1
LANGKAH si tampan Pendekar
Mabuk terpaksa
berhenti ketika ia mendengar
suara aneh yang
mencurigakan. Suara itu datang
dari hutan sebelah
kirinya yang penuh dengan
semak belukar. Daun-daun
ilalang tumbuh subur dalam
ketinggian melebihi tubuh
manusia dewasa. Dari dalam
semak belukar itulah suara
mirip orang merintih
terputus-putus terdengar
menembus kelebatan semak.
"Ada yang terluka di
sana?!" pikir Suto Sinting dalam
keraguan. "Suara orang
merintih karena luka, atau suara
orang yang merintih karena nikmat?!"
Telinga si murid sinting
Gila Tuak itu dipertajam
lagi. Suara rintihan yang
terdengar samar-samar karena
jaraknya agak jauh itu
terdengar semakin meragukan
bayangan yang ada dalam benak
Suto Sinting.
"Uh, aah... aduh, aduh,
aaah... uuuh... ooh, oh, oh...."
Hati pemuda tampan berambut
lurus sepundak tanpa
ikat kepala itu mulai membatin
lagi sambil dahi tetap
berkerut tajam.
"Suara itu jelas suara
perempuan. Tapi perempuan tua
atau muda, ya?! Hmmm...
jangan-jangan perempuan itu
sedang bercumbu? Tapi
mengapa suara lawan jenisnya
tidak terdengar? Apakah ia
bercumbu dengan lelaki
bisu? Ah, sialan! Jantungku
jadi berdebar-debar begini.
Sebaiknya kutinggalkan saja
suara itu."
Namun rasa penasaran yang
mudah terpancing dalam
hati Suto Sinting, tak mungkin
mampu membuatnya
pergi begitu saja. Walaupun
hati berdebar-debar dan
keringat dingin sempat keluar
karena bayangan mesum
yang muncul di benaknya, Suto
Sinting akhirnya nekat
mendekati suara rintihan
seorang wanita itu. Ia
menerabas semak dengan langkah
pelan-pelan agar tak
menimbulkan bunyi, ia
bermaksud ingin mengintip si
pemilik suara tersebut.
"Ooh... uuuh... ah, ah,
ah, aaaahh...," lalu disusul
suara napas terengah-engah
seperti orang habis berlari
jauh.
Semakin dekat semakin jelas
suara napas ngos-
ngosan itu, sehingga kini
Pendekar Mabuk pun semakin
gemetar dan hati kian
berdebar-debar karena bayangan
dalam benak Suto bertambah
syur. Tapi kaki tetap
melangkah mendekati suara
tersebut dengan batin kian
bicara,
"Suaranya merdu, agak
serak-serak basah. Sepertinya
ia masih muda dan sedang
diburu hasrat cinta yang
menggebu-gebu. Oh, ya...
sebaiknya kuintip dari atas
pohon saja. Biar
pemandangannya lebih jelas lagi."
Wuuut...! Tubuh kekar berdada
bidang itu melesat ke
atas dan hinggap di atas pohon
tanpa suara dan gerakan
berisik. Itu menandakan bahwa
ilmu peringan tubuh
yang dimiliki Suto Sinting
cukup tinggi, sehingga
tubuhnya mampu melayang dan
hinggap bagaikan kapas
tanpa beban berat. Tak satu
pun daun pohon itu yang
bergerak walau kaki Suto Sinting
sempat menginjak
permukaan daun sebelum
akhirnya pindah ke sebuah
dahan sebesar lengannya.
"Ya, ampuuun...?!"
Pendekar Mabuk lebarkan
matanya yang indah itu. Ia
terkejut melihat apa yang
dicarinya sejak tadi.
"Ternyata aku salah khayal. Ooh...
celaka! Kalau begini caranya
aku tak boleh terlalu lama
ada di sini. Aku harus segera
turun dan... dan... ah, tapi
kalau aku turun dan
mendekatinya, ia bisa salah paham
padaku?! Aduh, bingung juga
kalau begini?!"
Pemandangan yang diintainya
itu adalah
pemandangan segar yang
menyedihkan. Seorang gadis
dengan rambut terurai lepas
dari ikatannya berdiri di
antara dua pohon yang tumbuh
dalam jarak dekat. Gadis
itu berwajah cantik, matanya
berbulu lantik dan
berbinar-binar indah sekali.
Suto Sinting memperkirakan
usia gadis itu sekitar dua
puluh dua tahun.
Tubuhnya sekal padat berisi,
dengan dada yang
membengkak bagai penuh
tantangan yang menggiurkan
setiap lelaki. Keadaan si
gadis sangat menyedihkan.
Kedua tangannya diikat dalam
keadaan terentang pada
dua pohon di kanan-kirinya.
Kakinya juga merentang ke
kanan-kiri dalam keadaan diikatkan pada dua pohon
tersebut. Jelas gadis itu
tertawan dan seorang musuh
telah mengikatnya sedemikian
rupa hingga mendebarkan
hati Pendekar Mabuk.
Hal yang paling mendebarkan si
Pendekar Mabuk itu
adalah keadaan gadis itu yang
mirip bayi. Ia ditawan
sebegitu rupa dalam keadaan
polos tanpa selembar
benang pun. Keadaan itu yang
membuat hati Suto
Sinting kian berdebar dan
jantungnya menyentak-
nyentak.
Sesaat ia seperti terpesona
melihat pemandangan di
hadapannya. Gadis itu berkulit kuning langsat, mulus
tanpa cacat sedikit pun.
Bentuk tubuhnya sangat indah,
tak terlalu kurus, juga tak
terlalu gemuk. Sekal, padat
berisi.
"Ah, uuhh... eeeh...
uuuh...!" suara si gadis
mengerang dan mendesah bukan
lantaran menikmati
sentuhan mesra, namun berusaha
menarik tangan agar
terlepas dari tali
pengikatnya. Sebentar kemudian ia
berhenti dan terengah-engah
kelelahan. Bibirnya yang
ranum mungil itu digigit
sendiri bagai sedang menangis.
Melihat bibir digigit, Suto
Sinting semakin menggeram
gemas dalam hatinya.
"Apa yang harus kulakukan
jika begini?" pikir
Pendekar Mabuk dalam
kebingungan.
"Kalau kudekati, nanti
disangkanya aku ingin
menyaksikan kemulusannya.
Kalau dibiarkan saja, oh...
alangkah kasihannya gadis
itu?! Agaknya tali yang
dipakai untuk mengikatnya
bukan sembarang tali.
Semakin ditarik-tarik semakin
mengencang membuat
pergelangan tangan gadis itu
menjadi kian terjerat dan
kulitnya berubah merah."
Pakaian si gadis tak kelihatan
di sana-sini. Senjatanya
pun tak ada di sekitar tempat
itu. Timbul pertanyaan di
batin Suto Sinting,
"Apakah gadis itu setiap
harinya memang polos
begitu ke mana pun ia pergi?!
Mengapa tak ada selembar
pakaian pun di sekitarnya?
Jika aku berhasil melepaskan
ikatannya, lalu apa yang harus
kulakukan?!"
Pendekar Mabuk akhirnya duduk
di atas dahan itu
merenungkan langkah yang harus
diambil. Renungan itu
disertai pandangan mata
tertuju lurus pada si gadis yang
malang. Semakin lama merenung
semakin hanyut
khyalannya, sehingga yang
terbayang dalam benak Suto
Sinting bukan mencari cara
melepaskan gadis itu
melainkan bayangan indah dalam
menikmati kemulusan
dan keterbukaan gadis cantik
bertahi lalat kecil di ujung
bibir kirinya Itu.
Lamunan ngeres itu segera
lenyap setelah gadis itu
perdengarkan suara walau lirih
dan hampir tak terdengar
oleh Pendekar Mabuk dari atas
pohon.
"Kalau saja ada orang
yang datang menolongku, aku
akan sangat berterima kasih
padanya. Jika ia perempuan,
aku akan mengabdi kepadanya
sebagai saudara angkat.
Jika yang menolongku seorang
lelaki, seburuk apa pun
wajahnya aku akan bersedia
menjadi istrinya dan akan
kuturuti apa kemauannya.
Daripada aku harus begini
terus-terusan, lama-lama aku
bisa mati nganggur! Oh,
Dewaaaaa... kirimkan-lah
seorang penolong bagiku."
Kepala gadis itu akhirnya
terkulai menunduk.
Mungkin menangis, tapi tak
terlihat air mata meleleh di
pipinya. Mungkin hanya tangis
batin yang dapat
dilakukannya. Hati Suto
Sinting pun menjadi kian iba
melihatnya.
Pendekar Mabuk akhirnya beranikan
diri untuk
berseru dari tempatnya.
Keberanian itu timbul setelah ia
menenggak tuak beberapa teguk
dari bumbung bambu,
tempat tuak yang ke mana pun
perginya selalu dibawa-
bawa.
"Nona cantik, bolehkah
aku datang menolongmu?!"
"Oooh... suara seorang
lelaki?!" gadis itu terbelalak
kaget sekali, ia mulai tampak
gusar dan panik. Matanya
membelalak memandangi arah
sekelilingnya dengan
gerakan menggeragap. Jantung
gadis itu menyentak-
nyentak cukup kuat karena rasa
malu dan bingung
menyadari keadaan dirinya.
"Haruskah kubiarkan
seorang lelaki datang
menolongku dalam keadaan
tubuhku seperti ini?!" pikir
si gadis sambil
menyentak-nyentak tangannya yang
ingin bergerak menutup bagian
depan secara naluriah.
Namun tangan itu tetap terjerat tali yang terbuat dari
sejenis akar aneh, karena jika
tali itu semakin ditarik
jeratannya bukan mengendur
melainkan justru semakin
mengencang.
"Jawablah pertanyaanku
tadi, Nona! Aku akan
menolongmu melepaskan penjerat
itu, tapi apakah kau
izinkan diriku untuk
mendekatimu?"
"Jangan!" jawabnya
seketika itu juga. Tapi ia jadi
berpikir lagi dan ragu-ragu
memberi keputusan.
"Eh, tapi... boleh saja
kau kemari, eh... anu... jangan,
sebab aku dalam keadaan...
tapi, iya... silakan datang
asal... asal... asal kau tutup
kedua matamu dan kau tak
boleh mengintip sedikit pun.
Eh, tapi... anu juga...
begini...."
Tak ada yang jelas
kata-katanya. Bagi si tampan
murid Gila Tuak dan Bidadari
Jalang itu, kata-kata gadis
tersebut sangat membingungkan
sehingga ia tak tahu apa
yang harus dilakukan, ia diam
beberapa saat memikirkan
jalan terbaik.
"Kau... kkau... ada di
mana?!" seru gadis itu dengan
wajah pucat karena rasa malu.
Bagaimanapun juga ia
tahu bahwa ada seorang lelaki
yang telah melihat
keadaannya dari balik
persembunyian. Dan kesadaran
itulah yang membuatnya sangat
malu hingga kakinya
gemetar.
"Nona, aku ingin
menolongmu bukan ingin bertindak
tak sopan padamu!" seru
Suto lagi.
"Bersumpahlah bahwa kau
tak akan memandangiku
dengan nakal!"
"Aku... aku tak pernah
bersumpah, jadi aku tak bisa
bersumpah."
"Ooh...!" gadis itu
lemas, karena ia tahu tubuhnya
yang polos itu akan menjadi
pusat pandangan mata
seorang lelaki. Alangkah
memalukannya jika hal Itu
sampai terjadi, sementara ia
belum kenal siapa lelaki itu
dan belum tahu seperti apa wajah si lelaki. Tak
heran
jika dalam hati gadis itu
timbul rasa muak dan sebal
kepada suara lelaki yang
didengarnya.
"Tapi aku butuh
bantuannya untuk melepaskan tali
penjerat ini?! Jika kuturuti
perasaan malu dan muakku,
belum tentu ada seorang
perempuan yang lewat hutan ini
dan menolongku. Aduh,
bagaimana diriku jika sudah
begini?!" ujarnya
membatin dengan sangat sedih dan
salah tingkah.
"Kau ada di mana,
Kang...?!" seru gadis itu
memanggil 'kang' karena
melalui suara yang didengar ia
dapat menduga bahwa lelaki
yang akan menolongnya
belum terlalu tua.
"Aku ada di suatu tempat
yang mudah mencapai
tempatmu dalam sekejap!"
seru Suto Sinting. Suaranya
yang bergema membuat ia sulit
diketahui letak
persembunyiannya.
"Apakah... apakah kau
melihat keadaanku dengan
jelas?!"
"Jelas sekali!"
"Gawat!" gumamnya,
lalu berseru lagi, "Dari mana
kau melihatku saat ini?!"
"Dari arah depanmu,
Nona!"
"Mati aku!" ucapnya
dalam hati dengan rasa malu
semakin menghujam hati dan
membuatnya serba salah.
Kemudian ia berseru kembali dengan suara bergetar
karena menahan perasaan yang
bercampur aduk.
"Tutup matamu sekarang
juga! Tutup!"
"Baik, sudah kututup
mataku saat ini!" seru Suto
Sinting dengan mata terbuka
lebar dan tetap memandang
ke arah gadis itu melalui
celah dedaunan.
"Kau... kau boleh
mendekatiku dari belakang. Jangan
dari depan!"
"Mengapa dari
belakang?!"
"Aku mempunyai jurus
'Ludah Geni'. Jika kau
mendekatiku dari depan,
ludahku bisa keluar secara tak
sadar dan membakar kulit
tubuhmu!" seru sang gadis,
kemudian membatin kata untuk
dirinya sendiri,
"Lebih baik kubohongi
begitu, biar dia tidak
mendekatiku dari depan.
Biarlah dia mendekatiku dari
belakang dan melepaskan tali
penjerat ini. Jika sudah
terlepas semua, kubunuh pria
itu supaya tidak
membayangkan kepolosan tubuhku
terus-terusan!
Biarlah aku menjadi jahat satu
kali ini saja. Tebusan
dosaku akan kuterima seberat
apa pun.'
Hutan menjadi sepi, alam
menjadi sunyi. Suara pria
yang diharapkan oleh sang
gadis itu terdengar lagi. Sang
gadis menjadi
bertanya-tanya dalam hati dengan rasa
heran. Matanya masih mencari
ke sana-sini, namun tak
ditemukan sesosok tubuh yang
mendekatinya dari balik
semak mana pun juga.
"Celaka! Jangan-jangan
orang itu justru pergi karena
mendengar aku mempunyai jurus
'Ludah Geni' yang
kukatakan tadi? Oh, bodohnya
aku ini! Bodoh sekali!
Mestinya biarlah aku menderita
malu sebentar, yang
penting aku bisa bebas dari
jeratan akar setan ini!
Mestinya aku tak perlu
menakut-nakuti dia, sehingga
akhirnya dia pergi tak mau
menolongku. Mungkin dia
seorang lelaki pencari kayu
atau mengembara tanpa
nyali."
Rasa sesal si gadis membuatnya
dongkol dan semakin
salah tingkah, ia segera
mencoba berseru ke arah depan,
karena menurut pengakuan yang
didengar tadi orang
tersebut dapat melihatnya dari
arah depan. Perkiraan si
gadis mengatakan, bahwa pria
yang berseru itu ada di
semak depan, di bawah sebuah
pohon besar berdaun
rimbun itu.
"Hoii...! Kenapa kau diam
saja?! Kau ada di mana,
Kang?! Jawablah seruanku ini! Jangan main-main
denganku, aku bisa
mencelakakan dirimu walau kau ada
di balik semak-semak.
Jawablah, di mana kau sekarang
berada!"
"Aku ada di
belakangmu!"
"Oooh...?!" gadis
itu memekik kaget. Begitu kagetnya
sampai tubuhnya terlonjak dan
tali penjerat-nya kian
mengencang, ia ingin berpaling
ke belakang, tapi tak jadi
sebab dari suara pelan yang
didengarnya tadi ia tahu
bahwa si ielaki sudah ada di
belakangnya dalam jarak
sekitar dua atau tiga langkah.
"Celaka! Ternyata dia
sudah ada di belakangku?!
Mengapa tak kulihat dan tak
kudengar gerakannya saat
berpindah tempat?!" pikir
si gadis dengan jantung kian
menyentak-nyentak kuat. Ia tak
tahu bahwa Suto Sinting
mampu bergerak cepat bagai sekelebat bayangan
dihembus badai karena
mempunyai jurus yang bernama
'Gerak Siluman', di mana
kecepatan geraknya itu
melebihi kecepatan anak panah
yang melesat dari
busurnya.
Suto Sinting memang ada di
belakang gadis itu. Tapi
ia terpaku di tempat
memandangi tubuh si gadis yang
mulus dengan keringat
berbintik-bintik di permukaan
kulit halusnya itu. Pendekar
Mabuk memandang penuh
rasa kagum dan hati
berdebar-debar diburu hasrat ingin
memeluknya. Namun hasrat itu
segera dikuasai dengan
tarikan napas pelan-pelan.
Tetapi mata si tampan itu tak
bisa berkedip memandang
kesekalan tubuh polos di
depannya.
"Pantatnya montok
sekali!" gumam hati Suto Sinting
dengan jari bergerak-gerak
bagai Ingin meremas gemas.
Sesuatu yang lebih menarik
lagi bagi mata bening
Pendekar Mabuk adalah sebuah
tato yang ada di
punggung gadis itu. Pada
punggung dekat pundak kiri
gadis itu ada tato bergambar setangkai
bunga mawar
warna Jingga. Tato itu tidak
seberapa besar namun
tampak indah dan mempunyai nilai seni cukup tinggi.
Tato itu menyimbulkan bahwa si
gadis bukan wanita
yang cengeng dan penakut,
bahkan mungkin tubuhnya
sudah terbiasa menerima
sentuhan yang menyakitkan,
sehingga ia berani ditato dengan jarum dan getah
pewarna pada kulit
punggungnya.
"Hei, mengapa diam saja
di belakangku, Setan!"
sentak si gadis mulai berang
karena sejak tadi Pendekar
Mabuk tak berbuat apa-apa.
Gadis itu menjadi risi
dipandangi dari belakang.
"Apakah namamu, Mawar
Jingga?" tanya Suto
Sinting setelah maju selangkah
lagi. Suaranya makin
dekat, hingga si gadis merasa
merinding menerima
hembusan napas dari mulut dan
hidung Suto Sinting saat
bicara tadi.
"Tak perlu tanya soal
nama!" ketus si gadis dengan
jengkel. "Lepaskan dulu
ikatanku baru kita bicara soal
nama!" ujarnya dengan
tetap tak berani memandang ke
belakang.
Pendekar Mabuk tertawa kecil,
hati gadis itu kian
dongkol.
"Lakukanlah sekarang
juga, Tolol!" bentak si gadis
tak sabar lagi.
Suto Sinting segera menenggak
tuaknya. Tuak tidak
ditelan semua, namun sebagian
disimpan di mulut.
Kemudian tuak itu disemburkan
ke tali pengikat pada
tangan kanan si gadis.
Brruss...!
Laaap...!
Brrusssh...! Semburan
berikutnya pada tali pengikat
di tangan kiri si gadis.
Laaap...!
Si gadis terbengong melompong
di tempat. Hampir-
hampir ia tak sadar bahwa tali
dan kakinya sudah tidak
terikat lagi. Hal yang
membuatnya tertegun di tempat
adalah keanehan yang
dilihatnya dengan mata kepala
sendiri. Dua pohon yang tadi
digunakan untuk mengikat
tali dan tangannya itu
tiba-tiba lenyap tak berbekas
sedikit pun, demikian pula
tali pengikat itu hilang
bagaikan ditelan angin.
Si gadis tidak tahu bahwa Suto
Sinting mempunyai
jurus 'Sembur Siluman' yang
dapat melenyapkan benda
apa pun dengan semburan
tuaknya dari mulut. Semburan
itu mempunyai kekuatan sentak
tersendiri yang berbeda
dengan sentakan napas saat ia
pergunakan jurus 'Sembur
Husada', yaitu semburan untuk
menghilangkan luka pada
diri seseorang.
Lenyapnya pohon membuat tali
pengikat itu pun
hilang seketika. Kedua tangan
dan kaki si gadis kini
telah bebas. Namun rasa heran
dan terkagum-kagum
membuatnya masih diam di
tempat dengan mulut
melongo dan mata terbelalak
tak berkedip.
Brruk...! Gadis itu terkejut
karena Suto Sinting
melemparkan baju coklatnya
yang tanpa lengan itu. Baju
itu jatuh di pundak si gadis
bersamaan suara Suto
Sinting yang berkata dengan
nada kalem.
"Pakailah bajuku itu
untuk sementara supaya kau
tidak masuk angin."
Ucapan itu membuat si gadis
sadar bahwa dirinya
dalam keadaan polos. Dengan
tetap memunggungi Suto
Sinting, ia mengenakan baju
coklat tersebut dan
merapatkan bagian depannya
dengan dipegangi dua
tangan. Baju itu panjangnya
sampai paha, hingga
menutup bagian yang harus
ditutupi di sekitar paha.
