MALAM berbintang mirip jerawat
perawan puber. Langit cerah bagai bentangan selimut janda kesepian. Rembulan
muncul di tepi langit, bundar besar dan berwarna kuning, mirip bagian tengah
telur mata sapi.
Langit berlukiskan keindahan alam
itu menjadi pusat perhatian setiap orang, terutama para tokoh rimba persilatan
yang mengerti tanda- tanda keramat tentang malam purnama itu. Banyak mata yang
tersembunyi di balik kerimbunan semak. hutan, serta dedaunan lainnya. Mereka
tak mau tampakkan diri, bak hantu-hantu malam yang mengintai bayi baru lahir.
Mereka menyebar di sela-sela persembunyian sepanjang Pantai Mindar.
Sudah malam begini. kenapa
belum muncul juga? bisik seseorang kepada temannya yang sama-sama bersembunyi
di celah-celah batu karang.
“Mungkin sebentar lagi. Sabar
sajalah!" “Kalau ternyata dia tidak muncul bagaimana?" “Kita muncul
sendiri!" jawab temannya. “Brengsek! Kakiku sampai kesemutan. “ “Kakiku
justru terasa hangat.
“Kok bisa hangat?"
"Entah kotorannya siapa
yang kuinjak sejak tadi ini."
Bisik-bisik sejenis itu banyak
terjadi di sepanjang Pantai Bandar. Perahu-perahu nelayan ditambatkan tanpa
penunggu. Tak ayal lagi perahu- perahu nelayan itu dipakai tempat bisik-bisik
pu!a oleh mereka yang menunggu pemunculan sesuatu yang keramat.
Malam itu, peristiwa yang
kelak akan menjadi sebuah legenda atau cerita rakyat akan terjadi di Pantai
Bandar. Seorang putri bidadari akan muncul untuk menemui ayahnya; seorang
petapa sakti yang dikenal dengan nama Paderi Moyang. Gadis anak bidadari itu
akan berkuasa di Bukit Caraka, menjadi perantara suci antara manusia dengan
dewa. Gadis anak bidadari yang keramat itu dikenal dengan nama Putri Merak.
Siapa pun yang bisa memakan
jantung Putri Merak, maka orang itu akan hidup selama seribu tahun lagi. Tetapi
barang siapa bisa menjadi
pengawal dan penye- lamat
Putri Merak, maka keturunan pertama orang itu akan mendapat sukma warisan dari
Paderi Moyang. Seluruh ilmu dan kesaktian sang petapa akan menitis pada bayi
pertama si penyelamat Putri Merak.
Sang petapa sakti yang pernah
dikabarkan mati secara moksa, lenyap tanpa bekas, telah memilih seorang gadis
untuk menjadi pendamping kehadiran pu- trinya itu. Gadis yang dipilih oleh
Paderi Moyang adalah murid Raja Mantra yang dikenal dengan nama Utari. Oleh
sebab itu, Utari diberi tanda oleh Paderi Moyang berupa kalung Batu Kasumbi,
agar ia dikenal dan diper- caya oleh Putri Merak sebagai pengawal pilihan seka-
ligus utusan dari Paderi Moyang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Sukma Warisan").
"Aku heran, mengapa si
Utari yang dipilih sebagai pengawal Putri Merak? Padahal ilmunya Utari tidak
seberapa tinggi. Masih banyak gadis seusia Utari yang ilmunya lebih tinggi dan
lebih bisa menjamin kese- lamatan Putri Merak. Mengapa Paderi Moyang memper-
cayakan keselamatan Putri Merak di tangan kepada Utari?!"
Seseorang membalas suara
kasak-kusuk teman- nya di balik persembunyian mereka.
"Ada beberapa hal yang
menjadi pertimbangan Paderi Moyang sehingga mempercayakan keselamatan putrinya
di tangan Utari. Pertama, karena Utari gadis yang masih perawan. Belum pernah
kemasukan ‘maling’ tanpa mata."
"Hiik, hik, hik, hik...!
Maling tanpa mata itu apa?" canda temannya. "Kurasa kau tahu sendiri.
Lalu, menurutku pertimbangan Paderi
Moyang kedua: Utari adalah
murid dari sahabatnya, yaitu Ki Wiramba alias si Raja Mantra. Pertimbangan yang
ketiga: Utari dan kakaknya yang bernama Rinayi, sebenarnya adalah gadis
berdarah i-ini Mereka anak Prabu Balayudha, dari Kerajaan Pa- inpnll, Negeri
tersebut sekarang sudah lenyap tersapu alam; banjir dan badai besar. Tak
seorang pun penduduk negeri itu yang masih hidup kecuali Utari dan Rinayi.
Sebab sewaktu terjadi bencana alam yang mengerikan itu, mereka berdua masih
berguru di Muara Angker, tempat si Raja Mantra memperdalam jurus- jurus
saktinya, termasuk jurus mantra yang mempunyai kedahsyatan mengagumkan
itu."
"Ooo... jadi Utari itu
anak raja?" sang teman manggut-manggut dengan suara gumam pelan.
Tentu saja orang di sampingnya
itu bisa jelaskan perihal latar belakang kehidupan Utari, sebab orang tersebut
punya hubungan dekat dengan Raja Mantra. Bahkan pernah bertemu tiga kali dengan
Paderi Mo- yang. Orang itu adalah seorang wanita muda yang berusia sekitar dua
puluh lima tahun. Mempunyai wajah cantik, bertahi lalat di sudut kiri bibir
atasnya. Matanya agak lebar, indah, dan bertepian hitam, berbibir tebal
menggairahkan untuk dipagut.
Ciri-ciri yang paling khas
bagi wanita muda itu terletak pada payudaranya. Diaiah satu-satunya wanita di
dunia yang mempunyai delapan payudara. Ciri-ciri itu pernah dibuktikan sendiri
oleh Pendekar Mabuk, dan si murid sinting Gila Tuak itu sernpat terkejut
melihat wanita itu mempunyai delapan payudara yang terletak di dada, punggung,
pinggang, dan yang kecil terletak di sekitar pangkal pahanya.
Wanita muda yang
berperawakantinggi, sekal, ber- watak tegas dan berani itu tak lain adalah si
Puting Selaksa, muridnya Resi Parangkara dari Teluk Sendu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Wanita Keramat").
Memang dialah yang berjuluk
Wanita Keramat, karena dia pernah menerima keajaiban 'Rona Dewaji, berupa sinar
merah dan rembulan yang sedang purnama dan membuat tubuhnya saat itu menjadi
berwarna hijau kristal. Rona Dewaji adalah gaib kekuatan kasih yang dimiliki
para dewa. Kesaktian gaib Rona Dewaji itu akan membuat orang yang menerimanya
selalu mengalami keberuntungan, keselamatan, dan kebahagiaan turun- temurun.
Mendengar kabar kernunculan
Putri Merak, Puting Selaksa segera bergegas ke Pantai Bandar. !a bersama- sama
seorang sahabatnya yang bernama Mayangsita dari Lembah Randu. Bagi Pendekar
Mabuk, gadis bernama Mayangsita itu bukan orang asing lagi. Suto Sinting alias
si Pendekar Mabuk sangat kenal dengan Mayangsita, dan ia tahu betul bahwa
Mayangsita adalah murid Eyang Panujum. Gadis itu selalu menjadi gugup dan latah
jika berhadapan dengan pemuda tampan yang sekiranya membuat hatinya kagum dan
berdebar-debar, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : Rahasia
Bayangan Setan" dan "Mahkota Penjerat Hati").
Mayangsita mengenakan baju
tanpa lengan dan celana warna hitam. Rambutnya pendiek sebahu tanpa ikat
kepala.. la juga termasuk gadis yang cantik. Berdada sekal, berbibir ranurn dan
punya senyum yang bisa membuat hati pemuda deg-degan. Ia bersenjata pedang
diselipkan
pada ikat pinggangnyai yang
berwarna hijau. Sedangkan Puting Selaksa, rneingenakan baju berlengan panjang
dan celana warna hijau tua. Rambut- nya panjang, disanggul asal-asalan, sisanya
berjuntai sebatas bahu seperti ekor kuda. la mengenakan ikat kepala merah bintik-bintik
putih. la tampak lebih kekar dan lebih montok dari Mayangsita.
Mereka datang ke Pantai Bandar
bukan untuk membuat kekacauan. Pada dasarnya mereka ingin melihat kemunculan si
putri bidadari asli dari kayangan itu, Tetapi tentu saja mereka siap lakukan
tindakan jika bahaya datang mengancam keselamatan Putri Merak atau Utari.
Sebab, Puting Selaksa sendiri juga kenal baik dengan Utari dan Rinayi.
Angin laut berhembus
sepoi-sepoi basah kuyup, terutama bagi yang berada di kedalaman aimya. Sua-
sana Pantai Bandar berkesan lengang. Para penduduk desa nelayan di pantai itu
tak tahu akan ada peristiwa besar di tempat tersebut, sehingga mereka sibuk me-
nyusuri mimpinya, tapi ada juga yang sibuk menyusuri tubuh istrinya.
Di sisi barat, sebuah tebing
karang menjulang ting- gi. Di atas tebing itu tampak bayangan hitam yang foer
diri menatap ke perairan pantai. Sosok bayangan itu bagaikann ada di tengah
rembulan, karena jika dilihat dari pantai, sang rembulan ada di belakang sosok
bayangan tersebut.
Semua pengintai tahu, di sana
ada bayangan yang berdiri tegak tanpa gerak. Seakan bayangan itu adala sang
maul yang menunggu mangsanya. Tetapi para pengintai tak pernah mau pedulikan
bayangan hitam itu. Mereka cenderung memperhatikan perairan pantai, menunggu kemunculan
si anak bidadari asli dari ka- yartgan itu.
"Aaoooouuu...!!"
Terdengar lolongan panjang
mengalun bagaikan ingin memenuhi bumi. Lolongan panjang yang menyeramkan itu
datang dari si bayangan
hitam di puncak tebing.
Lolongan itu adalah suara serigala yang kegirangan saat menatap rembulan
memancarkan cahaya purnamanya.
Ombak lautan mulai
bergulung-gulung. Air laut tampak pasang. Biasanya ombak lautan di Pantai
Bandar tidak sebesar itu. Air laut memang sering pasang. tapi tidak sampai
menggenangi pesisir pantai di depan rumah penduduk desa nelayan. Malam itu. air
laut bagaikan merayapi ingin masuk ke rumah-rurnah penduduk desa nelayan. Anak
kepiting dan anak ikan bermain di halaman rumah orang, Untung bukan anak ikan
paus,
Hembusan angin makin lama semakin
kencang. Suara deru ombak menghantam tebing karang terdengar bergemuruh
meremangkan bulu kuduk setiap orang. Pohon-pohon kelapa dan pohon yang non
kelapa meliuk-liuk kearah barat. Pohon-pohon itu seolah Ingin diterbangkan oleh
sang angin.
Makin lama hembusan angin
terasa tidak akrab. la datang bersama pasukan badai. Bahkan di tengah lautan
terjadi pusaran badai yang melingkar membentuj cerobong ke arah langit.Air laut
menjlng tinggi dalam gerakan memutar sebegitu dahsyatnya. Seolah-olah pusaran badai
laut itu menghantarkan gelombang samudera untuk naik ke langit dan mencaplok
rembulan.
Suasana di Pantai Bandar
menjadi meriyeramkan. Gugusan karang- karang yang menjulang di sana-sini tampak
bergetar. Sepertinya ada kekuatan dahsyat yang mengguncang samudera dari dasar
lautan. Bah- kan tanah di sekitar Pantai Bandar itu juga terasa bergetar,
seakan ingin amblas ke bawah di telan bumi.
Glegaaamrrrrrr...!!
Itu bukan suara orang batuk.
Itu suara petir yang mengguntur di angkasa. Cahaya birunya yang mirip seeker
naga itu berkerslap dengan gerakan gesit, seakan ingin membelah rembulan.
Cahaya biru itu berkerilap beberapa kali tanpa diiringi mendung dan rintik
hujan. Langlt tetap foersih dan cahaya rembulan tetap bersinar.
Cralaap... clap, clap,
clap...! JegaaarrrhvJ
"Puling Selaksa... aduh,
bagaimana ini?! Celanaku basahS" bisik Mayangsita.
"Ah, kau ini seperti anak
kecil saja. Dengan suara petir dan deru badai saja takut, sampai celananya
basah! Uuuh ”
"Bukan basah karena
takut, tapi air laut menjadi makin naik dan membasahi celanaku."
"Makanya jangan jongkok
di situ!"
"Habis jongkok dimana? Di
atas rembulan?” ujar Mayangsita bersungut-sungut, toh akhirnya ia pindah di
belakang Puting Seiaksa.
Sebenarnya Mayangsita ingin
berbisik lagi kepada Puting Seiaksa, tapi muiutnya bagaikan kaku secara
mendadak. Lidahnya seperti berubah menjadi lempengan besi baja, sukar ditekuk.
Hal itu disebabkan oleh datangnya cahaya biru terang dari langit.
Cahaya biru terang yang
berkesan indah itu meluncur dari langit ke pusaran arus badai laut yang ada di
tengah samudera sana. Seolah-olah ada dewa yang menyorotkan lampu senternya ke
permukaan air laut untuk mencari ikan teri berjubah.
Yang jelas, cahaya biru terang
itu sangat indah dipandang matadan mendebarkan hati. Siapa pun yang memandang
cahaya biru terang itu hatinya akan diiliputi perasaan tenteram, damai, dan
bahagia sekali tanpa tau apa sebabnya. Tak heran jika Mayangsita dan Puting
Seiaksa sama- sama terperangah kagum memandang cahaya biru indah itu.
Semua mata pengintaitertuju ke
pusaran badai laut mu Mereka mencoiba mempertajam penglihatannya nynr dapat
menemhus cahaya biru yang makin lama makln rnenyiSaukan tapi tetap dalam
keindahan tiada lunnyn Itu. Namun mata mereka tetap tak dapat me- iitiinhun
silaunya cahaya, sehingga tak tahu apa yang terjadi di balik kemilau cahaya
biru tersebut.
Bahkan ada pengintai yang sama
sekali tak bisa melihatcahaya biru indah itu, karena kedua matanya disapu angin
kencang, dan angin itu membawa debu ke matanya. Orang tersebut sibuk
mengucal-ngucal kedua matanya dengan panik, karena ia takut kehabisan
pemandangan indah tersebut.
"Menakjubkan
sekali...?!" gumam Mayangsita dalam hati, mewakili kekaguman hati
orang-orang di sekitar Pantai Bandar.
Hal yang membuat mereka kagum
sekali adalah keajaiban yang terjadi pada malam itu, di mana cahaya biru terang
yang indah itu
menyebar ke permukaan air
iaut, membuat laut menjadi berwarna kemilau biru terang. Pusaran badai iaut itu
telah hilang. Kini permukaan laut menjadi rata. Datar dan bening, seperti
lempengan kristal mewah. Gerakan air laut sangat pelan, sehingga nyaris tampak
tidak bergerak.
Bagi mereka yang kakinya
terendam air laut, ia dapat merasakan kehangatan air tersebut. Kehangatan itu
mengalir ke seluruh tubuh dan membuat hatinya menjadi semakin berdebar-debar
penuh keindahan misterius,
Hembusan angin pun tidak
sekencang tadi. Kali ini angin berhembus pelan, kalem, tapi berwibawa. la
menyapu alam sekitarnya. Setiap benda yang disapu angin itu seolah-olah
mendatangkan keindahan, termasuk hati tiap manusia.
Suasana di Pantai Bandar
menjadi sangat romantis. Sepi tapi hangat. Hening tapi penuh semangat. Tak
heran jika para penduduk desa nelayan yang sudah punya keluarga menjadi
terbangun saling raba- meraba...mencari selimut agar bisa menenggelamkan diri
dalam impian yang lebih indah lagi.
Tiba-tiba cahaya biru dari
langit itu mengecil, membentuk seperti pilar tinggi. Lautan tampak seperti
menyangga langit dengan pilar cahaya itu.
O, ya...! Sejak tadi bayangan
hitam di atas tebing itu melolong panjang berkali-kali. Lolongannya terdengar
merdu dan mirip nyanyian malam penghantar cumbu.
"Aaaauuuuu...!
Aaauuuuu...!"
"uh, ah! Gelap!"
ujar hati salah seorang pengintai yang sengaja menikmati suara lolongan
misterius itu.
Para pengintai memang semakin
berdebar-debar, terlebih setelah pilar cahaya biru yang mirip tiang pe nyangga
langit itu semakin mengecil, mengecil..., dan kecil sekali. Akhirnya cahaya
biru itu menjadi seperti tiang bendera yang amat tinggi. Benar-benar mirip tiang
bendera. Hanya saja siapa yg akan mengerek bendera jika tiangnya setinggi itu?
Pasti membutuhkan tiga kali pingsan untuk mengerek bendera sampai ke ujung
atasnya yang menembus langit itu.
Tiba tiba cahaya biru kecil
itu bagaikan putus di ,ujunng atasnya.
Kemudian cahaya itu bergerak
meliuk-liuk dengan cepat
zuuub, zuub, zuub... zrraab!
Astaga! Cahaya itu berbentuk
seperti kereta berkuda! Pekik Mayangsita dalam bisikan. Puting Selaksa
tersentak kedepan karena kaget, telinganya seperti disembur hawa panas dari
mulut Mayangsita yang membisik kaget itu.
"Aaaauuuuuu...!!"
suara lolongan terdengar lagi. Pada saat itu, cahaya biru yang membentuk kereta
berkuda itu lenyap. Zaaab...! Kini tinggal pijar-pijarnya saja. Dan mereka
memang melihat bentuk kereta berkuda yang diiapisi cahaya pijar biru seperti
cahaya kunang-kunang.
"Mengagumkan sekali! Baru
sekarang kulihat pemandangan yang "
"Ssst...! Brisik,
ah!" sentak Puting Selaksa dengan dongkol kepada Mayangsita.
Kereta cahaya itu bergerak
mendekati arah pantai. Semua mulut para pengintai saiing berkasak-kusuk heboh.
"Dia datang... dia datang
!"
"Siapa yang datang?
Mertuaku?!1' ;•
"Tolol! Dia datang...!
Putri Merak itu datang dengan kereta cahaya!
Lihat... lihat...!" |
"Ya, lihat... lihat
kebunku, penuh dengan bunga, ada yang.. biru dan ada yang merah"
"Husy. !"
"Maksudku,.. maksudku,
lihat: si Putri Merak itu. i. menunggang kereta cahaya yang ditarik kuda-kuda
bercahaya biru. Ooh, alangkah indahnya kuda-kuda itu."
"Aaauuuuuuuuu. !!"
Suara lolongan dari atas
tebing semakin keras dan panjang. Seakan bayangan hitam di sana mengucapkan
selamat datang kepada anak bidadari asli dari kayangan. Tetapi perlambang
apakah bayangan hitam yang tampak bagaikan menodai rembulan kuning itu? Hanya
beberapa orang yang berpikir demikian.
Pada umumnya mereka memusatkan
perhatiannya ke arah gerakan kereta cahaya yang ditarik dengan enam ekor kuda
biru fosfor. Anehnya, tak ada suara derap kaki kuda, atau kecipaknya air laut
yang digunakan alas berjalan kereta kuda tersebut.
Sampai di gugusan karang yang
sangat dekat dongan pantai, kereta cahaya itu berhenti. Nyala pijar birunya
masih bisa menerangi alam sekeliling gugusan karang tersebut. Ditambah lagi,
cahaya rembulan juga bersinar semakin terang, seakan habis ditambah minyaknya.
Hal itu membuat tiap pasang mata pengintai melihat munculnya seorang gadis
cantik dari dalam kereta cahaya.
Gadis cantik itu berambut
panjang meriap-riap, Mengenakan mahkota kecil berbatu putih berkerilap terkena
pantulan rembulan. Wajah si gadis terkena sinar cahaya keretanya, sehingga
setiap orang dapat melihat bentuk kecantikan yang amat mengagumkan itu.
Gadis tersebut mengenakan kain
warna pink, merah muda sekali. Kainnya halusdan lembut, meriap-riap dihembus
angin kalem. Pinjung penutup dadanya juga warna pink. Pakaian merah muda sekali
itu dilapisi dengan jubah lengan panjang tak dikancingkan bagian depannya.
Jubah itu berwarna hijau muda dengan hias- an bulu-bulu merak yang menempel
bagaikan disulam- kan pada jubah tersebut. Indah sekali, berkesan merah.
"Oooh... cantiknya bukan
main...?" desah suara siapa saja yang memandang penuh rasa kagum pada
gadis yang baru keluar dari kereta cahaya. Gadis itulah yang disebut-sebut
sebagai Putri Merak.
"Mengapa ia diam saja di
atas batu karang itu?"
"Mungkin menunggu
penjemputnya," bisik Puting Seiaksa kepada Mayangsita.
