Suto Sinting
-------------------------------
----------------------------
Baca Cersil Indonesia Online: Serial Pendekar Mabuk 13-Prahara Pulau Mayat
ANGIN berbau busuk menyebar
sejauh seratus langkah dari pantai. Badai laut yang mengamuk nyaris
menggulingkan perahu berlayar satu. Suto Sinting ada di atas perahu itu bersama
Dewa Racun dan Hantu Laut. Arah perjalanan adalah Pulau Serindu, di mana
terdapat sebuah istana yang dipimpin oleh seorang ratu cantik impian Pendekar
Mabuk, yaitu Dyah Sariningrum, yang dijuluki sebagai Gusti Mahkota Sejati.
Suto dan Dewa Racun sepakat
untuk tidak menentang amukan badai. Mereka tak mau perahunya pecah lagi seperti
dalam peristiwa Istana Berdarah. Karena itu, langkah yang diambil oleh mereka
adalah mengarahkan
perahu ke pantai pulau berbau
busuk itu.
"Kita mendarat!"
seru Pendekar Mabuk kepada Hantu Laut yang pegang kemudi di haluan. Tapi karena
Hantu Laut yang berkepala gundul dan bertubuh besar tanpa mau memakai baju itu
telinganya rada tuli, maka ia pun segera menyahut,
"Siapa yang mau kirim
surat?!"
"Kita
mendaraaat....!" teriak Pendekar Mabuk dari bawah tiang layar.
"O, mendarat?!
Baik!"
Suto segera turunkan layar
perahu, ia berseru lagi kepada Hantu Laut,
"Hati-hati, ada karang di
depan!" "Apa? Ada kerang delapan?!" "Ada karang di
depaaaan...!"
"O, ada karang? Iya! Aku
belum buta! Menurutmu di mana letak karang itu? Di depan atau di belakang
kita?" seru Hantu Laut. Pendekar Mabuk kesal hati dan tidak menyahut lagi.
Langit gelap karena mendung.
Kilat menembus gumpalan hitam itu lalu menggelegar di langit bagai ingin
turunkan hujan badai. Melihat cuaca murka begitu, Dewa Racun cepat berseru
kepada Pendekar Mabuk dan Hantu Laut yang habis menambatkan perahunya,
"Aku tahu, ddiiis...
diiis... di sana ada gua! Kita berteduh di sana sebeeell... sebelll...
sebelll...."
"Kenapa sebel?"
sentak Hantu Laut mengimbangi suara badai.
"Maksudku, sebel...
sebelum! Sebelum hujan turun
dengan deras, kita sudah dapat
tempat berteduh lebih dulu!"
Dewa Racun, si kerdil
berpakaian putih bulu dengan
panah di punggung dan dua
pisau di kanan kiri pinggangnya itu, memang punya penyakit gagap dalam
bicaranya. Tapi jika mulutnya sudah terkena aroma ikan bakar, penyakit gagap
itu menjadi hilang dan ia bisa bicara dengan lancar. Apabila aroma ikan bakar
habis dari mulutnya, penyakit gagap itu kambuh lagi, dan baru akan ucapkan kata
benar jika ada yang membentaknya.
Mereka cepat berkelebat ke
arah sebuah gua di tebing karang. Mulut gua tak seberapa besar, cukup untuk
masuk dua orang. Atap gua pun kelihatannya tak terlalu tinggi, lebih separo
tombak dari tinggi tubuh Pendekar Mabuk. Tapi agaknya tempat itu merupakan
pilihan yang terbaik daripada harus membiarkan diri diguyur hujan yang sudah
pasti disertai angin badai cukup besar.
Tetapi Dewa Racun yang
berjalan lebih dulu itu tiba- tiba menghentikan langkahnya ketika mendekati
mulut gua. Ia sedikit terkejut dengan munculnya seorang berambut panjang acak-acakan, berpakaian hitam, berwajah kurus dengan kedua
bola matanya yang putih. Mulanya Dewa Racun dan yang lainnya menduga orang itu
buta. Tapi ketika orang itu sentakkan kaki dan dapat melompat cepat ke atas
sebuah gugusan batu di samping gua, Dewa Racun dan yang lainnya yakin bahwa
orang itu tidak buta. Hanya bola matanya saja yang putih semua, tidak mempunyai
manik mata berwarna hitam.
"Cob... cob... cobalah
bicara dengan orang itu," kata
Dewa Racun kepada Hantu Laut.
"Katakan kita mau num... num... num...."
"Numbuk padi?!"
"Bukan! Mau num...
numpang meneduh di gua itu. Bukan mau mengganggu dia!"
"Kau sendiri saja yang
bicara dengannya!"
"Dia hanya akan
kebingungan mendengarkan om... om... omonganku! Kau saja yang bicaranya
lancar!"
Pendekar Mabuk tertawa pendek,
Dewa Racun cemberut sambil melirik Pendekar Mabuk. Kemudian Pendekar Mabuk
mendukung perintah Dewa Racun kepada Hantu Laut, sehingga orang berperut buncit
dan hanya memakai celana hitam itu segera mendekati orang bermata putih itu,
lalu ia serukan kata,
"Kami hanya ingin
menumpang sesaat di dalam gua itu! Kami
bukan ingin berbuat jahat kepadamu! Bolehkah kami masuk. Sobat?!"
"Ggrrr...!" orang itu justru mengerang dengan memperlihatkan giginya yang
tidak rata tumbuhnya itu. Mata putihnya melebar.
Hantu Laut mundur beberapa
tindak. Tiba-tiba punggungnya digebuk keras oleh Dewa Racun yang
bersungut-sungut.
"Jang... jang... jangan
injak kakiku, Goblok!"
Dewa Racun cepat menggeserkan
diri setelah Hantu Laut mengangkat kakinya. Kemudian Hantu Laut bicara kepada
Dewa Racun.
"Dia malahan mengerang
seperti singa lapar!" "Bicaramu kurang sop... sop... sopan!"
Suto Sinting cepat berkata
pelan bagai berbisik kepada mereka berdua, "Jangan dekati orang itu."
"Kenapa?" tanya
Hantu Laut mulai penasaran, karena
Suto bicara sambil matanya
memandang curiga pada orang bermata putih itu.
"Dia berbahaya!"
kata Pendekar Mabuk pelan. "Apanya yang bercahaya?" tanya Hantu Laut
salah
dengar.
"Dia berbahaya,
Budek!" Pendekar Mabuk jengkel sendiri. Hantu Laut hanya tertegun bengong
setelah tahu maksud kata-kata Suto Sinting.
"Aaak... ak... aku juga
curiga," tambah Dewa Racun. "Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat
ini!" usul
Pendekar Mabuk.
"Tap... tapi sebentar
lagi hujan turun! Kit... kita tidak punya tempat bernaung untuk meneduh dan...
dan... dan...."
Dewa Racun belum selesai
ucapkan kata, tiba-tiba orang bermata putih itu melompat dari tempatnya,
melayang bagaikan terbang dan menerkam punggung Hantu Laut. Wuss...!
"Awas!" sentak Suto
seketika. Hantu Laut palingkan wajah, dan cepat menendangkan kakinya ke
belakang. Bukk...! Tendangan kaki itu cukup keras. Mestinya orang bermata putih
itu mental setidaknya empat langkah. Tapi ia hanya jatuh di tempat. Seolah-olah
gerakannya hanya tertahan oleh kaki Hantu Laut.
Begitu jatuh,
orang bermata putih itu cepat mencakarkan tangannya ke betis
Hantu Laut. Wuttt..!
Crass...! Hantu Laut terpekik
kecil sambil melompat. Lompatan yang terlambat itu membuat betisnya tergores
luka. Rupanya orang bermata putih itu mempunyai kuku tangan yang sedikit
runcing dan tajam, walau tidak terhitung panjang.
Pendekar Mabuk segera kibaskan
kaki kanannya ke samping depan. Plokk...! Tendangan kosong itu mengenai wajah orang
bermata putih. Kali ini orang itu terjungkal ke belakang, berguling dua kali,
lalu bangkit lagi dengan badan rendah dan satu kaki berlutut di tanah. Wajahnya
semakin tampak buas dengan mata putihnya yang melebar dan mulutnya menyeringai
keluarkan suara aneh.
"Grrrr...!" seperti
seekor kucing yang siap menerkam mangsanya.
"Mundur!" seru Pendekar
Mabuk kepada kedua
temannya. Tapi Dewa Racun
terlambat bergerak. Orang bermata putih itu sudah lebih dulu melompat dari
bawah ke atas, menerkam Dewa Racun dengan kedua tangannya mengembang ke
samping depan. Wuttt...!
Brasss. .! Orang kerdil itu
cepat sentakkan kedua tangannya
ke depan. Belum
sempat tangan itu menyentuh tubuh
penyerangnya, orang bermata putih itu telah terpelanting ke belakang dan
terlempar tiga langkah dari tempatnya semula.
Kalau saja Dewa Racun tidak
sentakkan pukulan tenaga dalamnya, sudah pasti ia akan diterkam manusia aneh
itu. Hanya saja, Dewa Racun merasa heran. Pukulannya tadi sering dipakai
menyerang lawan yang
ingin membokongnya, biasanya
lawan itu pasti jatuh sambil keluarkan darah dari mulut atau hidungnya. Tapi
orang bermata putih itu tidak mengeluarkan darah sedikit pun.
"Tinggi juga ilmu orang
ini?" pikir Dewa Racun, ia masih siap menghadapi serangan lawannya dengan
tetap berdiri pasang kuda-kuda. Namun Suto berseru,
"Cepat mundur, tinggalkan
dia!"
Tapi Dewa Racun menjawab,
"Bbbi... biar kuhadapi dulu dia! Aku ingin tahu seberapa kekuatannya,
sehingga ia tidak memuntahkan darah walau telah terkena ssse... see...
seee...."
"Sesuap nasi?"
"Seranganku!" sentak
Dewa Racun.
Pendekar Mabuk tak mau
kecewakan Dewa Racun penjemputnya itu. Ia pun segera mengundurkan diri, dan
memberi kesempatan kepada si kerdil yang kepalanya botak bagian tengah, hanya
bagian tepian kepala saja yang ditumbuhi rambut itu.
Sebelum Dewa Racun bergerak,
Pendekar Mabuk telah lebih dulu menenggak tuaknya yang diambil dari bumbung
tuak. Bumbung itu selalu ada di punggungnya dan selalu siap dengan cukup banyak
tuak. Bumbung itu pula satu-satunya benda yang ada di tubuh Pendekar Mabuk dan
bisa digunakan sebagai senjata untuk menangkis serangan lawan.
Kalau saja Dewa Racun tidak
berniat mencoba kehebatan orang bermata putih itu, Pendekar Mabuk akan segera menggunakan bumbung itu untuk
menggebuk orang tersebut. Tapi
agaknya Dewa Racun ingin tunjukkan kebolehannya di depan Pendekar Mabuk.
Karenanya, Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, membiarkan diri terhadap apa
yang ingin dilakukan oleh Dewa Racun.
Orang bermata putih itu
mengerang dengan suara serak, mulutnya menyeringai. Menyeramkan dilihat mata
orang sehat. Dan tiba-tiba tangannya berkelebat mencakar-cakar di udara.
Wukkk... wukkk!
Dewa Racun merasakan ada angin
hendak menampar wajahnya. Karena itu, cepat-cepat ia sentakkan kaki dan
melompat mundur ke belakang, ia agak terkejut saat itu, sehingga berkata kepada
Suto walau tanpa memandang orang yang diajaknya bicara.
"Dia punya gerak
bayangan! Hammm... ham... hammm... hampir saja aku tercakar olehnya!"
"Sudah kubilang, orang
itu berbahaya tapi kau masih nekat ingin mencoba kekuatannya!" kata Suto
dengan tenang dan tetap memandangi pertarungan antara Dewa Racun dengan orang
bermata putih itu.
Dewa Racun segera sentakkan
kakinya ke tanah dan tubuhnya terpental naik ke atas sambil ia sentakkan
tangannya yang juga membentuk cakar. Sentakan tangan itu menghasilkan satu
pukulan tenaga dalam jarak jauh yang menghantam tubuh orang bermata putih. Tapi
sebelum pukulan itu mengenai sasaran, orang bermata putih itu melompatkan diri
ke samping, kemudian balas menyerang dengan sentakan tangan bercakar ke atas.
Waktu itu Dewa Racun masih melayang, sehingga
tubuhnya terpental akibat
terkena pukulan jarak jauh orang bermata putih itu.
Behgg...! Dewa Racun jatuh ke
tanah berpasir.
Melihat si kerdil jatuh, orang
bermata putih segera melompat dan menerkam tubuh lawannya. Tetapi Dewa Racun
cepat pula menggulingkan badan dua kali ke samping.
Bruss...! Terkaman orang
bermata putih menabrak tanah
berpasir. Asap
mengepul hitam. Rupanya terkamannya itu mengandung kekuatan
tenaga dalam yang cukup berbahaya jika mengenai Dewa Racun. Pasir yang
tertindih tubuhnya menjadi hitam bagai habis terbakar.
"Orang ini
tidak main-main! Dia ingin membunuhku!" kata Dewa
Racun dalam hatinya. Cepat- cepat Dewa Racun mengambil jarak menjauh. Orang itu
bangkit dan tengokkan kepala ke arah Dewa Racun. Dengan cepat ia melompat dan
bersalto di udara satu kali. Wusss...!
Dewa Racun cepat mengambil
pisaunya yang kanan, lalu tangannya bergerak mengibas cepat. Wuttt...!
Crasss...! Tangan orang bermata putih itu terpotong oleh pisau pada bagian
pergelangan tangannya. Pergelangan tangan itu jatuh ke tanah, sedangkan
pemiliknya masih tetap membelalakkan mata dengan liar dan buas.
Dewa Racun segera melompat ke
arah lain dua kali sentakan kaki. Ia memandang heran kepada lawannya. Tangan
yang terpotong itu tidak mengeluarkan darah sedikit pun. Dan yang lebih heran
lagi, telapak tangan
yang terpotong itu bergerak
sendiri, berjalan menyusuri pasir pantai, lalu tahu-tahu melesat cepat ke arah
Dewa Racun.
Wussst...!
Tangan itu bergerak mencakar
wajah Dewa Racun. Dengan cepat Dewa Racun gulingkan badan ke tanah, sehingga
cakaran itu tidak mengenai kepala maupun wajahnya. Wesss...! Cakaran itu lewat
di atas kepala Dewa Racun. Menancap kuat ke sebatang pohon kelapa yang berada
tujuh langkah dari tempat Dewa Racun berdiri.
Cepat-cepat Pendekar Mabuk
melepaskan pukulan dari telapak tangannya. Pukulan itu mengeluarkan sinar hijau
yang melesat cepat dan menghantam potongan tangan yang menancap di pohon
kelapa. Tarr...! Bunyi letusan kecil timbul dari hantaman sinar hijau, dan
potongan telapak tangan orang bermata putih itu menjadi pecah berbentuk
serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana.
Itulah yang dinamakan jurus
'Pecah Raga' pemberian gurunya si Gila Tuak. Pendekar Mabuk terpaksa melakukan
hal itu karena ia tahu bahaya yang akan timbul jika pertarungan coba-coba itu
diperpanjang. Bahkan kali ini ia pun kembali sentakkan pukulan 'Pecah Raga'
kepada orang bermata putih itu. Orang tersebut sepertinya melihat gerakan sinar
hijau dan harus segera dihindari. Tapi ia terlambat. Sinar hijau dari telapak
tangan Pendekar Mabuk telah lebih cepat mendahului gerakannya, menghantam dada
dengan telak. Tarrr...!
Orang bermata putih itu pecah
dengan serpihan tubuhnya menjadi kecil-kecil dan menyebar ke mana- mana.
Sebagian ada yang tersangkut di rambut kepala Dewa Racun, hingga si kerdil itu
mengibas-ngibaskan kepalanya.
Dewa Racun agak kecewa, ia
bersungut-sungut dan berkata,
"Mengapa kau yyya...
yyyang selesaikan? Kau pikir aaak... aaku tidak sanggup kalahkan orang
itu?!"
"Aku percaya kau sanggup
kalahkan dia kalau kau gunakan jurus-jurus andalanmu! Tapi dia tidak bisa kau
buat main-main dan coba-coba. Semakin kau potong lagi telapak tangannya yang
satu, itu sama saja dengan timbulkan musuh baru!"
"Aaap... aaap... apa
maksudmu?"
"Setiap potongan tubuhnya bisa bergerak menyerangmu! Agaknya orang itu
punya ilmu istimewa, di mana setiap anggota tubuhnya mempunyai kekuatan
sendiri, yang bisa menyerangmu dari berbagai arah. Itu sama saja kau
memperbanyak musuh! Dan, tidakkah kau perhatikan bahwa dia tidak mempunyai
darah?"
"Iiy... iya...! Aku tahu
dia tidak keluarkan darah. Tap... tapi... tapi kenapa dia begitu, aku tidak
tahu!"
"Orang itu bukan
manusia!' jawab Suto Sinting segera mengambil bumbung tuak dan menenggaknya
beberapa teguk.
Dewa Racun kerutkan dahi dan
ajukan tanya, "Lalu, jika bukan manusia, dia iiitu... apa?"
"Mayat!" jawab
Pendekar Mabuk sambil sunggingkan
senyum kalem.
"Mayat...?!" gumam
Dewa Racun seperti bicara pada dirinya sendiri. "Mmma... maaa... mayat
bagaimana?"
"Entah. Tapi yang jelas
dia mayat yang bisa menyerang dan punya ilmu tinggi semasa hidupnya!"
Dewa Racun masih kurang yakin
dengan penjelasan Suto.
Ia menepiskan
tangan ke depan, berusaha melupakan kata-kata
Suto. Lalu, ia tersentak melihat Hantu Laut ternyata sejak tadi terkapar di
bawah sebuah pohon kelapa lengkung.
"Lih... lih... lihat
Hantu Laut itu! Kenapa dia?!"
Hantu Laut yang gundul
mengkilap itu berwajah pucat, ia menyeringai menahan rasa sakit, hingga tak
bisa keluarkan suara. Luka
cakar di betisnya menimbulkan
keanehan bagi Dewa Racun dan Pendekar Mabuk.
Luka itu terdiri dari empat
goresan yang saling berdekatan. Karena memang cuma empat kuku orang bermata
putih yang sempat mencakar betis besar Hantu Laut. Luka itu kini membusuk hitam
dan keluarkan belatung berjumlah banyak. Bahkan ada yang berjatuhan di tanah,
di bawah kaki berbetis besar itu. Baunya amis darah, tapi wujudnya menjijikkan
sekali.
"Kuku ooor... orr...
orang itu punya racun yang bernama Racun Cakar Kubur! Sekali orang kena racun
ini, tubuhnya akan cepat keluarkan belatung dan membusuk di bagian
lukanya!" kata Dewa Racun.
"Sssaaaa...
sssaakiiit...!" ucap Hantu Laut dengan susah payah. Wajah pucatnya
keluarkan keringat dingin.
Dewa Racun cepat-cepat menekan
telapak kaki Hantu Laut memakai tangan kanannya. Kemudian ia pejamkan mata dan
tangan kirinya bergerak dari atas ke bawah, pelan-pelan, bagai kumpulan hawa
murni dan disalurkan lewat tangan yang di telapak kaki Hantu Laut.
Belatung-belatung itu
berloncatan dari luka, bagaikan mendapat sentakan dari dalam. Makin lama makin
banyak yang keluar dari luka dan berjatuhan di tanah. Yang sudah jatuh di tanah
itu, tiba-tiba lenyap bagaikan asap tersapu angin. Sampai akhirnya semua
belatung habis terlepas dari luka betis dan lenyap setelah sesaat berada di tanah. Tapi luka itu tetap terkoyak mencucurkan darah segar.
Dewa Racun menghembuskan
napasnya, setelah selesaikan pengobatan menawarkan Racun Cakar Kubur. Kemudian
ia berkata kepada Suto.
"Akk... ak... aku sudah
keluarkan racunnya, tinggal sembuhkan lukanya. Ini pekerjaanmu!"
Pendekar Mabuk hanya
tersenyum. Kemudian suruh Hantu Laut menenggak tuaknya beberapa teguk. Hantu
Laut menurut, dan pucat wajahnya menyusut.
Gua yang ada di belakang
mereka antara jarak tiga puluh langkah itu dipandangi oleh mereka. Pendekar
Mabuk ucapkan kata seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Berapa banyak mayat
hidup yang bersembunyi di gua itu?!"
"Ap... apakah kau yakin
di dalam gua itu ada banyak mayat berilmu tinggi seperti orang tadi?"
"Aku hanya khawatirkan
hal itu. Aku sendiri tidak
tahu-menahu tentang pulau ini.
Kau lebih tahu tentunya, karena kau bilang tadi di perahu, jika sudah mencium
bau busuk, itu pertanda sudah dekat dengan pulau tempat tinggalmu?"
"Memang. Aaak... aku tahu
tentang pulau ini, tapi tak banyak! Yang kutahu, dulu pulau ini punya banyak
penghuni. Namun kurang lebih empat tahun yang lalu, penduduk pulau ini habis
bagai disapu badai."
"Kenapa?"
"Kaar... kaaar... karena
penduduk pulau ini dibantai oleh Siluman Tujuh Nyawa. Habis semua orang-
orangnya, dan mayatnya dibiarkan membusuk, tak ada yang menguburkan mayat
sebegitu banyak!"
"Mengapa Siluman Tujuh
Nyawa menyerang pulau ini?"
"Kaar... karena penguasa
pulau ini tidak mau tunduk
kepada perintah Siluman Tujuh
Nyawa."
"Betul," jawab Hantu
Laut yang sudah mulai reda rasa sakitnya. Sebagai bekas anggota Kapal Siluman
dan bekas anak buah Siluman Tujuh Nyawa, Hantu Laut merasa lebih tahu banyak
tentang penyerangan ke pulau itu. Karenanya ia cepat tambahkan keterangan.
"Dulu, aku ikut juga
dalam pembantaian di pulau ini. Tapi aku hanya sebagai penjaga kapal, tidak
turun ke darat dan ikut membantai. Aku hanya sebagai penonton kekejaman itu.
Mayat-mayat bergelimpangan di mana- mana, darah pun membanjir di pulau ini.
Dalam waktu satu hari penuh, penduduk pulau ini habis dibantai. Menjelang
tengah malam baru kami tinggalkan pulau
ini, yang kalau tak salah dulu
bernama Pulau Sumang!" Dewa Racun kembali berkata, "Mayat-mayat itu
membusuk, dan pulau ini
mennnn... mennn... menjadi...
menjadi kuburan besar.
Kebusukan mayat-mayat itu menyerap ke tanah, dan sampai sekarang masih
menyebarkan bau busuk, sehingga pulau ini disebut Pulau Mayat."
"Dulu," sambung
Hantu Laut lagi, "Di pulau ini terdapat banyak tulang manusia, berserakan
di sana-sini. Tapi sekitar dua tahun yang lalu, pulau ini disapu segelombang
badai lautan. Walau tak sampai rusak total, tapi tulang-tulang itu tersapu
habis dari pulau ini. Sekarang..., ternyata pulau ini masih tetap
saja mengeluarkan bau busuk dari resapan air dan tanahnya."
"Siapa penguasa pulau ini? Apakah dia ikut terbantai?"
"Tidak," jawab Hantu
Luat. "Penguasa pulau ini berhasil meloloskan diri entah ke mana. Orang
itu dikenal dengan nama Ki Gendeng Sekarat! Sampai sekarang Siluman Tujuh Nyawa
masih mengincar pulau ini, dan masih berharap bisa membunuh Ki Gendeng
Sekarat."
"Mengapa sedendam itu
Siluman Tujuh Nyawa kepada Ki Gendeng Sekarat?"
"Karena, tiga perempuan
simpanan Siluman Tujuh
Nyawa dibunuh oleh Ki Gendeng
Sekarat. Siluman Tujuh
Nyawa murka melihat tiga perempuan simpanannya mati di tangan
Ki Gendeng Sekarat, karenanya Ki Gendeng Sekarat tetap berada dalam
incaran Siluman Tujuh Nyawa
sampai kapan pun!" "Hmmm...,"
Pendekar Mabuk manggut-manggut
mendengar kisah itu.
*
* *
2
JIKA semua penduduk dibantai
habis, dan Ki Gendeng Sekarat menghilang, lalu siapa mayat orang bermata putih
yang menyerang Hantu Laut dan Dewa Racun itu? Apakah dia mayat Ki Gendeng
Sekarat yang berilmu tinggi itu? Karena, ternyata setelah diperiksa gua itu
hanya berisi satu orang aneh tadi. Gua itu kosong dan mempunyai lorong yang
pendek. Gua itu aman sebagai tempat berteduh untuk sementara waktu, karena
hujan pun mulai turun dalam gerimis.
Menurut ceritanya, Dewa Racun
dulu pernah terdampar di
pulau itu, yang dulu masih bernama Pulau Sumang. Ia pernah beristirahat di gua
tersebut bersama lima prajurit Puri Gerbang Surgawi. Peristiwanya hampir sama
dengan saat sekarang, yaitu angin badai mengamuk di lautan, perahu mereka
hampir terbalik, lalu mereka mendarat di pulau itu dan beristirahat di gua
tersebut.
Tetapi menurut ingatan Dewa Racun,
gua yang dihuninya sekarang itu belum sesempit sekarang. Dulu gua itu mempunyai
lorong panjang yang gelap. Dewa Racun tak berani menyelidiki kedalaman gua dan
lorongnya, karena lorong itu
sering timbulkan suara menyeramkan, seperti suara semburan seekor ular raksasa
atau naga. Karenanya, ketika badai mulai reda, Dewa Racun dan kelima
prajuritnya itu cepat-cepat meninggalkan gua tersebut.
Sekarang gua itu tidak
mempunyai lorong, dan Dewa Racun merasa heran. Lalu timbul pertanyaan dalam
batinnya, apa yang terjadi di dalam gua itu setelah ia tinggalkan dulu?
