Bab 13
Kalau hanya mengaku kalah saja
apa gunanya bagiku?! Pemuda itu membantah dan memandang Maya penuh selidik,
seolah-olah ia dapat merasa bahwa biarpun hanya seorang wanita muda, panglima
itu agaknya tidak boleh dibuat sembrono. Kalau tidak berkepandaian tinggi, mana
mungkin bersikap demikian tekebur?
Kembali Maya tersenyum, Eh,
pecinta domba. Kalau sampai kau dapat merobah kedudukan kakiku, selain aku
mengaku kalah, aku akan memerintahkan pasukanku mengambil jalan memutar dan
akan kuganti harganya semua dombamu yang terluka atau hilang. Akan tetapi
bagaimana kalau kau tidak mampu merobah kedudukan kakiku malah kau akan roboh
olehku kurang dari sepuluh jurus? Apa yang akan kaupertaruhkan?!
Mata yang lebar penuh
kepolosan itu terbelalak. Aku? Roboh dalam waktu kurang dari sepuluh jurus
olehmu? Mana mungkin ini? Kalau sampai begitu, aku akan berlutut dan menyembah
seratus kali kepadamu!!
Kalau hanya disembah seratus
kali oleh orang seperti kau saja apa gunanya bagiku?! Maya membalas bantahan
pemuda penggembala itu.
Pemuda itu kembali merasa
kalah bicara. Sudah jelas bahwa dalam hal silat lidah ia bukan tandingan gadis
jelita yang perkasa itu. Habis, kau minta apa? Aku seorang miskin, hanya
menjadi buruh menggembala domba bersama teman-temanku, gajinya sebulan dimakan
dua puluh hari. Aku tidak punya apa-apa untuk dipertaruhkan!!
Maya mengangguk-angguk. Engkau
punya banyak sekali. Kepandaianmu, kegagahanmu, kekasaranmu, kejujuran,
kesetiaan. He, penggembala domba yang gagah. Kalau dalam sepuluh jurus aku
merobohkan engkau tanpa menggerakkan kaki pindah dari sini, engkau harus suka
menjadi seorang perwira Pasukan Mautku!!
Pemuda penggembala itu
mengerutkan keningnya yang tebal. Sebetulnya, tidak ada sedikit pun hasrat
hatinya menjadi perwira atau perajurit. Akan tetapi, ditantang seperti itu, dia
menjadi penasaran. Pula, kalau benar panglima wanita muda ini dapat
merobohkannya dalam sepuluh jurus tanpa mengangkat kedua kaki, berarti panglima
ini bukan manusia, melainkan dewa dan dia tentu akan suka sekali menjadi
pembantu panglima dewa atau dewi!
Baiklah! Nah, rasakan lihainya
pecutku!! Penggembala itu melangkah maju menghampiri Maya, pecutnya ia
gerakkan, diputar-putar di atas kepalanya sehingga terdengar suara
ledakan-ledakan kecil yang nyaring.
Ketika sinar hitam pecut itu
melalui atas kepala Maya karena Si Penggembala memang mengeluarkan gerakan
ancaman, dia cepat mengangkat tangan kiri dan.... pecut itu sudah berada di
tangannya, yaitu ujung pecut dia pegang. Penggembala itu terheran-heran melihat
betapa ujung pecutnya tadi seolah-olah tertarik oleh sesuatu sehingga terbang
ke arah tangan panglima wanita itu. Melihat ujung pecutnya sebelum dipakai
menyerang sudah terpegang lawan, ia menjadi penasaran dan berusaha melepaskan
dengan membetot keras.
Maya tersenyum. Aku hanya
menahan sebentar seranganmu, untuk memberi kesempatan padamu melepaskan
dombamu. Lepaskan dulu domba itu biar gerakanmu menjadi leluasa!!
Bukan main heran hati
penggembala itu, akan tetapi makin keras dugaannya bahwa seorang yang dapat
bersikap sedingin itu, setenang itu, sudah pasti memiliki kepandaian yang boleh
diandalkan. Maka ia pun tidak menjadi sungkan-sungkan lagi, dilepaskannya
perlahan domba yang dipondong lengan kirinya. Maya juga melepaskan ujung pecut
itu dan memandang tersenyum melihat pemuda itu mulai menghampirinya, dengan
gerak langkah satu-satu, memasang kuda-kuda, langkah seperti seekor harimau
menghampiri calon mangsanya.
Maya memandang kagum. Bukan
main gagahnya pemuda kasar ini. Pakaiannya kasar sederhana, kepalanya ditutupi
topi bulu domba, pasangan kuda-kudanya kokoh kuat, tangan yang memegang pecut
melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan jari
terbuka dan telapak tangan menghadap langit, sepasang matanya yang lebar
memandang tanpa berkedip ke arah pundak Maya. Sikap seorang ahli silat yang
kuat!
Sementara itu, pemuda
penggembala yang sudah banyak mengalami hidup penuh kesukaran dan di tempat
yang liar sehingga keselamatan banyak mengandalkan kekuatan, juga telah
mempelajari banyak macam ilmu silat utara dari beberapa orang pertapa di
pegunungan utara, bersikap hati-hati. Dari para gurunya ia pernah mendengar
bahwa lawan yang patut dihadapi dengan waspada justeru adalah lawan yang
kelihatannya lemah. Orang-orang tua lemah, pendeta-pendeta lemah lembut, dan
wanita-wanita.
Orang-orang lemah ini kalau
sudah berani menghadapi lawan berarti mereka telah memiliki ilmu kepandaian
tinggi karena mereka tidak dapat mengandalkan tenaga mereka yang lemah, pula,
karena keadaan mereka yang kelihatan lemah, lawan menjadi lengah dan memandang
rendah. Maka dia tidak segera menerjang secara ngawur, apalagi karena dia harus
dapat mempertahankan diri selama sepuluh jurus, maka setiap jurus serangannya
harus diperhitungkan benar-benar.
Mengingat pula akan janji
wanita muda itu tidak akan merobah kedudukan kedua kakinya, maka Si Penggembala
lalu melangkah perlahan-lahan memutari tubuh Maya dengan maksud menyerang dari
belakang! Kalau diserang dari belakang, mau tidak mau lawannya itu tentu akan
membalik tubuh dan dengan sendirinya tentu akan merobah kedudukan kedua
kakinya, atau setidaknya tentu akan mengangkat sebelah kaki. Dan kalau hal ini
terjadi, berarti dia menang!
Ia lalu menerjang dari
belakang dengan sabetan yang amat kuat, yang diserang adalah kedua kaki Maya! Memang
dia cerdik, tidak saja menyerang dari tempat aman agar dia tidak dapat
dirobohkan sampai jurus ke sepuluh, akan tetapi juga dalam jurus terakhir ini
dia menyerang kaki lawan. Tak mungkin engkau mengelak atau menangkis, kecuali
dengan merubah kedudukan kaki, pikirnya. Untuk menangkis, tentu tangan dara itu
tidak sampai ke bawah, dan kaki yang tak boleh digerakkan itu mana bisa
mengelak!
Akan tetapi Maya sama sekali
tidak mengelak maupun menangkis, melainkan menerima saja sabetan itu sambil
mengerahkan sin-kang ke arah kedua kakinya, kemudian pinggangnya berputar,
tangan kanannya mendorong dengan pukulan jarak jauh.
Brettt.... dessss....!
Auggghhh....!! Pecut itu mengenai kedua kaki Maya dan melibat-libat kaki, akan
tetapi sedikit pun kaki itu tidak tergoyang, dan ketika hawa pukulan Maya yang
mengandung Im-kang amat kuat itu mengenai dada Si Penggembala, tak dapat
ditahannya pula tubuhnya terjengkang dan terbanting ke belakang dan dia
menggigil!
Para perwira dan perajurit
bersorak menyambut kemenangan panglima mereka itu. Akan tetapi Maya mengangkat
tangan menyuruh mereka diam, kemudian ia berkata kepada penggembala itu,
Engkau sudah kalah, harus
memenuhi janji menjadi pembantuku. Kerugian domba akan kuganti agar diberikan
oleh kawan-kawanmu kepada pemilik domba.!
Di dalam hatinya pemuda
gembala itu sudah tunduk dan kagum sekali kepada Maya. Dia lalu berlutut di
depan Maya sambil berkata,
Saya Cia Kim Seng adalah
seorang laki-laki sejati yang tidak akan mengingkari janji. Mulai saat ini saya
akan membantu Li-ciangkun dan siap melakukan semua perintah dengan taruhan
nyawa!
Wajah Maya berseri gembira dan
ia menoleh kepada para perwira dan perajurit.
Para perwira dan perajurit
Pasukan Maut yang gagah perkasa. Kita menerima Cia Kim Seng sebagai seorang perwira
pembantuku, sebagai seorang anggauta pasukan kita yang jaya!!
Terdengar sorak-sorai
riuh-rendah dan para perwira yang tadinya dirobohkan Kim Seng menghampiri
pemuda gembala itu dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya dengan keramahan
seorang rekan. Tentu saja pemuda itu menjadi girang sekali dan ia merasa
beruntung berada di tengah-tengah pasukan yang demikian kuat dengan seorang
pemimpin yang demikian sakti, muda dan jelita.
Tiba-tiba semua orang tertegun
ketika melihat para penggembala, teman-teman Cia Kim Seng, menjatuhkan diri
berlutut dan ada yang menangis. Kim Seng melompat dan membentak mereka, Eh, eh,
apakah kalian sudah gila? Kenapa menangis?!
Kalau engkau masuk menjadi
anggauta Pasukan Maut yang hebat ini, bagaimana dengan kami? Kami mohon
diterima pula menjadi anggauta pasukan di bawah pimpinan Li-ciangkun yang
sakti!! kata seorang di antara mereka.
Maya tertawa gembira, Bagus!
Bagus! Kumpulkan semua kawan-kawan kalian yang suka membantuku. Aku menerima
kalian!!
Para penggembala bersorak dan
berdatanganlah penggembala-penggembala yang bertubuh kuat itu dan jumlahnya ada
dua puluh tiga orang. Maya menerima mereka dan menyerahkan ganti kerugian
kepada dua orang penggembala tua yang tidak ikut masuk. Kemudian pasukannya
bergerak maju bersama Cia Kim Seng dan teman-temannya yang ikut berbaris dengan
langkah tegap dan dada membusung ke depan. Dari penggembala menjadi perajurit
Pasukan Maut, hati siapa tidak akan menjadi bangga dan besar?
Di sepanjang jalan Maya
melatih ilmu pedang kepada Cia Kim Seng dan giranglah hatinya melihat betapa
muridnya! ini benar-benar memiliki bakat yang baik sekali di samping kekuatan
besar, keringanan tubuh, dan keberanian yang luar biasa. Juga para penggembala
itu ternyata menjadi perajurit-perajurit yang baik dan kuat. Di sepanjang
perjalanan, Maya berhasil mengumpulkan beberapa puluh tenaga sukarela terdiri
dari pemuda-pemuda gunung dan dusun sehingga beberapa pekan kemudian pasukan
yang tadinya hanya tinggal empat ratus lima puluh orang, kini menjadi lima
ratus lebih, meningkat jumlahnya dibanding dengan ketika dia berangkat.
Pada suatu hati, pasukan telah
tiba di perbatasan daerah Mancu dan mereka membangun perkemahan di tempat itu
karena Maya berniat menghentikan gerakan dan berdiam di situ menanti beberapa
orang utusan yang ia kirim menyeberangi perbatasan mengadakan kontak dengan
bala tentara Mancu.
Beberapa hari lewat tanpa ada
peristiwa penting. Para perajurit setiap hari berlatih olah yuda di bawah
pimpinan para perwira, sedangkan para perwira sendiri berlatih silat di bawah
petunjuk-petunjuk Maya. Yang mengagumkan adalah Kim Seng karena ilmu pedangnya
menjadi makin hebat saja sehingga dalam latihan dengan kayu, ia sanggup
menandingi pengeroyokan sepuluh orang per wira rekannya! Pemuda ini merasa berterima
kasih sekali terhadap Maya yang dia anggap sebagai panglimanya, gurunya, dan
orang yang paling dijunjung tinggi, dihormati dan dicintainya!
Akan tetapi pada malam ke
empat, Cia Kim Seng menghadap Maya dan berkata lirih,
Li-ciangkun, saya melihat
berkelebatnya bayangan asing dan agaknya ada mata-mata menyelundup. Sudah saya
cari, akan tetapi tidak dapat saya temukan. Karena khawatir maka saya datang
menghadap dan melapor.!
Sepasang alis Maya berkerut.
Hemm, sungguh berani mati sekali! Mari kita cari dia sampai dapat. Kita geledah
semua kemah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup karena aku ingin tahu siapa
yang menyuruhnya memata-matai keadaan kita.!
Karena tidak ingin menimbulkan
kekacauan dan kepanikan di antara para pasukan, diam-diam Maya bersama sebelas
orang perwiranya mulai melakukan penggeledahan. Semua kemah dimasukinya, dan
para perajurit yang mengira bahwa panglima mereka melakukan pemeriksaan seperti
biasa, menyambut dengan hormat dan gembira karena ke mana saja Maya datang,
tentu akan terlepas kata-kata ramah terhadap semua perajurit sehingga mereka
menjadi gembira dan bangga.
Akan tetapi, biarpun semua
perkemahan telah dimasuki dan diperiksa, Maya dan para pembantunya tetap saja
tidak dapat menemukan jejak mata-mata yang dicarinya. Maya mengerutkan alisnya.
Apakah mata-mata itu sedemikian lihainya sehingga dapat memasuki perkemahan
tanpa terlihat penjaga, bahkan tidak diketahui para perajurit yang demikian
banyaknya?' Kalau dia mencampurkan diri dengan para perajurit, hal itu tidaklah
mungkin karena para perajuritnya tentu akan mengenal orang asing yang
menyelundup. Untuk itu mereka sudah cukup terlatih dan di antara para perajurit
ada banyak macam kode rahasia yang hanya mereka ketahui sehingga penyelundupan
orang luar tentu akan segera diketahui.
Cia-ciangkun, jangan-jangan
engkau hanya melihat bayangan burung saja,!
kata Kwa-huciang, kepala
perwira pembantu utama Maya kepada perwira muda yang baru itu.
Tak mungkin salah penglihatan
Cia Kim Seng,! bantah Maya mendahului sebelum pembantu mudanya yang keras hati
itu tersinggung. Mata-mata itu tentu amat cerdik dan kalau tidak salah
dugaanku, saat ini tentu dia berada di dalam kemahku sendiri.!
Hahhh....?! Para perwira
terkejut, juga Kim Seng memandang panglimanya dengan heran.
Bagaimanakah Li-ciangkun
menduga begitu?! tanya Kim Seng.
Maya tersenyum, Seorang
mata-mata yang pintar akan memancing harimau keluar sarang. Setelah aku dan
kalian keluar, tentu dia akan menggeledah kemahku, karena pekerjaan mata-mata
tentulah menyelidiki keadaan panglima dari sebuah pasukan. Mari kita ke sana!!
Akan tetapi ketika dengan
bergegas mereka memasuki kemah besar yang menjadi tempat tinggal Maya, tidak
terdapat perubahan dan tak tampak bayangan manusia. Para pengawal yang bertugas
menjaga di luar pintu kemah, masih berdiri tegak dengan tombak di tangan, tanda
bahwa mereka pun tidak melihat orang memasuki kemah itu.
Selagi para perwira
mengerutkan alis dan memandang Maya penuh pertanyaan, panglima wanita itu
menyuruh mereka diam, matanya agak terpejam, kulit di antara kulitnya berkerut
tanda bahwa dia sedang mengerahkan seluruh perhatiannya.
Tiba-tiba wanita sakti inl
berdongak memandang langit-langit tenda, kemudian memberi isyarat kepada Cia
Kim Seng, menuding ke atas. Bekas penggembala domba ini memandang ke atas dan
kalau tidak ditunjukkan oleh panglimanya, tentu dia tidak akan tahu. Kini
tampaklah betapa kain tenda di bagian itu bergoyang-goyang sedikit, seolah-olah
ada seekor tikus atau kucing di atas sana! Akan tetapi dia tahu bahwa panglimanya
takkan salah duga, tentu Si Mata-mata berada di atas itu. Ia mencabut pedangnya
dan memandang Maya yang tersenyum mengangguk. Isyarat ini cukup bagi Kim Seng
dan berserulah ia nyaring,
Mata-mata keparat turunlah!!
Bentaknya ini disusul loncatan tubuhnya ke atas, pedangnya membabat.
Brettt!! Kain tenda itu robek
besar terbabat ujung pedang Kim Seng dan dari atas melayang turunlah tubuh
seorang laki-laki muda yang tampan. Kim Seng yang masih berada di atas itu
melanjutkan babatan pedangnya, kini ke arah tubuh yang melayang turun.
Cringgg....!! Dua pedang
bertemu dan tangan Kim Seng tergetar. Laki-laki yang melayang turun itu dalam
keadaan terjatuh dari atas masih mampu menangkis serangan Kim Seng, bahkan kini
tubuhnya berjungkir balik ringan dan lincah sekali, meluncur cepat seperti
burung terbang dan tahu-tahu telah berdiri di depan Maya. Maya kaget bukan
main. Inilah seorang lawan yang berat! Tak boleh disamakan dengan kepandaian
para perwiranya atau bahkan kepandian Kim Seng sekalipun. Karena itu, ketika ia
melihat Kim Seng dengan penasaran hendak menerjang orang itu ia memberi isyarat
dengan matanya. Setiap gerak-gerik Maya dari gerak tangan, mulut dan mata,
sudah dikenal benar oleh Kim Seng, maka isyarat mata itu sudah cukup baginya
dan ia mundur dengan pedang di tangan.
Laki-laki itu dengan sikap
angkuh dan sama sekali tidak mempedulikan sikap Kim Seng yang hendak
menyerangnya tadi, kini menyarungkan pedangnya. Pandang matanya tidak pernah
terlepas dari wajah Maya, kemudian dengan tenang sekali ia bertanya,
Engkaukah yang bernama Maya?!
Maya sudah menyelidiki dengan
pandang matanya dan sudah menilai laki-laki ini. Ilmu kepandaiannya tinggi dan
pedangnya tadi hebat sekali, mengeluarkan cahaya kilat dan mempunyai wibawa
menyeramkan. Laki-laki tampan ini agaknya amat percaya kepada kepandaiannya
sendiri dan memandang rendah orang lain. Ia menjawab, suaranya dingin,
Akulah Panglima Wanita Maya
yang memimpin Pasukan Maut ini!!
Tiba-tiba laki-laki itu
tertawa bergelak, Ha-ha-ha-ha! Sudah banyak aku mendengar tentang Pasukan Maut
yang hebat dan terutama panglima wanitanya yang berilmu tinggi seperti dewi.
Siapa kira bahwa memang wajahnya jelita seperti dewi. Maya...., Maya....,
tadinya kukira mengenal nama ini.... hemm, apakah engkau puteri....!
Maya memotong dengan suara
tajam seperti pedang menyambar, Seorang gagah tidak mengandalkan kepandaian
bicara! Engkau siapakah dan menaapa engkau menyelundup seperti maling ke sini?!
Ha-ha-ha! Nama Maya itulah
yang menarikku untuk menyelidiki, di samping nama Pasukan Maut yang terkenal!
Aku bernama Can Ji Kun, dan aku sengaja datang hendak menyaksikan sendiri
keadaan Pasukan Maut dan hendak menyaksikan sampai di mana kebenaran nama besar
Maya yang katanya lihai seperti dewi!!
Hampir saja Maya berseru
saking kagetnya. Kini ingatlah dia akan pemuda angkuh ini. Tentu saja dia
mengenal seorang di antara murid Mutiara Hitam, bibinya! Dan pemuda itu masih
ingat namanya, akan tetapi agaknya pangling karena dia kini telah menjadi
seorang dara dewasa yang berpakaian panglima. Dia pun kini tidak merasa perlu
lagi menyembunyikan keadaan dirinya karena apakah salahnya kalau diketahui
bahwa dia adalah Puteri Khitan? Yang dipimpinnya adalah pasukan yang
memberontak terhadap Kerajaan Sung.
Can Ji Kun, kiranya engkau
yang lancang masuk ke sini. Bagaimana dengan keadaan bibiku?!
Mata Can Ji Kun terbelalak dan
ia berseru, Aihhh! Kiranya benar engkau Maya yang dahulu itu? Ahhh....!
Can Ji Kun, bagaimana kabarnya
dengan bibiku Mutiara Hitam?!
Wajah yang tampan gagah itu
menjadi muram dan ia menjawab dengan suara berduka, Subo.... Subo telah tewas
di Kerajaan Mongol ketika beliau berusaha membalas kematian ayahmu. Abu
jenazahnya dikirim oleh Raja Mongol dan telah dikubur di Bukit Merak, disamping
kuburan Suhu....!
Wajah Maya berubah pucat dan
kemudian merah sekali saking marahnya dan saking bencinya kepada orang Mongol.
Jadi, Paman Tang Hauw Lam juga....!
Wajah Ji Kun menunduk dan ia
mengangguk. Suhu.... Suhu.... meninggal dunia karena duka dan.... sakit....!
Maya mengira bahwa jawaban
tersendat-sendat itu adalah karena duka, maka ia menghela napas. Barulah ia
tahu bahwa para pembantunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh
pertanyaan, agaknya terheran-heran mendengar percakapan itu, apalagi ketika
mendengar pemimpin mereka menyebut bibi! kepada pendekar sakti wanita Mutiara
Hitam yang namanya tentu saja sudah mereka dengar. Melihat ini, Maya memandang
mereka dan berkata,
Tak perlu kusembunyikan lagi.
Aku adalah Puteri Maya, puteri Kerajaan Khitan yang sudah hancur. Karena itulah
maka aku memusuhi Kerajaan Sung, Kerajaan Yucen dan bangsa Mongol yang biadab!
Adapun dia ini adalah Can Ji Kun, murid Mutiara Hitam.!
Sebelas orang perwira itu lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan Maya dengan penuh hormat dan kini mereka
lebih bangga lagi menjadi pembantu-pembantu Puteri Maya, puteri Raja Talibu
yang terkenal dan keponakan dari Mutiara Hitam!
Maya, engkau kini telah
menjadi seorang panglima yang terkenal. Hemm.... betapa aneh dan mengagumkan.!
Maya mengerutkan kening. Dahulu
ketika masih kecil, agaknya dia tentu akan ikut dengan bibinya Mutiara Hitam
kalau saja di sana tidak ada Ji Kun dan Yan Hwa yang dianggapnya angkuh dan
tidak menyenangkan hatinya. Sampai sekarang ternyata Can Ji Kun masih seangkuh
dulu.
Can Ji Kun, setelah engkau
tahu bahwa akulah yang menjadi panglima di sini, lalu.... engkau mau apa?!
Heh-heh-heh, tidak apa-apa.
Tadinya aku tertarik sekali akan nama besar Panglima Maya dan ingin mengadu
kepandaian, akan tetapi setelah ternyata bahwa hanya engkaulah sebenarnya orang
itu, hemmm...., baiklah aku pergi saja!!
Tahan!! Maya membentak,
menahan kemarahannya. Dia marah sekali akan sikap angkuh pemuda ini, akan
tetapi betapapun juga, Ji Kun adalah murid bibinya, jadi masih dekat
hubungannya dengan dirinya. Di samping itu, dia tadi melihat bahwa murid
bibinya ini lihai. Kalau dia bisa menariknya menjadi pembantu alangkah baiknya,
amat menguntungkan bagi terlaksananya cita-citanya.
Ji Kun yang sudah membalikkan
tubuh itu berhenti dan menoleh. Engkau mau apa?! tanyanya, sikapnya congkak
sekali.
Can Ji Kun, tak baik
membatalkan niat hati setengah jalan. Engkau menganggap aku tidak patut menjadi
Panglima Pasukan Maut. Baiklah, mari kita berpibu, aku pun ingin sekali melihat
sampai di mana engkau mewarisi ilmu kepandaian bibi yang amat hebat. Dan mari
kita berjanji, Ji Kun. Kalau aku kalah dalam adu pibu ini, aku akan
meninggalkan kedudukanku sebagai panglima dan akan memperdalam kepandaian
sampai aku patut menjadi panglima pasukan ini. Sebaliknya, kalau engkau yang
kalah, engkau harus mengakui aku sebagai panglimamu dan engkau menjadi seorang
di antara pembantu-pembantuku. Bagaimana?! Li-ciangkun! Mana bisa diadakan
peraturan ini? Li-ciangkun tidak mungkin akan meninggalkan Pasukan Maut!!
Kwa-huciang membantah kaget, juga para perwira yang lain menjadi gelisah,
bahkan Kim Seng segera berkata,
Mengapa Li-ciangkun melayani
pengacau ini?!
Melihat para perwira
mengkhawatirkan kekalahan Maya, Ji Kun yang memang berwatak angkuh dan percaya
bahwa dia tentu akan menang dengan mudah, sudah berkata sambil tertawa, Sudah
adil! Pertaruhan itu adil sekali. Maya, jangankan hanya engkau sendirian, biar
dibantu sebelas orang perwiramu ini aku tentu akan menang!!
Sombong!! bentak Kim Seng dan
bersama sepuluh orang rekannya ia sudah melangkah maju.
Menggelindinglah kalian!!
Tiba-tiba Can Ji Kun membentak, tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua
tangannya mendorong dengan tenaga sin-kangnya yang ampuh. Kim Seng kena
disambar pukulan sin-kang, terhuyung-huyung ke belakang sedangkan sepuluh orang
perwira lainnya terguling roboh!
Kesombongan Ji Kun
menjadi-jadi dan ia tertawa bergelak. Ji Kun, ternyata engkau hanya mewarisi
kepandaian Bibi, tidak mewarisi wataknya yang gagah!! bentak Maya.
Majulah!!
Ji Kun berseru nyaring, kini kedua
lengannya dilonjorkan mengirim, pukulan sin-kang ke arah Maya. Maya mengerahkan
sin-kangnya, tangan kiri masih bertolak pinggang dan dia hanya menyambut
dorongan kedua tangan Ji Kun dengan tangan kanannya.
Desss!! dua tenaga sin-kang
raksasa bertemu di udara dan akibatnya tubuh Ji Kun terdorong ke belakang
sampai dua langkah! Dia terkejut sekali, cepat menahan napas mengerahkan
sin-kang melawan hawa dingin yang menyesak dada sambil memandang dengan mata
terbelalak. Maya masih berdiri bertolak pinggang dan tersenyum mengejek. Para
perwira yang maklum bahwa yang bertanding adalah ahli-ahli tingkat tinggi,
mengundurkan diri mepet pada kemah dan menonton dengan mata di buka
lebar-lebar, tentu saja dengan hasrat hati ingin melihat panglima mereka
menang.
Can Ji Kun merasa penasaran
sekali. Sin-kangnya amat kuat dan semenjak ia berpisah dari sumoinya, turun
gunung dan malang-melintang di dunia kang-ouw menggegerkan dunia penjahat
karena kelihaian dan kekerasannya yang tidak mengenal ampun, tidak pernah ada lawan
yang mampu menandingi kekuatan sinkangnya, apalagi ilmu pedangnya. Akan tetapi
dorongan kedua tangannya hanya dilawan dengan sebelah tangan saja oleh Puteri
Khitan ini dan dia kalah tenaga! Dengan marah dan penasaran dia lalu menerjang
maju, kedua tangannya bergerak cepat dan kuat, tulang-tulang lengannya
mengeluarkan bunyi berkerotakan ketika sin-kangnya bekerja.
Wut-wut.... plak-plak....!!
Untuk kedua kalinya tubuh Ji Kun terlempar ke belakang, kini malah sampai lima
langkah dan hampir saja ia jatuh. Kedua lengannya yang bergerak cepat melakukan
pukulan-pukulan dahsyat tadi kena ditangkis oleh sepasang lengan yang lunak
halus itu namun yang mengandung tenaga mukjizat yang membuatnya tergetar,
kedinginan dan terhuyung ke belakang hampir jatuh.
Rasa penasaran dan malu
membuat Ji Kun marah sekali. Keangkuhannya tersinggung, dan dia mengeluarkan
suara pekik melengking, kemudian tubuhnya bergerak aneh dan cepat, menerjang
maju dan menyerang Maya yang masih berdiri tersenyum-senyum. Biarpun mulutnya
tersenyum, akan tetapi Maya bersikap tenang dan hati-hati sekali menyaksikan
gerak serangan yang dahsyat itu. Jurus serangan yang dilakukan Ji Kun
benar-benar berbahaya sekali. Sepuluh buah jari tangan pemuda itu
bergerak-gerak melakukan totokan dan cengkeraman.
Itulah jurus yang disebut
Tok-hiat-coh-kut (Meracuni Darah Melepaskan Tulang) dari ilmu silat yang paling
luar biasa dari Mutiara Hitam, yaitu Capsha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti)!
Menghadapi serangan ini, Maya maklum bahwa dia tidak boleh lengah. Dia lalu
mempergunakan gin-kangnya, tubuhnya berkelebat cepat sekali, mengelak ke
sana-sini kemudian kedua lengannya diputar di depan badan sehingga tampak
gulungan sinar biru dari warna lengan bajunya, membentuk payung yang menolak
dan menangkis semua serangan lawan.
Ji Kun makin marah dan
tiba-tiba ia merobah gerakannya. Sekali ini memutar tubuhnya seperti tadi
ketika ia merobohkan sebelas orang perwira sekaligus, tubuhnya berputar seperti
gasing mengejar lawan dan dari putaran itu kadang-kadang kedua tangannya
mengirim pukulan-pukulan berbahaya yang tak tersangka-sangka. Inilah jurus
Soan-hong-ci-tian (Angin Bepusing Mengeluarkan Kilat), juga sebuah di antara
Tiga Belas Jurus Sakti!
Maya terkejut sekali. Akan
tetapi dia adalah murid Bu Kek Siansu yang sudah digembleng secara tekun dan
hebat oleh Kam Han Ki, maka menghadapi jurus aneh ini dia tidak menjadi
bingung. Dia berdiri tegak, tidak menghiraukan bayangan tubuh lawan yang
berpusing itu, hanya pada waktu tampak berkelebatnya lengan tangan dari putaran
itu menyambar, dia memapaki dengan telapak tangannya, menggunakan dorongan
dengan tenaga saktinya.
Ketika Ji Kun terpaksa
mengakhiri jurus ini karena tidak mempan terhadap lawannya yang lihai,
tiba-tiba tubuh Maya berkelebat lenyap dari depannya. Sebagai murid seorang
sakti, Ji Kun maklum bahwa lawannya menggunakan gin-kang yang amat hebat, yang
lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri, maka cepat ia membalikkan tubuh. Dan
memang benar, tahu-tahu Maya telah berada di belakangnya. Cepat Ji Kun
melakukan gerakan menangkis, akan tetapi Maya mengeluarkan bentakan menggeledek
yang menggetarkan seluruh ruangan itu, bahkan sebelas orang perwiranya seketika
merasa kakinya lumpuh dan jatuh berlutut, sedangkan Ji Kun yang menangkis tadi
terdorong ke belakang dan hampir saja ia roboh terbanting kalau tidak
cepat-cepat meloncat ke atas dan berjungkir-balik. Dia tidak jatuh, akan tetapi
wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan tiba-tiba tampak sinar kilat
menyilaukan mata ketika murid Mutiara Hitam ini sudah mencabut pedangnya!
Melihat ini, Maya terkejut
sekali dan menegur, Ji Kun, perlukah pibu dilanjutkan dengan senjata? Belum
terbukakah matamu bahwa tingkat kepandaianku sekarang ini takkan terlawan
olehmu dan mungkin hanya mendiang Bibi Mutiara Hitam saja yang akan dapat
menandingiku?!
Kalau kau belum mengalahkan
pedangku, aku tetap belum mengaku kalah, Maya!! jawab Can Ji Kun dengan keras
kepala.
Maya menghela napas. Untuk
mendapatkan seorang sehebat ini memang tidak mudah. Dia maklum bahwa biarpun
kepandaian Ji Kun amat tinggi, namun ilmu silatnya masih berada di atas tingkat
Ji Kun, demikian pula gin-kang dan sinkangnya. Hanya melihat pedang itu, dia
merasa ngeri.
Pedangmu dahsyat dan
mengandung hawa kejam, Ji Kun. Akan tetapi jangan kira bahwa aku takut menghadapi
pedangmu. Marilah!! Maya menggerakkan tangan kanannya dan dia sudah mencabut
pedang panjangnya, pedang panglima yang ia terima sebagai pemberian
Bu-taiciangkun sendiri. Sebuah pedang yang amat baik, terbuat daripada baja
biru, akan tetapi bukanlah pedang pusaka seperti yang berada di tangan Ji Kun.
Awaslah terhadap seranganku
ini, Maya!! Ji Kun berseru dan tubuhnya menerjang maju, didahului oleh sinar
putih yang menyilaukan mata dari pedangnya.
Maya tidak menjawab, melainkan
mengelak jauh ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya menusuk mata kaki lawan.
Serangan seperti ini hanya dilakukan oleh seorang ahli pedang yang sudah tinggi
tingkatnya sehingga Ji Kun cepat-cepat meloncat dan pedangnya sudah meluncur ke
dada Maya. Ji Kun mengerti bahwa entah siapa yang menjadi guru Maya, mungkin
sekali Menteri Kam Liong yang ia dengar memiliki tingkat kepandaian lebih
tinggi dari Mutiara Hitam, maka diapun mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan
Ilmu Pedang Lan-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan) yang merupakan perpaduan
dari Siang-bhok-kiam dari Mutiara Hitam dan Pek-kong-To-hoat dari Tang Hauw
Lam. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa biarpun dalam hal pengalaman
masih kalah jauh oleh Menteri Kam Liong, namun dalam hal ilmu silat, tingkat
Maya malah lebih tinggi daripada tingkat menteri putera Suling Emas itu karena
dara ini adalah penghuni, Istana Pulau Es, murid tidak langsung dari Bu Kek
Siansu!
Menghadapi ilmu pedang yang
dimainkan Ji Kun demikian dahsyatnya, diam-diam Maya kagum sekali dan memuji
kepandaian bibinya, maka ia bersikap tenang. Terutama sekali pedang pusaka di
tangan Ji Kun membuat ia ngeri. Pedang itu mengeluarkan hawa maut yang
menggetar dan dingin sekali. Kalau saja sin-kangnya tidak sudah amat kuat,
agaknya dia akan terpengaruh oleh getaran itu yang akan mengacaukanpermainan
pedangnya. Dia pun tak berani mengadukan pedangnya dengan pedang lawan, dan
ketika Ji Kun mendesaknya sedemikian rupa sehingga terpaksa sekali Maya
mengelebatkan pedang menangkis, tak tercegah lagi kedua pedang bertemu.
Takkk!! Maya terkejut bukan
main karena pedangnya itu melekat pada pedang Ji Kun yang seolah-olah mempunyai
daya tarik atau daya sedot yang mukjizat! Dan kesempatan ini dipergunakan Ji
Kun untuk menggerakkan pedang ke bawah, membacok kepala Maya! Maya mengelak
cepat.
Breet!! Robek dan putuslah
ujung pundak baju panglima wanita itu. Dia melompat mundur, Ji Kun tersenyum
girang dan mendesak terus. Kini Maya mengerti bahwa pedang pusaka itu selain
mempunyai wibawa ampuh, juga mempunyai daya menyedot. Pengetahuan ini membuat
dia memutar otak mencari akal.
Ketika untuk kesekian kalinya
sinar pedang yang ampuh itu terus mendesaknya dan mengirim tusukan, kembali ia
menangkis. Kalau dibacok, dia tidak berani menangkis karena pertemuan langsung
itu mungkin sekali akan merusakkan pedangnya. Akan tetapi kalau hanya tusukan,
dia berani menangkis dari samping. Dia sengaja menangkis dari atas sehingga
ketika pedangnya tersedot dan menempel, pedangnya berada di atas pedang lawan
dan sebelum Ji Kun melanjutkan pedangnya untuk mengirim serangan mendadak,.
Maya telah mendorongkan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga sin-kang yang
membentuk hawa pukulan dingin. Inilah pukulan inti es yang hebatnya bukan
kepalang, yang oleh Han Ki tdisebut pukulan Swat-im Sin-jiu!
Tubuh Ji Kun seperti terkena
aliran halilintar, menggigil dan pedangnya terlepas dari tangannya. Dia
berusaha mempertahankan diri namun ia hanya dapat mencegah tubuhnya terguling,
dan hanya jatuh duduk dengan muka pucat! Cepat ia bersila dan memejamkan
matanya, mengerahkan hawa murni untuk melindungi isi dadanya yang terserang
hawa dingin luar biasa. Semua perwira bengong terlongong dan tidak ada yang
bergerak, semua terpesona oleh pertandingan yang sedemikian hebatnya, yang
belum pernah mereka saksikan selama hidup mereka.
Maya menyimpan pedangnya,
membungkuk dan mengambil pedang Ji Kun. Dia mengamati pedang itu dan tangannya
menggigil. Bukan main....!! serunya sambil menggeleng kepala. Memegang pedang
itu, ia merasa seolah-olah pedang itu bernyawa dan mengeluarkan hawa maut yang
amat kejam!
Can Ji Kun membuka matanya dan
melotot memandang Maya. Jelas terbayang pada pandang matanya bahwa ia khawatir
sekali kalau pedangnya dirampas Maya. Melihat ini Maya lalu melangkah maju dan
menyerahkan pedang itu kepada Ji Kun sambil berkata,
Ji Kun, seorang murid Mutiara
Hitam yang gagah perkasa tidak patut memiliki pedang seganas ini.!
Bayangan khawatir lenyap dari
wajah Ji Kun, terganti rasa lega ketika ia menerima pedangnya. Ia bangkit
berdiri,menyimpan pedangnya dan berkata, Pedang ini adalah pedang Lam-mo-kiam
pemberian Subo.!
Ahhh.... sungguh heran mengapa
Bibi menyimpan pedang seperti itu,! kata Maya perlahan, kemudian sambil menatap
tajam wajah murid bibinya itu ia bertanya!Bagaimana sekarang, Ji Kun? Apakah
engkau akan memenuhi janji dan membayar taruhanmu?!
Ji Kun membusungkan dadanya
dan menjawab, Li-ciangkun, mungkin sekali aku bukan seorang murid yang baik
dari Suhu dan Subo, akan tetapi aku tetap adalah seorang gagah yang tidak akan
mengingkari janji. Biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu.!
Sebelas orang perwira bersorak
dan menghampiri Ji Kun, berebut menjabat tangan pemuda itu saking girang
hatinya. Ji Kun tersenyum masam, akan tetapi diam-diam kagum sekali kepada Maya
dan harus ia akui bahwa kepandaiannya tidak dapat menandingi dara itu!
Ji Kun, mulai sekarang engkau
menjadi seorang perwira berpangkat huciang dan membantu Kwa-huciang. Dari mulai
sekarang aku memanggilmu Can-huciang. Eh, aku teringat akan sumoimu, Ok Yan
Hwa. Di manakah dia sekarang?!
Diingatkan kepada Ok Yan Hwa,
sumoinya yang juga menjadi kekasihnya, akan tetapi juga musuhnya (betapa aneh)
itu, wajah yang tampan itu menjadi muram. Aku tidak tahu. Kami saling berpisah
setelah Suhu meninggal dunia dan turun gunung.!
Mungkin karena gemblengan
pengalaman-pengalaman pahit, semuda itu Maya sudah dapat menjenguk isi hati
orang dengan melihat wajahnya. Ia tahu bahwa tentu ada apa-apa antara kedua
murid bibinya itu dan bahwa bicara mengenai diri Yan Hwa tidak menyenangkan
hati pembantu barunya ini, maka dia tidak bertanya lebih banyak. Pada keesokan
harinya, terdengarlah berita mengejutkan yang disampaikan oleh utusan yang
menyeberang perbatasan bahwa bala tentara Mancu yang berada di tapal batas,
yang tadinya hendak menyatukan diri dengan pasukan-pasukan Bu-tai-ciangkun di
pantai untuk bersama-sama menyerbu ke selatan, telah lebih dulu dihancurkan
oleh bala tentara Kerajaan Cin, yaitu tentara Yucen! Bala tentara Mancu
terpaksa mundur dan melarikan diri ke barat, terancam bahaya terjepit oleh pasukan-pasukan
Yucen dan pasukan Sung yang bergerak dari selatan!
Mendengar ini, Maya
mengumpulkan dua belas orang pembantunya. Karena sudah jelas bahwa barisan
Mancu yang menjadi sekutu kita itu terancam oleh pihak Yucen dan Sung, terpaksa
aku akan melanjutkan gerakan pasukan mengejar dan membantu mereka. Akan tetapi,
kita harus mengirim laporan kepada Bu-tai-ciangkun yang masih menanti di
pantai. Can-huciang, aku menugaskan engkau membawa lima puluh orang pasukan
untuk menyampaikan laporan kepada Bu-tai-ciangkun!!
Baik!! jawab Can Ji Kun yang
segera mengumpulkan pasukan lima puluh orang, membawa surat laporan Maya dan
berangkat pada hari itu juga ke timur. Maya lalu mengatur rencana pengejaran ke
barat.
Sayang kita tidak tahu pasti
ke mana mundurnya barisan Mancu dan di antara kita tidak ada yang mengenal baik
daerah ini.!
Li-ciangkun, harap jangan
khawatir. Aku mengenal daerah ini dengan baik dan kiranya tidak akan keliru
kalau saya katakan bahwa barisan Mancu tentu mundur ke selatan.!
Maya tercengang. Banyak hal
yang aneh dan tidak tersangka-sangka dimiliki oleh bekas penggembala domba ini!
Mengapa kau berpendapat demikian, Cia-huciang? Bukankah di selatan banyak
terdapat barisan Sung?!
Jalan mundur satu-satunya yang
paling lemah dijaga musuh hanyalah ke selatan. Ke timur berhadapan dengan
barisan Yucen yang kuat, demikian pula ke utara. Sedangkan di sebelah barat
terdapat pasukan-pasukan Mongol dan Sung. Di selatan hanya terjaga oleh pasukan
Sung, akan tetapi mengingat keadaan Sung yang makin lemah daripada menghadapi
barisan Yucen atau Mongol lebih ringan menghadapi pasukan Sung. Maka kiranya
tidak akan meleset jika kita perhitungkan bahwa barisan Mancu itu tentu
mengundurkan diri ke selatan.!
Maya mengangguk-angguk,
diam-diam ia kagum karena tidak mengira bahwa Si Penggembala domba ini memiliki
pemandangan yang luas dan cerdik. Baiklah, kalau begitu kita mengejar ke
selatan.!
Berangkatlah pasukan itu pada
keesokan harinya, menuju ke selatan dan ketika para penyelidik memberi
pelaporan bahwa memang benar ada tanda-tanda bahwa pasukan-pasukan Mancu
mengundurkan diri ke selatan, Maya makin kagum terhadap pembantunya, Cia Kim
Seng. Keadaan di sepanjang jalan amat sunyi, karena sebagian besar penduduk
mnengungsi dari daerah yang dilanda perang itu.
Kita kembali mengikuti
perjalanan dan pengalaman Khu Siauw Bwee yang sudah lama kita tinggalkan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara perkasa itu mempelajari ilmu
gerak tangan kilat dan gerak kaki kilat dari kakek yang kedua kakinya buntung
dan lengan kirinya juga buntung. Kedua ilmu silat yang amat aneh itu adalah
ilmu rahasia dari kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung. Ilmu silat ini
memang luar biasa dan kini Siauw Bwee telah mempelajari teorinya dari kakek
itu, bahkan sekalian diajari cara pemecahannya sehingga tentu saja Siauw Bwee
menjadi lihai bukan main. Kaki tangannya masih utuh dan ilmu-ilmu itu dimainkan
oleh orang-orang cacad saja sudah begitu hebat, apalagi dimainkan oleh Siauw
Bwee yang selain masih utuh kaki tangannya, juga telah memiliki dasar ilmu
silat yang, tingkatnya jauh lebih tinggi pula.
Disamping ini masih mendapat
ajaran rahasia pemecahan kedua ilmu itu!
Bagus! Li-hiap telah menguasai
kedua ilmu itu dengan sempurna! Andaikata. Aku sendiri yang melatih dengan kaki
tangan utuh, belum tentu dapat sesempurna ini!! Lu Gak, demikian nama kakek
itu, tertawa puas. Akan tetapi Siauw Bwee sama sekali tidak merasa puas. Sudah
sering kali ia minta agar kakek itu beristirahat, akan tetapi kakek itu
berkeras, siang malam mengajarnya padahal keadaan kesehatan kakek itu buruk
sekali! Kini, biarpun kakek itu tertawa, wajahnya amat pucat dan napasnya
memburu.
Lu-locianpwe, engkau terlalu
memaksa diri. Sebaiknya sekarang beristirahat.!
Baiklah.... baiklah
Khu-lihiap. Besok adalah hari pibu antara mereka, seperti biasa mengambil
tempat di kuil tua dekat rawa, kuil bekas tempat tinggal nenek moyang kami
kedua pihak di mana terdapat pula kuburan mereka berdua itu. Engkau wakililah
aku Li-hiap, mendamaikan mereka dengan mengalahkan mereka. Kalau berhasil,
barulah aku dapat mati dengan mata terpejam.!
Baik, Locianpwe, dan
mudah-mudahan semua berjalan lancar,! jawab Siauw Bwee dan hatinya lega
menyaksikan kakek itu dapat tidur pulas di dalam pondok. Kakek ini sebenarnya
memiliki ilmu kepandaian tinggi, biarpun tidak berkaki dan hanya berlengan
satu, namun tubuhnya dapat bergerak meloncat-loncat dengan tekanan tangannya ke
atas tanah. Akan tetapi sayang, karena keadaan tubuhnya seperti itu dan
mengandung penyakit berat pula, tentu saja kakek ini bukan lawan kaum kaki
buntung dan lengan buntung yang saling bermusuhan itu.
Pada keesokan harinya, di
depan kuil tua yang dimaksudkan, telah berkumpul seluruh anggauta kaum kaki
buntung berjumlah tiga puluh enam orang dan kaum lengan buntung sebanyak tiga
puluh orang. Mereka dipimpin oleh ketua masing-masing, yaitu Liong Ki Bok si
kaki buntung dan The Bian Le si lengan buntung. Seperti biasa setiap tahun
masing-masing pihak mengajukan lima orang jago untuk diadu sampai mati! Pihak
yang lebih banyak jumlahnya menang dianggap pemenang dan pibu akan dilanjutkan
tahun depan, akan tetapi adakalanya pertempuran terjadi dengan hebat sehingga
semua anggauta saling serang merupakan perang kecil yang akan merobohkan banyak
korban di kedua pihak.
Kedua pihak telah mengajukan
lima orang jago, termasuk ketua masing-masing. Akan tetapi, sebelum
pertandingan dimulai, berkelebatlah bayangan orang dan Siauw Bwee telah
meloncat ke tengah-tengah antara mereka! Dara ini datang bersama Lu Gak akan
tetapi kakek itu hanya menonton dari tempat tersembunyi di balik sebuah batu
besar. Dia tidak mau memperlihatkan diri, khawatir kalau-kalau kemunculannya
akan mengganggu tugas Siauw Bwee yang bagi kakek ini amatlah penting, merupakan
tugas hidupnya!
Melihat munculnya Siauw Bwee,
yang amat dikenal oleh kedua pihak karena dengan keduanya dara ini pernah
bentrok, Kedua kaum cacad itu menjadi terkejut dan marah.
Bocah pengecut!! Bentak Liong
Ki Bok yang merasa tertipu karena tadinya ia merasa menyesal telah membunuh!
gadis ini dan yang ternyata kemudian sama sekali tidak mati malah membikin
kacau anak buahnya. Tadi ketika dalam pertemuan ini orang she Liong itu tidak
melihat Cia Cen Thok yang ternyata selama bertahun-tahun itupun tidak mati,
hatinya sudah menjadi lega. Siapa tahu sekarang dara yang ilmunya tinggi itu
berada di situ!
Mau apa engkau?! bentak The
Bian Lee dan kedua orang ketua kaum buntung itu agak lega hatinya karena
teguran-teguran mereka ini jelas membuktikan bahwa dara lihai itu tidak
berpihak kepada siapapun.
Siauw Bwee memandang kedua
orang ketua itu berganti-ganti, kemudian berkata dengan senyum mengejek dan
suara bernada dingin,
Kalian ini orang-orang tua,
sudah bercacad tubuhnya akan tetapi masih selalu dikuasai nafsu mendendam yang
membikin kalian seperti hidup di neraka dan selalu, haus darah dan kejam!
Lupakah kalian bahwa sebenarnya kalian ini adalah keturunan saudara-saudara
seperguruan dan kepandaian kalian berasal dari satu sumber? Mengapa permusuhan
yang gila ini masih juga dilanjutkan?!
Eh, bocah setan. Mau apa
engkau mencampuri urusan kedua kaum yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya
dengan dirimu?! bentak Liong Ki Bok.
Pergilah! Kami tidak mempunyai
urusan denganmu!! bentak pula The Bian Le.
Siauw Bwee tertawa, Nah, nah!
Sikap kalian ini saja sudah menunjukkan bahwa kalian tidak semestinya saling
bermusuh. Begitu ada orang luar mencampuri, kalian besikap seperti hendak
bersatu! Alangkah akan baik dan kuatnya kalau kalian dapat bersatu, yang satu
memenuhi kekurangan yang lain. Bukankah dengan hidup berdampingan secara damai
kalian dapat saling tolong-menolong?!
Banyak cerewet!! The Bian Le
berteriak, Urusan kami adalah urusan dendam turun-menurun, siapa juga tidak
boleh mencegahnya atau coba mendamaikannya! Kalau salah satu kaum di antara
kami musnah, barulah akan terhenti!!
Wah, wah! Memang aku tahu
bahwa ketua kaum lengan buntung lebih galak dan lebih fanatik. Banyak orang
baik-baik menjadi korban karena permusuhan gila ini, bahkan baru masuk menjadi
murid saja sudah terjadi kekejian, membuntungi lengan dan kaki! Sungguh kasihan
mereka, sudah dibuntungi lengan atau kakinya, yang didapat hanya ilmu
kanak-kanak yang hanya bisa dipakai saling hantam antara saudara sendiri!!
Engkau terlalu menghina kami!!
teriak Liong Ki Bok.
Perempuan keparat!! The Bian
Le membentak.
Siauw Bwee mengangkat kedua
tangan ke atas. Disuruh damai secara baik-baik, tidak sudi, memang seharusnya
dilakukan dengan kekerasan. Sekarang baik kita buktikan betapa kalian ini
sia-sia saja mengorbankan kaki tangan untuk mempelajari ilmu kanak-kanak! Mari
kita bertaruh. Aku seorang diri dengan tangan kosong melawan kalian dua orang
ketua gila! Kalau aku kalah dan mati, sudahlah, kalian boleh melanjutkan
permusuhan gila ini sampai dunia kiamat! Akan tetapi kalau kalian dengan ilmu
kanak-kanak kalian kalah olehku, kalian harus menghentikan permusuhan ini dan
merobah menjadi persaudaraan. Coba, pergunakan kedua ilmu kalian untuk bersatu
mengalahkan aku kalau bisa!!
Dua orang ketua itu tertegun.
Mereka sudah maklum akan kelihaian dara ini, akan tetapi melawan mereka berdua
berarti mencari mati, karena kedua ilmu mereka itu isi-mengisi sehingga
memperlengkap kekurangan mereka.
Nona, jangan main-main!!
teriak Liong Ki Bok.
Engkau mencari mampus!! teriak
pula The Bian Le.
Gertak sambal! Ataukah
gertakan untuk menutupi bahwa kalian jerih mengeroyok aku?!
Keparat! Siapa takut?!
Teriakan ini keluar berbareng dari mulut kedua orang ketua.
Kalau begitu, kalian menerima
taruhanku?! tanya Siauw Bwee dengan girang Kedua orang ketua ini sejenak saling
pandang. Penghinaan dara itu membuat keduanya menjadi marah sekali, kemarahan
yang amat besar sehingga pada saat itu mengatasi rasa saling benci mereka.
Aku terima!! kata Liong KI
Bok.
Marilah!! kata The Bian Le.
Bagus! Nah, seranglah!! Siauw
Bwee menantang sambil berdiri di tengah-tengah menghadapi mereka di kanan kiri.
Liong Ki Bok sudah
menggerakkan. kedua tangannya, yang kiri mencengkeram disusul totokan tongkat.
Gerakannya cepat bukan main karena dia sudah menggunakan ilmu gerak tangan
kilat. Sedangkan The Bian Le juga sudah menerjang maju dengan pukulan tangan
kanan disusul tendangan yang dahsyat! Namun, karena Siauw Bwee sudah paham
betul akan gerakan mereka dan perkembangannya, tahu pula cara pemecahannya,
dengan mudah ia mengelak sambil tertawa mengejek. Makin diserang, makin cepat
ia mengelak dan makin keras suara ketawanya sehingga kedua orang ketua itu
menjadi makin marah. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga datangnya serangan
tangan Liong Ki Bok seperti hujan dan kedua tangannya seperti berubah menjadi
delapan buah saking cepatnya. Demikian pula, The Bian Le seolah-olah mempunyai
delapan buah kaki yang menghujankan tendangan dengan gerak, kaki yang indah dan
rapi.
Duk!! Kedua orang ketua itu
terhuyung-huyung karena secara aneh sekali tahu-tahu pangkal paha kaki tunggal
Liong Ki Bok sudah kena ditendang Siauw Bwee, sedangkan pangkal lengan satu The
Bian Le sudah kena ditepuk!
Nah, bukankah ilmu kalian
seperti ilmu kanak-kanak?! Siauw Bwee mengejek dan cepat mengelak karena kedua
orang itu sudah menerjang lagi dengan dahsyat dan penuh kemarahan.
Kini Siauw Bwee bersilat
menurut petunjuk Kakek Lu Gak, mainkan dua macam ilmu silat yang merupakan
pemecahan rahasia kedua ilmu mereka.
Mulailah keduanya
terheran-heran dan terdesak hebat! Mereka segera mengenal ilmu mereka sendiri,
dan kini bahkan serangan mereka seperti tetesan air yang menimpa lautan, amblas
tanpa bekas, sebaliknya setiap serangan Siauw Bwee seolah-olah melumpuhkan
semua perkembangan gerakan mereka! Setelah bertanding selama seratus, jurus,
akhirnya dengan gerakan indah sekali Siauw Bwee berhasil menotok thian-hu-hiat
mereka secara berbareng dengan kedua tangannya dan seketika kedua orang ketua
itu mengeluh dan jatuh terduduk dalam keadaan lumpuh!
Siauw Bwee bertolak pinggang.
Bagaimana, apakah kalian masih memiliki kegagahan untuk memenuhi janji?!
Liong Ki Bok dan The Bian Le
tetap membisu, hanya menundukkan muka dengan alis berkerut. Siauw Bwee cepat
menotok dan membebaskan mereka yang segera melompat bangun. Anak buah kedua
kaum cacad itu menjadi marah dan mereka sudah bergerak hendak mengeroyok Siauw
Bwee. Akan tetapi ketua mereka membentak mereka supaya mundur.
Aku mengaku kalah. Nona lihai
sekali, akan tetapi.... bagaimana Nona dapat mempelajari ilmu gerak tangan
kilat kami?! kata Liong Ki Bok.
Hal itu tidak perlu
dibicarakan. Yang penting sekarang, kalian sudah kalah dan harus memenuhi janji
untuk menghentikan permusuhan!!
Tiba-tiba The Bian Le berseru,
Mari kita pulang! Biarlah sekali ini kami kaum lengan satu mengaku kalah.
Sampai lain tahun!! Dan ia sudah berlari pergi diikuti dua puluh sembilan orang
anak buahnya, pergi dengan wajah muram dan penasaran!
Kami memenuhi janji dan
menghentikan pertempuran untuk kali ini!! kata pula Liong Ki Bok, yang juga berloncatan
pergi diikuti semua anak buahnya.
Siauw Bwee tercengang dan
diam-diam mengeluh. Celaka, usahanya itu sama sekali tidak berhasil. Hanya
berhasil menghentikan pibu hari itu saja, tetapi sama sekali tidak berhasil
menghentikan permusuhan di antara kedua kaum, tidak berhasil menghapus dendam
di antara mereka. Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan keras dari arah tempat
Kakek Lu Gak bersembunyi. Ia meloncat ke tempat itu dan melihat Lu Gak roboh
dengan mata mendelik!
Lu-locianpwe!! Siauw Bwee
cepat memeriksa keadaan kakek itu dan menda pat kenyataan bahwa kakek itu
terserang jantungnya dan dalam keadaan pingsan. Dia lalu memondong tubuh yang
hanya berlengan satu itu, membawanya lari kembali ke pondok Lu Gak. Kakek itu
setelah sadar lalu mengeluh panjang dan menggeleng kepalanya.
Keras kepala.... keras kepala
mereka itu.... Li-hiap....!!
Aku akan menghajar mereka,
Locianpwe. Akan kupaksa mereka!! Siauw Bwee berkata gemas, maklum bahwa kakek
ini merasa berduka sekali ketika tadi menyaksikan betapa kedua kaum itu masih
saja tidak mau menghentikan permusuhan mereka, berarti bahwa tugasnya telah
gagal!
Akan tetapi, dengan napas
terengah-engah kakek itu berkata, Percuma, Lihiap....! Ahh....! Kiranya hanya
Tuhan saja yang akan dapat menggerakkan hati mereka dan membuka mata mereka
bahwa semua permusuhan dan dendam itu amatlah tidak baik....!
Tenanglah, Locianpwe. Yang
paling penting Locianpwe memelihara kesehatanmu dulu, nanti perlahan-lahan kita
mencari akal. Percayalah, aku akan membantumu.!
Aihh, kau baik sekali,
Li-hiap. Akan tetapi mereka, aahhh....! Dan kakek itu lalu menangis
terisak-isak! Siauw Bwee menjadi terharu sekali dan dia tidak tega meninggalkan
kakek itu yang telah menurunkan ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Dengan
sabar dia menghibur dan merawat kakek yang menderita sakit itu.
Tiga hari kemudian, selagi
Siauw Bwee menggodok obat untuk Kakek Lu Gak, tiba-tiba terdengar suara
ribut-ribut di luar pondok. Siauw Bwee segera meloncat keluar dan tampaklah
semua anggauta kedua kaum bercacad itu berkumpul di luar pondok dan saling
memaki,
Sudah jelas betapa rendah dan
curangnya Si Lengan Buntung!! teriak seorang nenek berkaki buntung sambil
menudingkan tongkatnya ke arah kelompok lengan buntung yang memandang marah.
Siapa lagi kalau bukan kalian yang menculik ketua kami dengan bantuan gadis
setan itu? Orang she Lu adalah seorang di antara kaummu, tentu membantu
kalian!!
Tutup mulutmu yang kotor!!
bentak seorang kakek lengan buntung juga menudingkan telunjuk lengan tunggalnya
kepada rombongan kaki buntung, Gadis itu pernah berada di tempat kalian, tentu
dia telah membantu kalian menculik ketua kami!!
Mendengar ini Siauw Bwee yang
baru keluar berseru, Apa ini saling tuduh dan membawa-bawa aku?!
Semua orang menengok dan
ketika melihat Siauw Bwee, seperti mendengar komando saja mereka kedua pihak
telah menyerbu dan menyerang Siauw Bwee.
Dara perkasa ini terkejut dan
heran akan tetapi juga marah. Tubuhnya berkelebat ke depan, menyambar-nyambar
laksana burung walet menyambar sekumpulan laron sehingga terdengarlah
orang-orang mengaduh disusul robohnya belasan orang berturut-turut! Untung bagi
mereka bahwa Siauw Bwee masih menaruh kasihan, menganggap mereka itu
orang-orang keras kepala yang bodoh dan dimabok dendam, maka dia masih menahan
tenaganya dan hanya merobohkan mereka tanpa membunuh.
Tahan.... Apakah kalian telah
gila mengeroyok Khu-lihiap? Berhenti semua....!!
Siauw Bwee melompat kedekat
pintu, berdiri di sebelah Lu Gak yang telah duduk di depan pintu,
menggerak-gerakkan tangan kanannya dengan marah. Semua orang kedua kaum cacad
itu memandang Lu Gak dan seorang kakek lengan buntung berkata,
Lu-supek, Suhu The Bian Le
telah diculik orang. Siapa lagi yang mampu menculik Suhu kalau bukan Nona ini?!
Juga ketua kami diculik oleh
Nona ini!! berkata seorang tokoh kaki buntung.
Lu Gak menggeleng-gelengkan
kepalanya, Hemm.... kalian sudah gila semua, gila oleh dendam permusuhan
sehingga melontarkan fitnah dan tuduhan secara membabi-buta. Apakah kalian
melihat sendiri Khu-lihiap menculik kedua orang ketua kalian?!
Kemarin pagi ketua kami
menyatakan hendak mengadakan pertandingan pibu secara diam-diam di dekat rawa
melawan ketua lengan buntung,! demikian kakek yang berkaki buntung bercerita,
Kami dilarang turun karena pibu itu merupakan pibu perorangan diantara kedua
ketua, dan dilakukan diam-diam agar jangan diketahui oleh Nona ini yang
melarang pibu. Akan tetapi sampai sehari ketua kami tidak pulang, maka terpaksa
kami menyusul ke rawa. Pada waktu senja itu, ketika kami tiba di dekat rawa,
kami bertemu rombongan lengan buntung yang juga mencari ketua mereka. Akan
tetapi kedua pihak kami hanya mendapatkan lengan baju yang buntung dari ketua
lengan buntung dan tongkat ketua kami. Karena tidak kelihatan mayat di situ,
berarti ketua kami diculik dan siapa lagi yang sanggup menculiknya kalau bukan
Nona ini?!
Tiba-tiba Siauw Bwee melangkah
maju dan orang-orang kedua kaum itu otomatis melangkah mundur. Mereka jerih
terhadap Siauw Bwee yang luar biasa lihainya. Permusuhan di antara kalian telah
menimbulkan banyak malapetaka. Lihat Lu-locianpwe ini, karena dialah
satu-satunya orang yang sadar dan waras di antara kedua kaum, dia berusaha
mendamaikan dan apa yang kalian perbuat terhadapnya? Membuntungi kedua kakinya!
Padahal dialah yang paling tepat memimpin kalian dari dua kaum ke arah jalan
yang benar penuh damai. Sekarang, ketua kalian lenyap diculik orang, dan kalian
datang pula menuduh Lu-locianpwe dan aku! Hemm, kalau tidak ingat betapa besar,
rasa sayang Locianpwe ini kepada kedua kaum yang gila, agaknya aku akan senang
untuk membunuh kalian semua seperti membasmi lalat-lalat busuk yang hanya
mengotori dunia! Sekarang agaknya Thian sendiri yang menghukum kalian sehingga
ketua kalian lenyap diculik orang. Apakah kalian belum juga sadar? Kalau aku
berjanji untuk membantu kalian mencari ketua kalian, apakah kalian suka
bersumpah untuk menghapus permusuhan dan bekerja sama membantu aku mencari
mereka?!
Orang-orang kedua rombongan
saling pandang. Yang fanatik dimabok dendam masih ragu-ragu.
Ingat, orang yang dapat
menculik ketua-ketua kalian tentu berkepandaian tinggi. Aku akan berusaha
mencarinya dan melawannya untuk menolong ketua kalian, Akan tetapi bersumpahlah
lebih dulu bahwa semenjak saat ini, semua dendam di antara kalian telah habis
dan kalian tidak akan saling bermusuhan lagi, bagaimana, sanggupkah?!
Hening sejenak dan terdengar
mereka semua berbisik -bisik. Kemudian, kakek kaki buntung memelapor
teman-temannya, Kami pihak kaum kaki buntung bersumpah, dan sanggup asal ketua
kami diselamatkan!!
Siauw Bwee tersenyum. Memang
pihak kaki buntung belum segila pihak lengan buntung. Maka ia bertanya,
Bagaimana dengan kaum lengan buntung? Kalau tidak mau aku hanya akan mencari
dan menyelamatkan Liong Ki Bok ketua kaki buntung saja!!
Kami.... kami sanggup dan
bersumpah untuk menghabiskan permusuhan asal ketua kami diselamatkan!! Akhirnya
nenek lengan buntung berseru.
Siauw Bwee masih belum puas.
Dia maklum betapa hebat dendam dan permusuhan di antara mereka dan siapa tahu
kalau nanti ketua mereka telah berada di tengah mereka, permusuhan akan
dilanjutkan.
Bagaimana kalau kelak ternyata
bahwa kedua ketua kalian masih tidak mau berdamai dan melanjutkan permusuhan?!
Hening pula sejenak dan
tiba-tiba terdengarlah Kakek Lu Gak yang sejak tadi mendengarkan penuh
perhatian berkata, Mengapa kalian ragu-ragu? Begitu bodohkah kalian menaati
kehendak ketua kalian yang sudah gila? Kalau ternyata mereka masih nekat saling
bermusuhan dan tidak menaati janji dengan Khu-lihiap, kita hancurkan saja
mereka yang menjadi sarang dan bibit permusuhan.!
Akurr....!! Kini semua
anggauta kedua kaum itu berteriak.
Wajah Siauw Bwee berseri,
Kalau begitu, marilah. Bawa aku ke tempat mereka berdua lenyap meninggalkan
lengan baju dan tongkat!!
Berangkatlah mereka menuju ke
rawa di mana dahulu Siauw Bwee hampir celaka dikeroyok burung-burung liar.
Ketika mereka tiba di tepi rawa di mana mereka menemukan tongkat Liong Ki Bok
dan lengan baju The Bian Le, Siauw Bwee memandang ke sekitarnya dan dia
mengerutkan kening. Rawa itu amat luas dan tidak tampak tempat yang kiranya
dapat dipergunakan sebagai tempat tinggal orang yang menculik kedua orang ketua
itu. Dia merasa heran dan menduga-duga. Kalau benar dua orang itu diculik,
tentu tidak disembunyikan di rawa ini, melainkan dibawa ke lain tempat. Tempat
terbuka. luas seperti rawa ini, mana mungkin dipakai menawan orang? Dia
memandang lagi ke sekeliling dan diam-diam bergidik. Tempat ini merupakan
tempat sarang maut dan teringatlah penuh kengerian akan dua orang temannya yang
juga melarikan diri cerai-berai ketika dikeroyok burung, yaitu Cia Cen Thok si
bekas mayat hidup! dan pemuda Co-bi-san yang gagah, Hui-eng Liem Hok Sun. Tentu
mereka itu telah tewas dimakan burung atau tenggelam di dalam rawa atau....
dikeroyok ular. Siauw Bwee bergidik.
Li-hiap, ke mana sekarang kita
mencari mereka?! Tiba-tiba nenek lengan buntung bertanya dan semua orang kini
memandang kepada Siauw Bwee.
Siauw Bwee menjadi bingung,
tidak tahu bagaimana harus menjawab. Tiba-tiba Kakek Lu Gak yang juga ikut
bersama mereka yang sejak tadi mengerutkan alisnya dan memandangi daerah rawa
yang luas, berkata,
Ahh, aku tahu! Tidak salah
lagi....!!
Semua orang kini memandang
kakek itu dan Siauw Bwee bertanya, Di mana mereka menurut pendapatmu,
Locianpwe?!
Semua orang diam mendengarkan
jawaban kakek itu, Kedua orang sute itu kalau diculik orang tentu disembunyikan
di suatu tempat. Rawa ini tak mungkin dipergunakan untuk maksud itu dan
satu-satunya tempat yang paling tepat tentulah di kuil tua!!
Orang-orang kedua kaum cacad
itu saling pandang dan agaknya mereka tidak percaya, bahkan mulai kelihatan
murung dan kecewa karena sesungguhnya mereka tidak suka datang ke tempat itu,
kecuali jika diadakan pibu! Namun, melihat Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak pergi
menuju ke kuil tua, mereka mengikuti dari belakang.
Lihat itu....! Siauw Bwee
berseru ketika kuil itu sudah tampak, menuding ke arah benda-benda beterbangan
di atas kuil.
Kelelawar-kelelawar siang!!
Anggauta kedua rombongan berteriak kaget dan seketika menghentikan langkah.
Akan tetapi Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak sudah cepat bergerak ke arah kuil.
Kedua rombongan maju pula mengikuti, akan tetapi dengan wajah takut-takut.
Siauw Bwee lebih dulu tiba di
kuil dan cepat memasuki kuil itu terus ke ruangan belakang yang menambus ke
halaman belakang yang penuh rumput. Dan tampaklah pemandangan yang mengejutkan
hatinya. Dua orang kakek itu, Liong Ki Bok dan The Bian Le, rebah telentang di
atas rumput, agaknya terluka dan tertotok, terbelalak memandang ke arah ratusan
kelelawar yang beterbangan di atas dan mengeluarkan suara seperti sekumpulan
anjing dan kera berkelahi, siap untuk menerjang kedua orang kakek yang tidak
berdaya itu! Melihat ini, Kakek Lu Gak yang dengan terengah-engah sudah datang
pula, cepat mengeluarkan suara melengking dari kerongkongannya.
Mendengar ini, Siauw Bwee
teringat dan melihat kakek itu dengan susah payah mengerahkan tenaga khi-kang,
ia lalu mengeluarkan lengking yang amat tinggi dan mengandung getaran, hebat.
Mendengar itu kelelawar-kelelawar menjadi panik dan cepat melarikan diri dengan
terbang membumbung tinggi sambil cecowetan. Makin lama kelelawar-kelelawar itu
makin bingung, bahkan ada yang meluncur jatuh karena tidak kuat diserang suara
melengking yang begitu dahsyatnya.
Tiba-tiba di luar kuil
terdengar suara tertawa-tawa disusul suara teriakan-teriakan kesakitan dan
suara gedebak-gedebuk orang berkelahi.
Locianpwe, harap menjaga agar
binatang-binatang jahat itu tidak turun lagi, akan tetapi tidak perlu memaksa
diri. Aku akan melihat keluar!! Tubuh dara perkasa itu sudah berkelebat keluar
kuil dan apa yang dilihatnya membuat ia terbelalak keheranan. Puluhan
orang-orang anggauta kaki buntung dan lengan buntung itu sedang diamuk oleh dua
orang yang tertawa-tawa dan gerakannya aneh serta lihai bukan main! Sudah belasan
orang anggauta kedua kaum itu roboh tewas, banyak pula yang terluka dan kedua
orang itu mengamuk sambil tertawa bergelak.
Ha-ha-ha-ha! Aku adalah raja
rawa! Lebih banyak lagi korban untuk diper sembahkan dewa-dewa kelelawar!!
teriak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan hanya bercawat
saja, tubuhnya penuh lumpur.
Ha-ha-ha! Benar, lebih banyak
lebih baik menemani dua orang kakek! Ha-ha-ha, aku adalah pangeran rawa-rawa!!
Siauw Bwee menahan napas
melihat orang ke dua itu, yang pakaiannya robek-robek tidak karuan hampir
telanjang dan seperti orang pertama rambutnya riap-riapan tubuhnya penuh lumpur
dan mata mereka itu merah dan liar berputaran. Akan tetapi ilmu kepandaian
mereka luar biasa sekali. Mereka bersilat seperti orang ngawur saja akan tetapi
setiap tangan mereka bertemu dengan anggauta-anggauta kedua kaum yang
mengeroyok, tentu lawan roboh dan tewas!
Cia Cen Thok, Liem Hok Sun
....!! Siauw Bwee berteriak dan meloncat ke tengah pertempuran. Semua orang
mundur, jangan melawan mereka!! Mendengar seruan ini dan karena memang takut
dan gentar menghadapi kehebatan dua orang gila itu, anak buah kedua kaum cacad
itu cepat mengundurkan diri sehingga kini hanya Siauw Bwee saja yang berhadapan
dengan dua orang gila. ia menoleh dan berkata kepada orang-orang itu. Ketua
kalian selamat, di halaman belakang!! Mendengar ini, semua orang lari memasuki
kuil.
Cia Cen Thok, Liem Hok Sun,
apa yang kalian lakukan ini?! Siauw Bwee memberanikan diri menegur dengan hati
gentar dan ngeri karena dia dapat menduga bahwa kedua orang ini sudah tidak
waras lagi dan tidak normal.
Ha-ha-ha!! Kedua orang itu
tertawa-tawa dan menudingkan telunjuk mereka ke muka Siauw Bwee.
Cia Cen Thok! Liem Hok Sun!
Apakah kalian tidak mengenal aku lagi? Aku Khu Siauw Bwee!!
Ha-ha-ha! Korban lunak untuk
para dewa kelelawar!! Tiba-tiba Cia Cen Thok yang tertawa-tawa itu menyerang
hebat sehingga Siauw Bwee cepat mengelak. Dari tangan Si Bekas Mayat Hidup itu
tercium bau amis. Tangan beracun! Bahkan tubuh mereka semua beracun! Siauw Bwee
dapat menduga bahwa agaknya kedua orang ini telah berhasil menyelamatkan diri
dari penge royokan burung, akan tetapi agaknya menjadi korban gigitan
kelelawar-kelelawar itu sehingga menjadi gila dan selain gila, tubuh mereka
menjadi beracun! Dia tidak dapat membujuk lagi karena kini dua orang gila itu
telah mengeroyoknya dengan gerakan-gerakan aneh dan dahsyat sekali!
Pada saat Siauw Bwee mengelak
dan mengandalkan- gin-kangnya agar jangan sampai kulit tubuhnya tersentuh
tangan-tangan beracun itu, para anggauta kedua kaum telah memapah keluar ketua
mereka, mengganti pakaian mereka dan kini mereka semua berdiri di luar kuil
menonton pertandingan yang dahsyat mengerikan itu. Mereka tidak membantu karena
ketua mereka berkata, Dua orang itu korban kelelawar, tubuh mereka beracun dan
sekali sentuh saja akan cukup menularkan kegilaan mereka!!
Siauw Bwee harus menggunakan
seluruh kepandaiannya menghadapi pengeroyokan yang amat hebat itu. Yang
menyulitkannya adalah bahwa dia tidak tega menurunkan pukulan maut karena
maklum bahwa dua orang itu menyerangnya dalam keadaan tidak sadar. Betapa
mungkin dia tega untuk membunuh mereka? Inilah yang menyulitkan, karena kedua
orang itu menyerangnya dengan nafsu membunuh, setelah menjadi korban gigitan
kelelawar dan menjadi gila, tidak hanya tubuh mereka beracun, juga gerakan
mereka menjadi aneh dan mereka menjadi berlipat kali lebih lihai daripada
sebelum gila.
Bukan main ramai dan serunya
pertandingan itu. Biarpun Siauw Bwee memiliki gerakan yang ringan dan cepat
sekali, akan tetapi sambaran tangan kedua orang gila itu telah membuat beberapa
bagian pakaiannya robek-robek, bahkan pundak kirinya telah terserempet cakaran
tangan Hok Sun sehingga mengeluarkan darah. Rasa gatal dan panas pada pundaknya
membuat, Siauw Bwee maklum bahwa dia telah terkena racun. Terpaksa dia harus
mengerahkan sin-kangnya dan dengan hawa murni itu dia mendesak hawa beracun di
pundaknya sehingga tidak menjalar lebih luas. Ketika ia agak lengah karena
melirik ke arah pundak kirinya, tiba-tiba gerakan aneh dari Cia Cen Thok dengan
tendangan yang merupakan jurus gerakan kaki kilat mengenai paha kanannya.
Desss!! Tubuh Siauw Bwee terlempar dan jatuh bergulingan di atas tanah!
Dua orang gila itu
terkekeh-kekeh dan keduanya menubruk tubuh Siauw Bwee dengan gerakan seperti
dua ekor harimau memperebutkan seekor kelinci. Siauw Bwee merasa pahanya panas
sekali, cepat ia menggunakan sin-kang melindungi darahnya dan melihat tubrukan
dua orang itu, ia mulai menjadi gemas, gila atau tidak, mereka itu adalah dua
orang lawan yang berbahaya dan kalau tidak dia robohkan, tentu akhirnya dia
sendiri yang celaka. Karena itu, melihat mereka menubruk maju Siauw Bwee
mengerahkan sin-kangnya dan menyambut tubuh mereka dengan tendangan kedua
kakinya!
Bukk! Bukk!!
Dua orang gila itu berteriak
seperti binatang buas, tubuh mereka terlempar ke belakang dan mereka
bergulingan menekan perut yang rasanya seperti diremas-remas! Mereka kini
meringis dan Siauw Bwee sudah melompat bangun, kepalanya pening akibat bau
racun dan tubuhnya agak terhuyung. Akan tetapi hatinya merasa kasihan sekali
melihat dua bekas lawan yang gila itu meraung-raung kesakitan. Namun, kedua
orang itu kini sudah bangkit lagi dan dengan gerakan buas telah menyerangnya.
Siauw Bwee terkejut. Kalau
dilanjutkan, tentu dia akan celaka. Dia harus membagi sin-kang untuk melindungi
tubuhnya dari kedua lukanya. Luka di kulit pundak dan kulit pahanya. Tendangan
Cen Thok tadi merobek celananya di paha sahingga kulit pahanya terkoyak dan
keracunan pula bertemu dengan kaki Cen Thok! Kini melihat kedua orang gila itu
sudah menyerbu lagi, ia menguatkan hatinya, menggunakan Swat-im Sin-jiu
mendorong ke depan.
Tubuh kedua orang gila itu
seperti disambar petir. Mereka terjengkang, muka mereka menjadi biru, tubuh
mereka menggigil dan mereka bergulingan sampai jauh kemudian berhasil merangkak
bangun dan melarikan diri sambil berteriak-teriak! Siauw Bwee terhuyung-huyung.
Seorang nenek kaki buntung dan seorang anggauta lengan buntung cepat
menolongnya, memegang kedua lengannya menuntunnya memasuki kuil tua.
Lepaskan aku....! Siauw Bwee
berkata, kemudian dia duduk bersila di ruangan kuil, memejamkan matanya dan
tidak bergerak-gerak.
Para anggauta kedua kaum itu
mengerti bahwa Siauw Bwee sedang bersamadhi menghimpun tenaga dan hawa murni
untuk mengobati luka-lukanya dan mengusir racun, maka Liok Ki Bok dan The Bian
Le memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk meninggalkan Siauw Bwee.
Mereka pergi ke ruangan depan di mana mereka bercakap-cakap dari hati ke hati,
merasa bersatu dan lenyaplah. rasa permusuhan di antara mereka setelah kedua
pihak merasa yakin bahwa nona pendekar yang sakti itu sampai hampir
mengorbankan nyawa karena permusuhan mereka dan dami untuk mendamaikan mereka!
Mereka tidak mau meninggalkan
Siauw Bwee dan beberapa kali kedua orang ketua itu menjenguk dan pergi lagi
ketika melihat Siauw Bwee masih tetap bersamadhi. Malam tiba dan para anggauta
kedua kaum itu menyalakan lampu dan membersihkan ruangan kuil tua yang dahulu
menjadi tempat tinggal nenek moyang mereka yang saling bermusuhan. Kini
tampaklah suasana yang mengharukan di mana seorang kaki buntung dan seorang
lengan buntung bekerja sama membersihkan lantai dan menyapu halaman kuil!
Bahkan kedua orang ketua mereka, dalam suasana yang ramah-tamah, saling membicarakan
kedua ilmu mereka, membuka rahasia gerak kilat masing-masing!
Setelah malam tiba dan lampu
penerangan dipasang, Siauw Bwee membuka matanya. Racun dari luka di pundak dan
pahanya telah dapat ia usir bersih, akan tetapi tubuhnya menjadi lemah karena
ia terlampau banyak mengerahkan tenaga untuk usaha pengusiran racun-racun
berbahaya itu dan ketika ia bangkit, ia mengeluh dan terhuyung. Kemudian dengan
terpincang-pincang ia dipapah dua orang anggauta kaki buntung dan lengan
buntung.
Mana kedua ketua kalian?!
tanyanya ketika ia dipapah keluar. Kedua orang kakek itu sudah menyambutnya
dengan wajah berseri dan ketika melihat Siauw Bwee, mereka berdua lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan dara perkasa itu!
Terima kasih kami haturkan
kepada Li-hiap yang sudah menolong kami!! kata The Bian Le yang berlutut dan
mengangkat sebelah tangannya ke depan dada sebagai tanda penghormatan.
Terima kasih sekali, terutama
karena Li-hiap telah berhasil mendamaikan kami. Kami telah bersumpah untuk
mengubur semua dendam permusuhan dan mulai saat ini, kedua kaum kami bersatu
sebagai saudara-saudara seperguruan,! kata Liong Ki Bok.
Bukan main girangnya hati
Siauw Bwee. Tidak sia-sialah usahanya sekali ini, biarpun ditebusnya dengan
bahaya maut yang mengancam nyawanya. Ia girang karena mengingat betapa akan
bahagianya rasa hati Kakek Lu Gak. Ia menoleh ke kanan kiri dan bertanya,
Mana dia?!
Dua orang ketua itu saling
pandang, Siapakah yang Li-hiap cari?! tanya Liong Ki Bok.
Hemmm, betapa kalian telah
melupakan orang yang paling berjasa dalam usaha mendamaikan kalian! Mana
Locianpwe Lu Gak?!
Ahh....!! Barulah semua orang
teringat akan tetapi ketika dicari kakek itu tidak tampak.
Lekas, jemput dia di
pondoknya!! Siauw Bwee yang masih lemah dan kakinya pincang itu menyuruh mereka
karena dia sendiri masih terlalu lemah. Dua orang kakek itu cepat pergi sendiri
dan tak lama kemudian mereka datang dengan wajah berduka sambil memanggul tubuh
yang hanya berlengan satu dan yang sudah tak bernyawa itu!
Hati yang duka dari Siauw Bwee
berubah terharu dan juga lega ketika ia melihat wajah jenazah Kakek Lu Gak.
Wajah itu berseri, mulutnya tersenyum dan matanya terpejam. Agaknya saking
girangnya menyaksikan kedua kaum itu berdamai kakek ini pulang dengan hati
girang dan rasa girang yang berlebihan menyerang jantungnya dan membuatnya mati
dalam keadaan penuh bahagia!
Jenazah Kakek Lu dikubur di
halaman kuil itu dan diberi batu nisan yang megah, Siauw Bwee berkata dalam
pesannya ketika ia hendak pergi setelah lukanya sembuh, Kuharap saja kalian
akan dapat mempertahankan perdamaian ini dan tidak lagi memupuk permusuhan dan
membuntungi kaki dan lengan orang, dan anggaplah kuburan Lu-locianpwe sebagai
lambang perdamaian abadi.!
Siauw Bwee diantar oleh semua
anak buah kedua kaum yang kini telah bersatu itu, diberi pakaian, kuda dan
bekal secukupnya. Kedua ketua itu berlinang air mata ketika Siauw Bwee
melambaikan tangan sebagai ucapan selamat tinggal, meninggalkan tempat yang
takkan dapat ia lupakan itu karena di situ dia telah mengalami hal-hal yang
hebat.
Setelah meninggalkan tempat
itu, Siauw Bwee melakukan perjalanan ke selatan mencari ibunya. Akan tetapi,
dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika mendengar berita dari seorang
perwira Sung bekas sahabat ayahnya bahwa ibunya yang dahulu melarikan diri
mengungsi itu, telah meninggal dunia karena sakit sesudah mendengar bahwa
suaminya gugur.
Siauw Bwee sempat mengunjungi
kuburan ibunya, bahkan dia berkabung dan menangisi kuburan ibunya di dusun
sunyi sampai beberapa hari, kemudian karena mendengar keterangan bahwa musuh
besarnya, Suma Kiat kini sedang memimpin barisan besar ke utara untuk melawan
para pemberontak dan pasukan-pasukan Mancu di perbatasan utara, dia lalu
melanjutkan perjalanannya menyusul ke utara. Kebenciannya terhadap musuh besar
itu meningkat karena dia menganggap bahwa kematian ibunya pun disebabkan oleh
Suma Kiat! Dara yang hatinya merana dan setiap saat teringat dengan hati penuh
rindu kepada suhengnya, Kam Han Ki, kini melakukan perjalanan dengan hati
mengandung dendam besar, membuatnya menjadi pendiam dan kurang gembira.
***
Kota-kota dan dusun-dusun
daerah utara amat sunyi karena sebagian besar penduduknya lari mengungsi
menjauhi pertempuran. Namun, banyak juga yang tidak pergi mengungsi karena
selain tidak tahu harus pergi ke mana, juga mereka merasa sayang untuk
meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka. Ada pula yang menyuruh
keluarganya saja pergi mengungsi. Karena banyak warung, toko dan restoran
tutup, maka bagi mereka yang berani membuka restoran dan toko merupakan usaha
yang amat baik dan menguntungkan.
Warung-warung nasi selalu
ramai, akan tetapi tidak terpelihara baik-baik karena tempat itu sewaktu-waktu
kalau terjadi perang harus ditinggalkan. Meja-meja dan bangkunya butut,
tembok-tembok rumahnya tidak dikapur dan makanan yang disediakan pun amat
sederhana, walaupun harganya sama sekali tidak sederhana, melainkan harga
pukulan!
Bagi restoran-restoran di
dusun-dusun, yang menjadi langganan mereka adalah tentara-tentara yang
kebetulan pasukannya singgah di situ dan yang membuat perkemahan dekat dusun
itu. Para perajurit yang makan-makan di restoran tidak berani berbuat
sewenang-wenang, dan selalu membayar karena pemilik-pemilik restoran itu dengan
cerdiknya selalu menghubungi komandan mereka dan mengirim hidangan-hidangan
yang lezat. Selama ini, juga dengan adanya rumah-rumah makan itu mereka
mendapat kesempatan untuk sekedar menghibur diri. Kalau mereka tidak bayar dan
semua restoran tutup, tentu mereka akan kehilangan.
Pada suatu pagi, Panglima Maya
dan sebelas orang pembantunya memasuki sebuah restoran yang cukup besar di kota
dekat tempat pasukannya berhenti. Pelayan segera menyambutnya dan Maya beserta
para perwiranya dipersilakan duduk di loteng dan segera mereka itu dilayani
penuh hormat. Para pengawal cukup duduk di ruangan bawah saja dan mereka
menghadapi meja sambil bersendau-gurau, karena para pemimpin mereka berada di
loteng, maka mereka mendapat kesempatan untuk bersenang-senang dan
bersendau-gurau saling menggoda.
Tiba-tiba delapan orang perajurit
pengawal Pasukan Maut yang sedang bercakap-cakap itu menghentikan sendau-gurau
mereka dan semua mata memandang ke arah pintu restoran, mulut mereka
tersenyum-senyum. Siapa orangnya yang tidak akan terpesona menyaksikan seorang
dara jelita memasuki restoran itu dengan langkah tegap dan lenggangnya
menggiurkan itu? Dara itu masih muda, di punggungnya tampak sebatang pedang,
bajunya kuning dengan leher baju biru seperti celananya. Melihat pakaian yang
agak kotor oleh debu dapat diduga bahwa dia baru datang dari perjalanan jauh.
Wajah dara ini cantik sekali, terutama sekali matanya yang bergerak-gerak dan
berbentuk indah, kerlingnya tajam dan menyentuh berahi. Ketika seorang pelayan
menghampirinya, dara itu mengulur sebelah tangannya yang putih halus, menyentuh
lengan Si Pelayan sambil berkata,
Cepat sediakan nasi lauk-pauk
seadanya dan minuman teh panas!!
Para perajurit tertawa-tawa
gembira menyaksikan sikap dara itu yang demikian berani dan ramah, berani
memegang lengan seorang pelayan laki-laki tanpa sungkan –sungkan lagi.
Wah, sayang bukan
lenganku....!! Terdengar seorang perajurit berkata sambil mengelus-elus
tangannya sendiri dan menciumnya, ditertawai oleh teman-temannya. Dara itu
tidak peduli, melainkan menghampiri sebuah meja kosong dan duduk dengan anteng.
Para perajurit itu tidak melihat betapa pelayan yang tadi lengannya disentuh
oleh dara baju kuning itu seketika menjadi pucat, tubuhnya gemetar dan setelah
dara itu duduk, tergesa-gesa pelayan itu menyediakan makanan yang dipesan, sikapnya
amat hormat dan takut-takut. Meledaklah suara tertawa empat orang perajurit
dari meja yang telah dilayani, mentertawakan empat orang teman mereka yang
belum dilayani.
Seorang perajurit dari meja
kosong menggebrak meja, Apa ini? Pelayan, kami memesan lebih dulu, kenapa
melayani orang yang datangnya belakangan? Apa kaukira kami tidak membayar?!
Ha-ha-ha!! Seorang perajurit
dari meja, yang sudah dilayani tertawa, Kenapa mencak-mencak? Kalau mukamu
cantik dan kau memakai pakaian wanita, tentu kau dilayani lebih dulu!
Ha-ha-ha!! Teman-temannya tertawa dan empat orang perajurit yang belum dilayani
itu makin marah.
He! Pelayan! Ke sini kau,
kalau mau tahu rasanya pukulan perajurlt-perajurit Pasukan Maut!!
Pelayan itu berdiri dengan
kaki menggigil ketakutan. Dara itu yang menghadapi meja, telah menuangkan teh
ke dalam cawannya dengan sikap tenang, kemudian memandang Si Pelayan, Pelayan,
jangan layani anjing-anjing mabok itu. Semua tentara tidak baik, terutama
sekali yang menggunakan nama Pasukan Maut, tentu lebih tidak baik lagi!!
Mendengar ini, empat orang
perajurit itu merasa terhina dan mereka melompat mendekati meja gadis, itu,
mengurung dari empat penjuru. Seorang di antara mereka yang berada di belakang
gadis itu mencabut golok dan berkata,
Eh, engkau perempuan kang-ouw
merasa jagoan, ya? Cabut pedangmu kalau memang pedangmu lebih tajam dari
mulutmu yang manis!!
Gadis itu masih memegang cawan
teh panas, menunda minumnya dan, matanya yang indah bergerak melirik ke kanan
kiri dan depan.
Perajurit yang berada di
depannya sudah membentak, Engkau sungguh kurang ajar, datang-datang minta
dilayani lebih dulu. Mengingat engkau seorang gadis muda cantik, kami masih
mengalah dan hanya ingin menegur pelayan. Kenapa kau memaki kami? Penghinaan
itu baru lunas kalau kau membayar dengan sebuah ciuman dari bibirmu yang ma....
ougghhh....!! Perajurit itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena mukanya
sudah kena siraman air teh panas yang telah meloncat! dari cawan yang dipegangi
dara itu. Tiga orang temannya menjadi marah dan bergerak hendak menyerang, akan
tetapi dari dalam cawan itu kini air teh meloncat! ke tiga penjuru, ke kiri
kanan dan belakang, tepat mengenai muka tiga orang perajurit yang menjadi
gelagapan, bukan hanya karena air teh itu panas sekali, akan tetapi juga karena
percikan air yang mengenai muka rasanya seperti jarum-jarum menusuk!
Empat orang perajurit lain
menjadi marah menyaksikan empat orang temannya mengaduh-aduh dan mengusap-usap
mata seperti itu. Mereka sudah meloncat dan mencabut senjata.
Tentu dia mata-mata musuh!
Serang! Bunuh....!!
Dara itu bangkit berdiri,
tangannya meraih ke depan dan sebuah piring melayang-layang terbang menyambar
empat orang perajurit itu. Terdengar jerit-jerit kesakitan dan empat orang
perajurit itu roboh dengan lengan mereka berdarah karena ketika mereka
menangkis, lengan mereka tergores piring yang menjadi tajam karena berpusing
itu, melebihi pisau! Akan tetapi tiba-tiba piring itu terhenti di tengah udara
kemudian berdesing turun menyambar kepada dara itu sendiri yang mengeluarkan
seruan kaget, menangkap piring, meletakkannya di atas meja lalu dia menoleh ke
arah anak tangga menuju loteng. Di situ telah berdiri Maya! Melihat seorang
wanita cantik dan gagah perkasa berpakaian panglima, dara baju kuning itu
memandang tajam dan kakinya menendang meja di depannya sehingga meja itu
terlempar jauh. Agaknya dia tahu bahwa dia kedatangan lawan tangguh, maka ingin
mencari tempat yang luas untuk menghadapi pengeroyokan.
Ketika para perwira lari-lari
turun dari loteng dan para pengawal siap untuk mengeroyok, Maya berseru, Tahan!
Mundur semua! Aku mau bicara.... dengan dia!!
Dara itu telah siap berdiri
dengan tenang dan pandang mata tajam mengikuti gerak langkah Maya yang juga
tenang-tenang menuruni anak tangga, menghampiri dara itu sampai mereka
berhadapan dan saling pandang. Keduanya terkejut dan mengingat-ingat karena
masing-masing seperti telah mengenal.
Ketika Maya melihat gagang
pedang di pungung dara baju kuning itu, teringatlah dia dan segera menegur,
Bukankah di punggungmu itu Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)?!
Dara itu kelihatan kaget
sekali, akan tetapi dia tetap tenang dan balas bertanya,
Bagaimana engkau bisa tahu?!
Maya tersenyum lebar, Kalau
benar, engkau tentulah Ok Yan Hwa. Dan agaknya engkau telah lupa kepadaku!!
Dara perkasa itu memang benar
Ok Yan Hwa murid Mutiara Hitam. Dia meneliti wajah Maya dan teringat, lalu
berkata, Dan engkau agaknya Maya....!
Benar, Yan Hwa, kebetulan
sekali pertemuan kita ini dan maafkan anak buahku yang tidak mengenal wanita perkasa!
Heii, dengarlah. Dia ini adalah sumoi dari Can-huciang! Hayo lekas kalian minta
maaf!!
Mendengar bahwa dara baju
kuning yang gagah perkasa itu adalah sumoi dari Can Ji Kun, delapan orang
perajurit pengawal itu cepat memberi hormat dan seorang di antara mereka
berkata, Lihiap, mohon sudi mengampuni kami yang bermata tapi seperti buta!!
Akan tetapi Ok Yan Hwa yang
berwatak angkuh tidak mempedulikan mereka, apalagi karena ia tertarik dan
terheran mendengar ucapan Maya yang memperkenalkannya sebagai sumoi dari
Can-huciang!!
Apa maksudmu, Maya? Benarkah
Suheng berada di sini?!
Benar, Yan Hwa. Dia adalah
seorang di antara pembantu-pembantuku yang utama.!
Suheng? Ah, mana mungkin
Suheng menjadi perwira pembantumu? Mengapa bisa begitu?!
Maya mengerti bahwa dalam hal
keangkuhan, gadis itu tidak kalah oleh suhengnya. Maka ia pun berterus terang
dan tersenyum, Dia menjadi perwira pembantuku karena kalah taruhan.!
Yan Hwa mengerutkan alisnya,
memandang wajah Maya yang tersenyum-senyum itu dengan sinar mata marah karena
mengira bahwa Maya bicara main-main, Maksudmu?!
Dia telah mengadu kepandaian
melawan aku dengan taruhan bahwa kalau aku kalah aku akan meninggalkan
kedudukanku sebagai Panglima Pasukan Maut, dan kalau dia yang kalah dia akan
membantuku dan menjadi perwiraku.!
Yan Hwa membelalakkan matanya
yang bagus, dan wajahnya makin tidak senang. Ketidakpercayaan membayang jelas
di wajahnya, Aku tidak percaya. Mana dia?!
Dia sedang bertugas ke pantai
timur, menjalankan perintahku.!
Hemmm..., aku lebih tidak
percaya lagi.!
Bahwa dia menjadi perwira
pembantuku?!
Aku tidak percaya bahwa dia
telah kalah olehmu!!
Namun kenyataannya
demikianlah, Yan Hwa, karena suhengmu sudah menjadi pembantumu, bagaimana kalau
engkau juga membantu aku? Kita membasmi pasukan Kerajaan Sung yang telah
menewaskan Menteri Kam Liong kakak subomu, kita membasmi tentara Yucen, dan
terutama sekali kita membasmi bangsa Mongol yang telah membunuh subomu.
Bagaimana?!
Sejenak Yan Hwa diam memutar
pikirannya. Dia ingin sekali bertemu dengan suhengnya, karena rindu dan juga
karena ingin melihat apakah sekarang, setelah merantau sekian lamanya, dia
sudah dapat menundukkan suhengnya itu.