Serial Pendekar Mabuk 54 Kipas Dewi Murka

Baca Cersil Indonesia Online: Serial Pendekar Mabuk 54 Kipas Dewi Murka
1

LANGKAH si tampan Pendekar Mabuk terpaksa
berhenti ketika ia mendengar suara aneh yang
mencurigakan. Suara itu datang dari hutan sebelah
kirinya yang penuh dengan semak belukar. Daun-daun

ilalang tumbuh subur dalam ketinggian melebihi tubuh
manusia dewasa. Dari dalam semak belukar itulah suara
mirip orang merintih terputus-putus terdengar
menembus kelebatan semak.
"Ada yang terluka di sana?!" pikir Suto Sinting dalam
keraguan. "Suara orang merintih karena luka, atau suara
orang yang merintih karena nikmat?!"
Telinga si murid sinting Gila  Tuak  itu dipertajam
lagi. Suara rintihan yang terdengar samar-samar karena
jaraknya agak jauh itu terdengar semakin meragukan

bayangan yang ada dalam benak Suto Sinting.
"Uh, aah... aduh, aduh, aaah... uuuh... ooh, oh, oh...."
Hati pemuda tampan berambut lurus sepundak tanpa
ikat kepala itu mulai membatin lagi sambil dahi tetap
berkerut tajam.
"Suara itu jelas suara perempuan. Tapi perempuan tua
atau muda, ya?! Hmmm... jangan-jangan perempuan itu
sedang bercumbu? Tapi mengapa  suara lawan jenisnya
tidak terdengar? Apakah ia bercumbu dengan lelaki
bisu? Ah, sialan! Jantungku jadi berdebar-debar begini.
Sebaiknya kutinggalkan saja suara itu."
Namun rasa penasaran yang mudah terpancing dalam
hati Suto Sinting, tak mungkin mampu membuatnya
pergi begitu saja. Walaupun hati berdebar-debar dan
keringat dingin sempat keluar karena bayangan mesum
yang muncul di benaknya, Suto Sinting akhirnya nekat
mendekati suara rintihan seorang wanita itu. Ia
menerabas semak dengan langkah pelan-pelan agar tak
menimbulkan bunyi, ia bermaksud ingin mengintip si
pemilik suara tersebut.
"Ooh... uuuh... ah, ah, ah, aaaahh...," lalu disusul
suara napas terengah-engah seperti orang habis berlari
jauh.
Semakin dekat semakin jelas suara napas ngos-
ngosan itu, sehingga kini Pendekar Mabuk pun semakin
gemetar dan hati kian berdebar-debar karena bayangan
dalam benak Suto bertambah syur. Tapi kaki tetap
melangkah mendekati suara tersebut dengan batin kian
bicara,


"Suaranya merdu, agak serak-serak basah. Sepertinya
ia masih muda dan sedang diburu hasrat cinta yang
menggebu-gebu. Oh, ya... sebaiknya kuintip dari atas
pohon saja. Biar pemandangannya lebih jelas lagi."
Wuuut...! Tubuh kekar berdada bidang itu melesat ke
atas dan hinggap di atas pohon tanpa suara dan gerakan
berisik. Itu menandakan bahwa ilmu peringan tubuh
yang dimiliki Suto Sinting cukup tinggi, sehingga
tubuhnya mampu melayang dan hinggap bagaikan kapas
tanpa beban berat. Tak satu pun daun pohon itu yang
bergerak walau kaki Suto Sinting sempat menginjak
permukaan daun sebelum akhirnya pindah ke sebuah
dahan sebesar lengannya.
"Ya, ampuuun...?!" Pendekar Mabuk lebarkan
matanya yang indah itu. Ia terkejut melihat apa yang
dicarinya sejak tadi. "Ternyata aku salah khayal. Ooh...
celaka! Kalau begini caranya aku tak boleh terlalu lama
ada di sini. Aku harus segera turun dan... dan... ah, tapi
kalau aku turun dan mendekatinya, ia bisa salah paham
padaku?! Aduh, bingung juga kalau begini?!"
Pemandangan yang diintainya itu adalah
pemandangan segar yang menyedihkan. Seorang gadis
dengan rambut terurai lepas dari ikatannya berdiri di
antara dua pohon yang tumbuh dalam jarak dekat. Gadis
itu berwajah cantik, matanya berbulu lantik  dan
berbinar-binar indah sekali. Suto Sinting memperkirakan
usia gadis itu sekitar dua puluh dua tahun.
Tubuhnya sekal padat berisi, dengan dada yang
membengkak bagai penuh tantangan yang menggiurkan


setiap lelaki. Keadaan si gadis sangat menyedihkan.
Kedua tangannya diikat dalam keadaan terentang pada
dua pohon di kanan-kirinya. Kakinya juga merentang ke
kanan-kiri  dalam keadaan diikatkan pada dua pohon
tersebut. Jelas gadis itu tertawan dan seorang musuh
telah mengikatnya sedemikian rupa hingga mendebarkan
hati Pendekar Mabuk.
Hal yang paling mendebarkan si Pendekar Mabuk itu
adalah keadaan gadis itu yang mirip bayi. Ia ditawan
sebegitu rupa dalam keadaan polos tanpa selembar
benang pun. Keadaan itu yang membuat hati Suto
Sinting kian berdebar dan jantungnya menyentak-
nyentak.
Sesaat ia seperti terpesona melihat pemandangan di
hadapannya.  Gadis itu berkulit kuning langsat, mulus
tanpa cacat sedikit pun. Bentuk tubuhnya sangat indah,
tak terlalu kurus, juga tak terlalu gemuk. Sekal, padat
berisi.
"Ah, uuhh... eeeh... uuuh...!" suara si gadis
mengerang dan mendesah bukan lantaran menikmati
sentuhan mesra, namun berusaha menarik tangan agar
terlepas dari tali pengikatnya. Sebentar kemudian ia
berhenti dan terengah-engah kelelahan. Bibirnya yang
ranum mungil itu digigit sendiri bagai sedang menangis.
Melihat bibir digigit, Suto Sinting semakin menggeram
gemas dalam hatinya.
"Apa yang harus kulakukan jika begini?" pikir
Pendekar Mabuk dalam kebingungan.
"Kalau kudekati, nanti disangkanya aku ingin


menyaksikan kemulusannya. Kalau dibiarkan saja, oh...
alangkah kasihannya gadis itu?! Agaknya tali yang
dipakai untuk mengikatnya bukan sembarang tali.
Semakin ditarik-tarik semakin mengencang membuat
pergelangan tangan gadis itu menjadi kian  terjerat dan
kulitnya berubah merah."
Pakaian si gadis tak kelihatan di sana-sini. Senjatanya
pun tak ada di sekitar tempat itu. Timbul pertanyaan di
batin Suto Sinting,
"Apakah gadis itu setiap harinya memang polos
begitu ke mana pun ia pergi?! Mengapa tak ada selembar
pakaian pun di sekitarnya? Jika aku berhasil melepaskan
ikatannya, lalu apa yang harus kulakukan?!"
Pendekar Mabuk akhirnya duduk di atas dahan itu
merenungkan langkah yang harus diambil. Renungan itu
disertai pandangan mata tertuju lurus pada si gadis yang
malang. Semakin lama merenung semakin hanyut
khyalannya, sehingga yang terbayang dalam benak Suto
Sinting bukan mencari cara melepaskan gadis itu
melainkan bayangan indah dalam menikmati kemulusan
dan keterbukaan gadis cantik bertahi lalat kecil di ujung
bibir kirinya Itu.
Lamunan ngeres itu segera lenyap setelah gadis itu
perdengarkan suara walau lirih dan hampir tak terdengar
oleh Pendekar Mabuk dari atas pohon.
"Kalau saja ada orang yang datang menolongku, aku
akan sangat berterima kasih padanya. Jika ia perempuan,
aku akan mengabdi kepadanya sebagai  saudara angkat.
Jika yang menolongku seorang lelaki, seburuk apa pun


wajahnya aku akan bersedia menjadi istrinya dan akan
kuturuti apa kemauannya. Daripada aku harus begini
terus-terusan, lama-lama aku bisa mati nganggur! Oh,
Dewaaaaa... kirimkan-lah seorang penolong bagiku."
Kepala gadis itu akhirnya terkulai menunduk.
Mungkin menangis, tapi tak terlihat air mata meleleh di
pipinya. Mungkin hanya tangis batin yang dapat
dilakukannya. Hati Suto Sinting pun menjadi kian iba
melihatnya.
Pendekar Mabuk akhirnya beranikan diri untuk
berseru dari tempatnya. Keberanian itu timbul setelah ia
menenggak tuak beberapa teguk dari bumbung bambu,
tempat tuak yang ke mana pun perginya selalu dibawa-
bawa.
"Nona cantik, bolehkah aku datang menolongmu?!"
"Oooh... suara seorang lelaki?!" gadis itu terbelalak
kaget sekali, ia mulai tampak gusar dan panik. Matanya
membelalak memandangi arah sekelilingnya dengan
gerakan menggeragap. Jantung gadis itu menyentak-
nyentak cukup kuat karena rasa malu dan bingung
menyadari keadaan dirinya.
"Haruskah kubiarkan seorang lelaki datang
menolongku dalam keadaan tubuhku seperti ini?!" pikir
si gadis sambil menyentak-nyentak tangannya yang
ingin bergerak menutup bagian depan secara naluriah.
Namun tangan itu  tetap terjerat tali yang terbuat dari
sejenis akar aneh, karena jika tali itu semakin ditarik
jeratannya bukan mengendur melainkan justru semakin
mengencang.


"Jawablah pertanyaanku tadi, Nona! Aku akan
menolongmu melepaskan penjerat itu, tapi apakah kau
izinkan diriku untuk mendekatimu?"
"Jangan!" jawabnya seketika itu juga. Tapi  ia jadi
berpikir lagi dan ragu-ragu memberi keputusan.
"Eh, tapi... boleh saja kau kemari, eh... anu... jangan,
sebab aku dalam keadaan... tapi, iya... silakan datang
asal... asal... asal kau tutup kedua matamu dan kau tak
boleh mengintip sedikit pun. Eh, tapi... anu juga...
begini...."
Tak ada yang jelas kata-katanya. Bagi si tampan
murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu, kata-kata gadis
tersebut sangat membingungkan sehingga ia tak tahu apa
yang harus dilakukan, ia diam beberapa saat memikirkan
jalan terbaik.
"Kau... kkau... ada di mana?!" seru gadis itu dengan
wajah pucat karena rasa malu. Bagaimanapun juga ia
tahu bahwa ada seorang lelaki yang telah melihat
keadaannya dari balik persembunyian. Dan kesadaran
itulah yang membuatnya sangat malu hingga kakinya
gemetar.
"Nona, aku ingin menolongmu bukan ingin bertindak
tak sopan padamu!" seru Suto lagi.
"Bersumpahlah bahwa kau tak akan memandangiku
dengan nakal!"
"Aku... aku tak pernah bersumpah, jadi aku tak bisa
bersumpah."
"Ooh...!" gadis itu lemas, karena ia tahu tubuhnya
yang polos itu akan menjadi pusat pandangan mata


seorang lelaki. Alangkah memalukannya jika hal Itu
sampai terjadi, sementara ia belum kenal siapa lelaki itu
dan  belum tahu seperti apa wajah si lelaki. Tak heran
jika dalam hati gadis itu timbul  rasa muak dan sebal
kepada suara lelaki yang didengarnya.
"Tapi aku butuh bantuannya untuk melepaskan tali
penjerat ini?! Jika kuturuti perasaan malu dan muakku,
belum tentu ada seorang perempuan yang lewat hutan ini
dan menolongku. Aduh, bagaimana diriku jika sudah
begini?!" ujarnya membatin dengan sangat sedih dan
salah tingkah.
"Kau ada di mana, Kang...?!" seru gadis itu
memanggil 'kang' karena melalui suara yang didengar ia
dapat menduga bahwa lelaki yang akan menolongnya
belum terlalu tua.
"Aku ada di suatu tempat yang mudah mencapai
tempatmu dalam sekejap!" seru Suto Sinting. Suaranya
yang bergema membuat ia sulit diketahui letak
persembunyiannya.
"Apakah... apakah kau melihat keadaanku dengan
jelas?!"
"Jelas sekali!"
"Gawat!" gumamnya, lalu berseru lagi, "Dari mana
kau melihatku saat ini?!"
"Dari arah depanmu, Nona!"
"Mati aku!" ucapnya dalam hati dengan rasa malu
semakin menghujam hati dan membuatnya serba salah.
Kemudian  ia berseru kembali dengan suara bergetar
karena menahan perasaan yang bercampur aduk.


"Tutup matamu sekarang juga! Tutup!"
"Baik, sudah kututup mataku saat ini!" seru Suto
Sinting dengan mata terbuka lebar dan tetap memandang
ke arah gadis itu melalui celah dedaunan.
"Kau... kau boleh mendekatiku dari belakang. Jangan
dari depan!"
"Mengapa dari belakang?!"
"Aku mempunyai jurus 'Ludah Geni'. Jika kau
mendekatiku dari depan, ludahku bisa keluar secara tak
sadar dan membakar kulit tubuhmu!" seru sang gadis,
kemudian membatin kata untuk dirinya sendiri,
"Lebih baik kubohongi begitu, biar dia tidak
mendekatiku dari depan. Biarlah dia mendekatiku dari
belakang dan melepaskan tali penjerat ini. Jika sudah
terlepas semua, kubunuh pria itu supaya tidak
membayangkan kepolosan tubuhku terus-terusan!
Biarlah aku menjadi jahat satu kali ini saja. Tebusan
dosaku akan kuterima seberat apa pun.'
Hutan menjadi sepi, alam menjadi sunyi. Suara pria
yang diharapkan oleh sang gadis itu terdengar lagi. Sang
gadis menjadi bertanya-tanya  dalam  hati dengan rasa
heran. Matanya masih mencari ke sana-sini, namun tak
ditemukan sesosok tubuh yang mendekatinya dari balik
semak mana pun juga.
"Celaka! Jangan-jangan orang itu justru pergi karena
mendengar aku mempunyai jurus 'Ludah Geni'  yang
kukatakan tadi? Oh, bodohnya aku ini!  Bodoh  sekali!
Mestinya biarlah aku menderita malu sebentar, yang
penting aku bisa bebas dari jeratan akar setan ini!


Mestinya aku tak perlu menakut-nakuti dia, sehingga
akhirnya dia pergi tak mau menolongku. Mungkin dia
seorang lelaki pencari kayu atau mengembara tanpa
nyali."
Rasa sesal si gadis membuatnya dongkol dan semakin
salah tingkah, ia segera mencoba berseru ke arah depan,
karena menurut pengakuan yang didengar tadi orang
tersebut dapat melihatnya dari arah depan. Perkiraan si
gadis mengatakan, bahwa pria yang berseru itu ada di
semak depan, di bawah sebuah pohon besar berdaun
rimbun itu.
"Hoii...! Kenapa kau diam saja?! Kau ada di mana,
Kang?! Jawablah seruanku  ini! Jangan main-main
denganku, aku bisa mencelakakan dirimu walau kau ada
di balik semak-semak. Jawablah, di mana kau sekarang
berada!"
"Aku ada di belakangmu!"
"Oooh...?!" gadis itu memekik kaget. Begitu kagetnya
sampai tubuhnya terlonjak dan tali penjerat-nya kian
mengencang, ia ingin berpaling ke belakang, tapi tak jadi
sebab dari suara pelan yang didengarnya tadi ia tahu
bahwa si ielaki sudah ada di belakangnya dalam jarak
sekitar dua atau tiga langkah.
"Celaka! Ternyata dia sudah ada di belakangku?!
Mengapa tak kulihat dan tak kudengar gerakannya saat
berpindah tempat?!" pikir si gadis dengan jantung kian
menyentak-nyentak kuat. Ia tak tahu bahwa Suto Sinting
mampu bergerak cepat  bagai sekelebat bayangan
dihembus badai karena mempunyai jurus yang bernama


'Gerak Siluman', di mana kecepatan geraknya itu
melebihi kecepatan anak panah yang melesat dari
busurnya.
Suto Sinting memang ada di belakang gadis itu. Tapi
ia terpaku di tempat memandangi tubuh si gadis yang
mulus dengan keringat berbintik-bintik di permukaan
kulit halusnya itu. Pendekar Mabuk memandang penuh
rasa kagum dan hati berdebar-debar diburu hasrat ingin
memeluknya. Namun hasrat itu segera dikuasai dengan
tarikan napas pelan-pelan. Tetapi mata si tampan itu tak
bisa berkedip memandang kesekalan tubuh polos di
depannya.
"Pantatnya montok sekali!" gumam hati Suto Sinting
dengan jari bergerak-gerak bagai Ingin meremas gemas.
Sesuatu yang lebih menarik lagi bagi mata bening
Pendekar Mabuk adalah sebuah tato yang ada di
punggung gadis itu. Pada punggung dekat pundak kiri
gadis itu ada tato bergambar setangkai bunga mawar
warna Jingga. Tato itu tidak seberapa besar namun
tampak  indah dan mempunyai nilai seni cukup tinggi.
Tato itu menyimbulkan bahwa si gadis bukan wanita
yang cengeng dan penakut, bahkan mungkin tubuhnya
sudah terbiasa menerima sentuhan yang menyakitkan,
sehingga  ia berani ditato dengan jarum dan getah
pewarna pada kulit punggungnya.
"Hei, mengapa diam saja di belakangku, Setan!"
sentak si gadis mulai berang karena sejak tadi Pendekar
Mabuk tak berbuat apa-apa. Gadis itu menjadi risi
dipandangi dari belakang.


"Apakah namamu, Mawar Jingga?" tanya Suto
Sinting setelah maju selangkah lagi. Suaranya makin
dekat, hingga si gadis merasa merinding menerima
hembusan napas dari mulut dan hidung Suto Sinting saat
bicara tadi.
"Tak perlu tanya soal nama!" ketus si gadis dengan
jengkel. "Lepaskan dulu ikatanku baru kita bicara soal
nama!" ujarnya dengan tetap tak berani memandang ke
belakang.
Pendekar Mabuk tertawa kecil, hati gadis itu kian
dongkol.
"Lakukanlah sekarang juga, Tolol!" bentak si  gadis
tak sabar lagi.
Suto Sinting segera menenggak tuaknya. Tuak tidak
ditelan semua, namun sebagian disimpan di mulut.
Kemudian tuak itu disemburkan ke tali pengikat pada
tangan kanan si gadis. Brruss...!
Laaap...!
Brrusssh...! Semburan berikutnya pada tali pengikat
di tangan kiri si gadis. Laaap...!
Si gadis terbengong melompong di tempat. Hampir-
hampir ia tak sadar bahwa tali dan kakinya sudah tidak
terikat lagi. Hal yang membuatnya tertegun di tempat
adalah keanehan yang dilihatnya dengan mata kepala
sendiri. Dua pohon yang tadi digunakan untuk mengikat
tali dan tangannya itu tiba-tiba lenyap tak berbekas
sedikit pun, demikian pula tali pengikat itu hilang
bagaikan ditelan angin.
Si gadis tidak tahu bahwa Suto Sinting mempunyai


jurus 'Sembur Siluman' yang dapat melenyapkan benda
apa pun dengan semburan tuaknya dari mulut. Semburan
itu mempunyai kekuatan sentak tersendiri yang berbeda
dengan sentakan napas saat ia pergunakan jurus 'Sembur
Husada', yaitu semburan untuk menghilangkan luka pada
diri seseorang.
Lenyapnya pohon membuat tali pengikat itu pun
hilang seketika. Kedua tangan dan kaki si gadis kini
telah bebas. Namun rasa heran dan terkagum-kagum
membuatnya masih diam di tempat dengan mulut
melongo dan mata terbelalak tak berkedip.
Brruk...! Gadis itu terkejut karena Suto Sinting
melemparkan baju coklatnya yang tanpa lengan itu. Baju
itu jatuh di pundak si gadis bersamaan suara Suto
Sinting yang berkata dengan nada kalem.
"Pakailah bajuku itu untuk sementara supaya kau
tidak masuk angin."
Ucapan itu membuat si gadis sadar bahwa dirinya
dalam keadaan polos. Dengan tetap memunggungi Suto
Sinting, ia mengenakan baju coklat tersebut dan
merapatkan bagian depannya dengan dipegangi dua
tangan. Baju itu panjangnya sampai paha, hingga
menutup bagian yang harus ditutupi di sekitar paha.
Walau tak tertutup sepenuhnya, namun bagian tersebut
sudah tak terbuka ngablak seperti goa tanpa pintu.
Gadis itu pun segera berpaling memandang Suto
Sinting. Deeg...! Hatinya bagai tersentak oleh rasa kaget
di luar dugaan.
"Ternyata dia seorang pemuda yang tampan, kekar


dan gagah?! Oh, tak kusangka penolongku seorang
pemuda setampan dia? Kalau begitu, niatku untuk
membunuhnya kuurungkan saja. Tak baik membunuh
orang yang telah menolongku. Lagi pula... tak begitu
rugi tubuhku dari tadi diperhatikan  pemuda setampan
dia. Kusangka yang memperhatikan tubuhku dari tadi
adalah lelaki bertampang memuakkan!"
Pandangan mata si gadis tertuju pada wajah Suto
Sinting. Kecamuk batinnya segera terhenti karena Suto
Sinting mengajaknya bicara dengan senyum kalem yang
menawan hati.
"Di mana pakaianmu, Nona?"
"Entahlah. Mungkin dibuang ke tempat jauh oleh si
iblis itu!"
"Siapa yang memperlakukan dirimu sedemikian
memalukannya?!"
"Peri Kedung Hantu!"
"Ooh... dia?!"
"Apakah kau kenal dengannya?!" si gadis agak curiga
karena Suto Sinting manggut-manggut.
"Aku kenal hanya sepintas, ia pernah bertarung
denganku dan kutinggalkan dalam keadaan luka," jawab
Suto Sinting lalu membayangkan pertarungannya
dengan Peri Kedung Hantu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Titisan Dewa Pelebur Teluh").
Gadis itu merasa lega setelah tahu bahwa Suto
Sinting ternyata bukan berada di pihak Peri Kedung
Hantu, ia pun menceritakan pertarungannya dengan Peri
Kedung Hantu yang mempunyai nama asli Rumisita itu.


"Dia berhasil menotokku, membuatku lemas tak
berdaya. Aku sempat pingsan beberapa saat. Ketika aku
sadar, keadaanku sudah terikat seperti tadi dan  aku tak
tahu pakaianku dikemanakan oleh si perempuan Iblis
itu!"
"Rumisita memang menyebalkan."
"Hei, kau tahu nama aslinya segala. Siapa kau
sebenarnya?"
"Suto Sinting, itu namaku!"
"Mak... maksudmu... maksudmu kau si Pendekar
Mabuk, muridnya Gila Tuak?"
"Benar, Nona. Bagaimana kau bisa mengenali diriku
sampai tahu nama guruku?"
"Aku pernah mendengar cerita dari guruku tentang
dirimu."
"Siapa gurumu itu, Nona?"
"Nini Kalong, Penghuni Hutan Rawa Kotek!"
"Oooo...," Suto Sinting manggut-manggut. Ia segera
terbayang wajah tua keriput yang badannya kurus dan
sedikit bungkuk berjubah hitam, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Titisan Dewa Pelebur Teluh").
"Aku kenal dengan gurumu; Nini Kalong. Tapi aku
tak kenal siapa muridnya yang cantik dan meminjam
bajuku ini."
Gadis itu sunggingkan senyum tersipu, menunduk
sejenak, kemudian memandang Suto Sinting lagi dengan
bibir ranumnya masih tersungging senyum indah.
"Namaku adalah Puspita Jingga. Murid kedua dari
Nini Kalong setelah Syair Kusumi."


"Pantas kau punya tato bunga mawar jingga."
"Apakah kau suka dengan tatoku itu?"
Pendekar Mabuk yang kini hanya bercelana putih
kusam  dengan ikat pinggang kain merah itu hanya
sunggingkan senyum menawan. Senyuman itu membuat
hati Puspa Jingga berdebar-debar bagai  digelitik
keindahan.
"Aku lebih suka lagi jika kau mau sebutkan apa
alasanmu sehingga kau bertarung dengan Peri  Kedung
Hantu?!"
Puspa Jingga masih mendekap diri untuk merapatkan
baju yang dipakainya, ia melangkah ke samping hingga
mencapai bawah pohon. Dari sana ia berkata kepada
Suto Sinting dengan suara sedikit pelan.
"Aku diutus oleh Guru untuk mengambil  sebuah
pusaka yang ada di dalam makam Resi Dirgantara. Guru
membekaliku selembar denah tempat makam Resi
Dirgantara. Rupanya percakapanku dengan Guru disadap
oleh  Peri Kedung Hantu. Di perjalanan, denah itu
direbutnya. Aku mempertahankan, tapi ilmuku kalah
sakti dengan Peri Kedung Hantu. Denah itu berhasil
direbut dan dibawanya pergi bersama pakaianku."
"Pusaka apa yang ada dalam makam itu?!" tanya Suto
Sinting, namun Puspa Jingga ragu-ragu untuk
mengatakannya.
*
* *




2
NINI Kalong adalah tokoh beraliran hitam yang kala
itu pernah dilumpuhkan oleh Suto Sinting pada saat ia
menyerang si Gadis Dungu. Tetapi lukanya itu segera
ditolong pula oleh Suto Sinting, hingga si nenek pun
akhirnya terselamatkan jiwanya.
Pada saat Suto Sinting bertarung oleh Peri Kedung
Hantu yang merasa tak suka terhadap sikap Suto Sinting
dalam mempengaruhi Nini  Kalong, keduanya menjadi
terluka parah setelah adu kesaktian. Namun Suto Sinting
segera dilarikan oleh Nini Kalong dan melalui bantuan
Nini  Kalong tuak dalam bumbung bambu itu berhasil
diminumkan pada Suto, sehingga luka itu pun sembuh
kembali.
Nini Kalong segera meninggalkan Suto Sinting yang
kala itu sedang mengejar si pembawa lari Gadis Dungu
yang ternyata adalah Nyai Serat Biru, guru si Gadis
Dungu itu sendiri. Kepergian Nini Kalong agaknya
mempunyai maksud tersembunyi. Suto Sinting
merasakan nasihatnya kepada Nini Kalong untuk beralih
ke aliran putih cukup mengena di hati nenek tua itu.
Maka ketika Suto Sinting bertemu dengan Puspa
Jingga, gadis itu pun menceritakan diri sang guru yang
telah berubah dari tokoh aliran hitam menjadi tokoh
aliran putih. Namun mengenai  pusaka yang diburunya
sejak dulu itu masih tetap merupakan rencana dalam
hidup Nini Kalong.
"Guru tidak ingin pusaka itu jatuh di tangan tokoh
aliran hitam, sehingga begitu mendapat kabar dari


seorang pertapa tentang di mana adanya pusaka tersebut,
Guru memerintahkan diriku untuk mengambil pusaka itu
lebih dulu sebelum telanjur diambil dan dikuasai oleh
tokoh aliran hitam," ujar Puspa Jingga sambil mencari
pakaiannya.
"Mengapa bukan Nini  Kalong sendiri yang
mengambil pusaka itu?!"
"Guru belum selesai lakukan tapa gantung...."
"Tapa gantung...?!" Suto Sinting agak heran.
"Bertapa dengan kaki terikat di atas dan tubuh
berjungkir balik, itu yang dimaksud tapa gantung. Dalam
beberapa waktu lagi Guru akan selesai lakukan tapa
tersebut. Tapi merasa takut jika pusaka itu dimiliki orang
lain, maka aku ditugaskan untuk mengambil pusaka
tersebut."
"Mengapa kau tak mau sebutkan nama pusaka itu
padaku?"
"Guru melarangku bicara kepada siapa pun tentang
nama pusaka tersebut. Maafkan aku, aku tak bisa
mengatakannya padamu."
Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi mengingat-
ingat peristiwa pertemuannya dengan Nini Kalong. Kala
itu ia bersama Gadis Dungu yang sekarang
mengasingkan diri bersama gurunya; Nyai Serat Biru, di
puncak Gunung Randu. Seingat Suto, waktu itu Indayani
si Gadis Dungu pernah sebutkan satu nama pusaka yang
sering menjadi bahan bentrokan antara Nini  Kalong
dengan Nyai Serat Biru. Suto Sinting mencoba
mengingat-ingat nama pusaka itu, namun sampai


akhirnya  ia menemukan pakaian Puspa Jingga, nama
pusaka itu masih belum bisa diingatnya dengan jelas.
Pakaian gadis itu ditemukan di jalanan bawah bukit
yang tak seberapa tinggi itu. Bahkan senjata Puspa
Jingga berupa pedang bersarung merah dengan
gagangnya yang dlbungkus kain merah itu juga ada tak
jauh dari pakaiannya.
Gadis itu segera mengenakan pakaiannya di balik
semak. Kejap berikutnya ia tampil dengan lebih cantik
lagi mengenakan pakaian berlengan komprang warna
ungu tanpa jubah. Pedangnya diselipkan pada ikat
pinggangnya yang terbuat dari kain warna hitam.
Rambutnya yang panjang disanggul sebagian, sisanya
dibiarkan meriap dengan lembut gemulai.
"Kau tampak cantik dan anggun jika mengenakan
pakaian seperti itu," ujar Suto Sinting setelah gadis itu
keluar dari semak belukar, selesai berganti pakaian, ia
lemparkan baju coklat Suto Sinting hingga baju itu jatuh
di pundak Suto Sinting.
"Kau justru tampak perkasa jika tanpa baju begitu,"
katanya sambil tersenyum-senyum.
"Kalau aku tanpa baju, kau pasti tak akan bisa pergi
mencari pakaianmu karena aku tak bisa meminjamkan
bajuku ini padamu."
"Tapi, sekalipun kau mengenakan baju itu, masih saja
tampak gagah dan perkasa!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyumnya dengan
mata melirik ke arah Puspa Jingga. Yang dilirik alihkan
pandangan dengan sikap malu-malu. Suto Sinting pun


mengenakan bajunya kembali.
Namun baru saja selesai mengenakan baju, tiba-tiba
ia harus melesat dan bersalto melintasi sisi kanan Puspa
Jingga. Wuuut...! Sang gadis terkejut lalu memandang
dengan heran ketika Suto Sinting berdiri
memunggunginya dengan wajah menengok kepadanya.
"Apa maksudmu melompat begitu? Mau pamer
ilmu?"
Suto Sinting berbalik arah berhadapan dengan Puspa
Jingga. Tangannya yang menggenggam segera membuka
dan sebilah logam berbentuk bintang segi enam terselip
di sela-sela jarinya.
"Hampir saja kau mati oleh senjata rahasia ini!"
katanya sambil matanya melirik ke arah datangnya
senjata rahasia itu. Puspa Jingga terbelalak kaget dan
segera berkerut dahi tajam-tajam.
"Bintang Neraka?!" gumam Puspa Jingga yang
agaknya cukup kenal dengan pemilik senjata rahasia itu.
"Seandainya kau tidak menyambar logam putih itu,
maka tubuhku akan menjadi lumer karena terkena racun
yang ada di ujung keruncingan bintang itu," kata Puspa
Jingga, ia pun segera mencabut pedangnya. Sraaang...!
Matanya menjadi nanar memandang ke arah datangnya
senjata maut tersebut.
"Bintang Neraka itu nama  orang atau nama senjata
ini?!"
"Nama senjata itu!" jawabnya dengan lirih sambil
bersiap menebaskan pedang jika terjadi serangan
mendadak, ia berkata juga kepada Suto Sinting walau


tanpa memandangi pemuda tampan itu.
"Pemiliknya sangat kukenal. Bintang Neraka adalah
senjata andalan Pangeran Umbardanu."
"Oh, ya... aku pernah mendengar nama Pangeran
Umbardanu," gumam Suto  Sinting sambil masih
memandang ke arah sekeliling, ia teringat nama
Pangeran Umbardanu sebagai nama kekasih dari si
Gadis Dungu yang kala itu ikut mengejar-ngejar Gadis
Dungu untuk dibunuh.
Dalam penjelasan Indayani, si Gadis Dungu itu, saat
Suto Sinting ikut mengantarkan sampai di kaki Gunung
Randu, orang yang bernama Pangeran Umbardanu itu
memang putra seorang sultan di Kesultanan Siliwindu.
Timbulnya peristiwa pengejaran titisan Dewa Pelebur
Teluh itu, Indayani  menjadi tahu bahwa Umbardanu
sebenarnya bukan mencintainya, melainkan berusaha
menangkapnya untuk dibunuh. Sebab kala itu Indayani
menjadi bahan buruan para tokoh aliran hitam dan akan
dihabisi masa hidupnya sebelum Gadis Dungu mencapai
usia dua puluh lima tahun.
Dalam kitab kuno yang bernama Kitab Samak Kubur
berisi ramalan-ramalan masa depan para tokoh aliran
hitam disebutkan bahwa titisan Dewa Pelebur Teluh
akan membantai habis para tokoh aliran hitam setelah
bocah itu berusia dua puluh lima tahun. Dan si Gadis
Dungu dicurigai sebagai titisan Dewa Pelebur Teluh itu,
sehingga dikejar-kejar oleh para tokoh aliran hitam. Jika
Pangeran Umbardanu ikut ingin melenyapkan si Gadis
Dungu, berarti Pangeran Umbardanu termasuk murid


seorang guru yang beraliran hitam.
"Mengapa Pangeran Umbardanu sekarang
menyerangmu dengan senjata andalannya ini?!" tanya
Suto.
Belum sampai Puspa Jingga menjawab pertanyaan
itu, tiba-tiba kilauan benda logam melayang lagi  dari
arah samping kanan gadis itu. Gerakannya begitu cepat
bagaikan kilasan cahaya perak. Zingg... zingg...!
Pedang yang sudah siap di tangan itu segera
berkelebat menangkisnya dengan gerakan cepat. Tring,
tring...! Tubuh gadis itu melompat ke arah belakang, dan
tangkisan pedang itu membuat dua bintang segi enam itu
terpental ke dua arah yang berlawanan. Salah satu benda
tersebut menancap pada sebatang pohon.
Jrrraab...!
Pohon itu kepulkan asap dari tempatnya yang
tertancap bintang segi enam. Makin lama asapnya
semakin tebal, menandakan bahwa benda itu mempunyai
racun yang berbahaya. Sementara itu bintang yang masih
ada dalam jepitan jari tangan Suto  Sinting itu segera
dilemparkan ke arah datangnya dua benda yang
ditangkis Puspa Jingga tadi. Ziiing...!
Zrrraaak...! Benda itu menerabas semak rimbun, lalu
terdengar suara nyaring bagaikan sentuhan logam
dengan besi. Traaang...!
Pohon yang tadi terkena Bintang Neraka itu menjadi
busuk dan seluruh daunnya berguguran. Pohon kekar itu
menjadi lumer bagaikan gedebong pisang yang sebentar
lagi membusuk. Sedangkan benda yang dilemparkan


Suto Sinting tadi tidak menampakkan perubahan apa-apa
pada dua buah pohon yang ada di balik semak. Berarti
bintang  itu tidak mengenai pohon tersebut, tapi
mengenai sesuatu yang menimbulkan suara denting.
"Keluarlah kau dari situ! Aku tahu kau adalah
Pangeran Umbardanu!" seru Puspa Jingga dengan sikap
siaga menghadapi serangan lawan.
"Bagaimana kalau ternyata dia bukan Pangeran
Umbardanu?!" bisik Suto Sinting dalam  jarak dua
langkah di samping kiri gadis itu.
"Senjata yang kau lemparkan tadi sebenarnya
mengenai dadanya, tapi karena kebiasaannya memakai
baju perisai besi, maka ia tidak mengaiami luka  apa
pun!" balas Puspa Jingga dalam bisikan pula.
Beberapa saat lamanya mereka hanya menunggu
kemunculan dan serangan berikutnya dari orang di balik
semak belukar. Tetapi ternyata yang ditunggu  tak
muncul-muncul juga, sehingga Puspa Jingga kehilangan
kesabaran. Kemudian ia lepaskan pukulan jarak jauhnya
dari tangan kiri. Pukulan itu berupa gumpalan asap
merah sebesar buah jeruk. Wuuut...!
Zrrraak...! Bruaaasss...!
Semak belukar rusak, menghambur ke atas bagaikan
diterjang badai pemangkas yang cukup besar. Daun-daun
terpotong bagai dipangkas dengan senjata tajam. Dalam
sekejap saja semak belukar itu telah lenyap, tempat itu
menjadi terang seakan siap dipakai untuk jalanan.
"Gila! Kau menyerang musuh atau babat hutan buat
jalanan?!" bisik Suto Sinting dengan nada sedikit kagum


dan geli.
Puspa Jingga menjadi jengkel sendiri karena rasa
penasarannya. Orang yang menyerangnya secara
sembunyi-sembunyi itu tidak muncul-muncul juga.
Akhirnya ia berkelebat menerjang semak dan mencari
orang tersebut di sekeliling tempat itu. Suto Sinting
melesat ke atas, tubuhnya dengan sangat ringan
melayang tanpa bersalto  dan hinggap di atas sebuah
pohon. Dari sana ia memandang ke arah sekelilingnya, ia
melompat dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon.
Namun ia tak menemukan sesosok bayangan pun selain
bayangan Puspa Jingga sendiri.
"Mungkin ia telah kabur!" seru Suto Sinting sambil
meluncur turun dari atas pohon. Tubuhnya melayang
dengan tenang dan kakinya mendarat ke tanah tanpa
hentakan dan suara apa-apa.
Puspa Jingga yang melihat hal itu hanya membatin,
"Benar-benar tinggi ilmu peringan tubuhnya. Pantas jika
Guru merasa kagum dan bangga terhadap si Pendekar
Mabuk ini. Biar sering minum tuak, tapi matanya tidak
kelihatan merah seperti beberapa orang pemabuk yang
pernah kujumpai di kedai-kedai itu. Namanya saja
Pendekar Mabuk, tapi matanya bening dan teduh,
membuat hatiku sering berdesir indah penuh khayalan
asmara. Ah, lupakan dulu soal kehebatannya itu!"
Puspa Jingga menarik napas dan kecamuk batinnya
pun sirna seketika. Kini ia memandang ke sana-sini,
masih penasaran mencari orang yang menyerangnya dari
persembunyian tadi.


"Apakah Pangeran Umbardanu itu seorang
pengecut?!" tanya Suto Sinting seraya mengambil
tempat di bawah pohon rindang, ia berdiri dengan satu
tangan bersandar pada batang pohon itu. Bumbung
tuaknya tetap menggantung di pundak, siap
dipergunakan sewaktu-waktu.
"Aku tak tahu apakah Pangeran Umbardanu itu
sebenarnya orang yang punya nyali atau seorang
pengecut. Tapi  dari jenis senjatanya tadi aku dapat
pastikan bahwa dialah penyerangnya."
"Apakah kau ada masalah dengan Pangeran
Umbardanu?"
"Dia pernah ingin melamarku. Dia menyatakan
hatinya jatuh cinta padaku. Tapi aku menolaknya secara
kasar, sebab aku tahu dia punya maksud tersembunyi
dari ungkapan cintanya itu."
"Maksud apa kira-kira?"
"Dia mengincar pusaka, dan rahasia pusaka itu ada di
tangan guruku. Dia ingin dapatkan pusaka itu dengan
memperalat diriku."
"Pusaka apa yang dimaksud?"
"Pusaka yang ada dalam makam Resi Dirgantara."
Pendekar Mabuk tertawa kecil. "Kelicikannya selalu
gagal. Cinta dipakainya sebagai jembatan memperoleh
keinginannya. Kurasa lelaki macam dia satu hari bisa
jatuh cinta seratus kali. Agaknya ia cukup berbahaya
bagi seorang wanita seperti kau, Puspa Jingga. Untung
kau cukup waspada. Hal yang sama pun pernah dialami
oleh Indayani dan...."