Mungkinkah gua itu runtuh dan lorongnya tertutup? Atau sengaja ada orang yang
menutup lorongnya agar suara aneh yang mungkin seekor naga itu tidak keluar
dari gua dan memakan korban?
Dewa Racun terus memikirkan
hal itu, sampai- sampai ia tak sadar telah tertidur pulas. Hantu Laut juga
tertidur karena
memang Pendekar Mabuk yang menyuruhnya, agar lukanya
cepat kering dan sembuh. Tetapi, di luar dugaan mereka, Suto Sinting pun tidur
pulas dengan memeluk bumbung tuaknya.
Ketika Dewa Racun terbangun,
ia tersentak kaget karena keadaan di dalam gua cukup gelap. Kian terkejut lagi
dirinya setelah menyadari bahwa mulut gua tertutup oleh batu besar yang sulit
sekali didorong dengan tenaga kasar. Bahkan dengan kekuatan tenaga dalam batu
itu tidak bergeser sedikit pun dari mulut gua.
"Ssssu... Sutoo...!"
seru Dewa Racun membangunkan Pendekar Mabuk. Suara Dewa Racun bukan hanya
membuat Suto Sinting bangun, melainkan Hantu Laut pun terlonjak bangun. Mereka
sama-sama tergeragap dan
terkejut mendapatkan gua dalam
suasana gelap. Hanya ada celah kecil dari pintu gua yang tertutup, dan celah
itu yang membuat bias matahari masuk ke dalam gua.
"Apa yang terjadi, Dewa
Racun?"
"Pin... pin... pintu gua
tertutup batu besar! Aku tak sanggup mendorongnya!"
Hantu Laut cepat ucapkan kata
tegang, "Siapa yang
menutup pintu gua ini?!
Siapa...?!" "Ak... aku... aku tidak tahu!"
Lalu, terdengar suara Pendekar
Mabuk berseru tegang pula. "Hei...? Di mana bumbung tuakku?"
"Hahh...?!" Dewa
Racun kaget. Dalam bias cahaya
kecil itu mereka mencoba
mencari bumbung tuak Pendekar
Mabuk, tapi tidak ada yang berhasil menemukannya.
"Bumbung tuakku
hilang!" geram Pendekar Mabuk. "Celaka...! Pasti ada orang yang
mencurinya dan
orang itulah yang menutup
pintu gua dengan batu besar itu!" kata Hantu Laut.
"Berarti kita tidur pun
karena dorongan suatu tenaga batin yang membuat kita jadi sama-sama tertidur
dengan nyenyaknya!" ucap Suto bagaikan bicara pada dirinya sendiri.
"Baag... bag... bagaimana
kita keluar dari sini? Tak ada jalan lain untuk bisa keluar selain melalui
pintu itu!"
Hantu Laut segera mencoba
kerahkan tenaganya untuk mendorong batu besar tersebut. Tapi sampai ia kerahkan
tenaga dalamnya pintu batu besar itu belum juga bisa bergeser sedikit pun.
Pendekar Mabuk
mencoba mendorong dengan
kekuatan tenaga dalam yang ada, tapi batu itu juga tidak bergeming. Batu
tersebut sepertinya pucuk dari sebuah gunung yang muncul ke permukaan bumi.
Ketiga orang itu sama-sama kerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong batu
penutup itu, namun tak ada yang sanggup berulang- ulang, karena batu itu tetap
tidak bergeming sedikit pun.
"Tak ada cara lain kecuali dengan menghancurkannya," kata Suto.
Lalu, Dewa Racun maju dan berkata,
"Bbbiar... biar kucoba
menghancurkannya!"
Dewa Racun segera sentakkan
tangannya ke depan hingga mengeluarkan cahaya merah. Zrrubb...! Sinar merah
menghantam batu itu, tapi batu tetap utuh. Lalu, ia gunakan jurus pelebur
lainnya, dan ternyata belum juga membuat batu menjadi hancur.
"Bat... bat... batu
setan!" umpatnya dengan jengkel. Hantu Laut segera mengambil alih tugas
itu. Segala
macam pukulan tenaga dalam
milik orang berkepala gundul licin itu ternyata juga tidak mampu memecahkan
batu tersebut. Bahkan Hantu Laut sampai mencucurkan keringat di sekujur tubuh,
juga menggunakan senjata yoyonya yang bisa keluarkan pukulan tenaga dalam
penghancur, tapi batu itu tetap kokoh menutup mulut gua.
"Itu batu atau
baja?!" geramnya jengkel sendiri.
Dewa Racun penasaran. Kini ia
menggunakan senjata panah berkekuatan tinggi. Pohon dan dinding bisa hancur
terkena panah yang ekornya berbulu ungu itu.
Tapi toh nyatanya batu tetap
utuh.
"Ter... ter... terpaksa
kugunakan jurus 'Halilintar Racun Bumi'!" gumam Dewa Racun. Kemudian ia
rentangkan kedua tangannya ke samping, kaki merapat dan tangan kepulkan asap
kuning. Setelah kedua tangan ditarik ke samping dada, lalu keduanya dihentakkan
ke depan dengan satu sentakan bertenaga tinggi, hingga mulutnya keluarkan
pekik.
"Heeaah...!"
Blarrr...!
Sinar kuning bergulung-gulung
bagaikan spiral itu menghantam batu penutup mulut gua. Ledakan dahsyat terjadi,
menimbulkan gelombang angin kuat. Mereka bertiga terpental sampai membentur
dinding belakang gua. Tapi ternyata hanya itu yang bisa mereka peroleh, rasa
sakit akibat benturan batu dinding gua dengan tubuh mereka. Sedangkan batu
penutup mulut gua itu masih tetap utuh tanpa lecet sedikit pun. Bergeser
seujung rambut pun tidak.
"Ak... ak... aku
menyerah," katanya kepada Pendekar Mabuk dengan napas terengah-engah.
"Kkkau... kau saja yang lakukan, pasti berhasil!"
Maka, Pendekar Mabuk segera
mengambil tempat di pertengahan ruangan gua itu. Ilmu 'Pecah Raga' yang tadi
digunakan untuk menghantam orang bermata putih itu kembali melesat dari tangan
Pendekar Mabuk. Sinar hijau itu menghantam batu penutup gua. Clingng..! Suaranya
aneh ketika sinar hijau itu menghantam batu tersebut. Dan yang berbahaya lagi,
ternyata sinar hijau
itu memantul balik ke arah
Pendekar Mabuk. Dengan cepat, Pendekar Mabuk melompatkan diri ke arah kanan dan
menabrak Hantu Laut. Bukk...!
Blarr...!
Sinar hijau menghancurkan
dinding belakang gua akibat lolos dari elakan tubuh Pendekar Mabuk. Sementara
itu, Hantu Laut gerutukan kata tak jelas, karena tubuhnya terkapar telentang
dengan ditindih tubuh Pendekar Mabuk. Dewa Racun sendiri terpental sampai ke
sisi sudut batu penutup mulut gua itu akibat terhempas oleh gelombang ledakan
sinar hijau. Dinding yang terkena sinar hijau itu rontok, pecahannya menjadi
kerikil yang menggunung. Sedangkan pintu penutup gua tetap utuh.
"Gawat! Batu itu bukan
sembarang batu!" gumam
Suto.
Dewa Racun berkata,
"Gun... gun... gun...." "Gundulmu!"
"Gunakan! Maksudku, gun... gunakan pukulan dahsyatmu yang lain!"
"Jangan!" tiba-tiba
Hantu Laut berseru tegang.
"Pukulan sinar hijau saja
hampir mencelakakan kita karena memantul balik, bagaimana jika pukulan yang
lebih hebat lagi? Bisa-bisa kita mati oleh pukulan dahsyat Pendekar Mabuk yang
memantul balik dari batu itu!"
"Benar kata Hantu
Laut," ucap Pendekar Mabuk kepada Dewa Racun. "Bisa saja kugunakan
jurus pukulan lain yang lebih dahsyat dari yang tadi, tapi aku
takut memantul balik dan
mengenai kita sendiri! Aku tak berani gunakan pukulan yang lebih dahsyat
lagi!"
"Bag... bag...
bag...."
"Bagong!"
"Bukan! Maksudku,
bagaimana... bagaimana jika kau gunakan napas Tuak Setanmu, sedikit
saja?!"
"Bahaya! Kalau memantul
balik dan mengenai kita,
malah kita yang mati terlempar
deras badai itu dan tergencet
antara kekuatan badai dengan dinding belakang itu!"
"Kali... kal...
kaall...." "Kaleng?!"
"Bukan! Maksudku,
kalau... kalau kau menggunakan jurus 'Sembur Siluman', bagaimana? Batu itu biar
hilang musnah seperti kau sembur Pusaka Tombak Maut dari tangan Hantu Laut
tempo hari?"
"Aku tidak punya tuak!
Bumbung tuakku hilang!" kata Suto dengan nada sedikit ngotot. "Mana
bisa kulakukan 'Sembur Siluman' jika aku tidak mempunyai tuak?!"
"Jadi," kata Hantu
Laut, "Kita akan tetap di sini sampai ajal kita menjemput?!"
"Entah!" jawab
Pendekar Mabuk. "Yang kupikirkan sekarang, bagaimana aku bisa mendapatkan
bumbung tuakku! Karena bumbung itu bisa menolong kesulitan kita yang seperti
ini!"
Semua diam tertegun memikirkan
nasib mereka. Semua diam berkerut dahi saling bertanya dalam hati tentang batu
itu. Lalu kejap berikutnya Pendekar Mabuk
bangkit, seperti mendapat satu
gagasan. Gerakannya itu diikuti oleh mata Dewa Racun dan Hantu Laut. Mereka
menaruh harapan besar pada usaha Pendekar Mabuk kali ini.
"Aku akan gunakan jurus
'Lintang Kesumat'!" kata Pendekar Mabuk. "Jika jurus ini gagal, aku
tak tahu harus bagaimana lagi."
"Cob... cob...
cobalah!" kata Dewa Racun.
Jurus 'Lintang Kesumat'
membuat semua jari tangan Pendekar Mabuk berkuku menyala merah membara. Jurus
ini biasanya jika dipercikkan ke batu sebesar apa pun atau ke tembok baja
sekalipun, akan membuat benda itu meleleh lumer. Karenanya, Suto segera
mengibaskan jari tangannya yang berkuku merah menyala itu. Wesst...!
Wwwessst...!
Dari kuku itu memercik
bunga-bunga api merah kearah batu penutup mulut gua itu. Cratt...! Cratt...!
Kemudian bau hangus begitu tajam terhirup oleh hidung mereka. Dewa Racun dan
Hantu Laut berdebar-debar, karena menurut mereka, bau hangus itu seperti bau
besi terbakar. Hawa panas pun menguasai lingkup mereka. Hantu Laut undurkan diri, tubuhnya berkeringat menahan panas. Dewa
Racun ikut undurkan diri, bahkan Pendekar Mabuk sendiri melangkah tiga tindak
dari tempatnya, mundur menjauhi pintu batu itu.
Kejap berikutnya hawa hangat
terasa masih tersisa. Pendekar Mabuk mendekati batu penutup pintu gua. Ternyata
batu itu tidak meleleh sedikit pun. Tergores tidak, rompal sedikit juga tidak.
Dewa Racun dan Hantu
Laut yang ikut memeriksa batu
tersebut menjadi tertegun bagai orang kehabisan akal.
"Berarti, batu ini
disaluri tenaga dalam yang sangat
tinggi!" kata Pendekar
Mabuk. "Jelas ada orang sakti berilmu tinggi sengaja mengurung kita di
dalam gua ini!"
"Menurutmu siapa?"
tanya Hantu Laut. "Apakah... Dayang Kesumat?"
"Mungkin saja! Karena dia
masih menyimpan dendam padaku, sebab aku murid dari musuh besarnya, yaitu Bibi
Guru Bidadari Jalang. Aku juga yang menjadi penghalangnya dalam mendapatkan
Pusaka Tuak Setan, hingga ia menaruh benci padaku." (Baca serial Pendekar
Mabok dalam episode: "Darah Asmara Gila").
"Baaag... baaag...
bagaimana kalau ternyata orang yang menutup mulut gua dan yang mencuri bumbung
tuakmu itu adalah Siluman Tujuh Nyawa?" kata Dewa Racun membuat wajah
Hantu Laut menjadi kian tegang di dalam keremangan cahaya dalam gua itu.
"Bisa jadi begitu!"
kata Pendekar Mabuk. "Mungkin dia tahu aku punya kekuatan pada bumbung
tuak tersebut!"
"Tidak mungkin!"
bantah Hantu Laut. "Kalau yang datang sewaktu kita tidur adalah Siluman
Tujuh Nyawa, aku pasti sudah dibunuhnya! Kalian pun tak akan dibiarkan hidup
walau dipenjarakan seperti ini!"
"Masuk akal
bantahanmu!" kata Pendekar Mabuk. Lalu ketiganya sama-sama membisu
kembali. Mereka
bercucuran keringat. Saling
memeras otak mencari jalan
keluar. Tiba-tiba Pendekar
Mabuk berkata di tengah kesunyian,
"Kalau kugunakan napas
tuakku, pasti batu itu bisa
terhempas dari mulut gua. Tapi
jika kekuatan batu itu lebih besar, napas Tuak Setan akan membalik pada diri
kita dan mencelakakan kita bertiga. Aku tak berani melakukan hal yang bersifat
untung-untungan itu!"
"Bagaimana jika...,"
Hantu Laut tak jadi teruskan kata, karena Dewa Racun cepat serukan kata,
"Hei, lihat dinding
belakang yang runtuh akibat kena sinn... sinn... sinar hijau tadi! Ada celah
kecil di balik reruntuhan dinding tersebut...! Seingatku memang di situ ada
lorong gelap!"
Pendekar Mabuk cepat
memeriksa reruntuhan
dinding. Ternyata memang ada celah kecil sebesar kepala manusia. Tak bisa untuk
lewat, tapi menandakan bahwa di balik dinding itu ada lorong. Maka, Pendekar
Mabuk pun segera gunakan pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup kuat.
Wuuut...! Blarrr...!
Wussst...! Blarrr...!
Hantu Laut dan Dewa Racun
terbatuk-batuk. Dinding itu pecah. Tubuh mereka menjadi putih karena terkena
debu pecahan dinding. Tetapi, kejap berikutnya Hantu Laut pun
dapatkan pandangan menyenangkan, ia berseru,
"Lihat, ada lorong yang
terbuka!"
"Hmmm... benar!"
kata Pendekar Mabuk, lalu ia berkata pada Hantu Laut, "Sobek sedikit kain
ikat pinggangmu itu, Hantu Laut. Dan... Dewa Racun, aku
pinjam satu batang anak
panahmu!" "Un... un... untuk apa?"
"Bikin obor! Kita masuk
lorong itu dan kita periksa
apa yang ada di
dalamnya!"
Maka, dengan menggunakan dua
pisau milik Dewa Racun yang digesekan, timbullah api yang segera membakar obor
darurat itu. Mereka segera menerobos masuk ke lorong gelap yang menurut Dewa
Racun dulu selalu kedengaran mengeluarkan suara napas seekor naga.
Lorong itu panjang,
berkelok-kelok, berlantai kering keras. Tak ada cahaya sedikit pun kecuali
cahaya obor. Dengan bantuan cahaya obor itu, mereka bisa pandangi lumut-lumut
yang menempel di dinding lorong yang terasa lembab. Lorong yang lebarnya antara
dua tombok itu mempunyai dinding rata walau bukan berarti halus.
Dewa Racun curiga dengan
dinding rata itu. Apalagi ketika obor diangkat lebih ke atas, mereka bisa
melihat bahwa lorong itu amat panjang walau berkelok-kelok lagi di bagian sana.
Kemudian mata Dewa Racun menemukan keanehan pada dinding lorong itu.
"Cob... coba dekatkan ke
dinding kiri obormu itu, Hantu Laut!"
Hantu Laut
yang memegang obor segera mendekatkan nyala apinya ke
dinding kiri. Kemudian mereka sama-sama menemukan gambar pada dinding. Gambar
itu berupa batu-batuan yang ditoreh oleh benda tajam. Bekas torehannya sudah
berlumut, itu pertanda sudah sangat lama torehan tersebut terjadi di dinding
itu.
"Mungkin dulu ada manusia
purba yang menghuni tempat ini!" kata Suto Sinting. Hantu Laut hanya
menggumam sambil manggut-manggut. Tapi Dewa Racun kerutkan dahi dan tak mau
bicara, ia menahan tangan Hantu Laut ketika Hantu Laut mau bergerak menjauh, ia
masih ingin memperhatikan gambar itu.
"Seep... sepertinya
gambar ini melukiskan sebuah perahu yang terombang-ambing diamuk badai
lautan."
"Memang... dan masih
banyak gambar lain di sepanjang dinding ini," jawab Suto. Lalu, mereka
melangkah pelan-pelan sambil memperhatikan lukisan- lukisan di dinding lorong
itu. Ternyata memang menggambarkan suatu adegan sebuah perahu yang terdampar di
pantai karena amukan badai lautan.
"Mungkin dulu penghuni
gua ini pernah melihat perahu yang hampir dimakan badai lautan!" kata
Hantu Laut.
"Tap... tapi... tapi coba
perhatikan urut-urutan gambar ini!" kata Dewa Racun. "Ini gambar
perahu yang ditambatkan oleh seseorang. Itu gambar tiga orang berlarian menuju
ke suatu tempat. Itu juga gambar orang bertarung dengan orang kurus. Yang
san... san... sana, gambar tiga orang tidur dan... dan... kurasa ini gambar
perjalanan kita, Pendekar Mabuk?"
Hantu Laut merinding mendengarnya.
Suto diam memperhatikan tiap gambar. Ternyata benar dugaan Dewa Racun. Gambar
orang berlarian meninggalkan perahunya itu terdiri atas gambar seorang bertubuh
besar, gemuk, dan gundul kepalanya, yang satu bertubuh
pendek kerdil, yang satu bertubuh
tinggi tegap. Lalu, gambar orang berkelahi itu pun menunjukkan seorang bertubuh
kerdil berkelahi dengan orang bertubuh tinggi kurus. Seperti yang dilakukan
oleh Dewa Racun dan orang bermata putih tadi.
"Lihat, Suto....!" kata Hantu
Laut ikut menterjemahkan
gambar. "Ini gambar kita bertiga yang masing-masing menggunakan ilmu
tenaga dalam untuk pecahkan batu penutup gua itu! Pertama gambar orang kerdil,
menggambarkan Dewa Racun. Lalu, gambar orang gundul, gambarku yang juga gagal
pecahkan batu. Lalu, gambar orang kerdil lagi, yaitu gambar Dewa Racun yang
mencoba pecahkan batu lagi...."
"Daan... dan yang ini
gambarmu, Suto," kata Dewa Racun melanjutkan. "Ini gambarmu mencoba
gunakan pukulan tenaga dalammu untuk memecahkan batu penutup gua."
"Tapi gambar batunya
tidak ada!"
"Ya, mmemm... memang,
memang tidak ada! Entah mengapa tidak tergambar. Tapi... tapi ini gambar kamu
dan Hantu Laut yang saling tindih ketika terjadi pantulan balik dari sinar
hijau!"
Hantu Laut teruskan kata,
"Nah, ini gambar kita yang sedang berusaha membikin obor sederhana ini...!
Lalu... lalu...."
"Habis!" kata
Pendenar Mabuk bagai menggumam sendiri.
Gambar itu memang habis sampai
di situ. Mereka mencari-cari gambar lain, tapi tak ada gambar apa pun.
"Gua ini aneh. Misterius
sekali!" gumam Pendekar Mabuk. "Jika gambar itu terjadi sudah ratusan
tahun yang silam, atau puluhan tahun yang lalu, tentunya bukan gambar kita yang
tertera di sini!"
"Mungkin ada seseorang
yang telah melukiskan perjalanan kita sampai di sini!" kata Hantu Laut.
"Secepat itukah orang
menggambar perjalanan nasib
kita? Dan lagi, lihat goresan
di batu ini! Sudah berlumut dan hampir tidak kentara, sepertinya sudah dimakan
zaman cukup lama!"
"Kal... kalau... kalau gambar ini baru, pasti goresannya masih baru juga,"
kata Dewa Racun memperjelas maksud Pendekar Mabuk.
"Ya. Dan sejak tadi
kuperhatikan pula tanah di bawah kita, tidak ada jejak manusia selain jejak
telapak kaki kita."
"Jika begitu, mungkin
dulu ada kejadian yang sama persis dengan apa yang kita alami sekarang
ini," kata Hantu Laut. "Jumlah orangnya sama, ciri-cirinya sama, dan
apa yang dilakukan adalah sama dengan yang kita lakukan!"
"Mungkinkah sesuatu yang
bersifat kebetulan bisa sama persis dengan kejadian ini?!" tanya Pendekar
Mabuk kepada mereka, juga kepada diri sendiri. "Kalau toh memang bisa
sepersis kejadian ini, lantas siapa orang yang melukisnya? Bukankah pulau ini
kosong tak
berpenghuni?!"
*
* *
3
TIBA di persimpangan lorong,
Pendekar Mabuk dan kawan-kawannya dihadapkan pada dua pilihan; ke kiri atau ke
kanan? Mereka berhenti dalam kebimbangan langkah. Dewa Racun
dan Hantu Laut
saling memandang
Pendekar Mabuk, seakan mereka mengharap keputusan yang pasti.
Pendekar Mabuk sendiri belum berani ambil langkah tanpa pemikiran dan
pertimbangan matang.
"Kedua sinar itu
bercahaya," kata Suto pelan. "Yang satu di ujung sana memancarkan
sinar kuning, yang satu sinar putih. Sinar kuning itu ada di sebelah kiri kita,
dan sinar putih ada di sebelah kanan kita."
Dewa Racun menyahut,
"Kit... kit... kita harus pilih salah satu, mana yang punya jalan
keluar!"
Dewa Racun memandang ke arah
Hantu Laut, lalu
Hantu Laut keluarkan pendapat,
"Jangan-jangan gua ini
tempat penyimpanan harta karun. Jika benar gua ini tempat penyimpanan harta
karun, berarti yang sebelah kiri kita, yang memancarkan sinar kuning
berpendar-pendar itu adalah tumpukan emas, sedangkan yang kanan
berpendar-pendar putih itu adalah tumpukan perak."
"Bagaimana kalau keduanya
salah?" tanya Pendekar Mabuk. "Bagaimana kalau keduanya hanya jebakan
dari orang yang mencuri bumbung tuakku dan yang menutup pintu gua dengan batu
gaib itu?"
"Mampuslah kita!"
jawab Hantu Laut bagai patah semangat.
Ketiganya kembali diam dan
pikirkan pertimbangan.
Bias kedua sinar itu sampai ke
persimpangan lorong tempat mereka berdiri, sehingga tanpa obor pun mereka sudah
mendapat penerangan dari kedua bias sinar itu.
"Begini," kata
Pendekar Mabuk pecahkan hening di antara mereka bertiga. "Kita bercermin
dari perbuatan kita sendiri. Kita gunakan patokan, bahwa orang berbuat sesuatu
yang buruk sering dikatakan menyimpang ke jalan kiri, orang yang berbuat baik
dikatakan berjalan dijalan kanan. Kita sering muliakan tangan kanan sebagai
tanda penghormatan terhadap sesama, misalnya menerima sesuatu dari orang lain
lebih sopan dengan menggunakan tangan kanan, tapi tangan kiri tidak sopan.
Jadi, usulku kepada kalian, kita gunakan lorong kanan, sebagai lorong kebaikan
dan kesopanan."
"Bagaimana jika dugaanmu
salah?" tanya Hantu Laut. "Mampuslah kita!" jawab Pendekar Mabuk
tirukan jawaban Hantu Laut tadi. "Jika dugaan kita tentang
lorong kiri pun salah, mampus
pulalah kita ini!"
Dewa Racun segera keluarkan pendapat,
"Bba... baar... barr... barangkali kita akan temui kesalahan dan kematian,
tapi mati dengan mengambil jalan kanan sebagai tujuan hal yang baik, lebih
terhormat daripada mati mengambil jalan kiri, sebagai simbol kejahatan!"
Pendapat Dewa Racun terkesan
di hati Suto Sinting dan Hantu Laut. Sebab itulah mereka tak bimbang hati lagi
untuk langkahkan kaki mengambil jalan kanan.
Mereka mendekati cahaya putih
berpendar-pendar itu. Sementara itu, Hantu Laut cepat berpaling ke belakang
untuk melihat suatu gerakan angin yang berkelebat menurut firasatnya. Tapi yang
ia temui di belakang hanya kegelapan. Lorong yang memancarkan cahaya kuning itu
telah lenyap. Cahayanya padam tak terlihat lagi.
"Aneh. Cahaya kuning itu
padam, seperti ada yang meniup atau memadamkannya! Hmmm... berarti di dalam gua
ini ada manusianya!" kata Hantu Laut dalam gumam lirih. Gumam itu
terdengar oleh Pendekar Mabuk dan Dewa Racun. Tapi mereka tidak kasih pendapat
apa-apa kecuali hanya turut menoleh ke belakang sejenak, setelah itu kembali
memandang ke arah depan. Sinar putih itu makin terasa terang dan tidak lagi
menyilaukan.
Ternyata mereka tiba di sebuah
ruangan besar beratap tinggi. Atap itu bolong bagaikan cerobong gunung tempat
keluarnya lahar. Cahaya matahari yang masuk ke lubang atap itulah yang membuat
terang suasana sekeliling. Cahaya terang membuat mata ketiga orang itu dapat
melihat keluasan ruangan tersebut.
Ruangan itu memiliki
lorong-lorong pada dindingnya sebagai jalan entah menuju ke mana. Hantu Laut
menghitung dalam hati ternyata ada sebelas lorong di situ, dua belas lorong
bersama lorong tempat mereka muncul di ruangan itu.
