1
PANTAI Karang Hantu masih
berlangit cerah. Beberapa orang tampak sedang menyusuri tepian pantai yang
mempunyai gugusan-gugusan batu karang dalam bentuk menyerupai beraneka ragam
hantu. Mereka yang menyusuri pantai adalah Resi Pakar Pantun, tokoh tua yang
berpakaian abu-abu dengan badan sedikit gemuk, didampingi pelayannya si Kadal
Ginting, dan seorang gadis muda berpinjung penutup dada warna merah beludru
bersulam benang emas. Di tangan Bulan Sekuntum tampak gadis kecil bagai manusia
liliput, ia adalah Awan Setangkai yang terkena 'Aji Surut Raga' dari lawannya;
Lantang Suri, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Geger di Selat
Bantai"). Mereka menyusuri pantai Karang Hantu untuk menemukan Suto
Sinting. Karena dalam perjalanan yang lalu dikisahkan bahwa Suto Sinting sedang
menjadi buronan Ratu Cendana Sutera, si Penguasa Selat Bantai, untuk dijadikan
pria pembenih pada bulan kesuburan. Kala itu Suto Sinting dilarikan oleh Angin
Betina untuk hindari serangan Lantang Suri yang sedang berhadapan dengan
Merpati Liar, kakak Angin Betina.
Mereka belum tahu bahwa Suto
Sinting sekarang sudah berpisah dengan Angin Betina. Bahkan Suto Sinting yang
kala itu menjadi kecil seperti Awan Setangkai, sekarang sudah menjadi besar
seperti aslinya. Mereka masih menyangka Suto Sinting bersama Angin Betina yang
diperkirakan bersembunyi di Pantai Karang Hantu.
"Jangan-jangan Suto
diajak tenggelam oleh si Angin Betina," ujar Kadal Ginting yang berjalan
di samping Bulan Sekuntum.
Resi Pakar Pantun menyahut
dalam pantun,
"Monyet pikun minum tuak
luber, main kecapi tangan kepintir.
Punya mulut jangan seperti
ember, salah ucap bisa disampar petir."
Kadal Ginting hanya nyengir
sambil garuk-garuk kepala. Bulan Sekuntum meliriknya dan sedikit sunggingkan
senyum. Tapi si Awan Setangkai yang tingginya kurang dari sejengkal itu segera
berkata, "Aku pernah dibawa Pendekar Mabuk ke gua di sebelah sana. Mungkin
dia bersembunyi di sana bersama Angin Betina. Bagaimana kalau kita periksa
tebing sebelah sana, Bulan Sekuntum?" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pemburu Darah Satria").
"Semua kemungkinan ada
baiknya kita coba," ujar Bulan Sekuntum. Maka mereka bergegas ke gua yang
dimaksud Awan Setangkai.
Tapi langkah mereka terpaksa
terhenti karena kemunculan seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh tahun.
Rambutnya berwarna merah seperti rambut jagung. Badannya kurus, agak pendek
seperti Kadal Ginting. Ia tidak punya kumis, tapi punya jenggot pendek yang
warnanya juga seperti rambut jagung.
Tokoh itu mengenakan celana
hitam dan baju tanpa lengan warna biru. Ikat pinggangnya dari sabuk besar yang
biasa dipakai oleh seorang kusir dan berwarna hitam. Di sabuknya itu terselip
sebuah cambuk yang saat itu dalam keadaan digulung. Cambuknya berwarna abu- abu
dan mempunyai ujung dari serat tali merah. Panjang sabuk itu tak lebih dari
empat jengkal, jadi termasuk jenis cambuk pendek.
Mereka memandang heran kepada
tokoh berambut merah itu. Tapi Resi Pakar Pantun tidak merasa asing lagi
dengannya. Rupanya sang Resi sudah mengenal tokoh bermata kecil dan alisnya
turun itu. Karenanya, sang Resi menyapa lebih dulu ketika tokoh tersebut
langsung cengar-cengir di depan mereka.
"Pujasera, si Kusir
Hantu.... Monyet pikun beranak cumi-cumi, hamil semalam beranak pagi.
Apa maumu menghadang langkah
kami, Jika hanya sekadar pamer gigi"
Bulan Sekuntum, Awan Setangkai
dan Kadal Ginting sama-sama membatin dalam hatinya, "Ooo.. dia punya nama
Pujasera alias si Kusir Hantu?"
Tokoh berwajah lucu itu
nyengir kembali, "Kakang Resi, pepatah mengatakan: 'Jauh di mata dekat di
hati. Biar lama tak jumpa sekali jumpa tak lagi di udara!"
"Kau bicara apa
sebenarnya Pujasera?" potong sang Resi.
"Aku ingin meminta
bantuanmu, Kakang Resi Pakar Pantun."
Bulan Sekuntum berbisik,
"Siapa dia, Resi?"
"Dia yang bernama
Pujasera alias si Kusir Hantu. Dia sahabat lamaku yang tinggal di Lembah
Seram."
Kadal Ginting menimpali
bisikan, "Dia orang jahat atau baik, Eyang?"
"Kadang jahat kadang
baik. Kalau sedang tidak punya uang bisa jadi jahat. Kalau sedang banyak uang
sering berbuat baik. Memang begitulah watak manusia secara umumnya."
"Pepatah
mengatakan," seru si Kusir Hantu tiba-tiba, " 'Duduk sama rendah
berdiri sama tinggi, tidur sama
siapa?'. Untuk apa berunding
terlalu lama dan kasak- kusuk, Kakang Resi? Jika ingin membantuku, berilah
bantuan secara apa adanya saja. Tak perlu dirundingkan seperti mau membangun
sebuah negeri." "Dia memang ngomongnya begitu. Suka ngaco!"
bisik sang Resi kepada Bulan Sekuntum. Si kecil Awan Setangkai manggut-manggut.
"Bantuan apa yang kau
harapkan dariku, Kusir Hantu?"
"Aku mencari seorang
pemuda bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk. Jika kau tahu, tolong
tunjukkan di mana dia. Jika tidak tahu, tolong harus tahu."
Bulan Sekuntum dan Awan Setangkai
sedikit terkejut mendengar Kusir Hantu mencari Suto Sinting. Resi Pakar Pantun
hanya nyengir sinis dan berkata dalam sajak pantunnya,
"Monyet pikun berbiji
jeruk, jeruk dibuka berisi handuk, Bicaramu memang terlalu empuk, tapi
sebenarnya pantas dikutuk."
Kusir Hantu
tertawa seenaknya, "He,
he, he, he...!
Aku hanya minta bantuanmu
alakadarnya." "Alakadarnya kok memaksa; harus tahu!" sang Resi
bersungut-sungut. "Kalau
kutahu di mana Pendekar Mabuk, barangkali sekarang aku sudah tidak bertemu
denganmu. Karena kami sebenarnya sedang mencari di mana murid sintingnya si
Gila Tuak itu."
"Jangan berbohong padaku,
Kakang Resi. Pepatah mengatakan, 'Seberat mata memandang lebih berat ketiban
gajah', jadi sebaiknya tolong beri tahukan padaku di mana Pendekar Mabuk."
Bulan Sekuntum menjadi dongkol
mendengar nada bicara Kusir Hantu yang bersifat memaksa itu. Maka ia pun
menyapanya dengan menyerahkan Awan Setangkai lebih dulu kepada si Kadal
Ginting.
"Kusir Hantu...!"
"Hai, manis...!"
balas si Kusir Hantu sambil nyengir dan melambai sekejap.
"Kau jangan cari perkara
dengan kami. Kami sedang pusing mencari di mana si Pendekar Mabuk. Kalau kau
cari perkara dengan kami, maka aku yang akan membungkam mulutmu, Kusir
Hantu!"
"Sabar, nona manis. Tanpa
kau bungkam pun aku sudah pintar membungkam mulut orang," ujarnya sambil
nyengir, lalu jarinya berbunyi: klik..., seperti memanggil ayam.
"Siapa namamu, Nona
manis?!" tanyanya kepada Bulan Sekuntum.
"Ehhmm... uuh, uuh...
eeh, uuh...!" Bulan Sekuntum terkejut bukan kepalang. Ternyata ia tak bisa
bicara lagi. Tenggorokannya terasa tersumbat sesuatu, hingga sukar keluarkan
suara, ia menjadi bisu dan membuat Awan Setangkai serta Kadal Ginting
terperanjat kaget.
"Bulan... Bulan Sekuntum,
bicaralah padaku, Bulan!" sambil Kadal Ginting mengguncang-guncang lengan
Bulan Sekuntum.
"Ah, uuh, huk, hak, puih,
puah, puh, puh...!" Bulan Sekuntum benar-benar menjadi bisu.
Gadis itu menjadi marah.
Serta-merta tubuhnya melayang menerjang Kusir Hantu. Weess...! Kakinya menendang
ke arah wajah si Kusir Hantu dengan cepat. Ploook...!
Kusir Hantu jatuh terjengkang
ke belakang dan berguling-guling dua kali. Ia segera bangkit lagi, tapi baru
separo berdiri sudah diserang Bulan Sekuntum dengan tendangan memutar balik.
Wuees...!
Plook...!
Wajah Kusir Hantu disabet
kibasan kaki dengan telak sekali. Ujung kaki Bulan Sekuntum kenai pelipis tokoh
tua itu, dan tubuh kurus si Kusir Hantu terlempar ke samping hingga membentur
seonggok karang. Beehk...!
Kusir Hantu menyeringai kesakitan,
ia duduk bersimpuh sambil mengusap-usap wajahnya yang terkena tendangan dua
kali.
"Tendanganmu cukup
lumayan, Nona," ujarnya dengan wajah dibuat memelas. "Tapi sayang
sekali kau belum tahu siapa aku."
Bulan Sekuntum ingin menyerang
dengan suara geram. Tiba-tiba langkah dan gerakannya terhenti. Bahkan mendadak
kedua tangannya pegangi wajah dan ia mundur sambil mengaduh tertahan.
"Uuh...! Uuuuaaah...!"
Bulan Sekuntum terlempar
dengan sendirinya. Ketika ingin bangkit, tiba-tiba terpelanting ke samping dan
berguling-guling, seperti ada sebuah tenaga tak terlihat yang melemparkannya.
Pada waktu itu, Kusir Hantu sedang bangkit berdiri dan cengar-cengir
memperhatikan Bulan Sekuntum.
"Pujasera! Hentikan
permainanmu!" sentak Resi Pakar Pantun. Sang Resi buru-buru hampiri Bulan
Sekuntum dan membantunya untuk berdiri. Bulan Sekuntum mengerang kesakitan
sambil pegangi wajahnya.
"Bulan, kau belum tahu
bahwa Kusir Hantu mempunyai ilmu 'Timpal Rasa' yang jarang dimiliki orang. Jika
kau menendang wajahnya, maka kau yang akan merasakan sakitnya. Jika kau memukul
dadanya, kau yang akan merasakan sakit di dada. Jangan serang dia, Bulan
Sekuntum. Nanti kau bisa celaka sendiri. Ilmu 'Timpal Rasa' tidak bisa dilawan
dengan cara seperti tadi."
"Puh, puh, uah, au,
au...!" sambil Bulan Sekuntum menuding-nuding mulutnya. Resi Pakar Pantun
paham akan maksud ucapan gagunya itu, maka ia segera berkata kepada si Kusir
Hantu,
"Lepaskan kebisuannya!
Dia minta kau kembalikan suaranya!"
Klik...! Jari tangan Kusir
Hantu menjentik bagai memanggil ayam.
"Setan...!" langsung
suara Bulan Sekuntum membentak keras dengan mata melotot. "Aku tak takut
kau punya ilmu apa pun!"
"Sss... sudah,
sudah," bujuk Resi Pakar Pantun. Gadis itu pun bersungut-sungut sambil
mundur, hampiri Kadal Ginting yang memegangi tubuh kecil si Awan Setangkai.
Awan Setangkai berkata, "Jangan lawan dia dulu untuk sementara. Kita harus
curi kelemahannya dulu
kalau mau melawannya."
Bulan Sekuntum hanya mendengus
sambil membersihkan tubuhnya yang kotor oleh pasir pantai itu. Matanya
memandang tajam penuh permusuhan kepada si Kusir Hantu. Tapi yang dipandang
hanya cengar- cengir bagai tak merasa bersalah sedikit pun.
"Pujasera...," ujar
sang Resi. "Aku berkata yang sebenarnya, bahwa aku tak tahu di mana
Pendekar Mabuk berada. Justru sekarang aku ganti bertanya padamu, mengapa kau
mencari Pendekar Mabuk?"
"Aku disewa oleh Cendana
Sutera untuk menangkap dan membawa Pendekar Mabuk ke istana Selat Bantai.
Pepatah mengatakan: 'Ada uang abang sayang, tak ada uang abang mencuri'. Oleh
sebab itu aku harus bisa menemukan Pendekar Mabuk, Kakang Resi."
"O, jadi hanya demi upah
kau mencari Pendekar Mabuk? Serendah itukah harga dirimu sebagai sahabatku,
Pujasera?"
"Lho, aku kepepet!"
sangkalnya. "Kalau tidak kepepet ya tentunya tidak serendah itu harga
diriku. Biarpun Cendana Sutera pernah menyelamatkan cucuku, walaupun sekarang
akhirnya cucuku mati juga akhirnya, tapi aku ingin menebus budi baiknya. Karena
itu aku tidak keberatan ketika Cendana Sutera menyuruhku menangkap pencuri itu.
Pepatah mengatakan: 'Setinggi- tinggi terbang bangau akhirnya akan hinggap ke
pelaminan juga'."
"Tunggu dulu...!"
sergah Resi Pakar Pantun. "Kau bilang tadi, kau disuruh menangkap
pencuri?"
"Memang begitulah
perintahnya."
"Siapa yang kau sebut
sebagai pencuri itu?" "Siapa lagi kalau bukan Pendekar Mabuk."
Resi Pakar Pantun dan yang
lainnya terperanjat. Sang Resi sempat memandang Bulan Sekuntum, kemudian
kembali menatap Kusir Hantu saat si Kusir Hantu berkata,
"Pepatah mengatakan:
'Jauh di mata dekat di dosa', itulah pencuri!"
"Suto bukan
pencuri!" seru Awan Setangkai dengan suara kecilnya.
"Aih, aih... adik kecil
ikut bicara juga rupanya. Sudah umur berapa kau, Dik?" Kusir Hantu
mendekati Kadal Ginting. "Aduh manisnya... kalau tidur masih ngompol apa
tidak, Dik?"
"Cuih...!" Awan
Setangkai meludah. Tapi ludahnya hanya sedikit dan tak sampai kena wajah Kusir
Hantu. Ludah itu jatuh di tangan Kadal Ginting, lalu Kadal Ginting mendengus
kesal sambil menggerutu,
"Tak usah main ludah,
malah bikin kotor tanganku saja!"
Bulan Sekuntum maju menghadang
di depan Kusir Hantu.
"Pendekar Mabuk bukan
pencuri! Jangan bicara seenak gigimu saja, ya?"
"Lho, menurut penjelasan
yang kuterima dari Cendana Sutera memang begitu; Suto Sinting alias Pendekar Mabuk
telah mencuri sebuah kitab pusaka milik istana Selat Bantai. Lalu, aku dimintai
bantuannya untuk menangkap Pendekar Mabuk! Pepatah mengatakan. "
"Pepatah, pepatah...! Lehermu itu yang patah!" sergah Resi Pakar
Pantun dengan bersungut-sungut. Kusir Hantu nyengir sambil mengusap lehernya
seakan takut kalau benar-benar patah.
"Kau termakan fitnah,
Kusir Hantu! Pendekar Mabuk memang dicari-cari oleh Ratu Cendana Sutera, tapi
bukan karena mencuri kitab pusaka, melainkan karena ingin dijadikan penabur
benih bagi perempuan- perempuan di sana selama masa sebulan kesuburan datang.
Bulan kesuburan itu datangnya seratus tahun sekali. Selama sebulan kesuburan
tidak datang, maka perempuan Selat Bantal tak bisa mempunyai keturunan alias
mandul. Jadi karena sekarang bulan kesuburan
telah datang, maka Ratu Cendana Sutera mencari darah seorang ksatria
untuk menaburkan benih di rahim mereka sebagal cikal bakal keturunan
mereka."
Bulan Sekuntum menimpali,
"Dan pria penabur benih yang dipilih mereka adalah Pendekar Mabuk!"
Awan Setangkai ikut bicara,
"Setelah itu Pendekar Mabuk akan dibunuh. Sebab dengan membunuh pria yang
telah memberi benih keturunan maka anak-anak mereka akan menjadi lebih perkasa
dan menurut kepercayaan, mereka akan panjang umur. Kesaktian si penabur benih
akan mengalir pada darah keturunan yang mereka kandung jika si penabur benih
dibunuh."
Kusir Hantu mengernyit dahi,
"Kalau begitu, itu namanya fitnah!"
"Memang fitnah!"
sentak Resi Pakar Pantun. "Padahal pepatah mengatakan: 'Fitnah itu lebih
kejam daripada tidak difitnah', iya toh?!" "Memang iya!"
"Lalu, mengapa kalian
memfitnah Ratu Cendana Sutera seperti itu?"
"Lho!..?!" sang Resi
bingung, yang lain juga ikut bingung. Kusir Hantu jelaskan maksudnya,
"Sudah tahu kalau fitnah
itu tidak baik, mengapa Kakang Resi memfitnah Cendana Sutera dengan cerita yang
kalian karang bersama itu?"
"Yang memfitnah itu
Cendana Sutera! Bukan kami!" "Cendana Sutera itu seorang Ratu. Masa'
Ratu kok
memfitnah yang bukan Ratu?
Mana mungkinlah yaow...!"
"Kau percaya padaku atau
pada Cendana Sutera?!" "Pepatah mengatakan. "
"Tak usah pakai
patah-patahan!" sentak Resi Pakar Pantun dengan jengkel. "Yang
penting, aku tidak tahu di mana Pendekar Mabuk, dan Pendekar Mabuk tidak
mencuri kitab apa-apa dari Selat Bantai! Titik!"
Kusir Hantu garuk-garuk
kepala, clingak-clinguk ke sana-sini.
"Kalau kami temukan
Pendekar Mabuk dan kau akan menangkapnya, maka kami akan bertindak
menghalangimu, Kusir Hantu!" tegas Bulan Sekuntum bagai tak punya rasa
takut sedikit pun walau kepalanya masih terasa sakit.
"Baiklah," kata si
Kusir Hantu kepada Resi Pakar Pantun. "... agaknya aku memang harus
mencari Pendekar Mabuk sendiri. Mana yang lebih dulu dapat: kau atau aku. Kalau
aku lebih dulu mendapatkan si Pendekar Mabuk, maka aku akan menangkap dan
membawanya ke istana Selat Bantai. Tapi kalau kau yang lebih dulu menemukan
Pendekar Mabuk, maka aku akan merebutnya dari tanganmu, Kang Resi!"
"Berarti kau menantang
beradu nyawa denganku, Pujasera?!"
"Demi membalas kebaikan
si Cendana Sutera, mungkin memang aku harus pertaruhkan nyawaku dalam hal
ini."
