Bab 7
***
Dugaan Han Ki memang sama
sekali tidak meleset. Peristiwa yang terjadi itu membawa akibat yang amat jauh
dan hebat, dia pun tidak tahu nasib apa yang menimpa Maya dan Siauw Bwee, yang
ia tinggalkan di tengah jalan.
Ketika Menteri Kam Liong dan muridnya,
Panglima Khu Tek San meninggalkan Istana yang mengakhiri pesta penyambutan tamu
agung sampai tengah malam, membuat hati guru dan murid ini lega karena semenjak
munculnya Maya dan Siauw Bwee tadi membuat hati mereka amat tidak enak, mereka
berpisah. Panglima Khu pulang ke gedungnya sendiri dengan tergesa-gesa. Dia
ingin segera sampai di rumah dsn menegur puterinya yang telah berbuat lancang
menggegerkan Istana bersama Maya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan
betapa kaget hatinya ketika sampai di rumah, dia disambut teguran isterinya
mengapa Siauw Bwee dan Maya tidak diajak pulang!
Apa....? Mereka sudah pulang
lebih dulu, malah diantar oleh Kam-susiok!! Panglima ini berkata dengan suara
keras. Maka paniklah keluarga Khu dan Panglima itu pun segera menyuruh anak
buahnya untuk berpencar mencari puterinya dan Maya. Juga dia sendiri ikut
mencari, karena sungguhpun ia tidak usah merasa khawatir akan keselamatan dua
orang anak perempuan yang diantar oleh susioknya itu, namun peristiwa yang
terjadi di istana sebagai akibat kelancangan Maya dan Siauw Bwee membuat
hatinya tidak enak. Apalagi karena urusan Yucen dan Jenderal Suma jelas
memperlihatkan sikap bermusuhan dengan gurunya.
Akan tetapi, malam itu
ternyata terjadi hal yang amat menggelisahkan hati panglima ini secara
susul-menyusul, karena waktu ia meninggalkan rumahnya lagi untuk mencari jejak
puterinya dan Maya, ia dikejutkan oleh berita bahwa Kam Han Ki mengamuk di
taman istana dan dikeroyok oleh para pengawal! Tentu saja ia terkejut sekali,
akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia dapat menduga bahwa tentu hal itu ada
hubungannya dengan pertalian cinta kasih antara Kam Han Ki dan Puteri Sung Hong
Kwi.
Panglima Khu menjadi bingung
karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan kedua orang anak
perempuan itu belum didapatkan, kini mendengar Han Ki menggegerkan istana!
Apakah yang terjadi dengan puterinya dan Maya?
Tiada jalan lain bagi Panglima
Khu selain bergegas mendatangi gurunya di gedung Menteri Kam Liong.
Seperti telah diduganya,
gurunya telah mendengar perihal Han Ki di Istana, tentu mendapat pelaporan dari
anak buah yang setia, dan kini Menteri yang tua itu duduk termenung dan
menyambut kedatangan Tek San dengan muka gelisah.
Kau tentu datang untuk
melaporkan tentang Han Ki, bukan? Aku sudah mendengar semua dan.... ah,
betapapun juga, dia seorang pemuda yang tentu saja belum cukup kuat untuk
menahan pukulan cinta terputus. Bagaimana aku dapat menyalahkan dia?!
Bukan hanya urusan Kam-susiok
saja yang menggelisahkan teecu dan membuat teecu menjelang pagi begini
mengunjungi Suhu, melainkan juga lenyapnya kedua orang anak itu....!
Apa....?! Menteri tua itu
menjadi terkejut.
Seperti Suhu ketahui, Maya dan
Siauw Bwee pulang lebih dulu diantar oleh Kam-susiok, akan tetapi ternyata
kedua orang anak itu belum sampai ke rumah teecu dan tahu-tahu ada berita
Kam-susiok mengamuk di taman Istana. Teecu bingung dan tidak tahu harus berbuat
apa, maka teecu datang menghadap Suhu mohon petunjuk.
Menteri Kam Liong mengelus
jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. Khu Tek San mendengar
gurunya berkata lirih, .... mengapa.... mengapa....?! dan ia tidak mengerti apa
yang dimaksudkan gurunya itu. Memang yang mengerti hanya Menteri Kam Liong
sendiri. Di dalam hatinya ia merasa berduka dan bertanya mengapa keturunan
keluarga Suling Emas selalu ditimpa kemalangan?
Kita harus bersabar, Tek San.
Urusan Han Ki adalah urusan yang gawat dan biarlah besok aku menghadap Kaisar
minta keterangan, dan akan kuusahakan agar aku dapat bertemu Han Ki dan
bertanya tentang dua orang anak itu. Aku harus membela Han Ki yang kabarnya
masih belum tertangkap, sebaiknya sekarang juga aku melihat keadaan.!
Khu Tek San mengerti betapa
gurunya bingung dan berduka, maka ia cepat berkata,
Harap Suhu tunggu saja di
rumah karena kalau Suhu yang datang ke sana, tentu akan terjadi salah paham,
disangka Suhu akan membantu Kam-susiok. Sebaiknya teecu saja yang menyelidiki
ke sana dan melihat keadaan.!
Menteri Kam Liong
mengangguk-angguk dan membiarkan muridnya keluar. Dia memang bingung sekali
menghadapi urusan yang sulit itu. Tidak membantu Han Ki tidak mungkin karena di
antara semua keluarganya, hanya Han Ki seorang yang paling dekat. Kalau
membantu berarti ia terancam bahaya bermusuhan dengan istana!
Sampai Han Ki tertawan dan dimasukkan
dalam penjara, Khu Tek San menyaksikan semua pertandingan itu. Dia tidak berani
turun tangan membantu, dan setelah mendapat kenyataan betapa Han Ki tertawan
dan dijebloskan kamar tahanan, ia bergegas pulang ke rumah Menteri Kam untuk
membuat laporan.
Menteri Kam Liong mengurut
jenggotnya yang panjang, wajahnya agak pucat dan ia berkata lirih, Aku harus
menolongnya! Harus membebaskannya, kalau perlu dengan mengorbankan diriku....!
Suhu....!! Tek San berseru
kaget.
Menteri Kam Liong memandang
muridnya yang setia. Tek San, engkau muridku yang amat baik, seperti keluargaku
sendiri, maka tak perlu aku menyimpan rahasia. Saudara-saudaraku cerai-berai
tidak karuan, dan keturunan ayahku yang laki-laki hanya ada tiga orang, yaitu
aku sendiri, mendiang Raja Khitan dan Han Ki. Raja Khitan telah tewas dan aku
sendiri tidak berdaya menolong adikku itu. Aku sendiri sudah tua dan tidak
mempunyai anak. Kalau Han Ki tewas, bukankah keluarga Kam akan kehilangan
turunan? Aku harus menyelamatkan dia, apa pun yang akan menimpa diriku. Tentu
saja aku akan mempergunakan jalan halus membujuk Kaisar untuk mengampuni Han
Ki, akan tetapi apabila tidak berhasil, aku akan mempergunakan kekerasan
membebaskannya. Juga kalau kedua orang anak perempuan itu benar-benar lenyap di
luar pengetahuan Han Ki, aku akan mendatangi Suma Kiat dan demi Tuhan, sekali
ini aku tidak akan segan-segan untuk memukul pecah kepalanya kalau sampai dia
berani mengganggu Maya dan Siauw Bwee. Kaupulanglah!!
Dengan hati berat dan penuh
kekhawatiran karena hal-hal yang amat tidak enak menimpa secara bertubi-tubi,
Tek San lalu mengundurkan diri. Puterinya hilang, paman gurunya ditawan, dan
gurunya menghadapi kesukaran yang amat berat sedangkan dia sendiri tidak
berdaya menolong!
Lebih gelisah lagi hati Khu Tek
San setelah lewat tiga hari, tidak ada seorang pun di antara anak buahnya yang
disuruh menyelidik mengetahui ke mana perginya dua orang anak perempuan itu!
Han Ki yang berhasil dihubungi Menteri Kam hanya menceritakan bahwa dia
berpisah dengan dua orang anak itu yang pulang berdua, sedangkan dia langsung
menuju ke taman istana sampai tertawan.
Ketika gurunya memanggilnya,
Tek San mendapatkan gurunya itu menjadi kurus dan pucat. Betapa hebat
penderitaan batin menteri itu selama tiga hari ini.
Tek San, aku gagal mintakan
ampun untuk Han Ki. Bahkan Kaisar menetapkan hukuman mati untuk Han Ki yang
dilaksanakan besok. Si Bedebah Suma Kiat! Dialah yang membakar hati Kaisar
sehingga, Han Ki tak dapat diampuni, bahkan Kaisar marah kepadaku mengapa tidak
dapat mencegah perbuatan Han Ki yang mencemarkan nama baik keluarga Kaisar! Aku
sudah mengambil keputusan, muridku. Malam ini, menjelang pagi, aku harus turun
tangan membebaskan Han Ki dan kalau berhasil, aku akan pergi bersama dia
menyusul ayahku di Go-bi-san. Aku hidup seorang diri, perbuatanku ini tentu
akan menggegerkan, akan tetapi tidak ada keluargaku yang menderita akibatnya.
Adapun tentang dirimu sebaiknya engkau mengundurkan diri saja setelah keributan
yang kusebabkan mereda.!
Tek San kaget sekali. Akan tetapi....
bagaimana dengan puteri teecu dan Maya?!
Aku sudah mendatangi Suma Kiat
dan dia bersumpah tujuh turunan bahwa dia tidak mencampuri urusan lenyapnya dua
orang anak itu. Aku percaya kepadanya. Kurasa, orang-orang Yucen mengambil
bagian, bahkan mungkin pelaku-pelaku terpenting atas hilangnya dua orang anak
itu. Mungkin mereka hendak membalas penghinaan yang dilakukan dua orang anak
itu di dalam pesta. Kalau aku sudah berhasil menyelamatkan Han Ki, aku sendiri
yang akan mencari mereka, menyelidik di antara tokoh Yucen yang hadir pada
malam hari itu.
Suhu, teecu akan membantu Suhu
menolong Susiok!
Kam Liong terkejut dan
memandang wajah muridnya yang berdiri tegak penuh keberanian. Ia tidak
ragu-ragu akan keberanian dan kegagahan muridnya, akan tetapi sekali ini,
mereka bukan melakukan tugas demi kepentingan negara yang tidak perlu
memperhitungkan untung rugi pribadi, melainkan melakukan urusan pribadi! Tentu
saja amat jauh bedanya.
Jangan, Tek San. Urusan pada
malam nanti adalah urusan pribadi. Aku tidak ingin melihat engkau terbawa-bawa
dan keluargamu menjadi celaka karena keluarga kami. Biarlah kulakukan sendiri
sehingga kalau gagal, tidak mengorbankan pula keselamatanmu.!
***
Maaf, Suhu. Mengapa Suhu
berkata demikian? Teecu telah menerima budi besar dari Suhu, bahkan semua
kemuliaan yang teecu nikmati sekarang ini adalah berkat pertolongan Suhu.
Ketika teecu ditawan di perbatasan, kalau tidak muncul Kam-susiok yang
menolong, tentu teecu sudah mati pula. Kini Kam-susiok membutuhkan bantuan,
bagaimana teecu dapat tinggal diam saja? Apalagi melihat Suhu terjun ke dalam
bahaya, masa teecu harus diam menonton saja? Tidak, teecu mohon agar
diperbolehkan membantu Suhu. Dengan tenaga dua orang, kiranya akan lebih mudah
menolong Kam-susiok.!