Ketiga orang itu merasakan ada
keanehan dalam hati mereka. Ruangan besar yang berbentuk bundar itu
mempunyai garis tengah antara
tiga puluh langkah. Di bagian tengahnya ada lantai berbentuk bundar macam
piring raksasa. Tapi lantai itu datar, terbuat dari lempengan batu marmer putih
dengan ukuran panjang dua tombak lebar satu tombak. Batu-batu marmer itu
tersusun rapi, satu dengan yang lainnya sangat rapat, seakan tak ada celah yang
bisa untuk memasukkan sehelai kain sutera. Tempat itu bertangga tiga baris yang
mengikuti bentuk bundar lantai tengahnya itu. Cahaya matahari dari atap jatuh
tepat di pertengahan lantai itu dan memantulkan warna putih marmernya.
"Seseorang telah
membangun tempat ini dengan sangat indahnya," kata Suto, entah bicara
kepada siapa.
"Men... men... menurutmu,
tempat apakah ini?" tanya
Dewa Racun.
"Tak jelas. Mirip sebuah
ruangan untuk berkumpul atau sebuah arena untuk berlatih ilmu kanuragan. Tapi
aku yakin di ruangan ini ada penghuninya."
"Dari mana kau bisa yakin
begitu?" tanya Hantu Laut. "Lihat di atas tiap lorong, terdapat batu
berbentuk kerucut yang hangus di bagian atasnya. Batu kerucut
itulah obor yang dinyalakan
hanya pada malam hari." Karena keadaan terang, Hantu Laut memadamkan
obornya sendiri. Kemudian ia
bergegas mendekati tangga arena. Tapi Pendekar Mabuk cepat menyusulnya sambil
menahan pundak Hantu Laut yang berkulit hitam keling itu.
"Jangan gegabah di sini!
Aku yakin orang yang mencuri bumbung tuakku dan yang meletakkan batu
gaib itu adalah penghuni
ruangan ini. Bisa jadi ia memasang banyak jebakan maut di sini! Salah langkah
sedikit kau bisa mati, Hantu Laut!"
"Aku punya naluri untuk
sebuah jebakan," kata Hantu Laut, seakan tak mau diremehkan dalam hal
jebakan. Maka, ia pun tetap melangkahkan kaki dan pandangi keadaan sekeliling
lantai marmer bundar itu. Di sana ada titik merah, tepat di bagian tengah
lingkaran. Titik merah itu berbentuk bundar bergaris tengah antara satu
jengkal.
Hantu Laut melemparkan senjata
yoyonya ke tengah arena. Trakk...! Ditunggu sesaat ternyata tak ada bahaya yang
timbul, maka ia pun berani melangkah memasuki lantai marmer bundar itu. Sampai
di titik tengah warna merah itu, sekali lagi Hantu Laut menjatuhkan yoyonya
yang terbuat dari lapisan baja itu. Trakk...! Setelah ditunggu beberapa saat
tak ada bahaya datang, Hantu Laut merasa lega. Berarti tempat itu tidak
berbahaya.
Namun ketika Hantu Laut mau
mengambil yoyonya, tiba-tiba dari arah samping kiri muncul sebatang tombak yang
melesat cepat ke arahnya. Wuusss...!
Hantu Laut sempat melihat
dengan ekor matanya, lalu ia cepat gulingkan badan ke lantai arah depan.
Wutt...! Dan tombak yang melesat bagai anak panah itu pun menerabas tempat kosong, menghantam dinding samping lorong. Deggg...! Ruangan
terasa terguncang oleh benturan tombak dengan dinding itu. Tapi anehnya dinding
tidak gompal sedikit pun dan tombak tidak patah ujungnya. Tombak itu hanya
jatuh ke lantai dengan menimbulkan suara berdenting yang menggema keras
memenuhi ruangan itu.
Siapa pelempar tombak dari
arah kiri Hantu Laut tadi? Tak ada yang tahu, karena tak terlihat ada orang di
sana. Dewa Racun cepat berlari ke arah tempat datangnya tombak tadi, dan
melakukan pemeriksaan sebentar, ternyata tak ada orang di sana. Ia berseru akan
hal itu tentu saja Suto serta Hantu Laut sama-sama heran. Lalu mereka pun
saling menduga bahwa orang itu telah bersembunyi di tempat lain, karena pasti
dia tahu seluk-beluk jalan rahasia di gua itu.
Hantu Laut berdiri agak di
tengah arena ketika ia berkata kepada Pendekar Mabuk itu,
"Mendekatlah kemari. Di
sini hawanya lebih sejuk!" Baru saja selesai Hantu Laut ucapkan kata
demikian,
tiba-tiba melesatlah sebuah
piringan bergerigi yang bergaris tengah dua jengkal. Piringan besar itu melesat
cepat dari arah belakang Hantu Laut.
Weengngng...!
"Awas!" seru Suto
seketika.
Kepala gundul itu tak sempat
menengok ke belakang. Tapi melihat mata Pendekar Mabuk tertuju ke arah
belakangnya, ia yakin ada bahaya datang dari belakang. Maka dengan cepat ia
kembali berguling di lantai dengan arah menyamping. Gleddukk...! Kepalanya
sempat membentur lantai agak keras. Tapi ia luput dari bahaya maut.
Piringan bergerigi dari bahan
baja putih mengkilat itu memang luput dari Hantu Laut, tapi segera menyerang
Pendekar Mabuk sebagai sasaran berikutnya. Dengan
cepat Suto Sinting sentakkan
kedua tangannya dengan pangkal telapak tangan saling berhimpit. Sentakan itu
timbulkan sinar putih menyilaukan. Sinar itu menghantam gerak laju piringan bergerigi.
Akibatnya, piringan itu terhenti bergerak, dan bahkan mental ke belakang bagai
membentur dinding keras. Trak...! Traangngng...! Piringan itu jatuh dan
menimbulkan suara berisik sekali akibat menggema di ruangan itu. Hantu Laut
sampai menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya.
Pendekar Mabuk memeriksa
piringan itu, dan Hantu Laut cepat pandangkan mata ke sekelilingnya dengan
penuh waspada. Dewa Racun lalu memeriksa lorong yang tadi ada di belakang Hantu
Laut, tempat melesatnya
piringan bergerigi itu. Tapi di sana kembali tidak ia temukan siapa pun yang
patut dicurigai. Tak ada orang, tak ada suara napas tertahan. Lorong itu kosong
dan lengang.
Posisi Hantu Laut masih berada
di tengah ruangan itu, walau tidak tepat di titik merah. Dan tiba-tiba ia
terkejut bukan kepalang. Semuanya pun ikut terkejut karena suasana terang itu
tiba-tiba berubah menjadi gelap seketika. Seolah-olah ada yang menutup lubang
atap tempat masuknya sinar matahari itu. Seolah-olah siang berubah menjadi
malam seketika.
Blappp...!
"Sutoooo...!" seru
Hantu Laut dengan nada cemas. "Suto, di mana kau?! Jawablah...!"
Tak ada jawaban yang terdengar
oleh Hantu Laut.
Makin cemas hati si keling
berkepala gundul licin itu. Ia takut ditinggalkan Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun.
"Sutooo....!"
panggilnya lagi. Tetapi tetap saja tak ada
jawaban.
Pendekar Mabuk sengaja tidak
menjawab walau ia bergerak pelan-pelan sambil membiasakan matanya
memandang dalam gelap.
Pendekar Mabuk menyembunyikan suaranya agar sewaktu-waktu timbul
serangan, orang yang menyerangnya tak dapat mengetahui di mana ia berada.
Rupanya pemikiran seperti itu juga dimiliki oleh Dewa Racun, sehingga Dewa
Racun pun tak ikut serukan kata sepatah pun.
Hantu Laut semakin
berdebar-debar, ia merasa bagai tinggal di alam kesunyian yang amat mencekam
jiwa, ia tak berani banyak bergerak, takut tiba-tiba berseliweran tombak dan
senjata rahasia lainnya menghantam tubuhnya.
Kejap berikut, gelap pun
berubah menjadi terang kembali.
Byarrr....!
Tersentak kaget hati Hantu
Laut menerima kelegaan itu. Ternyata Pendekar Mabuk masih ada di depannya, pada
tangga kedua, dan Dewa Racun ada di samping kanannya dari tempatnya berdiri
saat itu. Tetapi Dewa Racun dan Suto sama-sama pandangi wajah Hantu Laut dengan
mata tak berkedip. Hantu Laut merasakan ada sesuatu yang aneh dari pandangan
mata kedua temannya itu. Maka, cepat-cepat ia palingkan wajah ke belakang,
dan ia tersentak kaget sampai terpekik di luar
kesadarannya.
"Hahh...?! Sssang... sang
ketua...?l"
Seorang berkerudung hitam dari
atas kepala sampai kaki, mengenakan baju dan celana dari kain warna hitam pula.
Wajahnya putih kelewat pucat, bibirnya biru, hidungnya mancung, parasnya
berkesan tampan muda, tepian matanya sedikit hitam kebiruan. Orang itu memegang
tongkat setinggi tubuhnya dengan ujungnya berupa mata sabit lengkung sedikit
datar. Tongkat itulah yang dikenal Hantu Laut sebagai pusaka El Maut. Dan hanya
satu orang setahu Hantu Laut yang mempunyai senjata tongkat pusaka El Maut,
yaitu Siluman Tujuh Nyawa. Dan Siluman Tujuh Nyawa sekarang ada di tengah arena
itu dalam jarak tiga langkah berhadapan dengan Hantu Laut.
Gemetar mata Hantu Laut
memandangnya, gemetar pula sekujur tubuhnya. Pucat pasi wajah Hantu Laut
setelah sadar bahwa saat itu ia berhadapan dengan orang yang dulu ingin
dibunuhnya dengan senjata Pusaka Tombak Maut. Hantu Laut mundur dua tindak,
sambil berusaha meredakan napasnya yang sesak, degup jantung yang cepat
berdetak, gemeretuk gigi yang takut memandang wajah putih mayat berkesan dingin
bagai gunung salju.
Sementara itu, Pendekar Mabuk
dan Dewa Racun masih sama-sama terkesima. Suto bertanya-tanya dalam hati, siapa
orang itu sebenarnya dan dari mana munculnya? Sedangkan Hantu Laut sudah
mengetahui bahwa orang itu adalah Siluman Tujuh Nyawa, tapi ia
belum tahu, bagaimana caranya
muncul dalam kegelapan tadi? Apakah dia akan selalu datang bersama kegelapan?
"'Hantu Laut...!" ucap Siluman Tujuh Nyawa dengan suara tenang tapi
berkesan ingin membunuh. "Sengaja aku menemuimu di arena ini karena ingin
tentukan nasibmu, berapa napas lagi kamu bisa menikmati hidup! Tapi aku tak mau
membunuhmu secara sia-sia! Kamu harus ada perlawanan! Bertarunglah secara
jantan
denganku. Hantu Laut...!"
Hantu Laut geleng-gelengkan
kepala. Sebab ia ragu untuk menyetujui pertarungan itu, karena Pendekar Mabuk
dan Dewa Racun kelihatan diam saja tak mau cepat bertindak mendekati dirinya.
Sedangkan Hantu Laut merasa sebagai pihak yang bersalah di mata Siluman Tujuh
Nyawa, ia memang telah memberontak keluar dari gerombolan orang sesat itu. Ia
keluar karena sudah telanjur berkoar ingin membunuh Siluman Tujuh Nyawa ketika
ia masih memegang Pusaka Tombak Maut, milik Jangkar Langit. Pada waktu memegang
pusaka itu, ia merasa dirinya kuat dan mampu menggulingkan Siluman Tujuh
Nyawa dan para sekutunya. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Tumbal Tanpa Kepala").
Tetapi sejak Hantu Laut
dikalahkan oleh Suto Sinting,
si Pendekar Mabuk itu,
tombak pusaka dilenyapkan oleh Suto. Hantu Laut pun kembali menjadi orang
lemah, merasa bekas budak Kapal Neraka yang dinakhodai oleh Tapak Baja, orang
kepercayaan Siluman Tujuh
Nyawa. Namun sesumbarnya yang ingin
membunuh Siluman Tujuh Nyawa
itu telah terdengar di telinga yang bersangkutan, lalu diutuslah pengawal
pribadinya yang berilmu tinggi dari sekian banyak orang dan sekutunya Siluman
Tujuh Nyawa, yaitu Doma dan Damu. Tugas Doma dan Damu adalah membunuh Hantu
Laut yang akan menjadi pemberontak dan pengkhianat dalam lingkungan Kapal
Siluman. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin Pemburu
Nyawa").
Itulah sebabnya, kali ini
Hantu Laut nyaris terkulai lemas karena tahu-tahu ia berhadapan dengan Siluman
Tujuh Nyawa di sebuah arena pertarungan, di dalam sebuah gua yang banyak
lorong, yang tidak memberi kesempatan bagi Hantu Laut untuk melarikan diri.
Karena ia yakin, Siluman Tujuh Nyawa yang ada di depannya itu pasti sudah hafal
dengan liku-liku lorong- lorong yang ada di situ, sehingga ke mana pun larinya
Hantu Laut, dengan mudah dapat dicegat.
Sengaja Pendekar Mabuk belum
mau bergerak, karena dia ingin tahu dulu sejauh mana Siluman Tujuh Nyawa mau
bergerak dan menghadapi Hantu Laut. Sedangkan Dewa Racun tak berani bertindak
apa-apa sebelum Suto memberi isyarat untuk bergerak.
"Sang ketua... saya telah
mencabut sesumbar saya tempo hari! Mohon jangan buka pertarungan dengan
saya!"
"Terlambat!" kata
Siluman Tujuh Nyawa dengan dingin.
"Saya sudah jenuh hidup
sesat! Saya ingin bertobat dan tak mau membunuh lagi!"
"Berarti kau harus
mati!"
"Saya bisa bertobat tanpa
harus mati!"
"Tidak bisa! Aku harus
membunuhmu, Hantu Laut! Kamu adalah sebagian kecil dari dendamku yang tak boleh
kubiarkan hidup begitu saja!"
"Ilmu saya tidak
seimbang. Jika sang ketua merasa punya
ilmu tinggi, bukan
sayalah tandingannya, melainkan si Pendekar Mabuk itu!" Hantu Laut menuding ke
arah Suto, ingin
melemparkan ketakutannya ke sana.
Tapi Siluman Tujuh Nyawa yang
berdiri di depannya dengan dingin itu tak mau pandangkan mata ke arah Pendekar
Mabuk, ia bahkan berkata kepada Hantu Laut yang berkeringat dingin itu,
"Sudah tiba waktumu untuk
mati! Aku datang buat menjemput kamu!"
Siluman Tujuh Nyawa yang
berdiri di depan Hantu Laut itu segera menggeserkan kaki kanannya ke belakang,
tongkat El Maut digenggam kuat dan mulai siap diayunkan untuk menyerang Hantu
Laut.
"Rupanya... rupanya saya
tak punya pilihan lain. Saya harus melayani tantangan ini!" kata Hantu
Laut di sela putus harapannya.
"Bagus! Itu yang kumau!
Bersiaplah menyambut kematianmu, Hantu Keling...!"
"Baik! Saya pun ingin
mati secara ksatria!" "Heaaat...!" pekik Siluman Tujuh Nyawa,
membuat
Hantu Laut gugup dalam mencabut
senjata yoyonya. Sementara itu, senjata El Maut sudah siap ditebaskan
dari kanan
ke samping kiri. Leher Hantu
Laut sasarannya.
"Tahan!" seru
Pendekar Mabuk pada akhirnya, ia pun
bergerak maju.
*
* *
4
SERUAN Pendekar Mabuk tadi
sempat membuat orang di depan Hantu Laut menghentikan gerak sebentar. Matanya
melirik ke arah Pendekar Mabuk. Dilihatnya Suto Sinting
tidak melakukan gerak berbahaya maka tebasan itu
dilanjutkan ke arah leher Hantu Laut. Wuttt...!
Kembali Pendekar Mabuk
menggerakkan kedua tangannya ke depan dengan cepat sekali. Wesss...! Sinar
putih menyilaukan yang berbentuk lebar setengah lengkung melesat cepat sekali
dari kedua tangan Pendekar Mabuk yang saling merapat pergelangannya.
Debbb...! Sinar putih itu
menahan gerakan tongkat El Maut seakan sebagai penangkis yang sukar didobrak
lagi. Bahkan tongkat El Maut itu sedikit terpental ke belakang karena kayunya
bagai menghantam sesuatu yang amat keras. Kesempatan itu digunakan oleh Hantu
Laut untuk sentakkan kaki dan bersalto ke belakang satu kali. Ia jauhi lawannya
dan menyerahkan perkara itu kepada Pendekar Mabuk.
Orang berselubung kain hitam
dari kepala sampai
kaki itu sedikit sipitkan
matanya memandang Suto bak menahan kemarahan. Mata itu melirik ke arah Dewa
Racun, ternyata si cebol itu pun sudah siapkan satu anak panah berbulu merah
yang dapat membakar lawan. Anak panah itu sudah bertengger di busurnya, siap
melesat sewaktu-waktu.
Agaknya Siluman Tujuh Nyawa
yang kini berhadapan dengan Pendekar Mabuk itu berpikir beberapa saat
menghadapi keadaan yang demikian, ia tak mau bertindak gegabah melawan orang
yang satu ini, sehingga yang bisa dilakukan hanya ucapkan kata penuh ketegasan
"Minggir! Jangan turut
campur urusanku!" "Semestinya memang tidak," jawab Suto dengan
tenang, walaupun baru kali ini
ia berdiri menghadapi lawan tanpa bumbung tuak di punggung, tapi ia mencoba
untuk biasakan diri dengan begitu.
Suto melanjutkan kata-katanya,
"Urusanmu dengan Hantu Laut adalah urusanmu! Walau aku tahu kau lebih
tinggi ilmunya dari Hantu Laut, tapi aku tidak ingin ikut campur!"
"Bagus kalau kau sudah
tahu bahwa ilmuku sangat tinggi!"
"Tapi ada satu masalah
yang harus kuselesaikan dulu denganmu!"
"Baru sekarang aku
melihatmu! Baru sekarang kita bertemu! Kurasa di antara kita tak ada
masalah," ucap orang bertongkat El Maut dengan dingin. Nyaris tanpa nada
dalam bicaranya.
"Ada!" jawab Suto
tetap ngotot tapi kalem. "Ada masalah yang harus kau selesaikan denganku,
yaitu tentang bumbung tuakku!"
Orang itu terdiam dengan mata
tetap memandang Suto. Cermin pembunuh berdarah dingin terlihat jelas dari
wajahnya yang putih tanpa senyum di bibirnya yang biru pucat itu. Orang itu membisu
beberapa saat, sampai akhirnya Pendekar Mabuk sendiri yang teruskan kata,
"Bumbung tuakku hilang
saat aku tidur di gua tepi pantai. Mulut gua pun tertutup oleh batu yang tak
bisa dipecahkan. Jika bukan orang sakti berilmu tinggi macam kau yang mencuri
bumbung tuakku dan menutup mulut gua dengan batu gaib itu, tak mungkin ada
orang lain yang bisa melakukannya!"
"Bumbung tuak...?!"
gumamnya, lalu ia tundukkan kepala seakan berpikir dan mempertimbangkan. Bahkan
ia pejamkan matanya pelan-pelan. Sementara Suto Sinting tetap menunggu jawaban
sambil sesekali melirik ke arah Dewa Racun dan Hantu Laut, yang posisi mereka
ada di sebelah kanan dan kiri Pendekar Mabuk. Dewa Racun tampak tetap siagakan
anak panahnya yang sewaktu-waktu siap
dilepaskan ke arah orang berkerudung hitam itu.
Karena terlalu lama menurut
ukuran Pendekar
Mabuk, ia pun segera berkata,
"Tak perlu ragu, serahkan
saja bumbung tuakku itu! Buatmu bumbung itu tidak berguna, tapi buatku sangat
berguna!"
Orang itu tidak menjawab.
Masih tundukkan kepala
dengan pejamkan mata. Suto
memperhatikan terus sampai akhirnya dahinya berkerut dan wajahnya sedikit
mendekat memandang wajah orang itu. Kemudian terdengar gerutuan Suto di sela
gema ruangan tersebut,
"Sial! Dia malah
tidur?!"
"Hah...?!" Hantu
Laut terkejut mendengar gumam gerutuan Pendekar Mabuk. Dewa Racun terperangah
tanpa suara dengan dahi berkerut pula. Hati Suto jadi jengkel. Sebagai
pelampiasannya, Pendekar Mabuk cepat melayangkan kaki kanannya menendang
tongkat El Maut bagian bawah. Plakkk...!
Gerakan kaki Pendekar Mabuk
tanpa tenaga dalam yang menendang tongkat itu tiba-tiba tertahan dan bagaikan
diadu dengan gerakan kaki orang yang tidur itu. Rupanya dalam keadaan tidur,
orang berkerudung hitam yang tadi dipanggil sebagai sang ketua oleh Hantu Laut
itu, ternyata masih bisa pekakan inderanya, sehingga ia tahu akan mendapat
tamparan kaki Pendekar Mabuk pada tongkatnya.
Gerakan kaki orang itu begitu
cepat menyambut tendangan kaki Pendekar Mabuk, sehingga Pendekar Mabuk sendiri
menjadi kaget, karena tak menduga sama sekali kalau akan mendapat sambutan
seperti itu. Sang ketua itu segera membuka matanya dengan sedikit menyipit
bagai orang terbangun dari tidur.
"Tidak ada!"
tiba-tiba orang itu ucapkan kata demikian.
"Apanya yang tidak
ada?" tanya Pendekar Mabuk. "Hmm... kau tadi tanyakan soal apa?"
orang itu ganti
bertanya.
"Bumbung tuakku!"
"O, ya! Bumbung tuakmu
itu tidak ada padaku!" "Bohong!" Pendekar Mabuk sedikit
menyentak. "Terserah apa katamu, tapi aku harus membunuh
Hantu Laut!"
"Tak kuizinkan kau
menyentuhnya sebelum kau serahkan bumbung tuakku itu!"
"Kalau begitu kau
menantangku!"
"Ya!" jawab Suto
dengan tegas dan berani, walaupun tetap bersikap tenang dan kalem.
Orang berkerudung hitam yang
berwajah muda dan
tampan itu bergerak
melangkahkan kaki ke samping, sepertinya ia malas melayani tantangan Suto
Sinting itu. Sambil melangkah malas-malasan, ia ucapkan kata dengan suara
sedikit keras,
"Tantanganmu akan kulayani
setelah aku membunuh
Hantu Laut!"
"Kau tak akan bisa
membunuhnya selama aku masih ada!"
balas Pendekar Mabuk dengan ikut-ikutan melangkah seenaknya, namun
tetap tak jauh dari pertengahan lingkaran itu. Keduanya saling melangkah
memutar secara tak sadar.
Kemudian, manusia berwajah
putih itu menghentikan langkah, Pendekar Mabuk pun mengikuti. Mereka kembali
berhadapan bagai menyiapkan pertarungan dengan jarak empat langkah. Tiba-tiba
orang berwajah kaku itu ucapkan kata kepada Suto Sinting,
"Baiklah! Kuturuti tantanganmu! Kulayani
kemauanmu, tapi jika kau bisa
mengangkat tongkat saktiku ini...!"
Werrr...! Orang itu
melemparkan tongkat pusaka El
Maut seenaknya saja. Suto
menerima lemparan tongkat yang pelan itu. Tapi tiba-tiba ia jatuh terpelanting
dan tongkat itu menindih dadanya, ia ingin mengangkat tongkat itu tapi tak
kuat. Ia kerahkan tenaganya sekali lagi, tapi tongkat itu bagaikan gunung yang
dijatuhkan di dada Pendekar Mabuk.
"Gila ilmu orang
ini!" pikir Pendekar Mabuk dalam kebingungannya. Wajah Suto sempat
berkerut karena menahan tongkat yang makin lama terasa semakin berat. Urat-urat
lehernya sampai tampak keluar karena kuatnya ia kerahkan tenaga untuk
memindahkan tongkat itu dari dadanya. Tapi Suto belum juga berhasil dengan
usahanya itu.
"Ha ha ha ha...!"
orang berkerudung hitam itu tertawa dengan wajah tetap kaku dan mulut terasa
malas untuk digerakkan melebar. Lalu, orang itu berseru dengan nada menghina,
"Baru mengangkat tongkatku saja kau tak mampu, apalagi mau menantangku?!
Kau masih perlu banyak belajar, Bocah Kencur! Jangan sekali-kali menantangku
sebelum kau bisa pindahkan gunung ke seberang lautan!"
Hantu Laut benar-benar heran.
Baru sekarang ia melihat Siluman Tujuh Nyawa menakar kekuatan seorang lawan dengan melemparkan tongkatnya.
Padahal itu sangat berbahaya bagi dirinya sendiri. Jika lawannya mampu
mengangkat tongkat itu, berarti
tongkat pusaka El Maut itu
akan dimiliki oleh lawannya. Jelas lawannya pasti berilmu lebih tinggi dari
dirinya.
Hantu Laut tentu saja heran,
mengapa Siluman Tujuh
Nyawa sampai berani mengambil
sikap untung-untungan begitu? Biasanya Siluman Tujuh Nyawa andaikata harus
menguji ketinggian ilmu lawannya, ia akan menyuruh Doma Damu untuk melawan
orang itu. Apakah karena ia tahu bahwa Doma Damu sudah dikalahkan oleh Pendekar
Mabuk, sehingga ia menggunakan tongkatnya untuk menguji kekuatan diri Pendekar
Mabuk?
"Memang sebaiknya kau
tiduran di situ tertindih tongkatku, sementara kuselesaikan urusanku dengan
Hantu Laut!" katanya.
Dewa Racun cepat berseru,
"Kulepaskan pan... pann... panah ini jika tidak segera kau angkat tong...
tong... tong...."
"Tongkrongan?!"
"Bukan! Tongkatmu, maksudku! Lekas angkat tongkatmu dari tubuh temanku
itu!" gertak Dewa Racun.