"Manusia picik!"
geram sang Resi.
"Pepatah mengatakan:
'Gajah mati meninggalkan belang, harimau mati meninggalkan gading, manusia mati
meninggalkan hutang'. Karenanya, aku harus menebus hutangku kepada Cendana
Sutera dengan menangkap Pendekar Mabuk. Permisi!"
Weeesss...! Kusir Hantu lenyap
begitu saja, berkelebat secepat setan lewat. Mereka sama-sama tertegun dalam
kecemasan.
"Agaknya Kusir Hantu
lebih mempercayai kata-kata Ratu Cendana Sutera, Eyang Resi," kata Kadal
Ginting.
"Memang, dan aku tak
sangka kalau dia sebegitu bodohnya."
"Mungkin kebanyakan
pepatah, membuatnya menjadi bodoh!" Kadal Ginting geleng-gelengkan kepala.
*
* * 2
SUDAH dua malam lewat, Suto
Sinting masih belum tertangkap Ratu Cendana Sutera, ia berada di pondok Ki
Palang Renggo yang beristri cantik serta muda: Nyai Sedap Malam, ia di sana
karena membawa Elang Samudera, sahabatnya, yang terluka dari pelariannya. Sejak
Suto Sinting berhasil selamatkan Elang Samudera yang melarikan diri dari Istana
Selat Bantai, ia tinggal di pondok Ki Palang Renggo.
Elang Samudera terluka parah
dan penyembuhannya cukup lambat. Seandainya saat itu bumbung tuak Suto ada di
tangannya, maka Elang Samudera dapat disembuhkan dalam waktu beberapa kejap
saja dengan cara meminum tuak dari dalam bumbung sakti tersebut. Tapi sayang
bumbung tuak itu ada di tangan rombongan Resi Pakar Pantun, dibawa oleh Kadal
Ginting. Hal itu dilakukan demi menyelamatkan bumbung tuak tersebut yang
terpental jatuh pada saat Suto dan Awan Setangkai melawan Lantang Suri.
Selama dua malam bulan
kesuburan, pihak Ratu Cendana Sutera kebingungan mencari Pendekar Mabuk.
Padahal Nyai Ratu Cendana Sutera mempunyai Ilmu yang dinamakan 'Kelana Iblis',
yang dapat mengetahui di mana orang yang dicari-carinya berada. Tapi anehnya
selama dua malam kesuburan ini, Nyai Ratu bagaikan kehilangan jejak Suto
Sinting.
"Ilmu 'Kelana Iblis'
membuat buronan Cendana Sutera selalu tertangkap atau diketahui tempat
persembunyiannya," ujar Nyai Sedap Malam, istri Ki Palang Renggo itu.
"Tetapi jika kau mengenakan kalung 'Akar Minang', maka ilmu 'Kelana Iblis'
tidak bisa temukan di mana kau bersembunyi."
Pendekar Mabuk saat itu memang
mengenakan kalung dari 'Akar Minang', sebuah akar dari pepohonan yang tumbuh di
hutan liar. Akar tersebut berpengaruh dapat membingungkan langkah orang jika
orang tersebut melangkahinya secara tak sadar. Nyai Sedap Malam yang memberikan
akar itu kepada Suto Sinting, sebab Nyai Sedap Malam mengetahui kelemahan ilmu
'Kelana Iblis' tersebut.
Perempuan muda dan cantik
serta montok itu berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, ia bekas prajurit
Istana Selat Bantai. Tapi ia telah keluar secara terusir dari wilayah Selat
Bantai karena bersedia menikah dengan Ki Palang Renggo yang usianya sudah
mencapai enam puluh tahun. Ki Palang Renggo adalah orang yang tidak setuju
dengan pemerintahan Ratu Cendana Sutera, sehingga ia dianggap musuh bagi pihak
Istana Selat Bantai. Sedangkan Ki Palang Renggo adalah sahabat dari gurunya Elang
Samudera, yaitu, Pendeta Darah Api, dan sahabat gurunya Suto Sinting; si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang.
Nyai Sedap Malam sendiri baru
saja sembuh dari luka pertarungan dengan Lantang Suri. Ki Palang Renggo yang
selamatkan dirinya itu, sehingga sekarang Nyai Sedap Malam dan Ki Palang Renggo
bekerja sama mengobati Elang Samudera.
"Kalau saja bumbung
tuakku ada dan tuaknya belum habis, pasti Elang Samudera cepat sembuh,
Nyai."
"Aku percaya, kau
mempunyai bumbung tuak yang sakti, sehingga beberapa orang ada yang menjulukimu
Tabib Darah Tuak. Tapi jika bumbung tuak itu tidak ada di tanganmu, apakah
Elang Samudera harus dibiarkan mati? Biar pelan tapi lukanya akan sembuh dan
kesehatannya akan pulih kembali," ujar Nyai Sedap Malam.
"Rasa-rasanya aku perlu
pergi mencari bumbung tuakku dulu, Nyai. Setelah kutemukan bumbung tuakku, aku
akan mencari Awan Setangkai yang juga menjadi kecil sepertiku dulu. Dengan tuak
dari bumbung itu aku yakin Awan Setangkai dapat pulih menjadi gadis dewasa
seperti sediakala."
"Jika itu kemauanmu, aku
tak bisa melarang. Hanya pesanku, berhati-hatilah... terutama terhadap wanita
cantik."
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum malu. "Mengapa Nyai bilang begitu?"
"Karena ketampananmu
begitu sering membuat setiap perempuan lupa daratan," sambil mata Nyai
Sedap Malam melirik suaminya yang sedang lakukan kesibukan di pojok rumah. Lalu
matanya melirik ke arah Suto Sinting dengan senyum berkesan genit.
"Kusarankan, sebaiknya
kau bersembunyi sampai tujuh hari dan tak perlu menghadapi orang-orang Selat
Bantai. Karena masa bulan kesuburan berlaku hanya sampai tujuh hari saja. lewat
dari tujuh hari mereka akan menjadi perempuan-perempuan mandul lagi. Tak akan
bisa punya keturunan sebelum seratus tahun kemudian, di mana masa Bulan
Kesuburan datang kembali."
"Aku akan berusaha
menuruti saranmu. Nyai," ujar Suto, sebelum akhirnya ia pamit pergi
mencari bumbung tuaknya.
Pemuda gagah berbadan tegap
yang memakai baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih kusam itu pergi
sendirian menuju tempat pertarungannya dulu. Pendekar Mabuk masih ingat tempat
itu, yaitu di sebuah lembah yang menuju ke istana Selat Bantai. Kalung dari
'Akar Minang' masih dikenakannya dan membuat ia tak bisa dipantau oleh Ratu
Cendana Sutera. Sekelebat bayangan tampak melintas, di depan Suto.
"Rasa-rasanya aku pernah
kenal orang itu?" pikir Suto Sinting sambil hentikan langkah dan pandangan
matanya ikuti gerakan lari orang tersebut.
"Mengapa ia lari seperti
dikejar setan? Apa gerangan yang membuatnya lari ketakutan begitu?! Hmmm...
sebaiknya kuikuti saja dia. Aku jadi penasaran ingin tahu apa yang terjadi pada
dirinya."
Dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah lepas dari
busurnya, Pendekar Mabuk segera memotong jalan menghadang orang tersebut.
Tetapi ternyata sudah ada orang lain yang menghadang orang itu, sehingga Suto
Sinting buru-buru bersembunyi di balik gerumbulan semak. Orang yang menghadang
itu adalah si Kusir Hantu. Tetapi Suto masih merasa asing dengan si Kusir Hantu
sebab memang ia belum mengenalnya dan baru kali ini melihat penampilan si Kusir
Hantu.
Orang yang dihadang Kusir
Hantu itu adalah seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun, celananya
hitam dan memakai sabuk hitam pula, tanpa mengenakan baju. Sekujur badannya
penuh dengan tato. Orang bertubuh kekar dan berotot itu tak lain adalah si Raja
Tato yang punya nama asli Ogawa dari negeri Sakurata, Pendekar Mabuk pernah
berhadapan dengan si Raja Tato ketika ia harus membela Resi Pakar Pantun dalam
perkara gadis puteri Adipati yang bernama Muria Wardani alias di Telaga Sunyi,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Penguasa Teluk Neraka").
Melihat langkahnya dihadang
oleh si Kusir Hantu, Raja Tato terpaksa hentikan jangkah dan tangannya mulai
pegangi gagang samurai dan siap mencabutnya. Matanya yang kecil tampak
memandang tajam namun juga berkesan bingung, seakan mencari tempat untuk
larikan diri. Agaknya Raja Tato sudah dihajar lebih dulu oleh si Kusir Hantu,
karena mata kirinya tampak biru lebam, dan bagian sudut bibir tampak berdarah.
"Siapa lawan si Raja Tato
itu? Kelihatannya Raja Tato ketakutan berhadapan dengan orang kurus yang tak
punya tampang galak itu," Suto Sinting membantin dari persembunyiannya.
Telinganya dipasang baik-baik untuk
menyimak percakapan mereka.
"Mau lari ke mana lagi
kau, Bocah bagus?!"
Kusir Hantu tampak kalem,
seakan menghadapi teman sendiri. Tapi si Raja Tato bagai tak ingin lengah
sedikit pun. Ia melangkah ke samping pelan-pelan mencari kesempatan untuk
menyerang, tapi mungkin juga mencari kesempatan untuk kabur. Yang jelas ia
lebih tegang daripada si Kusir Hantu.
"Ke mana pun kau pergi
akhirnya akan bertemu denganku juga, Raja Tato. Selama hutang nyawa belum kau
balas, kau tetap akan diburu oleh dosamu sendiri. Bagaimanapun juga cucuku yang
tewas di tanganmu tetap menuntutku agar membalaskan kematiannya. Pepatah
mengatakan: 'Hutang beras bayar beras, hutang nyawa bayar nyawa'. Tidak ada
hutang nyawa bayar ubi!"
"Nyawamu sendiri yang
akan menjadi bayarannya, Kusir Hantu! Jangan kau sangka aku lari karena takut
padamu, tapi aku lari karena mencari tempat yang lega."
"Itu alasan kuno!"
sambil si Kusir Hantu nyengir seperti kuda kepang. "Pepatah mengatakan:
'Tak ada tali akar pun berguna, tak ada nyali akal pun berguna'. Jadi, tali dan
akar itu seperti nyali dan akal!"
"Jangan banyak
bicara!" bentak Raja Tato menampakkan murkanya. "Sekarang apa maumu,
lakukanlah! Aku telah siap menyambut nyawamu!"
"He, he, he... jangan
buru-buru, kita ngobrol-ngobrol dululah, Cing!" ujarnya berseloroh, sangat
meremehkan lawannya. Sang lawan menjadi semakin berang, akhirnya Raja Tato
menyerang lebih dulu dengan mencabut samurainya begitu cepat.
Seeett...! Wuuutt, wuuutt...!
Samurai ditebaskan dua kali
tapi tak pernah kenai sasaran. Kusir Hantu hanya menghindar dengan cara miring
ke kiri atau ke kanan. Kakinya tetap tegak di tempat tanpa bergeser sedikit
pun. Itu menandakan Kusir Hantu punya gerakan lebih gesit dan lebin cepat dari
tebasan samurai.
Ketika Raja Tato hujamkan
samurainya ke perut Kusir Hantu, ujung samurai itu hanya dihindari dengan
melengkungkan badan ke belakang dan sedikit lakukan lompatan. Wuutt...! Raja
Tato maju selangkah dan menusukkan samurainya lagi, Kusir Hantu melengkung ke
belakang dan sedikit lompat, wuuttt...!
Suut, wuut...! Suuut,
wuutt...! Suuutt, wuuutt...!
Suto menutup mulutnya yang
hampir saja tertawa geli karena melihat Kusir Hantu seperti kodong kungkong
yang melompat mundur. Wajah si Kusir Hantu tak kelihatan cemas atau gentar
sedikit pun, bahkan tusukan samurai itu dihindari dengan bibir tersenyum-senyum
bagai mainan.
Tiba-tiba Raja Tato bergerak
lebih cepat lagi. "Heeeaat...!"
Samurainya dikibaskan beberapa
kali ke kanan-kiri, atas-bawah, sambil mendesak si Kusir Hantu.
Weess...! Raja Tato tetap
lakukan tebasan kilat membabi buta, padahal lawannya sudah tidak ada di tempat,
ia tak sempat melihat si Kusir Hantu pergi tinggalkan tempat dan kini berada di
belakangnya dalam jarak enam langkah.
"Perpindahan tempat
dilakukan sangat cepat. Itu berarti orang yang bernama Kusir Hantu mempunyai
ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi dan gerakan yang menyerupai jurus 'Gerak
Siluman -ku," pikir Suto sambil masih menjadi penonton yang baik dan tak
mau berbisik sedikit pun.
"Hei, Bocah bagus...! Mau
menebas lalat atau menebas nyamuk kau, Nak?" ejek si Kusir Hantu sambil
cengar-cengir.
Raja Tato semakin marah karena
merasa dipermainkan. Begitu ia berbalik, langsung lakukan lompatan cepat sambil
menebaskan samurai seakan ingin membelah kepala si Kusir Hantu. Wuuss...!
Weeett...!
Graakk...!
"Iih...!" Suto
bergidik sambil pejamkan mata. Ia melihat jelas kepala si Kusir Hantu terbelah
oleh samurai. Padahal ia sudah sering melakukan perlawanan hingga menewaskan
lawannya, tapi baru sekarang ia bergidik merinding melihat kepala terbelah
bagai semangka tanpa biji.
"Lho... kenapa begitu?!
Lho... lho...?! Wah, edan betul orang itu?!" Suto Sinting lebarkan mata
dengan rasa heran dan terkagum-kagum.
Ketika ia membuka matanya
tadi, ternyata kepala Kusir Hantu dalam keadaan utuh. Tanpa darah tanpa luka
sedikit pun. Bahkan tergores pun tidak.
Tapi sebaliknya, si Raja Tato
mulai sempoyongan dengan lemas. Samurainya jatuh dari genggaman. Kepalanya
berlumur darah dan tampak terbelah. Akhirnya dengan mata mendelik si Raja Tato
tumbang tak bernyawa.
"Kurasa yang bernama si
Kusir Hantu mempunyai jurus atau ilmu seperti jurus 'Alih Raga' seperti yang
kumiliki. Buktinya, dia yang dibelah kepalanya dengan samurai, tapi kepala
lawan yang terbelah sendiri. Diam- diam hebat juga ilmunya, nyaris seperti
orang tak berilmu," ucap Suto Sinting dalam hatinya. Pandangan mata masih
tertuju pada si Kusir Hantu yang sedang geleng-geleng kepala pandangi mayat
Raja Tato.
"Ogawa, Ogawa... ilmu
masih seupil saja pakai bunuh cucuku. Apa kau tak tahu kalau si Manis Jembatan
Reot itu cucu kesayanganku? Mengapa kau bunuh? Akibatnya, yaah... beginilah,
kau harus kehilangan nyawa untuk membayarnya. Pepatah mengatakan: 'Buruk cermin
di muka, buruk pula orangnya', artinya biar bagaimanapun banyaknya tatomu,
tetap saja kau berwajah buruk!"
Pendekar Mabuk tertawa
tertahan. "Konyol juga dia orangnya."
Tapi tawa itu segera hilang
dari batin Suto Sinting. Wajah berseri pun tak ada lagi di permukaan rupa sang
Pendekar Mabuk yang sebenarnya sangat tampan itu. Alis dan kulit keningnya
menjadi berkeriput karena mengerut. Hal itu disebabkan karena ia melihat si
Kusir Hantu tiba-tiba terpental oleh sebuah tendangan yang datangnya dari
belakang.
Agaknya tendangan itu
bertenaga dalam cukup tinggi, karena Kusir Hantu bukan saja terlempar sejauh
delapan langkah dan terbanting dengan kerasnya, namun juga membuat mulut si
Kusir Hantu semburkan darah segar dan hidungnya pun mengucurkan darah pula.
Kusir Hantu segera terkapar bagai tak berdaya lagi. Wajahnya menjadi biru,
matanya terbeliak-beliak. Tapi ia masih berusaha untuk bertahan, menyalurkan
hawa murninya untuk menahan luka dalam yang cukup parah.
Pendekar Mabuk yang semula
jongkok, kini berdiri karena melihat jelas siapa orang yang menyerang si Kusir
Hantu. Orang tersebut mengenakan kain kerudung hitam dari kepala sampai kaki.
Menggenggam sebuah tongkat berujung pisau pemenggal berbentuk lengkung mirip
paruh bangau. Wajah orang di balik kerudung hitam itu memancarkan kebekuan;
dingin dan pucat memutih, bibirnya berwarna biru. Kesan angkernya tak kentara,
tapi melalui pandangan matanya yang dingin ia tampak berhati bengis.
Orang tersebut tak lain adalah
Siluman Tujuh Nyawa yang bernama asli Durmala Sanca. Dia adalah musuh utama
Pendekar Mabuk, karena pengembaraan si Pendekar Mabuk bertujuan memenggal
kepala Siluman Tujuh Nyawa. Tokoh sesat yang paling kejam dan ditakuti oleh
para tokoh golongan hitam itu bukan hanya berilmu tinggi, namun juga licin
bagaikan belut dan licik bagaikan ular.
Pendekar Mabuk menyipitkan
mata pertanda mulai bangkit nafsu pertarungannya melihat kehadiran Siluman Tujuh Nyawa. Sayangnya ia tidak
membawa bumbung tuak saktinya. Namun haruskah ia takut menghadapi tokoh sesat
itu dalam keadaan tanpa bumbung tuaknya?
* * *
3
KUSIR Hantu mempunyai cara penyembuhan
sendiri yang cepat melenyapkan luka dalamnya. Hanya saja, Siluman Tujuh Nyawa
ternyata tak mau membiarkan si Kusir Hantu hidup sampai hari esok. Tokoh
terkutuk itu segera menyabetkan senjatanya yang diberi nama Tongkat El Maut.
Weeess...! Tongkat itu
bagaikan ingin membongkar seluruh isi dada Kusir Hantu. Pada saat itu Kusir
Hantu sedang bergerak untuk bangkit dengan lemah. Ketika datang sabetan tongkat
tajam itu, ia nyaris tak bisa lakukan apa-apa.
Wuutt...! Tiba-tiba tubuh
Kusir Hantu melayang karena ada yang menyambarnya. Dalam sekejap si Kusir Hantu
sudah berada di seberang jauh dari Siluman Tujuh Nyawa.
"Keparat!" gumam
Siluman Tujub Nyawa dengan nada datar bagai tak berperasaan. Namun hatinya
segera terperanjat setelah mengetahui siapa orang yang menyambar Kusir Hantu.
Tak lain adalah pemuda tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala. Dia
adalah Pendekar Mabuk, lawan yang selalu membuatnya nyaris mati itu.
Pendekar Mabuk segera letakkan
tubuh Kusir Hantu di bawah pohon belakangnya. Kemudian ia berdiri tegak dan
sedikit busungkan dada menghadap ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Mereka saling
pandang dengan penuh keberanian dalam jarak delapan langkah.
