1
CAHAYA langit senja berwarna
tembaga. Seolah-olah atap bumi itu sedang dipanggang api raksasa yang
menebarkan panas kemana-mana.
Namun nyatanya warna merah
tembaga di langit tidak membuat pemuda tampan berbadan kekar itu menjadi
hangus. Padahal sudah sejak tadi ia berada di tempat terbuka, ia bertelanjang
dada, duduk bersila di atas sebongkah batu datar warna hitam. Kedua tangannya
menengadah ke kanan-kiri. Kedua tangan itu masing-masing menyangga dua
bongkahan batu yang masing-masing ukurannya sebesar gentong.
Otot-ototnya saling
bertonjolan, membuat dadanya tampak keras bagaikan baja. Lengannya pun
membengkak karena otot yang dikeraskan sejak tadi. Tapi tak setetes keringat
pun yang keluar dari pori-pori kulit tubuhnya.
"Pengerasan otot dan
pengerahan tenaga untuk jurus ini tidak boleh menggunakan kekuatan luar. Tetapi
kekuatan batinmu yang harus bekerja untuk mengeluarkan tenaga sebesar
gunung."
Seorang lelaki tua berkata
begitu kepada si pemuda tampan tersebut. Lelaki tua berjubah kuning dengan pakaian
dalamnya berwarna hijau itu mempunyai rambut sepundak. Rambut, jenggot, dan
kumisnya berwarna putih uban. Wajahnya berkesan bijak, tegas, dan berkharisma
tinggi. Lelaki tua itulah yang dikenal dengan nama si Gila Tuak. Dia adalah
gurunya Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Dan tentu saja pemuda tampan yang bersila
di atas batu dengan telanjang baju itu tak lain adalah murid si Gila Tuak
sendiri.
Rupanya kali ini Pendekar
Mabuk sempatkan diri 'pulang kandang' untuk beberapa saat. Perjalanannya
keliling rimba persilatan dalam memburu Siluman Tujuh Nyawa telah membuat Suto perlu berkunjung ke
kediaman gurunya, sekalian beristirahat menyusun langkah barunya. Dan pada saat
itulah Gila Tuak merasa perlu menurunkan satu ilmu lagi kepada muridnya sebagai
tambahan bekal untuk sang murid.
"Sebenarnya jurus 'Sentuh
Sentak' ini harus sudah kau pelajari dari dulu. Tapi aku lupa memberikannya,
karena banyaknya ilmu yang kuturunkan padamu," kata si Giia Tuak sebelum
jurus 'Sentuh Sentak' diturunkan kepada Pendekar Mabuk.
Hati sang murid sinting
berdebar girang. Sekalipun ia sadar jurus yang akan diturunkan oleh gurunya itu
adalah jurus yang tersisa, alias jurus yang ketinggalan, tapi Suto merasa cukup
gembira. Setidaknya jurus itu akan menjadi pelengkap dari sekian banyak jurus
sakti yang sudah dimilikinya. Maka dengan wajah berseri-seri penuh semangat, ia
mengikuti langkah sang Guru saat membawanya ke tempat yang berbatu-batu.
Pepohonan mengitarinya dalam jarak dua puluh tombak berkeliling. Tempat itu
menjadi suatu tempat yang menyerupai arena berlatih dengan pagar dikelilingi
pepohonan hidup berdaun lebat.
"Jurus yang ini lain dari
yang lain, Suto."
"Maksudnya bagaimana,
Guru?"
"Kekuatan batin yang
disalurkan melalui kekuatan otot dapat menghasilkan sebentuk kekuatan tenaga
yang mampu menghancurkan bagian dalam tubuh lawanmu. Tanpa menggunakan
kekerasan. Seakan tidak membutuhkan gerakan cepat, namun cukup dengan sekali
sentuh lawanmu bisa terluka bagian dalamnya. Karena itu dalam latihan nanti kau
tidak boleh menggunakan napas keras. Tapi gunakan kekuatan batin untuk
mengencangkan otot-ototmu, sedangkan napasmu harus bisa tetap teratur. Seakan
kau sedang tidur."
"Aneh juga ilmu ini,
Guru. Aku sangat ingin segera bisa menguasainya."
"Tidak boleh dengan
nafsu," potong sang Guru. "Untuk menguasai jurus 'Sentuh Sentak' hati
kita harus tenang dan bersih, tidak boleh dikuasai oleh nafsu atau keinginan
yang menggebu-gebu. Sebab keinginan yang menggebu-gebu hanya akan membuat
pancaran kekuatan batinmu tidak terarah."
Itulah sebabnya sebelum
mengawali berlatih jurus 'Sentuh Sentak', Pendekar Mabuk diperintahkan untuk
lakukan semadi sehari-semalam. Pendekar Mabuk lakukan perintah itu tanpa ada
rasa kesal atau gerutu dalam hati, sebab hal-hal seperti itu memang sering
dialaminya jika ingin menerima pelajaran dari si Gila Tuak.
Latihan itu dimulai dari
terbitnya matahari sampai tenggelamnya sang surya. Pada mulanya Pendekar Mabuk
hanya duduk bersila, kedua tangannya menengadah ke samping dan masing-masing
dibebani batu sebesar kepalan tangannya.
Menyangga batu sebesar kepalan
tangan tanpa menggunakan tenaga otot merupakan hal yang mudah bagi siapa saja.
Tetapi jika tiap hari ganti hari ganti pula ukuran besar batu di tangannya,
siapa orangnya yang akan sanggup menyangga tanpa menggunakan kekuatan otot?
Namun toh Pendekar Mabuk mampu lakukan itu; menyangga batu yang makin lama
makin besar dengan kekuatan batin dan pemusatan pikiran sangat tajam.
"Tujuh hari sudah kau
lakukan latihan beban. Sekarang kau harus lakukan latihan tanpa beban, tapi
rasanya seperti menyangga beban paling berat, melebihi berat batu terakhir yang
kau gunakan kemarin," kata Gila Tuak kepada sang murid di pagi hari
berikutnya.
Latihan tanpa beban tapi
menggunakan kekuatan tenaga batin merupakan sesuatu yang tidak mudah dilakukan.
Dari pagi hingga sore, Suto harus duduk bersila dengan kedua tangan menengadah
ke samping dan mengerahkan tenaga batin, seakan sedang menyangga batu sebesar
bukit.
Pada hari pertama latihan
tanpa beban, Sutomengalami kegagalan. Sampai matahari mau tenggelam, ia masih
belum merasakan menyangga beban berat. Akibatnya yang diperoleh hanyalah rasa
pegal pada kedua sikunya.
"Ke mana pikiranmu? Aku
tidak melihat kekuatan batin tersalur dari batinmu!" Giia Tuak menegur
dengan sikap memarahi sang murid. "Sekalipun aku ada di tempat jauh,
memandangimu dari tepian sungai sana, tapi aku melihat semburan tenaga batinmu
sama sekali tidak ada. Pikiranmu tidak terpusat pada satu titik kekuatan batin,
Suto!"
Pendekar Mabuk tundukkan
kepala, "Memang, Guru." ia tak bisa menyangkal kata-kata sang Guru.
"Mengapa justru pancaran
dendam yang kulihat memancar dari dalam batinmu! Mengapa begitu, Suto?!"
"Tiba-tiba aku terbayang
wajah musuhku, Guru!"
"Durmala Sanca,
maksudmu?"
"Benar, Guru. Durmala
Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa membayang terus dalam ingatanku, sehingga
batinku memancarkan dendam dan kejengkelan. Aku gemas sekali dan ingin
buru-buru mencarinya lagi, Guru!"
Gila Tuak menarik napas,
mencoba memaklumi perasaan muridnya yang sudah lama mengejar-ngejar Siluman
Tujuh Nyawa, sang tokoh aliran hitam yang sering dijuluki manusia paling sesat
itu. Si Gila Tuak pun berkata kepada muridnya dengan memunggungi sang murid.
"Itu memang tugasmu;
menghancurkan kelaliman, meleburkan manusia sesat demi menyelamatkan umat
manusia di bumi. Tetapi seharusnya kau bisa mengendalikan pikiranmu dan bisa
menempatkan kapan saatnya kau berpikir tentang Siluman Tujuh Nyawa, kapan
saatnya kau memusatkan pikiranmu dan pelajaran ini! Kelak jika jurus 'Sentuh
Sentak' ini mampu kau kuasai dengan baik, Durmala Sanca pun bisa kau tumbangkan
dengan jurus ini! Tanpa harus menggunakan gerak pukulan keras, cukup kau tepuk
pelan saja dia akan hancur dari dalam."
Dalam dada Suto Sinting terasa
ada yang bergolak. Sesuatu yang bergolak itu adalah semangat yang secara tak
sadar telah dibakar oleh penjelasan Gila Tuak. Semangat untuk menghancurkan
Siluman Tujuh Nyawa membuat Suto Sinting akhirnya berlatih kembali dengan lebih
tekun dan lebih keras, ia bahkan minta waktu satu hari khusus untuk bersemadi
menenangkan pikirannya agar terpusat pada kekuatan batinnya.
Gila Tuak sudah menduga,
"Kalau dia tidak diganggu oleh pikiran dendamnya, dia dapat selasaikan
pekerjaan ini dalam waktu singkat. Mudah-mudahan saja sekarang dia sudah mampu
mengendalikan daya pikirnya."
Dugaan sang Guru memang benar.
Jika bukan Suto Sinting, tak mungkin dapat selesaikan pelajaran jurus 'Sentuh
Sentak' dalam waktu satu bulan. Kekuatan batin Suto yang sudah terlatih sejak
dulu mempercepat selesainya pelajaran tersebut, sehingga Gila Tuak merasa bahwa
jurus itu sudah merasuk dalam jiwa muridnya.
"Tepuklah batu itu!"
perintahnya untuk menguji kemampuan sang murid.
Pendekar Mabuk segera menepuk
batu sebesar anak sapi dengan gerakan pelan. Sebelumnya Gila Tuak sempat
berkata,
"Pusatkan batin dan
pikiranmu untuk menghancurkan batu itu menjadi beberapa bagian, terserah
kehendakmu mau menjadi berapa bagian!"
"Aku paham, Guru!"
Maka, bagaikan melakukan
gerakan menepuk dengan malas-malasan, batu itu pun dijadikan kelinci percobaan.
Pluk...! Pendekar mabuk menepuknya dan batu itu pun retak dalam waktu dua
helaan napas kemudian.
Kraaak...!
Ternyata batu itu terbelah
menjadi empat bagian, sehingga Suto pun membatin, "Jumlah belahan-nya sama
dengan keinginan batinku! Gila! Ini ilmu ringan yang mengandung bahaya sangat
besar!"
Pemuda tampan berambut panjang
sepundak tanpa ikat kepala itu tersenyum bangga. Tapi sang Guru tetap
memandangi batu tanpa senyum, kemudian menatap Suto dan berkata dengan penuh
wibawa,
"Masih kurang!"
Tentu saja sang murid
terbengong dan memendam rasa kecewa. Menurutnya gerakan tepuk pelan pada batu
dan bisa batu terbelah menjadi empat bagian seperti yang dikehendaki batinnya,
adalah suatu gerakan jurus yang sudah hebat. Tapi nyatanya sang Guru
mengatakan: masih kurang.
"Lalu bagaimana
seharusnya, Guru?" tanya Suto setelah menarik napas menyimpan rasa
kecewanya.
"Seharusnya batu itu
pecah atau terbelah setelah hatimu mengatakan: 'harus terbelah'. Sebelum hatimu
mengatakan: 'sekaranglah saatnya terbelah', batu itu tak boleh terbelah lebih
dulu."
"Jadi... jadi harus bisa
diatur kapan saatnya batu itu terbelah setelah kutepuk. Guru?!'
"Benar! Dan kau harus
mengikat batu itu dengan kekuatan batinmu setelah kau menepuknya. Ikatan batin
itu kau lepaskan jika sudah waktunya kau kehendaki batu itu terbelah."
"Alangkah sukarnya?"
"Karena kau belum
melakukan dan belum mencoba maka kau bilang sukar! Bukankah sejak kecil kau
kudidik untuk tidak bilang 'sukar' terhadap suatu pekerjaan sebelum kau mencobanya
dan menemui kegagalan sampai tiga kali?!"
Pendekar Mabuk nyengir dan
garuk-garuk kepala, ia membenarkan kata-kata gurunya. Memang seharusnya ia
tidak mengatakan hal itu adalah sesuatu yang sukar sebelum ia mencoba dan
menemui kegagalan sampai tiga kali. Karena itu, Suto Sinting pun mulai mencoba
apa yang seharusnya dilakukan dalam penggunaan jurus 'Sentuh Sentak' itu.
Dengan tambahan waktu lima
hari, jurus 'Sentuh Sentak' itu akhirnya benar-benar dikuasai oleh si murid
sinting itu. Sekalipun demikian, senyum Gila Tuak nyaris tak terlihat, padahal
Suto berharap sang Guru tersenyum dan merasa bangga terhadap kemampuan sang
murid. Gila Tuak hanya tersenyum sangat tipis dan manggut-manggut samar.
"Bagus. Kau sudah
berhasil. Tetapi ingat, jangan gunakan jurus itu untuk melawan orang yang tidak
punya salah padamu. Jurus itu hanya bisa digunakan untuk orang yang bersalah
padamu atau diam-diam mempunyai kesalahan padamu. Jika orang tak punya salah
padamu, lalu kau gunakan jurus itu untuk mencelakai orang itu, maka jurus itu
tidak akan berguna sedikit pun. Tepukanmu hanya sebatas tepukan tangan tanpa
kekuatan tenaga batin! Mengertikah kau, Muridku?!"
"Mengerti, Guru!"
jawab Suto Sinting dengan sikap lebih dewasa dari hari-hari sebelumnya.
"Tahukah apa yang harus
kau lakukan sekarang ini, Suto?"
"Makan, Guru!"
"Makan melulu
pikiranmu!" gerutu sang Guru dengan bersungut-sungut. Suto Sinting nyengir
sambil mengusap-usap perutnya yang melilit lapar. Gila Tuak berkata,
"Sekarang yang harus kau...." Zuuubbb...!
Sesuatu berkelebat ke arah
Gila Tuak, membuat ucapan Gila Tuak terhenti. Benda yang bergerak cepat dari
arah belakangnya itu segera dihindari dengan gerakan kepala membungkuk ke depan
sambil berseru,
"Awas...!"
Dengan membungkuknya Gila
Tuak, benda yang meluncur cepat itu menjadi mengarah ke dada Pendekar Mabuk.
Gila Tuak bagaikan menyerahkan urusan itu kepada sang murid, sehingga dengan
gerak tangkasnya Suto Sinting segera memiringkan badan dan mengelebatkan
tangannya ke depan. Teeb...!
Sesuatu yang bergerak itu kini
terjepit di antara dua jari tangan Suto. Dengan wajah tegang Suto Sinting
memandangi benda tersebut yang ternyata sebatang paku berwarna hitam baja.
Panjang paku itu seukuran sekelingking orang dewasa. Ujungnya runcing dan
memancarkan sinar hijau kecil mirip kunang-kunang.
"Suto, kejar orang yang
menyerang kita dari kerimbunan seberang sungai itu! Dia adalah lawan
utamamu!"
"Maksud Guru... dia
adalah Siluman Tujuh Nyawa?"
"Benar. Karena hanya
Siluman Tujuh Nyawa yang mempunyai senjata 'Pasak Iblis' itu! Dan ia
menggunakannya hanya dalam keadaan terpaksa, jika lawannya sukar
ditumbangkan."
Dada Suto Sinting lebih
berdetak dari semula. Melihat gurunya diserang orang saja sudah cukup membuat
dada terasa panas, apalagi mendengar si penyerangnya adalah Siluman Tujuh
Nyawa, tentu saja dada Suto Sinting terasa ingin pecah karena memendam
kemarahan besar.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk pun
segera melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi
kilat itu. Sungai lebar diseberangi dengan lompatan dari batu ke batu yang
nyaris tak bisa terlihat mata siapa pun.
Sementara itu, di seberang
sungai ada bayangan hitam yang bergerak dengan kecepatan sama seperti kecepatan
Suto Sinting, itulah gerakan jubah hitamnya Siluman Tujuh Nyawa, karena hanya
tokoh sesat itu yang mempunyai gerakan cepat nyaris sama dengan gerakan
Pendekar Mabuk.
"Durmala Sanca! Tunggu
aku...! Hadapi aku, Keparat!" teriak Suto Sinting menggema ke mana-mana.
Zaaab...! Bayangan hitam itu
tiba-tiba bergerak bagaikan menghilang. Suto tahu, Siluman Tujuh Nyawa
mempunyai kemampuan masuk ke alam gaib, sehingga saat itu sang tokoh sesat itu
dapat dipastikan berlari menghindari kejaran Suto Sinting, masuk ke alam gaib.
Pendekar Mabuk segera mengusap
keningnya. Noda merah pemberian Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu, dapat
digunakan untuk masuk ke alam gaib.
Tetapi di alam gaib pun Suto
kehilangan jejak lawannya lagi. Yang ditemui bukan Siluman Tujuh Nyawa, tapi
Iblis dan setan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut.
Suto Sinting penasaran, melesat keluar dari alam gaib dan mencari lawannya yang
diduga sudah keluar dari alam gaib saat ia menyusul masuk ke alam tersebut.
Itulah saatnya Pendekar Mabuk
mulai mengembara lagi. Sasarannya adalah sang tokoh sesat itu, tapi yang
ditemuinya lebih sering orang sesat tanggung.
Tapi dengan munculnya bayangan
Siluman Tujuh Nyawa dalam ingatan Suto selama mempelajari jurus 'Sentuh Sentak'
itu, apakah itu suatu pertanda bahwa kali ini ia akan berhasil berhadapan lagi
dengan Siluman Tujuh Nyawa dan melakukan pertarungannya yang terakhir?
Mungkinkah bayangan yang muncul dalam ingatan Suto kemarin itu adalah
perlambang bahwa kali ini pertarungannya dengan Durmala Sanca akan menghasilkan
suatu keputusan; siapa yang mati di antara mereka berdua?
"Celaka! Aku akan
menghadapi kesulitan cukup berbahaya jika bumbung tuakku kosong begini! Ah,
sayang sekali waktu aku pergi tidak sempat mengisi bumbung tuak ini. Padahal
kulihat Guru masih menyimpan tuak di sudut belakang. Dan lagi... uh, perutku
lapar sekali. Kalau tiba-tiba ada musuh bagaimana? Kalau aku terpaksa mati di
tangan musuh, alangkah menderitanya mati dalam keadaan lapar dan kekurangan
tuak?!"
Pemuda tampan berdada bidang
itu membatin dalam perjalanannya.
*
* *
2
PERUT kosong masih bisa
ditahan, tapi bumbung tuak kosong tak bisa lagi dibiarkan. Karena bumbung
tuaknya sudah kosong, maka Pendekar Mabuk sempatkan diri singgah di sebuah
kedai. Pemuda berambut lurus lewat pundak itu masuk ke kedai tersebut dengan
tenang. Ada lima bangku kosong lengkap dengan mejanya. Pemuda tampan berbaju
coklat tanpa lengan dan celana putih berikat pinggang merah itu mengambil
tempat duduk agak ke tengah. Beberapa pasang mata para pembeli yang sudah lebih
dulu ada di kedai itu saling memandangi si pemuda yang datang membawa bumbung
tuak.
Beberapa orang saling
berbisik, "Itu yang namanya Suto Sinting, kan?"
"Mungkin saja. Tapi kok
dia nggak sinting kayak si Parmin, ya?"
"Parmin itu bukan
sinting, tapi memang gila sejak dalam kandungan. Eh, ternyata orangnya
biasa-biasa saja, ya? Kupikir yang namanya Suto Sinting itu berbadan besar,
punya otot saling bertonjolan, wajahnya sangar dan... pokoknya menyeramkan. Eh,
ternyata malah seperti anak kemarin sore, ya?"
"Biar begitu muda tapi
ilmunya tinggi lho. Hampir sama dengan tingginya ilmu Ki Wuyung Rabi! Kalau
dipikir-pikir, Ki Wuyung Rabi itu usianya sudah mencapai tujuh puluh delapan
tahun. Tapi bocah muda itu punya ilmu bisa menyamai Ki Wuyung Rabi. Berarti dia
kan lebih hebat dari Ki Wuyung Rabi. Iya, toh?!"
Di meja lain ada yang
berkasak-kusuk sambil sesekali melirik ke arah Pendekar Mabuk. Yang berbaju
kuning berkata kepada yang berbaju hitam,
"Sepertinya aku pernah
melihat anak muda itu. Siapa dia, ya?"
"Apa kau tak ingat bahwa
ciri-ciri pemuda yang membawa bumbung tuak itu tak lain adalah Pendekar
Mabuk?!"
