Bab 8
Ketika Siauw Bwee memandang,
ia kagum sekali melihat Si Gundul itu kini telah meloncat ke atas perahunya,
mengempit kepala ikan besar itu yang memukul-mukul dengan ekornya. Begitu
melempar ikan besar ke perahu, orang itu sekali pukul membikin pecah kepala
ikan itu yang berhenti memukul-mukul dengan ekornya menggelepar lemah.
Lopek, kepandaianmu
mengagumkan sekali!! Han Ki berseru ke arah orang gundul itu dan ketika orang
gundul itu membalikkan tubuh memandang, Han Ki cepat merangkapkan kedua tangannya
didepan dada memberi hormat. Akan tetapi orang itu tidak membalas
penghormatannya, meman dang tak acuh lalu berkata dengan logat asing, setengah
Mongol akan tetapi jelas bahwa dia pandai menggunakan bahasa Han.
Kepandaian begitu saja apa
artinya? Kalau kalian tidak mempunyai kepandaian, perlu apa berkeliaran di sini
mencari mampus?! Setelah berkata demikian, dia sudah terjun kembali ke dalam
air.
Celaka! Orangnya sombong
seperti setan!! Maya memaki marah. Hayo kita pergi saja, Suheng. Buat apa
berkenalan dengan orang macam itu?!
Lopek, awas....! Ikan
hiu....!! Tiba-tiba Han Ki berteriak ke arah orang yang masih berenang dan
agaknya sedang mencari-cari dan memandang ke dalam air itu.
Suheng....dia bisa
celaka....!! Siauw Bwee berseru.
Biarkan saja, Suheng. Orang
sombong biar tahu rasa!! Maya juga berseru.
Seekor Ikan hiu yang ganas dan
liar, sebesar manusia, menyambar dari belakang orang gundul itu. Dia ini cepat
sekali membalik dan dengan gerakan indah telah membuang diri ke kiri sehingga
serangan ikan liar itu luput. Cepat Si Gundul menangkap ekor ikan dan
mencengkerem sirip ikan, kemudian memutar dengan kekuatan luar biasa sehingga
tubuh ikan itu membalik. Orang gundul itu menangkap moncong ikan dengan kedua
tangan, membetot dan.... robeklah mulut ikan hiu itu yang setelah dilepas lalu
berkelojotan sekarat, air di sekitarnya merah oleh darahnya.
Lopek, naiklah ke perahu
banyak ikan hiu....!! Han Ki berteriak lagi ketika melihat banyak sekali sirip
atas ikan hiu meluncur datang. Ikan-ikan hiu amat tajam penciumannya akan
darah, maka begitu ada darah di air, mereka berdatangan seperti beriumba!
Sebentar Si Gundul dan bangkai ikan hiu itu telah dikurung belasan ekor ikan
hiu yang beear-besar. Sebagian ikan ini menyerbu bangkai kawannya dengan ganas,
dan ada tiga ekor yang menyerang Si Gundul!
Siauw Bwee menjerit ngeri
menyaksikan bangkai ikan hiu itu hancur lebur dan robek-robek, ngeri karena
tubuh orang gundul itu pasti akan disayat-sayat oleh gigi ikan-ikan buas itu.
Sedangkan Maya memandang dengan wajah berseri,agaknya ia girang melihat orang
sombong itu terancem bahaya.
Akan tetapi orang gundul itu
benar-benar amat lihai. Biarpun diserang oleh tiga ekor ikan buas, ia tidak mau
naik ke perahu, dan memang untuk kembali ke perahunya sudah tidak keburu lagi.
Dengan gerakan tangkas ia memukul ikan terdekat.
Desss!! Pukulan itu hebat dan
biarpun tubuh ikan yang kuat dan licin tidak remuk dan ikannya tidak mati,
namun terlempar sampai dua meter jauhnya.
Pukulan Pek-lek-sin-jiu
(Pukulan Halilintar)! Dari mana dia mempelajarinya?! Han Ki makin
terheran-heran ketika mengenal pukulan itu, sebuah pukulan sakti yang pernah ia
pelajari dari Bu Kek Siansu!
Akan tetapi tidak ada yang
depat menjawabnya dan perhatian Han Ki tertarik oleh bahaya maut yang mengancam
diri kepala gundul itu. Ikan yang dipukulnya tidak tewas , dan sudah berbalik
menerjang didahului oleh dua ekor ikan yang lain yanag menerjang dari kanan
kiri Orang gundul itu berhasil memukul dua ekor ikan, tetapi terjangan ikan
yang pertama tadi tak mungkin dapat ia hindarkan. Melihat ini Han Ki
mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya mencelat ke depan, tangan kirinya
menyambar lengan orang gundul, kakinya menginjak kepala ikan hiu yang menyerang
dari belakang. Sekali menggerakkan tangan, dengan menginjak kepala ikan sebagai
landasan, Han Ki berhasil melontarkan tubuh laki-laki itu ke perahunya,
sedangkan dia sendiri kembali mengenjotkan kakinya meloncat ke perahu terdekat,
yaitu perahu Si Gundul di mana pemiliknya sudah berdiri dengan mata terbelalak,
heran memandang ke arah Han Ki.
Kau.... kau siapa?! Kini orang
gundul itu hilang kesombongannya dan memandang Han Ki dengan sinar mata penuh
heran dan kagum.
Han Ki tersenyum, kembali
memberi hormat yang tak juga dibalas oleh Si Gundul sambil memperkenalkan diri!
Namaku Han Ki, dan mereka itu adalah dua orang sumoiku, Maya dan Khu Siauw
Bwee. Siapakah Lopek yang pandai ini dan di mana tampat tinggal lopek?!
Laki-laki tua yang usianya
sudah ada lima puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak kuat itu memandang
Han Ki dengan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang dan berkata,
Sungguh tak kusangka di dunla ini ada seorang pemuda yang begini lihai! Orang
muda, engkau telah menolong nyawaku, maka sudah sepatutnya menjadi tamu agung
dari Pulau Nelayan kami. Aku hanyalah seorang nelayan biasa dari keluarga kami
di Pulau Nelayan. Kebetulan aku berhasil menangkap tiga ekor ikan yang besar
dan lezat dagingnya. Kalau engkau dan dua orang sumoimu suka, aku undang kalian
untuk mengunjungi pulau kami dan ikut berpesta menikmati daging ikan.
Baiklah dan terima kasih,
Lopek. Aku akan senang sekali bertemu dengan keluargamu.! Han Ki amat tertarik
untuk mengetahui keadaan nelayan gundul itu karena tadi ia menyaksikan bahwa
nelayan itu memiliki ilmu pukulan yang ia kenal sebagai ilmu pukulan gurunya.
Ia mengenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang ke arah perahunya sendiri.
Gerakan ini hanya membuat perahu Si Nelayan tergoyang sedikit sehingga nelayan
itu makin kagum karena perbuatan pemuda itu membuktikan kepandaian yang tinggi.
Suheng, buat apa kita
mengunjungi pulaunya?! Maya menegur Han Ki dengan mulut cemberut.
Sumoi, dia memiliki ilmu
pukulan yang sama dengan yang pernah kupelajari. Aku ingin sekali mengetahui
keadaan keluarganya. Tentu ada, hubungannya antara mereka dengan Suhu,! Han Ki
berkata lirih.
Orang muda she Kam! Marilah
ikut perahuku!! Nelayan itu berseru dan tanpa menengok lagi ia sudah mendayung
perahunya meluncur cepat sekali karena dia memang mengerahkan tenaganya dan
agaknya dia hendak menguji Han Ki. Melihat ini, Han Ki cepat menyambar dua
batang dayung sambil mengerahkan tenaga pula mengejar perahu Si Nelayan itu
menuju ke utara dan kurang lebih dua jam kemudian perahu itu mendarat di sebuah
pulau kecil yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan sekelilingnya merupakan tebing
batu karang yang curam.
Nelayan itu mendaratkan perahu
di bawah tebing dan mengikat perahunya.
Ketika ia menoleh dan melihat
betapa Han Ki juga sudah mendarat dan mengikatkan perahu, Ia berkata, Engkau
memang orang muda hebat dan pantas menjadi tamu kami! Mari ikut aku!! Ia
mengikat mulut tiga ekor ikan besar tadi, memanggulnya dan mulai mendaki
tebing.
Benar-benar seorang yang aneh
dan ilmunya cukup hebat.! Han Ki memuji. Kalian berpeganglah pada tali ini
baik-baik karena tebing itu berbahaya.! Han Ki menggunakan sebagian tali perahu
yang dipegang kedua ujungnya oleh Maya dan Siauw Bwee, kemudian ia sendiri
memegang tengah-tengah tali dan dengan demikian ia menuntun kedua orang
sumoinya mendaki tebing mengikuti nelayan gundul itu. Kagum ia melihat nelayan
itu mendaki tebing sambil memanggul tiga ekor ikan yang amat berat itu.
Ketika tiba di atas tebing,
ternyata pulau itu cukup subur dan mereka itu disambut oleh dua puluh orang
lebih terdiri dari laki-laki dan wanita yang kesemuanya berpakaian sederhana,
yang laki-laki sebagian besar bercawat atau memakai celana yang sudah
robek-robek tanpa baju. Sedangkan yang wanita memakai pakaian dari kulit batang
pohon atau kulit ikan yang dikeringkan dan dilemaskan. Anehnya, yang laki-laki
semua botak atau gundul, agaknya kepala botak dan gundul merupakan mode! bagi
mereka!
Ketika mereka melihat Han KI
dan dua orang sumoinya, mereka menjadi gempar dan mengurung tiga orang muda
ini, memandang seperti sekumpulan anak-anak mengagumi barang mainan baru!
Apalagi ketika nelayan gundul itu menceritakan betapa Han Ki menolongnya dan
betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, orang-orang itu makin tertarik
dan memuji-muji.
Karena kulihat dia patut
menjadi tamu kita, maka dia kuundang untuk berpesta bersama kita,! demikian Si
Nelayan Gundul menutup ceritanya.
Setelah membiarkan dia dan
kedua orang sumoinya menjadi barang tontonan beberapa lama sambil memperhatikan
orang-orang itu yang kehidupannya amat sederhana, Han Ki lalu berkata,
Siapakah di antara Cu-wi yang
menjadi Tocu (Majikan Pulau)?!
Apa Tocu? Tidak ada tocu di
sini,! jawab Si Nelayan Gundul.
Kumakaudkan ketua kalian.
Pemimpin. Siapakah pemimpin kalian? Aku ingin menyampaikan hormatku dan ingin
bicara.
Orang-orang yang berada di
situ tertawa dan Si Nelayan Gundul menjawab, Kami sekeluarga tidak mempunyai
pemimpin, kami memimpin diri kami masing-masing. Siapa membutuhkan pemimpin?!
Han Ki terheran-heran. Kalau
begitu kalian dahulu datang dari manakah?! Apakah turun temurun terus berada di
sini?!