"Kau...!" ucap
Siluman Tujuh Nyawa dengan pelan namun bernada benci.
"Ya, aku! Kenapa?
Terkejut?"
Kusir Hantu sempat berkata
dengan nada berat, "Nak, jangan layani dia. Kau akan celaka dibuatnya.
Minggirlah. "
Pendekar Mabuk tak hiraukan
anjuran si Kusir Hantu, ia justru maju dua langkah sementara Siluman Tujuh
Nyawa tetap di tempatnya. Tongkatnya berkelebat memutar dengan cepat, lalu diam
di samping kirinya.
"Kita tentukan saatnya
siapa yang tumbang sekarang!" ujar Siluman Tujuh Nyawa.
"Berjanjilah untuk tidak
melarikan diri lagi," balas Suto dengan nada tegas, tapi tetap tenang.
Siluman Tujuh Nyawa sentakkan
tongkat ke tanah.
Duuuhk !
Wuuurrrh. !
Bumi berguncang, pohon-pohon
bergetar, daun-daun beterbangan. Bahkan ada beberapa pohon yang kehilangan
semua daunnya karena rontok. Batu-batu besar pun tampak bergetar dan
menghamburkan serpihan kecil.
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum tipis walau tadi ia sempat sempoyongan karena mau jatuh akibat tanah
yang dipijaknya berguncang. Sebagian tanah di dekatnya menjadi retak walau tak
seberapa parah.
"Apa maksudmu pamer ilmu
seperti itu di depanku, Durmala Sanca?!"
"Supaya kau tahu bahwa
saat ini aku sedang selesaikan urusan dengan si Kusir Hantu! Dia harus serahkan
nyawanya karena menghancurkan kuil semadiku!"
"Ak.. aku tak sengaja
menghancurkannya. Aku tak bermaksud melepaskan pukulan ke arah kuilmu!"
ujar Kusir Hantu dengan suara lemah dan terengah-engah.
"Selesaikan dulu urusanmu
denganku, baru kau berurusan dengan Pak Tua ini!" sambil Suto Sinting
menuding si Kusir Hantu yang masih ada di belakangnya, duduk bersandar pada
pohon bagai orang kecakepan. Darah masih keluar dari mulutnya dan sesekali
diusap dengan telapak tangan.
"Nak, pergilah cepat.
Jangan layani orang gila itu!" Kusir Hantu mencoba mengingatkan Suto lagi,
tapi pemuda tampan itu tetap tidak hiraukan kata-kata si Kusir Hantu. Karena
pada saat itu Siluman Tujuh Nyawa segera berkata,
"Kalau itu maumu,
terimalah ajalmu sekarang juga!" Buuss...! Asap mengepul dalam satu
sentakan,
membungkus tubuh Siluman Tujuh
Nyawa. Dalam sekejap saja sosok manusia berkerudung hitam itu sudah berubah
menjadi seberkas sinar merah yang berpijar- pijar bagaikan bola berduri. Sinar
merah itu segera melayang cepat menerjang Suto Sinting. Weeess...!
Pendekar Mabuk gunakan jurus
'Gerak Siluman' untuk berpindah tempat dalam waktu yang amat singkat.
Zlaaapp...! Sinar merah berpijar-pijar akhirnya menghantam sebuah pohon sepuluh
langkah dari tempat si Kusir Hantu berada.
Blegaaarr...!
Pohon itu hancur menjadi
serpihan kayu yang menyebar ke atas dan jatuh berhamburan bagaikan hujan. Kusir
Hantu pandangi kejadian itu dengan mata tak berkedip. Tapi sinar merah
berpijar-pijar itu masih melayang-layang di udara seakan mencari kesempatan
untuk menyerang Pendekar Mabuk lagi.
"Hmmm... rupanya dia
punya ilmu baru," ujar si Pendekar Mabuk dalam hatinya. "Aku pun akan
mencoba ilmu baruku pemberian dari Payung Serambi."
Buusss...! Asap menyembur dari
tanah membungkus tubuh Suto Sinting. Dalam sekejap asap itu lenyap dan Suto
Sinting berubah menjadi seberkas sinar hijau muda berekor panjang. Ilmu
pemberian Payung Serambi yang bernama ilmu "Dewatakara' itulah yang
membuat Suto Sinting bisa berubah menjadi sinar hijau, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Geger di Selat Bantai").
Sinar hijau itu segera melesat
pada saat sinar merah menyerangnya. Kedua sinar tersebut akhirnya saling
bertabrakan di pertengahan jarak.
Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi
mengguncangkan bumi kembali. Benturan kedua sinar itu juga memancarkan kilatan
cahaya biru yang menyebar ke langit, membuat langit terang menjadi redup.
Kedua sinar tersebut sama-sama
terpental dan jatuh ke tanah. Buuusss...! Dua asap mengepul dari tanah tempat
jatuhnya sinar, lalu tampaklah wujud mereka masing-masing dalam keadaan
sama-sama berdiri saling berhadapan. Pendekar Mabuk keluarkan darah dari
hidungnya. Wajah pun menjadi sedikit pucat.
Tetapi di pihak Siluman Tujuh
Nyawa ternyata keadaannya lebih parah sedikit dari Suto Sinting. Darah keluar
dari hidung dan kedua mata Siluman Tujuh Nyawa. Darah itu kental dan mengalir
perlahan-lahan. Sedangkan kain kerudung hitamnya terbakar pada bagian tepi hingga kepulkah asap samar-samar.
Bau kain terbakar menyebar ke mana-mana.
Pendekar Mabuk menghapus darah
dengan kain ujung bajunya seperti anak kecil ingusan. Tiba-tiba Siluman Tujuh
Nyawa menggeloyor sendiri ke belakang nyaris jatuh. Rupanya ia terluka cukup
parah, tapi ditahannya mati-matian, ia malu untuk jatuh di depan Pendekar
Mabuk, maka buru-buru menggunakan tongkatnya untuk bertahan.
Melihat keadaan seperti itu,
Pendekar Mabuk semakin bersemangat untuk lakukan serangan berikutnya. Dalam
hati sang pendekar tampan itu berkata,
"Dia sudah mulai rapuh!
Sekaranglah saatnya menghabisi riwayat hidupnya!"
Tetapi baru saja Pendekar
Mabuk mengangkat tangannya untuk menggunakan jurus 'Manggala', tiba- tiba
Siluman Tujuh Nyawa lakukan lompatan ke samping. Blaass...! Tahu-tahu ia
menghilang bagi masuk ke dalam lapisan udara. Sluub...!
"Keparat!" geram
Suto Sinting, "Ia lari ke alam gaib!
Aku harus mengejarnya selagi
ia rapuh!"
Tapi ketika Suto Sinting mau
mengejar ke alam gaib, tiba-tiba Kusir Hantu sentakkan tangannya ke tanah dan
tubuhnya melayang di udara. Wuuuss...!
Brruukkk...! ia jatuh
bersimpuh di depan Suto Sinting, buru-buru mengangkat kedua tangannya dan
berkata,
"Cukup, cukup...! Jangan
kejar dia, Nak. Jangan kejar dia! Dia masuk ke alam gaib dan kau tak akan bisa
mengejarnya."
Suto Sinting nekat mengejar
lawannya dengan lompati kepala Kusir Hantu. Tapi tangan Kusir Hantu segera
berkelebat melepas pukulan tanpa sinar. Wuuutt...! Deesss...!
"Uuhk...!" Suto
Sinting tersentak dengan tubuh melengkung ke depan, lalu jatuh berlutut.
Pinggangnya bagai disodok dengan bambu keras. Sekujur tubuhnya nyeri, tulangnya
linu, dan sodokan itu bagai terasa sampai ke ulu hati. Pendekar Mabuk akhirnya
terengah- engah setelah bisa bernapas kembali dengan lega.
"Maaf," kata Kusir
Hantu, "Terpaksa kulakukan demi keselamatanmu, Nak. Orang yang kau hadapi
itu iblis yang paling iblis. Tak mungkin kau bisa mengalahkannya. Kalau ia
kabur melarikan diri, bukan karena dia takut padamu, tapi karena dia mengatur
siasat membuka jebakan untukmu. Kau bisa celaka tujuh turunan jika mengejarnya.
Pepatah mengatakan: 'Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketinggalan',
artinya lebih baik naik rakit pergi ke rumah penghulu, daripada cari penyakit
ketinggalan nyawa."
"Sial! Percuma saja
kukejar, dia pasti sudah jauh dariku," gerutu hati Pendekar Mabuk.
Akhirnya ia menarik napas untuk meredakan rasa nyeri akibat sodokan tenaga
dalam tadi.
Mereka berdua pindah ke tempat
teduh. Suto Sinting masih biarkan Kusir Hantu mengatasi luka dalamnya dengan
pengobatan pernapasannya. Sedangkan rasa sakit Suto sendiri tinggal bekas memar
di pinggang belakang, sebentar lagi akan hilang dengan sendirinya. Suto tak
hiraukan memar tersebut.
Beberapa saat setelah Kusir
Hantu selesai lakukan penyembuhan melalui napas murninya, Suto segera
menegurnya dengan memandangi beberapa saat.
"Mengapa kau punya urusan
dengan iblis terkutuk tadi, Pak Tua?"
Kusir Hantu sunggingkan senyum
sedikit sambil mata memandang lurus bagai melamun. Lalu, terdengar suaranya
yang bernada rendah itu.
"Sebetulnya itu bukan
salahku, tapi salah lawanku. Ceritanya begini...," Kusir Hantu terbatuk
sebentar, kemudian lanjutkan kata,
"Aku melepaskan pukulan
kepada lawanku, pukulanku melesat, lalu mengenai kuil tempat semadinya. Kuil
itu hancur dan dia terpaksa pindah tempat. Berarti yang salah lawanku, bukan?
Coba kalau dia tidak hindari pukulanku, tentunya kuil si iblis laknat itu tidak
hancur toh? Atau mungkin salahnya sendiri yang langsung menyangka aku bermaksud
hancurkan kuilnya. Mestinya dia tanya dulu padaku, mengapa kuilnya hancur!
Tapi, yah... pepatah mengatakan: 'Malu bertanya sesat di kamar'. Mau tak mau
dia jadi seteruku!"
Suto Sinting sedikit
sunggingkan senyum geli. "Agaknya Pak Tua ini gemar bermain pepatah walau
kadang tak ada sangkut pautnya
dengan apa yang dikatakannya. Tapi... ada seninya juga bersahabat dengan si
Kusir Hantu ini!"
Kusir Hantu segera berkata,
"Kau sendiri mengapa sampai berani menghadapi Siluman Tujuh Nyawa? Apakah
kau tak sengaja menghadapi tokoh paling sesat itu atau memang kau ingin
coba-coba ilmumu? Sebab kulihat, ilmumu boleh juga!" lalu ia
manggut-manggut bagai membanggakan ilmu Suto yang dilihatnya tadi.
"Aku... ah, aku kebetulan
saja berhadapan dengannya," ujar Suto Sinting, karena merasa tak perlu
membeberkan masalah sebenarnya kepada Pak Tua itu. Menurutnya, terlalu lama
jika bercerita tentang sejarah permusuhan dengan Siluman Tujuh Nyawa. Apalagi
jika ia katakan bahwa kepala Siluman Tujuh Nyawa merupakan mas kawin yang harus
diserahkan untuk melamar calon istrinya: Dyah Sariningrum, sang Ratu Puri
Gerbang Surgawi di Pulau Serindu itu, pasti Pak Tua itu semakin bingung.
"Dan kalau tadi aku
menyambarmu, itu lantaran aku tahu kau tak berdaya dan aku harus lindungi orang
lemah tak berdaya dari tangan kotor Siluman Tujuh Nyawa," sambung Suto
Sinting.
"Terima kasih atas
penyelamatanmu. Kupikir tadi aku sudah mati. Tapi, seandainya ia tidak
menyerangku dari belakang, belum tentu ia mudah menumbangkan diriku lho,
Nak,"
Suto Sinting tersenyum melihat
Kusir Hantu sombongkan diri. Ia hanya manggut-manggut di sela senyumannya.
Kusir Hantu sedikit kikuk dipandang demikian, karena ia merasa bahwa ucapannya
belum tentu dipercaya oleh si anak muda tampan itu.
"Terus terang, aku kagum
pada ilmu yang kau gunakan untuk melawan sinar merahnya Siluman Tujuh Nyawa
tadi. Kusangka kau akan hancur saat bertabrakan di udara mirip bintang nyasar
itu," ujar Kusir Hantu.
"Hanya sekecil itu ilmu
yang kumiliki, Pak Tua." "Ah, ilmu segitu sudah termasuk tinggi, Nak,
Kurasa
kau bisa membantu kesulitanku
dengan ilmu seperti itu." "Apa kesulitanmu, Pak Tua?"
"Aku harus melawan
Pendekar Mabuk!" jawab Kusir Hantu polos sekali, ia tak perhatikan bahwa
anak muda yang diajak bicara itu terperanjat sepintas walau segera berubah
menjadi tenang kembali.
"Aku ingin membalas budi
baik seseorang dengan cara menangkap Pendekar Mabuk yang nama aslinya Suto
Sinting. Kudengar, yang namanya Pendekar Mabuk itu orangnya ampuh, sakti,
ilmunya gila-gilaan, makanya dinamakan Suto Sinting. Tapi biar bagaimanapun,
aku harus bisa menangkap Pendekar Mabuk itu, walau terpaksa meminta bantuan
seseorang untuk menandingi ilmunya. Itu seandainya ilmuku kalah sakti. Kalau
ilmuku tidak kalah sakti, ya kutangani sendiri. Pepatah mengatakan: 'Hemat
pangkal kaya, rajin pangkal pandai'. Bukankah begitu, Nak? Iya, toh?"
Pendekar Mabuk hanya
manggut-manggut dengan wajah tetap tenang dan ramah.
"Apa kesalahan Pendekar
Mabuk hingga kau ingin menangkapnya?"
"O, dia itu pencuri lho!
Betul kok. Pencuri berani nekat ya dia itulah orangnya. Kitab pusaka milik Ratu
Cendana Sutera dicurinya. Itu kan nekat namanya! Dia belum tahu kalau Ratu
Cendana Sutera itu perempuan cantik yang berbahaya. Tindakannya bisa melebihi
El Maut sang pencabut nyawa."
Kusir Hantu berapi-api
menceritakannya membuat Suto Sinting gemas, ingin mengatakan siapa dirinya
sebenarnya. Tapi ia masih bisa menahan kedongkolan dan kegemasan hati, bahkan
berlagak menjadi pendengar yang baik dengan memperhatikan setiap ucapan Kusir
Hantu.
"Ratu Cendana Sutera itu
penguasa Selat Bangkai, Nak. Aku punya hutang budi padanya, karena ia pernah
menyelamatkan nyawa cucuku; si Manis Jembatan Reot, yang kemudian akhirnya mati
di tangan Raja Tato," sambil melirik ke mayat Raja Tato di seberang sana.
Sambungnya lagi, "Cendana
Sutera memanggilku dan meminta bantuanku untuk menangkap Pendekar Mabuk agar
kitab pusakanya kembali ke tangannya. Kusanggupi permohonannya itu demi
membayar hutang budi baikku kepadanya. Walaupun aku tahu. Pendekar Mabuk itu
berilmu tinggi, tapi aku yakin bisa menumbangkannya. Tidak sekarang, ya besok,
tidak besok, ya lusa, tidak lusa ya
besoknya lagi. Pepatah Jawa mengatakan: 'Alon- alon waton kelakon,
gremat-gremet anunya Pak Slamet'. Artinya: biar pelan-pelan asal selamat,
daripada cepat- cepat sampainya ke akhirat! Iya, kan?"
"Kurasa," kata Suto
Sinting setelah diam sesaat, "Batalkan saja niatmu menangkap Pendekar
Mabuk itu, Pak Tua."
"Lho, Pendekar Mabuk itu
sekarang sudah jadi maling, Nak!" Kusir Hantu ngotot seakan anggapannya
sendiri telah benar. "Kalau tidak buru-buru ditangkap, nanti kebiasaan;
bisa-bisa kau punya ayam dicurinya. Itu kan memalukan rimba persilatan namanya.
Seorang pendekar kok mencuri, jijik kan!"
Lama-lama panas juga hati
Pendekar Mabuk. Tapi ia masih bisa menahan kesabaran. Setidaknya ia tahu ulah
apa lagi yang dilakukan Ratu Cendana Sutera dalam upaya menangkapnya. Ternyata
kali ini Nyai Ratu Cendana Sutera meminjam tangan Kusir Hantu dengan alasan
jasa yang pernah dilakukannya. Si Kusir Hantu sendiri agaknya bodoh-bodoh
pintar, sehingga dengan mudah mau mempercayai fitnah sang Ratu Cendana Sutera.
"Pencuri itu merugikan
rakyat, Nak. Maka ia harus segera ditangkap dan diberi hukuman. Pepatah mengatakan:
'Kecil menjadi kawan, besar menjadi lawan'. Artinya, kalau pencurinya hanya
satu, ya harus kita tangkap. Kalau pencurinya rombongan, kira-kira berjumlah
lima puluh orang, naah... barulah kita kabur saja!"
Gaya bicara yang jenaka itu
membuat rasa dongkol Suto Sinting bisa diredam baik-baik. Ia Ingin mengawali
penjelasannya dengan lebih dulu ajukan tanya,
"Kau sendiri sudah pernah
bertemu dengan Pendekar Mabuk, Pak Tua?"
"Belum," Kusir Hantu
menggeleng dengan wajah bego. "Tapi aku sudah tahu ciri-cirinya yang
kudengar dari Ratu Cendana Sutera maupun dari mulut para tokoh kenalanku.
Pokoknya yang namanya Pendekar Mabuk itu hanya punya satu ciri utama, yaitu ke
mana saja perginya tak pernah ketinggalan selalu membawa bumbung tuaknya. Jika
tidak membawa bumbung tuak, berarti dia bukan Pendekar Mabuk."
Dalam hati, si murid sinting
Gila Tuak itu berkata, "Ooo... pantas ia tidak mencurigaiku sebagai
Pendekar Mabuk, karena aku tak membawa bumbung tuak. Rasa- rasanya biar aku
ngotot sampai uratku keluar semua, dia tidak akan percaya kalau aku
memperkenalkan diri sebagai Pendekar Mabuk."
"Ciri-ciri yang lainnya,
biasa saja. Yaaah... seperti pemuda umumnya; ganteng, tegap, gagah, lincah,
pokoknya seperti kau itulah! Namanya saja pemuda, penampilannya pasti seperti
kau, Nak. Pepatah mengatakan. "
"Nasi telah menjadi
bubur," ucap Suto Sinting bagai menyambar ucapan Kusir Hantu, tapi
sebenarnya menyesali anggapan dan kepercayaan si Kusir Hantu yang sudah
telanjur percaya dengan fitnah Ratu Cendana Sutera. Tapi Kusir Hantu menyangka
Suto meneruskan kata-katanya, sehingga ia pun tampak berseri saat berkata,
"Ya, begitu! Nasi telah
menjadi bubur. Maksudnya, kalau masih muda sudah menjadi pencuri maka tuanya
nanti ya tetap akan menjadi pencuri."
