Serial Pendekar Mabuk 096 Tawanan Bermata Nakal

ANGIN bertiup menuju ke timur, sementara awan hitam menggantung di langit barat. Hembusan angin itu membuat rambut pan|ang sepundak tanpa ikat kepala itu meriap-riap bagai ingin terbang dari kepala si pemuda tampan.
ANGIN bertiup menuju ke timur, sementara awan hitam menggantung di langit barat. Hembusan angin itu membuat rambut pan|ang sepundak tanpa ikat kepala itu meriap-riap bagai ingin terbang dari kepala si pemuda tampan.

Pemuda tampan berbaju buntung coklat dengan celana putih kusam dan menyilangkan bumbung tuak di punggungnya itu sengaja berhenti di perbatasan desa tersebut. Pemuda yang tak lain adalah si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang bernama Suto Sinting alias Pendekar Mabuk itu tertarik pada seorang pengemis kecil yang duduk di bawah pohon.

Pengemis kecil itu berusia sekitar tiga belas tahun. Badannya yang kurus dlbungkus pakaian biru lusuh, seperti jeans belel. Bajunya tanpa lengan tanpa" kancing, celananya cingkrang, tinggi tidak panjang tidak sebatas lutut lewat sedikit Bajunya mempunyai empat tambaian, celananya dihitung hitung ada enam belas tambaian.

Semua kain penambal berbeda wana. bulu dan celananya memang serba tambalan, hanya mulutnya yang tidak ditambal. Karena itulah maka mulut pengemls kecil Itu nyerocos terus, memohon belas kasihan dengan kata-kata dil'agukan dalam irama mirip dangdut.

"Kasihanilah daku..-.

Bapak. Ibu. Kakek, Nenek, dan keturunannya....

Daku ini orang tak punya, duhai"

Ada nasi makan nasi. ada singkong makan

singkong, ada rampok makan ayam....

Mohon belas kasihan.... Bapak, ibu, Kakek, Nenek, dan keturunannya....

Beri daku sedekah aia kadarnya....

Yang penting cukup untuk makan sebulan,

duhai... Bapak, ibu, Kakek, Nenek, dan

keturunannya.... Siapa memberi akan masuk surga....

Yang tidak memberi masuk penjara....

dunai... Bapak, ibu, Kakek, Nenek, dan

keturunannya... "

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum Setelah menyimak permohonan belas kasihan yang ditembangkan itu. ia tersenyum bukan karena punya ide ingin iadi pengemis juga, namun karena merasa unik melihat pengemls kecil melantunkan tembang bersyalr lucu.

Pengemis berambut kucai warna merah jagung dan berkulit hitam kusam itu sempat melirik Suto Sinting. Hatinya berharap mendapat sedekah dari seorang pemuda tampan. Maka permohonannya dalam tembang pun lebih diperbanyak dengan suara agak keras.

"Kasihaniiah daku....

Duhai, Bapak, ibu, Kakek, Kangmas, dan

 keturunannya.... Badanku kurus bukan karena cacingan,

Bapak, ibu, Kakek, Kangmas, dan keturunannya....

Badanku kurus karena bakat, Kangmas....

Bakat [adl pengemis muda....

Duhai, Bapak, ibu, Kangmas, dan keturunannya.--."

Akhirnya Suto mendekati pengemis kecil itu. SI pengemis pandangi wajah Suto dengan mata sayu, seakan penuh harapan untuk mendapat sedekah dari si walah tampan itu. Ternyata Suto Sinting memang mengambil sekeping uang yang ada di selipan Ikat pinggang kain merahnya itu.

"Kau memang pengemis kecil yang berbakat.

Suaramu enak juga didengar sambil tiduran."

"Terima kasih, terima kasih, Kakang"

Yang kubutuhkan bukan pujian tapi makanan,

Kakang" Kalau tak ada makanan uang pun jadi,

Kakang... Tak ada uang, baju pun jadi, Kakang"

Kalau tak ada baju, celana pun jadi,

Kakang..."

Sambil tertawa kecil Suto berkata, "Kalau celanaku kuberikan padamu, lalu aku pakai apa"!

Bisa  masuk angin, Dik" Kata nenek dan para sesepuh kakang ...

Masuk angin itu lebih baik daripada masuk

neraka, Kakang" Aduh lapar, lapar, lapar perutku, Kakang"

Jika tak punya uang jangan bercanda denganku, Kakang?"

Pengemis kecil itu selalu menjawab dengan tembang. Kata-katanya mengandung kelucuan sederhana yang cukup menghlbur hati sl Pendekar Mabuk. Maka, sambil tertawa pelan. murld sinting si Glla Tuak itu berkata lagi kepada pengemis kecil bermata sayu.

"Aku akan memberimu uang, tapi sebutkan dulu

namamu." "Menurut silsilah para raja"raja. Kakang...

Hamba yang hina ini diberi nama Baruna

Widyatama" Tapi karena mirip nama perusahaan; Kakang...

Maka nama Baruna Widyatama diganti Badrun,

Kakang?"

Tawa Suto terdengar iagi seperti orang menggumam pelan. Ia masih menimang-nimang uang yang terhitung besar untuk ukuran perekonomian dl kala Itu. Si pengemis kecil bermata sayu tampak melirik terus dengan. hati-tak sabar. Tempurung yang sejak tadi ditadahkan ke depan itu sengaja diarahkan mendekati tangan Suto Slnting.

"Satu iagl pertanyaanku untukmu, Badrun. Kalau kau bisa, uangku ini akan kujatuhkan ke tempurungmu. Jawablah tak perlu pakai-tembang'lagl.'!

Badrun sangat ngiler mellhat uang sebanyak itu. Kira"kira kalau dlkurskan pada zaman sekarang uang itu Ibarat selembar lima puluh ribuan yang berwarna biru abu-abu itu. Suto memang mempunyal tiga keplng uang masing-masing senilai lima puluh ribu untuk uang sekarang. Ia habis mendapat hadiah dari seorang lurah., karena berhasil selamatkan nyawa anak KI Lurah. yang tenggelam di sungai.

Jiwa sosial Pendekar Mabuk membuatnya tak merasa sayang memberrikan satu keping uang senilal itu kepada seorang pengemis. Apalagi Ia menaruh beias kasihan kepada pengemis kecil tersebut.

Tembangnya membuat hati Suto terharu, namun juga merasa senang bisa bertemu dengan Badrun. Suto Sinting sendiri tak tahu mengapa hatinya menjadi senang ketika menyimak suara tembang bocah tersebut. Yang jelas, ia justru punya minat untuk menjadi sahabat si pengemis kecil.

"Apa yang ingin kau tanyakan. Kang?" tanya Badrun, matanya sebentar-sebentar melirik ke uang yang ditlmang-timang dl tangan Pendekar Mabuk Itu. "Apakah kau punya tempat tinggal"!"

"Punya, tapi hanya sebuah gubuk reot, Kang. Itu pun kalau ada angin kencang bisa ambruk!"

'Bolehkah aku bermalam di gubukmu?"

"Boleh saja, Kang. Tapi cepat jatuhkan uangmu ltu ke tempurungku, Kangl"

'Balkiah," ujar Suto sambil tersenyum, dan uang pun dijatuhkan ke dalam tempurung. Kliting...l Wa|ah si pengemis kecil Itu tampak girang sekali, kedua mata sayu nya menjadi lebar dan seakan melihat surga di depan mata. Ia buru-buru mengambil uang itu dan memasukkan dalam selipat ikat pinggangnya yang terbuat dari kain kuning itu.

"Terima kasih, Kang! Terima kaslh!" ucapnya dengan ceria sekali. 'Kaiau memang kau lngin...," Badrun hentikan kata, karena dilihatnya ada tiga orang berpakaian bagus hendak memasuki perbatasan desa.

"Ssst..., Kang, menjauhiah dulu. Ada tiga nasabah mau lewat."

"Nasabah itu apa?"

"Nasibnya selalu bertambah!"

 "Bertambah kaya atau bertambah miskin?"

"Yaaah, tergantung cuaca. kang -.. ..... ..-.. menyingklrlah dulu, Kang"."

Sambil tersenyum geli Suto Sinting yang selama ini pusing dengan urusan pertarungan, sengaja menyempatkan diri untuk mellhat aksi pengemis kecil sebagal hlburannya. la menjauh, duduk di atas sebatang pohon yang sudah lama tumbang.

Pohon  tumbang Itu ada di seberang jalan perbatasan desa tersebut. Di sana ia menenggak tuaknya tiga teguk.

Tiga orang berpakaian mewah itu sepertinyam para saudagar atau pejabat istana yang hidupnya berkecukupan. Masing-masing menunggang kuda yang berpelana bagus. Lebih bagus pelana'kuda ketimbang pakaian si Badrun.

Kuda yang berjalan santai seperti malas-malasan Itu akhirnya berhenti di depan Badrun ketika Badrun serukan tembangnya. Ketiga orang berusia sekitar lima puluh tahun itu sailng pandang seben tar, kemudian sama"sama menatap Badrun. Wajah si pengemis kecil itu kian dibuat murung sedih dengan mata semakin sayu.

"Berilah sedekah kepada anak yatim piatu"ini....

Duhai, Tuan"tuan yang terhormat, yang gagah

dan perkasa.... Hamba sudah lama tak makan nasi...-

Kecuali panggang ayam dan gulai sapi....

Kasihaniiah hamba yang hina ini....

Duhai, Tuan-tuan yang terhormat dan punya

pangkat.... Sedikit sedekah dapat membuat harta makin

berlimpah.... Tanpa sedikit sedekah nanti malah Tuan dapat

musibah".

Salah seorang yang berpakaian kuning mengkllap itu berseru dengan nada membentak.

"Hei, kau mau minta sedekah atau mau menyumpahi kami"!" '!

"Mohon ampun seribu ampun, Tuan,...

Bukan maksud hamba mengutuk nasib orang....

Tapi syair memang tersusun begitu, dan....

Yang penting bukan syairnya. tapi sedekah-

Duhai Tuan-tuan yang terhormat dan anti

melarat-.."

Suto Sinting hanya senyum-senyum saja dari kejauhan. Matanya memang tidak tertuju langsung ke arah Badrun, tapi perhatiannya terpusat ke sana.

Telinganya menyimak suara tiga penunggang kuda & yang terdengar samar-samar dari tempatnya.

"Sebaiknya kita tanyakan pada dia. Siapa tahu dia mengetahuinya!" usul yang berpakaian merah bergaris-garis biru itu. Kejap kemudian, orang yang

berpakaian kuning itu berseru kepada Badrun tanpa turun dari kudanya. "Hei. Bocah gembel...! Apakah kau melihat gadis penunggang kuda putih lewat sini"!"

"Kasihanilah hamba yang nista ini....

Duhai, Tuan"tuan yang terhormat dan salah

alamat.... Sedikit sedekah dapat perpanjang umur

hamba.... Duhai, Tuan-tuan terhormat dan tersesat...."

Yang berpakaian hijau muda mengkilap itu membentak dengan mata melotot dan kumis dipelintir kuat-kuat.

"Hei, budek kau, yar"! Jawab pertanyaan tadi. Apakah kau melihat seorang gadis menunggang kuda putlh lewat jalanan ini"!"

"Aduh lapar, lapar, lapar perutku....

Segenggam nasi dapat menjadi petunjuk tak

basi.... Sekeping uang dapat menjadi bahan

penerang...."

Badrun tetap ngotot Iantunkan tembang benrisl syair permohonan. ta bagai tak mau dengar pertanyaan ketiga orang berkuda Itu. Salah seorang dari mereka akhirnya turun dari punggung kuda dan hampiri Badrun. Orang berpakaian merah garis-garis biru Itulah yang hampiri Badrun dan menendang tangan Badrun. Plak...l Weeers...l

Tempurung penadah uang terlempar akibat tendangan itu. Badrun ketakutan dan duduknya bergeser mundur. Pendekar Mabuk masih tetap di tempatnya, namun sudah mulai siap-slap lakukan sesuatu jIka orang-orang itu bertindak lebih kasar lagi kepada Badrun.

'Apa kau benar-benar tuli, hah"!" bentak sl baju merah garis-garis biru. "Jawab pertanyaan kami tadi. Jangan hanya bisa minta-minta terus! Kalau kau tak mau menjawab, kami tak akan segan"segan menghajarmu, karena kami tak mau kau permalnkan dengan syair-syairmu itui'

Badrun merapatkan badan ke pohon, ia masih duduk meringkuk dengan wajah penuh ketakutan. Orang berpakaian merah garis-garis biru yang menyandang pedang besar bersarung emas di pinggangnya itu mengulang pertanyaan tadi.

"Kau tinggal menjawab ya atau tidak! Apakah kau melihat seorang gadis menunggang kuda putih lewat jalanan tni"l Ya, atau tidak"l'

"Kalau Tuan bisa jawab tebakanku, aku akan jawab pertanyaan Tuanl' ujar Badrun dengan nada lumrah, namun tak berani dilamplaskan jelas-jelas.

'Turuti saia permintaannya asal bukan uangl" seru yang berpakaian hilau dari atas kudanya.

"Baik. Asal iangan minta uang, akan kuturuti apa"kemauanmu! Apa tebakanmu"!"

"Kalau Tuan tak bisa menjawab, Tuan akan celakal"

'persetanl Apa tebakanmu, lekas sebutkanl' bentak st baju merah garis"garis biru.

Badrun tempelkan kedua telunjuknya di pelipis. Ia memejamkan mata sebentar, kemudian mata terbuka bersama suaranya terdengar ajukan tebakan

"Mana yang lebih hebat: matahari atau rembulan"!"

Sl baju merah garis-garis biru menggeram jengkel. ia segera menatap kedua temannya yang masih tetap di atas kuda. Kedua temannya sunggingkan senyum sinis menyelekan. Si baju merah garis-garis biru akhirnya menjawab tebakan itu sambil me natap Badrun dengan mata garangnya.

"Jelas lebih hebat mataharil Dia lebih besar dan lebih panas." "Salah" ujar Badrun tegas sambil berdiri pelan-pelan.

' Yang berbaju hijau Ikut ngotot. "Hebat matahari! Dia punya daya panas lebih tinggi dari rembulan!"

"Salah!" Badrun makin mene'gaskan.

Yang berpakaian kuning pun menimpali, "Bocah ' bodoh! Rembulan dan matahari itu ieblh hebat matahari. Tenaga matahari bisa untuk membakarmu, Tololl' ' .

"Salahl' ujar Badrun sambil bernada ngotot juga. Lalu sambungnya lagi.

'Rembulan dan matahari lebih hebat rembulan. Karena rembulan bisa menerangi malam, sedangkan matahari tak pernah bisa menerangi malaml'

"Konyol! Hajar saia bocah itu!" seru yang berpakaian hijau. Si baju kuning segera turun dari pu nggung kuda. ; "

Tapi kejap berikut si baju merah garis"garis biru itu tersentak dengan tubuh membungkuk. Tiba-tiba mulutnya terbuka dan suaranya menyentak keras.

"Hooeeek...!" Orang itu memuntahkan darah segar cukup banyak. Kedua temannya tertegun kaget memandang keadaan seperti itu. Si baju merah garis-garis biru ingin kembali ke kudanya, tapi Ia memuntahkan darah lagi.

"Hoooeek...l Hoooeeek...i"

'Kenapa kau, Jalagina"l' tanya si baju kuning segera memapahnya. "Dadaku terasa, hooeek...i Hoooeek...l'

Si baju hijau segera turun dari kudanya. ia Ingin  ikut memapah si baju merah garis-garis biru itu. Tapi  tiba"tiba langkahnya terhenti dan ia sendiri memuntahkan darah segar cukup banyak.

"Hooeeek...l Hoooeeeekk...l'

'Apa yang terjadi Ini"!" seru si baju kuning dengan terheran-heran. 'Kenapa kalian sampai begini" Apakah... hoooeeek...i"

Sl baju kuning juga memuntahkan darah segar cukup banyak dari mulutnya. Ia terbungkuk"bungkuk karena sesuatu mendorong lsl perutnya untuk keluar semua, namun dalam bentuk darah segar.

"Hoooeeek...!' "Huuuueeeaaak...! Huuueeaak...i"

'Hoooook... hooook... hooeeeek...."

Pendekar Mabuk terperanjat sekali dan menjadi tertegun di tempat. ia berdiri seketika pada waktu sl baju hijau memuntahkan darah segar. Dalam benak Suto segera teringat kata"kata Badrun, bahwa mereka akan celaka jika salah menjawab tebakannya.

"Apakah celaka seperti itu yang dimaksud Badrun"!" gumam Suto dalam hatinya. "Apakah muntah darah mereka disebabkan salah menjawab tebakan"! Ah, mana mungkin salah menjawab tebakan bisa bikin muntah darah separah itu"!"

Ketiga orang itu tampak lemah dan berwajah pucat pasl seperti mayat. Darah mereka banyak yang keluar. Mereka tak mampu lagi meiangkah. Sisa

tenaganya dipakai untuk naik ke punggung kuda. Itu pun mereka masih terus-terusan memuntahkan darah segar. Ketiga orang itu akhirnya kembali ketempatnya.Tak jadI lanjutkan perjalanan masuk desa.

Mereka menunggang kuda sebisanya sambil sesekaii muntahkan darah dari mulut. Suara 'hoek-hoek' masihterdengar sekalipun mereka sudah cukup jauh.

Pendekar Mabuk segera hamplrl Badrun dengan wajah penuh keheranan- Badrun yang sudah mengambil tempurungnya itu masih memandang kepergian ketiga orang kaya Itu sambil 'sungglngkansenyum sinis. "Ada apa dengan mereka, Badrun" Suto Sinting berlagak tidak tahu nasib ketiga orang itu.

"Mereka muntah darah, Kang."

"Mengapa bisa muntah darah begitu"!"

"mereka saiah menjawab tebakanku!"

Pendekar Mabuk makin kerutkan dahi, mencoba memahami maksud pengemis konyoi itu- Tapi beberapa renungan tidak membuat Suto mengerti maksud kata-kata Badrun. Sebelum Sute ajukan tanya, Badrun sudah bicara lebih dulu.

"Kalau mereka tidak segera tertolong, mereka dapat mati kehabisan darah. Darah Itu tidak akan berhenti dan akan terkuras sampai habis."

"Maksudku... maksudku mengapa mereka sampai muntah darah hanya karena salah menjawab tebakanmu"!"

Badrun tarik napas dan sedikit tundukkan wajah, pandangi tempurungnya. Suaranya terdengar ilrlh dan membuat Stilo Sinting makin mendekat.

"Mereka bermaksud jahat padaku, jadi terpaksa kugunakan Ilmu 'Kedung Getih', daripada aku yang celaka mendingan mereka yang celaka.'

"ilmu apa..."!" Suto klan kerutkan dahi dekatkan teiinga. "llmu 'Kedung Getlh'. Kang. Hmm... hmmm...sebenarnya kalau yang dua tidak ikut menjawab tebakanku, kedua orang itu tidak akan terkena iimu 'kedung Getlh'-ku. Tapi karena mereka ikut menjawab dan jawaban mereka salah, maka mereka ikui-Ikutan muntah darah."

Pendekar Mabuk tegakkan badan. Memandang ke arah kepergian ketiga orang tadi. Hatinya diilputl kesangslan, antara percaya dan tidak mendengar

pengakuan Badrun itu. Karena baru sekarang Suto sintng menemukan ilmu aneh seperti yang dikatakan Badrun. Pengakuan itu seperti sebuah canda, itu iebih tepatnya mirip orang main-main. Tapi kenyataan yang diiihat Suto membuat hati menjadi' ragu-ragu. "Katamu tadi, kau Ingin ikut bermalam di gubukku, Kang?" Badrun alihkan pembicaraan.

"Hmmm, ehh... iya," lawab Suto mengggeragap karena segera sadar dari lamunannya. "Tapi... tapi  aku ingin tahu dulu tentang ilmu 'Kedung Getih' Itu.

“Apakah kau bersungguh sungguh"!"

"Kugunakan jika dalam keadaan diriku terancam bahaya saja, Kang. Karena begitulah pesan mendiang kakekku."

"Mendiang kakekmu. Apakah ilmu itu dari kakekmu?"

Badrun anggukkan kepala. "Kata mendiang ayahku, Jika Kakek sudah mati, maka llmunya akan menitis padaku. Semasa kakek masih hldup dulu bllang begitu padaku, tapi waktu itu aku masih kecil. Masih usia enam tahun, jadi masih tidak percaya dengan kata-kata Kakek. Tapi aku sering melihat Kakek memberi tebakan kepada lawannya dan lawannya muntah darah lika tidak bisa menjawab tebakannya."

"Aneh..."!' gumam Suto Sintlng sambil masih berkerut dahi, pandangan matanya dilemparkan kearah lain. "Tentang gadis penunggang kuda yang ditanyakan mereka itu saja sudah meniadl bahan pertanyaan dalam batinku. Jawabannya belum kutemukan, sudah harus dibuat heran lagi dengan ilmu 'Kedung Getih' itu"!"

Maka Suto Sinting pun bertanya kepada Badrun, "Tentang gadis penunggang kuda putih itu bagaimana" Apakah kau memang melihat gadis Itu lewat jalanan lnl atau tidak"! Mengapa kau tak mau' menjawab pertanyaan mereka?"

"Kang," ujar Badrun pelan, suaranya agak berbisik. "Kalau mau tahu tentang itu, sebaiknya kita blcara di rumahku saja. Kau tak perlu keluarkan uangsewa kamar lagi. karena memang rumahku tak punya kamar."

Pendekar Mabuk seperti dipaksa untuk tersenyum. Maka yang keluar adalah senyuman canggung dlbayang-bayangl rasa penasarannya.

***

2

DESA itu bernama Desa Bumireja. Sebuah desa yang subur dan padat penduduknya, nyaris menyerupai sebuah kota. Bahkan menurut keterangan Badrun, desa itu'rneniadi pusat perdagangan palawlja dan rempah-rempah.

"Desaku ini masih termasuk wilayah Kadipaten  Buranang lho, Kang," ujar Badrun saat mereka melangkah menuju rumah pengemis kecil itu.

Pendekar Mabuk sedikit terperanjat, karena Ia  pernah dengar nama Kadipaten Buranang. Ia pernah kenal dengan putri sang Adipatiyang manja itu: Dianti Anggraini. Kabar terakhir yang diterima Suto dari Sawung Kuntet, sang putrl'adipati telah diantar sampai ke istananya dengan selamat. Suto jadi lega mendengarnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bibir Penyebar Maut").

"Apakah tiga orang kaya tadi adalah orang Kadipaten Buranang?"

"Kurasa bukan. Kang. Kalau mereka pejabat atau saudagar yang menetap di pusat kota kadlpaten. mereka tidak akan bertindak semena –mena begitu. Kurasa mereka orang dari Kadipaten Lohmina."

"O. ada dua kadipaten?"

"i

Iya, tapi letaknya berjauhan. Batas Kadipaten Buranang adalah Pegunungan Nagasari itu, Kang!" sambil Badrun menuding pegunungan yang tampak  panjang melluk-Iluk mirip badan naga itu.

"Seberang pegunungan itu sudah menjadi wilayah Kadipaten Lohmina: tutur Badrun menjeiaskan bagai pemandu turis. "Kalau yang itu gunung apa namanya, Badrun?"

"0, itu namanya Gunung Batari"

"indah sekali dipandang dari sini. Seperti bentuk mahkota alam."

'indah tapi... tapi cukup berbahaya itu, Kang."

"Berbahayanya kenapa" deSak Suta semakin ingin tahu. "Pokoknya bahaya." jawab Badrun seakan malas memberi penjelasan panjang-lebar. Suto Sinting pun tak. terlalu tertarik untuk mendesaknya, karena matanya segera pandangi lalu-lalang para penduduk desa itu. Mereka tampak rajin bekerja dan punya gairah hidup cukup tinggi.

Suto menyukai semangat hidup yang tampak dari wajah wajah para penduduk desa itu. Ternyata bukan hanya Suto Sinting yang memandang kagum terhadap semangat hidup para penduduk desa, tapi para penduduk desa pun memandang kagum terhadap kehadiran Suto Sinting.

Sebagai orang asing yang punya wajah tampan, tubuh kekar, gagah perkasa, sudah tentu menjadi pusat perhatian mereka. baik secara terang"terangan maupun secara gelap-gelapan.

Mata kaum wanita selalu sempatkan metirlk ke arah Suto, baik yang muda, tua, atau sudah berstatus nenek sekalipun. ada yang-mellrlk sambil dari balik pohon, ada yang menatap darl'.bailk jendela rumahnya, ada yang memandang dari sela"sela jemuran. ada pula yang memandang dari belakang punggung suaminya. Menyadari hal itu, Suto menjadi rlslh sendiri.

Badrun pun disuruh mempercepat langkahnya. Tetapi bocah itu justru memperlambat langkah karena ia merasa bangga bisa berjalan dengan pemuda gagah dan tampan bak seorang ksatria, Menurut Badrun. di desa itu tidak ada pemuda yang segagah dan setampan Suto.

Maka ketika tiba di rumah gubuknya Badrun, Suto buru-buru masuk ke dalam. ia terpaksa merundukkan kepala karena atap rumah itu pendek, pintunya lebih pendek lagi"

"Wah, kalau begini caranya bisa-bisa keluar dari rumah ini bentukku berubah esseperti  udang. Bungkuk' gumam Suto Sintlng sengaja agak- keras supaya dtdengar Badrun.

"Ya, begini inilah gubukku, Kang. Kalau kau suka silakan bermalam di sini. Kalau tak suka, silahkan ajak aku pindah ke rumah yang bagus," kata bocah itu sambil cengar-cenglr. '

Rumah itu memang menyedihkan. Dindingnya terbuat dari papan yang tambal-tambal tak karuan.

Selain beratap pendek, juga miring ke kanan. Sepertinya sekali disapu angin setengah badai, rumah itu akan roboh tanpa ampun lagi.  seperti apa kata Badrun tadi, rumah beratap rumbia itu tak punya kamar.polos tanpa penyekat

Tempat tldumya dari dipan bambu yang sudah reot. Satu kakinya disambung dengan kayu lain hingga posisinya agak miring. Meja kursinya dari kayu papan yang dibuat asal jadI. Di tengah ruangan ltu ada meja lebar, berkaki rendah.

Meja itu dikelilingi tikar pandan yang sudah butukan. Orang yang akan makan di meja itu harus duduk berslla, atau melonjor ke samping. Tak bisa melonior ke depan, karena meja itu menyerupai kotak tanpa kolong. Dua kursi kayu reot ada di samping dipan, satu kursi lagi ada dl sudut. Sudut itu adalah dapur yang mempunya! tungku berabu tinggi, dekat dengan pintu menuju ke halaman belakang.

Tapi halaman belakang hanya secuil tanah yang cukup untuk kamar mandi dan WC saja. Bahkan untuk menanam pohon cabe saia harus diperhitungkan masak-masak letaknya.

Suto tak betah berdiri dI dalam rumah tanpa jendela Itu. Karena ia tak betah harus membungkuk terus. Maka ia memilih duduk di tikar yang mengelilingi meja rendah tersebut.

"Benar"benar menyedihkan. Lebih bagus kandang kebo daripada rumah lnl," pikir Suto Sinting sambil matanya memandang sekeliling.

Badrun menutup pintu rumah, karena petang mulai datang.

"kang, aku punya teh seduh. Apakah kau mau minum teh seduh?"

'kaiau aku menjawab salah, bisa celaka apa tidak ."

Badrun tertawa kecii. "ini pertanyaan biasa kok, Kang. Bukan tebakan 'Kedung Getlh'. Jangan takut menjawab salah," ujar si bocah.

'Aku minum tuak saja," jawab Suto sambil sedikit mengangkat bumbung tuaknya.

"Wah. tak balk terlalu banyak minum tuak, Kang. Sedlklt saja. Sisanya blar kuminum."

Suto tertawa pendek. "Ambil cangkir dan kita minum tuak bersama."

Badrun kegirangan, lalu segera mengambil cangkir keramik yang sudah rusak tepiannya. ini cangkir apa takaran beras"i" gumam Suto Sinting. membuat Badrun tertawa malu.

Sambil menikmati minuman tuak memakai cangkir-cangkir sompai Itu, Suto Sinting sempat pandangl lagi barang-barang yang ada di rumah Itu. Semuanya memang serba rombeng. Satu pun tak ada yang laku dijual.

"Sebenarnya pintu rumah ini tak perlu kau ganjal dengan palang pintu. Karena aku yakin tak ada pencuri yang mau masuk ke rumahmu lnl, Badrun."

"Siapa tahu ada"!" _

"Pencuri masuk ke sini adalah pencuri yang bernasib siail Apa yang mau dicuri?"

"Siapa tahu yang dicuri diriku sendiri"!'

"Orang mencuri dirimu itu adalah orang buta yang menganggapmu patung keramat."

Tawa mereka meledak bersama di bawah penerangan cahaya iampu minyak. lampu itu berupa mangkuk tembaga yang sudah pietat-pietot, dituangi minyak. Sejumput kapas direndam dalam minyak itu, kemudian ditarik sedikit dijadikan sumbu yang membuat lampu itu menjadi menyala.

"Apakah sejak dulu keluargamu tlnggal di sinl"'

"Ya. Ayahku, ibuku, bahkan kakekku juga dulu menempati rumah ini."

"tak dibangun sedikit pun?"

"Kami tak mampu membangunnya. Dari dulu ya begini ini." "Gliai' gumam Suto Sinting sambil geleng"geieng kepala. 'Rumah kanan-kirlmu bagus"bagus, rumahmu sendiri yang luar biasa bagusnya," sindlr Suto tapi dalam nada bercanda. dan tampaknya Badruntak pernah tersinggung oleh sindiran atau candaan seperti itu. Namun hati Suto sebenarnya terharu meiihat kehidupan Badrun.

"Dengan siapa kau tinggal di rumah ini?" tanya Suto setelah diam beberapa saat.

Badrun tidak langsung menjawab, Ia pandangi cangkir tuaknya sesaat, kemudian baru perdengarkan suaranya agak pelan.

"Aku tlnggal sendirian di rumah inl.'

'Kau tak punya saudara?"

"Punya. Seorang kakak!

"Laiu, di mana kakakmu tlnggal?"

'Tidak di rumah ini."

"Siapa nama kakakmu?"

"Peri-..," jawab Badrun, lalu tertawa kecil.

Suto ikut tertawa walaupun sebenarnya ieiucon itu tidak membuatnya geli. Rasa-rasanya pembicaraan itu tak begitu penting bagi Suto. Ada masalah yang lebih penting dibicarakan, yaitu tentang gadis berkuda putih yang ditanyakan tiga orang kaya itu.

Maka Suto pun menanyakan hal itu kepada Badrun.

"Penunggang kuda putih itu memang kulihat tewat di depanku," kata Badrun. 'Tapi aku tak mau memberi tahu mereka."

"Mengapa kau rnerahaslakannya"'

"Gadis itu adaiah... adalah orang suku Mabayo."

Pendekar Mabuk berkerut dahi. "Suku Mabayo?"!"

"Suku yang hidup di Hutan Maiaikat: tambah Badrun dengan suara pelan, seakan takut didengar orang lain. "Aneh. Baru sekarang kudengar nama suku itu. Lalu, yang dinamakan Hutan Malaikat itu ada dl mana?"

"Di Gunung Batar.' "Hmmm...," Suto Sinting menggumam pelan dan manggut-manggut. Selagi mereka saling terbungkam, suara petang menjadi riuh. Di luar rumah ada keributan. Orang"orang berteriak, sailng menjerit, dan suara bentakan terdengar tak ieIas dari mulut orang yang tampaknya berperilaku kasar. Suara tersebut membuat Suto Slnting bangkit berdiri, namun tak bisa tegak.

" 'Jangan keluar, Kang. Jangan keluar! Tetaplah di sini!" ujar Badrun dengan wajah tegang ]uga. Ia pun ikut bangkit dan memegangi tangan Suto.

"Suara keributan apa itu"!' tanya Suto Sintlng.

Bluuub...! Badrun matikan lampu. Suasana meniadl gelap dan keheranan Suto Sinting bertambah besar.

'Badrunl Drum."! Badrun, di mana kau"?" tangan Suto meraba-raba. Plok...i WaJah Badrun dipegangnya

"Kang, ini wajahku. Jangan diremas'

"Badrun, mengapa lampunya kau padamkan'."

'Biar orang-orang itu tidak mendekati rumah ini!' "Kenapa" Orang-orang siapa"i Katakan. Drun... siapa mereka itu"!"

"Mereka orang-orang iahat, kang" bisik Badrun.

"Apa mau mereka"!"

"Mereka pasti mencari gadis penunggang kuda putih."

"Aneh. Aku harus keluar dan mengetahui apa yang mereka perbuat, Druni'

'Jangan, Kangi Nanti salah-saiah kau dibunuh oieh mereka! Sudah tiga malam ini mereka berkeliaran di desa sini dan pasti mencari gadis penunggang kuda putih. Mungkin sekarang mereka jengkel dan marah"marah pada penduduk, Kang."

Saat si Badrun bicara begitu, Suto sudah melangkah dekati pintu dengan meraba"raba. Lalu la temukan palang pintu dan diangkatnya kayu palang pintu itu.

"Kang..." Kang Suto..."l' Badrun memanggil dengan suara berbisik. rTetaplah di rumah dan kunci pintu! Aku keluar sebentar. Drun' 'Bahaya, Kang' "Kalau ada ketukan pintu empat kali, berarti aku yang mengetuk! Kau boleh buka pintu. Tapi kalauketukan kurang atau lebih dari empat kali, berarti bukan aku yang datang. Kau tak perlu buka pintui"

"Tapi, Kang"."

Krriiieet...! Pintu pun dibuka pelan-pelan oleh Suto. Seakan ia tak hiraukan kecemasan Badrun. Bocah berusia tiga belas tahun itu bermaksud menahan Suto, tetapi ketika Ia sampai di pintu, Suto Sintlng sudah keluar rumah. Mau tak mau Badrun ikut keluar iuga. Ia  sangat mengkhawatirkan keselamatan teman barunya itu. Karena seiama ini. baru Suto Sintlnglah orangnya yang datang ke rumahnya sebagai tamu dan bersikap bersahabat.

'Kang..."! Kakang..." panggil Badrun sambil beriarl-lari kecil mengikuti Suto Slnting.

"Hei, kenapa kau ikut keluar juga"! Sana masuk"

"Kang, kau belum paham betui jaian-lalan di desa ini Kau bisa tersesat jika puiang ke rumahku nanti Sebaiknya aku ikut juga biar nanti pulangnya bisa bersama-sama," kata Badrun seakan Ia merasa bertanggung iawab atas keselamatan tamunya. Suto tak tega untuk menghardik atau memaksanya pulang, akhirnya ia biarkan anak itu ikut bersamanya.

Suasana di luar rumah iebih terang daripada di dalam tadi. Tiap rumah mempunyal iampu penerang jalan. pada umumnya terbuat dari bambu melintang dengan tiga atau empat sumbu.

Keadaan terang itulah yang membuat Suto Slnting melihat seorang lelaki kurus diseret keluar dari rumahnya oleh dua orang berpakaian serba hitam.

"Kang... mereka orang-orang Waduk Bangkal!" bisik Badrun semakin bernada penuh kecemasan dan rasa takut. "Siapa orang-orang Waduk Bangkai itu"!"

"Mereka para pembunuh bayaran, Kang! Mereka ganas-ganas! Sebaiknya kita masuk rumah kembali, Kangl" Badrun menarik-narik tangan Suto.

"Kau berlindung di samping rumah berpagar rendah itu. Aku akan temui mereka sebentar."

"Jangan, Kang! Nanti mereka marah padamu!"

"Sudahlah. sana berlindung di samping rumahitu! jangan mendekatiku seiama aku berhadapan dengan orang-orang Waduk Bangkai itu!"

"Tapi... tapi... tapi hati-hati, ya Kang"!"

"Hmmm! O, ya" siapa orang yang diseret mereka itu"!"

"Wakilnya Ki Lurah! Aduh. kasihan dia.... Soalnya Ki Lurah beberapa hari ini sedang sakit. tak bisa turun dari tempat tidurnya dan...."

"Sudahlah, sana sembunyi!"

"Baik, Kang. Baik...i" kata Badrun masih tetap dengan suara bisik, kemudian ia berlari ke samping rumah tetangganya, bersembunyi di sana.

Matanya memandang tegang ke arah Suto Siming yang melangkah dengan tenang dekati kerumunan orang-orang berpakaian serba hitam itu. Dengan bumbung tuak digantungkan di pundak kanannya, Suto Sinting sengaja berjalan di tengah jalanan tak beraspal itu supaya kehadirannya dapat dilihat jelas oleh orang-orang berpakaian hitam yang jumlahnya sekitar enam orang itu.

Si wakil lurah duduk di tanah dengan ketakutan dikelilingi oleh enam orang Waduk Bangkai. Salah seorang dari mereka memegang cambuk yang segera dilecutkan ke tubuh sl wakil lurah.

Ctaaar...! "Kalau kau tak mau kasih tahu di mana gadis berkuda putih itu, kau akan kuhancurkan dengan cambuk Ini!" bentak orang berkumis yang mengenakan ikat kepala model warok Itu. |

"Sumpah mati. aku tidak tahu tentang gadis itui' ujar si wakil iurah. "Bohong! Kau wakil iurah, pasti menerima iaporan dari anak buahmu bahwa di sini ada tamu seorang gadis menunggang kuda putihi"

"Tidak! Tidak ada laporan. Sumpah! Berani disambar petir seratus kail kalau aku bohongi"

"Paksa dia dengan cambukan supaya mengakui" semak salah seorang dari mereka, maka si pemegang cambuk pun melecutkan cambuknya kembali.

Ctaaarrr...i "Aaaow...|" si wakil lurah memekik kesakitan, mengiris hati orang yang mendengarnya. Sementara itu. keiuarganya yang hanya bisa menyaksikan dengan sembunyi-sembunyi dari balik pintu rumah hanya bisa menangis tanpa berani berteriak meminta tolong pada siapa pun.

Pendekar Mabuk segera berseru sebelum cambuk melecut ketiga kallnya.

'Hentikan...l" Suara itu sangat menarik perhatian mereka berenam. Bahkan para penduduk yang diam-diam mengintai dari beberapa tempat itu juga terkejut mendengar suara Suto Sinting. Mereka tak menyangka ada orang yang berani berseru menyuruh orang-orang Waduk Bangkai menghentikan siksaannya.

"Siapa kau"i Berani-beraninya kau menyuruh kami hentikan tindakan Ini, hah"!" seseorang maju dengan berang dan segera mengangkat tangannya untuk menampar Suto Sinting.

Tapi sebeium tangan orang itu berkelebat menampar, tiba-tiba kaki Pendekar Mabuk melayang cepat dengan gerakan tak terlihat oleh siapa pun.

Wuuut...! Ploook...i Tendangan yang teramat cepat itu membuat mereka terbengong sesaat, karena orang itu tahu-tahu sudah jatuh terkapar dengan napas tersentak-semak bagai sekarat. la jatuh di antara kedua temannya.

Melihat orang Itu terkapar, sl pemegang cambuk menjadi barang. ia maju dengan langkah cepat dan melecutkan cambuknya ke arah Pendekar Mabuk.

Tapi gerakan tangan yang terangkat untuk melecutkan cambuk Itu terhenti. Suto lepaskan junrs 'Jarl Guntur", berupa sentilan bertenaga dalam cukup besar, menyamai tendangan seekor kuda jantan.

Teess...i 'Aaaooh...i" sl pemegang cambuk memekik keras-keras. Sentilan bertenaga dalam itu kenai pergelangan tangan orang tersebut, cambuk pun terlepas, tangan tak mampu menggenggam lagi. Ia terbungkuk-bungkuk dengan tangan kiri pegangi tangan kanannya.

"Aauuh, aauh, aaah... aaaakh...l'

'Serang dia' seru salah seorang memberi komando. Empat orang segera mencabut golok danmenyerang Pendekar Mabuk. Murid si Gila Tuak itu meliukkan tubuh ke sana-sini, melompat dan sempoyongan seperti orang mabuk mau tumbang, namun sebenarnya ia menghindari tebasan dan bacokan golok-golok yang menyerangnya secara serentak itu.

'Hiiiaaaat...l" Wut, wuuuk, wuuuk, wuul, wuuk, wees,weeess...l Tak satu pun sabetan golok mereka ada yang kenal tubuh Pendekar Mabuk. Bahkan tendangan dan pukulan mereka dapat dihindari oleh Pendekar Mabuk dengan gerakan cepat yang sukar dihadangdengan pukulan selaniutnya.

Secara tak sadar mereka berempat semakin mengepung lebih dekat lagi. Pada saat itulah, Pendekar Mabuk lompat ke atas dan memutar tubuh dalam keadaan tegak lurus dengan kedua kaki disentakkan secara beruntun.

Wuuuut. prraaak...l , 'Aaaaow...!" Empat orang itu terpental serempak. Mereka terkena tendangan kaki Pendekar Mabuk secara serempak ]uga. Tendangan kaki memutar bagai baling-baling tadi mengandung tenaga dalam yang membuat dagu mereka pecah, salah seorang rahangny'a remuk. Mereka terkapar mengerang"erang, sementara si pemegang cambuk tadi hanya bisa memandangi Suto Sinting dengan tangan kiri

masih pegangi tangan kanan yang terasa sakit bagaikan patah tulang itu.

"Bawa pulang teman-temanmu! Jangan sekali-kali berani bertingkah di desa ini! Kalau ketuamu tak bisa menerima perlakuanku, suruh dia cari aku. Namaku Suto Sinting! Aku bukan orang desa ini. Tapiaku siap berhadapan dengan plhakmu kapan saja kalian menghendaki diriku! Sekali kudengar kalian mengganggu ketenteraman desa Ini, aku akan datang ke Waduk Bangkai, dan kuhancurkan tempatmu ltui'

Kata-kata tersebut diucapkan dengan tegas, sekalipun sikap Suto tenang, tapi tiap kata yang dilontarkan bagai menggetarkan hati si pemegang cambuk. Nyali orang itu mengkerut bagai kerupuk kena angin.

Dengan menahan rasa sakit di tangan  kanan, ia membantu teman"temannya untuk segerapergi. Bahkan Ia ]uga yang menggotong salah seorang yanig pingsan karena serangan pertama tadi.

'Hei, tunggu"!" seru Suto membuat mereka hentikan langkah dengan cemas.

"Siapa yang mengupah kalian untuk mencari gadis berkuda putih"!"

'iimmm, eeeh, eeh... hmmmm.?"

'Aku minta lawaban yang jujur! Jangan harap ' kau bisa pulang ke Waduk Bangkai kalau tak mau menjawab pertanyaankui' "Hmmm, ehhh... kami hanya diperintah oleh Nyai Ratu." 'Nyai Ratu siapa"!"

Nyali yang sudah teianlur mengkerut mirip celdna kodian habis dicuci itu akhirnya tak berani tutupi rahasia tersebut. Sl pemegang cambuk menjawab dengan pelan. "Nyai Ratu... Ratu Sendang Pamuas.'

Suto Sinting menggumam lirih dan manggut manggut. Hatinya bertanya"tanya, "Siapa sebenarnya ratu Sendang Pamuas itu"! Mengapa baru sekarang kudengar nama Sendang Pamuas"! Sayang sekali tadi lupa kutanyakan di mana keduduka si Ratu Sendang Pemuas itu!"

Ketika Suto selesai mengobati luka cambuk si wakil lurah dengan meminumkan tuak dari bumbung saktinya itu. ia pun kembali ke rumah Badrun. sekallpun si wakil lurah menawarkan tempat yan lebih nyaman, tapi Suto Slnting tetap memilih bermalam di gubuk reotnya Badrun. Anehnya, tak satu pun dari penduduk desa yang mengetahui siapa Ratu Sendang Pamua Itu. Badrun pun mengaku tak mengenai nama itu dan baru sekarang mendengarnya.

'Setahuku di sini tak ada ratu, adanya adipati " kata Badrun yang membuat Suto akhirnya termenung parljang di rumah kumuh itu.

***

3

SETELAH dua hari tinggai bersama Badrun. bahkan sempat mengobati penyakit Ki Lurah dan beberapa warga setempat, Pendekar Mabuk akhirnya teruskan perjalanan yang sudah direncanakan dalam benaknya beberapa hari yang lalu.

Persoalan gadis berkuda putih itu dapat ditangguhkan untuk sementara waktu, toh orang-orang Waduk Bangkai tidak muncul iagi sejak peristiwa malam itu.

"Setelah dari Bukit Sawan aku akan datang kembali ke sini untuk mencari tahu. siapa sebenarnya garis berkuda putih itu" Mengapa Ki Lurah dan beberapa Warga desa lainnya tak ada yang bisa menjelaskan tentang gadis berkuda putih itu" Aku sendiri jadi sangsi dengan keterangan Badrun. Jangan-jangan anak itu hanya mengarang sebuah cerita supaya aku betah tinggal bersamanya"! Brengsek: Licin juga akal anak itu. Tapi kuakui. ia sebenarnya anak yang cerdas." ujar Suto Siming dalam hatinya.

"badrun, kau mau ikut ke Bukit Sawan?" tidak, Kang. Nanti siapa yang menggantikan pekerjaanku; mengemis?"

'sudahlah, tinggalkan saja pekerjaan itu. Kau bisa kulatih untuk bisa melakukan pekerjaan lain yang mendatangkan hasil juga."

hah. sayang kalau bakat ini tidak terpupuk. Kang." jawab Badrun sambil cengar-cenglr dan membuat Suto Slnting tersenyum geli. '

Maka ketika pagi mulai meninggi, Pendekar Mabuk tlnggalkan desa tersebut. Ia harus teruskan perjalanannya menuju ke Perguruagn Telaga Murka yang berada di Bukit Sawan. Ia ingin temui seora ng ' gadis cantik bak boneka yang menjadi murid perguruan tersebut. Tirai Surga, namanya!

Gadis itu mampu tinggalkan kesan tersendiri di hati Pendekar Mabuk. Rasa-rasanya sulit bagi Suto untuk melupakan Tirai Surga yang berkullt halus lembut seperti kulit bayi itu. Sekalipun Tlral Surga sebenarnya adalah musuh yang nyaris merenggut nyawa Suto Slnting. karena ia adalah utusan dari Nyai Dupa Mayat yang bertugas menjebak dan menangkap Suto, namun pada kenyataannya justru nyawa Suto diselamatkan oleh jubah Tirai ,Surga saat lakukan pertarungan dengan Nyai Dupa Mayat.

Gadis itu sendiri tak tahu kalau orang yang harus ditangkap dan diserahkan kepada Nylal Dupa

Mayat adalah pemuda yang pertama kali dalam sejarah hidupnya memberikan ciuman dan belalaian mesrra. Tirai Surga sudah telanjur dibuai oleh kemesraan': Pendekar Mabuk, sehingga ketika ia merngtetahui bahwa pemuda yang harus ditangkapnya adalah Suto, maka ia berbalik memihak Suto Sinting: ia lebih baik batal mendapatkan ilmu 'Gerhana Senyawa'

ketimbang tak bertemu dengan Suto Sinting selamanya. Mengharukan sekail, (Baca serial pendekar Mabuk dalam episode : 'Dalam Pelukan Musuh').

"Kalau kau mau ke Bukit Sawan, kau harus melewati kaki Gunung Batar itu, Kang," ujar Badrun pada saat sebelum Suto Slnting meninggalkan desa

tersebut. Suto mencatat panduan itu dalam benaknya.

' 'Kang, aku tidak bisa membekali apa-apa," kata Badrun saat ingin ditinggalkan. "Tapi aku punya dua  tempurung. Kalau kau mau, bawalah tempurungku yang satu Ini, Kang. Yang satunya lagi tetap akan kupakai untuk mengemis."

"Kau plklr aku dijalanan akan mengemis"! Pakai bawa-bawa tempurung segala"!" ujar Suto Slnting sambil bersungut-sungut menahan tawa. Ia segera mengusap-usap kepaia anak itu dengan penuh persahabatan.

' "Kau lebih membutuhkan tempurung itu ketimbang aku, Badrun."

"Tapi setidaknya buat tanda mata, lumayan juga, Kang" Siapa tahu di jalan kau butuh tempat untuk minum"!" Suto merasa didesak. Ia tahu, Badrun ingin memberikan tanda kenang-kenangan atas jalinan persahabatan mereka itu. Maka untuk melegakan hati Badrun, tempurung hitam yang tepiannya bengerigi mlrlp tempat menaruh rokok pada asbak Itu akhirnya diterima juga oleh Suto.

Tempurung hitam itu bergambar wajah orang di bagian luarnya. Hasil goresan tangan Badrun sendiri yang dianggap Suto mempunyai nilai seni cukUp lumayan. Suto sempat menertawakan gambar wajah orang yang mirip topeng itu.

"Wajah kakekmukah yang kau gambar di 'tempurung ini?" canda Suto, dan Badrun tertawa penuh keceriaan. "Ada gunanya juga. Bisa pas untuk tutup bumbungku"!" pikir Suto sambil mencoba menutupkantempurung dalam keadaan tengadah ke lubang bumbung. Tempurung itu bagaikan baut yang harus diputar sedikit agar menutup rapat dan kencang.

Membukanya juga harus diputar sedikit. Dengan tutup tempurung itu, tuak yang ada di dalam bumbung lebih terjaga keutuhannya. Tidak mudah tumpah. atau menetes keluar jika bumbung dalam keadaan terbalik sewaktu-waktu.

Perjalanan separuh siang itu terhenti sejenak akibat suara ledakan kecil yang terdengar sampai di telinga Pendekar Mabuk. Ledakan kecil itu berasal dari arah kiri Suto. ia yakin ledakan kecil itu timbul akibat adanya pertarungan adu tenaga dalam.

Pendekar Mabuk adalah orang yang tak bisa melewatkan sebuah pertarungan. Di mana pun ia mendengar suara pertarungan selain diburunya untuk dijadikan tontonan. Bukan sekadar tontonan penghibur hati. melainkan tontonan penambah pengetahuannya tentang jurus-jurus yang ada di dunia persilatan. ia ingin mengetahui keunggulan dan kelemahan setiap lurus yang dimiliki orang lain.

Karenanya, tak heran jika Suto Sintlng pun sedikit membelokkan arah perjalanannya untuk melihat pertarungan apa yang terjadi di sebelah kirinya itu.

"wuut". ..! Dalam sekejap ia sudah berada di atas pohon dengan menggunakan ilmu peringan tubuh ia melompat dari pohon ke pohOn sampai akhimya meiihat dua sosok yang sedang beradu kekuatan fislk tanpa senjata tajam.

Mata terbelalak segar dengan senyum membias tipis ketika Suto menatap ke arah pertarungan dua gadis yang cukup menarik. Bukan jurus"jurus mereka saja yang menarik, tapi penampilan salah satu dari kedua gadis itu juga sangat menarik. Mereka sama sama mempunyai nilai kecantikan yang seimbang, tapi busana mereka berbeda.

Yang satu berjubah putih kekuning"kuningandari bahan kain halus namun mengkilap seperti satin. Jubalmya berlengan panjang itu tidak dik kancingkan, sehingga pakaian dalamnya yang terdiri daribaju buntung warna biru dan celana biru yang juga mengkilap itu tampak jelas. Gadis berjubah putih krem itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun dengan

rambut disanggul asal-asalan, sehingga sisa rambutnya berjuntai ke bawah seperti ekor anak kuda.

Ia bersenjata pedang dl pinggangnya, namun saat itu belum digunakan. Sarung pedangnya dililit kain beludru merah dengan ujung gagang pedang diberi hiasan rumbai"rumbai benang kuning. Sedangkan lawannya justru berpakaian minim.

Penutup dadanya dari serat"serai kulit pohon yang lemas dan tampak kenyal, berserabut seperti rambut. Demikian pula penutup bagian bawahnya dari rumpul-rumput kulit pohon yang menyerupai rambut.

Digunakan hanya menutup bagian terpenting saja. sisi kanan"kiri pinggulnya hanya tertutup tali serat itu. gadis bertubuh tinggi dan seksi dengan dada montok tampak maju ke depan itu tampak seperti orang prlmltll dilihat dari pakaiannya. Tapi ia adalah gadis yang cantik, berhidung mancung, berblblr sensual, mata agak lebar berkesan galak.

Gadis yang berpakaian prlmltif itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun juga, hanya bedanya Ia bertubuh lebih tinggi dari lawannya. Gerakannya tampak lebih lincah dan ilar. Caranya memandang pun berkesan liar. Sekalipun ia mempunyai pedang di punggung, tapi ia belum mau mencabut pedangnya.

Rambut gadis itu panjang sebahu dan keriting kecil-kecil,'tak terlalu kentara keritingnya jika dilihat dari kejauhan. ia mengenakan ikat kepala dari tali halus berwarna putih yang panjangnya melebihi pundak, sehingga dalam setiap gerakannya, tali itu melayang ke sana-sini, membuatnya tampak lebih lincah dan menarik sekali. "

Kulitnya yang berwarna sawo matang bagaikan tahan pukulan dan tahan goresan, karena keliha tan keras bagal tembaga. Setiap bergerak, rumbai"rumbal penutUp dada dan bagian bawahnya menyingkap ke sana"slni, sehingga barang yang ditutupi sesekali tampak sesekali tertutup, membuat hati Pemdekar Mabuk berdeslr dan pandangan matanya menjadi penasaran.

 'Gila! Ini yang namanya kecantikan alami dan kemontokan alami juga," ujar Suto dalam hati. "Justru kalau kelihatan ngablak malahan kurang menarik. Aih, gila! Kenapa mataku tertuju ke sana. Konyol! Jangan, ahi Tidak boleh! Kata orang tua; pamali" sambil hati Suto tertawa sendlrl.

Gerakan si gadis berpakaian rumbai"rumbai itu makin lama semakin tampak liar. ia melompat ke sana-sini mlrlp kera, terkadang menyerupai singa yang sedang mengamuk, ingin menerkam lawannya dengan buas. Ia sering gunakan gerakan bersalto, atau plik-plak dl tanah. Dan hal itu dilakukan dengan cepat, membingungkan iawannya.

Tahu-tahu kakinya menendang telak kenal wajah gadis berjubah putih krem itu. Plook...! Gadis berjubah putih krem menggoyor ke belakang. Sempoyongan! Wajahnya diklbaskan sesaat karena pandangan matanya jadI buram. Dan pada saat Itu pula, serangan si gadis berambut kerltlng halus Itu datang lagi berupa tendangan beruntun.

Piak, plak, plak, best...!

Gadls berjubah krem berhasil tangkis setiap tendangan lawannya. Bahkan Ia segera memutar tubuh dan layangkan tendangannya ke arah kepala ' lawan. Wuuut...! . Plaaak...l Tendangan itu ditangkls juga oleh lawan.

Kejap berikut mereka saling menghantamkan kedua telapak tangan. Wuuut...! Biaarr...l Ledakan keras terjadi akibat benturan dua telapak tangan yang bertenaga dalam itu. Asap mengepul tipis dari kedua telapak tangan yang saling beradu tadi. Klni mereka sarna-sama teriempar ke belakang bagai dihernpas badai.

Si gadis berjubah putih krem jatuh terduduk, sedangkan lawannya hanya terpelanting dan sempo.yongan, namun tak sempat jatuh karena ia segera berpegangan pada sebatang pohon. Klnl jarak mereka menjadi sekitar delapan langkah.

"Boleh juga si gadis hutan itu," ujar Suto Slnting dalam hati sambil perhatikan gadis berpakaian rumbai-rumbai itu. "Gerakannya cukup llncah dan membingungkan. Ia banyak menggunakan gerak tipuan.

Kurasa si jubah putih tak dapat menumbangkannya.  Justru mungkin si jubah putih akan tumbang dalam beberapa jurus lagi. Karena menurutku.?"

Celoteh batin Suto Sinting Itu terhenti karena si gadis berjubah putih telah bangkit dan berseru kepada lawannya.

'Sudah waktunya kita tentukan siapa yang hidup dan siapa yang mati, Sahara!" sambil si jubah putih krem mencabut pedangnya. Sreeet...l

"Akan kulayani kemauanmu, Cindera Giri!" Gadis berpakaian minim itu pun segera mencabut pedangnya dari punggung. Sraaang...l Rupa-nya ia bernama Sahara, sedangkan lawannya yang berjubah putih krem itu bernama Cindera Girl.

Entah orang mana mereka dan apa persoalannya hingga mereka ingin beradu pedang, Suto Sinting masih belum paham. Tapi hatinya sempat cemas. karena sebenarnya Suto tak ingin salah satu ada yang mati.

"Haruskah aku turun tangan melerai pertarungan itu"!" tanyanya kepada hati sendiri. PendekarMabuk sempatkan diri menenggak tuaknya untuk sambil menimbangcnimbang langkah yang akan diambilnya.

Namun Cindera Giri sudah lebih dulu maju menyerang dengan satu lompatan bagaikan terbang.

Sahara tidak hanya diam. Ia pun menyongsong datangnya serangan lawan dengan satu lompatan llarnya.

'Heeaaah...!" . Trang, trang, wuik, wuik, wuuus. traaang...l

' ! Buuukh...l Sahara berhasil menendang perut Cindera Girl. Gadis yang ditendang terlempar sebelum mereka sama-sama daratkan kaki ke tanah. Gerakan adu pedang yang cepat tadi sempat membuat

Cindera Giri kehilangan kontrol keseimbangan, aklbatnya ia mudah terlempar oleh tendangan kaki panjang Sahara. Wuuut...! Brrruk...l Slaaap...l Cindera Girl melintang ke udara secara tiba-tlba. Ujung pedangnya bertumpu dltanah dan melengkung saat ditekan, lalu pedang Itu bagaikan

per yang menyentak dan melemparkan Clndera Giri ke atas. Dengan satu gerakan bersalto, Cindera Glrl berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya dan daratkan kaki dengan tegak di tanah. Tapi serangan dari Sahara datang lagi iebih ganas dan Ieblh liar.

'Hiillaaah...l' Sahara berlari dengan kedua tangan pegangl pedangnya dan siap menusukkan ke arah Cindera Giri. Namun ketika pedang itu hendak sampai ke perut Cindera Giri, tiba-tiba pedang Cindera Girl berkelebat ke depan menangkis pedang iawan. Traang...l

Perpaduan pedang itu memercikkan bunga api sekejap, kemudian tubuh Sahara terpelantlng ke klrl akibat terbawa oleh sentakan pedangnya yang bagai dibuang ke kanan oleh pedang Cindera Girl.

Pada saat Sahara terpelanting ke sebelah klrinya, pedang Cindera Girl berkelebat sambil tubuhnya memutar satu kali. Wuuuut, beeet...!

Craaas...l 'Aaaakh...!" Sahara menjerit keras, punggung dekat lengan kanannya robek terkena sabetan pedang Cindera Girl. ia jatuh berlutut satu kaki sambil menahan sakit. Pada saat itu pula, Cindera Girl melompat ke arahnya dan menghujamkan pedangnya.

Sahara segera berguling mendekati lawan sambil menebaskan pedang ke atas. Traaang...! Pedang Cindera Giri berhasil ditangkis. lalu pedang Sahara berkelebat menebas daiam posisi berlutut satu kaki lagi. Wuuuut, craaas...l 'Aaaakh...!' Cindera Giri tersentak mundur dalam keadaan perutnya robek terkena tebasan pedang Sahara. Darah pun mengalir sebanyak darah dari luka Sahara. "Bangsat kaul' geram Cindera Giri sambil menahan sakit.

'Heeeaaat...l' Sahara menyerang sambil lakukan lompatan ke arah Cindera Girl. Pedangnya dlgenggam dengan dua tangan lagi dan dlhujamkan ke dada lawan. Wuuut...l Traaang...! Sahara terpelanting ke samping kanan, karena tiba"tiba pedangnya bagal ada yang melemparnya dengan batu besar.

Padahal yang mengenai pedangnya hanya sepotong ranting, tak lebih dari seukuran ibu jari. Hanya saja, ranting itu berisi tenaga dalam cukup besar sehingga kekerasannya bisa menyerupai baja dan kekuatan daya sentaknya bisa meleblhi tendangan seekor kuda.

Perbuatan siapa lagi yang melemparkan ranting  itu kalau bukan perbuatan Suto dari atas pohon. Ia sentilkan ranting itu dengan jurus 'Jarl Guntur' sehingga mampu singkirkan pedang Sahara yang nyaris merenggut nyawa Cindera Giri.

Mata Sahara jelalatan, bukan karena lngln melihat pemuda tampan, tapi karena ingin mencari orang yang menghalangi pedangnya dengan ranting berisi itu. ia tak sadar. pencarian matanya itu membuatnya lengah dan Cindera Giri yang masih bertahan dengan lukanya segera menyerang memakai pukulan tenaga dalamnya. Beet...l Seberkas sinar kuning seperti telur mata sapi melesat dari telapak tangan kiri Cindera Girl.

Claaap...! Sinar itu diketahui Sahara sudah terlambat. Hanya ada sedikit peluang bagi Sahara, itu pun tak bisa dengan cara menghindar. Mau tak mau Sahara keluarkan jurus bersinar juga yang keluar melalui kedipan kedua matanya. Blaap...! Dari kedua mata itu keluar sinar merah kecil yang segera menyatu di depan hidungnya dan melesat menghantam sinar kuning. Crllaaap...!

Jegaarrrr...l Sinar jingga berpendar pecah menyebar dalam sekejap. Besar dan lebar. Sinar jingga itu muncul akibat benturan kedua sinar tadi. Gelombang sentakannya sangat kuat. Melemparkan tubuh Sahara

bagaikan boneka tak terpakai. Weess...l Brruuss...!

Ia jatuh terbanting dengan menyedihkan sekali. Tapi masih beruntung karena Ia jatuh di semak"semak Ilalang. Gelombang ledakan itu hanya membuat Cindera Giri terhuyung"huyung ke belakang sejauh delapan langkah, lalu membentur pohon tak seberapa keras.

Posisinya yang jauh dari ledakan membuat Ia tak terlempar seperti Sahara. Ia masih bisa berdiri memandang lawannya walau dengan sedikit membungkuk dan tangan kirinya segera mendekap luka di perut.

"Seru! Sama-sama kuat sebenarnya, hanya tergantung slapa yang lengah lebih dulu," ujar Suto Slnting. Tapi Ia segera tak tega melihat kedua gadis itu berusaha saling membunuh. Karena ketika Sahara keluar dari semak-semak dalam keadaan semp oyongan, ternyata tubuhnya telah tercablk-cabik bagal habis diserang delapan ekor singa bersama delapan belas anaknya.

Tubuh itu rusak berat, mengerikan, dan menyedihkan. Namun Sahara masih bernyawa dan masih bersikeras untuk lanjutkan pertarungannya.

"Wah, ini sudah kelewatan" ujar Suto Slnting dalam hatinya. la geleng-geleng kepala sambil teruskan membatln.

"Sahara bisa mampus! Mampus betul Sahara! Cindera Giri tarnpak masih tangguh walau terluka. Ia tidak separah Sahara. Aku harus bertindak lebih

nyata lagi jika begini keadaannya."

DI lain pihak, semangat Cindera Giri menjadi besar kembali begitu melihat lawannya rusak berat seperti habis terbungkus petasan yang meledak bersama. Dengan jeritan nyaring, Cindera Giri berlari beberapa langkah, kemudian melayang bagaikan terbang. Pedangnya ditebas-tebaskan di bagian depan, membuat Sahara sempat kebingungan melihat gerakan pedang lawan dan kebingungan pula menangklsnya.

Ziaaap...i Edan! Ada bayangan seperti hantu melayang cepat menyambar tubuh Sahara. Tahu"tahu Sahara sudah pindah di tempat lain, sekitar sepuiuh tombak dari tempat Cindera Giri dan pedangnya kecele, tidak berhasil menebas sasaran.

Siapa orang yang menyambar Sahara dalam kecepatan seperti hantu sakit perut itu kalau bukan si Pendekar Mabuk yang rada-rada konyol itu. Cindera Giri terkejut melihat kemunculan pemuda tampan yang belum dikenalnya. Pemuda itu sedang menyangga tubuh Sahara yang miring dalam berdirinya.

Sahara sendiri kaget melihat seorang pemuda tampan berperawakan tinggi gagah sedang menyangga tubuhnya yang nyaris tak kuat berdiri lagi

Itu. Tapi karena ia sibuk menahan rasa sakit, maka kekagetannya itu tak begitu kentara. Ia hanya mengeluh sambil pejamkan mata. _

"Oouh...l' Tubuhnya bertambah memberat dalam sanggaan tangan kiri Suto Slnting. Mau tak mautangan itu makin diperkuat. Bumbung tuak belum

sempat diraih Suto. Masih menggantung di pundaknya.

"Lepaskan dia atau kau ikut kuhancurkan"l" teriak Clndera Giri dengan ancaman yang bukan main-main.

"Hentikan pertarungan Ini!" Suto Slnting berseru, mencoba tampilkan Suara wibawanya. Tapi ternyata tak digubris oleh Cindera Giri.

Sinar kuning seperti telur mata sapi tadi melesat lagi dari tangan Cindera Girl. Pendekar Mabuk segera meraih tali bumbung tuaknya. Dalam sekejap bumbung tuak sudah berada di tangan kanan dan  dlhadangkan ke depan. Tepat pada saat itu sinar kuning datang, lalu menghantam bumbung tuak itu. Teeub...! Eh, sinar kuning membalik arah dalam keadaan lebih cepat dan iebih besar. Seperti telur mata kebo.

Sinar Itu bagaikan batu mengenai karet yang segera memantul balik ke arah pemiliknya.

'Setaaan...!" teriak Cindera Giri memaki sambil lompat ke samping. Sinar kuningnya yang sudah berubah itu melesat melewati bekas tempatnya berdiri tadl dan menghantam sebatang pohon besar.

Blegaaarrr...l Tanah berguncang bagai dilanda gempa. Hawa sekeliling menjadi panas menyengat. Daun-daun  rontok dan menjadi layu. Pohon itu sendiri terbelah menjadi beberapa potong. Salah satu potongan kayu yang Sebesar paha perawan itu menghantam punggung Cindera Giri. Buuukh...i

'Heeekh-..!" Cindera Giri terSentak ke depan  dan jatuh tersungkur dengan napas tak bisa dihela untuk sesaat. Suto Sintlng iatuh ke belakang, karena guncangan tanah membuat keseimbangannya hilang.

Padahal Ia menyangga beban tubuh tinggi seksi milik Sahara. Maka mereka pun jatuh bersama.

Brruuk...! Tubuh Sahara menimpa tubuh Suto Slnting. Gadis yang belum pingsan namun sudah tak  mampu berbuat apa-apa itu hanya mengerang lirih.

'Uuuhhh...!" "Celakal Mungkin sebentar lagi dia akan mati"!" gumam hati Suto Sintlng, ialu ia segera menyingkirkan tubuh penuh luka cablk-cablk Itu.

Suto Slnting sempat memandang ke arah Cindera Giri. Rupanya gadis Itu memuntahkan darah dari mulutnya akibat terhantam potongan kayu pohon tadi. Cindera Giri sedang sibuk Seperti orang ngidam. Kesempatan itu digunakan oleh Suto Slnting untuk buru-buru menuangkan tuak ke mulut Sahara.

Tuak tertuang ke dalam mulut yang ternganga mengerang. Akibatnya, Sahara tersedak, tuak tumpah di sekitar wajah dan dadanya. Tapi Suto agak lega karena yakin ada tuak yang telah tertelan.

'Berbarlnglah dulu! Sebentar lagi lukamu akan sembuh!" ujar Suto Sinting, lalu tinggalkan Sahara.

Ia segera hampiri Cindera Giri yang sedang bergegas bangkit.

'Nona...," baru saja Suto ingin menawarkan tuak saktinya untuk sembuhkan luka, Cindera Giri sudah memotong dengan geram penuh dendam.

"ingat! Lain kali kau akan berhadapan denganku, dan akan kubalas tindakanmu Inil'

'Lho, aku tidak menyerangmu"! Kau yang menyerangku. Cuma sinar kuningmu Itu terlalu rendah kadar kesaktiannya, Sehingga memantul ballk

dan...." "Dlaamm...l" bentak Cindera Giri. Ia menuding Suto dengan pandangan mata menyeramkan.,

"Kau akan kubuat lumpuh seumur hidup jika kita jumpa lagi!" "Jangan begitu, Nona. Aku hanya..."

Blaaass...l Cindera Girl melesat pergi tanpa pedulikah kata kata Suto lagi. Ia mengerahkan tenaga ' penghabisan untuk berlarl' secepat mungkin. SutoSintlng hanya pandangi kepergian Cindera Girl dengan mulut melongo dan garuk"garuk kepala. Wajahmya jadi seperti murid SLB.

***

4

SAHARA kaget meilhat luka-lukanya hliang bersama rasa sakit di sekujur badannya. Ia kebingungan pandangi tubuhnya yang mulus kembali bagal tak pernah terluka sedikitpun. Luka yang hilang dicarinya di sana-sini tubuhnya. Seperti orang kehilangan dompet. Sampai la memutar tubuh, menengok ke pinggulnya. Hmmm... ternyata mulus juga, tak ada cacat atau bekas goresan sedikit pun.

"Karena kau meminum tuakku, maka lukamu mengatup rapat kembali dan... badanmu merasa segar, bukan"!" sambil Suto SIntIng sungglngkan senyum menawan.

Sahara memandang rada tegang. Cepat-cepat pedangnya diacungkan ke arah Pendekar Mabuk dengan mata membelalak garang.

"Siapa kau'sebenarnya"!" bentuknya sambil melangkah maju. Pendekar Mabuk melangkah mundur karena lehernya tak mau tertusuk uiung pedang.

'Hei. aku yang menolongmu! Aku bukan musuh. Sahara!"

"Bohong! Kau pasti mata"mata dari Pantai Dahaga!"

"Pantai Dahaga"! Ooh..., baru sekarang kudengar nama Pantai Dahaga!"

"Dusta' bentak Sahara iagi dengan wajah cantiknya semakin memancarkan keganasan. Pedangnya disentakkan ke depan, Suto tersentak mundur karena hindari ujung pedang yang berjarak kurang dari Sejengkal dengan lehernya.

'Kau Salah paham; Sahara! Aku tadi melihatmu bertarung dengan Cindera Giri. Kuselamatkan kau saat keadaanmu lemah dan Cindera Girl menyerang engan pedangnya. Kalau tidak kau akan mati di ujung pedang Cindera Giri!"

"Memang aku tadi terluka parah, tapi sekarang lukaku sudah hilang dan...."

"Dan aku yang Sembuhkan dirimu, Saharal"

"Mungkin saja. Tapi aku tahu maksud burukmu di balik sikap baik itu!"

Suto Sintlng masih mundur terus sementara Sahara dan pedangnya tetap maju, sampai akhirnya Suto terdesak tak bisa bergerak lagi. Di belakangnya ada batu sebesar rumah Badrun.

Di situlah agaknya Sahara menggiring Suto dan mengancam dengan pedangnya. Ujung pedang lebih dekat lagi dengan kulit leher Suto. 'Jangan lakukan gerakan yang mencurigakan kalau tidak ingin pedangku menembus lehermu, .jahanam"

"Namaku Suto Sinting. bukan Jahanam Sintlng...," ujar Suto sambil sunggingkan senyum yang biasanya membuat hati wanita menjadi lemah. Tapl agaknya ia berhadapan dengan wanita lain daripada yang lain. Gadis itu tetap tegar, galak, dan penuh curiga. Jurus "Senyuman lblis' yang mampu membuat perempuan terglla gila padanya Itu luga tidak mempan diarahkan kepada Sahara.

"Lepaskan bumbung tuakmu!"

"Hei. aku...." 'Lepaskan bumbung tuakmu!" bentak Sahara dengan mata kian mendeiik. Uiung pedang terasa dingin, berarti sudah menempel di pertengahan Ieher Suto.

Agaknya gadis itu tidak main"main denganancamannya. Mau tak mau Suto pun melepaskan bumbung tuaknya. Tangan Sahara terulur ke depan. Bumbung tuak diserahkan ke tangan itu. Sahara menggantungkannya di pundak kirl.

"Jalan ke kiri...!" perintah Sahara sambil ujung pedang sedikit merapat lagi ke leher Suto.

'Gawatl Dia bersungguh"sungguh. Sedikit gerakan yang mencurigakan leherku bisa ditembus dengan pedangnya. Sebaiknya aku mengalah dulu.

sambil kucoba yakinkan bahwa aku bukan mata-mata dari Pantai Dahaga," ujar Suto dalam hati.

"Mau dibawa ke mana aku, Sahara"!" tanya Suto seraya melirik ke belakang, karena sekarang Sahara ada di belakangnya dan ujung pedang gadis itu menempel lekat dl punggung kiri. Jika pedang itu ditusukkan maka akan tembus kenai jantung.

"Mau kubawa ke mana saja Itu urusankul Kau tak perlu tahu. karena kau sekarang adalah tawanankul"

Pendekar Mabuk masih tenang, masih sempat sungglngkan senyum geli mendengar dirinya dianggap tawanan. Suto pun mencoba jelaskan siapa dirinya dengan tetap melangkah, karena ujung pedang Sahara terasa sedlklt mendorong.

Kalau Suto hentikan langkah, maka ujung pedang itu akan menembus ke punggungnya akibat didorong terus oleh pemegangnya. "Saha'ra, kuingatkan sekali lagi, aku adalah seorang sahabat. Bukan musuhmu, bukan mata"mata Pantai Dahaga. Aku dalam perjalanan ke Bukit Sawan untuk jumpai seorang sahabat yang menjadi murid Perguruan Telaga Murka. Lalu kulihat kau bertarung dengan Cindera Giri,..."

"Apakah kau begundalnya Cindera Glri"i'

"0, bukan! Bukan ]uga begundalnya Cindera Giri. Aku"." "Tetap jalani' bentak Sahara memotong kata-kata Suto. Maka perintah itu pun diikuti ketimbang harus ngotot yang akhirnya akan ditembus pedang.

 Tapi pada langkah berikutnya, tiba"tiba Sahara terkelut melihat tawanannya tiba-tiba lenyap tak berbekas. Gadis itu kelabakan. cllngak-cilnguk kebingungan mencari sang tawanan yang sebenarnya

telah menggunakan jurus berlari dengan kecepatan menyamai kecepatan cahaya yang dinamakan jurus 'Gerak Siluman' itu. Zlaaap, zlaaap...l

Tahu-tahu Suto Sinting berada disebelah kanan Sahara dalam jarak delapan langkah lebih. Pemuda itu sengaja berdiri dengan satu tangan bersandar pada pohon dan Senyumnya mengembang penuh kesan ejekan. Sahara menggeram, kemudian segera berlari mengejar Suto Sinting. Wuuus"!

Ziaap, zlaa'ap...l Pemuda tampan yang senyumannya menggoda itu lenyap kembali. Padahal si gadis baru saja tiba di tempat si pemuda tadi berdiri dengan satu tangan bersandar pada pohon. Kini mata si gadis melihat pemuda itu ada di sisl lain, duduk di atas batu seenaknya, seperti orang sedang santai melepas lelah.

'Kuhancurkan kau jika tetap tak mau kubawa ke pengadilanl" geram Sahara, kemudian melepaskanpukulan bersinar merah ke arah Pendekar Mabuk.

Ciaaap...l Zlaaap...| Blaarrr...i Sinar merah itu menghantam batu, sedangkan Suto Slntlng sudah pindah di belakang Sahara dalam [arak tujuh langkah. Bertambah geram hati _Sah ara begitu mengetahui tawanannya ada di belakangny a. Ia pun bergegas memburunya lagi. Tapi sebelum melangkah, tiba"tiba suara Suto Sinting terdengar bagal menggertak.

"Maju selangkah kau mati, Saharal"

Langkah si gadis kekar itu terhenti seketika. Rupanya gertakan yang tak akan dilakukan Suto secara sungguh"Sungguh Itu sudah cukup membuat hati Sahara menjadi waswas. ' "Kalau aku mau lolos darimu, itu adalah hal yang mudah, Sahara! Bahkan kalau aku memang niata -mata dari lawanmu, sudah kubunuh kau sejak tadi.

Jadi sampai sekarang aku tidak melawanmu karena aku Ingin tunjukkan bahwa aku bukan mata"mata dari pihak lawanmul"

"Menyerahiah jika kau bukan mata-mata!!

"Mana mungkin"! Justru karena aku bukan mata-mata maka aku memberontak!"

Sahara dlam, agaknya ia mempertimbangkan sesuatu dalam hatinya, 'Jika aku melawannya dengan kekerasan. kurasa... ilmuku tidak cukup untuk menandinginya. Dillhat dari gerakannya yang luar biasa cepat, dan kemampuannya menyembuhkan lukaku dengan tuaknya ini, maka jelaslah dia berilmu cukup tinggi, dan lebih tinggi dariku. Aku harus menggunakan siasat untuk menawannya. karena agaknya Ia memang mata-mata yang pandai bersandiwara sebagai orang balk-balk."

Pendekar Mabuk mencoba membujuk Sahara dan meyakinkan gadis itu bahwa dirinya bukan seorang mata-mata dari Pantai Dahaga. Tetapi agaknya gadis itu tak mudah dibujuk dan pendiriannya tetap kokoh. "Baiklah kalau begitu kau memang Inginkan aku melawanmu, Sahara! Jangan menyesal jika kau celaka dalam pertarungan denganku nanti!' ujar Suto tegas.

Sahara hanya berpikir, "Celaka! Dia pasti tak  akan Segan-segan membunuhkui Sebelum hal itu terjadi, aku harus gunakan siasat untuk dapat menjeratnya. Tapl siasat apa yang harus kupakai?"

Sambil berpikir demikian, Sahara melangkah ke samping dengan pandangan mata tetap tajam penuh waspada. Namun pandangan matanya itu sempat mellrik'ke arah tanaman rambat yang berakar mlrlp tambang itu.

"Hmm... ada 'Akar Serat Setan". Kalau dia kulkat dengan 'Akar Serat Setan" itu, maka ia tak' akan dapat lolos. Sebab akar Itu jlka dipakai untuk mengikat  akan menjadi tambah kuat apabila orang itu ingin memberontak melepaskan diri dari lkatannya. Akar itu hanya bisa dilepaskan dengan pelan-pelan sekali atau dengan cara dltebas dengan pedang. Tapl... bagaimana aku harus membujuknya supaya masuk perangkap dan dapat menjeratnya dengan akar itu?"

Terdengar suara Suto berseru dari kejauhan.

"Sahara, sekali lagi kulngatkan bahwa aku sebenarnya bukan musuhmu. Aku sedang. dalam perjalanan ke suatu tempat Untuk temui sahabatku, sl Tirai Surga. Kembalikan bumbung tuakku yang menggantung dl pundakmu itu, sebelum aku merampasnya dengan paksa. Tubuhmu akan cedera jika kulakukan perampasan dengan paksa, Sahara."

"Tlral Surga adalah menjadi tawananku juga. Sebentar lagi Ia akan jalan! hukuman gantung!"

"Apaa..."l' Suto Sinting tampak terkejut dengan kedua mata terbelalak. Sahara mulai mendapat angin untuk slaaatnya. 'Jika kau bersedia kutawan, maka kau akan kujadikan satu dengan Tlral Surga sebelum ia dihukum gantung oleh atasankul"

"Slapa atasanmu"!"

"Kau tak perlu tahu! Akan kulkat kau dan kuserahkan kepada atasanku biar dijadikan satu dengan Tirai Surga dalam tawanan nanti." sambll hatl Sahara berkata sendiri, "Aku yakin, Tikal Surga pastl nama seorang gadis, dan mungkin Ia sedang naksir gadis Itu. Padahal aku sendri tak tahu siapa sl Tlral Surgaitu." Pendekar Mabuk sendiri berpikir, "Benarkah Tlrai Surga menjadi tawanannya" Benarkah akan dlhukum gantung?"

Lalu, Suto pun mendekat dalam' jarak lima langkah. "Apa kesalahan Tirai Surga sehingga kau Ingin menghukum gantung sahabatku Itu?"

"Kau bisa tanyakan sendiri padanya setelah dalam satu kamar tahanan nanti!" '

Hati sl pendekar tampan itu pun akhirnya berkata, "Kurasa tak mungkin Tlral Surga menjadi tawanannya. Aku yakin, dia hanya ingin menjebakku saja. Mengapa Ia bernafsu sekail menangkapku"

Aku jadi Ingin tahu siapa dia dan mau dibawa ke mana jika aku sudah diikatnya nanti?"

'Mendekatlah dan berbaliklah ke belakang. Taruh kedua tanganmu di belakang dan aku akan mengikatnya dengan akar ini!". '

Tees...l 'Sahara memotong akar tanaman-rambat dengan pedangnya. Akar itulah yang dinamakan 'Akar Serat Setan", yang akan menjerat semakin kuat jika tangan yang dijerat bergerak"gerak Ingin loIoskan diri. "

Suto Sintlng masih diam memandang sambil hatinya berujar, "Aku benar-benar penasaran padanya. Orang mana sebenarnya dia itu" Apakah dia juga tahu tentang si gadis penunggang kuda putih" Hmmm... baiklah, aku akan berlagak menyerah saja, biar jelas Segalanya bagiku'tentang siapa dia sebenamya. Aku akan penasaran jika sampai tak tahu siapa gadis cantik berperawakan tegar itu. Kurasa  jika sampai terjadi bahaya, aku bisa atas! Sendiri walau kedua tanganku terikat, apalagi hanya diikat dengan akar seperti Itu. Sekali Sentak saja pasti akar itu akan putus!" '

"Sahara," ujar Suto. "Aku bersedia kau tangkap, tapi kau harus berjanji akan membebaskan aku jika kau tak punya cukup bukti dalam peradilan nanti tentang'tuduhan terhadapku tadi. Dan kau pun harus bebaskan Tira! Surga jika benar Ia akan dihukum gantung!" ' "Aku tak punya perjanjian apa pun! Jika kau Ingln bertemu Tira! Surga,' serahkan kedua tanganmu. ke belakang! ! lekas!"

Dengan senyum kaiem, merasa ancaman itu ,terlalu ringan untuk dihadapi, akhirnya Suto Sintlng pun berlagak pasrah. ia memutar balik tubuhnya dan kedua tangannya dibiarkan diikat di belakang dengan akar tersebut.

'Kusentakkan Satu kali, akar ini pasti putus. Dan dia akan tahu bahwa Sebenarnya aku tak akan bisa ditangkap dengan cara apa pun!" pikir Suto Sinting saat Sahara mengikat tangannya.

Suto Sinting tak tahu keistimewaan akar tersebut. Kedua tangannya terikat dan Ia harus berjalan, kedua tangan itu mencoba berusaha untuk disentakkan agar mengetahui seberapa kekuatan akar tersebut. Tapi ternyata akar itu justru semakin kuat menjerat. Suto coba-coba untuk loloskan tangannya, dan jeratan pun terasa kian kuat lagi. ikatannyaterasa mengencang dengan sendirinya, sampai"sampal darah terasa tak mengalir ke telapak tangan.

"Celaka! Kenapa tallnya jadi kencang sendiri begini" Makin aku bergerak makin menjerat lag! Tall akar Ini. Brengsek! Rupanya ia memakai akar yang

aneh untuk mengikatkan! Wah, kacau kalau begini, akar In! tak bisa diputus dengan sekali atau dua kali sentak" Hmmm... biarlah kulkutl dulu apa maunya gadis cantik bertubuh menggairahkan itu!"

Sahara membawa Suto ke arah timur. Mereka akhirnya tiba di tepi sungai. Sungai itu berteplan dangkal dan mempunyai air terjun cukup dingin. Hawa sejuk terasa menyegarkan tubuh, seakan udara panas dl siang nan bolong itu tak dapat melawan udara sejuk di sekitar air terjun tersebut.

"Duduk di situ!" sentak Sahara, dan Suto menuruti perintah Itu dengan sabar. Ia duduk di atas batu setinggi betis dengan kedua kaki melenjor ke depan. Rupanya Sahara masih menyimpan sisa 'Akar Serat Setan', dan kali ini sisa akar itu dipakai untuk mengikat kedua kaki Suto Sintlng.

"Gila! Mengapa kau mengikat kakiku juga"!" ujar Suto sambil pandang! dada Sahara yang dalam posisi agak membungkuk itu.

"Biar kau tak Iarlkan diri. harus diikat dengan 'Akar Serat Setan' ini!" Sahara bicara sambil sibuk mengencangkan simpul Ikatannya.

'Aku tak akan lari, Sahara! Percayalah, aku tak akan lari karena aku tak ingin menjadi buronanmu dan kau anggap mata-mata!"

Sahara diam saja. ia segera menuju ke pancuran air terjun itu. Suto Sintlng Sempat berseru dengan jengkel.

'Hel, denger...! Kalau aku mau, aku bisa menendang wajahmu saat kau mau mengikat kakiku baru saja! Tapi hal Itu tidak kulakukan, bukan" Berarti aku tidak bermakSud jahat padamu, Sahara!"

Gadis itu bagaikan tak mendengar teriakan Suto Sintlng. Ia melangkah terus. melompat ringan dari batu ke batu. Sampai di belakang batu setinggi perut, Sahara melepaskan pedang dari punggungnya Setelah meletakkan bumbung tuak milik Suto Itu.

Pedang ditaruh di atas batu berdekatan dengan bumbung tuak. Demikian pula penutup dadanya yang berumbal-rumbai Itu, juga dilepasnya dengan cuek. Mata Suto Sintlng memandang tak berkedip.

Mulutnya terbengong melompong. Ludahnya ditelan berkali-kali. Dada yang terbuka Itu tampak jelas dari tempatnya. Kencang dan mulus walau berwarna coklat Sawo matang. Tap! ujung-ujungnya tampak jelas sekali masih ranum dan menantang.

"Edan! Gadis Ini sudah tak waras! Buka dada di depanku begini adalah hal yangtldak waras menurut dalil mana pun juga! Aduh... dadaku sendiri malah jadi sesak menahan deburan jantungku. iilhh...! Geregetan sekail aku padanya. Kaiau keadaanku tidak terikat begini, kusambar dia dalam keadaan begitu.  Busyet!" Pendekar Mabuk mencoba ioloskan kedua kakinya. Tapi ikatan akar itu bergerak semakin kencang dan kuat. Suto Sinting dongkol sekali.

Jantungnya makin berdetak-detak ketika ia melihat Sahara mengguyur tubuhnya dengan air terjun ltu. Hal yang membuat dada Suto semakin sesak dan dipakai bernapas terasa sakit adalah keadaan Sahara_yang melepaskan penutup bawahnya juga itu.

Sayang ia memunggungi Suto Slntlng, sehingga mata bandel sl pendekar tampan itu tak bisa melihat jelas apa yang tadi tertutup di bagian bawah Sahara itu. Namun dengan memandang lekuk tubuh dari belakang, kemulusan punggung sampai ke pinggul, kemontokan pinggul belakang yang tampak kencang dan membusung itu, sungguh suatu siksaan batin yang sulit dipakai untuk menjerit.

"Dia lebih sinting darikul' geram Suto dengan napas terengah-engah, bukan karena marah tapi karena dibakar oleh gairahnya sendiri.

'Gadis tololi Gadis edanl Mandi seenaknya di depan orang yang jerat begini. Menyakltkan hati. Goblokl' maki Suto Slntlng dengan suara gerutu yang pelan. "Sebaiknya aku tak perlu memandangnyal Pandang saja arah iainl' sambil Suto berpaling ke ketempat lain. menatap karimbunan pohon bambu di bawah tanggul sungai. Tapi sesaat kemudian mata itu mellrik ke arah Sahara. '

Srrr...! Hati pun berdeslr karena Sahara kini dalam posisi menyamping, karena ia juga perlu mengawasi tawanannya dalam keadaan tetap menggUyur tubuh dengan air sejuk itu. Mata Suto sendiri segera dialihkan lagi ke arah lain. Tapi sebentar sebentar melirik ke arah Sahara, seolah berharap agar  Sahara mandinya menghadap ke arahnya.

"Konyol! Kenapa mataku berat ke kanan"! Jangan-jangan sudah tak sehat lagi mata kananku"!

Maunya melirik ke kanan terus. Ah, setan belang betul gadis lm!" gerutu hati Suto Slnting sambil sesekali menahan napas, berusaha meredakan gemuruh dl dalam dada. Namun gemuruh itu justru terasa semakin keras, seolah-olah dl dalam dadanya ada ratusan kuda yang berlari serentak di tanah lapang.

"Mungkin Ia bermaksud menyiksa batinku," pikir Suto Sintlng. 'Hmm... sebaiknya kupejamkan mataku blar tak semakin tersiksa."

Pendekar Mabuk pun segera pejamkan mata.Tapi mata kanannya masih mencoba mengintip sedikit. Sedikit sekali. Lama-lama menjadi lebar.

"Oh, kenapa aku mengintipnya" Tolol!" ia buru-buru pejamkan mata kanan kuat-kuat,

'Aman...! Kalau begini amanlah batinku, tidak tersiksa oleh pemandangan yang-.... Lho, tapi benakku kok masih membayangkan dia telanjang dan mandi di sana"! Wah, kacau! Mata terpejam tapi pikiran membayangkannya, sama saja'terslksa juga kalau begini"! Aduuuh... benar"benar muak aku pada keadaan seperti ini! Lama-lama aku teriak juga, biar ada orang yang mendengarnya dan datang kemari untuk menonton Sahara mandi! Kunyuk betul!"

Entah sampai berapa baris batin Suto menggerutu dan berceloteh sendiri- Yang ielas hal itu dilakukannya dengan kedua mata terpejam rapat-rapat. Ia mencoba untuk membayangkan hal-hal lain, seperti: rumah Badrun, orang Waduk Bangkai, Siluman Tujuh Nyawa yang menjadi musuh utamanya itu, wajah Sawung Kuntet yang berkumis mirip kelelawar lumpuh itu dan beberapa bayangan lain yang sebenarnya sangat tak enak jika dibayangkan.

Namun dengan cara begitu. deburan deras dalam dadanya menjadi berkurang, lama lama hilang. Gairah kemesraannya yang tadi berkobar kini menjadi padam, terutama setelah ia membayangkan Badrun sedang melepas pakaian. Suto justru tertawa ceklkiksn sendlri membayangkan Badrun tanpa pakaian dikejar-kejar anjing dan jatuh terpeleset karena menginjak tempurungnya sendiri. 'hehh, hehh. hehh, hehh...l" lawa Suto mulai agak keras. "Kenapa tertawa sendlri Lekas jalan iagll"

Sentakan itu mengejutkan Suto dan Ia jadi menggeragap. 'Hahh..."l Ada apa ini" Mengapa gelap semua"!"

"Buka matamu. Toioll'

"Astaga,?" Suto Slntlng malu sekali. Tak sadar ia telah memejamkan mata terlalu lama. hingga tak tahu kalau Sahara selesai mandi dan sudah ada di hadapannya. Bahkan ia sampai lupa membuka matanya kembali, sehingga dunia dianggapnya gelap semua. Ketika matanya beradu pandang dengan Sahara yang sudah siap lanjutkan perjalanan dengan pedang terhunus di tangan, Suto hanya bisa cengar-cengir malu dan salah tingkah.

Wuuut, breat...l 'Haaaahh..."l' Suto Slntlng terpeklk karena kagetnya ketika pedang Sahara berkelebat ke arah-memutus 'Akar Serat Setan' tanpa lukal kaki Suto sedikit pun. Hal itu membuktikan bahwa Sahara mempunyai keahlian dalam memainkan jurus pedang yang cukup dapat handal

"Cepat, jalan lagi!" perintah Sahara sambil mengarahkan ujung pedang ke leher Suto.

"Hmmm... aku... aku haus sekali. Sahara. Boleh minta minum tuakku'."

Setelah mendengus kesal, Sahara pun akhirnya tuangkan tuak ke mulut Suto, sementara Suto berlutut dengan dongakkan kepala: dan membuk a mulutnya lebar"lebar. Om...!

"Haaip... haaip...l Sudah, Tolol! Uhuk, uhuk, uhuk...!' Suto Slntlng terbatuk tuk. Tuak banyakyang tumpah ke wajahnya. ia megap-megap karena terlalu lama menenggak tuak.

"Gadis edan kau! Kau pikir alku seekor unta, bisa minum sebanyak Itu buat persediaan di jalan"! Yang wajar saja, Non!" omei Suto Slnt'ing sambil didorong agar jalan kembali. Belum jauh dari tanggul, tiba-tiba Suto Sintlng melihat sekeiebat benda kemilau melesat dari arah samping kirinya. Suto pun berteriak secara spontan,

'Awass...l' ia melompat ke depan dan berguling ke tanah satu kali. Wuuut...! Kejap berikut_la sudah berdiri dengan satu kaki berlutut.

Pada saat ia berguling ke tanah. samar-semar didengarnya suara Sahara terpekik dengan nada tertahan. "..-"akh !. . 'Sahara. ."l' Suto Sinting terkejut melihat Sahara terluka. Sebuah senjata rahasia berbentuk bintang segi lima menancap di lengan kiri Sahara. Ben-da itu masuk ke dalam lengan separuh bagian. Sahara menyeringai dan mengerang panjang sambil berusaha mencabut senjata rahasia itu.

'Seseorang ' menyerangmu, Sahara! Lepaskanlah ikatanku, aku.

"Diam kau!" tuding Sahara memakai pedangnya. Suto Slnt'ing mundur dan dlam seketika. Emosinya diturunkan sendiri. ia "undur sampai merapat dengan sebatang pohon.

"Berani lari kubunuh dari jauh kaul" geram Sahara dengan wa mulai memucat. pasti racun dalam senjata rahasia itu mulai bekerja, menyatu dengan darah yang mengaiir di sekujur'tubuhnya itu

"Sahara, aku hanya akan... awas- sentak Suto mendadak. Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun melompat dari balik semak dengan kapak bermata dua sudah ada di tangannya. Orang itu menerjang Sahara dari belakang; kapaknya slap. Dihantamk an pada kepala gadis'itu. Sahara segera berbalik, lalu bersalto mundur hindari hantaman kapak orang tersebut. Wees...!

Perginya Sahara dari hadapan Suto membuat kapak itu terarah ke wajah Suto bersama pemiliknya yang melompat dengan ganas. "Mati aku!" gumam Suta Sinting menegang, tapi ia segera jatuhkan badan ke kiri. buuk...! Tepat pada saat itu kapak orang tersebut diayunkan ke depan. Jrrab...!

Kapak itu menghantam pohon. Kaki Suto Sinting berkelebat menendang perut oran'g itu sambil berbaring di tanah. Buuukh...! Wass.-..! Orang Itu terpental sejauh tujuh langkah. Tendangan bertenaga 'dalam cukup kuat itu tak diduga sama sekali oleh orang berbaju serba biru.

Akibatnya Ia jatuh terbanting di sana dan terkapar dengan tubuh tersentak-sentak seperti orang terSerang penyakit ayan- Mulutnya berbusa dan busa itu adalah darah. Sedangkan kapaknya tertinggal di pohon dalam keadaan masih menancap. Sahara menjadi beringas Setelah kenali orang tersebut. "Rupanya kau ingin nasibmu lebih parah dari adik perguruanmu, Ganda Wirang"! Terimalah ajalmu sekarang juga Keparatll' heaaah" .!"

'Saharaaa ... jangan. .l' teriak Suto Sinting begitu meiihat Sahara berlari dengan pedang siap dihujamkan ke tubuh Ganda Wirang, Suto Sintlng buru-buru bangkit ingin menahan gerakan Sahara.

Tetapi gadis itu tiba-tiba iatuh tersimpuh dan memekik sendiri. Rupanya racun pada senjata rahasia tadi mulai tak mampu ditahannya. Racun itu membuat Sahara menjadi semakin lemas dan jantungnya melemah. Napasnya menjadi sesaak. Sulit diheia. Ia masih bersimpuh sambil mendekap luka di lengannya. Pendekar Mabuk segera menghampirinya setelah berusaha mengambil bumbung tuaknya yang tadi jatuh saat Sahara bersaito mundur. Bumbung tuak itu dijatuhkan dl depan Sahara dengan tangan Suto masih tetap terikat ke belakang.

"Minum Tuakku! Lekas minum sebelum racun itu mencabut nyawamu' 'Uuukh...l' Sahara menahan sakit sambil berusaha mengairnbil bumbung tuak.

Pada saat itu, Ganda Wirang'berusaha bangkit dan mendekati Suto dari belakang dengan langkah gontal. Suto sedang memperhatikan Sah ara, dan mata Sahara segera terbelalak melihat Ganda Wirang mencabut pisau yang terselip di balik bajunya.

Kemudian melompat hendak menikam Suto dengan pisau itu. _ 'Awwwaas...l. Aaakh...l" Sahara berusaha memeklk, tapi suaranya pelan dan lemah, bahkan dadanya terasa bagal ditikam dari dalam.

Namun pemuda tampan murid el Gila Tuak itu segera paham maksud Sahara. Ia cepat menengok ke belakang, kemudian kakinya berkelebat menendang Ganda Wirang. Wuuut...l Baaaklt...l Tenda ngan kaki itu tepat kenal dada Ganda Wirang.

'Heekh...!' Ganda Wirang terlempar lagi ke belakang sejauh lima langkah, membentur pohon dngan kerasnya. Duuurt'...l "

Orang berkumis tlpis itu tak bisa bersuara lagi.

Matanya mendellk, wajahnya mendengak dengan mulut terbuka, ia jatuh terkapar dan mengejang. Darah semakin banyak yang keluar dari mulutnya.

"Lekas minum tuaknya!" seru Suto dengan tenang. Wajahnya menampakkan kecemasan yang cukup membuatnya menjadl jengkel sendiri. Sahara pun buru"buru 'meminum tuak itu dengan kedua tangan gemetar. Sementara itu, suara Ganda Wirang terdengar menyentak-nyentak bersama tubuhnya yang juga menyentak-nyentak.

"Buka ikatanku! Lekas, buka ikatan tanganku! Orang itu butuh bantuan. ia akan mati kalau tak ninum tuakkul Buka ikatan tanganku ini, Sahara!" sambil Suto memunggungi Sahara, tapi gadis itu tak mau membuka ikatan tangan Suto. Gadis itu terengah"engah dengan pejamkan mata, tertunduk dan masih bersimpuh. "Buka ikatanku "ini, Sahara...!' teriak Suto dengan jengkel sekali.

***

5

NYALA api unggun menerangi tempat mereka bermalam. Bukan gua, juga bukan rumah, melainkan alam bebas yang penuh ditumbuhi pepohonan besar dan tinggi. Di bawah pohon tinggi yang mempunyai akar pipih 'seperti dinding itulah mereka sepakat untuk bermalam. '

Sahara dan tawanannya masih berada di dekat api unggun. Udara dingin menembus malam, tapi mereka tertolong oleh kehangatan api unggun. Gadis berpakaian primitif itu duduk di atas bongkahan akar setinggi betis. Pedangnya ditancapkan di tanah samping kanannya Matanya pandangi nyala api unggun tak berkedip.

Pendekar Mabuk menyimpan rasa kagum melihat ketegasan dan keberanian Sahara. la mirip seorang prajurit perang yang tak pernah kenal kata menyerah. Dilihat dari sikap duduknya yang mirip lelaki perkasa itu, Pendekar Mabuk yakin bahwa gadis ltu berhati baja, tak mudah terkena bujuk rayu siapa pun. Prinsipnya kuat dalam melakukan suatu pekerjaan. la bagaikan karang di tengah lautan; tak gentar diterjang ombak. tak goyah disapu badai.

"Siapa sebenarnya gadis itu"!"

Pertanyaan tersebut sering muncul di hati Pendekar Mabuk, bahkan sering terlontar lewat mulutnya, tapi tak pernah mendapat jawaban dari si gadis.

Kacantlkannya yang keras menandakan ia tak mudah buka rahasia terhadap pihak lain, terlebih terhadap orang yang belum dikenalnya.

Suto Sinting pandangi gadis itu sambil sandarkan punggung di akar pipih menyerupai dinding setinggi pundaknya jika sedang berdiri. Suto duduk melonjor dengan kedua tangan tetap terikat ke belakang. Gadis Itu beium mau membuka ikatan tersebut. Jaraknya dengan Suto hanya satu jangkauan.

Setiap gerakan Suto selalu diperhatikan dengan lirikan penuh curiga. Wajah cantiknya tak pernah tersenyum. Bahkan kali ini Ia tampak memendam rasa kesai seteiah Sutomendesak agar Ganda Wirang diberi minum tuak.

Gadis itu akhirnya memang memberinya minum tuak kepada Ganda Wirang. Orang itu tak jadi mati, iuka dalamnya sembuh dan badannya meniadi segar. Tapi ia segera larikan diri setelah pandangi Suto dengan pandangan aneh; antara'dendam dan salut.

"Kurasa tidak terlalu berlebihan," kata Suto kepada gadis itu.

"Kulakukan hal itu karena kau telah selamatkan nyawaku dari kapak mautnyai' ujar Sahara dengan suara seperti orang menggumam, walahnya tetap menghadap ke depan, matanya setengah menerawang pandangi api unggun. .

"Siapa dia sebenarnya?"

"Saudara seperguruannya Cindera Girl! Pasti ia telah bertemu Cindera Giri yang terluka oleh sabetan pedangku itu; dan ia mencariku. untuk balas ,dendam!"

Katakata itu terdengar datar dan dingin. Tapi Suto sudah merasa beruntung karena pertanyaannya dijawab oleh Sahara. Akan iebih mengesaikan hati lagi jika pertanyaan itu tidak mendapat jaWaban walau diulang-ulang seperti kaset rusak.

"Siapa sebenarnya Cindera Giri itu"! Mengapa kalian sampai ingin saling membunuh"!"

Sahara menarik napas, lalu menghempaskan-nya lepas-lepas. Kedua lengannya berada di atas kedua kaki yang mrenggang dalam duduknya, menapak dengan tegar seperti seorang lelaki. Jari"jari tangannya saiing selinap antara yang kiri dengan yang kanan. Punggungnya sedikit membungkuk dengan lengan merenggang gagah.

'Duiu _aku bersahabat dengan Cindera Giri. Aku sering diajak bertandang ke perguruannya. Tapi sejak kutahu maksud persahabatan Cindera Girl, kami jadi bermusuhan." ' 'Apa maksud di baiik persahabatannya itu"'

'Mencoba memanfaatkan diriku."

Sampai di situ Sahara dlam. Tapi Suto Slntlng belum puas dengan iawaban yang dianggapnya masih menggantung itu. Maka ia pun aiukan tanya lagi bersifat mendesak namun tak kentara.

"Kau mau dimanfaatkan untuk maksud apa?"

"Kurasa kau Sudah tahu!" jawabnya sambil melirik angker. Angker tapi cantik dan enak dipandang, karenanya Suto tak merasa takut atau muak. Justru ia Suka dan dipandang terus wajah itu dengan senyum ketenangannya. Senyum itu makin melebar setelah Ia akhirnya berkata,

"Kau pikir siapa aku Ini"! Aku tidak ada hubungannya dengan Cindera Giri!

"Tapi kau punya hubungan dengan Ratu Sendang Pamuas! Dan perempuan itu juga mempunyai maksud yang sama dengan Cindera Giril" sahut Sahara dengan kata-kata cepat, nyerocos, tegas, berkesan menuduh. Setelah memandang senyum tawanannya justru semakin melebar, Sahara palingkan pandang ke depan, ke arah api unggun lagi. Namun suaranya terdengar tetap datar sebagai kelaniutan nyerocosnya tadi.

"Tugasku adalah menggagalkan orang-orang sepertimui Mata-mata sepertimu memang pantas dihukum mati. Tapi bukan aku yang menentukannya. Selama masih bisa kutangkap dan kubawa ke peradilan, akan kutangkapi Tapi kalau tidak bisa. kucabut nyawanya!" "Peradilan mana?" pancing Suto.

Tapi gadis itu tak menjawab. Ia justru lanjutkan kata-katanya yang tadi. 'Kaiau Cindera Giri bukan bekas sahabatku, sudah kubawa ia ke peradilan dan pasti kuiatuhi hukuman mati jika kubeberkan maksudnya di peradilani'

"Peradilan mana"!"

Pertanyaan itu hanya dijawab dengan pandangan sinis dari mata indah yang berkesan galak itu. Wajah cantik tersebut juga semakin tampak sangar, seperti pembunuh berdarah dingin. Suto Sintlng salah tingkah sesaat setelah adu pandangan mata selama tiga helaan napas. ia baru bisa bersuara lagi setelah Sahara alihkan pandangan matanya ke api unggun. "Mengapa kau begitu yakin kalau aku mata"mata dari Pantai Dahaga"l"

'Aku pernah melihat wajahmu sebagai pendamping Ratu Sendang Pamuasl' '.

Dahi Suto Sinting berkerut, ia buru-buru memprotes tuduhan itu. "Aku belum pernah kenal dengan Ratu Sendang Pemuas! Mendengar namanya saja baru beberapa hari ini!"

"Mataku tak bisa dikeiabui. Walau saat itu kulihat ia bersama rombongannya dari kejauhan, tapi aku ingat betul kau berada disamping Ratu Sendang Pemuas. Kalian sama-sama menunggang kuda bersebelahan, sementara orang"orangmu membantai habis perkampungan orang Shakih."

'Orang apa..."! Orang sakit"!"

'Orang Shakih!" Sahara sedikit menyentak sam-bil melirik Pendekar Mabuk. Gadis itu memang belum tahu bahwa pemuda yang bersamanya adalah Pendekar Mabuk yang namanya sudah bukan asing lagi di rimba persilatan itu. Agaknya ia juga belum mengenai nama Pendekar Mabuk, sehingga sikapnya masih dingin-dingin saia ketika Suto Sintlng menyebutkan gelarnya.

"Baru sekarang kudengar nama orang Shakih, tentunya melihat perkampungan orang Shaklh pun aku belum pernah." Gadis itu melirik sinis tanda tak percaya.

! "Sahara, apakan kau pernah mendengar nama Pendekar Mabuk"l' Sahara diam sala. Cuek. Entah cuek atau budek, yang jelas ia tidak memberi reaksi apa-apa. Suto Sinting merasa heran dalam hatinya. Tapi la coba memancing reaksl si gadis dengan ianlutkan kata"katanya tadi. "Akulah orang yang bergelar Pendekar Mabuk, murid dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Aku tidak ada hubungannya dengan pihak Pantai Dahaga atau Ratu Sendang Pamuas. Pendekar Mabuk adalah Pendekar Mabuk, bukan pendekar pendamping Ratu Sendang Pamuasl"

Gadis itu memang meniengkeikan sekali. Ia tak dengarkan kata-kata Suto. ia justru merapatkan punggungnya ke akar pipih di sebelah kanannya, lalu mengambil posisi slap-slap untuk tidur. Kini di sebelah kirinya adalah bumbung tuak Suto, dan sebelah kanannya pedang yang sudah tidak ditancapkan ke tanah lagi, melainkan digeletakkan di tanah  dekat dengan tangannya. "Konyol!" geram hati Suto Sinting sambil hembuskan napas kejengkelannya.

Gadis itu lonjorkan kedua kakinya dengan satu kaki lagi terlipat tegak. Duduknya menghadap ke arah Suto, dengan sedikit merebah. Maksudnya sewaktu-waktu matanya terbuka dapat melihat gerakan tawanannya. Tapi Suto Sinting. merasa sengaja dlpameri pemandangan yang mendebarka n jantung lelakinya.

Rumbai"rumbai penutup bagian dada dan  bagian bawah sengaja dihadapkan ke arah Suto,  seakan menantang sekali, sehingga napas Suto pun mulai memberat. "Brengsek!" gerutu Suto dalam hati sambil palingkan pandang ke arah api unggun daripada api gairahnya sendiri yang berkobar akibat menatap ke arah si gadis.

Sebab apa yang tertutup oleh pakaian rumbaI"rumbai tampak mengintip sedikit, seakan melambai"lambai dan cengar-cengir menggoda keusllan hasrat seorang lelaki. Kalau saja tangan Suto tak terikat, Ingin rasanya ia menjepretnya dengan karet gelang.

"Siapa yang bernama Ratu Sendang Pemuas itu sebenarnya' Mengapa dia yakin betul kalau aku waktu itu ada di sarnplng sang Ratu"." Apakah sang ratu punya pengawal yang mirip aku"!" pikir Suto Sintlng sambil alihkan perhatiannya agar tidak ter.tuju kepada posisi tidur sl gadis yang menggoda sekali itu.

"0, ya... bicara tentang Ratu Sendang Pemuas, berarti dia |uga tahu tentang gadis penunggang kuda putlh"! Hmmm... apakah dia yang dimaksud gadis penunggang kuda putih" Jika bukan dia, apakah ada hubungannya dengan Cindera Girl"!'

Rasa penasaran yang mengusik hati liu segera dilontarkan dengan suara sedikit keras agar gadis  itu tak jadi tertidur lelap.

'Sahara....' ' Baru disebut namanya saja ia sudah membuka matanya walau tak seluruh nya. Ini menandakan bahwa Ia tidak mudah tertidur nyenyak dan kewaspadaannya masih terjaga.

'Apakah kau juga tahu tentang gadis yang di-cari-cari oleh Ratu Sendang Pamuas itu"!' tanya

Suto Slnting dan membuat Sahara makin mernbuka mata seluruhnya. Suto menyambung kata,

"Sekitar dua hari yang lalu, aku singgah di Desia Bumirela. Malam itu ada keributan dan aku berhasll mengatasi. Orang-orang Waduk Bangkai yang mengaku dibayar oleh seorang ratu bemama Ratu Sendang Pamuas, telah menyiksa wakil lurah desa tersebut hanya untuk mencari tahu seorang gadis penunggang kuda putih."

Sahara tegakkan duduknya. Matanya sedikit iebih lebar: dari biasanya. Tatapan mata itu terasa tajam menembus jantung Suto.

'Aku tidak tahu gadis mana yang dimaksud, dan siapa orangnya. Tapi aku penasaran sekail. Sebab seorang temanku juga sempat hampir dianiaya oleh tiga orang yang diduga dari Kadipaten Lohmina, karena ketiga orang itu Ingin tahu tentang gadis berkuda putih.'

Gadis itu diam saia. Diam sambil menatap tak berkedip ke arah'Suto Sinting. Tentu saja ini' itu membuat Suto menjadi salah tingkah dan terheran"heran. Akhirnya ia tersenyum canggung sambil berkata,

"Baiklah kalau kau tak bersedia bicarakan tentang gadis berkuda putih itu. Lupakan saja pertanyaanku. Tidurlah lagi kalau kau memang sudah mengantuk. Aku tak akan lari, sekalipun aku nanti berhasil lepaskan ikatan tanganku! Silakan tidur; lagi. Kau kelihatannya letih sekail hari ini.'

Sahara justru mendekati Suto dengan duduk di tempat semula, tapi kali ini tidak menghadap ke arah api unggun, melainkan langsung menghadap ke arah Suto Sinting. Pedangnya digenggam dengan tangan kanan dan ditancapkan di tanah tidak terlalu dalam. "Apakah kau pernah melihatnya?"

"Melihat orang orang Waduk Bangkal, maksudmu" Oh, tentu saja aku pernah melihatnya sebab aku yang...." : "Melihat gadis penunggang kuda putih' sentak.

Sahara memotong kata"kata Suto Sintin'g. Yang dipandang hanya nyengir malu.

"Belum. Aku justru penasaran dan ingin melihatnya. Lebih tepatnya, ingin mengetahui siapa gadis itu 'dan mengapa dicari-cari oleh Ratu Sendang Pamuas maupun orang Kadipaten Lohmina. Apakah...apakah kau penunggang kuda putih itu?" Suto Sinting ganti bertanya sebagai pemancing percakapan tersebut.

Sahara kendurkan ketegangannya dengan hembusan napas panjang. Ia berpaling ke kanan,  menatap api unggun yang hampir redup itu. Ia justru

sempatkan diri menambahkan kayunya dan nyala api semakin terang kembail.

"Apa yang kau dengar dari orang"orang itu?" tangis Sahara sambil mundur dari tepian api unggun, iai  duduk kembali ke tempat semula.

"Orang-orang Desa Bumireja tak ada yang melihat gadis penunggang kuda putih, tapi seorang sahabatku."'

"Yang kumaksud, apa yang kau dengar dari para pencari gadis penunggang kuda puth itu"!" potong Sahara agak jengkel. "Mereka tak banyak bicara. Hanya menanyakannya pada beberapa penduduk desa, dan memaksa wakil lurah untuk mengakui melihat gadis penunggang kuda putih. Lebih dari itu aku tak tahu apa-apa tentang gadis tersebut. Tapi... jujur saja kukatakan padamu, aku memang ingin tahu tentang gadis itu."

'Untuk apa kau ingin tahu jika kau memang bukan mata-mata dari Pantai Dahaga"!"

"Hanya sekadar ingin tahu saja. Semula masalah ltu memang sudah kulupakan. Tapi berhubung kau menyebut nama Ratu Sendang Pemuas, lalu rnenuduhku sebagai mata-matanya, maka aku |adi teringat lagi dan rasa penasaranku untuk mengetahui siapa gadis itu mulai tumbuh iagi.' ?

Sahara diam kembali. Kali ini ia merenung dan membiarkan dipandangi oleh Pendekar Mabuk. Hati keci! Suto mengatakan, gadis penunggang kuda putlh bukan Sahara. Karena Sahara tampak sedang, memikirkan gadis penunggang kuda putih iuga. .

"Apakah kau tidak bisa jelaskan tentang gadis itu, Sahara?" Sahara memandang dengan mata tak berkedip, kepaia sedikit tertunduk. Bola matanya bagus sekali '- saat ia memandang dengan po sisi seperti itu. .

Suto tambahkan kata, "Hati kecilku mengatakan, gadis itu menghadapi kesulitan yang timbul dari beberapa pihak. Agaknya aku perlu membantunya ' Jika ia gadis baik-baik: _"Ia gadis balk-balk!" sahut Sahara dengan cepat.

"Dan sedang menghadapi kesulitan"!"

"Kurasa memang begitu," jawab Sahara tegas, tanpa senyum sedikit pun.

"Apakah dia cukUp mampu menghadapi kesulltan itu?"

"Kurasa" ," Sahara tampak ragu, tapi segera paksakan diri untuk tegas kembali.

"Kurasa ia cukup mampu hadapi kesulitan apapun!'

"Syukurlah kalau begitu." Suto manggut"manggut kecil. "Apakah dia sahabatmu"!" pancing Suto.

' 'Dia lebih tinggi dariku."

Dahi si murid Gila Tuak itu berkerut taiam. "Maksudmu lebih tinggi "dalam hal apa"!"

Sahara hembuskan napas panjang lagi. "Lupakan tentang dial Aku mau tidur! Esok pagi kau harus jalan lagi menulu ke peradilan!"

Setelah bicara begitu, Sahara geser mundur dan sedikit merebah bersandar akar, posisinya seperti tadi lagi.

Kali ini Sahara tidur dengan memangku pedangnya. Tangan masih tetap berada di gagang pedang walau tak menggenggam kencang. Sebenarnya saat itu adalah saat yang mudah bagi Suto Sinting untuk melarikan diri, atau melumpuhkan Sahara dengan jurus 'Napas Tuak Setannya.

Tapi Suto tak mau lakukan juga. Hatinya justru merasa Iba melihat gadis Itu tidur dengan kepala miring ke kiri. Seluruh ucapan gadis Itu dicerna kembali dalam benak Suto. lalu kesimpulan di batin Suto mengatakan, Sahara adalah seorang prajurit.

Setidaknya seorang anak buah yang punya nilai pengabdian cukup besar dan berani pertaruhkan nyawa demi atasannya. "Jika ia mengatakan bahwa gadis penunggang kuda putih itu lebih tinggi darinya, apakah itu berarti dia adalah anak buah si gadis penunggang kuda putih tersebut"!" tanya Suto dalam hatinya sendiri.

'Apakah aku akan diserahkan kepada .si gads penunggang kuda putih itu"! Jika benar begitu, sebaiknya kuikuti saja apa maunya- Biarlah aku jadi tawanannya. karena aku ingin jumpa dengan gadis penunggang kuda putih itu dan ingin tahu persoalan yang sebenarnya. Lebih-lebih aku dituduh sebagai mata-mata Ratu Sendang Pemuas, setidaknya aku ingin dapat berhadapan dengan orang yang bergelar Ratu Sendang Pemuas itu."

Suto Sinting akhirnya redupkan mata. Ia juga ingin tidur daripada buka mata dan tersiksa batinnya melihat pemandangan yang ada di depannya; paha mulus, dada seksi, pinggul menggiurkan, blblr menggemaskan, dan semua itu memang sengaja dipamerkan sebagai siksaan bagi sang tawanan.

Namun baru saia Suto pejamkan mata, la mendengar suara langkah yang mencurigakan. Langkah itu seperti bukan langkah hewan, tapi langkah manusia yang mengendap endap.

"Ada yang mendekat kemari. Sepertinya berasal dari arah belakang Sahara"l' pikir Suto, kemudian dengan gerakan pelan ia menggulingkan batu

sebesar genggaman dengan kaki kirinya. Batu itu bergulir dan kini berada di atas telapak kaki kanannya. Ia masih berlagak memejamkan mata, namun sebenarnya mata itu tak tertutup rapat. ia masih bisa melihat gerakan orang yang memang muncul dari pohon belakang Sahara.

"Oh..."! Seorang lelaki lebih tua dari Ganda Wirang"! Hmm... badannya besar, kumisnya tebal, pakaiannya serba hitam, wajahnya tampak bengis.

tapi nyalinya kecil sekaii"i Ooh... dia membawa plsau"l"

Lelaki yang diintai Suto itu berikat kepala merah dengan rambut ikal tak sampai pundak. Ia menggenggam pisau bergagang dari gading. Panjang mata plsau sekitar dua iengkal. Bentuknya hampir seperti badik besar, ujungnya runcing.

Orang itu mengendap"endap dari belakang Sahara. la berlindung di balik akar pipih seperti dinding itu. Padahal akar itulah yang dipakai bersandar Sahara. ia memandang Suto beberapa saat, kemudian setelah merasa yakin bahwa pemuda yang dipandangnya juga tertidur, ia memperhatikan Sahara dari balik akar itu. Kejap kemudian, tangan yang menggenggam pisau ltu terangkat ke atas. ia ingin menikamkan pisau itu di dada Sahara, atau mungkin sasarannya ieher Sahara.

Ketika pisau itu mau diayunkan ke bawah, kaki Suto Sinting segera berkelebat menendang. Batu yang ada di atas telapak kaki itu melayang cepat sekali. Wuuut...! Praak...i

"Aaoow...l' orang itu memekik keras karena kepalanya terkena batu tersebut. Kepala itu langsung bocor dan mengucurkan darah. sedangkan batunya jatuh di pangkuan Sahara. Orang itu sendiri terpeianting menggeioyor ke belakang.

Sahara segera bangkit. ia amat terkejut melihat wajah orang itu berlumur darah. Tapi agaknya ia masih kenali siapa orang bertubuh besar yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.

Seet...l Sahara segera acungkan pedang di dada orang yang berdiri terpojok sudut kedua akar yang mirip bilik itu. "Buang plsaumu. Krakaro"!" gertak Sahara dengan suara dan sikap tampak kalem tapi sedingin seorang pembunuh tak kenal ampun.

'Hhhrrgg...i' Krakaro menggeram ganas, giginya saling menggegai kuat. Pisaunya tak dibuang. ia bahkan gerakkan kakinya menendang tangan Sahara dengan gerakan cepat. Beeet. piaaak...i Tangan Sahara tersentak ke atas. Ujung pedangnya menggores sedikit di dada Krakaro. membuat baju

hitam orang itu robek dan kuiit dadanya tampak berdarah karena goresan.

Namun ia tak peduli. dan bahkan segera menghujamkan pisaunya ke perut Sahara dengan suara mengerang mirip singa ganas.

"Haaarrrgg...!"

Sahara lompat ke belakang hindari jangkauan tangan Krakaro. Gadis itu segera memutar tubuh menjadi memunggungl Krakaro yang mengejar, lalu "pedang Sahara menyelinap ke belakang. Wuuut,

jruUb" .! "Aaaakkkhr... Krakaro mendellk, uiu hatinya ditembus pedang

Sahara yang dihujamkan ke belakang dengan satu ' tangan, sementara tangan yang kiri terangkat ke atas menjaga keseimbangan. Pedang itu nyaris tembus ke punggung Krakaro karena hentakan tangan Sahara cukup kuat dan tepat pada sasarannya.

"Ooh... kenapa harus dibunuh"!" gumam Suto Sinting agak menyesal. _Sahara mencabut pedang dari ulu hati Krakaro.

Siuuub...! Wajah gadis itu tetap tampak dingin. Krakaro jatuh ke belakang, tersandar batang pohon. kemudian melorot ke bawah dengan mulut terbuka dan nyawa melayang entah ke mana.

Suto Sinting hembuskan napas. ia kurang setuju dengan tindakan Sahara. Tapi setelah dipikir-pikimya, Sahara sudah cukup bijak, menyuruh Krakaro membuang senjatanya- Tapi Krakaro nekat akhirnya Sahara ambll tindakan tegas.

"Dengan apa kau membocorkan kepalanya tadl"l" tanya Sahara sambil dekati Suto Sinting.

"Dengan batu di atas kakiku'," jawab Suto apa adanya. "Hemm...l" Sahara manggut-manggut. "Kalau begitu aku harus hati-hati dengan kakimu."

Suto Sinting tersenyum getir.

'Dia adalah Krakaro, mata"mata dari Lereng Curam. Dia juga punya maksud yang sama dengan ratumu; si Sendang Pemuas."

"Lereng Curam.--"!' Suto Sinting menggumam bernada heran. ia pernah mendengar nama tempat tersebut ingatannya segera berputar dan akhirnya temukan sebuah nama yang pemah disebutkan oleh Tirai Surga, yaitu nama Perguruan Pintu Neraka dan nama ketuanya: sl Beruang iblis, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : 'Daiam Pelukan Musuh')..

"Sebagai mata-mata Tebing Curam, ia layak mati karena tak mau menyerah!" tegas Sahara sambil membersihkan pedangnya yang berlumur darah Krakaro memakai dedaunan.

"Aku pernah mendengar nama tempat itu. Kalau tak salah di sana ada perguruan yang bernama Perguruan Pintu Neraka, ketuanya berjuluk si Beruang iblis!"

 'Kau sahabat Beruang iblis"l' ujar Sahara penuh curiga. 'Aku hanya pernah mendengar nama itu dari sahabatku yang menjadi musuhnya. Aku pernah berjanji padanya untuk membantu menumbangkan si Beruang ibllsl Karena itulah aku menuju ke Bukit Sawan untuk temui sahabatku itu. Tapi kau menangkapku dan menawanku begini!"

Sahara acuh saja dengan keluhan itu. ia bahkan berkata sambil bersihkan pedangnya lagi dengan dedaunan. "Sudah yang keempat kail ini Beruang lblis gagal mengirimkan utusannya untuk menjadi pencuri laknat!" 'Apa yang ingin dicurinya"!" tanya Suto, tapi pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Sahara justru mengatakan hai yang membuat Suto jadi kesal hati

iagi.

 'Kurasa kau memang orangnya Ratu Sendang Pamuas, sebab kau kenal dengan si'Beruang Iblis dan tahu persis nama perguruannya. Kudengar kabar. Beruang iblis sedang merencanakan untuk bergabung dengan pihak Ratu Sendang Pamuas. Mereka akan membentuk persekutuan busuk untuk menyerang kami! Benar, bukan"!'

"Mana kutahu"i" Suto bersungtrt"Sungut.

'Tak usah berpura"pura lagi di depahkui' gumam Sahara yang membuat hati pemuda tampan itu semakin dongkol. sahara tak pernah memberitahu akan dibawa kemana tawanannya itu. Sang tawanan hanya bisa memendam kedongkolan dalam hatinya. Mau tak mau ia tetap harus meiangkah mengikuti perlntah Sahara. Gadis itu sepertinya tak pernah tahu berterima kasih.

Sudah tiga kali nyawanya diselamatkan oleh Pendekar Mabuk, namun masih tetap menganggap Pendekar Mabuk adalah mata-matanya Ratu Sendang Pemuas.

Sahara berjalan di belakang Suto. Setiap Ingin membelok ke kiri atau ke kanan, Sahara hanya berseru keluarkan perintah dan Suto melakukannya.

Anehnya, sejak peristiwa malam kematian Krakaro, gadis itu semakin menjadi gadis pendiam. Beberapa pertanyaan Suto tak dijawabnya. Kalau toh ia mau menjawab, hanya satu-dua kata saja.

"Mengapa kau jadi pendiam, Sahara"

Pertanyaan itu pun tak dijawab. Sahara hanya keiuarkan kata perintah, "Jalan terusl' Suto Sinting terpaksa melangkah lagl. Namun kali Ini iangkahnya diperiambat ketika meiewati  kaklperbukitan yang merupakan tanah tandus tak berpohon itu. Kelambatan langkah Suto Slnting diiakukan karena ia melihat beberapa orang berdiri di perbukitan yang tak seberapa tinggi itu. Jarak mereka satu dengan yang lain sekitar tiga puluh iangkah.

Namun sikap mereka berdiri yang meman dang ke arah Suto Sinting mengundang tanda tanya sendiri di dalam hati si Pendekar Mabuk.

Orang-orang di atas perbukitan itu diam tanpa lakukan tindakan apa pun. Padahal mereka bersenjata; pedang, tombak, ada pula 'yang bersenjata cambuk. Suto Sinting melangkah sambil memperhatikan mereka, sehingga punggungnya didorong oleh   Sahara dengan agak kasar.

"Ayo, cepat"i"

"Tunggu" sergah Suto. "Apakah kau tak meiihat orang"orang di atas perbukitan itu"!"

"Itu bukan urusanmui'

'Tapi mereka mengawasi kita"!"

"Mereka orang Suku Shakih! Penjaga perbatasan. Ayo, jalan terus!"

Suro Sinting didorong iagi, terpaksa melangkah kembali. "Orang Shaklh"i Jadi Shaklh Itu nama suku?"

Sahara diam saja, matanya memandang ke arah orang"orang di atas perbukltan Itu.

"Jika mereka dari Suku Shaklh, iantas kau dari

suku apa"i" 'Mabayoi" jawab Sahara pelan dan datar, matanya tak mau memandang Suto Sinting. Padahal saat itu Suto Sinting terperanjat mendengar nama Suku Mabayo. Ia ingat cerita _Badrun tentang Suku Mabayo. Cerita yang didengarnya hanya sepintas itu ternyata sekarang meniadi sangat berguna bagi Pendekar Mabuk.

"Jadi... iadl kau adalah masyarakat dari Suku Mabayo yang tinggal di Hutan Malaikat itu"i"

Sahara tidak menjawab. Wajahnya tampak keras, penuh ketegasan dan bersikap cuek. Sementara itu Ingatan Suto kembali menyusuri kata"kata Badrun tentang gadis penunggang kuda putih yang berasal dari Suku Mabayo.

"Sekarang bisa kutebak," kata Suto. "Kau adalah sahabat gadis penunggang kuda putih itu. Sebab menurut penjelasan sahabatku, gadis penunggang kuda putih itu berasal dari Suku Mabayo Benar, bukan"i" desak Suto. Tapi mata Sahara hanya memandang dingin, mulutnya membungkam tanpa sepatah kata pun. Wajahnya tetap kelihatan cantik2 galak. Mereka tiba di tepi sungai. Sahara diperintahkan Suto Sinting untuk seberangi sungai.

"Aku tak bisa berenang menyeberang kalau ikatantanganku tak kau lepaskan," ujar Suto beralasan padahal ia bisa menyeberang sungai tanpa harus berenang. Dengan melompati dedaunan atau benda apa saja yang mengambang di permukaan air, lurus perlngan tubuhnya dapat dipakai untuk menyeberangi sungai. Tetapi ia sengaja berlagak bodoh agar Ikatan tangannya dilepaskan.

Sahara bukan gadis yang mudah dikeiabuhl. Sekalipun aiasan Suto masuk akal, tapi ia tetap tidak mau lepaskan akar pengikat kedua tangan Itu. Tanpa diduga"duga Sahara melepaskan totokan ke tengkuk Suto. Deees...l Totokan itu melumpuhkan seluruh urat si Pendekar Mabuk, dan membuat Pendekar Mabuk menjadi tak berdaya. Terkulal lemas dalam keadaan masih sadar, masih bisa memaki dalam hatinya.

Dengan sedikit gunakan kekuatan tenaga dalam, gadis itu mengangkat tubuh Pendekar Mabuk. dan memanggulnya. Kemudian Ia menyeberangi sungai tersebut dengan lakukan lompatan"lompatan perlngan tubuh dari ujung"ujung batu yang tersumbul dari kedaiaman air.

Tab, tab, tab, tab, teb...l

Sampai di seberang sungai ia tidak lepaskan totokannya. Suto tetap dlpanggulnya dan dibawanya lari. Gerakan larinya cukup cepat. dan dalam waktu singkat ia sudah sampai di perkampungan Suku Mabayo di kedalaman Hutan Malaikat. Totokan pun segera dilepaskan. Suto Sinting bergegas bangkit terduduk.

Sahara segera mencengkeram baju Suto dan menarikya ke atas agar Suto Sintlng berdiri. Pendekar Mabuk terbengong pandangi orang-orang perkampungan Suku Mabayo itu. |

Ternyata kaum wanita lebih banyak daripada  kaum lelakinya. Para wanita Suku Mabayo mengenakan pakaian minim seperti yang dikenakan Sahara. Mereka berkullt coklat sawo matang, dan rata rata kaum wanitanya bertubuh indah. Tinggi, padat, berisi, dan masing"masing mempunyai dada yang , montok. Wajah mereka pun hampir mempunyal kecantikan yang seimbang, hanya berbeda corak kecantikannya.

Kaum wanita Suku Mabayo mempunyai hidung mancung-mancung dan alis iebat namun tunbuh dengan rapl. Mata mereka bening"bening dan berbulu mata lentik, seperti mata Sahara. Rambut mereka keriting semua. Keriting kecil-kecil, halus sekali. nyaris tak kentara kerltingnya. Namun potongan  rambut mereka berbeda-beda.

Kaum lelakinya berperawakan tegap dan gagah. Namun yang memiliki ketarnpanan seperti Suto Sintlng tidak ada. Umumnya ketampanan meka tergolong cukup lumayan. Berkulit gelap dan berdada bidang, namun yang sekekar Suto Sinting tak ada.

Hanya tinggi tubuh mereka memang rata-rata seukuran tinggi tubuh Pendekar Mabuk.

"Suku Mabayo..."!' gumam hati Suto Sinting.

'Rupanya di sinilah akhir perjalananku sebagai tawanan," sambil mata Suto Sinting pandangi rumah-rumah yang berbentuk kerucut terbuat dari rumbia.

Menurut perkiraan Suto Sintlng, perkarnpungan itu terdiri dari sekitar dua puluh sampai tiga puluh rumah. Mereka berkelompok, sehingga satu dengan yang lain mudah saling berhubungan. Jarak dari rumah ke rumah sekitar empat langkah. Nanun mereka mempunyai tanah lapang yang tak berpohon kecuali tatanan rumput, itu pun tak sesubur runput di tempat lainnya. Rumah-rumah itu dibangun mengeiiiing tanah lapang yang luasnya separuh lapangan boia itu.

Di tengah tanah lapang ada tanah. yang menggunduk tak seberapa tinggi, kira-kira hanya setinggi satu betis. Di tengah gundukan itu ada tiga tiang tinggi sebesar pohon pinang. Suto tak mengerti apa kegunaan tiang itu. Yang jelas, kini ia sedang menjadi pusat perhatian hampir seluruh penghuni perkampungan suku Mabayo. Wajah para wanita yang memandangnya berkesan dingin dan sinis.

Tiga orang bersenjata pedang di punggung hamplri Sahara yang masih mencekal lengan Pendekar Mabuk. Ketiga wanita yang mendekat itu tampak berusia sedikit iebih tua dari Sahara, sekitar dua puluh delapan tahun- Satu orang dari mereka berambut pendek seperti potongan lelaki.

Satu lagi berambut panjang namun diguiung ke atas dengan sisanya berjuntai seperti ekor kuda. Yang satunya mempunyai rambut sepundak namun bagian depannya pendek sekali.

Wajah mereka cantik-cantik dengan bibir sensuai dan berwarna merah ranum. Tetapi dari sorot matanya mereka tampak tegas-tegas dan punya wibawa tersendiri. "Siapa yang kau bawa ini, Sahara"!'

"Aku menangkap mata-mata dari Pantai Dahaga Orangnya si Sendang Pamuas!"

Yang tengah maju dekati Suto Sinting. Tanganya segera mencengkeram dagu Suto dengan kasar. hingga mulut Suto monyong ke depan. Suto Sinting sempat kaget dan mendelik tegang.

"ingin rasanya kuhancurkan wajah tampanmu. Jahanam!" geram wanita berambut cepak itu dingin penuh kebencian tercurah di wajahnya.

'Madesya... jangan sentuh dulu dia" ujar si rambut sepundak. "Biar sang ketua yang tanganli'

"Benar, Madesya! Kita tunggu saja kedatangan sang Ketua," timpal yang rambutnya digulung keatas dan mengenakan kalung manik"manik putih kecil". 'Hmmmh...!" Wanita yang bernama Madesya itu meiepaskan cengkeraman tangannya hingga wajah

Suto tersentak ke kiri. ia pun mundur ke tempat semula.

"Aku bukan mata-matal Sahara yang salah paham dan...."

'Tutup mututmu!" bentak Madesya sambil menuding dengan kasar.

Wanita yang rambutnya diguiung naik itu berseru memanggii seseorang.

"Sambu...! Sambu...!"

Seorang pemuda sebaya dengan Suto berlari menghadap wanita itu. Sikap berdirinya tampak menghormat dan wajahnya penuh kepatuhan. Pemuda itu hanya kenakan ceiana dari kuiit binatang warna hitam, berbentuk seperti rok yang sangat mini. Rambutnya kerlting lembut sepanjang pundak.

Ikat kepaia dari tali biru.

"Sambu, ikat dia di tiang tengah?"

"Baik, Barana!" jawab Sambu dengan patuh.

Kemudian ia menarik Suto Sinting dan membawanya ketiang di atas gundukan tanah itu. Suto Sinting tak mau meronta. karena hanya akan bikin tuduhan semakin berat. ia menurut, saja dengan kalem, tangannya masih terikat di belakang.

Sebelum itu Suto mendengar wanua yang dipanggii Sambu dengan nama imang bicara kepada wanita yang berambut sepundak tapi bagian depannya pendek sekali itu.

"Siapkan tiang gantungan, Jenda'

"Apakah dia sudah pasti dijatuhi hukuman gantung"l"

"Persiapkan sajai' sergah lmang. Maka wanita yang ternyata bernama Jenda itu pun segera memanggii beberapa pemuda dan beri perintah untuk persiapkan tiang gantungan.

Pendekar Mabuk terikat di tiang tengah. Tali penglkatnya bukan dari 'Akar Serat Setan" tapi dari  jenis tali rami berukuran besar, mirip tambang kapal. Kedua tangan Suto masih tetap terikat dengan "Akar Serat Setan". ia menjadi bahan tontonan para penduduk perkampungan Suku Mabayo itu. Ada yang secara terang-terangan menonton, ada yang sambil lakukan kesibukan dari depan atau samping rumah mereka.

Dua orang pemuda sebaya dengan Suto menjaga di kanan"kiri. membawa senjata tombak yang panjangnya melebihi tinggi tubuh Suto SintIng. Sementara itu. Jenda, lmang, Madesya, Sahara, dan beberapa wanita berpedang berkumpul di seberang tanah gundukan itu. Mereka saling berkasak"kusuk dengan wajah wajah tegang. Suto Sintlng memperhatikan sekeliling tempat itu sambil sesekali! menatap kearah para wanita berpedang.

"Aneh. Tak ada orang tua dl sini"! Rata-rata mereka berusia sebaya dengan Sahara. Setua-tuanya hanya seperti Madesya"l" ujar Suto Sinting dalam hatinya. "Kelihatannya kaum wanita lebih berkuasa di sini, sedangkan kaum lelakinya patuh dengan perintah kaum wanita. Hmmm... tak kulihat  juga ada anak-anak di sini" Apakah mereka perempuan-perempuan mandul" Atau mereka sengaja tidak kawin"i"

Sekali lagi Suto mencari sosok anak-anak dengan pandangan matanya, namun Ia tak temukansatu anak pun. Uaia paling muda yang ditemukan melalui pandangan matanya adaiuh berusia sekitar tujuh belas tahun. "Sepertinya mereka tidak mengenai hubungan suami-Istri," Pendekar Mabuk kembali membatin.

"Tampaknya mereka tak mengenal kemesraan. Tak ada yang kelihatan tertarik padaku. baik secara mencuri pandang atau terang-terangan. Anehi Apakah mereka perempuan-perempuan dingin"i Perempuan"perempuan tak mengenal cinta dan kemesraan"!"

Memang aneh kehidupan orang orang Suku Mabayo itu. Biasanya, di mana saja Suto muncul selain ada wanita yang menaruh perhatian khusus kepadanya. Satu-dua wanita akan menampakkan rasa terpikatnya terhadap ketampanan atau kegagahan Pendekar Mabuk.

Tapi agaknya hal itu tidak berlaku di perkampungan Suku Mahayo. Mereka tak kelihatan ada yang tertarik dengan ketampanan atau

kegagahan Suto Sinting. "Alangkah gersangnya," pikir Suto. 'Alangkah sepinya kehidupan yang tak mengenal cinta dan kemesraan. Lalu... lalu bagaimana cara mereka berkembang biak" Apakah melalui penyerbukan"! Ah. kok seperti tanaman saja" Tak mungkin itu! Laiu... apakah mereka tidak ingin melestarikan kehidupan sukunya"

Aneh sekail. Baru sekarang aku bertemu dengan orang-orang yang tidak mengenal kemesraan sama sekali. Mereka dikatakan kolot ya tidak, dikatakan tidak ya koiot. Seharusnya mereka beranak-cucu agar penerus keturunan Suku Mabayo tetap ada!" Pendekar Mabuk mencoba menangkap percakapan mereka dengan menggunakan jurus 'Sadap Suara'. Tetapi ia justru bingung sendiri, karena mereka bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Pendekar Mabuk. Rupanya mereka mempunyal bahasa sandi tersendiri, atau bahasa daerahyang belum pernah didengar oleh Suto sebelumnya.

Sampai menjelang sore, Suto Sintlng dibiarkan terikat di tiang tanpa diberi makan ataupun minum. Bahkan diajak bicara pun tidak. ia mendahului mengajak bicara kedua penjaga bersenjata tombak itu, tapi tak satu pun ada yang menjawab. Bahkan memandangnya pun tidak. Baru saja Suto Sinting Ingin berteriak supaya menarik perhatian mereka dan diajak bicara, tapi tiba"tiba niatnya ditangguhkan karena perhatiannya

terpusat. pada suara derap kaki kuda yang makin

lama semakin jelas. Sahara, imang, Madesya, dan

wanita-wanita perpedang lainnya segera bubar, mereka membentuk barisan berjajar di sepanjang jalanan depan tempat Suto diikat itu.

Kejap berikutnya, Pendekar Mabuk bagal terhipnotis di tempatnya. Wajahnya menegang; matanya terbelalak, mulutnya ternganga, napasnya tertahan, tenggorokan tersumbat, dan... burung pun terbang. Burung di rerumputan terbang karena derap kaki kuda mendekatinya. Kuda itu adalah kuda putih.

Penunggangnya seorang gadis cantik berambut, sebagian dikonde di tengah kepala, sisanya merlap sepunggung. Rambut itu bergerai-gerai karena sentakan kuda putih yang ditungganginya ?

"Gadis... gadis penunggang kuda putih..."!" gumam hati Pendekar Mabuk dengan lidah masih kelu.

Sahara dan para wanita berpedang tundukkan kepala menyambut kedatangan gadis berkuda putih itu. Kedua penjaga di kanan kiri Suto Sinting juga tundukkan kepala walau tugasnya berbeda, karena orang"orang iainnya pun memberi hormat dengan cara yang sama. Seluruh kesibukan dihentikan sesaat hanya untuk menyambut kedatangan gadis penunggang kuda putih.

"Oh, rupanya dia kepala sukunya"!' gumam hati

Suto Sintlng masih belum bisa kedipkan mata. "Pantas Sahara pernah bilang bahwa gadis itu lebih tinggi darinya, rupanya karena gadis itu kepala sukunya maka Sahara tak berani sebutkan sembarangan!"

Madesya dan jenda segera pegangi tali kekang kuda saat kuda berhenti tepat di depan Suro Slnting. Gadis cantik itu lemparkan tatapan matanya ke arah Suto hingga beberapa saat.

