ANGIN mendung berhembus dari
puncak gunung membawa udara dingin. Hembusannya bagai sengaja tercipta untuk
menerpa dua sosok manusia yang saling berhadapan. Satu mengepalkan tangan
dengan kuat, satu lagi merenggangkan jemari tangan dengan keras. Wajah mereka
saling bertatap pandang menyemburkan api permusuhan.
Agaknya mereka sudah sejak
tadi saling berbaku hantam, terbukti dari basahnya tubuh-tubuh mereka oleh
keringat kemarahan. Batu-batu besar di sekitar mereka sudah banyak yang
berhamburan, pecah karena pukulan mereka yang salah sasaran. Bahkan di satu
sisi lereng bukit itu, tampak sebatang pohon yang masih berasap akibat terbakar
oleh suatu pukulan dahsyat bertenaga dalam.
Dari kejauhan orang akan
menduga mereka dua pendekar sakti yang gagah perkasa. Tetapi setelah didekati
ternyata mereka adalah dua perempuan bertubuh sekal dengan sikap dan wajah sama
garangnya. Kedua perempuan itu sama-sama mempunyai dada montok yang bergerak
naik turun akibat napas yang terengah-engah dari suatu pertempuran sengit.
Namun agaknya keduanya masih mencoba bertarung dengan tangan kosong, tanpa
menggunakan senjata andalan mereka masing-masing.
Perempuan yang berambut lurus
sepanjang pundak lebih sedikit itu berkata dengan nada menggeram.
"Kuingatkan sekali lagi,
jangan coba-coba halangi aku kalau kau masih ingin melihat rembulan muncul
petang nanti!"
"Justru aku yang perlu
mengingatkan kamu agar hati- hati menjaga nyawamu, karena sebentar lagi aku tak
segan-segan mencabutnya!"
Perempuan jelita yang berambut
lurus dan mengenakan ikat kepala dari semacam logam emas kecil dengan batuan
merah delima sebesar kacang tanah di tengah dahinya itu, kembali berkata
setelah perdengarkan tawanya yang bernada sumbang.
"Kau pikir mudah
menerjang jurus-jurusku?! Kalau saja aku tak ingin berurusan panjang dengan
perguruanmu, aku sudah merajang habis raga dan nyawamu sejak tadi, Selendang
Kubur!"
Rupanya perempuan yang satu
itu adalah Selendang Kubur, orang Perguruan Merpati Wingit yang sedang terlibat
urusan dengan murid si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk
itu. Dialah perempuan yang sedang dicari-cari oleh Suto Sinting karena
persoalan hilangnya guci kecil yang disebut Pusaka Tuak Setan (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Jika perempuan yang berpakaian
merah dadu dengan selendang putih melilit di pinggangnya itu adalah Selendang
Kubur, lantas siapa perempuan yang berambut lurus dan berpakaian kuning kunyit
itu? Tokoh muda jelita itu ternyata tidak mudah ditumbangkan oleh Selendang
Kubur.
Jelas dia punya ilmu cukup
tinggi juga. Berulang kali dia mampu menghindari pukulan jarak jauhnya
Selendang Kubur. Berulang kali dia sengaja mengadu pukulan tenaga dalamnya
dengan pukulan jarak jauh Selendang Kubur, walau untuk itu ia terpaksa
tersentak ke belakang dan Selendang Kubur pun mengalami hal yang sama.
Tapi tokoh cantik bertahi
lalat di sudut dagunya yang kanan itu bukan orang asing lagi bagi Selendang
Kubur. Beberapa waktu yang silam Selendang Kubur pernah bentrok dengan
perempuan itu. Dan Selendang Kubur masih mengingatnya, bahwa perempuan bermata
mesum itu tak lain adalah Peri Malam, yang konon mempunyai nama asli Sundari.
Dulu mereka terlibat bentrokan
karena seorang pemuda yang bernama Trenggono. Pemuda yang punya mulut setajam
pisau itu telah menyebar fitnah asmara, sehingga Selendang Kubur dan Peri Malam
saling beradu kekuatan ilmunya. Tetapi setelah diketahui bahwa Trenggono
seorang pemuda yang gemar melihat perempuan saling adu kekuatan, maka mereka
berdua segera menyerang Trenggono, dan tubuh pemuda itu hancur di tangan mereka
sendiri.
Tetapi, apakah sekarang mereka
bertarung gara-gara seorang pemuda juga? Termakan fitnah asmara juga?
"Selendang Kubur! Aku tak
punya banyak waktu untuk melayanimu!" seru Peri Malam. "Kalau memang
kau masih punya dendam padaku dengan persoalan masa lalu kita, sebaiknya
sekarang juga kulenyapkan raga dan nyawamu!"
Selendang Kubur cepat menyahut
sebelum Peri Malam melepaskan satu pukulan tenaga dalam yang pasti lebih
berbahaya dari yang sudah-sudah.
"Peri Malam! Urusan kita
kali ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan kita tempo hari! Harap
kau ketahui, kalau kali ini aku terpaksa menghadang langkahmu itu karena aku
ingin memaksamu agar mengembalikan barang curianmu itu kepada pemiliknya! Ini
tidak ada sangkut-pautnya dengan Trenggono!"
Peri Malam kendurkan urat
tangan yang telah mengencang, ia tersenyum sinis bermakna bengis.
"Kau pun harus sadar, apa
yang kulakukan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan pribadimu, Selendang
Kubur!"
"Ada!" sentak
Selendang Kubur.
"Apakah karena asmara kau
melakukannya?!"
"Itu urusanku, kau tak
perlu tahu, Peri Malam!"
"Hi hi hi hi...! Sudah
kuduga, kau menaruh hati pada pemuda itu secara diam-diam! Kau ingin berjasa di
hadapannya! Kau ingin tunjukkan rasa cinta dan kesetiaanmu kepadanya dengan
merebut kembali benda pusaka ini dari tanganku! Tapi ketahuilah, Selendang Kubur,
tanganku tidak akan bisa mekar kembali jika sudah telanjur menggenggam benda
yang kudapatkan! Jangan kau mimpi dapat merebut Pusaka Tuak Setan ini dari
tanganku, Selendang Kubur. Bisa jadi nyawamulah yang menjadi tebusannya!"
"Pikiranku tak akan bisa
berubah, Peri Malam! Sekali aku ingin menghancurkan kepalamu, harus
kulaksanakan secepatnya! Hiaaat..!"
Sentakan mendadak dari tangan
kanan Selendang Kubur membuat kain putih panjangnya berkelebat ke depan. Dari
ujung selendang keluarlah percikan api seperti lidah-lidah petir yang mengarah
ke tubuh Peri Malam. Tak ayal lagi Peri Malam segera melompat ke atas batu di
belakangnya. Wussst..!
Peri Malam berdiri di atas
batu tinggi. Tapi percikan lidah petir itu menghantam batu tersebut. Blarrr...!
Batu itu terhantam sejenak,
kemudian pecah berhamburan pada saat dipakai sentakan kaki Peri Malam yang
meloncat di udara sambil melepaskan pukulan ganda dari jarak jauh. Duub...
dub...!
Pukulan itu membuat Selendang
Kubur terpaksa berguling di tanah untuk menghindarinya. Pukulan ganda itu
mengenai pohon yang berjarak antara delapan tombak di belakang Selendang Kubur.
Dan, pohon itu pun bergetar nyaris tumbang.
Ranting-ranting keringnya
berjatuhan, sebagian daun gugur terbawa angin. Suara gemuruh akibat guncangan
dedaunan membuat hati Selendang Kubur menjadi lebih tegang lagi. Ia bergegas
bangkit ketika Peri Malam sudah berdiri dengan kaki sedikit merentang tegar.
Pada saat itulah, tangan Peri
Malam mengambil sesuatu dari celah gundukan dadanya yang sekal dan tampak
sedikit menonjol mulus pada bagian atasnya. Sesuatu yang diambilnya itu adalah
sebatang bambu berukuran satu jengkal. Bambu itu kecil, sebesar kelingkingnya.
Kemudian, bambu itu dimasukkan sedikit ujungnya ke mulut. Peri Malam sentakkan
napas melalui bambu berlubang itu.
Sluupp...! Zeett...!
Ada sesuatu yang melesat cepat
dari dalam bambu kecil itu. Selendang Kubur menggeragap karena kurang siap.
Sesuatu yang melesat itu amat kecil, tak mudah terlihat. Tetapi dalam sekejap
hati Selendang Kubur berseru,
"Jarum beracun...?!"
Karena ia pernah melihat jarum
itu melesat dari semak dan menancap di leher Pujangga Kramat, pelayan si Gila
Tuak itu. Maka, serta merta Selendang Kubur melompat dan berguling di tanah
menghindari jarum beracun itu. Tetapi alangkah terkejutnya ia setelah tahu,
arah jarum itu membelok dan kembali mengejar ke arahnya. Mau tak mau Selendang
Kubur pun kembali melompat dan berguling di tanah. Ternyata jarum itu
juga ikut membelok bagai
memburu sasarannya.
Peri Malam perdengarkan
tawanya yang mengikik sambil berseru, "Tak akan mampu kau menghindari
jarum iblis-ku,
Selendang Kubur! Ke mana pun
kau lari akan diburunya! Kik kik kik kik...!"
Mau tak mau Selendang Kubur
gunakan ilmu peringan tubuhnya secara penuh. Dalam satu hentakan kaki ia telah
melesat terbang ke atas dan berjungkir balik satu kali untuk mencapai sebuah
batu setinggi tubuhnya sendiri, ia hinggap di atas batu itu. Ia melihat kelebat
jarum iblis itu menuju ke arahnya. Lalu, ia kibaskan selendang dengan cepat.
Wuuttt... !
Blaarrr...!
Ujung selendang menghantam
benda kecil yang amat berbahaya itu. Rupanya benda tersebut punya kekuatan
tenaga dalam yang cukup tinggi, sehingga ketika disabet ujung selendang
menimbulkan ledakan cukup keras. Namun jarum itu pun hancur tak berbentuk lagi.
Mata si Peri Malam terperanjat
melihat jarumnya bisa dihancurkan oleh selendang setipis itu. Maka, ia pun
segera membatin,
"Edan! Selendang itu
mampu menghancurkan jarum iblisku?! Hebat sekali kekuatan selendang itu!
Ternyata ilmu Selendang Kubur sudah jauh lebih maju dari dua tahun sebelum
ini!"
Sisa ledakan itu masih
menggema samar-samar. Gema itu pun segera hilang. Kemudian sunyi tercipta
mencekam di lereng bukit berbatu itu. Kedua sosok perempuan tangguh berdiri
dalam jarak sepuluh pijak.
Mata mereka saling pandang,
mulut mereka saling bungkam. Masing-masing hati mereka berkecamuk memuji
kehebatan ilmu lawan.
Sejurus kemudian, Peri Malam
perdengarkan suaranya yang masih bernada ketus dan bermusuhan.
"Kuakui kau punya jurus
selendang yang cukup lumayan, Selendang Kubur. Tapi itu tidak membuatku kagum.
Tidak pula membuatku jera untuk kemudian menyerahkan benda pusaka ini.
Sebaliknya, justru aku semakin kuat mempertahankannya dan siap mengorbankan
nyawa demi tugas dari guruku!"
"Aku pun siap korbankan
nyawa demi merebut pusaka yang menjadi milik murid si Gila Tuak itu!"
"Bodoh!" ucap Peri
Malam yang segera disusul dengan tawa mengikik pendek. Lalu, katanya lagi.
"Gunakanlah otak sehatmu,
Selendang Kubur. Sekalipun kau korbankan nyawamu untuk merebut Pusaka Tuak
Setan ini, tapi belum tentu murid si Gila Tuak tahu berterima kasih padamu!
Sangkamu dia menaruh hati padamu juga? Hmmm...! Belum tentu!" Peri Malam
mencibir, memuakkan Selendang Kubur. Lanjutnya lagi.
"Ingat, kita pernah
mempertaruhkan nyawa demi seorang pria. Tapi apa nyatanya? Pria itu hanya
mempunyai kebusukan. Dan setiap pria memang tak lebih dari seonggok daging
busuk yang patut dilenyapkan!"
Selendang Kubur hanya
membatin, "Dendamnya kepada lelaki masih membekas di hati, sehingga wajar
dia berkata begitu. Tapi apakah benar pengorbananku ini akan sia-sia di mata
Suto? Apakah benar Suto tidak akan tahu balas budi padaku, walau aku siap mati
untuk merebutkan pusaka yang menjadi hak miliknya itu?"
Renungan itu segera dibuang
jauh, karena kejap berikutnya Selendang Kubur telah melihat Peri Malam
berkelebat dan hinggap di atas gugusan batu yang lebih tinggi dari batu-batu
yang ada di situ. Perempuan berpakaian kuning kunyit itu serukan kata,
"Pertimbangkan langkahmu,
Selendang Kubur. Sudah benarkah kau siap korbankan nyawa untuk lelaki yang mau
membalas cintamu?! Sudah benarkah kamu siap mati untuk sesuatu yang sia-sia
ini? Pertimbangkanlah sebelum kau mengejarku, Selendang Kubur! Jangan kita
menjadi korban laki-laki lagi!"
Setelah berkata begitu, Peri
Malam sentakkan kaki, melesat pergi bagaikan angin senja. Hal itu membuat
Selendang Kubur terkesiap, ia tak mau kehilangan jejak orang yang membawa
Pusaka Tuak Setan. Maka, ia pun sentakkan kaki dan berkelebat pergi mengejar Peri
Malam.
***2***
SETELAH semburkan tuaknya dari
mulut ke bekas luka di leher Pujangga Kramat, pelayan si Gila Tuak itu sedikit
demi sedikit mulai sadarkan diri. Suto sunggingkan senyum lega di hatinya.
"Untung aku tidak
terlambat," pikirnya. "Kalau saja aku sedikit telat muncul dari dasar
telaga itu, pasti nyawa Paman Giri tidak akan tertolong. Racun ini cukup ganas,
sama dengan racun yang masuk ke tubuh Dewi Murka, teman seperguruan Selendang
Kubur itu."
Pakaian Suto masih basah
kuyup, demikian pula rambutnya. Tapi saat Pujangga Kramat, orang yang tidak
bisa bicara dengan bahasa yang benar itu, kejapkan mata lalu melek menyipit,
Suto berhenti kibaskan rambutnya yang basah.
"Apa ada aku?" tanya
Pujangga Kramat yang maksudnya; ada apa dengan diriku.
"Paman habis
tertidur," jawab Suto sengaja tidak mengatakan yang sebenarnya, supaya
Pujangga Kramat tidak menaruh dendam yang penasaran kepada orang yang telah
menyerangnya memakai jarum beracun.
"Benar tertidur aku
apa?"
"Benar, Paman."
"Di mana lalu Guci Pusaka
Setan Tuak itu?"
"Tuak Setan!" Suto
membetulkan kalimatnya.
"Ya. Tuak Setan! Pergi ke
mananya?"
"Ke mana perginya!"
"Ya. Ke mana perginya,
itu Setan, eh... itu Tuak!"
"Entah. Hilang dibawa
orang," jawab Suto kalem, ia membuka bumbung tuak dan menenggak beberapa
teguk.
"Orang siapa yang bawa
itu pusaka?"
"Aku tidak tahu."
Pujangga Kramat kerutkan dahi,
sipitkan mata. Ia renungkan diri bagai ada yang berusaha diingat- ingatnya.
Lama ia termenung sampai akhirnya ia berkata, "Celaka! itu pusaka dicari harus."
"Dicari ke mana? Sudah
telanjur dibawa orang!"
"Perempuan!" sentak
Pujangga Kramat tiba-tiba.
"Apa maksud Paman?"
"Ingat-ingatku, perempuan
ada bersama aku. Di mana tapi dia? Siapa pula perempuan orang itu. Aku ingat
tidak!"
Badannya yang semula pucat
membiru, kini cepat berubah segar. Cara pengobatan dengan semburkan tuak telah
membuat Pujangga Kramat bisa berdiri tegak. Dengan dahi masih berkerut dia
bicara pada Suto yang kenakan bumbung tuak ke punggungnya.
"Itu pusaka cari kamu
harus! Kalau tidak dicari harus, itu gurumu marah harus! Dan kalau dia marah
harus, bahaya harus...."
"Harus, harus...!"
sentak Suto rada jengkel. "Sudah, sekarang Paman pulang ke Jurang Lindung.
Kasih tahu sama Guru, aku sedang mengejar orang yang mencuri Pusaka Tuak
Setan."
"Baik. Kamulah hati-hati,
Suto!" Pujangga Kramat tepuk pundak Suto kasih semangat, "Itu orang
curi yang pusaka, pasti ilmu orang tinggi. Sebab bisa dia rubuhkan aku sekejap
dalam."
"Ya ya ya...!"
potong Suto merasa lelah sendiri mengartikan kata-kata pelayan gurunya.
"Beijuang selamat,
Suto!"
"Ya," jawab Suto
pendek. Kemudian ia segera melesat pergi tinggalkan Pujangga Kramat di tepi
telaga. Orang yang ditinggalkan memandang dengan mata berkedip bingung, karena
Suto telah lenyap begitu saja bagai tertelan bumi. Kalau bukan murid Gila Tuak,
tak mungkin bisa lari sekejap itu.
Ke mana ia harus mencari
Pusaka Tuak Setan, tak tahu dengan pasti. Satu sasaran yang dimiliki Suto
adalah Selendang Kubur. Sebab pada waktu ia titipkan pusaka itu kepada Pujangga
Kramat, dan dia menyelam kembali ke dalam telaga untuk mengambil Cincin Manik
Intan, Selendang Kubur ada bersama Pujangga Kramat, walau jarak mereka tidak
berdekatan (Untuk jelasnya mengenai hal ini baca serial Pendekar Mabuk episode:
"Pusaka Tuak Setan").
Dan begitu Suto muncul di
permukaan sendang, Pujangga Kramat telah terjajar di tanah dalam keadaan tubuh
pucat membiru tak berkutik. Pusaka Tuak Setan tak ada di tangan Pujangga
Kramat. Selendang Kubur hilang dari tepian telaga. Tentu saja Suto mencurigai
Selendang Kubur.
Satu arah yang memungkinkan
bisa bertemu dengan Selendang Kubur adalah menuju perguruannya. Suto menduga
Selendang Kubur pulang ke Perguruan Merpati Wingit. Sewaktu Suto masih kecil,
ia pernah melihat perguruan itu di tengah hutan yang mempunyai sungai
bertanggul tinggi. Di atas tanah tanggul itulah Perguruan Merpati Wingit
berada. Tetapi letak pintu gerbang perguruan tidak menghadap ke arah sungai
berbatu-batu itu. Perguruan itu mempunyai bentuk bangunan yang membelakangi
sungai.
Tiga hari Suto menyusuri
sungai berbatu-batu, sampai akhirnya ia temukan bangunan besar berpagar susunan
batu tembok tinggi. Sebenarnya sangat mudah buat Suto untuk melompat terbang
melintasi pagar tinggi itu dari atas sebuah batu besar di sungai. Tapi ia tidak
mau mendapat penilaian jelek, masuk rumah orang lewat belakang. Maka, Suto pun
segera menuju ke arah pintu gerbang.
Di sana ia dihadang oleh dua
penjaga pintu gerbang. Kedua penjaga itu adalah perempuan berpakaian serba
putih, masing-masing bersenjatakan tombak. Suto melangkah perlahan. Senyumnya
berkembang indah di bibirnya, ia memang tampan.
Hati kedua penjaga perempuan
itu sama-sama mengagumi, sama-sama berdebar menerima senyumannya. Tapi mereka
sama- sama berlagak acuh tak acuh, buang muka dan saling berlagak tak peduli.
Padahal mestinya mereka akan menegur setiap kemunculan orang asing di sekitar
wilayah perguruannya. Tetapi karena hati mereka takut lebih tergoda oleh
ketampanan Suto, keduanya justru tidak menyapa apa pun kepada Suto.
Suto nekat melangkah masuk ke
pintu gerbang itu. Namun tiba-tiba kedua tombak penjaga beradu menyilang di
depan langkah Suto. Kaki pemuda tampan itu diam. Mata memandang ke kiri dan ke
kanan. Kedua penjaga itu bertampang angkuh, berlagak acuh tak acuh dengan
ketampanan pria asing. Suto tahu kepura-puraan itu. Suto tertawa tanpa suara.
Kedua penjaga itu pun tetap acuh tak acuh.
"Bolehkah aku
masuk?" sapa Suto bersikap ramah.
"Tidak!" tanpa
disengaja kedua penjaga itu menjawab serentak.
"Mengapa aku tak boleh
masuk? Aku punya niat baik!"
Penjaga berambut panjang
berkata ketus, "Sebutkan niatmu!"
"Aku ingin bertemu
Selendang Kubur."
Sejurus kedua perempuan itu
saling pandang, lalu kembali bersikap angkuh dan berlagak tegas. Yang berambut
pendek bertanya,
"Ada hubungan apa kau
dengan Selendang Kubur?"
"Teman," jawab Suto
dengan tegas tapi suaranya menawan.
"Teman baik atau teman
jahat?" tanya yang berambut pendek lagi.
"Teman baik."
"Teman jauh atau teman
dekat?" timpal yang berambut panjang.
"Teman dekat."
"Dekat sekali,"
jawab Suto sengaja memancing penasaran.
"Kekasih atau
bukan?"
"Pilih sendiri salah
satu. Aku tak punya banyak waktu. Izinkan aku bertemu dengan Selendang
Kubur."
"Tidak ada!" jawab
yang berambut pendek bernada judes.
