Siang itu matahari tampak
malas-malasan menerangi bumi. Cahayanya agak redup, karena dibayang-bayangi
awan tebal. Sepertinya sang mata-
hari sengaja bersembunyi di balik gumpalan awan abur abu itu.
Bunga-bunga pun tampak malas
mekar dengan bebas. Daun-daun tak mau menampakkan kesegarannya. Bahkan ada yang
terang-terangan menjadi layu dengan mengubah warna kehijauannya menjadi
kekuning-kuningan
Burung enggan berkicau.
Beberapa ekor tampak bertengger di atas pepohonan kering, tapi tak ada yang mau
bercici-cuit.
Alam diselimuti duka. Angin
gunung menyebarkan burita duka cita.
Katanya, Pendekar Mabuk telah
meninggal dunia.
"Betul. Aku mendengar
sendiri keterangan itu dari tokoh tua yang
mirip Semar itu. Dia bilang, Pendekar Mabuk telah meninggalkan dunia dengan selamat."
"Hussy... meninggal dunia
kok dengan selamat?!"
Maksudnya... tewas! Pendekar
Mabuk sekarang telah tewas dengan sukses. Artinya, tidak ada halangan apa-apa.
Eeh... maksudnya... aduh, bagaimana cara menyampaikannya, ya?! Aku sedih
sekali, jadi bicaraku morat-marit begini "
Orang-orang kedai termenung.
Pada dasarnya mereka mendapat kabar bahwa Suto Sinting tewas karena
pertarungannya dengan Perwira Tombala. Orang yang mengabarkan kematian Pendekar
Mabuk itu adalah tokoh gemuk berperawakan seperti Semar, dengan rambut potih
yang hanya tumbuh di ubun ubumiya
saja. Tokoh yang berasal dari Gunung Gandul iiu lain adalah si Dewa Kubur alias
Ki Murcapana
Pada saat itu, Pendekar Mabuk
bertarung malawan Perwira Tombala. la terluka berbahaya. Dewa Kubur muncul dan
segera menahan tindakan Perwira Tombala yang ingin menuntaskan pertarungannya
dengan mau membunuh Suto Sinting. Dewa Kubur memang berhasil menahan serangan
pamungkas dari Perwira Tombala ke arah Suto Sinting. Tapi murid si Gila Tuak
Itu justru terperosok masuk ke sumur tua yang sukar diukur kedalamannya, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode 'Kencan
di Lorong Maut').
Merasa gagal menyelamatkan
Pendekar Mabuk, Dewa Kubur
semakin marah kepada Perwira Tombala Masalahnya ia tahu bahwa Pendekar
Mabuk itu adalah murid dari si Gila Tuak, dan si Gila
Tuak adalah sahabat karibnya
semasa muda. Maka dihabisinya Perwira
Tombala, orang Mangol itu.
Perwira Tombala tewas di
tangan Dewa Kubur, jenazahnya menempel pada sebatang pohon dalam keadaan tanpa
darah, akibat sebuah pukulan maut Dewa
Kubur.
Tindakan itu diketahui oleh
atasan Perwira Tombala, yaitu seorang perempuan cantik yang dulunya menjadi
pimpinan dalam kapal
layar bertiang figa. Perempuan itu adalah Laksamana Maharani yang
dikenal dengan nama Laksamana Tanduk
Naga.
Melihat satu-satunya sisa
bawahannya dibuat kering oleh Dewa Kubur, Maharani mengamuk dan menyerang Dewa
Kubur. Tetapi pada waktu
itu, ada se- orang pemuda yang sedang dalam perjaianan menuju Bukit
Esa untuk jumpai kakaknya.
Perjaianan tersebut melalui Lembah Seram. Pemuda itu adalah Dimas Genggong,
murid dari si Dewa Kubur.Melihat gurunya diserang oleh Laksamana Tanduk Naga,
Dimas Genggong unjuk kesaktian, mengambil alih pertarungan tersebut. Tapi ia
hampir saja tewas di tungan Maharani. Dewa Kubur menyingkirkan muridnya dan
melarijutkan pertarungannya dengan Maharani. Pertarungan itu memakan waktu
tidak hanya satu hari, tapi sampai dua hari lamanya, karena Maharani sebentar-
sebentar melarikan diri. Sebentar kemudian muncul dan menyerang iagi.
Adu kesaktian itu menimbulkan
ledakan-ledakan dahsyat yang
menggelegar bagai memenuhi
bumi. Gelegar ledakan tersebut
menggetarkan alam sekeliling- i iya, membuat langit-langit lorong di
bawah tebing men-
jadi runtuh, nyaris mengubur
hidup-hidup Pendekar Mabuk yang kala itu diselamatkan oleh Gitra Bisu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Kencan di Lorong Maut").
Akhimya, Maharani benar-benar
melarikan diri karena terluka parah dalam pertarungan tersebut. Dewa Kubur
sembuhkan muridnya, lalu ceritakan
tentang Suto Sinting yang masuk ke sumur tak terukur kedalamannya. Dewa Kubur
menyangka Suto Sinting telah tewas, sehingga Dimas Genggong menyebarkan kabar
itu dalam perjalanannya ke Bukit Esa. Dewa Kubur sendiri bermaksud pergi
menemui Gila Tuak dan Bidn dari Jalang
untuk sampaikan kabar tentang kematlnu Pendekar Mabuk.
Terdengar ratapan tangis di
mana-mana. Orang-orang yang mengagumi Pendekar Mabuk, yang men jadi pengikut
Pendekar Mabuk dan yang menaruh sim pati kepada pemuda tampan berilmu tinggi
itu, maslng masing menitikkan air mata mendengar kabar kematian tersebut.
Pada umumnya, mereka yang
menitikkan air mata dukanya adalah para gadis yang menaruh hati kepada Pendekar
Mabuk. Sekali pun hasrat
mereka dalam mencintai Suto Sinting tidak terbalas secara mutlak, tapi
rasa persahabatan mereka tetap ada. Rasa persahabatan itulah yang
membuat mereka merasa kehilangan seorang teman yang selama ini melekat di hati
merokn
Ada yang menangis dengan suara
keras, ada ang menangis dengan terisak-isak saja, ada pula yang menangis secara
kebatinan. Salah satu
gadis yang mena- ngis secara kebatinan adalah murid mendiang Nyai Gagar
Mayang. Gadis yang tinggai di Lereng Buana itu mendengar kabar kematian Suto
Sinting dari mulut pemuda mantan pelayan
Adipati Jayengrana. Pemuda yang kesohor sebagai raja tipu itu tak
lain adalah si Mahesa Gibas.
Aku bertemu sendiri dengan
muridnya si Dewa Kubur yang bernama Dimas Genggong itu! Aku mendengar sendiri
ia bicara dengan orang-orang kedai tentang kematian Suto Sinting. Bocah itu
menyampaikan kabar tersebut dengan kedua mata berkaca-kaca seperti mau
menangis. Dia sangat sedih dan menyesai. Bahkan kndengar
dia menggerutu sendiri, menyalahkan gurunya yang kurang tangkas dalam
menyelamatkan Pendekar Mabuk. Dia tahu bahwa Pendekar Mabuk itu murid sahabat
gurunya yang pernah didengar kisah-kisah kependekarannya. Dia sebenarnya punya
rasa kagum kepada kehebatan ilmu Suto Sinting, dan sangat kecewa menghadapi
kematian Suto Sinting!'' Mahesa Gibas bertutur dengan wajah duka. Bibir- nya
melebar ingin menangis. Matanya berkedip-kedip tapi tak sampai mengucurkan air
mata. Tapi gadis yang mendapat laporan tersebut diam tertunduk dengan wajah
sangat sedih. Matanya merah
membendung air mata yang ingin
meledak keluar. Gadis yang biasanya tegar dan
konyol itu tak lain adalah si
Perawan Sinting.
“Di mana si murid Dewa Kubur
itu sekarang berada?" "Dia menuju ke Bukit Esa!"
"Lalu, di mana Dewa Kubur
berada?!"
"Katanya, sedang menuju
ke Jurang Lindu untuk menghubungi si Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
"Aku harus menemuinya ke
Jurang Lindu! Aku harus mendapat penjelasan lebih lengkap lagi tentang kematian
Suto Sinting! Jika benar kematian itu disebabkan oleh pertarungannya dengan
Perwira Tombala, akan kurajang sekujur tubuh Perwira Tombala dan si Laksamana
Tanduk Naga itu!'' geram Perawan Sinting.
la tahu persis bahwa kedua
orang Mangol itu memang mencari Suto Sinting untuk dijadikan tumbal pembangunan
kuil di negeri Mangol sana. Perawan Sinting pernah terlibat dalam peristiwa
itu, dengan cara menyusup dan menyamar sebagai calon peserta sayembara memburu
pemuda tanpa pusar itu, (Baca se rial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pemburu Tumbal"). Karenanya, ia percaya jika Suto Sinting telah ber
tarung melawan Perwira Tombala dan Laksamana Tanduk Naga, seperti yang
dituturkan dalam kabar tersebut.
"Perwira Tombala memang
jahanam busuk ynmj harus dikubur di jamban!" geram Perawan Sinting.
"Tombala sudah tewas!"
"Oh...?! Siapa yang
membunuhnya?!"
"Hmmm, jadi
begini...," Mahesa Gibas mulai mau unjuk tipuannya. "Waktu itu, aku
sedang lewat di sekitar Lembah
Seram. Kulihat pertarungan Dewa
Kubur dengan seseorang. Aku tak tahu kalau dia adalah Perwira Tombala. Maka
kulepaskan pukulan mautku ke punggung Perwira Tombala. Orang itu terpental dan
dihantam lagi oleh Dewa Kubur hingga tewas! Jadi... terus terang saja, kematian
Perwira Tombaia akibat kerjasamaku dengan Dewa Kubur!"
"Hmmm...!" Perawan
Sinting mendengus tanda tak percaya. "Jadi kau pernah bertemu dengan Dewa
Kubur?!"
"O, iya! Dia orang yang
sakti. Walaupun tubuhnya kurus, ceking, kerempeng, tua renta, tapi ilmunya
lumayan tinggi!"
Perawan Sinting mencibir, sama
sekali tak percaya. Sebab ia pernah mendengar cerita dari mendiang guru- nya,
bahwa Dewa Kubur itu bertubuh gemuk seperti tokoh dalam pewayangan yang bernama
Semar. Apa yang dikatakan Mahesa Gibas sangat berbeda dengan pcnjelasan
mendiang gurunya, sehingga Perawan Sinting semakin yakin bahwa Mahesa
Gibas sedang membual di depannya.
Bagi gadis cantik berwajah
berani itu, kabar kematian Suto Sinting merupakan pukulan jiwa yang terberat
selama ini. la sangat sayang kepada Suto Sinting. In suka kepada pemuda itu.
Rasa cintanya tumbuh di hati dengan suka rela. Walaupun ia tahu, Suto Sinting
cenderung menaruh hati kepada calon istrinya yang menjadi ratu di negeri Puri
Gerbang Surgawi, yaitu yang bernama Dyah
Sariningrum, tetapi Perawan Sinting tetap menyimpan rasa cinta yang cukup dalam
kepada pemuda konyol itu. Rasa cinta tersebut rela dipendam dalam hati, sambil
menunggu perkembangan lebih lanjut. Jika sampai Dyah Sariningrum tewas, atau
rencana perkawinan itu gagal, maka Perawan Sinting sudah siap meloncat masuk
menggantikan kedudukan Dyah Sariningrum di hati Pendekar Mabuk. Sebab itulah,
kabar kematian Suto merupakan bencana memilukan bagi hatinya.
Kepergian Perawan Sinting
menuju ke Jurang Lindu hanya semata- mata ingin temui Dewa Kubur dan mengharap
penjelasan lebih lengkap lagi tentang ke matian Suto Sinting. Ia pergi bersama
Mahesa Gibas, walau tak pernah dipedulikan celoteh pemuda itu yang selalu
menghamburkan bualan- bualan untuk dapatkan sanjungan. Tapi tak satu pun
sanjungan meluncur dari mulut
Dariingga Prasti, alias si Perawan Sinting.
Dalam perjaianan menuju Jurang
Lindu itu, Perawan Sinting bertemu dengan seorang tokoh tua yang amat dikenal
olehnya. Tokoh tua bertubuh kurus do- ngari rambut putih dikonde dan berjubah
model biksii warna
hijau tua itu tak lain adalah si Raja Mantra dari Muara Angker.
Pertemuan itu kurang manis
menurut Perawan Sinting, sebab ia melihat Raja Mantra sedang beradu ilmu kesaktiannya
dengan seorang tokoh yang sekujur
tubuhnya terbungkus lumpur. Mereka
bertarung tak jauh dari sebuah rawa yang ada dalam sebuah
hutan liar.
Manusia yang sekujur tubuhnya
penuh lumpur basah itu tak
lain adalah Demit Rawa Lumpur, yang juga sering dinamakan Iblis Rawa
Lumpur. Permusuhan antara Raja Mantra dengan Demit Rawa Lumpur sudah
berlangsung lama, tapi salah satu dari mereka tak ada yang berhasil membunuh
lawan. Bahkan ketika Demit Rawa Lumpur bertarung melawan Pendekar Mabuk untuk
membela Tengkorak Liar, ia terpaksa kabur karena Pendekar Mabuk dibela oleh
Raja Mantra, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Dendam Penjilat Ayu".)
"Sampai kapan pun kau tak
akan bisa menghancurkan aliran silatku,
Lagowo!" seru Raja Mantra
dengan sikap kalem.
Mahesa Gibas berbisik dari
balik persembunyian- nya, "Perawan Sinting, bukankah Raja Mantra adalah
tokoh aliran putih?! Dia bersahabat dengan Pendekar Mabuk."
"Ya, aku tahu!"
"Mengapa tidak kau bantu
mengalahkan orang berlumpur itu?!"
Kurasa ini urusan orang tua,
termasuk juga urusan antar perguruan. Aku tak berani campurtangan kecuali Eyang
Raja Mantra terdesak dalam bahaya!" "Jadi, kita tonton saja
pertarungan mereka?" "Sementara ini memang hanya begini yang bisa
kita lakukan!" tegas Perawan Sinting dengan nada datar.
"Aku sudah bosan
mendengar kejayaanmu, Wirambada! Hari ini juga, kuakhiri kejayaanmu dengan
jurus baruku! Bersiaplah untuk mati!"
ujar Demit Rawa Lumpur dengan suara menyeramkan.
"Ngomong-ngomong soal
mati, sudah lama aku siap mati. Tapi bukan oleh tanganmu, Lagowo!" jawab
Raja Mantra. Masing-masing menyebut nama aslinya.
"Nyawamu ditakdirkan
mencelat dari tanganku, Keparat tua!" Weesss...! Demit Rawa Lumpur melesat
cepat menerjang Raja
Mantra, Kedua tangannya
berkelebat seperti memercikkan air. Tapi yang terpercik adalah lumpur-lumpur di
tangannya itu. Craaat...!
Raja Mantra tahu-tahu
melambung tinggi. Suuut...! Begitu tingginya sampai kepala Raja Mantra
membentur dahan pohon. Duuuk...!
"Aduuh...!"
Tapi ia selamat dari kepretan
lumpur. Sebab lumpur-lumpur yang memercik dari kedua tangan Lagowo itu ternyata
membakar pohon dan tanaman semak yang dikenainya. Buuulll...! Api berkobar di
tempat-tempat yang terkena kepretan lumpur. Raja Mantra segera sentakkan tongkatnya
ke salah satu batang pohon terdekat. Duuhk...! Tubuhnya yang sedang
meluncur turun itu melesat ke arah lain bagaikan anah pannh,
Weess...! Jleeg...! Kini ia
berdiri di belakang Demit Rawa
Lumpur dalam jarak sekitar
sepuluh langkah.
"Heeh, heee, heee, heee,
heee!" Raja Mantra
terkekeh-kekeh melihat Demit Rawa Lumpur kebingungan mencari lawannya.
Karena mendengar suara tawa Raja Mantra, maka manusia terbungkus Iumpur itu
segera berbalik ke belakang menghadap ke arah lawannya.
"Jurus seperti itu kok
dikatakan jurus baru?! Uuuh... kuno!" ejek Raja Mantra dengan tengil.
"Edan! Jurus seperti itu
dikatakan kuno?!" gumam Mahesa Gibas. "Lumpurnya bisa membakar pohon,
tanah yang dipijaknya bisa menjadi
hangus, itu sudah merupakan gabungan ilmu yang cukup tinggi. Bukankah begitu,
Perawan Sinting?!"
Gadis yang ada di sebelahnya
diam saja. Pandangan matanya tertuju lurus ke arah pertarungan. Pedang di
punggungnya siap dicabut kapan saja jika ia terpaksa harus selamatkan si Raja
Mantra.
Demit Rawa Lumpur pun berseru,
"Itu memang bukan jurus baruku.
Tapi inilah jurus pamungkas
untukmu, Wirambada! Heeaah...!" Kaki kanan Demit Rawa Lumpur menghentak ke
tanah satu kali. Duuhk...! Glegaaar...!
Timbul suara ledakan menggelegar,
mengguncangkan alam sekitar- nya. Sentakan kaki ketanah itu membuat mata
Mahesa Gibas mendelik, karena ia melihat nyala api dari sentakan kaki ke tanah
itu melesat cepat ke arah Raja
Mantra. Tahu-tahu rumput dan tanah tempat
Raja Mantra berdiri itu terbakar seketika.
Bluuub...! Wuuuurrss...!
Raja Mantra terkurung api,
bahkan tubuhnya terbungkus kobaran api yang membentuk lingkaran bergaris tengah
satu tombak.
"Gawat! Eyang Raja Mantra
tak sempat loloskan diri. Sekarang
ia sulit meloloskan diri karena terjebak api!" gumam Perawan
Sinting dengan tegang.
Gadis itu ingin mencabut
pedang pusakanya yang bernama
Pedang Galih Petir. Tetapi
niatnya menjadi ragu-ragu, sebab Raja Mantra yang tinggal tampak kepalanya saja dari bungkusan
api itu tidak melakukan usaha untuk meloloskan diri. Raja Mantra justru
mengangkat tongkatnya dipegang dengan dua tangan dan menyilang di atas kepala.
"Orang tua itu
gendeng!" ujar Mahesa Gibas dalam bisikan.
"Sudah tahu tubuhnya terbakar bukannya lari malah mainan
tongkat?!"
Kejap berikutterdengar suara
Raja Mantra serukan kalimat-kalimat mantera saktinya dengan ucapan cepat.
"Acang kUrUk, acang
kirlk, acang icik icik, gUbras...!
Adem panas, sari rapet, sari
Udan, bres, gUbras, gabres.
SimUlU kUtUk kUblUng...!"
Mahesa Gibas berbisik kepada
Perawan Sinting,
"Ngomong apa itu?! Apakah
dia menguasai bahasa manusia purba?!" "Itu mantera saktinya! Kita
lihat saja apa yang terjadi setelah,..."
Belum selesai Perawan Sinting
kasih penjelasan, tiba-tiba hujan turun dengan deras di daerah itu.
Breessss...! Hujan yang ajaib itu
membuat Demit Rawa Lumpur terperanjat kaget. Tapi karena wajahnya
berlumur lumpur, maka yang terlihat hanya kedua bola matanya terbelalak lebar.
"Keparat! Dia gunakan
ilmu hujan dan salju?!" geram Demit Rawa Lumpur.
Mahesa Gibas juga memaki dalam
nada gerutu dan hergegas mau ke tempat teduh. Tapi tangannya dicekal Perawan
Sinting hingga ia tak bisa ke mana-mana. "Tetaplah di tempat!" tegas
Perawan Sinting dalam nada membisik. "Apakah kau tak sadar, hujan turun
dengan seenak udelnya saja!
sepertinya ada dewa di langit
sedang buang air dari ember!" "Pasti tak akan lama! Kita "
Sekali lagi ucapan si Perawan
Sinting belum usai, hujan telah berhenti total. Kobaran api padam sama sekali.
Tinggal tanah yang hangus bersama rumputnya dan masih kepulkan asap. Tapi tubuh
Raja Mantra dan
pakaiannya tak terbakar sedikit pun.
Lenyapnya hujan disertai
hembusan angin dinginyang makin lama semakin mencekam. Raja Mantra
memutar-mutar tongkatnya dl atas kepala sambil melangkah ke samping untuk
hadapi Demit Rawa Lumpur lagi.
