang
Iblis! Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, tadinya kedua orang murid
Mutiara Hitam, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, setelah bertemu dan dikalahkan oleh
Kam Han Ki, menaati pesan Han Ki dan meninggalkan tentara Mancu. Akan tetapi,
di dalam perjalanan, mereka ini selalu berselisih karena selain kehidupan yang
mewah dan terhormat di dalam barisan Mancu membuat mereka merasa sengsara
setelah berkelana lagi, juga mereka kurang gembira karena tidak dapat mengamuk
dan berlumba membunuh musuh dengan pedang mereka! Karena itulah ketika
mendengar betapa pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin Maya maju terus, mereka
kembali lagi dan membantu Panglima Maya menyerbu dan menaklukkan kota
Sian-yang.
Hati Siauw Bwee dan Coa Leng
Bu menjadi lega ketika mereka meloncat ke darat. Untung bahwa malam itu gelap
dan agaknya panglima wanita musuh yang lihai itu menjadi ragu-ragu setelah
menyaksikan kelihaian Siauw Bwee, maka tidak mengejar lagi. Dan memang dugaan
Siauw Bwee betul. Ok Yan Hwa adalah seorang wanita gagah perkasa yang berilmu
tinggi. Akan tetapi dia pun bukan seorang bodoh yang nekat. Ketika tadi
bergebrak dengan Siauw Bwee, hatinya penuh keheranan karena dia tahu bahwa
tenaga sin-kangnya jauh di bawah wanita muda itu! Apalagi ketika menghadapi
pukulan dorongan tangan kiri Siauw Bwee, Yan Hwa benar-benar kaget setengah
mati, tidak pernah menyangka bahwa di samping Maya, masih ada lagi gadis muda
yang lebih lihai daripada dia! Karena suhengnya tidak bersamanya, dan di antara
pasukan tidak ada yang dapat diandalkan untuk membantu, maka di dalam kegelapan
malam itu dia tidak berani nekat melakukan pengejaran seorang diri saja,
apalagi dua orang yang melarikan diri itu selain lihai juga berada di luar
kota. Baru menghadapi wanita itu saja, belum tentu dia akan menang, apalagi
harus menghadapi dua orang lawan yang sakti. Dia tidak tahu bahwa sebatang di
antara anak panahnya telah berhasil melukai pundak Coa Leng Bu, dan tentu saja
dia pun tidak tahu bahwa kakek itu, yang menurut pendengaran para pasukan,
adalah supek Si Nona Lihai, sebetulnya jauh kalah kalau dibandingkan dengan
murid keponakannya.
Setelah melihat bahwa pihak
pasukan musuh tidak melakukan pengejaran, Siauw Bwee mengajak paman gurunya
berhenti, kemudian dengan hati-hati dia mencabut anak panah yang menancap di
pundak Coa Leng Bu. Sebagai seorang ahli pengobatan, tentu saja Leng Bu dapat
mengobati luka di pundaknya yang untung sekali tidak merupakan luka parah
karena anak panah itu hanya menembus daging tidak merusak tulang atau urat
besar. Setelah diobati dan dibalut, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke
selatan. Biarpun pundaknya terluka, Leng Bu mengajak Siauw Bwee berjalan cepat
terus ke selatan semalam itu, dan baru pada pagi harinya, mereka memasuki dusun
dan berhenti ke dalam sebuah warung untuk makan dan beristirahat.
Di sepanjang jalan malam itu,
mereka melewati banyak rombongan orang yang mengungsi, yaitu penduduk
dusun-dusun di sekitar kota Sian-yang yang telah direbut pasukan Mancu. Ketika
mereka tiba di dusun itu pun sebagian besar penduduk telah berkemas dan bersiap
untuk lari mengungsi ke selatan. Hanya mereka yang tidak mampu saja, dan mereka
yang enggan meninggalkan usaha mereka, seperti tukang warung itu, yang masih
berada di dusun dan tidak tergesa-gesa lari mengungsi.
Warung itu penuh dengan para
pengungsi yang ingin beristirahat sambil mengisi perut, dan kedua orang itu
diam-diam mendengarkan percakapan para pengungsi tentang jatuhnya kota
Sian-yang. Tiba-tiba Siauw Bwee yang sedang makan bubur, menelan ludah dan
hampir saja tersedak. Coa Leng Bu memandang heran, akan tetapi ketika melihat
gadis itu mengerutkan alis dan melirik ke kiri di mana terdapat beberapa orang
tamu pria sedang bercakap-cakap. Leng Bu juga mendengarkan dan melanjutkan
makan bubur dengan sikap tenang.
Benarkah keteranganmu itu
bahwa bala tentara musuh dipelopori oleh Pasukan Maut?! Terdengar orang ke dua
bertanya sambil berbisik.
Tidak salah lagi. Keponakanku
adalah seorang anggauta pasukan pengawal di Sian-yang. Dialah yang menganjurkan
kami sekeluarga meninggalkan kota sete lah dia ketahui betapa kuatnya
pasukan-pasukan musuh,! bisik orang pertama.
Aihhh, pantas saja Sian-yang
tak dapat dipertahankan, biarpun Koksu sendiri kebetulan berada di sana!! kata
orang ke tiga. Aku telah mendengar pula akan kehebatan Pasukan Maut yang
kabarnya beranggautakan tentara yang seperti iblis, tidak takut mati dan
berkepandaian tinggi, dipimpin oleh orang-orang sakti. Apalagi Panglima Pasukan
Maut, kabarnya Panglima Wanita Maya itu memiliki kepandaian seperti iblis dari
belum pernah ada yang mampu mengalahkannya!!
Hemmm, di antara panglima
musuh muncul seorang panglima wanita seperti itu, mengingatkan aku akan ramalan
seorang tosu di Kun-lun-san puluhan tahun yang lalu bahwa banyak kerajaan
runtuh oleh wanita, bukan hanya oleh kecantikan mereka, akan tetapi juga oleh
kelihaian mereka. Apakah Kerajaan Sung yang kini makin terpecah dan mundur ke
selatan akan roboh pula karena wanita?!
Stttt, Twako, jangan bicara
seperti itu....!! terdengar suara memperingatkan.
Yang mengejutkan hati Siauw
Bwee adalah disebutnya nama Panglima Wanita Maya tadi. Apakah sucinya yang
menjadi Panglima Mancu? Ataukah hanya kebetulan ada persamaan nama belaka? Akan
tetapi, melihat kelihaian panglima wanita itu, tidak akan mengherankan kalau
wanita itu adalah sucinya, apalagi kalau diingat betapa wanita dari perahu
Mancu malam tadi pun amat lihai, sungguhpun tidak selihai sucinya. Pula,
sucinya adalah puteri dari Kerajaan Khitan, sedikitpun masih mempunyai hubungan
darah dengan bangsa Mancu, dan dia tahu betapa sucinya amat membenci Kerajaan
Sung karena kerajaan itu dianggap telah menjadi sebab kesengsaraan dan
kemusnahan keturunan keluarga Suling Emas.
Hati Siauw Bwee ingin sekali
menjumpai sucinya, akan tetapi dia telah menimbulkan kekacauan di Sian-yang,
bukankah hal ini akan membuat sucinya makin benci kepadanya? Pula, apa perlunya
menjumpai sucinya yang telah menjadi Panglima Mancu? Dia tidak ada hasrat
bertemu dengan sucinya itu sebaliknya dia ingin sekali segera pergi menyusul
suhengnya yang sekarang amat aneh sikapnya dan menurut dugaan Coa Leng Bu,
menjadi korban racun perampas semangat dan ingatan. Keadaan suhengnya amat
mengkhawatirkan dan suhengnya perlu sekali mendapatkan pertolongannya.
Supek, mari kita melanjutkan
perjalanan,! katanya lirih kepada Coa Leng Bu. Kakek itu mengangguk, akan
tetapi tiba-tiba dia melihat Siauw Bwee memandang keluar dengan mata terbelalak
kaget, kemudian dara itu memberi isyarat kepadanya untuk duduk kembali. Coa
Leng Bu melirik ke luar dan melihat serombongan orang memasuki warung.
Mereka terdiri dari sebelas
orang, dan yang menjadi pembuka jalan ke warung itu adalah seorang pendek gemuk
yang berkepala botak. Melihat orang ini pemilik warung cepat-cepat menyambut
dengan membongkok-bongkok penuh penghormatan.
Selamat datang,
Koan-taihiap.... sungguh menyesal sekali warungku penuh tamu sehingga saya
tidak dapat menyambut dengan sepatutnya.!
Orang yang disebut pendekar
besar Koan itu menggerakkan matanya yang lebar memandang ke sekeliling, alisnya
berkerut dan dia berkata, Harus kausediakan tempat. Tamu-tamuku adalah
orang-orang yang lebih penting daripada siapapun juga di sini, dan aku sudah
terlanjur memuji warungmu yang dapat menyuguhkan makanan enak.!
Tukang warung menjadi bingung
dan terpaksa dengan kata-kata halus dia mengusir beberapa orang pengungsi yang
sudah lama duduk di situ dan yang sudah selesai makan pula. Dengan muka
bersungut-sungut namun tidak berani membantah, beberapa orang meninggalkan warung
itu dan meja bangku bekas mereka dibersihkan oleh tukang warung dan
pelayan-pelayannya. Kemudian orang she Koan itu bersama rombongannya yang masih
menanti di luar warung, dipersilakan masuk. Orang she Koan dengan sikap amat
ramah, hormat bahkan menjilat, mempersilakan seorang kakek tua yang agaknya
menjadi pimpinan rombongan itu untuk duduk di bangku kepala.
Dapat dibayangkan betapa jaget
rasa hati Siauw Bwee ketika mengenal kakek ini dan dia melirik dengan penuh
perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun
usianya, rambutnya sudah putih semua, panjang seperti juga jenggotnya, namun
matanya masih berkilat-kilat jernih seperti mata anak kecil dan kulit mukanya
masih merah segar seperti orang muda, pakaiannya seperti seorang sastrawan dan
tangannya menggerak-gerakkan sebatang kipas sutera yang terlukis indah. Dia
tersenyum-senyum lebar ketika memasuki warung itu.