Walau tak tertutup sepenuhnya,
namun bagian tersebut
sudah tak terbuka ngablak
seperti goa tanpa pintu.
Gadis itu pun segera berpaling
memandang Suto
Sinting. Deeg...! Hatinya
bagai tersentak oleh rasa kaget
di luar dugaan.
"Ternyata dia seorang
pemuda yang tampan, kekar
dan gagah?! Oh, tak kusangka
penolongku seorang
pemuda setampan dia? Kalau
begitu, niatku untuk
membunuhnya kuurungkan saja.
Tak baik membunuh
orang yang telah menolongku.
Lagi pula... tak begitu
rugi tubuhku dari tadi
diperhatikan pemuda setampan
dia. Kusangka yang
memperhatikan tubuhku dari tadi
adalah lelaki bertampang
memuakkan!"
Pandangan mata si gadis
tertuju pada wajah Suto
Sinting. Kecamuk batinnya
segera terhenti karena Suto
Sinting mengajaknya bicara
dengan senyum kalem yang
menawan hati.
"Di mana pakaianmu,
Nona?"
"Entahlah. Mungkin
dibuang ke tempat jauh oleh si
iblis itu!"
"Siapa yang memperlakukan
dirimu sedemikian
memalukannya?!"
"Peri Kedung Hantu!"
"Ooh... dia?!"
"Apakah kau kenal dengannya?!"
si gadis agak curiga
karena Suto Sinting
manggut-manggut.
"Aku kenal hanya
sepintas, ia pernah bertarung
denganku dan kutinggalkan
dalam keadaan luka," jawab
Suto Sinting lalu membayangkan
pertarungannya
dengan Peri Kedung Hantu,
(Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode:
"Titisan Dewa Pelebur Teluh").
Gadis itu merasa lega setelah
tahu bahwa Suto
Sinting ternyata bukan berada
di pihak Peri Kedung
Hantu, ia pun menceritakan
pertarungannya dengan Peri
Kedung Hantu yang mempunyai
nama asli Rumisita itu.
"Dia berhasil menotokku,
membuatku lemas tak
berdaya. Aku sempat pingsan
beberapa saat. Ketika aku
sadar, keadaanku sudah terikat
seperti tadi dan aku tak
tahu pakaianku dikemanakan
oleh si perempuan Iblis
itu!"
"Rumisita memang
menyebalkan."
"Hei, kau tahu nama
aslinya segala. Siapa kau
sebenarnya?"
"Suto Sinting, itu
namaku!"
"Mak... maksudmu...
maksudmu kau si Pendekar
Mabuk, muridnya Gila
Tuak?"
"Benar, Nona. Bagaimana
kau bisa mengenali diriku
sampai tahu nama guruku?"
"Aku pernah mendengar
cerita dari guruku tentang
dirimu."
"Siapa gurumu itu,
Nona?"
"Nini Kalong, Penghuni
Hutan Rawa Kotek!"
"Oooo...," Suto
Sinting manggut-manggut. Ia segera
terbayang wajah tua keriput
yang badannya kurus dan
sedikit bungkuk berjubah
hitam, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode :
"Titisan Dewa Pelebur Teluh").
"Aku kenal dengan gurumu;
Nini Kalong. Tapi aku
tak kenal siapa muridnya yang
cantik dan meminjam
bajuku ini."
Gadis itu sunggingkan senyum
tersipu, menunduk
sejenak, kemudian memandang
Suto Sinting lagi dengan
bibir ranumnya masih
tersungging senyum indah.
"Namaku adalah Puspita
Jingga. Murid kedua dari
Nini Kalong setelah Syair
Kusumi."
"Pantas kau punya tato
bunga mawar jingga."
"Apakah kau suka dengan
tatoku itu?"
Pendekar Mabuk yang kini hanya
bercelana putih
kusam dengan ikat pinggang kain merah itu hanya
sunggingkan senyum menawan.
Senyuman itu membuat
hati Puspa Jingga
berdebar-debar bagai digelitik
keindahan.
"Aku lebih suka lagi jika
kau mau sebutkan apa
alasanmu sehingga kau
bertarung dengan Peri Kedung
Hantu?!"
Puspa Jingga masih mendekap
diri untuk merapatkan
baju yang dipakainya, ia
melangkah ke samping hingga
mencapai bawah pohon. Dari
sana ia berkata kepada
Suto Sinting dengan suara
sedikit pelan.
"Aku diutus oleh Guru
untuk mengambil sebuah
pusaka yang ada di dalam makam
Resi Dirgantara. Guru
membekaliku selembar denah
tempat makam Resi
Dirgantara. Rupanya
percakapanku dengan Guru disadap
oleh Peri Kedung Hantu. Di perjalanan, denah itu
direbutnya. Aku
mempertahankan, tapi ilmuku kalah
sakti dengan Peri Kedung
Hantu. Denah itu berhasil
direbut dan dibawanya pergi
bersama pakaianku."
"Pusaka apa yang ada
dalam makam itu?!" tanya Suto
Sinting, namun Puspa Jingga
ragu-ragu untuk
mengatakannya.
*
* *
2
NINI Kalong adalah tokoh beraliran
hitam yang kala
itu pernah dilumpuhkan oleh
Suto Sinting pada saat ia
menyerang si Gadis Dungu.
Tetapi lukanya itu segera
ditolong pula oleh Suto
Sinting, hingga si nenek pun
akhirnya terselamatkan
jiwanya.
Pada saat Suto Sinting
bertarung oleh Peri Kedung
Hantu yang merasa tak suka
terhadap sikap Suto Sinting
dalam mempengaruhi Nini Kalong, keduanya menjadi
terluka parah setelah adu
kesaktian. Namun Suto Sinting
segera dilarikan oleh Nini
Kalong dan melalui bantuan
Nini Kalong tuak dalam bumbung bambu itu berhasil
diminumkan pada Suto, sehingga
luka itu pun sembuh
kembali.
Nini Kalong segera
meninggalkan Suto Sinting yang
kala itu sedang mengejar si
pembawa lari Gadis Dungu
yang ternyata adalah Nyai
Serat Biru, guru si Gadis
Dungu itu sendiri. Kepergian
Nini Kalong agaknya
mempunyai maksud tersembunyi.
Suto Sinting
merasakan nasihatnya kepada
Nini Kalong untuk beralih
ke aliran putih cukup mengena
di hati nenek tua itu.
Maka ketika Suto Sinting
bertemu dengan Puspa
Jingga, gadis itu pun menceritakan
diri sang guru yang
telah berubah dari tokoh
aliran hitam menjadi tokoh
aliran putih. Namun
mengenai pusaka yang diburunya
sejak dulu itu masih tetap
merupakan rencana dalam
hidup Nini Kalong.
"Guru tidak ingin pusaka
itu jatuh di tangan tokoh
aliran hitam, sehingga begitu
mendapat kabar dari
seorang pertapa tentang di
mana adanya pusaka tersebut,
Guru memerintahkan diriku
untuk mengambil pusaka itu
lebih dulu sebelum telanjur
diambil dan dikuasai oleh
tokoh aliran hitam," ujar
Puspa Jingga sambil mencari
pakaiannya.
"Mengapa bukan Nini Kalong sendiri yang
mengambil pusaka itu?!"
"Guru belum selesai
lakukan tapa gantung...."
"Tapa gantung...?!"
Suto Sinting agak heran.
"Bertapa dengan kaki
terikat di atas dan tubuh
berjungkir balik, itu yang
dimaksud tapa gantung. Dalam
beberapa waktu lagi Guru akan
selesai lakukan tapa
tersebut. Tapi merasa takut
jika pusaka itu dimiliki orang
lain, maka aku ditugaskan
untuk mengambil pusaka
tersebut."
"Mengapa kau tak mau
sebutkan nama pusaka itu
padaku?"
"Guru melarangku bicara
kepada siapa pun tentang
nama pusaka tersebut. Maafkan
aku, aku tak bisa
mengatakannya padamu."
Pendekar Mabuk sempat berkerut
dahi mengingat-
ingat peristiwa pertemuannya
dengan Nini Kalong. Kala
itu ia bersama Gadis Dungu
yang sekarang
mengasingkan diri bersama
gurunya; Nyai Serat Biru, di
puncak Gunung Randu. Seingat
Suto, waktu itu Indayani
si Gadis Dungu pernah sebutkan
satu nama pusaka yang
sering menjadi bahan bentrokan
antara Nini Kalong
dengan Nyai Serat Biru. Suto
Sinting mencoba
mengingat-ingat nama pusaka
itu, namun sampai
akhirnya ia menemukan pakaian Puspa Jingga, nama
pusaka itu masih belum bisa
diingatnya dengan jelas.
Pakaian gadis itu ditemukan di
jalanan bawah bukit
yang tak seberapa tinggi itu.
Bahkan senjata Puspa
Jingga berupa pedang bersarung
merah dengan
gagangnya yang dlbungkus kain
merah itu juga ada tak
jauh dari pakaiannya.
Gadis itu segera mengenakan
pakaiannya di balik
semak. Kejap berikutnya ia
tampil dengan lebih cantik
lagi mengenakan pakaian berlengan
komprang warna
ungu tanpa jubah. Pedangnya
diselipkan pada ikat
pinggangnya yang terbuat dari
kain warna hitam.
Rambutnya yang panjang
disanggul sebagian, sisanya
dibiarkan meriap dengan lembut
gemulai.
"Kau tampak cantik dan
anggun jika mengenakan
pakaian seperti itu,"
ujar Suto Sinting setelah gadis itu
keluar dari semak belukar,
selesai berganti pakaian, ia
lemparkan baju coklat Suto
Sinting hingga baju itu jatuh
di pundak Suto Sinting.
"Kau justru tampak
perkasa jika tanpa baju begitu,"
katanya sambil
tersenyum-senyum.
"Kalau aku tanpa baju,
kau pasti tak akan bisa pergi
mencari pakaianmu karena aku
tak bisa meminjamkan
bajuku ini padamu."
"Tapi, sekalipun kau
mengenakan baju itu, masih saja
tampak gagah dan
perkasa!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyumnya
dengan
mata melirik ke arah Puspa
Jingga. Yang dilirik alihkan
pandangan dengan sikap
malu-malu. Suto Sinting pun
mengenakan bajunya kembali.
Namun baru saja selesai
mengenakan baju, tiba-tiba
ia harus melesat dan bersalto
melintasi sisi kanan Puspa
Jingga. Wuuut...! Sang gadis
terkejut lalu memandang
dengan heran ketika Suto
Sinting berdiri
memunggunginya dengan wajah
menengok kepadanya.
"Apa maksudmu melompat
begitu? Mau pamer
ilmu?"
Suto Sinting berbalik arah
berhadapan dengan Puspa
Jingga. Tangannya yang
menggenggam segera membuka
dan sebilah logam berbentuk
bintang segi enam terselip
di sela-sela jarinya.
"Hampir saja kau mati
oleh senjata rahasia ini!"
katanya sambil matanya melirik
ke arah datangnya
senjata rahasia itu. Puspa
Jingga terbelalak kaget dan
segera berkerut dahi
tajam-tajam.
"Bintang Neraka?!"
gumam Puspa Jingga yang
agaknya cukup kenal dengan
pemilik senjata rahasia itu.
"Seandainya kau tidak
menyambar logam putih itu,
maka tubuhku akan menjadi
lumer karena terkena racun
yang ada di ujung keruncingan
bintang itu," kata Puspa
Jingga, ia pun segera mencabut
pedangnya. Sraaang...!
Matanya menjadi nanar
memandang ke arah datangnya
senjata maut tersebut.
"Bintang Neraka itu
nama orang atau nama senjata
ini?!"
"Nama senjata itu!"
jawabnya dengan lirih sambil
bersiap menebaskan pedang jika
terjadi serangan
mendadak, ia berkata juga
kepada Suto Sinting walau
tanpa memandangi pemuda tampan
itu.
"Pemiliknya sangat
kukenal. Bintang Neraka adalah
senjata andalan Pangeran
Umbardanu."
"Oh, ya... aku pernah
mendengar nama Pangeran
Umbardanu," gumam
Suto Sinting sambil masih
memandang ke arah sekeliling,
ia teringat nama
Pangeran Umbardanu sebagai
nama kekasih dari si
Gadis Dungu yang kala itu ikut
mengejar-ngejar Gadis
Dungu untuk dibunuh.
Dalam penjelasan Indayani, si
Gadis Dungu itu, saat
Suto Sinting ikut mengantarkan
sampai di kaki Gunung
Randu, orang yang bernama
Pangeran Umbardanu itu
memang putra seorang sultan di
Kesultanan Siliwindu.
Timbulnya peristiwa pengejaran
titisan Dewa Pelebur
Teluh itu, Indayani menjadi tahu bahwa Umbardanu
sebenarnya bukan mencintainya,
melainkan berusaha
menangkapnya untuk dibunuh.
Sebab kala itu Indayani
menjadi bahan buruan para
tokoh aliran hitam dan akan
dihabisi masa hidupnya sebelum
Gadis Dungu mencapai
usia dua puluh lima tahun.
Dalam kitab kuno yang bernama
Kitab Samak Kubur
berisi ramalan-ramalan masa
depan para tokoh aliran
hitam disebutkan bahwa titisan
Dewa Pelebur Teluh
akan membantai habis para
tokoh aliran hitam setelah
bocah itu berusia dua puluh
lima tahun. Dan si Gadis
Dungu dicurigai sebagai
titisan Dewa Pelebur Teluh itu,
sehingga dikejar-kejar oleh
para tokoh aliran hitam. Jika
Pangeran Umbardanu ikut ingin
melenyapkan si Gadis
Dungu, berarti Pangeran
Umbardanu termasuk murid
seorang guru yang beraliran
hitam.
"Mengapa Pangeran
Umbardanu sekarang
menyerangmu dengan senjata
andalannya ini?!" tanya
Suto.
Belum sampai Puspa Jingga
menjawab pertanyaan
itu, tiba-tiba kilauan benda
logam melayang lagi dari
arah samping kanan gadis itu.
Gerakannya begitu cepat
bagaikan kilasan cahaya perak.
Zingg... zingg...!
Pedang yang sudah siap di
tangan itu segera
berkelebat menangkisnya dengan
gerakan cepat. Tring,
tring...! Tubuh gadis itu
melompat ke arah belakang, dan
tangkisan pedang itu membuat
dua bintang segi enam itu
terpental ke dua arah yang
berlawanan. Salah satu benda
tersebut menancap pada
sebatang pohon.
Jrrraab...!
Pohon itu kepulkan asap dari
tempatnya yang
tertancap bintang segi enam.
Makin lama asapnya
semakin tebal, menandakan bahwa
benda itu mempunyai
racun yang berbahaya.
Sementara itu bintang yang masih
ada dalam jepitan jari tangan
Suto Sinting itu segera
dilemparkan ke arah datangnya
dua benda yang
ditangkis Puspa Jingga tadi.
Ziiing...!
Zrrraaak...! Benda itu
menerabas semak rimbun, lalu
terdengar suara nyaring
bagaikan sentuhan logam
dengan besi. Traaang...!
Pohon yang tadi terkena
Bintang Neraka itu menjadi
busuk dan seluruh daunnya
berguguran. Pohon kekar itu
menjadi lumer bagaikan
gedebong pisang yang sebentar
lagi membusuk. Sedangkan benda
yang dilemparkan
Suto Sinting tadi tidak
menampakkan perubahan apa-apa
pada dua buah pohon yang ada
di balik semak. Berarti
bintang itu tidak mengenai pohon tersebut, tapi
mengenai sesuatu yang
menimbulkan suara denting.
"Keluarlah kau dari situ!
Aku tahu kau adalah
Pangeran Umbardanu!" seru
Puspa Jingga dengan sikap
siaga menghadapi serangan
lawan.
"Bagaimana kalau ternyata
dia bukan Pangeran
Umbardanu?!" bisik Suto
Sinting dalam jarak dua
langkah di samping kiri gadis
itu.
"Senjata yang kau
lemparkan tadi sebenarnya
mengenai dadanya, tapi karena
kebiasaannya memakai
baju perisai besi, maka ia
tidak mengaiami luka apa
pun!" balas Puspa Jingga
dalam bisikan pula.
Beberapa saat lamanya mereka
hanya menunggu
kemunculan dan serangan berikutnya
dari orang di balik
semak belukar. Tetapi ternyata
yang ditunggu tak
muncul-muncul juga, sehingga
Puspa Jingga kehilangan
kesabaran. Kemudian ia
lepaskan pukulan jarak jauhnya
dari tangan kiri. Pukulan itu
berupa gumpalan asap
merah sebesar buah jeruk.
Wuuut...!
Zrrraak...! Bruaaasss...!
Semak belukar rusak,
menghambur ke atas bagaikan
diterjang badai pemangkas yang
cukup besar. Daun-daun
terpotong bagai dipangkas
dengan senjata tajam. Dalam
sekejap saja semak belukar itu
telah lenyap, tempat itu
menjadi terang seakan siap
dipakai untuk jalanan.
"Gila! Kau menyerang
musuh atau babat hutan buat
jalanan?!" bisik Suto
Sinting dengan nada sedikit kagum
dan geli.
Puspa Jingga menjadi jengkel
sendiri karena rasa
penasarannya. Orang yang
menyerangnya secara
sembunyi-sembunyi itu tidak
muncul-muncul juga.
Akhirnya ia berkelebat
menerjang semak dan mencari
orang tersebut di sekeliling
tempat itu. Suto Sinting
melesat ke atas, tubuhnya
dengan sangat ringan
melayang tanpa bersalto dan hinggap di atas sebuah
pohon. Dari sana ia memandang
ke arah sekelilingnya, ia
melompat dari dahan ke dahan,
dari pohon ke pohon.
Namun ia tak menemukan sesosok
bayangan pun selain
bayangan Puspa Jingga sendiri.
"Mungkin ia telah
kabur!" seru Suto Sinting sambil
meluncur turun dari atas
pohon. Tubuhnya melayang
dengan tenang dan kakinya
mendarat ke tanah tanpa
hentakan dan suara apa-apa.
Puspa Jingga yang melihat hal
itu hanya membatin,
"Benar-benar tinggi ilmu
peringan tubuhnya. Pantas jika
Guru merasa kagum dan bangga
terhadap si Pendekar
Mabuk ini. Biar sering minum
tuak, tapi matanya tidak
kelihatan merah seperti
beberapa orang pemabuk yang
pernah kujumpai di kedai-kedai
itu. Namanya saja
Pendekar Mabuk, tapi matanya
bening dan teduh,
membuat hatiku sering berdesir
indah penuh khayalan
asmara. Ah, lupakan dulu soal
kehebatannya itu!"
Puspa Jingga menarik napas dan
kecamuk batinnya
pun sirna seketika. Kini ia
memandang ke sana-sini,
masih penasaran mencari orang
yang menyerangnya dari
persembunyian tadi.
"Apakah Pangeran Umbardanu
itu seorang
pengecut?!" tanya Suto
Sinting seraya mengambil
tempat di bawah pohon rindang,
ia berdiri dengan satu
tangan bersandar pada batang
pohon itu. Bumbung
tuaknya tetap menggantung di
pundak, siap
dipergunakan sewaktu-waktu.
"Aku tak tahu apakah
Pangeran Umbardanu itu
sebenarnya orang yang punya
nyali atau seorang
pengecut. Tapi dari jenis senjatanya tadi aku dapat
pastikan bahwa dialah
penyerangnya."
"Apakah kau ada masalah
dengan Pangeran
Umbardanu?"
"Dia pernah ingin
melamarku. Dia menyatakan
hatinya jatuh cinta padaku.
Tapi aku menolaknya secara
kasar, sebab aku tahu dia
punya maksud tersembunyi
dari ungkapan cintanya
itu."
"Maksud apa
kira-kira?"
"Dia mengincar pusaka,
dan rahasia pusaka itu ada di
tangan guruku. Dia ingin
dapatkan pusaka itu dengan
memperalat diriku."
"Pusaka apa yang
dimaksud?"
"Pusaka yang ada dalam
makam Resi Dirgantara."
Pendekar Mabuk tertawa kecil.
"Kelicikannya selalu
gagal. Cinta dipakainya
sebagai jembatan memperoleh
keinginannya. Kurasa lelaki
macam dia satu hari bisa
jatuh cinta seratus kali.
Agaknya ia cukup berbahaya
bagi seorang wanita seperti
kau, Puspa Jingga. Untung
kau cukup waspada. Hal yang
sama pun pernah dialami
oleh Indayani dan...."
"Indayani...?! Oh, si
Gadis Dungu itu maksudmu?"
"Benar. Pangeran
Umbardanu mendekati Indayani
dengan bahasa cinta, padahal
ia ingin membunuh gadis
itu pada saat si gadis lengah. Namun usahanya gagal,
sebelum niatnya tercapai
Indayani telah berhasil
diselamatkan oleh gurunya;
Nyai Serat Biru."
