SEKELEBAT bayangan melintasi
hutan di kaki bukit. Orang mengenal bukit itu dengan nama Bukit Mata Langit.
Tak ada orang yang berani melintasi hutan di Bukit Mata Langit itu, karena
mereka takut terperosok ke sebuah lubang yang amat dalam.
Lubang itu tertutup oleh
tanaman rambat sehingga tidak mudah diketahui oleh siapa pun. Tanaman rambat
yang menutup rapat lubang tersebut seolah-olah berguna sebagai tanaman
penjebak. Kelihatannya tempat itu datar dan bertanaman rambat biasa, tapi
sebenarnya di bawah tanaman rambat itu terdapat lubang besar yang mengerikan.
Lubang itu dikenal orang dengan nama Sumur Tembus Jagat.
Hanya orang-orang yang
tersesat saja yang berani masuk dan melintasi hutan Bukit Mata Langit itu.
Salah satu orang yang tersesat adalah pemuda berpakaian coklat dengan celana
putih. Pemuda itu berambut panjang dan mempunyai ketampanan menghebohkan kaum
wanita.
Di punggung pemuda itu
tersandang sebatang bambu tempat tuak. Melihat ciri-ciri tersebut, para tokoh
dunia persilatan sudah tak asing lagi dan sangat mengenalnya. Pemuda itu tak
lain adalah Pendekar Mabuk si Gila Tuak yang dikenaldengan nama Suto Sinting.
"Kurang ajar! Lari ke
mana dia tadi? Sepertinya masuk ke semak-semak sebelah sana. Sebaiknya kuhadang
lewat sini saja," pikir Suto dengan mulai melangkah mengendap-ngendap.
Rimbunan semak dikelilinginya. Mata tajam si tampan itu tidak berkedip menatap
bagian bawah semak-semak itu. Napasnya tertahan beberapa saat agar tak
menimbulkan bunyi yang mencurigakan.
Slap, slap... !
Bayangan putih melompat dari
bawah semak belukar itu, menerobos masuk ke rimbunan semak tak berduri.
Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki dan ikut menerabas semak tak berduri.
Bruus...! Buh...!
"Auh...!"
Pendekar Mabuk terpekik karena
sakit. Rupanya di dalam semak tak berduri itu terdapat bongkahan batu besar
yang tertutup hijaunya dedaunan. Wajah Pendekar Mabuk menabrak batu itu hingga
terpaksa pejamkan mata sesaat karena menahan rasa sakit di tulang hidungnya.
"Sial! Untung tulang
hidungku tak sampai patah!" gerutunya sambil mengusap-usap wajah. Dagunya
pun terasa sakit karena diadu dengan batu.
Slap, slap... !
Bayangan putih melesat lagi
meninggalkan semak duri itu. Suto Sinting cepat lompatkan diri ke arah yang
sama, lalu menerkam bagai seekor singa. Bruuus... !
"Kena kau sekarang!"
Seekor kelinci hutan tergenggam di kedua tangan Pendekar Mabuk. Kelinci hutan
itu berusaha meronta dengan matanya yang memancarkan ketakutan, tapi kedua
tangan Suto semakin erat menggenggamnya. Wajah pemuda itu pun menampakkan
kelegaan hatinya. Kelinci buruannya berhasil ditangkap, dan siap untuk
dijadikan santapan dengan membakarnya.
Tetapi mata bening sang
kelinci membuat Pendekar Mabuk menjadi tak tega untuk membunuh binatang
tersebut. Mata bening binatang itu bagai memandangi Suto dan mohon belas
kasihan.
"Ah, kau...!" gumam
Suto dengan hati mulai kecewa. "Kau manis sekali, sehingga membuat hatiku
iba. Ah, benar-benar tak tega kalau aku harus menyantap mu. Tapi.... perutku
lapar, suaranya sampai seperti lesung bertalu. Aku harus menyantapmu, Kelinci
yang baik hati. Maafkan aku."
Mata kelinci itu
berkedip-kedip seakan pasrah pada sang nasib. Hati Pendekar Mabuk itu kian
bimbang diguncang rasa iba hati.
"Ah, kasihan sekali kau.
Kenapa wajahmu tidak buruk saja, supaya aku tega menyantapmu? Kau terlalu manis
dan lembut. Hmmm... kalau begitu, biarlah aku menahan lapar untuk sementara.
Pergilah sana. Aku tak jadi menyantapmu." kata Suto Sinting sambil
melepaskan binatang tersebut. Tambahnya lagi, "Tolong panggilkan serigala.
Biar aku menyantap dagingnya sebagai penggantimu, Kelinci!"
Slap, slap... !
Kelinci itu melompat dua kali,
kemudian berhenti. Ia berpaling memandangi Suto, dan pemuda itu tersenyum
sambil geleng-geleng kepala. Kelinci itu pun melompat lagi beberapa kali dan
masuk ke semak-semak tanaman berdaun lebar. Bruush... !
Pendekar Mabuk segera meraih
bumbung tuaknya. Ia menenggak tuak dari bumbung itu beberapa teguk. Napasnya
terhempas lepas menandakan kelegaan. Walau perut lapar, asal sudah kemasukan
tuak, rasa lapar itu bagaikan mereda untuk beberapa saat.
Suto Sinting memang merasa
lebih baik menahan rasa lapar ketimbang menahan rasa haus tuak. Ia paling tak
bisa menahan haus tuak. Baginya, seteguk tuak mempunyai kekuatan melebihi
sepiring nasi, bahkan menyamai kenyangnya makan seekor kelinci hutan yang
dibakar. Walau kadang Suto merasa bosan dengan tuak dan ingin sesekali menelan
nasi atau daging dan makanan lainnya, tapi jika memang tak ada makanan lainnya,
tuak pun masih bisa menjadi pengganjal rasa laparnya.
Suto Sinting baru saja ingin
melangkahkan kakinya, tiba-tiba dari semak-semak berdaun lebar tempat
menghilangnya kelinci itu muncul seraut wajah cantik berkulit kuning. Tentu
saja Suto Sinting terkejut kaget dan jadi terbengong beberapa saat.
"Lho...? Kelinci itu
kusuruh memanggil serigala tapi kenapa yang muncul seraut wajah cantik? Jangan-jangan kelinci itu
tak bisa membedakan antara
serigala dan gadis cantik? Oh, dasar kelinci bodoh!" gumam Suto dalam
hati.
Wajah cantik itu tampak
menyimpan ketegangan. Wajah cantik itu pun menyembunyikan kecemasan di balik
sikap tertegunnya dalam memandangi Suto Sinting.
Pakaiannya yang berwarna merah
muda sangat memancing perhatian, karena pada bagian dadanya terbuka sedikit
lebar, sehingga belahan dada itu pun tersumbul lebih jelas dan sepertinya
tantangan lain bagi Suto. Bukan tantangan adu ilmu kanuragan, namun tantangan
adu kekuatan batin. Dan ternyata batin Suto masih kuat untuk tidak mudah
tergiur dan terpancing bayangan mesra kepada gadis berambut panjang itu.
"Apakah kau jelmaan
seekor kelinci yang tadi kutangkap dan kulepaskan lagi, Nona?" tegur Suto
Sinting dengan senyum dan keramahan yang membuat gadis itu justru merasa kian
cemas. Ia mundurkan langkah satu tindak dengan mati tak berkedip.
Suto merasa heran melihat
sikap sang gadis. Ia mencoba mendekatinya. Tapi gadis itu justru melompat
mundur dan mencabut pedangnya yang terbuat dari logam kuningan. Sraaang...!
Mau tak mau Pendekar Mabuk
hentikan langkah. Gadis itu pasang kuda kuda, seakan siap serang dengan jurus
pedangnya. Bibirnya yang mungil dan tampak selalu basah itu masih terkatup
tanpa berucap sedikitpun. Matanya yang bening bak kelinci tadi sekarang menatap
tajam bersikap bermusuhan.
"Sekali lagi aku hanya
ingin bertanya, apakah kau jelmaan dari kelinci yang kulepaskan tadi?"
Gadis itu diam saja. Matanya
sedikit menyipit. Suto langkahkan kaki satu tindak. Tapi tiba-tiba gadis itu
sentakkan kakinya ke tanah dan melompat menyerang Pendekar Mabuk. Dengan cepat
bambu tuak diraih Suto dan berkelebat menangkis tebasan pedang gadis berpakaian
merah jambu itu. Traang...!
Pedang itu bagaikan membentur
sebongkah besi baja. Benturan pedang dengan bambu tuak memercikkan bunga api
warna merah. Akibat benturan pedang dengan bambu telah membuat tubuh gadis itu
terpental. Kekuatan tenaga dalam yang menghantam bambu lewat pedangnya telah
berbalik mengenai dirinya sendiri. Tak heran jika gadis itu akhirnya terjungkal
ke belakang dalam keadaan hilang keseimbangan. Brrug...!
Jaraknya hanya empat langkah
dari tempat Pendekar Mabuk berdiri. Kalau saja Suto mau menyerangnya, itu bukan
pekerjaan yang sulit. Tapi ternyata Suto tidak mau memberikan serangan balasan.
Ia hanya melangkah satu tindak lagi dan si gadis buru-buru bangkit dari
kejatuhannya. Kuda- kuda terpasang lagi, mata semakin tajam, napas kian
menderu.
"Tulangku terasa ngilu
semua," pikir gadis itu. "Kekuatan apa yang ada pada bambu itu,
sehingga tenaga dalamku menjadi berbalik menyerangku? Rupanya pemuda ini bukan
manusia hutan sembarangan. Aku tak boleh menganggap remeh kepadanya. Hmmm...
tapi ketampanannya membuat keberanianku sempat susut beberapa kali. Kurang
ajar! Persetan dengan ketampanan itu. Aku harus bisa melupakannya kalau tak
ingin mati di ujung bambunya itu!"
"Tahan seranganmu,
Nona," kata Suto Sinting dengan kalem. "Aku bukan musuhmu. Toh aku
telah melepaskanmu dan tak jadi menyantapmu," tambah Suto karena ia yakin
gadis itu jelmaan dari kelinci tadi.
Sang gadis masih belum mau
bicara kecuali hanya memandang tajam.
Tak ada kesan bersahabat atau ramah
sedikit pun. Yang ada hanya kesan sinis. Bahkan cenderung menampakkan sikap
angkuhnya.
"Bukankah tadi sudah
kukatakan bahwa aku tak tega menyantapmu? Kenapa kau masih memusuhiku? Apakah
kau pikir aku masih ingin menyantapmu?"
"Tutup mulutmu, Pemuda
Binal!" geram gadis itu. Suto hanya tertawa kecil mendengar dirinya
dipanggil pemuda binal oleh gadis itu.
"Aku bukan pemuda binal.
Aku pemuda sinting, sebab namaku Suto Sinting!"
Tiba-tiba gadis itu
mengendurkan ketegangannya. Matanya yang tajam dalam memandang kini sudah mulai
surut dan berangsur-angsur lembut. Sikap kuda-kudanya pun mulai tegak. Tapi
pedangnya masih tergenggam erat di tangan.
"Ben... benarkah kau...
kau bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?"
"Benar," jawab Suto
dalam ulasan senyum tipis yang menambah pesona ketampanannya.
Gadis itu menjadi gelisah
menerima tatapan mata yang begitu lembut dari Suto Sinting. Kegelisahan
tersebut segera ditutupi dengan sikap curiga yang dibuat-buat. Gadis itu
memaksakan diri untuk tersenyum sinis.
"Tak mungkin kau si
Pendekar Mabuk yang kesohor itu! Pendekar Mabuk tak akan keluyuran ke hutan
ini. Karena di sini tak ada pusaka dan orang sakti."
"Kau pikir aku mencari
pusaka? Oh, tidak. Sama sekali tidak, Nona Cantik. Aku ke sini karena tersesat
gara-gara mengejarmu tadi."
Dahi si cantik berkerut.
"Mengejarku?"
"Maksudku, waktu kau
menjadi kelinci tadi, aku mengejar-ngejarmu untuk kujadikan santapanku. Tapi
begitu kau berubah menjadi gadis yang cantik, aku malu untuk menyantapmu
dan..."
"Aku bukan siluman
kelinci!" sergah gadis itu. "Aku manusia biasa dan seumur hidupku
belum pernah berubah menjadi kelinci."
"O, maaf. Jadi...,"
Suto tertawa, tak jadi melanjutkan kata-katanya karena merasa malu dengan salah
duganya itu.
"Namaku Citradani, bekas
murid Perguruan Kuil Elang Putih."
"Ooo...." Suto
manggut-manggut. "Kalau begitu kau muridnya Ratu Embun Salju?"
Citradani terkejut. "Kau
mengenal bekas guruku itu?"
"Cukup kenal. Juga kepada
Anjarwati, Mahasi, Dewi Anjani, dan yang lainnya, aku pun mengenal mereka.
Bukankah mereka teman-temanmu?"
"Benar. Tapi sekarang
sudah tidak lagi." jawab Citradani sambil memasukkan pedang
ke dalam sarungnya.
"Kenapa kau sampai keluar
dari Kuil Elang Putih?"
"Karena melanggar
kesalahan." Citradani kelihatan sedih mengenang masa lalunya. Ia bersandar
di sebuah pohon dalam keadaan masih berdiri. Suto kian mendekat, matanya
memandang sekeliling sebagai tanda bahwa ia selalu waspada di mana pun berada.
"Kalau boleh kutahu, apa
kesalahanmu terhadap Kuil Elang Putih?"
"Aku menghilangkan sebuah
pusaka yang bernama Lintang Suci."
"Lintang Suci? Sebuah
pedang atau..."
"Sebuah kalung,"
jawab Citradani dengan memotong kata-kata Suto Sinting. "Kalung itu bisa
untuk mengubah-ubah diri menjadi bentuk apa pun. Rantai kalung itu pernah
patah. Tak ada yang bisa menyambung rantai emas kalung itu, sebab rantai
tersebut terbuat dari emas keramat. Hanya ada satu orang yang bisa menyambung
rantai emas keramat itu. Orang tersebut adalah Ki Padmanaba... "
Suto terperanjat. "Ki
Padmanaba?! Dia sekarang sudah meninggal!"
"Mungkin saja begitu.
Karena peristiwa yang kualami itu sudah cukup lama. Aku ditugaskan membawa
pusaka Lintang Suci kepada Ki Padmanaba. Ketika kalung tersebut sudah
tersambung rantainya, tugasku adalah membawa pulang kepada Guru Ratu Embun
Salju. Tetapi di perjalanan aku tergoda oleh seorang pemuda, dan kami pun
saling berkasih-kasihan. Aku tak tahu kalau pemuda itu sudah lama mengincar
kalung Lintang Suci. Aku tertipu. Saat aku tak sadar, kalung itu berhasil
dicurinya dan dia pergi entah ke mana. Aku ditolak pulang ke Kuil Elang Putih,
tak diizinkan kembali ke sana jika tidak bersama pusaka tersebut. Mau tak mau
aku harus mencari pusaka kalung Lintang Suci itu supaya aku bisa diterima
kembali di Kuil Elang Putih."
Suto Sinting angguk-anggukkan
kepalanya. "Sampai sekarang kau belum temukan di mana pemuda itu
berada?"
"Belum. Sesekali aku
melihat kelebatan bayangannya. Tapi tiap kali kukejar ia bisa menghilang dalam
persembunyiannya. Aku selalu kehilangan jejak. Seperti saat ini aku melihatnya
melintas kemari. Kukejar dia dan akhirnya aku kehilangan jejak kembali. Tahu-
tahu aku bertemu denganmu. Aku sangsi, kusangka kau adalah pemuda itu yang
merubah diri dengan kekuatan kalung Lintang Suci itu."
"Lalu, kau percaya kalau
aku bukan pemuda itu?"
"Percaya."
"Apa yang membuatmu
percaya padaku?"
"Tebasan pedangku
walaupun ditangkis akan memudarkan samarannya dan membuatnya kembali ke wujud
aslinya."
"Ooo...," Suto
manggut-manggut. Ia ingin bicara lagi, tapi tiba-tiba tangannya berkelebat
cepat menempel di dada Citradani.
Citradani terpekik kaget dan
malu, dadanya terpegang oleh tangan Suto.
Plaaak... !
Sebuah tamparan pedas diterima
oleh pipi Suto. Pemuda itu meringis kesakitan. Pipinya sempat merah sedikit.
"Kurang ajar kau!"
gertak Citradani.
"Maaf..." kata Suto,
lalu tangan yang tadi menempel di dada Citradani hingga menyentuh ujung
bukitnya itu kini diperlihatkan kepada gadis itu.
Sebuah senjata rahasia telah
terselip di antara jemari Suto. Citradani terperanjat dan segera menyadari apa
sebenarnya yang dilakukan oleh Suto. Ternyata Pendekar Mabuk baru saja
menyelamatkan jiwa Citradani dari ancaman senjata rahasia yang dilemparkan oleh
seseorang dari tempat yang tersembunyi.
Senjata rahasia itu berupa
sepotong bulu landak yang tajam dan beracun ganas. Jika tangan Suto tidak
menutup ujung bukit dada Citradani maka senjata rahasia itu yang akan menancap
di sana. Tapi dengan gerakan tangan Suto menutup ujung bukit dada Citradani,
maka senjata rahasia itu hanya terselip di sela jari Suto dan dijepit kuat agar
tak menyentuh kulit dada gadis itu.
"Kau mengenal siapa
pemilik senjata ini?" tanya Suto Sinting.
"Tidak. Tapi aku melihat
sekelebat bayangan lari ke sana. Aku akan mengejarnya!"
"Tunggu dulu, aku
akan...."
Wuuusss... !
Citradani sudah melesat lebih
dulu sebelum Suto selesai bicara. Kecepatan gerakannya yang menyerupai hembusan
angin itu menandakan bahwa gadis itu sebenarnya berilmu tinggi. Setidaknya ia
mempunyai ilmu tenaga peringan tubuh yang cukup tinggi. Suto memang bisa
mengungguli kecepatan gerak Citradani, tapi ia tak mau. Suto lebih tertarik
dengan suara teriakan seseorang yang terdengar samar-samar dari tempatnya.
"Toloong...!"
Suara itu kecil sekali,
kentara kalau letaknya sangat jauh. Maka, Pendekar Mabuk pun segera melesat ke
arah yang berlawanan dengan Citradani.
"Biarlah Citradani
mengejar penyerang gelapnya. Aku percaya dia mampu menjaga diri dengan
ketinggian ilmunya itu. Aku akan menolong seseorang yang agaknya dalam bahaya
besar," kata Suto membatin. Suara orang minta tolong itu hanya sesekali
terdengar. Sepertinya orang tersebut berusaha untuk melepaskan diri dan
kesulitannya, tapi merasa cemas dan takut gagal, sehingga sesekali ia berteriak
minta tolong. Pendekar Mabuk sempat kehilangan arah ketika suara teriakan itu
menghilang. Ia kebingungan mengambil arah langkah kakinya.
"Di mana orang itu?
Kenapa suaranya tak terdengar lagi? Apakah kepalanya sudah telanjur ditelan
harimau? Mengapa ia tak coba-coba berteriak lagi dari dalam perut harimau,
siapa tahu mulut harimau itu kebetulan ternganga dan suaranya bisa sampai ke
luar perut harimau?" gumam Suto Sinting bagai orang gila yang bicara
sendiri. Langkahnya masih tergesa-gesa sambil memastikan arah dan mencari orang
yang dalam bahaya itu. Telinganya dipasang baik- baik, sampai akhirnya angin
pegunungan membawa suara teriakan tersebut dari arah timur.
"Tolooong...!"
"Nah, suaranya di sana!
Ya, di timur sana! Aku harus segera menolongnya!" tekad Suto. Sikap
berbuat baik kepada seseorang dan saling tolong-menolong memang selalu dimiliki
dalam jiwa Suto Sinting.
Genangan air yang dipijak Suto
membuatnya sedikit curiga. Kelembaban tanah di sekitarnya membuat Pendekar
Mabuk semakin hati-hati dalam melangkah. Matanya memandangi padang ilalang yang
mengelilingi tanaman rambat seperti kangkung yang merimbun seluas sepuluh
langkah lebih.
"Sepertinya di depanku
itu adalah paya- paya yang berbahaya. Tapi kenapa ditumbuhi tanaman rambat
cukup lebat dan luas? Oh, ada sesuatu yang bergerak di ujung sana?"
Mata Suto Sinting
memperhatikan tanaman rambat yang bergerak-gerak. Letaknya di seberang sana,
sehingga jika Suto ingin mendekati gerakan tersebut ia harus melewati bentangan
tanaman rambat itu. Karena curiga ladang yang akan dilintasi adalah paya-paya
atau rawa yang tertutup tanaman, maka Pendekar Masuk terpaksa menggunakan ilmu
peringan tubuhnya untuk melintasi tempat tersebut.
Tab, tab, tab, tab... !
Pendekar Mabuk melompati daun
demi daun. Ilmu peringan tubuhnya yang tinggi membuat telapak kakinya yang
menyentuh ujung daun tidak terbenam. Daun itu pun bagaikan tidak tersentuh apa
pun kecuali angin kecil. Pada saat melintasi daun-daun tersebut, Suto baru
menyadari bahwa ia sedang berjalan di atas lubang besar, yaitu lubang yang
tertutup tanaman rambat dengan rata dan tak kentara. Suto menyadari hal itu
setelah ia merasakan tekanan daun yang dipijaknya terasa sangat ringan. Berarti
di bagian bawah daun tak ada alas penyangga, tak ada air, tak ada tanah. Daun
itu bagaikan tumbuh mengambang di udara.
"Lubang besar! Gawat!
Salah perhitungan sedikit tubuhku bisa tenggelam ke dalam lubang besar
ini?!" pikir Suto Sinting sambil semakin mendekati benda yang bergerak-
gerak di bawah kerimbunan tanaman rambat itu.
"Tolooong...!"
Suara itu sangat jelas,
datangnya dari gerakan-gerakan di bawah tanaman itu. Suto segera menyimpulkan,
"Ternyata ada orang yang
terperosok di sana! Ia tak bisa naik. Oh, kasihan sekali."
Suto menyangka orang yang
terperosok itu mengalami kesulitan untuk naik ke permukaan karena dililit
tanaman rambat. Maka dengan gerakan cepat Pendekar Mabuk menyambar telapak
tangan seseorang yang tampak tersumbul dari bawah kerimbunan tanaman rambat.
Sayang sekali sebelum Suto berhasil menyambar tangan orang tersebut, tiba-tiba
si pemilik tangan telah melesat keluar dari kedalaman lubang. Bruuussh...!
Jleeg...!
Dengan bersalto dua kali di
udara, orang tersebut berhasil menempatkan diri di tanah datar. Berdiri dengan
tegak. Memandang Suto dengan senyum berkesan jumawa.
Orang itu adalah seorang
lelaki berusia sekitar dua puluh delapan tahun, seusia dengan Suto. Rambutnya
ikal sedikit panjang diikat dengan ikat kepala dari kain berbenang emas.
Pakaiannya biru muda cerah. Di
pinggangnya menyandang pedang pendek seukuran satu depa. Gagang pedang berwarna
putih perak.
Gagang pedang itu berbentuk
kepala naga, bagian mata kepala naga terdapat batuan warna merah cerah.
Suto Sinting hampir saja
terkecoh masuk ke lubang besar itu. Untung ia segera meliukkan badan dengan
menggunakan selembar daun untuk tumpuan jarinya, sehingga dalam sekejap Suto
pun sudah berdiri tegak di depan lelaki sebayanya itu. Mata memandang penuh
curiga, sedangkan lelaki itu menatap dalam senyum sinisnya.
"Sayang sekali kau yang
datang. Padahal aku hanya ingin memancing seseorang yang bukan dirimu.
Sobat!" kata si baju biru itu.
"Siapa kau?! Mengapa
berpura-pura minta tolong?"
"Aku Wiratmoko. Aku orang
yang gemar bercanda. Hmmm... aku sengaja ingin menjebak temanku sendiri. Aku
ingin menertawakannya jika ia terkecoh olehku."
"Siapa temanmu itu,
Wiratmoko?"
"Kau tak perlu tahu.
Sobat," jawabnya dalam senyum. "Yang jelas, jika maksudmu baik
padaku, sebutkan namamu supaya kita saling kenal."
"Namaku Suto."
"Nama yang sederhana,
tapi mudah diingat, mudah pula dihilangkan dari ingatan," kata Wiratmoko
bernada angkuh. "Apakah kau tersesat di hutan ini?"
"Tidak semata-mata
tersesat."
"Ha, ha, ha, ha...,"
Wiratmoko tertawa melecehkan. "Jangan menutupi kebodohanmu. Suto. Aku tahu
kau benar-benar tersesat. Buktinya kau tidak mengetahui bahwa tanah yang kau
lalui tadi adalah permukaan sebuah lubang maut yang bernama Sumur Tembus
Jagat."
Suto Sinting berkerut dahi,
matanya memandang ke arah tanaman rambat yang tadi dilaluinya. Ia baru tahu
bahwa lubang itu adalah Sumur Tembus Jagat.
Tapi ia tak paham apa artinya.
"Sumur Tembus Jagat ini
termasuk sumur tanpa dasar. Jika seseorang masuk ke dalamnya ia tak akan bisa
ditemukan lagi. Mungkin mati di pertengahan lorong sumur atau terbuang ke sisi
belahan bumi lainnya. Yang jelas tak akan ada orang bisa selamat dari maut yang
ada di Sumur Tembus Jagat itu. Beruntung sekali kau mempunyai ilmu peringan
tubuh cukup tinggi, sehingga kau tidak terperosok ke dalam sumur itu waktu mau
menolongku."