Biarpun sudah bertahun-tahun
tak pernah berjumpa, namun Siauw Bwee segera mengenal kakek ini yang bukan lain
adalah Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen yang amat sakti! Juga ia dapat
menduga bahwa dengan adanya Koksu Yucen di situ, tentulah rombongan itu terdiri
dari orang-orang penting dari bangsa Yucen. Dugaannya memang tidak salah karena
rombongan itu adalah tokoh-tokoh pengawal dan Panglima Kerajaan Yucen, bahkan
di antara mereka terdapat Panglima Dailuba yang terkenal, Panglima Besar Yucen
yang pandai sekali akan ilmu perang dan ilmu silat, bertubuh tinggi besar,
bermuka lebar dan mukanya brewok, usianya sudah enam puluh tahun namun masih
kelihatan tangkas dan kuat.
Coa Leng Bu sudah
bertahun-tahun mengasingkan diri sehingga dia tidak mengenal rombongan itu,
akan tetapi pandang matanya yang tajam dapat mengenal orang pandai. Sekali
pandang saja dia dapat menduga bahwa biarpun disebut pendekar besar, orang she
Koan itu hanyalah ahli silat biasa saja, akan tetapi kakek berambut putih dan
rombongannya itu adalah orang-orang yang sakti, maka dia bersikap waspada dan
memperhatikan wajah murid keponakannya yang jelas kelihatan berubah.
Pek-mau Seng-jin sendiri
sekali pandang sudah dapat menduga bahwa wanita muda yang cantik jelita dan
seorang kakek berpakaian sederhana yang duduk menyendiri di sudut itu tentulah
bukan orang-orang sembarangan, dan bukanlah pengungsi-pengungsi biasa. Koksu
ini adalah seorang yang sakti dan cerdik. Pada waktu itu, bangsa Yucen mulai
berkembang kemajuannya dan melihat penyerbuan-penyerbuan bangsa Mancu terhadap
Kerajaan Sung Selatan, Koksu Yucen sengaja menahan pasukan-pasukannya dan membiarkan
mereka berperang. Hal ini menguntungkan Yucen karena dapat menyusun kekuatan
yang kelak dapat dipergunakan memukul kedua bangsa yang tentu menjadi lemah
oleh perang. Kini bangsa Yucen hanya menjadi penonton, menanti saat baik untuk
mengalahkan semua musuh yang sudah lelah karena bertanding sendiri.
Kedatangannya di tempat itu selain hendak melihat-lihat keadaan dengan mata
kepala sendiri, juga untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan
golongan-golongan yang kuat untuk membantu gerakan bangsa Yucen kalau waktunya
sudah tiba.
Kini melihat Siauw Bwee yang
sudah tidak dikenalnya lagi karena telah menjadi seorang dara dewasa yang amat
cantik jelita, dan melihat Coa Leng Bu yang juga tidak dikenalnya, namun yang
ia dapat duga tentu merupakan dua orang yang berilmu tinggi, diam-diam dia
memperhatikan dan timbul keinginan hatinya menarik kedua orang itu menjadi
pembantunya, atau kalau ternyata kedua orang itu berada di pihak musuh,
membasminya di saat itu juga sebelum kelak mereka merupakan penghalang dan pembantu-pembantu
musuh yang lihai. Karena dia hanya menduga saja kelihaian dua orang itu dari
sikap dan kedudukan tubuh mereka, maka dia ingin menguji. Di atas meja di
depannya terdapat taplak meja dari kain. Jari-jari tangan kirinya merobek ujung
taplak, lalu dipelintirnya menjadi dua butir kecil dan dengan telunjuknya, ia
menyentil kedua butir kain itu ke arah Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Dua butir
kain itu melesat dengan cepat luar biasa, tidak tampak oleh pandang mata yang
lain, kecuali oleh para panglima yang lihai yang maklum akan niat atasan mereka
dan hanya memandang sambil tersenyum.
Sambaran dua butir gulungan
kain itu mendatangkan desir angin yang cukup untuk ditangkap oleh pendengaran
kedua orang itu. Coa Leng Bu terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia
menyambar ke arah lehernya. Cepat dia menjatuhkan sumpitnya dari atas meja dan
membungkuk untuk mengambil sumpit itu, padahal gerakan ini adalah gerakan
mengelak sehingga benda kecil itu menyambar lewat. Tentu saja Siauw Bwee yang
jauh lebih lihai daripada Leng Bu, maklum pula bahwa Pek-mau Seng-jin
menyerangnya. Dia mengibas kan tangannya mengusir beberapa ekor lalat dari atas
meja sambil mengomel, Ihhh, banyak benar lalat di sini!!
Bagi orang lain, hanya
kelihatan dara jelita itu mengusir lalat, akan tetapi lalat-lalat itu terbang
ketakutan, sedangkan di antara jari tangannya terjepit benda kecil yang tadi
menyambar ke arah lehernya! Tadinya Siauw Bwee terkejut dan mengira bahwa Koksu
Negara Yucen itu agaknya mengenalnya dan menyerang, akan tetapi ketika ia
menangkap senjata rahasia itu dan mendapat kenyataan bahwa benda itu hanyalah
segumpal kecil kain, dan yang diserang tadi hanyalah jalan darah yang tidak
berbahaya dan hanya akan mendatangkan kelumpuhan tanpa membahayakan
keselamatannya, maka tahulah dia bahwa kakek berambut putih itu hanya
mengujinya, ingin membuktikan bahwa dia dan supeknya adalah orang-orang yang
lihai.
Maka menyesallah Siauw Bwee.
Kalau tahu demikian, tentu dia akan membiarkan saja gumpalan kain itu mengenai
lehernya agar jangan menimbulkan kecurigaan. Kini telah terlanjur, maka dia
bahkan menjadi mengkal, menoleh ke arah meja rombongan itu dan diam-diam
meremas hancur gumpalan kain menjadi debu, kemudian dia meniup tangan kirinya
dan.... debu itu melayang ke arah meja rombongan Pek-mau Seng-jin.
Para Panglima Yucen terkejut
sekali. Tak mereka sangka bahwa dara jelita itu ternyata benar-benar sakti, dan
diam-diam mereka pun kagum akan ketajaman pandang mata Pek-mau Seng-jin. Kalau
tidak menduga bahwa dara itu lihai, tentu koksu itu tidak sudi sembarangan
main-main dengan orang! Pek-mau Seng-jin tersenyum puas. Tak salah dugaannya.
Petani sederhana dan dara jelita itu benar-benar bukan orang sembarangan.
Biarpun petani itu hanya pura-pura mengambil sumpit yang jatuh, tidak seperti
gadis itu yang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, namun jelas bahwa petani
sederhana itu bukan ahli silat biasa. Sambitannya tadi tidak mengandung tenaga
yang mematikan, namun telah disambitkan dengan kecepatan sentilan jari tangan
dan meluncur cepat sekali, tak tampak oleh mata dan karena kecil ringan maka
desir anginnya lirih sekali. Namun telah dapat disambut oleh mereka dengan cara
mengagumkan!
Orang she Koan yang sebetulnya
hanyalah seorang di antara kaki tangan bangsa Yucen untuk daerah itu dan yang
kini bertugas sebagai penunjuk jalan, tidak melihat apa yang baru terjadi. Kini
dia disuruh mendekat, dibisiki oleh Pek-mau Seng-jin. Orang itu
mengangguk-angguk dan memandang ke arah Siauw Bwee dengan alis berkerut dan
sinar mata heran. Bayangkan saja, pikirnya. Koksu minta dia mempersilakan dua
orang itu untuk makan bersama sebagai tamu terhormat yang diundang!
Koan Tek, demikian nama orang
ini, adalah seorang jago silat yang terkenal di daerah itu, maka dihormati oleh
pemilik warung makan. Dia berwatak kasar dan memandang rendah orang lain dan
tentu saja orang yang suka memandang orang yang dianggap berada di bawahnya,
selalu menjilat kepada orang-orang atasannya. Mendengar Koksu mengundang dua
orang itu yang dianggapnya hanya seorang petani miskin dan seorang gadis
cantik, dia merasa penasaran sekali. Sepanjang pengetahuannya, Koksu Yucen dan
para panglimanya adalah orang-orang peperangan yang gagah perkasa, tak pernah
terdengar mereka itu suka mempermainkan wanita cantik. Apakah sebabnya kini
Koksu mengundang kedua orang ini? Akan tetapi, dia tidak berani membantah dan
dengan langkah lebar ia menghampiri meja Siauw Bwee. Karena kedua orang itu
merupakan orang yang diundang Koksu, maka dia menjura dengan sikap hormat
paksaan sambil berkata,
Ji-wi diundang untuk makan
bersama dengan rombongan kami.!
Coa Leng Bu yang maklum akan
kekerasan hati Siauw Bwee, cepat mendahului murid keponakannva itu dan dia
berdiri sambil membalas penghormatan Koan Tek.
Terima kasih atas undangan
Sicu. Kami berdua telah makan dan sudah hendak melanjutkan perjalanan. Harap
maafkan kami.! Dia memberi kedipan mata kepada Siauw Bwee untuk berdiri dan
meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, penolakan yang
tak disangka-sangka oleh Koan Tek ini membuat dia mendongkol dan marah. Boleh
jadi kedua orang ini tidak mengenal rombongan Koksu dari Yucen, akan tetapi dia
yang mengundangnya, mengapa mereka tidak memandang mata kepadanya?
Loheng, mungkin karena Ji-wi
belum mengenal saya, tidak suka menerima undangan kami,! katanya dengan nada
agak keras. Perkenalkanlah, saya Koan Tek, di sini dikenal sebagai Koan-taihiap
dan orang-orang yang kami undang bukanlah orang-orang sembarangan, berarti
bahwa kami telah menjunjung tinggi kehormatan Ji-wi. Maka saya ulangi, harap
Ji-wi tidak menolak undangan kami untuk berkenalan dan makan bersama!!
