SEBELUM berangkat ke Puri
Gerbang Surgawi, tempat kediaman Nyai Gusti Dyah Sariningrum yang menjadi
kekasih idaman Suto, Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak itu menyempatkan diri
untuk singgah ke Jurang Lindu. Kali ini ia terpaksa tidak bisa meninggalkan Dewa Racun, orang
kepercayaan Nyai Gusti Dyah Sariningrum yang ditugaskan menjemput dan mengawal
Suto Sinting. Tetapi, Dewa Racun agaknya tahu diri dalam hal ini.
"Tem... tem... temuilah
gurumu, akkk... akkk... aku akan menunggu di luar gua. Aaakk... aku tidak perlu
ikut masuk!"
"Baiklah. Aku tak
lama!"
Suto cepat tinggalkan orang
kerdil berpakaian putih- putih dari jenis kulit binatang berbulu itu. Curahan
air
terjun yang deras ditembusnya
masuk dengan satu kelebatan secepat kilat. Jraasss...!
Mulut gua yang ada di balik
curahan deras air terjun
itu dipakai mendarat sepasang
kaki Pendekar Mabuk yang kokoh. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin
bisa menerabas tembus curahan air sebegitu besarnya dari jarak lompat lebih
delapan belas langkah. Apalagi tanah di mulut gua itu licin oleh lumut, sudah
pasti akan membuat orang yang tidak mempunyai ilmu peringan tubuh akan
tergelincir.
"Sudah kau selesaikan
urusanmu, Suto?!"
Kehadiran Suto disambut oleh
seorang berpakaian serba hijau yang tidak mengenakan jubah. Jubah kuningnya itu
tampak digantungkan pada salah satu sisi dinding gua. Orang tua berambut
panjang beruban itu tak lain adalah si Gila Tuak, guru Suto Sinting.
"Maksud Guru, urusan yang
mana?" Suto ganti bertanya sambil langkahkan kaki mendekati gentong tuak.
"Pertarunganmu dengan
Manusia Sontoloyo apa sudah kau selesaikan?"
"Sudah, Guru!"
"Bagus. Sebab, menang atau kalah
sebuah pertarungan tak boleh ditolak oleh seorang pendekar. Dengan cara
licik atau ksatria, janji pertarungan tanding laga tetap harus
dilaksanakan!"
"Saya paham, Guru!"
Tak jauh dari gentong-gentong
tuak itu, seorang perempuan cantik yang anggun dan bijaksana duduk
memandangi Suto.
Perempuan yang mengenakan pakaian biru muda dengan jubah
tipis sutera warna kuning itu sunggingkan senyumnya saat Suto menuang tuak ke
dalam bumbung sambil melirik kepadanya.
"Apakah Dirgo Mukti, si
Manusia Sontoloyo itu tewas di tanganmu, Suto?" tanya perempuan itu yang
tak lain adalah Betari Ayu.
"Tidak, ia dirobohkan
oleh muridmu sendiri, Nyai
Betari."
"Muridku?!" Betari
Ayu berdiri dengan rasa kaget. "Muridku yang mana? Selendang Kubur?"
"Ya. Dia bergabung dengan
Peri Malam dan Perawan
Sesat."
"Bergabung dengan Perawan
Sesat?! Aneh sekali!" "Mereka bertiga yang memprakarsai pertarungan
di
Bukit Jagal. Mereka bertiga
ingin membunuhku setelah
terlebih dulu tenagaku
dipancing agar terkuras dengan melawan Manusia Sontoloyo. Mereka berjanji
kepada Manusia Sontoloyo akan sanggup menjadi istri si Sontoloyo itu, apabila
Sontoloyo bisa mengalahkan aku! Seorang temanku mengetahui rencana itu, lalu kubuat
kelicikan lain juga untuk menjebak mereka bertiga. Sontoloyo kubiarkan menang,
tentu saja mereka bertiga jadi
kelabakan dituntut janjinya oleh Sontoloyo. Akhirnya mereka bertiga yang
bertarung melawan Sontoloyo!"
(Baca serial
Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").
Si Gila Tuak perdengarkan
tawanya yang mirip orang menggumam. Kemudian ia ajukan tanya, "Apakah
Sontoloyo menang?"
"Tidak, Kakek Guru!"
jawab Suto sudah terbiasa memanggil gurunya dengan sebutan kakek, karena Suto
diambil murid sejak berusia delapan tahun. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Bocah Tanpa Pusar").
Suto lanjutkan kata,
"Dirgo Mukti atau si Manusia Sontoloyo itu terluka parah, nyaris mati di
tangan tiga perempuan itu. Tapi Mawar Hitam datang dan segera mengambil tubuh
Dirgo Mukti kemudian membawanya pergi ke Pulau Hantu."
"Mawar Hitam...?!"
gumam Nyai Betari Ayu. Ada kecemasan terbayang di wajahnya yang cantik itu.
"Dia masih punya dendam
padaku, juga kepada Bibi Guru," Suto palingkan wajah kepada si Gila Tuak
yang punya nama asli Ki Sabawana.
"Hati-hatilah jika ketemu
dia," kata si Gila Tuak. "Dia bukan saja berilmu tinggi, tapi punya
banyak kelicikan."
"Saya mengerti,
Guru."
"Kau tak perlu
mengejarnya ke Pulau Hantu. Di sana banyak jebakan maut yang mematikan! Kalau
kau ingin menghadapi dia, pancing dia supaya keluar dari Pulau Hantu dan
lawanlah di tempat lain. Itu pun kalau memang terasa perlu!"
"Baik, Guru!"
Betari Ayu bertanya,
"Lalu, apa alasannya ketiga perempuan itu ingin membunuhmu?"
"Aku kurang jelas, Nyai
Betari. Tapi aku punya kemungkinan, barangkali saja mereka sakit hati sebab
cintanya tak pernah
kuhiraukan."
Si Gila Tuak terkekeh dalam tawa
pelannya. "Perempuan bisa lebih ganas dari seekor singa lapar jika sudah
berurusan tentang cinta."
"Tapi bisa selembut
sutera jika bisa mengendalikan cintanya," timpal Betari Ayu kemudian. Si
Gila Tuak makin terkekeh.
"Guru, saya datang
menemui Guru hanya sekadar untuk pamit. Saya hampir menemukan siapa perempuan
yang bernama Dyah Sariningrum itu. Di mana tinggalnya pun saya sudah
tahu. Sekarang saya akan berangkat ke Pulau Serindu untuk menemuinya."
Si Gila Tuak melayangkan
pandang ke arah Betari Ayu yang mulai berwajah sendu. Si Gila Tuak tahu, di
dalam hati Betari Ayu tersimpan duka kala Suto sebutkan nama Dyah Sariningrum.
Karena, si Gila Tuak pun tahu bahwa Betari Ayu menyimpan rindu dan cinta untuk
Suto Sinting. Tapi agaknya Betari Ayu lebih berjiwa mengalah dan tak mau
memperlihatkan rasa kecewanya.
"Guru, apa saran Guru
untuk perjalananku ke Pulau Serindu? Menurut kabar dari Peramal Pikun, Guru sebenarnya
banyak tahu tentang calon jodoh saya itu, tapi selama ini Guru tidak pernah
bilang apa-apa pada saya. Jika Guru berkenan, tolong ceritakan sedikit tentang
Dyah Sariningrum, Guru!"
Kepala berikat kain merah itu
menggeleng. Gila Tuak ucapkan kata dengan pelan, sangat berwibawa dan bijak
sikapnya.
"Betari Ayu lebih banyak
tahu tentang Dyah
Sariningrum daripada aku.
Tanyakan saja padanya." Cepat-cepat Pendekar Mabuk palingkan wajah dan
lemparkan pandangan tajam
kepada Betari Ayu. Dahi pun dikerutkan tanda heran dan terperanjat, sebab
selama ini Betari Ayu tak pernah mau bicarakan tentang Dyah Sariningrum. Jika
benar Betari Ayu tahu banyak tentang Dyah Sariningrum, mengapa selama ini ia
rahasiakan hal itu di depan Pendekar Mabuk?
Betari Ayu tak berani membalas
tatapan Suto. Pandangan mata Pendekar Mabuk bagaikan menyimpan segunung cinta
dan daya pikat yang luar biasa, sehingga Betari Ayu tak mau terjerat
perasaannya terlalu dalam. Ia palingkan wajah ke arah lain sewaktu Suto ajukan
tanya, "Benarkah kau banyak tahu tentang Dyah
Sariningrum?"
"Karena gurumu sudah buka
rahasia, terpaksa aku tak bisa berpura-pura lagi," jawab Betari Ayu.
Pendekar Mabuk langkahkan kaki
dua tindak ke depan Betari Ayu. Sengaja ia berdiri di depan wajah cantik itu
supaya ia bisa menatap lekat-lekat wajah perempuan yang selama ini menyimpan
cinta dan kasih sayang kepadanya itu.
"Nyai," ucap Suto
dengan lembut, "Katakanlah apa yang kamu tahu tentang kekasihku itu!
Katakanlah apa adanya, Nyai."
Terdongak sedikit wajah Betari
Ayu. Dipaksakan diri memandang wajah Suto sambil ucapkan kata,
"Dyah Sariningrum adalah
adikku!"
"Hah...?!"
Terperangah mulut
Pendekar Mabuk seketika. Terbelalak mata pemuda tampan itu,
dan mematunglah ia di depan Betari Ayu. Debar-debar jantung Suto seakan ingin
meledak menjebol dada demi mendengar jawaban dari mulut berbibir manis milik
Nyai Betari Ayu itu.
"Saat kau sebutkan nama
adikku, saat kau mengigau dalam sakitmu memanggil-manggil nama adikku, hatiku
pedih sekali, Suto. Perih, tapi juga bangga. Aku tahu kau sangat mencintai
adikku walau belum pernah bertemu di alam nyata, kecuali di alam mimpi dan di
alam semadimu. Tapi aku percaya, kau punya cinta yang tulus kepadanya. Itulah
sebabnya aku tak banyak menuntut dari cinta yang tumbuh di hatiku, Suto. Karena
aku tahu, hatimu itu ingin kau persembahkan kepada adikku sendiri. Aku hanya
bisa merawat cinta untuk diriku sendiri, dan membagikan kasih sayang kepadamu
yang jauh lebih dalam dari seluruh kasih sayang yang pernah ada."
"Mengapa kau tidak pernah
mengatakannya padaku, Nyai?"
"Kau tidak mudah percaya.
Kau akan tuduh aku mempengaruhi jalan pikiranmu. Kau akan anggap aku berdusta.
Dan yang terakhir, kau bisa benci padaku karena salah duga. Aku tak ingin kau
benci, Suto. Aku juga tak ingin membencimu. Karenanya, semua kupendam dan kujadikan rahasia
pribadi buat diriku sendiri."
Saat ucapkan kalimat terakhir,
Nyai Betari Ayu
tundukkan wajahnya, ia
menggigit bibirnya sendiri, bak menahan luapan rasa yang tak mampu terucap
lewat kata.
"Nyai...," Suto
ingin ucapkan sesuatu, namun ia tak mampu menyampaikannya. Kerongkongannya
bagai tersekat gumpalan rasa yang tak tahu apa namanya.
Betari Ayu
mengangkat wajahnya pelan-pelan. Tangannya menggenggam
pundak Suto sambil ucapkan kata,
"Pergilah. Berangkatlah
ke Puri Gerbang Surgawi. Temui dia dan sampaikan salamku kepadanya! Kabarkan
keadaanku baik-baik saja!"
Suto makin tak tahu harus
bilang apa melihat kebijakan begitu agung dari Nyai Betari Ayu. Ia hanya
pandang gurunya, dan si Gila Tuak cepat menambahkan. "Hati-hati, kau pasti akan
berhadapan dengan
Siluman Tujuh Nyawa!"
Dahi Suto berkerut.
"Siapa Siluman Tujuh Nyawa itu, Guru?"
Gila Tuak hanya memandang
Betari Ayu, lalu memberi isyarat dengan anggukkan kepala pelan sekali, hampir
tak terlihat oleh mata Suto. Setelah melihat isyarat itu, Betari Ayu pun
tuturkan kata sebagai jawaban pertanyaan Suto tadi.
"Nama aslinya Durmala
Sanca, murid seorang Pendeta Tibet, ia penguasa Laut Tenggara. Usianya sudah
seratus tahun, tapi masih kelihatan seperti berusia lima puluh tahun. Durmala
Sanca orang berilmu tinggi. Jarang menginjakkan kakinya di tanah Jawa jika
tidak
ada urusan penting. Salah satu
ilmu kesaktiannya adalah, bisa berubah wujud menjadi tujuh rupa yang berbeda-
beda. Itulah sebabnya ia mendapat julukan di kalangan rimba persilatan sebagai
Siluman Tujuh Nyawa."
"Apakah Kakek Guru pernah
bertemu dengannya?" tanya Pendekar Mabuk kepada si Gila Tuak.
"Secara berhadapan belum
pernah, ia selalu
menghindari pertemuan
denganku. Antara aku dan dia tidak punya persoalan apa-apa. Tapi dengan bibi
gurumu, Bidadari Jalang, dia pernah bentrok dan hampir saja tewas di tangan
Bidadari Jalang. Sejak itu ia tak pernah muncul lagi."
Suto Sinting angguk-anggukkan
kepala. Lalu, ia alihkan pandang kepada Betari Ayu, dan lontarkan tanya,
"Lantas, apa hubungannya dengan Dyah
Sariningrum?"
"Sejak masa mudanya, ia
mengejar-ngejar adikku. Dia ingin memperistri adikku, tapi adikku menolak dan
mengadakan
perlawanan. Sampai akhirnya, Dyah Sariningrum terkena satu
pukulan darinya yang bernama pukulan 'Candra Badar'."
"Apakah pukulan itu
berbahaya?"
"Sampai sekarang masih berbahaya dan tetap bersarang di tubuh adikku.
Pukulan 'Candra Badar' itu membuat adikku bagai tahanan yang terkurung, tak
bisa keluar ke mana-mana, kecuali di lingkungan istananya."
"Mengapa bisa
begitu?"
"Pukulan 'Candra Badar'
membuat tubuh adikku
terbakar jika terkena sinar
matahari, cahaya rembulan, atau cahaya bintang. Jadi, baik siang maupun malam,
Dyah Sariningrum tidak bisa keluar dari istananya. Karena cahaya kunang-kunang
pun bisa membuat tubuhnya terbakar. Semua cahaya yang bersifat alam, akan
membakar tubuhnya sebelum pukulan 'Candra Badar' itu dibuang atau ditawarkan
dari tubuh adikku. Itulah sebabnya ia tak pernah berkunjung kemari untuk
menemuiku. Hanya sekali tempo saja aku ke sana menengok keadaannya."
Bukan hanya
Pendekar Mabuk yang terkesiap mendengar penjelasan
itu, tapi si Gila Tuak pun jadi kerutkan dahi, matanya tajam memandang Betari
Ayu. Lalu, sebelum Suto Sinting bicara, Gila Tuak mendului berkata kepada
Betari Ayu,
"Mengapa kau tak pernah
ceritakan padaku tentang
'Candra Badar' itu,
Betari?! Aku malah
baru mendengarnya saat ini!"
"Urusan ini terlalu
pribadi, sehingga tak enak jika harus kubeberkan pada orang lain," jawab
Nyai Betari Ayu.
Rupanya keadaan Dyah
Sariningrum yang diceritakan Betari Ayu membuat panas hati si Gila Tuak. Baik
Nyai Betari Ayu maupun Dyah Sariningrum adalah teman baik semasa muda si Gila
Tuak. Usia mereka sebenarnya seimbang, hanya bedanya Betari Ayu dan Dyah
Sariningrum menguasai ilmu kecantikan abadi sehingga kelihatan tetap muda dan
cantik, seperti yang dialami oleh Bidadari Jalang, Nyai Lembah Asmara, dan
beberapa tokoh tingkat tinggi
lainnya.
Merasa teman baiknya dalam
keadaan dilukai oleh Durmala Sanca, si Gila Tuak pandangkan mata ke arah luar
mulut gua. Pandangannya kaku, dingin. Tangannya menggenggam kuat, giginya
menggeletuk menahan geram. Lalu, terdengar suaranya yang sangat berwibawa di
telinga Pendekar Mabuk.
"Suto, cepat berangkat!
Bebaskan kekasihmu itu dan hancurkan Siluman Tujuh Nyawa:"
"Baik, Guru!" jawab
Pendekar Mabuk tegas dan bersikap patuh. "Saya pamit sekarang, Guru!"
"Ya."
"Saya pamit, Nyai!"
"Tunggu," cegah Nyai
Betari Ayu, membuat Suto menghentikan langkahnya yang sudah sampai di mulut
gua, juga membuat si Gila Tuak kerutkan dahi dalam menatapkan pandangannya.
"Bawalah cincin ini. Kau
yang berhak memakainya, Suto. Bukan aku!" Nyai Betari Ayu melepaskan
Cincin Pusaka Manik Intan yang mempunyai kekuatan sangat dahsyat itu. Tempo
hari Pendekar Mabuk mengenakan di jari Betari Ayu sebagai sikap berjaga-jaga
dari serangan mendadak, karena pada waktu itu Betari Ayu dalam keadaan terluka.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan di Bukit
Jagal").
"Sebenarnya aku ingin
menitipkan cincin ini padamu sebagai ganti diriku menjaga keselamatanmu,
Nyai!"
"Tidak, Suto. Aku tidak
berhak memakai cincin pusaka ini! Kaulah yang berhak memakainya, karena
cincin ini milik bibi gurumu,
Bidadari Jalang."
Si Gila Tuak segera menyahut,
"Simpan saja di dalam bumbung tuakmu. Tuak itu akan semakin mempunyai
kekuatan dahsyat jika dipakai merendam cincin itu, Suto!"
"Baik, Guru!"
"Jika keadaan sangat
memaksa, kau masih bisa memakai dan menggunakannya!"
"Baik, Guru. Saya
paham!"
"Suto," Betari Ayu
meraih tangan pemuda tampan itu. "Ingatlah, kita saling menyimpan kasih
sayang, tapi berikan cintamu kepada adikku setulus mungkin, dan kumohon jangan
sakiti hatinya."
"Tidak akan aku melukai
hatinya maupun kulitnya. Bahkan bayangannya pun tak berani sembarangan
kuinjak!"
Senyum manis mekar di bibir
Nyai Betari Ayu. Senyum manis itu berbaur dengan rasa iba, cinta, sayang, dan
kebahagiaan. Pendekar Mabuk melirik gurunya sebentar. Tapi karena
sang Guru tidak palingkan pandang, walau sudah
ditunggu sekian lama, maka Pendekar Mabuk nekat mencium pipi Nyai Betari Ayu.
Setelah itu, Pendekar Mabuk jadi malu melirik gurunya sendiri dan berkata
pelan, "Maaf, Guru...!"
"Teruskan!" hanya
itu jawaban si Gila Tuak, lalu balikkan badan dan melangkah ke gentong tuak.
Pendekar Mabuk baru akan
mengulangi kembali kecupannya tadi, namun si Gila Tuak segera menoleh kaget.
Dari sana ia membentak keras,
"Yang kumaksud, teruskan
langkahmu!"
"Oh, hmm... iya... anu,
maaf, Guru!" Suto kaget dan jadi gelagapan. Lalu, dengan cepat ia melesat
pergi tinggalkan mulut gua.
Si Gila Tuak memandangi
kepergian muridnya sambil
geleng-gelengkan kepala
dan menggumam.
"Dasar murid
sinting...!"
*
* *
2
SATU hal yang belum diketahui
secara pasti oleh Suto, yaitu dengan apa ia harus pergi ke Pulau Serindu, yang
konon jauh letaknya dari tanah Jawa.
"Kkkam... kam... kamu
tidak usah khawatir, Suto. Aku sudah siapkan pe... pppeee... per...."
"Perawan?!"
"Husy! Bukan! Akk... aku
sudah siapkan perahu untuk perjalanan kita ke sana. Perahu itu kugunakan waktu
kemari dan kusimpan di tempat yang... yang ammm... ammm..."
"Ampuh?!"
"Aman!" sentak Dewa
Racun.
Setiap Suto mendengar omongan
Dewa Racun, ia selalu merasa capek sendiri melihat orang kerdil itu
terengah-engah dalam bicaranya. Kadang Suto tak ingin mengajak Dewa Racun untuk
bicara, tapi orang kerdil berkepala botak bagian tengahnya itu justru memancing
percakapan. Kadang Pendekar
Mabuk merasa tak sabar jika bicara dengan Dewa Racun yang gagap itu. Kadang
juga merasa kasihan jika Dewa Racun harus banyak bicara. Tapi si kerdil
bersenjata panah pendek itu agaknya tersinggung jika tidak diajak bicara.
"Ap... apa... apakah kita
mau mampir dulu ke pondoknya Renggono?" tanya Dewa Racun dalam perjalanan
menuju pantai,
"Siapa itu
Renggono?"
"Nama aslinya Peee...
pee.... Peramal Pikun!" "Menurutmu sendiri bagaimana? Apakah kita
perlu
mampir ke sana dulu atau
langsung ke pantai tempat
perahumu disembunyikan?"
"Per... perrr...
perasaanku tak enak sejak tadi. Ada baiknya kalau kita mammm... maamm...
maamm...."
"Kamu itu lapar atau
bagaimana? Kok maem, maem,
terus?"
"Maksudku, mammm...
mampir ke Peramal Pikun!" Dewa
Racun bersungut-sungut merasa dilecehkan. Pendekar Mabuk
tertawa sambil tepuk-tepuk pundak Dewa Racun, menenangkan perasaan Dewa Racun
agar tidak tersingung.
"Baiklah, kalau memang
kau punya perasaan tak enak, aku tak keberatan untuk mampir ke pondoknya
Renggono sekalian aku mau pamitan sama dia."
Pondok persinggahan Peramal
Pikun terletak di tepi sungai yang sunyi, rimbun oleh pepohonan sekitarnya.
Tepatnya, pondok itu terletak di kaki sebuah bukit tanpa nama. Enak untuk
mengasingkan diri, juga enak untuk
berlatih ilmu.
Peramal Pikun bukan orang dari
golongan hitam. Tapi ia mempunyai adik yang termasuk dalam golongan hitam,
yaitu Cadaspati, murid dari Malaikat Tanpa Nyawa yang sudah dibunuh oleh si
Gila Tuak, sebelum Suto menjadi muridnya. Cadaspati sendiri dibunuh oleh Datuk
Marah Gadai. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak
Setan").
Manusia kurus kering yang
sudah tua renta itu sebenarnya adalah teman baik Dewa Racun. Semasa Peramal
Pikun menjadi muridnya Nyai Gusti Dyah Sariningrum, ia berteman akrab dengan
Dewa Racun. Sayang sekali, Renggono jatuh cinta pada gurunya sendiri, yaitu
Dyah Sariningrum dan pernah melawan untuk memperkosanya, sehingga ia diusir
dari Pulau Serindu dan dikutuk dengan ilmu yang bernama
'Rentang Kutuk'. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan di Bukit Jagal"). Tetapi
pengaruh kutukan itu bisa ditawarkan oleh Suto, sehingga Peramal Pikun yang
tidak pernah meramal dan bila meramal tidak pernah tepat itu, lolos dari maut
yang mengancam nyawanya.
Langkah Suto Sinting tiba-tiba
terhenti, tangannya meraih lengan Dewa Racun. Berhentinya langkah Pendekar
Mabuk bikin Dewa Racun kerutkan dahi pertanda merasa heran.
"Add... adda... ada apa,
Suto?"
"Aku melihat mayat di
sebelah kanan sana!" kata
Pendekar Mabuk berbisik.
Matanya yang memandang ke
arah kanan segera diikuti oleh
pandangan mata Dewa Racun.
Dengan satu lompatan Suto mendekati pandangan matanya, Dewa Racun
juga ikut-ikutan lompat dalam kecepatan tinggi.
Wuuttt...!
Sesosok tubuh terkulai di atas
batang pohon yang tumbang. Sesosok tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi. Mayat
perempuan itu berpakaian coklat tua ketat tanpa lengan baju. Keadaannya
tertelungkup bagai jemuran basah disampirkan di batang pohon. Perempuan
bernasib malang itu mempunyai wajah cantik, rambutnya acak- acakkan. Suto
Sinting tak asing lagi dengan wajah itu, yang tak lain adalah wajah Perawan
Sesat.
Karenanya, Pendekar Mabuk
sangat terkejut melihat Perawan Sesat telah menjadi mayat di situ. Dewa Racun
sendiri terperanjat, karena dia tahu Perawan Sesat adalah salah satu dari tiga
kelompok perempuan patah hati. Temannya yang dua adalah Selendang Kubur dan
Peri Malam. Perawan Sesat inilah yang membujuk Suto setengah mendesak untuk
tetap hadir dalam pertarungan di Bukit Jagal melawan Dirgo Mukti.