Suto Sinting berdebar-debar dan muiai sadar dari tertegunnya, ia saiah  tingkah dan segala yang dipandang terasa serba saiah. Sesaat kemudian gadis itu pun turun dari atas kuda, tapi masih tetap memandang ke arah Pendekar Mabuk. Bahkan ia berjaian dekati gundukan tanah, tapi belum sampai naik ke. atas gundukan itu.

"imang! Siapa orang ini"!" serunya sambil tetap memandang Pendekar Mabuk. Rupanya seng kepaia suku juga belum pernah mendengar ciri-ciri Pendekar Mabuk, sehingga ia masih merasa asing dengan wajah dan penampilan si Pendekar Mabuk itu. "Sahara menangkap mata-mata dari Pantai Dahaga, Ketua" dia! imang dengan suara tegas daniantang.

Suro Sinting menyahut, "itu tuduhan yang salah, Ketual Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Pantai Dahaga maupun Ratu Sendang Pamuas Sumpah! Berani dikutuk jadi raja kalau pengakuanku ini bohong!"

Gadis yang tampak. masih muda namun punya sikap yang cukup matang itu sunggingkan senyum tipis. Pendekar Mabuk berdesir bagai jatuh dari ayunan begitu melihat senyuman kecil yang iuar biasa indahnya itu. Untuk sesaat ia tak bisa bicara pandangi si gadis berjubah emas. Jubahnya itu tanpa lengan dan tanpa kancing.

Pakaian dalamnya hanya berupa penutup dada dan penutup bagian bawah yang terbuat dari kulit macan tutul. Sangat kecil sekali penutup itu. bahkan tampaknya hanya ' rapat di bagian atas saja, semacam rok yang mudah tersingkap atau sengaja disingkapkan sewaktu-waktu.

Satu"satunya gadis yang memakai jubah itu seiain berhidung mancung juga berlesung pipit di sudut senyumnya. Manis sekali. idia memgenakan gelang emas di lengan atas, dekat ketlak. Sebuah kalung emas berbandul batu hijau berukuran sebutir anggur melingkar di lehernya yang berkulit  sawo matang itu. "Ketua, aku mohon dibebaskan karena aku bukan mata-mata," ujar Suto agar tak tampak grogi.

Senyum sang Ketua kian meiebar, lesung pipitnya semakin menikam kerinduan di hati Pendekar Mabuk. Sebab calon istrinya yang' bernama Dyah Sarlningrum juga mempunyai lesumg pipit di sudut senyum manisnya itu. "Kalau kau bukan mata-mata,mengapa kau mau ditangkap"!"

'Gobiok yang nangkap saya" suto Sinting bersungut-sungut. Tapi sang Ketua semakin tebarkan senyum. bahkan terdengar tawanya '.yang sangat manis dan pendek itu. Tiba-tiba ia bersuara tegas. ' 'Madesya! Bawa dia ke ruang pengadilani' 'Baik Ketua!" '_ Suto segera berkata, 'Aku minta seorang pembela!"

'Aku yang akan jad! pembelamu ujar sang Ketua  cantik dengan sunggingkan senyum lincah lagi.

"Aku pembeiamu, tapi juga penuntutmu, termasuk hakim yang akan mengadilimui'

Pendekar Mabuk tak bisa bicara selain memandang antara kagum dan dongkoi.

***

6

RUMAH berbentuk kerucut itu berfungsi sebagai ruang pertemuan, termasuk ruang pengadiian juga. Di rumah kerucut itu ada kursi berukir diiapisi emas pada tepiannya dan gading di bagian punggung kursi. Sang kepala suku duduk di kursi yang menyerupai singgasana dan punya iantai iebih tinggi itu.

Sementara para wanita berpedang yang berperan sebagai prajurit itu memenuhi ruangan tersebut. Suto Slnting berdiri di depan sang Ketua dalam keadaan tangannya masih terikat. Sahara ada di samping Suto, seolah-olah sebagai pihak yang mengajukan tuntutan dalam persidangan itu. '

"Apakah ada barang-barang buktinya"i' tanya sang Ketua. "Hanya bumbung tempat tuak ini, Ketua." Ujar Sahara sambil serahkan bumbung tuak itu. Laiu ia tambahkan kata, "Tuak itu punya khasiat yang iuar

biasa hebatnya. Selain dapat melenyapk an luka 'daiam waktu singkat. juga bisa memulihkan te naga dan menyegarkan badan." |

'Sudah kau buktikan"!" tanya sang Ketua sambil pandangi bumbung tuak.

'Tlga kali saya 'terluka, tapi selalu sembuh setelah minum tuak itu. Tiga kail pula dia menyelamatkan nyawa saya dari ancaman maut Cindera Girl, Ganda Wirang, dan Krakaroi' Sang Ketua manggut"manggut dengan senyum

tipis. ia pandangi Suto sesaat sambil masih pegangi

bumbung tuak itu. "Benar kau memiliki bumbung tuak ini"l'

'Benarl" jawab Suto Sinting pendek.

"Karena kau telah selamatkan nyawa Sahara tiga kali, maka kuberi imbaian yang sepantasnya."

Sang Ketua memandang Sahara, 'Buka ikatan tangannya sebagal imbalan atas jasa baiknya selama menjadi mata-mata pihak lawan!"

"Kuklra dapat imbalan apa?" gerutu Suto Sinting lirih sambil membiarkan Sahara membuka akar pengikat itu dengan pelan-pelan sekali. Jika tidak dilakukan dengan pelan-pelan atau diputus dengan Secara cepat, akar itu akan menjerat lebih kencang lagi. Pendekar Mabuk agak lega kedua tangannya kini telah lepas dari tali pengikat. ia menggosok"gosok pergelangan tangannya sambil,memandang ke kanan-kiri.

"Tawanan" ujar sang Ketua. "Benarkah tuakmu punya khasiat untuk lenyapkan luka dan sehatkan badan"!" "Benar! Coba saja kalau tak percayai" jawab Suto Sintlng agak ketus karena masih dongkol.

sang Ketua membuka tutup bumbung itu. Ia ingin..' memeriksa tuak tersebut, tapi lebih dulu tetarik pada tempurung hitam yang menjadi penutup bumbung itu. Sang Ketua kerutkan dahi, lalu sedikit terperanjat melihat gambar wajah orang pada tempurung itu. Lalu ia tersenyum dan geieng-geleng kepala sendiri.

Semua anak buahnya Ikut berkerut dahi, wajah mereka memamerkan keheranan. Sahara pun tampak sedikit terperanjat ketika sang Ketua menghadapkan gambar wajah orang di tempurung

itu. Bahkan Sahara segera menatap Suto Sinting dengan dahl berkerut. Suto Sinting juga berkerut dahi karena bingung melihat ekspresi wajah mereka.

"Tawanan! Kau dapatkan dari mana sebenarnya tempurung ini"!" tanya si Ketua cantik itu.

"Dari seorang sahabatku yang menjadi pengemis."

'Slapa namanya"i"

'Badrunl' jawab Suto tegas dan jelas.

Terdengar suara menggaung'seputl lebah. Itulah suara para wanita berpedang yang berkasak-kusuk dengan wajah tegang. Sang Ketua tetap kalem, tapi Sahara jadi tampak grogi, wajahnya. memancarkan kecemasan. Suto Slnting pandangi ke sana"sini dengan penuh rasa heran. 'Kenapa..."l" tanyanya kepada sang Ketua cantik yang masih menyandang pedang di punggungnya. Pedang itu bergagang dan bersarung emas dengan rumbai"rumbai benang merah.

"Sahara, apakah kau tak meiibat tempurung ini sejak menyita bumbung tuaknya"i"

"Saya... saya tidak memperhatikan, Ketual' jawab Sahara dengan rasa takut.

'Tawanan! Sebagai mata-mata yang tertangkap kau harus diadu dengan sepuluh orangku. Mereka

adalah para prajuritku yang kuat"kuat dan menjadi andalan suku kami. Jika kau unggul melawan mereka, kau bebas. Tapi jika kau tidak unggul, nyawamu yang bebas bergentayangan ke mana"mana!"

"Hmmm, eeeh... aku bersedia saja, tapi...."

"Tapi karena kau menyimpan tempurung ini," sahut si Ketua. "maka aku cukup. menghukummu dengan satu tebakan. jika kau salah menjawab, kau akan celaka. Celaka itu! bisa membuatmu mati atau cacat seumur hidup."

'Tebakan"l" Suto Slntlng heran sekali.

"Kau hanya punya kesempatan menjawab satu kali! "Tebakan apa maksudmu"l"

"Mana yang-lebih hebat; rembulan atau matahari?"

'Hah..."l" Suto Sinting justru terperangah.

"Kau kusuruh menjawab. bukan kusuruh terperangah seperti kuda menelan gentong!" ujar sl Ketua. Semua yang berkasakukusuk tadi menjad! bungkam. Suasana sangat hening. Napas mereka pun tak terdengar. Sang Ketua mengulang pertanyaannya, "Mana yang lebih hebat; rembulan atau matahari?"

Sulo Slntlng ingat tebakan Badrun yang diberikan kepada tiga orang kaya itu. Bahkan pada malam setelah pengusiran orang"orang Waduk Bangkai,

Suto Sintng dan Badrun mengupas kembali soal tebakan tersebut. Memang jawaban itu terkesan konyol atau main"main, tapi kala itu Badrun tetap ngotot bahwa jawabannya tidak salah.

Maka, walau hati Suto Sintlng merasa heran dan kurang yakin dengan jawaban yang pernah didengarnya dari Badrun, namun di situ ia mencoba menggunakan jawaban tersebut. Ia menjawab dengan suara lantang.

"Rembulan dan matahari, lebih hebat rembulan. Karena rembuian bisa menerangi malam, sedangkan matahari tidak bisa menerangi maiam. Matahari muncul pada waktu slang. Padahal siang itu sudah terang. Jadi untuk apa ia muncul slang hari. Tetapi rembulan muncul pada waktu malam menjadi gelap. Jadi cahayanya berguna bagi kehidupan manusia!"

. Prok, prok, prok, prok...l

Suara tepuk tangan itu diawali dari sang Ketua cantik. Yang lainnya lkut-ikutan tepuk tangan. Wajah mereka mulai tampak berseri. Sahara sendiri mulai bisa tersenyum Walau kecil. Tapi senyum Itu mencengangkan Pendekar Mabuk karena mempunyal keindahan yang sama dengan senyum sang Ketua.

apakah... apakah iawabanku ini kau anggapbenar !" tanya Suto Sinting kepada sang Ketua.

'kalau jawabmu salah kau akan muntah darah sampa seluruh darahmu hsbls. Karena tebakan itu sebenarnya adalah ilmu...."

"Kedung Getlh'l" sahut Suto Sinting.

"Benar! Dan aku yakin kau pasti bisa. Menjawab dengan benar, karena adikku selalu memberitahukan jawaban dari tebakan itu kepada orang yang akan singgah kemari!"

"Adlkmu..."!" Suto Slntlng kembali kerutkan dahi dengan rasa heran lebih besar lagi.

"Badrun adalah adik bungsukul Tapi karena dia masih anak-anak, maka dia tak boleh tinggal di perkampungan sebelum berusia tujuh beias tahun. Kelak jika ia sudah berusia tiga puluh tahun, Ia pun harus pergi mengembara tak boleh tinggal di perkampungan. Begitulah aturan leluhur Suku Mabayo yang berjalan secara turun temurun!

"Oh, pantas di sini tak ada anak-anak atau orang tua"!" gumam Suto Sinting dalam hatinya.

"Madesyal Siapkan jamuan makan untuk tamu kita Ini, karena dia bukan calon pencurl Batu Selaput Dara." 'Baik, Ketua! Apakah kita akan pesta"!"

'Ya. Kita akan pesta bersama tamu tampan kita ini!" sambll sang Ketua melirik Suto Slnting dengan ' senyumnya yang menawan. Baru sekarang ada orang yang tersenyum dan bersikap menggemaskan hati seperti itu.

"Tunggu dulul' sergah Suto Slntlng. 'Apa yang kau maksud dengan Batu Selaput Dara itu?"

Sang Ketua memegangi batu liontin kalungnya yang berwarna hijau. "lnllah yang dinamakan Batu Selaput Dara, yang akan dirampok atau dicuri oleh beberapa pihak; termasuk si Sendang Pemuas.

Karena batu ini akan membuat si pemakainya tetap perawan, tetap suci, walaupun Ia sudah melahirkan beberapa keturunan,"

'Luar biasa"l' gumam Suto Sinting terheran-heran.

'Batu Selaput Dara juga dapat dipakai menundukkan semua lelaki. sejahat apa pun dan seangkuh apa pun, termasuk jlka cahayanya yang dibiaskan batu ini diarahkan ke tubuh lelaki Itu. Entah mengenal matanya, keningnya, blblmya, atau dengkulnya... atau apa saja bagian tubuhnya. Lebih-lebih jika terkena itunya maka lelaki itu akan menjadi budak perempuan si pemakai:

"Maksudmu terkena bagian apanya?"

"Pusarnya!' jawab sang Ketua sambil tertawa kecil.?"Jangan beranggapan jorok dulu, nanti kau jatuh sendirl dijorokkan dengan pikiranmu!" tambah sl ketua membuat Suto Sintlng tertawa kecll pula. para wanita berpedang keluar dari ruang sidang sambil bertaburan senyum. Tldak seangkuh dan sedingin tadi. Rupanya mereka dapat tersenyum jika ketua sukunya berwajah ceria.

Suto Sinting dan sang ketua masih tetap berada dl tempat. Sahara mendampingl sang ketua sebagai penjaga pintu, memunggungi mereka. Gadis itu tampak ' cuek dan tak mau ikut terlibat dalam percakapan itu; "Aku ingat, ketika Badrun kutanya apakah dia punya seorang kakak, dia menjawab punya. Ketika kutanya, siapa nama kakaknya, dia menjawab: Peri,'.. tapl langsung tertawa."

Dengan suara lembut dan ramah sang Ketua berkata, "Namaku adalah Peri Jenaka."

'Peri Jenaka"!"

'ltu nama julukan! Hanya seorang Kepala Suku yang boleh menggunakan nama julukan. Tapi nama asllku: Srikunti." 'Manls sekali namamu"'

"Aku tak butuh pujian," ujar Perl Jenaka sambil mencibir lucu, menggemaskan sekali bibirnya itu, rasa-rasanya Suto ingin mencubltnya dengan gigitan.

"Badrun adik bungsuku, tapi juga mata-mata Suku Mabayo,' ujar Peri Jenaka dengan .suara renyah dan sikap riang.

"Aku hampir tak percaya, Badrun seorang pengemis sedangkan kakaknya secantik ini dan menjadi kepala suku," Suto Sinting tertawa sendiri sambll geleng"geleng kepala.

"itu pengabdian. Setiap bocah menjelang dewasa, sebelum ia tingga! di perkampungan 'kaml, harus mempunyai pengabdian terhadap suku. leluhurnya. Tapi mereka tidak kami kucilkan. 'di kamarku, ada ruang bawah tanah, sebuah lorong panjang yang menjadi tempat persembunyian sekai'igus  ruang kemesraan bagi kami. Lorong panjang Itu tembus ke Suatu tempat, beberapa tempat, di antaranya rumah reot adikku itu. Kalau kau geser meja rendah  di tengah ruangan, maka kau akan temukan lubang seperti sumur yang menuju ke bawah dan itulah |alan tembus lorong rahasia kamil"

"Oooh. ."!" Suto Sinting manggut-manggut.

"kakekku asli dari Suku Mabayo, demikian pula ayahku, pernah menjabat sebagal kepala suku sebelum ia mencapai usia tiga puluh tahun,' ujar PerlJenaka. Sambungnya lagi, "Adikku sebenarnya ada tiga. Tapi yang dua meninggal karena penyakit. Tinggal sl Badrun itu.'

"Jadi, pada waktu ltu sebenarnya Badrun  melihat kau lewat di depannya dengan menunggang kuda putih"!" "Benar. Aku habis iakukan pertarungan dengan seseorang, karena tantangan itu harus kupenuhl untuk menjunjung harga diri suku kami. Demikian pula tadi, aku baru pulang dari pertarungan, memenuhi tantangan sl Putri Mesum."

"Kenapa tak ada yang mendampingimu"'

'Seorang kepala Suku Mabayo harus berani datang ke pertarungan seorang diri. Jika dalam Waktu tlga hari tak pulang, maka ia dinyatakan tewas dan jabatan kepala suku segera digantikan dengan yang baru."

Percakapan itu terhenti. Bukan karena Suto Sinting yang telah memperoleh bumbung tuaknya itumenenggak tuak beberapa teguk, tapi karena Madesya muncul dengan wajah tegang.

'Ketua, tiga orang Pantai Dahaga datang menantang pertarungan di sini juga!"

Suto Sinting terkejut, tapi Peri Jenaka tetap tenang.

"Suruh tunggu sebentar, aku akan muncul menghadapinya!" "Baik, Ketual" Madesya pun segera pergi. ?".peri Jenaka berkata dengan tetap tersenyum kepada Suto Sintlng. "Maaf, obrolan kita dilanjutkan nanti saja. Aku harus hadapl orang Pantal Dahaga itu!"

'Perl Jenaka... aku punya usul, bagaimana )lka  aku yang menghadapi mereka?"

"Kau bukan orang Suku Mabayo: sambil Perl Jenaka gelengkan kepala. "Anggap sala aku masih tawananmu. Dan jika aku bisa tumbangkan mereka, aku bebasl'

Peri Jenaka tertawa kecil. Ceria sekali wajahnya. Tak punya ketegangan sedlkit pun. Setelah beberapa saat pandangl Suto, akhirnya Perl Jenaka mencekal lengan Suto dan menuntunnya keluar bagai membawa seorang tawanan.

Rupanya salah satu dari ketiga orang Pantal Dahaga utusan ratu Sendang Pamuas itu mempunyai ketampanan yang hampir mirip Suto Sinting.

Rambutnya juga sepundak dan tidak kenakan Ikat kepala. Badannya tegap, gagah. kekar, hanya mengenakan rompi merah da celana merah, membawa pedang di punggungnya.

"O, rupanya kali ini kau sendlrl yang diutus sl Sendang Pemuas untuk mewakilinya, Salendra"!"

sapa Perl Jenaka kepada si pemuda tampan yang

bernama Salendra itu. "Aku diperintahkan oleh Nyai Ratu untuk mengambil Batu Selaput. Dara melaiul pertarungan."

Oh, jadi si Sendang Pamuas tetap Ingin merampok Batu Selaput Dara dengan mempertaruhkan nyawamu"! Bagusl' ujar Perl Jenaka. "Tapi sebelun kau merampok Batu Selaput Dara, kau harus' berhaapan dulu dengan tawananku lnll Jika kau unggul, baru kau boleh bawa pulang Batu Selaput Daral'

Salendra menatap Suto dengan sinis. "Boleh jugaa Kurasa dua kali gebrak tawananmu tak akan berkutlk lagi." "Kita lihat saja, siapa yang besar mulut Sebenarya: ujar Peri Jenaka dengan senyum kecil.

Lalu Ia  mencabut pedangnya dan menyerahkannya pada suto Slnting sambll berkata Ilrlh.

'Selngatku, hanya Pendekar Mabuk yang pergi ke mana-mana membawa bumbung tuak."

'Akulah Pendekar Mabuk itu."

Peri Jenaka tersenyum geli. "Sudah kuketahul sejak Sahara serahkan bumbung tuakl"

"Kau memang Kepala Suku yang nakal, Peri Jenaka! "Sekarang letakkan bumbung tuakmu. Hadapi Salendra dengan pedangkul Tumbangkan dia, jangan sampai kau menjadi tawananku selamanya, Pendekar jelekl' "Akan kucoba, Ketua genit.

Tapi apa hadiah untukku jika aku unggul melawan Salendra'"

'Apa yang kau mau dariku, ambiliah. Asal jangan Batu Selaput Dara lnl!" jawab Peri Jenaka semakin Ilrlh. Kemudlan ia membawa Pendekar Mabuk ke arena pertarungan yang sudah dilingkari oleh wanlta wanita Suku Mabayo yang bersenjata pedang Itu. Salendra pUn sudah menunggu di tengah arena dengan pedang ditangan. Apakah Suto Slntlng akan unggul melawan Salendra jika ternyata Salendra Jago pedang andalan Ratu Sendang Pamuas"l

SELESAI



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar