AWAN hitam menaungi wilayah
Perguruan Merpati Wingit Dari sebuah lembah tampak terlihat jelas reruntuhan
bangunan joglo yang merupakan bangunan terdepan setelah halaman laga Perguruan
Merpati Wingit. Dari sanalah sepasang mata menatap dengan sedikit menyipit,
tersimpan dendam dalam hati yang luka mengharu melihat porak-porandanya perguruan
tersebut.
Sepasang mata menyipit dendam
milik perempuan berpakaian merah dadu itu masih memandangi makam- makam di
samping pagar wilayah perguruan. Berjajar makam yang tanahnya masih tampak baru
ditimbunkan itu, seakan barisan pisau tajam yang menggores hati perempuan
berselendang putih di pinggangnya.
Perempuan itu tak lain adalah
Selendang Kubur,murid Perguruan Merpati Wingit yang sudah lama tak kembali ke
perguruannya, karena tergoda cinta murid sinting si Gila Tuak yang bergelar
Pendekar Mabuk, Suto Sinting.
Kabar tentang porak-porandanya
perguruan tersebut didengar telinga Selendang Kubur dari sudut sebuah kedai, di
mana tiga orang bercerita tentang amukan Perawan Sesat yang konon berhasil
melukai gurunya, Nyai Betari Ayu. Celoteh di sudut kedai itu juga mengisahkan
cerita tentang kematian Dewi Murka yang disaksikan sendiri oleh mata seorang
lelaki besar tanpa isi yang dikenal dengan nama Singo Bodong, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan Sesat").
Selendang Kubur tak sampai
hati untuk tinggal diam melihat keadaan di perguruannya. Niatnya untuk memburu
cinta pada Suto Sinting tertangguhkan. Apa pun amarah sang Guru nantinya, ia
siap menerima hukumannya, ia juga tak bisa menahan duka mendengar gurunya; Nyai
Betari Ayu, terluka oleh pukulan lawan.
Dengan dendam membesi di hati,
Selendang Kubur melangkahkan kaki memasuki pintu gerbang perguruan yang telah
hancur itu. Suasana pelataran laga tampak sepi. Selendang Kubur menarik napas
untuk menahan luapan api kemarahan yang telah membakar dada. Maka, segera ia
melesat ke serambi samping, dan di sana ia temui sang Guru sedang duduk
merenung dengan wajah tetap berwibawa walau tampak guratan dukanya.
Melihat siapa yang muncul di
depannya, Nyai BetariAyu terkesiap sekejap, ia segera menarik napas meredam kemarahan,
ia mengangkat wajah, memandang tajam muridnya yang lama tak kunjung tiba. Sang
murid menundukkan wajah, sebagai ungkapan rasa bersalah dan pasrah menerima
hukuman sang Guru.
Betari Ayu segera perdengarkan
suaranya dengan lembut tapi penuh kharisma bagi murid yang baru datang itu.
"Kaukah yang berdiri di
depanku, Selendang Kubur?!"
Sedikit tunduk kepala
Selendang Kubur saat menjawab, "Benar, Nyai Guru. Saya datang."
"O, syukurlah. Ternyata
kau masih ingat jalan pulang ke perguruanmu ini."
"Maafkan saya, Nyai Guru.
Saya memang bersalah."
"O, tidak! Kau tidak
bersalah!" tuk^s Nyai Guru Betari Ayu. "Perguruan ini hampir hancur
bukan karena ulahmu, melainkan ulah muridnya si Nyai Lembah Asmara. Perawan
Sesat namanya."
"Saya merasa bersalah,
karena saat itu saya tidak ada di sini, Guru."
"Bukan hanya kamu, tapi
Dewi Murka juga tidak ada di sini."
"Dewi Murka juga sudah
tewas di tangan Perawan Sesat, Guru!"
Tersentak hati Betari Ayu.
Terbungkam mulutnya tanpa bisa mengucap sepatah kata pun mendengar Dewi Murka
tewas di tangan Perawan Sesat. Semakin tertimbun dendam hati Betari Ayu
rasanya. Tetapi ia berusaha untuk menahan diri agar tidak hanyut dalam kobaran
dendam yang membara itu.
Dewi Murka dan Selendang Kubur
adalah orang kuat di Perguruan Merpati Wingit. Kepada salah satu dari kedua
orang itulah Betari Ayu ingin menyerahkan tampuk pimpinannya.
Menurut pandangan hatinya,
hanya dua orang itulah yang bisa dan pantas menjadi penggantinya, sebagai Ketua
Perguruan Merpati Wingit. Tetapi sebelum niatnya terlaksana, satu dari kedua
orang pilihannya itu telah tewas. Kini tinggal Selendang Kubur yang menjadi
satu-satunya calon pengganti dirinya, sebelum ia pergi mengasingkan diri
menjadi seorang pertapa.
Tetapi, mampukah Selendang
Kubur mempertahankan perguruannya jika sekarang hatinya telah ditaburi dendam
terhadap orang-orang Bukit Garinda yang dikuasai oleh Nyai Lembah Asmara?
Bukankah beberapa orang kuat di perguruan itu telah tewas juga di tangan
perempuan iblis utusan Nyai Lembah Asmara? Dewi Murka, Murbawati, dan orang-
orang kuat lainnya telah tiada. Padahal mereka adalah benteng bagi Perguruan
Merpati Wingit.
Belum lagi jika Betari Ayu
memikirkan Pendekar Mabuk yang berhasil dibujuk Perawan Sesat untuk dibawa ke
Bukit Garinda, makin perih hati Nyai Betari Ayu sebenarnya. Karena di dalam
hati Nyai Guru itu, tertanam cinta yang rapi tersembunyi. Baik sang Guru maupun
sang murid tidak saling mengetahui bahwa mereka sebenarnya sama-sama mencintai
Suto dansama-sama merasa kehilangan pemuda itu.
Melihat termenungnya sang
Guru, Selendang Kubur segera ucapkan kata penuh hati-hati,
"Nyai Guru, siapa wanita
yang berjuluk Perawan Sesat itu sebenarnya, dan di mana ia tinggal, Guru?"
"Apa maksudmu bertanya
begitu, Selendang Kubur?"
"Saya harus pergi
menemuinya, membuat perhitungan dengannya, Guru. Saya harus menebus nyawa
saudara-saudara saya yang menjadi korban keganasan Perawan Sesat itu."
"Haruskah kita menebus
dendam berdarah ini, Selendang Kubur?"
Pertanyaan ini sungguh sulit
dijawab oleh Selendang Kubur.
Pandang matanya sesaat
menyirat ke wajah gurunya lalu tundukkan kepala lagi seraya berkata,
"Tidak ada darah yang
tidak membekas, Guru. Dan untuk menghilangkan darah itu hanya dengan pembalasan
setimpal, Nyai Guru."
Diam sekejap sang Guru sebelum
memperdengarkan suara lembutnya,
"Akan selesaikah masalah
yang dirampungkan dengan dendam dan pembalasan? Akan berhentikah pertikaian
yang dibayar dengan kesumat dendam, Selendang Kubur?"
Lirih suara Selendang Kubur
menjawab, "Tidak, Guru."
"Ya. Tidak akan
terselesaikan. Pasti akan berbuntut panjang. Dan itu akan menuntut kita untuk
lebih bermusuhan lagi."
"Tapi harga diri
perguruan tetap harus ditegakkan, Guru. Nama baik dan wibawa Nyai Guru sendiri
juga harus terjaga oleh sikap kita. Jika tak ada pembalasan datang dari kita,
maka hancur sudah citra perguruan dan terinjak-injak sudah wibawa serta
kehormatan Nyai Guru, yang menjadi ketua perguruan ini."
"Memang benar apa katamu.
Itu pula yang sedang kupertimbangkan sejak tadi. Dan aku belum mempunyai
keputusan, Selendang Kubur. Aku masih mencari sisi baik dari bencana ini."
"Guru terlalu
sabar," terdengar Selendang Kubur ucapkan kata dalam kebimbangan dan rasa
takut. Tapi Nyai Guru Betari Ayu hanya tersenyum tipis dan pahit.
Nyai Guru alihkan pandangan
sambil ia langkahkan kaki menuju ke taman. Selendang Kubur mengikutinya dengan
mulut tak terucap dalam waktu beberapa kejap. Setelah Nyai Guru berhenti di
sisi tanaman mawar berbunga ungu, Selendang Kubur beranikan diri ajukan pertanyaan.
"Sebenarnya apa
permasalahan yang membuat wanita gila berjuluk Perawan Sesat itu
mengobrak-abrik tempat kita, Guru?"
Sebelum lontarkan jawaban,
Nyai Guru tarik napas terpendam di dada. Ia tekan gemuruh yang hampir tak
terkendali di sela bayangan seorang pemuda tampan bergelar Pendekar Mabuk itu.
Kejap berikutnya Betari Ayu lepaskan kata,
"Titik masalahnya adalah
Suto."
Terperanjat Selendang Kubur
mendengar nama pemuda yang diincar hatinya disebut oleh sang Guru. Ketika sorot
pandang Selendang Kubur membentur tatapan wibawa sang Guru, terdengarlah kata
dari sang Guru yang menjelaskan maksud jawabannya tadi,
"Suto kutemukan terluka
parah di sebuah bukit. Aku segera membawanya kemari dan kurawat hingga sembuh.
Begitu Suto pergi, datang Perawan Sesat menuduhku menyembunyikan Suto. Lalu,
mengamuklah dia di sini, mencabut nyawa saudara-saudara seperguruanmu dengan
seenaknya saja. Beruntung nyawaku masih terlindung oleh kemunculan Suto yang
segera menyerang Perawan Sesat itu."
"Lalu, ke mana Suto sekarang,
Guru?"
"Terbujuk oleh omongan
Perawan Sesat. Suto pergi ke Bukit Garinda menemui gurunya Perawan Sesat yang
bergelar Nyai Lembah Asmara itu."
"Untuk apa Suto ke
sana?"
"Nyai Lembah Asmara
adalah perempuan sakti, keji, tapi mandul, ia hanya bisa memperoleh keturunan
dari benih lelaki tanpa pusar. Pendekar Mabuk itulah lelaki tanpa pusar. Nyai
Lembah Asmara akan menjadikan Suto sebagai lelaki pembenih, yang akan
menurunkan bibitnya kepada Nyai Lembah Asmara."
"Itu berarti Suto akan
kawin dengan Nyai Lembah Asmara?!"
Selendang Kubur ucapkan kata
dengan tegang. Sang Guru masih memberi jawaban dengan kalem.
"Setidaknya, Suto akan
dikuasai oleh Nyai Lembah Asmara dan dipaksa agar mau melayani hasratnya.
Padahal aku tahu persis, Nyai Lembah Asmara mempunyai racun yang tak dapat
dilawan dengan ilmu apa pun. Racun itu bernama Racun Darah Asmara. Racun itu
dipancarkan lewat sorot pandangan matanya. Siapa pun lelaki yang terkena sorot
mata beracun, bisa luluh hatinya dan terbuai jiwanya, serta terbakar birahinya.
Itulah kehebatan Racun Darah Asmara. Aku yakin, Pendekar Mabuk tak bisa
menghindari racun itu. ia akan tunduk dengan cinta dan rayuan Nyai Lembah
Asmara."
Terasa panas sekujur dada
Selendang Kubur, karena saat itu darah terasa mendidih. Terbayang kelicikan
Nyai Lembah Asmara yang akan mempengaruhi Suto dengan memakai racun berbahaya
itu. Maka tergugah pula dendam yang paling dalam, yaitu ingin menggempur
orang-orang Bukit Garinda, yang menjadi wilayah kekuasaan Nyai Lembah Asmara.
"Jika begitu, Guru,"
Selendang Kubur angkat bicara, "Saya akan gagalkan kunjungan Suto ke Bukit
Garinda. Saya akan cegah Nyai Lembah Asmara itu menggunakan racun
tersebut!"
"Jangan gegabah,
Selendang Kubur. Nyai Lembah Asmara bukan orang berilmu rendah. Tinggi ilmumu
hanya mencapai separo dari ilmunya. Kau tak mungkin sanggup mengunggulinya. Aku
sendiri merasa kalah tinggi dengan ilmunya."
"Saya tidak peduli, Guru!
Yang jelas, sekarang juga saya mohon pamit untuk pergi ke Bukit Garinda!"
Selendang Kubur berkobar-kobar
semangatnya. Mata jelinya menjadi nanar penuh kilasan lidah api amarah yang
berkobar-kobar di dalam hatinya. Napasnya pun kelihatan lebih memburu.
"Tahanlah amukan hatimu,
Selendang Kubur. Jangan mati konyol tanpa perhitungan sedikit pun!"
"Suto harus segera
diselamatkan, Guru! Saya sudah bisa bayangkan kalau Suto menanamkan benih pada
rahim Nyai Lembah Asmara, dan benih itu menjadi keturunan sang Nyai Lembah
Asmara, sudah pasti keturunan itu akan menjadi manusia tanpa tanding, Guru."
"Memang. Itulah sebabnya
Lembah Asmara tidak bisa punya keturunan, sebab satu kali dia punya keturunan
maka anaknya akan menjadi manusia tanpa tanding. Padahal Nyai Lembah Asmara
mempunyai aliran hitam. Tidak menutup kemungkinan kalau anaknya nantinya akan menjadi
orang sesat yang tidak bisa dikalahkan oleh pendekar mana pun!"
"Karena itu saya harus
segera gagalkan rencana tersebut, Guru!" sergah Selendang Kubur.
"Aku tak bisa memberi
keputusan sekarang. Biarkan aku duduk di sini merenungkan putusan yang lebih
baik."
Dalam hati Betari Ayu merasa
khawatir terhadap jiwa Selendang Kubur. Tinggal satu murid yang menjadi benteng
perguruannya. Jika Selendang Kubur tewas di tangan Nyai Lembah Asmara, habis
sudah benteng Perguruan Merpati Wingit. Tetapi sang Guru juga melihat nyala
dendam dan bela pati dari sang murid. Jika ia patahkan dengan larangan
berangkat ke Bukit Garinda, pupus sudah semangat sang murid, susut sudah jiwa
bela patinya, patah pula semangatnya.
"Haruskah kuturunkan ilmu
yang ada dalam Kitab Wedar Kesuma itu untuknya?" pikir Betari Ayu dalam
renungan panjangnya. Tapi, renungan itu terputus oleh kehadiran murid lainnya
yang memberanikan diri menghadap dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa kau menghadapku
dengan wajah pucat, Prahasti?"
"Guru, pedang pusaka
Jalaganda dicuri oleh Selendang Kubur dan dibawanya lari, Guru!"
Tersentak jantung Betari Ayu
mendengarnya, ia gumamkan kata :
"Jalaganda dicuri?
Selendang Kubur lari? Jelas, arahnya pasti ke Bukit Garinda. Anak itu tak bisa
dikekang amarahnya. Berbahaya sekali. Tidakkah ia sadari bahwa pedang Jalaganda
adalah pusaka yang hanya dipakai untuk pertarungan terakhir bagi orang yang
sudah bosan hidup? Memang orang yang menggunakan Jalaganda bisa memperoleh
kemenangan walau melawan seribu lawan, tapi selesai itu orang yang
menggunakannya akan mati. Jalaganda akan pulang sendiri ke tempatnya tanpa
pembawanya!"
Cemas hati Betari Ayu bagai
meruncingkan luka. Jalaganda bukan pedang sembarang pedang. Jalaganda merupakan
pedang warisan eyang guru dari Betari Ayu yang merupakan pedang kemenangan dan
kekalahan.
Hanya tokoh-tokoh tua zaman
dulu yang menggunakan pedang Jalaganda untuk bertarung, karena usai itu ia
sudah siap mati tanpa meninggalkan dendam lagi. Sedangkan Betari Ayu tidak
ingin satu-satunya murid andal yang tersisa itu mati bersama kemenangan pertarungannya.
Nyai Betari Ayu masih membutuhkan Selendang Kubur untuk tetap menghidupkan
perguruannya itu.
"Aku harus segera
menyusul Selendang Kubur. Aku tidak izinkan dia menggunakan pedang Jalaganda,
agar ia tak ikut punah seperti yang lainnya. Dialah yang akan kujadikan penerus
ilmu-ilmu Merpati Wingit dan mengembangkannya ke seluruh penjuru dunia,"
pikir Betari Ayu sambil berkemas mengenakan jubah kuningnya yang terbuat dari
kain sutera lembut dan tipis Ikat kepala dari tali merah berbintik-bintik kuning
keemasan, dengan kedua ujung terdapat logam runcing berbentuk mata tombak
kecil, yang bisa pula digunakan sebagai pengikat rambutnya yang panjang
digelung rapi di atas kepala, ia menarik napas beberapa kali.
Terasa enteng badannya. Terasa
sembuh betul luka-lukanya akibat minum tuak pemberian Pendekar Mabuk, sebelum
pemuda itu pergi bersama Perawan Sesat.
Kalau bukan karena pusaka
Jalaganda, Nyai Guru Betari Ayu tidak akan keluar dari padepokannya. Jalaganda
memang berbahaya. Selendang Kubur sendiri sebenarnya mengetahui akibat
penggunaan pedang pusaka Jalaganda. Tetapi agaknya ia sudah siapkan diri untuk
mati demi harga diri perguruannya.Gerakannya begitu cepat ketika ia menuju ke
arah Bukit Garinda. Pedang Jalaganda disarungkan di punggung, melintang dengan
gagahnya. Dalam hati Selendang Kubur terucap kata,
"Akan kutunjukkan pada
Suto, bahwa aku rela mati demi menyelamatkan dirinya dari Racun Darah Asmara.
Akan kubuktikan pula kepada Nyai Guru, bahwa aku rela hancur demi nama baik dan
kehormatan martabat perguruan. Tetapi... apakah Suto mau tahu dan mau percaya
bahwa semua ini kulakukan demi cintaku padanya? Sudah layakkah aku berkorban
untuk dia?"
Tiba-tiba tanah lereng yang
ada di depan Selendang Kubur itu longsor. Batu-batu besar yang ada di lereng
itu menggelinding bejtuhan ke arahnya. Selendang Kubur cepat jejakkan kaki dan
melenting di udara, hindari bebatuan besar yang bisa bikin tubuhnya gepeng
mirip tape.
"Tak mungkin batu itu
runtuh menggelinding sendiri," pikir Selendang Kubur setelah keadaan menjadi
tenang. "Tak mungkin tanah itu longsor sendiri tanpa ada getaran bumi
sedikit pun. Pasti ada orang yang sengaja mencelakai diriku."
Mata jeli itu menjadi makin
tajam, melirik ke sana- sini dengan liar. Sementara tubuh Selendang Kubur
bersembunyi di celah batu yang ada di seberang lereng yang tadi longsor
tanahnya. Tetapi untuk beberapa kejap hanya angin yang berhembus di
sekelilingnya. Tak ada gerakan yang mencurigakan, atau kelebatan yang menarik
perhatian.
Kejap berikutnya barulah
Selendang Kubur menangkap sosok bayangan lelaki berbaju merah dan bercelana
hitam. Serta-merta Selendang Kubur lancarkan pukulan jarak jauh dari tempat
persembunyiannya. Lelaki pendek sedikit gemuk itu tersentak kaget merasakan
hawa panas sedang mengalir menuju ke arahnya dari arah belakang. Cepat-cepat ia
balikkan tubuh dan menghadang pukulan hawa panas itu dengan satu sentakan
tangan kosong ke arah depan.
Rupanya ia sengaja adukan
pukulan tenaga dalamnya dengan hawa panas yang mau membokongnya itu. Kedua
pukulan tersebut beradu dan memancarkan kerlapan cahaya pijar yang begitu
menyilaukan mata. Pecahnya cahaya itu tidak menimbulkan bunyi, melainkan
mengguncangkan pepohonan yang ada di sekelilingnya.
"Siapa orang yang berani
membokongku itu?!" pikir lelaki bergelang akar bahar di tangan kirinya.
Matanya memandang tajam ke sekeliling, sampai akhirnya ia temukan sosok
perempuan muncul dari celah dua batu besar. Lelaki yang sudah dikenal Selendang
Kubur sebagai pelayan si Gila Tuak, gurunya Suto, yang berjuluk Pujangga Keramat
itu, segera serukan kata kemarahan,
"Selendang Kubur, kau
serang mengapa aku dari belakang?!"
Buat Selendang Kubur, dia
sudah tidak asing lagi mendengar ucapan aneh Pujangga Keramat. Sebab ia tahu
persis Pujangga Keramat adalah manusia yang tidakpernah bisa menyusun kalimat.
Dengan mudah Selendang Kubur mengerti maksud kata-kata Pujangga Keramat, ia
dekati lelaki itu dengan tenang, tiada gentar sedikit pun.
"Kau menyerangku lebih
dulu, Pujangga Keramat."
"Bilang siapa?! Aku
datang baru saja, kau serang aku tahu-tahu dari belakang! Maksud apamu,
hah?!"
Melihat kerut dahi dan
kecemberutan wajah Pujangga Keramat, Selendang Kubur temukan kejujuran kata
orang itu. Tapi dalam hati Selendang Kubur segera tanyakan pada diri sendiri,
"Lantas, siapa yang membuat lereng itu longsor dan batu-batu menggelinding
menyerangku jika bukan
Pujangga Keramat?!"
***2***
MELIHAT sikapnya tidak
bermusuhan, Pujangga Keramat pun ajukan tanya kepada Selendang Kubur,
"Selendang Kubur, kau tahukah di mana Pendekar Mabuk ada?"
"Ada perlu pentingkah kau
mencari Pendekar Mabuk, Pujangga Keramat?"
"Penting sangat! Ki Gila
Tuak mencari Suto surah aku. Ke mana-mana aku cari sudah dia, tapi kudengar
tidak kabarnya," kata Pujangga Keramat sambil ikuti langkah kaki Selendang
Kubur pelan-pelan. Mereka bagaikan jalan seiring melewati bekas longsoran
tanah.
"Aku dapat dari Ki Gila
Tuak pesan penting untuk Pendekar Mabuk," tambah Pujangga Keramat.
"Penting sekalikah
itu?"
"Penting biasa
luar!" jawab Pujangga Keramat dengan sedikit ngotot, yang maksudnya
menyatakan bawah pesan itu luar biasa penting. Kemudian, kejap berikutnya
Pujangga Keramat serukan kata lagi dengan semangat,
"Suto punya tugas satu
kerjakan ia belum. Pusaka Manik Intan yang ada di dasar telaga bersama Tuaknya
Setan itu, belum ambil ianya. Cemas Ki Gila Tuak jadinya. Takut ia kalau Pusaka
Manik Intan jatuh di orang-orang sesat tangan."
"Pusaka Manik
Intan?!" gumam Selendang Kubur sambil menghentikan langkah di luar
kesadarannya. Saat ia termenung memikirkan kabar itu, Pujangga Keramat sudah
ucapkan kata lagi,
"Ki Gila Tuak surah jaga
aku itu telaga, sampai datang Suto aku tak tahu. Karena itu aku carilah
dia!"
Selendang Kubur sendiri baru
ingat bahwa menurut kabarnya, Pusaka Tuak Setan itu terkubur di dasar telaga
bersama satu pusaka lagi milik Bidadari Jalang, yaitu Pusaka Manik Intan.
Sedangkan Bidadari Jalang juga merupakan gurunya Pendekar Mabuk yang dulu
sering tampil sebagai tokoh sesat, tapi sekarang sudah beralih ke golongan
putih sejak mempunyai murid Suto (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Bocah Tanpa Pusar").
Terawang ingatan Selendang
Kubur kepada Suto, bahwa Pendekar Mabuk itu beberapa kali ia temui tapitak
terlihat Cincin Manik Intan tersemat di jarinya. Itu pertanda Pusaka Manik
Intan belum ditemukan oleh Suto. Sedangkan Pusaka Tuak Setan telah tertelan
oleh Suto pada saat diperebutkan dari tangan si Mawar Hitam dari Pulau Hantu
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Selendang Kubur belum mengetahui hal itu, sehingga hatinya pun bertanya-tanya,
apakah Tuak Setan berhasil dilenyapkan oleh Suto, atau diminum oleh seseorang
dari golongan sesat?
"Selendang Kubur,"
ucap Pujangga Keramat lagi, "Jika tahu kau Suto di mana, tolong kasih aku
tahu tentang dianya. Dia harus cepat cari itu pusaka sebelum jatuh ke
orang-orang sesat tangan."
"Pujangga Keramat,
sebenarnya aku tahu di mana Pendekar Mabuk. Tapi keadaannya sangat tidak
memungkinkan untuk dihubungi secepat ini."
"Kasihlah tahu aku!"
desak Pujangga Keramat.
"Dia ada di Bukit
Garinda, sedang dalam bahaya. Aku sendiri sedang menuju ke sana untuk
membebaskan Suto dari rencana jahat Nyai Lembah Asmara, penguasa Bukit Garinda
itu!"
Pujangga Keramat kerutkan dahi
tajam-tajam. "Aku pernah seperti dengarnya itu nama Nyai. Kalau tak salah,
dia ratu keji dingin darah!"
"Memang benar! Menurut
keterangan dari guruku juga begitu. Tapi aku tak takut, Pujangga Keramat. Aku
tidak gentar. Aku harus bisa membebaskan Suto dari cengkeraman mesra Nyai
Lembah Asmara itu!"
"Oho, ada cengkeraman
mesra jugalah? Itu tanda cemburu kau padanya! He he he...!" Pujangga
Keramat terkekeh jelek, tapi tidak menyakitkan hati, hanya membuat Selendang
Kubur sunggingkan senyum malunya sedikit.
Pujangga Keramat goda hati
perempuan itu, "Ada hatilah kau padanya, Selendang Kubur?"
"Ya," jawab
Selendang Kubur singkat tapi tegas.
"Suto cintalah juga
dengan kau?"
"Aku tak tahu apakah dia
cinta juga padaku atau tidak, yang jelas aku tak rela kalau Pendekar Mabuk
berada dalam cengkeraman mesra Nyai Lembah Asmara! Lebih baik aku bertarung
sampai mati dengan nyai keji itu!" Selendang Kubur tak sadar ucapkan kata
dalam geram amarah tertahan.
"Kuingat-ingatkan, jangan
kaulah gegabah serang dia nyai! Kau bisa binasalah di tangannya, Selendang
Kubur," Pujangga Keramat tampakkan sikap bijaknya. Tapi Selendang Kubur
agaknya kurang peduli dengan saran itu, sehingga ia cepat ucapkan kata,
"Aku sudah siap mati
untuk Pendekar Mabuk!"
Pujangga Keramat
angguk-anggukkan kepala. Renungkan kata-kata itu beberapa saat sambil
melangkahkan kaki pelan-pelan, lalu pada kejap berikut dia berkata,
"Begitu kalau, ikut
sajalah aku ke sana! Sama-sama kita bebaskan Suto dari itu tangan nyai!"
"Kau mau ikut ke Bukit
Garinda?"
"Iyalah! Kupunya tugas
untuk Suto-nya sendiri!"
"Tapi bagaimana dengan
tugasmu menjaga ManikIntan itu?"
"Cepatlah aku pulangkan
telaga setelah selesai sampaikan pesan dari Suto gurunya."
Selendang Kubur tidak merasa
keberatan. Sekalipun susah diajak bicara, tapi Pujangga Keramat bisa menjadi
penambah kekuatan dalam penyerangan ke Bukit Garinda. Tetapi ada satu hal yang
membuat hati Selendang Kubur gelisah, ia menangkap suara napas orang dari suatu
persembunyian, ia pun bisikkan kata pada Pujangga Keramat,
"Tahukah kau ada yang
mengintai kita, Pujangga Keramat?"
"Ya, aku tahulah!"
jawab Pujangga Keramat dengan bahasa yang menurutnya sudah benar dan selalu
indah.
"Kita jebak dia, Pujangga
Keramat! Kita cepat menghilang di balik gerombolan bebatuan di sebelah kanan
sana."
Pujangga Keramat hanya
anggukkan kepala pelan. Kejap berikutnya dua tokoh itu jejakkan kaki dan
melesat cepat bagaikan terbang. Menghilang di balik gerombolan bebatuan yang menggugus.
Dari sanalah mata mereka saling berpencar, menyusuri tiap jengkal tempat dengan
liar.
"Ssst...!" colek
Pujangga Keramat. "Ke timur lihatlah!"
Selendang Kubur tetapkan
pandang matanya ke arah timur. Kepalanya kian tunduk merunduk. Di sana tampak
sosok tubuh sedikit gemuk berpakaian serba hitam. Tepian pakaian orang itu
dililit kain kuning emas kecil. Wajah orang itu berkumis dan bercambang tipis.
Matanya sedikit sipit memancarkan kebengisan. Sebuah pedang bersarung perak
berukir ada di pinggang kirinya. Pujangga Keramat kembali bisikkan kata,
"Ingatkah kau itu
orang?"
"Ya. Kalau tak salah dia
yang bernama Datuk Marah Gadai!"
"Dia yang intai kita tadi
sejak."
"Kurasa begitu. Tapi
untuk apa dia intai kita?"
"Tak tahu akulah!"
sambil Pujangga Keramat sedikit angkat kepala dan pundaknya tanda tidak
tahu-menahu maksud Datuk Marah Gadai.
"Kita sikat dia
sajalah!" bisik Pujangga Keramat lagi.
"Jangan dulu. Kita
kepingin tahu dulu, apa maksud dan tujuannya intai kita dari sana!" seraya
Selendang Kubur tahankan tangannya ke pundak Pujangga Keramat.
Datuk Marah Gadai salah satu
dari tokoh sakti yang ingin menguasai tanah Jawa kelihatan sedang mencari- cari
barang intaiannya. Ia berdiri di sebuah batu, terlindung semak ilalang tinggi
bagian depannya, ia tak tahu ada yang mengintainya dari samping kirinya.
Kejap berikutnya Datuk Marah
Gadai tampak kecewa. Kemudian ia tinggalkan tempat itu dalam satu lompatan
bertenaga ringan. Dan pada saat ia melesat pergi, tampak pula sosok bayangan
berpakaian hitam pula yang menyusul kepergiannya. Sosok yang menyusul itu
sempat tertangkap oleh mata Selendang Kubur. Hatinya mengucap kata bernada
heran,
"Dirgo Mukti...?! Untuk
apa dia menyusul Datuk Marah Gadai? Atau mungkin mereka memang bersepakat
mengintaiku dari kejauhan?"
Dirgo Mukti, seorang pemuda
tampan yang mengaku dirinya Manusia Sontoloyo. Selama ini, Selendang Kubur
mengira Dirgo Mukti tidak punya niat jahat kepadanya, selain niat ingin
mencicipi kehangatan tubuhnya dengan kenakalan hidung belangnya itu. Tapi
memang hal itu tak pernah diberikan oleh Selendang Kubur.
Dirgo Mukti yang pernah
menolongnya dari luka parah itu memang kecewa, tapi haruskah kekecewaan Dirgo
Mukti itu membuatnya bergabung dengan Datuk Marah Gadai dan bekerja sama untuk
menundukkan dirinya? Atau, mungkin memang sejak dulu mereka mempunyai jalinan
hubungan akrab yang baru sekarang diketahui Selendang Kubur?
Ternyata keadaan sesungguhnya
tidak seperti dalam kecamuk hati Selendang Kubur. Dirgo Mukti adalah Dirgo
Mukti, Datuk Marah Gadai adalah Datuk Marah Gadai. Mereka tak punya hubungan,
bahkan mereka belum saling kenal secara hadap-hadapan. Mereka hanya saling
kenal nama dari mulut ke mulut saja. Jika hari itu Dirgo Mukti melesat di
belakang Datuk Marah Gadai, itu hanyalah sesuatu yang bersifat kebetulan saja.
Kebetulan mereka sama-sama mendengar keterangan Pujangga Keramat tadi mengenai
cincin pusaka Manik Intan, sehingga di dalam hati mereka saling mempunyai
keinginan untuk memiliki cincin tersebut.
Dari balik persembunyiannya
tadi, Dirgo Mukti sempat menangkap adanya orang lain yang juga bersembunyi
mengintai Selendang Kubur. Pada awal tujuan Dirgo bersembunyi hanya untuk
menjaga keselamatan Selendang Kubur. Sebab bagaimanapun juga alotnya perempuan
itu, Dirgo Mukti masih punya gairah untuk bercumbu dengan Selendang Kubur.
Namun demi ia melihat orang
lain bersembunyi mengintai Selendang Kubur, ia jadi curiga. Lebih curiga lagi
setelah dengar pula penuturan dari Pujangga Keramat tentang pusaka cincin Manik
Intan itu. Ketika ia melihat lelaki sedikit gemuk itu melesat pergi, naluri
Dirgo mengatakan, bahwa lelaki itu pergi ke Telaga Manik Intan. Maka segera ia
ikuti kepergiannya. Karena tiba-tiba dalam pikiran Dirgo Mukti timbul niat
untuk memiliki pusaka tersebut .
Dirgo Mukti mendengar adanya
Pusaka Tuak Setan dan Pusaka Manik Intan dari gurunya. Konon, Pusaka Tuak Setan
mampu mengeluarkan badai yang dapat menyapu tanah Jawa dalam satu kali hembusan
napas seseorang yang telah meminumnya. Sedangkan Pusaka Manik Intan adalah
cincin yang bisa menyalurkan tenaga dalam seratus kali lipat dari tenaga dalam
yang dikeluarkan oleh pemakainya. Dalam pikiran Dirgo terbetik kata-kata.
"Kalau aku bisa memiliki
cincin itu, maka aku pasti bisa mengalahkan Pendekar Mabuk dalam pertarungan
bulan depan di Bukit Jagal. Dan kalau aku bisa mengalahkan Suto, maka sebagai
taruhannya Peri Malam akan tunduk kepada cintaku, mau menerimacintaku dan mau
kuajak tidur bersama sepanjang masa. Bisa tak bisa aku harus bisa mendapatkan
Cincin Pusaka Manik Intan itu!"
Memang benar pemikiran Dirgo
Mukti. Ia perlu memiliki cincin tersebut karena kekuatan dahsyat yang ada di
dalamnya. Cincin Pusaka Manik Intan adalah cincin yang bukan sembarang cincin.
Menurut penuturan para tokoh tua di rimba persilatan, cincin itu adalah jelmaan
dari air mata seorang bidadari yang menangis.
Karena dendam tak bisa
terlampiaskan, amarah bidadari itu hanya bisa tercurah dalam bentuk tangis. Air
mata itu menggumpal dan membeku keras menjadi batu, yang kemudian ditemukan
oleh tokoh sakti pada zaman dulu yang menjadi Guru dari si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang, yaitu pasangan suami-istri Eyang Purbapati dan Eyang Nini
Galih.
Karena pusaka itu berbahaya di
tangan Bidadari Jalang yang lebih sering mengumbar nafsu angkara murkanya, maka
si Gila Tuak bersepakat untuk saling menghancurkan atau menguburkan
pusaka-pusaka yang berbahaya bagi keselamatan orang banyak. Gila Tuak
menguburkan Pusaka Tuak Setan dan Bidadari Jalang menguburkan Pusaka Manik
Intan.
Dan inilah adalah siasat dari
Gila Tuak yang ingin mengurangi ilmu saudara seperguruannya itu agar kesesatan
langkahnya tidak terlalu banyak menimbulkan korban. Sebab jika Bidadari Jalang
memiliki cincin pusaka yang tercipta dari tetesan air mata bidadari murka itu,
maka habis sudah seluruh penduduk bumi ini dibinasakan oleh kemurkaannya.
Tetapi sejak Bidadari Jalang
mengangkat Suto sebagai muridnya juga, setelah banyak ilmunya diturunkan kepada
bocah tanpa pusar itu, maka persoalan Cincin Manik Intan diserahkan sepenuhnya
kepada Suto. Bidadari Jalang tidak mau peduli apakah cincin itu akan
dimusnahkan atau dipakai sendiri oleh Pendekar Mabuk, yang penting jangan
sampai jatuh ke tangan orang-orang sesat. Memang, si Gila Tuak menyarankan agar
cincin itu ikut dimusnahkan saja.
Tapi agaknya cincin itu punya
pertalian jiwa dengan Pusaka Tuak Setan. Di mana Tuak Setan berada di situ pula
cincin itu tinggal. Padahal Tuak Setan ada di dalam tubuh Pendekar Mabuk,
apakah cincin itu juga harus berada di antara jari tangan Pendekar Mabuk?
Yang jelas cincin itu sekarang
sedang Malam incaran Datuk Marah Gadai. Dalam hati orang yang dari dulu
mengejar-ngejar Pusaka Tuak Setan itu berkata,
"Tak kuperoleh Pusaka
Tuak Setan, asalkan Pusaka Cincin Manik Intan itu kudapatkan, puaslah hatiku!
Sungguh aku tak menyangka kalau cincin itu masih ada di dasar telaga. Tempo
hari aku mencarinya sampai susah payah, belum juga kutemukan. Kupikir telah
diambil oleh Suto Sinting, ternyata menurut keterangan pelayan si Gila Tuak
tadi, cincin tersebut masih ada di dasar telaga. Sampai sehari penuh harus
berendam pun, aku tak merasa keberatan!"
Namun baru saja Datuk Marah
Gadai pijakkan kakinya di tanah tepi telaga, tahu-tahu hatinyadikejutkan oleh
munculnya sesosok pemuda tampan yang melompat bagaikan terbang melalui atas
kepalanya. Pemuda itu mendaratkan kakinya tepat di depan Datuk Marah Gadai
dalam keadaan memunggungi. Jaraknya antara lima langkah. Pemuda bersenjata
kapak dua mata itu tak lain adalah Dirgo Mukti yang mengangkat diri sebagai
Manusia Sontoloyo.
Dirgo Mukti segera balikkan
badan menjadi saling berhadapan dengan Datuk Marah Gadai. Orang yang usianya
antara sepuluh tahun lebih tua darinya itu segera kerutkan kening sambil
usapkan kumis sedikit. Dadanya terbusung ke depan dengan kepala sedikit ditarik
ke belakang, lalu melontarkan tanya dengan suaranya yang tergolong besar,
"Siapa kau, Anak
Muda?!" tanya Datuk Marah Gadai dengan lagak bijaknya.
"Rupanya kau tokoh baru
di rimba persilatan ini, sehingga tidak mengenali diriku!" kata Dirgo
Mukti dengan angkuhnya.
Datuk Marah Gadai serukan tawa
bernada mengejek. "Kau itu anak ingusan, mana mungkin aku mengenalimu?
Bukan karena aku tokoh baru di dunia persilatan, tapi karena kau terlambat
muncul karena masih menetek ibumu, jadi aku tidak mengenalimu!"
"Bicaralah dengan tutur
kata yang baik dan sopan, Pak Tua!"
Makin terkekeh geli Datuk
Marah Gadai dipanggil dengan sebutan 'pak tua'. Baginya itu panggilan yang
belum waktunya muncul. Tapi karena yang menyerukan adalah mulut bocah ingusan,
Datuk Marah Gadai pun merasa tidak perlu mempermasalahkannya. Yang menjadi
masalah adalah maksud dan tujuan anak muda di depannya itu.
"Sebutkan namamu atau
kuhabiskan nyawamu sekarang juga?" Datuk mulai mengawali ancamannya dengan
sudut mata menatap bengis.
"Kurasa kau tak perlu
mengancam Dirgo Mukti yang sudah kesohor kesaktiannya ini, Pak Tua! Tentunya
kau pun pernah mendengar gelar kejayaanku sebagai Manusia Sontoloyo, yang
merupakan satu-satunya tokoh tangguh yang sulit ditumbangkan!"
"Ha ha ha ha.... Manusia
Sontoloyo! Nama baru yang benar-benar nama untuk orang loyo. Ha ha ha...!"
"Tutup mulutmu, Kambing
tua!" sentak Dirgo Mukti dengan mata menatap tajam.
Tetapi sentakannya itu tidak
membuat Datuk Marah Gadai hentikan tawanya, melainkan justru pertambah keras
tawanya yang bergelak-gelak itu. Dirgo Mukti menggeram sambil keraskan kepalan
tangannya.
Kejap berikutnya, Datuk Marah
Gadai ucapkan kata,
"Dirgo Mukti, seharusnya
kau berhati-hati dalam bicara dengan Datuk Marah Gadai ini!" sambil Datuk
tepukkan dada sendiri.
Dirgo Mukti sedikit picingkan
mata pertanda pikirkan sesuatu, ia pernah mendengar nama Datuk Marah Gadai,
tapi bukan dari gurunya, melainkan dari mulut Selendang Kubur. Seingatnya,
Selendang Kubur pernah menceritakan bahwa orang yang bernama Datuk MarahGadai
itu juga tokoh sakti yang sukar ditumbangkan. Hal itu membuat Dirgo Mukti ingin
sekali menjajalnya.
Datuk berkata lagi,
"Ketahuilah, Dirgo Mukti, Datuk Marah Gadai adalah orang yang sulit
memberikan ampunan bagi lawannya. Jadi kusarankan cepat angkat kaki dari
depanku jika kau punya maksud memusuhiku, Sontoloyo!"
Dirgo Mukti sunggingkan senyum
sinisnya. 'Tidak ada aturan mundur dalam sejarah kependekaran Dirgo Mukti!
Apalagi aku tahu maksudmu datang ke telaga ini, yaitu ingin mendapatkan Pusaka
Cincin Manik Intan! Hhmm...! Tak akan kubiarkan pusaka itu jatuh ke tanganmu,
Datuk Marah Gadai!"
Tadi, ketika Dirgo menyebutkan
Cincin Manik Intan, mata Datuk Marah Gadai terperanjat sekejap. Perasaan
bermusuhan tiba-tiba meletup keras di hatinya, sebab Dirgo Mukti adalah orang
pertama yang dianggapnya jadi penghalang niatnya yang sudah yakin bahwa cincin
itu masih ada di dasar telaga. Karena itu, Datuk Marah Gadai pun segera
kepalkan kedua tangannya dan berkata geram,
"Jangan harap kau
bernapas esok pagi jika kau ingin menguasai cincin pusaka itu juga,
Sontoloyo!"
"Buktikan omonganmu! Aku
ingin menakar seberapa tinggi ilmu yang kau miliki sebenarnya, Datuk Marah
Gadai!"
"Kurang ajar! Anak
kambing muda berani menantangku?! Hiih...!"
Datuk Marah Gadai melancarkan
pukulan jarak jauh dengan sentakkan tangan kirinya ke depan. Tapi Dirgo segera
hentakkan kakinya dan melesat terbang ke arah Datuk Marah Gadai dengan kaki
miring melayang. Datuk Marah Gadai segera silangkan tangan di atas kepala untuk
menangkis tendangan kaki lawannya. Plakkk...! Kaki tertangkis, tangan kanan
Datuk Marah Gadai menghentak tepat mengenai dada si Manusia Sontoloyo. Blegh...!
.
"Hegh...!"
Dirgo Mukti tersentak dengan
napas tertahan, ia tak menyangka pukulan Datuk Marah Gadai begitu keras, berat,
dan cepat. Tubuhnya terlempar cukup jauh dari pukulan itu. Datuk Marah Gadai
segera melompat mengejar Dirgo Mukti yang terjerembab dalam jarak sepuluh
langkah darinya. Sebuah pukulan jarak jauh dihantamkan oleh Datuk Marah Gadai
membuat Dirgo Mukti terpaksa melesat j^uh lagi untuk menghindari.
Ketika mereka baku hantam di
sebelah sana, diam- diam seseorang yang telah mendengar percakapan tadi masuk
ke dalam telaga. Melihat cara menceburkan diri ke tengah telaga tanpa suara
sedikit pun, jelaslah dia orang berilmu tinggi. Air pun tak memercik banyak.
Jelas pula orang itu mengincar Pusaka Cincin Manik Intan.
***3***
CAHAYA pagi menerobos dedaunan
hutan. Pendekar Mabuk berlari sambil memanggul Perawan Sesat yang terluka parah
karena pukulannya. Pendekar Mabuk terpaksa berhenti sejenak untuk memeriksa
luka dalam Perawan Sesat itu. Ternyata keadaan bertambah membahayakan jiwa
perempuan yang berambut acak- acakan itu.
"Perjalanan ini tak bisa
dilanjutkan," pikir Suto. "Bisa-bisa perempuan ini mati sebelum
kutemukan daerah yang bernama Bukit Garinda. Aku harus berusaha menyembuhkannya
dulu. Kalau dia mati, aku akan kehilangan jejak tentang tempat tinggal
kekasihku, Dyah Sariningrum."
Suto memang tidak tahu bahwa
dirinya telah dikelabui oleh Perawan Sesat. Rasa cinta Suto kepada seseorang
yang bernama Dyah Sariningrum dijadikan kesempatan melumpuhkan amukan Suto pada
saat geger di Perguruan Merpati Wingit. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Perawan Sesat"). Suto Sinting percaya, bahwa Perawan Sesat
diutus oleh gurunya untuk membawa Suto ke Bukit Garinda, dan gurunya itu
bernama Dyah Sariningrum.
Suto memang tak pikir-pikir
lagi begitu mendengar nama Dyah Sariningrum disebutkan. Bahkan ia sendiri yang
mendesak Perawan Sesat agar segera dibawa ke Bukit Garinda. Karenanya, walau
susah payah ia harus menggendong Perawan Sesat yang terluka oleh pukulan tabung
tuaknya, Suto merasa masih punya tenaga untuk berlari satu hari satu malam
lagi.
Sayang, hal itu tidak bisa ia
lanjutkan mengingat keadaan Perawan Sesat kian bertambah parah.
Sekujur tubuh Perawan Sesat
bukan hanya pucat kebiru-biruan, tapi juga mengeluarkan bintik-bintik merah
dari setiap pori-porinya. Ini yang mencemaskan Suto. Sebab dia tahu pukulan
jurus 'Bumbung Bernyawa' itu punya akibat sangat buruk bagi orang yang ilmu
tenaga dalamnya tidak terlalu tinggi. Darah bisa memercik keluar dari pori-pori
tubuh, dan orang itu akan menemui ajal secara mengerikan.
Baru saja Suto Sinting yang
berpakaian coklat tua dengan celana putih itu ingin melakukan penyembuhan
terhadap luka Perawan Sesat, tiba-tiba ia dikejutkan dengan hembusan angin
cepat di arah belakangnya.
Hembusan angin itu dirasakan
bukan hembusan angin sembarangan. Cepat pula Pendekar Mabuk kibaskan bumbung
tuaknya ke belakang sambil putar tubuhnya. Wuuut... !
"Aahg...!"
Kibasan angin bumbung itu
membuat seseorang bertubuh kurus kering terpental jatuh ke belakang dalam jarak
empat langkah. Orang itu menyeringai memegangi pinggangnya yang terasa mau
patah itu. Ia bangkit dengan menggeliat sakit dan menggerutu,
"Sial! Begitukah
sambutanmu kepada orang yang tidak memusuhimu, Suto?"
"O, maafkan aku, Peramal
Pikun! Kukira kau musuh yang ingin memukulku dari belakang!"
Peramal Pikun, orang yang
sudah berambut ubanmerata dengan alis dan jenggotnya pun putih semua, sedikit
terpincang-pincang mendekati Suto. Dari mulut tuanya masih mengeluarkan gerutuan
yang membuat Pendekar Mabuk jadi tersenyum geli,
"Aku tak pernah membokong
musuhku, kecuali kepepet!"
Peramal Pikun hentikan langkah
setelah jaraknya hanya dua tindak dari Suto. Matanya terkesiap sekejap ketika
memandang sosok tubuh Perawan Sesat yang dibaringkan oleh Pendekar Mabuk di
rerumputan. Kejap berikutnya orang tua kurus kering itu terkekeh dalam tawanya,
sambil ia lirikkan mata kepada Suto dengan menggoda,
"He he he... aku tahu,
aku tahu! Kau ingin perkosa gadis ini, bukan? He he he boleh!" Peramal
Pikun manggut-manggut. "Menurut ramalanku,kau akan berhasil perkosa gadis
ini, Suto. Lakukanlah, aku bersembunyi dulu!"
Cepat tangan Pendekar Mabuk
menarik kain pembalut tubuh Peramal Pikun di bagian pundak. Bett...! Langkah
lelaki tua yang mirip tulang dibungkus kulit itu jadi berhenti. Wajahnya
dipalingkan ke belakang dengan malu-malu. Suto tersenyum dan berkata,
"Tetaplah di sini! Aku
tidak akan perkosa dia. Dia pingsan. Kalau dia tidak pingsan, mungkin aku yang
akan diperkosanya, atau barangkali kau juga, Pak Tua!"
"Aku...?! O, itu tidak
mungkin. Aku sudah tidur semalaman dengan Perawan Sesat ini dalam sebuah gua,
tapi dia agaknya tidak berminat menikmati tubuh kurusku ini!"
"Kau sudah bersamanya
sebelum ini?"
"Ya. Dia yang desak aku
dan ancam aku untuk menunjukkan di mana dirimu berada. Dia memang ingin sekali
bertemu denganmu. Lalu, kami berpencar, aku ke utara dan dia ke selatan.
Rupanya dia yang beruntung, bisa bertemu denganmu. Tapi..., oh, ya... kenapa ia
pingsan, Suto?"
"Terkena pukulanku!"
jawab Suto sambil membuka tutup bumbung tuaknya, ia menenggak beberapa teguk
ketika Peramal Pikun bertanya,
"Apakah lukanya
parah?"
"Sangat parah. Karena itu
aku membutuhkan tempat untuk menyembuhkan luka-lukanya. Aku tahu, pukulan itu
sebentar lagi akan membuat ia semaput!"
"Lalu, kenapa kau ingin
menyembuhkannya? Bukankah kau yang telah memukulnya dengan sengaja?"
"Ya. Tapi aku waktu itu
tidak tahu, bahwa ia akan membawaku kepada seseorang yang menjadi kekasihku, yaitu
orang yang bernama Dyah Sariningrum!"
Terkesiap mata Peramal Pikun
seketika itu juga. Terperanjat ia dalam kejut tertahan. Ada napas yang
ditariknya satu sentakan. Dan pada saat itu, Suto melihat ada darah mengalir
keluar dari lubang telinga Peramal Pikun. Keluarnya darah itu pernah dilihat
oleh Suto beberapa waktu yang lalu, ketika, ia menyebutkan nama Dyah
Sariningrum (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara
Gila").
Melihat keanehan itu, hati
Suto jadi bertanya-tanya,"Mengapa tiap kali kusebutkan nama Dyah
Sariningrum telinga Peramal Pikun itu jadi berdarah?! Wajahnya pun kulihat
terperanjat dan sorot matanya secepatnya beralih pandang ke arah lain. Dalam
indera penglihatanku, ada rasa takut dan waswas dalam hati Peramal Pikun jika kusebutkan
nama perempuan yang sangat kurindukan dan ingin kutemui itu. Mengapa ia begitu?
Pasti ada rahasia aneh yang tersimpan dalam olehnya."
Darah itu hanya menggumpal di
tepi lubang telinga Peramal Pikun. Tapi agaknya Peramal Pikun tidak menyadari
atau memang berpura-pura tidak mengetahui keluarnya darah kental itu. Bahkan
Peramal Pikun segera alihkan pembicaraan kepada masalah lukanya Perawan Sesat
itu .
"Suto, kalau kau butuh
tempat unttik mengobati perempuan ini, bawalah dia ke pondokku yang kebetulan
tak jauh dari sini!"
"Ada siapa saja di
pondokmu itu, Peramal Pikun?"
"Tak ada siapa pun selain
diriku!" jawab Peramal Pikun.
"Baiklah. Tapi sebelum
itu aku ingin ajukan satu pertanyaan tentang kekasihku yang...."
"Ikutilah aku!"
potong Peramal Pikun, ia segera menjejakkan kaki ke tanah dan tubuh kurusnya
melenting di udara, melesat ke arah tikungan jalan.
Suto terkesiap sejenak, lalu
bergegas mengangkat tubuh Perawan Sesat dan membawanya lari menyusul Peramal
Pikun.
Pendekar Mabuk memang sangat
penasaran dengan perempuan cantik idaman hatinya yang ia temukan dalam
semadinya di dalam gua, tempat tinggal gurunya. Kalau saja waktu ia bersemadi
sukmanya tidak dipakai melayang ke mana-mana, hanya khusus untuk mencari Pusaka
Tuak Setan, mungkin ia tak sempat jumpa dengan perempuan cantik bernama Dyah
Sariningrum.
Tetapi menurut si Gila Tuak,
gurunya itu, jika Suto sempat bertemu dengan perempuan dalam semadinya, maka
perempuan itulah yang kelak menjadi jodoh Suto dalam waktu yang tak terbatas.
Tapi di mana Dyah Sariningrum berada, sampai saat ini Pendekar Mabuk belum bisa
menemukan tempatnya yang pasti. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pusaka Tuak Setan")
Satu-satunya orang yang
dianggap m^mpu menjadi penunjuk jalan untuk menemukan tempat tinggal Dyah
Sariningrum adalah Peramal Pikun. Hanya orang kurus kering itulah yang menjadi
satu-satunya orang yang dicurigai Suto telah menyimpan rahasia tentang jati
diri kekasih idaman hatinya itu.
Tapi agaknya tak mudah mengorek
keterangan dari mulut Peramal Pikun mengenai Dyah Sariningrum. Karena setelah
mereka tiba di pondok tempat bernaungnya Peramal Pikun, lelaki tua renta itu
langsung mengajaknya bicara mengenai kesaktian dan kehebatan ilmu-ilmu yang
dimiliki Perawan Sesat itu.
"Aku tahu dia punya guru
yang sangat tinggi ilmunya," kata Peramal Pikun."Apakah gurunya itu
yang bernama Dyah Sariningrum?!" pancing Suto, tapi Peramal Pikun tidak
menjawab. Hanya tubuhnya kentara sedikit mengalami sentakan halus. Kemudian
kembali telinganya tampak mengeluarkan darah tak banyak. Peramal Pikun pun
kembali alihkan bicara,
"Lakukanlah penyembuhan
dengan segera, sebelum nyawa perempuan liar ini melayang. Agaknya dia memang
orang yang kau butuhkan. Dia bisa membantumu."
"Kau yakin begitu?"
"Tidak," jawab
Peramal Pikun sambil keluar dari pondoknya yang beratap rumbia, yang terletak
di tengah kerimbunan hutan liar.
Malam mulai datang. Cahaya
purnama berpendar di atas memandangi bumi. Sejenak Pendekar Mabuk ingat janji
pertarungannya dengan Manusia Sontoloyo pada purnama kedua nanti. Tapi untuk
sementara ia kesampingkan dulu tantangan Dirgo Mukti tersebut, ia masih
membutuhkan pemusatan pikiran untuk penyembuhan luka Perawan Sesat.
Ketika malam semakin kelam,
selesai sudah penyembuhan yang dilakukannya terhadap Perawan Sesat. Suto
tinggal menunggu perempuan itu siuman. Untuk membuang rasa penat di dalam
pondok berdinding anyaman pandan itu, Suto melangkah keluar. Ditatapnya Peramal
Pikun yang duduk di atas sebuah batu, lima langkah dari pondoknya, merenung
sambil dongakkan kepala, bak sedang mengamati indahnya
rembulan.
Pendekar Mabuk mendekatinya
sambil menenteng bumbung tuak yang tak pernah jauh dari jangkauannya itu. Ia
duduk di batang pohon kering yang tumbang miring. Di sana ia teguk tuaknya
beberapa kali, kemudian ia segera ajukan tanya kepada Peramal Pikun,
"Aku ingin sekali
mengetahui suatu rahasia yang amat penting bagi hidupku. Maukah kau
menjawabnya?"
Peramal Pikun tidak menjawab,
melainkan justru bertanya, "Bagaimana keadaan Perawan Sesat itu?"
"Sudah membaik. Sebentar
waktu dia akan siuman."
"Dia cantik. Kau sepaham
dengan pendapatku?"
"Ya. Memang cantik. Tapi
jiwanya liar dan buas."
"Itulah yang amat
kusayangkan. Barangkali memang begitulah perangai jati dirinya yang tak bisa
dipungkiri lagi. Sebagai orang tua, aku menaruh rasa kagum terhadap keberanian
dan jiwanya. Dia pemberani dan tegas, pendiriannya sekeras batu gunung! Tak ada
ruginya punya istri macam dia."
Suto hanya sunggingkan senyum
malas. Sepertinya ia tidak tertarik dengan percakapan itu. Tapi demi
menyenangkan hati si kurus kering itu, Suto tetap mendengarkan kata-katanya.
"Perempuan itu bukan
hanya bisa melindungi dirinya sendiri, tapi juga akan bisa melindungi suami dan
anak- anaknya kelak. Semangat cintanya pun menggebu-gebu. Menurut ramalanku,
dia seorang perempuan yang mempunyai kehangatan cinta yang akan berkobar
sepanjang masa."
Sekali lagi Suto sunggingkan
senyum dan lontarkan tawa pendek serta pelan, ia tidak kasih ulasan, sehingga
Peramal Pikun segera ajukan pertanyaan,
"Apa kau tidak tertarik
padanya, Suto?"
"Tidak!" jawab
Pendekar Mabuk tegas.
"Jangan lihat liarnya,
tapi lihatlah hasil akhirnya nanti!"
Suto makin kekehkan tawa geli.
"Aku tak ada minat sedikit pun untuk jatuh cinta kepada perempuan lain,
kecuali kekasihku yang...."
"Hentikan!" sergah
Peramal Pikun dengan wajah tegang dan bersungguh-sungguh. Bahkan ia cepat
berdiri dengan tutupkan telinga memakai kedua tangannya. Suto memandang dengan
heran. Sebelum lontarkan tanya, Peramal Pikun sudah lebih dulu bicara .
"Jangan sebut lagi nama
itu!"
"Kenapa?"
"Kali ini aku bisa marah
jika kau sebutkan nama orang yang kau rindukan itu!"
"Aku butuh alasan, Peramal
Pikun!"
"Tidak ada alasan!"
"Kau membuatku
bingung!"
"Tidak perlu bingung! Aku
hanya minta, jangan sebut nama itu. Tak sulit menuruti permintaanku,
bukan?!"
Suto menarik napas panjang.
Ketegangan yang terjadi ingin diredakan kembali. Untuk itu Suto tak berani
mendesak Peramal Pikun lagi, dan dia memilih diam adalah yang terbaik untuk
suasana malam itu. Hening pun menembus hati sanubari mereka
masing-masing,sehingga Peramal Pikun mendahului bicara.
"Sejak kapan kau kenal
perempuan yang menjadi idaman hatimu itu, Suto?"
"Sejak kutemukan dia,
Peramal Pikun!" jawab Suto kalem.
"Di mana kau temukan
dia?"
"Di alam semadiku!"
Terkesiap mata Peramal Pikun
menatap wajah Suto dalam cahaya rembulan malam,. Suto diam saja walau tahu
dipandang dalam keheningan. Lama kemudian Peramal Pikun kembali bertanya,
"Sejauh mana kau bertemu
dengan dia di alam semadimu?"
"Hanya sekadar pertemuan
biasa. Dia menangis memandangiku. Dia sebutkan namanya tiga kali, seakan mengharap
kehadiranku. Dan aku tak sadar, ternyata aku telah melelehkan air mata
darah."
Sekali lagi wajah Peramal
Pikun terperanjat mendengarnya. Mulutnya sedikit ternganga bengong, seakan tak
bisa dipakai bicara.
Pendekar Mabuk tetap tenang,
ia meneguk tuaknya dua kali tegukan, kemudian menghempaskan napas lewat mulut,
pertanda menikmati rasa enak dalam kecapan rasa tuaknya. Pada saat itulah
terdengar suara Peramal Pikun berkata pelan,
"Barangkali memang kaulah
orang yang ditunggu- tunggunya!"
"Tapi aku tak tahu siapa
dia dan di mana dia berada! Aku tak bisa menemukan arah tempat tinggalnya.
Danaku yakin, kau pasti banyak tahu tentang dia, Peramal Pikun. Aku berharap
kau mau menolongku menunjukkan di mana dia tinggal."
Setelah bungkam sejenak,
Peramal Pikun ucapkan kata pelan lagi,
"Aku tak berani,
Suto!"
"Maksudmu bagaimana,
Peramal Pikun?"
"Aku tak berani tunjukkan
di mana dia berada."
"Kenapa?"
"Aku takut dia
murka!"
"Murka kepadaku atau
kepadamu?"
"Kepadaku!"
"Mengapa di murka?"
desak Pendekar Mabuk semakin penasaran.
"Karena...,"
Peramal Pikun berhenti bicara,
ia melirik ke kanan-kiri, takut ada yang mencuri dengar percakapan itu. Dan
ternyata dugaannya benar. Memang ada yang mencuri dengar. Peramal Pikun segera
menjebaknya dengan kata-kata,
"Kalau sudah merasa enak
badanmu, keluarlah Perawan Sesat! Duduklah di sini bersama kami!"
Perawan Sesat sudah sembuh.
Badannya terasa lebih segar dari sebelum ia jatuh terluka parah. Perempuan
berambut acak-acakan lurus berkesan jabrik itu segera langkahkan kaki keluar
dari pondok. Merasa sedikit malu karena perbuatannya diketahui oleh Peramal
Pikun.
Pendekar Mabuk memandang
kehadiran Perawan Sesat yang berpakaian ketat. Dalam cahaya rembulan, wajah
Perawan Sesat semakin cantik, menggairahkan lelaki. Peramal Pikun terkekeh
lirih bagai gumam melihat kehadiran Perawan Sesat yang kelihatan segar itu.
Walau tak ada senyum di
wajahnya, tapi menurut pandangan dua mata lelaki yang ada di situ, Perawan
Sesat memang bisa membuat pikiran setiap lelaki menjadi sesat karena daya
tariknya. Namun di balik semua dugaan itu, justru Perawan Sesat dalam hatinya
memuji dan mengagumi wajah tampan yang dimiliki Suto Sinting itu.
Ada rasa kecewa terselip di
hati Suto, karena kehadiran Perawan Sesat membuat penjelasan rahasia dari mulut
Peramal Pikun itu terputus. Tetapi, Suto yakin dia akan memperoleh keterangan
lebih lanjut setelah Perawan Sesat pergi tidur. Mungkin setelah hari melewati
pertengahan petang nanti.
"Ada di mana aku
ini?" tanya Perawan Sesat.
"Di pondokku," jawab
Peramal Pikun.
"Siapa yang membawaku
kemari?"
"Aku," jawab Suto
tegas dengan pandangan mata mendebarkan hati. Namun Perawan Sesat tak mau
tunjukkan debaran hatinya, ia tetap berwajah angkuh dan berkesan dingin.
"Kau telah menyerangku
dan membuatku hampir mati?!"
"Ya!"
"Lalu siapa yang
sembuhkan lukaku?"
"Aku juga!"
"Kenapa kau sembuhkan
aku?"
"Iseng-iseng saja,"
jawab Suto dengan santai,berkesan menyepelekan pertanyaan itu.
Cepat sekali kaki Perawan
Sesat berkelebat menampar pipi Suto. Cepat pula tangan kanan Pendekar Mabuk
berkelebat naik sampai telapak tangannya yang merapatkan jari itu berhenti di
depan pipinya. Kaki yang sudah meluncur itu membalik sebelum menyentuh tangan
Pendekar Mabuk. Hampir membuat Perawan Sesat terpelanting jatuh kalau tidak segera
ditopang oleh tangan kurus Peramal Pikun.
"Jangan coba-coba
meremehkan aku!" hardiknya kepada Suto.
"Perawan Sesat, kau ini
sudah diselamatkan nyawamu oleh Suto. Bukannya berterima kasih malah
mengancam!" tukas Peramal Pikun. Perawan Sesat menuding tegas di depan
hidung Peramal Pikun,
"Kau jangan turut campur
urusanku kalau mau punya umur panjang!"
Peramal Pikun dan Pendekar
Mabuk justru terkekeh geli melihat kegalakan perempuan yang tadi hampir mati
itu. Perawan Sesat menggeram gemas.
***4***
CEPAT sekali Perawan Sesat
berlari dalam satu lompatan demi lompatan bertenaga ringan, ia sengaja menyuruh
Suto mengikuti arah kepergiannya dengan maksud untuk mengukur kecepatan gerak
Suto dibandingkan dirinya. Perawan Sesat tetap menunjukkan kekerasan jiwanya,
dan tak mau menampakkan rasa tertariknya kepada Pendekar Mabuk. Bahkan ia
sering unjuk ilmu kepada Suto, yang oleh Suto hanya ditertawakan dalam hati.
Seperti kali ini, ia berlari
cepat sekali bagaikan kilasan anak panah yang kecepatannya tak mampu diikuti
oleh pandangan mata. Ia sengaja menyuruh Suto mengikutinya dan ia yakin Suto
kebingungan mengikuti gerakannya.
Pada satu tempat rindang,
Perawan Sesat sengaja berhenti dan berpaling ke belakang, ia tidak melihat Suto
di sana. Ia tertawa sendiri merasa berhasil memperdaya Suto sehingga pria
tampan bertubuh kekar itu tidak mampu mengikuti kecepatan geraknya. Perawan
Sesat pun berseru,
"Hoi, Suto...! Ayo lekas
susul aku! Jangan seperti pengantin sunat langkahmu, Suto!"
Terdengar jawaban agak jauh,
"Aku di sini, Perawan Sesat!"
Seketika itu juga Perawan
Sesat terperanjat kaget. Ia palingkan wajah ke arah depan. Ternyata Pendekar
Mabuk sudah berdiri di atas sebuah pohon kira-kira dua puluh langkah lebih dulu
darinya. Suto berdiri sambil bersandar pada sebatang pohon. Senyumnya mekar di
wajah tampannya, yang membuat Perawan Sesat menggeram gemas sekali.
"Edan! Ternyata dia lebih
cepat dariku! Dia sudah ada di depanku...! Malu aku kalau tidak bisa melecehkan
dirinya!"
Wuuut...! Perawan Sesat
melompat satu jejakan kaki. Tubuhnya sudah mencapai tempat di mana Pendekar
Mabuk berdiri sambil menenggak tuaknya. Mata Suto sudah mulai memerah, tanda
mulai dihinggapi perasaan mabuk. Tetapi agaknya Suto Sinting tetap mampu
mengendalikan segala rasa dan pikiran, bahkan tampak lebih tajam dari sebelum
ia dikuasai oleh kemabukannya.
"Apakah arah Bukit
Garinda masih jauh?" tanya Suto.
"Masih beberapa hari
lagi," jawab Perawan Sesat. "Kalau kita tempuh dengan kecepatan lari
seperti tadi, mungkin hanya memakan waktu sehari semalam. Kita harus bisa
tempuh dengan kecepatan siluman!"
"Apa itu kecepatan
siluman?" Suto kerutkan dahi mirip orang tolol. Sikapnya membuat Perawan
Sesat tertawa mirip kuntilanak. Tawa bersuara serak itu terhenti, dan berganti
kata-kata yang tetap bersuara serak-serak basah,
"Kecepatan siluman adalah
kecepatan batin yang tidak menggunakan otot tubuh kita. Seperti misalnya kita
akan mencapai gundukan tanah yang membukit itu, kita tak perlu berlari cepat
seperti tadi. Cukup dengan satu kedipan mata sudah bisa sampai ke puncak
gundukan tanah itu. Contohnya seperti ini...!"
Perawan Sesat segera tunjukkan
kebolehan ilmu silumannya, ia memejamkan mata sambil menarik napas
panjang-panjang. Dadanya menjadi penuh dengan gumpalan napas. Tangannya
bergerak memutar di depan wajah bagai orang menari lemah gemulai. Jika napas
dihentakkan lewat hidung, maka tubuhnya akan lenyap dan muncul di puncak
gundukan tanah yang membukit itu.
Sebelum ia hentakkan napas
lewat hidung, tiba-tiba ia mendengar suara Suto Sinting berseru, "Hoii...
lekas! Jangan lama-lama!"
Napas tak jadi dihentakkan.
Begitu mata dibuka Perawan Sesat kembali terperangah melihat Suto sudah lebih
dulu ada di atas gundukan tanah yang membukit itu. Ia melambai-lambaikan tangan
memanggil Perawan Sesat.
Geram Perawan Sesat semakin
menjadi. "Kurang ajar! Dia lebih cepat pindahkan diri ke sana! Tinggi juga
ilmu orang itu! Aku kalah cepat dengan ilmu silumannya. Rupanya ia tadi
berlagak bodoh di depanku!"
Segera Perawan Sesat menyusul
Suto ke atas bukit. Jllig...! Tubuhnya tiba dengan cepat di atas bukit-bukitan
itu. Tetapi ia kehilangan Pendekar Mabuk. Ia mencari- cari Suto, yang ternyata
sudah berada di bawah pohon rindang, jauh darinya. Gerakan menenggak bumbung
tuak terlihat samar-samar. Sekali lagi Perawan Sesat menggeram penuh
kejengkelan.
"Dasar sinting! Didekati
malah sudah kabur sejauh itu. Edan betul dia! Aku tak bisa mencapai tempat
sejauh itu hanya dengan satu jurus saja. Harus memakai dua jurus alias dua
langkah siluman. Hmmm...! Dia benar- benar mempermainkan aku! Membuatku malu
jikabegini! Sayang sekali dia tampan dan menggairahkan. Kalau tidak, sudah
kuhajar habis dia!"
"Cepat...!" Suto
Sinting melambai dengan suara kecil karena jauhnya.
Perawan Sesat hanya menggeram
dalam hati dan berkata,
"Pantas kalau Nyai Lembah
Asmara terpikat pada lelaki tanpa pusar itu, selain tampan dan menggairahkan,
ia juga berilmu tinggi! Ah, sulit sekali aku menghindari rasa tertarikku
kepadanya. Hasratku sejak tadi menyala-nyala ingin mencumbunya. Tapi agaknya ia
tidak tergiur padaku. Hmmm... aku harus menggunakan ilmu 'Pelet Sukma' biar dia
terpikat dan mau diajak bercumbu di bawah pohon itu!"
Kejap, berikutnya Perawan
Sesat sudah tiba di tempat Suto duduk santai di bawah pohon rindang. Dengan
cepat ia tatapkan pandangan matanya ke mata Suto. Senyum Suto mekar ketika dipandang
perempuan itu. Kejap kemudian napas Perawan Sesat disentakkan lewat hidung.
Wusss...! Pelan tapi berbahaya, karena itulah yang dinamakan ilmu 'Pelet Sukma'
yang mampu membuat setiap lelaki mabuk birahi.
Tetapi ada satu keanehan yang
dirasakan oleh Perawan Sesat. Ketika napasnya terhempas lewat hidung tadi,
tiba-tiba napas itu memantul balik terasa masuk kembali ke dalam hidung. Namun
hati Perawan Sesat sangsi akan hal itu, karena perasaan seperti itu belum
pernah dialami. Peristiwa berbaliknya hembusan napas itu belum pernah terjadi.
Perawan Sesat tetap harapkan Suto mulai tergiur dengan kemolekan tubuhnya.
Perawan Sesat mulai memamerkan
belahan dadanya yang sungguh montok itu.
Pendekar Mabuk tertawa kecil
dengan mata merah karena mabuk, ia segera berdiri dan Perawan Sesat ikut
berdiri. Kemudian dalam sekejap Suto melompat pergi bagai tak peduli.
"Sutooo...!" Perawan
Sesat bagai merengek tak mau ditinggal, ia menyusul Suto dengan gairah cinta
yang meledak-ledak dalam dadanya, ia ingin memeluk Suto dan mencumbunya
habis-habisan. Tapi Suto sukar ditangkapnya. Suto melesat lagi menjauh sambil
menghambur kan tawa bagaikan menggoda. Perawan Sesat bertambah penasaran
mendengar suara tawa Suto. Ia mengejar untuk menangkap Suto dalam pelukan. Tapi
Suto melesat ke atas dan hinggap di salah satu dahan pohon.
"Suto, turunlah! Peluklah
aku, Suto!" seru Perawan Sesat sambil sibuk merayapi tubuhnya sendiri.
Suto Sinting tertawa-tawa
sambil duduk di dahan, menenggak tuak dalam bumbung. Sesekali ia memandang ke
bawah, dan tawanya makin bertambah melihat Perawan Sesat sibuk sendiri. Perawan
Sesat baru menyadari bahwa ilmu 'Pelet Sukma' yang membuat seseorang jadi
terpancing gairahnya itu telah membalik dan mengenai dirinya sendiri.
Akibatnya, Perawan Sesat sendiri yang tak bisa mengendalikan gairah birahinya.
Setelah apa yang diinginkan
tercapai oleh dirinya sendiri, barulah Perawan Sesat menyadari hal itu dan
berkata di hatinya,
"Jahanam orang itu! Ilmu
'Pelet Sukma'-ku membalik mengenai diriku sendiri. Sebaiknya aku tidak
menyerahkan Suto kepada Nyai Lembah Asmara! Akan kupakai sendiri orang itu
dengan segala caraku menundukkan hatinya! Aku tak rela dan akan merasa
kehilangan besar jika Suto berada dalam pelukan Nyai Lembah Asmara. Sebaiknya
kubawa lari ke tempat lain saja Pendekar Mabuk yang benar-benar memabukkan
hatiku itu! Peduli amat dengan tugas ini! Aku tak sanggup menjalankan tugas,
karena aku tak mampu menghindari godaan hatiku ini!"
Kejap berikutnya, Perawan
Sesat mendongak ke atas dan berseru, "Kita lanjutkan perjalanan kita,
Suto!"
"Apakah kau sudah selesai
dengan pekerjaan tanganmu?" ledek Suto membuat wajah Perawan Sesat menjadi
merah. Perempuan itu tidak melayani ejekan tersebut, ia seolah-olah tidak
mendengarnya. Kini ia berseru kembali,
"Tidakkah kau ingin
bertemu dengan kekasihmu; Dyah Sariningrum?!"
Pancingan ini membuat Pendekar
Mabuk turun dari atas pohon dalam satu lompatan bagaikan terbang. Rambutnya
yang panjang meriap ke atas pada saat ia meluncur ke bawah. Indah sekali
dilihatnya, bagai seekor rajawali gagah yang siap menerkam mangsanya.
Suto mulai oleng berdirinya
karena pengaruh mabuk tuak itu. Bahkan bicaranya pun mulai mengambang tak tentu
arah.
"Bawalah cepat aku
kepadanya! Jangan bikin aku bertambah rindu lagi kepada Dyah Sariningrum!"
"Ya, aku akan membawamu
lekas-lekas ke sana. Dia juga sudah lama menunggumu! Tapi ada satu permintaan
dariku sebagai syarat!"
"He he he... kamu mulai
banyak tingkah, Perawan Sesat! Apa syarat yang kau inginkan itu, hah?!"
hardik Pendekar Mabuk kemudian.
"Kau telah membuat pedang
gadingku lenyap tak berbekas!"
"He he he... itulah
kehebatan ilmu 'Sembur Siluman' yang kumiliki. Jangan hanya pedangmu, gunung
pun kalau kusembur dengan tuak dalam mulutku mampu lenyap dalam sekejap. Tapi,
itu hanya kekuatan ilmu siluman yang serupa dengan sihir. Kudapatkan ilmu itu
perpaduan dari ilmu kakek guruku dan bibi guruku! He he he .... "
"Aku tak berani menghadap
Dyah Sariningrum jika aku kehilangan pedang gading itu. Sebab ia akan marah
padaku habis-habisan. Pedang itu adalah pedang miliknya yang dipinjamkan
padaku!"
"O ho ho ho... jadi itu
pedang milik kekasihku?"
"Ya! Kalau kau tak bisa
mengembalikan, aku tak berani membawamu ke sana!" bujuk Perawan Sesat
dengan hati berdebar-debar.
"Untuk mengembalikan
pedangmu, itu bukan pekerjaan yang sulit. Tapi untuk menahan niatmu agar tidak
menggunakan pedang gading sebagai alat pengumbar nafsu amarah, itu yang sulit!
Aku tak berani membuat pedang itu kembali lagi.""Jika begitu, kita
tak jadi menemui Dyah Sariningrum. Karena Nyai Lembah Asmara akan murka jika
pedang gadingnya hilang."
"Nyai...?! O, jadi Dyah
Sariningrum itu seorang Nyai?"
"Ya!"
"Pantas Peramal Pikun tak
berani menyebutkannya," kata Suto dengan suara mengayun bergelombang.
"Lekas wujudkan pedang
itu!" kata Perawan Sesat sambil serahkan gagang pedang yang masih
dibawanya dengan tujuan digunakan sebagai bukti kepada teman atau gurunya
tentang kehebatan ilmu Suto.
Gagang pedang dengan benang
sutera merah di bagian ujung bawahnya digenggam kuat oleh Pendekar Mabuk.
Matanya yang mulai seperti orang mengantuk itu sebentar waktu melirik Perawan
Sesat. la nyengir dan berkata,
"Janjilah padaku, kau
tidak akan mengumbar amarahmu dengan menggunakan pedang ini!"
"Iya, iya! Aku bejnji!
Cerewet kamu!" sentak Perawan Sesat.
"O, kalau kamu katakan
aku cerewet aku akan isi pedang ini dengan sebuah pisang!"
"Sudahlah!"
sentaknya lagi tak sabar. "Kau tidak cerewet! Tapi cepat kembalikan
pedangku itu!"
"Hei, kau bilang ini
pedang milik Nyai Dyah Sariningrum! Tapi sekarang kau bilang pedangku?! Mana
yang benar?!"
"Maksudku, itu pedang
dalam tanggung jawabku.
Jadi sudah kuanggap seperti
pedangku sendiri!"
"O ho ho ho... begitu
rupanya!" Suto manggut- manggut.
"Iya. Lekas, jangan
banyak bicara lagi!" bentak Perawan Sesat.
"Aih, kau bentak-bentak
aku?! Aku tak mau!"
"Tidak, tidak! Aku tidak
bentak kamu lagi!"
"Aku tidak mau!"
Suto Sinting menggeleng dan membuang pedang itu ke semak belukar.
"Jahanam kau! Kenapa kau
buang gagang pedang itu?! Dasar sinting!" Perawan Sesat bergegas ke semak
belukar untuk mengambil gagang pedangnya. Suto hanya tertawa-tawa sambil buka
tutup bumbung dan ia kembali tenggak tuak di dalamnya. "Benar-benar edan
orang itu!" gerutu Perawan Sesat sambil mencari gagang pedang yang tadi
dibuang Suto.
"Habis ini kuhajar
sebentar dia, biar tahu adat sedikit terhadapku! Seenaknya saja dia buang
gagang pedang itu. Dia tidak tahu kalau di dalam gagang pedang masih tersimpan
racun yang mematikan dan bisa kugunakan untuk membunuh dirinya!"
Langkah kaki menyusuri semak
terhenti. Mata Perawan Sesat terbelalak lebar, ia melihat gagang pedangnya
tergeletak di antara rerumputan ilalang. Tapi kali ini mata pedangnya sudah
kembali utuh seperti sediakala. Rupanya Pendekar Mabuk telah mengembalikan mata
pedang gading yang lenyap oleh ilmu 'Sembur Siluman'-nya itu. Tapi ia sengaja
membuat susah Perawan Sesat agar perempuan itu menggerutudan bersungut-sungut,
ia sengaja permainkan perawan galak berambut acak-acakan itu. Padahal Suto
Sinting bisa mengembalikan pedang itu seperti sediakala dengan kekuatan
matanya. Tapi ia tidak mau mengembalikan dan menyerahkan pedang begitu saja
kepada perempuan bermata liar itu.
Melihat mata pedang kembali seperti
sediakala, hati Perawan Sesat merasa girang. Tapi keberaniannya untuk bertindak
semena-mena juga lebih membara. Dengan bekal Pusaka Pedang Gading itu, Perawan
Sesat merasa sanggup melumpuhkan lawannya.
"Pedangmu sudah kembali,
Nona! Alangkah baiknya jika kita cepat-cepat menemui Nyai yang
menungguku!" kata Suto.
Perawan Sesat berkata,
"Tidak sekarang, Suto! Aku masih punya satu syarat lagi yang harus kau
penuhi!"
"Kau punya syarat berapa
sebenarnya, Nona?" tanya Pendekar Mabuk gusar.
"Satu syarat lagi! Hanya
satu! Setelah ini kau kuantar menghadap Nyai! Aku bersumpah, tidak akan minta
syarat lagi!"
"He he he he... apa
syarat yang kau inginkan, Nona?!"
"Layanilah cintaku!"
Perawan Sesat segera mendekat.
Suto membelalakkan mata
ngantuknya. Ia tertawa keras sambil mundur beberapa langkah, tangannya
menuding-nuding Perawan Sesat.
"Kalau kau tak mau, kau
tidak kuajak menghadap Nyai, Suto!" bentak Perawan Sesat memanfaatkan
rindu di hati Suto sebagai senjata untuk mengancam dan memperdayai Pendekar
Mabuk itu.
Suto gelengkan kepala.
"Itu tidak boleh terjadi, Nona manis!"
"Harus terjadi!"
tegas Perawan Sesat. "Dekatlah kemari, Suto. Peluklah aku,
Sayang...!"
"Hua ha ha ha ha... aku
dipanggil sayang? Aduh, Mak... kering darahku, melorot jantungku. Hua ha ha
ha...!"
Pengaruh mabuk Pendekar Mabuk
semakin tinggi. Tawanya kian keras membuat Perawan Sesat bertambah dongkol
hatinya. Bahkan ia sempat berniat mencabut pedang untuk memaksa Suto. Tapi
ketika ingat bahwa Suto Sinting masih bisa membuat lenyap pedangnya itu, maka
niat tersebut dibunuhnya sendiri.
Perawan Sesat hanya bisa
membatin, "Agaknya butuh kesabaran untuk menundukkan lelaki yang satu ini.
Bukan dengan kSkuaian ilmu, melainkan dengan kekuatan hati yang sabar dan
tekun! Percuma saja adu kekerasan dengan dia, tidak akan membawa hasil apa-apa
kecuali suasana yang semakin lebih kacau lagi. Biarlah kusabarkan hatiku sampai
tiba saatnya ia sendiri membutuhkan diriku."
Segera Perawan Sesat ucapkan
kata, "Baiklah, Suto! Lupakan satu persyaratan itu. Jika kau tak bisa
sekarang, kapan waktu pun masih bisa kau melunasinya. Sekarang kita pergi dari
sini secepatnya, Suto!"
"Tapi aku tidak punya
hutang janji padamu, Perawan Sesat!"
"Terserah anggapanmu saat
ini, karena aku tahu kamu sedang kebanyakan minum tuak! Lupakan dulupersyaratan
satu itu!"
Perawan Sesat segera mengajak
Pendekar Mabuk untuk tinggalkan tempat, menjauhi arah Bukit Garinda. Perawan
Sesat memang bermaksud membawa lari Suto ke tempat lain, yang sudah ada dalam
benaknya.
Tetapi tiba-tiba di depan
langkah Perawan Sesat dan Pendekar Mabuk melesat benda kecil berbentuk bintang
dari lempengan baja tajam. Dan benda kecil itu melesat cepat menimbulkan bunyi,
ziing...! Kemudian benda itu menancap di pohon persis di depan sebelah kiri
Perawan Sesat.
Juub... jub...!
Tertahan serentak langkah Perawan
Sesat. Tertahan pula tubuh limbung Pendekar Mabuk. Mata mereka berkilas cepat
menyapu sekeliling, tapi si pelempar senjata rahasia berbentuk bintang itu
tidak kelihatan tempat persembunyiannya. Perawan Sesat segera sigap dan berdiri
dalam posisi siap menyerang. Matanya liar penuh waspada.
***5***
TANGAN Perawan Sesat hendak
mencabut senjata rahasia berbentuk bintang segi enam. Tapi dengan cepat kaki
Pendekar Mabuk menendang tangan Perawan Sesat. Plakk...! Cepat sekali Perawan
Sesat menarik tangannya kembali, tapi gerakan itu terlambat. Mata liar Perawan
Sesat memandang lurus ke arah Suto yang bermata sayu.
"Apa maksudmu menendang
tanganku?!" geram Perawan Sesat.
"Senjata itu beracun.
Hanya pemiliknya yang bisa memegang dan tidak terkena racunnya!"
"Aku lebih tahu daripada
kau, Suto!" sentak Perawan Sesat. "Senjata bintang persegi enam
seperti itu adalah senjata milik temanku sendiri. Itu senjatanya Putri Alam
Baka! Senjata itu tidak beracun dan tidak berbahaya. Hanya sebagai senjata
peluka saja, Suto!"
"Lantas mengapa daun-daun
pohon ini menjadi layu semua. Lihatlah ke atas! He he he...!"
Terkesiap mata Perawan Sesat
setelah memandang ke atas. Daun-daun pohon itu benar-benar menjadi layu
berkeriput. Bahkan sebagian besar langsung berubah menjadi kuning. Dalam hati
Perawan Sesat membatin,
"Gila! Apa yang
dikatakannya memang benar. Senjata itu memang beracun. Jika begitu, senjata itu
pasti bukan milik Putri Alam Baka. Setahuku, senjata Putri Alam Baka tidak
beracun! Dan lagi, jika benar senjata itu milik Putri Alam Baka, dengan maksud
apa ia menyerangku menggunakan senjata berbahaya itu?"
Sebelum Perawan Sesat ucapkan
kata, Suto lebih dulu bertanya, "Apakah kau yakin bahwa kedua senjata itu
milik temanmu?"
"Aku jadi sangsi. Aku tak
bisa mengenalinya. Seingatku, senjata milik Putri Alam Baka mempunyai goresan
gambar panah cakra pada bagian sisipinggirnya."
Perawan Sesat mencoba
mengamat-amati kedua senjata itu, tapi ia merasa kesulitan mengenalinya, karena
kedua senjata itu melesak masuk ke batang pohon hampir seluruhnya. Tinggal
sedikit sisa yang terlihat belum masuk ke batang pohon. Perawan Sesat kembali
berkata dalam hatinya,
"Aku jadi sangsi juga,
apakah senjata ini berbentuk bintang segi enam atau segi berapa? Jika melihat
ukuran runcing pada bagian yang tak masuk ke dalam batang, kelihatannya bintang
segi enam. Tapi siapa tahu dia bersegi lima atau delapan?"
"Minggirlah, Perawan
Sesat. Biar kukeluarkan senjata itu dari batang pohon!" kata Pendekar Mabuk
lalu ia tersentak satu kali karena cegukan. Kejap berikutnya ia sentakkan
tabung bambunya itu ke batang pohon dengan pelan. Dugh... ! Hhrrr... !
Daun-daun pun rontok banyak akibat sodokan bambu tabung itu. Jika bukan dialiri
tenaga dalam cukup besar, tak mungkin pohon sebesar itu terguncang dan daunnya
berguguran hanya dengan gerakan sepelan itu. Perawan Sesat menyimpan kagum
sambil mengibaskan tangannya menghindari rontokan daun di kepala.
Sodokan itu membuat dua
senjata berbentuk lempengan bintang dari logam baja putih itu tersentak keluar
dari batang pohon, jatuh tepat di kaki pohon depan yang tak berumput. Perawan
Sesat pun segera menghampiri dan memeriksanya dengan sebatang ranting kayu
kering. Dan ternyata kedua senjata itu memang mempunyai goresan gambar panah
cakra.
"Hmmm... jelas ini milik
Sumbi, atau Putri Alam Baka!" gumam Perawan Sesat tanpa memandang Suto.
"Apa benar itu milik
temanmu?"
Perawan Sesat menjawab jujur,
"Ya. Ini milik temanku."
"Apa temanmu itu suka
memakai baju kuning?"
"Ya. Dari mana kau
tahu?" Perawan Sesat kerutkan dahinya.
Suto tertawa dalam tawa mabuk,
ia segera garuk- garuk kepalanya sambil berkata, "Sebentar lagi ia akan
muncul!"
Tiba-tiba Suto bergerak cepat
memutar dan kakinya menendang pohon yang tadi terkena senjata bintang itu.
Duugh ... !
Pohon tidak bergerak, seperti
kena tendangan tanpa tenaga sedikit pun. Bahkan satu daun pun tak ada yang
jatuh, padahal daun pohon itu telah layu. Perawan Sesat juga merasa heran
melihat tendangan cepat Pendekar Mabuk itu tidak mengguncangkan daun pohon
sedikit pun.
Tetapi kejap berikutnya empat
pohon yang bejjeran sederet dengan pohon yang ditendangnya itu mulai tergucang
bagai dihembus badai. Perawan Sesat terkesima melihat pohon yang keempat dari
jajaran pohon itu saja yang berguncang kuat, hingga dahan- dahannya meliuk
terombang-ambing. Dan dari atas pohon berdaun rimbun itu melesatlah dua sosok
manusia turun dalam gerakan bersalto satu kali.
Wuuus...!Wussh... !
Jleg... ! Jleg... !
Dua sosok manusia mendaratkan
kakinya dengan tepat di depan Perawan Sesat dalam jarak lima langkah. Perawan
Sesat kembali terkesiap melihat kemunculan dua perempuan yang sudah dikenalnya.
Untuk sesaat mereka beradu pandang dalam wajah tegang. Pada saat itu Perawan
Sesat sempat berkata dalam hati mengenai tendangan Suto tadi, "Luar biasa
dia menyalurkan tenaga dalamnya. Pohon yang ditendang tetap tenang, pohon
keempatnya yang terkena sasaran! Jelas hal itu jurus penyaluran tenaga dalam
yang sangat tinggi!"
Perawan Sesat cepat singkirkan
bayangan tendangan Pendekar Mabuk tadi dari otaknya, kembali ia curahkan
perhatian pada kedua perempuan yang masing-masing mengenakan pakaian ketat
merah dan krning. Bentuk potongan pakaiannya sama dengan bentuk potongan pakaian
yang dikenakan Perawan Sesat. Hanya berbeda pada warnanya saja.
Potongan pakaian yang sama
menunjukkan bahwa mereka berasal dari satu perguruan.
Yang berpakaian merah dengan
baju tanpa lengan dan belahan dada sedikit terbuka lebar adalah Maharani. Rambutnya
dikepang dua, ditaruh di depan dada. Di tangannya tergenggam sebuah kipas warna
merah berbunga-bunga hitam. Perawan Sesat kenal betul, bahwa Maharani mempunyai
tingkat ilmu yang setaraf dengannya. Maharani juga sering menjadi utusan bagi
Nyai Lembah Asmara.
Perempuan satunya lagi
mempunyai rambut dikepang satu. Cukup panjang rambutnya itu hingga bisa melilit
di sekitar leher, sisanya jatuh di depan dada kanan. Perempuan berkepang satu
itu mengenakan ikat pinggang tali merah. Di sana terselip sebatang bambu kuning
berukuran satu hasta. Bambu itu adalah seruling berlilit pita merah di bagian
ujung tempat meniupnya.
Perempuan yang mempunyai
senjata seruling itulah yang bernama Sumbi, alias Putri Alam Baka. Tingkat
ilmunya lebih tinggi satu tingkat dari Perawan Sesat ataupun Maharani. Selain
sering menjadi utusan bagi Nyai Lembah Asmara, Putri Alam Baka juga merupakan
orang kepercayaan Nyai Lembah Asmara yang menjadi wakil tertinggi dan dikenal
sebagai orang kedua di Bukit Garinda
Jelas Perawan Sesat sedikit
gentar melihat Putri Alam Baka sampai turun tangan dan menyerangnya dari tempat
persembunyian. Cara memandangnya pun tampak bermusuhan. Perawan Sesat semakin
curiga dan waswas. Sekalipun Putri Alam Baka adalah teman sendiri, tetapi
tingkat perbedaan ilmu dan kedudukan, membuat Perawan Sesat merasa sungkan
kepada Putri Alam Baka. Karena itu, kehadiran Putri Alam Baka membuat Perawan
Sesat ajukan tanya,
"Sepenting apakah
keperluanmu hingga datang menemuiku, Sumbi?"
"Sejak keberangkatanmu,
kami memang sudah membuntuti!" jawab Putri Alam Baka. Tak ada senyum di
bibirnya. Sikapnya pun kelihatan dingin. Dalamkeadaan rambut lebih rapi, Putri
Alam Baka dan Maharani tampak lebih cantik dari Perawan Sesat.
Tetapi kecantikan itu tidak
membuat Pendekar Mabuk tertarik, ia bahkan bersikap sebagai pendengar dan
penonton yang baik. Ia duduk di tanah yang sedikit lebih tinggi, punggungnya
bersandarkan batang pohon, sambil sesekali menenggak tuak.
Perawan Sesat merasa heran
mendengar dirinya diikuti oleh Maharani dan Sumbi sejak keberangkatannya dari
Bukit Garinda. Tentang bagaimana cara mereka menguntit hingga tidak diketahui
gerakannya, bukan hal yang dipikirkan Perawan Sesat, karena ia merasa mampu
melakukan penguntitan tanpa suara. Tapi apa sebab mereka menguntitnya, itu yang
menjadi pikiran Perawan Sesat Mengapa mereka harus menguntitnya? Mengapa
seorang wakil Nyai Lembah Asmara sampai turun tangan dan mau menjadi penguntit?
Pasti ada sesuatu yang tak lazim menurut dugaan Perawan Sesat.
Lalu, hal itu pun ditanyakan
oleh Perawan Sesat dengan nada tetap tegas dan berkesan angker,
"Untuk apa kalian
mengikutiku sejak dari keberangkatan?"
"Nyai
menugaskannya!" jawab Putri Alam Baka dengan sikap berdiri tegap dengan
kedua kaki tegak sedikit merenggang.
"Untuk apa Nyai
menugaskan kalian?"
"Kecurigaan, menjaga
kewaspadaan, sekaligus memberikan perlindungan padamu, Perawan Sesat!"
"Omong kosong!"
sentak Perawan Sesat menyanggah. "Buktinya kalian tidak muncul saat lelaki
itu menyerangku di Perguruan Merpati Wingit!" sambil Perawan Sesat
menuding Suto Sinting.
"Ketika kami hendak turun
tangan, pemuda tampan itu sudah lebih dulu membawamu pergi," jawab Putri
Alam Baka lebih berkesan kalem dan berwibawa.
Perawan Sesat melirik Suto
sesaat. Pendekar tampan itu hanya senyum-senyum saja memandang perdebatan
tersebut. Sesekali badannya tersentak karena cegukan. Tapi agaknya ia sengaja
tidak mau ikut campur urusan ketiga perempuan itu.
Kembali mata Perawan Sesat
memandang Maharani dan Putri Alam Baka, setelah ia mendengar suara Maharani
yang kecil itu berkata ,
"Kurasa kau salah arah,
Rukmi. Bukit Garinda ada di sebelah barat, mengapa kau membawa lari pemuda itu
ke arah timur?"
"Itu urusanku,
Maharani!"
"Tugas kami adalah
meluruskan jalanmu, Rukmi," kata Maharani dengan memanggil nama asli
Perawan Sesat.
Putri Alam Baka segera berkata
pula,
"Aku menangkap adanya
pengkhianatan tugas dalam hal ini! Pasti kau akan menguasai pemuda itu dan
tidak akan menyerahkannya kepada Nyai Lembah Asmara!"
"Itu pun urusanku,
Sumbi!" kata Perawan Sesat dengan tetap perlihatkan ketegasannya dalam
bersikap. Sambungnya lagi,"Susah payah kucari dan kutemukan pemuda itu,
mengapa ia harus kuserahkan pada perempuan lain, hah?! Lihatlah sendiri, betapa
tampan dan menggairahkan Suto tanpa pusar itu? Lihatlah... ! Haruskah aku
serahkan pemuda setampan itu, kepada orang lain?!"
Mata kedua teman Perawan Sesat
itu melirik ke arah Pendekar Mabuk. Yang dilirik justru memperlebarkan senyum
sambil melambai kecil penuh goda. Putri Alam Baka cepat palingkan wajah,
memandang ke arah Perawan Sesat. Tapi Maharani masih menikmati ketampanan yang
begitu mengagumkan hatinya. Tak sadar hatinya berdebar-debar.
Perawan Sesat berkata lagi,
"Kalian pikir aku
perempuan bodoh yang tidak bisa membedakan, mana lelaki mahal mana lelaki
murahan?! Kupertaruhkan nyawaku untuk mendapatkan dia, wajar kan kalau sekarang
aku memilikinya?"
"Tapi kau mengemban
tugas, Perawan Sesat! Kita selalu dididik untuk tidak mengutamakan kepentingan
pribadi dalam menunaikan tugas dari Nyai!"
"Ya. Lantas siapa yang
bisa memenuhi kebutuhan pribadi kita? Nyai...?! Apakah beliau sanggup memenuhi
kebutuhan pribadi kita, jika pribadi kita menghendaki seorang kekasih seperti
pemuda itu?!"
"Rukmi...!" sentak
Maharani. "Jelasnya kau akan melakukan pembangkangan terhadap perintah
nyai kita!"
"Aku hanya menuntut hakku
dan perasaanku! Aku suka pada Suto Sinting itu!"
"Sudah lama kita
berteman, Rukmi," ucap Putri Alam Baka dengan nada rendah dan lebih
berkesan tenang dari Maharani. Lalu ia berkata lagi,
"Jangan sampai aku
mengambil tindakan tegas untukmu. Jangan sampai aku menjatuhkan hukuman berat
untuk teman sendiri, Rukmi. Kuingatkan, jaga nafsumu. Serahkan Suto kepada Nyai
Lembah Asmara sesuai tugasmu. Kurasa Nyai Ratu punya kebijaksanaan tersendiri
untuk dirimu, Perawan Sesat!"
"Aku tetap tidak akan
menyerahkan Pendekar Mabuk kepada Nyai!"
"Kalau begitu kau menghendaki
kami menghajarmu, Rukmi!" sentak Maharani lagi sambil hentikan gerakan
tangan yang sejak tadi mengipas-ngipas di depan dadanya yang sekal itu.
Mendengar gertakan itu,
Perawan Sesat menyunggingkan senyum sinis meremehkan, ia berkata,
"Apa pun tindakan yang
akan kau ambil, aku sudah siap menghadapinya, Maharani! Kalian boleh paksa aku
dengan cara apa pun. Tapi aku tetap tidak akan menyerahkan Suto ke tangan
Nyai!"
Terdengar ucapan pelan bernada
sinis dari Maharani kepada Putri Alam Baka.
"Ternyata apa yang
dikhawatirkan Nyai Lembah Asmara memang benar-benar terjadi, Sumbi! Perawan
Sesat melakukan pembangkangan!"
"Cuih...!" Perawan
Sesat meludah dengan benci. "Kau memang layak mendapat julukan penjilat
kotor, Maharani! Sejak dulu kau selalu menjadi penjilat agarmendapat perhatian
dari Nyai Lembah Asmara!"
"Itu urusanku,
Rukmi!" jawab Maharani menirukan jawaban Perawan Sesat tadi. Kini ia maju
dua langkah, berada lebih depan dari Putri Alam Baka. Rupanya ia ambil alih
sendiri perkara itu, sehingga Putri Alam Baka mundur satu tindak.
"Perawan Sesat!"
geramnya dengan mata menyipit tajam. "Jika kau bersikeras untuk tidak
menyerahkan pemuda itu kepada Nyai Lembah Asmara, kau harus melangkahi mayatku
dulu!"
"Aku tak keberatan!"
jawab Perawan Sesat. "Seribu mayat dirimu akan kulangkahi dalam sekejap,
Maharani!"
"Cabut pedangmu!"
sentak Maharani sambil ia mulai pasang kuda-kuda untuk menyerang Perawan Sesat
melangkah pelan ke kiri, kembali lagi ke kanan sambil matanya melirik ke arah
Maharani dengan senyum meremehkan.
"Pedangku tak akan
kucabut! Karena untuk membuatmu menjadi mayat cukup menggunakan kelingkingku,
Maharani!"
"Mulut sombong
busuk!" geram Maharani, kemudian ia kibaskan kipasnya dari kiri ke kanan
dalam keadaan terbuka dan miring. Wuuus...!
Tenaga dalam bagaikan
ditebarkan dalam gerakan cepat, melesat ke arah Perawan Sesat. Dengan lincah
perempuan berambut acak-acakan itu sentakkan ujung jempol kakinya ke tanah dan
tubuhnya melesat naik ke atas sambil ia sentakkan pula tangan kirinya ke depan.
Wuugh... !
Tenaga dalam dari kipas
mengenai tempat kosong. Sementara itu tenaga dalam dari tangan Perawan Sesat
menghempas ke wajah perempuan berkelabang dua. Dengan gerakan cepat Maharani
menutup wajah dengan cara bentangkan kipasnya di depan mata. Brett...!
Begggh...!
Pukulan tenaga dalam Perawan
Sesat bagai menghantam lereng sebuah gunung. Hempasannya membalik ke arah
Perawan Sesat, tapi ketika itu Perawan Sesat sudah pijakkan kakinya ke tanah,
sehingga yang menjadi sasaran adalah dahan pohon yang segera retak dan jatuh
berdebum dalam jarak dua langkah dari tempat duduk Pendekar Mabuk. Brruk...!
******
Suto tersentak kaget, namun
tak ada kata yang keluar dari mulut Suto selain suara cegukan. Di dalam hatinya
Suto berkata,
"Kurasa Perawan Sesat
akan tumbang di tangan salah satu dari kedua perempuan lawannya itu. Bila
Perawan Sesat tak mampu menghadapi dua lawannya, bisa-bisa aku tak jadi
ditemukan dengan Dyah Sariningrum. Tapi, haruskah aku ikut campur tangan dalam
urusan mereka? Atau sebaliknya kutinggal pergi saja?"
Dugaan Pendekar Mabuk itu
ternyata benar. Dalam satu kesempatan Putri Alam Baka tahu-tahu menyerang
Perawan Sesat yang sedang menghadapi Maharani. Sungguh di luar dugaan Perawan
Sesat, bahwa Putri Alam Baka sampai hati melawan teman dengan menggunakan
seruling pusakanya. Seruling itudisentakkan dari jarak jauh. Lubang di bagian
ujung bawah seruling mengeluarkan cahaya biru berkilap bagai lidah-lidah petir.
Dalam sekejap, tubuh Perawan
Sesat bagaikan dikurung oleh kilauan-kilauan cahaya biru yang berbentuk mirip
ranting-ranting pohon. Perawan Sesat terjerat. Tubuhnya mengeras dan akhirnya
jatuh berdebum ke tanah. Ketika kilatan-kilatan cahaya biru itu berhenti
mengelilingi tubuhnya, Perawan Sesat berusaha bangkit dalam keadaan mulut
berdarah dan kulit mengelupas kecil-kecil.
"Habiskan saja dia,
Maharani!" perintah Putri Alam Baka.
Maka, perempuan berbaju merah
itu menutupkan kipasnya dan menebaskan kipas itu ke depan. Cahaya merah
menyembur bagai semburan dari '"aasar gunung berapi. Woos... ! Bukan tak
mungkin tubuh Perawan Sesat akan terbakar habis oleh jurus maut itu.
Tetapi, pada saat itu jari
telunjuk Pendekar Mabuk melakukan gerakan menyentil dari depan lututnya.
Tuus...! Tak ada yang melihat gerakan jari menyentil itu. Tetapi ternyata jurus
'Jari Guntur' itu telah membuat tubuh Maharani terpental keras bagai ditendang
kuda. Mulutnya sampai memperdengarkan suara, "Heeegh...!"
Dan tubuhnya segera melayang
ke belakang, jatuh dalam jarak tiga langkah di samping Perawan Sesat.
Tentu saja jatuhnya Maharani
membuat Putri Alam Baka menjadi tercengang kaget, ia menyangka kekuatan tenaga
dalam itu datang dari tubuh Perawan Sesat.
Maka, dengan semangat membunuh
lebih menyala-nyala lagi, Putri Alam Baka segera sentakkan tangan kanannya
dengan telapak tangan terbuka, ia bagai mendorong sesuatu dari samping ke depan
dengan keras. Pukulan jarak jauh itu akan menghancurkan kepala Perawan Sesat
yang sudah tak berdaya itu.
Tetapi, Suto segera melakukan
gerakan kecil. Jempol tangannya dirapatkan dengan jari telunjuk. Lalu, ia
sentakkan kedua jari itu seperti memanggil ayam atau burung, triik... !
Gerakan tangan Putri Alam Baka
hampir mencapai ujungnya, tahu-tahu kedua kakinya bagai ada yang menyepak dari
belakang. Wuus...! Kedua kaki itu terangkat kuat-kuat, tubuh Putri Alam Baka
terpelanting jatuh. Bruuk.
Pukulan pamungkasnya tidak
jadi dilancarkan. Tetapi pada saat itu, Suto menangkap kelebatan sosok tubuh
yang menyambar Perawan Sesat. Wesss...! Cepat sekali gerakannya. Tahu-tahu
orang tersebut telah menggendong tubuh Perawan Sesat di pundak kirinya, berdiri
agak jauh dari kedua lawan, juga agak jauh dari Suto sendiri. Melihat keadaan
tubuh orang yang baru datang berbadan kurus kering, tak salah lagi penglihatan
Suto, bahwa orang itu adalah Peramal Pikun.
"Suto, uruslah kedua
perempuan itu! Aku akan membawa Perawan Sesat ke pondokku. Dia terluka parah!"
"Hei...!" Suto hanya
bisa memanggil tak bisa berkata apa pun karena Peramal Pikun segera melesat
pergimeninggalkan tempat itu.
"Kejar...!" perintah
Putri Alam Baka kepada Maharani.
Tapi sebelum Maharani bergerak
mengejar, Suto melentingkan tubuh ke udara dengan menggunakan tumitnya untuk
menjejak tanah. Dalam satu gerakan jungkir balik, Pendekar Mabuk sudah berada
di depan Maharani. Ia terkekeh-kekeh dengan suara sumbang.
"Tak perlu dikejar. Ada
baiknya kalau kalian segera bawa aku menghadap nyaimu itu. Aku sendiri ingin
segera bertemu!" kata Pendekar Mabuk kemudian karena ia menyangka nyai
mereka adalah Dyah Sariningrum.
***
SEBUAH bangunan mirip istana
kecil bertengger megah di lereng sebuah bukit. Bukit itu adalah Bukit Garinda.
Dulu wilayah itu dikuasai oleh Nyai Guru Betari Ayu. Kala itu, Betari Ayu punya
persahabatan baik dengan seorang teman yang bernama Wulandari. Dan pada waktu
Wulandari mendirikan Partai Perempuan Sakti, Betari Ayu tidak mau bergabung,
tetapi sebagai tanda persahabatan ia pinjamkan tanah di lereng Bukit Garinda
itu kepada Wulandari. Waktu demi waktu berlalu akhirnya tanah di lereng Bukit
Garinda dikuasai sepenuhnya oleh Wulandari, yang kemudian dikenal dengan
julukan Nyai Lembah Asmara.
Bangunan yang mirip istana
kecil itu dikelilingi oleh tembok tinggi yang menyerupai benteng. Batas salah
satu sisi tembok ada yang mencapai tepian pantai laut utara. Bangunan itu
berkesan megah, mempunyai pintu gerbang yang jaraknya lebih dari seratus
langkah dari pusat bangunannya sendiri.
Di tanah yang jaraknya lebih
dari seratus langkah itu, dibangun pula rumah-rumah kecil yang merupakan
pemukiman para anak buah Nyai Lembah Asmara. Juga dibangun tempat-tempat khusus
untuk berlatih ilmu. Di sana dipersiapkan sepasukan-prajurit wanita yang kelak
akan menjadi benteng utama dari negeri yang ingin didirikan oleh Nyai Lembah
Asmara. Mereka adalah kaum wanita yang tangguh dan terpilih. Cantik dan
menggiurkan, adalah syarat utama untuk menjadi anak buah Nyai Lembah Asmara. Di
sana, cmta bebas berkeliaran. Pria hanya merupakan barang yang bisa dibeli dan
dijadikan satu kebutuhan hidup bila sewaktu- waktu diperlukan.
Nyai Lembah Asmara dan anak
buahnya dikenal sebagai perempuan-perempuan pemburu cinta yang tak segan-segan
membantai lelaki yang habis dikencaninya. Mereka ditempa oleh Nyai Lembah
Asmara untuk menjadi perempuan yang berjaya di atas kaum lelaki mana pun juga.
Karena menurut ramalan seorang ahli nujum dari Mongol yang pernah bertemu
dengan Nyai. Sang Nyai akan bisa berdiri sebagai ratu di atas segala ratu di
bumi ini, jika ia bisa mempunyai negara yang seluruh punggawa dan prajuritnya
adalah perempuan.Sang Nyai rupanya benar-benar ingin menjadi ratu di atas
segala ratu di bumi.
Kaum lelaki jarang hadir di
lingkungan kekuasaan sang Nyai. Kalaupun ada lelaki di sana, mereka hanyalah
alat pemuas dahaga para wanita Bukit Garinda. Tak ada lelaki yang masuk ke
benteng tinggi itu keluar dalam keadaan segar. Paling tidak mereka meninggalkan
Bukit Garinda dalam keadaan layu dan pucat bagai mayat. Bahkan sering sekali
mereka keluar dalam keadaan luka parah dan tewas sebelum mencapai kaki bukit.
Nyai Lembah Asmara selalu
menempa jiwa anak buahnya untuk tidak terlalu banyak memberi kemanisan kepada
kaum lelaki. Bahkan mereka selalu dianjurkan untuk tidak mudah memberi maaf
atau ampun kepada kaum lelaki. Sekali cabut pedang, pantang dimasukkan kembali
sebelum memenggal kepala seorang lelaki. Tetapi terhadap lawan wanita, Nyai
tidak menyalahkan anak buahnya jika ada yang punya kebijakan ataupun tenggang
rasa.
Satu-satunya mantan murid Nyai
yang melarikan diri dari Bukit Garinda karena tak tahan terhadap kekangan
peraturan di sana adalah Peri Malam, yang kemudian bertemu dengan penguasa
Pulau Hantu berjuluk Si Mawar Hitam, lalu diangkat sebagai muridnya. Pada waktu
itu, Peri Malam belum mempunyai ilmu tinggi dan masih berada di jajaran para
murid tingkat dasar.
Sayang pada waktu Peri Malam
melihat Perawan Sesat bersama Dirgo, si Manusia Sontoloyo itu, ia tidak
mengenali siapa Perawan Sesat. Karena pada waktu Peri Malam meninggalkan Bukit
Garinda, Perawan Sesat belum menjadi anak buah Nyai Lembah Asmara. Peri Malam
hanya bisa simpulkan, bahwa Perawan Sesat adalah perempuan yang membahayakan,
karena dapat merebut hati Pendekar Mabuk dengan kecantikan dan daya tariknya
yang aneh itu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan Sesat').
Pengejaran Peri Malam saat
melihat Suto melarikan Perawan Sesat ternyata menemui jalan buntu, ia
kehilangan jejak Pendekar Mabuk. Tapi rasa cinta yang makin berkembang di hatinya,
membuat Peri Malam pantang menyerah untuk tetap mencari Suto Sinting, ia selalu
mengandalkan indera penciumannya untuk melacak ke mana arah perginya Suto.
Sampai tiba pada langkah
berikutnya, Peri Malam mulai mencium bau keringat Suto yang punya aroma tuak
bumbung. Mata tajam Peri Malam segera melirik sekeliling. Bahkan ia sentakkan
kaki dan melenting di udara untuk hinggap di salah satu dahan pohon. Dari sana
ia memandang segala penjuru, terutama ke arah datangnya aroma keringat tuak
itu.
"Pasti dia ada di sekitar
sini," pikir Peri Malam. "Bau keringatnya hanya samar-samar, itu
berarti jaraknya cukup jauh dari sini. Hmmm... agaknya aroma keringat Pendekar
Mabuk lebih tajam ke arah utara. Itu berarti dia berada di sebelah utara sana!
Aku harus melacaknya terus!"
Kelebat bayangan kuning adalah
kelebat gerakan Peri Malam yang berpakaian kuning kunyit. Rambutnya yanglurus
melewati pundak masih diikat dengan rantai emas berbatu merah delima di
keningnya.
Bayangan kuning kunyit itu
hinggap kembali ke dahan pohon lain. Peri Malam lemparkan pandangan mata ke
arah jauh. Ia terkesiap sekejap dan hatinya berkata,
"Oh, rupanya aku
mendekati Bukit Garinda?! Dinding bentengnya terlihat jelas dari sini. Dan
anehnya aroma keringat Suto semakin jelas pula. Apakah Suto berada di dalam
benteng sana? Celaka! Celaka kalau dia ada di sana! Bukan hal mudah membebaskan
Pendekar Mabuk dari dalam benteng Bukit Garinda itu. Pasti aku harus berhadapan
dengan anak buah Nyai Lembah Asmara. Ilmuku tak seimbang. Dia bukan lawanku.
Tapi, aku harus bisa
menyelamatkan Suto dari cengkeraman Nyai. Suto hanya akan djadikan sapi perahan
saja di sana. Aku sendiri sangsi, apakah Suto bisa melawan ilmunya Nyai jika ia
melakukan pembangkangan?! Dan yang paling berbahaya adalah ilmu 'Racun Darah
Asmara' milik Nyai! Suto tak akan bisa melawan racun yang amat ganas itu!"
Peri Malam hentikan kecamuk
hatinya. Bahkan ia pun alihkan perhatian ke bawah pohon. Ternyata di sana ada
dua manusia yang terhenti langkahnya karena memandang bangunan di lereng Bukit
Garinda. Mereka adalah seorang lelaki agak pendek dan sedikit gemuk, bersama
seorang perempuan berlilit selendang putih di bagian pinggangnya,menyandang
pedang di punggungnya. Mereka adalah Pujangga Keramat dan Selendang Kubur.
Rupanya mereka sibuk mengamat- amati bagian pintu gerbang benteng itu, sampai
tak menyadari ada sesosok tubuh bertahi lalat di sudut dagunya diam mengawasi
di atas kepala mereka.
"Aku yakin Suto ada di
dalam benteng itu, Paman Pujangga Keramat," kata Selendang Kubur menirukan
panggilan Suto terhadap Pujangga Keramat.
"Harus kita masuk bisa ke
sana!" kata Pujangga Keramat dengan susunan kata yang selalu harus disusun
kembali oleh lawan bicaranya.
"Tapi sebelum kita
mendobrak masuk, ada baiknya kalau kita selidiki dulu apakah Suto benar-benar
ada di sana, dan di sebelah mana. Jadi kita tidak buang-buang waktu dan tenaga
jika harus membantai habis orang-orangnya Nyai Lembah Asmara."
"Setuju aku gagasanmu
dengan!"
Kemudian, Pujangga Keramat
memasukkan jari telunjuknya ke mulut. Sebentar kemudian dikeluarkan lagi. Jari
telunjuk yang basah oleh ludahnya itu diangkat ke atas dengan tangan teracung
naik. Ia pejamkan mata sebentar. Selendang Kubur memandangi dengan dahi kerut.
Heran melihat apa yang dilakukan Pujangga Keramat.
Kejap berikut, Pujangga
Keramat turunkan tangan dan berkata,
"Suto memang ada benteng
di dalam."
"Maksudmu, Suto ada di
dalam benteng itu?"
"Ya!" jawabnya
tegas.
Selendang Kubur
manggut-manggut sambil menatapbangunan itu. Hatinya membatin geli melihat cara
Pujangga Keramat melacak Suto.
"Cara yang dipakai
seperti cara orang yang mencari tahu arah angin berhembus. Tapi hebat juga dia,
bisa lacak Suto pakai jari telunjuk yang dibasahi."
Peri Malam yang bertengger di
atas mereka juga ingin tertawa geli melihat cara Pujangga Keramat melacak Suto.
Hampir saja ia hamburkan tawa kalau tidak segera tutup mulutnya pakai tangan.
Pujangga Keramat berkata
kepada Selendang Kubur, "Aku tangkap Pendekar Mabuk dan seorang
perempuan."
"Pasti dia si Perawan
Sesat itu!"
"Sesat bukan! Perempuan
itu ada lalat bertahi di dagunya, ada kuning kunyit di pakaiannya...."
"Peri Malam!" sahut
Selendang Kubur cepat dan terkejap. Ia segera palingkan wajah pandang Pujangga
Keramat. "Itu ciri-ciri Peri Malam!" katanya menegaskan.
"Mungkin, ya!"
"Apakah dia berada
bersama Suto?" tegang wajah Selendang Kubur tak bisa disembunyikan.
"Bersama Suto tidak! Itu
perempuan tidak ada Suto di sampingnya."
"Lantas, ada di mana
perempuan itu jika tidak ada di samping Pendekar Mabuk?"
"Bertengger dia kepala
kita di atas," jawab Pujangga Keramat membingungkan Selendang Kubur.
Di atas pohon, Peri Malam
menggerutu dalam hati,
"Sial! Rupanya orang itu
tadi bukan hanya melacak Suto, namun juga melacak diriku yang ada di atasnya.
Hm... tak ada guna aku tetap diam di sini!"
Saat Selendang Kubur kerutkan
dahi untuk susun kembali kata-kata Pujangga Keramat tadi, tahu-tahu angin berhembus
cepat dari atas kepalanya. Selendang Kubur cepat lompatkan tubuh ke kanan,
hindari hembusan angin yang mencurigakan itu.
Jleeg... !
Hembusan angin hilang, Peri
Malam menampakkan diri. Ia tampakkan kedua kaki di tanah dengan mantap, jarak
empat langkah dari Selendang Kubur yang bersebelahan dengan Pujangga Keramat.
Peri Malam segera sunggingkan senyum sinis pada Selendang Kubur .
"Kita bertemu lagi,
Selendang Kubur!" ucap Peri Malam dengan sorot mata tajam.
Selendang Kubur tak mau kalah,
ia ucapkan kata pedas,
"Mungkin kau ingin
serahkan nyawa padaku, Peri Malam! Aku pun siap menebas lehermu dengan
pedangku!"
Tangan Selendang Kubur
bergerak ke belakang, mau pegang gagang pedang Jalaganda. Tapi itu hanya
gertakan belaka. Buktinya ia segera turunkan tangan setelah Peri Malam
sunggingkan senyum lebar dan ucapkan kata,
"Tak mungkin kau mau
tebas leherku pakai pedangmu. Kau akan merasa sayang jika darahkumelumuri
pedangmu. Aku tahu, kau bawa pedang itu hanya untuk melawan Nyai Lembah Asmara!
Pedang itu adalah senjata pamungkasmu untuk merebut Suto dari tangan
Nyai!"
"Tapi jika kau ingin
merampas Pendekar Mabuk, aku pun siap tebaskan pedang ini ke lehermu, kapan
saja aku mau!"
"Kau tak akan mampu,
Selendang Kubur," Peri Malam cibirkan bibir dan berpaling membelakangi
Selendang Kubur, menatap ke arah bangunan ber- benteng hitam keabu-abuan itu.
Selendang Kubur menghempaskan
napas jengkel, ia perdengarkan geram dari mulutnya. Saat ia ingin bergerak
maju, tangan Pujangga Keramat menghalangi langkahnya. Selendang Kubur cepat
menatap.
"Biar kubuktikan bahwa
aku mampu menebas batang lehernya!"
"Tak perlunya ada!"
kata Pujangga Keramat.
Peri Malam balikkan badan,
lalu berkata pada Selendang Kubur,
"Tepat apa kata dia, tak
perlu kau tebas batang leherku untuk saat ini. Kau hanya akan buang-buang waktu
dan tenaga. Aku tahu, saat ini waktu dan tenagamu amat berguna buat loloskan
Suto keluar dari benteng itu! Tapi ketahuilah, Selendang Kubur... tak semudah
menimba air jika kau ingin loloskan Pendekar Mabuk keluar dari benteng itu. Kau
harus berhadapan dengan Nyai Lembah Asmara yang punya ilmu cukup tinggi, dan
lebih tinggi dari kita bertiga! Kau akan mati sia-sia jika nekat masuk ke sana
dan mencari Suto."
"Mati itu nomor sepuluh.
Nomor satu adalah loloskan Suto dari cengkeraman mesra Nyai Lembah
Asmara!" Selendang Kubur ucapkan kata itu dengan mata menyipit dendam.
"Itu pun tak mudah kau
lakukan," kata Peri Malam sambil lepaskan tawa mengikik. "Kau akan
mati sebelum sampai berhadapan dengan Nyai Lembah Asmara. Dia punya anak buah
berilmu tinggi semua. Tak ada yang bisa masuk ke sana untuk menarik keluar Suto
kecuali aku!"
"Cuih...!" Selendang
Kubur meludah ke samping. "Ilmu kanuraganmu belum ada seujung kuku
hitamku, beraninya berlagak mau selamatkan Pendekar Mabuk dari dalam sana?!
Bercerminlah dulu, Peri Malam!"
"Jangan remehkan aku,
Setan!" geram Peri Malam
"Nyatanya beberapa kali
kau bertemu denganku, kau tak sanggup mengalahkan aku! Kalau aku tak punya rasa
kasihan padamu, sudah sejak kemarin nyawamu kukirim ke neraka!"
"Mulut besar! Mari kita
buktikan sekarang, siapa yang harus pergi ke neraka. Kau atau aku!
Hiaaat...!"
Selendang Kubur sentakkan kaki
kirinya ke tanah dan tubuhnya melayang terbang ke arah Peri Malam. Kaki
kanannya lurus ke samping dan berusaha menendang kepala Peri Malam dengan
tendangan miring.
"Hup...!"
Plak... !
Peri Malam sedikit lompatkan
badan sambil kibaskan tangannya untuk menangkis kaki Selendang Kubur.Tangkisan
itu cukup pelan, tapi membuat Selendang Kubur terjengkang jatuh. Sementara itu,
Peri Malam sigap kembali berdiri, menunggu serangan berikutnya. Selendang Kubur
bisikkan kata di hatinya, "Lumayan juga tangkisan tangannya. Dia salurkan
tenaga dalamnya tadi hingga bikin kakiku sedikit kesemutan!"
Di sisi lain, Peri Malam juga
bisikkan kata dalam hatinya, "Setan! Linu juga tulangku menangkis
tendangannya. Pasti dia salurkan tenaga dalamnya ke kaki. Agaknya dia tidak
main-main! Aku harus lebih waspada lagi."
Melihat Selendang Kubur
bangkit kembali, Peri Malam segera sentakkan kaki ke tanah dan melesat naik
tubuhnya, berjungkir balik satu kali di udara.
Wuuss ... !
Tepat pada saat itu, Selendang
Kubur pun melesat naik ke udara dan bersalto satu kali di udara. Wusss...!
Kedua tangan mereka siap di
udara dengan tenaga dalam yang tidak main-main. Wajah mereka sama-sama
tampakkan kegeraman dan nafsu untuk saling membunuh.
Tiba-tiba Pujangga Keramat
hentakkan kakinya ke tanah dan lompatlah tubuhnya melayang maju ke pertengahan
antara dua perempuan itu. Dengan cepat kedua kaki Pujangga Keramat sentakkan
kaki ke kiri dan ke kanan secara bersamaan.
Beegh... begh...!
Dua tendangan samping yang
dilakukan secara serentak itu mengenai perut dua perempuan itu.
Tendangan tersebut juga bukan
tendangan main-main. Buktinya dua-duanya sama-sama tersentak ke belakang,
bahkan sama-sama membentur pohon.
Jleeg...! Pujangga Keramat
kembali berdiri sigap di tanah setelah melakukan tendangan serentak, ia
pandangi kedua perempuan yang saling menahan rasa mual di perut mereka, dan
berusaha sama-sama berdiri lagi.
"Kebo dekil!" sentak
Peri Malam. "Mengapa kau ikut campur urusan kami, hah? Ini urusan
perempuan!"
"Tak maksud punya aku
ikut campur. Hanya aku sekadar unjukkan rasa tak suka aku perselisihan kalian
dengan!"
"Ngomong apa kau ini,
hah?!" Peri Malam makin menyentak.
"Singkir dulu
permusuhan!" kata Pujangga Keramat kepada Selendang Kubur, lalu palingkan
wajah pada Peri Malam dan ucapkan kata,
"Sama-sama kalian punya
ingin, sama-sama selamatkan Suto, jadi sama-sama kalian satukan untuk kekuatan
menyerang!"
"O, kau berharap kita
bersatu menyerang benteng itu untuk selamatkan Pendekar Mabuk?!"
"Ya. Itulah maksud yang
aku!"
"Selendang Kubur!"
ketus Peri Malam setelah merasa tetap bingung mengartikan kata-kata Pujangga
Keramat. "Coba jelaskan apa maksudnya?"
"Dia ingin kita bersatu
menembus benteng itu, membawa lari Suto!"
"Hmm... ! Lalu, kau
sendiri bagaimana?""Gagasannya cukup bagus. Kita satukan kekuatan
kita untuk mengalahkan Nyai Lembah Asmara. Kita keluarkan Suto dari sana.
Setelah itu kita adu nyawa kita, siapa hidup dapatkan Suto!"
"Baik! Aku setuju!"
jawab Peri Malam dengan tegas,tanpa ada sedikit pun keraguan dan kegentaran.
***7***
ORANG-ORANG Bukit Garinda
seperti hanyut dalam mimpi semua saat melihat kedatangan Suto Sinting. Tak ada
mata yang berkedip ketika Pendekar Mabuk melintas di depan mereka di bawah pengawalan
Maharani dan Putri Alam Baka.
Suto dibawa masuk ke sebuah
ruangan lebar beratap tinggi, mempunyai pilar-pilar kokoh dan lantai yang
mengkilap. Agaknya ruangan itu merupakan bangsal pertemuan bagi mereka. Di sana
hanya ada satu tempat duduk yang menyerupai singgasana raja berwarna kuning
keemasan. Letaknya pada lantai yang bertangga empat baris. Lebih tinggi dari
lantai lainnya.
Tepat di belakang singgasana
itu ada lorong bertirai kain ungu. Dari lorong itu segera muncul seorang
perempuan bertubuh tinggi dan sekal. Wajahnya cantik namun berkesan keras.
Pakaiannya hijau pupus, atau hijau muda dengan mengenakan pakaian model jubah
warna merah dadu. Rambutnya panjang diriap, mengenakan mahkota kecil berhias
batu-batuan permata putih, ia juga mengenakan kalung permata bersusun dua,
gelang gemerincing di tangan kanan-kiri dan anting panjang berkilap sebagai
pelengkap perhiasannya.
Ia mempunyai bentuk wajah
lonjong; berhidung mancung, bibirnya agak tebal dan lebar, ia mempunyai mata
lebar berbulu lentik. Tepian matanya berwarna hitam, menampakkan kesan buas dan
galak.
Orang itulah yang dihormati
oleh mereka sebagai Nyai Lembah Asmara. Ketika ia muncul dari lorong bertirai
ungu, semua yang ada di situ merendahkan badan dengan satu kaki berlutut di
lantai dan kepala menunduk sekejap. Hanya Suto yang masih berdiri sambil
pandang kanan-kiri dengan heran dankagum melihat bangunan mewah itu. Ia bahkan
tidak begitu tertarik untuk memperhatikan Nyai Lembah Asmara yang segera duduk
di singgasananya.
"Putri Alam Baka!"
Nyai Lembah Asmara mengawali suaranya yang lantang. "Di mana Perawan Sesat
yang kau kawal itu?"
"Dia melakukan
pembangkangan, Nyai!"
Wajah sang Nyai tampak makin
mengeras menahan amarah mendengar kabar tersebut, ia menggeram, "Sudah
kuduga sebelumnya!" Kemudian ia serukan kata kepada Putri Alam Baka,
"Apa tindakanmu terhadap
dia?!"
"Membunuhnya."
"Bagus! Ha ha
ha...!" Nyai Lembah Asmara tertawa lepas, berkesan kasar dan liar.
Maharani dan Putri AlamBaka saling pandang dalam senyum kebanggaan. Hanya Suto
yang tidak tertawa karena merasa heran saat memandangi Nyai Lembah Asmara itu.
"Di mana orang yang
bernama Dyah Sariningrum?" pikir Pendekar Mabuk, "Sejak tadi tak
kulihat wajah Dyah Sariningrum. Apakah Perawan Sesat telah menipuku?"
Terdengar suara Nyai Lembah
Asmara serukan tanya kepada Putri Alam Baka,
"Siapa pemuda yang kau
bawa ini, Sumbi?!"
"Orang bawaan Perawan
Sesat. Siapa lagi dia kalau bukan Pendekar Mabuk, lelaki tanpa pusar yang Nyai
cari-cari itu."
"Ha ha ha ha...! Bagus,
bagus, bagus...!" makin meledak tawa Nyai Lembah Asmara, makin tampak
kegirangannya, makin terpana pula ia memandangi Pendekar Mabuk. Kejap
berikutnya ia melambaikan jemarinya yang berkuku panjang dan runcing, ia
memanggil Suto agar mendekatinya.
"Datanglah kemari, Suto.
Dekatlah padaku."
Suto diam dengan mata merah
bagai orang mengantuk karena mabuk. Mulutnya sedikit terbuka berkesan bengong,
seakan tidak mengerti apa maksud kata-kata Nyai Lembah Asmara.
"Dekatlah padaku,
Suto!" suara Nyai agak meninggi, ini menandakan ia mulai tak sabar lagi.
Putri Alam Baka segera bangkit
dan mendekati Suto, lalu ia bisikkan kata ke telinga Suto.
"Kau dipanggil. Dekatlah
sana!"
"Siapa?"
"Kau...!"
"Ah, aku tak pernah
butuhkan dia," kata Pendekar Mabuk bersuara sumbang. "Kalau dia butuh
aku, biarlah dia yang mendekatiku."
"Jangan bikin dia marah,
Suto! Cepatlah mendekatinya."
"Tak mau! Aku tak butuh
dia!" Suto Sinting bersungut-sungut dan buang muka. Sikap Suto mencemaskan
hati Maharani, Putri Alam Baka, dan orang-orang yang ada di situ. Selama ini
tak ada orang yang berani menolak panggilan Nyai Lembah Asmara. Penolakan itu
bisa membuat Nyai menjadi murka.
Tapi agaknya Nyai Lembah
Asmara tidak bersikap seperti biasanya, ia justru tertawa semakin kegirangan
melihat Suto menolak panggilannya, ia berseru kepada anak buahnya,
"Lihat! Lihatlah dia!
Penolakannya itu menandakan bahwa ia tidak mudah tertarik dengan seorang
perempuan. Itu pertanda dia punya harga diri yang cukup tinggi dan sudah sepantasnya
aku mendapatkan pria yang punya harga diri tinggi. Penolakannya itu menandakan
pula bahwa dia... masih perjaka! Ha ha ha...!"
Yang lain ikut tertawa bagai
mendukung kegembiraan Nyai Lembah Asmara. Tapi Suto tetap tidak mau ikut
tertawa, ia bahkan menatap tiap wajah yang ada di situ, mencari seraut wajah
yang pernah ia temui di alam semadinya, juga yang sering hadir di alammimpinya.
Wajah itu adalah wajah Dyah Sariningrum.
Nyai Lembah Asmara bangkit dan
langkahkan kaki menuruni tangga dengan pelan-pelan. Sisa tawanya masih sesekali
terdengar bagaikan gumam, ia mendekati Suto dengan tatapan mata yang tajam
berseri-seri. Orang yang ada di dekat Suto segera menyingkir jauh, memberi
jalan untuk sang Nyai Lembah Asmara.
"Perkasa sekali...,"
ucap sang Nyai Lembah Asmara dengan suara mirip orang mendesah kagum.
"Tampan, gagah, dan sungguh menggairahkan...!"
Nyai Lembah Asmara mengelilingi
Suto Sinting dengan sorot pandangan mata tak berkedip. Suto hanya diam dengan
sedikit mulut terbuka melongo, sambil matanya ikut memandangi Nyai Lembah
Asmara dengan perasaan heran.
"Lihat ototnya,"
kata Nyai kepada Maharani, "Ototnya tampak keras, besar, tapi halus
lembut. Laki- laki gagah perkasa seperti inilah yang akan memberiku keturunan
seorang penerus kesaktianku. Dia yang akan merajai seluruh kekuatan di rimba
persilatan. Dia tak akan ada tandingnya! Dan anakku nanti jika perempuan tentu
akan secantik ibunya, jika lelaki tentu akan setampan ayahnya."
Wajah mereka berseri-seri,
seakan ikut menyambut rencana kehadiran sang bayi dengan gembira. Nyai Lembah
Asmara semakin bangga melihat wajah-wajah anak buahnya berseri gembira, dia
semakin yakin bahwa sebentar lagi dia akan mempunyai keturunan dari seorang
pendekar tampan yang bertubuh kekar perkasa itu.
"Kalian tahu!"
serunya lagi, "Pendekar Mabuk inilah satu-satunya lelaki yang bisa
memberiku keturunan, sebab ia lelaki tanpa pusar. Kalian tahu kehebatan lelaki
tanpa pusar? Oh, dia adalah orang yang punya napas panjang, tidak cepat lelah,
punya ketangguhan dalam bercinta dan punya kesanggupan memberikan
kehangatan."
"Woww...!" mereka
menyahut serempak penuh ungkapan rasa kagum.
"Tapi sayang, hanya aku
yang bisa menikmati dia! Karena dia laki-laki istimewa yang tak bisa kubagikan
kepada Putri Alam Baka, atau kepada Maharani, atau kepada kalian semua!"
Suto tak peduli celoteh itu.
Dengan tenangnya ia buka tutup bumbung tuak, dan ia tenggak tifeDerapa teguk
dengan rasa lega. Mata mereka memandang tanpa kedip. Sebagian perempuan yang
ada di situ saling berdebar- debar gemas ketika melihat Pendekar Mabuk
dongakkan kepala untuk menenggak tuak dalam bumbung. Pendekar Mabuk yang tampak
bidang dadanya, kelihatan lebih perkasa dan menggairahkan.
Nyai Lembah Asmara
tersenyum-senyum dan berkata kepada Maharani,
"Aku sudah tak tahan
lagi. Bawa dia ke kamarku, Maharani! Tapi awas, jangan sampai kau menyentuhnya
lagi. Dia sudah menjadi kekuasaanku, dari ujung rambut sampai ujung
kakinya!"
"Baik, Nyai!"
Maharani berikan hormat pertandapatuh dan taat. Lalu ia bicara kepada Suto,
"Mari kuantar ke kamar,
Suto!"
"Ke mana...?!" mata
Suto makin sayu.
"Ke kamar peraduan,"
jawab Maharani. "Nyai sudah tak bisa bersabar lagi. Kau harus segera masuk
ke kamar peraduan bersama beliau!"
"Aku kemari bukan mencari
kamar," kata Suto Sinting. "Aku mencari kekasihku yang selalu hadir
dalam mimpiku!"
Nyai Lembah Asmara menyahut,
"Akulah kekasihmu, Suto!"
"Bukan! Kau bukan
kekasihku. Wajahnya tidak seperti kamu! Dia lebih cantik dan lebih anggun
dibandingkan dirimu, Nyai!"
Maharani mundur dari Suto
ketika dilihatnya wajah Nyai Lembah Asmara menegang. Mata ^Nyai Lembah Asmara
mulai memancarkan murka yang tertahan. Nyai Lembah Asmara mendekati Suto,
sementara Suto masih berdiri dengan tubuh goyang karena mabuk. Agaknya Nyai
berusaha menahan murkanya dengan napas ditarik dalam-dalam dan diendapkan di
dalam dada. Saat itu, Suto Sinting berkata sumbang,
"Aku kecewa datang ke
sini! Perawan Sesat mendustaiku. Aku kecewa ketemu kamu, Nyai!"
"Kekecewaanmu akan sirna
setelah kita berada di dalam kamar!" kata Nyai Lembah Asmara geram.
Pendekar Mabuk gelengkan
kepala sambil bersungut- sungut. "Kurasa sama saja. Di dalam kamar dan di
luar kamar, sama saja kau bikin aku kecewa, karena kau bukan orang yang ada
dalam mimpiku!"
"Aku bisa hadir kapan
saja kau ingin kehadiranku, Suto!"
Suto kembali gelengkan kepala.
"Aku mau pulang saja," katanya seenaknya, ia melangkah dengan
limbung. Nyai Lembah Asmara segera mencekal lengan Suto. Ditariknya tubuh itu,
didekatkan wajahnya, ditatapnya lekat-lekat, lalu dengan nada geram ia berkata,
"Kekasihmu ada di dalam
kamar, Suto!"
"Benarkah begitu?"
Pendekar Mabuk tampak tertarik.
Nyai Lembah Asmara
memanfaatkan itu dengan berkata,
"Dia sudah menunggumu
lama di sana."
"Kalau begitu, antarkan
aku ke kamar!"
Nyai Lembah Asmara tersenyum
lebar. Maka ia pun segera menggandeng Suto dan melangkahkan kaki menuju lantai
yang tinggi, melewatr singgasana, menerobos tirai ungu, dan hilang ke dalam
lorong tersebut.
Orang-orang yang ada di luar,
di sekeliling Maharani dan Putri Alam Baka, mulai bergaung seperti lebah.
Mereka saling memuji ketampanan Pendekar Mabuk, mereka saling menyanjung daya
pikat Suto yang membakar gairah mereka.
Bahkan di salah satu sudut ada
perempuan yang berusaha memuaskan khayalan indahnya bersama Suto.
Kamar peraduan Nyai Lembah
Asmara sangat indah, luas, dan bersih. Baunya wangi cendana. Di sana ada
pembaringan yang berlapis sutera merah jambu, empuk, dan lebar. Lantainya
berlapiskan permadani tebal warnahijau muda. Ruangan itu diterangi oleh cahaya
api dari tungku berbatu bara yang ada di sisi kanan-kiri ruangan. Sungguh
romantis sebenarnya suasana di peraduan itu, sayangnya Suto tidak tergugah
kemesraannya, ia bahkan masih bingung mencari kekasihnya di dalam kamar
tersebut.
"Mana kekasihku? Tak
kulihat ada di kamar ini!" katanya seperti bicara sendiri, tapi didengar
oleh Nyai Lembah Asmara.
"Akulah kekasihmu,
Suto," kata Nyai Lembah Asmara sambil melepas mahkota dan melepas pula
jubah merah jambunya.
Suto bersungut-sungut
memandangnya, lalu berkata, "Bukan kamu! Sudah kubilang wajahnya lebih
cantik dan lebih menggairahkan dari dirimu, Nyai!"
"Jangan bicara begitu,
Suto. Itu sama saja kau membangkitkan amarahku!"
"Aku tidak peduli! Memang
menurut penilaianku dia lebih cantik dari dirimu, Nyai! Aku tak mau bohongi
diriku sendiri."
"Jangan banyak bicara,
Suto! Sebaiknya lekas lepasi pakaianmu. Aku sudah tak sanggup menahan gejolak
hasratku untuk mencumbumu!" sambil Nyai Lembah Asmara mendekat, ia meraih
pundak Pendekar Mabuk, menatap dengan mata berbinar-binar penuh gairah.
Suto Sinting mengelak dan
melangkah ke perapian. "Kau bohong padaku, Nyai. Kau sama dustanya dengan
Perawan Sesat.
Napas panjang ditarik oleh
Nyai Lembah Asmara untuk meredam kemarahannya. Selama ini belum pernah ada
lelaki yang menolak ajakan mesra Nyai. Belum pernah ada lelaki yang menjauhi
saat Nyai Lembah Asmara mendekatinya. Tapi kali ini Suto ternyata berani
melakukan hal itu. Nyai merasa terhina, tapi ia tetap meredam amarahnya, karena
ia berpikir,
"Mungkin ciri-ciri lelaki
tanpa pusar memang begini. Harus ditundukkan dulu sebelum ia memberiku
keindahan yang kudamba!"
Pendekar Mabuk meneguk tuaknya
lagi. Sisa air tuak di bibir disapu dengan tangan kirinya. Bumbung itu dipegang
dengan tangan kiri. Kemudian dilangkahkannya kaki mendekati pintu.
"Aku mau pulang!"
ucapnya kemudian.
Nyai Lembah Asmara segera
melompat ke depan Suto. Melihat Nyai menghadang langkahnya, Suto berkata dengan
tubuh limbung.
"Minggirlah, Nyai. Aku
mau keluar dari kamar ini."
"Berbaringlah di
ranjangku, Suto. Kau akan kuterbangkan tinggi-tinggi mencapai awan-awan indah.
Kita akan berlayar mengarungi lautan cinta yang penuh dengan kenikmatan dan
kemesraan, Suto!"
"Aku tidak bersedia,
Nyai!"
"Jangan bantah
perintahku, Suto!" Nyai Lembah Asmara menyentak agak pelan.
"Aku tak mau tunduk
dengan perintah siapa pun, kecuali perintah dari guruku dan kekasihku!"
"Kau memancing
kemarahanku, Suto. Kau akan menerima akibatnya!""Aku tak menghendaki
keributan di antara kita. Tapi kalau kau mau lampiaskan marah padaku, silakan
saja, Nyai! Aku juga bisa lampiaskan kekecewaanku atas kebohonganmu itu!"
Mata Nyai Lembah Asmara mulai
menyipit tanda menahan kemarahan yang dalam. Tangannya menggenggam kuat,
napasnya mulai tak teratur. Suto masih memandang dengan mata sayu tanpa senyum.
Sesekali tubuhnya tersentak karena cegukan.
Tiba-tiba kaki kanan Nyai
Lembah Asmara bergerak menyentak ke depan, menendang dada Suto. Beegh...! Dada
Suto terkena tendangan itu dengan telak. Pendekar Mabuk tersentak ke belakang,
mundur tiga tindak. Tapi ia justru tersenyum dalam keadaan masih tetap berdiri
walau tubuhnya limbung.
"Tak seberapa berat
tendanganmu, Nyai. Adakah yang lebih berat lagi dari yang tadi?" kata Suto
Sinting sambil menyunggingkan senyum.
"Aku tak ingin mencelakai
dirimu, Suto!"
"Kenapa? Bukankah kau
marah padaku?"
"Memang kau adalah lelaki
yang menjengkelkan. Seharusnya kau menerima hukuman dariku. Tapi kau adalah
pembenihku. Aku tak akan hancurkan pembenihku sendiri."
"Pembenih? Apa itu
pembenih?" Pendekar Mabuk kerutkan dahi.
"Aku harus dapatkan benih
kesuburan darimu, supaya aku bisa mengandung dan melahirkan keturunanku."
"Mengapa aku yang kau
pilih?"
"Jika bukan kamu, tak
akan bisa aku mengandung bayi. Kau adalah lelaki tanpa pusar. Menurut guruku,
aku hanya bisa mengandung dari benih lelaki tanpa pusar. Kaulah orangnya,
Suto."
"Jadi aku dibawa ke sini
hanya untuk menjadi pembenih? Hanya untuk memberimu keturunan?"
"Ya!" jawab Nyai
Lembah Asmara tegas. "Di samping itu... hatiku sesungguhnya telah terpikat
padamu begitu kutatap dirimu dari singgasana tadi."
Pendekar Mabuk tertawa
terkekeh dengan suara sumbang karena mabuknya itu.
"He he he... cepat sekali
kau terpikat pada seorang pria, Nyai. Alangkah murahannya hatimu itu!"
"Baru sekarang kualami
perasaan itu, Suto! Kepada lelaki lain aku hanya terpikat karena birahi semata
Kepadamu, bukan hanya karena birahi yang ingin dipenuhi, tapi karena hati yang
selama ini kosong dan ingin dipenuhi cinta seorang lelaki sepertimu!"
"He he he he...! Rayuanmu
merontokkan gunung batu, Nyai. Tapi tak akan bisa melelehkan hatiku. Sebaiknya,
lupakan saja tentang pembenih. Carilah lelaki lain yang tanpa pusar! Aku tidak
mau melayanimu, Nyai. Aku harus segera pergi dari sini!"
"Suto...!" sentak
Nyai Lembah Asmara mulai tampakkan ketidaksabarannya. "Kau tak punya
pilihan lain. Kau harus mau memberiku benih dan melayani asmaraku, Suto! Kalau
sekali lagi kau menolaknya, kau akan menyesal!"
"Aku pilih
menyesal," kata Pendekar Mabuk semakinnekat bicara. Kata-kata itu membuat
Nyai Lembah Asmara semakin geram, penuh dengan kejengkelan hati.
Crrap...! Tiba-tiba dari mata
lebar Nyai Lembah Asmara memancarkan sinar ungu dalam sekejap. Sinar itu
menembus masuk ke bola mata Suto yang mengantuk itu. Suto merasa silau sejenak
dan kibaskan tangannya, tapi sinar ungu itu sudah telanjur masuk ke dalam kedua
bola matanya. Sinar ungu itulah yang dikhawatirkan Betari Ayu sebagai sinar
'Racun Darah Asmara'.
Tubuh Pendekar Mabuk tiba-tiba
merasa panas. Keringat pun mulai bermunculan dari tiap pori-pori tubuhnya.
Jantungnya berdetak cepat, hatinya berdesir- desir. Dalam hati Suto Sinting
bertanya pada diri sendiri,
"Kenapa aku ini? Mengapa
aku jadi berdebar-debar dan darahku seperti sedang mengalir dengan cepatnya Oh,
begitu indahnya wajah di depanku Itu. Alangkah menggairahkannya perempuan ini.
Aku-aku terpikat olehnya. Oh, aku jadi ingin memeluknya. Aneh sekali. Ini pasti
gairah yang hadir di luar kemauan hati kecilku. Oh, aku telah terkena kekuatan
hitam yang membuat gairahku meledak-ledak. Aku harus melawan! Harus
melawan."
Tapi ketika Pendekar Mabuk
didekati Nyai Lembah Asmara, ia tidak mengelak dan diam saja menerima sentuhan
jemari Nyai Lembah Asmara di bagian dadanya. Bahkan ketika Nyai Lembah Asmara
sedikit tengadah kepala dengan bibir merekah, Suto memandangnya makin penuh
gairah.
"Ciumlah aku...,"
perintah Nyai Lembah Asmara bernada bisik.
Suto pun mencium bibir itu.
Mengecup dan melumatnya yang segera mendapat perlawanan tak kalah panas dari
Nyai Lembah Asmara sendiri. Hanya saja di dalam hati Suto, terlintas
pertanyaan-pertanyaan yang menggundahkan hatinya.
"Mengapa aku mau? Mengapa
aku menurut? Mengapa bibir ini kupagut? Apakah aku harus pasrah dan membiarkan
hasratku dipenuhi oleh kehangatan tubuhnya? Ah..., mengapa jiwaku jadi bimbang
begini?!"
Pendekar Mabuk menurut ketika
tubuhnya di dorong ke belakang dan jatuh terbaring di ranjang empuk itu.
Blukkk...! Nyai Lembah Asmara
menerkamnya.
***8***
CINTA mengamuk di hati dan
jiwa Nyai Lembah Asmara. Amukan cinta itu begitu gemuruhnya, hingga menutup
kedua gendang telinga Nyai Lembah Asmara dari seruan dan pekikan di luar kamar.
Apalagi saat itu Pendekar Mabuk pun tampak ingin meronta dan melawan kekuatan
racun Darah Asmara dengan kekuatan batinnya.
Suara-suara pekik, jerit, dan
seruan keras itu datang dari orang-orang yang sedang menghadapi tiga sosok
manusia nekat, yaitu Pujangga Keramat, Selendang Kubur, dan Peri Malam. Mereka
mengamuk di pintu gerbang, lalu menerobos masuk membantai orang-orangyang
menghalangi langkah mereka.
Jarum beracun milik Peri Malam
mulai beraksi kembali. Bambu kecil berukuran yang sejengkal yang selalu
diselipkan di belahan dadanya itu meluncurkan jarum beracun saat bambu itu
ditiup oleh Peri Malam. Banyak leher yang jadi sasaran jarum beracun itu dan
membuat korbannya membusuk lalu mati.
Selendang putih milik murid
Nyai Betari Ayu itu pun melecut ke sana-sini. Selendang Kubur mengamuk bersama
selendang pusakanya yang mampu mengeluarkan percikan api petir dan menyambar
kepala- kepala anak buah Nyai Lembah Asmara, ia sengaja belum mau menggunakan
pedang Jalaganda-nya, karena pedang itu dipersiapkan untuk melawan Nyai Lembah
Asmara yang kesohor keji dengan tingginya ilmu yang dimiliki.
Pujangga Keramat pun tak mau
hanya sebagai penonton, ia sebagai pelayan dari si Gila Tuak, gurunya Suto
Sinting, merasa lebih bertanggung jawab terhadap keselamatan Suto. Karena itu,
ia menerobos masuk ke bangsal pertemuan mencari Suto di sana.
"Cari Suto di dalam, biar
aku dan Peri Malam yang menghadapi tikus-tikus ini, Paman!" sera Selendang
Kubur sebelum Pujangga Keramat menerobos masuk ke bangsal pertemuan.
Sampai di sana ia berseru,
"Sutooo...! Di mana ada kau, Suto!"
Tiba-tiba dari arah samping
melesatlah gelombang panas yang menuju ke arah Pujangga Keramat. Wuuss...!
Pukulan jarak jauh disentakkan
dari kipas Maharani.
Merasakan adanya gelombang
hawa panas yang ingin menghantamnya, Pujangga Keramat segera sentakkan kaki dan
lompat tinggi dengan bersalto di udara satu kali. Tapi tangannya pun bergerak
menyentak ke arah samping memberi pukulan jarak jauh sebagai balasan .
Wuugh...! Pukulan ini lebih
besar dari milik Maharani. Tapi Maharani sangat waspada dan sudah menduga hal
itu akan terjadi. Maka sebelum pukulan itu itu melesat lebih jauh, Maharani
sentakkan kakinya ke lantai dan tubuhnya melenting di udara.
Hiaaat...!"
Dueerrr...! Brusss..!
Tenaga dalam Maharani
menghantam pilar, tenaga dalam Pujangga Keramat menghantam dinding. Pilar
menjadi gompal, dinding menjadi retak. Tapi keduanya tak pernah peduli.
Keduanya sudah saling berhadapan dan siap menyerang sewaktu-waktu.
"Suto mana?!" sentak
Pujangga Keramat.
"Kau langkahi bangkaiku
baru kau bisa melihat di mana Suto!' kata Maharani sambil tetap membuka
kipasnya di dada. Kedua kakinya merenggang rendah, satu tangannya naik di atas
kepala.
Pujangga Keramat menggeram.
"Mati kau jangan aku salahkan."
Setelah berkata demikian,
Pujangga Keramat melejitkan tubuh ke depan dengan tangan siap dihantamkan.
Maharani pun segera sentakkan kaki dan tubuhnya melayang naik, melesat cepat
dengan kipasterbuka di depan. Saat Pujangga Keramat hantamkan kedua tangannya
Maharani menahan pukulan itu dengan kipasnya.
Braagh.. !
Wuusssh... !
Tubuh mereka sama-sama
terpental ke belakang, sama-sama jatuh ke lantai, hampir membentur pilar. Tapi
keduanya sama-sama jatuh dalam posisi berdiri merendah.
"Haaaghh...! Pujangga
Keramat hembuskan napas berat untuk mengumpulkan tenaganya kembali.
Sama juga yang dilakukan oleh
Maharani, hanya saja hembusan napas berat Maharani tak menimbulkan bunyi.
"Besar juga tenaga
dalamnya," pikir Maharani. "Siapa orang ini? Aku tak pernah
melihatnya! Tapi agaknya ia punya urusan penting dengan Pendekar Mabuk. Mungkin
juga ada hubungan lain dengan Suto. Aku tak boleh gegabah melawannya."
Pujangga Keramat
menggerak-gerakkan tangan di depan wajah sampai kesepuluh jarinya menjadi keras
sekali. Ketika tangan kanannya ditarik sampai di telinga, tangan kirinya tetap
sedikit terlipat di depan dada, ia berhenti dari segala gerakannya. Matanya
memancarkan penglihatan yang tajam dan bernafsu untuk membunuh.
"Suto katakan di
mana?!" bentaknya.
"Sudah kubilang, Suto ada
di balik bangkaiku!"
"Hiaaat...!"
Pujangga Keramat bagaikan terbang menuju lawannya. Maharani pun cepat jejakkan
kaki lagi
dan melesat terbang menyambut
kehadiran jurus lawannya.
Tapi tiba-tiba sebelum mereka
saling bertemu, seberkas sinar putih keperakan melesat cepat menghantam tubuh
Pujangga Keramat.
Craas... !
"Haagh...!"
Pujangga Keramat lebarkan
mata. Sinar putih itu bagai mata pedang yang amat tajam. Merobek perutnya dari pinggang
kanan sampai ke pinggang kiri. Tak disangkal lagi, tubuh itu pun jatuh tanpa
daya. Darah memercik ke mana-mana. Pujangga Keramat masih sempat erangkan suara
dan berusaha bangkit. Namun baru satu kaki yang bisa menapak, ia sudah rubuh
lagi tak berkutik selamanya. Maharani cepat gerakkan kepalanya berpaling ke
samping. Di sana ada wajah Putri Alam Baka yang sedang berdiri dingin dan tajam
tatap matanya. Putri Alam Baka serukan kata,
"Terlalu lamban kau,
Maharani! Dalam satu jurus orang itu sebenarnya harus sudah bisa kau
robohkan!"
"Dia terlalu kuat
untukku!"
"Omong kosong! Kau hanya
coba-coba tadi. Terlalu lama untuk membunuh orang macam dia!"
"Baiklah! Aku memang
terlalu lamban untuk kali ini!"
Putri Alam Baka bergegas
langkahkan kaki menuju luar sambil ia berkata,
"Hancurkan dua kunyuk tak
tahu sopan itu! Salah satunya kukenal dia sebagai Sundari! Bekas orang kitayang
lari menjadi murid si Mawar Hitam!"
"Tapi kita tidak punya
urusan dengan penguasa Pulau Hantu itu!" kata Maharani sambil ikuti langkah
Putri Alam Baka dan lompati mayat Pujangga Keramat.
"Tak peduli apa urusan
mereka mengamuk di sini, tugas kita adalah hancurkan mereka jika perlu tanpa
sisa sedikit pun!"
Selendang Kubur sedang
terpojok di salah satu bangunan seperti barak, ia menghadapi tiga lawannya yang
bersenjata tombak semua. Selendangnya berkelebat cepat bagaikan kilat,
menyambar ke sana-sini, dan akhirnya tiga lawannya itu pun tumbang tak berkutik
lagi.
Baru saja ia hendak lentingkan
tubuh menuju ke arah Peri Malam yang dikeroyok oleh lima lawan itu, tiba-tiba
sesosok tubuh meluncur turun dan atap barak. Jleeg...! Orang itu berdiri di
depan Selendang Kubur dengan mata memandang tajam.
"Nyai...?!" sentak
Selendang Kubur. Ia terkejut sekali memandang orang yang muncul di depan itu.
Sekejap ia tak bisa bicara. Orang yang ada di depannya itu cepat ulurkan tangan
dan berkata, "Serahkan pedang itu!"
"Tidak bisa, Nyai. Saya
sudah siap mati demi Pendekar Mabuk!"
"Jangan bodoh, Selendang
Kubur! Serahkan pedang itu padaku!"
Selendang Kubur sempat sangsi
dan ragu-ragu. Kalau saja yang meminta orang lain, sudah pasti ia tak ragu-
ragu untuk mempertahankan. Tapi kali ini yang memintanya adalah gurunya
sendiri, Nyai Betari Ayu. Selendang Kubur punya rasa takut untuk mempertahankan
pedang Jalaganda itu, ia memang tidak pernah menduga Nyai Betari Ayu mau turun
tangan untuk urusan di Bukit Garinda itu.
''Nyai, saya ...... "
"Serahkan pedang itu, dan
aku yang akan menghadapi Nyai Lembah Asmara!" kata Betari Ayu tanpa senyum
dan keramahan seperti biasanya. Selendang Kubur melihat kemarahan mulai merona
di wajah Nyai Guru Betari Ayu.
Selendang Kubur melihat
kesungguhan sikap gurunya yang ingin melawan Nyai Lembah Asmara itu. Karenanya,
Selendang Kubur pun segera menyerahkan pedang Jalaganda itu kepada Nyai Guru
Betari Ayu.
"Kalau Nyai gunakan
pedang itu, berarti Nyai akan mati di ujung kemenangan," Selendang Kubur
memberanikan diri ingatkan gurunya tentang pusaka keramat pedang Jalaganda.
Nyai Guru Betari Ayu berkata,
"Tidak akan kugunakan pedang ini!"
"Tapi... tapi Nyai Guru
akan kalah menghadap Nyai Lembah Asmara jika tanpa menggunakan pedang pusaka
itu, Nyai!"
Seorang penyerang bersenjata
kapak melesat terbang, sasarannya adalah punggung Betari Ayu, Selendang Kubur
tersentak kaget melihat serangan mendadak yang mengancam gurunya itu. Tapi,
belum sampai Selendang Kubur lepaskan pukulan jarak jauhnya, tubuh Nyai
GuruBetari Ayu sudah lebih dulu berkelebat memutar, tangan kanannya terangkat
tegak di depan mata dengan kelima jari tangan merapat. Lalu, melesatlah sinar
putih menyilaukan sebesar lidi.
Zuiitt...!
Crrasss...!
Cras, craasss... !
Sinar putih menyilaukan itu
menembus tubuh lawan yang memegang kapak. Orang tersebut jatuh ke tanah, bagian
ulu hatinya berlubang sebesar bumbung tuak milik Pendekar Mabuk. Orang itu tak
bergerak ataupun bersuara sedikit pun. Matanya tetap mendelik namun nyawanya
telah melesat pergi tinggalkan raga.
Selendang Kubur masih
terkesima melihat kekuatan dahsyat yang dimiliki gurunya. Lebih terbengong lagi
ketika Selendang Kubur mengetahui, dua orang yang ada di belakang korban
pertama itu juga terkena tembusan sinar putih menyilaukan. Kedua orang yang
sedang melawan Peri Malam itu tumbang tak berkutik dengan luka bolong seperti
luka orang bersenjata kapak tadi. Rupanya sinar menyilaukan itu bisa menembus
dua-tiga tubuh lawan sekaligus. Dan hal itu belum pernah disaksikan oleh
Selendang Kubur selama ia menjadi murid Nyai Betari Ayu.
"Tak kusangka Guru
mempunyai simpanan ilmu sedahsyat itu!" katanya di dalam hati.
Sinar putih menyilaukan itu
keluar cepat bagaikan kilat dari sebuah cincin di jari tengah tangan kanan
Betari Ayu.
Cincin itulah yang dinamakan
Pusaka Manik Intan. Melihat keindahan cincin berwarna putih berlian itu,
Selendang Kubur ajukan tanya,
"Mengapa baru sekarang
Guru gunakan cincin itu?"
"Karena baru kudapatkan
dari Telaga Manik Intan."
"Hah....?!"
Selendang Kubur terperanjat. "Jadi... itukah yang dinamakan Cincin Manik
Intan?"
"Betul, Selendang Kubur.
Nah, sekarang hadapilah mereka, aku akan menerobos masuk ke kamar Nyai Lembah
Asmara!"
"Baik, Guru...!"
Seperti kilat tubuh Betari Ayu
melesat. Selendang Kubur masih terkesima dengan cincin pusaka yang ternyata ada
di tangan gurunya.
"Pantas Nyai Guru tidak
mau menggunakan pedang itu tapi berani menghadapi Nyai Lembah Asmara, rupanya
dia sudah punya pusaka lain yang bisa diandalkan untuk mengalahkan lawannya! Heran
sekali aku, mengapa cincin itu bisa ada di tangan Guru? Padahal tokoh
persilatan sedang memperebutkan cincin yang seharusnya menjadi milik Suto
Sinting itu?!"
Selendang Kubur tak tahu,
gurunya telah menyelam ke dalam Telaga Manik Intan saat Datuk Marah Gadai
mengejar Dirgo Mukti. Sampai cincin itu ditemukan oleh Betari Ayu, kedua orang
itu masih sibuk saling kejar dan saling adu kekuatan. Betari Ayu cepat
tinggalkan Telaga Manik Intan tanpa diketahui oleh Datuk Marah Gadai maupun
Manusia Sontoloyo, Dirgo Mukti itu.
Nyai Betari Ayu merasa
memperoleh kekuatan yangtak lagi menyangsikan hatinya. Cincin Manik Intan
disematkan di jari tengah kanan. Dengan bersenjatakan cincin dahsyat itu, ia
yakin bisa kalahkan Nyai Lembah Asmara tanpa harus menggunakan pedang
Jalaganda.
Tetapi di ujung tangga menuju
bangsal pertemuan, dua sosok perempuan berwajah garang menghadangnya. Mereka
adalah Maharani dan Putri Alam Baka. Langkah Betari Ayu pun terhenti karenanya.
"O, rupanya kau yang
menjadi biang keributan ini, Betari Ayu?!"
"Maharani dan Putri Alam
Baka!" sahut Betari Ayu yang sudah mengenal mereka sejak dulu.
"Barangkali dugaan kalian benar, akulah biang keributan ini. Tapi jika
Perawan Sesat, orangmu itu, tidak lebih dulu melakukan pembantaian perguruanku,
aku tidak akan datang kemari menuntut balas!"
"Kau menuntut balas atau
menuntut kembalinya Suto?' Maharani sunggingkan senyum sinis menyindir.
"Mana yang terbaik, itu
yang kuambil!" jawab Betari Ayu dengan sikap kalem, ia harus bisa menahan
luapan amarahnya agar Cincin Manik Intan tidak menyemburkan kekuatannya ke
sembarang arah. Ia pun menahan tenaga dalamnya agar tidak mudah terlepas
sebelum cincin itu diarahkan pada sasarannya.
Nyai Betari Ayu tenangkan diri
dan tetap bisu sebelum kedua lawannya bergerak. Mata Betari Ayu tak pernah
lepas dari gerak kewaspadaan. Karenanya, ketika Maharani tebarkan kipasnya
dalam gerakan kecil, Betari Ayu cepat hadangkan tangan kiri ke depan untuk mena
han pukulan jarak jauh yang dilepas kan secara diam- diam itu.
Deeb... !
Pukulan itu bisa tertahan.
Maharani mundur setindak karena tersentak. Tapi dari cincin di tangan kirinya
melesat sinar menyilaukan ke arah samping secara tak sengaja. Sinar itu
mengenai seorang lawan yang sedang berhadapan dengan Selendang Kubur.
Melihatan kilatan sinar
menyilaukan dari cincin itu, maka Maharani dan Putri Alam Baka terbelalak
seketika. Karena mereka melihat ada satu orang lagi yang rubuh dalam keadaan
tubuh bolong karena terkena tembusan sinar putih menyilaukan itu. Orang yang rubuh
dan menjadi korban kedua adalah orang yang sedang berhadapan dengan Peri Malam.
Cepat-cepat Putri Alam Baka
menutupi kekagumannya dengan sunggingkan senyum sinis di bibir, ia berkata
kepada Betari Ayu,
"Kau pamer ilmu, Betari
Ayu? Kau pikir kami takut dan menjadi gentar melihat pusaka pada cincinmu itu?
Hmm...! Itu satu permainan anak kecil saja!"
"Alangkah memalukan
sekali jika murid Nyai Lembah Asmara akan mati karena permainan anak
kecil!" kata Betari Ayu.
"Mulut congkak! Kau pikir
kau mampu menghadapi kami berdua?!" sentak Maharani.
"Barangkali perlu
ditambah gurumu sekalian suruh menghadapiku! Tak akan mundur setindak pun aku
menghadapi kalian bertiga, yang sepatutnya telah kuusirdari tanahku ini!"
"Jahanam...!" geram
Maharani. Lalu ia sentakkan kipasnya dalam keadaan tertutup. Dari ujung kipas
itu keluar sinar merah berkilap melesat ke arah tubuh Nyai Betari Ayu.
Betari Ayu cepat sentakkan
telapak tangan kirinya ke depan. Cahaya pendar keluar dari telapak tangan itu.
Bersifat menahan cahaya merah dari kipas Maharani. Tapi ternyata justru cahaya
merah itu berbalik arah setelah membentur cahaya pendar di telapak tangan
Betari Ayu. Wuuugh...!
"Heegh...!" Maharani
buka mulut dengan napas tersentak tertahan. Pukulan dari kipasnya membalik dan
mengenai dirinya, ia jatuh terjengkang ke belakang dengan sukar bernapas.
Melihat temannya jatuh oleh
pukulan tangan kiri Betari Ayu, Putri Alam Baka segera cabut serulingnya dari
pinggang sambil menggeram.
"Rupanya kau memang cari
mampus, Betari Ayu! Hiaaat...!"
Putri Alam Baka lompatkan diri
sambil tebaskan serulingnya dari atas ke bawah, berhenti ke arah dada Betari
Ayu. Tapi dengan lincah tubuh Betari Ayu melesat lompat ke samping, dan kakinya
menendang kepala Putri Alam Baka. Plakkk...!
Tendangan itu berhasil
ditangkis Putri Alam Baka yang berkekuatan tenaga dalam. Nyai Betari Ayu
tersentak limbung dan jatuh ke tangga. Putri Alam Baka cepat lancarkan
serangannya yang kedua, setelah
serangan pertama terhindar dan
justru mengenai tubuh orangnya sendiri yang sedang berlari ke pintu gerbang.
Wuusss...! Seruling itu
diacungkan ke depan, keluar cahaya kuning dari dalam lubang seruling. Cahaya
kuning itu melesat ke punggung Betari Ayu. Tapi dengan cepat Betari Ayu
palingkan badan dan sentakkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka.
Cahaya pendar kembali berkilap dari telapak tangan itu. Tenaga dalam yang
dilepaskan Putri Alam Baka itu membentur cahaya pendar, dan membalik mengenai
dada Putri Alam Baka. Beeegh...!
"Nggkk...!" Putri
Alam Baka tersentak mendelik ketika ulu hatinya terkena pukulannya sendiri, ia
terhuyung ke belakang dan jatuh. Nyai Betari Ayu cepat lari tinggalkan mereka,
ia masuk ke bangunan megah itu. Semua pintu ditendang, didobrak paksa, sambil
sesekali menghantam rubuh orang yang menghalanginya. Dan ketika semua pintu
kamar telah didobrak habis, ternyata Suto tidak ditemukan di dalamnya, maka
Betari Ayu pun masuk ke lorong bertirai ungu. Satu pintu di kamar lorong itu
didobraknya.
"Hiaaat...!"
Dengan satu tendangan lompat,
Betari Ayu menendang pintu tersebut. Namun sebelum ia menyentuh pintu, tubuhnya
telah terpental ke belakang dengan sendirinya. Bruukkk...!
"Sial! Rupanya pintu itu
dilapisi tenaga dalam berperisai. Pasti di kamar itulah Suto disekap oleh
NyaiLembah Asmara!" pikir Betari Ayu, kemudian ia bangkit dan segera
menyentakkan tenaga dalamnya yang disalurkan melalui Cincin Manik Intan.
Duaarrr... !
Pintu itu hancur menjadi
serpihan-serpihan yang menebar ke mana-mana. Asap mengepul menghalangi
penglihatan Betari Ayu. Untuk sejenak ia diamkan asap sampai menipis. Kemudian,
kejap berikutnya ia lompatkan diri masuk ke dalam kamar itu.
Ternyata kamar itu kosong. Tak
ada Suto, tak ada Nyai Lembah Asmara. Tapi keadaan ranjang porak- poranda.
Barang-barang di situ pun berantakan semua. Entah karena ledakan pintu tadi
atau karena sesuatu hal? Yang jelas, di sana masih tergeletak jubah merah jambu
milik Nyai Lembah Asmara. Juga sebuah mahkota masih ada di atas meja dekat
ranjang, dan salah satu dinding kamar itu ternyata jebol membentuk lubang
besar. Apakah dinding itu juga jebol karena sinar dari Cincin Manik Intan, atau
karena hal lain. Nyai Betari Ayu tak bisa pastikan diri.
"Tapi aku yakin, mereka
berdua tadi ada di sini!" pikir Betari Ayu. "Wulandari pasti membawa Suto
kemari dan bercumbu di sini. Lantas, ke mana ia membawa Pendekar Mabuk pergi?
Apakah mereka bersembunyi? Lalu di mana letak persembunyian mereka?!"
***9***
BUKIT Garinda menjadi
porak-poranda. Di mana- mana mayat bertebaran bagai sisi lain dari neraka
jahanam. Sebagian dari mereka ada yang sengaja meloloskan diri, lari
tunggang-langgang entah ke mana tujuannya. Ada yang berusaha menyusuri pantai,
ada pula yang berusaha mendaki ke atas bukit.
Mereka yang belum mati sempat
menyerukan erang kesakitan. Ada yang berusaha bangkit untuk menyembunyikan diri
atau lari, ada pula yang hanya diam saja menahan sakit sambil menunggu
pertolongan. Sementara yang pingsan tetap saja pingsan, entah kapan akan
siuman.
Yang jelas, sosok tubuh
Maharani dan Putri Alam Baka sudah tak terlihat di anak tangga menuju ruang
pertemuan itu. Entah mereka bersembunyi atau melarikan diri, yang jelas suasana
di situ kembali sepi. Hanya langkah-langkah kaki Selendang Kubur dan Peri Malam
saja yang tampak melesat ke sana-sini mencari lawan yang perlu ditumbangkan.
Peri Malam terluka di lengan
sisi kirinya. Darah mengucur dari luka senjata tajam. Tapi ia tidak
menghiraukan. Justru semangatnya kian bertambah.
Selendang Kubur terluka di
dada kiri. Biru lebam dada itu. Tapi agaknya ia juga tidak menghiraukan
lukanya, ia masih tetap memburu mangsa yang perlu ditumbangkan dengan selendang
pusakanya.
Suasana lenggang menimbulkan
suara langkah jelas dari bangsal pertemuan sebuah pedang disambarnya
danberdenting memecah sepi. Kedua wajah cepat berpaling ke arah suara itu. Peri
Malam dan Selendang Kubur sama siapnya menghadapi serangan dari arah itu.
Tapi ternyata yang muncul
adalah Nyai Betari Ayu dengan mata bergerak liar mencari lawannya. Ketika mata
itu bertatap pandang dengan mata Peri Malam dan Selendang Kubur, keliaran mata
Betari Ayu pun surut. Tak menjadi segarang tadi, melainkan kembali tampak bijak
dan berwibawa.
"Bagaimana dengan Suto,
Nyai?" tanya Selendang Kubur.
"Hilang entah ke
mana!"
"Hilang...?!" Peri
Malam tersentak kaget. Wajahnya kian menegang.
"Nyai Lembah Asmara
sendiri bagaimana?"
"Juga hilang!" jawab
Betari Ayu. Nadanya seperti hampir putus asa.
Peri Malam gusar. "Tak
mungkin mereka hilang begitu saja! Pasti Suto telah dilarikan oleh perempuan
liar itu!"
"Ke mana arah larinya
mereka?" tanya Selendang Kubur kepada Peri Malam.
Jawab Peri Malam, "Ada
dua arah yang bisa untuk melarikan diri. Melalui lantai di dalam kamar itu,
atau menjebol dinding kamar!"
"Lantai...?!"
Selendang Kubur kerutkan dahi.
"Ada pintu rahasia di
lantai kamar Nyai Lembah Asmara. Gunanya untuk meloloskan diri sampai ke
pantai. Ada jalan tembus ke sana. Atau mereka lari dengan menjebol dinding
menuju puncak bukit!"
"Kau bisa tahu hal itu
dari mana?" tanya Betari Ayu.
"Dulu aku bekas murid
Nyai Lembah Asmara dan pernah tinggal di sini sebagai pelayan Nyai. Tugasku
membersihkan kamarnya!"
Selendang Kubur dan Nyai
Betari Ayu angguk- anggukkan kepala sambil pandangi Peri Malam. Yang dipandang
tampak masih gusar dan cemas. Kemudian setelah sama-sama bungkam sesaat, Peri
Malam ucapkan kata,
"Aku akan mengejarnya ke
pantai! Akan kuhadang di jalan tembus sana!"
"Aku ikut kamu!"
kata Selendang Kubur dengan rasa waswas, takut kalau ganti Peri Malam yang bawa
kabur Pendekar Mabuk .
Betari Ayu berkata,
"Baiklah. Aku akan periksa puncak bukit!"
Agaknya memang Betari Ayu yang
mujur. Karena, pada waktu terjadi keributan yang menimbulkan suara gaduh
bersama ledakan-ledakan menggelegar itu. Nyai Lembah Asmara mulai curiga dengan
suasana di luar kamar, ia segera bergegas memeriksa keadaan di luar kamar, ia
melihat kemunculan Betari Ayu saat menyerang orang bersenjata kapak dengan
Cincin Manik Intan.
"Celaka! Dia memiliki
pusaka yang dahsyat!" pikir Nyai Lembah Asmara kala itu. "Mudah saja
untuk mengalahkannya, tapi aku tak punya waktu. Bisa-bisa Pendekar Mabuk sadar
dari pengaruh racunku, lalu iamelarikan diri. Hmmm...! Sebaiknya, selagi Suto
masih dalam pengaruh racunku itu, aku harus mencari tempat yang aman supaya ia
cepat-cepat membuahiku!"
Pendekar Mabuk bukan hanya
mabuk oleh tuak, namun juga mabuk oleh racun Darah Asmara yang tak mampu
dilawannya itu. Tubuhnya berkeringat dan wajahnya memerah menahan gairahnya.
Nyai Lembah Asmara segera
berkata kepada Suto, "Kita harus cepat menyingkir untuk sementara,
Suto!"
"Tak perlu, Nyai!
Dekatlah padaku sekarang juga, peluklah aku!"
"Mereka akan menemukan kita
di sini, Suto! Kita harus pergi supaya kemesraan kita tidak diganggu. Aku punya
tempat yang aman untuk memadu kasih kita!"
"Ah, Nyai... mengapa kamu
takut dengan suara gaduh? Aku tidak merasa takut sedikn pun, Nyai! Lupakan
tentang urusan mereka. Sebaiknya kita kejkan urusan kita sendiri, Nyai!"
"Tidak, Suto! Aku tidak
suka dengan suasana ini! Jelas akan mengganggu kemesraan dan kenikmatan
bercumbu kita, Suto!"
"Oh, ho ho ho...! Benar
juga, Nyai. Benar!" Pendekar Mabuk tertawa dan bicara dalam pengaruh tuak
dan racun birahinya itu. "Kalau begitu, lekas bawa aku pergi ke tempat
yang lebih mesra lagi, Nyai!"
Nyai Lembah Asmara berpikir,
"Aku tadi melihat ada Sundari, bekas murid dan pelayan di kamarku ini!
Kalau aku lewat pintu lantai, pasti Sundari tahu ke mana arah lariku. Hmmm...
sebaiknya aku ke puncak saja. Kubawa
Pendekar Mabuk ke dalam gua
yang cukup aman untuk memadu kemesraan dengannya!"
Nyai Lembah Asmara sentakkan
tangan kirinya ke depan. Wuuut... !
Blarrr...! Dinding kamar jebol
dengan satu sentakan tenaga dalam tanpa sinar itu, ia segera membawa lari
Pendekar Mabuk. Tapi keadaan Suto sangat lemah dan lamban untuk bergerak lari.
Tanpa ragu-ragu, Nyai Lembah Asmara menggendong tubuh Suto, memanggulnya di
pundak. Pendekar Mabuk hanya diam saja sambil tetap memegang tabung bumbung
bambu. Sesekali ia tersentak karena cegukan, mulutnya berceloteh apa saja
karena pengaruh mabuknya, sampai Nyai Lembah Asmara sempat membentak agar
Pendekar Mabuk diam dan tidak bersuara .
Keadaan mereka yang belum
sampai 'Tepas pakaian itu segera melesat keluar dari kamar melalui jebolan
tembok. Nyai Lembah Asmara membawa lari Suto ke arah puncak bukit. Gerakannya
tetap seperti anak panah yang melesat dari busurnya, walau saat itu ada beban
di pundaknya.
Sebuah gua yang pintunya
tertutup oleh ilalang lebar menjadi sasaran arah Nyai Lembah Asmara. Gua itu
tidak mudah ditemukan orang, tidak pula mudah dilihat karena kerimbunan semak
ilalang yang menutup mulut gua. Tapi buat Nyai Lembah Asmara, gua itu sudah
bukan tempat asing lagi, karena ia sering membawa seorang pria untuk bercinta
di dalam gua tersebut. Gua itu terletak pada satu lereng, hampir mencapai
puncak bukit.
Ketika Nyai Lembah Asmara tiba
di depan gua itu, ia turunkan tubuh Pendekar Mabuk dari pundaknya. Pendekar
Mabuk pun berdiri dengan sempoyongan. Matanya semakin sayu karena mabuk, juga
karena racun birahi yang menyerangnya.
"Di sini saja,
Nyai!" kata Suto dengan suara sumbang sambil meraih baju Nyai Lembah
Asmara dan ingin melepaskannya. Tapi Nyai Lembah Asmara menolak sambil berkata,
"Jangan di sini! Kita
masuk ke dalam gua itu!"
"Mana ada gua,
Nyai?"
"Itu, di depan kita. Kau
tidak melihatnya karena kerimbunan semak ilalang di mulut gua!"
Pendekar Mabuk dituntun
mendekati gua. Tiba-tiba kakinya yang lemas terkulai dan jatuhlah'suto, merosot
ke bawah tebing sambil tetap berpegangan bumbung tuaknya.
"Sutooo...?!" sentak
Nyai Lembah Asmara dengan cemas. Cepat-cepat ia lompatkan tubuh dan bersalto
dua kali. Tubuh Nyai Lembah Asmara mendahului gerakan Pendekar Mabuk yang
meluncur ke bawah tebing.
Sebatang ranting kering
dipakai berpijak kaki Nyai Lembah Asmara. Ranting itu seharusnya patah, tapi
karena ilmu peringan tubuh yang digunakan Nyai Lembah Asmara cukup tinggi,
sehingga ia bisa berdiri dengan tenang di atas ranting kering yang besarnya dua
kali ukuran lidi.
Tubuh Pendekar Mabuk yang
meluncur ke bawah itu ditangkap oleh kedua tangan Nyai Lembah Asmara. Andai
tidak, tubuh Pendekar Mabuk akan jatuh ke jurang yang cukup dalam. Mungkin juga
Suto akan mati dihujam bambu-bambu runcing yang sengaja dipasang oleh Nyai
Lembah Asmara sebagai jebakan para musuh yang hendak menyerangnya dari atas
bukit.
Sentakan halus kaki Nyai
Lembah Asmara segera membuat tubuhnya melesat ke atas sambil menopang tubuh
Suto. Kini, ia berhasil membawa Pendekar Mabuk ke tanah sedikit datar dan aman
dari bahaya kemiringan tebing.
"Enak sekali terbang
denganmu, Nyai!" Suto menceracau. "Aku juga bisa terbang seperti
kamu.Huup...!"
Pendekar Mabuk menyentakkan
kakinya dan dalam sekejap tubuhnya melayang ke atas dan b£rjungkir balik dua
kali. Tubuh itu segera hinggap di salah satu batu yang ada di puncak bukit.
Pendekar Mabuk berdiri dengan keadaan limbung, mencemaskan hati Nyai Lembah
Asmara.
Ia berseru dari sana,
"Nyai...! Aku bisa sampai di sini! He he he... he he...!"
Bruukkk...! Suto jatuh dari
batu besar itu. Tubuhnya terhempas di tanah. Nyai Lembah Asmara menggeram
jengkel dan menggerutu,
"Bocah sinting! Katanya
ingin kemesraan malah mengajak bercanda gila-gilaan begitu. Huuup...!"
Nyai Lembah Asmara menyusul
Pendekar Mabuk di atas puncak bukit dengan melesatkan diri dan bersaltodua kali
juga. Suto sedang menggeliat bangkit ketika kedua kaki Nyai Lembah Asmara
mendarat di tanah sampingnya. Jleeg...!
"Aku jatuh, Nyai. He he
he.... Enak sekali jatuhnya!" kata Suto yang semakin parah dipengaruhi
tuaknya.
"Suto, kita tak punya
waktu untuk bercanda. Lekaslah ke dalam gua, Suto. Aku tak sabar menunggu
kemesraan dan kehangatan tubuhmu!"
"Di sini sajalah, Nyai!
Di alam bebas ini lebih mesra! He he he...!" Pendekar Mabuk makin
mengacau, ia berdiri dengan sempoyongan, ia merenggut tubuh Nyai Lembah Asmara,
sehingga wajah mereka saling tatap dalam jarak dekat. Nyai berpikir saat itu,
"Kalau memang dia maunya
di sini, biarlah di sini! Aku pun sudah tak tahan lagi!"
Pendekar Mabuk
tersenyum-senyum Ketika wajah Nyai Lembah Asmara mendekat ingin mencium
bibirnya. Jemari Suto sedikit menaikkan dagu Nyai Lembah Asmara, dan mata Nyai
jadi terpejam. Tapi tiba- tiba tangan Suto menyentak, mendorong dagu itu ke
belakang membuat tubuh Nyai pun tersentak limbung dalam keadaan mundur tiga
tindak.
"Oh, maaf Nyai... aku
hampir jatuh!" kata Suto sambil sempoyongan. Nyai Lembah Asmara ingin
marah namun segera memaklumi keadaan Pendekar Mabuk yang dalam pengaruh mabuk
tuak itu.
"Suto, lekaslah berbaring
saja! Biar aku yang menjadi pelayan cintamu, Suto," kata Nyai Lembah
Asmara sambil berkemas untuk melepasi pakaiannya.
"Baik. Baik. Aku akan
berbaring, tapi... tapi di atas batu itu! Aku ingin berbaring ke sana!
Huupp...!"
Tiba-tiba Pendekar Mabuk
melompat ke atas batu besar yang tingginya dua kali tinggi tubuhnya, Suto
bagaikan terbang dan hinggap di atas batu datar dalam keadaan sudah berbaring.
Tetapi pada waktu ia melompat
tadi, ada satu batu kecil sebesar genggaman tangan anak-anak melesat pula dari
sentakan kakinya. Batu itu melesat ke arah Nyai Lembah Asmara dengan cepat.
Plokkk!
Nyai Lembah Asmara tak sempat
menghindari batu yang di luar dugaan kedatangannya. Maka, tersentaklah ia
ketika batu itu mengenai tulang pipinya dan membekas biru. Ia menyeringai
kesakitan sambil tundukkan wajahnya, memengangi luka memar dari hantaman batu tersebut.
"Gila, tingkahnya
aneh-aneh saja, sampai wajahku terkena batu yang begini sakitnya. Uuh...
kurasakan sentakan batu itu sangat kuat dan berat. Mungkin hanya karena keadaan
tubuhku sedang dilanda gairah, sehingga terkena batu begitu kecil saja terasa
sakit."
Terdengar Suto berseru,
"Nyaiii... aku berbaring di sini...!" nada suaranya meliuk-liuk tak
jelas iramanya. "Kalau kau tak segera datang aku akan turun,
Nyai...!"
Segera Nyai Lembah Asmara yang
jantungnya sudah berdetak-detak karena dorongan nafsu yang makin menggelora
itu, melesat dengan satu lompatan kecil, menghampiri Pendekar Mabuk yang
berbaring di atas batu. Pikir sang Nyai, "Biarlah di atas batu itu
akubercumbu, yang penting gairahku segera terpenuhi dulu!"
Ketika Nyai Lembah Asmara sampai
di atas batu, berdiri di dekat Pendekar Mabuk, tiba-tiba Suto bangkit dengan
satu gerakan memutar, hingga kakinya menyapu kaki Nyai Lembah Asmara.
Plakkk...!
Brukkk...!
Nyai terpelanting jatuh dan
terjungkal turun dari atas batu. Pundaknya menghantam tanah lebih dulu.
Sebongkah batu terpendam menjadi benturan telinga kirinya. Prukkk....!
"Aauh...!" ia
memekik kesakitan.
"Waduh, maaf...! Maaf,
Nyai...! Kupikir kau belum datang, karenanya aku bangkit dengan cepat ingin
menyusulmu turun dari batu ini! Maaf, aku tak sengaja menendang kakimu,
Nyai!"
Nyai Lembah Asmara berpikir
juga, "Sapuan kakinya tak mungkin bisa merobohkan kuda-kudaku jika tidak
diiringi kekuatan tenaga dalam! Oh, daun telingaku luka berdarah. Sial! Dalam
keadaan mabuk dia masih dialiri tenaga dalam di sekujur tubuhnya. Oh, alangkah
indahnya jika cumbuannya nanti juga dialiri tenaga dalam. Jelas ia akan mampu
mempertahankan gairahnya yang menurutku sudah meluap-luap seperti yang
kurasakan saat ini...."
"Nyai, naiklah! Lekas!
Aku sekarang berdiri biar bisa melihat kedatanganmu! Naiklah, Nyai!" sera
Suto sambil berdiri di tepian batu dengan tubuh meliuk ke sana-sini, bagaikan
diombang-ambingkan oleh angin.
Tangannya pun menggapai-gapai
seperti ingin jatuh.
Nyai berteriak, "Suto,
awas! Nanti kau jatuh! Jangan ke tepian!"
"Lekaslah naik sebelum
aku sempat jatuh, Nyai!"
Takut Pendekar Mabuk jatuh,
Nyai Lembah Asmara pun segera melompat menyongsong gerakan tubuh Pendekar Mabuk
yang mulai limbung ke depan. Tangan Pendekar Mabuk bergerak-gerak mencari
keseimbangan sambil berseru, "Eee, eh eh eh...!"
"Awas, Suto...!"
Nyai Lembah Asmara makin berseru cemas.
Ketika tubuhnya mendekati
Pendekar Mabuk, tiba- tiba Suto jatuh ke depan. Tangannya bergerak-gerak bagai
ingin mencari pegangan.
"Waaaoow...!" Suto
berteriak dalam nada kegirangan.
Tubuhnya beradu dengan tubuh
Nyai Lembah Asmara di udara. Tangan Suto cepat bergerak dan mengenai dada Nyai
Lembah Asmara. Plak plak plak...! Lalu, Nyai Lembah Asmara tersentak ke
belakang dalam keadaan terbang, Suto jatuh ke bawah dalam keadaan terguling dua
kali. Ia jatuh terduduk sambil mengerang kesakitan memegangi pinggangnya.
Bumbung tuak masih menyilang di punggungnya.
"Aduh. sakitnya
punggungku...!" rintihnya pelan.
Tetapi Nyai Lembah Asmara tidak
hiraukan rintihan itu. Ia melihat dadanya hangus tiga tempat akibat gerakan
tangan Pendekar Mabuk tadi. Napasnya pun mulai terasa sesak. Dada itu terasa
panas sekali bagian dalamnya. Nyai Lembah Asmara mulai membatin,
"Kurang ajar! Rupanya
sejak tadi dia menyerangku dengan jurus mabuknya! Uuh... sakit sekali dadaku.
Gerakan tangannya tak seberapa keras, tapi mempunyai kekuatan tenaga dalam yang
menghanguskan kulit dadaku! Aduh, sesak sekali napasku, jangan-jangan racun
Darah Asmara telah membalik meracuni tubuhku sendiri! Tak biasanya aku
mempunyai gairah sebegini besarnya!"
Terdengar Pendekar Mabuk
berseru, "Nyai, tolong aku berdiri!" ia mengulurkan tangan, minta
ditarik. Tapi Nyai Lembah Asmara hanya diam saja. Nyai Lembah Asmara hanya
memandang dengan mata kian nanar, antara sayu dicekam birahi dengan sayu
menahan sakit.
Tak disadari dari mulut Nyai
Lembah Asmara mulai melelehkan darah segar ketika ia terbatuk satu kali .
Bahkan batuk yang kedua membuat darah kental menyembur ke luar dari mulut. Nyai
Lembah Asmara sangat kaget melihat mulutnya mengeluarkan darah kental sedikit
kehitaman.
"Jahanam!" geramnya
dalam hati. "Rupanya dia telah berhasil melukaiku secara diam-diam! Ini
sudah bukan luka ringan saja. Ini sudah bukan satu hal yang bersifat kebetulan
tapi pasti direncanakan olehnya! Aku harus menyerangnya! Aku harus membalasnya!
Tapi bagaimana jika ia terluka? Aku tak bisa menikmati kemesraannya. Padahal
aku sudah tak bisa menahan gairahku lagi. Oh, aku ingin dicumbunya sekarang
juga! Ya, sekarang juga!"
Masih saja Suto menyerukan
kata, "Nyai, tolonglah aku! Tarik tanganku agar aku bisa berdiri...!"
Nyai Lembah Asmara segera
melompat bagai singa menerkam mangsanya. Wuuttt...! Ia menerkam tubuh Pendekar
Mabuk dan mengajaknya berguling untuk bercumbu. Tetapi saat tubuh itu melayang,
Pendekar Mabuk segera menyentakkan tangannya yang sejak tadi teracung ke atas.
Gerakan tangan itu seperti orang ingin bangkit dan menggunakan tangan itu untuk
bertolak dari sebuah batu di sampingnya. Tapi gerakan lembut itu ternyata
memancarkan satu kekuatan tenaga dalam yang membuat kepala Nyai Lembah Asmara
tersentak naik ke atas dengan pekik tertahan.
Beegh..! Leher Nyai Lembah
Asmara jadi sasaran tenaga dalam Suto. Akibatnya, mulut Nyai Lembah Asmara
kembali menyemburkan darah kental dan berwarna kehitam hitaman. Pendekar Mabuk
berlagak kaget dan berseru,
"Nyai.. ? Kenapa kau,
Nyai?! Kenapa...?!"
Nyai Lembah Asmara yang
terkenal keji dan buas itu tergeletak dalam keadaan tersengal-sengal. Matanya
terbeliak sambil sesekali menyemburkan darah dari mulutnya.
Pendekar Mabuk berjalan mundur
seperti orang ketakutan melihat Nyai Lembah Asmara tersentak- sentak tubuhnya.
Padahal itu hanya kepura-puraan Pendekar Mabuk.
Tiba-tiba sekelebat bayangan
melesat di atas kepala Suto. Cepat sekali Pendekar Mabuk sentakkan tangannya ke
atas sambil menundukkan kepalanya."Wah, burung apa itu yang datang?!"
Sentakkan tangan itu rupanya
mengeluarkan kekuatan tenaga dalam. Dan kelebat bayangan itu juga menyentakkan
tenaga dalam ke ubun-ubun Suto. Akibatnya, dua tenaga dalam itu beradu dan
menimbulkan gelegar yang teredam.
Beeggh...!
Wuuut...! Suto tersentak ke
samping dan hampir jatuh, ia hanya sempoyongan saja dan segera berpegangan dinding
batu. Sedangkan bayangan itu segera jatuh dengan kaki sigap ke tanah. Bayangan
itu milik seorang nenek berkulit keriput, yang bersenjatakan tengkorak seekor
kambing.
"Oh, kau rupanya, si
Mawar Hitam!" kata Pendekar Mabuk .
"Syukul kau ingat padaku,
Suto! Katfmasih punya hutang pusaka Tuak Setan padaku! Sekalang aku belum ingin
menagihnya, tapi suatu saat nanti, aku ingin menagihnya dalimu," kata
Mawar Hitam yang tak bisa menyembulkan hufur 'r' itu. Ia adalah penguasa Pulau
Hantu, bekas gurunya Peri Malam.
"Lalu, sekarang kau mau
apa, Mawar Hitam?!"
"Aku tahu sejak tadi kau
selang pelempuan ini dengan lagak mabukmu! Dia tidak melasa, dan akhil-nya dia
jatuh begini. Kasihan!"
"Mata tuamu memang jeli,
Mawar Hitam! Tak sejeli mata perempuan yang sedang dimabuk birahi karena
racunnya yang berhasil kukembalikan tadi. Kalau kau tahu begitu, sekarang mau
apa kau?"
"Aku belum mau ulusan
sama kamu, mulid sinting! Tapi tunggu kalau aku sudah ambil semua ilmu yang ada
dalam dili pelempuan ini! Aku akan balas kekalahanku tempo hali!"
Sebelum Pendekar Mabuk
lontarkan kata, tiba-tiba nenek kempot keriput itu bergerak cepat. Tubuh Nyai
Lembah Asmara diangkatnya bagai mengangkat batang pisang, lalu ia segera
jejakkan kaki dan melesat pergi dengan cepat menuruni lereng bukit. Pendekar
Mabuk hanya mengejar sampai tiga langkah ke depan, lalu membiarkan nenek kempot
itu pergi membawa Nyai Lembah Asmara.
Tiba-tiba dari arah belakang
Pendekar Mabuk ada suara memanggil,
"Suto...?!" Oh,
rupanya Nyai Betari Ayu datang agak terlambat ia tidak menyaksikan pertarungan
Pendekar Mabuk yang mirip pertarungan sinting itu. Ia tidak melihat bagaimana
Pendekar Mabuk merubuhkan Nyai Lembah Asmara, ia hanya melihat Pendekar Mabuk
melangkah dengan sempoyongan mendekatinya.
"Kau tidak apa-apa,
Suto?"
"Tidak, Nyai. Racun
kiriman Nyai Lembah Asmara berhasil kubalikkan saat dia mencium bibirku... he
he he "
"Dia mencium bibirmu,
Suto?!"
Betari Ayu sempat kaget dan
punya perasaan tak suka mendengarnya. Ia palingkan wajah dan cemberut. Pendekar
Mabuk tertawa terkekeh-kekeh. Tapi tawanya menjadi hilang ketika ia melihat
jari tengah tangan kanan Betari Ayumengenakan cincin bermata putih berlian.
Pendekar Mabuk terbayang
penuturan dari gurunya tentang ciri- ciri Cincin Manik Intan. Dan, saat itulah
mata Pendekar Mabuk terbelalak melihat Cincin Manik Intan ada di tangan Nyai
Betari Ayu.
"Haruskah aku bertarung
dengannya merebut cincin itu?!" pikir Pendekar Mabuk dengan hati gundah
gulana.
SELESAI