"Ada apa sebenarnya? Apa
yang telah terjadi di sini? Bukankah tempat ini sudah dekat dengan pondok
kediaman Peramal Pikun?" pikir Suto dalam renungan sejenaknya.
Dewa Racun membalikkan tubuh
mayat itu. Ia terkesiap sejenak melihat permukaan dada Perawan Sesat hangus
bagai terbakar api yang amat dahsyat. Di sekitar lehernya ada bilur-bilur luka,
dan di kedua
lengannya juga ada luka
terkoyak bagai sabetan senjata tajam beberapa kali.
Dewa Racun memandang mata
Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk masih tertegun
menatapi keadaan mayat
Perawan Sesat. Lalu,
Pendekar Mabuk
melayangkan pandang ke alam sekeliling. Banyak pohon tumbang atau rusak, ada
yang kering tapi masih berdiri dengan daun-daunnya yang masih tergantung
menempel. Ada bongkahan batu yang tampak pecah dalam beberapa waktu yang lalu.
Juga beberapa lubang tanah yang terjadi bagai disemburkan dari kedalaman bumi.
"Tampaknya habis ada
pertarungan hebat di sini," gumam Pendekar Mabuk seperti bicara pada
dirinya sendiri. Tapi Dewa Racun merasa diajak bicara, sehingga ia pun
menyahut.
"Ya. Ada pertarungan
heb... heeb... hebat di sini. Sepertinya belum laaam... laaam... lama. Bau asap
dari benda terbak... bakar masih kurasakan jelas di hiid... hiiidung...
hidungku!"
"Hmmm... siapa orang yang
membunuh Perawan Sesat ini? Setahuku Perawan Sesat punya ilmu cukup
tinggi. Aku pernah menolongnya, aku pernah bersamanya beberapa saat, dan aku
tahu sebatas apa tinggi ilmunya! Apalagi dia punya pedang gading yang
berkekuatan dahsyat! Hmmm... ke mana pedang gadingnya? Tak kulihat ada di
sekitar sini?"
Pendekar Mabuk masih terpukau
melihat keadaan mayat Perawan Sesat yang dianggap misterius itu. Tanpa pedang
gading, tanpa Selendang Kubur dan Perawan
Sesat, dadanya hangus sampai
pakaiannya pun tampak habis terbakar, matanya masih mendelik saat sebelum
dikatupkan oleh Dewa Racun. Padahal Suto tahu, ilmu yang dimiliki Perawan Sesat
bukan ilmu rendahan. Gerakannya cepat sekali, bahkan mempunyai gerak siluman
yang bisa melesat cepat pindah tempat di kejauhan sana. Suto pernah adu
kecepatan gerak pada waktu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Perawan Sesat" dan "Murka Sang Nyai"). Melihat keadaan
seperti ini, pastilah lawan si Perawan Sesat mempunyai ilmu lebih tinggi lagi.
"Mungkinkah kedua
pppeee... perempuan temannya itu yang membunuhnya?" tanya Dewa Racun.
"Maksudmu Selendang Kubur
dan Peri Malam? Hmmm... tidak! Menurutku bukan mereka. Sebab, aku bisa mengukur
ilmu mereka berdua dibandingkan ilmunya Perawan Sesat masih belum seberapa.
Masih tinggi ilmunya Perawan Sesat."
"Tap... tap... tapi
mengapa dia sekarang mati?" "Pasti lawannya lebih sak... sak... sakti
lagi!" "Ah, jangan ikut-ikutan bi... bicara gagap!"
"Maaf, aku sedikit
latah," kata Suto tanpa ada kesan bercanda, berarti dia tadi memang
benar-benar latah sebentar karena terbawa gaya bicara Dewa Racun.
"Dddi... dia terkena
pukulan beracun. Racun itu sangat
gaaa... ga... ganas," sambil Dewa
Racun mengamat-amati mayat itu.
"Apakah bukan karena
pukulan tenaga dalam yang amat tinggi?"
"Ya. Mmme... memang. Tapi
ada campuran rraaa... raa... racunnya! Lihat bagian bibirnya tampak biru."
"Itu karena dia mati.
Semua mayat bibirnya tampak
biru!"
"Tiddd... tidak semua.
Kulit di sekitar bib... bib... bibirnya ini kelihatan biru, dddan... dan daging
di dalam kuku-kukunya itu juga membiru. Berarti addda... ada racun yang ikut
masuk ke dalam tubuhnya. Mungkin bersamaan pukulan bertenaga tinggi, aaat...
atau pukulan beracun dulu, baru pukulan yang meng... meng... meng...."
"Mengerut?!"
"Bukan. Menghanguskan
dadanya! Jeel... jelll..." "Jelek?"
"Jelas! Jelas kematiannya
disebabkan pula karena ada rrra... raa...."
"Raja?"
"Racun!" sentak Dewa
Racun jengkel pada kegagapannya
sendiri.
Suto diam sejenak, memandangi
mayat itu lebih dekat lagi dengan berjongkok kaki. Lalu, ia berkata pada Dewa
Racun.
"Luka di tangannya
seperti luka cambuk. Juga di leher dan di bagian perutnya. Lihat, pakaiannya
sampai robek seperti habis kena cambuk keras!"
"Berrr... berr...
beeer...," Dewa Racun megap-megap sambil matanya terpejam-pejam.
"Berr... berarti, ia bertarung dengan orang yang bersenjatakan cccam...
cccam... caambuk!"
"Ya. Tapi, siapa
tokoh berilmu tinggi yang bersenjatakan cambuk? Menurut cerita
Peri Malam, ia pernah melihat Cadaspati bertarung dengan Datuk Marah Gadai
dengan senjata cambuk. Cambuk itu milik Cadaspati. Tapi, Cadaspati sudah
lenyap. Mati di tangan Datuk Marah Gadai. Setelah itu... siapa lagi yang punya
senjata cambuk? Seingatku tak ada!"
"Bbberr...
beeer...." "Beranak?"
"Berarti! Berarti kita
harus mencari orang yang bersenjata cambuk. Pasti dialah pembunuh Perawan
Sesat."
"Kenapa harus mencari
orang itu? Aku tidak punya urusan
apa-apa.
Kematian Perawan Sesat bukan urusanku."
"Kal... kali... kalau
begitu, sebaiknya kita ting... ting...."
"Tinggi?"
"Bukan. Kita ting...
ting... ting...."
"Ah, kamu seperti lonceng
penjual tuak saja, tang- ting, tang-ting tak jelas artinya!"
"Maksudku, ting...
tinggalkan saja! Ya, tinggalkan saja mayat ini kalau memang tak ada urusannya
dengan diir... diiir... dirimu!"
Pendekar Mabuk diam sebentar.
Ada sesuatu yang dipikirkan, seperti mengganjal di hatinya. Dewa Racun pandangi
wajah Suto yang berpikir. Lama sekali, baru Dewa Racun ajukan tanya.
"Add... ada... ada apa,
Suto?"
"Hmm... tidak ada
apa-apa! Mari kita ke pondoknya Peramal Pikun!" kata Pendekar Mabuk, lalu
melesat cepat, bagai menghilang dari depan Dewa Racun. Mata orang kerdil
itu jelalatan mengikutinya dengan terbengong heran. Lalu, cepat ia
susul Suto sambil membatin dalam hatinya.
"Mengapa gerakan Suto
jadi cepat sekali? Ia seperti terburu-buru. Ada apa? Apakah mau kasih laporan
pada Renggono? Mungkin karena kata Suto, Renggono pernah menolong Perawan
Sesat, jadi ia merasa perlu memberi tahu Renggono perihal kematian Perawan
Sesat?"
Dewa Racun berhenti jarak
sepuluh langkah dari pondoknya Peramal Pikun. Mata si kerdil berambut jarang itu
terbuka lebar tak berkedip melihat dinding terbuat dari anyaman bambu itu jebol
dan berantakan. Pondok itu juga jebol bagian atapnya, seperti habis dipakai
keluar makhluk yang bisa terbang, atau seperti habis kejatuhan seekor garuda
raksasa.
Dewa Racun segera sentakkan
kaki dan melesat pergi dari tempatnya menuju pondok itu. Wajah tegangnya
memperhatikan Suto yang mencoba masuk ke dalam pondok dengan susah, karena
terhalang reruntuhan sebagian atap.
"Pikun...!" desis
Suto dengan mata tak berkedip, jantungnya berdetak dengan kuat. Di belakangnya
segera menyusul masuk Dewa Racun yang juga berdesis tegang.
"Renggono...?"
Tubuh Renggono atau Peramal
Pikun yang kurus kering itu terkapar di atas balai-balai bambu bertikar anyaman
pandan. Tubuhnya dalam keadaan berdarah di bagian mulut dan telinga serta
hidungnya. Melihat letak kaki sebelah masih terkulai di luar balai-balai,
berarti Peramal Pikun baru saja berniat baringkan badan di situ dengan keadaan
susah payah.
Hal yang membuat mata Dewa
Racun terkesiap adalah bintik-bintik merah yang memenuhi tubuh Peramal Pikun.
Bintik-bintik itu seperti cacar berdarah, menggelembung kecil dan akhirnya
pecah memercikkan darah segar. Sedangkan wajah Peramal Pikun sudah seputih
kapas, napasnya sangat tipis, namun masih bisa membuka mata sedikit.
"Racun cobra...!" desis Dewa
Racun setelah memandangi
bintik-bintik merah di sekujur tubuh Peramal Pikun, sampai pada bagian daun
telinganya juga.
"Pikun, apa yang telah
terjadi?" tanya Pendekar Mabuk sambil menahan kegeraman di dalam hatinya
melihat nasib Peramal Pikun yang mengenaskan itu.
"Barrru... sajaaa...
diiia... dia pergi," ucap Peramal Pikun dengan lirih sekali dan susah
payah melontarkan nya.
"Siapa? Siapa yang
menyerangmu?" desak Suto.
Dewa Racun menyahut,
"Renggono, kau pasti ter... terkena
pukulan... pukulan 'Racun Sengat
Cobra' Dddaan... ddaan... pemilik pukulan itu aad... ada... ada lah
Siluman Tujuh Nyawa! Bbbe... benarkah yang
datang menyerangmu aaad...
ada... adalah Siluman
Tujuh Nyawa itu?"
Peramal Pikun makin berat
helakan napas. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tapi sulit sekali keluar.
Napas dan suara bagai berdesak ingin lebih dulu keluar dari mulut.
Melihat keadaan sudah separah
itu, Suto cepat-cepat ambil bumbung tuaknya yang sejak tadi tersandar di
punggung bagaikan pedang. Suto buka tutup bumbung, dan ia tenggak tuak beberapa
teguk, sebagian di pakainya berkumur-kumur di mulut. Lalu, serta-merta tuak itu
disemburkan ke sekujur tubuh Peramal Piku Buuurs... bruus...!
"Ahhg... aahg...!"
Peramal Pikun gelagapan.
Suto tuang tuak ke dalam
mulutnya lagi, lalu semburkan kembali ke tubuh Peramal Pikun. Bruuus...!
Bruuus...! Bweeerrs...!
"Ahhhhggg...!"tubuh
Peramal Pikun mengejang kaku, kepalanya terdongak ke atas dengan mata tuanya
terpejam rapat-rapat. Makin lama dari tiap lubang keluar asap kehijau-hijauan.
Peramal Pikun mengerang dengan suara tertahan bagaikan orang sekarat. Tubuh
kakunya menggeliat-geliat. Asap semakin banyak keluar dari tiap lubang pori-pori tubuhnya. Asap kehijauan itu mengabarkan bau aroma sangit,
seperti rambut terbakar.
Melihat hal itu, Dewa Racun
mundur tiga tindak. Tegang dan merasa aneh melihat apa yang dilakukan Pendekar
Mabuk. Tetapi Pendekar Mabuk tetap tenang memandang walau ia pun mundur satu
tindak.
Setelah asap kehijauan
membungkus tubuh Peramal Pikun, asap itu mulai mereda tipis, dan makin lama
makin habis. Tapi tubuh Peramal Pikun tidak sekejang tadi. Tubuh itu terkulai
lemas dengan mata terpejam. Lemas bagai tanpa tulang dan urat sedikit pun. Dewa
Racun menyangka Peramal Pikun mati. Tapi melihat dari gerakan dadanya yang
turun naik dengan pelan itu, Dewa Racun yakin bahwa Renggono tidak mati.
Hal yang kemudian membuat Dewa
Racun tak berkedip menatap tubuh Peramal Pikun itu ialah keadaan yang bersih di
tubuh itu. Bintik-bintik merah seperti cacar berdarah itu sudah tidak ada.
Lenyap sama sekali. Bahkan sisa darah yang semula membekas di hidung, bibir,
dan telinga, juga lenyap tak berbekas. Peramal Pikun bagaikan orang sedang
tertidur dalam istirahat tenangnya.
Pendekar Mabuk sedikit
sunggingkan senyum. Wajah cemas hilang, berganti kelegaan yang menghadirkan
sorot pandangan mata teduh. Bahkan ia
segera melangkahkan kaki keluar untuk memandang sekeliling tempat itu,
sambil melewati Dewa Racun dan berkata,
"Biarkan ia tidur
sejenak."
Dewa Racun tidak mengucapkan
sepatah kata pun, karena ia masih terpaku di tempat, terheran-heran melihat
cara penyembuhan yang dilakukan Pendekar Mabuk. Kelihatannya sangat sederhana,
tuak diminum, dikumur-kumur, lalu disemburkan. Mudah sekali, tapi sebenarnya
punya kekuatan ilmu tinggi. Pengobatan seperti
itu belum pernah
dilihat Dewa
Racun
sebelumnya.
"Aneh sekali," Dewa
Racun membatin, "Begitu sederhana tapi punya khasiat yang amat tinggi.
Luka itu lenyap tanpa menunggu waktu berlama-lama. Peramal Pikun kelihatan
kembali segar tubuhnya. Ilmu macam apa sebenarnya yang dimiliki anak muda
itu?"
Dewa Racun cepat berkelebat
menyusul Suto di luar pondok. Pendekar Mabuk duduk di atas sebuah batu dengan
mata memandang dedaunan.
"Saam... sampai kapan
dddii... dia siuman?"
"Dia tidak pingsan. Dia
hanya tertidur sebentar. Tak lama dia akan bangun. Tapi...," Suto diam,
berkerut dahi, dan
melepaskan kerutannya,
seakan pasrah pada keadaan.
Dewa Racun jadi penasaran,
lalu ajukan pertanyaan yang mendesak,
"Tapi kena...
kenapa?" "Dia akan lupa padaku." "Maks... maksud...
maksudmu?"
"Ilmu 'Sembur Husada'
adalah jenis pengobatan yang bersifat sangat gawat. Korban bisa sembuh, tapi
dia akan lupa ingatan tentang diriku. Dia tidak ingat kapan bertemu dengan
aku."
"Mengapa bisa
begitu?"
"Semburan tuakku membuat
ingatan masa lalunya tersapu habis. Terutama ingatan masa lalu tentang
diriku. Tapi, penyakitnya pun tersapu habis tak berbekas."
"Heeb... hebb... hebat
sekali ilmumu."
"Ah, sekadar ilmu
pengobatan biasa, untuk menolong sesama," Pendekar Mabuk merendahkan diri.
Dewa Racun geleng-geleng kepala, ia segera duduk di batu depan Suto dan
bertanya,
"App... apakah... ilmu
'Sembur Husada' bisa untuk... untuk mengobati segala macam luka raac... raac...
racun?"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum rikuh, namun ia anggukkan kepala, "Ya. Bisa."
"Wah, ilmuku biiis...
biisa... bisa kalah. Seemmua... semua racunku biiis... bisa kau tawarkan dengan
ilmu Sembur Hus... Huss...."
"Di sini tak ada ayam,
tak perlu berhas-hus, has-hus!" Suto terkikik geli. Dewa Racun
bersungut-sungut.
Sebelum Dewa Racun bicara
lagi, tiba-tiba dari pondok reot itu muncul Peramal Pikun, seperti baru saja
bangun tidur, ia menguap di depan pintu, dan segera berseri setelah memandang
Dewa Racun.
"Dewa Racun, oh...
rupanya kau datang membawa teman baru? Hmm... siapa namanya? Kulihat anak muda
itu cukup gagah dan ganteng."
Dewa Racun kerutkan dahi, lalu
ucapkan kata lirih seperti bicara pada diri sendiri,
"Benar juga apa katamu,
Sut... Sut... Suto! Dia tidak mengenalimu laaa... laaa... lagi!"
"Tak apa. Kau bisa
membimbing ingatannya dengan menceritakan tentang diriku."
Peramal Pikun mendekati Dewa
Racun dan Suto, tapi ia bersikap tak kenal Suto dan merasa baru kali itu
melihat Suto. Dewa Racun
segera ajukan tanya, "Kau sama sekali tak mengenal anak muda ini?"
"Kalau kukenal namanya, sudah kusapa dia sejak
tadi! O, ya... siapa namamu,
Anak Muda?" "Suto...!"
"Hmmm... Suto...? Ya,
sepertinya aku pernah dengar, tapi di mana dan kapan. Aku lupa. Maklum sudah
tua, sudah waktunya pikun lagi!" Peramal Pikun nyengir terkekeh.
"Dia yang baru saja
sembuhkan kamu, Renggono!" "Sembuhkan aku? Hmm...?" Renggono
kerutkan dahi
mengingat-ingat.
"Seingatku, aku tadi dapat serangan
dari orang tinggi besar
menggendong tambang di pundaknya...."
"Tinggi, bess...
besar...? Gendong tambang di pun... pundak?"
"Ya. Orang itu serang
aku, karena ia tersinggung dengan jawabanku. Dia tanyakan di mana murid si Gila
Tuak, dan aku bilang agar dia cari sendiri di setiap gentong tuak, lalu dia
marah. Dia serang aku habis- habisan dan...."
"Dia itulah yang...
yang... yang bernama Dadung
Amuk!" sela Dewa Racun.
"Siapa Dadung Amuk itu?"
"Oor... or... or... orang
kepercayaan Siluman Tujuh
Nyawa! Pantas kaal...
kaaall... kalau kau kena pukulan
'Racun Sengat Cobra'!"
"Dadung Amuk?!"
gumam Pendekar Mabuk. "Dia cari aku? Untuk apa dan ke mana dia
sekarang?"
3
KEPERGIAN ke Pulau Serindu
tertunda karena hati Suto dibuat penasaran oleh dua kejadian aneh, yaitu
kematian Perawan Sesat dan penyerangan terhadap diri Peramal Pikun. Sesuatu
yang amat membuat penasaran hati Suto adalah ciri-ciri orang yang menyerang
Peramal Pikun. Kepada
Dewa Racun, Peramal Pikun mengatakan, bahwa orang
yang menyerangnya dengan sebuah pukulan 'Racun Sengat Cobra' itu adalah orang
yang tinggi, besar, matanya lebar, berkumis tebal melintang, jari-jari
tangannya besar, alis juga tebal. Pakaiannya komprang, baju tak dikancingkan.
"Menurutku, orang itu
bukan bernama Dadung Amuk," kata Suto dalam perjalanan menuju pantai.
"Aku pernah jumpai orang yang berciri-ciri begitu."
"Dddi... di... di mana
kamu pernah jumpa orang itu?" "Di sebuah desa nelayan. Nanti desa itu
akan kita
lewati."
"App... appa... apakah
dia penduduk asli desa itu?" "Ya. Dia menetap di desa itu!" jawab
Suto
memastikan diri.
Dewa Racun diam memikirkah
jawaban-jawaban Suto. Saat berikutnya ia perdengarkan suara gagapnya lagi,
"Set... set... seet...
setahuku, Dadung Amuk tidak pernah tinggal menetap di sebuah desa. Ia selalu
ikut ke mana pun Siluman Tujuh Nyawa pergi, karena ia
termasuk tangan kanannya
Siluman Tujuh Nya... Nya... Nyawa! Ilmunya cukup ting... ting... tinggi, karena
ia termasuk murid dari Siluman Tujuh Nyawa."
"Setahuku," kata
Pendekar Mabuk setelah diam sesaat, "Orang yang punya ciri-ciri seperti
warok, bukan bernama Dadung Amuk, tapi bernama Singo Bodong! Dan dia tidak
punya ilmu sedikit pun! Ia orang lugu!"
Pendekar Mabuk ingat saat ia
mengejar Peri Malam dan masuk ke sebuah desa, di situ ia menemukan sebuah
kedai. Suto mengisi tuaknya di kedai tersebut. Tapi ia diganggu oleh penampilan
seseorang yang bertubuh tinggi besar, jarinya ibarat sebesar pisang, semuanya
mirip dengan orang yang diceritakan Peramal Pikun. Pendekar Mabuk sempat
menumbangkan orang itu, dan orang itu bernama Singo Bodong. Bahkan waktu
bermalam di keluarga Kriyo Suntuk, Singo Bodong ikut hadir sebagai pendengar
saat Suto menuturkan kisah kependekaran para tokoh-tokoh dunia persilatan.
Singo Bodong ikut dalam kelompok orang-orang pengagum Suto Sinting. (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Jika benar orang yang
ciri-cirinya diceritakan oleh Peramal Pikun adalah Singo Bodong, yang mungkin
juga bergelar Dadung Amuk, maka Suto benar-benar terkecoh kala itu. Ia
menyangka Singo Bodong orang polos dan lugu dalam hal keilmuannya, tapi
ternyata justru berilmu tinggi dan
berbahaya, ia bisa melumpuhkan Peramal Pikun
yang punya ilmu cukup tinggi itu, juga bisa melumpuhkan Perawan Sesat.
Sebab menurut dugaan Dewa
Racun, orang yang membunuh Perawan Sesat itu juga orang yang sama dengan yang
telah menyerang Peramal Pikun. Luka koyak pada beberapa tubuh Perawan Sesat
diduga merupakan luka akibat cambukan, dan Dewa Racun tahu, bahwa Dadung Amuk
banyak menggunakan senjata cambuk dalam
pertarungannya. Sedangkan
setahu Suto, Singo Bodong tidak pernah membawa- bawa cambuk yang berupa tali di
pundaknya. Inilah beda gambaran antara Dadung Amuk dengan Singo Bodong.
"Ada apa dia mencariku,
sehingga dia membunuh Perawan Sesat dan melukai Peramal Pikun?" tanya
Pendekar Mabuk seakan bicara pada dirinya sendiri. Dewa Racun mendengar dan
menanggapinya,
"Ku... ku... kurasa,
kematian Perawan Sesat tid... tidak ada hubungannya dengan pencarian dirimu.
Ku... kurasa nasib perempuan itu hampir sama dengan nasib Peramal Pikun."
"Maksudmu?"
"Per... peeer...
perkelahian itu timbul karena Dadung Amuk tersinggung, atau merasa jengkel
dengan jaaa... jaaa...."
"Janda?"
"Bukan. Jengkel dengan
jaaa... jawaban Perawan
Sesat. Seb... seeeb...
seeb...." "Sebul?"
"Sebab! Sebab, Dadung
Amuk orang yang mudah tersinggung dan cepat marah. Kaaal... kaaal... kalau
sedang marah, tak segan-segan membunuh orang
walaupun perkaranya kee...
keee...." "Kecil!"
"Bukan! Eh, iya... kecil!
Perkara kecil bisa bikin
Dadung Amuk bunuh ooor...
orrr... orrr..." "Orok?"
"Orang!" sentak Dewa
Racun.
"Kau tahu banyak tentang
dia rupanya?"
"Kka... kare... karena
dia peer... pernah mengamuk di Puri Gerbang Surgawi. Ak... aku... aku pernah
terdesak melawannya."
Semakin sangsi hati Suto. Jika
benar Singo Bodong itu adalah Dadung Amuk, tak mungkin Dewa Racun terdesak
melawan Singo Bodong. Tapi pengakuan Dewa Racun itu agaknya bukan pengakuan
yang dibuat-buat. Dia bukan orang yang punya kebiasaan menipu.
Jika benar Dadung Amuk itu
adalah Singo Bodong, maka wajarlah jika ia mengetahui nama Pendekar Mabuk. Tapi
tidak wajar jika dia mencari Suto sampai membunuh Perawan Sesat atau melukai
Peramal Pikun.
Langkah Pendekar Mabuk pun
terhenti kembali. Kali ini Dewa Racun menabrak Suto dari belakang, karena
dia tidak tahu bahwa Suto
akan menghentikan langkahnya, ia sempat mengomel,
"Lain kali kalau mau
berhenti kasih tan... tan... tanda! Jadi aku tidak menabrakmu!"