Napas Pendekar Mabuk terhempas
bagaikan melepas kelegaan. Ia meneguk tuaknya sebentar, dan pada saat itu
Wiratmoko memperhatikan dengan dahi berkerut. Sepertinya ia menemukan sesuatu
pada diri Suto, namun ia tidak mau menyebutkannya.
Ketika Suto selesai meneguk
tuaknya, tiba- tiba ia melihat kilatan cahaya putih yang menyerang ke arah Wiratmoko
dari belakang. Suto Sinting segera berseru, "Awas...!"
Suto terlambat berbuat
sesuatu. Wiratmoko sendiri juga terlambat mengetahui datangnya bahaya. Kilatan
cahaya putih yang melesat itu menghantam punggung Wiratmoko. Duub...! Tubuh
Wiratmoko kejang seketika, matanya mendelik dan semua gerakannya terhenti. Ia
bagaikan menjadi patung bernyawa. Kulit wajahnya yang coklat cerah itu menjadi
kemerah-merahan. Hidungnya mulai melelehkan cairan merah kehitaman.
Kejap berikut muncul seorang
kakek berjenggot panjang warna abu-abu. Ia datang begitu saja, tak diketahui
dari mana asalnya. Suto Sinting sempat terperangah dengan kemunculan kakek itu.
"Jangan berkawan dengan
dia kalau kau ingin selamat!" kata kakek berjubah putih kumal itu. Setelah
berkata demikian, tubuhnya melesat bagaikan terbang ke atas, hinggap di dahan
pohon yang dipunggunginya. Suto ingin mengatakan sesuatu, tapi sang kakek pergi
dengan cepat seperti lenyap ditelan angin.
PENGEJARAN Citradani sampai ke
pesisir selatan. Musuh yang melemparkan senjata rahasia dan berhasil ditangkap
oleh Suto itu ternyata seorang perempuan berusia lima tahun lebih tua dari usia
Citradani yang mencapai dua puluh empat tahun itu. Perempuan yang dikejar
Citradani itu mengenakan pakaian kuning menyala, rambutnya disanggul sebagian.
Perempuan itu hentikan langkah ketika telah mencapai pesisir selatan. Ia tampak
dengan terpaksa melayani maksud pengejaran Citradani. Keduanya kini saling
berhadapan dalam jarak lima langkah.
"Ternyata kaulah
orangnya, Tandak Ayu!" geram Citradani.
Tandak Ayu yang berhidung
mancung dengan bentuk wajah bulat telur itu tersenyum sinis. Pedang yang ada di
punggungnya masih belum diraih. Tapi sikap berdirinya yang tegak dengan kaki
sedikit merenggang menandakan ia siap mencabut pedang sewaktu-waktu.
"Ternyata kau seorang
wanita yang pengecut, Tandak Ayu!"
"Jaga mulutmu agar tak
robek dari mulutku, Citradani," ucap Tandak Ayu dengan kalem namun
menandakan kegeramanhatinya.
"Mengapa kau ingin
membunuhku dengan senjata rahasiamu itu, hah?"
"Karena aku tak ingin kau
memiliki barang yang kau cari-cari selama ini!"
Jawaban itu membuat Citradani
berkerut dahi. Matanya segera tertuju ke leher Tandak Ayu. Hatinya pun terkejut
melihat Tandak Ayu ternyata mengenakan kalung Lintang Suci.
"Jahanam kau, Tandak Ayu!
Rupanya kaulah pemakai kalung itu!" Citradani semakin menggeram, bagaikan
menahan amarah mati- matian. Tandak Ayu hanya sunggingkan senyum sinis.
"Serahkan benda itu
padaku sebelum terjadi pertumpahan darah, Tandak Ayu!"
"Rebutlah dengan nyawamu
kalau kau mampu!" tantang Tandak Ayu.
"Jangan menyesal kau,
Pencuri Busuk! Hiaaat...!" Citradani menerjang bagaikan kilatan cahaya
yang melesat dari sebuah pukulan. Begitu cepatnya gerakan itu, hingga Tandak
Ayu tak sempat berkedip dan menghindar. Tahu-tahu ia merasakan tubuhnya dilanda
gumpalan badai yang membuatnya terpental sejauh lima tombak.
Brruhg...!
Tandak Ayu jatuh terpuruk.
Mulutnya keluarkan darah segar. Tapi ia segera bangkit sebelum Citradani
lancarkan pukulan tenaga dalamnya tanpa wujud itu.
Wuuut... !
Tandak Ayu melenting ke udara
dalam satu sentakan kakinya. Pukulan tenaga dalam Citradani yang dilepaskan
melalui telapak tangan kirinya itu mengenai tempat kosong.
Akibatnya pasir yang terkena
pukulan itu menyembur ke atas. Pasir yang berwarna putih itu menjadi hitam
legam saat menyembur ke atas, menandakan pukulan tenaga dalam tersebut cukup
berbahaya jika mengenai tubuh lawannya. Beruntung Tandak Ayu mampu
menghindarinya. Jika tidak ia akan menjadi hangus seperti pasir-pasir tersebut.
Tangan perempuan berpakaian
kuning dengan ikat rambut pita kuning itu segera merapatkan kedua telapak
tangannya di dada. Dalam sekejap ternyata ia telah berubah menjadi seekor
kelinci putih. Claaap...!
Citradani hanya tersenyum
sinis. Ia tahu Tandak Ayu bisa berubah begitu karena kekuatan kalung Lantang
Suci yang dikenakan. Bahkan menjadi binatang yang lebih menyeramkan pun sangat
mudah. Citradani segera memahami, bahwa yang dimaksud kelinci buruan Suto tadi
rupanya adalah perubahan dari wujud asli Tandak Ayu. Tapi si pemuda tampan itu
tentunya tidak mengetahui bahwa kelinci tersebut adalah
Tandak Ayu.
Kelinci putih itu melompat di
balik karang. Citradani segera menghantamkan pukulan jarak jauhnya bercahaya
merah. Wuuut...! Blaaar... !
Karang hancur seketika menjadi
serbuk warna merah membara dan panas. Kelinci itu hilang. Entah kemana
perginya. Citradani mencari kebingungan. Hatinya kian panas, dadanya ingin
meledak karena kehilangan lawannya. Ia hanya bisa menggerutu, "Kurang
ajar! Dia pasti berubah menjadi undur-undur!"
Sambil mengorek-ngorek tanah
berpasir mencari undur-undur jelmaan Tandak Ayu, Citradani bertanya-tanya dalam
hatinya,
"Bagaimana mungkin kalung
itu bisa ada di tangannya? Apakah ia berhasil merebut kalung itu dari si tampan
berhati iblis itu? Semudah itu kah Tandak Ayu mampu merebutnya? Padahal aku
tahu persis ilmu si Tandak Ayu tidak seberapa tinggi. Sekalipun ia murid Nyai
Demang Ronggeng yang kesohor dengan ilmu 'Tarian Mayat'-nya, tapi aku yakin ia
belum mewarisi ilmu itu. Nyai Demang Ronggeng tak akan semudah itu menurunkan
ilmu andalannya kepada sang murid!"
Mencari undur-undur adalah
pekerjaan yang memuakkan bagi Citradani. Harus sabar dan tekun. Setiap tanah
dikoreknya pelan-pelan. Sementara itu gemuruh dalam dada Citradani sudah
semakin menyerupai lahar gunung berapi yang ingin mendobrak kepundannya.
"Kugites dan kutumbuk
selembut mungkin kalau undur-undur itu berhasil kutemukan!" geram
Citradani sambil menyiapkan segenggam batu.
Ketekunan mengorek-ngorek
tanah membuat Citradani terkejut ketika mendengar sapaan dari belakangnya.
"Rupanya ada anak kecil
yang gemar memburu undur-undur!"
Seet...! Citradani cepat palingkan
wajah. Cepat pula ia berdiri ketika diketahui telah berdiri seorang gadis
berpakaian kuning gading dan berambut lurus dengan poni di dahinya. Gadis itu
tersenyum geli. Tapi Citradani justru makin cemberut. Lalu ia sentakkan
tangannya yang mengeluarkan cahaya merah berkelebat.
Wuuut...!
Gadis berambut lurus itu pun
menyentakkan tangannya hingga dari telapak tangan melesat sinar hijau yang
langsung membentur sinar merah itu.
Wuuut...!
Blaar...!
Ledakan dahsyat menggelegar,
menggema bagai memenuhi alam lautan. Ledakan itu timbulkan gelombang hebat,
hingga keduanya sama-sama terpental menjauh dan saling berjatuhan tanpa bisa
menjaga keseimbangan badan. Dua gugusan batu karang itu retak, padahal jaraknya
ke kanan-kiri mereka cukup jauh.
Ombak lautan yang sedang
menuju ke pantai pun menyibak tinggi berbalik arah. Gemuruh ombak bagai suara
bumi mau kiamat. Rupanya keduanya sama-sama melepaskan pukulan berbahaya yang
berkekuatan cukup tinggi.
Beberapa saat kemudian, gadis
berambut lurus yang menyandang pedang berhias batu ungu di ujung gagangnya itu
berdiri dengan sedikit limbung. Kejap berikutnya ia mampu tegak kembali dan
memperhatikan Citradani yang bangkit dengan terhuyung-huyung pula.
"Gila dia melepaskan
pukulan yang tidak tanggung-tanggung," pikir gadis berambut lurus itu.
"Kalau tidak kuhadapi dengan pukulan mautku, mungkin aku akan mati dalam
beberapa kejap saja."
Sementara itu, Citradani pun
membatin, "Hebat sekali dia, bisa menandingi jurus 'Merah Delima' yang
hanya bisa ditangkis oleh orang-orang berilmu tinggi. Jika begitu, dia
mempunyai ilmu cukup tinggi pula. Mungkin memang Nyai Demang Ronggeng telah
mewariskan segala ilmunya kepada Tandak Ayu. Oh, aku harus hati-hati
menghadapinya."
Kini keduanya sama sama
mendekat dalam langkah yang penuh waspada. Masing-masing siap lepaskan serangan
penangkis dengan mata tak berkedip sedikit pun. Dalam jarak enam langkah,
mereka saling berhenti.
"Apa maksudmu
menyerangku, Gadis Kecil?"
Citradani menggeletukkan gigi
dipanggil 'gadis kecil' karena ia merasa sudah dewasa dan mampu merobek mulut
lawannya itu. Pandangan mata Citradani menjadi semakin benci dan mempertajam
permusuhannya. Tapi ia menjadi sedikit heran melihat kalung Lintang Suci yang
berbentuk bintang segi lima dari batuan kristal putih itu tidak kelihatan di
leher lawannya.
"Tak perlu berpura-pura,
Tandak Ayu! Sekali ini kalau kau tak mau serahkan benda itu, akan kubuat musnah
tanpa bekas dirimu!"
Dahi gadis yang tangannya
bertato mawar merah tepat di pergelangannya menjadi berkerut tajam menandakan
keheranannya.
"Siapa Tandak Ayu itu?
Benda apa yang kau inginkan dariku?"
"Hmm...! Kau pikir aku
mudah tertipu oleh penyamaranmu?!" Citradani melangkah ke kiri membentuk
lingkaran, sedangkan gadis itu melangkah ke kanan penuh waspada.
"Mungkin kau salah duga.
Aku bukan Tandak Ayu!"
"Akan kupaksa mulutmu
agar mengaku. Hiaaat...!" Citradani melompat maju, menghantamkan
pukulannya ke wajah gadis berambut lurus. Gadis itu menangkis dengan telapak
tangannya. Plaak...! Pukulan Citradani mengenai telapak tangan itu. Percikan
bunga api menyembur dari perpaduan tangan mereka. Citradani merasa tertahan
pukulannya, sehingga ia terpaksa melepaskan pukulan tangan kirinya dengan cepat
ke arah dada gadis itu. Tapi lagi-lagi pukulan itu mampu ditangkis dengan
mengadu pergelangan tangan yang menimbulkan bunyi: kraak... !
Wuuut... ! Bag, bag... !
Duaaar... !
Kedua telapak tangan mereka
saling beradu, ledakan kecil kembali terdengar menandakan kedua pukulan mereka
cukup bertenaga tinggi. Keduanya pun sama-sama terpental mundur, namun mereka
tak sampai jatuh seperti tadi. Keduanya sama-sama berdiri dengan kaki
merenggang dan memasang kuda-kuda siap serang.
"Edan! Bagian dalam
tubuhku seperti sedang dibakar api setelah mengadu telapak tangan tadi."
kata gadis itu dalam hati, "Apa maunya dia sebenarnya?"
"Serat-serat dagingku
bagai disayat-sayat!" pikir Citradani. "Perih semua sekujur tubuhku
karena beradu telapak tangan dengannya. Ilmunya memang tak boleh disepelekan.
Tapi kurasa ilmu itu bukan dari Nyai Demang Ronggeng. Lalu dari mana Tandak Ayu
memperoleh ilmu seperti itu?"
Setelah keduanya menyalurkan
hawa murni dalam tubuh masing-masing, rasa sakit yang mereka alami pun mulai
reda. Napas mereka yang terengah-engah menjadi tenang kembali. Tapi kedua mata
mereka masih saling beradu pandang dengan sama-sama tajamnya.
"Aku tak akan membiarkan
kau lolos, Tandak Ayu. Sebelum ku peroleh benda itu darimu, akan kusiksa dirimu
dengan jurus 'Pembakar Jantung'-ku nanti!"
"Persetan dengan
anggapanmu! Aku bukan Tandak Ayu!"
"Omong kosong! kau pasti
Tandak Ayu yang merubah diri menjadi wujud lain!"
"O, kurasa kau
benar-benar salah anggapan. Perlu kuluruskan. Aku bukan Tandak Ayu. Namaku
adalah Kirana, murid Nyai Punding Sunyi dari Perguruan Mawar Seruni!"
Citradani diam sebentar, mulai
merenungi kemungkinan salah pahamnya. Wajah Kirana diperhatikan baik-baik
dengan hati dililit kebimbangan. Sementara itu, Kirana sendiri segera ajukan
tanya kepada Citradani.
"Sebutkan siapa dirimu,
supaya kesalahpahaman ini tidak merenggut nyawa kita salah satu."
"Aku Citradani, bekas
murid dari Kuil Elang Putih."
Kirana terkejut, "Jadi,
kau muridnya Ratu Embun Salju?"
Citradani ganti terkejut.
"Kau mengenal guruku? Apakah kau punya hubungan dengan guruku?"
"Aku pernah saling
membantu dengan orang-orang Kuil Elang Putih..." Kirana pun menjelaskan
peristiwa yang dialami bersama Embun Salju dan Pendekar Mabuk, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Rahasia Pedang Emas").
Kirana menambahkan
penjelasannya pula,
"Dan aku sekarang dalam
perjalanan mencari Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"
Citradani mengendurkan
ketegangannya, meredakan kemarahan dan permusuhannya. Bahkan ia berjalan
mendekati Kirana. Berdiri di depan gadis itu dengan jarak dua langkah. Matanya
tidak lagi tajam, bahkan berkesan penuh penyesalan.
"Maaf, aku memang salah
duga kalau begitu. Kusangka kau adalah Tandak Ayu, karena Tandak Ayu tadi
mengenakan pakaian kuning juga dan ia mempunyai pusaka milik guruku itu yang
bisa membuat dirinya mampu berubah-ubah wujud."
Citradani segera menceritakan
riwayatnya menjadi murid yang tersingkir dari Kuil Elang Putih. Pertemuannya
dengan Suto pun diceritakan pula oleh Citradani. Bahkan Citradani sempat
bertanya dalam nada curiga.
"Apakah kau kekasihnya
Suto Sinting?" Kirana tersenyum kecil. "Aku hanya sahabatnya, karena
memang begitulah anggapan Suto kepadaku selama ini."
"Mengapa kau tak mau
menjadi kekasihnya?"
"Hanya gadis bodoh yang
tak mau menjadi kekasihnya. Kalau Suto mau, aku tak akan pernah bisa menolak.
Tapi agaknya Suto sudah mempunyai gadis pilihan."
"Siapa gadisnya
itu?"
"Tanyakan sendiri kepada
Suto Sinting. Yang jelas, sekarang aku ingin mencarinya, karena aku sudah lama
tidak jumpa dengannya. Aku suka berpetualang bersamanya."
Kini Citradani mulai tersenyum
penuh persahabatan. "Kurasa kau menunggu hati Suto mencair dan mau menjadi
kekasihmu."
"Itu harapan terakhir
yang berusaha kulupakan," kata Kirana.
"Kalau begitu, mari
kutunjukkan di mana aku bertemu Suto tadi."
"Lalu bagaimana dengan
lawanmu, si Tandak Ayu?"
"Sudah terlalu sulit
untuk kukejar jika ia sudah berubah menjadi undur-undur. Tapi aku yakin suatu
saat aku akan bertemu dengannya lagi dan mampu merebut kembali kalung Lintang
Suci itu."
"Akan kubantu kau, karena
hubunganku dengan gurumu pun baik!"
Citradani segera membawa
Kirana ke kaki Bukit Mata Langit. Kirana tak tahu tempat itu. Tapi Citradani
tak tahu kalau Suto sudah pergi dari kaki Bukit Mata Langit. Pendekar Mabuk
telah membawa pergi Wiratmoko yang terkena pukulan kakek berjenggot panjang
yang amat berbahaya. Suto membawa Wiratmoko menjauhi tempat itu. Ia tiba di
kaki bukit lain yang jarang ditumbuhi tanaman.
Bongkahan-bongkahan batu cadas
lebih banyak tumbuh di sana, membentuk dinding-dinding alami, seperti
lorong-lorong pendek.
Di sanalah tubuh Wiratmoko
dibaringkan dalam keadaan kaku, mata mendelik dan mulut ternganga.
Sementara itu, dari lubang
hidungnya masih keluarkan cairan darah merah busuk yang memang menyebarkan
aroma tak sedap. Suto Sinting segera menuangkan tuaknya pelan-pelan ke mulut
Wiratmoko yang ternganga itu. Sedikit demi sedikit tuak tersebut masuk ke
tenggorokan Wiratmoko. Beberapa kejap berikutnya Wiratmoko tampak mulai bisa
menelan tuak tersebut.
Tangannya mulai melemas.
Dadanya bernapas dengan teratur. Matanya mulai bisa berkedip-kedip. Apa yang
membuatnya kaku menjadi lemas. Darah tak keluar lagi dari hidungnya. Semakin
lama semakin membaik keadaan Wiratmoko. Bahkan pemuda itu sempat tertidur
beberapa saat, dan Suto Sinting membiarkannya. Ia hanya berpikir membayangkan
wajah kakek berjenggot panjang itu.
"Siapa tokoh tua itu?
Mengapa ia menyerang Wiratmoko dengan jurus mautnya? Mengapa pula ia melarangku
bergaul dengan Wiratmoko? Apakah ia tak mau melibatkan diriku? Apakah dia tak
mau bentrok denganku? Mengapa tak mau? Ah, aneh sekali tokoh tua itu. Seharusnya
aku mengejarnya dan menanyakan penyebab kata-katanya itu. Tapi.... ke mana aku
harus mencarinya?"
Suto Sinting mencoba naik ke
tempat yang lebih tinggi. Dengan satu kali sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya
sudah bisa melesat ke atas, bersalto satu kali dan hinggap di gugusan cadas
yang tinggi. Dari sana Suto memandang alam sekitarnya. Beberapa saat ia
memandang, tak ditemukan gerakan mencurigakan di sekitar tempat itu. Bahkan
bayangan berkelebat dari tokoh tua tadi pun tidak dilihatnya. Suto Sinting akhirnya
menenggak tuaknya dengan tetap berdiri di ketinggian tersebut.
Tapi pada waktu Pendekar Mabuk
ingin bergerak turun dari ketinggian, tiba-tiba pandangan matanya menangkap
suatu gerakan lari yang amat cepat. Hampir-hampir tak bisa dipandang mata. Gerakan
lari itu seperti bayangan putih yang samar-samar berkelebat menyelinap melalui
celah-celah pohon di seberang sana.
Suto segera melesat dengan
cepat. Gerakannya melebihi kecepatan bayang putih itu. Dalam waktu singkat Suto
Sinting sudah berhasil berdiri menghadang langkah bayangan putih. Orang
tersebut segara hentikan langkahnya dan merasa kaget melihat Suto sudah berdiri
di depannya.
"Kau lagi!" gumam
kakek berjenggot panjang itu.
Ternyata harapan Suto
terkabul. Ia berhasil bertemu dengan kakek penyerang Wiratmoko. Mata Suto
memperhatikan dengan seksama. Kakek itu mengenakan jubah putih lusuh dan
menggenggam tongkat berkelok- kelok seperti seekor ular warnanya hitam.
Rambutnya yang panjang sepunggung tidak diikat apa pun, sehingga hembusan angin
memainkan rambut itu, menyingkap dan menutup sebagian wajahnya. Kakek kurus itu
mempunyai sapasang mata yang cekung dan tubuh yang kurus. Namun sorot pandangan
matanya itu bagai mempunyai kekuatan yang membuat lawan atau orang lain menjadi
segan kepadanya. Suto pun merasa demikian, namun ia memaksakan diri untuk tetap
berdiri menghadang kakek tersebut.
"Maaf, Pak Tua...."
sapa Suto dengan sopan, "Aku terpaksa menghentikan langkahmu. Ada sesuatu
yang ingin kuketahui darimu dan membuatku sangat ingin tahu."
Kakek berambut panjang itu
berkata, "Menyingkirlah, Murid si Gila Tuak. Jangan campuri
urusanku!"
Suto Sinting terkejut
mendengar kakek itu mengenal nama gurunya.
"Sekali lagi,maafkan aku,
Pak Tua. Aku hanya ingin mengetahui siapa dirimu, sehingga menyerang Wiratmoko
dan melarangku berteman dengannya?"
"Tanyakan saja pada
gurumu siapa Raja Maut. Dia kenal namaku itu dan tentunya dia mendengar
persoalanku dengan Wiratmoko yang menjadi murid tunggal nya Dampu Sabang."
"Siapakah Dampu Sabang
itu, Pak Tua?"
"Tanyakan pada gurumu,
Bodoh!" bentak Raja Maut dengan wajah semakin tampak keras dan berwibawa.
"Aku harus selesaikan
urusanku dengan seseorang di Pukau Blacan. Lain kali kita bertemu lagi, Suto
Sinting!"
Slaap... !
Raja Maut pergi dengan sangat
cepat sehingga berkesan seperti menghilang. Suto Sinting ingin mengejarnya,
tapi tertahan oleh keragu-raguan. Ia pun bergegas kembali ke tempat Wiratmoko
dibaringkan. Ia ingin bertanya kepada Wiratmoko tentang gurunya yang bernama
Dampu Sabang itu.
Tetapi alangkah terkejutnya
Pendekar Mabuk ketika mengetahui Wiratmoko sudah tak ada. Bekas telapak kakinya
pun tak terlihat, sehingga dalam hati Suto Sinting pun timbul kesangsian
kembali.
"Apakah dia pergi dengan
sendirinya, atau ada yang membawanya lari? Jika ia pergi sendiri ke mana
arahnya, jika ada yang membawa lari siapa orangnya?"
MATAHARI pagi mulai meninggi.
Sinarnya memancar terang menyiram tubuh kekar Pendekar Mabuk yang sedang
berjalan menyusuri lembah. Lembah itu berpohon renggang dengan jenis tanaman
terbanyak adalah cemara. Cemara liar mempunyai dahan besar dan
bercabang-cabang. Pada salah satu dahan itulah terdengar suara tangis seorang
gadis yang meratap memilukan.
Langkah Suto Sinting terhenti
di bawah pohon itu. Wajahnya mendongak memperhatikan gadis berkepang dua dan
berwajah mungil cantik. Pakaiannya hijau terang, menyelipkan pisau emas di
pinggangnya yang berukuran sekitar dua jengkal.
Gadis itu menangis dengan
keadaan duduk di dahan besar, dagunya diletakkan di atas kedua lutut yang
ditekuk ke atas.
"Kasihan. Gadis itu
menangis sendirian di atas pohon tak ada temannya," pikir Pendekar Mabuk,
"Kedengarannya tangis itu sangat memilukan hati. Apa gerangan yang terjadi
sehingga ia harus menangis di atas sana? Oo... ya, ya... aku tahu, pasti dia
menangis karena tak bisa turun dari atas pohon. He, he, he... gadis itu cantik
tapi bodoh. Sudah tahu tak bisa turun dari atas pohon mengapa harus naik ke
atas sana?"
Pendekar Mabuk segera serukan
suaranya,
"Gadis manis, maukah kau
kutolong untuk turun dari pohon itu?
Tangis tersebut tiba-tiba
hilang, tapi isaknya masih terdengar sesekali. Gadis itu buru-buru menghapus
air matanya. Ia memalingkan wajah bagaikan ingin bersembunyi dari tatapan mata
Suto Sinting.
"Lain kali kalau tak bisa
turun dari pohon jangan coba-coba naik ke atas pohon, Nona!"
Setelah berkata demikian, Suto
segera menendang pohon tersebut dengan tendangan miring. Wuuut...!
Duuhg...!
Wwwrrr... !
Pohon itu terguncang hebat.
Gadis berkepang dua itu terpelanting jatuh tak sempat berpegang dahan di
atasnya. Ia menjerit saat melayang dari atas pohon tersebut.
"Aaa...!"
Buhhg... !
Suara jatuhnya bagai nangka
jatuh dari atas pohon. Beruntung ia jatuh di semak ilalang, sehingga tubuhnya
tak terluka sedikit pun. Hanya tulang pinggulnya sedikit terasa ngilu karena
membentur tanah keras.
"Kurang ajar!"
bentak gadis itu ketika berdiri. Ia langsung melesat bagaikan terbang menyerang
Pendekar Mabuk dengan tendangan kakinya. Wuuus...!