Pendekar Mabuk menarik napas.
Agak sakit juga dikatakan sebagai pencuri dan diramalkan sampai tua tetap
menjadi pencuri. Hanya saja, sekali lagi benak Suto mengingat kepolosan dan
kebodohan si Kusir Hantu, sehingga ia mampu untuk tidak melampiaskan
kedongkolannya dengan kemarahan.
"Nak; bagaimana? Kau
bersedia membantuku kalau seandainya aku kalah melawan Pendekar Mabuk?"
bisik Kusir Hantu dengan hati-hati dan cengar-cengir.
"Tidak, Pak Tua. Aku
tidak sanggup membantumu." "Kenapa? Apakah perlu tawar-tawaran
upah?"
"Tidak perlu," jawab
Suto tegas. "Sebab setahuku Pendekar Mabuk itu bukan pencuri kitab pusaka
Ratu Cendana Sutera. Pendekar Mabuk diburu oleh Ratu Cendana Sutera karena
ingin dijadikan penabur benih bagi orang-orang Selat Bantai, supaya mereka
punya keturunan, termasuk sang Ratu sendiri biar bisa beranak!"'
"Lho, kok malah kau
memfitnah Ratu Cendana Sutera?" ujar Kusir Hantu dengan wajah kecewa.
"Ini bukan fitnah, tapi kenyataan, Pak Tua!"
Kusir Hantu geleng-geleng
kepala dengan wajah sedih, lalu menggumam,
"Kasihan. Rupanya banyak
orang tak suka kepada
Cendana Sutera, sehingga
banyak yang memfitnahnya. Memang benar apa kata pepatah: Tak kenal maka tak
sayang, tak sayang maka tak punya uang'. Apakah. "
Kata-kata itu terhenti, karena
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara letusan kecil di sebelah timur. Mereka
berdiri serempak, karena semula mereka sama- sama duduk di atas akar besar.
Saat mereka berdiri, muncul
seorang gadis yang berlari dengan ketakutan. Weess...! Gadis itu melintasi
mereka, tapi segera hentikan langkah dan kembali menghampiri mereka.
"Kakek !" seru si
gadis berwajah tegang.
Kusir Hantu yang disapanya
juga ikut tegang. "Cucuku...?! Ada apa kau lari-lari begitu, Pematang
Hati?!"
"Kakek aku dikejar-kejar
oleh Hulubalang Iblis."
"Kurang ajar! Sini,
sembunyi di belakangku!"
Suto Sinting masih diam dengan
mulut melongo dan mata tak berkedip pandangi si gadis berpakaian hijau. Bajunya
berpundak keras, panjang lengannya tak sampai siku, hanya separo kurang dari
siku ke pundak. Belahan depan baju hijau bergaris emas itu terbuka dan hanya
dikatupkan dengan kain penyambung di bagian dada. Baju itu panjangnya sebatas
perut, pusar si gadis tampak terbuka. Celananya hijau ketat sebatas betis, juga
bergaris-garis benang emas di bagian depan dan belakang, ia mengenakan sabuk
hitam bermanik-manik putih intan. Di sabuknya tergantung pedang perak berukir.
Gadis itu memang cantik.
Wajahnya mungil menggemaskan. Bibirnya kecil bikin lelaki geregetan, seraya
ingin menggigitnya. Hidungnya bangir, matanya bundar bening berbulu lentik.
Rambutnya berpotongan pendek seperti lelaki, bagian depannya meriap tipis
sebatas kening.
Gadis itu mengenakan anting
merah delima tak seberapa besar, ia juga mengenakan kalung dari tali hitam,
tapi bandulnya berupa ukiran perak berbentuk bunga dengan tiga batu merah
delima kecil sebagai penghias bandul, ia mengenakan gelang emas berukir ular melingkar.
Mata ularnya terbuat dari batuan merah delima.
Tentu saja mata Pendekar Mabuk
sukar berkedip, karena selain wajah gadis itu amat cantik, dadanya juga montok
walau tak terlalu besar. Tubuhnya padat berisi, pinggulnya meliuk sekali seakan
enak untuk diremas. Gadis itu mempunyai betis indah yang dililit tali sandal
kulitnya berwarna coklat kehitaman.
"Nak, kenalkan... ini
cucuku yang kedua, ia bernama si Manis Pematang Hati."
"Aad... ada... ada berapa
cucumu, Pak Tua?" "Delapan," jawab Kusir Hantu.
"See... se... seperti ini
semua?" tanya Suto bagai orang pikun sambil menuding Pematang Hati.
"Masing-masing punya kecantikan yang berbeda," jawab Kusir Hantu
sambil cengar-cengir karena tahu maksud hati anak muda yang baru dikenalnya
itu. "Cucuku memang ada delapan, tapi sekarang tinggal dua. Yang lainnya
tewas dengan terhormat. Seperti misalnya kakak si Pematang Hati ini, yaitu si
Manis Jembatan Reot."
Gadis cantik bermata bening
itu akhirnya berbisik kepada kakeknya setelah lama pandangi Suto Sinting dengan
kekaguman yang tersimpan dalam hati.
"Kek, siapa pemuda ini?
Kalau tak salah aku pernah melihatnya saat ia bertarung melawan Peri Sendang
Keramat. Kalau tak salah dia yang bernama Suto Sinting, Kek!"
"Husy! Jangan semberono
kau, Pematang Hati!' hardik Kusir Hantu. "Dia lebih sakti dari Suto
Sinting. Namanya... ah, tanyakanlah sendiri. Aku lupa menanyakannya sejak
tadi."
"Iya, Kek. Dia itu yang
bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk. Aku masih ingat wajahnya saat melawan
Peri Sendang Keramat dulu!"
"Bukan! Jangan ngotot
kau, nanti dia tersinggung," bisik Kusir Hantu, dan bisikan itu sempat
terdengar di telinga Pendekar Mabuk. Tapi sang pendekar diam saja, hanya
sunggingkan senyum tipis yang menawan hati si gadis.
Rupanya Pematang Hati ikut
hadir ketika mendengar kabar Pendekar Mabuk akan digantung oleh Peri Sendang
Keramat, ia terselip di antara orang-orang yang hadir di situ, hanya saja Suto
tidak sempat melihat kehadirannya, (Baca serial Pendekar Mabuk episode:
"Peri Sendang Keramat").
Sebenarnya Suto Sinting ingin
membenarkan pendapat si gadis berkulit kuning langsat mulus dan berusia sekitar
dua puluh dua tahun itu. Tetapi, niatnya membenarkan pendapat si gadis terpaksa
diurungkan sebab tiba-tiba seberkas sinar datang menyerang mereka. Sinar biru
itu terdiri dari beberapa larik membentuk jala dan berkelebat dengan sangat
cepat.
Weersss...!
Wuuttt...! Suto Sinting sudah
lebih dulu sentakkan kakinya dan tubuh pun melesat tinggi, naik ke atas pohon
dan bertengger di sana. Sementara itu, Kusir Hantu dan sang cucu cantiknya
terkena sinar biru mirip jala itu.
Zuuurrb...! "Aaauh...!
Uuhk...!"
"Kakk... kakek...!
Aaaakh...!"
Kakek dan cucu mengalami nasib
sial. Mereka tak bisa bergerak bagai terjerat tali-tali kuat. Sinar biru itu
mengelilingi mereka tanpa menyentuh tubuh, namun kekuatannya mampu melumpuhkan
tenaga mereka berdua. Suto Sinting memandang tegang keadaan Pematang Hati yang
mulai berwajah pucat pasi.
*
* *
4
BEBERAPA saat setelah Kusir
Hantu dan Pematang Hati terperangkap sinar biru, muncullah sesosok tubuh
tinggi-besar. Namun tak sebesar raksasa. Badannya kekar, kulitnya agak hitam,
ia mengenakan rompi merah bertepian benang emas, dan celana merah juga
bertepian benang emas.
Wajah orang itu cukup sangar.
Kepalanya gundul licin, matanya lebar, hidungnya besar, ia berkumis tipis
melengkung sampai ke dagu yang tak berjenggot selembar pun itu. Pada telinga
kirinya menggantung anting bundar berwarna putih mengkilat berbentuk cincin.
Sabuknya yang hitam terbuat dari kulit ular, berukuran besar yang dipakai
menyelipkan kapak dua mata berujung mata tombak dan bergagang pendek.
Dari atas pohon Suto Sinting
pandangi kemunculan orang tersebut, ia yakin, bahwa orang itulah yang
mengejar-ngejar Pematang Hati dan yang di-sebut-sebut sebagai Hulubalang Iblis.
Orang yang kedua tangan kekarnya dililit gelang kulit warna hitam bermanik-
manik logam putih runcing bagaikan duri itu memancarkan pandangan matanya
begitu tajam ke arah Kusir Hantu dan Pematang Hati.
Suaranya terdengar besar,
seakan menggetarkan hati bagi lawan yang bernyali kecil.
"Kalian tak akan bisa
lepas dari jurus 'Jalasuma'-ku. Tak sampai tengah hari, kalian akan mati
terpotong- potong dengan sendirinya. Tapi jika kau, Pematang Hati, mau tunduk
kepadaku dan menikah denganku, maka kau dan kakakmu akan selamat. Jurus
'Jalasuma' akan kutarik kembali!" Kusir Hantu dan Pematang Hati semakin
tak berkutik, mereka seperti sedang menikmati masa-masa sekarat. Pendekar Mabuk
merasa tak bisa tinggal diam begitu saja. Maka ia segera turun dari atas pohon
dengan satu lompatan bersalto. Wut, wuutt...!
Tahu-tahu ia sudah berdiri di
depan Hulubalang Iblis tanpa suara sedikit pun ketika kakinya berpijak ke
tanah. Hulubalang Iblis terperanjat dan mulai mundur satu langkah dengan wajah
kian menyeramkan. Pandangan matanya yang beralis tebal naik itu tertuju tajam
pada wajah Pendekar Mabuk.
Untuk sementara Suto Sinting
tidak layani dulu si Hulubalang Iblis Itu. Ia segera lakukan sesuatu untuk
selamatkan nyawa si Kusir Hantu dan Pematang Hati,
Ia melepaskan 'Pukulan Gegana'
untuk menghantam sinar-sinar biru itu. Kedua jarinya disabetkan ke depan dan
melesatlah sinar kuning dalam keadaan patah-patah. Slap, slap, slap, slap...!
Blaarr...!
Sinar-sinar biru pecah bersama
bunyi ledakan cukup keras. Gelombang ledakan itu melemparkan tubuh Kusir Hantu
dan cucunya ke semak-semak. Wuutt, brruuss...!
"Aaauh...!" Pematang
Hati memekik kesakitan, namun agaknya mereka berdua segera bisa bernapas walau
harus menyeringai menahan sakit.
Melihat sinar-sinar birunya
dihancurkan oleh Suto Sinting, maka Hulubalang Iblis segera menggeram dengan
gigi menggeletuk penuh kemarahan.
"Biadab kau!
Berani-beraninya kau menghancurkan Jurus 'Jalasuma'-ku hah?! Sudah rangkap
berapakah nyawamu hei, bocah ingusan?!"
Dengan kalem, Pendekar Mabuk
menjawab, "Aku tak punya nyawa rangkap. Nyawaku hanya satu, yaitu sebagai
penggerak hidupku. Tapi hidupku tak sekeji dirimu. Hidupku tak bisa dibiarkan
melihat orang tak berdaya dalam keadaan sekarat seperti tadi. Aku terpaksa harus menolong mereka, walau antara
kami tak punya hubungan apa-apa, Tuan perkasa!"
"Gggrrrhh...!"
Hulubalang Iblis menggeram kembali, kedua tangannya sudah mengepak kuat-kuat
hingga urat kekar di lengannya saling bertonjolan.
"Keparat busuk kau!
Mencampuri urusanku sama saja mempercepat kematian, tahu?! Hulubalang Iblis tak
pernah biarkan orang usil sepertimu hidup lebih dari setengah hari!"
katanya sambil menepuk dada sendiri.
Suto Sinting sunggingkan
senyum tipis berkesan menyepelekan sesumbar si Hulubalang iblis itu.
"Pergi kau dan jangan
campuri urusanku lagi!" sentak si Hulubalang Iblis dengan mata melotot.
"Aku melindungi yang
lemah. Jadi aku tak bisa pergi jika kau bermaksud mencelakai mereka."
"Keparat!
Heeeaaah...!"
Hulubalang Iblis sentakkan
kakinya ke bumi. Duhkk...! Tubuh Suto Sinting tersentak ke atas bagaikan lompat
dengan sendirinya, ia segera bersalto di udara sebagai tanda masih bisa kuasai
keseimbangan tubuhnya. Kejap berikutnya,
ia turun dan mendaratkan kakinya kembali ke tanah tanpa suara sedikit pun.
"Aneh...?!" gumam
hati si Hulubalang Iblis dengan rasa heran. "Biasanya lawan yang
kubegitukan akan terpental tinggi dan melambung jauh hingga jatuh di tempat
yang jauh pula. Tapi mengapa anak muda ini hanya melambung sebentar dan tegak
kembali di tempatnya semula?!"
Saat Hulubalang Iblis
berkecamuk begitu di dalam hatinya, tiba-tiba Suto Sinting segera sentakkan
kakinya ke bumi. Duhkk...!
Bleess...!
Tubuh si Hulubalang Iblis
terbenam di tanah sebatas mata kaki. Orang itu terbelalak bingung dan kaget.
Sebelum rasa kagetnya hilang, Suto Sinting hentakkan kaki kembali ke tanah.
Jurus 'Telan Bumi' yang jarang dimiliki orang, itu membuat Hulubalang Iblis
terbenam ke dalam tanah sebatas betis.
Dukh, bless...!
"Grrrh...!" Orang
besar itu hanya menggeram penuh murka. Matanya memandang lebar-lebar ke arah
Suto Sinting. Agaknya ia ingin lepaskan pukulan jarak enam langkah itu. Tapi si
Pendekar Mabuk sudah lebih dulu sentakkan kaki ke tanah lagi.
Duuhk, bless...!
Duuhk, duhkk...! Blees,
blees...!
Hulubalang Iblis makin
terbenam. Kini keadaannya terbenam ke dalam tanah sebatas dada. Suto Sinting
tetap tenang. Bahkan ia gedukkan kakinya ke tanah sekali lagi dengan agak
keras.
Duuhhhkk...!
Bleeesss...! Tubuh si
Hulubalang Iblis terbenam sampai batas ketiak, ia menjadi, tambah tegang dan
kebingungan. Kedua tangannya tetap terangkat supaya tidak ikut terbenam. Dan
tangan kirinya segera menyentak ke depan dalam keadaan jari-jarinya membentuk
cakar yang keras dan kaku.
"Hhhgggrr...!"
Wuuusss...!
Sinar merah terang sebesar
genggaman orang dewasa melesat menghantam dada Pendekar Mabuk. Tapi dengan
gerakan seperti orang limbung, Suto Sinting tiba- tiba juga sentakkan tangan
dalam keadaan telapak tangan terbuka. Wuutt...! Clapp...!
Sinar hijau keluar dari tangan
Suto Sinting sebagai perwujudan dari jurus 'Pecah Raga' yang cukup dahsyat itu.
Sinar hijau tersebut berbenturan dengan sinar merahnya si Hulubalang Iblis,
lalu meledak keras di pertengahan jarak.
Jlegaaarrr...!
Gelombang ledakan itu hasilkan
sentakan cukup kuat ke berbagai penjuru, sehingga tubuh Pendekar Mabuk pun
terlempar hingga delapan langkah jauhnya.
Weerr...! Brruuukk...!
Ia jatuh di semak-semak tanpa
bisa menjaga keseimbangan lagi. Sedangkan si Hulubalang Iblis terpental pula
akibat gelombang sentakan tersebut. Tubuhnya terlempar menjebol tanah yang
menguburnya sebatas ketiak. Brruuulll...! Weeerrs...!
"Aaakh..!"
Hulubalang Iblis berteriak kesakitan karena tubuhnya bagaikan dipaksa dibetot
dari dalam tanah. Sedangkan tanah yang tadi membenamkan tubuh besar itu
menyebar ke mana-mana. Brrul...!
Kusir Hantu sudah bisa bangkit
meski harus dengan pegangi pinggangnya yang mirip terserang encok itu. Pendekar
Mabuk sendiri sempat kibaskan kepalanya karena terasa pusing dan pandangan
matanya agak kabur, kemudian baru menggeliat bangkit. Tapi langkahnya yang
keluar dari semak-semak segera ditahan oleh Kusir Hantu.
"Cukup, Nak. Biar aku
saja yang menanganinya." "Kau tidak apa-apa, Pak Tua?"
"Masih mampu tumbangkan
sepuluh orang seperti si Hulubalang Iblis itu. Istirahatlah dulu, dari tadi kau
bertarung membelaku, lama-lama malu hati sendiri aku, Nak."
Kusir Hantu segera maju sambil
masih bungkuk sedikit. Setelah Hulubalang Iblis berdiri dengan pakaian kotor
dan wajah penuh tanah, Kusir Hantu segera tegakkan badan, seakan tak mau
dipandang lemah oleh lawannya.
"Masih bisa bernapas,
Dik?" ejek Kusir Hantu kepada Hulubalang Iblis.
Orang gundul bagaikan gundu
raksasa itu menggeram penuh kebencian, ia melangkah cepat dan berhenti setelah
mencapai jarak lima langkah dari Kusir Hantu. Kapak dua mata segera dicabut
dari pinggangnya, gagangnya ditarik ke belakang, sraakk...! Ternyata kapak itu
bisa bertangkai panjang menyerupai tombak.
"Saatnya untuk memenggal
kepalamu, Tua peot!" Dengan tenang Kusir Hantu berkata, "Weeh...,
sudah hampir mati kok masih mau berlagak sakti. Pepatah mengatakan: 'Jauh di
mata dekat di hati', artinya, jauh di cinta dekat dengan mati. Maksud hati
memeluk gunung apa daya gunungnya ada dua. Kalau kau mau kawini cucuku si Manis
Pematang Hati, berarti kau harus bisa mengirimku ke lembah neraka, Dik!"
"Ggrrrhhhmm...!"
Hulubalang Iblis menggeram sebentar, lalu melompat sambil menebaskan kapaknya
dari kanan ke kiri. "Heeeahh...!"
Klik, klik...! Kusir Hantu
menjentikkan jarinya seperti memanggil ayam. Tiba-tiba Hulubalang Iblis
terjungkal ke belakang dalam gerakan melambung jungkir balik. Wuuut...!
Jlegg...! Ia bisa menapakkan kaki dengan tegak di tanah. Tapi segera tersentak
mundur bagai ada tenaga pendorong yang sangat kuat. Wut, wut, wut, wut...!
Bheek...! Punggungnya menabrak pohon besar. Kepalanya pun terbentur pohon
tersebut. Duuhk...!
Bruuurrr...!
Daun-daun berguguran, pertanda
benturan itu cukup keras dan bertenaga dalam besar. Hulubalang Iblis tersentak
mendelik, mulutnya ternganga dan semburkan darah segar. Buuuwwrrss...!