Tiba-tiba dari arah timur
muncul serombongan orang berpakaian serba kuning. Mereka adalah orang- orang
pengusung tandu. Di depan mereka tampak seorang gadis melangkah dengan gagah
yang menge- nakan pakaian keprajuritan, lengkap dengan pedang panjang. Kalau
berjalan... prok, prok, prok. Pisau ter- bang yang bergelantungan di sekeliling
pinggangnya itu menyentuh baju besi, hingga terdengar suara prok« prok- prok
jika dipakai berjalan.
"Oh, itu dia rombongan
penjemput Putri Merak,' bisik Mayangsita. "Ya, tapi..., bukankah...
bukankah dia si Hindayarifl orang dari
Lembah Ajal?!"
"Lho, mengapa bukan
Utari?!"
"Entahlah. Kita lihat
saja apa yang dilakukan oleh Hindayani itu!"
Gadis berlangkah tegap itu
segera berlutut satu kaki dan tundukkan kepala di depan Putri Merak.
"Selamat datang, Putri
Merak. Aku diutus ayahandamu untuk menjemputmu dan membawamu ke Bukit
Caraka!"
"Oh, terima kasih sekali
atas budi baikmu. Tapi tunjukkan padaku kalung Batu Kasumbi yang menjadi tanda
bahwa kau adalah utusan ayahandaku!"
Hindayani keluarkan kalung
dari dalam baju besinya. Kalung itu digenggam dan ditunjukkan kepada Putri
Merak.
"Inilah kalung Batu
Kasumbi yang menjadi tanda bahwa aku adalah utusan Eyang Paderi Moyang!"
Putri Merak tersenyum manis.
"Kau menipuku, Sobat," ujarnya dengan kalem.
Tiba-tiba dari langit muncul
cahaya petir. Craalp, • Craalp.. Blegaaarr...! Semua mata pengintai terperanjat
melihat tubuh Hindayani disambar petir bersama orang- orangnya yang bertugas
mengusung tandu. Hindayani •I 'M uiang-orangnya lenyap tanpa bekas. Bahkan sisa
^<• y11 tnndunya pun tak ada.
“Gila! Ke mana si Hindayani
itu?!” gumam Mayangsita. Ia termakan kutuk. Kudengar, siapa pun yang mencoba membohongi
Putri Merak akan termakan kutuk. Entah kutuk bagaimana. Rupanya kutuk itu
membuat si pendusta lenyap tanpa bekas seperti itu. Mmmmm monyeramkan
sekali!"
Putri Merak masih berdiri di
tempatnya, tak jauh dari kereta cahaya. Ia seperti seorang gadis sedang
menunggu kekasihnya yang sudah janjian mau bertemu di situ.
Tak lama kemudian, seorang
wanita muda berkuda muncul dari arah kedaiaman hutan pantai. Perempuan berkuda
itu kenakan jubah biru terang. Gerakan menunggang kuda tampak gesit dan lincah.
Sebilah pe- dang disandang di punggungnya.
"Ooh, siapa yang datang
itu, Puting Seiaksa?"
"Hmmm... sepertinya dia
orang Gua Batur. Aku mengenali jubahnya yang biru bersulam benang merah
bergambar bunga mawar itu!" ujar Puting Selaksa.
"Tapi aku tak tahu siapa
namanya," tambah Puting Seiaksa.
Perempuan muda itu segera
melompat turun dari punggung kuda. la buru-buru berlutut di pasir kering depan
Putri Merak.
"Maaf, Putri Merak... aku
datang terlambat karena jalanan macet. Maksudku... banyak penghalang yan<
ingin merebut tugasku sebagai penjemputmu, Putri Me rak!"
"Oh, jadi kau yang
ditugaskan ayahandaku untuk menjemputku?" "Benar, Putri Merak!"
"Kau membawa kalung Batu
Kasumbi?"
"Semula membawa, tapi di
perjalanan direbut oleh lawanku. Maka aku buru-buru kemari sebelum lawan! tiba
lebih dulu dengan membawa Batu Kasumbi itu.
Putri Merak sunggirigkan
senyum manisnya.
"Sinar matamu menampakkan
kebohonganmu, Sobat! Kau telah mendustaiku!"
"Aku tidak dusta! Aku
benar-benar. "
Jegaaarrr. !
Kilat biru menyambar gadis
penunggang kuda itu. la lenyap bersama kudanya juga. Itu menandakan bah- wa dia
bukan pengawal utusan Paderi Moyang.
Melihat kenyataan seperti itu,
bagi mereka yang siap-siap ingin menyamar sebagai utusan Paderi Moyang muiai
ciut nyali. Mereka tak berani lakukan rencana untuk berpura-pura menjadi utusan
Paderi Mo- yang, karena siapa pun yang berbuat demikian akan lenyap tanpa bekas
disambar petir misterius. Agaknya Putri Merak tak dapat ditipu dengan cara apa
pun. Dan sang putri tampak masih menunggu hadirnya kejujuran dengan sabar.
Tak berapa lama, seorang gadis
melompat dengan cepat dari atas sebuah pohon. Wuut, wuut...! Jleeg...! Gadis
itu mendaratkan kakinya di pasir kering depan Putri Merak.
"Nah, itu dia si Utari.
!' sentak suara bisik Puting Selaksa.
Rupanya Utari sejak tadi
sengaja menunggu di atas pohon.Keadaan di sekitarnya dipelajari lebih dulu
sebelum akhirnya ia muncul menghadap Putri Merak.
Utari gadis berusia sekitar
dua puluh tiga tahun, dengan baju jingga dan celana ungu tua ternyata sudah
sembuh dari luka-lukanya saat dilarikan oleh kakaknya dari pantai jalang. Kini
ia tampak sehat seperti tak pernah menderita luka apa pun.
la berdiri dengan tegap,
tampak sebagai sosok gadis pemberani. Dengan tangan kiri ditaruh di atas pedang
sarung perunggu yang diselipkan di pinggang kirinya, Utari yang bergiwang merah
itu rapatkan kedua kaki dan memberi anggukan sebagai sikap menghormat.
"Siapa kau, Sobat?"
tegur Putri Merak dengan ramah.
"Aku yang bernama Utari,
utusan Eyang Paderi Moyang untuk menjemput dan membawamu ke Bukit Caraka!"
"Mana buktinya kalau kau
utusan ayahandaku?"
Utari keluarkan kalung berbatu
hijau dalam lipatan kain celana ungunya. Rupanya selama ini kalung Batu Kasumbi
disembunyikan Utari dalam lipatan celananya, sehingga tak mudah diketahui lawan
yang ingin me- nyerobotnya. Kalung itu sengaja tak dikenakan oleh Utari. karena
takut akan memancing perhatian pihak lain yang ingin memiliki kalung tersebut.
Setelah berhadapan dengan
Putri Merak, kalung itu sekarang dipakai oleh Utari. Batu hijau pada bandul
kalung bertali hitam itu memancarkan sinar hijau sa ngat terang dan hanya
sepintas saja. Claaap...! Sinar hijau itu menerpa wajah Putri Merak, mem buat
sang putri percaya bahwa dia sudah berhadapan dengan seorang utusan dari
ayahnya. Putri Merak pun menengok ke samping kanan, bagaikan bicara pada enam
ekor kuda cahaya tersebut.
"Turangga Surya...
kembalilah menghadap Ibu dan katakan aku sudah bertemu dengan
penjemputku!"
Zruuubs...! Tiba-tiba kereta
bercahaya biru itu lenyap tanpa bekas lagi. Warna air laut pun berubah menjadi
seperti biasanya: biru kehijau- hijauan. Cahaya dari kalung Batu Kasumbi pun
telah hilang sejak tadi. Kini cahaya yang ada hanyalah sinar rembulan bundar
bak martabak di atas penggorengan.
"Utari, bawalah aku ke
Bukit Caraka sekarang juga!" "Baik, Putri...!"
Utari menyelipkan kedua
jarinya ke mulut dan diti- upnya jari itu.
Suiiiittt...!
Suara suitan itu merupakan
tanda bagi seseorang. Maka dari arah barat muncul seorang gadis menunggang kuda
sambil menuntun seekor kuda kosong tanpa penumpang. Gadis berbaju merah yang
menunggang kuda itu adalah Rinayi, kakak kandung Utari yang pernah menjadi anak
buah tokoh sesat: Hantu Asmara, Hingga kesuciannya sudah tidak tersisa lagi.
Rinayi memberikan hormat
kepada Putri Merak saat diperkenalkan oleh Utari. Sang putri segera naik ke
atas punggung kuda putih, sedangkan Utari menunggang kuda hitam yang tadi
ditunggangi Rinayi.
Uta hati-hati!" pesan
sang kakak sebelum Utari dan Putri Merak akhirnya pergi meninggaikan Pantai
Bandar.
Wuuus, wuuut, weers, blaas,
blaass...!
Rinayi terperangah kaget.
Ternyata banyak bayangan yang berkelebat dari sisi lain ke arah yang sama
dengan tujuan Utari dan Putri Merak.
"Celaka! Ternyata banyak
orang yang mernbayang- bayangi Utari dan Putri Merak?! Pasti mereka ingin
membunuh Putri Merak dan memakan jantungnya! Ooh, aku harus segera hubungi Guru
agar Utari dan Putri Merak lolos dari hadangan mereka!'
Rinayi pun bergegas lari ke
arah barat. la menuju ke tempat di mana sang Guru dan Rupa Setan bersem- bunyi
bersamanya, menunggu saat-saat kemunculan Putri Merak. Namun alangkah
terkejutnya Rinayi setelah mengetahui tempat itu kosong. Raja Mantra, gurunya,
dan si Rupa Setan yang pernah menjadi Ketua Partai Petapa Sakti itu, telah
lenyap dan tidak ada di tempat. Rinayi kebingungan mencari sang Guru untuk
melaporkan bahaya yang membayang-bayangi Utari dan Putri Merak itu.
2
Bayangan hitam di atas tebing
yang melolong itu, ternyata adalah si manusia serigala berbulu hitam. Tanpa
uban selembar pun. Dan manusia serigala itu tak lain adalah Pendekar Mabuk, si
murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang. la akrab juga dikenal dengan nama
Suto Sinting.
Sang pendekar tampan yang
bertubuh tinggi, gagah, dan kekar itu sedang mengalami musibah dalam hidupnya.
la terkena jurus 'Siluman Serigala' akibat pertarungannya dengan petapa berilmu
tinggi dari aliran hitam yang dikenal dengan nama Belah Nyawa. Pertarungan itu
terjadi bukan saja berdasarkan dendam si Belah Nyawa kepada Suto, yang telah
menewaskan dua murid andalannya, namun juga karena Belah Nyawa merasa dihalangi
tindakannya yang ingin menculik Cindera Giri. Niatnya menculik Cindera Giri
timbul setelah mendengar bahwa Cindera Giri mengetahui rahasia Tabib Sesat dari
Pantai Jalang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia
Serigala").
Musibah itu telah membuat Suto
Sinting berwujud seperti seekor serigala. Badannya berbulu lebat, rahangnya
maju ke depan, telinganya menjadi tinggi, Jari-jarinya mengeluarkan kuku hitam
seperti kuku serigala. Repotnya lagi, emosinya menjadi emosi serigala. Buas dan
liar. Tapi di balik semua itu, Pendekar Mabuk masih mempunyai rasa manusiawi
yang tersisa, sehingga kadang ia terpaksa menekan sekuat tenaga agar emosi
binatangnya tidak terlepas seliar serigala asli.
Tuak saktinya yang terkenal
dapat untuk menyembuhkan luka itu ternyata kali ini tidak bisa dipakai untuk
melawan kekuatan uap racun dan jurus 'Siluman Serigala'. Dugaan Suto, musibah
itu dapat diatasi jika mendapatkan obat dari Dyah Sariningrum, calon istrinya,
yang mempunyai seorang ibu berkuasa di alam gaib! yaitu Gusti Ratu Kartika
Wangi.
Tetapi kemunculan Arya Suaka,
murid dari Geledek Biru, membuat Suto Sinting sempat beralih kepada sang iokoh
sakti tersebut. Menurut Arya Suaka, gurunya pernah menangkal kekuatan jurus
Siluman Serigala' pada beberapa tahun yang lalu.
Tetapi karena kemunculan Putri
Merak ternyata lebih penting untuk dibayang-bayangi, maka niat Suto datang
kepada Geledek Biru terpaksa ditangguhkan.Penangguhan itulah yang membuat tubuh
Suto Sinting menjadi lebih berbulu lagi dan perubahan yang terjadi pada dirinya
semakin membuat orang sulit mengenali siapa dia sebenarnya. Rasa malu mencekam
hatinya!! sehingga ia sempat merasa minder dan tak berani muncul di antara para
pengintai sapanjang Pantai Bandar tadi.
Paderi Moyang, petapa sakti
aliran putih yang dikabarkan telah moksa itu, bukan orang asing lagi bagi
Pendekar Mabuk. Sang tokoh yang pernah menampakkan diri pada Pendekar Mabuk itu
juga pernah memberi tugas untuk menyingkirkan angkara murka yang dilakukkan
oleh Pendekar Mabuk. Suto Sinting merasa punya hubungan baik dengan Paderi
Moyang, sehingga iapun merasa perlu melindungi kemuneulan Putri Merak yang
ditakdirkan akan berkuasa di Bukit Caraka, menjadi perantara antara manusia
dengan dewa.
Oleh sebab itu, ketika Putri
Merak sudah dibawa oleh Utari, Pendekar Mabuk pun segera berkelebat
Membayang-bayangi mereka berdua. la berusaha agar keadaan dirinya tidak dilihat
oleh Utari, Putri Merak dan yang lainnya. ^ ^
Dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman' yang membuatnya mampu bergerak menyamai kecepatan cahaya itu.
Suto Sinting menyelusup di sela-sela keremangan malam. la berada dalam jarak
pandang dengan putri Merak dan Utari. Posisinya yang selalu berpindah- pindah
dengan sangat cepat itu membuat beberapa orang yang juga bermaksud
membayang-bayangi Putri Merak dan Utari, tak melihat keberadaan si manusia
serigala disekitar langkah mereka.
Tiba-tiba seberkas cahaya
putih menyilaukan melesat dari satu arah. Seberkas cahaya putih menyilaukan itu
sempat membuat Pendekar Mabuk Terperanjat bukan kepalang.
"Oh, apa yang terjadi
itu?!" ujarnya dalam hati. Blaaab...!
Cahaya putih menyilaukan itu
seperti jaring yang. ditebarkan dari satu tangan. Cahaya itu menyambar tubuh
Putri Merak. Dalam sekejap saja, Putri Merak dan kudanya lenyap tanpa bekas
yang ditinggalkan.
Bahkan suara kuda pun tak
terdengar, kecuali suara ringkik kudanya Utari yang melonjak ketakutan. Utari
terlempar dari punggung kuda, dan sang kuda pun lari ngibrit tanpa pamit lagi.
Suasana remang-remang sempat
membuat pan- dangan mata orang- orang yang membayangi perjalar tersebut menjadi
gelap pekat beberapa kejap. Mata me reka bagaikan buta, sama sekali tak bisa
melihat apa apa. Demikian pula halnya dengan Utari.
Sekitar tujuh helaan napas
kemudian, pandangai mata mereka mulai normal kembali. Pendekar Mabuk mempunyai
pandangan yang buram, karena memang sejak ia berubah menjadi manusia serigala,
pandangan matanya tak setajam biasanya.
"Putri Meraaak...! Putri
Meraaak...!" teriak Utari mencari orang yang dikawalnya dengan panik.
Wuuut, wuuut...! Dua bayangan
melesat ham|i Utari. Jleeg, jleeg...!
"Utari! Ini aku. Puting
Selaksa!"
"Ooh, kau...?! Aku
kehilangan "
"Ya, aku tahu! Cahaya
putih tadi datang dari utara sana!" ujar Puting Selaksa. Sementara itu,
Mayangsita yang masih mengikuti Puting Selaksa segera perdengarkan suaranya.
"Cahaya itu menelan habis
Putri Merak dan kudanya!" Wuuut, wuuut...! Jleeg, jleeg !
Dua orang muncul lagi di
sekitartempat itu. Mereka adalah Cindera Giri dan Arya Suaka yang diam-diam
mongikuti perjalanan Utari dari Pantai Bandar.
Utari segera bersiap cabut
pedang, karena menyangka datang bahaya mengancamnya. Tapi begitu ia melihat
wajah Arya Suaka secara samar-samar. Ia segera teringat tentang pemuda yang
pernah dilihatnya dalam peristiwa rebutan mahkota pusaka itu. Peristiwa
tersebut juga melibatkan Cindera Giri yang sempat bentrok dengannqan Utari,
tapi segera diselamatkan nyawanya oelh Utari sendiri, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode "Geger Hantu Asmara").
Dalam sepintas kulihat orang
yang memiliki cahaya putih itu mengenakan jubah hitam!" ujar Arya Suaka
langsung nyeplos begitu saja.
Cindera Giri masih diam, tapi
ikut membantu mencari Putri Merak dengan memandang ke sana-sini.
Wess jleg..! Sesosok tubuh
sekal milik gadis berpakaian kuning gading muncul di belakang Utari. Dengan
cepat Utari mencabut pedangnya dan diarahkankepada gadis yang baru saja muncul.
Kuarasa kau yang mengacaukan
tugasku ini Tiara Surga!" geram Utari dengan penuh curiga.
"Pakai otakmu! Jangan
hanya dengkulmu yang dipakai untuk berpikir!" ketus Tiara Surga, murid
dari Perguruan Telaga Murka, yang pernah bentrok dengan Utari karena ingin
gantikan tugas Utari sebagai penga- wal Putri Merak, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Sukma Warisan").
"Sudah kuduga, kau tidak
akan becus mengawal Putri Merak!" tegas Tiara Surga lagi. "Eyang
Paderi Moyang benar-benar salah pilih!"
"Tutup mulutmu!"
sentak Utari dengan berang sekali,
"Tak ada gunanya saling
debat begini!" potong Puting Seiaksa. "Sebaiknya kita menyebar untuk
men- cari Putri Merak!"
Tiba-tiba terdengar suara lain
menyahut dari atas pohon. I "Tindakan yang sia-sia!"
Semua mata tertuju ke arah
suara tua tersebut.
"Serahkan saja padaku!
Aku akan memburunyal' tambah suara tersebut. Lalu, si pemilik suara pun
meluncur turun dari atas dahan. Gerakannya sangat cepat. Nyaris tanpa suara
saat kakinya menapak ke tanah dl samping Mayangsita.
Tokoh tua itu berusia sekitar
delapan puluh tahun, berambut pendek warna putih rata, la memiliki kumlt dan
jenggot putih uban. Mengenakan jubah kunirig garis-garis merah, berkalung
tasbih biru sepanjang perut.
Bagi Arya Suaka dan yang
lainnya, tokoh itu masih menimbulkan tanda tanya di hati mereka, sebab mereka
tidak mengenalnya. Tetapi bagi Utari, atau Suto Sinting yang memperhatikan dari
atas pohon yang paling tinggi, tokoh tua yang banyak senyum dan semangatnya
masih seperti remaja itu bukan orang yang membi- ngungkan, Dia adalah si Dewa
Bandot dari Pulau Pahang. Utari mengenalnya karena Dewa Bandot adalah sahabat karib
Raja Mantra.
"Eyang Dewa Bandot!
Rupanya Eyang ada di sini |uga?!" sapa Utari yang mendapat senyum lebar
dari si dewa Bandot.
"Aku sedang mengikuti
seseorang yang mengincar Putri Merak," ujar Dewa Bandot. "Tapi
rupanya aku terlambat. Jadi, sebaiknya kalian tak perlu saling kecam dan saling
menyalahkan. Akan kususul orang itu untuk menyelamatkan putri sahabatku: Paderi
Moyang!"
“iapa orang yang "
Laaaap.J Dewa Bandot lenyap
sebelum Utari selesaikan pertanyaannya, Tokoh dari Pulau Parang itu bergerak
sangat cepat sehingga seperti menghilang ditelan Bumi.
Disatu sisi, sepasang mata
berbulu lebat memperhatikan gerakan Dewa Bandot. Manusia Serigala itu mendengar
percakapan tadi dari jarak jauh, karena ia mempunyai ilmu 'Sadap Suara' yang
mampu mendengar percakapan dari jarak seratus tombak lebih. Suto Sinting itulah
orangnya. Tanpa banyak berpikir panjang lagi, Pendekar Mabuk segera susul
gerakan Dewa Baudot dengan meng- gunakan ilmu Sukma Lingga'-nya.
Claap...! Sosok ma- nusia
serigala itu berubah menjadi sinar hijau yang ber- ekor kecil, mirip
kunang-kunang.