Plak, plak...!
Dua tendangan beruntun itu
berhasil ditangkis dengan kibasan tangan Suto. Kibasan yang kedua membuat tubuh
itu terpelanting dan jatuh dalam keadaan bagai orang mau merangkak.
"Maaf, aku lupa menadah
tubuhmu saat jatuh dari atas tadi," kata Suto. "Tapi seharusnya kau
berucap terima kasih kepadaku, karena aku sudah membantumu turun dari atas
pohon."
"Dasar bodoh!"
geramnya dalam sentakan menampakkan kejengkelan hatinya. "Aku menangis
bukan karena tak bisa turun dari atas pohon!"
"Lho...?!" Suto
Sinting terbengong malu.
"Aku menangis karena
sebab lain, tahu?!" bentak gadis berkepang dua itu.
"Mmm...maaf. Maafkan aku
kalau begitu. Aku salah duga. Habis kau tak mau menjawab pertanyaanku yang
pertama, jadi kusimpulkan sendiri apa yang kulihat dalam tangismu, Nona.
Maafkan aku. Aku tak sengaja mengganggu tangismu. Jika begitu, biarkan aku
pergi dan silakan melanjutkan tangismu lagi."
Suto berbalik arah dan
melangkah. Dua langkah kemudian ia merasa ada angin panas yang menuju ke arah
punggungnya. Suto Sinting cepat balikkan badan. Ternyata gadis berkepang dua
itu melepaskan pukulan jarak jauh tanpa sinar. Pukulan itu ditangkis Suto
dengan menyilangkan bumbung tuak ke depan dada.
Wuuut...! Duub...! Wuuuss...!
Bumbung tuak itu memantul
balikkan pukulan tersebut sehingga gadis itu kebingungan menghadapi serangannya
sendiri. Serangan tersebut mempunyai tenaga lebih besar dari yang dikeluarkan.
Akibatnya gadis itu melompat ke kiri dan kakinya terhempas kuat akibat terkena
tenaga pantulan tersebut. Tubuh yang melompat itu cepat berputar terjungkir dan
jatuh telentang dengan amat menyedihkan. Blaak...!
"Uuh...!" Ia
mengerang, meringis kesakitan. Pinggangnya terasa patah.
"Jangan menyerangku,
Nona. Kau bisa celaka jika menyerangku. Kecuali jika aku mau kau serang, kau
tak akan celaka. Lain kali jika ingin menyerangku, bilanglah dulu padaku supaya
aku rela menerima seranganmu."
"Setan!" geramnya
sambil berdiri. "Kau pasti teman orang itu!"
Suto celingak-celinguk ke
sekelilingnya. "Orang yang mana maksudmu?"
"Iblis Naga
Pamungkas!"
Suto Sinting kerutkan dahi,
karena merasa asing dengan nama tersebut. Gadis berkepang dua yang punya tahi
lalat kecil di sudut mata kirinya itu hanya mencibir sinis melihat keheranan
Suto.
"Aku tidak kenal dengan
nama itu."
"Bohong!"
"Aku berani bersumpah.
Justru kalau kau mau, tolong jelaskan siapa orang berjuluk Iblis Naga Pamungkas
itu?"
"Tentu saja orang yang
mempunyai Pedang Naga Pamungkas!"
"Aku tidak tahu siapa
pemilik pedang tersebut, Nona."
Gadis itu diam. Tangannya
membersihkan tanah yang melekat di pakaian hijau cerahnya itu. Sambil
menepiskan tanah-tanah dari pakaiannya, matanya memandang tajam penuh selidik.
Dari ujung rambut Suto diperhatikan sampai ke bagian kakinya. Suto Sinting
tetap kalem. Bahkan ia sempat meneguk tuaknya dari bumbung bambu satu kali.
Kesannya menganggap ringan kepada gadis yang sedang cemberut itu.
"Baiklah, Nona,"
kata Suto, "Kalau kau tak mau jelaskan apa sebab kau menangis dan apa
hubungannya dengan Iblis Naga Pamungkas, aku akan teruskan langkahku mencari
seorang teman."
"Siapa dirimu sebenarnya?
Sebutkan dulu, baru aku akan jelaskan masalahku."
"O, kau tanya namaku?
Namaku Suto Sinting," jawab Suto dengan kalem, tapi membuat mata gadis itu
terbelalak dan berbinar-binar.
"Jadi...jadi kau yang
berjuluk Pendekar Mabuk itu?"
"Hei, kau mengenali
julukanku?"
Ketegangan gadis itu pun
mengendur. Ia mempercayai pengakuan Suto, karena ia ingat ciri-ciri Pendekar
Mabuk yang sering didengarnya dari mulut para tokoh rimba persilatan. Gadis itu
kini duduk di sebongkah batu di bawah pohon yang tadi digunakan untuk menangis.
Ia merenung sesaat, dan Pendekar Mabuk mendekatinya dengan senyum masih
tersungging di bibirnya.
"Kalau kau sudah tahu
siapa diriku, sekarang giliranku mengetahui dirimu."
Tanpa memandang Suto, gadis
itu menjawab dengan suara datar,
"Namaku Mega Dewi. Ayahku
Ki Lurah Pramadi. Semalam tewas dikalahkan oleh Iblis Naga Pamungkas dalam
keadaan sangat mengerikan. Kalau kau ingin melihat jenazah ayahku ada di bawah
tiga pohon rapat sebelah barat itu."
Gadis yang mengaku bernama
Mega Dewi itu memandang tiga pohon cemara liar yang tumbuh berjajar merapat di
sebelah barat mereka. Suto Sinting hanya memperhatikan pohon itu, belum mau
bergerak sedikitpun. Namun ketika Mega Dewi melangkah menuju pohon yang dimaksud,
Suto segera
mengikutinya.
"Itulah jenazah
ayahku," ucap Mega Dewi sambil menahan tangis, walau air matanya kembali
meleleh membasahi pipinya yang merah jambu itu.
Suto Sinting terperangah kaget
melihat jenazah Ki Lurah Pramadi. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Semalam?! Pertarungan
itu terjadi semalam?!"
"Ya. Semalam. Aku lari
bersembunyi di atas pohon sampai pagi menjelang dan kau pun datang."
Suto kembali menatap jenazah
Ki Lurah Pramadi yang telah berwujud menjadi tengkorak rapuh, seperti layaknya
orang yang mati sudah bertahun-tahun. Tak ada kulit atau daging yang tersisa
sedikit pun. Bahkan bentuk kerangkanya sudah kusam. Sebagian ada yang rapuh.
Tengkorak kepalanya bagian kiri terlihat keropos. Sisa rambutnya pun tak ada.
Itulah sebabnya Suto merasa tak yakin jika Ki Lurah Pramadi dibunuh tadi malam.
"Aku tak percaya kalau
ayahmu dibunuh tadi malam."
"Mulanya aku pun tak
percaya dengan penglihatanku. Tapi mau tak mau aku terpaksa percaya karena aku
melihat sendiri pertarungan itu. Sebelum Ayah tiada, beliau sempat berseru agar
aku bersembunyi dan menjauhi pertarungannya. Maka aku pun bersembunyi di pohon
sana."
Mata Pendekar mabuk masih
menatap heran pada kerangka mayat Ki Lurah Pramadi itu. Ia bergumam dengan
suara terdengar di telinga Mega Dewi,
"Jurus apa yang digunakan
iblis Naga Pamungkas, sehingga lawannya bisa menjadi seperti ini? Alangkah
bahayanya jurus itu?"
"Ia menggunakan Pedang
Naga Pamungkas," kata Mega Dewi. "Kuperhatikan dari kejauhan, ia
menggunakan pedang itu pada saat ia telah terdesak oleh serangan ayahku. Ia
tebaskan pedang itu menyilang, melukai punggung Ayah. Lalu asap tebal
membungkus tubuh Ayah, setelah itu Ayah pun roboh tanpa suara lagi. Iblis Naga
Pamungkas pergi tinggalkan Ayah setelah tak berhasil mencariku. Ketika
kuhampiri, ternyata Ayah sudah dalam keadaan seperti ini."
"Apa masalahnya sehingga
ayahmu bentrok dengan Iblis Naga Pamungkas?"
"Balas dendam!"
jawab Mega Dewi.
"Balas dendam yang
bagaimana? Coba jelaskan!" desak Suto penasaran sekali.
"Ayahku termasuk musuh
utama dari gurunya Iblis Naga Pamungkas. Konon, ayahku pernah membunuh salah
satu dari ketiga istri gurunya Iblis Naga Pamungkas."
"Siapa gurunya Iblis Naga
Pamungkas itu?"
"Aku tak mendengar ia
sebutkan nama sang Guru, aku hanya mendengar persoalannya saja, bahwa Iblis
Naga Pamungkas ditugaskan oleh gurunya untuk membantai habis para musuh
utamanya.
"Apakah kau tahu siapa
saja musuh utamanya?"
"Tidak. Tapi kudengar ia
menyebutkan orang berikutnya yang akan disambangi dengan Pedang Naga
Pamungkasnya itu."
"Siapa nama orang
tersebut?"
"Ki Gendeng
Sekarat."
"Hahh...?!" Suto
Sinting terkejut dengan melebarkan matanya.
Mega Dewi menatap heran,
"Apakah kau kenal dengan nama itu?"
"Sangat kenal. Ki Gendeng
Sekarat adalah bekas pelayan guruku dan hubunganku dengan beliau sangat baik.
Beliau banyak membantuku dalam beberapa urusan. Jelas aku tak akan membiarkan
Iblis Naga Pamungkas menghabisi nyawa Ki Gendeng Sekarat!" Pendekar Mabuk
termenung beberapa saat membayangkan wajah Ki Gendeng Sekarat. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Prahara Pulau Mayat"). Bagi Suto, Ki
Gendeng Sekarat bukan saja seorang sahabat, namun sudah dianggap seperti orang
tua sendiri, pengganti gurunya dalam meminta berbagai pertimbangan. Tentu saja
Suto tak ingin nasib Ki Gendeng Sekarat seperti nasib Ki Lurah Pramadi.
"Tahukah kau ke mana
perginya Iblis Naga Pamungkas itu?" tanya Suto bagai kehilangan senyum.
"Yang kutahu ia
menghilang setelah bergerak ke utara," jawab Mega Dewi.
"Kalau begitu, akan
kukejar dia ke sana. Selamat tinggal, Mega Dewi."
"Tunggu!" cegah Mega
Dewi membuat Suto urungkan langkah.
Mega Dewi mendekat saat Suto
berpaling memandangnya. "Aku harus ikut denganmu, Suto!"
"Tidak ada keharusan. Aku
tak mau pergi denganmu, karena aku tak ingin kau menjadi korban seperti
ayahmu."
Mega Dewi menggelengkan
kepala.
"Aku harus ikut demi
membalas kematian ayahku. Aku harus ikut sumbangkan tenaga buat kalahkan Iblis
Naga Pamungkas. Aku tahu, aku akan kalah jika melawannya sendiri. Tapi dengan
membantumu, aku sudah merasa membalaskan kematian ayahku."
"Kalau kau sendiri yang
akhirnya menjadi korban, bagaimana?"
"Aku sudah siap mati demi
pembelaan terhadap ayahku. Percuma aku hidup tanpa bisa membalaskan dendam atas
kematian ayahku, karena aku sendiri hidup sudah tak memiliki orangtua lagi.
Ayahku tiada, ibuku pun sudah lama meninggal. Kini hidupku sebatang kara, tak
punya arti bagi saudara dan orangtua." Mega Dewi menangis dengan tundukkan
wajah. Suto Sinting hanya menarik napas. Menahan keharuan dan rasa iba hati
atas nasib Mega Dewi.
Ki Gendeng Sekarat yang
menjadi sasaran keganasan Iblis Naga Pamungkas tidak tahu kalau dirinya sedang
diincar bahaya. Ki Gendeng Sekarat justru sedang mencari Suto Sinting untuk
satu keperluan, yaitu tugas dari Gusti Mahkota Sejati, penguasa Puri Gerbang
Surgawi di Pulau Serindu yang mempunyai nama asli Dyah Sariningrum. Wanita anggun
dan cantik itu adalah calon istri Suto. Ia menderita sakit karena rindu ingin
jumpa dengan Suto, karenanya Ki Gendeng Sekarat ditugaskan mencari Suto agar
membawanya pulang ke Puri Gerbang Surgawi untuk beberapa saat.
Tetapi dalam perjalanannya
itu, Ki Gendeng Sekarat yang doyan tidur itu memang telah tertidur di bawah
pohon tepi jalan menuju sebuah desa. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun
berambut ikal putih mengenakan ikat kepala hitam itu dengan enaknya duduk
melonjor kaki, punggung bersandar batang pohon, mulut ternganga mengeluarkan
dengkur tipis. Ia tampak nyenyak sekali dalam tidurnya. Senjatanya yang berupa
kipas putih masih terselip di pinggang.
Seorang bocah penggembala
kambing melintas di jalanan depan Ki Gendeng Sekarat. Bocah itu tersenyum geli
melihat Ki Gendeng Sekarat tidur seenaknya. Dengan usil bocah berusia sekitar
sepuluh tahun itu melemparkan batu ke arah Ki Gendeng Sekarat. Wuuut..! Lalu ia
bersembunyi di balik bongkahan batu cadas, membiarkan kambingnya memakan rumput
di seberang sana.
Tetapi sang bocah segera
kaget, karena batu yang dilemparkan itu tiba-tiba ditangkap oleh tangan kiri Ki
Gendeng Sekarat. Taaab...! Bocah itu bertambah heran karena pada saat batu
tertangkap tangan Ki Gendeng Sekarat masih tertidur dengan nyenyak. Dengkurnya
terdengar samar-samar.
"Dia pasti bukan
pengemis. Dia pasti orang sakti," pikir bocah itu. "Alangkah
senangnya jika aku diangkat murid oleh orang itu. Tanpa bangun dulu dia bisa
tangkap lemparan batuku. Ah, kucoba sekali lagi untuk melemparkan batu yang
lebih kecil lagi ke arahnya. Apakah ia masih bisa menangkapnya?"
Wuuut...! Batu itu dilemparkan
dari balik persembunyian, tapi dengan cepat tangan Ki Gendeng Sekarat
berkelebat menyambar batu tersebut. Taab...! Dan posisi tidurnya hanya sedikit
bergeser lebih merendah lagi, namun dengkurannya tetap terdengar samar-samar.
"Gila dia masih tetap
tidur?!" pikir bocah penggembala dengan herannya.
Tiba-tiba bocah itu terkejut
saat ingin keluar dari persembunyian. Hal yang membuatnya terkejut adalah
munculnya seekor harimau hitam dari arah timur. Harimau hitam itu melangkah
dengan pelan, lalu hidungnya mendengus-dengus bagaikan mencium bau sedapnya
makanan. Suara geramannya pun mulai terdengar. Bocah penggembala kambing
menjadi gemetar ketakutan.
"Celaka! Harimau itu
menuju kemari. Pasti ia akan menyantapku, bukan menyantap kambing-kambingku?!
Aduh, bagaimana ini? Kalau aku lari pasti akan dikejarnya. Aku akan kalah cepat
dengan larinya." Bocah penggembala kambing masih bersembunyi di balik
bongkahan batu cadas, ia bermaksud memanjat pohon, tapi ia segera sadar bahwa
harimau kumbang itu mampu memanjat pohon dengan cepat. Menggigil juga sekujur
tubuh yang mengeluarkan keringat dingin itu. Harimau tersebut semakin dekat.
"Oh, dia menuju ke orang
tua itu? Celaka! Orang itu masih tetap tidur, tak mengetahui kalau ada bahaya
datang. Aku harus segera bertindak untuk menyelamatkan orang tua yang tertidur
itu. Jika tidak, pasti dia akan mati diterkam harimau hitam."
Bocah penggembala segera
mencari sebongkah batu. Ia temukan batu sebesar dua kali genggaman tangannya.
Pada saat itu harimau hitam sudah semakin dekat dengan Ki Gendeng Sekarat.
Binatang itu sudah bersiap- siap untuk melompat dan menerkam Ki Gendeng
Sekarat. Bocah penggembala segera keluar dari persembunyiannya. Ia berlari
lebih mendekati lalu melemparkan batu itu ke arah harimau hitam.
"Mati kau macan
keling!"
Wuuut... ! Buuhg... !
"Ggrrrrr...!"
Batu itu mengenai perut sang
harimau. Untuk sesaat harimau itu terlonjak ke samping. Lalu arahnya berbalik
menghadap kepada bocah tersebut. Matanya memancarkan keganasan yang mengerikan.
Bocah itu menggigil dan tak sempat berlari karena paniknya. Harimau hitam
segera melompat dengan mulut ternganga dan taringnya yang runcing siap merobek
tubuh bocah tersebut.
"Grrraaaow...!"
Wuuuusst...! Bocah kecil itu
menutup mata kuat-kuat, mulutnya juga ternganga karena ingin berteriak namun
tak mampu keluarkan suara. Tubuhnya terasa melayang, sehingga ia merasa sudah
mati dan tinggal rohnya saja yang melesat terbang di udara bebas.
Namun ketika ia buka mata,
ternyata ia dalam pelukan Pak Tua yang masih tetap tertidur dengan mata
terpejam walau sudah berpindah tempat. Rupanya bocah itu disambar oleh Ki
Gendeng Sekarat sehingga terkaman harimau hitam itu tidak menemukan sasarannya,
melainkan menemukan tempat kosong.
"Bocah dungu! Untuk apa
kau melawan macan hitam itu, hah?! Bisa mati sia-sia kau, Nak! Cepat sembunyi
di belakang pohon itu!"
Kata-kata Ki Gendeng Sekarat
membuat si bocah terbengong-bengong, karena Ki Gendeng Sekarat bicara dalam
keadaan tertidur. Suaranya pun parau bagaikan orang sedang mengigau.
"Cepat sembunyi, Bodoh!
Macan itu berbalik ke arah kita!" kata Ki Gendeng Sekarat sambil mendorong
bocah itu agar segera lari ke balik pohon.
Bocah itu memang lari untuk
sembunyi, tapi wajahnya masih berpaling memandang ke arah harimau hitam yang
kini sedang mengaum mengerikan dengan melompat cukup tinggi hendak menerkam Ki
Gendeng
Sekarat. Dalam keadaan masih
tidur, Ki Gendeng Sekarat segera sentakkan telapak tangan kirinya ke depan.
Sepercik sinar kuning terlepas terbang dan menghantam tubuh harimau hitam itu.
Buuhg...!
"Grraaaoow...!"
Binatang tersebut terjungkal ke belakang sambil keluarkan raung yang mendirikan
bulu kuduk si bocah.
Harimau itu jatuh
berguling-guling bagaikan diterjang badai amat besar. Tubuhnya sempat membentur
bongkahan batu cadas yang tadi dipakai bersembunyi si bocah penggembala.
Binatang itu meraung-raung di sana. Dan tiba-tiba tubuhnya menyala terang, amat
menyilaukan, membuat si bocah mengecilkan mata. Ketika sinar putih menyilaukan
itu hilang, bocah penggembala terkejut bukan kepalang, karena wujud harimau
hitam itu berubah sama sekali, berganti rupa perempuan cantik berpakaian kuning
terang.
Terdengar pula suara Ki
Gendeng Sekarat yang masih berdiri sambil tertidur, kepalanya terkulai lemas ke
samping.
"Kalau tak salah kenal...
kau adalah Tandak Ayu, murid Nyai Demang Ronggeng! Aku masih ingat wajahmu, Cah
Ayu!"
"Ternyata kau belum
pikun, Raja Molor!" ucap Tandak Ayu sambil bergegas berdiri, merapikan pakaian
sebentar, memandang dengan sengit karena penyamarannya mampu dipudarkan oleh
pukulan Ki Gendeng Sekarat.
"Mengapa kau menyerangku,
Tandak Ayu!"
"Seseorang telah berpesan
padaku, agar jika bertemu denganmu aku harus membunuhmu, Ki Gendeng
Sekarat."
"Lupakan pesan itu dan
jangan lakukan, nanti kau menyesal akibatnya!" kata Ki Gendeng Sekarat
masih dengan tertidur nyenyak.
Agaknya Tandak Ayu tidak
pedulikan anjuran itu. Ia segera cabut pedang di punggungnya. Serrt...!
Kemudian segera melompat ke arah Ki Gendeng Sekarat. Ia lakukan tanpa suara
supaya Ki Gendeng Sekarat tak sadar jika sedang diserang dengan pedang. Tandak
Ayu tidak mengetahui bahwa Ki Gendeng Sekarat lebih berbahaya dalam keadaaan
tidur daripada dalam keadaan melek. Pedang perempuan itu menebas dari atas ke
bawah, sasarannya pundak Ki Gendeng Sekarat. Tetapi dengan sigap dan cepat Ki
Gendeng Sekarat sentakkan tangannya yang tahu-tahu sudah menyambar kipas putih.
Traak...!
Kipas putih itu menahan
gerakan pedang di atas punggung, lalu tangan Ki Gendeng Sekarat yang satunya
lagi menghantam siku pemegang pedang. Kraak...!
"Aauh...!" Tandak
Ayu memekik. Tulang lengannya terasa patah karena sentakan telapak tangan Ki
Gendeng Sekarat. Sedangkan bocah penggembala itu semakin terkagum-kagum melihat
kehebatan jurus Ki Gendeng Sekarat, karena ia tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat
melakukan perlawanan masih dalam keadaan tidur.
"Tinggalkan diriku dan
jangan lakukan pesan seseorang itu. Tandak Ayu! Semua tulangmu bisa patah kalau
kau nekat menyerangku, Cah Ayu!"
"Persetan! Aku masih
punya tangan kiri yang lebih berbahaya dalam memainkan pedangku.
Hiaaah...!"
Wuuut...! Wuuuurt..!
Ki Gendeng Sekarat kibaskan
kipasnya dalam jarak dua langkah dari tempat Tandak Ayu. Angin besar melanda
dan menumbangkan tubuh Tandak Ayu hingga perempuan itu terjungkir balik
terhempas tak tentu arah. Praaak.. ! Kepalanya membentur gugusan batu cadas.
Darah mengucur, namun ia masih sempat larikan diri.
"Bagus! Pergilah dengan
cepat sebelum murkaku datang, Tandak Ayu!"
"Kita akan bertemu lagi,
Ki Gendeng Sekarat!"
"Terserah kalau memang
kau tak jera dengan bocornya kepalamu itu!"
Tandak Ayu telah sampai di
kejauhan dalam waktu yang hanya beberapa kejap.
Bocah penggembala keluar dari
persembunyiannya, memandangi arah pelarian Tandak Ayu. Ia terbengong beberapa
saat di tempatnya, merasa heran dengan perempuan yang bisa merubah diri menjadi
seekor harimau hitam. Menurut bocah itu, Tandak Ayu pun punya ilmu tinggi dan
cukup sakti, tapi kenapa hanya sekali gebrak dengan kipas Ki Gendang Sekarat
saja bisa lari tunggang- langgang. Jika bukan karena Ki Gendeng Sekarat punya
ilmu lebih tinggi, tak mungkin Tandak Ayu melarikan diri walau kepalanya sempat
bocor dan berdarah.
"Aku harus bicara dengan
Pak Tua itu," kata hati bocah penggembala. Tapi ketika ia berpaling
memandang Ki Gendeng Sekarat, ternyata orang tersebut telah kembali ke tempat
duduknya semula, tertidur dengan bersandar pohon dan sedikit merebah dari
semula. Suara dengkurannya terdengar samar-samar.
"Yaah... tidur
lagi?!" bocah itu mengeluh kecewa. Tapi ia nekat membangunkan Ki Gendeng
Sekarat yang dikaguminya itu.
"Kek... Kakek... Kek,
bangunlah sebentar, Kek." Bocah itu hanya berani berkata-kata namun tak
berani menyentuh tubuh Ki Gendeng Sekarat.
"Kakek yang sakti,
bangunlah sebentar...." Ki Gendeng Sekarat tetap tertidur, matanya
bagaikan lengket dan tak bisa dibuka. Tapi ia menjawab suara si bocah dengan
suara parau.
"Ada apa? Mau melemparkan
batu lagi?"
"Buk... bukan... bukan
itu, Kek. Hmmm... anu... saya... saya ingin menjadi muridmu, Kek."
"Murid apa?" jawab
Ki Gendeng Sekarat dengan sangat lemah dan malas.
"Saya... saya ingin
menjadi sakti seperti Kakek."
"Sakti? Sakti itu apa?
Tak tahu aku. Tidurlah sini di sampingku kalau kau ingin menjadi muridku. Murid
tidur, apa susahnya? Tidur tak perlu dipelajari dan tak perlu dicari gurunya.
Sini, tidur di sampingku!"
Sang bocah bingung dan
terbengong- bengong. Ia ragu menuruti saran tersebut.
"Apakah dengan tidur di
sampingnya aku bisa menjadi sakti seperti dia?" pikir sang bocah dengan
lugu.BOCAH berkulit hitam tertidur di samping Ki Gendeng Sekarat. Dalam
tidurnya ia bermimpi sedang dilatih ilmu kanuragan oleh Ki Gendeng Sekarat.
"Namamu siapa, Nak?"
"Angon Luwak, Kek."
"Angon Luwak? Lho, apakah
tidak keliru? Setahuku kau angon kambing, alias menggembala kambing."
"Itu pekerjaanku, Kek.
Tapi namaku sejak kecil adalah Angon Luwak, Kek"
"Ya sudahlah. Itu urusan
orangtuamu. Kalau aku jadi orangtuamu tak mau berikan nama seperti itu.