"Apakah kau punya
hubungan dekat dengan
Indayani?" pancing Puspa
Jingga dengan nada curiga.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum
lebar, tertawa
pelan tanpa suara.
"Hubungan dekatku dengan
Indayani bukan untuk
masalah cinta."
"Syukurlah kalau kau tak
jatuh cinta kepada Indayani.
Guru pasti akan mengecammu
jika kau jatuh cinta pada
Indayani, sebab Guru
bermusuhan dengan Nyai Serat
Biru."
Suto Sinting membuka tutup
bumbung bambu itu,
kemudian beberapa teguk tuak
ditenggaknya. Badannya
terasa segar setelah meneguk
tuak yang mempunyai
kesaktian sendiri bersama
bumbungnya itu.
Puspa Jingga memasukkan pedang
ke sarungnya.
Trak...! Lalu ia berkata
kepada Pendekar Mabuk yang
baru saja menutup bumbung
tuaknya.
"Kurasa Pangeran
Umbardanu melapor kepada
gurunya mengenai keberadaanmu bersamaku."
"Siapa guru Pangeran
Umbardanu itu?"
"Dupa Dewa, dari
Perguruan Serikat Jagal."
"Ooo... pantas dia sampai
hati ingin membunuh
Indayani, rupanya rencana itu
atas perintah gurunya;
Dupa Dewa yang merasa takut
kalau Indayani tetap
hidup sampai usia dua puluh
lima tahun."
"Kudengar si Dupa Dewa
ingin membalas dendam
padamu. Menurut cerita seorang
anak buahnya yang
pernah bertemu denganku, Dupa
Dewa menderita luka
parah saat bertarung denganmu.
Lukanya sampai
sekarang belum sembuh betul,
dan ia menyimpan
dendam pada Pendekar
Mabuk."
Suto Sinting hanya tertawa
kecil, ia teringat saat
bertarung dengan Dupa Dewa
yang membuat Dupa
Dewa terpental akibat hembusan
badai yang keluar dari
jurus 'Naga Tuak Setan'-nya
itu. Rupanya Dupa Dewa
masih hidup, dan sekarang
tentunya sedang persiapkan
diri untuk melakukan balas
dendam kepadanya. Tapi
Suto Sinting tak punya
rasa takut sedikit pun, bahkan
menertawakan dengan rencana
balas dendam itu.
"Aku akan pergi ke makam
Resi Dirgantara," ujar
Puspa Jingga pelan sekali,
seperti takut didengar orang
lain.
"Aku akan mendampingimu.
Tapi apakah kau tahu
tempatnya? Bukankah peta
menuju ke makam itu telah
direbut oleh Peri Kedung
Hantu?!"
"Aku masih ingat
patokannya. Mendiang Resi
Dirgantara dimakamkan dalam
goa. Goa itu ada di Bukit
Batok, letak bukit itu ada di
antara Gunung Sumbar dan
anak gunung itu yang bernama
Gunung Gempur."
"Kau tahu arah menuju ke
Bukit Batok?!"
"Patokan kita adalah
Gunung Sumbar yang tinggi dan
ada di sebelah timur tempat
ini. Kalau kita sudah
temukan Gunung Sumbar, kita
mudah temukan Bukit
Batok. Kalau kau mau
mendampingiku, kau harus siap
menghadapi Peri Kedung Hantu,
sebab perempuan itu
pasti ke sana."
"Kalau mau bergerak lebih
cepat dari Peri Kedung
Hantu, kau harus mau
kugendong, karena aku akan
pergunakan jurus 'Gerak
Siluman' supaya cepat sampai
di sana."
"Bodoh sekali
aku kalau sampai merasa keberatan
dengan usulmu," ujar
Puspa Jingga dengan senyum
indah mekar di bibirnya yang
ranum itu.
Baru saja Suto Sinting dekati
Puspa Jingga dan ingin
menggendongnya, tiba-tiba dua
berkas sinar kuning
sebesar lidi menghantam
punggung mereka. Clap,
clap...! Deb, deb...!
"Uhg...! Sssu....
Suto...?!"
Puspa Jingga tersentak dengan
tubuh mengejang, lalu
meliuk sebentar dan jatuh
terkulai dalam keadaan tak
sadarkan diri. Sedangkan
Pendekar Mabuk juga
mengalami hal serupa, tapi ia
berusaha untuk bertahan.
Napasnya yang terasa sesak itu
dipaksakan untuk disedot
dalam-dalam. Tetapi semakin
lama pandangan mata Suto
Sinting mulai
berkunang-kunang. Tubuh pendekar
tampan itu semakin lemas, dan
ia jatuh berlutut dengan
kepala mulai tertunduk lemas.
Dalam keadaan seperti itu,
Pendekar Mabuk sempat
melihat sekelebat bayangan
yang menyambar tubuh
Puspa Jingga. Sayang sekali
yang dapat dilihat Suto
Sinting hanya berupa sekelebat
bayangan, tak jelas
seperti apa wajah orang itu
dan siapa sebenarnya orang
itu.
Pendekar Mabuk pun roboh ke
depan saat Puspa
Jingga disambar dan dibawa
pergi oleh orang tersebut.
Suto Sinting dibiarkan
terkulai di tanah tanpa ada yang
mengusiknya lagi.
*
* *
3
TEBING terjal berbatu karang
mempunyai rongga
menyerupai goa. Di dalam goa
Itulah Pendekar Mabuk
sadarkan diri dan terkejut
melihat keadaannya terkapar
di atas batu datar setinggi
lutut. Batu itu seukuran
dengan sebuah tempat tidur yang
cukup untuk dua
orang.
Langit-langit goa yang tinggi
adalah sasaran pertama
ketika Suto Sinting membuka
matanya. Sebelum ia
bangkit duduk, terlebih dulu
dirasakan gerakan urat-urat
sekujur tubuhnya. Masih terasa
kaku dan linu, namun
sudah bisa untuk bergerak
sebagaimana mestinya.
Pendekar Mabuk pun segera
bangkit dan bertanya dalam
hati,
"Di mana aku ini?!
Hmmm... siapa yang membawaku
ke sini?! Bagaimana dengan
Puspa Jingga?!"
Goa itu sangat sunyi, kosong
tanpa orang lain. Tapi
melihat tumpukan kayu bakar
bekas api unggun, Suto
Sinting yakin bahwa goa ini
bukan dihuni oleh dirinya
sendiri. Pasti ada seseorang
yang membawanya ke situ.
Beberapa buah kelapa hijau
tampak terbelah dan
berserakan di sana-sini, juga
beberapa sisa makanan lain,
termasuk tempat pembakaran
ikan yang tersisa
tulangnya di sekitar tempat
bara.
Bumbung tuak sakti ada di
samping batu, bersandar
dalam keadaan berdiri.
Pendekar Mabuk cepat ambil
bumbung tuak itu dan menenggak
tuak beberapa teguk.
Dalam waktu singkat tubuhnya
menjadi segar dan
kekuatannya pulih kembali
seperti sediakala.
Turun dari batu datar Suto
Sinting melangkah dekati
mulut goa. Oh, ternyata ia
berada di lereng tebing dalam
kemiringan tegak lurus.
Di bawahnya tampak lautan
bergelombang besar. Jaraknya
cukup jauh dari mulut
tebing. Di depan pintu goa
yang ternganga lebar itu ada
sebidang tanah berbatu, di
sanalah Suto Sinting berdiri
dan memandang ke atas.
Ternyata jarak antara mulut goa
dengan bagian atas tebing
iebih dekat ketimbang jarak
ke perairan laut.
"Tempat yang sungguh aman
untuk persembunyian.
Hmmm... siapa orang yang
menempati goa ini
sebenarnya? Mengapa ia tidak
ada di tempat? Tak
kulihat ada manusia di sekitar
tebing ini. Ah, sial betul,
aku tak bisa menduga-duga
siapa orang yang
membawaku kemari sebenarnya?!"
Akhirnya Pendekar Mabuk
putuskan untuk
menunggu di dalam goa sambil
sesekali menikmati
tuaknya secara sedikit demi
sedikit. Keadaan di dalam
goa diperiksanya untuk
menentukan dugaan siapa
penghuni goa tersebut. Goa
yang tidak mempunyai jalan
tembus ke mana-mana dan
keadaannya tak terlalu dalam
itu mendapat sorotan sinar
matahari dari arah timur.
Sinar matahari itu cukup
menyegarkan udara di dalam
goa, walau sinarnya tak sampai
menembus ke dinding
dasar goa, tapi sinar itu
membuat terang goa tersebut,
sehingga benda apa pun yang
ada di situ bisa dilihat
dengan jelas.
Beberapa saat lamanya Pendekar
Mabuk menunggu si
penolong yang membawanya ke
goa tersebut. Hatinya
menjadi tak sabar dan ingin
segera meninggalkan goa
itu. Tetapi tiba-tiba niatnya terpaksa
dibatalkan karena
sekelebat bayangan masuk ke
dalam goa saat Suto
Sinting bergegas ingin menuju
ke pintu goa. Langkah
murid sinting si Gla Tuak itu
pun terhenti dan
pandangan matanya tertuju
kepada orang yang baru
datang itu. Orang tersebut
pastilah yang membawanya
ke tempat itu dalam keadaan
pingsan.
"Sudah sehatkah
keadaanmu, Suto?!"
"Rara Santika...?!"
gumam Suto Sinting dengan lirih
dan bernada kagum.
Perempuan yang rambutnya
disanggul dan dihiasi
permata itu sunggingkan senyum manis kepada Suto.
Benak Suto Sinting segera
teringat peristiwa saat
bertemu dengan perempuan
berusia sekitar dua puluh
delapan tahun yang berwajah
cantik, bulat telur,
berhidung mancung, dan bermata
indah itu. Jubah satin
warna merah jambu menutup dada
montoknya yang
dilapisi kain biru muda sesuai
kain bagian bawahnya
membuat Suto Sinting segera
mengenali perempuan itu.
Ia mengenal Rara Santika dalam satu peristiwa
yang
cukup menegangkan karena
perempuan itu mempunyai
saudara kembar beraliran
hitam, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode :
"Gundik Sakti").
"Tak kusangka kaulah
orangnya yang membawaku
kemari dalam keadaan aku tidak
berdaya," ujar Suto
Sinting saat Rara Santika
mendekatinya.
"Aku pun tak menyangka
sejak perpisahan kita
setelah menghancurkan Goa
Tumbal Perawan dulu,
tahu-tahu kujumpa dirimu dalam
keadaan terkapar tanpa
daya. Kau telah pingsan selama
dua hari, Suto."
"Oh, jadi aku berada di
sini sudah dua hari?"
"Lebih tepatnya dua hari
tiga malam. Ini hari
ketigamu berada di sini.
Kupikir kau tak dapat siuman
kembali. Aku sudah berusaha
mengobati dengan tenaga
intiku dan hawa murniku, namun
tak mampu
membuatmu sadar. Aku baru saja
pergi ke seorang tabib
untuk membawanya kemari, tapi
sayang tabib itu tidak
ada di tempat."
Perempuan bersenjata kipas
gading dengan hiasan
ronce-ronce merah di bagian
gagang kipasnya itu
memandangi Suto Sinting dengan
sorot pandangan mata
yang ceria dan berbinar-binar.
Agaknya ia punya kesan
pribadi tersendiri selama
bersama Pendekar Mabuk
dalam usaha menghancurkan Desa
Lambung Bumi yang
ada di dalam Goa Tumbal
Perawan, bekas tempat
kekuasaan adik kembarnya yang
berjuluk si Gundik
Sakti itu.
"Siapa orangnya yang bisa
membuatmu sampai
pingsan beberapa hari itu,
Suto?!" sambil tangan
perempuan itu mengusap rambut
Suto Sinting dengan
penuh kelembutan.
"Aku tak tahu siapa
orangnya, karena kala itu aku
sedang bersama Puspa
Jingga...."
"Maksudmu, si genit murid
Nini Kalong itu?"
"Benar, apakah kau kenal
dengannya?"
"Aku cukup kenal dengan
Nini Kalong dan kedua
murid andalannya; Puspa Jingga
dan Syair Kusumi. Tapi
hanya sebatas kenal biasa,
tanpa ikatan jasa apa pun.
Yang jelas kami tidak saling
bermusuhan."
"Apakah kau juga tahu
siapa orang yang membawa
lari Puspa Jingga dalam
keadaan tak berdaya itu?"
Rara Santika berkerut dahi.
"Jadi, Puspa Jingga
dibawa lari oleh
seseorang?"
Pendekar Mabuk segera
ceritakan masalah
sebenarnya tentang Puspa
Jingga. Perempuan itu pun
menanyakan tentang pusaka yang
ada di dalam makam
Resi Dirgantara, tapi Suto
Sinting tak bisa memberi
penjelasan.
"Puspa Jingga sendiri tak
mau menyebutkan nama
pusaka tersebut karena takut
melanggar larangan dari
gurunya," ujar Suto
Sinting sambil duduk di batu
tempatnya terbaring tadi.
"Resi Dirgantara semasa
hidupnya adalah sahabat
dari mendiang ayahku,"
kata Rara Santika. "Tapi beliau
tidak pernah bicara tentang
pusaka miliknya kepada
Ayah. Semasa berusia empat
belas tahun, aku pernah
ikut Resi Dirgantara
menyeberang ke Pulau Sumbing,
dan dalam perjalanan itu aku
dapat mengetahui bahwa
Resi Dirgantara tak pernah punya
pusaka. Rasa-rasanya
janggal sekali jika ada kabar
yang mengatakan bahwa di
dalam makam Resi Dirgantara
terdapat sebuah pusaka."
"Apakah Resi Dirgantara
tidak mempunyai senjata
apa pun?"
"Hmmm... ya, memang
punya, tapi menurutnya
bukan pusaka, itu hanya
senjata biasa untuk keamanan
dirinya."
Suto Sinting terbungkam dalam
keadaan merenung.
Kemudian terdengar gumam
lirihnya secara samar-
samar,
"Jadi untuk apa Nini Kalong membekali muridnya
sebuah peta menuju makam Resi
Dirgantara?! Benarkah
Nini Kalong mendapat petunjuk
dari dewata bahwa ada
pusaka di dalam makam Resi
Dirgantara?!"
"Kurasa itu hanya rekaan
Nini Kalong saja. Kalau toh
di dalam makam itu ada pusaka,
satu-satunya orang yang
tahu persis adalah Nyai Serat
Biru. Sebab dia adalah
adik kandung dari Resi
Dirgantara."
"Nyai Serat
Biru...?!" Pendekar Mabuk kerutkan dahi.
"Aku kenal betul dengan
Nyai Serat Biru."
"Tanyakanlah kepada Nyai
Serat Biru tentang pusaka
itu. Kurasa hanya dialah yang
bisa menjelaskan
mengenai isi makam Resi
Dirgantara."
Untuk memperjelas keadaan yang
sebenarnya,
Pendekar Mabuk merasa perlu
menemui Nyai Serat Biru
yang sedang mengasingkan diri
di puncak Gunung
Randu yang bersama muridnya:
Indayani, si Gadis
Dungu. Ketika hal itu
dikemukakan oleh Suto,
Rara
Santika menampakkan wajah kurang setuju dan serba
salah.
"Sebenarnya aku tak suka
dengan Indayani yang
sombong itu," ujarnya
kepada Suto Sinting. "Aku sering
cekcok mulut dengan murid Bibi
Serat Biru. Jika tidak
memandang Bibi Serat Biru
termasuk sahabat mendiang
ayahku, sudah kuhancurkan
mulut si Gadis Dungu itu."
Suto Sinting tertawa pendek.
"Apakah ia pernah bikin
persoalan denganmu?"
"Memang tidak, tapi aku
tak betah mendengar kata-
katanya. Hatiku cepat panas
jika ia berbicara muluk-
muluk."
"Kendalikan saja hatimu,
jangan terpengaruh oleh
sifatnya yang memang sudah
begitu adanya. Setiap
orang mempunyai pembawaan
pribadi sejak kecil. Kau
harus bisa berlapang dada dan
memaklumi pembawaan
tiap pribadi manusia."
Rara Santika diam termenung,
semantara itu Suto
Sinting sudah berada di ambang
mulut goa. Ia
memandang ke arah lautan
lepas. Sejenak kemudian
berpaling menatap Rara Santika
dan bertanya dengan
suara merdunya.
"Aku akan berangkat ke
puncak Gunung Randu
menemui Nyai Serat Biru.
Bagaimana dengan dirimu?
Apakah mau ikut ke sana atau
tidak?"
Rara Santika tarik napas
dalam-dalam, ia memandang
Suto Sinting dengan hati
diliputi kebimbangan. Setelah
dua helaan napas ia bangkit
dan mendekati Suto Sinting.
"Baik, aku akan ikut ke
Gunung Randu. Tapi dengan
satu syarat yang harus kau
penuhi."
"Syarat apa?" seraya
Suto Sinting sunggingkan
senyum tipis.
"Jangan terlalu dekat
dengan Indayani!"
"Mengapa jika aku terlalu
dekat dengannya?"
"Aku bisa benci padamu,
karena kuanggap kau ikut-
ikutan menjadi manusia
sombong."
Tawa pelan mirip suara
menggumam itu
berkepanjangan. Rara Santika
menjadi tersipu malu dan
salah tingkah sendiri.
Pendekar Mabuk segera meraih
kedua pundak perempuan itu dan
menghadapkan ke
arahnya. Wajah cantik yang
sudah cukup dewasa itu
dipandanginya beberapa saat
dalam hiasan senyum yang
menawan.
"Baiklah, akan kuturuti
saranmu itu. Tapi kau tidak
boleh mudah cemburu jika aku
bicara padanya."
"Siapa yang
cemburu?!" Rara Santika bersungut-
sungut, Pendekar Mabuk tertawa
geli.
Mereka berdua segera melesat
menuju Gunung
Randu. Mereka bergerak ke arah
selatan dari tebing
curam itu. Namun baru mendapat
beberapa langkah
terpaksa harus berhenti karena
kehadiran seseorang yang
tahu-tahu menghadang di depan
mereka.
Jleeg...!
Orang tersebut bagaikan hantu
yang muncul dari
alam gaib. Tahu-tahu ada di
depan mereka dan
mengejutkan Rara Santika. Mata
tajam Pendekar Mabuk
mulai memandangi sosok orang yang berdiri
menghadang langkahnya itu, namun sikapnya masih
tampak tenang dan tak
menunjukkan keheranan sedikit
pun. Keheranan itu hanya
dipendam dalam hati, karena
Suto merasa baru sekarang
berjumpa dengan orang
tersebut.
"Kau kenal
dengannya?" bisik Suto Sinting kepada
Rara Santika.
"Aku tak pernah jumpa
dengannya," jawab Rara
Santika dengan mata tetap
tertuju pada seorang pemuda
berusia sebaya dengan Suto
Sinting. Pemuda itu
mengenakan pakaian hijau
berhias benang emas dengan
celananya yang berwarna sama
pula. Rambutnya
panjang sebatas punggung
dengan kepala mengenakan
ikat dari logam emas berhias
butiran permata kecil.
Tangan kirinya menggenggam
pedang bersarung kuning
emas dengan ukiran indah.
"Dilihat dari pedang dan
pakaiannya, agaknya
pemuda itu bukan dari golongan
masyarakat biasa!"
bisik Suto Sinting.
Rara Santika memperhatikan
rompi perunggu yang
dikenakan pemuda itu
dalam keadaan rapat. Rompi itu
berukir dan tampak tebal
sekali. Agaknya rompi itu
berguna sebagai pelindung dada
dari serangan senjata
tajam dan sejenisnya.
Rara Santika segera menyapa dengan sikap tak
ramah, "Siapa kau
sebenarnya, dan apa perlumu
menghadang langkah
kami?!"
"Aku ingin bicara dengan
pemuda sinting itu!"
jawabnya sambil menuding
Pendekar Mabuk.
Pemuda berkumis tipis dengan
ketampanan yang
berkesan licik itu diperhatikan Suto Sinting tanpa
berkesip. Di bibir Suto masih
ada seulas senyum tipis
sebagai kesan menyepelekan
kewibawaan pemuda
tersebut. Suto Sinting sengaja
tidak bicara, sehingga
Rara Santika mewakilinya.
"Ada perlu
apa kau ingin bicara dengan sahabatku
ini?!"
"Kulihat tadi dia bersama
kekasihku; Puspa Jingga!"
"O.... jadi kau yang
bernama Pangeran Umbardanu?!"
sahut Suto Sinting segera
dapat menyimpulkan siapa
pemuda itu.
"Kalau kau sudah tahu
siapa aku, sekarang kau harus
memberi tahu di mana
kekasihku; Puspa Jingga itu?!"
"Kalau dia kekasihmu, tentunya kau tidak akan
menyerangnya dengan senjata
Bintang Neraka-mu,
Pangeran!" kata Suto
Sinting tak kalah ketus.