Tubuh itu menggeloyor bagai
orang mabuk hingga berputar satu kali. Tampak kepala bagian belakang
mengucurkan darah akibat benturan dengan pohon tadi. Ia ditaburi daun-daun
kecil bagai ditimpa hujan.
"Bocorlah sudah kepalamu
yang mulus itu, Hulubalang Iblis,' ujar Kusir Hantu. "Kurasa sebagai
pelajaran sudah cukup sampai bocor kepala saja. Pelajaran tambahan akan
kuberikan jika kau masih nekat mengganggu cucu kesayanganku. Pepatah
mengatakan..,."
Belum sampai Kusir Hantu
ucapkan pepatahnya, Hulubalang Iblis sudah melesat kabur lebih dulu.
Wuuusss...!
Kusir Hantu terpaksa berkata,
"Pepatah mengatakan... 'Lebih baik kabur daripada babak belur', artinya
"
Ucapan itu terhenti setelah ia
menengok ke belakang melihat cucunya sedang dibantu berdiri oleh Suto Sinting
dengan cara memegang tubuh si gadis dari belakang. Pendekar Mabuk segera
menebah daun-daun kering yang masih lekat di bagian punggung si gadis.
"Terima kasih atas
bantuanmu," ujar Pematang Hati dengan suara pelan.
"Aku hanya sekadar
melakukan kewajibanku saja, menolong yang lemah. O, ya bagaimana
pernapasanmu?"
"Masih... masih ada. Eh,
maksudku... masih agak sesak sedikit."
"Tariklah napas
panjang-panjang, lalu tahan di dada sampai sepuluh hitungan, dan hembuskan
lewat mulut pelan-pelan. Cara itu akan melonggarkan pernapasan
berikutnya," sambil mereka saling bertatap pandang.
"Bisakah kau menolong
menarikkannya, Kanda?" sambil gadis itu sunggingkan senyum menggoda.
"Jangan panggil aku
Kanda. Aku malu mendapat panggilan semesra itu. Panggil saja namaku:
Suto." "Suto Sinting, bukan?"
"Benar. Tapi... sayang
sekali kakekmu tidak mau percaya."
"Itulah yang membuatku
sedih, ia terpengaruh oleh cerita palsu si Ratu Cendana Sutera tentang Pendekar
Mabuk yang mencuri kitab pusaka. Sudah kubilang, itu tidak mungkin. Tapi dia
masih ngotot, dan aku tak berani
membantahnya lagi. Karenanya saat ia pergi mencari Pendekar Mabuk, kuikuti dari
belakang agar jika terjadi sesuatu aku bisa membantunya," gadis itu bicara
dalam bisik-bisik, dan Suto Sinting pun menimpali dalam bisikan sehingga mereka
membutuhkan jarak cukup dekat, tak ada satu langkah.
"Apakah kau percaya betul
bahwa aku Suto Sinting, si Pendekar Mabuk Itu?"
"Sangat percaya, karena
aku ingat betul wajahmu saat di Bukit Sendang Keramat itu. Sampai sekarang aku
tak bisa lupakan."
"Tapi aku tak membawa
bumbung tuak, dan itulah yang membuat kakekmu tidak percaya."
"Tapi aku percaya, dan
biarlah kakek tidak percaya. Justru kalau dia percaya nanti kau ditangkapnya.
Aku tak ingin hal itu terjadi. Sebab aku
tahu, Ratu Cendana Sutera itu sebenarnya bukan orang baik-baik. Dia licik dan
keji. Kakek pun sebenarnya tak suka, tapi karena merasa berhutang budi, mau tak
mau ia bersikap baik kepada Ratu Cendana Sutera. Kumohon kau jangan marah
kepada kakekku. Jangan lawan ia walau nantinya dia tahu kau adalah Pendekar
Mabuk."
"Jika aku melawannya, apa
yang kau lakukan?" "Entahlah. Yang jelas aku akan sedih. Kau nanti
akan
celaka, karena kakekku berilmu
tinggi."
Kusir Hantu berhenti dekati
mereka dalam jarak tiga langkah, ia bertolak pinggang sebelah sambil geleng-
geleng kepala dan berkata,
"Weeeh... ada orang tua
tarung kok malah ngobrol berduaan! Dasar anak muda, tak kenal masa prihatin
sedikit pun."
Mereka cengar-cengir tersipu,
sang Pendekar Mabuk cepat buang pandangan sembunyikan senyum malunya.
Sang cucu cantik segera
berkata, "Kek, mengapa kau tak mau percaya bahwa dia adalah Suto Sinting,
si Pendekar Mabuk itu?"
"Ah, itu jelas tak
mungkin. Pendekar Mabuk tidak setinggi dia ilmunya. Pepatah mengatakan:
'Bagaikan bumi dengan langit', tak mungkin Pendekar Mabuk menjadi satu dengan
dia sebelum ada kiamat datang."
Pematang Hati hempaskan napas
membuang rasa jengkelnya sambil kedua tangannya melemas. Kusir Hantu segera
berkata,
"Aku akan mencarinya ke
selatan. Mungkin di sana akan kutemukan Pendekar Mabuk. Kuharap kau pulang saja
ke Lembah Seram, Cucuku. Karena "
"Aku akan mengantarkannya
pulang," sahut Suto Sinting. .
"Oh, itu gagasan yang
bagus!" ujar Kusir Hantu sambil menyeringai lucu. "Tolong jaga cucuku
baik- baik, Nak. Jangan boleh seekor semut pun menggigitnya."
"Bagaimana jika aku yang
menggigitnya?" tanya Suto berseloroh.
"Kau akan kugantung kalau
sampai berani menggigit cucuku!"
"Aku akan ikut dalam satu
gantungan," sahut sang cucu. Kini sang Kakek bersungut-sungut sambil
melengos.
"Dasar bocah-bocah
puber!" gerutunya sambil melangkah, lalu berhenti setelah tiga langkah dan
berkata,
"Aku pergi sekarang,
Pematang Hati. Doakan supaya kakek bisa cepat bertemu dengan Pendekar Mabuk,
ya?" "Sampaikan salamku untuk Pendekar Mabuk palsu,
Kek."
Agaknya ucapan terakhir sang
cucu tidak didengarnya. Kusir Hantu segera mencabut cambuknya. Cambuk pendek
dilecutkan ke depan dengan sentakan pelan. Tarrr...! Asap mengepul bersama
percikan bunga api kecil di ujung lecutannya. Tiba-tiba tubuh Kusir Hantu naik
sedikit, kakinya tidak menyentuh tanah. Kemudian tubuh itu melayang bagai
terseret sesuatu dengan cepat. Wuuusss...! Dalam keadaan berdiri setengah
merendahkan badan, Kusir Hantu pun pergi seakan menunggang seekor kuda yang tak
bisa dilihat oleh mata telanjang.
Tar, tarr...!
Suto Sinting geleng-gelengkan
kepala. "Benar-benar tinggi ilmu kakekmu itu," ujarnya kepada
Pematang Hati sambil pandangi kepergian si Kusir Hantu yang tak menyentuh tanah
itu.
"Memang begitulah keadaan
dirinya. Karena itu aku tak boleh mencari guru lain, sebab seluruh ilmunya kelak akan diturunkan kepadaku dan
kepada adikku; si Manis Mahligai Sukma."
"Sayang sekali dia keras
kepala, tetap tak mau percaya bahwa akulah Pendekar Mabuk yang dicarinya."
"Yahh... sifat kakekku memang begitu. Kalau sudah percaya kepada satu
orang, sulit untuk mempercayai orang lain. Hanya ada satu orang yang bisa
mengubah
apa yang sudah
dipercayainya."
"Siapa orang yang kau
maksud itu?" ' "Kakaknya sendiri; Eyang Sanupati."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi
karena merasa pernah mendengar nama Sanupati. Lalu, ia bertanya dengan nada
sedikit ragu,
"Maksudmu, Ki Sanupati
yang dikenal dengan nama si Tua Bangka itu?"
"Betul!" jawab
Pematang Hati dengan bersemangat dan tampak girang. "Kau kenal dengan
beliau?"
Suto Sinting tersenyum geli.
"Bukan hanya kenal sepintas, tapi kenal baik! Dulu aku pernah membantunya
dalam perkara sebuah pusaka yang sempat menggegerkan rimba persilatan,"
kata Suto menjelaskan, sambil terbayang wajah si Tua Bangka yang juga bernada
konyol seperti Kusir Hantu tadi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Kapak Setan Kubur"). Suto menjadi geli dalam hatinya setelah tahu si
Kusir Hantu adalah adik dari si Tua Bangka.
"Jika kau ingin kakekku
percaya tentang dirimu yang sebenarnya, temuilah Eyang Sanupati, biar beliau
yang jelaskan siapa dirimu kepada kakekku." .
"Baik. Tapi aku tak tahu
di mana beliau sekarang. Satu hal lagi yang perlu kau ketahui, yang terpenting
bagiku saat ini adalah mencari bumbung tuakku yang terpental jatuh pada saat
aku lakukan pertarungan dengan Lantang Suri."
"Oh, kau bertarung dengan
Lantang Suri, orangnya Ratu Cendana Sutera itu?"
"Ya, tapi dia telah
dikirim ke neraka oleh sahabatku; si Merpati Liar."
"Ooh... kalau begitu,
orang-orang Selat Bantai memang memusuhimu," gumam si gadis sambil
termenung sedih. "Mengapa mereka memusuhimu, Suto?"
"Sebaiknya kujelaskan
sambil mencari bumbung tuakku. Kau setuju, Pematang Hati?!"
Gadis itu buru-buru
sunggingkan senyum. "Sangat setuju!" Ia tampak bersemangat, ceria dan
cukup lincah. Hal itu membuat Suto Sinting merasa lebih bersemangat dalam
menyusuri hutan menuju tempat pertarungannya dengan Lantang Suri dulu. Suto
Sinting pun bersemangat menceritakan perkara sebenarnya yang membuatnya diburu
oleh Ratu Cendana Sutera.
Hati yang riang, mata yang
sering beradu lirikan cukup mendebarkan, semua itu membuat Suto Sinting lupa
pada kelesuannya yang tak menemukan tuak dalam beberapa waktu lamanya. Pematang
Hati yang cantik ibarat tuak kedua bagi Suto Sinting.
Sayang sekali langkah mereka
dan keceriaan mereka harus terhenti karena kemunculan seseorang yang menghadang
di pertengahan jalan. Pendekar Mabuk sedikit terperanjat melihat orang tersebut
berdiri menghadang langkah, dan Pematang Hati kerutkan dahi karena merasa heran
melihat orang itu sengaja berdiri menghadang langkahnya.
*
* *
5
TERNYATA bukan hanya satu
orang yang menghadang perjalanan Suto dan Pematang Hati, melainkan dua orang.
Hanya saja, yang satu ada di atas pohon membidikkan anak panahnya yang siap
dilepaskan ke arah Suto. Mata si Pendekar Mabuk hanya melirik sebentar orang
yang ada di atas pohon, lalu berlagak tidak melihatnya.
Mereka adalah dua wanita muda
berambut sama panjang, sama-sama dikepang kuda. Yang di atas pohon mengenakan
pakaian biru gelap, dengan sabuk merah mengikat bajunya yang tanpa lengan itu.
Ia mengenakan ikat kepala dari rantai emas tiruan berbandul batu merah bening
sebesar melinjo di tengah keningnya. Sedangkan yang di bawah pohon mengenakan
baju tanpa lengan berwarna kuning gading, sama dengan warna celananya.
Kepalanya mengenakan ikat dari lempengan logam perak berhias batu-batuan
warna-warni.
Mereka sama-sama punya wajah
cantik dan mata nakal. Tubuh mereka sama-sama sekal dengan belahan dada seakan
sengaja dipamerkan bagian atasnya, tampak menggunduk sekal. Sebuah pedang
terselip di punggung si baju kuning gading itu.
"Mengapa dia menghadang
kita?" bisik Pematang Hati.
"Entahlah. Apakah kau
kenal dengan mereka?" "Mereka orang Selat Bantai."
"Juga yang di atas pohon
itu?" bisik Suto, dan Pematang Hati melirik ke atas sebentar lalu menjawab
dalam bisikan,
"Ya. Yang di atas kukenal
bernama si Bunga Ranjang, dan yang berbaju kuning di depan kita itu kukenal
bernama Mawar Rimba. Mereka adalah pengawal-pengawal pribadi Ratu Cendana
Sutera yang hanya ditugaskan keluar istana jika dalam keadaan sangat
terpaksa."
"Kalau begitu, biarlah
kuhadapi sendiri mereka. Kau bersiaga saja, jangan sampai kena sasaran,"
bisik Suto Sinting kemudian maju selangkah dengan tetap tenang, walau dalam
hatinya sempat mengeluh,
"Sayang sekali tak ada
bumbung tuak di tanganku. Badanku sedikit lemas karena lama tak minum tuak.
Hmmm... tapi biarlah, kucoba hadapi dengan tidak berpikir tentang tuak
dulu!"
Mawar Rimba menyapa lebih dulu
karena merasa risi dikasak-kusuki oleh kedua orang yang dihadangnya.
"Kalau tak salah pandang, kau adalah cucu si Kusir Hantu yang bernama
Pematang Hatil"
"Ya, benar! Aku cucunya
Kusir Hantu!" jawab Pematang Hati dengan ketus, ia menampakkan sikap
beraninya, seakan ia ingin perlihatkan sikap memihak kepada Suto Sinting.
Mawar Rimba berkata dengan
tenang lagi, "Kalau begitu kaulah orang yang berhasil menangkap Pendekar
Mabuk, si pencuri kitab pusaka itu, Pematang Hati. Kakekmu pasti akan bangga
padamu."
"Tidak. Pendekar Mabuk
bukan pencuri. Aku tak percaya, karenanya aku tak akan menangkap Pendekar Mabuk
untuk diserahkan kepada ratumu, Mawar Rimba!"
Sungging senyum tipis di bibir
elok Mawar Rimba merupakan senyum sinis yang meremehkan ketegasan Pematang
Hati. Si cucu Kusir Hantu itu tambahkan kata setelah melirik Suto sebentar,
"Mungkin aku akan
menangkap pemuda ini untuk diriku sendiri."
Suto Sinting agak terperanjat
dan menggerutu dalam hatinya, "Gila ini anak. Ngomongnya asal nyeplos
saja?!"
Senyum sinis si Mawar Rimba
semakin mekar, ia melangkah ke kiri sedikit sambil ucapkan kata bernada dingin.
"Kau kelewat berani
Pematang Hati."
"Kenapa takut?" ujar
Pematang Hati dengan tengil. "Kuingatkan padamu agar jangan coba-coba
berusaha memiliki Pendekar Mabuk! Jika kau masih bertujuan demikian, maka itu
berarti kau berhadapan dengan Ratu Cendana Sutera. Sama saja kau serahkan nyawa
padaku, sebab aku diutus untuk membawa pulang Pendekar Mabuk ke Istana Selat
Bantai!"
Sambil maju dua langkah dan
berlagak tengil, Pematang Hati berkata ketus,
"Enak saja! Yang
mendapatkan aku kok yang mau memiliki Ratu Cendana Sutera?! Apa kau tak
bayangkan betapa sulitnya menundukkan dia?" sambil matanya melirik sekejap
ke arah Suto Sinting sebagai ganti menuding pemuda tampan di sebelah kanannya
Itu.
Diam-diam Suto Sinting melirik
ke atas pohon, tampak anak panah geser sedikit, diarahkan kepada Pematang Hati.
"Gawat!" gumam Suto
dalam hatinya, ia semakin pertinggi kewaspadaannya.
Mawar Rimba masih bicara
kepada Pematang Hati, dan kali ini nadanya agak keras.
"Pematang Hati! Jangan
keraskan kepalamu agar kau tak kehilangan nyawa saat ini juga!"
"Biar saja. Kepalaku
memang dari batu!"
"Keparat kau!" geram
Mawar Rimba. Tangannya segera bergerak menuding dengan sentakan cepat.
Wuuutt...!
Bukan sinar yang keluar dari
tangan yang menuding ke arah Pematang Hati itu, melainkan anak panah yang ada
di atas pohon itu segera melesat ke dada Pematang Hati. Zeeeb...!
Taabb...!
Tangan Suto Sinting berkelebat
cepat dan tahu-tahu anak panah itu sudah terjepit di sela jari-jarinya. Tangan
yang kanan segera lepaskan sentilan yang merupakan jurus 'Jari Guntur' itu.
Teess...! Sentilan mengarah ke atas pohon. Bunga Ranjang yang sedang memasang
anak panahnya lagi itu tahu-tahu tersentak dan jatuh dari atas pohon.
"Aaah...!"
Wuk, wuk...! Untung ia bisa
segera kuasai keseimbangan dengan lakukan salto dua kali, sehingga ketika tiba
di tanah kakinya lebih dulu berpijak dengan setengah berjongkok. Tapi ia
terpaksa menahan napas karena ulu hatinya bagai ditendang oleh tenaga sangat
kuat yang tak sempat dilihat kehadirannya itu. Jurus 'Jari Guntur' memang
mempunyai kekuatan tenaga dalam melebihi tendangan seekor kuda jantan, tak
heran jika wajah Bunga Ranjang menjadi pucat seketika.
Mawar Rimba hanya melirik
sebentar ke arah temannya, kemudian pandangi Suto Sinting dengan tajam. Suto
masih menjepit anak panah itu dan ia sengaja sunggingkan senyum ramah yang
menawan hati kepada Mawar Rimba. Seakan ia menertawakan serangan yang
disembunyikan di atas pohon tadi.
Klaakk...! Dengan sekali
sentakkan jari, anak panah itu patah. Suto Sinting agak terperanjat ketika tahu
bagian yang patah dari anak panah itu kepulkan asap biru samar-samar. Hal itu
dapat dipastikan bahwa anak panah tersebut mengandung kekuatan tenaga dalam
yang beracun berbahaya. Suto Sinting segera membuangnya karena tak mau
menghirup asap tersebut.
Tetapi karena angin berhembus
ke arah kirinya, maka asap itu terhirup oleh Pematang Hati secara tak sengaja.
Gadis cantik itu tiba-tiba menggeloyor sambil terbatuk- batuk. Tubuhnya limbung
dan buru-buru ditangkap oleh Suto Sinting yang berwajah tegang seketika.
"Pematang Hati...?! Hei,
sadar, sadar...!"
Pematang Hati hentikan
batuknya, matanya mulai sayu, wajahnya mulai membiru, dan dari pori-pori
kulitnya keluarkan bintik-bintik hitam yang berupa cairan membusuk.
"Celaka! Dia menghirup
asap anak panah tadi? Oh... pasti darahnya telah menjadi busuk seketika!"
Mawar Rimba segera berkata,
"Dia akan mati dalam keadaan berlumur darah hitam yang busuk. Tak ada
seorang pun yang pernah selamat dari ancaman racun 'Asap Kubur'-nya si Bunga
Ranjang!"
"Keji kalian!" geram
Suto sambil tangan kirinya masih memeluk Pematang Hati.