Sekarang yang penting kau ingin belajar ilmu silat padaku. Aku akan berikan
beberapa jurus untuk membela dirimu jika dalam bahaya. Tapi tak boleh kau
gunakan untuk sombongkan diri. Setuju?!"
"Ya, Kek. Setuju."
"Bagus. Sekarang remaslah
batu hitam ini sampai pecah."
Dalam mimpi sang bocah, ia
diberi batu hitam oleh Ki Gendeng Sekarat. Batu itu disuruh meremasnya sampai
pecah. Angon Luwak tak sanggup lakukan walau sudah berulang kali mencobanya.
"Sulit,
Kek.""Memang sulit. Kalau cari yang mudah, ya bakar jagung lalu dimakan,itu
mudah," kata Ki Gende Sekarat.
"Kerahkan semua tenagamu
ke tangan kanan. Kencangkan semua otot, tahan napasmu dalam meremas batu itu.
Lakukan!"
Bocah yang mengaku bernama
Angon Luwak itu melakukan sebisa-bisanya. Tentu saja ia tetap tak bisa meremas
batu hitam itu. Ia meringis dan berkata,
"Malah sakit, Kek."
"Ya memang sakit. Kalau
yang tidak sakit adalah makan nasi pakai ayam bakar. Itu tidak akan
sakit."
"Kalau bisa pelajaran
yang lainnya saja, Kek."
"Pelajaran yang lainnya
aku sudah tak ingat bagaimana mengajarkannya. Yang kuingat pelajaran meremas
benda keras menjadi hancur. Kalau kau tak mau pelajaran itu, ya sudah cari guru
lain saja," kata Ki Gendeng Sekarat dengan seenaknya.
Angon Luwak melakukan
pelajaran meremas batu berkali-kali, tapi yang ia peroleh hanya telapak tangan
yang lecet dan perih. Ki Gendeng Sekarat menyuruh Angon Luwek membuka telapak
tangannya yang perih itu.
"Coba buka telapak
tanganmu!"
Angon Luwak membuka telapak
tangannya. Tiba-tiba Ki Gendeng Sekarat memukulkan telapak tangannya sendiri ke
telapak tangan bocah itu. Plaak...! Sekilas cahaya putih perak memancar dari
perpaduan telapak tangan tersebut. Bocah itu heran, namun rasa herannya harus
segera disingkirkan karena Ki Gendeng Sekarat segera berkata,
"Telapak tangan yang kiri
juga dibuka sekalian!"
Angon Luwak membuka telapak
tangan yang kiri. Ki Gendeng Sekarat memukulkan telapak tangannya sendiri ke
telapak tangan kiri Angon Luwak. Plaak...! Sinar putih perak berkilat kembali.
Hanya sekejap dan sangat cepat, tahu-tahu sudah hilang tanpa asap sedikitpun.
Tapi Angon Luwak merasakan getaran panas yang masuk dalam tubuhnya melalui
lengan tersebut.
"Sekarang, coba remas
lagi batu hitam itu!" perintah Ki Gendeng Sekarat.
Bocah kecil berambut lurus
agak panjang itu menggenggam batu hitam dan meremasnya dengan mengencangkan
seluruh urat lengan. Praak...!
"Wah, bisa! Bisa hancur,
Kek?!" bocah itu kegirangan.
"Belum," kata Ki
Gendeng Sekarat. "Kau belum berhasil. Batu itu harus menjadi lembut. Tidak
boleh menjadi bongkahan- bongkahan kecil begini."
"Harus lembut seperti
pasir, Kek?"
"Terserah. Mau seperti
pasir atau seperti debu pokoknya lembut!" kata Ki Gendeng Sekarat.
"Ayo, ulangi lagi!"
Batu yang lainnya diambil.
Diremas dalam genggaman. Praak...! hancur lagi, tapi masih belum selembut
pasir. Angon Luwak mencobanya berkali-kali hingga menghabiskan beberapa bongkah
batu hitam.
Sampai akhirnya, kejap berikut
ia meremas batu hitam yang ukurannya sedikit lebih besar dari genggaman
tangannya.
Pruuss...!
Batu hitam itu menjadi lembut
seperti pasir. Angon Luwak tertawa kegirangan sambil berseru kepada Ki Gendeng
Sekarat,
"Berhasil, Kek! Aku
berhasil meremas sampai lembut. Lihat, Kek...!"
Ki Gendeng Sekarat memeriksa
sebentar, lalu menggumam sambil manggut-manggut, "Ya, ya... baik. Kau
sudah berhasil. Sekarang kau sudah jadi muridku dan sudah tamat belajar."
"Lho, kok cuma sebentar,
Kek? Pelajarannya kok cuma satu saja?"
"Iya. Karena kalau semua
ilmuku kau pelajari, kau tak punya waktu cukup untuk mewarisi semua ilmuku.
Lihat, kambingmu sudah berlari-lari tak tentu arah. Kejar supaya tak
hilang."
Angon Luwak berlari, kakinya
tersandung akar pohon lalu jatuh. Bruuk...! Angon Luwak menggeragap ketika
terbangun dari tidurnya. Ia memandang sekeliling, ternyata kelima kambingnya
masih memakan rumput di tempatnya. Tetapi Ki Gendeng Sekarat sudah tak ada
disampingnya.
"Ah, sayang semuanya cuma
mimpi. Tapi ke mana perginya kakek itu?"
Angon Luwak menganggap semua
itu hanya mimpi. Merasa ditinggalkan oleh Ki Gendeng Sekarat, ia segera bangkit
dan menghampiri kambingnya. Salah satu kambing ada yang memisahkan diri dan
ingin makan tanaman beracun. Angon Luwak segera menghalau kambingnya supaya
jangan makan tanaman beracun. Ia mengambil batu dan melemparkannya sambil
berseru,
"Husy...Husyah...!"
Batu pun dilemparkan.
Wuuur...!
"Lho...?!" Angon
Luwak terperanjat dan sangat heran. Batu yang dilemparkan ternyata telah
menjadi serpihan-serpihan lembut walau tidak selembut pasir. Mata bocah itu
memandangi serpihan tersebut, juga memandangi kedua telapak tangannya. Ia
memungut batu lagi. Ia mencoba meremasnya seperti yang dilakukan dalam
mimpinya. Pruuus...! Ternyata batu yang diremasnya menjadi pasir hitam.
"Hahh...?!" Angon
Luwak kian terperanjat. "Aku benar-benar bisa meremas batu sekeras itu?
Ah, sepertinya apa yang kulakukan tadi hanya dalam mimpi, mana mungkin bisa
menjadi nyata? Tapi..., sebaiknya kucoba lagi dengan batu yang agak besar dan
lebih keras lagi."
Angon Luwak memungut batu yang
ukurannya sedikit lebih besar dari genggaman tangannya. Ia meremasnya dengan
satu sentakan tangan menggenggam.
Pruus...!
Ternyata batu itu berhasil
diremukkan hingga menjadi pasir hitam. Angon Luwak tersenyum, matanya
berbinar-binar. Ia segera memungut sebatang dahan kayu yang masih belum keropos
tapi sudah kering.
Pruuus...! Batang kayu itu pun
hancur lebur dalam genggaman tangannya.
"Oh, aku telah bisa...!
Aku berhasil mempunyai jurus 'Peremuk Benda'. Oh, ternyata mimpiku itu bisa
menjadi kenyataan? Alangkah girangnya aku hari ini! Tapi..., tapi apakah ini
pun bukan sekadar mimpi seperti tadi?" pikir bocah itu dengan bingung
sendiri. Kemudian ia segera lari menemui orangtuanya untuk mengabarkan berita
kehebatannya itu.
Tetapi dalam perjalanan menuju
desanya, ia dihadang oleh dua orang berwajah bengis. Yang satu mengenakan
pakaian hitam-hitam, yang satunya lagi mengenakan pakaian biru tua. Keduanya
sama-sama menyandang senjata kapak di pinggang.
Kapak mereka sama panjang dan
sama bentuknya. Kedua lelaki berwajah bengis itu berusia sekitar tiga puluh
tahun lebih sedikit. Angon Luwak sama sekali tidak mengenal siapa kedua orang
berwajah bengis itu. Tapi hati kecilnya yakin bahwa kedua orang tersebut adalah
orang jahat.
"Hei, Bocah...!"
sapa yang baju hitam. "Di mana rumah Empu Sakya?"
"Empu Sakya?" bocah
itu termenung memikirkannya. Ia tahu rumah Empu Sakya.
Ia kenal nama Empu Sakya,
yaitu seorang pembuat senjata ken's pusaka bernama Ken's Setan Kobra. Angon
Luwak juga pernah mendengar beberapa orang memburu Keris Setan Kobra, tapi
keris itu selalu dipertahankan oleh Ki Empu Sakya.
Bahkan kabarnya pernah ada
orang yang berminat menukar Keris Setan Kobra dengan sekantong permata, tapi
ditolak oleh Ki Empu Sakya. Melihat tampang bengis kedua orang itu, Angon Luwak
menjadi curiga. Ia beranggapan kedua orang bengis itu pasti akan memaksa Ki
Empu Sakya agar menyerahkan pusakanya tersebut dengan cara kasar dan kejam.
"Anu... saya tidak tahu
kok, Paman." jawab Angon Luwak setelah dibentak dengan pertanyaan serupa.
"Kau bocah desa Kukusan,
bukan?" tanya si baju biru.
"Betul, Paman."
"Kau pasti tahu rumah
Empu Sakya! Karena dia tinggal di desa Kukusan."
"Tidak. Saya tidak tahu,
Paman."
Yang berbaju hitam segera
meremas rambut Angon Luwak. "Antarkan kami kesana, kalau tak mau kepalamu
kupancung biar pisah dengan ragamu!"
Angon Luwak meringis
kesakitan. "Ampun, Paman... saya... saya memang tidak tahu, Paman. Saya
tidak tahu!"
"Kecil-kecil sudah mau
berbohong kamu, hah?!" si baju hitam semakin memperkuat jambakannya sampai
kaki Angon Luwak berjingkat-jingkat mengimbangi tarikan rambutnya ke atas.
"Sakit, Paman...,"
rengeknya sambil tangannya berusaha menggenggam pergelangan tangan si baju
hitam. Sementara itu, si baju biru hanya tertawa-tawa sambil berkata,
"Tank terus ke atas
sampai copot kulit kepalanya, Wongso! Masa kau kalah sama anak kecil, ha, ha,
ha...!"
Jambakan itu terasa semakin
sakit. Tangan Angon Luwak kian meremas pergelangan tangan Wongso. Kraak...!
"Aaaouh...! " Wongso
terpekik kesakitan dengan mata mendelik. Tulang di pergelangan tangannya
menjadi remuk karena genggaman Angon Luwak. Pekikan itu disertai raungan rasa
sakit yang membuat Wongso terbungkuk- bungkuk sambil mendekap pergelangan
tangan kanannya.
"Kenapa kau ini, hah?!
Digenggam bocah ingusan saja menjerit-jerit seperti itu?!"
"Matamu picek, Mayong!
Tukang lenganku remuk!" geram Wongso sambil menyeringai kesakitan.
Mendengar ucapan itu, Mayong
segera memandang tajam kepada Angon Luwak yang telah mundur sejauh tujuh
langkah. Bocah bercelana kumal warna hitam dengan baju kusut warna hitam tanpa
lengan itu semakin ketakutan mendapat pandangan sangar dari Mayong.
"Hei, kemari kau!"
gertak Mayong memanggil Angon Luwak.
"Tidak. Saya tidak
mau!"
"Ke sini kau!"
bentak Mayong makin keras sambil menghampiri Angon Luwak. Dengan cepat bocah
itu pun segera melarikan diri kembali ke arah semula.
"Berhenti kau!" seru
Mayong, lalu mengejar bocah itu dengan nafsu ingin menangkapnya. Tapi Angon
Luwak berlari ketakutan secepat mungkin. Mayong berseru mengancamnya,
"Kalau kau tak mau
berhenti kulempar kapak kepalamu, Bocah Tolol!"
Angon Luwak tak pedulikan
ancaman itu. Ia tetap berlari dan tetap dikejar oleh Mayong, sementara Wongso
mengikuti dari belakang sambil masih mendekap pergelangan tangan kanannya yang
segera berwarna biru legam itu.
"Bangsat betul bocah
itu!" geram Wongso. Lalu berseru kepada Mayong, "Lepaskan kapakmu!
Bunuh bocah itu! Dia benar-benar telah meremukkan tukang tanganku,
Mayong!"
Langkah Mayong berhenti
sebentar. Kapak dicabut dari pinggang, lalu dilemparkan ke punggung Angon
Luwak. Wuuung ..! Jraab...!
"Haihhh...?!" Angon
Luwak terbelalak kaget. Kapak itu menyambar di atas kepalanya kalau saja ia
tidak jatuh tersandung batu. Kapak itu menancap di batang pohon tepat di depan
Angon Luwak. Serta merta Angon Luwak bangkit dan mencabut kapak tersebut. Tapi
karena daya tancapnya cukup dalam, maka kapak itu tak mudah dicabut.
"Hoi...! Berani kau
mencabut kapakku, hah?!" bentak Mayong sambil bergegas menyusul bocah
kecil itu.
Karena kapak sukar dicabut
maka genggaman tangan Angon Luwak menjadi sangat kuat. Dan gagang kapak pun
menjadi hancur seketika itu pula. Proos...!
Mayong terhenti dari
langkahnya karena kaget melihat gagang kapaknya menjadi debu sebagian. Wongso
pun mendelik melihat hal itu. Bahkan bocah itu sendiri sempat kaget karena tak
sengaja meremukkan gagang kapak dari kayu jati yang amat keras itu.
Melihat kapak berhasil
diremukkan, maka Angon Luwak coba coba meremas bagian mata kapak yang tidak
sempat terbenam di batang pohon.
Pruuuss... !
Kapak besi itu hancur jadi
serbuk lembut diremas dengan kedua tangan. Hal itu menambah kedua manusia
bertampang bengis sama-sama kian terperanjat begong. Angon Luwak membuang rasa
bangganya, karena sadar sebentar lagi ancaman bahaya akan datang. Maka ia
segera larikan diri kembali tak mempedulikan remukan kapak besi tersebut.
"Bocah setan" maki
Mayang. "Kapakku bisa diremukkan dengan tangan sekecil itu. Kurang
ajar!"
"Kejar dia sampai dapat
dan bunuh tanpa ragu lagi!" teriak Wongso sambil menahan rasa sakit pada
pergelangan tangan yang remuk itu.
Angon Luwak semakin
mempercepat larinya mendengar seruan Wongso. Kini ia dikejar-kejar dua orang
dewasa. Dikepung dua arah. Sampai akhirnya Angon Luwak terpojok ketika membawa
pelariannya ke atas bukit. Ia tak dapat bergerak lagi karena di depannya ada
jurang cukup dalam, sementara dua pengejarnya sudah merapat di belakangnya.
"Mau lari ke mana kau,
Bocah Setan?!" bentak Mayong. Lalu ia mencabut kapak dari pinggang Wongso,
karena ia tahu Wongaso tak bisa menggunakan kapak itu dalam keadaan tangan
kanannya remuk, sedangkan tangan kiri Wongso tidak begitu piawai untuk
memainkan senjata apa pun.
Mata bocah itu membelalak
tegang. Napasnya terengah-engah. Ia tak punya jalan keluar lagi kecuali nekat
menerobos kepungan dua orang tersebut. Tapi kapak yang diayun- ayunkan oleh
Mayong itu membuat hati bocah itu menjadi ciut nyali dan menggigil tubuhnya.
"Kalau kau bisa remukkan
kapakku, maka kepalamu pun akan kuremukkan!" geram Mayong sambil kian
mendekat. Angon Luwak kian tegang, wajahnya pucat pasi, tak bisa keluarkan
suara apa pun.
Tetapi tiba-tiba terdengar
suara dari belakang Mayong dan Wongso,
"Memalukan sekali. Bocah
kecil dikeroyok dua orang. Bersenjata lagi! Benar-benar memalukan!"
Kedua lelaki bertampang bengis
itu segera balikkan badan menatap orang yang dianggap bicara sembarangan itu.
Ternyata seorang gadis berkepang dua. Di belakang gadis itu ada seorang pemuda
menyandang bumbung tempat tuak. Mereka tak lain adalah Pendekar Mabuk dan Mega
Dewi.
"Jangan lancang mulutmu,
Gadis Dungu! Kapak ini bisa beralih sasaran ke lehermu, tahu?!" geram
Mayong kepada Mega Dewi.
Gadis itu hanya tersenyum
sinis. Suto Sinting diam saja, seakan tidak mau ikut campur. Karena ia merasa
yakin bahwa Mega Dewi pasti mampu menumbangkan dua orang bengis itu. Mega Dewi
maju sendirian tanpa rasa takut sedikit pun, sebab ia percaya kalaupun ia
terdesak dan hampir kalah, pasti Suto Sinting tak akan tinggal diam.
"Apa salah bocah itu
sampai kalian berdua mengeroyoknya? Apakah tak malu pada diri sendiri?!"
"Persetan dengan
kata-katamu! Kami punya urusan sendiri, kau tak perlu ikut campur!" geram
Wongso dengan menahan rasa sakit dan berpura-pura tidak mengalami remuk tulang.
"Biarkan bocah itu pergi.
Jangan kalian takut-takuti dengan kapak itu!"
"Berani-beraninya kau
memerintah si Kapak Kembar, hah?! Apakah kau belum mendengar keganasan kami, si
Kapak Kembar ini?!"
"Tak perlu kudengar,
karena keganasanmu hanya kepada anak kecil. Kau tak akan berani ganas kepada
orang seusiaku!"
Wongso menggeram dengan gigi
menggeletuk, wajahnya merah menahan marah. Sama halnya dengan Mayong. Matanya
mulai semburat merah menandakan kemarahannya mulai naik ke ubun-ubun.
"Apa maumu sebenarnya,
Gadis Dungu?!"
"Bebaskan bocah itu.
Kalau kalian ingin murka, jangan kepada bocah itu. Dia bukan tandingan kalian.
Akulah tandingan kalian!"
"Keparat! Rasakan jurus
'Kapak Malaikat' ini, Gadis Dungu! Heaaah...!"
Mayong maju menyerang dengan
tubuh berputar bagaikan gangsing dan kapaknya siap membabat apa saja yang
dikenainya. Tetapi Mega Dewi segera sentakkan kakinya ke tanah, tubuhnya
melenting di udara. Kakinya menjejak bagai orang berlari cepat, tepat mengenai
kepala Mayong beberapa kali dan secara beruntun.
Dug, dug, dug, dug... !
Mayong menggeloyor hendak
jatuh. Namun ia berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya. Saat itu juga
dipijakkan kakinya ke tanah. Jleeg .! Tahu-tahu Wongso menyerang dengan
tendangan putar yang amat kuat.
Wuuut...! Plook... !
Wajah Mega Dewi terkena
tendangan putar itu. Ia terpelanting hampir jatuh ke jurang.
Untung ia bisa menahan
gerakannya, sehingga urung masuk ke jurang. Ia sentakkan kakinya dan bersalto
mundur dua kali. Tab, tab...! Tahu-tahu tiba di samping Wongso.
Kaki Wongso segera menyambar
kembali dengan jurus tendangan yang sama. Mega Dewi rendahkan badan, lalu
dengan tangan bertumpu di tanah ia menendang rusuk Wongso dengan kaki kanannya
yang miring. Duuus... !
"Ahg...!" Wongso
tersentak hingga terhuyung huyung beberapa langkah. Pada waktu itu Mayong
datang menghantamkan kapaknya untuk membelah punggung Mega Dewi. Namun dengan
cepat Mega Dewi bangkit, berbalik arah dan tahu-tahu pisaunya sudah terhunus.
Pisau itu ditikamkan ke arah
bagian bawah ketiak tangan pemegang kapak yang berhasil ditangkis dengan kaki
merentang tinggi. Jruub...!
"Aaahg...!"
Mayong terpekik. Kapaknya
jatuh ke tanah. Bocah berkulit hitam itu segera menyambar kapak itu pada saat
Mayong dibabat ujung pisau dari samping kanan ke kiri. Breeet...!
Dada Mayong koyak seketika. Darah
mengalir deras. Robekan itu sampai mengenai rahang Mayong. Serta-merta Mega
Dewi lompat ke kiri untuk cari tempat lebih leluasa lagi.
Wajah Mayong menyeringai
menahan sakit pada lukanya. Ia berusaha mengambil kapak yang jatuh. Namun
terkejut melihat kapak itu sudah di tangan Angon Luwak. Bocah itu meremas mata
kapak dengan kuat. Praaas...! Hancur menjadi serbuk besi yang amat mengagumkan.
Kapak itu tinggal bagian gagangnya saja, lalu gagang kapak itu diserahkan
kepada Mayong.
Ketika Mayong ingin meraih
dengan terbungkuk-bungkuk karena sakit. Angon Luwak menghantamkan gagang kapak
ke kepala Mayong dengan telaknya.
Pletok... !
"Adaaaoow...!" kedua
tangan Mayong jadi berpegangan pada kepalanya. Gagang kapak dibuang. Angon
Luwak berlari mendekati Mega Dewi, seakan berlindung di sana dari pembalasan
Mayong.
"Tinggalkan mereka!
Cepat!" seru Wongso sambil menahan sakit di rusuknya. Mereka pun segera
lari. Tak sedikit pun berpaling ke belakang. Tapi Suto dan Mega Dewi tertegun
bengong memandangi Angon Luwak, merasa kagum melihat bocah kecil mampu meremukkan
besi mata kapak itu. Suto segera bertanya,
"Siapa yang memberimu
ilmu untuk meremukkan benda keras itu, Nak?"
"Kakek... eh, anu... guru
saya. Kang."
"Siapa gurumu?"
tanya Suto lagi.
"Hmmm...
namanya...," Angon Luwak mengingat-ingat. "Entah. Saya lupa namanya,
Kang."
"Lho, kok sampai lupa?
Kau belajar di mana?"
"Di... di alam mimpi,
Kang."
Pendekar Mabuk dan Mega Dewi
saling pandang. Mereka sama sama heran. Kemudian mereka kembali memandang Angon
Luwak. Mega Dewi bertanya setelah memasukkan pisaunya.
"Jawab yang benar, di
mana kau belajar ilmu itu?"
"Di mimpi, Kang.
Sumpah!"
"Di mimpi...?!"
gumam Suto Sinting.
Angon Luwak berkata,
"Soalnya, guruku tukang tidur, Kang."
"Maksudmu tukang tidur
bagaimana?" tanya Mega Dewi.
"Dia bertarung sambil
tidur."
Suto menyahut dalam gumam,
"Jangan- jangan Ki Gendeng Sekarat!"
"Nah, betul!" teriak
Angon Luwak. "Itu nama guruku dalam mimpi, Kang. Ki Gendeng Sekarat!"
Suto dan Dewi semakin
terperangah dan sama-sama beradu pandang.
"Sejak kapan Ki Gendeng
Sekarat mengangkat murid?" gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri.
"Pokoknya ya sejak aku
disuruh tidur di sampingnya," kata Angon Luwak menyangka diajak bicara
Suto.
"Sekarang ke mana gurumu
itu? Ke mana Ki Gendeng Sekarat?!"
"Pergi."
"Pergi ke mana?"
"Ndak tahu, Kang! Waktu
aku bangun dari tidur dia sudah pergi!"
"Coba tunjukkan di mana
tempat kalian tidur! Siapa tahu aku bisa melacaknya dari sana!" kata Suto.
Kemudian Angon Luwak membawa
mereka ke tempat pertemuannya dengan Ki Gendeng Sekarat.
PENDEKAR Mabuk lemparkan
pandangan ke sekeliling tempat pertemuan Angon Luwak dengan Ki Gendeng Sekarat.
Tak ada jejak yang bisa digunakan untuk melacak perginya Ki Gendeng Sekarat.
Angon Luwak menceritakan pertarungan Ki Gendeng Sekarat dengan seekor harimau hitam
jelmaan seorang perempuan yang diingatnya bernama Tandak Ayu. Mendengar nama
Tandak Ayu, Mega Dewi terperanjat dan wajahnya berubah tegang. Hal itu
diketahui oleh Suto Sinting.
"Apakah kau kenal dengan
Tandak Ayu?"
"Dia muridnya Nyai Demang
Ronggeng, satu-satunya tokoh tua yang punya jurus 'Tarian Mayat'," jawab
Mega Dewi menyimpan kecemasan.
"Tarian Mayat?"
gumam Suto. "Seingatku Ki Gendeng Sekarat juga mempunyai jurus 'Pembangkit
Mayat', dan ia bisa membekali ilmu tinggi kepada mayat-mayat yang dibangkitkan.
Ketika dia tinggal di Pulau Mayat, dia punya pasukan mayat sendiri."
Wajah gadis itu kian menegang,
"Apakah Ki Gendeng Sekarat pernah tinggal di Pulau Mayat?"
"Justru pertemuanku
dengannya justru di Pulau Mayat."
"Kalau begitu dia murid
dari EyangPramban Jati?!"
"Benar. Dia pernah
menceritakan hal itu kepadaku. Dari mana kau tahu?"
"Ayahku pernah bercerita
tentang murid Eyang Pramban Jati. Menurut Ayah, murid Eyang Pramban Jati ada
dua, yaitu Ki Gendeng Sekarat dan Nyai Demang Ronggeng. Tapi murid perempuan
Eyang Pramban Jati lari ke aliran sesat. Hanya Ki Gendeng Sekarat yang berhasil
menyerap semua ilmu Eyang Pramban Jati. Dulu, ayahku pernah ditolong oleh Ki
Gendeng Sekarat dan menjadi bersahabat."