"Kalau begitu, aku mau
bertemu dengan gurumu."
"Tidak ada!"
"Harus ada!" desak
Suto.
"Beraninya kau mendesak
kami, hah?" sentak yang berambut panjang berlagak galak, matanya dilebar-
lebarkan biar angker wajahnya. Tapi Suto hanya tersenyum tipis, ia bahkan
membuka tutup bumbung tuak dan menenggaknya beberapa teguk.
Bumbung kembali ditutup dan
diletakkan di punggung.
"Singkirkan tombak
kalian. Biar aku masuk menemui guru kalian!"
"Siapa kamu sebenarnya,
hah?!" bentak si rambut panjang lagi.
"Suto Sinting!"
"Hahh...?!" kedua
perempuan itu terbelalak matanya, namun buru-buru meredupkan kembali. Tak mau
kelihatan kaget. Yang berambut pendek menggumam sambil menatap temannya di
seberang.
"Pendekar
Mabuk...?!"
Suto ganti bertampang angkuh
dibuat-buat. Matanya lurus ke depan, dadanya kian dibusungkan, dagunya sedikit
terangkat naik. Suaranya dibuat lebih tegas berwibawa.
"Buka pintu
gerbang!"
Tanpa menjawab, kedua
perempuan itu berebut membukakan pintu gerbang. Kemudian, Suto melangkah masuk
dengan gagahnya. Pintu gerbang kembali ditutup oleh dua penjaga. Lalu, kedua
perempuan itu sama-sama menghempaskan napas panjang-panjang. Mereka ngos-
ngosan, seperti habis menahan napas beberapa saat lamanya. Mereka sama-sama
bersandar di pinggir pintu kanan kiri dengan badan lemas.
"Tak kusangka...! Tak
kusangka dia murid si Gila Tuak yang belakangan ini dikabarkan sangat tampan
itu," kata si rambut pendek.
"Iya. Aku juga tak
menyangka. Hampir saja mulutku tadi berteriak keras karena kegirangan bisa
bertemu dengan Suto Sinting. Oh, lututku jadi gemetar keduanya."
"Lututku juga. Kepalaku
jadi pusing. Pandangan mataku berkunang-kunang...."
"Apakah karena rasa
kagumku terhadap ketampanannya?"
"Kurasa bukan. Kurasa
mataku berkunang-kunang karena sejak tadi pagi aku belum sarapan. Tapi... tapi
begitu habis melihat Pendekar Mabuk itu, perutku jadi kenyang!" Keduanya
mengikik geli.
Kehadiran Suto Sinting di
Perguruan Merpati Wingit menjadikan suasana menjadi heboh. Kasak-kusuk
terdengar di sana-sini seperti angin pagi menghembus dedaunan rumpun bambu.
Mereka saling membicarakan pria tampan yang melintas menuju ruang pertemuan
yang berbentuk joglo itu. Setiap murid membentuk kelompok kasak-kusuk
sendiri-sendiri.
Bahkan ada yang tertegun diam
bagaikan patung bernyawa dengan mata melotot tak berkedip memandangi Suto
Sinting. Ada pula yang sedang membawa piring berisi makanan sampai jatuh
piringnya tak terasa karena rasa kagum dan terpikatnya hati orang itu kepada
kegagahan dan ketampanan wajah Suto.
Sepuluh orang murid lainnya
yang berseragam hitam- hitam segera mengepung Suto ketika hendak mencapai mulut
joglo. Perintah mengepung itu keluar dari gerakan tangan Dewi Murka yang
memberi isyarat kepung. Rupanya Dewi Murka sudah sampai di perguruan dua hari
sebelum Suto sampai di situ. Rupanya pula Dewi Murka menunjukkan sikap wibawa
dan tegas terhadap sesuatu yang mencurigakan keselamatan perguruannya.
Dua orang murid berpakaian
hitam-hitam itu menepi ke kanan dan ke kiri. Dewi Murka diberi jalan untuk
mendekati Suto dari arah joglo ke pelataran di depannya.
Suto tersenyum kepada
perempuan berpakaian hitam dan bersenjata trisula di pinggangnya. Suto mengenali
perempuan yang bernama Dewi Murka itu, karena dia pernah bertemu saat perempuan
itu mengeroyok Pujangga Kramat, dan saat perempuan itu ditolongnya karena racun
dari jarum penyerang gelap.
Tetapi, Dewi Murka merasa
asing kepada Suto, sebab setelah dia sembuh dari pengaruh racun yang nyaris
merenggut nyawanya itu, ingatannya tentang Suto menjadi hilang. Itulah sebabnya
dia ngotot ingin bertemu dengan si Gila Tuak untuk menyampaikan permintaan maaf
atas sikap Murbawati yang dianggap sebagai orang yang dicurigai (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Karena ingatannya lemah
tentang Suto, Dewi Murka hanya membatin, "Sepertinya aku pernah melihat
orang
tampan ini. Tapi di mana dan
kapan, aku tidak tahu!"
Dewi Murka menyipitkan mata
dalam memandang Suto. Wajahnya dibuat angkuh, supaya tidak diremehkan oleh tamu
asingnya. Bahkan suaranya pun dibuat sedikit ketus berwibawa.
"Sebutkan dirimu dan apa
keperluanmu masuk ke perguruan kami?!"
"Aku mau bertemu dengan
Selendang Kubur," jawab Suto dengan kalem, ia pun sadar bahwa Dewi Murka
telah lupa pada dirinya akibat pengobatan memakai cara sembur tuaknya itu.
Kalau bukan orang dekat dan berilmu tinggi, orang itu akan lupa pada Suto jika
habis diobati memakai pengobatan sembur tuak.
"Siapa dirimu!" Dewi
Murka setengah membentak, karena merasa pertanyaannya hanya dijawab salah satu
saja.
"Aku Suto, Pendekar
Mabuk, murid si Gila Tuak. Jelas?!" tandas Suto berkesan mengejek.
Mulut Dewi Murka terperangah.
Seakan ia baru sadar sedang berhadapan dengan siapa dirinya saat itu. Mendengar
suara Suto menyebutkan namanya, samar- samar ingatannya tentang peristiwa jarum
beracun itu mulai menggerayangi pikirannya. Sejurus kemudian, ingatan itu
kembali sempurna. Apa saja yang dialaminya bersama Selendang Kubur dan Suto
waktu di atas Jurang Lindu itu kembali teringat jelas dalam bayangannya.
Tak heran jika hati Dewi Murka
menjadi berdebar- debar dan membatin.
"O, ya... ! Pemuda ini
yang dulu membuatku penasaran ingin melihat wajahnya. Pemuda ini yang dulu
diceritakan Murbawati tentang ketampanannya. Pemuda ini pula yang dulu pernah
menyembuhkan lukaku dari serangan sebuah jarum beracun. Aduh..., kenapa aku
baru ingat sekarang bahwa aku pernah jatuh rubuh di dadanya? Oh, indah sekali
kala itu. Sekarang pun hatiku berbunga indah berhadapan dengannya. Tapi...
mengapa yang ia cari Selendang Kubur? Mengapa bukan aku? Atau Nyai Guru Betari
Ayu...?!"
Dari satu sudut muncul seorang
perempuan dengan badan selangsing Selendang Kubur, tapi masih agak sekal tubuh
Selendang Kubur. Suto menatap ke arah perempuan itu. Sangkanya perempuan itu
Selendang Kubur. Namun begitu perempuan itu makin mendekat, Suto yakin bahwa
perempuan itu bukan Selendang Kubur.
Tetapi perempuan itu
terperanjat belalakkan matanya. Bahkan saat itu ia berteriak bagai tak sadar.
"Oooh...?! Dia...?! Dia
datang...!"
Perempuan yang kegirangan
namun salah tingkah itu tidak lain adalah Murbawati. Dialah perempuan pertama
dari orang Perguruan Merpati Wingit yang tergila-gila dan penasaran dengan
ketampanan Suto. Tak heran jika ia melonjak dan kehilangan sikapnya sebagai pendekar
perempuan yang dua tingkat di bawah Dewi Murka ilmunya.
"Ssst...!" Dewi
Murka segera mendesis keras memberi peringatan kepada Murbawati yang berucap
kata tak beraturan karena salah tingkah kegirangannya.
Kemudian, dengan tetap
berusaha menenangkan hatinya yang bergemuruh indah, Dewi Murka bertanya,
"Ada apa kau mau bertemu
dengan Selendang Kubur?"
"Ada sesuatu yang ingin
kubicarakan," jawab Suto, sengaja tidak menjelaskan maksud kedatangannya
yang berhubungan dengan hilangnya Pusaka Tuak Setan, supaya hal itu tidak
menyebar ke mana-mana dan menjadi bahan buruan setiap orang.
"Selendang Kubur tidak
ada. Dia belum pulang," kata Dewi Murka.
"Kalau begitu, aku mau
bicara dengan gurumu!"
"Tidak perlu. Cukup kau
bicara padaku!" Dewi Murka semakin memperbesar ketegasannya untuk menutupi
hatinya yang berbunga-bunga saat itu.
"Tak bisa aku bicara
denganmu. Aku perlu bicara dengan ketua perguruan ini!"
"Nyai Guru sedang sakit!
Semua urusan diserahkan padaku!"
Tetapi, tiba-tiba dari arah
belakang Dewi Murka terdengar suara yang lebih bernada tegas dan berwibawa.
"Biarkan dia menemuiku,
Dewi!"
Malu hati Dewi Murka melihat
gurunya sudah ada di belakangnya. Nyai Guru Betari Ayu kelihatan tenang
berkharisma tinggi. Dewi Murka menyisih, membuat pandangan mata Suto ke arah
Betari Ayu menjadi lebih jelas dan lebih langsung lagi. Dalam hati Suto
membatin,
"O, ini guru mereka?
Cantik juga. Tapi tidak sebegitu menarik dengan kecantikan Dyah Sariningrum,
idaman
hatiku itu!"
Betari Ayu memerintahkan
kepada Dewi Murka dan Murbawati untuk membubarkan kepungan. Kemudian ia berkata
kepada Suto Sinting.
"Kalau tidak salah dengar
telingaku, tadi kau mengaku murid si Gila Tuak."
"Benar. Ada sesuatu yang
ingin kubicarakan padamu sebagai ketua perguruan di sini."
"Silakan masuk! Jangan
bicara di pelataran."
"Harus di mana kita
bicara? Di dalam kamar?"
Betari Ayu yang memang ayu itu
tersenyum malu. Ada bunga indah juga yang tumbuh di hatinya. Namun segera ia
memangkasnya, ia melangkah dan diikuti oleh Suto. Dari kejauhan Dewi Murka dan
Murbawati memperhatikan antara curiga, iri, dan terpesona.
Rupanya Betari Ayu mengajak
Suto ke taman di bagian belakang bangunan joglo itu. Rupanya Betari Ayu
membangun taman indah di sana, yang cukup luas untuk ukuran taman pribadi, dan
mempunyai aneka macam bunga warna-warni serta sebuah kolam ikan berpancuran di
bagian tengahnya. Satu hal yang menakjubkan pada taman itu terletak pada kolam
berpancuran airnya.
Air yang mancur dari tengah
kolam itu tidak jatuh kembali ke kolam, namun lenyap bagai berubah menjadi uap
dan terbang terbawa angin. Padahal bentuk air yang memancur itu seperti bunga
terompet yang melengkung pada bagian tepiannya. Mestinya pada bagian lengkung
itu air jatuh ke kolam lagi, tapi ternyata air menghilang lenyap.
Suto tersenyum memandang air
mancur itu. Betari Ayu pun tersenyum bangga, melihat Suto senang melihat air
mancurnya. Karena memang air mancur itulah yang dibanggakan oleh Betari Ayu
jika ada tamu yang diajak ke tamannya. Namun kedatangan tamu ke taman itu belum
tentu lima tahun sekali terjadi. Biasanya Betari Ayu hanya menerima tamunya
sampai di bangsal patemon, sisi samping dari ruang joglo itu. Jika ada seorang
tamu yang diajak bicara di taman tersebut, itu pertanda Betari Ayu menganggap
tamu itu adalah tamu istimewanya. Sejauh mana keistimewaan tamu itu, hanya
Betari Ayu yang bisa mengukurnya.
Di taman rindang bersuasana
teduh itu ada empat bangku marmer putih yang terletak di beberapa sudut. Tapi
Betari Ayu tidak mengajak Suto duduk di salah satu bangku tersebut, ia berjalan
menyusuri tanaman rumpun mawar yang beraneka warnanya sambil mengajak Suto
bicara.
"Aku tak sangka kalau
akan kedatangan tamu agung hari ini," sambil Betari Ayu sunggingkan senyum
dan menatap indah sekilas.
"Aku terpaksa datang
kemari," kata Suto polos-polos saja.
"Bagaimana kabar
gurumu?"
"Sehat-sehat saja. Kau
kenal dengan guruku?"
"Sangat kenal. Hubunganku
dengannya cukup baik. Sayang sekali baru sekarang ini aku mendengar dia punya
murid tampan yang gagah dan menawan."
Betari Ayu menatap sambil
hentikan langkah.
Senyumnya kembali mekar bak
bunga-bunga di taman, termasuk di taman hatinya. Suto pun pamerkan senyum
indahnya. Tapi segera ia meraih bumbung bambu tuaknya dan ia menenggak tuak itu
beberapa teguk, ia lakukan hal itu tanpa malu dan sungkan-sungkan.
"Aku yakin si Gila Tuak
menurunkan semua ilmunya padamu, termasuk kebiasaannya minum tuak dan
mabuk," kata Betari Ayu sambil melangkah lagi dengan santainya. Suto
perdengarkan tawa mirip orang menggumam. Tapi suara tawanya itu cukup lembut
menyentuh hati.
"Aku datang kemari bukan
untuk pamer ilmu, juga bukan untuk jualan tuak," kata Suto. "Aku
ingin bertemu dengan salah satu muridmu yang bernama Selendang Kubur!"
Langkah kaki berbetis indah
itu terhenti. Perempuan berambut panjang dengan ikat kepala tali merah
berbintik-bintik kuning emas itu memandang sedikit heran kepada Suto.
"Apakah kau punya urusan
pribadi dengan Selendang Kubur?"
"Ya," jawab Suto.
"Sangat pribadi?'
"Sangat pribadi."
"Menyangkut cinta?"
"Bukan."
Tampak perempuan berpakaian
biru dengan jubah sutera kuning itu menghela napas dengan lega. Ia bagaikan
terhindar dari satu ketegangan yang menghimpit hatinya sesaat tadi.
"Selendang Kubur belum
pulang sejak ia menyusul Dewi Murka untuk kuutus meminta maaf pada
gurumu."
"Apakah dia pergi ke
suatu tempat?'
"Aku tak bisa pastikan
tempat itu. Mungkin saja dia terpikat seorang lelaki dan pergi bersama lelaki
itu."
"Apakah dia punya
kekasih?'
"Di sini tidak. Tapi di
tempat lain, mungkin saja. Karena dia seorang perempuan cantik yang tentu saja
bisa mempunyai perasaan cinta kepada seorang lelaki. Kurasa kau tahu setiap
perempuan punya perasaan tertarik dan jatuh cinta pada seorang lelaki. Aku bisa
berkata begitu, karena aku pun seorang perempuan yang sama seperti Selendang
Kubur."
"Juga punya kekasih di
tempat lain?"
Senyum sipu mekar di bibir
manis Betari Ayu, yang meski sudah berusia tapi tetap awet muda dan cantik.
Hanya perempuan-perempuan berilmu tinggi yang punya ilmu awet muda dan tetap
cantik. Suto tahu hal itu dari bibi gurunya, Bidadari Jalang.
Betari Ayu memetik setangkai
mawar warna ungu. Sebuah jenis mawar yang langka ada di setiap tempat. Mawar
ungu itu diserahkan kepada Suto sambil perdengarkan kata lirihnya,
"Terimalah...."
Suto tersenyum sambil menerima
setangkai mawar ungu. Ia memandangi bunga itu dengan mengagumi warnanya yang
bagus. Bau harum mawar itu pun terasa lebih lembut dari mawar lainnya.
"Terima kasih, Nyai Guru
Betari Ayu," ucap Suto mengutip nama yang didengar dari kasak-kusuk tadi.
"Tapi apa artinya kau memberikan setangkai mawar ungu itu padaku?"
Betari Ayu alihkan pandang.
Tangannya merapikan letak ranting mawar yang kurang rapi sambil menjawab.
"Sebagai jawaban dari
pertanyaanmu tadi, Suto. Kalau aku menyerahkan setangkai bunga pada seorang
pria, itu berarti aku berkata bahwa aku belum punya kekasih di tempat lain,
maupun di sini. Dan kalau bunga itu berwarna ungu, itu pertanda pernyataanku
sangat jarang kuberikan kepada seorang pria. Karena, auh...!"
Betari Ayu sentakkan tangan.
Jari telunjuknya tertusuk duri mawar. Jari itu berdarah dan Betari Ayu gigitkan
bibir menahan sakitnya.
"Ah, kau kurang
hati-hati, Nyai...," kata Suto seraya raih tangan itu dan menyedot darah
yang keluar dari luka di jari telunjuk Betari Ayu. Perbuatan itu dilakukan Suto
tanpa ragu-ragu. Dan Betari Ayu tak bisa menolak, karena ketika jari itu masuk
ke mulut Suto untuk disedot darahnya, yang timbul hanya rasa nikmat di sekujur
tubuh Betari Ayu. Rasa nikmat itu tak bisa ditahan, sampai akhirnya Betari Ayu
desiskan napas lewat mulut dengan mata terbeliak nikmat. Jantungnya kian
berdetak cepat dicekam rasa nikmat.
* * *
SEMAK belukar di dalam hutan
bagai dihempaskan oleh angin ribut, sementara alam berdiam tenang. Hembusan
angin sepoi-sepoi menghadirkan semilir segar. Tapi dedaunan belukar itu menjadi
rontok dan rubuh bagai dilanda topan sejurus.
Kecepatan seseorang berilmu
tinggi dalam larinya mampu membuat dedaunan gugur. Kecepatan orang yang berlari
ini ternyata masih ditambah lagi kecepatan orang yang mengejar di belakangnya.
Napas-napas terengah berat terdengar jelas. Engahan napas itu berhenti ketika
orang yang berlari cepat tiba di tepian sungai berbatu-batu terjal.
Tubuh kurus bermata cekung
dengan rambut panjang acak-acakan itu akhirnya melompat dengan menggunakan ilmu
peringan tubuhnya. Sungai yang lebar itu dilaluinya dengan sekali bersalto,
hingga di salah satu pucuk batu, melenting lagi dan bersalto kembali, hinggap
di batu yang lain. Begitu seterusnya sampai orang kurus kering berjenggot
kelabu itu tiba di seberang sungai. Sampai di sana tubuhnya rubuh juga karena
kelelahan.
Sementara itu dari tempat
munculnya orang kurus itu muncul juga orang sedikit gemuk, berkumis tebal
dengan cambang tipis. Orang itu bermata kecil agak sipit, namun berkesan
bengis. Dia tak lain adalah Datuk Marah Gadai yang sedang mengejar musuhnya
yang kurus kering itu, tak lain adalah Cadaspati.Dari seberang sungai Datuk
Marah Gadai berseru lantang,
"Cadaspati! Ke mana pun
kau lari pasti akan kukejar dan kudapatkan! Ingat, kau terluka oleh pukulanku
dan tak akan sanggup berlari lebih jauh lagi! Sebaiknya, serahkan saja benda
itu padaku supaya aku bisa menyembuhkan lukamu!"
Cadaspati yang disangka telah
berhasil membawa lari Pusaka Tuak Setan itu hanya menggeram dari tempatnya, ia
mencoba bangkit dengan terhuyung- huyung karena menahan luka. Lalu, ketika ia
melihat Datuk Marah Gadai memetik dua lembar daun jati muda, mata Cadaspati
semakin tegang.
Dua lembar daun jati yang
masih muda itu dilemparkan ke sungai. Datuk Marah Gadai segera menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya, dan melompat ke arah daun itu. Kini dua telapak kakinya
berdiri di atas dua lembar daun jati yang tetap mengambang di air walau mendapat
beban seberat tubuh Datuk Marah Gadai.
"Hiaaat...!" Datuk
Marah Gadai sentakkan kaki kanannya dengan kedua tangan mengeras diangkat ke
atas. Dua lembar daun jati itu meluncur terbang melintasi sungai dengan membawa
tubuh Datuk Marah Gadai di atasnya. Wuusss...!
Melihat lawannya terbang cepat
ke arahnya, Cadaspati mengerahkan sisa tenaganya. Satu tangannya yang tidak
ikut terluka, yaitu tangan kirinya, merapat di ketiak dan telapak tangan itu
menghadap ke depan.
Tangan tersebut dihentakkan
dengan sebuah teriakan.
'"Guntur Colok
Sukma'...!"
Dari telapak tangan itu
meluncur keluar sinar merah membara yang sebenarnya kumpulan dari jarum-jarum
yang menyala bara. Ratusan jarum merah itu melesat ke arah Datuk Marah Gadai.
Secepatnya kaki Datuk Marah Gadai sentakkan diri di atas lembar daun jati, lalu
tubuhnya melenting tinggi dan berjungkir balik di angkasa. Wuugh, wuugh... !
Gerombolan jarum merah itu
melesat menghantam dua lembar daun jati yang telah kosong itu. Daun tersebut
hanya bergerak sedikit, lalu berubah menjadi serpihan-serpihan kering tak
berwarna hijau lagi, melainkan abu-abu.