"Pendekar Mabuk,
tinggalkan gadis itu dan ikutlah kami ke Istana Selat Bantai. Kedatanganmu
sangat dirindukan oleh orang-orang Selat Bantai. Kau sangat dibangga-banggakan
sebagai pahlawan besar bagi kami. Ikutlah kami, Pendekar Mabuk," bujuk Bunga
Ranjang dengan mata sayunya sengaja memancarkan pandangan menggoda gairah
bercinta.
"Aku tidak sudi menjadi
penabur benih keturunan pada kalian! Katakan kepada ratumu, aku menantang
pertarungan pribadi di Bukit Perawan Laut! Jika dia bisa mengalahkan diriku,
aku akan bersedia memberikan benihku kepada kalian semua, orang-orang Selat
Bantai!"
"Tidak ada waktu lagi
untuk berlagak seperti itu, Pendekar Mabuk!" ujar Mawar Rimba.
"Waktunya tak akan lama.
Esok malam, kutunggu kedatangan ratu kalian untuk menentukan apakah
perempuan-perempuan Selat Bantai layak mendapat keturunan dariku atau
tidak!"
"Pendekar Mabuk, jangan
paksa kami gunakan kekerasan!" sentak Mawar Rimba
Tapi Sang Pendekar Mabuk tidak
mau hiraukan seruan itu. Ia bergegas ingin membawa pergi Permatang Hati. Namun
tiba-tiba tangan Mawar Rimba berkelebat lepaskan pukulan jarak jauh yang
memancarkan sinar hijau lurus ke arah punggung Suto Sinting. Clapp...!
Pendekar Mabuk cepat berbalik
dan sentakkan tangan kanannya hingga keluarlah sinar ungu dari jarinya sebagai
jurus 'Turangga Laga' yang cukup berbahaya itu. Kedua sinar beradu dan
meledaklah di pertengahan jarak.
Blegaarrr...!
Pendekar Mabuk terpental
sendiri, terpisah dari Pematang Hati. Gadis itu terlempar ke arah lain hingga
tak bisa terjangkau oleh Pendekar Mabuk.
"Uuhkk...!" Pendekar
Mabuk mencoba untuk bangkit, tapi dadanya terasa sesak, seakan mau jebol.
Gelombang ledakan tadi sangat kuat karena jarak ledaknya lebih dekat ke arahnya
ketimbang ke arah Mawar Rimba. "Uhuk, uhuk...!" Pendekar Mabuk
terbatuk-batuk,
dan mengeluarkan dahak darah.
"Ooh... panas sekali dadaku, seperti dipanggang api pelebur besi!"
keluhnya dalam hati sambil pegangi dadanya.
Mawar Rimba hanya tersentak
tiga langkah ke belakang, tapi tak sampai terjatuh, ia segera maju untuk
lakukan serangan lagi setelah melihat Pendekar Mabuk masih bisa berdiri. Tapi
gerakannya tertahan oleh tangan Bunga Ranjang yang merentang menghalanginya.
"Apa maksudmu?"
hardik Mawar Rimba. "Jangan serang lagi dia. Kasihan nanti dia sakit!"
"Dia harus kita lumpuhkan
dulu, baru kita sembuhkan di istana."
"Tapi... tapi aku tak
tega. Dia... dia tak pantas untuk disakiti. Terlalu sayang jika sampai
menderita."
"Aaah...! Minggir
kau!"
Tangan itu disingkirkan dengan
kasar oleh si Mawar Rimba, ia segera maju, namun pundaknya dicekal kembali oleh
Bunga Ranjang.
"Mawar, jangan lukai
dia!"
"Kau ini apa-apaan,
hah?!" bentak Mawar Rimba. "Aku... aku tak tega melihat dia terluka,
Mawar!
Jangan lukai dia lagi. Kasihan
dia, Mawar!"
Plakk...! Tamparan keras pun
dilayangkan ke wajah Bunga Ranjang. Wajah itu sampai tersentak kuat ke samping.
Bunga Ranjang menjadi geram. Maka dihantamnya dada Mawar Rimba dengan pukulan
telapak tangan. Buuhk...! "Heegh...!" Mawar Rimba tersentak mundur dengan
mendelik karena pukulan itu bertenaga dalam cukup tinggi. Bekas pukulan
mengepulkan asap tipis walau tidak meninggalkan noda hangus selain hanya warna
biru memar samar-samar.
"Keparat kau, Bunga...!
Hiaaah...!"
Tendangan cepat melayang ke
arah wajah Bunga Ranjang. Dengan gerakan lincah Bunga Ranjang miringkan badan
dan merendah sehingga ia luput dari tendangan yang mempunyai tenaga dalam besar
juga itu. Hembusan angin tendangan itu akhirnya menghantam sebatang pohon yang
tumbuh di belakang Bunga Ranjang.
Duuurrr...! Pohon itu bergetar
kuat, daun-daunnya berguguran. Bahkan kulit pohon itu terkelupas sebagian bagai
dihantam dengan besi besar.
Bunga Ranjang tak mau celaka
oleh serangan Mawar Rimba, ia segera menyapu kaki temannya itu dengan tendangan
putar bawah. Wuuut...! Tapi Mawar Rimba melenting ke atas dan melepaskan
pukulan tenaga dalamnya tanpa sinar ke arah pundak Bunga Ranjang.
Beet...!
Brruukkk...! Bunga Ranjang pun
jatuh dengan memekik tertahan sampai tak terdengar suaranya. Pundaknya seperti
dihantam memakai kayu balok dengan kuat sekali. Hampir saja tulang di pundaknya
itu patah seketika.
Melihat dua perempuan cantik
yang rata-rata berusia sekitar dua puluh tiga-dua puluh empat tahun itu
bertarung sendiri, Suto Sinting memanfaatkan kesempatan untuk larikan diri.
Tentu saja ia menyambar Pematang Hati lebih dulu, wuuuss...! Gadis yang sudah
tak berdaya dan semakin banyak ditumbuhi cairan hitam kental yang busuk itu
segera dipanggulnya, lalu Pendekar Mabuk melesat tinggalkan tempat tersebut
dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman-nya. Zlaaapp...!
Kedua perempuan itu lanjutkan
perkelahiannya, hingga keduanya sama-sama menderita luka yang cukup berbahaya.
Akhirnya mereka sama-sama hentikan pertarungan setelah Bunga Ranjang berseru,
"Cukup! Lihat, buronan
kita telah lenyap!" "Jahanam!" geram Mawar Rimba memandang ke
arah tempat kosong yang tadi
dipakai berdiri Suto Sinting.
"Ini semua gara-gara kau,
Bunga!" bentak Mawar Rimba dengan sesekali menarik napas karena pukulan
Bunga Ranjang membuat ulu hatinya sakit sekali.
"Jangan salahkan diriku!
Kau terlalu kasar membujuknya. Seharusnya pria seperti dia diperlakukan dengan
lembut, maka semua keinginan kita akan diturutinya, ia akan bertekuk lutut jika
kita sedikit manja dan merengek mesra!" bantah Bunga Ranjang dengan
menahan rasa sakit di punggung dan pundak.
"Pria berilmu seperti dia
tidak bisa dirayu dengan kemesraan, ia tak suka perempuan manja dan
cengeng, ia akan tertarik kepada
perempuan yang tegar, tegas dan sedikit galak! Bodoh amat kau ini,Bunga!"
"Kita berdua sama-sama bodoh!" balas Bunga Ranjang.
Mawar Rimba menarik napas
dalam-dalam, sembuhkan luka dengan hawa murninya. Kemudian ia hembuskan napas
itu lepas-lepas.
"Ke mana arah
kepergiannya?" tanya Mawar Rimba tanpa memandangi Bunga Ranjang.
"Entah ke mana. Aku tak
sempat melihatnya!"
"Sial! Susah-susah
mencarinya begitu ditemukan malahan kita bertarung sendiri?!"
"Kita minta bantuan Nyai
Ratu saja untuk mengetahui di mana dia berada."
"Nyai Ratu sudah panik,
karena dia tak bisa di lacak dengan Ilmu 'Kelana Iblis', apa kau tak tahu hal
itu?!" sentak Mawar Rimba. "Karena itulah kita yang ditugaskan
mencari Pendekar Mabuk! Kalau masih bisa dilacak dengan ilmu, 'Kelana Iblis',
Nyai Ratu tidak akan menugaskan kita, tahu?!" '
"Maksudku, kita menghadap
Nyai Ratu dan sampaikan tantangannya tadi. Dia menantang Nyai Ratu untuk
pertarungan esok malam di Bukit Perawan Laut!"
"Nyai Ratu justru bisa
penggal kepala kita kalau kita pulang dengan tangan hampa."
"Tak mungkin,"
sanggah Bunga Ranjang. "Kita datang membawa kabar baik. Aku yakin Nyai
Ratu akan unggul dalam pertarungan nanti!"
"Kalau begitu, kau saja
yang menghadap Nyai Ratu dan aku akan mengejarnya!" perintah Mawar Rimba,
akhirnya mereka pun berpisah. *
* *
6
LUKA dalam yang diderita
Pendekar Mabuk makin terasa nyeri, pernapasannya pun sangat sesak, ia terpaksa
hentikan langkah dan menurunkan Pematang Hati dari pundaknya. Gadis Itu semakin
menyebarkan bau busuk, kulitnya dipenuhi bercak-bercak cairan hitam dari
darahnya yang membusuk. Bau busuk itulah yang dijadikan bahan lacakan bagi
pengejaran Mawar Rimba.
"Oh, sial betul keadaanku
ini! Tak ada bumbung tuak, tak bisa diatasi lukanya Pematang Hati,"
keluhnya dalam hati sambil susah payah menghela napas.
"Lukaku sendiri terasa
makin memberat. Walau aku bisa bertahan sampai beberapa saat, namun keadaan
Pematang Hati sangat mencemaskan. Nyawanya bisa hilang jika tak segera
terobati. Tadi sudah kucoba salurkah hawa murniku, namun tak bisa dipakai untuk
menawarkan racun tersebut. Gila! Kalau sampai dia mati, si Kusir Hantu bisa
murka padaku. Uuh...! Menyesal juga aku dititipi cucu si Kusir Hantu. Kalau
tahu akan begini jadinya lebih baik aku pergi sendiri tanpa gadis ini. Tapi...
gadis ini bisa membangkitkan semangatku. Sayang kalau kutinggalkan begitu saja
dan. "
Ucapan batin Pendekar Mabuk
terhenti, karena tiba- tiba ia melihat beberapa orang melintas di sebelah
timur, ingin mendaki bukit tanpa nama itu. Pendekar Mabuk cepat berdiri dari
duduknya, memandang penuh harap ke arah beberapa orang itu. Hatinya
berdebar-debar setelah mengetahui mereka adalah Resi Pakar Pantun dan
rombongannya.
"Mereka... mereka ada di
sana! Oh, itu dia bumbung tuakku dibawa oleh si Kadal Ginting! Dan... oh, rupanya, si Awan Setangkai sudah menjadi
besar seperti sediakala?! Apakah... apakah dia disembuhkan oleh Resi Pakar
Pantun? Aku harus segera ke sana! Aku harus bergabung dengan mereka. Tampaknya
di sana juga ada si Bulan Sekuntum dan. "
Wuuutt, buhkk !
"Heeeggh. !" Suto
Sinting terpental ke depan karena
sebuah tendangan kuat
bertenaga tinggi. Tubuhnya terlempar dan jatuh berguling-guling. Seseorang
telah menyerangnya dari belakang, dan orang itu tak lain adalah si Mawar Rimba.
"Uuhk, uuhk,
hooeek...!" Pendekar Mabuk memuntahkan darah kental. Tendangan Mawar Rimba
yang mengenai punggungnya itu ternyata membuat luka dalam yang dideritanya
semakin parah.
Dengan pandangan mata mulai
berkunang-kunang, Suto Sinting mencoba tegakkan kepala, ia memang tak berdiri,
karena lututnya bagai tak bertulang lagi.
Ia hanya bisa berlutut satu kaki, Itu pun dilakukan dengan gemetar.
Wajah cantik si Mawar Rimba dipandangnya dalam keadaan buram.
"Oh, dia...?" Suto
membatin begitu mengenali siapa penyerangnya.
"Tantanganmu kepada Nyai
Ratu hanya sesumbar tanpa arti, Pendekar Mabuk! Melawanku saja kau tak mampu,
apalagi melawan Nyai Ratu," ujar Mawar Rimba dengan bertolak pinggang di
depan Suto Sinting, memunggungi Pematang Hati yang dalam keadaan dibaringkan di
bawah pohon.
"Dengan sangat terpaksa
aku memperlakukan dirimu seperti ini, karena kau membangkang bujukan halusku,
Pendekar Mabuk! Sekarang kau mau apa lagi, hah? Tak ada lagi dayamu untuk
bertingkah di depanku! Kau harus kubawa
ke Istana Selat Bantai!"
Mawar Rimba hendak lepaskan
totokan agar mempermudah membawa tubuh Suto Sinting. Tapi baru saja ia
membungkuk, tiba-tiba terdengar suara yang menyapanya dengan keras.
"Jangan sentuh dia!"
Seruan itu cukup mengejutkan
Mawar Rimba, ia segera palingkan pandang kepada si pemilik suara. Ternyata
seorang perempuan cantik bermata dingin dan berhidung mancung. Rambutnya
terurai lepas sepunggung, tanpa diikat sedikit pun. Ia mengenakan pakaian ketat
terusan dari atas ke bawah berwarna biru terang. Lengannya pun tertutup pakaian
ketat itu, hingga karena ketatnya maka bentuk tubuhnya yang sekal dan montok
itu terlihat jelas. Di lengan perempuan cantik berusia sekitar tiga puluh tahun
itu terdapat sepasang pisau kembar, diikat dengan tali karet.
Dari wajah cantiknya yang
berkesan sedingin salju itu, Pendekar Mabuk masih bisa mengenali perempuan itu
sebagai orang yang pernah bekerjasama dengannya dalam peristiwa gegernya pusaka
kuno; Panji-panji Mayat. Perempuan itu tak lain adalah Merpati Liar, yang
mempunyai kekuatan pada matanya.
Rupanya si Mawar Rimba
mengenal sosok Merpati Liar, sehingga dengan ketusnya ia berseru kepada Merpati
Liar,
"Perempuan liar..., apa
maksudmu melarangku menyentuhnya?!"
"Tak perlu kau tahu
maksudku. Tinggalkan dia dan jangan sekali-kali mencoba menyentuhnya sebelum
kau mampu mencabut nyawaku, Mawar Rimba!"
"Laknat kau, Merpati
Liar! Rupanya kau masih suka ikut campur urusanku, hah?!" Mawar Rimba
melangkah dekati Merpati Liar. Ia segera mencabut pedangnya yang ada di
punggung. Sreettt..!
"Aku tak punya waktu
untuk bermain-main. Kucabut nyawamu secepat mungkin, Merpati Liar!"
Seet, weerrr...!
Merpati Liar kibaskan
kepalanya ke kiri. Tiba-tiba pedang Mawar Rimba terlempar dan menancap di salah
satu batang pohon. Jrrub...! Mawar Rimba sempat terbengong sesaat, ia segera
sadar bahwa Merpati Liar mempunyai kekuatan pada matanya yang bisa menggerakkan
benda apa pun yang dipandangnya. Jurus 'Kendali Netra' merupakan jurus yang
selalu digunakan pertama menghadapi lawan.
Mawar Rimba tenang kembali, ia
biarkan pedangnya menancap di pohon, tapi ia segera mengibaskan kedua tangannya
bagaikan menghalau burung di sawah.
Wuuuss...!
Asap beracun menyebar ke
mana-mana. Merpati Liar segera tutup hidung dengan tangan kiri dan lakukan
lompatan ke arah samping, ia sempat berseru kepada Suto Sinting,
"Jangan bernapas!"
Suto Sinting cepat tanggap
terhadap seruan tersebut, ia menahan napas sambil mencoba merangkak dekati
tubuh Pematang Hati yang tak bergerak dari tadi itu.
Ketika sampai di samping
Pematang Hati, ia melihat tubuh Mawar Rimba melayang ke samping dan membentur
pohon dengan kuatnya. Brruuss...!
Terdengar pula pekik tertahan dari si Mawar Rimba yang pundaknya membentur pohon dengan telak.
"Ouh...!"
Gadis itu cepat gulingkan
badan beberapa kali untuk hindari serangan mata Merpati Liar. Saat gerakan
bergulingan berhenti, tangannya menyentak ke depan dengan dua jari mengeras
lurus dan salah satu kaki berlutut. Suuttt...! Claaapp...!
Selarik sinar biru melesat
dari ujung kedua jari itu. Sinar biru tersebut menyebar menjadi bunga api yang
menyergap tubuh Merpati Liar. Tetapi kedua jari Merpati Liar juga segera
berkelebat melepas sinar merah yang merupakan jurus 'Aji Brangaspati' itu.
Clappp...!
Percikan bunga api diterjang
sinar merahnya Merpati Liar, maka terjadilah sebuah ledakan yang menggelegar dengan
dahsyatnya.
Blegaaarr...!
Gelombang hentakan begitu
kuatnya, sehingga dua pohon besar di dekat terjadinya ledakan itu menjadi
tumbang seketika. Gemuruh suara tumbangnya pohon menggema memenuhi hutan
tersebut. Tanah pun terguncang beberapa saat lamanya, sebagian ada yang
terbelah retak. Sedangkan daun-daun di sekitar tempat itu berhamburan ke
mana-mana.
Ledakan keras yang
mengguncangkan bumi itu menjadi pusat perhatian rombongan Resi Pakar Pantun.
Tetapi ada pihak lain yang juga tertarik dengan ledakan dahsyat itu. Maka
beberapa orang pun segera menghambur berlarian menuju pusat terjadinya ledakan
tadi.
Pada saat itu, tubuh Mawar
Rimba terpelanting ke belakang, ia
berusaha untuk tidak jatuh, tetapi kekuatan mata dari Merpati Liar telah
membuatnya terangkat dan terlempar ke samping kiri. Wuuuss...!
Tubuh itu menghantam pohon
besar yang tadi nyaris ikut tumbang. Bruukkk...!
"Huaahkk...!" Mawar
Rimba terpekik dengan mata terpejam kuat-kuat menahan rasa sakit.
Kerasnya benturan itu membuat
tubuh Mawar Rimba memantul dan jatuh tepat di atas pohon yang patah dan tumbang
tadi. Patahan pohon itu mencuatkan tonggak- tonggak kayu runcing, sehingga
ketika tubuh Mawar Rimba jatuh di atasnya, kayu-kayu runcing itu pun menembus
iga, ulu hati, dada serta bagian bawah perutnya. Jruusss...!
"Oh...?!" Suto
Sinting palingkan wajah dengan memejam, karena ngeri menyaksikan tubuh Mawar
Rimba yang dihujam kayu-kayu runcing itu.
"Heaah..!" Mawar
Rimba masih berusaha untuk tetap bangkit walau keadaannya sudah sangat parah.
Sentakan tangannya membuat tubuhnya melesat ke atas dan terlepas dari kayu-kayu
runcing itu. Wuuuss...!
Dalam keadaan melambung di
udara dan darah bercucuran, Mawar Rimba mencoba lakukan serangan tenaga
dalamnya dengan melepaskan sinar kuning besar ke arah Merpati Liar. Weeess...!