Akan tetapi.... keluargamu?!
Siauw Bwee telah lenyap dan
yang menjadi tanggungan teecu hanyalah isteri teecu. Hari ini juga teecu akan
menyuruh dua orang kepercayaan teecu untuk mengantarkan isteri teecu lolos
dengan diam-diam dari kota raja. Hal itu mudah dilakukan.!
Tapi.... ah, tugas malam nanti
amat berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan menghadapi
pengeroyokan banyak sekali panglima yang pandai....!
Justeru karena itulah maka
sebaiknya kalau Suhu mengajak teecu. Biarpun kekuasaan Suhu lebih besar daripada
teecu, karena memang pangkat Suhu lebih tinggi, akan tetapi sebagai seorang
panglima, agaknya teecu dapat mempengaruhi para pengawal yang akan lebih taat
pada seorang panglima daripada seorang menteri seperti Suhu. Ijinkan teecu
pulang untuk mengatur kepergian isteri teecu keluar kota raja dan menentukan
tempat yang akan dijadikan tempat sembunyi, kemudian teecu akan kembali ke sini
untuk mengatur siasat malam nanti.!
Karena maklum akan kekerasan
hati muridnya yang amat setia dan gagah perkasa sehingga makin dilarang tentu
makin penasaran, apalagi memang dia amat membutuhkan tenaga Tek San, akhimya
Menteri Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui. Tek San menjadi girang dan
cepat ia pulang ke gedungnya, berbisik-bisik mengatur kepergian isterinya, dengan
isterinya yang berwajah pucat dan mata merah, karena terlalu banyak menangis
memikirkan lenyapnya puteri mereka. Hari itu juga, menjelang senja, nyonya Khu
menyamar sebagai seorang wanita biasa, dikawal oleh dua orang pengawal
kepercayaan Khu Tek San, keluar kota raja menuju ke selatan. Tidak ada orang
yang tahu akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung itu sendiri tidak tahu!
Malam itu Menteri Kam dan
Panglima Khu berunding di ruangan dalam, dan Menteri Kam memanggil pelayannya
yang setia, pelayan yang juga dapat disebut sebagai muridnya karena pelayan ini
amat tekun mempelajari ilmu silat yang dilihatnya setiap kali Menteri Kam,
mengajar Tek San. Pelayan ini bernama Gu Toan, semenjak kecil sudah cacat,
tubuhnya, yaitu punggungnya bongkok dan wajahnya buruk. Akan tetapi dia
mempunyai kesetiaan yang amat luar biasa, dan pendiam namun cerdik sekali
sehingga apa saja yang dili hatnya akan selalu teringat olehnya dan setiap
perintah majikannya selalu dilakukan penuh ketaatan sehingga setiap perintah akan
ia laksanakan dengan taruhan nyawanya!
Gu Toan,! kata Menteri Kam
kepada pelayannya yang memandang penuh duka karena ia maklum bahwa majikannya
yang dijunjung tinggi, dihormati dan dikasihinya itu sedang menderita tekanan
batin karena urusan yang amat hebat itu. Engkau sudah mendengar semua, bukan?
Nah, malam nanti menjelang pagi aku akan melaksanakan rencanaku bersama Tek
San. Kepadamulah kupercayakan untuk menyimpan peninggalanku, kitab-kitab yang
sudah kubungkus itu. Hanya engkau seorang yang kupercaya untuk menyelamatkan
benda-benda pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain karena aku
khawatir sekali kalau-kalau ilmu keturunanku akan dipergunakan orang untuk
perbuatan jahat.!
Hamba mengerti, Taijin.!
Dan sepergiku, engkau tidak
boleh berada di gedung ini lagi, siap untuk menantiku di pintu gerbang sebelah
selatan. Engkau mencari tempat sembunyi di sana, menanti aku dan membawa
benda-benda pusaka itu. Kalau aku berhasil menolong Han Ki, tentu aku akan
keluar dari pintu gerbang sela tan itu dan engkau boleh pergi bersamaku. Akan
tetapi kalau sampai pagi aku tidak muncul, berarti aku gagal dan kau boleh
cepatcepat memberi kabar ke Go-bi-san, kaucarilah tempat pertapaan Ayah, Suling
Emas dan ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini. Mengertikah?!
Pelayan setia itu
mengangguk-angguk dan dua titik air mata menetes turun ketika ia menggerakkan
kepala. Nah, kau berkemaslah,! kata Menteri Kam, diam-diam berterima kasih dan
lega hatinya bahwa dia mempunyai seorang pelayan demikian setia.
Malam itu, guru dan murid ini
tidak tidur. Setelah makan minum, mereka berdua hanya duduk bersamadhi,
mengumpulkan tenaga sambil menanti datangnya saat yang mereka tentukan, yaitu
antara tengah malam dan pagi, waktu yang paling sunyi karena para penjaga pun sudah
banyak yang tertidur dan sisanya tentu sudah mengantuk berjaga sampai hampir
pagi.
Menjelang pagi, pada saat
seluruh kota raja tertidur dan keadaan sunyi senyap, tampak tiga bayangan orang
berkelebat keluar dari gedung Menteri Kam Liong. Mereka itu bukan lain adalah
Menteri Kam Liong sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si bongkok Gu Toan yang
membawa bungkusan besar di punggungnya yang berpunuk dan bongkok itu. Setelah
memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan memisahkan
diri, membelok ke selatan dan terus berlari menuju pintu gerbang selatan. Bagi
dia tidaklah sukar untuk keluar dari pintu gerbang pada saat seperti itu karena
ketika ia memperlihatkan surat perintah Menteri Kam kepada penjaga yang
memandangnya dengan mata mengantuk, dia lalu dibukakan pintu gerbang dan
berlarilah Si Bongkok ini keluar pintu gerbang, mencari tempat persembunyian di
luar tembok kota raja di sebelah selatan, menanti dengan hati penuh gelisah.
Menteri Kam Liong dan muridnya
bergerak cepat sekali, bayangan mereka melesat ke depan sehingga di malam gelap
itu sukarlah mengikuti gerakan mereka dan kalau kebetulan ada yang melihat
tentu tidak menduga bahwa berkelebatnya dua sosok bayangan itu adalah dua orang
manusia. Mereka mengenakan pakaian ringkas sungguhpun sengaja memakai pakaian
kebesaran mereka.
Menteri Kam Liong memakai
pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan lengan baju lebar akan tetapi
kedua celananya bagian bawah ditutup dengan sepasang sepatu kulit yang panjang
menutupi betisnya. Kepalanya diikat dengan kain pembungkus kepala ringkas
sehingga biarpun pakaiannya adalah pakaian menteri, namun karena ringkas
sederhana ia tampak sebagai seorang tokoh kang-ouw!
Adapun Khu Tek San memakai
pakaian panglima, bahkan mengenakan baju perang yang terlindung kulit tebal di
bagian bahu, dengan dada, perut dan kaki di bawah lutut. Pedang panjang
tergantung di pinggangnya. Rambutnya tidak dibungkus, hanya diikat ke atas
dengan sehelai sutera pengikat rambut. Panglima dengan kumisnya yang meruncing
ke kanan kiri ini kelihatan gagah perkasa!
Mereka berdua langsung
memasuki daerah istana dari tembok belakang. Tembok itu amat tinggi dan agaknya
Khu Tek San takkan mampu melompatinya, apalagi dengan pakaiannya yang berat itu
kalau gurunya tidak membantunya dengan dorongan kuat dari bawah. Keduanya
berhasil meloncat turun ke sebelah dalam dan mulailah mereka berjalan menuju ke
bangunan penjaga di belakang istana yang terjaga ketat.
Tepat seperti yang diduga dan
diperhitungkan Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga tertidur pulas.
Sebagian lagi melenggut saking mengantuk, dan hanya ada belasan orang saja yang
dapat bertahan, menjaga sannbil main kartu. Melihat munculnya dua orang dari
dalam gelap, mereka terkejut, akan tetapi mereka tidak jadi menyambar senjata
atau berteriak ketika mengenal bahwa yang muncul adalah Panglima Khu Tek San
dan Menteri Kam Liong. Mereka yang tidak tidur atau mengantuk, cepat-cepat
bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang berpangkat itu.
Maaf.... hamba.... hamba tidak
tahu....! Kepala pengawal berkata gugup, karena munculnya dua orang itu,
terutama sekali Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.
Tak perlu ribut-ribut. Buka
pintu untuk kami!! kata Panglima Khu dengan suara penuh wibawa.
Bu.... buka pintu.... tapi....
hamba tak boleh....! Kepala pengawal menjadi bingung memandang kepada pintu
besi yang terkunci dengan gembok kuat sekali itu.
Aku memerintahkan, dan di sini
hadir pula Kam-taijin yang ingin memeriksa tawanan, engkau masih berani banyak
cerewet?! Panglima Khu membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam.
Maaf.... hamba tidak
membantah, Ciangkun.... hanya hamba telah dipesan oleh Suma-goanswe....!
Bukalah!! kata Menteri Kam
Liong dengan suara halus namun lebih mantap daripada suara Khu-ciangkun. Kalau
ada kemarahan dari Suma-goanswe, aku yang bertanggung jawab.!
Mendengar ini, penjaga itu
tidak berani rewel lagi dan ia lalu membuka kunci pintu besi yang menghubungkan
tempat penjagaan dengan bangunan penjara. Menteri Kam dan Khu Tek San saling
memberi tanda dengan kedipan mata, tubuh mereka bergerak seperti terbang
menerjang para penjaga itu dan dalam beberapa detik saja para penjaga itu telah
terpelanting roboh karena tertotok sehingga dipandang sepintas lalu keadaan
mereka seperti kawan-kawan mereka yang tidur pulas.
Guru dan murid itu cepat
memasuki pintu besi dan kembali mereka bertemu dengan serombongan penjaga di
depan penjara. Penjaga di situ ada sepuluh orang, akan tetapi yang masih
berjaga hanya tiga orang saja. Tanpa banyak cakap, selagi tiga orang ini
memandang kaget dan bengong sehingga lupa memberi hormat, tiga kali lengan baju
Menteri Kam mengebut dan tiga orang penjaga itu pun roboh pulas! di tempatnya.
Setelah melampaui
penjagaan-penjagaan dengan mudah, akhirnya mereka berdua tiba di depan kamar
tahanan Han Ki dan melihat pemuda itu menggeletak pingsan di atas pembaringan
batu dalam keadaan kaki tangan terbelenggu dan pingsan! Ternyata bahwa
luka-lukanya yang tidak dirawat, dan tiga hari tidak diberi makan minum,
akhirnya membuat pemuda yang sudah tidak peduli akan keselamatannya itu
pingsan!
Di depan pintu kamar tahanan
ini terdapat dua orang penjaga yang berbeda dengan para penjaga di depan karena
mereka ini adalah dua orang panglima kaki tangan Suma Kiat. Begitu melihat munculnya
Menteri Kam Liong dan Panglima Khu, dua orang itu meloncat kaget.
Seorang di antara mereka
memutar golok menerjang Menteri Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke
sudut ruangan itu.
Plak!! Panglima muda yang
menerjang Menteri Kam dengan pedangnya itu terbanting roboh dan pedangnya patah
menjadi dua, sedangkan Panglima Khu yang melihat panglima ke dua lari ke sudut
ruangan dan menarik sebuah tali yang tergantung di situ, cepat menubruk dan
sekali pukul ia merobohkan panglima itu. Akan tetapi terlambat. Kiranya tali
yang ditarik itu menghubungkan sebuah tempat rahasia dan terdengarlah bunyi
berkerincing yang nyaring sekali. Suara itu segera disusul oleh bunyi kentung
tanda bahaya yang membangunkan semua penjaga sehingga mereka berteriak-teriak
dan membunyikan tanda bahaya pula.