Ilmu 'Guntur Colok Sukma'
milik Cadaspati melesat dengan sia-sia. Sebab kejap berikutnya tubuh Datuk
Marah Gadai sudah berdiri di depan Cadaspati dengan berangnya. Meski kecil tapi
mata itu memandang setajam pisau cukur, membuat Cadaspati yang menyadari
keadaannya terluka menjadi sedikit waswas.
"Cadaspati!" kata
Datuk Marah Gadai dengan suara geram angker. "Tak akan ada orang yang bisa
menyembuhkan lukamu selain aku. Jadi, sekarang juga serahkan Pusaka Tuak Setan
itu padaku. Kau akan kusembuhkan!"
"Persetan dengan
omonganmu, Datuk Marah Gadai! Berulangkali sudah kukatakan, aku tidak memiliki
pusaka itu!"
"Kau telah menyelam di
dalam Telaga Manik Intan!"
"Aku mandi di sana!"
"Adakah orang mandi tanpa
melepas pakaian?!" senyum sinis Datuk Marah Gadai membuat Cadaspati
menjadi semakin benci. Orang berpakaian abu-abu itu hanya membatin,
"Sial amat nasibku!
Menyelam di telaga mencari sampai lama tapi pusaka itu tidak kudapat. Sekarang
malahan aku dituduh membawa Pusaka Tuak Setan itu! Repotnya lagi, orang kuat
ini tidak mau percaya dengan kata-kataku. Sepertinya aku memang harus bertempur
habis-habisan dengannya untuk membuktikan bahwa aku tidak membawa Pusaka Tuak Setan!"
Maka dari kantong jubahnya di
bagian belakang, Cadaspati pun mengeluarkan senjatanya yang berupa cambuk tiga
lidah.
Cambuk itu terdiri dari tiga
tali satu gagang. Setiap tali mempunyai ujung bersenjata. Dua tali berujung
senjata seperti pisau kecil, satu tali berujung bola besi berduri berukuran
sebesar jeruk peras. Panjang masing-masing tali sama, tapi warna talinya berbeda,
yaitu merah, hitam, dan putih. Cambuk yang bertali putih itulah yang berujung
bola besi baja berduri.
"Datuk Marah Gadai!"
geram Cadaspati dengan mata dinginnya. "Untuk membuktikan kebenaran
kata-kataku, aku siap bertarung denganmu sampai habis nyawaku!"
"Bagus!" kata Datuk
Marah Gadai sambil tersenyum sinis. "Jangan sangka aku takut melihat
cambuk sapimu itu! Buktikan dengan nyawamu bahwa kau memang tidak memiliki
pusaka itu, biar puas hatiku."
"Bersiaplah menerima
kematianmu sendiri, Datuk Busuk!" geram murid Malaikat Tanpa Nyawa yang
telah kehilangan ilmu 'Inti Neraka'-nya itu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Bocah Tanpa Pusar").
Dengan gerakan amat cepat,
tangan kiri yang memegangi cambuk itu melecut ke depan, ke arah tubuh Datuk Marah
Gadai. Satu kali lecutan, tiga cambuk mengeluarkan nyala api yang berbeda-beda.
Nyala api itu memercik dan menimbulkan suara menggelegar bagai hendak
meruntuhkan langit. Blaarrr...! Glegeerrr... !
Tepian sungai berguncang bagai
dilanda gempa sekejap. Bebatuan retak dalam jarak sepuluh langkah dari tempat
lecutan cambuk. Tubuh Datuk Marah Gadai pun terpental ke samping membentur
batu. Lengan kirinya koyak dan berdarah. Bukan karena terkena lecutan cambuk,
melainkan karena robek terkoyak pecahan batu runcing yang dijadikan tempat
benturan tubuhnya.
"Jahanam...!" geram
Datuk Marah Gadai dengan semakin beringas, ia pun segera mencabut pedangnya
yang bersarung logam perak berukir itu. Pedang sepanjang ukuran lengan orang
dewasa itu dihunus dengan gerakan cepat. Srettt...!
Duueerr... !
Lepasnya pedang dari sarungnya
saja sudah menimbulkan suara ledakan menggelegar. Gerakan mencabut pedang itu
menimbulkan gelombang bertenaga dalam cukup dahsyat, sehingga sebongkah batu
berukuran sebesar bocah usia sepuluh tahun itu terlempar ke arah Cadaspati
bersama batu-batu kecil lainnya.
Cambuk tiga lidah dilecutkan
di udara, kilatan cahayanya yang keluar dari masing-masing ujung cambuk
membentur batu yang melayang dan membuat beberapa batu besar itu pecah tanpa
suara. Tinggal bebatuan kecil yang terus melayang dan menghujani tubuh
Cadaspati.
Orang kurus murid Malaikat
Tanpa Nyawa itu terdorong ke belakang beberapa tindak, karena batu-batu itu
rupanya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang lumayan, dan selain menerpa tubuh
juga mendorong tubuh ceking itu dengan satu sentakan beruntun. Tetapi dorongan
itu tidak membuat tubuh kurus Cadaspati menjadi tumbang, ia masih bisa berdiri
dan memandang ke arah pedang Datuk Marah Gadai.
Pedang itu seperti baru
diangkat dari perapian. Berpijar merah membara, dengan disertai bau hangus di
sekelilingnya. Pedang yang menyerupai besi mau ditempa itu segera bergerak
menebas ke arah leher Cadaspati walau masih dalam jarak antara lima langkah.
Tapi sekalipun pedang itu tidak sampai menyentuh tubuh Cadaspati, lelaki
bermata cekung itu berjumpalitan menghindari gelombang panas yang menyerangnya
dengan cepat. Wuuus...
"Ahgh...!" Cadaspati
terpekik tertahan. Kakinya sempat tersapu hawa panas dari kibasan pedang
tersebut. Kaki itu menjadi lembek bagai habis tersiram bubur besi panas.
Cadaspati menyeringai. Kekuatannya semakin berkurang.
"Kau masih tidak mau
menyerahkan pusaka itu, Cadaspati?!" Datuk Marah Gadai mengancam.
"Aku sudah tidak
menganggap berurusan dengan Pusaka Tuak Setan lagi. Aku sudah menganggap
berurusan denganmu karena aku harus menuntut balas luka-lukaku, Bangsat!
Hiaaat...!"
Blaaarrr...!
Kembali tepian sungai
diguncang gempa sekejap, karena cambuk tiga lidah dilecutkan ke arah tubuh
Datuk Marah Gadai. Tubuh itu juga kembali terpental lima tindak ke samping
belakang. Brukkk...! Datuk pun rubuh dengan tangan masih mencoba menopang badan
di atas sebuah batu hitam.
Keadaan Datuk Marah Gadai yang
setengah tengkurap itu membuat Cadaspati mempunyai kesempatan emas untuk
melecutkan cambuknya ke punggung Datuk Marah Gadai, Maka, dengan cepat
Cadaspati lecutkan cambuk itu ke arah punggung dalam satu pekikan membunuh.
"Hiaaaht...!"
Wuuuttt...! Blaarrr...!
Glegaarrr... !
Gemuruh suara gempa di tepian
sungai. Batu-batu pecah dengan sendirinya, karena pada saat cambuk melesat,
Datuk Marah Gadai kibaskan pedangnya ke atas. Tiga cambuk ditangkisnya. Benturan
dua senjata itu menimbulkan gelegar keras yang mengguncang bumi.
Tiga cambuk itu putus seketika
oleh pedang milik Datuk Marah Gadai yang jarang digunakan jika bukan dalam
keadaan sangat terpaksa. Putusnya cambuk tiga lidah itulah yang membuat timbulnya
gemuruh mengguncang bumi.
Tubuh kurus kering itu
terlempar ke atas bagai mendapat sentakan kuat sekali dari dasar bumi. Tubuh
itu melayang dan berusaha mendarat ke tanah dengan kedua kakinya. Tetapi, Datuk
Marah Gadai berteriak keras dan panjang.
"Hiaaat...!"
Ia jejakkan kaki ke tanah, dan
tubuhnya pun melenting tinggi ke arah turunnya tubuh Cadaspati. Dalam keadaan
mengadu raga itu, Datuk Marah Gadai sentakkan pedangnya ke depan. Wuuutttt...!
Crasss...!
"Aaahg...!"
terdengar suara pekik tertahan dari Cadaspati.
Bluukk...! Tubuhnya jatuh ke
tanah seperti nangka busuk jatuh dari atas pohon. Tubuh itu menyala merah
bagaikan terpanggang api yang amat panas. Bekas luka tusukan pedang di dadanya
tampak menganga lebar dan membara. Cairan yang keluar bukan seperti darah,
namun seperti magma gunung berapi.
Tubuh murid Malaikat Tanpa
Nyawa itu tersentak- sentak di tanah tanpa suara. Nyala bara yang bagai
membakar bagian dalam tubuh itu lama-lama meredup. Lalu, hilang sama sekali.
Yang tinggal hanya sisa bangkai tak bernyawa, mengepulkan asap sisa pembakaran.
Namun pakaiannya masih utuh, tak ikut terbakar atau terpanggang api sedikit
pun.
Datuk Marah Gadai berdiri
tegak di samping mayat Cadaspati. Napasnya terengah satu kali. Pedangnya yang
merah membara masih digenggam di tangan kanannya. Kemudian pedang itu segera
dimasukkan ke dalam sarungnya. Sreett...! Wuugh...! Bunyinya cukup
menggidikkan.
Tanp menunggu lama-lama, Datuk
Marah Gadai segera menggeledah pakaian mayat yang hitam berasap itu. Sampai
beberapa saat ia menggeledah, akhirnya menyentakkan makian dengan nada
kemarahan.
"Jahanam busuk! Ternyata
dia tidak mempunyai Pusaka tuak Setan! Babi buntung! Kalau tahu dia benar-
benar tidak membawa Pusaka Tuak Setan, tak sudi aku mengejar-ngejarnya sampai
mencabut pedang pusakaku! Puih...!"
Datuk Marah Gadai berdiri
tegak sambil bertolak pinggang dengan wajah memendam sejuta kekecewaan yang
bercampur kedongkolan hati. Ia memandang sekeliling sambil berkata dalam
batinnya.
"Kalau begitu, Pusaka
Tuak Setan benar-benar masih ada di dalam telaga tersebut. Atau, mungkinkah
sudah diambil oleh murid si Gila Tuak yang masih ingusan itu?! Hmmm... kalau begitu
aku harus mencoba mencarinya di dalam dasar telaga itu. Jika memang tidak
kutemukan Tuak Setan di sana, aku akan memburu murid si Gila Tuak yang konyol
itu!"
Datuk Marah Gadai melirik ke
satu arah. Ada sesuatu yang ia curigai di balik tiga batang pohon pisang di
bagian atas tanggul sungai, ia yakin di sana ada orang. Maka, ia sentakkan
tangannya ke sana, ia kirimkan pukulan jarak jauhnya yang membuat tiga batang
pisang itu jebol dan tumbang berentakan dalam sekejap.
Dari balik tiga batang aisang
yang tumbang itu muncul sesosok tubuh yang melesat dengan lincahnya menghindari
pukulan tadi. Tubuh itu mendaratkan kakinya tak jauh dari Datuk Marah Gadai,
berjarak antara tujuh langkah, ia berpakaian kuning kunyit dan berparas cantik
menarik. Siapa lagi kalau bukan paras cantik milik Peri Malam.
"Rupanya kau yang mau
membokongku dari belakang, Peri Malam!" tuduh Datuk Marah Gadai yang sudah
mengenal perempuan itu.
"Jaga mulutmu,
Datuk!" sentak Peri Malam. "Tak ada watak dalam diri Peri Malam untuk
membokong seseorang dari belakang!"
"Jadi kau minta dari
depan?" sambil senyum nakal Datuk Marah Gadai terlihat jelas. Tapi
mendapat sambutan sinis dari Peri Malam.
"Tua bangka tak tahu
adat!" geram Peri Malam tak takut sedikit pun. Mungkin karena ia tahu,
Datuk Marah Gadai pernah lari terbirit-birit ketika melawan gurunya, jadi sikap
Peri Malam pun menjadi sangat berani pada lelaki yang usianya jauh lebih tua
darinya itu.
"Lantas apa maksudmu
mengintai dari balik pohon itu?"
"Aku hanya ingin tahu apa
yang terjadi di sini, sampai timbulkan guncangan hebat pada bumi. Rupanya kau
sedang pamer ilmu dan kesaktianmu pada tikus ceking ini!"
"Jadi, kau tak ada urusan
apa-apa denganku?"
"Ada baiknya kita
mengurus diri kita masing-masing, Datuk. Itu pun belum tentu kita becus,
apalagi mau mengurus diri orang lain!" kata Peri Malam dengan ketusnya.
"Kalau begitu, aku pun
harus pergi secepatnya, sebelum segalanya menjadi terlambat!" Datuk Marah
Gadai pun menjejakkan kakinya ke tanah dan kejap berikutnya ia telah melesat bersalto
naik dan sampai di tepi tanggul. Kemudian ia melompat hilang tanpa peduli
dengan seruan Peri Malam yang mengecamnya dengan kalimat.
"Tak akan bisa kau
menguasai tanah Jawa, Marah Gadai...!"
Peri Malam mencibir sinis, ia
tahu, bahwa Datuk Marah Gadai sangat bernafsu sekali untuk menjadi penguasa
rimba persilatan di seluruh tanah Jawa. Tetapi Peri Malam yakin, cita-cita
Datuk Marah Gadai itu tak akan berhasil, karena lelaki itu belum bisa mengalahkan
gurunya. Apalagi sebentar lagi Peri Malam akan menyerahkan Pusaka Tuak Setan
kepada gurunya. Sudah pasti semua orang sakti di rimba persilatan tanah Jawa
ini akan disapu habis oleh gurunya dengan kekuatan maha dahsyat yang dinamakan
kekuatan 'Napas Tuak Setan'.
Sebenarnya perempuan berhidung
bangir dengan tahi lalat di sudut dagu kanannya yang membuatnya cantik itu
ingin segera meninggalkan mayat hangus itu. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti
karena tahu-tahu seorang lelaki tua berselempang kain putih dengan rambut
panjang putih meriap, telah berdiri dan menghadang langkahnya.
Orang tua renta berbadan kurus
itu memandang sedih pada mayat Cadaspati, kemudian memandang dendam pada Peri
Malam. Tongkatnya digenggam kuat-kuat ketika ia berkata dengan nada datar.
"Perawan kencur! Cukup
tinggi ilmumu sampai bisa menewaskan adikku Cadaspati!"
Peri Malam kerutkan dahi. Ia
tidak kenal siapa orang itu. Ia tidak tahu, bahwa orang tua berkumis tipis
dengan badan kurus kering itu adalah kakak dari Cadaspati yang bergelar Peramal
Pikun. Peri Malam hanya tahu, bahwa orang yang dihadapannya jelas tokoh tua
yang tidak enteng ilmunya. Namun Peri Malam tidak merasa gentar jika harus
bertarung dengan tokoh tua itu.
"Siapa kau, Bandot?!
Mengapa sikapmu bermusuhan denganku? Tidak tahukah kau bahwa aku adalah murid
si Mawar Hitam yang tersohor itu?!"
"Aku tahu! Aku kenal si
Mawar Hitam yang diam di Pulau Hantu. Dan aku tahu kau adalah muridnya yang
bernama Sundari, yang berjuluk Peri Malam!"
"Bagus kalau kau tahu
semuanya!" kata Peri Malam. "Lalu, apa maksudmu menghadang langkahku.
Bandot Tua?!"
"Menuntut balas kematian
adikku!"
"Buka matamu lebar-lebar,
Bandot Tua! Buka juga telingamu yang kopok itu! Jangan salah kau menuntut balas
atas kematian tikus sawah itu padaku!"
"Jaga mulutmu jika tak
ingin kutumbuk dengan tongkat ini! Hih...!"
Cepat sekali Peramal Pikun
sentakkan ujung tongkatnya ke mulut Peri Malam. Tapi tangan perempuan itu pun
tak kalah cepat kibaskan ke samping untuk menangkis tongkat itu. Trrak...! Terdengar
bunyi bagaikan kayu besi saling beradu.
"Boleh juga kekuatan
tenaga dalamnya, sampai suara tongkatku gemeretak ditangkisnya," batin
Peramal Pikun. "Tangannya sudah terlatih menjadi baja dalam serentak. Tak
sia-sia gadis kencur ini menjadi murid si Mawar Hitam!"
Sementara itu, Peri Malam pun
membatin, "Tinggi juga ilmu tenaga dalamnya. Pasti yang ia salurkan lewat
tongkatnya tadi hanya sebagian kecil. Kalau tidak ada tenaga dalam tersalur di
tongkatnya, pasti tongkat kayu itu telah patah! Tanganku sempat merasakan linu
sedikit di bagian pergelangannya."
Peramal Pikun masih tetap
memandang dingin dengan wajahnya yang biasanya cengar-cengir menjadi bengis.
Itu pasti disebabkan hatinya berkabung atas kematian adiknya. Bahkan dengan
datar pula ia berkata kepada Peri Malam.
"Jangan kau mengelak dari
tuntutan dendamku, Peri Malam! Hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa. Hutang
darah dibalas dengan darah. Tak ada sempat lagi untuk tertawa, karena sebentar
lagi nyawa dan ragamu
akan terpisah."
Kata-kata itu disepelekan oleh
Peri Malam. Bibir manis itu mencibir, bikin hati Peramal Pikun makin getir.
"Jangan bikin persoalan
denganku, kalau raga tuamu tak ingin dipatah-patahkan oleh guruku!"
Genggaman tangan Peramal Pikun
pada tongkatnya semakin kuat dan gemetar, ia pun menggeram,
"Persetan dengan gurumu!
Kalau perlu kutumbuk lumat sekalian dengan tongkatku, hiaah...!"
Wuusss...! Tongkat dikibaskan
menghantam kepala Peri Malam. Tapi dengan cepat perempuan itu tundukkan kepala.
Tongkat menebas udara bebas.
Peri Malam segera hantamkan tangannya ke wajah Peramal Pikun.
Taapp...! Pukulan menggenggam
yang dialiri tenaga dalam oleh Peri Malam itu ditahan dengan telapak tangan
Peramal Pikun. Telapak tangan itu akan patah jika tanpa dialiri tenaga dalam
yang cukup tinggi.
Satu tangan Peramal Pikun yang
memegang tongkat siap menyodokkan tongkatnya ke perut Peri Malam. Tapi
tiba-tiba sekelebat bayangan coklat menerabas di pertengahan kedua tangan yang
saling beradu kekuatan tenaga dalam itu. Prasss...!
Kedua orang tersebut terjengkang
ke belakang bagai sama-sama habis diseruduk kerbau liar. Mereka sama- sama
bergegas bangkit dan siap saling adu tenaga dalam lagi. Tapi sebuah suara
berseru dari sisi samping mereka.
"Tahan!"
Keduanya saling palingkan
wajah memandang pemuda berpakaian coklat itu. Peri Malam terperanjat, namun
cepat sembunyikan rasa kaget. Peramal Pikun menyipitkan mata dan berkata,
"Lagi-lagi kamu mau ikut campur urusanku, Suto!"
Suto Sinting tersenyum
menyeringai, lalu berkata, "Mana imbang, tokoh tua seperti kamu melawan
dara cantik macam dia, Peramal Pikun?!"
"Peduli apa dengan
cantiknya dia! Aku harus menuntut balas atas kematian adikku di tangan dia,
Suto!"
Peri Malam menukas kata,
"Bukan aku pembunuhnya!"
"Kalau bukan kau, siapa?!
Yang ada di sini hanya kau dan mayat adikku!" sentak Peramal Pikun.
"Datuk Marah Gadai yang
membunuh adikmu, Bandot Tua! Aku hanya menjadi penonton saja! Dia pergi ke
selatan sebelum kau datang dari utara!" suara Peri Malam terdengar lantang
juga.
"Nah, kau dengar sendiri,
Peramal Pikun!" kata Suto.
Peramal Pikun agak sangsi, ia
masih menatap tajam pada Peri Malam. Lalu, ia perdengarkan suaranya yang
kembali datar.
"Jangan kau coba-coba
mengelabui pikiranku, Peri Malam!"
"Bangunkan mayat adikmu,
dan tanyalah sendiri padanya!"
Setelah berkata begitu, Peri
Malam sentakkan kaki. Tubuhnya melesat tinggi dan bersalto satu kali. Dalam
kejap berikutnya dia sudah ada di atas tanggul sungai, kemudian melesat pergi
dengan satu lompatan bertenaga dalam yang membuatnya cepat menghilang dari
pandangan mata Peramal Pikun maupun Suto Sinting.
Setelah meneguk tuaknya dua
kali, Suto pun berkata,
"Kurasa apa yang
dikatakan memang benar, Peramal Pikun! Bukankah Datuk Marah Gadai sejak dari
tepi telaga sudah mengejar adikmu yang kini jadi bangkai ini? Aku yakin bukan
perempuan itu yang membunuh adikmu, Peramal Pikun."
"Kalau begitu, akan
kucari Datuk Marah Gadai untuk bikin perhitungan pribadi denganku!"
"Terserah kau, Peramal
Pikun. Tapi tolong jelaskan padaku, siapa perempuan beringas tadi, Peramal
Pikun? Kau pasti mengenalnya."
"Peri Malam," jawab
Peramal Pikun. "Dia murid nenek peot yang bergelar si Mawar Hitam, yang
menguasai Pulau Hantu. Dia tokoh tua yang sedang menunggu saat terbaik untuk
membalas dendam dengan musuh bebuyutannya yang bergelar Bidadari Jalang."