"Indayani...?! Oh, si Gadis Dungu itu maksudmu?"
"Benar. Pangeran Umbardanu mendekati Indayani
dengan bahasa cinta, padahal ia ingin membunuh gadis
itu pada  saat si gadis lengah. Namun usahanya gagal,
sebelum niatnya tercapai Indayani  telah berhasil
diselamatkan oleh gurunya; Nyai Serat Biru."
"Apakah kau punya hubungan dekat dengan
Indayani?" pancing Puspa Jingga dengan nada curiga.
Pendekar Mabuk hanya tersenyum lebar, tertawa
pelan tanpa suara.
"Hubungan dekatku dengan Indayani bukan untuk
masalah cinta."
"Syukurlah kalau kau tak jatuh cinta kepada Indayani.
Guru pasti akan mengecammu jika kau jatuh cinta pada
Indayani, sebab Guru bermusuhan dengan Nyai Serat
Biru."
Suto Sinting membuka tutup bumbung bambu itu,
kemudian beberapa teguk tuak ditenggaknya. Badannya
terasa segar setelah meneguk tuak yang mempunyai
kesaktian sendiri bersama bumbungnya itu.
Puspa Jingga memasukkan pedang ke sarungnya.
Trak...! Lalu ia berkata kepada Pendekar Mabuk yang
baru saja menutup bumbung tuaknya.
"Kurasa Pangeran Umbardanu melapor kepada
gurunya mengenai keberadaanmu bersamaku."
"Siapa guru Pangeran Umbardanu itu?"
"Dupa Dewa, dari Perguruan Serikat Jagal."
"Ooo... pantas dia sampai hati ingin membunuh
Indayani, rupanya rencana itu atas perintah gurunya;


Dupa Dewa yang merasa takut kalau Indayani  tetap
hidup sampai usia dua puluh lima tahun."
"Kudengar si Dupa Dewa ingin membalas  dendam
padamu. Menurut cerita seorang anak buahnya yang
pernah bertemu denganku, Dupa Dewa menderita luka
parah saat bertarung denganmu. Lukanya sampai
sekarang belum sembuh betul, dan ia menyimpan
dendam pada Pendekar Mabuk."
Suto Sinting hanya tertawa kecil, ia teringat saat
bertarung dengan Dupa Dewa yang membuat Dupa
Dewa terpental akibat hembusan badai yang keluar dari
jurus 'Naga Tuak Setan'-nya itu. Rupanya Dupa Dewa
masih hidup, dan sekarang tentunya sedang persiapkan
diri untuk melakukan balas dendam kepadanya. Tapi
Suto Sinting tak punya rasa  takut sedikit pun, bahkan
menertawakan dengan rencana balas dendam itu.
"Aku akan pergi ke makam Resi Dirgantara," ujar
Puspa Jingga pelan sekali, seperti takut didengar orang
lain.
"Aku akan mendampingimu. Tapi apakah kau tahu
tempatnya? Bukankah peta menuju ke makam itu telah
direbut oleh Peri Kedung Hantu?!"
"Aku masih ingat patokannya. Mendiang Resi
Dirgantara dimakamkan dalam goa. Goa itu ada di Bukit
Batok, letak bukit itu ada di antara Gunung Sumbar dan
anak gunung itu yang bernama Gunung Gempur."
"Kau tahu arah menuju ke Bukit Batok?!"
"Patokan kita adalah Gunung Sumbar yang tinggi dan
ada di sebelah timur tempat ini. Kalau kita sudah


temukan Gunung Sumbar, kita mudah temukan Bukit
Batok. Kalau kau mau mendampingiku, kau harus siap
menghadapi Peri Kedung Hantu, sebab perempuan itu
pasti ke sana."
"Kalau mau bergerak lebih cepat dari Peri Kedung
Hantu, kau harus mau kugendong, karena aku akan
pergunakan jurus 'Gerak Siluman' supaya cepat sampai
di sana."
"Bodoh  sekali  aku  kalau  sampai merasa keberatan
dengan usulmu," ujar Puspa Jingga dengan senyum
indah mekar di bibirnya yang ranum itu.
Baru saja Suto Sinting dekati Puspa Jingga dan ingin
menggendongnya, tiba-tiba dua berkas sinar  kuning
sebesar lidi menghantam punggung mereka. Clap,
clap...! Deb, deb...!
"Uhg...! Sssu.... Suto...?!"
Puspa Jingga tersentak dengan tubuh mengejang, lalu
meliuk sebentar dan jatuh terkulai dalam keadaan tak
sadarkan diri. Sedangkan Pendekar Mabuk juga
mengalami hal serupa, tapi ia berusaha untuk bertahan.
Napasnya yang terasa sesak itu dipaksakan untuk disedot
dalam-dalam. Tetapi semakin lama pandangan mata Suto
Sinting mulai berkunang-kunang. Tubuh pendekar
tampan itu semakin lemas, dan ia jatuh berlutut dengan
kepala mulai tertunduk lemas.
Dalam keadaan seperti itu, Pendekar Mabuk sempat
melihat sekelebat bayangan yang menyambar tubuh
Puspa Jingga. Sayang sekali yang dapat dilihat Suto
Sinting hanya berupa sekelebat bayangan, tak jelas


seperti apa wajah orang itu dan siapa sebenarnya orang
itu.
Pendekar Mabuk pun roboh ke depan saat Puspa
Jingga disambar dan dibawa pergi oleh  orang tersebut.
Suto Sinting dibiarkan terkulai di tanah tanpa ada yang
mengusiknya lagi.
*
*  *

3
TEBING terjal berbatu karang mempunyai rongga
menyerupai goa. Di dalam goa Itulah Pendekar Mabuk
sadarkan diri dan terkejut melihat keadaannya terkapar
di atas batu datar setinggi lutut. Batu itu seukuran
dengan sebuah tempat tidur yang cukup untuk dua
orang.
Langit-langit goa yang tinggi adalah sasaran pertama
ketika Suto Sinting membuka matanya. Sebelum  ia
bangkit duduk, terlebih dulu dirasakan gerakan urat-urat
sekujur tubuhnya. Masih terasa kaku dan linu, namun
sudah bisa untuk bergerak sebagaimana mestinya.
Pendekar Mabuk pun segera bangkit dan bertanya dalam
hati,
"Di mana aku ini?! Hmmm... siapa yang membawaku
ke sini?! Bagaimana dengan Puspa Jingga?!"
Goa itu sangat sunyi, kosong tanpa orang lain. Tapi
melihat tumpukan kayu bakar bekas api unggun, Suto
Sinting yakin bahwa goa ini bukan dihuni oleh dirinya
sendiri. Pasti ada seseorang yang membawanya ke situ.


Beberapa buah kelapa hijau tampak terbelah dan
berserakan di sana-sini, juga beberapa sisa makanan lain,
termasuk tempat pembakaran ikan yang tersisa
tulangnya di sekitar tempat bara.
Bumbung tuak sakti ada di samping batu, bersandar
dalam keadaan berdiri. Pendekar Mabuk cepat ambil
bumbung tuak itu dan menenggak tuak beberapa teguk.
Dalam waktu singkat tubuhnya menjadi segar dan
kekuatannya pulih kembali seperti sediakala.
Turun dari batu datar Suto Sinting melangkah dekati
mulut goa. Oh, ternyata ia berada di lereng tebing dalam
kemiringan tegak lurus. Di  bawahnya tampak lautan
bergelombang besar. Jaraknya cukup jauh dari mulut
tebing. Di depan pintu goa yang ternganga lebar itu ada
sebidang tanah berbatu, di sanalah Suto Sinting berdiri
dan memandang ke atas. Ternyata jarak antara mulut goa
dengan bagian atas tebing iebih dekat ketimbang jarak
ke perairan laut.
"Tempat yang sungguh aman untuk persembunyian.
Hmmm... siapa orang yang menempati goa ini
sebenarnya? Mengapa ia tidak ada di tempat? Tak
kulihat ada manusia di sekitar tebing ini. Ah, sial betul,
aku tak bisa menduga-duga siapa orang yang
membawaku kemari sebenarnya?!"
Akhirnya Pendekar Mabuk putuskan untuk
menunggu di dalam goa sambil sesekali menikmati
tuaknya secara sedikit demi sedikit. Keadaan di dalam
goa diperiksanya untuk menentukan dugaan siapa
penghuni goa tersebut. Goa yang tidak mempunyai jalan


tembus ke mana-mana dan keadaannya tak terlalu dalam
itu mendapat sorotan sinar matahari dari  arah timur.
Sinar matahari itu cukup menyegarkan udara di dalam
goa, walau sinarnya tak sampai menembus ke dinding
dasar goa, tapi sinar itu membuat terang goa tersebut,
sehingga benda apa pun yang ada di situ bisa dilihat
dengan jelas.
Beberapa saat lamanya Pendekar Mabuk menunggu si
penolong yang membawanya ke goa tersebut. Hatinya
menjadi tak sabar dan ingin segera meninggalkan goa
itu. Tetapi tiba-tiba niatnya terpaksa dibatalkan karena
sekelebat bayangan masuk ke dalam goa saat Suto
Sinting bergegas ingin menuju ke pintu goa. Langkah
murid sinting si Gla Tuak itu pun terhenti dan
pandangan matanya tertuju kepada orang yang baru
datang itu. Orang tersebut pastilah yang membawanya
ke tempat itu dalam keadaan pingsan.
"Sudah sehatkah keadaanmu, Suto?!"
"Rara Santika...?!" gumam Suto Sinting dengan lirih
dan bernada kagum.
Perempuan yang rambutnya disanggul dan dihiasi
permata  itu sunggingkan senyum manis kepada Suto.
Benak Suto Sinting segera teringat peristiwa saat
bertemu dengan perempuan berusia sekitar dua puluh
delapan tahun yang berwajah cantik, bulat telur,
berhidung mancung, dan bermata indah itu. Jubah satin
warna merah jambu menutup dada montoknya yang
dilapisi kain biru muda sesuai kain bagian bawahnya
membuat Suto Sinting segera mengenali perempuan itu.


Ia  mengenal Rara Santika dalam satu peristiwa yang
cukup menegangkan karena perempuan itu mempunyai
saudara kembar beraliran hitam, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Gundik Sakti").
"Tak kusangka kaulah orangnya yang membawaku
kemari dalam keadaan aku tidak berdaya," ujar Suto
Sinting saat Rara Santika mendekatinya.
"Aku pun tak menyangka sejak perpisahan kita
setelah menghancurkan Goa Tumbal Perawan dulu,
tahu-tahu kujumpa dirimu dalam keadaan terkapar tanpa
daya. Kau telah pingsan selama dua hari, Suto."
"Oh, jadi aku berada di sini sudah dua hari?"
"Lebih tepatnya dua hari tiga malam. Ini hari
ketigamu berada di sini. Kupikir kau tak dapat siuman
kembali. Aku sudah berusaha mengobati dengan tenaga
intiku dan hawa murniku, namun tak mampu
membuatmu sadar. Aku baru saja pergi ke seorang tabib
untuk membawanya kemari, tapi sayang tabib itu tidak
ada di tempat."
Perempuan bersenjata kipas gading dengan hiasan
ronce-ronce merah di bagian gagang kipasnya itu
memandangi Suto Sinting dengan sorot pandangan mata
yang ceria dan berbinar-binar. Agaknya ia punya kesan
pribadi tersendiri selama bersama Pendekar Mabuk
dalam usaha menghancurkan Desa Lambung Bumi yang
ada di dalam Goa Tumbal Perawan, bekas tempat
kekuasaan adik kembarnya yang berjuluk si Gundik
Sakti itu.
"Siapa orangnya yang bisa membuatmu sampai


pingsan beberapa hari itu, Suto?!" sambil tangan
perempuan itu mengusap rambut Suto Sinting dengan
penuh kelembutan.
"Aku tak tahu siapa orangnya, karena kala itu aku
sedang bersama Puspa Jingga...."
"Maksudmu, si genit murid Nini Kalong itu?"
"Benar, apakah kau kenal dengannya?"
"Aku cukup kenal dengan Nini  Kalong dan kedua
murid andalannya; Puspa Jingga dan Syair Kusumi. Tapi
hanya sebatas kenal biasa, tanpa ikatan jasa apa pun.
Yang jelas kami tidak saling bermusuhan."
"Apakah kau juga tahu siapa orang yang membawa
lari Puspa Jingga dalam keadaan tak berdaya itu?"
Rara Santika berkerut dahi. "Jadi, Puspa Jingga
dibawa lari oleh seseorang?"
Pendekar Mabuk segera ceritakan masalah
sebenarnya tentang Puspa Jingga. Perempuan itu pun
menanyakan tentang pusaka yang ada di dalam makam
Resi Dirgantara, tapi Suto Sinting tak bisa memberi
penjelasan.
"Puspa Jingga sendiri tak mau menyebutkan nama
pusaka tersebut karena takut melanggar larangan dari
gurunya," ujar Suto Sinting sambil duduk di batu
tempatnya terbaring tadi.
"Resi Dirgantara semasa hidupnya adalah sahabat
dari mendiang ayahku," kata Rara Santika. "Tapi beliau
tidak pernah bicara tentang pusaka miliknya kepada
Ayah. Semasa berusia empat belas tahun, aku pernah
ikut Resi Dirgantara menyeberang ke Pulau Sumbing,


dan dalam perjalanan itu aku dapat mengetahui bahwa
Resi Dirgantara tak pernah punya pusaka. Rasa-rasanya
janggal sekali jika ada kabar yang mengatakan bahwa di
dalam makam Resi Dirgantara terdapat sebuah pusaka."
"Apakah Resi Dirgantara tidak mempunyai senjata
apa pun?"
"Hmmm... ya, memang punya, tapi menurutnya
bukan pusaka, itu hanya senjata biasa untuk keamanan
dirinya."
Suto Sinting terbungkam dalam keadaan merenung.
Kemudian terdengar gumam lirihnya secara samar-
samar,
"Jadi  untuk apa Nini Kalong membekali muridnya
sebuah peta menuju makam Resi Dirgantara?! Benarkah
Nini Kalong mendapat petunjuk dari dewata bahwa ada
pusaka di dalam makam Resi Dirgantara?!"
"Kurasa itu hanya rekaan Nini Kalong saja. Kalau toh
di dalam makam itu ada pusaka, satu-satunya orang yang
tahu persis adalah Nyai Serat Biru. Sebab dia adalah
adik kandung dari Resi Dirgantara."
"Nyai Serat Biru...?!" Pendekar Mabuk kerutkan dahi.
"Aku kenal betul dengan Nyai Serat Biru."
"Tanyakanlah kepada Nyai Serat Biru tentang pusaka
itu. Kurasa hanya dialah yang bisa menjelaskan
mengenai isi makam Resi Dirgantara."
Untuk memperjelas keadaan yang sebenarnya,
Pendekar Mabuk merasa perlu menemui Nyai Serat Biru
yang sedang mengasingkan diri di puncak Gunung
Randu yang bersama muridnya: Indayani, si Gadis


Dungu. Ketika hal itu dikemukakan  oleh  Suto,  Rara
Santika  menampakkan wajah kurang setuju dan serba
salah.
"Sebenarnya aku tak suka dengan Indayani yang
sombong itu," ujarnya kepada Suto Sinting. "Aku sering
cekcok mulut dengan murid Bibi Serat Biru. Jika tidak
memandang Bibi Serat Biru termasuk sahabat mendiang
ayahku, sudah kuhancurkan mulut si Gadis Dungu itu."
Suto Sinting tertawa pendek. "Apakah ia pernah bikin
persoalan denganmu?"
"Memang tidak, tapi aku tak betah mendengar kata-
katanya. Hatiku cepat panas jika ia berbicara muluk-
muluk."
"Kendalikan saja hatimu, jangan terpengaruh oleh
sifatnya yang memang sudah begitu adanya. Setiap
orang mempunyai pembawaan pribadi sejak kecil. Kau
harus bisa berlapang dada dan memaklumi pembawaan
tiap pribadi manusia."
Rara Santika diam termenung, semantara itu Suto
Sinting sudah berada di ambang mulut goa. Ia
memandang ke arah lautan lepas. Sejenak kemudian
berpaling menatap Rara Santika dan bertanya dengan
suara merdunya.
"Aku akan berangkat ke puncak Gunung Randu
menemui Nyai Serat Biru. Bagaimana dengan dirimu?
Apakah mau ikut ke sana atau tidak?"
Rara Santika tarik napas dalam-dalam, ia memandang
Suto Sinting dengan hati diliputi kebimbangan. Setelah
dua helaan napas ia bangkit dan mendekati Suto Sinting.


"Baik, aku akan ikut ke Gunung Randu. Tapi dengan
satu syarat yang harus kau penuhi."
"Syarat apa?" seraya Suto Sinting sunggingkan
senyum tipis.
"Jangan terlalu dekat dengan Indayani!"
"Mengapa jika aku terlalu dekat dengannya?"
"Aku bisa benci padamu, karena kuanggap kau ikut-
ikutan menjadi manusia sombong."
Tawa pelan mirip suara menggumam itu
berkepanjangan. Rara Santika menjadi tersipu malu dan
salah tingkah sendiri. Pendekar Mabuk segera meraih
kedua pundak perempuan itu dan menghadapkan ke
arahnya. Wajah cantik yang sudah cukup dewasa itu
dipandanginya beberapa saat dalam hiasan senyum yang
menawan.
"Baiklah, akan kuturuti saranmu itu. Tapi kau tidak
boleh mudah cemburu jika aku bicara padanya."
"Siapa yang cemburu?!" Rara  Santika bersungut-
sungut, Pendekar Mabuk tertawa geli.
Mereka berdua segera melesat menuju Gunung
Randu. Mereka bergerak ke arah selatan dari tebing
curam itu. Namun baru mendapat beberapa langkah
terpaksa harus berhenti karena kehadiran seseorang yang
tahu-tahu menghadang di depan mereka.
Jleeg...!
Orang tersebut bagaikan hantu yang muncul dari
alam gaib. Tahu-tahu ada di depan mereka dan
mengejutkan Rara Santika. Mata tajam Pendekar Mabuk
mulai  memandangi sosok orang yang berdiri


menghadang  langkahnya itu, namun sikapnya masih
tampak tenang dan tak menunjukkan keheranan sedikit
pun. Keheranan itu hanya dipendam dalam hati, karena
Suto merasa baru sekarang berjumpa dengan orang
tersebut.
"Kau kenal dengannya?" bisik Suto Sinting kepada
Rara Santika.
"Aku tak pernah jumpa dengannya," jawab Rara
Santika dengan mata tetap tertuju pada seorang pemuda
berusia sebaya dengan Suto Sinting. Pemuda itu
mengenakan pakaian hijau berhias benang emas dengan
celananya yang berwarna sama pula. Rambutnya
panjang sebatas punggung dengan kepala mengenakan
ikat dari logam emas berhias butiran permata kecil.
Tangan kirinya menggenggam pedang bersarung kuning
emas dengan ukiran indah.
"Dilihat dari pedang dan pakaiannya, agaknya
pemuda itu bukan dari golongan masyarakat biasa!"
bisik Suto Sinting.
Rara Santika memperhatikan rompi perunggu yang
dikenakan pemuda itu dalam  keadaan rapat. Rompi itu
berukir dan tampak tebal sekali. Agaknya rompi itu
berguna sebagai pelindung dada dari serangan senjata
tajam dan sejenisnya.
Rara Santika  segera menyapa dengan sikap tak
ramah, "Siapa kau sebenarnya, dan apa perlumu
menghadang langkah kami?!"
"Aku ingin bicara dengan pemuda sinting itu!"
jawabnya sambil menuding Pendekar Mabuk.