Tapi angin yang berhembus
makin menggigilkan siapa saja, kecuali Raja Mantra sendiri. Angin itu mengandung
busa-busa salju yang menempel pada deda unan dan alam sekitarnya. Daun-daun
segera menjadi putih,
tanah segera menjadi berbusa-busa.
"Heeeaaaahhhh !"
Demit Rawa Lumpur kerahkan
tenaga apinya. Tubuh yang penuh lumpur itu menjadi merah membara, bagaikan
dibungkus lahar gunung berapi. Tubuhnya melesat menerjang
Raja Mantra. Wuuuss...! Suara yang terdengar adalah suara berdesis seperti bara
api terkena air.
Wwooorrssss !
Raja Mantra lepaskan
tongkatnya yang berujung bentuk tangan menggenggam. Tongkat itu menghantam
tubuh Demit Rawa Lumpur yang sedang melayang di udara. Wuut, jedaaarr !
Tongkat itu terpental ke arah
Raja Mantra bagaikan bola memantul balik setelah membentur dinding. Raja
Mantra menangkap tongkat
tersebut, tapi meleset. Akibatnya, ujung tongkat bagian bawah kenai
keningnya dengan telak. Tuuung !
"Aooh...!" Raja
Mantra sendiri terlempar ke belakang
dan jatuh dengan posisi terkapar.
Brruuk.. Pakaiannya basah dan kotor akibat tanah becek terkena hujan tadi. Busa-busa
salju menempel pada tubuhnya. Tapi ternyata hal itu tidak berbahaya bagi si
Raja Mantra. la cepat bangkit dan pandangi lawannya.
Ternyata sang lawan terlempar
cukup jauh pada saat terjadi ledakan keras tadi. Lumpur yang mengeras dan
menjadi merah bara tadi padam dan terkelupas dengan sendirinya. Demit Rawa
Lumpur bagaikan ditelanjangi. Lumpur-lumpur yang membungkus tubuhnya
terkelupas mirip gips
yang copot dari tubuh penderita patah tulang. Demit Rawa Lumpur
menyeringai kesakitan. Tubuhnya bersih dari Iumpur. Tampak ia hanya mengenakan
cawat tanpa selembar benang pun.
"lih ..!" Perawan
Sinting melengos, tak mau memandang orang
setengah bugil itu. Mahesa Gibas tertawa sambil tubuhnya menggigil karena
hembusan hawa salju masih berlangsung terus.
Aaaah...! Aaaahh...!"
Demit Rawa Lumpur bagaikan orang yang
dikuliti. la tampak menderita sekaii. Tanpa banyak berpikir panjang
lagi, ia segera lari ting- tempat menuju ke rawa di sebelah
kanannya. Jebruuub...! Demit Rawa Lumpur segera terjun ke rawa berlumpur. Kemudian
ia menenggelamkandiri dan suara tcriakannya lenyap seketika.
"Rupanya orang itu tak
bisa hidup jika tanpa terbungkus lumpur?!" gumam Mahesa Gibas. Tapi kata-
katanya itu tak mendapat sambutan dari Perawan Sin- ting. Gadis itu juga
melesat keluar dari persembunyian. Weess...!
Dalam waktu setengah kejap, ia
sudah berada di tepian rawa. Tempat tenggelamnya Demit Rawa Lumpur itu
diperhatikan baik-baik. Yang tersisa hanya ge lembung-gelembung lumpur
menyerupai bubur men- didih.
Blekutuk, blekutuk, blekutuk...!
Raja Mantra hentakkan
tongkatnya ke tanah. Dees...! Angin salju berhenti seketika. Tapi busa-busa
salju masih melekat pada daun, batang, batu, tanah dan semua benda di sekitar
tempat tersebut.
"Darlingga...?!"
sapa Raja Mantra begitu mengenali gadis
yang berdiri di tepi rawa. Gadis itu segera temui Raja Mantra dan sedikit
membungkuk memberikan hormat kepada si tokoh tua itu.
"Maaf, aku tadi melihat
pertarungan Eyang dengan manusia
lumpur itu. Tapi aku tidak berani
ikut campur, karena agaknya persoalan
yang Eyang hadapi sangat pribadi."
"0, tak apa. Itu tadi
hanya pemanasan saja. Sekedar menghilangkan pegal-pegal pada tubuh. Maklum, aku
sudah tua. Jarang berolah raga," ujar Raja Mantra de ngan sengaja berlagak
tengil, karena ia termasuk
tokoh yang gemar bercanda.
Perawan Sinting tersenyum
sangat tipis, nyaris tak terlihat. Sementara itu, Mahesa Gibas menghamburknn
pujian yang tak ditanggapi oleh Raja
Mantra. Gurunya Rinayi dan Utari itu segera berkata kepada PerawanSinting, setelah
ia memperhatikan wajah cantik itu dan menemukan kejanggalan di sana.
"Ada duka di wajahmu,
Darlingga. Boleh kutahu apa sebabnya?" "Eyang, apakah Eyang belum
dengar bahwa Pendekar Mabuk, Suto Sinting, sekarang sudah... sudah "
"Sudah tidak sinting
lagi, maksudmu?"
Perawan Sinting gelengkan
kepala dengan sedikit menunduk. Bibirnya digigit sendiri, tidak menyuruh
orang untuk menggigitnya. Itu menandakan ia menahan tangis dan duka dalam hatinya.
"Lanjutkan bicaramu,
Darlingga!"
"Suto Sinting... sekarang
sudah tewas, Eyang "
"Jabang bayi...?!!"
Raja Mantra tersentak kaget. "Pendekar Mabuk sudah tiada...?! Ooh,
mengerikan sekalil Padahal sebulan yang lalu aku habis bertemu dengannya,
tahu-tahu sekarang kudengar kabar kematiannya?!"
Mahesa Gibas menyahut,
"Lebih mengerikan lagi jika kematiannya sebulan yang lalu, tahu-tahu
sekarang Eyang bertemu dengannya."
"Semakin mengerikan jika
kau ikut tewas juga, nak" ujar Raja Mantra dengan kesal kepada Mahesa
Gibas. Pemuda itu hanya bersungut-sungut jengkel.
"Aku mau ke Jurang Lindu
untuk temui Dewa Kubur, Eyang. Sebab, saksi mata yang melihat kematian Suto
adalah Eyang Dewa Kubur. Dan sekarang Eyang
Dewa Kubur sedang berada di
Jurang Lindu!"
"Kalau begitu, aku ikut
ke sana! Aku ingin temui si Gila Tuak. Jika dia tak mau bikin perhitungan
terbadap orang yang menewaskan Suto Sinting,
aku sendiri yang akan membalas kematian Suto Sinting itu!"
ujar Raja Mantra yang menganggap Suto sudah seperti
cucunya sendiri.
2 Jurang Lindu berada tak jauh
dari Lembah Badai. Daerah yang bernama
Lembah Badai itu dikuasai oleh saudara seperguruan si Gila Tuak yang cantik
rupawan. Perempuan yang awet muda itu dikenal dengan nama Bidadari Jalang.
Dulu, perempuan ini masuk
dalam aliran hitam. Sering terlibat bentrokan keras dengan si Gila Tuak.
Ilmunya sama-sama hebat. Tapi sejak mereka mengangkat murid dari bocah tanpa
pusar, Bidadari Jalang masuk dalam aliran putih. Sekarang ia menjadi perempuan
berilmu tinggi yang lebih gemar tinggal di Lembah Badai.
Hubungannya dengan si Gila
Tuak sudah seperti kakak beradik.
Bidadari Jalang menaruh rasa hormat kopada si Gila Tuak karena ilmunya
di bawah si Gila Tuak, juga faktor usianya sedikit lebih muda dari si Gila
Tuak. Mereka berdua itulah yang bertanggung jawab atas sepak terjang pemuda
tampan yang suka konyol, yaitu Pendekar Mabuk.
Oleh sebab itu, kedatangan
Dewa Kubur yang mengabarkan kematian Pendekar Mabuk membuat dua wajah satu kakek guru itu menjadi tegang
dan diliputi rona duka yang samar-samar.
Si Gila Tuak tak mau percaya
bahwa muridnya itu telah tewas masuk ke
dalam sumur tua tak terukur kedalamannya. Bidadari Jalang menjadi sangsi dengan sikapnya sendiri,
sehingga dukanya menjadi duka yang ragu- ragu. Mengingat yang bicara adalah
Dewa Kubur, mereka
beranggapan bahwa Dewa Kubur tak mungkin berdusta kepada mereka. Tapi
Gila Tuak punya alasan sendiri untuk tidak mempercayai kata-kata Dewa Kubur.
"Dewa Kubur, jika benar
muridku tewas di sekitar Lembah Seram, pasti aku akan mendapat firasat ganjil
sebelumnya. Setidaknya hatiku menjadi resah dan gundah memikirkan Suto Sinting.
Tetapi sejak kemarin- kemarin, aku tak mengalami keresahan apa pun. Tidurku
nyenyak, makanku enak!"
"Tapi aku melihatnya
sendiri Kakang Sabawana," ujar Dewa Kubur menyebut nama asli si Gila Tuak.
"Aku melihat sendiri saat ia terperosok masuk ke dalam su... sumur!"
"Mengapa tak kau
selamatkan murid kami itu?!" ujar Bidadari Jalang. "Waktu itu aku
sedang menerjang lawannya, si Perwira Tom...
Tombala! Jadi aku tidak sempat
me nyambar mu "
"Mulutmu!"
"Muridmu...!" ralat
Dewa Kubur yang selalu bicara
menggantung kalimat akhir. Nada
bicaranya memang seperti seorang guru bicara pada muridnya, tak peduli siapa
orang yang diajaknya bicara kala itu. Ki Sabawana dan Bidadari Jalang sudah tak
aneh lagi dengan ciri bicara Dewa Kubur, sehingga mereka tak merasa sedang
digurui.
"Aku tak punya kesempatan
untuk melongok sumur itu, Kakang! Perwira Tombaia melancarkan serang- annya
dengan gencar, sehingga aku terpaksa mela- yani...? Melayaninya!"
"Berapa lama kau
melawannya?" tanya Gila Tuak dengan nada
datar dan berwibawa.
"Cukup lama! Karena
semula aku tidak ingin membunuhnya. Hanya ingin mengu...?"
"Mengusungnya."
"Mengusirnya!" tegas
Dewa Kubur. "Tapi karena dia cukup alot, maka terpaksa dia kubu...?"
"Kubuntingi."
"Kubunuh! Terpaksa dia
kubunuh!" tandas Dewa Kubur. "Belum sampai aku melongok ke sumur, si
laksamana Tanduk Naga muncul menyerangku. Akibatnya pertarungan kami pun
menjadi pan...?"
"Panjul."
Panjang...!" Dewa Kubur
membetulkan maksudnya
Rupanya kedatangan Dewa Kubur
ke Jurang Lindu disusul oleh beberapa tokoh lain yang mendengar kabar kematian
Pendekar Mabuk dari mulut Dimas Genggong, murid si Dewa Kubur. Beberapa orang
yang hadir di
.Jurang Lindu itu antara lain:
Sumbaruni, mantan istri Jin Kazmat yang kasmaran pada Suto Sinting. Selain
Sumbaruni yang datang dengan wajah sedih, tampak juga si Resi Parangkara,
gurunya Puting Selaksa dan Manggar Jingga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Wanrta Keramat"). Hadir Juga di situ Sawung Kuntet dan Eyang Cakraduya dari Bukit Sutera, Ki Dhar mapala alias si Burung Bengal dari
Bukit Semayam. Arya Suaka dan gurunya yang berjuluk Geledek Biru, Batuk Maragam
dari Karang Amuk, Awan Setangkai dari
Selat Bantai dan beberapa orang lainnya.
Mereka adalah orang-orang yang
seeara kebetulan mendengar kabar lebih cepat mendengar kabar kematian Pendekar
Mabuk ketimbang yang lainnya. Mereka datang selain ingin mendengar kepastian
dari si Gila Tuak, juga ingin menyampaikan rasa ikut berduka cita jika benar
Pendekar Mabuk telah tewas tak ditemukan jenazahnya.
Oleh sebab itu, kehadiran
Perawan Sinting bersama Raja
Mantra yang diikuti oleh Mahesa Gibas, bukan hal yang aneh bagi si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang. Perawan Sinting langsung berlutut dan tundukkan
kepala di depan si Gila Tuak. Bidadari Jalang berdiri dl sampingnya sambil
mengingat-ingat wajah Perawan Sinting.
"Siapa gadis ini?"
bisik Gila Tuak kepada Bidadari Jalang.
Dengan suara agak keras,
Bidadari Jalang berkata, "Kalau tak salah, gadis ini adalah Darlingga
Prasti, murid mendiang Gagar Mayang."
"Ooo.../' Gila Tuak yang
mengenakan pakaian serba hijau dan jubah kirning itu manggut-manggut sambil
menggurnam iirih.
"Benarkah kau murid
mendiang sahabatku; si Gagar Mayang dari
Lereng Buana itu, Nak?"
"Benar, Eyang! Aku yang
bernama Darlingga Prasti alias Perawan Sinting, murid mendiang guru Nyai Gagar
Mayang," jawab Perawan Sinting dengan sopan sekali.
Raja Mantra menyahut,
"Aku mendengar kematian muridmu dari gadis
:ni, Kakang Gila Tuak! Aku
turut bersedih dan kusampaikan rasa belasungkawaku sedalam-dalamnya."
"Jangan dalam-dalam dulu,
Wirambada!" potong si Gila Tuak dengan kalem. "Aku sendiri tak yakin
bahwa muridku bias mati semudah itu.
Artinya, tidak mengirimkan firasat apa-apa lebih duiu padaku. Aku tak
yakin”.
"Kudengar,..," ujar
Raja Mantra lagi. "Dewa Kubur adalah.saksi hidup yang melihat kematian
Pendekar Mabuk?!"
Dewa Kubur menyahut,
"Memang benar, aku yang melihat anak muda
itu jatuh ke dalam sumur tua itu! Jelas sekali aku melihatnya
masuk ke dalam su...?"
"Suling," lanjut Raja Mantra.
"Sumur!" raiat Dewa
Kubur. "Kulihat jelas sekali dia masuk dalam sumur, tapi... apa daya aku
tak sempat menyam...?"
"Menyambitnya?"
"Menyambarnya!"
Batuk Maragam, tokoh tua yang
punya kebiasaan batuk beraneka
nada itu segera menyahut.
"Masuk ke dalam sumur
bukan berarti masuk ke alam kematian, Dewa Kubur! Siapa tahu Suto Sinting
tersangkut akar pohon yang tersumbul dari dinding sumur itu?! Kurasa, kematian
Suto Sinting perlu dicari buktinya. Harus ada yang bisa temukan jenazah Suto
Sinting walaupun hanya kepalanya saja. Uuhuk, uhuuk, uhuuk,
iihik, ihhik, hook, hoook,
hooekk... cuih!" Batuk
Maragam berhenti bicara. Ucapannya yang bernada seenaknya itu membuat Perawan Sinting
tegakkan wajah. Tapi lebih dulu si
Geledek Biru ajukan tanya kepada
Dewa Kubur.
"Di mana letak sumur itu,
Dewa Kubur?"
"Di Lembah Seram. Tapi
sekarang tempat itu sudah hancur. Tebingnya rubuh dan alam sekitarnya rusak
akibat pertarunganku dengan Laksamana Tanduk Naga. Dan kulihat sumur itu sudah
tertimbun ta...?"
"Tape...?!" sahut
Raja Mantra. "Tanah!"
"Oo, sudah tertimbun
tanah?" Raja Mantra menggumam dan manggut- manggut.
"Jika begitu,
Eyang...," sahut Perawan Sinting,"... aku mohon pamit sekarang
juga!"
"Mau ke mana kau?!"
"Mencari mayat Suto
Sinting sampai berhasil kutemukan bukti kematiannya!"
Sumbaruni yang menyimpan rasa
cemburu kepada Perawan Sinting segera berseru,
"Jangan bodoh kau, Gadis
ingusan! Mayatnya pasti sudah tertimbun reruntuhan tebing, seperti yang
diceritakan si Dewa Kubur tadi!"
"Aku punya dua tangan.
Bisa untuk menyingkirkan tebing itu!" ketus Perawan Sinting, lalu melesat
pergi tanpa bisa dicegah lags. Biaasss...!
"Konyol...!" geram
Sumbaruni sambi! mendengus kesal.
Memang konyoL Bukan hanya
Perawan Sinting saja yang konyol. Ternyata yang namanya Suto Sinting |uga
konyol. Bahkkan lebih konyol dari kabar yang di- sampaikan Dewa Kubur stu.
Orang-orang sibuk membicarakan
kematiannya, Tapi Suto Sinting saat itu justru sedang merebah di atas
pangkuan seorang gadis cantik bertubuh tinggi, kekar dan sekal. Gadis itu
adalah mantan prajurit Kerajaan Hastamanyiana yang ditugaskan menjaga harta
karun di lorong maut,
tempat mereka nyaris mati terkubur hidup-hidup.
Prajurit cantik berdada montok
itu tak lain adalah si Citra Bisu alias Citra Mandagi. la dijuluki Citra Bisu,
karena lebih sering tampak diam menutup mulut rapat- rapat, tapi batinnya
bicara dan suara batinnya itu mampu dikirimkan ketelinga lawan orang yang dituju.
la memiliki ilmu 'Tutur Selayang' yang merupakan ilmu langka dan hanya dimiliki
oleh orang-orang berkekuatan batin tinggi. Dari sekian banyak prajurit Kerajaan
Hastamanyiana, hanya dia seorang yang mampu kuasai ilmu Tutur Selayang',
sehingga ia kelihatannya selalu membisu dalam kesehariannya.
Tetapi lamanya di dalam lorong
penyimpanan harta karun membuat Citra Bisu tak tahu bahwa waktu telah berjalan
jauh ke depan. Negeri Hastamanyiana telah hancur dan tidak ada lagi. Salah satu
orang Hastama- nyiana yang masih hidup adalah Nini Desah Bengi, yang kini
menjadi penguasa Pulau Garong.
Seperti apa kata Citra Bisu,
suasana di dalam lorong itu adalah
suasana mati. Waktu tidak bergerak, zaman tidak berganti, segalanya
serba abadi. Oleh karenanya, walaupun Suto Sinting merasa tinggal di
dalam Sorong itu tak lebih dari sehari, tapi kenyataannya di luar lorong
waktu telah berjalan sampai tiga hari. Tak heran juga jika Citra Bisu
keluar dari lorong maut itu dalam keadaan masih muda, cantik,
seksi dan menggairahkan.
"Menurut cerita si Kusir
Hantu," ujar Pendekar Mabuk sambil merebah di pangkuan gadis montok
iin"Hastamanyiana hancur pada waktu empat puluh tahun yang lalu. Aku belum
lahir."
"Sudah lama
sekali?!"
"Karena itulah, jika saat
kau masuk ke dalam lorong itu dengan
usia dua puluh lirna tahun,
berarti sekarang usiamu adalah enam puluh
lima tahun."
"Ooh, tua sekali aku
ini?!" ujar Citra Bisu, tapi bibirnya
tetap terkatup rapat. la bicara
lewat suara batin, dan ucapan batin Pendekar
Mabuk bisa didengar olehnya.
Gadis itu termenung. la masih
sangsi dengan kenyataan yang didengarnya dari pemuda tampan berambut panjang
tanpa ikat kepala. Tetapi pemuda itu tetap dibiarkan
berbaring di pangkuannya, la sendiri bersandar pada sebatang pohon rindang.
Mereka sedang menikmati masa istirahat, mengendurkan ketegangan dan kopanikan,
karena merasa berhasil lolos dari reruntuhan lorong maut itu.
Tangannya yang berlapis
perunggu ukir dari pergelangan
tangan sampai batas siku,
terkulai lemah didada Suto Sinting. Tangan yang satunya sengaja mengusap-usap
kening Suto sambil bermainkan anak rambut di sekitar kening.
Pendekar Mabuk sengaja membawa
gadis itu dalam suasana santai. Karena setelah lolos dari lorong maut, jiwa
mereka sedikit terguncang dan perlu diredakan. Mereka belum tahu harus berbuat
apa pada saat ini sehingga mereka harus merenungkanriya setelah jiwa menjadi
tenang kembali.
"Suto, maukah kau
mengantarku ke Pulau Senida untuk membuktikan kebenaran kabar tentang hancurnya
Hastamanyiana?!" ujar Citra Bisu dengan bibir terkatup. Tapi Suto Sinting
merasa mendapat bisikan jelas di telinganya, sehingga ia pun segera menjawab
dengan suara batinnya.
