1
LEMBAH tandus tanpa tanaman
sebatang pun itu diselimuti oleh kabut yang membayang. Kabut tipis bergerak
berarak-arak dengan lamban. Wilayah yang dilapisi kabut itu cukup luas dan
tinggi.
Sepasang bukit kembar tampak
membayang jauh di belakang wilayah berkabut itu. Dengan lain perkataan, lembah
tandus itu adalah lembah yang sepi, kosong, tanpa makhluk yang menghuninya.
Bahkan Pendekar Mabuk cenderung mengatakan lembah itu sebagai padang kabut
berhawa sejuk.
Tapi anehnya Sang Tiara mengatakan,
"Kita sudah sampai di depan Gerbang Siluman. Berjalanlah lebih dulu karena
kau yang punya kepentingan temui Eyang Putri Batari!"
Pemuda tampan berperawakan
tinggi, gagah, dan kekar itu memandangi gadis berpakaian serba merah yang
bernama Sang Tiara itu. Tentu saja pandangan mata si murid sinting Gila Tuak
terhadap gadis itu bukan pandangan nakal atau berbau mesum, melainkan bernada
penuh keheranan terhadap ucapan si gadis tersebut. Pendekar Mabuk yang akrab
pula dipanggil dengan nama Suto Sinting itu mengakui bahwa ia memang punya
keperluan dengan Eyang Putri Batari sehubungan dengan obat yang dibutuhkan
untuk menyembuhkan penyakit sang Guru; si Gila Tuak. Obat itu adalah 'Tuak
Dewata', sesuai dengan perkataan roh sejati si Gila Tuak yang bicara tentang
'Tuak Dewata' sebagai penyembuh sakitnya nanti.
Pendekar Mabuk juga
membenarkan Sang Tiara tentang keperluan menemui Eyang Putri Batari adalah
keperluan pribadinya atas saran Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu.
Menurut sang Ratu, kemungkinan besar Eyang Putri Betari yang sebagai ibunya
sang Ratu itu mengetahui tentang 'Tuak Dewata', sehingga ada baiknya jika Suto
Sinting mencoba menanyakan hal itu kepada Eyang Putri Batari di Gerbang
Siluman.
Untuk menunjukkan
kesungguhannya, Pendekar Mabuk yang sebagai panglima atau Manggala Yudha
Kinasihnya Ratu Kartika Wangi itu diperintahkan untuk melawan raja jin yang
bernama Raja Barong. Raja Barong ingin membebaskan para siluman yang ditawan di
Gerbang Siluman atas bujukan Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa, musuh
utama sang Pendekar Mabuk. Dan ternyata dalam usahanya menggagalkan penyerangan
Raja Barong, Pendekar Mabuk bukan hanya berhasil menundukkan saja, namun juga
berhasil membunuh si raja para jin itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode
: "Misteri Tuak Dewata").
Sang Tiara yang ditunjuk oleh
Ratu Kartika Wangi untuk menjadi pemandu Suto dalam perjalanan ke Gerbang
Siluman, ternyata telah keluarkan ucapan yang janggal di hati Suto. Dari semua
perkataan Sang Tiara tadi, hanya satu hal yang membuat Suto Sinting merasa
janggal serta heran.
"Kita sudah tiba di depan
Gerbang Siluman?!" Pendekar Mabuk mempertegas ucapan itu dengan nada tak
percaya.
"Di depan kita itulah
Gerbang Siluman," ujar Sang Tiara sambil memandang daerah yang dinamakan
oleh Suto sebagai padang kabut.
"Candamu lucu juga,
Tiara. Padang kabut kau katakan Gerbang Siluman. He, he, he...! Aku merasa
seperti orang buta mendadak jika kau bilang begitu."
"Rupanya kau belum diberi
tahu oleh Gusti Kartika Wangi."
"Diberi tahu tentang
apa?!"
"Cara memandang Gerbang
Siluman."
Suto membetulkan letak bumbung
tuak yang digantungkan di pundak kanannya.
"Caranya bagaimana,
maksudmu?" "Tarik napas dalam-dalam, tahan di dada, pejamkan mata
sebentar, lalu buka mata bersama hembusan napas memanjang," Sang Tiara
menjelaskan, dan Pendekar Mabuk semakin memandang aneh, karena merasa baru kali
itu mendengar aturan tersebut.
Tetapi rasa penasaran Suto
membuatnya ingin mencoba apa yang diajarkan Sang Tiara itu. Ia menarik napas
panjang, ditahan di rongga dada, matanya dipejamkan sebentar, kemudian mata
dibuka lagi bersama napas dihembuskan lewat mulut.
"Huuuufh...!"
Deg! Suto Sinting kaget.
Matanya kian melebar. Pandangannya tertuju ke arah depan, tempat yang dikatakan
sebagai ladang kabut itu ternyata berubah dalam sekejap. Kabut memang masih
ada, tapi kabut itu kini membungkus bangunan bertembok tinggi bagaikan benteng
batu yang kekar dan besar. Tapi anehnya lagi, bangunan itu tidak mempunyai
pintu. Temboknya rata bagai tak berlubang seujung jarum pun. Hanya saja, tepat
di depan Suto Sinting dan Sang Tiara itu terdapat sebuah gapura dari batu hitam
bersusun-susun sedemikian rupa membentuk tiang gawang, seperti gapura-gapura
model Jepang.
Letak gapura batu itu dengan
dinding tinggi-hitam sekitar dua puluh tombak. Jadi masih jauh dari dinding
tersebut. Seolah-olah gapura batu hitam itu hanya sebagai tanda bahwa seseorang
yang berada di depan gapura tersebut sama saja sudah berada di wilayah Gerbang
Siluman. "Aneh...," Suto Sinting menggumam dengan mata memandang
bangunan di depannya, dahi berkerut dan mulut masih sedikit ternganga.
Sementara itu, Sang Tiara masih belum mau melangkah mendahului Suto. Ia hanya
berdiri di samping Suto, menyelipkan kedua jempol tangannya ke dalam sabuk dan
sikap berdirinya tampak tegar, penuh keberanian, namun juga berkesan cuek
dengan kebingungan Suto Sinting.
"Benarkah bangunan batu
hitam itu adalah Gerbang Siluman?" tanya Suto Sinting masih kurang yakin
dengan penglihatannya sendiri. Maklum, kali ini ia berada di alam gaib, bukan
di alam nyata, jadi cukup banyak keanehan-keanehan yang sering membuatnya
tercengang atau bingung sendiri.
Sang Tiara menanggapi
kesangsian Suto tadi dengan dagu sedikit diangkat, sehingga kecantikannya
tampak mengandung kadar keangkuhan, walau hanya sekilas dua kilas.
"Kau pikir yang di depan
kita itu kandang kebo?" Suto tersenyum geli-geli malu.
"Masuklah, aku tak berani
mendahuluimu masuk ke Gerbang Siluman," tambah Sang Tiara yang berambut
cepak dan kepalanya dililit logam emas berukuran kecil.
"Apakah... apakah kita
berada di bagian belakang Gerbang Siluman?" tanya Suto sambil melayangkan
pandangannya ke tembok batu besar itu.
"Tidak. Kita berada di
depan Gerbang Siluman. Kita tinggal masuk saja."
"Mana pintunya? Aku tidak
melihat ada pintu pada tembok batu yang mirip benteng raksasa itu."
"Namanya saja Gerbang
Siluman, tentu saja pintunya juga pintu siluman yang tak mudah dilihat oleh
sembarang mata," ujar Sang Tiara sambil membetulkan letak pedangnya di
punggung.
"Jadi, bagaimana caranya
masuk ke Gerbang Siluman dan menemui Eyang Putri Batari?!"
"Usaplah wajahmu tiga
kali dengan tangan kiri, maka kau akan melihat pintu masuk ke bangunan
tersebut!"
Walau hati merasa heran, tapi
Pendekar Mabuk mencoba saran Sang Tiara, ia mengusap wajahnya tiga kali memakai
tangan kiri. Dan begitu selesai mengusap wajah tiga kali, matanya segera
menemukan pintu masuk ke bangunan besar itu.
"Oh, benar apa katamu,
Tiara," gumam Suto Sinting. Pintu tersebut berbentuk lengkung bagian
atasnya.
Daun pintunya terbuat dari
lempengan batu besar yang tidak sembarang orang mampu menggeser atau membuka
pintu tersebut. Di depan pintu ada jembatan kayu, karena bangunan itu bagai
berada di tengah danau tak berair, namun berkabut tebal.
Langkah Pendekar Mabuk tampak
tegap. Tetapi langkah itu segera terhenti karena Sang Tiara mencekal lengan
pemuda tampan berambut panjang lurus sepundak itu.
"Ada apa lagi?"
tanya Suto sambil memandang Sang Tiara.
"Lewatlah tengah gapura
ini!"
"Apa bedanya jika kita
melangkah melalui samping gapura, toh tidak ada pagar dan batasan
lainnya?"
"Kau tidak akan sampai ke
pintu gerbang itu jika tidak melalui jalan tengah gapura ini, Suto! Siapa pun
yang tidak melalui jalan gapura akan tersesat dan tak akan dapat temukan jalan
keluarnya. Kau akan hilang lenyap tak berbekas!"
Pendekar Mabuk menggumam dan
manggut- manggut. "Gadis ini benar-benar menjadi pemandu yang baik,"
pikirnya, "Ia bukan saja menunjukkan jalan yang benar, tapi juga
menjelaskan akibat-akibatnya. Tak salah Ibu Ratu membekaliku pemandu secantik
Tiara ini."
Tanpa panduan dari Sang Tiara,
mungkin Suto akan sampai di tempat lain dan menemukan masalah yang lebih banyak
lagi. Sang Tiara bukan saja sebagai pemandu, namun juga termasuk sebagai kunci
masuk ke Gerbang Siluman. Karena dua penjaga Gerbang Siluman yang terdiri dari
dua pemuda tampan berpakaian serba putih dan masing-masing memegang tombak
berujung trisula itu, tak jadi banyak tanya kepada Suto begitu melihat Sang
Tiara ada bersama Pendekar Mabuk. Sebab wajah dan nama Sang Tiara sudah bukan
asing lagi bagi para penjaga Gerbang Siluman. Bahkan tegur sapa mereka
menampakkan sikap persahabatan yang tinggi antara orang-orang Gerbang Siluman
dengan pihak Puri Gerbang Surgawi.
Namun biar bagaimanapun juga,
Sang Tiara dan Pendekar Mabuk tetap harus mengisi buku tamu, dan masing-masing
mendapat lempengan logam merah tembaga berbentuk segi tiga. Logam merah tembaga
yang ketiga sisinya berukuran setengah kelingking itu disematkan di dada kiri
sebagai lencana pengganti kartu nama.
"Lencana ini dapat
dipakai untuk bicara dengan Eyang Putri Batari," ujar Sang Tiara kepada
Suto Sinting.
"O, ya? Caranya
bagaimana?"
"Tempelkan tangan kanan
kita menutup segi tiga ini, lalu bicaralah apa saja kepada Eyang Putri maka kau
akan mendengar jawabannya."
Hati pemuda tampan berbaju
tanpa lengan warna coklat serta celana putih lusuh itu mulai digelitik rasa
penasaran. Maka ia pun mencoba apa kata Sang Tiara itu. Ia menempelkan telapak
tangan kanannya sambil memandang ke arah kedua penjaga yang tetap memberikan
senyum keramahan.
"Hallo, di sini Suto
Sinting, di situ siapa? Ganti."
Tiba-tiba telinga Suto
bagaikan menangkap suara orang yang bicara dalam jarak satu langkah dari
sampingnya.
"Manggala Yudha utusan
putriku, cepat temui aku dan jangan bercanda dulu."
"Tiara... aku mendengar
suara merdu seorang perempuan," ucap Suto dalam bisikan.
"Itulah suara Eyang
Putri!" Sang Tiara balas berbisik dengan nada sedikit tegang. "Kau
jangan ngomong sembarangan lho!"
Suto pun menjadi takut, ia
segera berkata sambil tetap memegang lencana merah tembaga itu. "Maaf,
Eyang... saya tidak tahu kalau tanda tamu ini benar-benar bisa dipakai bicara
kepada Eyang Putri."
"Masuklah dan segera
temui aku, Manggala perkasa!" "Eh,
Tiara... sekarang julukanku
di sini diganti.
Bukan Manggala Yudha tapi
Manggala Perkasa." "Perkasa
itu kata sanjungan,
Tolol!" Sang Tiara
mengulum senyum geli.
Di dalam tembok hitam yang
tinggi dan panjang itu, ternyata terdapat sebuah istana kecil dengan bangunan-
bangunan beratap candi. Keadaan di dalam Gerbang Siluman sangat berbeda dengan
di luar. Di situ tanah tampak subur dan tanaman jenis rumput serta pepohonan
tumbuh menghijau tertata rapi. Rumput menghampar bagaikan bentangan permadani
yang amat luas.
Ternyata di situ pun ada
petugas khusus penyambut tamu. Dua petugas itu terdiri dari dua gadis berambut
panjang dan hanya mengenakan pinjung penutup dada serta kain pembungkus pinggul
yang meliuk indah.
Para petugas itu membawa
gulungan kain seperti angkin warna merah. Gulungan kain itu dibentangkan,
ternyata gulungan itu bergerak sendiri dari tempat Suto berdiri sampai ke ruang
pertemuan di dalam istana kecil itu. Pendekar Mabuk dipersilakan melangkah
mengikuti jalur merah itu, sementara Sang Tiara mengikutinya dari belakang.
Pendekar Mabuk sangat terkejut
ketika mengetahui bahwa ternyata Eyang Putri Batari bukan sosok perempuan tua
bungkuk dan berkulit keriput serta berpipi kempot. Eyang Putri Batari mempunyai
wajah cantik, muda, seperti berusia dua puluh lima tahun. Bahkan sangat tak
pantas jika dikatakan sebagai ibu dari Ratu Kartika Wangi. Karena kecantikan
Ratu Kartika Wangi itu sendiri seperti berusia dua puluh delapan tahun, padahal
usia sebenarnya lebih dari delapan puluh dua tahun.
Pendekar Mabuk nyaris tak mau
percaya bahwa perempuan muda dan cantik itu adalah nenek dari Dyah Sariningrum,
calon istrinya kelak. Jika Suto Sinting sudah menikah dengan Dyah Sariningrum,
penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam nyata yang berkedudukan di Pulau Serindu
itu, maka berarti perempuan cantik yang kini ada di depannya itu adalah
neneknya pula. Janggal dan lucu sekali kedengarannya jika Suto memanggilnya
nenek atau eyang.
Tetapi agaknya Eyang Putri
Batari dapat membaca pikiran Suto Sinting, sehingga dengan sunggingkan senyum
manis yang anggun, perempuan berambut putih rata bagaikan bulu kelinci itu
berkata dengan mata indahnya yang bundar memandang tak berkedip ke wajah Suto
Sinting.
"Seharusnya kau merasa
beruntung bertemu denganku dalam keadaan seperti ini, Suto. Kalau kau bertemu
denganku dalam keadaan sesuai dengan usiaku yang melebihi usia Gila Tuak, maka
kau akan lari terbirit-birit dan merasa jijik melihat tulangku terbungkus kulit
yang keriput."
"Maaf, Eyang
Putri...," Suto jadi malu sendiri dan untuk sesaat tak berani memandang
Eyang Putri Batari. Perempuan yang menurut Suto wajahnya lebih mirip Betari
Ayu, kakak Dyah Sariningrum yang kini mengasingkan diri di Gunung Kundalini
itu, mempunyai bentuk dada yang sangat bagus. Tidak terlalu montok, namun penuh
daya pikat tersendiri. Padat dan berisi. Kulitnya yang putih mulus itu
dibungkus dengan jubah sutera warna hijau muda bertabur butiran intan. Rambut
putihnya dibiarkan lepas tergerai sepanjang punggung, tapi bagian atasnya
bersanggul kecil dengan sanggul dililiti logam emas berbatuan mirah delima.
Perempuan itu mempunyai mata
bundar berbulu lentik yang jika beradu pandang menghadirkan hawa sejuk di hati,
membuat jiwa yang resah menjadi tenteram dan membuat hati selalu merasa damai.
Anehnya, sekalipun seluruh kecantikan dan keelokan tubuhnya sempat membayang di
benak Suto, tetapi sedikit pun tak ada debar-debar kemesraan yang tumbuh di
hati Pendekar Mabuk. Pemuda yang biasanya sering berkhayal ngeres itu kali ini
hanya merasa sangat kagum terhadap kecantikan dan keelokan tubuh Eyang Putri
Batari, tak ada hasrat untuk menciumnya. Bahkan khayalan untuk menggenggam
tangan perempuan itu sama sekali tidak ada di benak Suto.
Tetapi agaknya sang nenek
cantik itu merasa kagum dengan ketampanan Suto yang berpenampilan sederhana, ia
sempat berkata di depan dua pengawalnya dan di depan Sang Tiara juga.
"Pemuda segagah dirimu
sangat serasi bila perjodohan dengan cucuku; Dyah Sariningrum. Tak kusangka aku
akan mendapatkan seorang cucu menantu yang begitu tampan, kekar, dan perkasa.
Ilmunya gila- gilaan, tak ada duanya di permukaan bumi maupun di alam gaib
ini."
Pendekar Mabuk hanya tertunduk
dengan tersipu malu.
"Ketangkasanmu dalam
bertarung melawan Raja Barong, kulihat dari sini dengan jelas melalui mata
batinku. Kukenali gerakan jurus-jurusmu sebagai gerakan jurus-jurus milik
seseorang yang sangat dekat dengan hatiku."
Sebenarnya Suto ingin ajukan
tanya tentang siapa orang yang sangat dekat dengan hati Eyang Putri Batari itu.
Tetapi ia tak punya keberanian memotong pembicaraan perempuan cantik yang
anggun dan tampak sangat berkharisma itu. Maka, Suto pun hanya bungkamkan mulut
dalam keadaan tetap duduk bersila di depan Eyang Putri Batari.
"Hanya saja, sangat
disayangkan sekarang darahmu telah tercemar oleh darah siluman tulen."
Kata-kata ini membuat Pendekar
Mabuk menjadi deg-degan dan segera teringat tentang ilmu 'Dewatakara' pemberian
Payung Serambi, sang prajurit unggulan dari Istana Laut Kidul itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Geger Selat Bantai"). Suto tidak tahu
bahwa masuknya ilmu 'Dewatakara' dalam dirinya membuat ia menjadi berdarah
siluman dan hanya bisa kawin dengan rakyat Laut Kidul.
Eyang Putri Batari berkata
lagi, "Tetapi aku maklum, keterbatasan manusia kadang tak bisa disalahkan
begitu saja. Barangkali memang sudah menjadi takdir bahwa kau menjadi pemuda
berdarah siluman."
"Maaf, Eyang Putri ," kini Suto berani menyela kata
karena Eyang Putri Batari diam
beberapa saat lamanya. "Apakah
selamanya saya akan
menjadi manusia
berdarah siluman?"
Dengan senyum wibawa yang
memancarkan kecantikan lebih tinggi lagi itu, Eyang Putri Batari
geleng-gelengkan kepala sangat pelan.
"Semua ini adalah
perjalanan hidupmu, Suto Sinting. Perjalanan hidup yang sudah digariskan harus
begitu tak bisa dihindari oleh siapa pun. Seseorang yang berusaha menghindari
garis hidupnya maka ia akan menemukan penderitaan, sakit, dan kecewa. Tetapi
orang pandai akan mengikuti alur kehidupannya sesuai dengan garis, sehingga
tidak terasakan sakit, kecewa, dan duka."
"Jadi... saya masih punya
harapan untuk tetap berjodohan dengan Dyah Sariningrum, Eyang?!"
"Lihat saja nanti.
Tergantung bagaimana keadaan gurumu; si Gila Tuak itu."
Pendekar Mabuk termenung
sebentar. Hatinya membatin, "Sepertinya Kakek Guru punya peranan penting
dalam memulihkan keadaanku yang berdarah siluman ini. Tetapi bagaimana mungkin
Kakek Guru itu bisa menyempurnakan kembali darahku, jika beliau sakit dan aku
tak berhasil dapatkan 'Tuak Dewata' itu? Bukankah jika 'Tuak Dewata' tak
berhasil kudapatkan, berarti Guru kehilangan nyawanya?" "O, kau
bicara tentang 'Tuak Dewata' rupanya?" tegur Eyang Putri Batari yang
membaca pikiran Suto dan mendengar kata batin sang pendekar tampan itu.
"Benar, Eyang Putri....
Ibu Kartika Wangi mengutus saya untuk menemui Eyang Putri dan menanyakan
tentang Tuak Dewata' itu."