Pemuda berkumis tipis dengan ketampanan yang
berkesan licik itu  diperhatikan Suto Sinting tanpa
berkesip. Di bibir Suto masih ada seulas senyum tipis
sebagai kesan menyepelekan kewibawaan pemuda
tersebut. Suto Sinting sengaja tidak bicara, sehingga
Rara Santika mewakilinya.
"Ada  perlu  apa kau ingin bicara dengan sahabatku
ini?!"
"Kulihat tadi dia bersama kekasihku; Puspa Jingga!"
"O.... jadi kau yang bernama Pangeran Umbardanu?!"
sahut Suto Sinting segera dapat menyimpulkan siapa
pemuda itu.
"Kalau kau sudah tahu siapa aku, sekarang kau harus
memberi tahu di mana kekasihku; Puspa Jingga itu?!"
"Kalau  dia kekasihmu, tentunya kau tidak akan
menyerangnya dengan senjata Bintang Neraka-mu,
Pangeran!" kata Suto Sinting tak kalah  ketus.
Senyumnya justru dibuat sinis dan memancing
kejengkelan Pangeran Umbardanu.
"Aku tadi ingin  membunuhmu, bukan membunuh
Puspa Jingga."
"Arahnya jelas kepada Puspa Jingga, bukan
kepadaku. Kau punya kemarahan kepada Puspa Jingga
karena tak mau menerima cintamu, bukan?!"
"Persetan dengan cinta! Sekarang yang kuminta
darimu adalah sebuah peta! Kudengar Puspa Jingga yang
membawa sebuah peta dari gurunya untuk menuju ke
makam Resi Dirgantara. Aku yakin peta itu sekarang
sudah berpindah ke tanganmu karena kulihat kau pandai


membujuk hati wanita!"
Pendekar Mabuk kian sunggingkan senyum bernada
sinis. "Kau  tak akan mendapatkan apa-apa dariku,
Pangeran Umbardanu! Aku bukan pria sepertimu;
mendekati wanita untuk maksud kelicikan pribadi! Sama
halnya kala kau mendekati Indayani dan berlagak jatuh
cinta...."
"Tutup mulutmu!" sentak Pangeran Umbardanu
sambil tangannya mulai memegang gagang pedangnya.
"Kucabik-cabik tubuhmu kalau tak segera serahkan peta
itu!"
"Oh, kau mencabik-cabik dia?! Kalau begitu ada
baiknya kau hadapi dulu aku, Umbardanu!" ujar Rara
Santika dengan sikap menantang tanpa rasa takut sedikit
pun.
"Perempuan lacur kau! Jangan berlagak menjadi
pelindung pemuda ingusan macam dia! Menyingkirlah
dari hadapanku!"
"Dapatkah kau memaksaku untuk menyingkir dari
tempatku?!"
"Keparat! Rupanya kau belum tahu siapa Pangeran
Umbardanu ini, hah?! Hiaaaat...!"
Srang...! Pedang dicabut dari sarungnya dan Pangeran
Umbardanu lompat ke depan. Wuuut...!
Tangan bersenjata pedang terangkat ke atas, siap
menebaskan pedang tersebut ke kepala Rara Santika.
Namun tubuh Rara Santika segera bergerak cepat, ia
bersalto ke belakang sambil salah satu kakinya
menendang pergelangan tangan Pangeran Umbardanu.


Wuuut...! Deess...!
"Aaauuh...!" Pangeran Umbardanu terpekik menahan
sakit. Pedang yang ada di tangannya itu terlepas dan
terpental. Sementara itu Rara Santika sudah berdiri tegak
kembali dengan kaki sedikit merenggang dan merendah,
siap hadapi serangan lawannya. Namun sang lawan
agaknya tidak cepat bergerak akibat menahan rasa sakit
pada tulang tangannya.
"Setan kurap! Tendangannya mematahkan tulang
tanganku! Uuh...! Sakitnya bukan main. Pasti ia salurkan
tenaga salju ke dalam tendangannya hingga seluruh
darahku teraaa dingin sekali! Hmmm... agaknya aku
harus gunakan Bintang Neraka untuk membunuh
perempuan keparat itu!"
Pangeran Umbardanu menggeram-geram sambil
bergerak membuka  jurus baru. Sementara itu, Suto
Sinting hanya senyum-senyum  saja  dari tempat
berdirinya di dekat gerumbulan semak belukar. Matanya
memperhatikan Pangeran Umbardanu dengan sikap
mencemooh ilmu putra sultan itu.
Zub, zub, zub...! Tiba-tiba tiga keping logam melesat
dari tangan Pangeran Umbardanu yang bergerak
melemparkan benda itu dengan gerakan cepat.
Sepertinya ia mengambil benda berbentuk bintang segi
enam itu dari balik rompi perunggunya.
Tiga benda yang melayang ke arah Rara Santika itu
sengaja tidak dihindari. Namun tangan Rara Santika
dengan cepat menyambar senjata kipas gadingnya yang
sejak tadi tertutup kain jubahnya. Suut...! Kipas gading


itu pun dibentangkan di depan dada. Bred...!
Jub, jub, jub...! Tiga keping bintang bersegi enam
menancap pada kipas gading bagaikan besi semberani.
Kipas itu segera dikibaskan ke depan, weesss...! Dan tiga
keping senjata rahasia itu melesat ke arah Pangeran
Umbardanu. Zing, zing, zing...!
"Heaaah...!" pekik Pangeran Umbardanu sambil
lakukan lompatan bersalto ke belakang. Senjata rahasia
yang memburu balik ke arahnya itu melesat ke tempat
kosong dan akhirnya ketiga senjata itu menancap pada
tiga batang pohon. Jrab, jrab, jrab...!
Pohon yang segera menjadi layu itu tidak dihiraukan
oleh mereka. Pangeran Umbardanu masih  penasaran
untuk lakukan serangan beruntun kepada Rara Santika.
Sebuah tendangaan berputar bagaikan kipas dilancarkan
dengan cepat. Wut, wut wut, wut...!
Kaki kekar itu melayang bagai ingin membabat
kepala Rara Santika. Namun perempuan itu
menghindarinya dengan meliuk-liukkan kepala dan
punggung hingga lolos dari tendangan putar beruntun
tersebut. Hanya saja, pada saat tendangan Pangeran
Umbardanu berubah menjadi menyodok lurus ke depan,
Rara Santika hampir saja terkena tendangan tersebut di
bagian wajahnya. Untung tangan kirinya segera
berkelebat dan telapak tangan itu menahan tendangan
yang menggunakan ujung kaki itu.
Dees...!
Kipas segera mengatup. Taab...! Kemudian ujung
kipas disodokkan ke mata kaki Pangeran Umbardanu.


Duuhg...!
"Aaaauuww...!" Pangeran Umbardanu menjerit keras
karena mata kaki kanannya remuk seketika itu juga. Ia
tak bisa berdiri dengan menggunakan kaki kanannya, ia
terlonjak-lonjak ke belakang menggunakan kaki kiri,
sementara tangannya memegangi kaki kanannya.
"Bangsat kau, Perempuan Iblis!!" teriaknya penuh
murka.
Rara Santika hanya sunggingkan senyum sinis sambil
berdiri dengan tangan memegangi kipas terangkat ke
atas. Kipas itu sendiri masih dalam keadaan tertutup.
Matanya memandang tajam tak berkedip.
"Terpaksa kuhancurkan tubuhmu yang kotor itu,
Jahanam! Heeeaah...!"
Pangeran Umbardanu sentakkan kedua tangannya.
Wuuut...! Dari kedua tangan itu meluncur dua larik sinar
biru sebesar gagang pedang. Wuuut, wuuut...!
Rara Santika segera membuka kipasnya. Breed...!
Lalu dikibaskan dari atas ke bawah, dan ke atas lagi.
Wuus, wees...!
Sinar biru menghantam tanah. Blaaarr...!  Tanah
menjadi retak, tubuh Pangeran Umbardanu hampir
terperosok masuk ke dalam belahan tanah. Namun
sebelum ia terperosok, angin badai berhembus sangat
cepat dan kencang. Wuuusss...!
Cahaya petir biru kemerahan memercik dari tepian
kipas sebanyak tiga larik dan saling bertebaran
menghantam tubuh Pangeran Umbardanu. Trat, trat,
trat...!


Sayang  sekali  tubuh  itu telah terbang dihempaskan
angin badai yang dahsyat. Sinar petir itu menghantam
beberapa pohon yang ikut jebol dan terbang karena
angin badai dari kipas Rara Santika itu.
Duaaar, blegaaarrr...!
Gleeeerrrr...!
Suara gemuruh bagai langit roboh terdengar
menggema panjang. Alam menjadi porak-poranda.
Pohon-pohon dijungkirbalikkan oleh angin badai dari
kipas Rara Santika. Tempat itu bagai dilanda bencana
alam. Tanah yang terbelah akibat sinar birunya Pangeran
Umbardanu tadi menjadi kian retak dan bergetar hebat.
Bahkan keretakan tanah terjadi di sana-sini, terutama
pada bekas  pohon yang tumbang dan jebol bersama
akarnya.
Pendekar Mabuk hanya bisa tertegun bengong
menyaksikan kehebatan kipas Rara Santika yang hampir
menyerupai kedahsyatan 'Napas  Tuak Se-tan'-nya. Jika
jurus 'Napas Tuak Setan' dipergunakan Pendekar Mabuk,
maka langit pun menjadi gaduh, petir menyambar-
nyambar dan awan hitam datang bergulung-gulung.
Kali ini awan hitam juga datang bergulung-gulung
walau tak sebanyak jika 'Napas Tuak Setan' digunakan
Suto Sinting. Kilatan cahaya petir bermunculan dari
gulungan awan  hitam di langit, alam dibuat semakin
gaduh oleh gelegar guntur yang bersahutan.
"Dahsyat juga kipas itu?! Dalam sekejap saja hutan
ini menjadi bersih bagai ladang tanpa tanaman?!" pikir
Suto Sinting sambil pandangi tumpukan pohon yang


menggunung di kejauhan sana. Di  antara tumpukan
pohon itu, terdapat tubuh Pangeran Umbardanu yang tak
jelas apakah masih hidup atau sudah tak bernyawa.
Rara Santika juga memandang ke arah depannya
yang bersih dan terang karena tanpa pepohonan lagi.
Napasnya ditarik panjang-panjang, kipasnya dikatupkan
dan diselipkan ke pinggang kanan, tertutup jubah merah
jambunya.
"Mengapa sampai seperti itu kau melawannya?
Mestinya tak perlu sampai merusak alam," ujar Suto
Sinting yang melangkah mendekatinya.
"Tanggung," jawab Rara Santika dengan datar. "Dia
tak akan berani menantangmu sembarangan lagi. Itu
baru melawanku, belum melawanmu! Kurasa ia akan
cepat menjadi mayat jika melawanmu."
"Kalau dia sampai tewas, berarti kita akan berurusan
dengan Perguruan Serikat Jagal dan orang-orang dari
Kesultanan Siliwindu."
"Akan kugulung habis mereka jika masih coba-coba
membalas dendam padamu."
Pendekar Mabuk diam saja, tapi hatinya membatin,
"Begitu marahnya ia melihat diriku ditantang orang?
Apa arti sikapnya ini?! Seakan ia tak ingin orang lain
menyinggung perasaanku sedikit pun. Jika begitu ia akan
murka jika melihat orang lain melukai tubuhku walau
segores pun?! Apa benar ia punya sikap seperti itu?!"
Rara Santika berkata dengan tegas, "Lanjutkan
langkah kita! Jangan bertindak jika ada yang ingin
berkurang ajar padamu. Biar aku yang bertindak


memberi pelajaran pada mereka! Jika perlu akan
kuhentikan masa hidupnya siapa pun juga orangnya
yang menantangmu dengan gegabah!"
Pendekar Mabuk tertawa kecil menyimpan rasa geli
dan bangga hati. Ia nyaris tertinggal karena Rara Santika
melangkah lebih dulu. Sambil menyusul langkah Rara
Santika hati Pendekar Mabuk pun berkata pada diri
sendiri,
"Pembelaannya itu jelas mempunyai maksud tertentu
yang amat pribadi. Maukah ia menjelaskannya jika
kutanya maksud pembelaannya ini?!"

4
DALAM perjalanan menuju Gunung Randu, tiba-tiba
Pendekar Mabuk tersentak oleh ingatan tentang Puspa
Jingga. Langkahnya terhenti seketika, membuat Rara
Santika memandanginya dengan dahi berkerut merasa
heran.

"Ada apa, Suto?" tegurnya pelan.
"Puspa Jingga," jawab Suto Sinting dari wajah
menunduk jadi terangkat memandang Rara Santika.
"Kenapa dengan Puspa Jingga?"
"Siapa yang membawa lari Puspa Jingga pada saat
kami sama-sama pingsan?"
"Mengapa baru sekarang kau berpikir begitu?"
"Karena kusangka Pangeran Umbardanu yang
membawa lari Puspa Jingga. Ternyata bukan dia, dan


bukan Pangeran Umbardanu juga yang menghantam
kami dari belakang hingga tak sadarkan diri itu."
Setelah diam sebentar, Rara Santika ajukan tanya
kembali dengan nada sedikit meremehkan,
"Apakah hilangnya Puspa Jingga adalah hal yang
amat penting bagimu, Pendekar Mabuk?!  Apakah ia
dalam tanggung jawabmu?!"
"Memang tidak dalam tanggung jawabku. Tetapi
hilangnya Puspa Jingga melibatkan diriku, sebab akulah
yang saat itu ada bersamanya. Aku pula yang terkena
serangan dari orang yang membawa pergi Puspa Jingga
itu."
"Mungkin orang itu adalah Nini Kalong sendiri."
"Tidak mungkin," sangkal Pendekar Mabuk. "Nini
Kalong sedang bertapa gantung. Karenanya ia tugaskan
Puspa Jingga untuk mengambil pusaka di dalam makam
Resi Dirgantara."
"Tak bisakah kau melupakan Puspa Jingga?"
"Tak bisa, Rara. Setidaknya aku juga ingin tahu siapa
orang yang menyerangku dari belakang itu!"
Rara Santika menarik napas panjang lalu
menghembuskannya lepas-lepas. Pandangan matanya
dialihkan ke arah lain. Perempuan itu tampak
sembunyikan kedongkolan dalam hatinya. Rasa tak suka
melihat Suto Sinting terlalu peduli dengan perempuan
lain membuat Rara Santika menjauh tiga langkah,
seakan sedang memandangi alam sekeliling mereka.
Pada saat itulah Rara Santika melihat sekelebat
bayangan melintas di sela-sela pepohonan seberang.


Pandangan matanya berubah menjadi tajam seketika.
"Suto, ada orang di seberang sana!" ucapnya pelan,
tapi sampai juga di telinga murid si Gila Tuak itu.
Pandangan mata Pendekar Mabuk pun segera mengarah
ke tempat yang diperhatikan Rara Santika.
"Benar apa katamu. Tapi agaknya ia orang berilmu
tinggi. Gerakannya sangat cepat dan hampir-hampir tak
bisa dilihat oleh mata kepala kita."
"Tapi ia tidak tahu kalau kita ada di sini."
"Mungkin tahu, tapi tak mau peduli dengan diri kita.
Aku jadi penasaran dan ingin menguntitnya."
"Jangan, Suto! Tak perlu kita...."
Zlaaap...!
"Sutooo...?!" panggil Rara Santika, tetapi Pendekar
Mabuk telah lenyap bagai ditelan bumi. Ia melesat
dengan kecepatan lebih tinggi dari bayangan yang
berkelebat di hutan seberang mereka itu. Mau tak mau
Rara Santika mengikuti gerakan Suto Sinting dengan
gerutuan tak jelas.
Orang yang diikuti Suto Sinting itu akhirnya berhenti
di balik pohon besar yang berongga mirip goa. Ia
bersembunyi di sana, tapi Suto Sinting melihatnya dan
segera menghampiri orang itu. Wuuut...! Zeeb...! Tahu-
tahu Suto Sinting sudah berdiri di depan mulut rongga
pohon besar itu dalam jarak empat langkah. Orang yang
bersembunyi itu terkejut hingga memekik tertahan.
"Hahh...?!" matanya mendelik memancarkan
perasaan takutnya.
"Resi Pakar Pantun...?!"  sapa Suto Sinting dengan


terheran-heran.
"Oooh... syukurlah. Akhirnya kutemukan juga
dirimu, Suto Sinting," ujar orang tua berpakaian abu-abu
dalam potongan pakaian biarawan. Tokoh ini sudah
tidak asing lagi bagi Suto Sinting, karena belakangan
Suto Sinting memang banyak terlibat masalah yang ada
hubungannya dengan Resi Pakar Pantun, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam  episode: "Sabuk Gempur
Jagat").
"Kau tampak ketakutan sekali, Resi Pakar Pantun.
Apa yang terjadi pada dirimu?!"
"Ikan teri makanan perkutut,
ketan wajik makanan hewan.
Aku lari bukan karena takut,
tapi jijik berhadapan dengan lawan."
Sang Resi pun langsung berpantun, karena memang
ia gemar bermain pantun. Suto Sinting hanya
sunggingkan senyum tipis setelah mendengar arti pantun
sang Resi. Orang tua berjenggot putih agak gemuk itu
keluar dari rongga pohon, matanya memandang ke sana-
sini dengan rasa waswas.
"Siapa lawan yang mengejarmu itu. Resi?" tanya Suto
Sinting menahan geli melihat wajah tua berusia delapan
puluh tahun itu sangat lucu jika dalam ketakutan begitu.
"Lawanku kali ini bukan lawan  sembarangan, Suto.
Aku... aku benar-benar jijik berhadapan dengan lawanku
itu."
"Bukankah beberapa waktu yang lalu, kala kita
berpisah, kau pergi ke negeri Bumiloka untuk membantu


muridmu; Kertapaksi, yang sedang diserang oleh Ratu
Sangkar Mesum?!"
"Benar. Itu benar sekali!" jawabnya penuh semangat
Sang Resi pun ingat masa perpisahannya dengan
Pendekar Mabuk beberapa waktu yang lalu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Gundik Sakti").
"Lalu, bagaimana hasilnya? Apakah kau tak bisa
menyelamatkan negeri muridmu itu?!"
"Bukan aku tak mampu menyelamatkan muridku, tapi
justru sekarang pihak Ratu Sangkar Mesum berbalik
memusuhiku."
"Lalu, kau lari dari pertarungan dengan Ratu Sangkar
Mesum itu?" desak Suto Sinting, tapi sang Resi agaknya
tak mau dikecam begitu saja. Ia mulai berpantun
kembali.
"Ikan teri main garukan dengan kuku,
memancing ikan di gayung adalah sia-sia.
Lari dari pertarungan adalah tabu bagiku,
tapi menghindari maut adalah kewajiban tiap
manusia."
Suto Sinting tertawa-tawa kecil dan berkata, "Bilang
saja kau takut menghadapi Ratu Sangkar Mesum!"
"Ikan teri kalau berenang baunya kecut,
orang disunat susah dicabut
Bukan perempuan itu yang membuatku takut,
tapi mayat hidup yang bikin aku kalang kabut."
Dahi pemuda tampan itu mulai berkerut dan
menggumam lirih, "Mayat hidup...?!"  '
"Ratu Sangkar  Mesum kerahkan pasukan mayat


hidup, ia membangkitkan beberapa mayat dari dalam
kubur untuk menyerangku. Padahal aku paling jijik dengan mayat. Salah satu mayat ada yang mengejarku
dan sukar kuhancurkan dengan tenaga dalamku. Padahal
semasa hidup mayat itu aku sangat kenal dengannya."
"Mayat siapa yang kau maksudkan itu, Resi?"
"Mayat sahabatku sendiri; mendiang Resi
Dirgantara!"
"Hahh...?!" Pendekar Mabuk tersentak kaget dan
matanya mendelik lebar.
"Baru kuceritakan kebangkitannya saja kau sudah
kaget dan menjadi takut, apalagi jika berhadapan dengan
mayat itu!" ujar sang Resi salah duga.
"Ja... jadi mayat Resi Dirgantara dibangkitkan oleh
Ratu Sangkar Mesum? Oh, kalau begitu kuburan sang
Resi Dirgantara menjadi rusak?!"
"Ceritanya begini," kata Resi Pakar Pantun berlagak
tenang dalam memberi penjelasan. Padahal hatinya
penuh kecemasan karena takut tertangkap pengejarnya.
"Aku berhasil melumpuhkan anak buah Ratu Sangkar
Mesum. Rupanya perempuan itu menjadi murka, kami
adu kesaktian, ia keteter melawanku, lalu memanggil
Dewi Geladak Ayu...."
"Maksudmu, si bajak laut wanita itu?!"
"Benar. Menghadapi si bajak laut wanita itu aku
menjadi terdesak, lalu segera larikan diri untuk mencuri
kesempatan memukul kelemahan si Dewi Geladak Ayu.
Namun ternyata siasat lariku itu justru dikejar oleh Ratu
Sangkar Mesum. Mayat-mayat dibangkitkan dari kubur


untuk ikut mengejarku. Para mayat itu bisa kuhancurkan,
tapi ada satu mayat yang susah kulawan; selain tak tega
juga sukar dihancurkan. Mayat itu adalah mayat
mendiang sahabatku; Resi Dirgantara."
"Apakah kau berlari ke arah Bukit Batok?"
"Benar, aku berlari ke arah sana tanpa kusadari. Dan
ketika melewati makam Resi Dirgantara, tahu-tahu goa
itu jebol, mayat sahabatku yang sudah berpuluh-puluh
tahun dimakamkan itu bangkit menyerangku dan, hiiii...!
Ngeri!" sang Resi bergidik. Matanya melirik ke kanan
kiri dengan tegang. Pendekar Mabuk menjadi kian geli
melihat tokoh tua yang terkenal sakti itu dicekam
perasaan takut yang bukan sekadar main-main.
"Lalu... di mana pelayanmu si Kadal Ginting itu,
Resi?!"
"Wah, tak tahu bagaimana nasibnya anak itu! Dia lari
ngibrit tunggang langgang begitu serangan mayat
pertama datang. Sejak itu kami berpisah dan saling tidak
mengetahui nasib masing-masing," jawab sang Resi
yang bernada menggelikan bagi Suto Sinting.
"Seorang Resi berilmu tinggi kok takut sama
mayat?!"
"Kalau mayat mati aku tak takut, tapi kalau mayat
hidup aku memang takut. Aku tak pernah berurusan
dengan mayat hidup, sejak kecil sampai setua ini!"
"Padahal  dirimu sendiri sebenarnya mayat hidup,
Resi."
"Ah, bercanda kau!" sang Resi melirik bersungut-
sungut.