"Kita sudah sampai di
batas desa yang kuceritakan tadi."
"Hmmm... kkaal... kalau
begitu, mari kita cari orang yang... yang kamu bilang beer... berr... bernama
Singo
Dobong!"
"Singo Bodong!"
Pendekar Mabuk membetulkan. "O, iya. Singo Bodong!"
"Tak usah jauh-jauh
mencarinya," kata Suto. "Kita bisa nongkrong di kedai yang dulu
pernah kusinggahi itu. Pasti cepat atau lambat kita bisa bertemu Singo Bodong.
Dia suka nongkrong di kedai itu, karena di sana ada jual arak. Singo Bodong suka
minum arak. Kita bisa sergap dia di sana!"
Sebuah kedai yang dulu pernah
disinggahi Suto, keadaannya masih sama. Bedanya, dulu kedai itu hanya ditunggui
oleh pemiliknya seorang perempuan tua kurus. Sekarang perempuan tua itu bersama
suaminya, yang juga kurus badannya.
Kedai itu mempunyai bentuk
meja yang berkeliling dalam
bentuk huruf 'U'. Meja itu panjang dan mempunyai bangku yang
panjang pula. Saat Suto dan Dewa Racun tiba di kedai itu, di sana sudah ada
empat pembeli, dua di meja yang berhadapan dengan Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun, dua lagi ada di samping depan Pendekar Mabuk. Seperti biasa, pertama
kali yang dilakukan Suto adalah pesan tuak untuk ditambahkan ke dalam bumbung
tuaknya.
Dua pembeli yang duduk berseberangan
meja dengan Suto selalu cekikikan menertawakan bentuk tubuh kerdil Dewa Racun. Mereka sebentar-sebentar melirik, berbisik, cekikik-cekikik, sambil
menikmati makanannya berlalap pete. Dewa Racun menahan kejengkelan hati,
sebab ia tahu dirinya ditertawakan.
Bahkan yang berbaju hijau
berseru kepada pemilik kedai.
"Mak, Mak... tolong
ambilkan kerupuk gendar di
depan bocah cilik itu,
Mak!"
Sebelum pemilik kedai
mengambil kerupuk gendar, Dewa Racun sudah lebih dulu mengambilkannya, sambil
berkata,
"Tak usah merepotkan si
Mak, Kang.... Ini kuambil... kuambilkan! Te... te... terimalah!"
Wuuuttt...!
Dewa Racun melemparkan kerupuk
gendar kepada si baju hijau. Tangan si baju hijau berkelebat menangkap,
claapp...! Ia tersenyum menunjukkan ketangkasannya.
"Terima kasih, Nang!
Kecil-kecil sudah ringan tangan besok gedenya pasti panjang tangan, he he
he...!" si baju hijau tertawa, temannya si baju hitam juga tertawa.
Temannya itu segera memotong kerupuk gendar tersebut, lalu keduanya
sama-sama mencaplok kerupuk gendar yang agaknya baru saja digoreng sehingga
terdengar kriyuk-kriyuk. Orang berbaju putih yang ada di depan samping Pendekar
Mabuk itu jadi kepingin dan dia mengambil sendiri kerupuk itu lalu menyantapnya
dengan nikmat.
Pendekar Mabuk diam-diam sudah
menaruh curiga pada tindakan Dewa Racun. Mata Pendekar Mabuk memandangi wajah
dua orang yang sebentar-sebentar cekikikan menertawakan Dewa Racun itu. Makin
lama makin jelas ada perubahan di wajah kedua orang tersebut. Dari pori-pori
wajahnya keluar rambut kecil-
kecil. Rambut itu makin lama
makin cepat bertumbuhnya, sehingga wajah orang
itu mulai menghitam
samar-samar.
Pemilik kedai dan dua orang di
samping depan Suto itu terperangah melihat perubahan di wajah dua orang itu.
Bahkan yang berbaju putih berseru,
"Kang, Kang...! Kenapa
wajah kalian itu? Banyak rambutnya!"
Orang berbaju hitam memandang
temannya dan berkata, "Iya. Wajahmu ada rambutnya itu, Min!"
Yang dipanggil Min juga
berkata kepada si baju hitam, "Wajahmu sendiri banyak rambutnya,
Jo?!"
Lalu, kedua
orang itu saling tegang. Mereka mengusap-usap rambut di wajah, mengibas- ngibaskannya, tapi rambut tetap
tumbuh dengan cepat. Makin lama makin banyak. Orang itu ketakutan dan
panik, ia berdiri dan melepas bajunya. Bajunya digosokkan ke wajah. Tapi
pertumbuhan rambut begitu cepat dan semakin lebat. Bahkan bukan hanya di
wajahnya saja, melainkan di dada, pundak, lengan, serta sekujur tubuh menjadi
berambut lebat. Rambut kepalanya sendiri menjadi meriap
panjang.
"Kenapa kita ini, Jo...?!
Ooh... gatal sekali! Uuh...!" "Kita jadi seperti monyet, Min! Aduh,
gatal sekali
rambut-rambut ini?! Oooh...
bagaimana ini, Min?!"
Suasana menjadi gaduh. Kedua
orang itu garuk-garuk dan berpola serba salah. Rambut makin menutup sekujur
tubuhnya. Mereka jejeritan sambil meraungkan tangis ketakutan. Satu dari mereka
lari ke bawah pohon dan
menggosok-gosokkan punggungnya dengan batang pohon itu. Temannya pun
menyusul, sehingga akhirnya mereka jadi bahan tontonan orang banyak.
"Mungkin dia keracunan
kerupuk gendar yang dimakannya tadi!" kata orang berbaju merah, yang duduk
di samping orang berbaju putih. Yang berbaju putih menyanggah.
"Ah, kurasa kerupuk itu
tidak ada racunnya. Buktinya aku juga makan kerupuk itu dan tidak tumbuh rambut
seperti mereka!"
Dewa Racun tertawa dengan
mulut dibekap pakai tangannya
sendiri. Pendekar
Mabuk melirik dan membatin, "Tak salah lagi dugaanku,
pasti dia yang bikin ulah terhadap dua orang itu. Tapi, biar sajalah. Biar dua
orang itu belajar untuk tidak menertawakan kecacatan seseorang. Biar kapok
mereka! Cuma... diam- diam hebat juga Dewa Racun ini. Pasti saat ia lemparkan
kerupuk tadi, ia sudah salurkan racun di dalam kerupuk yang membuat pertumbuhan
bulu kedua orang itu menjadi cepat dan lebat."
Ulah Dewa Racun mendatangkan
banyak orang. Mereka menonton kedua orang berbulu itu dengan kasihan dan geli,
karena gerakannya menjadi seperti monyet kegatalan. Tontonan itu memancing
seseorang untuk datang melihat, dan orang itulah yang ditunggu- tunggu oleh
Suto.
Dewa Racun terkesiap sejenak,
lalu berbisik pada
Suto,
"Lihat ooor... orr...
orang yang baru ddaaa... daa...
datang itu. Dialah... dialah
yyyaaah... yyyang namanya
Dadung Amuk!"
Suto kerutkan dahi. Setahu
Suto, orang tinggi besar yang baru datang itu bernama Singo Bodong, bukan
Dadung Amuk. Dan, dipundaknya tidak ada tambang seperti ciri-ciri Dadung Amuk. Maka
Suto pun membantah.
"Dia bukan Dadung Amuk.
Dia yang kukatakan tadi bernama Singo Bodong!"
"Buk... buk... bukan! Dia
itu Dadung Amuk. Aaak... aaak... aku pernah ketemu dengan dia. Dddi... dia
pasti mengenaliku, Suto! Kaaal... kalau... kalau tidak percaya, cobalah kau
panggil dia!"
Orang berkumis tebal yang
jari-jarinya besar dan mengenakan gelang akar bahar itu tertawa keras melihat
ulah kebingungan dua manusia berbulu itu.
"Huaaa, ha ha ha ha...!
Ini baru tontonan segar, hua, ha ha ha...!"
Dari tempat duduknya di kedai
itu, Suto mengambil sebutir jagung rebus, yang diambilnya dari kumpulan jagung
rebus di atas meja. Biji jagung rebus yang lunak itu disentilkan ke betis orang
tinggi besar tersebut.
Tasss...!
Biji jagung melesat cepat,
mengenai betis yang sebesar gedebong pisang. Plik...!
"Aaauh...!" orang
tinggi besar itu tiba-tiba menjerit dan jatuh ke tanah dalam keadaan terduduk,
ia mengerang sambil memegangi betisnya yang tiba-tiba sakit sekali bagai
dipatok ular berbisa, ia meraung
sambil memaki-maki kesakitan,
"Babi bunting! Siapa yang
lempar kakiku pakai batu besar, hah?! Kucing kurap! Kambing kudis! Auuooh..
sakitnya, Diamput!"
Pendekar Mabuk berbisik kepada
Dewa Racun, "Kalau dia orang berilmu tinggi, tak mungkin akan meraung
kesakitan hanya terkena sentilan jagung rebus!" "Aneh?!" gumam
Dewa Racun sambil memandangi orang besar itu dengan mata terbengong. Lalu, ia
segera
bisikan kata pada Suto.
"Setahuku, Ddda... Dadung Amuk tidak
bisa kesakitan seperti itu. App... aap... apalagi hanya kena sebutir
jagung, walau kau isi tenaga dalam, terkena tendangan dadanya ser... ser...
seribu kali juga tidak akan mengaduh begitu."
"Itu tandanya dia bukan
Dadung Amuk!"
"Tid... tidak... tidak
mungkin. Dia pasti Dadung
Amuk. Aku kenali suara tawanya
tadi!"
Orang-orang yang menonton dua
manusia berbulu itu sebagian memandang dan mengerumuni orang besar yang
kesakitan dan duduk di tanah. Betis orang itu memar membiru sebesar kelereng.
Jelas itu karena tenaga dalam Pendekar Mabuk yang disalurkan melalui sebutir
jagung rebus tadi. Jika tidak dialiri tenaga dalam, tak mungkin bisa membekas
biru dan membuat orang tinggi besar bagaikan lumpuh seketika. Tapi, tentu saja
tenaga dalam itu tidak berbahaya. Suto Sinting tidak ingin mencelaki orang tak
bersalah.
"Ada apa ini?!" Suto
tampil dengan lagak tidak tahu-
menahu.
"Oh, kamu...?! Kebetulan,
kakiku sakit sekali, ada yang melemparnya pakai batu besar. Entah siapa
orangnya dan entah di mana batunya! Aduuuh... tolong sembuhkan kakiku ini,
sepertinya lumpuh dan tak bisa dipakai berdiri lagi!"
"Mungkin kena kencing
kodok, Kang!" kata Suto dengan kalem. Kemudian betis itu diperiksanya
sebentar, dan tiba-tiba ditepuk dengan keras. Plakkk...!
"Wadooow...!" teriak
orang itu dengan mulut lebar menganga. Teriakan itu justru ditertawakan oleh beberapa orang, karena wajah angker
orang tinggi besar itu kelihatan lucu dalam keadaan meraung kesakitan begitu.
"Kamu ini bagaimana?
Kusuruh menyembuhkan malah ditabok! Dasar murid sinting! Apa begitu perintah
gurumu si Gila Tuak jika harus menolong orang?!"
"Maaf, memang begitulah
caraku mengobati penyakit seperti ini! Kalau kau tak terima, kukembalikan lagi
penyakitnya!" seraya Suto angkat tangannya untuk menabok betis lagi,
"Eeeh, jangan, jangan!
Sudah. Sudah cukup...!" orang itu menggerak-gerakkan kakinya.
"Hmmm... kok rasa sakitnya jadi hilang seketika? Tadinya urat kakiku
terasa kaku, sekarang jadi lemas," sambil ia sentak-sentakkan kakinya ke
depan.
Plokkk...!
Tiba-tiba ada orang yang
terkena sentakkan kaki itu. Orang itu hanya memekik kecil, lalu mundur. Tidak
mengalami luka apa pun. Orang
besar itu justru mengomel.
"Lain kali kalau ada
orang sedang goyang-goyangkan
kaki jangan di depannya,
tahu?! Kalau kena begitu bukan salah kakinya!"
Orang besar itu berdiri,
mencoba berjalan mondar- mandir. Bahkan melonjak-lonjak kecil, ia pun akhirnya
nyengir kepada Pendekar Mabuk.
"Enteng sekali, Suto! Tak
ada rasa sakit sedikit pun! Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar
Mabuk!"
Lalu, dia segera mendekat dan
menepuk-nepuk pundak Suto, "Kapan kau tiba di desa ini? Kapan datangnya,
Suto?"
Pendekar Mabuk tidak langsung
menjawab, tapi melirik
tangan orang itu yang menepuk-nepuk pundaknya. Orang itu
cepat-cepat hentikan gerakan tangannya dan menarik tangan sambil cengar-cengir
malu.
"Maaf, bukan maksudku
berkurang ajar padamu. Aku gembira
sekali kau datang
dan tentunya kau menceritakan kisah pertempuran
tokoh-tokoh di dunia persilatan, seperti waktu di rumahnya Kriyo Suntuk itu,
bukan?"
"Apa benar kau yang
bernama Singo Bodong?"
"O, ya jelas!
Jelas!" Singo Bodong busungkan dada. "Orang perkasa begini mana ada
lainnya kecuali Singo Bodong! Semua penduduk desa sini tahu kalau orang gagah
dan ganteng seperti ini adalah Singo Bodong! Ha ha ha ha...! Ayo kutraktir
minum kau! Mau minum Arak
Mujolangu atau Tuak
Kebalen?"
Dewa Racun garuk-garuk kepala
melihat keakraban Pendekar Mabuk dengan orang yang disangkanya Dadung Amuk itu.
Di dalam hati Dewa Racun masih membantah penglihatannya.
"Tak mungkin Dadung Amuk
seperti ini. Tendangan kakinya yang tak sengaja mengenai orang tadi, membuat
orang itu tidak apa-apa. Padahal angin tendangan Dadung Amuk sudah cukup
membuat mulut orang menjadi pecah. Baru anginnya saja begitu, apalagi tendangan
langsungnya. Hmmm... dia sepertinya memang bukan Dadung Amuk,
tapi mataku belum rabun dan belum pikun, aku lihat jelas orang itu adalah
Dadung Amuk. Anehnya dia sangat akrab dengan Suto?! Apakah dia mengenaliku
juga? Seharusnya dia mengenaliku sebagai orang Puri Gerbang Surgawi, sebab aku
pernah bertarung dengannya beberapa waktu yang lalu."
Pendekar Mabuk mengajak Singo
Bodong duduk di dalam kedai, dan memperkenalkan Dewa Racun kepada Singo Bodong.
"Ini temanku, Dewa Racun
julukannya. Dia orang sakti, berilmu tinggi. Jangan coba-coba menghina
kekerdilannya, kau bisa dibuat berbulu seperti kedua orang tadi."
"Oh, eh... hmm... ya...
aku percaya. Aku tak akan menghina.... Hmmm... kau mau minum juga, Dewa
Racun?"
Pertanyaan itu tak dijawab
oleh Dewa Racun, melainkan ia ganti bertanya kepada Singo Bodong,
"Bukkk... bukankah kamu
yang ber... berr... bernama
Dadung Amuk?"
"Bukan. Namaku Singo
Bodong," jawab Singo
Bodong dengan polos, tanpa
ngotot sedikit pun. "Setahuku kam... kamu Dadung Amuk, orangnya
Siluman Tujuh Nyawa!"
Singo Bodong tertawa geli,
"Mana ada siluman kok punya tujuh nyawa? Orang mana dia itu?"
"Jja... jang... jangan
berlagak bodoh, Dadung Amuk!" sentak Dewa Racun dengan kegeramannya. Singo
Bodong ketakutan dan segera berlindung di belakang Suto.
"Kenapa dia galak padaku,
Suto?"
*
* *
4
KALAU tidak ditahan Suto, Dewa
Racun sudah melancarkan pukulan tenaga dalamnya ke arah Singo Bodong. Pukulan
itu menyentak begitu saja melalui telapak tangan kiri Dewa Racun. Karena Suto
berada di depan Singo Bodong, maka pukulan itu dihadang dengan tangan kanan
Suto. Deebb...!
Tubuh Dewa Racun terguncang
sedikit, seperti mau jatuh. Tubuh Pendekar Mabuk juga meliuk sedikit ke
belakang. Itu pertanda pukulan tenaga dalam yang dilancarkan Dewa Racun cukup
besar. Setidaknya dapat membuat dada Singo Bodong memar membiru jika terkena
pukulan itu.
"Suto, mengapa temanmu
memusuhiku? Aku tidak menghinanya dan tidak pula meremehkan kesaktiannya.
Sumpah! Aku tidak menghinanya sedikit pun! Apa salahku hingga dia memusuhi
aku?!"
"Tenanglah. Temanku ini
tidak suka dengar orang banyak omong!"
"O, ya ya ya...! Aku akan
diam," kata Singo Bodong
kelihatan sangat ketakutan.
Dari raut mukanya saja sudah dapat diketahui, Singo Bodong benar-benar
ketakutan hingga wajahnya jadi pucat.
"Dewa Racun, kurasa ada
sedikit kesalahpahaman di antara kita. Sebaiknya kita selesaikan dengan
baik-baik." "Aku masih tidak percaya kalau dia buk... buk... bukan
Dadung Amuk! Aku kenal betul lagak-lagaknya!" "Ya. Boleh saja kau
beranggapan begitu. Tapi lihat
wajah pucatnya. Dia
benar-benar takut padamu!"
Dewa Racun perhatikan
kepucatan wajah Singo Bodong. Yang diperhatikan sedikit tundukkan kepala
alihkan pandangan dengan perasaan takut. Kemudian, terdengar Pendekar Mabuk
berbisik lagi,
"Dewa Racun, kita cari
tempat yang lebih baik untuk selesaikan perkara ini!"
"Baik!" jawab Dewa
Racun dengan wajah bersungut- sungut memendam kejengkelan.
Pendekar Mabuk membawa mereka berdua di
perbatasan desa. Di sana ada
pohon rindang yang berbentuk seperti payung raksasa. Biasanya pohon itu dipakai
meneduh anak-anak penggembala kambing. Tapi kala itu suasana sepi, tak ada
anak-anak penggembala
kambing. Mungkin mereka sedang
bermain ke pantai yang ada di sebelah utara desa itu. Sebab, sebagian dari
penduduk desa itu ada yang hidup sebagai nelayan, ada pula yang bercocok tanam.
Yang rumahnya lebih ke utara hidup dengan bernelayan, yang rumahnya lebih ke
selatan hidup dengan bercocok tanam atau berternak kambing.
Pendekar Mabuk berhenti
melangkah setelah sampai di bawah pohon besar yang rindang mirip payung raksasa
itu. Ia selalu memandang ke arah Dewa Racun, karena takut kalau-kalau manusia
kerdil itu tiba-tiba menyerang Singo Bodong.
"Suto," kata Singo
Bodong. "Aku sangat senang sekali bisa bertemu denganmu. Aku mencarimu ke
mana-mana di sekitar pantai tapi kau tidak kutemukan. Aku sangat berharap bisa
bertemu dengan kamu. Semula, aku berharap kau izinkan aku ikut kamu ke mana pun
kamu pergi. Aku sangat kagum pada kesaktian ilmumu. Aku ingin berguru kepadamu
supaya punya simpanan seperti yang kau miliki. Tapi begitu aku merasa dimusuhi
oleh temanmu ini, aku jadi tak berani ikut kamu. Aku bisa mati dihajar oleh
temanmu, yang walaupun kecil orangnya tapi aku tahu ilmunya tinggi."
"Darimana kau tahu kalau
dia berilmu tinggi?" pancing Pendekar Mabuk.
"Dari caranya memandang
diriku, dia tak punya rasa takut sedikit pun. Kalau orang tidak punya ilmu tinggi,
dia pasti akan takut memandang diriku yang tinggi, besar dan kelihatannya
angker ini!"
Sederhana sekali cara
berpikirnya, pikir Pendekar Mabuk tapi ia mempercayai pendapat Singo Bodong, ia
pun segera berkata kepada Dewa Racun,
"Kurasa kau sudah mendengar
sendiri kata-katanya tadi, Dewa Racun. Dia takut padamu."
"It... itu... itu hanya
pura-pura saja! Ak... aku... aku masih ingin menjajalnya. Dia akan kupaksa agar
menunjukkan ilmunya kepada kit... kit... kita!"
"Jangan. Itu berbahaya.
Dia bisa mati karena pukulanmu tadi!"
"Om... om... om...."
"Ompong?!"
"Omong kosong!"
sentak Dewa Racun. "Dii... dia bisa menangkisnya sendiri. Kal... kalau...
kalau tidak percaya, hhiiah...!"
Tiba-tiba Dewa Racun sentakkan
dua tangannya dari atas ke depan sambil kedua kakinya menghentak bumi. Gerakan
itu begitu cepat dan mengagetkan Suto Sinting. Tenaga dalam dihempaskan dari
kedua tangan dan dibarengi oleh hentakan kaki ke bumi.
Singo Bodong yang masih
terbengong tiba-tiba terlempar ke belakang tujuh langkah jauhnya. Tubuhnya
bagaikan terbang dengan membungkuk ke depan, dan akhirnya jatuh terkapar sambil
meraung keras-keras, ia terbatuk-batuk di sana dan memuntahkan darah kental
dari mulutnya. Darah itu tak banyak namun membuat Suto cemas.
Suto bergegas menghampirinya.
Menarik tangan
Singo Bodong hingga terduduk
di tempat. Mata orang
tinggi besar berkumis
melintang itu terbeliak-beliak bagai sedang sekarat. Suto cepat tempelkan
tangan kanannya ke punggung orang itu. Hawa murni disalurkan lewat punggung
Singo Bodong. Kejap berikutnya, Singo Bodong hempaskan napas panjang- panjang,
lalu terengah-engah. Padahal tadi ia tak bisa bernapas dan tersengal-sengal.
"Adduuh... apa salahku,
Suto?" ratapnya dengan nada sangat menderita sekali. "Kau bawa aku
kemari hanya untuk kau siksa begini. Sebaiknya aku pulang saja, Suto!"
"Maafkan temanku itu. Dia
salah duga. Kau disangka
Dadung Amuk."
"Dadung Amuk, Dadung
Amuk, mukanya kusut itu yang seperti dadung sedang mengamuk!" gerutu Singo
Bodong, (dadung = tali tambang).
Dewa Racun tertegun diam memandangi
Pendekar Mabuk melangkah bersama Singo Bodong ke arah bawah pohon. Dewa Racun
hanya membatin,
"Cukup berbahaya
pukulanku tadi. Tak mungkin ia biarkan begitu saja. Mestinya ia tangkis walau
secara diam-diam. Tapi darah yang keluar dari mulutnya itu menandakan pukulanku
kena pada sasaran. Kalau tidak segera ditolong Suto, bisa mati dia! Apakah dia
memang bukan Dadung
Amuk? Rasa-rasanya sulit aku mempercayai dirinya bukan Dadung
Amuk?!"
Suto Sinting berbisik kepada
Dewa Racun, "Kurasa sudah cukup, jangan kau jajal lagi ilmunya. Dia
kosong. Tidak punya ilmu apa-apa."
"Jang... jang... jangan
mudah tertipu oleh permainan liciknya, Suto," balas Dewa Racun berbisik.
"Waktu kusalurkan hawa
murni di dalam tubuhnya,
aku tidak merasakan getaran
membalik sedikit pun. Itu tandanya dia kosong, seperti gentong tanpa isi."
"Benarkah?!"
"Ya. Aku bukan ada di
pihaknya! Aku hanya ingin mencegah agar jangan terjadi kesalahpahaman yang
menimbulkan korban."
Dewa Racun tarik napas,
mengangkat pundaknya pertanda pasrah pada keputusan Suto Sinting. Kemudian ia
dekati Singo Bodong dengan maksud mau minta maaf. Tapi Singo Bodong bergerak
lari ke belakang pohon dengan ketakutan. Gerakannya itu menimbulkan kaget bagi
si kerdil Dewa Racun, sehingga Dewa Racun pasang kuda-kuda dan siap menyerang
dengan pukulan jarak jauhnya.
"Tahan...!" sentak
Suto cepat-cepat.
"Suto, aku mau pulang
saja!" kata Singo Bodong dengan wajah makin merasa ngeri berada di depan
Dewa Racun.
"Jangan bikin dia
ketakutan dulu kalau kau mau tahu bagaimana keadaan sebenarnya." kata Suto
kepada Dewa Racun.
"Kkku... kupikir dia mau
menyerangku," kata Dewa Racun dengan tersipu malu. Melihat ada senyum malu
di bibir Dewa Racun, Singo Bodong sedikit lega. Ketika Suto memanggilnya, ia
pun mendekat.