Tek San! Cepat, kaupondong Han
Ki, biar aku yang melindungimu keluar!! Menteri Kam yang biasanya amat halus
gerak-geriknya, kini dengan sikapnya meloncat ke depan, sekali renggut saja
putuslah rantai yang mengikat pintu, mendorong daun pintu dan meloncat ke dalam
kamar tahanan diikuti oleh muridnya. Menteri Kam Liong kembali menggunakan
jari-jari tangannya yang. kuat, mematahkan belenggu kaki tangan Han Ki yang
masih pingsan. Dengan cepat Khu Tek San lalu memondong tubuh Han Ki yang lemas
dan pada saat itu, terdengar bunyi alat tanda bahaya dipukul gencar di luar
pintu kamar tahanan.
Suma Kiat, engkau benar-benar
orang yang tak tahu diri!! Menteri Kam Liong membentak marah ketika melihat
bahwa yang memukul tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat yang sudah
mengejar ke situ bersama pasukan panglima pilihan dari istana. Kiranya Jenderal
ini sudah menduga bahwa Menteri Kam tentu akan turun tangan sebagaimana yang
diduga dan diharapkan, maka ia sengaja membiarkan pengawal biasa menjaga tempat
tahanan, sedangkan dia sendiri bersama panglima-panglima pilihan yang
berkepandaian tinggi menanti di dalam ruangan tersembunyi yang dihubungkan
dengan tempat tahanan melalui sebuah tali. Dia menempatkan dua orang panglima
pilihannya secara bergilir di depan kamar tahanan dan begitu ada bahaya, mereka
disuruh menarik tali itu. Di ruangan tersembunyi, Jenderal Suma Kiat dan para
panglima melakukan penjagaan secara bergilir sehingga menjelang pagi itu,
begitu alat rahasia berbunyi, mereka semua dibangunkan dan menyerbu ke tempat
tahanan!
Ha-ha-ha, Kam Liong, sudah
kuduga bahwa akhirnya engkau menjadi pemberontak juga!, Kalian terjebak seperti
tiga ekor tikus, ha-ha-ha!!
Tek San, ikuti aku!! Kam Liong
membentak sambil mencabut sepasang senjatanya yang ampuh dan menggiriskan hati
semua lawannya, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas! Dengan gerakan
kilat Kam Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan, diikuti oleh Tek San
yang memanggul tubuh Han Ki dengan lengan kirinya sedangkan tangan kanannya
sudah mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki dan dirinya sendiri.
Setibanya di luar, Kam Liong
sudah disambut serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Suma Kiat,
Siangkoan Lee dan lima orang panglima kelas satu dari para tokoh pengawal
Kaisar. Melihat ini, makin gemas hati Kam Liong karena hadirnya
pengawal-pengawal pribadi Kaisar ini membuktikan bahwa pengeroyokan ini telah
direncanakan dengan seijin Kaisar sendiri!
Dia tahu bahwa
panglima-panglima pengawal pribadi Kaisar adalah orang-orang yang memiliki
tingkat kepandaian tinggi, hanya sedikit saja di bawah tingkat kepandaian Tek
San, maka ia tahu bahwa keadaan mereka bertiga berbahaya sekali. Cepat ia
memutar sulingnya dan tampak sinar yang gemilang menyilaukan mata disusul bunyi
nyaring beradunya senjata dan di antara tujuh buah senjata lawan yang
mengeroyoknya, sebatang pedang dan sebatang golok terlepas dari pegangan
pemiliknya! Kam Liong membarengi tangkisannya dengan mengebutkan kipasnya ke
arah muka mereka. Kebutan ini mendatangkan angin dahsyat yang menyambar ke arah
tujuh orang pengeroyok. Saking hebatnya sambaran angin kipas, tujuh orang itu
cepat mundur dan mereka memutar senjata melindungi tubuh mereka ketika kembali
ada sinar kuning emas menyambar merupakan lingkaran sinar yang menyilaukan
mata.
Trangggg, tringg....
cringggg....!! Kembali para pengeroyok berteriak kaget dan hanya Suma Kiat dan
Siangkoan Lee saja yang mampu mempertahankan diri dengan tangkisan senjata
mereka, sedangkan para panglima pengawal lainnya terhuyung ke belakang.
Tek San, bawa dia lari, aku
menjaga di belakang!! Menteri Kam Liong berteriak sambil memutar suling emasnya
menangkis datangnya sinar bekeredepan dari senjata-senjata rahasia yang dilepas
oleh para pengawal.
Karena maklum bahwa kini
pasukan pengawal yang menyerbu amat banyaknya dan kalau mereka tidak
cepat-cepat dapat keluar dari kota taja tentu mereka terancam bahaya hebat, Khu
Tek San mengerti akan maksud suhunya, maka ia pun lalu meloncat sambil memutar
pedang melindungi tubuh Han Ki yang dipanggulnya. Pemuda itu masih pingsan dan
sama sekali tidak bergerak. Hal ini amat merugikan, karena Tek San mengerti
benar bahwa apabila pemuda perkasa ini tidak pingsan dan ikut melawan, agaknya
tidaklah amat sukar bagi mereka bertiga untuk menyelamatkan diri lari keluar
deri kota raja!
Sepak terjang Kam Liong dan
Tek San menggentarkan hati para pengeroyok. Kini Kam Liong tidak lagi berlaku
sungkan karena dia maklum bahwa persoalannya menjadi gawat, persoalan mati atau
hidup. Dia mengerti bahwa kalau sampai mereka tertawan, tentu akan menerima
hukuman mati dan yang lebih menggelisahkan hatinya adalah tercemarnya nama
keluarganya sebagai pemberontak, demi keselamatan Han Ki, karena kalau kali ini
mereka tertawan dan mati semua, akan habislah keturunan keluarga ayahnya. Maka
diputarnya senjata suling dan kipasnya dengan hebat menghadang para pengeroyok
yang hendak mengejar Khu Tek San yang menggendong tubuh Han Ki yang masih
pingsan.
Melihat betapa orang-orang
yang dibencinya dapat lolos keluar dari penjara, bahkan kini telah menyerbu
keluar dari dinding tembok istana, Suma Kiat marah sekali dan menambah jumlah
pesukan, juga memerintahkan agar pasuken-pasukan keamanan dikerahkan untuk
memblokir semua jalan keluar dari kota raja! Sementara itu, dia sendiri
memimpin para panglima yang makin banyak jumlahnya, tetap mengeroyok Kam Liong
yang mengamuk bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa, mengamuk
sehingga kipasnya menimbulkan angin bersuitan dan suling emasnya merupakan
gulungan sinar kuning emas yang menyambar ke sana ke mari. Karena kini Kam
Liong benar-benar meangamuk, bahkan hanya untuk membela diri namun terutama
sekali untuk melapangkan jalan bagi Khu Tek San untuk menyelamatkan Han Ki,
maka sinar suling emasnya mulai merobohkan para penge royok tanpa mengenal
ampun lagi.
Suma Kiat! Jika kau tidak
ingin melihat kota raja banjir darah, biarkan kami pergi!! bentaknya
berulang-ulang sambil mengamuk karena di dalam hatinya, menteri tua ini tidak
senang harus membunuhi para pengawal. Hal ini amat berlawanan dengan hatinya
yang sebetulnya penuh kesetiaan kepada kerajaan.
Pengkhianat dan pemberontak
laknat! Tak mungkin kalian dapat meninggalkan kota raja dengan tubuh bernyawa!!
Suma Kiat membentak sambil menyerang lebih ganas lagi.
Kam Liong berduka dan juga
marah sekali. Dia terpaksa harus menjadi seorang pengkhianat dan pemberontak
rendah, akan tetapi dia siap mengorbankan nyawa dan kehormatannya untuk
menyelamatkan keturunan terakhir dan keluarganya.
Aku dan muridku akan
menyerahkan nyawa asal Han Ki kaubebaskan!! Teriaknya pula. Akan tetapi, baik
Suma Kiat maupun temannya yang sebagian memang tidak suka kepada menteri yang
setia dan jujur yang selalu menentang kelaliman para pembesar, malah
mengurungnya dengan ketat.
Tek San! Lari....!! Kam Liong
berteriak, mencurahkan tenaganya menerjang Suma Kiat. Suma Kiat yang amat lihai
itu kewalahan menghadapi sambaran sinar kuning emas dan dia tentu menjadi
korban kalau saja lima orang temannya tidak melindunginya dengan
tangkisan-tangkisan senjata mereka. Enam orang itu sampai terpental ke belakang
dan terhuyung-huyung ketika senjata mereka bertemu dengan sinar kuning emas
yang amat kuat itu. Kesemuanya ini dipergunakan Kam Liong untuk meloncat ke
dekat Tek San, sinar sulingnya merobohkan tiga orang pengeroyok muridnya
sehingga Tek San dapat melarikan diri. Menteri tua yang sakti itu pun lalu
mengejar dan melindungi larinya Tek San dari belakang.
Wirrr.... wirrr....!! Hujan
anak panah mulai berdatangan, menyambar dari belakang, kanan dan kiri ke arah tiga
orang pelarian itu.
Namun, pedang di tangan Tek
San dan suling di tangan Kam Liong diputar cepat, meruntuhkan semua anak panah
yang menyambar, juga kebutan kipas membuat anak-anak panah terlempar dan
menyeleweng ke kanan kiri. Mereka berdua menangkis sambil berlari terus menuju
ke selatan karena mereka bermaksud melarikan diri keluar dari pintu gerbang
kota raja sebelah selatan.
Akan tetapi, dari segala sudut
dan lorong di kota raja, berbondong-bondong muncul pasukan-pasukan yang menghu
jankan anak panah dan mengeroyok, seperti semut banyaknya sehingga usaha
melarikan diri dua orang guru dan murid itu selalu terhalang dan sukar, hanya
dapat maju dengan lambat.
Kita harus dapat keluar
sebelum terang cuaca!! Kam Liong berkata kepada muridnya. Larilah cepat, biar
aku yang menghadapi semua rintangan!! Kam Liong bicara sambil melakukan
gerakan, seperti burung garuda menyambar di sekeliling tubuh muridnya, dengan
demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi
murid-muridnya.
Suhu....!! Tek San berkata,
suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.
Hemm, bicaralah!! Kam Liong
berkata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman
ini dapat menangkap keraguan dan kedukaan di dalam suara muridnya yang amat
dikenalnya itu.
Cet-cet cettt....!! Belasan
batang senjata piauw menyambar dari atas.
Keparat!! Kam Liong berseru,
sulingnya diputar menangkis dan kipasnya berhasil menangkap atau menjepit tiga
batang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur
menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan
robohnya dua orang pengawal dari atas genteng itu, dahi mereka termakan! piauw
mereka sendiri.
Suhu.... kalau sampai
gagal.... harap Suhu maafkan teecu....!!
Kam Liong merasa hatinya
tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang
mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu,
Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nyawa sendiri yang terancam maut,
melainkan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan
mengecewakan hati gurunya.
Jangan cerewet! Cepat lari!!
Kam Liong membentak, akan tetapi biarpun dia membentak, muridnya dapat
menangkap getaran suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San,
maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau
jelas akan memaafkannya. Maka ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat
merobohkan dua orang pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya
yang meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya,
memondong tubuh Han Ki yang pingsan.
Kejar....!
Tangkap....!!
Bunuh mereka semua....!!
Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong
dan mengejar larinya Tek San!
