PEREMPUAN tua itu berjalan
terbungkuk-bungkuk. Langkahnya sangat pelan dan tertatih-tatih. Kadang ia oleng
ke kiri, kadang oleng ke kanan. Malah sesekali mau tersungkur jatuh ke depan.
Diperkirakan usianya sudah ratusan tahun. Badannya kurus sekali, seperti
tengkorak berjalan. Rambutnya putih kehijau-hijauan. Kulitnya keriput,
berlipat-lipat seperti kain kumal yang lusuh. Rambut anehnya itu dikonde kecil
di tengah kepala, sisanya meriap ke kanan-kiri dipermainkan angin.
Nenek tua renta yang punya mata
cekung dan alis putih itu memakai pakaian hitam sebatas dada yang sering
melorot karena kebesaran. Pakaiannya itu compang-camping, robek di sana-sini
tanpa tambalan. Jika dipakai melangkah terlalu lebar, celana panjang hitamnya
itu sering robek bagian bawah. Karena itu ia berjalan pelan-pelan supaya
pakaiannya yang sudah lapuk tidak robek terlalu lebar.
Bibirnya yang keriput
berlipat-lipat sering bergerak- gerak mengunyah sesuatu, tapi ia tidak makan
apa-apa. Seperti orang sedang membaca mantera, tapi juga tidak ada yang
diucapkannya. Gigi depannya sudah habis. Tinggal gusinya yang belum copot. Gigi
gerahamnya juga sudah habis semua, sehingga pipinya terlihat kempot.
Anehnya, nenek tua renta yang
seolah-olah kalau kena angin terlalu besar bisa tumbang sendiri itu, masih juga
menyandang pedang pendek di pinggangnya. Sarung pedang itu diikatkan pada
pinggang memakai akar pepohonan. Padahal dilihat dari tenaga dan ketuaannya,
nenek ini sudah tidak kuat mencabut pedang. Membetulkan letak pakaiannya yang
melorot itu pun sering kesulitan apalagi mencabut pedang.
Waktu ia masuk ke dalam kedai,
semua pengunjung kedai memperhatikan dirinya. Sesekali langkahnya menabrak
meja, membuat makanan di atas meja itu jadi berantakan. Seorang pemuda berdiri
ingin menolong mencari tempat duduk, tapi nenek itu berkata,
"Jangan sentuh
diriku!" Dengan gaya genit dan ganjen. Nenek ini berlagak jual mahal dan
pura-pura tidak peduli dengan banyak mata yang memperhatikannya. Nenek itu
segera mendekati pemilik kedai lalu bertanya dengan suara tuanya yang sedikit
serak gemetar,
"Apa di sini jual jagung
goreng alias marning?'
Tentu saja para pengunjung
kedai tertawa serempak. Bagaimana mereka tidak tertawa geli melihat nenek setua
itu, mulutnya sudah tak bergigi lagi, tapi masih menanyakan marning. Padahal
orang yang masih sehat saja makan marning tidak berani terlalu banyak, karena
gigi bisa pegal mengunyah marning yang keras itu.
Sambil terbungkuk-bungkuk,
nenek itu berbalik badan dan menghadap ke arah para tamu kedai tersebut. Lalu
dengan suara tuanya ia berseru,
"Kenapa menertawakan aku?
Apa tak pantas aku memesan bubur di kedai ini, hah?!"
Pembeli yang duduk paling
dekat dengan nenek itu berkata, "Tadi yang dipesan Nenek bukan bubur, tapi
marning atau jagung goreng!"
" Tidak mungkin! Aku tadi
pesan bubur pada pemilik kedai ini!"
" Marning, Nek!"
" Bubur!" bantahnya
dengan mata tuanya melotot bagai ingin lompat ke piring kosong di atas meja
itu.
Pemilik kedai segera
menengahi, "Jadi, Nenek mau pesan bubur?"
" Iya. Aku mau makan
bubur. Di sini ada jual bubur apa?"
" Bubur sagu dan bubur
kacang hijau juga ada, Nek!"
" Hmm...! Kuno itu! Aku
mau pesan bubur manusia!"
" Hah...?!" pemilik
kedai terbelalak kaget.
" Kenapa mendelik
padaku?!" sentak nenek itu dengan suara tua.
Pemilik kedai menjawab,
"Saya kaget, Nek! Bukan mendelik kepada Nenek. Saya kaget mendengar nenek
minta bubur manusia!"
"Kenapa kaget? Cara
membuatnya tidak sulit. Ambil satu tamu di sini, bawa ke belakang, getok
kepalanya sampai mati, buang tulangnya, rebus dagingnya pakai air panas, diberi
merica dan cabe sedikit, setelah empuk tuang di mangkok dan hidangkan di meja!
Mudah kan?!"
Salah seorang pengunjung kedai
yang mendengar ucapan itu segera berdiri dan berseru dari tempatnya,
"Nenek ini tua-tua kok
kejamnya melebihi setan! Tidak punya rasa kasihan di antara sesama
manusia!"
"Ada yang lebih kejam
lagi, Nak! Begini yang lebih kejam...!"
Nenek itu mencabut pedangnya
dengan tersendat- sendat dan susah payah. Setelah pedang dicabut, ia dekati
meja salah seorang tamu kedai yang sedang asyik menikmati teh panasnya dengan
ketan kelapa. Tiba-tiba pedang itu berkelebat cepat menghantam meja. Crakk...!
"Aaaa...!" orang
yang sedang menikmati ketan kelapa itu menjerit seketika, sampai isi mulutnya
muncrat ke wajah orang di depannya. Semua mata terbelalak seketika melihat
tindakan nenek tua renta itu. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pedang
nenek itu berkelebat cepat memotong pergelangan tangan orang yang sedang makan
ketan kelapa. Pergelangan tangan itu pun menjadi putus seketika.
Nenek tua itu berpaling
memandang orang yang tadi bicara sambil berdiri, kemudian ia berkata,
"Nah, itu yang lebih
kejam lagi dari dugaanmu, Nak!"
Dengan senyum tua yang
keriput, nenek itu memungut potongan tangan, lalu diberikan kepada pemilik
kedai sambil bilang,
"Rebus dan kasih merica
sedikit!"
Pemilik kedai mundur tiga
langkah. Wajahnya pucat memandangi potongan tangan itu dijinjing jarinya oleh
si nenek.
"Rebuslah ini!" kata
si nenek lagi.
Pemilik kedai geleng-geleng
kepala. Takut dan gemetar. Sementara itu, beberapa tamu segera menyingkir
keluar dari kedai, takut menjadi sasaran nenek keji itu. Tetapi ada dua orang
yang segera tampil maju mendekati nenek itu dari belakang. Mereka dua orang
lelaki yang sama-sama menyandang golok di pinggangnya. Yang satu berpakaian
kuning, yang satu lagi memakai baju merah.
Yang memakai baju merah
menghardik dengan suara lantang,
"Hentikan tindakanmu itu,
Tua renta! Apa maumu datang ke desa ini dan mengacau suasana di kedai?!"
Nenek itu membalikkan badan,
menghadap kedua orang tersebut. Wajahnya kaku tanpa senyum, matanya memandang
dengan angker. Potongan tangan yang dijinjingnya itu dilemparkan seenaknya ke
muka orang berpakaian merah. Tapi orang itu dengan cepat mengibaskan goloknya
yang membuat potongan tangan itu mental ke kiri. Pluk! Jatuh di dalam stoples
tempat peyek yang lupa belum ditutup oleh pembeli dan sudah ditinggal kabur
keluar kedai.
" Apakah kamu bernama
Suto Sinting alias Pendekar Mabuk... ?!" tanya nenek itu.
" Bukan! Namaku
Gondo!" jawab orang berpakaian merah.
"Yang itu... yang di
sebelahmu dan tolak pinggang seperti jagoan kurang sesajen itu, apakah bernama
Suto Sinting?"
" Juga bukan," jawab
si baju kuning. "Namaku Dekso!"
" Lha yang namanya Suto
Sinting itu yang mana?"
"Kami tidak kenal dengan
orang yang kau cari itu! Sebaiknya silakan kamu pergi dan jangan ganggu lagi
warga desa kami ini!"
"Ganggu sebentar tak
apalah," kata nenek itu dengan berjalan tertatih-tatih mendekati sebuah
bangku. Lalu, ia duduk di bangku itu. Tapi meletakkan pantatnya kurang tepat
sehingga ia jatuh terduduk di lantai. Brukk...!
"Wadaauw...!"
teriaknya sambil meringis memejamkan mata.
Sebagian dari mereka yang di
luar kedai menertawakan, sebagian lagi diam saja dan merasa benci kepada nenek
itu. Mereka yang tertawa karena tidak bisa menahan geli melihat nenek itu jatuh
terduduk di lantai dengan pakaian sebatas dadanya melorot sampai ke perut.
Pemandangan itu bukan porno lagi, tapi lucu buat mereka. Karena si nenek jadi
salah tingkah, antara memegang pantatnya yang sakit dan bingung membetulkan
letak pinjung di dadanya.
Pemilik kedai mengeluh dengan
wajah takut di dekat seorang pembeli yang juga ketakutan.
"Mimpi apa aku semalam
kok bisa kedatangan orang gila sekejam ini?! Padahal seingatku semalam aku
tidak tidur!"
Gondo berbisik kepada Dekso,
"Seret saja dia! Buang sampai di batas desa sana! Kalau perlu ceburkan
saja ke jurang. Orang ini membahayakan kalau dibiarkan terlalu lama di desa
kita!"
"Kau saja yang
menyeretnya. Aku agak ngeri menghadapi dia!"
"Ah, nyalimu dari dulu
tak pernah lebih besar daripada upil!" gerutu Gondo sambil
bersungut-sungut. Kemudian ia bergegas mendekati nenek itu.
Bayangan Dekso sendiri, Gondo
dapat mengangkat tangan nenek itu dengan ringan, karena tinggal tulang
dibungkus kulit saja. Tapi ternyata tidak demikian kejadiannya. Gondo keberatan
menarik tangan nenek itu, bahkan sampai menggunakan dua tangan, ia masih belum
bisa menarik tubuh nenek itu dari duduknya di lantai menjadi berdiri.
"Berat!" katanya kepada Dekso. Nenek itu diam saja dan matanya
memandangi Gondo dengan mulut melompong. Lalu, Dekso yang penasaran datang
mendekat dan segera menarik tangan nenek itu. Dekso sampai ngotot, urat-uratnya
keluar, wajahnya sampai merah, tapi ia tak berhasil mengangkat nenek itu.
"Kalian pada mau perkosa
aku, ya?" kata nenek tersebut, tapi tak dihiraukan oleh Dekso dan Gondo.
Mereka berdua saling berbisik.
"Berat sekali! Seperti
mau mengangkat batu sebesar rumah!"
"Kurasa dia berilmu
tinggi, sehingga sulit diangkat!" bisik Gondo. Kemudian Dekso mau bicara,
tapi nenek itu sudah bangkit sendiri, sedikit limbung dan mau jatuh, tapi
segera bertahan pada sebuah meja.
Ketika ia sudah tegak kakinya,
namun badan masih terbungkuk-bungkuk, Dekso pun berkata,
"Sebaiknya segeralah
tinggalkan desa kami, Nek!"
"Kau mengusirku?!"
ucapnya pelan tapi matanya memancarkan kemarahan. Dengan menahan napasnya nenek
itu berkata, "Kalau kau mengusirku, kau bisa menjadi buta, Nak!"
Blarrr..! Terdengar suara
petir menggelegar di siang hari bolong. Semua terkejut, kecuali nenek itu. Ia
hanya terkekeh-kekeh setelah Dekso berkata kepada Gondo,
"Mataku... Aduh,
mataku...! Mataku di mana ini?"
"Kenapa dengan matamu,
Dekso?"
"Ak... aku... aku tak
bisa melihat apa-apa! Gondo, di mana kau?!"
Dekso meraba-raba mencari
temannya. Temannya mundur tiga tindak dengan wajah tegang, sebab ia menjadi
takut melihat Dekso benar-benar buta. Bahkan ia menjadi ngeri melihat bola mata
Dekso menjadi putih semua, tak ada manik hitamnya.
"Gondo! Tolong
aku...!" Dekso panik. Langkahnya menabrak meja dan makanan di atas meja
berentakan. Prangng...! Dekso semakin panik, sedangkan Gondo semakin tegang.
"Gondo! Aku...aku buta
betul! Gondo di mana kamu...!"
Gondo menyeringai antara ngeri
dan terharu. Maka dengan cepat Dekso dipeluknya, kemudian dituntun berjalan
menjauh, bahkan keluar dari kedai itu. Tak ada orang yang bersuara sedikit pun.
Mereka semua terkesiap di tempat, tegang dan berdebar-debar melihat Gondo
benar-benar buta.
Suara nenek itu terdengar
lagi, "Siapa yang mau buta lagi?! Ayo, maju...! Jangan
sungkan-sungkan!"
Tentu saja tak ada yang mau
mendekat. Justru yang menjauh menjadi banyak. Yang berlari terbirit-birit pun
ada. Maka, segeralah tersebar berita tentang adanya nenek sihir keturunan raja
iblis. Ada yang menyebarkan, siluman tua gentayangan mencari mangsa. Ada juga
yang mengatakan, desanya telah didatangi mayat tua dari zaman purba. Pokoknya,
mereka seenaknya menyebarkan berita yang pada kesimpulan akhirnya membuat
penduduk desa menjadi gaduh dan diliputi perasaan takut. Anak-anak yang sedang
bermain dicari oleh orangtua mereka dan dibawa masuk, pintu pun ditutup rapat.
Malah ada yang dipaksa masuk bersembunyi di kolong balai-balai.
Berita yang cepat menyebar dan
menakutkan masyarakat itu segera sampai di telinga Wigunorekso, tokoh desa yang
menjadi kepala desa, juga menjadi jawara di desa itu. Sejak Wigunorekso
diangkat menjadi kepala desa, tak satu pun maling yang berani menyambangi desa
itu, tak satu pun rampok dan garong yang berani menjamah barang-barang
penduduk, tak satu pun pemabuk yang berani bertingkah di desa itu. Karena
dulunya, Wigunorekso adalah ketua maling, rampok, garong, pemabuk, dan segala
macam orang jahat.
Wigunorekso merasa aneh
mendengar kabar ada nenek tua bikin perkara di desanya. Penasaran sekali
Wigunorekso jadinya. Maka, ia dan tiga anak buahnya yang jago silat dan berani
mati asal gede bayarannya itu, segera mendatangi kedai tersebut. Karena menurut
beberapa orang, nenek itu tidak mau keluar dari kedai Wak Gempol.
Pada waktu itu, nenek
misterius sedang menikmati secangkir teh panas dengan gula batunya. Delapan
potong pisang sudah dilahapnya habis. Kini pisang yang kesembilan sedang
dikupas kulitnya, ia tak peduli beberapa mata masih memperhatikan ke tempatnya
secara mencuri-curi pandang dari luar kedai, ia tetap makan, minum, dan apa
saja yang ingin dilakukan olehnya.
"Hoi...! Sini!"
panggilnya kepada pemilik kedai, Wak Gempol. Maka, dengan rasa takut yang
kesekian kali, Wak Gempol mendekat, siap melayani permintaan nenek setan itu.
" Gempol..., eh, namamu
benar Gempol?"
" Ya. Benar, Nek."
" Gempol, apa kau sudah
lama buka kedai di sini?"
" Sudah, Nek!"
" Berapa lama?"
" Hmmm... yah, sekitar
tiga tahun lebih!"
" Belum lama,
Goblok!"
"O, iya... belum lama,
Nek," Wak Gempol terpaksa mengikuti apa kata nenek itu saja, ketimbang dia
membantah, nasibnya bisa seperti Dekso atau terpotong tangannya.
" Selama ini apa kau
tidak pernah mendengar nama Suto Sinting?"
" Tidak, Nek!"
" Tamu-tamu yang datang
kemari tak ada yang mengaku bernama Suto Sinting?"
"Sungguh tidak ada, Nek!
Aku berani bersumpah. Malahan aku tidak tahu seperti apa ciri-ciri orang yang
bernama Suto Sinting itu!"
"Orangnya ganteng,
tinggi, tegap, dan.... Eh, tapi mungkin sekarang dia sudah setua aku ini!"
ucapnya seperti bicara pada diri sendiri. Lalu ia termenung beberapa saat,
mengunyah pisangnya lagi. Kejap berikutnya dia berkata kepada Wak Gempol,
"Aku tak bisa bayangkan
seperti apa wajah Suto yang tentunya sudah setua aku ini! Apakah dia masih
ganteng, masih gagah, atau sudah loyo dan peot? Hmmm...," nenek itu
manggut-manggut sendiri.
"Apa... apakah orang yang
bernama Suto Sinting itu bekas kekasihmu, Nek?"
Mata cekung itu cepat menatap
Wak Gempol dengan bengis. Wak Gempol berdebar-debar, jantungnya bagaikan mau
jebol karena kerasnya berdetak. Nenek itu menggeram dengan suara tua gemetar
yang berkata,
" Jangan lagi-lagi kau
bilang begitu, Gempol! Usiamu bisa pendek kalau bicara begitu lagi!"
" Maaf, Nek! Maaf, aku
tidak tahu! Maaf...!"
" Suto Sinting bukan
kekasihku!"
" Iya, iya.... Bukan
kekasihmu! Bukan!"
" Suto Sinting itu
musuhku!"
" Iya. Betul Suto itu
musuhmu! Betul sekali!"
"Hik hik hik
hik...!" Nenek itu tertawa dengan matanya bagai terpejam. Ketika tawanya
berhenti, ia sedikit kaget, karena telah masuk seorang berperawakan tinggi,
tegap dan berkumis lebat. Tak terlalu gemuk tapi kelihatan kuat otot-ototnya.
Orang itu berusia sekitar lima puluh tahun. Mengenakan baju putih rapi, bersih.
Dialah yang bernama Wigunorekso, yang didampingi oleh tiga anak buahnya
berpakaian biru, merah, dan hitam.
Wigunorekso memandang nenek
itu dengan tajam. Pancaran matanya menandakan kemarahan yang terpendam.
Wigunorekso tak berkedip ketika nenek itu pun memandangnya dengan polos,
seperti orang tak bersalah apa-apa. Tak ada kesan angker di wajah nenek itu.
" Siapa kau sebenarnya,
sehingga berani mengganggu ketenteraman desaku ini, nah?!" hardik
Wigunorekso.
" Kamu siapa?" tanya
nenek itu. "Apakah namamu Suto?"
" Bukan! Aku kepala desa
sini. Namaku Wigunorekso!"
" Ah, sayang sekali kau
bukan Suto Sinting!" ucapnya dengan lesu.
" Kuminta kau segera
pergi dan tinggalkan desa ini! Jangan kembali lagi kalau kau ingin
selamat!"
" Hik hik hik hik...!
Orang ini galak padaku, Gempol!"
Pemilik kedai itu diam saja
dan serba salah, karena itu ia lebih memilih untuk tundukkan kepala saja. Apa
yang diperdebatkan oleh kedua orang itu tak mau diikutinya, ia sudah ngeri dan
capek menahan debaran jantungnya.
"Cepat tinggalkan desa
ini!" bentak Wigunorekso.
Nenek itu memandang, kali ini
ia berdiri dan melangkah keluar dari bangku. Matanya memandang dengan angker.
Wigunorekso tidak mau kalah angker dalam memandang. Jadi keduanya saling
pandang seperti sepasang kuburan.
"Aku tidak mau tinggalkan
tempat ini, karena aku masih capek!" kata nenek itu. "Kalau capekku
sudah hilang, aku akan jalan lagi!"
"Rantanu! Seret dia
keluar dari kedai Wak Gempol!"
Orang yang bernama Rantanu itu
berpakaian hitam, dan cepat maju lalu menyeret tangan nenek itu. Tapi sang
nenek segera menepiskan tangannya, tak mau dijamah oleh Rantanu. Melihat nenek
itu membandel, Rantanu geram. Lalu ia menampar nenek itu dengan kasar.
Wuttt... ! Tabb... ! Tangan
Rantanu cepat dipegang oleh nenek itu. Digenggam tak terlalu kuat, tapi Rantanu
mendelik dan tak bisa memekik walau mulutnya telah ternganga. Lalu, nenek itu
menahan napas sambil berkata dalam geram,
"Matilah kau,
Nak...!" Lalu terdengar petir menyambar bumi.
Rantanu tersentak-sentak
tubuhnya, kemudian ketika dilepaskan genggamannya, Rantanu jatuh begitu saja,
dan wajahnya menjadi pucat pasi, bibirnya biru, napasnya tak ada. Rantanu mati
tanpa sebab-sebab yang jelas.
Hal itu membuat Wigunorekso
menjadi berang, ia menggeram sambil menggenggam tangan kuat-kuat. Tapi sebelum
ia lepaskan murkanya kepada nenek itu, tiba-tiba sang nenek berkata,
"Kalian pun akan mati
tinggal tulang sekarang juga!"
Blarr...! Petir menyambar
lagi. Wigunorekso jatuh bersama kedua pengikutnya. Tubuh mereka mengepulkan
asap dan tak bergerak. Makin lama asap semakin tebal. Nenek itu melangkah
keluar karena tak tahan asap. Ia terbatuk-batuk. Dan ketika asap hilang
beberapa saat kemudian, ternyata tubuh Wigunorekso dan kedua pengikutnya itu
benar-benar tinggal tulang-belulang, tanpa daging tanpa bekas pakaian.
***2
MATAHARI pagi sudah sejak tadi
pancarkan sinarnya ke bumi. Cahaya segar jatuh di atas reruntuhan sebuah candi
yang ada di lereng sebuah bukit. Candi itu sudah porak-poranda. Konon, semasa
kejayaan pemerintah seorang raja, candi itu dibangun sebagai tempat
persemayaman putri raja. Mayatnya dikubur di ruang bawah tanah candi tersebut.
Tapi tidak ada satu orang pun yang bisa temukan pintu masuk ke ruang bawah
tanah itu.
Candi tersebut sekarang
dijadikan tempat berlatih jurus-jurus silat aliran Tapak Merah. Seorang lelaki
tua berjenggot putih dengan kepala gundul dan memakai kain putih sebelah sisi
itulah yang menjadi ketua dan guru dari Perguruan Tapak Merah itu. Orang
tersebut bernama Resi Jejak Naga.
Bersama murid-muridnya yang
berjumlah sekitar tiga puluh orang, Resi Jejak Naga berlatih ilmu kanuraga di
pelataran candi tersebut. Dua murid Resi Jejak Naga yang sudah tinggi ilmunya
adalah Tawon Kusuma dan seorang perempuan muda berusia sekitar dua puluh tujuh
tahun yang bernama Ratna Pamegat. Mereka berdua yang sering mewakili Resi Jejak
Naga dalam melatih murid-murid Perguruan Tapak Merah.
Ketika pagi mulai beranjak
mendekati siang, Perguruan Tapak Merah kedatangan seorang tamu yang tak
diketahui dari mana asal datangnya. Tamu itu tahu- tahu muncul di jalanan
seberang candi, dan dengan tertatih-tatih menghampiri candi tersebut. Tamu itu
tak lain dari si nenek aneh yang telah mencuri jubah abu-abu dari sebuah rumah
yang menjemur jubah itu. Kini jubah tersebut menutup badan kurus keringnya,
sehingga tak terlalu tampak renta, ia berjalan dengan terbungkuk- bungkuk
seenaknya saja, seolah masuk halaman rumah sendiri.
Tawon Kusuma segera
menghampiri nenek itu dan menyapa dengan suaranya yang keras, "Mau apa kau
kemari, Nek?"
"O, aku...? Aku mau
mencari orang yang bernama Suto Sinting!"
"Suto Sinting...?!"
Tawon Kusuma berkerut dahi, merasa pernah mendengar nama itu tapi tidak tahu
siapa pemilik nama itu. Lalu, ia bertanya kepada nenek itu,
"Apakah kau neneknya
Suto?"
Nenek itu menggeram tampak
bengis. "Aku tidak pernah punya cucu sinting seperti Suto!"
"Atau... bekas
kekasihmu?"
Nenek itu jengkel sekali, ia
mencabut pedangnya dengan susah payah, sementara Tawon Kusuma memandanginya
tanpa mengerti maksud si nenek. Tawon Kusuma malahan merasa kasihan melihat si
nenek kerepotan mencabut pedangnya yang sudah berkarat itu. Ia bahkan membantu
memegangkan sarung pedang yang selalu mau ikut tercabut jika pedangnya ditarik.
Srett...! Pedang itu berhasil
dicabut. Tapi di luar dugaan Tawon Kusurno, pedang itu ditebaskan oleh sang
nenek ke lehernya. Zrratt...! Crass...! Darah menyembur ke luar, rambut nenek
itu menjadi basah oleh darah. Tawon Kusuma terbelalak kaget, sekaligus meregang
nyawanya, ia segera rubuh ke belakang. Brukk...! Lalu tanpa banyak bicara,
lepaslah sukma Tawon Kusuma dari raganya, ia mati tanpa diduga-duga oleh
dirinya sendiri.