Dewa Racun segera berkata
kepada Singo Bodong,
"Maafkan aku. Kau memang
mirip sekali dengan bekas mus... mus... musuhku!"
"Aku merasa tidak
bermusuhan denganmu."
"Kkau... kau berkata dde... dengan sungguh- sungguh?"
"Sumpah! Berani disambar
janda terbang atau apa saja, aku bukan musuhmu. Mak... mak... maksudku aku
tidak pernah bermusuhan deng... denganmu!"
"Hai! Jang... jangan...
jangan ikut-ikutan gagap kamu!" gertak Dewa Racun.
"Aku bukan ikut-ikutan
gagap. Ak... aku... aku takut sama kamu!"
Pendekar Mabuk tertawa geli
mendengarnya. Yang satu memang gagap omongannya, yang satu gagap karena gugup.
Keringat dingin Singo Bodong sampai keluar semua karena ia duduk berhadapan
dengan Dewa Racun yang berdiri, ia merasa ngeri kalau sewaktu- waktu wajahnya menjadi tempat tamparan atau tendangan orang kerdil itu, sehingga ia gugup menghadapi Dewa Racun.
"Jad... jadi... jadi kamu
bukan Dadung Amuk?' "Buk... buk... bukan! Summ... sumpah!"
"Ha ha ha ha...!"
Pendekar Mabuk tertawa terbahak- bahak melihat kedua orang itu. Yang satu kecil
tapi berani, yang satu besar tapi penakut. Sungguh keadaan yang menggelikan
buat Suto.
Setelah tawa dan kegelian itu
reda, Suto bertanya pada Singo Bodong,
"Apakah kau belum pernah
mendengar nama Dadung
Amuk?"
"Belum, Suto."
"Apakah di sini ada yang
bernama Dadung Amuk?" "Seingatku, tidak ada yang bernama Dadung Amuk
di
desa ini."
"Kal... kalau... kalau
orang yang mirip kamu, apa ada di desa ini, Sing... Sing... Sing... Singo
Bodong?"
"Tidak ada. Tidak ada
orang yang mirip aku di sini!" kemudian Singo Bodong berbisik kepada Suto,
"Aku capek kalau dia
ngomong."
"Ssst...!" Suto
mengingatkan, Singo Bodong segera diam.
"Tap... tapi... tapi tadi
di sana kudengar kamu mencari-cari Suto sam... sampai ke mana-mana. Apakah
benar begitu?"
"Ya. Benar."
"Da... Dadung Amuk jug...
juga mencari-cari Suto!" "Apa perlunya dia mencari Suto? Kurasa
berbeda
dengan keperluanku mencari Suto," jawab
Singo
Bodong.
"Ap... apa... apa perlumu
mencari Suto?"
"Mmmmau... mau
berguru!" jawab Singo Bodong dengan masih menyimpan rasa waswas, takut
dipukul orang kerdil itu.
"Mmme... meng... mengapa
kamu mau berguru kepada Suto?"
"Sebab... sebab... sebab
Suto sakti. Pendekar Mabuk punya ilmu tinggi. Aku kepingin seperti Pendekar
Mabuk. Kalau perlu aku mau cari si Gila Tuak, dan
menjadi muridnya juga, seperti
Suto. Ak... aku... aku malu jadi orang besar dan berwajah angker begini, tapi
tak bisa mainkan jurus sedikit pun. Ak... aku— aku malu pada diriku
sendiri."
Plakkk...!
"Jangan ikut-ikutan
gagap, nanti aku tersinggung!" kata Dewa Racun sambil menampar pelan pipi
Singo Bodong. Yang ditampar kaget dan segera menggeser duduknya agak menjauh,
sambil mengusap-usap pipinya yang pedas karena tamparan tangan kecil berbobot
besar.
Pendekar Mabuk segera berkata
kepada Dewa Racun, "Dewa Racun, ada yang ingin kubicarakan sebentar
denganmu." Setelah itu Suto melangkah agak menjauhi Singo Bodong. Dewa
Racun segera mendekati.
Suto segera jongkok biar
bisik-bisiknya jelas di telinga Dewa Racun,
"Aku punya gagasan untuk
membawa serta Singo
Bodong ke mana pun kita
pergi."
"Apa... apa mak... mak...
maksudmu membawa dia?" bisik Dewa Racun.
"Kalau dia bersama kita
terus, segala gerak-geriknya
bisa kita awasi, sehingga kita
tahu apakah dia berpura- pura bodoh atau memang bodoh. Selain itu, kita bisa
membatasi gerakan Dadung Amuk agar tidak melakukan pembantaian terhadap siapa
pun, kalau memang ternyata Singo Bodong adalah Dadung Amuk."
"Hmmm... ya, ak... ak...
aku tahu maksudmu sekarang. Jadi, kita tidak boleh kelihatan men... men...
mencurigai dia. Ada baiknya kalau nanti kita berpura-
pura lengah, sup... supaya dia
terpancing dengan jati dirinya. Tap... tapi kalau dia memang bukan Dadung Amu
dan... dan memang Singo Bodong yang bodoh dan penakut, apakah dia tidak akan
menambah beb... beb... beban kita?"
"Kit... kita bisa gunakan
tenaga kasarnya," jawab Suto agak terbawa gagap. Akhirnya ia tertawa
sendiri karena kegagapannya itu benar-benar tidak disadari.
Kepada Singo Bodong, Suto
berkata, "Singo Bodong, aku dan Dewa Racun mau pergi menyeberang lautan.
Apakah kau mau ikut kami?!"
"Iyyy... iya! Mau!
Mmmmau... mau sekali!" sambil berdiri penuh semangat. Tapi Dewa Racun
menggerutu,
"Dia ikut-ikutan gagap disengaja atau tidak disengaja?!"
"Dia kegirangan. Wajar
kalau gagap sedikit. Jangan
tersinggung."
Pendekar Mabuk ganti bicara
pada Singo Bodong, "Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga!"
"Hmmm... tapi... tapi
bolehkah aku pulang sebentar, Suto? Aku harus pamit pada ibuku dulu, supaya dia
tahu ke mana aku pergi!"
"Jabang bayi! Sud...
sudah tua begitu kalau pergi mass... masih harus pamit ibunya segala!"
kata Dewa Racun.
"Soalnya, ibuku hanya tinggal
sendirian di rumah." "Tak ada temannya?"
"Ada. Adik
perempuanku. Yah, cuma
adik perempuanku yang menemani ibuku. Adik perempuanku
dan suaminya, dan keenam
anaknya, dan dua adik iparnya!"
"Itu namanya tidak
sendirian! Ibumu banyak teman!"
kata Pendekar Mabuk sedikit
membentak dan menahan rasa geli. "Ya, sudah... cepatlah pulang dan bawa
makanan kalau memang ada."
"Singkong rebus! Ibuku
punya singkong rebus yang tadi pagi tidak laku dijual. Apa kalian mau?"
"Ambil saa... saa...
saja!" jawab Dewa Racun berlagak acuh tak acuh tapi kelihatan butuh.
Singo Bodong berlari seperti
kerbau kebakaran ekor. Tak ada tenaga peringan tubuh sedikit pun yang digunakan
dalam larinya. Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sengaja memperhatikan larinya
untuk meneliti kebenaran jati diri Singo Bodong.
"Orang berilmu tinggi
tidak mungkin berlari seperti itu," kata Suto bersuara lirih.
"Kalau dia pintar
bersandiwara, jelas dia akan berlari seperti itu di depp... deep... depan
kita!"
Terdengar Suto berkata lagi
tanpa memandang Dewa
Racun.
"Bagaimana mengenai wajah
pucatnya? Apakah orang bersandiwara bisa memainkan wajah pucat dengan
sendirinya? Apakah wajah pucat bisa timbul pada diri orang yang berpura-pura
takut?"
"Memm... memm... memang
tidak bisa. Tap... tapi kalau dia pandai berpura-pura, wajah pucat bis...
bis... bisa keluar dengan sen... sendirinya."
Suto Sinting duduk di sebuah
batu yang licin, di
bawah pohon. Batu itu agaknya
sudah sering digunakan duduk oleh para penggembala, ia mengambil bumbung dan
menenggak tuak beberapa teguk.
Napas dihempas lepas, Suto
berkata bebas, "Orang itu memang aneh dan membingungkan. Kalau tidak ada
penjelasan darimu tentang Dadung Amuk, aku tidak akan terheran-heran dan
bingung sendiri seperti saat ini. Separo hatiku percaya bahwa dia adalah Singo
Bodong, tapi separo hatiku sangsi. Hanya saja aku lebih mengikuti separo hatiku
yang percaya bahwa dia Singo Bodong."
"Sep... sep... separo
hatiku juga sangsi, tapi separo hatiku percaya bahwa dia Dadung Amuk, dan
akk... ak cenderung mengikuti separo hatiku, bah... bah... bahwa dia adalah
Dadung Amuk. Bedanya hanya pada tali saja! Kal... kalau dia menggantungkan tali
di pundaknya ak... aku tak sangsi lagi kalau dia adalah Dadung Amuk. Dan...
dan... hei, aku jadi punya curiga lain, Suto!"
"Curiga akan hal apa?
Wajahmu jadi tegang, Dewa
Racun?!"
"Jaaa... jang...
jangan-jangan, dia melarikan diri karena kita telah tahu kedoknya, bahwa dia
addda... adalah Dadung Amuk?!"
"Melarikan diri?"
"lyyy... iyaa.... Dia
melarikan diri dan mencari kelengahanmu untuk menyerangmu dari belakang! Aku
menyusulnya ke sana!"
Dewa Racun cepat sentakkan
kaki dan melesat pergi. Suto terperanjat dan berseru,
"Mau ke mana kau?"
"Mencari rumah Singo
Bodong dan membuktikan bahwa ddiii... dia tidak melarikan diiir... diiir...
diri! tetaplah di situ, aku segera daaa... datang bersamanya!"
Tak sempat Suto punya
pertimbangan lain, Dewa Racun sudah menghilang. Dalam kesendiriannya di bawah
pohon itu, Pendekar Mabuk merenungkan kejadian eneh tersebut. Suto membatin,
"Ada benarnya dugaan Dewa
Racun. Kalau memang Singo Bodong adalah Dadung Amuk, bisa jadi dia melarikan
diri dan tak mau menemuiku. Tapi dia akan menghantamku dari belakang, tapi apa
mungkin hal itu akan terjadi? Belum tentu Dadung Amuk bermusuhan denganku. Siapa tahu dia mencariku untuk satu keperluan. Hanya karena
jawaban Peramal Pikun waktu itu menyinggung perasaannya, maka dia jadi marah
dan mengamuk seperti itu. Ah, semuanya serba tak jelas. Apa perlunya Dadung
Amuk mencariku, juga tak jelas. Mengapa ia membunuh Perawan Sesat, juga belum
pasti karena kesalahan bicara. Mungkin punya alasan lain. Mungkin malah
bukan Dadung Amuk yang membunuhnya. Sebaiknya aku tak perlu
terlalu gampang mengambil kesimpulan. Aku tak perlu gegabah dalam bertindak.
Tapi, bagaimanapun juga aku harus bisa bertemu dengan Dadung Amuk yang
sebenarnya, supaya persoalan ini menjadi gamblang. Setelah itu, baru aku
berangkat ke Pulau Serindu."
Pendekar Mabuk hempaskan napas
panjang. Dewa
Racun belum muncul juga
bersama Singo Bodong.
Apakah ada masalah di sana?
Jangan-jangan Dewa Racun yang sangat penasaran itu menjajal ilmunya Singo
Bodong hingga terjadi keributan? Itu yang mencemaskan hati Suto. Maka, Suto pun
bergegas untuk menyusul ke pertengahan desa mencari Singo Bodong atau Dewa
Racun, ia harus mencegah rasa penasaran Dewa Racun, cupaya tidak timbul korban
salah paham.
Tetapi baru
saja Suto Sinting
berdiri sambil membetulkan letak
bumbung tuaknya di punggung, tiba- tiba ia melihat seorang bertubuh besar
melompat lari ke arah kaki bukit di depan Suto. Cepat-cepat Suto menggumam
dalam batinnya,
"O, rupanya Singo Bodong
hanya ganti pakaian, yang semula hitam sekarang ganti pakai baju merah. Tapi
celananya masih hitam juga. Tapi... tapi mengapa dia membawa tambang? Gulungan tambang itu digantungkan di pundak
seperti tas gantung saja. Mau apa dia membawa tambang? Mau gali sumur atau mau tebang
pohon? Oh, dia menuju kemari. Rupanya dia hampir lupa menghampiriku di sini.
Eh, tapi di mana Dewa Racun? Mengapa dia tidak bersama Dewa Racun?"
Pendekar Mabuk menjadi semakin
curiga melihat gerakan Singo Bodong berbaju merah. Gerakan itu cepat dan
ringan, tidak seperti kerbau kebakaran ekornya. Kejap berikutnya, Singo Bodong
berbaju merah tanpa dikancingkan itu sudah berada di depan Suto.
Matanya lebar, seperti
biasanya. Alisnya tebal, kumisnya juga tebal melintang. Tapi kali ini Singo
Bodong berbaju komprang merah
itu menatap Suto dengan sedikit menyipit curiga. Kain ikat kepalanya sedikit
lebih rapi dari yang tadi. Dan anehnya, Singo Bodong menyapa Suto dengan
suaranya yang besar bulat seperti biasanya,
"Apakah kau kenal dengan
orang yang bernama Suto
Sinting?!"
5
KECURIGAAN Pendekar Mabuk
menjadi bertambah setelah Singo Bodong berbaju merah itu menggertak Pendekar
Mabuk dengan sungguh-sungguh.
"Aku tanya kepadamu!
Kenapa kamu melotot saja hah?!"
Di dalam hati Suto berkata,
"Singo Bodong tidak akan berani membentakku begini! Rasa-rasanya aku
berhadapan dengan jelmaan Singo Bodong saat ini!"
"Hei, kau tuli?!"
sentak orang tinggi besar itu. "Aku tanya kepadamu, apakah kamu kenal
dengan orang yang bernama Suto Sinting?! Kalau kenal bilang saja kenal, kalau
tidak bilang saja tidak! Jangan bikin kemarahanku melabrak kepalamu,
tahu?!"
"Sepertinya... aku baru
sekarang mendengar nama orang yang kau cari itu," jawab Pendekar Mabuk
dengan kalem. "Siapa namanya tadi?"
"Suto Sinting!" teriaknya keras dengan wajah dongkol.
"Aneh. Nama kok Suto
Sinting?" gumam Suto berlagak bingung.
"Itu urusan dia! Urusanku
hanya mencari dia dan membunuhnya!"
Terkesiap Pendekar Mabuk mendengar kalimat
terakhir. Geram mendengar dirinya
dicari untuk dibunuh. Tapi
Suto cepat menahan nafsu amarahnya, dan bersikap tetap tenang, ia hanya
lontarkan tanya kepada orang itu,
"Apakah kau belum pernah
bertemu dengan Suto
Sinting?"
"Kalau sudah pernah
bertemu, aku tak akan bertanya- tanya lagi! Cukup dengan melihat orangnya,
langsung kuhancurkan kepalanya!"
"Kau ini bagaimana? Belum
pernah ketemu orangnya kok sudah mau main bunuh saja? Jangan-jangan malah kau
yang terbunuh!"
"Gggrr...!" orang
itu menggeram seperti singa. "Baru sekarang ada orang berani bicara
seperti itu! Kurang ajar! Jangan berani sepelekan aku sekali lagi, kalau kau
masih ingin bisa bersiul esok hari!"
"Aku tidak sepelekan
kamu. Tapi aku khawatirkan dirimu. Badan besar begitu kalau tahu-tahu mati
alangkah sayangnya?! Siapa yang mau menguburkan dirimu segede gajah itu?!"
"Lancang mulutmu, Anak
Muda! Jangan bikin persoalan denganku kalau kau memang tak kenal Suto Sinting!
Bisa-bisa nasibmu seperti perempuan berambut jabrik dan lelaki kurus kering di
dalam pondoknya!"
Suto cepat membatin,
"Perempuan berambut jabrik? O, pasti yang dimaksud adalah Perawan Sesat.
Hmmm...
jadi rupanya dialah orang yang
membunuh Perawan
Sesat dan melukai Peramal
Pikun!"
Orang itu berkata dengan mata
melebar ganas,
"Ingat! Jangan lagi
bicara sembrono di depanku! Kau bisa kehilangan nyawamu dalam satu helaan napas
saja, tahu?!"
Suto tersenyum, bahkan tertawa
pendek seperti orang terbatuk.
"Kau tak perlu berlagak
galak di depanku, Singo
Bodong! Aku...!"
"Namaku bukan Singo
Bodong!" bentak orang itu. "Namaku Dadung Amuk! Ingat, Dadung...
Amuk...!"
Pendekar Mabuk makin
lebarkan senyum dan berkata, "Mau Dadung
Amuk atau Dadung Keropos, di mataku kau tetap Singo Bodong! Kau tak bisa
bohongi aku!"
"Kurang ajar!
Hihhh...!"
Dadung Amuk melayangkan
tamparan bertenaga dalam, arahnya ke pipi kiri Suto. Tapi dengan cepat jari
telunjuk dan jari tengah tangan kanan Pendekar Mabuk bergerak ke samping,
menghadang gerakan tangan itu.
Tap...!
Telapak tangan bagai tertotok
dua jari Suto. Tubuh Dadung Amuk tersentak bagai mau melonjak namun ditahan, ia
menggeram sambil kibas-kibas tangannya yang membentur dua jari Suto,
"Ooo...?! Rupanya kau
punya isi juga, Bocah Kencur?!"
Dadung Amuk mulai
tampak merah mukanya. Suto masih tetap tenang, berdiri tegak
memandang wajah Dadung Amuk.
"Boleh aku tahu, mengapa
kau ingin membunuh Suto?" tanya Pendekar Mabuk sambil ia melipat tangan di
dada.
"Perlu apa kau tahu
urusanku, hah! Terima saja pelajaran keras dariku ini! Huhh...!"
Wuugh...!
Dadung Amuk kepalkan
tangannya. Tinju yang besar itu dihantamkan ke wajah Pendekar Mabuk. Tapi tubuh
Pendekar Mabuk hanya berkelit ke samping dengan sedikit miring. Wuuus...!
Pukulan besar itu lolos, tidak mengenai sasaran.
Orang tinggi besar itu
hentikan gerak. Makin tajam ia perhatikan wajah Pendekar Mabuk sambil melangkah
mengitarinya.
"Lincah juga kau
rupanya!" gumam Dadung Amuk. Suto hanya mengikuti dengan lirikan mata
sambil
berkata,
"Kalau kau mau jelaskan
persoalanmu, mungkin aku bisa ikut membantumu mencarikan Suto."
"Semula aku butuh
bantuanmu!" kata Dadung Amuk
yang kini ada di belakang
Suto. Pendekar Mabuk tetap tidak berpaling. Lalu, Dadung Amuk lanjutkan kata,
"Tapi setelah kutahu kau
sepertinya menantang ilmu padaku, aku jadi ingin mencoba isimu, setinggi apa
kesombonganmu bicara dengan kenyataan yang ada. Hiaaah...!"
Dadung Amuk sentakkan tangannya. Pukulan bertenaga dalam melesat dari
tepian tangan. Arahnya ke
punggung Suto. Suto tersentak
bagai mendapat dorongan keras dari belakang, tapi ketika ia terlompat ke depan,
rupanya kedua kakinya menyepak ke belakang. Prakkk...!
Kedua kaki Suto menendang
bagai kuda dan tepat mengenai wajah angker badung Amuk. Orang itu tersentak bagai menggeragap dan mundur empat langkah, terhuyung-huyung jadinya.
Sementara itu, setelah kakinya
mendarat di wajah Dadung Amuk, tubuh Suto bergerak terguling di rerumputan,
tapi punggungnya tak sampai menyentuh tanah. Tahu-tahu kakinya telah berpijak
di tanah secara mantap dan bersama-sama. Jlegg...! Dalam keadaan jongkok,
Pendekar Mabuk segera balik berdiri dan balikkan kepala bagai ingin membuang
rasa sakit.
"Monyet!" geram
Dadung Amuk di dalam hatinya, "Tendangan bocah itu melebihi tendangan dua
ekor kuda! Kalau aku tidak segera sigap, sudah berantakan gigiku!"
Dadung Amuk yang berpenampilan
seperti seorang warok itu segera maju tiga langkah dengan mata makin buas dan
liar. Penuh nafsu untuk membunuh. Sedangkan Suto bergerak ke samping dengan
kalem, dan berdiri dengan punggung disandarkan pada batang pohon besar.
"Bocah keparat! Sudah terlambat kau minta ampun
padaku! Terima 'Racun Sengat
Kobra'-ku ini, hiaaah...!" Dadung Amuk mengangkat kedua tangannya di
depan wajah membentuk tegak
lurus ke atas. Lalu, dari kesepuluh kukunya mengeluarkan cahaya merah seperti
benang-benang menyala. Cahaya
merah itu menjadi satu di depan tangan dan melesat membentuk bayangan seekor
kobra melesat, menghantam dada Suto.
Tetapi sebelum bayangan ular kobra
itu mendekatinya, Suto sudah lebih dulu memutar bumbung bambu tempat
tuaknya dari punggung ke depan, lalu bayangan merah seekor ular kobra itu
ditangkisnya dengan bumbung tempat tuak. Trangngng...!
Terdengar seperti suara besi
bolong yang dihantam besi padat saat bayangan seekor kobra mematuk bumbung
tuak. Bayangan merah itu berbalik arah, bahkan kini menjadi tiga bayangan ular
kobra melesat menuju kepada pemiliknya.
Wesss... wess... wess...!
Dadung Amuk belalakkan matanya
lebar-lebar. Kaget melihat bayangan merah tiga ekor ular kobra menuju ke
arahnya. Cepat-cepat ia sentakkan kedua
telapak tangannya
dari bawah ke
atas dengan sedikit
merendahkan kedua kaki yang merenggang kokoh itu.
Wuurrsss...!
Pukulan dari atas ke bawah itu
membuat bayangan tiga ekor ular kobra menjadi nyala api sekejap. Lalu, padam
dan tinggal kepulan asapnya saja. Kepulan asap itu cepat menghilang ditiup
angin.
Mulut Dadung Amuk tak bisa
bicara apa-apa. Ia masih terkesima memandang tabung tuak yang dipegang satu
tangan oleh Suto itu. Ia masih merasa seperti sedang bermimpi melihat pukulan
'Racun Sengat Cobra' bisa dikembalikan dengan kekuatan tiga kali lipat itu.
Baru
kali ini ia mengalami kejadian yang sungguh mengherankan dan menakjubkan.
"Siapa anak muda itu
sebenarnya? Tak mungkin ia
berilmu rendah. Pukulan maut
itu bisa ditangkis dan dikembalikan, ini benar-benar luar biasa ilmunya!
Siluman Tujuh Nyawa jelas tak akan percaya kalau kuceritakan kejadian ini
kepadanya. Hmmm... sebaiknya tak perlu cerita kepada siapa-siapa, nanti malahan
aku ditertawakan mereka. Tapi..., agaknya anak muda ini tidak bisa dibuat
main-main!"
Dengan lantang, untuk menutupi
rasa kagetnya atas kejadian tadi, Dadung Amuk serukan kata,
"Bocah kencur! Siapa
dirimu sebenarnya, hah?!"
"Apa perlunya kau tahu
siapa diriku?" Suto sengaja berlagak sinis untuk memancing kemarahan
Dadung Amuk.
"Sebaiknya kau mengaku
saja, supaya aku bisa mencatat namamu dalam daftar orang-orang yang telah
kubunuh!"
"Akan kucatatkan sendiri
setelah aku berhasil kau bunuh!"
Geram dari mulut Dadung Amuk
semakin jelas. Napasnya pun ngos-ngosan seperti seekor banteng mau mengamuk.
"Kuhitung tiga kali,
kalau kau tak mau menyebutkan siapa dirimu, kuhabisi nyawamu sekarang
juga!"
"Hitung saja satu kali!
Jangan tiga kali. Itu terlalu banyak!" kata Suto makin memanaskan dada
Dadung Amuk.
Orang yang tidak mau disebut
Singo Bodong itu segera mengangkat kedua
tangannya pelan-pelan.
Tangan yang menyerupai terkaman seekor singa itu bergetar dan bergerak terus
sampai di atas kepala. Lalu, kedua telapak kakinya pelan-pelan terangkat naik
sedikit dari permukaan tanah. Mata itu semakin tajam memandang. Dan tiba-tiba
tubuhnya bergerak melesat cepat menuju ke arah Pendekar Mabuk.
Wuuut...! Wess...!