Khu Tek San sedang berlari
cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang.
Cepat ia miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang menangkis ke belakang,
diputar melindungi tubuh belakang.
Tring-tranggg....!!
Khu Tek San terkejut karena
tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar hebat. Cepat ia membalik dan
menggerakkan pedang untuk menjaga diri.
Suma Kiat, engkau orang tua
yang tidak patut dihormat!! Tek San membentak marah dan memutar pedangnya. Suma
Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar
ini selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang
mengatur pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
Cringgg....!! Dua batang
pedang bertemu dan Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong tubuh
Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biarpun tidak
memondong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek
San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma
Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya
Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek
San, Suma Kiat tertawa mengejek.
Khu. Tek San, lebih baik
menyerah dan menjadi tawanan daripada mampus dan menjadi setan penasaran di
ujung pedangku. Berlututlah!!
Suma Kiat, lebih baik seribu
kali mati daripada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau!! Khu
Tek San berseru marah dan menyerang. Sembil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat
menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah terdesak
hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang
dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung sekali,
terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat amat
cerdik.
Dia maklum bahwa kalau Kam
Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini
berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan
diri mereka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han
Ki. Maka, kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas
panglima itu menjadi benar-benar repot sekali.
Ketika pedang Suma Kiat
membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek
San, panglima ini cepat menagkis.
Tranggg....!!
Pedang Suma Kiat yang
terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang
tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis
tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini tidak ada kesempatan lagi
baginya
Kita harus dapat keluar
sebelum terang cuaca!! Kam Liong berkata kepada muridnya. Larilah cepat, biar
aku yang menghadapi semua rintangan!! Kam Liong bicara sambil melakukan
gerakan, seperti burung garuda menyambar di sekeliling tubuh muridnya, dengan
demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi
murid-muridnya.
Suhu....!! Tek San berkata,
suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.
Hemm, bicaralah!! Kam Liong
berkata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman
ini dapat menangkap keraguan dan kedukaan di dalam suara muridnya yang amat
dikenalnya itu.
Cet-cet cettt....!! Belasan
batang senjata piauw menyambar dari atas.
Keparat!! Kam Liong berseru,
sulingnya diputar menangkis dan kipasnya berhasil menangkap atau menjepit tiga
batang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur
menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan
robohnya dua orang pengawal dari atas genteng itu, dahi mereka termakan! piauw
mereka sendiri.
Suhu.... kalau sampai
gagal.... harap Suhu maafkan teecu....!!
Kam Liong merasa hatinya
tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang
mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu,
Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nyawa sendiri yang terancam maut,
melainkan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan
mengecewakan hati gurunya.
Jangan cerewet! Cepat lari!!
Kam Liong membentak, akan tetapi biarpun dia membentak, muridnya dapat
menangkap getaran suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San,
maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau
jelas akan memaafkannya. Maka ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat
merobohkan dua orang pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya
yang meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya,
memondong tubuh Han Ki yang pingsan.
Kejar....!
Tangkap....!!
Bunuh mereka semua....!!
Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong
dan mengejar larinya Tek San!
Khu Tek San sedang berlari
cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang.
Cepat ia miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang menangkis ke belakang,
diputar melindungi tubuh belakang.
Tring-tranggg....!!
Khu Tek San terkejut karena
tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar hebat. Cepat ia membalik dan
menggerakkan pedang untuk menjaga diri.
Suma Kiat, engkau orang tua
yang tidak patut dihormat!! Tek San membentak marah dan memutar pedangnya. Suma
Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar
ini selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang
mengatur pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
Cringgg....!! Dua batang
pedang bertemu dan Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong tubuh
Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biarpun tidak
memondong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek
San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi.
Suma Kiat memiliki kepandaian
yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah
yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa
mengejek.
Khu. Tek San, lebih baik
menyerah dan menjadi tawanan daripada mampus dan menjadi setan penasaran di
ujung pedangku. Berlututlah!!
Suma Kiat, lebih baik seribu
kali mati daripada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau!! Khu
Tek San berseru marah dan menyerang. Sembil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat
menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah terdesak
hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang
dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung
sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat
amat cerdtk. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat
melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu
sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan diri mereka sendiri dan hanya
mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han
Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar repot
sekali.
Ketika pedang Suma Kiat
membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek
San, panglima ini cepat menagkis.
Tranggg....!!
Pedang Suma Kiat yang
terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang
tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis
tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini tidak ada kesempatan lagi
baginya untuk menggunakan pedang menangkis, sedangkan kaki Han Ki terancam
bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat menyambar
ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih
menyerempet pahanya sendiri yang kanan.
Cett!! Darahnya muncrat keluar
dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi
dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat mengelak dengan
loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah
meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi
sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang panglima
itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.
Keparat, hendak lari ke mana
kau!! Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah
Tek San. Panglim untuk menggunakan pedang menangkis, sedangkan kaki Han Ki
terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat
menyambar ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung
pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang kanan.
Cett!! Darahnya muncrat keluar
dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi
dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat menge lak dengan
loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah
meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi
sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang panglima
itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.
Keparat, hendak lari ke mana
kau!! Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah
Tek San. Panglima perkasa ini terancam bahaya maut karena sinar itu adalah dua
batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia maut
yang hebat, yang diwarisi oleh Suma Kiat dari ibunya. Jarum-jarum ini kalau
dilepas oleh tangan yang ahli seperti tangan Suma Kiat, meluncur cepat tanpa
mengeluarkan suara dan sekali mengenai tubuh akan menyusup-nyusup dan racunnya
akan terbawa oleh darah sehingga seketika korbannya akan tewas. Dan saat itu,
Tek San yang sudah terluka dan sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam
bahaya maut!
Trik-trik!! Dua buah jarum
merah kecil itu runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah Suma Kiat.
Suhu, awas....! Siangkoan Lee
berseru dan Suma Kiat cepat membuang tubuhnya ke belakang terus bergulingan.
Untung bahwa Siangkoan Lee memperingatkan gurunya, nyaris dia menjadi korban
suling emas yang ampuh. Kiranya yang menolong Tek San adalah Kam Liong yang
sudah berhasil membubarkan pengeroyokan atas dirinya yang dilakukan oleh
Siangkoan Lee dan para panglima, menghadang menteri sakti ini, membantu
muridnya.
Tek San, lari....!! Kembali
Kam Liong berteriak dan Tek San sudah meloncat lagi sambil lari terus ke
selatan. Kam Liong mengikuti dari belakang sambil melindungi muridnya itu.
Biarpun dihadang, dikepung dan
dihujani senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan orang banyaknya, guru
dan murid ini tetap dapat maju terus ke selatan, merobohkan banyak sekali
pengawal dan panglima. Kota raja menjadi geger seolah-olah kedatangan serbuan
pasukan musuh yang kuat dan banyak jumlahnya. Ketika para penduduk mendengar
bahwa kegegeran itu disebabkan oleh Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San
yang melarikan tawanan, mereka menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari
pintu, diam-diam sebagian besar dari mereka berdoa untuk keselamatan Menteri
Kam Liong yang dicinta dan disegani rakyat! Panglima-panglima dan pembesar yang
bersimpati kepada Menteri Kam Liong, merasa berduka dan gelisah sekali.
Mereka bersimpati kepada
menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba menjadi pemberontak
dan melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri? Mereka dapat dicap
pemberontak dan malapetaka besar akan menimpa keluarga mereka.
Sinar matahari pagi telah
menerangi bumi ketika akhirnya Kam Liong dan Tek San yang berlari sambil bertempur
itu mendekati pintu gerbang selatan di mana telah berjaga seratus orapg
perajurit, bahkan Suma Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan orang panglima telah
pula mendahului para pelarian ini memperkuat penjagaan di pintu gerbang ini!
Tek San, saat terakhir yang
menentukan telah tiba. Kita mati atau selamat di sini! Terowongan pintu gerbang
itu sempit, tidak akan lebih dari dua puluh orang dapat mengepung kita di sana.
Kita membuka jalan darah, harus dapat memasuki terowongan. Kau di depan terus
langsung mendobrak dan membuka pintu, aku yang mempertahankan kejaran mereka
dari belakang. Cepat!!
Tek San terpincang-pincang,
paha kanannya terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk tombak pengeroyok,
akan tetapi semua rasa nyeri tidak dipedulikan. Sambil mengangguk ia memutar
pedangnya, membuka jalan darah mero bohkan empat orang panglima lalu memasuki
terowongan pintu gerbang.
Menteri Kam Liong juga sudah
terluka. Ketika tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan belasan orang
panglima, ia mengamuk, merobohkan belasan orang panglima dan puluhan orang
perajurit pengawal, akan tetapi pundak kirinya kena totokan golok, dan kipasnya
ketika menangkis lima pedang sekaligus, mematahkan semua pedang akan tetapi
daun kipasnya terobek. Biarpun demikian menteri tua putera pendekar sakti
Suling Emas ini masih tetap kuat dan mengamuk terus dengan sepasang senjatanya
yang mengerikan. Suling emas di tangannya seolah-olah menjadi makin berkilauan
tercuci! darah puluhan orang lawan yang dirobohkannya, kipasnya yang robek
menjadi dua itu seolah-olah menjadi makin lihai.
Akan tetapi, karena kini ia
bergerak di depan mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi pengeroyokan
yang amat banyak. Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di dalam
hatinya, Menteri Kam Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan
mempertahankan mulut terowongan pintu gerbang itu sampai napas terakhir untuk
memberi kesempatan muridnya melarikan Han Ki. Dia sudah tua, tidak ada seorang
pun keluarganya, maka kematian bukan apa-apa baginya, juga tidak akan menyedihkan
hati orang lain. Akan tetapi, muridnya belum begitu tua mempunyai anak isteri
pula, sedangkan Han Ki masih seorang pemuda remaja. Mereka itu harus hidup, dan
dia rela mengorbankan nyawanya demi dua orang yang disayangnya itu.
Setelah merobohkan tiga orang
penjaga lagi, yang merupakan orang-orang terakhir penjaga pintu gerbang, Khu
Tek San terpincang-pincang menghampiri pintu gerbang. Tenaganya sudah hampir
habis dan darah yang mengucur dari luka di pahanya terlalu banyak, membuat ia
menjadi lemas dan pandang matanya berkunang. Adapun Kam Liong menghadapi
pengeroyokan terlalu banyak orang, tidak sempat memperhatikan muridnya. Dia
seorang yang sakti, akan tetapi dia pun hanya seorang manusia dari darah daging
sehingga melakukan pertempuran menghadap pengeroyokan orang-orang pandai terus
menerus semenjak malam sampai pagi benar-benar amat melelahkan.
Apalagi setelah pundaknya
terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang merupakan pengepungan paling
hebat ini, biarpun ia telah berhasil melukai pangkal lengan Suma Kiat dengan
gagang kipasnya, merobohkan Siangkoan Lee yang patah tulang pundaknya karena
pukulan suling, membinasakan banyak sekali pengeroyok lain, namun kakek sakti
ini sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak, membuat ia terluka di
beberapa tempat dan,seluruh tenaganya diperas hampir habis, napasnya
terengah-engah dan pandang matanya menjadi kabur.