Suto terperanjat sekejap. Tapi
ia bisa lekas tenangkan diri begitu mendengar nama bibi gurunya disebutkan.
"Mengapa ia bermusuhan
dengan Bidadari Jalang?" tanya Suto dengan rasa ingin tahu.
"Bidadari Jalang melukai
hati si Mawar Hitam semasa nenek itu masih muda dan jelita. Suami dari Mawar
Hitam yang berjuluk Pendekar Tanduk Dewa direbut oleh Bidadari Jalang.
Perkawinan itu menjadi hancur karena ulah Bidadari Jalang. Itu sebabnya,
Mawar Hitam punya dendam pada
Bidadari Jalang. Tapi dendam itu tidak pernah kesampaian, karena ilmu yang
dimiliki Bidadari Jalang cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding ilmu Mawar
Hitam. Maka, Mawar Hitam pun menyingkirkan diri dari rimba persilatan, ia hanya
akan muncul lagi jika sudah mendapatkan kesaktian yang bisa menandingi Bidadari
Jalang."
"Lalu, bagaimana dengan
Pendekar Tanduk Dewa itu?"
"Dia patah hati, merasa
dipermainkan cintanya oleh Bidadari Jalang, ia sudah tak mau lagi kembali pada
Mawar Hitam, ia mengasingkan diri di Gunung Tujuh Batu, sampai sekarang tak
pernah lagi muncul di permukaan bumi."
Suto manggut-manggut
mendengarkan penjelasan itu. Semakin hari semakin banyak yang ia tahu tentang
kejelekan bibi gurunya, yang pada umumnya bertitik tolak dari masalah cinta dan
lelaki. Bahkan ia pun tahu bahwa bibi gurunya itu punya urusan dengan Nyai Guru
Betari Ayu yang pernah menceritakan penyakitnya dan mendendam kepada Bidadari
Jalang. Betari Ayu menyebut bibi gurunya Suto dengan julukan Racun Biadab! Tapi
Suto tetap berlagak tidak tahu menahu tentang Bidadari Jalang.
"Suto, tak ada waktu lagi
bagiku untuk berbincang- bincang denganmu. Aku harus mengejar Datuk Marah
Gadai!"
"Tunggu sebentar, Peramal
Pikun...!" cegah Suto. "Aku tahu kau pandai meramal dengan bekal
pengetahuan dan pengalamanmu yang banyak. Tapi bisakah kau mengetahui siapa
perempuan yang bernama Dyah Sariningrum itu?"
Peramal Pikun sentakkan mata,
jadi melebar tegas. Wajahnya yang tampak terkejut itu tiba-tiba segera
mengendur dan berkata, "Aku tidak tahu siapa dia!"
Suto tersenyum. "Aku tahu
kau dusta padaku, Peramal Pikun. Tolong sebutkan di mana orang yang bernama
Dyah Sariningrum itu berada, Peramal Pikun!"
Wajah tua itu tampak
menggeragap, walaupun pada akhirnya ia bersikap tenang dan berkata,
"Aku tak kenal nama
perempuan itu. Aku tak tahu di mana dia berada. Jangan tanyakan padaku,
Suto!"
"Tapi mengapa telingamu
berdarah!"
Peramal Pikun semakin kaget,
ia pegang telinganya. Ternyata dari lubang telinganya itu mengalir darah kental
yang segar. Tak begitu banyak, tapi cukup membuat wajahnya makin pucat. Ada
rasa takut yang bersembunyi di balik wajah tuanya itu. Peramal Pikun pun segera
berkata, "Sekali waktu kita akan bertemu, Suto!"
Setelah berkata begitu,
Peramal Pikun melompat ke atas tanggul sungai melalui pijakan batu di
sampingnya. Sebelum Suto bicara lagi, Peramal Pikun lenyapkan diri dalam
pengejarannya terhadap Datuk Marah Gadai.
Suto hanya membatin, "Apa
sebab telinga Peramal Pikun berdarah? Apakah ia mendapat serangan tenaga dalam
dari seseorang yang bersembunyi di sekitar sini? Tapi menurut inderaku, tak ada
orang di sekitar sini.
Hmmm... aku yakin, Peramal
Pikun tahu persis siapa dan di mana Dyah Sariningrum itu. Haruskah aku
mendesaknya? Oh, tidak! Aku tidak perlu mengejarnya dulu. Aku lebih tertarik
mengejar Peri Malam yang cantik dan berdada sekal itu. Tapi... untuk apa aku
mengejarnya? Hanya sekadar menggoda kecantikannya atau ingin bersahabat
dengannya? Ah, tak tahu aku,
kenapa aku ingin
mengejarnya!"
***4***
GEMURUH ombak di Pantai Karang
Saru terdengar bagai nyanyian pagi. Dinamakan Pantai Karang Saru, karena di
sana ada tebing karang yang memiliki gua dengan lubang mulut yang memanjang ke
atas. Di samping lubang mulut gua itu ditumbuhi lumut-lumut hijau kehitaman.
Lumut itu tumbuh hanya di tepian mulut gua, sedang di tempat lain tidak
terdapat lumut sedikit pun. Itulah sebabnya pantai itu dikenal dengan nama
Pantai Karang Saru, alias karang kotor.
Di salah satu celah
karang-karang tak jauh dari mulut gua itu, sebuah perahu telah disembunyikan
beberapa waktu lamanya, dan ditutup dengan belarak pelepah daun kelapa. Menilik
keadaan perahu yang disembunyikan sebegitu rupa, pastilah seseorang telah
menyiapkan perahu itu untuk suatu keperluan penting.
Sebelum matahari sempat
meninggi, belarak daun kelapa itu disingkirkan oleh sepasang tangan berjari
lentik dan berkulit sawo matang. Tangan itu milik seorang perempuan berambut lurus
yang dililit rantai emas dengan batu merah delima dibagian keningnya. Siapa
lagi perempuan yang bertahi lalat di dagu kanannya kalau bukan Peri Malam,
murid nenek keriput yang berjuluk Mawar Hitam.
Gerakan tangan menyingkirkan
daun kelapa penutup perahu itu tampak cepat, menandakan Peri Malam harus
terburu-buru melakukan hal itu. Pandangan matanya yang sedikit nanar menandakan
ada cemas yang tersimpan di hati Peri Malam.
"Memang sinting pemuda
itu," katanya dalam hati. "Begitu kutatap dia punya mata, jantungku
terasa terhenti sekejap. Pantas jika Selendang Kubur mempertaruhkan nyawa untuk
merebutkan Pusaka Tuak Setan ini. Rasa-rasanya memang tak rugi mati untuk pria
setampan itu. Bukan hanya tampan saja, tapi juga mempunyai daya tarik yang bisa
bikin hatiku kembali tertarik pada seorang lelaki. Sejak tadi aku berusaha
melupakannya, tapi tak pernah bisa."
Rupanya itu pula yang membuat
hati murid Mawar Hitam menjadi gelisah. Kecemasan yang hadir menggelisahkan
hati bukan karena rasa takut disusul oleh Selendang Kubur atau Peramal Pikun,
tapi takut jumpa lagi dengan pemuda berpakaian coklat tampan itu.
Maka, perahu pun segera
didorongnya memasuki perairan laut yang saat itu dalam keadaan surut. Dengan
satu kekuatan dari dalam, Peri Malam berhasil mendorong perahu itu seperti
mendorong sebatang pelepah daun pisang.
Begitu perahu mulai meluncur
di permukaan air laut yang bergelombang tak terlalu besar itu, Peri Malam
segera lompatkan diri ke dalamnya. Dalam satu kali sentakan kaki, ia sudah
berhasil berada di dalam perahu dan segera raih kayu pendayung.
Sempat pula Peri Malam
membatin, "Kalau debaran hati ini semakin parah, aku akan minta izin
kepada Guru untuk temui pemuda itu lagi. Kalau tuntutan indah di jiwaku semakin
tinggi, aku akan culik pemuda itu untuk kubawa lari ke Pulau Hantu. Kurasa Guru
akan izinkan hal itu sebagai hadiah dari keberhasilanku mencarikan Pusaka Tuak
Setan ini untuk beliau."
Peri Malam segera dayungkan
perahunya. Cepat- cepat tangannya mendayung seakan ingin segera sampai pada sang
Guru dan segera mintakan izin rencananya itu. Dalam waktu singkat perahu itu
sudah mencapai kejauhan, sudah tinggalkan pantai lewat dari lima puluh tombak.
Namun gerakan tangan Peri Malam masih tetap cepat dalam mendayung, seakan tak
mau lambat sedikit pun.
Untuk hindarkan sorot matahari
yang terasa menyengat kulit, Peri Malam mengambil tempat membelakangi pantai
dalam duduknya. Itu sebabnya Peri Malam tidak menyadari kalau gerakan perahunya
makin lama semakin mendekati pantai, bukan semakin menjauh. Ketika Peri Malam
tengokkan kepala ke belakang, ia terperanjat heran melihat perahu bukan
berjalan maju, tapi berjalan
mundur.
"Sial! Perahu ini semakin
mengikuti alunan ombak. Terlalu ringannya perahu ini, sampai sang ombak dengan
mudah menahan dayungku dan mengalunkan perahuku makin ke tepian. Harusnya
perahu ini jangan dibuat dari kayu kapuk randu, biar tak terlalu ringan dan
terlalu mudah dipermainkan ombak!"
Peri Malam ambil satu dayung
lagi. Dayung kedua dimasukkan ke dalam kolong besi di tepian perahu. Dengan
cara begitu, ia dapat dayungkan perahu dengan gunakan dua dayung kanan-kiri.
Gerakannya tambah dipercepat. Peri Malam kerahkan tenaga buat membawa pergi
perahunya. Tapi perahu bergerak makin dekati pantai.
"Apakah gerakan dayungku
salah?" pikir Peri Malam. "Kurasa tidak salah. Justru kalau kubalik
gerakannya, perahu ini akan melaju mundur."
Lebih cepat lagi Peri Malam
gerakkan tangannya untuk mendayung, lebih cepat juga perahunya menuju ke tepian
pantai. Sampai satu kejap berikutnya, terdengar suara, kraakkk...! Dayung kanan
membentur batuan karang di dalam air. Dayung itu menjadi patah. Ini menandakan
bahwa perahu mulai mencapai tempat dangkal. Peri Malam palingkan wajah ke
belakang, ternyata pasir pantai tinggal beberapa langkah dari perahunya.
"Konyol!" sentak
Peri Malam keras, ia marah pada perahunya sendiri. Peri Malam segera bangkit
dan melompat turun.
Perahunya ditarik ke tepian
sambil menggerutu, "Kurasa aku harus menunggu air pasang dulu dan arah
angin menuju ke barat. Jika arah angin menuju barat, maka gelombang ombak akan
mendorong perahuku ke arah barat pula."
Perahu kembali dimasukkan di
celah bebatuan karang. Talinya ditambatkan di salah satu bebatuan yang agak
meruncing.
Peri Malam pun segera pergi ke
bawah sebuah pohon mahoni yang berdaun rindang. Di sana ada jajaran batu yang
enak untuk duduk dan beristirahat.
"Haus sekali aku,"
pikirnya sebelum mencapai bawah pohon rindang itu. Peri Malam dongakkan kepala
memandang buah kelapa hijau yang ada di pucuk pohon. Kejap berikutnya ia dekati
pohon kelapa itu dan dengan pejamkan mata sejenak, Peri Malam hantamkan
tangannya memakai pangkal pergelangan tangan ke pohon itu. Duugg...!
Maka satu buah kelapa yang
dipilihnya dari bawah itu meluncur jatuh dari atas pohon. Peri Malam senyumkan
bibirnya sambil memandang jatuhnya buah kelapa itu.
Kejap berikut ia terperanjat
karena buah kelapa itu pecah di udara sebelum mencapai tanah. Praak...! Airnya
muncrat ke mana-mana, serabut dan tempurungnya pun terpental tak tentu arah.
Cepat-cepat Peri Malam palingkan
wajah dengan mata nanar. Pandangannya menyapu sekeliling sambil ia membatin,
"Rupanya ada orang usil
ingin menggangguku. Hmm... tahu aku sekarang. Gerakan perahuku yang mundur ke
pantai pasti bukan karena gerakan ombak, tapi karena ada yang sengaja
menariknya dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi. Bedebah! Siapa orang
yang berani betul mempermainkanku?"
Peri Malam kembali hantam
pohon kelapa untuk memancing persembunyian orang yang memecahkan kelapa saat
buah itu melayang turun. Tapi kali ini buah kelapa segar itu tidak pecah di
udara. Buah kelapa segar itu tetap meluncur ke bawah dan jatuh ke tanah berpasir.
Bluukkk... !
Peri Malam kerutkan dahinya.
Aneh melihat kelapa tak lagi pecah di udara. Segera ia dekati kelapa itu. Saat
Peri Malam mau ambil kelapa itu, tiba-tiba benda tersebut bergerak
menggelinding dengan cepat. Gerakan itu diikuti oleh pandangan mata. Ternyata
kelapa tersebut berhenti karena terhadang satu kaki yang cepat menginjaknya.
Taapp... !
Peri Malam pandangkan matanya
mengikuti kaki itu. Sedikit demi sedikit ia naikkan pandangan mata dari betis
sampai ke paha, naik ke perut, naik ke dada, dan akhirnya Peri Malam temukan
seraut wajah lelaki di sana.
Melihat wajah pemuda berhidung
bangir dan beralis sedikit tebal itu, Peri Malam segera desiskan suara.
"Dia lagi...!"
Pemuda berpakaian serba hitam
dengan ikat pinggang hitam berukuran besar itu masih sunggingkan senyumnya yang
cukup menawan. Mata pemuda berikat kepala kuning dan rambut sedikit panjang itu
menatap dengan lembut wajah Peri Malam. Di pinggang pemuda itu terselip senjata
berupa kapak dengan dua mata kanan- kiri. Kapak itu mempunyai bagian ujung yang
runcing berupa mata tombak. Gagang kapak itu tidak panjang, kira-kira hanya
berukuran dua jengkal tangan dewasa. Peri Malam kenali kapak itu sebagai pusaka
si pemuda yang konon bernama Kapak Kebo Geni.
"Kita jumpa lagi, Peri
Malam," ucap pemuda itu sambil memungut kelapa yang tadi diinjaknya.
"Rupanya kaulah orangnya
yang sejak tadi menggangguku, Dirgo!"
"Benar. Karena aku ingin
bicara denganmu, Peri Malam."
"Mengapa harus menahanku
di pantai ini? Kau bisa datang ke Pulau Hantu dan bicara denganku di sana,
Dirgo Mukti."
Pemuda itu menggeleng sambil
mendekat. Tiga tindak sebelum sampai di tempat Peri Malam berdiri, Dirgo Mukti
hentikan langkahnya.
"Kalau aku datang ke
Pulau Hantu, sama saja aku melanggar larangan dari guruku. Aku tak berani
melanggar larangan Guru. Jadi aku selalu tunggu kemunculanmu di Pantai Karang
Saru ini. Sebab di sinilah aku jadi penguasa. Pantai Karang Saru adalah wilayah
kekuasaanku, Peri Malam. Siapa pun orangnya yang melewati daerah ini harus
berurusan denganku, tapi bukan berarti harus mengadakan pertarungan
denganku."
Kalau tidak ingat larangan
gurunya juga, Peri Malam sudah labrak pemuda itu dengan garangnya. Sayang
sekali Mawar Hitam pernah wanti-wanti agar Peri Malam jauhi Dirgo Mukti yang
bergelar Manusia Sontoloyo itu. Peri Malam tidak boleh bikin bentrokan dengan
Manusia Sontoloyo. Apa alasan sang Guru mengeluarkan larangan itu, sampai saat
terakhir Peri Malam berangkat, tak pernah ada jawaban yang pasti.
Dirgo Mukti masih sunggingkan
senyum manis bagai seorang lelaki berwajah bersih itu. Buah kelapa hijau yang
segar tetap ada di tangannya. Dengan gerakan cepat, Dirgo Mukti tusukkan jari
telunjuknya ke permukaan kulit kelapa beraerabut tebal itu. Cruuss...! Dalam
satu sentakan jari menusuk, kelapa itu telah berlubang dan bisa dipakai untuk
mengeluarkan air di dalam kelapa tersebut. Dirgo Mukti pun segera serahkan
kelapa kepada Peri Malam.
Peri Malam terima kelapa itu
dengan wajah sinis dan hati muak. Kejap berikutnya, Peri Malam menenggak habis
air kelapa muda itu. Saat kepalanya mendongak ke atas untuk menerima curahan
air kelapa, mata Dirgo Mukti memperhatikan bentuk leher yang tampak halus dan
bersih tanpa luka sedikit pun. Ia tersenyum, ingin mencium leher Peri Malam.
Tapi saat ia bergerak setindak, Peri Malam segera hentikan gerakan meminum.
Cepat ia memandang Dirgo Mukti dengan sorot pandangan mata yang tidak
bersahabat.
"Cantik sekali kau, Peri
Malam!" kata Dirgo Mukti pelan.
"Aku tak butuh
rayuanmu," ketus Peri Malam.
Dirgo Mukti tertawa agak
keras. "Suatu saat kau akan membutuhkannya, Peri Malam. Kau wanita yang
punya gairah. Jadi kapan saja kau bisa punya kebutuhan cinta. Dan akulah
satu-satunya orang yang siap melayani cintamu nantinya, Peri Malam."
Makin muak hati Peri Malam.
Terasa perut mual dan ingin muntah mendengar ucapan Dirgo Mukti. Dia sendiri
merasa aneh, mengapa dia tak bisa tertarik dengan pemuda yang cukup tampan dan
gagah itu. Hatinya seperti gunung es yang sulit mencair oleh rayuan atau sikap
Manusia Sontoloyo itu.
Malah ingin rasanya Peri Malam
menghajar habis mulut pemuda itu. Ingin rasanya ia mengadu ilmu dan kesaktian
dengan Dirgo Mukti. Tapi pesan dari gurunya membuat ia takut melakukan
pelanggaran. Pernah ia mendesak gurunya untuk minta diizinkan menyerang Dirgo
Mukti, tapi sang Guru tetap tidak mengizinkan.
"Apakah Dirgo Mukti lebih
sakti dariku, Guru?" tanya Peri Malam waktu itu. Sang Guru menjawab,
"Mungkin sama kuatnya kau
dengan dia. Tapi bukan itu yang jadi masalah. Jika kau berselisih dengan Dilgo,
maka dunia akan kembali dilanda gegel besal," kata Mawar Hitam yang cadel.
"Tapi aku muak sekali
dengan keusilannya, Guru. Aku ingin sekali menghajar mulutnya yang selalu
bicara memuakkan!"
"Jangan. Kalau kamu
ketemu dia, hindali saja dia. Jangan sampai kamu teljadi bentlok sama
dia."
"Izinkan aku menghajarnya
satu kali saja, Guru. Satu kali saja!"
"Tidak. Ada saatnya kalau
toh telpaksa halus bentlok sama dia. Tapi... sebaiknya jangan. Usahakan jauhi
Dilgo dan jangan ada pelselisihan sama dia!"
Geram hati Peri Malam bila
ingat larangan itu. Apa lagi sekarang Dirgo Mukti semakin usil, mulai berani
mau memegang pundak Peri Malam. Cepat-cepat Peri Malam kibaskan tangan menampik
pergelangan tangan Dirgo Mukti. Sebenarnya ia bisa menghindari saja, tapi untuk
melampiaskan perasaan dongkolnya yang sudah lama terpendam, ia sengaja tepiskan
tangan Dirgo Mukti dengan satu sentakan keras. Tulang lengan beradu dengan
pergelangan tangan Dirgo. Trakkk...! Sama-sama keras bagai dua besi baja saling
beradu.
"Jangan coba-coba
bertindak lebih konyol lagi, Dirgo!" sentak Peri Malam dengan mata menatap
tajam, penuh sinar permusuhan.
"Sesungguhnya mulai hari
ini kau tak bisa lepas lagi dariku, Peri Malam," kata Dirgo Mukti dengan
mata menahan kejengkelan hati.
"Apa maksudmu,
hah?!" sentak Peri Malam.
"Hari ini juga kau harus
kumiliki, Peri Malam. Aku tak sanggup lagi berjauhan denganmu."
"Cuih...!" Peri
Malam meludahi wajah Dirgo Mukti. Tapi ludah itu sebelum sampai tempatnya sudah
membalik dan mengenai wajah Peri Malam sendiri. Makin geram kemarahan Peri
Malam. Makin merasa dipermainkan dirinya.
"Hiaaat...!"
Peri Malam hantamkan tinjunya
ke arah wajah Dirgo Mukti. Tapi tubuhnya terpental pada saat kepalan tinjunya
bagai menghantam suatu lapisan yang bisa memantulkan tenaga.
"Hup...!" Peri Malam
cepat ambil sikap melompat, dalam kejap berikutnya sudah berdiri tegap dalam
jarak lima langkah dari Dirgo Mukti. Ia bungkamkan mulut untuk sesaat, karena
hatinya berkata,
"Dia punya lapisan
menolak kekerasan. Pukulanku belum menyentuh wajahnya, tapi terasa sudah
menyentuh sesuatu yang menahan balik. Hampir saja tubuhku terjungkal karena pukulan
itu. Malu aku kalau sampai terjungkal akibat tindakanku sendiri. Hmmm...
baiknya kucoba pakai pukulan jarak jauh saja!"
Wuuugh...! Tenaga dalam
sedikit besar dilontarkan dari telapak tangannya. Dan, orang yang diserangnya
hanya tersenyum tipis dengan kedua tangan terlipat di dada.