"Dulu kau pernah mati dan dihidupkan lagi oleh Pipit
Serindu," ujar Suto Sinting, lalu menceritakan secara
sekilas saat Resi Pakar Pantun sudah dinyatakan mati
dan mau disemayamkan dengan cara dibakar, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kutukan
Pelacur Tua").
"Itu bukan mati, tapi salah anggapan!" ujar sang Resi
dengan wajah cemberut pertanda tak suka dikatakan
sebagai orang yang pernah mati.
"Jadi bagaimana nasib negeri Bumiloka dan muridmu
si Kertapaksi itu, Resi?"
"Entahlah, aku belum bisa berpikir soal itu. Aku
masih terbayang-bayang dikejar mayatnya si Dirgantara
selama sehari semalam penuh. Sampai sekarang aku
belum tidur, karena mayat itu tak mau tidur juga."
Suto  Sinting tertawa tanpa suara. Tawa itu tiba-tiba
lenyap karena sekelebat sinar merah yang melesat lurus
bagaikan sepotong besi panjang sehasta. Slaaap...! Sinar
merah bening mirip dengan besi membara itu meluncur
cepat ke punggung Resi Pakar Pantun.
Suto Sinting menyambar tangan sang Resi. Wuuut...!
Sang Resi tersentak ke depan karena tarikan tangan kiri
Suto Sinting, sementara tangan kanan Pendekar Mabuk
segera melayangkan bumbung tuaknya ke arah depan.
Wees...! Sinar merah itu menghantam bumbung tuak
tersebut.
Duaaar...!
Ledakan cukup keras terjadi tanpa melukai  bambu
bumbung tuak. Tapi ledakan itu mempunyai gelombang


hentakan yang cukup kuat, sehingga Suto Sinting dan
Resi Pakar Pantun terjungkal berguling-guling saling
tindih.
"Auuow...! Auuuh...! Kepalaku jangan ditindih, Suto!
Aauh... tanganku... tanganku, Sutooo...! Aduh, remuk
tulangku kalau begini, uuuh...!"
Celoteh dan ratapan Resi Pakar Pantun tak sempat
dihiraukan Suto Sinting. Ketika tubuh mereka sama-
sama berhenti karena membentur sebuah pohon besar,
Resi Pakar Pantun meratap lirih, wajahnya meringis
karena kakinya tertindih tubuh Suto Sinting. Akhirnya ia
membentak Suto Sinting sambil menepak pundak
pemuda itu.
"Cepat bangun, Tolol!"
"Serangan itu pasti dari orang berilmu tinggi, Resi!"
"Tak peduli berilmu tinggi atau rendah, kakiku jangan
kau injak terus!" geram sang Resi dengan berang.
Suto Sinting buru-buru menenggak tuaknya untuk
hilangkan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Resi Pakar
Pantun pun disuruh menenggak tuak tersebut.
"Biar rasa sakitmu hilang, Resi. Minumlah tuak ini!"
Resi Pakar Pantun yang tahu persis bahwa tuak Suto
itu mempunyai kesaktian tinggi sebagai senjata maupun
obat, tak menolak tawaran untuk minum tuak. Ia
menenggaknya beberapa teguk. Kejap berikut mereka
berdua saling memandang keadaan sekeliling mencari
lawan mereka yang tahu-tahu menyerang dengan tenaga
dalam cukup tinggi.
"Jika orang itu tidak menggunakan jurus bertenaga


dalam tinggi, sinar itu pasti akan memantul balik dalam
keadaan lebih besar dan lebih cepat gerakannya. Tapi
sinar itu ternyata justru meledak begitu mengenai
bumbung tuakku, berarti kadar hawa saktinya cukup
tinggi," tutur Suto Sinting tanpa memandang Resi Pakar
Pantun.
"Musuhmu atau musuhku yang menyerang kita
tadi?!" tanya sang Resi benar-benar dalam kebingungan.
Belum sempat Pendekar Mabuk memberi jawaban,
tiba-tiba mereka sama-sama bungkam dengan mata
tertuju ke arah munculnya sesosok tubuh yang meluncur
dari ketinggian sebuah pohon. Wuuuusss...!
Jleeg...!
Tubuh ramping berjubah hijau muda dari kain sutera
tipis  telah  berdiri di depan mereka dalam jarak enam
langkah. Tubuh ramping itu mempunyai wajah cantik
dan sorot pandangan mata yang menggoda hati lelaki.
Rambutnya disanggul sebagian, pada sanggulnya dililit
pengikat dari logam emas bermanik-manik intan. Tubuh
berkulit putih mulus itu hanya dibungkus dengan jubah
hijau tipis bagian depannya hanya mempunyai satu
pengait 'kancing jepret' yang sewaktu-waktu bisa
terlepas sendiri. Sedangkan di bagian dalam jubah tak
mempunyai  pelapis apa pun, sehingga jika jubah itu
tersingkap maka akan tampak sebentuk keindahan yang
membakar gairah setiap lelaki.
Resi Pakar Pantun menggeram dengan kedua tangan
meremas sendiri. Sorot pandangan mata tuanya
memancarkan permusuhan kepada perempuan berkalung


dan bergelang emas permata.
"Kau mengenal perempuan itu, Resi?" tanya Suto
Sinting dalam bisikan.
"Ratu Sangkar Mesum!" geram sang Resi penuh
dendam. Suto Sinting hanya menggumam dalam hati,
kemudian pandangan matanya dipertajam dalam
menatap Ratu Sangkar Mesum. Perempuan itu  sendiri
menatap Suto Sinting lebih lama ketimbang memandang
Resi Pakar Pantun.
"Kau tak akan bisa lari ke mana-mana lagi, Pakar
Pantun!"
"Ikan teri menjelma sebagai tamu,
belalai gajah direbus dibuat jamu.
Aku lari bukan karena kalah ilmu,
tapi lari untuk mencarikan kuburmu."
Perempuan itu sunggingkan senyum sinis mendengar
pantun sang Resi. Rupanya ia juga pandai berpantun
sehingga membalas pantun tersebut dengan suara yang
sedikit serak namun mempunyai getaran penggugah
hasrat cinta lawan jenisnya.
"Ikan teri berbondong-bondong masuk dalam saku,
ikan lele berlari-lari menuju biara.
Kalau kau memang tak sanggup lagi melawanku,
biarkan aku melawan pemuda itu dengan asmara."
Mata jeli yang berkesan nakal dan jalang itu melirik
kembali kepada Suto Sinting. Pemuda yang dilirik hanya
sunggingkan senyum tipis dan bersikap tenang, seakan
acuh tak acuh terhadap pantun sang Ratu Sangkar
Mesum itu. Walaupun ia tahu maksud pantun tersebut,


namun tak punya niat untuk membalas dengan pantun
juga. Sikap diam dan acuh tak acuh merupakan balasan
yang cukup untuk pantun tersebut.
Tetapi tidak demikian halnya dengan Resi Pakar
Pantun. Mendengar lawannya berpantun, ia pun
membalas dengan pantun ejekan yang dapat
membangkitkan amarah Ratu Sangkar Mesum.
"Ikan teri mencakar memar seekor tikus, 
mencari tikar buat campuran ubi rebus. 
Dasar perempuan liar berjiwa rakus, 
lihat pemuda kekar maunya langsung bungkus."
Ratu Sangkar Mesum langsung membentak kepada
sang Resi, "Hentikan permainan pantunmu!"
Ia maju dua langkah, lalu berkata lagi dengan wajah
memancarkan dendam.
"Anak buahku hampir habis karena ulahmu. Tua
Peot! Sekarang saatnya menebus dengan nyawamu!"
Suto Sinting sempat berbisik kepada sang Resi, "Mau
kau tangani sendiri atau aku yang menangani, Resi?"
"Biar kutangani  sendiri!" jawab sang Resi dengan
tegas. Suto Sinting angkat bahu, lalu  segera mundur
menjauh.
Belum seberapa jauh Suto Sinting melangkah
mundur, tiba-tiba dari mata kiri Ratu Sangkar Meaum
melepaskan sinar lurus warna hijau bening. Claaap...!
Sinar itu melesat cepat menuju dada Resi Pakar Pantun.
Sang Resi terperanjat karena tak menyangka serangan
lawan datang secepat itu. Akibatnya ia hanya bisa
menangkis sinar hijau itu dengan sentakkan tangan


kanannya yang memancarkan sinar merah berbentuk
bola berapi. Wuuus...!
Zrrub...! Jegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi saat sinar hijau lurus itu
menghantam sinar merah. Gelombang ledakan membuat
tubuh Resi Pakar Pantun tersentak dan terbang ke
belakang. Buugh...! Tubuh agak gemuk itu menghantam
batang pohon. Tak ada keseimbangan tubuh yang dapat
dikuasai, ia pun jatuh tersungkur dihujani oleh daun-
daun pohon yang berguguran akibat benturan tubuhnya
tadi. Bisa dibayangkan alangkah kerasnya benturan itu,
sampai-sampai daun-daun pohon berguguran baik yang
sudah layu maupun yang masih segar.
Rupanya gelombang ledakan itu bertenaga sangat
besar, sehingga Resi Pakar Pantun tak bisa bangkit lagi
dalam keadaan hidung berdarah dan wajah memucat.
Tokoh tua itu jatuh pingsan dalam satu jurus. Itu
menandakan si Ratu Sangkar Mesum pergunakan jurus
andalan yang terlambat ditangkis oleh sang Resi.
Mestinya jurus itu ditangkis pada saat masih melesat di
pertengahan jarak, bukan dalam jarak satu langkah di
depan sang Resi berdiri tadi.
Akibat tangkisan dalam jarak dekat, maka gelombang
ledakan tersebut cukup telak menghantam tubuh Resi
Pakar Pantun. Sementara si perempuan cantik
berpakaian seronok itu tetap berdiri tegak tanpa bergeser
sedikit pun dari tempatnya.
Melihat keadaan Resi Pakar Pantun tidak berdaya,
Ratu Sangkar Mesum segera lepaskan pukulan jarak


jauhnya yang dapat mengakhiri riwayat hidup sang Resi.
Tangan kanannya memutar cepat lalu menghentak ke
depan dalam keadaan lurus, kedua kaki pun merendah.
Suuut...! Dari ujung tangan itu melesat sinar biru lebar
berbentuk separo lingkaran. Weeess...!
Suto Sinting buru-buru melesat dari tempatnya.
Zlaaap...! Tahu-tahu sudah menghadang di depan
lajunya sinar biru, menjadi pelindung tubuh Resi Pakar
Pantun. Tangannya menyentak ke depan dan sinar hijau
keluar dari tangan tersebut, melesat cepat menghantam
sinar biru lawan. Claap...!
Blegaaar...!
Pukulan 'Guntur Perkasa' mematahkan jurus  maut
Ratu Sangkar Mesum. Ledakan dahsyat memercikkan
sinar biru kehijauan yang menyebar ke atas dalam
sekejap. Gelombang ledakan itu mampu membuat tubuh
Ratu Sangkar Mesum tersentak mundur ke belakang,
terhuyung-huyung hampir jatuh. Sedangkan Suto Sinting
sudah jatuh lebih dulu dalam keadaan terduduk
menindih pinggang Resi Pakar Pantun. Namun karena
sang Resi dalam keadaan pingsan, Suto pun tak
mendapat omelan, ia segera bangkit dalam keadaan
masih segar.
Ratu Sangkar Mesum hentikan serangan. Langkahnya
tampak menggoda dengan pinggul bergoyang ke sana-
sini. Wajah perempuan itu tidak memancarkan
permusuhan kepada Suto Sinting. Bahkan ada seulas
senyum tipis  di bibirnya yang sedikit tebal dan
menggemaskan jika dipandang terlalu lama itu.


"Aku suka dengan caramu, Pendekar Tampan!"
katanya setelah mereka saling berhadapan dalam jarak
lima langkah. Mata jalang sang Ratu sengaja dimainkan
untuk menggoda hati si  pemuda tampan itu. Lagak
berdirinya pun tampak menantang kemesraan. Kancing
jubahnya dilepaskan dengan sengaja. Suto Sinting
tertegun bengong memandanginya, ia menelan ludahnya
sendiri dua kali, kemudian menarik napas untuk
menahan getaran indah yang menuntut kemesraan.
"Hanya kaulah orangnya yang bisa mematahkan jurus
'Pedang Biru'-ku. Kini aku tahu kau pemuda yang hebat,
dan aku yakin bukan saja ilmu kanuraganmu yang hebat,
namun ilmu cumbuanmu juga pasti hebat!"
"Aku tak mengerti arah bicaramu, Ratu Sangkar
Mesum!" kata Suto Sinting dengan wajah tanpa senyum
namun masih kelihatan tampan.
Ratu Sangkar Mesum semakin menggoda dengan
senyum dan pandangan matanya, ia mendekati Suto
Sinting dan membiarkan jubahnya tersingkap lebar,
seakan ia sengaja memamerkan perabotnya.
"Berhenti di situ saja!" sentak Suto Sinting tak terlalu
keras namun terdengar tegas. Langkah sang Ratu pun
terhenti dalam jarak tiga langkah di depan Suto Sinting.
Pemuda itu justru mundur menjauh sambil matanya
melirik tajam tak bersahabat.
"Jangan coba-coba meruntuhkan jiwaku dengan
kemesumanmu, Ratu! Kalau kemarahanku tak
terbendung lagi, kau akan pulang tanpa raga."
Sang Ratu makin sunggingkan senyum jalang. "Pria


yang ketus adalah pria yang sangat  menggairahkan
bagiku. Semakin kau menjauh semakin aku
memburumu, Anak Ganteng!"
"Semakin kau memburuku berarti semakin kau
mendekati ajalmu, Perempuan Cantik!"
"Ahaa... kau pun memujiku rupanya?!" Ratu Sangkar
Mesum semakin ceria. Tawanya lepas berderai dengan
suara sedikit serak yang memancarkan getaran daya
pikat bagi lawan jenisnya. Sementara itu, Suto Sinting
melangkah pelan-pelan mengelilingi sang Ratu.
"Dekatlah kemari, Sayang! Dekaplah aku selagi si tua
Pakar Pantun itu sekarat! Dekatlah, Sayang...," sambil
kedua tangan dijulurkan ke depan dan melambai-
lambaikan penuh goda.
"Aku tak bisa tergoda oleh rayuanmu, Ratu! Karena
aku sudah mempunyai calon istri yang amat kucintai dan
kujaga kesetiaan cintaku ini."
"O, kau sudah punya calon istri? Siapa calon istrimu
itu?!"
"Dyah Sariningrum; Gusti Mahkota Sejati, penguasa
negeri Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu!"
Wajah sang Ratu terperanjat, keceriaannya lenyap
seketika. Tangan yang dijulurkan ke depan segera turun
dan menggenggam kuat-kuat. Matanya memandang
dengan menyipit memancarkan permusuhan dan
kebencian.
"Rupanya kau kekasih si keparat itu?!" geram  sang
Ratu.
Pendekar Mabuk bagai dibakar darahnya mendengar


kekasihnya dikatakan sebagai 'si keparat' oleh Ratu
Sangkar Mesum. Kemarahan pun segera timbul di hati
Suto Sinting, sikap memandangnya  menjadi kian
bermusuhan.
"Apa maksudmu berkata begitu, Perempuan Liar?!"
sentak Suto Sinting dengan wajah menegang. Rupanya
ia paling tersinggung jika Dyah Sariningrum dihina oleh
seseorang.
"Mahkota Sejati adalah orang yang akan
kuhancurkan, karena para pengawalnya telah membuat
dua adikku tewas dalam penyerbuan ke Pulau Serindu.
Perempuanmu itu harus bertanggung jawab  dan
menebusnya dengan nyawa! Tapi ada baiknya jika
sebelum itu kukirimkan dulu jenazah kekasihnya yang
ada di sini!"
Gigi sang Pendekar Mabuk mulai menggeletak.
Napas yang keluar dari hidungnya menyembur deras,
membuat tanah di depannya tersibak dan menjadi
cekung sedikit demi sedikit. Napas itu adalah Napas
Tuak Setan yang keluar dengan sendirinya jika hatinya
diliputi kemarahan besar.
*
* *
 