Setelah merenung sejenak, Suto
pun berkata seperti bicara pada diri sendiri,
"Lalu, apa alasannya
murid Nyai Demang Ronggeng menyerang Ki Gendeng Sekarat? Apakah itu perintah
dari gurunya?"
"Mungkin saja. Dan tidak
menutup kemungkinan kalau sekarang Ki Gendeng Sekarat pergi menemui Nyai Demang
Ronggeng untuk menuntut balas atas penyerangan muridnya itu."
"Apakah kau tahu di mana
Nyai Demang Ronggeng bertempat tinggal?"
"Sayang sekali
tidak," jawab gadis berkepang dua dengan tegas. "Tapi aku kenal
seseorang yang mengetahui tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng. Orang itu
tinggal di desa Kukusan, dia seorang pandai besi yang berjuluk Ki Empu
Sakya!"
Mendengar nama Ki Empu Sakya,
bocah penggembala itu menyahut. "Aku tahu rumah Ki Empu Sakya, Kang!"
"O, kau tahu?"
"Ya. Kedua orang bengis
yang mengejarku itu tadi memaksaku untuk mengantarkan ke rumah Ki Empu Sakya.
Tapi aku tak mau. Kang."
"Kenapa kau tak
mau?"
"Karena orang bengis itu
pasti akan memaksa Ki Empu Sakya untuk meminta pusaka secara kasar. Aku kasihan
kepada Ki Empu Sakya."
"Pusaka apa?"
"Setahuku, banyak orang
yang membujuk Ki Empu Sakya untuk mendapatkan keris pusaka yang bernama Keris
Setan Kobra, Kang."
"Keris Setan
Kobra?!" Mega Dewi terkejut secara terang-terangan. Suto semakin ingin
tahu melihat kekagetan Mega Dewi. Tapi sebelum Suto Sinting bertanya, gadis
berkepang dua itu sudah lebih dulu jelaskan maksudnya.
"Keris Setan Kobra
mempunyai kekuatan ampuh. Siapa yang terkena keris itu akan hilang lenyap tak
berbekas sedikit pun. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui kehebatan
keris tersebut dan mengetahui siapa pemiliknya. Ayahku pernah membujuk Ki Empu
Sakya untuk memiliki keris itu, setidaknya meminjamnya untuk jaga-jaga diserang
oleh Iblis Naga Pamungkas. Tapi Ki Empu Sakya mempertahankan keris
tersebut."
"Kalau begitu sebaiknya
kita temui saja Ki Empu Sakya. Kurasa Ki Gendeng Sekarat pergi ke sana
menanyakan di mana tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng."
"Mari kutunjukkan rumah
Ki Empu Sakya, Kang!" Angon Luwak menawarkan jasa. Padahal tanpa Angon
Luwak, Mega Dewi sendiri sudah tahu rumah Ki Empu Sakya, karena dulu ia pernah
diajak almarhum ayahnya pergi ke tempat Empu sakti itu.
Ternyata orang yang berjuluk
Ki Empu Sakya itu adalah seorang lelaki kurus bertubuh pendek, seperti anak
kecil. Tinggi badannya sedikit melebihi tinggi tubuh Angon Luwak. Tetapi dari
raut wajahnya, dari uban rata di rambut dan jenggot tipisnya, orang dapat
menduga bahwa Ki Empu Sakya adakah lelaki yang berusia di atas enam puluh
tahun. Ia gemar mengenakan pakaian putih dengan ikat kepala kain hitam.
Pakaiannya menyerupai pakaian biksu, hanya dililitkan ke tubuh dan sisanya
diselempangkan ke pundak kanan. Ikat kepalanya menutup sebagian rambut putih,
bersimpul di bagian belakang.
Sekalipun demikian keadaan Ki
Empu Sakya, namun Mega Dewi dan Suto Sinting sangat menghormat kepada Ki Empu
Sakya. Sebaliknya Ki Empu Sakya pun bersikap hormat dan sungkan kepada Suto.
Sampai- sampai ketika ia menerima kedatangan Suto, ia lebih dulu membungkukkan
badan memberi hormat setelah menatap Suto beberapa saat.
"Jangan menghormat
kepadaku, Ki Empu Sakya." kata Suto. "Aku merasa malu menerima
hormatmu."
"Anak muda, bagi orang
lain bisa saja tidak menghormatmu, tapi bagiku harus menghormatmu, karena aku
melihat tanda di keningmu. Kau pasti orang pilihan yang punya gelar tinggi dari
Gusti Ratu Kartika Wangi, penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam gaib."
Mega Dewi kerutkan dahinya
mendengar kata-kata itu. Ia pandangi Suto Sinting pada saat Ki Empu Sakya
berkata,
"Hanya seorang Manggala
Yudha yang mendapatkan tanda seperti itu di keningmu, Anak Muda."
Suto Sinting menjadi tak enak
hati dipandangi oleh Mega Dewi. Tapi apa boleh buat, tanda merah di keningnya
itu tak bisa ditutupi. Hanya orang-orang berilmu tinggi yang bisa melihat tanda
merah kecil sebesar biji jagung itu. Jika Ki Empu Sakya bisa melihatnya,
berarti dia orang berilmu tinggi.
"Apa maksud kata-kata Ki
Empu Sakya itu?" bisik Mega Dewi kepada Suto.
"Lupakan saja kata-kata
tersebut. Biarkan beliau beranggapan apa saja," Suto menyembunyikan
penghormatan itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: 'Manusia Seribu
Wajah').
Angon Luwak menceritakan
pengejaran kedua orang bertampang bengis itu kepada Ki Empu Sakya. Lelaki kurus
dan kecil yang sudah banyak umur itu mengusap-usap kepala Angon Luwak sambil
mengucap terima kasih atas tekad sang bocah yang tidak mau menunjukkan tempat
tinggalnya.
"Si Kapak Kembar adalah
orang sesat yang ingin menguasai aliran hitam sejak dulu. Sekalipun ia tak
bakal mampu memaksaku, tapi aku menghargai niat baikmu, Angon Luwak. Sekarang
pulanglah dulu dan urus kambingmu, aku akan melayani kedua tamuku ini. Nanti
malam datanglah kemari bersama teman-temanmu, aku akan mendongeng tentang
tokoh-tokoh yang masuk dalam aliran hitam. Kau dan teman-temanmu pasti akan
tertarik mendengarkannya."
"Terima kasih, Ki, Aku
akan memberitahukan mereka untuk datang mendengarkan ceritamu!" Angon
Luwak berseri-seri kegirangan. Rupanya bocah itu akrab dengan Ki Empu Sakya,
karena Ki Empu Sakya sering kumpulkan bocah-bocah desa Kukusan untuk
menceritakan dongeng tentang jago-jago silat dan para tokoh tua di rimba
persilatan.
"Bagaimana kabar ayahmu,
Mega Dewi?"
Pertanyaan itu dijawab dengan
linangan air mata. Gadis berkepang dua menceritakan pertarungan ayahnya dengan
Iblis Naga Pamungkas. Cerita itu membuat Ki Empu Sakya tank napas dalam-dalam,
menyembunyikan perasaan duka, menahan geram kemarahan. Ternyata ia termasuk
orang yang pandai mengendalikan nafsu amarah, sehingga dalam sekejap ia sudah
kelihatan tenang kembali.
Lalu, Suto Sinting pun
menanyakan tentang Ki Gendeng Sekarat, karena Ki Empu Sakya tidak mau
membicarakan tentang Iblis Naga Pamungkas. Mungkin ia tak ingin membuat hati
Mega Dewi semakin pedih jika hal itu dibicarakan panjang-lebar. Mungkin juga Ki
Empu Sakya menghindari percakapan tentang keris pusakanya itu, sehingga ia
lebih tertarik untuk menjawab pertanyaan Suto Sinting.
"Gendeng Sekarat memang
baru saja pergi dari sini, tapi bukan untuk menanyakan tempat tinggal Nyai
Demang Ronggeng. Ia hanya menengokku dan mencarimu, Suto Sinting. Ia sekarang
pergi ke arah barat."
"Jika begitu saya harus
segera menyusulnya, Ki Empu Sakya."
"Silahkan. Tapi kuharap
Mega Dewi mau tinggal di sini untuk beberapa saat. Ada yang ingin kubicarakan
denganmu, Mega Dewi. Tentunya berkaitan dengan kematian ayahmu itu. Apakah kau
bersedia?"
"Saya bersedia,"
jawab Mega Dewi setelah memandang Suto sesaat, karena hatinya ingin ikut Suto,
tapi si sisi lain ia merasa perlu berbicara tentang kematian ayahnya dengan
tokoh tua yang berpenampilan kalem itu.
Kini Pendekar Mabuk mengejar
Ki Gendeng Sekarat hanya sendirian. Sesuai dengan keterangan Ki Empu Sakya,
Suto berlari ke arah barat. Harapannya dapat menyusul Ki Gendeng Sekarat. Sebab
ia tahu, jika Ki Gendeng Sekarat mencarinya, berarti ada pesan yang harus
disampaikan kepada Suto dari Dyah Sariningrum, calon istrinya yang dicintai
itu. Ingat tentang wanita cantik yang dicintainya itu, pikiran Pendekar Mabuk
ingat pula pada seraut wajah beku milik Siluman Tujuh Nyawa.
Tokoh sesat yang selalu tampil
dengan jubah hitam bagaikan El Maut itu sampai sekarang belum berhasil
dipenggal kepalanya oleh Suto Sinting, padahal kepala itu merupakan syarat
untuk mengawini Dyah Sariningrum. Sayang sekali Siluman Tujuh Nyawa itu terlalu
licin, sehingga sudah beberapa saat lamanya Suto tidak berhasil menjumpai tokoh
sesat yang amat ditakuti oleh beberapa tokoh sakti di kalangan aliran
hitam itu.
Perjalanan Suto Sinting
terpaksa terhenti karena merasa dihadang oleh seorang pemuda berpakaian merah
dengan hiasan benang emas. Pemuda itu tampak seperti keturunan bangsawan
dilihat dari jenis pakaian dan penampilannya. Ia menyelipkan sebilah pedang
bertarungkan logam emas. Pedang kecil itu mempunyai hiasan bebatuan indah pada
bagian gagangnya. Pemuda itu berusia sedikit lebih muda dari Suto Sinting.
Wajahnya tampan dengan kumis tipis yang menampakkan kesan keningratannya.
Pemuda itu turun dari atas
kuda putihnya, sementara kedua pengawalnya berbadan besar juga segera melompat
turun dari masing-masing kudanya. Salah seorang pengawal yang mengenakan ikat
kepala dari logam perak itu maju mendampingi pemuda tampan tersebut, sedangkan
yang satunya lagi mengurus kuda, membawanya ke bawah pohon.
"Paman Gandra, tak salah
lagi penglihatanku, pemuda liar inilah yang tadi kulihat berjalan bersama Mega
Dewi!" kata pemuda berpakaian bangsawan itu kepada pengawalnya.
"Kalau begitu biar saya
yang menanganinya, Raden Udaya!" kata sang pengawal yang bernama Gandra
dengan suaranya yang besar. Ia segera memanggil temannya, "Rangku, kepung
orang ini!"
Wuut...! Jleeg...!
Orang bermata lebar yang
dipanggil dengan nama Rangku itu cepat melompat dan bersalto di udara satu
kali. Dalam sekejap ia sudah berada di sebelah kiri Suto Sinting. Gandra yang
berkumis tebal itu ada di sebelah kanan, sedangkan pemuda tampan yang bernama
Raden Udayo itu berhadapan di depan Suto.
Pendekar Mabuk hanya kerutkan
dahi sebentar, lalu kembali bersikap tenang. Matanya memandang ke arah Raden
Udaya tanpa kesan takut sedikit pun.
"Apa maksudmu
menghentikan langkahku, Raden Udaya?" tanya Suto dengan mengutip nama yang
disebutkan Gandra tadi.
"Kita punya perhitungan
sendiri atas kelancanganmu berani pergi dengan Mega Dewi!" kata Raden
Udayana dengan ketus dan bernada sombong.
"Apa salahku pergi dengan
gadis itu?"
"Dia kekasihku! Dia calon
istriku?" sentak Raden Udaya mulai menampakkan kemarahannya.
Tetapi Suto Sinting justru
tersenyum geli. Ia meneguk tuaknya bagai tak peduli kemarahan lawannya. Ia
kelihatan tak khawatir sedikit pun walau telah dikepung oleh Gandra dan Rangku
yang masing-masing telah mencabut senjatanya berupa trisula dan kapak dua mata.
"Paman Gandra, hajar dia!
Beri pelajaran supaya tahu adat!"
Gandra ingin maju menyerang,
tapi tiba- tiba punggungnya bagaikan ada yang menendang dengan sangat kuat.
Pukulan jarak jauh dilepaskan seseorang dari tempat persembunyian.
Pukulan itu membuat Gandra
terhentak dengan napas tertahan dan badan melengkung ke depan. Ketika badan itu
kembali tegak, tahu-tahu darah mengalir dari mulut lelaki berkumis lebat itu.
"Paman Gandra! Kenapa
kau?!" Raden Udaya kaget dan menjadi tegang.
"Keparat! Mau coba-coba
melawan orang kadipaten kamu, hah?! bentak Rangku kepada Suto Sinting.
"Hei...! Bukan aku yang
menyerangnya!" kata Suto membela diri.
Sementara Gandra segera
terkulai lemas dan ditolong oleh Raden Udaya, Rangku menyerang Suto Sinting
dengan menebaskan kapak bermata dua dalam satu lompatan liarnya.
"Heaaah ..!"
Clap...! Deess...!
Kilatan cahaya hijau terlihat
melintas di depan Suto dari arah kanan ke kiri. Cahaya hijau kecil itu tepat
kena di dada Rangku.
Orang itu robek seketika.
Mengerang dan berkelojotan di tanah.
"Aaahhgg...!
Uuhgg...!"
Wajah Rangku menjadi biru,
matanya mendelik, mulutnya keluarkan cairan berbusa warna merah darah. Hal itu
membuat Raden Udaya semakin panik. Putra adipati itu mulai ciut nyali melihat
dua pengawalnya roboh dalam waktu yang sangat singkat. Hanya satu jurus saja.
Raden Udaya memandang ngeri kepada Rangku yang masih kelojotan bagai ingin
temui ajalnya.
Suto Sinting sendiri merasa
heran melihat kejadian itu. Dalam hatinya ia bertanya. "Siapa orang yang
telah membantuku secara diam-diam?"
Pertanyaan itu segera terjawab
dengan munculnya seorang pemuda berpakaian biru cerah. Pemuda itu muncul dari
balik pohon dengan senyum kemenangan.
"Wiratmoko?!" gumam
Suto dengan terperangah. Lalu ia pun sunggingkan senyum geli melihat kemunculan
Wiratmoko.
Raden Udaya lebih terkejut
lagi melihat kemunculan pria berambut ikal agak panjang itu. Wajah berkumis
tipis itu makin tegang dan menjadi pucat pasi. Ia melangkah mundur beberapa
tindak begitu Wiratmoko memandang ke arahnya. Ia tampak sekali ketakutan.
"Bawa pergi kedua pengawalmu
kalau kau tak ingin lebih parah dari mereka!" kata Wiratmoko dengan tegas.
Perintah itu membuat Raden
Udaya gemetar. Dengan susah payah ia membawa kedua pengawalnya yang masih
bernyawa, menaikkan ke punggung kuda masing-masing, lalu segera membawanya
pergi dengan terburu-buru. Tawa keras dari Wiratmoko terdengar di sela derap
kaki kuda.
"Kenapa kau menolongku,
Wiratmoko?"
"Karena kau pernah
selamatkan nyawaku dari pukulan maut seseorang. Ini sebagai ucapan terima
kasihku padamu, Suto Sinting!" jawab Wiratmoko dengan wajah berseri-seri
tampak ceria sekali. Ia menepuk-nepuk pundak Suto Sinting bagai melepas rasa
rindu karena lama tak jumpa.
"Tapi kenapa waktu itu
kau menghilang?"
"Karena aku kebingungan
mencarimu," jawab Wiratmoko. "Kau kucari ke mana-mana untuk
mengucapkan terima kasihku padamu, tapi baru sekarang kujumpa dirimu, Suto
Sinting. Benar-benar hebat. Kau pandai menghilang rupanya."
"Justru kau yang pandai
menghilang, karena aku tak berhasil temukan dirimu setelah itu," kata Suto
dengan sikap bersahabat sekali. "O, ya... kau kenal dengan Raden Udaya itu
tadi?"
"Dia kenal diriku, karena
aku pernah bantu ayahnya mengusir dua pengacau dari pelataran kadipaten. Aku
tak tahu nama pemuda itu, tapi aku tahu dia putra seorang adipati. Ah, sudahlah!
Lupakan pemuda yang memang sombong dan sering berlagak jago itu. Sekarang kau
mau ke mana, Suto?"
"Mencari seseorang. Tokoh
tua yang sangat akrab denganku. Namanya Ki Gendeng Sekarat. Dia mencariku,
pasti ada keperluan penting untuk urusan pribadi. Kabarnya dia pergi ke arah
barat dan aku mengejarnya, tapi terhalang oleh orang kadipaten itu."
Wiratmoko manggut-manggut.
"Mari kudampingi. Sekalian aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu,
Suto."
Sambil melangkah seiring, Suto
bertanya, "Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Tentang orang yang
menyerangku dari belakang itu. Apakah kau tahu siapa orangnya?"
"Apakah kau tak kenali
jenis pukulan mautnya?"
"Tidak," jawab
Wiratmoko dengan sungguh- sungguh. "Sebab itulah aku ingin tahu, siapa
orangnya yang bisa menyerangku sedahsyat itu. Kalau tak ada kau, aku pasti akan
mati dalam beberapa kejap saja."
"Ya. Aku memang
mengenalnya, karena aku sempat jumpa dengannya dua kali setelah ia berhasil
memukulmu itu. Orang tersebut adalah tokoh tua, berjenggot abu-abu, rambutnya
panjang tak diikat, juga berwarna abu abu, mengenakan jubah putih kusam,
tongkat hitam meliuk-liuk seperti seekor ular."
"Hmmm...," Wiratmoko
menggumam sambil manggut-manggut.
"Kau pasti mengenali
ciri-ciri itu!"
"Ya. Dia adakah si Raja
Maut, tokoh tua dari Bukit Sembereni. Dia adalah musuh bebuyutan
guruku..."
"Dampu Sabang?"
potong Suto.
Wiratmoko terkejut. "Dari
mana kau tahu nama guruku?"
"Raja Maut yang
mengatakannya."
"Oh...?" wajah Wiratmoko
tampak menyembunyikan kecemasan. "Apa saja yang ia katakan padamu,
Suto?"
"Tidak banyak. Dia hanya
bilang, bahwa kau murid tunggal Dampu Sabang. Dia mengingatkan padaku agar
jangan turut campur dengan urusannya. Rupanya kau punya urusan pribadi dengan
Raja Maut itu, Wiratmoko."
"Memang. Urusan itu
sangat pribadi sehingga tak bisa kuceritakan padamu. Yang jelas, Raja Maut
adalah tokoh tua yang serakah dan ingin menguasai dunia persilatan. Dia ingin
menumbangkan beberapa tokoh tua dengan ilmu yang baru diperolehnya."
"Ilmu apa?"
"Naga Pamungkas!"
Suto Sinting terkejut sampai
hentikan langkah, "Jadi, dia itulah orangnya yang bergelar Iblis Naga
Pamungkas?"
"Betul!" jawab
Wiratmoko dengan tegas. "Dia ingin membunuh para tokoh tua dari golongan
hitam ataupun putih. Salah satu orang yang akan dibunuhnya adalah gurumu
sendiri; si Gila Tuak!"
Bagaikan petir menyambar di
ujung hidung Suto. Rasa kagetnya membuat napas tertarik kuat dan jantung
bagaikan berhenti. Darah Suto mendidih mendengar gurunya akan dibunuh.
Terbayang nasib Ki Lurah
Pramadi yang mati di tangan Iblis Naga Pamungkas. Suto tak ingin gurunya
mengalami nasib yang sekejam itu.SEKALIPUN Suto Sinting mengetahui bahwa Raja
Maut pergi ke Pulau Blacan, tapi Wiratmoko sarankan tak perlu mengejarnya ke
sana. Menurut Wiratmoko lebih baik cari dulu Ki Gendeng Sekarat, siapa tahu
membawa pesan lebih penting dari mengejar Raja Maut ke Pulau Blacan.
"Biarkan dia berhadapan
dengan Nyai Demang Ronggeng di Pulau Blacan. Dia pasti akan dikubur hidup-hidup
oleh Nyai Demang Ronggeng!" kata Wiratmoko yang membuat Suto Sinting
sempat terperanjat.
"Jadi, Nyai Demang
Ronggeng bersemayam di Pulau Blacan?"
"Ya. Dan aku tahu bahwa
Nyai Demang Ronggeng punya kesaktian yang mampu membuat Raja Maut tumbang atau
melarikan diri terbirit-birit."
"Seberapa dekat kau
mengenal Nyai Demang Ronggeng?"
"Tidak terlalu dekat.
Hanya mendengar ceritanya dari mulut ke mulut!"
"Pantas jika Iblis Naga
Pamungkas ingin membunuh Ki Gendeng Sekarat, rupanya Raja Maut yang bergelar
Iblis Naga Pamungkas itu juga mengkincar kematian Nyai Demang Ronggeng. Padahal
Nyai Demang Ronggeng dan Ki Gendeng Sekarat adalah saudara seperguruan,
sama-sama murid Eyang Pramban Jati."
"O, jadi Ki Gendeng
Sekarat juga akan dibunuh oleh Iblis Naga Pamungkas? Kau tahu dari siapa,
Suto?"
"Namanya Mega Dewi, anak
gadis Ki Lurah Pramadi yang mati dibunuh oleh Iblis Naga Pamungkas. Dialah yang
memberitahukan rencana Iblis Naga Pamungkas yang akan membunuh Ki Gendeng
Sekarat. Karenanya aku harus segera menemukan Ki Gendeng Sekarat dan
memberitahukan ancaman itu, sekaligus melindunginya dari keganasan Iblis Naga
Pamungkas itu!"
Setelah melangkah sambil
termenung sesaat, tiba-tiba langkah
Wiratmoko terhenti. Tangannya menahan tangan Suto dengan dahi berkerut. Suto
memandang dengan rasa ingin tahu.
"Jangan-jangan Raja Maut
memburu Mega Dewi? Sebab Mega Dewi adalah anak Ki Lurah Pramadi, tentunya Raja
Maut tak ingin ada bibit dendam yang kelak dapat menjadi duri dalam hidupnya.
Aku yakin Raja Maut tidak pergi ke Pulau Blacan, tapi mencari Mega Dewi untuk
dibunuh, biar kelak tak ada yang menyimpan dendam kepadanya."
Suto kian tajam mengerutkan
dahinya. "Perkiraanmu mendekati kebenaran," katanya dalam gumam.
"Tapi selama aku bersama Mega Dewi, aku tak pernah jumpa dengan Raja Maut.
Kupikir dia benar-benar pergi ke pulau Blacan."
"Dia pun mencari Mega
Dewi, tapi tak ditemuinya. Andai dia bertemu maka kau akan tahu permusuhannya
yang ganas itu kepada Mega Dewi. Hmmm... sekarang Mega Dewi ada dimana?"
"Di rumah Ki Empu Sakya.
Kurasa dia aman bersama Ki Empu Sakya, sebab kabarnya Ki Empu Sakya mempunyai
keris pusaka yang amat ampuh, yaitu Keris Setan Kobra."
"Celaka! Raja Maut pasti
menuju ke sana!" kata Wiratmoko dengan tegang.
"Dari mana kau yakin
begitu?"
"Sebab Keris Setan Kobra
adalah pusaka yang diincarnya. Dia takut dikalahkan dengan keris pusaka itu.
Aku pernah dengar keampuhan keris pusaka tersebut. Wajar jika Raja Maut sebagai
Iblis Naga Pamungkas ingin menguasai keris pusaka itu supaya tak ada
saingannya."
"Tapi Ki Empu Sakya pasti
mampu mengatasi Raja Maut!"
"Belum tentu!"
bantah Wiratmoko tegas- tegas. "Jika Ki Empu Sakya terlambat menggunakan
keris itu, ia akan mati di tangan Raja Maut. Tak urung gadis itu pun akan
dibunuhnya dan keris itu akan diperolehnya."
"Benar juga
perhitunganmu," gumam Suto mulai bingung. "Apa yang harus kulakukan
jika begini? Mencari Ki Gendeng Sekarat atau kembali ke rumah Ki Empu Sakya
untuk menyelamatkan Mega Dewi?"
"Begini saja," kata
Wiratmoko. "Kau teruskan mencari Ki Gendeng Sekarat, aku akan pergi ke
rumah Ki Empu Sakya untuk menyelamatkan Mega Dewi. Berikan arah rumah Ki Empu
Sakya, karena aku belum pernah ke sana. Nanti setelah kau berhasil bertemu
dengan Ki Gendeng Sekarat, susullah kami. Aku dan Mega Dewi menunggu kedatangan
kalian di rumah Ki Empu Sakya."
"Apakah kau sanggup mengalahkan
Raja Maut?"
"Tentunya jika dengan
dibantu Ki Empu Sakya kami bisa kalahkan dia!"
"Baiklah. Jika begitu
kita berpencar mulai sekarang!" Suto memutuskan langkah. Ia meneruskan
mencari Ki Gendeng Sekarat sedangkan Wiratmoko segera pergi ke rumah Ki Empu
Sakya setelah mendapat keterangan arah rumah empu sakti itu.
Pengejaran menyusul Ki Gendeng
Sekarat bukanlah sesuatu yang mulus. Suto kembali mengalami hambatan dengan
munculnya kelinci yang berlari-lari di tepian semak.