Sinar hijau itu melesat dengan
cepat bagaikan menembus perbatasan alam nyata dan alam gaib. Kecepatan gerak
jurus ini bisa dibilang tiga kali cepat dari jurus 'Gerak Siluman', sehingga
dalam sekejap saja Suto mampu menyusul Dewa Bandot. la sengaja menghadang
langkah super cepatnya Dewa Bandot, sehingga gurunya Santana itu terkejut
ketika merasa dihadang oleh sosok manusia berbulu lebat.
Tanpa berpikir panjang, Dewa
Bandot segera i paskan serangannya berupa sinar patah-patah wa biru.
Crelaap...! Sinar lurus patah-patah itu dihadang oleh bumbung tuaknya Suto,
sehingga timbul ledakan yang menggema cukup dahsyat. Blegaaarr. !
Pendekar Mabuk terpental
sejauh delapan langkah tubuhnya yang berbulu melayang-layang. Bagian depan
tubuhnya: dada, wajah, perut, dan bawah perut alias paha, terasa seperti
diterjang lempengan baja yang cukup keras. Pendekar Mabuk mengerang sakitan,
tapi suaranya seperti erangan seekor serigala
"Gggrrrrr. !!"
Dewa Bandot perdengarkan
suaranya, kali ini suaranya sengaja dibuat berwibawa untuk menggertak lawannya.
Tapi tetap saja ia tersenyum, walau sinis, sebab ia memang dikenai sebagai
tokoh tua yang banyak senyum.
"Sekali lagi kau
menghalangiku, kau akan terbang ke neraka, Iblis Berbulu!"
Pendekar Mabuk menggeliat
bangkit untuk berdiri. Ia bertopang bumbung tuaknya saat mengangkat badannnya.
Dewa Bandot berkerut dahi, curiga melihat bentuk bumbung tuak yang sudah
dikenalinya itu. Ke- inginan untuk melepaskan amarahnya ditahan sesaat, Tapi ia
tetap waspada dan siap serang jika timbul bahaya dari si pemegang bumbung tuak
itu.
Siapa kau sebenarnya, Iblis
Berbulu?!"
"Eyang ... Dewa
Bandot...," sapa Suto Sinting dengan suara serak dan agak cadel. Semakin
terkesiap pandangan Dewa Bandot mendengar namanya disebutkan oleh manusia
berwajah serigala itu. la bergerak mendekat lagi. Senyumnya makin lebar, tapi
bermakna keheranan.
“Kau membawa bumbung tuaknya
si Pendekar Mabuk Apakah kau. "
“Aku Suto Sinting,
Eyang!"
“Jabag bayi!" Dewa Bandot
tersentak dengan kepala mundur sedikit. Senyumnya lenyap untuk sekejap.
“Kenapa kau bisa jadi begini,
Pendekar Mabuk?!" “Belah Nyawa menggunakan ilmu. "
“Siluman Serigala...?! Hmmm,
ya, aku tahu dialah pemilik ilmu itu! Hanya dia yang mempunyai ilmu itu. Entah
sudah diturunkan kepada muridnya atau kepada orang lain, atau belum diturunkan
kepada siapa- siapa. Tapi yang jelas keadaanmu harus segera dipulihkan, sebelum
akhirnya tubuhmu menjadi busuk dan mati tanpa dikenali oleh siapa pun!"
Agaknya si Dewa Bandot itu
cukup tahu tentang ilmu andalannya si Belah Nyawa yang berhasil dipulihkan
kembali dalam beberapa waktu belakangan ini. Tetapi Pendekar Mabuk tidak
terlalu tertarik dengan se- gala sesuatu yang diketahui Dewa Bandot mengena
ilmu 'Siluman Serigala' itu. Ada satu hal yang ingin segera diketahui olehnya.
"Eyang Dewa Bandot,
kudengar tadi Eyang bicara dengan Utari, bahwa Eyang sedang mengikuti orang
yang mengincar Putri Merak. Pasti
Eyang tahu siapa orang itu!
Tolong katakan padaku, siapa orangnya da aku akan segera menyusulnya sebelum ia
berhasil memakan jantung Putri Merak!"
Sekalipun sebenarnya bicara
Suto tersendat-sendat bagai orang sulit bernapas, tapi Dewa Bandot paham betul
dengan maksud keinginan si Pendekar Mabuk itu. Tetapi agaknya ada sesuatu yang
perlu dipertimbangkan baik-baik oleh Dewa Bandot, sehingga tokoh yang kini
tersenyum-senyum itu tidak buru-buru menjawab, melainkan memandang kearah lain
sambil melangkah ke samping kanan Pendekar Mabuk.
"Memang aku percaya, kau
mampu hadapi orang Itu. Ilmu yang kau miliki sepadan dengan ilmu yang dimiliki
orang tersebut. Tapi keadaanmu sendiri perlu segera mendapat pertolongan,
Pendekar Mabuk. Kusarankan agar kau segera menghubungi. "
Blaar, blaar, jegaarrr. !
Ledakan beruntun yang
menggelegar hingga menggetarkan bumi itu memutus kata-kata Dewa Bandot.
Perhatian mereka segera tertuju ke arah utara, tempat datangnya suara ledakan.
Kilatan sinar merah menghentak-hentak tiga kali terlihat jelas di malam yang
remang-remang itu. Maka tanpa bersepakat lebih dulu kedua orang berbeda
generasi itu segera melesat ke arah utara. Ziaaap...! Blaass !
Siapa yang bertarung di sana,
Pendekar Mabuk maupun Dewa Bandot masih belum jelas. Mereka mencari pusat
ledakan dahsyat tadi. Tiba-tiba mereka mendengar suara gerutu dan makian yang
samar-samar. Mereka bergegas menuju tempat datangnya suara tersebut.
Sapi rontok, kucing gering,
kambing gembrot! Uuukh Kurang ajar betul dia! Dasar babi lempoh, kodok kerot
babon busung!"
Raja mantra..?!" sapa Dewa
Bandot yang menampakkan diri lebih dulu. Ternyata orang yang menggerutu dan
memaki-maki sambil bangkit berdiri itu adalah Raja Mantra gurunya Utari.
Pendekar Mabuk masih bimbang
untuk menampakkan diri karena malu dengan perubahan sosok diri- nya. Dari balik
kerimbunan semak dan kegelapan malam, matanya yang merah liar itu memperhatikan
Raja Mantra setelah teriebih dulu ia memperhatikan ke- adaan sekeliling yang
terasa lengang itu. Agaknya Raja Mantra habis bentrok dengan seseorang
dan ia ditinggalkan oleh
lawannya setelah berhasil dibuat berguling- guling di tanah.
"Dewa Bandot, kau ada di
sini rupanya?!"
"Kau pasti memburu orang
yang membawa lari Putri Merak itu!" "Memang. Tapi sialnya aku salah
menangkisnya dengan ilmu yang
lebih rendah satu tingkat dari
yang digunakan menyerangku! Dasar bebek kembungl sambil Raja Mantra
menebah-nebah pakaian hijau tua nya yang model biksu itu.
Tokoh tua berusia sekitar
delapan puluh tahun itu segera menarik napas panjang-panjang untuk pulihkan
tenaganya yang tadi hilang sebagian akibat adu ilmu dengan lawannya. Rambutnya
yang putih dirapikan gulungannya, jenggot dan kumisnya yang putih diusapnya
satu kali memakai tangan kiri, sementara tangan kanannya masih menggenggam
tongkat kayu borkepala bentuk tangan menggenggam. Sekalipun ia menggerutu tapi
wajahnya tetap berkesan cuek.
"Syukurlah jika kau sudah
tahu siapa penculik Putri Merak itu!" ujar Dewa Bandot kepada si Raja
Mantra.
"Ya, aku tahu persis
siapa dia. Sekarang dia sedang dikejar oleh si Rupa Setan yang sejak tadi
bersamaku. Raja Mantra memandang ke arah Dewa Bandot yang ada di sebelah
kirinya.
"Apakah kau ingin ikut
rnengejarnya, Dewa Ban- dot?!"
"Tidak. Ada sesuatu yang
harus kita kerjakan lebih •lulu," kata Dewa Bandot sambil tersenyum. Wajah
tuanya disoroti cahaya rembulan pucat.
"Keselamatan si Putri
Merak adalah tanggung jawab muridku; Utari! Aku tidak mau Utari gagal dalam
tugasnya sebagai pengawal pilihan Kakang Paderi Moyang. Aku harus menyusu! Rupa
Setan. Karena menurutku Rupa Setan belum tentu unggul melawan si keparat
keropos, sapi rontok, babi busung itu!"
“Tunggu dulu, Raja Mantra!
Kuharap kau mau lakukan sesuatu yang lain, tapi bisa kita kaitkan dengan
penculikan Putri Merak itu!"
“Kalau kau tak mau jelaskan
dalam lima hitungan, •aku akan pergi secepatnya. Aku akan mulai menghitung
Tiga.. empat..."
Dewa Bandot segera berseru
memanggil seseorang. “Pendekar Mabuk... keluarlah! Kemarilah, Nak...!
" Pendekar
Mabuk...?!" gumam Raja Mantra hentikan hitungannya.
Pendekar Mnbuk masih belum mau
tampakkan diri. • Ia mempertimbangkankan keadaan dirinya yang tentunya akan
tidak dikenali oleh Raja Mantra. Padahal Raja Mantra sudah membayangkan sosok
Pendekar Mabuk tampan yang akan berubah itu, sebab ia sudah diberi tahu oleh si
Rupa Setan alias Anjardini tentang bencanajj yang dialami si murid sinting Gila
Tuak itu.
"Suto Sinting! Aku tahu
kau pasti berubah menjadi manusia serigala. Kemarilah, tak perlu malu padaku!
Aku bukan perawan cantik, Cah Bagus!" seru Mantra. Seruan itu membuat Suto
Sinting sempat terperanjat.
"Ternyata Eyang Raja
Mantra sudah mengetahui keadaanku?! Hmmm... mungkin karena beliau telah bertemu
dengan Anjardini," ujar Suto dalam hatinya Baginya sudah tak ada alasan
untuk malu atau bersembunyi lagi. 1a pun segera keluar dari tempat
persembunyiannya. Zlaap...! Jleeg...!
"Husy! Jangan menggeram
begitu! Bikin bulu kudukku merinding saja!" ujar Raja Mantra yang benar
benar tak merasa kaget melihat sosok wujud Suto Sinting yang berbulu lebat itu,
"Eyang.... Raja
Mantra...," sapa Suto Sinting dengan suara serak dan lirih. Sapaan itu
menimbulkan perasaan haru di hati Raja Mantra.
"Duh, Dewa... kenapa jadi
seperti kau, Cah bagus?!" Raja Mantra mengusap-usap punggung Pendekar
Mabuk. "Hmm, hmm... gatal semua tanganku memegang bulumu, Mak!"
"Jangan menghina, Eyang
,"
"Oohoo, tidak. Aku tidak
menghina. Sekadar membangkitkan candamu saja!"
Dewa Bandot segera berkata,
"Raja Mantra, kurasa ilmunya Pendekar Mabuk akan mampu mengimbangi ilmunya
si penculik Putri Merak!"
Hmmm, yaah sepertinya memang
begitu."
"Untuk itulah, kumohon
kau bisa pulihkan keadaannya sebagai pemuda tampan yang berilmu tinggi itu,
Raja Mantra."
Pendekar Mabuk sempat memendam
perasaan heran dan curiga terhadap kata-kata Dewa Bandot itu. Tapi ia tak
sempat ajukan tanya, karena Raja Mantra sudah lebih dulu berkata kepada Dewa
Bandot.
"Apakah kau yakin aku
bisa memulihkan keadaan si ganteng yng konyol ini?!”
“Aku yakin kau bisa lakukan
dengan mantra saktimu”! Tegas Dewa Bandot walau dengan senyum seulas menghiasi
wajah tuanya.
“Mantra yang mana,
ya.,.?!" gumam Raja Mantra seperti bicara pada diri sendiri. la berpikir
beberapa saat.
“Kebanyakan mantra sakti jadi
lupa yang mana yang bisa menghancurkan uap racun Siluman Serigala itu'!"
gerutu Dewa Bandot.
Kejap kemudian, Raja Mantra
seperti ingat sesuatu, aiM'iy i dan suaranya menyentak bersama wajahnya yang
berseri-seri, dihiasi senyum cengar-cengir.
Nah aku ingat sekarang!
Tapi... tapi harus diucapkan oleh dia sendiri, Dewa Bandot!"
"Jangan bodoh! Kau bisa
tuntun dia untuk mengucapkan mantra itu!" Raja Mantra menggumam dan
manggut-mangg Kemudian ia bicara kepada Suto Sinting dengan memandang
berhadapan.
"Pendekar Mabuk, aku akan
mencoba mantra saktiku yang berjudul
: 'Koyak Kayik'. Kau tinggal
men ikutinya dan...." I
"Itu mantra apa puisi,
kok pakai judul segala potong Dewa Bandot dengan senyum geli.
"Jahit mulutmu, agar
jangan mengganggu mantraku, Dewa Bandot!" Yang diperingatkan hanya tertawa
kecil. Dewa Bandot sedikit menyisih.
"Pendekar Mabuk, kosongkan
pikiranmu, kosongkan pula batinmu, tirukan apa yang kuucapkan resapilahtiap
kata nanti, walau kau tak tahu artinya, anggaplah tiap kata yang kau ucapkan
mengalir ke sekujurtubuh mengikuti darahmu. Bisakah kau berbuat begitu,
Nak?!"
"Bisa, Eyang," jawab
Suto Sinting. Kemudian, tanpa diperintah, si manusia serigala itu pejamkan
matanya sendiri, bukan mata orang lain yang dipejamkan. Lalu terdengar si Raja
Mantra mengawali ucapan mantranya yang baru diikuti oleh Suto Sinting.
"Koyak kayik si koyak
kayik "
"Koyak kayik si koyak
kayik "
"Bahorok koyak perih
rasanyo "
"Bahorok koyak perih
rasanyo "
"Sigobal, sigahel a/a
sigobal-gabel "
“Sigobai, sigabel ala
sigobal-gabel "
"Adigantang, aciigantUNg
bergobal-gabel "
"Adigantang, adigantUNg
bergobal-gabel "
“Apa ini apa itU. ,"
“Yang mana maksudmu?"
sahut Dewa Bandot sambil clingak-clinguk mencari sesuatu.
Hei, ini mantra! Jangan
diartikan sebagai pertanyaan!' ujar Raja Mantra dengan jengkel.
"Ooo... maaf, maaf
teruskan!" Dewa Bandot menyisih lagi.
Suto tirukan ucapan mantra
yang tadi, "Apa ini apa itU pUDar gaib pUDar wUJUD, kUAsa Hyang Maha
Dewa…..
pUDar gaib pUDar wUJUD, kUAsa
Hyang Maha Dewa…..
“SimULU kUtUK kUBlUNg!"
“SimULU kUtUK kUBlUNg!"
“Nah tunggu beberapa saat….”
“Nah tunggu beberapa saat„.."
Heeh yang ini jangan
ditirukan!" hardik Raja Mantra. Dewa Bandot terkekeh geli, membuat hati
Suto Sinting pun sebenarnya ingin tertawa cekikikan. Tapi niat untuk tertawa
itu terpaksa harus ditahannya, ka- rena tiba-tiba ia merasakan desiran angin
menjadi kencang.
Sepertinya ada pasukan dari
kayangan yang datang ke bumi dan timbulkan hembusan angin cukup kencang. Suara
gemuruh pun terdengar. Suara itu sepertinya datang dari langit. Makin lama
makin keras, makin bergemuruh besar, dan angin makin berhembus kencang
menyerupai badai.
"Mantramu memang hebat,
Wirambada," puji Dewa Bandot dengan menyebut nama asli Raja Mantra.
Rupanya terjadinya kelainan
alam itu akibat terucapnya mantra yang tampaknya seperti main-main, tapi
sebenarnya mengandung kekuatan sakti sungguh dahsyat. Pendekar Mabuk tak sempat
bicara apa-apa !a hanya meresapi tiap hembusan angin yang menerpanya.
Sedikit demi sedikit ia
merasakan udara menjadi dingin. Sepertinya ia kehilangan baju dan celana, tnpl
sebenarnya bulu-bulu yang tumbuh di sekujur tubuh nya itu mulai rontok tersapu
angin. Semakin kencang hembusan angin membadai itu, semakin terasa urat-urat di
sekitar wajah mulai mengendor.
Dalam beberapa saat kemudian,
ternyata mantra itu benar-benar berhasil memulihkan keadaan Suto sinting
menjadi seperti semula: tampan, gagah, tinggi,kekar, dan macho sekali.
"Aku telah pulih, Eyang!
Aku telah pulih seperti sediakala!" Suto nyaris berteriak karena
kegirangnnya 'Terima kasih, Eyang Raja Mantra...! Terima kasih, Eyang Dewa Bandot!"
"Hei, yang sembuhkan kau
adalah mantraku. Dewa Bandot tidak punya mantra sakti seperti itu!" protes
si Raja Mantra karena Suto juga mengucapkan terima kasih kepada Dewa Bandot.
Wajah Dewa Bandot tampak
murung sesaat. Tapi Suto Sinting segera berkata
"Jika tanpa didesak Eyang
Dewa Bandot, belum tentu Eyang Raja Mantra mau pulihkan keadaanku. Jadi, kurasa
sudah sepatutnya aku menghaturkan terima kasih pula kepada Eyang Dewa
Bandot!"
Ya, sudah. Boleh juga. tapi
sedikit saja ucapan terima kasih yang kau berikan pada si Dewa Bandot! jangan
banyak-banyak!" ujar Raja Mantra daiam kesan candanya.
Tidak dapat ucapan terima
kasih juga tidak apa- gerutu Dewa Bandot sambil bersungut-sungut. Bisa beli di
pasar!"
Sudah Eyang...! Menurutku,
yang penting bukan kepada siapa saya harus berterima kasih," ujar Suto.
Yang terpenting adalah siapa orang yang membawa kabur Putri Merak. Tolong
beritahukan padaku. Aku akan mengejarnya sebelum Putri Merak jadi korban
keganasan orang itu!"
“Tabib Sesat !" Raja
Mantra dan Dewa Bandot bicara bersamaan secara tak sengaja. Mereka saling lirik
sebentar, lalu Duwa Bandot tampak mengalah. Raja Mantra lanjutkan ucapannya
setelah Suto Sinting menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
"Oo... jadi si penculik
Putri Merak itu adalah Nini Kembang Kempis alias si Tabib Sesat dari Pantai
Jalang?!"
"Ya. Memang dia orangnya.
Rupanya dia tak sabar mengandalkan orang-orangnya, sehingga bertindak sendiri
melakukan penculikan tersebut."
"Tapi aku yakin Putri
Merak tidak dibawanya ke Pantai Jalang!" "Tentu saja," sahut
Raja Mantra. "Karena dia me- nembus alam
gaib, berarti dia membawa Sari
Putri Merak ke Dasar Bumi, tempat asal- usulnya yang sebe- narnya!"
"Aku akan mengejarnya
sekarang juga, Eyang!" tegas Suto Sinting bernada tak sabar lagi.
3
Bukan hal yang sulit bagi
Pendekar Mabuk untuk masuk ke alam gaib. la mempunyai kesaktian pada keningnya,
yaitu noda merah kecil pemberian Ratu Kartika Wangi. Noda merah kecil di
keningnya itu akan dapat membuat Suto Sinting keluar- masuk ke alam gaib dengan
mengusap kening itu memakai telapak tangan kanannya. Noda merah keci! di kening
Suto itu hanya bisa dilihat oleh orang-orang berilmu tinggi, seperti Dewa
Bandot, Raja Mantra, dan yang lainnya, (Baca serial Pendekar Mabuk. dalam
episode : Manusia Seribu Wajah"). •
Tetapi alam yang dituju Suto
Sinting sebenarnya terletak di perbatasan alam nyata dan alam gaib. Wilayah
yang dihuni manusia Dasar Bumi itu memang sangat tipis sekali lapisannya dengan
wilayah yang dihuni manusia di permukaan Bumi. Maka masyarakat Dasar Bumi pun
ibarat hidup di antara dua alam,. yaitu alarn gaib dan alam nyata.
Pendekar Mabuk bukan tidak
pernah datang ke alarn tersebut Ketika mencari Batu Tembus Jagat, ia pernah
datang ke alam perbatasan tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Penjara Terkutuk").
Juga ketika Pendekar Mabuk
harus menghancurkan kebejatan si Ratu Kamasinta alias Dewi Penyebar Asmara, ia
pun terpaksa harus lenyap dari alam nyata dan masuk ke alam perbatasan
tersebut, sampai akhir- nya ra bertemu dengan gadis cantik bernama Nirwana
Tria. Gadis itu masih muda dan cantik, namun sudah menjadi guru dalam satu
aliran silat golongan putih. Gadis itu ternyata cucunya Dewa Tanah, si penguasa
ter- tinggi golongan putih di Dasar Bumi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Ratu Maksiat").
Tak heran jika si Tabib Sesat
alias Nini Kembang Kempis itu membawa lari Putri Merak ke alam perbatasan,
karena memang ia berasal dari sana. Tabib Sesat adalah pelarian dari Dasar Bumi
yang berhasil membaur di tengah kehidupan masyarakat Permukaan Bumi. Tentu saja
Tabib Sesat berilmu tinggi, karena menurut penjelasan yang pernah diterima Suto
dari Nirwana Tria, masyarakat Dasar Bumi mempunyai ilmu
tinggi dan cukup bisa
diandalkan untuk melawan para tokoh di Permukaan Bumi.
Dengan membawa lari Putri Merak ke
alam perbatasan itu, tentunya Tabib Sesat merasa aman dan merasa tak
akan ada yang mampu mengejarnya. Sekalipun ada hanya dua-tiga orang saja, itu
pun pada umumnnya para tokoh tua berilmu tinggi. Namun si Tabib Sesat tak tahu
bahwa Rupa Setan yang pernah menjadi Ketua Partai Petapa Sakti dan Pendekar
Mabuk bisa lakukan pengejaran sampai ke alam perbatasan tersebut.
Dulu memang Rupa Setan tidak
bisa menembus alam perbatasan. Tapi sejak peristiwa memburu Batu Tembus Jagat
itu, ia berusaha perdalam lagi ilmunya, sehingga kini bisa menembus alam
perbatasan.
Alam tersebut mempunyai
pemandangan yang lebih indah. Pohon-pohon berwarna-wami, gugusan batu
bermunculan dengan warna-warna yang menawan. Ada yang berwarna merah beneng
seperti agar-agar, tapi kerasnya seperti batu cincin. Ada juga batu yang bentuk
dan ukurannya seperti kuda mengangkat kedua kaki depannya, berwarna hijau
lumut. Pohon berbatang merah dengan daunnya yang kuning berkilauan juga tam-
pak tumbuh di sana-sini,
Pendekar Mabuk merasa sedang
berada di taman surga. Hatinya menjadi berseri-seri penuh keindahan. Tapi sang
hati pun masih bertanya- tanya,
"Di wilayah mana aku
berada?! Ke mana arah pe- larian si Tabib Sesat itu?!"
Semak-semak berwarna ungu
menjadi pusat per- hatian Suto Sinting. Semak-semak itu seperti ilalang, tapi
daunnya berwarna ungu bagai memancarkan sinar kemilau, seakan terbuat dari
kristal. Tapi ilalang ungu itu juga bergerak-gerak dihembus angin semilir.
Alam indah itu juga mempunyai
angin, udara, tanah, dan langit seperti yang ada di Permukaan Bumi. Hanya
bedanya, sekalipun tampak terang, namun suasananya berkesan teduh. Hembusan
angin membawa kesejukan tersendiri, seolah-olah membawa pengaruh gaib yang
dapat menenteramkan hati.
Karena tak ada petunjuk yang
jelas, ke mana ia harus melangkah, maka Pendekar Mabuk pun berjalan menuju
perbukitan yang letaknya
cukup jauh. la menyusuri hutan
berwarna-warni dengan suara kicau bu- rung yang aneh, tapi enak didengarkan.
Hembusan angin yang tadi
terasa membawa kesejukan tersendiri, kini mulai terasa kering. Semakin lama
angin yang berhembus terasa semakin aneh. Kulit lengan mulai terasa sedikit
panas, lalu timbul rasa perih.
"Sepertinya ada yang tak
beres!" ujar hati Suto Sinting. Langkahnya terpaksa dihentikan karena
firasat adanya ketidakberesan semakin kuat.
Bahkan hembusan angin terasa
semakin membuat sekujur tubuh perih. Mata pun jadi pedas, mengeluarkan air
dengan sendirinya. Kesunyian yang ada di sekitar tempat itu, bagaikan
mengandung misteri yang perlu dicurigai.
Pendekar Mabuk buru-buru
menenggak tuaknya. Beberapa teguk tuak dapat mengusir rasa perih pada kulit dan
matanya, la sengaja masih tetap diam di tempat, di bawah sebatang pohon biru
berdaun biru muda. Daunnya kecil-kecil dan rindang, seperti daun pohon
beringin. Akar pohon itu termasuk jenis akar rambut, bergelantungan dari
dahan-dahannya.
"Ooh...?!'' Suto terkejut
melihat kulit tubuhnya yang sedikit putih, seperti ditaburi tepung. Tapi serbuk
putih itu makin lama semakin tebal dan berkilauan.
"Serbuk beling...?!"
gumam hatinya dalarn keheranan. la mulai sadar, bahwa angin yang berhembus di
tempat itu mengandung serbuk beling yang dapat menggores kulit tubuh manusia
secara tak kentara. Goresan serbuk lembut itulah yang mendatangkan rasa perih
tadi. Jika Suto tidak segera menenggak tuak saktinya, maka rasa perihnya akan
semakin tajam.
"Kurasa angin itu bukan
angin sembarangan. Serbuk beling lembut sekali itu pasti kiriman
seseorang!" ujarnya membatin. Mata pun segera memandang penuh waspada ke
sana-sini. Bumbung tuak mulai digan- tungkan di pundak kanan, sewaktu-waktu
dapat disambar untuk menangkis serangan dari arah mana pun.
"Agaknya ada yang
menyambut kedatanganku dengan tak ramah. Hrnmm... sebaiknya kugunakan jurus
'Kipas Malaikat untuk mengetahui seberapa hebat kekuatan angin yang menyambutku
ini."
Tali bumbung tuak segera
digenggam, melilit pada genggaman itu. Bumbung tuak pun segera diputar di atas
kepala dengan gerakan cepat hingga timbulkan bunyi berdengung.
Wuuuung... wuuuung...
wuuuung...!
Putaran bumbung tuak itu
hadirkan angin kencang yang menyebar ke berbagai arah dalam gerakan melingkari
tubuh Pendekar Mabuk. Begitu kencangnya angin yang ditimbulkan dari gerakan
bumbung memutar itu, sehingga terdengar suara hembusannya secara samar-samar.
Arah angin pun berubah. Dan tiba- tiba daun-daun tanaman di sekitar tempat itu
mulai berguguran.
Traas, trrass, traass...!
"Oh, daun-daun itu bukan
berguguran tapi terpotong?! Buktinya ada daun yang jatuh dalam keadaan terbelah
menjadi dua bagian. Dan ilalang ungu itu pun bagaikan dipangkas pada bagian
pucuknya?! Kurasa angin yang menaburkan serbuk beling halus itu berubah menjadi
seperti pisau pemangkas yang amat tajam!" pikir Suto sambii memperhatikan
sekeliiingnya.
Jurus 'Kipas Maiaikat'
dihentikan. Suto ingin rasakan hembusan angin di sekitarnya apakah masih
mengandung serbuk beling atau sudah menjadi sejuk kembali. Ternyata angin
berhembus semilir damai tanpa timbulkan rasa perih di kulitnya.
"Hmmm, penyambutku telah
perkenalkan diri, dan ia merasa aku menyambut perkenalannya. Kurasa tak lama
lagi ia akan muncul di hadapanku!" ujar Suto Sinting membatin dengan tetap
bersikap tenang tapi penuh waspada.
Tiba-tiba Suto Sinting
mendengar suara aneh yang berirama. Suara itu seperti besi ditabuh dan menim-
bulkan dengung atau denging berbagai nada.
Ting, tong, tong, ting, tang,
tong...! "Suara apa itu?!"
Tong, teng, teng, tung, tang,
ting, tong, tung,tring...!
"Aduh,
kupingku...?!" Suto Sinting mulai mendekap telinganya. Suara itu mempunyai
getaran gelombang tenaga dalam yang berubah menjadi seperti jarum- jarum tajam.
Seakan suara tersebut menusuk-
nusuk gendang telinga hingga
timbulkan rasa sakit yang sampai membuat tubuh Suto tersentak-sentak sambil me-
nyeringai.
Ting, long, tong, tang, tung,
tring, trang, tung, tung...!
"Ooouh, suara itu semakin
mendekat, semakin sakit telingaku! Sial” geram Suto Sinting yang segera me-
narik napasnya dan menahannya beberapa saat. Hawa murni disalurkan ke gendang telinga.
Hawa murni itu yang membuat ia mampu menahan rasa sakit. walau untuk itu
telinganya tetap keluarkan darah kental sedikit demi sedikit.
Tuak segera ditenggaknya.
Hanya satu teguk. namun sudah bisa mengurangi rasa sakit dan menahan darah agar
tidak keluar lebih banyak. Darah yang telah meleleh sampai di pipi itu menguap
dan lenyap bagaikan bensin terserap angin.
Namun suara tabuhan aneh itu
semakin dekat dan semakin jelas. Seakan si penabuhnya sengaja memukul benda
bunyi-bunyian itu lebih kuat lagi. Hanya saja, tuak sakti yang sudah diminumnya
masih mampu me- nahan serangan gelombang tenaga dalam yang disebarkan melalui
bunyi- bunyian tersebut.
"Ini harus kubalas
dengan... dengan... dengan apa, ya? Oh,
sebaiknya dengan jurus Napas Tuak Setan' saja! Tapi... tapi badai yang akan
keluar dari mulutku nanti dapat merusak keindahan alam di sekitar sini. Aduh,
sayang sekali!"
Saat murid si Gila Tuak itu
menimbang-nimbang, tiba-tiba dari balik pohon hijau bening di seberang Suto
muncul seseorang dengan tongkat menyerupai tulang iga. Tongkat itu sedikit
melengkung dan mempunyai anak tulang di sisi kanan kirinya. Sepertinya tongkat
itu tgrbuat dari tulang iga binatang yang sukar dikenali. Setiap tulang
pendek-pendek yang dipukul dengan kayu biasa menimbulkan bunyi beraneka nada.
Lewat pukulan itulah orang tersebut menyalurkan tenaga dalamnya dan mengubah
getaran gelombang suara menjadi getaran tajam yang merusak gendang telinga.
"Ini tidak perlu
kulawan!" ujar Suto Sinting dalam hatinya. "Sebaiknya kutunjukkan
padanya bahwa aku mampu menahan getaran gelombang suaranya!"
Langkah si penabuh tongkat
tulang iga itu semakin dekati Pendekar Mabuk. Tapi pemuda tampan itu sengaja
berdiri dengan tegap dan tampak
gagah. Kedua kakinya sedikit
merenggang dan kedua tangannya memeluk bumbung tuak di dada. ia pandangi si
penabuh tongkat tulang iga itu dengan senyum kalem berkesan meremehkan kekuatan
orang tersebut.
Si penabuh tongkat tulang iga
itu ternyata adalah! seorang gadis berhidung bangir dan berbibir mungii. Matanya
bundar, bening, dan indah sekali, karena ia mempunyai bulu mata yang lentik dan
alis yang sedikit tebal tapi melengkung kecii seperti bulan tersipu malu.
Gadis itu berkulit kuning
langsat, mengenakan pakaian terusan longgar berlengan panjang. Pakaian yang
panjangnya sampai sebatas mata kaki itu berwarna biru tipis, sepertinya dari
bahan sutera. Di atas warna biru itu terdapat bintik-bintik berbentuk bintang,
bagai terbuat dari logam anti karat yang dapat menempel lekat pada gaun
tersebut.
"Manis juga dia,"
gumam hati Suto mulai konyol. Matanya sengaja memandang teduh dan bersahabat.
Wajah mungil si gadis berambut ekor kuda itu diperhatikan terus sampai gadis
itu hentikan langkah dalam jarak tiga tombak di depannya.
Si gadis mungil hentikan
tetabuhannya. la tampak heran melihat pemuda tampan di depannya tak cedera
sedikit pun. Tongkat tulang iga digenggam dengan tangan kiri, dipakai berjalan
ke kanan empat langkah, kembali lagi ke kiri enam langkah, akhirnya berhenti
dengan pandangan mata sama tajamnya ke arah wajah Suto Sinting.
Senyum si murid sinting Gila
Tuak sengaja lebih dilebarkan lagi agar tampak keramahannya. Tangan kanan
menyingkapkan rambut sesaat agar tidak menutupi wajah tampannya. Bumbung tuak
tetap didekap di dada, seperti memeluk bayi.
"Terima kasih atas
sambutan ramahmu, Nona," Suto mengawali bicara, sedikit dibuat agak
angkuh, karena gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun itu juga bersikap agak
angkuh.
Sambung Suto, "Sayang
sekali irama musikmu tak cukup untuk menumbangkan pohon atau memecahkan batu,
sehingga tak bisa melukaiku!"
"Hmm...!" gadis itu
mendengus sinis. Matanya memandangi Suto dari kepala sampai kaki. Yang
dipandang justru pasang aksi, sebentar-sebentar mengubah gaya berdirinya,
sambil masih melontarkan kata-kata yang memancing kejengkelan gadis itu.
"Kiriman serbuk beiingmu
juga sudah kuterima, Nona. Kurasa kau kurang pandai dalam memilih serbuk beling
yang tajam dan yang tidak tajam. Untuk itu, kusarankan jika ingin jadi tukang
beling pelajari dulu jenis beling yang tajam dan yang tidak."
Si gadis tampak merah mukanya
mendengar hinaan itu. Kontan ia melompat ke arah Suto Sinting dengan
menyodokkan tongkat tulang iga itu. Wuuut...! Draak…..!
Bumbung tuak dipakai menangkis
sodokan tongkat. Begitu tongkat menyodok bumbung tuak, kekuatan si gadis
memantul balik dan membuat tubuh sekalnya terpental ke belakang. Wuuus...!
Jleeg...! Untung ia dapat berdiri dengan sigap lagi, sehingga tak begitu merasa
malu oleh serangan balik dari lawannya.
"Edan! Bumbung bambu itu
rupanya bukan bambu sembarangan!" gumamnya dalam hati. Namun di wajahnya
si gadis tampakkan kesan sinis dan meremehkan kekuatan pemuda tampan itu. la
mendengus satu kali dan melangkahi maju lagi hingga mencapai dua tombak di
depan Pendekar Mabuk.
"Kurasa sudah cukup
perkenalanmu, Nona. Aku sudah tahu bahwa kau bukan gadis berilmu rendah.
Getaran tenaga dalammu melalui tongkat itu sempat menyodok ulu hatiku saat
bumbung tuakku menangkisnya tadi." "Hmmm...! Itu belum
seberapa!" ujar si gadis tampak menyimpan
rasa bangga mendengar pujian
tak langsung dari Suto. Padahal sodokan tongkat tadi tidak mempunyai arti
apa-apa bagi Pendekar Mabuk.
Si gadis menggertak,
"Kalau kau tak mau ting- galkan wilayahku, tongkatku ini akan menumbuk ke-
palamu sampai selembut serbuk belingku tadi!"
"Oh, jadi aku memasuki
batas wilayahmu, Nona?" Suto berlagak kaget.
“Tak perlu banyak mulut! Pergi
sekarang juga!"
"Aku tak banyak mulut,
Nona. Mulutku cuma satu. Mungkin kaulah yang banyak mulut, karena mulutmu lebih
dari satu!"
Si gadis menggeram, lalu
mendengus satu hembusan. la segera ambil sikap kuda-kuda menyerang. Pandangan
matanya semakin tajam.
"Maaf, aku hanya
bercanda, Nona!" ujar Suto Sinting dengan buru- buru untuk menahan luapan
kemarahan si gadis. Ia pun berkata lagi,
"Aku akan pergi setelah
dapat bertemu dengan Nirwana Tria. Kau kenal dia, Nona?"
"Ooh...?!" gadis itu
terperanjat. Sorot pandangan matanya berubah, tajam tapi penuh keheranan.
Suto membatin,
"Sepertinya dia kenal dengan Nirwana Tria.
Hmmm, sebaiknya kupancing lagi
dengan menyebutkan nama itu."
"Jika kau tahu di mana
Nirwana Tria, tolong an- tarkan aku padanya, Nona Cantik."
"Jangan sembarangan
menyebutkan nama guruku. Bisa kurobek mulutmu dengan tongkat ini!" gertak
si gadis.
Kini justru Suto Sinting yang
terkesip rnendengar kata-kata tersebut.
"Jadi, kau muridnya
Nirwana Tria?!"
"Siapa kau sebenarnya,
Bocah Lancang?!" sentak si gadis dengan menampakkan kegalakannya.
"Aku adalah Suto Sinting,
masyarakat muka bumi!"
Si gadis mundur satu langkah.
Wajah cantiknya tampak sedikit tegang. ia tidak langsung bicara, me- lainkan
diam beberapa saat sambil memperhatikan Suto lagi, memandang dari kepala sampai
kaki. Yang di- pandang justru menenggak tuaknya satu teguk. Badan terasa lebih
segar lagi.
"Apakah kau mempunyai
gelar di dunia persilatan ini?!" "Pendekar Mabuk adalah
gelarku!" tegas Suto Sinting.
"Ooh...?!" si gadis
makin terperanjat dan lebih te- gang lagi. Kakinya mundur dua langkah.
Bersamaan dengan itu pancaran matanya yang tajam penuh per- musuhan itu menjadi
susut.
"Celaka! Kalau begitu aku
berhadapan dengan orang yang salah. Ternyata dia adalah si Pendekar Mabuk,
sahabat Guru, yang sering dibangga-bangga kan oleh Guru. Gawat! Guru bisa
menghukumku dengan hukuman berat jika ia mengadukan sikapku tadi!"
Kini si gadis justru rapatkan
kedua kaki, turunkan tongkatnya hingga ujung bawah menyentuh tanah, lalu
sedikit membungkuk dengan kepala tertunduk sekejap, pertanda memberi hormat.
"Ampunilah aku, Pendekar
Mabuk. Hukumlah kelancanganku tadi, asal jangan kau adukan tindakanku itu
kepada Guru Tria."
Mulanya pendekar tampan itu
heran melihat gadis itu memberi hormat padanya. Tapi segera merasa geli setelah
tahu bahwa si gadis takut diadukan kepada gurunya.
"Aku tak akan adukan
tindakanmu yang tak sopan tadi kepada gurumu, asal kau mau sebutkan siapa
namamu, Cantik?!"
"Namaku.... Riandawi,
penjaga Lembah Surya ini," jawab si gadis penuh hormat. Pendekar Mabuk
lebar- kan senyum dan mendekat. "Riandawi... hmm, nama yang aneh tapi
menurutku itu nama yang cantik juga. Sama seperti orangnya."
Riandawi menjadi kikuk,
senyumnya canggung dan kaku sekali. "Ternyata cerita Guru itu bukan
sekadar mimpi kosong. Orang yang
bernama Pendekar Mabuk itu
memang tampan dan mudah menggetarkan hati wanita. Aduh, celaka kalau begini!
Aku harus jaga jarak dengannya agar batinku tak terialu berharap apa-apa dari
hatinya," ujar Riandawi membatin.
Tapi bibirnya yang mungil
ranum seperti bibir gurunya itu segera berucap lain.
"Sebaiknya, Tuan Pendekar
Mabuk kuantar menemui Guru Tria sekarang juga! Ikutlah aku, Tuan
Pendekar!"
"Hei, hei...!"
Pendekar Mabuk mencekal pundak Riandawi yang ingin pergi. "Narnaku Suto
Sinting, bukan Tuan Pendekar. Jadi, sebaiknya panggil saja aku: Suto Sinting,
atau Suto saja. Tapi jangan panggil aku Sinting saja. Paham?"
Riandawi tersenyum dan
mengangguk.
"Kau dan aku adalah
sahabat. Teman. Bukan pelayan dan majikan, bukan pula murid dan guru tetapi
apa?"
"Teman!"
"Bagus!" puji
Pendekar Mabuk.
Baru beberapa langkah mereka
berjalan, tiba-tiba mereka mendengar suara ledakan besar yang meng- J gema.
Suara tersebut terdengar sangat jelas, menan- I dakan sumbernya tak jauh dari
tempat mereka berada.
Blaaamm...!!
"Ledakan apa itu?"
pancing Pendekar Mabuk.
"Kita lihat saja!"
jawab Riandawi dengan cepat. Bahkan dengan cepat pula ia melesat kembali arah.
Pendekar Mabuk menyusulnya dengan menggunakan separuh kekuatan jurus 'Gerak
Siluman'-nya. Zlaaab….!
Di sebuah tanah datar, mereka
melihat dua orang saling beradu ilmu tanpa senjata. Keduanya sama-sama berusia
sekitar empat puiuh tahun. Mereka adalah seorang lelaki berpakaian abu-abu
dengan kumis lebat dan seorang perempuan berjubah merah dengan rambut
disanggul.
Si lelaki bersalto cepat di
udara sambil sentakkan telapak tangannya ke arah lawannya. Sentakan telapak
tangan itu tidak keluarkan cahaya melainkan sembur- kan asap kuning tebal.
Wuuuss...!
Perempuan berjubah merah
sentakkan kakinya dan tubuhnya segera melesat naik sambil kibaskan tangan bagai
membuang sesuatu. Wess...! Dari tangan itu keluar asap merah tebal dalam bentuk
seperti bola kaki. Asap merah itu terhantam asap kuning, kemudian terjadi
ledakan yang kedua sekeras tadi.
Biaaamm...!
Dari ledakan itu timbul
pancaran cahaya jingga yang menyebar dalam satu sentakan cepat. Cahaya jingga
itu kenai tubuh si perempuan.
"Aaahk...!"
perempuan itu memekik dengan tubuh terlempar melayang ke belakang, lalu jatuh
terhempas tanpa ampun lagi.
Lawannya segera memburu dengan
satu lompatan cepat. Kakinya ingin menginjak dada si perempuan. Tapi dengan
cepat Riandawi hantamkan pukulan jarak jauhnya. Beet...! Hawa padat terkirim
dan menghantam pinggang lelaki berpakaian abu-abu. Baahk...!
"Uuhk...!" Lelaki
itu terpekik, tubuhnya terlempar ke samping. Brruk.J. la jatuh terjongkok.
Kemudian buru- buru bangkit. Namun pukulan jarak jauh Riandawi telah
menyusulnya dan tak sempat ditangkis oleh lelaki ter- sebut. Baahk...!
"Aaahk…!" Orang itu
terjengkang ke belakang, dan jatuh dalam keadaan telentang. Brruk..! Darah
segar pun keluar dari mulutnya saat ia berusaha bangkit. la hanya mampu
berlutut dengan napas tersendat- sendat.
Riandawi segera melesat. Kedua
kakinya mendarat di samping perempuan berjubah merah.
"Bibi...?! Bagaimana
keadaanmu?!"
"Menyingkirlah,"
ujar perempuan itu yang ternyata bibinya Riandawi. "Ini urusanku dengan si
Jagaloya!"
Terdengar lelaki yang bernama
Jagaloya itu berseru dengan suara menggeram.
"Keparat! Kau mau ikut
campur juga, Riandawi! Terimalah ini,
hiaaah !"
Jagaloya bagaikan seekor
harimau sedang terbang menerkam mangsanya. Riandawi segera melompat ke samping
menghindari terkaman kedua tangan Jagaloya. Tapi tongkatnya segera disabetkan
dari bawah ke atas. Wees, prook !
"Aaaow...!" Jagaloya
menjerit kesakitan. Dagunya terharitam tongkat Riandawi. la jatuh berguling-guling
dengan mengerang panjang.
Bibinya Riandawi segera
menyerang. Tapi sebelum kaki perempuan itu menendang punggung Jagaloya, tangan
lelaki itu menghantam ke tanah. Bluuk !
Buuss...! Asap putih menyembur
ke atas. Angin menyapunya, dan Jagaloya pun ternyata telah lenyap tanpa bekas
lagi.
Pendekar Mabuk terkesip
memandang lenyapnya Jagaloya. la sengaja tak ikut campur urusan itu karena
memang tak tahu menahu persoalan yang dihadapi mereka.
"Hebat juga ilmunya si
Jagaloya. Bisa lenyap seketika," ujar Suto dalam hati. "Tapi agaknya
ia mengakui kalah ilmu dengan Riandawi. Kecil- kecil bahaya juga gadis itu?
Gerakannya sukar dilihat."
"Bibi, dia melarikan
diri! Perlukah kukejar, Bi?"
"Tidak perlu!" jawab
sang bibi setelah menarik napas panjang. "Lukaku tidak seberapa. Aku tahu
dia pasti menuju ke Tebing Keramat untuk mengambil kapaknya yang jatuh di
sana."
"Di mana trisula
Bibi?!"
"Jatuh di sekitar tebing
itu juga, saat kupakai menangkis hantaman kapaknya!"
Riandawi hembuskan napas
panjang juga. Suto Sinting mulai mendekat dengan langkah tegap dan berkesan
gagah. Sang bibi pandangi pemuda yang masih asing baginya itu. Namun sebelum
sang bibi ajukan tanya, Riandawi lebih dulu perdengarkan suara memperkenalkan
si Pendekar Mabuk.
"O, ya... dia teman
baruku, Bi. Dia bernama Pendekar Mabuk..." "Suto Sinting!" sahut
Suto sebelum Riandawi menyebutkan gelar
Pendekar Mabuk.
"Rupanya dia tak mau
kuperkenalkan sebagai Pendekar Mabuk yang namanya sering jadi pembicaraan
masyarakat Dasar Bumi ini! Hmmm, aku tahu dia tak ingin tonjolkan nama
itu," gumam hati Riandawi. Lalu, gadis itu memperkenalkan nama Layunggini
sebagai nama bibinya itu.
0, jadi kau orang Permukaan
Bumi?!"
"Betul, Bibi
Layunggini!" jawab Suto Sinting dengan sopan. "Aku baru saja tiba dan
bertemu dengan Riandawi."
Sang bibi yang mempunyai
kecantikan matang itu manggut-manggut. Kedua matanya memandang Suto tak
berkedip. Pandangan itu berkesan aneh bagi Suto, seakan ia menjadi grogi
menerima tatapan mata seperti itu. Maka buru-buru Suto Sinting alihkan
pandangan- nya kepada Riandawi.
"Lelaki yang lenyap itu
tadi siapa, Riandawi?" Suto berpura-pura bodoh.
Layunggini yang menjawab,
"la bernama Jagaloya, bekas muridnya Tabib Sesat!"
Suto Sinting terkejut
mendengar nama Tabib Sesat disebutkan, tapi ia sembunyikan perasaan kagetnya
itu. la masih tampaktenang, senyumnya tipis namun penuh keakraban.
"Mengapa Bibi bentrok
dengannya?" tanya Riandawi. "Dia memaksaku agar serahkan kunci Kuil
Prana Dewa!"
Riandawi berkerut keningnya.
"Untuk apa dia butuhkan kunci Kuil Prana Dewa?! Apakah dia ingin masuk di
kuil keramat itu?!"
"Mestinya begitu! Tapi...
jika bukan karena urusan sangat penting dia tak mungkin berkeinginan masuk ke
dalam Kuil Prana Dewa."
Riandawi diam merenungkan hal
itu. Layunggini kembali pandangi Suto Sinting. Yang dipandang menjadi kikuk,
Salu menutupi kekikukannya dengan sebuah pertanyaan yang semestinya tak perlu
dilontarkan.
"Apa yang dimaksud dengan
Kuil Prana Dewa itu, Riandawi?"
Layunggini lagi yang
menjawabnya, "Kuil itu adalah kuil keramat yang hanya boleh dibuka pada
saat-saat tertentu, terutama jika masyarakat Dasar Bumi ingin lakukan sujud
kepada Hyang Maha Dewa.
Setiap sepuluh kali purnama
kami melakukan upacara sesembahan tersebut. Jika hari-hari iainnya, hanya keturunan
Dewa Tanah yang boleh masuk ke dalam kuil dan lakukan sesembahan lainnya."
Bibi sangat kenal betul tempat
Itu, karena beliau adalah penjaga Kuil Prana Dewa," sahut Riandawi yang
membuat Suto menggumam dan manggut-manggut.
“Seseorang yang mempunyai
hajat istimewa bisa dilakukan di dalam kuil tersebut jika sudah meminta izin
kepada Dewa Tanah, penguasa masyarakat kami itu," sambung Layunggini.
"Biasanya hajat yang dilakukan di dalam kuil akan membawa berkah besar
bagi kehidupan orang itu. Yang ingin punya keturunan menjadi banyak keturunan,
yang ingin panjang umur menjadi lebih panjang lagi umurnya, yang "
“Maaf, Bibi...!" potong
Suto Sinting karena ia mendengar kata-kata 'panjang umur', sehingga ingat
tentang si Tabib Sesat yang kemungkinan besar akan memakan jantungnya Putri
Merak agar berumur panjang.
"Apakah seseorang dapat
berumur lebih panjang lagi jika memakan jantung seorang putri yang dapat
membuatnya berumur seribu tahun lagi?"
"Jika hal itu dilakukan
di dalam Kuil Prana Dewa, maka orang itu dapat hidup sampai dua ribu tahun
lagi! Tapi mengapa kau bertanya begitu, Suto Sinting?"
"Karena... hmmm...
karena, terus terang saja, aku datang kemari karena mengejar seseorang yang
pasti sudah Bibi kenal. Orang itu menculik Putri Merak dan ingin memakan
jantung Putri Merak. Barangkali saja orang itu ingin melakukannya di dalam Kuil
Prana Dewa itu supaya…."
"Siapa orang
tersebut?!" potong Riandawi. "Tabib Sesat!"
Riandawi dan bibinya sama-sama
terperanjat dan saling pandang dengan mata terbelalak.
"Sebenarnya aku ingin
menemui Nirwana Tria untuk menanyakan tentang kemungkinan tempat persembunyian
si Tabib Sesat. Tapi... ternyata aku justru bertemu denganmu, Riandawi."
"Jadi.... Tabib Sesat
telah kembali dari pelariannya?!" gumam Layunggini bernada tegang.
Riandawi berujar kepada Suto
Sinting, Dia masih menjadi buronan kami! Dan sangat berbahaya jika kembali ke
alam kami. Berarti akan timbul bencana lagi seperti dulu. Tabib Sesat adalah
tokoh aliran hitam yang banyak mendatangkan bencana bagi masyarakat Dasar Burni
ini. Suto Sinting, Tak ada yang bisa membunuhnya kecuali Dewa Tanah, sebab
hanya Dewa Tanah yang tahu rahasia kelemahan Tabib Sesat."
"Ya, benar!" timpal
sang bibi. "Tapi Eyang Dewa Tanah sekarang sedang sakit. Tak mungkin
lakukan pertarungan dengan si Tabib Sesat."
"Aku sendiri yang akan
lakukan pertarungan de- ngannya. Bibi," ujar Suto Sinting dengan tegas,
membuat sang bibi menatap dengan tegang kembali. la tak percaya akan kemampuan
Suto dalam melawan Tabib Sesat, karena ia tak tahu bahwa pemuda tampan yang ada
di depannya itu adalah si Pendekar Mabuk, tokoh muda yang sering dibicarakan
oleh para tokoh di Dasar Bumi itu.
Ternyata pertanyaan yang
semula dianggap iseng- iseng itu punya makna besar bagi tujuan Suto datang ke
alam tersebut. Tetapi baik Riandawi maupun Layunggini tidak dapat memperkirakan
di mana Tabib Sesat saat itu berada.
"Jika benar kau merasa
mampu berhadapan dengan si Tabib Sesat itu, aku dapat memancingnya agar ia
muncul di Kuil Prana Dewa nanti!" ujar Layunggini.
"Pancinglah dia, Bibi!
Usahakan ia berani muncul di Kuil Prana Dewa!" jawab Sutotegas sekali.
"Akuakan menghadapinya tanpa peduli menang atau kalah!"
"Kalau begitu aku harus
segera menghadap Guru dan mengabarkan hal ini pada beliau!" sahut
Riandawi, seakan mendukung rencana Suto dan bibinya untuk memaneing kemunculan
Tabib Sesat itu. Tapi sang bibs Justru berbaiik menjadiragu-ragu. la
menyangsikan ke- mampuan Suto Sinting dan terang-terangan berkata,
"Sangat disayangkan jika
pemuda setampan dan segagah dirimu harus mati di tangan nenek iblis itu, Suto.
Kurasa, sebaiknya urungkan saja niatmu. Biar penguasa bumi yang
menanganinya!"
Suto Sinting mengeluh dengan
napas dihembuskan lepas-lepas,
4
Sampai mereka berpisah, Bibi
Layunggini belum tahu bahwa pemuda tampan itu adalah Pendekar Mabuk. Perempuan
separuh baya itu hanya tahu bahwa pemuda tampan itu punya keberanian cukup
besar, karena tekadnya melawan Tabib Sesat tampak menyaia-nyala sekali.
Bibi Layunggini merasa girang
dalam hatinya, karena pada saat itu Pendekar Mabuk ikut bersamanya menuju ke
Kuil Prana Dewa, sedangkan Riandawi pergi untuk temui Nirwana Tria yang di
antara para muridnya di- kenal dengan nama panggilan: Guru Tria. Sepanjang
perjalanan ke Kuil Prana Dewa, pandangan mata Bibi Layunggini sering tertuju ke
wajah Suto Sinting. la sangat mengagumi ketampanan Suto Sinting, juga terpikat
dengan kegagahan si pendekar yang menyembunyikan ketenarannya itu.
Sekalipun Suto Sinting mulai
dapat meraba isi hati Layunggini, tapi ia berpura-pura tidak mengetahui hal
itu, la masih bisa bersikap tenang dan kalem, yang membuat hati Bibi Layunggini
semakin diliputi debar- debar keindahan.
"Sejak sepuluh tahun yang
lalu, aku sudah menjadi janda. Suamiku tewas dalam suatu pertarungan,"
ujar sang bibi. "Lalu, sejak itu aku tak bermaksud ingin me- nikah lagi.
Kuabadikan sisa hidupku dikuil keramat itu tanpa berpikir untuk mencari
pasangan hidup lagi."
"Apakah Bibi tidak merasa
kesepian?"
"Sangat kesepian
sekali," jawabnya terang-terangan. "Dan untuk mengatasi kesepian itu
aku banyak berlatih beberapa ilmu peninggalan mendiang suami- ku. Kesibukan
merawat kuil juga merupakan cara lain untuk mengalihkan rasa sepiku. Tapi
sekarang.....
Kata-kata tersebut tiba-tiba
terputus dengan sendirinya. Timbul rasa heran di hati Suto Sinting. Lebih heran
lagi setelah Bibi Layunggini hentikan langkahnya dengan pandangan mata ke satu
arah penuh curiga. • "Ada apa, Bibi?" tanya Suto pelan sekali.
"Aku mendengar suara gerak pertarungan," jawab sang bibi. Pendekar
Mabuk mencoba menyimak suara yang dimaksud, namun ia tidak mendengar suara apa-
apa kecuali hembusan angin pembawa kesejukan,
"Mungkin Bibi salah
dengar. Tak ada suara senjata beradu, tak ada suara letupan apa-apa."
"Ya, tapi aku mendengar
dua gerakan yang saling bantam dan saling menangkis. Arahnya di sebelah
sini!"
Bibi Layunggini bergerak lebih
dulu, Pendekar Mabuk mengikutinya dengan hati semakin heran.
"Jika benar apa yang
didengarnya, berarti Bibi Layunggini mempunyai pendengaran yang sangat tajam.
Patut mendapat pujian dan layak untuk dikagumi," ujar Suto dalam hatinya.
Perempuan itu bergerak cepat.
Wees, wees, wees. Pendekar Mabuk terpaksa gunakan separuh jurus 'Gerak
Siiuman'-nya untuk imbangi kecepatan gerak perempuan tersebut.
Dalam waktu beberapa kejap
saja mereka sudah tiba di sebuah kaki
bukit berhutan cemara kuning. Indah sekali tempat itu bagi Suto Sinting,
daun-daun cemara berwarna kuning rata, batang pohonnya juga berwarna kuning.
Rumput dan semak yang tumbuh di sekitar tempat itu juga berwarna kuning
menyala. Indah sekali. Pemandangan serba kuning terang itu menjalar dari kaki
bukit sampai ke puncak bukit yang tak se- berapa tinggi itu.
Namun di salah satu sisi kaki
bukit tersebut, Pendekar Mabuk melihat dua sosok manusia sedang ber- tarung
dengan gerakan cepat tanpa senjata tajam. Hal itu membuat Suto Sinting menjadi
terheran- heran karena apa yang didengar Bibi Layunggini itu memang terbukti
kebenarannya. Kedua orang itu bertarung bagaikan tanpa suara sedikit pun.
Benturan tongkat dengan tongkat, tangan dengan tangan, tendangan dengan
tendangan, hanya menghasilkan kepulan asap yang tidak mempunyai suara apa-apa.
Percikan cahaya api pun tidak menimbulkan suara letupan seperti biasanya.
"Hebat sekali pendengaran
Bibi Layunggini," puji Suto Sinting dalam gumam pelan di samping perempuan
itu. Si perempuan bagai tak pedulikan pujian tersebut, karena kedua matanya
memperhatikan ke arah dua sosok tua yang saiing bertarung di seberang sana…!
Pendekar Mabuk segera
terperanjat, pandangan matanya terkesip ketika menyadari salah satu dari orang
yang bertarung tanpa suara itu mengenakan jubah lengan panjang berwarna
putih-hitam, sebelah kiri
putih, sebelah kanannya hitam.
Usia lelaki tua yang seluruh rambut, kumis, dan jenggotnya berwarna putih itu
sekitar delapan puluh tahun, tapi ia masih tampak tegar dan lincah. Bahkan
lebih berkesan ganas terha- dap lawannya.
"Kalau tak salah yang
berbadan kurus dan berjubah putih-hitam itu adalah si Branjang Hantu, ya
Bibi?"
"Oh, kau sudah kenal
dengannya?" sang Bibi agak terkejut.
"Ya, aku bertemu dengan
Branjang Hantu ketika berkunjung kemari beberapa waktu yang lalu," sambil
Suto terbayang saat menyeiamatkan gadis bernama Ranti Ketawang dari tangan
Harya Jipang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu
Maksiat").
Sambung Suto lagi,
"Bukankah dia adalah kakek-^ nya Ranti Ketawang, Bi?"
"Benar. Ranti Ketawang
itu juga keponakanku, kakak sepupunya Riandawi."
"Ooooo.,.?!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Branjang Hantu adalah pamanku."
“Oooo...," Suto Sinting
melongo lagi lebih panjang.
"Lalu. siapa perempuan
tua yang sekarang sedang mendesak Ki Branjang Hantu itu, Bi?"
"Dia itulah buronan
kami," jawab Bibi Layunggini. Jawaban itu membuat Suto Sinting memandang
si perempuan dengan dahi berkerut.
"Maksud Bibi... perempuan
tua bertubuh sekal itu adalah si Tabib Sesat?"
“Siapa !agi kalau bukan
dia!"
Detak jantung menjadi cepat.
Pendekar Mabuk mulai tampak tak sabar. Dadanya bergemuruh menahan desakan
hasratnya untuk menerjang si Tabib Sesat itu. Tapi Bibi Layunggini menahannya
dengan kata-kata sederhana.
"Tapi di mana Putri Merak
yang diculiknya itu?"
Pertanyaan tersebut membuat
Pendekar Mabuk menahan diri untuk tidak menghambur dalam perta- rungan.
Kelihatannya, Branjang Hantu sendiri masih mampu menahan serangan-serangan si
Tabib Sesat. Pendekar Mabuk cepat mencari Putri Merak dengan pandangan
tajamnya.
"Percuma saja
kutumbangkan si Tabib Sesat jika aku tak tahu di mana Putri Merak berada, dan
bagaimana keselamatan jiwanya?" ujarnya dalam hati. Maka 'uto pun tetap
diarn d<; tempat dengan penuh waspada. la tak mau bertindak gegabah yang
dapat mengakibat- ksn pengejarannya ke alam perbatasan itu menjadi sia-sia.
Tabib Sesat ternyata berusia
belum terlalu tua, sekitar lima puluh tahun. Entah itu usia asli atau usia
sadapan dengan menggunakan ilmu awet muda, yang jelas tubuhnya kelihatan tak
terlalu kurus, dan di wajah- nya masih ada sisa kecantikan masa lalu. la
mengenakan jubah biru tua berlengan panjang. Pakaian dalamnya pinjung penutup
dada warna merah dan kain penutup bagian bawah berwarna merah tebai.
Sekalipun dadanya masih tampak
sedikit montok, sisa kecantikannya masih kelihatan, tapi Pendekar Mabuk tahu
persis siapa Tabib Sesat itu sebenarnya. Apa yang diketahuinya itu adalah
sebuah rahasia yang tidak banyak diketahui orang. Dan rahasia itu membuat bulu
kuduk Suto pun jadi merinding sesaat.
Bibi Layunggini masih
bersembunyi di balik pohon; Tampak nya ia takut diketahui Tabib Sesat, terlihat
dari pancaran pandangan matanya yang mengandung kecemasan. Namun ketika
Pendekar Mabuk ingin ber- gerak maju untuk berada lebih dekat lagi dari tempat
pertarungan itu, tangan Layunggini buru-buru mencekal pundak Suto.
"Jangan bertindak dulu.
Pelajari dulu jurus-jurusnya, siapa tahu kau bisa temukan kelemahan jurus-
jurus si Tabib Sesat itu!"
"Benar juga!" ujar
Suto dalam hatinya. Namun di mulut ia berkata lain.
"Ki Branjang Hantu
semakin terdesak, Bibi." "Pamanku masih bisa mengatasinya."
"Mengapa Bibi tidak
segera turun tangan membantu paman?"
"Aku tak ingin dilihat
oleh si Tabib Sesat, sebab dia pasti mengincar kunci Kui! Prana Dewa! Aku bisa
dibunuhnya demi mendapatkan kunci pembuka pintu kuil. Dan... ilmuku mernang tak
sebanding jika harus melawannya."
Pendekar Mabuk menggumam lirih
dan manggut- manggut.
Perhatiannya kembali diarahkan
kepada per- tarungan tanpa suara itu.
la melihat gerakan Tabib Sesat
memang cepat dan penuh tipu daya. Branjang Hantu terkena pukulan beberapa kali.
Setiap pukulan yang mengenai lawan selalu menghembuskan asap putih kehitaman.
Kini mereka mengadu tongkat.
Hantaman tongkat menimbulkan percikan cahaya merah dan semburan asap, namun
tetap tanpa ledakan sekecil apa pun. Bahkan suara tongkat dengan tongkat beradu
pun tidak terdengar dari tempat Suto berada.
Adu tongkat itu membuat tubuh
si Branjang Hantu terlempar ke belakang. Tubuh si Tabib Sesat juga ter- lempar
ke belakang. Punggungnya menabrak pohon. Tapi tiba-tiba tubuh itu dapat lolos
melewati pohon ba- gai bayangan tanpa raga. Blees...! Tabib Sesat berdiri tegak
dengan cepat di balik pohon yang diterabasnya itu.
"Gila! Rupanya dia punya
ilmu bayangan yang membuatnya dapat menembus pohon?!" gumam Suto Sinting
dengan pelan, didengar oleh Bibi Layunggini, sehingga perempuan itu pun segera
berkata pelan juga.
"itulah salah satu
kehebatan ilmunya! Kau harus cari kelemahan ilmu itu agar tak celaka jika
berhadapan dengannya."
"Bibi di sini saja! Aku
akan berada lebih dekat ke sana. Kelihatannya Ki Branjang Hantu terluka dalam
akibat pukulan Tabib Sesat tadi. Aku akan menjagai keselamatan Ki Branjang
Hantu."
"Tapi, Suto...,"
Layunggini tak sampai teruskan kalimatnya, karena anak muda itu tiba-tiba sudah
melesat dan berada di balik gugusan batu berwarna kuning kunyit yang tingginya
sebatas pundak orang dewasa. Pendekar Mabuk mengendap-endap di balik batu besar
itu.
Branjang Hantu masih bisa
tegak kembali. la me- mainkan tongkatnya dengan gerakan cepat, lalu tongkat itu
ditancapkan ke tanah. Jruub...! Branjang Hantu lepas tongkat, bersiap hadapi
lawannya dengan tangan kosong. Sang lawan mendekat dengan masih menggenggam
tongkat. "Branjang Hantu!" terdengar suara Nini Kembang Kempis yang
terlontar dengan lantang itu.
"Kuingatkan sekali lagi
padamu, jangan coba-coba berniat menjadi satria di depanku! Jika kau masih ber
keinginan untuk rnenangkapku, maka nyawarnu sendiri yang akan kutangkap dan
kumasukkan ke dalam raga seekor babi hutan di Permukaan Bumi nanti!"
"Kalau kau tak mau
kutangkap dan kuserahkan kepada Dewa Tanah, maka kau harus rela kehilangan
rohmu yang akan kukirim ke neraka jahanam!"
Tabib Sesat tersenyum sinis.
"Kau tak akan unggul melawanku, Branjang Hantu! Jika Dewa Tanah saja bisa
kuiukai separah itu, mengapa kau tidak?! Bukankah kau tahu aku menguasai ilmu
'Siksa Abadi' yang sangat dahsyat itu?!"
"Menggunakan ilmu 'Siksa
Abadi' adalah suatu pelanggaran yang tak terampuni lagi! Oleh sebab itulah kau
harus diadili, bila perlu dipancung di sini juga!"
Tabib Sesat geleng-geleng
kepala sambil tangan kirinya bertoiak pinggang.
"Rupanya semakin tua kau semakin
bandel, Branjang Hantu! Jika mernang begitu, kau pun layak mendapatkan ganjaran
'Siksa Abadi' dariku, seperti ganjaran yang diterima oleh si Dewa Tanah itu!
Bersiaplah untuk modar secara periahan-lahan, Branjang Hantu!"
Nini Kembang Kempis membuka
jurus baru. Kaki kanannya ditarik ke belakang, kaki kirinya rendah ke depan.
Tongkatnya yang berkepala bola bemkir itu diangkat aebatas teiinga, sedangkan
tangan kirinya menggenggam kuat di depan dada kiri.
Suto membatin, "O,
rupanya ilmu 'Siksa Abadi' adalah ilmu yang berbahaya dan tak boleh digunakan
dalam hukum persiiatan di Dasar Bums ini. Dewa Tanah terluka oleh ilmu itu, dan
membuat Tabib Sesat diburu oleh para tokoh aliran putih, sehingga Tabib Sesat
melarikan diri. Hmmm….! Tapi mengapa ia melarikan diri?! Bukankah sebenarnya ia
bisa melawan para pengejarnya dengan ilmu'Siksa Abadi' itu?!'
Kecamuk batin Suto dihentikan
karena perhatian- I nya segera dikembalikan pada gerakan berbahaya dari si
Tabib Sesat. Ketika Branjang Hantu menggosok telapak tangannya hingga menyala
merah seperti besi membara, TabibSesat melompat dengan gerakan berputar cepat.
Gerakan itu keluarkan kabut merah yang melapisi tubuhnya. Tongkat si Tabib
Sesat menyambar I kepala Branjang Hantu.
Wuuus...! Dengan cepat Pak Tua
berjenggot putih 1 itu berguling ke tanah sambil kibaskan tangan ke atas. 1
Cahaya merah menyerupai telapak
tangan itu melesat menghantam
Tabib Sesat. Tetapi cahaya itu membalik ke arah semula sebelum kenai tubuh
Tabib Sesat, Claap...! Biaab…!
"Aaahk...!" Branjang
Hantu terpekik karena cahaya merahnya justrumenghantam dadanya sendiri. Sskujur
tubuh Branjang Hantu menjadi terbakar bagaikan besi membara. Kedua bola matanya
pun menjadi merah mirip batu lahar.
Sebentar kemudian, tubuh itu
padam, kembali se perti semula. Branjang Hantu terengah-engah dan berusaha
bangkit kembali. Baru saja berlutut, tiba-tiba tubuhnya menjadimerah membara
dan ia memekik kesakitan kembali.
"Aaahkk...!
"Branjang Hantu pun tumbang ke tanah, mengerang- erang dengan kelojotan
bagai orang tersiksa yang amat menderita.
"Hmmm...!" Tabib
Sesat mencibir sinis. "Sudah kuperingatkan kau masih nekat. Bukan salahku
jika kau termakan ilmu 'Siksa Abadi'-ku, Branjang Hantu! Nik- mati saja siksaan
sepanjang masa itu!"
Zuub...! Nyala api membara di tubuh
Branjang Hantu padam seketika. Tubuh itu hanya keluarkan asap ti- pis. Napas
Branjang Hantu terengah-engah kembali. la berusaha bangkit. Dengan sempoyongan
ia berdiri dan memandang lawannya penuh nafsu untuk membunuh.
“Keparat kau, Tabib Iblis! Terimalah...
aaahkk...!"
Branjang Hantu mengejang
dengan kepala terdo- ngak wajah menyeringai. Sekujur tubuhnya terbakar kembali
seperti tadi. la jatuh berkelojotan, sementara si Tabib Sesat tertawa
terkekeh-kekeh sambil pandangi penderitaan Branjang Hantu. Orang berjubah biru
tua itu bagaikan sedang menikmati tontonan yang me- nyenangkan hatinya.
"0, rupanya seperti
itulah keadaan orang yang terkena ilmu "Siksa Abadi'...?!" pikir Suto
Sinting dengan tegang. "Tapi kulihat tadi si Tabib Sesat belum menyerang
Branjang Hantu. la hanya melompat, menge- pulkan kabut merah menyambar kepala
Branjang Hantu dengan tongkatnya, tapi luput. Lalu... lalu Branjang Hantu
melepaskan pukulan bercahaya merah. Tapi kembali ke arah semula dan mengenai
dadanya. Tiba- tiba dia menjadi terbakar, sembuh, terbakar, dan sembuh lagi,
terbakar lagi.... Oh. apakah sinar merah yang membalik arah itu dinamakan ilmu 'Siksa Abadi'?!"
Tabib Sesat berkata,
"Tapi kurasa kau tali perlu menderita seperti itu. Kau bukan musuh
utamaku,Branjang Hantu. Jadi sebaiknya kau segera kukirim keneraka saja!"
Tabib Sesat mengangkat
tongkatnya. Tongkat siap dihujamkan ke dada Branjang Hantu. Pada saatitulah,
Pendekar Mabuk bertindak cepat dari persembunyian- nya. Jurus 'Jari Guntur'
digunakan untuk menyerang Tabib Sesat.
Tess, tees...! Dua sentiian
yang keiuarkan tenaga dalam cukup besar melesat ke dada Tabib Sesat, Tapi
rupanya Tabib Sesat mengetahui akan datangnya gumpalan hawa padat yang
rnembahayakan dadanya. Ia segera melompat hindari hawa padat itu walauharus
batalkan niatnya menghujamkan tongkat ke tubuh Branjang Hantu.
Suuut..! Jleeg...! Tabib Sesat
sudah berpindah tempat, sedikit lebih jauh dari Branjang Hantu Gumpalan hawa
padat dari sentilan 'Jari Guntur' melesat terus dan mengenai sebongkah batu
kuning suram yang tingginya seukuran dada orang dewasa.
Prrakk...! Prool...!
Batu itu retak sebentar, lalu
pecah menjadi bongkahan-bongkahan sebesar genggaman tangan. Hati si Pendekar
Mabuk merasa malu-malu jengkel. Baru sekarang sentilan jurus 'Jari Guntur'-nya
dapat dihindari lawan. Mau tak mau ia harus mempertanggungjawabkan serangan
diam- diamnya tadi dengan melompat keatas sambil bersalto satu kali, karena
pada saat itu Nini Kembang Kempis alias si Tabib Sesat kirimkan pukulan tenaga
dalamnya tanpa sinar dan tanpa suara. Yang keluar dari sodokan kepala
tongkatnya hanya uap putih bagai dihembuskan dari mulut seekor naga. Wuuus...!
Durrb...!
Tenaga dalam itu kenai batu
kuning kunyit yang dipakai bersembunyi Pendekar Mabuk. Yang terdengar hanya suara
batu meledak dalam satu daya redam cukup tebal. Tak bisa didengar oleh orang
yang berjarak sepuluh langkah dari tempat batu tersebut berada. Ta- hu-tahu
batu itu hancur menjadi butiran kerikil yang menggunduk di tempatnya.
"Rupanya ada pemuda bodoh
yang mau ikut dikirim ke neraka!" ujar Tabib Sesat seperti bicara pada
diri sendiri, tapi dilontarkan dengan suara keras.
Pendekar Mabuk melangkah lebih
dekat lagi. Se- mentara itu, nyala api membara di tubuh Branjang Hantu telah
padam. Pak Tua itu berusaha untuk bangkit, namun susah sekali. la merangkak
mendekati tongkatnya yang ditancapkan di tanah.
Tabib Sesat tampak curiga
kepada pemuda yang dipandanginya dengan mata mengecil itu. Suto Sinting
beriagak tidak memperhatikan Tabib Sesat. Pandangannya ditujukan kepada
Branjang Hantu yang sudah berhasil berdiri dengan berpegangan pada tongkatnya.
Tapi ekor Mata Suto tetap mewaspadai segala gerakan si Tabib Sesat.
"Minumlah tuakku, Ki
Branjang Hantu." "Kkau... kau si. "
"Ya, memang aku!"
jawab Suto tegas. "Jangan banyak bicara dulu, minumlah tuakku untuk
memadamkan api yang akan membakarmu lagi itu," sambil Suto menyodorkan
bumbung tuaknya.
"Pendekar Mabuk!"
sentak suara Tabib Sesat. "Kau pasti si Pendekar Mabuk yang telah membunuh
beberapa muridku itu!"
"Sekarang justru gurunya
yang akan kubuat menyusul murid-murid sesat itu!" ujar Suto Sinting
sengaja memancing emosi Tabib Sesat. Ia tak jauh-jauh dari Branjang Hantu yang
sedang menenggak tuak. Tabib Sesat tampak berpikir beberapa saat. la tak mau
langsung menyerang Pendekar Mabuk, karena masih diliputi perasaan heran oleh
sesuatu yang tak diduga-duga sebelumnya.
"Ternyata anak itu bisa
masuk ke alam sini?! Hmmm...! Pantas murid-muridku banyak yang tumbang di
tangannya! Pantas ia sukar ditangkap oleh para utusanku!" ujar Tabib Sesat
dalam hatinya. "Kurasa dia harus segera kubereskan. Atau jika terlalu
sulit, kutinggal kabur saja! Aku harus segera menemukan si Layunggini untuk
dapatkan kunci Kuil Prana Dewa, dan membawa Putri Merak ke sana! Dengan memakan
jantung Putri Merak di dalam kuil itu, maka bukan saja umurku akan menjadi
panjang, tapi aku akan berubah menjadi lebih muda lagi!"
Pendekar Mabuk cepat ambil
kembali bumbung tuaknya, khawatir diserang secara tiba-tiba. Branjang Hantu
terengah engah. Tubuhnya tidak menyala merah lagi, tapi hawa panasnya masih
menyengat jaringan dalam tubuh. la meringis kepanasan sambil berlutut memegangi
tongkatnya. Suto Sinting tinggalkan Branjang Hantu untuk sementara,
karena Tabib Sesat mulai
memainkan tongkatnya sambil berseru dengan lantang.
"Sekaranglah saatnya kau
menebus kematian murid-muridku, Pendekar Mabuk!"
"Di mana kau sembunyikan
si Putri Merak itu?!" hardik Pendekar Mabuk walau tetap dengan wajah
seperti tak beremosi.
"Tak akan ada yang bisa
menjamah Putri Merak! Lupakan tentang dia, dan hadapi saja hukuman dariku ini!
Hiaaat...!"
Tabib Sesat melompat cepat,
menyambar kepala Suto Sinting dengan ujung tongkatnya yang bundar itu. Pendekar
Mabuk melenting ke atas tanpa bersalto. la sengaja tidak menghindari terjangan
itu, melainkan bermaksud mengadu
kesaktian bumbung tuaknya dengan tongkat lawan. Seet...!
Blaaamm...!
Benturan tongkat dengan
bumbung tuak mengeluarkan cahaya merah terang yang menyentak dalam sekejap.
Bersamaan dengan itu, keluarlah suara berdentam menyerupai ledakan yang
menggunakan alat peredam.
Suara ledakan itu memang tak
sekeras biasanya, tapi gelombang daya sentaknya menghantam perut Pendekar
Mabuk. Perut itu bagaikan diterjang seekor banteng yang mengamuk. Selain
membuat sukar ber- napas, juga membuat tubuh gagah itu terpental hilang
keseimbangan arah. Wuuus...! Brruuk...!
Pada saat Suto Sinting
terbanting, tubuh Tabib Sesat menembus pohon bagaikan bayangan tanpa ra- ga.
Blees…! la jatuh di semak-semak berdaun kuning bening. Guzraak...! Tapi dalam
beberapa kejap sudah bangkit kembali dan siap melepaskan jurus barunya.
Pendekar Mabuk pun memaksakan
diri untuk bisa tegak kembali. Napas ditarik dan ditahan dalam perut. Maka
mengalirlah hawa murni ke dalam perutnya, sehingga perut yang seharusnya memar
membiru dan sakit sekali dipakai bernapas itu menjadi berkurang rasa sakitnya.
"Kau memang keparat,
Bocah Sinting!" geram Tabib Sesat. "Jangan merasa bangga dulu dengan
ilmumu! Kekuatanmu tak ada sekuku hitamnya dibandingkan kekuatanku!"
"Serahkan Putri Merak
atau kuhancurkan ragamu dengan bumbung tuakku ini, Tabib Sesat!"
Suto lontarkan ancaman sebagai
bukti ia tak pe- dulikan kata-kata lawannya. Keberaniannya pun tampak tak
berkurang sedikit pun. la meiangkah ke sarn- ping menunggu reaksi lawan.
Ternyata sang lawan nekat
menerjang Suto kembali dengan satu lompatan secepat kilat. Wiizz...! Suto
Sinting tak sempat menghindar. Tapi ia segera menyilangkan bumbung tuaknya di
depan dada sambil me- lambung lurus ke atas. Suuut...!
Prrak...! Brruus...!
Bumbung tuak itu diterjang
dengan telapak kaki si Tabib Sesat. Akibatnya bumbung itu membentur dagu Suto
sendiri. Tubuh Suto pun terlempar kembali ke be- lakang dan jatuh berjungkir
balik beberapa kali.
Pandangan mata Suto sedikit
kabur. Kepalanya sakit sekali bagaikan mau remuk. Tapi ia segera berdiri dengan
satu kaki berlutut.
Ketika lawannya tampak
menghantamkan tongkatnya ke arah kepala, Pendekar Mabuk segera menadahkan
bumbung tuaknya kembali dengan dipegang kedua tangan.
Traang, blaaam...!
Terlambat sedikit saja, kepala
Suto akan remuk karena terhantam bagian ujung tongkat yang bundar berukir itu.
Dengan berhasilnya bumbung tuak dipakai sebagai penangkis hantaman tongkat
lawan, Suto Sinting terkapar dalam satu sentakan, karena ledakan yang timbul
akibat benturan itu mempunyai daya sentak yang kuat dan menyakitkan kepala,
membuat wajah terasa panas sampai sebatas pundak.
Tetapi si Tabib Sesat sendiri
juga terlempar ke belakang dan jatuh terpuruk dengan tulang-tulang tera- sa
iinu sernua. Pada saat itu Branjang Hantu dalam keadaan tidak kepanasan. la
segera hantamkan tongkatnya ke tubuh Tabib Sesat.
Wuuut,..! Traak...! Bluuub...!
Hantaman tongkat Branjang
Hantu berhasil ditangkis oleh Tabib Sesat dengan menyilangkan tongkatnya di
atas tubuh dan dipegangi dua tangan seperti Suto ta di. Tetapi tenaga dalam
yang beradu melalui tongkat itu membuat dada Tabib Sesat semakin terasa seperti
di tindih
dengan batu besar. Sementara
itu, Branjang Hantu sendiri terpental dan jatuh berguling-guling dalam keadaan
tongkat terlepas dari genggaman. la bergegas bangkit, tapi hawa panas menyerang
jaringan tubuhnya kembali, sehingga ia terpaksa mengerang dengan tubuh melintir
nungging di tanah.
Kesempatan itu digunakan oleh
Tabib Sesat untuk segera berdiri. Jleeg...! Satu ayunan pinggul membuat
tubuhnya tegak kembali dalam sekejap. Tetapi ternyata pemuda tampan yang
dihadapinya itu sudah lebih dulu berdiri tegak sambil menutup bumbung tuaknya,
pertanda ia habis menenggak tuak saktinya untuk meredam hawa panas yang
menyerang wajah sampai pundaknya itu.
"Kuakui, lumayan juga
pertahananmu, Bocah Ingusan!" ujar Tabib Sesat sambil manggut-rnanggut
dengan sinis. "Tapi kau tetap tak akan mampu meiawan jurus 'Siksa
Abadi'-ku dengan seluruh kekuatanmu!"
"Jangan serang dial"
Branjang Hantu berseru dengan suara berat. Wajahnya yang menahan rasa sakit itu
tampak tegang melihat Suto Sinting sudah mu!ai memutar bumbung tuaknya.
"Jangan serang! Hindari
saja dia!" tambah Branjang Hantu membuat Suto Sinting merasa heran,
akhirnya hentikan putaran bumbung tuaknya.
"Aku curiga dengan
larangan itu! Ada apa sebenarnya?!" pikir Pendekar Mabuk.
Tapi si Tabib Sesat memainkan
tongkatnya dengan cepat, bagaikan mengerahkan tenaga inti untuk keluarkan ilmu
'Siksa Abadi'. Dalam sekejap tubuhnya mulai keluarkan kabut merah samar-samar.
"Tunjukkan.kekuatanmu,
Bocah Ayan!" tantang Tabib Sesat. Tapi Branjang Hantu berusaha melarang
dengan seruan bernada berat.
"Jangan serang dia!
Hindari saja Uuuhk!"
"Tutup bacotmu,
Bibi!" bentak Tabib Sesat. Suaranya dirasakan oleh Suto mengandung
kecemasan tersendiri. Suto Sinting jadi penasaran dan bertekad turuti seruan
Branjang Hantu.
Maka ketika Tabib Sesat
berkelebat menerjangnya bagaikan cahaya kilat, Pendekar Mabuk lebih dulu
pergunakan jurus 'Gerak Silumannya untuk menghindar.
Wiiizz...! Zlaap !
Pendekar Mabuk berada di
tempat agak jau'h, sekitar delapan langkah dari tempat Tabib Sesat daratkan
kakinya. Terjangannya menemui tempat kosong, dan
hal itu membuatnya semakin
murka.
"Jangan lari kau,
Pengecut! Hadapilah aku kalau kau ingin dapatkan si Putri Merak itu!"
"Aku tidak akan lari,
karena aku tahu rahasia kelemahanmu, Tabib Sesat!" seru Suto Sinting
sambil pasang kuda-kuda seperti orang mabuk mau tumbang.
"Hmmmh..!" Tabib Sesat
mencibir meremehkan. "Kau bocah kemarin sore tak akan mampu ungguli
ilmuku, Nak!"
"Kita lihat saja
hasilnya! Aku sudah memperoleh rahasia kelemahanmu dari Randugara!"
"Hahh...?!" Tabib
Sesat mendelik kaget. Rasa kagetnya itu tak sempat ditutupi, walau kejap
kemudian ia kembali bersikap liar kembali. Tapi sinar matanya menunjukkan
adanya kecemasan yang mulai mengurangi nyalinya. Pendekar Mabuk tersenyum
dengan tetap tak mau melepaskan serangannya.
"Seranglah aku sekarang
juga kalau kau memang tahu di mana letak kelemahanku!" tantang Tabib
Sesat, tapi hati kecilnya berkata, "Gawat! Kurasa anak ini memang
mengetahui rahasia kelemahanku, karena dia menyebutkan nama Randugara! Murid
keparatku itu pasti telah membocorkan rahasia itu kepadanya! Aku harus segera
tinggalkan anak ini. Berbahaya sekali jika tahu-tahu serangannya langsung
mengenai pusat kelemahanku!"
Branjang Hantu masih
menggerak-gerakkan ta- ngannya walau tak bisa bicara. Tapi Suto Sinting me-
ngerti bahwa Branjang Hantu tetap melarangnya untuk lepaskan serangan ke arah
Tabib Sesat.
"Jahanam! Cepat serang
aku kalau kau mernang jantan!" "Kita sama-sama jantan!" seru
Pendekar Mabuk.
"Celaka! Dia benar-benar
tahu siapa diriku!" sentak hati Tabib Sesat. Tiba-tiba kakinya menghentak
di tanah. Duuhk...!
Bluuub...! Tubuhnya bagaikan
kepulkan asap putih tebal. Asap itu segera sirna karena dihembus angin. Sosok
perempuan berjubah biru pun lenyap seketika itu juga.
"Dia... melarikan
diri...!" ujar Branjang Hantu sambil terengah- engah. Pada saat itu rasa
panas dalam tubuhnya hilang kembali.
"Celaka! Ke mana perginya
orang itu?!" tanya Suto Sinting kepada Branjang Hantu, tapi matanya sambil
memandang ke sana-sini dengan tegang.
5
Kini Bibi Layunggini menjadi
tahu, bahwa pemuda tampan itu ternyata adalah si Pendekar Mabuk "yang
sering didengarnya dari mulut para tokoh persilatan. Hati perempuan itu menjadi
kian berdebar- debar kegirangan, karena ia merasa bangga dapat bertemu dengan
tokoh muda yang menjadi pujaan para wanita dan pujian para tokoh aliran putih
itu.
"Pantas dia berani
melawan si Tabib Sesat?! Kaiau dia bukan Pendekar Mabuk, mana berani dia
melakukan pengejaran kemari?!" gumam hati Layunggini.
"Oh, sebaiknya aku tak boleh
hanyut dulu dengan rasa banggaku ini. Bagaimana keadaan Paman Branjang Hantu
itu?! Ooh, dia tersiksa sekali! Apakah tuak saktinya Pendekar Mabuk tak srtampu
sembuhkan luka bakar yang diderita pamanku itu?!"
Tuak sakti Pendekar Mabuk
hanya bisa untuk me- ngurangi rasa panas pada orang yang terkena ilmu 'Siksa
Abadi'-nya si Tabib Sesat. Rasa panes itu berkurang sedikit sekali. tubuh si
penderita hanya bisa ti- dak tampak merah membara. Tetapi jika kekuatan 'Siksa
Abadi' itu datang kembali, si penderita tetap rasakan sesuatu yang menyengat
panas dalam jaringan tubuhnya.
"Ini masih mending,
ketimbang penguasa tertinggi kami; Sang Dewa Tanah!" ujar Layunggini yang
berani lampakkan diri setelah Tabib Sesat lari tinggalkan tempat.
"Dewa Tanah masih sering
meraung-raung kesakit- an jika panas 'Siksa Abadi' itu datang. Tubuhnya masih
sering menjadi merah terbakar, lalu
padam beberapa saat, dan terbakar lagi, begitu seterusnya. Sampai sekarang
belum ada obat yang dapat untuk mengatasi keku- atan ilmu 'Siksa Abadi'
itu," tutur Branjang Hantu saat tidak diserang rasa panas.
"Karena itulah si Tabib
Sesat dicari-cari oleh Nirvana Tria," sambung Layunggini, 'Sebab....
Nirwana Tria sudah diberi tahu rahasia kelemahan Tabib Sesat oleh kakeknya:
Sang Dewa Tanah itu. Tetapi sama hal- nya dengan dirimu, Mirwana Tria terlepas
kata bahwa dia mengetabui rahasia Tabib Sesat, sehingga tabib Iblis itu
melarikan diri sebelum
berhasil dikalahkan oleh
Nirwana Tria. la bersembunyi di Permukaan Bumi, tapi Nirwana Tria gaga! menemukan
tempat persembunyiannyal"
Pendekar Mabuk rnenggumam
pendek, kemudian ajukan tanya kepada Layunggini.
“Lalu, bagaimana cara
menghindari ilmu 'Siksa 1 Abadi'-nya itu, Bibi?"
"Jangan menyerang!"
sahut Branjang Hantu.
"Ya. Jangan menyerangnya
pada saat tubuhnya kabutmerah. Kabut merah itulah tanda bahwa ia menggunakan
ilmu 'Siksa Abadi'. Jika ia diserang, maka serangan akan membalik mengenai
kita. Bahkan sebelum serangan itu kita lepaskan, bisa-bisa sudah membalik
mengenai tubuh kita. Tak dapat dihindari
lagi. Sekecil apa pun serangan yang akan kita gunakan, dapat membakar tubuh
kita dan... membuat kita tersiksa sepanjang masa, sebelum garis ajal tiba! Oleh
karena itu, banyak para tokoh yang terpaksa segera lakukan bunuh diri jika
sudah terkena ilmu 'Siksa Abadi' itu, sebab mereka tak sanggup hidup tersiksa
selamanya!"
"Ilmu yang aneh...," gumam Pendekar Mabuk, kemudian diam termenung beberapa saat.
Branjang Hantu berkata kepada
Layunggini.
"Panas itu menyerangku
lagi. Oouhk...!" Branjang Hantu mengerang kesakitan dengan tubuh
meliukturun dan berlutut memegangi tongkatnya.
"Layunggini... bunuh saja
aku! Bunuh sekarang juga! Aaahk…!" Layunggini bimbang, namun memandang
dengan wajah penuh iba.
Suara yang merintih itu sangat
meng- iris hati. Layunggini tak tega. la segera mengencangkan genggaman
tangannya.
"Paman, maafkan aku.
"
Pendekar Mabuk mengerti maksud
Layunggini. Perempuan itu akan menghantamkan pukulan yang mematikan kearah
Branjang Hantu. Oleh sebab itu, Pendekar Mabuk segera mencekal lengan
Layunggini.
"Tunggu! Jangan lakukan
hal itu, Bibi!" "Siksaan ini harus dihentikan, Suto!"
"Ya, aku tahu, Bi! Tapi
tidak harus dengan cara membunuh Ki Branjang Hantu. Baru saja kuingat ramuan
obat yang berkhasiat tinggi. Aku harus mencari Batu Tembus Jagat. Jika batu itu
dicampur dengan tu-
akku, maka akan menjadi satu
ramuan obat yang berkhasiat tinggi. Kurasa bisa dipakai untuk mengalahkan
kekuatan 'Siksa Abadi' itu, Bi!"
"Batu Tembus
Jagat...?!" gumam Layunggini bernada heran. la tak menyangka pemuda tampan
itu mengetahui adanya batu ajaib yang dapat untuk sembuhkan penyakit berbahaya
itu.
Maka terbayang di benak
Layunggini tentang sebuah gua berbatu indah, yaitu Gua Mahkota Dewa. Di dalam
gua itulah terdapat Batu Tembus Jagat yang mempunyai kekuatan ajaib itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Penjara Terkutuk").
"Sebaiknya, kita bawa Ki
Branjang Hantu ke sebuah tempat yang aman, Bibi! Aku akan mencari Batu Tembus
Jagat sambil memburu si Tabib Sesat!"
Layunggini bertanya kepada Branjang
Hantu, "Paman mau kami bawa ke Kuil Prana Dewa?"
Branjang Hantu tidak bisa
menjawab karena menahan rasa sakit. Tapi Pendekar Mabuk memutuskan untuk
membawa Branjang Hantu tanpa menunggu pertimbangan tokoh tua itu. Bibi
Layunggini pun segera menjadi pemandu arah menuju Kuil Prana Dewa. Di sana ia
punya tempat tinggal sendiri sebagai juru kunci kuil keramat tersebut.
"Semakin banyak minum
tuakmu, semakin lama jarak kambuh panasnya," ujar Bibi Layunggini sambil
memperhatikan Branjang Hantu yang dibaringkan di atas dipan bambu.
"Syukurlah jika beliau
sekarang bisa tertidur," ujar Suto Sinting sambil menghembuskan napas
lega.
Branjang Hantu memang diminumi
tuak banyak- banyak oleh Pendekar Mabuk. Ternyata semakin banyak meminum tuak,
semakin lama jarak kambuhnya. Semula dalam dua puluh hitungan, Branjang Hantu
me- rasa kepanasan lagi. Tapi setelah diminumi tuak sakti itu, lima puluh
hitungan baru terasa panas lagi. Suto meminumkan tuaknya lagi, sampai akhirnya
Branjang Hantu bisa tertidur. |
"Tuakku hampir habis,
Bibi," ujar Suto Sinting seraya mengguncang-guncang bumbung tuaknya, dan
terdengar bunyi kemerucuk air tuak dalam bambu sebatas satu jengkal dari dasar
bumbung itu.
"Aku harus mengisi
bumbung tuakku lagi, Bibi! Dapatkah Bibi tunjukkan di mana ada kedai penjual
tuak di sekitar sini, Bibi?"
"Di sini tidak ada orang
menjual tuak," kata Layunggini. "Tapi aku punya simpanan arak untuk
pesta malam penyembahan yang akan dilakukan pada lima purnama mendatang."
"Arak.,.?!" gumam
Suto Sinting agak ragu, Karena menurutnya arak dan tuak itu berbeda, walaupun
sama- sama memabukkan jika diminum terialu banyak.
"Tapi daripada bumbung
tuakku nanti kosong, kurasa arak pun tak jadi soal," ujarnya dalam hati.
"Kalau kau mau, kau bisa
mengisi bumbungmu dengan Arak Suci." Layunggini menuju ke sudut ruangan.
Di sana ada dua guci arak.
Satu guci arak jika dituang ke
bumbung tuak tidak akan membuat bumbung itu penuh. Tapi lumayan bisa buat
persediaan melawan Tabib Sesat nanti.
"Arak Suci ini dipakai
dalam pesta adat bukan untuk mabuk- mabukan, meiainkan untuk menyucikan darah
kami masing-masing dari kesalahan-kesalahan yang tidak kami sadari. Itu menurut
kepercayaan hukum adat kami," tutur Layunggini.
"Boleh kuminta satu guci,
Bi?"
"Boleh saja. Tapi apakah
khasiat tuakmu tetap akan sama jika dicampur dengan Arak Suci ini?!"
Pendekar Mabuk diam sebentar
mempertimbang- kan. Pertanyaan itu membuat hatinya menjadi lebih bimbang lagi.
Maka sebagai percobaan, Suto menuang sedikit tuaknya ke dalam cangkir keramik,
lalu rnen- cam purkan sedikit Arak Suci ke dalam cangkir itu.
"Kalau memang khasiatnya
sama, aku akan pergi berbekal tuak itu, Bi. Tapi kalau tidak berkhasiat, lebih
baik aku pergi dengan membawa sisa tuak ini," ujar Suto Sinting sambil
pandangi cangkir keramik yang berisi air tuak campur arak sebanyak sekitar tiga
te~ gukan itu.
Pendekar Mabuk cicipi rasa
tuak itu satu teguk, lalu dikecap- kecapnya sebentar.
"Hmmm... rasanya aneh.
Seperti minum air pandan. Tapi... tapi di badan terasa sedikit panas?!"
"Coba kucicipi
sedikit," pinta Layunggini. Perempuan itu pun mencicipi seteguk, lalu
lidahnya mengecap-ngecap untuk rasakan tuak campuran arak itu.
"Hmmm, ya... rasanya
seperti minum air pandan. Padahal Arak Suci rasanya tidak seperti ini,"
ujar Layunggini. la menghabiskan separuh sisa tuak dalam cangkir. Semakin jelas
rasa pandannya. Nikmat, segar, tapi darah yang mengalir ke sekujur tubuhnya
menjadi sedikit panas.
Suto Sinting menghabiskan sisa
tuak dalam cangkir itu.
"Detak jantungku menjadi
lebih cepat," ujar Layunggini sambil menghembuskan napas panjang. la
rnelangkah masuk ke sebuah kamar bertirai kain merah.
"Benar juga," pikir
Suto. "Detak jantung menjadi lebih cepat. Tapi... tapi debar-debar ini
membawa kein- dahan tersendiri. Hmmm, keindahan apa ini?!"
Semakin lama debar-debar itu semakin jelas. Se- bentuk kegembiraan yang tak tahu dari
mana asalnya mulai memenuhi ruang hati Pendekar Mabuk. Tentunya yang dirasakan Layunggini juga
begitu. Badan makin terasa panas. Keringat mulai tersum- bui dari pori-
pori tubuh kekar Pendekar
Mabuk. Benak pun ikut dipenuhi bayang- bayangan indah tentang ke- romantisan.
"Celaka! Mengapa hatiku
berdebar-debar seperti orang sedang kasmaran?!" gumam hati Suto.
"Apakah Bibi Layunggini juga begitu?!"
Sambil rnenenteng bumbung
tuaknya, Pendekar Mabuk nekal menyusui Layunggini masuk ke kamar bertirai kain
merah. Tersentak hatinya, makin berdetak kuat jantung manakala kedua matanya
memandang keadaan Layunggini. Perempuan itu melepas kain jubahnya, juga
mengendurkan kain pinjung penutup dada sambil duduk di tepi pembaringan.
Ketika Suto Sinting
menyingkapkan tirai merah dan tersentak dengan suara lirih, Layunggini
memandang dengan senyum aneh.
"Masuklah. Ini kamar
tidurku," ujar Layunggini, tapi Suto Sinting tetap diam di tempat dengan
mata terbelalak. Layunggini menghampirinya, kemudian menggandeng tangan Suto
Sinting untuk mendekati ranjang.
"Aku terpaksa buka jubah,
karena badanku terasa panas sekaii," Layunggini berujar sambil membawa
Suto duduk di pembaringan. Wajah separuh baya yang masih punya nilai kecantikan
sangat matang itu sengaja menghadap ke arah Suto bagai memamerkan senyum naka!,
Kedua matanya yang masih mempunyai buiu lentik itu mulai tampak sayu.
"Kau tampan sekali,
Suto," ujarnya membisik.
"Kenapa jadi begini?'
gumam Suto masih benada heran. la memandang tangannya yang sedang diremas-remas
oleh Layunggini. Remasan tangan itu bagaikan bara api yang mulai terasa
membakar gairahnya. Hasrat untuk bercumbu mulai bergolak, seakan batin menun-
tut kehangatan dan kemesraan untuk menyempurnakan perasaan indah yang menaburi
hatinya.
"Di kamar ini aku selalu
hidup dalam kesepian, Suto. Tapi sekarang rasa-rasanya hidupku mulai terisi
kembali. Entah sampai berapa lama, yang jelas... yang jelas sekarang hatiku
gembira sekali, Suto. Kau tahu apa yang membuatku gembira?"
"Karena kita berdua di
sini?"
"Ya, dan... dan aku
bergairah sekali, Suto. Maukah kau... maukah kau mencium pipiku, Suto?"
Pertanyaan yang bernada desah
diiringi senyum memikat dan pandangan mata sayu menggairahkan itu telah membuat
dada Suto Sinting semakin bergemuruh, Hati kecilnya ingin menolak tawaran
Layunggini, tapi hasratnya semakin memanas dan tak bisa lakukan penolakan
tersebut.
Suto Sinting pun menempelkan
bibirnya di pipi Layunggini setelah sungging senyumnya mekar meng- goda hati.
Kecupan lembut di pipi itu terasa menga- lirkan getaran cinta ke sekujur tubuh Layunggini.
Itulah sebabnya tangan kiri Layunggini meremas paha Suto Sinting dengan lembut.
Tangan itu akhirnya bergerak
merayap naik perlahan-lahan ketika mereka beradu pandangan mata. Gerakan tangan
sampai di pangkuan Suto, menyentuh kehangatan yang menjadi kebanggaanhya. Layunggini meremas kehangatan itu
pelan-pelan.
"Ooooh... sudah lama aku
tak menggenggam ini, Suto. Dan... dan kelihatannya apa yang kau punyai melebihi
apa yang dimiliki mendiang suamiku dulu."
"Bibi mau
memakainya?" bisik Suto Sinting dengan kedua tangan mulai berani merayapi
sekitar leher dan rahang perempuan itu. Kini justru satu tangannya turun dan
menerobos pinjung penutup dada. Suto Sinting menemukan sesuatu yang masih
terasa padat dan sekal di balik pinjung
penutup dada tersebut. la
mengu- sap ujung-ujung bukit itu dengan sentuhan mesra sekali.
Layunggini meresapi sentuhan
itu dengan mata sedikit terpejam. Bibirnya merekah bagai menanti ke- cupan
hangat dari lawannya. Suto Sinting pun mende- katkan wajah, lalu lidahnya bermain
di permukaan bibir tersebut. Layunggini merasa dibuat penasaran, akhir- nya ia
menyambar lidah Suto dan memagutnya dengan lembut sekali.
"Oohhhh...!"
Layunggini mendesah panjang ketika kecupan itu dilepaskan. Gairahhya semakin
berkobar, demikian pula halnya dengan gairah Pendekar Mabuk.
Pemuda itu bagai melambung ke
awang-awang ketika Layunggini menciumi Jehernya dengan kecupan kecil dan sapuan
lidah yang nakal. Jiwa pemuda tampan itu seakan melayang-layang hingga lupa
pada calon istrinya yang bernama Dyah Sariningrum, ratu di negeri Puri Gerbang
Surgawi, di Pulau Serindu.
Pagutan mulut dan sapuan lidah
Layunggini merayap turun menyusuri dada bidangnya Suto Sinting. Kedua tangannya
sempat menyingkapkan baju coklat tanpa lengan itu, sehingga kini Suto telah
bertelanjang dada. Wajah Layunggini mendusal-dusal di sekitar dada kanan-kiri,
membuat gigitan kecil yang memercikkan api asmara berkali- kali.
"Ooh, Bibi... kenapa
begini? Kenapa... kenapa aku tak bisa menahan gairahku yang... yang... ooh,
Bibi...." Suto Sinting membisik makin lirih ketika Layunggini berkstut di
depannya, sementara kain ikat pinggang Suto yang berwarna merah itu sudah
dilepasnya. Sesuatu yang hangat dikeluarkan oleh tangan perempuan itu, lalu
disantapnya dengan lahap sekali. Suto Sinting terbeliak nikmat ketika
pagutan-pagutan mulut Layunggini itu semakin liar. Pemuda itu justru sedikit
merebah- kan badan ke belakang dengan kedua tangan bertumpu di tengah ranjang.
"Ooooh.... Suto, aku...
aku ingin sekali! menikmatinya. Bolehkah kunikmati sendiri, Suto...?"
"Naiklah, Bibi. Duduklah
di pangkuanku. Tapi... lepaskan dulu kainmu
itu."