Si Nelayan Gundul mengangkat
pundak kemudian menuding ke arah seorang laki-laki tua yang berkepala botak.
Aku tidak tahu. Dia mungkin tahu.!
Laki-laki berkepala botak itu
menggerakkan tongkatnya, jalan terpincang menghampiri Han Ki. Tiba-tiba tongkatnya
membuat beberapa gerakan berputar dan tongkat lenyap berubah menjadi gulungan
sinar yang mengurung tubuh Han Ki. Pemuda ini terkejut bukan main, bukan karena
penyerangan yang tak disangka-sangka itu, melainkan karena mengenal bahwa
gerakan tongkat ini sebenarnya adalah gerakan ilmu pedang yang amat dikenalnya,
yaitu ilmu Pedang Thian-te It-kiam yang juga merupakan ilmu pedang yang per nah
ia pelajari dari Bu Kek Siansu! Cepat ia mengelak dan berseru.
Apakah kalian murid Bu Kek
Siansu? Aku adalah muridnya!!
Akan tetapi kakek bertongkat
tidak menjawab, juga diantara dua puluh orang lebih itu tidak ada yang
menjawab, seolah-olah nama Bu Kek Siansu belum pernah mereka mendengarnya. Dan
kini ujung tongkat kakek itu meluncur dengan kecepatan kilat menotok ke arah
jalan darah di pundak Han Ki! Han Ki cepat mengelak dan tahulah ia bahwa kakek
ini benar-benar telah menguasai Thian-te It-kiam dengan sempurna dan bahwa
kakek itu hanya ingin mengujinya karena gerakan aseli dari jurus itu adalah
menusuk tenggorokan yang berarti merupakan serangan maut, akan tetapi oleh
kakek itu diubah menjadi gerakan yang hanya menotok pundak. Timbul
kegembiraannya dan ia cepat mencabut pedangnya.
Srattt!! Tampak sinar berkilau
ketika pedang pemuda itu tercabut dan ia lalu memutar pedangnya sambil berseru.
Baiklah, orang tua yang gagah. Mari kita menguji ilmu Pedang Thian-te It-kiam!!
Ia lalu mainkan jurus Thian-te It-kiam yang amat lihai. Kakek itu berseru
girang, juga semua orang yang berada di situ berseru, kaget karena segera menge
nal gerakan pedang pemuda itu, kakek itu nampak makin bersemangat dan
terjadilah adu ilmu pedang yang lebih menyerupai latihan karena selalu
keduanya, mainkan jurus-jurus yang sama, juga keduanya jelas tidak ingin saling
bunuh!
Han Ki menjadi makin kagum
ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu benar-benar telah menguasai ilmu
pedang itu bahkan tidak kalah baiknya oleh dia sendiri, juga sin-kang kakek itu
amat hebat! Dia pun mengerti bahwa orang-orang yang mengaku penghuni Pulau
Nelayan dan kelihatannya liar dan biadab ini, ternyata bukanlah orang-orang
kejam dan tidak mempunyai niat membunuhnya.
Seratus jurus lebih mereka
bertanding. Akhirnya kakek itu meloncat mundur dan berseru Pemuda ini adalah
keluarga sendiri!!
Diam-diam Han Ki menjadi terharu
dan ia maklum bahwa sekumpulan keluarga aneh ini telah memiliki tingkat ilmu
kepandaian yang hebat, yang kalau diberi kesempatan di dunia ramai, mereka akan
menjadi jago-jago kang-ouw yang sukar ditandingi. Maka ia cepat menyimpan
pedangnya, kembali dan menjura.
Locianpwe, maafkan
kekurangajaranku. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah murid Bu Kek Siansu,
demikian pula kedua orang sumoiku itu. Locianpwe yang memiliki Ilmu Pedang
Thian-te It-kiat dan saudara nelayan yang memiliki pukulan Pek-lek-jiu tadi
tentu mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu guruku.!
Kami tidak mengenal Bu Kek
Siansu, kata kakek itu dan Han Ki makin terheran karena menduga bahwa kakek itu
agaknya tidak membohong.
Kalau begitu, dari manakah
kalian mendapatkan ilmu-ilmu itu?!
Kakek itu mengangkat pundak.
Dari nenek moyang kami yang tinggal di pulau ini.!
Locianpwe, sukakah Locianpwe
menceritakan siapa nenek moyang Locianpwe, dan bagaimana dapat tinggal
turun-temurun di tempat seperti ini?!
Wajah kakek itu kelihatan jemu
akan percakapan mengenai nenek moyangnya.
Aku tidak tahu, aku yang
paling tua tidak tahu, tentu saja mereka semua pun tidak tahu. Sudahlah, orang
muda. Kami adalah nelayan-nelayan di Puau Nelayan ini, selama turan-temurun
menjadi nelayan dan tidak mau mencampuri urusan manusia-manusia lain. Tempat
ini jarang didatangi orang asing dan engkau sekarang menjadi tamu kami. Marilah
kau menikmati penyambutan kami seadanya.Kau boleh tinggal disini selama kau dan
sumoi-sumoimu menyukai, dan boleh pergi kemana saja. Hanya pesanku, engkau dan
sumoimu sama sekali tidak boleh melanggar batas puncak batu karang sana itu.
Tempat itu adalah tempat keramat bagi kami, tak seorang pun boleh
mengunjunginya. Mengertikah, orang muda?!
Han Ki mengangguk dan
memandang ke arah bukit karang di ujung timur pulau itu dengan hati penuh ingin
tahu. Tempat itu disebut tempat keramat dan tidak boleh didatangi orang.
Tiba-tiba Maya berkata kepada
kakek itu, Kakek, tempat apakah itu yang kausebut tempat keramat?!
Han Ki terkejut akan kelancangan
Maya dan merasa khawatir kalau-kalau kakek dan keluarganya yang aneh itu akan
marah. Akan tetapi, kakek itu agaknya berwatak sabar sekali, malah menjawab
halus, Anak perempuan yang cantik jelita, kalau engkau mau tahu, tempat itu
adalah kuburan nenek moyang kami. Sudahlah, aku sudah tidak bisa bercerita
banyak, dan aku tidak berani bicara banyak pula mengenai tempat yang kami
anggap suci itu. Mari kita berpesta!!
Orang-orang itu lalu bersorak
sambil mengangkut tiga ekor ikan besar, kemudian mereka mengajak Han Ki dan dua
orang sumoinya meninggalkan pantai pergi ke tengah pulau di mana terdapat
sebuah dusun kecil dengan pondok-pondok kayu yang sederhana pula. Beberapa
anak-anak yang telanjang bulat menyambut kedatangan mereka sambil
bersorak-sorak gembira. Tak lama kemudian anakanak itu mengelilingi Maya dan
Siauw Bwee, memandang terheran-heran dan tertawa-tawa sehingga akhirnya Maya
dan Siauw Bwee merasa suka kepada meraka. Biarpun mereka itu kelihatan tak
berpakaian dan sederhana, namun mereka sama sekali tidaklah bodoh, dan juga
tidak nakal. Di samping itu, semenjak kecil anak-anak ini sudah digembleng
dengan ilmu silat sehingga gerakan mereka tangkas dan tubuh mereka kuat.
Setelah daging ikan di
panggang dan diberi bumbu yang sedap baunya, tiga orang tamu itu ikut makan
daging ikan dan buah-buahan, minum semacam arak buatan penghuni pulau itu
sendiri yang rasanya seperti sari buah. Mereka semua bersikap ramah dan wajar
sehingga Maya sendiri yang biasanya rewel kini merasa senang di pulau itu. Yang
amat mengherankan di antara semua keanehan pada keluarga itu adalah bahwa
mereka itu tidak mempunyai nama! Agaknya, keluarga yang terasing dari dunia
ramai ini telah kehilangan kebiasaan memberi nama pada anak mereka yang baru
lahir sehingga sampai tua mereka tidak, bernama.
Keadaan mereka yang aneh,
kepandaian mereka yang tinggi dan satu sumber dengan ilmu yang diajarkan Bu Kek
Siansu membuat hati Han Ki tertarik sekali untuk membuka rahasia yang
menyelimuti keadaan keluarga nelayan ini. Maka tinggallah dia bersama kedua
orang sumoinya untuk beberapa hari lamanya di pulau itu. Diam-diam ia melakukan
penyelidikan dan akhirnya ia, menduga bahwa letak rahasianya agaknya berada di
daerah keramat di pulau itu. Karena ia menduga keras bahwa keluarga ini tentu masih
mempunyai hubungan dengan suhunya. Han Ki bertekad bulat untuk melakukan
penyelidikan ke tempat keramat itu dan agaknya hal itu akan dapat ia lakukan
dengan mudah karena keluarga nelayan itu memberi kebebasan sepenuhnya
kepadanya, sedangkan Maya dan Siauw Bwee setiap hari bergembira bersama
anak-anak para nelayan itu menangkap ikan di pantai pulau dan belajar renang
dari anak-anak yang amat pandai berenang.
***
Sudah lama kita meninggalkan
Tang Hauw Lam yang ditinggal pergi isterinya, yaitu Kam Kwi Lan Si Mutiara
Hitam. Telah diceritakan di bagian depan betapa Mutiara Hitam, pendekar wanita
yang gagah perkasa itu meninggalkan suami dan dua orang muridnya pergi menuntut
balas atas kematian saudara kembarnya, yaitu Raja Talibu. Semenjak mendengar
berita bahwa kakak kembarnya itu gugur dalam perang melawan tentara Mongol,
hati pendekar wanita itu tidak pernah merasa tenteram lagi. Bayangan Raja
Talibu, saudara kembarnya, selalu muncul dan menggodanya, menuntut dibalaskan
kematiannya.
Dengan hati hancur akan tetapi
tak dapat menahan gelora hatinya Mutiara Hitam Kam Kwi Lan meninggalkan suami
yang dicintanya untuk melaksanakan tugasnya yang memaksa jiwanya, maka
berangkatlah ia seorang diri ke Mongol untuk menuntut balas atas kematian
saudara kembarnya, tugas yang dia dan suaminya tahu takkan mungkin dapat
dilakukan dengan berhasil, yaitu membunuh Raja Mongol! Sungguh sengsara rasa
hati Hauw Lam ketika isterinya yang tercinta itu meninggalkannya. Semenjak
menikah dengan Mutiara Hitam, Pendekar Golok Sinar Putih ini tak pernah
terpisah sehari pun dari isterinya, maka dapat dibayangkan betapa dunia ini
berubah menjadi sunyi senyap, semua kegembiraan lenyap dari hatinya ketika
Mutiara Hitam pergi dan dia terpaksa menanti dengan hati gelisah di Gunung
Merak di dae rah Khitan, bersama dua orang muridnya. Pendekar yang di waktu
mudanya terkenal sebagai seorang yang selalu gembira dan jenaka ini kehilangan
gairah hidupnya seperti matahari tertutup awan gelap. Dia kini berubah menjadi
seorang pendiam dan murung, bahkan keras terhadap dua orang muridnya yang ia
paksa untuk tekun mempelajari ilmu-ilmu dari kitab-kitab peninggalan isterinya.
Berbulan-bulan ia menunggu dan
di lubuk hatinya, Tang Hauw Lam maklum bahwa lebih tepat kelau dikatakan bahwa
dia menunggu berita kematian isterinya daripada menunggu kembalinya isterinya
yang dicintainya itu. Siapakah seorang yang akan mampu membunuh seorang raja,
apalagi Raja Mongol yang pada waktu itu sedang kuat-kuatnya?
Gunung Merak merupakan bukit
kecil, dan, tanah kuburan Raja-raja Khitan berada di lereng bukit itu. Tang
Hauw Lam memilih tempat tinggal tidak jauh dari arah kuburan, sesuai dengan
pesan isterinya. Jenazah Talibu dan isterinya pun oleh Pangilma Khitan yang
setia, sempat diselamatkan dan dimakamkan di tempat itu pula. Pendekar ini
membangun sebuah pondok kecil di sebelah atas tanah kuburan, dan hidup sebagai
pertapa di tempat itu bersama dua orang muridnya.
Kurang lebih lima bulan
kemudian, pada suatu pagi ketika Tang Hauw Lam sedang duduk bersamadhi, dia
disadarkan teriakan dua orang muridnya.
Suhu! Ada orang membongkar
kuburan!! '
Tang Hauw Lam membuka matanya
yang klni tampak sayu dan muram. Wajahnya kurus sekali karena pendekar ini
jarang sekali makan. Berita yang mengejutkan itu diterimanya dengan tenang.
Ceritakan yang betul, apa yang
terladi, katanya kepada dua orang muridnya yang sudah berlutut di depannya.
Teecu dan Sumoi pergi ke
kuburan untuk bermain-main dan berlatih. Di sana sudah terdapat seorang
laki-laki bongkok yang menakutkan. Dia sedang menggali tanah kuburan. Ketika
teecu menegurnya dan bertanya ia membentak teecu berdua dan mengusir,! kata Can
Ji Kun.
Dia pasti orang jahat, Suhu.
Mukanya menakutkan dan dia galak sekali, mengusir teecu seperti anjing saja!!
Ok Yan Hwa menyambung dengan suara penuh kemarahan.
Tang Hauw Lam maklum akan
kenakalan kedua orang muridnya, maka ia bertanya sambil memandang tajam. Apakah
kalian tidak bersikap kurang ajar kepadanya? Apakah dia tidak memberitahukan
nama dan apa keperluannya menggali tanah kuburan?!
Melihat sinar mata gurunya
penuh selidik, Can Ji Kun tidak berani membohong lalu menceritakan dengan jelas
apa yang telah ia alami bersama sumoinya. Mereka melihat seorang laki-laki
bongkok menggali tanah kuburan menggunakan sebuah cangkul. Karena mereka menduga
bahwa orang itu tentu tidak berniat baik terhadap kuburan keluarga Raja Khitan
yang juga menjadi kuburan keluarga subo mereka itu, dengan marah Ok Yan Hwa
meloncat ke dekat laki-laki bongkok itu sambil membentak.
Haii! Engkau tentu maling yang
hendak merampok isi kuburan!!
Mau apa kau membongkar tanah
kuburan? Siapa engkau?! Can Ji Kun juga membentak marah.
Laki-laki bongkok itu menunda
pekerjaannya menggali tanah, menoleh dan memandang mereka dengan mata terheran
karena sesungguhnya dia tidak mengira akan bertemu dengan dua orang anak-anak
di tempat sunyi itu, kemudian berkata nyaring.
Kalian anak-anak tahu apa?
Pergilah bermain di tempat lain, jangan di tempat keramat ini!! Dan dia
melanjutkan peker jaannys menggali, tanah. Setiap kali cangkulnya menghunjam
tanah, sebongkah tanah yang besar terangkat dan ternyata tenaga laki-laki itu
besar sekali. Akan tetapi dua orang anak yang seperti dua ekor anak harimau itu
tidak melihat kenyataan ini dan Can Ji Kun membentak,
Maling kurang ajar, pergilah!!
Ia lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah punggung yang bongkok
Dukk!! Pukulan Can Ji Kun yang
baru berusia sebelas tahun itu amat keras karena dia terlatih semenjak kecil.
Akan tetapi akibat pukulan itu membuat dia terjengkang dan roboh bergulingan,
tangannya terasa nyeri.
Melihat suhengnya roboh, Ok
Yan Hwa membentak keras, Maling hina! Berani kau merobohkan suhengku?! anak
perempuan ini menerjang pula dengan pukulan tangan miring ke arah tengkuk Si
laki-laki Bongkok yang masih terus menggali tanah tanpa mempedulikan mereka.
Plakk! Aduh....!! Seperti
halnya Can Ji Kun, begitu tangannya mengenai tengkuk laki-laki itu, Ok Yan Hwa
terpelanting dan memegang tangannya yang terasa panas dan nyeri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa yang
merasa kesakitan tangannya itu masih belum kapok, bahkan kini keduanya mengam
bil sebuah batu besar dan berbareng menyerang laki-laki itu dengan batu di
tangan.
Hemm.... anak-anak nakal!!
Laki-laki itu membalik dan sekali tangkap ia telah merampas dua buah batu itu,
kemudian meremas dengan tangan dan dua buah batu itu hancur lebur. Melihat ini,
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menjadi pucat, kemudian membalikkan tubuh dan lari
untuk melapor kepada suhu mereka.
Demikianlah, Suhu. Teecu lalu
lari ke sini. Orang itu jahat dan lihai sekali!!
Agaknya dia bukan manusia,
Suhu. Mungkin setan! Kalau manusia, perlu apa membongkar kuburan?! kata Ok Yan
Hwa.
Hati Tang Hauw Lam tertarik
sekali. Kelau ada orang kuat menahan pukulan muridnya yang masih kecil,
bukanlah hal yang mengherankan. Juga meremas hancur batu-batu itu bukan hal
aneh. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan menegur dua orang muridnya yang
dianggapnya lancang. Akan tetapi laki-laki bongkok itu membongkar tanah kuburan
keluarga Raja Khitan! Hal ini amat mencurigakan, maka ia bangkit berdiri dan
berkata,
Akan kutemui dia, akan tetapi
kalian hanya boleh menonton saja, jangan sekali-kali lancang mencampuri.! Dua
orang murid itu lalu mengikuti guru mereka sambil berjalan membusungkan dada.
Kini Si Bongkok itu akan tahu rasa, pikir mereka karena hati mereka sakit kalau
memikirkan kekalahan mereka tadi.
Ketika Tang Hauw Lam tiba di
tanah kuburan itu, laki-laki bongkok masih menggali tanah sehingga legalah hati
pendekar ini karena ternyata bahwa dua orang muridnya itu tidak membohong. Akan
tetapi dia juga lega melihat bahwa laki-laki itu sama sekali bukan membongkar
kuburan karena yang digalinya adalah tanah kosong, sungguhpun tidak jaun dari
kuburan raja Khitan. Ia memperhatikan orang itu. Seorang laki-laki yang bongkok
berpunuk, pakaiannya sederhana seperti pakaian pelayan, wajahnya buruk dan
kelihatan berduka. Di atas tanah, tak jauh dari makam Raja Khitan, tampak dua
buah guci perak tempat abu jenazah. Makin tertarik hati Tang Hauw Lam dan ia
pun merasa kurang senang karena jelas agaknya bahwa orang ini sedang menggali
tanah untuk mengubur abu jenazah. Hal ini dianggapnya amat lancang. Mana
mungkin abu jenazah sembarang orang dimakamkan di tanah kuburan keluarga Raja
Khitan?
Sobat, apa yang kaulakukan di
sini?! Ia menegur.
Si Bongkok itu kembali menunda
pekerjaannya dan menoleh dengan alis berkerut. Agaknya ia tidak senang sekali
pekerjaannya yang dilakukan dengan tekun itu selalu terganggu. Akan tetapi
ketika melihat seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah biarpun
kurus dan agak pucat, ia menghentikan pekerjaannya, membalikkan tubuh dan
berdiri menghadapi Tang Hauw Lam. Setelah memperhatikan Hauw Lam dan merasa
yakin tidak pernah bertemu dengan laki-laki gagah itu, Ia menjawab singkat.
Kalau engkau suhu dari dua
orang anak nakal tadi, lebih baik engkau pergi dan nasihati murid-muridmu agar
jangan mencari urusan orang lain. Apa yang kulakukan di sini adalah urusanku
dan tiada sangkut pautnya denganmu. Pergilah, aku sedang sibuk!!
Tang Hauw Lam mengerutkan
keningnya. Orang ini jelas bukan orang Khitan, melainkan bersuku bangsa Han
yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Raja Khitan. Jawaban
orang ini ketus dan tidak ramah, bahkan memandang rendah kepadanya.
Kalau begitu, aku pun tidak
mau tahu siapa yang kau kubur di sini, akan tetapi yang sudah jelas, engkau
tidak boleh mengubur abu jenazah di tempat ini!!
Orang bongkok itu memandang
Tang Hauw Lam dengan alis berkerut dan mata bersinar penuh kemarahan. Hemm....
siapa yang melarangnya?!
Aku yang melarangnya!! Hauw
Lam berkata tegas.
Si Bongkok menjadi semakin
marah, berdiri dan menantang. Kalau aku tetap hendak mengubur abu jenazah di
sini, engikau mau apa?!
Tang Hauw Lam juga menjadi
marah sekali. Akan kuusir engkau dari sini dengan kekerasan!!
Hemm, kaukira akan gampang
saja? Cobalah!!
Kalau isterinya berada di
sampingnya, belum tentu Hauw Lam akan suka melayani Si Bongkok ini dengan
kekerasan dan tentu ia akan lebih mengandalkan kepandaian bicara. Akan tetapi
semenjak isterinya pergi, ia pemurung dan pemarah. Maka kini menyaksikan sikap
yang menantang dan sama sekali tidak memandangnya, amat merendahkan, dia tidak
dapat menahan kesabarannya dan membentak Manusia sombong! Pergilah!! Sambil
membentak demikian, ia menerjang maju dan menggunakan tangan kanannya untuk
mendorong. Bukan sembarang dorongan karena itu adalah pukulan Pek-kong-ciang
yang amat ampuh, dan kuat, mengandung tenaga sin-kang yang dapat merobohkan
lawan dari jarak jauh.
Si Bangkok itu membuat gerakan
menangkis dengan tangannya, bahkan meloncat maju pula sehingga kedua lengan
mereka bertemu dengan kuatnya. Desss....!!
Ahhh....!! Keduanya meloncat
mundur dengan kaget ketika merasa betapa lengan mereka tergetar hebat tanda
bahwa tenaga lawan amat kuatnya. Yang lebih kaget adalah Hauw Lam. Pada waktu
itu, ilmu kepandaiannya telah meningkat hebat karena selama perantauannya
dengan isterinya ke negeri barat, ia telah memperoleh pengalaman dan penambahan
ilmu-ilmu silat yang hebat, juga tenaga sin-kangnya bertambah kuat sehingga
untuk masa itu, jarang ada orang kang-ouw yang mampu menandingi Pek-kongto Tang
Hauw Lam suami Mutiara Hitam ini.
Akan tetapi, dalam pertemuan
tenaga sakti tadi, Hauw Lam merasa betapa tangan Si Bongkok itu amat kuatnya
dan mengandung tenaga mukjizat, tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat
tinggi sekali! Bagaimana seorang yang hanya berpakaian pelayan dapat memiliki
ke pandaian sehebat ini? Di lain pihak, Si Bongkok itu pun agaknya terkejut
sekali, dan baru tahu bahwa orang yang dilawannya bukanlah orang sembarangan
sehingga ia mulai memandang penuh perhatian. Karena maklum bahwa orang ini
tentulah seorang pendekar yang berilmu tinggi, maka timbul kekhawatiran di
hatinya kalau-kalau dia salah tangan dan salah duga. Orang yang berkepandaian
sehebat itu tidak mungkin hanya menghalanginya karena sebab yang remeh seperti
mengalahkan dua orang muridnya. tadi.
Orang gagah, ketahuilah bahwa
aku Gu Toan hanya melakukan tugas hidupku dan aku akan mengubur abu jenazah
majikanku di sini dengan taruhan nyawa. Siapapun juga tidak boleh menghalangi
dikuburnya abu jenazah ini di sini!! Dengan ucapan ini, Si Bongkok itu agaknya
hendak minta maaf dan mengajukan alasan mengapa dia bersikeras hendak mengubur
abu jenazah di situ.
Tang Hauw Lam belum pernah
mendengar nama Gu Toan. Setelah diingat-ingat dan merasa yakin bahwa dia belum
pernah mengenal orang ini, dia pun menjawab.
Dan aku pun mempertaruhkan
nyawaku untuk menjaga kebersihan tanah kuburan ini dari gangguan siapapun juga.
Tidak boleh sembarang jenazah atau abunya dikuburkan di tempat ini!!
Gu Toan tercengang dan
penasaran, lalu bertanya. Bolehkan aku mengetahui siapakah Sicu ini? Dan hak
apa yang Sicu miliki untuk mempertahankan tanah kuburan ini?!
Aku adalah Pek-kong-to Tang
Hauw Lam. Tanah kuburan ini adalah kuburan keluarga isteriku, bahkan Raja
Talibu yang dimakamkan di sini adalah saudara iparku!!
Gu Toan terbelalak memandang
ragu-ragu dan bertanya gugup, Mutiara Hitam....?!
Hauw Lam mengangguk.
Isteriku!!
Tiba-tiba terjadi hal yang
membuat Tang Hauw Lam terkejut dan terheran-heran, demikian pula kedua orang
muridnya karena di luar dugaannya sama sekali, Si Bongkok itu menjatuhkan diri
berlutut di depannya sambil menangis! Gu Toan menangis sesenggukan, mengambil
sebuah di antara dua guci terisi abu jenazah, memeluknya dan berkata
terisak-isak.
Hamba Gu Toan mohon ampun....
harap Tang-taihiap ketahui.... ini.... abu jenazah dari.... majikan hamba....
mendiang Menteri Kam Liong....!!
Wajah Hauw Lam menjadi pucat
seketika dan matanya terbelalak memandang ke arah guci terisi abu jenazah. Apa?
Kanda, Kam Liong.... mati....? Benarkah....?!
Hamba adalah pelayan beliau.
Beliau tewas karena dikeroyok para panglima kerajaan.... dan yang satu itu abu
jenazah Panglima Khu Tek San, murid -majikan hamba .... mereka tewas dalam
menolong adik beliau, Kam Han Ki-taihiap....!
Ahhh....!! Tang Hauw Lam
menjatuhkan diri berlutut, menyentuh guci itu dan berkata lirih, Tidak
dinyana.... Kam Liong Twako....!!
Sambil berlutut, Gu Toan lalu
menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga majikannya. Menceritakan
pula betapa pada saat terakhir, Kam Han Ki, Maya dan Khu Siauw Bwee tertolong
oleh Bu Kek Siansu dan dia berhasil pula membawa pergi jenazah Kam Liong dan
muridnya, menyelamatkan pula kitab-kitab dan senjata, kemudian membakar jenazah
Kam Liong dan Khu Tek San dan membawa abu jenazah ke tempat itu untuk dikubur
sesuai dengan pesan Bu Kek Siansu.
Tang Hauw Lam mendengarkan
penuturan itu dengan penuh keharuan. Hatinya berduka bukan main, makin tersayat
rasa hatinya kalau mengenangkan nasib keluarga isterinya. Raja Talibu saudara
kembar isterinya, tewas dan terbasmi seluruh keluarga berikut kerajaannya. Kini
Menteri Kam Liong, saudara tertua isterinya, tewas dalam keadaan begitu rendah,
sebagai pemberontak, padahal tadinya Menteri Kam terkenal sebagai seorang
menteri yang amat setia! Mengapa begitu buruk nasib keturunan Suling Emas
pendekar perkasa yang menjadi ayah mertuanya!Dan sekarang, isterinya juga belum
diketahui nasibnya !
Aihhh. Gu Toan.... engkau
seorang yang amat setia. Terima kasih atas semua pembelaanmu, dan kaumaafkanlah
aku dan murid-muridku. Gu Toan, aku pun sedang menanti berita tentang
isteriku....! Karena tidak menganggap Gu Toan si bongkok sebagai pelayan biasa,
maka tanpa ragu-ragu lagi Tang Hauw Lam menceritakan keperglan isterinya.
Mendengar ini, Gu Toan terkejut dan ikut prihatin. Kemudian, Tang Hauw Lam
membantu Gu Toan menggali lubang kuburan untuk mengubur abu jenazah Kam Liong
dan Khu Tek San sebagaimana mestinya, bahkan dengan penuh khidmat dia bersama muridnya
menyembahyangi kuburan baru itu.
Dua hari kemudian, selagi Tang
Hauw Lam, kedua orang muridnya dan Gu Toan yang bergabung menunggu kuburan Kam
Liong, datanglah serombongan pasukan yang didahului dengan bunyi terompet dan
tambur. Hauw Lam dan Gu Toan terkejut dan sudah siap-siap. Tang Hauw Lam yang
khawatir akan datang bahaya. Lalu menyuruh kedua orang muridnya untuk
bersembunyi di belakangnya dan memesan agar jangan sembarangan bicara atau
bergerak.
Tak lama kemudian muncullah
serombongan pasukan terdiri dari lima puluh orang yang berkuda, sikap mereka
gagah per kasa dan pakaian perang mereka gemerlap ditimpa matahari pagi.
Komandan pasukan itu bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh
cambang bauk dan sikapnya gagah sekali, sebatang golok besar targantung di
pinggang, dan kuda yang ditungganginya juga kuda putih yang tinggi besar.
Ketika komandan pasukan ini
tiba di dekat kuburan dan melihat Tang Hauw Lam bersama Gu Toan berdiri dengan
sikap tenang namun siap waspada, ia mengangkat tangan memberi isyarat agar
pasukannya berhenti. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring bertanya,
ditujukan kepada Gu Toan dan Hauw Lam.
Kami adalah pasukan Mongol
yang jaya, sengaja datang ke tanah kuburan keluarga Khitan untuk mencari
seorang yang bernama Tang Hauw Lam Pek-kong-to!!
Jantung Tang Hauw Lam berdebar
keras dan ia meloncat ke depan, wajahnya berubah ketika ia berkata, Akulah
Pek-kong-to Tang Hauw Lam! Ada keperluan apakah pasukan Mongol mencari aku?!
Semua anak buah pasukan
memandang ke arah Hauw Lam, dari kamandan itu lalu memberi hormat secara
militer, kemudian berkata dengan sikap hormat, Kami melaksanakan perintah raja
kami untuk pertama-tama menyampaikan salam dan hormat raja kami yang
setinggi-tingginya kepada pendekar Tang Hauw Lam, disertai pujian bahwa
Tang-taihiap adalah seorang yang amat bahagia dapat menjadi suami seorang
pendekar wanita perkasa seperti Mutiara Hitam!!
Hati pendekar itu makin
berdebar. Apakah artinya ini? Bukankah isterinya menuju ke Mongol dengan maksud
membunuh Raja Mongol? Apakah yang telah terjadi? Karena dia memang selalu
berkhawatir akan nasib isterinya, maka dia tidak dapat menahan kesabarannya
lagi dan berteriak,
Apa yang terjadi dengan
isteriku? Lekas katakan dan jangan memutar-mutar omongan! Di mana Mutiara Hitam
dan apa yang telah terjadi?!
Kami hanya utusan yang
menyampaikan perintah langsung dari raja kami. Setelah menyampaikan salam dan
hormat, kami bertugas menyerahkan ini kepada Taihiap!!
Panglima Mongol itu mengambil
sebuah bungkusan sutera kuning dari tangan seorang pembantunya, melompat turun
dari kudanya dengan sigap kemudian dengan penuh hormat dan membungkuk,
menyerahkan bungkusan sutera kuning itu kepada Hauw Lam. Dengan kedua tangan
agak gemetar dan jantung berdebar tegang Hauw Lam menerima bungkusan itu tanpa
berkata apa-apa, kemudian menurunkan bung kusan dan hendak membukanya.
Tang-taihiap, kami telah
melaksanakan tugas dengan baik. Kami mohon diri hendak kembali ke Mongol.!
Tunggu dulu!! Hauw Lam tidak
melanjutkan niatnya membuka bungkusan, melompat berdiri dan berkata, Ceritakan
dulu, apa yang terjadi dengan isteriku!!
Tang-taihiap, kami tidak
berhak bicara. Raja kami hanya mengutus seperti yang telah kami lakukan, dan
Taihiap tentu akan mengerti kesemuanya setelah membaca surat dari raja kami
yang berada di dalam bungkusan. Selamat tinggal!! Panglima itu meloncat ke atas
kudanya, memberi aba-aba dan pasukan itu bergerak cepat, kuda mereka membentuk
barisan yang rapi dan ketika pasukan bergerak pergi, tampak debu mengebul
tinggi menutupi barisan yang pergi dengan cepatnya.
Tang Hauw Lam masih berdiri
termangu-mangu ketika Gu Toan berkata halus, Tai-hiap, hidup memang banyak
penderitaan, akan tetapi kalau kita kuat menghadapinya, penderitaan merupakan
pengalaman hidup yang amat berguna.!
Tang Hauw Lam membalikkan
tubuhnya, berlutut menghadapi bungkusan sutera kuning, hampir tidak berani
membuka bungkusan itu. Ia mengheningkan cipta, memusatkan panca indera dan
memperkuat hatinya dengan hawa murni, kemudian setelah hatinya tenang, dengan jari-jari
yang tak bergetar lagi ia mulai membuka bungkusan kain kuning, Can Ji Kun dan
Ok Yan Hwa telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua
itu tanpa berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa
isi bungkusan yang dikirim oleh Raja Mongol dengan begitu menghormat kepada
suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh perhatian, dengan wajah
penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat menduga apa yang telah
terjadi atas diri Mutiara Hitam.
Suasana amat menegangkan
ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali sutera yang mengikat bungkusan. Suara
berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar oleh tiga orang yang
mengikuti gerakan jari tangan itu dengan seksama. Akhirnya bungkusan itu terbuka
dan tampaklah isinya yang mereka tunggu-tunggu dan duga-duga. Ternyata bahwa
bungkusan itu berisi sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya
dihias dengan batu permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan
Mongol, dan.... setumpuk pakaian dan perhiasan yang amat dikenal karena itu
adalah pakaian dan perhiasan yang dipakai Mutiara Hitam ketika pergi, berikut
sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!
Betapapun kuat Tang Hauw Lam
mempersiapkan hatinya, namun tangannya menggigil ketika ia membuka tutup
tempayan dan melihat abu jenazah yang memang telah ia perkirakan semula, dan
terdengar keluhnya, Lan-moi.... isteriku....!! Ia menyambar pakaian Mutiara
Hitam, mencengkeram pakaian itu dan menutupi mukanya dengan pakaian isterinya,
lalu menubruk dan memeluk tempayan itu, tak tertahan lagi ia terisak-isak
sambil memejamkan mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah. Isterinya
tercinta telah tewas! Gagal dalam usahanya dan mengorbankan nyawa, kini pakaian
dan abu jenazahnya dikirim kembali oleh Raja Mongol.
Kwi Lan....!! Ia mengeluh lagi
dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan tidak menggelapkan
kesadarannya.
Subo....!! Can Ji Kun berseru
sambil menangis.
Subo....!! Ok Yan Hwa
menjerit, kemudian meloncat berdiri dan berteriak, Keparat orang-orang Mongol!
Aku akan membalas dendam!!
Aku juga!! Can Ji Kun juga
meloncat berdiri dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar, rombongan
pasukan Mongol.
Ji Kun,, Yan Hwa!
Berhenti....!! Tang Hauw Lam membentak, tangannya bergerak ke depan dan dua
orang muridnya itu terpelanting roboh. Apa yang hendak kalian lakukan?!
Kedua orang anak itu merangkak
menghampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan. Subo telah
mereka bunuh....!! Ok Yan Hwa mengeluh sambil menangis.
Subomu gagal, namun tewas
sebagai seorang gagah yang mendapat kehormatan besar dari Raja Mongol, dari
musuhnya sendiri. Kalian patut berbangga karenanya!!
Kelemahan dua orang muridnya
itu membangkitkan semangat Hauw Lam, dan dengan wajah pucat, pipi basah air
mata namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini membuka sampul
surat dan membaca isinya. Bibirnya bergerak-gerak, air matanya menetes-netes
ketika ia membaca surat Raja Mongol itu. Surat yang menceritakan usaha isterinya
membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh kekaguman dan pujian
atas kegagahan Mutiara Hitam, yang seorang diri menyerbu Mongol, mengamuk dan
menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara Mongol dengan gagah perkasa,
membunuhi ratusan orang perajurit Raja Mongol yang menyambutnya seperti seekor
naga sakti mengamuk, dan hanya karena kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara
Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang masih di tangan!
Kami amat kagum dan terharu
menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam,! demikian penutup surat
yang panjang lebar itu. Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai
musuh, bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami. Sayang bahwa dia
mencampur-adukkan urusan perang dengan perasaan pribadi. Kami memperabukan
jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh hormat, dan kami mengirim salam
dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali dapat menjadi
suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa.!
Kwi Lan....!! Ucapan Tang Hauw
Lam terdengar sayu dan wajahnya menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar
matanya suram-muram dan tanpa banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali
tanah, dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu Toan
yang berkali kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala. Penguburan abu
jenazah Mutiara Hitam dilakukan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya.
Tang Hauw Lam berkabung di dekat kuburan isterinya.
Setelah lewat sebulan, dia
menyerahkan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan sambil
berkata, Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga
kuburan keluarga ini dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong
berada di tanganmu, maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk disimpan menjadi
satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas. Jagalah tanah
kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku.!
Jangan khawatir, Tai-hiap.
Satu-satunya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini, akan
hamba jaga sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun
yang dapat mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan
keluarga majikan hamba.!
Engkau seorang yang bahagia
sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan dengan
baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan.!
Selamat jalan, Tang-taihiap.
Maafkan kalau hamba lancang memberi nasihat kepada Tai-hiap, hanya ingin hamba
memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup, melainkan
juga Tai-hiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Tai-hiap.!
Kedua mata pendekar itu
menjadi basah. Teringat ia akan pesan terakhir isterinya ketika hendak pergi.
Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya, .... andaikata aku
tewas dalam tugas pribadiku ini, kaupimpinlah baik-baik kedua orang murid kita,
dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, suamiku.!
Biarpun dua titik air mata
membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum penuh syukur
kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata, Terima kasih, Gu Toan. Aku akan
melakukan tugasku sebaik mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan menantiku
di pintu gerbang akhirat. Selamat tinggal!! Sambil menggandeng tangan kedua
muridnya. Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata Si
Bongkok yang mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.
***
Berlindung di bawah cuaca
senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang dan menyelinap
di antara batu-batu karang, menghampiri guha besar yang dianggap tempat keramat
oleh penduduk Pulau Nelayan. Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya
pada senja hari ini ia dapat menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu.
Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan Maya dan Siauw
Bwee juga tidak mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu karena ia
menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang
penuh rahasia dan tentu ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu, akan dapat ia
temukan di dalam guha keramat terlarang itu.
Biarpun kepandaiannya sudah
mencapai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh
penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian
hebat sehingga kalau dia tidak hati-hati tentu akan terlihat oleh mereka. Dia
tidak takut ketahuan, hanya tidak ingin dia menyinggung hati orang-orang yang
bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah
yang bersikap baik kepadanya. Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah
berpesan agar dia jangan melanggar daerah terlarang itu, kalau sampai dia
ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia akan merasa malu sekali?
Guha itu sudah mulai gelap,
akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan.
Setelah memasuki guha itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia den gan
penyelidikannya. Guha itu ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, gua
itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan betapa girang hatinya ketika ia
melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan dinding
batunya banyak yang longsor.
Akan tetapi di sudut kamar ia
melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian tertimbun batu dan
tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian
sudah lapuk. Han Ki mengambil sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf
indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai membuka-buka kitab.
Inilah yang kucari!! serunya
girang. Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf
itu adalah huruf yang sudah agak kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan
menangkap artinya. Memang benar seruannya tadi. Kitab itu adalah kitab catatan
yang menceritakan keadaan nenek moyang penghuni. Pulau Nelayan. Agaknya
kitab-kitab itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada
seorang pun di antara mereka dapat membaca.
Dengan penuh perhatian Han Ki
membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget sekali,
juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa pen ghuni Pulau
Nelayan itu masih mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu
adalah keturunan orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di jaman dahulu. Juga
di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan kecil di Pulau Es,
yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu.
Menurut catatan dalam kitab
itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari
daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di
situ. Pangeran ini amat sakti dan bersama para pengikutnya ia tinggal di Pulau
Es sebagai seorang raja kecil. Mereka hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan
di pulau itu, para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang hidup aman dan
tidak kekurangan sesuatu. Karena kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau
kerajaan lain yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal
di Pulau Es turun-temurun dan ilmu kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang
turun-temurun dipelajari anak cucunya.
Akan tetapi, pada waktu
keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es sudah mulai
berkembang, terjadilah malapetaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan
mengamuk, tak tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat pun, menyapu habis
Pulau Es berikut semua penghuninya! Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya
yang berada di pulau itu habis dan terbasmi semua!
Hanya beberapa orang yang
kebetulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar menangkap
ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk
badai, dan sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan
tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki dan lima wanita, dilemparkan badai
sehingga perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua belas orang inilah
yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan!
Di antara mereka itu terdapat
seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran ilmu silat
tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apabila ilmunya itu ia
wariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau
Nelayan itu memiliki ilmu kepandaian tinggi! Mungkin karena makin lama makin
tidak membutuhkan, makin lenyaplah pengetahuan baca tulis, bahkan pakaian serta
watak mereka menjadi sederhana sekali sungguhpun ilmu silat mereka amat lihai!
Han Ki tertarik sekali.
Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini
dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan
para pengungsi yang terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu
merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja yang terbebas dari maut.
Mendadak terdengar suara
gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin
menyambar ke arah kepalannya. Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke
arah kepalanya dengan kecepatan yang mengerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan
tetapi sebuah tangan lain mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba
dua buah kaki menendangnya secara berbareng. Serangan bertubi-tubi itu amat
cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng seperti
binatang buas.
Han Ki tersedak dan meloncat
mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti sehingga terguling. Ketika ia
menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang.
Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan
berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi dengan amat hebatnya.
Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan
menakut-nakuti.
Trik-cringgg....!!
Ayaaa....!! Han Ki makin
terkejut. Sentilan kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan
kanannya seperti lumpuh dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu
menubruk dan kembali Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar
pedang.
Kini, di antara serangan
bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan terdesak, Han Ki dapat
melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua orang. Dua orang kembar dampit
(kembar siam) yang punggungnya melekat menjadi satu, yang bergerak seperti satu
orang saja, atau memang dua orang yang mempunyai satu hati dan satu perasaan.
Kiranya orang kembar dampit itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi
daripada para penghuni Pulau Nelayan.
Han Ki mengerahkan seluruh
kepandaiannya karena orang kembar itu, berbeda dengan kakek botak yang menguji
kepandaiannya, kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan kaki
atau tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Dan di dalam guha
yang gelap karena lilin di atas peti terguling. Han Ki tidak dapat bergerak
leluasa, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat, agaknya mereka lebih
awas di dalam gelap.
Heii, nanti dulu! Aku bukan
musuh....!! Han Ki berka li-kali berseru sambil membuang diri ke sana ke mari.
Namun orang dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah
mendesak makin hebat. Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin
gelap dan Han Ki memang tidak ingin membunuh, maka tentu saja pemuda ini makin
terdesak hebat sehingga dua kali ia kena dicakar kuku runcing itu. Untung ia,
masih dapat bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung
dan di belakang pundak.
Tiba-tiba, seorang di antara
sepasang dampit itu mengeluh, Mataku.... ahhh.... silaunya....!!
Han Ki terheran melihat betapa
keadaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini agak terang. Dan bersamaan dengan
terangnya tempat itu, dua orang dampit itu makin bingung, serangannya ngawur
bahkan seringkali menggunakan tangan melindungi mata mereka. Ketika Han Ki
memutar pedang sambil meloncat ke belakang, tampaklah olehnya apa yang
menyebabkan tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin, tadi terguling dan tidak
padam, melainkan perahan-lahan membakar kitab yang tadi dibacanya!
Aduh.... silau....!!
Tak dapat melihat....!
Tiba-tiba sepasang orang
dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari tempat itu,
menghilang ke sebelah dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan pedangnya,
menyusut peluh dan menarik napas melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah
keluar dari dalam peti, kini telah menjadi korban api! Ia dapat menduga bahwa
seperti keadaan binatang-binatang buas yang biasa dengan tempat gelap, sepasang
orang dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang
menolongnya.
Ia harus lekas pergi karena
kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan menyerangnya, pula. Kalau
demikian, maka berbahayalah. Menghadapi orang dampit di tempat terang dan
tempat yang luas, mungkin masih dapat melindungi diri. Akan tetapi di tempat
sempit dan gelap? Mereka terlalu lihai! Tergesa-gesa Han Ki lalu berlari
keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar di tempat pertempuran
tadi.
Akan tetapi ketika ia tiba di
luar guha, tempat di luar guha itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak
yang dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan
guha. Maya dan Siauw Bwee berada di antara mereka, akan tetapi kedua orang
sumoinya itu dibelenggu!
Eh.... aku.... aku tidak
melakukan apa-apa....! Han Ki berkata gagap. Ia merasa malu sekali karena
sekali ini benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela
kedua orang sumoinya kalau mereka itu berniat buruk.
Engkau telah melanggar
larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit!! Kakek botak berkata suaranya
dingin sekali.
Akan tetapi.... dia.... dia
yang menyerangku. Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul kalian karena aku
tertarik, tidak berniat buruk....! Dan aku telah berhasil mengetahui bahwa
nenek moyang kalian berasal dari Pulau Es!!
Orang-orang itu saling pandang
dan tidak menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi, Kami tidak mengerti apa
yang kaukatakan itu, Si Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir
seperti itu, kami anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan
mendatangkan malapetaka kalau tinggal bersama kami. Kelahiran, mereka telah
membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin besar merusakkan
tanaman. Karena itu mereka kami asingkan di tempat keramat.!
Akan tetapi mereka.... lihai
sekali!!
Kami mengajarkan semua
kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena mereka merupakan seorang
dengan empat tangan empat kaki dua kepala, tentu saja mereka lebih tangkas.
Sudahlah, engkau telah melanggar pantangan kami, karena itu sekarang juga
engkau dan dua orang sumoimu harus meninggalkan pulau ini!!
Akan tetapi....!! Han Ki
membantah.
Apakah engkau lebih suka kalau
kalian bertiga kami bunuh dan kami korbankan untuk mencegah kemarahan penghuni
pulau?!
Han Ki tak dapat membantah
lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya takhayul ini tak munkin di bantah.
Baiklah, kami akan pergi besok pagi.!
Sekarang juga!!
Suheng, mengapa membantah?
Mereka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku muak menyaksikan
sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita bukan pulau ini?!
Han Ki mengangguk. Baiklah.
Mari kita pergi!! Han Ki lalu menghampiri kedua orang sumoinya, menggunakan
tenaga saktinya sekali renggut membikin patah belenggu kedua orang anak
perempuan itu, menggandeng tangan mereka dan mengikuti orang-orang itu yang
mengantarkan ke pantai di mana perahu mereka ditinggalkan. Han Ki kagum me
nyaksikan betapa mereka semua, laki-laki dan perempuan, juga kanak-kanak,
menuruni tebing membawa obor sampai ke bawah tebing. Dia lalu lepaskan ikatan
perahunya, mengajak kedua orang Sumoinya memasuki perahu, kemudian ia menjura
kepada mereka semua dan berkata kepada kakek botak.
Kalian ketahuilah bahwa
menurut buku catatan di guha yang kubaca, kalian adalah keturunan dari dua
belas orang pengungsi yang menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu
dilanda badai taufan. Kalian adalah keturunan rakyat dari raja muda di Pulau Es
yang keluarganya terbasmi dalam badai. Akan tetapi, ada seorang keturunan
keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa yang
sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku tidak berniat
buruk ketika menyelidik ke dalam guha. Adapun sepasang manusia dampit itu,
kasihan kalau diasingkan di tempat itu. Mereka sampai menjadi takut dan silau
oleh sinar terang. Kapandaian mereka itu hebat sekali, kalau mereka kalian
biarkan keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!!
Dengan hati-hati Han Ki
mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena malam amat
gelap. Dia menanti sempai orang-orang itu pergi meninggalkan pantai, obor-obor
di tangan mereka membentuk pemandangan yang aneh, sinar panjang yang bergerak
mendaki tebing sperti seekor ular merayap naik. Setelah sinar-sinar obor itu
lenyap, Han Ki kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia melewatkan malam itu
di atas perahu di pinggir pantai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur,
ia mendayung perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan
air.
Dua orang gadis ciiik itu
mendengarkan penuturan Han Ki dengan hati tertarik. Apalagi ketika mendengar
bahwa suhu mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es, hati mereka
menjadi besar dan bangga. Baru para pengikut kerajaan itu saja mempunyai
keturunan yang demikian hebat kepandaiannya seperti penghuni Pulau Nelayan,
apalagi raja itu sendiri yang menjadi nenek moyang suhu mereka! Dan Pulau Es
itu tentu indah sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang
dituju.
Setelah memasang layar pada
perahu kecil dan berlayar selama setengah hari, melewati sekumpulan pulau
kecil, akhirnya mereka melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan dari jarak
jauh tampak samar-samar puncak sebuah bangunan di tengah pulau itu.
Tak salah lagi, itulah Pulau
Es!! Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan.
Maya dan Siauw Bwee melindungi
mata dengan tangan, meneropong ke depan dengan hati berdebar tegang. Memang
dari jauh sudah tampak lain daripada pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih
dan cemerlang tertimpa sinar matahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau
perak! Dan ujung bangunan itu kalau tidak lebih dulu mendengar bahwa di tengah
pulau terdapat sebuah istana tentu disangka puncak sebuah bukit karang.
Apakah ada yang tinggal di
sana, Suheng?! tanya Maya.
Jangan-jangan kita telah
didahului orang lain,! kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.
Tidak mungkin,! jawab Han Ki.
Kalau demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita ke sana. Hayo bantulah
aku agar kita dapat cepat tiba di sana.!
Perahu meluncur cepat sekali
dan akhirnya dengan jantung berdebar tegang, tiga orang itu mendarat dan
menarik perahu naik ke darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di
pulau kosong ini yang dapat menghbungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu
itulah. Setelah menarik perahu sampai jauh ke daratan agar jangan terbawa
hanyut air laut kalau pasang dan menyembunyikan perahu di tempat yang aman,
mereka bertiga mendekati bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam mimpi
saja. Pulau itu penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga tidak ada
bagian yang kelihatan tanah atau batunya. Pantas saja disebut Pulau Es, karena
pulau itu kelihatannya seolah-olah terbuat dari bongkahan es yang amat beSar.
Atau sebongkah es raksasa yang mengapung di atas laut, sungguhpun mereka tidak
merasakan guncangan sama sekali.
Pulau Es ini kosong, tidak ada
mahluk hidup tinggal di sini, benar seperti kata Suhu!! Han Ki berseru, gembira
dan kagum.
Bagaimana kita dapat hidup di
tempat seperti ini?! Maya mencela, Tidak ada tetumbuhan sebatang pun, tidak ada
hewan seekor pun. Kita akan mati kelaparan di sini!!
Aduh, dinginnya bukan main!!
Siauw Bwee menggigil. Mendengar ini, Maya juga menggigil kedinginan.
Han Ki merasa betapa makin
lama, keadaan hawa udara di situ makin dingin, menyusup ke tulang-tulang rasa
dingin itu sehingga ia harus mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin.
Akan tetapi ia maklum bahwa kedua orang sumoinya tentu akan menderita sekali karena
untuk dapat melawan hawa yang dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin
dingin itu, membutuhkan tenaga sin-kang yang kuat.
Mari kita berlari cepat ke
istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar.!
Mereka berlari cepat mendaki
bukit karang. Karena pergerakan ini, darah mereka mengalir cepat menimbulkan
rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah bukit karang, akhirnya mereka
berhenti dan memandang kagum ke depan. Di tengah pulau itu, di antara
bukit-bukit karang yang mengelilinginya, berdiri megah bangunan yang amat
indah. Karena di situ tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak gemilang
seperti baru, selain indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh
kuat. Akan tetapi, karena tempat ini merupakan tempat yang paling tinggi di pulau
ini, hawanya lebih dingin lagi sehingga Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan
tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.
Mari kita masuk!! Han Ki
berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoinya. Kedua orang anak
perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di depan
pintu bangunan yang besar, Siauw Bwee menghentikan langkahnya dan bertanya,
Suheng.... jangan-jangan ada orangnya di....!
Aihhh, Sumoi, mengapa engkau
begini penakut? Andaikata ada penghuninya sekalipun kita takut apa?! Maya
mencela dengan suara nyaring.
Jangan khawatir, siapa berani
masuk ke sini? Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada orang yang akan berani
mengganggu. Marilah!! Han Ki bergandeng tangan Siauw Bwee. Sedangkan Maya yang
hendak digandengnya pula merenggut tangannya dan mendahului mendorong pintu
gerbang itu dengan sikap tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau
tidak akan terdapat kerukunan di antara kedua orang sumoinya itu.
Pintu yang besar itu terbuka
dan tiga orang itu terbelalak kagum dan terheran-heran. Ruangan depan istana
itu benar-benar mengagumkan sekali karena selain bersih dan perabot rumahnya
serba indah, juga di dinding terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya
menghias rumah orang-orang bangsawan dan hartawan. Juga tulisan indah yang
merupakan sajak berpasangan. Ruangan yang lebar, lan tainya dari pintu putih
mengkilap bersih.
Dua pasang meja kursi kuno
berjajar rapi di kedua sudut, dua buah lemari kayu terbuat daripada kayu besi
terukir kepala naga dan piring-piring dinding, guci berukir bunga-bunga
menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah pintu besar
menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri, yang sebelah
kiri menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong yang menuju
kebangunan kecil. Di sudut sekali terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan
delapan belasmacam senjata, biasanya dipasang sebagai hiasan akan tetapi
senjata yang berada di rak itu, dari pedang sampai tombak merupakan senjata
pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan
runcingnya!
Han Ki menutup pintu depan
yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan ini tidaklah
sedingin hawa di luar. Kedua orang anak perempuan itu menjadi girang sekali
karena mereka tidak benar-benar menderita oleh hawa yang makin lama makin
dingin. Mereka memeriksa keadaan di ruangan depan, kemudian terus masuk ke
dalam melalui pintu besar yang menembus ke ruangan dalam. Semakin dalam, makin
eloklah keadaan di dalam istana.
Semua perabot rumah serba
lengkap dan indah, dan disitu terdapat banyak sekali kamar yang bersih dan
lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan belakang terdpat
beberapa pintu yang menembus ke kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno, yaitu
kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu! Dapat dibayangkan betapa girang hati
tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan mereka memeriksa
kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya.
Ruangan belakang yang luas itu
pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat, bahkan di sebuah kamar bawah
terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat indah dan halus sehingga tampak
urat-urat dan jalan darah seolah-olah arca itu terbuat daripada kulit dan
daging. Han Ki girang sekali karena dengan adanya arca itu dia akan dapat
melatih kedua orang sumoinya lebih baik, dan lebih mudah, yaitu untuk melatih
pukulan-pukulan dan totokan-totokan ke jalan darah lawan menggunakan tubuh arca
yang persis tubuh manusia biasa itu.
Ketika Han Ki mendapatkan
beberapa karung gandum dan bumbu-bumbu masakan, juga sayur-sayur kering, ia
makin kagum dan bersyukur kepada suhengnya yang agaknya sebelum menyuruh para
muridnya pergi ke Pulau Es, telah lebih dulu mengatur persediaan secukupnya.
Nah, engkau tidak akan
kelaparan lagi, Suci?! Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan suaranya
halus, namun tidak urung tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada
sucinya yang tadi takut kelaparan berada di pulau itu.
Hemm, semua bahan makanan ini
paling lama hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Kalau sudah habis, ke
mana kita akan mencarinya?! Maya mempertahankan kehkhawatirannya.
Kita bisa mencari ikan di
laut,! kata Siauw Bwee.
Hemm, kalau engkau mempunyai
kepandaian seperti para nelayan yang tinggal di Pulau Nelayan, tentu mudah,
Sumoi. Sayang sekali, hawanya di sini amat dinginnya sehingga sekali menyelam,
sebelum mendapat seekor ikan pun, engkau sudah akan membeku dan sebaliknya
menjadi makanan ikan. Sumoi, aku tidak takut mati kelaparan, akan tetapi kita
harus memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar ilmu
bertahun-tahun di tempat ini.!
Melihat betapa kedua orang
sumoinya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata,
Sudahlah, Sumoi berdua, tidak
ada gunanya ribut-ribut. Kalian. berdua memang benar semua. Khu-sumoi benar kar
ena memang kita tidak perlu berkecil hati, dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita
harus mencari akal bagaimana kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat
yang tiada tumbuh-tumbuhan ini dengan selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam
pelayaran ke tempat ini kita melalui pulau-pulau yang subur, dan kurasa di
tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan buah-buahan serta
seyur-sayuran.
Kelak aku akan melakukan
penyelidikan dengan perahu dan mencari bahan makanan secukupnya. Sekarang,
lebih baik membantu aku untuk membuat api dan memasak makanan dari bahan
peninggalan Suhu untuk mengisi perut. Dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua
orang sumoinya melupeken perbantahan mereka, kemudian mereka berdua kembali
berlumba untuk membuat masakan yang seenak-enaknya. Ternyata dalam hal membuat
masakan ini pun keduanya tidak mau saling mengalah, atau lebih tepat lagi, Maya
tidak pernah mau kalah oleh sumoinya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang
wataknya lebih halus kini mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai
dapat menilai watak kedua orang sumoinya. Maya keras hati, keras kepala dan
tidak mau kalah mau kalah sungguhpun di dasari kejujuran dan juga mempunyai
kasih sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati
yang tidak kalah teguh oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup oleh
sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan untuk mengalah terhadap
sucinya.
Ada satu hal yang
menguntungkan dalam sifat saling tidak mau kalah, dan saling lumba antara kedua
arang anak perempuan itu, dalam hal mempelajari ilmu silat. Dalam hal ini pun,
dua orang anak perempuan itu agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan dan
hal ini amat menggembirakan hati Han Ki. Kedua orang sumoinya merupakan
murid-murid! yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru karena
sifat mereka tidak mau saling mengalah. Betapapun lelahnya, seorang di antara
mereka, kalau melihat yang lain berlatih, dan akan terus melanjutkan latihannya
seolah-olah merasa khawatir kalau beristirahat akan tertinggal jauh,
Keduanya sama tekun dan sama
cerdik, kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di bawah
pengawasan dara bimbingan Han Ki mereka sikat! satu demi satu! Tentu saja
mereka berdua memperoleh kemajuan yang amat cepat. Juga Han Ki sendiri sampai
terbawa hanyut oleh semangat kedua orang sumoinya sehingga dia pun dengan amat
tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih tinggi, yang ia
pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhunya. Dengan, dasar yang telah
dimilikinya, tidak terlalu sukar baginya untuk melatih diri dengan ilmu yang
lebih tinggi.
Akan tetapi, di samping
kegembiraannya melihat persaingan antara kedua orang sumoinya yang membuat
mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki menjadi
pusing kalau melihat persaingan itu berlarut-larut sehingga menimbulkan hal-hal
yang tidak enak. Sungguh sukar bagi seorang laki-laki dewasa seperti dia
tinggal di atas pulau kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang
manja-manjanya dan bengal-bengalnya, apalagi menghadapi Maya yang makin lama
makin tampak kegalakannya, terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.
Aku akan mempelajari ilmu di
sini sampai dapat mengalahkan semua musuh-musuhku!! Pada suatu malam Maya
berkata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam seadanya. Kalau belum
kubasmi habis musuh-musuhku, beum lega hatiku!!
Karena maklum bahwa sumoinya
yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan berlarut-larut, Han Ki hanya
mengangguk. Lebih baik sekarang mempelajari ilmu dengan tekun. Ilmu silat tidak
ada batasnya dan di dunin ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi.!
Akan tetapi, Siauw Bwee yang
selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ignin melihat sucinya itu untuk
kemudian ia permainkan dan tertawa, segera bertanya, Eh, Suci. Siapa sih itu
musuh-musuhmu yang begitu banyak sehingge kau hendak membasminya semua?!
Musuh-mushku?! Sepasang mata
Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki memandang
kagum. Di bawah sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti
sepasang bintang yang terang cemerlang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya!
Bentuknya indah sekali. Bola
matanya begitu jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan hitamnya
mencolok sekali di tengah bagian yang hitam tampak titik yang hitam namun
seolah-olah mengeluarkan api! Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol yang
biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan kubasmi mereka semua kelak!!
Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan
main sumoinya ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati yang demikian besar atas
kematian ayah bunda angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau
ditujukan kepada dua buah kera jaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau
dibantah, sumoinya ini akan lebih ngotot! lagi, maka dia diam saja.
Akan tetapi seperti biasa,
Siauw Bwee tidak mau kalah! begitu saja dan ia langsung mencela, Aihhh, Suci.
Pandanganmu itu keliru sekali!!
Apa? Keliru katamu kalau aku
mendendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan kerajaan ayahku, telah
membunuh ayah bundaku? Keliru katamu? Di mana letak kekeliruannya, Sumoi yang
manis?! Biarpun Maya menyebut sumoi yang manis! namun jelas bahwa dia marah
terhadap Siauw Bwee dan menantangnya untuk berdebat. Han Ki maklum bahwa
kembali api di antara kedua orang sumoinya akan menyala, dan seyogianya dia
segera memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak mengetahui
bagaimana pandangan kedua orang sumoinya mengenai urusan itu, dia diam saja
mendengarkan penuh perhatian.
Suci,! jawab Siauw Bwee dan
kembali Han Ki kagum menyaksikan sumoinya yang kecil ini karena di balik
kehalusannya itu tersembunyi kekuatan dan ketenangan yang mengherankan hatinya.
Engkau tentu tahu sendiri bahwa aku pun menjadi korban, ayahku tewas oleh bala
tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku sama sekali tidak mendendamkepada
seluruh kerajaan Sung!Aku tahu bahwa ada biang keladinya yang mengakibatkan
tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan mendendam pada biang keladinya
yaitu Panglima Besar Suma Kiat dan kakitangannya.!
Itu tandanya bahwa engkau
gentar menghadapi musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung telah
bersama menghancurkan kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri
sampai tewas. Ini merupakan dendam ini keluarga juga dendam kerajaan. Ahh,
tentu saja engkau tak dapat merasakan hal ini karena engkau bukan putri raja
yang mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi ditambah dendam bangsa!
Aku akan belajar ilmu dan kelak akan kubalas.
Sebelum Siauw Bwee membantah
lagi Han Ki segera mendahuluinya, Semua cita-cita adalah benar asal dilakukan
di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan kebenaran. Aku sudah
mendengar tekad Maya-sumoi,dan aku tidak akan mencampuri cita-citanya. Dan
engkau sendiri bagaimana cita-citamu, Khu-sumoi?!
Seperti biasa, Siauw Bwee yang
cerdik maklum bahwa suhengnya itu sengaja memasuki perdebatan dengan maksud
menghentikannya, maka dia selalu yang patuh kepada suhengnya juga tidak
berkeras hendak membantah Maya. Maka jawabnya, Aku akan mempelajari ilmu
sesempurna mungkin untuk kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat.
Dia amat lihai, karena itu aku harus memiliki tingkat kepandaian yang melebihi
dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun, aku akan bersabar dan tekun
mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka!
Han Ki mengangguk-angguk dan
Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan. Suheng, engkau sendiri mengalami
kecelakaan karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau mendendam pula
kepadanya?! Pertanyaan. itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar keinginan
menarik Han Ki di sampingnya sehingga mereka berdua mempunyai cita-cita yang
sama! Akan tetapi, betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi terheran
ketika mendengar jawaban Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum
menjawab.
Masih bergema di telingaku
nasihat dan wejangan Siansu.! Han Ki kadang-kadang menyebut Suhunya siansu!.
Yaitu bahwa dendam timbul dari nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan
berkali-kali Suhu menegaskan bahwa menuruti nafsu memancing datangnya
penyesalan dan penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada
siapapun juga. Kalau toh ada malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku,
maka hal itu datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah
sebagai ujian, namun yang jelas, demikian menurut Siansu, adalah bahwa apa pun
yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Diluar kehendakNya, takkan ada
terjadi sesuatu!!
Akan tetapi, Suheng,! Siauw
Swee membantah penuh perasaan. Ada akibat tentu ada sebabnya. Katakanlah bahwa
akibatnya adalah di tangan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan, akan tetapi yang
menjadi sebabnya adalah perbuatan manusia, dalam hal malapetaka yang menimpamu
, sebabnya adalah kejahatan Suma Kiat!!
Han Ki menggeleng kepala, tersenyum
pahit dan menghela napas. Sungguhpun demikian, Sumoi, namun si manusia yang
melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai
penyebab. Dan siapa yang melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam
pohon yang buahnya kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu
sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa kita balas, Tuhan suda kan memungut-Nya
sendiri dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya kepada Tuhan.!
Maya mengerutkan alisnya, sama
sekali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suhengnya itu.
Suheng! Aku tidak setuju!
Pendapat Suheng itu membayangkan keputusasaan dan kelemahan yang menjijikkan!
Seperti mayat hidup saja, tidak mempunyai kemauan apa-apa lagi. Hanya binatang
tak berakal saja yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan
kita bukan binatang! Apa pun yang dikehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk
menentang hal-hal yang mencelakakan kita!!
Han Ki tersenyum memandang
sumoinya yang penuh semangat itu. Ucapanmu benar, Sumoi. Memang, manusia wajib
berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar. Betapapun juga, segala
ikhtiar hanyalah merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, adapun segala
penentuannya adalah di tangan Tuhan juga.!
Suheng, kenapa Tuhan
menjatuhkan malapetaka kepada kita?! Siauw Bwee bertanya, suaranya mengandung
penasaran. Suheng sendiri tertimpa malapetaka sehingga menjadi orang buronan
kerajaan di mana Suheng bekerja sebagai seorang penglima yang setia! Aku
sendiri tertimpa malapetaka, ayahku yang setia terhadap kerajaan tewas oleh
kerajaan sendiri dan aku terlunta-lunta bersama Suheng dan Suci di tempat ini.
Dan Suci juga kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk? Mengapa
Tuhan seolah-olah mengutuk kita? Apakah karena kita bertiga ini tergolong
manusia jahat maka Tuhan sengaja menghukum kita? Kalau kita ini manusia jahat,
kejahatan apakah yang telah kita lakukan?!
Kembali Han Ki tersenyum
sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoinya ini masih remaja dan penuh nafsu
dan semangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup yang
sederhana. Sumoi, manusia terlahir bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan
atas kehendak Tuhan. Juga manusia kelak mati tidak mungkin atas kehendaknya
sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruh hidup manusia,
dari lahir sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang menentukan
segalanya, sungguhpun segala akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia
sendiri. Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapapun
juga merupakan hukum yang penuh rahasia bagi manusia yang amat terbatas
pikirannya. Karena itu, kita harus sadar dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan itu
Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil!
Betapa piciknya kaiau kita
hanya tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya
menangis duka dan penasaran sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita! Kalau
kita men dasarkan segala peristiwa sebagai kehendak Tuhan, mengapa kita mesti
merasa penasaran lagi? Yang penting adalah menjaga sepak terjang kita dalam
hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran dan
keadilan, cukuplah, yang lain tidaklah penting lagi.!
Ah, mana mungkin?! Maya
membantah. Kalau orang tertimpa malapetaka yang disebabkan oleh kejahatan orang
lain, bagaimana kita dapat berdiam diri? Bagaimana kita harus ingat untuk
berbuat baik kalau nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?!
Han Ki menggeleng kepala, Suka
duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan oleh nafsu iba diri dan mementingkan
diri sendiri, Sumoi. Andaikata Tuhan sutradaranya, maka manusia-manusia adalah
pemain-pemain sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara
menentukan, permainan apakah yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia.
Dan ingat, bukan perannya yang penting, melainkan cara manusia memainkan
perannya itu. Biarpun seseorang diberi peran seorang raja besar, kalau dia
tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela. Sebaliknya, biarpun Sang
Sutradara memberi peran kecil tak berarti, misalnya peran seorang pelayan,
kalau pemegang peran itu me mainkannya dengan baik, tentu dia akan terpuji.
Demikian pun dalam kehidupan manusia. Apa artinya seorang raja besar yang
dimuliakan rakyat kalau sepak terjang hidupnya tidak patut dilakukan seorang
raja, kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina? Dia hanya
akan direndahkan di mata manusia, juga di mata Tuhan! Sebaliknya, betapa
mengagumkan hati manusia dan menyenangkan Hati Tuhan kalau seorang biasa yang
bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup penuh kebajikan
dan selalu melandaskan kelakuannya di atas garis kebenaran dan keadilan.!
Dua orang anak perempuan itu
mengerutkan kening. Makanan batin itu terlampau keras dan alot untuk hati
mereka, sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah
hidup.
Ahh, engkau terlalu lemah,
Suheng.! Maya mendengus.
Maaf, Suheng. Betapapun juga,
aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya!! Siauw Bwee
berkata.
Han Ki tersenyum. Maklumlah
dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua orang sumoinya akan sia-sia
belaka. Kesadaran datang bukan oleh palajaran dari mulut ke telinga, melainkan
dari gemblengan pengalaman. Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mungkin
disuruh hati-hati kalau lari? Manusia membutuhkan pengalaman pahit untuk
mencapai kesadaran dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang lebih
banyak pahitnya daripada manisnya. Namun, semua ini berguna, karena apakah
artinya pengalaman manis? Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pengalaman
pahit aken membekas dalam hati sanubari, sukar dilupa, dan karena itu maka amat
berguna. Diam-diam dia hanya mengharapkan semoga tidak terlalu pahit pengalaman
yang akan menimpa kedua orang sumoinya ini.
Sudahlah, daripada omong
kosong, mari kita berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sin-kang
sehingga dapat bertahan bersamadhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian
sudah mengerti bahwa hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sin-kang
yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri untuk memperkuat sin-kang
kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu menotok)
dengan satu jari dan dua jari. Kita menggunakan arca yang berada di kamar bawah
untuk berlatih.
Dua orang anak perempuan itu
menjadi gembira sekali seperti biasa kalau mereka menerima pelajaran ilmu baru.
Ilmu menotok sudah mereka kenal sebelum mereka ikut ber sama Han Ki ke Pulau
Es, akan tetapi yang diajarkan Han Ki adalah ilmu menotok yang bertingkat
tinggi dan untuk pelajaran ini, mereka telah menerima pelajaran teorinya,
melatih kekuatan jari, menghafal letak-letak jalan darah sehingga kini mereka
hanya akan melatih prakteknya saja dengan arca itu.
Terutama sekali Siauw Bwee
girang sekali karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu ini dia dapat
mengatasi sucinya! Memang kedua orang anak perempuan itu, biarpun keduanya sama
tekun dan sama-sama memiliki bakat yang amat baik untuk belajar ilmu silat,
memiliki bakat-bakat menonjol yang berbeda. Dalam hal mempelajari sin-kang,
jelas bahwa Maya melampaui sumoinya, juga dalam ilmu pukulan, gerakan Maya
lebih mantap dan berisi sehingga dia lebih cepat maju dibandingkan dengan
sumoinya. Akan tetapi, dalam hal gin-kang, yaitu ilmu meringankan diri yang
dipergunakan sebagai dasar loncatan-loncatan dan berlari cepat. Siauw Bwee jauh
melampaui sucinya. Juga dalam hal pelajaran tiam-hiat-hoat ini.
Dan seperti biasa dalam setiap
hari kedua orang anak perempuan ini bersaing dan berlumba saling mengalahkan.
Dia yang merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah pengawasan dan
petunjuk Han Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu berlatih. Mula-mula
Maya yang disuruh bergerak dan menyerang semua jalan darah di tubuh arca itu
seperti yang telah diajarkannya dalam teori gerakan ilmu silat ini.
Bergeraklah Maya secepat
mungkin dan tubuh anak perempuan ini berkelebatan seperti seekor kumbang
mengelilingi setangkai bunga. Dalam waktu beberapa belas menit saja ia telah
berhasil menotok semua jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi.
Seluruh gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee dan setelah selesai, Han
Ki berkata sungguh-sungguh, Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang cepat dan ketika
engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau menggunakan jari
telunjuk saja, sebaliknya untuk menotok jalan darah tiong-teng-hiat yang lebih
besar, harus dipergunakan telunjuk dan jari tengah. Engkau tadi melakukannya
dengan terbalik. Harap kaulatih setiap hari dengan tekun. Maya-sumoi.!
Maya mengangguk dan menjawab,
Baiklah, Suheng.! Akan tetapi mukanya yang menunduk itu membayangkan
ketidakpuasan hatinya.
Sekarang engkau, Khu-sumoi,!
Han Ki menyuruh sumoinya yang ke dua.
Baik, Suheng. Harap Suheng
lihat baik-baik dan suka mem beri tahu kesalahan-kesalahanku seperti yang
dilakukan Suci tadi agar aku mengenal kesalahanku sendiri!! kata gadis cilik
ini dan dengan gerakan lincah dan ringan sekali mulailah tubuhnya berkelebatan
di sekeliling arca, jari tangannya yang kecil mungil melakukan totokan-totokan
secara cepat. Kalau tadi gerakan Maya kelihatan amat cepat dan indahnya, kini
ternyata bahwa gerakan Siauw Bwee lebih cepat lagi dan setelah ia selesai
bersilat dan menghabiskan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh arca itu,
Han Ki berkata,
Bagus! Totokanmu tepat semua,
penggunaan jari tangan benar dan kecepatanmu cukup, hanya dalam melakukan
totokan, engkau harus pandai mengumpulkan tenaga sin-kang di ujung jarimu agar
setiap totokan, pada tubuh manusia akan berhasil baik.!
Melihat betapa Han Ki, memuji
sumoinya, Maya meloncat ke depan dan berkata,
Suheng, aku mau berlatih lagi
dengan arca keparat ini!! Tanpa menanti jawaban Han Ki, Maya sudah bergerak
lagi menerjang dan menyerang arca batu, gerakannya cepat dan serangannya amat
kuat
Krakkk! Dada arca itu
retak-retak dan Maya, menyusulkan sebuah pukulan lagi dari punggung, membuat
tubuh arca itu pecah dan jatuh di atas lantai.
Ahhh, Sumoi! Engkau telah
merusakkan arca!! Han Ki berseru marah. Karena dalam kemarahannya melihat Siauw
Bwee dapat melampauinya dan mendengar Han Ki memuji-muji Siauw Bwee padahal
tadi mencelanya, Maya tidak lagi menggunakan totokan jari tangan, melainkan
pukulan-pukulan dengan telapak tangan terbuka sehingga arca itu menjadi pecah
dan rusakl
Mendengar teguran Han Ki dan
melihat betapa sinar mata Han Ki tajam memandangnya penuh kemarahan, Maya
menundukkan muka dan berkata,!Salahku, Suheng. Aku bersalah dan siap menerima
hukuman....!
Han Ki menghela napas panjang.
Maya amat keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima kesalahan dan Siap
dihukum seperti itu, hati siapa tidak merasa iba dan sayang? Siauw Bwee
melangkah maju, memegang lengan Maya dan berkata, Suheng, kalau arca itu rusak,
bukanlah kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah mengapa begitu rapuh?
Alat untuk menguji ilmu dan berlatih haruslah yang kuat, apalagi arca ini
setiap hari ditotok dan dipukul, tentu saja lama-lama pecah.!