"Putri ragilku memang
selalu melimpahkan kesulitan kepadaku," kata Eyang Putri Batari sambil
mengenang wajah putri ragilnya: Sang Ratu Kartika Wangi.
"Apa yang kau cari itu sebenarnya
tidak ada, Suto." Deeeg. .! Jantung Suto bagai disentakkan dari dalam.
Harapan untuk dapatkan 'Tuak
Dewata' agaknya semakin jauh. Walau ia sudah memburu ke alam gaib dan bertanya
pada tokoh sakti kelas tinggi di alam tersebut.
Pendekar Mabuk menjadi resah.
Tapi begitu memandang sorot mata Eyang Putri Batari, keresahannya lenyap
seketika dan kedamaian muncul bersama ketenangannya.
"Lebih tepatnya, aku
tidak tahu tentang 'Tuak Dewata' itu," sambung Eyang Putri Batari.
"Penyakit yang diderita gurumu adalah penyakit hukuman. Gurumu mempunyai
satu ilmu yang belum diturunkan kepada muridnya. Padahal dalam batas usianya
yang sekarang, seharusnya ilmu itu sudah diturunkan atau dibuang. Gurumu lupa
menurunkannya padamu, sehingga ia termakan hukuman dari kelalaiannya itu."
"O, begitu ya.
Eyang?!" Suto Sinting jadi tampak serius, karena baru sekarang ia
mengetahui bahwa gurunya masih punya satu ilmu yang belum diturunkan padanya.
"Bagaimana kalau Guru
menurunkan ilmu itu sekarang juga pada saya, apakah bisa menyembuhkan sakitnya.
Eyang Putri?"
Calon nenek mertua itu
menggelengkan kepala.
"Tak mungkin Gila Tuak
dapat turunkan ilmu itu kepadamu sekarang, sebab ia dalam keadaan sakit parah.
Satu-satunya cara harus sembuhkan dulu si Gila Tuak dan ingatkan padanya bahwa
ia punya satu ilmu yang harus diturunkan atau dibuang."
"Tapi menurut roh sejati
Kakek Guru, kesembuhan itu akan datang jika saya sudah dapatkan 'Tuak Dewata'.
Sedangkan Ibu Ratu dan Eyang Putri mengatakan 'Tuak Dewata' itu tidak ada.
Lalu, saya harus berbuat apa jika begini, Eyang Putri?!"
"Ada cara yang mungkin
bisa kau tempuh untuk mengetahui rahasia 'Tuak Dewata' itu. Kusarankan agar kau
bertapa dan meminta petunjuk Hyang Maha Dewa tentang tuak tersebut."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
renungi kata-kata Eyang Putri Batari.
"Sucikan dirimu,
bersihkan batinmu, lakukanlah semadi yang dinamakan 'Tapa Layang' selama empat
puluh hari," tambah Eyang Putri Batari dengan menampakkan sikap ingin
membantu kesulitan Suto Sinting.
"Tapa Layang itu bagaimana,
Eyang?"
"Jika duduk atau berdiri
jangan menyentuh tanah, jika menggantung jangan berpegangan pada benda apa
pun," jawab Eyang Putri Batari. "Syukur kurang dari empat puluh hari
kau sudah mendapat wangsit dari Hyang Maha Dewa tentang 'Tuak Dewata' itu.
Seandainya tidak, aku yakin pada hari keempat puluh dari bertapamu itu kau akan
mendapatkan petunjuk dari Hyang Maha Dewa tentang kesulitanmu itu. Apakah kau
sanggup, calon mantu cucuku?"
"Sanggup sekali, Eyang
Putri."
"Tapi ingat, kau bertapa
di alam gaib, maka godaanmu akan sangat besar dibanding bertapa di alam nyata.
Para siluman yang masih berkeliaran dan tidak terperangkap dalam tawananku,
pasti akan datang mengganggumu. Untuk itu, akan kuutus Sang Tiara mendampingi
tapamu di Gua Pedupan, tak jauh dari tempat ini."
Kemudian Eyang Putri Batari
bicara kepada Sang Tiara.
"Tiara, sanggupkah kau
mendampingi Manggala Yudha-mu dalam lakukan Tapa Layang nanti?"
"Dengan senang hati, saya
tak akan tinggalkan Gusti Manggala Yudha, Eyang Putri," jawab Sang Tiara
dengan tegas sambil memberi hormat.
"Aku percaya padamu.
Kartika tak pernah salah memilih prajurit unggulan sepertimu. Aku senang sekali
mendengar kesanggupanmu. Tiara. Bantulah calon suami cucuku ini, maka akan
kusiapkan penghargaan khusus untukmu."
"Terima kasih, Eyang
Putri!" sambil Sang Tiara tundukkan kepala penuh hormat.
"Berangkatlah kalian ke Gua Pedupan sekarang juga. Karena kurasakan
sakitnya si Gila Tuak semakan parah. Lewat dari empat puluh hari lagi nyawanya
tak akan dapat tertolong."
Pendekar Mabuk tersentak kaget
dan menjadi tegang.
*
* *
2
ALAM gaib itu sepertinya tak
pernah ada siang dan tak pernah ada malam. Suasananya seperti menjelang sore
pada saat langit mendung. Agaknya suasana seperti itu akan abadi sepanjang
masa.
Pendekar Mabuk tak tahu apakah
ia berangkat ke Gua Pedupan menjelang sore hari atau tengah malam. Dalam
perjalanannya yang didampingi Sang Tiara itu, Suto tidak mempersoalkan tentang
siang atau malam. Hal itu hanya terlontar dalam gumam lirihnya saja. Tetapi
yang menjadi persoalan yang perlu dibicarakan oleh Suto adalah tentang
keadaannya yang telah tercemar oleh darah siluman itu.
"Mengapa Eyang Putri dan
Ibu Ratu, termasuk dirimu juga agaknya, selalu mempersoalkan tentang diriku
yang telah berdarah siluman?! Bukankah kalian juga termasuk siluman?!"
"O, jangan salah! Kami
bukan siluman. Kami manusia sepertimu, tapi punya keabadian dan kesaktian
melebihi manusia sepertimu." "Melebihi...?!" kata-kata itu
sengaja ditekankan oleh Suto membuat Sang Tiara segera sadar dan tak enak hati.
"Maksudku, punya banyak kelebihan dibanding manusia yang hidup di alam
nyata. Di sini kami tinggal bersama keabadian, termasuk keabadian usia,
keabadian raga, keabadian kecantikan, keabadian batin dan sebagainya. Orang-orang
yang mati moksa atau lenyap tanpa bekas, sebenarnya punya kehidupan sendiri di
alam kami ini,
Suto. Mungkin suatu
saat kau akan
bertemu dengan mereka yang
moksa dari alam nyata." "O, jadi kalian sebenarnya bukan roh yang
bergentayangan?"
"Bukan," tegas Sang
Tiara. "Roh yang bergentayangan atau dzat orang yang telah mati, dia
menjelma dan hidup kembali di alam kelanggengan. Hampir sama dengan alam
keabadian ini. Bedanya, alam kelanggengan dihuni oleh para roh yang menunggu saat
penghakiman di hari akhir tiba. Alam kelanggengan itu ada di sebelah
sana," sambil Sang Tiara menunjuk ke arah kirinya.
"Di sana mereka bercampur
baur dengan jin, siluman, hantu atau hal-hal lain yang bersifat gelap. Karena
itu alam kelanggengan mereka sering kita beri sebutan alam kegelapan."
"Apakah dengan begitu
maka alam kita sekarang ini adalah alam surga?"
"Bukan juga alam surga.
Kehidupan surgawi masih ada di atas kita, seakan tingggal satu jangkauan lagi.
Sebab itulah, maka negeriku dinamakan Puri Gerbang Surgawi. Artinya, sebentar
lagi memasuki gerbang surgawi jika kami benar-benar telah mencapai kesempurnaan
dalam hidup. Tetapi untuk mencapai kesempurnaan itu ternyata bukan hal yang
mudah. Tidak semua orang mampu mencapainya ke sana."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dan merasa tertarik sekali dengan penjelasan tersebut. Sayang percakapan mereka
harus dihentikan, pengupasan tentang kedua alam itu harus ditangguhkan, karena
mereka sudah mencapai sebuah lembah bertebing tinggi. Di sana tampak sebuah
mulut gua yang menganga lebar dengan bebatuan menyerupai bambu-bambu berdiri
sebagai pagar mulut gua tersebut.
"Tunggu sebentar,"
cegah Sang Tiara sambil mencekal lengan Pendekar Mabuk.
"Ada apa, Tiara? Kau
selalu mengejutkan hatiku." "Kita salah alamat," ujar Sang Tiara
dengan suara
berbisik. "Yang di depan
kita pasti bukan Gua Pedupan asli. Tempat itu pasti jebakan maut yang akan
mencelakakan diri kita, Suto."
"Dari mana kau
tahu?"
"Biasanya sebelum
mencapai lembah ini, kita akan berhadapan dengan Kalabolong."
Pendekar Mabuk kerutkan
dahinya. "Siapa itu Kalabolong?"
"Penjaga Lembah Pedupan.
Hanya orang yang mampu kalahkan Kalabolong boleh bertapa di Gua Pedupan. Sebab
Gua Pedupan bukan gua sembarangan, melainkan gua yang sering digunakan untuk
bertapa para tokoh tingkat tinggi. Untuk membuktikan bahwa tokoh yang mau
bertapa itu berilmu tinggi, maka Kalabolong selalu hadir untuk merintanginya.
Tak jarang orang yang mau bertapa terpaksa lari pulang karena tak sanggup
hadapi kekuatan Kalabolong."
"Hmmm...," Pendekar
Mabuk manggut-manggut. Sementara gadis cantik berbibir ranum itu memandang
sekeliling dengan jeli, Suto sempatkan diri untuk meneguk tuaknya dari bumbung
bambu yang ke mana- mana selalu dibawanya itu.
"Gila!" suara Sang
Tiara terdengar menggumam. "Di sebelah kanan kita juga ada gua yang serupa
dengan gua depan kita!"
Suto memandang arah kanan.
"Hmmm... benar juga. Susunan batu dan bentuk mulut gua itu sama persis
dengan. "
"Di belakang kita juga
ada gua serupa."
Pendekar Mabuk berpaling ke
belakang. "Benar- benar gila ini!" gumamnya setelah mengetahui di
belakangnya juga ada gua yang serupa dengan gua di depannya.
"Hmmm lihat, di sebelah
kiri kita juga ada gua yang
sama!"
Dua orang itu dibuat bingung
oleh persamaan dari keempat gua tersebut. Bahkan bukan saja bentuk dan susunan
bebatuannya yang sama, melainkan suasana sekelilingnya juga sama, sehingga
mereka merasa berhadapan dengan cermin empat sisi.
"Pasti ini ulah si
Kalabolong yang ingin menjerumuskan kita!" geram Sang Tiara dengan mata
melirik tajam penuh waspada.
"Bagaimana cara
membedakan gua yang asli dan yang jebakan?" tanya Suto Sinting yang
agaknya menjadi bingung sendiri itu.
Setelah diam sesaat, Sang
Tiara perdengarkan suara. "Seingatku, Gua Pedupan yang asli berlapis udara
baja."
"Maksudnya udara
baja?"
"Tidak mudah dihancurkan
karena udaranya mengandung kekuatan baja gaib."
"Kalau begitu, akan
kucoba menghantamnya dengan pukulan jarak jauh bertenaga tinggi!" kata
Suto, lalu tangannya segera menyentak ke depan dan seberkas sinar biru melesat
dari tangan itu. Claaap...!
Jegaaarrr...!
Jurus 'Tangan Guntur'
menghantam gua yang ada di depan mereka. Gua itu langsung hancur dengan bunyi
gemuruh yang menggetarkan tempat mereka berdiri.
Sang Tiara tak mau kalah, ia
pun lepaskan jurus aneh dari telunjuknya. Hanya dengan satu jari menuding dan
menyodok ke depan maka sinar merah lurus melesat dari ujung jari dan menghantam
gua sebelah kiri mereka. Claaap...!
"Jegaaarrr...!
Gua sebelah kiri hancur. Pada
saat itu, Suto Sinting lepaskan kembali jurus 'Tangan Guntur'-nya. Claaap...!
Sinar biru menghantam gua sebelah kanan.
Jegaaarrr...! Kini tiga dari
empat gua kembar sudah dihancurkan oleh mereka. Tinggal gua yang ada di
belakang mereka dalam jarak sekitar tiga puluh tombak.
"Berarti gua di belakang
kita itu yang asli. Tiara!" ujar Suto Sinting.
"Aku masih sangsi
juga."
Claaap...! Tiba-tiba sinar
merah dari telunjuk Sang Tiara melesat lagi dan menghantam dinding mulut gua
tersebut.
Jegaaarrr...!
Ternyata gua belakang mereka
itu juga hancur. Pendekar Mabuk menjadi terbengong dan clingak- clinguk
kebingungan.
"Kau bilang Gua Pedupan
yang asli mempunyai udara berlapis baja. Tapi kenapa sekarang gua itu juga
hancur?"
"Berarti gua itu juga gua
palsu ciptaan Kalabolong." "Lalu mana gua yang asli?!"
Tiba-tiba ada suara yang
menjawab dari belakang mereka,
"Gua yang asli ada di
tanganku! Huah, hah, hah, hah...!"
Mereka berpaling cepat dan
segera temukan sesosok tubuh berkepala empat.
"Itu dia
Kalabolong!" bisik Sang Tiara kepada Suto.
Suto memandang dengan mata
sedikit mengecil, tapi ia tampak tenang dan tali bumbung tuaknya mulai melilit
pada genggamannya.
Kalabolong memang mempunyai
empat kepala yang menghadap ke empat arah; depan, belakang, dan samping
kanan-kiri. Tapi ia mempunyai satu badan, bagian depan dan belakang. Perut itu
mempunyai pusar yang bolong, berlubang sebesar kelereng dan tembus sampai
belakang. Seseorang bisa saja mengintip dari lubang tersebut jika iseng dan
diizinkan oleh si Kalabolong.
Makhluk aneh tanpa rambut selembar
pun itu mempunyai empat tangan dan empat kaki; sepasang menghadap ke depan,
sepasang lagi menghadap ke belakang.
Tubuh kelingnya yang besar
walau tak sebesar Raja Barong, hanya mengenakan cawat dari bahan semacam kulit
binatang berwarna merah kecoklatan. Kulitnya itu tampak berminyak dan
menyebarkan bau langu tak sedap.
Dari keempat kepala,
masing-masing mempunyai sepasang mata yang lebar tanpa bulu mata maupun alis.
Hidungnya bundar tapi pipi mirip telur ceplok. Mulutnya berbibir tebal, warna
bibirnya putih bintik-bintik hitam. Mulut itu lebar, namun tak cukup untuk
memakan manusia. Masing-masing kepala mempunyai gigi bertaring tak panjang
namun kelihatan runcing dan menyeramkan. Warnanya kuning kehijauan.
"Tak pernah gosok gigi
anak ini," gumam Suto dalam hatinya. "Yang kubingungkan, bagaimana
jongkoknya jika kakinya ada empat begitu? Orangbisa dibuat bingung melihat dia
berjalan; maju atau mundur. Hmmm... kurasa inilah yang dinamakan maju kena
mundur kena. Agaknya aku harus hati-hati melawan dia. Sebaiknya yang kuserang
pusat kelemahannya saja."
Sang Tiara serukan kata kepada
makhluk aneh itu. "Kalabolong, kali ini kau akan celaka jika halangi
niat kami. Keluarkan Gua
Pedupan dari genggamanmu, karena Manggala Yudha-ku akan bertapa di gua
itu!"
"Huah, hah, hah, hah,
hah, haaaaaah... capek!" Kalabolong melangkah mengitari Pendekar Mabuk
sambil tubuhnya sendiri berputar pelan supaya semua mata pada kepalanya bisa
memandang jelas ke arah Pendekar Mabuk.
"Aku tak percaya kalau
bocah ingusan ini adalah Manggala Yudha-mu, Tiara! Terlalu ingusan dia. Buang
ingus saja belum bisa sudah mau berlagak bertapa segala!"
"Kalabolong, kuingatkan
sekali lagi, jangan halangi niat Manggala Yudha-ku kalau kau tak ingin
celaka!"
Salah satu tangan yang
menggenggam diacungkan ke atas. Kalabolong berseru dengan suaranya yang serak
itu.
"Kalau bocah ingusan ini
bisa tumbangkan diriku, akan kuserahkan Gua Pedupan kepadanya!"
Dalam hati Suto hanya
menggumam, "Gila! Gua bisa berada dalam genggamannya. Sakti juga makhluk
berkepala empat ini?!"
Saat itu, Sang Tiara segera
berbisik kepada Suto. "Gua itu ada
dalam genggamannya. Paksa dia agar
keluarkan gua tersebut. Tapi
hati-hati, ludahnya mengandung racun yang amat ganas. Hindari ludahnya dan
kuku-kuku di tangannya itu." "Bagaimana kalau kutinggal lari
saja?"
"Ah, masa' seorang
Manggala Yudha tak berani hadapi makhluk macam dia?!" kecam Sang Tiara.
Suto hanya sunggingkan senyum kecil.
"Maksudku, akan kuajak
adu kecepatan berlari. Jika dia kalah harus serahkan gua itu dan jika aku kalah
aku tak jadi pakai gua itu."
"Cobalah bicara
padanya!"
"Kalabolong!" suara
Suto terdengar lantang dan tegas.
"Apa maumu. Bocah
umbelan?!"
"Daripada kita adu jotos,
bagaimana jika lebih baik kita adu kecepatan berlari. Siapa menang berhak
menggunakan gua itu untuk keperluannya apa saja, yang kalah harus rela
meninggalkan gua tersebut."
"Huah, hah, hah, hah,
hah...! Kau pikir aku anak kecil yang masih suka adu lari?"
"Kau mempunyai empat kaki
sedangkan aku hanya dua. Masa' kau kalah cepat dariku?!" pancing Suto.
"Kalau memang kau tak mampu lari dengan empat kaki, potonglah keempatnya
dan larilah pakai keempat tanganmu. Kalau keempat tanganmu masih kalah juga adu
lari denganku, potonglah keempat tanganmu itu. "
"Lalu aku lari pakai apa?!"
"Larilah pakai
lidahmu," jawab Pendekar Mabuk bernada seenaknya, tanpa ada rasa takut
sedikit pun.
Merasa mempunyai empat kaki,
Kalabolong malu jika dikatakan kalah adu cepat dengan Pendekar Mabuk. Maka ia
pun menyanggupi perlombaan adu lari itu. "Baik. Kuturuti tantanganmu. Tapi
dengan satu
syarat, kau harus kuludahi
dulu! Cuuuih...!"
Tiba-tiba Kalabolong meludah
menggunakan mulut bagian depannya. Ludah itu berwarna biru kental dan melayang
cepat ke wajah Suto.
Zlaaap...! Suto Sinting
bagaikan lenyap seketika dan ludah itu tidak mengenai sasaran. Padahal Suto
tadi bergerak cepat dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya
menyamai kecepatan cahaya, melebihi kecepatan anak panah lepas dari busurnya.
Ludah itu jatuh ke tanah dan
tanah tersebut segera mengepulkan asap, lalu menjadi hangus dalam sekejap.
Untung pada waktu itu Sang Tiara sudah menjauh lebih dulu, karena ia khawatir
terkena ludah salah sasaran.
Pendekar Mabuk kini berdiri di
belakang Kalabolong, tapi tetap saja berhadapan dengan kepala bermulut lebar
yang segera meludah seperti tadi. Cuiiih...!
Zlaaap...! Pendekar Mabuk
menghindar kembali. Ludah kenai sebongkah batu dan batu itu mengepulkan asap.
Bagian yang terkena ludah biru bukan menjadi hangus saja, melainkan juga segera
menjadi serbuk hitam.
"Rupanya kau tak bisa
diajak damai, Kalabolong! Aku terpaksa merampas gua ini dengan kasar, Sobat!
Hiaaah...!"
Pendekar Mabuk sentakkan kaki
dan tubuhnya melesat di udara, ia bersalto maju satu kali melintasi keempat
kepala Kalabolong. Kemudian bumbung tuaknya disodokkan ke bawah mengarah kepada
pertengahan keempat kepala dempet itu.
Wuuut...!
Plaaak...! Sodokan bumbung
tuak ditahan dengan kedua telapak tangan Kalabolong dalam keadaan keempat
kakinya merendah. Sementara kedua tangan menahan bumbung tuak, tangan yang
satunya lagi, yang tidak menggenggam, segera berkelebat ke atas. Wuuut,
breeet...!
"Aaaauh...!" Suto
Sinting memekik kesakitan karena terkena cakaran kuku setajam pisau itu. Betis
pemuda tampan itu menjadi koyak dan berdarah. Dalam waktu singkat, luka koyak
itu melebar sampai ke lutut.
"Cepat minum
tuakmu!" seru Sang Tiara dengan cemas ketika melihat betis Suto Sinting
koyak.
"Aaauh...! Aku tak bisa
gerakkan uratku lagi. Uuuh...!" Pendekar Mabuk merintih sambil pandangi
lukanya yang bergerak bagaikan kerupuk mekar di penggorengan. Luka beracun itu
membuat kedua tangan Suto terasa sulit dipakai untuk mengangkat bumbung tuak.
Padahal waktu itu, Kalabolong sedang mendekatinya dengan terburu-buru.
"Kubuat modar saja kau,
hah?! Hiaaaaah...!" Kalabolong lakukan lompatan seperti terbang.
Weeess...! Tiga dari keempat
tangannya siap lakukan cakaran ke tubuh Suto.
Melihat bahaya datang dalam
keadaan dirinya terdesak begitu, Pendekar Mabuk akhirnya gunakan kekuatan jurus
'Pranasukma' pemberian dari si Setan Merakyat, sahabat Gila Tuak.
Dengan kekuatan pandangan
mata, kepala Pendekar Mabuk sedikit mengibas ke samping, seeet...!
Weesss...! Tubuh besar
Kalabolong terlempar ke samping dan membentur batu sebesar kerbau bunting.
Bruuuk, kraaak...!
"Aaaaooww...!"
keempat kepala itu berteriak bersamaan. Kalabolong terpuruk di bawah batu besar
yang kini retak akibat benturan dengan tubuh Kalabolong.
Kini jurus 'Pranasukma' telah
digunakan Suto satu kali lagi. Berarti kekutan jurus itu hanya bisa dipakai
untuk tujuh puluh tujuh kali lagi. Sebab sisa kekuatan jurus itu semula tinggal
tujuh puluh delapan kali lagi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Pemburu Darah Satria").
Kalabolong mengerang
kesakitan. Kesempatan itu digunakan Sang Tiara untuk bantu Suto meminum
tuaknya. Beberapa teguk tuak telah berhasil percepat sembuhkan lukanya. Suto
menjadi segar kembali.
Kalabolong bangkit dengan
menggeram. Tiga tangannya mulai bergerak-gerak membentuk cakar, seperti
tangan-tangan binatang gurita. Tetapi Pendekar Mabuk sudah siap hadapi serangan
lawan kembali.
Makhluk berpusar bolong itu
segera melesat bagai daun terbang terhembus badai. Weesss...! Keempat kaki dan
keempat tangannya berserabutan sukar ditangkis, sehingga Suto memilih lompat ke
samping dalam gerakan cepat ketimbang menghadapi terjangan lawan. Zlaaaap...!
Sambil lakukan lompatan, Suto
lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya berupa sentilan bertubi-tubi ke arah
Kalabolong. Tes, tes, tes, tes...!
Buuukh, buuukh, buukh, buukh...!
Sentilan yang bertenaga dalam
yang mirip tendangan kuda jantan mengamuk itu kenai tubuh Kalabolong
berkali-kali. Tubuh besar itu terlempar berguling-guling sambil lepaskan suara
kesakitan yang memanjang.
Tubuh berkulit keling itu
akhirnya menghantam sebongkah batu sebesar gajah. Bruuuk...! Batu itu bergetar,
bagian ujung tepiannya rompal. Kalabolong jatuh terpuruk sambil serukan suara
mengerang yang memekakkan gendang telinga.
"Aaaaahhhrr...!"
Sang Tiara menutup kedua
telinganya, ia tetap menjadi penonton yang baik dengan sesekali ikut melompat
ke sana-sini untuk hindari serangan nyasar. Tetapi begitu Kalabolong keluarkan
suara serak yang mirip tombak mengorek-ngorek lubang telinga, Sang Tiara segera
sembunyikan diri di balik gundukan batu sambil mendekap kedua telinganya
kuat-kuat.
Suto Sinting sempat tersentak
ke belakang dan membentur batu besar. Suara erangan Kalabolong ternyata
mempunyai tenaga dalam yang memancar ke mana-mana. karena suara erangan itu
keluar dari keempat mulut Kalabolong.
"Aaaaahhhrrr...!"
Kalabolong masih lepaskan
erangan berbahaya sambil bangkit berdiri dengan keempat kakinya. Getaran
gelombang suara yang bertenaga dalam itu telah membuat beberapa bongkahan batu
menjadi pecah ataupun retak. Tanah di sekitar tempat itu bergetar, sehingga
tempat itu bagaikan ingin dilanda gempa yang akan menenggelamkan mereka ke
dasar bumi.
Pendekar Mabuk ikut menutup
telinganya dengan kedua tangan, di mana salah satu tangan masih menggenggam
tali bumbung tuak. Suara itu menusuk- nusuk gendang telinga, hingga Suto
akhirnya berlutut sambil gemetar menahan rasa sakit di bagian kepala, terutama
pada telinganya.
Melihat Suto Sinting lemah dan
kesakitan, Kalabolong segera lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar-sinar
merah dari ketiga tangannya. Claaap...!
Sinar-sinar merah itu bergerak
serabutan ke sana-sini, sukar untuk diketahui secara pasti ke mana arahnya.
Gerakan sinar yang zigzag tak beraturan itu membuat Suto Sinting merasa sedang
diincar kelengangannya. Maka dengan cepat dan mengerahkan tenaga di sela rasa
sakit, ia lakukan lompatan ke sana-sini dalam gerakan cepat.
Zlaap, zlaap, zlaap,
weeees...! Bruuuuss...!
Pendekar Mabuk menabrak batu
besar, ia jatuh bersama pecahnya batu tersebut. Pecahan batu menimbun tubuhnya
tepat ketika tiga ujung sinar merah melesat menghantam tempatnya berkelebat
tadi. Seandainya ia tidak menabrak batu dan jatuh tertimbun pecahan batu
tersebut, maka tubuhnya akan menjadi sasaran telak bagi ketiga sinar merah liar
tersebut.
Karena sinar itu tak menemukan
sasarannya, akhirnya mereka menghantam tiga gugusan batu tinggi yang membuat
ketiga batu tersebut menjadi hitam bagaikan arang keropos yang masih tegak di
tempatnya.
"Jahanaaaamm...!"
Kalabolong berteriak murka
karena tiga sinarnya tak mengenai Suto Sinting. Namun ia segera lakukan
lompatan menyerang dengan lebih ganas lagi begitu menyadari Suto Sinting sedang
tertimbun pecahan batu. Ia lakukan lompatan tinggi yang akan jatuh di atas
timbunan batu tersebut.
Namun mata Pendekar Mabuk
masih sempat mengintai dari balik bongkahan batu yang menimbuni wajahnya, ia
melihat tubuh Kalabolong melambung tinggi di atasnya.
"Celaka! Habislah
riwayatku kalau tubuh itu jatuh menindihku dalam keadaan seperti ini!"
pikir Suto Sinting.
Maka dengan mengerahkan tenaganya
dan menyentakkan kaki berkekuatan 'Gerak Siluman', batu- batu itu terbang
serentak bersama melesatnya tubuh sang pendekar. Braaakkk...! Wuuurss...!
Batu-batu itu terbang ke atas
secara bersamaan dan menerjang tubuh besar Kalabolong yang masih melambung
turun di udara. Prrookk...!
Tubuh itu tak jadi bergerak
turun karena diserang batu-batu itu dengan kuat, akhirnya melambung lagi naik
dan bergulir ke arah lain. Sementara itu Suto Sinting melesat ke samping, lalu
dengan bambu tuaknya yang disentakkan ke bumi, tubuhnya melambung lebih tinggi
lagi, bersalto satu kali dan hinggap di atas gugusan batu setinggi rumah.
Wuuut...! Jleeeg...!
"Ooh...?!" Sang
Tiara terkejut melihat Suto Sinting berlumuran darah pada bagian kepalanya.
Tetapi pendekar gagah perkasa itu segera menenggak tuaknya untuk lenyapkan luka
dan rasa sakit yang diderita. Sementara itu, Kalabolong jatuh terhempas dengan
tetap hujani batu-batu sebesar genggaman orang dewasa itu.
Blaaam...! Brrooook...!
"Aaaaahhhrrr...!"
Suaranya semakin keras di
bawah tumpukan batu- batu tersebut. Dalam sekejap saja ia sentakkan keempat
kaki dan tangannya, dan batu-batu itu buyar beterbangan ke sana-sini, tubuh
besar itu pun bangkit kembali bagai tak mau menyerah. Zrraaak...! Weerrs...!
Jleeg...! Kalabolong berdiri
dengan tegak dengan setiap wajah pancarkan seringai keganasan yang menyeramkan.
Tapi kebangkitan Kalabolong
itu segera disambut dengan jurus 'Bangau Mabuk'-nya Suto, yaitu sodokan bumbung
tuak yang membuat bumbung tuak itu terbang dengan cepat dan tubuh Suto yang
memegangi talinya ikut terbawa terbang pula. Wuut, weeesss...!
"Keparat
kaaauuu...!" geram Kalabolong, namun suaranya terhenti seketika karena
pusarnya yang bolong tersodok bumbung tuak. "Huaaaakkrr...!"
Empat mulut dari empat kepala
gencet itu memekik keras bersamaan. Tubuh Kalabolong terlempar cukup jauh, dan
jatuh berdebam di seberang sana. Bluumm...! Hempasan tubuh ke tanah tak
berumput itu membuat gugusan batu besar di sampingnya bergetar, kemudian batu
itu patah di pertengahannya. Krraakss...!
Brruuukk...!
"Uuuahhk...!"
Kalabolong memekik lagi. Tubuhnya tergencet bongkahan batu besar sebesar kuda
nil.
"Hiaaahh...!" Suto
Sinting segera menendang batu besar yang berdiri menjulang di samping
Kalabolong. Daaakh, brruuuk...!
"Aaaakkhhrr...!"
Kalabolong semakin berteriak dengan suara berat, karena kini tubuhnya dijatuhi
batu besar lagi, hingga menumpuk bagaikan bukit.
"Heeeaaah...!"
Zlaaaap...! Brrruuuk...!
Batu sebesar kerbau ditendang
oleh Suto dengan kekuatan tenaga dalamnya. Batu itu melayang dan jatuh menimpa
bagian keempat kaki Kalabolong. Praaak...!
"Huaaahhrr...!"
"Gila! Suto kalau sudah
mengamuk, tak kira-kira menghajar lawannya," ujar Sang Tiara dalam
hatinya. "Kalabolong dibuat tak berkutik seperti itu. Yang kelihatan hanya
keempat kepalanya, itu pun kepala yang belakang mencium tanah dan tak bisa
bergerak lagi."
Namun agaknya Kalabolong masih
tidak mau menyerah sampai di situ saja. Ia berusaha mendorong batu-batuan besar
yang menimbuni tubuhnya.
"Hiiiaaahhrr...!"
Saat itu Pendekar Mabuk
melesat dan hinggap di atas sebongkah batu setinggi kepalanya, ia sempatkan
diri meneguk tuaknya kembali untuk hilangkan rasa sakit dan beberapa luka
akibat amukannya tadi.
Batu-batu penimbun tubuh
Kalabolong mulai bergetar pertanda
sebentar lagi akan pecah karena sentakan tenaga orang yang ditimbuninya itu.
Hanya
38 GERBANG SILUMAN
saja, Pendekar Mabuk dan Sang
Tiara sama-sama terperanjat melihat seberkas sinar merah seperti bintang jatuh
melayang di udara. Sinar merah itu melesat dan jatuh di atas batu-batu penimbun
tubuh Kalabolong.
Slaaap...! Duuubs...!
Buuull...!
Asap mengepul tebal dari sinar
merah tersebut. Asap itu segera sirna dan sesosok tubuh tinggi-besar berkulit
putih bagai mengenakan bedak itu tahu-tahu telah duduk di atas batu penimbun
tubuh Kalabolong.
Makhluk berperut besar itu
tingginya tiga kali tinggi tubuh Pendekar Mabuk. Kulitnya retak-retak, berbulu
mirip tanaman rambat. Kakinya sebesar pilar, kedua tangannya juga sebesar tiang
penyangga atap pendopo.
Makhluk berkepala gundul tapi
mempunyai daun telinga lebar, mulut besar, dan sepasang lubang hidung mirip
gorong-gorong itu sangat dikenali oleh Pendekar Mabuk, sehingga pemuda tampan
itu pun segera berseru kepada makhluk pendatang baru itu. "Jin Koplo...?!"
"Hai, Kawan...! Kau dapat
kesulitan rupanya?! Huah, hah, hah, hah...!"
"Koplooo...!" geram
salah satu mulut Kalabolong. "Minggir kau! Jangan menambah beban di
atasku! Minggiirr...!"
"Huah, hah, hah, hah...!
Kau tak akan bisa keluar dari himpitan bebatuan ini, Kalabolong!
Huaaah...!"
Jin Koplo berdiri seketika,
kedua tangannya menyentak ke bawah, memancarkan sinar merah bara. Sinar itu
merayap dan membungkus batu-batu penimbun tubuh Kalabolong, hingga batu-batu
tersebut seakan menyatu dengan tanah dan sukar diangkat lagi.
"Keparat kaauuu...!"
geram Kalabolong kepada Jin Koplo. "Dasar jin bodoh! Mengapa kau semakin
membuatku tak bisa bergerak?!"
"Karena kau mengganggu
kawanku, Kalabolong! Pendekar muda itu adalah kawanku, dan kuingatkan padamu
bahwa kau tak akan bisa mengalahkannya, karena ilmunya lebih tinggi dari ilmu
yang kau miliki, Kalabolong. Kepalamu bisa pecah menjadi enam belas bagian jika
masih tetap melawan kawanku itu!"
Sang Tiara segera dekati
Pendekar Mabuk dan berbisik, "Apa benar dia kawanmu?"
"Jin Koplo itu? Oh, ya...
benar. Kami bersahabat setelah Jin Koplo kukalahkan saat ia menghadangku di
perbatasan menuju Jalur Hijau," jawab Suto Sinting sambil membayangkan
saat pertarungan dengan Jin Koplo, si Penjaga Perbatasan Alam Gaib itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Misteri Tuak Dewata").
"Kawan Suto...!"
seru Jin Koplo dengan suaranya yang besar, ia berdiri di atas bebatuan penimbun
tubuh Kalabolong. "Apa yang kau inginkan darinya, Kawan Suto?!"
"Aku mau bertapa di Gua Pedupan,
tapi gua itu tak ada!"
"Berada dalam genggaman
salah satu tangannya," seru Sang Tiara menimpali ucapan Suto.
"Jangan takut. Kawan
Suto.... Gua itu pasti akan diberikan padamu!"
Kemudian Jin Koplo berkata
kepada Kalabolong. "Hei, Gusi Kerbau...! Serahkan gua itu atau
kuperberat tekanan batu ini
biar menguburkan tubuhmu selama-lamanya?!"
"Persetan dengan
ancamanmu. Koplo! Kalau kau memang merasa sakti, mari kita adu kekuatan ilmu
secara jantan!"
"Ogah...!" Jin Koplo
melengos. "Aku tak mau bertarung denganmu, karena kau selalu main ludah
kalau sedang bertarung, seperti anak kecil! Kalau kau tetap tak mau serahkan
gua itu kepada sahabatku Suto Sinting, baiklah... akan kuhamili istrimu: si
Kiprat Kiprit itu!"
"Jangaaaan...!"
sergah Kalabolong dengan ketiga wajahnya tampak tegang dan ketakutan sekali.
"Kiprat Kiprit sudah
bilang padaku bahwa kau tidak bisa bertugas lagi sebagai seorang suami,
disamping itu kau memang tidak bisa memberinya keturunan. Kiprat Kiprit memohon
padaku agar aku mau menghamilinya demi mendapatkan keturunan di masa depannya
"
Suto berbisik geli,
"Ternyata bangsa jin juga memikirkan masa depan segala, ya?"
Sang Tiara hanya tersenyum,
seakan sembunyikan kecantikannya yang bertambah di dalam senyuman itu. Pendekar
Mabuk segera memperhatikan Jin Koplo lagi yang sedang mengancam Kalabolong.
Agaknya ancaman itu membuat Kalabolong sedih dan menjadi lemah. Akhirnya ia
menyerah dan mengaku kalah.
"Bocah muda, kalau Jin
Koplo saja bisa kau kalahkan, maka aku terpaksa menyerah kalah. Bebaskanlah aku
dari himpitan ini. Bocah Muda!"
"Koplo. bebaskan
dia!"
"Dengan senang hati,
Kawan! Huah, hah,
hah, hah. !"
Jlegaaar !
Jin Koplo menendang bebatuan
itu, dan bebatuan pun pecah menjadi serbuk halus seperti butiran pasir pantai. Kalabolong
akhirnya bebas dan menepati janjinya. Tangan yang sejak tadi menggenggam itu
kini bagai melemparkan sesuatu ke arah depan mereka. Weeess !
Claaap...! Sinar putih perak
menyilaukan memancar dalam sekejap. Kemudian sinar itu lenyap dan Gua Pedupan
muncul di depan mereka dalam jarak sekitar lima belas tombak.
Buuussss !
"Satu hal kuminta padamu,
Bocah Muda!" kata Kalabolong.
"Tidak. Aku tidak
setuju," sahut Jin Koplo. "Sejak kapan kau jadi jin pengemis yang
kerjanya minta- minta?!"
"Aku meminta syarat,
bukan meminta makanan!" bentak Kalabolong.
"Ooo... kalau syarat,
boleh-boleh saja," gumam Jin Koplo sambil manggut-manggut.
"Syarat apa yang kau
minta dariku?!"
"Jika kau berada di dalam
gua harap jagalah kebersihan dan patuhi peraturan yang sudah tertera pada
dinding gua itu!"
"Baik. Kusanggupi!"
kata Suto Sinting dengan tegas. "Kau mau bertapa sendirian atau berdua
dengan Sang
Tiara?!" tanya
Kalabolong. "Berdua!" jawab Suto pendek.
"Jangan-jangan kalian
hanya mau mojok berdua, bukan bertapa?!" ujar Jin Koplo.
"Jaga mulutmu! Kau sangka
perempuan macam apa aku ini!" gertak Sang Tiara. Jin Koplo takut dan
berbisik kepada Kalabolong.
"Galak juga babon satu
ini, ya?!"
"Tutup mulutmu!"
bentak Kalabolong. "Babon itu nama bibiku! Jangan dibawa-bawa!"
Jin Koplo dan Suto tertawa,
Sang Tiara sembunyikan rasa gelinya dengan bergegas melangkah lebih dulu menuju
Gua Pedupan. Suto Sinting pun akhirnya mengikuti langkah Sang Tiara setelah
mendapat ucapan, 'Selamat bertapa, semoga berhasil cita-cita,' dari kedua jin
yang sebenarnya saling bersahabat itu.
*
* *
3
TERNYATA Gua Pedupan merupakan
sebuah ruangan besar berlangit-langit kristal. Batuan kristal bening itu
menggantung tak beraturan bentuknya namun membuat keindahan yang menakjubkan
bagi siapa pun yang baru saja masuk ke gua tersebut.
Lantai gua
bergelembung-gelembung tak rata, namun seperti terbuat dari batuan marmer warna
putih kusam. Demikian pula dinding gua tersebut, bentuknya memang bertonjolan
tak rata, tapi batuannya tampak seperti batuan jenis marmer kusam.
"Mengapa Eyang Putri
menyuruhku bertapa di sini, Tiara?"
"Karena Gua Pedupan
adalah tempat persinggahan para Dewa-Dewi jika ingin berkunjung ke alam gaib
ini."
"Ooo..., kalau begitu
Eyang Putri Batari menyuruhku menghadang lewatnya para Dewa-Dewi, begitu?"
"Mungkin begitu,"
jawab Sang Tiara sambil mendekati salah satu dinding gua. Suto Sinting pun
segera ikut dekati dinding tersebut, karena di sana terdapat lempengan batu
yang diberdirikan bersandar dinding. Lempengan batu pualam itu memuat tata
tertib yang dikatakan Kalabolong tadi. Di situ tertera dengan jelas beberapa
peraturan yang harus ditaati oleh para pertapa yang ingin gunakan gua tersebut.
Bertapalah dengan baik dan
benar.
Tidak dibenarkan membawa
makanan di dalam gua. Sesama pertapa dilarang saling meludahi.
Yang tidak berkepentingan
dilarang ikut bertapa.
Barang hilang, rusak, tanggung
jawab pertapa sendiri.
Selama bertapa dilarang
mengeluarkan anggota badan.
Selesai bertapa harap mengisi
kotak sumbangan seikhlasnya.
Sang Tiara mendengus kesal,
lalu kakinya menjejak lempengan batu itu dengan tendangan menyamping. Bet,
praak...! Lempengan batu itu patah menjadi tiga bagian.
"Mengapa kau hancurkan
tata tertib itu?"
"Itu bukan tata tertib,
hanya keusilan tangan si Kalabolong saja! Jangan hiraukan tulisan tadi.
Sebaiknya lekaslah ambil tempat untuk lakukan semadi. Aku akan ada di
belakangmu!"
Gua Pedupan juga mempunyai
keunikan lain. Gua itu menyebarkan aroma wangi dupa walau tak ada tempat
pembakaran dupa atau setanggi. Gua itu benar-benar bersih, sehingga tak mungkin
seseorang membakar dupa atau setanggi di tempat tersebut. Tetapi bebatuan
kristal yang menggantung di langit-langit itu bagaikan menyebarkan wewangian
dupa yang harum dan lembut, menimbulkan suasana mistik cukup kuat.
Sementara sang Pendekar Mabuk
lakukan Tapa Layang, yaitu duduk bersila tanpa menyentuh lantai karena gunakan
ilmu peringan tubuh, di Gerbang Siluman kedatangan tamu yang menghadap Eyang
Putri Batari.
Tamu yang datang ke Gerbang Siluman
adalah seorang gadis cantik berjubah tanpa lengan warna biru tua. Ia mengenakan
kutang dan celana ketat warna kuning dilapisi kain merah. Gadis cantik berusia
sekitar dua puluh tiga itu menyandang pedang di punggungnya. Rambutnya yang
panjang sepundak lewat mengenakan ikat kepala warna merah lebar bersimpul
membentuk bunga mawar.
Dengan giwang putih berlian
kecil dan kalung emas berbatu merah sebesar kacang, gadis itu tampak sangat
menawan. Tubuhnya sekal, tak terlalu montok, namun punya bentuk dada yang
indah. Hidungnya bangir, bulu matanya lentik, bibirnya ranum mungil
menggemaskan.
Gadis cantik bergaya tengil
itu tak lain adalah Payung Serambi yang punya nama asli Ratih Kumala. Ia adalah
salah satu dari tiga duta pilihan, termasuk prajurit unggulan dari Istana Laut
Kidul di bawah pemerintahan Nyai Kandita. Payung Serambi bisa sampai ke Gerbang
Siluman, karena ia memang berdarah siluman, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Misteri Malaikat Palsu").
Menghadapi tamu yang berlagak
tengil itu, Eyang Putri Batari memberi sambutan dengan kalem dan penuh wibawa.
Payung Serambi diterima secara baik, karena Eyang Putri Batari tidak punya
maksud bermusuhan dengan pihak Istana Laut Kidul. Teguran dan bicaranya bernada
ramah walau Payung Serambi membalas dengan sedikit ketus dan agak angkuh.
"Bagaimana kabar Ratumu:
Nyai Kandita?"
"Baik-baik saja,"
jawab Payung Serambi tak mau tampak lemah di depan penguasa lain.
"Syukurlah jika Kandita
baik-baik saja. Lalu, ada perlu apa dia mengutusmu kemari, Ratih Kumala?"
"Kami mendengar Suto
Sinting mencari 'Tuak Dewata'."
"Memang benar. Dia
mencari 'Tuak Dewata' untuk sembuhkan penyakit gurunya; si Gila Tuak itu."
"Sehubungan dengan itulah
Nyai Gusti Kandita mengutusku kemari, karena kami tahu Suto mencari 'Tuak
Dewata' sampai ke Gerbang Siluman ini."
"Selanjutnya...?"
pancing Eyang Putri Batari.
"Aku diutus membawa Suto
Sinting pulang ke Istana Laut Kidul dan menghadap Nyai Gusti Kandita."
"Mengapa Kandita ingin
campuri urusan Pendekar Mabuk itu?"
"Hanya sekadar ingin
membantu mencarikan 'Tuak Dewata' dan menyembuhkan si Gila Tuak."
"Hanya itulah
tujuannya?" tanya Eyang Putri Batari bernada menyindir, karena penguasa
Gerbang Siluman itu yakin di balik niat itu tersembunyi maksud lain bagi pihak
Istana Laut Kidul.
"Apakah kau keberatan
jika Suto Sinting kubawa ke Istana Laut Kidul?" Payung Serambi justru
ganti bertanya.
"Jika aku keberatan apa
yang akan dilakukan oleh pihakmu?"
Payung Serambi tersenyum
sinis.
"Jangan salahkan diriku
jika aku sampai menggunakan kekerasan untuk membawa Suto Sinting ke Istana Laut
Kidul."
"Kau mulai membuka pintu
pertempuran dengan pihakku jika begitu caranya, Payung Serambi."
"Salahkah jika hal itu
kulakukan demi tugasku membawa pulang Pendekar Mabuk?"
Eyang Putri Batari tersenyum
manis. Namun pandangan matanya mulai memancarkan permusuhan yang samar-samar.
"Tahukah kau bahwa Suto
Sinting sudah digariskan oleh nasib hidupnya harus berjodohan dengan cucuku;
Dyah Sariningrum?!"
"Pembicaraan ini mulai
melantur, Putri Batari!" kata Ratih Kumala yang tampaknya tak mau terlalu
banyak bicara. "Sebaiknya sekarang biarkan aku pulang bersama Pendekar
Mabuk. Kumohon kau tidak menghalangi niatku membawa Suto ke Istana Laut
Kidul!"
"Suto tidak ada di
sini!" tegas Eyang Putri Batari. "Dia sedang mencari 'Tuak Dewata' di
tempat lain."
"Omong kosong, Batari!
Pasti kau tahu di mana Suto berada."
Senyum tipis Eyang Putri
Batari mekar kembali di wajah cantiknya. "Nada bicaramu mulai mengarah ke
permusuhan, Ratih Kumala."
"Tergantung bagaimana
sikapmu terhadapku. Jika kau tetap sembunyikan Suto Sinting, maka berarti kau
membuka permusuhan denganku, Putri Batari."
"Oh, sepertinya aku
enggan bermusuhan dengan anak kemarin sore, Ratih Kumala. Sebaiknya kita tak
perlu saling berselisih hanya karena seorang lelaki muda bernama Suto Sinting
itu."
"Jika begitu, keluarkan
Suto dari tempat persembunyianmu, Putri Batari!"
"Kalau kau menyangka aku
sembunyikan Suto, cobalah ambil sendiri dengan kekuatan ilmu yang ada pada
dirimu! Kurasa kau bisa meneropong dengan kekuatan batinmu apakah Suto
kusembunyikan atau tidak."
"Kau licik!" geram
Payung Serambi. "Sebelum aku melewati gapura depan, kau telah melumpuhkan
ilmu 'Tembus Batin'-ku lebih dulu, sehingga aku tak bisa menggunakannya!"
"Aku hanya menjaga
kewaspadaan saja. Tak ingin orang lain mengetahui isi hatiku. Jika kau
bermaksud baik datang kemari, maka kau harus melepaskan ilmu 'Tembus Batin-mu
itu."
"Sekarang kuminta kembali
ilmu 'Tembus Batin'-ku itu!" tegas Payung Serambi.
"Tinggalkan dulu tempat
ini dan kau akan memperoleh ilmu itu di perjalanan nanti."
"Serahkan dulu Pendekar
Mabuk, baru akan kutinggalkan tempat ini!"
"Tak ada yang bisa
kuserahkan padamu, Ratih Kumala! Jangan memaksaku untuk bersikap kasar
kepadamu."
"Sudah kepersiapkan
diriku untuk menerima perlakuan kasar darimu, Batari! Karena aku pun sudah
mempersiapkan kekasaran tersendiri untukmu!"
"Bicaramu terlalu besar
bagiku. Sebaiknya kurangilah agar kau tak menjadi gagu di depanku!"
Payung Serambi sunggingkan
senyum sinis. "Kau pikil ak... ak... uuh, ahh... uah, uah...!"
Payung Serambi menjadi tegang
setelah tahu ternyata suaranya pun dikacaukan oleh kekuatan batin Eyang Putri
Batari. Ia telah menjadi gagu sejak Eyang Putri Batari mengatakan 'gagu' di
depannya tadi.
"Uuh, eeha... eha...
uuah, uuh..,!" Payung Serambi mulai tampak berang, tangannya
menuding-nuding Eyang Putri Batari. Gerakan tangannya itu menandakan kemarahan
yang dalam, bahkan kini bergerak-gerak sebagai isyarat menantang pertarungan
kepada Eyang Putri Batari di luar gerbang.
Senyum penguasa Gerbang
Siluman itu semakin lebar dan tetap berpenampilan kalem.
"Jangan menantangku.
Kumohon jangan menantangku. Sebaiknya tinggalkan tempat ini dan diantara kita
jangan ada saling mengganggu."
"Uuaah, ah, ah, uuuuh...
ueeh. Aaah, uh, ua, ua...!" "Ah,
kau ini memang
gadis yang suka penasaran,"
ujar Eyang
Putri Batari sambil
geleng-geleng kepala tanda
menyimpan kekesalan hati.
"Baiklah. Sekarang kita
sudah ada di luar Gerbang Siluman, apakah kau tetap ingin menantang pertarungan
denganku?"
Payung Serambi sedikit
terperanjat setelah menyadari bahwa diri mereka sudah tidak berada di dalam
istana kecil tadi. Tahu-tahu saja mereka sudah berada di tanah tandus datar di
depan gapura yang menjadi jalan utama masuk ke Gerbang Siluman. Tapi rasa heran
dan terkejut itu disembunyikan Payung Serambi rapat-rapat. Kini yang dipikirkan
adalah menghadapi Eyang Putri Batari dan memaksa perempuan itu tunjukkan di
mana Suto berada.
Sreet...! Payung Serambi
segera cabut pedangnya tanpa tanggung-tanggung lagi. Pedang itu menyala merah
bagai terpanggang api.
Eyang Putri Batari masih tetap
tenang, kedua tangan bersedekap di dada dan pandangi Payung Serambi bersama
senyum tipisnya. Payung Serambi sudah membuka kuda-kuda dan mulai bersuara.
Tapi agaknya kali ini suaranya sudah normal kembali, hingga ia dapat
mengungkapkan maksud hatinya.
"Kau sudah keterlaluan,
Batari! Jangan sangka aku mundur dari hadapanmu, walau kau telah gunakan
kesaktianmu yang bisa mencuri serta mengembalikan suaraku itu. Bersiaplah untuk
hadapi seranganku, Batari!"
Wuuus...! Brrukkk...!
Payung Serambi merasa disambar
kegelapan sekejap. Hanya sekejap saja, dan ia telah dapatkan dirinya terkapar
di tanah dalam keadaan sekujur tubuhnya terasa perih. Sementara itu, dilihatnya
Eyang Putri Batari sudah pindah tempat, namun tetap berdiri dengan kalem dan
kedua tangannya bersedekap di dada.
"Kurang ajar! Diam-diam
kau telah menerjangku tadi, hah?!" gertak Payung Serambi sambil bangkit
kembali dan melupakan rasa perih di sekujur tubuhnya.
"Kuingatkan lagi padamu,
jangan menantangku bertarung, Ratih Kumala. Sayangilah jiwa dan ragamu."
"Persetan! Kubalas
seranganmu tadi, Batari!"
Pedang menyala merah bara itu
segera dikibaskan ke samping kanan-kiri sambil memainkan jurus berkaki rendah.
Blaaab...! Alam menjadi gelap
seketika. Untung hanya sekejap, setelah itu menjadi terang lagi, walau tak
berarti seterang siang tadi.
Tetapi lagi-lagi Payung
Serambi dibuat heran oleh keadaannya yang sudah terkapar di tanah dalam keadaan
sekujur tubuhnya memar biru-biru bagai habis dicubiti puluhan kali.
"Edan! Tak kulihat dia
bergerak, tahu-tahu aku sudah tumbang kembali!" gumam hati Payung Serambi
dengan napas tertahan untuk menahan rasa sakitnya.
Tiba-tiba ada suara yang berkata,
"Tinggalkan dia, Eyang Putri! Biar saya yang hadapi!"
"Oh, kau sudah sampai di
sini, Sang Duli?!" ujar Eyang Putri Batari tak menampakkan rasa kagetnya
begitu melihat kemunculan Sang Duli, anak buah Ratu Kartika Wangi itu.
"Gusti Ratu Kartika Wangi
mengutus saya untuk memulangkan gadis itu ke Laut Kidul, agar tak membuat onar
di Gerbang Siluman!"
"Kalau begitu, hadapilah
dia dan jangan ragu-ragu untuk bertindak!" ujar Eyang Putri Batari, lalu
tiba-tiba saja tempat itu menjadi kosong. Sang Duli ingin mengatakan sesuatu
tak jadi, sebab Eyang Putri Batari telah tiada tanpa tinggalkan angin dan
suara. Kini yang ada hanyalah Payung Serambi yang sedang menarik napas murni
untuk obati luka dalamnya akibat terjangan Eyang Putri Batari yang mirip datangnya
kegelapan tadi. Sang Duli adalah prajurit unggulan dari Puri Gerbang Surgawi,
pengawal tangguh Ratu Kartika Wangi. Pakaiannya serupa dengan Sang Tiara; serba
merah, rambut cepak, pedang di punggung. Sang Duli memang satu kelompok dengan
Sang Tiara yang selalu tampil
sendirian dalam menghadapi
musuh dari mana pun.
Perbedaan Sang Duli dengan
Sang Tiara hanya pada wajahnya. Wajah Sang Duli sedikit lonjong dan tampak
lebih matang dalam hidupnya dibanding Sang Tiara. Di sudut dagu kirinya
terdapat tahi lalat kecil seperti sebutir pasir, sedangkan Sang Tiara tanpa
tahi lalat di wajahnya. Sang Duli memandang dingin kepada Payung Serambi,
sedangkan yang dipandang pun membalas dengan sorot tatapan mata lebih dingin
lagi. Pedang membara merah masih di tangan Payung Serambi, sementara Sang Duli
masih belum mau mencabut
pedangnya dari punggung.
"Perlukah kita mengadu pedang hanya untuk memperebutkan orang yang tidak
ada?" ujar Sang Duli dengan tenang.
"Cabut pedangmu, akan
kucoba setinggi apa kau memiliki ilmu pedang!" tantang Payung Serambi.
"Baik kalau itu
maumu!"
Sreeet...! Sang Duli mencabut
pedangnya. Pedang itu memancarkan cahaya hijau bening bagai lumut-lumut di
dalam gua menuju istana Puri Gerbang Surgawi itu. Bahkan ujung gagang pedangnya
yang berbentuk bunga sedang mekar itu juga memancarkan cahaya hijau bagai
mengandung fosfor.
"Hiaaah...!" Payung
Serambi melemparkan pedangnya.
Wuuuut...!
Sang Duli juga melemparkan
pedangnya. Weees...! Lalu, kedua pedang itu bertarung sendiri di udara tanpa
dipegangi oleh para pemiliknya.
Trang, trang, trang,
duaaar...!
Wut, wut...! Kedua pedang
terpental setelah terjadi ledakan kecil yang ditimbulkan dari kekuatan adu
tenaga dalam dari kedua pedang tersebut.
Wut, taab...! Wuuus, taaab...!
Payung Serambi melompat dan
menyambar pedang. Dalam sekejap pedang sudah berada di genggamannya. Demikian
pula Sang Duli: segera melompat menyambar pedang. Pedang itu kini sudah berada
di genggamannya.
"Ooh...?!"
Kedua wanita cantik itu
sama-sama terkejut, karena ternyata mereka salah menyambar pedang. Pedang si
Payung Serambi di tangan Sang Duli, sedangkan pedang Sang Duli di tangan Payung
Serambi. Keduanya pun sama-sama menggeram gemas.
Wuuut, wuuus...!
Keduanya sama-sama melemparkan
pedang. Pedang itu dilemparkan ke arah lawan, bergerak lurus bagaikan tombak.
Dan di pertengahan jarak, kedua ujung pedang itu saling berbenturan dan
timbulkan daya ledak cukup besar.
Blaaarrr...!
Cahaya merah kehijauannya
membias terang, melebar menutupi pandangan mata mereka. Namun kejap berikutnya,
mereka sama-sama melihat pedang masing- masing telah tak memancarkan sinar lagi
dan kembali kepada pemiliknya.
Teb, teeeb...! Mereka
sama-sama cekatan dalam menangkap pedang masing-masing dengan satu lompatan ke
atas. Weees...!
"Aaaouh...!" tiba-tiba
Payung Serambi terpekik dan segera melepaskan pedangnya. Ternyata telapak
tangan Payung Serambi menjadi melepuh dan kemerah-merahan bagai habis
menggenggam besi membara. Sedangkan Sang Duli tampak tenang-tenang saja setelah
menangkap pedangnya dan memasukkan ke dalam sarung pedang di punggung.
Tetapi dalam hati Sang Duli
segera menggerutu, "Sial! Darahku terasa mau membeku setelah menyambar
pedang sendiri. Rupanya Payung Serambi telah salurkan hawa saljunya saat
melemparkan pedangku kemari!"
Payung Serambi pun membatin
hal serupa, tapi ia tambahkan dalam ucapan batinnya,
"Ini hanya buang-buang
waktu saja. Lawanku masih kuanggap kelas rendah. Sebaiknya aku segera
melaporkan hal ini kepada Gusti Ratu Kandita agar Gerbang Siluman diserang
habis jika Putri Batari masih tetap sembunyikan Suto Sinting!"
Gagang pedang sudah dingin
kembali. Payung Serambi mengambilnya dari tanah. Kemudian ia berkata kepada
Sang Duli.
"Tunggu saatnya tiba!
Gerbang Siluman akan kuhancurkan bersama segenap kekuatan dari Istana Laut
Kidul!"
Setelah berkata begitu. Payung
Serambi pun pergi bagai menghilang dari pandangan Sang Duli. Laaaab...!
*
* *
4
PEMUDA berambut lurus tanpa
ikat kepala itu masih duduk bersila tanpa menyentuh tanah. Sudah beberapa hari
ini Suto Sinting duduk melayang setinggi dua jengkal. Sebenarnya bisa saja
lebih tinggi, karena Suto mempunyai ilmu 'Layang Raga', tetapi yang diperlukan
hanya duduk tanpa menyentuh bumi, tak perlu tinggi- tinggi.
"Untuk apa tinggi-tinggi,
nanti malah kesamber petir!" ujarnya dalam hati saat ingin mengawali
semadinya.
"Jangan menengok ke
belakang selama bertapa," Sang Tiara mengingatkan. Gadis itu ikut lakukan
duduk bersila tak menyentuh bumi. Rupanya ia juga mempunyai ilmu peringan tubuh
yang cukup lumayan.
Tugasnya duduk mengambang di
belakang Suto Sinting adalah membantu kekuatan batin sang pendekar tampan itu
agar segera sampai pada tujuan, bertemu dengan Hyang Maha Dewa untuk meminta
petunjuk tentang 'Tuak Dewata' itu. Tentu saja selama bertapa, mereka tak
saling bertegur sapa. Bahkan mereka juga tidak bicara dalam batin, hingga
suasana sepi dan hening selalu menyertai mereka berdua.
Dalam selimut keheningan
selama beberapa hari, tiba-tiba Pendekar Mabuk mendengar seseorang bicara di
depannya dengan suara lirih.
"Bukalah matamu, hentikan
semadimu, Suto."
"Suara perempuan?!"
batin Suto tergugah. "Suara siapa itu, ya?"
Suara tersebut terdengar lagi,
"Bukalah matamu dan pandanglah siapa yang datang padamu kali ini. Aku
ingin bicara tentang 'Tuak Dewata', Suto."
Mendengar 'Tuak Dewata'
disebut-sebut, Pendekar Mabuk segera membuka matanya dan nyaris terpekik kaget,
karena yang ada di depannya ternyata adalah seorang perempuan awet muda yang
kecantikannya seperti gadis berusia dua puluh lima tahun. Perempuan itu berpakaian
ketat ungu muda dengan jubah ungu tua. Rambutnya disanggul sebagian sisanya
diriap sampai pundak.
Perempuan itu bukan saja
cantik, tapi juga bertubuh sekal, padat berisi, dan dadanya tampak montok serta
kencang. Matanya indah, namun memancarkan kegalakan dalam bercumbu,
"Sumbaruni...?!"
ucap Suto Sinting dalam nada berbisik heran.
"Ya, aku memang
Sumbaruni, orang yang selama ini mencintaimu tapi tak pernah kau balas."
Pendekar Mabuk merasa hatinya
digores oleh keharuan, ia ingat, bahwa Sumbaruni alias Pelangi Sutera selama
ini memang sangat mencintainya. Janda bekas istri Jin Kazmat itu sering
menunjukkan pembelaannya dalam membantu Suto menghadapi maut. Rasa cintanya
membuat Sumbaruni rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan Suto Sinting. Sekalipun
ia tahu Suto sudah punya calon istri Dyah Sariningrum, tapi Sumbaruni tetap
nekat mencintai Pendekar Mabuk, dan bila perlu siap bertarung melawan Dyah
Sariningrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Tanpa
Tapak").
Sekalipun sekarang Suto merasa
berhadapan dengan Sumbaruni yang berilmu tinggi itu, tapi ia tetap duduk
bersila di udara dalam posisi kedua tangannya berada di pangkuan. Suto
memandang haru melihat Sumbaruni tampak memendam duka akibat cintanya yang tak
pernah terbahas itu.
"Mengapa kau datang ke
tempat ini, Sumbaruni?" "Aku rindu padamu, Suto," ucap Sumbaruni
lirih sekali dengan mata jalangnya menjadi sayu.
"Kudengar kau mencari
'Tuak Dewata' untuk obati gurumu; si Gila Tuak itu."
"Memang benar, Sumbaruni.
Apakah kau tahu di mana 'Tuak Dewata' itu bisa kudapatkan?!"
"Ya, aku memang tahu.
Tapi... tapi aku tak mau memberitahukan padamu begitu saja."
"Mengapa begitu,
Sumbaruni?"
"Karena... karena kau
membiarkan hatiku merana selama ini. Kau membiarkan aku menderita batin, sementara
kau tahu betapa aku sangat mencintaimu, Suto."
"Maafkan aku,
Sumbaruni," ucapan Suto semakin pelan. Ia tetap duduk bersila di udara.
"Kau pun tahu bahwa aku
seorang janda yang tak mau menerima kehangatan dari pria mana pun kecuali dari
dirimu, Suto. Aku selama ini kesepian dan kau pergi tak pernah mau
menengokku."
"Aku akan bersamamu jika
'Tuak Dewata' sudah kudapatkan dan Guru sudah bisa sembuh seperti sediakala.
Untuk itu, katakanlah di mana aku bisa dapatkan 'Tuak Dewata' itu,
Sumbaruni?"
Perempuan yang masih tampak
muda itu gelengkan kepala. Pandangan matanya semakin sayu, bahkan kini ia
mendekati Suto dan berhenti dalam jarak dua langkah di depan Suto. "Aku
mau mengatakannya setelah kau mau mengisi kesepian hatiku dengan kehangatan asmaramu,
Suto." "Sumbaruni, ini bukan pada tempatnya "
"Aku tak peduli lagi,
karena selama ini aku sudah menunggu dan aku lelah menunggu sambil menderita
batin, Suto. Sekarang aku tak bisa menahan gairahku lagi. Karenanya kucari kau
dan aku inginkan cumbuanmu, Suto."
"Oh, Sumbaruri... kuharap
kau bisa memahami kesulitanku saat ini."
"Tidak, Suto!" ucap
Sumbaruni sambil melepas jubah ungu tuanya. Jubah itu dilepas dengan
pelan-pelan dengan pandangan mata lembut sayu memancing gairah Pendekar Mabuk.
"Aku tak bisa mengerti
lagi tentang dirimu, karena dirimu tak pernah mau mengerti kebutuhan batinku,
Suto. Ooh... hentikan dulu semadimu itu dan bercumbulah denganku walau sekejap
saja, Suto."
Sumbaruni kian mendekat. Kini
ia berada dalam satu jangkauan tangan Suto. Wajahnya tampak dibungkus oleh
hasrat bercumbu yang meletup-letup dalam hati. Bibirnya sesekali dijilat
sendiri, namun kini digigit sendiri sambil tangannya melepas pengait penutup
dadanya. Begitu penutup dada terlepas, tampak jelas di depan mata Suto dua
gumpalan daging yang berkulit mulus dan membengkak kenyal bagai menantang untuk
dipagut.
"Lihatlah, selama ini
dadaku menunggu sentuhan bibirmu, Suto. Ooh.
tak ada buruknya jika kau hentikan
semadimu sebentar dan
sentuhlah ujung-ujung dadaku ini. Sebentar saja,
Suto...," pinta Sumbaruni
sambil tangannya merayapi tubuhnya sendiri, pinggulnya meliuk-liuk dan
pandangan matanya kian sayu.
Jantung Suto dibuat
berdebar-debar karena mulai terbakar gairah begitu melihat dada yang terlepas
bebas tanpa penghalang itu. Bahkan kini Sumbaruni juga melepaskan celana
ketatnya pelan-pelan dengan suara mendesah-desah penuh ajakan bercumbu.
"Suto, dekaplah aku
sebentar saja agar aku dapat hidup tenang kembali, Suto...! Oouh... ambillah
ini! Ambillah, Sayangku. "
Pendekar Mabuk hanya bisa
menelan ludah sendiri dan tetap duduk bersila tanpa menyentuh tanah ketika
Sumbaruni mulai berani menyodorkan dadanya mendekati mulut Suto Sinting.
Tantangan itu makin lama semakin membuat keringat dingin Suto mencucur di
sekujur tubuhnya.
Apalagi sekarang Sumbaruni
meliuk-liuk dengan gemulainya sambil matanya terbeliak dan tangannya meraba
bagian terpeka bagi seorang wanita, Suto Sinting menjadi semakin sesak napas
dan sulit dilontarkan kata apa pun. Napasnya pun mulai terdengar memburu, walau
ia masih bertahan untuk duduk bersila tanpa menyentuh bumi.
"Suto, ayolah... peluklah
aku. Aku sudah siap menerima amukan asmaramu, Sayang. Cumbulah aku sekarang
juga, Suto...," sambil Sumbaruni duduk bersandar pada dinding, ia
meliuk-liuk dengan gerakan pinggul yang membuat lelaki mana pun akan panas
dingin jika melihatnya. Gua itu dipenuhi oleh suara desah dan erangan Sumbaruni
yang menyerupai tangis pengharapan. Hati Pendekar Mabuk bukan saja tergugah
untuk memberikan cumbuan ala kadarnya, namun juga merasa kasihan melihat
Sumbaruni menggelepar-gelepar seperti cacing kepanasan itu.
Namun tiba-tiba ia mendengar
suara berbisik lembut di telinga kirinya,
"Pejamkan mata. Dia hanya
iblis penggoda!"
Suara itu dikenali Suto
sebagai suara Sang Tiara. Tetapi bagi Suto, memejamkan mata dalam keadaan
seperti itu adalah hal yang paling sulit dilakukan. Sebab Sumbaruni kini
semakin menjadi-jadi. Ia bagaikan bercumbu dengan tangannya sendiri. Suaranya
memanggil-manggil Suto Sinting penuh daya tarik yang semakin membakar gairah
Suto.
"Kedipkan matamu sekarang
juga, Suto! Kedipkan matamu!" bujuk suara Sang Tiara yang rupanya telah
mengirimkan bisikannya melalui kekuatan batin.
"Sutooo... lekaslah
datang kemari, Sayang...," rengek Sumbaruni bagai tak tahu malu lagi.
Pada saat itu, Suto segera
memejamkan mata sekejap, ia bagaikan berkedip satu kali, dan ketika mata itu
terbuka kembali, ternyata Sumbaruni tak ada. Jubah dan pakaian gadis itu yang
tadi berserakan di depan Suto juga telah hilang tanpa bekas. Suasana gua
menjadi hening, tak ada suara Sumbaruni yang merengek-rengek minta dicumbu.
"Ternyata tadi
benar-benar hanya godaan." pikir Suto Sinting, kemudian ia memejamkan mata
kembali sambil menenangkan jantungnya yang tadi sudah nyaris pecah karena dibakar
tuntutan gairah.
Hari berikutnya, keheningan
bertapa sang Pendekar Mabuk diganggu lagi oleh kedatangan suara yang menyuruh
Suto menghentikan bertapanya.
"Hentikan bertapamu dan
katakan apa yang kau inginkan sebenarnya Suto."
Mata sang pendekar muda segera
dibuka. Byaaak...! Ia terkejut melihat seorang pemuda berusia sekitar sembilan
belas tahun berdiri di depan pintu gua. Pemuda yang mengenakan pakaian rompi
dan celana hijau muda itu telah berada di dalam gua dan sedang berdiri
memperhatikan Suto dengan sikap meremehkan apa yang dilakukan Suto saat itu.
Pemuda tersebut mempunyai
rambut panjang digulung di tengah kepalanya sisanya meriap sepundak, ia
berkulit kuning dan berwajah tampan. Dengan pedang sarung perak di pinggangnya,
pemuda itu tampak gagah dan perkasa.
"Darah Prabu...?!"
ucap Suto pelan sekali.
"Syukur kau masih
mengingatku, Suto," kata Darah Prabu sambil dekati Suto.
"Kusarankan hentikan saja
usahamu mencari 'Tuak Dewata' itu."
"Mengapa kau memberiku
saran begitu, Darah Prabu?"
"Karena 'Tuak Dewata'
sudah diminum habis oleh guruku: Resi Badranaya!" Deeeg...! Jantung Suto
seperti ditendang keras saat mendengar ucapan tersebut.
"Ternyata kau masih bodoh
dan tidak secerdas diriku, Suto. Guruku juga sakit, sama seperti Eyang Gila Tuak.
Tetapi aku segera bisa dapatkan 'Tuak Dewata' dari seorang pendeta di
pegunungan Tibet. Tuak itu segera diminum habis oleh guruku, lalu dalam waktu
sangat singkat, guruku menjadi sehat dan sekarang justru sedang mempersiapkan
liang kubur untuk Gila Tuak. Sebab gurumu saat ini dalam keadaan tinggal
menunggu lepasnya nyawa saja."
Pendekar Mabuk gemetar walau
masih tetap bersila tanpa menyentuh bumi. Darahnya mulai seperti dibakar, panas
sekali dan menggetarkan seluruh urat dan persendiannya. Hatinya diserang oleh
rasa malu, kecewa, sedih, dan cemas. Pandangan matanya mulai memancarkan
kebencian kepada Darah Prabu.
"Dengar, aku datang bukan
sebagai penggoda, tapi benar-benar sosok yang nyata. Kau bisa
menyentuhku!" ujar Darah Prabu sambil sodorkan tangannya. "Peganglah
tanganku."
Tapi Pendekar Mabuk hanya diam
saja dan tak mau menyentuh tangan itu. Darah Prabu tersenyum sinis dan berkata
dengan wajah didekatkan, sekitar dua jengkal dari depan Suto.
"Pulanglah! Gurumu ingin
bertemu denganmu yang terakhir kalinya. Aku disuruh menyusulmu!"
Gigi Suto menggeletuk. Ingin
rasanya segera menghantam wajah Darah Prabu tanpa peduli mereka sebenarnya
bersahabat. Tetapi tiba-tiba Sang Tiara kirimkan suara bisikannya lagi melalui
kekuatan batinnya.
"Pejamkan mata, dan
jangan lagi layani godaan itu!"
Pendekar Mabuk memejamkan mata
sebentar. Hanya satu helaan napas, ia segera membuka mata kembali. Ternyata
Darah Prabu sudah tak ada. Tempat itu tetap sepi, seperti tak pernah dimasuki
orang lain kecuali mereka berdua.
"Berarti yang hadir tadi
benar-benar godaan. Bukan sosok Darah Prabu yang sebenarnya. Ooh... hampir saja
murkaku terlepas dan 'Napas Tuak Setan'-ku keluar memporak-porandakan tempat
ini!" pikir Suto Sinting. Lalu, ia memejamkan matanya kembali.
Namun baru saja ia memejamkan
mata, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki masuk ke gua itu dan seseorang
berseru memanggilnya dengan nada gugup.
"Suto, Sutooo... oh,
tolong aku, Suto...!"
Mata pemuda itu terbuka
kembali. Hatinya tersentak melihat seorang perempuan muda yang cantik dan
menjadi buah khayalannya selama ini. Perempuan itu mengenakan jubah kuning
sutera dengan pakaian dalam biru lembut. Rambutnya yang disanggul itu
bermahkota indah. Mengenakan kalung 'sangsangan susun' sebagai tanda masih
gadis suci.
Perempuan cantik itu tak lain
adalah orang yang bergelar Gusti Mahkota Sejati dengan nama asli Dyah
Sariningrum.
"Dyah...?!" Suto
bersuara sedikit menyentak. "Suto, hentikan dulu semadimu. Aku
dikejar-kejar oleh seseorang dan...," belum selesai Dyah Sariningrum
bicara, tiba-tiba muncul si pengejar yang berkerudung hitam dari atas kepala
sampai kaki.
Lelaki berkerudung hitam
memegang tombak pusaka yang dinamakan pusaka El Maut. Wajah dingin di balik
kerudung hitam itu sangat dikenali oleh Suto sebagai wajah manusia sesat yang
menjadi musuh utamanya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa alias Durmala Sanca.
Gemetar seluruh tubuh Suto
Sinting ketika melihat Siluman Tujuh Nyawa masuk ke gua tersebut dan segera
mendekati Dyah Sariningrum. Suto Sinting masih diam bersila tanpa menyentuh
bumi dengan hati mulai diguncang kebimbangan untuk hentikan bertapanya atau
melanjutkannya. Sementara itu, Dyah Sariningrum berusaha menghindari kejaran
Siluman Tujuh Nyawa, namun ia terpelanting dan hampir jatuh kalau tidak segera
disambar oleh tangan Siluman Tujuh Nyawa itu.
"Sutooo... Sutooo...! Oh,
tolong aku, Sutooo...!"
Dyah Sariningrum meronta
keras, tapi Siluman Tujuh Nyawa berhasil mendekapnya. Wajah perempuan itu
segera diciuminya dengan kasar dan liar. Kain kerudung hitam terlepas dari
kepala, sehingga rambut Siluman Tujuh Nyawa yang panjang itu meriap ke
sana-sini diamuk tangan Dyah Sariningrum.
Perempuan itu terdesak di
dinding dan tangan Siluman Tujuh Nyawa dengan kasar menarik kain penutup dada.
Breeet...! Tees...!
"Aaauw...!" jerit
Dyah Sariningrum sambil meronta, namun agaknya tenaganya tak mampu mengungguli
kekuatan Siluman Tujuh Nyawa, sehingga wajah Durmala Sanca itu segera berhasil
mendusal di dada Dyah Sariningrum. Dua gumpalan lembut yang tampak sekal dan kencang
itu menjadi santapan lezat bagi Durmala Sanca.
Dada Suto Sinting terasa mau
jebol melihat kekasihnya diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa. Napasnya mulai
terasa menggetarkan seluruh dinding gua, karena napas kemarahan Suto adalah
'Napas Tuak Setan' yang dapat hadirkan bencana besar bagi alam yang ada di
depannya, ia sudah pejamkan mata dua kali, namun pemandangan itu masih terlihat
jelas di depan matanya.
"Pejamkan sekali lagi,
itu hanya godaan!" bisik suara Sang Tiara. Namun hati Suto ragu dengan
bisikan tersebut.
*
* *
5
SANG TIARA benar-benar sangat
membantu kelangsungan semadi Pendekar Mabuk. Tanpa bisikan batin Sang Tiara,
Suto sudah mengalami kegagalan berulang kali karena tak tahan menghadapi
godaan.
Untung ia mengikuti saran Sang
Tiara untuk mengedipkan mata yang ketiga kalinya, sehingga pemandangan yang
mendidihkan darah dan menjebolkan dada itu sirna tanpa bekas. Ternyata
pemandangan Dyah Sariningrum diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa itu hanya
godaan iblis belaka. Bayangan semu yang sangat menyiksa jiwa, telah lenyap
tanpa bekas apa pun, kecuali bekas luka memar di hati Suto membayangkan
seandainya Dyah Sariningrum benar-benar diperkosa oleh Siluman Tujuh Nyawa.
Tujuh hari lamanya Suto
menghadapi gangguan yang beraneka ragam. Selama ia mengikuti bisikan Sang
Tiara, maka ia tetap selamat dalam semadinya itu. Sampai akhirnya, sebuah suara
datang dan bicara kepadanya dengan jelas dan lantang.
"Edan! Sekarang
gangguannya datang dalam bentuk suara tanpa rupa!" Suto membatin dalam
kebungkamannya,
"Suto, tetaplah di
tempatmu dan dengarkan saja suaraku ini," ujar suara tersebut yang masih
dianggap sebagai godaan bagi Suto.
"Setelah aku selesai
bicara nanti, cepatlah pergi ke Gerbang Siluman. Atasi keributan di sana dan
jangan biarkan Gerbang Siluman dihancurkan oleh orang-orang Istana Laut
Kidul."
Mendengar ucapan itu, Suto
Sinting mulai sangsi dengan anggapannya tadi. Bahkan hatinya pun berkata,
"Sepertinya kali ini aku tidak sedang berhadapan dengan godaan seperti
hari-hari kemarin. Suara itu agaknya bicara padaku dengan
sungguh-sungguh."
Suara Sang Tiara pun terdengar
berbisik melalui batinnya,
"Ini memang suara asli,
bukan godaan! Bicaralah padanya dan haturkan sembah serta hormat kepada pemilik
suara itu, Suto."
Hati Suto pun tergugah untuk segera
mengakui bahwa ia sedang bicara dengan tokoh tingkat tinggi yang tak mau
menampakkan wajahnya. Suto juga merasakan hadirnya suasana hormat yang
berkharisma pada saat itu. Angin yang selama ini tak dirasakan berhembus, kali ini terasa menerpa tubuh Suto, hingga
helai-helai rambutnya tersingkap ke belakang. Angin sejuk itu mengawali
datangnya suara tanpa rupa yang segera disambut oleh Suto dengan kepala
menunduk dan tubuh yang mengambang turun ke bumi. Kini ia duduk bersila
dengan menyentuh bumi.
70 GERBANG SILUMAN
"Kumohon penjelasan
sejujurnya, siapa yang sedang bicara denganku ini?!" ujar Suto Sinting
dengan nada tegas dan bersungguh-sungguh.
"Aku adalah yang selama
ini berada dalam bumbung tuakmu, Suto!"
Pendekar Mabuk kerutkan
dahinya kuat-kuat, karena ia tak paham maksud kata-kata itu. Walaupun ia
akhirnya mempunyai kesimpulan tentang suara tersebut, tapi ia sangsi dengan
kesimpulannya sendiri. Tak heran jika Suto pun mendesak suara tersebut untuk
mengaku dengan jelas siapa dirinya.
"Jika kau tak mau
menyebutkan siapa dirimu, aku tak mau mendengarkan kata-katamu!"
"Kurasa kau telah
menyimpulkan dalam hatimu siapa diriku sebenarnya," ujar suara itu bernada
tegas dan berwibawa. "Jangan kau bantah sendiri kesimpulan batinmu itu,
Suto. Memang akulah yang bicara padamu saat ini. Aku adalah yang selalu
menyertaimu ke mana pun kau pergi, karena aku selalu kau bawa-bawa dalam
keadaan senang maupun susah."
"Apakah... apakah kau
adalah jelmaan dari bumbung tuakku?"
"Benar! Kau tak perlu
sangsikan diriku."
"Ooh...? Jadi... jadi kau
adalah Eyang Buyut Guru. "
"Jangan kau sebut namaku
jika kau tak ingin Gua Pedupan ini hancur karena badai!"
"Ampun. Eyang Buyut
Guru...!" Suto Sinting langsung bersujud menyembah hingga wajahnya mencium
tanah. Sang Tiara pun ikut-ikutan bersujud memberi hormat tinggi-tinggi.
Suto segera mengetahui bahwa
suara itu adalah milik seorang tokoh lama yang menjadi gurunya Eyang Purbapati
dan Nini Galih. Sedangkan Nini Galih dan Purbapati adalah guru dari Gila Tuak
dan Bidadari Jalang.
Suto tahu, siapa yang menjelma
menjadi bumbung tuaknya. Suto juga tahu, siapa yang namanya tak boleh disebut,
sebab jika disebutkan akan datang badai petir mengerikan. Tokoh sakti itu tak
lain adalah Wijayasura yang dalam silsilahnya sebagai Eyang Buyut Guru dari
Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pedang Guntur
Biru").
"Suto, kusarankan padamu,
hentikanlah semadimu ini, Nak. Kau sudah menjadi seorang pemuda yang sarat
dengan kesaktian, ilmu yang kau miliki sudah termasuk ilmu gila-gilaan,
sampai-sampai kau dijuluki Suto Sinting. Kurasa sudah tak perlu harus lakukan
semadi. Apakah kau masih merasa kekurangan ilmu?"
"Tidak, Eyang Buyut
Guru!"
"Ya, kurasa kau memang
tidak kekurangan ilmu. Apalagi kau sudah memiliki 'Dewatakara' yang sangat
ampuh dan sakti itu! Kau sudah menjadi orang yang hebat, Cucu buyutku! Hebat
sekali. Sampai-sampai karena terlalu hebat, kau tak bisa membedakan mana ilmu
yang termasuk aliran silatmu dan mana yang bukan. Buktinya, kau merasa bangga
dan gembira menerima ilmu 'Dewatakara' dari pengikutnya Ratu Laut Kidul
itu!"
Pendekar Mabuk diam sesaat, ia
merasa disindir dan menjadi semakin tak enak hati menerima sindiran itu. Rasa
sesal semakin membengkak dalam jiwa Pendekar Mabuk, ia mengakui telah lakukan
kecerobohan pada saat bertemu dengan Payung Serambi dan menerima titisan ilmu
'Dewatakara' itu.
"Maaf, Eyang Buyut Guru.
Saya mengakui telah lakukan kesalahan yang tidak patut dilakukan, oleh seorang
murid aliran si Gila Tuak," ujar Suto akhirnya mengakui kebodohannya.
"Tetapi semua itu sangat di luar dugaan saya, Eyang. Saya tidak tahu kalau
ilmu itu tidak boleh saya miliki karena berbeda aliran. Terus terang, saya
terlalu silau dengan kecantikan Payung Serambi, sehingga apa pun yang dilakukan
dan dimilikinya membuat hati saya terkagum-kagum, kemudian timbul rasa ingin
menjadi seperti dirinya." "Itulah sifat manusia yang harus
dikendalikan dengan
pikiran bersih. Cucu buyutku.
Setiap manusia mempunyai keinginan. Tetapi keinginan itu bukan merupakan jaminan
dari kebenaran langkahnya. Kau harus bisa membedakan, mana keinginan yang dapat
membuat langkahmu menjadi benar. Nak!"
"Sekali lagi, saya mohon
ampun. Eyang! Saya berjanji tidak akan sembarangan menerima ilmu dari orang
lain, tanpa seizin Kakek Guru; si Gila Tuak atau Bibi Guru; Bidadari
Jalang."
Hening sejurus, Pendekar Mabuk
mempertajam pendengarannya, termasuk pendengaran batinnya. Tapi agaknya suara
Eyang Wijayasura masih menunggu ucapan berikut dari sang cucu buyut. Maka Suto
Sinting pun perdengarkan kembali suaranya dengan penuh hormat dan kesopanan
yang tinggi.
"Apakah kesalahan saya
ini tidak bisa diampuni lagi, Eyang Buyut Guru?"
"Tentu saja bisa,"
jawab suara sakti itu. "Karena sebetulnya letak kesalahan ini bukan
hanya padamu. Gila Tuak juga ikut
bersalah. Mengapa sampai tak mengetahui bahwa muridnya tersusupi ilmu aliran
lain?" "Saya mohon. Eyang Buyut Guru jangan menyalahkan Kakek Gila
Tuak. Beliau sama sekali tidak tahu menahu tentang Ilmu 'Dewatakara' yang telah
saya miliki ini. Saya sendiri belum pernah menceritakan
kepada Kakek Gila Tuak,
Eyang!"
"Sekalipun begitu,
mestinya Sabawana mengetahui keberadaan ilmu asing di dalam diri muridnya!
Untuk apa namanya ada di deretan teratas dari daftar orang- orang sakti itu
jika persoalan begini saja tidak mengetahuinya?"
Pendekar Mabuk merasa tak
patut melibatkan si Gila Tuak. Ia ingin menanggung kesalahan itu tanpa
melibatkan siapa pun. Karenanya, ia segera ajukan alasan demi membela si Gila
Tuak.
"Eyang Buyut Guru. saya
rasa Kakek Guru Gila Tuak adalah manusia. Selama beliau menjadi manusia,
tentunya tidak akan bebas dari kesalahan sekecil apa pun. Apalagi dalam usianya
yang telah cukup banyak ini. Jadi, wajar jika Kakek Guru lakukan kesalahan
karena khilaf dan sebagainya. Tetapi pada dasarnya, sayalah yang bersalah dan
siap menerima hukuman, Eyang."
Lalu terdengar suara orang
menggerutu, "Kau ini selalu saja membela si Gila Tuak. Ya, sudah!
Kumaafkan kalian, tapi segera buang ilmu itu."
"Baik, Eyang!"
"Hentikan bertapamu itu.
Kau melakukan sesuatu yang sia-sia. Lebih baik kau segera pergi ke Gerbang
Siluman dan mengatasi keributan di sana. Istana Laut Kidul menyerang istriku
karena mereka ingin membawamu pulang ke Istana Laut Kidul!"
"Saya tidak akan pergi ke
mana-mana sebelum mendapatkan 'Tuak Dewata', Eyang Buyut Guru! Kakek Gila Tuak
sedang sakit dan butuh obat 'Tuak Dewata'."
"Tuak yang kau cari itu
tidak ada!" "Harus ada, Eyang!"
"Tidak ada! Biar sampai
seratus turunan kau mencarinya, tidak akan berhasil kau temukan. 'Tuak Dewata'
tidak ada yang punya."
"Lalu bagaimana harus
mengobati sakitnya Kakek Guru; si Gila Tuak itu, jika 'Tuak Dewata' tidak saya
temukan, Eyang Buyut Guru?!"
"Biarkan si Gila Tuak
menjalani garis hidupnya sendiri. Kau tak bisa mencegah kematian seseorang yang
sudah menjadi garis kehidupan terakhirnya itu!"
"Tidak! Firasat saya
mengatakan, Kakek Guru Gila Tuak belum tiba pada akhir kehidupannya. Kakek Guru
masih bisa tertolong dengan kesaktian 'Tuak Dewata' itu!"
"Jangan membangkang di
depanku, Suto! Pergi dan tinggalkan tempat ini. Kembalilah pada si Gila Tuak
dan terimalah kenyataan yang ada. Sebelumnya, redakan dulu geger di depan
Gerbang Siluman itu, karena hanya kaulah yang bisa membendung amukan dari
Istana Laut Kidul."
Dalam keadaan duduk bersimpuh
tegak, Suto Sinting tetap tundukkan kepala dan bicara dengan suara tegar.
"Firasat saya tetap
mengatakan bahwa 'Tuak Dewata' itu memang ada. Jika Eyang Buyut Guru tidak mau
sebutkan di mana 'Tuak Dewata' itu berada, saya tidak akan ikut campur dalam
keributan di Gerbang Siluman itu!"
Suasana menjadi hening
beberapa saat. Suara Eyang Wijayasura tidak terdengar sampai beberapa helaan
napas. Pendekar Mabuk sempat berdebar-debar karena cemas. Namun setelah
Pendekar Mabuk menarik napas panjang, suara Eyang Wijayasura terdengar kembali,
cukup melegakan hati sang cucu buyut.
"Rupanya kau benar-benar
ingin berbakti kepada gurumu itu, Suto."
"Tidak ada kebahagiaan
lain bagi saya tanpa kesembuhan Kakek Guru, Eyang Buyut!" tegas Suto.
"Kau memang murid yang
patut dibanggakan. Aku tadi hanya menguji kesungguhanmu dalam mengupayakan
kesembuhan si Gila Tuak. Ternyata kemauanmu begitu keras dan benar-benar murni
tanpa maksud-maksud tertentu!"
"Saya merasa satu napas
dengan Kakek Guru Gila Tuak, Eyang Buyut!"
"Ya, ya, ya Aku tahu
maksudmu," ujar suara Eyang
Wijayasura. Dapat dibayangkan
saat itu sang Eyang sedang manggut-manggut dan tersenyum bangga sambil pandangi
Suto Sinting.
"Baiklah, akan
kutunjukkan padamu di mana kau bisa dapatkan 'Tuak Dewata' itu. Tapi
berjanjilah bahwa kau akan mengusir mereka yang ingin menghancurkan Gerbang
Siluman itu!"
"Saya berjanji,
Eyang!"
"Bagus." Suara itu
kini bergerak menjadi tepat di samping telinga Suto Sinting.
"Sebenarnya, 'Tuak
Dewata' itu adalah sebuah kata kiasan, Tuak adalah pengganti kata air, Dewata
mewakili kata hidup, karena hidup kita adalah milik Hyang Maha Dewa. Jadi 'Tuak
Dewata' adalah air kehidupan. Kau bisa mencari air kehidupan itu jika kau
menemui Guru Sejati."
"Di mana saya bisa
menemui Guru Sejati itu, Eyang?!"
"Di dalam sepanjang
kehidupanmu sendiri. Cepat atau lambat, kau akan dapat bertemu dengan Guru
Sejati. Mintalah padanya, karena dialah pemilik air kehidupan itu."
Suto Sinting diam berpikir, ia
mencoba memahami kata-kata tersebut. Tapi hanya sebagian kecil saja yang
diketahuinya.
"Eyang Buyut Guru, sekali
lagi saya mohon diberi pandangan ke mana langkah yang harus saya tempuh untuk
bertemu dengan seseorang yang berjuluk Guru Sejati itu?"
Ternyata pertanyaan tersebut
tidak mendapat jawaban dari suara Eyang Wijayasura. Bahkan ketika Suto
mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali, jawaban yang diharapkan hadir
ternyata tetap tidak ada.
"Eyang Buyut
Guru...?!" Suto sengaja berseru. Tapi yang didengar adalah suara si
pemandu cantik; Sang Tiara.
"Beliau telah pergi,
Suto."
"Oh, tidak! Dia harus
menjawab pertanyaanku!" ucap Suto dengan nada penuh kecewa, ia semakin
tampak resah, sehingga Sang Tiara mencoba untuk menenangkannya.
"Minumlah tuakmu agar kau
tenang kembali, Suto," sambil Sang Tiara mengambil bumbung tuak dan
menyodorkannya.
Pendekar Mabuk terperanjat
melihat bumbung tuak itu ternyata sudah menampakkan diri lagi. Berarti suara
Eyang Wijayasura benar-benar telah tiada dan berubah menjadi wujud bambu tempat
tuak.
Setelah menenggak tuaknya dan
sebagai tanda berakhirnya masa semadi, Pendekar Mabuk hempaskan napas sambil
berdiri. Sang Tiara yang juga telah berdiri segera perdengarkan suaranya.
"Agaknya kita harus
segera ke Gerbang Siluman." "Tapi aku harus mencari tahu di mana tokoh
yang
menamakan dirinya Guru Sejati
itu berada?!"
"Kurasa bisa ditanyakan
kepada istri Eyang Buyut Gurumu itu, Suto."
Maka ingatan Suto pun kembali
ke percakapan gaib tadi. Ia ingat bahwa suara Eyang Wijayasura tadi
menyebut-nyebut tentang 'istriku'. Suto harus membantu istrinya Eyang
Wijayasura.
"Siapa yang dimaksud
sebagai istri Eyang Buyut Guru tadi?!"
"Siapa lagi kalau bukan
Eyang Putri Batari?!" "Hahh...?!" Suto
Sinting terkejut. "Ja...
jadi... jadi
Eyang Putri Batari itu
istrinya Eyang Buyut Guru?!" "Kudengar Gusti Kartika Wangi pernah
menceritakan
silsilah itu di depan kedua
putrinya; Dyah Sariningrum dan Betari Ayu."
"Gila!" gumam Suto
Sinting menegang, bulu kuduknya menjadi merinding. "Tak kusangka aku juga
berjumpa dengan Istri Eyang Buyut Guru. Tak kusangka masih semuda itu istri
Eyang Buyut Guru?!"
"Alam keabadian yang
membuat kami tetap awet muda, usia kami tak pernah bertambah, wajah kami tak
pernah berubah. Seperti kau ketahui sendiri, di sini tak ada siang tak ada
malam. Tak ada terang tak ada gelap. Semuanya serba abadi. Demikian pula halnya
dengan kecantikan dan usia kami."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dengan pandangan mata terbengong-bengong, ia tak pernah mendengar cerita
tentang istri Eyang Wijayasura dari si Gila Tuak. Karenanya, peristiwa yang
dialami saat itu dianggapnya sebagai peristiwa yang sangat penting dan tak akan
bisa dilupakan sepanjang hidupnya.
"Suto, bertindaklah
sekarang sebelum segalanya terlambat," ujar Sang Tiara mengingatkan Suto
pada janjinya tadi. Pendekar Mabuk segera sadar dari lamunannya, kemudian
bergegas keluar dari Gua Pedupan.
*
* *
6
DENGAN menggunakan ilmu 'Pusar
Badai' milik Sang Tiara, mereka berdua tiba-tiba sudah berada di tengah
pertempuran yang cukup seru. Pertempuran itu terjadi di depan gapura batu yang
menjadi jalan utama menuju Gerbang Siluman. Denting suara pedang beradu terjadi
di sekeliling Suto Sinting dan Sang Tiara. Suara pekik kematian pun menggema
silih berganti. Ledakan demi ledakan membuat tanah tempat mereka berpijak tiada
hentinya dari guncangan.
"Mengapa bisa jadi
begini, Tiara?!"
"Entahlah! Yang jelas aku
tak mungkin tinggal diam melihat rekan-rekanku bertempur begini!"
Sreet...! Sang Tiara pun
segera mencabut pedangnya, lalu menghambur ke dalam pertarungan yang sedang
terjadi di depan matanya.
Pendekar Mabuk menjadi
kebingungan sendiri. Pertempuran itu terjadi antara prajurit berseragam merah
seperti Sang Tiara dengan orang-orang berseragam hijau muda. Baik yang
berseragam hijau maupun yang berseragam merah terdiri dari perempuan semua. Tak
saju pun ada lelaki di antara mereka, kecuali Suto Sinting sendiri.
Melihat seragam merah seperti
yang dikenakan Sang Tiara, Suto segera tahu bahwa mereka adalah prajurit dari
Puri Gerbang Surgawi, pasukan tempurnya Ratu Kartika Wangi. Sedangkan mereka
yang berseragam hijau adalah prajurit dari Istana Laut Kidul, terlihat dari
jurus-jurus yang mereka gunakan banyak kemiripan dengan jurus-jurusnya Payung
Serambi.
"Celaka kalau begini.
Bagaimana aku harus mengambil sikap? Aku seorang Manggala Yudha dari Puri
Gerbang Surgawi, seharusnya aku segera turun tangan membereskan tentara
perangnya Istana Laut Kidul. Tetapi di sisi lain, aku punya ikatan moral dengan
pihak Istana Laut Kidul, terutama terhadap Payung Serambi yang telah banyak
menolongku, menyelamatkan nyawaku dan memberiku ilmu 'Dewataraka' itu."
Pendekar Mabuk melesat jauhi
pertempuran untuk sementara. Di atas gundukan batu yang membukit, Pendekar
Mabuk merenung sambil pandangi pertempuran yang membuat debu-debu beterbangan.
Mayat bergelimpangan di sana-sini, sementara sang Manggala Yudha masih belum
bisa mengambil kepastian harus memihak mana dirinya saat itu.
Tiba-tiba seberkas sinar merah
melesat melintasi kepala mereka yang sedang bertempur. Sinar merah besar itu
terbang dengan cepat menuju ke satu arah. Tapi dari arah yang dituju sinar itu
muncul pula seberkas sinar biru besar yang juga melambung melintasi kepala
prajurit yang sedang bertempur itu. Kedua sinar itu saling bertabrakan di
udara, dan terjadilah ledakan yang sungguh dahsyat pada saat itu juga.
Blegaaaarrrrr !
Gwwwuuurrr !
Ledakan itu menyebarkan sinar
ungu, membuat langit menjadi bercahaya ungu dalam sekejap. Cahaya ungu itu
mempunyai gelombang hentakan yang sungguh dahsyat. Para prajurit yang bertarung
terpisah menjadi dua bagian dengan sendirinya. Yang berseragam merah terpental
ke sisi kiri, yang berseragam hijau terpental di sisi kanan.
Selain alam sekitar menjadi
guncang hebat, batu-batu beterbangan atau pecah menjadi bongkahan-bongkahan kecil,
langit pun mulai turunkan kabut ungu samar-samar yang menyelimuti alam sekiling
Gerbang Siluman. Pendekar Mabuk terpental jatuh dari berdirinya, tapi tak
sampai turun dari atas bongkahan batu. Walau demikian, batu yang dipijaknya
sempat mengalami keretakan di beberapa tempat, namun masih bisa berdiri kokoh.
"Luar biasa! Kekuatan
tenaga dalam siapa tadi yang saling beradu di udara itu?!" ucap Suto
Sinting dengan suara lirih, menyerupai sebuah gumam keheranan.
Rupanya ledakan dahsyat yang
memisahkan kedua pihak yang sedang bertarung itu telah membentuk jalur khusus
di antara prajuritnya Ratu Kartika Wangi dan prajuritnya Ratu Nyai Kandita
alias Ratu Nyai Roro Kidul.
Jalur itu menjadi lega, dan
sekarang dipakai untuk melesatnya sesosok bayangan berwarna biru-kuning.
Bayangan biru-kuning itu datang dari arah munculnya sinar merah tadi. Sedangkan
dari arah munculnya sinar biru tampak sekelebat bayangan melesat pula berwarna
kuning emas. Kedua bayangan itu saling menerjang dalam keadaan melayang di udara.
Lalu seberkas cahaya hijau kemerah-merahan pecah membias dalam sekejap bersama
ledakan menggelegar kembali.
Jegaaaarr...!
Kedua bayangan saling
terpental mundur, tapi agaknya keduanya sama-sama sigap sehingga dapat
menapakkan kaki ke tanah dengan tegak. Jleeg, jleeg...!
"Oh, si Payung
Serambi...?!" tanpa sadar Suto Sinting menyebutkan nama dari bayangan yang
tadi tampak berkelebat warna biru-kuning itu. Lalu, pandangan mata Suto beralih
kepada lawan Payung Serambi yang tadi tampak sebagai bayangan berwarna kuning
emas itu.
"Ooh... Cendana
Wilis?!" nada suara ini terdengar lebih ditekankan lagi, menandakan Suto
Sinting merasa lebih heran dan terkejut melihat kemunculan Cendana Wilis, orang
kepercayaan pertama Dyah Sariningrum.
Cendana Wilis adalah pengawal
pribadi Dyah Sariningrum yang berpakaian ketat warna kuning emas dengan rompi
putih melapisi bagian dada dan punggung. Rambutnya diponi depan, matanya bulat
indah, dadanya cukup montok. Cendana Wilis gadis berusia dua puluh empat tahun
yang cantik dan mempunyai bentuk tubuh sama eloknya dengan Payung Serambi. Suto
Sinting kenal betul dengan gadis yang mempunyai pusaka 'Pedang Cendana' itu,
sebab selain Suto pernah meminjam pedang tersebut untuk kalahkan seorang lawan,
juga sering bertemu dengan si pengawal pribadi kekasihnya itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Prahara Pulau Mayat").
"Apa yang membuat Dyah
mengirimkan pengawal pribadinya dalam pertarungan ini?!" pikir Suto sambil
matanya memperhatikan ke arah pertemuan kedua perempuan cantik dan sama-sama
mempunyai keberanian tinggi itu.
Pendekar Mabuk segera gunakan
jurus 'Sadap Suara' yang dapat mendengarkan pembicaraan dari jarak jauh. Tak
heran jika ia dapat mendengar perdebatan antara Payung Serambi dengan Cendana
Wilis yang sama-sama ketus itu.
"Panggil ratumu dan suruh
ia berhadapan denganku!" ujar Payung Serambi alias Ratih Kumala.
Cendana Wilis tak mau kalah
ketus. "Ratuku; Gusti Mahkota Sejati, tak mau kotori tangannya dengan
melawan cecunguk macam kau! Cukup aku saja yang harus membuang bangkaimu ke
wajah penguasa Laut Kidul itu!"
"Biadab kau!" geram
Payung Serambi. "Kulumat habis seluruh tubuhmu hingga tak tersisa setetes
darah pun! Hiaaah...!"
Payung Serambi segera
sentakkan kedua tangan yang saling merapat itu. Tangan tersebut disentakkan ke
samping, dan dalam sentakan itu melesatlah sinar besar warna merah api
menerjang Cendana Wilis.
Weeees...!
Blegaaar...!
Ledakan terjadi dengan dahsyat
lagi karena Cendana Wilis sentakkan kedua tangannya ke depan dengan kedua kaki merendah.
Sentakan kedua tangan Cendana Wilis itu keluarkan cahaya biru bintik-bintik
yang segera menghantam cahaya merahnya Payung Serambi. Akibatnya, kedua gadis
itu saling terpental dan jatuh terbanting ke tanah.
"Dahsyat sekali! Ck, ck,
ck...!" Suto menggumam kagum melihat adu tenaga dalam itu.
Sementara itu, para prajurit
dari kedua belah pihak tidak ada yang berani ikut campur dalam pertarungan
tersebut. Mereka justru bertindak sebagai penonton yang selalu siap siaga
hadapi bahaya sewaktu-waktu.
Rupanya adu tenaga dalam itu
membuat Cendana Wilis mengalami luka dalam. Dari mulutnya keluar darah kental
walau tak seberapa banyak. Tetapi di pihak Payung Serambi juga keluarkan darah
dari hidungnya yang tidak begitu banyak pula. Sekalipun demikian, keduanya
masih sama-sama belum mau menyerah, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah
berhadapan kembali dan siap lakukan serangan berikutnya.
Sreeet...! Payung Serambi
mencabut pedangnya yang menyala merah membara. Cendana Wilis pun mencabut
senjata dengan garang. Sreeet...!
Pedang cendana itu tidak
memancarkan cahaya merah seperti milik Payung Serambi, tapi memercikkan bunga
api di bagian sekeliling tepiannya.
"Hiaaah...!" pekik
Payung Serambi yang segera terbang menyerang lawannya.
Cendana Wiiis tidak banyak
suara, namun menyambut serangan Payung Serambi dengan lakukan lompatan cepat
menyerupai kilatan cahaya yang ingin membelah pinggang Payung Serambi.
Wuuut, weesss...! Traaang,
blaaar...!
Bet, bet, bet, traaaang...!
Blaaar, blaar...! Pertarungan kedua pedang itu selalu membiaskan cahaya merah
kekuning-kuningan bersama bunyi ledakan yang memekakkan gendang telinga.
Kedua perempuan itu segera
daratkan kakinya dalam posisi bertukar tempat. Payung Serambi jatuh berlutut
dengan kedua tangan menggenggam gagang pedang, memunggungi Cendana Wilis.
Sementara itu, Cendana Wilis masih tetap berdiri dengan kedua kaki sedikit
ditekuk dan memunggungi Payung Serambi.
Ketika Cendana Wilis berbalik
arah, ternyata mulutnya semakin keluarkan darah lebih banyak lagi. Tetapi
Payung Serambi mengalami luka pada pundak kirinya. Luka sabetan pedang Cendana
Wilis membuatnya gemetar dan berlumuran darah.
Sekalipun terluka, Payung
Serambi masih sanggup hadapi Cendana Wilis. Bahkan ia sempat berseru dengan
matanya yang menjadi nanar dan liar.
"Kau tak mungkin bisa
kalahkan diriku, Cendana Wilis! Ilmumu masih belum ada sekuku hitam dibanding
dengan ilmuku! Tekadku mati untuk mendapatkan Pendekar Mabuk telah mendarah
daging dalam diriku. Aku merasa bangga jika bisa mati karena memperebutkan
pemuda itu! Kebanggaan apa yang kau miliki jika sampai mati di tanganku? Menang
atau kalah, kau tidak akan mendapatkan Suto Sinting, dan dia akan menjadi milik
ratumu yang pengecut itu!"
Kata-kata 'pengecut' yang
ditujukan kepada Dyah Sariningrum membuat hati Suto Sinting tak bisa menerima
begitu saja. Pendekar Mabuk menggeram, namun tetap tak tega melepaskan
kemarahannya kepada Payung Serambi karena teringat jasa-jasa gadis itu.
Rupanya hinaan yang
dilontarkan Payung Serambi berhasil memancing kemunculan seorang wanita cantik
berjubah kuning sutera dengan pakaian dalamnya biru muda. Wanita itu mengenakan
mahkota pada sanggulnya dan memakai kalung susun tiga sebagai tanda bahwa
keperawanannya masih tetap suci. Wanita cantik berpenampilan kalem itu tak lain
adalah Dyah Sariningrum.
"Hahh...?! Dia
muncul...?!" Suto Sinting terbelalak tegang. "Dari mana dia muncul?
Tak kulihat kemunculannya, tahu-tahu sudah ada di depan Cendana Wilis?!"
Jantung Suto Sinting
berdetak-detak melihat calon istrinya tampil di pertempuran. Darah mulai
mengalir deras, dan napasnya pun mulai memberat karena memendam murka. Jika
Payung Serambi sampai melukai Dyah Sariningrum, maka Suto tak akan dapat
tertahan lagi.
Sebelum Suto lakukan sesuatu,
Dyah Sariningrum sudah lebih dulu perdengarkan suaranya yang lembut dan merdu,
namun punya nada-nada ketegasan yang berwibawa.
"Cendana Wilis,
mundurlah! Biar kuhadapi sendiri dia."
"Bagus! Akhirnya kau
muncul juga dari persembunyianmu, Mahkota Sejati!" ujar Payung Serambi
ketika Cendana Wilis undurkan sambil sembuhkan luka dengan hawa murninya.
"Apa yang kau kehendaki
sebenarnya, sehingga kau menyerang Gerbang Siluman dan mengusik ketenangan
nenekku, Ratih Kumala?!" "Jangan berlagak bodoh! Kau sudah tahu kalau
aku mencintai Suto Sinting, bukan?! Dia sekarang dalam kesulitan mencari 'Tuak
Dewata', dan aku akan membawanya ke Istana Laut Kidul, karena Gusti Ratu Nyai
Kandita mempunyai 'Tuak Dewata'. Tetapi tuak itu harus diserahkan langsung
kepada orang yang mencarinya, tak boleh melalui tanganku. Dan agaknya nenekmu;
si Putri Batari itu, tetap bersikeras sembunyikan Suto Sinting serta tak rela
jika aku membawa pemuda itu ke Istana Laut Kidul! Kuanggap tindakan nenekmu itu
sengaja ingin menyusahkan Suto dan membuat gurunya Suto tewas karena
penyakitnya!"
"Kau tak berhak ikut
campur dalam kehidupan Suto Sinting," ujar Dyah Sariningrum dengan tetap
kalem. "Pihakku yang punya urusan dengan pemuda itu, sehingga kami merasa
layak jika tak rela Suto kau bawa ke Istana Laut Kidul!"
"Aku merasa berhak ikut
campur, karena darah Suto sudah sejenis dengan darahku! Sejak kutanamkan ilmu
'Dewatakara', Suto telah menjadi pendekar berdarah siluman. Jangan bermimpi
lagi menjadi istrinya. Mahkota Sejati! Dia tak akan bisa menikah denganmu, atau
dengan siapa saja, kecuali dengan perempuan yang juga berdarah siluman, seperti
diriku!"
"Aku tidak keberatan jika
memang harus terjadi begitu. Semua kuserahkan kepada Hyang Maha Dewa, pengatur
kehidupan manusia. Tetapi aku jelas akan bertindak jika kau mengusik ketenangan
nenekku: Eyang Putri Batari di Gerbang Siluman ini!" "Selama dia
belum serahkan Suto kepadaku, akan kuhancurkan Gerbang Siluman ini! Kanjeng
Ratu Kidul telah izinkan padaku untuk hancurkan Gerbang Siluman jika tak
mendapatkan Suto Sinting!"
Dyah Sariningrum diam
sebentar, kemudian terdengar suaranya berkata dengan tegas.
"Baiklah kalau memang
begitu keinginanmu. Demi mempertahankan Pendekar Mabuk dan demi membela
ketenangan eyang putriku, kulayani apa pun kemauanmu, Ratih Kumala!"
"Bersiaplah untuk mati
jika begitu, Sariningrum!" Weeesss...!
Tiba-tiba sekali Payung
Serambi memutar tubuhnya bersama pedang diputar di atas kepala menyerupai
payung, lalu tubuh itu melesat tak terlihat lagi. Sedangkan Dyah Sariningrum
sendiri tahu-tahu lenyap dari penglihatan siapa pun.
Kedua perempuan itu lenyap
dalam satu helaan napas. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan menggelegar
menggetarkan alam sekitar mereka.
Blaaarrr...!
Dyah Sariningrum tahu-tahu
sudah berada di samping Cendana Wilis. Mata para prajurit dari kedua belah
pihak sama-sama terperanjat, karena mereka tiba-tiba melihat Payung Serambi
terkapar dalam keadaan separuh tubuhnya menjadi hitam hangus. Rupanya mereka
bertempur dengan kecepatan tinggi hingga gerakan mereka tak dapat dilihat lagi.
Dan dalam pertarungan maha kilat itu, Dyah Sariningrum berhasil melukai Payung
Serambi dengan tapak tangannya dan membuat Payung Serambi hangus separuh
tubuhnya.
Namun dalam keadaan bagian
kirinya hangus dari kepala sampai kaki, Payung Serambi masih belum mau
menyerah. Luka pedang Cendana Wilis semakin merambah menjadi lebar. Luka itu
pun tidak dihiraukan oleh Payung Serambi, ia segera bangkit dengan suara
menggeram dan pandangan mata penuh kebencian.
"Sudah waktunya
menentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati!" geram Payung Serambi.
"Bagi yang hidup ia berhak mendapatkan Suto Sinting dengan menunjukkan
cinta kasih dan kesetiaannya melalui 'Tuak Dewata' itu!"
"Tuak Dewata' tidak
ada!" ucap Dyah Sariningrum dengan tegas.
"Kau perempuan bodoh, sehingga
kau beranggapan seperti itu! Yang dinamakan 'Tuak Dewata' hanya ada di tangan
Gusti Ratuku; Nyai Kandita!"
Pendekar Mabuk sempat bergumam
dalam hati, "Benarkah 'Tuak Dewata' ada di tangan Nyai Kandita?! Bukankah
suara Eyang Buyut Guru mengatakan bahwa 'Tuak Dewata' ada di tangan Guru
Sejati? Hmmm... tapi siapa Guru Sejati sebenarnya? Apakah Dyah Sariningrum
itulah si Guru Sejati, karena dia bergelar Gusti Mahkota Sejati?!"
Kecamuk batin Suto tiba-tiba
terhenti karena ia melihat tubuh Payung Serambi mulai memancarkan cahaya merah
samar-samar. Cahaya merah itu dibarengi oleh kepulan asap tipis yang
menyelimuti seluruh tubuhnya dari kaki sampai kepala.
Bluuubb...!
Asap itu meletup cepat dan
menjadi tebal membungkus tubuh Payung Serambi. Ketika asap tebal itu sirna,
tampaklah sesosok tubuh tinggi, besar dan bersisik tebal seperti baja. Warna
kulit dan sisiknya seperti warna tembaga.
"Celaka! Dia menggunakan
ilmu 'Dewatakara' untuk menyerang Dyah Sariningrum?!" Suto Sinting menjadi
tegang sekali begitu melihat Payung Serambi berubah menjadi makhluk bertanduk
dengan wajah mirip wajah naga. Baik wajah maupun tubuhnya sangat menyeramkan,
membuat para prajurit dari kedua belah pihak saling berdesak mundur.
Tetapi Dyah Sariningrum dan
Cendana Wilis masih tetap berdiri di tempatnya. Mereka pandangi perubahan wujud
Payung Serambi yang menjadi makhluk berekor panjang. Ekor itu berduri
menyerupai mata pisau. Tinggi makhluk itu sekitar empat kali lipat tinggi Suto
Sinting.
Dengan kedua tangan berkuku
tajam bak mata pedang, makhluk itu mulai melangkah dekati Dyah Sariningrum,
kedua tangannya diangkat ke atas seakan siap menerkam tubuh halus mulus di
depannya.
"Menjauhlah, ini bukan
bagianmu juga, Cendana Wilis," bisik Dyah Sariningrum. Sang pengawal
pribadi itu menurut, ia segera mundur menjauh. Tinggal Dyah Sariningrum yang
berhadapan langsung dengan makhluk menyeramkan itu.
"Grrraaoww...!"
Makhluk itu keluarkan suara menyeramkan juga, seakan setiap jantung
pendengarnya diguncang dan diremas oleh suara tersebut. Tapi Dyah Sariningrum
masih tampak tenang, tanpa ada rasa takut sedikit pun.
Zlaaap...!
Suto Sinting tak bisa tinggal
diam hadapi kekasihnya dalam ancaman bahaya menyeramkan itu. Ia segera gunakan
jurus 'Gerak Siluman' dan tahu-tahu sudah berada di samping Dyah Sariningrum.
"Biar kuhadapi dia!"
kata Suto Sinting sambil menatap Dyah Sariningrum yang tidak terkejut sedikit
pun melihat kemunculan Suto Sinting itu. Rupanya sejak tadi ia sudah mengetahui
Suto ada di kejauhan jarak, memandangi pertempuran tersebut. Namun Dyah
Sariningrum berlagak tidak tahu-menahu tentang Suto, sehingga kemunculan pemuda
itu tidak membuatnya heran dan kaget.
"Akhirnya kau mau turun
membelaku juga, Suto," ujar Dyah Sariningrum dengan pelan. "Kusangka
kau akan memihak Payung Serambi."
"Aku mencintaimu,
Dyah," bisik Suto Sinting, lalu sempatkan diri mencium pipi Dyah
Sariningrum dengan lembut.
"Grrrraaooww...!"
Makhluk mengerikan itu semakin
berang melihat Suto Sinting mencium pipi Dyah Sariningrum. Ekornya berkelebat
menghantam tubuh Suto. Weess...! Tetapi Suto Sinting segera memeluk Dyah
Sariningrum dan melesat dengan gerakan yang tak dapat dilihat mata telanjang
itu. Zlaaap...!
Pendekar Mabuk membawa pindah
calon istrinya ke tempat yang lebih aman. Sementara itu, kibasan ekor makhluk
berkaki lebar telah kenai tiga prajurit dari Istana Laut Kidul. Brruusss...!
"Aaaa...!" mereka
menjerit keras-keras dalam keadaan tubuh koyak dan mengucurkan darah segar. Dua
dari ketiga prajurit yang menjadi salah sasaran itu tewas seketika, yang satu
masih sempat kelojotan dalam keadaan sekarat.
Zlaaaap...!
Suto Sinting kembali hadapi
makhluk ganas itu setelah menempatkan Dyah Sariningrum di tempat yang aman.
Kini ia berdiri menantang makhluk itu dengan bumbung tuak di tangan kanan.
"Hentikan tindakanmu,
Ratih Kumala!" seru Suto Sinting kepada makhluk ganas itu.
"Grraaaooww...!
Ggrrraaooww...!" sambil makhluk itu geleng-gelengkan kepala. Matanya yang
merah sebesar jeruk peras itu memandang ke arah Dyah Sariningrum. Agaknya
makhluk jelmaan Payung Serambi masih mengancam nyawa Dyah Sariningrum. Tetapi
sebelum makhluk itu bergerak ke arah putri bungsunya Ratu Kartika Wangi itu,
Pendekar Mabuk segera serukan kata sebagai pengalih perhatian Payung Serambi.
"Ratih Kumala..., jika
kau tetap ingin mencelakai Dyah Sariningrum, aku akan tega melawanmu sekarang
juga!"
"Ggrraaaooww...!"
Makhluk itu angguk-anggukkan kepala. Rupanya gertakan Suto disambut dengan
berani. Payung Serambi tidak keberatan jika harus menghadapi Suto Sinting.
Maka dalam kejap berikutnya,
tubuh Suto Sinting pun kepulkan asap tebal. Buuuss...! Asap itu membubung
tinggi dan tubuh Suto tidak kelihatan lagi.
Namun ketika asap itu mulai
lenyap, ternyata yang muncul dari gumpalan asap tersebut adalah sesosok makhluk
berkepala dua yang wajahnya mirip wajah leak, berambut kuning memanjang ke
samping. Tubuh makhluk jelmaan Suto Sinting itu berlendir dan berduri- duri.
Makhluk itu juga berekor panjang dan mempunyai dua ekor yang setiap ujung
ekornya mempunyai duri runcing bagaikan mata tombak. Tinggi makhluk jelmaan
Suto itu melebihi tinggi makhluk jelmaan Payung Serambi.
Rupanya Suto Sinting ingin
menaklukkan makhluk jelmaan Payung Serambi dengan menggunakan ilmu 'Dewatakara'
pemberian Payung Serambi sendiri. Ilmu itu membuat tubuh Suto berubah menjadi
makhluk menyeramkan yang mempunyai sepasang taring tajam dan panjang.
"Hoookkrr...!
Hoookkrr...!"
Makhluk jelmaan Suto Sinting
itu maju, demikian pula makhluk jelmaan Payung Serambi. Di pertengahan jarak
mereka saling bertemu dan saling bergulat dengan serunya. Suara-suara erangan
mereka menggelegar dan berkumandang ke mana-mana. Hentakan-hentakan kaki mereka
membuat alam sekitarnya menjadi bergetar beberapa kali. Suara pertarungan itu
memancing orang- orang Gerbang Siluman muncul untuk menyaksikannya. Tetapi
Eyang Putri Batari tidak tampak di antara mereka. Kedua makhluk itu berusaha
saling gigit dan saling menggulingkan. Suaranya gaduh sekali. Tampaknya
keduanya sama-sama kuat. Sekalipun makhluk jelmaan Suto Sinting berkepala dua, tetapi
ternyata tidak mudah
menggigit makhluk jelmaan
Payung Serambi.
Tiba-tiba seberkas sinar hijau
melayang dengan ekornya yang panjang. Weess...! Sinar hijau itu menghantam
kedua makhluk itu.
Zeebs...! Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi begitu
kuat dan mengguncangkan Gerbang Siluman. Beberapa prajurit saling jatuh
bertindihan karena guncangan yang hebat itu.
Ledakan sinar hijau tadi
ternyata membuat kedua makhluk itu lenyap dan berubah menjadi sosok Pendekar
Mabuk dan Payung Serambi.
Dari arah datangnya sinar
hijau tadi terdengar suara gemuruh seperti datangnya banjir besar. Suara
gemuruh itu makin lama semakin jelas dan bayang-bayang kehadiran sebuah kereta
berkuda enam tampak samar- samar. Rupanya suara gemuruh itu adalah suara derap
kaki kuda yang menarik sebuah kereta berlapiskan emas permata.
Di atas kereta itu, tampak
seorang perempuan berdiri dengan rambut terurai meriap-riap yang dihiasi
mahkota pada bagian depannya. Perempuan cantik yang menunggang kereta berkuda
enam berbulu hitam itu mengenakan jubah lengan panjang warna hijau muda seperti
daun baru bersemi. Jubah hijau itu dibuka bagian depannya dan tampaklah pakaian
dalam penutup dada warna hitam berhias benang emas yang membungkus separuh
gumpalan dada montok menyegarkan itu.
Melihat sosok penampilan
perempuan berkuda enam itu, Pendekar Mabuk segera kerutkan dahi dan bersiap
siaga untuk hadapi serangan, karena ia belum mengenal perempuan cantik berambut
panjang itu. Melihat langkah kudanya yang
ternyata tidak menapak tanah dan setiap derapnya mengepulkan asap putih
membungkus sebagian roda kereta, Pendekar Mabuk dapat memastikan bahwa
perempuan itu mempunyai ilmu lebih tinggi dari Payung Serambi. Sinar hijau tadi
bisa dipastikan datang dari perempuan berjubah hijau muda tersebut. Dan rupanya
di belakang kereta itu tampak beberapa kuda berbulu coklat mengiringinya dengan
para penunggangnya berseragam warna Jingga. Pendekar Mabuk sempat menyangka
munculnya pihak ketiga dalam perkara di Gerbang Siluman itu.
Tetapi secara tiba-tiba, Dyah
Sariningrum muncul di samping Suto Sinting tanpa suara dan langkah yang
diketahui oleh siapa pun. Suto sempat terkejut ketika Dyah Sariningrum berbisik
pelan padanya.
"Nyai Kandita datang!
Bersiaplah untuk hadapi dia." "Oh...?! Jadi yang berada di atas kereta
berkuda enam itu adalah Nyai Kandita, si Ratu Laut Kidul itu?!"
"Benar! Agaknya dia merasa perlu turun tangan
dalam upaya membawamu ke
Istana Laut Kidul! Hati- hati dengan bujukannya. Tuak yang kau cari tidak ada
di tangannya!"
Pendekar Mabuk diam sambil
tetap memandangi kedatangan Ratu Laut Kidul itu yang tampak semakin dekat,
semakin pelan pula langkah kudanya. Sebenarnya Suto ingin berbisik kepada Dyah
Sariningrum, tetapi niatnya urung dikarenakan munculnya suara gemuruh lagi dari
arah yang berlawanan.
Mereka memandang ke arah
datangnya suara gemuruh dan seruan ringkikan kuda secara bersahutan. Rupanya
dari arah itu muncul seorang perempuan menunggang kereta terbuka seperti yang
dikendarai Nyai Kandita itu. Kereta tersebut juga dilapisi emas murni dan
batuan permata. Kereta itu ditarik oleh empat ekor kuda putih berjambul lebat.
Dan perempuan yang ada di atasnya mengenakan jubah ungu dengan rambut disanggul
sebagian sisanya meriap lepas. Di sanggulnya itu terdapat mahkota yang
memancarkan cahaya kemilau batuan intan berlian.
"Ibu Ratu
datang...?!" sentak Suto Sinting dengan mata terbelalak tegang.
Dyah Sariningrum berkata
setelah menghempaskan napas panjangnya.
"Pasti Ibu tahu kalau
Nyai Kandita akan ikut campur urusan ini, sehingga beliau sempatkan diri datang
ke sini untuk hadapi Nyai Kandita!" Kini kedua kereta berhenti, dan para
penunggangnya masih belum turun dari atas kereta yang tanpa atap itu. Kuda-kuda
mereka saling melonjak dengan ringkik bersahutan. Seakan kuda-kuda mereka juga
saling melontarkan tantangan permusuhan.
Sementara itu, sorot pandangan
mata Nyai Ratu Laut Kidul tertuju tajam ke arah Ratu Kartika Wangi. Sang Ratu
Kartika Wangi menampakkan sikap tenang dan berwibawa, namun penuh keberanian.
Kedua tokoh ratu berilmu
tinggi itu saling pandang dalam kebisuan beberapa saat. Tak satu pun dari
mereka yang ada di sekitar tempat itu bersuara sekecil apa pun. Suasana menjadi
hening, senyap, dan kuda-kuda pun ikut terbungkam tanpa ringkik maupun dengan
napas hewaninya.
*
* *
7
KEDUA ratu itu masih berdiri
di atas keretanya. Nyai Kandita lontarkan kata lebih dulu kepada Ratu Kartika
Wangi, sementara yang lain tetap membisu bagai tak terbungkam ilmu yang
membisukan mereka.
"Apa maksudmu menghalangi
pihakku membantu Suto Sinting, Kartika Wangi?!"
"Karena kami tahu kau
licik dan tak punya 'Tuak Dewata'," jawab Ratu Kartika Wangi dengan tegas.
"Kalau aku licik, berarti
kau bodoh, Kartika! Karena kau tak pernah mengerti apa sebenarnya 'Tuak Dewata'
dan siapa pemiliknya!" "Kau pun sebenarnya tak tahu siapa pemilik
tuak itu. Jika kau memang memilikinya, tunjukkan pada kami sekarang juga!"
Nyai Ratu Kandita diam, tapi
sorot matanya masih tertuju ke wajah Ratu Kartika Wangi.
"Aku bukan orang yang
gemar pujian. Untuk apa tunjukkan tuak itu di depan kalian? Pendekar Mabuk yang
membutuhkannya, jadi selayaknya tuak itu kutunjukkan di depan Pendekar Mabuk!
Sekarang juga aku akan membawa Pendekar Mabuk ke Istana Laut Kidul!"
"Aku melarangnya!"
"Apa hakmu melarang
pemuda itu kubawa pergi?!" "Dia calon menantuku!"
"Itu hanya impian semata.
Suto Sinting sudah berdarah siluman dan tak bisa kawin dengan putrimu
itu!"
"Aku akan berusaha
melenyapkan ilmu 'Dewatakara' dari tubuhnya, dan akan mencuci bersih darahnya
agar tidak tercemar oleh darah siluman dari-mu!"
"Apakah kau mampu
melakukannya?!"
"Gila Tuak lebih mampu
dari diriku dalam hal ini!" "Hmmm...!" Ratu Laut Kidul mencibir
sinis. "Gila
Tuak sebentar lagi akan mati
jika tak segera ditolong dengan 'Tuak Dewata'. Dengan begitu, tak ada lagi
orang yang bisa membersihkan darah Suto Sinting dari kekuatan gaib
silumanku!"
"Kita buktikan saja
nanti!" ujar sang Ratu Kartika Wangi dengan tetap tenang. Kemudian, Nyai
Ratu Kandita berkata kepada Pendekar Mabuk.
"Suto Sinting, maukah kau
mendapatkan 'Tuak Dewata' itu untuk sembuhkan sakit gurumu?!"
"Tentu saja aku mau,
Nyai!" jawab Suto dengan suara tegas dan berwibawa.
"Jika kau ingin dapatkan
tuak itu, ikutlah kami ke Istana Laut Kidul.
"Aku tak akan mengikutimu
sebelum kau tunjukkan wujud 'Tuak Dewata' itu!" kata Suto sebagai bukti
keragu-raguannya terhadap pengakuan Nyai Ratu Laut Kidul itu.
"Aku tak bisa tunjukkan
padamu sekarang. Tapi akan kutunjukkan padamu jika kau sudah berada di
istanaku!"
"Aku tak mau tertipu,
Nyai!"
Perempuan berjubah hijau itu
menggeram lirih pertanda menahan kejengkelan atas ucapan Suto Sinting. Namun
sikapnya masih tetap dibuat tenang, dan sorot pandangan matanya tertuju tajam
kepada Suto Sinting.
Beberapa kejap kemudian, Nyai
Ratu Laut Kidul berkata lagi kepada Suto.
"Baiklah, agaknya kau
tidak percaya pada maksud baikku! Jangan menyesal jika gurumu tewas karena
terlambat meminum 'Tuak Dewata' itu! Satu kali kau menyangsikan kebaikanku,
selamanya aku tak akan berikan 'Tuak Dewata' itu padamu!"
Pendekar Mabuk menjadi gundah,
pertimbangan otaknya menjadi semakin kacau. Di satu sisi ia sangat membutuhkan
'Tuak Dewata', di sisi lain ia sadar akan mengecewakan Dyah Sariningrum jika ia
ikut ke Istana Laut Kidul.
"Pendekar Mabuk, kuberi
kesempatan terakhir padamu, mau ikut aku untuk mengambil 'Tuak Dewata' atau
tetap setia pada calon istrimu yang berarti harus mengorbankan nyawa gurumu.
Sedangkan kau sendiri kelak juga akan mengorbankan istrimu itu, karena darahmu
tak bisa bercampur dengan darahnya calon istrimu itu!"
Pendekar Mabuk masih diam
dalam kebimbangan. Tapi tiba-tiba Dyah Sariningrum berbisik menggunakan bisikan
batin yang hanya didengar oleh Suto Sinting seorang.
"Jangan tinggalkan aku,
Suto. Apa pun yang terjadi aku siap mati demi kasih kita berdua "
Bisikan itu menggugah semangat
Pendekar Mabuk untuk segera lontarkan jawaban kepada Ratu Laut Kidul. "Aku
tidak mau ikut denganmu. Nyai Ratu! Aku tahu kau akan mengawinkan diriku dengan
Payung Serambi!" "Karena dia sangat mencintaimu. Suto!" sahut
Nyai
Ratu Kandita.
"Tapi aku tidak bisa
menerima cintanya, Nyai! Aku akan tetap menikah dengan Dyah Sariningrum, apa
pun yang terjadi dari sekarang sampai kelak di kemudian hari!"
Ucapan tegas itu menyentakkan
hati Payung Serambi yang sudah berada tak jauh dari keretanya Nyai Ratu
Kandita. Pancaran mata Payung Serambi berubah menjadi tajam dan penuh
permusuhan terhadap Suto Sinting. Bahkan kini ia berseru dengan suara
lantangnya. "Manusia keji kau! Kembalikan ilmu 'Dewatakara'-ku
itu!"
"Ambillah!" jawab
Suto Sinting tegas sekali. "Aku tak merasa rugi kehilangan ilmu
'Dewatakara'-mu ini, Ratih Kumala. Tapi aku akan merasa rugi besar jika
kehilangan Dyah Sariningrum!"
"Keparat!
Hiaaaah...!" Payung Serambi segera ulurkan tangannya dengan telapak tangan
mengembang, ia berusaha menarik kekuatan gaib dari ilmu 'Dewatakara' hingga
tubuhnya mulai bergetar. Tetapi tiba-tiba sang Nyai berseru kepadanya.
"Hentikan Ratih!"
"Dia akan melawan kita
dengan ilmu 'Dewatakara' jika tak diambil, Nyai Gusti!"
"Biarkan ilmu itu ada
padanya. Tak akan ada yang bisa mencabutnya. Dia akan tetap berdarah siluman
dan hanya akan bisa menikah denganmu! Suatu saat dia akan datang
merangkak-rangkak menciumi kakimu dan meminta kesediaanmu menikah dengannya.
Sekarang, kita pulang! Semuanya pulaaaang...!"
Seruan Nyai Ratu Kandita itu
tak pernah diabaikan oleh para pengikutnya. Maka kereta berkuda enam itu segera
tinggalkan tempat tersebut dengan langkah kaki kudanya yang tidak menyentuh
tanah. Para prajurit dan Payung Serambi pun segera pergi tinggalkan tempat itu.
Pendekar Mabuk tertegun bengong setelah mengetahui bahwa dirinya sengaja diikat
dengan darah siluman agar mau dikawinkan dengan Payung Serambi. Ratu Kartika
Wangi segera berseru kepada para prajuritnya.
"Kembali ke istana!"
"Ibu... bagaimana dengan
Suto?!" seru Dyah Sariningrum sambil hampiri ibunya di atas kereta yang
sudah berbalik arah itu. Wajah sang putri bungsu itu tampak cemas, membuat sang
ibu tarik napas panjang- panjang.
Tiba-tiba seraut wajah cantik
berambut putih panjang itu muncul tanpa suara dan tanpa angin. Eyang Putri
Batari tahu-tahu sudah berada di samping Suto Sinting dan berseru kepada Ratu
Kartika Wangi serta Dyah Sariningrum.
"Pulanglah kalian dan
biarkan Suto bersamaku sejenak!"
"Tapi, Eyang... saya
tidak ingin kehilangan dia!" rengek sang cucu, membuat dada Suto terasa
membengkak seketika karena dihujani rasa bangga dan bahagia mendengar
pernyataan Dyah Sariningrum itu.
"Cucuku, percayalah
padaku, kau tak akan kehilangan pemuda nakal ini! Nenek akan turun tangan
sendiri ikut membantu sembuhkan si Gila Tuak. Karena hanya Gila Tuak yang bisa
lenyapkan ilmu 'Dewatakara' dan membersihkan darah Suto dari darah
siluman!"
Ratu Kartika Wangi berkata
kepada putri bungsunya. "Serahkan perkara ini kepada nenekmu, Ningrum.
Karena bagaimanapun juga,
kakekmu adalah Eyang Buyut Guru bagi Suto Sinting. Tentunya kakekmu tidak akan
tinggal diam dalam hal ini, Ningrum!" Dyah Sariningrum akhirnya pasrah
kepada janji para sesepuhnya. Namun ia tetap dekati Suto Sinting dan berkata
penuh kelembutan.
"Jangan menyerah! Cari
terus 'Tuak Dewata' itu dan sembuhkan gurumu. Aku menunggumu di Pulau Serindu,
Suto!"
"Aku akan selalu hadir
dalam mimpimu. Sayang."
Sang nenek cantik menggoda
dengan menembangkan sebuah kidung masa kecilnya.
"Selamat jalan, duhai
kekasih. "
"Ah, Eyang...!" Dyah
Sariningrum tersipu malu, lesung pipitnya tampak menggoda hati Suto. Namun
pemuda itu hanya tundukkan kepala dan ikut tersipu- sipu juga.
Tetapi ketika Suto Sinting
mengangkat wajah kembali, ia menjadi terkejut bukan kepalang, karena ia tidak
menemukan siapa-siapa di depannya. Dyah Sariningrum tidak ada, para prajurit
berseragam merah, termasuk Sang Tiara, juga tidak ada. Bahkan Ratu Kartika
Wangi pun lenyap begitu saja tanpa terdengar derap kaki kudanya. Sedangkan
Eyang Putri Batari yang tadi ada di sampingnya, kini hilang entah ke mana.
Tempat itu menjadi sunyi,
bagaikan tanpa kehidupan sama sekali. Yang ada hanya gapura batu hitam yang
masih berdiri kokoh sebagai jalan masuk menuju Gerbang Siluman.
"Aneh. Tanah di sekitar
sini juga tak ada bekas tapak kaki satu pun. Padahal tadi sewaktu kupakai
bertarung melawan makhluk besar jelmaan Payung Serambi, tanahnya sampai gompal
dan acak-acakan. Kenapa sekarang menjadi bersih, rapi, dan lengang sekali?!"
Pandangan mata Suto Sinting
menyapu alam sekitarnya. Tembok yang besar menjadi benteng istana Gerbang
Siluman masih tampak jelas tanpa harus mengusap wajahnya. Tetapi di sana pun
tidak ada satu orang pun yang tampak berdiri sebagai penjaga gerbang. Sementara
itu, alam tetap teduh, tanpa siang dan tanpa malam.
"Aku akan masuk ke
Gerbang Siluman dan menanyakan hal ini kepada Eyang Putri Batari! Siapa tahu
Eyang Putri juga bisa tunjukkan padaku ke mana aku harus pergi menemui orang
yang bergelar Guru Sejati itu," pikirnya, kemudian ia bergegas melangkah
melalui jalan di tengah gapura batu hitam itu.
Belum sampai dekati pintu
gerbang, langkah Suto Sinting terhenti karena kemunculan wajah Eyang Putri
Batari. Wajah itu muncul dalam bayang-bayang di udara dan hanya separuh bagian.
Namun suaranya yang masih merdu itu terdengar jelas di telinga sang Pendekar
Mabuk.
"Ada apa lagi, Bocah
Ganteng?!"
"Oh, hmmm...," Suto
agak gugup sedikit karena kaget melihat bayangan itu muncul di depannya.
"Ada yang ingin saya tanyakan,
Eyang Putri. Kemana orang-orang yang tadi ada di sekitar saya itu?!"
"Mereka pulang ke
tempatnya masing-masing. Dan memang begitulah cara mereka pergi, tidak perlu
harus berjalan kaki." "Ooo...," Suto menggumam lirih.
"Sepertinya ada yang
mengganjal di hatimu, Bocah Tampan?!" pancing Eyang Putri Batari yang
agaknya sudah mengetahui maksud hati Suto.
"Benar, Eyang," Suto
tersenyum malu namun tetap penuh hormat. "Saya ingin menanyakan sesuatu
yang saya peroleh dari hasil semadi saya di Gua Pedupan, Eyang. Hmmm... anu,
saya disuruh mencari orang yang berjuluk Guru Sejati jika ingin dapatkan 'Tuak
Dewata'. Tetapi saya tidak tahu, di mana saya bisa temukan si Guru Sejati itu,
Eyang Putri."
"Di sini," jawab
Eyang Putri Batari pendek saja, tapi sempat bikin Suto kebingungan dan
terheran-heran.
"Maksudnya... di sini
bagaimana, Eyang? Maaf, saya kurang paham."
"Sebab itulah, jangan
terlalu banyak berpikir tentang perempuan, nanti otakmu menjadi tumpul.
Pendekar gagah!" goda Eyang Putri Batari yang membuat Suto makin tersipu.
Sambungnya lagi, "Jika
kau mau mencari Guru Sejati, temuilah dirimu sendiri, Suto. Di dalam dirimu
itulah letak persinggahan sang Guru Sejati. Karena setiap manusia mempunyai
Guru Sejati sendiri-sendiri yang wajahnya serupa dengan wajahmu."
Pendekar Mabuk melongo
menerima penjelasan itu. Dahinya berkerut, matanya tak berkedip pandangi
bayangan sang Eyang Putri yang tampak ramah dan ceria.
"Tiap manusia begitu
lahir mempunyai empat saudara pribadi yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Empat saudara pribadi itu mempunyai sifat sendiri- sendiri, dan sifat itu
adalah sifatmu juga. Lalu satu lagi yang tak bisa ditinggalkan oleh manusia
adalah Guru Sejati, yaitu kehakikian dari jati dirimu sendiri."
"Apa hubungannya dengan
'Tuak Dewata' itu, Eyang?"
"'Tuak Dewata' adalah air
kehidupan. Jati dirimu sendiri yang mempunyai air kehidupan tersebut, Suto.
Tuakmu tidak bisa menjadi penyembuh luka dan sakit apa pun jika jati dirimu
tidak ikut serta menyembuhkannya!"
"Apakah... apakah yang
dimaksud jati diri itu hampir sama dengan keyakinan atau kepercayaan,
Eyang?!"
"Benar! Seseorang yang
kurang percaya diri, tidak yakin dengan kemampuannya, maka ia akan gagal
melakukan apa pun! Sebaliknya, orang itu akan berhasil dalam melakukan pekerjaan
sesulit apa pun, jika ia yakin dan percaya bahwa dirinya mampu!"
Suto Sinting termenung
beberapa kejap. Lalu ia memandang bayangan Eyang Putri Batari lagi.
"Jadi, pada waktu Kakek
Guru Gila Tuak kuberi minum tuak dan ternyata sakitnya tidak sembuh, itu
lantaran pada waktu itu saya ragu-ragu alias kurang percaya diri. Eyang?!"
"Tepat sekali! Sebenarnya
kau tak perlu mencari 'Tuak Dewata' ke mana-mana. Tuak itu ada pada dirimu,
yaitu sebentuk keyakinan atau kepercayaan dari sang jati diri alias sang Guru
Sejati. Karena itu, aku berpesan padamu, Bocah Ganteng... minumkan tuakmu
kepada si Gila Tuak dengan rasa percaya diri bahwa tuak itu akan
menyembuhkannya, maka ia pun benar-benar akan sembuh! Tapi jika kau ragu-ragu
alias tak yakin akan dapat menyembuhkan si Gila Tuak, jangan kau minumkan tuak
itu, karena itu akan sia-sia belaka!"
Pendekar Mabuk semakin
tertegun mendengar penjelasan tersebut, bahwa ternyata 'Tuak Dewata' sejak dulu
sudah ada pada dirinya. Yang hilang dari dirinya saat menyembuhkan si Gila Tuak
adalah keyakinan dan kepercayaan dari sang Guru Sejati.
"Pulanglah, sembuhkan
Kakek Gurumu itu dengan tuakmu. Tuak itulah yang disebut 'Tuak Dewata'!"
Slaaap...! Bayangan Eyang
Putri Batari hilang begitu saja, membuat Suto Sinting tercengang dan masih
terpaku di tempat hingga beberapa saat.
"Rupanya saat aku
meminumkan tuak kepada Kakek Guru, hatiku diliputi rasa kurang percaya diri.
Maklum saja, karena beberapa tokoh sakti tidak berhasil mengobati Guru, maka
aku merasa diriku lebih tidak berhasil lagi. Sebenarnya aku tak boleh merasa
seperti itu, dan harus tetap percaya pada kemampuanku sendiri," pikir Suto
Sinting dalam mencerna kata-kata Eyang Putri Batari tadi.
Ia pun segera pulang ke alam
nyata, dan meminumkan tuak itu kepada sang Guru. Rasa percaya diri yang tumbuh
membara dalam hati dan sanubari Suto ternyata benar-benar mampu sembuhkan
penyakit si Gila Tuak. Tokoh tertinggi di rimba persilatan alam nyata itu
pun akhirnya berkata kepada murid tunggalnya.
"Aku sendiri tak sadar
kalau aku bicara tentang 'Tuak Dewata' itu. Tetapi semua ini mempunyai arti
yang besar bagi kehidupan kita bersama, Suto. Perjalananmu ke Gerbang Siluman
ternyata adalah perjalanan mencari jati dirimu yang sempat hilang sebentar
itu."
"Benar, Kakek Guru! Aku
pun tak menyangka akan mendapat pelajaran tentang saudara pribadiku dan Guru
Sejatiku."
"Catat dalam ingatanmu
semua hikmah dari peristiwa ini. Dan yang perlu kita lakukan lagi adalah
menyirnakan ilmu 'Dewatakara' agar darahmu bukan darah siluman lagi. Kau sudah
siap, Muridku?!"
"Aku sudah siap,
Guru!" jawab Pendekar Mabuk dengan tegas dan penuh rasa percaya diri.
SELESAI