5
PEREMPUAN berkuku runcing itu mulai membuka
jurus dengan gerakan merentang ke belakang, kedua
tangannya terangkat dalam keadaan siap mencakar. Suto
Sinting sendiri mulai siapkan diri melawan musuhnya


yang tak menimbulkan kesan indah sama sekali seperti
tadi.
Namun baru saja mereka ingin mengawali
pertarungan, tiba-tiba sekelebat bayangan menerjang
dari arah belakang Ratu Sangkar Mesum. Gerakan yang
begitu cepat itu membuat sang Ratu tak mampu berkelit
atau menangkis balik, sehingga tubuhnya pun terpental
jatuh berguling-gulingan setelah terlebih dahulu
terpelanting ke samping. Sesosok bayangan itu kini
berdiri dengan tegak dan tegar. Pendekar Mabuk sempat
berkerut dahi sebentar dan bergumam lirih kepada
bayangan yang menerjang sang Ratu itu. "Rara
Santika...?"
"Mundur, biar aku yang menghajar si jahanam itu!"
ujar Rara Santika dengan nada berang.
"Ini urusan pribadiku, Rara!"
"Aku pun punya urusan pribadi dengannya. Akan
kuselesaikan dulu urusanku, setelah itu baru kau yang
maju menyelesaikan urusan pribadimu dengannya!"
Dengan agak dongkol Pendekar Mabuk pun mundur
menjauh sambil membatin, "Akan kulihat sampai di
mana kehebatanmu, Rara. Kalau kau sudah kepepet,
baru aku turun tangan."
Rara Santika tampak geram sekali kepada Ratu
Sangkar Mesum. Dihampirinya perempuan berjubah
hijau tipis yang kala itu baru saja bangkit dari jatuhnya.
Mata si perempuan jalang tampak terkesiap pandangi
kehadiran Rara Santika. Ia pun menggeletukkan gigi dan
menggeram lirih dengan kedua tangan menggenggam


kuat-kuat.
"Masih ingat diriku, Sangkar Mesum?!" seru  Rara
Santika menyentak.
"Mau apa kau mencampuri urusanku, Perempuan
Laknat?!" Ratu Sangkar Mesum ganti menyentak dengan
berani.
"Kau boleh berurusan dengan Suto Sinting itu," Rara
Santika menuding ke belakang, menunjuk Pendekar
Mabuk. ".... Tapi lebih dulu kau harus selesaikan urusan
lamamu denganku, Iblis Betina!"
Ratu Sangkar Mesum diam membisu dengan napas
mulai  memburu. Rara Santika melangkah ke samping
dengan mata tajam memandang tak berkedip.
"Tentunya kau masih ingat dengan Pramudya Wiseta,
pemuda dari Lembah Damar yang kau jadikan budak
nafsumu dan akhirnya kau bunuh begitu saja itu!" 
"Oh, jadi kau masih teringat dengan kekasihmu yang
malang itu?! Hmmm...! Dia memang layak untuk mati,
karena dia tak mau lagi melayaniku dan itu merupakan
penghinaan bagiku. Hukuman mati adalah hukuman
yang layak diterima bagi siapa saja yang berani menolak
keinginanku!"
"Sekarang aku menuntut balas atas kematian
tunangganku itu! Kesempatan ini tak akan kusia-siakan
karena sudah cukup lama kutunggu-tunggu datangnya!"
seru Rara Santika semakin garang. 
"Coba dulu hadapi jurus kecilku ini, Santika!" Kedua
tangan Ratu Sangkar Mesum terangkat ke atas.
Wuuuss...! Dua sinar putih terang menyilaukan membias


lebar ke arah Rara Santika. Namun dengan lincahnya
tubuh Rara Santika segera melenting di udara hindari
sinar terang yang menyilaukan itu.
Zuuub...!
Dua bongkah batu yang terkena sinar terang itu
lenyap seketika tanpa bekas sedikit pun. Sinar itu pun
padam seketika. Bluub...! Tapi tubuh Rara Santika yang
masih melayang di udara itu segera lepaskan pukulan
jarak jauh dari sana. Dua jarinya dikeraskan dan
disentakkan ke depan. Claaap...!
Sinar merah berbentuk anak panah melesat ke arah
Ratu Sangkar Mesum. Gerakan sinar yang amat cepat itu
membuat Ratu Sangkar Mesum tak punya kesempatan
untuk menghindar. Maka ia menangkis sinar itu dengan
mengadu kekuatan tenaga dalamnya yang tadi
dinamakan jurus 'Pedang Biru' dari ujung telapak tangan
yang disodokkan ke depan.
Slaaap...!
Blegaaar...!
Kedua sinar yang bertabrakan itu menimbulkan
ledakan dahsyat. Tubuh mereka sama-sama terpental ke
belakang. Tapi keduanya mampu menjaga keseimbangan
hingga tak sampai terguling-guling.
"Kuhancurkan kepalamu, Santikaaaa...!" teriak sang
Ratu. "Heeeeaaah...!"
"Hiaaat...!" Rara Santika berkelebat maju dalam satu
lompatan bersalto. Ratu Sangkar Mesum juga berkelebat
maju dalam satu lompatan bersalto.
Mereka berhadapan dalam jarak dekat selama di


udara. Saat itulah kedua tangan mereka saling
menghantam dengan kecepatan tinggi. Plak, plak, plak,
plak, duaaar...!
Sekelebat sinar merah berasap memercik dari
benturan telapak tangan mereka. Keduanya sama-sama
terdorong mundur dan mendaratkan kaki dengan sigap.
Jleg, jleg...!
Saking terkesimanya menyaksikan pertarungan Rara
Santika dan Ratu Sangkar Mesum, Suto jadi lupa dengan
keadaan Resi Pakar Pantun yang terbaring pingsan, ia
terus memandang pertarungan itu dengan hati cemas.
Ratu Sangkar Mesum segera mengerahkan tenaganya
dengan gerakan tangan membentang lebar dan tubuh
merendah, kaki kirinya ditarik ke belakang sedikit.
Gerakan tangan itu lama-lama membuat kedua telapak
tangannya menyala bagaikan besi  membara. Asap
mengepul tipis dari kedua telapak tangan yang berwarna
merah kekuning-kuningan itu. Dari ujung-ujung kuku
memercik  sinar biru berkerilap-kerilap, bagaikan anak
petir yang saling berlompatan.
Trat, tat, tat, traat, taar, tar, trat, tat...! Rara Santika
segera mencabut kipas gadingnya yang sejak tadi
tertutup jubah merah jambu itu. Dengan satu sentakan
kaki merendah dan  tangan kiri ke depan membentuk
cakar, kipas itu disentakkan ke samping dan membuka
seketika. Braab...!
Kemudian kipas itu dimainkan meliuk ke sana-sini
sambil langkahnya makin mendekati lawan. Seketika itu
juga, Ratu Sangkar Mesum segera menepukkan kedua


tangannya di depan dada dalam keadaan lengan lurus.
Plaak...! Claaap...!
Seberkas sinar biru kemerah-merahan melesat dan
menghantam Rara Santika. Namun kipas Rara Santika
segera menghadang di depan dada dan menangkis sinar
tersebut. Drrrbb....!
Sinar itu padam tanpa ledakan apa pun. Hanya
meninggalkan kepulan asap yang membubung tinggi,
seolah-olah kipas itu terbakar. Tapi sebenarnya kipas itu
masih utuh tanpa hangus sedikit pun.
"Jahanam busuk kau, heeeeaaah...!!" Ratu Sangkar
Mesum semakin murka, ia menyerang maju dengan
kedua telapak tangan masih membara dan dapat
menghanguskan apa saja. Agaknya Rara Santika pun tak
merasa gentar sama sekali, sehingga ia  menyongsong
gerakan lawan dengan satu lompatan cepat dan kipas
ditakupkan. Zrrrb...! Wweeess...!
Tar,  tar, tar...! Letusan terdengar ketika telapak
tangan Ratu Sangkar Mesum ditangkis dengan kipas
gading. Tubuh Rara Santika bergerak cepat mengitari
lawan. Gerakan cepatnya nyaris tak terlihat sekalipun
dari jarak jauh.
Bret, bret, bret, bret, bret...!
Craas...! 
"Aaaahg...!!" terdengar suara pekik tertahan dari Ratu
Sangkar Mesum.
Weees...! Rara Santika menarik diri, menjauhkan
jarak dengan lawannya. Maka tampaklah keadaan Ratu
Sangkar Mesum yang cukup menyedihkan. Jubah


hijaunya tercabik-cabik tak layak lagi dipakai sebagai
penutup tubuhnya yang ramping. Punggung mulus itu
kini koyak berdarah, lukanya dari tengkuk sampai ke
pinggang belakang. Luka itu mengepulkan asap putih
samar-samar menandakan adanya racun berbahaya
dalam luka tersebut. Kipas itu ternyata  mempunyai
ketajaman melebihi pedang dan mempunyai racun yang
amat berbahaya.
"Uuuuhg...!!" Ratu Sangkar Mesum mengerang
dengan tubuh menggeliat dan terhuyung-huyung.
Wajahnya tampak pucat, bola matanya keruh.
Ratu Sangkar Mesum jatuh berlutut sambil menahan
sakit. Rara Santika bergegas mengakhiri riwayat hidup
perempuan itu. Tapi Suto Sinting segera berseru,
"Cukup, Rara...!"
Langkahnya terhenti dengan napas tertahan di dada.
Rara Santika palingkan pandang ke arah Suto Sinting
dan berkata dalam geram.
"Ia  harus menebus kematian mantan kekasihku
dengan nyawanya!"
"Ia akan mati sendiri karena luka beracun itu! Tak
perlu kau buang-buang tenaga lagi."
Napas pun akhirnya dihempaskan lepas-lepas oleh
Rara Santika. Niatnya untuk memenggal leher Ratu
Sangkar Mesum dengan kipas gading dibatalkan. Tetapi
kejap berikutnya Ratu Sangkar Mesum memasukkan dua
jarinya ke mulut dan meniupnya keras-keras.
"Suiiiiittt...!"
Suara suitan panjang terdengar membuat Suto Sinting


dan Rara Santika saling berpandangan. Pendekar Mabuk
segera dapat mengerti maksud suitan panjang itu.
"Ia memanggil seseorang!" 
Baru saja Rara Santika ingin bicara, tiba-tiba dari
balik semak-semak muncul lima sosok tubuh dalam
keadaan mengerikan. Lima sosok tubuh itu berbelatung
dan berlendir busuk. Mereka  adalah lima sosok mayat
yang rupanya sudah disembunyikan sejak tadi oleh Ratu
Sangkar Mesum sebelum melakukan pertarungan
dengan Resi Pakar Pantun.
"Pantas sejak tadi aku mencium bau busuk, rupanya
dari mayat-mayat itu?" pikir Suto Sinting, demikian pula
yang ada dalam batin Rara Santika. Lima sosok mayat
yang berwajah mengerikan  serta dalam bentuk
menjijikkan itu mulai mengurung Rara Santika  yang
kala itu berdekatan dengan Pendekar Mabuk. Sosok
berlumur tanah basah dan berbelatung itu mempunyai
bola mata putih rata tanpa ada manik hitamnya. Mereka
menyeringai dan mengeluarkan suara serak yang
mengerikan.
Wuuuut...! Tubuh Ratu Sangkar Mesum melesat
meninggalkan tempat itu setelah berseru dengan suara
tertahan,
"Terimalah pembalasanku, Santika...!" Pendekar
Mabuk dan Rara Santika  tidak hiraukan pelarian Ratu
Sangkar Mesum yang membawa luka parahnya itu.
Perhatian mereka tertuju pada lima sosok mayat
berbelatung menjijikkan dengan kuku-kuku hitam
meruncing keras. Mereka mendekat dengan langkah


gontai dari berbagai arah.
"Agaknya Ratu Sangkar Mesum membangkitkan
mayat-mayat orang yang semasa hidupnya mempunyai
ilmu cukup tinggi," bisik Suto Sinting kepada Rara
Santika. Hal itu dikatakan oleh Suto Sinting melihat
mayat-mayat itu lakukan gerakan pembuka jurus  tanpa
limbung dan gontai sedikit pun.
"Krrraaakkkk...!!" salah satu mayat menjerit dengan
suara seraknya, karena di bagian leher sudah bolong
serta berbelatung menjijikkan. Mayat itu melompat
dengan cepat menerjang Suto Sinting. Dengan cepat
Suto Sinting pun segera mengayunkan bumbung tuaknya
ke depan. Wuuung...! Prrrok...!
Kepala mayat itu pecah bagai dihantam dengan palu
besi. Sosok mayat yang kepalanya terhantam  bambu
bumbung itu akhirnya menggelepar-gelepar di tanah
dengan keluarkan suara derak dari tenggorokannya.
Suto Sinting memberi isyarat dengan gerakan tangan
sambil berseru, "Mundur, Rara...!"
Tetapi perempuan itu justru diam di tempat
menghadapi serbuan empat mayat yang masih bergerak
maju. Dan serta-merta ia membentangkan kipasnya.
Brrrab...! Kipas itu tiba-tiba menyala merah bagaikan
membara. Kemudian Rara Santika melemparkan kipas
itu ke arah mayat yang datang dari arah kanannya.
Weeess...! Zuuuubb...!
Kipas menyala merah terbang melesat dan menerjang
leher mayat. Craas...! Leher itu terpotong seketika,
kepala mayat jatuh menggelinding. Kipas itu membalik


arah dengan gerakan melingkar. Keadaannya yang masih
terbuka dan membara itu ternyata menerjang kembali
sebatang leher mayat lain dari belakang.
Craaas...! Crras...! Craas...! Pendekar Mabuk sempat
tertegun bengong melihat gerakan kipas itu yang begitu
cepat dan mampu memenggal leher keempat mayat
dalam waktu singkat. Ketika kipas selesai memenggal
leher mayat terakhir, gerakannya memutar kembali dan
melesat ke arah Rara Santika. Tangan perempuan berjari
lentik itu segera menyambarnya. Taab...! Kini kipas
gading sudah berada di tangan Rara Santika kembali.
Sementara itu, lima mayat dalam keadaan tumbang tak
berkutik lagi. Satu mayat kepalanya hancur, empat
lainnya buntung tanpa kepala lagi. Bau busuk menyebar
ke mana-mana dan membuat perut mual.
Pendekar Mabuk segera meneguk tuaknya, lalu rasa
mual pun hilang dan bau busuk pun berkurang. Rara
Santika ikut-ikutan menenggak tuak- setelah diberi tahu
khasiatnya untuk menangkal bau busuk dan rasa mual.
"Bagaimana dengan si kakek tua itu?" tanya Rara
Santika sambil menunjuk kepada Reai Pakar Pantun
yang masih belum siuman itu.
Pendekar Mabuk segera memeriksanya, ia menjadi
tegang setelah mengetahui denyut nadi Resi Pakar
Pantun sangat lemah.
"Bantu aku meminumkan tuak ini ke dalam
mulutnya! Terlambat sedikit lagi ia akan tewas tak
tertolong lagi!" ujar Suto Sinting sambil berusaha
membuka mulut Resi Pakar Pantun dengan paksa. Rara


Santika menyelipkan kipasnya ke pinggang kanan,
kemudian menuangkan tuak pelan-pelan ke mulut Resi
Pakar Pantun.
"Jangan keras-keras membukakan mulutnya, nanti
robek tepiannya!" ujar Rara Santika, namun Pendekar
Mabuk tak hiraukan himbauan itu. Ia berusaha
mengguncang-guncang kepala sang Resi, menyentak-
nyentakkan agar tuak dapat terminum masuk ke dalam
tenggorokan sang Resi.
"Sekali lagi! Lakukan sekali  lagi, Rara!" ujar Suto
Sinting sambil membuka mulut sang Resi seperti
membelah durian. Rara Santika pun menuangkan  tuak
itu pelan-pelan hingga mulut sang Resi terisi tuak.
"Krrraaaakkk...!"
Tiba-tiba terdengar suara serak mengerikan dari balik
pohon tak jauh dari mereka berada. Pendekar Mabuk dan
Rara Santika kaget dan saling pandang sejenak,
kemudian keduanya sama-sama menatap ke arah
datangnya suara tadi.
"Ohh... celaka!" gumam Suto Sinting dengan tegang.
Dari balik semak belakang pohon muncul sesosok
mayat yang berlendir busuk dan berbelatung seluruhnya.
Separo wajahnya telah menjadi tulang dikerumuni
belatung menjijikkan. Bagian dadanya telah bolong dan
berisi belatung berjubal-jubal. Pendekar Mabuk bergidik
merinding, demikian pula Rara Santika.
Mayat itu bertangan satu. Mungkin semasa hidupnya
tangan yang satunya lagi dibuntungi oleh lawan. Dan
melihat keadaan mayat bertangan satu dengan rambut


putih berlumur tanah liat, Rara Santika pun mulai
mengenali mayat yang bergerak perlahan-lahan keluar
dari balik pohon sedikit terhuyung-huyung.
"Eyang...!" sapa Rara Santika yang berpisah jarak
dengan Suto Sinting. Mata mayat yang putih dengan
rongga mata dikerumuni belatung itu bergerak
memandang ke arah Rara Santika. Wajah perempuan itu
memancarkan kedukaan yang amat dalam.
"Rara, kau mengenal mayat itu?!"
"Eyang Resi Dirgantara...?!"
"Kkkkkrraakkk...!" mayat itu mendekati Rara
Santika. Tangannya terangkat dengan kuku hitam
memanjang.
Suto  Sinting sempat berdebar-debar  setelah tahu
mayat itu adalah mayat Resi Dirgantara.
"Berpuluh-puluh tahun dimakamkan baru sekarang
mayatnya membusuk seperti itu. Kalau bukan orang
berilmu tinggi tak mungkin mayatnya bisa seawet itu
dan cukup lama mengalami pembusukan," pikir Suto
Sinting sambil melangkah mundur jauhi mayat
berbelatung itu.
Resi Pakar Pantun mulai sadar dari siumannya, ia
mengerang lirih, kemudian menggeliat, merasakan
badannya mulai ringan, ia mencoba bangkit berdiri
sambil menarik napas panjang-panjang.
"Uuufffh...! Napasku terasa lega, enteng sekali
dihirupnya, dan... hah, apa itu?!"
Resi Pakar Pantun terbelalak pandangi mayat yang
sedang mendekati pertengahan jarak antara Suto Sinting


dengan Rara Santika. Wajah sang Resi yang baru siuman
itu tegang sekali.
"Maaa... mayat si Dirgantara?! Ooh.... Oooooohh...!"
Brrruk...! Resi Pakar Pantun pingsan kembali, ia
memang paling takut dengan mayat hidup yang
menjijikkan itu. Repotnya, suara jatuhnya Resi Pakar
Pantun memancing perhatian mayat Resi Dirgantara.
Mayat itu segera menggeram sambil mendekati Resi
Pakar Pantun sebagai lawan yang dikejar-kejarnya sejak
kemarin itu.
"Hhgggrr...! Krrraaahhhkk...!"
Melihat mayat itu mendekati Resi Pakar Pantun, Suto
Sinting menjadi cemas dan sempat salah tingkah sendiri.
Sementara itu, Rara Santika berseru dengan keras,
"Eyang, jangan sentuh orang itu! Eyang Resi...
dengarlah seruan saya ini, Eyang!"
Langkah kaki lamban itu terhenti, mayat berpaling
memandang Rara Santika yang berwajah haru.
Perempuan itu mencoba mengajaknya bicara lagi.
"Eyang, saya Rara Santika...! Masih ingatkah pada
saya, Eyang...?! Saya anak dari Ki Panjuru Gesang yang
dulu pernah Eyang ajak ke Pulau Sumbing! Saya Rara
Santika, Eyang Resi Dirgantara...!"
"Hhhhgggrrr...!" mayat itu menggeram dengan mata
putihnya kian melebar. Tiba-tiba tangannya menyentak
ke depan. Belatung berjatuhan, telapak tangan keluarkan
sinar kuning lurus menghantam Rara Santika.
Perempuan itu terkejut dan terlambat menghindar, ia
hanya memberi tangkisan dengan sebuah pukulan


bersinar merah. Claaap...! Kedua sinar itu pun beradu
dalam jarak empat langkah di depan Rara Santika.
Blegaaarr...!
Dentuman membahana menggelegar
mengguncangkan bumi. Rara Santika terlempar
melayang dan jatuh terbanting tanpa keseimbangan
tubuh lagi. Brrruk...!
"Aaaahg...!
"Rara...?!" pekik Suto Sinting, lalu segera berlari ke
arah Rara Santika.
"Rara, apa yang harus kita lakukan jika begini?!
Mengapa kau tak memenggal kepala mayat itu seperti
yang lain?!"
Rara Santika menjawab sambil dibantu berdiri oleh
Suto Sinting.
"Aaak... aku tak tega. Ddddia... dia mayat orang yang
kuhormati dan... dan... oh, lihat! Dia ingin mencabik-
cabik pak tua itu!"
"Celaka!" geram Suto Sinting dengan tegang melihat
mayat Resi Dirgantara sudah kian dekat dengan tubuh
Resi Pakar Pantun yang terkapar tak sadarkan diri.
Tangan berkuku hitam itu terangkat dan siap mencabik
tubuh Resi Pakar Pantun.
Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Jari Guntur'-
nya, sebuah sentilan jari yang dapat mengeluarkan
tenaga dalam berkekuatan seekor kuda jantan. Teeb...!
Brrrus...! Tubuh mayat Resi Dirgantara terhantam
tenaga kuat dari sentilan tangan Suto Sinting. Sosok
mayat berbelatung itu terlempar jatuh ke semak-semak


sambil keluarkan erangan mengerikan yang cukup
panjang.
"Kkkrrraaaaahhhhkkk...!!"
Pendekar Mabuk berkelebat dengan menggunakan
jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...! Weeeess...! Tubuh
Resi Pakar Pantun yang pingsan disambarnya.
"Rara Santika, tinggalkan tempat ini!" serunya, lalu ia
melesat lebih dulu, dan Rara Santika segera
menyusulnya.
Mayat Resi Dirgantara bangkit dari kejatuhannya.
Mengerang panjang dengan suara menyeramkan. Dari
bola matanya yang putih keluarkan sepasang sinar merah
berbentuk lingkaran sebesar gelas. Slaap, slaap...!
Blegaaaar...!
Kedua sinar menghantam pohon di depan langkah
Suto Sinting dan Rara Santika. Pohon itu tumbang
seketika dan nyaris menimpa tubuh Suto Sinting. Untung
si Pendekar Mabuk mampu bergerak lincah menghindari
pohon itu sambil tetap memanggul tubuh Resi Pakar
Pantun. Sementara itu, Rara Santika sendiri
mendapatkan tempat yang aman tak terkena robohan
pohon.
"Cepat, Rara...! Mayat itu pasti akan mengejar kita!"
seru Pendekar Mabuk mencemaskan perempuan cantik
yang gerakannya masih kalah cepat dengan gerakan Suto
Sinting itu.
"Hhhhgggrrr..!" suara mayat terdengar, ternyata
mayat itu mampu bergerak cepat, bagai menggunakan
sisa jurus semasa hidupnya. Wuuuss...! Mayat Resi