"O, iya! Dia yang namanya Suto Sinting,
murid si Gila Tuak itu, ya?" orang berbaju kuning tampak ceria."Aku
mau berkenalan, ah!"
"E, e, eh...! Jangan
berani-berani dekati dia lho! Bisa kena kepret modar kau!"
"Memangnya kepalaku ini
tungku, kok mau dikepret?! Aku cuma mau kenalan sama dia. Soalnya aku sering
mendengar cerita kependekarannya dan aku sangat mengagumi tokoh muda itu!"
Sebenarnya Suto Sinting
mendengar kasak-kusuk orang berbaju kuning itu, tapi Suto diam saja dan
berlagak tidak mendengarnya, ia memesan tuak dalam cangkir, lalu menyuruh
pemilik kedai mengisi bumbung bambu tuaknya sampai penuh.
"Diisi tuak apa air teh,
Nak?" tanya si pemilik kedai berusia lima puluh tahun.
"Diisi tuak, Paman. Saya
tidak terbiasa minum teh."
"O, ya...! Baik. Sabar
sebentar, ya Nak? Tidak terburu-buru pergi toh?"
Dengan senyum ramahnya Suto
menjawab, "Sekalian saya istirahat kok, Paman. Saya tidak
terburu-buru."
"O, baiklah kalau begitu.
Hmmm... apa Kisanak mau menikmati nasi pecel?"
"Kalau ada...
boleh!" jawab Suto Sinting bersemangat.
Orang berbaju kuning tadi
akhirnya benar-benar mendekati Suto dan menyapa dengan keramahan dan kesopanan
seorang pengagum.
"Maaf, apakah kau yang
bernama Suto Sinting, Pendekar Mabuk itu?"
"Benar," jawab Suto
dengan senyum tipis. "Kau siapa?"
"Aku pengagummu. Namaku;
Panurata."
Suto Sinting menyambut uluran
tangan si Panurata, mereka bersalaman. Panurata tampak senang sekali menerima sikap
ramah Suto Sinting, karena semula ia menyangka Suto Sinting orang yang sombong
karena pengaruh namanya yang kondang itu.
"Boleh aku duduk di
sini?"
"O, silakan! Aku senang
kalau ada teman yang mau kuajak ngobrol."
"Aku tidak mengganggumu,
bukan?"
"O, tidak!" Suto
tepuk-tepuk pundak Panurata sebagai ungkapan kegembiraan hatinya menerima
persahabatan itu. "Kau mau minum tuak?"
"Terima kasih. Aku memang
suka minum tuak."
"Wah, kalau begitu kita
bisa semalam suntuk duduk di sini, ya? Aku paling betah ngobrol kalau ada teman
minumnya!"
Pendekar Mabuk segera
melambaikan tangan kepada pemilik kedai, ia memesan sepoci tuak untuk diminum
berdua. Melihat keadaan menyenangkan begitu, teman Panurata yang berbaju hitam
jadi ikut bergabung. Suto menerima teman Panurata dengan senang hati pula.
Orang itu bernama Kadasiman. Mengaku seorang nelayan yang kehilangan perahunya
karena disapu gelombang ombak yang membadai beberapa waktu yang lalu. Panurata
pun bernasib serupa dengan Kadasiman; kehilangan perahunya hingga tak bisa
bekerja lagi sebagai nelayan pencari ikan.
Tiba-tiba saja Suto merasakan
ada perubahan pada dirinya.
"Panas sekali
badanku?" pikir Suto Sinting. "Wah, bahaya ini! Ulu hatiku rasanya
seperti ditusuk-tusuk duri. Sejak berjabat tangan dengan Panurata hawanya panas
sekali. Sejak berjabat tangan dengan Kadasiman ulu hatiku seperti ditusuk-tusuk
duri. Agaknya kedua orang ini punya cara berkenalan yang berbeda dengan yang
lain. Hmm... boleh, boleh!" Suto manggut-manggut sendiri, ia meneguk tuak.
Kali ini tuak yang diteguk adalah tuak dari dalam bumbung bawaannya yang baru
saja diserahkan oleh pemilik kedai, dan sudah terisi penuh itu.
"Di poci msslh ada tuak,
kenapa ambil tuak dari bumbung, Suto?" ujar Kadasiman.
"Bau tuak bercampur bambu
lebih sedap bagiku," jawab Suto dengan ramah. Padahal ia melakukan
pengobatan untuk dirinya sendiri. Terbukti setelah ia menenggak tuak dari
bumbung rasa sakit di ulu hati hilang, rasa panas di dalam dada pun lenyap.
"Kudengar namamu makin
lama semakin kondang saja, Suto. Tentunya kau sangat bangga punya nama yang
dikenal oleh hampir seluruh tokoh rimba persilatan!" kata Panurata.
Suto Sinting tertawa pelan
sambil menepuk pundak Panurata. "Jangan punya anggapan seperti itu. Jadi
orang terkenal itu malah susah."
"Susahnya?"
"Segala ruang gerak kita
diperhatikan oleh masyarakat. Kita mau buang air di pinggir jalan saja pasti
dikecam orang. Misalnya aku buang air di pinggir jalan, orang akan bilang;
'Wah, Pendekar Mabuk kok buang airnya sembarangan? Memalukan': Nah, kebebasan
kita terganggu, bukan? Coba kalau orang tidak banyak yang mengenalku sebagai
Pendekar Mabuk, aku buang air di tengah jalan sekalipun, tidak ada yang mau
memberi tanggapan seperti itu. Iya, toh?"
"Ha, ha, ha...! Ceritamu
ada-ada saja, Suto!" ujar Kadasiman sambil tertawa seperti halnya
Panurata. Tambahnya lagi, "Tapi yang jelas, satu kali lirik delapan gadis
yang kau buat jungkir balik, kan?"
Suto menepuk lengan Kadsslman
sambil tertawa dan berkata, "Bukan hanya delapan gadis, tapi tiga nenek ikut
jungkir balik dan langsung pingsan!"
"Hua, hah, hah, hah,
hah...!" Panurata meledakkan tawa yang membuat orang di sekitar situ
memandang ke arah mereka.
Kata Suto lagi, "Jadi
orang terkenal juga repot. Apalagi terkenal karena kesaktiannya, hhmmm... tak
ada amannya!"
"Apa benar begitu?"
"Iya. Di mana-mana selalu
dicoba orang. Ilmu kita dicoba oleh mereka baik secara terang-terangan maupun
diam-diam!"
Panurata agak salah tingkah
walau masih tertawa pelan. Kadasiman tampak sedikit gelisah juga Pendekar Mabuk
justru meneguk tuak dari cangkirnya.
"Ada yang berlagak baik,
tapi sebenarnya mencoba ilmuku. Ada pula yang berlagak jahat, tapi
sebenarnya... memang jahat! Tapi itu semua kuhadapi sebagai latihan
sehari-hari. Latihan mempertajam tingkat kewaspadaan."
"Apa benar pernah ada
yang mencobamu secara diam-diam?" tanya Kadasiman berlagak tak berdosa.
"O, pernah! Tidak hanya
satu kali dua kali, tapi sering. Biasanya aku tidak melayani cobaan itu.
Kadang-kadang aku sedikit memberi pelajaran kepada mereka dengan menyalurkan
salah satu jurusku yang membuat telinganya berdarah. Namanya jurus 'Sentuh
Sentak". Satu sentuhan saja menimbulkan satu sentakan kuat yang tak
dirasakan oleh lawanku. Hanya saja, tahu-tahu telinganya berdarah, atau
hidungnya yang berdarah."
"Aneh sekali ilmu seperti
itu," ujar Kadasiman. Tapi Pendekar Mabuk melihat gelagat Panurata semakin
tidak tenang. Ada sesuatu yang ingin diperiksanya, tapi ia ragu-ragu
melakukannya.
Suto berkata, "Jurus
'Sentuh Sentak' itu hanya bisa diderita oleh orang yang memang merasa bersalah
padaku, atau yang melakukan kesalahan secara diam-diam. Kalau orang itu tidak
punya salah padaku, jurus 'Sentuh Sentak' tidak akan bikin ia terluka sedikit
pun."
"Apakah itu jurus warisan
dari gurumu; si Gila Tuak itu?"
"Ya. Dan itu jarang
kupakai kalau aku tidak dicobai orang lebih dulu," jawab Suto dengan
tenang sambil memperhatikan perubahan air muka kedua kenalan barunya itu.
Kadasiman tampak lebih tenang
dari Panurata. Ia ajukan tanya lagi pada Suto, "Kalau misalnya...!"
tapi pertanyaan itu tidak jadi diteruskan. Mata Kadasiman melebar manakala ia
melihat ada cairan merah mengalir lamban dari telinga Panurata.
"Panurata, kenapa
telingamu berdarah...?!"
Panurata berlagak kaget.
Memeriksa telinganya, dan ternyata memang berdarah. Panurata bingung menjawab,
hanya senyum-senyum kikuk salah tingkah. Tapi ia segera berkata pula dengan
wajah terperanjat,
"Kadasiman, telingamu
juga berdarah!"
Kadasiman ikut salah tingkah
dan beralasan, "Mungkin aku menderita panas dalam!"
Suto Sinting tersenyum lebar,
langsung berkata pada pokok masalah sebenarnya.
"Kurasa kalian tak perlu
mencobai diriku. Akibatnya akan buruk bagi kalian sendiri."
"Hmmm... anu...
sebenarnya... anu...." Panurata tak bisa bicara.
Kata Suto lagi, "Kalau mau
kenalan denganku tak perlu pakai cara begitu. Nanti malah memperburuk
persahabatan. Betul kan, Kadasiman?"
"Iyy... Iya, betul!"
jawsb Kadasiman yang secara tak langsung mengakui perbuatannya.
"Itu baru kubalas dengan
ilmu ringan. Kalau kubalas dengan yang berat dan secara diam-diam, bagaimana?
Kalau kusalurkan kekuatanku yang membuatmu jatuh tak bernyawa setelah sampai
rumah, kan yang rugi keluarga kalian juga? Benar kan, Panurata?"
"Hmmm... iya, benar juga.
Hmmm... maafkan aku, Suto. Aku cuma sekadar ingin menguji apakah aku masih
punya ilmu atau tidak."
"Aku juga hanya ingin
tahu, seberapa kekuatan ilmuku untuk melukai orang yang terkenal sakti
itu," timpal Kadasiman.
Rupanya mereka saling
menyadari bahwa sentuhan Suto yang dilakukan sambil bercanda tadi adalah
penggunaan jurus 'Sentuh Sentak' yang dilakukan akibat merasa dirinya dicobai.
Di dalam hati mereka secara jujur mengakui kelebihan Pendekar Mabuk yang merasa
tenang dan tak mengalami luka apa pun. Padahal ilmu yang disalurkan melalui berjabat
tangan itu termasuk ilmu cukup tinggi di perguruan mereka; Perguruan Banteng
Kedaton.
Setelah mereka meminta maaf
kepads Pendekar Mabuk, suasana akrab pun kembali dimiliki oleh mereka. Canda
mereka menghadirkan tawa, sampai dua-tiga orang ikut nimbrung. Makin seru canda
mereka, mskin banyak yang ikut bergabung. Suasana kedai menjadi lebih ramai
lagi. Pembeli yang baru datang pun berani ikut nimbrung dalam kelakar mereka.
Sampai akhirnya muncul seorang
tamu berperawakan tinggi, tegap, berdada bidang, dan kekar. Lelaki itu
mengenakan pakaian biru tua dengan ikat kepala merah. Usianya sekitar tiga
puluh tahun, berkumis sedang, bersenjatakan kapak. Ujung kapak itu berbentuk
mata pisau yang sedikit melengkung namun tajam sekali.
Orang berbaju biru itu
langsung menggebrak meja dan berkata dengan lantang, "Mana yang namanya
Suto Sinting?! Kamu...?!" Ia menuding Suto.
"Ya, aku Suto Sinting.
Ada apa, Kawan?!"
Orang berbaju biru itu
menggeram, matanya memandang penuh permusuhan. Beberapa orang yang ada di situ
saling bungkam. Sebagian yang ada di dekat orang tersebut segera menyingkir,
takut jadi tempat pelampiasan amarahnya. Bahkan sebagian yang sudah mengenal
orang itu segera menjauh seakan tak pernah ikut berkelakar dengan Pendekar
Mabuk.
"Hari ini aku minta
kepastian darimu, Suto Sinting! Kau atau aku yang msti!"
Pendekar Mabuk justru
tersenyum geli, tetap berpenampilan tenang. "Apa masalahnya, Kawan?
Mengapa kau langsung tentukan demikian, sedangkan kita belum saling kenal? Kau
memang mengenal namaku, tapi aku tidak tahu siapa dirimu, Kawan!"
Sambil menepuk dada mirip
menabuh bedug, orang itu menyebutkan namanya keras-keras.
"Ini yang bernama Karto
Dupak, kalau kau ingin tahu! Akulah orangnya!"
Pendekar Mabuk
manggut-manggut. "Lalu apa urusannya denganku? Mengapa datang-datang kau
menantangku begitu?"
"Jelas aku menantangmu,
karena kaulah yang menjadi penghalangku untuk mempersunting Muria
Wardani!"
Dahi si tampan Suto itu
berkerut tajam dengan masih menyimpan sejuta gelinya. Kejadian itu dianggap
peristiwa aneh tapi lucu. Tak kenal siapa yang datang, tahu-tahu ditantang adu
tanding. Tak kenal siapa Muria Wardani, tahu-tahu dianggap sebagai penghalang
orang yang ingin mempersunting perempuan itu. Pendekar Mabuk jadi geleng-geleng
kepala sendiri saking herannya.
"Aku tidak kenal dengan
nama wanita itu, Karto Dupak," ucap Suto dengan tenang dan suara tetap
ramah.
"Tak perlu berlagak bodoh
kau, Suto Sinting! Sekarang juga keluar dari kedai ini dan hadapi aku! Kalau
kau tak berani menghadapi aku, berarti kau pendekar palsu yang punya nyali
seujung kutil! Sekarang juga kutunggu kau di luar!"
"Tunggu dulu.
Aku...."
"Keluar kau! Aku menunggu
sekarang juga!" bentaknya sambil melangkah pergi.
Suto Sinting terbengong dalam
senyuman geli yang tiada surutnya. Semua mata memperhatikan ke arah Suto,
seakan menuggu keputusan dan ingin tahu keberanian sang pendekar tampan itu.
Tantangan di depan umum sungguh suatu hal yang sulit ditolak buat Pendekar
Mabuk. Kalau saja tidak terjadi di depan umum, barangkali Suto Sinting berusaha
untuk tidak melayani tantangan Karto Dupak. Tapi karena terjadinya di depan
umum, dan mereka memandang penuh tuntutan atas sikap kesatrianya Suto, mau tak
mau Suto pun melangkah keluar menemui Karto Dupak. Mereka pun tampak girang dan
setengah bersorak. Masing-masing berlarian keluar dengan penuh harap dapat
menyaksikan pertarungan tokoh muda yang sedang kondang itu.
"Apa maunya sebenarnya?
Hanya menguji ilmu, atau memang punya unsur dendam pribadi padaku? Tapi aku tak
pernah jumpa dengannya dan tak pernah kenal nama Muria Wardani?! Jangan-jangan
ini sebuah kesalahpahaman?"
Karto Dupak memilih tempat di
luar batas desa. Di sana ada sebuah bukit yang pantas dikatakan sebagai
gundukan tanah tinggi. Karena ketinggiannya dapat dicapai dengan sekitar tiga
puluh langkah. Kelihatannya Karto Dupak bersungguh-sungguh menghendaki
pertarungan tersebut.
Repotnya bagi Suto, ia
benar-benar tak bisa menghindari tantangan itu. Sebab Panurata dan beberapa
orang lainnya berteriak-teriak mengumumkan pertarungan tersebut. Para penduduk
desa keluar dari rumah mereka karena tertarik ingin saksikan pertarungan antara
Karto Dupak dengan pendekar terkenal; Suto Sinting.
"Hoi, hoi... mau nonton
pertarungan apa tidak?! Pendekar Mabuk mau bertarung melawan Karto Dupak!"
seru Panurata. Yang lain ikut-ikutan berlari sambil berseru,
"Saksikanlah! Banjirilah!
Pertarungan hebat antara Karto Dupak melawan Pendekar Mabuk! Ayo, jangan
lewatkan! Kesempatan yang jarang terjadi ini akan menimbulkan kesan tersendiri
bagi kehidupan Anda! Saksikanlah beramai-ramai, pertarungan hebat yang akan
menggemparkan dunia persilatan! Ayo, ayo... mumpung gratis!"
"Konyol orang itu!"
gerutu Suto Sinting, tapi ia tak bisa mencegah sebab orang itu berlari terus
keluar masuk gang di antara rumah-rumah penduduk.
Mereka yang tertarik
menyaksikan pertarungan itu segera meninggalkan kesibukan masing-masing. Yang
sedang mandi, buru-buru handukan dan pakai pakaiannya lalu berkelebat mengikuti
rombongan Suto Sinting. Yang sedang menanak nasi, langsung dimatikan apinya.
Yang sedang menggendong bayi, langsung dimatikan bayinya, eh... langsung
diletakkan bayinya.
Akibat banyaknya para peminat,
Suto Sinting berjalan menuju tempat yang ditentukan Karto Dupak dengan diarak
oleh masyarakat penggemarnya. Tua, muda, kecil... semua ikut mengarak Suto
Sinting sambil berseru: "Suto, Suto, Suto, Suto...!"
"Suto Babat!"
"Husy! Itu soto babat!
Plesetan terus kau ini kalau bicara!" tegur seseorang pada temannya yang
konyol.
Suto Sinting sendiri membatin,
"Wah, kok malah jadi begini?! Pertarungan ini bisa menyebar ke mana-mana
dan aku bingung mengambil sikap kalau begini!"
"Kang Suto... Kang...
minta cap jempolnya, Kang!" seru seorang gadis remaja yang cantik
imut-imut itu.
"Untuk apa cap
jempol?"
"Untuk kenang-kenangan,
Kang! Aku pengagum beratmu lho, Kang!"
Ada-ada saja. Sempat-sempatnya
mereka berpikir mengabadikan cap jempolnya Pendekar Mabuk. Rupanya masyarakat
desa tersebut sudah banyak mendengar cerita tentang kehebatan Pendekar Mabuk,
sehingga mereka banyak yang mengagumi kehebatan sang pendekar. Suto Sinting
menjadi buah pujaan masyarakat desa tersebut, baik yang perempuan ataupun yang
lelaki, baik yang muda ataupun yang tua. Desa itu adalah desa persinggahan yang
terletak antara Bandar Pantai dengan wilayah pedalaman. Siapa pun yang mendarat
di pantai atau ingin berlayar, selalu singgah di desa tersebut untuk bermalam.
Karenanya desa itu cukup padat penduduknya, banyak yang membangun rumah petak
untuk disewa-sewakan.
Tak heran jika di desa itu pun
ada seorang tokoh tua yang punya nama di rimba persilatan. Tokoh tua itu
bernama Ki Wuyung Rabi, dari golongan pengelana yang kini menetap di desa
persinggahan itu. Tokoh tua yang usianya hampir mencapai delapan puluh tahun
itu berusaha menerabas arak-arakan dan menemui Suto Sinting sambil tetap
berjalan.
"Suto Sinting! Aku Ki
Wuyung Rabi, pernah ditolong oleh gurumu, Ki Sabawana alias si GilaTuak!'
"O, salam hormatku
untukmu, Ki Wuyung Rabi!"
"Terima kasih. Tapi
ngomong-ngomong apa benar kau mau bertarung sama Karto Dupak?"
"Dia menantangku, Ki! Aku
sendiri tidak jelas persoalannya! Tapi ia mendesakku agar melayani
tantangannya."
"Hati-hati saja! Dia
muridnya Nyai Kucir Setan."
"Siapa itu Nyai Kucir
Setan?!"
"Tokoh sesat yang baru
bangkit dari kuburnya setahun yang lalu. Kabarnya di alam kubur sana ia
memperoleh ilmu kesaktian yang amat tinggi, hingga mampu bangkit dari
kematiannya yang sudah sepuluh tahun itu."
"Wah, seram juga,
Kang!" ujar seorang anak remaja yang mengikuti percakapan itu di belakang Suto.
"Sebaiknya urungkan saja
pertarungan ini," kata Ki Wuyung Babi. "Jangan sampai kau berurusan
dengan Nyai Kucir Setan. Ilmunya sangat tinggi. Sudah bukan ilmu manusia lagi
yang digunakan, namun semuanya serba ilmu setan!"
"Diurungkan...?!"
Suto hentikan langkah dan menggumam. Mulai merenungkan usul Ki Wuyung Rabi.