"Hei, itu seperti kelinci
yang kuburu tempo hari?!" pikirnya. Suto sempat tersenyum geli kemudian
segera mengejar- ngejar kelinci itu. Ciri yang tak dapat dilupakan Pendekar
Mabuk pada kelinci itu adalah terletak di bagian ujung telinga kiri. Kelinci
itu mempunyai bulu hitam di telinga kirinya, berbentuk seperti gambar hati.
Bulu hitam kecil itu
mempercantik kelinci tersebut, sehingga waktu itu Suto Sinting tak tega untuk
menyantap kelinci itu. Kali ini ia menangkapnya karena gemas dan ingin bercanda
dengan kelinci cantik tersebut.
Anehnya, kelinci itu kini
tidak terlalu liar dan mudah ditangkap. Dua kali gagal, ketiga kalinya kelinci
itu sudah jatuh dalam genggaman kedua tangan Pendekar Mabuk.
"Nah, nah, nah... kau
tertangkap sekarang! Mau ke mana kau, Manis? Mau menggodaku lagi? Oh, kau
memang nakal! Hhmmm...!" Suto Sinting menempelkan mulut kelinci ke pipinya
dengan gemas-gemas senang. Sambil melangkah ia berbicara dan bercanda dengan
kelinci itu.
Perut kelinci digelitiknya
sehingga binatang itu menggerinjal beberapa kali karena kegelian. Suto tertawa
senang melihat kelinci itu kegelian.
Namun ketika Suto Sinting
melewati bawah pohon rindang dengan ilalang rimbun di sana- sini, tiba-tiba
tubuhnya terpental ke belakang bagai ditendang kelinci.
Slaaap...! Cahaya terang
menyala kuat timbulkan tenaga pendorong yang membuat Suto hampir jatuh
terjengkang ke belakang. Matanya pun segera terbelalak lebar melihat kelinci
itu berubah wujud menjadi wanita cantik berwajah bulat telur, hidung mancung,
mata sedikit lebar berkesan nakal menggoda. Rambutnya disanggul sebagian,
dadanya sekal dibungkus pakaian kuning cerah. Di rambutnya yang disanggul
terlilit pita kuning. Sebilah pedang tersandang di punggungnya.
Pendekar Mabuk terperangah
kagum melihat kecantikan wanita jelmaan kelinci itu. Perempuan tersebut tertawa
kecil dengan sikap malu-malu. Rupanya ia masih merasakan sisa geli karena
gelitikan Suto tadi. Suto sendiri menjadi tersipu karena ketika kelinci tadi
diciumkan ke pipinya, berarti gadis cantik itulah yang tadi mencium pipinya.
"Kkkau... kau jelmaan
kelinci buruanku yang dulu pernah kutangkap itu?"
"Benar. Sekarang kau tahu
wujudku, karena... karena kau telah menyuruhku mencium pipimu, Pemuda Tampan."
Suto semakin malu dan tersipu.
Untuk menutupi rasa malunya ia tertawa bagaikan orang menggumam. Wajahnya
dipalingkan ke arah lain sesaat, lalu kembali lagi memandang Tandak Ayu ketika
gadis itu mendekatinya.
"Apakah sekarang kau
masih berani menggelitik perutku?"
Suto Sinting semakin salah
tingkah. Rasa sesal dan malu bercampur menjadi satu, menimbulkan rasa geli
sendiri di dalam hatinya.
"Kalau kau masih ingin
menggelitikku, silakan!" Tandak Ayu menantang dengan semakin maju. Matanya
memandang nakal, penuh godaan yang mendebarkan hati setiap lelaki. Senyumnya
pun merupakan senyum pemikat, yang hampir-hampir membuat Suto Sinting nekat
mendekati wajah itu.
"Maaf, aku tak tahu kalau
kau kelinci jelmaan," kata Suto sambil melangkah ke batang pohon. Pundak
dan lengannya disandarkan di batang pohon itu,tapi matanya masih tertuju kepada
Tandak Ayu.
"Kalau tak salah dengar,
namamu Suto Sinting, bukan?"
"Ya. Tapi aku belum tahu
namamu," kata Suto Sinting.
"Namaku...," Tandak
Ayu berpikir sejenak. "Namaku Suti Asmara. Panggil saja Suti." Tandak
Ayu memalsukan nama karena maksud tertentu.
"Suti? Oh, hampir sama
dengan namaku?"
"Memang sepertinya kita
memang dijodohkan: Suto ketemu Suti, sungguh pasangan yang serasi dan pasti
akan abadi."
Agaknya Tandak Ayu tertarik
kepada ketampanan Suto Sinting. Tetapi Suto segara membatasi diri dan menjaga
perasaannya agar tidak mudah terpikat oleh rayuan Tandak Ayu. Suto hanya
tertawa kecil mendengar kata- kata itu.
Tandak Ayu melangkah sambil
memetik-metik daun ilalang, lama-lama berada dalam jarak dekat dengan Pendekar
Mabuk. Jaraknya yang hanya dua langkah membuat Suto sempat kian berdebar-debar
karena melihat jelas rona kecantikan Tandak Ayu dan belahan dadanya yang
menonjol bagaikan sengaja dipamerkan itu.
"Kelihatannya kau lelah
dalam perjalananmu, Suto. Apakah kau tak ingin beristirahat di balik rimbunan
semak sebelah sana? Tempatnya teduh dan sepi. Rapat dari incaran mata manusia
nakal." kata Tandak Ayu dengan suara merdu.
"Aku memang lelah, tapi
bagiku cukup beristirahat di bawah pohon ini saja."
"Di sini tak aman,"
bisik Tandak Ayu yang kian merapat. Kini ia berani menaruh tangannya di pundak
Suto Sinting. Senyum dan tatapan mata kian menggoda. Gemuruh di dalam dada Suto
berusaha ditekan habis- habisan, namun hal itu amat sulit dilakukan oleh Suto.
"Aku bisa memijat bagian
tubuhmu yang lelah, Suto."
"Aku tak sangka kalau kau
ternyata tukang pijat."
"Iiih...! Menghina!"
Tandak Ayu merajuk, manja, mencubit pipi Suto Sinting. Suto semakin panas
dingin. Tandak Ayu tak mau berhenti membujuk, suaranya semakin terdengar manja
menggairahkan.
"Aku bukan seorang tukang
pijat. Tapi aku bisa memijat. Dan hanya kepadamu hal itu bisa kulakukan, Suto.
Cukup lama aku mengikutimu secara diam-diam, lalu aku ingin sekali memijat
bagian tubuhmu yang lelah. Tapi..., kalau kulakukan di sini bisa dilihat orang.
Aku malu. Kita ke semak-semak sana saja."
"Apa bedanya memijat di
sini dan di sana?" pancing Suto ingin tahu.
"Di sana aku berani
memijat bagian mana saja, sesuai dengan yang kau suka. Di sini aku tak bisa
menuruti permintaanmu," jawabnya dalam berbisik, mata beningnya tak
berkedip, bahkan sedikit sayu ketika memandangi wajah Suto Sinting dari jarak
dekat.
"Ayolah ke sana...,"
Tandak Ayu menarik- narik tangan Suto, tapi pemuda itu hanya tersenyum-senyum
tak mau beranjak dari tempatnya.
Tiba-tiba dari semak di
belakang Tandak Ayu melesat sekelebat bayangan yang langsung menendang punggung
wanita itu. Wruuss...! Duuhg...!
"Aahg...! Tandak Ayu
terpekik tertahan.
Tubuhnya terpental ke depan
dan berguling- guling di rerumputan.
Suto Sinting terkejut bukan
kepalang tanggung. Sampai-sampai ia segera pasang kuda-kuda untuk menyerang.
Tapi kuda-kuda itu segera mengendur setelah Suto mengenal wajah penyerang
tersebut.
"Kirana...?!"
"Maaf aku mengganggumu,
karena aku tahu dia perempuan jalang!" kata Kirana dengan wajah ketus,
seakan menaruh cemburu kepada peristiwa tadi.
Sebelum Suto Sinting bicara
lagi, dari arah lain muncul Citradani yang melompat dengan lincahnya, lalu mendaratkan
kaki dengan sigap. Kemunculan Citradani membuat Suto makin terperangah heran.
"Citradani?! Kau ada di
sini pula?"
"Ya, aku dan Kirana
mencarimu. Ternyata kau justru berkasih-kasih dengan perempuan jalang
itu!"
"Aku tidak... tidak...
hmmm.... Dia yang merayuku dan mengajakku ke semak-semak sana. Katanya dia mau
memijatku, sesuai dengan bagian yang kuperintahkan untuk dipijat."
"Kenapa kau tak pergi ke
semak-semak sana?" ketus Kirana.
"Karena..., karena aku
tak berani. Di sana banyak setan. Aku takut dikalahkan oleh
setan."
"Perempuan itulah ratu
setan!" geram Citradani sambil menuding Tandak Ayu yang kini telah
berdiri. Tulang punggungnya bagaikan mau patah karena tendangan Kirana. Mata
Tandak Ayu memandang benci kepada Kirana dan Citradani.
"Kalian memang cari
penyakit!" geram Tandak Ayu.
"Memang benar. Mau apa
kau?!" sentak Citradani sambil maju selangkah.
"Tunggu! Kalian salah
paham. Jangan bentrok karena kesalahpahaman!" cegah Pendekar Mabuk. Ketika
mau maju, tangan Kirana yang ada di sampingnya segera menahan lengannya.
"Biarkan Citradani
menanganinya. Dia punya urusan pribadi dengan perempuan jalang itu!" kata
Kirana masih ketus seperti tadi.
"Tapi kalian salah paham.
Aku belum diapa-apakan oleh Suti!"
"Siapa yang bernama Suti?
Dia...?! Hmmm...!" Citradani mencibir sinis. "Namanya Tandak Ayu,
bukan Suti!"
"Tandak Ayu...?!"
Suto Sinting terkejut, ingat dengan cerita Angon Luwak tentang pertarungan
singkat Tandak Ayu dengan Ki Gendeng Sekarat.
Suto segera berkata dengan
sikap tak bersahabat lagi, "Kalau begitu kau adalah murid Nyai Demang
Ronggeng, yang menyerang Ki Gendeng Sekarat dengan berubah wujud menjadi
harimau hitam?!"
Tandak Ayu melirik sinis pada
Suto. Hatinya menjadi dongkol karena rayuannya tidak berhasil. Tapi
perhatiannya kini tercurah kepada Citradani, karena Citradani berseru dengan
suara lantang.
"Kembalikan kalung pusaka
Lintang Suci itu, atau kuhabisi riwayatmu sekarang juga, Tandak Ayu!"
Mendengar kalung pusaka
Lintang Suci disebut-sebut, mata Suto segera memperhatikan kalung berbandul
kristal bentuk bintang segi lima di leher Tandak Ayu. Hatinya pun berkata,
"O, benar. Kalau begitu dia memang Tandak Ayu. Dia punya urusan pribadi
dengan Citradani, terbukti kalung yang pernah diceritakan Citradani kepadaku
itu ada di leher Suti, eh.... Tandak Ayu!"
Terdengar pula Tandak Ayu
perdengarkan suaranya kepada Citradani, "Kalau kau bisa langkahi mayatku,
ambillah kalung ini!"
"Mulut ember, sesumbar
seenaknya saja. Akan kubuktikan bahwa aku bisa melangkahi mayatmu tujuh kali
bolak-balik!"
"Lakukanlah! Aku sudah
siap menerima seranganmu. Citradani!"
"Heaaat...!"
Citradani lompat ke depan, tubuhnya berputar cepat melayangkan tendangan
kipasnya. Wuuutt...! Tendangan itu dihindari oleh Tandak Ayu.
Kejab berikutnya Tandak Ayu
berhasil pukul punggung Citradani dengan sentakan telapak tangannya.
Duuuhg...!
"Uhhg...!" Citradani
tersentak ke depan, darah muncrat dari mulutnya. Hal itu membuat Suto Sinting
sempat cemas. Kirana sudah gatal, tak sabar ingin ikut terjun ke pertarungan
itu. Tetapi ia menahan diri mengingat pertarungan itu adalah urusan pribadi
meraka masing-masing.
Rupanya Citradani masih kuat
walau telah menyemburkan darah segar dari mulutnya. Terbukti ia segera berbalik
menghadap ke arah lawannya dengan pedang dicabut dari sarungnya. Sraaang...!
Rupanya Tandak Ayu tak mau kalah serang, ia pun mencabut pedang dari
punggungnya. Pedang itu lebih panjang dari pedang milik Citradani. Tapi
Citradani tidak gentar sedikit pun.
"Hiaaaat...!"
"Heaaah...!"
Wuuut, wuuut...! Trang, trang,
trang, trang...!
Mereka sama-sama lompat ke
udara dan beradu pedang di sana dengan gerakan sama cepatnya. Satu pun tak ada
yang terluka. Tetapi Citradani sempat menggunakan kakinya untuk menendang dan
tepat mengenai bawah pundak kiri lawannya.
Duuhg... !
Wuuuus...! Brruk...!
Tandak Ayu jatuh di
rerumputan. Citradani yang telah pijakan kakinya ke tanah tak mau beri
kesempatan sedikit pun kepada lawan. Ia gulingkan tubuhnya ke tanah, lalu
pedangnya disabetkan ke arah perut Tandak Ayu.
Trang...! Pedang Tandak Ayu
masih bisa menangkisnya sambil ia berguling dan cepat bangkitkan diri. Asap dan
bau hangus tercium hidung Suto dan Kirana akibat perpaduan dua pedang
berkekuatan tenaga dalam itu.
Kini keduanya sama-sama
berdiri tegak lagi. Masing-masing mata tertuju dengan tajam. Napas Tandak Ayu
tampak lebih memburu karena tendangan kaki Citradani tadi bagaikan menyumbat
saluran pernapasan sehingga napasnya menjadi berat dihela. Bagian dalam tubuh
Tandak Ayu terasa nyeri semua, namun ditahannya kuat-kuat. Bahkan Tandak Ayu
sempat berkoar di hadapan Citradani.
"Kau tak akan berhasil
menumbangkan diriku, Citradani! Mengapa gadis buruk itu tidak kau suruh membantumu
sekalian?"
Kirana merasa sebagai orang
yang dimaksud dan dikatakan gadis buruk. Hatinya semakin dibakar api kemarahan.
Ia menggeram dan mengepalkan kedua tangannya. Ia bergerak maju, namun tertahan
tangan Suto.
"Kita menjadi penonton
yang baik saja!" kata Suto Sinting yang membuat Kirana lepas desah
kejengkelannya.
Tiba-tiba Citradani sentakkan
tangan kirinya walaupun tangan kanan sudah memainkan jurus pedangnya.
Sentakan tangan kiri keluarkan
cahaya merah bagaikan selarik sinar yang tertuju ke dada Tandak Ayu. Slaaap...!
Tandak Ayu sempat terkejut, tapi dengan cepat ia silangkan pedangnya di depan
dada. Sinar merah itu menghantam pedang tersebut.
Blaaar...! Traang...!
Pedang Tandak Ayu patah
menjadi delapan keping. Mata Tandak Ayu terperangah melihat pedangnya patah.
Kini tinggal bagian gagangnya saja yang digenggamnya. Maka gagang pedang itu
segera dibuang. Kedua tangan segera dirapatkan. Melihat gelagat begitu,
Citradani tahu kalau Tandak Ayu mau merubah wujudnya. Maka serta-merta
Citradani melompat maju sambil tebaskan pedang ke arah leher Tandak Ayu,
"Heaaah...!"
Craaas...!
"Aaauuh..." Tandak
Ayu memekik kesakitan. Telapak tangan kirinya putus ditebas pedang lawan dan
jatuh ke tanah. Pluk...! Dan darah pun mengucur deras dari pergelangan tangan.
Hal itu membuat mata Tandak Ayu berkunang-kunang. Citradani mengetahui lawannya
mulai lemah. Ia tak mau buang buang waktu. Ia berbalik memunggungi lawannya,
namun pedangnya segera ditekuk ke belakang dan dihujamkan dengan kuat.
Jruuub...!
"Uuhg...?!" Tandak
Ayu terpekik tertahan. Mulutnya ternganga. Ulu hatinya ditembus pedang
Citradani tanpa ampun lagi. Ia mengejang sesaat, lalu Citradani menarik
pedangnya hingga lepas dari tubuh lawan.
Brruk...!
Tandak Ayu roboh dengan mulut
terbuka berusaha mencari napasnya. Matanya mulai terbeliak-beliak mendekati
ajal. Citradani dengan cepat melepaskan kalung pusaka Lintang Suci dari leher
Tandak Ayu. Mulut perempuan yang menjelang ajal itu bergerak-gerak, bersuara
lirih tapi terdengar sampai di telinga Suto dan Kirana.
"Sam... paikan...
salamku... pada.... Wiratmoko..." Suto berkerut dahi mendengar nama
Wiratmoko, ia makin mendekati Tandak Ayu bersama-sama Kirana.
Saat itu Citradani
perdengarkan suaranya,
"Apakah kalung ini
pemberian Wiratmoko?"
"Bet...tul. Seb...
sebagai...tanda cintanya padaku... "
"Memang keparat betul
Wiratmoko itu!"
"Kkkau... akan... mati di
tangan ... Iblis Naga... Pamungkas itu..."
"Siapa Iblis Naga
Pamungkas itu?!"
"Wii...rat... mo... ko...
"
"Wiratmoko?!" sentak
Suto dengan amat terkejut, lalu wajah itu menjadi tegang sekali, sedangkan
wajah Tandak Ayu menjadi kendur, napasnya terhempas. Saat itulah Tandak Ayu
hembuskan napasnya yang terakhir. Suto Sinting mundur dengan dahi berkerut
tajam.
"Wiratmoko...?!"
gumamnya lagi dalam kebimbangan. "Benarkah dia yang berjuluk Iblis Naga
Pamungkas? Bukankah orang yang berjuluk itu adalah si Raja Maut? Tapi... tapi
menurut keterangan Mega Dewi, ayahnya mati di tangan Iblis Naga Pamungkas ketika
lawannya itu mencabut pedang dan menebaskannya di punggung Ki Lurah Pramadi.
Sedangkan Raja Maut tidak mempunyai senjata pedang, tapi... tapi Wiratmoko
mempunyai pedang, dan gagang pedangnya berbentuk kepala naga. Oh, celaka! Aku
telah tertipu olehnya! Benar kata Tandak Ayu, Wiratmoko itulah si Iblis Naga
Pamungkas. Kalau begitu Mega Dewi dan Ki Empu Sakya dalam bahaya!"
Citradani tersenyum lega.
Kalung pusaka milik gurunya telah kembali diperolehnya. Itu berarti dia dapat
diterima kembali sebagai murid Embun Salju dan berhak tinggal di Kuil Elang
Putih.
Kepada Kirana, Citradani
berkata, "Kalung inilah pusaka yang kumaksud. Wiratmoko adalah pemuda yang
berhasil merayuku dan mencuri kalung ini."
"Kalau begitu...,"
Kirana tak jadi berkata- kata karena ia melihat Suto segera berlari
meninggalkan tempat itu. Ia bahkan berteriak keras,
"Suto, tungguuu...!"
Kirana pun segera menggunakan ilmu peringan tubuhnya, berlari mengejar Suto
Sinting yang mampu bergerak seperti anak panah lepas dari busurnya. Melihat
Kirana berlari mengejar Suto Sinting, Citradani pun ikut-ikutan berlari
menyusul Kirana.
KALAU saja Pendekar Mabuk kala
itu tidak berbalik arah dan meneruskan langkahnya, maka ia akan bertemu dengan
Ki Gendeng Sekarat di kaki bukit Cadas Putih. Itupun kalau mata Suto Sinting
cukup awas, sebab siang itu Ki Gendeng Sekarat ternyata tertidur di atas sebuah
pohon berdaun lebat. Pohon itu mempunyai dahan yang berjajar rapat dan enak
dipakai untuk tidur. Orang yang doyan tidur itu tidak mau menyia-nyiakan tempat
seperti itu, tak heran jika dalam waktu cepat ia sudah tidur dengan dengkuran
yang amat lirih.
Dengkuran itu tak terdengar
dari jalanan di bawah pohon tersebut. Ketika jalanan itu dipakai lewat tiga
kuda, tak satu pun dari ketiga penunggang kuda tersebut mendengar dengkuran Ki
Gendeng Sekarat. Bahkan tiga orang itu sempat beristirahat di bawah pohon
tersebut karena tak jauh dari sana ada sendang kecil berair jernih. Mereka
menyempatkan cuci muka dan minum air sendang itu.
Tiga orang tersebut adalah
para utusan dari Gunung Sesat yang dikuasai oleh tokoh golongan hitam berjuluk
Ratu Tanpa Tapak. Tiga utusan tersebut berbadan kekar semua, tingginya sama,
ilmunya pun sama setingkat, keganasannya juga sama liarnya. Wajah mereka tak
ada yang menunjukkan wajah damai. Bengis dan angker semuanya.
Nenggolo, walaupun tanpa kumis
tebal seperti Gaok Lodra, tapi punya wajah runcing, mata cekung berkesan
dingin, gigi tonggos bertaring runcing. Sedangkan si Sabit Guntur mempunyai
kumis setebal Gaok Lodra, matanya juga lebar ganas, tapi mempunyai codet di
pipi kanan yang menambah angker wajahnya. Senjata mereka pun termasuk jenis
senjata besar.
Pedang, sabit, dan rantai bola
berduri, semua berukuran besar. Mereka mempunyai usia yang hampir sama, sekitar
tiga puluh lima tahun, tapi tingkat kecerdasannya berbeda. Gaok Lodra terhitung
paling rendah kecerdasannya dibanding kedua temannya itu.
Tak heran jika Gaok Lodra
bicara dengan suara keras ketika mengatakan,
"Yang penting kita sudah
tahu letak rumah Empu Sakya. Tak perlu terburu-buru sampai di sana. Keris
Pusaka Setan Kobra pasti berhasil kita rebut dan kita serahkan kepada sang
Ketua!"
"Ssst...! Jaga mulutmu,
jangan seperti ember sumur yang bisa bocor sewaktu-waktu. Tugas ini tak boleh
diketahui siapa pun!" kata Nenggolo sambil mendekati kudanya.
"Di sini tak ada manusia,
kenapa takut
bicara?"
"Apa 'dapurmu' itu bukan
manusia?!" hardik Sabit Guntur. "Sekalipun tak ada orang lain kecuali
kita bertiga, tapi kita harus menjaga mulut supaya tidak bicara sembarangan.
Apalagi membicarakan soal keris pusaka itu, lebih baik dengan berbisik
saja!"
Nenggolo menyentakkan kepala
Sabit Guntur. "Kau sendiri bicaranya cukup keras! Goblok! Memberi
peringatan kepada teman kok diri sendiri bicaranya keras-keras," Nenggolo
bersungut-sungut. Kemudian ia duduk di batu tepat bawah pohon.
"Menurutmu apakah ada
orang lain yang mendahului kita merebut keris Pusaka Setan Kobra itu?"
tanya Gaok Lodra kepada Sabit Guntur.
"Sekalipun ada tak
mungkin berhasil. Empu Sakya bukan orang berilmu rendah. Hanya kita-kita orang
saja yang bisa mengungguli ilmunya Empu Sakya!"
Mereka terus bicara, mengatur
siasat dan mencari kemungkinan-kemungkinan yang perlu disiapkan. Tanpa mereka
sadari, seseorang yang tidur di atas pohon itu mendengar semua percakapan
tersebut. Sekalipun dalam keadaan tertidur nyenyak, namun telinga terpasang
tajam, sehingga suara bisikan pun bisa sampai di telinga Ki Gendeng Sekarat.
Beberapa saat setelah
beristirahat, ketiga utusan dari Gunung Sesat itu lanjutkan perjalanannya
menuju desa Kukusan. Agaknya salah seorang dari mereka pernah menyelidiki rumah
Ki Empu Sakya, sehingga ia tahu persis keadaan di mana dan tempat-tempat yang
harus dijaga agar Ki Empu Sakya tak bisa lolos. Orang yang mengetahui keadaan
di sana itu adalah Nenggolo, sehingga secara tak langsung kedua temannya
menganggap Nenggolo sebagai ketua perjalanan.
Dengan mata masih lengket dan
sukar dibuka, Ki Gendeng Sekarat mulai turun dari pohon. Kakinya sempat terpeleset,
ia hampir jatuh terpelanting. Untung tangannya segera berpegang pada batang
pohon, tapi kepalanya terbentur batang tersebut. Duug... !
"Aduh...!" Ki
Gendeng Sekarat akhirnya buka mata sambil meringis mengusap-usap keningnya.
Kalau tidak terbentur, mungkin ia masih dalam keadaan tertidur sambil berjalan.
Dengan mata terbuka, Ki
Gendeng Sekarat segera mengikuti tiga utusan tersebut. Mulutnya berucap kata
sendirian.
"Mereka pasti orang-orang
Ratu Tanpa Tapak! Untung mereka bicara di bawahku, sehingga aku tahu tujuan
mereka. Empu Sakya akan terdesak jika melawan mereka bertiga. Ilmu orang-orang
Gunung Sesat tak boleh direndahkan. Aku harus menolong Empu Sakya untuk
selamatkan Keris Setan Kobra. Kalau sampai Keris Setan Kobra jatuh ke tangan
Ratu Tanpa Tapak, hancurlah seluruh isi dunia ini. Ratu keji tak berperasaan
itu akan melenyapkan semua penduduk bumi yang tidak mau tunduk kepadanya.