Kalau saja gerakan berkelebat
tangan si nenek itu tidak terlalu cepat, mungkin Tawon Kusuma masih sempat
gunakan gerakan naluri untuk menghindar atau menangkis tangan nenek. Tapi
karena terlalu cepatnya gerakan tangan si nenek, maka Tawon Kusuma tak sempat
melakukan apa-apa, sehingga ajal pun diterimanya dengan sangat mengejutkan.
"Siapa yang menganggap
aku kekasihnya Suto, kubunuh!" kata nenek itu kepada mayat Tawon Kusuma.
Kejadian itu terjadi dalam
jarak agak jauh dari murid- murid yang sedang berlatih di pelataran candi.
Mereka tidak memperhatikan keadaan Tawon Kusuma. Ratna Pamegat sedang memberi
contoh gerakan jurus-jurus yang harus ditirukan oleh para murid. Resi Jejak
Naga ada di dalam candi sedang mengobati seorang murid yang terkena pukulan
waktu berlatih dan agak parah keadaannya.
"Huh, hiaah...! Huh,
Hiaah...! Huh, hiaah...!"
Para murid tetap berlatih
jurus-jurus yang diajarkan oleh Ratna Pamegat dengan semangat tinggi. Nenek itu
hanya memandangi dari tempat mayat Tawon Kusuma tergeletak, ia memandang dengan
santai saja, sepertinya tidak pernah melakukan apa-apa terhadap seseorang.
Ketika gerakan jurus yang
semula membelakangi tempat nenek itu berdiri menjadi berubah arah, mereka
berbalik secara serempak sambil melakukan pukulan tebas-balik, maka mereka pun
jadi terkejut melihat Tawon Kusuma tergeletak bermandikan darah.
"Tawon Kusuma...?!"
seru Ratna Pamegat. Dengan cepat ia melompat mendului para murid yang segera
bubar dan menyerbu ke tempat mayat Tawon Kusuma. Ratna Pamegat segera memeriksa
keadaan Tawon Kusuma, lalu ia terkesiap setelah mengetahui Tawon Kusuma sudah
tak bernyawa.
"Siapa yang membunuh
Tawon Kusuma?!" sentak Ratna Pamegat kepada nenek aneh itu. Dengan tenang
dan seperti orang tak bersalah, nenek itu menjawab,
"Aku yang bunuh
dia!"
Zerrrbbb...! Serempak para
murid mengurung nenek itu dengan kuda-kuda siap menyerang, menunggu perintah
dari Ratna Pamegat. Nenek itu hanya memandangi sekeliling dengan perasaan heran
dan wajahnya berkerut dahi tampakkan rasa aneh melihat mereka mengepungnya.
"Ada apa kalian
mengepungku? Apa salahku?!" kata nenek pikun itu.
"Kau telah membunuh
saudara kami!" bentak Ratna Pamegat.
"Lho, aku membunuh karena
dia menyakiti hatiku! Dia menyangka aku punya kekasih Suto Sinting, padahal
Suto Sinting yang kutanyakan kepadanya itu adalah musuhku yang ingin kubunuh!
Jadi kalau aku membunuh dia, bocah malang ini, berarti bukan salahku!"
"Nenek edan!" geram
Ratna Pamegat. "Hiaaat...!" Ratna Pamegat segera melompat dan
menyerang nenek itu. Ia segera mencabut pedang di punggungnya untuk ditebaskan
ke leher sang nenek. Tapi dengan gerakan kecil si nenek mengibas tangannya ke
samping, maka Ratna Pamegat terpelanting jatuh. Angin kibasan tangan itu cukup
kencang dan besar, sehingga keseimbangan tubuh Ratna Pamegat tak terkendali
lagi. Tubuh itu terpelanting cukup jauh dan menabrak dua murid lainnya.
Sementara, seorang murid
berpakaian abu-abu segera melompat dan mengarahkan tendangan kakinya ke
punggung nenek tersebut. Tetapi, dengan satu kali kibasan tangan ke belakang,
sambil tubuhnya berbalik arah, kaki murid itu tertangkap oleh sang nenek. Kaki
itu segera digenggam kuat-kuat hingga lawannya menjerit kesakitan.
Kaki pemuda itu diputar,
diayunkan keliling kepala sehingga tubuh sang pemuda melayang-layang. Begitu
cepat putaran itu, sehingga ketika sang nenek melepaskan genggamannya, tubuh
itu pun melesat melayang terlempar jauh, lalu membentur dinding candi yang
sudah tak beratap rata lagi itu. Prakk...! Kepala orang muda itu menghantam
dinding candi, langsung pecah tak tertolong lagi.
"Hiiaaat...!" Kini
lebih dari sepuluh orang maju serentak menyerang nenek itu. Mereka menyerang
secara bersamaan sehingga nenek itu bingung melayaninya. Akhirnya ia hanya
sentakkan kaki kurusnya ke tanah dan tiba-tiba tubuhnya melesat naik ke atas
dengan cepat. Gerakan menyergap serentak dari berbagai arah itu membuat mereka
kecele dan akhirnya saling berbenturan kepala sendiri. Prokk...! Sang nenek
berjungkir balik di udara dan jatuh di pelataran candi dalam keadaan sigap.
Kakinya menapak dengan tepat. Jligg...! Tapi segera ia terbatuk-batuk sambil
terbungkuk-bungkuk.
Resi Jejak Naga keluar begitu
mendengar suara gaduh. Matanya menyipit saat dilihatnya seorang nenek yang berusia
lebih tua darinya itu sedang bersiap mencabut pedangnya lagi dengan susah
payah. Pada waktu itu, beberapa murid ingin menyerang kembali. Ratna Pamegat
yang memberi perintah serang.
Tetapi, tiba-tiba Resi Jejak
Naga yang ada di belakang nenek bungkuk itu segera berseru,
"Tahan...!"
Para murid yang mau menyerang
segera berhenti melangkah. Ratna Pamegat bergegas menghampiri gurunya.
Sedangkan nenek itu masih sibuk mencabut pedang dengan susah payah. Maklum,
ikat pinggangnya dari akar berumbai-rumbai sehingga sesekali gagang pedang
tersangkut dan sarung pedang menjadi ikut jika mau dicabut ,
"Guru, Tawon Kusuma mati
dibunuh oleh nenek tua itu!"
Terkesiap mata Resi Jejak
Naga. Dipandanginya nenek berambut putih tipis itu dengan mata menyipit. Sang
nenek berpaling ke belakang dan ia tak jadi mencabut pedang karena melihat
seorang lelaki tua sedang berdiri tak jauh darinya, dalam deretan tangga ketiga
dari tempatnya berdiri.
Nenek itu pandangi Resi Jejak
Naga dengan mata menyipit juga, dahi berkerut dan muka bersungut- sungut, ia
menaiki tangga candi dengan kaki gemetaran dan sangat hati-hati. Lalu, ia
sengaja menghampiri lelaki gundul berpakaian putih separo badan itu. Semakin
dekat semakin berkerut dahi nenek itu, seakan mempertegas penglihatannya ke wajah
Resi Jejak Naga.
Kejap berikutnya terdengar
nenek itu bersuara, "Kau mirip dengan Suto Sinting si Pendekar Mabuk!
Apakah kau yang bernama Suto Sinting?"
"Bukan! Namaku Jejak
Naga!" jawab Resi Jejak Naga dengan menahan kemarahan melihat mayat
muridnya tergeletak di beberapa tempat.
"Ya. Kurasa kau tidak
mirip Suto Sinting! Kalau Suto menjadi tua, tak mungkin kepalanya sepelontos
kamu, Jejak Naga!" ujar nenek aneh itu. Ia tetap merasa seperti orang tak
bersalah. Bahkan dengan enaknya ia berkata,
"Muridmu kubunuh
tadi!"
Napas Resi Jejak Naga
tertahan. Kemudian napas itu ditelannya untuk menahan luapan amarahnya.
Tangannya berkelebat ketika Ratna Pamegat hendak maju menyerang. Ratna Pamegat
pun segera urungkan niatnya.
"Mengapa kau membunuh
muridku?" tanya Resi Jejak Naga. Jawabannya seperti apa yang dilontarkan
kepada Ratna Pemegat tadi. Kemudian Jejak Naga berkata,
"Kau berhutang nyawa
kepadaku jika begitu. Kau harus membayarnya, Nenek tua!"
"Tidak mau!" kata
nenek itu. "Nyawaku hanya satu, sedangkan kau punya banyak nyawa murid.
Hilang beberapa tak apalah!"
Ratna Pamegat menggeram,
"Seenaknya dia bicara, Guru! Izinkan saya merampungkannya!"
"Jangan," jawab Resi
Jejak Naga dengan pelan. "Dia berilmu tinggi. Kau bukan
tandingannya!"
Tiba-tiba seorang murid yang
sejak tadi sudah menggeletukkan gigi dengan jengkel sekali, segera menghantam
nenek itu menggunakan pukulan tenaga dalamnya. Wutt...!
Wresss...!
Pukulan itu menerpa tubuh
nenek kurus kering. Tapi tubuh itu tidak bergeming, hanya jubahnya yang
berkelebat cepat, rambutnya terhempas angin pukulan, dan kain pada celananya
yang robek itu menjadi semakin robek karena hempasan angin kencang. Brett...!
"Kau merobekkan kain
celanaku, Anak Muda!" kata nenek itu dengan mata tajam memandang, ia menahan
napas dan berkata, "Kau seperti seekor kucing yang gemar merobek-robek
pakaian orang!"
Blarrr...!
Semua mata terbelalak kaget
begitu mendengar suara petir menggelegar, tiba-tiba pemuda yang menyerang nenek
itu berubah menjadi seekor kucing hitam yang berwajah ganas. Kucing itu
mengeong, dan berlari tinggalkan tempat. Resi Jejak Naga tak bisa berkata
sepatah kata pun melihat satu muridnya berubah menjadi seekor kucing.
"Siapa kau sebenarnya,
Nenek tua!" Resi Jejak Naga mulai menghardik suaranya. Nenek itu dengan
tenang dan kalem menjawab,
"Kalau kau bisa beri tahu
di mana Suto Sinting berada, aku akan kasih tahu siapa diriku!"
"Kami tidak kenal dengan
nama Suto Sinting! Kumohon kau tidak mengganggu kami, Nenek tua!"
"Aku tidak mengganggu.
Tapi aku diganggu, sehingga aku balas mengganggu!"
Beberapa murid mundur menjauhi
nenek misterius itu. Mereka mulai merasa takut dirinya berubah menjadi seekor
kucing. Sementara itu, sang nenek segera duduk di batu candi yang berfungsi
sebagai lantai, dekat dengan stupa kecil. Di sana ia bersandar dalam bayangan
teduh sebuah pohon tak jauh dari candi itu.
Terdengar pelan Ratna Pamegat
berkata kepada gurunya, "Siapa Suto Sinting itu?! Apakah Guru tidak kenal
dengan orang itu?"
"Tidak. Sepertinya memang
pernah kudengar nama itu, tapi hanya sepintas dan tak kutahu siapa orang
tersebut!"
"Jadi bagaimana cara
mengatasi nenek edan itu, Guru?!"
"Biarlah aku yang atasi
dia. Kau suruh saudara- saudaramu untuk menjauhi tempat aku dan dia bicara.
Jangan sampai ada yang jadi sasaran kegilaannya lagi! Cari kucing hitam jelmaan
Suwogo itu, dan jaga dia baik-baik. Aku akan mendesak nenek itu agar
mengembalikan wujud Suwogo ke asalnya!"
Ratna Pamegat segera bicara
kepada para murid, sementara Resi Jejak Naga bicara kepada nenek itu. Tetapi
para murid merasa keberatan jika harus jauh dari guru mereka itu. Kesetiaan
terhadap Guru membuat para murid tak mau jauh-jauh menjaga gurunya dari bahaya
nenek misterius itu. Ratna Pamegat tak bisa memaksa mereka sesuai perintah
Guru. Karena Ratna Pamegat sendiri tak tega jika harus menjauhi sang Guru,
sementara sang Guru berhadapan dengan maut yang mengancam sewaktu-waktu.
Maka beberapa murid hanya
berada dalam jarak beberapa tombak dari tempat guru-mereka bicara dengan nenek
misterius itu. Sementara Ratna Pamegat sendiri tak berani lebih jauh dari
tempatnya sekarang, sekitar empat tombak dari gurunya.
" Kau harus mengembalikan
muridku yang menjadi kucing itu!"
" Aku tak bisa!"
" Harus bisa!"
" Jangan paksa aku!"
nenek itu menghardik dengan suara tua yang gemetaran. Napasnya terengah-engah
setelah itu.
" Jika begitu, lekaslah
pergi dan carilah orang yang bernama Suto Sinting itu ke tempat lain. Jangan di
sini!"
" Kau mengusirku, Jejak
Naga?"
" Ya. Karena kau
mengganggu ketenteraman kami!"
Nenek itu berdiri dengan mata
memandang ganas. Resi Jejak Naga mundur satu tindak dan bersiap menghadapi
serangan sewaktu-waktu, ia segera berkata kepada nenek itu,
"Kalau kau datang dengan
baik-baik, mungkin kami akan membantumu mencarikan orang yang bernama Suto
Sinting itu! Tapi karena kau datang dengan permusuhan, maka kami pun tak sudi
membantumu!"
"Tak mau membantuku juga
tak apa-apa!" Nenek itu bersungut-sungut.
"Tapi kau harus segera
pergi dari sini! Kami tidak bersedia menerimamu!" sentak Resi Jejak Naga
semakin jengkel.
Nenek itu memandang dengan
terus-menerus. Sorot pandangan matanya sangat tajam. Dan oleh Resi Jejak Naga,
pandangan mata itu dilawannya, ia pun tak berkedip menatap sang nenek dan tak
kalah tajam pula sorot pandangan matanya.
Tetapi tiba-tiba tubuh Resi
Jejak Naga bagai disapu angin besar yang membuatnya terbang melayang ke arah
belakang. Wusss...! Gerakan terbang Resi Jejak Naga membuat semua murid menjadi
tegang dan bersiap untuk menyerang.
Resi Jejak Naga terjatuh, tapi
segera disambut oleh Ratna Pamegat yang membuat sang resi tak sampai terbanting
di lantai candi berbatu keras itu. Resi Jejak Naga pun diturunkan dari topangan
tangan Ratna Pamegat.
"Nenek Setan!"
sentak Resi Jejak Naga yang sudah tak bisa menahan marah lagi itu. "Kurasa
kau memang perlu diberi pelajaran biar sadar di masa tuamu ini! Hihh...!"
Sentakan tangan Resi Jejak
Naga keluarkan cahaya merah pijar. Cahaya itu melesat menghantam Nenek Setan.
Lalu, oleh si nenek cahaya itu ditangkis dengan menggunakan telapak tangannya.
Dess! Cahaya itu jatuh ke lantai dan padam seketika.
"Kau ingin adu ilmu
denganku, Jejak Naga?! Baik, baik...! Kau punya ilmu apa saja, keluarkanlah!
Aku akan melayani kemarahanmu!" kata sang nenek.
Resi Jejak Naga segera maju
beberapa tindak, saat itu sang nenek menuruni tangga dengan hati-hati dan
sesekali tampak limbung mau jatuh. Sepertinya ia sudah tidak punya tenaga lagi
untuk melangkah, tapi masih dipaksakan. Kesempatan itu digunakan oleh Resi
Jejak Naga untuk melepaskan pukulan bercahaya biru. Pukulan itu sengaja
dilepaskan berkali-kali, sehingga cahaya biru melesat berturut-turut menghantam
sang nenek. Tapi oleh sang nenek cahaya itu ditahan memakai telapak tangannya.
Zlubb... zlubb... zlubb...
zlubb...!
Sinar biru berturut-turut dan
patah-patah itu seakan diserap masuk ke dalam telapak tangan sang nenek. Dengan
suara gemetaran sang nenek berkata,
"Terus, keluarkan terus
ilmumu! Sama saja kau menyumbangkan ilmu itu kepadaku secara cuma-cuma, Jej ak
Naga. Hik hik hik...!"
Seketika itu Resi Jejak Naga
sadar bahwa ia telah memasukkan ilmunya ke raga nenek aneh itu. Ia pun segera
menghentikan pukulan sinar birunya, karena ia yakin, semakin banyak sinar biru
yang dikeluarkannya, berarti semakin banyak kekuatan jurusnya dihisap oleh nenek
aneh itu.
"Kenapa berhenti?"
tanya sang nenek. "Jejak Naga, Jejak Naga... tubuhmu sudah bau tanah saja
masih banyak bertingkah kau!"
"Kau pun lebih bau tanah,
bahkan kau telah bau mayat, Nenek Peot! Sadarilah hal itu!"
"Berani kau mengatakan
aku nenek peot, hah? Aku masih cantik! Masih manis, dan masih menawan
hati!"
"Cuih...!" Resi
Jejak Naga meludah benci.
Nenek aneh itu makin marah,
merasa dihina dan direndahkan. Maka ia pun menahan napas sambil berucap kata,
"Kurang ajar kau, Jejak
Naga! Kau menganggap aku jijik, tapi sebenarnya tubuhmu lebih menjijikkan!
Kepalamu memang masih utuh tapi lehermu sampai ke bawah sudah menjadi tulang
belulang dan masih hidup, Jejak Naga!"
Blarrr...! Petir meledak bagai
ingin memecah langit. Seketika itu juga, tubuh Resi Jejak Naga berubah menjadi
tulang-tulang tengkorak, tapi kepalanya masih utuh dan bisa bicara.
Tulang-belulang itu pun masih bisa berjalan ke sana-sini dan bisa dipakai
menggerakkan tangan, namun sudah tanpa kulit, tanpa daging dan tanpa isi apa
pun. Dari tempatnya berdiri, nenek aneh itu berkata kepada Ratna Pamegat,
"Bawa kemari orang yang
bernama Suto, baru kupulihkan keadaan gurumu! Jika tidak, selamanya dia akan
menjadi tengkorak hidup!"
* **3
IRING-IRINGAN manusia mulai
tampak keluar dari balai desa. Suara mereka menggaung bagaikan sejuta lebah.
Langkah kaki mereka pun tampak tergesa-gesa. Iring-iringan itu diawali oleh
langkah tiga orang paling depan. Satu orang yang ada di tengah tampak dalam
keadaan terikat kedua tangannya ke belakang. Dua orang di kanan-kirinya
menggenggam lengannya dengan kuat.
Setiap mata yang berpapasan
dengan iring-iringan itu berhenti melangkah dan sempatkan diri memandang.
Bahkan beberapa orang yang semula menuju arah berlawanan, begitu melihat
iring-iringan itu menjadi kembali arah, mengikuti iring-iringan tersebut.
Beberapa orang yang ada di dalam rumah ataupun di warung, juga menyempatkan
diri keluar ataupun hanya melongok dari pintu rumahnya.
Salah seorang yang ada di
sebuah warung bertanya kepada orang yang berlari-lari menuju lapangan,
"Ada apa itu?!"
"Suto mau
digantung!" jawab orang itu sambil berlari.
"Hah...?! Akhirnya dia
digantung juga?"
Bergegas keluar dari warung
itu seorang perempuan muda yang wajahnya menjadi bahan incaran kaum lelaki.
Perempuan itu ikut memandang ke arah iring- iringan yang menuju lapangan. Suara
mereka yang lewat bersimpang-siur dengan tegang dan terburu-buru menyerukan
kata,
"Suto digantung! Suto mau
digantung...!"
Perempuan muda yang cantik dan
menyandang pedang di punggung itu segera mendekati seorang lelaki tua-yang
berdiri di bawah pohon. Perempuan itu bertanya,
"Iring-iringan apa itu,
Pak tua?"
" Suto...! Dia mau
digantung!"
"Suto...?!"
Perempuan cantik yang tak lain
adalah Ratna Pamegat segera menjadi tegang setelah mendapat jawaban dengan
jelas. Wajahnya pun berubah menjadi lebih tegang lagi.
Orang yang dicarinya sejak
empat hari yang lalu, ternyata sekarang ditemuinya dalam keadaan mau digantung.
Tak disangka sama sekali kalau ternyata orang yang bernama Suto itu punya kesalahan
besar di desa itu sehingga mau digantung oleh penguasa setempat.
"Mengapa dia dijatuhi
hukuman gantung, Pak tua?" tanya Ratna Pamegat lagi kepada orang tua yang
sejak tadi berdiri di bawah pohon menunggu iring-iringan itu lewat di depannya.
"Pendekar Mabuk
memperkosa istri Ki Lurah Pogo. Pengadilan memutuskan ia harus digantung,
supaya rakyat di desa ini pun tidak ada yang berani bertindak begitu lagi
terhadap siapa punl"
"Apakah dia sudah jelas
bersalah, sehingga diputuskan untuk digantung begitu?!"
"Ada beberapa orangnya Ki
Lurah Pogo yang memergoki perbuatan Suto, dan Nyi Sumirah sendiri telah
menuntut atas perbuatan Suto itu!"
Ratna Pamegat diam.
Iring-iringan itu lewat di depannya dalam jarak antara empat tombak. Ratna
Pamegat segera bergabung dalam iring-iringan itu dan mendengarkan kasak-kusuk
mereka yang membicarakan tentang Suto.
"Kalau tidak digantung,
nanti di sini banyak pemerkosa yang berbuat seenaknya saja!" kata salah
seorang memberi tanggapan terhadap keputusan pengadilan tersebut.
Pemuda berwajah tampan itu
seakan menerima saja keputusan yang menimpa dirinya. Hukuman yang akan
dilaksanakan di tengah lapangan dan sengaja biar menjadi tontonan orang itu
membuat Ratna Pamegat berpikir dengan gelisah. Sesekali ia mendengar suara
pemuda yang mau digantung itu berseru,
"Aku tidak memperkosa Nyi
Sumirah! Tapi kalau kalian tetap menggantungku, arwahku akan datang lagi untuk
memperkosa semua perempuan di desa ini! Setiap malam aku akan datang
menggerayangi siapa saja, dari yang tua, muda, maupun yang bocah!"
Ratna Pamegat berjalan lebih
cepat untuk dapat mencapai lapangan lebih dulu. Ketika ia sampai di tanah
lapangan itu, ternyata tiang gantungan sudah disiapkan. Tiang gantungan itu
berupa sebuah panggung kecil yang diapit oleh tiang gawang. Di atas tiang
gawang itu terdapat tali gantungan yang sudah siap menjerat mangsa.
Ratna Pamegat berkata dalam
hatinya, "Mungkinkah dulunya nenek aneh itu juga diperkosa oleh Suto,
sehingga ia dendam sekali dengan pemuda yang bernama Suto ini dan menjadi buas
kepada siapa saja! Tugasku adalah mencari Suto supaya Guru dibebaskan dari
pengaruh kekuatan gaib nenek aneh itu. Tapi bagaimana aku harus membawa Suto ke
Candi Sapta Windu jika orang itu sendiri di sini mau digantung?! Padahal nenek
aneh itu sudah berpesan bahwa aku harus bisa menyeret Suto Sinting dalam
keadaan hidup-hidup dan menyerahkannya kepadanya! Sedangkan sekarang nyawa
orang itu terancam mati gantung?!"
Tak ada pilihan lain buat
Ratna Pamegat selain mencari kesempatan untuk membebaskan Pendekar Mabuk dari
tiang gantungan. Sejenak ia berpikir, sejenak pula ia mendengar Pendekar Mabuk
berseru dari atas panggung tiang gantungan itu dengan lantangnya,
"Ingat, aku tidak
memperkosa! Aku tidak memaksa perempuan itu! Tapi aku dijatuhi hukuman gantung!
Kuhabisi perempuan di desa ini! Arwahku akan datang merobek-robek setiap
perempuan yang habis kutiduri! Aku akan menuntut balas melalui arwahku! Ingat
kata- kataku, Ki Lurah Pogo...! Ingat...!"
Tak jauh dari tanah lapangan
itu, dua rumah tiba-tiba terbakar secara misterius. Dua rumah itu berdampingan
dan sebelahnya lagi ada rumah yang hampir ikut terbakar. Dua rumah yang
terbakar itu menimbulkan kepanikan dan kegaduhan mereka yang berkumpul di
lapangan. Suasana menjadi kacau, karena api berkobar semakin besar dan
menjilat-jilat rumah di kanan kirinya.
Dalam keadaan kacau itulah,
tubuh Pendekar Mabuk bagai diterjang angin bercahaya warna Jingga. Wusss...!
Para petugas yang siap menggantung Suto menjadi terbengong sekejap melihat
tawanannya hilang begitu saja sebelum lehernya dijerat tali gantungan. Dua
petugas itu pun berteriak keras-keras,
"Suto hilaaang...!
Tawanan kita dicuri orang! Suto hilang!"
Semakin heboh dan kacau
suasana di tanah lapang. Rumah yang kebakaran itu menimbulkan kepanikan dan
kekacauan yang hebat, hilangnya tawanan mereka pun membuat kekacauan lebih
hebat lagi. Semua orang bingung mencurahkan perhatian antara ke rumah terbakar
atau ke panggung gantungan.
Salah satu dari orangnya Ki
Lurah Pogo berseru, "Perempuan itu telah membawa lari tawanan kita! Dia
menuju ke hutan barat!"
Ki Lurah Pogo yang bermata
lebar dan berperawakan tegap itu segera berseru kepada beberapa orangnya,
"Kejar mereka! Bunuh di
tempat!"
Ratna Pamegat telah berhasil
membawa lari pemuda tampan itu. Pemuda tersebut dipanggul di atas pundak dalam
keadaan tak bisa bergerak, karena ketika Ratna Pamegat menyambar pemuda itu
dari bawah tali gantungan, ia sudah menotoknya lebih dulu lewat lemparan batu
kecil. Kini ia bebas membawa lari Pendekar Mabuk walau dalam kejaran beberapa
anak buah Ki Lurah Pogo. Mereka yang mengejar berpencar dan memotong jalan
untuk melakukan pencegatan di beberapa tempat.
Sampai di suatu tempat
bersemak duri, Ratna Pamegat terhadang oleh dua orang anak buah Ki Lurah Pogo.
Kedua orang itu langsung menyerang Ratna Pamegat dengan pukulan tenaga dalam
mereka yang bercahaya merah.
Ratna Pamegat melompat dalam
satu sentakan kaki ke tanah. Pukulan tenaga dalam dari dua arah melesat di
bawah kakinya. Wutt...! Lalu saling berbenturan satu dengan yang lain.
Blarrr....!
"Serahkan orang itu atau
kuhabisi kau sekarang juga, Perempuan Jalang!" teriak yang berpakaian
hitam.
"Aku membutuhkan orang
ini! Aku terpaksa mencurinya dari kalian. Sangat terpaksa!"
"Keparat kau! Sarju,
habisi saja mereka berdua!" teriak yang berpakaian hijau.
Mereka berdua mencabut golok
masing-masing. Ratna Pamegat terpaksa menurunkan pemuda yang tertotok jalan
darahnya itu. Kemudian Ratna Pamegat mencabut pedangnya juga dari punggung.
Matanya menatap dengan tajam, melirik lawannya yang datang dari depan dan dari
kiri.
"Hiaaat...!" Yang
dari depan menyerang dalam satu lompatan. Goloknya berkelebat menebas leher.
Tapi pedang Ratna Pamegat berkelebat menangkisnya dengan cepat. Trangng... !
Yang dari samping pun
menyerang dengan tebasan ke arah perut. Ratna Pamegat menyentakkan kakinya,
tepat menendang bagian pergelangan tangan orang itu, hingga orang itu
terjengkang ke sam-ping akibat terbawa dorongan tangannya yang kena tendang.
Pada saat itulah pedang Ratna Pamegat ditebaskan ke samping kiri. Brett... !
"Aaahg...!" orang
itu mendelik sambil memekik. Dadanya terkena sabetan pedang Ratna Pamegat.
Yang dari depan menyerang
dengan tendangan berputar. Ratna Pamegat terkena tendangan pada bagian wajah.
Plokk...! Ia terhuyung ke samping. Orang itu melompat dan membacokkan goloknya.
Tapi pedang Ratna Pamegat mendahului menembus lambungnya dengan telak.
Blesss...!
"Aaahg...!" orang
itu pun mendelik, dan mati beberapa kejap berikutnya.
Pemuda yang dijatuhkan dari
pundaknya itu segera diangkat oleh Ratna Pamegat, lalu dibawanya lari lagi.
Namun beberapa langkah ia melesat, tiba-tiba kembali tiga orang menghadangnya
dengan senjata masing- masing di tangan. Wajah ketiga orang itu memancarkan
nafsu membunuh. Ratna Pamegat yang belum memasukkan pedangnya ke sarung pedang
itu segera berhenti menahan gerakan. Pemuda itu tetap dipanggul di pundak kiri.
"Perempuan Bodoh!
Serahkan pemuda itu biar kami gantung karena kesalahannya!" bentak yang
berkumis lebat.
"Maaf, aku terpaksa
mencurinya dari kalian karena ada satu keperluan yang amat penting demi jiwa
guruku!"
"Persetan dengan gurumu!
Serahkan dia! Tinggalkan di situ!"
"Tak bisa...! Aku harus
membawanya pulang!"
"Serang dia!
Hiaaat...!"
Ketiganya melompat bersamaan
dengan senjata siap dihujamkan ke tubuh Ratna Pamegat maupun pemuda itu. Tetapi
dengan gerakan cepat yang tak sempat terlihat, pedang Ratna Pamegat berhasil
berkelebat menerabas tiap senjata mereka. Dalam satu sapuan, dua senjata mereka
terpental jauh, satu keris patah terpotong pedang.
Tubuh mereka bertiga pun
sama-sama terpental karena gelombang angin besar yang keluar dari tebasan
pedang bertenaga dalam itu. Ratna Pamegat melompat dan segera melarikan diri.
Tapi dua dari ketiga orang itu cepat bangkit lalu mengejarnya dengan melepaskan
satu pukulan jarak jauh ke punggung Ratna Pamegat.
Hawa panas yang mendekati
punggung itu berhasil dihindari Ratna Pamegat dengan melompat ke balik sebuah
pohon. Wuttt...! Dua orang itu segera maju menyerang mengandalkan pukulan
tenaga dalamnya.
Namun sebelum tangan mereka
bergerak menyentak tiba-tiba pedang Ratna Pamegat telah menyapunya dengan cepat
dan membuat tangan mereka putus seketika. Satu dari mereka terkena pula
tendangan kaki Ratna Pamegat di bagian dada dan memuntahkan darah segar dari
mulut orang itu. Sedangkan orang yang tadi tertinggal dua temannya itu kini
menyerang dengan senjata tombaknya yang tadi sempat terpental jatuh. Tombak itu
dilemparkan ke arah Ratna Pamegat. Tapi oleh perempuan itu dihindari dengan
satu lompatan ke samping. Jrubb...! Tombak itu menancap di sebuah batang pohon.
Ratna Pamegat pun melompat maju, ketika itu lawannya juga melompat maju, dan
crasss...! Tak banyak bicara lagi pedang itu menebas lawan, hingga lawan
tersentak ke belakang dalam keadaan dada robek lebar karena tebasan pedang.
Sambil tetap memanggul pemuda
yang mau digantung itu, Ratna Pamegat tinggalkan tempat itu. Dalam hatinya ia
menggerutu tiada berkesudahan.
"Sial! Kalau bukan karena
ulah nenek aneh itu, tak sudi aku menyelamatkan seorang pemerkosa macam dia
ini! Kalau bukan demi pulihnya keadaan Guru, tak mau aku menjadi pembela dan
penyelamat orang yang bersalah! Perbuatan ini bertentangan dengan hati kecilku,
tapi toh tetap harus kulakukan! Mudah- mudahan setelah peristiwa ini aku tidak
menemui masalah yang seperti makan buah simalakama ini!"
Arah pelarian Ratna Pamegat
mulai mendaki bukit, karena jika ia menyusuri kaki bukit, maka akan banyak
pengepung yang ditemuinya. Ki Lurah Pogo menyebar anak buahnya menyusuri kaki
bukit, sehingga Ratna Pamegat harus ke arah puncak bukit.
Sekalipun begitu, toh akhirnya
ia dipergoki juga oleh seorang lelaki berkumis tebal dan berwajah penuh wibawa.
Orang itulah yang dikenal sebagai Ki Lurah Pogo. Sebilah keris sudah digenggam
oleh Ki Lurah Pogo. Matanya memancarkan permusuhan sengit yang tak bisa
ditawar-tawar lagi.
Ratna Pamegat tidak mau
gegabah berhadapan dengan tokoh tua ini. Ia menurunkan pemuda yang seharusnya
digantung itu. Kini ia berdiri dengan sikap tegas dan lebih leluasa dalam
bergerak. Pedangnya masih di tangan dengan mengucurkan darah bekas luka
lawannya.
"Siapa kau sebenarnya,
Perempuan Bodoh?!" gertak Ki Lurah Pogo.
"Aku bukan siapa-siapa
dalam hal ini. Tapi kumohon Ki Lurah bisa memahami kesulitanku. Aku harus
membawa Suto kepada seseorang. Jika tidak kulakukan, maka nasib guruku akan
sangat menderita. Guruku, juga beberapa murid perguruan kami secara tak
langsung tertawan oleh kekejian nenek aneh berdarah dingin itu! Kami harus
menemukan Suto dan menghadapkan kepadanya!"
"Aku tak peduli
keadaanmu, keadaan perguruanmu atau tuntutan nenek aneh itu! Aku hanya minta
agar kamu tinggalkan bocah busuk yang telah memperkosa istriku, merusak
kehormatan harga diriku itu!"
"Maaf, Ki Lurah...!
Barangkali pemuda ini pun nantinya akan kami bunuh! Tapi bagaimanapun juga aku
harus serahkan dulu kepada nenek aneh itu. Aku bukan membela perilakunya yang
jahat, tapi sekadar mencari syarat untuk membebaskan guruku! Jadi bagaimanapun
juga aku harus mempertahankan
pemuda ini, Ki Lurah!"
"Kau akan menyesal,
Perempuan Bodoh!" geramnya makin kuat.
"Jika memang aku harus
menyesal, apa boleh buatlah...! Akan kujalani juga penyesalan itu! Yang Jelas
aku harus mempertahankan Suto!"
"Kalau begitu kau pun
terpaksa harus kubunuh, Gadis Dungu!"
Keris itu bergetar. Tangan Ki
Lurah Pogo ikut bergetar. Keris itu bergerak pelan ke arah dada, lalu dengan
satu sentakan kuat keris itu menusuk ke depan dan melesat sinar biru
berkelok-kelok menghantam tubuh Ratna Pamegat. Zrabb...!.
Dengan cepat tubuh Ratna
Pamegat melompat dan berguling di tanah. Dengan cepat pula ia sudah berdiri
kembali. Ki Lurah Pogo mengangkat kerisnya ke atas dan kini keris itu
memercikkan api merah dan membuat wujud keris membara bagai besi terpanggang
api.
"Hiaaat...!" Ki
Lurah Pogo menyerang Ratna Pamegat dengan kibasan keris ke arah dada lawannya.
Ratna Pamegat menghindar dan berjungkir balik ke belakang karena seperti
mendapat tendangan tenaga yang teramat kuat karena gelombang yang ditimbulkan
dari kibasan keris tersebut.
Dengan penuh nafsu membunuh,
Ki Lurah Pogo mengejar Ratna Pamegat dan melayangkan tendangannya ke depan.
Plakk...! Tendangan itu berhasil ditangkis oleh tangan kiri Ratna Pamegat yang
berdiri dengan satu lutut. Kemudian pedangnya pun berkelebat dari bawah ke
atas. Wutt...! Crass...!
"Ahg...!"
Ki Lurah Pogo terluka pahanya
cukup lebar. Tapi ia tidak berhenti sampai di situ saja. Keris itu segera
dihujamkan ke pundak Ratna Pamegat. Tetapi sebelumnya Ratna Pamegat sudah lebih
dulu melesat bersalto ke arah belakang, sehingga keris itu mengenai tempat
kosong.
Bisa saja Ratna Pamegat
menebaskan pedangnya untuk membelah punggung Ki Lurah Pogo. Tapi ia bermaksud
untuk tidak membuat kematian gara-gara mempertahankan pemuda pemerkosa yang
harus dibawanya lari itu.
Maka dengan sentakan tangan
kirinya yang melepaskan pukulan tenaga dalam, punggung Ki Lurah Pogo
dihantamnya kuat-kuat. Dess...!
"Uuhg...!" Ki Lurah
Pogo terpekik dan terjungkal bersama kerisnya, ia menggeliat kesakitan,
punggungnya bagaikan patah total, ia tak bisa bangkit untuk sementara waktu.
Matanya pun terbeliak-beliak dengan mulut ternganga tak bisa keluarkan suara
lagi.
"Maaf, Ki Lurah... tak
ada jalan lain bagiku!" ucap Ratna Pamegat dengan tegasnya. Kemudian,
perempuan cantik itu segera memanggul tubuh pemuda tampan yang masih tertotok
jalan darahnya itu. Dan ia segera meninggalkan tempat tersebut dengan gerakan
cepat, ia mendaki bukit itu, memotong jalan melewati puncak bukit dan menuruni
lereng seberangnya. Rasa-rasanya hanya itu jalan yang aman buat Ratna Pamegat
dalam
melarikan Pendekar Mabuk, si
pemuda tampan tersebut.
Terdengar suara para pengejar
dari bawah berseru memaki dan mengancamnya. Para pengejar itu masih tetap
berusaha mendapatkan Suto dengan cara bagaimanapun. Jumlah mereka yang mengejar
lebih dari tujuh orang. Ratna Pamegat yang kini sudah mencapai puncak bukit
berhenti sejenak untuk memperhatikan para pengejar.
Sebuah batu besar segera
dihantam dengan pukulan tenaga dalam. Telapak tangan Ratna Pamegat keluarkan
cahaya perak berpendar-pendar dan cahaya yang mirip piringan kecil itu melesat
menghantam batu yang besarnya seukuran sebuah gubuk. Duarrr...!
Batu itu pecah menjadi
bongkahan-bongkahan sebesar genggaman tangan, kemudian menggelinding runtuh ke
lereng bukit, menghujani para pengejarnya. Dua batu yang berukuran sedang juga
dihantam lagi oleh Ratna Pamegat dan semakin banyak hujan batu yang menghalangi
langkah para pengejar itu. Bahkan mereka saling berteriak kesakitan karena ada
yang terhantam keningnya, ada yang tertimpa punggungnya, ada yang terbentur
mata kaki atau tulang keringnya, sehingga mereka memutuskan untuk berlindung
ataupun kembali turun.
Ratna Pamegat segera
mengangkat pemuda itu lagi, dan membawanya lari menuruni lereng seberangnya.
Dengan langkah cepat ia tinggalkan puncak bukit itu dan menerobos hutan yang
bertanaman rapat.
* * *
4
SEORANG perempuan berkebaya
hijau dan mengenakan kain sebatas betis tiba-tiba menghadang langkah Ratna
Pamegat. Rambut perempuan itu disanggul asal-asalan. Tampaknya ia terburu-buru
dalam menghadang langkah Ratna Pamegat.
Ia menggenggam sebilah pisau
badik berukuran satu jengkal panjangnya. Matanya memandang tajam, penuh nafsu
permusuhan. Ratna Pamegat memperkirakan usia perempuan berkebaya hijau itu
sekitar empat puluh tahun. Masih kelihatan sisa kecantikannya di masa
remajanya, namun yang kelihatan jelas adalah mata nakalnya.
"Mau kau bawa lari ke
mana pemuda itu, Perempuan Binal?!" hardik perempuan berkebaya hijau yang lengannya
ditarik sampai siku.
Melihat kalung dan giwang yang
dipakai perempuan itu, Ratna Pamegat menduga perempuan itu bukan rakyat jelata.
Pasti punya derajat yang lebih tinggi dari sekadar rakyat desa. Kulit tubuhnya
pun putih bersih dengan dada membusung sekal. Ratna Pamegat memandang penuh
curiga kepada perempuan itu.
"Apa maksudmu menghadang
langkahku?"
"Tinggalkan pemuda yang
kau panggul itu, dan pergilah dengan cepat!" kata perempuan tersebut.
Bibirnya masih tampak merah karena gincu yang masih baru.
"Ada urusan apa kau
dengan si pemerkosa ini?!"
"Kau tak perlu tahu! Yang
jelas, aku siap membunuhmu jika kau mau membawa lari Suto!"
"Segigih itu kau ingin
merebut Suto dariku?" pancing Ratna Pamegat.
"Ya. Karena aku sudah
lama mengenal dia. Mungkin lebih dulu aku mengenal dia daripada dirimu! Perlu
kau ketahui, aku adalah istri Ki Lurah Pogo itu. Akulah Nyi Sumirah!"
"O, kamu yang namanya Nyi
Sumirah?!" Ratna Pamegat manggut-manggut dan mulai meletakkan tubuh Suto
ke tanah. Tapi ia belum mau jauh-jauh dari tubuh pemuda itu. Ia bertanya kepada
istri Ki Lurah Pogo itu,
"Apakah kau ingin
menggantungnya juga?"
"Justru aku datang untuk
menyelamatkan dia, menyembunyikannya di suatu tempat yang aman!"
"Bukankah dia
memperkosamu?"
Nyi Sumirah sunggingkan senyum
tipisnya. "Bodoh sekali aku kalau sampai harus diperkosa oleh si tampan
itu! Kalau perlu aku yang memperkosa dia! Buatku, Suto memang mengagumkan dan
mampu membikin aku bahagia dalam batin. Jika sekarang kau ingin merebutnya dari
pelukanku, kau harus bertarung nyawa denganku!"
"O, tidak! Jangan salah
sangka. Aku tidak ingin bercinta dengan pemuda ini, Nyi Sumirah!"
"Omong kosong! Siapa
perempuan yang tidak terpikat melihat ketampanannya? Siapa perempuan yang tidak
bergairah melihat keperkasaannya?! Kau pasti sudah lama mengidam-idamkan ingin
bercumbu dengan Suto! Dan kau manfaatkan keadaan Suto yang mau digantung itu!
Hmm...! Tapi jangan kau merasa menang walau sudah bisa membawa lari dia, karena
Sumirah tidak akan tinggal diam! Apa pun tuntutannya aku siapkan demi
mempertahankan pemuda yang membahagiakan hatiku itu! Nyawa pun siap kukorbankan
untuk mendapatkan dia!"
"Lalu mengapa kau diam
saja saat Suto dituduh sebagai pemerkosa?!"
"Hmm...!" Nyi
Sumirah mencibir. "Kau tidak tahu taktik, Perempuan Bodoh! Kau tidak bisa
mengatur siasat untuk mendapatkan buah hatimu! Kalau aku tidak berteriak
diperkosa oleh Suto, maka mereka yang memergoki perbuatanku dengannya akan
menudingku sebagai istri lurah yang serong! Tapi dengan tuduhan memperkosa, aku
selamat!"
"Itu tandanya kau tidak
siap berkorban untuk laki-laki yang kau cintai dan kau butuhkan
kemesraannya!" tuduh Ratna Pamegat sengaja memancing marah Nyi Sumirah
untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam diri Nyi Sumirah dan
persoalan sebenarnya.
"Jangan terlalu bodoh
kau, Perempuan Binal! Kalau aku tidak mengaku diperkosa oleh Suto, aku tidak
punya kesempatan untuk menyelamatkan dia dari hukuman suamiku!"
"Nyatanya kau tidak
selamatkan dia, sampai akhirnya dia hampir digantung!"
"Aku sudah siapkan siasat
lain, tapi kau merusaknya! Kau membawa lari dia dengan kebinalan-mu! Hmm...!
Kalau kau mau merebut Suto
dari pelukanku, kau harus langkahi dulu bangkaiku!"
"Aku tidak merebut dia
dari pelukanmu untuk jatuh ke pelukanku! Aku tidak sudi jatuh ke pelukan pemuda
hidung belang macam dia! Aku hanya membutuhkan dia untuk menolong guruku!
"Aku tak izinkan! Kalau
kau nekat, aku pun tega membunuhmu!" ancam Nyi Sumirah. Ratna Pamegat diam
sesaat, hatinya berkata,
"Rupanya antara Suto dan
Nyi Sumirah ini terjadi hubungan gelap di belakang Ki Lurah Pogo! Jadi,
sebenarnya Suto ini tidak bersalah dalam hal memperkosa, karena perbuatan itu
terjadi antara mau sama mau. Mungkin sudah berulang kali Nyi Sumirah menikmati
kemesraan Suto di belakang Ki Lurah Pogo, dan baru saat itu kepergok, sehingga
tak ada akal lain buat Nyi Sumirah selain berteriak dan mengakui diperkosa!
Sebenarnya ia hanya ingin selamatkan diri sendiri dan tak mau menanggung
hukuman!"
"Jangan diam saja!"
bentak Nyi Sumirah. "Tinggalkan dia di situ. Pergilah sana, cepat!"
"Aku akan membawa pergi
pemuda ini! Apa pun yang terjadi, aku harus membawanya pulang ke
perguruanku!"
"Persetan dengan
perguruanmu! Hiaaah...!" Badik itu segera ditusukkan ke perut Ratna
Pamegat. Tetapi tangan Ratna Pamegat segera menyanggah dan kaki berkelebat
menendang dalam posisi tendangan miring. Buggh...! Dada Nyi Sumirah menjadi
sasaran empuk
kaki Ratna Pamegat.
Tendangan kaki Ratna Pamegat
cukup kuat, membuat Nyi Sumirah terpental jatuh ke belakang antara satu tombak
lebih, ia segera bangkit dan menerjang kembali dengan lompatan cepat.
"Hiaat...!"
Prakk...! Begh begh...!
Ratna Pamegat juga melompat
naik, dan mengadu pukulan tangan kirinya dengan kaki Nyi Sumirah, lalu tangan
kanannya menyodok masuk ke dada Nyi Sumirah lagi dan tangan kiri menyusul pula
menghantam pinggang Nyi Sumirah.
Kedua pukulan itu cukup keras,
membuat Nyi Sumirah terguling-guling dan memuntahkan darah segar dari mulutnya.
Tapi ia masih menatap semakin buas kepada Ratna Pamegat. Daiam keadaan berdiri
dengan satu lutut, Nyi Sumirah melemparkan badiknya ke arah dada Ratna Pamegat.
Tetapi sebelum badik itu menancap, Ratna Pamegat segera mencabut pedangnya dan
langsung ditebaskan ke depan. Trangng...! Badik itu dihantam dengan pedang dan
terpental ke arah kiri.
Ratna Pamegat cepat melompat
maju, dan menodongkan ujung pedangnya ke leher Nyi Sumirah. Pucat wajah Nyi
Sumirah ketika itu. Tapi matanya tetap menatap tajam penuh gejolak api
permusuhan.
"Kalau kau masih
menghalangi langkahku, kurobek lehermu sekarang juga, Sumirah!" geram
Ratna Pamegat.
Tetapi tiba-tiba punggung
Ratna Pamegat dihantam dengan pukulan jarak jauh yang cukup besar. Buehgg...!
"Heggh...?!" Ratna
Pamegat mendelik, ia cepat berjungkir balik di tanah. Tapi segera bangkit dengan
cepat dengan pedang tergenggam di tangan. Matanya segera memandang ke balik
pohon. Ternyata Ki Lurah Pogo telah berada di sana dan menyerangnya dari
belakang.
"Untung kau cepat datang,
Kang," kata Nyi Sumirah sambil menghampiri suaminya, berlagak mesra dan
manja.
Ki Lurah Pogo memandang Ratna
Pamegat dengan tajam, tapi ia berucap kata kepada Nyi Sumirah,
"Sudah sejak tadi aku
datang!"
"Mengapa baru muncul
sekarang?! Dia melukaiku, Kang!"
"Sudah pantas kau
terluka!" jawab Ki Lurah Pogo. "Karena cukup jelas di telingaku apa
yang kau ucapkan kepada perempuan itu tentang Suto!"
Nyi Sumirah terkejut, Ratna
Pamegat menyunggingkan senyumannya. Tetapi Ki Lurah Pogo segera memutar
kepalanya hingga memandang istrinya dengan tajam dan dingin. Nyi Sumirah merasa
terbongkar rahasia hubungannya dengan Suto itu, maka ia segera mundur tiga
langkah dalam gerakan pelan, tegang, dan penuh kecemasan.
Ki Lurah Pogo berkata geram,
"Tak kusangka selama ini ternyata kau punya hubungan gelap dengan lelaki
lain, Sumirah!"
"Dia memperkosaku, Kang!
Aku sudah meronta, tapi "
"Tapi karena enak kamu
diam saja dan minta tambah lagi?! Begitu, bukan?!" bentak Ki Lurah Pogo
melepaskan amukan murkanya, ia melangkah pelan mendekati Nyi Sumirah, sedangkan
perempuan itu melangkah mundur dengan wajah lebih tegang lagi.
Di tangan Ki Lurah Pogo masih
tergenggam sebilah keris pusaka. Mata Nyi Sumirah berkali-kali melirik ke arah
keris itu dengan cemas, sedangkan Ki Lurah Pogo tak mempedulikan kecemasan
istrinya lagi. Ia berkata dengan suara menggeram menakutkan,
"Kalau tahu begini
kenyataannya, yang kugantung bukan dia tapi kamu, Sumirah! Kamu adalah istri
yang berkhianat kepada suamimu, dan layak untuk digantung. Supaya para istri
lainnya tidak mengikuti jejakmu! Tahu?!"
"Kau... kau salah duga,
Kang...! Maksudku...!"
"Aku mendengar
pengakuanmu sendiri di depan perempuan itu!" bentak Ki Lurah Pogo semakin
keras, bahkan berkesan berteriak kuat.
Ratna Pamegat membatin,
"Terbongkar sudah rahasia Nyi Sumirah. Mau apa dia sekarang? Tapi, itu
bukan urusanku lagi. Aku hanya punya urusan membawa Suto pulang secepatnya dan
menyerahkannya kepada nenek aneh itu! Kurasa Ki Lurah Pogo tidak akan mengejar
Suto lagi, karena ia tahu siapa yang bersalah sebenarnya!"
Pemuda yang masih tak bisa
bergerak apa-apa karena totokan jalan darahnya itu, segera diangkat dan
dipanggulnya lagi di pundak kiri. Pada saat itu, Ratna Pamegat sempat melihat
Nyi Sumirah dipukul wajahnya dengan tangan kiri Ki Lurah Pogo. Pukulan itu
sangat keras, membuat hidung Nyi Sumirah berdarah dan bibirnya pecah.
Menjeritlah perempuan itu, lalu melarikan diri menghindari amukan keris yang
siap ditusukkan ke perutnya. Ki Lurah Pogo mengejar Nyi Sumirah dan Ratna
Pamegat pergi ke lain jurusan, tak mau pedulikan urusan suami-istri itu lagi.
Kini terasa bebas sudah Ratna
Pamegat melarikan pemuda bernama Suto itu. Tak mungkin ada yang mengejarnya
lagi, karena persoalan yang sebenarnya telah terbongkar. Karena itu, Ratna
Pamegat dapat berlari lebih cepat tanpa ada penghalang lagi di depannya.
Tiba di sebuah tanah datar,
Ratna Pamegat merasa perlu istirahat dan membebaskan totokan pemuda itu. Di
situ ada bukit yang tak terlalu tinggi, bahkan berkesan hanya sebagai gundukan
tanah cadas yang memanjang. Tebingnya rata, dan bisa untuk dipakai meneduh dari
panas, karena bayangan tebing itu jatuh di permukaan tanah datar.
Ratna Pamegat meletakkan
pemuda yang sejak tadi dipangguinya dibawa ke sana-sini itu. Ikatan di kedua
tangan dan tubuh pemuda itu segera dilepaskan. Keadaan si pemuda kini bebas dari
ikatan, tapi masih diam tak bergerak, matanya terbelalak tak berkedip sejak
tadi. Ratna Pamegat membebaskan totokan jalan darahnya. Teb, teb...! Dua
totokan jalan darah pembebas telah dilakukan. Tetapi anehnya pemuda itu belum
terbebas juga dari pengaruh totokan. Pemuda itu masih diam tak berkutik dengan
mulut sedikit melongo.
Teb, teb...! Sekali lagi Ratna
Pamegat melepaskan totokan pembebas jalan darah. Tapi pemuda itu masih saja
diam tak bergerak. Ratna Pamegat menjadi bingung sendiri. Biasanya ia bisa
dengan mudah melakukan totokan dan membebaskan totokan, tapi sekarang
sepertinya ia salah totok.
Dengan hati-hati,
diperhatikannya jalur urat darah yang biasa untuk membebaskan totokan. Ada
beberapa tempat, di antaranya adalah di punggung, belakang bawah tulang lengan.
Tempat itu ditotoknya juga, tapi tetap tidak membebaskan jalan darah pemuda
itu. Bahkan di bagian leher samping, di bawah ketiak pemuda itu ditotoknya,
juga tidak membebaskan pemuda tersebut.
Ratna Pamegat menjadi jengkel
sendiri, ia menghempaskan napasnya dan duduk di samping pemuda yang
digeletakkan itu. Wajahnya bersungut- sungut, hatinya menggeram jengkel pada
keadaan tersebut.
"Apa aku harus
memanggulnya terus sampai di candi?! Konyol itu namanya! Uuh...! Gara-gara
kedatangan nenek aneh itu aku jadi repot begini! Ingin rasanya aku cepat-cepat
membunuh nenek itu! Kalau perlu kuperlakukan lebih keji lagi, seperti dia
memperlakukan orang lain! Hmm...! Kalau sudah begini mau apa lagi aku?"
Tiba-tiba dari balik batu
besar setinggi kerbau yang ada di samping kanan Ratna Pamegat, terdengar suara
orang yang mengucapkan kata dengan malas-malasan,
"Kau terlalu lama
menotoknya sehingga semua uratnya terkunci!"
Tentu saja hal itu mengejutkan
Ratna Pamegat. Ia bergegas melongok ke balik batu itu, ternyata di sana ada
lelaki tua yang sedang duduk dengan kepala terkulai dan mendengkur pelan.
Matanya terpejam mulutnya sedikit ternganga. Lelaki itu berambut putih,
mengenakan ikat kepala hitam, kumis dan jenggotnya pun putih, kulitnya sedikit
hitam, mengenakan pakaian serba merah, dan sabuknya hitam.
"Orang ini mengigau atau
bicara padaku?" gumam Ratna Pamegat pelan.
Tapi tiba-tiba orang yang
tidur pulas itu menjawab, "Aku bicara kepadamu, Cah Ayu!"
Terperanjat lagi Ratna Pamegat
mendengar jawaban itu. Dahinya semakin berkerut heran, ia bahkan memutari batu
itu hingga bisa berdiri di depan lelaki yang sedikit gemuk itu. Ia perhatikan
betul wajah lelaki itu, ternyata memang benar-benar tidur pulas.
Ratna Pamegat memandang
sekeliling dengan pikiran bingung. Baru sekarang ia menemui orang tidur bisa
bicara jelas. Bahkan sekarang pun Ratna Pamegat mendengar suara orang tidur itu
berkata,
"Totoklah pada telapak
kakinya yang kiri, maka urat yang mengunci itu akan lepas dengan
seketika!"
"Kau... kau bicara
padaku, Pak Tua?"
"Lha iya! Masa' bicara
sama... batu?" jawabnya seperti orang sedang mengigau. Suara dan ucapannya
mengambang.
Karena penasaran, maka Ratna
Pamegat berlagak bodoh dan berkata,
"Aku tak bisa melakukan
totokan di bagian telapak kaki, Pak Tua. Kalau kau bisa, tolong lakukanlah
untuk pemuda itu!"
"Hmm... bisa menotok kok
tidak bisa membebaskan, bagaimana kau ini, Cah Ayu...?!" sambil bergumam
bak menggerutu, Pak tua itu bangkit dan berjalan sempoyongan bagai orang
mengigau. Matanya tetap terpejam, tapi arah jalannya tepat melangkah, ia
mendekati pemuda yang masih tertotok jalan darahnya itu, lalu dengan satu
sentilan jari tengahnya ke telapak kaki pemuda itu, tiba-tiba si pemuda
tersentak dan bisa bergerak.
Matanya berkedip-kedip,
mulutnya bergerak- gerak. Tapi ia tak bisa keluarkan suara. Pemuda itu seperti
kehilangan suaranya.
Wajah herannya memandang Ratna
Pamegat menjadi bercampur cemas dan takut. Bahkan ia tak sanggup keluarkan
suara batuk. Lehernya dipijat-pijat sendiri, lalu ia mencoba mendehem, tapi tak
ada suara yang keluar dari kerongkongannya. Pemuda itu menjadi tegang,
sementara Ratna Pamegat sendiri menjadi terheran-heran dan hanya bisa
terbengong.
Kejap berikutnya ia bertanya
kepada si tua yang tidur itu,
"Mengapa ia jadi begitu,
Pak Tua? Setahuku dia bukan orang gagu! Ia tadi bisa berteriak keras saat mau
digantung!"
"Urat yang mengunci itu
membuat pita suaranya kaku, tak bisa bergetar. Perlu dikendurkan urat yang ada
di bagian lehernya!" jawab Pak tua itu sambil tetap tidur.
"Bagaimana cara
mengendurkannya, Pak Tua? Tolonglah!"
Pemuda itu mengangguk-angguk,
seakan membenarkan bahwa dirinya juga minta pertolongan untuk suaranya. Pak tua
yang masih tidur dengan sedikit mendengkur itu berkata,
"Jangan sekarang. Biarkan
dulu darahnya kembali beredar dengan lancar seperti sediakala, supaya
jantungnya tidak tersentak pada saat pengenduran pita suara dilakukan."
Kemudian, Pak tua itu mundur
dan mencari tempat untuk bersandar, ia tetap tidur dengan kepala sedikit miring
terkulai. Kelihatannya enak sekali ia tertidur begitu. Ratna Pamegat merasa
heran, tapi memandanginya terus bagai menyelidiki sesuatu benda yang baru saja
ditemukan dari zaman purba.
Tiba-tiba Pak tua yang
terpejam itu berkata, "Jangan pandangi aku terus. Cah Ayu! Sebaiknya
sebutkan siapa namamu, supaya aku bisa membantumu kalau kau butuh
bantuanku!"
"Namaku Ratna Pamegat,
Pak Tual"
"O, bagus sekali nama
itu. Tidak sebagus namaku sendiri."
"Bapak bernama
siapa?"
"Panggil aku Ki Gendeng
Sekarat!"
"Nama yang lucu,"
kata Ratna Pamegat sambil tertawa kecil.
"Tapi aku bukan boneka
yang lucu, Ratna," kata Ki Gendeng Sekarat.
Orang ini adalah penguasa
Pulau Mayat yang memang punya kebiasaan cepat tertidur. Namun sekalipun ia
tertidur, ia bisa berbuat dan bertindak apa saja, bahkan kejeliannya bisa
melebihi orang yang tidak dalam keadaan tertidur. Itulah sebabnya ia dijuluki
Ki Gendeng, karena bisa melakukan apa saja dalam keadaan tidur nyenyak (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Prahara Pulau Mayat").
"Siapakah pemuda itu,
Ratna? Kekasihmukah?"
"Bukan, Ki Gendeng! Aku
memang mencari-cari dia untuk kubawa pulang ke perguruanku karena sesuatu hal.
Tadi dia mau digantung karena dituduh memperkosa istri Ki Lurah Pogo, tapi
segera kuselamatkan dan kubawa lari setelah aku tahu dia bernama Suto!"
"Suto...?!" Ki
Gendeng Sekarat bernada heran walaupun suaranya pelan.
"Iya. Namanya Suto
Sinting, dan dia dibutuhkan oleh seseorang yang sekarang berada di
tempatku!"
"He he he he...!" Ki
Gendeng Sekarat tertawa sumbang. "Aku juga sedang mencari Suto Sinting,
tapi bukan anak ini!"
"Dia bernama Suto,
Ki!"
"Tapi bukan Suto Sinting!
Kau belum tahu wajah dan perawakan Suto Sinting?"
"Belum!"
"O, dia jauh lebih tampan
dan lebih gagah dari pemuda ini!"
"Tapi...," Ratna
Pamegat mulai waswas, ia bertanya kepada pemuda yang belum bisa bicara itu,
"Namamu benar Suto?"
Pemuda itu mengangguk-angguk
dengan tegas. Seakan ingin meyakinkan bahwa dirinya adalah Suto. Tapi Ki
Gendeng Sekarat terkekeh lagi dan segera mendekati pemuda itu.
"Tali pita suara sudah
boleh dikendurkan," kata Ki Gendeng Sekarat. Kemudian ia sentilkan lagi
jari tengahnya ke bawah leher, dan pemuda itu tersentak, lalu terbatuk-batuk
dengan suara keras. Sesaat kemudian ia berucap kata, "Terima kasih,
Ki...!"
Ratna Pamegat bertanya,
"Apakah namamu benar Suto?"
"Iya. Namaku memang
Suto."
"Suto Sinting?"
"Bukan! Sutomo, nama
lengkapku!"
"Brengsek...!"
bentak Ratna Pamegat dengan gusar dan jengkel.
***5
RATNA Pamegat tak tahu harus
kepada siapa kedongkolan hatinya dilampiaskan. Begitu susah payah ia mencuri
Suto dari tiang gantungan, susah payah mempertahankan dari ancaman Ki Lurah
Pogo bersama anak buahnya, sampai-sampai ia dituduh merebut kekasih perempuan
lain oleh Nyi Sumirah, belum lagi memanggul Suto ke sana kemari dengan berat,
ternyata pemuda itu bukan Suto Sinting. Mual rasa perut Ratna Pamegat
memikirkan hal itu. Mual karena tak bisa marah kepada Sutomo atau kepada siapa
pun, kecuali kepada dirinya sendiri yang terhitung bodoh dalam perkara ini.
Untung ia bertemu dengan Ki
Gendeng Sekarat yang aneh itu, sehingga rasa dongkolnya sedikit terobati. Ki
Gendeng Sekarat menyarankan agar Ratna Pamegat melepaskan Sutomo dan tidak
perlu memanggul- manggulnya lagi. Maka, Sutomo pun disuruh pergi oleh Ratna
Pamegat.
Tetapi pemuda itu malah
berkata, "Kalau bisa, biarlah aku bersamamu terus!"
"Tidak bisa! Aku punya
urusan sendiri!" sentak Ratna Pamegat.
"Aku akan bantu kamu! Aku
sudah kau tolong, aku berhutang nyawa padamu, Ratna. Karena itu, biarlah aku
menjadi budakmu. Kapan saja kau membutuhkan kehangatanku, aku siap
melayanimu!"
Plokk...! Tanpa
tanggung-tanggung Ratna Pamegat menampar wajah si hidung belang itu. Yang
ditampar sampai terpental tujuh langkah jauhnya, ia terkapar di sana dan tak
bisa bangkit untuk beberapa saat, kecuali hanya mengerang kesakitan.
Tangan Ratna Pamegat segera
ditepis oleh Ki Gendeng Sekarat yang sudah tidak tertidur lagi. Ratna
Pamegat ingin melepaskan
pukulan berbahaya untuk Sutomo, tapi ditahan oleh Ki Gendeng Sekarat dengan
sikap sabarnya.
"Tak perlu layani
dia!"
"Tapi dia merendahkan aku
secara tak langsung, Ki! Dia pikir aku sama dengan Nyi Sumirah, yang
membutuhkan kehangatan dan kemesraan cumbuannya! Dia sangka aku perempuan
murahan yang gatal oleh cumbuan lelaki!"
"Tenang tenang tenang...!
Jangan melotot padaku!" kata Ki Gendeng Sekarat menyabarkan hati Ratna
Pamegat. "Tinggalkan saja dia! Toh dia sudah dapat ganjaran darimu! Lihat,
sampai sekarang ia belum bisa bangkit! Kurasa sudah cukup sebagai pelajaran
baginya!"
Saat itulah, Sutomo
ditinggalkan Ratna Pamegat dan Ki Gendeng Sekarat. Dalam perjalanannya, Ratna
Pamegat menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Candi Sapta Wulan.
Sementara itu, Ki Gendeng Sekarat sendiri juga menceritakan perjalanannya
mencari Suto Sinting, karena diutus oleh Gusti Mahkota Sejati, Dyah Sariningrum
yang menjadi calon istri Pendekar Mabuk itu.
Ki Gendeng Sekarat ditugaskan
mencari Suto karena Gusti Ratu Puri Gerbang Surgawi ingin bicara dengan Suto
Sinting tentang keadaan Pulau Serindu yang sedang dibangun kembali sebagai
Istana Puri Gerbang Surgawi.
Tapi sudah hampir empat minggu
Ki Gendeng Sekarat belum bertemu dengan Suto. Malahan sekarang ia menghadapi
seseorang yang memburu Pendekar Mabuk, yaitu nenek aneh yang bikin onar di
Candi Sapta Wulan itu. Ki Gendeng Sekarat merasa penasaran dan ingin jumpa
dengan si nenek itu.
"Bawalah aku ke Candi
Sapta Wulan, akan kutemui sendiri nenek aneh yang suka menyebar kesaktiannya
itu! Apa maksud dia mencari Suto Sinting? Jika maksudnya ingin membunuh Suto,
berarti dia harus berhadapan dengan aku lebih dulu!"
"Apakah kau sanggup
berhadapan dengan nenek itu, Ki? Sebab guruku sendiri dibuatnya menjadi
tengkorak berjalan seperti itu!"
"Sanggup atau tidak, aku
harus bertemu dulu dengan nenek itu! Kalau memang aku tak sanggup menghadapi
ilmunya, itu berarti aku sudah mati, Ratna!"
Akhirnya Ratna Pamegat pun
setuju unuk kembali ke Candi Sapta Wulan. Pikirnya, kalau toh ia tidak bisa
membawa Suto Sinting, ia bisa membawa orang yang bisa diandalkan untuk melawan nenek
aneh itu. Hanya sayangnya, Ratna Pamegat tak banyak tahu kesaktian Ki Gendeng
Sekarat itu. Ia hanya tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat melakukan sesuatu dengan
keadaan tetap tidur, dan bisa melepaskan totokan urat yang mengunci dari tubuh
seseorang.
Tepat di pertengahan jalan
menuju Candi Sapta Wulan, yang jaraknya masih setengah hari lagi, tokoh tua dan
wanita cantik yang masih muda itu terhenti langkahnya oleh kemunculan seorang
lelaki tua juga. Lelaki itu berjubah abu-abu dan rambutnya juga abu- abu. Ia
menggenggam tongkat hitam berkepala seekor buaya. Lelaki tua itu mengenakan
ikat kepala putih dengan tubuh kurus dan mata cekung. Usianya diperkirakan
sekitar enam puluh tahun lebih.
Kemunculannya yang tiba-tiba
dari atas pohon itu membuat Ki Gendeng Sekarat sendiri tertegun kaget. Tetapi
Ratna Pamegat tidak terlalu kaget seperti Ki Gendeng Sekarat. Buat Ratna
Pamegat, tokoh tua berjubah abu-abu itu bukan orang asing lagi, tapi buat Ki
Gendeng Sekarat, baru saat itu ia bertemu dengan tokoh tua yang bermata juling.
Orang itu menghadap ke kiri tapi sebenarnya memandang ke arah Ki Gendeng
Sekarat.
"Wah, repot berhadapan
dengan orang ini," pikir Ki Gendeng Sekarat, "Ke mana arah pandangan
matanya bisa mengecohkan diriku! Cacat di matanya itu bisa merupakan kelebihan
bagi dirinya, namun bahaya bagi musuh-musuhnya. Menurut dugaanku, melihat dari
raut mukanya yang sangar itu, agaknya dia tidak bermaksud baik menghadang
langkahku bersama Ratna. Hmmm... ada persoalan apa sebenarnya?"
Ratna Pamegat maju selangkah lebih
depan dari Ki Gendeng Sekarat. Matanya memandang lurus kepada lelaki tua
bertongkat ukiran kepala buaya. Dan Ratna Pamegat menyapanya,
"Apa maksudmu menghadang
kami, Buaya Gunung?"
"Meneruskan persoalan
bulan lalu," jawab Buaya Gunung dengan wajah memandang ke arah samping,
tapi sebenarnya menatap Ratna Pamegat.
"Rupanya kau masih belum
jera juga, Buaya Gunung?! Kau samakan aku dengan perempuan lain yang harus
tunduk di depanmu?"
"Ratna Pamegat! Kalau kau
bukan perempuan yang cantik, muda, dan bahenol, aku tak akan mengejar-
ngejarmu, Ratna Pamegat!"
Sambil mata memandang dengan
menyipit benci, Ratna Pamegat berkata dalam nada ketusnya,
"Istrimu sudah tujuh, apa
masih kurang?!"
"Ha ha ha ha...! Baru
tujuh, Ratna! Belum sepuluh! Tapi aku bermaksud mempunyai istri delapan saja!
Kaulah yang kedelapan, Ratna Pamegat!"
"Persetan dengan kemauan
rakusmu, Buaya Juling!" geram Ratna Pamegat. "Kalau kau masih tetap
mengejar- ngejarku, aku akan membunuhmu tanpa tanggung- tanggung lagi!"
"Ha ha ha ha... ! Kali
ini kau tak akan bisa lukai aku seperti bulan lalu, Ratna Pamegat! Kali ini kau
pasti akan tunduk padaku, karena kekuatan ilmu 'Pelet Jagat' sudah kukuasai
lagi! Ha ha ha...!"
Buaya Gunung terkekeh-kekeh
dalam tawanya. Ratna Pamegat segera, mencabut pedangnya. Tapi Ki Gendeng
Sekarat yang matanya sudah sayu bagai orang mengantuk itu, segera menahan
gerakan tangan Ratna Pamegat yang ingin mencabut pedang. Ki Gendeng Sekarat
berbisik,
"Biar kutangani dia,
Ratna!"
"Jangan. Ini urusan
pribadi, Ki! Dari dulu dia mengejar-ngejarku untuk dijadikan istrinya! Padahal
dia sudah punya tujuh istri! Dan kali ini agaknya dia akan menggunakan ilmu
'Pelet Jagat' yang berbahaya bagi kaum wanita itu, Ki!"
"Percayalah, dia tak akan
memeletmu, Ratna! Mundurlah, biar aku yang hadapi dia!"
Tiba-tiba Buaya Gunung itu
membentak, "Siapa kau, mau ikut campur urusanku, nah?!"
Ki Gendeng Sekarat berbisik
kepada Ratna Pamegat,
" Mengapa dia bicara
kepada semak-semak itu? Apakah di sana ada orang?"
" Dia bicara kepada Ki
Gendeng. Matanya memandang ke arah sini!"
" Ooo...!" Ki
Gendeng Sekarat tersenyum menahan geli, kemudian ia berkata dengan senangnya,
" Kau bicara padaku,
Buaya Gunung?!"
" Ya, Tolol!"
bentaknya dengan ganas.
"Tua-tua jangan terlalu
ganas, Buaya Gunung! Nanti kau cepat mati!" kata Ki Gendeng Sekarat dengan
senyum-senyum.
"Ratna Pamegat! Apakah
dia calon suamimu? Si tua bangka ini apakah bisa memberikan kemesraan padamu
seperti aku, hah?! Bodoh amat kau kalau memilih kerbau peot macam dia,
Ratna!"
"Sekalipun kerbau peot,
tapi bisa mencabut nyawamu sewaktu-waktu, Buaya Gunung!" ujar Ki Gendeng
Sekarat sengaja memanaskan hati calon lawannya itu. Ternyata pancingan Ki
Gendeng Sekarat kena pada sasaran. Buaya Gunung semakin menggeram penuh
kejengkelan. Tak jelas matanya menatap tajam atau tidak, tapi kaki dan tangan
Buaya Gunung sudah mulai bergerak-gerak kecil tanda tak sabar ingin melepaskan
murkanya.
" Sebutkan namamu sebelum
kubunuh kau jadi delapan potong!" bentaknya.
" Ki Gendeng Sekarat
namaku! Mau apa kau, Buaya juling?!"
" Kalau kau memang
penghalangku untuk mendapatkan Ratna Pamegat, aku mau bunuh kau sekarang
juga!"
" Apakah kau bisa
melangkahkan kakimu untuk maju mendekatiku?"
" Mengapa tidak?"
Sekarang juga kau... kau... kau...."
Buaya Gunung tak jadi
melanjutkan kata-katanya karena kakinya menjadi kaku. Sukar digerakkan untuk ke
depan atau ke belakang. Sepertinya kedua kaki itu dibanduli batu segunung
beratnya. Ratna Pamegat pun berkerut dahi dengan heran.
"Kenapa dia itu,
Ki?"
"Kutotok kakinya lewat
suaraku tadi!" bisik Ki Gendeng Sekarat.
Buaya Gunung berusaha
menggerakkan kakinya, namun tak pernah berhasil sampai napasnya terengah-
engah. Kemudian ia berseru kepada Ki Gendeng Sekarat,
"Tua-tua busuk! Kau telah
perdaya kakiku hingga tak bisa bergerak! Sekarang terima saja pukulan ''Rawa
Kodok'-ku ini, heaah...!"
Buaya Gunung melepaskan
pukulan melalui sentakan kepala tongkatnya. Dari kepala tongkat itu keluar
selarik sinar hijau memancar terang. Sinar itu menghantam ke arah Ki Gendeng
Sekarat. Wutt...!
"Awas, Ki...!' teriak
Ratna Pamegat sambil melompat menghindarinya. Tapi Ki Gendeng Sekarat tetap
diam di tempat dan menebaskan tangannya ke depan dari arah dada. Tiba-tiba saja
di depan Ki Gendeng Sekarat berdiri sebongkah batu besar hampir menutup tinggi
tubuh Ki Gendeng. Jlegg...! Batu itu berwarna hitam dan tampak kokoh, berbentuk
seperti gundukan batu yang sudah bertahun-tahun ada di situ. Sinar hijau
tersebut mengenai batu itu. Trasss...! Zuuttt...! Tiba-tiba membalik dan masuk
ke dalam kepala tongkat.
Masuknya sinar hijau ke dalam
kepala tongkat berukir kepala buaya itu membuat tongkat tersebut terbakar. Dari
ujung bawah sampai atas menyala api dalam satu sentakan mengagetkan. Blapp...!
Wukk...!
Buaya Gunung tersentak kaget,
ia segera melemparkan tongkatnya sembarangan. Dan pada waktu itu, gugusan batu
besar di depan Ki Gendeng Sekarat menghilang dengan sendirinya setelah Ki
Gendeng Sekarat menggerakkan tangan menebas batu tersebut. Zlapp...! Kini di
depan Ki Gendeng Sekarat tak ada lagi gugusan batu, melainkan tubuh Buaya
Gunung yang sedang terheran-heran bingung memandangi tongkatnya yang habis
dimakan api. Ia ingin mengambil tongkat itu tapi tak bisa, karena jaraknya
cukup jauh dari tempatnya berdiri. Sedangkan untuk melangkahkan kaki, ia tak
bisa melakukan karena kakinya tertotok oleh suara Ki Gendeng Sekarat tadi.
"O, ini rupanya kehebatan
Ki Gendeng," pikir Ratna Pamegat. "Ternyata mengagumkan dari ilmu
yang dimiliki Guru! Atau mungkin Guru juga bisa melakukan kehebatan seperti
itu, hanya saja tak pernah diperlihatkan kepada murid-muridnya!"
******
Buaya Gunung menggeram
jengkel. Tangannya berkelebat beberapa kali, lalu segera disentakkan ke depan.
Dari sisi lengannya keluar cahaya merah bagai bendera yang melesat miring,
ingin memenggal kepala Ki Gendeng Sekarat. Tapi dengan gerak tangan cepat pula,
Ki Gendeng Sekarat sentakkan kedua telapak tangannya dan melesat pula sinar
biru muda yang menyerupai bola besar. Sinar itu begitu cepat terbang ke arah
Buaya Gunung, menerabas sinar merah bagai bendera, menghantam tubuh Buaya
Gunung dengan sentakan yang amat kuat. Blarrr...!
Bruss...! Buaya Gunung
terlempar. Tanah di tempatnya berpijak ikut terbawa beberapa bongkah, bagaikan
pohon singkong dijebol batangnya. Tubuh itu melayang jauh, lebih dari sepuluh
tombak, dan jatuh terhempas setelah membentur sebuah pohon tinggi.
Krakkk...! Brukkk...! Pohon
itu roboh ke arah belakang Buaya Gunung. Benturan tubuh Buaya Gunung jelas
sangat keras, sampai bisa menumbangkan pohon besar bercabang tinggi.
Di sana Buaya Gunung terkulai
dengan kepala masih bersandar pada sisa batang pohon yang rubuh. Mulutnya
berdarah, telinga dan hidungnya juga mengeluarkan darah. Wajah tua Buaya Gunung
menjadi pucat pasi.
Tampaknya ia dalam keadaan
setengah mati mendapat pukulan sinar biru bagaikan bola itu.
Ratna Pamegat masih terpaku
bengong memandangi keadaan Buaya Gunung yang tak disangka-sangka sangat cepat
dibuat tak berdaya oleh Ki Gendeng Sekarat. Padahal, ketika Ratna Pamegat
mengalahkan Buaya Gunung, ia membutuhkan waktu hampir setengah hari. Tapi Ki
Gendeng Sekarat mampu menumbangkan Buaya Gunung yang rakus perempuan itu dengan
hanya dua-tiga jurus saja.
Ki Gendeng Sekarat mengajak
Ratna Pamegat untuk meninggalkan Buaya Gunung tanpa memikirkan mati atau hidup.
Mereka segera menuju ke Candi Sapta Wulan.
Ketika tiba di sana, matahari
sudah condong ke barat. Alam menjadi redup karena cahaya siang nyaris pudar
ditelan cakrawala. Udara di sekitar Candi Sapta Wulan itu terasa dingin. Angin
berhembus sedikit aneh, karena menyebarkan bau tak sedap yang entah dari mana
datangnya. Sedangkan Ratna Pamegat dari tadi menghela napas karena merasakan
ada sesuatu yang tak enak di hatinya.
"Kau kelihatannya
gelisah, Ratna. Ada apa sebenarnya?"
"Entahlah, Ki. Aku
sendiri heran mengapa aku menjadi gelisah begini. Aku seperti punya rasa takut,
tapi tak tahu takut kepada siapa! Sungguh tak jelas perasaanku, Ki!"
"Hmmm...! Apakah letak
Candi Sapta Wulan masih jauh?"
"Sudah dekat, Ki. Di
balik rumpun bambu wulung itu, kita bisa melihat ke arah Candi Sapta Wulan yang
tinggal reruntuhannya itu!"
"Kalau begitu,
percepatlah langkah kita!"
Mereka mempercepat langkah
dengan berlari menerabas semak belukar. Kecepatan gerak Ki Gendeng Sekarat
seakan telah menyingkapkan semak belukar di depannya sebelum ia lewat ke sana.
Dan dalam beberapa kejap berikut, mereka sudah tiba di Candi Sapta Wulan itu
dengan wajah tegang.
Terutama Ratna Pamegat yang
berwajah tegang, karena ia melihat pelataran candi banyak ditemukan
pakaian-pakaian para murid yang tergeletak begitu saja. Celana dan baju para
murid bagai terlempar di pelataran candi, sedangkan pelataran itu dalam keadaan
sepi, sunyi, tak ada satu pun manusia di sana. Biasanya, entah tiga atau empat
orang, pasti ada yang berjaga-jaga di pelataran.
"Ada yang tak beres,
Ki...!" gumam Ratna Pamegat. Maka ia pun segera mendului bergerak masuk ke
candi, disusul oleh Ki Gendeng Sekarat.
Sebelum Ratna Pamegat mencapai
kedalaman candi, Ki Gendeng Sekarat sempat terkejut melihat kemunculan makhluk
berkepala manusia dengan tubuh tulang- belulang yang bisa berjalan dan
bergerak. Ratna Pamegat segera berseru,
"Guru...! Apa yang
terjadi di sini?!"
Resi Jejak Naga yang tinggal
tulang dan kepala saja itu memandang sayu dan sedih kepada Ratna Pamegat.
Tangannya yang tinggal tulang tanpa kulit dan daging itu melambai, menyuruh
Ratna Pamegat untuk mendekat. Kemudian, murid cantiknya itu dipeluk dalam duka.
Ratna Pamegat tak pernah dipeluk haru begitu oleh Resi Jejak Naga. Karena itu
air mata Ratna Pamegat pun mulai menggenang di mata, walau tetap ditahannya dan
tak mau ia menangis di situ.
"Guru, katakan apa yang
terjadi? Ke mana para murid lainnya, Guru? Mengapa pakaian mereka ditinggalkan
di pelataran sana?!"
Dengan suara parau menahan
duka, Resi Jejak Naga berkata,
"Mereka dibinasakan oleh
nenek aneh itu!"
"Dibinasakan
bagaimana?!" desak Ratna Pamegat.
"Mereka dikutuk lenyap
semua, tinggal pakaiannya. Dan kutukan itu terjadi dengan
sungguh-sungguh!"
"Jahanam setan kempot
itu!" geram Ratna Pamegat. "Di mana dia sekarang berada, Guru?! Di
mana dia? Aku ingin membunuhnya!"
"Terlambat, Ratna! Dia
sudah pergi tinggalkan tempat ini dan membiarkan aku tetap begini!"
"Nenek gila! Manusia
berjiwa iblis dia itu!"
Ki Gendeng Sekarat ikut
menampakkan rasa duka dan ikut berkabung, ia melangkah pelan-pelan memandangi
pakaian-pakaian itu. Bahkan satu pakaian diambil dan diciumnya sebentar,
kemudian ia segera berseru kepada Ratna Pamegat,
"Jiwa mereka masih ada di
sekitar sini, Ratna!"
Ki Gendeng Sekarat memandang
sekeliling. Seperti mencari sesuatu. Kemudian ia duduk dengan lesu. Entah apa
maksudnya. Resi Jejak Naga bertanya,
"Ratna, apakah dia yang
bernama Suto Sinting?"
"Bukan, Guru! Dia bernama
Ki Gendeng Sekarat! Dia temannya Suto Sinting dan juga sedang mencari
Suto."
"Lalu, mengapa kau
membawanya kemari?"
"Dia ingin menantang
nenek itu, Guru! Dia... dia cukup tinggi ilmunya. Saya terkagum-kagum
melihatnya!"
"Kalau begitu, lekas cari
nenek edan itu! Mudah- mudahan belum terlalu jauh meninggalkan tempat
kita!"
"Baik, Guru!"
kemudian Ratna Pamegat berkata kepada Ki Gendeng Sekarat, "Ki Gendeng,
kita cari nenek itu sekarang juga!"
Tetapi kepala Ki Gendeng
Sekarat mulai terkulai, matanya terpejam dan suara dengkurnya terdengar tipis
samar-samar.
"Dia tertidur, Ratna?'
"Ya. Tapi dia bisa
melakukan apa saja seperti kalau dia tidak sedang tertidur."
Kemudian, Ratna Pamegat
mengajak Ki Gendeng Sekarat mengejar nenek aneh itu. Tanpa merasa keberatan, Ki
Gendeng Sekarat pun segera pergi, berlari dengan cepat walau dalam keadaan tetap
tidur dan
mengeluarkan suara dengkur
yang samar-samar.
*
* *
NENEK aneh itu tiba di sebuah
kerumunan orang yang ada di tengah tanah lapang, semacam alun-alun. Di sana ada
panggung lebar dengan ketinggian panggung antara satu tombak kurang sedikit.
Dengan langkah tertatih-tatih
menggeloyor sana-sini, nenek itu mendekati panggung, mencoba melihat apa yang
terjadi di sana. Ternyata di sana sedang terjadi sebuah pertarungan adu
ketangkasan diri. Dua orang sedang bertarung menggunakan tombak, yang satu menggunakan
tombak bermata golok lebar, yang satunya memakai tombak bermata garpu dua
runcing.
Nenek aneh itu mendesak
sana-sini dengan suara gerutunya yang tak jelas. Kadang ia sempoyongan didorong
orang, entah siapa, sehingga hampir jatuh kalau tak ada orang lain yang
menyangga tubuhnya secara tak langsung.
Sampai di depan, nenek aneh
itu tengok sana-tengok sini. Lalu ia bertanya kepada seorang lelaki usia
tanggung di sebelah kirinya yang tampak serius mengikuti pertarungan di atas
panggung.
"Ada apa ini? Kok ramai
sekali dan banyak orang?"
Orang itu tidak menjawab
karena merasa jengkel dengan pertanyaan seperti itu. Sudah jelas ada
pertarungan, masih ditanya 'ada apa' segala? Jelas ini merupakan pertanyaan
bodoh yang tidak perlu dijawab, menurut orang usia tanggung itu. Nenek aneh
menjadi jengkel juga dan berkata,"Dasar orang bisu, ditanya diam
saja!"
Blarrr...! Petir menggelegar
di angkasa. Orang-orang sempat cemas memandang langit, takut hujan turun acara
seru jadi bubar. Sedangkan orang usia tanggung itu tetap diam saja. Ia tidak
sadar dan tidak pernah menyangka bahwa sejak saat itu ia tak akan bisa bicara
lagi karena terkena kutukan nenek aneh itu.
Sang nenek segera bertanya
kepada orang di sebelah kanannya, seorang lelaki muda berusia sekitar dua puluh
lima tahun.
"Ada apa ini, Nak?"
Anak muda itu menjawab,
"Ada panggung, Nek."
"Ya, sudah tahu kalau ada
panggung," gerutu nenek bersungut-sungut. "Tapi ada apa di
atasnya?"
"Ada pertarungan.
Sayembara adu otot!"
"Kenapa diadu? Ototnya
siapa?" tanya nenek aneh itu berkesan pikun dan menggelikan. Tapi anak
muda itu cepat memaklumi karena melihat usia sang nenek yang sudah sangat tua.
Maka dengan sedikit sabar anak muda itu menjelaskan.
"Ratu Kemukus membutuhkan
seorang senopati, maka dibukalah sayembara adu ketangkasan bertempur. Siapa
yang menang, dia menjadi senopati Kanjeng Ratu Kemukus!"
Nenek itu menggumam sambil
manggut-manggut.
"Paham, Nek?"
"Paham, paham...!"
jawabnya. "Tapi, senopati itu apa?"
Anak muda itu tertawa kecil.
"Senopati itu panglima tempur. Kalau perang maju paling depan!"
"Lha, nanti kalau terlalu
depan dia hilang, bagaimana?"
"Ya tidak mungkin toh,
Nek," jawab sang pemuda dengan tertawa.
"Selain dapat hadiah jadi
senopati, dapat hadiah apalagi, Nak?"
"Uang, lima ratus
sikal!" jawab pemuda itu. Sikal adalah mata uang yang berlaku di masa itu.
Harga satu nasi bungkus atau satu piring dengan lauk ikan ayam senilai setengah
sikal.
"Hik hik hik hik...!
Banyak juga lima ratus sikal itu! Bisa untuk kawin! Hik hik hik...!"
kemudian nenek aneh itu memandang ke atas panggung. Di sana dua Orang sedang
berusaha saling menjatuhkan satu dengan yang satunya.
"Apa kau kenal sama Suto
Sinting, Nak?"
Anak muda itu berkerut dahi.
"Kalau orang sinting di
sini banyak, Nek. Tapi kalau yang bernama Suto, saya tidak tahu!"
"Lha itu... yang
bertarung di atas itu bukan bernama Suto?"
"Aku tidak tahu, Nek. Aku
bukan petugas pengurus pertarungan itu. Cobalah kau tanyakan kepada para
pengawal dan prajurit yang ada di belakang panggung sebelah sana itu!"
Nenek aneh segera bergerak
mendesak-desak jubelan penonton yang bersorak jika ada salah satu petarungnya
yang terkena pukulan. Nenek itu nekat menemui petugas di belakang panggung.
Dengan masa bodoh dia melangkah menginjak-injak kaki orang dan mendapat gerutuan
serta cacian macam-macam. Ketika tiba di bagian belakang panggung, nenek aneh
itu bertanya kepada salah seorang petugas keamanan dari Istana Ratu Kemukus,
"Apa masih banyak yang
mau bertarung di atas?"
"Masih, Nek!" jawab
petugas berkumis itu. "Jangan khawatir, masih banyak jago silat yang punya
jurus-jurus maut yang belum dapat giliran tampil. Makin lama akan semakin
seru!"
"Ada yang namanya Suto
Sinting?"
"Suto Sinting...?!"
gumam petugas itu sambil kerutkan dahi. Lalu petugas itu menjawab, "Rasa-
rasanya tidak ada yang bernama Suto Sinting, Nek!"
"Tidak ada?"
gumamnya tampak kecewa. Kemudian nenek aneh itu bertanya kepada petugas tanpa
kumis, "Kamu kenal sama Suto Sinting?"
"Tidak," jawab orang
itu sambil matanya memandang ke atas panggung.
Melangkah lagi dia dengan
terbungkuk-bungkuk dan singgah di depan petugas yang mencatat beberapa nama-
nama pe serta. Lalu bertanya pula ia kepada petugas itu dan petugas itu
menjawab,
"Tidak ada yang bernama
Suto Sinting."
"Masa' orang pintar
seperti Suto tidak ikut sayembara begini?"
"Apa dia orang berilmu
tinggi?"
"Untuk ukuran orang-orang
yang bertarung di sini,Suto cukup sakti. Tapi kalau melawan aku dia belum
apa-apanya!"
Petugas itu tertawa sebentar,
kemudian sibuk bicara lain dengan temannya. Nenek itu tidak dilayani lagi. Pada
waktu itu, di atas panggung sedang terjadi pertarungan yang membuat salah
seorang jatuh dan kalah dalam keadaan terluka. Kalau lawannya mau membunuh dia,
sudah pasti dengan mudah dibunuhnya. Tapi peraturan di situ tidak boleh membunuh
lawan, hanya melukai dan mengalahkan saja sampai lawan merasa jera.
Orang yang menang itu
berkepala gundul dan sedang mengangkat tangannya karena dielu-elukan penonton.
Tahu-tahu nenek aneh itu nekat naik ke panggung dengan langkahnya yang
tertatih-tatih.
"Hei, hei, mau ke mana
itu nenek...?!" seru petugas. Mereka ingin mengejar naik, tapi nenek itu
sudah sampai di tengah panggung dan mendekati orang berkepala gundul yang baru
saja menang tanding tadi.
Naiknya nenek itu mendapat
sambutan meriah dari penonton, penuh tawa dan tepukan. Jago yang baru menang
itu merasa heran mendapat lawan setua itu dan memandangnya dengan ragu. Tapi ia
segera berseru kepada sang nenek,
"Biar kamu tua, aku tak
akan mundur melawan kamu!"
"Apa kamu yang namanya
Suto?"
"Bukan! Sudah tak perlu
banyak tanya nama segala! Kita mulai saja pertarungan ini! Heaaah...!"
Orang itu melompat dan
menebaskan tombak berujung golok lebar. Tapi sang nenek diam saja, dan ketika
sampai di depan mata, benda tajam itu ditangkap dengan kedua tangan, dijepit
kuat dan disentakkan ke kiri sedikit. Trakk...! Patah logam tajam yang tebal
itu. Semua mata penonton melotot dan bergumam,
"Hoooo...?!"
Nenek aneh itu segera mencabut
pedangnya dengan susah payah. Sementara yang memiliki tombak patah itu masih
terbengong karena tidak menyangka akan begitu jadinya.
"Rupanya kau nenek punya
isi, ya?" geram orang itu.
"Punya," jawab sang
nenek, ia masih sulit mencabut pedang.
"Kuhajar habis sekalian
kau, Nek! Hiih...!
Wutt...! Tangan orang itu
menghantam dengan tenaga kuat-kuat. Tepat pada waktu itu sang nenek berhasil
mencabut pedangnya dan, crass...! Pedang itu berkelebat memotong tangan orang
tersebut.
"Aaaa...!" orang itu
menjerit kuat-kuat, tangan kanannya buntung seketika tepat di bagian
pergelangan tangan. Pada saat ia kesakitan itu, sang nenek mendekati dengan
sedikit terburu-buru, lalu kepala orang itu ditebasnya memakai pedang berkarat.
Crasss...!
"Uaaaa...!" teriak
orang itu lagi, rubuh dan terduduk di lantai.
Crasss...! Sekali lagi pedang
itu berkelebat. Dan menggelindinglah kepala orang itu dalam keadaan terpotong
lepas dari lehernya.
Penonton menjerit keras-keras.
Mereka merasa ngeri. Ada yang cepat buang muka, dan karena terburunya buang
muka sampai berbenturan dengan orang yang lain yang melakukan hal yang sama.
Ada yang hanya memandang dengan mulut melongo bengong dan mata mendelik. Ada
yang tidak buang muka tapi memejamkan mata kuat-kuat dan menjerit panjang.
Seorang petugas berkumis yang
tadi ditanyai oleh sang nenek segera naik ke panggung dan berseru,
"Pertarungan ini bukan
tempat jagal, Nek!" ia bergegas mendekati nenek itu ingin membawanya
turun. Tapi begitu mendekat, pedang sang nenek berkelebat dari bawah ke atas.
Crasss...!
"Aahg...!" Orang itu
mendelik dalam keadaan masih berdiri, tapi bagian bawahnya segera meneteskan
darah, lalu ia pun rubuh. Tubuhnya terbabat pedang berkarat dari bawah sampai
ke pertengahan dada.
Penonton makin menjerit ngeri.
Lebih-lebih setelah dua orang petugas maju untuk menangkap nenek itu memakai
senjata pedang juga, dengan gerakan cepat dan tak terlihat nenek itu
berkelebat. Kejap berikutnya kedua orang itu tumbang dengan keadaan dada dan
leher mereka terkoyak mengerikan, dan keduanya pun rubuh tak bernyawa lagi.
Beberapa orang naik ke
panggung, termasuk calon peserta yang belum mendapat giliran naik panggung
tadi. Mereka mulai saling berusaha menangkap nenek aneh itu. Tapi dalam
beberapa gebrakan mereka segera tumbang tanpa nyawa.
"Aku mencari Pendekar
Mabuk, bukan mencari kalian! Mengapa kalian menyerangku, hah?!" seru nenek
itu dengan suara ngotot tapi terdengar pecah dan tak jelas, ia berteriak begitu
berulang-ulang sambil membebatkan pedangnya ke kanan-kiri dengan tanpa ampun
lagi.
Suasana menjadi kacau-balau.
Para penonton saling berlarian menjauhi panggung dalam keadaan takut dan panik.
Ada yang jatuh dan terinjak-injak yang lain, sampai akhirnya orang itu mati
tanpa pertarungan. Ada yang saling bertabrakan karena berbeda arah larinya. Ada
pula yang justru bersembunyi di bawah panggung untuk menghindari saling
berbenturan dengan sesama penonton.
Para prajurit Ratu Kemukus
berlompatan naik ke panggung untuk menyergap sang nenek. Begitu banyaknya para
prajurit yang naik, maka panggung pun rubuh ke bawah. Brrukkk...!
"Aaaa...!" terdengar
beberapa jeritan dari bawah panggung, mereka yang bersembunyi di panggung
menjadi mati tergencet rubuhan panggung. Tapi yang di atas panggung pun ada
beberapa yang mati akibat tertusuk senjata teman sendiri, atau bahkan terkoyak
senjatanya sendiri.
Sedangkan nenek itu segera
melesat bagaikan terbang menghindari panggung rubuh, ia masih menggenggam
pedangnya dan tahu-tahu mendarat di tanah kosong dengan terhuyung-huyung mau
jatuh. Mereka yang semula mau lari ke arah tanah kosong itu, kini menjadi
berhenti mendadak, dan berbalik arah kemudian berlari dengan lebih cepat lagi.
Mulutnya meneriakkan suara ketakutan sambil sesekali menengok ke belakang.
Padahal nenek aneh itu diam saja tidak mengejar mereka. Hanya napasnya yang
terengah-engah dengan badan terbungkuk-bungkuk dan akhirnya terbatuk-batuk.
Suasana kacau-balau itu segera
dilaporkan kepada Ratu Kemukus. Maka sang Ratu pun segera datang ke alun-alun
dan menemui nenek aneh itu. Mata sang Ratu memandang sipit pada sang nenek.
Sementara itu yang dipandang pun balas menatap dengan sorot pandangan mata
menyeramkan. Seakan ingin melahap habis tubuh sang Ratu.
"Mengapa kau mengacaukan
sayembara yang kuadakan?! Apa maksudmu membuat onar di wilayahku, hah?!"
hardik sang Ratu berwajah cantik jelita. Namun kelihatan tegas, berwibawa dan
berkha-risma.
"Aku mencari Pendekar
Mabuk, tapi mereka menyerangku! Aku mau dibunuh tapi aku tidak mau. Maka mereka
terpaksa kubunuh dengan pedangku ini!" kata sang nenek, lalu berhenti
untuk batuk-batuk sebentar. Setelah itu sang Ratu berkata,
"Aku tidak kenal nama
Pendekar Mabuk! Kau pikir aku punya hubungan dengan dia, hah?!"
"Kalau tidak kenal dia,
ya sudah! Aku mau pergi!"
"Tunggu dulu! Kau
kutangkap karena membunuh rakyatku dengan seenaknya saja!"
"Tidak mau!" kata
nenek itu sambil melangkah pergi tapi masih memegangi pedangnya.
"Tunggu!" seru sang
Ratu.
"Aku tidak mau ditangkap!
Jangan memaksaku!" bentak sang nenek sambil meneruskan langkahnya.
Wuttt... ! Ratu Kemukus
melompat dan bersalto di udara satu kali, kemudian dalam kejap berikutnya ia
sudah berada di depan nenek aneh itu. Menghadangnya dengan berani. Sementara
para prajurit pengawal lainnya segera mengurung tempat itu, siap dengan senjata
masing-masing.
"Kau tak boleh pergi,
Setan Tua! Kau harus kutangkap dan kujatuhi hukuman seadilnya!"
"Aku tidak mau ditangkap!
Apa kau tak dengar ucapanku ini?!" nenek itu justru membentak dan mendelik
matanya.
"Kalau begitu aku
terpaksa mengadilimu di sini, Setan Tua!" kata sang Ratu kemudian seorang
petugas pengawal menyerahkan sebilah pedang kepada sang Ratu.
"O, kau mau melawanku,
Anak ingusan?!" kata nenek aneh itu dengan beraninya. "Majulah kalau
kau mau kurobek dan kukeluarkan isi perutmu! Siapa tahu kau menyimpan bayi
haram yang baru menjadi janin di dalam perutmu, hik hik hik hik...!"
"Mulut tua iblis!
Hiaaat...!"
Sang Ratu menebaskan pedangnya
dengan cepat. Tapi nenek aneh itu tak kalah gesitnya, ia menangkis dengan
pedang berkaratnya. Trangng...! Dan sang Ratu tiba-tiba memutar sambil
melayangkan tendangannya. Plok... !
Tendangan itu jatuh di wajah
nenek aneh. Keras sekali sentakan kaki sang Ratu, tapi nenek aneh itu masih
tetap berdiri tegak bagaikan pilar tua yang sulit dirubuhkan. Wajahnya hanya
mengibas sebentar untuk membuang kunang-kunang di pandangan matanya, setelah itu
ia memandang sang Ratu dengan lebih angker lagi. Mulutnya yang berbibir keriput
berlipat-lipat bak kue lapis legit itu seperti sedang mengunyah sesuatu yang
tak jelas. Mungkin ia memainkan gusinya dengan lidah.
Sang Ratu sempat tertegun
sebentar dan membatin, "Tangguh sekali dia! Biasanya orang yang terkena
jurus 'Tendangan Badai'-ku bisa langsung terpental, tapi dia tetap berdiri
tegak tak goyah dari tempatnya?! Setan dari neraka mana dia itu?!"
Dari arah belakang sang nenek,
meluncurlah sebuah tombak yang dilemparkan oleh salah satu prajurit yang begitu
bencinya kepada orang tua itu. Tak tahan dengan kebenciannya, ia pun
melemparkan tombaknya dengan cepat. Arah sasaran adalah punggung nenek aneh
itu. Tapi ternyata yang diincar segera berkelebat memutar badan dan mengibaskan
pedangnya dari bawah ke atas. Zrangng...! Tombak itu tersentak oleh kibasan
pedang, berubah arah dan menancap di dada prajurit lain yang sedang
mengepungnya itu. Jrubb...! Matilah prajurit itu.
Wajah sang Ratu semakin geram.
Murkanya kian bertambah melihat prajuritnya mati begitu saja. Maka ia pun
segera mengirimkan jurus mautnya melalui pedang itu. Pedang ditusukkan ke depan
dan mengeluarkan selarik sinar tanpa putus berwarna hijau bening. Sinar itu
seperti lidi panjang yang menembus ke tubuh sang nenek. Tapi sebelum sinar itu
sampai pada sasarannya, sang nenek cepat membuka tangan kirinya, dan sinar itu
ditahan dengan telapak tangan kirinya.
Tubb...! Zrrruppp...! Sinar
itu bagaikan masuk ke dalam telapak tangan kiri dan tubuh sang nenek makin lama
makin berubah menjadi menyala hijau, ia masih terkekeh-kekeh melihat tubuhnya
menjadi menyala hijau pada bagian tepiannya. Bahkan semakin lama semakin
menyeluruh, sampai ke bagian perutnya pun memancarkan warna hijau.
"Hik hik hik...!
Teruskan! Teruskan...! Aku mendapat tenaga sakti yang luar biasa jika begini.
Hik hik hik...!"
Slapp...! Sinar hijau
berhenti. Sang Ratu menarik pedangnya dan matanya tak berkedip. Sinar hijau di
tubuh nenek itu pun mulai padam sedikit demi sedikit. Sang Ratu berkata dalam
hatinya,
"Benar-benar luar biasa
setan tua yang satu ini! Orang kena sinar hijau jurus pedangku ini akan hancur
menjadi kepingan-kepingan yang tak berbentuk lagi. Tapi dia justru kegirangan
dan sepertinya kekuatan dahsyat pedangku ini terserap masuk ke dalam dirinya!
Benar- benar luar biasa ilmu setan tua ini! Rasa-rasanya aku tak akan sanggup
mengalahkan dia!"
Pada saat itu, tawa sang nenek
berhenti, ia terengah- engah sebentar, kemudian berkata kepada Ratu Kemukus,
"Mainanmu adalah mainan
murah, Cah Ayu! Kau benar-benar seperti anak kecil yang belum puas dengan
mainannya!"
Blarrr...! Petir menggelegar
mengejutkan semua orang di situ.
Hal yang lebih mengejutkan
lagi buat mereka adalah keadaan Ratu Kemukus. Perempuan cantik yang masih
mengenakan mahkota dan menggenggam pedang itu kini berubah menjadi anak kecil
sekitar berusia empat tahun. Mahkotanya ikut mengecil, pedangnya pun memendek.
Anak kecil itu kaget melihat
keadaan dirinya. Dan menjadi lebih kaget melihat sang nenek yang tertawa
terkekeh-kekeh tanpa gigi itu. Dengan cepat anak kecil itu berlari sambil
menjerit ketakutan. Pedangnya dibuang begitu saja. Ia menangis mencari
perlindungan. Sedangkan para prajuritnya hanya bengong memandangi kejadian itu
dengan hati bimbang, antara percaya dan tidak.
"Kalian kenapa hanya diam
saja? Selamatkan ratu kalian!" kata sang nenek. "Kok pada diam
seperti patung semua!"
Blarrr...! Langit meledak
karena loncatan lidah petir. Dan para prajurit yang mengepung nenek aneh itu
tiba- tiba berubah kaku dan tak bergeming lagi. Mereka semua menjadi patung,
sesuai dengan sikap berdiri dan ketegangan wajah masing-masing. Lebih dari dua
puluh prajurit menjadi batu hitam tak ber-nyawa, sehingga alun-alun itu kini
menjadi sebuah tempat yang mempunyai prasasti, dan prasasti itu berupa sejumlah
patung berwajah tegang.
Mereka yang jauh dari
jangkauan nenek aneh itu segera melarikan diri semakin menjauh. Bahkan ada
beberapa yang sempat bersembunyi di mana saja. Orang- orang yang menonton di
sekeliling alun-alun pun semakin buyar tak tentu rimbanya. Alun-alun menjadi
sepi. Dan suara tangis bocah kecil terdengar di sela patung-patung itu.
Sang nenek tak tahu, bahwa
segala perbuatannya itu dipantau oleh sepasang mata yang berada di kejauhan.
Mata itu memperhatikan dengan heran, tapi tidak bisa banyak berbuat apa-apa.
Mata itu adalah mata seekor serigala berbulu hitam.
* * *
7
SERIGALA berbulu hitam itu
berlari dengan cepat seperti habis melihat setan tanpa kepala. Ke mana arah
larinya, hanya serigala itu yang tahu. Dan seorang pun tak menghiraukan apakah
serigala itu lari ketakutan melihat manusia berubah menjadi patung, atau lari
karena ingin memberitahukan kepada kawannya bahwa di alun-alun ada nenek aneh
yang sangat sakti.
Ternyata ia berlari ke tepi
sungai yang berair dangkal dan bening. Tepian sungai itu mempunyai tempat
cekung semacam gua yang tak terlalu dalam dan tak terlalu lebar. Di dalam
cekungan batu tebing sungai, ada seorang pemuda yang tengah beristirahat
menikmati hembusan angin sejuk. Pemuda itu setengah berbaring sambil menyandang
bumbung tuak dari bambu. Pakaiannya berwarna coklat tanpa lengan sampai ke
bawah, dan celananya putih. Rambutnya panjang tak diikat dengan kain sepotong
pun.
Pemuda itulah yang sebenarnya
bernama Suto Sinting si Pendekar Mabuk, murid dari tokoh sakti berusia sangat
tua, yaitu si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Dalam mengejar musuh utamanya,
yaitu Siluman Tujuh Nyawa, yang licin bagai belut dan lincah bagai petir itu,
Pendekar Mabuk menemukan petualangannya yang beraneka macam corak kehidupan.
Hanya beberapa waktu
belakangan ini saja perjalanan Pendekar Mabuk ditemani oleh seekor serigala
jinak. Serigala itu sudah seperti teman sendiri. Sering diajaknya pergi ke
mana-mana, bahkan jika malam tiba, sang serigala tidur di samping Suto dengan
penuh kesetiaan, siap terjaga sewaktu-waktu jika ada bahaya datang. Dan kali
ini serigala yang tadi berlari-lari itu menghampiri Suto Sinting dan melolong
panjang.
"Hmm...!" Suto
menggumam sambil masih pejamkan mata dengan santai. Bukan tidur.
"Auuu...!" Serigala
itu melolong pelan tapi memanjang. Pendekar Mabuk ditarik-tarik bajunya. Mata
Suto pun terbuka dengan sedikit malas.
"Ada apa?" sambil ia
mengusap-usap kepala binatang itu. Sang serigala menggeram-geram dengan suara
kecil.
"Ah, kau mengganggu saja
kalau aku sedang istirahat sebentar."
"Auh... auuuh...!"
serigala itu mundur-mundur, lalu berbalik lari, sampai beberapa jarak kembali
lagi dan meraung-raung pelan, sepertinya memberikan suatu isyarat agar Suto
mengikutinya.
"Ada apa
sebenarnya?" Suto mengajak bicara anjing hutan itu.
Serigala berlari agak jauh,
kemudian melolong dari sana. Pendekar Mabuk bergegas bangkit dan mengikutinya.
"Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan padaku," pikir Suto
sambil melangkah. Serigala itu berlari cepat sekali, sehingga Suto yang hanya
jalan kaki biasa menjadi tertinggal. Suto pun berseru,
"Srrii...!"
Serigala berhenti, ia berbalik
memandang Suto, kemudian berlari mendekati Suto. Dan pada saat itu Suto pun
berkata,
"Jangan cepat-cepat
larinya! Aku ketinggalan kalau kau lari secepat itu! Aku sedang malas
lari!"
"Uuh uuh uuh...!"
serigala itu pun berjalan pelan di depan Suto. Seakan ia mengerti apa yang
dimaksud kata- kata Pendekar Mabuk. Sambil melangkah, Pendekar Mabuk itu
menenggak tuaknya beberapa kali. Jalan Suto terasa lambat. Serigala itu rupanya
tak sabar, ia menggeram dengan mulut menyeringai, seperti orang sedang
menggerutu dan marah. Lalu ia melolong keras- keras dan terpatah-patah.
"Kenapa harus
cepat-cepat? Sabar sajalah!" kata Suto.
Serigala makin menyeringai
sambil mengerang menakutkan. Suto mulai paham dengan bahasa isyarat binatang
itu. Maka Pendekar Mabuk pun berkata,
"Baik, baik! Kita pergi
secepatnya!"
Serigala berlari lebih dulu.
Suto mengejarnya dengan gerakan cepatnya. Bahkan Suto menggunakan gerak
silumannya, yang bisa melesat cepat melebihi angin badai. Tahu-tahu ia sudah
berada di depan serigala, dan sang serigala melolong panjang, seakan menyuruh
Suto menunggunya.
Suto berhenti dan tertawa.
"Makanya jangan sombong kamu, Sri! Kalau adu lari cepat sama aku belum
tentu kau bisa menang!"
"Ggrrr...!" serigala
menggeram dengan seringai, seakan mau menerkam Suto. Karena sudah terbiasa
dengan bahasa isyarat itu, maka Suto Sinting pun tertawa dan berkata,
"Eh eh eh...! Tidak boleh
marah! Kalau kalah ya kalah saja, tak perlu pakai marah segala!"
"Uh uh uh...!"
binatang itu pun meredakan erangannya yang berseringai seram itu. Kemudian ia
berlari cepat lagi, dan Suto mengimbangi gerak larinya.
Rupanya serigala itu membawa
Pendekar Mabuk ke alun-alun tersebut. Keadaan di alun-alun masih sepi, bagai
habis dilanda angin setan kuburan. Dan mata Suto pun menatap ke arah panggung
yang roboh, mayat- mayat yang bergelimpangan, juga patung-patung yang berdiri
dengan wajah batunya yang menampakkan ketegangan.
"Huk huk huk...!"
serigala itu melolong pendek- pendek. Pendekar Mabuk mendekati tiap patung yang
ada di situ. Ia membatin dalam
hatinya,
"Sepertinya telah terjadi
musibah misterius di alun- alun ini! Mayat bergelimpangan, bekas tebasan pedang
terlihat di tubuh korban. Pasti ada orang sakti entah dua atau tiga orang yang
membantai mereka. Dan patung- patung ini...? Apa artinya patung-patung ini?
Sepertinya dibuat dengan bentuk seragam pakaian yang sama?'
"Auuu...! Auuuu...!"
Serigala melolong di balik panggung yang rubuh. Sepertinya ia memanggil Suto
agar datang ke sana. Dan ketika itu, Pendekar Mabuk mendengar suara bocah kecil
menangis ketakutan. Suto pun segera bergegas ke belakang panggung, mendekati
serigala tersebut.
Bocah kecil bermahkota itu
bersembunyi di bawah reruntuhan panggung. Wajahnya tampak sangat ketakutan.
Bocah kecil itu mengenakan mahkota kecil dan berpakaian seperti seorang ratu.
Suto tidak tahu bahwa bocah perempuan itu adalah Ratu Kemukus yang telah berubah
menjadi anak-anak.
"Sini, sini... keluar
sini! Kakak tidak jahat! Sini...!" Pendekar Mabuk tak bisa menerobos ke
bawah reruntuhan panggung, karena di sana juga terdapat beberapa mayat yang
bertumpuk. Bocah kecil itu berada jauh dari jangkauan tangan Suto. Setelah
dibujuk beberapa kali, barulah gadis kecil itu merangkak keluar dari panggung.
"Ggrrr...!" serigala
menyeringai menakutkan.
"Aaaa...!" bocah
kecil itu menjerit ketakutan dan kembali masuk ke dalam reruntuhan panggung.
Suto menghardik serigala,
"Hai, jangan begitu! Wajahmu menakutkan anak kecil itu! Menjauhlah dulu
sana!"
Seringai di wajah serigala
menghilang. Binatang itu berjalan pelan menjauhi Pendekar Mabuk. Bocah itu
kembali dibujuk, baru ia berani keluar dari persembunyiannya. Kemudian Suto
mengangkat dan menggendongnya. Bocah itu berhenti dari tangisnya setelah tahu
bahwa Suto bersikap lembut dan sabar. Mengusap-usap rambutnya yang panjang dan
bermahkota. Kemudian, di dalam gendongan Suto bocah kecil itu memandangi wajah
Suto dengan tidak berkedip. Suto menyunggingkan senyumnya sebagai tanda
keramahan. Tapi bocah perempuan kecil itu menjadi tersipu, lalu menyunggingkan
senyum juga dengan membuang pandangan matanya, menyembunyikan wajah ke arah
belakang Suto. Tangannya dipaksakan Pendekar Mabuk agar merangkul, maksudnya
biar tak jatuh dalam gendongan. Tapi gadis kecil itu sepertinya malu memeluk
Suto, tangannya dikelebatkan ke belakang.
"Peganglah, Sayang...!
Biar kamu tak jatuh...!" kata Pendekar Mabuk.
"Aku malu!" bisik
anak kecil itu. Bisikan itu seperti bernada aneh bagi Suto, sehingga Suto pun
berusaha memandang gadis kecil itu.
"Kenapa malu?"
Gadis kecil itu tidak
menjawab. Suto segera membawanya ke bawah sebuah pohon rindang. Suasana masih
sepi. Penduduk masih tak berani menampakkan diri di sekitar alun-alun. Pendekar
Mabuk memandangi sekeliling alun-alun, hanya satu-dua wajah yang nongol
sebentar, lalu segera tarik kepala dan bersembunyi lagi dengan rasa takut.
"Ada apa
sebenarnya?" gumam Suto sambil tetap memandangi sekelilingnya. Tetapi
tiba-tiba bocah kecil yang masih dalam gendongan Suto Sinting itu segera
berkata,
"Bawalah aku ke
sana," suaranya adalah suara bocah, tapi perintahnya seperti perintah
orang yang sudah dewasa. Suto merasa heran, tapi tak segera dibahas di dalam
hatinya. Karena gadis kecil itu menunjuk ke rumah besar yang ada di selatan
alun-alun maka Pendekar Mabuk pun membawanya ke sana, rumah besar bertembok
tinggi itu.
"Ini sebuah istana,"
kata Suto pelan. Gadis yang digendongnya menjawab,
"Memang sebuah istana.
Masuklah...!"
Dua penjaga di pintu gerbang
dengan keadaan terkoyak tubuhnya dalam keadaan mati berdiri. Sementara yang
satu mati bersandar. Langkah Suto menjadi hati-hati setelah nalurinya
mengatakan, ada sesuatu yang tak beres di dalam istana itu.
Ternyata ketika ia masuk ke
halaman istana, mayat pun bergelimpangan. Di sana-sini darah membanjir, kepala
menggelinding. Pemandangan itu membuat gadis kecil menangis terisak-isak sambil
memeluk Pendekar Mabuk.
"Pemandangan ini tak
sehat dan terlalu kejam untuk seorang bocah seperti gadis ini! Sebaiknya
kusembunyikan dulu gadis ini di suatu tempat, lalu aku kembali kemari
sendirian! Pasti ada sesuatu yang lebih mengerikan lagi di dalam istana
ini!" pikir Pendekar Mabuk.
Suto segera menghampiri sebuah
rumah setelah ia berkata kepada serigala hitam, "Carikan tempat
bersembunyi yang aman untuk gadis kecil ini, Sri!" Dan binatang itu
berlari ke sebuah rumah, lalu melolong dari sana setelah memeriksa keadaan di
dalamnya sebentar. Itulah rumah yang dipilihnya sesuai perintah Suto tadi. Maka
Suto pun datang ke sana.
Ada beberapa rumah yang
pintunya tertutup. Suto mencoba mengetuk rumah itu dulu sebelum masuk ke sebuah
rumah pilihan serigala. Tapi tak ada jawaban dari rumah yang pintunya tertutup.
Rumah yang lain pun begitu, tak mau membukakan pintu untuk Suto. Mungkin mereka
terlalu dicekam rasa takut, sehingga tak bisa membedakan tamu yang baik dan
tamu yang bermaksud jahat.
"Terlalu memukul jiwa
pembantaian yang terjadi di sini! Pantaslah kalau mereka tak mau menyambut
kedatanganku!" kata Pendekar Mabuk dalam hatinya. Kemudian ia melangkah
masuk ke sebuah rumah yang sepertinya ditinggalkan oleh penghuninya dalam
keadaan panik.
Bocah kecil itu diturunkan
dari gendongan Suto. Matanya memandangi Suto terus. Suto tersenyum sambil
mengusap air mata gadis kecil itu dan berkata,
"Lupakan pemandangan itu!
Jangan ingat-ingat lagi apa yang pernah kau lihat! Tenanglah di sinil Tak akan
ada yang mengganggumu!"
Gadis kecil itu menatap ke
kanan-kiri, melongok ke bagian dalam rumah, bahkan menatap ke arah dapur dengan
cemas. Suto Sinting yang belum tahu apa dan bagaimana dengan gadis kecil itu
segera bertanya dengan lugu,
"Ada apa? Kau mau pipis,
ya?"
Gadis itu menggeleng.
"Kalau mau pipis, mari
kakak antarkan kamu ke belakang. Atau... jangan-jangan kau sudah
ngompol...?!" Suto bermaksud memeriksa apakah bocah itu ngompol atau
tidak. Tapi ketika tangan Pendekar Mabuk memegang bagian yang biasanya ngompol,
bocah yang berdiri di atas sebuah kursi itu menjerit kaget.
"Auuuh...!"
Plakkk...! Tangannya
berkelebat menampar Suto. Tentu saja pemuda itu menjadi kaget dan sentakkan
kepala mundur. Gadis itu segera merapatkan kedua kakinya dengan sedikit
nungging ke belakang. Takut dipegang bagian yang disangkanya ngompol itu.
"Jangan nakal kamu,
Sayang...! Kakak hanya ingin tahu apakah kamu sudah pipis di celana atau belum.
Kalau belum, ayo kakak antar kamu ke kamar mandi!"
"Jangan sekali lagi
berbuat begitu padaku!" kata gadis kecil itu dengan lancar. Walau suaranya
seperti anak usia empat tahun kurang, tapi nada bicaranya seperti orang dewasa.
"Kakak tidak bermaksud
kurang ajar...!" kata Suto, lalu tak mau meneruskan. Tapi ia menggerutu
dalam hatinya.
"Masih kecil saja
berlagak malu! Disangkanya aku mau berbuat kurang ajar! Anak siapa dia
sebenarnya?! Kecil-kecil sudah galak!"
Bocah kecil itu segera
melompat dari atas kursi, berlari melongok ke pintu pagar. Kemudian, ia masuk
kembali dan menutup pintu rapat-rapat. Suto hanya memperhatikan saja. Tapi
segera bergegas membuka pintu itu lagi setelah mendengar suara serigala
meraung- raung kecil di luar rumah, minta dibukakan pintu.
"Aah...!" bocah
kecil itu memekik sambil melompat ke kursi, ia takut melihat serigala masuk
rumah.
"Tidak apa-apa,"
kata Pendekar Mabuk. "Dia temanku. Dia tidak galak!"
"Aku takut!"
"Dia bukan jenis serigala
yang jahat, Manis! Kau tak perlu takut. Dia justru akan menjagamu dari bahaya
selama aku pergi!"
"Kau mau ke mana?"
tanya gadis kecil itu berlagak tua di mata Suto. Dan Suto tidak terlalu
menghiraukan lagaknya itu. Ia menjawab,
"Aku akan memeriksa isi
istana itu! Kau di sini dulu bersama Sri, nanti secepatnya aku kembali!"
Suto bagai membujuk dengan lembut.
Akhirnya bocah itu
menganggukkan kepala, seakan ia memang berharap Suto melakukan hal itu. Tapi
dari sorot pandang matanya, ia kelihatan memendam kecemasan dan ketakutan
terhadap nasib Suto jika memeriksa keadaan di dalam istana itu. Karena ia tadi
melihat dari kolong panggung, nenek tua yang sakti namun berjiwa iblis itu
masuk ke istana dan mengamuk di sana. Hanya saja, mulut gadis jelmaan Ratu
Kemukus itu tak bisa mengatakan dan menceritakan tentang nenek aneh itu, karena
rasa takut dan jiwa yang terpukul dengan peristiwa itu masih belum bisa membuat
ia berpikir dengan baik.
Pendekar Mabuk masuk ke istana
sendirian. Matanya menatap sekeliling dengan jeli dan tajam. Istana dalam
keadaan porak-poranda. Beberapa bagian dibuat morat- marit oleh suatu
pertempuran yang lebih tepat dikatakan sebuah pembantaian. Suto berjalan
melangkahi mayat- mayat baik tua maupun muda, lelaki maupun perempuan. Sampai
di bagian bangsal keprajuritan, banyak mayat yang terkulai di sana dalam
keadaan mengenakan pakaian seragam keprajuritan. Bahkan di bagian dapur pun
bertumpuk mayat para pelayan dan juru masak. Tapi masing-masing mayat mempunyai
wajah tegang yang berlainan. Ada yang matinya karena benda tajam, ada yang
matinya karena pukulan tenaga dalam hebat, ada pula yang tidak berdarah sedikit
pun dan tetap berdiri memegang sesuatu, namun dalam keadaan tidak bernyawa.
"Iblis mana yang begitu
keji melakukan pembantaian ini?!" pikir Pendekar Mabuk. "Kalau saja
waktu itu...."
Suto tidak melanjutkan kecamuk
batinnya, karena ia segera melihat sekelebat bayangan menyusup masuk ke bangsal
paseban, arahnya dari ruang peristirahatan ke bangsal paseban. Pendekar Mabuk
segera melesat cepat dan tahu-tahu sudah berada di bangsal pertemuan yang
berpilar empat itu. Di sana ia berhadapan dengan seorang gadis cantik
berpakaian jingga. Gadis itu tersentak kaget, lalu menyerang Suto dengan sebuah
pedang yang dicabut dari punggungnya. Wuttt...!
Trakk... ! Pendekar Mabuk
menyentakkan bumbung tuak, dan bumbung itu cepat berkelebat ke depan, pedang
itu tak sempat merobek dada Suto, namun tertangkis oleh bambu tempat tuak itu.
Tapi kaki gadis berpakaian
Jingga itu berkelebat menendang dada Suto melalui gerak tipuannya. Buhgg...!
Dada Suto kena sasaran kaki, membuat Suto mundur tiga tindak. Gadis itu tak mau
membiarkan Pendekar Mabuk ganti menyerang, ia langsung melompat dan menerjang
wajah Suto dengan tendangan kaki, sementara tangannya yang memegang pedang
sudah terangkat ke atas.
Dengan cepat Suto bersalto ke
belakang. Wuttt... wuttt... ! Tendangan dan tebasan pedang perempuan itu
mengenai sasaran kosong. Suto berdiri tegak dan tersenyum tipis memandangi
gadis itu tertipu serangannya.
"Heh...!" gadis itu
mendenguskan napas memandang ketus. Pedangnya tetap terpegang di tangan dalam
keadaan di atas kepala, badannya sedikit rendah ke depan dengan tangan kiri di
depan dada, kaki kanan memanjang ke belakang. Matanya tajam menatap Suto
Sinting.
Suto justru menyempatkan diri
membuka bumbung tuak, dan ia menengadah sebentar untuk meneguk tuaknya.
Napasnya terlepas lega setelah itu. Senyumnya mekar tipis dengan mata lembut
memandang ke arah lawannya yang cantik.
"Manusia keji kau!"
geram gadis itu.
"Kau atau aku?"
tanya Pendekar Mabuk.
"Jangan berlagak bodoh!
Mereka terbantai oleh perbuatanmu!"
"Jangan menuduh, Nona
Cantik! Kaulah mungkin pembantainya!"
"Hmm...! Pencuri kalau
belum dihajar belum mau mengaku! Hiaaat...!"
Gadis itu melompat sambil
melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui tangan kirinya. Sinar kuning melesat
bagai kawat, arahnya ke dada Pendekar Mabuk. Namun dengan lincah Pendekar Mabuk
mengelak melalui satu lompatan ke samping kanan. Sinar itu mengenai lantai dan
lantai itu menjadi hangus setelah mengalami letupan kecil. Tarrr...!
"Hentikan, Ratna!"
seru suara di belakang gadis itu.
Pendekar Mabuk terperangah
kaget memandang orang berambut putih dan berpakaian serba merah muncul dari
sebuah ruangan. Orang itu dalam keadaan tidak tidur, dan Suto sangat
mengenalinya. Pada waktu itu, Ratna Pamegat segera berkata,
"Mungkin dialah pelaku
pembantaian ini, Ki!"
Ucapan itu tak dijawab oleh Ki
Gendeng Sekarat. Justru lelaki tua itu melangkah dengan cepat setelah Suto
berseru,
"Ki Gendeng Sekarat...?!
Kau ada di sini rupanya?!"
Ki Gendeng Sekarat berpelukan
dengan Suto bagai melepas rindu. Kemudian Ki Gendeng Sekarat berkata,
"Akhirnya kita bertemu di istana pembantaian ini!" Suto tertawa dan
Ki Gendeng Sekarat pun terkekeh sambil menepuk-nepuk pundak pemuda tampan itu.
Ratna Pamegat berkerut dahi
dan mengendurkan ketegangannya setelah ia bertanya, "Siapa dia, Ki?"
"Orang yang kau cari, dan
yang kucari juga! Ini yang namanya Suto Sinting, si Pendekar Mabuk...!" Ki
Gendeng Sekarat menegaskan. Ratna Pamegat' jadi tersipu namun cepat membuang
muka untuk sembunyikan malunya.
"Aku baru saja datang
untuk menemui Ratu Kemukus," kata Ki Gendeng Sekarat. "Ratu Kemukus
adalah Bibi dari Ratna Pamegat. Tapi tahu-tahu keadaan menjadi seperti ini.
Lalu kami memeriksa keadaan di dalam istana ternyata semakin lebih mengerikan.
Kami tidak tahu siapa pembantai yang bisa berbuat sekejam ini, dan ke mana
perginya Ratu Kemukus, kami sedang melacak jejaknya."
"Aku juga baru datang,
dan melihat keadaan seperti ini, aku jadi penasaran. Ingin mengetahui siapa
pelakunya!"
Ratna Pamegat kini memandang
Suto Sinting. Dalam hatinya ia berkata, "Ternyata apa yang dikatakan Ki
Gendeng Sekarat memang benar. Suto Sinting jauh lebih tampan dan lebih gagah
dari Sutomo! Ah, kenapa aku jadi berdebar-debar memandang ketampanan dan
keteduhan matanya?"
***8
MEREKA bertiga tidak tahu,
bahwa setelah nenek aneh itu mengubah Ratu Kemukus menjadi kecil dan para
pengapung menjadi patung batu, ia segera meninggalkan tempat itu. Tetapi,
pasukan pemanah istana segera menghujani panah ke arah tubuh nenek aneh itu.
Dan ternyata tindakan tersebut membuat nenek aneh menjadi semakin murka.
Ia melepaskan pukulan jarak
jauhnya yang diperoleh dari hasil serapan para musuh yang melepaskan tenaga
dalam kepadanya. Pukulan jarak jauhnya itu menghantam pasukan pemanah yang
muncul dari tembok istana. Maka, hancurlah kepala mereka yang terkena pukulan
dahsyat itu.
Nenek aneh bergegas memasuki
istana. Mengamuk di sana dengan pedang berkaratnya. Tak satu pun disisakan
hidup. Dan ia mengejar tiga orang istana yang melarikan diri lewat pintu
belakang, lalu melepaskan kutukannya sehingga ketiga orang itu menjadi tiga
ekor musang.
Hanya saja, setelah itu si nenek
aneh pergi ke mana? Tak ada yang tahu. Tapi menurut dugaan para penghuni rumah
yang ada tak jauh dari istana dan alun-alun, sang nenek diperkirakan masih
mendekam di salah satu rumah penduduk untuk beristirahat. Itulah sebabnya para
penduduk yang masih selamat tak berani keluar dari rumah mereka, takut
mengalami nasib senaas seperti para korban itu.
Namun berkat usaha Ratna
Pamegat, mereka bisa menemukan satu penduduk yang berani menerima kedatangan
mereka. Penduduk itu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di alun-alun
sampai ke dalam istana. Penduduk itu menceritakan hal itu dengan tubuh gemetar
dan wajah pucat.
"Nenek bungkuk yang sudah
tua sekali itu ternyata iblis yang bangkit dari kuburnya," kata lelaki
yang berani menceritakan hal itu kepada Suto, Ki Gendeng Sekarat, dan Ratna
Pamegat. Sambungnya lagi,
"Saya melihat dengan mata
kepala sendiri, nenek itu mengutuk Kanjeng Ratu Kemukus menjadi gadis kecil dan
para prajurit yang mengepungnya menjadi patung batu di alun-alun!"
"Mengutuk...?!" Pendekar
Mabuk mengulang kata- kata itu dengan nada heran dan dahi berkerut.
"Ya, ya... mengutuk! Saya
katakan mengutuk, karena tiap apa yang diucapkannya menjadi kenyataan,
Tuan!" kata orang tersebut.
Ki Gendeng Sekarat berkata
kepada Suto Sinting, "Kalau begitu benar, nenek aneh yang menghancurkan
perguruannya Ratna Pamegat itulah yang melakukannyal"
Ratna Pamegat bertanya kepada
orang yang berani menerima kedatangan mereka di rumahnya itu,
"Apakah nenek bungkuk itu
menyebutkan nama orang yang dicari?"
"Hmm... Iya, benar! Saya
mendengar saat ia belum melakukan keonaran. Saya dengar dia mencari seseorang
yang bernama... Suto Sinting! Teman yang di sebelah saya bilang bahwa di sini
banyak orang sinting tapi yang mana yang bernama Suto, teman saya tidak tahu!"
"Jelas sudah, kaulah yang
dicari orang tua itu!" kata Ki Gendeng Sekarat. Ratna Pamegat juga
menceritakan nasib perguruannya dan nasib sang Guru yang terkena kutukan nenek
tua itu. Dahi Pendekar Mabuk menjadi berkerut memikirkan, siapa nenek tua yang
dimaksud mereka.
"Beberapa waktu yang
lalu," kata Suto. "Aku memang berselisih dengan seorang yang bernama
julukan Ratu Teluh Bumi. Tapi orangnya belum setua ciri-ciri orang yang kau
katakan itu, Ratna!"
Lalu, Suto pun menceritakan
bagaimana Ratu Teluh Bumi pada awalnya bertarung dengannya dalam peristiwa
"Pusaka Pedang Biru", dan menjadi lebih sakti lagi setelah muncul
beberapa waktu kemudian, sebagai orang yang menyebar kutuk ke mana-mana.
Sampai- sampai seorang musuhnya bisa dikutuk menjadi seekor kuda berkepala
manusia, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Penyebar
Kutuk").
"Lalu aku menyerangnya,
dia jatuh terlempar ke jurang. Aku mencarinya untuk melihat apakah dia mati
atau hidup. Tapi tak kutemukan bangkainya di jurang itu. Bahkan aku malah
diikuti oleh seekor serigala yang sampai sekarang menjadi teman
perjalananku!" kata Pendekar Mabuk sambil mereka melangkah meninggalkan
rumah orang yang telah menceritakan apa yang dilihatnya itu.
"Barangkali, orang yang
kau katakan sebagai nenek aneh itu berusia sekitar lima puluh tahun?"
"Lebih," jawab Ratna
Pamegat. "Mungkin usia seratus tahun pun lebih. Jalannya sudah
sempoyongan, giginya habis semua, kulitnya keriputan yang tak jelas bentuknya
dan sulit dicari pori-porinya!"
"Kalau begitu dia bukan
Ratu Teluh Bumi!" kata Suto.
"Lantas siapa
menurutmu?!" tanya Ki Gendeng Sekarat.
"Entahlah!" jawab
Suto bernada pasrah.
"Bagaimana kalau kita
geledah seluruh penghuni dan rumah di sekitar sini!? Siapa tahu dia bisa
berubah menjadi muda?" usul Ki Gendeng Sekarat.
"Baik. Kita berpencar.
Dan jika melihat dia, pancing dan ajak ke alun-alun, kemudian bunyikan sebuah
ledakan dengan pukulan tenaga kalian ke arah mana saja, kami akan segera datang
ke alun-alun!" kata Suto Sinting.
Mereka akhirnya berpencar
menggeledah rumah demi rumah. Pendekar Mabuk menyempatkan menengok gadis kecil
yang disimpannya di sebuah rumah bersama serigala. Pendekar Mabuk masih belum
menyimpulkan cerita orang tadi, sehingga ia belum sadar bahwa gadis kecil
itulah Ratu Kemukus yang dikutuk si nenek aneh.
Ketika Pendekar Mabuk masuk ke
rumah itu, gadis kecil itu segera melompat dalam gendongan Suto sambil menangis
ketakutan. Tangisannya tak menimbulkan suara keras. Tapi Suto tahu tangis itu
adalah tangis bocah yang tertekan jiwanya. Pasti ada sesuatu yang membuatnya
sangat takut.
"Tenang, tenang,
Sayang...! Cup cup cup...! Kakak sudah kembali dengan selamat. Jangan
menangis...!"
"Ak... aku... aku
takut...!"
"Takut kepada siapa?
Serigala ini tidak menganggumu, bukan?! Jangan takut!" Suto bertanya
kepada serigala, "Apa kamu tadi mengganggunya, Sri?"
Anjing hutan itu menggelengkan
kepala sambil menggeram-geram kecil, seakan sangat paham dengan bahasa manusia.
"Lihatlah, Sayang...
serigala tidak nakal kok. Jangan takut!"
"Aku bukan takut kepada
anjing itu!"
"Lalu kepada siapa dan
kepada apa?"
"Aku... aku tadi
mengintip dari celah papan itu, aku melihat nenek aneh itu berjalan melewati
jalanan di depan rumah ini! Aku takut sekali!"
"Nenek...?! Maksudmu,
nenek bungkuk yang jalannya sudah tertatih-tatih itu?" Pendekar Mabuk
sedikit tegang.
"Iya. Nenek itulah yang
membantai seenaknya semua prajuritku, orang-orangku dan beberapa penduduk di
sini!"
"Jadi kau melihat semua
pembantaian itu?!"
"Aku melihatnya! Melihat
dengan jelas sekali," jawab bocah yang digendong Suto itu.
"Kalau saja aku tak kalah
ilmu, aku tak akan menjadi begini! Serba ketakutan dan...."
"Sudah, sudah... jangan
diingat-ingat lagi nanti kamu semakin takut, Sayang! Sekarang sebaiknya kamu
tidur, dan kakak akan...." Suto diam sejenak, teringat sebaris kata aneh
yang diucapkan bocah kecil itu. Maka Suto pun segera bertanya,
"Kau bilang, kau kalah
ilmu dengan nenek itu?! Apa maksudmu dengan mengatakan 'kalah ilmu' itu?"
"Aku sudah coba
menghadapi dia! Tapi aku kalah, dan dia mengubah wujudku menjadi seperti anak
kecil begini...!"
Bocah yang digendong erat-erat
itu kini ditatapnya. Suto berdebar-debar dan hampir tak mempercayai kesimpulan
di dalam hatinya, ia penasaran dan akhirnya bertanya, "Jadi... kau adalah
Ratu Kemukus itu?"
"Ya. Akulah Ratu Kemukus
itu...!"
"Oooh...!" Suto
menjadi malu dan lemas, ia turunkan gadis kecil itu pelan-pelan. Rasa malu
bercampur rasa hormat dan sungkan, semuanya menjadikan Suto salah tingkah.
Dalam hatinya ia tersenyum geli dan berkata,
"Pantas dia galak. Pantas
berani menamparku. Pantas dia menjerit waktu kuperiksa apakah ngompol atau
tidak. Rupanya dia seorang Ratu. Hi hi hi hi... aku jadi malu sendiri kalau
begini! Pantas dia malu memelukku dalam gendongan. Hi hi hi...!"
"Aku sudah memeriksa isi
istana, tak ada yang selamat! Aku juga bertemu dengan keponakanmu," kata
Suto Sinting kemudian.
"Siapa namanya?"
"Ratna Pamegat!"
"Oh, benar! Dia
keponakanku. Di mana dia sekarang?"
"Sedang mencari nenek
itu!"
Bocah kecil itu tersentak kaget.
"Celaka! Tolong cegah dia! Jangan sampai dia mencari nenek itu, nanti
menjadi seperti nasibku ini dan mungkin akan celaka seperti
prajurit-prajuritku! Aku tak ingin keponakanku menjadi patung seperti nasib
mereka di alun-alun itu! Cegah dia!"
Suto merasa diperintah oleh
anak kecil. Tapi mengingat anak itu adalah jelmaan dari Ratu Kemukus, maka ia
pun menghormat dan berkata dengan tegas,
"Baiklah! Aku akan pergi
mencari Ratna Pamegat dan kusuruh dia mendampingimu, Nyai Ratu," Suto
tersenyum kaku menyebut nyai ratu kepada bocah sekecil itu. Ratu Kemukus
sendiri menjadi tersipu malu.
Pendekar Mabuk bergegas pergi.
Tapi sebelumnya tangannya tertahan oleh tangan bocah kecil itu. Bocah tersebut
bertanya,
"Apakah kau berani
menghadapi iblis tua itu?"
"Kenapa tidak?' jawab
Suto dengan tersenyum menawan. Ratu Kemukus tak berani memandang, ia hanya
berkata,
"Hati-hatilah, jangan
sampai celaka menghadapi dia."
"Baik. Doa restu dari
Nyai Ratu yang kuminta sebagai bekalku!"
"Berangkatlah...!"
kata Ratu Kemukus dalam wujud bocah.
Tapi ketika Suto hendak
membuka pintu dan keluar dari rumah, sang Ratu sempat bertanya lagi,
"Tunggu...! Siapa
sebenarnya dirimu, Anak Muda?'
"Aku orang yang
dicari-cari oleh iblis tua itu. Namaku Suto Sinting...!"
"Oh...?!" sang Ratu
terbengong memandang Suto. Tapi Suto segera pergi keluar rumah, sementara sang
Ratu memperhatikan dalam sikap mengintip dari celah pintu. Hatinya membatin,
"Gagah sekali dia.... Pantas untuk menjadi senopatiku!"
Blarrr...!
Belum sempat Suto melangkah
sudah terdengar suara ledakan. Itu merupakan pertanda, salah seorang dari
sahabatnya telah menemukan nenek aneh itu. Dan Suto pun segera bergegas menuju
ke alun-alun. Tapi ternyata di sana tak ada manusia. Suto memandang sekeliling,
menatap langit, ternyata ada kepulan di arah barat. Kepulan asap itulah yang
menjadi tanda baginya, bahwa di sana terjadi pertarungan nenek aneh melawan
siapa, Ki Gendeng Sekarat atau Ratna Pamegat?
Pada saat Suto berada di dalam
rumah bersama Ratu Kemukus kecil, sebenarnya Ratna Pamegat telah kepergok oleh
nenek aneh itu. Sang nenek pun segera terkekeh-kekeh melihat Ratna Pamegat. Ia
berkata dengan suara tuanya,
"Sepertinya aku pernah
kenal denganmu, Cah Ayu...! Siapa kamu dan di mana aku pernah bertemu
denganmu?"
"Ya, kau memang pernah
bertemu denganku!" kata Ratna Pamegat sambil memancing kemarahan nenek
aneh itu supaya marah dan mengejarnya ke alun-alun. Ratna Pamegat berkata lagi,
"Aku adalah Ratna
Pamegat! Guruku telah kau kutuk menjadi tengkorak hidup!"
"O, kau murid Resi Jejak
Naga itu?! Ya ya ya... aku ingat sekarang! Bagaimana kabarmu, Nak? Apakah
gurumu sehat-sehat saja?"
Nenek itu bicara seperti orang
tidak berdosa. Ratna Pamegat menjadi panas hatinya. Lalu, ia mencabut pedangnya
dan berseru,
"Guruku dalam keadaan
sehat, tapi nyawamu yang sebentar lagi tidak sehat, Iblis Kempot! Aku menuntut
balas atas nasib perguruanku itu!"
"Mau menuntut balas? O,
boleh, boleh...! Kita tarung pakai pedang ya, Nak? Sebentar...!" Nenek itu
sulit mencabut pedangnya. Kesempatan itu digunakan oleh Ratna Pamegat untuk
menyerang dengan satu lompatan dan tebasan pedang. Wuttt...!
Zlapp...! Nenek itu bagai
menghilang. Tahu-tahu ada di belakang Ratna Pamegat yang sudah telanjur
menebaskan pedang dan menemui tempat yang kosong. Nenek itu masih bingung
mencabut pedang berkaratnya dengan susah payah. Ratna Pamegat membalikkan badan
dengan satu tendangan putar yang amat kuat dan cepat.
"Hiaaat....!"
Plokk...! Wajah tua itu
terkena tendangan bertenaga dalam, tapi tak mengalami guncangan sedikit pun.
Ratna Pamegat bagaikan menendang pilar beton. Kakinya sendiri yang menjadi
ngilu.
"Jahanam kau, Gadis
Tolol! Bersabarlah sebentar, aku sedang kesulitan mencabut pedangku ini! Uh uh
uhh...!"
Ratna Pamegat tak mau memberi
kesempatan sang nenek berhasil mencabut pedang, ia segera menikamkan pedangnya
ke depan, leher sang nenek yang menjadi sasarannya. Wusss...!
Zlappp...! Nenek itu sudah ada
di sampingnya, berjarak tiga tombak dari Ratna Pamegat. Tusukan itu kembali
menemukan tempat kosong. Sang nenek merasa jengkel dengan pedangnya yang sukar
dicabut, dan merasa dongkol dengan serangan Ratna Pamegat yang bertubi-tubi
itu. Maka ia pun membentak dengan napas tertahan,
"Kamu ini disuruh sabar
tidak bisa! Kukutuk jadi manusia berbadan anjing, baru kapok kamu!"
Blarrr...! Gelegar petir
terdengar mengagetkan. Itulah suara dentuman yang didengar Suto Sinting.
Dentuman itu tidak menimbulkan asap mengepul. Lalu, asap apa yang terlihat oleh
Suto dan sekarang sedang dihampirinya itu?
Ternyata asap sebuah rumah terbakar
sejak tadi, sebelum Pendekar Mabuk datang ke situ. Maka, Suto pun tidak
mengetahui di mana Ratna Pamegat dan Ki Gendeng Sekarat berada, ia mencari
dengan mata jelinya.
Sementara itu, keadaan Ratna
Pamegat sudah berubah wujud menjadi seekor anjing berbulu coklat dengan kepala
manusia. Ratna Pamegat berlari secepatnya sambil menangis, ia berseru di
perjalanan pelariannya.
"Ki Gendeng...! Ki
Gendeng...!"
Dari kejauhan terdengar suara
nenek itu berseru, "Ayo, kita bertarung! Pedangku sudah bisa kucabut
sekarang!"
Dalam keadaan menjadi manusia
berbadan anjing, Ratna Pamegat tak berani menghadapi nenek aneh itu. Ia berlari
kian kemari sambil menyerukan kata memangil- manggil Ki Gendeng Sekarat dan
Suto.
"Ki Gendeng, di mana
kamu! Sutooo...! Suto tolong akuuu...!"
Rupanya Ki Gendeng Sekarat
tertidur di emperan sebuah rumah, ia tampak tertidur nyenyak di atas sebuah
lincak, atau balai-balai dari bambu yang biasa ada di serambi atau teras rumah.
Ketika mendengar seruan Ratna Pamegat, Ki Gendeng Sekarat pun bangkit dalam
keadaan masih tertidur dengan dengkuran halus.
"Mana itu...?"
katanya seperti orang mengigau. "Sepertinya suara Ratna Pamegat dalam
bahaya...!"
Ki Gendeng Sekarat segera
mencari. Arahnya ke alun-alun. Ratna Pamegat sendiri juga sedang berlari ke
alun-alun dalam kejaran nenek kempot yang larinya tertatih-tatih, seperti
malas-malasan mengejar musuhnya.
"Ki Gendeng...!"
"Ratna...!" seru Ki
Gendeng Sekarat, tapi tak bisa keras sekali karena ia dalam keadaan tidur, mata
terpejam, dan kepala terkulai ke samping, agak menunduk sedikit. Hanya saja, ia
tetap bisa melihat apa yang terjadi pada diri Ratna Pamegat.
Ratna Pamegat menangis di kaki
Ki Gendeng Sekarat. Ki Gendeng Sekarat segera jongkok hingga wajahnya
berhadapan dengan Ratna Pamegat.
"Ki Gendeng, aku
menemuinya dan... dan aku menjadi seperti ini!"
"Ratna, tabahkan hatimu!
Bersembunyilah di bawah kolong balai-balai sana. Aku akan menghadapi dia...!
Mana dia sekarang?"
"Sedang mengejarku
kemari!"
"Kalau begitu, cepat
bersembunyi...!"
Ratna Pamegat berlari, ia
bersembunyi di kolong balai yang ada di teras rumah orang. Dari sana, ia bisa
memandang Ki Gendeng Sekarat yang menghadang langkah nenek berhati iblis itu.
Nenek aneh itu menghentikan
langkahnya setelah seorang lelaki berbadan sedikit gemuk menghadang di
depannya. Nenek aneh itu bertanya lebih dulu, "
"Apa kau melihat seekor
anjing coklat lewat sini, Kisanak?"
Ki Gendeng Sekarat menjawab,
"Tidak. Tapi kalau anjing tua kempot dan bungkuk, ada di depanku saat
ini!"
"Hik hik hik...!"
nenek aneh terkikik-kikik seperti suara kuntilanak sedang sakit tenggorokan.
"Kau menghinaku, Tua Bangka! Kau sama saja mengatakan aku anjing peot,
tua, dan bungkuk!"
"Anggap saja memang
begitu," jawab Ki Gendeng Sekarat.
Nenek itu menahan napas dan berseru,
"Kalau begitu, kau pun kukutuk menjadi seekor anak anjing!"
Angin berhembus sedang-sedang
saja. Sepi terjadi sejenak. Ki Gendeng Sekarat meraba tangannya. Ternyata masih
utuh tangan manusia. Walau ia tertidur, tapi ia bisa melihat bahwa dirinya tak
berubah sesuai kutukan yang dilontarkan nenek aneh itu. Sedangkan sang nenek
pun merasa heran melihat orang yang dikutuknya tidak segera berubah.
"Kau kukutuk menjadi
seekor anak anjing!" ulangnya sambil menahan napas. Tapi alam tetap sunyi.
Tak ada petir, tak ada perubahan pada diri lawannya. Sang nenek semakin heran,
dan melepaskan kutukan lagi,
"Jadilah babi buntung!
Babi hidung mancung! Jadilah babi bunting! Jadilah macan, serigala,
monyet...!" semua binatang disebutkan, tapi tak satu pun yang membuat Ki
Gendeng Sekarat berubah wujud.
Dari tempat persembunyiannya,
Ratna Pamegat mendengar ucapan nenek aneh mengutuk Ki Gendeng Sekarat. Ratna
Pamegat menjadi terheran-heran kagum melihat Ki Gendeng Sekarat masih utuh
sebagai manusia tua yang gendeng juga ilmunya. Bahkan Ki Gendeng Sekarat
terkekeh-kekeh dan berkata,
"Kau ini dagang
macam-macam binatang atau mau menyebarkan kutuk?!"
"Iblis neraka mana kamu,
hah?! Susah sekali dikutuk jadi apa saja. Kalau begitu, kutebas saja lehermu
dengan pedangku ini!"
Wuuttt...!
Blappp...! Ki Gendeng Sekarat
lepaskan pukulan dari tangan kirinya sebelum pedang menebas. Pukulan itu
mengenai tubuh nenek aneh dan terpental jauh tubuh tua kurus dan kering itu.
Melayang-layang membentur tembok istana dengan keras. Prokkk...!
***9
DARI arah utara muncul
Pendekar Mabuk yang berlari-lari dengan sangat tergesa-gesa. Arah pandangan
mata Suto tertuju ke alun-alun. Ia melihat pertarungan Ki Gendeng Sekarat
dengan nenek aneh itu. Namun ketika ia hendak menghampiri Ki Gendeng Sekarat
untuk membantu menggempur nenek aneh itu, tiba-tiba sebuah suara memanggilnya,
"Suto...! Suto...!"
Bingung juga Suto mencari arah
datangnya suara itu. Ia berpaling ke sana-sini sampai akhirnya Ratna Pamegat
keluar dari kolong balai dan berseru dengan suara tertahan,
"Suto...!"
"Ratna...?!"
Pendekar Mabuk terpekik kaget ketika melihat Ratna Pamegat sudah menjadi
manusia berbadan anjing cokiat. Cepat-cepat Suto menghampirinya dengan mata
tegang.
"Ratna, apa yang
terjadi?"
"Nenek itu telah mengutukku
menjadi seekor anjing!"
"Edan!" geram Suto
Sinting antara terharu dan marah melihat keadaan Ratna Pamegat seperti itu.
Giginya menggeletuk dan tangannya menggenggam kuat-kuat.
"Aku mencoba memancingnya
ke alun-alun, tapi dia sudah lebih dulu melepaskan kutukannya! Aku dikejar-
kejar olehnya, tapi segera ditolong oleh Ki Gendeng Sekarat!"
"Biadab betul nenek itu!
Tetaplah di sini, biar aku yang maju!" kata Pendekar Mabuk dan segera
bergerak. Tapi Ratna Pamegat memanggil lagi,
"Suto, sebaiknya biarlah Ki
Gendeng Sekarat yang menghadapi nenek aneh itu! Dia tidak mempan dikutuk oleh
nenek aneh itu, Suto! Aku melihat dan mendengarnya sendiri nenek itu menyebar
kutuk beberapa kali kepada Ki Gendeng, tapi Ki Gendeng tetap tegar dan tidak
berubah menjadi binatang apa pun!"
"Hmmm...! Aneh sekali!
Ilmu apa yang dimiliki Ki Gendeng itu?" kata Suto bagai orang menggumam.
"Kurasa ia mempunyai ilmu
penangkal kutuk! Kalau kau yang maju, aku khawatir kau terkena kutukannya,
Suto!"
Masih di tempat emperan rumah,
Pendekar Mabuk memandang ke arah alun-alun. Ratna Pamegat ada di atas
balai-balai yang juga memandang ke arah alun-alun. Ratna Pamegat bertanya,
"Nenek tua itulah yang
mencari-carimu dengan mengorbankan banyak nyawa! Apakah kau kenal dengannya,
Suto?"
Pendekar Mabuk kerutkan kening
dan memandang dengan mata sedikit menyipit. Nenek yang membentur tembok istana
itu sedang berusaha bangkit tanpa keluh kesah apa pun. Dan kini berjalan
tertatih-tatih mendekati Ki Gendeng Sekarat yang diam, berdiri menunggu lawan sambil
kepalanya terkulai ke kiri dan matanya terpejam tidur.
"Melihat bekas
pakaiannya, bentuk pedangnya, walau sudah berkarat, kurasa dialah yang benama
Ratu Teluh Bumi, atau yang punya nama asli Ajeng Prawesti dari Jenggala.
Tapi... mengapa dia menjadi setua itu? Sungguh tak masuk akal jika usianya dan
keadaannya menjadi setua itu, karena kami berpisah kurang dari tiga
bulan!"
"Mungkin dia nenek dari
Ajeng Prawesti!"
"Neneknya...?!"
gumam Suto dalam kebingungannya. "Kalau begitu, biarlah kuhadapi dia supaya
lebih jelas lagi siapa dia sebenarnya?"
"Bagaimana jika kau kena
kutuk, Suto?! Dia sangat mengancammu! Kurasakan begitu besar dan membaranya
dendam nenek itu kepadamu!"
"Jika benar dia punya
dendam padaku, berarti memang dialah Ratu Teluh Bumi. Jika dia bukan Ratu Teluh
Bumi, lantas atas dasar apa dendam padaku?"
Rasa penasaran membuat
Pendekar Mabuk nekat menemui Ki Gendeng Sekarat di alun-alun. Sampai di samping
Ki Gendeng, Suto pun berkata,
"Mundurlah, Ki. Biar aku
yang hadapi si iblis tua itu!"
Namun tiba-tiba sebuah
serangan datang dari tangan nenek tua itu berupa pukulan tenaga dalam wama
merah bagaikan bola api sebesar buah kelapa. Wusss...!
"Suto, awas...!" Ki
Gendeng Sekarat melompat maju menyambut kehadiran bola api itu. Kemudian dengan
satu kekuatan tenaga dalamnya, ia menghantam bola api itu menggunakan sentakan
kedua tangannya yang ke depan. Brusss...! Blarrr...!
Bola api itu pecah meledak
menimbulkan guncangan hebat pada tanah. Dan tubuh Ki Gendeng Sekarat terlempar
mundur dalam hentakan kuat.
Zlappp....! Suto melesat
menghadang tubuh Ki Gendeng Sekarat. Brekk...! Tubuh Ki Gendeng Sekarat
membentur tubuh Pendekar Mabuk, tapi Pendekar Mabuk memang sudah siap menahan
tubuh itu, sehingga Ki Gendeng Sekarat tidak cedera sedikit pun. Menabrak
Pendekar Mabuk adalah lebih baik daripada menabrak rumah penduduk yang terbuat
dari tembok separo bagian.
"Uuf...! Besar sekali
tenaga si tua bangka itu! Edan betul dia!" Ki Gendeng Sekarat masih tetap
tidur walau bicara begitu, nada bicaranya masih seperti orang mengigau
malas-malasan.
"Dia sangat berbahaya,
Ki! Sepertinya aku harus melawannya memakai Napas Tuak Setan. Tapi... keadaan
tidak memungkinkan. Istana dan rumah-rumah di sekitar sini bisa habis dilanda
badai!"
"Dia mengandalkan ilmu
kutukannya! Menurutmu apakah dia memang Ratu Teluh Bumi, seperti yang kau
ceritakan itu, Suto?"
"Ya. Tapi entah mengapa
dia bisa menjadi setua itu! Aku sendiri tak habis pikir. Dan makin tak habis
pikir melihatmu tidak mempan dengan kutukannya, Ki!"
"Karena aku tidak
memandang matanya pada saat berhadapan! Mata hatiku yang melihat semua
gerakannya! Jadi, tutuplah matamu pada saat menghadapinya!"
"Tutup mata?"
"Ya. Kekuatan kutuknya
ada di matanya. Jika kita memandangnya, maka kekuatan kutuk itu akan mengalir
lewat pandangannya. Sebaiknya...," Ki Gendeng Sekarat berhenti sebentar,
melepas ikat kepalanya yang terbuat dari kain hitam itu. Kemudian kain hitam
itu diserahkan kepada Pendekar Mabuk.
"Pakailah ini sebagai
penutup matamu. Kau bisa bertarung menggunakan mata hati, bukan?!"
"Bisa, Ki!"
"Nah, lakukan
cepat...!"
Belum sempat Pendekar Mabuk
menggunakan ikat kepala kain hitam sebagai penutup mata, nenek aneh sudah
berseru dalam jarak sepuluh langkah.
"Naaah... ini dia
harapanku datang! Hik hik hik...! Kau pasti Pendekar Mabuk yang kucari-cari
selama ini!"
"Apakah kau Ajeng
Prawesti... si Ratu Teluh Bumi itu?!"
"Hik hik hik...! Betul
sekali, Anak bagus! Akulah Ratu Teluh Bumi yang kau pukul sampai terjungkir
masuk ke jurang keparat itu! Dan sekarang aku mau tuntut balas padamu, Cah
bagus, Suto Sinting! Hik hik hik...! Tapi... tapi mengapa kau masih muda?
Bukankah kita sudah berpisah hampir seratus tahun lamanya?"
"Kita baru berpisah tiga
bulan kurang, Ajeng Prawesti!"
"Omong kosong! Pasti
sudah hampir seratus tahun, dan kau punya aji pengawet wajah sehinga bisa tetap
kelihatan ganteng dan muda!"
"Ajeng Prawesti,
percayalah kita baru tiga bulan berpisah. Dan aku tak sangka kau menjadi setua
itu, Ajeng Prawesti!"
"Ya, ya... aku menjadi
tua, tapi... tapi tetap kelihatan manis dan menawan tentunya! Hik hik
hik...!"
Ki Gendeng Sekarat berbisik
dari belakang Suto, "Lekas kenakan penutup matamu, Suto. Dia bisa lepaskan
kutuk sewaktu-waktu!"
Suto segera sadar, bahwa ia
telah terpancing omongan sehingga lupa menutup matanya. Maka, cepat- cepat Suto
menutup mata dengan kain ikat kepala itu.
"Heiii... mengapa pakai
tutup mata segala? Aku tidak akan lari bersembunyi, sebab kita tidak sedang
main petak umpet, Suto!" kata Ratu Teluh Bumi alias Ajeng Prawesti itu.
Suto tidak menjawab, ia
meneguk tuaknya dulu beberapa tegukan, kemudian bumbung tuak tidak dikembalikan
ke punggung, tapi ditentengnya sebagai senjata sewaktu-waktu.
"Bersiaplah, Ajeng
Prawesti! Lepaskan seluruh dendammu padaku, biar tak lagi membawa korban bagi
orang lain!" ucap Suto Sinting dengan keras dan tegas. Dalam hatinya
sempat membatin,
"Agaknya pedang
berkaratnya cukup berbahaya! Pedang itu harus kulenyapkan dulu...!" Maka,
Suto pun menenggak tuak lagi dengan cepat, tapi tidak ditelan, melainkan
disimpan di mulut untuk disemburkan sewaktu-waktu.
"Pendekar Mabuk, saatnya
telah tiba untuk melepas nyawamu, Nak! Hiaaah...!"
Nenek itu tiba-tiba melompat
dengan cepatnya dan hampir tak bisa dilihat mata Ratna Pamegat dari tempat
persembunyiannya. Tapi rupanya Pendekar Mabuk pun tak kalah cepat. Zlappp...!
Ia telah melesat bagai hilang dari tempat. Tahu-tahu sudah berada di belakang
Ajeng Prawesti, dan kakinya menendang ke belakang dengan kuatnya. Buekkk... !
Punggung perempuan bungkuk itu
menjadi sasaran telak. Ajeng Prawesti berjungkir balik ke depan, karena hampir
saja ia tersungkur jatuh dengan kuatnya. Jlegg...! Kaki nenek tua itu sudah
menapak kembali ke tanah dan berdiri menghadap Suto Sinting.
"Manusia keparat!
Sebaiknya kau menjadi cacing, Suto!"
Ajeng Prawesti melontarkan
kutuknya. Tapi petir tidak menggelegar. Suto masih tetap sebagai Suto, bukan
menjadi seekor cacing. Bahkan kini Pendekar Mabuk menyerang dengan kibasan
bumbungnya ke kepala Ajeng Prawesti. Bumbung itu dikibaskan ke kepala nenek
tua, tapi sang nenek dengan gesitnya merundukkan kepala hingga lolos dari
hantaman bumbung tuak. Dan pada saat itulah, Pendekar Mabuk cepat melompat ke
atas kepala nenek tersebut. Wuttt... ! Brusss...! Tuak di mulut pun
disemburkan. Clappp...! Tiba-tiba pedang berkarat itu pun lenyap karena jurus
'Sembur Siluman'-nya Suto Sinting.
"Monyet busuk! Ke mana
pusakaku?!" caci nenek tua itu.
Pendekar Mabuk sempoyongan
seperti orang mau jatuh, tapi tiba-tiba bumbungnya menyodok perut Ratu Teluh
Bumi dengan kuat. Behggg...!
"Eehg...!" nenek itu
menyeringai kesakitan. Tubuhnya melayang dan menabrak tubuh Ki Gendeng Sekarat
yang sedang tertidur. Ki Gendeng Sekarat tiba- tiba membuka matanya. Dan agak
terkejut melihat nenek itu sudah ada di atasnya, karena Ki Gendeng Sekarat pun
jatuh terjengkang akibat benturan keras dari tubuh nenek yang terpental.
"Hei, apa-apaan kau!
Sudah tua masih minta dikelonin saja!"
Ki Gendeng Sekarat buru-buru
mengangkat tubuh Ajeng Prawesti dengan ringannya, lalu tubuh itu dibuang dalam
satu hentakan kuat. Wesss...!
Behgg...! Tubuh itu jatuh di
tanah bagian punggung lebih dulu. Nenek tua meraung kesakitan, namun masih
nekat berusaha bangkit dan terhuyung-huyung. Kini yang ditatapnya adalah K!
Gendeng Sekarat, ia menggeram dengan mata buasnya,
"Manusia gendeng! Kukutuk
kau jadi bebek!"
Ratna Pamegat di tempat
persembunyiannya menjadi cemas sekali, sebab ia tahu pada waktu kutuk itu
dilontarkan, Ki Gendeng Sekarat tidak dalam keadaan tidur, melainkan dalam
keadaan melek. Sudah tentu Ki Gendeng Sekarat akan berubah menjadi bebek.
Tapi ditunggu beberapa helaan
napas, ternyata Ki Gendeng Sekarat masih tetap utuh sebagai Ki Gendeng Sekarat,
tidak berubah menjadi bebek. Bahkan sekarang Ki Gendeng Sekarat tertawa
terkekeh-kekeh,
"He he he he...!
Kutukanmu ternyata sudah tidak mempan, Nenek Peot! Ilmu kutukmu telah hilang!
Mungkin karena semburan tuak dari Pendekar Mabuk itu!"
"Ah, tidak! Ilmu 'Sabda
Iblis' tidak hilang dariku! Kau kukutuk menjadi binatang yang paling
menjijikkan!"
"He he he...! Bukankah
binatang menjijikkan itu adalah dirimu sendiri, Nenek Ompong! He he he
he...!"
Rupanya ilmu 'Sabda Iblis'
yang dimiliki Ratu Teluh Bumi akibat memakan bunga Sukma Weling di Jurang
Petaka itu telah lenyap oleh kekuatan jurus 'Sembur Siluman'-nya Suto Sinting.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Penyebar Kutuk").
Ratu Teluh Bumi menjadi tegang dan cemas.
Suto Sinting segera melepas
kain penutup matanya begitu mendengar seruan Ki Gendeng Sekarat. Melihat
Pendekar Mabuk melepas penutup mata, Ratu Teluh Bumi segera melepas kutukan
kepada Pendekar Mabuk dan ternyata kutukan itu pun tidak berguna lagi.
"Keparat busuk! Kau telah
melenyapkan ilmuku, Suto! Sekarang terimalah ajalmu ini, Nak! Heaaah...!"
Sebelum tangan nenek tua itu
bergerak untuk melepaskan pukulan andalannya, Suto sudah lebih dulu berkelebat
bagaikan angin, bahkan lebih cepat dari anak panah yang melesat. Wuttt...!
Prakkk...!
Bumbung tuak itu menghantam
kepala nenek tua. Kontan nenek tua itu terlempar ke belakang dan
terguling-guling bagaikan bungkusan daun kering tertiup angin, ia jatuh
terkapar di bawah patung para prajurit yang telah dikutuknya. Kepalanya pecah
berlumuran darah.
Melihat Ajeng Prawesti tidak
berdaya lagi, Ki Gendeng Sekarat mendekatinya, demikian pula Suto Sinting dan
Ratna Pamegat yang lari dari tempat persembunyiannya untuk melihat kematian
Ratu Teluh Bumi.
Napas sang nenek iblis tinggal
sejengkal kurang, ia dalam keadaan luka parah sekali. Namun mata tuanya yang
hampir redup itu sempat memandang orang-orang di sekelilingnya. Bahkan ia masih
bisa berucap kata walaupun lirih sekali,
"Pendekar Mabuk, akhirnya
kau yang menang dalam pertarungan ini.... Maafkan aku, Suto. Aku terpaksa
menunggumu di akhirat untuk teruskan pertarungan ini dan menebus kekalahanku
yang sekarang...."
Ki Gendeng Sekarat menggerutu,
"Sudah mau mati masih mengancam dendam juga orang ini...?!"
"Biarkan dia
bicara," kata Suto pelan.
Ratu Teluh Bumi berkata lagi,
"Sampaikan salamku kepada Dayang Kesumat, dan katakan aku juga menunggu
pertarungan dengannya di pintu neraka nanti. Sarankan agar dia lekas-lekas
menyusulku...."
"Ajeng Prawesti, tidakkah
kau ingin bertobat dalam keadaan seperti ini?' kata Suto Sinting yang sudah
mengendurkan kemarahannya, bahkan berubah menjadi iba melihat nenek setua itu
mau mati.
"Bertobat.,,?! Oh, aku
lupa caranya bertobat! Jadi sebaiknya, persiapkan dirimu sebaik mungkin untuk
pertarungan kita nanti, sementara itu... aku di sana juga mau cari guru yang
lebih hebat lagi!"
Tiba-tiba terdengar suara
serigala melolong, "Aaauuuu...!"
Semua mata memandang ke arah
seekor serigala yang lari menuju alun-alun sambil ditunggangi bocah kecil yang
tak lain adalah Ratu Kemukus. Serigala dan Ratu Kemukus hadir di situ dan ingin
melihat kematian nenek iblis itu. Antara Ratu Kemukus dan Ratna Pamegat
sama-sama terkejut dan saling menampakkan kesedihan melihat wujud
masing-masing. Tapi kejap berikutnya, mereka kembali memandangi nenek kejam
yang sedang sekarat itu.
"Ajeng," kata Suto.
"Mengapa kau bisa setua ini? Apa yang telah terjadi pada dirimu,
Ajeng?"
"Aku... aku kau ceburkan
ke dalam jurang itu!"
"Ya, aku ingat!"
"Kau mengejarku bersama
serigala itu. Aku...menyembunyikan diri. Keadaanku luka parah saat itu. Aku
masuk ke dalam lobang seperti sumur, yang ternyata adalah gua. Dalamnya bukan
main, seperti sumur tanpa dasar. Aku di sana sendirian, lama sekali, rasanya
seperti ratusan tahun aku hidup di sana, tahu- tahu ketika kutemukan jalan
keluar, aku sudah menjadi setua ini. Kupikir memang aku sudah waktunya tua
karena terlalu lama di dalam lubang aneh itu. Ternyata... ternyata beberapa
orang yang kukenal masih muda dan kau sendiri masih semuda ini, Cah
Bagus...!"
Ki Gendeng Sekarat menyahut
setelah berwajah tegang sebentar, "Berarti, kau masuk putaran arus waktu!
Kau mendekati poros bumi. Di sana waktu berputar lebih cepat dari di
sini!"
"Mungkin begitu, tapi...
tapi... tapi aku tak kuat lagi. Kulanjutkan saja ceritaku di... di... neraka
nanti...," setelah mengucapkan kata begitu, Ratu Teluh Bumi yang dikenal
saat itu sebagai nenek aneh atau si nenek iblis, menghembuskan napasnya yang
terakhir, ia mati dalam keadaan mata masin melek dan mulut masih ternganga.
Petir menggelegar di angkasa.
Awan menjadi hitam, bergulung-gulung menutupi cahaya sore. Angin berhembus
makin lama semakin kencang. Dedaunan berserakan diterbangkan angin, dan alam
berubah menjadi sepi sejenak. Seakan roh Ratu Teluh Bumi sedang melintas
meninggalkan jasadnya, menancapkan dendam di gerbang pintu neraka. Di sana ia
menunggu lawan-lawannya untuk meneruskan pertarungan itu.
"Lalu bagaimana nasibku
yang menjadi sekecil ini?" keluh Ratu Kemukus setelah mereka menjauhi
mayat Ratu Teluh Bumi atau si nenek iblis itu.
"Ya, nasibku sendiri
bagaimana? Haruskah selamanya aku menjadi manusia berbadan anjing?" tutur
Ratna Pamegat dengan sedih.
Lalu Suto berkata, "Akan
kucoba dengan tuakku, mudah-mudahan bisa memulihkan keadaan kalian!"
Suto meneguk tuak, sebagian
ditelan, sebagian disimpan di mulut, lalu disemburkan ke tubuh Ratu Kemukus.
Brusss...!
Blarrr...! Petir menggelegar
dan tubuh Ratu Kemukus kembali menjadi besar dan dewasa seperti sedia kala.
Ratu Kemukus tersentak kaget dan kegirangan. Hal serupa juga dilakukan kepada
Ratna Pamegat, kembali ia menjadi manusia utuh seperti sedia kala. Bahkan
patung- patung di alun-alun itu pun disembur dengan tuak satu persatu dan
mereka berubah wujud menjadi manusia kembali.
"Terima kasih, Suto! Kau
telah banyak menolongku, terutama menolong rakyatku yang terkena kutuk dan
musibah besar ini!" kata Ratu Kemukus dengan tersenyum ceria. Suto pun
membalas senyuman yang membuat hati Ratu Kemukus gelisah indah. Suto berkata,
"Maafkan kelancanganku
tadi siang, Nyai Ratu."
"Kelancangan apa?"
Ratu Kemukus kerutkan dahi.
Pendekar Mabuk
tersenyum-senyum dan berkata, "Sekarang saya tidak akan berani memeriksa
Nyai Ratu, apakah ngompol atau tidak!"
"Ah, Suto...! Jangan
keras-keras nanti ada yang mendengarnya!" bisik Ratu Kemukus sambil
tundukkan kepala.
"Aaauuu...!"
serigala itu melolong, kemudian ia berlari cepat meninggalkan Suto. Suto merasa
heran dan segera mengejarnya.
"Sri...! Sri, mau ke mana
kau?! Hei, berhenti...!"
Serigala itu tetap berlari tak
mau menghiraukan Suto Sinting lagi. Akhirnya Pendekar Mabuk menggunakan jurus
gerak silumannya yang bisa melesat dengan cepat, dan tahu-tahu menghadang di
depan serigala. Binatang itu berhenti, lalu mendekam rendah dan meletakkan
kepalnya di tanah dalam keadaan matanya melelehkan air. Binatang itu menangis,
Suto menjadi heran dan bertanya,
"Mengapa kau menangis?
Apa kau cemburu aku bicara dengan Ratu Kemukus?"
Binatang itu hanya mengerang
kecil mirip orang merintih. Suto Sinting sempatkan diri meneguk tuaknya.
Tiba-tiba serigala bangkit dan menerjang dada Suto. Brukk...! Suto tersedak dan
tuak segera tersembur dari mulutnya mengenai tubuh serigala.
Blarrr...! Serigala berbulu
hitam itu berubah menjadi gadis cantik dan sangat menarik. Matanya bulat
bening, rambutnya hitam lemas, sebatas pundak, hidungnya mancung, bibirnya
indah. Gadis itu mengenakan pakaian merah bata dan berikat kepala hijau. Dialah
Sumping Rengganis, yang pernah dikutuk Ratu Teluh Bumi karenanya ingin minta
kitab yang dicuri oleh Ratu Teluh Bumi (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam
episode: "Manusia Penyebar Kutuk"). Dan tentu saja Pendekar Mabuk
menjadi terkejut sekali.
"Kau...? Kau juga korban
kutukan Ratu Teluh Bumi?"
"Ya. Akulah yang bernama
Sumping Rengganis, yang menemanimu ke mana saja selama ini, Pendekar
Mabuk!"
"Edan!" Suto
bersungut-sungut karena menahan malu, dan Sumping Rengganis tersenyum-senyum.
Dalam hatinya, Suto berkata,
"Kalau tahu begini aku
tidak mau tidur selalu bersamanya, aku tidak mau sering mengusap-usap tubuhnya,
aku tidak mau sering menciumi tengkuk kepalanya, dan... dan kalau tahu begini
aku tak akan membiarkan ia memandangiku terus sewaktu aku mandi dalam keadaan
polos! Aduh, malunya! Pantas setiap aku buang air kecil dia selalu menungguiku
di depan...?! Idiiih. J"'
Suto meremas rambutnya
sendiri, gemas membayangkan malunya.
Tapi semua itu segera
dilupakan oleh Suto, karena Sumping Rengganis tak pernah mau mengatakan apa
yang pernah terjadi selama menjadi sahabat Pendekar Mabuk itu. Dan ia pun tetap
mendampingi Suto dalam melakukan penyembuhan terhadap orang-orang yang menjadi
korban kutukan Ratu Teluh Bumi, termasuk Resi Jejak Naga, guru dari Ratna
Pamegat.
SELESAI