Tapi beberapa orang yang mengikutinya saling berseru,
"Ayo, cepatlah! Kau sudah
ditunggu Karto Dupak di Bukit Bogel itu, Suto!"
"Iya! Jangan takut. Maju
terus pantang mundur, kecuali kepepet!"
"Jangan ragu, Suto!
Jangan kecewakan kami. Kami mendukungmu! Hancurkan murid Nyai Kucir Setan yang
sering semena-mena terhadap penduduk desa kami ini!"
"Iya, Suto! Habisi saja
dia. Kalau perlu dibuat rujak tumbuk sekalian!"
Suto Sinting bingung, seakan
masyarakat menuntutnya untuk tetap melangsungkan pertarungan. Malahan ada yang
mengejek dari jauh,
"Yeaah... baru mendengar
nama Nyai Kucir Setan saja sudah ciut nyalimu! Percuma punya gelar Pendekar
Mabuk! Kalau takut, mabuklah dulu, Suto!"
"Iya. Mabuk lagi saja!
Mabuk lagi, Suto!"
Serombongan orang berseru
dalam lagu, "Mabuk lagiii, ah...! Mabuk lagi...! Tarung lagiii... ah!
Tarung lagi!"
Suto Sinting hanya bisa
geleng-geleng kepala.
*
* *
3
KARTO DUPAK tampak tak sabar.
Matanya memandang tajam dan bengis ketika Suto Sinting tiba di depannya.
Orang-orang berkerumun mengelilingi mereka membentuk satu arena. Ki Wuyung Rabi
juga ada di antara orang-orang itu. Matanya memandang tajam kepada Karto Dupak,
memancarkan kebencian yang terpendam. Sedangkan Suto Sinting masih tetap
tenang, bersikap tak tegang sedikit pun. Malahan ia sempatkan diri menenggak
tuaknya. Glek, glek, glek...! Orang-orang berseru,
"Nah, begitu! Mabuk
dulu!" lalu mereka tepuk tangan bersama. Suto Sinting jadi semakin tak enak
hati. Ia ingin jelaskan bahwa sekalipun ia minum tuak satu tabung penuh
dihabiskan, ia tidak akan mabuk, karena tuak baginya bukan alat untuk mabuk
namun obat untuk kesehatan badannya. Kesempatan untuk menjelaskan hal itu tak
ada, sebab Karto Dupak sudah mulai bicara dengan nada geram.
"Kalau kau bisa unggul
melawanku, aku akan mundur dari pinanganku. Tapi kalau aku unggul melawanmu,
aku akan tetap melamar Muria Wardani. Kau mati atau cacat, tak boleh
menghalangi lamaranku lagi!"
"Muria Wardani itu siapa?
Jelaskan dulu, Karto Dupak!"
"Banyak omong kau!
Tentukan saja siapa yang mati. Beres!"
"Tidak. Aku tidak mau
awali pertarungan ini jika kau tidak mau jelaskan siapa Muria Wardani itu,
sebab aku memang tidak kenal dengannya!"
"Cuih! Lagakmu memang memuakkan.
Bikin hatiku makin cemburu dan ingin membunuhmu! Terima saja jurus 'Elang
Seribu' ini! Heaaah...!"
Karto Dupak angkat kedua
tangannya melewat batas kepala, lalu kedua tangan yang melebar mirip seekor
elang ingin menyambar mangsa itu dihentakkan dalam satu hentakan pendek.
Deeb...! Dan dari kedua telapak tangan yang membentuk cakar itu keluar serpihan
serbuk warna biru mengkilap, mirip percikan bunga api. Zrraaaab...!
Serpihan serbuk biru itu
menjadi satu dan mengarah pada Suto Sinting, seolah-olah ribuan serbuk beling
ingin menerjang pori-pori tubuh Suto. Tapi dengan tenang Suto Sinting memegang
tali bumbung tuaknya, lalu bumbung tuak itu diputar ke atas kepala.
Wuuung...!Wuuung...! Wuuung...!
Angin putaran bumbung
menyebar, membuyarkan serbuk biru, menerbangkan tiap butiran serbuk hingga
menempel pada daun-daun pohon sekeliling mereka. Sementara itu, Karto Dupak
sendiri tanpa sadar tubuhnya ikut berputar bagaikan terbawa angin putaran
bumbung tuak. Semakin cepat putaran bumbung tuak, semakin cepat pula tubuh
Karto Dupak berputar, ia berusaha menghentikannya, tapi sulit sekali
mengendalikan gelombang putaran yang terasa amat kuat itu.
Orang-orang tertawa dan
bertepuk tangan melihat Karto Dupak berputar-putar seirama dengan ayunan putar
bumbung tuak. Mereka tampak kegirangan melihat Karto Dupak dipermainkan Suto
Sinting. Bahkan ada yang berseru dengan lantang,
"Putar terus sampai
pagiii...!"
Suto Sinting segera hentikan
permainan jurus 'Pusar Pusing' itu. Ketika bumbung tuak sudah berada dalam genggaman
Suto, tubuh Karto Dupak masih berputar bagaikan masih hanyut terbawa gelombang
putaran di sekelilingnya. Orang-orang tertawa sambil menuding-nuding Karto
Dupak. Salah seorang berseru,
"Hoi...! Berhenti!
Bambunya sudah tidak diputar lagi kok masih mutar terus? Ngigau kali tuh orang,
ya?"
Brruk...! Karto Dupak jatuh
terpuruk dalam keadaan duduk, ia menggeram karena merasa pusing sekali.
Sementara itu, beberapa mata penonton tertuju pada daun-daun pohon di
sekeliling mereka. Daun-daun yang terkena serbuk biru tadi saling mengering dan
berkeriputan bagai tak pernah kena sinar matahari. Bahkan beberapa helai daun
ada yang langsung rontok, seakan sudah lama menjadi kering di atas sana.
Berarti jika tadi serbuk biru itu ada yang mengenai kulit manusia, maka kulit
orang itu akan berkeriput kering seperti nasib daun-daun pohon tersebut.
"Ayo, bangun! Baru begitu
kok sudah loyo?! Bangun, Karto...!' teriak beberapa orang penonton.
Karto Dupak malu sekali
dipermainkan seperti itu di depan umum. Ia paksakan diri untuk bangkit dan
wajahnya dibuat kian angker, ia menuding salah seorang penonton yang berbaju
coklat.
"Jangan bangga dulu
dengan permainan konyolmu, Suto! Kubalas kau dengan permainan mautku!"
"Hoi, yang dituding kok
aku?!" kata orang itu. "Suto Sinting di sana! Di belakangmu!"
"Huah, ha, ha, ha,
ha...!" para penonton tertawa geli melihat Karto Dupak salah tuding.
Rupanya pengaruh pusing membuat Karto Dupak memandang seseorang dengan mata
buram. Begitu dilihatnya baju warna coklat, langsung orang itu disangka Suto
Sinting.
Pendekar Mabuk sendiri
tersenyum karena tak kuat menahan geli. Pikirnya, "Sebaiknya tak perlu
kutanggapi serius. Cukup kuberi berbagai pelajaran konyol saja biar dia jera
sendiri dan tak mau menantangku lagi!"
Karto Dupak kejap-kejapkan
matanya. Setelah bisa melihat dengan lebih terang lagi, barulah ia menghadap
Suto Sinting dan berkata, "Hmm...! Cepat sekali kau pindah tempat. Kau
pikir aku heran dengan ilmumu itu?!"
Yang menjawab penonton di
belakang Suto, "Siapa yang pindah tempat, orang dari tadi dia di sini kok.
Weeee...!"
"Diam kau!" bentak
Karto Dupak pada orang yang berani bicara itu. Sebagai pelampiasan rasa
malunya, orang itu dihantam dengan pukulan jarak jauh tanpa sinar. Wuuuut...!
Suto Sinting merasakan ada hawa panas melesat menuju orang di belakangnya.
Langsung saja Suto ayunkan bumbung tuaknya berkelebat. Wuuus...! Angin dari
ayunan bumbung tuak itu bertabrakan dengan gelombang hawa panas yang dilepaskan
Karto Dupak. Duaar...!
"Eh, kuda, kambing, ayam,
kalkun, monyet, bagong, petruk, iih... bikin kaget saja!"
Terjadi ledakan tak seberapa
kuat namun suaranya cukup mengejutkan, membuat salah seorang penonton yang
latah mengoceh tak karuan. Orang itu akhirnya malu sendiri.
Karto Dupak semakin jengkel,
ia segera melompat menerjang Suto dengan gerakan cepat bagaikan angin
berkelebat.
"Heaaat...!"
Wuuut...!
Buuuhk...!
Pendekar Mabuk tersentak
mundur dua tindak ketika tangannya menangkis tendangan telapak kaki Karto Dupak
yang menjejak. Rupanya jejakan kaki itu punya tenaga dalam besar, sehingga
tangan Suto yang menangkisnya terasa ngilu sekali. Seakan tulang-tulangnya
dicekam hawa dingin melebihi dinginnya es balok. Para pengagumnya sempat cemas
melihat Suto tersentak mundur.
"Lumayan juga tenaga
dalamnya! Kalau aku bertahan untuk tetap di tempat, bisa patah tulang tanganku
ini!" pikir Suto Sinting dengan menarik napas untuk menghilangkan rasa
ngilu di tulang tangannya itu.
Sementara itu, Karto Dupak
bagaikan mendapat semangat untuk menyerang lebih gesit lagi, sehingga kapaknya
pun segera dicabut dari pinggang.
Wuuut...!
"Sudah bukan saatnya
untuk main-main, Bangsat!" geramnya penuh nafsu untuk membunuh.
Suto Sinting segera menenggak
tuaknya. Seorang penonton ada yang berkata, "Lho, mau dibunuh kok malah
minum dulu? Benar-benar sinting anak itu!"
Tentu saja kesempatan tersebut
dipergunakan oleh Karto Dupak untuk menyerang Suto Sinting yang dianggap
lengah. "Heaaat...!"
Satu lompatan menerjang Suto
Sinting. Kapak besar berujung pisau ditebaskan ke arah Pendekar Mabuk, membelah
kepala sang pendekar. Wuuung...! Tapi dengan kaki merendah Suto melintangkan
bumbung tuak yang buru-buru ditutup itu. Bumbung tuak dipegang dua tangan, lalu
kapak itu menghantam bumbung tuak. Traaang...! Kapak itu bagai menghantam besi baja.
Kepala Suto mundur satu sentakan, kalau tidak akan terkena pisau di ujung kapak
itu. Dan pada saat itu juga mulut Suto yang masih menampung air tuak belum
ditelan segera disemburkan. Bruuusss...!
"Ha, ha, ha, ha,
ha...!" para penonton tertawa, dianggapnya itu sudah kekonyolan Suto
Sinting. Kesannya memang seperti meremehkan lawan, tapi sebetulnya semburan
tuak itu adalah jurus maut juga yang dinamakan jurus 'Sembur Siluman'.
Karto Dupak terpaku di tempat
saat ia menyadari tangannya sudah tidak menggenggam kapak lagi. Matanya
membelalak lebar, celingak-celinguk mencari senjatanya. Orang-orang pun ikut
mencari dengan
pandangan mata keheranan. Tapi
Ki Wuyung Rabi tampak tersenyum-senyum saja, karena ia tahu jurus 'Sembur
Siluman' bisa melenyapkan senjata atau barang yang terkena semburan tuak
tersebut.
"Bangsat kurap! Kau
kemanakan kapakku, hah?!" sentak Karto Dupak dengan sangat berang.
"Kapakmu ada di alam
gaib. Kupindahkan ke sana karena membahayakan keselamatan orang banyak!"
"Setan cingur! Kembalikan
kapakku atau kuhabisi nyawamu dengan jurus andalanku yang kali ini!
Kembalikan!"
"Tidak!" jawab Suto
sambil menggeleng dan tersenyum tipis. Tentu saja hati Karto Dupak dongkol
sekali, karena merasa dipermainkan untuk bahan tertawaan para penonton. Maka,
Karto Dupak tidak mau tanggung-tanggung lagi. Jurus andalannya dilepaskan
berupa dua sinar biru yang melesat dari matanya. Claaap...! Suto Sinting
menangkis sinar biru itu dengan bumbung tuak. Sifat kesaktian bumbung tuak itu
adalah memantulkan serangan lawan membuat serangan itu dua kali lebih besar
dari aslinya dan bergerak lebih cepat. Maka sepasang sinar biru itu pun
memantul balik setelah menghantam bumbung tuak tersebut.
Zraaab...! Blaaar...!
Karto Dupak terkejut melihat
sinar birunya memantul balik dalam keadaan lebih besar dari aslinya. Keadaan
kaget Karto Dupak membuatnya tak sempat menghindar atau menangkis dengan jurus
lain. Akibatnya dia menjadi korban senjatanya sendiri. Terhempas melambung
tinggi dan jatuh bagaikan nangka busuk dibanting dari pohon setelah terdengar
ledakan menggelegar tadi. Bruukk...! Prook..!
"Aaaa...!"
Bukan Karto Dupak yang
menjerit, tapi beberapa penonton wanita yang tidak tega melihat keadaan Karto
Dupak. Sebagian penonton memalingkan wajah, tak berani memandang Karto Dupak,
karena tubuh Karto Dupak langsung terpotong-potong menjadi beberapa bagian
akibat terkena sinarnya sendiri. Potongan tubuhnya bukan dalam keadaan utuh,
melainkan dalam keadaan hangus. Barangkali saja sinar biru itu sebenarnya
membuat lawannya menjadi hangus. Tapi karena memantul balik lebih besar,
akhirnya si korban bukan saja hangus melainkan juga terpotong-potong menjadi
beberapa bagian.
"Senjata makan tuan itu
namanya!" kata salah seorang kepada temannya. Mereka saling
berkasak-kusuk, menggaung seperti ratusan lebah. Sedangkan Suto Sinting diam
tertegun dengan wajah penuh sesal. Bahkan sampai KI Wuyung Rabi mendekatinya,
Suto masih diam saja.
"Sudahlah, jangan kau
sesali, karena ini sudah kehendak Karto Dupak sendiri."
"Seharusnya tidak perlu
sampai begini!" ujar Suto dengan nada pelan, penuh rasa sesal yang amat
dalam. "Dia bukan musuh beratku. Dia bukan orang paling berbahaya. Tak
perlu pertarungan ini harus memakan korban jiwanya. Seharusnya cukup kuberi
pelajaran saja biar ia jera. Tapi...."
"Tinggalkan tempat ini
sebelum Nyai Kucir Setan mengetahui kabar kematian muridnya."
"Aku malah ingin temui
dia untuk jelaskan perkara kematian muridnya ini!"
"Apakah kau sudah siap
menghadapi murkanya?" tanya Ki Wuyung Rabi. "Perempuan itu bukan
orang yang mudah diajak bicara, sulit diberi pengertian. Kalau ia murka padamu,
kau bisa kewalahan menghadapinya. Salah-salah nyawamu bisa melayang di
tangannya! Dia mempunyai beberapa jurus maut yang amat dahsyat dan sukar
ditandingi."
"Apa pun jadinya, akan
kuhadapi sebagai akibat dari keteledoranku dalam pertarungan ini!"
Ki Wuyung Rabi menarik napas
dalam-dalam. Seseorang yang sengaja mendengarkan percakapan itu berkata kepada
temannya,
"Yang unggul dia kok
malah dia yang merasa teledor?"
"Iya. Padahal kita sangat
bangga melihat kemenangannya, tapi dia malah tampak menyesal atas kemenangan
ini, ya? Aneh sekali dia itu!"
Ki Wuyung Rabi berkata kepada
Suto Sinting, "Kalau memang kau ingin temui Nyai Kucir Setan, kau bisa
berjalan dari sini ke arah timur. Nanti kau akan jumpai Bukit Kelabang. Di
dalam hutan Bukit Kelabang itu kau akan temukan sebuah pondok. Di situlah Nyai
Kucir Setan bermukim."
"Kalau begitu aku harus
ke sana sekarang. Kubatalkan perjalananku untuk sowan ke pondoknya Resi Wulung
Gading."
"Pertimbangkan mana yang
lebih penting menurutmu. Yang jelas, aku ingin pergi ke Jurang Lindu untuk
temui gurumu, sekadar silaturahmi. Sudah sangat lama aku tidak jumpa
gurumu!"
"Guru dalam keadaan
baik-baik saja, Ki. Kurasa beliau bisa kau temui di Jurang Lindu. Jika tak ada
di sana, mungkin beilau ada di tempat Bibi Guru Bidadari Jalang, di Lembah
Badai!"
Pendekar Mabuk berpisah dengan
Ki Wuyung Rabi. Ia bergegas menuju ke arah timur, mencari Bukit Kelabang.
Tetapi perjalanan itu rupanya ada yang mengikuti dari belakang. Seseorang
mengikuti Suto secara diam-diam dengan sesekali menyelinap di balik pohon.
Setiap Suto menengok ke belakang, orang itu lebih dulu lenyap di balik
persembunyiannya. Gerakannya cepat sekali, sehingga Pendekar Mabuk tak bisa
memergoki keberadaan orang tersebut.
"Ilmunya lumayan
tinggi," gumam Suto Sinting dalam hati. "Entah apa maksudnya, tapi
sejauh ini kulihat ia hanya mengikutiku saja. Mungkin ia akan menjebakku di
suatu tempat. Tapi mungkin saja ia sekadar ingin tahu perjumpaanku dengan Nyai
Kucir Setan. Yang jelas, orang itu pasti tadi ada di antara para penonton.
Hmmm... sebaiknya kujebak dia di balik tikungan itu saja!"
Suto Sinting segera
membelokkan arah langkahnya ke tikungan gugusan cadas yang membukit. Orang yang
mengikutinya tampak bergegas lebih cepat lagi karena takut kehilangan jejak.
Pendekar Mabuk bersembunyi di atas sebuah pohon berdaun lebat. Ia berdiri di
antara ranting-ranting kecil, yang jika diinjak manusia biasa akan roboh dan
patah. Tapi karena Suto menggunakan ilmu peringan tubuhnya, maka ranting dan
daun itu bagai tak mengalami tekanan apa pun.
Ternyata yang mengikuti Suto
adalah seorang perempuan berjubah hijau tua. Jubahnya dari bahan kain mengkilap
dengan hiasan bunga putih kecil-kecil. Usianya sekitar dua puluh empat tahun,
berwajah cantik, berkulit putih mulus. Ia mengenakan pinjung kain jenis sutera
transparan warna merah jambu.
Suto Sinting tersenyum geli
melihat gadis bertubuh sekal dan berdada montok itu kebingungan mencari
mangsanya. Sudah lari ke sana, kembali lagi ke sini. Lari ke tempat datangnya
tadi, kembali lagi ke bawah pohon, ia seperti seorang ibu kehilangan anak
susuannya.
Akhirnya Suto Sinting
menampakkan diri ketika gadis itu duduk termenung di atas batu setinggi lutut.
Wajahnya tampak sedih dan Suto Sinting tak tega melihat kemurungan di wajah
cantik itu. Dengan gerakan cepat menerabas dedaunan tapi dedaunan tidak merasa
diterabas, Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah ada di belakang gadis itu, agak
menyamping.
Suto berlagak batuk-batuk
kecil membuat gadis itu kaget dan cepat berpaling.
"Kau mencariku,
Nona?" sapa Suto dengan senyum keramahan. Gadis itu terperangah sesaat
memandangi ketampanan yang menggetarkan hati itu. Namun ia buru-buru kuasai
diri dengan menarik napas dan menyunggingkan senyum sinis.
"Aku tidak
mencarimu!" katanya. "Kebetulan saja aku kehilangan arah jadi bingung
sendiri."
"O, kehilangan
arah," kata Suto berpura-pura mempercayai jawaban itu, tapi senyumnya
makin lebar pertanda merasa kian geli dengan sikap si gadis yang serba salah.
"Kalau begitu aku
mengganggu ketenanganmu, ya? Sebaiknya aku permisi saja, Nona! Maafkan
kehadiranku ini!"
"Tunggu...!" gadis
itu menahan ketika Suto Sinting ingin pergi. Padahal Suto hanya berpura-pura
untuk memancing perasaan si gadis.
"Apakah kau tak ingin
menolongku?"
"Menolong dalam hal
apa?" tanya Suto Sinting dengan nada suara yang lembut dan selalu
menyejukkan hati para gadis itu.
"Aku... aku kehilangan
arah menuju pulang ke rumah."
"Kau tinggal di
mana?"
Sambil menunggu jawaban si
gadis, Suto Sinting meneguk tuaknya sedikit sebagai pembasuh mulut dan bibir.
Dengan begitu bibirnya tampak ranum segar karena basah. Tentu saja mata si
gadis semakin terpana tak berkedip. Ketika Suto tertawa tanpa suara, si gadis
baru sadar kalau dirinya telah hanyut dalam kekaguman hatinya sendiri.