Tapi kalau bisa, sebelum
mereka tiba di desa Kukusan sudah kulumpuhkan lebih dulu. Yah, terpaksa
kerahkan tenaga untuk mengejar mereka! Sialnya mereka berkuda semua. Mau tak
mau aku harus berpacu kalahkan tenaga kuda!"
Ilmu peringan tubuh yang
dimiliki Ki Gendeng Sekarat bukan ilmu tingkat rendah. Tak heran jika ia mampu
bergerak secepat badai menerabas semak belukar memotong arah untuk bisa
menghadang tiga utusan Gunung Sesat itu.
Gerakan larinya yang cepat itu
membuat tubuhnya bagaikan ditiup angin semilir dan rasa kantuknya datang lagi.
Matanya pun mulai mengecil dan kepala mulai terangguk-angguk, namun langkah
larinya tetap cepat tak berkurang sedikit pun.
Bruus...! Serumpun pohon
pisang diterjangnya. Wajahnya tersabut daun pisang. Perih. Tapi justru membuat
kantuknya jadi hilang. Matanya pun terbuka kembali dengan terang. Ketika tiba
di perbatasan desa, rasa kantuk itu sama sekali lenyap dan membuat tubuh Ki
Gendeng Sekarat tampak tegar. Ia menunggu tiga utusan yang menurut perkiraannya
tidak lama lagi akan datang melalui jalan tersebut.
Beberapa saat kemudian, suara
deru kuda mulai terdengar di kejauhan. Makin lama semakin jelas, pertanda derap
kaki kuda itu makin mendekati tempat Ki Gendeng Sekarat menunggu mereka.
Kejap berikutnya, bayangan
hitam tampak datang dari arah barat. Ki Gendeng Sekarat saat itu berada di
balik pepohonan. Salah satu pohon randu dihantam dengan pangkal telapak
tangannya, Duuugh... !
Wwrrr...! Pohon itu
berguncang, makin lama makin miring dan akhirnya tumbang dalam keadaan akarnya
tercabut, mencuat ke atas. Bruuuss ... !
"Sial!" maki Ki
Gendeng Sekarat buru-buru mengucal matanya. Tanah akar memercik dan membuat
mata Ki Gendeng Sekarat kelilipan. Ia sedikit kebingungan menghilangkan tanah
yang masuk matanya, sedangkan tiga utusan itu sudah semakin dekat. Mau tak mau
sambil mengucal mata, Ki Gendeng Sekarat lompatkan badan dan lepaskan tendangan
bertenaga dalam cukup tinggi ke arah batang pohon jati.
Wuuut...! Duuugh...!
Kraaaaakk...! Bruuuusg...!
Pohon itu pun tumbang melintang jalan seperti pohon yang tadi. Keadaan tersebut
membuat tiga penunggang kuda segera hentikan perjalanannya. Jalanan tertutup,
kuda tak dapat lewat begitu saja karena dahan pohon mencuat ke sana-sini tak
beraturan.
"Ada seseorang yang
berniat menghadang perjalanan kita, Gaok Lodra!" kata Nenggolo dengan mata
memandang ke arah sekeliling. Kedua rekannya itu pun memandang sekeliling.
Sabit Guntur perdengarkan suaranya mirip orang menggerutu.
"Cari penyakit betul
orang itu. Agaknya dia mengetahui rencana kedatangan kita!"
"Kalian kalau bicara
memang mirip mulut kalkun!" gerutu Nenggolo ditujukan kepada kedua
rekannya. "Coba periksa di semak- semak sebelah kiri itu!"
Gaok Lodra memacu kudanya
untuk menerabas semak-semak sebelah kiri, sebab pohon yang roboh adalah pohon
pada jajaran sebetah kiri mereka. Gaok Lodra menerabas masuk semakin dalam,
memeriksa keadaan di sekitar pohon yang roboh itu. Sementara itu, Nenggolo dan
Sabit Guntur menunggu dengan waspada.
Ki Gendeng Sekarat bersembunyi
di atas salah satu pohon yang masih utuh. Ketika Gaok Lodra melintasi bagian
bawah pohon, Ki Gendeng Sekarat segera cabut kipas putihnya lalu lompat ke
bawah bagaikan kelelawar terbang.
Wuuut...! Craaass...!
Ki Gendeng Sekarat daratkan kakinya
ke tanah tanpa bunyi gaduh. Hal itu membuat Gaok Lodra sedikit terkejut.
Matanya segera memandang tajam kepada Ki Gendeng Sekarat. Orang yang dipandang
hanya tersenyum tipis dengan kipas masih tertutup dan ada di tangan kanannya.
"Manusia atau jin kau
ini?" geram Gaok Lodra tetap tenang di atas kuda.
"Apa saja anggapanmu tak
jadi masalah bagiku," kata Ki Gendeng Sekarat, "Aku hanya inginkan
kau dan kedua rekanmu itu kembali ke Gunung Sesat dan jangan coba-coba merampas
Keris Setan Kobra dari tangan Empu Sakya!"
"Hmm...!" Gaok Lodra
tersenyum sinis. "Kau belum tahu kekuatan orang-orang Gunung Sesat
rupanya. Perlu kau catat dalam ingatanmu, orang-orang Gunung Sesat tak akan
mundur sebelum tugasnya berhasil. Tak satu pun ada yang mampu menahan niat kami,
tak satu pun ada yang mampu menyentuh tubuh kami. Jadi kusarankan, pergilah dan
jangan halangi kami!"
"Betulkah tak satu pun
ada yang mampu menyentuh tubuh kalian?"
"Coba saja kalau kau
ingin bukti!" tantang Gaok Lodra.
"Sudah kucoba, dan
ternyata aku mampu memotong telingamu."
Gaok Lodra terkesiap. Ia
segera memegang daun telinga kirinya yang mulai terasa dingin itu. Dan ternyata
daun telinga itu telah hilang dari tempatnya.
"Hahhh...?!" Gaok
Lodra terkejut sekali, matanya terbelalak melihat tangannya berlumur darah.
Rasa sakit mulai terasa dan ia mulai meringis menahan rasa perih itu. Darah pun
ternyata sudah sejak tadi meleleh hingga membasahi pundak dan lengan kirinya.
"Telingaku ..?! Oh...?!
Telingaku?!" suara Gaok Lodra gemetar.
Ia baru menyadari bahwa daun
telinganya telah terpotong dan jatuh di bawah kaki kuda. Hal itu dilakukan Ki
Gendeng Sekarat pada saat ia meluncur turun dari atas pohon dan mengibaskan
kipasnya dengan sangat cepat, sehingga pemotongan itu tidak terasa bagi si
korban.
Kemarahannya yang meluap
membuat Gaok Lodra tak mampu lagi serukan suara, ia hanya menggeram dengan
wajah merah dan gemetar.
"Bangsat kau...!"
"Eh, jangan memakiku. Tak
sopan itu!"
Gaok Lodra segera cabut rantai
bola berduri dari tempatnya di pelana kuda.
"Eh, jangan mau
menyerangku, kau bisa kehilangan nyawa. Bukan telinga saja yang hilang!"
"Gggrrr...!" Gaok
Lodra benar-benar merasa dipermainkan nafsu amarahnya.
Sementara itu, Nenggolo dan
Sabit Guntur mulai tak sabar menunggu hasil pemeriksaan Gaok Lodra. Nenggolo
pun berseru keras,
"Apa yang kau temukan di
sana, Gaok Lodra?!!"
"Aahg...!" terdengar
suara pekik pendek tertahan dari dalam kerimbunan semak itu. Suara pekik
tertahan yang pendek itu membuat Sabit Guntur menggerutu sambil
bersungut-sungut.
"Kurang ajar! Disuruh
memeriksa keadaan malah buang hajat dulu!"
"Memang menjengkelkan
pergi bersama Gaok Lodra. Sebentar-sebentar cari tempat buat buang hajat."
Nenggolo menimpali.
Tapi beberapa saat kemudian
terdengar langkah kuda dan ringkikan yang pelan. Kaki kuda menerabas semak
ilalang. Nenggolo dan Sabit Guntur sudah pasang wajah geram dan cemberut.
Nenggolo sempat berkata kepada Sabit Guntur,
"Jangan terlalu dekat
dengannya kalau dia habis begitu! Pasti tak pernah bersih dan
menjengkelkan!"
Nenggolo palingkan wajah,
buang muka ketika moncong kuda mulai terlihat. Tapi Sabit Guntur memperhatikan
kemunculan kuda dengan dahi berkerut. Matanya menjadi terbelalak ketika sosok
kuda tunggangan Gaok Lodra terlihat jelas, dan tubuh Gaok Lodra terkulai di
atas punggung kuda. Keadaannya masih seperti menunggang kuda, tapi tubuhnya
membungkuk ke depan sementara wajah tertunduk.
"Gaok Lodra!"
panggil Sabit Guntur. Tapi tak ada jawaban. Gaok Lodra tetap terbungkuk dan
tertunduk lemas. Seruan itu membuat Nenggolo segera palingkan wajah dan
pandangi Gaok Lodra. Sang kuda mendekat dengan sendirinya. Nenggolo
menghampiri, lalu menegakkan tubuh Gaok Lodra.
"Bangsat!" geramnya
penuh amarah. Leher Gaok Lodra telah robek dan orang itu tidak bernyawa lagi.
Kedua temannya menjadi panik, tegang, senjata mulai dicabut karena sadar ada
musuh di balik semak belukar itu.
"Serang dia!"
perintah Nenggolo sambil memacu kudanya untuk menerabas masuk ke semak ilalang
yang rimbun itu.
Wuuut...! Wes, wes, jleeg...!
Ki Gendeng Sekarat justru
bersalto di udara dua kali dan tiba di tempat kuda Gaok Lodra berdiri.
Sedangkan kedua musuhnya masuk ke dalam mencarinya sambil meluncurkan kata
makian yang kasar dan
kotor, sulit ditirukan.
Ki Gendeng Sekarat segera
sentakkan kedua tangannya ke depan, dan mayat Gaok Lodra pun terlempar dengan
sendirinya ke arah semak-semak tempat kedua temannya mencari musuh itu.
Wuuut...! Buuhg...!
"Aoow...!" pekik
Sabit Guntur. Rupanya ia kejatuhan mayat Gaok Lodra. Ki Gendeng Sekarat tertawa
tanpa suara, tapi bersikap menunggu kemunculan lawannya dengan terlebih dulu
mengusir kuda bekas tunggangan Gaok Lodra.
"Maling busuk! Monyet
kembung!" rutuk Sabit Guntur. "Nenggolo, orang itu ada di
jalanan!"
Kedua kuda muncul bersama
penunggangnya yang sudah semakin merah wajahnya. Melihat Ki Gendeng Sekarat
berdiri dengan berkipas-kipas santai, Nenggolo segera melompat dari punggung
kuda bersama pedang besarnya yang mampu untuk memotong tubuh lawan dengan
sekali tebas.
"Hiaaat...!"
Wuuung...! Suara pedang besar
mendengung ketika menebas tempat kosong, karena Ki Gendeng Sekarat ternyata
sudah ada di sisi lain yang berlawanan arah dengan serangan Nenggolo.
Keadaannya yang ada di belakang kedua tunggangan Sabit Guntur membuat Ki Gendeng
Sekarat mencocokkan ujung kipasnya ke pantat kuda. Tentu saja ujung kapas itu
dialiri tenaga dalam tinggi.
Cruk...!
"Hieeeee...!" Kuda
meringkik sambil terlonjak mengamuk. Sabit Guntur terlempar ke depan, jatuh ke
tanah dalam keadaan telentang. Kaki kuda yang mengamuk tanpa permisi
menginjak-nginjak dada dan perut Sabit Guntur, lalu lari tunggang langgang
karena merasa sakit yang amat berat akibat ditusuk pakai ujung kipas.
"Uuhhg...!" Sabit
Guntur mendelik susah bernapas karena dadanya terasa remuk diinjak-injak kuda
yang mengamuk. Ia berusaha bangkit pelan-pelan dan berusaha mencari kesempatan
untuk menghirup udara. Mulutnya tercengap-cengap dengan mata sesekali
terbeliak.
"Biadab! Siapa kau
sebenarnya, hah?!" bentak Nenggolo kepada Ki Gendeng Sekarat. Pedangnya
siap terangkat di atas kepala dengan kuda-kuda siap serang.
"Sampaikan salamku kepada
Ratu Tanpa Tapak. Katakan kepadanya, Gendeng Sekarat tidak izinkan dia memiliki
pusakanya Empu Sakya!"
"Persetan dengan
ucapanmu! Heaaah...!" Nenggolo menyerang maju dengan pedang dikibaskan ke
berbagai arah secara cepat. Bunyi gaung dari logam besar itu sempat membuat
daun-daun ilalang terbabat putus dengan sendirinya. Tentu saja gerakan tebas
pedang itu disertai tenaga dalam tinggi yang memancar ke sana-sini. Tetapi Ki
Gendeng Sekarat tetap berdiri tegak dan berkipas-kipas dengan santai. Rupanya
angin kibasan kipas itu menolak datangnya kekuatan tenaga dalam dari kibasan
pedang besar. Sekalipun kipas itu hanya bergerak pelan, namun memancarkan angin
penolak tenaga luar yang cukup kuat. Nenggolo beberapa kali tersentak mundur
ketika mau dekati Ki Gendeng Sekarat. Manakala kibasan kipas itu berhenti,
Nenggolo berhasil mendekat dan tebaskan pedang memotong perut Ki Gendeng
Sekarat. Wuuut...! Slaap...!
Ki Gendeng Sekarat hentakkan
kedua kaki dan tubuhnya terangkat tinggi, sehingga pedang besar itu tak
berhasil kenai tubuhnya. Tapi kaki Ki Gendeng Sekarat cepat bergerak maju
menendang tepat di dahi Nenggolo. Praak...!
Ki Gendeng Sekarat bagaikan
menendang sebongkah keramik. Tendangan cukup kuat dan keras membuat darah
menyembur dari mulut, hidung, dan telinga Nenggolo. Orang itu pun terpelanting
memutar sambil tetap memegangi pedangnya. Pada waktu itu, Sabit Guntur baru
saja berdiri dan siap menggunakan sabitnya.
Tapi gerakan putar Nenggolo
mengenai dirinya. Pedang besar menebas tangan kiri Sabit Guntur tanpa
disengaja. Craas...!
"Aoooww...!" Sabit
Guntur memekik keras- keras karena tangan itu segera putus tepat pada bagian
siku. Tangan yang buntung membuat Sabit Guntur semakin liar. Ia menebaskan
sabitnya dengan gerakan cepat.
Claap...! Sinar biru petir
menyambar ke arah Ki Gendeng Sekarat. Namun oleh Ki Gendeng Sekarat sinar biru
itu dikibaskan memakai kipasnya. Sinar itu membalik arah dan tepat mengenai
tengkuk kepala Nenggolo. Blaaar... !
Tak ayal lagi leher Nenggolo
pun putus terpotong oleh kekuatan sinar biru petir itu. Sabit Guntur mendelik
melihat sinar birunya justru memotong leher teman sendiri.
"Keparat...! Heaaaat...!
Sabit Guntur mengibaskan sabitnya beberapa kali, sehingga sinar biru petir
terlepas dari ujung sabit, jumlahnya lebih dari lima sinar. Semuanya tertuju ke
arah Ki Gendeng Sekarat.
Dengan menggunakan kipasnya.
Ki Gendeng Sekarat membuang sinar-sinar ke arahnya, dan sinar-sinar itu
membentur benda apa saja yang dicapainya. Bunyi ledakan dahsyat terjadi
berkali-kali, merobohkan dua batang pohon dan yang terakhir membuat Ki Gendeng
Sekarat terpental ke belakang, karena salah satu sinar biru petir sengaja
ditangkis oleh kipasnya. Akibatnya daya ledak itu menghentak melemparkan Ki
Gendeng Sekarat ke belakang. Bruuk!
"Uhg...! Sial! Pinggangku
bisa bengkak atau patah kalau begini?!" gerutu Ki Gendeng Sekarat sambil
mencoba bangkit kembali.
Tapi pada saat itu, Sabit
Guntur yang merasa tak akan mampu melawan Ki Gendeng Sekarat segera lompat ke
kuda bekas tunggangan Nenggolo. Dengan menggunakan satu tangan ia memacu
kudanya, melarikan diri, meninggalkan tempat tersebut.
Ki Gendeng Sekarat sengaja tak
mau mengejarnya, karena tulang punggungnya terasa ngilu sekali. Bertepatan
dengan hilangnya Sabit Guntur, muncul sesosok bayangan yang berkelebat ke arah
Ki Gendeng Sekarat. Dengan cepat Ki Gendeng Sekarat siap-siap kibaskan kipasnya
untuk merobek kulit tubuh bayangan yang baru datang. Namun gerakan itu segera
tertahan karena Ki Gendeng Sekarat segera mengetahui bahwa bayangan yang datang
ke arahnya itu adalah sosok tubuh Pendekar Mabuk.
"Ki Gendeng
Sekarat...?!"
"Ah, Gusti Manggala
Yudha... Kenapa baru sekarang munculnya?" gerutu Ki Gendeng Sekarat.
Ia bersungut-sungut sambil
mencari tempat untuk duduk. Sebatang kayu yang tadi ditumbangkan berhasil
diduduki, napasnya terlepas lega. Sementara itu Suto Sinting memandangi mayat
Nenggolo dan potongan tangan Sabit Guntur.
"Apa yang terjadi,
Ki?"
"Mereka ingin mendatangi
Empu Sakya untuk merebut Keris Setan Kobra. Mereka orang-orang utusan dari
Gunung Sesat, anak buah Ratu Tanpa Tapak!"
"Ratu Tanpa Tapak?!"
gumam Suto Sinting dengan dahi kian berkerut.
"Kau sendiri bagaimana
bisa sampai sini? Kulihat arahmu dari desa Kukusan!"
"Benar, Ki. Aku dari
rumah Empu Sakya untuk menyelamatkan Empu Sakya dan Mega Dewi, anak Ki Lurah
Pramadi."
"O, ya... aku kenal orang
itu!"
"Mereka terancam maut di
tangan iblis Naga Pamungkas. Aku terkecoh..."
"Tunggu! Maksudmu Iblis
Naga Pamungkas itu siapa? Wiratmoko?!"
"Benar. Murid Dampu
Sabang, Ki. Dia juga mengancam nyawamu. Kaulah sasaran berikutnya."
"Dampu Sabang!"
geram Ki Gendeng Sekarat sambil matanya menyipit, menatap arah jauh, bagaikan
mengenang peristiwa lama.
"Tapi ketika aku tiba di
rumah Empu Sakya, mereka sudah tak ada, Ki!"
"Maksudmu?"
"Empu Sakya dan Mega Dewi
tidak ada di tempat. Keadaan rumahnya sudah porak- poranda. Aku tak tahu pasti
apakah mereka dibawa lari oleh Iblis Naga Pamungkas, atau melarikan diri dan
sekarang masih dalam pengejaran murid Dampu Sabang itu?!"
RUPANYA Ki Empu Sakya sudah
mengetahui akan kedatangan Wiratmoko yang membawa Pusaka Pedang Naga Pamungkas.
Sebelum musibah itu datang, firasat batin Ki Empu Sakya untuk memberi isyarat.
Maka ia pun segera membawa pergi Mega Dewi. Tentu saja gadis itu merasa bingung
ketika tahu-tahu disuruh berkemas dan diajak pergi.
"Kita mau ke mana,
Ki?!"
"Ke mana saja, yang
penting selamat untuk dirimu," jawab Ki Empu Sakya.
"Selamat? Apakah jiwaku
terancam bahaya?"
"Bukan jiwamu saja, tapi
jiwaku juga dalam bahaya."
"Aku tak mengerti maksud
Ki Empu Sakya."
Setibanya di lereng bukit, Ki
Empu Sakya baru menjelaskan maksudnya kepada Mega Dewi.
"Iblis Naga Pamungkas
sedang menuju ke rumahku. Pasti ia menghendaki nyawamu dan pusakaku."
Mega Dewipun segera terkejut
mendengar penjelasan itu. Ia mulai gemetar karena hatinya diguncang rasa takut
namun dibakar rasa dendam pula. Akhirnya Mega Dewi punya gagasan untuk melawan
Iblis Naga Pamungkas itu."Kalau kau mengizinkan, pinjamkanlah pusakamu
itu, Ki. Akan kupakai untuk membalas kematian ayahku kepada Iblis Naga
Pamungkas."
Ki Empu Sakya gelengkan
kepala, "Jangan membiasakan dendam bersarang dalam hatimu, Anak Manis.
Kematian adalah perjalanan akhir dari suatu kehidupan di alam fana, dan
perjalanan awal dari suatu kehidupan di alam baka. Tak perlu kau buru dengan
dendam. Itu hanya akan merusak ketenangan jiwamu."
"Tapi... orang itu memang
layak dimusnahkan, Ki. Jika tidak ia akan memakan korban lebih banyak
lagi."
"Menurutku itu bukan
tugasmu, Mega Dewi. Sekalipun kau kupinjami keris pusakaku, tapi jika
ketinggian ilmumu tidak seimbang, sama saja kau akan menemui ajal di tangannya.
Kekuatan keris itu tidak bisa dipakai untuk menentukan kemenangan. Tergantung
ketinggian ilmu kanuragan kita. Kecuali jika lawanmu tidak akan menyerang, maka
kau tetap akan menang dengan menggunakan keris pusakaku itu."
"Tapi...," Mega Dewi
berkerut dahi memperhatikan Ki Empu Sakya, "Ku lihat kau tidak membawa
benda apa-apa, Ki. Apakah keris pusaka itu ditinggalkan di rumahmu itu?"
Ki Empu Sakya tersenyum tipis,
"Biar siapa pun menggali rumahku tidak akan menemukan Keris Pusaka Setan
Kobra. Keris itu kusimpan di suatu tempat yang tak mudah diketahui oleh siapa
pun, kecuali diriku sendiri."
"Tapi..."
Kata-kata itu tak jadi
dilanjutkan karena Ki Empu Sakya segera menarik tangan Mega Dewi dan menutup
mulut gadis itu dengan tangan. Mereka masuk ke semak-semak yang rimbun, karena
Ki Empu Sakya mendengar suara langkah kaki orang mendekat ke arahnya juga detak
jantung orang lain yang ada di kejauhan sana.
"Apakah ia datang kemari,
Ki?" bisik Mega Dewi.
"Entahlah. Yang jelas ada
seseorang yang bergerak kemari. Sebentar lagi kita akan tahu siapa
orangnya."
Anehnya telinga Mega Dewi
tidak mendengar suara langkah kaki orang. Yang didengar hanya hembusan angin
lereng bukit. Bahkan mereka sempat mendekam di semak- semak itu cukup lama.
Kaki Mega Dewi sampai terasa pegal.
"Orangnya masih jauh,
tapi telinga Ki Empu Sakya sudah mendengar langkahnya. Sungguh tinggi ilmu
pendengaran Ki Empu Sakya ini."
Mulanya Mega Dewi sempat
sangsi, "Jangan-jangan tak ada yang datang kemari?! Sudah sembunyi lama
sekali tapi tak ada yang datang, uuh...! Menyebalkan sekali. Pasti Ki Empu
Sakya salah dengar atau mungkin salah duga."
Tapi beberapa saat setelah
membatin kata begitu, gadis berkepang dua mendengar langkah kaki menginjak
rerumputan. Langkah itu makin mendekat ke arahnya. Mega Dewi menjadi yakin,
memang ada yang mendekati tempat mereka.
Sesosok tubuh kecil muncul
dari balik tikungan semak. Mega Dewi dan Ki Empu Sakya sama-sama hempaskan
napas lega, lalu keduanya berdiri dan keluar dari persembunyian.
"Ya, ampuun...! Kenapa
kau ikut kemari. Angon Luwak?!" tegur Ki Empu Sakya kepada bocah
penggembala kambing itu.
"Aku hanya ingin beri
tahukan padamu, Ki... ada orang yang mengobrak-abrik rumahmu. Orangnya membawa
pedang bergagang kepala naga dari logam putih." tutur Angon Luwak penuh
kesetiaan.
"Iblis Naga
Pamungkas!" gumam Mega Dewi percaya dengan firasat yang dimiliki Ki Empu
Sakya. Ia semakin kagum terhadap ketinggian ilmu orang tua bertubuh kecil itu.
"Sekarang apa yang harus
kita lakukan, Ki?"
"Ke goa! Aku punya goa
tempatku bertapa dulu. Mudah-mudahan belum tertutup reruntuhan batu."
"Aku ikut, ya Ki?"
usul Angon Luwak.
"Apakah kau tak akan
dicari oleh orangtuamu?"
"Orangtuaku yang suruh
aku memberitahukan padamu tentang kedatangan orang itu, Ki," jawab Angon
Luwak dengan lugu.
"Baiklah kalau kau
memaksa mau ikut. Tapi tempatnya tinggi. Kalau kau lelah mendaki tak ada orang
yang sanggup menggendongmu."
"Aku akan berjalan
sendiri. Ki," kata Angon Luwak dengan penuh semangat. Bocah itu sangat
kagum dengan Ki Empu Sakya, juga menyukai petualangan di rimba persilatan. Cerita-cerita
tentang tokoh golongan putih yang pernah dan sering dituturkan oleh Ki Empu
Sakya memacu jiwa bocah itu untuk masuk ke dunia persilatan golongan putih.
Karenanya, semangat untuk mengikuti Ki Empu Sakya cukup tinggi. Orang tuanya
sendiri tak mampu mencegah kehendaknya.
Pada saat Ki Empu Sakya
membawa Mega Dewi ke goa bekas tempat pertapaannya dulu, Wiratmoko sedang sibuk
membongkar seluruh isi rumah Ki Empu Sakya. Ia lakukan dengan kasar, sehingga
rumah bambu itu sempat miring ke kiri karena diguncang kekasaran Wiratmoko.