Senyumnya justru dibuat sinis
dan memancing
kejengkelan Pangeran
Umbardanu.
"Aku tadi ingin membunuhmu, bukan membunuh
Puspa Jingga."
"Arahnya jelas kepada
Puspa Jingga, bukan
kepadaku. Kau punya kemarahan
kepada Puspa Jingga
karena tak mau menerima
cintamu, bukan?!"
"Persetan dengan cinta!
Sekarang yang kuminta
darimu adalah sebuah peta!
Kudengar Puspa Jingga yang
membawa sebuah peta dari
gurunya untuk menuju ke
makam Resi Dirgantara. Aku
yakin peta itu sekarang
sudah berpindah ke tanganmu
karena kulihat kau pandai
membujuk hati wanita!"
Pendekar Mabuk kian
sunggingkan senyum bernada
sinis. "Kau tak akan mendapatkan apa-apa dariku,
Pangeran Umbardanu! Aku bukan
pria sepertimu;
mendekati wanita untuk maksud
kelicikan pribadi! Sama
halnya kala kau mendekati
Indayani dan berlagak jatuh
cinta...."
"Tutup mulutmu!"
sentak Pangeran Umbardanu
sambil tangannya mulai
memegang gagang pedangnya.
"Kucabik-cabik tubuhmu
kalau tak segera serahkan peta
itu!"
"Oh, kau mencabik-cabik
dia?! Kalau begitu ada
baiknya kau hadapi dulu aku,
Umbardanu!" ujar Rara
Santika dengan sikap menantang
tanpa rasa takut sedikit
pun.
"Perempuan lacur kau!
Jangan berlagak menjadi
pelindung pemuda ingusan macam
dia! Menyingkirlah
dari hadapanku!"
"Dapatkah kau memaksaku
untuk menyingkir dari
tempatku?!"
"Keparat! Rupanya kau
belum tahu siapa Pangeran
Umbardanu ini, hah?!
Hiaaaat...!"
Srang...! Pedang dicabut dari
sarungnya dan Pangeran
Umbardanu lompat ke depan.
Wuuut...!
Tangan bersenjata pedang
terangkat ke atas, siap
menebaskan pedang tersebut ke
kepala Rara Santika.
Namun tubuh Rara Santika
segera bergerak cepat, ia
bersalto ke belakang sambil
salah satu kakinya
menendang pergelangan tangan
Pangeran Umbardanu.
Wuuut...! Deess...!
"Aaauuh...!"
Pangeran Umbardanu terpekik menahan
sakit. Pedang yang ada di
tangannya itu terlepas dan
terpental. Sementara itu Rara
Santika sudah berdiri tegak
kembali dengan kaki sedikit
merenggang dan merendah,
siap hadapi serangan lawannya.
Namun sang lawan
agaknya tidak cepat bergerak
akibat menahan rasa sakit
pada tulang tangannya.
"Setan kurap!
Tendangannya mematahkan tulang
tanganku! Uuh...! Sakitnya
bukan main. Pasti ia salurkan
tenaga salju ke dalam
tendangannya hingga seluruh
darahku teraaa dingin sekali!
Hmmm... agaknya aku
harus gunakan Bintang Neraka
untuk membunuh
perempuan keparat itu!"
Pangeran Umbardanu
menggeram-geram sambil
bergerak membuka jurus baru. Sementara itu, Suto
Sinting hanya
senyum-senyum saja dari tempat
berdirinya di dekat gerumbulan
semak belukar. Matanya
memperhatikan Pangeran
Umbardanu dengan sikap
mencemooh ilmu putra sultan
itu.
Zub, zub, zub...! Tiba-tiba
tiga keping logam melesat
dari tangan Pangeran Umbardanu
yang bergerak
melemparkan benda itu dengan
gerakan cepat.
Sepertinya ia mengambil benda
berbentuk bintang segi
enam itu dari balik rompi
perunggunya.
Tiga benda yang melayang ke
arah Rara Santika itu
sengaja tidak dihindari. Namun
tangan Rara Santika
dengan cepat menyambar senjata
kipas gadingnya yang
sejak tadi tertutup kain
jubahnya. Suut...! Kipas gading
itu pun dibentangkan di depan
dada. Bred...!
Jub, jub, jub...! Tiga keping
bintang bersegi enam
menancap pada kipas gading
bagaikan besi semberani.
Kipas itu segera dikibaskan ke
depan, weesss...! Dan tiga
keping senjata rahasia itu
melesat ke arah Pangeran
Umbardanu. Zing, zing,
zing...!
"Heaaah...!" pekik
Pangeran Umbardanu sambil
lakukan lompatan bersalto ke
belakang. Senjata rahasia
yang memburu balik ke arahnya
itu melesat ke tempat
kosong dan akhirnya ketiga
senjata itu menancap pada
tiga batang pohon. Jrab, jrab,
jrab...!
Pohon yang segera menjadi layu
itu tidak dihiraukan
oleh mereka. Pangeran
Umbardanu masih penasaran
untuk lakukan serangan
beruntun kepada Rara Santika.
Sebuah tendangaan berputar
bagaikan kipas dilancarkan
dengan cepat. Wut, wut wut,
wut...!
Kaki kekar itu melayang bagai
ingin membabat
kepala Rara Santika. Namun
perempuan itu
menghindarinya dengan
meliuk-liukkan kepala dan
punggung hingga lolos dari
tendangan putar beruntun
tersebut. Hanya saja, pada
saat tendangan Pangeran
Umbardanu berubah menjadi
menyodok lurus ke depan,
Rara Santika hampir saja
terkena tendangan tersebut di
bagian wajahnya. Untung tangan
kirinya segera
berkelebat dan telapak tangan
itu menahan tendangan
yang menggunakan ujung kaki
itu.
Dees...!
Kipas segera mengatup.
Taab...! Kemudian ujung
kipas disodokkan ke mata kaki
Pangeran Umbardanu.
Duuhg...!
"Aaaauuww...!"
Pangeran Umbardanu menjerit keras
karena mata kaki kanannya remuk
seketika itu juga. Ia
tak bisa berdiri dengan
menggunakan kaki kanannya, ia
terlonjak-lonjak ke belakang
menggunakan kaki kiri,
sementara tangannya memegangi
kaki kanannya.
"Bangsat kau, Perempuan
Iblis!!" teriaknya penuh
murka.
Rara Santika hanya sunggingkan
senyum sinis sambil
berdiri dengan tangan
memegangi kipas terangkat ke
atas. Kipas itu sendiri masih
dalam keadaan tertutup.
Matanya memandang tajam tak
berkedip.
"Terpaksa kuhancurkan
tubuhmu yang kotor itu,
Jahanam! Heeeaah...!"
Pangeran Umbardanu sentakkan
kedua tangannya.
Wuuut...! Dari kedua tangan
itu meluncur dua larik sinar
biru sebesar gagang pedang.
Wuuut, wuuut...!
Rara Santika segera membuka
kipasnya. Breed...!
Lalu dikibaskan dari atas ke
bawah, dan ke atas lagi.
Wuus, wees...!
Sinar biru menghantam tanah.
Blaaarr...! Tanah
menjadi retak, tubuh Pangeran
Umbardanu hampir
terperosok masuk ke dalam
belahan tanah. Namun
sebelum ia terperosok, angin
badai berhembus sangat
cepat dan kencang. Wuuusss...!
Cahaya petir biru kemerahan
memercik dari tepian
kipas sebanyak tiga larik dan
saling bertebaran
menghantam tubuh Pangeran
Umbardanu. Trat, trat,
trat...!
Sayang sekali
tubuh itu telah terbang
dihempaskan
angin badai yang dahsyat.
Sinar petir itu menghantam
beberapa pohon yang ikut jebol
dan terbang karena
angin badai dari kipas Rara
Santika itu.
Duaaar, blegaaarrr...!
Gleeeerrrr...!
Suara gemuruh bagai langit
roboh terdengar
menggema panjang. Alam menjadi
porak-poranda.
Pohon-pohon dijungkirbalikkan
oleh angin badai dari
kipas Rara Santika. Tempat itu
bagai dilanda bencana
alam. Tanah yang terbelah
akibat sinar birunya Pangeran
Umbardanu tadi menjadi kian
retak dan bergetar hebat.
Bahkan keretakan tanah terjadi
di sana-sini, terutama
pada bekas pohon yang tumbang dan jebol bersama
akarnya.
Pendekar Mabuk hanya bisa
tertegun bengong
menyaksikan kehebatan kipas
Rara Santika yang hampir
menyerupai kedahsyatan
'Napas Tuak Se-tan'-nya. Jika
jurus 'Napas Tuak Setan'
dipergunakan Pendekar Mabuk,
maka langit pun menjadi gaduh,
petir menyambar-
nyambar dan awan hitam datang
bergulung-gulung.
Kali ini awan hitam juga
datang bergulung-gulung
walau tak sebanyak jika 'Napas
Tuak Setan' digunakan
Suto Sinting. Kilatan cahaya
petir bermunculan dari
gulungan awan hitam di langit, alam dibuat semakin
gaduh oleh gelegar guntur yang
bersahutan.
"Dahsyat juga kipas itu?!
Dalam sekejap saja hutan
ini menjadi bersih bagai
ladang tanpa tanaman?!" pikir
Suto Sinting sambil pandangi
tumpukan pohon yang
menggunung di kejauhan sana.
Di antara tumpukan
pohon itu, terdapat tubuh
Pangeran Umbardanu yang tak
jelas apakah masih hidup atau
sudah tak bernyawa.
Rara Santika juga memandang ke
arah depannya
yang bersih dan terang karena
tanpa pepohonan lagi.
Napasnya ditarik
panjang-panjang, kipasnya dikatupkan
dan diselipkan ke pinggang
kanan, tertutup jubah merah
jambunya.
"Mengapa sampai seperti
itu kau melawannya?
Mestinya tak perlu sampai
merusak alam," ujar Suto
Sinting yang melangkah
mendekatinya.
"Tanggung," jawab
Rara Santika dengan datar. "Dia
tak akan berani menantangmu
sembarangan lagi. Itu
baru melawanku, belum
melawanmu! Kurasa ia akan
cepat menjadi mayat jika
melawanmu."
"Kalau dia sampai tewas,
berarti kita akan berurusan
dengan Perguruan Serikat Jagal
dan orang-orang dari
Kesultanan Siliwindu."
"Akan kugulung habis
mereka jika masih coba-coba
membalas dendam padamu."
Pendekar Mabuk diam saja, tapi
hatinya membatin,
"Begitu marahnya ia
melihat diriku ditantang orang?
Apa arti sikapnya ini?! Seakan
ia tak ingin orang lain
menyinggung perasaanku sedikit
pun. Jika begitu ia akan
murka jika melihat orang lain
melukai tubuhku walau
segores pun?! Apa benar ia
punya sikap seperti itu?!"
Rara Santika berkata dengan
tegas, "Lanjutkan
langkah kita! Jangan bertindak
jika ada yang ingin
berkurang ajar padamu. Biar
aku yang bertindak
memberi pelajaran pada mereka!
Jika perlu akan
kuhentikan masa hidupnya siapa
pun juga orangnya
yang menantangmu dengan
gegabah!"
Pendekar Mabuk tertawa kecil
menyimpan rasa geli
dan bangga hati. Ia nyaris
tertinggal karena Rara Santika
melangkah lebih dulu. Sambil
menyusul langkah Rara
Santika hati Pendekar Mabuk
pun berkata pada diri
sendiri,
"Pembelaannya itu jelas
mempunyai maksud tertentu
yang amat pribadi. Maukah ia
menjelaskannya jika
kutanya maksud pembelaannya
ini?!"
4
DALAM perjalanan menuju Gunung
Randu, tiba-tiba
Pendekar Mabuk tersentak oleh
ingatan tentang Puspa
Jingga. Langkahnya terhenti
seketika, membuat Rara
Santika memandanginya dengan
dahi berkerut merasa
heran.
"Ada apa, Suto?"
tegurnya pelan.
"Puspa Jingga,"
jawab Suto Sinting dari wajah
menunduk jadi terangkat
memandang Rara Santika.
"Kenapa dengan Puspa
Jingga?"
"Siapa yang membawa lari
Puspa Jingga pada saat
kami sama-sama pingsan?"
"Mengapa baru sekarang
kau berpikir begitu?"
"Karena kusangka Pangeran
Umbardanu yang
membawa lari Puspa Jingga.
Ternyata bukan dia, dan
bukan Pangeran Umbardanu juga
yang menghantam
kami dari belakang hingga tak
sadarkan diri itu."
Setelah diam sebentar, Rara
Santika ajukan tanya
kembali dengan nada sedikit
meremehkan,
"Apakah hilangnya Puspa
Jingga adalah hal yang
amat penting bagimu, Pendekar
Mabuk?! Apakah ia
dalam tanggung jawabmu?!"
"Memang tidak dalam
tanggung jawabku. Tetapi
hilangnya Puspa Jingga
melibatkan diriku, sebab akulah
yang saat itu ada bersamanya.
Aku pula yang terkena
serangan dari orang yang
membawa pergi Puspa Jingga
itu."
"Mungkin orang itu adalah
Nini Kalong sendiri."
"Tidak mungkin,"
sangkal Pendekar Mabuk. "Nini
Kalong sedang bertapa gantung.
Karenanya ia tugaskan
Puspa Jingga untuk mengambil
pusaka di dalam makam
Resi Dirgantara."
"Tak bisakah kau
melupakan Puspa Jingga?"
"Tak bisa, Rara.
Setidaknya aku juga ingin tahu siapa
orang yang menyerangku dari
belakang itu!"
Rara Santika menarik napas
panjang lalu
menghembuskannya lepas-lepas.
Pandangan matanya
dialihkan ke arah lain.
Perempuan itu tampak
sembunyikan kedongkolan dalam
hatinya. Rasa tak suka
melihat Suto Sinting terlalu
peduli dengan perempuan
lain membuat Rara Santika
menjauh tiga langkah,
seakan sedang memandangi alam
sekeliling mereka.
Pada saat itulah Rara Santika
melihat sekelebat
bayangan melintas di sela-sela
pepohonan seberang.
Pandangan matanya berubah
menjadi tajam seketika.
"Suto, ada orang di
seberang sana!" ucapnya pelan,
tapi sampai juga di telinga
murid si Gila Tuak itu.
Pandangan mata Pendekar Mabuk
pun segera mengarah
ke tempat yang diperhatikan
Rara Santika.
"Benar apa katamu. Tapi
agaknya ia orang berilmu
tinggi. Gerakannya sangat
cepat dan hampir-hampir tak
bisa dilihat oleh mata kepala
kita."
"Tapi ia tidak tahu kalau
kita ada di sini."
"Mungkin tahu, tapi tak
mau peduli dengan diri kita.
Aku jadi penasaran dan ingin
menguntitnya."
"Jangan, Suto! Tak perlu
kita...."
Zlaaap...!
"Sutooo...?!"
panggil Rara Santika, tetapi Pendekar
Mabuk telah lenyap bagai
ditelan bumi. Ia melesat
dengan kecepatan lebih tinggi
dari bayangan yang
berkelebat di hutan seberang
mereka itu. Mau tak mau
Rara Santika mengikuti gerakan
Suto Sinting dengan
gerutuan tak jelas.
Orang yang diikuti Suto
Sinting itu akhirnya berhenti
di balik pohon besar yang
berongga mirip goa. Ia
bersembunyi di sana, tapi Suto
Sinting melihatnya dan
segera menghampiri orang itu.
Wuuut...! Zeeb...! Tahu-
tahu Suto Sinting sudah
berdiri di depan mulut rongga
pohon besar itu dalam jarak
empat langkah. Orang yang
bersembunyi itu terkejut
hingga memekik tertahan.
"Hahh...?!" matanya
mendelik memancarkan
perasaan takutnya.
"Resi Pakar
Pantun...?!" sapa Suto Sinting
dengan
terheran-heran.
"Oooh... syukurlah.
Akhirnya kutemukan juga
dirimu, Suto Sinting,"
ujar orang tua berpakaian abu-abu
dalam potongan pakaian
biarawan. Tokoh ini sudah
tidak asing lagi bagi Suto
Sinting, karena belakangan
Suto Sinting memang banyak
terlibat masalah yang ada
hubungannya dengan Resi Pakar
Pantun, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Sabuk Gempur
Jagat").
"Kau tampak ketakutan
sekali, Resi Pakar Pantun.
Apa yang terjadi pada dirimu?!"
"Ikan teri makanan
perkutut,
ketan wajik makanan hewan.
Aku lari bukan karena takut,
tapi jijik berhadapan dengan
lawan."
Sang Resi pun langsung
berpantun, karena memang
ia gemar bermain pantun. Suto
Sinting hanya
sunggingkan senyum tipis
setelah mendengar arti pantun
sang Resi. Orang tua
berjenggot putih agak gemuk itu
keluar dari rongga pohon,
matanya memandang ke sana-
sini dengan rasa waswas.
"Siapa lawan yang
mengejarmu itu. Resi?" tanya Suto
Sinting menahan geli melihat
wajah tua berusia delapan
puluh tahun itu sangat lucu
jika dalam ketakutan begitu.
"Lawanku kali ini bukan
lawan sembarangan, Suto.
Aku... aku benar-benar jijik
berhadapan dengan lawanku
itu."
"Bukankah beberapa waktu
yang lalu, kala kita
berpisah, kau pergi ke negeri
Bumiloka untuk membantu
muridmu; Kertapaksi, yang
sedang diserang oleh Ratu
Sangkar Mesum?!"
"Benar. Itu benar
sekali!" jawabnya penuh semangat
Sang Resi pun ingat masa
perpisahannya dengan
Pendekar Mabuk beberapa waktu
yang lalu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode:
"Gundik Sakti").
"Lalu, bagaimana
hasilnya? Apakah kau tak bisa
menyelamatkan negeri muridmu
itu?!"
"Bukan aku tak mampu
menyelamatkan muridku, tapi
justru sekarang pihak Ratu
Sangkar Mesum berbalik
memusuhiku."
"Lalu, kau lari dari
pertarungan dengan Ratu Sangkar
Mesum itu?" desak Suto
Sinting, tapi sang Resi agaknya
tak mau dikecam begitu saja.
Ia mulai berpantun
kembali.
"Ikan teri main garukan
dengan kuku,
memancing ikan di gayung
adalah sia-sia.
Lari dari pertarungan adalah
tabu bagiku,
tapi menghindari maut adalah
kewajiban tiap
manusia."
Suto Sinting tertawa-tawa
kecil dan berkata, "Bilang
saja kau takut menghadapi Ratu
Sangkar Mesum!"
"Ikan teri kalau berenang
baunya kecut,
orang disunat susah dicabut
Bukan perempuan itu yang
membuatku takut,
tapi mayat hidup yang bikin
aku kalang kabut."
Dahi pemuda tampan itu mulai
berkerut dan
menggumam lirih, "Mayat
hidup...?!" '
"Ratu Sangkar Mesum kerahkan pasukan mayat
hidup, ia membangkitkan
beberapa mayat dari dalam
kubur untuk menyerangku.
Padahal aku paling jijik dengan mayat. Salah satu mayat ada yang mengejarku
dan sukar kuhancurkan dengan
tenaga dalamku. Padahal
semasa hidup mayat itu aku sangat
kenal dengannya."
"Mayat siapa yang kau
maksudkan itu, Resi?"
"Mayat sahabatku sendiri;
mendiang Resi
Dirgantara!"
"Hahh...?!" Pendekar
Mabuk tersentak kaget dan
matanya mendelik lebar.
"Baru kuceritakan
kebangkitannya saja kau sudah
kaget dan menjadi takut,
apalagi jika berhadapan dengan
mayat itu!" ujar sang
Resi salah duga.
"Ja... jadi mayat Resi
Dirgantara dibangkitkan oleh
Ratu Sangkar Mesum? Oh, kalau
begitu kuburan sang
Resi Dirgantara menjadi
rusak?!"
"Ceritanya begini,"
kata Resi Pakar Pantun berlagak
tenang dalam memberi
penjelasan. Padahal hatinya
penuh kecemasan karena takut
tertangkap pengejarnya.
"Aku berhasil melumpuhkan
anak buah Ratu Sangkar
Mesum. Rupanya perempuan itu
menjadi murka, kami
adu kesaktian, ia keteter
melawanku, lalu memanggil
Dewi Geladak Ayu...."
"Maksudmu, si bajak laut
wanita itu?!"
"Benar. Menghadapi si
bajak laut wanita itu aku
menjadi terdesak, lalu segera
larikan diri untuk mencuri
kesempatan memukul kelemahan
si Dewi Geladak Ayu.
Namun ternyata siasat lariku
itu justru dikejar oleh Ratu
Sangkar Mesum. Mayat-mayat
dibangkitkan dari kubur
untuk ikut mengejarku. Para
mayat itu bisa kuhancurkan,
tapi ada satu mayat yang susah
kulawan; selain tak tega
juga sukar dihancurkan. Mayat
itu adalah mayat
mendiang sahabatku; Resi
Dirgantara."
"Apakah kau berlari ke
arah Bukit Batok?"
"Benar, aku berlari ke
arah sana tanpa kusadari. Dan
ketika melewati makam Resi
Dirgantara, tahu-tahu goa
itu jebol, mayat sahabatku
yang sudah berpuluh-puluh
tahun dimakamkan itu bangkit
menyerangku dan, hiiii...!
Ngeri!" sang Resi
bergidik. Matanya melirik ke kanan
kiri dengan tegang. Pendekar
Mabuk menjadi kian geli
melihat tokoh tua yang
terkenal sakti itu dicekam
perasaan takut yang bukan
sekadar main-main.
"Lalu... di mana
pelayanmu si Kadal Ginting itu,
Resi?!"
"Wah, tak tahu bagaimana
nasibnya anak itu! Dia lari
ngibrit tunggang langgang
begitu serangan mayat
pertama datang. Sejak itu kami
berpisah dan saling tidak
mengetahui nasib
masing-masing," jawab sang Resi
yang bernada menggelikan bagi
Suto Sinting.
"Seorang Resi berilmu
tinggi kok takut sama
mayat?!"
"Kalau mayat mati aku tak
takut, tapi kalau mayat
hidup aku memang takut. Aku
tak pernah berurusan
dengan mayat hidup, sejak
kecil sampai setua ini!"
"Padahal dirimu sendiri sebenarnya mayat hidup,
Resi."
"Ah, bercanda kau!"
sang Resi melirik bersungut-
sungut.
"Dulu kau pernah mati dan
dihidupkan lagi oleh Pipit
Serindu," ujar Suto
Sinting, lalu menceritakan secara
sekilas saat Resi Pakar Pantun
sudah dinyatakan mati
dan mau disemayamkan dengan
cara dibakar, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kutukan
Pelacur Tua").
"Itu bukan mati, tapi
salah anggapan!" ujar sang Resi
dengan wajah cemberut pertanda
tak suka dikatakan
sebagai orang yang pernah
mati.
"Jadi bagaimana nasib
negeri Bumiloka dan muridmu
si Kertapaksi itu, Resi?"
"Entahlah, aku belum bisa
berpikir soal itu. Aku
masih terbayang-bayang dikejar
mayatnya si Dirgantara
selama sehari semalam penuh.
Sampai sekarang aku
belum tidur, karena mayat itu
tak mau tidur juga."
Suto Sinting tertawa tanpa suara. Tawa itu
tiba-tiba
lenyap karena sekelebat sinar
merah yang melesat lurus
bagaikan sepotong besi panjang
sehasta. Slaaap...! Sinar
merah bening mirip dengan besi
membara itu meluncur
cepat ke punggung Resi Pakar
Pantun.
Suto Sinting menyambar tangan
sang Resi. Wuuut...!
Sang Resi tersentak ke depan
karena tarikan tangan kiri
Suto Sinting, sementara tangan
kanan Pendekar Mabuk
segera melayangkan bumbung
tuaknya ke arah depan.
Wees...! Sinar merah itu
menghantam bumbung tuak
tersebut.
Duaaar...!
Ledakan cukup keras terjadi
tanpa melukai bambu
bumbung tuak. Tapi ledakan itu
mempunyai gelombang
hentakan yang cukup kuat,
sehingga Suto Sinting dan
Resi Pakar Pantun terjungkal
berguling-guling saling
tindih.
"Auuow...! Auuuh...!
Kepalaku jangan ditindih, Suto!
Aauh... tanganku... tanganku,
Sutooo...! Aduh, remuk
tulangku kalau begini,
uuuh...!"
Celoteh dan ratapan Resi Pakar
Pantun tak sempat
dihiraukan Suto Sinting.
Ketika tubuh mereka sama-
sama berhenti karena membentur
sebuah pohon besar,
Resi Pakar Pantun meratap
lirih, wajahnya meringis
karena kakinya tertindih tubuh
Suto Sinting. Akhirnya ia
membentak Suto Sinting sambil
menepak pundak
pemuda itu.
"Cepat bangun,
Tolol!"
"Serangan itu pasti dari
orang berilmu tinggi, Resi!"
"Tak peduli berilmu tinggi
atau rendah, kakiku jangan
kau injak terus!" geram
sang Resi dengan berang.
Suto Sinting buru-buru
menenggak tuaknya untuk
hilangkan rasa sakit di
sekujur tubuhnya. Resi Pakar
Pantun pun disuruh menenggak
tuak tersebut.
"Biar rasa sakitmu
hilang, Resi. Minumlah tuak ini!"
Resi Pakar Pantun yang tahu
persis bahwa tuak Suto
itu mempunyai kesaktian tinggi
sebagai senjata maupun
obat, tak menolak tawaran
untuk minum tuak. Ia
menenggaknya beberapa teguk.
Kejap berikut mereka
berdua saling memandang
keadaan sekeliling mencari
lawan mereka yang tahu-tahu
menyerang dengan tenaga
dalam cukup tinggi.
"Jika orang itu tidak
menggunakan jurus bertenaga
dalam tinggi, sinar itu pasti
akan memantul balik dalam
keadaan lebih besar dan lebih
cepat gerakannya. Tapi
sinar itu ternyata justru
meledak begitu mengenai
bumbung tuakku, berarti kadar
hawa saktinya cukup
tinggi," tutur Suto
Sinting tanpa memandang Resi Pakar
Pantun.
"Musuhmu atau musuhku
yang menyerang kita
tadi?!" tanya sang Resi
benar-benar dalam kebingungan.
Belum sempat Pendekar Mabuk
memberi jawaban,
tiba-tiba mereka sama-sama
bungkam dengan mata
tertuju ke arah munculnya
sesosok tubuh yang meluncur
dari ketinggian sebuah pohon.
Wuuuusss...!
Jleeg...!
Tubuh ramping berjubah hijau
muda dari kain sutera
tipis telah
berdiri di depan mereka dalam jarak enam
langkah. Tubuh ramping itu
mempunyai wajah cantik
dan sorot pandangan mata yang
menggoda hati lelaki.
Rambutnya disanggul sebagian,
pada sanggulnya dililit
pengikat dari logam emas
bermanik-manik intan. Tubuh
berkulit putih mulus itu hanya
dibungkus dengan jubah
hijau tipis bagian depannya
hanya mempunyai satu
pengait 'kancing jepret' yang
sewaktu-waktu bisa
terlepas sendiri. Sedangkan di
bagian dalam jubah tak
mempunyai pelapis apa pun, sehingga jika jubah itu
tersingkap maka akan tampak
sebentuk keindahan yang
membakar gairah setiap lelaki.
Resi Pakar Pantun menggeram
dengan kedua tangan
meremas sendiri. Sorot
pandangan mata tuanya
memancarkan permusuhan kepada
perempuan berkalung
dan bergelang emas permata.
"Kau mengenal perempuan
itu, Resi?" tanya Suto
Sinting dalam bisikan.
"Ratu Sangkar
Mesum!" geram sang Resi penuh
dendam. Suto Sinting hanya
menggumam dalam hati,
kemudian pandangan matanya
dipertajam dalam
menatap Ratu Sangkar Mesum.
Perempuan itu sendiri
menatap Suto Sinting lebih
lama ketimbang memandang
Resi Pakar Pantun.
"Kau tak akan bisa lari
ke mana-mana lagi, Pakar
Pantun!"
"Ikan teri menjelma
sebagai tamu,
belalai gajah direbus dibuat
jamu.
Aku lari bukan karena kalah
ilmu,
tapi lari untuk mencarikan
kuburmu."
Perempuan itu sunggingkan
senyum sinis mendengar
pantun sang Resi. Rupanya ia
juga pandai berpantun
sehingga membalas pantun
tersebut dengan suara yang
sedikit serak namun mempunyai
getaran penggugah
hasrat cinta lawan jenisnya.
"Ikan teri
berbondong-bondong masuk dalam saku,
ikan lele berlari-lari menuju
biara.
Kalau kau memang tak sanggup
lagi melawanku,
biarkan aku melawan pemuda itu
dengan asmara."
Mata jeli yang berkesan nakal
dan jalang itu melirik
kembali kepada Suto Sinting.
Pemuda yang dilirik hanya
sunggingkan senyum tipis dan
bersikap tenang, seakan
acuh tak acuh terhadap pantun
sang Ratu Sangkar
Mesum itu. Walaupun ia tahu
maksud pantun tersebut,
namun tak punya niat untuk
membalas dengan pantun
juga. Sikap diam dan acuh tak
acuh merupakan balasan
yang cukup untuk pantun
tersebut.
Tetapi tidak demikian halnya
dengan Resi Pakar
Pantun. Mendengar lawannya
berpantun, ia pun
membalas dengan pantun ejekan
yang dapat
membangkitkan amarah Ratu
Sangkar Mesum.
"Ikan teri mencakar memar
seekor tikus,
mencari tikar buat campuran
ubi rebus.
Dasar perempuan liar berjiwa
rakus,
lihat pemuda kekar maunya
langsung bungkus."
Ratu Sangkar Mesum langsung
membentak kepada
sang Resi, "Hentikan
permainan pantunmu!"
Ia maju dua langkah, lalu
berkata lagi dengan wajah
memancarkan dendam.
"Anak buahku hampir habis
karena ulahmu. Tua
Peot! Sekarang saatnya menebus
dengan nyawamu!"
Suto Sinting sempat berbisik
kepada sang Resi, "Mau
kau tangani sendiri atau aku
yang menangani, Resi?"
"Biar kutangani sendiri!" jawab sang Resi dengan
tegas. Suto Sinting angkat
bahu, lalu segera mundur
menjauh.
Belum seberapa jauh Suto
Sinting melangkah
mundur, tiba-tiba dari mata
kiri Ratu Sangkar Meaum
melepaskan sinar lurus warna
hijau bening. Claaap...!
Sinar itu melesat cepat menuju
dada Resi Pakar Pantun.
Sang Resi terperanjat karena
tak menyangka serangan
lawan datang secepat itu.
Akibatnya ia hanya bisa
menangkis sinar hijau itu
dengan sentakkan tangan
kanannya yang memancarkan
sinar merah berbentuk
bola berapi. Wuuus...!
Zrrub...! Jegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi saat
sinar hijau lurus itu
menghantam sinar merah.
Gelombang ledakan membuat
tubuh Resi Pakar Pantun
tersentak dan terbang ke
belakang. Buugh...! Tubuh agak
gemuk itu menghantam
batang pohon. Tak ada
keseimbangan tubuh yang dapat
dikuasai, ia pun jatuh
tersungkur dihujani oleh daun-
daun pohon yang berguguran
akibat benturan tubuhnya
tadi. Bisa dibayangkan
alangkah kerasnya benturan itu,
sampai-sampai daun-daun pohon
berguguran baik yang
sudah layu maupun yang masih
segar.
Rupanya gelombang ledakan itu
bertenaga sangat
besar, sehingga Resi Pakar
Pantun tak bisa bangkit lagi
dalam keadaan hidung berdarah
dan wajah memucat.
Tokoh tua itu jatuh pingsan
dalam satu jurus. Itu
menandakan si Ratu Sangkar
Mesum pergunakan jurus
andalan yang terlambat
ditangkis oleh sang Resi.
Mestinya jurus itu ditangkis
pada saat masih melesat di
pertengahan jarak, bukan dalam
jarak satu langkah di
depan sang Resi berdiri tadi.
Akibat tangkisan dalam jarak
dekat, maka gelombang
ledakan tersebut cukup telak
menghantam tubuh Resi
Pakar Pantun. Sementara si
perempuan cantik
berpakaian seronok itu tetap
berdiri tegak tanpa bergeser
sedikit pun dari tempatnya.
Melihat keadaan Resi Pakar
Pantun tidak berdaya,
Ratu Sangkar Mesum segera
lepaskan pukulan jarak
jauhnya yang dapat mengakhiri
riwayat hidup sang Resi.
Tangan kanannya memutar cepat
lalu menghentak ke
depan dalam keadaan lurus,
kedua kaki pun merendah.
Suuut...! Dari ujung tangan
itu melesat sinar biru lebar
berbentuk separo lingkaran.
Weeess...!
Suto Sinting buru-buru melesat
dari tempatnya.
Zlaaap...! Tahu-tahu sudah
menghadang di depan
lajunya sinar biru, menjadi
pelindung tubuh Resi Pakar
Pantun. Tangannya menyentak ke
depan dan sinar hijau
keluar dari tangan tersebut,
melesat cepat menghantam
sinar biru lawan. Claap...!
Blegaaar...!
Pukulan 'Guntur Perkasa'
mematahkan jurus maut
Ratu Sangkar Mesum. Ledakan
dahsyat memercikkan
sinar biru kehijauan yang
menyebar ke atas dalam
sekejap. Gelombang ledakan itu
mampu membuat tubuh
Ratu Sangkar Mesum tersentak
mundur ke belakang,
terhuyung-huyung hampir jatuh.
Sedangkan Suto Sinting
sudah jatuh lebih dulu dalam
keadaan terduduk
menindih pinggang Resi Pakar
Pantun. Namun karena
sang Resi dalam keadaan
pingsan, Suto pun tak
mendapat omelan, ia segera
bangkit dalam keadaan
masih segar.
Ratu Sangkar Mesum hentikan
serangan. Langkahnya
tampak menggoda dengan pinggul
bergoyang ke sana-
sini. Wajah perempuan itu
tidak memancarkan
permusuhan kepada Suto
Sinting. Bahkan ada seulas
senyum tipis di bibirnya yang sedikit tebal dan
menggemaskan jika dipandang
terlalu lama itu.
"Aku suka dengan caramu,
Pendekar Tampan!"
katanya setelah mereka saling
berhadapan dalam jarak
lima langkah. Mata jalang sang
Ratu sengaja dimainkan
untuk menggoda hati si pemuda tampan itu. Lagak
berdirinya pun tampak
menantang kemesraan. Kancing
jubahnya dilepaskan dengan
sengaja. Suto Sinting
tertegun bengong
memandanginya, ia menelan ludahnya
sendiri dua kali, kemudian
menarik napas untuk
menahan getaran indah yang
menuntut kemesraan.
"Hanya kaulah orangnya
yang bisa mematahkan jurus
'Pedang Biru'-ku. Kini aku
tahu kau pemuda yang hebat,
dan aku yakin bukan saja ilmu
kanuraganmu yang hebat,
namun ilmu cumbuanmu juga
pasti hebat!"
"Aku tak mengerti arah
bicaramu, Ratu Sangkar
Mesum!" kata Suto Sinting
dengan wajah tanpa senyum
namun masih kelihatan tampan.
Ratu Sangkar Mesum semakin menggoda
dengan
senyum dan pandangan matanya,
ia mendekati Suto
Sinting dan membiarkan
jubahnya tersingkap lebar,
seakan ia sengaja memamerkan
perabotnya.
"Berhenti di situ
saja!" sentak Suto Sinting tak terlalu
keras namun terdengar tegas.
Langkah sang Ratu pun
terhenti dalam jarak tiga
langkah di depan Suto Sinting.
Pemuda itu justru mundur
menjauh sambil matanya
melirik tajam tak bersahabat.
"Jangan coba-coba
meruntuhkan jiwaku dengan
kemesumanmu, Ratu! Kalau
kemarahanku tak
terbendung lagi, kau akan
pulang tanpa raga."
Sang Ratu makin sunggingkan
senyum jalang. "Pria
yang ketus adalah pria yang
sangat menggairahkan
bagiku. Semakin kau menjauh
semakin aku
memburumu, Anak Ganteng!"
"Semakin kau memburuku
berarti semakin kau
mendekati ajalmu, Perempuan
Cantik!"
"Ahaa... kau pun memujiku
rupanya?!" Ratu Sangkar
Mesum semakin ceria. Tawanya
lepas berderai dengan
suara sedikit serak yang
memancarkan getaran daya
pikat bagi lawan jenisnya.
Sementara itu, Suto Sinting
melangkah pelan-pelan
mengelilingi sang Ratu.
"Dekatlah kemari, Sayang!
Dekaplah aku selagi si tua
Pakar Pantun itu sekarat!
Dekatlah, Sayang...," sambil
kedua tangan dijulurkan ke
depan dan melambai-
lambaikan penuh goda.
"Aku tak bisa tergoda
oleh rayuanmu, Ratu! Karena
aku sudah mempunyai calon
istri yang amat kucintai dan
kujaga kesetiaan cintaku
ini."
"O, kau sudah punya calon
istri? Siapa calon istrimu
itu?!"
"Dyah Sariningrum; Gusti
Mahkota Sejati, penguasa
negeri Puri Gerbang Surgawi di
Pulau Serindu!"
Wajah sang Ratu terperanjat,
keceriaannya lenyap
seketika. Tangan yang
dijulurkan ke depan segera turun
dan menggenggam kuat-kuat.
Matanya memandang
dengan menyipit memancarkan
permusuhan dan
kebencian.
"Rupanya kau kekasih si
keparat itu?!" geram sang
Ratu.
Pendekar Mabuk bagai dibakar
darahnya mendengar
kekasihnya dikatakan sebagai
'si keparat' oleh Ratu
Sangkar Mesum. Kemarahan pun
segera timbul di hati
Suto Sinting, sikap
memandangnya menjadi kian
bermusuhan.
"Apa maksudmu berkata
begitu, Perempuan Liar?!"
sentak Suto Sinting dengan
wajah menegang. Rupanya
ia paling tersinggung jika
Dyah Sariningrum dihina oleh
seseorang.
"Mahkota Sejati adalah
orang yang akan
kuhancurkan, karena para
pengawalnya telah membuat
dua adikku tewas dalam
penyerbuan ke Pulau Serindu.
Perempuanmu itu harus
bertanggung jawab dan
menebusnya dengan nyawa! Tapi
ada baiknya jika
sebelum itu kukirimkan dulu
jenazah kekasihnya yang
ada di sini!"
Gigi sang Pendekar Mabuk mulai
menggeletak.
Napas yang keluar dari
hidungnya menyembur deras,
membuat tanah di depannya
tersibak dan menjadi
cekung sedikit demi sedikit.
Napas itu adalah Napas
Tuak Setan yang keluar dengan
sendirinya jika hatinya
diliputi kemarahan besar.
*
* *
5
PEREMPUAN berkuku runcing itu
mulai membuka
jurus dengan gerakan merentang
ke belakang, kedua
tangannya terangkat dalam
keadaan siap mencakar. Suto
Sinting sendiri mulai siapkan
diri melawan musuhnya
yang tak menimbulkan kesan
indah sama sekali seperti
tadi.
Namun baru saja mereka ingin
mengawali
pertarungan, tiba-tiba
sekelebat bayangan menerjang
dari arah belakang Ratu
Sangkar Mesum. Gerakan yang
begitu cepat itu membuat sang
Ratu tak mampu berkelit
atau menangkis balik, sehingga
tubuhnya pun terpental
jatuh berguling-gulingan
setelah terlebih dahulu
terpelanting ke samping.
Sesosok bayangan itu kini
berdiri dengan tegak dan
tegar. Pendekar Mabuk sempat
berkerut dahi sebentar dan
bergumam lirih kepada
bayangan yang menerjang sang
Ratu itu. "Rara
Santika...?"
"Mundur, biar aku yang
menghajar si jahanam itu!"
ujar Rara Santika dengan nada
berang.
"Ini urusan pribadiku,
Rara!"
"Aku pun punya urusan
pribadi dengannya. Akan
kuselesaikan dulu urusanku,
setelah itu baru kau yang
maju menyelesaikan urusan
pribadimu dengannya!"
Dengan agak dongkol Pendekar
Mabuk pun mundur
menjauh sambil membatin,
"Akan kulihat sampai di
mana kehebatanmu, Rara. Kalau
kau sudah kepepet,
baru aku turun tangan."
Rara Santika tampak geram
sekali kepada Ratu
Sangkar Mesum. Dihampirinya
perempuan berjubah
hijau tipis yang kala itu baru
saja bangkit dari jatuhnya.
Mata si perempuan jalang
tampak terkesiap pandangi
kehadiran Rara Santika. Ia pun
menggeletukkan gigi dan
menggeram lirih dengan kedua
tangan menggenggam
kuat-kuat.
"Masih ingat diriku,
Sangkar Mesum?!" seru Rara
Santika menyentak.
"Mau apa kau mencampuri
urusanku, Perempuan
Laknat?!" Ratu Sangkar
Mesum ganti menyentak dengan
berani.
"Kau boleh berurusan
dengan Suto Sinting itu," Rara
Santika menuding ke belakang,
menunjuk Pendekar
Mabuk. ".... Tapi lebih
dulu kau harus selesaikan urusan
lamamu denganku, Iblis
Betina!"
Ratu Sangkar Mesum diam
membisu dengan napas
mulai memburu. Rara Santika melangkah ke samping
dengan mata tajam memandang
tak berkedip.
"Tentunya kau masih ingat
dengan Pramudya Wiseta,
pemuda dari Lembah Damar yang
kau jadikan budak
nafsumu dan akhirnya kau bunuh
begitu saja itu!"
"Oh, jadi kau masih
teringat dengan kekasihmu yang
malang itu?! Hmmm...! Dia
memang layak untuk mati,
karena dia tak mau lagi
melayaniku dan itu merupakan
penghinaan bagiku. Hukuman
mati adalah hukuman
yang layak diterima bagi siapa
saja yang berani menolak
keinginanku!"
"Sekarang aku menuntut
balas atas kematian
tunangganku itu! Kesempatan
ini tak akan kusia-siakan
karena sudah cukup lama
kutunggu-tunggu datangnya!"
seru Rara Santika semakin
garang.
"Coba dulu hadapi jurus
kecilku ini, Santika!" Kedua
tangan Ratu Sangkar Mesum
terangkat ke atas.
Wuuuss...! Dua sinar putih
terang menyilaukan membias
lebar ke arah Rara Santika.
Namun dengan lincahnya
tubuh Rara Santika segera
melenting di udara hindari
sinar terang yang menyilaukan
itu.
Zuuub...!
Dua bongkah batu yang terkena
sinar terang itu
lenyap seketika tanpa bekas
sedikit pun. Sinar itu pun
padam seketika. Bluub...! Tapi
tubuh Rara Santika yang
masih melayang di udara itu
segera lepaskan pukulan
jarak jauh dari sana. Dua
jarinya dikeraskan dan
disentakkan ke depan.
Claaap...!
Sinar merah berbentuk anak
panah melesat ke arah
Ratu Sangkar Mesum. Gerakan
sinar yang amat cepat itu
membuat Ratu Sangkar Mesum tak
punya kesempatan
untuk menghindar. Maka ia
menangkis sinar itu dengan
mengadu kekuatan tenaga
dalamnya yang tadi
dinamakan jurus 'Pedang Biru'
dari ujung telapak tangan
yang disodokkan ke depan.
Slaaap...!
Blegaaar...!
Kedua sinar yang bertabrakan
itu menimbulkan
ledakan dahsyat. Tubuh mereka
sama-sama terpental ke
belakang. Tapi keduanya mampu
menjaga keseimbangan
hingga tak sampai
terguling-guling.
"Kuhancurkan kepalamu,
Santikaaaa...!" teriak sang
Ratu.
"Heeeeaaah...!"
"Hiaaat...!" Rara
Santika berkelebat maju dalam satu
lompatan bersalto. Ratu
Sangkar Mesum juga berkelebat
maju dalam satu lompatan
bersalto.
Mereka berhadapan dalam jarak
dekat selama di
udara. Saat itulah kedua
tangan mereka saling
menghantam dengan kecepatan
tinggi. Plak, plak, plak,
plak, duaaar...!
Sekelebat sinar merah berasap
memercik dari
benturan telapak tangan
mereka. Keduanya sama-sama
terdorong mundur dan
mendaratkan kaki dengan sigap.
Jleg, jleg...!
Saking terkesimanya
menyaksikan pertarungan Rara
Santika dan Ratu Sangkar
Mesum, Suto jadi lupa dengan
keadaan Resi Pakar Pantun yang
terbaring pingsan, ia
terus memandang pertarungan
itu dengan hati cemas.
Ratu Sangkar Mesum segera
mengerahkan tenaganya
dengan gerakan tangan
membentang lebar dan tubuh
merendah, kaki kirinya ditarik
ke belakang sedikit.
Gerakan tangan itu lama-lama
membuat kedua telapak
tangannya menyala bagaikan
besi membara. Asap
mengepul tipis dari kedua
telapak tangan yang berwarna
merah kekuning-kuningan itu.
Dari ujung-ujung kuku
memercik sinar biru berkerilap-kerilap, bagaikan anak
petir yang saling berlompatan.
Trat, tat, tat, traat, taar,
tar, trat, tat...! Rara Santika
segera mencabut kipas
gadingnya yang sejak tadi
tertutup jubah merah jambu
itu. Dengan satu sentakan
kaki merendah dan tangan kiri ke depan membentuk
cakar, kipas itu disentakkan
ke samping dan membuka
seketika. Braab...!
Kemudian kipas itu dimainkan
meliuk ke sana-sini
sambil langkahnya makin
mendekati lawan. Seketika itu
juga, Ratu Sangkar Mesum segera
menepukkan kedua
tangannya di depan dada dalam
keadaan lengan lurus.
Plaak...! Claaap...!
Seberkas sinar biru
kemerah-merahan melesat dan
menghantam Rara Santika. Namun
kipas Rara Santika
segera menghadang di depan
dada dan menangkis sinar
tersebut. Drrrbb....!
Sinar itu padam tanpa ledakan
apa pun. Hanya
meninggalkan kepulan asap yang
membubung tinggi,
seolah-olah kipas itu
terbakar. Tapi sebenarnya kipas itu
masih utuh tanpa hangus
sedikit pun.
"Jahanam busuk kau,
heeeeaaah...!!" Ratu Sangkar
Mesum semakin murka, ia
menyerang maju dengan
kedua telapak tangan masih
membara dan dapat
menghanguskan apa saja.
Agaknya Rara Santika pun tak
merasa gentar sama sekali,
sehingga ia menyongsong
gerakan lawan dengan satu
lompatan cepat dan kipas
ditakupkan. Zrrrb...!
Wweeess...!
Tar, tar, tar...! Letusan terdengar ketika telapak
tangan Ratu Sangkar Mesum
ditangkis dengan kipas
gading. Tubuh Rara Santika
bergerak cepat mengitari
lawan. Gerakan cepatnya nyaris
tak terlihat sekalipun
dari jarak jauh.
Bret, bret, bret, bret,
bret...!
Craas...!
"Aaaahg...!!"
terdengar suara pekik tertahan dari Ratu
Sangkar Mesum.
Weees...! Rara Santika menarik
diri, menjauhkan
jarak dengan lawannya. Maka
tampaklah keadaan Ratu
Sangkar Mesum yang cukup
menyedihkan. Jubah
hijaunya tercabik-cabik tak
layak lagi dipakai sebagai
penutup tubuhnya yang ramping.
Punggung mulus itu
kini koyak berdarah, lukanya
dari tengkuk sampai ke
pinggang belakang. Luka itu
mengepulkan asap putih
samar-samar menandakan adanya
racun berbahaya
dalam luka tersebut. Kipas itu
ternyata mempunyai
ketajaman melebihi pedang dan
mempunyai racun yang
amat berbahaya.
"Uuuuhg...!!" Ratu
Sangkar Mesum mengerang
dengan tubuh menggeliat dan
terhuyung-huyung.
Wajahnya tampak pucat, bola
matanya keruh.
Ratu Sangkar Mesum jatuh
berlutut sambil menahan
sakit. Rara Santika bergegas
mengakhiri riwayat hidup
perempuan itu. Tapi Suto
Sinting segera berseru,
"Cukup, Rara...!"
Langkahnya terhenti dengan
napas tertahan di dada.
Rara Santika palingkan pandang
ke arah Suto Sinting
dan berkata dalam geram.
"Ia harus menebus kematian mantan kekasihku
dengan nyawanya!"
"Ia akan mati sendiri
karena luka beracun itu! Tak
perlu kau buang-buang tenaga
lagi."
Napas pun akhirnya dihempaskan
lepas-lepas oleh
Rara Santika. Niatnya untuk
memenggal leher Ratu
Sangkar Mesum dengan kipas
gading dibatalkan. Tetapi
kejap berikutnya Ratu Sangkar
Mesum memasukkan dua
jarinya ke mulut dan meniupnya
keras-keras.
"Suiiiiittt...!"
Suara suitan panjang terdengar
membuat Suto Sinting
dan Rara Santika saling
berpandangan. Pendekar Mabuk
segera dapat mengerti maksud
suitan panjang itu.
"Ia memanggil
seseorang!"
Baru saja Rara Santika ingin
bicara, tiba-tiba dari
balik semak-semak muncul lima
sosok tubuh dalam
keadaan mengerikan. Lima sosok
tubuh itu berbelatung
dan berlendir busuk.
Mereka adalah lima sosok mayat
yang rupanya sudah
disembunyikan sejak tadi oleh Ratu
Sangkar Mesum sebelum
melakukan pertarungan
dengan Resi Pakar Pantun.
"Pantas sejak tadi aku
mencium bau busuk, rupanya
dari mayat-mayat itu?"
pikir Suto Sinting, demikian pula
yang ada dalam batin Rara
Santika. Lima sosok mayat
yang berwajah mengerikan serta dalam bentuk
menjijikkan itu mulai
mengurung Rara Santika yang
kala itu berdekatan dengan
Pendekar Mabuk. Sosok
berlumur tanah basah dan
berbelatung itu mempunyai
bola mata putih rata tanpa ada
manik hitamnya. Mereka
menyeringai dan mengeluarkan
suara serak yang
mengerikan.
Wuuuut...! Tubuh Ratu Sangkar
Mesum melesat
meninggalkan tempat itu
setelah berseru dengan suara
tertahan,
"Terimalah pembalasanku,
Santika...!" Pendekar
Mabuk dan Rara Santika tidak hiraukan pelarian Ratu
Sangkar Mesum yang membawa
luka parahnya itu.
Perhatian mereka tertuju pada
lima sosok mayat
berbelatung menjijikkan dengan
kuku-kuku hitam
meruncing keras. Mereka
mendekat dengan langkah
gontai dari berbagai arah.
"Agaknya Ratu Sangkar
Mesum membangkitkan
mayat-mayat orang yang semasa
hidupnya mempunyai
ilmu cukup tinggi," bisik
Suto Sinting kepada Rara
Santika. Hal itu dikatakan
oleh Suto Sinting melihat
mayat-mayat itu lakukan
gerakan pembuka jurus tanpa
limbung dan gontai sedikit
pun.
"Krrraaakkkk...!!"
salah satu mayat menjerit dengan
suara seraknya, karena di
bagian leher sudah bolong
serta berbelatung menjijikkan.
Mayat itu melompat
dengan cepat menerjang Suto
Sinting. Dengan cepat
Suto Sinting pun segera
mengayunkan bumbung tuaknya
ke depan. Wuuung...!
Prrrok...!
Kepala mayat itu pecah bagai
dihantam dengan palu
besi. Sosok mayat yang
kepalanya terhantam bambu
bumbung itu akhirnya
menggelepar-gelepar di tanah
dengan keluarkan suara derak
dari tenggorokannya.
Suto Sinting memberi isyarat
dengan gerakan tangan
sambil berseru, "Mundur,
Rara...!"
Tetapi perempuan itu justru
diam di tempat
menghadapi serbuan empat mayat
yang masih bergerak
maju. Dan serta-merta ia
membentangkan kipasnya.
Brrrab...! Kipas itu tiba-tiba
menyala merah bagaikan
membara. Kemudian Rara Santika
melemparkan kipas
itu ke arah mayat yang datang
dari arah kanannya.
Weeess...! Zuuuubb...!
Kipas menyala merah terbang
melesat dan menerjang
leher mayat. Craas...! Leher
itu terpotong seketika,
kepala mayat jatuh
menggelinding. Kipas itu membalik
arah dengan gerakan melingkar.
Keadaannya yang masih
terbuka dan membara itu
ternyata menerjang kembali
sebatang leher mayat lain dari
belakang.
Craaas...! Crras...! Craas...!
Pendekar Mabuk sempat
tertegun bengong melihat
gerakan kipas itu yang begitu
cepat dan mampu memenggal
leher keempat mayat
dalam waktu singkat. Ketika
kipas selesai memenggal
leher mayat terakhir,
gerakannya memutar kembali dan
melesat ke arah Rara Santika.
Tangan perempuan berjari
lentik itu segera
menyambarnya. Taab...! Kini kipas
gading sudah berada di tangan
Rara Santika kembali.
Sementara itu, lima mayat
dalam keadaan tumbang tak
berkutik lagi. Satu mayat
kepalanya hancur, empat
lainnya buntung tanpa kepala
lagi. Bau busuk menyebar
ke mana-mana dan membuat perut
mual.
Pendekar Mabuk segera meneguk
tuaknya, lalu rasa
mual pun hilang dan bau busuk
pun berkurang. Rara
Santika ikut-ikutan menenggak
tuak- setelah diberi tahu
khasiatnya untuk menangkal bau
busuk dan rasa mual.
"Bagaimana dengan si
kakek tua itu?" tanya Rara
Santika sambil menunjuk kepada
Reai Pakar Pantun
yang masih belum siuman itu.
Pendekar Mabuk segera
memeriksanya, ia menjadi
tegang setelah mengetahui
denyut nadi Resi Pakar
Pantun sangat lemah.
"Bantu aku meminumkan
tuak ini ke dalam
mulutnya! Terlambat sedikit
lagi ia akan tewas tak
tertolong lagi!" ujar
Suto Sinting sambil berusaha
membuka mulut Resi Pakar
Pantun dengan paksa. Rara
Santika menyelipkan kipasnya
ke pinggang kanan,
kemudian menuangkan tuak
pelan-pelan ke mulut Resi
Pakar Pantun.
"Jangan keras-keras
membukakan mulutnya, nanti
robek tepiannya!" ujar
Rara Santika, namun Pendekar
Mabuk tak hiraukan himbauan
itu. Ia berusaha
mengguncang-guncang kepala
sang Resi, menyentak-
nyentakkan agar tuak dapat
terminum masuk ke dalam
tenggorokan sang Resi.
"Sekali lagi! Lakukan
sekali lagi, Rara!" ujar Suto
Sinting sambil membuka mulut
sang Resi seperti
membelah durian. Rara Santika
pun menuangkan tuak
itu pelan-pelan hingga mulut
sang Resi terisi tuak.
"Krrraaaakkk...!"
Tiba-tiba terdengar suara
serak mengerikan dari balik
pohon tak jauh dari mereka
berada. Pendekar Mabuk dan
Rara Santika kaget dan saling
pandang sejenak,
kemudian keduanya sama-sama
menatap ke arah
datangnya suara tadi.
"Ohh... celaka!"
gumam Suto Sinting dengan tegang.
Dari balik semak belakang
pohon muncul sesosok
mayat yang berlendir busuk dan
berbelatung seluruhnya.
Separo wajahnya telah menjadi
tulang dikerumuni
belatung menjijikkan. Bagian
dadanya telah bolong dan
berisi belatung
berjubal-jubal. Pendekar Mabuk bergidik
merinding, demikian pula Rara
Santika.
Mayat itu bertangan satu.
Mungkin semasa hidupnya
tangan yang satunya lagi
dibuntungi oleh lawan. Dan
melihat keadaan mayat bertangan
satu dengan rambut
putih berlumur tanah liat,
Rara Santika pun mulai
mengenali mayat yang bergerak
perlahan-lahan keluar
dari balik pohon sedikit
terhuyung-huyung.
"Eyang...!" sapa
Rara Santika yang berpisah jarak
dengan Suto Sinting. Mata
mayat yang putih dengan
rongga mata dikerumuni
belatung itu bergerak
memandang ke arah Rara
Santika. Wajah perempuan itu
memancarkan kedukaan yang amat
dalam.
"Rara, kau mengenal mayat
itu?!"
"Eyang Resi
Dirgantara...?!"
"Kkkkkrraakkk...!"
mayat itu mendekati Rara
Santika. Tangannya terangkat
dengan kuku hitam
memanjang.
Suto Sinting sempat berdebar-debar setelah tahu
mayat itu adalah mayat Resi
Dirgantara.
"Berpuluh-puluh tahun
dimakamkan baru sekarang
mayatnya membusuk seperti itu.
Kalau bukan orang
berilmu tinggi tak mungkin
mayatnya bisa seawet itu
dan cukup lama mengalami
pembusukan," pikir Suto
Sinting sambil melangkah
mundur jauhi mayat
berbelatung itu.
Resi Pakar Pantun mulai sadar
dari siumannya, ia
mengerang lirih, kemudian
menggeliat, merasakan
badannya mulai ringan, ia
mencoba bangkit berdiri
sambil menarik napas
panjang-panjang.
"Uuufffh...! Napasku
terasa lega, enteng sekali
dihirupnya, dan... hah, apa
itu?!"
Resi Pakar Pantun terbelalak
pandangi mayat yang
sedang mendekati pertengahan
jarak antara Suto Sinting
dengan Rara Santika. Wajah
sang Resi yang baru siuman
itu tegang sekali.
"Maaa... mayat si
Dirgantara?! Ooh.... Oooooohh...!"
Brrruk...! Resi Pakar Pantun
pingsan kembali, ia
memang paling takut dengan
mayat hidup yang
menjijikkan itu. Repotnya,
suara jatuhnya Resi Pakar
Pantun memancing perhatian
mayat Resi Dirgantara.
Mayat itu segera menggeram
sambil mendekati Resi
Pakar Pantun sebagai lawan
yang dikejar-kejarnya sejak
kemarin itu.
"Hhgggrr...!
Krrraaahhhkk...!"
Melihat mayat itu mendekati
Resi Pakar Pantun, Suto
Sinting menjadi cemas dan
sempat salah tingkah sendiri.
Sementara itu, Rara Santika
berseru dengan keras,
"Eyang, jangan sentuh
orang itu! Eyang Resi...
dengarlah seruan saya ini,
Eyang!"
Langkah kaki lamban itu
terhenti, mayat berpaling
memandang Rara Santika yang
berwajah haru.
Perempuan itu mencoba
mengajaknya bicara lagi.
"Eyang, saya Rara
Santika...! Masih ingatkah pada
saya, Eyang...?! Saya anak
dari Ki Panjuru Gesang yang
dulu pernah Eyang ajak ke
Pulau Sumbing! Saya Rara
Santika, Eyang Resi
Dirgantara...!"
"Hhhhgggrrr...!"
mayat itu menggeram dengan mata
putihnya kian melebar.
Tiba-tiba tangannya menyentak
ke depan. Belatung berjatuhan,
telapak tangan keluarkan
sinar kuning lurus menghantam
Rara Santika.
Perempuan itu terkejut dan
terlambat menghindar, ia
hanya memberi tangkisan dengan
sebuah pukulan
bersinar merah. Claaap...!
Kedua sinar itu pun beradu
dalam jarak empat langkah di
depan Rara Santika.
Blegaaarr...!
Dentuman membahana menggelegar
mengguncangkan bumi. Rara
Santika terlempar
melayang dan jatuh terbanting
tanpa keseimbangan
tubuh lagi. Brrruk...!
"Aaaahg...!
"Rara...?!" pekik
Suto Sinting, lalu segera berlari ke
arah Rara Santika.
"Rara, apa yang harus
kita lakukan jika begini?!
Mengapa kau tak memenggal
kepala mayat itu seperti
yang lain?!"
Rara Santika menjawab sambil
dibantu berdiri oleh
Suto Sinting.
"Aaak... aku tak tega.
Ddddia... dia mayat orang yang
kuhormati dan... dan... oh,
lihat! Dia ingin mencabik-
cabik pak tua itu!"
"Celaka!" geram Suto
Sinting dengan tegang melihat
mayat Resi Dirgantara sudah
kian dekat dengan tubuh
Resi Pakar Pantun yang
terkapar tak sadarkan diri.
Tangan berkuku hitam itu
terangkat dan siap mencabik
tubuh Resi Pakar Pantun.
Suto Sinting segera lepaskan
pukulan 'Jari Guntur'-
nya, sebuah sentilan jari yang
dapat mengeluarkan
tenaga dalam berkekuatan
seekor kuda jantan. Teeb...!
Brrrus...! Tubuh mayat Resi
Dirgantara terhantam
tenaga kuat dari sentilan
tangan Suto Sinting. Sosok
mayat berbelatung itu
terlempar jatuh ke semak-semak
sambil keluarkan erangan
mengerikan yang cukup
panjang.
"Kkkrrraaaaahhhhkkk...!!"
Pendekar Mabuk berkelebat
dengan menggunakan
jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaaap...! Weeeess...! Tubuh
Resi Pakar Pantun yang pingsan
disambarnya.
"Rara Santika, tinggalkan
tempat ini!" serunya, lalu ia
melesat lebih dulu, dan Rara
Santika segera
menyusulnya.
Mayat Resi Dirgantara bangkit
dari kejatuhannya.
Mengerang panjang dengan suara
menyeramkan. Dari
bola matanya yang putih
keluarkan sepasang sinar merah
berbentuk lingkaran sebesar
gelas. Slaap, slaap...!
Blegaaaar...!
Kedua sinar menghantam pohon
di depan langkah
Suto Sinting dan Rara Santika.
Pohon itu tumbang
seketika dan nyaris menimpa
tubuh Suto Sinting. Untung
si Pendekar Mabuk mampu
bergerak lincah menghindari
pohon itu sambil tetap
memanggul tubuh Resi Pakar
Pantun. Sementara itu, Rara
Santika sendiri
mendapatkan tempat yang aman
tak terkena robohan
pohon.
"Cepat, Rara...! Mayat
itu pasti akan mengejar kita!"
seru Pendekar Mabuk
mencemaskan perempuan cantik
yang gerakannya masih kalah
cepat dengan gerakan Suto
Sinting itu.
"Hhhhgggrrr..!"
suara mayat terdengar, ternyata
mayat itu mampu bergerak
cepat, bagai menggunakan
sisa jurus semasa hidupnya.
Wuuuss...! Mayat Resi
Dirgantara mengejar mereka,
belatungnya berjatuhan ke
mana-mana.
*
* *
6
RESI Pakar Pantun baru saja
siuman begitu mereka
berhenti di kaki bukit. Suto
Sinting tersandung akar
pohon hampir jatuh tersungkur.
Tubuh yang
dipanggulnya terlepas dan
jatuh terbanting. Saat itulah
Resi Pakar Pantun siuman
sambil mengerang kesakitan
pegangi tulang pinggangnya.
"Uuuhff...!" Resi
Pakar Pantun menggeliat, ia
membuka mata dan memandang
sekeliling, lalu
tersentak kaget dan segera
bangkit terduduk.
"Hei, mengapa aku ada di
sini?!"
"Daripada di sana, kau
akan dicabik-cabik oleh mayat
Resi Dirgantara," ujar
Suto Sinting.
"Mayat...?!" Resi
Pakar Pantun kerutkan dahi. "O,
iya...! Ada mayat yang
mengejarku. Mayat si Dirgantara.
Sekarang bagaimana kabarnya
mayat si Dirgantara?!"
"Sehat walafiat,"
jawab Suto Sinting seenaknya, lalu
ia menenggak tuaknya tak
peduli Rara Santika tertawa
kecil mendengar jawabannya
itu.
"Hei, kalau tak salah kau
putri kesayangan si Panjuru
Gesang?!" sang Resi
menuding Rara Santika.
"Benar, aku putri Panjuru
Gesang. Apakah kau
mengenal mendiang ayahku, Resi?"
"Ya, aku kenal betul
dengan beliau. Waktu aku sering
berkunjung ke pondoknya, kau
masih kecil. Paling akhir
aku jumpa Panjuru Gesang, kau
masih berusia sekitar...
yah, sekitar delapan belas
tahun."
"O, aku tak ingat sama
sekali."
"Tentu saja, karena kau
saat itu sedang kasmaran
dengan Pramudya Wiseta.
Kulihat kau berduaan di
belakang pondok, sementara aku
berbincang-bincang
dengan ayahmu di samping
pondok."
Rara Santika sunggingkan
senyum tersipu, matanya
melirik Suto Sinting sekilas,
ternyata pemuda itu
memperhatikan dengan cibiran
menggoda.
"Itu masa lalu yang tak
perlu dikenang lagi, Resi,"
ujar Rara Santika menutupi
rasa tak enak hati terhadap
Pendekar Mabuk.
"Ya, ya... tapi aku
menyesal sekali pada saat
pemakaman ayahmu tak bisa
hadir," wajah sang Resi
menampakkan raaa sesalnya.
"Semoga arwahnya
sekarang sudah berada di sisi
Yang Maha Kuasa dengan
damai," kenang sang Resi
dengan mata menerawang.
Mereka dicekam keheningan
sejenak. Keheningan itu
menjadi buyar setelah kemunculan sesosok bayangan
hitam yang berkelebat
melintasi kepala mereka.
Wuuttt...! Kemudian bayangan
itu menapakkan kakinya
dalam jarak enam langkah dari
Suto Sinting. Jleeeg...!
"Nini Kalong...?!"
sapa Suto Sinting dengan nada
heran. Nenek berjubah hitam
yang badannya kurus dan
bungkuk itu melangkah pelan
mendekati Suto Sinting.
Tapi Resi Pakar Pantun segera
menyapa dengan wajah
ceria.
"Murcaci...?! Oh, tak
kusangka kita akan jumpa di
sini, Murcaci?!"
Rupanya Nini Kalong mempunyai
nama asli Murcaci,
dan hanya Resi Pakar Pantun
yang mengenal nama itu di
antara mereka bertiga. Sang
Resi segera menyambut
dengan langkah mendekat dan
membentangkan
tangannya. Nini Kalong
dipeluknya beberapa saat. Sang
nenek meronta dan menggerutu
karena merasa malu.
"Kita sudah tua, jangan
bertingkah seperti anak muda,
Rangga," kata sang nenek
kepada Resi Pakar Pantun.
Pendekar Mabuk tertawa kecil
berkepanjangan. Rara
Santika bertanya dalam
bisikan, "Mengapa kau tampak
geli sekali?"
"Ternyata nama asli Resi
Pakar Pantun adalah
Rangga. Lucu sekali bagiku,
nama sebagus itu dipakai
oleh orang setua dia! Tak ada
pantasnya sedikit pun."
Nini Kalong perdengarkan
suaranya yang sedikit
bergetar, "Secara
kebetulan saja aku melihat kalian di
sini dan kubelokkan arah
langkahku. Jadi jangan kau
anggap aku sengaja menemuimu,
Rangga."
"Ikan teri menari ke
sana-sini,
pakai kebaya jalannya amat
kaku.
Sengaja ataupun tidak
pertemuan kita ini,
tapi kenangan manis masa lalu
mekar di ujung
hatiku."
Resi Pakar Pantun berlutut
satu kaki dengan kedua
tangan dibentangkan dan kepala
mendongak memandang
Nini Kalong. Namun nenek
berambut putih berpegangan
tongkat baru justru
menyingkirkan tangan sang Resi
dengan tongkatnya. Gaya rayuan
sang Resi membuat
Rara Santika dan Pendekar
Mabuk terkikik geli.
"Minggir kau, aku mau
bicara dengan murid si Gila
Tuak itu!" lalu ia
melangkah mendekati Suto Sinting,
Resi Pakar Pantun dibiarkan
berlutut di tempatnya. Sang
Resi memandang dengan
terbengong dan berwajah
kecewa karena rayuannya tidak
dihiraukan oleh mantan
kekasihnya itu.
"Jangan tanggapi rayuan
orang gila itu," ujar Nini
Kalong kepada Suto dan Rara
Santika. "Kami memang
dulu pernah menjalin hubungan
cinta, ketika aku masih
berusia dua puluh dua tahun,
dia masih lebih muda
dariku. Tapi sudahlah...
sekarang bukan saatnya bicara
tentang masa lalu kami."
"Kudengar kau sedang
lakukan tapa gantung, Nini?"
"Benar, Suto. Tapi
firasatku mengatakan bahwa
muridku si Puspa Jingga
menghadapi bahaya. Aku ingin
mencarinya ke Bukit Batok
dan...."
"Sepertinya firasatmu itu
memang benar, Nini," sahut
Suto Sinting. "Aku telah
berjumpa dengan muridmu;
Puspa Jingga. Kala itu ia
terikat di pohon karena ulah
Peri Kedung Hantu yang merebut
peta dari tangannya.
Lalu kami bergegas menuju ke
Bukit Batok. Hanya saja
di perjalanan kami diserang
dari belakang oleh seseorang
yang tak kuketahui wajahnya.
Dalam keadaan setengah
pingsan aku melihat Puspa
Jingga disambar oleh
bayangan yang menyerang kami
itu. Sampai sekarang
aku tidak tahu di mana muridmu
itu, Nini."
"Keparat si
Rumisita!" geram Nini Kalong dengan
mata memancarkan permusuhan.
"Tapi aku tak yakin
apakah yang membawa lari
muridmu itu Peri Kedung Hantu
atau orang lain, Nini!"
"Siapa pun orangnya, yang
jelas Peri Kedung Hantu
menjadi penyebab hilangnya
Puspa Jingga. Bertapaku
sampai kugagalkan hanya karena
ulahnya juga! Kuhajar
dia jika kutemukan di makam si
Dirgantara!"
"Dirgantara bangkit
lagi!" sahut Resi Pakar Pantun
dengan cepat dan tegang.
"Sumpah mati tujuh turunan,
Dirgantara telah bangkit lagi,
Murcaci."
Mata nenek yang usianya lebih
tua dari Resi Pakar
Pantun itu memandang dengan
sedikit mengecil. Dahi
tuanya yang berkeriput menjadi
kian keriting karena ia
berkerut heran.
"Dirgantara bangkit
lagi?!" gumamnya bernada
kurang percaya.
"Aku dikejar-kejarnya
sejak kemarin siang. Baru saja
aku siuman karena pengejaran
mayat si Dirgantara.
Kalau tak percaya tanyakan
sendiri kepada kedua anak
muda ini yang menyelamatkan
diriku dari kejaran mayat
si Dirgantara!"
Nini Kalong segera memandang Suto Sinting dan
Rara Santika. Sebelum ia
lontarkan tanya, Rara Santika
lebih dulu bicara dengan nada
tega.
"Benar, Nini. Mayat Eyang Resi Dirgantara bangkit
lagi dan tidak mengenaliku
sama sekali, ia dibangkitkan
oleh seseorang, si perempuan
keparat Penguasa Pulau
Cumbu itu."
"Ratu Sangkar
Mesum...?!"
"Benar, Nini. Dialah yang
membangkitkan beberapa
mayat untuk menyerang Resi
Pakar Pantun. Salah satu
mayat yang dibangkitkan adalah
mayat Eyang Resi
Dirgantara!"
"Memang keparat si
Sangkar Mesum!" geram Nini
Kalong, "Berarti pusaka
itu telah diambilnyai"
"Pusaka apa maksudmu,
Murcaci?!" tanya Resi Pakar
Pantun.
Nini Kalong tidak menjawab, ia
hanya berkata,
"Akan kuperiksa makam
itu!"
"Jangan, Murcaci! Jangan
ke sana, nanti mayat si
Dirgantara kembali ke sana dan
bertemu denganmu, kau
bisa dikunyah habis
olehnya!" ujar sang Resi dengan
wajah tegang.
"Aku bukan pengecut
seperti kau, Rangga!"
Resi Pakar Pantun
bersungut-sungut, "Tentu saja kau
tidak takut, sebab wajahmu
sendiri lebih menyeramkan
dari mayat si
Dirgantara!"
Celoteh itu tak dihiraukan
oleh Nini Kalong, sang
nenek segera berkata kepada
Suto Sinting,
"Kalau kau jumpa si Puspa
Jingga, dampingilah dia
dan bawa pulang ke Hutan Rawa
Kotek."
"Mudah-mudahan aku bisa
jumpa dengannya lagi,
Nini!"
Weeeess...! Tanpa basa-basi
lagi, Nini Kalong
melesat pergi tinggalkan
tempat itu. Ia tak pedulikan
seruan Resi Pakar Pantun yang
ingin mencoba
menahannya lagi. Sang Resi
sempat berlari beberapa
jauh, lalu kembali lagi dengan
lemas.
"Mengapa kau tak ikut
mendampingi Nini Kalong,
Resi?" tegur Suto Sinting
sambil tersenyum-senyum.
Resi Pakar Pantun
bersungut-sungut.
"Perempuan gila! Sudah
diberi tahu ada bahaya masih
nekat pergi ke sana! Kalau dia
mati aku bisa menangis."
"Cinta masa muda memang
sering bikin orang tua
berubah menjadi
anak-anak," ucap Rara Santika dengan
pelan, tapi didengar oleh Suto
Sinting maupun Resi
Pakar Pantun.
"Murcaci itu memang
bandel sejak kecilnya," ujar
sang Resi. "Sayang usiaku
lebih muda darinya, sehingga
ia tak merasa takut dengan
ancamanku, tak mau menurut
dengan nasihatku. Kusarankan
agar ia kawin denganku,
eeh... malah kawin sama yang
lebih tua darinya. Tak
urung suaminya cepat mati,
kan?! Coba kalau dia kawin
denganku, suaminya masih awet
hidup sampai
sekarang."
Rara Santika hanya bisa
tertawa geli sambil
tangannya bergelayutan di pundak
Suto Sinting.
Keduanya sama-sama memandangi
Resi Pakar Pantun
yang duduk di atas sebuah batu
di bawah pohon depan
mereka.
"Rara, kita teruskan
perjalanan kita menemui Nyai
Serat Biru!" ujar Suto
Sinting.
"Baik. Kita berangkat
sekarang saja, dan bermalam di
sebuah desa yang tak seberapa
jauh dari sini."
Resi Pakar Pantun berdiri dan
bertanya, "Kalian mau
temui Serat Biru? Mau apa
kalian temui dia?"
"Menanyakan tentang
pusaka yang...," Suto Sinting
hentikan ucapannya. "Ya,
ampun... mengapa kita tadi
lupa tidak mendesak Nini
Kalong tentang pusaka
tersebut, Rara?"
"Aku sendiri lupa bahwa
perkara peta dan pusaka itu
berawal dari dirinya."
"Pusaka apa
sebenarnya?!" tanya Resi Pakar Pantun.
"Murcaci tadi tak mau
jelaskan pusaka yang dimaksud.
Apakah kalian tak ada yang
mengerti tentang pusaka
itu?!"
"Puspa Jingga disuruh
mengambil pusaka dari
makam Resi Dirgantara!"
jawab Pendekar Mabuk. "Tapi
gadis itu tak mau jelaskan
pusaka apa yang harus
diambilnya dari makam itu.
Peta tersebut sudah telanjur
direbut oleh Peri Kedung
Hantu."
Resi Pakar Pantun diam
termenung dengan dahi
berkerut. Beberapa kejap
berikutnya terdengar suaranya
bagai orang bicara pada diri
sendiri.
"Dirgantara tidak
mempunyai pusaka apa-apa.
Seingatku ia tak pernah ribut
soal pusaka?!"
"Barangkali Nini Kalong
mendapat keterangan dari
seseorang yang sengaja
mengacaukan jalan pikirannya,"
kata Rara Santika. "Sebab
itulah kami ingin menemui
Nyai Serat Biru dan menanyakan
apakah mendiang Resi
Dirgantara mempunyai pusaka
yang layak dijadikan
incaran para tokoh di rimba
persilatan."
"Aku jadi
penasaran," kata Resi Pakar Pantun. "Kalau
begitu aku ikut menemui Serat
Biru, sekalian
beranjangsana karena sudah
lama tak pernah jumpa dia."
"Tapi tunggu
dulu...," sergah Suto Sinting. "Mungkin
yang dimaksud Nini Kalong
memang bukan pusaka
milik mendiang Resi
Dirgantara. Barangkali ada
seseorang menyimpan pusaka di
dalam makamnya Resi
Dirgantara. Dan hanya
Nini Kalong yang mengetahui
letak penyimpanan pusaka
tersebut. Lalu, bekas
kekasihmu itu bernafsu sekali
untuk memiliki pusaka itu,
Resi!"
Mereka saling bungkam
merenungi kemungkinan
tersebut. Akhirnya Resi Pakar
Pantun berkata,
"Kalau begitu kita ikuti
saja kepergian Murcaci, dan
kita lihat pusaka apa yang
dimaksud sehingga Peri
Kedung Hantu ikut-ikutan ingin
memilikinya!"
"Aku setuju," sela
Rara Santika. "Tapi bagaimana
dengan mayat Resi Dirgantara
itu?!"
"Mayat itu sudah keluar dari
makamnya, justru
keadaan di makam itu sudah
aman!" kata Suto Sinting,
"Ia pasti akan mengembara
mencari jalan kematian yang
kedua."
Rasa takut Resi Pakar Pantun
menjadi susut
mendengar penjelasan Pendekar
Mabuk. Maka ketika
mereka bergegas menuju ke Bukit Batok, Resi Pakar
Pantun tak punya keraguan
lagi. Dengan menggunakan
ilmu peringan tubuh
masing-masing mereka bergerak
cepat menuju Bukit Batok.
Blegaaar...!
Tiba-tiba mereka dikejutkan
dengan suara ledakan
yang datang dari balik bukit
cadas sebelah timur. Suto
Sinting hentikan langkah lebih
dulu, sehingga yang
lainnya ikut-ikutan berhenti.
"Ada pertarungan di
sebelah timur sana!" ujarnya
sedikit tegang.
"Tanah yang kita pijak
sampai bergetar. Berarti ada
pertarungan menggunakan tenaga
dalam tinggi di sana."
"Tapi itu bukan urusan
kita," ujar Resi Pakar Pantun.
"Aku penasaran ingin
melihat siapa yang bertarung di
sana!" kata Suto Sinting
yang tak bisa diam jika
mendengar suara pertarungan.
Tanpa mendapat
persetujuan dari yang lain ia
melesat lebih dulu menuju
ke arah timur. Resi Pakar
Pantun dan Rara Santika
akhirnya mengikuti langkah
Pendekar Mabuk.
Dari balik kerimbunan semak,
Suto Sinting mengintai
pertarungan itu. Ia terkejut
melihat sosok perempuan
cantik berusia muda bertarung
melawan dua lelaki
berwajah angker. Kedua lelaki
itu sudah dikenal Suto
Sinting saat mereka melawan si
Gadis Dungu; Indayani.
Kedua orang yang sama-sama
berbadan kekar dan
mempunyai golok besar itu tak
lain adalah murid
Perguruan Serikat Jagal yang
bernama Togayo dan
Gayong. Tetapi perempuan
cantik berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu belum
pernah dilihat oleh Suto
Sinting.
Gadis itu mengenakan rompi
panjang warna kuning
emas, dengan celana merah
dililit kain putih. Pinjung
penutup dadanya juga berwarna
merah dari bahan satin
seperti celananya, ia
menyandang pedang di punggung
bergagang perak. Rambutnya
dikuncir satu agak tinggi,
sisa rambut dalam kunciran-nya
itu berjuntai seperti ekor
kuda. Gadis itu mempunyai dada
yang sekal walau tak
terlalu montok seperti dadanya
Rara Santika. Kulitnya
berwarna kuning mulus.
Ketika Resi Pakar Pantun dan
Rara Santika
mendekati Suto Sinting dan
ikut mengintai ke arah
pertarungan, Suto Sinting
sempatkan diri bertanya dalam
bisikan kepada Rara Santika.
"Kau kenal dengan gadis
itu?!"
"Dia murid Nini Kalong
juga, kakak perguruan Puspa
Jingga. Dia yang bernama Syair
Kusumi."
"Oooo...," gumam Suto Sinting sambil manggut-
manggut. "Rupanya dia
itulah yang dimaksud murid
nomor satu Nini Kalong."
"Memang dia murid tertua
dari keempat murid Nini
Kalong."
Resi Pakar Pantun menyahut,
"Kedua lelaki itu, kalau
tak salah, murid si Dupa
Dewa!"
"Benar, mereka memang
murid Perguruan Serikat
Jagal. Tetapi apa masalahnya
sehingga mereka bentrok
dengan Syair Kusumi? Padahal
pihak Perguruan Serikat
Jagal selama ini tak pernah
bentrok dengan murid-murid
dari Hutan Rawa Kotek,"
kata Rara Santika. Pendekar
Mabuk segera memberi isyarat
agar mereka jangan
bicara, karena tampaknya
pertarungan dihentikan
sebentar dan mereka mau saling
bicara.
"Jangan keras kepala,
Syair Kusumi. Gurumu benar-
benar telah berpesan kepada
kami agar pusaka itu
diserahkan kepada kami demi
keamanannya."
"Matahari pun tahu, aku
tidak pernah bawa pusaka
itu. Tapi di punggungku ada
sebuah pedang, jika kalian
rindu kematian, aku akan cabut
pedang untuk bikin
nyawa melayang," kata
Syair Kusumi dengan nada
bicara yang mendayu-dayu mirip
orang bersyair.
Togayo memandang Gayong dan
menggeram
jengkel.
"Perlu diberi pelajaran
sekali lagi gadis itu!"
"Terlalu buang waktu,
bunuh saja kalau memang tak
mau diajak damai!"
Togayo berkata kepada Syair
Kusumi, "Jika kau
masih bersikeras menahan
pusaka itu, maka jangan
salahkan kami jika kami
berlaku lebih kasar lagi demi
memenuhi pesan dari gurumu,
Nini Kalong!"
"Pasir di pantai tak akan
lebih kasar dari sikap kalian.
Mega Putih di langit menjadi
saksi, tak pernah ada
pusaka di tanganku ini."
"Kami mengikutimu terus,
Syair Kusumi. Itu pun atas
suruhan gurumu. Kami tahu kau
telah datang ke makam
Resi Dirgantara. Makam itu
telah rusak, dan kau telah
membongkarnya untuk mengambil
pusaka tersebut"
"Angin berhembus ke mana
pun ia mau, kalian pun
boleh bicara apa pun kalian
mau. Tapi ombak di pantai
tak akan diam disapu badai,
aku pun tak akan diam jika
kalian ingin saling
bantai!"
"Menyebalkan sekali!
Heeeeaaat...!" Gayong yang
bermata lebar itu segera
melompat lakukan terjangan ke
arah Syair Kusumi. Gadis itu berkelebat
ke samping
dengan gerakan cepat dan sukar
dilihat mata lawan.
Wuuut...! Gayong menyerang
tempat kosong. Wajahnya
menjadi beringas karena
merasa dipermainkan oleh
gadis manis itu.
"Togayo... serang dia
dengan jurus 'Petir Menangis'
andalan kita!" seru
Gayong sambil mencabut golok
lebarnya. Togayo pun mencabut
golok dengan suara
menggeram penuh nafsu
membunuh.
"Celaka! Mereka mau pergunakan jurus 'Petir
Menangis' seperti saat melawan
Gadis Dungu! Tutup
telinga kalian, lekas...!
Tutup telinga rapat-rapat!"
perintah Suto Sinting kepada
Resi Pakar Pantun dan
Rara Santika. Mereka segera
menutup telinga rapat-rapat
setelah Suto Sinting
menjelaskan secara singkat
bahayanya jurus 'Petir
Menangis' itu.
Syair Kusumi tak merasa gentar
berhadapan dengan
mereka. Pedangnya pun segera
dicabut dari punggung.
Seeet...! Pedang itu segera
dikibas-kibaskan sekeliling
tubuhnya sambil melangkah
pelan mencari kelengahan
lawan.
"Heaaaet...!" Togayo
lakukan lompatan menyerang
dengan golok lebarnya. Rupanya
ia ingin mencoba
dengan jurus golok yang mampu
berkelebat dengan
cepat itu.
Wut, wut, trrang, traaang,
trang...! Ternyata Syair
Kusumi mampu menangkis
kecepatan golok Togayo,
bahkan gerakan pedang Syair
Kusumi lebih cepat dari
gerakan golok Togayo. Lelaki
itu tersentak mundur
ketika tangan kiri Syair
Kusumi keluarkan pukulan
bertenaga dalam tanpa sinar.
Wuuuk...! Beeehg...!
"Uuhg...!" Togayo
terjengkang ke belakang, tepat di
depan kaki temannya. Hal itu membuat
Gayong menjadi
semakin berang.
"Laknat kau, Syair
Kusumii!" geram Gayong dengan
kumis lebatnya naik turun
sendiri.
Syair Kusumi tetap
menggerakkan pedangnya di
sekeliling tubuh. Gerakan
pedang itu menimbulkan
bunyi mendengung
berkepanjangan, ia bergerak
menyamping selangkah demi
selangkah dengan mata
tertuju pada kedua lawannya.
"'Petir Menangis'!
Heeeeaaah...!" seru Togayo.
"Heeeeaaah...!" seru
Gayong dan mereka saling
mengadu golok dan digesekkan
hingga timbul bunyi
berdesing yang menggema
panjang.
Srrraaangngngngng...!
Desing golok itu melengking
tinggi, membuat pohon-
pohon bergetar, daun-daun
rontok bagaikan dipangkas
habis oleh ketajaman desingan
itu. Bahkan dahan-dahan
pohon berukuran sedang ada
yang tumbang karena
terpotong bagai dibabat dengan
senjata yang amat tajam.
Batu-batu di sekitar tempat
itu remuk dengan sendirinya.
Desingan itu dapat memotong
urat nadi dan jantung bagi
siapa pun yang mendengarnya,
kecuali si pemilik jurus
'Petir Menangis' itu.
Seandainya Suto Sinting tak menyuruh Resi Pakar
Pantun dan Rara Santika
menutup telinga, maka mereka
pun dapat mengalami luka
dalam, jantung, urat nadi dan
perangkat bagian dalam
tubuhnya terpotong oleh suara
desingan itu.
Tetapi Syair Kusumi tetap
berdiri tanpa menutup
telinganya. Pedangnya makin
bergerak cepat hingga
timbulkan suara dengung yang lebih keras lagi. Suara
dengung itu yang membuat
telinganya tak tembus suara
desingan dua golok yang
digesekkan di udara tadi.
Bahkan sekarang gerakan pedang
bertambah cepat lagi,
sehingga suara dengungnya
semakin tinggi.
Wuuung, wuuung, wuuung,
wuuung, wuuung... i
Gerakan pedang bertambah lebih
cepat lagi, tubuh
Syair Kusumi
bagai terbungkus oleh logam mengkilat
yang tak lain adalah kerapatan
gerak mata pedangnya.
Dengung yang timbul pun
bertambah melengking tinggi.
Nguuuuung...!
Srrraaaangggg...!
Togayo dan Gayong melepaskan
jurus 'Petir
Menangis' lagi untuk imbangi
suara gaung. Tetapi kali
ini desing dari jurus 'Petir
Menangis' tak mampu
memotong dahan pohon. Bahkan
selembar daun pun tak
ada yang terpotong. Rupanya
desing itu kalah oleh suara
dengung pedang Syair Kusumi.
Kedua lelaki berwajah angker
itu bergetar tubuhnya,
telinganya tak kuat menahan
suara dengung yang makin
mendekat itu. Mereka
mengimbangi dengan suara
teriakan liarnya.
"Heeeeaaaahhh...!!"
Namun suara teriakan itu tidak
membuat mereka
mampu mengusir rasa sakit yang
menusuk telinga.
Dengung pedang Syair Kusumi
akhirnya membuat tubuh
mereka terpental ke belakang.
Wuuut...! Braaass...!
Darah segar mengalir keluar
dari telinga mereka.
Dengung yang masih
diperdengarkan oleh Syair Kusumi
itu membuat mereka kelojotan
sambil meraung-raung.
Darah semakin membanjir dari
telinga mereka. Bahkan
sekarang hidung mereka pun
mengucurkan darah segar.
Tetapi bagi orang lain yang
mendengarnya, tak
mengalami hal seperti yang
dialami Togayo dan
Gayong.
"Uaaaahhhkk...!!"
Togayo memekik sekeras-kerasnya
dengan tubuh terkapar dan
tangan memegangi telinga.
Crraaat...!
Sungguh mengerikan kejadian
berikutnya. Darah
menyembur keluar dari seluruh lubang, termasuk dari
mulut, hidung, telinga, dan
mata mereka pun
menyemburkan darah segar.
Keduanya akhirnya
kelojotan beberapa saat,
kemudian diam tak bergerak
lagi karena tak punya nyawa.
"Gila! Jurus pedang apa
itu suaranya bisa membuat
kedua lawan menjadi tumbang tanpa nyawa
begitu?!"
gumam Resi Pakar Pantun.
"Tapi kita yang mendengar
dengung pedang itu tidak
apa-apa, ya?"
"Syair Kusumi menyalurkan
tenaga dalamnya lewat
dengung pedangnya, dan tenaga
dalam itu diarahkan
kepada kedua lawannya, bukan
kepada kita. Kekuatan
kendali batin terhadap saluran
tenaga dalam membuat ia
dapat membunuh siapa-siapa
yang ingin diserangnya,"
tutur Rara Santika, yang
mengaku teman baik Syair
Kusumi.
"Pantas kalau dia
dikatakan sebagai murid pertama
dari Nini Kalong," gumam
Suto Sinting pelan.
Syair Kusumi hentikan
permainan pedangnya,
pandangi mayat kedua lawannya.
Napasnya ditarik
panjang-panjang bagai menikmati
kelegaan. Tetapi tiba-
tiba ia berkelebat berbalik
badan sambil sentakan tangan
kirinya. Rupanya ia merasakan
ada hawa panas datang
mendekati punggungnya.
Ternyata sekelebat sinar hijau
hendak menghantam
punggungnya. Sinar itu beradu
dengan sinar merah yang
keluar dari telapak tangan
Syair Kusumi. Claap...!
Blegaaar...!
Syair Kusumi terjungkal ke
belakang dan berguling-
guling. Pedangnya sempat
terlepas dari tangan. Namun
segera disambarnya dalam satu
gerakan berguling ke
samping. Kejap berikut,
sesosok bayangan melesat dari
balik pohon. Wuuut...!
Jleeg...!
"Peri Kedung Hantu...?!" gumam Suto Sinting
bernada tegang.
*
* *
7
KEMUNCULAN Peri Kedung Hantu
terang-terangan
memihak Perguruan Serikat
Jagal. Kematian Togayo dan
Gayong dijadikan alasan untuk
menyerang Syair
Kusumi. Pemihakan itu wajar
dilakukan Peri Kedung
Hantu karena ia adalah
keponakan dari Dupa Dewa,
ketua dan guru dari Perguruan
Serikat Jagal.
"Kematian mereka harus
kau tebus dengan nyawamu,
Syair Kusumi!" ujar
perempuan cantik yang bernama
asli Rumisita itu. Ia bermata
coklat dengan bulu mata
lentik indah. Rambutnya
disanggul sebagian. Lehernya
tampak jenjang dalam keadaan kulit berwarna kuning
langsat mulus. Pinjung dan
celananya berwarna ungu,
dilapisi jubah tanpa lengan
warna kuning tua.
Syair Kusumi tampak tidak
merasa gentar berhadapan
dengan Peri Kedung Hantu.
Hempasan gelombang
ledakan yang membuatnya terjungkir balik tadi tidak
mencederai tubuhnya sedikit
pun, hanya merasakan
sesak napas beberapa saat.
Kini napasnya sudah terasa
ringan kembali, dan ia
memandang Peri Kedung Hantu
dengan sikap kalem sambil masih menggenggam
pedangnya.
"Tak ada hujan tak ada
badai, kau datang
(Hal 103-104 tidak ada)
keluarkan darah kental dari mulutnya.
"Serahkan pusaka itu atau
kau akan mati dalam
beberapa kejap lagi?!"
ancam Peri Kedung Hantu
dengan lagak angkuhnya.
"Kau tak perlu berbohong
padaku, segala gerakanmu
sempat dipergoki oleh para
muridku yang menjadi mata-mata
di sana-sini. Salah
satu muridku melihat kau
menghantam Puspa Jingga dan
Pendekar Mabuk, lalu membawa
lari Puspa Jingga untuk
disembunyikan di lorong Bukit
Randa. Kuduga kau
ingin menguasai pusaka itu sendiri dan tak akan kau
serahkan pada siapa pun,
bahkan kepada gurumu pun
pusaka itu tak akan kau
berikan!"
Pendekar Mabuk terkejut hingga
matanya terbelalak.
"Oh, jadi dia yang
menyerangku dari belakang dan
membawa lari Puspa
Jingga?!"
Rara Santika berkata
dalam bisik, "Tak mungkin
Syair Kusumi punya maksud
seperti itu. Aku tahu betul
sifatnya, dia bukan orang
berwatak pengkhianat. Pasti
dia punya maksud tertentu dari
tindakannya itu."
"Kita lihat saja
kebenarannya," sahut Resi Pakar
Pantun. Sambungnya lagi,
"Ikan teri di dalam
tomat,
hidung mancung enak
diremat.
Orang benar akan selamat,
orang salah akan
terjerat."
Suto Sinting menyenggol sang
Resi dengan sikunya
sambil menggerutu, "Ah, kau ini dalam keadaan
sembunyi masih saja sempat
berpantun!"
"Sekadar melemaskan
lidah," jawab sang Resi lirih,
seakan terlontar seenaknya
saja.
"Hiaaah...!"
tiba-tiba tubuh yang disangka telah tak
berdaya itu menyentak ke atas
dengan menggunakan
gagang pedang sebagai tempat
tumpuan. Syair Kusumi
melambung tinggi dan
berjungkir balik sambil
menebaskan pedangnya ke arah
kepala Peri Kedung
Hantu.
Gerakan mendadak itu membuat
Rumisita terkejut,
lalu serta merta tangannya menghentak ke atas
dalam
keadaan kaki merendah hampir
berlutut. Wuuut...!
Claaap...!
"Aaahg...!" Syair
Kusumi tersentak melambung lebih
tinggi dan jatuh tanpa daya
lagi. Brruk...! Ia mengerang
dan menggelinjang terkena
sinar kuning dari tangan Peri
Kedung Hantu tadi.
"Beraninya kau
menyerangku secara tiba-tiba, hah?!
Sekarang saatnya bagimu
kukirim ke neraka! Hiaaah...!"
Zlaaap...!
Brrrus...!
Suto Sinting tahu-tahu telah
melesat dan menerjang
Peri Kedung Hantu. Tubuh
perempuan cantik itu
terpental sebelum ia
melepaskan jurus pencabut nyawa
lawannya. Tubuh itu terguling-guiing
bagaikan diterjang
badai setan yang mengerikan.
Pada saat itu, Nini Kalong pun
melesat dari balik
kerimbunan semak. Rupanya ia
tertarik dengan bunyi
dengung yang menjadi tanda
pertarungan muridnya itu.
Ia tak jadi ke arah Bukit Batok dan mencari tahu
mengapa muridnya memainkan
jurus 'Pedang Gangsing'
yang jarang dipakai itu.
Akhirnya ia tiba di tempat
tersebut dalam
keadaan Syair Kusumi sedang sekarat
dan Peri Kedung Hantu
terguling-guling akibat terjangan
Suto Sinting.
"Rupanya kau bermaksud
keji pada muridku,
Rumisita!" geram Nini
Kalong.
Tetapi Rumisita tak hiraukan
kata-kata itu. Ia segera
lepaskan jurus mautnya berupa
sinar ungu dari kedua
matanya. Claaap, claaap...!
Kedua sinar ungu itu
mengarah kepada Nini Kalong
dan Pendekar Mabuk.
Wuuut...! Suto Sinting maju
sambil kibaskan
bumbung tuaknya. Sinar ungu
itu menghantam bumbung
tuak. Deeb...! Lalu membalik
arah dengan lebih cepat
dan lebih besar lagi.
Wuuusss...!
Duaaar...!
Blegaaar...!
Dua ledakan itu terjadi hampir
bersamaan. Ledakan
pertama adalah sinar ungu yang
menghantam tubuh Nini
Kalong itu berhasil dipatahkan oleh gerakan sinar
merahnya Rara Santika yang
melesat bersamaan
tubuhnya melompat dari
balik semak. Benturan sinar
merah dengan sinar ungu
menimbulkan ledakan
bergelombang besar yang
membuat tubuh Nini Kalong
terpelanting berguling-guling.
Jika sinar itu tidak
dipatahkan oleh
sinarnya Rara Santika, maka Nini
Kalong akan mati hangus dihantam sinar ungu yang
datang secara tiba-tiba.
Sedangkan ledakan kedua adalah
ledakan yang timbul
akibat sinar ungu
memantul balik dari bumbung tuak,
menjadi lebih cepat dan lebih
besar dari aslinya. Peri
Kedung Hantu terperanjat dan
tak sempat menghindar,
akhirnya sinar ungu tersebut
menghantam matanya
sendiri. Hantaman itulah yang
menimbulkan ledakan dan
membuat kepala Peri Kedung
Hantu pun pecah secara
mengerikan.
Pendekar Mabuk saling bertatap
pandang dengan
Rara Santika. Perempuan itu
acungkan jempolnya,
kemudian bergerak mendekati
Nini Kalong bersama-
sama Resi Pakar Pantun.
"Bagaimana keadaanmu,
Nini?!"
"Tulang punggungku
sepertinya patah," jawab Nini
Kalong dengan suara berat.
Pendekar Mabuk cepat-cepat meraih
kepala Syair
Kusumi. Ia belum terlambat
untuk meminumkan tuak
saktinya. Berkat tuak sakti
itulah Syair Kusumi akhirnya
terselamatkan dan Nini Kalong
yang ikut meminum tuak
Suto itu pun mengalami
kesegaran pada tubuhnya,
tulang punggungnya tidak
terasa sakit lagi.
Syair Kusumi berkata kepada
Pendekar Mabuk, "Jika
ada sumur di ladang, boleh aku
menumpang mandi. Jika
umurmu ingin panjang,
maafkanlah perbuatanku tempo
hari. Aku telah melumpuhkan
dirimu bersama Puspa
Jingga, karena aku tak ingin
Puspa Jingga celaka dalam
mengemban tugas dari
Guru."
"Celaka bagaimana
maksudmu?!" sergah Nini
Kalong.
"Guru memberikan tugas
berat kepada Puspa Jingga.
Mengambil pusaka bukan pekerjaan mudah. Bahaya
yang timbul tidak sebanding
dengan llmu yang dimiliki
Puspa Jingga. Terpaksa aku
melumpuhkan dan
menyembunyikannya. Tugas itu
kuambil alih karena aku
tak ingin Puspa Jingga mati di
tangan orang-orang
seperti Peri Kedung Hantu yang
bernafsu ingin memiliki
pusaka itu. Jika kulakukan
terang-terangan, pasti Puspa
Jingga tersinggung dan marah
padaku, sedangkan
Pendekar Mabuk kulihat ada
bersamanya. Maka jika aku
bertengkar dengan Puspa
Jingga, pasti Pendekar Mabuk
memihaknya. Tak ada jalan
lain kecuali dengan cara
melumpuhkan keduanya secara
sembunyi-sembunyi."
Pendekar Mabuk hanya
geleng-geleng kepala sambil
sunggingkan senyum geli.
"Tapi lain
kali kau tak boleh mengambil langkah
sendiri seperti itu, Syair
Kusumi?"
"Baik, Guru!"
"Lalu bagaimana hasilnya
dengan pusaka itu? Apakah
kau sudah mengambilnya dari
makam Resi Dirgantara?"
"Pusaka itu tidak ada,
Guru. Makam Resi Dirgantara
sudah dibongkar oleh seseorang
dan menjadi rusak."
"Jadi... pusaka itu tidak
ada?!" gumam Nini Kalong
dengan heran. "Kalau
begitu mimpiku itu hanya bunga
tidur saja, bukan bisikan
dewata?!"
"Mimpi...?!" Resi
Pakar Pantun berkerut dahi. "Jadi
kau mengikuti apa kata
mimpimu?! Uuuh... sudah tahu
kau ini orangnya doyan tidur
sejak masih gadis, mana
mungkin dewa mau berbisik
lewat tidurmu!" gerutu Resi
Pakar Pantun.
Pendekar Mabuk segera bertanya
kepada Nini
Kalong, "Kalau boleh kutahu, sebenarnya pusaka apa
yang kau cari itu,
Nini?!"
"Setahuku, dulu
Dirgantara mempunyai senjata
pusaka yang bernama Kipas Dewi
Murka. Aku pernah
melihat Dirgantara menggunakan
kipas pusaka itu
melawan panglima dari tanah Tibet. Kedahsyatannya
luar biasa. Kusangka kipas itu
jatuh di tangan Serat Biru,
ternyata dia tidak
menyimpannya dan...."
"Seperti apa bentuk kipasnya?!"
tanya Rara Santika.
"Kipas itu terbuat dari gading, mempunyai hiasan
benang merah pada tangkainya.
Kesaktian kipas itu bisa
untuk memenggal leher lawan
jika dilemparkan dan akan
melayang kembali ke tangan
kita."
Suto Sinting cepat alihkan pandang
kepada Rara
Santika. Perempuan itu
tertegun sejenak. Kemudian ia
mengeluarkan kipasnya dari
balik jubah.
"Seperti inikah kipas
pusaka yang kau cari itu?!"
"Naah...! Benar! Itu dia
yang dinamakan pusaka
Kipas Dewi Murka. Memang itu
bendanya!"
"Dari mana kau dapatkan
kipas itu?" tanya Suto
kepada Rara Santika.
"Ketika pulang dari Pulau
Sumbing, aku diberi kipas
ini oleh
Eyang Resi Dirgantara. Tapi dia tidak
menyebutnya sebagai pusaka.
Dia hanya mengatakan
bahwa aku harus merawat kipas
ini sebagai cenderamata
dari beliau. Kipas ini memang
punya kesaktian
tersendiri, tapi tak pernah
disebut-sebut sebagai pusaka.
Kadang dulunya sering
digunakan untuk berkipas-kipas
Eyang Resi Dirgantara jika
dalam keadaan kegerahan."
Resi Pakar Pantun berkata,
"Kalau begitu, jelas sudah
si Dirgantara mewariskan
senjata itu kepada Rara
Santika! Siapa pun yang
bermaksud merebutnya, berarti
hatinya serakah dan membuka
permusuhan dengan Rara
Santika!"
Terbayang Rara Santika tadi
menyelamatkan
nyawanya, Nini Kalong akhirnya
berkata dengan lesu.
"Agaknya memang kemujuran
tidak jatuh pada
diriku, melainkan pada diri
Rara Santika. Kalau begitu,
jagalah kipas pusaka itu
baik-baik dan jangan sampai
jatuh ke tangan orang sesat
beraliran hitam. Karena aku
sendiri sudah tidak lagi mau
mengikuti aliran hitam!"
Pendekar Mabuk masih diam
terbengong dan sesekali
geleng-geleng kepala. Ternyata
pusaka yang dicari-cari
dan dipertarungkan sejak tadi
sudah ada di sampingnya.
Merenungi hal itu, Pendekar
Mabuk tertawa sendiri dan
membuat alam seakan ikut
berseri mengagumi
ketampanan Suto jika sedang
tersenyum geli itu.
SELESAI