Weeeung... !
Pukulan tenaga dalam itu
membalik arah. Tubuh Peri Malam tersentak dan terpelanting hingga berputar dua
kali. Untung ia cepat kendalikan keseimbangan tubuhnya, hingga dalam kejap
berikutnya Peri Malam telah kembali berdiri tegak menghadap ke arah Dirgo
Mukti. Jaraknya menjadi delapan langkah dari Dirgo Mukti. Saat itu, Dirgo
berkata dengan sedikit berseru.
"Jangan melawan aku, Peri
Malam. Kau akan mati oleh kekuatanmu sendiri. Percayalah!"
"Persetan dengan kata-katamu,
Dirgo! Kau telah mempermainkan aku dan memancing kemarahanku!" geram Peri
Malam yang tambah penasaran itu. Maka, serta-merta ia lancarkan pukulan tenaga
dalamnya lebih besar lagi.
Wuungh... !
Weuung... !
Cepat sekali pukulan itu
memantul balik. Tubuh Peri Malam terpental hingga dua kakinya terangkat dari
tanah. Tubuh itu melesat ke belakang dan jatuh membentur bongkahan batu karang.
"Uhhg...!" Peri
Malam menyeringai sakit pada punggungnya. Napas Peri Malam tertahan beberapa
saat untuk menghalau rasa sakit. Setelah itu, napasnya terhempas lepas.
Peri Malam bangkitkan tubuh
dengan hati membatin, "Tangguh juga gelombang pelapis dirinya itu.
Pukulanku tak mempan mendobraknya. Bangsat! Terhina aku jadinya diperlakukan
seperti ini di depannya! Rupanya aku harus menggunakan salah satu jurus
intiku!"
Saat pemuda itu tertawa bagai
mengejek ilmu Peri Malam, perempuan itu segera angkat kedua tangannya dengan
urat-urat mengeras. Kakinya merenggang ke samping belakang dengan sedikit
merendah. Kemudian, membalikkan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke
mukanya. Tangan itu pun menyentak keduanya ke arah depan. Dari punggung telapak
tangan itu melesatlah sebuah sinar kuning berbentuk bola sebesar kelereng.
Sinar kuning itu melesat cepat ke arah Dirgo Mukti.
Tapi pemuda, itu tetap diam
dan tersenyum-senyum.
"Hiaaat...!" Peri
Malam lompatkan diri, berjungkir balik di udara, karena pada saat itu bola
kuning berpijar- pijar itu memantul balik ke arahnya. Bentuknya dua kali lebih
besar dari saat meluncur ke arah Dirgo tadi.
Wuuuooss... !
Blaar...! Benda itu menghantam
gugusan batu hitam yang ada di belakang tempat Peri Malam tadi berdiri. Gugusan
batu hitam sebesar kuda duduk itu menjadi putih seketika. Dan angin laut
menaburkan serbuk- serbuk putih itu sampai akhirnya batu sebesar kuda bersimpuh
itu tinggal tersisa sebesar katak.
"Edan!" geram hati
Peri Malam, "Alot sekali pelapis dirinya itu. Sukar ditembus oleh tenaga
intiku. Tapi bagaimana jika kugunakan jurus 'Seribu Naga'? Apakah masih tak
mampu menembus gelombang pelapis dirinya itu?"
Dari tempatnya, Dirgo Mukti
berseru dengan jelas sekali, "Peri Malam! Simpanlah tenagamu. Sia-sia kau
menyerangku. Jangan sampai aku bertindak keras dan membalas kesombonganmu, Peri
Malam!"
"Aku sengaja menunggu
balasanmu, Dirgo!"
Belum sekejap suara Peri Malam
hilang, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang menggelegar guncangkan bumi.
Blaarrr...!
Tubuh Dirgo Mukti terjungkal
dan berguling-guling di pasiran. Peri Malam lebarkan mata karena kaget dan
heran, ia merasa belum menyerang lagi, tapi Dirgo Mukti sudah terjungkal dan
itu berarti ada satu kekuatan tenaga dalam yang cukup dahsyat dan mampu
menembus gelombang pelapis diri Dirgo Mukti.
"Jahanam!" sentak
Dirgo mulai tampak kemarahannya, ia tidak memandangi Peri Malam, tapi menatap
sekeliling dengan bingung. Matanya itu memancarkan kemarahan yang tak bisa
terbendung lagi.
"Siapa yang berani
campuri urusanku ini, hah?!" sentaknya lagi.
Peri Malam juga lirikkan mata
ke sekeliling, mencari penyerang gelap yang sudah pasti berilmu tinggi itu.
Sementara, di sebelah gundukan batu, Dirgo Mukti berdiri dengan mendekap dada
kirinya. Tampak ada cairah merah yang mengalir dari hidung. Tidak banyak, namun
sempat membuat Peri Malam tersenyum kegirangan.
"Mampuslah kau,
Biadab!" geram Peri Malam kepada Dirgo Mukti dengan suara tak terdengar,
sebab saat itu Dirgo berseru,
"Siapa yang berani
menyerangku, hah?! Keluar kau, Kunyuk! Tampakkan batang hidungmu,
Bangsat!"
Dirgo Mukti benar-benar marah,
ia sama saja dibuat malu di depan perempuan yang sedang ditaksirnya. Maksud
hati unjuk kebolehan ilmunya di depan Peri Malam, tak tahunya terpental dan
berjungkir balik dengan hidung berdarah. Rasa malu yang amat besar itu yang
membuat Dirgo Mukti benar-benar marah pada orang yang mengganggunya.
"Kalau kau benar-benar
berilmu tinggi, tampakkan batang hidungmu dan hadapilah aku, Manusia
Sontoloyo!" teriaknya keras. Dirgo Mukti sengaja salurkan tenaga dalamnya
lewat teriakan itu, hingga batu-batu karang bergetar, Peri Malam tutupkan
tangan ke telinganya.
Kejap berikutnya, dari celah
bebatuan karang di belakang Dirgo Mukti melompatlah sesosok tubuh berpakaian
coklat, berwajah tampan dan menggendong bumbung tempat tuak. Seketika itu hati
Peri Malam terpekik kaget.
"Oh...?! Rupanya dia!
Murid sinting si Gila Tuak!"
*******
DIRGO Mukti segera kibaskan
tangan kanannya ke arah Suto. Dengan cepat Suto meraih bumbung dari punggung
dan halangkan bumbung ke depannya. Craap...!
Sebuah pisau kecil bertali
rumbai merah dari benang sutera menancap di bumbung tersebut. Pisau itu
kepulkan asap sedikit. Setelah itu Suto cabut pisau kecil itu dan membuangnya
dengan seenaknya ke samping.
"Untuk apa kau pamerkan
mainan anak kecil itu? He he he...!" Suto melompat turun dari atas batu,
melangkah dengan sedikit limbung. Bukan karena pengaruh pisau kecil tadi, tapi
karena sejak tadi rupanya ia sudah cukup banyak minum tuak dan sedikit mabuk.
Tapi matanya belum sayu, hanya sedikit merah di tepiannya.
Dirgo Mukti terkejut melihat
kenyataan yang ada. Rasa herannya makin bertambah setelah melihat pisau itu
dibuang seenaknya oleh Suto ke samping kanan dan mengenai sebongkah batu. Batu
itu pecah dengan menimbulkan bunyi yang pelan.
"Bisa menangkis lemparan
pisauku saja sudah termasuk hebat, apalagi bisa mengisi pisau itu dengan tenaga
dalamnya hingga bikin batu itu pecah tanpa suara, jelas lebih hebat," kata
Dirgo di dalam hatinya yang terkagum-kagum. "Mestinya bambu itu pecah
meledak ketika tertancap pisauku, tapi mengapa kali ini tidak? Hmmm... siapa
sebenarnya orang ini?! Aku belum pernah jumpa dengannya."
Lain lagi kata hati Peri Malam
saat melihat kenyataan itu.
"Pemuda tampan itu
benar-benar hebat. Rasa-rasanya inilah kesempatan yang baik untuk menghajar
Dirgo Mukti. Kuadu saja Dirgo dengan murid sinting Gila Tuak itu. Pasti Dirgo
tak akan berani menggangguku lagi, dan aku tak perlu terlibat bentrokan dengan
Dirgo, sesuai pesan Guru."
Langkah gontai Suto menuju ke
arah Peri Malam. Perempuan itu sengaja mendekat untuk memancing kemarahan
Dirgo.
"Siapa kau sebenarnya,
sehingga berani mengusik urusanku dengan Peri Malam, hah?!" Dirgo Mukti
menyentak dengan melangkah setindak ke samping kirinya. Kini Suto dan Peri
Malam sama-sama berdiri berjajar menghadap Dirgo Mukti.
Saat itu, Suto menyuruh Peri
Malam untuk menjawab pertanyaan Dirgo itu, "Jelaskan padanya siapa aku.
Kau
pasti tahu!"
Tanpa banyak ragu, Peri Malam
pun berkata dengan suara jelas.
"Dia adalah Suto Sinting,
murid si Gila Tuak yang punya julukan Pendekar Mabuk."
"Nah, sudah jelas?"
tanya Suto pada Dirgo Mukti dengan mengejek sinis.
Dirgo Mukti diam. Tapi
batinnya berkata,
"Murid Si Gila Tuak...?!
Oh, ya... aku kenal nama si Gila Tuak, tapi belum pernah bertemu satu kali pun.
Guru memang pernah cerita tentang si Gila Tuak, tokoh sakti yang namanya ada di
papan atas dunia persilatan. Lalu, apa urusannya Suto Sinting ini dengan Peri
Malam? Apakah dia kekasihnya Peri Malam? Kalau begitu, dia adalah musuh utamaku
dalam merebut hati Peri Malam!"
Sebenarnya hati Dirgo Mukti
mulai ciut begitu mendengar Suto adalah murid si Gila Tuak. Tapi karena ia
menganggap Suto adalah kekasih Peri Malam, keberaniannya kembali menyala-nyala.
Bahkan dengan beraninya dia berucap kata kepada Suto.
"Kita perlu beradu nyawa,
Suto! Jangan kamu sangka Manusia Sontoloyo tak berani menghadapi murid sinting
si Gila Tuak. Demi mempertahankan kehormatan cinta, mari kita tentukan nyawa
siapa yang berhak hidup berdampingan dengan Peri Malam!"
"Kau menantangku,
Dirgo?!"
"Ya!"
Dirgo Mukti segera mencabut
senjatanya, kapak dua mata. Sambil cabut senjata Dirgo Mukti berseru,
"Lekas, cabut senjatamu,
Suto! Aku ingin tahu apakah senjatamu bisa mengalahkan Kapak Kebo Geni- ku
ini!"
"Jangan...."
Peri Malam menyahut, "Ya,
jangan di sini! Memang sebaiknya jangan di pantai ini."
Suto terbengong lagi dan ingin
berkata kepada Peri Malam, tapi selalu didahului oleh Dirgo Mukti.
"Baik. Di mana tempatnya
terserah dirimu, Sutol Di mana pun tempatnya aku siap mengadakan pertarungan
berdarah denganmu, demi mendapatkan cinta Peri Malam!"
Suto tarik napas, tahan rasa
dongkol atas kesalahpahaman itu. Kali ini ia ingin bicara lagi tapi selalu
disahut Peri Malam.
"Maksudku begini,
Dirgo...."
"Soal tempat pertarungan,
silakan kau yang menentukan," kata Peri Malam. "Kapan waktunya,
silakan pilih sendiri. Karena kau yang menantang pertarungan, maka kau yang
tentukan segalanya."
"Baik! Aku suka dengan
ketegasan seperti itu!" kata Dirgo Mukti. "Kita tentukan pertarungan
kita di Bukit Jagal, dua purnama mendatang! Jika kau memang murid si Gila Tuak,
kau pasti datang dalam dua purnama mendatang di Bukit Jagal. Di sana aku sudah
menunggumu!"
Selesai bicara begitu, Dirgo
Mukti jejakkan kaki dan melesat pergi secepat kilat. Suto tak sempat lagi
ucapkan kata apa pun. Ia hanya pandangi gerakan Dirgo Mukti yang melesat lincah
bagaikan terbang dari batu ke batu lainnya.
Peri Malam juga ikut pandangi
kepergian Dirgo Mukti sambil hamburkan tawa mengikik geli bagaikan kuntilanak
pulang pagi.
"Kik kik kik..,, hatinya
pasti robek tercabik-cabik olah kemunculanmu, Suto! Biar tahu rasa dia.
Berulang kali dia ganggu aku dengan rayuan-rayuan yang bikin aku muak dan mau
muntah, seperti orang habis telan anak tikus. Hik hik hik...!"
Suto tidak ikut hamburkan
tawa. Senyum pun tersimpan dalam sisi kejengkelan hati. Sekarang saatnya dia
bisa bicara apa yang ingin dia bicarakan sejak tadi.
"Apa maksudmu menyambung
ucapanku dengan yang tidak benar begitu?"
"Apakah maksudmu bukan
seperti yang kukatakan tadi?" Peri Malam berlagak bodoh.
"Aku tidak ingin
bertarung melawannya!"
"O, kalau begitu aku
salah duga tadi!"
"Memang salah!"
"Maaf kalau begitu!''
ucap Peri Malam berlagak ketus sambil melangkahkan kaki menuju bawah pohon
mahoni yang rindang itu.
Sampai di sana ia duduk.
Matanya memandang Suto yang masih berdiri dalam jarak sepuluh langkah. Berdebar
hati Peri Malam setiap menatap mata murid si Gila Tuak itu. Gelisah jiwanya
menerima rasa indah yang mekar berbunga-bunga di dalam hatinya.
"Luar biasa daya
pikatnya. Ingin aku tenggelam dalam pelukannya. Ah, setan! Sulit sekali aku
menolak kehadiran bayangannya!" gerutu resah hati Peri Malam.
Suto menghentikan langkah tiga
tindak ke depan Peri Malam. Pandangan matanya tetap tertuju ke wajah Peri
Malam. Perempuan itu pun menatapnya dan berkata,
"Duduklah," sambil
ia tepuk batu di sampingnya, seakan menuntun agar Suto duduk di batu sebelahnya
itu.
"Aku sedang memikirkan
tantangan Dirgo."
"Apakah kau takut?"
Suto masih berdiri. Kali ini
ia tersenyum indah mengarah pada wajah Peri Malam. Darah Peri Malam bagai
disedot naik ke ubun-ubun kepalanya hingga dirinya terasa melayang-layang
nikmat melihat senyuman itu.
"Aku bukan takut
kepadanya. Aku hanya benci kesalahpahaman ini. Seharusnya kau tidak menyambung
kata-kataku seperti tadi. Aku tak mau bertarung melawan orang yang tidak punya
salah padaku."
"Tapi kau tadi
menyerangnya."
"Itu sekadar mengingatkan
sikapnya. Aku tak suka melihat perempuan dibuat mainan, seperti kau tadi."
"Benar. Aku juga tidak
suka dipaksa untuk menjadi istrinya. Lebih tepat lagi, dia akan paksa aku
melayani nafsu birahinya. Apakah kau suka melihat perempuan menderita
begitu?"
"Tidak."
"Itulah sebabnya aku
menyambung kata-katamu sejak tadi."
"Apa maksudmu?
Jelaskan!"
"Kalahkanlah dia, biar
tidak semena-mena mengejar cintaku karena merasa berilmu tinggi."
"Jadi aku harus bertarung
dengan Dirgo?"
"Tak ada jalan lain untuk
menyingkirkan cintanya."
"Kenapa tidak kau hadapi
sendiri?"
"Pesan guruku, aku tak
boleh memancing keributan dengan Dirgo."
"Kenapa?"
"Tak dijelaskan oleh
Guru," jawab Peri Malam.
"Kalau begitu, carilah
pendekar lain untuk menyingkirkan cintanya. Jangan aku!"
"Tak ada pendekar lain
yang bisa membuat hatiku terpikat. Tak ada lelaki lain yang bisa menumbuhkan
cinta di hatiku."
"Tapi aku juga tidak
mempunyai cinta padamu."
Peri Malam bangkit dari
duduknya, ia melangkah lebih dekat. Jaraknya kurang dari satu langkah dari
depan Suto. Pandangan matanya lebih dalam menatap, dan ucapannya lirih berkata,
"Anggap saja kau punya
cinta padaku, supaya kau mau singkirkan cinta Manusia Sontoloyo itu!"
"Mana bisa...?!"
Suto angkat bahu. "Aku mempunyai idaman hati sendiri."
"Untuk saat ini saja,
anggap kau mencintaiku. Singkirkan cintanya supaya kita bebas memadu kasih,
Suto."
"Mana bisa?! Aku tak
pernah tahu hangatnya pelukanmu."
Peri Malam dibuat gemas-gemas
mesra. Kemudian, dengan tanpa ragu dan tak mampu menahan gejolak hatinya, ia
dekatkan wajah ke pipi Suto. Lalu, sebuah ciuman hangat melekat di pipi murid
sinting si Gila Tuak itu.
Ciuman yang kedua dari Peri
Malam mendarat saat Suto sedikit palingkan wajah. Karena Suto palingkan wajah
maka ciuman itu tidak melekat di pipi, melainkan menyentuh di bibir Suto.
Crupp...!
"Oh...?!" Peri Malam
cepat undurkan wajah.
"Kenapa?"
"Terlalu hangat,"
jawab Peri Malam dalam bisik tersekat. Lalu, ia sunggingkan senyum malu dan
tundukkan wajahnya.
Terdengar suara tawa Suto
mirip gumam satria pujaan negara. Rambut perempuan itu diusapnya dengan lembut.
Terasa usapannya sampai melingkupi permukaan hati Peri Malam. Begitu indah dan
mendebarkan.
Pelan-pelan Peri Malam
angkatkan wajahnya, lalu berucap lirih.
"Tak inginkah kau
mengulang ciuman tadi?"
"Mana bisa?"
"Kenapa tidak bisa?"
"Karena ada sepasang mata
yang memperhatikan kita."
Terkesip Peri Malam seketika,
ia segera palingkan muka ke belakang, dan ternyata di sana sudah berdiri
seorang perempuan berpakaian merah dadu dengan rambut digulung naik ke atas.
Cepat-cepat Peri Malam jauhkan
jarak dengan Suto Sinting. Wajah Peri Malam menjadi berang, ia layangkan
pandang mata bencinya ke wajah perempuan yang berdiri antara sepuluh tindak
darinya itu.
"Keparat!" geram
Peri Malam, ia naikkan suara, "Kau belum jera juga mengusik pribadiku, Selendang
Kubur?!"
"Justru sekarang urusan
kita sudah lebih pribadi, Peri Malam!" kata Selendang Kubur dengan suara
dingin memercikkan benci. Sikapnya berdiri menandakan dirinya telah siap
bertempur mengadu nyawa dengan Peri Malam.
***6***
MATAHARI pantai semakin
tinggi, tapi dua perempuan itu tak peduli sengatan panas dari langit itu.
Mereka berhadap-hadapan dengan masing-masing sinar mata memancarkan permusuhan.
Murid sinting si Gila Tuak
hanya duduk di atas gundukan batu, di tempat yang teduh dengan sesekali
menenggak tuaknya. Suto merasa tak perlu ikut campur urusan perempuan. Biarlah
perempuan-perempuan itu menyelesaikan urusan mereka, dan Suto hanya menjadi
pihak penonton saja.
Suto tidak tahu, bahwa
perselisihan kedua perempuan itu adalah karena kecemburuan terhadap dirinya.
Suto tidak tahu bahwa dirinya itulah yang menjadi penyebab perselisihan
Selendang Kubur dengan Peri Malam. Suto hanya membatin,
"Kebetulan sekali aku
tidak perlu susah-susah mencari Selendang Kubur. Selesai urusan dengan Peri
Malam, baru dia harus selesaikan urusan denganku tentang Pusaka Tuak Setan itu.
Tapi bagaimana kalau Selendang Kubur mati di tangan Peri Malam? Aku tidak bisa
mendapatkan Pusaka Tuak Setan. Pastilah Tuak Setan sudah ia sembunyikan di
suatu tempat dan hanya dia yang tahu. Hmm... kalau begitu aku harus menjaganya
jangan sampai ia mati dan jangan sampai ia kabur lagi!"
Kedua perempuan itu sama-sama
berdiri dengan kaki tegak dan sedikit melebar. Dada mereka sama-sama membusung
ke depan, karena memang keduanya sama- sama montok. Wajah mereka sama-sama
keras, karena mereka sama-sama menahan rasa cemburu.
"Selendang Kubur!"
kata Peri Malam dengan ketus dan tegas. "Tinggalkan tempat ini atau kuhabisi
riwayat hidupmu?"
"Aku mau pergi dari sini
kalau kau serahkan kedua hal yang kucari itu!" jawab Selendang Kubur tak
kalah ketus dan tegas.
"Tak perlu kau banyak
bicara, Selendang Kubur! Yang jelas kau telah mengganggu kemesraanku dengan
Suto Sinting!"
Peri Malam sengaja batasi
omongan, supaya Selendang Kubur tidak menyebut-nyebut tentang Pusaka Tuak
Setan. Sebab, jika Selendang Kubur melontarkan keinginannya untuk meminta
Pusaka Tuak Setan, maka Suto yang ada di bawah pohon itu akan mendengar, dan
tentunya Suto menjadi tahu bahwa Pusaka Tuak Setan ada di tangan Peri Malam.
Ini yang dihindari Peri Malam. Karena menurutnya, Suto belum mengetahui di mana
Pusaka Tuak Setan itu berada.
"Peri Malam! Kau tidak
layak mendapatkan kemesraan darinya, karena kau seorang perempuan hina. Kau
durjana dan kotor!"
"Tutup mulutmu Selendang
Kubur!" sentak Peri Malam memotong. "Jangan sangka dirimu bukan
perempuan kotor! Aku tahu kau sudah bukan perawan lagi. Aku tahu kau sudah
serahkan kehormatanmu kepada Trenggono!"
"Jahanam! Kaulah yang
telah menyerahkan kesucianmu kepada Trenggono, lima purnama sebelum dia kita
hancurkan!"
Peri Malam sengaja serukan
suara ketika berkata begitu, supaya didengar oleh Suto, dan supaya Suto tahu
bahwa Selendang Kubur sudah tidak perawan lagi. Ini adalah siasat Peri Malam
untuk meruntuhkan minat yang menurut dugaannya ada di dalam hati Suto.
Siasat itu diketahui oleh
Selendang Kubur, maka ia pun membalas tuduhan serupa dengan suara lebih keras
lagi, walau apa yang dikatakan itu tidak benar. Tapi ia berharap agar Suto pun
mendengar dan mempertimbangkan keputusannya untuk tetap mendekati Peri Malam
atau meninggalkannya.
Sementara itu, Suto yang duduk
santai sambil memperhatikan perselisihan kedua perempuan itu hanya
manggut-manggut dan membatin, "Ooo... ke-duanya sudah sama-sama blong. He
he he...!"
Mata Selendang Kubur melirik
sekejap ke arah Suto. Ia melihat Suto tertawa kecil. Hatinya semakin panas dan
geram kepada Peri Malam, karena menurutnya tawa kecil Suto itu adalah
menertawakan dirinya yang dianggap sudah tak perawan lagi itu.
Sebaliknya, Peri Malam juga
lirikkan matanya ke arah Suto dan ia juga melihat senyum tipis Suto. Hati Peri
Malam bertambah benci kepada Selendang Kubur, karena sangkanya senyuman Suto
itu sebagai senyuman ejekan yang menganggap dirinya sudah bukan gadis lagi.
Tak heran jika kejap
berikutnya kedua perempuan itu sama-sama sentakkan kakinya dan melesat di udara
dengan cepat. Pukulan mereka beradu di udara dalam gerakan yang cukup cepat.
Plak, plak!
Keduanya sama-sama bersalto ke
belakang. Kejap berikut keduanya telah sama-sama mendaratkan kaki ke tanah.
Peri Malam berdiri dengan kaki tegak sedikit melebar. Napas tertarik dan
terhempas lepas dengan dada tetap membusung.
Selendang Kubur berdiri dengan
kaki tegak, tapi tangan kanannya memegangi dada kiri, dan wajahnya tampak
menahan sakit. Dari sudut mulutnya tampak darah kental keluar tak seberapa
banyak, itu pertanda ia terkena pukulan langsung dari tangan Peri Malam.
Pukulan itu sudah tentu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang dapat meremukkan
tulang dada. Kalau saja Selendang Kubur tidak melapisi dirinya dengan kekuatan
tenaga dalam juga, maka tulang dadanya saat itu sudah jebol dan mungkin ia tak
lagi melihat matahari pantai.
Selendang Kubur membatin,
"Jahanam itu punya kecepatan yang luar biasa! Berat juga pukulannya.
Dadaku seperti terbakar bagian dalamnya. Tapi aku tak boleh menyerah. Aku harus
membalasnya. Malu kalau harus menyerah di depan Suto. Rendah sekali harga
diriku!"
Melihat Peri Malam maju dua
tindak, Selendang Kubur pun segera melangkah maju dua tindak juga. Tangan
kanannya sudah tidak lagi memegangi dada yang terkena pukulan tadi.
"Selendang Kubur!
Sayangilah nyawamu. Jangan paksakan diri melawanku, karena ilmumu masih cetek.
Kau masih perlu berguru lagi selama belasan tahun untuk menyamai ilmuku!"
"Pukulanmu belum seberapa
berat buatku, Peri Malam! Seratus pukulan seperti itu masih sanggup kuterima
dengan dada terbuka. Tapi coba kau rasakan pukulan 'Merpati Puber' dariku,
hiaaat....!"
Tubuh berpakaian merah dadu
itu meluncur cepat di udara dan berputar bagaikan baling-baling hendak
menerobos gunung.
Begitu cepat putarannya sampai
mata Peri Malam tak bisa melihat gerakan tangan Selendang Kubur, ia coba
sentakkan kaki kanannya dalam gerak tendangan berputar. Tapi belum sempat kaki
itu mengenai sasarannya, Selendang Kubur sudah lebih dulu menghantam punggung
Peri Malam dengan satu pukulan telapak tangan bertenaga dalam cukup besar.
Buugh...!
"Ahhg...!"
Bruuk...! Peri Malam tersentak
jatuh dalam keadaan tengkurap. Wajahnya hampir-hampir beradu dengan batu di
hadapannya. Tapi pada saat itu Peri Malam sentakkan kepala ke atas karena rasa
sakit di punggung, sehingga wajahnya tak jadi terbentur batu.
Selesai lancarkan pukulan
'Merpati Puber', Selendang Kubur pijakkan kakinya di tanah. Kedua tangan siap
direntangkan ke atas. Satu pukulan lagi akan dilancarkan dan itu pasti akan
membuat tubuh Peri Malam hancur lebur. Karena pukulan yang mau dilancarkan
adalah pukulan andal yang menjadi simpanan ilmunya dari ketiga jurus sakti
simpanannya itu.
"Tahan!" tiba-tiba
terdengar suara Suto serukan kata. Mau tak mau Selendang Kubur palingkan muka
ke arah Suto Sinting.
Saat itu Suto berdiri, mau
mendekat, tapi langkahnya sedikit limbung.
"Apa maksudmu menahan
pukulanku, hah?!" bentak Selendang Kubur.
Suto nyengir lalu perdengarkan
suara sumbangnya, "Membunuh itu hal yang mudah, tapi mengampuni lawan
adalah hal yang sulit! Dulu kudapatkan wejangan seperti itu dari guruku."
"Mungkin benar kata
gurumu. Tapi tahukah kau, tak ada ampun lagi buat perempuan macam dia,
hah?!"
Peri Malam sudah berusaha
bangkit. Mulutnya semburkan darah segar saat tadi terkena pukulan 'Merpati
Puber'. Tapi ia masih bisa menahan rasa sakit yang menjalar di sekujur
tubuhnya. Kalau saja ia teruskan pertarungan itu, ia masih sanggup menumbangkan
Selendang Kubur dengan jurus-jurus maut yang belum sempat dikeluarkan.
Tetapi ia menangkap adanya
bahaya dari percakapan Suto dengan Selendang Kubur. Rahasia Tuak Setan akan
terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Sudah tentu Suto akan berada di pihak
Selendang Kubur dan segera menyerangnya jika Suto tahu pusaka itu ada padanya.
Demi menyelamatkan pusaka dari
tangannya, juga demi menyelamatkan hubungannya dengan Suto di kelak kemudian
hari, Peri Malam terpaksa harus menghilang sementara dari depan kedua manusia
itu. Tanpa ragu sedikit pun. Peri Malam sentakkan kakinya dan melesatlah tubuh
sekalnya itu. Dalam satu lompatan ia telah mencapai dahan di atas sebuah pohon.
Dari sana ia serukan kata,
"Kutangguhkan niat
membunuhmu, Selendang Kubur! Aku harus menghadiri pertemuan penting dengan para
tokoh tua. Tapi ingat, suatu saat kita bertemu, kita harus tentukan siapa yang
berhak hidup lebih lama lagi di antara kita berdua!"
Selesai berkata begitu, tubuh
Peri Malam melenting lebih tinggi lagi. Mencapai dahan berikutnya dengan satu
putaran salto. Kemudian secepat kilat ia menghilang pergi dari pandangan Suto
dan Selendang Kubur.
"Jahanam! Pencuri! Jangan
lari kau...!" teriak Selendang Kubur.
Dengan satu hentakan kaki,
tubuh Selendang Kubur pun segera melesat cepat. Tujuannya mengejar Peri Ma! am.
Tapi Suto segera mengibaskan tangan kirinya seperti menghalau ayam. Dan
tiba-tiba tubuh Selendang Kubur terjungkal di udara, lalu jatuh di samping batu
besar. Brukkk...!
Satu gerakan tangan yang
sepertinya tidak bertenaga itu telah membuat pengejaran Selendang Kubur
tertunda. Perempuan itu semakin dongkol hatinya, ia cepat-cepat berdiri dan
menatap Suto dengan mata melotot garang.
"Mengapa kau halangi aku
yang mau mengejarnya?! Rupanya kau memang ada di pihaknya, Suto!"
"He he he...," Suto
tertawa dengan mata sedikit sayu karena pengaruh tuaknya. "Siapa bilang
aku ada di pihaknya?"
"Lalu, mengapa kau
menahanku dan tak rela jika aku mengejarnya?"
"Karena kau punya urusan
pribadi denganku, Anak Cantik!" Suto kembali tertawa sambil memegangi
bumbung tuak.
Begitu mendengar Suto
menyebutkan adanya urusan pribadi, hati Selendang Kubur jadi berdebar-debar.
Hatinya membatin.
"Apakah dia bermaksud
bicarakan masalah perasaanku dan perasaannya? Apakah dia sebenarnya tidak
menaruh hati pada Peri Malam? Tapi tadi kulihat mereka berciuman, iih... jijik
aku mengenangnya!"
Wajah itu semakin cemberut.
Selendang Kubur singkapkan rambutnya yang terjurai ke depan wajah. Hidungnya
yang bangir dengan bibir bak kuncup mawar itu terpasang jelas menantang sorot
pandangan mata Suto. Ia berdiri dengan satu kaki naikkan ke atas permukaan batu
yang agak tinggi, ia biarkan Suto dekati dirinya sampai jarak tiga langkah.
"Urusan pribadi apa
maksudmu, hah?!" tanyanya dengan ketus. "Bukankah kau punya urusan
pribadi dengan setan genit tadi?! Bukankah kau telah puas bermesraan dengan
peri bobrok tadi?! Masih kurang puaskan kau memperoleh kemesraan
darinya?!"
Suto tahu nada cemburu
meluncur lewat kata-kata itu, Suto tertawa karena ada salah anggapan di antara
dirinya dan Selendang Kubur. Suto juga tahu, Selendang Kubur menyangka urusan
pribadi itu berkaitan dengan masalah dari hati ke hati, padahal yang dimaksud
Suto adalah urusan Pusaka Tuak Setan.
Sengaja Suto duduk di batu
agak tinggi, hingga kakinya tetap menapak di tanah tapi pantatnya diletakkan di
tepian batu itu. Ia berada di samping kanan Selendang Kubur dalam jarak hanya
satu langkah.
Selendang Kubur layangkan
pandangan matanya ke arah laut dengan sedikit menyipit, karena saat itu ia
berkata,
"Tak kusangka kau jatuh
cinta pada durjana! Hal seperti inilah yang dulu kumaksudkan, bahwa aku ingin
menjagamu. Dari sentuhan tangan dan pelukan perempuan lain itulah aku menjagamu.
Karena pelukan dan sentuhan tangan perempuan lain itu lebih tinggi bahayanya
dari ilmu kesaktian mana pun juga!"
"He he he..., kau
benar-benar lucu, Selendang Kubur. Sekian waktu aku mencarimu, sampai kudatangi
perguruanmu, ternyata setelah kutemukan dirimu, kau curahkan kecemburuan itu!
Aku tak sangka kalau akan mendapat curahan kecemburuan sebanyak ini
darimu!"
"Aku tidak cemburu!"
sentaknya munafik, sambil ia palingkan wajah menatap Suto dengan mata tajam.
Lalu ia katupkan mulut dan
diam, tak peduli dengan suara tawa Suto yang sudah dipengaruhi oleh tuak yang
memabukkan itu. Tetapi di hati perempuan itu terjadi suatu percakapan kecil.
"Benarkah dia datang ke
Perguruan Merpati Wingit? Untuk apa dia ke sana? Oh, dia bilang tadi untuk
mencariku? Benarkah sampai sebegitu repot dia mencariku? Oh, tak kusangka jika
hal itu benar dilakukannya. Tak mungkin ia tak memiliki hasrat padaku jika
sampai memburuku ke sana. Sayang dia tak mau tunjukkan hasratnya secara
terang-terangan padaku, sehingga aku tak bisa mengerti dengan jelas dan pasti.
Sebab aku sendiri tak mau tunjukkan hasratku lebih dulu. Aku malu."
Suto perdengarkan suaranya
setelah ia meneguk dua kali tuak dari bumbungnya.
"Aku bertemu dengan Dewi
Murka, juga bertemu dengan gurumu Nyai Guru Betari Ayu. Bahkan aku sempat
bicara panjang lebar dengan gurumu di taman yang indah itu."
"Apa...?! Kau bicara
dengan Guru? Kau diajak ke taman itu?!"
"Ya," jawab Suto
polos. "Aku kagum sekali."
"Kagum pada guruku?"
"Kagum pada taman yang
indah itu," jawab Suto mengalihkan sangkaan, karena ia tahu arah
pertanyaan Selendang Kubur itu.
Selendang Kubur kembali
katupkan mulutnya. Kembali pula hatinya berkata, "Kalau dia dibawa oleh
Guru ke taman itu, berarti Guru punya perhatian istimewa padanya. Oh, apakah
Guru juga mempunyai rasa suka pada Suto?"
"Bahkan aku sempat
bermalam di sana. Satu malam," tambah Suto.
Selendang Kubur semakin
terperanjat. "Kau bermalam di sana?! Hmmm... dengan siapa? Dengan siapa
kau tidur di sana?'
"Dengan seseorang,"
jawab Suto menggoda, membuat hati Selendang Kubur semakin penasaran.
"Siapa orang itu?!
Sebutkan namanya! Dewi Murka?"
"Bukan."
"Murbawati?"
"Bukan."
"Lalu... lalu siapa?
Siapa orang yang tidur denganmu, Suto?"
"Pembayun!" jawab
Suto.
"Oooh..," Selendang
Kubur menghempaskan napasnya dengan lega. Pembayun adalah lelaki yang paling
rajin dan mencintai pekerjaannya sebagai perawat kuda. Usianya sudah empat
puluh lima tahun, dan sangat setia merawat kuda milik Betari Ayu.
"Sangkamu aku tidur
dengan perempuan?"
"Jangan lagi kau datang
ke sana!" Selendang Kubur tak sadar berkata bagai seorang ratu memberi
perintah larangan kepada bawahannya. Suto menertawakan dengan suara pelan.
Selendang Kubur jadi malu sendiri setelah menyadari larangannya itu.
"Kehadiranmu di sana
hanya akan mengganggu perhatian para murid yang sedang belajar dan berlatih
memusatkan pikiran," Selendang Kubur menutupi kecemasannya.
"Ke mana aku harus
mencarimu jika tidak ke sana, Selendang Kubur. Aku benar-benar bingung saat
itu. Aku tak tahu kau ada di mana. Karena ketika aku muncul dari Telaga Manik
Intan itu, kau sudah hilang dan Paman Sugiri dalam keadaan terkapar luka."
Hati Selendang Kubur masih
berdebar indah mendengar Suto bingung mencarinya. Bahkan ia sangka dirinya
dapat membuat Suto mabuk kepayang karena rindu ingin bertemu. Tapi untuk
memastikan sangkaan indahnya itu, Selendang Kubur pun menanyakannya kepada
Suto.
"Untuk apa kau mencariku
sampai kebingungan begitu?"
"Karena aku harus meminta
Pusaka Tuak Setan darimu."
"Apa...?!" Selendang
Kubur terkejut dan segera kerutkan dahi, belalakan matanya yang indah itu.
Suto hanya tersenyum kalem
dengan mata seperti orang mengantuk karena mulai mabuk, ia pandangi mata
Selendang Kubur yang tak berkedip itu, lalu ia tertawa geli sendiri sambil
berkata, "Matamu itu enak dicolok. He he he...!"
"Suto!" sentak
Selendang Kubur. "Jadi kau mencariku ke mana-mana hanya untuk mendapatkan Pusaka
Tuak Setan?"
"Ya. Benar."
"Kau kira akulah orang
yang merampas Guci Tuak Setan dari tangan Pujangga Kramat itu?'
"Siapa lagi kalau bukan
dirimu, Selendang Kubur. Karena saat itu yang ada di tepi sendang hanya kau dan
Paman Sugiri."
Kecewa hati Selendang Kubur.
Bunga-bunga indah yang mekar di hati karena dugaan mesra tadi, kini menjadi
layu dan sebagian rontok berguguran, ia pun sedikit jauhkan diri dari Suto dan
berkata dengan dahi masih berkerut tegang.
"Ketahuilah, Suto...,
bukan aku pencuri Pusaka Tuak Setan itu. Kalau kau ingin merebut Tuak Setan,
kejarlah Peri Malam sekarang juga! Dialah orang yang merampas Pusaka Tuak Setan
dari tangan Pujangga Kramat pada saat kau menyelam ke dalam telaga untuk yang
kedua kalinya."
"Jangan bergurau. Selendang
Kubur!"
"Aku tidak
bergurau!" sentak Selendang Kubur. "Peri Malam itulah orang yang
mempunyai senjata jarum beracun, yang juga mengenai tubuh Dewi Murka beberapa
waktu yang lalu. Pada saat dia menyerang Pujangga Kramat dengan jarum
beracunnya, aku ada di atas pohon. Sangkanya tak ada orang lain di situ,
karenanya ia mudah saja mengambil Pusaka Tuak Setan dari tangan Pujangga
Kramat. Ia tidak tahu aku ada di atas pohon. Dan begitu kutahu ia membawa lari
Tuak Setan, maka kukejar dia sampai ke mana pun larinya. Dan yang terakhir
kutemukan dia di sini sedang berpelukan denganmu! Itulah sebabnya aku tadi
sempat benci padamu. Kau bercinta dengan pencuri pusaka yang menjadi hak
milikmu sebagai murid sinting si Gila Tuak, sementara susah payah aku berusaha
merebut pusaka itu untuk menyelamatkannya dari tangan orang-orang tak
bertanggung jawab, seperti halnya Peri Malam dan gurunya."
Suto terbengong sejenak,
kemudian bertanya, "Apa hubungannya Tuak Setan dengan gurunya Peri
Malam?!"
"Dia mencuri Pusaka Tuak
Setan bukan untuk dirinya, tapi untuk gurunya! Dia lakukan hal itu hanya
sekadar patuh pada perintah sang Guru! Kalau kau tak percaya, mari kita
buktikan!"
Suto tertegun. Matanya
semburat merah karena mabuk.
* * *
MENURUT Suto, mereka tidak
perlu mengejar Peri Malam. Sebab tadi ia melihat ada perahu di celah bebatuan
karang. Suto ingat cerita Peramal Pikun tentang gurunya Peri Malam, yaitu
seorang tokoh tua yang sedang menunggu saat terbaik untuk melawan Bidadari Jalang.
Suto ingat, bahwa Guru dari Peri Malam adalah Mawar Hitam yang tinggal di Pulau
Hantu. Tentunya menjadi penguasa di Pulau Hantu tersebut. Menurut perhitungan
Suto, cepat atau lambat pasti Peri Malam akan kembali datang ke pantai itu dan
menuju ke Pulau Hantu memakai perahu tersebut.
Tetapi, Selendang Kubur
mempunyai pemikiran lain lagi.
"Mungkin saja dia akan
pulang ke Pulau Hantu menyerahkan Pusaka Tuak Setan kepada gurunya. Tapi
bagaimana jika ia nekat menjadi murid murtad?!"
"Apa maksudmu?"
"Karena dia tahu kekuatan
dahsyat di dalam Tuak Setan itu, maka dia meminum sendiri tuak tersebut.
Bukankah dengan begitu dia bisa kalahkan gurunya sendiri?"
"Hmmm... ya. Memang bisa
saja terjadi begitu!" kata Suto sambil menutup bumbung yang habis diteguk
isinya. Kemudian ia bertanya kepada Selendang Kubur.
"Apa dia berani menjadi
murid murtad?"
"Aku lihat dia mulai
jatuh cinta padamu."
"Hei, apa hubungannya
murid murtad dengan jatuh cinta?""Dia bernafsu ingin mendapatkan kau.
Dia harus singkirkan banyak saingannya, termasuk diriku. Untuk itu dia perlu
ilmu yang lebih hebat dan lebih dahsyat. Tak heran jika ia paksakan diri untuk
menjadi murid murtad dengan meminum Tuak Setan itu. Dengan minum Tuak Setan,
dia akan berilmu tinggi dan dapat menyingkirkan saingannya, lalu dia dapat
memiliki dirimu."
"He he he... aku tidak
cinta sama dia, juga sama yang lainnya. Aku sudah punya kekasih sendiri."
"Kau akan dipaksanya
bertekuk lutut di hadapannya, dan dipaksa juga agar mau menerima cintanya, agar
mau melayani dirinya dan... kau tak akan berkutik karena kau kalah sakti
dengannya, jika dia meminum Tuak Setan itu."
Suto kerutkan dahi setelah
mencerna kata-kata Selendang Kubur. Lalu, dia bertanya dengan suara semakin
sumbang.
"Apa dia tahu kekuatan
yang ada pada Tuak Setan itu?"
"Tahu atau tidak, yang
penting sekarang kejarlah dia. Rebut kembali Tuak Setan itu. Aku akan
mendampingimu dan menjagamu!"
Suto tertawa parau, "He
he he he... aku mau kau mendampingiku, tapi jangan sering-sering memandangi
tubuhku. Karena aku tahu kau punya kekuatan pandang yang bisa menembus
pakaianku dan bisa melihat bagian dalamku. Aku malu jika kau begitu, Selendang
Kubur! He he he he...!"
"Kututup kekuatan itu
dari tadi. Jika tidak, aku tak akan bisa menahan gejolak birahiku."
Sambil ucapkan kata begitu,
Selendang Kubur melangkah ke celah-celah karang. Rupanya ia mencari perahu yang
disembunyikan Peri Malam. Begitu perahu itu ditemukan, Selendang Kubur segera
sentakkan tangannya ke arah perahu itu.
Melesat seberkas sinar kuning,
dan meledaklah perahu itu terkena kilatan sinar kuning. Blaarrr...! Praakkk...!
"Hei, mengapa kau
ledakkan perahu itu?!" seru Suto.
"Biar dia tidak bisa lari
ke Pulau Hantu!" jawab Selendang Kubur.
"Dia bisa pakai ilmu
peringan tubuhnya untuk menyeberangi lautan ini!"
"Tak mungkin bisa.
Buktinya dia siapkah perahu, itu artinya dia tak bisa menyeberangi lautan
dengan mengandalkan ilmu peringan tubuhnya."
"Yah, bisa juga dia buat
lagi!"
"Kita berangkat sekarang,
Suto!"
"Boleh saja!" kata
Suto dengan mata sedikit merah.
Mereka bersiap untuk
meninggalkan Pantai Karang Saru. Tapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru
dari belakang mereka.
"Tunggu!"
Serta-merta mereka palingkan
wajah. Selendang Kubur terperanjat melihat orang yang baru saja datang dan
menahan langkahnya.
"Dewi...?!" desis
Selendang Kubur dengan perasaan tak suka.
"O, ya! Dia yang bernama
Dewi Murka. Aku ingat!" kata Suto sambil cengar-cengir karena mabuk.
"Untuk apa kau menahanku,
Dewi! Dan untuk apa kau datang kemari menemui kami?!" suara Selendang
Kubur bernada ketus,
"Jangan ikut campur
urusan orang lain, Selendang Kubur! Suto punya urusan sendiri dan kau juga
punya urusan sendiri!"
"Apa hakmu
melarangku?"
"Aku telah diangkat resmi
menjadi wakil Guru. Tugasku kemari untuk menjemputmu. Kau dipanggil oleh Nyai
Guru, Selendang Kubur!"
Selendang Kubur bingung
sejenak, ia membatin, "Apa benar Guru memanggilku? Apa benar Dewi diangkat
menjadi wakil Guru secara resmi? Jangan- jangan dia hanya ingin mengelabuhiku,
supaya aku meninggalkan Suto dan dia sendiri akan menggantikan kedudukanku di
samping Suto!"
Terdengar Dewi Murka keluarkan
perintah tegas, "Cepat pulang sekarang juga, Selendang Kubur!"
"Bagaimana dengan dirimu
sendiri?"
"Aku akan ke tempat lain,
karena ada tugas dari Guru!"
Selendang Kubur sunggingkan
senyum dingin. "Tadi kau bilang mau menjemputku, itu berarti kau dan aku
pulang bersama. Sekarang kau bilang ada tugas ke tempat lain, itu berarti aku
harus pulang sendiri. Aku tahu jalan pikiranmu, Dewi Murka! Kau ingin
menggantikan diriku sebagai pendamping Suto!"
"Jaga bicaramu dengan
wakil Guru, Selendang Kubur!"
"Persetan dengan
kedudukanmu yang sekarang! Kurasa kududukan itu pun palsu adanya, Dewi!"
"Kau harus segera pulang!
Guru memanggilmu!" sentak Dewi Murka.
"Persetan juga dengan
panggilan Guru!" Lalu, Selendang Kubur menarik tangan Suto sambil berkata,
"Jangan hiraukan dia, Suto! Kita harus berangkat sekarang juga!"
"Larasati..!" seru
Dewi Murka memanggil nama asli Selendang Kubur, ia melangkah beberapa tindak.
"Jangan memaksa diriku berlaku kasar padamu, Larasati!"
Selendang Kubur terpancing
kemarahannya dan membalikkan badan serta memisahkan diri dari Suto. Ia melesat
lompat ke tempat yang datar dan bersuara lantang.
"Dewi, apa maumu
sebenarnya, hah?!"
"Menyuruhmu pulang!"
"Kalau aku tak mau, apa
tindakanmu?!"
"Terpaksa aku harus
menyeretmu pulang, Larasati!"
"Apa kau kira mampu,
hah?!" tantang Selendang Kubur yang merasa kedamaiannya bersama Suto
diganggu oleh kemunculan Dewi Murka.
Kejap berikutnya tubuh Dewi
Murka melesat dan hinggap di atas gundukan batu. Ia berdiri dengan tegak dan
tampak menantang juga. Kejap lain, Selendang Kubur pun melompat ke atas gugusan
karang dan berdiri dengan sigap, siap menghadapi serangan Dewi Murka.
Sejurus kemudian, Dewi Murka
perdengarkan suaranya yang tegas.
"Dengar, Larasati...!
Guru telah perintahkan aku untuk memaksamu pulang. Tak bisa hidup, mati pun tak
apa! Guru telah tugaskan aku untuk membawamu pulang dalam keadaan hidup atau
mati! Paham?!"
"Tak mungkin Guru
keluarkan tugas begitu untukmu! Aku bukan murid bersalah. Aku tidak melanggar
peraturan perguruan!"
"Siapa bilang?!"
sergah Dewi Murka, "Kau menjadi murid bersalah dan dianggap telah
murtad!"
"Hei, apa salahku?!"
Selendang Kubur kian keras kerutkan keningnya karena heran.
"Jangan berlagak bodoh,
Larasati! Sejak kepergianmu tempo hari dari perguruan, ternyata kau telah
berhasil mencuri Kitab Wedar Kesuma!"
"Gila kau!"
"Kitab Wedar Kesuma telah
hilang dari tempatnya. Siapa lagi pencurinya jika bukan kau, Larasati! Karena
sejak saat itu kau tidak berani pulang ke perguruan!"
"Itu fitnah! Itu praduga
yang kau timbulkan sendiri, karena kau takut Guru akan memilihku sebagai
penggantinya!" sanggah Selendang Kubur sambil menuduh balik kepada Dewi
Murka.
"Jika kau tidak merasa
bersalah, kau pasti pulang, Larasati!"
"Aku akan pulang, tapi
tidak sekarang! Aku masih harus menemani Pendekar Mabuk untuk satu persoalan
yang amat penting!"
"Tidak bisa. Sekarang
juga kau harus pulang atau kuseret dalam keadaan sudah menjadi bangkai?!''
"Kalau kau memang mampu,
lakukanlah!" sentak Selendang Kubur dengan berani.
"Baik. Akan kulakukan
tugasku!" geram Dewi Murka. Rupanya ia tidak main-main dan bukan sekadar
menggertak. Terbukti ia segera mencabut trisulanya dari pinggang.
Diam-diam Suto juga punya
dugaan yang sama dengan kata hati Selendang Kubur tadi.
"Tak mungkin Dewi Murka
dapat tugas dari Guru untuk menyuruh Selendang Kubur pulang. Kudengar tadi dia
mau pergi ke tempat lain. Mana mungkin dia akan melepaskah pencuri kitab pulang
sendiri tanpa pengawalan ketat? Bohong dia! Aku tahu dia punya maksud ingin
mendekatiku. Karena waktu aku ada di perguruannya, dia sempat dekati aku dan
berbisik saat gurunya jauh dariku. Ia bilang ingin membantuku mencari Selendang
Kubur, ia bilang, dirinya siap menjadi pendampingku ke mana saja aku pergi.
Jelas dia punya urusan pribadi dengan Selendang Kubur. Dan juga kepentingan
pribadi padaku. Pasti dia iri melihat Selendang Kubur dekat denganku."
Suto tertawa pelan sambil
geleng-gelengkan kepala. Sejenak ia menjadi penonton pertarungan Selendang
Kubur dengan Dewi Murka. Saat berikutnya hatinya berkata,
"Aku tahu, kedua
perempuan itu ingin mendapat tempat di hatiku. Tapi mereka tidak tahu bahwa
hatiku hanya tersedia tempat untuk Dyah Sariningrum. Mereka tak bisa
menyingkirkan bayangan Dyah Sariningrum dari ingatanku. Jadi sebaiknya, kutinggalkan
saja kedua perempuan itu."
Maka, tanpa setahu Selendang
Kubur maupun Dewi Murka, Suto melesat pergi dari Pantai Karang Saru. Sekalipun
keadaan mabuk, tapi Suto tetap mampu melesat bagaikan kilat. Bahkan lebih cepat
dibandingkan gerakannya jika ia tidak sedang mabuk.
Sampai di tengah hutan, Suto
berhenti untuk membuka bumbung tuaknya, ia meneguk beberapa kali,
sedikit-sedikit tuak itu ditelannya. Kemudian, hati Suto sempat ucapkan kata,
"Aku harus temui Peramal
Pikun. Aku yakin dia tahu tentang Dyah Sariningrum. Dia merahasiakannya dariku.
Tapi nanti aku harus bisa mendesaknya dengan berbagai cara."
Tapi tiba-tiba hatinya
diguncang kebimbangan. "Mencari si tua Peramal Pikun atau mencari Peri
Malam?" kata hati Suto.
"Keduanya sama-sama
penting. Menurutku dugaan Selendang Kubur tadi memang bisa saja terjadi. Tuak
Setan diminum oleh Peri Malam. Kalau tuak itu sudah telanjur diminumnya, tentu
aku akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan Peri Malam. Bisa jadi
pertempuranku dengannya membawa korban lain yang tak bersalah. Jika begitu,
sebaiknya kucari lebih dulu Peri Malam untuk menyelamatkan Pusaka Tuak Setan
itu!"
Kepak sayap seekor burung
hinggap di atas pohon yang dipakai beristirahat oleh Suto. Kepak sayap burung
lainnya, hinggap juga di pohon satunya lagi. Makin lama kepak sayap burung
semakin banyak beterbangan di atas Suto. Itu menandakan petang sebentar lagi
tiba. Dan hati Suto berucap kata,
"Aku harus cari desa. Aku
mau menumpang tidur di salah satu rumah. Kebetulan tuakku mulai menipis. Aku
harus cari kedai untuk menambah tuak di bumbungku!"
Sebuah desa ditemukan tak jauh
dari hutan itu. Desa tersebut termasuk desa nelayan. Di sana ada kedai, dan di
kedai itu Suto menambahkan tuak ke dalam bumbungnya.
Seorang lelaki berkumis lebat
melintang sedang makan di kedai tersebut. Matanya yang lebar itu
sebentar-sebentar melirik Suto dengan perasaan tak suka. Lelaki berkumis itu
mengenakan pakaian serba hitam dengan ikat kepala dari kain batik. Duduknya tak
kenal sopan kaki kanan ditaruh di atas bangku, sebentar- sebentar tangannya
dikibaskan membuat makanan yang menempel di jari-jemarinya yang sebesar pisang
itu memercik ke mana-mana.
Salah satu butiran sisa
makanan jatuh dan menempel di lengan Suto. Tanpa banyak bicara Suto menyentil
sisa makanan itu. Sentilan tersebut di arahkan ke suatu tempat. Sisa makanan
itu melesat ke arah kendi yang ada di depan lelaki berkumis tebal itu.
Tang...! Prakkk...!
Kendi itu pecah bagai dilempar
batu sebesar genggaman tangan. Lelaki berkumis yang punya badan tinggi besar
itu menggeram dengan mata jelalatan. Ia mencari di sekelilingnya orang yang
melemparkan batu dan memecahkan kendi di depannya. Tapi tak satu pun ada yang
dicurigainya.
"Bangsat! Siapa yang
berani pecahkan kendiku ini?!" bentaknya ke arah tiga lelaki lain yang ada
di bangku samping.
Pemilik kedai seorang
perempuan tua yang sudah keriput wajahnya. Perempuan itu ketakutan melihat mata
lelaki berkumis membelalak lebar, penuh luapan amarah.
"Sudahlah, Kang. Jangan
hiraukan. Biar kuganti kendimu. Aku masih punya banyak kendi dan minuman."
"Iya. Tapi kendi ini
berisi arak Kebalen! Harganya mahal!"
Pemilik kedai itu berkata,
"Di sini juga jual arak Kebalen, Kang. Biarlah kuganti satu kendi
penuh!"
"Baiklah kalau kau mau
menggantinya. Sebab aku tidak bisa minum tuak yang mirip air kencing kuda itu!
Aku harus minum arak Kebalen, arak paling terkenal dan paling mahal!"
"Ini, Kang...," kata
ibu pemilik kedai. "Ini arak Kebalen satu kendi."
"Baiklah. Beri aku
sekendil tuak!"
"Untuk apa, Kang?"
"Buat cuci tangan,
Goblok!" bentaknya. Pemilik kedai itu menggeragap sambil bergegas
menyiapkan tuak satu kendil berukuran kecil. Pada saat itu, lelaki berkumis
melintang dan berbadan seperti kebo itu melirik sinis pada Suto. Meski tahu
dilirik, Suto diam saja dan pura-pura tidak memperhatikan lelaki yang sedang
unjuk keberanian dan kegalakannya itu.
"Ini tuaknya, Kang? Apa
masih kurang?" tanya pemilik kedai.
"Sudah. Cukup."
Seorang lelaki kurus berbaju
merah lusuh bertanya kepada lelaki berkumis tebat itu.
"Kang, apa tidak merasa
sayang kalau tuak sebegitu banyak dipakai untuk cuci tangan?'
"Sudah biasa!" jawab
lelaki itu. "Aku kalau habis makan, cuci tangannya harus pakai tuak. Tuak
seperti ini kalau di rumahku tidak diminum, tapi buat cuci tangan atau cuci
kaki kalau habis kena tanah becek!"
Tangan lelaki berkumis itu
segera masuk ke kendil berisi tuak. Tapi kejap berikutnya dia memekik keras,
kaget dan heran. Tangannya ditarik kuat-kuat.
"Bangsat! Kenapa tuaknya
panas?!" sambil ia gebrak meja. Pemilik kedai semakin gemetar.
"Ta... tadi... tadi tidak
panas, Kang."
"Tidak panas dengkulmu! Pegang!
Celupkan tanganmu ke dalam tempat ini! Ayo, coba celupkan tanganmu!"
perintah itu mendesak dan membuat pemilik kedai menurutinya karena takut.
Tangan pemilik kedai
dicelupkan ke dalam kendil berisi tuak. Perempuan itu tidak merasa kepanasan,
bahkan agak lama merendamkan tangan ke dalam kendi!.
"Tidak panas, Kang.
Dingin begini kok dibilang panas?"
Lelaki berkumis tertegun
bengong melihat tangan perempuan keriput itu direndam di dalam kendil berisi
tuak. Di sisi lain, Suto tetap diam, tapi dalam hatinya ia tertawa geli melihat
kepongahan lelaki berkumis.
"Coba...!" kata
lelaki itu. Tangan pemilik kedai diangkat, tangan lelaki itu masuk ke dalam
kendil.
"Aaauh...!" ia
memekik keras. Lelaki itu cepat angkat tangannya keluar dari kendil. Tangan itu
mengepul. Jarinya bengkak lebih besar dan berwarna kemerah- merahan. Pemilik
kedai pun belalakkan mata dengan rasa heran dan takut. Begitu pula orang lain
yang ada di situ. Hanya Suto yang tetap tenang dan tak perhatikan hal itu.
Suto tahu, bahwa dirinya sedang
dicurigai oleh lelaki berkumis tebal. Tapi Suto juga tahu, bahwa lelaki itu
tidak punya alasan untuk bikin persoalan dengan Suto. Sebagai pelampiasan
kemarahannya, lelaki berkumis itu segera menampar wajah pemilik kedai sambil
berkata,
"Pasti kamu yang bikin
usil. Hihh...!"
Tap...! Tangan yang berkelebat
mau menampar pipi pemilik kedai itu jadi terhalang oleh bumbung tuak yang
disodokkan Suto. Barulah saat itu lelaki berkumis menggeram dengan mata melotot
bagai ingin menelan Suto bulat-bulat.
"Kau mau unjuk diri di
kampung ini, hah? Kau belum tahu kondangnya Singo Bodong ini!" sambil
lelaki berkumis menepuk dadanya sendiri dengan tangan kiri.
"Kenalkan, kalau kamu mau
tahu, aku inilah Singo Bodong, tukang beset kulit manusia!"
Suto tersenyum-senyum saja.
Singo Bodong menjadi semakin geram.
"Rupanya kau perlu diberi
pelajaran sedikit, Anak Ingusan!"
Tangan kiri Singo Bodong
berkelebat meluncurkan pukulan ke wajah Suto. Tapi dengan cepat Suto
merundukkan kepala dan tangannya berkelebat menghantam iga Singo Bodong
menggunakan punggung telapak tangan. Plook...!
Tubuh Singo Bodong mental
lebih dari lima langkah jauhnya. Padahal hanya mendapat pukulan ringan dari
punggung tangan Suto yang kiri. Tapi menurutnya pukulan itu melebihi serudukan
tiga ekor kerbau.
Bukan hanya Singo Bodong, tapi
setiap orang yang ada di situ mulai menaruh curiga pada Suto. Pemuda tampan itu
pasti bukan orang sembarangan dan sudah tentu berilmu tinggi. Karena itu ketika
Singo Bodong berdiri sambil menyeringai, ia segera mundur beberapa pijak dengan
rasa takut.
"Apa yang mau kau
sampaikan padaku?" tanya Suto.
"Hammm... hmmm... anu...
tidak. Eh, anu... maaf. Maafkan aku, Satria gagah...!"
"Namaku bukan Satria!
Namaku Suto Sinting...!" Suto memperkenalkan diri. Kebetulan ada orang
yang mendengarnya, yaitu lelaki berpakaian merah lusuh yang tadi ikut makan di
kedai itu. Lelaki tersebut segera mendekati Suto dengan sopan.
"Mak.... Maksudnya, Tuan
adalah... adalah Suto Sinting, murid dari si Gila Tuak?"
"Betul. Dari mana kau
tahu?"
"Mak.... Maksudnya...
Tuan adalah Suto Sinting, yang bergelar Pendekar Mabuk?"
"Betul!" sentak Suto
jengkel. "Tahu dari mana kamu?"
Orang kurus berpakaian merah
itu menjawab dengan masih gemetar.
"Tad... tadi, saya dengar
ada orang yang bercerita tentang diri Tuan Pendekar, menyebut-nyebut nama Suto
Sinting yang berilmu tinggi dan... dan si Gila Tuak yang kesohor di rimba
persilatan itu."
"Siapa yang menceritakan
diriku?"
"Orangnya ada di rumah
tetangga saya. Dia... dia numpang bermalam di sana."
"Siapa yang menceritakan
diriku? Itu pertanyaannya!"
"O, anu... anu... namanya
saya tidak tahu. Tapi dia banyak cerita pada keluarga tetangga saya tentang
kehidupan di rimba persilatan. Dia... dia jagoan perempuan. Cantik dan montok.
Eh... anu... maksud saya... dadanya... anu...!"
"Jagoan perempuan? Cantik
dan montok?"
"Bet... betot, eh...
betul!"
"Memakai pakaian
kuning?"
"Iya!"
"Hmmm... Peri Malam ada
di sini rupanya!" pikir Suto, lalu ia berkata kepada orang itu,
"Antarkan aku
menemuinya!"
"Ba... ba... baik!"
***8***
ALANGKAH kaget hati Peri Malam
melihat kehadiran Suto di rumah penduduk desa itu. Cepat sekali ingatan Peri
Malam pada Pusaka Tuak Setan dan bayangan Selendang Kubur. Peristiwa di Pantai
Karang Saru itu mencekam membuat guncang hati Peri Malam.
"Kucari-cari kau,
ternyata ada di sini," kata Suto dengan suara sumbang karena pengaruh
mabuknya masih ada.
Peri Malam segera ambil sikap
tenang seakan tidak merasa pernah berbuat salah apa pun. Lalu Peri Malam
berkata riang.
"Kuharap kau datang
sendirian di malam ini. Bukan bersama Selendang Kubur."
"Ya, memang aku
sendirian. Cuma diantar oleh Kang Rejo, yang rumahnya di sebelah itu."
Pemilik rumah yang dihuni Peri
Malam segera muncul dan ikut menemui Suto. Peri Malam memperkenalkan Suto
kepada keluarga Kriyo Suntuk yang terdiri dari istrinya dan kelima anaknya.
"Ini orang yang
kuceritakan tadi. Ini yang namanya Pendekar Mabuk, Suto Sinting! Ya ini si
orang sakti yang kuceritakan sebagai murid tokoh sakti kesohor bergelar si Gila
Tuak itu!"
Anak-anak Kriyo Suntuk tampak
bangga dan kagum melihat tubuh perkasa Suto, Belum lagi anak gadis Kriyo Suntuk
yang sudah berusia antara delapan belas tahun, sangat terpesona melihat
ketampanan Suto walau bermata sedikit merah karena mabuk. Suto jadi dikerumuni
oleh mereka, ditanyai ini-itu, dijamu dengan makanan lezat, dan dipaksa untuk
bercerita tentang kehebatan ilmu-ilmunya.
Suto sempat berbisik kepada
Peri Malam, "Apa-apaan ini sebenarnya? Mengapa mereka terkagum-kagum
sekali padaku?"
"Kuceritakan tentang
kehebatanmu dan kehebatan gurumu. Mereka suka dengan cerita-cerita
kependekaran. Mereka kagum mendengar ceritaku. Kagum terhadap dirimu. Jadi,
jangan kecewakan mereka, toh mereka berikan kita tumpangan untuk bermalam di
rumah ini!"
"Bermalam? Siapa bilang
aku mau bermalam di sini? Aku hanya akan numpang tidur saja!" kata Suto
sedikit mengacau.
Mereka duduk di tikar, di
pelataran samping rumah. Bahkan kala itu datang juga beberapa tetangga
sekeliling rumah Kriyo Suntuk.
Pendekar Mabuk yang saat itu
memang sedang mabuk bercerita apa saja yang pernah dialaminya. Bahkan apa yang
pernah didengarnya dari mulut para tokoh tua di dunia persilatan, diceritakan
pula kepada mereka. Dan mereka tampak senang, hanyut dalam cerita tersebut.
Satu-satunya orang yang datang
ke situ dan sangat tertarik sekali dengan cerita Suto adalah seorang lelaki
berkumis tebal. Dialah yang tadi mengaku bernama Singo Bodong. Lelaki ini
bahkan sering berdecak terkagum-kagum terhadap cerita tentang jurus-jurus sakti
yang pernah dilihat oleh Suto.
Sampai menjelang pagi, mereka
baru merasa puas. Anak bungsu Kriyo Suntuk tertidur di pangkuan emaknya. Tetapi
Katri, anak gadis Kriyo Suntuk yang berusia antara delapan belas tahun itu,
masih betah memandangi wajah ganteng Suto Sinting.
Suto tak tahan kantuk lagi. Ia
terbaring di tikar itu sambil memeluk bumbung tuaknya. Ketika ia terbangun,
hari sudah siang, matahari pancarkan sinar-nya dengan galak. Dan Katri adalah
orang pertama yang menyambut kebangunan Suto dengan senyum manis, semanis
senyum perawan desa yang berkulit hitam manis.
"Mau kubuatkan secangkir
teh manis, Kang Suto?"
"Tidak. Terima kasih. Aku
sudah cukup puas kalau sudah minum tuak ini. Eh, di mana Peri Malam? Masih
tidur?"
"Peri Malam...?!"
Katri berkerut heran. "Maksudmu Yu Sundari? Pendekar perempuan temanmu itu
toh, Kang?"
"Iya. Mana dia?"
"Ooo... sudah dari tadi
pagi pergi, Kang. Sebelum pergi, dia larang kami membangunkan Kang Suto.
Katanya kalau Kang Suto sedang tidur dan dibangunkan, rumah ini bisa rubuh
dipancalnya! Jadi kami tidak ada yang berani membangunkan Kang Suto!"
"Celaka! Ini pasti
kelicikannya!" pikir Suto. "Aku tak sempat bicara padanya tentang
Tuak Setan itu. Hmmm... pandai sekali ia mengalihkan suasana sampai aku tak
punya kesempatan bicara padanya."
Suto hanya mengetahui arah
kepergian Peri Malam, yaitu ke arah selatan. Dalam perhitungan Suto, perempuan
licik itu tak mungkin berlari cepat, karena ia masih punya luka bekas pukulan
Selendang Kubur. Tak mungkin sembuh sehari-dua hari. Maka, dengan suatu
keyakinan penuh, Suto mengejar Peri Malam ke arah selatan dengan kecepatan
larinya yang melebihi melesatnya anak panah.
Tepat ketika Suto tiba di kaki
bukit, ia memandang kelebatan orang berpakaian kuning kunyit yang sedang berada
di lereng bukit. Tak salah lagi dugaan Suto, orang itu adalah Peri Malam.
Suto berkelebat lewat.
Daun-daun di kanan kirinya berserakan jatuh akibat hembusan angin larinya Suto.
Ia sengaja memotong jalan melalui tepian jurang, ia melompat di atas daun demi
daun yang digunakan sebagai pijakan kakinya.
Bukit itu bagian atasnya
gundul. Tak ada tanaman kecuali rumput dan ilalang tak seberapa tinggi. Tapi
pada permukaan bukit benar-benar kering tanpa tanaman. Hanya bebatuan yang ada
di sana, bagai bisul- bisul tersumbul dari dada seorang perawan.
Di salah satu batu, Suto duduk
menunggu. Karena ia tahu arah perjalanan Peri Malam akan melewati puncak bukit,
lalu menuruninya dan menyeberang sebuah desa nelayan, setelah itu akan mencapai
pantai. Dari pantai itu pasti Peri Malam bertolak menuju Pulau Hantu, untuk
menemui gurunya si Mawar Hitam.
Perhitungan Suto tepat.
Beberapa saat ia tunggui Peri Malam di puncak bukit itu, akhirnya muncul juga
perempuan cantik berotak licik itu.
"Lamban sekali
gerakanmu!" sapa Suto pertama kali saat mata Peri Malam itu beradu pandang
dengannya. Peri Malam tampak kaget dan cemas, tapi segera disembunyikan
perasaan itu.
"Kupikir kau masih
tidur," kata Peri Malam menutup keresahan.
"Tak bisa tidur nyenyak
aku, sebelum Pusaka Tuak Setan kau serahkan padaku."
Terkesiap mata Peri Malam
mendengar ucapan itu. Ia berusaha menutup rahasianya yang sudah jelas
terbongkar dari mulut Selendang Kubur. Lagak bodohnya masih dicoba sebagai
penutup rahasia.
"Pusaka Tuak Setan apa
maksudmu, Suto?"
"Guci kecil, berisi tuak.
Kau rampas dari tangan Pujangga Kramat ketika di tepi Telaga Manik Intan. Kau
lumpuhkan pelayan guruku dengan jarum beracun milikmu itu!"
"Kau sedang mabuk saat
ini, Suto."
"Aku sudah tidur, itu
berarti aku sudah bebas dari mabuk," kata Suto tetap dengan kalem. Matanya
tak berubah pandang. Tertuju lurus ke wajah Peri Malam, membuat perempuan itu
makin gelisah.
"Aku tidak tahu soal
pusaka itu. Siapa bilang aku menyerang Pujangga Kramat di tepi telaga?
Telaganya yang mana, aku juga tidak tahu."
"Selendang Kubur sudah
jelaskan semuanya, Peri Malam. Jangan kau berdusta lagi!"
"Itu rekaan Selendang
Kubur! Jangan mau percaya dengan mulut perempuan macam dia! Dia berusaha
mengarang cerita seperti itu, supaya kau bermusuhan denganku dan dia bebas
mencintaimu."
"Ini persoalan pusaka!
Bukan persoalan asmara!"
"Tapi asmara itulah yang
membikin ribut tentang pusaka! Kau telah dipengaruhi olehnya, Suto! Aku tak
tahu apa-apa tentang Pusaka Tuak Setan!"
"Serahkan Tuak Setan itu
padaku, Sundari," sambil tangan Suto terjulur tengadah meminta pusaka
tersebut. Sambungnya lagi.
"Aku tak ingin bertarung
melawanmu hanya untuk berebut pusaka setan itu! Aku tak bisa melukai wanita
secantik dirimu, Sundari. Jangan paksa aku menyakitimu "
Dengan tutur kata pelan,
Sundari berkata, "Apakah kau mencintaiku sungguh, Suto?"
"Kau bisa tahu setelah
kau berikan pusaka itu padaku, karena dengan memberikan pusaka itu padaku, itu
berarti aku harus membalas kebaikan yang setimpal, kebaikan yang setimpal itu
tentunya merupakan sesuatu yang amat berharga dalam hidupmu!"
Dalam pengertian Peri Malam,
sesuatu yang amat berharga dalam hidupnya adalah sebuah cinta sejati dari pria
seperti Suto. Tapi ia lupa bahwa Suto itu sinting, ia hanya terpengaruh oleh
bayangan hatinya sendiri, sehingga pada akhirnya ia pun berkata, "Baik.
Akan kuserahkan kembali padamu. Tapi setelah itu bawalah aku pergi bersamamu,
Suto!" Peri Malam pun mengeluarkan guci kecil satu genggaman tangan yang
disembunyikan di balik pinggangnya. Guci itu pun diserahkan kepada Suto.
"Terimalah, Suto. Inilah bukti bahwa aku sungguh mencintaimu...."
Seperti badai melintas di
depan mereka berdua, tiba- tiba guci kecil itu lenyap dari tangan Peri Malam
sebelum jatuh ke tangan Suto. Kedua tubuh mereka pun terpental ke belakang
secara bersamaan. Sesuatu yang berkelebat bagaikan badai lewat tadi mempunyai angin
berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Suto terjengkang dan sempat
terkapar, sedangkan Peri Malam terpental dan punggungnya membentur batu. Ia
menyeringai dan merasakan sesak pernapasan dadanya, ia berusaha untuk bangkit,
yang ternyata lebih dulu Suto yang berdiri tegak. Kedua mata mereka memandang
ke arah samping, dan tak salah lagi dugaan Suto, seseorang telah berdiri di
atas batu dengan tawa yang terkekeh-kekeh.
Orang itu berambut abu-abu
digulung naik. Badannya agak bungkuk, pakaiannya abu-abu dengan jubah biru
lusuh hampir serupa dengan warna pakaian dalamnya yang abu-abu itu. Orang itu
menyelipkan sebuah senjata berupa tengkorak kambing bertongkat pendek kira-kira
dua jengkal. Tongkat itu pun terbuat dari tulang punggung binatang sejenis
kerbau atau entah apa. Orang itu mempunyai wajah yang keriput kempot dan peot
dengan gigi berjarak renggang karena ompong.
Siapa lagi si tua bongkok dan
kempot itu selain gurunya Peri Malam yang bergelar si Mawar Hitam. Rupanya ia
datang tepat pada waktunya. Dan sekarang Pusaka Tuak Setan itu berada dalam
genggamannya, ia tertawa-tawa kegirangan memandangi guci kecil itu.
"Guru...," sapa
Sundari dengan rasa takut. Sapaan lemah itu membuat tawa Mawar Hitam hilang
seketika. Mata cekungnya memandang tajam pada Peri Malam, dan ia mengumpat.
"Mulid sesat! Mulid
bodoh! Sudah dapatkan pusaka mau selahkan olang lain! Dasal mulid otak
kebo!"
"Guru, maafkan aku!
Karena... karena aku tahu pusaka itu sebenarnya bukan hak milik kita, melainkan
milik Suto Sinting ini!"
"Pelsetan dengan Suto!
Kamu telgoda sama ketampanan wajahnya! Padahal ketampanan itu adalah lacun!
Lacun yang mematikan!" sentak perempuan tua yang tidak bisa menyebutkan
huruf R.
"Mawar Hitam," kata
Suto dengan berusaha tetap tenang. "Jangan bikin perkara denganku. Aku
memang masih muda. Tapi aku tak pernah merasa segan membunuh raga tuamu jika
pusaka itu tak kau serahkan padaku!"
"Hik hik hik
hik...," Mawar Hitam tertawa. "Beltahun-tahun kutunggu kesempatan
ini, tak mungkin bisa kudiamkan begitu saja. Kau, mulid si Gila Tuak, kasih
tahu sama gulumu, sekalanglah saatnya dia halus tunduk padaku. Kalena sebental
lagi aku akan minum Tuak Setan ini, dan aku akan jadi olang telkuat di antala
tokoh-tokoh limba pelsilatan...!"
"Kuingatkan sekali lagi,
Mawar Hitam! Serahkan pusaka itu atau aku bertindak sekarang juga?!"
"Hih, anak ingus mau coba
tantang aku? Hih, kuhanculkan batok kepalamu dengan pusaka Tengkolak Lial
ini...!"
Melihat Mawar Hitam mencabut
senjatanya yang bernama Tengkorak Liar itu, Peri Malam menjadi sangat cemas.
Sebab ia tahu, gurunya jarang menggunakan senjata Tengkorak Liar itu. Jika
senjata itu digunakan, atau dicabut dari pinggangnya, itu pertanda akan ada
korban nyawa cepat atau lambat. Karena itu, Peri Malam segera mendekati Suto
dan berbisik,
"Mundurlah, Suto...!
Kalau dia cabut senjata itu, sangat berbahaya bagi dirimu. Biar aku yang
menjinakkan kemarahannya, Suto!"
"Aku tak peduli, Peri
Malam!"
"Hei, Sundali...!"
seru Mawar Hitam. "Kau kasih dia pengeltian, jangan coba-coba menantang
kemarahanku, supaya dia selamat dan bisa jadi suamimu! Kalau dia mau,
kukawinkan kau dengannya di Pulau Hantu kapan saja kalian siap!"
"Tidak, Guru! Pusaka
itulah tanda cintaku kepadanya. Berikan pusaka itu, Guru!" sentak Peri
Malam dengan beraninya.
"Mulid sesat! Kau pun
belani menentangku, hah?!
Kau pellu tahu, bagaimana aku
hanculkan si tampan yang bodoh itu! Hiaaah...!"
Mawar Hitam sentakkan tangan
kanannya yang sudah memegang senjata Tengkorak Liarnya itu. Kilatan cahaya
perak meluncur cepat dari kedua mata tengkorak kambing. Suto segera silangkan
bumbung tuaknya dengan badan sedikit merendah. Tapi, Peri Malam berteriak
cemas.
"Suto, jangan tahan
serangan itu! Hindari!"
Karena Suto tak ada
tanda-tanda akan bergerak menghindar, maka Peri Malam pun melesat maju
menghadang sinar perak itu. Ia berdiri di depan Suto sambil berteriak,
"Jangan, Guru...!"
Suto menyapu kaki Peri Malam
dengan cepat. Tubuh Peri Malam rubuh seketika. Sinar perak melesat melewati
atas tubuh Peri Malam, dan segera diterima oleh bumbung tuaknya Suto.
Craasss...! Cahaya memercik
ketika sinar perak itu mengenai bumbung tuak. Cahaya tersebut membalik ke arah
Mawar Hitam. Serta-merta nenek keriput itu kibaskan senjatanya dari samping
kiri ke samping kanan. Wuuugh...!
Kibasan angin itu membentur
sinar perak dan terjadilah ledakan kuat dari kedua benturan itu.
Blarrr...!
Suto melompat dan bersalto di
udara. Tetapi Peri Malam terlambat menghindari gelombang ledakan tersebut.
"Uhhg...!"
Bruukk...! Tubuh Peri Malam
terlempar tiga langkah ke belakang. Mulutnya menyemburkan darah segar, membasah
di pakaian kuningnya. Wajahnya pucat seketika, ia masih bisa membuka matanya,
namun tak mampu lagi bicara, ia ingin bangkit, namun hanya mampu duduk
bersandar pada batu sambil memegangi bagian dada.
"Sundari...?!" desis
Suto dalam cemas.
"Awas...!" ucapnya
lirih, membuat Suto berpaling pada Mawar Hitam. Rupanya saat itu Mawar Hitam
lancarkan serangan kembali dengan sentakkan tengkorak kambingnya.
Suto merasakan datangnya
gelombang panas yang menyerang ke arahnya. Suto cepat jejakkan kaki ke tanah
dan berkelebat jungkir balik di angkasa dalam gerakan maju. Pukulan tenaga
dalam yang mempunyai daya panas cukup tinggi itu melesat menemui tempat kosong.
Tapi pada saat itu, kaki Suto sudah berpijak di batu atasnya Mawar Hitam.
"Hiaaah...!" sentak
Suto sambi! meluncurkan tendangan ke arah kepala nenek bungkuk itu.
Plakkk... !
Mawar Hitam terkena tendangan
pada pelipisnya. Tendangan itu bertenaga dalam besar. Tubuh Mawar Hitam
terpental melayang akibat tendangan itu. Suto segera mengejarnya dengan satu
kali sentakan kaki, tubuhnya melayang ke arah Mawar Hitam.
Jlig...! Kakinya berpijak ke
tanah. Mawar Hitam yang terkapar segera layangkan kakinya menendang pangkal
paha Suto. Namun tangan Suto lebih cepat gerakkan bumbung bambu tuak. Plokk...!
Kaki itu dihantam memakai bumbung yang bertenaga dalam cukup tinggi.
Pukulan itu bukan saja membuat
kaki Mawar Hitam terpelanting ke samping, namun juga merasa tulang keringnya
remuk, hingga ia sempat memekik tertahan.
"Uuhhg...!"
Suto segera sodokkan bumbung
bambu ke wajah Mawar Hitam. Tapi dengan cepat Mawar Hitam berguling ke samping.
Wuusss...! Proook...!
Batu sebesar kerbau duduk itu
hancur tanpa memercikkan debu sedikit pun akibat terkena sodokan bambu bumbung
tuak. Batu itu langsung surut dan menjadi serpihan-serpihan selembut pecahan
kaca.
Pada saat itu Mawar Hitam
segera bangkit dan duduk, lalu senjatanya dibabatkan ke kaki Suto. Tak kalah
lincah Suto menghindar dengan satu kali sentakan ujung jempol kakinya, ia
melenting di udara dan bersalto mundur satu kali. Sementara angin yang
ditimbulkan dari kibasan senjata tengkorak kambing itu begitu besarnya, hingga
batu besar setinggi tubuh Suto itu terlempar dan menggelinding jatuh melintasi
lereng bukit.
"Jahanam busuk kau,
Suto!" geram gurunya Peri Malam, ia masih bisa paksakan diri untuk berdiri
walau satu kakinya telah remuk.
Kejap berikutnya, Suto
kerahkan tenaganya dengan kembangkan jemari tangan yang terangkat sebatas dada.
Rupanya ia melakukan kekuatan menghisap dari jarak jauh hingga jemari tangan
kirinya yang tidak memegangi bumbung tuak itu tampak bergetar.
Mawar Hitam tak jadi kirimkan
pukulan jarak jauhnya, karena ia harus mempertahankan guci kecil di tangan
kirinya itu. Ia bertahan memegangi guci yang nyaris terlepas itu. Begitu
kuatnya daya hisap tenaga Suto, sampai kulit tubuh nenek itu terkelupas sedikit
demi sedikit, khususnya di bagian pergelangan tangan kiri.
Mawar Hitam tetap bertahan
menggenggam Guci Tuak Setan dengan mati-matian. Kekuatannya terpusat pada
genggamannya itu, hingga jari jemarinya tampak berdarah.
Kuku-kukunya nyaris terlepas
karena daya hisap tenaga Suto yang dinamakan ilmu 'Serap Sukma', warisan
ilmunya si Gila Tuak.
Rupanya kekuatan ilmu 'Serap
Sukma' sudah tak bisa dilawan lagi. Guci itu pun melesat terbang, lepas dari
genggaman Mawar Hitam. Segera nenek bungkuk itu sentakkan tangan kanannya yang
masih memegang tengkorak kambing, dan tangan kiri pun menyentak ke arah Suto.
Akibatnya, guci yang melayang di udara itu pecah, tubuh Suto sendiri kena
pukulan jarak jauh pada saat ia berbalik membelakangi Mawar Hitam untuk
melompat meraih guci itu.
"Aaahhg...!"
Suto jatuh berlutut, sedikit
melengkung ke belakang karena terkena pukulan punggungnya.
Kepala Suto terdongak ke atas
dengan mulut ternganga melontarkan suara pekik tertahan.
Pada saat itulah guci di
atasnya pecah, cairan hijau kehitam-hitaman yang kental itu tumpah keluar, dan
jatuh masuk ke dalam mulut Suto.
Glek...! Cairan itu tertelan
oleh Suto. Mawar Hitam berteriak keras karena kecewanya.
"Jahanaaam...!
Hiaaah...!"
Mawar Hitam bergerak maju
dengan satu lompatan dan memukul kepala Suto dengan senjatanya. Tapi dari arah
belakang, tiba-tiba sebuah cahaya merah berkilat cepat melesat menghantam
punggung Mawar Hitam. Cahaya itu datang dari tangan Peri Malam.
"Aaahg...!" tubuh
Mawar Hitam pun jatuh terpelanting dan menyemburkan darah kental dari mulutnya.
Tetapi ia tampak masih tangguh untuk memberi pukulan balasan. Tangan kirinya
yang berdarah karena kulitnya hampir copot itu disentakkan ke arah Peri Malam.
Wuugh...! Sebuah pukulan
menghantam ke arah dada Peri Malam. Dalam keadaan lemas, Peri Malam sempat
jatuhkan diri dari sandarannya. Akibatnya, pukulan itu mengenai batu, dan batu
itu hancur lebur dalam sentakan keras. Pecahannya beterbangan ke mana-mana.
Peri Malam sudah tak bisa
ingat apa-apa lagi. Tapi Mawar Hitam masih bisa sentakkan kakinya dan melesat
pergi bagaikah siluman menembus awan. Ia lakukan hal itu setelah ia merasa
dirinya terluka cukup berat, termasuk akibat serangan dari muridnya sendiri
itu. Dan juga, ia melihat Suto terkapar tak bergerak dengan tubuh mulai
berasap. Itulah saatnya Mawar Hitam tinggalkan bukit.
Tubuh Suto sendiri terus
berasap, makin lama makin jelas kepulan asap putih kehitam-hitaman. Bahkan
dalam keadaan terbaring di samping bumbungnya, tubuh itu bergerak-gerak bagai
ayam disembelih. Kakinya berkelojotan, disusul dengan kedua tangan yang
tersentak-sentak.
Suto maupun Peri Malam tak
tahu bahwa kejap berikutnya, seorang perempuan cantik berdiri tertegun
memandang ke arah Suto. Matanya terbelalak tegang saat ia menyebut nama, "
Suto...?!"
SELESAI