Biarpun kata-kata itu bersifat
undangan, namun nadanya yang keras itu mengandung tekanan, paksaan dan
membayangkan ancaman. Hal ini membuat Siauw Bwee makin marah. Hati dara muda
ini memang sudah mengkal dan marah ketika ia melihat Pek-mau Seng-jin yang
mengingatkan dia akan perbuatan koksu itu yang dahulu pernah menawan dia dan
Maya kemudian menyerahkan dia dan Maya sebagai hadiah kepada Coa Sin Cu di
pantai Po-hai. Mengingat akan hal ini saja sudah membuat tangannya gatal untuk
membalas dendam, karena sekarang dia tidak gentar lagi menghadapi koksu yang
lihai itu, kemudian kemarahannya tadi ditambah dengan penyerangan Pek-mau
Seng-jin, biarpun penyerangan itu merupakan ujian dan tidak mengandung niat
jahat. Kini, ditambah oleh kata-kata dan sikap Koan Tek, tentu saja dia tidak
mau menaati isyarat mata supeknya agar bersabar. Dia sudah bangkit berdiri dan
memandang Koan Tek dengan mata berapi.
Engkau ini mengundang ataukah
hendak memaksa orang? Kalau mengundang bersikaplah sebagai pengundang yang
sopan, setelah ditolak dengan alasan tepat segera mundur. Kalau mau memaksa,
terus terang saja, tak usah bersembunyi di balik sikap manis agar aku tidak
usah ragu-ragu lagi memberi hajaran kepada orang yang hendak memaksaku!!
Ehhh.... sudahlah....
sudahlah....!! Coa Leng Bu berkata khawatir. Kakek ini cepat berdiri dan
menjura kepada Koan Tek. Harap sicu suka maafkan, kami hendak pergi saja.!
Akan tetapi Koan Tek sudah
marah sekali. Dengan mata melotot ia memandang kepada Siauw Bwee dan membentak,
Berani engkau kurang ajar kepada Koan-taihiap. Apakah kau sudah bosan hidup?!
Siauw Bwee menudingkan
telunjuknya. Jangankan baru engkau seorang, biar ada seratus orang macam engkau
aku tidak takut! Supek, biarlah, orang macam dia ini kalau tidak dihajar tentu
akan menghina orang lain saja!!
Koan Tek hendak menerjang
maju, akan tetapi tiba-tiba ada orang menarik lengannya sehingga dia terhuyung
ke belakang. Ketika dia menoleh ternyata yang menariknya adalah seorang kakek
tinggi kurus, berpakaian sastrawan dan dia ini adalah seorang di antara para
pembantu Koksu, maka dia segera melangkah mundur. Kakek itu dengan sikap sopan
sekali menjura kepada Leng Bu dan Siauw Bwee sambil berkata,
Harap Ji-wi sudi memaafkan
Koan-sicu yang bersikap kasar karena memang dia yang jujur selalu bicara kasar.
Harap Ji-wi ketahui bahwa kami mengundang Ji-wi dengan niat bersih hendak
berkenalan. Di antara kita terdapat nasib yang sama yaitu selagi negara kita
diserbu bangsa Mancu, sebaiknya kalau orang-orang gagah seperti kita bersatu
menghadapi musuh. Karena itulah maka pemimpin kami, Pek-mau Seng-jin, mengharap
Ji-wi sudi datang berkenalan.!
Leng Bu tidak pernah mendengar
nama Pek-mau Seng-jin, akan tetapi Siauw Bwee yang tahu bahwa kakek rambut
putih itu adalah Koksu Negara Yucen, segera menjawab, Kami berdua tidak ada
sangkut-pautnya dengan segala urusan perang! Apalagi harus bersekutu dengan
pihak ke tiga. Hemm, kami bukan pengkhianat, bukan pula penjilat, lebih baik
kalian tidak mencari perkara dan membiarkan kami pergi!!
Setelah berkata demikian,
Siauw Bwee memegang tangan supeknya dan diajak pergi. Akan tetapi baru saja
mereka melangkah hendak keluar, terdengar bentakan harus, Tahan!! Dan tampak
berkelebat bayangan orang, tahu-tahu Pek-mau Seng-jin sendiri telah berdiri
menghadang mereka sambil tersenyum-senyum. Tadi ketika mendengar ucapan Siauw
Bwee yang menyinggung pihak ke tiga!, Koksu itu menjadi kaget sekali dan ia
maklum bahwa dara itu telah mengetahui keadaannya sebagai pihak ke tiga, yaitu
bukan golongan Mancu dan bukan pula golongan Sung. Maka dia menjadi khawatir
kalau-ka lau gadis itu akan membuka rahasianya yang akan menyukarkan penyamaran
dan penyelidikannya, juga dia menjadi curiga.
Nona, siapakah engkau? Dan di
golongan manakah engkau berdiri?!
Ingin sekali Siauw Bwee
memperkenalkan diri dan menyerang Koksu itu, akan tetapi dia masih menahan diri
karena maklum bahwa Koksu ini disertai rombongan orang yang berkepandaian
tinggi. Tentu saja dia tidak takut, hanya dia khawatir akan keselamatan
supeknya yang telah terluka pundaknya.
Aku dan Supek adalah
orang-orang perantauan yang tak perlu berkenalan dengan siapapun juga, tidak
mempunyai urusan dengan kalian dan tidak mencari perkara. Sudahlah, harap kau
orang tua suka minggir dan membiarkan kami lewat!!
Ha-ha-ha, benar-benar lantang
suaranya! Nona, aku kagum sekali menyaksikan keberanian dan kelihaianmu.
Orang-orang di dunia kang-ouw berkata bahwa sebelum bertanding tidak akan dapat
saling menghargai dan berkenalan, oleh karena itu, setelah kebetulan sekali
kita saling bertemu di sini, aku menantang Ji-wi untuk saling menguji
kepandaian.!
Panaslah hati Siauw Bwee.
Betapapun dia ingin menghindari pertempuran, akan tetapi kalau ditantang
terang-terangan seperti itu, mana mungkin dia mundur lagi?
Hemm, kalian mengandalkan
banyak orang untuk menghina?! tanyanya sambil memandang ke arah rombongan itu,
tersenyum mengejek. Memang Siauw Bwee memiliki wajah yang arnat cantik jelita,
maka biarpun dia tersenyum mengejek wajahnya tampak manis dan menarik sekali.
Ha-ha-ha! Selain tabah dan
pandai bicara, juga cerdik sekali. Nona muda, aku akan merasa malu mengeroyok
seorang yang patut menjadi cucuku. Tidak sama sekali, kami bukanlah rombongan
pengecut yang main keroyok, melainkan orang-orang yang dapat menghargai
kepandaian orang lain dan melalui kepandaian itu kami ingin berkenalan dan
bersahabat. Bagaimana, Nona? Aku berjanji tidak akan mengeroyok melainkan
menguji kepandaian satu lawan satu!!
Siapa takut? Majulah!! Siauw
Bwee diam-diam merasa girang karena kini dia memperoleh kesempatan untuk
menghajar musuh yang pernah menawannya ini dan tidak takut akan pengeroyokan
karena ucapan yang keluar dari mulut seorang Koksu tentu saja dapat dipercaya.
Pek-mau Seng-jin kembali
tertawa. Hebat! Sebegitu muda sudah memiliki keberanian besar, mengingatkan aku
akan kegagahan mendiang pendekar sakti wanita Mutiara Hitam! Tidak, Nona. Dunia
kang-ouw akan mentertawakan Pek-mau Seng-jin kalau aku melayani seorang muda
seperti engkau. Biarlah aku diwakili oleh....!
Perkenankanlah hamba
menghadapinya!! Tiba-tiba Koan Tek berkata sambil meloncat maju. Dia merasa
penasaran dan marah sekali kepada Siauw Bwee yang tadi memandang rendah serta
menghinanya. Dia bukan seorang kejam yang suka membunuh orang akan tetapi
karena nama besar dan kehormatannya tersinggung, dia ingin memberi hajaran
kepada gadis ini.
Pek-mau Seng-jin tersenyum.
Orang kasar macam Koan Tek ini perlu juga menerima hajaran, pikirnya, karena
dia yakin bahwa Koan Tek bukanlah lawan kedua orang ini.
Mundurlah, biar aku yang maju
lebih dulu!! Leng Bu berkata kepada Siauw Bwee. Dia maklum bahwa murid
keponakannya itu hendak menyembunyikan nama dan keadaannya, maka dia tidak
menyebut nama. Sebaliknya Siauw Bwee pun maklum mengapa paman gurunya ini
hendak maju biarpun pundaknya sudah terluka. Tentu paman gurunya ini hendak
maju lebih dulu sehingga kalau sampai kalah, Siauw Bwee dapat menggantikannya.
Kalau Siauw Bwee yang maju lebih dulu dan sampai kalah, tentu Leng Bu pun tidak
akan berdaya lagi. Maka Siauw Bwee segera melangkah mundur dan berkata,
Hati-hatilah, Supek. Pundakmu
terluka, mengapa memaksa diri?! Dengan ucapan ini Siauw Bwee kembali menghina
Koan Tek, seolah-olah dia hendak menonjolkan kenyataan bahwa biarpun pundaknya
terluka, kakek petani itu masih berani maju menghadapi Koan Tek yang berarti
memandang rendah.
Petani tak tahu diri,
kausambutlah seranganku!! Koan Tek berseru nyaring dan dia sudah maju menerjang
dengan pukulan keras ke arah dada Leng Bu.
Leng Bu tidak dapat terlalu
menyalahkan Siauw Bwee yang menyambut tantangan sehingga terpaksa terjadi
pertandingan. Dia sendiri tentu saja masih dapat bersabar dan mundur menghadapi
tantangan, akan tetapi seorang muda seperti Siauw Bwee, tentu sukar untuk
mengelakkan tantangan seperti itu. Maka dia mendahului Siauw Bwee menyambut
lawan sehingga seandainya ia dapat menang dan mengatasi hal ini, tidak akan
terjadi persoalan yang lebih hebat. Dia khawatir apabila Siauw Bwee yang maju,
tangan dara yang ampuh itu akan terlalu keras dan terjadi pembunuhan. Selain
itu, andaikata rombongan ini berniat buruk, kalau sampai dia kalah, masih ada
Siauw Bwee yang jauh lebih lihai untuk menghadapi mereka. Pendeknya, biarpun
pundaknya luka, dia hendak maju sebagai pengukur keadaan dan iktikad hati
mereka ini.