Mereka tak sadar bahwa minuman
tuak campur Arak Suci itu telah membangkitkan saraf birahi siapa pun yang
meminumnya. Ternyata tuak yang berasal dari bumbung bambu sakti itu tidak boleh
dicampur dengan Arak Suci tersebut. Jika dicampur akan metigu- bah kedua
minuman itu menjadi racun pembakar gairah bercumbu siapa pun peminumnya. Juga,
dapat melam- bungkan jiwa mereka kekhayalan indah tentang percumbuan. Dan jika sudah begitu, siapa pun
peminumnya akan sulit menghindari dorongan bercinta yang berkobar-kobar besar
sekali itu.
Terbukti, seorang pendekar
sakti seperti Suto Sinting pun tak berhasil mengekang dorongan gairahnya,
sehingga ia lupa pada dirinya dan lupa segala-galanya. Yang ada dalam benak dan
hatinya adalah memburu kemesraan bersama lawan jenisnya, tak peduli siapa lawan
jenis yang ada di dekatnya.
"Cepat naik dan lepaskan
kainmu, Bibi...," desak Suto Sinting.
"Oh, ya... harus kulepas
dulu biar lebih indah lagi, oouh... uuh...," suara Layunggini terkesan
gemetar, ge- rakannya terburu-buru, napasnya pun sudah mulai tak teratur.
Tapi tiba-tiba ia mendengar
suara teriakan keras dari si Branjang Hantu.
"Aaaahhhhkkk...!!"
Teriakan keras dan panjang itu
membuat keduanya tersentak kaget dan meloinpat turun dari ranjang ketika kedua
kaki Layunggini ingin menduduki Suto Sinting. Mereka bergegas merapikan pakaian
dan Layunggini lebih dulu melesat keluardari kamar.
"Paman, ada
apa...?!"seru suara Layunggini.
"Ooohk, panas
lagiiiL!" ratap Branjang Hantu terdengar dari kamar. Suto Sinting
menghembuskan na- pas lega. Ternyata hawa panas yang membakar jaring- an tubuh
Branjang Hantu datang kembali dan menyiksa Pak Tua itu.
Pendekar Mabuk yang sudah telanjur
mengenakan pakaian lagi itu segera sadar akan tindakan yang baru saja dilakukan
bersama Layunggini. Rupanya sentakan kaget itu memulihkan kesadarannya yang
telah dibuat mabuk asmara oleh campuran tuak dengan arak tadi.
"Gila! Apa yang hampir
kulakukan tadi bersama Bibi Layunggini?! Ooh... celaka! Hampir saja aku
terjerumus dalam pelukan asmara Bibi Layunggini!"
Pendekar Mabuk buru-buru
menenggak tuaknya sedikit. Tuak itu semakin menenangkan gemuruh hati yang tadi
susut akibat sentakan rasa kagetnya.
Sang bibi kembali ke kamar
dengan wajah masih berkeringat. "Pamanku kambuh lagi!"
"Tuakku tinggal sedikit.
Tak bisa diberi campuran tuak dengan Arak Suci itu. Hampir saja kita terjebak
dalam kobaran asmara akibat minum campuran tuak dengan Arak Suci itu,
Bibi!"
"Yaaah... aku pun baru
menyadari. Tapi... gairahku masih memburu terus,..."
"Minum tuak murniku ini
sedikit saja."
Layunggini se gera menenggak
tuak sakti Pendekar Mabuk. Kobaran hasrat cintanya memang mereda, tapi
celakanya tuak dalam bumbung semakin menipis lagi. Padahal, Branjang Hantu
merintih-rintih memilukan hati
karena penderitaannya. Suto
Sinting tak tega. la harus memberinya minum dengan sisa tuak dalam bumbung
saktinya itu. Tentu saja hai itu akan membuat tuak semakin habis.
*
* *
6
Tabib Sesat tak sabar menunggu
saat terbaik untuk membelah dada Putri Merak dan memakan jantungnya. Ketika ia
mendapat laporan dari Jagaloya tentang kegagalannya merebut kunci Kuil Prana
Dewa, Tabib Sesat memutuskan untuk menjebol pintu ruang suci di kuil keramat
tersebut.
"Dasar bodoh! Kau manusia
tak berguna iagi, Jagaloya! Murid keropos!" geram Tabib Sesat dengan
murkanya akibat kecewa melihat hasil kerja Jagaloya.
"Riandawi ikut campur,
Guru! Dan "
"Dan kau lebih baik
kubunuh daripada dibunuh pihak lawan! Hiah..!" Sreet ! Tongkatdikibaskan
dengan cepat. Jagaloya terkejut sekali,
karena tak menyangka sedikit
pun akan disabet ujung bawah tongkat gurunya. Sabetan itu tidak kenai tubuh
Jagaloya, tapi angin sabetannya mempunyai ketajaman seperti mata pedang.
Jagaloya tak sempat terpekik,
karena tiba-tiba lehernya putus dan kepalanya jatuh menggelinding sebelum
tubuhnya tumbang ke belakang.
"Guru...!" Jagaloya
sempat bersuara serak satu kali, walau kepaianya telah terpisah dari raganya.
Setelah itu ia tak dapat bersuara apa pun dan kedua mata nya se- tengah
terpejam.
Putri Merak ternyata dalam
keadaan terkena pengaruh totokan Tabib Sesat. Darahnya menjadi beku,
urat-uratnya kaku seperti kawat. la seperti mayat mati suri. Tak bisa bergerak
sedikit pun. Bahkan tak mampu mengingatapa-apa.
Tabib Sesat memanggul tubuh
Putri Merak, lalu melesat menuju Kuil Prana Dewa.
"Semakin lama tertunda,
semakin banyak perintangku. Kuil itu harus kujebol dan jantung anak ini harus
segera kumakan di sana! Hik, hik, hik, hik!"
Tabib Sesat menyangka
Layunggini tidak berada di kuil tersebut. Oleh sebab itulah ia memutuskan untuk
segera menjebol pintu kuil. Tetapi ketika ia tiba di pelataran depan kuil
berbenteng batu hitam bening itu,
tiba-tiba langkahnya terhenti
oleh munculnya sekelebat bayangan cepat yang menerjangnya dari samping.
Wees...! Bruuus...!
"Setaaaan...!
Uuhk...!" Tabib Sesat berguling-guling. la merasa diterjang oleh
serombongan banteng yang tak bisa dihindari lagi. Tubuhnya terpental sejauh dua
puluh langkah dari tempatnya diterjang tadi. Putri Merak pun terpental lepas
dari pundaknya, jatuh terbanting sejauh sekitar delapan langkah dari tempat
Tabib Sesat berada.
"Monyet burik!"
geram Tabib Sesat, kemudian ber- gegas bangkit dengan menahan rasa sakit di
sekujur tubuhnya. Ia memandang dengan tajam ke arah orang yang menerjangnya
itu.
"Oo, rupanya kau bisa
sampai sini juga, Rupa Setan!" seru Tabib Sesat dengan murka.
"Seperti kau ketahui
sendiri, Tabib Sesat... biarpun wilayah alam perbatasan ini sangat luas, tapi
toh aku masih mampu menemukan congormu di sini, Tabib Sesat!"
ujarperempuan cantik sekali yang mengenakan jubah hijau dengan penutup dada dan
celana panjang warna kuning itu.
Rupanya diam-diam Tabib Sesat
pernah mendengar percakapan si Rupa Setan dengan tokoh lain yang habis
ditolongnya, sehingga ia tahu bahwa perempuan montok berwajah cantik itu
berjuluk si Rupa Setan dengan nama aslinya Anjardini.
Suara teriakan murka Tabib
Sesat itu terdengar sampai di kediaman Layunggini. Pendekar Mabuk dan
Layunggini segera keluar. Mereka terperanjat melihat Tabib Sesat sudah
berhadapan dengan seorang lawan yang sangat dikenal oleh Pendekar Mabuk.
"Anjardini...!" sapa
Pendekar Mabuk sambil berkelebat cepat mendekati si Rupa Setan.
Zlaaap.J Jleeg...! Pendekar
Mabuk ada di samping kanan Rupa Setan. Perempuan cantik itu terkejut melihat
Suto sudah bukan manusia serigala lagi. Tapi ia tak sempat tanyakan siapa
penyembuhnya, karena Tabib Sesat yang sangat kecewa melihat pemuda tampan itu
ada di tempat tersebut, segera lepaskan serangan bersinar merah menyerupai
tombak panjang. Sinar merah itu keluar dari kepala tongkatnya.
"Binasalah kalian berdua!
Heeaah...!" Cralaap...!
"Awas...!" seru
Anjardini segera melepaskan pukulan bersinar dari telapak tangannya. Sinar yang
keluar dari telapak tangan Anjardini adalah sinar hijau sebesar jeruk peras.
Claap...!
Blegaaaarrr...!!
Ledakan dahsyat terjadi pada
saat sinar merah dan sinar hijau itu saiing bertabrakan di pertengahan jarak.
Alam sekitarnya berguncang hebat. Batu-batu besar menjadi retak, pepohonan pun
sempat ada yang ter- beiah, dahan-dahan patah dan jatuh berdebum di sana- sini.
Mereka yang ada di sekitar tempat itu saiing oleng terhuyung-huyung karena
tanah tempat mereka berpijak diguncang gempa bergelombang- gelombang.
Ketika suasana gaduh itu
menjadi tenang kembali. Pendekar Mabuk sudah berada di dekat Putri Merak. Tabib
Sesat menjadi semakin murka dan khawatir sekali Putri Merak disambar oleh Suto
Sinting.
"Berani menyentuh gadis
itu, kuhancurkan kepalamu dari sini, Bocah Keparat!" sentaknya keras.
Sebuah pukulan jarak jauh tanpa sinar dan tanpa suara di- lepaskan dari tangan
kiri Tabib Sesat. Wees...! Buuhk...!
Suto Sinting tak sempat
menghindar karena cepatnya hawa padat yang mengarah padanya. Walau ia melompat
dengan maksud menghindar, tapi pahanya masih sempat tersambar hawa padat itu,
sehingga tubuhnya terpelanting dan jatuh agak jauh dari Putri Merak. Brruk...!
"Aoow...!" pekik
Suto Sinting yang merasa pahanya bagaikan dihantam dengan sebongkah batu besar.
Rasa memar dan sakit pada tulang memang terasa menjalar di sekujur tubuh, tapi
Pendekar Mabuk tidak peduli. ia segera bangkit dengan terpincang-pinoang.
"Jangan beri kesempatan
dia menggunakan ilmu 'Siksa Abadi'!" suara lantang itu datang dari
Layunggini. Seruan itu membuat Tabib Sesat berpaling ke arah si penjaga kuil
keramat.
Pada saat itulah, si Rupa
Setan mencabut kipasnya lalu kipas itu disentakkan ke depan. Suuut...!
Claap...! Seberkas sinar kuning patah- patah melesat dari ujung kipas itu.
Tabib Sesat baru ingin
bergerak memburu Layunggini, tapi berhubung sinar kuning patah-patah datang ke
arahnya, mau tak mau ia melompat ke atas dan ber- salto satu kali di udara.
Wuuut, wuuk...!
Tepat pada saat itu Pendekar
Mabuk lepaskan jurus 'Jari Guntur'- nya. Des, des...! Gumpalan hawa padat
melesat menuju ke arah putaran tubuh Tabib Sesat. Salah satu sentilan bertenaga
dalam itu tepat kenai mata kaki Tabib Sesat.
Trok...!
"Aaouw...!"
terdengar suara Tabib Sesat terpekik. Tapi segera tertutup suara dentuman
menggelegar akibat sinar kuningnya si Rupa Setan kenai sebatang pohon besar
jauh di seberang sana. Glaaarr...! Pohon itu pecah menjadi potongan-potongan
kayu tak beraturan.
Tabib Sesat turun ke tanah.
Kaki kirinya tak bisa dipakai untuk menapak dengan kekar seperti biasanya.
Rupanya mata kaki kiri itulah yangterkena sentilan 'Jari Guntur'-nya Pendekar
Mabuk dan terasa seperti pecah.
"Keparat kalian semua!
Majulah kalian bersama!" Set, set, wuut...!
Jurus 'Siksa Abadi'
dipergunakan. Suto Sinting tahu, gerakan itu adalah gerakan untuk mengeluarkan
kabut merah sebagai gerakan jurus 'Siksa Abadi'. Tetapi ternyata kabut merah
tak keluar dari tubuh Tabib Sesat. Terpaksa gerakan tadi diulangnya kembali.
Set, set, wuut...!
"Heeah...!" sentak
suara Tabib Sesat, tapi ternyata kabut merah tetap tak bisa keluar dari
tubuhnya. Wajah si Tabib Sesat menjadi tampak tegang. Clingak-clinguk bagaikan
kehilangan sesuatu.
"Jahanam...!" geram
Tabib Sesat dengan menyeringai ganas dan memandang ke arah Pendekar Mabuk.
"Kau telah melumpuhkan
ilmu 'Siksa Abadi'-ku, Bocah Kunyuk! Kini tak ada ampun lagi bagimu,
Keparat!"
Wut, wut, wut, seet...!
Tabib Sesat memainkan jurus
lain dengan gerakan tongkat sangat cepat, lalu tahu-tahu ia sudah berdiri
dengan satu kaki, dan satu kakinya lagi melilit pada tongkat. Kini tongkat itu
berfungsi sebagai pengganti kaki kiri yang terkena sentilan 'Jari Guntur'-nya
Pendekar Mabuk tadi.
Rupanya sentiian 'Jari Guntur'
yang mengenai mata kaki itu telah melumpuhkan kekuatan ilmu 'Siksa Abadi',
sehingga Tabib Sesat tak dapat menggunakannya lagi. Bahkan ketika ia ingin
melarikan diri dengan
cara menghilang seperti yang
dilakukan oleh para tokoh persilatan di dasar bumi itu, ternyata kekuatannya
lenyap dalam sekejap itu pun ikut musnah akibat sentilan mengenai mata kaki
tadi.
Dengan kaki kiri melilit pada
tongkat, Tabib Sesat menerjang Putri Merak dalam gerakan masih secepat cahaya
kilat. Wiiiz...! Tubuhnya yang melayang ke arah Suto Sinting segera dihantam
oleh pukulan jarak jauh- nya si Rupa Setan. Desss...! Tapi hawa padat kiriman
si Rupa Setan berhasil ditangkis dengan kibasan tangan kanan Tabib Sesat yang
juga keluarkan hawa padat menyebar. Wees...! Blaaarrr...!
Pendekar Mabuk melihat gerakan
kaki yang melilit tongkat itu berkelebat menyambar kepaianya. Tubuh Suto
Sinting meliuk ke samping seperti orang mabuk mau tumbang, kemudian segera
tegak kembali dan menggeloyor ke depan seperti mau tersungkur ke tanah, tapi
segera tegak kembali.
Jurus mabuk itu sulit ditembus
serangan kaki Tabib Sesat. Bahkan ketika tubuh Tabib Sesat telah berdiri tegak
di belakang Suto, kaki pendekar tampan itu berkelebat menendang ke belakang
dengan sangat cepat. Weess...! Bluus...!
"Ooh...?!" Pendekar
Mabuk maupun Rupa Setan dan Layunggini terperanjat karena kaki Suto yang
mengenai kepala Tabib Sesat itu seperti menembus bayangan di udara. Kaki itu
tak merasa menyentuh apa- apa. Padahal mereka melihat jelas kaki itu menyambar
kepala Tabib Sesat.
"Hiah...!" Suto
Sinting sentakkan kakinya lagi ke depan dalam satu lompatan pendek. Kaki itu
jelas-jelas mengenai dada Tabib Sesat, tapi Suto Sinting merasa tidak menyentuh
apa-apa. Tendangan itu bagaikan menembus bayang-bayang tanpa sosok nyata.
Beess...!
"Hiaah, hah, hah, hah,
hah!" Tabib Sesat tertawa keras-keras. "Kau tak akan bisa menyentuh
tubuhku jika aku sudah pergunakan ilmu 'Raga Temeram' ini. Hiaah, hahh, hahh,
hahh, haaa!"
Rupa Setan tampak ingin
bergerak maju, tapi Suto Sinting segera berseru, "Tahan!"
Rupa Setan tak jadi bergerak.
"Biar kuhadapi iblis yang
satu ini secara jantan! Aku laki-laki dan dia juga laki-laki!"
"Bangsaaat...!"
bentak Tabib Sesat dengan suara keras. "Aku seorang perempuan,
Tolol!"
"Kau seorang lelaki! Kau
mengenakan pakaian dalam dari baja, karena kelemahanmu ada pada 'burung'
kecilmu itu! Randugara, muridmu itu, telah bicara padaku! Kalau kau tak mau
menyerah, akan kuhancurkan 'burung kutilang'-mu itu, Tabib Sesat!"
"Ooh, jadi dia
lelaki...?!" terdengar suara Layunggini hampir bersamaan dengan Rupa
Setan. Hal itu membuat Tabib Sesat menjadi malu sekali, dan mur- kanya
bertambah besar.
"Gggrrmmmhh...!!" ia
menggeram dengan mata mendelik lebar.
Melihat murka lawannya menjadi
bertambah besar karena malu, Pendekar Mabuk justru berteriak keras- keras
dengan maksud membuat Tabib Sesat menjadi semakin malu lagi.
"Hoiiii... orang-orang
Dasar Bumiii...! Ketahuilah, bahwa Tabib Sesat itu sebenarnya laki-laki yang
me- miliki 'burung' keciiiiil.., sekali! Tabib Sesat sebenarnya adalah seorang
laki-lakiiii...! Seorang laki "
"Heeeaaaaat...!"
Pendekar Mabuk tak merasa rugi
kata-katanya ter- putus. Tapi ia telah berhasil memancmg kemarahan lawannya
yang meluapluap, sehingga ia diserang se- cara membabi buta. Sinar-sinar merah
keluar dari tangan dan tongkat si Tabib Sesat. Serangan itu datang secara
beruntun. Tapi dengan gerakan menggeloyor patah-patah seperti orang mabuk, Suto
Sinting berhasil hindari setiap sinar yang mengarah padanya.
Clap, clap, clap, clap...!
Jegaaaarrr... blaaaarrrrr...!
"Kuhancurkan mulut
bangsatmu itu, Setaaaaan...!!" teriak Tabib Sesat seperti orang kesurupan.
Namun dalam satu kesempatan
bagus, Pendekar Mabuk segera pergunakan jurus yang bernama 'Mabuk Lebur
Gunung'. la menggeloyor seperti mau jatuh, tapi tiba-tiba menyodokkan bumbung
tuaknya ke arah la- wan. Suuut...! Sodokan itu tepat kenal bagian bawah pusar
si Tabib Sesat.
Prrang...! Terdengar seperti
suara logam pecah. Celana serat baja penutup kelemahan Tabib Sesat berhasil
tersodok bumbung tuak walau ia menggunakan jurus ilmu 'Raga Temeram'. Rupanya
ilmu itu hanya bisa
membuat bagian tubuh lainnya
menjadi seperti bayangan, tapi bagian burung kutilang'-nya tidak bisa ikut
seperti bayangan.
Pecahnya celana baja itu
membuat Tabib Sesat terperanjat tegang. Kejap itu pula, Suto Sinting memutar
tubuh sambil duduk di tanah, lalu bumbung tuaknya menyodok lagi ke atas dan
kembali tepat kenai sang 'burung kutilang' itu. Ceprooot...!
"Aaahhhhkk...!"
Tabib Sesat terdongak
kepalanya dengan mata memejam kuat-kuat dan mulutnya ternganga lebar. Kejap
kemudian ia diam bagaikan patung. Sekujur tubuhnya biru legam. Ilmu Raga
Temeram' punah dan sosok tu- buh itu tampak nyata. Rambutnya pun mulai rontok
karena dihembus angin.
Lama-lama kulit kepala itu
terkelupas, kulit tubuh makin hitam seperti hangus. Ketika angin berhembus agak
kencang, tubuh hitam itu tumbang ke tanah. Brruk...! Ternyata ia sudah tak
bernyawa lagi akibat terkena jurus 'Mabuk Lebur Gunung' yang cukup berbahaya
itu.
Nirwana Tria dan Riandawi
datang ketika suasana tegang telah berlalu. Nirwana Tria hanya hembuskan napas
panjang melihat mayat Tabib Sesat.
Sebelum Suto Sinting
tinggalkan alam perbatasan itu, lebih dulu ia sempatkan diri menyembuhkan
Branjang Hantu dan Dewa Tanah dengan sisa tuaknya dan Batu Tembus Jagat.
Ternyata kedua tokoh tua itu ber- hasil disembuhkan dari penderitaan 'Siksa
Abadi'.
Dengan dikawal Nirwana Tria
dan si Rupa Setan, Suto kembali ke alam kehidupan nyata membawa pu lang Putri
Merak. Gadis itu diserahkan kembali kepada Utari, kemudian mereka mengawal
Utari yang bertugas menjaga keselamatan Putri Merak sampai ke Bukit Caraka.
SELESAI