Tapi Siluman Tujuh Nyawa hanya
pandangi wajah Dewa Racun beberapa kejap. Tiba-tiba tubuh kecil itu jatuh
terduduk, kakinya tak bisa dipakai berdiri, ia berusaha bangkit tapi justru
terpelanting jauh dari tempat semula. Kakinya lumpuh mendadak dan sama sekali
tak bertulang serta tak berurat sedikit pun.
Siluman Tujuh Nyawa masih
terus memandang Dewa Racun. Cepat-cepat Dewa Racun meraih busurnya yang agak
jauh dari tangan akibat terpelanting tadi, lalu ia siapkan anak panah lagi ke
arah Siluman Tujuh Nyawa.
Tali busur terentang dan anak
panah mengancam. "Terpak... terpak... terpaksa aku melakukannya!"
kata
Dewa Racun sambil mau
melepaskan anak panahnya itu.
Tetapi, tiba-tiba tulang
lengannya terkulai bagaikan lepas dari engselnya. Kedua tangan Dewa Racun tak
bisa dipakai untuk bergerak. Dewa Racun merasa lumpuh kaki dan tangannya.
Melihat hal itu, Hantu Laut
menjadi tegang.
Kecemasannya kian membungkus keberanian. Tapi ia sembunyikan hal itu, walau
hatinya pun merasa kecewa terhadap Suto dan Dewa Racun yang diharapkan menjadi
pelindungnya, ternyata mampu dilumpuhkan Siluman Tujuh Nyawa.
Orang berkerudung hitam bagai
utusan dari alam kubur itu mulai melangkahkan kaki mendekati Hantu Laut.
Pendekar Mabuk merasa cemas akan nasib Hantu Laut. Dalam keadaan tertindih
beban yang amat berat itu, Pendekar Mabuk segera sentilkan jarinya ke arah
Siluman Tujuh Nyawa. Sentilan jurus 'Jari Guntur' itu tepat mengenai punggung
lawan. Debbb...!
Siluman Tujuh Nyawa merasa
mendapat tendangan bertenaga kuda yang amat besar dan keras, ia pun tersungkur
jatuh. Brukk...! Tapi lekas berdiri dan membalikkan badan menghadap Pendekar
Mabuk, ia menggeram melalui dengusan napas memanjang. Tapi wajahnya masih
dingin dan kaku. Hanya matanya yang terlihat lebih tajam memandang Suto sebagai
ungkapan kemarahannya.
"Kurang ajar!
Berani-beraninya kau melakukan hal
itu kepadaku, hah?!"
Sambil menahan beban berat,
Suto berkata, "Aku hanya ingin membuktikan, bahwa biar dalam keadaan
terjepit begini, tapi aku masih bisa menumbangkan dirimu! Apalagi jika aku
tidak sedang terjepit begini! Dan kujamin kau sendiri tak akan bisa mengangkat
kembali tongkatmu ini, karena separo lebih dari ilmumu telah kumusnahkan dengan
jurus 'Jari Guntur'-ku tadi!"
"'Jari Guntur'...?!"
Siluman Tujuh Nyawa sedikit heran dalam gumamnya itu. Tapi ia tetap pandangi
Pendekar Mabuk tanpa perubahan wajah.
"Terus terang, aku curang
karena membokongmu! Tapi tak ada jalan lain untuk menyedot separo lebih dari
ilmumu, hingga untuk mengangkat tongkat ini pun kau tak akan bisa lagi!"
"Omong kosong!" sentaknya,
lalu cepat ia melangkah mendekati Suto dan segera mengambil tongkatnya.
Wuttt...!
Bersama terangkatnya tongkat
itu, Pendekar Mabuk sentakkan tenaga dalamnya yang tinggi melalui sorot
pandangan matanya. Maka, tongkat yang telah didorong oleh tenaga dalam melalui
mata itu menjadi sangat ringan
bahkan
bergerak naik dengan cepat, tak terkendalikan oleh pemegangnya.
Pendekar Mabuk cepat bangkit
sambil menghela napasnya yang tadi terasa sesak, sedangkan Siluman Tujuh Nyawa
terangkat terbang karena kekuatan tenaga dalam yang tinggi dari mata Pendekar
Mabuk. Mata Pendekar Mabuk tetap pandangi terus tongkat itu, hingga
kepala Siluman Tujuh Nyawa
mencapai langit-langit ruangan yang tinggi itu.
"Keparat! Turunkan aku!
Turunkan!" teriak Siluman
Tujuh Nyawa dari atas sana.
Suto hanya tersenyum sambil dongakkan kepalanya dan pandangi tongkat itu terus.
Jurus 'Pucuk Rembulan'
digunakan Suto Sinting. Kalau saja tadi kekuatan besar yang ditanamkan oleh
lawan di tongkat itu tidak dilepaskan lebih dulu, jurus
'Pucuk Rembulan' gagal dipakai
mengangkat tongkat itu. Tapi karena lawan sudah mengurangi kekuatan tenaga
dalam yang ditanamkan di tongkat itu dengan cara pancingan Suto tadi, maka
jurus 'Pucuk Rembulan' tak boleh telat dipancarkannya. Jurus yang menggunakan
kekuatan mata itu adalah pemberian Bidadari Jalang, bibi gurunya, yang mampu
membuat seseorang atau benda apa pun terangkat terbang jika dipandang dari
bawah. Seakan ada tenaga pendorong yang amat besar dan bisa menopang beban tak
terlalu berat.
"Turunkan aku, Bocah
Ingusan...!" teriak Siluman Tujuh Nyawa
yang masih tergantung-gantung di ketinggian. Rasa heran dan curiga
membuat Siluman Tujuh
Nyawa lupa, bahwa
semestinya ia bisa melepaskan saja tongkat itu dan membiarkan menggantung di atas
sementara ia melompat turun, atau menggunakan lagi tenaga dalam pembeban
tongkat itu seperti tadi, sehingga tongkat dan dirinya akan turun sendiri.
Sesuatu yang mengganggu
pikiran dan hatinya dapat
membuatnya menjadi orang
bodoh. Dan sesuatu itu kini mulai dipertanyakan ketika Pendekar Mabuk
melepaskan jurus 'Pucuk Rembulan' dari tongkat tersebut. Lepasnya jurus itu
membuat tubuh Siluman Tujuh Nyawa tersentak turun bersama tongkat El Maut-nya.
Jlegg...! Ia mendarat dengan
mantap dan tegak, tanpa ada gerakan limbung sedikit pun. Bahkan ketika ia
mendaratkan kakinya di lantai, kaki itu mengepulkan asap tipis warna putih,
kejap berikutnya napas itu hilang bagaikan padam dari baranya.
"Kau memang berilmu
tinggi, tapi tidak punya kecerdasan!" kata Suto mengecam. Mata orang
beralis sangat tipis karena tertutup warna putih semacam bedak itu memandang
Suto dengan lebih tajam lagi. Agaknya ia tidak hiraukan kecaman itu, karena ada
sesuatu yang dipikirkannya.
"Apakah kita harus
teruskan perkara ini dengan pertarungan secara kesatria?" pancing Pendekar
Mabuk dalam tantangannya.
Tapi Siluman Tujuh Nyawa itu
hanya berkata, "Jurus
'Pucuk Rembulan' kau
miliki...?!"
Suto Sinting terkejut
mendengar jurus itu disebutkan Siluman
Tujuh Nyawa, ia tak sangka lawannya mengetahui nama jurus itu. Bahkan
Siluman Tujuh Nyawa ucapkan kata,
"Jurus 'Pucuk Rembulan'
itu milik Bidadari Jalang!" Mulut Suto terperangah, mata bergerak melebar.
Sebelum ia ucapkan kata,
Siluman Tujuh Nyawa segera bicara,
"Jurus 'Jari Guntur'
adalah milik si Gila Tuak!" "Bagaimana kau bisa tahu kedua jurusku
itu?" tanya
Suto heran.
Siluman Tujuh Nyawa
pejamkan mata tanpa tundukkan kepala. Tapi makin lama
makin bergerak menunduk kepalanya itu, sedikit miring ke kiri. Bibirnya yang
semula rapat sedikit membuka. Suto menyangka orang itu melakukan semadi untuk
kembalikan daya ingatnya sehubungan
dengan pertanyaan Pendekar
Mabuk. Tapi makin lama semakin kelihatan pulas dan terdengar suara dengkurnya
kecil.
"Sial! Tidur lagi
dia?!" ucap Pendekar Mabuk sambil memandang Dewa Racun yang masih lumpuh
kaki dan tangannya.
"Hai, bangun!"
sentak Suto sambil hentakkan kaki ke lantai.
Orang itu tersentak, melonjak
ke atas sambil menggeragap. Lalu, ketika kakinya menginjak kembali ke lantai,
ia sudah siap dengan kuda-kuda dan jurus pembuka serangan. Tongkatnya dipegang
oleh dua tangan dan siap ditebaskan. Tapi Suto segera ulangi tanya,
"Bagaimana kau bisa tahu
kedua jurusku itu? Apakah kau kenal dengan kedua guruku juga?"
Siluman Tujuh Nyawa redakan
ketegangannya, ia
kembali berdiri dengan sikap santai.
Tongkatnya digenggam tangan kanan dalam keadaan berdiri di sampingnya.
"Apa maksudmu menanyakan
aku kenal dengan
kedua gurumu? Kedua guru yang
mana?"
"Si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang!" jawab Pendekar
Mabuk.
Siluman Tujuh Nyawa terkejut
dengan cara menarik kepala ke belakang sedikit, tapi wajahnya tetap beku dan
dingin.
"Apakah benar kau murid
mereka?"
"Ya! Kau takut berhadapan
dengan mereka?"
Siluman Tujuh Nyawa tidak
kasih jawaban, tapi justru ajukan pertanyaan lagi,
"Sebutkan nama asli
mereka jika memang kau murid mereka!"
"Ki Sabawana dan Nawang
Tresni!" Suto sebutkan nama asli Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
"Edan!" cetus
Siluman Tujuh Nyawa, ia hempaskan napas panjang-panjang dengan melangkah ke
belakang, lalu membalik lagi, seperti menyimpan kekecewaan, penyesalan dan
kegelisahan.
Pendekar Mabuk, Hantu Laut,
dan Dewa Racun, sama-sama memandang Siluman Tujuh Nyawa dengan perasaan heran.
Hati mereka bertanya-tanya, mengapa Siluman Tujuh Nyawa tampak berubah sikap.
Bahkan sekarang ia duduk di tepian lantai bundar itu, kakinya di tangga kedua.
Tongkat El Maut-nya digeletakkan begitu saja walau berada tak jauh darinya.
Lama ia termenung di situ
dengan sikap duduk, satu kaki melonjor, satu tangan bertumpu ke belakang,
sementara wajahnya menatap Suto Sinting. Hantu Laut baru sekarang melihat
Siluman Tujuh Nyawa bersikap
duduk tanpa wibawa sama
sekali. Bahkan ia sempat garuk-garuk kepalanya walau tetap terbungkus kain
kerudung hitam.
Lalu, terdengar ia ajukan
tanya kepada Suto, "Jika kau memang murid si Gila Tuak, mengapa kau
membela Hantu Laut? Tak tahukah kau siapa Hantu Laut itu?!"
"Aku tahu, dia bekas anak
buahmu, yang ingin menentang kekuasaanmu. Karena tak ingin lagi berada di jalan
yang sesat! Tapi masalahnya sekarang bukan hanya aku membela dia, tapi karena
aku inginkan bumbung tuakku yang kau curi itu."
Siluman Tujuh Nyawa hempaskan
napas, seperti kesal pada dirinya sendiri, ia kembali berkata kepada Suto.
"Bumbung tuakmu masih
ada! Tidak kupecahkan!" Setelah berkata begitu, Siluman Tujuh Nyawa
membuka kerudung hitamnya dari bagian leher ke atas, dan sesuatu yang lengket
itu pun ikut terlepas dari wajahnya. Sesuatu yang lengket itu adalah topeng
tipis berwajah Siluman Tujuh Nyawa. Kini wajah aslinya terlihat jelas, dan
Hantu Laut segera serukan kata kagetnya,
"Ki Gendeng
Sekarat...?!"
"Ya. Aku Gendeng Sekarat!
Kau masih ingat?!" ujar Ki Gendeng Sekarat kepada Hantu Laut. Tapi Hantu
Laut hanya terbengong, demikian juga halnya Dewa
Racun dan Pendekar Mabuk.
*
* *
5
RAMBUT ikal tanpa hitam
selembar pun kecuali warna putih uban itu diikat dengan ikat kepala kain hitam.
Rambut itu tidak panjang, hanya sebatas tengkuk saja. Kumisnya yang putih, juga
tidak terlalu lebat seperti jenggotnya yang putih pula itu. Badannya kurus,
tapi tidak ceking. Pakaiannya serba merah, diikat sabuk hjtam lebar. Sebuah
kipas warna hitam terselip di pinggangnya itu.
Wajah tua berusia sekitar
tujuh puluh tahun lebih itu dikenal Hantu Laut dan Dewa Racun sebagai orang
yang berjuluk Gendeng Sekarat. Dialah penguasa Pulau Mayat yang selamat dari
pembantaian Kapal Siluman. Itulah sebabnya Gendeng Sekarat bernafsu sekali
untuk membunuh Hantu Laut, karena dia tahu Hantu Laut anak buah Siluman Tujuh
Nyawa.
"Aku punya dendam
terhadap semua anak buahnya Siluman Tujuh Nyawa," kata Ki Gendeng Sekarat
sambil membawa masuk mereka ke sebuah lorong, karena ia ingin membawa mereka ke
suatu tempat yang sangat rahasia.
Ia berkata lagi, "Bahkan
aku mencoba menyamar sebagai Siluman Tujuh Nyawa di depan kalian, karena
samaran ini yang nantinya kupakai untuk membantai mereka! Dan ternyata kalian
tidak ada yang menyangka bahwa aku adalah Durmala Sanca palsu," kata Ki
Gendeng Sekarat dengan menyebutkan nama asli Siluman Tujuh Nyawa.
"Saya kira tadinya Ki
Gendeng-lah orang yang selama ini menjadi Siluman Tujuh Nyawa," kata Suto
dalam langkahnya yang mengiringi orang tua berbadan segar dan tegap itu.
"Aku bukan orang picik,
mengapa harus menjadi orang macam Durmala Sanca. Menyamar sebagai dia saja
kupertimbangkan berbulan-bulan. Akhirnya aku berhasil membuat topeng Siluman
Tujuh Nyawa dengan menggunakan kulit manusia yang kuolah dan kubuat sedemikian
rupa. Maka jadilah topeng wajah yang menurutku sangat persis dengan wajah
Durmala Sanca. O, ya... bagaimana kabar si Gila Tuak?"
"Beliau dalam keadaan
sehat-sehat saja, Ki," jawab
Suto dengan sopan dan penuh
hormat.
"Bidadari Jalang apakah
masih jalang seperti dulu?" "Beliau sudah mengasingkan diri dan
menghentikan
segala tindakan masa
lalunya."
"Bagus!" kata Ki
Gendeng Sekarat sambil membelok ke kiri,
dan Dewa Racun
serta yang lainnya mengikutinya, ia berkata lagi,
"Mungkin kau belum tahu
apa hubunganku dengan gurumu si Gila Tuak itu, Suto!"
"Saya baru akan
menanyakannya, Ki."
"Aku dulu bekas
pelayannya!" kata Ki Gendeng
Sekarat dengan rasa bangga.
"Tapi Gila Tuak pelit,
tak mau turunkan ilmunya sedikit
pun kepadaku. Aku ngotot, lalu gurumu menyuruh aku pergi ke seorang
temannya yang bernama Pramban Jati dan berguru kepadanya."
"Apakah Eyang Pramban
Jati sekarang masih hidup, Ki?"
"Sudah meninggal. Bahkan gurumu yang
menyempurnakan jasadnya,
karena ia meninggal dalam keadaan menjadi seekor naga di Gunung Kundalini akibat
kutukan Nyai Suketi. Dan Nyai Suketi itu sebenarnya penguasa Gunung Kundalini
yang terkenal sakti mandraguna, dia masuk dalam golongan tokoh- tokoh sesat.
Tapi ia dikalahkan oleh seorang ratu dari alam halus yang bernama Gusti Ratu
Kartika Wangi!"
Srek...! Kaki Pendekar Mabuk
terhenti seketika, demikian pula Dewa Racun. Kedua orang itu sama-sama kaget
ketika mendengar nama Gusti Ratu Kartika Wangi disebutkan oleh Ki Gendeng
Sekarat. Tentu saja Ki Gendeng Sekarat merasa heran melihat sikap dua orang yang
memandangnya.
"Kenapa kau kaget?"
tanyanya kepada Suto.
"Ki Gendeng kenal dengan
Gusti Ratu Kartika
Wangi?"
"Sangat kenal, karena
dulu aku pun mengabdi kepada beliau, sebagai penjaga Kolam Sabda Dewa. Tapi
karena aku tergila-gila dengan seorang perempuan di alam nyata ini, maka
kutinggalkan pengabdianku dan Gusti Ratu Kartika Wangi tidak merasa keberatan.
Aku pergi secara baik-baik dan seizin dia. Hmmm... ada apa kau tanyakan hal
itu?" Ki Gendeng Sekarat tampakkan kecurigaannya. Tapi Suto menjawab,
"Hmmm... tidak! Tidak ada
apa-apa. Aku hanya pernah mendengar cerita tentang Gusti Ratu Kartika
Wangi dari negeri Puri Gerbang
Surgawi."
"Benar. Pasti gurumu yang
menceritakan hal itu. Dan sekarang, Puri Gerbang Surgawi di alam nyata itu ada
di Pulau Serindu. Negeri itu juga dalam ancaman bahaya Siluman Tujuh
Nyawa."
Sebenarnya Pendekar Mabuk
ingin jelaskan siapa dirinya dan Dewa Racun. Tapi ia takut ada kesan
menyombongkan diri di depan orang sakti itu, sehingga ia pun diam saja dan
mengikuti terus dengan perasaan tak enak karena mendapat sikap kurang ramah
dari Ki Gendeng Sekarat.
Mereka masuk ke sebuah ruangan
menyerupai kamar besar. Ruangan itu penuh dengan nyala obor-obor kecil,
berkeliling dinding terbagi menjadi tiga baris. Di kamar itu juga ada beberapa
peti mati.
Warnanya hitam bertutup tanpa
kunci. Suto menghitung peti
mati itu, ternyata berjumlah delapan belas peti. Entah ada isinya semua atau
hanya sekadar pajangan saja.
Hantu Laut tak berani ikut
masuk. Agak ngeri ia melihat suasana seram seperti itu, sehingga ia hanya berdiri
di pintu masuk saja, sambil bersikap sebagai penjaga keamanan suatu tempat yang
sebenarnya tak perlu dijaga itu.
"Di sini aku
mempersiapkan bala tentaraku untuk menyerbu Kapal Siluman. Tapi baru ada
delapan belas orang. Itu pun yang satu sudah kau hancurkan di depan gua."
"Mak... mak... mak...
maksud Ki Gendeng, mayat
yang bisa menyerang orang
dengan ilmu 'Cakar Kubur'?" tanya Dewa Racun.
"Ya. Betul apa
katamu. Ilmu 'Cakar
Kubur'
kubekalkan kepada
mereka," sambil berkata begitu, Ki Gendeng Sekarat sentilkan jarinya ke
tiap-tiap peti mayat. Maka, satu persatu mayat itu pun bangkit dari dalam peti
dengan wajah-wajah buas dan liar. Mata mereka serba putih, tapi jelas arahnya
tertuju pada Suto dan Dewa Racun.
Pendekar Mabuk dan Dewa Racun
terperanjat dan undurkan diri dua tindak. Tapi Ki Gendeng Sekarat cepat
berkata,
"Jangan takut! Aku sedang
memperkenalkan kalian kepada mereka, supaya mereka tidak menyerang kalian lagi
sewaktu-waktu jumpa di jalan."
"Berr... ber... berjumpa
pun saya enggan, Ki," kata
Dewa Racun.
Ki Gendeng Sekarat tertawa, ia
tundukkan kepala dan pejamkan mata. Suto dan Dewa Racun saling pandang. Hantu
Laut disuruhnya masuk, tapi menolak dan memilih berdiri di pintu saja.
Sementara itu, mayat- mayat itu menyeringai bagai memamerkan senyum
kengeriannya masing-masing. Bahkan
ada yang melambaikan tangan bagai
menggoda anak kecil kepada Dewa Racun. Dewa Racun bersungut-sungut sambil
bergeser merapat ke tubuh Suto.
Kejap berikutnya mayat-mayat
itu masuk kembali ke dalam peti masing-masing sebagai tempat tidur mereka. Dewa
Racun hembuskan napas, selain merasa lega juga
mengusir bau tak sedap yang
ditimbulkan dari dalam tiap peti mati itu.
Ki Gendeng Sekarat masih
tundukan kepala dan
pejamkan mata. Makin lama
makin miring posisi kepalanya. Pendekar Mabuk mulai curiga dan mencolek lengan
Dewa Racun agar ikut memandang ke arah Ki Gendeng Sekarat. Lalu, Dewa Racun
menggerutu.
"Tidur lagi dddi...
dia!"
"Mungkin itu salah satu
dari penyakitnya!" kata Suto. "Bangunkan dia!"
"Ki Gendeng!"
panggil Pendekar Mabuk dengan suara agak keras.
"Hmmm...!" sahut Ki
Gendeng Sekarat dengan masih tertidur.
"Sebenarnya banyak yang
ingin kami bicarakan dengan Ki Gendeng. Tapi rasa-rasanya Ki Gendeng perlu
istirahat dulu. Biarlah kami di luar gua ini. Tapi, ke mana jalan menuju
keluar?"
"Ke kiri, terus ke kanan,
kiri lagi, kiri dan ke kanan sedikit, baru ke kiri lagi, terus luurruuus...
saja jangan belok-belok, setelah ada dua simpangan lorong, kalian ke kanan,
lalu ke kiri lagi, dan akhirnya ke kanan terus, baru setelah itu ke kiri dan
kalian akan temui mulut gua tempat kalian datang pertama kali itu!"
Ki Gendeng Sekarat menjelaskan
tentang jalan keluar itu sambil kepalanya miring, matanya tetap terpejam dan ia
pun pulas tertidur. Pendekar Mabuk dan yang lainnya merasa heran, juga geli
melihat kebiasaan tidur Ki Gendeng Sekarat. Karena sudah terbiasa, biar dalam
keadaan tidur pun orang itu
masih bisa diajak bicara dan tahu jalan rupanya.
"Ki, kami bingung
mengikuti arah petunjuk Ki
Gendeng Sekarat itu!"
"Ah, kalau begitu biar
kuantar keluar saja kalian!" Ki Gendeng Sekarat melangkah sambil tetap
pejamkan mata, sesekali terdengar ngoroknya.
"Ki Gendeng, tentang
bumbung bambu tempat tuak milik saya itu mana, Ki? Saya harus bawa tempat tuak
itu!"
"O, iya! Tadi kamu tidak
bilang sekalian!" gerutunya sambil kembali lagi masuk ke kamar tadi, lalu
keluar sudah membawa bumbung tempat tuak dalam keadaan masih terpejam. Bumbung
itu diserahkan kepada Suto sambil berkata,
"Bumbung ini tidak ada
gunanya jika kau bawa kemari, selain hanya sebagai tempat tuak."
"Mengapa begitu,
Ki?" tanya Hantu Laut beranikan diri mengakrabkan hubungan agar tak
canggung.
"Karena segala kekuatan
gaib yang masuk ke sini tidak akan bisa bekerja, kecuali tenaga inti, tenaga
dalam, tenaga batin dan tenaga kasar kita! Gua ini adalah gua penyadap gaib!
Sihir atau teluh tidak bisa masuk ke tempat ini!"
Sambil melangkah mengikuti Ki
Gendeng Sekarat yang tidur dengan enaknya itu, Suto ajukan tanya lagi,
"Lalu, bukankah batu
besar penutup gua itu adalah batu gaib? Mengapa kekuatannya sangat besar di gua
ini?"
"Siapa yang taruh batu?
Di mulut gua tidak ada batu! Aku hanya kendalikan indera keenam kalian supaya
melihat apa yang ada di depan gua adalah batu besar yang tak bisa ditembus apa
pun! Sebenarnya kalau kalian nekat keluar, bisa saja kalian keluar!"
"Tapi waktu kami pukul
dengan tenaga dalam kami, batu itu tidak mempan dan pukulan membalik ke arah
kami!"
"Karena indera keenammu
sudah yakin betul bahwa di depan ada batu besar yang sulit digeser dan
dipecahkan!" jawab Ki Gendeng sambil membelok ke kanan. "Kalau indera
keenammu mengatakan tak ada batu tak ada apa pun, ya tetap tak ada! Kalian
hantamkan pukulan tenaga dalam juga tak akan membalik arah karena tidak ada
penghalang apa-apa."
Dewa Racun pandangi Suto,
sementara Hantu Laut berbisik,
"Menarik sekali kekuatan
kendali indera itu!"
Dewa Racun cepat ajukan tanya
dari belakang, "Tapi kami tadi jug... jug... juga melihat gambar-gambar
aneh mengenai diri kami. Siapa pelukisnya, Ki?"
"Ya kalian sendiri!
Indera keenam kalian yang melukis peristiwa yang pernah kalian alami dan masih
hangat di otak kalian!"
"Mengenai cahaya terang
yang tiba-tiba gelap dan terang lagi di arena itu, bagaimana?" tanya Hantu
Laut yang sangat penasaran sekaligus kagum kepada kesaktian Ki Gendeng
Sekarat.
Sambil tidur dan melangkah Ki
Gendeng Sekarat
menjawab, "Sama saja!
Indera kalian yang kukendalikan supaya seolah-olah melihat suasana jadi terang,
jadi gelap dan jadi terang lagi."