"Aku tak keberatan untuk
pergi ke Pulau Senida. Tetapi bagaimana dengan harta karun sebanyak itu?!"
"Sudah terkubur dalam
lorong itu. Reruntuhan tebing telah menguburkan sejarah harta kekayaan negeri
Hastamanyiana yang selama ini kujaga. Kurasa, me mang sebaiknya harta itu
terkubur dalam-daiam di dasar bumi agar tak menjadi bencana bagi para pemburu
serakah itu!"
"Kau rela menghadapi
kenyataan ini?"
"Aku harus rela jika
benar Hastamanyiana telah hancur. Tapi jika Hastamanyiana masih berdiri, ratu
masih hidup, maka dengan segala daya upaya aku harus bisa mengambil kembali
harta itu!"
"Baiklah jika kerelaan
hatimu sudah begitu. Kapan kita berangkat ke Pulau Senida?"
"Haruskah menunda waktu?'
Citra Bisu ganti ber tanya. Suto Sinting mengerti maksudnya,
"Baik. Kita berangkat
sekarang juga!" Suto pun bangkit berdiri. Gadis itu berdiri juga. Tinggi tubuhnya
sedikit melebihi ketinggian tubuh Suto Sinting. Batas kepala Suto hanya sampai
di bawah daun telinganyayang mengenakan giwang putih kecii dari jenis berlian
tulen itu.
"Ke mana arah yang harus
kita tuju pertama kali- nya?" tanya Suto Sinting dengan suara batin.
"Ke Pantai Bejat! Karena
dari sana kita bisa me- nyeberang dengan perahu atau dengan apa saja menuju ke
Pulau Senida!"
"Pantai Bejat...?!"
Suto Sinting bergumam dengan suara lirih. la berkerut dahi karena teringat
sesuatu yang berkaitan dengan Pantai Bejat.
"Kenapa, Suto...?!"
tanya Citra Bisu dengan suara batin.
Suto menjawab dengan batin
pula, "Di sana ada orang-orang
Tanah Pasung. Kudengar mereka mendarat di Pantai Bejat!"
"Siapa orang-orang Tanah
Pasung itu?!"
"Mereka adalah para pemburu
harta karun yang kau jaga itu. Kedatangan mereka kemari dipimpin oleh pe-
nguasa Tanah Pasung sendiri, yaitu Ratu Sinden. Dan... dan sebelum aku
terperosok jatuh ke lorong maut, dua kenalanku ditawan oleh mereka dan dibawa
ke Tanah Pasung, yaitu si Kusir Hantu dan Pematang Hati, cucunya. Mereka
menangkap Kusir Hantu dan cucunya pasti
untuk dapatkan keterangan tentang letak
Goa Kembar yang ikabarkan sebagai tempat penyimpanan harta karun itu.
Kusir Hantu tinggal di Lembah Seram. Ratu Sinden menyangka si Kusir Hantu pasti
mengetahui tempat itu."
"Apakah dia memang
mengetahui lorong maut itu?"
"Kusir Hantu justru tak
percaya kalau di Lembah Seram tersimpan harta kekayaan negeri Hastamanyiana. la
menganggapnya semua itu hanya dongeng belaka. la sama sekali tidak tertarik
untuk mencari harta ter- sebut!"
"Apa salahnya jika kita
bebaskan mereka dari kerakusan si Ratu Sinden?!"
"Aku sangat setuju!"
Kliik,..! Suto Sinting
menjentikkan jarinya di depan hidung Citra Bisu. Wajahnya tampak berseri-seri,
pertanda sangat mendukung gagasan Citra Bisu.
Tetapi sebelum merfcka
bergegas pergi, tiba-tiba sebatang tombak melesat dengan cepat ke arah punggung
Pendekar Mabuk. Wuiiss...! Dengan cepat Citra Bisu menarik lengan Suto ke
arahnya. Suto tersentak dan menabrak dada Citra Bisu. Gadis itu menangkap dalam
pelukan sambil geser satu langkah ke belakang. Seet….!
Jeeebs...! Tombak itu menancap
pada pohon yang tadi dipakai bersandar Citra Bisu. Suto Sinting mendelik tegang
melihat tombak itu menancap pada pohon dan tembus ke sisi belakangnya. Dapat
dibayangkan alangkah keras dan cepatnya lemparan tombak tersebut. Seandainya
tadi tombak itu menancap di punggung Suto, maka tak heran jika akan tembus ke
pinggang kirl Citra Bisu, sebab kala itu mereka. berada dalam jarak sekitar dua
jengkal.
Hampir saja kita berdua
menjadi sate tanpa bum- bu, Citra!"
Citra Bisu tidak layani ucapan
Suto Sinting. ia segera menyambar tombak tersebut. Satu sentakan tangan kiri
membuat tombak itu lolos dari batang pohon. Siuub...! Citra Bisu meiemparkannya
ke arah semak-se- mak tempat munculnya tombak tersebut. Weess...! Jeebs...!
"Aaaaaaa...!" suara
jeritan memanjang menandakan tombak itu dapat jodoh di perut pemiliknya
sendiri. Menancap tembus tanpa permisi lagi.
Kejap berikutnya, dari semak-semak
lainnya berloncatan manusia- manusia berwajah angker bagaikan kutu loncat.
Bahkan dari semak di belakang Suto dan Citra Bisu juga muncul wajah-wajah
angker yang sudah menyiapkan senjata masing-masing.
Salah satu wajah angker itu
mengenakan jubah ungu dan celana ungu kusam. Orang kurus bermata cekung dengan
rambut abu-abu itu tak lain adalah si Bandar Santet yang tempo hari merampas
peta harta karun dari tangan Belatung Gerhana. Suto Sinting masih ingat betul
dengan si wajah angker yang menyelipkan keris gagang merah di sabuk depan
perutnya itu.
"Siapa mereka,
Suto?" tanya Citra Bisu dengan
suara batin. Suto juga menjawab dengan suara batin,
sehingga di depan lawannya mereka tampak hanya diam saja.
"Mereka juga para pemburu
harta karun itu. Mereka orang-orang
Selat Neraka di bawah pimpinan Bandar Santet."
"Yang mana yang bernama
Bandar Santet?" "Yang kurus dan berjubah ungu itu."
"Jelek sekali
wajahnya?"
"Menurut istrinya wajah
seperti itu adalah wajah ganteng." "Kalau begitu biar kutangani
sendiri orang itu!"
"Hati-hati, dia jago
santet! Aku pernah dilukai dengan ilmu Pesona Teluh'-nya."
"Kau urus saja para
cecunguknya, aku akan jajal ilmu santet si kepompong minder itu!"
Pendekar Mabuk tersenyum
menahan tawa. Tentu saja mereka yang mengepung taktahu apa sebab Pendekar Mabuk
ingin tertawa geli. Mereka melihat kedua mangsa yang dikepung tetap tenang,
saling diam dan tidak tampak berbisik-bisik.
"Tapi kenapa si tampan
itu sepertinya mau tertawa geli? Apa yang sebenarnya yang dilihatnya di wajah
ketua kita itu?" bisik salah
seorang anak buah Bandar Santet.
"Sst...! Jangan ngobrol
sendiri, nanti ketua marah padamu!" temannya mengingatkan.
Bandar Santet maju dua langkah
dengan dingin. Matanya memandang ke arah Suto Sinting yang bersebelahan dengan
Citra Bisu dalam jarak tiga langkah.
"Kita bertemu lagi, Bocah
sinting!" ujar Bandar Santet dengan suaranya yang datar dan dingin.
"Aku tak punya peta
menuju liang kubur, Bandar Santet. Kuharap jangan bikin perkara lagi
denganku!" "Ada yang perlu kusampaikan padamu! Pertama.... Peta
dari si gembrot busuk itu adalah
peta palsu! Kedua.... Juru Jagal akhirnya tewas setelah menderita luka parah
dan tak bisa disembuhkan."
"Aku turut berduka
cita," ujar Suto Sinting kalem.
"Ketiga...," sambung
Bandar Santet, .... Aku ingin menagih nyawa orang-orangku yang kau bunuh!"
"Aku tidak membunuhnya.
Orang-orangmu sendiri yang saling bunuh, Bandar Santet!"
"Keempat Kau harus
tunjukkan di mana harta karun itu berada. Aku
yakin kau dan Belatung Gerhana
tahu di mana tempat itu." "Kau salah duga, Bandar Santet. Aku dan
"
"Kelima... hutang nyawamu
kuanggap lunas jika kau bantu
aku dapatkan harta karun itu."
"Keenam...," sahut
Suto Sinting, ".... Aku tak tahu menahu tentang harta karun dan siap adu
nyawa denganmu, Bandar Santet!"
"Sebuah tantangan yang
bagus, Suto," bisik Citra Bisu dengan suara batin. "Awas, sebelah
kananmu ada yang mau lemparkan pisau."
"Aku melihatnya. Tenang
saja, Citra!" balas Suto dengan suara batin
juga.
Bandar Santet bersuara geram.
"Kau memang sudah bosan hidup,
Anak kucing!"
Wiiiz...! Pisau metayang ke
arah leher Suto Sinting dari arah kanan.
Tubuh Suto segera disentakkan ke belakang sambil berseru dalam batinnya.
"Citra, tangkap pisau
ini!"
Wees...! Pisau lewat depan
mulut Suto. Tangan Citra Bisu berkelebat dengan tubuh sedikit memutar. Taab...!
Pisau tertahgkap di tangan gadis itu, tangsung dilemparkan ke arah kiri, sebab
di arah kiri ada orang yang ingin melemparkan tombaknya. Wuut...! Jrebb...!
"Aaaaahkk...!"
Pisau itu tepat menancap di
ulu hati orang tersebut. Tombak yang sudah diangkat pun jatuh ke tanah,
menyusul kemudian orang itu tumbang dengan tersengal- senga! beberapa saat
sampai akhirnya tak mau bernyawa lagi. Mati.
Anak buah Bandar Santet
menjadi tegang. Tapi si kurus Bandar
Santet tetap tenang. la hanya melirik anak buahnya yang tewas tanpa
tindakan apa pun. Namun ia bicara kepada Citra Bisu dengan nada
lebih dingin lagi. "Terlalu berani kau ikut campur urusan ini, Nona
cantik! Apakah kau tak takut mati dengan raga membusuk dan berbelatung?!"
Citra Bisu diam saja, hanya
menatap Bandar Santet penuh keberanian. Tapi ia mulai bicara dalam batinnya,
dan suara batinnya dikirimkan kepada Suto Sinting
"Dia mulai menggunakan
ilmu teluhnya, Suto."
"Celaka! Lekaslah
menyingkir biar kuhadapi orang itu!"
"Aku mendengar batinnya
mengucapkan beberapa mantera. Dadaku mulai panas! Sebaiknya kuserang dia agar
tak sempat melanjutkan bacaan manteranya!"
"Tapi...," Suto
Sinting tak sempat ianjutkan ucapan batin, karena tiba-tiba tangan kiri Citra
Bisu menyentak ke depan dengan dua jari mengerang kejang. Suuut...! Claap...!
Selarik sinar biru melesat dari ujung kedua jari itu. Sinar tersebut menghantam
dada Bandar Santet.
Sinar biru itu hanya dipandang
oleh Bandar Santet. Tahu-tahu berhenti
sendiri dalam jarak satu jengkal di depan dada. Tapi ucapan mantera di batin Bandar Santet terhenti
mendadak, karena kekuatan dan perhatiannya tertuju ke arah sinar biru itu.
Citra Bisu segera menangkap
tangan kirinya sendiri dengan tangan kanan. Bagian yang ditangkap adalah bagian
siku. Kemudian kedua tangan itu lebih menyentak maju lagi hingga tubuh Citra
Bisu meliuk ke samping. Plak, wuuut...!
Sinar biru yang terhenti iiu
menyentak maju. Bandar Santet kaget dan segera menghadangkan tangan
kanannya. Dees...! Blaaarrr...!
Ledakan yang terjadi tlmbulkan
gelombang sentak yang sangat kuat. Bandar Santet terlempar ke atas, rnelayang
ke belakang, kepalanya membentur lekukan cabang pohon. Duuk...! Bruuk...! la
jatuhterbanting tanpa ampun lagi.
Melihat ketuanya dilemparkan
begitu saja, para anak buah pun melabrak Citra Bisu dan Pendekar Mabuk secara
serentak. Mereka mulai menyerang dari ber- bagai arah dengan teriakan liarnya.
"Heeeaaaah...!!"
Citra Bisu mencabut pedangnya
yang terbuat dari kristal bening. Pendekar Mabuk segera menyambar bumbung
tuaknya yang sejak tadi menggantung di pundak kanan. Seet...! Bumbung tuak itu
segera dipakai menangkis senjata-senjata yang diarahkan kepadanya. Trang,
trang, duaar...! Bumbung bambu itu se- perti besi baja, ketika berbenturan
dengan senjata lawan memancarkan cahaya bunga api ke rnana-mana.
Citra Bisu bergerak dengan
lincah, menangkis pedang dan tombak
lawan dengan pedang kristalnya. Sa- betan pedang beling itu ternyata
mampu mematahkan tombak lawan serta beberapa senjata lainnya. Bahkan
seseorang yang menggunakan rantai bola berduri mencoba menyambar
kepala Citra Bisu dari belakang.
Gadis itu merendahkan badan
dengan kepala sedikit dirundukkan. Pedangnya berkelebat menyambar rantai bola
berduri itu. Craang...! Bluuk...! Bola berduri itu jatuh ke tanah, putus dari
rantainya.
"Hiaaat...!" Citra
Bisu menebaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri, menyambar perut lawan yang
ingin mendekatinya. Breet, craas, breet, wreek...!
"Aaaah...! Aaooww...!
Aaahk...!"
Enam orang sekali tebas jatuh
terkapar dalam keadaan luka robek pada
bagian tubuhnya. Sementara itu, Pendekar Mabuk berhasil menumbangkan delapan
orang dalam sekali sambar bumbung tuaknya yang diputar ke atas kepala.
Wuuurs...! Putaran bumbung tuak itu
datangkan angin kencang dan melemparkan mereka yang mengelilinginya.
Terdengar suara batin Citra
Bisu berujar kepada Suto, "Aku melompat ke atas pohon. Mau kejar
si Bandar Santet itu. Urus yang iainnya, Suto!"
"Lakukan saja,
Manis!" sahut batin Suto Sinting.
Wuuut...! Tubuh gadis yang
tinggi sekal itu tahu- tahu sudah ada di
atas pohon. la melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Dalam sekejap
sudah berada di depan Bandar Santet.
Pendekar Mabuk segera
pergunakan jurus 'Garuda Mudik'. Bumbung tuak diputar di atas kepala, lalu
dilepaskan. Wuuuung...! Bumbung tuak itu melayang sendiri dalam gerakan
memutar. Tiap benda yang dilaluinya selalu terhantam dan menjadi berantakan.
Beberapa kepala lawannya mengucurkan darah akibat ter- sambar gerakan cepat
bumbung terbang itu. Sementara tombak dan golok yang coba-coba menghalanginya
torpaksa patah menjadi berkeping-keping setelah bertabrakan dengan bumbung tuak
itu.
Trak, taang, prook, traak,
prook, wuung...!
Teeb...! Bumbung tuak kembali
ke arah pemiliknya. Berhasil ditangkap dengan tangkas dan siap diputar kembali.
Taps beberapa lawan segera undurkan diri begitu melihat jurus Garuda Mudik'
yang telah membuat empat kepala retak berlumur darah. Mereka yang terluka tak
punya harapan untuk hidup lebih
seratus hitungan lagi.
Di sisi lain, Citra Bisu
berhadapan dengan Bandar Santet. Kali ini ia menggunakan suara mulut.
"Jika kau ingin dapatkan
harta itu, kau harus berhadapan denganku.
Akulah si penjaga harta itu
dari Kerajaan Hastamanyiana!" "Perempuan keparat! Kau menjadi busuk
sekarang ju "
Prook...! Belum selesai Bandar
Santet mengucapkan kutukannya, kaki panjang Citra Bisu fcudah lebih dulu
menendang mulut orang tersebut. Tendangan ber- tenaga dalam dilakukan sangat
kerasdan cepat. Dalam sekejap saja mulut Bandar Santet menjadi remuk. Gigi
depannya rontok semua. Bandar Santet tak bisa bicara karena gusinya ikut pecah.
"Grrrrrh !"
Bandar Santet hanya bisa
menggerarn dengan seri- ngai kesakitan. Kerisnya dicabut dari tempatnya.
Seet...! Claap, claap...! Keris itu memancarkan sinar merah berkerilap,
menandakan keris itu mempunyai kesaktian tersendiri.
' Haaaggrr...!" Bandar
Santet menyentakkan keris-nya ke depan. Sinar
merah seperti ekor naga menyarn bar tubuh Citra Bisu. Craiaap !
Wiiz, wiiiz, wiiz !
Suuut...! Pedang kristal itu
pun segera disentakkan lurus ke depan seteiah ditebaskan dengan cepat beberapa
kali. Pedang bening itu menyala biru, dan sinar birunya bagai bertumpuk di
ujung pedang, ialu melesat
keiuar berupa sinar biru berbentuk mata pedang. Ctaaap !
Jegaaarrr.:.!
Ledakan dahsyat terjadi akibat
tabrakan sinar biru pedang dan sinar dari keris. Ledakan itu membuat tubuh
Citra Bisu teriempar dalam keadaan separoh wajah menjadi memar membiru,
tersambar gelombang angin panas dari ledakan tadi.
Bandar Santet juga teriempar
ke beiakang dan
melayang-layang dalam keadaan hilang keseimbangan. ia terbanting di atas
sebongkah batu sebesar anak sapi. Brook...! Krrak….!
"Aaahk...!" Bandar
Santet mengerang karena tulang punggungnya bagaikan patah. Sementara kepalanya
sendiri menjadi bocor akibat
.membentur batu tersebut.
Melihat Bandar Santet terluka
cukup parah, para anak buah segera bertindak cepat. Bandar Santet disambar oleh
salah seorang anak buahnya yang berbadan besar. Wees ! "Lari...!"
seru orang itu mernberi aba-aba kepada yang lain. Maka yang lain pun
berhamburan pergi tinggalkan tempat itu. Citra Bisu ingin mengejar dalam ke-
adaan luka, tapi Suto Sinting berseru dengan suara batinnya.
"Tahan! Jangan kejar
mereka!"
"Keparat! Kenapa kau
melarangku?!" Citra Bisu berpaling
cepat ke arah Suto dengan mulut
tetap terkatup.
"Kau terluka, Citra! Aku
tak ingin lukamu menjadi makin berbahaya jika dipakai untuk mengejar
mereka!"
"Lalu apa maumu?"
"Minumlah tuakku yang "
Suto Sinting diam, tertegun
dengan hati kecewa. la baru sadar bahwa bumbung tuaknya ternyata telah kosong.
Tuaknya habis, tinggal empat-lima tetes. Wajah pemuda tampan itu pun menjadi
tegang.
"Tuak habis. Citra terluka
separah itu. Oh, bagaimana ini?!" keluhnya dalam hati, dan keluhan itu
didengar oleh Citra Bisu.
Suto Sinting menjadi lebih
tegang lagi begitu ia sadari luka memar membiru itu makin lama makin menghitam.
Separoh wajah Citra Bisu mulai membusuk, dan gadis itu menggigit bibir pertanda
menahan rasa sakit yang bukan kepalang tanggung itu. 3
Dengan hawa sakti gaburtgan
antara milik Pendekar SVIabuk dengan milik Citra Bisu sendiri, akhirnya luka di
wajah gadis itu bisa terobati. Memang tak bisa sembuh dengan cepat seperti jika
meminum tuak saktinya Suto, tapi setidaknya luka hangus itu dapat segera
mengering dan tidak menjadi lebih parah lagi. 4;
"Aku malu dalam keadaan
seperti ini, Suto. Wajahku tampak buruk sekali," ujar Citra Bisu.
"Jika begitu, sebaiknya
kau kubawa ke pondoknya si Kusir Hantu. Tinggallah di sana dulu, sementara aku
pergi mencari tuak. Jika kau minum tuak dari bumbung saktiku ini, maka
luka-lukanmu tidak akan membekas sedikit pun, Citra. Kau dapat kembali cantik
seperti sediakala dalam waktu singkat."
"Sesakti itukah tuak dari
bumbungmu?"
"Aku tak bisa menjawab.
Tapi kau bisa buktikan sendiri jika bumbung ini sudah kuisi dengan tuak dari
mana saja."
Baiklah. Aku menurut dengan
saranmu, Suto."
Mereka bergegas menuju
pondoknya si Kusir Hantu. Suto Sinting juga jelaskan, bahwa di pondok itu
CitraBisu tidak akan sendirian.
Sekali pun Kusir Hantu dan
Pematang Hati ditawan oleh
orang-orang Tanah Pasung, tapi di pondok masih ada Mahligai
Sukma, yaitu adiknya Pematang Hati. Juga, ada Tenda Biru dan Panji Klobot,
sahabat Suto yang tinggal bersama Kusir Hantu sejak si Tenda Biru lolos dari
kutukan maut berkat bantuan Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Gadis Tanpa Raga").
Sudah tentu tempat yang paling
dekat dari daerah itu adalah pondok si Kusir Hantu, sebab memang Kusir Hantu
tinggal di Lembah Seram. Untuk mencapai pondok tersebut tidak membutuhkan waktu
lama. Suto Sinting masih hafal jalan-jalan yang harus diialuinya dalam menuju
pondok tersebut. Dengan melingkari bukit rmelalui jalur selatan, mereka akan
lebih cepat lagi tiba di pondok.
Tetapi perjalanan mereka
terhalang kembali oleh satu kejadian yang membuat langkah mereka terhenti.
Sebuah pertarungan cukup menarik perhatian Suto ter- jadi di kaki bukit.
Pertarungan itu dilakukan oleh seorang
gadis berambut pendek dengan mengenakan jubah tanpa lengan warna biru. Pakaian
dalamnya juga berwarna biru tipis. Gadis cantik itu bermata membelalak indah
dengan hidung mancung dan bibir sensual.
"Kau kenal dengan gadis
itu?" tanya Citra Bisu menggunakan suara batinnya.
"Ya, aku kenal. Dia
adalah si Tenda Biru yang kuceritakan tadi." "Lalu, pernuda yang
berpakaian biru garis-garis putih itu siapa?"
"Itu murid Nyai Jurik
Wetan. Setahuku dia bernama Ragadenta. Sedangkan perempuan yang bersembunyi di
balik pohon seberang sana adalah Laras Wulung. Ragadehta dan
Larang Wulung punya hubungan gelap. Laras Wulung bersedia menjadi budak suruhan
Ragadenta dalam mencari harta karun itu, asalkan ia dapatkan darah kemesraan
dari Ragadenta "
Suto rnenjelaskan panjang
iebartentang siapa mereka, sebab ia memang pernah mengintip kencan Ragadenta
dengan Laras Wulung
di sebuah rumah gubuk. Saaf itu ia bersama Mangku Randa, dan menyadap
persekongkolan mereka dalam mendapatkan harta karun. Keterangan yang didapat
Laras Wulung dari Panji Klobot adalah letak goa di sebelah seiatan bukit.
Rupanya usaha mereka temukan
Goa Kembar itu gagal. Di selatan
bukit tak ada goa. Panji
Klobot jadi tumpuan kekecewaan Ragadenta dan
Laras Wulung. Tapi Tenda Biru yang selama ini secara tak langsung
menjadi guru si Panji Klobot merasa tak rela. Ia lakukan pembelaan terhadap
sang murid, sehingga terjadilah pertarungan di tempat itu.
Agaknya Laras Wulung tak mau
ikut campur dalam pertarungan itu. la berada di tempat jauh, di balik pohon.
Tetapi dari tempat Suto berada, sosoknya tampak jelas sekali. Suto Sinting
sengaja tidak menggubris keberadaan Laras Wulung. Tapi perhatiannya lebih
ditujukan pada Panji Klobot yang babak belur dan terkulai lemas di bawab pobon.
Sementara itu; Tenda Biru berusaha melukai Ragadenta dengan pedangnya yang
ditebaskan beberapa kali ke arah pemuda tersebut. Tapi dengan lincah
Ragadenta selalu berhasil hindari
tebasan pedang.
Pada satu kesempatan,
Ragadenta berhasil lepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak lima langkah di
depan Tenda Biru. Beet...! Claap...! Sinar merah kecil melesat dari telapak
tangan Ragadenta.
Tenda Biru menghindarinya
dengan sebuah lompatan ke atas dan bersalto dua kali di udara. Wuuk, wuuk...!
Ketika ia daratkan kakinya, sinar merah itu sudah melesat di udara
belakangriya. Namun tanpa didu ga-duga, ekor sinar merah itu tiba-tiba menyebar
menjadi lebar dan panjang. Bias cahayanya kenai punggung Tenda Biru. Plaass.,.!
"Aaahk...!" Tenda Biru tersentak ke depan dan jatuh
terjungkal. Kejap kemudian ia
terpuruk di tanah dan tak berdaya lagi.
Sekujur tulangnya bagaikan
menjadi .lunak, tak sedikit pun bisa dipakai
untuk berdiri. Setiap ia mencoba
bangkit berdiri selalu jatuh kembali
dengan lemas. Brruuk...!
"Uuuhkk...!" Tenda
Biru mengerang dengan berusaha mengangkat kepalanya, namun segera terkulai
kembali.
Hemmh ..! Itulah akibatnya
bagi orang yang coba- coba melawan Ragadenta!" ujar Ragadenta dengan sinis
dan ketus. "Kau akan mati kelaparan tanpa bisa memiliki kekuatan lagi,
Gadis tolol! Pemuda penipu itu pun akan kubuat sama seperti dirimu!"
"Jahanam! Jangan berani
lagi sentuh muridku itu! Aku masih mampu melawanmu!" seru Tenda Biru.
Rupanya ia masih punya tenaga untuk bersuara. Hanya itu yang dimiliki Tenda Biru.
Tapi kekuatan untuk melepaskan pukulan
jarak jauh pun sudah tak ada.
"Jika mereka temanmu,
mengapa kau diam saja, Suto?" tegur Citra Bisu melalui suara batinnya.
"Ini persoalan guru
membela murid. Kalau kucam- puri, aku takut akan membuat Tenda Biru
tersinggung."
"Kurasa keadaan Tenda
Biru sudah sebegitu lemah. la butuh bantuan! Ini bukan lagi soal guru membela
muridnya, tapi soal hidup dan mati dari perkara salah dan benar."
Suto Sinting diam sejenak,
kemudian menggumam lirih dengan suara mulut, "Pendapatmu benar juga,
Citra. Tunggulah di sini! Aku akan maksa Ragadenta untuk pulihkan keadaan Tenda
Biru!"
Zlaaap...! Jurus 'Gerak
Siluman' membuat rambut Citra Bisu
terhempas karena gerakan cepat Suto Sinting. Dalam sekejap pemuda tampan berbaju buntung warna coklat
dan celana putih kusam itu sudah berada di depan Ragadenta yang hendak hampiri
Panji Klobot. Kemunculan Suto Sinting itu jelas-jelas bersikap menghadang
langkah Ragadenta, sehingga pemuda bertubuh tegap, gagah dan kekar itu
terkejut, lalu hentikan langkah dengan penuh waspada.
"Suutooo...!" seru
Panji Klobot dari tempatnya. Seruan itu
bagai sebuah ratapan yang menghiba, minta pertolongan. Tapi seruan itu
membuat Ragadenta berkerut dahi semakin tajam, karena ia mendengar Panji Klobot
menyebut nama 'Suto'. Sementara itu, Laras Wulung menjadi gusar dan gelisah
karena ia tahu betul siapa pemuda yang menghadang langkah Ragadenta itu.
"Apakah kau yang bernama Suto Sinting dengan gelar Pendekar Mabuk?!"
tegur Ragadenta.
"Benar! Dan kau adalah
Ragadenta, murid Nyai Jurik Wetan." "Dari mana kau tahu?"
"Kurasa itu tak perlu
dijawab. Hanya basa-basi saja dan buang-buang waktu. Yang perlu kau lakukan
adalah pulihkan kembali keadaan Tenda Biru, sahabatku!"
"Hmmh….!" Ragadenta
mencibir, lalu tertawa. "Hah, haa, haa, haa...! Sangkamu siapa dirimu
sehingga berani memerintahku dengan cara seperti itu, ha?!"
"Aku tak mau bikin
masalah denganmu, Ragadenta. Aku
tahu kau murid Nyai Jurik Wetan! Aku pernah selamatkan
nyawa gurumu dari ancaman maut Siluman Tujuh Nyawa," ujar
Suto dengan kalem sambil ia membayangkan peristiwa pertarungan Nyai Jurik Wetan
dengan si manusia terkutuk; Siluman Tujuh Nyawa, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Misteri Lembah Seram").
"Jangan bawa-bawa
guruku!" sentak Ragadenta.
"Urusan guruku adalah urusan
guruku. Urusanku adalah urusanku! Jelasnya, dengan cara
halus ataupun cara kasar, kuharap kau menyingkir dari sini sekarang
juga!"
"Jika kau tak mau
pulihkan keadaan Tenda Biru, aku tak akan pergi
dari sini, Ragadenta!"
"O, keparat kalau begitu!
Rasakan paksaanku ini, heeeaah...!!"
Wuuut, claap...! Sinar merah
seperti tadi melesat ke arah Suto Sinting dari telapak tangan Ragadenta.
Jarak pukulan hanya sekitar lima langkah. Sinar itu melesat dengan sangat
cepat.
Tapi bumbung tuak yang sudah
di tangan Suto Sinting mampu menangkis datangnya sinar tersebut. Begitu sinar
merah itu menghantam bumbung tuak, ternyata sinar itu memantul balik dalam
ukuran lebih besar dan lebih cepat dari aslinya. Zlaass...!
Deeb, bluub...!
Blaaaarrr...!
Ragadenta kebingungan begitu
melihat sinarnya memantul balik dalam ukuran lebih besar. Gerak nalu- rinya
segera bertindak. Kedua tangan menyentak ke depan keluarkan sinar hijau lebar.
Sinar hijau lebar itulah yang menghantam sinar merah hingga
timbulkan ledakan cukup dahsyat.
Ragadenta terlempar bagaikan
boneka isi kapukditendang pemain bola. Wees...! Melayang begitu saja
dan jatuh terbanting tanpa malu-malu
lagi. Bruuuk...! "Aaahhkk...!" Ragadenta mengerang sambii
menggeliat. Tubuhnya menjadi merah seperti kepiting rebus. Tentu saja rasa
sakit dan perih bergumul menjadi satu seperti pengantin baru bercengkerama.
Ragadenta nyaris tak bisa bicara karena menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Bocah Sinting...,11 seru
Tenda Biru dengan panggilan khas. Hanya dia
yang sering memanggil Suto
dengan sebutan 'Bocah Sinting', dan ia memang selalu memanggil Suto dengan nama
tersebut.
Sambungnya dengan suara berat,
"Jangan bunuh dia! Paksa terus
agar dia mau pulihkan keadaanku, Bocah Sinting!"
"Tenang saja, Tenda Biru.
Ada pepatah yang mengatakan: Kutahu apa yang kumau!" ujar Suto menirukan
Kusir Hantu yang senang menggunakan pepatah atau peribahasa walau tak pernah
nyambung.
Pendekar Mabuk dekati Ragadenta.
Pemuda berkumis tipis yang mengenakan pakaian biru garis-garis putih itu
mencoba bangkit, tapi baru bisa sampai
duduk di tempat saja. la masih menyeringai menahan rasa sakitnya.
"Bangunlah, Ragadenta!
Paksaanku belum selesai!" ejek Suto Sinting seenaknya saja. Tiba-tiba ia
mendengar suara batin Citra Bisu yang berada agak jauh darinya. Citra Bisu
tetap tak tampakkan diri, tapi Suto Sinting mulai hafal dengan nada suara
sedikit serak milik Citra Bisu itu.
Suto, awas ada bayangan
berkelebat menuju tempatmu. Dia akan muncui dari arah belakangmu!"
Pendekar Mabuk cepat berlari
ke belakang. Tepat ia memandang ke belakang, sekelebat bayangan itu sudah hadir
di depan hidungnya. Wees, bruuuss...! Pendekar Mabuk diterjangnya dan terpental
hingga jatuh berguling-guling.
"Kampret! Rahangku
seperti mau pecah rasanya!" gerutu Suto Sinting sambil bergegas bangkit,
mencoba berdiri tegak walau sedikit agak menggeloyor.
Orang yang menerjang Suto
Sinting sudah berdiri dengan mata memandang sangat tajam. Orang itu ternyata
seorang nenek bertubuh kurus, rambutnya putih dilepas tanpa konde.
la mengenakan jubah hijau lengan panjang
dengan menggenggam tongkat warna hitam. Suto Sinting segera menyapa si nenek
rada bungkuk itu dengan nada jengkel.
"Hebat juga terjanganmu,
Nyai Jurik Wetan!"
"Sudah selayaknya seorang
guru membela muridnya, Pendekar Mabuk!" geram Nyai Jurik Wetan yang
merasa tak rela melihat muridnya dibuat seperti kepiting rebus oleh lawannya.
"Jika kau berani melukai muridku,
berarti kau menantang pertarungan denganku, Pendekar
Mabuk! Untuk sementara lupakan dulu jasamu yang pernah selamatkan nyawaku dan
nyawa si keropos Kusir Hantu dari keganasan manusia terkutuk itu!"
"Kau seorang guru yang
kurang bijaksana, Nyai Jurik Wetan." "Mungkin ini yang kau anggap
iebih bijaksana lagi, heeah...!"
Nyai Jurik Wetan melompat
kembali ke arah Suto Sinting. Tongkatnya dihantamkan ke arah kepala Suto.
Wuuut...! Pendekar Mabuk angkat bumbung tuak menghadang tongkat. Traang...! Daaar...!
Ledakan kecil terjadi menandakan beradunya kekuatan tenaga daiam dari kedua
benda tersebut. Tapi Nyai Jurik Wetan tak sampai terpental mundur. la justru
cepat putarkan ba- dan sambil kakinya melayang menyambar wajah Suto Sinting.
Wuut, plaak...! Suto menangkis
dengan tangan kiri. Tapi kulit lengan yang menangkis tendangan itu menjadi
memar membiru bagaikan menahan hantaman besi baja.
Suto agak limbung ke kanan
akibat tendangan itu. Tapi buru-buru rendahkan badan karena harus hindari
sodokan kepala tongkat Nyai Jurik Wetan. Suut...! Wuus...!
Pendekar Mabuk terpaksa cepat
gulingkan badan ke tanah di depannya. Wuut, seet...! Dalam sekejap ia sudah
separoh berdiri. Bumbung tuaknya segera di- silangkan di atas kepala
dengan dipegang dua
tangan, karena pada saat itu ia
tahu Nyai Jurik Wetan menghantamkan
tongkatnya dari atas ke bawah,
sasarannya adalah kepala lawan.
"Modar kau...!
Hiaaah...!"
Jedaar...! Ledakan itu membuat
tongkat Nyai Jurik Wetan terpental ke
atas tapi masih dalam genggaman- nya, sehingga
tangannya ikut tersentak kuat
hingga nyaris melintir ke belakang
badannya. Melihat keadaan seperti
itu, Suto Sinting segera menjejakkan kakinya ke belakang. Wuuut, buuhk...!
Jejakan itu tepat kenai dada Nyai Jurik Wetan.
"Heehkk...!" Nyai
Jurik Wetan terpekik dengan suara
berat. Tubuhnya terpental mundur
dan jatuh terduduk di samping muridnya yang masih belum bisa berdiri.
Brruuk...!
Suto Sinting tarik napas
dalam-dalam untuk meredam rasa
sakitnya. la berdiri dengan tegak
kembali. Tali bumbung tuak melilit dalam genggaman tangan ka- nannya kuat-kuat.
"Maaf kalau kakiku
sedikit.tak sopan, Nyai. Kau mendesakku untuk bertindak tak menghormat
padamu!" "Keparat! Kau memang ingin cepat mati, Pendekar Mabuk!
Hiaaahh...!" "Tahaaan...!" sentak Suto Sinting. Sentakan itu
bagai mempunyai getaran aneh yang membuat Nyai Jurik Wetan terpaksa hentikan
niatnya
menyerang lagi.
"Ini persoalan yang tak
perlu harus terjadi banjir darah atau korban nyawa, Nyai Jurik Wetan! Boleh
saja kau membela muridmu, tapi kau harus tahu bahwa tin- dakan muridmu itu
salah!" sambil Suto menuding Ragadenta tegas-tegas.
Tenda Biru berusaha ikut
bicara. "Dia menyiksa Panji Klobot, karena menganggap Panji Klobot memberi
petunjuk palsu tentang Goa Kembar. Padahal anak itu memang tidak tahu-menahu
tentang harta karun yang terdapat di Goa Kembar! Dia memberikan petunjuk palsu
karena didesak dan takut dipukuli oleh muridmu, Nyai!"
Mendengar tentang harta karun
dan Goa Kembar, Nyai Jurik Wetan bangkit perlahan-lahan. Kemarahannya semakin
diredakan. la memandangi muridnya yang masih duduk di tanah. Sang murid tampak
gusar sambil menahan rasa sakitnya.
"Bangun kau!" geram
Nyai Jurik Wetan sambil men- cengkeram baju Ragadenta dan menarik tubuh pemuda
itu seperti menjinjing tas belanjaan. Wuuut...!
"Ouuh...! Guru... Guru,
aku menghajar pemuda yang di bawah pohon itu karena dia ingin membuat kita
terkecoh dalam mendapatkan letak Goa
Kembar Itu! Pad... padahal... padahal kalau Goa Kembar itu bisa
kutemukan, maka aku akan menghubungi Guru dan mencari harta orang
Hastamanyiana itu! Tapi dia ku-
rangajar, Guru! Dia melecehkan kita!"
"Kami tidak tahu menahu
tentang Goa Kembar, Nyai!" sahut Tenda
Biru sambil tetap terpuruk me-nyedihkan.
"Bohong! Mereka tahu,
Guru...' Mereka sengaja menganggap kita
remeh dan melakukan penghinaan terhadap dirimu secara
tak langsung, Guru! Jelas mereka
lakukan penghinaan itu karena mereka adalah orang- orangnya si Kusir Hantu,
musuh Guru itu!" sahut Ragadenta membakar emosi gurunya. Sang guru tampak
memandang Tenda Biru dengan nada penuh kemarahan. Suto Sinting segera angkat
bicara.
"Jangan mudah percaya
dengan hasutan muridmu, Nyai."
"Diam kau!" bentak
Nyai Jurik Wetan. "Agaknya aku harus kembali berurusan dengan si keropos
Kusir Hantu!"
Dengan kalem dan senyum tipis
Suto mencoba meredakan kegusaran Nyai Jurik Wetan yang dulu bekas kekasihnya si
Kusir Hantu. "Nyai, kumohon jangan
sangkut pautkan urusan ini dengan permusuhan pribadimu dengan Kusir
Hantu. Muridmu rnemang bermaksud mengambil
harta karun itu untuk kepentingan dirinya
sendiri. ia bersekongkol dengan
seorang perempuan, janda mantan pengawalnya mendiang Ratu
Cendana Sutera. Perempuan itu adalah kekasih gelapnya yang bersedia diperintah
apa saja asalkan mendapat kehangatan dari Ragadenta." "Bohong, Guru!"
potong Ragadenta dengan gusar dan penuh
ketegangan. "Aku tidak punya kekasih, Gu- n i! Aku tidak punya teman
wanita yang "
"Apakah kau tak kenal
dengan Laras Wulung?!"
"Tidak! Kurobek rnulutmu
Pendekar Mabuk! Jangan menghasut diriku
di depan Guru!" Ragadenta semakin gusar, seakan lupa dengan
sakitnya, lupa dengan kulit wajah dan tangannya yang menjadi merah seperti
kepiting rebus.
"Aku hanya bertanya
padamu, Ragadenta...," ujar Suto tetap kalem. "Apakah kau tak kenal
dengan Laras Wulung, perempuan yang gemar
mengenakan pakaian biru tua
dan beriubuh sekal menggairahkan, berwajah cantik mempesona, yang selalu
menemuimu di sebuah gubuk di tengah
hutan?!"
"Tutup mulutmu, Pendekar
Mabuk! Fitnahmu bisa membuat kepalamu kupenggal dengan sabitku ini!"
Ragadenta mau mencabut sabit
yang dibungkus sarung kulit dan sejak tadi masih terselip di pinggangnya. Tapi
gerakan tangannya ditahan oleh tangan Nyai Jurik Wetan yang mencekal kuat-kuat.
"Mulut pemuda sinting itu
beracun, Guru! Jangan dengarkan celoteh orang mabuk! Aku tak kenal dengan
perempuan yang bernama Laras
Wulung!"
"Kau kenal,
Ragadenta!" sahut Pendekar Mabuk. "Kalian bersekongkol untuk merampok
harta karun itu dan membawanya kabur berdua tanpa memberitahu gurumu! Kalian
berkhayal untuk hidup mewah dengan harta karun itu!"
"Bangsat! Aku tidak
serendah itu!" teriak Ragadenta semakin gusar karena takut rahasianya
diketahui sang guru.
"Kau dan Laras Wulung
bersepakat untuk tinggalkan gurumu setelah kalian berhasil merampok harta karun
itu. Karenanya, kau suruh Laras Wulung
mencari keterangan dari pihak Kusir Hantu. Laras Wulung berhasil temukan Panji
Klobot, dan tentunya berhasil mendesak Panji Klobot agar katakan di mana Goa
Kembar itu berada. Mungkin karena Panji Klobot yang rendah ilmunya itu takut
dengan ancaman Laras Wulung, maka ia memberi petunjuk palsu, bahwa Goa Kembar
ada di sebelah selatan bukit. Lalu kau memeriksanya dan ternyata tak
mendapatkan goa tersebut. Kau marah dan menyalahkan Panji Klobot!"
"Mulut ular busuk!"
geram Ragadenta.
Nyai Jurik Wetan menggeram
datar kepada muridnya.
"Di mana perempuan yang
bernarna Laras Wulung itu sekarang?!" "Mana kutahu. Aku tidak kenal
dengan Laras Wulung, Guru!"
Tiba-tiba terdengar suara
berseru dari kejauhan. Suara itu adalah suara batin dari Citra Bisu yang
sengaja dikirimkan ke setiap orang di situ, sehingga mereka bagaikan mendengar
seruan keras dari arah timur.
"Dia ada di
sini...!!"
Semua mata memandang ke arah
timur. Rupanya tanpa setahu Suto Sinting, Citra Bisu berhasil menawan Laras
Wulung dan memaksa
perempuan Itu keluar dari persembunyian. Pedang kristalnya diarahkan ke
leher Laras Wulung. Ujung pedang sudah menempel di leher si janda mantan
istrinya Badra Sanjaya itu, sementara pedang Laras Wulung berhasif dilucuti oleh Citra Bisu. Laras Wulung
dipaksa berjalan dekati mereka.
"Itu yang bernama Laras
Wulung, Nyai!" ujar Suto Sinting.
"Hmmm... berpakaian biru
tua, wajah mempesona, tubuh memang tampak menggairahkan...,' gumam Nyai Jurik
Wetan.
"Aku tak tahu siapa
perempuan itu, Guru! Kumohon jangan percayai kata-kata si bocah sinting itu!
Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini, Guru!" bujuk Ragadenta dengan
wajah tegang dan salah tingkah.
Nyai Jurik Wetan, Ragadenta,
dan Tenda Biru sendiri merasa asing dengan wajah cantik si Citra Bisu. Tapi
rasa ingin tahu mereka tertunda untuk
sesaat. Nyai Jurik Wetan pandangi Laras
Wulung yang sudah hentikan langkah dalam jarak dua tombak
darinya. Pedang kristal Citra Bisu tetap mengancam leher Laras Wulung. Kapan
saja dapat disentakkan menghujam leher itu hingga tembus. Karenanya, Laras
Wulung tak berani lakukan tindakan bodoh demi keselamatan jiwanya.
"Benarkah kau bernama
Laras Wulung?!" tegur Nyai Jurik Wetan dengan nada tak ramah.
Tapi janda bahenol itu tidak
menjawab pertanyaan Nyai Jurik Wetan. la justru bicara kepada Ragadenta yang
segera melengos ke arah lain.
"Ragadenta, maafkan
aku... aku tak tahu kalau perempuan laknat ini
ada di belakangku dan tahu-tahu mengancamku dengan pedangnya."
"Aku tak kenal siapa dirimu. Jangan panggil namaku!" sentak Ragadenta sambil tak mau memandang Laras
Wuiung.
"Kita memang gagal,
Ragadenta. Tapi masih banyak kesempatan lain yang dapat kita raih
bersama!"
"Aku tidak kenal dengan
dirimu, Keparat!" bentak Ragadenta semakin dongkol.
"Apakah kau lupa, aku
adalah Laras Wulung, Ragadenta! Ooh... jangan begitu, Ragadenta. Sekali pun
kita telah gagal menemukan tempat penyimpanan harta karun itu, tapi kita bisa.
"
"Diam kau, Bangsat!"
Ragadenta berteriak rnurka. la ingin mencabut sabitnya untuk menyerang Laras
Wulung. Tapi tangannya kembali dicekal
oleh sang guru. Teeb !
"Ternyata muridku sudah
menjadi seorang pengkhianat!" geram Nyai Jurik Wetan.
"Guru, jangan mudah
terhasut oleh wajah-wajah iblis ini! Kita cari harta itu bersama-sama, Guru!"
"Setelah kupertimbangkan,
aku tak mau diperbudak oleh harta! Kulihat banyak perampok yang berke- llaran di
sekitar sini untuk dapat merampok harta karun llu! Aku tak mau jadi korban
kerakusan mereka!
Maka
kubatalkan niatku untuk
memiliki harta tersebut, karena aku merasa bukan perampok!" tegas Nyai
Jurik Wetan.
"Tapi, Guru... harta itu
kalau "
"Tutup mulutmu
pengkhianat!" sentak sang guru. "Kau
sudah punya niat berkomplot
dengan perempuan haram jadah itu untuk mengkhianatiku! Aku harus me- nerima
hukumannya, Ragadenta!"'
"Aku hanya "
Deess !
"Ahhk...!" Ragadenta
mengejang seketika setelah dua jari sang guru menotok bagian tengkuknya. Tubuh
kejang itu akhirnya terkulai lemas dan jatuh di kaki gurunya. Brruuk !
"Nyai, jangan perlakukan
dia dengan kasar!" sergah Laras Wulung tampak tak rela melihat 'kuda
jantan'nya dilumpuhkann oleh sang guru. Tapi Nyai Jurik Wetan berucap lebih
tajam lagi kepada Laras Wulung.
"Gara-gara rayuanmu,
muridku tega mau mengkhianati gurunya! Kau masih punya urusan denganku dan akan
kita selesaikan setelah aku menghukum anak ini, Perempuan busukl"
Wuuut...! Kaki Nyai Jurik Wetan menyentak naik. Tubuh Ragadenta yang jatuh di
kakinya itu meiayang dan ditangkap dengan tangan kiri, kemudiandijatuhkan ke
pundak kirinya. Seet...! Nyai Jurik Wetan menatap Suto Sinting dengan tajam
pula.
"Kalau bukan muridku yang
salah, sudah kuhan-curkan kepalamu, Pendekar Mabuk! Lain kali kita bisa buktikan
semua omonganku ini!"
Nyai Jurik Wetan bergegas
pergi membawa pulang muridnya. Tetapi Suto Sinting segera menahannya dengan
suara cepat.
"Tunggu, Nyai...!"
Tubuh sang nenek yang sudah
mau membalik itu terpaksa berputar ke arah semula lagi.
"Nyai... bagaimana dengan
sahabatku ini. Tenda Biru terluka oleh ilmu muridmu. Kumohon kau mau pulihkan
keadaan dia, juga pulihkan keadaan
Panji Klobot di sana! Mereka berdua korban kepicikan muridmu,
Nyai!"
,"Hhhrrhm...!" Nyai
Jurik Wetan menggeram kesal. Tapi ia segera sentakkan ujung kepala tongkatnya
ke arah Tenda Biru. Claap...! Sinar putih tipis seperti perak melesat dari
kepala tongkat dan menghantam pundak Tenda Biru. Tongkat itu disentakkan lagi
ke arah Panji Klobot yang ada di kejauhan sana. Claap...! Sinar putih perak
melesat dan menghantam dada Panji Klobot.
"Jangan menuntut apa-apa
lagi dariku!" geram Nyai Jurik Wetan, lalu dengan cepat ia melesat
tinggalkan tempat tersebut. Blaasss...!
"Nyai, tunggu...! Jangan
bawa Ragadenta, Nyai! Aku harus bersamanya...!" seru Laras Wulung dengan
gusar.
Tapi ketika ia ingin mengejar
Nyai Jurik Wetan, lohernya terasa ditekan oleh benda runcing. la ingat dengan
pedang kristal yang mengancamnya. Maka ia pun urungkan langkah dan menarik
napas dalam- dalam memendam perasaan
dongkolnya. Citra, lepaskan dia!" perintah Suto Sinting dengan suara batin.
Citra Bisu masih mendengarnya. "Apakah tak berbahaya Jika
kulepaskan?" "Kurasa ia tak akan berani bertindak macam- ma- cam jika
ada aku di sini!""Baiklah!" jawab Citra Bisu dengan suara batin
pula. Pedang Kristal ditarik mundur, tapi masih digenggam oleh Citra Bisu. Suto
Sinting berujar kepada Laras Wulung. "Pergilah, Laras...! Carilah lelaki
mana saja asal jangan ganggu sahabat-sahabatku. Jika hal itu kau lakukan, kau
akan berhadapan denganku dan aku tak akan beri pengampunan sedikit pun padamu!"
Laras Wulung tank napas lagi.
Jengkel tapi tak berani melampiaskan kejengkelannya. Sebab ia tahu persis
seberapa tinggi ilmu Pendekar Mabuk. la
merasa tak akan mampu menandinginya.
"Kuharap lain kali kau
juga tidak mengganggu pasanganku, Suto!" ujarnya dengan ketus.
"Kita tidak akan saling
mengganggu tentunya," sambil Suto berikan senyum rarnah pada Laras Wulung.
Citra Bisu lemparkan pedang
milik Laras Wulung. Janda montok itu menangkapnya. la sempat pandangi Citra
Bisu dengan tatapan memancarkan dendam. Tapiyang dipandang balas menatap
lebih berani lagi.
Akhirnya janda bahenol itu segera melesat pergi tanpa pamit pada siapa
pun. la pergi ke arah yang sama dengan kepergian Nyai Jurik Wetan. Mungkin saja
ia akan mengejar Nyai Jurik Wetan untuk merebut Ragadenta, si 'kuda
jantan'-nya yang sedang digandrungi itu.
Sinar putih dari Nyai Jurik
Wetan tadi ternyata hawa sakti untuk memulihkan keadaan Tenda Biru. Dalam
beberapa hitungan saja, Tenda Biru mulai rasakan memperoleh tulang-tulangnya
kembali. la bisa berdiri walau masih sedikit sempoyongan. Sementara itu, Panji
Klobot pun sudah bisa berjalan dekati mereka.
"Kudengar kau telah
tewas, Bocah Sinting," ujar Tenda Biru yang menatap Suto dengan tatapan
sangat pribadi.
"Kata siapa aku sudah
mati?"
"Kudengar ledakan dahsyat
sekali dua hari yang lalu. Kulihat tebing di sebelah sana runtuh. Ternyata ada
tokoh tua yang mengaku bernama Dewa Kubur sedang bertarung melawan seorang
perempuan yang mengaku bernama Laksamana Tanduk Naga "
"Siapa...?!" Suto
terkejut karena ingat nama orang Mangol yang memburunya untuk dijadikan tumbal,
(Bacai di serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pemburu Tumbal").
Selanjutnya, Tenda Biru
menceritakan tentang kematian Perwira Tombala dalam pertarungannya melawan Dewa
Kubur. la mendapat penjelasan panjang-lebar dari Dewa Kubur,
termasuk kabar kematian Suto Sinting. Pemuda itu terbengong beberapa saat
setelah tahu dirinya telah dikabarkan meninggal. "Tak perlu sedih,
Suto,"' ujar Citra Bisu dengan suara batin. "Akan kubantu menjelaskan
pada siapa saja bahwa Pendekar Mabuk masih hidup,"
Suto Sinting menatap luka di
wajah Citra Bisu. Rasa iba hinggap sesaat di hatinya. Kemudian ia menyuruh Tenda
Biru membawa pulang Citra Bisu, sementara ia
akan pergi mencari kedai untuk mengisi bumbung tuak- nya yang telah kosong itu.
"Tapi kudengar Kusir
Hantu dan Pematang Hati ditangkap orang- orang Tanah Pasung!" ujar Tenda
Biru.
"Dari mana kau
tahu?"
"Kami kedatangan orang
gemuk sekali yang meng- aku bernama Belatung Gerhana. Dia sekarang ada di
pondok kami dalam keadaan kakinya patah karena terkena reruntuhan tebing. la
ada di pondok bersama Mahligai Sukma. Sedangkan aku dan Panji Klobot ingin *
membebaskan Kusir Hantu dan Pematang
Hati, yang menurut penjelasan Belatung Gerhana, mereka dibawa ke Pantai
Bejat!"
"Itu akan kuurus
secepatnya, Tenda Biru! Sekarang bawa pulang dulu Citra Bisu ini!"
Tenda Biru berbisik,
"Siapa dia sebenarnya, Bocah Sinting?" "Kau bisa tanyakan
sendiri di pondok nanti!"
Citra Bisu berbisik lewat
suara batinnya, "Kuharap kau tidak pergi ke Pantai Bejat sebelum datang
menjemputku, Suto! Aku akan marah jika kau pergi ke sana sendiri setelah
dapatkan tuak untuk bumbungmu."
"Mengapa kau ingin ikut
ke sana?"
"Aku harus ikut
membereskan sisa-sisa perampok harta yang kujaga selama ini! Itu memang
tugasku. Jangan kau ambil alih!"
Setelah pergi lebih dulu,
barulah Pendekar Mabuk berani membatin sebuah pertanyaan untuk dirinya sendiri.
"Haruskah aku patuh
kepada aturan Citra Bisu?!"
Suto tak tahu jawaban yang
pasti. Tapi ia punya pertimbangan
sendiri, "Mana yang lebih penting, mem- hebaskan Kusir Hantu dan
cucunya atau mengobati luka Citra Bisu lebih dulu?!"
Ternyata pertimbangan batin
itu pun belum diketahui jawaban pastinya. 4
Udara panas membuat Suto
Sinting mengikat rambutnya ke belakang dengan akar menyerupai karet. Dalam
keadaan rambut panjangnya diikat ke belakang, ketampanannya tampak sedikit
beda. Tapi tetap saja memancarkan pesona
yang akan memikat , para gadis dan wanita separuh baya. Tubuhnya yang kekar,
tegap, gagah dan terkesan jantan itu sering membuat hati para janda berdebar
penuh harap untuk dapat memeluk kegagahan tersebut.
Dalam langkahnya mencari tuak,
Suto Sinting tak sempat berpikir tentang gadis lain. Yang ada dalam benaknya
adalah wajah cantik
Citra Bisu. la terbayang kecupan hangat bibir si prajurit cantik itu. la
juga ter- bayang pelukan hangat tubuh tinggi, sekal dan sangat padat itu.
Tapi Suto segera ingat tentang
kekasihnya; Dyah Sariningrum yang berkuasa di negeri Puri Gerbang Surgawi.
Bagaimanapun mantapnya tubuh Citra Bisu, I menurutnya masih kalah menarik
dibandingkan kecantikan dan keelokan tubuh Dyah Sariningrum.
Untuk itu, Suto segera hilangkan
bayangan Citra Bisu. la segera memikirkan bumbung tuaknya yang kosong dan
mulutnya yang asam karena lama tak meneguk tuak. Tubuhnya pun terasa linu-linu,
urat-urat terasa kaku, luka memar akibat
pertarungan juga masih membekas dan terasa sedikit sakit walau sudah diatasi
dengan hawa murninya. Hanya tuak yang mampu membuatnya segar kembali.
Sebuah kedai ditemukan di desa
kaki bukit, agak jauh dari Lembah Seram. Pendekar Mabuk langsung mengisi
bumbung tuaknya. Pemilik kedai sempat me rasa heran saat mengisi bumbung tuak
tersebut.
"Apakah tuak ini akan kau
jual lagi, Kisanak?" "Tidak, Pak Tua. Aku
bukan penjual tuak keliling." "Lho, jadi kau akan minum semua tuak
sebanyak ini?"
"Begitulah kebiasaanku,
Pak Tua. Sehari tak minum tuak seperti tak bisa bernapas sebulan," canda
Suto Sinting. Tapi si pemilik-kedai itu berkerut dahi dengan mata melirik ke
arah Suto sebentar, lalu memperhatikan tuangan tuaknya lagi.
"Kisanak ini seperti
mendiang Pendekar Mabuk saja. Dia juga doyan minum tuak. Tapi sayang, pendekar
sakti yang banyak menyelamatkan jiwa orang-orang lemah itu sekarang sudah
tiada. Kalau saja Pendekar Mabuk masih hidup, kurasa beliau akan merasa senang
jika bersahabat dengsnmu, Kisanak."
Hati pun seperti diiris
sembilu. Mendengar namanya dianggap telah mati, bukan main risaunya Pendekar
Mabuk. Bahkan ia tak berani menyatakan sikap dirinya di depan pemilik
kedai. ia khawatir justru akan membuat pemilik kedai menertawakan pengakuannya,
atau mengecamnya sebagai orang yang mengaku-aku Pendekar Mabuk.
Untuk itu, Suto Sinting
mencoba menahan diri dan memaklumi keadaan yang salah kaprah itu.
Napasnya ditarik dalam-dalam sambil merasakan derasnya darah bercampur tuak
yang diminumnya dari cangkir kedai.
"Kalau saja Pendekar
Mabuk itu belum tewas," ujar pemilik kedai lagi
sambil serahkan bumbung tuak
yang sudah terisi tuak hingga penuh itu."... seandainya Pendekar Mabuk
masih hidup dan singgah di desa ini, pasti orang-orang Tanah Pasung itu akan
dibabat habis oleh- nya."
"Orang-orang Tanah Pasung...?!"
Suto Sinting memandang heran kepada si
pemilik kedai.
"Rupanya Kisanak memang
bukan orang sekitar sini, ya?"
"Memang bukan, Pak Tua.
Ada apa dengan orang- orang Tanah
Pasung? Siapa mereka sebenarnya?" Suto berlagak bodoh.
"Mereka para pemburu
harta karun peninggalan negeri Hastamanyiana. Sudah dua malam mereka
mengganggu kehidupan di desa ini, Kisanak."
"Mengganggu dalam hal
apa?"
"Ternak kami dicuri,
kadang dirampok secara paksa. Baik itu ayam, kambing, sapi, atau kerbau.
Bahkananjing pun disikatnya juga."
"Untuk apa mereka
merampok ternak?"
"Untuk dibawa ke Pantai
Bejat, dipakai pesta pora. Kabarnya mereka tiap maiam berpesta pora di Pantai
Bejat, sedangkan siang harinya mereka mencari harta karun tersebut. Padahal
mereka bukan orang Tanah Jawa! Dengar-dengar mereka berasal dari pulau
seberang. Tapi mereka tidak mau pulang ke pulau seberang sebelum berhasil
merampok harta karun peninggalan negeri
Hastamanyiana."
Suto Sinting menggumam sambil
manggut-mang- gut. Kemudian ia ajukan tanya kepada pemilik kedai yang ikut
menemaninya duduk di situ.
"Apakah desa ini tidak
jauh dari Pantai Bejat?"
"Kalau ditempuh jalan
kaki biasa, tidak sampai setengah hari, Kisanak. Hasil panen kami juga sering
kami jual di Pantai Bejat, sebab di sana banyak pendatang dari luardaerah yang
sengaja mencari rempah-rempah atau palawija untuk dijual di negerinya
masing-masing."
"Kalau begitu, mereka
memang harus segera diusir dari Tanah Jawa, Pak Tua."
"lya. Tapi siapa yang
berani? Siapa yang mampu kalahkan ilmunya Ratu Sinden, ketua mereka itu?!
Seperti kukatakan tadi, Kisanak... kalau
Pendekar Mabuk masih hidup dan ada di sekitar desa ini, pasti aku akan
meminta bantuannya untuk mengamankan desa ini. Dan menurutku, hanya Pendekar
Mabuk yang mampu kalahkan ilmunya si Ratu Sinden itu, Kisanak!"
"Pendekar Mabuk belum mati, Pak Tua."
"Hahh...?! Belum
mati?!" pemilik kedai itu terbeia- lak, tapi segera kendurkan ketegangan
kagetnya. la terkekeh pelan.
"Ah, Kisanak ini ada-ada
saja "
"Pendekar Mabuk adalah
aku sendiri, Pak Tua."
"Aah... Kisanak ini
bereanda!" sambil Pak Tua ma- kin
terkekeh geli dan menepak pelan
lengan Suto Sinting.
"Aku bersungguh-sungguh,
PakTua. Pendekar Mabuk belum mati!" "Sudah mati!
Kisanak ini kurang
mengikuti perkembangan zaman
rupanya. Atau...
terlambat mendengar kabar besar
itu? Uuh hampir semua
orang di muka bumi sudah
mendengar kabar bahwa Pendekar Mabuk sudah mati. Matinya menyedihkan sekali
"
"Pak Tua, akulah si
Pendekar Mabuk itu!"
"Sebagai pengagum
Pendekar Mabuk, aku sangat sedih begitu mendengar kernatiannya," ujar
pemilik kedai itu, seakantak mautanggapi kata-kata Suto lagi. Hal itu membuat
Suto Sinting tarik napas menahan ke- jengkelan.
"Seorang tokoh dari
Gunung Gandul yang berjuluk Dewa Kubur, ternyata gagal menyelamatkan Pendekar
Mabuk. Pemuda gagah perkasa itu tercebur masuk ke sumur tua, padahal sumur itu
tanpa dasar. Artinya, ke- dalaman sumur tak bisa diduga. Ditambah lagi, sumur
itu sekarang sudah tertimbun reruntuhan tebing. Tebing itu runtuh akibat
pertarungan Dewa Kubur dengan perempuan dari Mangol yang bernama Laksamana Tanduk Naga. Tapi kabarnya perempuan itu bisa
lolos dari ancaman maut Dewa Kubur.
Hanya saja, Lawannya Pendekar Mabuk yang kalau tak salah bernama Perwira Tombala, orang Mangol
juga, tewas di tangan
Dewa Kubur. Aah...
sayang sekali Dewa Kubur tak
bisa selamatkan Pendekar Mabuk. Coba kalau
dia bisa selamatkan Pendekar
Mabuk, pasti mereka dapat menggulung habis orang-orang Tanah Pasung!"
"Cukup, cukup...! Aku sudah dengar cerita itu, Pak Tua!"
"Naaah... sudah dengar
toh? Jadi sekarang Kisanak percaya kalau Pendekar Mabuk sudah mati?!"
"Pak Tua, coba hitung
berapa harga makanan dan minuman tuakku.
Aku mau buru-buru pergi."
"Lho, sudah sore begini
mau pergi ke mana, Kisanak? Apakah tidak sebaiknya bermalam di sini saja?"
"Aku harus segera sampai
ke Pantai Bejat!"
"Lho, mau apa ke sana?
Cari mati juga?! Lebih baik bermalam saja di sini. Kami menyediakan kamar
sewaan kok."
"Aku mau bertemu dengan
Ratu Sinden itu, Pak tua. Dua orang kenalanku ditawan oleh mereka. Aku
harus segera membebaskan
mereka dan menghentikan segala tindakan si Ratu Sinden yang merugikan pen-
duduk Tanah Jawa ini!"
Aaah, Kisanak ini selera
bercandanya tinggi sekali rupanya. Kok
seperti Pendekar Mabuk saja keberanian Kisanak."
"Aku titisan Pendekar
Mabuk!"
"Oooo... titisan?! Ya,
ampuuun... pantas Kisanak punya keberanian dan penampilan seperti almarhum
Pendekar Mabuk...?!"
Suto Sinting menggerutu dalam
hati, "Giliran mengaku titisan Pendekar
Mabuk dia percaya sekali! Uuh, dasar bodoh!"
Pendekar Mabuk memilih cepat
pergi dari kedai ketimbang harus mengalami tekanan batin terus-terusan. Yang
penting, bumbung tuak sudah terisi penuh. Ketenangan terkuasai sepenuhnya.
Walaupun hati sering berdesir pedih jika ingat namanya sudah dianggap mati,
tapi dengan menenggak tuak dari bumbung saktinya, kepedihan itu pun sirna dalam
sekejap.
Seandainya pemilik kedai itu
mau percaya bahwa Pendekar Mabuk memang masih hidup, mungkin Suto memilih untuk
bermalam di desa itu. Hari memang sudah sore, sebentar lagi akan
menjadi senja, lalu petang akan datang. Memang seharusnya beristirahat di suatu
tempat sambil mempertimbangkan, pulang ke Lembah Seram untuk obati luka Citra
Bisu atau melabrak ke Pantai Bejat,
bebaskan Kusir Hantu dan Pematang Hati.
Agaknya sikap pemilik kedai
membuat Suto tak punya pilihan untuk
lanjutkan perjalanan. Sampai di tengah jalan ia berhenti dan mempertimbangkan
langkah berikutnya. Rambutnya yang diikat ke belakang itu ingin dilepas dari
pengikatnya, tapi gerakan itu terhenti. "Ooh, mungkin karena rambutku
diikat ke belakang begini maka pemilik kedai itu tidak mengenali bahwa
diriku adalah Pendekar Mabuk?!" pikirnya, lalu tak jadi melepas ikatan
rambut.
"Berarti wajahku sedikit
berubah kalau rambut diikat ke belakang. Mungkin keadaan rambutku yang selalu
terurai tanpa ikat kepala ini menjadi ciri-ciri yang sangat dikenali oleh
mereka sebagai Pendekar
Mabuk. Hmmm... jadi kalau baju coklatku ini kuganti, celana putihku juga
kuganti, mungkin aku semakin tidak dikenali sebagai Pendekar Mabuk?! Tapi bagaimana dengan bumbung tuakku?! Pasti
akan dikenali sebagai bumbung tuaknya Pendekar Mabuk! Lalu, bagaimana jika
bumbung tuak kubalut
dengan kain, sehingga tidak semata-rnata tampak seperti bumbung tuak?
Ooh... penampilanku pasti akan berbeda lagi."
Pendekar Mabuk menetapkan
langkahnya untuk menuju ke Pantai Bejat dan membebaskan Kusir Hantu dan
Pematang Hati. Pekerjaan itu dirasakan lebih pen- ting daripada menyembuhkan luka
Citra Bisu. Toh luka gadis itu tidak akan merenggut nyawa kalau sampai dua tiga
hari baru terobati.
Suto memperhitungkan untuk
membebaskan Kusir Hantu dan Pematang Hati bukan pekerjaan yang mu-
iliih. Pasti mereka berdua dijaga sangat ketat. Tapi jika In bisa tundukkan si
Ratu Sinden, pasti anak buah Ratu Sinden akan ketakutan dan membebaskan Kusir
Hantu serta Pematang Hati.
"Jika mereka menawan
Kusir Hantu dan Pematang Hati, aku harus
bisa menawan Ratu
Sinden!" tegas Suto dalam hati. "Jika Ratu Sinden berhasil menjadi
tawananku, maka ia bisa kupaksa agar memberi perintah kepada anak buahnya untuk
bebaskan Kusir Haritu dan Pematang
Hati. Untuk dapat menawan Ratu
Sinden, sebaiknya aku tampil beda. Jangan seperti Pendekar Mabuk, nanti
belum-belum mereka sudah persiapkan ben- teng pertahanan dan itu akan
buang-buang waktu dan tenaga."
Baru saja Suto Sinting ingin
mencari sarana untuk mengubah penampilannya, tiba-tiba ia melihat sekelebat
bayangan melintas di seia- sela pohon seberang arahnya. Bayangan
hitam itu berlaritak
seberapa cepat, masih bisa diikuti dengan pandangan mata. Suto ter- peranjat sebab ia merasa kenal dengan orang yang beriari
terbirit-birit bagai dikejar setan itu.
"Kalau tak salah dia si
Sawung Kuntet?!" gumam Suto Sinting dalam
hati. Lalu ia melihat
seseorang juga yang beriari menyusul Sawung Kuntet. Orang itu berpakaian kuning
kunyit dan menggenggam kapak. la
seorang lelaki bertubuh lebih
tinggi dari Sawung Kuntet. Agaknya
lelaki itu beJ
usaha untuk membunuh Sawung Kuntet. Maka tak banyak pertimbangan lagi,
Suto Sinting segera bertinda selamatkan Sawung Kuntet, sahabatnya.
Zlaaap, ziaap...!
Dalam sekejap Suto Sinting
sudah tiba di depan langkah Sawung Kuntet. Tapi orang pendek berkumis seperti
kelelawar itu justru berteriak kaget begitu melihat siapa yang menghadang di
depan langkahnya. "Huuaaaaa...! Setaaaaaan...!!"
Sawung Kuntet lari ke arah
lain. Pendekar Mabuk tertegun sesaat, merasa aneh melihat Sawung Kuntet
ketakutan bertemu dengannya. Lalu, ia segera ingat bahwa dirinya sudah dianggap
mati, sehingga mungkin Sawung Kuntet tak percaya bahwa ia bertemu dengan
Pendekar Mabuk.
"Pantas dia bilang
'setan' sambil ngacir?!" gumam Suto Sinting sambil bergegas mengejar
Sawung Kuntet lagi.
Zlaaap, zlaaap...! Jurus Gerak
Siluman1 yang mem- punyai kecepatan
sama dengan kecepatan cahaya
itu membuat Suto Sinting dalam waktu dua kejap sudah berada di depan langkah
Sawung Kuntet. Orang yang □ ambutnya
terbelah seperti parit itu berteriak ketakutan lagi.
Huaaaaaa...! Seeee...!"
Wuuut...! Suto Sinting
menyambarnya. la melesat keatas pohon sambil membungkam mulut Sawung Kuntet
dengan tangannya. Bleeb...!
Sampai di atas pohon, Suto
Sinting berkata pelan. lauyan berteriak lagi, Bodoh! Orang yang mengejarmu
sedang kebingungan mencarimu!"
"Taap... tapi... tapi kau
sudah anu... anu...," Sawung Kuntet gugup. Kata-kata 'anu' yang selalu
digunakan sebagai pengganti kata
yang dimaksud, segera dapat
dipahami oleh Suto.
"Kau menyangka aku sudah
mati, bukan?!"
"liyy... iya...! Bukankah
memang benar kau sudah anu...?! Kudengar anumu hilang... di... di "
"Anuku. masih ada,
Tolol!"
"Maksudku, kudengar
mayatmu hilang di suatu tempat dan tidak bisa ditemukan lagi."
"Kau yakin aku
benar-benar sudah mati?" "Jus... jus... jus "
"Apanya yang
jas-jus-jas-jus ?!" hardik Suto dengan suara berbisik. "Jus... tru...
justru aku diutus Eyang Cakraduya untuk mencari anumu, eeh... mencari mayatrnu
yang "
"Ssst...! Soal itu
dibahas nanti saja!" bisik Suto sambil membungkam mulut Sawung Kuntet
lagi. "Sekarang aku ingin tahu, siapa orang yang mengejarmu itu?!"
"Dia... dia Lebak Suram.
Musuh lamaku. Aku sudah hampir lupa dengannya, tapi dia masih ingat bahwa aku
pernah membuntungi kaki adiknya. Sekarang dia man balas buntungi
anuku.... Aku tak sudi. Kalau aku
t.i punya anu, lantas
bagaimana kalau aku mau anu?!" "Yaah, pakai anu palsu, kan
bisa!"
"Husy ! Sembarangan saja
usulmu!"
"Maksudku, dia mau
buntungi kakimu, yaah... untuk sementara kamu pakai kaki palsu dulu."
"Dia bukan mau buntungi
kakiku, tapi benar-benar anuku ini yang mau dibuntungi!"
Suto menahan tawa geli dengan
menutup mulut sendiri begitu melihat tangan Sawung Kuntet meme- gangi bagian
celananya. Rupanya yang dimaksud Sawung Kuntet memang
benar-benar 'anu'-nya yang ingin dibuntungi orang Lebak Suram itu.
"Kalau anuku buntung,
mana bisa pakai anu palsu!" gerutu Sawung Kuntet.
Mereka tak sadar, bahwa orang
Lebak Suram itu sudah tiba di bawah pohon tempat mereka bersembunyi. Suara
kasak-kusuk Sawung Kuntet memancing perhatian orang tersebut, sehingga orang
tersebut mengetahui buronannya ada di atas pohon.
"Tikus sawah...! Turun
kau!" sentak orang itu membuat Suto
dan Sawung Kuntet diam serentak.
"Kalau tak mau turun,
kuhancurkan pohon ini bernama badan busukmu itu!" ancam orang tersebut.
"Kau di sini saja!"
ujar Suto, lalu ia melompat turun dari atas pohon. Wuuut...! Jleeg...! Kini ia
berhadapan dengan orang berperawakan kekar seperti potongan lubuhnya.
"Siapa kau?! Aku tak
punya urusan denganmu!" nmitak orang itu. Aku sahabatnya Sawung
Kuntet!"
"Oo, jadi kau mau bela si
tikus sawah itu?!" "Tunggu, sabar dufu. Akan kujelaskan bahwa. "
"Keparat kau! Hiaaah
!" Wees...! Orang itu menerjang Suto Sinting dengan kapak bergagang
panjang dihantamkan ke arah kepala. Suto Sinting sangat sigap. Bumbung tuak yang sudah ada di tangan
kanannya itu segera diangkat ke atas dan menahan hantaman kapak tersebut.
Traang...! Wuuut...! Tangan orang itu terpentak kelar ke belakang, seperti
menghantam sebongkah karet membal. la
sempat sempoyongan mau tumbang ke belakang.
".Jangan menyerangku
dulu, Sobat! Aku mau bicara secara
damai!" ujar Suto Sinting. Tapi emosi orang itu tampaknya sukar
dibendung lagi, sehingga ia tak menghiraukan ucapan Suto sedikit pun.
Kubabat habis kau bersama
tikus botak itu, heeaaah...!"
Tees, tees...! Suto Sinting
kirimkan jurus Jari Guntur -nya. Dua sentilan bertenaga dalam itu dilepaskan ke
arah dada orang itu. Gerakan melayang orang itu tersentak dan menjadi oleng ke
belakang karena dada nya terkena sentilan jurus Jari Guntur'.
la merasa seperti ditendang kuda jantan dua kali di bagian dada.
Brruuk...! Orang itu pun
tumbang. Napasnya ter sengal-sengal lima kali, kemudian terkulai lemas. Ia
pingsan tanpa malu-malu lagi. Dadanya tampak membiru akibat sentilan Jari
Guntur' tadi.
"Bandel! Kubilang bicara
saja secara damai, malah ngotot! Yah, beginilah akibatnya. Rasakan
sendiri!" gerutu Suto Sinting sambil memperhatikan orang tersebut.
Sementara itu, Sawung Kuntet melompat turun dari atas pohon. Wuuut...! Gedebuk...!
"Adaaoow...!" Sawung
Kuntet dalam posisi pung- gung duluan. Suto Sinting hanya memandang dengan
senyum geli.
Tapi ketika ia kembali
memperhatikan orang ber- pakaian kuning
kunyit itu, tiba-tiba terlintas gagasan untuk mengambil pakaian orang tersebut.
"Ukuran badannya sama
denganku. Tingginya juga sama. Hmmm... kurasa sebaiknya aku menukar pakaianku
dengan pakaian orang ini saja?!" pikir Suto saat itu.
Melihat Suto Sinting melepasi
pakaian orang tersebut, Sawung Kuntet terbelalak kaget. la buru-buru
dekati Suto dengan sedikit terpincang-pincang karena jatuh tadi.
"Gila kau, Suto. Sudah
tak waras lagi apa? Kau mau anu-anukan orang
itu?!"
"Gundulmu! Aku bukan
banci, Tolol!"
"Lalu... lalu kau mau
apakan dia?! Mengapa kau copot anunya?" "Anunya tidak kucopot! Hanya
pakaiannya yang kulepasi!" "lya, maksudku untuk apa kau copoti
pakaiannya?!" "Aku ingin bertukar pakaian dengannya."
"Maksudmu... kau bosan
dengan warna pakaianmu itu?!"
Pendekar Mabuk akhirnya
menjelaskan rencananya secara rinci.
la juga menjelaskan nasibnya yang
masih mujur dan tidak mati seperti yang dikabarkan dari mulut ke mulut itu.
"Jadi... kau ingin anukan
si Kusir Hantu dan cucunya?! Kau ingin menyamar dengan anu berbeda agar bisa
dekati Ratu Sinden?"
Bukan dengan anu berbeda.
Anuku tidak akan berbeda, yang berbeda penampilanku."
"lya. Maksudku juga
begitu!"
"Kuharap kau bisa
membantuku, Sawung Kuntet."
"Baik. Akan kubantu, asal
setelah itu kau harus temui Candu Asmara, cucu Eyang Cakraduya itu."
"Ada apa dengan Candu
Asmara?"
"Dia sakit begitu
mendengar kabar kematianmu. Anunya panas." "Husy...! Apa kau pegang
anunya, kok tahu kalau panas?"
"Maksudku, badannya
panas!" sentak Sawung Kuntet jengkel sendiri jika yang diajak bicara tak
me- ngerti maksudnya.
Tapi ia segera tertawa begitu
melihat Suto Sinting mengenakan baju lengan panjang dan celana longgar warna
kuning kunyit. Menurutnya, penampilan Suto lucu dan kaku. Tidak seperti
biasanya.
"Lalu bagaimana dengan
orang ini, ya?" gumam Suto Sinting sambil memperhatikan si pemilik pakaian
kunyit. Beruntung orang itu mengenakan celana kolor sebagai rangkapan
pakaiannya, sehingga ketika baju dan celana kuning kunyitnya diambil, ia tidak
teianjang bulat-bulat. Tapi menurut Sawung
Kuntet, keadaan orang itu tidak perlu dipikirkan lagi.
"Orang-orang Lebak Suram
itu pencuri semua! Mereka biasa mencuri barang-barang penduduk mana saja. Biar
sekarang dia merasakan bagaimana sedihnya jika anunya dicuri orang. Maksudku,
pakaiannya...!"
"Tapi kasihan dia. Pasti
akan kebingungan kalau nanti dia pingsan dan mendapatkan pakaiannya tak ada.
Biarlah kutinggalkan saja baju dan celanaku ini sebagai gantinya!"
Pendekar Mabuk pun bergegas
pergi. Sawung Kuntet mengikutinya. Tapi tanpa setahu Suto, baju coklat dan
celana putih kusam itu diambil lagi oleh Sawung Kuntet. Digulung sekecil
mungkin dan diikat dengan tali dari akar
lentur. Setelah agak jauh melangkah, Suto baru menyadari bahwa baju dan
celananya dibawa oleh Sawung Kuntet.
"Pulangkan ke sana!
Kasihan orang itu nanti kalau siuman tak punya pakaian."
"Dia sendiri tak pernah
kasihan kepada penduduk desa yang selalu dicuri barang-barangnya, masa' kita
harus anu sama dia?!" bantah Sawung Kuntet. "Sudahlah, urusan itu
urusanku. Kalau memang dia mau tuntut pakaiannya yang hilang, biar dia yang
menuntutku. Aku tidak takut dengan anunya "
"Anunya lagi, anunya lagi
"
"Maksudku, tidak takut
dengan tuntutannya!"
Bumbung tuak pun dibungkus
rapi dengan lembaran-lembaran batang pisang kering. Sepintas tak terlihat bahwa
benda itu adalah bumbung tuak. Rambut Suto dirapikan ke belakang, diikat mode!
ekor kuda. Bain kuning kunyit lengan panjang sedikit digulung le- ngannya
sampai mendekati siku.
"Aku punya gagasan
baru!" ujar Sawung Kuntet. "Bagaimana jika kubuatkan anu dari getah
pohon Sing- kalang?!"
"Aku sudah punya anu,
kenapa mau kau buatkan anu lagi?"
"Maksudku, dibuatkan tato
dengan getah pohon Singkalang. Bisa dipakai untuk mempertebal alismu
juga."
"Bisa hilang?"
"Jika kena air memang
lama-lama akan anu. Tapi setelah empat-iima hari baru bisa luntur dan anu
sendiri.""
"Boleh juga," jawab
Suto sambil tertawa geli mom bayangkan usul Sawung Kuntet itu.
Salah satu kepandaian Sawung
Kuntet, selain llmu
kanuragan setengah matang, ia
juga pandai melukis. ia bisa membuat tato dengan gambar bagus di dada Suto
Sinting.
"Tatonya gambar perkutut
saja, ya?" ujar Suto mengusuikan pada Sawung Kuntet.
"Perkutut ?! Uuuh, tato
kok gambar perkutut! Ku- rang sangar!"
"Kalau begitu gambar
kuburan saja."
"Uuh norak!"
"Hmmm, bagaimana kalau
gambar ketupat rebus?!"
"Haah, haa, haa,
haa...," Sawung Kuntet tertawa geli. "Ketupat dan sambal gorengnya,
begitu?!"
Suto pun geli juga
membayangkannya. "Gambar tato harus berkesan angker. Misalnya kepala
macan, atau kapala... kepala... anu... maksudku, kepala..."
"Kepala nenekmu saja,
bagaimana?!" sela Suto dengan konyol. Sawung Kuntet bersungut-sungut
menggerutu. Akhirnya, soal gambar tato
diserahkan kepada Sawung Kuntet. Suto ikut saja
dengan gagasan lelaki yang berpakaian serba hitam itu.
Agaknya Suto Sinting tidak
kecewa setelah Sawung Kuntet selesai kerjakan gambar tato dari getah pohon
Singkalang. Tato itu bergambar seekor kuda jantan mengangkat kedua kaki
depannya. Tidak terlalu besar, tapi cukup jelas jika belahan baju Suto tidak dirapatkan.
Alis Suto pun dipertebal
dengan getah pohon Singkalang yang berwarna biru, lama-lama menjadi berwarna
kehitaman. Alis itu selain tebal juga sedikit naik, sehingga wajah Suto Sinting
tampak lebih beda dari biasanya.
"Kumis bagaimana?"
"Jangan, nanti kelihatan
palsu," tolak Suto.
"Diberi bintik-bintik
saja, jadi seperti kumis dan cambang habis di- anu... maksudku, habis
dikerok."
"Boleh, boleh...!"
ujar Suto dengan semangat. la tertawa geli lagi.
la sempat bercermin lewat
genangan air di sawah-sawah. Semakin geli melihat perubahan wajahnya. Tampan
tapi berkesan agak liar sedikit. Tak mudah orang mengenalinya sebagai Pendekar
Mabuk. Apalagi ia mengenakan akar bahar sebesar kelingking yang melingkar di
lengan kirinya. la tampak lebih perkasa lagi, walau berkesan ganas. 5
Sawung Kuntet
membayang-bayangi dari kejauhan. Mereka tiba di Pantai Bejat pada hari
berikutnya, sebab malam itu Suto Sinting bertemu dengan Ki Partolo, paman dari
Mayangsita. Mereka sempat berbincang- bincang di rumah sahabatnya Ki Partolo
tentang kekuatan si Ratu Sinden.
Waktu itu, Mayangsita berada
di kediaman gurunya. Jadi gadis penggugup dan latah itu tidak sempat bertemu
Suto Sinting. Esoknya Suto berangkat berdua dengan Sawung Kuntet. Tetapi jarak
mereka berjauhan. Sawung Kuntet ditemani oleh Ki Partolo, di mana keduanya akan
berlagak tidak kenal dengan pemuda berpakaian kuning kunyit, alias Suto
Sinting.
Pantai Bejat memang tempat
berlabuhnya kapal- kapal dagang dari berbagai daerah. Mereka datang ke Pantai
Bejat karena hutan wilayah Pantai Bejat banyak ditumbuhi rempah-rempah.
Desa-desa di sekitar Pantai Bejat adalah desa subur-makmur, banyak petani
palawija yang menjual hasil pertaniannya kepada para pedagang dari seberang.
Tetapi Pantai Bejat juga
mempunyai sisi lain. Tempat yang sepi dan berhutan liar itu terletak agak jauh
dari bandar pelabuhan
yang sebenarnya. Tempat itu berada di ujung teluk yang membelok ke
arah barat. Di sanalah
orang-orang Tanah Pasung melabuhkan kapal mereka. Satu kapal besar dan empat perahu
berlayar tunggal ditambatkan di pantai berdinding karang tak terlaiu tinggi.
Mereka bisa melompat dari tepian karang ke tepian kapal atau perahu.
Gubuk-gubuk darurat didirikan
oleh mereka di tepian hutan pantai. Mereka menggunakan rumbia sebagai dinding
dan atap gubuk. Agaknya tak satu pun orang bandar pelabuhan yang berani
mendekati ke pe- mukiman orang-orang Tanah Pasung itu. Bahkan jika orang Tanah
Pasung datang ke bandar pelabuhan yang ramai itu, orang-orang yang tinggal di
sekitar situ diliputi rasa was-was dan cemas.
"Mereka seperti iblis!
Sering bikin keonaran, dan tak segan-segan membunuh orang tak bersalah!"
ujar seorang pemilik kedai yang berbadan gemuk itu.
Sebelum mendekati daerah
gubuk-gubuk liar orang Tanah Pasung,
Suto sengaja sempatkan singgah di sebuah kedai yang tergolong bersih dan
tempatnya cukup lebar. Selain makan dan minum, Suto juga bermaksud mencari
kabar tentang keadaan di pantai ujung sana. "Jika siang begini,
iblis-iblis itu pergi mencari harta karun. Menjelang sore mereka pulang."
"Berhasilkah mereka
mendapatkan harta karun itu?"
"Setahuku tak pernah
berhasil. Tapi mereka agaknya juga tak mudah menyerah."
"Kudengar mereka
menangkap dua orang yang dapat dijadikan
pemandu jalan menuju goa penyim- panan harta karun itu?" pancing Suto.
"Ya, kudengar memang
begitu, Nak. Tapi entah bagaimana hasiinya. Mungkin mereka tangkap orang yang
salah. Toh nyatanya sampai sekarang tak
ada kabar bahwa mereka telah dapatkan harta karun itu,"' ujar si
pemilik kedai yang berusia sekitar empat puluh lima tahun.
"Beberapa hari yang
lalu...," sambung si pemilik kedai. "... ada seorang pemuda yang mau
coba-coba membebaskan kedua tawanan itu. Dari sini terdengar ledakan beberapa
kali dan pekik pertarungan. Tapi... entah bagaimana nasib pemuda itu. Mungkin
mati, mungkin juga meiarikan diri, karena si Ratu Sinden itu ilmunya memang
hebat!"
Pendekar Mabuk termenung
sesaat. Lalu ia ingat dengan sahabatnya yang tunanetra.
"Mangku Randa...?! Ya,
kurasa yang dimaksud pemilik kedai ini
adalah si Mangku Randa. Sebab waktu
berpisah denganku, dia bertekad mengejar orang- orang Tanah Pasung. Selain
ingin bebaskan Kusir Hantu
dan Pematang Hati, ia juga ingin balas dendam atas kematian ibunya yang
dibunuh Ratu Sinden. Tapi... bagaimana nasib anak itu sekarang?"
Suto Sinting agak mencemaskan
keselamatanMangku Randa. Pemuda anak mendiang Nyai Sindang Rumi itu sangat
berapi-api mencari pembunuh ibunya. Setelah diketahui si pembunuh adalah Ratu
Sinden, ia bertekad membalas kematian ibunya dengan berusaha membunuh Ratu
Sinden, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Lembah
Seram"). Tapi hati kecil Suto sangsi dengan kemampuan Mangku Randa untuk
kalahkan si Ratu Sinden. Lebih-lebih sampai saat Suto lolos dari lorong maut,
ia belum bertemu dengan pemuda itu, atau mendengar kabar yang pasti tentang
Mangku Randa.
"Kalau kau mau menyewa
kamar di atas, masih ada tiga kamar yang kosong, Nak," bisik si pemilik
kedai.
"Kupertimbangkan dulu,
Paman. Jika memang aku butuh bermalam di sini, aku akan bilang padamu!"
"Untuk sementara Jangan
bicara dulu tentang orang-orang Tanah Pasung." "Mengapa begitu,
Paman?"
"Dua orang Tanah Pasung
baru saja masuk kemari," bisik si pemilik kedai sambil melirik ke arah
pintu masuk. la pun bergegas pergi, berlagak menyambut kedua tamu itu dengan
ramah. Suto Sinting memperhatikan kedua
orang tersebut. Satu di antaranya pernah dilihat wajahnya saat ia
dan Mangku Randa dikepung oleh mereka.
Suto Sinting berlagak tak
peduiikan kemunculan dua orang itu. Tapi diam-diam ia gunakan ilmu 'Sadap Suara
yang membuatnya dapat mendengarkan percakapan dari jarak jauh.
"Apakah kau percaya
dengan pengakuan tawanan kita itu?!"
"Kurasa dia sudah bicara
apa adanya. Dia memang tidak tahu tentang Goa Kembar. Tapi dia kenal orang yang
rnengetahui goa itu. Dia tak mau terlibat urusan ini, sehingga menyebutkan nama
Pendekar Mabuk sebagai orang yang menjadi kunci di mana harta karun itu
tersimpan."
Hati Suto pun kaget mendengar
namanya disebut- kan. Tapi ia tetap bersikap tenang. Meneguk tuak dari cangkir
dan menikmati pisang goreng dengan santai sekali.
"Tapi menurut teman kita
yang kemarin ditugaskan memeriksa tebing itu, ternyata tebing itu sudah runtuh.
Mestinya pintu masuk ke goa
tersebut juga sudah ter- himpit reruntuhan."
"Bukankah tawanan kita
bilang, masih ada pintu rahasia yang hanya diketahui oleh Pendekar Mabuk?!
Jadi, kurasa Nyai Ratu Sinden berikan perintah yang benar. Menangkap Pendekar
Mabuk dan memaksanya bicara adalah langkah yang paling tepat."
"Tapi kudengar Pendekar
Mabuk ilmunya cukup tinggi. Kurasa kalau yang ditugaskan menangkap Pendekar
Mabuk adalah diriku, maka aku lebih baik berpu- ra pura gagal walaupun sudah
adu muka dengan Pendekar Mabuk."
"Dasar pengecut!"
"Masalahnya... aku belum
kawin, masa' aku harus mati muda di tangan Pendekar Mabuk. Aku yakin ilmuku tak
ada sekuku hitamnya dengan Pendekar Mabuk!"
"Makanya, Nyai Ratu
sendiri turun tangan mencari Pendekar Mabuk!
Tidak hanya mengandalkan
kita-kita orang!"
Diam-diam Suto sunggingkan
senyum tipis mendengar percakapan kedua orang itu.
"Kurasa ini
akal-akalannya Kusir Hantu," ujar Suto membatin, "Dia punya siasat
menjebak Ratu Sinden agar berhadapan denganku. Hmmm... boleh juga siasatnya
itu. Tapi, mengapa bukan dia sendiri yang bertarung menghadapi Ratu Sinden?
Mengapa Kusir Hantu tidak memberontak, setidaknya mengadakan perlawan- an atas
penangkapannya itu?! Jangan- jangan dia me- nyimpan rahasia yang membuatnya tak
berani melawan Ratu Sinden?!"
Tiba-tiba dua orang Tanah
Pasung itu tampak terburu-buru ingin segera pergi. Bahkan mereka tak
meninggalkan uang sebagai biaya makan- minum mereka di kedai itu. Tiga pemuda
pelayan kedai melihat kepergian mereka. Salah satu ingin mengejar dua orang
tersebut, tapi pemilik kedai yang gemuk segera membe- rikan isyarat dengan
kepala menggeleng. Pelayan
tersebut tak jadi mengejar dua orang Tanah Pasung.
"Hmm... enak sekali
mereka. Makan tinggal makan minum
tinggal minum, tahu-tahu pergi begitu saja. Tanpa ucapan terima
kasih sedikit pun,'' gumam hati Suto Sinting.
"Rasa-rasanya perlu diberi pelajaran biar mereka tahu aturan
sedikit!"
Suto Sinting ingin lepaskan
sentilan Jari Guntur'- nya. Tetapi perhatiannya segera tersita oleh kemunculan
seorang perempuan cantik berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Perempuan itu
muncul dari pintu te- ngah, sedangkan dua orang tadi keluar dari pintu samping.
"Edan! Dewi apa ini yang
turun ke kedai?! Dewi nasi liwet atau
dewi teh tubruk?!" puji Suto dalam
hatinya, karena perempuan berpakaian ketat mengkilap berwar- na merah muda itu
memang berparas cantik sekali. Be- berapa lelaki yang ada di kedai itu
menatapnya tidak berkedip, termasuk Suto
Sinting.
Pancaran pesona dari wajah dan
tubuhnya yang sirital itu mempunyai daya tarik sekuat magnet kutub utara.
Semerbak wangi rempah-rempah bercampur melati menyebar di seluruh ruangan makan
kedai tersebut. Karenanya, niat Suto memberi pelajaran kepada dua orang Tanah
Pasung itu menjadi batal total. Pandangan matanya bagai lengket tertuju pada
langkah perempuan cantik berhidung mancung dan berbibir sedikit tebal tapi
berbentuk indah menantang gairah.
Gaun ketatnya yang berwarna
merah jambu itu berpotonganterusan. Mempunyai belahan panjang dari bawah sampai
ke pertengahan paha. Saat ia melang-kah,
belahan gauri ketatnya itu tersingkap-singkap, membuat paha dan betisnya yang putih mulus
itu menjadi incaran mata para lelaki, termasuk Suto Sinting.
"Sayang lagaknya
kelihatan angkuh dan sombong, mengurangi
nilai daya tariknya," ujar
Suto dalam hati. "Tapi... bentuk matanya yang indah dan sedikit sayu itu
seakan mampu menyingkirkan kesan
angkuhnya. Hmmm... siapa perempuan ini?!"
Rambut disanggu! rapi, giwang
berkeriiap beriian, kalung berbandul batu permata, gelang pun berhias permata,
ditambah jubah perangkap gauh berwarna ungu muda, maka tampaklah ia sebagai
perempuan kaya yang gemar pamer kekayaannya. Jubah ungu mudanya
dihiasi bulu-bulu iembut pada tepiannya.
Bulu- bulu iembut dan tampaknya haius itu berwarna ungu tua. Jubah tipisnya yang beriengan
panjang seakan hanya sebagai hiasan pelengkap busana saja. Sebab tipisnya kain
jubah membuat bentuk
tubuhnya yang berda- da montok dan berpinggul meliuk sekal itu tetap
tam- pak jelas dari luaran.
Hanya saja, tidak semua lelaki
di dalam kedai itu berani
memandangnya secara
terang-terangan. Kebanyakan mereka melirik dengan sembunyi-sembunyi, ada yang
berpura-pura sambil mengambil kerupuk, ada yang berlagak sambil meneguk
minumannya, ada pula yang seolah-olah sedang mengamati cincin di jarinya sendiri.
Hanya satu-dua yang berani memandang terang-terangan termasuk Suto.
Pandangan mata Suto terpaksa
terang-terangan sebab perempuan itu berjalan melintas di depan meja- nya, lalu
menemui si pemilik kedai yang gemuk itu. Saat perempuan itu melintas di
depan Suto, matanya
yang sedikit sayu melirik nakal kepada Suto Sinting. Senyum tampak mekar dengan tipis. Hampir tak terlihat.
Tetapi Pendekar Mabuk terang-terangan sunggingkan senyum tanpa canggung-canggung.
Saat lirikan nakal perempuan
itu belum berakhir, Suto sudah buang pandangan ke arah pisang goreng yang
tersaji di depannya. Dengan cuek ia menyantap pisang goreng, tanpa melirik ke
arah perempuan itu lagi. Tapi telinganya masih mendengar suara si perempuan
saat bicara kepada pemilik kedai.
"Kudengar kedaimu ini juga
penginapan, Pak Gemuk?"
"Oh, hmm, iya... benar.
Kami menyewakan kamar- kamar di Soteng
atas! Apakah... apakah "
"Apakah tempat ini
aman?" sahut perempuan itu. "O, iya.,. tentu aman!"
"Aku ingin menyewa
satu kamar untuk bermalam beberapa hari." "Baa...
baik, akan kusuruh pelayan menyiapkan lebih rapi lagi Nona...
eh, Nyai... eeh, Ibu...
eh...," Pak Gemuk serba saiah memberi sebutan pada perempuan itu. Kemudian
ia memanggil peiayannya dan menyuruh peiayan mengantar perempuan itu ke kamar
sambil merapikan kamar tersebut. Sebelum pergi ikuti pelayan, perempuan itu
terde- ngar berkata kepada Pak Gemuk.
"Apakah kau menyewakan
tenaga keamanan?" "Mak... maksudnya... maksudnya pengawal
pribadi?"
"Betul. Aku butuh
pengawal pribadi yang berani menjamin keselamatan jiwaku selama bermalam
di penginapanmu!"
"Hmm, eeeh... nanti akan
kucarikan. Segera akan kukirim seseorang sebagai pengawal pribadimu, Nyo- nya,
eeh... Nona... eeh, Nyai... eeh, hmm, anu...,'
"Kirim pengawal
secepatnya ke kamarku! Cari yang tangguh dan
berilmu tinggi!"
"Baa., baik!" Pak
Gemuk membungkuk-bungkuk penuh hormat.
Perempuan itu naik ke tangga
kayu berukir yang ada di sisi kiri
ruangan. Tepat berhadapan dengan tempat duduk Suto. Tetapi Suto Sinting acuh
tak acuh, me- nyantap pisang gorengnya sambil
mencuil-cuil tepung yang
membungkus pisang tersebut.
Namun sebenarnya ekor mata
Suto masih memper hatikan langkah perempuan cantik itu saat menaiki tangga
menuju ke loteng atas. Suto pun tahu perempuan itu sempat memperhatikan ke arahnya lagi sebelum menghilang di ketinggian
loteng. Namun pemuda konyol itu tetap berlagak tak merasa dipandangi.
Lenyapnya perempuan itu,
membuat orang-orang yang ada di kedai saiing berkasak-kusuk. Masing-masing
memberikan pujian, penilaian, pendapat
dan sebagainya. Bahkan ada yang bicara tentang khayalan me- sumnya hingga
timbulkan gelak tawa di antara teman semeja.
Suto hanya diam, membatin
dalam hatinya, "Cantik sekali dia. Daya pikatriya sangat tinggi. Jantungku
sam- pai berdetak-detak kencang begini, pertanda ia mempunyai daya pikat yang
memang tinggi. Seperti sebongkah besi semberani yang ingin menarik sebatang
jarum. Sukar sekali dilawan atau dihindari."
Pendekar Mabuk segera tuangkan
tuak dari dalam bumbungnya. Padahal tuak dalam cangkir masih ada sedikit. Tapi
dengan meminum tuak dari
dalam bumbung saktinya, waiau dituang ke daiam cangkir lebih dulu, tetap
saja akan mempunyai khasiat tersendiri.
Debar-debar dalam dadanya
mulai reda. Detak jantung menjadi normal kembali. Daya pikat yang tadi seperti
besi semberani itu bisa diatasi
dengan ketenang- an. Tuak itulah yang menenangkan jiwa dan batin Pen-
dekar Mabuk. Beberapa saat setelah itu, pelayan yang mengan- tarkan perempuan
cantik tadi turun dari loteng. la lang- sung menemui Pak Gemuk dan
berbisik-bisik sebentar. Kemudian Pak Gemuk datang menemui Suto Sinting dan
bicara dengan suara membisik pula.
"Perempuan tadi ingin
bicara denganmu, Nak."
Tentu saja kabar itu
mengejutkan Suto walau tak sampai tersentak kaget. ^
"Aku tidak kenal
dengannya."
"Dia ingin menyewamu sebagai
pengawal pribadi,Nak."
"Menyewaku...?! Ooh, dia
pikir aku berilmu
tinggi seperti yang
diharapkannya?!" Suto
Sinting tertawa pendek seperti orang menggumarn. "Paman, katakan
kepada dia, aku tidak
sanggup menjadi pengawal
pribadinya. Aku takut
mati!"
"Oh, tolonglah, Nak...
temui saja dia dan katakan sendiri
penolakanmu. Jangan kami yang mengatakan- nya, nanti dia kecewa dengan
pelayanan kami dan pin- dah ke penginapan lain, Nak."
Suto menghembuskan napas
panjang. "Baiklah kalau semua ini demi pelayanan usahamu, Paman. Akan
kutemui dia dan kukatakan sendiri penolakanku!"
"Ooh, terima kasih...
terima kasih...!" Pak Gemuk tampak girang sekali. Rupanya ia benar-benar
takut tamu kaya itu kecewa karena menganggap pelayanan- nya kurang memuaskan.
Hanya disuruh memanggilkan seseorang saja tak mampu, tentu saja hal itu akan
rne- ngecewakan si tamu kaya tersebut.
"Kasihan si Paman Gemuk
itu. Kalau tamu kaya itu kecewa, lalu pindah penginapan, jelas si Paman Gemuk
akan merasa kurugikan," pikir
Suto Sinting sambil me- naiki
tangga menuju loteng, diantar oleh
pelayan yang tadi membawa
perintah dari perempuan cantik itu.
Kamar perempuan cantik itu
terletak di ujung tang- ga. Hanya lima iangkah dari ujung tangga. Si pelayan
mengetuk pintu, lalu terdengar seruan suara wanita dari dalam kamar.
"Masuuuk...!"
Pelayan pun pergi. Suto
Sinting membuka pintu itu sendiri dan berdiri di ambangnya. Si perempuan sudah
tak mengenakan jubah, hanya gaun terusan
tanpa le- ngan warna merah jambu mengkilap, seperti terbuat dari kain satin
bermotif bunga kecil-kecil. Senyumnya tipis dan dingin saat menyambut
kemunculan wajah Suto Sinting dari balik pintu. la berdiri di dekat jendeia
yang menghadap ke barat. Rupanya ia tadi sedang menikmati pemandangan pantai
barat melalui jendeia kamar tersebut.
"Masuklah, jangan di
pintu saja!" ujarnya bernada perintah. Kesan ramahnya tak ada. Suto
Sinting sedikit kikuk karena hati kecilnya merasa tak suka diperintah
demikian. Tapi rasa ingin tahu siapa perempuan
cantik itu membuat hati kecilnya
mengalah dan tak mau peduii dengan sikap kurang ramah itu.
"Tutup pintunya!"
perintah perempuan itu lagi. Suto Sinting menutup pintu dengan menyimpan rasa
dong- kol dalam hatinya. Rasa dongkol itu segera lenyap setelah perempuan itu
duduk di tepian ranjang berkasur lebar. Dari sana matanya yang sayu pandangi
Suto tak berkedip. Suto Sinting menelan napas untuk mene- nangkan
kegundahan dalam hatinya.
"Mengapa kau memanggilku,
Nona?! Kurasa, kita tidak saling kenal," ujar Suto sedikit kaku.
"Namaku Yunda. Kau boleh
memanggilku Yunda saja. Tak perlu embel- embel Nona, atau Nyai atau seje-
nisnya. Yunda saja cukup!"
"Yunda...?!" gumam
Suto Sinting mengulang, seakan mencatat
nama itu dalam ingatannya.
"Duduklah...!" Yunda
menyilakan Suto duduk. Tak jauh
dari ranjang ada kursi ukir
berbantalkan busa merah. Tapi Suto Sinting tidak duduk di situ, la berjalan de-
kati jendela, memandang ke arah luar. Dari tempatnya tampak suasana Pantai
Bejat sebelah barat yang dihuni oleh gubuk-gubuk orang Tanah Pasung. Tapi
perhatian Suto tidak sedang ke arah sana sepenuhnya. Separoh perhatiannya
tertuju pada Yunda.
"Kau punya nama?"
"Tentu saja punya,"
jawab Suto sambil berpaling menatap Yunda. "Siapa namamu?"
Suto tak langsung menjawab. la
ingat sedang laku- kan penyamaran, sehingga ia harus mengubah namanya juga agar
tak dikenali orang.
"Namaku... Kanda. Hmm,
lengkapnya... lengkapnya Panji Kanda," Suto ingat Panji Klobot.
la tambahkan lagi, "Tapi
orang sering memanggilku dengan nama Kanda. Dan memang di antara para pe
ngembara, aku dikena! dengan nama Kanda."
"Yunda dan Kanda...?!
Aneh sekali?!'' perempuan itu sunggingkan senyum kecil. "Sepertinya kita
sudah dijodohkan untuk saling bertemu di sini." "Ah, tidak juga!"
sangkal Suto Sinting. "Sebelum hari menjadi sore, aku sudah harus tinggalkan pantai
ini."
"Ke mana...?"
"Lanjutkan
pengembaraanku!" jawab Suto berlagak sebagai pengembara.
Yunda bangkit dan dekati Suto.
"Kuharap tak perMu buru-buru lanjutkan perjalanan. Aku butuh seorang pe-
ngawal pribadi."
"Aku bukan seorang
pengawal," ujar Suto sambil beradu pandang. "Tapi aku yakin kau mampu menjadi
seorang pengawal pribadi bagi
perempuan seperti
diriku!"
Kepala menggeleng, bibir
sunggingkan senyum kalem. Mata perempuan itu makin sayu, bagaikan terbius oleh
senyum Suto. Padahal senyuman itu wajar- wajar saja. Tak menggunakan jurus
'Senyuman Iblis' pemberian Bidadari Jalang. Jurus senyuman itu dapat membuat
perempuan mana pun menggelepar-gelepar dihujani gairah ingin bercumbu dengan
Pendekar Ma- buk.
"Kau keliru, Yunda. Aku
bukan orang berilmu tinggi. Menjamin keselamatanku sendiri belum tentu mampu,
apalagi menjamin keselamatan orang lain!"
Pintu diketuk, pelayan masuk
membawakan mi- numan. Setelah itu pergi
lagi. Yunda menuangkan minuman teh ke dua cangkir. Suto Sinting masih pandangi ombak di lautan jauh
yang bergulung-gulung.
Yunda menawarkan minuman itu.
Suto mendekati meja dan memaksakan diri
untuk meneguk teh hangat. Padahal sebenarnya ia
tak doyan air teh, karena sudah
terbiasa dengan tuak. Tapi demi melengkapi penyamarannya, ia harus paksakan
diri untuk seolah-olah terbiasa minum teh.
"Benda apa yang kau
bawa-bawa itu?" tanya Yunda menatap bumbung
tuak yang dibungkus gedebong
pisang kering dan diikat kuat-kuat serta rapi itu.
"Perbekalanku dalam
pengembaraan," "Apa isinya?"
"Madu...!" jawab
Suto Sinting.
"Madu...?! Ooh, pantas
badanmu kelihatan kekar, rupanya kau suka minum madu?"
"Aku juga suka makan
sarang lebah madu. Aku masih menyimpan
sarang lebah itu, lengkap dengan lebahnya. Kau mau?" "O,
tidak! Jangan kau buka di sini! Aku paling takut dengan lebah!" tolak
Yunda sambil sembunyikan se- nyum geli. la agak jauhi Suto,
lalu duduk di kursi ukur
berbantalan busa merah.
"Kanda, sesungguhnya aku
benar-benar butuh seorang pengawal pribadi. Dan saat di bawah tadi, hatiku
mengatakan bahwa kauiah orang
yang pantas menjadi pengawal pribadiku." "Sekali lagi kukatakan, aku
tidak bisa menjamin nyawaku sendiri!" "Seorang pengawal pribadi tidak
harus bertarung melawan bahaya."
Pendekar Mabuk mendekat.
Bumbung tuaknya di- letakkan tak jauh dari ranjang, bersandar dinding. la du-
duk di tepian ranjang, karena posisi duduk Yunda mulai bertumpang kaki. Belahan
gaunnya tersingkap, kemulusan pahanya terpampang jelas. Mata Suto ingin
memandang lebih jelas lagi. Karenanya ia duduk di tepian ranjang.
"Lalu apa tugas seorang
pengawal pribadi, jika bukan bertarung melawan bahaya?"
Dengan wajah sedikit terangkat
berkesan angkuh, Yunda menjawab dengan nada datar.
"Menyelamatkan hati yang
sedang kesepian, mene- mani jiwa yang sendirian, dan banyak lagi yang bisa
dilakukan oleh seorang pengawal
pribadi."
Suto Sinting tersenyum lebar,
tak memberi komentar.
"Kusediakan upah besar
untukmu, jika kau mau mengawal hatiku, Kanda!"
Suto makin lebarkan senyum,
lalu gelengkan kepala.
"Tawaranmu memang sangat
menantang danmenggoda, Yunda. Tapi aku
tak bisa menerimanya. Aku tak bersedia menjadi pengawal hatimu. Aku bukan pria yang bisa dibeli, Yunda!"
Suto meneguk teh hangatnya,
karena Yunda juga meneguknya pula. "Maaf, aku tidak bermaksud membelimu,
Kanda. Aku mencoba
memberikan sesuatu agar kau
tak mera- sa kurugikan. Jika upah
membuat kau merasa kubeli, bagaimana kalau... kau menjadi temanku saja? Mene- maniku
selama beberapa hari."
Si pemuda diam dan berpikir
sesaat. Yunda merasa punya kesempatan mempengaruhi pikiran tersebut.
"Di sini aku tidak punya
teman, Kanda. Setidaknya aku butuh seorang teman untuk bertimbang rasa."
"Sebenarnya kau datang
dari mana, Yunda?" "Dari...," Yunda diam sejenak, berjalan ke
meja, meletakkan cangkir minumnya. Lalu ia duduk di samping Suto. Kaki kiri
ditumpangkan di kaki kanan. Sema- kin jelas kulit pahanya di depan Suto
Sinting, semakin berdebar hati Suto
dibuatnya.
"Terus terang saja,
Kanda... sebenarnya aku dari
Pegunungan Gobi. Aku mencari
ayahku yang kabarnya berada di Tanah Jawa ini. Ayahku, yang tentunya sekarang
sudah lanjut usia itu, dulunya ia seorang panglima di negeri Hastamanyiana. "
Suto Sinting tersentak
mendengar nama Hastamanyiana disebutkan. Tapi ia dapat meredam rasa kagetnya
itu dalam hati, sehingga mimik wajahnya tampak biasa-biasa saja.
"Tapi kudengar,"
lanjut Yunda. "... Hastamanyiana telah lama hancur. Seorang kenalan ibuku
belum lama ini mengatakan, ia melihat bertemu
dengan ayahku di Tanah Jawa dalam keadaan tua sekali."
"Siapa nama ayahmu?"
Setelah diam dua helaan napas
dan sedikit tunduk- kan
kepala, seakan membendung rasa dukanya, Yunda pun sebutkan nama ayahnya
dengan suara pelan.
"Ayahku bernama Gila
Tuak!"
"Hahh ?!"
Kali ini Suto Sinting tak bisa
menahan rasa kaget- nya. Matanya tlrbelalak lebar dan wajahnya semburat merah.
la nyaris tak percaya
dengan pendengarannya sendiri saat Yunda menyebutkan nama gurunya: si
Gila Tuak alias Ki Sabawana itu. Namun ia buru-buru sadar akan penyamarannya
sehingga rasa kagetnya cepat dikuasai.
"Mengapa kau terkejut,
Kanda? Apakah kau kenal dengan nama Gila Tuak?"
"Hmmm, yaah... aku memang
pernah mendengar nama itu. Kurasa semua orang di rimba persilatan pasti
pernah mendengar nama si Gila Tuak, tokoh tertinggi di rimba persilatan
itu."
"Kau pernah bertemu
dengannya? Kau tahu di mana tempat tinggalnya?"
Suto Sinting gelengkan kepala.
"Aku tidak tahu. Aku hanya mengena! namanya saja. Belum pernah bertatap
muka dengan beliau."
"Kudengar kabar terakhir
dari seorang tokoh tua, Gila Tuak
mempunyai murid tunggal yang bergelar Pendekar
Mabuk alias Suto Sinting." Suto kuasai kembali rasa
kagetnya dengan tank napas panjarig dan manggut-manggut.
"Aku mencari muridnya
itu. Kabarnya, si Pendekar Mabuk lebih sering berkeliaran ketimbang Gila
Tuak," ujar Yunda lagi. "Menurutku, dengan mencari Pendekar Mabuk dan
menemukannya, aku bisa minta diantar untuk bertemu dengan ayahku di tempat
kediamannya yang sukar dicari itu."
Suto menggumam dalam hati
dengan jantung berdebar-debar. "Mengapa guru tak pernah ceritakan tentang
anaknya ini?
Mungkinkah karena guru merasa
malu mempunyai hubungan cinta dengan seseorang yang sampai menghasiikan satu
keturunan secantik ini? Mengapa pula guru tak pernah bilang kalau dulu pernah
menjadi panglima Hastamanyiana? Apakah ada guru menganggap hal itu tidak
penting diceritakan di depanku? Atau... mungkinkah ada rahasia tersendiri di
balik masa lalu guru yang pernah punya hubungan cinta dengan perempuan dari
Pegunungan Gobi?!"
Perempuan cantik itu bergeser
lebih mendekat lagi. Suaranya
menjadi pelan, seperti membisik. Pandangan matanya tertuju lekat-lekat
ke wajah Sujo dengan bola
mata kian sayu.
"Maukah kau menemaniku,
Kanda?"
Suto Sinting bingung menjawab,
tapi matanya memandang wajah cantik berbibir menggairahkan itu.
"Maukah kau membantuku
mencari Pendekar Mabuk, lalu pergi
menemui ayahku si Gila Tuak itu?"
"Aku... aku... aku akan
coba," jawab Suto terkesan ragu-ragu.
Belahan gaun semakin lebar.
Paha putih mulus semakin nenantang untuk dielus. Pendekar Mabuk mencoba belahan
diri untuk tidak bertindak nakal. Tapi tatapan mata Yunda yang beradu dengan
pandangan matanya sejerti menghadirkan kekuatan aneh yang menggetarkanjiwa.
Getaan jiwa itu rnakin lama
makin menyentuh hasrat dan nenyalakan
api gairah. Suto merasa dituntut oleh batimya sendiri. Dituntut untuk
dapatkan sebentuk kehan<atan dari perempuan itu.
Kanda, kau sudah punya
kekasih?"
"Hrnm,eeh, hmmh... su...
sudah," Suto mencoba melawan tuntutan batinnya walau terasa sangat sukar
dan berat skali.
"Kau pernah mencium
kekasihmu?" "Hmmmeehmm.. ya, pernah." Aku belm pernah,"
ujar Yunda dengan suara mulai bernada
desah. Aku ingin sekali dicium oleh seorang lelaki perkasa sepertimu.
Aku merindukan kehangatan dari pria yang sesuai seleraku, Kaulah pria yang
sesuai seleraku, Kanda. Kecuplah aku walau sekali saja."
"Hmm, eehh, eehh, hmmm
"
"Kecuplah walau sebentar
saja, Kanda," suara itu makin mendesah, makin mendekat, hembusan napasnya
menghangat di wajah Suto. Sebagai pemuda yang waras, kehangatan napas itu
semakin membakar jairah bercumbunya dan membuat dadanya tersentak-sentak bagai
ingin jebol jika tak dituruti kemauan batiniya itu.
"Kanda... peluklah
aku...," desah Yunda semakin lebih mendekatkan bibirnya ke bibir Suto.
Pria mana yang tahan menerima
tantangan seperti itu? Sekali pun ia seorang pendekar, jika sudalrasakan
hembusan napas hangat dan
mendengar desahan se lembut itu, tak ayal lagi ketangguhannya
da&m berta- han akan runtuh juga. Lebih-lebih pandatgan mata Yunda
mempunyai kekuatan yang mengobanan api asmara lawan jenisnya, tak ada lagi yang
bis.dilakukan Suto Sinting kecuali menempelkan bibirnya ke
bibir perempuan itu. Cuup !
Bibir itu dikecupnya dengan
lembut. "tapi kecupan itu dibalas oleh Yunda dengan menyodorkan lidahnya,
sehingga mau tak mau lidah itu terpagut
oleh bibir Suto. Lidah mereka saling bertemu, saling memilin,
dalam deburan api asmara yang kian bergolak. Tak heran jika Suto Sinting
pun akhirnya melumat bibir prempuan cantik itu. Si perempuan membalas luman
bibir dengan lebih berapi-api lagi, bahkan berkesan ganas.
Kedua tangannya memeluk Suto,
meremas-remas punggung dengan remasan yang menggelitik. Sampai akhirnya
perempuan itu justru lebih ganas
menyerang dengan kecupan yang merayap
di seluruh permukaan wajah Suto, lalu turun ke leher dan
mengecup leher Suto sesekali.
Lidahnya menyapu leher itu dengan gerakan liar.
Sesaat kemudian, serangan
mesra itu berhenti. Mereka saling hempaskan napas panjang. Yunda segera
baigkit, berdiri di depan Suto Sinting. Tali pengi- kat gaun yang ada di
samping mulai dilepaskan. Tiga simpui tali yang merapatkan gaun merah jambunya
itu ditarik satu-satu, Tees, tees, tees..,!!
Kini gaun itu terbuka lebar.
Sesosok tubuh mulus berdada montok
dan kencang terpampang jelas di depan mata Suto Sinting. Tubuh putih
mulus itu tidak mengenakan pelapis apa pun di balik gaun merah jambunya. Bahkan
perempuan itu menanggalkan gaun itu dengan pandangan mata sayu yang makin
memberikan tantangan untuk bercumbu.
Jiwa yaag melayang-layang di
langit asmara membuat mereka berdua tak pedulikan lagi suasana saat itu. Mereka
juga lupa menutup jendela kamar yang tetap terbuka. Mereka sangka tak ada orang yang mengintip dari jendela itu.
Tetapi di itas pohon seberang
sana, ternyata ada orang yang betengger memperhatikan ke arah dalamkamar. Orang
itu bukan ingin menikmati kemesraan yang berlangsung di dalam kamar, melainkan
punya tujuan lain dari pengintaiannya.
Sebatang anak panah dilepaskan
dari atas pohon. Zeeeb,
wiiizzz...! Api asmara membuat Suto Sinting lengah. Tiba-tiba Suto
tersentak dan terpekik dengan suara tertahan, karena anak panah yang melesat
itu menancap di lengan kirinya. Juuub..,.!
"Aahk...!"
"Kanda...?!
Ooh...?!" Yunda terkejut dengan mata membelalak lebar melihat anak panah
menancap di lengan kiri Suto.
Seandainya Suto pada saat itu tidak sedang merayapkan
lidahnya mendekati pundak Yunda, maka lehernya yang akan tertancap anak panah
tersebut. Beruntung ia sedang merayapkan lidahnya mendekati pundak Yunda,
bermaksud akan ke leher perempuan itu, sehingga lengannya sedikit naik dan
panah itu menancap di lengannya.
"Uuhkk...!" Suto
Sinting mengerang, sekujur tubuhnya cepat menjadi
panas. Panah itu beracun
ganas.
Yunda menjadi murka karena
merasa kemesraannya diganggu oleh datangnya anak panah tersebut. la cepat
menyambar pakaiannya sambil berguling ke lantai menghindari anak panah yang
kedua Suto Sinting sendiri jatuh berlutut di lantai sambil mendekap lengan
kirinya.
Dengan gerakan sangat cepat,
Yunda kenakan pakaiannya kembali tak terlalu rapi. Jubah disambarnya sambil
memandang ke arah pohon.
la melihat di pohon sana seseorang sedang menyiapkan anak panah yang
kedua. Tanpa banyak bicara lagi, perempuan itu meiompat keluar jendeia bagaikan
terbang. Atap-atap rumah pen duduk dipakainya berpijak sesaat.
Tubuhnya melesat begitu
cepatnya, sehingga Suto Sinting tak
sempat melihat ke mana arah kepergian perempuan itu.
Yang dilihatnya adalah pohon
berguncang, daun nya berguguran. Pasti habis diterjang sesuatu. Yunda itulah si
penerjang pohon. la memburu orang yang melepaskan anak panah tadi. Orang
tersebut beriari menghindari kejaran Yunda.
"Ternyata dia berilmu
tinggi juga?" ujar Suto dalam hati. Tapi ia tak bisa lanjutkan komentarnya
tentang perempuan cantik itu.
Sekujur tubuhnya bagaikan di- aliri darah yang rnendidih,
la buru-buru menenggak tuaknya
setelah mencabut anak
panah dengan erangan memanjang. Beberapa saat setelah tuak ditenggak,
luka bolong itu mulai merapat kembali. Rasa panas berangsur-angsur hilang. Suto
Sinting kenakan pakaiannya kembali, kemudian melesat lewat jendeia dengan
gunakan jurus 'Gerak Si- luman'-nya.
Zlaaap, zlaaap...!
Suto Sinting m.engejar Yunda,
lantaran ia merasa harus meiindungi perempuan yang mengaku sebagai anak si Gila
Tuak. Tapi benarkah Gila Tuak mempunyai seorang anak secantik Yunda? Benarkah
Gila Tuak pernah terlibat skandal dengan perempuan dari
Pegunungan Gobi?
Jawabannya ada dalam kisah
mendatang. Ikuti terus kelanjutan kisaH ini.
SELESAI