Merpati Liar sentakkan ujung
jari kakinya, maka tubuh pun metesat ke samping dengan cepat sekali. Weeess...!
Sinar kuning itu menghantam pepohonan di sebelah barat.
Jlegaarrr...! Lima pohon pecah
seketika dihantam sinar kuning besar itu.
Tetapi sebelum Mawar Rimba
mendaratkan kakinya ke tanah, Merpati Liar telah lakukan serangan lagi
menggunakan kekuatan matanya. Wesss...! Tubuh gadis berpakaian kuning itu
terlempar kembali ke belakang dengan sangat kuatnya. Bahkan tubuh itu bagai
melambung naik sampai akhirnya menghantam sebatang pohon yang patah dahannya
akibat ledakan pertama tadi.
Jrruubb...!
Sisa patahan dahan membentuk
kayu runcing sebesar lengan. Tubuh yang melayang cepat itu akhirnya tertancap
pada kayu runcing tersebut tanpa ampun lagi. Kayu itu menembus dari punggung
sampai ke dada, sehingga tubuh Mawar Rimba tergantung di sana. Ia tak bisa
memekik lagi, hanya berusaha untuk melepaskan diri dari kayu runcing tersebut.
Namun tenaganya semakin lemah, darahnya semakin mengucur banyak, dan akhirnya
ia terkulai lemas. Kejap berikutnya ia tampak hembuskan napas terakhir dalam
keadaan tetap tertancap di atas pohon tersebut.
Merpati Liar masih tampak
segar ketika seorang lelaki tua berambut putih pendek, mengenakan pakaian
abu-abu muncul di tempat itu. Tokoh tua yang berusia sekitar tujuh puluh tahun
itu segera terperanjat melihat kematian Mawar Rimba. Lebih terperangah lagi
saat memandangi Suto Sinting yang duduk terkulai di samping seorang gadis yang
terbaring tanpa gerakan sedikit pun itu.
Tokoh tua bertubuh kurus,
dengan gigi depan tinggal dua itu segera dekati Suto Sinting setelah pandangi
Merpati Liar sesaat, ia bukan menyapa Suto Sinting, melainkan menyapa gadis
yang terbaring karena terkena racun 'Asap Kubur'-nya si Bunga Ranjang tadi.
"Pematang Hati...?! Oh,
kenapa kau, Manis...?!"
Lelaki itu hanya dipandangi
oleh Suto Sinting dengan sorot pandangan mata sayu. Tapi akhirnya Suto pun
menyapa tokoh berpakaian abu-abu yang tak berkumis dan tak berjenggot itu.
"Tua Bangka... syukurlah
kau datang," suara Suto Sinting lemah sekali. Merpati Liar tampak cemas
dan segera mendekati Pendekar Mabuk. Tokoh tua itu tak lain adalah kakak si
Kusir Hantu yang sering dipanggil Pematang Hati dengan sebutan Eyang Sanupati
alias si Tua Bangka.
"Apa yang terjadi dengan
cucu adikku ini?!" tanyanya kepada Suto Sinting.
"Racun 'Asap Kubur'-nya
si Bunga Ranjang terhirup olehnya saat si Bunga Ranjang dan Mawar Rimba ingin
menangkapku! Uuhkk...!"
"Baringkan tubuhmu, biar
kusalurkan hawa murniku!" ucap Merpati Liar dengan cepat, seakan sangat
takut kehilangan nyawa Suto,
"Celaka! Apa yang
kukhawatirkan benar-benar terjadi!" kata Tua Bangka. "Lalu di mana si
Kusir Hantu, adikku itu?!"
"Entah! Dia... dia pergi
mencari Pendekar Mabuk. Dia tak percaya kalau aku adalah Pendekar Mabuk. Dia
ingin tangkap aku, Tua Bangka! Tapi dia tak tahu siapa aku. Bodoh sekali adikmu
itu."
"Memang dia bodoh!"
gerutu Tua Bangka. "Tapi kakaknya tidak bodoh!"
Merpati Liar salurkan hawa
murninya melalui telapak tangan yang ditempelkan ke dada Suto. Telapak tangan
itu lama-lama berasap dan Suto menyeringai karena dadanya terasa ditekan oleh
balok es yang dinginnya bukan main.
"Hei, kalau tak salah kau
si Merpati Liar, bukan?" ujar Tua Bangka, tapi tak mendapat jawaban dari
Merpati Liar maupun dari Suto Sinting, ia berkata lagi kepada Merpati Liar
dengan nada panik. "Hei, Sembuhkan si Pematang Hati ini lebih dulu!
Lukanya lebih parah dari luka
si Suto Sinting!"
Merpati Liar hentikan
pengobatan sebentar, kemudian berkata dengan nada dingin,
"Racun 'Asap Kubur' tak
ada obatnya! Yang mempunyai obat penawar racun itu hanya si Bunga Ranjang
sendiri."
"Memang benar, aku sudah
menduga kau akan berpendapat begitu."
"Mengapa kau masih
menyuruhku mengobati gadis itu?"
"Yah kupikir... kupikir
setahuku dulu kau pernah bersahabat dengan Ratu Cendana Sutera. Siapa tahu kau
tahu cara melumpuhkan racun 'Asap Kubur' itu!" ujar si Tua Bangka dengan
pandangan mata serba bingung.
"Persahabatan kami putus
karena dia mengambil aliran sesat!" kata Merpati Liar, kemudian lakukan
penyembuhan lagi terhadap diri Pendekar Mabuk.
Dalam keadaan si Tua Bangka
cemas itu, tiba-tiba ia terperanjat melihat kedatangan Resi Pakar Pantun dan
rombongan. Bulan Sekuntum dan Awan Setangkai sama-sama bergegas hampiri Suto
Sinting.
"Suto...?!" mereka
menyapa tegang secara bersamaan tanpa disengaja.
"Awan... Awan
Setangkai... kau sudah menjadi besar lagi rupanya. Siapa yang memulihkan
keadaanmu, Awan?!"
"Ak... aku... aku pulih
karena kami tadi singgah di sebuah desa. Kami mengisi bumbung tuakmu dengan
tuak dari kedai yang kami singgahi. Aku haus dan minum tuak bumbungmu itu,
ternyata tuak itu membuatku berubah bentuk semula. Tidak sekecil kemarin."
"Ooh... tuak? Mana
bumbung tuakku? Mana...?!" Suto Sinting bersemangat, bahkan ia paksakan
diri untuk bangkit. Kadal Ginting segera mendekat dan sodorkan bumbung tuak
itu.
"Ini bumbung tuakmu,
Suto! Percayalah, tak ada seorang pun yang mau percaya bahwa aku adalah
Pendekar Mabuk, walau aku membawa-bawa bumbung tuakmu," kata Kadal
Ginting, lalu kepalanya disodok tangan Resi Pakar Pantun dari belakang hingga
terantuk ke depan.
"Hanya orang gila yang
percaya kau Pendekar Mabuk! Ada-ada saja bicaramu!"
Kadal Ginting menyingkir
sambil nyengir.
Pendekar-Mabuk segera
menenggak tuaknya beberapa kali. Ia merasa segar dan tenaganya mulai pulih
kembali. Pematang Hati segera diberi minum tuak itu dengan cara paksa. Mulut
gadis itu dibuka oleh Tua Bangka, lalu tuak dikucurkan oleh Suto Sinting.
Sebagian tuak tertelan, sebagian lagi meluber ke sekitar wajah Pematang Hati.
Gadis itu tersedak dan
terbatuk-batuk. Tapi hal itu justru membuat Tua Bangka menjadi ceria, karena ia
yakin jika Pematang Hati bisa terbatuk-batuk, berarti tuak sudah tertelan dan
racun 'Asap Kubur' akan dapat ditawarkan. "Aku mendapat kabar dari
Mahligai Sukma, adik si Pematang Hati ini, tentang apa yang akan dilakukan oleh
Kusir Hantu," ujar Tua Bangka. "Aku menjadi cemas sekali, sebab aku
tahu si Kusir Hantu pasti salah sangka dan menjadi bermusuhan dengan Pendekar
Mabuk."
"Kelihatannya memang
begitu," ujar Resi Pakar Pantun. "Aku sudah jelaskan duduk
persoalannya, tapi ia tidak mau percaya dengan omonganku, juga tak mau percaya
dengan penjelasan mereka ini."
Merpati Liar diam saja,
pandangi si Pematang Hati yang mulai sadar. Cairan hitam yang keluar dari pori-
porinya dan berbau busuk itu mulai mengering, bagai meresap atau menguap
dihembus angin. Akhirnya gadis itu menjadi sehat dan bersih, seperti tak pernah
mengalami luka racun apa pun.
Awan Setangkai melirik Merpati
Liar. Agaknya keduanya pernah terjadi permusuhan sebelum Awan Setangkai
berpihak kepada Suto Sinting. Pandangan mata mereka memancarkan dendam lama,
sehingga Awan Setangkai segera menyapa dengan ketus kepada Merpati Liar.
"Apa lihat-lihat?! Mau
teruskan perkara lama?!" "Kalau aku mau teruskan perkara lama sudah
kuhancurkan tubuhmu waktu kau
jumpa denganku dalam keadaan menjadi kecil," ujar Merpati Liar membatin.
Merpati Liar yang dulu pernah
bertarung dengan Awan Setangkai gara-gara tak diizinkan temui Ratu Cendana
Sutera, kini hanya sunggingkan senyum tipis dan berkesan dingin sekali. Pada
waktu itu, Pematang Hati sedang ceritakan keadaan kakeknya kepada Eyang
Sanupati alias si Tua Bangka.
Awan Setangkai melirik lagi
kepada Merpati Liar. Tiba-tiba kepala Merpati Liar mengibas cepat, dan tubuh
Awan Setangkai terpelanting ke belakang, jatuh berjumpalitan di tanah.
"Setan kau!" bentak
Awan Setangkai dengan berang. Merpati Liar siap lepaskan serangannya lagi. Tapi
Resi Pakar Pantun segera melerai dengan berdiri di pertengahan jarak mereka.
"Hei, hei... apa-apaan
kailan ini? Seperti anak kecil saja!"
"Dia masih ingin teruskan
pertarungan lama kami," kata Awan Setangkai dengan menuding ketus kepada
Merpati Liar.
"Kau yang menghendakinya,
dan aku hanya menuruti keinginan batinmu!"
"Majulah kalau kau ingin
hancur di tanganku!" sentak Awan Setangkai.
"Ssst... ssstt...!"
Tua Bangka ikut melerai. "Kalau mau lanjutkan pertarungan lama, nanti saja
jika urusan ini sudah selesai!"
"Minggir kau, Pak
Tua!" sentak Awan Setangkai kepada Tua Bangka, ia ingin lakukan serangan
kepada Merpati Liar. Tapi sang Pendekar Mabuk cepat berseru dari tempatnya,
"Siapa ingin lakukan
pertarungan di sini?! Lawanlah aku dulu. Kalau bisa tumbangkan aku, kalian
boleh adu kesaktian!"
Suara bernada menghardik itu
membuat Awan Setangkai kendorkan urat tangannya dan bersungut- sungut dalam
gerutuan tak tentu. Bulan Sekuntum menepuk-nepuk pundak Awan Setangkai agar
kemarahan gadis itu mereda, sedangkan Kadal Ginting mencoba membujuk Merpati
Liar dengan ucapan tak jelas dan tak dipedulikan oleh Merpati Liar sendiri.
Tapi perempuan cantik bermata dingin itu segera menyingkir ke samping Pematang
Hati.
Cucu si Kusir Hantu itu ajukan
tanya kepada Tua Bangka,
"Eyang, sekarang si
Mahligai Sukma ada di mana?" "Mahligai kusuruh mencari kakekmu dan
menyampaikan pesanku agar ia
tidak bertindak gegabah sebelum bertemu denganku!" jawab Tua Bangka agak
wibawa, walaupun biasanya bersifat sedikit konyol.
Resi Pakar Pantun segera
berkata kepada Tua Bangka.
"Bagaimana kalau kita
temui si Cendana Sutera?! Kita berdua yang menemuinya dan mendesaknya agar
membatalkan niatnya untuk menggunakan Suto Sinting sebagai pria penabur benih
ke turunan itu!"
"Tak perlu," sahut
Suto yang tampak lebih gagah dari sebelum meminum tuaknya.
"Aku sudah lontarkan
tantangan kepada Ratu Cendana Sutera. Kami akan bertarung secara pribadi di
Bukit Perawan esok malam."
"Gila kau!" gumam
Resi Pakar Pantun. "Bukit Perawan yang mana? Yang di darat atau yang di
laut?" tanya Tua Bangka.
"Bukit Perawan
Laut!" jawab Suto tegas dan jelas. "Aku yakin Ratu Cendana Sutera
akan datang dan menyukai tantanganku itu. Sebab jika aku kalah, aku bersedia
menjadi budaknya, dan jika dia yang kalah maka dia harus batalkan niatnya
mengambilku sebagai pria pembenih!"
"Kalau begitu, biar aku
yang maju melawannya!" sahut Merpati Liar.
"Tidak! Ini urusan
pribadiku!" sergah Pendekar Mabuk.
Awan Setangkai menimpali,
"Sebaiknya, biarkan aku yang menghadapi ratu-ku sendiri. Aku tahu
bagaimana cara menumbangkannya!"
"Kuharap kau beristirahat
saja, Awan Setangkai. Aku tak ingin melibatkan siapa pun, karena aku pribadi
yang menantang Ratu Cendana Sutera secara pribadi pula!"
"Agaknya pertarungan ini
adalah pertarungan terhormat bagimu, Suto!" ujar Resi Pakar Pantun.
"Setidaknya untuk
menunjukkan kepada Ratu Cendana Sutera, bahwa aku bukanlah seekor babi hutan
yang harus dikejar-kejar ke sana-sini, Resi!"
Kadal Ginting ikut menyahut,
"Hebat!" ia acungkan jempolnya.
"Apanya yang hebat?!"
sergah sang Resi. "Watak ksatria Suto mirip saya, Eyang."
"Apanya yang mirip?"
Bulan Sekuntum bersungut- sungut dalam gerutuan. "Setidaknya, aku pernah
membawakan bumbung tuaknya. Jadi antara aku dan Suto punya sedikit kesamaan,
yaitu sama-sama pernah membawa bumbung sakti itu."
Suto Sinting sunggingkan
senyum bersama senyum yang lain. Ia menepuk pundak Kadal Ginting dan berkata,
"Terima kasih atas jasamu
membawakan bumbung tuakku. Tapi ketahuilah, seandainya bumbung tuak ini tidak
kau bawa, ia akan datang sendiri padaku, karena bumbung ini adalah jelmaan dari
Eyang Guru-ku!" (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang Guntur Biru").
"Kalau begitu," kata
Tua Bangka kembalikan suasana ke masalah semula,"... kau perlu istirahat
dulu, Suto. Kau butuh tenaga dan kesiapan menghadapi pertarunganmu dengan Ratu
Cendana Sutera esok malam!"
Bulan Sekuntum segera berkata,
"Tak jauh dari sini ada sebuah pondok milik kenalanku; seorang tabib yang
pernah gagal mengobati Ratu-ku; Ratu Dewi Giok! Tapi kami tetap berhubungan
baik. Kurasa, beliau bersedia menampung kita untuk beristirahat, sampai esok
malam kita akan antar Suto ke Bukit Perawan Laut."
"Baik. Itu gagasan yang
baik!" kata Tua Bangka. "Kita ke sana sekarang saja, selagi masih ada
sisa matahari senja!"
"Aku tak ikut!"
cetus Merpati Liar. Semua memandang Merpati Liar. Sebelum ada yang bertanya
penyebabnya, Merpati Liar berkata lebih dulu, "Aku akan mencari adikku, si
Angin Betina!"
"O, iya...!" Suto
Sinting teringat Angin Betina. "Aku berpisah dengannya ketika aku akan
membebaskan Elang Samudera. Kurasa ia juga sedang mencarimu!"
Suto Sinting sengaja tidak
menceritakan tentang kepergian Angin Betina karena cemburu terhadap si Payung
Serambi, takut membangkitkan kecemburuan di pihak lain.
*
* *
7
MALAM itu, Pendekar Mabuk dan
rombongan tinggal di rumah tabib kenalan Bulan Sekuntum yang dikenal dengan
nama Tabib Pualam.
Ia seorang tabib lelaki
berusia sekitar tujuh puluh tahun, berbadan kurus, berjenggot panjang sedada
warna abu-abu, sama seperti rambutnya yang berwarna abu-abu panjang sepundak
tanpa ikat kepala. Tabib Pualam termasuk orang bertubuh jangkung, dan gemar
mengenakan jubah coklat tua.
Ia menerima Suto dengan penuh
hormat, bahkan di depan beberapa orang yang hadir di pondoknya itu, Tabib
Pualam terang-terangan mengatakan,
"Ilmu ketabibanku belum
seberapa jika dibandingkan Pendekar Mabuk. Biar masih muda, tapi keampuhan tuak
saktinya sering menjadi bahan percakapan para tabib lainnya. Sebab itulah, hari
ini aku merasa mendapat kehormatan besar
kedatangan tamu agung yang dikenal dengan nama Tabib Darah Tuak "
Suto Sinting sunggingkan
senyum ramah namun tampak tetap rendah hati. Ia berkata kepada Tabib Pualam,
"Bagaimanapun juga ilmuku
masih lebih rendah dari ilmu ketabibanmu, Ki Pualam. Sudah seharusnya akulah
yang merasa menaruh hormat setinggi-tingginya kepada Ki Pualam yang jauh lebih
tua, lebih berpengalaman, dibandingkan diriku. Aku sangat berterima kasih
mendapat kesempatan singgah di kediamanmu yang teduh dan damai ini, Ki
Pualam."
Kadal Ginting menyahut,
"Sesama tabib dilarang saling mencontek ilmu, ya?"
Canda si Kadal Ginting membuat
suasana menjadi semakin akrab. Tabib Pualam menjamu mereka hingga larut malam.
Pada akhirnya, tinggal tiga orang yang melanjutkan percakapan hangatnya, yaitu
Tabib Pualam, Resi Pakar Pantun, dan si Tua Bangka yang ternyata juga mengenal si Tabib Pualam sejak muda itu.
Esoknya mereka berangkat ke
Bukit Perawan secara rombongan. Mereka yang mengiringi Suto Sinting menuju ke
medan pertarungan adalah, Resi Pakar Pantun, Tua Bangka, Awan Setangkai, Bulan
Sekuntum, Pematang Hati dan Kadal Ginting. Tak lupa Tabib Pualam ikut juga
dalam rombongan ini, karena menurutnya saat itu adalah kesempatan emas baginya,
dapat menyaksikan pertarungan seorang pendekar kondang yang selama ini menjadi
buah bibir para tokoh di rimba persilatan. Tabib Pualam tak mau menyia- nyiakan
kesempatan emasnya itu, sehingga ia ikut dalam rombongan menuju Bukit Perawan.
Kadal Ginting sempat berseru
dalam selorohnya, "Seperti iring-iringan prajurit kadipaten mau ke medan
perang!"