"Termasuk cahaya kuning
dan putih yang ada di persimpangan
gua?" tambah Suto Sinting
sambil kembali menenggak tuaknya dalam jalan.
"O, kalau itu karena
jebakan! Memang aku menjebak kalian. Kalau kalian salah pilih ke sinar kuning,
maka kalian akan berhadapan dengan ribuan ekor ular berbisa yang paling ganas
di dunia ini! Aku menyimpannya di lorong sebelah kiri dari arah kalian masuk
tadi!"
Dewa Racun menyahut,
"Berarti kelumpuhan saya tadi juga karena tipuan indera keenam saja ya,
Ki?"
"O, kalau itu memang
kehebatan tenaga dalamku!" jawab Ki Gendeng Sekarat sedikit banggakan
diri.
"Dan hilangnya bumbung
tuakku juga tipuan indera?"
"O, kalau itu memang
kucolong!"
Mereka tertawa pendek.
Ternyata ketika mereka melewati dinding bergambar tadi, gambar tersebut sudah
tidak ada. Itu pertanda kendali indera telah dilepas oleh Ki Gendeng Sekarat,
sehingga apa yang mereka lihat, yang mereka pegang, dan yang mereka rasakan
adalah asli apa adanya.
Benar juga kata Ki Gendeng
Sekarat, bahwa di mulut gua tak ada batu. Bekas batu besar pun tak ada. Rumput
yang seharusnya tertindih batu besar itu tetap mekar dan tumbuh segar. Itu
berarti rumput tersebut tak pernah tertindih benda besar.
Di mulut gua, Ki Gendeng
Sekarat menghentikan
langkah dan berkata dengan
masih pejamkan mata karena tidur. Suaranya pun tetap mengambang sumbang seperti
sejak keberangkatan dari dalam kamar penghuni mayat itu,
"Badai sudah reda, kalian
bisa teruskan perjalanan kembali! Kalian bisa kembali untuk bicara padaku
setelah urusan kalian selesai. Caranya mu... mu... mu...," Ki Gendeng
Sekarat membuka matanya, ia sempat bingung sejenak melihat keadaan sekeliling.
"Lho, ada di sini aku?"
"Ki Gendeng tadi tidur
sambil berjalan," kata Pendekar Mabuk seraya tersenyum ramah, demikian
pula Dewa Racun dan Hantu Laut.
"O, begitu? Aku tidur
sambil berjalan? Hmmm...!" Ki
Gendeng Sekarat kerutkan dahi.
Tiba-tiba Ki Gendeng Sekarat
sentakkan diri ke belakang, matanya membelalak tegang memandang Pendekar Mabuk
dan Dewa Racun bergantian. Yang dipandang jadi kebingungan sendiri. Lalu, Suto
ajukan tanya,
"Ada apa, Ki? Kenapa Ki
Gendeng pandangi kami demikian?"
Sekarang Ki Gendeng Sekarat malahan membungkukkan
badan di depan Dewa Racun dan Suto Sinting yang sudah ada lima langkah di depan
mulut gua itu, sedangkan Hantu Laut ada di belakang mereka berdua.
"Ampunilah hamba...!
Hamba tidak tahu sama sekali!" ucap Ki Gendeng Sekarat membuat Suto dan
Dewa Racun
tambah
bingung. Maka, Suto
pun membisik lirih,
"Wah, benar-benar gendeng
dia ini! Kenapa dia
menghormat dan menjadi takut
kepada kita?"
"En... entahlah! Ja...
ja... jangan-jangan kita yang gendeng! Dia malah tidak mau pandang kita lagi,
Suto. Dia tetap tundukkan kepalanya!"
Maka segera Pendekar Mabuk
bertanya, "Mengapa Ki Gendeng bersikap begitu kepada kami? Biasa-biasa
saja seperti tadi, Ki!"
"Tid... tidak! Saaaya...
eh, hamba tidak berani!" "Apa sebabnya?'
"Hamba baru tahu bahwa di
dahi Tuan-tuan ada noda merah, sebagai orang kehormatan dari Istana Puri
Gerbang Surgawi. Hamba tahu, noda merah itu adalah pemberian dari Gusti Ratu
Kartika Wangi!"
"Ooo...," kedua
orang itu manggut-manggut, bahkan Hantu Laut ikut manggut-manggut walaupun dia
heran, noda merah apa yang dimaksud Ki Gendeng Sekarat itu? Sebab Hantu Laut
sendiri tidak melihat ada noda merah di dahi Dewa Racun dan Pendekar Mabuk.
Tidak semua orang bisa melihat
tanda merah sebagai anggota kehormatan Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam
gaib itu. Hanya orang sesama anggota dan orang berilmu tinggi yang bisa
melihatnya. Dan tanda kehormatan
noda merah merupakan kehormatan tertinggi yang selalu harus
dihormati oleh mereka yang tahu tentang Puri Gerbang Surgawi. Apalagi Ki
Gendeng Sekarat pernah menjadi penjaga Kolam Sabda Dewa,
pasti dia akan takut dan
hormat kepada Suto dan Dewa Racun. Jika tidak, ia bisa kena hukuman dari Gusti
Ratu Kartika Wangi, penguasa negeri gaib itu. Jika tadi Ki Gendeng Sekarat
seenaknya mempermainkan indera Pendekar Mabuk dan Dewa Racun, itu karena di dalam
gua tanda gaib itu tidak terlihat. Dan sampai sekarang Ki Gendeng Sekarat belum
mau tegakkan diri sebelum mendapat ucapan semacam berkat atau doa dari kedua
orang itu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu
Wajah").
Maka, setelah ingat hal itu,
Suto pun segera ucapkan sapaan berkat kepada Ki Gendeng Sekarat.
"Damai hidupmu,
panjanglah umurmu!"
Dewa Racun ucapkan sapaan
sendiri, "Keselamatan selalu menyertaimu. Bangkitlah!"
Beruntung sekali Dewa
Racun tidak tergagap
bicaranya, sehingga tampak wibawa dan penuh kharisma. Maka, Ki Gendeng
Sekarat pun segera mengangkat badannya, tegakkan diri sambil mengucap,
"Terima kasih." Setelah itu ia sambungkan kata,
"Hamba sama sekali tidak
menyangka bahwa...." "Cukup, Ki Gendeng!" potong Suto. "Aku
tak mau
kau berlebihan dalam
menghormat kami. Biasa-biasa saja. Percuma jika mulut dan sikap menghormat tapi
batin tidak menghormat. Cukuplah Ki Gendeng bersikap hormat di dalam hati
kepada kami, supaya hubungan kita tidak canggung!"
"Baik kalau memang itu
perintah darimu," jawab Ki
Gendeng Sekarat.
"Banyak yang ingin
kubicarakan berkenaan dengan negeri Puri Gerbang Surgawi itu! Aku juga ingin
bicarakan tentang Siluman Tujuh Nyawa itu! Tapi seperti apa kata Ki Gendeng
tadi, memang sebaiknya kami selesaikan dulu urusan kami di Pulau Serindu. Nanti
kami baru mampir kemari lagi!"
"Saya setuju dengan
rencanamu itu, Suto; Pendekar Mabuk!" kata Ki Gendeng Sekarat masih agak
kaku karena hormat.
Dewa Racun ucapkan kata,
"Jaga diri baik-baik, supaya kita bisa satukan kekkk... kekkk...
kekkk...."
"Wah, macet lagi
dia!" pikir Hantu Laut.
"Kkek... kekkkuatan... kekuatan kita untuk menyerang Kapal Siluman!"
"Baik. Aku sangat setuju
dan tunggu perintah." Jawaban itu cukup mantap dan tegas. Tapi kelebatan
tangan Suto yang ingin
melambai sebagai tanda pamitan membuat Ki Gendeng Sekarat sangat terkejut lagi.
Lalu, dia buru-buru bersujud dan mencium tanah sambil berteriak,
"Ya, ampuun...! Mohon
ampun hamba...! Mohon ampun...! Hamba sungguh-sungguh tidak tahu-menahu!"
"Ada apa lagi dia ini?" tanya Pendekar Mabuk kepada Dewa Racun. Yang
ditanya hanya bengong saja memperhatikan Ki Gendeng Sekarat bersujud di dekat
kaki Suto. Hantu Laut semakin bingung dan menggaruk-
garuk kepalanya yang gundul
itu sambil bergumam,
"Tak salah lagi namanya!
Memang dia gendeng, barangkali!"
Pendekar Mabuk cepat
mengangkat tubuh Ki Gendeng Sekarat dengan sopan, tapi Ki
Gendeng Sekarat tetap bersujud menyembah Suto Sinting.
"Ada apa lagi, Ki
Gendeng?"
"Hamba melihat tato di
telapak tangan Tuan Pendekar Mabuk! Hamba tahu itu adalah tanda yang diberikan
kepada Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri Gerbang Surgawi! Hamba akan
dipancung oleh Gusti Ratu Kartika Wangi jika tidak bersujud kepada Tuan
Panglima!"
Pendekar Mabuk sebenarnya
ingin tertawa keras, tapi takut menyinggung perasaan Ki Gendeng Sekarat, ia pun
ikut-ikutan Dewa Racun, menutup mulut agar tak lontarkan tawa dalam suara.
Kejap berikutnya, Suto segera berikan salam,
"Damai hidupmu,
panjanglah umurmu. Bangkitlah, Ki Gendeng Sekarat! Hormatlah dalam hati
saja!" Ki Gendeng Sekarat pun diam. Namun tetap bersujud.
Suto segera memanggilnya,
"Ki Gendeng...! Ki Gendeng...!" Terdengar suara ngorok kecil di balik
sujudnya. Pendekar Mabuk pun berkata, "Aduh, tidur
lagi!"
*
* *
6
BARU saja mereka akan
berangkat meninggalkan
Pulau Mayat, tiba-tiba datang
serombongan kapal
berbendera biru muda dengan
gambar seekor merpati putih dan rembulan kuning. Kapal utamanya bertiang layar
tiga, sedangkan di kanan kirinya terdapat kapal pengawal bertiang dua, di
belakangnya dua kapal lagi bertiang dua juga, dan di depannya satu kapal berbendera sama dengan tiang layar
tunggal. Enam kapal itu bergerak merapat ke pantai.
Ki Gendeng Sekarat tak jadi
mengucapkan selamat jalan kepada rombongan Suto Sinting. Mulutnya hanya
ternganga tak keluarkan bunyi. Matanya memandang lebar ke arah datangnya
rombongan kapal berbendera biru dengan gambar merpati putih dan rembulan
kuning.
Apa yang dilakukan Dewa Racun
sama dengan apa yang dialami Ki Gendeng Sekarat. Dewa Racun yang sudah berada
di atas perahu, tertegun bengong dalam senyum keceriaan yang tertahan. Matanya
menatap ke arah rombongan kapal yang makin
mendekat. Sedangkan Hantu Laut yang juga sudah siap di haluan pun
berhenti dari semua gerakannya. Tak berkedip pandangi datangnya rombongan kapal
itu.
Pendekar Mabuk berdiri di
samping Ki Gendeng Sekarat dan melemparkan pandangan matanya ke arah
kapal-kapal itu sambil bergumam dalam tanya yang lirih,
"Siapa mereka, Ki
Gendeng? "
"Orang-orang Pulau
Serindu," jawab Ki Gendeng Sekarat dengan suara mengambang karena terpaku
melihat sesuatu yang tak pernah diduga-duga itu.
Pendekar Mabuk tersentak
kaget, lalu cepat pandangi wajah Ki Gendeng Sekarat. "Maksud Ki Gendeng,
mereka orang-orang Puri
Gerbang Surgawi? "
Sebelum Ki Gendeng Sekarat
menjawab, Dewa
Racun telah serukan suaranya
dari atas perahu.
"Merr... mmeer... mereka
datang! Mereka kemari, Suto!"
Wuuttt...! Orang kerdil itu
sentakkan kakinya dan tubuhnya melenting di udara, tahu-tahu sudah berada di
depan Pendekar Mabuk.
"Nyai... Nyai Gusti
Mahkota Sejati datang, Suto!" "Dyah Sariningrum, maksudmu?!"
"Betul! Kapal bertiang
lila... layar tiga itu adalah kapal khusus untuk perjalanan beliau! Aaaku...
aku yakin beliau ada di kapal itu!"
Ki Gendeng Sekarat cepat
menyahut, "Bukankah Nyai Gusti Mahkota Sejati sedang dalam pengaruh
pukulan 'Candra Badar'?!"
"Sssse... sse... setahuku
memang begitu. Tap... tapi kapal Sasangga Seto itu tidak akan berlayar jika
bukan membawa Nyai Gusti Mahkota Sejati!" kata Dewa Racun. Wajahnya
sedikit tegang, antara gembira dan curiga. Tetapi wajah Ki Gendeng Sekarat
jelas-jelas curiga, sehingga tiada seulas senyum pun di bibir orang tua itu.
Suto sendiri mengucap kata
lirih, "Apa yang terjadi di sana, sehingga ratu tinggalkan tempat dalam
keadaan terancam pukulan 'Candra Badar'?!"
Pendekar Mabuk justru
kelihatan gelisah. Teringat pukulan 'Candra Badar' yang dihantamkan ke tubuh
Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi
yang ada di Pulau Serindu.
Pukulan itu bisa membuat orang yang menderitanya akan hangus terbakar jika
terkena sinar matahari, sinar rembulan, bintang, kunang- kunang, dan apa saja
yang bersifat sebagai cahaya alam.
Siluman Tujuh Nyawa sengaja
melancarkan pukulan itu kepada Dyah Sariningrum untuk memenjarakan ratu cantik
jelita itu agar tidak bisa ke mana-mana, dan hidupnya dalam ketergantungan
terhadap Siluman Tujuh Nyawa. Hal itu dilakukan karena Siluman Tujuh Nyawa
berkeinginan besar untuk
memperistri Dyah
Sariningrum. Tetapi lamarannya selalu ditolak.
Pukulan 'Candra Badar' itu
tidak bisa lepas dari tubuh Dyah Sariningrum jika bukan Durmala Sanca atau
Siluman Tujuh Nyawa yang melepaskannya. Sedangkan Dyah Sariningrum sudah
telanjur jatuh cinta dengan Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak yang bernama
Suto Sinting. Mereka memang belum pernah bertemu secara nyata, tapi mereka
pernah bertemu di alam semadi Suto, hingga Pendekar Mabuk mencucurkan air mata
berdarah di luar kesadarannya. Itu pertanda Pendekar Mabuk adalah calon
jodohnya Dyah Sariningrum (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pusaka Tuak Setan"). Untuk selanjutnya, mereka sering jumpa lewat
mimpi. Sampai suatu ketika, Dyah Sariningrum mengutus Dewa Racun untuk mencari
pemuda tanpa pusar yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk.
Dyah Sariningrum sendiri
sebenarnya anak dari ratu penguasa alam gaib yang beraliran putih, yaitu Gusti
Ratu Kartika Wangi. Dyah Sariningrum mempunyai
seorang kakak, guru di
Perguruan Merpati Wingit, yaitu Nyai Betari Ayu. Perempuan ini pun sebenarnya
jatuh cinta kepada
Suto, tetapi demi mendengar Suto memburu cintanya kepada Dyah
Sariningrum, akhirnya Betari Ayu mengundurkan diri, tapi masih tanamkan kasih
sayang kepada Pendekar Mabuk. Kini Betari Ayu mengasingkan diri untuk menjadi
seorang pertapa di Gunung Kundalini. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pertarungan di Bukit Jagal" dan "Utusan Siluman Tujuh
Nyawa").
Perjalanan Pendekar Mabuk
menuju Pulau Serindu itulah yang menciptakan berbagai petualangan, di mana
Dewa Racun selalu
berada di samping Suto, mendampingi calon suami ratunya
itu. Kesetiaan Dewa Racun sebagai utusan yang jujur dan penuh pengabdian itulah
yang membuat Ratu Kartika Wangi memberikan gelar kehormatan kepadanya sebagai
Duta Terpuji, dan ia berhak mendapat tanda merah di dahinya sebagai orang yang
harus dihormati oleh rakyat Puri Gerbang Surgawi di alam gaib. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").
Sebenarnya setelah singgah di
Pulau Mayat lantaran badai lautan mengamuk, Suto dan rombongannya akan bertolak
ke Pulau Serindu untuk membebaskan Dyah Sariningrum dari pengaruh pukulan
'Candra Badar', sekaligus menyerahkan Kitab Wedar Kesuma yang menjadi salah
satu permintaan Dyah Sariningrum untuk mas kawinnya nanti. Tetapi mengapa
sekarang Gusti Ratu Mahkota Sejati itu keluar meninggalkan negerinya
dalam keadaan masih terkena
pengaruh pukulan 'Candra Badar'? Mungkinkah Durmala Sanca atau Siluman Tujuh
Nyawa telah membebaskan pengaruh pukulan 'Candra Badar' itu? Atas dasar apa ia
melepaskan pengaruh pukulan yang menjerat hidup seseorang yang diincarnya
selama ini? Mungkinkah Dyah Sariningrum telah memberikan kesuciannya kepada
Durmala Sanca sebagai tebusan untuk lepasnya pukulan 'Candra Badar'?
Hati kecil Suto Sinting
mengatakan, bahwa itu tak mungkin. Dyah Sariningrum selalu menjaga kesucian
mahkotanya. Usianya yang sudah jauh lebih banyak dari Suto dan tetap kelihatan
muda serta cantik itu, ternyata masih belum kehilangan kesuciannya, sehingga ia
mendapat julukan sebagai Gusti Ratu Mahkota Sejati. Dia masih gadis,
dan kegadisannya itu akan dipersembahkan kepada orang
yang paling dicintainya, yaitu Pendekar Mabuk.
Dewa Racun berseru kegirangan
ketika bertemu dengan kapal terdepan yang dipimpin oleh seorang perempuan cantik berpakaian biru
sisik emas. Perempuan itu adalah si Cakar Jatayu. Jika Dewa Racun adalah
orang ketujuh kepercayaan Dyah Sariningrum, maka si cantik bermata sayu Cakar
Jatayu itu adalah orang kedua kepercayaan Dyah Sariningrum. Ada pun orang
kepercayaan Gusti Mahkota Sejati yang pertama adalah Cendana Wilis, yang
memegang pusaka Pedang Kayu Cendana sebagai pengawal pribadi Ratu Mahkota
Sejati.
Kapal-kapal itu kini merapat,
tapi tak bisa sampai di
tepian pantai. Beberapa
orangnya turun, mengawal sebuah peti dari lapisan logam emas berukir yang
digotong memakai tandu beratap lengkung. Sebuah payung kerajaan mendampingi
peti berlapis emas, menaungi peti tersebut. Peti panjang itu digotong oleh enam
prajurit berseragam putih-putih dengan hiasan benang emas pada bagian tepinya.
Ki Gendeng Sekarat menerima
rombongan itu dengan keramahan dan rasa penuh hormatnya, ia orang yang paling
sibuk mengatur barang-barang dan tempat untuk mereka. Tapi lebih dulu Cakar
Jatayu berbicara dengan Ki Gendeng Sekarat, yang di belakangnya berdiri Suto
dan Hantu Laut. Sedangkan Dewa Racun mendampingi Cakar Jatayu sebagai
penghubung antara orang-orangnya ratu dengan pihak Ki Gendeng Sekarat dan
Pendekar Mabuk. Dewa Racun pula yang memperkenalkan Pendekar Mabuk
kepada si Cakar
Jatayu, dan membeberkan siapa
Hantu Laut yang sekarang ini, sehingga orang-orangnya ratu tidak memusuhi Hantu
Laut.
"Apa yang terjadi
sebenarnya, Cakar Jatayu?" tanya Ki Gendeng Sekarat setelah Cakar Jatayu
memberi hormat kepada Suto Sinting, karena ia melihat tanda merah di dahi Suto
dan Dewa Racun.
"Durmala Sanca mengerahkan orang-orangnya, menyerbu Pulau Serindu dan membantai dengan kejamnya!" jawab
Cakar Jatayu. "Peristiwa pembantaian itu persis seperti yang ia lakukan
terhadap penduduk Pulau Mayat ini dulu. Kami terdesak, dan kami cepat
melarikan ratu dengan
menempatkan sang ratu di dalam peti kedap cahaya."
Pendekar Mabuk segera
ajukan tanya, "Lalu,
bagaimana keadaan di Pulau
Serindu saat ini?"
"Dibumi-hanguskan oleh
Siluman Tujuh Nyawa!" jawab Cakar Jatayu dengan rona duka tertahan.
"Keterlaluan!" Suto
Sinting menggeram dengan
jantung berdetak keras, ia
cepat kuasai diri untuk tidak melepaskan amarah sembarangan, karena ia ingat
bahwa napasnya akan menjadi badai jika ia marah, sebab ia menelan Pusaka Tuak
Setan.
Ki Gendeng Sekarat berkata,
"Jika begitu, sebaiknya cepat bawa Ratu Gusti Mahkota Sejati ke dalam
guaku. Sembunyikan beliau di dalam gua itu! Sementara yang lainnya bisa
menempati gua sebelah utara untuk sementara waktu. Gua itu berhubungan dengan gua
mayatku!"
"Jadi, kau izinkan kami
mengungsi kemari?"
"Ya! Ini sudah menjadi
kewajibanku, Cakar Jatayu!" Hantu Laut ikut membantu menurunkan barang-
barang Ratu Gusti Mahkota
Sejati dari kapal. Mulanya ia
sempat diserang oleh empat
prajurit ratu karena dianggap
orangnya Siluman Tujuh Nyawa. Tapi pertikaian itu segera dipadamkan
oleh Cakar Jatayu dan Dewa Racun.
Ki Gendeng Sekarat
mengeluarkan semua mayat- mayatnya untuk menjaga pantai. Sementara itu, peti
berlapis emas yang kedap sinar diletakkan di sebuah ruangan tak jauh dari ruang
arena yang dipakai
pertarungan Suto dengan
Gendeng Sekarat itu.
Di dalam kamar yang
berpenerangan delapan obor itu, Cendana Wilis mengizinkan para bawahannya
membuka peti tempat persembunyian ratu. Waktu itu, Pendekar Mabuk sedang
berbicara dengan Cakar Jatayu di tepian arena berbentuk bundar itu. Arena
tersebut dipersiapkan oleh Ki Gendeng Sekarat untuk mengumpulkan para
mayat yang akan diajak menyerbu Siluman Tujuh Nyawa. Tapi karena jumlah tentara
mayatnya belum memenuhi syarat, maka tempat itu belum digunakan sebagaimana
mestinya, kecuali untuk melatih
diri Ki Gendeng Sekarat sendiri dalam merangkaikan ilmu-ilmunya.
"Apakah Durmala Sanca
ikut terjun langsung dalam pembantaian itu?" tanya Pendekar Mabuk kepada
Cakar Jatayu.
"Tidak. Dia hanya ada di
atas kapal dan memberi perintah kepada para anak buahnya."
"Apa yang menjadi
penyebab utama sehingga ia membumihanguskan Pulau Serindu?"
Dengan mata sayu, Cakar Jatayu
menjawab,
"Cendana Wilis memotong
telinga utusan dari Kapal Siluman yang menyampaikan Kitab Wedar Kesuma palsu
kepada Gusti Ratu."
"Ooo...!" Suto
manggut-manggut, tangannya masih bersidekap di depan dadanya yang kekar dan
bidang itu.
"Kudengar juga kabar dari
mulut ke mulut," lanjut Cakar Jatayu, "Siluman Tujuh Nyawa sangat
murka dan sakit hati karena pengawal pribadinya yang diutus ke
Pulau Beliung lenyap di
tanganmu!" "Hei, dari mana dia tahu hal itu?"
"Dia mengikuti perjalanan kedua pengawal
kembarnya itu melalui pusaka
yang dimilikinya, yaitu sebuah perisai bercermin yang dinamakan Perisai Mata
Iblis. Kini dia sudah melihat sendiri seperti apa wujud dan rupa orang yang
bernama Pendekar Mabuk."
"O, begitu rupanya? Jadi
dia sekarang juga tahu kalau aku ada di sini?"
"Tidak," jawab Cakar
Jatayu. "Menurut cerita ratu, Cermin Perisai Mata Iblis hanya bisa dipakai
oleh orang yang membawa Cermin Benggala Kembar. Karena dua utusannya itu
membawa pusaka Cermin Benggala Kembar, maka dia dapat memantau perjalanannya,
sampai matinya di tanganmu!" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Cermin Pemburu Nyawa").
Ki Gendeng Sekarat muncul dari
salah satu lorong, segera menemui Suto Sinting dan Cakar Jatayu. Dengan sangat
sopan dan hormat, Ki Gendeng Sekarat menyela percakapan tersebut.
"Ratu ingin bertemu
denganmu, Suto. Beliau ingin bicara di sini saja! Apakah kau keberatan?"
"Tidak! Tapi tolong tutup
atap ruangan ini supaya tidak ada sinar alam yang masuk!"
"Baik. Akan kulakukan
untuk merapatkan semua
lubang cahaya!" kata Ki
Gendeng Sekarat, tapi sebelum ia melangkah, kepalanya terkulai, bibirnya
sedikit memble, suara dengkurnya yang kecil samar-samar terdengar.
"Hmmm... tidur lagi
dia," gerutu Suto dalam gumam. Cakar Jatayu sunggingkan senyum geli
melihat Ki Gendeng Sekarat berjalan sambil tertidur. Buat Cakar Jatayu,
pemandangan seperti itu sudah bukan hal yang aneh lagi. Semua orangnya ratu
tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat adalah tokoh berilmu tinggi yang tak pernah bisa
menahan kantuk yang menyerangnya secara tiba-tiba.
Cakar Jatayu memeriksa ruangan
itu. Dua puluh obor menerangi tempat tersebut, karena atap berlubang dengan
bentuk cerobong gunung berapi itu telah ditutup oleh Ki Gendeng Sekarat dengan
segumpal awan hitam yang tak bisa ditembus cahaya matahari. Ruangan itu sangat
rapat dari cahaya alam.