Hatinya jengkel sekali menemukan rumah itu telah kosong, bahkan keris pusaka
yang dicarinya pun tidak ada.
Saat ia keluar untuk mencari
jejak kepergian Ki Empu Sakya, tiba-tiba muncul seorang berpakaian serba merah.
Rambutnya panjang berwarna merah, juga jenggot dan kumisnya yang berwarna
merah. Orang bertubuh tinggi, besar dan bermata lebar. Wajah angkernya tampak
menyeramkan. Kulitnya sedikit coklat kemerah-merahan.
"Oh, rupanya kau datang
untuk maksud yang sama, Dewa Api?" sapa Wiratmoko kepada orang yang
berusia sekitar empat puluh tahun itu.
"Aku hanya ingin bertemu
dengan Empu Sakya. Bukan ingin bertemu denganmu, Wiratmoko!"
"Empu Sakya sudah pergi,
lari terbirit-birit sebelum aku datang!" kata Wiratmoko dengan sikap
sombongnya.
"Apakah dia lari membawa
pusakanya?"
"Tidak. Pusakanya
berhasil kudapatkan dan kini baru saja selesai kusembunyikan," jawab
Wiratmoko dengan harapan Dewi Api tidak akan memburu pusaka itu lagi jika sudah
ditemukan oleh dirinya.
Tapi rupanya Dewa Api punya
rencana tersendiri. Tokoh yang dikenal di rimba persilatan dengan keganasan
napas apinya itu dulu pernah dihajar habis oleh Dampu Sabang, guru Wiratmoko,
tetapi sebelum ajalnya tiba ia sudah lebih dulu melarikan diri. Dewa Api adalah
salah satu golongan hitam yang punya musuh banyak dan ingin membalas dendam
kepada musuh- musuhnya dengan menggunakan keris pusakanya Empu Sakya.
Karenanya, dengan penuh tekad
Dewa Api memaksa Wiratmoko untuk serahkan Keris Pusaka Setan Kobra kepadanya.
"Apa pun ancamanmu aku
tidak akan serahkan keris itu, Dewa Api!"
"Kalau begitu kau harus
lumer di ujung napasku, Wiratmoko!"
"Akan kubalik
kenyataannya nanti!" kata Wiratmoko dengan tenang. Dewa Api agaknya belum
mengetahui bahwa Wiratmoko telah berhasil menemukan Pedang Naga Pamungkas yang konon
telah terkubur ratusan tahun, milik seorang raja penguasa alam gaib.
Kedua tangan Dewa Api yang
berkuku panjang itu segera membentang terbuka. Kedua kakinya pun merendah,
matanya memandang tajam. Tapi Wiratmoko tidak punya rasa gentar sedikit pun. Ia
tak mau membuang—buang waktu, maka dicabutlah Pedang Naga Pamungkas dari
sarungnya. Sraang...!
Dewa Api sempat terkesip
melihat pedang itu kepulkan asap putih yang tiada habisnya. Ia menaruh curiga,
tapi kecurigaan itu segera disingkirkan dengan bantahan, "Tak mungkin anak
ingusan itu memiliki Pedang Naga Pamungkas. Pasti pedang itu tipuan
belaka."
"Majulah, Dewa
Api...!" geram Wiratmoko memancing kemarahan Dewa Api.
"Heaaahh...! Dewa Api
sentakkan napas dari mulutnya. Napas itu berubah menjadi lidah api yang
menjilat dalam kobaran tinggi. Woosss... !
Wiratmoko cepat sentakkan kaki
dan bersalto di udara melintasi atas kepala Dewa Api. Dengan cepat Dewa Api
lepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui kelima jari tangan kanannya. Ujung
kelima jari keluarkan lima larik sinar merah api yang bertujuan membungkus
tubuh Wiratmoko.
Tetapi Wiratmoko lebih lincah
lagi, ia berkelit dengan menggulingkan tubuh ke tanah, sehingga lima larik
sinar itu mengenai sebatang pohon dan pohon itu terbakar dengen cepat. Nyaris
tak terlihat bentuk daunnya lagi kecuali kobaran api yang mengerikan.
Pada saat Wiratmoko terguling
ke tanah, kaki Dewa Api berusaha menginjaknya. Buuhg...! Injakan itu meleset,
membuat tanah yang terkena injakan kaki menjadi hangus dan berasap. Warna tanah
menjadi hitam arang.
Wiratmoko berkelebat bangkit
dalam liukan tubuh bagaikan menari berputar. Tepat ketika ia tegak, tubuhnya
merendah dan pedangnya menebas dengan cepat dari kanan ke kiri. Wuuut...!
Crass...!
"Ohhg...!" Dewa Api
terbelalak merasakan perutnya robek terkena pedang lawan. Luka itu tidak
timbulkan darah. Tapi asap makin lama makin tebal. Asap putih kekuning-
kuningan itu bagai keluar dari luka panjang di perut. Semakin lama asap itu
semakin banyak, semakin membungkus tubuh Dewa Api. Walau ia melawan dengan
semburan apinya, tapi hal itu tidak menolong. Asap kian rapat membungkus tubuh
Dewa Api. Suara Dewa Api segera hilang. Napas tak terdengar lagi. Ia roboh
tanpa suara dan asap masih membungkusnya. Beberapa penduduk desa memperhatikan
pertarungan itu dari jarak jauh. Mereka menjadi sangat terkejut ketika asap itu
hilang dan tubuh Dewa Api telah berubah menjadi tulang-tulang atau kerangka
keropos, seperti kerangak mayat yang sudah puluhan tahun lamanya.
"Edan! Senjata apa itu
membuat lawan bisa jadi kerangka seketika?!" bisik salah seorang penduduk
desa.
"Sudahlah, jangan
dibicarakan. Nanti dia dengar dan menghampiri kita. Kita bisa dibuat menjadi
tulang seperti itu. Terus kalau kita mau cuci muka bagaimana, coba?! Ayo, pergi
saja sebelum dia mendatangi kita!" kata teman orang tadi. Ia sangat
ketakutan dan wajahnya menjadi pucat.
Seorang perempuan desa yang
tak seberapa jauh tinggalnya dari rumah Ki Empu Sakya segera didekati
Wiratmoko. Tentu saja perempuan itu menggigil ketakutan karena ia juga
mengintai pertarungan tadi. Ia merasa ngeri membayangkan nasibnya akan seperti
Dewa Api jika pemuda tampan berhati kejam itu melakukan hal yang sama seperti
tadi.
Ternyata Wiratmoko hanya
bertanya, "Tahukah kau ke mana perginya Ki Empu Sakya dan seorang gadis
cantik berpakaian hijau?"
"K... ke... ke
selatan," jawab perempuan itu merasa lebih baik berterus terang daripada
bernasib seperti Dewa Api.
"Terima kasih," jawab
Wiratmoko dengan senyum kemenangan. Ia pun segera bergegas ke arah selatan.
Waktu Suto Sinting tiba di
rumah Ki Empu Sakya, ia terkejut melihat keadaan sudah berantakan. Ia ingin
menanyakan kepada salah satu penduduk desa tersebut, tapi tiba- tiba mendengar
ledakan di tempat pertarungan Ki Gendeng Sekarat, sehingga niatnya untuk
bertanya ditundanya sesaat.
Kini setelah Suto datang
bersama Ki Gendeng Sekarat, Suto pun menanyakan perihal Ki Empu Sakya kepada
perempuan yang tadi mengigil ditanyai Wiratmoko. Perempuan itu takut kalau Suto
dan Ki Gendeng Sekarat adalah orang yang lebih kejam lagi, sehingga pertanyaan
tersebut dijawab dengan benar.
"Mereka... mereka pergi
ke selatan!"
"Apakah bersama orang
lain?"
"Tid... tidak. Tapi saya
lihat seorang pemuda tampan yang membunuh orang besar sampai menjadi tulang itu
juga menyusulnya ke selatan."
"Dari mana dia tahu kalau
Ki Empu Sakya pergi ke selatan?"
"Saya memberitahukan.
Karena... karena saya takut," jawab perempuan itu dengan polos.
Itulah sebabnya ketika Ki Empu
Sakya bersama Mega Dewi sedang mendaki bukit menuju goa, gerakannya terlihat
oleh Wiratmoko dari kaki bukit. Pemuda itu tertawa kecil, lalu berlari
mengejarnya. Suara langkah kaki membuat Ki Empu Sakya segera menyuruh Mega Dewi
dan Angon Luwak untuk bersembunyi.
"Terpaksa aku harus
menghadapinya. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak
melakukan pertarungan dengan siapa pun. Tapi agaknya kali ini aku dipaksa. Apa
boleh buat."
"Tapi kau tidak membawa
keris pusaka, Ki!"
"Akan kuhadapi tanpa
pusaka itu. Cepatlah bersembunyi!"
Ki Empu Sakya merasa sudah tak
mungkin menghindari Wiratmoko dengan melarikan diri. Cepat atau lambat
Wiratmoko pasti akan berhasil menemukannya. Maka pilihan terakhir membuat Ki
Empu Sakya sengaja bersikap menunggu kedatangan lawannya di tanah datar
berpohon jarang itu.
"Kalau memang bisa
kukalahkan dengan omongan, tak akan kulakukan pertarungan. Tapi jika memang tak
berhasil kutundukkan dengan kata-kata, aku terpaksa bertindak dan ini merupakan
pertarungan akhirku!" ucapnya bagaikan bicara dengan diri sendiri, tapi
Mega Dewi mendengar dari tempat persembunyian. Lawan yang ditunggu pun datang.
Wiratmoko sunggingkan senyum jumawa, tapi Ki Empu Sakya hanya diam saja.
Matanya memandang tajam tak
berkedip, penuh wibawa dan kharisma.
"Apa maksudmu
mengejar-ngejarku, Wiratmoko?!"
"Tentunya kau tahu
sendiri apa maksudku."
"Memang. Tapi siapa tahu
apa yang telah kuketahui itu salah, karena tidak selamanya orang sesat akan
berjalan di tempat yang salah. Suatu saat dia akan kembali ke jalan yang benar.
Siapa tahu kau kembali ke jalan yang benar! Jadi aku perlu menanyakan maksudmu,
Wiratmoko!"
Tawa Wiratmoko bernada angkuh,
melecehkan kata-kata Ki Empu Sakya.
"Tiap orang punya
pandangan yang berbeda, Ki Empu Sakya. Kau boleh memandang langkahku adalah
sesat, tapi aku menganggap langkahku ini benar. Setia pada perintah Guru. Dan
kalau aku inginkan keris pusakamu itu hanya semata-mata agar jangan jatuh ke
tangan orang serakah. Kau tidak mempunyai kekuatan seperti yang kumiliki, Ki
Empu Sakya. Aku khawatir keris itu mampu di rebut oleh orang serakah. Aku akan
mempertahankan dan menyelamatkannya."
"Gurunya sendiri sesat,
bagaimana muridnya?!" sahut Mega Dewi yang tahu-tahu muncul dari
persembunyian. Rupanya Mega Dewi tak tahan menyimpan dendam dan kebencian di
balik persembunyiannya. Ia keluar dengan mata tajam penuh tantangan. Tapi
Wiratmoko menyambutnya dengan tenang, bahkan sempat tersenyum sinis memuakkan
hati gadis berkepang dua itu.
"Mega Dewi," tegur
Ki Empu Sakya. "Kembalilah ke tempatmu. Biar kuhadapi orang ini!"
"Tidak! Kalau toh aku
harus mati seperti ayahku, aku rela mati sekarang juga! Pemuda iblis itu
bagianku, Ki Empu Sakya! Aku tak mau takut oleh pusakanya. Aku pun punya pedang
yang mampu kalahkan pusakanya itu. Siapa cepat dia menang, siapa lambat dia
tumbang!" kata Mega Dewi dengan kegeraman yang amat dalam. Ia bahkan maju
mendekati Ki Empu Sakya dan berkata kepada Wiratmoko dengan mata menyipit
benci.
"Cabut pedangmu, kita adu
kecepatan dan ketangkasan!"
"Mega Dewi...,"
bujuk Ki Empu Sakya.
"Biarkan aku menghadapinya,
Ki! Hiaaat...!" tiba-tiba Mega
Dewi cabut pedangnya dan segera lompat serang Wiratmoko. Wuuut...!
Wiratmoko sempat terkejut
dengan hadirnya serangan yang secara tiba-tiba itu. Ia cepat hindarkan diri
dengan lompat ke samping yang membuat tebasan pedang pendek itu meleset dari
sasarannya. Pedang yang menyerupai pisau itu segera dikibaskan ke samping,
breet...!
Wiratmoko tersentak kaget.
Pipinya tergores ujung pisau tajam. Kemarahan Wiratmoko meluap, sedangkan
keberanian Mega Dewi kian tinggi.
Sraang...! Wiratmoko mulai
cabut Pedang Naga Pamungkasnya. Asap mengepul tipis dari mata pedang. Ki Empu
Sakya mulai cemas. Lalu dengan kecepatan tinggi ia berkelebat menerjang
Wiratmoko sambil tangan kirinya menyentakkan pukulan berwarna sinar merah, sedangkan
tangan kanannya menyambar tubuh Mega Dewi. Wuuut...! Claap...! Blaar...!
Wiratmoko berhasil menahan
pukulan sinar merah itu dengan pedang tersebut. Dentuman keras menggelegar
membanana, namun tidak menimbulkan sentakan kuat yang mampu mengguncangkan
sikap berdiri Wiratmoko.
Gema ledakan itu diterima oleh
telinga Pendekar Mabuk dan Ki Gendeng Sekarat. Langkah mereka semakin cepat,
arahnya kian jelas. Dalam sekejap mereka sudah sampai ke tempat pertarungan
tersebut. Pada saat itu, Ki Empu Sakya sedang menuju Mega Dewi untuk diam di
tempat. Tapi karena Mega Dewi memberontak terus, akhirnya Ki Empu Sakya menotok
jalan darahnya.
Deb... !
Mega Dewi diam tak berkutik
lagi. Tapi matanya masih bisa memandang dan memahami keadaan sekeliling.
Sedangkan Angon Luwak masih ada di tempat persembunyiannya. Ketika ia melihat
kehadiran Ki Gendeng Sekarat, hatinya menjadi girang, wajahnya pun ceria.
"Nah, Guru datang!"
katanya dengan suara pelan. Wiratmoko tersenyum kalem melihat kedatangan
Pendekar Mabuk. Pedang Naga Pamungkas masih tergenggam di tangannya. Ki Gendeng
Sekarat diam menatap Wiratmoko dengan pandangan dingin. Ki Empu Sakya tak jadi
lanjutkan langkahnya, karena mereka segera mendengar suara Suto berkata kepada
Wiratmoko dengan nada tegas.
"Tak kusangka akhirnya
kaulah lawanku, Wiratmoko!"
"Suto Sinting, kumohon
kau tak perlu ikut campur urusan ini, karena di antara kita tidak punya masalah
apa-apa. Jangan melibatkan diri dalam permasalahanku, Sobat."
"Kau punya tugas dari
Dampu Sabang untuk membunuhku!" kata Ki Gendeng Sekarat. "Sekarang
lakukanlah, Wiratmoko! Aku sudah ada di depanmu!"
"Tidak!" sentak Suto
Sinting. "Ki Gendeng Sekarat, kumohon dengan hormat, menyingkirlah dan
biarkan aku yang menghadapinya."
"Aku masih mampu
melumpuhkan tikus sawah itu! Biarkan aku saja!"
"Ki Gendeng Sekarat,
menyingkirlah!"
"Tidak!"
"Ini perintah dari
Manggala Yudha!" seru Suto Sinting. Ki Gendeng Sekarat jadi memandang,
lemas, dan akhirnya ia melangkah menepi. Jika Suto sudah gunakan gelar
kehormatannya seperti itu, Ki Gendeng Sekarat tak akan berani menentang
keputusan Suto Sinting. Tetapi hal itu digunakan Suto bukan semata-mata untuk
menyombongkan gelar kehormatannya, namun hanya untuk menghindari korban yang tak
diinginkan. Suto tahu wajah Ki Gendeng Sekarat memang kecewa, tapi ia paksakan
diri untuk tidak pedulikan wajah kecewa Ki Gendeng Sekarat itu.
"Wiratmoko, sekarang kita
tentukan siapa yang unggul dalam pertarungan ini. Tapi jika kau turuti saranku,
pulanglah dan tinggalkan tugas dari gurumu yang sesat itu. Jangan gunakan lagi
Pedang Naga Pamungkas itu. Hiduplah dengan damai terhadap sesama, dan jadilah
pembela kebenaran."
"Cuih...!" Wiratmoko
jadi jengkel dan meludah. "Aku tak butuh saranmu! Kalau kau telah pastikan
diri sebagai tandinganku, sebaiknya kita mulai saja pertarungan ini! Kau akan
menjadi kerangka tulang keropos dalam waktu kurang dari seratus hitungan, Suto
Sinting!"
Suto pun melangkah ke kiri
ketika Wiratmoko melangkah ke kanan, mereka membentuk lingkaran gerak dan
masing- masing memandang dengan mata tajam penuh kewaspadaan. Suto Sinting
telah memindahkan bumbung tuaknya ke tangan, sehingga sewaktu-waktu mampu
digunakan sebagai senjata pengganti pedang. Sedangkan senjata Wiratmoko sendiri
sejak tadi kepulkan asap terus, seakan dalam kelaparan dan menunggu mangsanya
tiba.
"Hiaaat...!"
Wiratmoko maju menyerang dengan satu lompatam rendah. Pedang ditebaskan dari
atas ke bawah.
Blaaar... !
Pedang itu membentur bambu
tuak. Sedikit pun tak ada luka pada bambu. Tetapi akibat benturan itu,
gelombang ledakan terjadi amat kuat dan Wiratmoko terlempar hingga tujuh
langkah dari tempatnya berdiri semula. Ia segera bangkit, lalu dengan lompatan
ringan yang menghasilkan tenaga tinggi, ia meluncur bagaikan terbang dengan
pedang terarah ke depan. Sasarannya adalah dada Suto Sinting. Tetapi ketika
ujung pedang itu sudah mendekat, tiba-tiba Wiratmoko menggerakkan pedang ke
bawah, lalu menebas ke samping.
Wuuut...!
Suto Sinting sentakkan kaki
dan lompat tinggi di atas permukaan tubuh Wiratmoko. Kakinya segera menendang
ke depan. Dees...! Pelipis Wiratmoko menjadi sasaran kaki Suto. Pemuda itu
terpelanting jatuh akibat tendangan keras yang membuat telinganya mulai
berdarah.
Wiratmoko berlutut setengah
merangkak merasakan sakit di telinganya. Ia yakin gendang telinganya menjadi
pecah akibat tendangan tadi. Amarahnya kian bertambah, sehingga dengan gerakan
cepat ia berkelebat melancarkan jurus 'Pedang Sapu Jagal'. Gerakan itu hampir
saja tak terlihat oleh mata Suto Sinting. Namun kelebatan asapnya membuat
tangan Suto menggerakkan bumbung tuak untuk menangkisnya. Trang...!
Duaaar...!
Suto memutar tubuh, bumbungnya
disodokkan ke belakang, tepat mengenai punggung Wiratmoko. Buuhg...!
"Hegghh...?!"
Wiratmoko mendelik, napasnya bagai tersumbat dan tak mampu dihela lagi.
Kerongkongannya terasa amat kering karena sodokan bambu itu mempunyai kekuatan
tenaga dalam cukup tinggi. Ia pun segera menguasai keadaan dirinya dengan mengerahkan
hawa murni dalam tubuhnya. Kejab berikut ia kembali sigap di depan Suto.
"Bambu itu benar-benar
gila! Kerasnya melebihi baja mana pun. Agaknya aku tak bisa menggunakan wujud
nyata dalam menyerangnya," pikir Wiratmoko.
Tiba-tiba ia menggerakkan
pedang dengan sangat cepat, menebas kanan, kiri, depan, belakang, memutar, dan
begitu seterusnya sehingga tubuhnya sendiri mulai dibungkus asap putih. Makin
lama asap itu semakin tebal dan sepenuhnya raga Wiratmoko berubah menjadi asap.
Suto Sinting mencoba
menyodokkan bambunya, tapi menemui tempat kosong. Asap itu tidak berubah
sedikit pun. Asap itu masih tetap menggenggam pedang walau tak terlihat tangan
penggenggamnya. Semua yang ada di situ mempunyai rasa kagum yang tak sama
besar-kecilnya. Wuuus...!
Pedang itu berkelebat nyaris
merobek punggung Suto. Tetapi berhasil dihindari dengan berguling ke depan satu
kali dan kembali berdiri dengan sigap.
"Suto akan kewalahan jika
melawan asap begitu. Tak ada yang bisa dipukul," pikir Ki Gendeng Sekarat.
Tetapi apa yang dipikirkan Ki
Gendeng Sekarat ternyata berbeda dengan apa yang dipikirkan Pendekar Mabuk.
Tutup bambu itu dibuka oleh
Suto Sinting. Keadaan bambu dimiringkan, lubang bambu yang berisi tuak tinggal
sedikit itu diarahkan ke depan. Ketika Wiratmoko bergerak dalam bentuk asap dan
ingin menebaskan pedangnya kembali, kaki Suto pun menghentak ke tanah satu
kali. Duug...!
Tiba-tiba dari bumbung bambu
itu keluar tenaga penghisap yang amat kuat. Asap tersebut tersedot masuk ke
dalam bumbung bambu. Terdengar suara Wiratmoko yang berseru lantang,
"Hai, jurus apa ini?!
Hai... tunggu! Tunggu, Suto !"
Syuuurrp...!
Deb...! Suto segera menutup
lubang bambu ketika asap itu tersedot habis masuk ke dalam bambu. Terdengar
suara Wiratmoko menjerit-jerit di dalam bumbung bambu.
"Lepaskan aku! Lepaskan!
Suto...! Aaauh,
Di dalam bumbung itu tersimpan
cincin Manik Intan yang mempunyai kekuatan tersendiri. Mungkin kekuatan cincin
itulah yang menghajar Wiratmoko di dalam bumbung bambu. Yang jelas seruan dan
ratapan Wiratmoko tidak dihiraukan oleh Suto Sinting. Pedang Naga Pamungkas
yang jatuh tak ikut tersedot ke dalam bambu itu segera dipungutnya. Tapi
ternyata gerakan Suto terlambat. Pedang itu sudah disambar lebih dulu oleh
bocah kecil; Angon Luwak. Semua mata memandang kaget kepada Angon Luwak.
"Angon Luwak, serahkan
pedang berbahaya itu kepada Kang Suto!" perintah Ki Empu Sakya.
"Tidak!" kata Angon
Luwak. Ia mendekati Ki Gendeng Sekarat, lalu di depan gurunya Angon Luwak unjuk
kebolehan ilmu genggamannya. Gagang pedang diremas kuat- kuat. Praaas...!
Hancur menjadi serbuk halus. Lalu mata pedang yang berasap itu pun diremas
pelan-pelan. Sinar putih berkilauan memancar. Tapi mata pedang itu pun hancur
menjadi serbuk halus. Toosss...! yang menghajarku ini?! aaauh... huuggh... !
aaauh...! Hai, siapa Hai... aauh... Sutooooo...!"
"He, he, he, he...!"
Ki Gendeng Sekarat tertawa terkekeh-kekeh sambil mengusap usap rambut Angon
Luwak.
"Tidak ada yang bisa
gunakan kejahatan pakai pedang ini lagi, Guru!"
"Bagus, bagus,
bagus...!"
Ki Gendeng Sekarat
manggut-manggut, membuat Suto Sinting dan Ki Empu Sakya pun tersenyum geli
melihat kebanggaan Angon Luwak, walau tadi Ki Empu Sakya sempat kaget melihat
Angon Luwak meremukkan gagang Pedang Naga Pamungkas. Setelah mendengar Angon
Luwak menyebut Ki Gendeng Sekarat dengan sebutan 'guru', maka Ki Empu Sakya pun
segera tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat telah memberikan ilmu itu kepada Angon
Luwak.
"Ki Empu Sakya, kumohon
bebaskan totokan Mega Dewi."
"Oh, iya...! Hampir saja
aku lupa!"
Taab... ! Ki Empu Sakya
bebaskan totokan Mega Dewi. Tapi pada saat itu tahu-tahu Suto telah melesat
pergi dengan cepatnya. Mega Dewi melihat Suto sudah ada di seberang jauh, di
kaki bukit tersebut.
"Sutooo...! Mau ke mana
kau?!"
"Membuang asap ini ke
Sumur Tembus Jagat?" seru Pendekar Mabuk, karena menurutnya tak ada tempat
lain untuk memenjarakan Wiratmoko kecuali di Sumur Tembus Jagat. Sedangkan
Wiratmoko yang ada di dalam bambu itu menjadi amat ketakutan mendengar dirinya
akan dibuang ke Sumur Tembus Jagat.
"Jangan, Suto...! Jangan
buang aku ke sana! Jangan, Suto! Sutoooo...!"
Tapi Suto Sinting tetap
berlari menuju ke Bukit Mati Langit tempat di mana Sumur Tembus Jagat berada.
"Sutooo...! seru suara
wanita yang tak lain adalah Kirana.
"Aku ikut!"
Gadis itu pun berlari mengejar
Suto,kini ia tidak bersama Citradani, sebab Citradani harus segera pulang ke
Kuil Elang Putih untuk serahkan kalung pusaka Lintang Suci itu.
"Aku ikut,
Sutooo...!"
"Terserah!" teriak
Suto di kejauhan sambil membiarkan dirinya dikejar Kirana yang cantik dan
bandel itu.
SELESAI