Khu Tek San dengan
terengah-engah sudah dapat mendekati pintu gerbang. Cepat ia mempergunakan
tangannya untuk merenggut palang pintu, akan tetapi betapa kagetnya ketika
pintu itu sama sekali tidak dapat dibukanya. Palang pintu yang terbuat dari
baja itu seolah-olah melekat atau berkerut. Memang palang pintu itu amat berat,
biasanya ditarik oleh empat orang penjaga. Akan tetapi apa artinya bagi Khu Tek
San benda seberat itu? Biasanya, kekuatannya melebihi kekuatan sepuluh orang
biasa. Agaknya tanpa ia sadari, tenaganya sudah hampir habis, tubuhnya sudah
lemas karena kehilangan darah dan kelelahan membuat dia hampir pingsan. Hanya
berkat semangatnya yang tak kunjung padam sajalah yang membuat orang gagah ini
masih mampu bertahan selama ini.
Guru dan murid itu tidak
pernah putus asa, apalagi sekarang setelah mereka tiba di pintu gerbang. Sekali
lolos dari pintu gerbang, akan lebih mudah bagi mereka untuk melarikan diri.
Dengan ilmu lari cepat mereka, hanya ada beberapa orang saja yang akan dapat
mengejar mereka dan beberapa orang itu tentu saja tidak ada artinya baagi
mereka berdua. Setelah melakukan pertempuran selama setengah malam dan dapat
tiba di pintu gerbang, hati guru dan murid ini sudah menjadi lega dan mulailah
timbul harapan besar di hati mereka untuk akhirnya dapat lolos dengan selamat.
Akan tetapi, Kam Liong kurang
memperhitungkan kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat. Biarpun sudah terluka dan
merasa jerih untuk ikut mengeroyok kakak misannya yang benar-benar amat sakti
itu, Suma Kiat masih memimpin pengepungan dan melihat betapa Khu Tek San sudah
berusaha membuka pintu gerbang, hatinya menjadi gelisah sekali. Suma Kiat juga sudah
memperhitungkan bahwa kalau sampai mereka berdua itu berhasil keluar tembok
kota raja, akan sukarlah mengejar dua orang yang berilmu tinggi itu. Maka
diam-diam ia lalu memberi perintah kepada pasukan pemanah yang pilihan untuk
naik ke atas pintu gerbang, di bawah pimpinannya sendiri Suma Kiat menanti saat
baik, selagi Khu Tek San berkutetan membuka palang pintu, dia memberi aba-aba.
Terdengarlah bunyi nyaring
bercuitan ketika belasan batang anak panah meluncur dari atas menuju ke tubuh
Han Ki dan Khu Tek San.
Tek, San awas anak panah....!!
Kam Liong yang sudah mulai payah saking lelahnya itu masih sempat
memperingatkan muridnya. Tek San terkejut sekali. Kalau tidak diperingatkan,
tentu ia menjadi korban karena seluruh perhatian dan tenaganya ia kerahkan
untuk membuka daun pintu gerbang. Mendengar suara gurunya, cepat ia memutar
pedang dan berhasil, menangkis runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah
tubuhnya.
Akan tetapi, begitu semua anak
panah runtuh dan Tek San dengan terengah-engah menghentikan gerakan pedangnya,
tiba-tiba sebatang anak panah yang amat cepat meluncur datang, hampir tidak
bersuara saking cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu sudah menancap di leher
kiri Khu Tek San. Itulah anak panah yang dilepas hebat sekali, tepat dan kuat oleh
tangan Suma Kiat sendiri!
Suhu....!! Khu Tek San
berseru, pedangnya terlepas dan ia terhuyung ke depan.
Teriakan maut itu mengejutkan
Kam Liong dan di luar kesadarannya, menteri sakti itu menengok dan seperti juga
muridnya yang memandang terbelalak ke depan, ia pun meman dang penuh keheranan
karena tiba-tiba pintu gerbang yang tadi amat sukar dibuka oleh Khu Tek San itu
kini telah terpentallebar dan tampaklah pemandangan di luar pintu gerbang yang
amat aneh. Puluhan orang perajurit penjaga seperti telah berubah menjadi arca,
ada yang berdiri ada yang rebah, akan tetapi kesemuanya tidak bergerak dan
hanya melotot memandang ke arah seorang kakek tua renta yang berdiri di depan
pintu gerbang itu, menggandeng dua orang anak perempuan di kedua tangannya. Dua
orang anak itu adalah Maya dan Khu Siauw Bwee!
Pada saat itu, Kam Liong
berteriak keras karena tiba-tiba sebatang tombak menusuk perutnya! Tusukan maut
yang dilakukan tepat sekali oleh seorang panglima, menggunakan kesempatan
selagi Menteri Kam Liong menengok dan terkejut, bukan hanya menyaksikan
muridnya yang terpanah lehernya, juga menyaksikan munculnya kakek tua renta
yang amat aneh itu.
Ayahhhh....!! Khu Siauw Bwee
menjerit melepaskan tangan Si Kakek dan lari masuk menubruk ayahnya yang sudah
terjungkal sehingga tubuh Han Ki juga terlempar ke atas tanah.
Pek-hu....!! Maya menjerit
ketika melihat Kam Liong terhuyung ke belakang dengan sebatang tombak menancap
di perut hampir menembus punggung.
Akan, tetapi guru dan murid
yang gagah perkasa itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat Maya dah Siauw
Bwee, keduanya memandang dengan wajah berseri, kemudian hampir berbareng, guru
dan murid ini menghembuskan napas terakhir, ditangisi oleh dua orang anak
perempuan itu. Para panglima dan pengawal yang tadinya terbelalak dan
terheran-heran menyaksikan munculnya kakek tua renta itu, kini sadar kembali
dan mereka cepat bergerak maju hendak menyerang.
Cukuplah pembunuhan-pembunuhan
ini....!! Tiba-tiba kakek tua renta itu berkata halus dan tubuhnya seolah-olah
digerakkan angin melayang ke depan, ke dua tangannya dikembangkan dan
pergelangan tangannya digoyang-goyang seperti orang mencegah. Anehnya, dari
kedua tangan itu menyambar angin halus yang amat kuat sehingga semua panglima
dan pengawal yang menerjang maju itu terpelanting ke kanan kiri, ada pula yang
terjengkang ke belakang, seolah-olah ada tenaga mukjizat yang mendorong mereka
mundur. Dengan tenang, kakek itu menghampiri Maya dan Siauw Bwee, berkata
lirih.
Orang hidup mesti mati. Hal
yang sudah wajar dan semes tinya, mengapa ditangisi?! Sungguh mengherankan, dua
orang perempuan itu yang dilanda duka, terutama sekali Siauw Bwee yang melihat
ayahnya tewas, seolah-olah lupa akan kedukaan mereka dan bangkit berdiri,
memandang kakek itu dengan wajah sayu. Kakek itu membungkuk, mengangkat tubuh
Han Ki, disampirkan di atas pundaknya.
Pada saat itu terdengar
teriakan yang diseling isak tangis dan dari luar pintu gerbang masuklah seorang
laki-laki bongkok, langsung meloncat ke dekat jenazah Kam Liong, berlutut dan
menangis. Orang itu bukan lain adalah Gu Toan, pelayan dan juga murid Kam Liong
yang amat setia.
Kakek tua renta itu
mengangguk-angguk. Bahagialah orang yang memeiliki kesetiaan seperti engkau.
Akan tetapi, menangis tiada gunanya. Lebih baik urus jenazah majikanmu dan
muridnya, kuburkan abunya di kuburan keluarga mereka,!
Gu Toan menengok dan begitu
pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu ia lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki kakek tua renta sambil berkata,
Hamba mohon petunjuk.!
Kakek itu tersenyum,
menggerakkan tangan dan telapak tangannya menekan kepala Gu Toan. Pelayan
Menteri Kam merasa hawa yang hangat dan makin lama makin panas memasuki
kepalanya, terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebagai seorang pelayan yang
dapat dikatakan juga murid seorang sakti seperti Kam Liong, Si Bongkok Gu Toan
ini maklum bahwa kakek tua renta yang memiliki sinar pandang mata yang luar
biasa seolah-olah menyinarkan sesuatu yang mujijat, adalah seorang maha sakti
yang kini sedang memasukkan tenaga gaib ke dalam tubuhnya.
Tentu saja ia menjadi girang
sekali dan membuka! semua pintu jalan darahnya untuk menerima kekuatan sakti
itu. Setelah kakek itu melepaskan telapak tangannya, Gu Toan merasa betapa
dadanya hangat dan nyaman, dan ketika ia menghaturkan terima kasih lalu bangkit
berdiri, ia merasa tubuhnya ringan dan penuh semangat. Maka ia tidak mau
membuang waktu lagi, maklum bahwa dalam saat yang penuh mukjizat itu semua
penjaga tidak ada yang dapat bergerak, cepat ia mengangkat jenazah Kam Liong dan
Khu Tek San, kemudian melangkah lebar meninggalkan pintu gerbang itu dengan
kedua jenazah di pundaknya. Suling dan kipas milik Kam Liong dia bawa pergi
pula, diselipkan di pinggangnya.
Kelak akan ternyata bahwa Si
Bongkok Gu Toan ini menguburkan abu jenazah kedua orang gagah itu di tanah pe
kuburan keluarga Suling Emas di Khitan, kemudian menjaga kuburan itu sampai
menjadi kakek-kakek dengan penuh kesetiaan, dan sementara itu, ilmu-ilmu yang
terdapat dalam kitab-kitab peninggalan Kam Liong ikut pula disimpannya dan
sebagian dipelajarinya. Setelah ia menerima tenaga sakti yang diberikan kakek
itu kepadanya, Gu Toan menjadi seorang yang amat lihai.
Kakek tua renta itu menarik
napas panjang penuh kekaguman atas sikap Gu Toan. Seorang pelayan dapat
mempunyai kesetiaan seperti itu, patut dicontoh oleh orang-orang yang merasa
dirinya besar!, namun sesungguhnya, yang besar hanyalah pangkatnya atau keadaan
lahiriah saja, sedangkan keadaan batinnya amatlah kecil dan rendahnya.
Siapa kakek tua renta yang
memiliki kesaktian luar biasa ini? Dan bagaimana ia dapat datang di situ
bersama Maya dan Siauw Bwee? Telah diceritakan di bagian depan betapa Maya dan
Siauw Bwee yang dijadikan perebutan di dalam pesta Coa-bengcu, telah ditolong
oleh kakek aneh berambut putih. Kakek ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu,
tepat seperti yang telah disangka oleh tokoh-tokoh kang-ouw di dalam pesta
ulang tahun Coa Sin Cu atau juga disebut Coa-bengcu. Memang sukar untuk
dipercaya bahwa kakek itu adalah Bu Kek Siansu, karena nama besar manusia dewa
Bu Kek Siansu sudah ada semenjak puluhan tahun yang lalu.
Akan tetapi memang
sesungguhnyalah. Kakek itu adalah manusia dewa yang amat sakti Bu Kek Siansu
yang usianya sukar ditaksir bahkan tidak ada yang tahu berapa banyaknya. Tokoh
penuh rahasia yang kabarnya bertempat tinggal di Pulau Es itu muncul dan pergi
seperti dewa, atau seperti setan bagi mereka yang hidup di dunia hitam,
memiliki kesaktian yang sulit dilukiskan dengan kata-kata karena memang kakek
itu tidak pernah bertempur, akan tetapi belum pernah ada tokoh kang-ouw yang
bagaimana sakti pun dapat merobohkannya!
Dengan langkah tenang, Bu Kek
Siansu yang memanggul tubuh muridnya, yaitu Kam Han Ki, menggandeng tangan Maya
dan Siauw Bwee, kemudian meninggalkan tempat itu seperti tidak pernah terjadi
sesuatu, diikuti pandang mata para penjaga yang seperti dalam mimpi, tidak
mampu bergerak dan yang dapat bergerak pun tidak berani berkutik karena getaran
aneh dan wibawa yang keluar dari kakek itu amat luar biasa dan menimbulkan rasa
seram di hati mereka.