Jotosan tangan Koan Tek itu
merupakan serangan yang cukup kuat dan cepat. Leng Bu mengenal juga serangan
ini dan tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli gwa-kang yang memiliki tenaga
kasar yang besar. Jurus itu adalah jurus Hek-houw-to-sim (Macan Hitam Menyambar
Jantung), sebuah pukulan ke arah dada kirinya dengan kepalan tangan diputar ke
kanan kiri ketika lengan itu meluncur dari pinggang. Pukulan semacam ini dapat
menghancurkan batu!
Coa Leng Bu yang memiliki
tingkat lebih tinggi daripada Koan Tek yang kasar itu, hanya dengan melangkah
ke belakang saja sudah cukup untuk menghindarkan pukulan itu. Akan tetapi Koan
Tek sudah menyambung serangannya dengan jurus serangan berikutnya, yaitu lengan
kirinya meluncur ke depan berbareng dengan kaki kiri, memasukkan dua jari
tangan kiri ke arah leher lawan. Itulah jurus Sian-jin-ci-lou (Dewa Menunjukkan
Jalan), sebuah totokan ke arah kerongkongan yang amat berbahaya dan merupakan
serangan maut. Saking cepatnya dan kuatnya gerakan ini terdengar angin bercuitan!
Kini Leng Bu tidak mau mundur
lagi, bahkan melangkah maju memapaki serangan ini! Dengan gerakan ringan sekali
dia miringkan tubuh sehingga tusukan jari tangan itu meleset lewat dekat
lehernya, berbareng dengan itu Leng Bu menggerakkan telapak tangan kirinya
mendorong dada lawan. Koan Tek terkejut sekali dan berusaha menangkis dengan
lengan kanan, namun tenaga doron gan itu biarpun tertangkis, tetap saja membuat
tubuhnya terjengkang ke belakang.
Koan Tek cukup lihai biarpun
tubuhnya terjengkang, dia masih mengangkat kakinya menendang ke arah bawah
pusar! Kembali serangan yang dapat membawa maut. Leng Bu menjadi tak senang
menyaksikan betapa lawannya berusaha untuk membunuhnya, cepat kakinya digeser
dan ketika tendangan itu lewat, secepat kilat tangannya menyangga kaki itu dan
sekali dia membentak dan mendorong tubuh Koan Tek terlempar ke belakang tanpa
dapat dicegahnya lagi. Tubuhnya tentu akan terbanting keras kalau saja sebuah
tangan yang kurus tidak cepat menyambar tengkuknya sehingga dia tidak jadi
terbanting.
Hebat....!! kata pemilik
tangan kurus yang bukan lain adalah kakek sastrawan pembantu Koksu Yucen.
Sementara itu, para tamu warung yang sebagian besar terdiri dari para
pengungsi, berserabutan lari keluar dari warung, sedangkan pemilik warung
bersama para pelayannya telah bersembunyi di balik meja dan lemari dengan
ketakutan.
Sungguh mengagumkan sekali dan
sepantasnya saya, Tiat-ciang-siucai (Sastrawan Tangan Besi) Lie Bok berkenalan
dan ingin mengetahui siapakah nama Enghiong yang perkasa?! Si Kakek Sastrawan
bertanya dengan muka tersenyum.
Melihat sikap yang sopan ini,
Coa Leng Bu merasa tidak enak dan dia cepat menjura. Namaku yang rendah adalah
Coa Leng Bu dan harap saja Locianpwe suka memaafkan kami dan membiarkan kami
pergi karena sesungguhnya, saya dan keponakan saya tidak ingin bertanding
dengan siapapun juga.!
Ha-ha, bukan bertanding
melainkan menguji kepandaian untuk bahan perkenalan, Coa-enghiong. Marilah kita
main-main sebentar!!
Leng Bu yang maklum bahwa
lawannya sekali ini tentu tidak boleh disamakan dengan Koan Tek yang kasar,
cepat menyapu dengan kakinya dan meja kursi di sekeliling tempat itu terlempar
ke sudut, disambar hawa tendangan kakinya sehingga ruangan itu menjadi lega.
Hal ini saja membuktikan betapa kuat tenaga sin-kang kakek ini sehingga orang
yang berjuluk Tiat-ciang-siucai mengangguk-angguk kagum.
Bagus sekali! Engkau
benar-benar amat berharga untuk menjadi teman berlatih. Nah, sambutlah,
Coa-enghiong!! Setelah berkata demikian kakek sastrawan itu melangkah maju,
tangan kirinya menampar kepala dan tangan kanannya dalam detik berikutnya
mencengkeram ke arah perut! Itulah jurus Pai-san-to-hai (Menolak Gunung
Mengeduk Laut) yang dilakukan dengan tenaga lwee-kang (tenaga dalam) cukup
kuat.
Leng Bu tidak tahu pukulan
mana yang merupakan pukulan pancingan dan yang mana yang merupakan serangan
sesungguhnya karena kedua tangan yang bergerak hampir berbareng itu memang
dapat dipergunakan sesuka Si Penyerang, yang satu dipakai memancing, yang ke
dua baru merupakan pukulan sesungguhnya. Dia tidak mau terpancing, maka dia
menggunakan kedua tangannya menangkis ke atas dan ke bawah.
Plakk! Dukkk!!
Tiat-ciang-siucai terdesak
mundur dua langkah, sedangkan Leng Bu masih berada di tempatnya akan tetapi
wajahnya berubah menyeringai karena pundaknya yang terluka tadi terasa nyeri.
Jelas bahwa sin-kangnya lebih kuat, akan tetapi selisihnya hanya sedikit dan
luka di pundaknya membuat dia menderita. Namun dia tidak mau mundur, bahkan
membalas menyerang dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang! Terdengar angin
menyambar dari kedua tangannya dan hawa di ruangan warung itu tiba-tiba menjadi
panas seolah-olah ada sinar matahari sepenuhnya memasuki ruangan.
Tiat-ciang-siucai berseru
kaget dan cepat ia menggunakan kedua tangannya melindungi tubuh, menangkis
bertubi-tubi sehingga dua pasang tangan itu saking cepat gerakannya berubah
menjadi banyak. Namun kakek sastrawan itu terdesak mundur oleh hawa panas.
Tiba-tiba Leng Bu yang ingin segera memperoleh kemenangan itu sudah mengubah
gerakannya, ditujukan ke bawah, menyerang tubuh bagian bawah dan tiba-tiba hawa
yang panas itu berubah sejuk. Kembali kakek sastrawan terkejut, dan biarpun dia
berhasil menangkis serangan yang seperti hujan datangnya, namun perubahan itu
membuat dia bingung dan terhuyung ke belakang.
Heiii! Bukankah itu
Jit-goat-sin-kang?! Tiba-tiba Pek-mau Seng-jin berseru kaget dan kagum.
Mendengar ini, Coa Leng Bu
terkejut. Tak disangkanya kakek berambut putih itu mengenal Jit-goat-sin-kang
yang selama ini tersembunyi dari dunia kang-ouw. Akan tetapi karena sudah
terlanjur dikeluarkan, dia lalu menerjang maju dan mengerahkan tenaganya. Dari
dorongan telapak tangan kanannya keluar hawa pukulan yang bercuitan ke arah
tubuh Tiat-ciang-siucai yang terhuyung. Siucai itu berusaha menahan dengan
kedua tangannya, namun tetap saja dia terdorong dan roboh bergulingan. Leng Bu
menghentikan serangannya, meloncat mundur dan menjura.
Harap maafkan kekasaran saya.!
Tiat-ciang-siucai meloncat
bangun, matanya terbelalak. Luar biasa sekali! Saya mengaku kalah!!
Menyaksikan sikap ini, agak
lega hati Coa Leng Bu, karena sikap kakek sastrawan itu menunjukkan sikap
seorang kang-ouw yang baik, gagah perkasa, dan jujur, berani menerima kekalahan
dengan hati tulus.
Pek-mau Seng-jin girang
sekali. Biarpun belum dapat dikatakan luar biasa, petani tua bertelanjang kaki
itu dapat dijadikan seorang pembantunya yang lumayan. Maka dia memberi tanda
dengan mata kepada Panglima Dailuba yang tinggi besar, bermata lebar dan
bermuka penuh brewok.
Biarlah aku menguji
kepandaianmu, Coa-enghiong!! katanya dengan suaranya yang nyaring besar
mengejutkan. Panglima ini adalah seorang bangsa Yucen tulen, bertenaga besar
dan berkepandaian tinggi. Apalagi setelah dia menjadi pernbantu utama Pek-mau
Seng-jin yang melatihnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi, panglima ini
benar-benar merupakan seorang lawan yang amat tangguh.
Hal ini dapat diduga oleh
Siauw Bwee, maka dia berkata, Supek, biarkanlah saya yang maju karena Supek
tentu lelah sekali.!
Akan tetapi Coa Leng Bu menggeleng
kepala. Sebelum dia kalah, lebih baik gadis itu jangan turun tangan yang tentu
akan menimbulkan persoalan yang lebih berat lagi. Sekali gadis itu turun
tangan, dia tidak berani tanggung apakah lawan masih dapat keluar dari
pertandingan dengan hidup-hidup. Pula, agaknya yang merupakan lawan terberat
hanyalah kakek yang bernama Pek-mau Seng-jin itu, maka biarlah kakek itu nanti
bertanding melawan Siauw Bwee.
Tidak, aku masih belum kalah,!
jawabnya dan cepat ia maju sambil berkata, Sahabat, siapakah nama besarmu?!
Dailuba tertawa bergelak.
Namaku sama sekali tidak terkenal, Coa-enghiong. Namaku adalah Thai Lu Bauw,
seorang kasar yang hanya mempelajari sedikit ilmu. Mana bisa dibandingkan
dengan engkau yang memiliki Jit-goat-sin-kang? Harap kau suka mulai.!
Coa Leng Bu menggeleng kepala.
Bukan kami yang menghendaki pertandingan ini, Thai-sicu. Engkau majulah!!
Lihat serangan!!
Gerakan Dailuba berbeda dengan
gerakan Tiat-ciang-siucai Lie Bok tadi. Gerakan orang tinggi besar ini lambat
sekali ketika tangan kanannya yang dibuka itu menyerang dengan dorongan ke arah
dada Leng Bu. Akan tetapi, Coa Leng Bu sebagai seorang yang sudah banyak
mengalami pertandingan, tidak mau memandang rendah dan dugaannya ternyata tepat
karena ketika ia menangkis pukulan itu, dia terdorong sampai dua langkah,
sedangkan lawannya terus melangkah maju dan mengirim dorongan lanjutan dengan
tangan kiri. Ternyata Si Tinggi Besar ini memiliki tenaga yang luar biasa
kuatnya!
Terpaksa Coa Leng Bu menangkis
dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang sehingga dua tenaga raksasa bertemu
dan keduanya tergoyang. Ketika Leng Bu hendak menarik kembali lengannya, dia
kaget bukan main karena lengannya itu lekat pada lengan lawan, seolah-olah
tersedot dan tak dapat dilepas lagi dan pada saat itu tangan kanan Dailuba
telah datang lagi menampar ke arah kepalanya!
Tahulah dia bahwa lawannya ini
telah melatih sin-kangnya dengan tenaga menyedot dan menempel, maka dia cepat
miringkan kepala dan mendahului dengan sodokan tangan kiri ke arah perut lawan.
Plakkk!!
Lengannya yang tertempel itu
terlepas, akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Leng Bu
ketika merasa betapa sodokannya ke perut yang mengenai sasaran dengan tepat
tadi seolah-olah tidak terasa oleh lawan, bahkan jari tangannya terasa nyeri.
Dailuba menggerakkan kakinya yang panjang dan besar menyerang kaki lawan. Leng
Bu cepat meloncat ke atas, akan tetapi angin yang menyambar dari kaki Si Tinggi
Besar membuat dia hampir terpelanting!
Coa Leng Bu menjadi penasaran
sekali, lalu dia menyerang dengan cepat, menggunakan jurus-jurus simpanan dan
mengerahkan tenaga Jit-goat-sin-kang. Namun, melihat betapa Dailuba dapat
menahan serangannya dengan gerakan lambat dan seenaknya, kedua lengan besar
yang digerakkan lambat itu telah menciptakan hawa yang merupakan perisai
sehingga semua pukulan Leng Bu menyeleweng, maka tahulah Leng Bu bahwa tingkat
kepandaian lawannya ini masih jauh lebih tinggi daripada tingkatnya. Maka dia
merasa terkejut dan khawatir, bukan takut kalah, melainkan takut kalau-kalau
Siauw Bwee sendiri tidak akan mampu menanggulangi mereka.
Kalau sampai mereka kalah,
tentu mereka terpaksa menerima undangan dan perkenalan mereka, padahal dia tahu
bahwa Siauw Bwee tidak menghendaki hal itu terjadi. Maka dia lalu mempercepat
serangannya dan kini dia menggunakan Im-yang-sin-kang. Sebetulnya
Im-yang-sin-kang masih kalah setingkat kalau dibandingkan dengan
Jit-goat-sin-kang yang merupakan latihan sin-kang dengan bantuan sinar sakti
matahari dan bulan, akan tetapi karena dalam latihan ini Leng Bu belum mencapai
puncaknya sedangkan Im-yang-sin-kang dia sudah mahir sekali, maka terpaksa dia
menggunakan sin-kang yang baginya lebih kuat itu. Padahal, untuk menggunakan
sin-kang ini mengandalkan seluruhnya dari tenaga dalamnya sendiri sedargkan
pundaknya sudah terluka, maka hal ini merupakan bahaya baginya. Dia sekarang
mempergunakannya dalam keinginannya untuk mencapai kemenangan.
Ketika lawannya membalas
serangannya dengan dorongan kedua telapak tangan, dengan pukulan semacam Thai-lek-sin-kang
yang amat kuat, dia menghadapinya dengan Im-yang-sin-kang.
Bressss!! Tubuh tinggi besar
dari Dailuba terlempar ke belakang dan terguling akan tetapi Leng Bu sendiri
terjengkang dan dia mengeluh, pundaknya nyeri bukan main.
Supek....!! Siauw Bwee
menghampiri, akan tetapi Leng Bu telah bangun kembali, wajahnya pucat menahan
sakit dan dia memegangi pundaknya yang luka, sebelah lengannya menjadi lumpuh.
Dailuba juga bangkit berdiri,
tampak darah dari ujung bibirnya dan dia menjura. Hebat sekali engkau,
Coa-enghiong. Biarpun engkau terluka, engkau masih mampu menahan pukulanku!!
Ha-ha-ha, karena Coa-enghiong
terluka, biarlah kita anggap pertandingan tadi berakhir dengan sama-sama dan
mudah-mudahan menjadi jembatan perkenalan di antara kita!! kata Pek-mau
Seng-jin.
Tidak,! Siauw Bwee menjawab
lantang. Kami tetap tidak berkeinginan untuk mengikat tali persahabatan. Kami
hendak pergi dan siapa yang menghalangiku, berarti dia hendak memusuhiku!! Dia
lalu memegang tangan supeknya dan berkata, Marilah, Supek. Kita pergi dari sini
dan jangan melayani mereka yang mabok kekerasan ini!!
Ha-ha-ha, nanti dulu, Nona.
Kalau kalian tidak memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada kami, mengapa
begini angkuh? Kami hanya ingin berkenalan, kalau engkau menolak berarti engkau
menghina kami,! kata Pek-mau Seng-jin sambil menghadang di depan pintu keluar.
Kalau engkau menganggap aku
menghina, habis kau mau apa?!
Taijin, bocah ini lancang
sekali. Biarlah hamba menundukkannya!! kata Dailuba yang tak dapat menahan
kesabarannya lagi menyaksikan sikap Siauw Bwee demikian berani terhadap orang
pertama sesudah Raja Yucen! Dia sudah melompat maju menghadapi Siauw Bwee.
Dara ini maklum bahwa tanpa
memperlihatkan kepandaian, mereka tidak akan mau mundur begitu saja, maka dia
melepaskan tangan Leng Bu dan menghampiri Dailuba.
Kaukira aku takut kepadamu?!
bentaknya.
Dailuba tersenyum mengejek.
Gadis ini hanyalah murid keponakan Leng Bu. Sedangkan Coa Leng Bu sendiri tidak
mampu mengalahkannya, apalagi murid keponakannya yang hanya seorang dara muda?
Nona, aku harus mengaku bahwa
aku kagum sekali menyaksikan keberanianmu. Akan tetapi, engkau bukanlah lawan
kami dan sesungguhnya aku sendiri merasa malu kalau harus bertanding melawan
seorang bocah perempuan seperti Nona. Sedangkan supekmu sendiri yang cukup
lihai tidak mampu mengalahkan aku, bagaimana engkau berani menghadapi aku?!
Tidak perlu banyak cerewet.
Kalau kau berani, majulah!! Siauw Bwee menantang.
Dailuba menjadi marah. Akan
tetapi dia adalah seorang panglima besar, tentu saja dia dapat menahan diri dan
tidak mau menuruti nafsu amarah. Maka sambil tersenyum dia berkata, Baiklah
kalau begitu. Seorang anak bandel seperti engkau ini tentu belum mau mengerti
kalau belum mengenal kelihaianku. Nah, kaujagalah sentuhan ini!!
Sambil berkata demikian,
Dailuba menampar pundak Siauw Bwee dan hanya mempergunakan seperempat bagian
tenaganya saja. Itu pun ia lakukan dengan hati-hati dan perlahan karena
khawatir kalau-kalau tulang pundak nona ini akan remuk terkena tamparannya!
Siauw Bwee menjadi makin
marah. Dia tentu saja tahu bahwa lawannya ini tidak sungguh-sungguh
menyerangnya, dan hal ini selain dianggap sebagai sikap memandang rendah, juga
merupakan penghinaan! Cepat sekali tangannya bergerak dan tahu-tahu Dailuba
berteriak kaget ketika kedua pundak dan kedua lututnya telah kena ditotok oleh
jari tangan dan ujung sepatu nona itu sehingga kedua pasang kaki tangannya
menjadi lumpuh dan di saat selanjutnya, tubuhnya sudah dilemparkan oleh dara
itu dengan menyambar tengannya! Tembok warung itu bobol kena bentur tubuhnya
akan tetapi tubuh yang kuat itu tidak terluka dan begitu dia terbanting,
totokan-totokan itu telah punah dan Si Tinggi Besar telah meloncat bangun.
Merah sekali mukanya dan matanya menjadi merah saking marah. Dia telah dihina
di depan Koksu dan para rekannya!
Keparat! Tak tahu orang
mengalah!! bentaknya sambil menubruk maju.
Siapa minta kau mengalah!
Keluarkan semua kepandaianmu!! Siauw Bwee tersenyum mengejek.
Perasaan malu membuat Dailuba
lupa diri dan memuncak kemarahannya. Belum pernah selamanya dia menerima
penghinaan seperti itu, apalagi dilakukan oleh seorang gadis muda di depan
Koksu! Dia adalah orang kepercayaan dan tangan kanan Koksu, dan semua panglima
tunduk kepadanya! Mana mungkin dia menerima saja dipermainkan seorang gadis
begitu saja? Maka begitu ia menubruk maju, dia memukul dengan pengerahan tenaga
sekuatnya, tangan kiri menghantam ubun-ubun kepala dan tangan kanan menyodok ke
arah pusar. Kedua tangannya melancarkan pukulan maut dan jarang ada lawan
tangguh yang mampu menghindarkan diri dari serangan ini. Bahkan Koksu sendiri
menjadi terkejut dan menyesal mengapa panglimanya itu hendak membunuh gadis
yang demikian lihai, namun dia dapat mengerti akan kemarahan Dailuba dan
memandang penuh perhatian.
Mampuslah! Wuushhh....
siuuutt!! Bentakan Dailuba disusul angin sambaran kedua tangannya.
Haaaiiittt.... yyaaaahhhh!!
Pek-mau Seng-jin sendiri
sampai terbelalak kagum menyaksikan gerakan Siauw Bwee yang asing baginya.
Kedua kaki dara itu bergerak dengan cepat dan aneh, indah sekali seolah-olah
kedua kaki dara itu menjadi roda, bergeser ke sana-sini dengan lincah dan
ringan, namun tepat sekali sehingga dua pukulan maut itu sama sekali tidak
mengenai sasaran.
Padahal dua pukulan itu sukar
sekali dielakkan dan Koksu sendiri maklum bahwa jalan satu-satunya menghadapi
dua pukulan maut itu hanya menangkis dengan pengerahan sin-kang. Betapa mungkin
gadis itu dapat mengelak tanpa meloncat pergi, hanya mengegos ke sana-sini
seolah-olah pukulan itu merupakan pukulan biasa yang dipandang rendah saja?
Juga panglima tinggi besar itu terkejut, namun rasa marah dan penasaran
melampaui kekagetannya dan kemarahan membuat dia tidak mau melihat kenyataan,
tidak menyadarkannya bahwa sesungguhnya dia menghadapi seorang lawan yang jauh
lebih berbahaya daripada Coa Leng Bu, bahkan lebih berbahaya daripada semua
lawan yang pernah ia hadapi sebelumnya! Kemarahan dan penasaran membuat dia
menerjang lagi dengan gerakan cepat dan lebih kuat, menggerakkan kedua
tangannya menyerang bertubi-tubi dan setiap pukulan, tamparan, atau totokan dia
tujukan ke arah bagian-bagian yang mematikan!
Siauw Bwee bukan tidak tahu
akan hal ini. Dia maklum bahwa lawannya sengaja mengirim pukulan-pukulan maut
karena kemarahannya, dan hal ini membuat dia ingin menalukkan orang-orang itu
dengan memperlihatkan kepandaiannya. Dia pun bukan seorang gadis bodoh yang
hanya menuruti nafsu amarah. Dia mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai seorang
Koksu Negara Yucen, dan sudah mendengar bahwa bangsa Yucen pada waktu itu
merupakan bangsa yang besar dan kuat.
Dia dapat menduga bahwa orang
tinggi besar ini tentu bukan orang sembarangan pula, melainkan seorang yang
berkedudukan tinggi di Kerajaan Yucen. Mengingat bahwa mereka yang tadi
berhadapan dengan Coa Leng Bu bersikap gagah dan tidak bermaksud membunuh
supeknya itu, maka kini dia pun hanya ingin mencari kemenangan dan segera pergi
bersama supeknya melanjutkan perjalanan ke selatan, terutama sekali untuk
menyusul suhengnya, Kam Han Ki.
Kini melihat betapa lawannya
menerjang dengan hebat, Siauw Bwee terus menggunakan ilmu gerak langkah kilat
yang ia pelajari dahulu dari kaum lengan buntung, mengelak ke sana-sini
sehingga tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri menyelinap di antara
pukulan-pukulan itu. Makin lama, Dailuba menjadi makin penasaran dan memukul
makin cepat.
Tidak mungkin ada orang hanya
main mengelak saja dari hujan pukulannya, padahal baru sambaran angin
pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Namun, pandang matanya
sampai berkunang ketika lewat tiga puluh jurus dia menyerang, gadis itu hanya
main elak saja dan tak sebuah pun dari pukulan-pukulannya dapat menyentuh ujung
baju gadis itu, apalagi mengenai tubuhnya! Dan makin terheran-heran. Supek
gadis ini tadi harus mengakui keunggulannya hanya dalam belasan jurus saja.
Bagaimana kini gadis ini menghadapi serangan-serangannya sampai tiga puluh
jurus lebih tanpa membalas sama sekali, mempermainkannya seperti seorang dewasa
mempermainkan anak kecil?
Kalau tidak ingat bahwa di
situ ada Koksu dan para rekannya yang menjadi penonton, tentu panglima tinggi
besar ini sudah mengeluarkan senjatanya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dia
lakukan di bawah pengawasan Koksu dan para rekannya karena tentu hal itu akan
membuat dia menjadi makin rendah dan malu. Maka kini ia hanya menggigit bibir
dait melanjutkan serangan-serangannya dengan tenaga sin-kang Thai-lek-sin-kang!
Melihat pukulan-pukulan yang
mengandung hawa sin-kang ini, Siauw Bwee maklum bahwa sudah cukup dia
memperlihatkan kepandaiannya. Dia meloncat mundur, memasang kuda-kuda dan
sengaja menyambut pukulan kedua tangan lawannya tadi. Melihat ini, Coa Leng Bu
terkejut sekali. Dia tahu akan kehebatan ilmu silat murid keponakannya, akan
tetapi menghadapi pukulan-pukulan orang yang bernama Thai Lu Bauw begitu saja,
benar-benar amat berbahaya karena tenaga sin-kang Si Tinggi Besar itu amat
kuat. Sebaliknya, Dailuba girang sekali melihat gadis itu berani menerima
pukulannya tanpa menggunakan langkah-langkah aneh untuk mengelak seperti tadi,
maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam dorongan kedua lengannya itu.
Siauw Bwee tidak berniat
membunuh lawannya, akan tetapi kalau sampai dia tidak berani menerima pukulan
sin-kang ini, tentu orang-orang itu menyangka takut. Oleh karena itu, dia tidak
mengelak, bahkan kini dia mendorongkan kedua lengannya ke depan menyambut
datangnya pukulan jarak jauh yang amat dahsyat ini. Diam-diam dia menggunakan
sin-kang yang dilatihnya bersama Kam Han Ki dan Maya di Pulau Es, sehingga dari
kedua tangannya menyambar hawa dingin sekali yang menyambut hawa pukulan
Dailuba.
Wussshhhh.... desss!!
Mereka berdiri berhadapan
dengan kedua tangan dilonjorkan, jarak antara kedua pasang tangan itu ada dua
kaki, akan tetapi mereka merasa seolah-olah telapak tangan mereka bertemu. Tubuh
Dailuba bergoyang-goyang, kemudian menggigil kedinginan dan tiba-tiba Siauw
Bwee mencelat ke atas sambil menarik kedua lengannya dan.... tubuh Dailuba
terbawa oleh dorongannya sendiri ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya,
jatuh menelungkup! Kalau Siauw Bwee menghendaki, di saat itu tentu saja dia
dapat memukul kepala lawannya dari atas, akan tetapi untuk membuktikan
kemenangannya, dia hanya merenggut penutup kepala lawannya dan meloncat turun
dengan ringan di belakang Dailuba. Panglima tinggi besar ini terengah-engah,
tubuhnya masih terguncang dan menggigil, kemudian melompat bangun dan memutar
tubuh, dengan mata terbelalak memandang Siauw Bwee yang tersenyum sambil
memegangi topi yang tadi berada di atas kepalanya.
Terimalah kembali penutup
kepalamu!! Siauw Bwee berkata sambil melontarkan benda terbuat dari kain itu ke
arah Dailuba. Orang tinggi besar itu menyambar topi dengan tangannya, akan
tetapi.... wushhhh!! benda itu seperti berubah menjadi burung terbang, mengelak
dari sambarannya, melayang ke atas dan jatuh di atas kepalanya.
Hebat....! Ahhh, sungguh
ajaib! Betapa mungkin kepandaian seorang murid keponakan jauh melampaui tingkat
supeknya sendiri? Nona, aku kagum sekali dan marilah kita saling menguji
kepandaian kita. Aku akan merasa gembira sekali berkenalan dengan Nona setelah
kitaa saling mengenal kelihaian masing-masing!! Koksu berkata dan tubuhnya
sudah mencelat ke depan Siauw Bwee.
Hemm, biar akan menimbulkan
geger, sekali ini dia akan memberi hajaran keras kepada orang yang telah pernah
menawan dia bersama sucinya, Maya. Pikiran ini membuat Siauw Bwee menjawab
lantang.
Pek-mau Seng-jin, biarpun aku
masih muda, sudah banyak aku mendengar namamu yang besar.!
Apa? Engkau sudah mengenal
namaku? Jadi engkau tahu siapa aku ini?! Kakek berambut putih itu bertanya,
alisnya berkerut.
Siauw Bwee tersenyum mengejek
sambil mengangguk. Alis putih itu makin berkerut. Celaka, pikir Pek-mau
Seng-jin. Kalau gadis ini sudah mengenalnya, berarti tahu bahwa dia adalah
Koksu dari Yucen, rahasia penyamaran dan perjalanannya telah terbuka! Gadis ini
harus ditarik sebagai sekutunya, atau.... kalau tidak mau, harus dienyahkan
sebagai musuh yang berbahaya! Namun, sikap kakek itu masih tenang saja dan dia
bertanya,
Nona, engkau sudah mengenalku.
Sudah sepatutnya kalau aku mengetahui siapakah engkau yang semuda ini telah
memiliki kepandaian amat tinggi.!
Aku seorang perantau. Sudah
kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi,
kalian memaksa kami untuk bertanding. Kami telah memenuhi permintaan kalian,
hanya karena terpaksa, bukan sekali-kali untuk berkenalan. Nah, kita lanjutkan
atau tidak?!
Ha-ha-ha, pantas saja engkau
angkuh dan tinggi hati, karena memang engkau lihai sekali. Biarlah, kita
main-main sebentar dengan taruhan bahwa kalau engkau kalah, biarpun engkau
tidak mau menjadi sahabat kami, engkau harus memperkenalkan namamu kepadaku.
Bagaimana?!
Aku tidak sudi berjanji
apa-apa. Dengan pertandingan yang kaupaksakan ini, kalau aku kalah, terserah
kepadamu mau berbuat apa. Akan tetapi kalau engkau kalah dan tewas di tanganku,
jangan menyalahkan aku!!
Aduh sombongnya! Baiklah,
Nona. Sudah lama aku tidak ketemu lawan yang setanding. Melihat cara engkau
mengalahkan pembantuku, ternyata engkau cukup berharga untuk menjadi kawanku. Bersiaplah
engkau!!
Majulah!! Siauw Bwee sudah
memasang kuda-kuda dengan kedua kaki tegak, agak terbuka dan kedua tangannya
tergantung lemas di kedua samping tubuhnya, matanya tajam mengawasi lawan dan
seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi serangan yang bagaimanapun
juga.
Melihat cara persiapan dan
kedudukan tubuh dara itu, kembali Pek-mau Seng-jin kagum dan dia tidak berani
memandang rendah. Dara ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali
sehingga dapat bersikap seperti itu, tanpa memasang kuda-kuda teguh seperti
yang biasa dilakukan ahli-ahli silat.
Sambutlah, Nona!!
Pek-mau Seng-jin mulai dengan
serangan pertama. Tangan kirinya bergerak menyambar dari samping menuju ke arah
leher Siauw Bwee. Angin pukulan yang panas sekali menyambar, diikuti oleh
lengan baju yang menampar muka, kemudian dalam detik berikutnya disusul pula
oleh jari-jari tangan yang melakukan totokan-totokan ke arah lima jalan darah
di kedua pundak kanan kiri leher dan tenggorokan! Bukan main hebatnya serangan
ini yang sekali gerak telah mengandung lima serangan. Baru angin pukulan itu
saja sudah amat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan tamparan ujung lengan
baju atau totokan-totokan itu sendiri yang rerupakan inti serangan!
Namun Siauw Bwee tidak menjadi
gentar. Tanpa menggeser kaki, tubuh atasnya melirik ke belakang dan lengan
kanannya yang kecil menangkap dengan berani.
Plakk! Brettt....!!
Pek-mau Seng-jin meloncat ke
belakang dengan mata terbelalak heran. Dia tidak mengenal gerak tangan Siauw
Bwee tadi yang amat cepat dan hal ini tidak aneh karena dara ini menggunakan
ilmu gerak tangan kilat yang merupakan kepandaian khusus dari kaum kaki
buntung! Dengan gerakan kilatnya, sambil menangkis serangan tadi, jarinya dapat
digerakkan dengan pemutaran pergelangan tangan cepat sekali sehingga dari
samping ia berhasil melubangi ujung dengan baju kakek berambut putih itu!
Kau.... apakah engkau dara
perkasa yang telah membunuh panglima dampit dari Kerajaan Sung?!
Siauw Bwee terkejut dan kagum.
Agaknya Koksu Yucen ini mempunyai ban yak mata-mata yang telah menyelundup ke
dalam gedung pembesar Sian-yang sehingga mengetahui pula peristiwa itu.
Kalau betul demikian,
mengapa?! tanyanya dengan tenang.
Aihh....! Nona yang perkasa!
Kita sepaham dan sehaluan! Marilah engkau bekerja sama dengan kami menghadapi
bangsa Mancu yang biadab dan Kerajaan Sung yang sudah hampir roboh!!
Pek-mau Seng-jin, aku tidak
mau mencampuri urusan negara dan perang. Kalau kau tidak ingin melanjutkan
pertandingan gila ini, biarkan aku dan Supek pergi.!
Engkau keras kepala! Apa
kaukira akan mampu menandingi Pek-mau Sengjin? Jaga serangan!!
Kini kakek itu mengeluarkan
seruan keras dan nyaring sekali, seruan yang dikeluarkan dengan tenaga khi-kang
sehingga melengking tinggi dan mengejutkan semua orang, bahkan para pembantunya
hampir tidak kuat bertahan kalau tidak cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk
melawan lengking itu. Pemilik warung dan para pelayannya yang masih
bersembunyi, seketika roboh pingsan! Namun Siauw Bwee tetap tenang dan melihat kini
kakek itu menerjangnya dengan dahsyat, ia cepat mengelak dengan gerakan kakinya
yang lincah sambil balas memukul dari samping dengan pengerahan sin-kang yang
mengandung tenaga Im-kang kuat sekali. Pek-mau Seng-jin menangkis.
Dukkk!! Keduanya terlempar ke
belakang, akan tetapi kalau Siauw Bwee tidak merasakan sesuatu, hanya terpental
saking kuatnya lawan, adalah Pek-mau Seng-jin menggoyang tubuhnya mengusir hawa
dingin yang menyusup ke tulang-tulangnya! Pada saat itu terdengar seruan
nyaring.
Tahan! Di antara sahabat
sendiri tidak boleh bertanding!! Tampak bayangan berkelebat dan Suma Hoat telah
berdiri di tempat itu, memandang kepada Koksu dan Siauw Bwee, kemudian cepat
menjura kepada Pek-mau Seng-jin sambil berkata,
Seng-jin, dia adalah Coa Leng
Bu, suhengku sendiri. Harap jangan melanjutkan perkelahian!!
Pek-mau Seng-jin tertawa
bergelak, Ha-ha-ha, kau salah sangka, Suma-sicu! Kami bukan berkelahi,
melainkan saling menguji kepandaian dan Nona ini benar-benar luar biasa
lihainya. Kiranya masih suhengmu sendiri Coa-sicu ini, dan Nona ini, apakah dia
juga murid keponakanmu?!
Murid keponakan....? Saya
tidak mengenalnya, biarpun kami pernah saling berjumpa.!
Sementara itu Siauw Bwee
terheran-heran melihat pemuda tarnpan yang pernah menalongnya lari dari
Sian-yang. Jadi pemuda yang lihai dan mahir Ilmu Jit-goat-sin-kang itu adalah
sute dari Coa Leng Bu? Dia mengerutkan alisnya dan makin tidak mengerti ketika
mendengar pemuda itu disebut Suma-sicu oleh Pek-mau Seng-jin. Pemuda itu
bernama keluarga Suma! Apa artinya ini? Ketika dia menoleh kepada Coa Leng Bu,
kakek ini menarik napas panjang dan berkata,
Sute, sesungguhnya tidak ada
perkelahian dan biarkan kami berdua pergi lebih dulu. Kalau engkau mengenal
mereka ini, harap jelaskan bahwa kami bukanlah orang yang suka terlibat dalam
urusan negara, sampai jumpa, Sute.! Coa Leng Bu lalu mengajak Siauw Bwee pergi
dari situ dan sekali ini rombongan Pek-mau Seng-jin tidak mencegah mereka.
Setelah keluar dari dusun itu,
Siauw Bwee tidak dapat menahan hatinya. Supek, pemuda itu adalah orang yang
menolongku keluar dari Sian-yang. Benarkah dia itu sutemu?!
Memang begitulah. Tadinya Suhu
Bu-tek Lo-jin hanya mempunyai tiga orang murid, yaitu Twa-suheng Lie Soan Hu
yang menjadi ketua lembah mamimpin orang-orang penderita kusta, ke dua aku
sendiri, dan ke tiga adalah Sute Ouw Teng. Akan tetapi belum lama ini, Suhu
mengangkat seorang murid baru yang biarpun paling muda, namun memiliki ilmu
kepandaian yang hebat. Dia adalah Suma-sute tadi yang sebelum menerima ilmu
Jit-goat-sin-kang dan lain-lain dari Suhu, telah memiliki ilmu kepandaian yang
lebih tinggi daripada kami bertiga. Sungguh tidak kuduga bahwa dia mengenal
rombongan Pek-mau Seng-jin tadi, betapapun juga, kedatangannya menghentikan
bahaya yang men gancam kita. Sekarang aku ingin sekali tahu, bagaimana engkau
mengenal Pek-mau Seng-jin dan siapakah dia sebenarnya?!
Dia itu bukan lain adalah
Koksu Negara Yucen,.!
Aihhhh....!! Wajah Coa Leng Bu
berubah pucat. Pantas saja dia lihai bukan main. Dan Suma-sute agaknya mengenal
balk mereka itu! Apa artinya ini?!
Siauw Bwee menarik napas
panjang. Agaknya aku dapat menduga apa artinya, Supek. Koksu Negara Yucen itu
tentu melakukan penyelidikan dan mencari bantuan orang-orang pandai, mengingat
akan pesatnya gerakan kerajaan itu menyerbu ke selatan. Tadi dia mengajak aku
membantunya ketika mendengar bahwa aku menewaskan Panglima Sung, tentu dia
mengira aku memusuhi Sung dan Mancu. Dan melihat sikap sutemu tadi, aku tidak
akan meragukan kalau dia termasuk di antara orang-orang gagah yang kena
terbujuk untuk bersekutu dengannya.!
Coa Leng Bu mengangguk-angguk.
Hemm, agaknya begitulah. Aku bertemu dengan dia di Sian-yang dan akulah yang
minta dia mencarimu dan memberi tahu bahwa aku menanti di pintu gerbang
selatan. Aku tidak mencampuri urusan pribadinya, namun aku sebagai suhengnya
berhak untuk mengingatkannya bahwa tidaklah baik membantu bangsa asing
memerangi bangsa sendiri.!
Siauw Bwee teringat akan
sucinya, Maya. Mengapa sucinya itu juga membantu pasukan Mancu? Maka dia lalu
berkata,
Dalam keadaan negara kacau
seperti ini, memang banyak orang merasa serba salah, Supek. Kerajaan Sung makin
merosot pamornya, banyak pembesar yang buruk dan jahat. Timbullah Kerajaan
bangsa Yucen dan bangsa Mancu, membuat banyak orang menjadi ragu-ragu dan
timbul harapan baru untuk melihat munculnya kerajaan baru yang akan dapat
mengamankan negara dan memakmurkan kehidupan rakyat. Betapapun juga, tentu saja
aku tidak setuju kalau orang mengharapkan kemakmuran dari penjajahan bangsa
asing!!
Cocok, Khu-lihiap! Demlkian
pula pendapatku, maka kalau aku bertemu dengan dia, akan kuperingatkan dia.!
Supek, siapakah nama sutemu
itu? Aku mendengar tadi disebut Suma-sicu oleh Koksu Yucen.!
Memang dia she Suma, namanya
Hoat.!
Suma Hoat....?! Siauw Bwee
mengerutkan alisnya, mengingat-ingat karena dia seperti pernah mendengar nama
itu.
Apakah engkau sudah mengenal
namanya pula?!
Siauw Bwee mengangguk. Nama
itu tidak asing bagiku.... akan tetapi aku lupa lagi....! Dia benar-benar tidak
ingat lagi, akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda tampan itu masih ada
hubungan dengan Panglima Suma Kiat, musuh besar yang telah menjadi biang keladi
tewasnya ayahnya dan Menteri Kam Liong! Ketika hal ini terjadi, dia masih
terlalu muda dan memang dia tidak pernah memperhatikan atau mendengar keadaan
keluarga Suma Kiat sehingga dia tidak tahu bahwa pemuda berusia tiga puluh
tahun yang telah menolongnya itu bukan lain adalah putera tunggal musuh
besarnya itu!
Mereka melanjutkan perjalanan
dan bermalam di sebuah kota kecil. Kita menanti Sute di sini. Aku ingin sekali
mendengar apakah betul dia menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen.!
Siauw Bwee mengangguk setuju.
Dia pun ingin sekali menyelidiki, apakah hubungan sute dari supeknya itu, yang
mengingat akan kedudukannya terhitung masih susioknya (paman gurunya) sendiri,
dengan musuh besarnya, Suma Kiat!
Sementara itu, setelah
menyadarkan pemilik warung dan mengganti semua kerusakan dengan hadiah banyak,
rombongan Pek-mau Seng-jin mengajak Suma Hoat keluar dari dusun karena mereka
tidak mau menarik perhatian penduduk yang sudah panik dengan adanya
pertandingan di dalam warung tadi. Di dalam hutan di luar dusun itu, mereka
bercakap-cakap.
Memang benarlah dugaan Siauw
Bwee, Suma Hoat telah menjadi kaki tangan Koksu dari Yucen. Seperti telah klta
ketahui, pemuda yang merasa amat menyesal dan berduka karena dia telah membikin
lumpuh Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau melawannya, kemudian makin menyesal
karena dia telah menghina kedua orang bibinya sendiri, yaitu Kam Siang Hui dan Kam
Siang Kui, bersama Im-yang Seng-cu menyerbu markas besar Hoat Bhok Lama di
Pegunungan Heng-toan-san di lembah Sungai Cin-sha. Dia melihat kedua orang
wanita itu tewas dan dia bertemu dengan Bu-tek Lo-jin yang kemudian mengajaknya
membunuh Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, kemudian mengangkatnya sebagai
murid.
Hati Dewa Pemetik Bunga ini
penuh dengan penyesalan akan semua perbuatannya yang lalu, penyesalan yang
timbul setelah dia membuat lumpuh kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Ti
Hosiang. Penyesalan ini membuat dia mengasingkan diri dan tekun berlatih ilmu
silat yang ia peroleh dari Bu-tek Lo-jin yang hanya beberapa bulan saja
mengajarkan ilmu-ilmu silat dan Jit-goat-sin-kang kepadanya, kemudian kakek
aneh itu pergi lagi meninggalkannya. Dengan tekun sekali Suma Hoat menggembleng
diri dengan ilmu-ilmu itu sambil berusaha melupakan kesenangannya, yaitu
bermain asmara dengan wanita-wanita cantik yang membuatnya dijuluki
Jai-hwa-sian.
Gurunya menceritakan kepadanya
bahwa dia menipunyai tiga orang suheng yang tinggal di tebing Lembah Kaum
Kusta. Ketika dia mengunjungi mereka ke sana, dia hanya bertemu dengan Coa Leng
Bu, suhengnya yang ke dua, dan dia enggan menjumpai twa-suhengnya dan
sam-suhengnya ketika mendengar dari ji-suheng ini bahwa mereka itu menjadi
ketua dari kaum liar dan kaum penderita kusta. Apalagi karena ia mendapat
kenyataan bahwa biarpun disebut ji-suheng, kepandaian Coa Leng Bu tidaklah
lebih tinggi daripadanya.
Setelah meninggalkan
ji-suhengnya, Suma Hoat lalu teringat kepada ayahnya. Benar bahwa dia telah
disakiti hatinya, telah diusir tanpa salah, karena bukankah permainan asmara
dengan Bu Ci Goat adalah karena rayuan ibu tirinya itu? Betapapun juga, dia
adalah anak tunggal, dia harus menghadap ayahnya yang sudah tua. Dia harus membantu
ayahnya setelah kini dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat akan
ayahnya, Suma Hoat merasa dirinya makin berdosa dan semua ini adalah gara-gara
wanita! Gara-gara Ciok Kim Hwa!
Kalau dia tidak patah hati
karena Ciok Kim Hwa membunuh diri, tentu dia tidak sampai bentrok dan diusir
ayahnya sehingga kemudian dia membalas dendamnya kepada para wanita dan menjadi
seorang pemerkasa dengan Julukan Jai-hwa-sian! Bahkan kemudian membuat dia
melakukan hal yang amat keji, yaitu membuat Ketua Siauw-lim-pai yang sakti dan
berbudi mulia itu menjadi cacad, lumpuh kedua kakinya. Dia harus menebus semua
dosanya itu, dengan jalan berbakti kepada ayahnya, berbakti kepada negara, dan
berbakti kepada kemanusiaan.
Dengan pikiran inilah Suma
Hoat mencari ayahnya, menahan nafsu berahinya yang kadang-kadang bergejolak
setiap ia melihat wanita cantik, dan akhirnya dia berhasil bertemu dengan
ayahnya, Suma Kiat di kota raja. Akan tetapi, biarpun dia girang sekali
mendapat sambutan gembira dari ayahnya dan ibu tirinya, Bu Ci Goat, di dalam
hatinya dia terkejut karena ayahnya segera memberi tahu bahwa ayahnya diam-diam
telah membuat persekutuan dengan Kerajaan Yucen, dan membuat persiapan untuk
membantua Kerajaan Yucen dari dalam untuk menjatuhkan pemerintah lama! Biarpun
di dalam hatinya terasa panas dan tidak setuju, namun dia tidak mau
mengecewakan ayahnya dan akhirnya dia menjalankan tugas yang diperintahkan
ayahnya untuk menemui Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang sedang
melakukan penyelidikan tentang gerakan tentara Mancu. Dengan membawa surat
ayahnya, Suma Hoat berhasil bertemu dengan Pek-mau Seng-jin kemudian dia malah
menerima tugas penyelundupan ke dalam kota Sian-yang untuk menghubungi kaki
tangan Pek-mau Seng-jin dan menyelidiki keadaan pasukan Mancu yang menduduki
kota itu. Telah ada kata sepakat antara Suma Kiat dan Pek-mau Seng-jin untuk
membiarkan pasukan-pasukan Sung berperang melawan pasukan-pasukan Mancu
sehingga kedua pihak itu akhirnya menjadi lemah dan mudah dihancurkan oleh
pasukan Yucen.
Demikianlah, ketika ia
menyelundup ke Sian-yang, Suma Hoat bertemu dengan ji-suhengnya, Coa Leng Bu,
dan la disuruh membantu dan memberitahukan jalan keluar kepada nona yang
menjadi murid keponakan ji-suhengnya. Suma Hoat berhasil membantu Siauw Bwee
dan begitu bertemu dengan dara itu, jan tung Suma Hoat berdebar keras,
sekaligus dia tertarik seperti sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani!
Ketangkasan dan kelihaian gadis itu, kecantikannya, bentuk tubuhnya, suaranya,
segala-galanya membuat jantung Suma Hoat seperti akan dicopot.
Dia telah banyak berjumpa
dengan wanita cantik, telah banyak mempermainkan wanita, namun belum pernah dia
mengalami getaran jantung seperti ketika bertemu dengan Siauw Bwee, padahal
baru dia lihat sebentar sajadi malam itu, di antara sinar obor. Seolah-olah dia
bertemu dengan Ciok Kim Hwa, bahkan lebih lagi karena dalam pandang matanya,
Siauw Bwee jauh melampaui daya tarik Kim Hwa!
Dia telah jatuh cinta, bukan
cinta berahi seperti kalau dia bertemu wanita-wanita cantik yang dipermainkan
dan diperkosanya, melainkan cinta kasih yang membuat dia ingin selamanya
berdampingan dan hidup berdua dengan gadis itu, menghentikan semua petualangan
asmaranya!
Di dalam hutan kecil, Pek-mau
Seng-jin dan kaki tangannya berunding. Biarkan pasukan Mancu yang kuat itu
menyerbu terus ke selatan,! antara lain Pek-mau Seng-jin berkata, setelah
pasukan-pasukan Mancu jauh meninggalkan induknya, dan tentara Sung mengalami
pukulan hebat, baru kita mengerahkan bala bantuan untuk memotong jalan,
menghancurkan tentara Mancu dan menyerbu terus ke kota raja Sung Selatan.
Suma-sicu, gadis tadi memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Sungguh aku
merasa heran sekali mengapa murid keponakanmu dapat memiliki ilmu kepandaian
yang demikian hebat. Siapakah dia sebenarnya?!
Saya sendiri belum
mengenalnya, Seng-jin,! jawab Suma Hoat sejujurnya. Ji-suheng hanya mengatakan
bahwa gadis itu adalah anak angkat dari Sam-suheng karena itulah maka menyebut
Ji-suheng sebagai supeknya.!
Hemm, kalau saja dia dapat
kita tarik menjadi pembantu, akan menguntungkan sekali. Suma-sicu, dapatkah kau
membujuknya untuk berplhak kepada kita?!
Akan saya coba, Seng-jin.!