Pendekar Mabuk pun
bergerak sangat cepat, menggunakan gerak siluman. Kejap
berikut Pendekar Mabuk sudah berada jauh di bawah pepohonan pisang. Dan gerakan
cepat tubuh Dadung Amuk menghantam pohon besar yang menyerupai bentuk payung
besar itu.
Brruess...! Wwwrrrr...!
Daun-daun runtuh
bagaikan pohon mendapat guncangan hebat.
Tubuh Dadung Amuk yang membentur pohon dengan keras itu
terpental ke belakang dan terkapar telentang di rerumputan. Hidungnya berdarah,
juga bibirnya ada yang robek sebagian. Dadung Amuk sesak napas, ia mencoba
berdiri dengan terengap-engap. Tubuhnya terkena rontokan daun cukup banyak,
hingga ia merasa semakin geram dengan daun- daun yang mengotori kepalanya.
"Haaah...!" Ia
menyentak jengkel, lalu segera bangkit. Matanya memandang celingak-celinguk
mencari Suto. Sedangkan yang dipandang hanya senyum-senyum saja
di tempat berjarak dua puluh
langkah dari pohon besar itu.
"Monyet borok!"
geramnya memaki Suto. Darah
yang mengalir dari hidung
diusapnya dengan lengan baju.
"Anak setan!" geram
Dadung Amuk. "Cepat sekali gerakannya. Jangan-jangan dia punya ilmu
sejajar dengan Siluman Tujuh Nyawa. Bisa mampus aku di sini! Sebaiknya
kutinggalkan saja dia! Tak perlu kulayani, ketimbang aku gagal menemukan Suto,
bisa kena pancung leherku oleh Siluman Tujuh Nyawa!"
Dengan satu hentakan kaki,
Dadung Amuk segera melesat pergi, ia menjauh dan makin menjauh menuju lereng
perbukitan. Suto hanya memandanginya dengan senyum. Dan ketika Dadung Amuk tiba
di perbatasan bukit, Suto gunakan gerak silumannya lagi. Wuuut... wuuut...!
Tahu-tahu ia sudah menghilang
dari tempat semula dan membuat Dadung Amuk terkejut sekali. Karena sewaktu ia
hendak teruskan langkah setelah melewati perbatasan bukit, ternyata Pendekar
Mabuk sudah berdiri di depannya dalam jarak tujuh langkah. Maka Dadung Amuk pun
menahan gerak selanjutnya, ia berhenti dan menggumam dalam hati,
"Monyet juling! Itu bocah
sudah ada di sana! Cepat sekali gerakannya?! Setahuku dia masih tenang-tenang
di bawah pohon pisang!"
Suto sunggingkan senyumnya,
ramah tapi menantang. Dadung Amuk
gemetar dibakar
kemarahannya.
Napasnya pun naik-turun dengan
cepat bukan karena lari tapi karena memendam nafsu amarahnya.
"Heii, Bocah
Kencur...!" sapanya dengan lebih galak
lagi, sambil ia langkahkan
kaki tiga tindak ke depan. "Apa maksudmu menghadang langkahku, hah?! Mau
benar-benar cari mati kau,
hah?!"
"Aku hanya
ingin tahu, apa
alasanmu ingin
membunuh Suto?!"
"Itu tugasku! Tugas dari
ketuaku!" "Siapa ketuamu?"
"Siluman Tujuh
Nyawa!"
"Ooo...," Pendekar
Mabuk manggut-manggut. "Kenapa hanya 'O' saja? Kau tak merasa takut
mendengar nama angker itu?
Siluman Tujuh Nyawa! Bisa kau bayangkan betapa hebatnya ketuaku itu mempunyai
tujuh nyawa!"
"Kurang angker menurutku!
Dan lagi, itu hanya sebutan saja! Toh nyawanya tetap hanya satu?!"
"Tapi kau bisa dipancung
dalam sekejap jika kau berhadapan dengannya! Dia orang yang tak pernah kenal
kata ampun dan menyerah!"
"Ooo...," Suto
manggut-manggut lagi namun tetap tenang dan tersenyum-senyum kalem.
"Lantas, apa alasannya Siluman Tujuh Nyawa mau membunuh Suto
Sinting?"
"Itu rahasia!"
"Apakah Pendekar Mabuk
itu musuh lamanya
Siluman Tujuh Nyawa?"
"Musuh barunya!"
"Musuh baru?! Hmmm...
sejak kapan Siluman Tujuh
Nyawa bermusuhan dengan
Pendekar Mabuk?"
"Sejak Siluman Tujuh
Nyawa mendengar kekasihnya mengirim utusan kemari untuk mencari orang yang
bernama Suto Sinting!"
"Siapa kekasihnya Siluman
Tujuh Nyawa itu?" "Gusti Mahkota Sejati!"
Pendekar Mabuk perdengarkan
tawa kecil berkesan meremehkan. Dadung Amuk tetap bermata nanar, penuh nafsu
membunuh tapi tak berani lakukan karena pertimbangan ilmu Suto yang dianggapnya
sangat tinggi itu,
"Mengapa kau tertawa? Apakah kau pernah mendengar nama itu?"
"Pernah atau tidak, itu
urusanku, Dadung Amuk. Tapi tolong sampaikan kepada Durmala Sanca, bahwa I
Gusti Mahkota Sejati tidak pantas menjadi kekasihnya,"
"Tunggu dulu!"
sergah Dadung Amuk sambil maju dua tindak. "Kau menyebut nama asli ketuaku
Durmala Sanca. Apakah kau kenal dengan dia? Apakah kau tahu persis tentang
dia?"
"Tentu saja aku tahu,
karena dulu aku gurunya
Durmala Sanca. Dulu dia
berguru denganku di Tibet." "Ooh... jad... jadi...?" Dadung Amuk
mulai gentar
karena dia tahu persis cerita
tentang Siluman Tujuh
Nyawa itu.
Melihat lawannya mulai
terpengaruh oleh kata- katanya, Suto menambahkan bualannya, sekadar untuk
menghindari pertumpahan darah. Sebab menurutnya,
Dadung Amuk tak bisa diusir
pergi jika tanpa dilawan dengan kekerasan atau dengan kelicikan.
"Ketahuilah, Dadung Amuk,
ketuamu itu mempunyai
ilmu pukulan 'Candra Badar'
juga dari aku!"
"'Candra Badar'...?! Oh,
kau tahu juga tentang pukulan 'Candra Badar' itu?!"
"Jelas tahu, karena
memang itu sebenarnya ilmuku
yang kuturunkan kepadanya.
Durmala Sanca bisa menjelma menjadi tujuh wujud yang berbeda-beda, yang
dinamakan ilmu 'Siluman Tujuh Nyawa'. Itu juga ilmu yang kuturunkan
padanya!"
"Oooh...?!" Dadung
Amuk terperangah. Mulutnya yang berbibir tebal itu melongo bagai liang tikus.
Untuk lebih meyakinkan, Dadung Amuk ajukan tanya,
"Jika kau benar
mengetahui tentang diri ketuaku, coba sebutkan berapa usianya?"
"Usianya sudah cukup
banyak. Mungkin kau tidak percaya kalau kukatakan bahwa usia Durmala Sanca
sudah mencapai seratus tahun."
"Oh, benar...!" ucap
Dadung Amuk dengan desah keheranan.
"Tapi karena dia kuberi
ilmu awet muda, maka ia seperti baru berumur antara lima puluh tahunan."
"Benar lagi...,"
desahnya kagum.
"Sekarang, sebaiknya
kembalilah kepada dia, dan katakan kau telah menemui gurunya. Katakan pula,
guru berpesan agar dia jangan mengganggu Gusti Mahkota Sejati, dan jangan
mencoba bermusuhan dengan anak muda yang bernama Suto Sinting itu!"
"Hmmm... ah, eh... anu...
tapi, apakah kau juga tahu siapa perempuan yang bernama Gusti Mahkota Sejati
itu?"
"Kenapa tidak? Aku selalu
mengikuti gerakan Durmala Sanca! Aku
tahu, sejak muda dia mengejar- ngejar perempuan yang bernama Dyah Sariningrum,
yang kemudian menjadi penguasa di negeri Puri Gerbang Surgawi, yang ada di
Pulau Serindu!"
"Ooh... benar lagi
dia...," desah Dadung Amuk makin gemetar.
"Dan sekarang perempuan
itu sedang terpenjara oleh ilmu 'Candra Badar', ia tak bisa keluar ke mana-mana
karena takut kena sinar matahari, sinar rembulan, sinar bintang, bahkan sinar kunang-kunang pun bisa membakar tubuh perempuan itu! Dan
memang begitulah ilmu 'Candra Badar' kuciptakan!"
"Dia tahu semuanya
tentang ilmu itu? Oh, kalau begitu apa yang dikatakannya memang benar. Dia
gurunya sang ketua!" pikir Dadung Amuk. "Tetapi, siapa nama orang
ini? Bagaimana aku harus menyebutkan namanya jika ditanya oleh sang ketua
nanti?"
Lalu, Suto pun berkata dengan
gaya wibawanya, "Dadung Amuk, kuperintahkan kau segera kembali kepada
ketuamu dan tinggalkan pulau ini! Mengerti?!"
"Hmmm... eh... tapi...
tapi jika benar kau guru sang ketua, hmmm... lantas bagaimana aku harus
menjelaskan namamu? Sebab kamu kelihatannya jauh lebih muda dari sang
ketua!"
"Tentu saja. Kalau
muridku bisa semuda itu, mengapa
aku tidak bisa jauh lebih muda
lagi?" "O, hmmm... iya. Benar."
"Dan katakan saja
kepadanya, bahwa kau habis
bertemu dengan Pendeta Tibet!
Tak perlu kau sebut namaku, dia sudah akan menyebutnya sendiri! Dia pasti masih
ingat namaku!"
"Pendeta Tibet...! Oh,
benar. Sang ketua memang pernah bercerita bahwa gurunya adalah Pendeta Tibet.
Jadi... oh, celaka! Jadi sejak tadi aku berhadapan dengan gurunya sang ketua?!
Pantas ilmuku tidak ada apa- apanya?!"
"Berangkatlah, Dadung
Amuk! Pulanglah kepada muridku si Durmala Sanca itu!"
"Tapi... tapi...."
"Atau kau ingin aku menghantamkan pukulan
'Candra Badar' ke tubuhmu,
Dadung Amuk?!"
Orang itu kaget dan ketakutan.
"Oh, hmmm... eh... tidak... jangan! Sebaiknya memang aku pulang dan
melaporkan pada sang ketua...!"
*
* *
6
SEPERGINYA Dadung Amuk,
Pendekar Mabuk tak dapat menahan tawa. Ia lepaskan tawa itu sambil sesekali
menenggak tuaknya. Dengan modal cerita dari Nyai Betari Ayu, ternyata ia bisa
mengusir Dadung Amuk pergi meninggalkan tanah Jawa. Pikir punya pikir, Dadung
Amuk itu sebenarnya sama bodohnya
dengan Singo Bodong.
"Singo Bodong...?!"
gumam Suto sendirian. "O, ya... aku hampir lupa dengan Singo Bodong!
Seharusnya tadi kudesak Dadung Amuk agar mengaku sebagai Singo Bodong! Paling
tidak dia bisa jelaskan apa alasannya memakai Dadung Amuk dan memihak Siluman
Tujuh Nyawa! Sayang sekali aku lupa, orang itu pasti sudah pergi jauh ketika
kuancam dengan pukulan 'Candra Badar'...!"
Suto juga ingat tentang Dewa
Racun. Maka, segera ia kembali ke pohon besar yang menyerupai payung raksasa
itu. Ternyata di sana ia sudah ditunggu kedatangannya oleh dua orang, yaitu
Dewa Racun dan satu lagi... Singo Bodong. Mata Suto sedikit menyipit heran
memperhatikan Singo Bodong berbaju hitam tanpa dikancingkan.
Sebelum Pendekar Mabuk bicara,
Dewa Racun sudah mendahului menyapanya,
"Ddda... dari... dari
mana saja kamu? Sejak tadi aku menunggu di sini bersama si orang besar ini,
tapi baru sekarang kau muncul!"
Suto masih memandang heran
pada wajah Singo Bodong yang tampak tersenyum ceria. Tak ada rasa takut dan
tegang sedikit pun. Dalam hatinya Suto berucap kata,
"Secepat itukah Dadung
Amuk ganti pakaian? Secepat itukah dia lepaskan baju dan menyimpannya dengan
rapi bersama tambangnya?"
Dewa Racun ajukan tanya,
"Suto... aad... ada apa tadi
sebenarnya dddi... di sini?!
Ak... aku melihat ada bek... bekas pertempuran. Lihat, pohon itu membekas
hit... hitam... hitam sekali! Memm... memm... membentuk bayangan manusia! Tadi
waktu kutinggalkan, pohon itu tidak membekas bayangan apa-apa! Ddda...
daun-daun juga rontok. Pa... pas... pasti ada pertarungan di sini!"
Suto tidak menjawab pertanyaan
Dewa Racun, ia bahkan bergegas menghampiri Singo Bodong yang tampak kegirangan
mau diajak pergi itu. Singo Bodong sendiri ajukan tanya,
"Aku sudah diizinkan
pergi oleh Ibu. Kita mau berangkat kapan? Sekarang?"
Tak ada jawaban yang keluar
dari mulut Pendekar Mabuk. Tapi tangan Pendekar Mabuk segera tarik lengan Singo
Bodong mendekati pohon, lalu berkata,
"Coba kau peluk pohon itu
pas di tempat yang hangus!"
"Apa-apaan ini,
Suto?"
"Lakukan saja kalau kau
ingin ikut pergi denganku!" "Baik. Baik! Kau tak perlu bentak
aku!"
Singo Bodong memeluk pohon
tepat di bagian yang
hangus oleh benturan tubuh
Dadung Amuk tadi. Dan ternyata ukuran tubuh pas dengan bentuk bayangan manusia
yang hangus di pohon itu.
"Cocok! Tak salah
lagi!" gumam Pendekar Mabuk membuat Dewa Racun dan Singo Bodong menatapnya
penuh keheranan.
"Ap... appp... apa maksudmu,
Suto?!" tanya Dewa
Racun.
"Aku habis bertarung
dengan dia!" sambil Pendekar Mabuk menuding Singo Bodong. Yang dituding
makin kerutkan dahi.
"Kau habis bertarung
denganku? Oh mana mungkin!" kata Singo Bodong menyanggah. "Aku tidak
merasa bertarung denganmu!"
"Jangan pura-pura! Ukuran
tubuhmu cocok dengan ukuran bayangan hangus di pohon itu! Kau tadi yang
menabrak pohon itu dengan kekuatan tenaga dalammu!"
Dewa Racun membantah,
"Ttid... tidak mungkin. Aku ada di rumahnya, menunggui dia mandi dan
menimba air sumur! Aku disuguhkan singkong rebus dan diajak bercerita banyak
oleh adik perempuannya!"
"Saat kau ngobrol dengan
adik perempuannya itulah dia lolos dan menemuiku di sini, berlagak tidak
mengenaliku!"
"Tiiid... tidak... tidak
mungkin! Aku bicara dengan adik perempuannya di dekat sumur. Aku lihat dia
men... men... menimba air!"
"Tapi dia tadi kemari
sebagai Dadung Amuk dan mengadu ilmu denganku. Lalu lari ke sana dan aku
mengejarnya! Akhirnya dia kusuruh pulang kepada ketuanya, dan dia menurut. Dia
pergi menghilang dari pandanganku, lalu aku kemari, dan dia sudah ada di
sini!"
"Tidddak... tidak
mungkin! Dia selalu bersamaku!" debat Dewa Racun. Sekarang ganti Dewa
Racun yang membela Singo Bodong. Sedang yang dibela hanya
bengong-bengong tak mengerti maksudnya. Singo
Bodong tampak bingung
memikirkan perdebatan itu.
Dewa Racun segera mengajak
Pendekar Mabuk menjauhi Singo Bodong dan berbicara secara kasak- kusuk,
"Apakah kau bertemu
Dadung Amuk?" "Ya!"
"Diiid... dia... dia
tidak kau desak untuk mengaku sebagai Singo Bodong?"
"Dia tidak mau
mengaku."
"Apakah tidak ada
kemungkinan, bahwa dddia... dia memang Dadung Amuk dan buk.. buk... bukan Singo
Bodong?"
"Mengapa kau bertanya
begitu?"
"Seb... seb... sebab aku
berani bersumpah, dia sejak tadi bersamaku. Tidak ke mana-mana."
"Jangan-jangan dia punya ilmu
sejenis 'Seberang Raga'? Dirinya yang asli sebagai Daduk Amuk, orang lain atau
makhluk lain dijadikan Singo Bodong?"
"Se... se... seperti yang
kau miliki itu?" "Ya!"
Dewa Racun diam tanda tak bisa
menjawab dengan pasti. Menurutnya dugaan Pendekar Mabuk memang bisa saja
terjadi. Tapi ilmu sejenis itu jarang dimiliki oleh tokoh persilatan. Hanya
orang-orang tertentu yang memiliki ilmu sejenis 'Seberang Raga'. Apakah Singo
Bodong termasuk orang dalam jenis tertentu, entahlah! Yang jelas, Dewa Racun kembali
mengikuti langkah Suto mendekati Singo Bodong.
"Singo Bodong," kata
Pendekar Mabuk. "Kau tahu aku punya ilmu 'Candra Badar' juga! Sekarang
juga akan kupukulkan ke tubuhmu ilmu 'Candra Badar' itu!"
"Maksudnya sekarang juga
kau akan turunkan ilmu
'Candra Badar' kepada diriku?
O, boleh, boleh...!" Singo
Bodong tampak kegirangan.
Dewa Racun merasa heran sekali
dengan sikap Suto. Bahkan ketika Suto menggerakkan tangannya merentang ke depan
dan ke belakang dengan kaki kanan lurus ke belakang dan kaki kiri merendah,
kepala dan badan ikut merendah, Dewa Racun cepat lompatkan diri dan hadang
pukulan itu di depan Singo Bodong.
"Tahan!" serunya.
"Aaap... apa... apa maksudmu, Suto?!"
Pendekar Mabuk kendurkan
ketegangannya, lalu hempaskan napas, ia memandang Dewa Racun dengan dongkol.
Lalu, cepat ia tarik tangan Dewa Racun dan bisikkan kata di tempat jauh dari
Singo Bodong.
"Aku hanya ingin
mengujinya! Bodoh! Seharusnya kau biarkan aku berpura-pura mau lancarkan
pukulan
'Candra Badar'. Sebab tadi
Dadung Amuk ketakutan
waktu kuancam dengan pukulan
itu!"
"Ta... tap... tapi apakah
kau benar-benar punya pukulan itu?"
"Tidak, Bodoh! Itu hanya pura-pura untuk
memancing dia!"
"Kulihat dddi... dia... dia
tidak takut, malah salah duga dan kegirangan. Disangkanya kau mau masukkan ilmu
'Candra Badar' sebagai kekuatan diiir... dirinya!"
"Uuuf...! Pusing sekali
aku memikirkan keanehan ini!"
"Sebentar lagi hari
menn... menjadi sore. Sebaiknya
kiit... kita mendekati pantai.
Kiit... kita tidur di sana, baru esok paginya berangkat ke Pulau Serindu!"
"Bagaimana dengan anak
gajah itu? Tetap diajak?" Suto menuding Singo Bodong.
"Kkkkau... kau sendiri
tadi yang usulkan begitu, sekarang kau sendiri yang... yang jadi ragu. Apa
maumu sebenarnya, Suto?!"
"Baiklah. Aku yang
usulkan, aku pula yang harus tanggung jawab! Kita berangkat sekarang!"
Singo Bodong tampak kegirangan
ketika mengikuti langkah Suto dan Dewa Racun. Mereka menyusuri pantai, untuk mencapai tempat disembunyikannya perahu Dewa
Racun. Mereka tidak menggunakan langkah cepat seperti kilat, mereka menggunakan
langkah biasa, hanya sedikit cepat. Itu saja sudah membuat Singo Bodong
ketinggalan beberapa tombak jaraknya.
"Dadung Amuk tadi mengaku
utusan dari Siluman Tujuh
Nyawa. Tugasnya
mencari aku dan membunuhnya. Tapi dia tidak tahu
bahwa dia sudah berhadapan dengan Suto. Dan aku tadi mengaku sebagai guru
Siluman Tujuh Nyawa yang punya nama asli Durmala Sanca."
"Hei, kkau... kau tahu
nama asli Siluman Tujuh
Nyawa? Dari... dari mana kau
tahu nama itu?"
"O, ya! Rupanya aku belum
cerita padamu. Betari
Ayu, orang yang pernah
kuceritakan padamu tempo hari itu...."
"Hmmm... ya, ya...
aakkk... aku... aku ingat. Orang itu
yang menaruh kasih sayang
padamu! Lantas, ada apa dengan dia?"
"Dddi... ddia... dia
adalah...." "Uts! Jangan ikut-ikutan latah!"
"O, ya. Maaf. Dia
adalah kakak dari
Dyah
Sariningrum!"
"Hahh...?!" Dewa
Racun hentikan langkahnya, kaget dan terperangah dongakkan kepala, memandang
Suto.
"Kenapa kau terkejut? Aku
tidak mendustaimu!
Betari Ayu itulah yang
diceritakan tentang 'Candra Badar' di dalam tubuh Dyah Sariningrum dan membuat
nyai gustimu itu tidak bisa keluar ke mana-mana. Karena takut terbakar oleh
sinar matahari, rembulan, bintang bahkan cahaya sinar kunang-kunang...."
"Jjja... jaaadi... jadi
Betari Ayu itu adalah Nyai Guru
Dyah Kumalawindu...?!"
"Siapa itu Dyah
Kumalawindu?!"
"Kakak da... dari... Nyai
Gusti Dyah Sariningrum!" "Setahuku dia bernama Betari Ayu!"
"Itu nama julukannya!
Kkka... kalau benar di... dia... kakak dari Nyai Gusti, berarti dia menyimpan
Kitab Pusaka Wedar Kesuma!"
"O, ya! Soal kitab pusaka
itu aku pernah dengar. Memang ada di tangannya! Tapi aku tidak tahu kalau dia
punya nama sebenarnya adalah Dyah Kumalawindu."
"Jabang bayi!" gumam
Dewa Racun, ia tetap diam di
tempat sampai Singo Bodong
mendekat. Dewa Racun masih termenung, makin lama semakin tampak gelisah.
Singo Bodong berkata,
"Langkah kalian boleh cepat
dariku. Tapi napas kalian
masih kalah dengan napasku. Ayo, jalan lagi! Tak perlu pakai istirahat segala!
Bikin lama perjalanan saja!"
Singo Bodong meneruskan langkahnya,
menunjukkan bahwa dia belum merasa lelah. Dia tak tahu Suto dan Dewa Racun
berhenti bukan karena istirahat, tapi ada sesuatu yang perlu dipikirkan. Dan
langkah Singo Bodong itu dibiarkan oleh mereka berdua, sehingga Singo Bodong
ngeloyor sendiri bagai tak mempedulikan mereka lagi.
"Ada apa, Dewa Racun?
Kelihatannya kau gelisah sekali setelah kita bicara tentang Betari Ayu
itu?"
"Nyai Guru Dyah
Kumalawindu, adalah orang yang
paling dihormati oleh nyai
gustiku. Sebab, kitab Pusaka Wedar Kesuma ada di tangan Nyai Guru Dyah
Kumalawindu."
"Apa arti kitab itu bagi
Gusti Mahkota Sejati?"
"Oh, kau tahu... tahu...
nama kkke... kehormatan nyai gustiku juga rupanya?"
"Betari Ayu yang
menceritakannya. Jadi, apa artinya kitab itu bagi nyai gustimu itu?"
"Semua ilmu yang dimiliki
nyai gustiku ada di dalam
Kitab Wedar Kesuma. Jaa...
jadi... setinggi apa pun ilmu Nyai Gusti, dapat... diketahui dan diungguli oleh
Nyai Guru Betari Ayu itu. Sedangkan ilmu yang dimiliki Nyai Betari Ayu, tidak
banyak diketahui oleh Nyai Guss...
Gusti!"
"Terus, apa
hubungannya?"
"Begg... beg... begini,
Suto," Dewa Racun melompat di salah satu batu supaya tingginya mendekati
tinggi tubuh Suto. Lalu ia bicara sungguh-sungguh,
"Seeb... sebenarnya,
aaad... ada dua syarat yang ingin diajukan oleh Nyai Gusti Dyah Sariningrum
kepadamu. Satu syarat aku sudah tahu, yaitu kkkau... kau harus bisa memegang
Kitab Pusaka Wedar Kesuma itu! Kkkau... kau harus bisa memilikinya, sebab
dengan begitu, semua kekuatan Nyai Gusti dipasrahkan kepadamu. Itulah tanda
cinta Nyai kepadamu. Syarat yang kedua, aku bell... beeel... belum tahu!"