Tapi Resi Pakar Pantun
menyahut, "Mending kalau disangka begitu, kalau-disangka kita mau
menguburkan jenazah, bagaimana?!"
Sepanjang perjalanan mereka
ditaburi tawa. Tapi Pendekar Mabuk tidak seriang hati mereka. Ada keharuan yang
terselip di hati pemuda tampan itu melihat banyaknya orang yang mendukungnya.
Dan satu hal yang membuatnya haru adalah ketiadaan Payung Serambi di antara
mereka. Sebenarnya ia ingin pertarungan ini disaksikan oleh Payung Serambi,
karena secara tak sabar di hati Suto mulai hadir kerinduan yang meletup-letup
terhadap gadis cantik prajurit pilihan dari Istana Laut Kidul itu.
"Kenapa kau tak seceria
biasanya?" tegur Bulan Sekuntum dalam bisikan. Suto buru-buru sunggingkan
senyum yang dipaksakan.
"Aku memikirkan
seseorang," jawabnya polos-polos saja.
"Dyah Sariningrum,
maksudmu?"
Pendekar Mabuk tarik napas
dalam-dalam. "Ya...," jawabnya pelan karena hatinya segera diliputi
kebimbangan. Hati sang pendekar tampan itu pun akhirnya berkata,
"Iya, ya... mengapa yang
kurindukan adalah Payung Serambi? Mengapa bukan Dyah Sariningrum, calon istriku
tercinta itu? Aneh...! Aku jadi heran, mengapa sejak aku memakan daun sirih
dari Payung Serambi, hatiku lebih tertarik kepadanya ketimbang kepada Dyah
Sariningrum? Adakah sesuatu yang berubah dalam hatiku ini?"
"Suto, apakah kau jadi
kawin dengannya?" "Dengan Payung Serambi, maksudmu?"
"Payung Serambi?!"
Bulan Sekuntum terkejut dan berkerut dahi. "Bukankah yang kau pikirkan
Dyah Sariningrum, calon istrimu itu?"
"O, Iya...! Hmmm, eeh,
hmm... iya, maksudku memang Dyah Sariningrum." Suto Sinting tersipu malu
karena salah sebut nama orang yang dipikirkan. Hal itu menimbulkan kecurigaan
di hati Bulan Sekuntum.
"Sepertinya aku memang
pernah mendengar nama Payung Serambi, tapi kapan dan di mana? Siapa dia
sebenarnya? Ah, aku lupa tentang nama itu," kata Bulan Sekuntum.
"Lupakan tentang nama
itu," kata Suto sambil menepiskan tangannya seakan ingin membuang bayangan
Payung Serambi.
"Lalu..., bagaimana
dengan si Pematang Hati?" desak Bulan Sekuntum.
"Pematang Hati?! Oh, aku
tak ada hubungan apa-apa dengan si Pematang Hati."
"Betulkah? Tapi semalam
saat ia tidur bersamaku, kudengar ia mengigau memanggil-manggil namamu dan
cekikikan."
"Wah, gawat!" Suto
Sinting terperanjat dan menjadi tak enak hati. Bulan Sekuntum sunggingkan
senyum tipis bersifat mengejek.
Tiba-tiba terdengar suara
Pematang Hati dari belakang, gadis itu semula sedang bicara dengan Awan
Setangkai dan agak tertinggal.
"Eyang...! Eyang aku
capek! istirahatlah dulu, Eyang!" serunya bernada manja.
Tua Bangka menggerutu,
"Kolokan! Dasar cucunya si Kusir Hantu!"
Lalu, Tua Bangka berkata
kepada Suto Sinting, "Bagaimana menurutmu, Suto? Perlukah kita
beristirahat dulu sesaat?"
"Demi menuruti keinginan
cucu adikmu itu, aku tak keberatan untuk beristirahat asal jangan lama-lama,
Tua Bangka. Sebab perjalanan kita masih jauh dan kita menempuhnya dengan jalan
kaki biasa."
Maka mereka pun beristirahat
ketika mereka berada di kaki sebuah bukit tanpa nama. Kadal Ginting memanjat
pohon kelapa dan memetiknya beberapa buah kelapa lalu diambil airnya. Tentunya
mereka tidak sulit- sulit melubangi buah kelapa itu. Cukup dengan satu kali
sodokan jari tangan si Awan Setangkai, buah kelapa itu telah berlubang dan
airnya bisa diminum.
Suto sengaja tidak meminum air
kelapa muda. Ia lebih baik menenggak tuaknya, karena dengan sering menenggak
tuak ia merasa semakin kuat dan semakin bersemangat. Sambil menunggu mereka
beristirahat, Suto Sinting lakukan pemanasan gerak bersama Bulan Sekuntum.
Namun Awan Setangkai segera ikut ambil bagian dalam latihan itu. Awan Setangkai
menguji ketangkasan Pendekar Mabuk dengan lakukan pukulan cepat secara
bertubi-tubi, dan ternyata Pendekar Mabuk mampu menangkis atau menghindari
hingga tak satu pun pukulan dan tendangan Awan Setangkai yang mengenai tubuh
Suto Sinting.
"Bagus," kata Awan
Setangkai. "Tapi perlu kau ketahui, mata kanan Ratu Cendana Sutera lebih
awas dan lebih jeli ketimbang yang kiri. Jadi lakukan serangan ke arah kiri
terus. Sebaliknya, tangan kanan sang Ratu kurang tangkas, tapi tangan kiri
lebih tangkas. Sebab sang Ratu termasuk orang bertangan kidal."
"Terima kasih atas
pemberitahuanmu. Aku akan perhatikan sekali keteranganmu ini, Awan Setangkai."
"Jangan lakukan
pertarungan dari jarak jauh, karena sang Ratu mempunyai pukulan-pukulan jarak
jauh berbahaya. Jadi, jangan beri kesempatan sedikit pun baginya untuk lepaskan
pukulan jarak jauhnya."
"Baik, akan kulakukan
gerakan cepat yang langsung melumpuhkannya."
"Jika ia keluarkan asap
dan berubah bentuk, hantam mata kakinya. Semuanya akan buyar dan untuk menjelma
dalam bentuk lain ia butuh waktu agak lama."
Pendekar Mabuk
angguk-anggukkan kepala. Segala yang dikatakan Awan Setangkai diperhatikan betul
oleh Suto, karena ia tak ingin tumbang dalam pertarungan nanti. Dapat
dibayangkan jika ia kalah melawan Ratu Cendana Sutera, alangkah capeknya ia
menghadapi perempuan-perempuan Selat Bantai.
Perjalanan dilanjutkan lagi.
Mereka menuju pantai menyusuri daerah tersebut, sebab Bukit Perawan Laut ada di
daerah perairan pantai. Bukit itu sebenarnya sebuah gugusan batu karang tanpa
pepohonan yang cukup besar dengan permukaannya yang datar. Untuk mencapai Bukit
Perawan itu seseorang harus lakukan lompatan-lompatan cepat dari karang-karang
kecil yang satu ke yang satunya lagi. Karang-karang kecil itu merupakan
jembatan bagi siapa pun yang ingin menuju ke Bukit Perawan. Mereka yang ingin
menuju ke sana harus mempunyai ilmu peringan tubuh, sebab ujung- ujung karang
kecil itu mempunyai keruncingan yang dapat menembus telapak kaki manusia.
Mereka tiba di pantai seberang
Bukit Perawan ketika matahari hampir tenggelam. Sang rembulan mulai tampak di
langit timur, bersiap memancarkan sinar purnamanya ketika sang petang tiba.
Dari pantai tampak Bukit
Perawan membentang besar dengan jelas. Karenanya, Suto Sinting berkata kepada
mereka,
"Kalian tetap di sini
saja. Biar aku sendirian menunggu lawanku di atas bukit itu."
Mereka saling menyadari maksud
Suto. Demi menjaga harga diri sang pendekar tampan, mau tak mau mereka tetap di
pantai dan membiarkan Suto Sinting bergegas ke Bukit Perawan. Lompatan-lompatan
yang dilakukan Suto Sinting tampak ringan dan cepat. Kakinya bagai tak
menyentuh karang-karang kecil. Dalam sekejap saja Suto sudah ada di puncak
bukit datar tersebut, ia mengangkat tangannya yang menggenggam sebagai lambaian
kependekarannya, mereka membalas dengan tangan tergenggam pula.
"Hancurkan dia!"
teriak Awan Setangkai yang tampak lebih banyak memberi semangat kepada Suto
dalam pertarungan itu.
Petang pun datang, cahaya
purnama menyinari bumi. Permukaan Bukit Perawan menjadi terang, tampak Suto
Sinting berdiri tegak menunggu lawannya. Rambutnya meriap-riap disapu angin
lautan. Bumbung tuaknya tergantung di pundak, karena sesekali ia menenggak tuak
walau seteguk dua teguk. Claap, buuss...!
Seberkas cahaya kuning terang
melesat dan jatuh di atas Bukit Perawan. Jatuhnya sinar kuning itu menyemburkan
asap tebal yang dalam sekejap menjadi lenyap. Lalu, tampaklah sesosok tubuh
langsing berparas cantik dengan rambut disanggul sebagian, sisanya jatuh
terjuntai bagai ekor kuda. Perempuan cantik itu mengenakan jubah kuning emas
berlengan panjang, tanpa pakaian dalam lagi kecuali selembar kain tipis warna
merah jambu sebagai penutup dada montoknya dan bagian bawahnya.
"Cendana Sutera sudah
datang!" gumam Tua Bangka. "Agaknya pertarungan akan segera
dimulai."
Wees, wes, wuuut...! Seseorang
melompati karang- karang kecil dan dalam sekejap sudah sampai di Bukit Perawan.
Mereka sempat terperanjat, lalu memandang ke arah pantai bagian barat, ternyata
rombongan Ratu Cendana Sutera telah tiba.
"Tapi siapa orang yang
menyeberang ke sana itu?" tanya Tabib Pualam, entah ditujukan kepada
siapa.
"Wah, kacau kalau
begini!" gumam Tua Bangka seperti menggerutu.
Orang yang melesat bagaikan
terbang tadi telah berada di samping Ratu Cendana Sutera. Ternyata orang
berbaju biru dan celana hitam itu tak lain adalah si Kusir Hantu.
"Maaf, aku terlambat,
Cendana Sutera. Anak buahmu baru saja menemukan dan memberitahukan padaku
tentang panggilanmu ketika senja hampir tiba. Sekarang aku datang memenuhi
panggilanmu."
"Lawan si Pendekar Mabuk
itu!" perintah sang Ratu dengan tegas walau bersuara kecil dan lembut.
Kusir Hantu memandang ke arah
Suto, ia terperangah dan menjadi bingung sendiri.
"Lho, kok ternyata kau
sendiri, Nak?"
"Sudah kubilang, akulah
Pendekar Mabuk. Tapi kau tak percaya, Pak Tua."
Sang Ratu berkata, "Kau
berani melawannya, Pujasera?! Kalau kau berhasil mengalahkannya, berarti kau
benar-benar membalas budi baikku selama ini. Lumpuhkan dia, tapi jangan sampai
cedera!"
"Pepatah mengatakan: 'Tak
ada gading yang tak retak'. Artinya, tak ada tanding untuk kutolak." Lalu
ia memandang Suto Sinting lagi dan berkata, "Nak, aku terpaksa melawanmu.
Maaf, ya...?!"
"Silakan, Pak Tua!"
Suto Sinting tautkan kedua tangan di dada dan sedikit membungkuk memberi hormat
kepada si Kusir Hantu. Weeess..,! Jleeg...!
Tokoh lain muncul di
pertengahan jarak antara Kusir Hantu dengan Pendekar Mabuk. Tokoh yang baru
datang dan mengejutkan Ratu Cendana Sutera itu tak lain adalah si Tua Bangka.
"Lho, kau ikut datang
juga, Kang?" sapa Kusir Hantu. "Kau ingin bertarung melawan Pendekar
Mabuk itu?" sambil Tua Bangka menuding Suto. "Aku setuju sekali, tapi
dengan syarat, kau harus melawanku lebih dulu dan
harus bisa melenyapkan
nyawaku!"
"Kang...," Kusir
Hantu menjadi bimbang. "Jangan begitu, Kang. Ini urusan pribadiku."
"Persetan dengan urusan
pribadimu! Kau manusia berotak bodoh! Kau akan celakai pemuda yang telah
selamatkan nyawa cucumu; si Pematang Hati, dari ancaman maut racun milik anak
buah si Cendana Sutera itu?! Hmmm...! Piciknya adikku yang satu ini! Menyesal
aku punya adik sepicik kau, Pujasera! Kalau tahu kau akan sepicik dan sebodoh
ini, lebih baik dulu ketika kau lahir kusuruh masuk kembali ke perut Ibu
kita!"
"Pepatah mengatakan, Kang
"
"Gigimu itu yang harus
kupatah-patahkan!" bentak Tua Bangka.
Kusir Hantu lemas dan
menunduk, ia tak berani melawan kakaknya. Melihat keadaan seperti itu. Ratu
Cendana Sutera tidak banyak bicara lagi, ia langsung berkelebat bagaikan angin
berhembus. Weeess...! Suto Sinting diterjangnya dengan seberkas cahaya merah
memancar dari sekujur tubuhnya.
Pendekar Mabuk berputar tubuh,
wees ..! Bumbung tuaknya berkelebat menghantam tubuh sang Ratu yang bercahaya
merah. Buuhk...! Blaaarr...!
Ledakan dahsyat terjadi dan
menggetarkan Bukit Perawan. Sang Ratu terpental, lalu jatuh dalam keadaan
mengucur darah dari mulut dan hidungnya. Tapi ia masih nekat maju tanpa banyak
bicara. Agaknya apa kata Awan Setangkai memang benar, bahwa sang Ratu jangan
diberi kesempatan menyerang karena pukulan jarak jauhnya sangat berbahaya.
Maka sebelum tangan sang Ratu
bergerak, Suto Sinting lebih dulu lepaskan jurus 'Pecah Raga' yang berupa sinar
hijau dari telapak tangannya. Claap...! Jlegaar...!
Sang Ratu menangkisnya dengan
sinar biru yapg menyala di telapak tangannya Tapi ia terpental dan kulitnya
menjadi terkelupas, darah mengalir dari tiap kupasan kulit tersebut. Sang Ratu
tetap bangkit, ia tak mau menyerah begitu saja,
"Heiaaah...!"
Ratu Cendana Sutera memekik
panjang dan lakukan lompatan cepat bagaikan hembusan badai. Wuuus...! Suto
Sinting menyambutnya dengan lompatan cepat pula. Zlaaap...!
Tubuh sang Ratu memancarkan
cahaya merah dalam keadaan melayang di udara, dan Suto Sinting segera bersalto
cepat satu kali. Keadaannya menjadi berada di bawah sang Ratu. Maka telapak
tangan kanan Pendekar Mabuk pun menyentak ke atas menghantam ulu hati sang
Ratu. Bertepatan dengan pukulan itu, melesatlah sinar hijau sekejap sebelum
telapak tangan menyentuh tubuh sang Ratu.
Wuuutt...! Buuhk...!
Weeess...! Tubuh sang Ratu
tersentak ke atas lebih tinggi lagi. Sinar kuning emas yang memancar dari
tubuhnya berubah menjadi sinar hijau bening akibat jurus pukulan 'Pecah Raga'
dari Suto Sinting tadi. Dan sebelum tubuh itu bergerak melayang turun, tubuh
itu sudah pecah lebih dulu. Blaaarrr...!
Ratu Cendana Sutera hancur
karena pukulan 'Pecah Raga' dalam jarak dekat. Darah menghambur ke mana- mana
bagaikan hujan turun dari langit. Sisa bagian tubuhnya hanya pada bagian kepala
dan kaki sebatas betis saja. Mereka yang memandang kejadian itu sama- sama
menyeringai dan bergidik. Bukit Perawan kini bersimbah darah, warna putih
karang berubah menjadi merah. Sementara itu sang Pendekar Mabuk berdiri di sisi
lain dalam keadaan tegak, gagah dan tampak perkasa.
Awan Setangkai geleng-geleng
kepala sambil membatin, "Pendekar Mabuk kalau sudah punya niat membunuh
lawan, tindakannya sangat cepat dan sepertinya tak mau buang-buang waktu. Sang
Ratu yang ilmunya lebih tinggi dariku dapat ditumbangkan dengan cepat. Berarti
waktu melawanku dulu ia tidak sungguh- sungguh."
Orang-orang Selat Bantai
segera larikan diri setelah mereka melihat ratunya hancur dan darahnya
membanjir di Bukit Perawan. Awan Setangkai bergegas mengejar mereka, namun
segera disambar lengannya oleh Resi Pakar Pantun.
"Aku tahu maksudmu, tapi
jangan lakukan sekarang. Redakan suasana ini dulu, baru kau gantikan kedudukan
Ratu Cendana Sutera. Aku akan membantumu dalam hal itu, asal kau meninggalkan
jalan sesat yang menjadi tradisi orang Selat Bantai."
"Akan kutinggalkan noda
hitam Selat Bantai, dan kuganti dengan warna putih sesuai dengan aliran si
Pendekar Mabuk," ujar Awan Setangkai.
Tiga sosok bayangan melesat
tinggalkan Bukit Perawan. Mereka tiba di depan rombongan Resi Pakar Pantun.
Suto Sinting tiba lebih cepat, lalu disusul oleh Tua Bangka dan Kusir Hantu.
"Kakek...?!" sapa
Pematang Hati sambil hampari kakeknya lalu memeluknya.
"Hampir saja aku turun
tangan mencampuri urusan itu, Kek!"
"Mengapa kau punya niat
begitu, cucuku?"
"Karena jika tadi kakek
benar-benar bertarung melawan Pendekar Mabuk, maka akulah yang akan tampil
lebih dulu menghadapimu, Kek!"
"Jika itu kau lakukan,
maka aku lebih baik merajang tubuh si Cendana Sutera, Cucuku! Untung tidak kau
lakukan, karena aku pun bingung bagaimana cara merajangnya."
Yang lain cekikikan digelitik
rasa geli mendengar ucapan si Kusir Hantu. Suto Sinting segera ditepuk
pundaknya oleh Tua Bangka yang berkata,
"Maafkan kebodohan adikku
tadi."
"Semua sudah kulupakan,
Ki!" jawab Suto Sinting sambil tersenyum, tapi si Kusir Hantu segera
menyahut,
"Semuanya boleh kau
lupakan, tapi cucuku ini jangan sekali-kali kau lupakan. Baru saja dia berbisik
padaku, dia kagum padamu, Nak!"
Suto Sinting hanya palingkan
wajah, sembunyikan senyum salah tingkahnya. Bulan Sekuntum dan Awan Setangkai
hanya sunggingkan senyum berkesan sinis, namun bukan berarti benci.
"Mereka tak tahu, aku
sedang berpikir tentang si Payung Serambi," ujar Pendekar Mabuk dalam
hatinya, lalu pandangan matanya ditujukan ke cakrawala. Cahaya rembulan yang
menyebar ke sana seakan menampilkan seraut wajah pemilik Istana Laut Kidul,
yaitu wajah Ratih Kumala alias si Payung Serambi.
SELESAI