Cakar Jatayu juga memeriksa
tempat duduk ratu yang ada di tengah lantai bundar dari marmer putih itu.
Singgasana itu sempat dibawa dari Pulau Serindu dan dipindahkan ke dalam gua
tersebut. Dua orang gadis cantik bagian pengipas sudah siap di kanan kiri
tempat duduk ratu. Beberapa orang yang termasuk pejabat istana sudah
mengelilingi ruangan itu.
Suto tetap menyandang bumbung
tuak di pundaknya, ia berdiri di tepian lantai bundar itu, tiga langkah di
samping Cakar Jatayu. Kejap berikutnya, Gusti Ratu Mahkota Sejati; Dyah
Sariningrum keluar dari sebuah lorong tempat kamarnya. Kemunculannya didampingi
oleh seorang wanita cantik berpakaian kuning emas mengkilap dan ketat, dengan
rompi putih beludru berhias emas pula di tepiannya. Rambutnya panjang berponi,
matanya bulat bening menambah kecantikannya. Orang
itulah yang menjadi pengawal
pribadi ratu, yang dikenal dengan
nama Cendana Wilis. Di punggungnya tersandang pusaka
Pedang Cendana yang baunya menyebar harum di setiap sudut ruangan tersebut.
Pendekar Mabuk sedikit gemetar
kakinya ketika melihat
Dyah Sariningrum melangkah menuju singgasana. Mata perempuan
cantik jelita berkharisma tinggi itu tiada berkedip menatap ke arah Suto. Bibir
mungilnya yang indah bak
kuncup melati itu
sunggingkan senyum tipis berkesan malu-malu. Pendekar Mabuk jantungnya
berdegup cepat, dadanya bergemuruh dicekam kegembiraan dan kebahagiaan yang
selama ini hanya menjadi buah impian belaka.
Gusti Ratu Mahkota Sejati
tampak anggun dan amat mengagumkan mata lelaki yang memandangnya. Dia
mengenakan pakaian mirip Betari Ayu, kakaknya. Jubah kuning dengan pakaian
dalam warna biru muda dari bahan mengkilap dan lembut, ia mengenakan mahkota
pada rambutnya yang disanggul indah itu. Sebuah kalung yang bernama Sangsangan
Susun dikenakannya, yaitu kalung emas bertaburan intan berlian bersusun tiga.
Kalung Sangsangan Susun merupakan tanda bahwa pemakainya masih gadis. Di
samping itu ia juga tampak mengenakan cincin ungu bening yang dinamakan Delima
Wulung. Konon cincin itu jika dimasukkan ke dalam kolam, maka air kolam bisa
berubah menjadi bayangan suatu kehidupan dari orang yang dikehendaki. Melalui
cincin Delima Wulung itulah Dyah Sariningrum sering memperhatikan kehidupan
Suto Sinting jika
hatinya sedang dicekam rindu.
Semua pejabat istana yang ada
di situ segera tundukkan kepala menghormat Gusti Ratu Mahkota Sejati, termasuk
Cakar Jatayu dan Pendekar Mabuk sendiri. Lalu, Gusti Ratu segera ucapkan kata,
"Damaiku adalah damai
kita bersama!"
Setelah ratu ucapkan salam
begitu, hormat mereka pun selesai. Mereka kembali tegak, termasuk Cakar Jatayu
dan Pendekar Mabuk. Mata Dyah Sariningrum cepat alihkan pandang ke arah Suto,
dan ia berkata dengan suara lembutnya,
"Lain kali kau tak perlu
tundukkan kepala seperti mereka, Suto!"
"Mengapa?" tanya
Pendekar Mabuk polos saja. "Karena kau termasuk orang yang seharusnya juga
memberi berkat dalam salammu
untuk mereka. Bahkan
kedudukanmu sebetulnya
lebih tinggi
dari kedudukanku."
Pendekar Mabuk bingung dengan
berkerut dahi, lalu ajukan tanya, "Mengapa saya lebih tinggi dari Gusti
Ratu?"
"Dekatlah kemari, akan
kujelaskan...!" walau gemetar kakinya, Suto pun segera mendekati sang
ratu.
"Bukalah telapak tanganmu yang kanan
dan perlihatkan kepada mereka," kata sang ratu. Suto pun
melakukannya, membuka telapak
tangannya dan dihadapkan kepada
mereka.
Ternyata mereka semua
terperanjat kaget, kemudian buru-buru mereka tundukkan kepala memberi hormat
secara serempak. Pendekar Mabuk tak
segera memberikan salam kepada mereka, ia malah bertanya,
"Mengapa Cakar Jatayu dan
Cendana Wilis ikut
hormat kepadaku?"
"Kau seorang panglima,
dan kau adalah Manggala Yudha Kinasih yang diangkat resmi oleh ibuku, Nyai Ratu
Kartika Wangi! Mereka kenal betul dengan tato di tanganmu itu; Suto!"
Dyah Sariningrum segera
berdiri dan membungkukkan badan
menghadap Pendekar Mabuk sambil berkata,
"Kau lebih tinggi derajat
kedudukannya dibandingkan dengan aku dan Kakak Betari Ayu. Karena kami, sebagai
anak Ibu Kartika Wangi, tak bisa menjadi Manggala Yudha Kinasih dari negeri
Puri Gerbang Surgawi di alam hening."
"Ooo... begitu,"
Suto manggut-manggut seperti orang pongah, ia tidak segera ucapkan salam
berkat, sehingga mereka masih tetap menunduk tak berani tegakkan diri. Bahkan
di tepian lorong menuju kamar ratu, tampak pula Dewa Racun yang ikut membungkuk
memberi hormat kepada sang Manggala Yudha Kinasih.
Karena lamanya Suto tertegun memandangi sekelilingnya, maka
ratu pun berbisik, "Lekas ucapkan salam berkatmu, Suto...!"
Dasar sinting, Suto meneguk
tuaknya sebentar, setelah itu baru berkata, "Damai hidupmu, panjanglah
umurmu...!"
Barulah mereka tegakkan badan sambil
menghembuskan napas lega.
*
* *
7
RUPANYA Ratu Kartika Wangi
punya pertimbangan lain. Ia tahu, Pendekar Mabuk akan menjadi suami dari
anaknya yaitu Dyah
Sariningrum. Padahal Dyah
Sariningrum adalah seorang ratu yang dihormati oleh semua rakyatnya, sedangkan
Suto tidak mempunyai jabatan apa-apa. Jika Suto telah menikah dengan Dyah
Sariningrum maka ia berada di bawah kekuasaan istrinya.
Ratu Kartika Wangi tak ingin
kedudukan Suto lebih rendah dari istrinya. Tak baik untuk hubungan suami- istri
jika sang istri mempunyai kedudukan lebih tinggi dari suami, sehingga sang
istri akan kurang hormat kepada sang suami. Sebab itu, Ratu Kartika Wangi
tingkatkan kedudukan derajat Pendekar Mabuk dengan mengangkatnya sebagai
Manggala Yudha Kinasih, panglima pilihan sang ibu yang menguasai negeri gaib,
yang kedudukannya lebih tinggi dari seorang ratu di alam nyata. Dengan begitu,
kelak Dyah Sariningrum punya rasa hormat kepada suaminya dan tidak meremehkan sang suami karena
merasa sebagai ratu.
Pendekar Mabuk baru tahu, apa
alasan utama Ratu Kartika Wangi mengangkatnya sebagai Manggala Yudha Kinasih.
Dyah Sariningrum sendiri yang membeberkan
alasan sang ibu tersebut pada
waktu Suto selesai menghilangkan pengaruh kekuatan pukulan 'Candra Badar'.
Pukulan penjerat hidup Dyah Sariningrum. Suto Sinting menoreh kedua jempol tangannya hingga mengeluarkan darah, dan
kedua jempol tangan Dyah Sariningrum pun ditorehnya pula hingga keluarkan
sedikit darah.
Mereka duduk bersila
berhadapan. Kedua tangan mereka saling merapat berhadapan. Bekas luka di jempol
masing-masing saling merapat, sehingga terjadilah pertukaran darah sebagian
kecil dalam diri mereka. Darah Suto masuk ke tubuh Dyah Sariningrum, dan darah
Dyah Sariningrum sendiri masuk sebagian ke dalam tubuh Suto. Pada saat
penukaran itu, Suto mengalirkan hawa murni dari dalam tubuhnya dan semburkan
darah Tuak Setan yang digunakan untuk melenyapkan kekuatan pukulan 'Candra
Badar'. Dengan sentakan darah Tuak Setan-nya, maka kekuatan pukulan
'Candra Badar' di dalam darah
Dyah Sariningrum menjadi lenyap dan tawar.
"Sekarang kau bebas pergi
ke mana saja," kata
Pendekar Mabuk dengan menyeka
keringatnya yang mengucur di sekujur tubuhnya akibat cara pengobatan tersebut.
"Aku tak tahu bagaimana
harus berterima kasih padamu," kata Dyah Sariningrum. Ia sendiri yang
mengambil kain halus sebagai penyeka tubuh, dan ia sendiri yang membantu
mengeringkan keringat Pendekar Mabuk dengan sentuhan lembut dan penuh
kemesraan.
"Berterima kasih itu
mudah," kata Suto, "Tapi membina kasih itu yang sulit!"
Dyah Sariningrum sunggingkan
senyumnya di depan
Suto. Hati Suto berbunga
melihat senyum berlesung pipit yang luar biasa cantiknya itu. Namun Pendekar
Mabuk masih bisa kendalikan diri untuk memendam kegembiraan yang semestinya melonjak
seperti anak kecil menerima hadiah dari orangtuanya.
"Aku sudah membawa Kitab
Wedar Kesuma sebagai mas kawin untukmu!" ujar Pendekar Mabuk setelah
beberapa saat lamanya mereka saling beradu pandang.
"Kitab Wedar Kesuma?!
Dari mana kau tahu aku menghendaki mas kawin kitab milik ayundaku Betari Ayu
itu?"
"Dewa Racun menceritakan
padaku tentang mas kawin yang kau ajukan kepada Siluman Tujuh Nyawa, yaitu
sebuah kitab pusaka Wedar Kesuma dan satu hal lagi... mungkin kepalanya Suto
Sinting!"
Dyah Sariningrum tertawa pelan. "Aku
hanya mempersulit dia!"
"Tapi kau memang
membutuhkan kitab ini, karena
aku tahu apa maksudmu meminta
Kitab Wedar Kesuma sebagai salah satu dari mas kawinmu! Dewa Racun menceritakan
segalanya kepadaku!"
Dyah Sariningrum tersenyum bangga ketika menerima Kitab Wedar
Kesuma dari tangan Suto Sinting. Di dalam kitab itu selalu tercatat dengan
sendirinya semua jurus temuan dan ciptaan dari Betari Ayu dan Dyah Sariningrum.
Tetapi Dyah Sariningrum
tidak tahu bahwa di dalam
kitab itu pun tercatat dengan sendirinya semua jurus yang digunakan Pendekar
Mabuk menyerang lawannya
selama Pendekar Mabuk membawa kitab itu yang
terselip di punggungnya.
Dyah Sariningrum yang bangga
itu pun berkata, "Aku sangat bangga bisa bertemu dengan calon suamiku dan
menerima kitab ini...."
"Baru kitab ini yang bisa
kuberikan sebagai tanda cintaku padamu, Dyah Sariningrum. Untuk permintaan yang
satunya lagi, yaitu kepala Suto Sinting, aku belum sanggup!" canda Suto.
Dyah Sariningrum hanya tertawa kecil sambil berkata, "Bagaimana jika
diganti kepala siluman saja?"
"Kurasa itu bukan mas
kawin, tapi memang kewajibanku memenggal
kepalanya!"
"Baiklah jika begitu!
Kita akan menikah setelah kau
berhasil memenggal kepala
Siluman Tujuh Nyawa!" "Akan kulakukan secepatnya, supaya lengkap
sudah
mas kawinku!"
"Kuharap kau sendiri yang
melakukannya! Bukan orang lain!"
"Aku mengerti harapanmu,
dan aku ingin buktikan bahwa aku tak akan kecewakan harapanmu! Karena aku
merasa, dengan menyerahkan kepala Siluman Tujuh Nyawa, berarti aku telah
menyerahkan kedamaian untuk masa hidupmu, rakyatmu dan sesamamu!"
"Tak ada yang lebih
pantas diterima Siluman Tujuh
Nyawa kecuali penggalan
kepala!"
"Aku akan menantangnya
bertarung!"
"Hati-hati... aku tak harapkan kepalamu yang terpenggal!"
Cendana Wilis beranikan diri
menemui ratu dan Suto.
Wajahnya tampak tegang walau
tetap berkesan tenang. Ratu Gusti Mahkota Sejati segera kerutkan dahi melihat
sesuatu tak beres tercermin di wajah
pengawal pribadinya,
"Ada apa, Cendana
Wilis?"
"Kapal kita hilang semua,
Gusti Ratu!" jawab
Cendana Wilis.
Ratu terperanjat dan menatap
Pendekar Mabuk. Tetapi, Suto justru sunggingkan senyum dan berkata,
"Tak perlu kau cemaskan,
Cendana Wilis! Aku yang menghilangkan semua kapal dengan jurus 'Sembur
Siluman'-ku!"
"Kenapa hal itu kau
lakukan, Suto?"
"Supaya orang-orang
Siluman Tujuh Nyawa tidak ada yang melihat kapal kita berlabuh di pulau ini,
sehingga mereka akan kehilangan jejak!"
Dyah Sariningrum segera
hembuskan napas lega. Tapi Cendana Wilis masih tampak gelisah dan cepat ucapkan
kata,
"Tapi di luar ada yang
menyerang mayat-mayat prajuritnya Ki Gendeng Sekarat, Gusti Manggala!"
Suto yang dipanggil Gusti
Manggala Kinasih jadi
kerutkan dahi, dan cepat
bertanya, "Siapa orang yang mengamuk itu?" "Saya belum jelas,
Gusti Manggala!"
"Cakar Jatayu apakah
tidak bisa meredakan amukan
orang itu?"
"Cakar Jatayu terkena
pukulan berbahaya dan ia menjadi lumpuh tanpa daya, Gusti Manggala!"
Suto cepat
palingkan pandang ke arah Dyah Sariningrum. Ratu nampak makin
gelisah, lalu cepat berkata,
"Aku akan temui orang
itu!"
"Jangan!" cegah
Suto. "Diamlah di tempat bersama
Cendana Wilis! Biar aku yang
tangani orang itu!"
Orang yang sudah berhasil
menghancurkan dua mayat tentaranya Ki Gendeng Sekarat itu berambut putih
dikonde di tengah kepala. Jenggotnya panjang dengan kumis tebal warna putih
pula. Usianya setara dengan usia Ki Gendeng Sekarat. Orang itu mengenakan
pakaian model biksu berwarna putih, bertubuh kurus tapi masih kelihatan lincah
dan gesit, membawa tongkat kayu bercabang yang diambil dari sembarang kayu di
tengah perjalanannya. Orang itu tak lain adalah Jangkar Langit, pemilik Pusaka
Tombak Maut, yang hilang dicuri dan dibawa lari oleh Tapak Baja bersama Hantu
Laut. Bahkan Jangkar Langit sendiri pernah berhadapan dengan Hantu Laut setelah
tombak itu akhirnya direbut oleh Hantu Laut dari tangan Tapak Baja dengan
membunuh Nakhoda Kapal Neraka itu. Pada waktu itu, Hantu Laut unggul karena ia
memegang Pusaka Tombak Maut. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pusaka Tombak Maut").
Jangkar Langit menghancurkan
dua mayat setelah ia merubuhkan Hantu Laut yang dibela oleh Cakar Jatayu.
Perempuan bermata sayu indah
itu pun akhirnya terkena pukulan berat dari Ki Jangkar Langit. Lehernya membiru
legam dan susah dipakai untuk bicara atau bernapas. Sedangkan Hantu Laut
sendiri dibuat lumpuh tak berdaya dengan menderita kebutaan di matanya.
Amukan Jangkar Langit itu
segera diredakan oleh Ki Gendeng Sekarat sebelum kedatangan Pendekar Mabuk di
tempat pertarungan mereka, pinggiran pantai. Ki Gendeng Sekarat mencoba
menenangkan hati teman lamanya itu,
"Jangkar Langit, tidak
semua persoalan bisa diselesaikan dengan kekerasan!
Ada baiknya jika kau redakan kemarahanmu dan kita bicarakan secara baik-
baik!"
"Aku tak punya kesempatan
untuk bicara!" kata Ki Jangkar Langit yang masih ingin menggempur Hantu
Laut untuk mendapatkan tombak pusakanya itu. Sebab setahu dia, Hantu Laut-lah
yang membawa pusaka itu. Ia belum tahu bahwa pusaka itu sudah dilenyapkan oleh
Pendekar Mabuk dengan jurus 'Sembur Siluman'-nya.
"Aku tahu, kau orang yang
sabar, Jangkar Langit! Aku percaya, kau orang yang bisa diajak bicara!"
"Untuk merebut tombak
pusakaku, aku bukan orang yang bisa diajak bicara! Kembalikan tombakku, atau
mati orang itu!" tegas Ki Jangkar Langit.
Ki Gendeng Sekarat mencoba
untuk tersenyum dan tampakkan sikap bijaknya. Ki Gendeng Sekarat merasa perlu
melindungi Hantu Laut, karena menurut anggapan, Hantu Laut adalah anak buah
Suto Sinting. Rasa
hormatnya kepada Pendekar Mabuk itulah
yang membuat Ki Gendeng Sekarat menahan kemarahan Jangkar Langit kepada
Hantu Laut.
"Sekali lagi aku berharap
padamu, Jangkar Langit... redakan amarahmu dan mari kita bicarakan secara baik-
baik!"
"Tak bisa! Sebaiknya
menyingkirlah dari hadapanku, Gendeng Sekarat! Jangan kau halangi aku
menggempur si botak keparat itu!"
"Ini pulau kekuasaanku,
Jangkar Langit. Kau tak berhak usir aku dengan cara apa pun! Tapi aku berhak
mengusirmu untuk cepat tinggalkan pulauku!"
"O, jadi sekarang kau
memihak anak buah Durmala
Sanca itu?"
"Aku bukan memihak! Aku
hanya berdiri sebagai penengah saja!"
"Kalau kau sebagai
penengah, berarti kau telah menghalangi
langkahku untuk merebut
tombak pusakaku dari tangan setan gundul itu!"
"Kalau aku menjadi
penghalangmu, lantas kau mau apa?!" kata Ki Gendeng Sekarat mulai
kehilangan kesabarannya.
"Aku tak akan gentar
mendengar tantangan halusmu ini, Gendeng Sekarat! Demi memperoleh pusakaku
kembali, aku tak keberatan jika persahabatan kita menjadi putus sampai di
sini!"
"Kalau itu maumu, aku pun
tak akan keberatan kehilangan nyawa seorang sahabat!"
"Jika begitu, lepaskanlah
ilmu totokmu yang kau
salurkan melalui suaramu ini!
Biarkan aku bergerak melawanmu, Gendeng Sekarat!"
Beberapa prajurit ratu yang memperhatikan
pertarungan itu menjadi
terperangah. Mereka baru tahu, bahwa Ki Jangkar Langit sejak tadi berdiri
dengan kaki rapat dan tangan berada di belakang dan yang kiri berada di samping
memegangi tongkatnya, bukan karena sekadar diam biasa, melainkan karena telah
ditotok jalan darahnya melalui suara Ki Gendeng Sekarat. Tenaga dalam itu
disalurkan lewat ucapan dan suara Ki Gendeng Sekarat yang mampu membuat
lawannya diam tak bergerak bagaikan patung.
Sebuah ilmu yang jarang
dilihat oleh para prajurit ratu selama ini. Dalam hati mereka timbul rasa kagum
dan pujian yang tinggi untuk Ki Gendeng Sekarat. Dan anehnya lagi, sekarang Ki
Gendeng Sekarat justru tundukkan kepala dengan terkulai dan bibirnya sedikit
ternganga kendor. Itu pertanda dia tertidur nyenyak hingga mengeluarkan dengkur
pelan yang samar-samar.
"Hmm...! Rupanya dari
dulu kau belum bisa atasi penyakit tidurmu itu, Gendeng Sekarat!" kata
Jangkar Langit.
"Memang belum!"
jawab Ki Gendeng Sekarat sambil tetap tertidur. "Tapi buatku itu tak
masalah. Karena menahan kantuk itu lebih sulit daripada menahan amarah diri
sendiri!"
"Percuma kau bilang
begitu kalau tak bisa menahan nafsu kantukmu sendiri!"
"Percuma juga kau bilang
begitu kalau kau tak bisa
lepaskan daya totokku?!"
ejek Ki Gendeng Sekarat dengan suara sumbang, seperti malas-malasan bicaranya.
Jangkar Langit merasa
diremehkan, ia menggeram
gemas. Kemudian ia pejamkan
mata pula dengan kepala tetap tegak tak tertunduk. Kedua orang tua itu seperti
saling tidur dalam
keadaan berdiri.
Tapi kejap berikutnya, Ki
Gendeng Sekarat tiba-tiba memekik sambil melonjak,
"Aaauh...!"
Pekikan itu keras, dan
akibatnya totokan jalan darah Jangkar Langit pun lepas. Kini Jangkar Langit
bebas bergerak kembali, karena ia telah memancing suara Ki Gendeng Sekarat agar
disentakkan bersama tenaga dalam penotok darahnya, dengan cara menghantam ulu
hati Ki Gendeng Sekarat melalui sentakan batin.
Jangkar Langit tidak cepat
menyerang Ki Gendeng Sekarat yang membuka mata sebentar dan terkantuk lagi itu.
Tetapi, Hantu Laut yang sedang menahan rasa sakit di bawah sebuah pohon itulah
yang segera diserbu oleh Jangkar Langit, ia melesat bagaikan menghilang dari
tempatnya. Tetapi ia sama sekali tak menduga bahwa begitu ia tiba di depan
Hantu Laut yang buta matanya itu, ternyata Ki Gendeng Sekarat sudah mendahului
menghadang di depannya. Wusttt...! Wuttt...!
"Mau ke mana kau, Jangkar
Langit?!" kata Ki Gendeng Sekarat
dengan tetap tertidur dan mengeluarkan dengkur kecil.
"Setan alas! Kau
benar-benar mau halangi aku, hah! Hihh...!"
Ki Jangkar Langit menebaskan
tongkatnya ke kepala Ki Gendeng Sekarat yang terkulai tidur. Tapi dengan cepat
tongkat itu bisa ditangkis dan ditangkap oleh tangan Ki Gendeng Sekarat.
Tapp....! Lalu, dengan satu sentakan bertenaga dalam cukup tinggi, tongkat itu
didorongkan ke depan. Wuttt...! Tubuh Jangkar Langit ikut terdorong mundur
bagaikan terbang, karena telapak kakinya tidak dipijakkan ke tanah.
Beggh...! Punggung Jangkar
Langit menghantam salah satu batang pohon berdaun rindang. Pohon itu langsung
daunnya menjadi layu karena benturan dengan punggung Jangkar Langit itu dialiri
tenaga dalam yang cukup tinggi.
Sambil masih
tertidur, Ki Gendeng Sekarat melangkahkan kakinya maju
beberapa tindak untuk mendekati Ki Jangkar Langit. Sementara itu, mereka yang
menyaksikan pertarungan itu semakin dibuat terpukau, karena para prajurit
bawahan itu baru sekarang melihat orang bertarung dalam keadaan tetap tidur.
Jangkar Langit tetap berdiri
di bawah pohon yang habis ditabraknya itu. Lalu ia ucapkan kata,
"Perlukah kita beradu nyawa
untuk merebutkan orang keling itu?!"
"Aku hanya
melayanimu," jawab Ki Gendeng Sekarat dengan suara sumbang. "Kalau
kau mau adu nyawa, aku siap. Kalau kau mau adu debat, aku juga siap!"
"Baik! Mungkin memang
sudah takdir, bahwa kita harus adu nyawa untuk mempercepat siapa yang harus
lebih dulu mati di antara kita berdua, Gendeng Sekarat!"
"Aku sudah siap!"
jawab Ki Gendeng Sekarat walau sebenarnya ia masih tertidur. "Tapi sekali
lagi kuingatkan padamu, Jangkar Langit, bahwa tombak itu memang tidak
ada pada Hantu Laut. Tombak itu menurut ceritanya, sudah dilenyapkan oleh
Pendekar Mabuk, murid teman kita sendiri; si Gila Tuak!"
"Persetan dengan
bicaramu! Sudah telanjur di ubun- ubun amarahku padamu, Gendeng Sekarat!
Hiiih...!"
Zlllap...! Sebuah sinar putih
melesat dari salah satu cabang pada tongkat Ki Jangkar Langit. Sinar putih itu
cepat menguasai tubuh Ki Gendeng Sekarat. Tubuh Ki Gendeng Sekarat menjadi
berpendar-pendar cahaya putih yang sebentar lagi akan lenyap, tinggal suara
lengkingnya yang menjauh dan menghilang pula.
Namun sebelum hal itu terjadi,
Suto Sinting telah melesat dari atas sebuah pohon, ia semburkan tuak dari dalam
mulutnya. Bruusss...! Tuak itu menyembur ke tubuh Ki Gendeng Sekarat. Dan
tiba-tiba sinar putih itu padam tanpa asap sedikit pun.
Saat itu Jangkar Langit terperanjat hingga membelalakkan matanya. Tak
pernah ada orang yang bisa padamkan sinar putih jika sudah mengenai sasaran.
Tapi sekarang ia merasa menghadapi kenyataan yang sukar dipercaya oleh hati
kecilnya sendiri.
Ki Gendeng Sekarat mengibaskan
kepalanya seperti tidurnya disiram oleh air satu ember. Matanya terbuka lebar
dan setengah menggeragap. Ketika ia melihat Suto sudah ada di sampingnya, ia
lebih bingung lagi dan berkata,
"Ada hujankah tadi?"
"Sedikit, Ki! Mundurlah,
biar kuhadapi orang itu!"
Ki Jangkar Langit jadi
berpikir dua kali menghadapi pemuda berbaju coklat dan bercelana putih yang
telah mampu memadamkan ilmu 'Kejap Netra' itu. Tapi melihat bumbung tuak di
punggungnya, Jangkar Langit segera tahu siapa pemuda tampan berambut panjang
itu.
"Kaukah murid si Gila
Tuak?" "Betul!"
"Pantas kau mampu
padamkan ilmu 'Kejap Netra' ku!"
"Supaya tidak timbulkan
korban, itu harus saya
lakukan," kata Suto
bernada menghormati lawannya yang tua.
"Jika Tombak Maut kau
pulangkan di tanganku, maka aku berjanji tak akan timbulkan korban lebih banyak
lagi!"
"Memang saya yang
lenyapkan tombak itu, hanya sekadar untuk pengamanan saja. Bukan untuk saya
miliki sendiri! Sekarang, terimalah Pusaka Tombak Maut ini...!"
Suto maju beberapa tindak
mendekati Jangkar Langit dan berbisik, "Jangan pandang saya, Ki. Biarkan
saya kembalikan tombak itu melalui tongkat Jangkar Langit itu! Jika
Jangkar memandang saya, saya
sulit mengendalikan jurus 'Jelma Siluman'!"
Ki Jangkar Langit palingkan
pandang ke arah Hantu Laut. Suto memandangi tongkat kayu bercabang itu. Dan
tiba-tiba, clappp...! Tongkat kayu itu telah berubah
menjadi tombak berujung taring
babi. Jangkar Langit terkejut, dan sempat sangsi. Tapi setelah ia mencoba untuk
menggunakan tombak itu dengan menebaskannya ke samping, ternyata ada getaran
kuat yang diterima oleh telapak tangannya. Itu pertanda tombak tersebut adalah
Pusaka Tombak Maut.
"Terima kasih! Suatu saat
akan kubalas kebaikanmu!" kata Jangkar Langit sebelum tinggalkan Pulau
Mayat itu.
*
* *
8
CENDANA Wilis terheran-heran
kagum melihat ilmu Pendekar Mabuk. Gerakan terbang Suto saat semburkan tuak
untuk padamkan ilmu 'Kejap Netra' itu membuatnya tak berkedip sedikit pun. Juga
pada saat memunculkan kembali tombak pusaka, juga membuat mata Cendana Wilis
tak mau berkedip sedikit pun. Dari kejauhan dia memandang, tapi cukup jelas
baginya, bahwa Pendekar Mabuk memang layak menyandang gelar sebagai Manggala
Yudha Kinasih. Apalagi ketika ia melihat cara sang Pendekar Mabuk sembuhkan
luka pada diri Cakar Jatayu dan Hantu Laut, yang dengan hanya meminumkan tuak
saja bisa bikin mereka sehat kembali dalam waktu yang tergolong singkat itu,
Cakar Jatayu dan Cendana Wilis lebih kagum lagi kepada Suto Sinting.
Ki Jangkar Langit segera
tinggalkan tempat dengan
mulai berlayar menggunakan
perahu layar biru, milik anak buah Siluman Tujuh Nyawa. Cendana Wilis
memperhatikan kepergian orang tua
itu yang menurutnya
memang tak seimbang ilmunya jika bertarung melawan Cakar
Jatayu.
Cendana Wilis tiba-tiba
terperanjat kaget ketika melihat seseorang yang berseragam prajurit sang ratu
itu muncul dari samping perahu Ki Jangkar Langit. Orang yang muncul itu dikenal
oleh Cendana Wilis dengan nama Ludiro. Kemunculannya dari kedalaman air di
samping perahu membuat Cendana Wilis curiga, hingga ia cepat menghubungi Suto
dan memberitahukan hal itu sambil menunjuk ke arah perahu yang siap berlayar
itu.
"Saya rasa ada pihak lain
yang menginginkan Tombak Maut itu, Gusti Manggala!" kata Cendana Wilis.
"Hmmm... ya! Kelihatannya
begitu!"
Ki Gendeng Sekarat yang waktu
itu ada di samping Suto Sinting juga mendengar ucapan Cendana Wilis dan segera
memandangi kepergian Jangkar Langit. Lalu, Ki Gendeng Sekarat ucapkan kata,
"Biar saja! Orang itu
akan mati di tangan Jangkar Langit! Tak mungkin Jangkar Langit kecolongan lagi
pusakanya itu!"
Tetapi, ketika Ludiro melesat
timbul dari kedalaman air dan hinggap di buritan perahu dengan ringannya,
Cendana Wilis cepat berlari mendekati tepian pantai. Kemudian, kelima jari
kanannya menguncup dan disentakkan ke depan seperti seekor ular mematuk
lawannya dari samping.
Wesst...! Beggh...!
Pukulan tenaga dalam bernama
jurus 'Patuk Kelabang Liar' itu mengenai sasarannya walau dalam jarak lebih
dari dua puluh langkah. Pukulan itu tidak bersinar, sehingga sulit dilihat oleh
lawan. Ludiro yang sedang berdiri hendak melancarkan pukulan tenaga dalamnya
mengarah ke punggung Jangkar Langit, tersentak seketika dan tercebur ke
perairan kembali.
Cendana Wilis cepat berlari
pada saat Jangkar Langit palingkan wajah ke belakang. Cendana Wilis berseru,
"Dia mau membokongmu, Ki
Jangkar Langit!" "Siapa dia?"
"Anak buahku. Maafkan!
Tapi kami akan urus dia sesuai hukum kami! Harap jangan jadikan ini
perkara!"
"Lakukan yang terbaik
menurut ratumu!" kata Ki
Jangkar Langit.
Ludiro segera ditangkap oleh
Cendana Wilis, Jangkar Langit segera tinggalkan tempat. Ludiro diseret dan
dihadapkan kepada Suto oleh Cendana Wilis.
"Apa yang harus saya
lakukan untuk orang ini. Gusti
Manggala?!"
"Buka baju rompinya dan
periksa punggungnya!" Ludiro yang pucat pasi karena habis terkena pukulan
'Patuk kelabang Liar' itu, tak
bisa berbuat apa-apa. Badannya
lemas ketika diseret
dan dilepas baju rompinya.
Pada mulanya, Cendana Wilis
hanya merasa tak enak kepada Ki Jangkar Langit jika ketahuan bahwa Ludiro ingin
merebut tombak pusaka tersebut. Setidaknya akan
timbul perselisihan pihak
Jangkar Langit dengan pihak sang ratu. Walaupun apa yang dikatakan Ki Gendeng
Sekarat tadi memang benar, bahwa Jangkar Langit akan bisa mengatasi tindakan Ludiro. Tapi
itu akan menimbulkan kesan jelek pada pihak
prajurit sang gusti ratu. Sebab itu, Cendana Wilis cepat bergerak dan menangkap
Ludiro sebelum Ki Jangkar Langit yang melakukannya sendiri.
Tetapi, pikiran Pendekar Mabuk
tidak hanya sampai di situ. Ia langsung saja menaruh curiga kepada Ludiro dan
menyuruh periksa tubuh Ludiro. Ternyata di punggungnya ada tato gambar tengkorak dengan dikelilingi tujuh mata
rantai. Itulah simbol yang dimiliki oleh para mata-mata Siluman Tujuh Nyawa.
"Sudah berapa lama dia
menjadi prajurit Puri
Gerbang Surgawi?"
"Dua tahun lewat,"
jawab Cakar Jatayu yang langsung ikut menangani masalah Ludiro itu.
"Berarti sudah dua tahun
lewat kalian kemasukan orangnya Durmala Sanca! Mereka memang pandai menyusup dan
mengirim berita melalui hubungan batin!" "Kurang ajar!" geram
Cendana Wilis dan Cakar
Jatayu.
Cakar Jatayu berkata,
"Pantas orang-orang pilihan ratu, seperti Seruni, Giri Santi, Kipas Buana
dan yang lainnya dibabat habis lebih dulu oleh mereka. Rupanya mereka sudah
mempunyai daftar nama-nama orang kepercayaan ratu yang menjadi prajurit
pilihan!"
"Benar. Dan sekarang
tinggal kita berdua ditambah
Dewa Racun!" kata Cendana
Wilis. "Jika begitu, saya akan
mengggantungnya
sekarang juga, Gusti Manggala!"
"Jangan!" cegah
Pendekar Mabuk yang membuat Cendana Wilis dan Cakar Jatayu tekejut heran.
Bahkan Pendekar Mabuk tambahkan kata,
"Pulangkan dia ke Kapal
Siluman!"
"Dia mata-mata, Gusti!
Tak bisa kita biarkan perlakuan mata-mata yang sudah dua tahun lebih bercokol
di dalam tubuh kita!" ujar Cendana Wilis dengan sedikit ngotot.
"Dengan maksud apa dia dipulangkan, Gusti Manggala?" tanya Ki Gendeng
Sekarat yang sudah mulai sayu matanya, mau tidur lagi.
"Aku mau pinjam tenaganya
untuk menyampaikan salamku kepada Siluman Tujuh Nyawa. Bawa kemari orang yang
bernama Ludiro itu!"
Maka, dengan cepat Cakar
Jatayu menyeret orang yang bernama Ludiro itu. Tubuhnya masih lemas akibat
pukulan 'Patuk Kelabang Liar' yang diterimanya dari Cendana Wilis.
Suto segera pandangi wajah
orang bertubuh kurus tapi berdagu lancip itu. Matanya memancarkan kelicikan
yang dalam. Suto segera ucapkan kata kepada Ludiro,
"Ludiro, penyamaranmu
sudah terbongkar! Kau mata-mata utusan dari Siluman Tujuh Nyawa!"
"Ya. Memang!" jawab
Ludiro tetap berani. "Kau kujatuhi hukuman mati!"
"Aku tidak peduli!"
Plakk...! Cendana Wilis
menampar Ludiro dengan gerakan tangan yang berkelebat cepat. Tamparan itu
disertai lepasnya tenaga dalam, sehingga wajah Ludiro dalam waktu yang amat
singkat menjadi memar membiru separo wajah. Orang itu hanya menggigit bibirnya
dengan menyipitkan mata menahan rasa sakit di wajahnya.
"Kau kubebaskan, Ludiro!"
kata Pendekar Mabuk. "Pulanglah ke Kapal Siluman dan temui sang ketua!
Katakan kepadanya, saat purnama mendatang, dia kutunggu di Pulau Padang Peluh!
Katakan pula, di sanalah aku membunuh Doma Damu dengan sangat mudahnya!"
Pendekar Mabuk sengaja memancing
kata-kata yang memerahkan telinga Siluman Tujuh Nyawa jika ucapan yang serupa
disampaikan oleh Ludiro. Tetapi, ternyata kata tantangan itu membuat Ki Gendeng
Sekarat menjadi murung, ia ingin memotong ucapan itu, tapi tak berani, karena
Suto Sinting lebih tinggi kedudukannya dan harus dihormati. Bagaimanapun juga,
Ki Gendeng Sekarat masih merasa menjadi orang Puri Gerbang Surgawi, walaupun
bebas tugas.
Buat Cendana Wilis dan Cakar
Jatayu, pesan penuh tantangan itu sempat membuatnya berdebar-debar. Karena mereka berdua
merasa cemas dan takut kalau ternyata Pendekar Mabuk tak mampu mengungguli
ilmunya Siluman Tujuh Nyawa dan mati di tangan orang sesat itu. Bahkan Cendana
Wilis sempat ajukan usul,
"Sebaiknya jangan Gusti
Manggala sendirian yang
hadapi Siluman Tujuh Nyawa!
Berbahaya, Gusti! Dia orang licik, tak mungkin datang sendirian! Pasti dia akan
kuras dulu tenaga Gusti Manggala untuk bertarung melawan anak buahnya. Setelah
tenaga Gusti Manggala berkurang banyak, barulah dia sendiri yang akan
maju!"
"Apa pun yang terjadi,
aku harus hadapi dia! Malam purnama mendatang adalah malam kepastian, dia akan
merajalela atau lenyap tanpa tinggalkan selembar rambut pun!"
Suto berpikir sejenak,
kemudian segera berkata lagi, "O, tidak! Dia tidak akan lenyap, hanya akan
terpenggal kepalanya dan kubawa menghadap ke ratu kalian!"
"Sudah pastikah ketentuan
ini, Gusti Manggala?" tanya Cakar Jatayu, dan Suto menjawab dengan tegas,
"Ya! Pasti!"
"Jika begitu, saya akan
bebaskan Ludiro biar temui Siluman Tujuh Nyawa, bila mana perlu suruh dia
sampaikan surat tantangan dari Gusti Manggala!"
"Gagasan yang bagus
itu!" kata Pendekar Mabuk sambil mengangkat bumbung tuak dan meneguknya
beberapa kali.
Ludiro dilepaskan oleh Cendana
Wilis dengan dibekali surat tantangan dari Suto Sinting. Tetapi seperti yang
sudah-sudah, tawanan itu dilepas oleh Cendana Wilis setelah satu telinganya dipotong putus menggunakan pisau milik
orang lain. Ludiro menjerit tak terbayangkan lagi kerasnya, ia dibekali sebuah
perahu, kemudian dilepaskan di lautan.
Pada sisi lain, Ki Gendeng
Sekarat minta supaya Suto
masuk ke kamar penyimpanan
mayat. Semua mayat memang sudah dilepaskan dan menjadi penjaga pantai, dua di
antaranya telah hancur oleh kekuatan dahsyat Jangkar Langit. Kini kamar itu
kosong, hanya berisi tumpukan peti mayat, dengan satu peti mayat agak besar
yang menjadi tempat tidur Gendeng Sekarat.
"Ada sesuatu yang ingin
saya bicarakan hanya berdua saja!" begitu pada awalnya, sehingga Suto
datang ke kamarnya Gendeng Sekarat dengan tanpa diketahui oleh siapa pun.
"Apa maksud Ki Gendeng
memanggilku kemari?" tanya Suto.
"Soal tantanganmu dengan
Siluman Tujuh Nyawa," jawab Gendeng tak terlalu hormat seperti di luaran.
"Aku keberatan kau kirimkan surat tantangan kepada Durmala Sanca!"
"Di mana letak keberatan
Ki Gendeng?"
"Ilmunya tak sebanding
denganmu! Kau bukan tandingannya, Suto!"
"Mungkin saja saya bukan
tandingannya, Ki
Gendeng. Tapi saya harus bisa
kalahkan dia!"
"Itu tak mungkin!"
sahut Ki Gendeng Sekarat. "Kau hanya punya keberanian besar tapi tidak
punya ilmu sejajar dengannya! Kau hanya akan mati konyol, Suto! Pikirkanlah hal
itu!"
"Jadi apa maksud Ki
Gendeng?"
"Batalkan pertarungan
itu!" jawab Ki Gendeng
Sekarat sedikit cemberut.
"Saya tidak
bisa menarik mundur tantangan
pertarungan, Ki!"
"Harus bisa! Kalau kau
mati, siapa yang akan menjaga Gusti Ratu?"
"Saya yakin, saya tak
akan mati."
"Ah, itu hanya semangatmu
saja!" kata Ki Gendeng Sekarat sambil wajahnya semakin cemberut jengkel
kepada Suto. Kemudian ia berkata lagi, kali ini sambil berjalan mondar-mandir
di depan Pendekar Mabuk, yang tidak berani ia lakukan begitu jika ada orang
lain, demi menghargai Pendekar Mabuk sebagai sang Manggala Yudha.
"Coba renungkan
kata-kataku...! Siluman Tujuh Nyawa punya umur lebih tua dari umur gurumu, si
Gila Tuak itu! Sedangkan kau baru anak kemarin sore. Siluman Tujuh Nyawa punya
ilmu cukup tinggi dan pengalaman yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan
dirimu! Sedangkan ilmumu belum ada separo dari ilmunya! Dia orang licik dan
jahat, kau tidak bisa licik dan tidak mau jahat! Dia tidak punya tanggungan
seandainya dia mati, kau punya kewajiban sebagai Manggala Yudha Kinasih.
Bagaimana jika kau mati di tangannya? Lantas siapa yang akan diunggulkan oleh
Gusti Ratu Kartika Wangi dan Gusti Mahkota Sejati itu?! Siluman Tujuh Nyawa
sudah cukup puas menikmati hidupnya yang lama itu,
sehingga mati pun sudah sewajarnya, sedangkan kau belum puas menikmati hidup!
Kawin pun belum!"
Ki Gendeng Sekarat berhenti
tepat di depan Suto, matanya memandang tajam ke arah Suto sebagai mata
seorang guru memandang gemas
kepada muridnya. Suto hanya menarik napas dalam-dalam, setelah itu berkata
dengan pelan.
"Apa yang Ki Gendeng
katakan memang benar. Tapi saya sudah keluarkan surat tantangan! Pertarungan
harus terjadi pada malam purnama nanti, Ki!"
"Batalkan saja! Jangan
kau yang pergi ke Pulau Padang Peluh, melainkan aku saja yang ke sana! Aku yang
hadapi dia, Suto!"
"Tidak bisa, Ki! Harus
saya yang hadapi dia!"
"Kau akan mati,
Tolol!" bentak Ki Gendeng. "Tapi jika dia berhadapan denganku, dia
yang akan mati!"
"Tidak bisa!" debat
Pendekar Mabuk. "Saya harus bertarung melawannya pada malam purnama
nanti!"
Brakk...! Ki Gendeng Sekarat
jengkel sendiri, lalu ditendangnya tumpukan peti mati itu. Dua peti mati hancur
seketika, kayu papannya menjadi potongan- potongan kecil. Suto sempat kaget dan
cemas melihat Ki Gendeng Sekarat mulai marah.
"Percuma kupertinggi
ilmuku selama ini, kalau pada akhirnya aku hanya sebagai penonton
kematian-nya!" kata Ki Gendeng Sekarat sambil bersungut-sungut, kembali ia
berjalan mondar-mandir. Katanya lagi, "Aku yang punya dendam kepada dia!
Aku yang punya kewajiban membalas sakit hati atas kematian penduduk Pulau Mayat
ini! Aku yang selama ini memimpikan kematiannya di tanganku! Sekarang
kesempatan ini akan kau rebut begitu saja!"
"Aku Manggala Yudha, Ki
Gendeng!" ucap Suto
dengan tegas dan sedikit
keras. Agaknya ia hampir kehilangan kesabaran juga melihat sifat ngototnya Ki
Gendeng Sekarat itu.
Ki Gendeng Sekarat diam,
menatap Suto sejenak, lalu alihkan pandang dengan termenung. Suto kembali
ucapkan kata,
"Untuk apa aku menjadi
Manggala Yudha Kinasih, jika pertarungan maut itu kuserahkan kepadamu?! Hidup
atau mati, itu sudah jaminan bagi seorang panglima, Ki Gendeng! Jadi jangan
harap aku mau batalkan pertarunganku dengan Siluman
Tujuh Nyawa! Apa pun alasannya, pertarungan itu harus terjadi!"
Setelah berkata setegas itu,
Suto cepat tinggalkan tempat itu. Ki Gendeng Sekarat diam saja, masih termenung
dengan kedongkolannya, sampai kemudian ia tertidur dalam keadaan berdiri
bersandar pada dinding.
Rupanya Ki Gendeng Sekarat
masih penasaran, ia tak bisa menentang keputusan Suto, karena Suto seorang
Manggala Yudha. Maka, ia segera menemui Gusti Ratu Dyah Sariningrum secara
diam-diam, kemudian ia bujuk sang ratu agar mau mencegah pertarungan Suto
dengan Siluman Tujuh Nyawa itu. Tapi agaknya sang ratu berpihak kepada
keputusan Pendekar Mabuk. Sang ratu berkata,
"Membantai kezaliman itu
memang tugasnya, Ki Gendeng Sekarat! Kurasa, aku tak perlu cemaskan nasibnya!
Hidup dan mati ada di tangan Yang Maha Kuasa, Ki Gendeng!"
"Memang, Gusti!
Tapi setidaknya manusia
diwajibkan bertindak dengan
perhitungan. Itu sebabnya manusia dikaruniai otak dalam kepalanya masing-
masing! Kalau menurut perhitungan ilmunya Pendekar Mabuk itu masih belum ada
separo ilmu Siluman Tujuh Nyawa itu, maka sudah semestinya kita mengingatkan
dia, mencegah kecerobohannya, Gusti Ratu!"
Gusti Ratu Dyah Sariningrum
sunggingkan senyum kewibawaannya, lalu dengan lembut ia berkata, "Aku tahu
apa yang kau cemaskan, Ki Gendeng! Tetapi perlu diingat, bahwa dia adalah
panglima negeri tempat ibuku memerintah! Aku tak berani menentang keputusan
dia, Ki. Kalau aku desak dia dan melarang dia maju ke pertarungan itu, aku
takut kena marah oleh Kanjeng Ibu!"
Dengan lesu dan lemas, Ki
Gendeng berkata, "Jadi, kita hanya bisa relakan dia mati di tangan Durmala
Sanca, Gusti?!"
"Tugas kita mendoakan!
Bukan mengharapkan dia mati!"
"Baiklah kalau memang
begitu keputusan Gusti Ratu!" ucap Ki Gendeng Sekarat dengan semakin
pelan. Kemudian kepalanya pun terkulai lemas, matanya terpejam dan suara
dengkurnya terdengar lirih. Ki Gendeng Sekarat tertidur kembali. Tak peduli di
depan Ratu Gusti Mahkota Sejati, jika saatnya ia terserang kantuk yang berat,
maka tidurlah dia di tempat itu juga.
*
* *
9
PULAU Padang Peluh adalah
pulau yang tandus dari sekian banyak gugusan pulau di wilayah laut utara. Tak
ada pohon di sana, kecuali jenis rumput yang tumbuh di beberapa tempat saja.
Pulau Padang Peluh mempunyai banyak gugusan batu dan cadas. Luas Pulau itu lebih
kecil dari luas Pulau Mayat. Gundukan-gundukan batu atau cadas ada di
mana-mana. Salah satu gundukan cadas ada yang membukit. Bagian atasnya datar,
walau ada pula gugusan batu yang bertonjolan seperti pohon bersemak-semak, tapi
jarak satu gugusan dengan lainnya cukup jauh. Yang paling rapat adalah dua
gugusan berjarak tiga langkah, tingginya melebihi tubuh manusia dewasa.
Di pulau itulah dulu Suto
menemukan wanita cantik yang terkapar dan butuh pertolongan. Wanita cantik itu
adalah Dayang Kesumat, yang merupakan jelmaan dari wujud tua renta si Mawar
Hitam, tokoh sesat dari Pulau Hantu. Dan di pulau itulah, Pendekar Mabuk
bertarung melawan pengawal pribadi Siluman Tujuh Nyawa yang kembar rupa itu,
yakni Doma dan Damu. Sepasang pengawal kembar yang membawa pusaka Cermin
Benggala Kembar itu akhirnya hancur di tangan Suto Sinting, menjadi debu yang
tak dapat dilihat lagi bentuknya. Juga di pulau itu Doma Damu berhasil
mengalahkan ketua kapal Bajak Naga yang bernama si Tua Rakus dengan cermin
pusaka Benggala Kembar. Si Tua Rakus menjadi patung batu yang sampai saat ini
masih tetap ada dan dapat
dilihat bentuk serta wujudnya oleh Pendekar Mabuk. (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").
Seperti apa yang diperkirakan
Pendekar Mabuk, malam itu purnama tepat jatuh di atas Pulau Padang Peluh. Langit terang dan
rembulan bundar itu
menyorotkan cahayanya dengan benderang pula. Suto bergegas menuju ke sebuah
bukit yang tak seberapa tinggi, namun yang menjadi tempat paling atas dari
semua tempat yang ada di pulau tersebut.
Angin samudera berhembus sepoi-sepoi dan membuat rambut Suto yang panjang itu
meriap-riap dipermainkan angin. Dari tempatnya berdiri menunggu lawan, Suto
dapat memandang ke arah pantai. Di sana hanya ada satu perahu, yaitu perahunya
sendiri, sedangkan kapal atau perahu tunggangan Siluman Tujuh Nyawa belum
kelihatan merapat ke pantai.
Karena pulau itu tidak ada
tanaman pohon, tempatnya sangat terbuka terang, maka seseorang yang berdiri di
pantai dapat melihat dengan jelas sosok Pendekar Mabuk di atas bukit cadas itu.
Pendekar Mabuk yang baru saja menenggak tuaknya itu tampak tidak sabar menunggu
lawannya datang. Baginya, malam itu adalah malam penentuan bagi hidup Siluman
Tujuh Nyawa, juga penentuan bagi hidupnya sendiri.
Pendekar Mabuk sadar bahwa
Siluman Tujuh Nyawa berusia jauh lebih tua darinya, bahkan lebih tua dari
gurunya sendiri. Apa yang dikatakan Gendeng Sekarat memang benar, Siluman Tujuh
Nyawa atau Durmala
Sanca punya cukup banyak
pengalaman bertarung di rimba persilatan, juga mempunyai segudang ilmu bertaraf
tinggi. Tetapi Suto tidak punya rasa gentar sedikit pun di dalam hatinya. Yang
membuat Suto bergemuruh di dalam dadanya adalah ketidaksabarannya menunggu
kemunculan Durmala Sanca.
Pantai menjadi sasaran
pandangan mata Pendekar Mabuk, karena dari sanalah Durmala Sanca akan muncul
menyambut surat tantangan yang dikirimkan Suto lewat mata-mata yang dipulangkan
itu. Pendekar Mabuk yakin, Durmala Sanca pasti akan datang menyambut
tantangannya, karena selain surat tantangan itu cukup membakar darah, juga
membuat darah kian mendidih melihat mata-matanya pulang dengan telinga dipotong
satu oleh Cendana Wilis.
Baru saja Pendekar Mabuk
berpikir demikian, tiba- tiba ia merasakan ada gerakan hawa panas yang sangat
cepat menyerang arah punggungnya. Wuussst...! Cepat- cepat Suto membalikkan
badan sambil melepaskan satu pukulan tenaga dalam dengan gerakan tangan terayun
cepat bersama berputarnya tubuh. Wusssh...! Blarrr...!
Dua pukulan tenaga dalam
membuat bumi bagai berguncang. Pukulan itu beradu tanpa bentuk dan sinar.
Pendekar Mabuk sempat mundur satu tindak karena hembusan angin kencang dari
benturan dua tenaga dalam yang timbulkan daya ledak tinggi itu.
Tetapi mata Pendekar Mabuk
tidak melihat bentuk manusia di depannya. Tak ada gerakan yang bisa dicari oleh
mata dan bisa diserang tiba-tiba. Mata Suto
memandangi sekelilingnya
dengan liar. Kini terasa lagi semburan hawa panas dari arah samping kirinya.
Wuusss...!
Pendekar Mabuk cepat melompat
dan bersalto ke depan, lalu begitu mendarat ia cepat gerakkan badan ke kanan
dan satu sentakan kuat dari telapak tangannya mengeluarkan tenaga dalam tanpa
rupa lagi. Wusssh...!
Blarrr...!
Ledakan itu menandakan pukulan
lawan berhasil dihancurkan oleh pukulan Suto Sinting. Tetapi lawan yang
melepaskan pukulan itu masih belum kelihatan. Ini berarti Durmala Sanca tidak
mau tampakkan diri dalam pertarungannya
untuk membuat Suto kebingungan mengarahkan
serangan-serangannya.
"Tampakkan wujudmu! Kita bertarung secara kesatria, Durmala Sanca!"
seru Suto Sinting dengan badan membungkuk miring ke kiri bagai orang mau jatuh
karena mabuk, tapi sebenarnya Suto bukan sedang mabuk. Gerak gaya jurusnya
memang mirip orang sempoyongan akibat kebanyakan minuman arak atau tuak.
Karena Suto tak bisa melihat
bentuk lawannya, maka ia segera memejamkan matanya dan merasakan setiap gerakan
yang datang mendekatinya. Dengan cara seperti itulah Pendekar Mabuk melihat di
mana posisi lawan berada dan apa yang akan menyerangnya.
"Hmmm... sebuah gerakan
lembut tipis datang dari arah kiriku. Pasti sebuah senjata tajam yang
dilayangkan untuk menebas leherku!" pikir Pendekar Mabuk dalam
terpejamnya mata. Maka dengan
cepat ia merundukkan kepalanya, dan tiba-tiba benda yang bergerak itu
berkelebat di atas kepala Pendekar Mabuk. Wussh...!
Pendekar Mabuk tahu lawannya
ada di sebelah kiri, jaraknya tak sampai empat tindak karena ia menyerang
dengan senjata. Setidaknya tongkat El Maut yang punya jarak tak lebih dari tiga
langkah. Maka dengan cepat Pendekar Mabuk menggunakan pukulan 'Sekat Nadi'
jarak jauh yang dapat menotok jalan darah lawan di bagian mata kakinya. Jari
tangan Pendekar Mabuk disentilkan beberapa kali dan pukulan 'Sekat Nadi' jarak
jauh meluncur cepat bertubi-tubi setinggi tak lebih dari satu jengkal di atas
permukaan tanah. Tabb tab tab tab tab...
dub! Kena. Pendekar Mabuk merasakan pukulannya mengenai mata kaki lawan.
Lalu ia membuka matanya dan ternyata wujud yang menghilang dari
pandangannya tadi sudah berada di depannya dalam nyata. Berdiri dengan kerudung
hitam dari kepala hingga kakinya, menggenggam tongkat panjang berujung sabit
sedikit lengkung. Itulah senjata pusaka El Maut. Orang berwajah putih dengan
bibir biru dan mata memandang dingin itu segera menggeserkan langkah ke kanan.
Terdengar suaranya yang datar berkata,
"Cukup lumayan ilmumu,
Anak muda...! Tak sia-sia aku datang kemari memenuhi tantanganmu!"
"Bersiaplah untuk menjadi
kesatria! Jangan berani menyerang sambil sembunyi, itu sifat seorang banci
pengecut!" kata Pendekar Mabuk sengaja memancing panas hati lawannya.
Lawannya justru tertawa
terbahak-bahak. Pendekar Mabuk kerutkan dahi sedikit. Tapi ia segera melompat
sambil bersalto ke samping kanan, karena suara tawanya itu timbulkan getaran
gelombang aneh yang terasa mau menyerangnya. Sambil melompat Pendekar Mabuk
melepaskan satu pukulan jarak jauh menggunakan kibasan tangan kirinya.
Weesss...! Plakkk...!
Tawa membahak itu tiba-tiba
terhenti. Wajah putih itu terlempar ke samping dengan kaki nyaris terpelanting. Rupanya Pendekar
Mabuk mengirimkan tamparan jarak jauh yang bertenaga dalam cukup tinggi,
sehingga wajah putih itu tersentak kuat ke samping. Tawanya yang mengandung getaran gelombang berbahaya itu hilang seketika,
berubah menjadi suara geram yang mendendam.
"Haiaaatt...!"
Lawan melompat tinggi dan
bersalto satu kali ke arah Pendekar Mabuk, lalu senjata El Maut-nya ditebaskan
dari samping kanan ke kiri. Wuttt...! Hampir saja mengenai leher Pendekar Mabuk
jika Pendekar Mabuk tidak segera berguling ke tanah, lalu bangkit dan sentakkan
kakinya ke tanah. Tubuh Pendekar Mabuk melesat ke atas dan bersalto satu kali
ke arah belakang Wuuttt...!
Pendekar Mabuk berada di
tempat yang lebih tinggi, yaitu sebuah gugusan cadas sebesar kerbau. Lawannya
juga berada di gugusan batu sedikit lebih tinggi dari tempat Suto. Jarak mereka
ada antara enam langkah. Dua tubuh siap berdiri melepaskan serangan lagi di
bawah bayangan cahaya purnama
terang.
Lawannya segera sentakkan
tongkat ke depan, dan dari ujung tajam di pucuk tongkat itu keluar cahaya
merah membawa percikan-percikan cahaya biru. Gerakannya begitu cepat,
sehingga Pendekar Mabuk pun cepat
meraih bumbung tuaknya dan digunakan menangkis cahaya merah
bintik-bintik biru itu. Crasss...! Wurrrrh...!
Cahaya itu membalik dengan
lebih besar dan lebih cepat lagi. Lawannya terkejut, dan cepat menggulingkan
badan ke kanan, nyaris jatuh dari gugusan cadas itu. Wess...! Blabbb...! Cahaya
merah berbintik-bintik biru itu mengenai batu tinggi dan batu tersebut lenyap
bagai ditelan bumi. Bahkan batu di belakangnya pun ikut lenyap juga.
"Jahanam kau!" geram
lawannya terdengar lirih. "Heaaah...!"
Siluman Tujuh Nyawa yang
berwajah kaku itu segera sentakkan kakinya, dan tubuhnya pun melesat melayang
bagaikan terbang. Suto pun melakukan hal yang sama sehingga dua-duanya saling
melesat di udara, saling membenturkan diri dengan senjata siap menyerang lawan.
Pendekar Mabuk hanya menggunakan bumbung tuaknya yang berkelebat cepat
menangkis sabetan senjata El Maut itu. Trangngng...!
Mendadak tubuh Suto Sinting
yang melayang di udara itu berjungkir balik setelah menangkis dan kakinya
menyentak ke belakang dengan kerasnya. Baagggh...! Kaki Pendekar Mabuk yang
menyala hijau
muda itu mengenai punggung
lawannya dengan telak sekali, karena serangan tendang itu sama sekali tak
diduga dapat dilakukan Pendekar Mabuk dalam keadaan terbang begitu.
Akibatnya, tubuh lawan
terlempar lima tombak jauhnya dan membentur sebuah gugusan batu hitam.
Prakkk...! Batu itu retak tapi tak sampai berjatuhan. Tubuh lawannya terhempas
jatuh ke tanah dengan suara pekik tertahan.
Suto berdiri dengan tegak
menunggu lawannya bangkit kembali. Tapi lawannya itu seperti mengalami
kesulitan untuk bangkit kembali. Tulang punggungnya terasa hilang. Tak bisa ia
merayap dan berdiri, ia terengah-engah dalam keadaan duduk di tanah setelah tiga
kali berusaha bangkit tapi gagal. Pendekar Mabuk sengaja membiarkan dulu
lawannya begitu, karena ia punya kesempatan untuk meneguk tuaknya beberapa
kali.
"Sungguh tak kusangka
gerakan mabukmu di udara cukup hebat!" kata lawannya yang mulai reda
helaan napasnya. Pendekar Mabuk yang berdiri dalam jarak empat langkah dari
lawan itu hanya tertawa pelan.
"Kurasa kau masih mampu
berdiri untuk meneruskan pertarungan, Durmala Sanca! Ayolah, aku tak ingin
menyerang orang yang sedang terluka!"
"Baik! Tapi tunggu sesaat
lagi. Kupulihkan tulang punggungku yang hilang karena tendangan mautmu itu!
Dapat dari mana jurus itu?!"
"Mengapa kau ingin
tahu?!"
"Aku mengagumi jurus itu,
karena... karena...," suaranya makin pelan, kepalanya makin terkulai
tunduk. Matanya terpejam pelan-pelan, sementara punggungnya tetap bersandar
pada batu di belakangnya. Suto jadi kerutkan dahi kuat-kuat.
"Matikah dia...?!"
pikir Pendekar Mabuk dengan merasa aneh.
Terdengar suara dengkur yang
samar-samar dari mulut yang masih tetap terkatup rapat itu. Suto makin
terkesiap melihat lawannya tertidur. Lalu, segera ia teriakkan suara menyentak
penuh kejengkelan hati,
"Gendeng Sekarat!"
"Hai...!" sahut
lawannya yang tertidur dengan suara malas-malasan.
"Lepaskan topengmu!"
sentak Suto. Ada rasa sesal yang menjengkelkan setelah tahu orang itu adalah Ki
Gendeng Sekarat yang menyamar sebagai Siluman Tujuh Nyawa.
Dalam, keadaan
tertidur, Ki Gendeng Sekarat melepaskan topengnya
sesuai perintah Suto Sinting. Wajahnya terlihat jelas sebagai wajah Ki Gendeng
Sekarat yang termasuk orang konyol menurut pandangan Suto. Orang itu bahkan
tetap tertidur walau sudah melepas topeng dan mendengar suara geraman Suto.
"Mengapa kau menyamar
lagi sebagai Durmala Sanca, hah?! Mengapa kau menyerangku?!" sentak Suto
dengan hati tetap dongkol, karena rasa sesal yang telah melepaskan pukulan dan
tendangan maut ke arah Ki Gendeng Sekarat.
Orang tua yang tidur itu
menjawab, "Aku ingin merebut pertarungan ini dari tanganmu! Jika aku bisa
lumpuhkan kamu tanpa harus membunuh, aku akan punya kesempatan bertarung dengan
Siluman Tujuh Nyawa! Supaya kau terpancing bertarung denganku, aku terpaksa
menggunakan pakaian dan topeng samaran ini!" "Sial! Bodoh betul kau
ini, Ki! Kau bisa mati kalau
melawanku!"
"Jika memang itu akhir
yang kutemui, aku telah siap! Prahara di Pulau Mayat toh telah membuatku mati,
seandainya aku tidak cepat sembunyikan diri ke dasar bumi! Aku sembunyi bukan
untuk lari, tapi untuk cari kesempatan membalas perbuatan Durmala Sanca dalam
peristiwa berdarah Prahara Pulau Mayat, sekian tahun yang lalu! Kesempatan ini
sudah ada, ilmuku sudah cukup, tapi kau ingin merebutnya! Aku tak rela! Aku
harus mengalahkanmu dulu jika memang begitu caranya!"
"Nyatanya
bagaimana?"
"Ya. Kau memang punya
keunggulan yang tidak kusangka-sangka! Kupikir kau hanya punya keberanian tanpa
kematangan ilmu kanuragan!"
Sebuah sinar merah menyala
melesat dari arah samping belakang Pendekar Mabuk. Cepat sekali gerakannya,
hampir tak bisa dilihat. Tetapi Ki Gendeng Sekarat cepat sentakkan tangannya
dan keluarlah sinar putih yang melesat cepat dari pangkal pergelangan
tangannya. Wuttt...! Sinar putih itu menghantam sinar merah yang hampir
mengenai punggung kiri Suto.
Blarrr...! Sinar merah itu
hancur dan timbulkan gelombang ledak yang besar, sehingga tubuh Suto tersentak
hampir menabrak batu yang dipakai bersandar Ki Gendeng Sekarat dalam tidurnya.
"Terima kasih, kau telah
selamatkan nyawaku, Ki!" ucap Suto setelah menyadari ia dalam sedikit
kelengahan tadi.
"Terima kasih itu
gampang," kata Ki Gendeng Sekarat sambil tetap tertidur, "Yang
penting sekarang hadapi dia dulu. Dia sudah datang dari arah timur. Sambut dia,
Gusti Manggala Yudha...!"
"Baik. Tapi sebelumnya
minum dulu tuakku ini! Lekas...!"
Sambil masih tertidur, Ki
Gendeng Sekarat membuka mulutnya dan Pendekar Mabuk menuangkan tuaknya ke mulut
itu. Glek glek glek...! Setelah itu Suto cepat menyambut kedatangan lawannya
dari arah timur.
Sebuah kapal berbendera hitam
telah berlabuh di pantai. Sebuah lagi masih terlihat jauh mendekati pulau itu
juga. Rombongan orang-orang kapal itu turun dan mendekati bukit tersebut tanpa
sosok Siluman Tujuh Nyawa. Rombongan yang mendaki itu melihat Suto berdiri di
tepi tebing, mereka segera hentikan langkah. Nakhoda Salju berseru,
"Itu dia!
Seraaaang...!"
Mereka serempak menyerang Pendekar Mabuk dengan pukulan tenaga dalam
jarak jauh. Umumnya mereka menggunakan pukulan-pukulan handal yang sangat
membahayakan. Beberapa sinar aneka warna
keluar dari tangan mereka
masing-masing. Semua arah sinar melesatnya ke tubuh Suto.
Melihat penyerbuan seperti
itu, Suto pun merasa
panas hatinya dan ia menarik
napasnya lalu dihentakkan keras-keras. "Haaah...!"
Wuuaarrrr.....!
Badai datang mengamuk dari
mulut Pendekar Mabuk, ia
telah menggunakan napas
Tuak Setan yang menggulung habis para keroco itu.
Sinar aneka warna yang meluncur dari tangan mereka membalik arah karena sapuan
badai besar yang mengerikan. Sinar itu ada yang mengenai pemiliknya, dan yang
menerpa orang lain. Ada yang hancur tubuhnya, ada pula yang hitam menghangus.
Ada pula yang selamat dan berusaha melarikan diri. Tapi badai besar melemparkan
mereka tak beraturan. Ada yang terhempas menghantam batu besar hingga kepalanya
pecah, tapi ada pula yang tertindih batu yang menggelinding dari atasnya.
Bahkan ada yang saling berbenturan kepala sampai keduanya mati mengerikan.
Langit tiba-tiba menjadi
gelap, walau masih ditembus cahaya rembulan pucat. Kilatan cahaya petir biru
berloncatan dari langit satu ke langit lainnya. Gelegar suara gunturnya mengerikan. Badai
Tuak Setan
memporak-porandakan pulau yang tandus dan yang hanya mempunyai
tonjolan-tonjolan batu mirip pilar- pilar
raksasa itu.
Batu-batu tersebut patah di pertengahannya karena hembusan badai.
Ada pula yang tumbang dan menjatuhi tubuh anak buah Siluman Tujuh
Nyawa yang sedang melarikan
diri.
Di pantai, terjadi kekacauan
pula. Air laut bagai disingkapkan naik dan menggulungkan ombak besar,
melemparkan Kapal Siluman sehinga kapal itu akhirnya pecah dan berantakan ke
mana-mana. Tapi kapal yang baru datang dari arah utara itu masih dalam keadaan
tenang mendekati pulau itu, karena
arah badai menghembus
dahsyat ke timur. Badai itu membuat Ki Gendeng Sekarat yang tidur menggumam,
"Celaka! Anak itu
ternyata punya napas Tuak Setan?! Pantas ia berani melawan Durmala Sanca...?!"
Tiba-tiba sebuah hantaman tak
terlihat melesat dari
belakang Suto. Wusss...!
Dabbb...! Suto terpelanting hampir jatuh ke lereng bukit itu. Pukulan tersebut
datang secara mendadak dan tak diketahui wujudnya, tak terasa getaran
gelombangnya.
Pendekar Mabuk merasakan
pundaknya bagai hancur remuk karena pukulan itu. Tapi matanya tidak melihat
bentuk manusia penyerangnya. Bahkan ia tak merasakan getaran gelombang panas
berikutnya yang membuat ia terjengkang kembali saat mau
berdiri. Buggh...! Srappp...! Rasa panas menyerang tubuh seketika. Suto
berguling ke belakang dan mencoba mengatasi rasa sakitnya itu dengan menahan
napas. Matanya menatap ke sana-sini dengan liar. Tak ada bentuk manusia
penyerang yang dilihatnya. Tak ada gerakan yang dapat dirasakan mendekat. Pendekar Mabuk terpaksa pejamkan mata untuk tingkatkan
kepekaan inderanya. Tapi, baru saja ia pejamkan mata, tiba-tiba, crasss...!
Dadanya bagai dirobek oleh
benda tajam yang tak terlihat bentuknya. Suto berdarah, ia terpental ke
belakang, dan cepat berguling sambil seringaikan wajah menahan sakit. Luka itu
cukup dalam dan panjang, mengucurkan darah segar yang membasahi bajunya.
Tiga pukulan tenaga dalam
dilepaskan Suto Sinting ketiga arah. Wuttt... wuttt... wuttt...! Tapi tak satu
pun ada yang mengenai sasaran selain batu-batu tak bersalah. Bahkan ia
tiba-tiba terkena luka di ujung pangkal pundaknya. Luka tebasan yang
menyerempet tipis itu timbulkan darah
kembali dan rasa sakit yang memanaskan tubuhnya. Suto mengerang sambil berusaha melompat beberapa kali
menjauhi lokasi tersebut.
"Sukar sekali kulacak
gerakannya! Aku tak bisa menotok mata kakinya jika begini caranya!"
Wungngng...! Beegggh...!
"Aaahk...!" Pendekar Mabuk memekik tertahan dengan tubuh terlempar
karena pukulan jarak jauh telah menghantam tubuh belakangnya, sedangkan waktu
itu bumbung tuak sudah ada di tangannya. Punggung Pendekar Mabuk menjadi
sasaran telak bagi lawan.
Pendekar Mabuk cepat menenggak
tuaknya lagi untuk sembuhkan luka sendiri. Baru saja selesai menenggak tuak,
tubuhnya diserang lagi dari samping kanan, yang membuat lengan kanan Suto
terluka! Crass...!
"Aauh...!" Suto
terpekik tak sadar. Cepat-cepat ia bersalto ke depan, melenting di udara dan
bersalto lagi
hingga ia mencapai tempat
tinggi dari sebuah gugusan batu.
"Musuh tak bisa dilihat!
Ini berarti ia ada di alam
gaib!" pikir Pendekar
Mabuk. Maka dengan cepat ia mengusap keningnya yang bertanda merah dengan
tangan kirinya. Sllappp...!
Ki Gendeng Sekarat sendiri
terbengong melihat Suto hilang lenyap tak berbentuk. Tak bisa dicari di mana ia
berada. Tapi suara pukulan dan ledakan-ledakan terdengar
di sana-sini. Suara benturan senjata El Maut dengan bumbung bambu juga
terdengar menggema sesekali. Ini pertanda di alam gaib, Pendekar Mabuk
bertarung dengan sengitnya melawan Durmala Sanca yang sejak tadi menggunakan
ilmu silumannya. Suto bisa mengejar lawannya ke alam gaib karena ia telah
mempunyai tanda merah di keningnya yang jika diusap dengan tangan kiri dapat
berada di alam gaib, tempat makhluk-makhluk sesat berada.
"Hiaaaat....!"
"Heeaaah...!"
Trang...! Beg beg brasss...!
Bluhkk...! Tiba-tiba Ki
Gendeng Sekarat melihat tubuh
Siluman Tujuh Nyawa jatuh dalam keadaan nyata, seperti jatuh dari langit.
Rambutnya yang terbuka dari kerudung hitam itu tampak basah.
Rupanya Pendekar Mabuk telah menggunakan jurus 'Jelma Siluman'
dengan semburan tuaknya, sehinggga sosok tubuh yang hilang dari pandangan mata
itu bisa menjelma kembali. Ini dilakukan Suto setelah ia gagal menotok mata
kaki
lawannya beberapa kali.
Kini ganti Suto yang
menghilang dari pandangan mata Siluman Tujuh Nyawa. Orang itu menggeram dengan
gigi menggeletuk dan mata melebar.
"Keluar kau,
Bangsat!" teriaknya.
Jleggg...! Suto pun tampakkan
diri di depan Durmala Sanca. Tubuhnya tetap segar dan sehat, tanpa luka sedikit
pun. Durmala Sanca terkesiap melihat kehebatan lawannya. Maka, segera ia
kerahkan ilmu 'Siluman Tujuh'-nya dengan mengangkat kedua tangan dan
menghentakkan suara keras-keras, "Heeaaa...!"
Clap clap clap clap....! Tujuh
manusia sama rupa dan sama wujudnya berjajar di samping kanan Siluman Tujuh
Nyawa. Tujuh manusia sama rupa itu segera mengepung Suto Sinting, membuat Ki
Gendeng Sekarat menjadi tegang sendiri melihatnya. Pada saat itu, Suto pun
cepat tempelkan tangan kanannya ke dada dalam posisi telapak tangan berdiri
lurus ke atas. Matanya terpejam kurang dari satu helaan napas, dan tiba-tiba, clap
clap clap clap clap...! Tujuh manusia kembar Pendekar Mabuk muncul dari samping
kanan Pendekar Mabuk.
"Edan! Dia juga bisa
keluarkan manusia kembar tujuh?!" sentak Ki Gendeng Sekarat terkejut, ia
dalam keadaan terbangun. "Setahuku, ilmu itu yang dinamakan jurus 'Sapta
Tingal', yang dimiliki oleh Bidadari Jalang...?! Rupanya diturunkan kepada anak
muda itu?! Edan! Sekarang ada delapan kembar melawan delapan kembar?! Mana dari
mereka yang asli?!"
Delapan manusia berwujud
kembar Pendekar Mabuk itu juga mengagetkan lawan. Tapi pertarungan segera
dimulai. Delapan manusia kembar melawan delapan manusia kembar dengan tingkah
dan jurus yang berbeda- beda. Tentu saja suasana menjadi ramai, saling pekik,
saling pukul, saling timbulkan ledakan.
Prak prak...! Trang...!
Bungng...! Plak...! Trangng...! Duerrrr...!
Ramai sekali keadaan di
pertarungan itu. Kapal yang tadi berada di kejauhan sudah mendarat di pantai.
Mereka adalah rombongan Cakar Jatayu dan Cendana Wilis yang diperintahkan Gusti
Ratu Mahkota Sejati untuk mengawal pertarungan Suto. Tapi mereka sempat dibuat
bingung melihat ke arah bukit, pertarungan menjadi massal. Mereka juga bingung
membedakan mana Durmala Sanca yang asli dan mana Suto Sinting yang asli. Dewa
Racun dan Hantu Laut yang ikut pula hadir di situ, dibuat melompong oleh
keadaan kembar delapan tersebut.
Kejap berikutnya, terdengar
suara pekikan keras dari mulut Siluman Tujuh Nyawa itu.
"Aaaahg...!"
Pendekar Mabuk berhasil
melukai Siluman Tujuh Nyawa yang asli dengan jurus 'Pukulan Guntur Perkasa'
yang membuat lawan memar membiru dan bisa cepat menjadi busuk. Seketika itu
pula, tujuh nyawa kembar Durmala Sanca lenyap, tinggal satu yang mengerang kesakitan.
Pendekar Mabuk cepat kembalikan wujud kembar tujuhnya, slappp...! Kini menjadi
satu Pendekar
Mabuk yang asli.
"Kalau kugunakan jurus
'Manggala', aku tak bisa penggal kepalanya! Jadi, aku harus gunakan jurus lain
untuk memenggal kepalanya," pikir Pendekar Mabuk kala itu.
Tapi belum sempat ia bergerak,
Durmala Sanca telah lebih dulu melesat pergi sambil tinggalkan suara,
"Kali ini aku kalah, tapi
kelak aku akan datang mengalahkan kamu lebih parah dari ini, Suto!"
Clappp...! Ia menghilang dari
pandangan siapa saja. Suto ingin mengejarnya, tapi suara Cendana Wilis
terdengar,
"Gusti Manggala...!
Jangan kejar dia! Sebaiknya kembali ke Pulau Mayat! Gustinda Betari Ayu datang,
ingin bicara!"
"Katakan pada Nyai Betari
Ayu, aku sedang mengejar
Siluman Tujuh Nyawa!"
"Tapi, Gusti Manggala...
tunggu dulu...!"
Clappp...! Pendekar Mabuk menghilang setelah mengusap keningnya
dengan tangan kiri. Ia mengejar lawannya yang melarikan diri ke alam gaib.
Mereka hanya bisa terbengong dan saling membisu seketika.
Ki Gendeng Sekarat segera
berkata, "Sudahlah! Biar dia mengejar orang sesat itu! Sebaiknya aku yang
mewakili Gusti Manggala untuk menemui Nyai Betari Ayu...!"
Ki Gendeng Sekarat melangkah.
Tapi kepalanya terkulai kembali dan suara dengkur tipis terdengar, ia tidur
sambil menuju ke kapal.
SELESAI