Dirgantara mengejar mereka, belatungnya berjatuhan ke
mana-mana.
*
*  *

6
RESI Pakar Pantun baru saja siuman begitu mereka
berhenti di kaki bukit. Suto Sinting tersandung akar
pohon hampir jatuh tersungkur. Tubuh yang
dipanggulnya terlepas dan jatuh terbanting. Saat itulah
Resi Pakar Pantun siuman sambil mengerang kesakitan
pegangi tulang pinggangnya.
"Uuuhff...!" Resi Pakar Pantun menggeliat, ia
membuka mata dan memandang sekeliling, lalu
tersentak kaget dan segera bangkit terduduk.
"Hei, mengapa aku ada di sini?!"
"Daripada di sana, kau akan dicabik-cabik oleh mayat
Resi Dirgantara," ujar Suto Sinting.
"Mayat...?!" Resi Pakar Pantun kerutkan dahi. "O,
iya...! Ada mayat yang mengejarku. Mayat si Dirgantara.
Sekarang bagaimana kabarnya mayat si Dirgantara?!"
"Sehat walafiat," jawab Suto Sinting seenaknya, lalu
ia menenggak tuaknya tak peduli Rara Santika tertawa
kecil mendengar jawabannya itu.
"Hei, kalau tak salah kau putri kesayangan si Panjuru
Gesang?!" sang Resi menuding Rara Santika.
"Benar, aku putri Panjuru Gesang. Apakah kau
mengenal mendiang ayahku, Resi?"
"Ya, aku kenal betul dengan beliau. Waktu aku sering


berkunjung ke pondoknya, kau masih kecil. Paling akhir
aku jumpa Panjuru Gesang, kau masih berusia sekitar...
yah, sekitar delapan belas tahun."
"O, aku tak ingat sama sekali."
"Tentu saja, karena kau saat itu sedang kasmaran
dengan Pramudya Wiseta. Kulihat kau berduaan di
belakang pondok, sementara aku berbincang-bincang
dengan ayahmu di samping pondok."
Rara Santika sunggingkan senyum tersipu, matanya
melirik Suto Sinting sekilas, ternyata pemuda itu
memperhatikan dengan cibiran menggoda.
"Itu masa lalu yang tak perlu dikenang lagi, Resi,"
ujar Rara Santika menutupi rasa tak enak hati terhadap
Pendekar Mabuk.
"Ya, ya... tapi aku menyesal sekali pada saat
pemakaman ayahmu tak bisa hadir," wajah sang Resi
menampakkan raaa sesalnya. "Semoga arwahnya
sekarang sudah berada di sisi Yang Maha Kuasa dengan
damai," kenang sang Resi dengan mata menerawang.
Mereka dicekam keheningan sejenak. Keheningan itu
menjadi buyar setelah  kemunculan sesosok bayangan
hitam yang berkelebat melintasi kepala mereka.
Wuuttt...! Kemudian bayangan itu menapakkan kakinya
dalam jarak enam langkah dari Suto Sinting. Jleeeg...!
"Nini Kalong...?!" sapa Suto Sinting dengan nada
heran. Nenek berjubah hitam yang badannya kurus dan
bungkuk itu melangkah pelan mendekati Suto Sinting.
Tapi Resi Pakar Pantun segera menyapa dengan wajah
ceria.


"Murcaci...?! Oh, tak kusangka kita akan jumpa di
sini, Murcaci?!"
Rupanya Nini Kalong mempunyai nama asli Murcaci,
dan hanya Resi Pakar Pantun yang mengenal nama itu di
antara mereka bertiga. Sang Resi segera menyambut
dengan langkah mendekat dan membentangkan
tangannya. Nini Kalong dipeluknya beberapa saat. Sang
nenek meronta dan menggerutu karena merasa malu.
"Kita sudah tua, jangan bertingkah seperti anak muda,
Rangga," kata sang nenek kepada Resi Pakar Pantun.
Pendekar Mabuk tertawa kecil berkepanjangan. Rara
Santika bertanya dalam bisikan, "Mengapa kau tampak
geli sekali?"
"Ternyata nama asli Resi Pakar Pantun adalah
Rangga. Lucu sekali bagiku, nama sebagus itu dipakai
oleh orang setua dia! Tak ada pantasnya sedikit pun."
Nini Kalong perdengarkan suaranya yang sedikit
bergetar, "Secara kebetulan saja aku melihat kalian di
sini dan kubelokkan arah langkahku. Jadi jangan kau
anggap aku sengaja menemuimu, Rangga."
"Ikan teri menari ke sana-sini, 
pakai kebaya jalannya amat kaku.
Sengaja ataupun tidak pertemuan kita ini, 
tapi kenangan manis masa lalu mekar di ujung
hatiku."
Resi Pakar Pantun berlutut satu kaki dengan kedua
tangan dibentangkan dan kepala mendongak memandang
Nini Kalong. Namun nenek berambut putih berpegangan
tongkat baru justru menyingkirkan tangan sang Resi


dengan tongkatnya. Gaya rayuan sang Resi membuat
Rara Santika dan Pendekar Mabuk terkikik geli.
"Minggir kau, aku mau bicara dengan murid si Gila
Tuak itu!" lalu ia melangkah mendekati Suto Sinting,
Resi Pakar Pantun dibiarkan berlutut di tempatnya. Sang
Resi memandang dengan terbengong dan berwajah
kecewa karena rayuannya tidak dihiraukan oleh mantan
kekasihnya itu.
"Jangan tanggapi rayuan orang gila itu," ujar Nini
Kalong kepada Suto dan Rara Santika. "Kami memang
dulu pernah menjalin hubungan cinta, ketika aku masih
berusia dua puluh dua tahun, dia masih lebih muda
dariku. Tapi sudahlah... sekarang bukan saatnya bicara
tentang masa lalu kami."
"Kudengar kau sedang lakukan tapa gantung, Nini?"
"Benar, Suto. Tapi firasatku mengatakan bahwa
muridku si Puspa Jingga menghadapi bahaya. Aku ingin
mencarinya ke Bukit Batok dan...."
"Sepertinya firasatmu itu memang benar, Nini," sahut
Suto Sinting. "Aku telah berjumpa dengan muridmu;
Puspa Jingga. Kala itu ia terikat  di pohon karena ulah
Peri Kedung Hantu yang merebut peta dari tangannya.
Lalu kami bergegas menuju ke Bukit Batok. Hanya saja
di perjalanan kami diserang dari belakang oleh seseorang
yang tak kuketahui wajahnya. Dalam keadaan setengah
pingsan aku melihat Puspa Jingga disambar oleh
bayangan yang menyerang kami itu. Sampai sekarang
aku tidak tahu di mana muridmu itu, Nini."
"Keparat si Rumisita!" geram Nini Kalong dengan


mata memancarkan permusuhan.
"Tapi aku tak yakin apakah yang membawa lari
muridmu itu Peri Kedung Hantu atau orang lain, Nini!"
"Siapa pun orangnya, yang jelas Peri Kedung Hantu
menjadi penyebab hilangnya Puspa Jingga. Bertapaku
sampai kugagalkan hanya karena ulahnya juga! Kuhajar
dia jika kutemukan di makam si Dirgantara!"
"Dirgantara bangkit lagi!" sahut Resi Pakar Pantun
dengan cepat dan tegang. "Sumpah mati tujuh turunan,
Dirgantara telah bangkit lagi, Murcaci."
Mata nenek yang usianya lebih tua dari Resi Pakar
Pantun itu memandang dengan sedikit mengecil. Dahi
tuanya yang berkeriput menjadi kian keriting karena ia
berkerut heran.
"Dirgantara bangkit lagi?!" gumamnya bernada
kurang percaya.
"Aku dikejar-kejarnya sejak kemarin siang. Baru saja
aku siuman karena pengejaran mayat si Dirgantara.
Kalau tak percaya tanyakan sendiri kepada kedua anak
muda ini yang menyelamatkan diriku dari kejaran mayat
si Dirgantara!"
Nini  Kalong segera memandang Suto Sinting dan
Rara Santika. Sebelum ia lontarkan tanya, Rara Santika
lebih dulu bicara dengan nada tega.
"Benar,  Nini. Mayat Eyang Resi Dirgantara bangkit
lagi dan tidak mengenaliku sama sekali, ia dibangkitkan
oleh seseorang, si perempuan keparat Penguasa Pulau
Cumbu itu."
"Ratu Sangkar Mesum...?!"


"Benar, Nini. Dialah yang membangkitkan beberapa
mayat untuk menyerang Resi Pakar Pantun. Salah satu
mayat yang dibangkitkan adalah mayat Eyang Resi
Dirgantara!"
"Memang keparat si Sangkar Mesum!" geram Nini
Kalong, "Berarti pusaka itu telah diambilnyai"
"Pusaka apa maksudmu, Murcaci?!" tanya Resi Pakar
Pantun.
Nini Kalong tidak menjawab, ia hanya berkata,
"Akan kuperiksa makam itu!"
"Jangan, Murcaci! Jangan ke sana, nanti mayat si
Dirgantara kembali ke sana dan bertemu denganmu, kau
bisa dikunyah habis olehnya!" ujar sang Resi dengan
wajah tegang.
"Aku bukan pengecut seperti kau, Rangga!"
Resi Pakar Pantun bersungut-sungut, "Tentu saja kau
tidak takut, sebab wajahmu sendiri lebih menyeramkan
dari mayat si Dirgantara!"
Celoteh itu tak dihiraukan oleh  Nini  Kalong, sang
nenek segera berkata kepada Suto Sinting,
"Kalau kau jumpa si Puspa Jingga, dampingilah dia
dan bawa pulang ke Hutan Rawa Kotek."
"Mudah-mudahan aku bisa jumpa dengannya lagi,
Nini!"
Weeeess...! Tanpa basa-basi lagi, Nini Kalong
melesat pergi tinggalkan tempat itu. Ia tak pedulikan
seruan Resi Pakar Pantun yang ingin mencoba
menahannya lagi. Sang Resi sempat berlari beberapa
jauh, lalu kembali lagi dengan lemas.


"Mengapa kau tak ikut mendampingi Nini Kalong,
Resi?" tegur Suto Sinting sambil tersenyum-senyum.
Resi Pakar Pantun bersungut-sungut.
"Perempuan gila! Sudah diberi tahu ada bahaya masih
nekat pergi ke sana! Kalau dia mati aku bisa menangis."
"Cinta masa muda memang sering bikin orang tua
berubah menjadi anak-anak," ucap Rara Santika dengan
pelan, tapi didengar oleh Suto Sinting maupun Resi
Pakar Pantun.
"Murcaci itu memang bandel sejak kecilnya," ujar
sang Resi. "Sayang usiaku lebih muda darinya, sehingga
ia tak merasa takut dengan ancamanku, tak mau menurut
dengan nasihatku. Kusarankan agar ia kawin denganku,
eeh... malah kawin sama yang lebih tua darinya. Tak
urung suaminya cepat mati, kan?! Coba kalau dia kawin
denganku, suaminya masih awet hidup sampai
sekarang."
Rara Santika hanya bisa tertawa geli sambil
tangannya bergelayutan di pundak Suto Sinting.
Keduanya sama-sama memandangi Resi Pakar Pantun
yang duduk di atas sebuah batu di bawah pohon depan
mereka.
"Rara, kita teruskan perjalanan kita menemui Nyai
Serat Biru!" ujar Suto Sinting.
"Baik. Kita berangkat sekarang saja, dan bermalam di
sebuah desa yang tak seberapa jauh dari sini."
Resi Pakar Pantun berdiri dan bertanya, "Kalian mau
temui Serat Biru? Mau apa kalian temui dia?"
"Menanyakan tentang pusaka yang...," Suto Sinting


hentikan ucapannya. "Ya, ampun... mengapa kita tadi
lupa tidak mendesak Nini Kalong tentang pusaka
tersebut, Rara?"
"Aku sendiri lupa bahwa perkara peta dan pusaka itu
berawal dari dirinya."
"Pusaka apa sebenarnya?!" tanya Resi Pakar Pantun.
"Murcaci tadi tak mau jelaskan pusaka yang dimaksud.
Apakah kalian tak ada yang mengerti tentang pusaka
itu?!"
"Puspa Jingga disuruh mengambil pusaka dari
makam Resi Dirgantara!" jawab Pendekar Mabuk. "Tapi
gadis itu tak mau jelaskan pusaka apa yang harus
diambilnya dari makam itu. Peta tersebut sudah telanjur
direbut oleh Peri Kedung Hantu."
Resi Pakar Pantun diam termenung dengan dahi
berkerut. Beberapa kejap berikutnya terdengar suaranya
bagai orang bicara pada diri sendiri.
"Dirgantara tidak mempunyai pusaka  apa-apa.
Seingatku ia tak pernah ribut soal pusaka?!"
"Barangkali Nini Kalong mendapat keterangan  dari
seseorang yang sengaja mengacaukan jalan pikirannya,"
kata Rara Santika. "Sebab itulah kami ingin menemui
Nyai Serat Biru dan menanyakan apakah mendiang Resi
Dirgantara mempunyai pusaka yang layak dijadikan
incaran para tokoh di rimba persilatan."
"Aku jadi penasaran," kata Resi Pakar Pantun. "Kalau
begitu aku ikut menemui Serat Biru, sekalian
beranjangsana karena sudah lama tak pernah jumpa dia."
"Tapi tunggu dulu...," sergah Suto Sinting. "Mungkin


yang dimaksud Nini Kalong memang bukan pusaka
milik mendiang Resi Dirgantara. Barangkali ada
seseorang menyimpan pusaka di dalam makamnya Resi
Dirgantara. Dan hanya Nini  Kalong yang mengetahui
letak penyimpanan pusaka tersebut. Lalu, bekas
kekasihmu itu bernafsu sekali untuk memiliki pusaka itu,
Resi!"
Mereka saling bungkam merenungi kemungkinan
tersebut. Akhirnya Resi Pakar Pantun berkata,
"Kalau begitu kita ikuti saja kepergian Murcaci, dan
kita lihat pusaka apa yang dimaksud sehingga Peri
Kedung Hantu ikut-ikutan ingin memilikinya!"
"Aku setuju," sela Rara Santika. "Tapi bagaimana
dengan mayat Resi Dirgantara itu?!"
"Mayat itu sudah keluar dari makamnya, justru
keadaan di makam itu sudah aman!" kata Suto Sinting,
"Ia pasti akan mengembara mencari jalan kematian yang
kedua."
Rasa takut Resi Pakar Pantun menjadi susut
mendengar penjelasan Pendekar Mabuk. Maka ketika
mereka bergegas  menuju ke Bukit Batok, Resi Pakar
Pantun tak punya keraguan lagi. Dengan menggunakan
ilmu peringan tubuh masing-masing mereka bergerak
cepat menuju Bukit Batok. Blegaaar...!
Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara ledakan
yang datang dari balik bukit cadas sebelah timur. Suto
Sinting hentikan langkah lebih dulu, sehingga yang
lainnya ikut-ikutan berhenti.
"Ada pertarungan di sebelah timur sana!" ujarnya


sedikit tegang.
"Tanah yang kita pijak sampai bergetar. Berarti ada
pertarungan menggunakan tenaga dalam tinggi di sana."
"Tapi itu bukan urusan kita," ujar Resi Pakar Pantun.
"Aku penasaran ingin melihat siapa yang bertarung di
sana!" kata Suto Sinting yang tak bisa diam jika
mendengar suara pertarungan. Tanpa mendapat
persetujuan dari yang lain ia melesat lebih dulu menuju
ke arah timur. Resi Pakar Pantun dan Rara Santika
akhirnya mengikuti langkah Pendekar Mabuk.
Dari balik kerimbunan semak, Suto Sinting mengintai
pertarungan itu. Ia terkejut melihat sosok perempuan
cantik berusia muda bertarung melawan dua lelaki
berwajah angker. Kedua lelaki itu sudah dikenal Suto
Sinting saat mereka melawan si Gadis Dungu; Indayani.
Kedua orang yang sama-sama berbadan kekar dan
mempunyai golok besar itu tak lain adalah murid
Perguruan Serikat Jagal yang bernama Togayo dan
Gayong. Tetapi perempuan cantik berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu belum pernah dilihat oleh Suto
Sinting.
Gadis itu mengenakan rompi panjang warna kuning
emas, dengan celana merah dililit kain putih. Pinjung
penutup dadanya juga berwarna merah dari bahan satin
seperti celananya, ia menyandang pedang di punggung
bergagang perak. Rambutnya dikuncir satu agak tinggi,
sisa rambut dalam kunciran-nya itu berjuntai seperti ekor
kuda. Gadis itu mempunyai dada yang sekal walau tak
terlalu montok seperti dadanya Rara Santika. Kulitnya


berwarna kuning mulus.
Ketika Resi Pakar Pantun dan Rara Santika
mendekati Suto Sinting dan ikut mengintai ke arah
pertarungan, Suto Sinting sempatkan diri bertanya dalam
bisikan kepada Rara Santika.
"Kau kenal dengan gadis itu?!"
"Dia murid Nini Kalong juga, kakak perguruan Puspa
Jingga. Dia yang bernama Syair Kusumi."
"Oooo...,"  gumam Suto Sinting sambil manggut-
manggut. "Rupanya dia itulah yang dimaksud murid
nomor satu Nini Kalong."
"Memang dia murid tertua dari keempat murid Nini
Kalong."
Resi Pakar Pantun menyahut, "Kedua lelaki itu, kalau
tak salah, murid si Dupa Dewa!"
"Benar, mereka memang murid Perguruan Serikat
Jagal. Tetapi apa masalahnya sehingga mereka bentrok
dengan Syair Kusumi? Padahal pihak Perguruan Serikat
Jagal selama ini tak pernah bentrok dengan murid-murid
dari Hutan Rawa Kotek," kata Rara Santika. Pendekar
Mabuk segera memberi isyarat agar mereka jangan
bicara, karena tampaknya pertarungan dihentikan
sebentar dan mereka mau saling bicara.
"Jangan keras kepala, Syair Kusumi. Gurumu benar-
benar telah berpesan kepada kami agar pusaka itu
diserahkan kepada kami demi keamanannya."
"Matahari pun tahu, aku tidak  pernah bawa pusaka
itu. Tapi di punggungku ada sebuah pedang, jika kalian
rindu kematian, aku akan cabut pedang untuk bikin


nyawa melayang," kata Syair Kusumi dengan nada
bicara yang mendayu-dayu mirip orang bersyair.
Togayo memandang Gayong dan menggeram
jengkel.
"Perlu diberi pelajaran sekali lagi gadis itu!"
"Terlalu buang waktu, bunuh saja kalau memang tak
mau diajak damai!"
Togayo berkata kepada Syair Kusumi, "Jika kau
masih bersikeras menahan pusaka itu, maka jangan
salahkan kami jika kami berlaku lebih kasar lagi demi
memenuhi pesan dari gurumu, Nini Kalong!"
"Pasir di pantai tak akan lebih kasar dari sikap kalian.
Mega Putih di langit menjadi saksi, tak pernah ada
pusaka di tanganku ini."
"Kami mengikutimu terus, Syair Kusumi. Itu pun atas
suruhan gurumu. Kami tahu kau telah datang ke makam
Resi Dirgantara. Makam itu telah rusak, dan kau telah
membongkarnya untuk mengambil pusaka tersebut"
"Angin berhembus ke mana pun ia mau, kalian pun
boleh bicara apa pun kalian mau. Tapi ombak di pantai
tak akan diam disapu badai, aku pun tak akan diam jika
kalian ingin saling bantai!"
"Menyebalkan sekali! Heeeeaaat...!" Gayong yang
bermata lebar itu segera melompat lakukan terjangan ke
arah Syair Kusumi. Gadis itu berkelebat ke samping
dengan gerakan cepat dan sukar dilihat mata lawan.
Wuuut...! Gayong menyerang tempat kosong. Wajahnya
menjadi beringas karena merasa  dipermainkan oleh
gadis manis itu.