"Kutanyakan tadi, kau
tinggal di mana, Nona Cantik?"
"Lereng gunung."
"Gunung apa? Di sini
banyak gunung. Bahkan gunung yang paling dekat denganku pun ada!"
Wajah gadis itu menjadi semburat
merah dadu. Mata pendekar tampan itu nakal. Si gadia jadi malu. Untuk menutup
perasaan kikuknya, si gadis buru-buru menjawab, "Aku tinggal di lereng
Gunung Siwalan."
"Gunung Siwalan?!"
Suto Sinting kerutkan dahi.
"Aku baru dengar nama
gunung itu. Gunung Siwalan atau Gunung Sialan?"
"Hmmm... yang mana saja,
terserah kau!" jawabnya membuat Suto kian perpanjang tawa. Kali ini
terdengar seperti gumam memanjang. Gadis itu tundukkan wajah tanda malu
perlihatkan senyumnya.
Mata Suto Sinting belum mau lepas
pandangi kecantikan yang ada di depannya. Hidung bangir, mata bulat indah,
bibir mungil menggairahkan, dada membusung, rambut disanggul kecil di tengah
sisanya meriap sepanjang punggung. Ah, semua itu benar-benar rangkaian dari
sebentuk kecantikan yang memukau hati. Gadis itu mengenakan gelang hijau giok
dan kalung berbandul batuan hijau giok juga dikelilingi oleh butiran mutiara
kecil. Perhiasan itu menambah kecantikan yang berkesan mahal bagi mata setiap
lelaki.
"Aku tak mengerti di mana
letak Gunung Siwalan itu. Barangkali kau bisa kasih tahu ciri-cirinya?"
"Ciri-cirinya... ada
pohon, ada batunya, ada...."
"Ada monyetnya?"
sahut Suto.
"Tidak ada. Sebab
sekarang sedang berada di depanku!" jawabnya sambil tersenyum geli. Suto
perdengarkan tawa sedikit keras namun tampak sopan dan menawan.
"Kalau begitu akulah
monyet Gunung Siwalan!" kata Suto menambah kelakar di bawah pohon peneduh
itu. Tapi dalam hati Suto punya kata-kata sendiri,
"Dia ingin mengakrabkan
diri denganku. Dia mencoba berkelakar, agaknya suka dengan kelakar seperti itu.
Hmm... anak siapa dia sebenarnya kok cantiknya seperti ini? Aku jadi ingat
calon istriku: Dyah Sariningrum. Dia juga punya kecantikan seperti ini. Tapi,
ah... rasa-rasanya janggal sekali gadis secantik dia tersesat di tempat seperti
ini. Pasti dia punya keperluan denganku."
Kemudian Pendekar Mabuk
bertanya, "Siapa namamu, Nona?"
"Menurutmu siapa?"
"Konyol juga si cantik
ini!" gumam Suto dalam hatinya. Tawa Suto yang mengguncangkan pundak itu
membuat si gadis semakin berani sunggingkan senyum melebar.
"Namaku.... Telaga
Sunyi."
"Wow...! Nama julukan
yang cantik sekali. Pas untuk gadis secantik kau!"
Hati sang gadis berkata dalam
hati, "Ah, dia selalu bikin jantungku berdebar-debar. Dia pandai memikat
hati. Mungkin seribu gadis sudah pernah jatuh dalam pelukannya. Tapi...
biarlah, semuanya biar berlalu, dan aku pun barangkali akan berlalu."
Lalu terdengar suara Suto
Sinting berkata, "Seandainya aku punya nama seperti itu, akan kuukir pada
setiap pohon sepanjang Tanah Jawa ini. Sayangnya namaku tak seindah namamu. O,
ya... kau perlu tahu namaku?"
"Sudah tahu! Namamu Suto
Sinting, bukan? Kau murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, bukan? Kau punya
gelar Pendekar Mabuk, bukan?"
"Rupanya kau lebih banyak
tahu tentang diriku. Pasti kau ada di antara penonton yang mengelilingi
pertarunganku dengan Karto Dupak tadi!"
"Memang."
"Lalu apa maksudmu
mengikutiku? Aku yakin kau punya maksud tertentu! Katakan saja, barangkali aku
bisa membantumu!"
"Ayahku sakit. Aku butuh
seorang tabib. Kudengar kau juga dijuluki sebagai Tabib Darah Tuak. Aku ingin
mengundangmu datang ke rumah untuk mengobati ayahku. Tapi aku tak berani
mendekatimu."
"Kenapa tak berani?"
"Takut kau sangka aku
terpikat olehmu dan mengada-ada!"
"Kalau toh benar begitu
aku tak akan marah!"
"Ah, tidak sebenar itu!
Aku hanya butuh bantuanmu sebagai tabib."
"Sakit apa ayahmu?"
"Kata beberapa orang
pintar, beliau terkena Ilmu 'Teluh Cakar Buntung'. Sudah tiga belas tabib yang
menanganinya, tapi tak ada yang mampu membereskan ilmu teluh itu."
"Teluh Cakar
Buntung'...!" gumam Suto. Lalu tersenyum tipis setelah berkerut dahi,
"Aneh sekali namanya. Umumnya kalau tangan buntung itu tidak bisa dipakai
untuk mencakar. Tapi ini malah 'cakar buntung'?!"
Telaga Sunyi angkat pundak
tanda tak mengerti maunya si pemilik ilmu hingga memberi nama seperti itu.
Gadis itu akhirnya setengah mendesak Suto dengan pertanyaan halus,
"Sudikah kau menolong ayahku?"
Setelah menghempaskan napas
panjang Pendekar Mabuk pun menjawab. "Demi menyelamatkan jiwa seseorang,
aku tak pernah keberatan memberikan pertolongan."
"Berapa upah yang harus
kuberikan padamu sebagai tabib?"
"Terlalu mahal untuk
dibayar, terlalu murah untuk diremehkan. Yang jelas aku bukan tabib. Aku
seorang pendekar! Kalau toh ada yang mengatakan aku tabib, itu hak mereka
sebagai manusia yang bebas berpendapat."
"Enak sekali
bicaranya," pikirnya si gadis.
"Barangkali yang bikin
menarik adalah senyumannya. Senyum kejantanan yang sering kuimpikan, namun
tidak untuk kumiliki! Karena tak mungkin dia mau kumiliki. Jadi lebih baik aku
tidak perlu berharap untuk bisa memiliki dia!'
Begitulah hati Telaga Sunyi
yang menentang perasaannya sendiri. Sebab itu ia tak berani berjalan terlalu
dekat dengan Suto Sinting, ia selalu jaga jarak, karena jika terlalu dekat
hasrat hatinya selalu ingin menggandeng lengan sang pendekar tampan itu. Ia
membatasi diri demi menyelamatkan hatinya agar tak timbul luka oleh harapannya
sendiri.
Pendekar Mabuk tak merasa
kecewa menunda niatnya bertemu Nyai Kucir Setan, karena menurutnya ada hal yang
lebih perlu lagi untuk dilakukan. Bertamu dengan ayahnya Telaga Sunyi merupakan
suatu pengalaman baru baginya. Karena ia akan bertemu dengan orang yang
menderita Ilmu 'Teluh Cakar Buntung', ia sangat penasaran, seperti apa korban
'Teluh Cakar Buntung' itu? Apakah ia mampu menyembuhkannya, atau malah membuat
si penderita semakin parah? Secara jujur diakui hati Suto, bahwa ia ingin
menjajal kemampuannya dalam melawan ilmu teluh semacam itu. ia pun ingin
mengukur, sebesar apa kekuatan ilmu teluh tersebut.
Sayang sekali mereka tak bisa
cepat tiba di rumah Telaga Sunyi, karena tiba-tiba sebatang anak panah melesat
dari arah samping Suto Sinting. Zlaaap...!
Tangan Suto berkelebat ke
samping dengan sedikit gerak pundak serong ke arah datangnya anak panah.
Teeb...! Dalam waktu sekejap, dengan gerak yang nyaris tak terlihat, anak panah
itu sudah tertangkap dalam genggaman Pendekar Mabuk.
Telaga Sunyi kaget melihat
anak panah bermata emas itu. Ia mulai gusar, dan Suto menangkap kegusaran itu
sebagai kecemasan yang amat dalam. Suto pun berbisik,
"Bersembunyilah! Akan
kuhadapi sendiri orang ini!"
*
* *
4
MUNCULNYA seorang pemuda
berusia sekitar dua puluh lima tahun membuat Pendekar Mabuk berkerut dahi.
Tentu saja Suto heran dengan pemuda berkumis tipis yang punya ketampanan
lumayan itu. Ia belum pernah jumpa dengan pemuda berambut pendek yang
mengenakan ikat kepala dari logam emas, tengahnya berhias batu merah bening.
Penampilannya cukup memukau, ia berpakaian merah, baju panjang warna putih
berkancing emas, rompi merah dan celana merah bersulam benang emas pada
tepiannya. Tangan kirinya menggenggam busur panah yang terbuat dari kayu
berlapis emas pada ujung-ujungnya. Sedangkan anak panah ada di dalam kantong
kulit yang bertali, dan talinya diselempangkan di dada. Tempat anak panah itu
ada di sebelah kiri.
"Gagah sekali dia.
Berkesan mewah. Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Bukan seorang pengelana
dan bukan pula seorang dari rimba persilatan," pikir Suto Sinting dengan
sikap memandang penuh selidik. Pemuda itu kalem-kalem saja. Caranya memandang
juga kalem, tapi punya kesan bermusuhan dengan Suto Sinting.
Ia berhenti tepat di depan
Suto dalam jarak lima langkah. Keduanya sama-sama berdiri tegak, kedua kaki
sedikit merenggang. Tingginya sama, besar badannya juga sama. Yang beda cuma
ketampanannya dan pakaiannya. Suto Sinting lebih kumuh dari pemuda itu. Tangan
Suto masih menggenggam anak panah yang tadi ditangkapnya. Dengan alasan itu
Suto Sinting mengawali percakapannya.
"Kau pemilik anak panah
ini?""Benar!" jawabnya tegas, sama tegasnya dengan nada suara
Suto Sinting.
"Kau sengaja membidikkan
anak panah ini kepadaku?"
"Sengaja!"
"Apa alasanmu? Kita belum
pernah saling kenal."
"Namaku Pangeran
Kertapaksi dan kau Pendekar Mabuk; Suto Sinting! Sekarang kita sudah saling
kenal!"
"Dari mana kau tahu
namaku?"
"Ciri-cirimu sangat jelas
dan kucatat dalam otakku!"
"Syukurlah kalau kau
masih punya otak," ujar Suto sambil tersenyum bernada melecehkan. Pangeran
Kertapaksi tersenyum sinis. Hanya ujung bibir kanannya yang ditarik naik
sedikit. Matanya tetap menatap tajam berkesan dingin.
"Mengapa kau ingin
membunuhku, Kertapaksi?"
"Syarat untuk meminang
Putri Muria Wardani adalah menyingkirkan kau dalam hidupnya!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi.
"Tadi Karto Dupak juga menyinggung-nyinggung nama perempuan itu, sekarang
Kertapaksi juga menyinggung nama itu. Siapa pemilik nama itu sebenarnya?
Mengapa dihubungkan dengan diriku?!" pikir Suto Sinting bingung sendiri.
Kala ia berpikir, Kertapaksi berucap kata dengan nada ketus.
"Buatku adalah hal yang
paling mudah menyingkirkan dirimu. Tapi aku akan beri kebijaksanaan padamu.
Jika kau mau menyingkir dari kehidupan Muria Wardani, aku tak akan memusuhimu.
Bahkan aku ingin bersaudara denganmu. Tapi jika kau tak mau mundur, aku
terpaksa menyatakan perang padamu, Suto Sinting!"
"Nanti dulu!" sergah
Suto. "Sejujurnya kukatakan padamu, aku tidak kenal siapa Muria Wardani
itu!"
Kertapaksi sunggingkan senyum
sinis lagi sebagai tanda tak percaya. Sekali lagi Pendekar Mabuk dibuat heran
melihat senyum tidak percaya itu, sebab Karto Dupak pun tidak mau percaya
dengan pernyataannya itu.
"Ada apa
sebenarnya?" gumam murid sinting si Gila Tuak, seakan bicara pada dirinya
sendiri. Tapi Kertapaksi menanggapinya dengan nada ketus,
"Apa maksudmu
berpura-pura bingung? Apakah kau takut melawanku? Kalau kau takut, kau mundur
saja. Putuskan hubungan cintamu dengan
Muria Wardani!"
"Ini lebih edan
lagi!" gerutunya dalam hati. Lalu, Suto berkata dengan suara jelas,
"Aku tidak punya hubungan cinta dengan Muria Wardani. Jangan libatkan aku
dalam urusan ini!"
Senyum Kertapaksi kian lebar,
kian berkesan sinis dan melecehkan. "Kalau saja Muria Wardani mendengar
sendiri ucapanmu, pasti kau akan ditamparnya dan mungkin dia akan sakit hati
padamu seumur hidup!"
"Kau orang yang sulit
diberi penjelasan, Kertapaksi!"
"Karena aku bukan anak
kecil yang mudah kau tipu dengan gayamu itu, Pendekar Mabuk!" Kali ini
ucapan Kertapaksi agak keras, sebagai tanda bahwa ia mulai jengkel kepada lawan
bicaranya.
"Barangkali memang sudah
menjadi gayamu, karena kau memegang gelar pendekar, maka kau selalu merendahkan
diri di depan siapa saja. Tapi sikapmu itu semata-mata untuk menghindari
pertarungan denganku. Sikapmu itu termasuk suatu kelicikan, Suto! Tak pantas
seorang pendekar kondang bersikap licik seperti itu!" Kertapaksi berjalan
memutari Suto Sinting. Sambungnya lagi,
"Aku bisa meraba
siasatmu. Kau berlagak tak kenal dengan Muria Wardani supaya terhindar dari permusuhan
denganku. Tapi diam-diam kau telah punya rencana untuk membawa lari Muria
Wardani di saat aku lengah dan tak menduga begitu!"
Kertapaksi tiba di tempat
semula dan berhenti, menghadap Suto Sinting dengan tegap lagi. Ia menuding
menggunakan busurnya,
"Kau pengecut! Tak pantas
jadi seorang pendekar! Kalau kau takut bertarung, jangan menyandang gelar
pendekar!"
"Bukan pertarungan yang
kutakuti, tapi kekalahanmu itu yang kucemaskan, Kertapaksi!" kata Suto
dengan nada balas mengejek lawannya.
"Kalau begitu kita
buktikan siapa yang unggul di antara kita!"
"Apakah itu perlu?"
ujar Suto dengan maksud menghindari pertarungan seperti menghadapi Karto Dupak
tadi.
"Kurasa itu memang
perlu," ujar Kertapaksi sedikit mendesak. "Kita perlu saling
membuktikan, siapa yang unggul di antara kita, dan siapa yang berhak mengawini
Murla Wardani."
Pendekar Mabuk geleng-geleng
kepala sambil tersenyum tenang. Bukan berarti dia tak mau menerima tantangan
itu, tapi merasa heran mengapa Kertapaksi sengotot itu kepadanya. Kertapaksi
diam tak bergerak, tapi dari kedua matanya memancarkan sinar kebencian yang
begitu kuat. Suto Sinting merasakan kebencian itu menembus sampai ke dasar
hatinya, ia hanya menarik napas sebagai rasa iba melihat sikap Kertapaksi yang
dianggap keliru itu.
"Cobalah dinginkan
kepalamu, Kertapaksi. Kau salah sasaran. Barangkali bukan aku orang yang patut
kau benci!"
"Kau...!" jawab
Kertapaksi dengan tegas sekali.
Pendekar Mabuk sengaja tertawa
dalam gumam. Kemudian ia membuka bumbung tuaknya untuk meneguk tuak. Namun baru
saja ia mau melepas tutup bumbung itu, tiba-tiba tangan Kertapaksi yang kanan
menghentak ke depan. Wuuut...! Wuuus...! Deeb!
Pukulan tenaga dalam padat
menghantam pinggang Suto Sinting. Pukulan itu sebenarnya dapat membuat tubuh
Suto mental sekitar lima langkah ke belakang, karena cukup besar dan berat.
Hanya saja, Suto Sinting masih bisa menahan dengan mengencangkan perutnya saat
menerima pukulan itu, sehingga ia hanya menggeloyor ke belakang dua tindak.
Tapi napasnya terasa sesak dan berat untuk dihela. Bumbung tuaknya masih dalam
keadaan terangkat mau dibuka tutupnya. Bumbung tuak itu akhirnya berkelebat ke
samping kiri ketika Kertapaksi lepaskan pukulan bercahaya merah dari ujung
busur yang disodokkan ke depan. Claap...!
Draak! Wuuus....
Sinar merah itu membentur
bumbung tuak dan berbalik arah. Wuuut...!
Kertapaksi tersentak kaget dan
gerakkan nalurinya menghentakkan kaki hingga ia melesat ke atas dalam gerakan
salto. Wuk, wuk...! Dan sinar merah yang berubah lebih besar itu menghantam
sebuah pohon dengan kerasnya. Blegaar...!
Kraaak...! Bruuussk...!
Pohon itu tumbang seketika,
pecah dalam keadaan terbelah menjadi lima bagian memanjang. Mata pemuda
berkumis tipis itu sempat terperanjat melihat pohon itu menjadi terbelah begitu
dalam keadaan keluarkan asap yang menghanguskan bagian kulitnya.
"Edan! Jurusnya siapa
itu? Jurusku tidak sedahsyat itu. Jurusku hanya bisa membakar kulit tubuh
lawan, tidak sampai memecahkan pohon sebesar itu," pikir Kertapaksi dengan
menelan ludahnya sendiri, merasa ngeri membayangkan seandainya yang terkena
sinar merah itu adalah manusia, entah seperti apa jadinya.
Namun pemuda beralas kaki
sandai lilit itu tetap tunjukkan sikap tenangnya, ia tak mau dilihat
keheranannya oleh lawan. Bahkan ia sempat tersenyum sinis, seakan memamerkan
kekuatan ilmunya yang bisa memecahkan pohon sebesar itu.
"Kurasa kau sudah cukup
mengenali ilmuku, Suto Sinting. Seperti itulah kira-kira ilmuku. Untung kau
tadi bisa menangkisnya dengan bumbung tuakmu, jika tidak kau akan bernasib
seperti pohon itu, tahu?!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum
tipis. Kemudian segera meneguk tuaknya, ia lebih kalem dan lebih tenang dari
Kertapaksi. Setelah meneguk tuaknya, suaranya segera terdengar dengan jelas.
"Kuakui kau punya ilmu
yang hebat, dan pasti lebih tinggi dariku. Jadi, kurasa kau bukan lawan
tandingku. Kuakui kehebatanmu, Kertapaksi. Puas?!"
"Apakah kau ingin halangi
niatku mempersunting Muria Wardani?"
"O, tidak! Silakan
saja!"
"Kau mau memutuskan
hubungan cintamu dengannya?"
"Dengan senang hati,
karena memang aku tak punya hubungan apa-apa!"
"Hmm...!" Kertapaksi
mencibir sinis. Setelah diam sesaat dalam beradu pandang, Kertapaksi akhirnya
berkata,
"Rasa-rasanya belum puas
hatiku mendengar jawaban dan pernyataanmu! Kubaca hatimu, kau punya siasat
licik untuk mengecohkan diriku!"
"Percayalah! Aku tak akan
menemui Muria Wardani lagi!"
"Kupandangi matamu dan
kutemukan sorot kebohongan yang amat besar! Rupanya kau perlu dibuat jera
dengan membuatmu terluka dulu!"
"Kertapaksi, kumohon
jangan menyerangku!"
"Tidak bisa! Kau harus
menerima pukulan 'Racun Gempur Tulang' ini, heeah...!"
Rupanya pemuda berkulit tipis
itu penasaran sekali melihat Suto Sinting masih segar bugar, ia ingin melukai
Suto sebagai tindakan yang lebih nyata lagi atas kesaktian ilmunya. Maka
dilepaskanlah pukulan bersinar kuning memutar seperti angin puting beliung dari
telapak tangan kanannya. Wusst...! Sinar kuning memutar itu menghantam Suto
Sinting. Tetapi keadaan Suto Sinting cukup siap. Tangan kirinya segera
mengembang dengan jari merapat. Lalu tangan itu menghentak ke depan dan
keluarlah sinar ungu sebesar lidi. Sinar itu melesat lurus membentur sinar
kuning besar. Tapi sinar kuning itu tertahan di pertengahan jarak. Makin lama
gerakannya semakin mundur karena terdesak oleh sinar ungunya Suto.
Kertapaksi menahan sinar
kuningnya agar tetap memancar hingga tubuhnya bergetar. Suto Sinting hanya
bergetar bagian tangan yang memancarkan sinar ungu itu. Lalu, kaki Suto
menghentak ke tanah satu kali, seakan melepaskan tenaga dalam jurus itu secara
tuntas. Duuuk...!
Wuuut...! Sinar kuning
terdesak mundur dengan cepat dan menghantam tangan pemiliknya sendiri.
Blaam...! Keadaan sinar itu sudah bercampur dengan sinar ungunya Suto, sehingga
Kertapaksi pun memekik kesakitan.
"Aaahg...!" tubuhnya
terlempar ke belakang manakala sinar-sinar itu padam, seakan telah menghantam
tubuh Kertapaksi. Kejap berikutnya Kertapaksi mengejang dan menggeliat-geliat
dengan mata mendelik dan mulut ternganga-nganga. Dari mulutnya keluar asap,
juga dari hidung dan telinga. Asap itu berwarna kuning, sebagai pertanda jurus
'Racun Gempur Tulang' telah mengenai pemiliknya sendiri.
Pada saat itu terdengar suara
langkah kaki kuda mendekati tempat tersebut. Dari deru irama langkahnya, Suto
yakin ada dua ekor kuda yang menuju ke tempat itu. Untuk melihat siapa yang
datang, Suto Sinting segera hentakkan napas ke bawah, perut menjadi keras dan
tubuh pun melesat naik dalam keadaan seperti berdiri tegak. Lalu menerabas
dedaunan dan hinggap di salah satu ranting sebesar pensil tulis.
Wuuut! Wruus...!
Suto diam di sana sambil
memperhatikan ke arah bawah. Ternyata dugaannya memang benar. Dua orang
penunggang kuda datang bersama kuda mereka masing-masing. Kedua orang itu
mengenakan pakaian seragam yang warna dan potongannya sama. Hanya senjata
mereka yang berbeda.
"Sepertinya mereka
prajurit sebuah negeri?!' pikir Suto Sinting dari atas pohon.
Kedua orang itu terkejut
melihat keadaan Kertapaksi kejang-kejang dengan asap kuning tipis masih
mengepul dari lubang mulut, hidung, dan telinganya. Salah satu ada yang berseru
sambil melompat turun dari punggung kuda,
"Gusti
Pangeran...?!"
Yang satunya ikut turun dengan
tegang dan berkata, "'Racun Gempur Tulang'?! Ya, aku tahu persis asap
kuning itu pasti kekuatan 'Racun Gempur Tulang'!"
"Bukankah yang mempunyai
racun itu Gusti Kertapaksi sendiri?!"
"Memang. Tapi... kok bisa
mengenai diri sendiri, ya?"
"Sudahlah dibicarakan
nanti saja. Sekarang angkut Gusti Kertapaksi ini dan bawa pulang. Jangan
sampai terlambat, nanti racun itu
terlanjur mencapai jantung, habislah riwayatnya!"
"Wah, wah, wah... dikasih
tahu jangan berburu di daerah hutan sini kok masih nekat! Gusti Kertapaksi
tidak mau percaya omonganku, bahwa hutan sini itu angker! Tak baik untuk berburu.
Tapi, ah... dasar bandel!"
"Sudah, angkat dan
naikkan ke kudamu!" sentak temannya yang bersenjata trisula kembar di
pinggangnya.
Pendekar Mabuk menggumam
sendiri, "Kurang apa aku mengalah padanya? Tapi dasar orang bodoh, sudah
diakui kehebatannya masih saja mau lukai diriku! Yah, akibatnya tanggung
sendirilah! Bukan salahku, kan?!"
Suto Sinting lompat turun dari
atas pohon tanpa timbulkan suara. Ia memandang ke arah kepergian lawannya yang
sudah tidak kelihatan itu. Ia membatin kata,
"Ternyata pecahan dari
jurus 'Surya Dewata'-ku tadi cukup lumayan jika digunakan sewaktu-waktu. Dapat
kalahkan kekuatan tenaga dalam lawan. Padahal itu hanya pecahan jurus 'Surya
Dewata', apalagi kalau jurus itu kugunakan secara utuh, wah... kasihan si
Kertapaksi, bisa tak bernyawa seketika tadi. Eh, tapi... ngomong-ngomong si
Telaga Sunyi tadi ke mana?!"
Suto Sinting celangak-celinguk
mencarinya. Tiba-tiba yang dicari sudah muncul di belakangnya dan langsung
menyapa mengagetkan Suto,
"Apakah kau mencariku,
Pendekar Tampan?"
"Ah, kau...! Kukira kau
diculik setan hutan sini!"
"Setannya takut sama
kamu!" jawab Telaga Sunyi sambil tersenyum. Kejap berikut senyuman itu
hilang. Telaga Sunyi mengajak teruskan langkah menuju ke rumahnya. Sambil
meneruskan langkah, Telaga Sunyi bicara tentang kejadian tadi.
"Kertapaksi memang
seorang pangeran. Aku kenal dengannya. Dia anak Raja Digdayuda Kerajaan
Bumiloka. Kegemarannya berburu, ia seorang jago panah. Kabarnya jika berburu ia
selalu menggunakan panah berujung emas untuk menghargai kematian hewan
buruannya. Negeri Bumiloka memang kaya akan hasil tambang emas dan perak."
"Tapi aku baru kali ini
jumpa dengannya," ujar Suto. "Bahkan aku tidak menyangka sama sekali
kalau ia benar-benar bernafsu untuk mencelakaiku."
"Aku sendiri tidak
menduga kalau dia akhirnya tumbang oleh kekuatannya sendiri. Padahal 'Racun
Gempur Tulang' itu merupakan ilmu tinggi yang menjadi salah satu ilmu
andalannya. Orang yang terkena 'Racun Gempur Tulang' akan mengalami kelumpuhan
sekujur tubuh selamanya. Obatnya hanya dimiliki oleh gurunya sendiri."
"Siapa gurunya Kertapaksi
itu?"
"Hmmm .," gadis
cantik itu berkerut dahi mengingat sebentar. "Kalau tak salah gurunya
berjuluk Resi Pakar Pantun."
"Hei...?!" Suto
hentikan langkah karena kaget mendengar nama itu. Ia segera berkata penuh
semangat, "Aku kenal dengan Resi Pakar Pantun. Tapi setahuku, Resi Pakar
Pantun hanya mempunyai murid Tuanku Nanpongoh."
"Siapa bilang? Resi Pakar
Pantun punya murid lebih dari lima. Kalau tak salah ada tujuh murid. Tapi mereka
tidak bersatu. Artinya tidak berkumpul dalam satu perguruan. Resi Pakar Pantun
itu menurunkan ilmunya kepada orang-orang tertentu, terutama orang-orang
keturunan bangsawan."
Pendekar Mabuk teruskan
langkah setelah menggumam dan manggut-manggut. Bayangannya segera tertuju pada
seraut wajah tua berambut uban tipis, nyaris botak. Tokoh tua berjenggot putih
yang gemar bermain pantun dalam bicaranya itu pernah diselamatkan oleh Suto
Sinting ketika melakukan pertarungan melawan Maling Sakti beberapa waktu yang
lalu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pisau Tanduk
Hantu"). Dan Suto sama sekali tidak menduga kalau Kertapaksi adalah murid
si tua Pakar Pantun itu.
Namun hal yang paling
mengganjal hati Pendekar Mabuk bukan nama sang Resi, melainkan nama seorang
gadis yang dianggap sebagai kekasihnya. Kedua lawannya sama-sama menyebutkan
nama itu sedangkan Suto merasa asing sekali dengan nama Murla Wardani.
"Sebetulnya aku tidak
punya persoalan dengan Pangeran Kertapaksi itu," katanya kepada Telaga
Sunyi bersifat meluruskan anggapan sang gadis. Karena Suto yakin sang gadis
mengikuti percakapan dan pertarungannya dengan Kertapaksi. Sambungnya lagi,
"Sebenarnya aku tidak
ingin melawan dia. Pertama, karena aku belum tahu siapa dia sebenarnya, kalau
kutahu dia murid Resi Pakar Pantun aku tambah sungkan. Karena hubunganku dengan
Resi Pakar Pantun sangat baik. Kedua, karena aku tidak merasa menjadi
kekasihnya gadis bernama Muria Wardani."
"Betulkah? Jangan-jangan
kau dusta?" Telaga Sunyi tersenyum menggoda.
"Sungguh. Aku tidak
dusta. Aku belum pernah bertemu dengan yang bernama Muria Wardani. Malahan mendengar namanya saja baru hari ini melalui
Karto Dupak dan Kertapaksi itu."
Telaga Sunyi senyum-senyum
saja walau kepalanya manggut-manggut. Ada kesan tidak percaya, tapi juga ada
kesan geli mendengar masalah yang dihadapi Pendekar Mabuk itu.
"Apakah kau kenal dengan
gadis yang dimaksud Kertapaksi tadi?"
"Setahuku Kertapaksi
memang naksir berat pada Muria Wardani. Dia pernah melamar Muria Wardani tapi
ditolak. Aku tak tahu apa sebabnya, yang jelas sejak itu Kertapaksi tak mau
keluar dari Istananya. Hidupnya murung terus, sampai akhirnya sang ayah
sendiri, yaitu Prabu Digdayuda menemui orangtua Muria Wardani dan melamarnya
untuk yang kedua kali. Tapi... tapi juga ditolak atau, entah bagaimana aku tak
jelas soal lamaran yang kedua itu."
"Apakah kau tahu siapa
Muria Wardani itu?"
Telaga Sunyi diam sejenak
walau masih tetap melangkah. Sesaat kemudian ia berkata tanpa memandang Suto
Sinting,
"Aku memang kenal dengan
Muria Wardani."
Baru sampai di situ, ucapan
Telaga Sunyi terputus karena tiba-tiba sebuah sinar melesat ke arahnya, dan
Suto Sinting berkelebat menghadang sinar itu. Wuuut...!
Sinar yang datang dari arah
belakang itu berwarna hijau muda seperti bintang berekor. Saat Pendekar Mabuk
mengetahui kelebatan sinar tersebut, ia buru-buru berbalik arah dan bergeser
menutupi punggung Telaga Sunyi. Maksudnya ingin menghantam sinar itu dengan
jurus 'Surya Dewata' juga, tetapi gerakannya terlambat. Sinar hijau itu justru
mengenai dadanya dengan telak. Dees...!
"Aaahg...!" Pendekar
Mabuk tersentak dan mengejang, kemudian limbung ke kiri dan jatuh. Bruuk...!
"Sutooo...?!" pekik
Telaga Sunyi yang terlambat menyambar tubuh Pendekar Mabuk. Gadis itu menjadi
tegang melihat Pendekar Mabuk mengerang dengan wajah mulai membiru. Napas
ditahan kuat-kuat untuk imbangi rasa panas yang membakar bagian dalam tubuhnya,
ia tak bisa berbuat apa-apa ketika diseret ke bawah pohon oleh Telaga Sunyi.
"Sutooo...?! Ada apa?
Kenapa kau?!"
Tentu saja Telaga Sunyi
bertanya demikian karena ia tidak melihat datangnya sinar hijau. Tahu-tahu ia
dikejutkan dengan gerakan Suto yang berkelebat ke arah belakangnya dan sebelum
rasa kaget itu lenyap ia sudah temukan Suto Sinting jatuh terhempas ke tanah.
"Ad... ada orang yang...
yang ingin menyerangmu!" ucap Suto Sinting dengan suara berat dan susah
karena tenggorokannya mulai terasa panas, terlalu sakit untuk keluarkan suara.
Telaga Sunyi makin
membelalakkan mata ketika melihat kulit tubuh Suto kian membiru. Bintik-bintik
merah mulai keluar dari pori-pori tubuh si pendekar tampan. Telaga Sunyi segera
berucap dengan nada tegang,
"Pukulan 'Inti Bara'...?!
Oh, celaka! Kulitmu akan terkelupas dalam waktu beberapa saat lagi, Suto! Kau
tak boleh terkena sinar matahari! Sinar itu akan membakar bagian dalam tubuhmu,
dan...."
Sebuah suara menyahut dari
arah belakang Telaga Sunyi,
"Dan dia akan mati dalam
keadaan tanpa kulit, lalu bagian dalam tubuhnya akan mengering hangus secara
perlahan-lahan!"
Telaga Sunyi cepat palingkan
wajah dan menggeram marah melihat orang yang bicara itu. Sudah pasti orang
itulah yang mempunyai jurus 'Inti Bara' yang dikenali oleh Telaga Sunyi itu.
Dengan gigi menggeletuk Telaga Sunyi bangkit berdiri dan menggeram penuh kebencian,
"Kaaauu...! Sudah kuduga
kaulah orangnya!"
Orang itu hanya tersenyum
sinis bersikap menantang.
5
PEMILIK pukulan 'Inti Bara'
itu adalah seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun yang mengenakan
jubah tanpa lengan warna ungu. Pinjung penutup dadanya berwarna merah menyala,
sangat ketat hingga tampak tersumbul belahan dadanya yang membengkak kencang
berkulit kuning langsat itu.
Perempuan tersebut mempunyai
senjata cakra, bentuknya seperti anak panah dengan ujung bergerigi. Senjata itu
lebih menyerupai bentuk kilatan petir yang terbuat dari besi putih anti karat.
Dengan rambut disanggul seluruhnya, jatuh ke tengkuk bagaikan ekor kuda gemulai
ia tampil dalam kecantikan yang matang. Matanya bening dengan tepian mata
berwarna hitam, mengesankan kejalangannya. Hidungnya mancung kecil, sesuai
dengan bibirnya yang sedikit tebal namun berbentuk indah menggairahkan.
Perempuan bertahi lalat kecil
di dagu kiri itu dikenal oleh Telaga Sunyi sebagai kakak seperguruannya yang
berhati sirik. Perempuan itu berjuluk Dewi Gapit Mesra. Perempuan berkalung
batuan hijau giok sama seperti Telaga Sunyi itu dikenal pula sebagai murid yang
liar, bahkan ia dianggap sebagai murid murtad oleh sang Guru, sehingga tak
diizinkan masuk ke wilayah perguruannya lagi.
"Apa maksudmu mencelakai
pemuda ini dengan pukulan 'Inti Bara', Aryani?!" sentak Telaga Sunyi
dengan menyebut nama asli Dewi Gapit Mesra.
"Seharusnya kau yang
terkena pukulan itu. Sayang sekali di tampan bodoh berlagak menjadi
pelindungmu, akhirnya ia sendiri kena batunya!"
Pendekar Mabuk saat itu dalam
keadaan sadar, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena merasakan sekujur tubuhnya
bagaikan sedang dibeset-beset untuk dikuliti. Namun pikiran dan pendengarannya
masih tertuju pada percakapan tersebut. Matanya sempat memandang samar-samar
wajah cantik yang penuh gairah untuk bercinta itu.
"Rupanya kau masih ingin
lanjutkan persoalan masa lalu kita, Dewi Gapit Mesra?!"
"Itu persoalan usang yang
sudah kulupakan. Persoalan baru adalah lebih penting daripada persoalan
lama."
"Persoalan baru apa
maksudmu?"
"Kau telah membunuh Ranu
Palwa. Padahal kau tahu bahwa Ranu Palwa adalah kekasihku!"
"Ranu Palwa ingin
memperkosaku dan selalu mengejarku ke mana saja aku pergi. Mau tak mau aku
membereskannya setelah ia berhasil menodai adikku yang membuat adikku akhirnya
bunuh diri karena merasa malu telah ternoda!"
"Omong kosong! Ranu Palwa
tidak akan serakus itu, karena ia telah mendapatkan kemesraan dariku lebih dari
cukup!"
"Anggapanmu selama ini
tentang Ranu Palwa adalah keliru! Dia bukan lelaki yang setia kepada
kekasihnya. Dia adalah lelaki buaya, yang tak pernah puas mempermainkan cinta
satu wanita saja."
"Persetan dengan
alasanmu! Aku menuntut kematiannya, dan kau harus menebusnya dengan nyawa,
Telaga Sunyi!"
"Kalau itu maumu, aku
siap melayanimu, Dewi Gapit Mesra! Tapi perlu kau ketahui, bahwa kau dan Ranu
Palwa sebenarnya sama-sama makhluk yang rakus cinta. Tak pernah ada puasnya
walau selalu berganti-ganti pasangan!"
"Tutup mulutmu!"
bentak Dewi Gapit Mesra. "Terima saja ajalmu sekarang juga!
Hiaaat...!"
Dewi Gapit Mesra langsung
cabut senjata cakranya dan ia melompat menerjang Telaga Sunyi. Wuuus...!
Sedangkan Telaga Sunyi tak kalah sigap menghadapi serangan kakak
seperguruannya. Kakinya menyentak ke tanah dan tubuhnya melenting di udara
sambil mencabut pedangnya. Sreeet...!
Trang, trang, blaaar...!
Kedua senjata beradu di udara,
yang akhirnya saling lepaskan sinar sama-sama berwarna merah. Kedua sinar dari
senjata masing-masing itu saling membentur dan menimbulkan ledakan yang lumayan
kuatnya. Kedua perempuan itu saling terpental mundur. Tapi Telaga Sunyi
terpental lebih jauh hingga jatuh ke semak-semak. Gusraak...! Ia buru-buru
bangkit karena mendengar seruan Dewi Gapit Mesra yang bergegas menyerangnya kembali.
"Hiaaat...!"
Lompatannya kali ini menyerupai seekor singa betina yang buas dan sangat
bernafsu terhadap mangsanya. Senjata cakra bergerigi itu dikibaskan ke arah
dada Telaga Sunyi yang baru saja berdiri. Namun pedang Telaga Sunyi
menangkisnya dengan cepat. Trang... duaaar...! Tubuh Telaga Sunyi terpelanting
hingga memutar. Kesempatan itu dimanfaatkan untuk melayangkan tendangannya
hingga kepala Dewi Gapit Mesra tersabet kaki Telaga Sunyi dengan keras.
Plook...! Wuuut...! Tubuh Dewi Gapit Mesra terlempar ke samping. Jatuh dengan
pundak membentur pohon cukup keras. Duurr...! Pohon pun bergetar sebagai tanda
bahwa benturan itu mempunyai tenaga dalam cukup tinggi. Tab, tab, tab, tab...!
Telaga Sunyi berjungkir balik
di tanah dengan lincah dan cepat, tahu-tahu tubuhnya melayang dan mendarat di
tanah datar tak jauh dari samping Suto Sinting. Jaraknya dengan Dewi Gapit
Mesra sekitar tujuh langkah.
Mata gadis itu melirik Suto
Sinting, ia menjadi cemas melihat keadaan Suto semakin parah. Sebagian kulitnya
sudah mulai tersayat dan ingin mengelupas. Telaga Sunyi segera berpikir,
"Aku harus segera
menyelamatkan dia, membawanya ke tempat yang tidak terkena sinar
matahari!"
Dewi Gapit Mesra mengibaskan
kepalanya membuang kunang-kunang di mata akibat tendangan Telaga Sunyi tadi.
Kini ia berdiri dengan kaki merentang dan senjata cakranya disentakkan ke
depan. Craang...! Gerigi di ujung senjata itu berputar cepat memercikkan bunga
api. Lalu dengan gerakan cepat senjata itu dikibaskan dari kanan ke kiri.
Craaang...! Slaaap...!
Sinar merah keluar dari
putaran gerigi tersebut. Sinar itu berbentuk biasan cahaya yang mengarah kepada
lawan.
Telaga Sunyi tahu bahwa bias
sinar merah itu tak boleh ditangkis karena tak ada kekuatan yang bisa untuk
menangkis biasan sinar merah lebar itu. Maka Telaga Sunyi sentakkan kakinya
lagi dan melambung di udara dengan cepat. Wuuut...! Dalam sekejap ia sudah
berada di atas dahan sebuah pohon. Dari sana ia lepaskan pukulan bersinar biru
yang melesat melalui telapak tangan kirinya. Claaap...!
Blaaar...! Sinar merahnya
Aryani tadi menghantam sebongkah batu, dan batu itu langsung hancur tak tahu
menyebar ke mana serpihannya. Sedangkan sinar birunya Telaga Sunyi segera
ditangkis dengan gerakan lurus senjata cakra tersebut. Gerakan lurus itu menghasilkan
sinar merah sama besar dan sama lurusnya dengan sinar biru. Lalu keduanya
saling bertabrakan dalam jarak lebih dekat ke arah Dewi Gapit Mesra.
Blegaaar...!
Dahsyat sekali bunyi ledakan
yang timbul dari bentrokan dua sinar tersebut. Dewi Gapit Mesra terjungkal ke
belakang bagaikan terbang, dan jatuh dalam keadaan telungkup dengan keras,
seakan terbanting dari sebuah ketinggian. Bruuus...!
"Aaahg...!" Dewi
Gapit Mesra memekik. Sebatang tonggak kayu runcing berukuran satu jengkal,
menancap di bagian tepi pinggang kanannya. Jruuus...!
Tonggak kayu kering itu memang
tidak sampai merobek lambung, namun cukup parah melukai kulit pinggang. Dewi
Gapit Mesra menyeringai sambil menyentakkan tubuh untuk bangit. Srrub...! Ia
pun lolos dari tonggak kayu runcing itu.
Pada saat itu ia menjadi
kebingungan melihat Telaga Sunyi sudah tak ada di tempat. Pemuda yang tadi
dilihatnya terkapar terkena pukulan 'Inti Bara' itu juga hilang dari tempatnya.
Padahal Dewi Gapit Mesra akan melepaskan pukulan berbahaya itu lagi untuk
menumbangkan Telaga Sunyi. Sayangnya sang lawan sudah lebih dulu menghilang
entah ke mana arah perginya.
"Setan licik! Ke mana
kau, Telaga Sunyiii...!" teriaknya dengan murka. Tangannya masih
menggenggam luka berdarah yang membasahi jubbah ungunya itu. Dengan kegeraman
yang meluap, Dewi Gapit Mesra akhirnya melesat pergi mencari Telaga Sunyi yang
diduga belum jauh dari tempat itu.
Telaga Sunyi sendiri merasa
sedang dikejar oleh Dewi Gapit Mesra. Maka ia segera mencari tempat bersembunyi
yang aman dari lawannya dan aman dari sinar matahari. Sebab tubuh yang
dipanggul di pundak kirinya dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam itu
membutuhkan tempat yang tak boleh kena sinar matahari. Dan satu-satunya tempat
yang layak untuk menyelamatkan Suto Sinting dari ancaman maut pukulan 'Inti
Bara' itu adalah sebuah gua. Maka dengan memanggul tubuh Suto Sinting dan
menenteng bumbung tuak sang pendekar tampan, Telaga Sunyi menuju ke lereng
perbukitan untuk mencari sebuah gua.
Sebuah gua ditemukan oleh
Telaga Sunyi di lereng sebuah bukit. Gua itu bermulut kecil. Untuk masuk ke
dalam gua itu dalam keadaan tidak membawa beban saja harus dengan merundukkan
kepala agak rendah, apalagi sambil memanggul beban tubuh Pendekar Mabuk.
Mau tak mau Telaga Sunyi harus
meletakkan tubuh Suto dulu ke tanah, lalu menariknya pelan-pelan agar masuk ke
dalam gua. Sesampai di dalam gua, ternyata atap gua tidak serendah bagian
mulutnya. Di situ Suto Sinting dibaringkan dalam keremangan cahaya.
Telaga Sunyi berusaha
sembuhkan Suto Sinting dengan hawa murninya yang disalurkan berulang kali.
Tetapi keadaan luka Suto belum juga membaik. Kesadaran Suto masih tersisa
sedikit walau ia sudah tak mampu menggerakkan anggota badannya sekalipun untuk
menggerakkan jari.
"Jurus pukulan keparat!
Memang benar apa kata Guru, jurus pukulan 'Inti Bara' sulit dijinakkan, sulit
disembuhkan, dan karenanya Guru berpesan agar aku pun tidak sembarangan dalam
menggunakan jurus pukulan 'Inti Bara'. Tetapi si keparat Aryani itu mengumbar
jurus ini seenaknya saja! Pantas kalau dia dinyatakan sebagai murid murtad yang
tak pernah mau ikuti peraturan perguruan," ucap Telaga Sunyi sebagai
ungkapan rasa kesalnya, ia tampak kebingungan menghadapi luka-luka Pendekar
Mabuk. Duduknya di atas batu samping Suto yang tingginya hanya sebetis
kurangiItu tampak loyo. Suaranya sering bercampur dengan desah penyesalan dan
kesedihan.
"Sayang sekali Guru belum
turunkan Ilmu 'Penyerap Luka' seperti yang sudah diajarkan kepada Dewi Gapit
Mesra itu. Kalau saja Ilmu 'Penyerap Luka' sudah kumiliki, maka menghadapi
keadaan Suto seperti ini bukan hal yang sulit lagi bagiku."
Ucapan lirih itu masih sempat
didengar oleh Pendekar Mabuk secara samar-samar. Dengan susah payah Pendekar
Mabuk akhirnya berusaha bicara kepada Telaga Sunyi.
"Tu... tuak...!
Tuuak...!"
"Kau dalam keadaan
terluka separah ini, jangan pikirkan tuak dulu!"
Suto Sinting mengeluh lirih
dan tipis sekali. Telaga Sunyi tak tahu khasiat tuak dari dalam bumbung itu.
Gadis itu malahan memarahi Suto yang dianggap lebih mementingkan tuak daripada
lukanya. SebenarnyaPendekar Mabuk ingin jelaskan khasiat tuaknya itu, tapi ia
tidak mempunyai tenaga untuk bicara panjang lebar, ia hanya mengucap kata
terpatah-patah lagi,
"Tu... tuak...! Tooo...
tolong, tuuak...!"
"Pikirkan dulu bagaimana
cara menyembuhkan dirimu, setelah itu mau minum tuak sampai mabuk nungging
terserah situ!" omel Telaga Sunyi, seperti seorang istri mengomel kepada
suaminya. Suto makin jengkel. Kalau saja ia punya kekuatan untuk membentak, ia
akan membentak. Karena dalam keadaan terluka seperti itu justru tuaklah yang
dibutuhkannya.
Sekali lagi Suto mencoba
bicara, "Toloong... tuuak...
tuakku!"
"Aaah, dasar bandel kau
ini!" gerutu Telaga Sunyi, kemudian ia mengambil bumbung tuak itu dan
menuangkan pelan-pelan ke mulut Suto yang ternganga kecil itu. Cuuurr...!
Gleek, glek, glek...!
"Sudah. Cukup begitu
saja. Jangan banyak-banyak!" kata Telaga Sunyi. Sekalipun masih belum
puas, namun hati Suto sudah agak lega.
Telaga Sunyi memeriksa keadaan
dalam gua yang agaknya mempunyai lorong gelap menjauh ke dalam. Gua itu
mempunyai bebatuan jenis batu pualam. Warna hitam dan ada yang sebesar anak
sapi. Lantai bagian dalam lembab. Demikian pula dindingnya. Tapi di dalam
lorong yang gelap itu, yang arahnya membelok ke kiri dari tempatnya menaruh
Suto Sinting, Telaga Sunyi seperti melihat titik putih di kejauhan sana. Titik
putih itu mirip cahaya matahari yang ada di sebuah mulut gua.
"Barangkali gua ini punya
jalan tembus menuju ke suatu tempat?" pikir Telaga Sunyi. Kemudian ia
segera berbalik menemui Suto Sinting untuk memberitahukan adanya kemungkinan
tersebut.
Tapi ketika ia mendekati Suto,
ia sangat terkejut melihat kulit tubuh Suto yang tadi retak tersayat telah
banyak yang merapat kembali. Wajah Suto sendiri tidak kelihatan sebiru tadi.
Semakin penasaran lagi gadis itu setelah melihat bagian kulit lengan yang tadi
sudah terkoyak hampir terkelupas, kini menempel lekat kembali. Bahkan ada
bagian luka yang memar-memar pulih seperti
sediakala. Napas Suto Sinting tidak terlalu berat dihelanya. Suaranya mulai
terdengar sedikit lebih keras dari yang tadi.
"Tolong... tuakku! Aku
harus meminumnya agak banyak."
"Apakah... apakah tak
akan tambah memperburuk keadaan kesehatanmu?"
"Tidak. Tuak itulah...
obat yang akan kuberikan kepada ayahmu juga. Buktikan keampuhannya dengan
meminumkannya padaku."
Sayang sekali Pendekar Mabuk
belum punya tenaga untuk mengangkat bumbung tuak sendiri, ia masih berbaring
tak peduli tempat itu agak lembab.
Telaga Sunyi menuangkan tuak
pelan-pelan ke mulut Suto Sinting. Tangannya sedikit gemetar karena ingin
membuktikan kata-kata Suto yang sempat menegangkan hati itu. Getaran tangan
membuat tuak tertuang kadang di mulut, kadang di hidung. Telaga Sunyi tertawa
tertahan melihat Suto gelagapan tersiram tuak wajahnya.
Cukup banyak tuak yang diminum
oleh Suto Sinting. Telaga Sunyi duduk di batu yang tadi sambil memperhatikan
perubahan pada luka-luka tersebut. Beberapa saat kemudian, ia melihat sendiri
bukti kata-kata Suto Sinting tadi. Luka sayat dan bagian yang koyak mulai
bergerak-gerak merapat secara ajaib. Semakin lama semakin jelas gerakannya.
Warna biru legam pun kian menyusut dan sekarang tinggal menipis.
Telaga Sunyi tersenyum girang
bercampur kagum.
"Luar biasa. Ternyata
tuakmu itu benar-benar tuak sakti. Rupanya tuak itulah yang membuatmu dapat
julukan dari beberapa orang sebagai Tabib Darah Tuak."
"Mungkin," jawab
Suto pendek. Kini pendekar tampan itu sudah mulai bisa tersenyum. Telaga Sunyi
benar-benar merasa lega melihat perubahan yang begitu pesat itu.
Ketika Suto Sinting merasakan
tubuhnya mulai segar, ia pun berusaha bangkit. Tapi ia berlagak tak kuat
mengangkat kepala. Telaga Sunyi buru-buru menopang kepala Suto Sinting dengan
lengannya. Hal itu membuat tubuh Suto bagai terpeluk oleh si gadis beraroma
wangi cendana itu. Jarak mata dengan dada si gadis cukup dekat, sehingga mata
Suto sempat melirik nakal dan geli dalam hatinya.
"Terima kasih atas
bantuanmu," kata Suto setelah berhasil didudukkan. Padahal dia bisa
bangkit duduk sendiri. Bahkan kalau mau melonjak-lonjak pun sudah bisa. Tapi
dasar murid sintingnya si Gila Tuak, keadaan seperti itu dimanfaatkan untuk
memperoleh beberapa sentuhan dari Telaga Sunyi. Si gadis sendiri tidak menduga
kalau kelemahan Suto yang kali ini adalah kepura-puraan. Bahkan dengan penuh
kelembutan ia memeriksa bekas luka di kening Suto. Mengusapnya pelan-pelan
sambil berkata,
"Masih sakit?"
"Hmmm... sedikit,"
jawab Suto tetap membiarkan keningnya diusap oleh jari-jari lentik itu. Telaga
Sunyi memeriksa lebih teliti lagi dengan cara memandang lebih dekat karena
cahaya kurang terang. Keadaan itu membuat Suto Sinting dapat memperhatikan
kehalusan kulit wajah dan kecantikan yang alami lebih jelas lagi.
"Cepat sekali
pulihnya?" ucap Telaga Sunyi lirih, saat berkata begitu wajahnya tepat di
depan Suto Sinting.
"Berkat pertolonganmu,
luka separah apa pun dapat sembuh dengan cepat."
"Aku tak banyak membantu
dalam hal ini," kata Telaga Sunyi sambil matanya menatap Suto Sinting.
Jari-jari tangannya masih merayapi pipi pemuda tampan itu, tapi bukan untuk
memeriksa luka yang pulih kembali. Jari-jari itu bergerak pelan merayap ke
bibir Suto, kemudian mulut Suto pun menangkap jari itu. Menggigitnya pelan, dan
sang gadis gemetar sekujur tubuhnya.
"Jangan. Jangan,
Suto...," ucapnya lirih sekali ketika jari itu tak mau dilepaskan oleh
mulut Suto Sinting. Wajah cantik pun berubah menjadi bentangan kegelisahan yang
menggundah di dada. Suto Sinting dapat rasakan getaran tangan si gadis saat
bibir si gadis digigitnya sendiri.
Suto tahu apa yang timbul di
hati gadis itu. Siksaan batin. Itulah yang dirasakan si gadis. Karenanya,
Pendekar Mabuk tak mau menyiksa terlalu lama. Gigitannya segera dilepaskan
pelan-pelan, Telaga Sunyi menariknya dengan perlahan sekali. Seakan setiap
sentuhan jari yang bergerak keluar itu dirasakan betul desirannya.
Ada rasa malu dan girang di
dalam dada Telaga Sunyi. Kedua rasa yang mendebarkan hati itu segera dibuang dengan cara menjauhi Suto dan menuju
mulut gua. Pada saat itu Suto Sinting pun segera merubah suasana mesra menjadi
suasana lebih serius. Ia perdengarkan suaranya sambil bangkit berdiri.
"Siapa Dewi Gapit Mesra
tadi, Telaga Sunyi?"
"Kakak
seperguruanku," jawab Telaga Sunyi, kemudian baru bergerak mendekati Suto
Sinting, ia melanjutkan penjelasannya di depan Suto dalam jarak satu langkah.
Persoalan yang sebenarnya dibeberkan kepada Suto, sehingga sang pendekar tampan
itu manggut-manggut memahami persoalan tersebut.
"Apakah dia ada
hubungannya dengan Muria Wardani?" tanya Suto setelah ingat pertanyaannya
soal Muria Wardani tadi belum terjawab tuntas. Padahal Suto yakin, Telaga Sunyi
pasti bisa menjelaskan siapa Muria Wardani itu, karena tadi Telaga Sunyi
menyatakan diri mengenal Muria Wardani.
Maka, gadis berdada indah itu
pun menjawab ulang pertanyaan Pendekar Mabuk, "Aku memang kenal dengannya.
Tapi... kurasa Dewi Gapit Mesra tak ada hubungannya dengan masalahmu itu."
"Maksudmu, Muria Wardani
bukan Dewi Gapit Mesra?"
"O, bukan! Aku berani
pastikan, dia bukan Muria Wardani. Gadis yang bernama Muria Wardani ada
sendiri. Dia putri seorang adipati di Kadipaten Madusuri. Ayahnya bernama
Adipati Jayengrana. Kalau tak salah dia putri tunggal dari sang Adipati
Jayengrana."
"Apakah dia cantik?"
"Kalau cantik kau mau
apa?" Telaga Sunyi ganti bertanya tanpa senyum. Justru Suto Sinting yang
tersenyum geli.
"Aku hanya bertanya. Tak
punya maksud apa-apa."
Barulah Telaga Sunyi tersenyum
sambil menghembuskan napas panjang. Setelah itu ia berkata lagi dengan
mengambil sikap duduk di batu setinggi pahanya itu. Ia biarkan mata si tampan
Suto Sinting mengikutinya terus, sementara ia sendiri tak mau terlalu lama
memandang mata yang penuh daya pesona itu.
"Menurut penilaian para
lelaki, Muria Wardani itu cantik sekali. Makanya banyak lelaki yang ingin
mempersunting dirinya."
"Cantik mana sama
kamu?" potong Suto nakal.
Telaga Sunyi melirik ketus,
kemudian bersikap biasa lagi dan melanjutkan kata-katanya tanpa menjawab
pertanyaan Suto yang dianggap iseng itu.
"Salah satu pria yang
tergila-gila dengan kecantikan Muria Wardani adalah Pangeran Kertapaksi.
Menurut kabar yang kuterima, Muria Wardani sudah dilamar lebih dari sepuluh
lelaki, tapi tak satu pun ada yang diterima, termasuk Karto Dupak. Tapi lelaki
yang paling penasaran ingin memperistri Muria Wardani adalah Penguasa Teluk
Neraka."
"Apakah dia tokoh
sesat?"
"Benar! Tapi kesaktiannya
luar biasa. Dia mampu masuk ke istana kadipaten tanpa melewati pintu
gerbang."
"Lalu lewat mana? Lewat
genteng?"
"Menembus dinding benteng
istana."
"Aih, Gila! Yang begini
yang seru. Teruskan, teruskan...!" Suto Sinting bersemangat sekali.
"Setahuku hanya itu. Tak
ada yang bisa kuteruskan. Yang jelas, ancaman terberat bagi Muria Wardani
adalah si Penguasa Teluk Neraka. Kabarnya ayah Muria Wardani pernah diancam
akan dibuat sengsara seumur hidup apabila lamaran Penguasa Teluk Neraka
ditolak. Sedangkan sang Ayah tak bisa berbuat banyak karena memang putri
tunggalnya tak mau menikah dengan Penguasa Teluk Neraka. Kudengar juga,
Penguasa Teluk Neraka mengancam siapa saja yang mendekati Muria Wardani akan
dibunuhnya. Terbukti sudah ada dua pemuda yang mati di tangan Penguasa Teluk
Neraka."
"Kenapa Kertapaksi dan
Karto Dupak tidak mati di tangan Penguasa Teluk Neraka?"
"Mereka belum bertemu
Penguasa Teluk Neraka.Coba kalau Kertapaksi bertemu dengan Penguasa Teluk
Neraka, pasti dihajar habis oleh Penguasa Teluk Neraka itu."
"Lalu, apa hubungannya
denganku? Mengapa Kertapaksi dan Karto Dupak menyangka aku adalah kekasihnya
Muria Wardani?"
"Mungkin kau memang
kekasihnya? Mana kutahu?!"
"Sumpah setan tujuh
warna, aku bukan kekasihnya! Aku tidak kenal sama Muria Wardani."
"Betul?"
"Yaah... masa' kau belum
percaya juga. Aku toh sudah bersumpah! Mau sumpah apa lagi? Sumpah biar mati
disambar lalat? Boleh!"
Telaga Sunyi tertawa kecil.
"Lelaki mana saja memang paling berani kalau disuruh bersumpah. Buat
lelaki, sumpah adalah bunga bibir."
"Terserah apa katamu,
yang jelas aku tidak kenal dengan Muria Wardani."
"Bagaimana kalau
kutemukan dengan Muria Wardani? Berani?"
"Berani!" jawab Suto
bersemangat.
"Berani tidak ikut-ikutan
tertarik padanya?"
"Berani... maksudnya
berani tidak tertarik untuk ikut-ikutan jadi perempuan, begitu kan?"
"Hmmm...!" Telaga
Sunyi mencibir menahan geli.
"Pertemukan aku dengan
Muria Wardani. Akan kutanyakan pula mengapa mereka menuduhku punya hubungan
cinta dengannya? Ini merepotkan diriku!"
"Akan kupertemukan
setelah kau sembuhkan sakit ayahku!"
"Baik! Kalau
begitu...."
Tiba-tiba terdengar suara
menggema yang mengagetkan. Blaaam...!
Gelap seketika datang. Mereka
menjadi tegang. Telaga Sunyi berseru, "Pintu gua ada yang menutup dengan
batu!"
Mereka mulai mendekati pintu
gua. Dirabanya benda yang menghalangi pintu gua itu. Ternyata sebongkah batu
besar memancarkan hawa panas yang makin lama makin menyengat. Tapi batu itu
sendiri tidak mempunyai sinar apa-apa. Bau sesuatu yang hangus mulai tercium
oleh mereka. Pasti hawa panas dari batu besar itu.
"Celaka! Ada orang yang
usil dan ingin mengurung kita dalam gua ini, Telaga Sunyi!" ucap Pendekar
Mabuk.
"Kurasa memang begitu.
Tapi siapa orangnya?"
"Mungkin kakak
seperguruanmu itu; Dewi Gapit Mesra."
"Tidak mungkin. Dia tidak
punya ilmu yang bisa membuat batu sebesar itu memancarkan panas yang, aduuuh...
makin menyengat kulit saja rasanya," Telaga Sunyi melangkah mundur.
"Akan kucoba untuk
menghancurkan batu itu!" Pendekar Mabuk mulai meneguk tuaknya. Sebagian
ditelan, sebagian disisakan di muiut untuk disemburkan.
*
* *
6
JURUS 'Sembur Siluman' tak
bisa membuat batu itulenyap seperti benda-benda lain yang terkena semburan tuak
Suto itu. Ini menandakan bahwa batu penutup pintu gua itu dilapisi tenaga gaib
yang cukup tinggi. Bahkan ketika Suto ingin mencoba menggunakan jurus 'Sembur
Siluman' untuk yang kedua kalinya, tahu-tahu ia terpental ke belakang dengan
kuat hingga membentur sebongkah batu yang ada di belakangnya. Suto
terbatuk-batuk karena tersedak tuak dalam mulutnya sendiri.
"Sutooo...?!" seru
Telaga Sunyi dalam kegelapan itu.
"Suto kau di mana?"
"Di sini!" seru Suto
dengan suara berat.
"Kau jatuh?"
"Ya. Sepertinya batu itu
mengeluarkan tenaga dalam cukup besar. Aku terlempar keras sekali. Dadaku
terasa panas!"
"Kita keluar lewat jalan
lain saja, Suto! Aku seperti melihat titik terang di arah kiri kita. Tapi kita
harus masuk lebih dalam sedikit. Suto, di mana kamu?"
"Aku di sini," jawab
Suto segera menyentuh pundak Telaga Sunyi tanpa disengaja. Telaga Sunyi pun
segera memegangi lengan Suto.
"Jangan jauh dariku,
Suto. Aku takut!"
"Aku juga," jawab
Suto seenaknya sambil menghempaskan napas, memperlega jalannya pernapasan.
"Aku akan mencoba menghancurkan batu itu dengan jurus lain!"
"Tapi...," Telaga
Sunyi ingin menyatakan kecemasannya, ingin melarang rencana itu, namun ia
sangsi tak jadi melakukannya.
"Mundurlah ke arah
belakangku, biar aku bisa mencarimu sewaktu-waktu. Agak jauh sedikit, ya?"
Hawa di dalam gua semakin
panas, mengucurkan keringat. Tapi Pendekar Mabuk tak mau menyerah, ia mulai
bersiap-siap pergunakan jurus penggempurnya yang dinamakan jurus 'Pecah Raga',
yang biasanya membuat raga lawan pecah menjadi serpihan kecil.
Tapi sebelum tangan Suto
bergerak, tiba-tiba hempasan tenaga kuat datang menerjangnya kembali.Wuuut...!
Blaaam...!
Kali ini tubuh Suto
memancarkan cahaya merah dalam sekejap. Tubuh itu tampak terbang terpelanting
tak tentu arah. Telaga Sunyi sempat melihat sendiri saat sinar merah berkerliap
dalam sekejap. Maka gadis itu pun kemblii serukan kecemasannya.
"Suto...?!
Sutooo...?!" ia mulai melangkah meraba dalam gelap. Kakinya terantuk batu.
Dug, brruk...! "Auh...!" Telaga Sunyi memekik kesakitan karena jatuh
tersungkur, ia segera bangkit ketika mendengar suara erangan memberat dari
mulut Suto Sinting, ia meraba semakin hati-hati menuju suara erangan itu.
"Suto, kau
terluka...?!"
"Iiiya...! Dadaku...
sakit sekali!"
"Bumbung tuakmu di
mana?!"
"Jat... jatuh dii...
dii...."
"Oh, ini kutemukan!"
seru Telaga Sunyi dengan girang. Kemudian dengan hati-hati sekali ia mendekati
Suto dan menyerahkan bumbung tuak itu. Pendekar Mabuk segera menenggaknya, dan
lambat laun rasa sakit di dada mulai mereda.
"Kurang ajar! Batu apa
itu sebenarnya?! Belum diserang sudah menyerang lebih dulu!"
"Sepertinya kekuatan itu
datang dari tokoh sakti yang ada di sekitar gua ini. Mungkin dia ada di luar gua
sana!"
Pendekar Mabuk diam berpikir.
Beberapa saat kemudian ia berkata pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Baru niat mau menyerang saja dia sudah tahu. Gawat! Pasti ilmunya lebih
tinggi dariku!"
"Kita lewat jalan lain
saja. Jangan memaksakan diri menghancurkan batu itu, nanti malah kepalamu
sendiri yang hancur. Kalau kepalamu hancur mau diganti pakai apa?"
"Pakai kepala ayam juga
bisa!" jawab Suto Sinting membuat suasana agar tak terlalu dicekam
ketegangan.
Tak ada cara lain kecuali
mengikuti saran Telaga Sunyi. Titik putih yang tadi dilihat Telaga Sunyi saat
Suto masih terkapar itu sekarang masih ada. Titik putih itu bagaikan ada di
ujung lorong. Dan mereka pun bergerak menyusuri lorong tersebut dengan saling
bergandengan, karena suasana gelap membuat mereka sulit saling berhubungan jika
terjadi bahaya secara mendadak.
Tetapi anehnya titik putih itu
semakin lama bukan semakin dekat, namun semakin terasa menjauh. Pendekar Mabuk
segera hentikan langkah dan berkata kepada Telaga Sunyi,
"Kita terjebak. Itu bukan
titik sinar mulut gua! Perhatikan saja, sejak tadi jaraknya masih tetap jauh
dan bahkan lebih jauh dari yang pertama kita lihat, bukan?"
"Benar juga. Jadi, kita
tersesat di mana ini, Suto?"
"Akan kucoba untuk
melihat alam lain. Mungkin ada yang mengganggu kita, sehingga kita terkurung di
sini tanpa jalan keluar."
Pendekar Mabuk segera mengusap
keningnya dengan tangan kiri. Kening Suto mempunyai titik merah, suatu tanda
gaib pemberian dari Ratu Kartika Wangi, Ibu dari Dyah Sariningrum yang menjadi
ratu di alam gaib itu. Jika titik merah yang hanya bisa dilihat oleh orang
berilmu tinggi itu diusap dengan tangan kiri, maka Suto dapat melihat kehidupan
di alam gaib. Makhluk yang tak tampak menjadi tampak bagi matanya.
Dan ketika Suto mengusap titik
merah itu dengan tangan kirinya, maka pandangan matanya segera melihat di dalam
kegelapan yang bercahaya merah samar-samar. Seolah-olah lorong itu memancarkan
cahaya merah sehingga dapat melihat bentuk batu dan keadaan sekeliling.
"Apa yang kau lihat,
Suto?" tanya Telaga Sunyi setelah sebelumnya mendapat penjelasan tentang
kekuatan titik merah di kening Suto.
"Aku tidak melihat
apa-apa kecuali lorong bercahaya merah," jawab Suto Sinting sambil
memandang ke sana-sini. "Tak ada bentuk aneh yang bisa kulihat. Mungkin
karena memang tak ada apa-apa. Tapi... tapi kelihatannya di depan sana keadaan
lorong ini menjadi melebar. Coba kita ke arah sana, Telaga Sunyi!"
Apa yang dikatakan Pendekar
Mabuk memang benar. Lorong itu makin jauh makin melebar sampai membentuk suatu
ruangan besar dengan tiga lorong di tiga arah. Dengan menggunakan kekuatan gaib
dari pandangan matanya itu, Pendekar Mabuk masih bisa melihat seluruh ruangan
besar itu sampai pada lekuk-lekuk bebatuan pada dindingnya.
"Di sini tidak ada
apa-apa juga, Telaga Sunyi. Tapi aku melihat ada tiga pintu lorong, depan,
kiri, dan kanan. Dan... oh, tunggu!"
"Ada apa?!" Telaga
Sunyi ikut tegang, karena nada suara Suto pun terdengar menegang. Telaga Sunyi
menggunakan firasatnya, ia merasa ada bahaya datang yang dilihat oleh Suto
Sinting.
"Suto, ada apa?"
bisiknya dengan tetap berpegangan baju Suto.
"Seseorang muncul dari
lorong depan. Mundurlah."
"Mundur ke mana? Aku tak
bisa melihat apa-apa, Suto!"
"Oh, dia mendekati kita,
Telaga!"
"Jin atau raksasa?"
"Manusia biasa,"
jawab Suto Sinting, "Ikuti perintahku supaya kau tidak tersandung batu.
Mundur dua langkah. Ya, terus... terus...." Suto jadi seperti tukang
parkir memberi aba-aba Telaga Sunyi agar langkahnya tidak tersandung batu. Telaga
Sunyi mengikuti saja apa kata Suto karena dalam keadaan seperti itu tak ada
yang bisa dilakukan kecuali menuruti Suto.
"Ke kiri sedikit. Awas
ada batu di kananmu. Geser, geser lagi, ya cukup! Mundur terus, terus, terus...
ya, cukup. Di situ saja, ya? Aku akan temui orang yang baru muncul dari lorong
depan itu."
"Bicaralah terus supaya
aku tahu di mana kau berada. Jangan diam kalau kupanggil, Suto!"
Kata-kata itu tak ditanggapi
oleh Pendekar Mabuk, karena murid si Gila Tuak itu semakin tertarik dengan
orang yang ada dalam penglihatannya itu. Orang tersebut adalah perempuan
berbusana pinjung ungu dengan kain bawah longgar berwarna ungu berbunga-bunga
emas. Rambutnya terurai panjang mencapai bagian pantatnya yang menonjol sekal
itu. Perempuan tersebut berhenti melangkah, matanya yang memancarkan keindahan
itu memandangi Suto Sinting dengan sedikit sayu dan bersifat menantang. Semakin
Suto mendekat, semakin jelas bibirnya menyunggingkan senyum nakal. Pendekar
Mabuk melangkah terus hingga akhirnya berdiri dalam jarak tiga langkah di depan
si cantik berdada besar itu.
"Oh, gila betul! Matanya
memandang penuh pancaran gairah. Hatiku guncang dan napasku menjadi sesak.
Haruskah aku mendekat lebih rapat lagi?"
Tangan perempuan itu terulur.
Gelang kerincingnya berdenting-denting. Jarinya yang lentik dengan kuku runcing
rapi bercat ungu muda itu bergerak-gerak memberi isyarat agar Suto lebih
mendekat lagi. Napas Pendekar Mabuk ditahan beberapa saat untuk meredakan
gejolak yang akan menggelora jika berada lebih dekat lagi dari perempuan itu.
Hanya satu langkah Suto
bergerak maju, lalu ia menyapa lebih dulu dengan suara lembutnya,
"Siapakah kau sebenarnya?"
"Aku orang yang kau cari
pada mula perjalananmu menuju ke timur."
Suto Sinting kerutkan dahi
karena tak jelas maksud jawaban tersebut. Lalu dengan suara makin pelan ia
bertanya, "Maukah kau sebutkan namamu?"
"Nyai Kucir Setan!"
"Ooh...?!" Pendekar
Mabuk terperanjat, suaranya tak sadar menjadi keras, membuat Telaga Sunyi cemas
di tempatnya.
"Sutooo...?! Ada apa di
sana, Suto?!"
"Hmm... eh... tak ada
apa-apa. Aku baik-baik saja!" jawab Suto Sinting dengan menggeragap kikuk.
Perempuan yang mengaku bernama
Nyai Kucir Setan itu tersenyum sinis dan berkata, "Gadismu sangat
mengkhawatirkan kau, Suto. Tapi jangan hiraukan dia! Ikutlah aku masuk ke
lorong itu!"
"Tidak. Aku... aku mau
keluar dari gua ini, Nyai."
"Bukankah kau ingin
menemuiku?"
"Ya, tapi bukan untuk
hal-hal lain. Aku hanya ingin meminta maaf atas... atas peristiwa yang menimpa
muridmu, si Karto Dupak itu! Aku tak sengaja membunuhnya. Dia sendiri yang
menantangku dan melepaskan jurus mautnya itu. Aku hanya menangkis dan... dan...."
"Dan dia sekarang mati.
Aku sudah memakamkannya begitu kau melangkah meninggalkan desa itu!"
"Oh...?" Suto
bernada heran.
"Itu memang kesalahan
muridku sendiri. Sekalipun begitu, seharusnya kau tetap harus menebusnya dengan
nyawa. Tapi jika kau mau melayaniku, kau akan kuangkat sebagai murid baru,
Suto!"
"Hmmm... maksudmu...
maksudmu melayani bagaimana, Nyai?"
"Ah, kau berlagak bodoh.
Aku tahu kau punya gairah begitu memandangku. Sekarang pun gairahmu
meluap-luap! Ayolah, ikut aku ke lorong itu!"
"Hmmm... eeh... anu...
tidak. Aku hanya ingin meminta maaf padamu, Nyai. Terserah kau mau memaafkan
atau tidak, yang penting aku sudah meminta maaf padamu."
"Peluklah aku, maka
segala kesalahanmu akan kumaafkan, Suto!"
"Tid... tidak...,"
Suto geleng-geleng kepala. "Aku... aku sudah punya istri, walaupun belum
resmi menjadi pengantin. Tapi... tapi aku sudah berjanji akan mengawininya dan
aku tak mau menodai cinta kami. Aku tak mau berkhianat padanya!"
"Dyah Sariningrum itu
maksudmu? Oh, kau bodoh sekali, Suto. Dyah Sariningrum di sana juga berbuat
serong dengan pria lain. Hanya saja karena dia ratu, maka segala tingkah
lakunya tak ada yang berani membicarakannya. Dyah Sariningrum saat ini sedang
bercumbu dengan seorang ksatria dari sebuah negeri!"
"Ooh...?! Ben...
benarkah?!"
"Apakah kau tak bisa
merasakan getaran cemburumu? Manakala hatimu dan pikiranmu dilintasi oleh
kecemburuan walau hanya sekejap, maka pada saat itulah Dyah Sariningrum sedang
bercumbu dengan pria lain."
Darah Suto terasa mendidih.
Panas di bagian dada terasa naik sampai ke kepala. Pendekar Mabuk mulai dibakar
oleh kecemburuan yang amat menyiksa batin. Tubuhnya sempat gemetar dan
hasratnya untuk segera pergi justru menjadi kuat. Dengan tegas ia berkata,
"Kau yang membuat pintu
gua ini tertutup! Sekarang kuminta buka pintu gua ini, aku akan keluar dan
pergi menemui dia!"
"Kau harus melayaniku
dulu, Suto. Kau harus menebus kematian muridku itu, dan menebus kunci pembuka
gua!"
"Iblis betina kau!"
geram Pendekar Mabuk yang telah dibakar kecemburuan begitu besar, sehingga
murkanya mencari tempat untuk pelampiasan.
"Kalau kau tak mau
melayaniku, maka kau harus menebus kematian muridku dengan nyawamu, Suto!"
"Lakukanlah kalau memang
kau mampu!"
Suto membentak keras karena
luapan amarahnya, ia lupa bahwa napasnya mengandung Napas Tuak Setan. Jika
sedang marah, hembusan napasnya bisa keluarkan angin badai yang mengerikan. Dan
pada saat ia membentak tadi, angin badai pun keluar dari mulutnya. Wuusss...!
Gua itu berguncang. Telaga
Sunyi ketakutan.
"Sutooo...! Suto ada
gempa bumi, Suto! Cepat kita keluar dari sini!"
Rambut Nyai Kucir Setan meriap
ke belakang bersama jubahnya. Tapi tubuhnya tetap di tempat dan tak bergerak.
Sementara itu gelombang badai menghantam dinding gua dan membuat salah satu
lorong menjadi runtuh tertimbun atapnya. Glegeer...! Buuurrk...!
"Sutooo...! Ada yang
roboh di sana!" seru Telaga Sunyi dicekam rasa takut karena tak bisa
melihat apa-apa tapi mendengar suara yang menyeramkan.
Suto tidak peduli seruan itu.
Matanya memandang tajam penuh kemarahan kepada Nyai Kucir Setan yang tidak
berkuncir sedikit pun itu.
"Kau berani menyerangku
dengan napas badaimu. Sekarang giliranku menyerangmu dengan napas apiku!
Hiaaah...!"
Wuuusss...!
Api menyembur besar dari mulut
perempuan cantik itu. Pendekar Mabuk tak punya waktu untuk menghindar. Terpaksa
ia pun gunakan Napas Tuak Setan-nya lagi.
"Haahhh...!"
Wuuutt...! Badai menerjang
kuat, membalikkan kobaran api dari mulut Nyai Kucir Setan. Kobaran api itu
justru membungkus tubuh Nyai Kucir Setan, sedangkan tubuh sang Nyai sendiri
kali ini terhempas kuat membentur dinding berbatu runcing. Jraab...! Tubuh itu
menancap dalam keadaan terbungkus api. Dari ulu hatinya muncul batu runcing
yang menembus punggung. Nyai Kucir Setan menggeliat-geliat dengan gerakan
liarnya. Tapi yang terlihat hanya kobaran api dan sesekali tangan atau kakinya
keluar dari kobaran api tersebut.
Akibat sentakan Napas Tuak
Setan Suto, dinding gua itu bergetar hebat. Batu-batu berjatuhan, langit gua
nyaris roboh menimpa Telaga Sunyi dan Suto sendiri. Sedangkan dinding gua yang
lainnya mulai retak, bahkan sisi kanan tumbang dalam keadaan hancur bagai
diterjang seribu banteng.
Keadaan di dalam gua nyaris
seperti mau kiamat. Hanya Suto Sinting yang melihat kejadian yang mengerikan
itu. Ia segera sadar dari cekaman amarahnya. Melihat Telaga Sunyi
menjerit-jerit sambil menghindari reruntuhan atap gua, Suto segera berkelebat
menyambarnya. Wuuut...! Gadis itu segera dibawa lari ke lorong semula.
Gemuruh suara atap gua runtuh
semakin mengerikan. Di sana-sini bagaikan hujan batu paling kecil seukuran
kepala Suto. Dan keadaan itu dapat membuat mereka berdua mati tertimbun
reruntuhan gua jika tak segera keluar.
Suto masih gunakan pandangan
gaibnya. Jika tidak begitu ia tak bisa berlari cepat sambil memanggul Telaga
Sunyi yang menjerit-jerit dalam kengerian.
Ketika mereka tiba di tempat
semula, mulut gua masih tertutup batu besar. Suto Sinting menggunakan napas
tuaknya karena dadanya masih diliputi oleh gemuruh kecemburuan atas kata-kata
Nyai Kucir Setan itu. Dalam sekali sentakan napas, batu besar itu pun terbang
dan terbelah menjadi tiga bagian.
Blaar...!
Wuuus...! Cahaya matahari pagi
masuk ke dalam gua, sementara dinding gua semakin bergetar. Langit-langit gua
pun bertambah hancur karena badai dari mulut Pendekar Mabuk itu. Dengan gerakan
cepat Pendekar Mabuk melesat keluar dari mulut gua yang menjadi lebar akibat
sebagian dindingnya jebol oleh badai Napas Tuak Setan itu.
Sampai di luar gua, ternyata
hari sudah pagi. Embun masih ada di daun-daun yang hancur akibat terhempas
badai. Beberapa pohon tumbang saling silang, bahkan ada yang pecah menjadi
beberapa bagian. Badai dari Napas Tuak Setan kembali menelan korban kehidupan
alam sekeliling gua itu, sementara gua itu sendiri segera bergemuruh
menggelegar. Runtuh dan menimbulkan getaran hebat, seakan bukit tersebut ingin
amblas ke bumi. Suto Sinting tak mau berhenti terlalu lama. Dengan masih
memanggul tubuh Telaga Sunyi, ia melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
kecepatannya melebihi kecepatan anak panah, bahkan nyaris melebihi kecepatan
hembusan angin badai dari mulutnya sendiri itu. Zlaaap...!
Ketika tiba di tempat yang
aman, jauh dari bukit itu, Suto Sinting segera menurunkan tubuh Telaga Sunyi,
ia mengendalikan napasnya, menahan gejolak kecemburuannya. Dan akhirnya ia
terkejut melihat kepala Telaga Sunyi berlumur darah.
"Oh, kenapa kau, Telaga
Sunyi? Hei... Telaga Sunyi...?! Telaga!"
Gadis yang kepalanya tertimpa
bongkahan batu itu diam saja. Suto Sinting menjadi tegang. Buru-buru memeriksa
denyut nadi dan jantungnya.
"Celaka! Jangan-jangan
dia mati kena batu kepalanya?!" pikir Suto Sinting saat ingin memeriksa
denyut nadinya.
*
* *
7
BERUNTUNG sekali bumbung tuak
Suto tidak tertinggal. Dengan tuak dalam bumbung itu, akhirnya Telaga Sunyi
dapat disembuhkan dari lukanya. Gadis itu diam termenung mengenang kiamat di
dalam gua yang mengerikan. Seakan bayangan mengerikan itu masih belum bisa
terhapus dari ingatannya.
Pagi kembali cerah. Telaga
Sunyi memandang alam sekeliling. Gua tersebut sudah tidak kelihatan karena
jauhnya jarak pandang. Tetapi ada keheranan yang masih menyertai Telaga Sunyi.
"Mengapa hari sudah pagi?
Berapa lama kita ada di dalam gua itu sebenarnya?"
"Perbedaan waktu antara
di dalam gua dan di luar gua ternyata sangat menyolok. Di dalam gua mungkin
waktu bergerak dengan lambat. Tetapi di luar gua waktu bergerak cepat seperti
biasanya. Jadi mungkin kita berada di dalam gua sehari semalan, walau rasanya
hanya beberapa saat saja."
"Sebuah pengalaman yang
baru pertama kali kujalani," gumam Telaga Sunyi. "Apa yang sebenarnya
terjadi, Suto?"
"Aku bertemu dengan Nyai
Kucir Setan dalam keadaan cantik jelita."
"Apakah dia memang tokoh
sesat yang cantik?"
"Aslinya barangkali tidak
secantik itu. Tapi mungkin dia pergunakan semacam ilmu siluman yang mampu
membuatnya tampak cantik, padahal tua, kempot, peot, dan rambutnya berkuncir,
itu bayanganku saja. Yang jelas, aku bertarung melawannya. Untung aku punya
penglihatan gaib, jika tidak mungkin aku tak tahu apa yang bakai kita alami di
dalam gua itu."
"Apakah sekarang kau
masih menggunakan penglihatan gaib?"
Pendekar Mabuk tersenyum.
"Tidak. Tapi aku tetap melihat sesuatu yang gaib."
"Apa yang kau lihat gaib
itu?"
"Kecantikanmu!"
jawab Suto Sinting dengan senyum kian melebar. Telaga Sunyi melengos, bukan
benci, bukan muak, tapi tak berani menanggung akibatnya jika terlalu lama
menikmati senyuman itu. Ia hanya berkata,
"Sebaiknya kita teruskan
perjalanan kita. Aku yakin Ayah sudah mencemaskan keadaanku."
"Baik. Kita menemui
ayahmu dulu, tapi jangan lupa janjimu. Setelah itu kau harus antarkan aku untuk
bertemu dengan Muria Wardani!"
"Janjiku tak akan
kuingkari! Asal janjimu pun tak akan kau ingkari."
"Janji apa?"
"Tidak akan tertarik
kepada Muria Wardani."
Suto Sinting tertawa sambil
meneruskan langkah. "Memangnya kenapa kalau aku tertarik kepada Muria
Wardani?" pancing Suto.
"Tidak apa-apa. Itu
hakmu. Tapi aku akan kecewa."
"Oleh sebab apa
kecewa?"
"Kau tak perlu
tahu!" jawabnya bernada ketus, tapi lucu bagi Pendekar Mabuk.
Perjalanan menuju rumah Telaga
Sunyi melewati tiga desa. Sepanjang
perjalanan desa, mata para penduduk tertuju kepada Suto dan Telaga Sunyi.
Mereka memandang dengan kagum dan senang. Bahkan ada yang berkasak-kusuk sampai
di telinga Suto dan Telaga Sunyi.
"Cocok sekali pasangan
itu, ya? Yang pria ganteng, yang wanita cantik. Hmmm... anak-anak mereka
seperti apa nantinya, ya?"
"Kau dengar bisikan
mereka?" tanya Suto Sinting kepada Telaga Sunyi.
"Itu bukan bisikan tapi
igauan!"
"Aneh. Orang-orang di
sini belum tidur banyak yang sudah mengigau, ya?" canda Suto menghadirkan
tawa kecil Telaga Sunyi. Gadis itu mencubit lengan Suto sambil tetap teruskan
langkah.
Setelah mereka melintasi desa
ketiga, perjalanan terhenti kembali karena munculnya seorang lelaki berusia
sekitar tiga puluh tahun yang menghadang langkah mereka. Lelaki itu bertubuh
sedikit gemuk, mempunyai kumis lebat. Tampak gagah namun berwajah culas, ia
mengenakan pakaian merah berlengan tanggung sampai lewat siku. Senjata yang
dibawanya adalah golok lebar bergelang-gelang tiga buah pada bagian sisinya.
Rambutnya yang panjang dijepit dengan ikat kepala warna merah juga.
"O, ini orangnya?!"
kata lelaki berkumis. "Ha, ha, ha, ha... rupanya hanya seorang bocah
kemarin sore yang belum bisa buang ingus!"
"Apa maksudmu? Siapa kau
sebenarnya?" tanya Suto dengan heran.
"Apakah si manis itu
belum sebutkan namaku?" sambil orang itu menuding Telaga Sunyi.
"Sayang, ayo perkenalkan diriku kepada bocah ingusan itu!"
"Siapa dia, Telaga?"
bisik Suto Sinting kepada Telaga Sunyi. Gadis itu agak gugup, tapi akhirnya
menjawab pertanyaan tadi.
"Dia yang bernama Sulang
Dongo, bekas pengawalnya sang Adipati yang juga jatuh cinta pada Putri Muria
Wardani."
Suara bisikan pelan dari mulut
Telaga Sunyi itu membuat Suto manggut-manggut dan mulai bisa meraba apa alasan
Sulang Dongo menghadangnya. Maka Pendekar Mabuk pun langsung berkata kepada
Sulang Dongo,
"Kau pasti menyangka aku
menjadi penghalang cintamu kepada Putri Muria Wardani!"
"Tepat sekali! Karena
memang demikianlah keadaannya!"
"Kujelaskan satu kali
saja, aku sudah bosan mendengar alasan seperti itu! Ketahuilah, aku tidak kenal
dengan Muria Wardani Rui Aku bukan kekasihnya!"
"Huah, hah, hah,
hah...!" Sulang Dongo tertawa keras. Perutnya terguncang-guncang. Suto
Sinting berkerut dahi sambil memendam rasa dongkol, ia berbisik kepada Telaga
Sunyi yang ada di sampingnya.
"Kenapa dia tak
percaya?"
"Karena dia orang
dungu!" jawab Telaga Sunyi.
Sulang Dongo berseru,
"Bocah ingusan, kau pikir mataku buta dan telingaku tuli? Kau pikir aku
bayi yang baru lahir sehingga mudah kau kelabui?"
"Kalau kau bayi baru
lahir, siapa yang mau menjadi dukun beranaknya? Ngeri melihat gigimu yang
sebesar kapak itu!" kata Suto dengan hati kesal. "Minggirlah, jangan
halangi langkahku. Aku tak punya hubungan dengan Muria Wardani!"
"Tak mudah berlalu begitu
saja! Aku sakit hati atas penolakan lamaranku, dan aku akan buktikan bahwa aku
bisa memenggal kepalamu, Pendekar Mabuk!"
Suto sedikit heran mendengar
namanya disebutkan, tapi segera ingat bahwa ciri-cirinya sebagai Pendekar Mabuk
tentunya sudah dikenal orang banyak. Terutama orang-orang yang punya minat
melamar Muria Wardani pasti sudah memegang ciri-ciri sosok Pendekar Mabuk.
Hanya saja, mengapa mereka bisa memburu Suto dan dianggap sebagai kekasih Muria
Wardani? Ini yang masih menjengkelkan hati Pendekar Mabuk.
"Sulang Dongo, aku tak
ingin terlibat apa pun denganmu. Tapi kalau kau bermaksud tak baik padaku, aku
akan melayanimu dengan sangat terpaksa!"
"Tak perlu banyak mulut!
Terima saja penggalan golokku ini, heeaaah...!"
Wuuut...! Wuuung...!
Golok besar itu lewat di atas
kepala Suto Sinting pada saat Suto Sinting merendahkan badan, menghindari
tebasan ke arah lehernya. Rupanya Suto Sinting tak mau buang-buang waktu, ia
segera menghantamkan bumbung tuaknya ke kaki lawannya. Wuuut...! Prrrok...! Tepat
mengenai tempurung lutut.
"Aaow...!" Sulang
Dongo menjerit sekuat tenaga. Tempurung lututnya remuk bagaikan dihantam gada
besi. Ia tak tahu kalau bumbung tuak itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang
mampu untuk menebang pohon, tergantung penyaluran tenaga dari Suto saat itu.
Melihat lawannya
terbungkuk-bungkuk sambil memegangi tempurung lututnya, Pendekar Mabuk segera
kasih peringatan lagi,
"Sekali lagi kau
menggangguku, kuremukkan kakimu yang satunya lagi!"
"Bangsat kau,
heaaat...!"
Sinar kuning melesat dari
tangan Sulang Dongo. Claaap...! Arahnya ke punggung Suto Sinting. Tetapi
kelebatan sinar itu diketahui oleh Telaga Sunyi. Dengan cepat Telaga Sunyi
bergerak lepaskan pukulan bersinar merah yang menghantam sinar kuning tersebut.
Slaap...!
Blaarr...!
Ledakan cukup keras terjadi di
depan wajah Sulang Dongo yang sedang merunduk memegangi lutut dengan satu
tangan itu.
Cahaya ledakan itu menghantam
wajah Sulang Dongo dan membuat orang berkumis itu terpental berjungkir balik
sambil meraungkan suara kesakitan dengan keras.
"Aaaaa...!" ia
berguling-guling kelojotan, wajahnya hitam hangus, karena ledakan yang terjadi
tadi mempunyai kekuatan menyamai kilatan cahaya petir. Rambut Sulang Dongo
menjadi keriting karena terbakar hawa panas. Matanya menjadi merah, bibirnya
pun pecah, ia menggelepar dalam keadaan sekarat. Namun agaknya semangat
cintanya kepada Muria Wardani masih menyala-nyala sehingga ia merintih
memanggil-manggil nama putri adipati itu sambil berusaha merangkak.
"Muria...! Muria, tolong
aku...! Muriaaa...!" sambil tangannya terulur ke arah Telaga Sunyi. Gadis
itu tercekam dalam kebingungan. Pendekar Mabuk segera mendekati Sulang Dongo
dan berkata, "Aku akan obati kau, tapi jangan memusuhiku lagi.
Setuju?"
"Aku... aku tidak butuh
kau, Bang... sat! Aku butuh dia... Muria Wardani!" sambil menuding Telaga
Sunyi. Dan hal itu membuat Suto menjadi bingung sesaat. Dipandangi wajah cantik
Telaga Sunyi itu. Tapi tak bisa lama-lama karena kejap berikutnya Suto harus
berpaling memandang keadaan Sulang Dongo yang mengerang panjang, kemudian
menghembuskan napas terakhir dalam keadaan telungkup.
"Muri... ooohh...!"
Habis sudah napas Sulang
Dongo. Ia tak bernyawa lagi. Suto Sinting menyesalkan kekerasan hati Sulang
Dongo yang tak mau ditolong itu. Seandainya ia mau ditolong dan menyetujui
perjanjiannya dengan Pendekar Mabuk, setidaknya sampai saat ini pun Sulang
Dongo masih bisa menyebutkan nama Muria Wardani.
Suto Sinting segera mendekati
Telaga Sunyi yang tundukkan kepala di bawah pohon. Dengan mata memandang tak
berkedip suara Pendekar Mabuk pun terdengar jelas di telinga gadis itu.
"Mengapa dia mengulurkan
tangan padamu, Telaga Sunyi? Mengapa dia memanggilmu Muria...?"
Telaga Sunyi pun akhirnya
tarik napas panjang- panjang dan berkata, "Memang akulah Muria
Wardani!"
Kini Pendekar Mabuk yang
terperangah dengan pandangan mata tak berkedip sedikit pun. Mulut berbibir
basah oleh tuak itu tak bergerak juga. Seakan ada sesuatu yang menyumbat
tenggorokan Pendekar Mabuk.
"Akulah Muria Wardani,
dan akulah putri sang Adipati itu!"
"Ajaib sekali!"
gumam Suto Sinting. "Ajaib sekali, mengapa otakku bisa menjadi sebodoh ini
selama bersamamu?!"
"Itulah sebabnya aku
banyak tahu tentang Kertapaksi dan kehidupan Muria Wardani, karena sebenarnya
akulah orangnya. Tapi di kalangan perguruan aku memang dikenal sebagai Telaga
Sunyi. Guruku sendiri juga memanggilku Telaga Sunyi."
Pendekar Mabuk tarik napas
dalam-dalam. Bahkan sempatkan diri menenggak tuaknya beberapa teguk sebagai
penenang jiwa. Apa yang dirasakan Suto adalah campuran dari rasa malu, kecewa,
senang, marah, dan geli. Ternyata sejak kemarin ia bersama putri adipati,
sementara sang Putri Adipati sendiri tidak mau menyebutkan siapa dirinya
sehingga Suto sempat berkata agak kasar, menyatakan tidak kenal dengan Muria
Wardani, tidak cinta, dan menyuruh Kertapaksi mengambil Muria Wardani.
"Pantas kalau Sulang
Dongo merasa tertawa terbahak-bahak ketika kukatakan bahwa aku tidak kenal
dengan Muria Wardani. Tentu saja pernyataanku ini dianggap suatu lelucon yang
paling konyol, sebab pada saat itu aku bersama Muria Wardani."
"Maafkan aku, Suto. Aku
sendiri tak bermaksud memasukkan dirimu dalam lingkaran dendam dan kebencian.
Kupikir dengan mengaku sebagai kekasihmu dan sebentar lagi akan menikah
denganmu, orang-orang itu tak ada yang berani melamarku lagi"
"Jadi... jadi kau mengaku
kekasihnya Pendekar Mabuk dan akan menikah dengan Suto Sinting, begitu?"
Muria Wardani alias Telaga
Sunyi menganggukkan kepala. "Aku hanya menakut-nakuti mereka. Tapi
ternyata mereka bukannya takut, melainkan justru memburumu karena dianggap
penghalang niat."
"Kenapa tak kau katakan
sejak tadi?"
"Aku malu. Malu
sekali!"
Sekali lagi napas Suto ditarik
dalam-dalam. Kemudian ia berkata sambil meraih tangan Muria Wardani,
"Kau benar-benar tak mau
menikah dengan mereka?"
"Benar!"
"Agaknya kau pun takut
berhadapan dengan Penguasa Teluk Neraka?"
"Ya, memang aku takut.
Ilmuku kalah tinggi dengannya."
"Baiklah! Akan kuhadapi
mereka. Tapi, jujurlah
padaku... apakah ayahmu memang
sakit?"
"Memang. Dia memang
terkena ilmu 'Teluh Cakar Buntung'. Aku tak bohong untuk yang satu ini!"
"Kalau begitu, cepat kita
temui ayahmu dan ada beberapa hal yang ingin kubicarakan dengan beliau."
Pendekar Mabuk menganggap
peristiwa itu suatu keusilan seorang gadis cantik putri seorang adipati. Tentu
saja gadis tidak memikirkan akibatnya akan parah bagi Suto Sinting. Tetapi sang
pendekar tampan itu tidak terlalu sakit hati. Justru kadang merasa geli
membayangkan gagasan konyol si gadis putri adipati itu.
"Banyak dari mereka yang
kutolak, akhirnya meninggalkan ancaman. Maka siasatku dengan mengaku sebagai
kekasihmu, membuat mereka tidak akan sembarangan meninggalkan ancaman pada
keluargaku. Setidaknya mereka berpikir seratus kali jika ingin mencelakai
keluargaku, karena calon menantunya adalah pendekar kondang yang terkenal
kesaktiannya itu," tutur Telaga Sunyi dalam perjalanan, dan Suto Sinting
hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Mereka disambut dengan hormat
oleh para punggawa kadipaten.
Wajah-wajah berseri tampak menyebar di lingkungan istana kadipaten. Mereka
merasa gembira dan bangga setelah melihat sosok pendekar kondang datang bersama
sang putri. Bahkan seorang inang pengasuh sempat berkata kepada Telaga Sunyi,
"Mudah-mudahan memang
inilah jodoh Tuan Putri! Pegang erat-erat, jangan sampai terbang ke mana-mana.
Nanti hinggap di sembarang tempat, Tuan Putri sendiri yang akan sakit
hatinya."
"Kamu ini ngomong apa,
Mbok! Sudah ke belakang sana!" ujar Telaga Sunyi yang merasa malu kepada
Pendekar Mabuk. Sang pendekar hanya senyum-senyum saja.
Suto Sinting dipertemukan
dengan Adipati Jayengrana. Sang Adipati memang sakit. Bagian kedua kakinya
menderita luka semacam cakar berbisa. Baunya busuk dan memualkan perut. Luka
membusuk seperti bekas cakaran itu terdapat sampai batas lutut. Padahal,
sebelum itu luka tersebut hanya di bagian kedua jempol kakinya, tapi makin lama
semakin merayap sebanyak itu. Tidak menutup kemungkinan suatu saat akan
mencapai bagian leher dan kepala, akhirnya mati tanpa bisa dimandikan
jenazahnya.
"Penyakit ini datang
setelah aku mencoba menolak lamaran si Penguasa Teluk Neraka, ia mengancam akan
membuatku menderita kalau tak mau menikahkan Muria dengannya. Ternyata inilah
ancaman itu," ujar sang Adipati.
"Kanjeng Adipati mau minum
tuak?"
"Jika memang itu syarat
untuk sembuh, akan kulakukan!"
"Kita coba saja.
Barangkali tuak saya ini dapat mengusir kekuatan jahat dari Ilmu 'Teluh
CakarBuntung' itu," kata Suto dengan hormat, penuh kelembutan dalam
bicaranya.
Sang Adipati pun menenggak
tuak dari bumbung. Hanya beberapa teguk saja tuak itu ditelannya, lalu ia
berkata,
"Cukup sajalah. Aku tak
berani banyak-banyak karena takut mabuk!"
Luka memborok yang akan
membuntungkan kedua kaki sang Adipati itu ternyata tidak langsung sembuh.
Pendekar Mabuk sedikit cemas.
Sampai beberapa waktu lamanya mereka menunggu ternyata luka itu belum tampak
tanda-tanda akan mengering. Terpaksa Suto membujuk sang Adipati agar mau minum
tuak lebih banyak lagi.
"Demi kesembuhan, tak
apalah ayahmu minum tuak terlalu banyak. Yang penting kedua kakinya tidak
menjadi buntung karena penyakit teluh itu," ujar sang Ibu kepada Telaga
Sunyi.
"Baru sekarang ada
adipati disuruh minum tuak dari bumbung," ujar seorang pelayan kepada
sesama pelayan. Mereka menertawakan kejadian aneh itu.
"Barangkali tabib ganteng
ini punya cara penyembuhan tersendiri. Siapa tahu ampuh!" kata pelayan
satunya lagi.
Terlalu banyak minum tuak sang
Adipati akhirnya menderita pusing kepala. Puyeng. Namun sejauh ini luka
memborok itu masih belum kelihatan akan sembuh. Sampai akhirnya sang Adipati
pun tertidur karena puyengnya.
Pendekar Mabuk dan Telaga
Sunyi cemas. Mereka ada di taman belakang sambil membicarakan tentang
kemungkinan-kemungkinan lain. Menurut Suto, hanya Penguasa Teluk Neraka yang
bisa sembuhkan luka seperti itu, karena ia yakin 'Teluh Cakar Buntung' adalah
kiriman dari Penguasa Teluk Neraka.
"Kalau ia diminta
menyembuhkan, pasti bersedia asal upahnya dikawinkan denganmu."
"Upah itulah yang berat
bagiku!" kata Telaga Sunyi.
"Jika begitu, aku harus
memaksanya agar sembuhkan ayahmu dengan cara keras! Barangkali aku harus
bertarung dengannya!"
"Jangan. Aku takut kau
celaka. Dia berilmu tinggi, Suto!"
"Kita coba saja dulu.
Kalau ternyata aku kalah, aku akan mengakui kekalahanku sebelum ia
membunuhku!"
Telaga Sunyi diam
mempertimbangkan langkah itu. Ketika itu, sore mulai datang, senja mulai
menjelang. Sebentar lagi petang akan tiba. Dan seorang pelayan berlari-lari
menghampiri mereka di taman sambil
berkata,
"Tuan Putri... Tuan
Putri..., Kanjeng Adipati sudah bangun!"
"Biar saja! Memangnya
kenapa kalau sudah bangun? Apakah aku dipanggil beliau?"
"Anu... maksud saya...
begitu bangun tidur ternyata lukanya itu sudah hilang. Lenyap tak
berbekas!"
"Hahh...?!" Telaga Sunyi
terbelalak girang. Maka mereka segera menghambur ke kamar sang Adipati, dan
ternyata memang benar. Luka itu hilang, tanpa bekas apa pun. Bahkan bau busuk
yang mestinya menempel di selimut pun tak ada. Kedaan itu amat menggembirakan
keluarga sang Adipati.
"Terima kasih, Suto!
Terima kasih!" Telaga Sunyi girang sekali sampai memeluk Suto Sinting.
Yang dipeluk hanya cengar-cengir dengan hati berdebar-debar.
Keceriaan mereka menjadi surut
ketika seorang penjaga gerbang menyerahkan sepucuk surat yang dibawa oleh
utusan dari Penguasa Teluk Neraka. Surat dari Penguasa Teluk Neraka itu
mengatakan:
Ada yang ikut campur urusanku.
Bagaimanapun juga aku harus dapatkan putrimu, Kanjeng Adipati. Muria Wardani
harus kawin denganku. Nyawa keluargamu sebagai penggantinya jika sampai
perkawinan ini gagal.
"Suto, bagaimana
ini?!" Telaga Sunyi cemas membaca surat itu. Suto Sinting diam sesaat lalu
berkata, "Akan kuselesaikan besok siang!"
Mereka yang mendengar
ketegasan itu menjadi tertegun diam, antara lega dan sangsi. Benarkah besok
siang masalah Penguasa Teluk Neraka dapat diselesaikan Suto dengan secepat itu?
Sang pendekar tampan berkata,
"Maukah kau pura- pura jadi pengantin denganku, Telaga Sunyi?!"
"Hahhh...?!" Telaga
Sunyi atau Muria Wardani justru semakin terbengong mendengar pertanyaan itu.
Sang Ayah pun terbengong, sedangkan sang Ibu hanya menggumam,
"Mengapa hanya
pura-pura?"
SELESAI