"Jadi, aku harus merebut
kitab pusaka dari tangan kakaknya?"
"Ssse... seolah-olah begitu.
Kkau... kau harus
mengalahkan kakaknya lebih
dulu dan mengambil alih kitab
pusaka itu. Jika kau bisa memiliki dan mengalahkan Nyai Betari Ayu,
berarti hidup Nyai Gusti ada di tanganmu. Letak kehormatan Nyai Gusti ada pada
dirimu, Suto. Mmmmee... memang sekarang nyai guruku hanya ingin bertemu
denganmu. Tapi dalam pertemuan nanti, dia akan bicarakan tentang dua syarat
yang... bisa dianggap sebagai mas kawin
yang dimintanya."
"Hmmm... begitu
maunya?!"
"Jad... jadi... jadi saranku,
sebaiknya kau datang ke sana dengan sudah mmmemm... memm... membawa Kitab Wedar
Kesuma itu, agar jangan jatuh di tangan
orang lain."
"Apakah menurutmu ada
orang lain yang mengincar kitab itu?"
"Seee... see...
seingatku, satu purnama yang lalu, Nyai Gusti Mahkota Sejati, kedatangan tamu
yang paling memuakkan baginya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa. Kedatangannya masih
tetap sama, ingin melamar Nyai Gusti.
Jikk... jik... jika Nyai Gusti
menerima lamarannya, pukulan 'Candra Badar' akan dilepaskan dari tubuh
Nyai Gusti. Tap... tapi... Nyai Gusti mengatakan bahwa beliau tidak punya
pilihan lain terhadap lelaki yang ingin dijadikan suaminya kecuali... kecuali
kamu: Suto Sinting. Ta... tapi... Siluman Tujuh Nyawa tetap mendesak, dddan...
dan mengancam akan menghancurkan negeri Puri Gerbang Surgawi, juga akan
menenggelamkan Pul... Pul... Pulau Serindu. Hal itu membuat Nyai Gusti cemas,
mengkhawatirkan nasib orang-orangnya. Lalu, Nyai Gusti mempunyai cara untuk
mempersulit niat Siluman Tujuh Nyawa itu. Beliau mau menerima lamaran Siluman
Tujuh Nyawa kkkaa... kaaalau... kalau Siluman Tujuh Nyawa bisa mendapatkan
kiiit... kiit.... Kitab Wedar Kesuma. Tentang di mana kitab itu berada, Nyai
Guru tidak memm... memm... memberitahukannya."
"Hmmm...," Suto
manggut-manggut. "Jadi, tentunya sekarang ini Siluman Tujuh Nyawa sedang
kebingungan mencari Kitab Wedar Kesuma?"
"Aaak.. aku... rasa
begitu, Pendekar Mabuk!"
"Dan pantas
Siluman Tujuh Nyawa
mengutus
Dadung Amuk untuk mencari
Pendekar Mabuk dan membunuhnya.
Rupanya Siluman Tujuh Nyawa cemburu kepadaku, Dewa Racun!"
"Seep... sepertinya
begitu!"
"Kitab Wedar
Kesuma...?!" gumam Pendekar Mabuk sambil merenung lama, sampai akhirnya
Dewa Racun berkata,
"Keistimewaan kitab itu
lagi, ssse... setiap ilmu yang ditemukan oleh Nyai Gustiku atau Nyai Betari
Ayu, sudah langsung tertulis dengan sendirinya di dalam kitab itu!"
"Hebat sekali kitab
itu?!" Suto kerutkan dahi. "Kkaaalau... kalau tidak hebat, tidak akan
menjadi
mas kawin buat Nyai Gusti Dyah
Sariningrum. Paaal... paling tidak, orang yang akan meminang Nyai Guru Mahkota
Sejati, harus mengalahkan kakaknya terlebih dulu dan merebut kitab pusaka
itu."
Suto manggut-manggut dalam
renungannya, lalu hatinya membatin,
"Tapi kenapa dulu kitab
itu akan diserahkan kepada Selendang Kubur atau Dewi Murka? Hmmm... mungkin
waktu itu Nyai Betari Ayu menganggap salah satu dari muridnya layak menjadi penerusnya dan berhak mempelajari isi Kitab Wedar
Kesuma. Tapi, bisa saja sebenarnya kitab itu diserahkan kembali kepada adiknya,
dan Nyai Betari Ayu mengasingkan diri dari dunia persilatan. Barangkali sudah
ada kesepakatan antara kakak-beradik itu untuk menjadikan kitab tersebut
sebagai mas kawin buat sang adik? Jadi, mungkin Betari
Ayu tidak ingin adiknya
mempunyai sembarang suami yang ilmunya di bawah ilmu sang kakak. Dengan kata
lain, siapa ingin menjadi suami Dyah Sariningrum harus diuji dulu tingkat
ketinggian ilmunya. Hmmm... apakah itu berarti aku harus bertarung dulu dengan
Nyai Betari Ayu?"
Mereka teruskan melangkah sambil mempertimbangkan arah. Singo
Bodong bahkan sudah tidak kelihatan, jalannya tanpa berhenti sehingga bikin
cemas Dewa Racun
sendiri. Karena itu, Suto memerintahkan Dewa Racun
untuk mendahului langkahnya
menyusul Singo Bodong agar tidak tersesat arah.
Dalam kesendirian langkahnya itulah Suto mempertimbangkan sikap yang harus
diambil. Untuk mengalahkan Betari Ayu adalah hal yang mudah. Tapi Suto tidak
akan tega melawan Betari Ayu. Jangankan melukai kulitnya, melukai hatinya pun
tak sampai hati. Haruskah kasih sayang yang terpendam itu dihancurkan oleh
pertarungan untuk memperebutkan Kitab Pusaka Wedar Kesuma?
Langkah Suto kembali terhenti.
Kali ini terhenti secara mendadak. Karena di depannya tiba-tiba muncul
Singo Bodong berbaju komprang warna merah membawa tambang di
pundaknya.
"Oh, kau belum pergi dari
pulau ini, Dadung Amuk?" "Hmmm... belum, Eyang Guru," Dadung
Amuk menghormat
karena menyangka Pendekar Mabuk
gurunya Siluman Tujuh Nyawa.
"Kenapa kau belum pergi?
Dan kenapa kau hadang langkahku?"
"Eyang Guru, saya mohon
izin untuk tinggal
beberapa saat di pulau
ini."
"Apa perlumu?" Suto menampakkan kesan wibawanya.
"Ada satu tugas dari sang
ketua yang lupa saya
bicarakan tadi."
"Tugas apa?"
"Mencari Kitab Wedar
Kesuma untuk mas kawin
Gusti Mahkota Sejati!"
"Kitab itu tidak ada di
sini!"
"O, begitukah, Eyang
Guru?! Apakah tidak sebaiknya saya diizinkan untuk mencarinya lebih dulu?"
"Dekatlah kemari!"
Pendekar Mabuk memanggil dengan dada membusung dan jari tangan menyuruh Dadung
Amuk mendekat. Lalu, orang tinggi besar itu membungkuk dan mendekatkan
telinganya, Suto pun berbisik,
"Kitab Wedar Kesuma...,
tapi jangan bilang siapa- siapa, mengerti?"
"Baik. Baik, Eyang
Guru.... Saya mengerti!"
"Kalau mau dapatkan Kitab
Wedar kesuma, pergilah ke Pulau Hantu! Rebutlah dari tangan seorang nenek peot
yang berjuluk si Mawar Hitam! Jelas?"
"Jelas, jelas! Jelas
sekali, Eyang Guru!"
"Tapi hati-hati melawan
dia! Jangan mudah ditipu dan jangan cepat mempercayai kata-katanya. Ingat,
Mawar Hitam hanya akan berikan Kitab Wedar Kesuma
pada saat menjelang
ajal!"
"O, ya! Saya mengerti.
Jadi, saya harus bikin dia sekarat dulu!"
"Terserah caramu!
Pergilah sana, Eyang merestui!" "Terima kasih, Eyang Guru!' dan orang
bodoh itu pun
pergi setelah memberi hormat
pada Pendekar Mabuk yang dianggap eyang gurunya.
*
* *
7
SEPENINGGALAN Dadung Amuk, Pendekar Mabuk kembali renungkan diri. Ia
membatin dalam hatinya,
"Lagi-lagi dia muncul
pada saat Singo Bodong tidak ada di tempat! Mungkinkah Singo Bodong dapat
berubah secepat itu? Tapi dari mana dia sembunyikan tambang yang selalu
digulung
menggantung di pundaknya! itu?
Setahuku sejak dari desa dia berangkat tanpa membawa tambang. Bajunya tetap
hitam, bukan merah. Dan lagi-lagi aku lupa mendesaknya untuk mengaku siapa
dirinya sebenarnya! Apakah kali ini Dewa Racun tetap ada bersama Singo Bodong?
Ataukah dia sedang kelimpungan mencari Singo Bodong?"
Dari arah kejauhan, tampak dua
sosok manusia berlarian menuju ke arah Pendekar Mabuk. Cepat-cepat Suto
menyongsong mereka, karena mereka adalah Dewa Racun dan Singo Bodong.
"Hamm... ham... hampir
saja dia jatuh dari tebing kalau tidak segera kutolong!" kata Dewa Racun
sambil menuding Singo Bodong yang terbengong-bengong.
"Kenapa dia berada di
tebing?"
Singo Bodong menyahut,
"Jalannya buntu. Harus memanjat tebing untuk mencapai pantai berikutnya!
Jadi, aku naik ke tebing."
"Man... man... manusia
ini bodoh sekali! Dia pilih teb... teb... tebing yang licin untuk dipanjatnya.
Padahal ada tebing yang kering dan bisa untuk lee... leee... lewat!"
Suto menarik tangan Dewa
Racun, menjauh sedikit dan berbisik,
"Dalam beberapa saat tadi kau benar-benar bersamanya?"
"Bbe... be... benar! Ada
apa?"
"Dadung Amuk baru saja
menemuiku."
Terkesiap mata Dewa Racun
menatap Pendekar Mabuk. Suto melanjutkan bisikannya sambil sedikit melirik
Singo Bodong,
"Dia juga diperintahkan
untuk mencari Kitab Wedar
Kesuma!"
"Oh...? App... apa...
apakah dia sudah tahu di mana letaknya?"
"Belum. Kutunjukkan arah
yang salah. Kusuruh dia
mencarinya pada Mawar Hitam di
Pulau Hantu."
"He he he...!" Dewa
Racun terkekeh geli. "Pin... pintar juga kau rupanya. Kkaau... kau
umpankan Dadung Amuk kepada Mawar Hitam. Pas... pasti habislah
Dadung Amuk dihajar si Mawar
Hitam itu!
"Ya, tapi itu kalau
Dadung Amuk bukan Singo Bodong goblok itu! Tapi kalau Dadung Amuk adalah Singo
Bodong, maka ia selamat dari ancaman Mawar Hitam!"
"Kkku... kurasa mereka
memang berbeda. Dia sejak tadi
bersamaku dan setiap
gerakannya kkku...
kuperhatikan!"
"Baiklah. Aku percaya
padamu! Tapi aku perlu tanyakan sesuatu kepadanya," lalu Pendekar Mabuk
pun bergegas temui Singo Bodong yang merasa tak suka mereka kasak-kusuk terus
sejak tadi.
"Singo Bodong, kau punya
saudara berapa?"
"Satu," jawab Singo
Bodong setelah diam sebentar merasa heran.
"Seorang adik atau
seorang kakak?"
"Seorang adik."
"Lelaki atau
perempuan?"
"Perempuan. Dewa Racun
sudah ngobrol sama adikku!"
Dewa Racun menyahut, "Ya.
Ddiiia... dia punya adik
perempuan yang bernama Narsih.
Anaknya sudah empat. Suaminya nelayan."
"Sebaiknya biarkan dulu
aku bicara pada dia! Kau tak perlu ikut campur. Mengerti?"
"Baaa... baik!" Dewa
Racun agak takut sedikit melihat Pendekar Mabuk tanpa senyum.
"Singo Bodong, jujur saja
katakan padaku, apakah kau tidak mempunyai saudara kembar?"
"Saudara kembar...?!
Kurasa aku lahir tunggal dari perut ibuku."
"Kau yakin tidak punya
saudara lagi?"
"Tidak punya!" jawab
Singo Bodong. "Ibuku hanya melahirkan dua kali. Pertama aku, kedua Narsih.
Jangan kau suruh ibuku melahirkan lagi. Dia sudah cukup tua!"
Pendekar Mabuk bergegas ke
tepian hutan tak jauh dari pantai, hanya berjarak sepuluh langkah lewat
sedikit. Dewa Racun dan Singo Bodong mengikutinya. Suto memberi isyarat supaya
orang tinggi besar itu duduk di dekatnya. Singo Bodong menurut bagaikan patuh
pada segala perintah Suto. Ia duduk di bongkahan batu yang ada di depan
Pendekar Mabuk. Dewa Racun mendampinginya, dan melompat ke atas sebatang pohon
berdahan lengkung ke bawah, hampir menyentuh tanah. Di dahan itu Dewa Racun
duduk mendengarkan percakapan Suto dengan Singo Bodong.
Agaknya Pendekar Mabuk kali
ini bersungguh- sungguh ingin mengorek keterangan dari Singo Bodong. Sore yang
kian menua dibiarkan meredup menabur petang. Sebentar lagi bumi akan gelap,
tapi Pendekar Mabuk tak pernah peduli dengan kegelapan bumi.
"Singo Bodong, ingat-ingatlah siapa
dirimu sebenarnya! Benar-benarkah namamu Singo Bodong?"
"Dari dulu aku memang
dipanggil Singo Bodong!"
jawab orang berkumis yang
tampangnya angker tapi bodoh itu.
"Siapa nama aslimu?"
"Sugali!"
"Mengapa kau disebut
Singo Bodong?"
"Karena... hmmm... karena
sewaktu kecil aku hampir mati dimakan seekor singa. Tapi segera diselamatkan oleh
orang-orang desa. Sejak itu aku dipanggil Bodong!" sambil menunjukkan
pusarnya yang memang melotot keluar bagai mata orang sedang marah.
"Baiklah, aku
percaya!"
"Sejak kita jumpa di
kerumunan orang depan kedai itu, kau dan Dewa Racun selalu curigai aku terus.
Ada apa sebenarnya?"
"Ada orang mirip kamu dan
mengaku bernama
Dadung Amuk!"
"Mirip aku?!" Singo
Bodong memegang dadanya sendiri. "Dia mirip Singo Bodong? Oh, tidak
mungkin, Singo Bodong hanya satu! Singo Bodong tidak mau disamakan dengan
Dadung Amuk!"
"Kau benar-benar tidak
mengenal Dadung Amuk?" "Tidak. Singo Bodong tidak kenal dengan Dadung
Amuk!" Singo Bodong tetap
menggeleng. "Kalau ada orang yang meniru-niru penampilan Singo Bodong,
ooh... Singo Bodong akan marah. Singo Bodong akan adukan orang itu pada
Ibu."
"Orang ini gede-gede
bisul!" pikir Dewa Racun. "Kelihatannya saja gede, tua, tapi jiwanya
masih anak- anak! Masih suka manja kepada ibunya. Pantaslah kalau dia tidak
laku kawin walau usianya sudah cukup dewasa."
Suto juga mempunyai pemikiran
yang sama dengan
Dewa Racun. Namun Suto tidak
menghanyutkan diri
dalam pemikiran itu, ia segera
ajukan pertanyaan yang membuat Singo Bodong tertegun beberapa saat,
"Apakah ayahmu masih
ada?"
Singo Bodong menarik napas panjang-panjang. Matanya yang lebar berkesan
galak itu menjadi redup. Pendekar Mabuk jadi kerutkan dahi. Sesaat kemudian
terdengarlah jawaban dari mulut Singo Bodong yang bernada lesu,
"Aku tidak tahu, apakah
ayahku masih ada atau tidak."
"Mengapa begitu?"
"Dulu, semasa masih
mudanya ibuku adalah seorang sinden, ia berkeliling ke mana-mana bersama
rombongan tayub. Dulu, katanya Ibu pesinden tercantik. Banyak lelaki suka
padanya. Sampai satu saat, Ibu lahirkan aku dari lelaki yang tidak mau menikahi
Ibu. Lelaki itu sekarang entah ada di mana, masih hidup atau sudah mati, Ibu
sendiri tak tahu."
Wajah duka melapisi kulit
coklat tua yang berkumis tebal itu. Suto melihat kesungguhan dari cerita Singo
Bodong. Lalu, Suto bertanya lagi.
"Adikmu yang perempuan
itu apakah lahir dari lelaki yang sama?"
"Tidak. Adikku lahir dari
Ibu!"
"Iya. Maksudku, apakah
lahir akibat hubungan ibumu dengan laki-laki yang menjadi bapakmu itu?"
"Kata Ibu, memang iya!
Tapi sejak lahirnya Narsih, ibuku tidak mau lagi berhubungan dengan orang
itu."
"Kenapa?"
"Karena orang itu tidak
pernah muncul lagi. Dan Ibu tidak tahu harus mencarinya ke mana. Lalu, Ibu
berhenti jadi sinden, padahal Ibu punya suara bagus. Sampai sekarang Ibu masih
suka alunkan tembang di tengah malam. Kalau dia sudah alunkan tembang,
waaah...."
"Ya ya ya...! Cukup! Aku
sudah bisa bayangkan kehebatan ibumu," potong Suto yang merasa tak perlu
mendengar pujian seorang anak kepada ibunya.
Dewa Racun melompat dari
dahan. Turun mendekati
Pendekar Mabuk dan berbisik,
"Aak... aakk... aku rasa
dia bukan hasil dari sejenis
Sa... Sab... Sabrang
Raga."
"Ya. Lalu siapa Dadung
Amuk itu sebenarnya? Ayahnya dia?"
"Mungkin saja!"
Suto ajukan tanya lagi kepada
Singo Bodong, "Apakah kau pernah dengar ibumu sebutkan ciri-ciri lelaki
yang menjadi bapakmu itu?"
"Hmmm...!" Singo
Bodong kerutkan dahi sejenak, lalu menjawab, "Menurut cerita Ibu, bapakku
orang yang ganteng, tampan sepertiku kira-kira. Dia sering disebut Ibu dengan
sebutan sang Arjuna!"
Dewa Racun tertawa tertahan
dan berbisik kepada Pendekar Mabuk, "Kaaal... kalau hasil cetakannya
seperti dia, lantas sang
Arjuna-nya seperti apa
menurutmu?'
"Rusak," jawab Suto
sedikit tersenyum, lalu kembali bersikap tegas kepada Singo Bodong.
"Kau pemah dengar ibumu
menyebutkan nama
bapakmu?"
"Hmmm... hm... dulu
pernah." "Siapa nama bapakmu itu?"
"Aku lupa. Aku tidak
pernah mengingatnya. Tapi Ibu lebih sering memanggilnya Arjuna!"
Dewa Racun berbisik lagi,
"Jangan-jangan ibunya tidak bisa bedakan antara Arjuna dengan Dasamuka?!"
Ia tertawa terkikik dengan mulut dibungkam sendiri. Suto hanya tersenyum tipis
dan tak mau tanggapi kelakar itu.
Tapi tiba-tiba Singo Bodong
berseru, "Naah...! Hampir seperti itu namanya! Hampir seperti... siapa
tadi?"
"Dasamuka?" ulang
Dewa Racun.
"Iya. Iya...! Hampir seperti Dasamuka nama bapakku."
"Dasamuka itu tokoh
raksasa dalam pewayangan!" "Iya. Aku tahu, karena aku sering nonton
wayang.
Tapi, nama bapakku hampir sama
dengan Dasamuka!" Pendekar Mabuk menggumam dan berpikir beberapa
saat. "Siapa nama tokoh
dunia persilatan yang bernama
mirip Dasamuka?"
"Bbbe... belum tentu
orang itu dari tokoh persilatan!" Kemudian Suto ajukan tanya lagi pada
Singo
Bodong, "Apakah ibumu
pernah ceritakan kehebatan
orang yang menjadi pujaan
hatinya itu?"
"Hhmm... ya. Pernah. Ibu
pernah cerita kalau sang Arjuna itu pandai berkelahi. Kalau berkelahi tidak
pernah kalah!"
Suto memandang Dewa Racun dan
berkata pelan, "Jelas dia dari tokoh persilatan!"
"Hmmm.... Sssi... siapa?
Siapa tokoh persilatan yang
namanya mirip Dasamuka?
Aaap... apakah Durmala, kurasa itu tak mungkin!"
Tiba-tiba Singo Bodong
berseru, "Yaaaa...! Itu...!" Ia menuding Dewa Racun, yang membuat
Dewa Racun sempat kaget dan cepat pasang kuda-kudanya.
"Itu nama bapakku!
Durmala...! Tapi... Durmala siapa, ya?" pikir Singo Bodong. Suto cepat
menyahut.
"Durmala Sanca...?"
"Nah, tepat!" Singo
Bodong pekikkan suara dengan semangat. "Betul! Nama bapakku betul itu;
Durmala Sanca!"
Tentu saja hal itu membuat
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-sama terperangah bengong. Mereka saling
pandang dengan mata menegang. Cukup lama Suto dan Dewa Racun saling terkunci
mulutnya sejak mendengar nama ayah dari Singo Bodong adalah Durmala Sanca. Ini
sesuatu yang sulit dipercaya oleh Suto maupun Dewa Racun, karena Durmala Sanca
adalah nama asli Siluman Tujuh Nyawa.
"Apakah kau percaya
dengan kata-katanya?" Suto mencari tahu perasaan Dewa Racun. Dan si kerdil
yang gagap itu menjawab,
"Ag... ag... agak sangsi.
Nama Dasamuka tid... tidak mirip nama Durmala Sanca. Mungkin dia salah dengar
atau salah ingat. Tak mungkin Dur... Durmala Sanca punya anak seperti
dia!"
Kemudian Pendekar Mabuk segera
tanyakan pada Singo Bodong, "Apakah kau tidak salah dengar tentang nama
itu?"
"Tidak. Kurasa tidak.
Malahan Ibu pernah bilang aku tak boleh
menanyakan perihal lelaki
yang telah dianggapnya siluman itu."
Kembali mata Suto beradu
pandang dengan mata Dewa Racun. Kejap berikutnya mereka sama-sama terbungkam
mulut, hanyut dalam kecamuk batinnya masing-masing.
Ketika petang tiba, Pendekar
Mabuk mencarikan tempat bermalam untuk Singo Bodong. Sebuah pohon berdahan
lebar dan pipih dijadikan tempat bermalam oleh mereka. Dalam kejap berikutnya Singo
Bodong telah tidur mendengkur mirip babi kelelahan. Sesuatu yang aneh dirasakan
oleh Suto dan Dewa Racun. Sesuatu yang aneh itu sama-sama dipendamnya dalam
hati. Tapi lama-lama keduanya tak tahan memendam keanehan itu, lalu Suto yang
mengawali bicara,
"Kau rasakan sesuatu yang
aneh sedang terjadi?' "Bbbe...
betul. Aku merasakan. Taaap... tapi
menurutmu apa keanehan
itu?"
"Suara dengkuran Singo
Bodong."
"Ya. Beeet... beeet...
betul!" bisik Dewa Racun sedikit tegang.
"Dengkuran Singo Bodong
membuat pohon ini bergetar."
"Ya. Bbbe... beeet...
betul. Aku merasakan getarannya walau sangat pelan."
"Padahal pohon ini cukup
besar, akarnya pun merambah ke mana-mana dalam bentuk pipih. Pohon ini cukup
kekar. Tapi kenapa bergetar hanya karena suara; dengkuran Singo Bodong?"
"Jang... jang...
jangan-jangan dia memang Siluman Tujuh Nyawa?! Dia mewarisi darah kesaktian
Siluman Tujuh Nyawa! Dia tid.... tidd... tidak menyadari hal itu. Meen...
menurut cerita Narsih, adiknya, Singo Bodong jarang tidur di rumah. Ibunya
tidak suka jika Singo Bodong tidur di rumah."
"Alasannya apa?"
"Kalau dia tidur,
rumahnya seep... seep... seperti mau runtuh!"
"Begitukah dia?"
"Kupikir tadinya iit...
itu hanya olok-olok Narsih saja. Tapi... tapi melihat kenyataan ini, apa yang
dddi... dikatakan Narsih itu benar. Singo Bodong kalau tidur bikin rumah mau
roboh, kareeena... karena rumah itu pasti bergetar oleh suara dengkurannya!"
Suto menarik napas, lalu ia
ucapkan kata lirih, "Semakin membingungkan masalah ini! Jika benar
Singo Bodong anak Durmala
Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa, lantas Dadung Amuk itu siapa? Apakah juga
anaknya Durmala Sanca? Tapi Dadung Amuk menyebut Durmala Sanca dengan kata sang
ketua. Dia tidak menyebutkan sang ayah."
"Jang... jaaang... jangan-jangan, Singo
Bodong sendiri tidak menyadari bahwa dirinya bisa memecah diri menjadi
satu orang lagi. Sat.. satu... satu orang dari
hasil titisannya itulah yang
menjadi Dadung Amuk! Tap... tapi... tapi dia tidak sadari hal itu, sama halnya
dia tidak sadari kaaal...
kalau dengkurannya bisa
menggetarkan batang pohon sebesar dan sekokoh iin... inn... ini!"
"Kau semakin banyak
mengajukan kemungkinan, semakin bingung aku memikirkannya," kata Suto.
"Kalau Singo Bodong bisa memecah diri menjadi Dadung Amuk, berarti Singo
Bodong orang sakti?"
"Sebagai se... se...
seorang Singo, mungkin dia tidak sakti. Tapi see... sebagai seorang Dadung
Amuk, dia cukup sakti. Paling tidak, berilmu ting... ting... tinggi!"
Suto menenggak tuaknya sesaat. Setelah itu termenung beberapa lama. Suara
dengkur Singo Bodong hampir mirip lolong serigala. Setiap hembusan napas menghadirkan
suara berubah-ubah. Suara itu membuat dedaunan bergetar, ranting, dan dahan
pohon ikut terasa gemetar.
"Barangkali dia akan
menjadi orang hebat kalau dibekali ilmu tenaga dalam," kata Suto kepada
Dewa Racun yang duduk di samping kanannya.
"Apakah kau bermaksud
membekali sebagian tenaga dalammu?"
"Aku sedang pertimbangkan
untung-ruginya."
"Un... untungnya dia bisa
jaga diri sendiri dan... dan... dan tidak merepotkan kita kalau addd... ada
apa-apa. Tapi ruginya, kalau dddi... dia... dia berontak kepada kita, sama saja
senjata maak... makan... makan tuan!"
"Tentu saja menyalurkan
tenaga dalam harus pakai
takaran, yang sewaktu-waktu
kita bisa lumpuhkan sendiri!"
"Kkkal... kalau kau punya
pikiran bbbeg... beeg...
begitu, ya sudah.
Lakukanlah!"
Suto masih diam, kembali
meneguk tuaknya beberapa kali.
Ia pikirkan masak-masak tentang rencana menyalurkan tenaga
dalam ke tubuh Singo Bodong. Tapi rasa penasaran ingin mengetahui siapa dan
sejauh mana kekuatan Singo Bodong,
membuat Suto akhirnya bergegas mendekati tidurnya Singo Bodong.
Tetapi baru saja Pendekar
Mabuk ingin memegang kaki Singo Bodong, tahu-tahu tangannya tersentak ke
belakang, hampir membuatnya terjatuh dari atas pohon. Wuuuut...!
"Edan...!" sentak
Suto dengan suara tertahan.
"Add... ada
apa...?!" Dewa Racun kaget dan bergegas bangkit.
Suto melangkah mundur dalam
pijakan dahan yang sama.
Ia mendekati Dewa Racun
dan berbisik,
"Tubuhnya tak bisa disentuh."
"Mak...
maksudmu...?"
"Ada tenaga dalam yang
bekerja dengan sendirinya, melapisi tubuhnya. Tanganku seperti kesemutan. Linu
rasa tulangku."
"Aaan... aneh sekali!
Beeet... betul...
betulkah begitu?"
Dewa Racun penasaran, ia
segera mendekati Singo Bodong, ia bermaksud menendang pelan kaki Singo Bodong
yang masih tetap mendengkur itu. Tetapi, tiba-
tiba kaki Dewa Racun bagai ada
yang menyentakkan kuat-kuat, yaitu
suatu tenaga bergelombang menghempaskan kaki itu.
Wuuut...! Sreet...! Braas...!
"Aauw...!" Dewa
Racun terpekik, ia jatuh karena tubuh kecilnya terpental. Untung tangannya
cepat meraih salah satu akar yang mirip tambang itu, sehingga ia bergelayutan
sesaat di sana. Suto menertawakan sekejap, dan membiarkan Dewa Racun naik kembali
melalui ayunan tangannya. Tubuh kecil itu bersalto dan hinggap di dahan samping
Suto.
"Bagaimana? Benar apa
yang kukatakan tadi, bahwa dia punya lapisan tenaga dalam yang membuat dirinya
tak bisa disentuh orang?"
"Beeen... ben... benar!
Dan cukup kuat. An... aneh sekali. Dia orang bodoh, lugu, tapi sebenarnya dia
punya kekuatan yang cukup besar. Jang... jang... jangan-jangan kekuatan itu
adalah kekuatan yang dimiliki Dadung Amuk?!"
"Dadung Amuk?!"
gumam Suto dalam berpikir. "Ya. Mungkin dalam keadaan tak sadar seperti
ini, dia
menjadi Dadung Amuk?!"
*
* *
8
SISA cahaya purnama masih ada,
membuat keadaan di pantai menjadi tampak benderang. Karena
benderangnya cahaya itu, Suto
melihat sekelebat gerakan melesat dari arah hutan ke pantai. Kelebat gerakan
itu berlari dari ujung sana mendekati tempat Suto dan dua teman barunya itu
duduk sebelum bergegas naik ke pohon besar itu.
Dalam kilasan gerak yang lain,
Suto melihat seseorang mengejar cepat orang pertama. Suto cepat colekkan tangannya
ke lengan Dewa Racun dan Dewa Racun segera lemparkan pandang ke arah Pendekar
Mabuk. Tanpa mendapat jawaban, Dewa Racun sudah mengerti apa yang dimaksud
Suto, maka ia pun ikut lemparkan pandang ke pantai.
Dewa Racun berbisik,
"Aaak... aku seperti pernah melihat perempuan itu!"
"Tentu saja. Dia adalah
Selendang Kubur, satu dari ketiga perempuan yang hadir di pertarungan Bukit
Jagal tempo hari."
"O, iiy... iya! Tapi ag..
agaknya dia sedang berusaha menghindari kejaran lawan. Dan... dan apa yang ada di
tangannya itu?!"
"Sebuah kitab!" Suto
terperanjat. "Jangan-jangan itu adalah Kitab Pusaka Wedar Kesuma?!"
"Kau... kaaau... yakin
kalau itu Kitab Wedar
Kesuma?"
"Kar... karena dia adalah
murid Betari Ayu! Mungkin dia habis curi itu kitab atau... atau.... Entahlah!
Kau tetap di sini. Aku akan mengurusnya sebentar!"
Sebelum mendapat jawaban dari
Dewa Racun, Suto sudah cepat menghilang dengan satu jejakan lembut
kakinya ke dahan pohon.
Wuuut...!
Selendang Kubur terjungkal
dari larinya, karena seseorang menyerang dengan pukulan jarak jauhnya dari
belakang. Tubuh perempuan itu tersungkur di pasir pantai. Tapi cepat ia
hentakkan siku dan melesat bangkit dengan satu tangan kiri memeluk sebuah
kitab.
Sementara itu, orang yang
tadi mengejarnya
melompatkan tubuh dan bersalto di udara dua kali untuk lebih mendekat lagi.
Jleeg...! Orang itu mendaratkan kedua kakinya dengan tepat dan mantap, ia
berpakaian hitam berlilit benang emas di tepiannya, menyandang pedang perak
dengan sarung pedang dari perak berukir juga. Pakaian orang itu sebagian telah
robek bagaikan koyak, namun jelas bukan koyak oleh cakaran tangan Selendang
Kubur.
Suto mengenali orang itu
sebagai tokoh alot yang berjuluk Datuk Marah Gadai. Tapi Suto tidak tahu bahwa
koyaknya pakaian Datuk Marah Gadai adalah akibat hempasan badai yang
menerbangkan dirinya, saat Pendekar Mabuk menggunakan Tuak Setan-nya.
"Selendang Kubur!"
geram Datuk Marah Gadai. "Satu kesempatan lagi kuberikan padamu. Serahkan
kitab pusaka itu atau kutenggelamkan dirimu ke dasar bumi?!"
"Aku memilih,
tenggelamkan dirimu sendiri ke dasar bumi!"
"Keparat betul kau!"
Datuk Marah Gadai segera angkat tangan kanannya setinggi telinga, telapak
tangan itu sudah mengembang dan menghadap ke arah
Selendang Kubur, siap untuk
dihentakkan.
Tapi Selendang Kubur tak kalah
siap. Ia mengangkat satu kakinya hingga terlipat ke belakang, dua tangannya
terentang tinggi sambil salah satu tangan masih menggenggam kitab itu.
Selendang Kubur bagai seekor merpati yang siap murka di hadapan Datuk Marah
Gadai. Sementara itu, Datuk Marah Gadai masih mencoba menggertak Selendang
Kubur dengan kata- kata,
"Satu jurus lagi kalau
kau tak hancur, lebih baik aku bunuh diri!"
"Lakukanlah sekarang juga
kalau kau mau bunuh
diri! Apa pun yang terjadi,
kau tidak berhak memiliki kitab pusaka ini!"
"Kau pun tak berhak,
tahu?! Kau telah mencuri kitab itu tanpa setahu gurumu!"
"Dan kau datang juga
untuk mencurinya! Hmm...! Kita sama-sama pencuri, Datuk! Rasaya tak keberatan
aku beradu nyawa kepadamu untuk mempertahankan kitab ini! Majulah kalau kau
ingin selesaikan riwayatmu malam ini juga!"
"Keparat kau!
Hiih...!"
Datuk Marah Gadai sentakkan
tangannya. Dari sentakan tangan keluar cahaya biru yang melesat cepat ke arah
Selendang Kubur. Tapi perempuan itu segera kibaskan kedua
tangannya bagai sayap
merpati mengamuk. Wuuut... wuuut... wuuut...!
Gelombang tenaga dalam cukup
besar keluar dari kibasan tangan tanpa wujud sedikit pun. Gelombang
hawa bertenaga dalam itu
menahan datangnya sinar biru dari tangan Datuk Marah Gadai.
Blarrr...! Cahaya biru memecah
terang dalam sekejap.
Suara benturan tenaga dalam
itu menimbulkan sentakan kuat yang membuat tubuh Selendang Kubur terpental tiga
langkah ke belakang dalam keadaan oleng, dan akhirnya jatuh bagai merpati patah
sayapnya.
Sedang sentakan yang
ditimbulkan dari ledakan dua tenaga dalam beradu itu hanya membuat tubuh Datuk
Marah Gadai guncang sedikit, tapi ia tetap tegak berdiri dan siap lancarkan
serangan lagi.
Suto melihat suatu pertarungan
yang tak seimbang. Datuk Marah Gadai lebih tinggi ilmunya dari Selendang Kubur.
Maka, dengan cepat Pendekar Mabuk melompat ke arah Selendang Kubur yang sudah
berdiri siap menghadapi serangan lagi. Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai pun
sentakkan kakinya dan dari kaki itu keluar cahaya putih keperakan yang pernah hampir menghancurkan tubuh
Cadaspati. Wuuuut...!
Cahaya putih keperakan itu
melesat cepat ke arah Selendang Kubur. Namun dengan gerakan cepat pula, Suto
melompat dan menghadangkan bumbung tuaknya. Dubbb! Cahaya putih keperakan
membentur bumbung tuak, dan cahaya itu membalik dengan sinar lebih terang dan
lebih besar lagi. Wooos...!
Datuk Marah Gadai terbelalak
melihat tendangan mautnya dikembalikan dengan lebih besar lagi. Cepat- cepat ia
sentakkan kaki dan melesat naik ke udara pada saat cahaya perak itu hampir
menghantam tubuhnya.
Wesss...! Clappp...!
Sebongkah batuan karang jauh
di belakang Datuk Marah Gadai tiba-tiba lenyap akibat terkena hantaman cahaya
putih keperakan itu. Bahkan debunya tak tersisa sedikit pun. Datuk Marah Gadai
kian terperanjat memandangnya. Biasanya benda yang terkena cahaya tendangan
jurus 'Tapak Dewa'-nya itu akan hancur seketika dan menjadi serbuk. Tapi kali
ini begitu besar cahaya putih keperakan itu, hingga serbuk pun tak tertinggal
di tempat bekas batu itu berada. Datuk Marah Gadai belum pernah melihat
kekuatan jurus Tapak Dewa'-nya sebesar itu.
"Bahaya juga ini si bocah
sinting!" pikir Datuk Marah Gadai dengan menahan serangan berikutnya.
Matanya yang sedikit sipit berkesan bengis itu menatap Pendekar Mabuk dengan
tajam. Suto hanya sunggingkan senyum kalem.
"Jangan ikut campur urusanku lagi, Pendekar Mabuk!" kata Selendang
Kubur dengan wajah merengut. "Biarkan aku mengurus diriku sendiri dan kau
mengurus dirimu sendiri!"
Selendang Kubur mendekati
Pendekar Mabuk dengan langkah tegasnya, ia berdiri di samping Pendekar Mabuk
dengan pandangan benci, namun sebenarnya memendam cinta. Pendekar Mabuk tersenyum menatapnya, Selendang Kubur mendengus menyambutnya, ia mencoba untuk tidak tertarik dengan senyuman Pendekar Mabuk
yang tampan rupa itu.
"Kau tentunya sudah tahu
kebusukanku saat di Bukit
Jagal! Aku tak butuh sikap
baikmu lagi! Jadi, kau tak perlu bantu aku dalam urusan ini!"
"Tenanglah...!"
kata Pendekar Mabuk sambil
menepuk pundak Selendang
Kubur. Tepukan pelan itu membuat tubuh Selendang Kubur sedikit terguncang
tubuhnya, makin mendengus kesal hatinya.
Suto berkata kepada Datuk
Marah Gadai, "Tak sepantasnya
kamu lawan dia,
Datuk! Sebaiknya selesaikan
perkaramu tanpa kekerasan!"
"Bocah bawang! Tahu apa
kau urusan orang tua?! Kalau dia bisa berdamai denganku, tak akan mungkin aku
menyerangnya dengan jurus 'Tapak Dewa'-ku!"
"Persoalannya sangat
sepele, mengapa harus dengan menggunakan jurus berbahaya?"
"Buatmu sepele, Suto!
Tapi buatku persoalan ini sangat penting!"
Suto tertawa kecil bersikap
melecehkan. Bahkan ia sempat
teguk tuaknya sejenak, lalu ia pandangi Selendang Kubur yang masih
mendekap kitab berwarna hijau muda.
Tiba-tiba terdengar suara Datuk
Marah Gadai membentak,
"Minggir kau, Suto! Atau ikut kuhancurkan tubuhmu bersama perempuan
itu!"
"Jangan mudah
menghancurkan orang, supaya dirimu tidak mudah dihancurkan orang lain,
Datuk!"
"Jahanaaam...!"
geram Datuk Marah Gadai. "Anak kemarin sore mau gurui orang tua. Hah...?!
Seharusnya kau pulang ke rumah dan menetek pada ibumu, tidak ikut campur urusan
ini!"
"Kau sajalah yang pulang
dan menyusui ibumu!" kata Suto mulai serius. Agaknya ia cukup tersinggung
dengan hinaan balik itu.
Serta-merta Datuk Marah Gadai
sentakkan kedua kakinya dan melesat terbang ke udara dengan kedua tangan
terangkat ke atas. Suto hentakkan kedua lututnya dan tubuhnya pun melayang ke
udara menyambut Datuk Marah Gadai.
"Hiaaat...!"
Plakkk... Plakkk...!
Kedua tangan beradu, keras
sekali sentakan kedua pasang tangan itu. Datuk Marah Gadai terhempas ke
belakang dan berguling satu kali di udara, sedangkan Suto tak sampai terhempas
ke belakang, namun segera turun dan mendaratkan kakinya ke tanah dengan sedikit
merendah. Jleggg...!
Suto dan Datuk Marah Gadai
sama-sama berdiri tegak dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka saling adu
pandang sama tajamnya. Tapi bibir Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis yang
membuat Datuk Marah Gadai mencibir sambil berkata,
"Heh...! Anak kemarin
sore sudah berani mau adu tenaga sama orang tua! Masih untung kau bisa bernapas
saat ini! Aku tahu kau kewalahan menahan tenaga dalamku, Suto. Wajahmu mulai
memerah. Kau cukup banyak kerahkan kekuatan untuk menahan pukulanku!"
"Wajahku memerah? Oh,
mungkin saja begitu. Tapi bagaimana dengan kedua telapak tanganmu, Datuk?"
Serentak Datuk Marah Gadai memandang
kedua
tangannya. Mata Datuk Marah
Gadai terperanjat kaget melihat kedua telapak tangannya memar biru kemerah-
merahan. Bahkan bagian ujung-ujung jari jelas biru legam.
Rasa kaget Datuk Marah Gadai
membuat tubuhnya tersentak sedikit ke belakang, ia sama sekali tak menduga
bahwa telapak tangannya menjadi memar akibat beradu tenaga di udara tadi. Belum
pernah ia alami hal seperti itu, sekalipun ia melawan tokoh tua.
"Kurang ajar anak itu!
Ternyata dia punya tenaga dalam lebih besar dariku! Baru sekarang kurasakan
ngilu tulang-tulang lenganku. Baru sekarang kusadari telapak tanganku sangat
panas! Hmmm...! Anak ini tidak bisa diajak bercanda rupanya! Cepat atau lambat
harus kulenyapkan, biar tidak menjadi penghalang bagiku untuk mendapatkan kitab
pusaka itu!"
Datuk Marah Gadai berceloteh
di dalam hatinya. Suto hanya melirik sesekali penuh waspada, tapi wajahnya
menatap Selendang Kubur.
"Jangan lawan orang itu.
Kau bisa mati, Selendang Kubur. Ilmunya cukup tinggi, tak sebanding dengan
ilmumu!"
"Persetan dengan
omonganmu, Suto! Minggirlah dan jangan ikut campur lagi urusanku! Aku muak
padamu, Suto!"
"Kalau kau muak padaku,
kenapa kau tak lari sejak tadi? Larilah sana, selama kuhadapi Datuk Marah
Gadai!"
"Hhmmmm...!" geram
Selendang Kubur. "Kau telah
menotokku lewat tepukan pundak
tadi! Kau telah buat aku terpaku di sini tak bisa bergerak kecuali bicara!
Kalau saja kau tidak menotokku dengan cara halusmu, sudah kuserang sendiri kau
dari belakang!"
Dewa Racun yang memperhatikan
dari atas pohon menggumam heran setelah menyadari hal itu. Ia berkata dalam
hatinya, "Pantas sejak tadi Selendang Kubur hanya menjadi penonton saja,
rupanya dia telah terkena totokan melalui tepukan pundak yang dilakukan Suto
tadi. Hmm...! Sungguh mengangumkan sebenarnya anak muda itu! Serasi sekali jika
berjodohan dengan Nyai Gusti Dyah Sariningrum!"
Datuk Marah Gadai segera
pejamkan mata. Rupanya ia salurkan hawa dingin ke telapak tangannya yang panas.
Telapak tangan itu tampak berasap tipis beberapa saat. Kejap berikutnya, Datuk
Marah Gadai buka matanya dan serukan kata,
"Suto! Kalau kau tetap
tak mau minggir dari hadapanku, kau akan menerima ajal secepat kilat malam ini
juga!"
"Kalau memang kau mampu,
Datuk, lakukanlah secepatnya!"
"Besar juga nyalimu,
rupanya! Apakah kau ingin memiliki kitab pusaka itu juga?!"
"Kalau aku mau memiliki,
tidak dengan jalan
mencurinya! Aku akan minta
kepada pemiliknya, yaitu Betari Ayu! Jadi aku sebenarnya hanya menyelamatkan
kitab itu dari jamahan tangan-tangan pencuri, seperti kalian berdua!"
"Tutup mulutmu,
Suto!" sentak Selendang Kubur tiba-tiba. Ia masih tak bisa bergerak, tapi
ia mampu bicara lantang, "Aku murid dari Nyai Betari Ayu, dan karenanya
akulah yang berhak memegang kitab ini, Suto!"
"Memegang untuk
menyelamatkan kitab pusaka, itu baik. Tapi memegang untuk memilikinya, itu
curang! Aku tahu kau ingin mempelajari semua jurus yang ada di dalam kitab itu
untuk satu keperluan pribadimu, Selendang Kubur. Karenanya, aku perlu mencegah
niat burukmu itu!"
"Suto!" seru Datuk
Marah Gadai di sebelah sana. "Kesabaranku sudah habis! Waktumu untuk hidup
pun sudah habis! Sekarang tiba saatnya untuk mencabut nyawamu, Suto!
Hiaaat...."
Jari tangan Suto membara
hijau, lalu menyentil ke depan. Tass...! Pada waktu itu, Datuk Marah Gadai
merasakan adanya satu sentakan halus di pinggangnya, tapi ia tidak pedulikan
hal itu. Ia hentakkan kakinya dan melesat terbang dengan kedua tangan siap
menghantam bersamaan. Kedua tangan itu berada di samping telinga dengan jari
mengeras kaku dan memercik-mercikkan bunga api biru.
Suto cepat sabetkan bumbung
tuaknya ke depan sebelum tubuh Datuk Marah Gadai tiba di depannya. Wuuung...!
Suara bumbung itu seperti gaung kematian. Gelombang tenaga dalam yang besar
terlepas dari sabetan bumbung itu. Gelombang besar itu menghantam tubuh Datuk
Marah Gadai, membuat tubuh itu terguling
dan terhempas ke samping.
Tubuh Datuk Marah Gadai terguling-guling di udara, dan akhirnya membentur
batuan karang setinggi dua tombak. Bluukk...! Prass...l
Ujung batuan karang itu patah,
sebagian hancur terkena benturan tubuh Datuk Marah Gadai. Tubuh itu sendiri
jatuh ke tanah dengan kepala terbenam di pasir pantai. Kalau tubuh Datuk Marah
Gadai tidak dialiri tenaga dalamnya sendiri, maka batuan karang itu tak akan
remuk bagian ujung atasnya saat terkena benturan tubuhnya itu. Tapi karena
aliran tenaga dalam sedang memenuhi
tubuh Datuk Marah Gadai yang siap dipukulkan melalui kedua tangannya
itu, maka batuan karang itu pun gompal pada bagian atasnya.
Pinggang Datuk Marah Gadai
bagaikan patah. Sakit sekali untuk berdiri. Tapi dengan menahan napas beberapa
kejap, rasa sakit itu pun hilang, walau tidak hilang sama sekali. Datuk Marah
Gadai bisa berdiri dengan geram, suaranya penuh hasrat untuk membunuh Suto. Dua
tangannya masih memercikkan bunga api warna biru. Ia berseru dari sana,
"Suto! Rasakan jurus
'Gledek Menjilat Bumi' ini, hiaaa...!"
Woosss...! Dari kedua tangan
Datuk Marah Gadai melesat cahaya kilat berkelok-kelok seperti ratusan cacing
ganas, menggerombol dan menuju ke arah Pendekar Mabuk.
Pendekar Mabuk cepat kibaskan
tangannya seperti memercikkan air. Tapi pada saat itu, semua kuku Suto Sinting
memancarkan cahaya merah bara. Pada saat
tangan kanan Pendekar Mabuk
memercikkan sesuatu di udara, maka bertebaranlah bunga-bunga api warna merah,
melesat ke arah gerombolan sinar biru yang mirip cacing liar itu.
Prattt...! Trappp... trap...!
Sinar biru itu belum mau
padam, tapi berhenti di udara bagai tertahan percikan bunga api dari tangan
Pendekar Mabuk. Maka, dengan cepat tangan kiri Pendekar Mabuk memercikkan
sesuatu lagi ke udara. Tangan itu juga berkuku menyala bara, dan bunga-bunga
api terpercik dari jemari Suto Sinting, melesat menghantam gerombolan
sinar biru seperti cacing liar itu.
Trrappp... cerattt...! Prattt
cratt erat...! Pritik pritik prritik glegarrrr...!
Jurus 'Gledek Menjilat Bumi'
hancur oleh percikan
bunga api dari Pendekar Mabuk
yang dinamakan jurus
'Lintang Kesumat'. Pecah dan
hancurnya gerombolan sinar biru mirip cacing liar itu menimbulkan ledakan yang
menggema bagai menelusuri seluruh pantai. Ledakan itu juga menghadirkan
hempasan gelombang besar yang membuat
tubuh Datuk Marah Gadai terlempar ke laut dalam jarak dua puluh langkah dari
pantai. Byurrr...!
