ANGIN bertiup menuju ke timur,
sementara awan hitam menggantung di langit barat. Hembusan angin itu membuat
rambut pan|ang sepundak tanpa ikat kepala itu meriap-riap bagai ingin terbang
dari kepala si pemuda tampan.
Pemuda tampan berbaju buntung
coklat dengan celana putih kusam dan menyilangkan bumbung tuak di punggungnya
itu sengaja berhenti di perbatasan desa tersebut. Pemuda yang tak lain adalah
si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang bernama Suto Sinting alias
Pendekar Mabuk itu tertarik pada seorang pengemis kecil yang duduk di bawah
pohon.
Pengemis kecil itu berusia
sekitar tiga belas tahun. Badannya yang kurus dlbungkus pakaian biru lusuh,
seperti jeans belel. Bajunya tanpa lengan tanpa" kancing, celananya
cingkrang, tinggi tidak panjang tidak sebatas lutut lewat sedikit Bajunya
mempunyai empat tambaian, celananya dihitung hitung ada enam belas tambaian.
Semua kain penambal berbeda
wana. bulu dan celananya memang serba tambalan, hanya mulutnya yang tidak ditambal.
Karena itulah maka mulut pengemls kecil Itu nyerocos terus, memohon belas
kasihan dengan kata-kata dil'agukan dalam irama mirip dangdut.
"Kasihanilah daku..-.
Bapak. Ibu. Kakek, Nenek, dan
keturunannya....
Daku ini orang tak punya,
duhai"
Ada nasi makan nasi. ada
singkong makan
singkong, ada rampok makan
ayam....
Mohon belas kasihan.... Bapak,
ibu, Kakek, Nenek, dan keturunannya....
Beri daku sedekah aia
kadarnya....
Yang penting cukup untuk makan
sebulan,
duhai... Bapak, ibu, Kakek, Nenek,
dan
keturunannya.... Siapa memberi
akan masuk surga....
Yang tidak memberi masuk
penjara....
dunai... Bapak, ibu, Kakek,
Nenek, dan
keturunannya... "
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum Setelah menyimak permohonan belas kasihan yang ditembangkan itu. ia
tersenyum bukan karena punya ide ingin iadi pengemis juga, namun karena merasa
unik melihat pengemls kecil melantunkan tembang bersyalr lucu.
Pengemis berambut kucai warna
merah jagung dan berkulit hitam kusam itu sempat melirik Suto Sinting. Hatinya
berharap mendapat sedekah dari seorang pemuda tampan. Maka permohonannya dalam
tembang pun lebih diperbanyak dengan suara agak keras.
"Kasihaniiah daku....
Duhai, Bapak, ibu, Kakek,
Kangmas, dan
keturunannya.... Badanku kurus bukan karena
cacingan,
Bapak, ibu, Kakek, Kangmas,
dan keturunannya....
Badanku kurus karena bakat,
Kangmas....
Bakat [adl pengemis muda....
Duhai, Bapak, ibu, Kangmas,
dan keturunannya.--."
Akhirnya Suto mendekati
pengemis kecil itu. SI pengemis pandangi wajah Suto dengan mata sayu, seakan
penuh harapan untuk mendapat sedekah dari si walah tampan itu. Ternyata Suto
Sinting memang mengambil sekeping uang yang ada di selipan Ikat pinggang kain
merahnya itu.
"Kau memang pengemis
kecil yang berbakat.
Suaramu enak juga didengar
sambil tiduran."
"Terima kasih, terima
kasih, Kakang"
Yang kubutuhkan bukan pujian
tapi makanan,
Kakang" Kalau tak ada
makanan uang pun jadi,
Kakang... Tak ada uang, baju
pun jadi, Kakang"
Kalau tak ada baju, celana pun
jadi,
Kakang..."
Sambil tertawa kecil Suto
berkata, "Kalau celanaku kuberikan padamu, lalu aku pakai apa"!
Bisa masuk angin, Dik" Kata nenek dan para
sesepuh kakang ...
Masuk angin itu lebih baik
daripada masuk
neraka, Kakang" Aduh
lapar, lapar, lapar perutku, Kakang"
Jika tak punya uang jangan
bercanda denganku, Kakang?"
Pengemis kecil itu selalu
menjawab dengan tembang. Kata-katanya mengandung kelucuan sederhana yang cukup
menghlbur hati sl Pendekar Mabuk. Maka, sambil tertawa pelan. murld sinting si
Glla Tuak itu berkata lagi kepada pengemis kecil bermata sayu.