"Togayo... serang dia dengan jurus 'Petir Menangis'
andalan kita!" seru Gayong sambil mencabut golok
lebarnya. Togayo pun mencabut golok dengan suara
menggeram penuh nafsu membunuh.
"Celaka!  Mereka mau pergunakan jurus 'Petir
Menangis' seperti saat melawan Gadis Dungu! Tutup
telinga kalian, lekas...! Tutup telinga rapat-rapat!"
perintah Suto Sinting kepada Resi Pakar Pantun  dan
Rara Santika. Mereka segera menutup telinga rapat-rapat
setelah Suto Sinting menjelaskan secara  singkat
bahayanya jurus 'Petir Menangis' itu.
Syair Kusumi tak merasa gentar berhadapan dengan
mereka. Pedangnya pun segera dicabut dari  punggung.
Seeet...! Pedang itu segera dikibas-kibaskan sekeliling
tubuhnya sambil melangkah pelan mencari kelengahan
lawan.
"Heaaaet...!" Togayo lakukan lompatan menyerang
dengan golok lebarnya. Rupanya ia ingin mencoba
dengan jurus golok yang mampu berkelebat dengan
cepat itu.
Wut, wut, trrang, traaang, trang...! Ternyata Syair
Kusumi mampu menangkis kecepatan golok Togayo,
bahkan gerakan pedang Syair Kusumi lebih cepat dari
gerakan golok Togayo. Lelaki itu tersentak mundur
ketika tangan kiri Syair Kusumi keluarkan pukulan
bertenaga dalam tanpa sinar. Wuuuk...! Beeehg...!
"Uuhg...!" Togayo terjengkang ke belakang, tepat di
depan kaki temannya. Hal itu membuat Gayong menjadi
semakin berang.


"Laknat kau, Syair Kusumii!" geram Gayong dengan
kumis lebatnya naik turun sendiri.
Syair Kusumi tetap menggerakkan pedangnya di
sekeliling tubuh. Gerakan pedang itu menimbulkan
bunyi mendengung berkepanjangan, ia bergerak
menyamping selangkah demi selangkah dengan mata
tertuju pada kedua lawannya.
"'Petir Menangis'! Heeeeaaah...!" seru Togayo.
"Heeeeaaah...!" seru Gayong dan mereka saling
mengadu golok dan digesekkan hingga timbul bunyi
berdesing yang menggema panjang.
Srrraaangngngngng...!
Desing golok itu melengking tinggi, membuat pohon-
pohon bergetar, daun-daun rontok bagaikan dipangkas
habis oleh ketajaman desingan itu. Bahkan dahan-dahan
pohon berukuran sedang ada yang tumbang karena
terpotong bagai dibabat dengan senjata yang amat tajam.
Batu-batu di sekitar tempat itu remuk dengan sendirinya.
Desingan itu dapat memotong urat nadi dan jantung bagi
siapa pun yang mendengarnya, kecuali si pemilik jurus
'Petir Menangis' itu.
Seandainya  Suto Sinting tak menyuruh Resi Pakar
Pantun dan Rara Santika menutup telinga, maka mereka
pun dapat mengalami luka dalam, jantung, urat nadi dan
perangkat bagian dalam tubuhnya terpotong oleh suara
desingan itu.
Tetapi Syair Kusumi tetap berdiri tanpa menutup
telinganya. Pedangnya makin bergerak cepat hingga
timbulkan  suara dengung yang lebih keras lagi. Suara


dengung itu yang membuat telinganya tak tembus suara
desingan dua golok yang digesekkan di udara tadi.
Bahkan sekarang gerakan pedang bertambah cepat lagi,
sehingga suara dengungnya semakin tinggi.
Wuuung, wuuung, wuuung, wuuung, wuuung... i
Gerakan pedang bertambah lebih cepat lagi, tubuh
Syair  Kusumi  bagai terbungkus oleh logam mengkilat
yang tak lain adalah kerapatan gerak mata pedangnya.
Dengung yang timbul pun bertambah melengking tinggi.
Nguuuuung...!
Srrraaaangggg...!
Togayo dan Gayong melepaskan jurus 'Petir
Menangis' lagi untuk imbangi suara gaung. Tetapi kali
ini desing dari jurus 'Petir Menangis' tak mampu
memotong dahan pohon. Bahkan selembar daun pun tak
ada yang terpotong. Rupanya desing itu kalah oleh suara
dengung pedang Syair Kusumi.
Kedua lelaki berwajah angker itu bergetar tubuhnya,
telinganya tak kuat menahan suara dengung yang makin
mendekat itu. Mereka mengimbangi dengan suara
teriakan liarnya.
"Heeeeaaaahhh...!!"
Namun suara teriakan itu tidak membuat mereka
mampu mengusir rasa sakit yang menusuk telinga.
Dengung pedang Syair Kusumi akhirnya membuat tubuh
mereka terpental ke belakang. Wuuut...! Braaass...!
Darah segar mengalir keluar dari telinga mereka.
Dengung yang masih diperdengarkan oleh Syair Kusumi
itu membuat mereka kelojotan sambil meraung-raung.


Darah semakin membanjir dari telinga mereka. Bahkan
sekarang hidung mereka pun mengucurkan darah segar.
Tetapi bagi orang lain yang mendengarnya, tak
mengalami hal seperti yang dialami Togayo dan
Gayong.
"Uaaaahhhkk...!!" Togayo memekik sekeras-kerasnya
dengan tubuh terkapar dan tangan memegangi telinga.
Crraaat...!
Sungguh mengerikan kejadian berikutnya. Darah
menyembur keluar dari  seluruh lubang, termasuk dari
mulut, hidung, telinga, dan mata mereka pun
menyemburkan darah segar. Keduanya akhirnya
kelojotan beberapa saat, kemudian diam tak bergerak
lagi karena tak punya nyawa.
"Gila! Jurus pedang apa itu suaranya bisa membuat
kedua  lawan menjadi tumbang tanpa nyawa begitu?!"
gumam Resi Pakar Pantun. "Tapi kita yang mendengar
dengung pedang itu tidak apa-apa, ya?"
"Syair Kusumi menyalurkan tenaga dalamnya lewat
dengung pedangnya, dan tenaga dalam itu diarahkan
kepada kedua lawannya, bukan kepada kita. Kekuatan
kendali batin terhadap saluran tenaga dalam membuat ia
dapat membunuh siapa-siapa yang ingin diserangnya,"
tutur Rara Santika, yang mengaku teman baik Syair
Kusumi.
"Pantas kalau dia dikatakan sebagai murid pertama
dari Nini Kalong," gumam Suto Sinting pelan.
Syair Kusumi hentikan permainan pedangnya,
pandangi mayat kedua lawannya. Napasnya ditarik


panjang-panjang bagai menikmati kelegaan. Tetapi tiba-
tiba ia berkelebat berbalik badan sambil sentakan tangan
kirinya. Rupanya ia merasakan ada hawa panas datang
mendekati punggungnya.
Ternyata sekelebat sinar hijau hendak menghantam
punggungnya. Sinar itu beradu dengan sinar merah yang
keluar dari telapak tangan Syair Kusumi. Claap...!
Blegaaar...!
Syair Kusumi terjungkal ke belakang dan berguling-
guling. Pedangnya sempat terlepas dari tangan. Namun
segera disambarnya dalam satu gerakan  berguling ke
samping. Kejap berikut, sesosok bayangan melesat dari
balik pohon. Wuuut...!
Jleeg...!
"Peri  Kedung Hantu...?!" gumam Suto Sinting
bernada tegang.
*
* *

7
KEMUNCULAN Peri Kedung Hantu terang-terangan
memihak Perguruan Serikat Jagal. Kematian Togayo dan
Gayong dijadikan alasan untuk menyerang Syair
Kusumi. Pemihakan itu wajar dilakukan Peri Kedung
Hantu karena ia adalah keponakan dari Dupa Dewa,
ketua dan guru dari Perguruan Serikat Jagal.
"Kematian mereka harus kau tebus dengan nyawamu,
Syair Kusumi!" ujar perempuan cantik yang bernama
asli Rumisita itu. Ia bermata coklat dengan bulu mata


lentik indah. Rambutnya disanggul sebagian. Lehernya
tampak jenjang dalam  keadaan kulit berwarna kuning
langsat mulus. Pinjung dan celananya berwarna ungu,
dilapisi jubah tanpa lengan warna kuning tua.
Syair Kusumi tampak tidak merasa gentar berhadapan
dengan Peri Kedung Hantu. Hempasan  gelombang
ledakan yang  membuatnya terjungkir balik tadi tidak
mencederai tubuhnya sedikit pun, hanya merasakan
sesak napas beberapa saat. Kini napasnya sudah terasa
ringan kembali, dan ia memandang Peri Kedung Hantu
dengan sikap kalem sambil  masih menggenggam
pedangnya.
"Tak ada hujan tak ada badai, kau datang 
(Hal 103-104 tidak ada)

keluarkan darah kental dari mulutnya.
"Serahkan pusaka itu atau kau akan mati dalam
beberapa kejap lagi?!" ancam Peri Kedung Hantu
dengan lagak angkuhnya. "Kau tak perlu berbohong
padaku, segala gerakanmu sempat dipergoki oleh para
muridku yang menjadi mata-mata di sana-sini. Salah
satu muridku melihat kau menghantam Puspa Jingga dan
Pendekar Mabuk, lalu membawa lari Puspa Jingga untuk
disembunyikan di lorong Bukit Randa. Kuduga kau
ingin menguasai  pusaka itu sendiri dan tak akan kau
serahkan pada siapa pun, bahkan kepada gurumu pun
pusaka itu tak akan kau berikan!"
Pendekar Mabuk terkejut hingga matanya terbelalak.
"Oh, jadi dia yang menyerangku dari belakang dan


membawa lari Puspa Jingga?!"
Rara Santika berkata dalam  bisik, "Tak mungkin
Syair Kusumi punya maksud seperti itu. Aku tahu betul
sifatnya, dia bukan orang berwatak pengkhianat. Pasti
dia punya maksud tertentu dari tindakannya itu."
"Kita lihat saja kebenarannya," sahut Resi Pakar
Pantun. Sambungnya lagi,
"Ikan teri di dalam tomat, 
hidung mancung enak diremat. 
Orang benar akan selamat, 
orang salah akan terjerat."
Suto Sinting menyenggol sang Resi dengan sikunya
sambil  menggerutu, "Ah, kau ini dalam keadaan
sembunyi masih saja sempat berpantun!"
"Sekadar melemaskan lidah," jawab sang Resi lirih,
seakan terlontar seenaknya saja.
"Hiaaah...!" tiba-tiba tubuh yang disangka telah tak
berdaya itu menyentak ke atas dengan menggunakan
gagang pedang sebagai tempat tumpuan. Syair Kusumi
melambung tinggi dan berjungkir balik  sambil
menebaskan pedangnya ke arah kepala Peri Kedung
Hantu.
Gerakan mendadak itu membuat Rumisita terkejut,
lalu  serta merta tangannya menghentak ke atas dalam
keadaan kaki merendah hampir berlutut. Wuuut...!
Claaap...!
"Aaahg...!" Syair Kusumi tersentak melambung lebih
tinggi dan jatuh tanpa daya lagi. Brruk...! Ia mengerang
dan menggelinjang terkena sinar kuning dari tangan Peri


Kedung Hantu tadi.
"Beraninya kau menyerangku secara tiba-tiba, hah?!
Sekarang saatnya bagimu kukirim ke neraka! Hiaaah...!"
Zlaaap...!
Brrrus...!
Suto Sinting tahu-tahu  telah  melesat dan menerjang
Peri Kedung Hantu. Tubuh perempuan cantik itu
terpental sebelum ia melepaskan jurus pencabut nyawa
lawannya. Tubuh itu terguling-guiing bagaikan diterjang
badai setan yang mengerikan.
Pada saat itu, Nini Kalong pun melesat dari balik
kerimbunan semak. Rupanya ia tertarik dengan bunyi
dengung yang menjadi tanda pertarungan muridnya itu.
Ia  tak jadi ke arah Bukit Batok dan mencari tahu
mengapa muridnya memainkan jurus 'Pedang Gangsing'
yang jarang dipakai itu. Akhirnya ia tiba di tempat
tersebut  dalam  keadaan Syair Kusumi sedang sekarat
dan Peri Kedung Hantu terguling-guling akibat terjangan
Suto Sinting.
"Rupanya kau bermaksud keji pada muridku,
Rumisita!" geram Nini Kalong.
Tetapi Rumisita tak hiraukan kata-kata itu. Ia segera
lepaskan jurus mautnya berupa sinar ungu dari kedua
matanya. Claaap, claaap...! Kedua sinar ungu itu
mengarah kepada Nini Kalong dan Pendekar Mabuk.
Wuuut...! Suto Sinting maju sambil kibaskan
bumbung tuaknya. Sinar ungu itu menghantam bumbung
tuak. Deeb...! Lalu membalik arah dengan lebih cepat
dan lebih besar lagi. Wuuusss...!


Duaaar...!
Blegaaar...!
Dua ledakan itu terjadi hampir bersamaan. Ledakan
pertama adalah sinar ungu yang menghantam tubuh Nini
Kalong  itu berhasil dipatahkan oleh  gerakan sinar
merahnya Rara Santika yang melesat bersamaan
tubuhnya melompat dari balik  semak. Benturan sinar
merah dengan sinar ungu menimbulkan ledakan
bergelombang besar yang membuat tubuh Nini Kalong
terpelanting berguling-guling. Jika sinar itu tidak
dipatahkan  oleh  sinarnya Rara Santika, maka Nini
Kalong  akan mati hangus dihantam  sinar ungu yang
datang secara tiba-tiba.
Sedangkan ledakan kedua adalah ledakan yang timbul
akibat sinar ungu memantul  balik  dari bumbung tuak,
menjadi lebih cepat dan lebih besar dari aslinya. Peri
Kedung Hantu terperanjat dan tak sempat menghindar,
akhirnya sinar ungu tersebut menghantam matanya
sendiri. Hantaman itulah yang menimbulkan ledakan dan
membuat kepala Peri Kedung Hantu pun pecah secara
mengerikan.
Pendekar Mabuk saling bertatap pandang dengan
Rara Santika. Perempuan itu acungkan jempolnya,
kemudian bergerak mendekati Nini Kalong bersama-
sama Resi Pakar Pantun.
"Bagaimana keadaanmu, Nini?!"
"Tulang punggungku sepertinya patah," jawab Nini
Kalong dengan suara berat.
Pendekar Mabuk cepat-cepat meraih kepala Syair


Kusumi. Ia belum terlambat untuk meminumkan tuak
saktinya. Berkat tuak sakti itulah Syair Kusumi akhirnya
terselamatkan dan Nini Kalong yang ikut meminum tuak
Suto itu pun mengalami kesegaran pada tubuhnya,
tulang punggungnya tidak terasa sakit lagi.
Syair Kusumi berkata kepada Pendekar Mabuk, "Jika
ada sumur di ladang, boleh aku menumpang mandi. Jika
umurmu ingin panjang, maafkanlah perbuatanku tempo
hari. Aku telah melumpuhkan dirimu bersama Puspa
Jingga, karena aku tak ingin Puspa Jingga celaka dalam
mengemban tugas dari Guru."
"Celaka bagaimana maksudmu?!" sergah Nini
Kalong.
"Guru memberikan tugas berat kepada Puspa Jingga.
Mengambil  pusaka bukan pekerjaan mudah. Bahaya
yang timbul tidak sebanding dengan llmu yang dimiliki
Puspa Jingga. Terpaksa aku melumpuhkan dan
menyembunyikannya. Tugas itu kuambil alih karena aku
tak ingin Puspa Jingga mati di tangan orang-orang
seperti Peri Kedung Hantu yang bernafsu ingin memiliki
pusaka itu. Jika kulakukan terang-terangan, pasti Puspa
Jingga tersinggung dan marah padaku, sedangkan
Pendekar Mabuk kulihat ada bersamanya. Maka jika aku
bertengkar dengan Puspa Jingga, pasti Pendekar Mabuk
memihaknya. Tak ada jalan lain  kecuali dengan cara
melumpuhkan keduanya secara sembunyi-sembunyi."
Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala sambil
sunggingkan senyum geli.
"Tapi  lain  kali kau tak boleh  mengambil  langkah


sendiri seperti itu, Syair Kusumi?"
"Baik, Guru!"
"Lalu bagaimana hasilnya dengan pusaka itu? Apakah
kau sudah mengambilnya dari makam Resi Dirgantara?"
"Pusaka itu tidak ada, Guru. Makam Resi Dirgantara
sudah dibongkar oleh seseorang dan menjadi rusak."
"Jadi... pusaka itu tidak ada?!" gumam Nini Kalong
dengan heran. "Kalau begitu mimpiku itu hanya bunga
tidur saja, bukan bisikan dewata?!"
"Mimpi...?!" Resi Pakar Pantun berkerut dahi. "Jadi
kau mengikuti apa kata mimpimu?! Uuuh... sudah tahu
kau ini orangnya doyan tidur sejak masih gadis, mana
mungkin dewa mau berbisik lewat tidurmu!" gerutu Resi
Pakar Pantun.
Pendekar Mabuk segera bertanya kepada Nini
Kalong, "Kalau  boleh kutahu, sebenarnya pusaka apa
yang kau cari itu, Nini?!"
"Setahuku, dulu Dirgantara mempunyai senjata
pusaka yang bernama Kipas Dewi Murka. Aku pernah
melihat Dirgantara menggunakan kipas pusaka itu
melawan  panglima dari tanah Tibet. Kedahsyatannya
luar biasa. Kusangka kipas itu jatuh di tangan Serat Biru,
ternyata dia tidak menyimpannya dan...."
"Seperti apa bentuk kipasnya?!" tanya Rara Santika.
"Kipas itu  terbuat dari gading, mempunyai hiasan
benang merah pada tangkainya. Kesaktian kipas itu bisa
untuk memenggal leher lawan jika dilemparkan dan akan
melayang kembali ke tangan kita."
Suto Sinting cepat alihkan pandang kepada Rara


Santika. Perempuan itu tertegun sejenak. Kemudian ia
mengeluarkan kipasnya dari balik jubah.
"Seperti inikah kipas pusaka yang kau cari itu?!"
"Naah...! Benar! Itu dia yang dinamakan pusaka
Kipas Dewi Murka. Memang itu bendanya!"
"Dari mana kau dapatkan kipas itu?" tanya Suto
kepada Rara Santika.
"Ketika pulang dari Pulau Sumbing, aku diberi kipas
ini  oleh  Eyang Resi Dirgantara. Tapi dia tidak
menyebutnya sebagai pusaka. Dia hanya mengatakan
bahwa aku harus merawat kipas ini sebagai cenderamata
dari beliau. Kipas ini memang punya kesaktian
tersendiri, tapi tak pernah disebut-sebut sebagai pusaka.
Kadang dulunya sering digunakan untuk berkipas-kipas
Eyang Resi Dirgantara jika dalam keadaan kegerahan."
Resi Pakar Pantun berkata, "Kalau begitu, jelas sudah
si Dirgantara mewariskan senjata itu kepada Rara
Santika! Siapa pun yang bermaksud merebutnya, berarti
hatinya serakah dan membuka permusuhan dengan Rara
Santika!"
Terbayang Rara Santika tadi menyelamatkan
nyawanya, Nini Kalong akhirnya berkata dengan lesu.
"Agaknya memang kemujuran tidak jatuh pada
diriku, melainkan pada diri Rara Santika. Kalau begitu,
jagalah kipas pusaka itu baik-baik dan jangan sampai
jatuh ke tangan orang sesat beraliran hitam. Karena aku
sendiri sudah tidak lagi mau mengikuti aliran hitam!"
Pendekar Mabuk masih diam terbengong dan sesekali
geleng-geleng kepala. Ternyata pusaka yang dicari-cari

dan dipertarungkan sejak tadi sudah ada di sampingnya.
Merenungi hal itu, Pendekar Mabuk tertawa sendiri dan
membuat alam seakan ikut berseri mengagumi
ketampanan Suto jika sedang tersenyum geli itu.

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar