Bab 14
Aku tetap tidak percaya bahwa
Suheng telah kalah olehmu.! Ia mengamati wajah Maya yang amat cantik jelita
itu. Dia diam-diam harus mengakui bahwa belum pernah ia bertemu dengan seorang
gadis yang begini cantik jelita dan gagah. Diam-diam ia mulai merasa cemburu!
Kalau benar Suheng menjadi perwira pembantumu, aku lebih percaya kalau dia
lakukan karena dia jatuh cinta kepadamu.!
Wajah Maya menjadi merah, akan
tetapi ia tetap tersenyum dan berkata dengan ejekan yang disengaja, Yan Hwa,
engkau tetap angkuh seperti dahulu. Kalau kau tidak percaya, bagaimana kalau
kita pun mengadakan pertaruhan seperti yang telah dilakukan suhengmu?!
Engkau menantangku?! Sepasang
mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi.
Bukan menantang, murid bibiku
yang manis, melainkan aku mengajak engkau berjuang bahu-membahu, dan untuk
meyakinkan hatimu maka marilah kita mencoba kepandaian, tentu saja kalau kau
berani.!
Singggg....!! Tampak sinar
kilat berkelebat menyilaukan mata ketika Yan Hwa mencabut pedangnya. Jantung
Maya berdebar dan untuk ke sekian kalinya ia merasa terheran-heran mengapa
mendiang bibinya yang terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang sakti dan
gagah perkasa, suka memiliki dua buah pedang seperti yang diwariskan kepada Ji
Kun dan Yan Hwa ini. Pedang di tangan Yan Hwa mempunyai wibawa yang sama dengan
Pedang Iblis Jantan milik Ji Kun.
Engkau menerima pertaruhan
ini?! Dia bertanya.
Yan Hwa mengangkat pedangnya,
tegak lurus di depan dahinya. Maya, aku telah bersumpah demi kehormatan nama
suhu dan subo, pedangku ini hanya akan menghirup darah orang-orang jahat. Baru
sekarang tercabut keluar dari sarangnya bukan untuk membasmi penjahat. Akan
tetapi ketahuilah, sekali pedang ini tercabut, dia tidak akan kembali ke
sarungnya sebelum menghirup darah. Karena itu, katakan bahwa engkau membohong,
bahwa Suheng tidak pernah kaukalahkan, dan aku akan menyimpannya kembali dan
pergi dari sini, akan kupuaskan pedangku dengan darah penjahat di lain tempat
yang kudapatkan.!
Maya tersenyum. Yan Hwa,
engkau tidak memalukan menjadi murid mendiang Bibi, Mutiara Hitam, engkau
seorang pendekar, akan tetapi betapa angkuh watakmu, betapa kejam hatimu. Aku
tidak pernah membohong, dan biarpun aku tidak mamiliki sebatang pedang pusaka
sekeji pedangmu itu, namun aku tidak takut menghadapinya.! Sambil berkata
demikian perlahan-lahan Maya melolos pedangnya dan membuka jubah luarnya yang
ia lemparkan kepada Cia Kim Seng. Bekas penggembala domba ini menerima jubah
dan dia bersama para perwira lain kini mencari tempat yang enak buat menonton
pertandingan yang akan terjadi.
Para perajurit pengawal sudah
menjauh-jauhkan meja kursi di dalam restoran itu sehingga ruangan restoran yang
cukup luas itu kini menjadi sebuah arena pertandingan yang dapat diduga akan
terjadi dengan dahsyat dan seru.
Maya, bersiaplah engkau!!
Sebelum gema suara ini habis, tahu-tahu tubuh Yan Hwa telah berkelebat ke depan
didahului sinar putih berkilat yang menyilaukan mata. Diam-diam Maya kagum.
Kiranya Yan Hwa memiliki gerakan yang lebih cepat dan ringan daripada Ji Kun,
maka ia bersikap hati-hati dan cepat ia mengelak sambil membalas dengan tusukan
pedangnya dari samping. Yan Hwa mengandalkan keampuhan pedang pusakanya maka
dia menyabetkan pedangnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya
dengan maksud merusak pedang lawan.
Bagus!! Maya memuji dan
meloncat tinggi sehingga sinar kilat itu meluncur di bawah kakinya. Dari atas,
jubah Maya membalik, menukik ke bawah dan ujung pedangnya mengancam ubun-ubun
kepala lawan. Hebat bukan main gerakan Maya ini, selain indah juga amat sukar
dilakukan sehingga para perwira pembantunya memuji. Juga Yan Hwa kagum sekali,
akan tetapi watak dara ini tidak ada bedanya dengan watak suhengnya.
Dia tahu bahwa Maya memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi dia tetap tidak dapat percaya kalau
Maya dapat mengalahkan suhengnya, atau dia dengan Pedang Iblis Betina di
tangannya! Maka serangan Maya yang amat berbahaya itu ia hindarkan dengan
merendahkan tubuh lalu menggulingkan tubuhnya ke depan. Ketika serangan Maya itu
luput dan panglima wanita ini sudah berjungkir balik lagi membuat salto dan
kakinya menginjak lantai, sinar kilat pedang Yan Hwa sudah berkelebat lagi,
sinar pedangnya berubah seperti payung, merupakan gulungan yang bundar dan dari
gulungan sinar putih itu menyambar-nyambar kilatan sinar yang panjang dan
mengandung hawa panas!
Maya makin kagum. Harus ia
akui bahwa dalam hal kecepatan gerak dan ilmu pedang, ternyata Yan Hwa ini
tidak kalah oleh suhengnya, bahkan mungkin lebih berbahaya
serangan-serangannya. Maka dengan hati kagum, gembira namun juga waspada dan
mengimbangi permainan lawan dengan gerakannya yang lebih cepat lagi. Dia
berlaku hati-hati, tidak pernah pedang mereka bentrok secara langsung.
Paling-paling hanya bersentuhan sedikit dan bergeseran, namun itu pun sudah
membuat pedangnya mengeluarkan api dan kadang-kadang hampir dapat tersedot dan
menempel! Hanya dengan sin-kangnya yang kuat saja dia dapat mencegah pedangnya
melekat pada pedang lawan.
Mata para perwira, apalagi
para perajurit sudah berkunang-kunang karena silau menyaksikan sinar kilat
pedang Yan Hwa berkelebatan di ruangan itu dan seratus jurus telah lewat tanpa
ada yang tampak terdesak. Hal ini sebetulnya memang disengaja oleh Maya. Kalau
ia mau, dengan sin-kangnya yang amat tinggi dan kuat, tentu saja dia dapat
merobohkan lawannya dengan pukulan yang membahayakan bagi keselamatan Yan Hwa,
namun dia tahu bahwa jika dia mengalahkan Yan Hwa dalam waktu singkat, tentu
hati dara yang angkuh ini akan tersinggung.
Yan Hwa, inikah Siang-bhok
Kiam-sut dari mendiang Bibi? Hebat bukan main....!! Maya cepat mengelak karena
kembali ada sinar kilat menyambar ke arah lehernya.
Singggg! Wuuuusssshhhh!!
Diam-diam Yan Hwa terkejut dan
juga kagum sekali. Kini tahulah dia bahwa Maya benar-benar amat hebat
kepandaiannya, ilmu pedangnya aneh dan dalam hal gin-kang. Maya bahkan
melampaui tingkatnya! Seperti juga Ji Kun, dia terheran-heran mengapa bocah
yang dahulu ikut bersama Panglima Khu Tek San itu kini telah menjadi seorang
yang begini lihai. Tentu Menteri Kam Liong, kakak subonya yang kabarnya lebih
lihai dari subonya itu yang menjadi gurunya.
Maya, engkau, pun hebat! Agak
berkurang ketidakpercayaanku. Akan tetapi aku belum kalah!! kata Yan Hwa yang
sudah menyerang lagi dengan hebat, agaknya dia hendak menguras semua
kepandaiannya untuk mencapai kemenangan.
Maya maklum bahwa untuk
menundukkan orang seperti Yan Hwa ini harus mengalahkannya, maka ia lalu
mengeluarkan suara melengking keras dan tiba-tiba tubuhnya berkelebatan
sedemikian cepatnya sehingga Yan Hwa mengeluarkan seruan kaget dan pandang
matanya berkunang-kunang. Cepat Yan Hwa memutar pedang pusakanya sehingga
tubuhnya terlindung dan terkurung oleh benteng sinar kilat. Menghadapi
pertahanan seperti ini, Maya tak berdaya. Jalan satu-satunya hanya memancing
agar pedangnya melekat, pikirnya. Maka ia mengurangi kecepatannya dan menahan
serangannya. Melihat bahwa gerakan Maya tidak secepat tadi, Yan Hwa juga
berhenti melindungi tubuh dan ia mendapat kesempatan untuk menyerang lagi
dengan tusukan kilat ke dada Maya.
Bagus!! Maya memuji, pedangnya
menangkis dari samping.
Trakk! Pedangnya menempel dan
tersedot oleh Li-mo-kiam, dan melihat kini lawan berani mengadu pedang sehingga
tertempel oleh pedang pusakanya, Yang Hwa menjadi girang sekali dan melanjutkan
pedangnya isang sudah membikin tak berdaya pedang lawan itu untuk menusuk ke
perut. Kesempatan ini yang dipergunakan Maya. Ia melepaskan pedangnya,
membanting diri ke kiri dan sebelum tubuhnya menyentuh tanah ia mengirim
pukulan sin-kang ke arah lengan tangan Yan Hwa yang memegang pedang.
Aiiihhh....! Yan Hwa memekik,
pedangnya yang menempel pedang lawan terlepas, tangannya lumpuh dan tubuhnya
menggigil kedinginan, rasa dingin yang terus menjalar ke dalam dadanya. Ia
maklum bahwa dia telah terkena pukulan sin-kang yang amat kuat dan berbahaya,
maka tanpa mempedulikan sesuatu ia lalu duduk bersila dan mengatur napas.
Maya telah melompat dan
sekaligus menyambar dua buah pedang yang saling menempel itu. Dengan tenaga
sin-kang ia melepaskan pedangnya yang tersedot dan menempel pada Li-mo-kiam,
menyarungkan pedangnya dan mengamat-amati pedang Yan Hwa dengan penuh
kengerian.
Yan Hwa membuka matanya, lega
bahwa lukanya tidak hebat. Kalau dadanya yang
terkena pukulan seperti itu,
agaknya dia akan tewas. Dan tahulah dia bahwa kalau Maya menghendaki dan
menggunakan pukulan-pukulan dahsyat dan sakti seperti itu, tak mungkin dia
dapat melawan sampai ratusan jurus. Kini dia percaya penuh. Jangankan baru dia
atau suhengnya, bahkan mendiang suhunya atau subonya sekalipun agaknya belum
tentu mampu menandingi ilmu kepandaian Maya yang demikian hebatnya.
Maya menghampirinya dan
menyerahkan pedang pusakanya. Yan Hwa menarik napas panjang, menerima dan
menyimpan pedangnya dan berdiri dengan muka tunduk. Maafkan aku, kini aku
percaya sepenuhnya. Suheng dan aku bukanlah tandinganmu.!
Mendengar ucapan yang bernada
kecewa itu Maya berkata, Tidak perlu penasaran, Yan Hwa. Ketahuilah bahwa aku
adalah penghuni Istana Pulau Es, pewaris ilmu Suhu Bu Kek Siansu.!
Terbelalak mata Yan Hwa
memandang dan dalam pandang mata itu kini terkandung kekaguman dan sikap
takluk.
Aahhhh, sungguh aku tidak tahu
diri. Maya, biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu.!
Maya tersenyum girang dan maju
merangkul pundak Yan Hwa. Tiba-tiba mereka berdua menoleh ketika mendengar
suara keluhan. Ketika memandang ke arah para perwira, mereka itu mengeluh dan
menggosok-gosok mata mereka seolah-olah mata mereka sakit dan memang mata
mereka terasa pedih dan gatal karena setelah pertandingan berhenti, mata mereka
masih terus seperti melihat sinar kilat menyambar-nyambar menimbulkan rasa
pedih dan nyeri.
Maya menghela napas, Yan Hwa,
hati-hatilah engkau menggunakan pedangmu. Pedangmu itu di samping pedang Ji
Kun, adalah pusaka-pusaka yang ampuhnya menggila dan kalau kurang hati-hati
atau salah mempergunakannya dapat menimbulkan malapetaka hebat.!
Yan Hwa mengangguk dan dia
lalu menceritakan riwayat kedua pusaka Sepasang Pedang Iblis itu. Mendengar
penuturan ini, Maya bergidik ngeri dan diam-diam ia amat khawatir akan nasib
Yan Hwa dan Ji Kun yang mewarisi sepasang pedang pusaka seperti itu. Namun
karena maklum akan keangkuhan mereka, dia tidak mau berkata apa-apa, baik
terhadap Yan Hwa maupun terhadap Ji Kun kelak.
Para perwira dan perajurit
menjadi makin kagum terhadap Maya, juga menjadi girang karena pasukan mereka
bertambah seorang perwira wanita yang luar biasa lihainya sehingga tentu saja
hal ini membesarkan hati karena berarti kuatnya pasukan mereka.
Pasukan Maut terus bergerak ke
selatan dengan hati-hati karena mereka telah mendekati batas-batas daerah yang
dikuasai oleh Kerajaan Sung dan Yucen. Ketika mendengar pelaporan dari para
penyelidik depan bahwa ada berita di depan, kurang lebih tiga puluh li dari
situ terdapat sebuah barisan besar yang belum diketahui barisan kerajaan mana,
Maya lalu menghentikan pasukannya dan menugaskan kepada Ok Yan Hwa dan Cia Kim
Seng untuk pergi melakukan penyelidikan.
Berangkatlah Cia Kim Seng si
bekas penggembala dan Ok Yan Hwa menunggang kuda melakukan penyelidikan ke
depan. Cia-huciang, karena engkau lebih mengenal daerah ini, biarlah engkau
yang menjadi penunjuk jalan, aku ikut di belakangmu,! kata Yan Hwa di tengah
jalan.
Cia Kim Seng memandang dengan
wajah berseri. Biarpun dalam ilmu silat, wanita ini amat angkuh dan keras hati
tidak mau kalah, akan tetapi dalam hal lain cukup jujur dan berwatak gagah,
maka ia menjawab,
Baiklah, akan tetapi tentang
keselamatanku di jalan, aku sepenuhnya mengandalkan perlindunganmu.!
Jangan khawatir,
Cia-huciangkun aku akan selalu menjaga.!
Mereka membalapkan kuda dan
setelah melakukan perjalanan belasan li jauhnya, mereka tiba di padang rumput.
Dari depan nampak mengebul debu tebal dan tinggi. Mereka menahan kuda dan Cia
Kim Seng mengerutkan alisnya yang tebal sambil memandang ke depan penuh
perhatian. Tak salah lagi, di sana terdapat barisan besar yang sedang
berperang. Entah barisan mana yang agaknya sedang mengundurkan diri ke sini
itu.!
Tiba-tiba Yan Hwa berseru
keras, Awas belakangmu!!
Cia Kim Seng membalikkan kuda
dan pada saat itu terdengar gonggongan anjing yang riuh-rendah. Ketika mereka
memandang, banyak sekali serigala keluar dari padang rumput. Demikian banyaknya
sehingga kuda yang ditunggangi dua orang itu meringkik-ringkik ketakutan.
Kita lari....!! Cia Kim Seng
berteriak.
Jangan! Percuma, kuda-kuda
kita akan dapat disusulnya. Tunggu!! Yan Hwa berseru karena ia melihat
penglihatan yang amat aneh. Di antara serigala-serigala itu, merangkak paling
depan, tampak seorang laki-laki berkepala gundul, hanya memakai celana hitam
sebatas betis yang sudah robek-robek ujungnya. Laki-laki ini merangkak seperti
serigala, dan mulutnya mengeluarkan bunyi menggonggong dan agaknya dia memimpin
barisan serigala itu!
Pergunakan cambuk melindungi
diri, Cia-hu-ciang! Aku akan menangkap manusia serigala itu. Tentu dia
pemimpinnya!! Setelah berkata demikian, Yan Hwa meloncat dari atas kudanya dan
langsung menerkam Si Kepala Gundul.
Manusia serigala itu tiba-tiba
meloncat berdiri, tertawa-tawa dan menyambut datangnya tubuh Yan Hwa dengan
kedua tangan mencengkeram dan mulut dibuka lebar untuk menggigit!
Yan Hwa merasa ngeri, akan
tetapi dia sama sekali tidak menjadi takut dan gugup. Sambutan serangan ini
dapat ia elakkan dan kakinya terayun menendang dari samping.
Desss!! Tendangan kaki Yan Hwa
tepat mengenai lambung laki-laki aneh itu, akan tetapi ternyata dia memiliki
tubuh yang kebal dan kuat sehingga ketika tubuhnya terguling, dia sudah bangkit
lagi dan mengeluarkan suara menggonggong keras. Mendengar suara ini, enam ekor
serigala menerjang maju, akan tetapi dengan mudah Yan Hwa menggerakkan kedua
kakinya, menendangi binatang-binatang itu sehingga terlempar jauh.
Melihat betapa Cia Kim Seng
dikeroyok banyak serigala sehingga repot mengayun pecut ke kanan kiri tubuh
kudanya yang meringkik-ringkik ketakutan dan keadaannya benar terancam bahaya,
Yan Hwa maklum kalau dia tidak cepat bertindak, mereka akan terancam bahaya
maut dan dia merasa enggan untuk menggunakan pedang pusakanya membunuh
binatang-binatang itu! Maka ia lalu miringkan tubuh ketika laki-lakl gundul itu
menerjangnya, dari samplng ia mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah
di pundak yang telanjang. Laki-laki itu mengaduh dan Yan Hwa sudah mencengkeram
tengkuknya.
Cepat perintahkan
anjing-anjingmu mundur, kalau tidak kupatahkan batang lehermu!! Ia mengancam
dan jari-jari tangannya yang halus itu mencengkeram tengkuk seperti sepasang
jepitan baja!
Aduhhh...., ampun.... lepaskan
aku....!!
Lekas perintahkan
anjing-anjing itu mundur atau kau mampus!!
Tiba-tiba laki-laki gundul itu
mengeluarkan suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing ketakutan dan....
serigala-serigala itu lalu menyalak-nyalak dan mundur teratur meninggalkan Cia
Kim Seng!
Dengan muka berkeringat Kim
Seng melompat turun dari kudanya. Buhuh saja manusia serigala itu!! katanya
marah.
Ampun....!! Si Laki-laki
gundul berkata.
Aku mau mengampuni kau, akan
tetapi engkau harus siap sewaktu-waktu membantu pasukan kami kalau kami butuhkan!!
bentak Yan Hwa.
Baik...., baik...., aku
berjanji....!!
Yan Hwa melepaskan
cengkeramannya dan sambil mengeluh laki-laki itu mengelus-elus tengkuknya dan
memandang dengan gentar. Ceritakan siapa kau?!
Aku bernama Theng Kok,
keluargaku habis karena korban perang, dan aku.... sejak kecil bermain-main
dengan serigala-serigala di sini, aku pandai menguasai mereka....!
Hemm, Theng Kok. Kalau kelak
kau suka membantu kami, kau akan kami beri hadiah besar, akan tetapi kalau kau
tidak mau, lihat ini!! Yan Hwa mengayun tangannya ke arah sepotong batu dan
hancurlah batu itu. Muka Theng Kok menjadi pucat dan ia mengangguk-anggukkan
kepalanya yang gundul. Aku menurut.... menurut....!!
Yan Hwa lalu menangkap kembali
kudanya dan melanjutkan perjalanan bersama Cia Kim Seng. Debu yang tampak di
depan mengebul makin tinggi. Mereka membalapkan kuda ke arah debu mengebul itu
dan tak lama kemudian tampaklah oleh mereka pasukan Mancu yang bergerak
mengundurkan diri.
Terjadilah hal yang amat aneh
dan mengherankan hati Ok Yan Hwa ketika mereka berdua bertemu dengan pasukan
Mancu yang berada paling belakang. Pasukan yang dipimpin oleh seorang perwira
Mancu itu begitu bertemu dengan Cia Kim Seng serta-merta menjatuhkan diri
berlutut, dan Sang Perwira berkata,
Pangeran....!!
Lenyaplah sikap Cia Kim Seng
yang biasanya sederhana, kini tampak dia penuh wibawa ketika bertanya,
Siapa yang memimpin barisan
ini?!
Panglima Durbana, Pangeran!!
jawab perwira itu penuh hormat.
Mengapa mundur ke selatan dan
kini mundur lagi ke timur? Apa yang terjadi?!
Ketika kami hendak bergerak ke
pantai timur, kami bertemu dengan barisan besar Yucen sehingga kami terpukul
mundur ke selatan. Kemarin kami bertemu dengan barisan besar Kerajaan Sung dan
setelah bertempur sehari semalam, terpaksa kami mundur....!
Memalukan! Apakah
pasukan-pasukan kita sudah demikian lemahnya sehingga bisanya hanya mundur dan
lari saja? Panggil Panglima Durbana menghadap!!
Baik, Pangeran!! Perwira itu
lalu meloncat ke atas kudanya dan membalap ke depan.
Ok Yan Hwa memandang rekannya!
itu penuh takjub.
Jadi kau.... kau.... seorang
Pangeran Mancu....?!
Cia Kim Seng menggerakkan
tubuh menjura dengan membungkuk setengah badan sambil berkata, Benar,
Ok-lihuciang. Aku adalah Pangeran Bharigan yang sengaja menyamar untuk melakukan
penyelidikan sendiri ke arah timur. Tidak ada waktu untuk bicara panjang, kelak
tentu kujelaskan semua kepada Maya-ciangkun.
Seorang panglima datang
berkuda. Dia segera melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah
kaki di depan Pangeran Bharigan.
Lekas katakan mengapa engkau
mundur menghadapi pasukan Sung!! Pangeran itu menegur dengan suara marah.
Maaf, Pangeran. Terpaksa hamba
menarik mundur barisan karena pihak musuh terlalu kuat, apalagi dipimpin oleh
Jenderal Besar Suma Kiat dan pembantupembantunya yang berkepandaian tinggi.!
Pangeran Bharigan mengelus
dagunya, kemudian menoleh kepada Yan Hwa.
Ok-li-huciang. Harap kau suka
segera memberi laporan kepada Maya-li-ciangkun mengenai keadaan kami yang
memerlukan bantuan segera.!
Baik, Cia.... eh, Pangeran
Bharigan, Ok Yan Hwa meloncat ke atas kudanya dan membalap meninggalkan tempat
itu, Ketika tiba di perkemahan Pasukan Maut, dengan singkat namun jelas dia
menceritakan kepada Maya dan para perwira lain tentang keadaan barisan Mancu, tentang
pihak musuh barisan Sung yang dipimpin Suma Kiat, dan tentang diri Cia Kim Seng
yang ternyata adalah Pangeran Bharigan dari Kerajaan Mancu. Mendengar penuturan
itu, Maya menjadi terheran-heran, juga kaget dan girang. Musuh besarnya, Suma
Kiat, berada di depan!
Bagus! Kita akan berpesta
menghancurkan barisan Sung! Sungguh tidak kusangka bahwa penggembala domba itu
ternyata seorang Pangeran Mancu!!
Pada saat Maya mempersiapkan
pasukannya untuk membantu pasukan Mancu menggempur bala tentara Sung yang dipimpin
oleh Jenderal Suma Kiat, tiba-tiba datang sebuah pasukan kecil, terdiri dari
lima puluh orang. Maya menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan
kecil itu ternyata adalah pasukan yang dipimpin Can Ji Kun yang kembali dari
timur setelah memenuhi tugasnya melapor kepada Panglima Laut Bu Gi Hoat yang
memberontak terhadap Kerajaan Sung.
Hati Maya menjadi tegang dan
memandang penuh perhatian kepada Ok Yan Hwa dan Can Ji Kun, suheng dan sumoi
yang bertemu di tempat itu dan kini berdiri berhadapan saling pandang itu.
Hemm...., kiranya engkau di
sini?! Terdengar Can Ji Kun menegur, pandang matanya tidak pernah melepaskan
wajah sumoinya.
Kalau engkau cukup berharga
menjadi pembantu di sini, mengapa aku tidak?! Ok Yan Hwa menjawab pula,
suaranya mengandung ejekan dan tantangan, namun sinar matanya yang bersinar dan
kedua pipi yang kemerahan itu tak dapat menyembunyikan rasa rindu dan senangnya
berhadapan dengan pemuda tampan itu.
Dua orang ini aneh, pikir
Maya. Untung bahwa saat itu mereka sedang, sibuk menghadapi serbuan ke tempat
musuh maka segala urusan pribadi dapat dikesampingkan. Maya lalu berkata,
Ji Kun dan Yan Hwa, kalian
adalah murid-murid tersayang dari Bibi Mutiara Hitam! Suma Kiat adalah musuh
besar kita karena dialah yang menjadi biang keladinya sehingga Menteri Kam
Liong, uwa guru kalian, tewas secara menyedihkan. Semenjak dahulu, keturunan
Suma selalu melakukan kejahatan, dan kini tiba saatnya bagi kita untuk
membersihkan dunia dari keturunan jahat itu.
Ji Kun, engkau memimpin pasukan
sayap kiri, dan Yan Hwa memimpin pasukan sayap kanan. Biar aku sendiri yang
akan menghadapinya langsung dari depan bersama pasukan-pasukan Mancu. Kalian
berdua jangan ikut menerjang maju karena tugas kalian hanya menjaga kalau Si
Keparat itu melarikan diri. Kalian harus mencegahnya lolos dan begitu bertemu
dengan dia, lepaskan panah api sebagai isyarat.!
Kedua orang suheng dan sumoi
itu mengangguk.
Jangan khawatir, Si Tua
Bangka, keparat Suma Kiat itu tentu akan tewas di tanganku!! kata Ji Kun sambil
meraba gagang pedangnya.
Belum tentu! Agaknya akulah
yang akan berhasil menembuskan pedangku di jantungnya!! Yan Hwa tidak mau
kalah.
Maya tersenyum. Kita sama
lihat sajalah. Hanya, sebagai atasan kalian, aku tidak akan memberi ampun kalau
sampai kalian memberi kesempatan kepadanya untuk lolos.! Setelah melepas
pandang mata penuh wibawa dengan sinar tajam seperti menembus dada mereka, Maya
lalu tersenyum dan berkata, Ji Kun,,
engkau baru datang, beristirahatlah. Aku akan mengatur barisan dan menjelang senja
nanti kita berangkat.!
Ji Kun mengangguk dan
membalikkan tubuh menghadapi Yan Hwa. Kembali mereka itu saling pandang dengan
sinar mata penuh rindu. Maya yang sudah meninggalkan mereka, tiba-tiba teringat
akan pandang mata mereka itu, lalu menengok. Alisnya berkerut dan berbagai
pertanyaan aneh timbul di hatinya ketika ia melihat kedua orang muda itu sambil
berpegangan tangan, bergandeng memasuki tenda Yan Hwa! Jelas sekali sikap
mereka itu menunjukkan bahwa mereka saling mencinta!
Memasuki perkemahan berdua
dengan sikap seperti itu? Hemmm.... diam-diam Maya makin terheran-heran mengapa
di samping menyerahkan Sepasang Pedang Iblis yang sungguh tidak pantas dipegang
pendekar, juga agaknya bibinya, Mutiara Hitam, telah memberi pendidikan batin
yang keliru sehingga kini kedua orang suheng dan sumoi itu agaknya saling
mencinta, bukan seperti saudara seperguruan, melainkan seperti seorang pria dan
wanita. Hemmm.... tiba-tiba Maya merasa betapa mukanya panas. Mengapa dia
merasa tidak senang? Apakah salahnya kalau Yan Hwa dan Ji Kun saling mencinta?
Mereka adalah dua orang muda
yang sama-sama tampan dan cantik, sama-sama gagah perkasa. Sedangkan dia
sendiri...., dia pun jatuh cinta kepada Kam Han Ki, Suhengnya! Ah, betapapun
juga, tidak seperti mereka berdua itu yang secara terang-terangan di siang hari
memasuki perkemahan berdua! Sungguh tidak patut! Itu pelanggaran susila
namanya! Belum menjadi suami isteri, di siang hari, di depan mata semua
anggauta pasukan, memasuki perkemahan untuk bermain asmara! Benar-benar tidak
pantas! Akan tetapi...., apa pedulinya? Maya mengangkat kedua pundak dan
mengusir bayangan kedua orang itu dari dalam kepalanya lalu menyibukkan diri
untuk mengatur barisan yang senja itu juga akan diberangkatkan untuk bersama
barisan Mancu menghantam pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat.
Barisan Mancu sendiri, setelah
melihat kehadiran Pangeran Bharigan yang gagah perkasa dan yang kini langsung
memimpin mereka sendiri, timbul semangat baru, apalagi ketika mendengar bahwa
mereka kini dibantu oleh Pasukan Maut yang sudah amat terkenal dipimpin oleh
panglima wanita bersama pembantu-pembantunya yang lihai. Segera Pangeran
Bharigan yang sudah mengadakan kontak dengan Maya, menyusun barisannya dan
mengatur siasat yang sesuai dengan petunjuk Maya untuk bersama-sama menyerbu
barisan Sung pada malam hari itu.
Bala tentara Sung yang
dipimpin oleh Suma Kiat itu memang kuat. Bukan hanya lengkap peralatan
perangnya, akan tetapi juga besar jumlahnya dan dipimpin sendiri oleh Suma Kiat
yang bukan saja amat tinggi ilmu silatnya, juga amat pandai mengatur barisan
dalam perang. Apalagi, di sampingnya terdapat pembantu-pembantunya yang lihai,
di antaranya yang menjadi pembantu utamanya adalah selir mudanya sendiri, selir
cantik jelita yang amat dicintanya, yaitu Bu Ci Goat yang tak pernah terpisah
dari sampingnya semenjak dahulu tertangkap basah bermain gila dengan puteranya,
Suma Hoat yang kemudian diusirnya.
Bu Ci Goat yang telah mewarisi
ilmu kepandaian Suma Kiat, bahkan memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada
Siangkoan Lee murid tunggal jen deral itu, selain menjadi pembantu utama yang
boleh diandaikan juga merupakan satu-satunya yang dapat menghibur dan
menyenangkan hati Suma Kiat di mana dan kapan saja. Selain selir mudanya ini,
tentu saja orang ke dua yang dapat ia andalkan adalah muridnya sendiri,
Siangkoan Lee yang kini juga merupakan seorang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi.
Semenjak Suma Kiat berhasil
mempengaruhi Kaisar untuk mencelakai orang yang amat dibencinya, yaitu Menteri
Kam Liong sehingga musuhnya itu tewas bersama muridnya, dikeroyok pasukan
pengawal, Suma Kiat merasa hidupnya tidak tenang dan tidak tenteram lagi.
Kebenciannya terhadap Kam
Liong yang sesungguhnya masih keluarganya sendiri adalah kebencian yang timbul
semenjak dia masih muda, timbul perasaan mengiri dan karena dia selalu
mempunyai anggapan bahwa keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang selalu
memusuhinya dan menghalanginya. Padahal Suling Emas adalah kakak ibunya
sehingga keturunan Suling Emas adalah saudara-saudara misannya sendiri. Dia
tidak pernah mau mengerti bahwa keturunan Suling Emas memusuhi perbuatannya,
menentang kejahatannya, bukan pribadinya. Keturunan Suling Emas adalah
orang-orang yang berjiwa pendekar, terutama Menteri Kam Liong, sedangkan dia
selalu mengumbar nafsu dan tidak segan melakukan perbuatan yang amat jahat
(baca cerita MUTIARA HITAM).
Memang demikianlah keadaan
manusia yang belum sadar batinnya, suka sekali untuk dapat mengenal kekurangan
pada diri sendiri. Orang yang belum sadar selalu tinggi hati, terlalu tinggi
menghargai diri sendiri, selalu merasa sebagai orang terbaik, terpandai, dan
segala sifat baik yaitu diawali ter! lagi karena dia mempunyai perasaan lebih
daripada siapa pun di dunia ini. Mereka paling pandai, paling baik, paling
benar karena itu paling patut dianugerahi, paling patut dikasihani, dan
lain-lain.
Orang yang belum sadar
batinnya selalu mengemukakan kebaikan-kebaikan dirinya sehingga dia menjadi
terbiasa dan mabok, tanpa, disadarinya menyeret dia menjadi hamba nafsu
keakuannya, pertimbangan akalnya miring dan budinya digelapkan. Sebaliknya,
manusia yang sudah sadar batinnya akan selalu berhati-hati dalam setiap sepak
terjangnya, setiap kata-katanya, selalu mawas diri dan meneliti diri pribadi
agar setiap perbuatannya tidak akan menyusahkan atau merugikan lain orang hanya
demi keuntungan diri sendiri.
Menilai diri sendiri lebih
dulu yang dianggap jauh lebih penting daripada menilai diri orang lain dengan
kesadaran bahwa sesungguhnya SUMBER SEGALA SESUATU YANG MELANDA DIRI BERADA DI
DALAM HATI SENDIRI. Karena itu, seorang yang sudah sadar batinnya, setiap kali
tertimpa sesuatu hal, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan, selalu
akan menjenguk ke dalam hati sendiri untuk mencari sebab musababnya sebelum mencari
sebab-sebab itu di luar dirinya.
Ketika menteri Kam Liong masih
ada, Suma Kiat yang menjadi jenderal dan menduduki kursi panglima itu merasa
tidak bebas, seolah-olah sepasang mata saudara misannya yang tajam itu selalu
mengikuti dan mengawasinya. Dia selalu beranggapan bahwa kalau Kam Liong sudah
dibinasakan, tentu akan merasa senang dan bebas, merasa tidak ada musuhnya
lagi.
Akan tetapi, setelah keadaan
membantunya, yaitu keadaan yang ditumbulkan oleh hubungan cinta antara Kam Han
Ki dan Sung Hong Kwi, sehingga dia berhasil melenyapkan Menteri Kam Liong yang
dibencinya, bukan kesenangan dan kebebasan yang didapatnya, melainkan
sebaliknya! Kematian Menteri Kam Liong itu membangkitkan kemarahan di hati
banyak pembesar dan terutama di hati orang-orang gagah di dunia kang-ouw
sehingga Suma Kiat malah dimusuhi banyak orang! Sudah banyak orang gagah
berusaha menjatuhkannya, dan biarpun dengan kepandaian dan kedudukannya, dia
berhasil mengalahkan mereka, namun dia selalu merasa tidak tenteram dan tidak aman.
Pemberontakan-pemberontakan
yang timbul karena terutama sekali disebabkan oleh kematian Menteri Kam Liong
membuat Suma Kiat merasa kepalang untuk mundur, bahkan dia mempergunakan
kesempatan itu untuk mencari kedudukan lebih tinggi dan jasa lebih besar di
mata Kaisar, maka dia sendiri yang memimpin pasukan untuk membasmi para
pesnberontak. Di dalam melaksanakan tugas ini pun dia selalu didampingi oleh
selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan, juga oleh muridnya, Siangkoan Lee.
Dengan adanya dua orang pembantu ini, bersama pasukan yang kuat dan besar, dia
merasa agak aman sungguhpun dia selalu berhati-hati meneliti para pembantu di
kanan kirinya kalau-kalau ada di antara mereka yang menjadi pengagum mendiang
Menteri Kam Liong dan merupakan orang berbahaya baginya.
Ketika tiba di perbatasan
utara dan bertemu dengan barisan Mancu, tentu saja Suma Kiat segera mengerahkan
pasukan-pasukannya dan berhasil memukul mundur barisan Mancu ke utara kembali.
Kemenangan besar itu dirayakan oleh Suma Kiat dengan pesta dan pencatatan
pahala bagi para perwira dan tentaranya, dan sehari itu dia sendiri
bersenang-senang dengan Bu Cin Goat selirnya tercinta sambil memberi kesempatan
kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Namun penjagaan tetap dilakukan
dengan ketat dan para penyelidiknya tetap melakukan penyelidikan di sekitar
daerah itu untuk mengawasi gerak-gerik musuh . Tentu saja Suma Kiat yang
memandang rendah pasukan Mancu itu tidak tahu bahwa pasukan yang telah dipukul
mundur itu sehabis menderita kekalahan dari pasukan-pasukan Yucen, kini bangkit
kembali semangatnya karena Pangeran Bharigan telah berada di tengah mereka,
apalagi karena pasukan Mancu ini percaya akan kekuatan Pasukan Maut yang
dipimpin Panglima Wanita Maya yang membantunya dan telah mengatur siasat untuk
menyerbu barisan Sung di malam itu.
Yang didengar oleh Suma Kiat
dari para penyelidiknya hanya bahwa pasukan Mancu kini tidak lagi melarikan
diri, melainkan menghentikan gerakan mereka lari dan kini agaknya sedang
menyusun kekuatan dan membuat perkemahan di lereng bukit. Mendengar itu Suma
Kiat tertawa dan memberi perintah kepada para perwiranya,
Biarkan mereka hari ini. Kalau
kita menyerbu, selain pasukan kita masih lelah juga kedudukan mereka di lereng
membuat mereka kuat dan tentu kita akan mengorbankan banyak perajurit. Biarkan
perajurit-perajurit kita beristirahat. Tentu mereka malam ini akan melakukan
penyerbuan balasan, dan kita akan siap untuk menyambut dan menghancurkan
mereka. Ha-ha-ha!! Setelah memberi perintah, Suma Kiat menggandeng tangan
selirnya memasuki kamar. Sete lah menutupkan pintu kamar, langsung ia memeluk,
memondong dan menciumi Bu Ci Goat penuh nafsu, membawanya ke pembaringan.
Akan tetapi Ci Goat melepaskan
diri dan berkata, Musuh menyusun kekuatan dan ada bahaya mereka menyerbu.
Mengapa engkau hanya memikirkan senang-senang saja? Ini bukan waktunya untuk
kita bersenang-senang.!
Suma Kiat memandang selirnya
yang muda, merangkulnya dan tertawa. Ah, mengapa engkau pusingkan hal itu?
Melawan sekelompok anjing Mancu yang sudah kita pukul mundur, apa bahayanya?
Biarkan mereka mengira bahwa kita lengah, dan biarkan mereka malam ini menyerbu
untuk menemukan maut, seperti sekumpulan nyamuk menerjang api, ha-ha-ha! Ci
Goat, engkau semakin manis saja!! Ia memeluk dan menciumi lagi, dan kini Ci
Goat tidak menolak, bahkan membalas dengan belaian yang dapat memabokkan
jenderal tua itu.
Akan tetapi, sepasang alis
wanita itu agak mengerut, dan dia tidak melayani pencurahan kasih sayang
suaminya dengan sepenuh hati, karena hanya tubuhnya saja yang melayani, akan
tetapi hati dan pikirannya penuh kecewa dan terbayanglah wajah tampan seorang
perwira muda yang sebetulnya selama ini telah direncanakan untuk menjadi
temannya melewatkan malam dingin! Memang, di samping kecerdikan Suma Kiat sebagai
seorang panglima perang, dia memiliki kelemahan, dan menghadapi selir mudanya
ini, dia seolah-olah buta tidak melihat kenyataan betapa selirnya ini hanya
berpura-pura saja puas mempunyai suami yang jauh lebih tua akan tetapi
sebenarnya, secara diam-diam dia cerdik, setiap ada kesempatan, Bu Ci Goat
selalu mencari teman bersenang-senang melewatkan malam dengan perwira-perwira
muda yang jauh lebih muda, tampan dan memuaskan daripada suaminya!
Penyelewengan Bu Ci Goat ini
hanya diketahui oleh Siangkoan Lee yang cerdik. Akan tetapi, orang muda muka
buruk seperti kuda ini masih kalah cerdik oleh Bu Ci Goat dalam hal seperti
itu. Dengan modal wajah cantik tubuh menggairahkan, Ci Goat berhasil membuat
Siangkoan Lee terpeleset ke dalam pelukannya dan menikmati cinta kasih
berahinya! Hal ini bukan dilakukan oleh Ci Goat karena dia suka kepada
Siangkoan Lee, sama sekali bukan. Mana mungkin seorang wanita hamba nafsu
berahi seperti dia tertarik kepada seorang pemuda yang mukanya seperti kuda
itu? Dia sengaja menyerahkan diri kepada Siangkoan Lee karena dia tahu bahwa
murid suaminya ini telah mengetahui rahasia penyelewengannya. Sekali Siangkoan
Lee telah diberi kesempatan bermain cinta dengannya, tentu saja pemuda ini
tidak lagi berani mencoba untuk membuka rahasianya kepada Suma Kiat, karena dia
sendiri merupakan seorang di antara mereka yang berani mencemarkan kehormatan.
Sang Panglima!
Suma Kiat adalah seorang
panglima perang yang cerdik, dan juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi.
Tentu saja dia pun bukan tidak dapat menduga bahwa seorang wanita seperti Ci
Goat, yang pernah mengganggu putera tunggalnya sehingga puteranya itu dia usir,
akan dapat melayani dia seorang diri tanpa jemu. Dia menduga bahwa kalau ada
kesempatan pasti Ci Goat akan melampiaskan nafsu berahinya yang tak kunjung
padam dan puas itu dengan pria-pria muda dan tampan. Akan tetapi, dia tidak mau
peduli asal tidak menyolok di depan matanya!
Memang, seorang pria seperti
Suma Kiat yang tak tahu diri, adalah sebodoh-bodohnya orang. Dia pun menjadi
lengah oleh nafsu-nafsunya, tidak tahu bahwa di saat dia bersenang dengan
selirnya, ada beberapa orang perwiranya yang mengadakan pertemuan rahasia dan
saling berbisik-bisik mengatur rencana. Mereka itu bukan lain adalah para
perwira yang sudah terbujuk oleh tiga orang perwira tinggi, yaitu Ong Ki Bu,
Cong Hai dan Kwee Tiang, tiga orang perwira yang dahulu pernah menjadi rekan
Khu Tek San. dan mereka ini diam-diam mendendam atas kematian Menteri Kam Liong
dan perwira Khu Tek San. Mereka itu hanya menanti saat baik, dan mendengar
betapa pihak Mancu mengadakan persiapan, diam-diam mereka menanti saat itu
untuk mereka pergunakan apabila keadaan memungkinkan.
Kita tinggalkan dulu dua
pasukan yang sudah sama-sama bersiap untuk saling serbu itu dan marilah kita
mengikuti perjalanan dan pengalaman Suma Hoat yang sudah lama kita tinggalkan.
Di dalam hati orang muda yang
tampan wajahnya dan tegap tubuhnya, seorang pria muda yang memiliki
segalagalanya untuk dengan mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita ini terdapat
watak-watak yang saling bertentangan. Mungkin sekali seandainya tidak ada
pukulan batin karena asmara yang telah menghancurkan hatinya, yaitu ketika dia
mengalami kegagalan dalam asmaranya dengan Ciok Kim Hwa, bahkan melihat
kekasihnya membunuh diri, perkembangan dalam watak Suma Hoat akan menjadi lain
sekali. Mungkin dia hanya akan menjadi seorang yang memiliki nafsu berahi besar
dan seorang pria yang tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk bercinta
dengan setiap orang wanita cantik yang suka melayaninya. Dan memang watak
seperti ini telah ia perlihatkan sebelum ia bertemu dengan mendiang Ciok Kim
Hwa. Akan tetapi kegagalan cintanya dengan Kim Hwa, ditambah lagi sikap ayahnya
yang mengusirnya setelah ia melayani rayuan ibu tirinya membentuk watak yang
mengerikan dalam hati pemuda tampan ini.
Dalam urusan lain, Suma Hoat
memiliki watak pendekar, menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas.
Akan tetapi, sekali berhadapan dengan wanita cantik, lenyaplah semua
kependekarannya dan dia berubah menjadi iblis yang amat ganas! Dengan senyum di
bibir dia dapat melihat wanita cantik yang menolak cintanya mati di tangannya,
seolah-olah darah yang mengalir dari tubuh wanita yang dibunuhnya mendatangkan
rasa panas dan meredakan nafsunya, sama dengan kalau wanita itu suka melayani
cintanya! Dan dia akan tertawa terbahak-bahak kalau melihat wanita yang telah
menjadi korbannya itu benar-benar jatuh cinta kepadanya, menangis dan berlutut
memohon agar jangan ditinggalkan. Dia merasa senang sekali meninggalkan wanita
itu menangis, bahkan dia sering kali mengintai untuk melihat gadis-gadis yang
patah hati dan tercemar nama dan kehormatannya itu menggantung diri, minum
racun, atau menusuk perut dengan gunting untuk membunuh diri.
Kekejaman yang melebihi iblis
inilah yang membuat ia di juluki Jai-hwa-sian! Suma Hoat merantau sampai jauh
ke barat, ke utara dan selatan. Dia sendiri tidak sadar bahwa hidupnya sudah
tidak normal lagi, bahwa dia sebetulnya menderita penyakit! Penyakit jiwa yang
timbul karena pengala man-pengalamannya dengan wanita yang menekan batinnya!
Kepatahan hatinya karena cintanya putus, cinta murni yang pertama kali
menyentuh hatinya bersama Ciok Kim Hwa, kemudian pengalamannya yang ke dua
bersama Bu Ci Goat selir ayahnya, mendatangkan rasa kebencian hebat kepada kaum
wanita!
Dia sendiri tidak tahu bahwa
perbuatan-perbuatannya yang keji, yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-sian, yang
sepintas lalu akan dianggap orang sebagai perbuatan yang semata-mata terdorong
oleh nafsu berahinya yang tidak lumrah, sebenarnya adalah perbuatan yang
terdorong oleh dendam dan benci! Dia memperkosa wanita, menyakitkan hati
mereka, membiarkan mereka patah hati dan membunuh diri, bahkan adakalanya dia
membunuh mereka, adalah karena bencinya kepada kaum wanita yang dia anggap
semua mempunyai cinta palsu! Ciok Kim Hwa yang telah membunuh diri itu pun
telah mengecewakan hatinya, maka dia girang melihat wanita-wanita cantik
membunuh diri karena telah diperkosanya dan ditinggalkannya!
Pada waktu Suma Hoat merantau
ke barat ia mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan aneh-aneh sehingga
dibandingkan dengan dulu ketika ia meninggalkan ayahnya, tingkat kepandaiannya
sudah memperoleh kemajuan jauh sekali. Bahkan di antara ilmu yang aneh-aneh itu
dia mempelajari pula ilmunya orang India menaklukkan ular dengan suling
mempelajari pula penggunaan obat-obat dan racun-racun dari sari-sari kembang
dan daun untuk membius wanita dan untuk membuat korbannya mabok dan bangkit
gairah berahinya.
Pendeknya, Suma Hoat yang
telah berjuluk Jai-hwa-sian ini mempelajari banyak macam ilmu yang dianggap
bermanfaat baginya, yaitu ilmu silat dan ilmu yang ada hubungannya dengan
kesukaannya mengganggu wanita. Bahkan dari seorang wanita India tukang sihir
yang selain menjadi gurunya juga menjadi kekasihnya, dia mempelajari cara-cara
untuk merayu dan menjatuhkan hati wanita! Maka ketika ia kembali dari
perantauannya ke barat, Suma Hoat telah berubah menjadi seorang pria tampan
yang sudah matang, lengkap dengan syarat-syarat sebagai Jai-hwa-sian, seorang
play boy! besar yang tiada tandingannya.
Pandang mata Suma Hoat amatlah
tajamnya terhadap wanita. Biarpun dari jarak jauh, dia dapat menentukan berapa
usia seorang wanita, cantik tidaknya, apa keistimewaan, dan cacad celanya hanya
dengan melihat dari balakang saja! Demikianlah, ketika pada suatu pagi ia
memasuki kota Jit-bun dan melewati sebuah restoran, ia segera melihat dua orang
wanita yang amat menarik perhatiannya.
Perutnya mamang lapar dan dia
sedang memilih-milih restoran. Agaknya belum tentu ia akan memasuki restoran
itu kalau saja matanya yang awas tidak melihat dua orang wanita yang sedang
duduk menghadap meja di restoran yang masih sunyi itu. Sekerling pandang saja
ia sudah tertarik sekali melihat dua orang wanita itu yang ia tahu adalah dua
orang gadis cantik yang masih muda dan bertubuh kuat sebagai ahli-ahli silat
tingkat tinggi!
Suma Hoat memasuki restoran
itu dan sengaja duduk di meja yang menghadap ke arah dua orang gadis itu
sehingga dia dapat memandang dan memperhatikan mereka dengan leluasa.
Hatinya makin tertarik. Hemm
dua orang gadis kang-ouw, pikirnya. Pedang mereka diletakkan di atas meja dan
dari cara mereka duduk demikian tegak menunjukkan bahwa dua orang gadis itu
sudah memiliki kepandaian yang lumayan. Ia makin tertarik ketika mendapat
kenyataan betapa kedua orang gadis itu memiliki daya tarik yang berbeda. Yang
seorang, kira-kira berusia dua puluh tahun, berwajah bundar seperti bulan
purnama, pandang matanya tenang dan dalam, sikapnya pendiam, membayangkan
kecantikan lautan di kala senja diterangi matahari senja yang merah, begitu
indah mempesona dan menerangkan hati. Gadis ini berpakaian biru, rambutnya yang
gemuk dan hitam dibelah dua dan diikat di kanan kiri belakang kedua telinganya.
Ibarat bunga, gadis ini adalah bunga teratai yang tenang dan tegak mengambang
di atas air telaga menenangkan hati siapa yang memandang, indah tidak
membosankan.
Adapun gadis ke dua paling
tinggi berusia delapan belas tahun, sifatnya menjadi lawan gadis pertama. Gadis
ini pakaiannya merah muda, wajahnya aga lonjong dengan dagu meruncing manis.
Mulutnya yang kecil tersenyum-senyum, sepasang matanya yang bersinar-sinar
dengan pandang mata tajam menyambar-nyambar seperti kilat, membayangkan
kecantikan yang menimbulkan gairah menggelora, seperti kecantikan lautan di
waktu terbakar matahari pagi yang mulai memanas dan ombak-ombak mulai
menggelora membuih di pantai.
Rambutnya digelung tinggi ke
atas sehingga wajahnya tampak sepenuhnya, manis dan kedua telinganya memakai
anting-anting yang menambah kemanisannya. Gadis itu lincah jenaka dan periang
ibarat bunga dia adalah bunga mawar hitam yang liar berduri, namun harum
semerbak dan kokoh kuat di atas tangkainya, tidak takut serangan angin dan
hujan! Sukarlah bagi Suma Hoat yang memandang mereka bergantian untuk
mengatakan siapa di antara kedua orang gadis yang lebih menarik hatinya.
Keduanya sama cantik jelita, sama manis dan sama kuat daya tariknya sungguhpun
sifat mereka berlawanan.
Melihat seorang pemuda tampan
dan gagah, memandang mereka penuh perhatian, gadis baju biru membuang muka
dengan alis berkerut, akan tetapi gadis baju merah membalas pandang mata Suma
Hoat dengan berani dan penuh tantangan sehingga terpaksa Suma Hoat memanggil
pelayan karena dia tidak ingin gadis baju merah yang tentu berdarah panas itu
memakinya. Pelayan datang dan ia segera memesan makanan dan minuman.
Kedua orang gadis itu saling
berbisik, berbisik perlahan, akan tetapi diam-diam Suma Hoat tersenyum dalam
hatinya karena biarpun bisikan itu tidak akan terdengar orang lain yang berdiri
hanya satu meter jauhnya dari mereka, namun dapat terdengar olehnya yang duduk
dalam jarak lima meter dari mereka. Tidak percuma dia memiliki sin-kang yang
kuat dan bersusah payah melatih diri untuk mempertajam pendengarannya yang
merupakan syarat utama bagi seorang ahli silat tinggi.
Suci, kulihat orang ini bukan
orang sembarangan, kalau bukan seorang pendekar yang berilmu tinggi tentu
seorang penjahat yang berbahaya....! bisik gadis baju merah kepada gadis baju
biru.
Hemm, melihat pandangan
matanya, dia bukan orang baik-baik, Sumoi. Kita harus waspada, dan kalau betul
dia seorang penjahat, kita harus membasminya!! bisik Si Kakak Seperguruan.
Suma Hoat tertawa dalam
hatinya, akan tetapi ia mengambil sikap seolah-olah tidak mendengar dan berteriak
kepada pelayan, Hee, pelayan! Minta tambah araknya, aku suka sekali yang hangat
dan manis!! Ia lalu menoleh ke arah gadis baju merah yang kebetulan memandang
kepadany. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu menjadi merah kedua pipinya,
sedangkan gadis baju biru yang juga memandangnya membuang muka lagi.
Hati Suma Hoat makin tertarik.
Kiranya kakak beradik seperguruannya, pikirnya. Akan tetapi keduanya
benar-benar menarik hatinya. Gadis baju merah itu membayangkan kehangatan dan
kemanisan seperti arak yang diminumnya, sedangkan Si Baju Biru itu
memperlihatkan sikap dingin dan tenang sikap yang akan lebih menggairahkan
kalau sampai berhasil dia tundukkah. Dan dia pasti akan dapat menundukkan
mereka. Pasti!
Jangan pandang dia, Sumoi. Aku
mengenal sinar mata laki-laki seperti itu! Baik dia pendekar maupun penjahat,
yang jelas dia adalah laki-laki yang kurang ajar. Kita sedang melakukan tugas,
dan Suhu berpesan agar kita tidak melibatkan diri dan membawa-bawa
Siauw-lim-pai ke dalam permusuhan. Mari kita selesaikan makan dan melanjutkan
perjalanan agar jangan kemalaman melewati Pegunungan Kwi-hwa-san.!
Baiklah, Suci.!
Kedua orang gadis itu
melanjutkan makan hidangan mereka yang dilayani oleh seorang pelayan. Mendengar
bisikan itu, Suma Hoat tertarik. Kiranya dua orang murid Siauw-lim-pai! Dia
harus berhati-hati. Siauw-lim-pai tidak boleh dibuat main-main! Namun, selama
ini dia hanya mendapatkan gadis-gadis yang lemah, maka munculnya dua tangkai
bunga harum di depan hidungnya yang ternyata adalah murid-murid Siauw-lim-pai
yang gagah perkasa, telah mengusik nafsu berahinya.
Setelah makan, kita mengambil
bekal pakaian di hotel Nam-am kemudian membeli roti kering untuk bekal di
perjalanan,! kata pula gadis baju biru Apakah tidak perlu membeli kuda, Suci?!
Ahh, mana bisa kita begitu
royal, Sumoi? Membeli kuda bukanlah hal yang murah. Pula, kalau kita
menggunakan ilmu lari cepat tidak banyak bedanya dengan menunggang kuda.!
Akan tetapi tidak melelahkan,
Su-ci....!
Hemm, Sumoi. Dari mana engkau
akan mendapatkan uang untuk membeli dua ekor kuda? Kalau bekal uang kita
ditambah perhiasan ditukarkan kuda, habis bagaimana kita akan membeli makanan?
Sudahlah, jangan rewel....!
Suma Hoat bangkit dari
bangkunya, menghampiri pengurus restoran, berbisik-bisik dan mengeluarkan
beberapa potong perak dari sakunya, kemudian pergi meninggalkan restoran,
diikuti pandang mata dua orang murid perempuan Siauw-lim-pai akan tetapi Suma
Hoat sendiri tidak pernah menengok.
Agaknya engkau salah duga,
Suci. Dia bukan orang jahat. Kelihatannya lebih pantas menjadi seorang
pendekar, begitu halus gerak-geriknya seperti seorang pelajar, dan
wajahnya....!
Sumoi!!
Sumoinya tersenyum, akan
tetapi kedua pipinya merah. Suci, kalau tidak salah tahun ini usiamu sudah dua
puluh tahun, bukan? Dan aku sudah delapan belas tahun. Kita sudah dewasa dan
selama bertahun-tahun kita selalu tekun mempelajari ilmu silat. Salahkah kalau
sebagai gadis-gadis dewasa, sekali-kali kita memandang dan memperhatikan
seorang pemuda yang menarik hati? Betapapun juga, kelak kita tentu akan bertemu
jodoh, Suci....!
Hush! Sumoi, memalukan sekali
bicaramu! Sungguh melanggar susila!!
Gadis baju merah menahan
ketawa, menutup mulut dan memandang sucinya dengan mata berseri. Suci, maafkan
kalau aku membantah. Gadis-gadis dewasa merasa tertarik dan membicarakan
seorang pemuda yang gagah dan tampan, mengapa kaukatakan melanggar susila?
Kalau begitu pendapatmu, tentu akan terjadi makin banyak lagi peristiwa yang
menyedihkan seperti dalam dongeng Sam Pek dan Eng Tai! Laki-laki boleh memilih
jodoh, apakah kita kaum wanita hanya dijadikan budak belian, diberikan siapa
saja di luar kehendak kita untuk menjadi isteri orang? Tidak, Suci. Kuanggap
sudah wajar kalau kita pun tertarik kepada pria yang memenuhi selera hati kita
dan....!
Cukup, Sumoi! Agaknya kau
tergila-gila kepada dia tadi, ya? Sungguh tak tahu malu!!
Tergila-gila sih tidak, hanya
aku mengatakan bahwa dia itu seorang pemuda yang gagah tampan dan halus
gerak-geriknya....!
Sudahlah. Mari kita pergi!
Kalau terdengar orang, sungguh memalukan!! Si Gadis Baju Biru lalu bangkit
berdiri, diikuti sumoinya yang tersenyum-senyum memanggii pelayan,
Hitung semua berapa!! kata
Sang Suci dengan suara agak keras karena hatinya mengkal terhadap sumoinya. Dia
mengenal sumoinya yang berwatak jenaka, riang dan lincah, akan tetapi
memuji-muji seorang pemuda tampan benar-benar hal ini dianggap keterlaluan dan
tak tahu malu!
Betapa heran hati kedua orang
gadis itu ketika dengan membongkok-bongkok Si Pelayan berkata,
Sudah dibayar, Ji-wi Siocia.
Semua hidangan sudah dibayar lunas oleh sahabat Ji-wi tadi.
Sudah dibayar? Oleh sahabat
yang mana?! Gadis baju biru bertanya.
Pelayan itu membungkuk-bungkuk
tersenyum. Oleh Kongcu tadi yang mengaku sahabat Ji-wi. Dia baik sekali,
pembayarannya kelebihan banyak akan tetapi dihadiahkan kepada kami....!
Gadis baju biru mengepal
tinju, matanya memancarkan kemarahan, wajahnya agak merah. Akan tetapi sumoinya
menyentuh lengannya dari belakang dan berkata,
Ah, sungguh sahabat kita itu
terlalu sungkan. Marilah, Suci, kalau sudah dibayar, sudah saja.! Ia menarik
tangan sucinya keluar dari restoran itu.
Setan! Dia benar-benar kurang
ajar dan berani mati!! Gadis baju biru mengomel setelah mereka keluar dari
restoran.
Aihhh, mengapa Suci
marah-marah? Orang telah bersikap baik, mengapa tidak bersyukur dan berterima
kasih malah dimaki-maki?! Sumoinya mencela.
Sumoi!! Sucinya membentak
marah dan melototkan matanya yang bening. Apakah harga diri kehormatanmu hanya
semurah harga makanan itu?!
Eh-eh.... mengapa Suci berkata
demikian? Dia membayar makanan secara diam-diam, sedikit pun tidak mengeluarkan
ucapan dan perbuatan yang kurang ajar! Bagaimana Suci menyebut-nyebut soal
harga diri dan kehormatan?!
Sucinya menghela napas
panjang. Sumoi, biar usiamu sudah delapan belas tahun, namun engkau selalu
terkurung dan tidak ada pengalaman. Engkau tidak tahu betapa bahayanya kaum
pria dengan sikap manis mereka. Hati-hatilah Sumoi, kalau engkau tidak
membentuk benteng baja di luar hati dan perasaanmu, engkau akan mudah tergelincir
oleh licinnya sikap manis pria.!
Suci....!
Sudahlah! Mari kita ke hotel!!
Akan tetapi ketika mereka
berdua tiba di hotel, mereka menghadapi keanehan ke dua yang membikin Sang Suci
makin mendongkol akan tetapi Sang Sumoi makin girang. Di hotel ini, tidak hanya
kamar hotel dibayar oleh sahabat! itu, malah telah tersedia dua ekor kuda besar
yang dihadiahkan oleh sahabat! itu kepada mereka! Gadis baju biru hendak
marah-marah, akan tetapi sumoinya membisikkan bahwa kalau Sang Suci
marah-marah, maka tentu akan menarik perhatian orang dan bukankah hal itu akan
lebih memalukan lagi?
Kita terima dengan wajar dan
semua orang akan menganggap hal itu wajar pula, karena apakah anehnya kalau
seorang sahabat baik menghadiahkan dua ekor kuda? Pula, bukankah perbuatan-perbuatannya
itu kini meyakinkan kita bahwa dia tidak mengandung niat buruk?! Hemm... malah
makin curiga aku kepadanya, Sumoi.!
Seorang pelayan hotel
menghampiri mereka dan memberi hormat. Ji-wi Siocia, Kongcu sahabat Ji-wi tadi
meninggalkan sepucuk surat kepada Ji-wi.! Ia menyerahkan sebuah sampul kepada
mereka. Gadis baju biru menerima sampul dengan alis berkerut.
Wah, sampulnya berbau harum!!
bisik Sumoi tersenyum dan hal ini menambah kemengkalan hati sucinya yang
merobek ujung sampul dengan gerakan kasar lalu mencabut keluar sehelai kertas.
Tulisan yang terdapat di kertas itu amat indah, dan hanya merupakan surat yang
singkat :
Sebaiknya menunggang kuda agar
tidak kemalaman lewat Kwi-hwa-san. Harap Ji-wi Li-hiap berhati-hati kalau
sampai di sana, karena di Kwi-hwa-san terdapat gerombolan perampok yang lihai.
Teriring hormatnya
Sahabat Ji-wi.
Gadis baju biru itu
merobek-robek surat dan sampul sampai berkeping-keping dan wajahnya menjadi
merah. Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Hemm, hendak kulihat saja
sampai di mana puncak kekurangajarannya!!
Biarpun berkata demikian, dia
tidak menolak ketika sumoinya mengajak dia melanjutkan perjalanan dengan
menunggang kuda pemberian Si Pembuat Surat itu. Setelah membeli bekal roti
kering, mereka lalu membalapkan kuda keluar kota menuju di mana Puncak
Pegunungan Kwi-hwa-san tampak tertutup awan.
Kedua orang gadis itu bukanlah
gadis-gadis sembarangan. Yang berbaju biru, sang suci, bernama Liang Bi,
sedangkan sumoinya bernama Kim Cui Leng, keduanya adalah murid-murid pilihan
dari Ketua Siauw-lim-pai di waktu itu, yaitu Kian Ti Hosiang yang amat lihai!
Biarpun baru selama lima tahun mereka digembleng oleh Kian Ti Hosiang, namun
ilmu kepandaian kedua orang gadis ini amat lihai maka mereka mendapat kepercayaan
Kian Ti Hosiang untuk mewakilinya mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil dari
perkumpulan Beng-kauw di selatan.
Tujuan mereka adalah
Tai-liang-san di mana terdapat wakil partai Beng-kauw dan Ta-liang-san terletak
di sebelah barat Kwi-hwa-san sehingga perjalanan mereka sudah dekat. Paling
lama tiga hari lagi mereka akan tiba di tempat tujuan. Akan tetapi, peristiwa
pertemuan dengan Pemuda tampan gagah itu membuat hati Liang Bi merasa tidak
enak sungguhpun sumoinya kelihatan gembira dan selalu memuji-muji kebaikan hati
pemuda tampan itu.
Menjelang senja mereka tiba di
Pegunungan Kwi-hwa-san yang kelihatan sunyi sekali.
Untung kita berkuda sehingga
sebelum gelap tiba di sini, Suci. Kita harus berhati-hati,! kata Cui Leng yang
teringat akan isi surat pemberi kuda.
Huh, siapa percaya kepada
obrolan si pembual itu? Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Biar dia
muncul, akan kubayar lunas kelakuannya terhadap kita!! jawab Liang Bi marah.
Eh, eh....! Kalau engkau
hendak membayar lunas, berarti kita harus mengganti uang makanan, hotel dan
harga kedua ekor kuda ini. Mana uang kita cukup, Suci?! Muka Liang Bi menjadi
merah. Bukan itu maksudku. Yang kubayar adalah kelancangannya dan
kekurangajarannya, kubayar dengan makian, kalau perlu kuhajar dia!!
Awas, Suci....!! Cui Leng
tiba-tiba berseru dan tangannya menangkap sebatang anak panah yang meluncur ke
arah dadanya. Akan tetapi, tanpa diperingatkan pun, Liang Bi sudah bergerak
cepat dan tangan kirinya sudah pula berhasil menangkap sebatang anak panah yang
menyambarnya.
Tiba-tiba terdengar suara
bercuitan nyaring dan belasan batang anak panah menyambar ke arah kuda
tunggangan mereka! Dengan anak panah rampasan, kedua orang dara perkasa ini
menangkis, akan tetapi tidak urung ada anak panah yang menancap di perut kuda
mereka. Keduanya berseru keras dan melompat ke atas, berjungkir-balik dan turun
ke atas tanah sambil mencabut pedang. Dua ekor kuda itu roboh dan berkelojotan.
Dari depan terdengar sorakan dan muncullah dua puluh orang lebih, berlari-lari
ke arah mereka.
Kau masih tidak percaya,
Suci?! Cui Leng berkata, teringat akan bunyi surat.
Namun sucinya menjawab kaku,
Ini tentu perbuatan Si Laknat itu. Kalau muncul gerombolan perampok ini, tentu
dialah kepalanya!!
Akan tetapi setelah gerombolan
perampok yang terdiri dari dua puluh delapan orang, ternyata bukan dipimpin
pemuda tampan yang dicurigai, melainkan dikepalai oleh dua orang laki-laki
tinggi besar yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar, bersenjata golok
besar di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri. Adapun semua anggauta
perampok bersenjata golok besar, di pinggang mereka tampak gulungan tali hitam.
Tidak tampak pemuda tampan di antara mereka.
Ha-ha-ha-ha! Suheng! Sungguh
untung anak panah kita tadi tidak melukai mereka. Kiranya mereka adalah dua
orang nona yang begini denok, sayang kalau terluka. Hari ini kita mendapat
untung besar, kita berdua akan memperoleh seorang satu, ha-ha-ha!! Perampok ke
dua yang bertahi lalat di ujung hidungnya tertawa.
Kau benar, Sute. Sudah lama
kita menjadi duda, dan dua orang nona ini patut menjadi isteri kita. Eh, dua
orang nona yang jelita, kalian siapakah dan hendak ke mana? Jangan takut, kami
tidak akan mengganggu kalian, bahkan hendak mengangkat kalian menjadi isteri
yang tercinta dan hidup mewah di Puncak Kwi-hwa-san,! kata perampok ke satu
yang matanya merah.
Keparat yang bosan hidup!! Cui
Leng membentak dan menudingkan pedangnya. Jangan sembarangan membuka mulut
besar yang berbau menjijikkan! Buka lebar-lebar kedua mata dan telingamu. Kami
suci dan sumoi adalah murid-murid Ketua Siauw-lim-pai! Kalian telah lancang
tangan membunuh kuda kami, hayo kalian ganti dengan kedua telinga kalian.
Buntungkan daun telinga kalian dan kami akan mengampuni jiwa anjing kalian!!
Ha-ha-ha-ha! Yang galak ini tentu
sumoinya. Wah, cocok dengan aku, Suheng, aku suka yang liar dan panas. Biar
sucinya itu untukmu, lebih cocok.!
Benar, Sute. Aku lebih suka
yang tenang hemm...., tenang menghanyutkan. Ha-ha-ha!!
Monyet busuk! Kalian
benar-benar sudah bosan hidup!! bentak Cui Leng.
Sumoi, perlu apa banyak bicara
dengan cacing rendah ini? Kita basmi mereka!! kata Liang Bi yang sudah
menerjang maju diikuti sumoinya yang sudah marah sekali.
Akan tetapi sambil tertawa,
dua orang kepala rampok itu meloncat ke belakang, jauh dari mereka dan memberi
aba-aba dengan suara nyaring kepada anak buahnya yang cepat mengurung dua orang
gadis itu, Dengan sikap tenang Liang Bi dan Cui Leng memasang kuda-kuda dan
memperhatikan gerak-gerik para pengepung mereka yang sudah membuat lingkaran
mengelilingi mereka. Dengan pedang melintang di depan dada, tangan kiri
diangkat tinggi ke atas kepala berdiri mengadu punggung, kedua orang gadis itu
merupakan dua orang pendekar wanita yang amat berbahaya, dan hal ini agaknya
dimengerti oleh dua orang kepala perampok maka mereka tidak berani melayani
secara langsung melainkan menyuruh anak buah mereka mengeroyok.
Andaikata dua puluh delapan
orang anak buah perampok itu mengeroyok secara liar dengan senjata mereka itu
akan mudah dibasmi oleh Liang Bi dan Cui Leng. Akan tetapi kiranya dua orang
kepala rampok itu adalah orang-orang kasar yang memiliki kepandaian tinggi
sehingga anak buah mereka pun terlatih, bahkan pandai membentuk barisan yang
kini mulai mengelilingi dua orang dara perkasa itu.
Atas perintah dua orang kepala
rampok, anak buah mereka kini melolos gulungan tali hitam. Kembali dua orang
pemimpin itu meneriakkan perintah dan tiba-tiba tampak sinar hitam melayang
dari sekeliling dua orang gadis itu. Kiranya para anak buah perampok itu telah melontarkan
tali hitam ke arah mereka dan tali-tali itu akan melibat tubuh mereka berdua.
Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan cepat mereka memutar pedang
menyambut. Beberapa helai tali hitam terbabat putus, akan tetapi ada yang
menyambar ke arah kaki dan tubuh mereka sehingga terpaksa keduanya meloncat ke
sana ke mari sambil memutar pedang.
Biarpun tidak ada tali yang
dapat membelit tubuh mereka, namun mereka menjadi terpisah dan segera dua puluh
delapan orang itu terpecah menjadi dua rombongan, masing-masing empat belas
orang mengurung Liang Bi dan Cui Leng! Sehelai tali melibat kaki Cui Leng.
Pemegang tali tertawa girang akan tetapi suara ketawanya berubah pekik
ketakutan ketika tubuhnya melayang ke udara karena dara ini menggerakkan
kakinya yang terbelit tali sedemikian kuatnya sehingga pemegangnya terbawa
melayang ke atas dan terlempar ke arah dara ini yang menyambut dengan babatan
pedangnya Crokkk!! Perampok itu roboh dan mati seketika karena pinggangnya
hampir putus!
Mulailah para perampok itu
menerjang dengan golok mereka dan dua orang dara perkasa itu menggerakkan
pedang mengamuk. Biarpun para perampok itu rata-rata pandai mainkan golok,
namun menghadapi Liang Bi dan Cui Leng, sebentar saja enam orang roboh tak
dapat bangun kembali sedangkan beberapa orang lagi terlempar kena tendangan dan
merangkak bangun lagi sambil mengaduh-aduh. Kacau-balaulah keadaan para
pengeroyok, namun mereka masih mengeroyok penuh semangat karena kini dua orang
pimpinan mereka maju sendiri dan ikut mengeroyok.
Perampok mata merah melawan
Liang Bi dibantu belasan orang anak buahnya, sedangkan perampok bertahi lalat,
sutenya menghadapi Cui Leng juga dibantu belasan orang. Pertandingan hebat dan
mati-matian terjadi dan ternyata bahwa dua orang kepala rampok itu memiliki
kepandaian yang lumayan, terutama sekali cambuk mereka yang melecut-lecut di
atas kepala lawan membuat kedua orang gadis itu harus bersilat dengan
hati-hati. Selain kelihaian cambuk mereka, juga senjata golok kedua orang
kepala rampok ini berat sekali, ditambah tenaga mereka yang seperti gajah
membuat dua orang pendekar wanita Siauw-lim-pai mempergunakan gin-kang untuk
mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan pedang merobohkah lagi beberapa
orang anak buah perampok. Darah mulai muncrat ke sana-sini membasahi rumput dan
dua orang dara perkasa itu mengamuk dengan hebat, tidak mau berhenti sebelum
membasmi semua perampok itu.
Setelah mendapat kenyataan
bahwa dua orang wanita yang tadinya hendak mereka tangkap hidup-hidup itu amat
lihai, nafsu berahi kedua orang kepala rampok berubah menjadi kemarahan
meluap-luap dan kini mereka menyerang untuk membunuh. Namun, Liang Bi dan Cui
Leng tidak menjadi gentar dan pedang mereka berubah menjadi sinar
bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan amat berbahaya karena setiap orang
pengeroyok yang berani terlalu dekat tentu akan roboh disambar pedang.
Pengepungan menjadi mengendur dan mereka hanya berani menyerang dari jauh,
bahkan tidak berani menyerang secara langsung dari depan. Kecuali dua orang
kepala rampok yang memutar-mutar cambuk mengeluarkan angin yang berbunyi
nyaring bercuitan.
Tiba-tiba dua orang dara
perkasa itu menjerit dan terhuyung. Paha kiri Lian Bi dan pundak kanan Cui Leng
terkena senjata rahasia yang berupa jarum dengan ronce merah. Mereka tidak tahu
siapa yang melepas senjata rahasia secara demikian lihai, datangnya dari atas
dan tak tersangka-sangka sehingga mereka yang datang menghadapi pengeroyokan
itu tidak dapat mengelak lagi. Liang Bi yang terluka pahanya, kini melawan
sambil agak terpincang-pincang sedangkan Cui Leng terpaksa memindahkan pedang
ke tangan kiri karena lengan kanannya terasa panas dan kaku! Para perampok
tidak melihat datangnya senjata rahasia itu, mengira bahwa dua orang gadis itu
menjadi lelah. Mereka mengepung semakin ketat sambil berteriak-teriak.
Tangkap mereka hidup-hidup!!
teriak kedua orang kepala perampok sambil mendesak terus.
Liang Bi, dan Cui Leng kini
menjadi repot. Kalau pihak perampok dapat melepas senjata rahasia demikian
lihainya, berarti mereka akan celaka. Untuk mencegah dua orang kepala rampok
itu menyerang dengan senjata rahasia lagi, mereka memaksa diri bergerak cepat
meloncat ke sana-sini di antara para pengeroyok sehingga membahayakan
penyerangan senjata rahasia mengenai kawan sendiri. Biarpun sudah terluka,
namun mereka masih sempat merobohkan masing-masing dua orang anak buah perampok
lagi, namun keadaan mereka makin payah karena luka jarum itu benar-benar
menimbulkan rasa panas yang terus menjalar ke seluruh tubuh mereka, sebagai
ahli-ahli silat tingkat tinggi, dapat menduga bahwa tentu saja senjata rahasia
itu mengandung racun berbahaya, maka tentu saja mereka mulai merasa khawatir
sekali.
Tiba-tiba terdengar suara
melengking seperti suling dengan lagu yang amat aneh, makin lama makin keras.
Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan disusul robohnya beberapa orang
anggauta perampok.
Ular....! Ular....!!
Dua orang kepala rampok itu
membelalakkan mata dan terkejut bukan main ketika melihat puluhan ekor ular
berbisa telah berada di situ dan dengan ganas menyerang anak buah mereka!
Ketika mereka memandang, tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda tampan yang
dengan tenangnya meniup sebatang suling yang bentuknya aneh. Mengertilah mereka
bahwa laki-laki muda itulah yang menggerakkan ular-ular itu dengan suara
sulingnya. Sambil berseru marah keduanya meloncat ke arah laki-laki itu dengan
cambuk dan golok di tangan.
Tar! Tar!! Dua batang cambuk
menghantam kepala laki-laki itu, namun dengan tenang laki-laki itu mengulur
tangan kiri, menangkap kedua ujung cambuk dan sekali renpgut kedua batang
cambuk, itu putus tengahnya! Dua orang kepala rampok makin marah, golok mereka
membacok, namun pemuda itu hanya menggeser kaki dan dua batang golok itu luput,
lalu tiba-tiba tampak sinar berkelebat dua kali dan robohlah dua orang kepala
rampok dengan dada terbuka mengucurkan darah, sedangkan pemuda yang melakukan
semua itu dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan tetap memegang suling yang
ditiup, kini dengan tenangnya menyimpan kembali pedang yang tadi ia pergunakan
membunuh dua orang kepala rampok itu.
Liang Bi dan Cui Leng melihat
bahwa peniup suling itu bukan lain adalah Si Pemuda Tampan yang telah mengaku
sahabat mereka! Cui Leng berseru girang, akan tetapi Liang Bi mengerutkan
alisnya. Betapapun juga, kedua orang dara perkasa ini mengamuk lebih hebat
sehingga dalam, waktu sebentar saja, robohlah semua gerombolan perampok, tidak
ada seorang pun yang dapat lolos, sebagian roboh oleh pedang kedua pendekar
wanita ini, sebagian lagi oleh sebagian ular-ular yang mengamuk.
Pemuda yang bukan lain adalah
Suma Hoat itu, menghentikan lagu! sulingnya dan meniup suling dengan suara
meninggi dan pendek-pendek. Ular-ular itu merayap pergi seolah-olah diusir oleh
bunyi pendek-pendek ini dan sebentar saja tidak tampak seekor pun ular di situ.
Adapun Liang Bi, dan Cui Leng,
cepat-cepat menjauhkan diri ke tempat yang bersih, duduk bersila dan
mengerahkan sin-kang untuk melawan racun yang menjalar ke tubuh mereka melalui
luka di tubuh yang terkena senjata rahasia.,
Syukur bahwa Ji-wi selamat.
Memang perampok-perampok di sini amat berbahaya,! terdengar Suma Hoat berkata.
Liang Bi dan Cui Lang membuka
mata, yang pertama memandang dengan alis berkerut, yang kedua dengan mata
berseri.
Kalau tidak cepat engkau
datang bersama barisan ularmu yang hebat, tentu kami telah tewas, sobat baik!!
kata Cui Leng tersenyum lalu menggigit bibir menahan rasa sakit.
Liang Bi makin tak senang,
akan tetapi ia pun cepat berkata, Terima kasih atas pertolongan Kongcu.!
Suma Hoat tentu saja melihat
perbedaan sambutan ini dan ia tersenyum, senyum yang khas dipelajarinya untuk
menundukkan hati wanita-wanita muda. Ia melihat sinar kagum dan gembira di mata
Cui Leng, akan tetapi Liang Bi tetap memandang dingin. .
Perampok-perampok ini
mempunyai sarang di dalam hutan, tak jauh dari sini. Marilah Ji-wi beristirahat
di sana.!
Cui Leng sudah hendak
menjawab, akan tetapi Liang Bi mendahuluinya, Terima kasih, tidak usahlah. Kami
akan beristirahat di sini dan menyembuhkan luka....!
AihMhh....! Ji-wi terluka....?
Aduh celaka....! Itu adalah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)! Berbahaya
sekali!! tiba-tiba Suma Hoat berseru.
Liang Bi menjawab dingin,
Tidak mengapa, Kongcu Kami sanggup mengobatinya dengan sin-kang....!
Wah, mana bisa?
Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan! Racun Ang-tok-ciam amat lihai.
Biarpun dapat dilawan dengan sin-kang dan tidak sampai merampas nyawa, namun
akibatnya akan membuat muka menjadi bopeng dengan totol merah yang tidak dapat
diobati lagi. Coba Ji-wi rasakan, benar tidak. Bukankah di tempat yang terkena
luka itu terasa gatal-gatal dan di sekitar kelilingnya kaku dan rasa panas
menjalar naik perlahan dari situ dan pertama-tama rasa panas itu menjalar naik?
Bagi orang yang tidak mempunyai sin-kang, tentu, akan tewas dalam waktu dua belas
jam. Bagi Ji-wi yang memi liki sin-kang tinggi, akan dapat menyelamatkan nyawa,
akan tetapi hawa panas yang naik ke atas itu akan keluar dari lubang-lubang
kulit muka dan menimbulkan totol-totol merah! Marilah ikut bersamaku ke sarang
perampok, dan aku akan mengobati Ji-wi.!
Suci....! Cui Leng memandang
sucinya dengan wajah membayangkan kengerian mendengar betapa racun jarum
beronce merah itu akan membuat wajahnya yang cantik menjadi bopeng dengan
totol-totol merah!
Akan tetapi, dengan sikap
dingin Liang Bi menggeleng kepala dan berkata kepada Suma Hoat, Terima kasih
atas kebaikanmu, Kongcu. Akan tetapi kami, akan beristirahat di sini saja dan
mengobati sendiri luka-luka kami.!
Suma Hoat menarik napas
panjang, menggerakkan kedua pundak dan berkata, Agaknya Ji-wi Li-hiap merasa
curiga kepadaku dan menerima salah maksud baikku. Maafkan kalau aku telah
berlaku lancang dengan melakukan pembayaran dan membelikan kuda yang tidak ada
artinya dan yang kumaksudkan hanya untuk bersahabat itu. Tentu saja aku tidak
dapat memaksa, akan tetapi.... aku akan menanti di dalam hutan, di bekas rumah
perampok kalau-kalau Ji-wi Lihiap berubah pikiran dan suka kuobati agar racun
itu tidak mengakibatkan cacad pada muka Ji-wi. Selamat berpisah.! Ia lalu
membalikkan tubuh dan meninggalkan kedua orang gadis itu. Sebentar saja ia
sudah lenyap karena cuaca mulai gelap, bayangannya menyelinap ke dalam hutan
tak jauh di depan.
Suci, engkau sungguh
keterlaluan! Orang berniat baik akan tetapi engkau selalu menolak. Bagaimana
kalau muka kita menjadi bopeng?! Cui Leng segera menegur kakak seperguruannya
setelah bayangan pemuda itu lenyap.
Liang Bi menoleh ke arah
adiknya. Cui Leng-sumoi, apa artinya muka bopeng bagi seorang gagah? Kalau
hanya bopeng mukanya, tidak mengapa, asal jangan bopeng dan cacad hatinya. Aku
masih tidak percaya kepada orang itu, Sinar matanya mengandung kepalsuan.!
Suci, aku....!!
Cukup, Sumoi! Mengapa sejak
bertemu dengan laki-laki itu engkau selalu membantah kata-kataku? Kita harus
cepat bersamadhi menghimpun hawa murni dan mempergunakan sin-kang untuk melawan
racun!! Setelah berkata demikian, Liang Bi sudah melanjutkan samadhinya dan
memejamkan kedua mata, sebentar saja dia sudah tenggelam ke alam samadhi,
napasnya panjang-panjang teratur seperti napas orang tidur nyenyak.
Cui Leng berusaha untuk meniru
sucinya, namun ia selalu gelisah dan tak dapat tenang. Sukar baginya untuk
mengumpulkan panca indera memusatkan kemauan dan segala perasaan untuk
menghimpun hawa murni. Bayangan wajah tampan Suma Hoat selalu tampak, terutama
sekali ucapannya tentang cacad bopeng yang mengancam mukanya dan penawaran
pemuda itu untuk mengobatinya sehingga dia akan terbebas dari ancaman
mengerikan itu selalu terngiang di telinganya.
Sejam kemudian, setelah merasa
yakin bahwa sucinya telah pulas! dalam samadhi, Cui Leng tak dapat menahan diri
dari ancaman bahaya bopeng, maka diam-diam ia meninggalkan sucinya memasuki
hutan dengan maksud menjelang pagi sebelum sucinya sadar kembali dari samadhi,
dia akan kembali ke situ sehingga kepergiannya tidak diketahui sucinya.
Mudah saja bagi Cui Leng untuk
mendapatkan rumah bekas tempat tinggal kepala rampok itu karena rumah itu cukup
megah di tengah hutan dan tampak cahaya penerangan dari rumah itu! Dengan
jantung berdebar dia meloncat ke depan pintu yang segera terbuka dan muncullah
pemuda itu sambil tersenyum amat tampannya.
Ah, selamat malam, Nona.
Syukur bahwa Li-hiap suka datang....!
Berhadapan dengan pemuda itu,
tiba-tiba Cui Leng merasa kikuk dan malu-malu. Aku.... aku hendak minta obat....
aku tidak mau menjadi bopeng....!
Tentu saja! Sayang, sekali
kalau Li-hiap sampai menjadi bopeng. Eh, mana sucimu, mengapa tidak datang?!
Dia.... dia tidak mau, dia....
sedang siu-lian, kutinggalkan di sana. Harap kau suka menolongku dan aku akan
berterima kasih sekali, kemudian aku akan seg era kembali agar dia tidak tahu
bahwa aku melanggar perintahnya. Dia galak sekali.!
Masuklah Li-hiap. Aku akan
mengobatimu, jangan kahwatir. Rumah ini kosong, beberapa orang sisa perampok
telah kuusir pergi.!
Cui Leng memasuki rumah itu
yang ternyata cukup bersih dengan perabot rumah lengkap. Dia dipersilakan duduk
di atas bangku dan Suma Hoat berkata,
Li-hiap, orang yang terkena
jarum Ang-tok-ciam harus cepat diberi obat dan jarum itu dicabut keluar, kemudian
lukanya harus disedot agar racun yang mengeram di bawah kulit dapat
dibersihkan. Engkau terluka di manakah?!
Wajah Cui Leng mendadak
menjadi merah sekali. Di.... sedot....? Akan tetapi aku.... aku terluka di
sini....! dia menuding ke arah dada kanan, sedikit di bawah pundak, kemudian
menyambung cepat, Biarlah kucabut dan kusedot sendiri lukanya, baru kau obati.!
Suma Hoat memandang ke arah
dada itu dan tersenyum. Li-hiap, mana mungkin engkau menyedot luka di tempat
itu? Mulutmu tidak akan dapat mencapainya dan.... ah, sungguh aku orang yang
tidak beruntung, selalu dicurigai. Agaknya Li-hiap juga masih tidak percaya
kepadaku. Dalam keadaan seperti ini, perlukah menggunakan rasa sungkan-sungkan
lagi? Ingat bahwa aku hanya mengobati, tidak mempunyai niat buruk yang lain.
Terserah kepada Li-hiap, kalau tidak mau, aku pun tentu saja tidak berani
memaksa.! Pemuda itu membalikkan tubuh dan membelakangi Cui Leng dan menambah
kayu di tempat perapian sehingga tempat itu menjadi makin terang dan hawanya
menjadi hangat. Memang dia sengaja memberi kesempatan kepada Cui Leng untuk
mengambil keputusan.
Ia mendengar gadis itu
menghela napas panjang berulang-ulang, kemudian terdengar suaranya lirih agak
gemetar, Baiklah.... Kongcu.... biar engkau yang menyedot dan mengobatinya. Apa
boleh buat, aku tidak sudi menjadi bopeng.!
Suma Hoat tersenyum, senyum
penuh kemenangan, akan tetapi ketika ia mem balikkan muka menghadapi Cui Leng,
wajahnya tampak tenang dan biasa saja, bahkan dia berkata,
Engkau tidak usah khawatir,
Li-hiap. Dengan kepandaianmu yang tinggi, aku bisa berbuat apakah terhadapmu?
Aku hanya seorang pelajar yang mengerti sedikit ilmu pengobatan dan yang
mengandung maksud baik.! Ia lalu menghampiri buntalan pakaiannya, mengambil
seguci arak dan cawannya. Sambil menuangkan arak dia berkata dengan
sembarangan,
Harap kau suka membuka bagian
yang terluka. Setelah minum obat penawar racun ini, baru akan kucabut jarum dan
kusedot darahnya yang terkena racun.! Ia menanti sampal Cui Leng dengan
jari-jari gemetar membuka bajunya, melepaskan kancing tiga buah dari bagian
atas, kemudian menguak baju dalamnya yang juga berwarna merah sehingga
tampaklah dada bagian atasnya yang berkulit putih kemerahan dan di bawah pundak
kanan itu tampak ujung gagang jarum yang beronce merah,! terhujam dalam-dalam
di kulit dan daging.
Aku sudah siap, Kongcu,! kata
gadis itu perlahan.
Baik, sekarang minumlah dulu
obat ini.! Suma Hoat menyerahkan cawan yang penuh arak obat kepada gadis itu
yang segera menerima dan menenggaknya.
Gadis itu terbatuk.
Ughh-ughh....! Aihhh, obat ini rasanya harum dan manis akan tetapi keras sekali
seperti arak yang sudah amat tua!! serunya sambil memandang arak dalam cawan
yang berwarna merah.
Memang obat itu dicampur
dengan arak. Akan tetapi bukanlah obat sembarangan, Li-hiap. Sudah disimpan
puluhan tahun lamanya, namun khasiatnya amat hebat. Jangan ragu-ragu minumlah!!
Cul Leng duduk di atas bangku
pendek dan Suma, Hoat berlutut. Pemuda ini menggunakan kuku jari tangan yang
agak panjang terpelihara seperti kuku sastrawan, menjepit ujung gagang jarum di
antara kedua kukunya dan dengan gerakan tiba-tiba ia mencabut jarum itu.
Aihhh!! Cui Leng merintih
karena luka itu terasa perih dan nyeri.
Sakit sedikit, Li-hiap.
Sekarang aku akan menyedot lukanya. Engkau tidak keberatan bukan?! Sambil
bertanya demikian, Suma Hoat mengangkat muka, memandang dan Cui Leng menunduk
sehingga mereka berpandangan dengan muka terpisah tidak jauh. Wajah itu
demikian tampan, sepasang mata itu demikian bagus dan bibir itu tersenyum amat ramah
sehingga Cui Leng menjadi percaya sepenuhnya. Lenyaplah semua kecurigaan dan
keraguan, dan jantungnya berdebar. Dia merasa sesuatu yang amat aneh yang
membuat jantungnya berdebar keras. Mengapa wajah pemuda ini sekarang luar biasa
tampannya? Mengapa dia merasa amat senang berdekatan dengannya?
Ia tersenyum malu-malu dan
mengangguk, Lakukanlah....!
Seluruh bulu dan rambut di
tubuh Cui Leng seperti berdiri ketika ia merasa betapa bibir yang basah hangat
itu menempel di kulit dada bagian atas. Jantungnya berdebar makin keras ketika
bibir itu menyedot luka di dadanya. Ia merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak
pernah dialaminya, perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, campur baur
penuh rasa senang, gembira, malu, nikmat dan membuat ia ingin menjatuhkan
kepalanya di atas pundak pemuda itu. Tubuhnya seperti tak bertulang lagi, lemas
dan lenyap seluruh kemauan, adanya hanya rasa cinta kasih yang menggelora
terhadap pemuda itu. Suma Hoat meludahkan darah yang disedotnya, kemudian
menyedot lagi, meludah lagi. Setelah ia menyedot tiga kali, Cui Leng tak dapat
menahan lagi amukan perasaan yang menggelora di hatinya, tubuhnya gemetar dan
kedua matanya setengah terpejam, mulutnya agak terbuka, terengah memberl jalan
keluar pada hawa yang mendesak dan menyesakkan dadanya yang bergelombang.
Melihat tanda ini, diam-diam
Suma Hoat tersenyum. Arak obat! yang diberikannya tadi sudah bekerja baik.
Sebagai seorang yang sudah berpengalaman matang, dia maklum bahwa arak yang
sebetulnya adalah obat perangsang itu mempunyai daya melumpuhkan semua
pertahanan susila dihati wanita dan tentu saja seperti obat-obat perangsang
lain, hanya akan manjur terhadap wanita yang memang sudah mengandung hati
tertarik kepadanya. Maka kini perlahan-lahan bibirnya bergeser, bukan lagi luka
itu yang dikecupnya, melainkan naik ke leher.
Cui Leng merasakan hal ini,
dan ia terkejut sekali, namun apa daya, semua kemauannya telah lenyap, bahkan
dia merasa dirinya seperti terapung di angkasa, demikian menyenangkan. Dia
hanya dapat mengeluh panjang, napasnya makin terengah dan kini kedua matanya
bahkan dipejamkan sama sekali. Tak lama kemudian, ketika pemuda itu merangkul
dan menciumi pipi dan bibirnya, dia merintih dan kedua lengannya merangkul
leher pemuda itu tanpa disadarinya. Cui Leng telah lupa dan mabok. Perasaannya
terhadap pemuda itu hanya bahwa pemuda itu amat baik, amat tampan, amat gagah
perkasa dan sepatutnya menjadi jodohnya!
Seperti dalam mimpi ia
menyerah, menurut dan memenuhi apa saja yang dikehendaki pemuda itu dan
satu-satunya. percakapan di antara mereka adalah pertanyaan Si Pemuda.
Kekasihku, siapakah namamu?!
Pertanyaan yang aneh. Belum
juga mengenal nama, sudah menyerahkan segalanya! Namun pada saat itu, Cui Leng
yang sudah mabok dan lupa daratan itu tidak merasai keanehan ini dan menjawab
lirih, Namaku Kim Cui Leng.... dan kau,
Koko....?!
Panggil saja aku Hoat.!
Hoat-ko.... aku cinta
padamu....!
Dengan ucapan ini, Cui Leng
kehilangan segala-galanya. Ia telah serahkan jiwa raganya kepada seorang pria
yang sama sekali tidak diketahui riwayat dan keadaannya! Bahkan namanya pun
hanya diketahui dengan sebuah huruf Hoat! saja! Dia seorang gadis yang tidak
mempunyai pengalaman sama sekali, masih hijau, dan yang mempermainkannya adalah
seorang Jai-hwa-sian! yang pahdai merayu, tentu saja Cui Leng benar-benar
jatuh!
Barulah pada keesokan harinya,
ketika sadar dari tidurnya yang nyenyak berbantal lengan dan dada Suma Hoat,
Cui Leng menjerit, teringat akan segala yang terjadi dan ia menangis
tersedu-sedu. Suma Hoat memeluknya.
Ah, Leng-moi, kekasihku, dewi
pujaan hatiku. Kenapa menangis? Apakah engkau menyesal mempunyai kekasih
seperti aku?!
Tidak....! Tidak....! Aku
cinta padamu, Koko, akan tetapi....!
Suma Hoat menciuminya. Mengapa
menangis?!
Aku takut! Kalau Suci tahu, celakalah
aku. Aku tentu akan dibunuhnya! Ini merupakan pelanggaran kami!!
Suma Hoat tertawa, Ha-ha-ha!
Mengapa takut kepadanya? Jangankan baru dia, biar seluruh tokoh Siauw-lim-pai
datang, jangan takut. Ada aku di sini, Leng-moi. Percayalah, aku tidaklah selemah
yang kaukira. Lihat ini!! Suma Hoat menggerakkan tangan kiri dengan jari
terbuka ke arah lantai. Terdengar suara plak! Plak!! dan Cui Leng memandang
lantai dengan mata terbelalak melihat betapa telapak tangan pemuda itu membuat
bekas yang amat dalam dan begitu jelas sehingga tampak garis telapak tangannya.
Eh.... itu.... Tiat-ciang-kang
(Telapak Tangan Besi)!! serunya kagum.
Dan lihat ini!! Kembali
tangannya didorongkan ke depan, ke arah guci arak di atas meja dan....
wuuuuttt!! guci arak itu terbang melayang ke arah tangannya, disambut dan
pemuda itu menenggak araknya!
Wah, Koko....! Sin-kangmu
hebat bukan main!!
Nah, masih takutkah engkau?
Biar sucimu datang, dia tidak akan dapat mengganggumu, apalagi membunuhmu.!
Akan tetapi, namaku akan ternoda!
Koko, bagaimana baiknya....?! Wajah gadis itu menjadi pucat.
Karena ketahuan Sucimu? Ha-ha,
Leng-moi, kekasihku. Jalan satu-satunya hanyalah mengusahakan agar sucimu mau
bermain cinta denganku, mau melayaniku. Dengan demikian, engkau mempunyai teman
dan dapat saling menyimpan rahasia!!
Kau....!! Tangan Cui Leng
menyambar hendak menampar muka Suma Hoat, akan tetapi pemuda itu menangkap
tangan itu sambil tertawa-tawa dan betapa pun Cui Leng meronta sambil
mengerahkan tenaga, tetap saja dia tidak mampu melepaskan tangannya.