Rambut Suto sendiri tersingkap
ke belakang karena angin gelombang yang cukup kuat. Pohon tempat bersembunyi
Dewa Racun berguncang lebih hebat lagi, daunnya sebagian gugur. Tapi Singo
Bodong tetap saja mendengkur.
Sedangkan tubuh Selendang
Kubur yang tertotok itu jatuh
berdebam bagaikan patung kayu.
Tapi ia memekikkan suara
ngeri, membuat Suto palingkan wajah. Melihat Selendang Kubur jatuh dalam
keadaan tetap kaku dan seperti keadaan semula, yaitu mendekap kitab dengan satu
tangannya lurus ke bawah menggenggam, Pendekar Mabuk segera menghampirinya dan mengangkat tubuh
itu, lalu diberdirikan
lagi dengan kaki Selendang Kubur agak ditimbuni pasir supaya tak jatuh lagi.
"Jahanam kau, Suto!
Jangan bikin aku seperti patung yang
sewaktu-waktu
rubuh kau berdirikan lagi! Lepaskan pengaruh totokanmu ini,
Suto! Lepaskan!"
"Sabarlah, ada saatnya sendiri melepaskan totokanmu!" kata Pendekar
Mabuk sambil merapikan letak baju, rambut, dan ikat pinggang Selendang Kubur.
Kain selendang putih yang selalu melilit di pinggang Selendang Kubur juga
dibetulkan letaknya, dirapikan, bagaikan patung yang dihias kembali letak
busananya.
Selendang Kubur makin merasa
dilecehkan. Geram hatinya, dan menggeletuk giginya, ia berkata dengan gigi
bergeletuk,
"Kubunuh kau setelah
bebas totokanku, Suto...!" tapi mendadak ia berteriak,
"Awaaaas...!"
Suto berpaling ke belakang,
rupanya Datuk Marah
Gadai telah mengirimkan
pukulan jarak jauhnya lagi berupa bola api yang makin dekat makin besar
bentuknya. Pendekar
Mabuk pun segera siapkan bumbung tuaknya, dan
dihentakkkan dari bawah ke atas.
Ujung bawah bumbung tuak itu
mengeluarkan cahaya kuning sebesar lidi, menyentak naik ke atas, mendorong bola
api yang bergerak mendekat menjadi bergerak naik, naik, dan naik terus begitu
tingginya, lalu meledak di angkasa sana.
Blengngng...!
Dentuman itu membahana sampai
ke mana-mana, bagai ledakan gunung berapi. Asapnya hitam mengepul membentuk
gulungan awan hitam, nyaris menutup terangnya sisa purnama di malam itu.
"Bangsat!" geram Datuk
Marah Gadai. "Pukulan 'Inti Sukma' bisa dibuang ke atas olehnya! Setan
cilik dari neraka mana bocah itu?!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum
tipis memandang gulungan asap yang menyerupai awan di angkasa. Setelah makin
pudar asap itu, Suto Sinting melirik Selendang Kubur dan berkata lirih,
"Terima kasih atas
peringatanmu tadi. Kalau tidak, kita mati bersama dalam wujud kepingan tulang
dan cuilan daging hangus!"
"Tak perlu berterima
kasih padaku, Setan! Aku tidak menyelamatkan dirimu!"
"Mengapa kau tadi berteriak 'awas' jika
tak bermaksud menyelamatkan diriku?" goda Pendekar Mabuk sambil
senyum-senyum.
"Karena aku tak ingin kau
mati di tangan orang! Kau harus mati di tanganku sendiri!" sentak
Selendang Kubur dengan ketusnya.
Ia tak tahu, ada orang yang
menertawakan dari atas
pohon sebelah sana. Dewa Racun
terkikik dengan mulut dibekapnya sendiri. Sementara itu Singo Bodong masih
tetap tidur mendengkur. Sayang sekali dia tidur, andai dia dalam keadaan
bangun, dia sangat senang melihat pertarungan dahsyat itu.
Datuk Marah Gadai melompatkan
tubuh dengan kekuatan tenaga peringan tubuhnya yang cukup tinggi, ia tiba di
tanah berpasir dalam keadaan tubuh basah kuyup. Wajahnya semakin bengis. Oh,
rupanya ada darah yang keluar dari hidungnya saat ia terlempar ke laut tadi.
"Suto!" ia melangkah
dengan gusarnya. Berdiri tegak lagi setelah dalam jarak lima langkah dari
Pendekar Mabuk, ia ucapkan kata dalam nada geram, penuh dengan nafsu membunuh
yang berkobar-kobar di dadanya.
"Jangan anggap dirimu
menang, Suto! Aku masih punya satu pusaka lagi yang akan mengakhiri masa
hidupmu sekarang juga!"
"Kalau kau masih
penasaran padaku, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan," kata Suto.
"Kalau kau masih merasa belum kalah, bertindaklah secara ksatria. Tapi
kalau kau merasa sudah cukup lemah melawanku, bersikaplah jantan. Pergilah dari
sini tanpa pamit pun aku tetap menghormati sikapmu, Datuk!"
"Mulut busuk! Hadapilah
Pedang Lidah Iblis-ku ini, hiaaat...!"
Gagang pedang digenggam kuat,
lalu dicabut dari sarungnya.
"Uuh...! Uuh...!
Uuuh...!" Datuk Marah
Gadai
kebingungan. Pedangnya tak bisa dicabut dari sarungnya. Susah payah ia
kerahkan tenaga untuk mencabut
pedang, tapi dirinya
sendiri bahkan terpelanting ke samping, hampir saja jatuh. Napasnya
ditahan kuat-kuat, tenaganya dipusatkan ke tangan, tapi pedang tak bisa
dicabut. Akhirnya ia mencaci sendiri dengan napas terengah-engah.
"Landak buduk! Setan
belang! Sulit sekali pedang ini dicabutnya! Biadab...! Kenapa jadi begini...?!
Uuh, uuh, uuh...!"
Mata perempuan yang bagaikan patung itu membelalak kagum melihat pedang tak bisa
dicabut, demikian pula mata di atas pohon milik Dewa Racun. Sedangkan Pendekar
Mabuk hanya tersenyum-senyum saja waktu melihat susah payahnya Datuk Marah
Gadai mencabut pedang.
"Mungkin pedangmu kau
gembok dan gemboknya berkarat, sehingga tak bisa dibuka, Datuk!"
"Congor kurapmu!"
sentak Datuk Marah Gadai dengan hati makin panas. Cacian itu justru membuat
Suto Sinting tertawa geli.
Selendang Kubur membatin,
"Pasti itu ulah Pendekar Mabuk. Tadi kulihat ia sentilkan jarinya dan
tubuh Datuk Marah Gadai terguncang sedikit. Saat itulah sebenarnya Suto telah
mengunci pedang itu hingga tak bisa dilepas dari sarungnya. Padahal menurut
cerita Peri Malam, Datuk Marah Gadai mempunyai pedang amat hebat, bisa
menerbangkan bebatuan pada saat dicabut dari sarungnya. Tapi nyatanya
menghadapi Suto pedang
itu mampu dibungkam
kekuatannya! Hebat sekali si tampan yang satu ini! Selain memikat hati, juga
mengagumkan dunia persilatan!"
Tentang kehebatan Pedang Lidah
Iblis milik Datuk Marah Gadai hanya Peri Malam-lah yang tahu persis, karena dia
mengintai dari balik semak sewaktu Datuk Marah Gadai mengalahkan Cadaspati
memakai pedang itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah
Asmara Gila").
Tiba-tiba Suto membopong tubuh
Selendang Kubur bagai mengangkat dan memindahkan patung. Selendang Kubur hanya
berteriak-teriak dengan sebaris makian dan bentakan. Tapi Suto tak peduli.
Patung hidup itu dipindahkan jauh-jauh dari tempatnya semula. Sementara itu, Datuk Marah
Gadai bersusah payah melepas pedangnya. Bahkan pengait pedang yang mengikat di
pinggang dilepasnya. Pedang berusaha ditarik dengan kerahkan tenaga dalamnya
kuat-kuat, di depan dadanya pedang itu dibetot ke kanan, tapi tetap tak bisa
terlepas dari sarungnya.
"Mengapa kau pindahkan
aku di balik batu ini, hah?!" bentak Selendang Kubur.
"Demi keselamatan
jiwamu," jawab Suto. "Cuih...! Aku tak butuh penyelamatanmu!" "Setidaknya
dari tempat ini kau bisa melihat kematian
Datuk Marah Gadai, orang yang
selalu mengejar-ngejar pusaka itu!"
"Kau tak akan bisa
mengalahkannya, Suto! Dia cukup kuat!"
"Siapa bilang?"
"Peri Malam pernah
melihat kehebatan pedang Lidah Iblis-nya itu. Kalau pedang itu tercabut,
matilah kau di tangannya!"
"Kalau pedang itu
tercabut, dia sudah lebih dulu mati!" Pendekar Mabuk sunggingkan senyum.
"Sesumbarmu untuk anak
kecil saja, Pendekar
Mabuk! Bukan untukku!"
"Karena kau masih anak
kecil, maka aku sesumbar untukmu!"
"Buktikan! Buktikan
sesumbarmu!" sentak Selendang Kubur dengan ungkapan rasa benci karena
memendam kedongkolan hati.
Datuk Marah
Gadai kebingungan melepas pedangnya. Wajahnya jadi memerah
akibat kerahkan tenaga. Tapi pada waktu itu, Pendekar Mabuk yang berada dalam jarak lima belas langkah bersama Selendang Kubur, segera lemparkan
pandangannya ke arah Datuk Marah Gadai. Jari tangan Suto mulai menyala hijau
lagi, khusus hanya jari telunjuknya. Lalu, Suto pun menyentilkan jari itu ke
depan. Tasss...!
Pada saat itu, Datuk Marah
Gadai berhenti mengerahkan
tenaga sebentar, ia menggerutu tak jelas, lalu mulai mencabut pedangnya lagi.
Kali ini, pedang bisa dicabut dengan enteng. Seerrt...! Tapi tiba-tiba dari
sarung pedang keluar sinar merah terang bersama bunyi ledakan yang cukup kuat
dan keras.
Duarrr...! Lalu, ledakan itu
menggema panjang, glerrrrr...!
Mata Selendang Kubur tak bisa
berkedip, mulutnya tak bisa terkatup. Di balik kerimbunan atas pohon, mata Dewa
Racun juga terbelalak tak bisa berkedip lagi, karena ia melihat jelas kepala
Datuk Marah Gadai pecah akibat ledakan itu. Tubuhnya tumbang tak bernyawa lagi.
Dewa Racun tak bisa ucapkan sepatah kata pun.
*
* *
9
MALAM menjadi hening kembali
setelah kematian Datuk
Marah Gadai. Selendang Kubur bisukan mulutnya, karena jiwanya terpaku
melihat kehebatan ilmu Pendekar Mabuk yang jelas jauh di atas ilmunya. Datuk
Marah Gadai mati karena pusakanya sendiri. Tapi Selendang Kubur tahu, Pendekar Mabuk-lah penyebabnya. Tanpa
ketinggian ilmu Suto, tak mungkin Datuk Marah Gadai dimakan senjatanya sendiri.
Pendekar Mabuk menengadah,
bumbung tuaknya dituang. Glek glek glek...! Tiga teguk tuak membasahi
kerongkongannya. Pendekar Mabuk merasa lega. Ia kembali menutup tabung itu, dan
menyandangnya kembali ke punggung, seperti menyandang sebilah pedang. Tali
bumbung menyilang di dadanya, dari pundak kanan ke pinggang kiri.
"Sudah selesai sekarang," kata Suto seraya memandang mayat
Datuk Marah Gadai
sebentar. Terdengar pula Selendang Kubur berkata, "Lepaskan
pengaruh totokanku ini!"
"Nanti dulu!"
"Tunggu apa lagi,
Setan!" bentak Selendang Kubur
dongkol sekali.
"Bagaimana dengan kitab
itu?"
"Kau tak berhak memiliki!
Kau bukan murid Perguruan Merpati Wingit. Akulah murid Merpati Wingit yang
berhak mempelajari ilmu-ilmu di dalam kitab inil"
Pendekar Mabuk tersenyum,
bahkan tertawa pelan berkesan meremehkan kata-kata Selendang Kubur. Lalu, ia
berkata pada perempuan itu,
"Kalau aku mau curang,
kuambil kitab itu darimu, dan kubiarkan kau tetap dalam pengaruh totokan.
Setelah itu aku akan lari jauh sekali, kau tak akan bisa mengejarnya!"
"Biadab kau! Sekalipun
ilmumu tinggi, aku tak takut melawanmu, Suto! Aku berani taruhkan nyawa untuk
kitab ini!"
"Bertaruh nyawa saja
belum tentu bisa, apalagi kau mau melawanku. Mungkin aku akan kalah padamu,
tapi bukan berarti aku binasa, melainkan kasihan padamu! Tapi kitab itu, tetap
harus kumiliki!"
"Tak ada yang berhak
memiliki kitab pusaka ini kecuali aku!"
"Siapa bilang?!"
tiba-tiba sebuah suara terdengar dari kerumunan dedaunan di belakang Selendang
Kubur. Pemilik suara itu segera melesat dengan satu lompatan ringan, dan jatuh
dengan tegak di depan Selendang
Kubur.
Tersentak kaget Selendang
Kubur melihat kehadiran orang itu. Gemetar bibirnya saat menyebutkan sapa,
"Nyai Guru...?!"
Suto sendiri sebenarnya kaget
mendengar sahutan kata Betari Ayu tadi. Tapi ia bisa menutup kekagetannya
dengan senyum yang dipamerkan di depan Betari Ayu.
Di atas pohon, Dewa Racun
terbelalak matanya. Tak sadar ia mengucap lirih,
"Nyaaa... Nyaaai... Nyaii
Guru? Oh, itu dia Nyai Guru Dyah Kemalawindu...?! Celaka! Suto tak mau segera
ambil kitab itu, akibatnya pemilik kitab da... daa... datang sebelum kitab
jatuh di tangan Suto! Uh, bodoh amat Suto itu!"
Dewa Racun sengaja belum mau
muncul, ia ingin melihat peristiwa selanjutnya antara Suto dengan Betari Ayu.
Ia ingin melihat pertarungan yang sudah tentu lebih dahsyat dibanding
pertarungan Suto melawan Datuk Marah Gadai tadi.
"Rupanya kau yang mencuri
kitab itu, Selendang Kubur!" kata Betari Ayu dengan wajah dingin, kaku,
menampakkan kemarahan yang terpendam. Matanya memandang tajam namun berkesan
sinis.
"Nyai... Nyai Guru,
saya hanya sekadar menyelamatkan pusaka ini dari
tangan Datuk Marah Gadai, yang... yang... yang sudah berhasil saya bunuh,
Nyai!"
Pendekar Mabuk menahan tawa
dan segera berpaling wajah agar tak dilihat Betari Ayu. Selendang Kubur
sebentar-sebentar melirik Suto
dengan cemas, dan berharap Suto tidak ikut bicara dulu.
"Jadi, Datuk Marah Gadai
mau mencuri kitab itu?"
"Ben... benar,
Nyai."
"Dan kau telah merebut
lalu membunuhnya?"
"Ben... ben... benar,
Nyai. Lihatlah, mayatnya ad... ad... ada di sana, Nyai!"
Dewa Racun membatin dari atas
pohon, "Kurang ajar! Perempuan itu ikut-ikutan gagap! Dari mana dia tahu
kalau aku bicara gagap, sehingga dia bisa menghinaku dengan berpura-pura
gagap?!"
Dewa Racun ingin turun untuk
menghajar Selendang Kubur. Tapi segera ia temukan kesimpulan lain, bahwa rasa
takutnya Selendang Kubur itu menghadirkan kegagapan tersendiri yang tidak
semata-mata menghina kegagapan Dewa Racun. Karena itu, Dewa Racun tak jadi
melepaskan marahnya, ia tetap mengikuti dari atas pohon.
Terdengar suara Betari
Ayu berkata kepada
Selendang Kubur,
"Kalau kau telah membunuh
Datuk Marah Gadai, mengapa kau tidak segera pergi tinggalkan tempat ini?"
"Suto menahan saya,
Nyai!"
"Suto menahanmu? Ada
perlu apa dia menahanmu?" "Dia mau rebut kitab ini, Nyai. Tapi saya
pertahankan
terus!"
"Suto ingin merebut kitab
itu? Untuk apa? Semua ilmu yang ada di dalam kitab ini masih belum ada sekuku
hitamnya dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Suto!"
"Tap... tapi...
tapi...."
"Tapi kau ditotok olehnya
sejak tadi sehingga kau tak bisa bergerak?"
Selendang Kubur tak bisa
bicara lagi. Bibirnya gemetar dan lidahnya bagaikan kaku. Nyai Betari Ayu
kembali melanjutkan kata,
"Bagaimana kau bisa
membunuh Datuk Marah Gadai jika sejak tadi kau tak bisa bergerak, bahkan untuk
pindah ke sini pun perlu digotong Suto mirip patung dipindahkan? Menahan
gelombang ledakan pun kau tak mampu, hingga tubuhmu tumbang seperti batang pisang?! Bagaimana mungkin
kau bisa membunuh Datuk Marah Gadai?"
Mendengar ucapan Nyai Betari
Ayu, baik Pendekar Mabuk maupun Dewa Racun mengerti bahwa sejak tadi
ternyata perempuan berwibawa yang mempunyai kecantikan yang anggun
itu sudah memperhatikan pertarungan Suto dengan Datuk Marah Gadai.
Karenanya, Pendekar Mabuk
cepat bergerak. Kitab itu diambil paksa dari Selendang Kubur. Breet...!
Selendang Kubur hanya bisa terperangah dan tak bisa bergerak sedikit pun.
Kemudian, Pendekar Mabuk menyerahkan kitab itu kepada Betari Ayu.
"Ambillah, ini hakmu,
Nyai!"
Betari Ayu memandang Suto
dengan mata dingin. Cukup lama mereka saling pandang. Akhirnya, tangan Betari
Ayu menerima kitab itu dengan mata tetap menatap Suto Sinting.
Dewa Racun bergumam dalam
hatinya, "Bodoh!
Mengapa diserahkan begitu
saja! Apakah Pendekar
Mabuk tak berani melawan Nyai
Betari Ayu?"
Terdengar Pendekar Mabuk
berkata kepada Betari
Ayu sambil ia melangkah ke
samping Selendang Kubur, "Apa hukuman untuk pencuri kitab ini?"
Betari Ayu tidak menjawab.
Kitab itu diselipkan di pinggangnya. Terdengar lagi Pendekar Mabuk berkata,
"Apakah pencuri kitab ini harus dipenggal kepalanya?"
Selendang Kubur melirik dengan
benci. Penuh nafsu untuk menyerang tapi tangannya tetap kaku, bagai masih
mendekap kitab.
"Atau harus dihukum
bakar?" tanya Suto lagi makin membuat Selendang Kubur cemas dan memendam
kemarahan. Saat berikutnya, Betari Ayu yang berdiri dengan kedua tangan di
belakang itu berkata,
"Tanyakan saja pada
pencuri itu, hukuman apa yang ia sukai!"
Suto tertawa kecil semakin
memuakkan Selendang
Kubur, lalu ia berkata kepada
Selendang Kubur,
"Kau dengar sendiri apa
kata gurumu itu? Kau bebas memilih hukuman. Silakan pilih mana yang kau
suka."
"Apa hakmu memilihkan
hukuman untukku, Setan?!" Pakkk...! Tiba-tiba Betari Ayu ayunkan tangannya
dengan gerakan yang tak bisa dilihat mata. Tangan itu menampar pipi Selendang
Kubur dengan keras. Pipi itu menjadi merah, membekas empat jari. Selendang
Kubur menggigit bibir menahan rasa sakit dengan napas
terengah-engah. Betari Ayu
berkata pelan,
"Sekali lagi kau tidak
sopan terhadap dia, kupatahkan kedua tangan dan kakimu!"
Pendekar Mabuk sendiri sempat
kaget dan tak
menyangka kalau tangan Betari
Ayu mau berkelebat menampar Selendang Kubur, ia jadi tak enak hati mendengar
kata-kata Betari Ayu tadi, seakan dia sangat dibela harga dirinya di depan sang
murid.
"Ampunilah saya,
Guru," ucap Selendang Kubur setelah hening sejurus dan suaranya terdengar
melemah. Air matanya mulai menggenang di kedua kelopak mata. Tapi Betari Ayu
cepat menggeram bagai lampiaskan kemarahannya,
"Sekali lagi kuingatkan,
aku benci melihat muridku menangis! Minggat saja kau, jika harus menangis di
depanku!"
Selendang Kubur segera tarik
napas dalam-dalam, ia menelan ludahnya sendiri beberapa kali, kemudian berkata
dengan tegas,
"Saya memang salah, Guru!
Saya mohon ampun dan berjanji untuk tidak mencuri kitab pusaka itu lagi!
Saya... saya butuh ketenangan jiwa untuk beberapa saat ini, Guru!"
Suto manggut-manggut sambil sesekali melirik Selendang Kubur. Yang
dilirik sudah mulai mengendurkan permusuhannya. Sikapnya kembali lunak.
"Ke mana kau akan
menenangkan diri?" tanya Nyai
Betari Ayu.
"Barangkali saya perlu
beristirahat di Puncak
Kundalini beberapa waktu
lamanya."
"Aku sendiri mau
mengasingkan diri ke sana!"
"Jika Guru
izinkan, biarlah saya berada
di lerengnya!"
Betari Ayu tundukkan kepala
sebentar untuk berpikir, lalu wajahnya ditengadahkan dan berkata kepada
Pendekar Mabuk,
"Lepaskan totokannya,
Suto!"
Suto tertawa pelan, kemudian
menepuk punggung Selendang Kubur sambil berkata, "Ingatlah janjimu, jangan
sampai kau langgar!"
Pada saat itulah tubuh
Selendang Kubur tersentak dan jatuh bagaikan lumpuh. Beberapa saat kemudian ia
berusaha bangkit, dan dapat bergerak dengan bebas, ia segera menunduk, memberi
hormat pada gurunya yang bijak. Sang guru segera berkata,
"Pergilah sekarang juga
ke Gunung Kundalini, aku nanti menyusulmu!"
"Baik, Guru!"
Setelah itu, Selendang Kubur
pun melesat cepat tanpa menoleh kepada Suto lagi. Kini tinggal Suto berhadapan
dengan Betari Ayu.
Dewa Racun berdebar-debar
memperhatikan pertemuan kedua tokoh Ku.
"Benarkah kau membutuhkan
Kitab Wedar Kesuma ini, Suto?"
"Kalau kau izinkan, aku
memintanya." "Bagaimana kalau tak kuizinkan?"
"Bawalah pergi, dan
biarlah aku tak jadi memberikan mas kawin untuk adikmu; Gusti Mahkota
Sejati."
"Rebutlah dariku!"
Suto menggeleng dengan mulut
bungkam.
"Kalau kau tak merebut
dan bertarung denganku, kitab ini tidak akan kuberikan padamu!"
"Pergilah dan jangan
bikin darahku mendidih, Nyai!" "Baik kalau itu keputusanmu. Aku
pergi!"
Slaappp...! Betari Ayu pun
melesat cepat tinggalkan
tempat. Suto tertegun tak
bergerak dalam kegundahan hatinya antara mengejar, merebut, bertarung, atau
mengalah? Dan pada saat itu Dewa Racun datang dengan kegeramannya.
"Bo... bod... bodoh!
Rebut kitab itu! Kau harus tunjukkan pada Nyai Gusti-ku bahwa kau bisa merebut
dan mengalahkan kakaknya! Re... rebut! Lekas kejar di... dia! Kejar...!"
Suto tetap diam. Bahkan ia
tundukkan kepala dan pejamkan mata. Dewa Racun menggerutu tak karuan. Tapi
tiba-tiba ia berkelebat pergi ke semak-semak, pada saat itu ia melihat ada
bayangan datang mendekati Suto. Ternyata Betari Ayu kembali lagi.
Perempuan cantik dan anggun
itu berdiri di depan Suto, dan Suto memandangnya dengan lembut. Lalu, Suto
berkata,
"Mengapa tak segera
pergi! Jangan paksa aku membunuhmu, Nyai!"
"Aku telah kalah padamu
sebelum kau bertarung denganku," kata Betari Ayu. "Terimalah kitab
ini! Berikan kepada adikku sebagai mas kawin darimu. Dan katakan, kau telah
menundukkan aku dengan kelembutan dan kasih sayangmu!"
Suto menerima kitab itu. Lalu
tiba-tiba Betari Ayu melesat pergi tanpa pamit lagi. Suto menggeragap dan
segera serukan kata,
"Nyaaaaii...!"
dengan hati disiram keharuan yang dalam.
SELESAI