Setelah kakek bersama dua
orang anak perempuan itu lenyap dari pandang mata, barulah keadaan menjadi
geger karena Suma Kiat memaki-maki anak buahnya, marah-marah dan mencak-mencak.
Kalau saja dia bukan seorang yang mempunyai pengaruh besar, tentu dia menerima
kemarahan dan mungkin hukuman berat dari Kaisar karena dia tidak berhasil
menangkap Kam Han Ki yang lolos dari tempat tahanan.
Biarpun hati Suma Kiat menjadi
lega dan girang karena kematian Kam Liong yang membawa arti bahwa dia tidak mempunyai
penghalang yang ditakutinya lagi, namun kalau teringat akan Bu Kek Siansu dan
dua orang anak perempuan, terutama teringat akan Kam Han Ki, kadang-kadang ia
bergidik dan merasa ngeri. Apalagi karena semenjak melarikan diri, putera
tunggalnya, Suma Hoat, tidak pernah mengabarkan diri lagi. Karena itu maka
semua kepandaiannya ia turunkan kepada muridnya yang ia percaya, yaitu
Siangkoan Lee dan dalam keadaan berduka, ia membenamkan diri dalam pelukan dan
hiburan selirnya yang paling cantik dan yang paling ia cinta, yaitu selirnya
termuda dan terbaru Bu Ci Goat.
Betapapun juga, Suma Kiat
tidak dapat melupakan kenyataan bahwa persoalannya dengan Kam Liong membuat
namanya menjadi tersohor dan dibenci oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw
yang merasa kagum kepada Kam Liong.
Pada suatu pagi yang cerah, di
tepi pantai paling utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek Siansu bersama Han
Ki, Maya dan Siauw Baee berdiri sambil menikmati pemandangan yang luar biasa
indahnya, yaitu munculnya matahari pagi di timur. Matahari tampak sebagai
sebuah bola besar yang merah seperti bulan, purnama, sedikit demi sedikit
muncul dari permukaan laut, tidak tampak gerakannya akan tetapi makin lama
makin naik sehingga akhirnya mengambang di atas air laut. Makin tinggi matahari
muncul, makin terang sinarnya, mula-mula sinar merah, makin lama makin
kekuningan seperti keemasan dan akhirnya membakar seluruh permukaan laut dan
tidak lama kemudian, mulailah sinar itu menyilaukan mata dan mata manusia tidak
dapat pula memandang matahari secara langsung saking gemilangnya.
Bu Kek Siansu berdiri seperti
patung, memandang ke arah air laut yang kini diselaput emas. Dia seperti
terpesona dan akhirnya terdengar kakek itu menarik napas panjang dan berkata
halus.
Han Ki....!
Pemuda itu memandang kakek itu
dengan jantung berdebar. Dia belum dapat menyelami dan mengenal watak kakek itu
yang penuh rahasia dan amat aneh, akan tetapi dalam suara itu ia merasakan
semacam getaran yang aneh dan mengharukan, seolah-olah suara kakek itu membayangkan
sesuatu yang berbeda dari biasanya dan amat aneh. Semenjak dibawa pergi kakek
itu, cepat kesehatannya pulih kembali dan ia melakukan perjalanan bersama Maya
den Siauw Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke pantai ini, dan setelah
berjam-jam kakek itu berdiri mengagumi keindahan sinar matahari pagi, kini
tiba-tiba memanggilnya dengan suara penuh getaran luar biasa.
Suhu....!! Ia menjawab sambil
menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Kek Siansu,
dipandang oleh Maya dan Siauw Bwee. Kedua orang anak perempuan ini selama
melakukan perjalanan bersama Bu Kek Siansu, tidak berani banyak bertanya.
Seolah-olah ada sesuatu yang keluar dari sikap kakek itu yang membuat mereka
tidak berani banyak bicara, karena ada wibawa yang menyeramkan namun juga mengharukan
dari kakek itu. Bahkan Maya yang biasanya amat cerewet dan rewel, ketika berada
di dekat kakek itu berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara.
Han Ki, dengarlah baik-baik
kata-kataku karena saat ini merupakan saat terakhir engkau mendengar pesanku.
Suhu....! Apa.... apa maksud
Suhu?! Han Ki bertanya, hatinya makin tidak enak.
Kakek itu menoleh dan
menunduk, tersenyum. Lepaskan kegelisahan dari hatimu. Saat ini sudah
kunanti-nanti selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Saat ini merupakan saat
yang paling bahagia bagiku, karena aku akan terbebas! Sudah tiba saatnya bagiku
untuk mengundurkan diri dari dunia ini, Han Ki, hanya ada satu hal yang
kuanggap sebagai kewajiban terakhir, yaitu memperingatkan kepadamu bahwa engkau
memikul tanggung jawab dan tugas yang amat berat. Dua oranag anak itu, dia kini
sepenuhnya menjadi tanggunganmu.
Engkaulah yang harus memimpin
mereka, dan.... engkau hati-hatilah karena bukan hal yang ringan kauhadapi.
Kulihat hal-hal yang amat meresahkan, akan tetapi.... biarlah Tuhan yang akan
mengaturnya dan semua tergantung dari kalian bertiga sendiri. Tak perlu
kujelaskan lagi karena aku tidak dapat menerangkan lebih jeias. Yang penting,
engkau harus mengajarkan ilmu-ilmu yang kutinggalkan di Pulau Es, tidak saja
mengajarkannya kepada kedua orang sumoimu ini. Yaaa, mereka adalah sumoimu, Han
Ki, karena aku mengangkat mereka sebagai murid pula, dengan meninggalkan
kitab-kitab pelajaran untuk mereka. Juga engkau dapat memperdalam ilmumu dari
kitab-kitab yang kutinggalkan.
Kurang lebih lima li dari
sini, di sebelah utara, di dalam guha batu karang di tebing laut, ada
kutinggalkan sebuah perahu yang kuat. Bawalah kedua sumoimu itu ke sana,
kemudian berlayarlah engkau ke Pulau Es. Kalau dari tempat perahu itu engkau
berlayar lurus menuju ke matahari terbit, engkau akan tiba di Pulau Es.
Sekarang ini saatnya karena laut sedang tenang dan tidak ada penghalang
sehingga jika engkau mendayung kuat-kuat dalam waktu setengah hari engkau akan
tiba di Pulau Es.!
Pulau Es....?! Han Ki berdebar
tegang.
Pulau tempat kerajaan nenek
moyangku yang sudah musnah. Akulah yang terakhir. Istana Pulau Es itu
kutinggalkan untuk kalian bertiga. Hati-hatilah engkau terhadap ular-ular merah
di pulau itu, hati-hati pula terhadap orang-orang aneh yang mengaku datang dari
Pulau Neraka. Kalau kalian sudah berhasil tiba di sana, pelajarilah ilmu dengan
tekun dan jangan sekali-kali meninggalkan pulau kalau ilmu kalian belum cukup
masak. Dunia ini banyak terdapat orang aneh, pandai dan menyeleweng, maka kalian
harus hati-hati menghadapi mereka. Akan tetapi.... yang paling berbahaya adalah
menghadapi diri kalian sendiri....! kakek itu berhenti bicara dan menghela
napas panjang.
Tiba-tiba Maya menjatuhkan
diri berlutut di depan Bu Kek Siansu di dekat Han Ki, diturut pula oleh Siauw
Bwee.
Suhu hendak ke manakah?! tanya
Siauw Bwee, kini menyebut suhu setelah mendengar bahwa dia dan Maya diaku
sebagai murid oleh kakek aneh itu.
Kakek itu tersenyum dan
menggeleng kepala. Kuberi tahu juga tidak mengerti engkau, Siauw Bwee.!
Suhu, setelah kami diterima
sebagai murid, bolehkah teecu bertanya?! Maya berkata, suaranya nyaring,
matanya yang seperti bintang itu bersinar-sinar memandang gurunya.
Bertanyalah selagi ada
kesempetan, Maya.! .
Suhu tadi mengatakan bahwa
paling berbahaya menghadapi diri sendiri. Apa yang Suhu maksudkan?!
Kakek itu tersenyum den
memandang kepada Han Ki. Jawabannya boleh kaudengar dari Suhengmu dan mulai
saat ini, segala hal dapat kautanyakan kepada Suhengmu, karena dialah yang
mewakili aku mengajar kalian berdua. Han Ki, jawablah pertanyaan Maya tadi.!
Dengan suara tenang dan tetap
Han Ki menjawab kepada Maya sambil memandang anak perempuan itu. Sumoi, yang
dimaksudkan oleh Suhu adalah bahwa menaklukkan orang lain hanya membutuhkan
tenaga kasar dan kepandaian, akan tetapi amatlah berbahaya melawan diri sendiri
karena diri sendiri memiliki nafsu-nafsu yang amat kuat dan nafsu-nafsu ini
dapat membuat kita terpengaruh dan melakukan penyelewengan. Menghadapi nafsu
jasmani diri sendiri tidak dapat dilawan dengan ilmu silat atau dengan tenaga
kuat, melainkan dengan kesadaran dan dengan tenaga batin. Karena itu Suhu
memperingatkan agar kita selalu waspada terhadap diri sendiri.!
Pelajaran ini adalah pelajaran
kebatinan yang masih terlampau dalam untuk anak-anak seperti Maya dan Siauw
Bwee, akan tetapi karena semenjak kecil kedua orang anak itu sudah mengerti
kitab-kitab yang diharuskan mereka baca ketika mereka mempelajari kesusastraan,
maka biarpun belum jelas benar, Maya dapat menangkap maksudnya dan ia terdiam.
Maya dan Siauw Bwee,
selanjutnya, mulai saat ini, kalian tidak saja harus belajar ilmu silat di
bawah pimpinan Han Ki, akan tetapi kalian juga harus selalu taat akan nasihat
dan pesanan Suheng kalian yang mewakili aku. Nah, murid-muridku, saatnya sudah
terlalu mendesak. Selamat tinggal dan selamat berpisah, semoga Tuhan senantiasa
melindungi kalian dan memperkuat batin kalian. Han Ki, hati-hatilah muridku,
terutama terhadap.... Cinta....!! Kakek itu tidak me lanjutkan kata-katanya dan
tiba-tiba ia meloncat ke.... laut di bawah tebing!
Suhu....!! Han Ki berteriak
kaget
Suhu....!! Maya dan Siauw Bwee
juga berteriak dan meloncat berdiri, menjenguk ke bawah tebing dengan hati
tegang bercampur gelisah. Dan tiga orang itu memandang dengan mata terbelalak
menyaksikan hal yang amat luar biasa. Mereka melihat kakek itu.... berjalan di
atas permukaan air laut, seolah-olah berjalan di atas tanah saja, terus
ketimur.
Suhu....!! Mereka berteriak.
Bu Kek Siansu menoleh,
tersenyum dan melambaikan tangan. Hanya itulah yang tampak oleh tiga orang anak
itu, pemandangan yang tak mungkin dapat mereka lupakan selamanya. Air laut
mulai bergerak, gelombang mulai berdatangan dan tak lama kemudian lenyaplah
tubuh kakek sakti itu tertutup ombak. Sampai lama ketiganya berdiri tertegun
dan akhirnya Han Ki memecahkan kesunyian dengan suaranya yang terdengar
menggetar.
Sumoi, marilah ikut aku pergi
mencari perahu seperti yang dipesankan Suhu.!
Maya dan Siauw Bwee mengangguk
lalu mengikuti Han Ki sambil kadang-kadang menengok ke arah laut di mana tadi
kakek itu menghilang. Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan bertanya lirih,
Suheng.... Suhu pergi ke manakah?!
Han Ki tidak dapat menjawab
dan tiba-tiba Maya berkata, suaranya agak ketus. Sumoi, mengapa engkau bertanya
yang bukan-bukan? Seorang sakti seperti Suhu, pergi ke mana siapa yang tahu?!
Siauw Bwee tidak membantah dan
Han Ki diam-diam melirik ke arah Maya yang berjalan di sebelah kirinya. Ia
melihat wajah Maya muram dan mulut yang bentuknya indah itu cemberut seperti
orang marah. Diam-diam Han Ki merasa heran dan untuk menyenangkan hati Maya, ia
lalu memegang tangan Maya itu seperti ia memegang dan menggandeng tangan Siauw
Bwee. Akan tetapi tiba-tiba Maya merenggut lepas tangannya sambil
berkata,!Suheng, aku bukan anak kecil yang harus digandeng-gandeng!!
Han Ki terseayum dan tidak
berkata apa-apa, akan tetapi di dalam hatinya timbul kekhawatiran bahwa kelak
akan sampai terjadi hal-hal yang memusingkan, tentu dari Maya datangnya. Anak
ini memiliki watak yang aneh dan keras, berbeda dengan Siauw Bwee yang wataknya
halus dan sabar.
Kuharap saja kalian akan
selalu taat kepadaku seperti yang dipesankan Suhu agar semua berjalan bere s,!
katanya perlahan.
Engkau adalah suheng kami,
pengganti Suhu, tentu saja aku akan taat kepadamu, Suheng. Akan tetapi Khusumoi
yang lebih muda harus pula taat kepadaku karena aku sucinya.!
Han Ki mengerutkan kening. Dia
tidak mengerti mengapa Maya berkata begitu. Ketika ia melirik ke arah Siauw
Bwee, ia melihat sumoinya ini hanya menunduk dan wajahnya tetap tenang tidak
membayangkan sesuatu. Diam-diam ia kagum kepada Siauw Bwee dan heran akan sikap
Maya yang sukar diselami itu. Sumoi, seorang saudara tua tidak hanya ingin
ditaati oleh adik seperguruannya, melainkan juga harus melindunginya.
Tentu saja!! jawab Maya cepat,
Suheng melindungi aku, dan aku melindungi Sumoi, itu sudah semestinya.!
Hemm...., melindungi yang
bagaimana maksudmu, Sumoi?!
Melindungi dan membela. Kalau
ada orang jahat menggangguku, Suheng akan membelaku. Kalau ada orang mengganggu
Khu-sumoi aku yang akan membelanya. Tentu saja masih ada Suheng yang melindungi
kami berdua.!
Han Ki mengangguk-angguk.
Kiranya Maya ini agaknya hanya tidak mau kalah oleh Siauw Bwee karena merasa
lebih tua! Ia menoleh ke arah Siauw Bwee dan bertanya, Siauw Bwee sumoi,
bagaimana pendapatmu?!
Siauw Bwee menoleh dan
memandang sebentar kepada Han Ki. Mengerutkan alisnya yang kecil hitam,
kemudian memandang Maya dan menjawab halus, Aku adalah seorang saudara muda,
sudah tentu dalam segala hal aku akan mendengar dan taat akan petunjuk Suheng
dan Suci, karena aku yakin bahwa petunjuk dari Suci terutama dari Suheng, tentu
baik dan tidak akan mencelakakan aku.!
Mendengar ucapan ini, Han Ki
memandang penuh perhatian, hatinya kagum karena dari jawaban itu dia dapat
mengerti bahwa gadis cilik ini berwatak halus, suka mengalah, tahu diri akan
tetapi juga cerdik sekali, dapat mempergunakan keadaan yang tadinya merugikan
menjadi menguntungkan! Mulailah hati pemuda ini tertarik sekali kepada dua
orang sumoinya. Keduanya merupakan keturunan orang-orang luar biasa dan gagah
perkasa. Maya adalah puteri Khitan, anak atau anak angkat kakak sepupunya,
yaitu Raja Talibu putera supeknya, Suling Emas. Adapun Siauw Bwee juga bukan
anak sembarangan, melainkan puteri tunggal Khu Tek San yang telah tewas
mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan dia! Kalau teringat akan ini, mau tidak
mau timbul perasaan kasihan dan berterima kasih di dalam hati Han Ki kepada
Siauw Bwee. Anak ini telah ditinggal mati ayahnya, ditinggal pergi ibunya tanpa
diketahui ke mana. Keluarganya berantakan. Bukankah semua itu terjadi karena
dia? Karena ayahnya membela dia? Dia harus membalas semua kebaikan itu, dia
harus memimpin Siauw Bwee dan kalau perlu menyediakan nyawa untuk membela dan
melindungi Siauw Bwee seperti telah dilakukan ayah anak ini kepadanya.
Kalian berdua benar. Memang
kita bertiga harus saling mencinta dan membela seperti tiga kakak beradik yang
baik, memenuhi pesan Suhu. Akan tetapi marilah kita mempercepat perjalanan agar
dapat menemukan perahu itu. Kalian harus tahu bahwa Pulau Es yang disebut Suhu
merupakan sebuah pulau rahasia yang tadinya hanya terkenal dalam sebuah dongeng
saja. Marilah, kedua Sumoiku yang baik, mudah-mudahan saja semangat Suhu akan
membimbing kita sehingga dapat menemukan Pulau Es yang dimaksudkan Suhu.!
Mari kita lari cepat. Sumoi
mari kita berlumba!! Maya berkata dan menantang Siauw Bee.
Baik, marilah, Suci!! Siauw
Bwee menjawab tegas dan lari lah kedua orang gadis cilik itu di sepanjang
pantai laut ke utara, secepat mungkin. Melihat ini Han Ki menggeleng-geleng
kepala dan tersenyum. Kiranya mereka itu masih seperti anak-anak, pikirnya,
sama sekali tidak sadar bahwa perlumbaan lari itu merupakan pertanda bahwa di
dalam hati kedua orang gadis cilik itu telah terpendam bibit persaingan yang
akan menimbulkan banyak keruwetan dalam hidupnya! Han Ki tersenyum dan ia pun
berkelebat mengejar, membayangi kedua orang sumoinya dari belakang sambil
memperhatikan cara mereka berlari cepat.
***
Ke dua orang gadis cilik itu
dapat beriari cukup baik, dan kecepatan mereka berimbang. Han Ki yang
memperhatikan dari belakang melihat bahwa dasar ilmu lari cepat mereka adalah
dari satu sumber, yaitu ilmu lari cepat Liok-te-hui-teng. Akan tetapi jelas
tampak olehnya bahwa Maya lebih terlatih dan agaknya bekas Puteri Khitan itu
memang sering kali mempergunakan ilmu lari cepat sehingga setelah Siauw Bwee
mulai tampak lelah, Maya masih dapat beriari dengan seenaknya. Han Ki melihat
betapa Siauw Bwee dengan nekat mempercepat larinya agar dapat mengimbangi
kecepatan Maya. Ia merasa kasihan karena maklum bahwa sebentar lagi Siauw Bwee
tentu akan kehabisan napas dan akan kalah. Maka ia lalu mempercepat gerakan
kakinya, melampaui mereka dan berkata tertawa.
Wah, kalau kalian beriari begini
lambat, sampai kapan kita bisa menemukan perahu itu? Mari kugandeng tangan
kalian, Sumoi!! Han Ki menyambar tangan Maya dan Siauw Bwee dengan kedua
tangannya, kemudian mengerahkan ginkangnya dan beriari cepat sekali, membuat
Maya dan Siauw Bwee kagum bukan main dan mereka melupakan perlumbaan mereka
tadi.
Suheng, larimu cepat sekali!!
Maya berseru kagum.
Seperti Suhu ketika mermbawa
lari aku dan Suci. Suheng ilmu lari apakah ini?! Siauw Bwee juga berkata.
Inilah yang disebut
Cio-siang-hui!! jawab Han Ki.
Suheng, kau harus ajarkan ilmu
ini kepadaku!! Maya berseru dengan kagum karena ilmu terbang di atas rumput!
ini hanya ia dengar saja dan baru sekali ini dia melihatnya.
Tunggu sampai kita dapat
menemukan Pulau Es. Tidak ada ilmu yang takkan kuajarkan kepada kalian berdua.
Sekarang diamlah dan tutup matamu agar jangan merasa ngeri.! Setelah berkata
demikian, tiba-tiba gerakan kaki Han Ki berubah dan larinya makin cepat karena
tidak seperti tadi, hanya lari biasa, melainkan kadang-kadang melompat jauh ke
depan sehingga larinya menjadi cepat bukan main. Maya dan Siauw Bwee tadinya
mentaati pesan suhengnya dan memejamkan mata. Mereka mendengar angin berdesir
di kanan kiri telinga dan merasa betapa tubuh mereka terangkat sehingga kedua
kaki mereka kadang-kadang melayang dan kadang-kadang hanya menyentuh tanah
sedikit saja. Rasa ingin tahu membuat dua orang gadis cilik itu membuka mata
dan akhirnya mereka membelalakkan mata dan memandang penuh kagum, bahkan Maya
berteriak girang.
Suheng, ajarkan ilmu ini
kepadaku!!
Melihat betapa kedua orang
sumoinya sama sekali tidak merasa ngeri, bahkan membuka mata dan kegirangan,
diam-diam Han Ki menjadi girang sekali. Memang pilihan suhunya untuk mengambil
murid dua orang anak perempuan
ini benar-benar tepat. Keduanya memiliki bakat yang amat baik, dan lebih-lebih
lagi, keduanya memiliki ketabahan yang merupakan syarat terpenting bagi seorang
calon ahli silat. Ketabahan mendatangkan ketenangan dan betapapun pandai
seseorang dalam ilmu silat, kalau dia tidak memiliki ketabahan dan tidak dapat
bersikap tenang, berarti dia sudah kehilangan setengah ilmunya.
Bersabarlah engkau, Maya-moi.
Lihat, di, depan itulah agaknya tebing yang dimaksudkan Suhu. Mari kita mencari
perahu itu!!
Ucapan ini membuat Maya dan
Siauw Bwee tertarik sekali. Mereka bertiga lalu menuruni tebing yang terjal dan
Han Ki tetap menggandeng tangan kedua orang sumoinya karena menuruni tebing itu
merupakan pekerjaan yang cukup berbahaya. Namun, gin-kang yang dimiliki Han Ki
telah mencapai tingkat tinggi sehingga biarpun menggandeng dua orang sumoinya,
ia dapat mengajak mereka turun dengan cepat sampai tak lama kemudian mereka
tiba di bawah tebing, di bagian pantai di mana terdapat banyak guha yang
tercipta oleh gempuran ombak setiap hari ke arah dinding karang. Dan di sebuah
di antara guha-guha ini, tampaklah perahu yang dimaksudkan Bu Kek Siansu,
sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu yang kuat, bentuknya meruncing dan
di tengahnya terdapat atap yang membuat ruangan kecil namun cukup untuk tempat
berteduh dari terik matahari.
Ini perahu Suhu!! Han Ki
berseru girang. Marilah!!
Maya dan Siauw Bwee ikut
menjadi girang melihat perahu itu dan mereka membantu Han Ki melepaskan ikatan
perahu pada batu karang, kemudian melihat Han Ki menarik keluar perahu dari
dalam guha dan mendorongnya ke atas air laut.
Setelah kedua orang sumoinya
naik ke atas perahu dan duduk di bangku bawah atap, Han Ki mulai mendayung
perahunya, mengambil arah ke timur. Perahu yang ujungnya runcing itu meluncur
cepat sekali. Air laut tenang sehingga mereka merasa nyaman duduk di atas
perahu, sedikit pun tidak terguncang, hanya meluncur cepat ke depan seperti
terbang.
Maya dan Siauw Bwee tertarik
melihat Han Ki mendayung perahu. Mereka minta belajar dan tak lama kemudian,
dua orang gadis cilik itu menggantikan Han Ki mendayung. Perahu meluncur
dikemudikan oleh Han Ki dan mereka bercakap-cakap.
Suheng, kelak kalau aku sudah
tamat belajar, aku akan pergi mencari Ibu.!
Han Ki memandang sumoinya yang
kecil itu. Ah, kiranya diam-diam anak ini selalu memikirkan ibunya. Betapa kuat
hatinya karena dapat menutupi kerinduannya. Ia mengangguk. Tentu saja, Sumoi.
Dan aku akan membantumu mencari sampai dapat. Kurasa kalau kita menyelidiki ke
kota raja kelak, akan ada kenalan orang tuamu yang tahu akan rahasia itu, tahu
ke mana Ibumu pergi mengungsi dengan sembunyi.!
Suheng, kalau aku sudah pandai
kelak, aku akan membalas dendam kematian Raja dan Ratu Khitan!!
Kim Han Ki mengerutkan alis
ketika memandang Maya. Hemmm.... orang tuamu gugur dalam perang. Kepada
siapakah engkau akan membalasnya, Sumoi?!
Kepada siapa lagi kalau tidak
kepada Kerajaan Yucen, Sung dan kerajaan Mongol!!
Diam-diam Han Ki terkejut.
Dendam yang begitu hebat, ditujukan kepada kerajaan-karajaan tiga negara,.
bagaimana akan membalasnya? Kiranya cara membalasnya hanya satu, yaitu dalam
perang! Diam-diam ia merasa ngeri, akan tetapi tidak mau bertanya lagi karena
maklum bahwa sumoinya yang seorang ini amat keras hati dan mudah tersinggung,
apalagi dalam urusan membalas dendam. Karena ayah puteri ini merupakan saudara
sepupunya pula, maka ia hanya berkata tenang, Cita-citamu itu. amat sukar
dilaksanakan, akan tetapi kaubelajarlah yang tekun, Sumoi.!
Dan engkau sendiri, bagaimana
urusanmu dengan puteri Kaisar yang dipaksa kawin dengan Raja Yucen itu,
Suheng?! Tiba-tiba Maya bertanya.
Han Ki tersentak kaget,
memandang terbelalak dengan wajah pucat. Tak disangkanya bahwa sumoinya tahu
akan hal itu. Dia tidak mengerti bahwa berita-berita tentang hubungan-hubungan
gelap, apalagi yang menimpa diri puteri Kaisar, merupakan berita yang tak dapat
ditutup tutupi karena setiap mulut suka membicarakannya.
Siauw Bwee diam-diam menyentuh
tangan sucinya, ketika sucinya memandang, ia berkedip dan menggerakkan muka ke
arah Han Ki yang menundukkan muka. Maya mengerti bahwa pertanyaannya tadi
menyinggung Han Ki, maka ia pun tidak bertanya lagi, mengangkat sedikit
pundaknya kemudian melanjutkan gerakan tangannya mendayung, mulutnya yang kecil
mulai bersenandung, menyanyikan sebuah lagu Khitan dengan lirih. Siauw Bwee
memandang dan mendengarkan dengan kagum karena suara Maya memang merdu sekali,
apalagi menyanyikan sebuah lagu asing yang terdengar makin aneh mempesonakan,
dinyanyikan di atas perahu yang berada di tengah lautan dan dalam keadaan
seperti itu.
Han Ki yang perasaannya
mendapat pukulan hebat oleh pertanyaan tiba-tiba tadi, ketika mendengar
nyanyian ini, merasa makin nelangsa, pikirannya melayang-layang dan teringatlah
ia akan segala yang terjadi semenjak mengadakan pertemuan dengan Supg Hong Kwi
sampai dia ketahuan, dikeroyok, ditangkap dan akhirnya ditolong dengan
pengorbanan nyawa oleh Kam Liong dan Khu Tek San kemudian dibawa pergi suhunya.
Teringatlah dia akan nasihat dan wejangan suhunya yang membuka matanya dan
menyadarkannya sehingga dia dapat menerima peristiwa itu dengan hati tidak
terlalu menderita. Akan tetapi, pertanyaan tiba-tiba dari Maya membuat ia
terkejut dan terpukul, terbayang wajah Sung Hong Kwi yang dicintanya, timbullah
rasa rindu yang tak tertahankan dan rasa sakit di hati mengingat betapa
kekasihnya itu dirampas oleh orang lain!
Hong Kwi....!! Hatinya
mengeluh akan tetapi mulutnya berkata dengan suara dingin seperti suara yang
keluar dari balik kubur, sama sekali tidak mengandung semangat kehidupan. Maya
dan Siauw Bwee, kuminta kalian selamanya jangan menyebut-nyebut lagi
namanya....!
Melihat keadaan Han Ki, Maya
menjadi terkejut dan menyesal mengapa tadi ia bertanya-tanya tentang Puteri
Sung Hong Kai itu.
Baik, Suheng,! jawabnya.
Baik, Suheng,! kata pule Siauw
Bwee.
Dengan kekuatan batinnya
sebentar saja Han Ki sudah dapat mengatasi perasaan hatinya yang tertekan ,
maka perahu kembali meluncur dengan lancar dan cepatnya ke timur. Suara ujung
perahu memecah air laut mengumandangkan nasihat Bu Kek Siansu kepada Han Ki
bahwa pemuda itu sebaiknya mengasingkan diri ke Pulau Es bersama dua orang
sumoinya, karena kalau dia muncul di dunia ramai, tentu akan teringat terus
akan peristiwa di Kerajaan Sung dan dia akan selalu menjadi seorang buronan.
Kini Han Ki dapat memikirkan dan merasai tepatnya nasihat itu. Dia masih muda
dan berdarah panas, mudah dikuasai nafsunya sehingga kalau dia bertemu lagi
dengan Hong Kwi, agaknya tidak akan dapat neenahan diri dan akan menimbuikan
kegemparan-kegemparan baru, mungkin pelanggaran-pelanggaran yang tidak
semestinya dilakukan orang baik-baik.
Hong Kwi telah menjadi milik
orang lain, dan dia harus dapat melupakanya. Satu-satunya jalan untuk
melupakannya secara baik adalah tinggal di pulau yang terasing dan menggembleng
diri dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi.
Hei....! Ikan banyak
sekali....!! Tiba-tiba Maya berseru sambil menuding ke air. Siauw Bwee dan Han
Ki memandang dan memang benar. Di dalam air, tersinar bagai matahari, tampak
banyak ikan sebesar paha berenang ke sana ke mari banyak sekali. Pemandangan
ini amat menarik hati dan ketiganya tidak menggerakkan dayung membuat perahu
terhenti dan mereka menikmati pemandangan yang memang indah itu. Karena
matahari sudah naik tinggi dengan sinar cemerlang dan air laut tenang, maka
melihat ikan-ikan dengan sisik mengkilap itu berenang di sekitar perahu amatlah
mempesonakan.
Ah, kalau ada alat pancing,
tentu menyenangkan sekali memancing di sini;! kata Siauw Bwee.
Itu ada perahu datang!! Han Ki
berkata. Mereka memandang dan dari jauh tampak sebuah perahu kecil meluncur
datang dengan cepat sekali. Setelah dekat tampak oleh mereka bahwa perahu itu
ditumpangi seorang laki-laki yang berkepala gundul.
Seperti seorang hwesio!! kata Siauw
Bwee. Bukan, bantah Maya. Lihat, biarpun gundul, dia tidak memakai baju! Mana
ada hwesio tidak berjubah?!Han Ki sudah berdiri di atas papan perahunya dan
memandang tajam penuh perhatian. Bukan hwesio. Akan tetapi dia aneh sekali
Kepalanya gundul, pakaiannya hanya cawat, kumisnya kecil melintang.
Heran, orang apakah dia?
Melihat perahunya, tentu perahu nelayan dan melihat cara dia mendayung, tentu
dia bukan orang sembarangan. Harap kalian hati-hati, jangan-jangan dia bukan
orang baik-baik.!
Perahu itu kini telah datang
dekat dan orang yang berada di perahu agaknya tidak mempedulikan mereka,
melainkan memandang ke air di mana terdapat banyak ikan. Tiba-tiba ia
mengeluarkan seruan girang, perahunya dihentikan dan ia membuang jangkar besi
yang diikat dengan tali panjang. Kemudian, setelah memandang ke air penuh
perhatian sampai tubuhnya yang hanya bercawat itu membungkuk dl luar bibir
perahu, tiba-tiba orang itu meloncat ke dalam air dengan gerakan indah. Air
hanya, muncrat sedikit saja dan tubuhnya sudah lenyap ditelan air.
Wah, dia gila....!! Maya
berseru.
Dia bisa celaka....!! Siauw
Bwee berkata penuh keheranan.
Hemm, kurasa tidak. Melihat
cara dia meloncat, dia adalah seorang yang ahli dalam air dan loncatannya tadi
membayangkan bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya aneh sekali, aku
heran apa yang dicarinya di dalam air? Dan bagai mana ia dapat bertahan
menyelam sampai begini lama?!
Pertanyaein Han Ki itu segera
mendapat jawaban yang merupakan pemandangan aneh sekali. Tiba-tiba air bergelombang
dan.... dari dari dalam air tadi meloncatlah orang yang tadi ke dalam
perahunya, tangannya memondong seekor ikan sebesar tubuhnya sendiri! Ikan itu
dilemparnya ke dalam perahu, menggelepar-gelepar dan Si Gundul yang luar biasa
itu sudah meloncat lagi ke dalam air. Tak lama kemudian, kembali ia meloncat ke
perahu membawa seekor ikan besar dan ketika untuk ketiga kalinya ia meloncat ke
air, Han Ki berkata.
Bukan main! Selama, hidupku,
mendengarpun belum apalagi menyaksikan seorang nelayan menangkap ikan secara
itu! Dia benar-benar hebat luar biasa. Mari kita dekati, aku ingin berkenalan
dengan dia!! Han Ki berseru dan mendayung perahu mendekat.
Pada saat itu, air kembali
bergelombang, kini lebih hebat dari tadi, dan Maya berteriak sambil menuding ke
bawah, Lihat....!!
Mereka terbelalak ketika
tiba-tiba muncul kepala yang gundul akan tetapi tenggelam lagi dan ternyata
bahwa orang aneh itu sedang bergumul melawan seekor ikan yang besar, lebih
besar daripada tubuhnya dan dua kali lebih besar dari ikan-ikan yang telah
ditangkapnya tadi. Han Ki, Maya dan Siauw Bwee memandang penuh kekhawatiran
melihat orang itu bergulat dan bergulung-gulung di air yang makin keras
berombak karena kibasan-kibasan ekor ikan yang amat kuat. Suheng, bantulah
dia....!! Siauw Bwee berteriak sambil menuding ke air dengan hati penuh
kekhawatiran akan keselamatan orang gundul itu, sedangkan Maya menonton dengan
amat tertarik sampai berdiri membungkuk di pinggir perahu.
Tidak perlu, Sumoi. Lihat!!