"Aku akan memberimu uang,
tapi sebutkan dulu
namamu." "Menurut
silsilah para raja"raja. Kakang...
Hamba yang hina ini diberi
nama Baruna
Widyatama" Tapi karena
mirip nama perusahaan; Kakang...
Maka nama Baruna Widyatama
diganti Badrun,
Kakang?"
Tawa Suto terdengar iagi
seperti orang menggumam pelan. Ia masih menimang-nimang uang yang terhitung
besar untuk ukuran perekonomian dl kala Itu. Si pengemis kecil bermata sayu
tampak melirik terus dengan. hati-tak sabar. Tempurung yang sejak tadi
ditadahkan ke depan itu sengaja diarahkan mendekati tangan Suto Slnting.
"Satu iagl pertanyaanku
untukmu, Badrun. Kalau kau bisa, uangku ini akan kujatuhkan ke tempurungmu.
Jawablah tak perlu pakai-tembang'lagl.'!
Badrun sangat ngiler mellhat
uang sebanyak itu. Kira"kira kalau dlkurskan pada zaman sekarang uang itu
Ibarat selembar lima puluh ribuan yang berwarna biru abu-abu itu. Suto memang
mempunyal tiga keplng uang masing-masing senilai lima puluh ribu untuk uang sekarang.
Ia habis mendapat hadiah dari seorang lurah., karena berhasil selamatkan nyawa
anak KI Lurah. yang tenggelam di sungai.
Jiwa sosial Pendekar Mabuk
membuatnya tak merasa sayang memberrikan satu keping uang senilal itu kepada
seorang pengemis. Apalagi Ia menaruh beias kasihan kepada pengemis kecil
tersebut.
Tembangnya membuat hati Suto
terharu, namun juga merasa senang bisa bertemu dengan Badrun. Suto Sinting
sendiri tak tahu mengapa hatinya menjadi senang ketika menyimak suara tembang
bocah tersebut. Yang jelas, ia justru punya minat untuk menjadi sahabat si
pengemis kecil.
"Apa yang ingin kau
tanyakan. Kang?" tanya Badrun, matanya sebentar-sebentar melirik ke uang
yang ditlmang-timang dl tangan Pendekar Mabuk Itu. "Apakah kau punya
tempat tinggal"!"
"Punya, tapi hanya sebuah
gubuk reot, Kang. Itu pun kalau ada angin kencang bisa ambruk!"
'Bolehkah aku bermalam di
gubukmu?"
"Boleh saja, Kang. Tapi
cepat jatuhkan uangmu ltu ke tempurungku, Kangl"
'Balkiah," ujar Suto
sambil tersenyum, dan uang pun dijatuhkan ke dalam tempurung. Kliting...l Wa|ah
si pengemis kecil Itu tampak girang sekali, kedua mata sayu nya menjadi lebar
dan seakan melihat surga di depan mata. Ia buru-buru mengambil uang itu dan
memasukkan dalam selipat ikat pinggangnya yang terbuat dari kain kuning itu.
"Terima kasih, Kang!
Terima kaslh!" ucapnya dengan ceria sekali. 'Kaiau memang kau
lngin...," Badrun hentikan kata, karena dilihatnya ada tiga orang
berpakaian bagus hendak memasuki perbatasan desa.
"Ssst..., Kang,
menjauhiah dulu. Ada tiga nasabah mau lewat."
"Nasabah itu apa?"
"Nasibnya selalu
bertambah!"
"Bertambah kaya atau bertambah
miskin?"
"Yaaah, tergantung cuaca.
kang -.. ..... ..-.. menyingklrlah dulu, Kang"."
Sambil tersenyum geli Suto
Sinting yang selama ini pusing dengan urusan pertarungan, sengaja menyempatkan
diri untuk mellhat aksi pengemis kecil sebagal hlburannya. la menjauh, duduk di
atas sebatang pohon yang sudah lama tumbang.
Pohon tumbang Itu ada di seberang jalan perbatasan
desa tersebut. Di sana ia menenggak tuaknya tiga teguk.
Tiga orang berpakaian mewah
itu sepertinyam para saudagar atau pejabat istana yang hidupnya berkecukupan.
Masing-masing menunggang kuda yang berpelana bagus. Lebih bagus pelana'kuda
ketimbang pakaian si Badrun.
Kuda yang berjalan santai
seperti malas-malasan Itu akhirnya berhenti di depan Badrun ketika Badrun
serukan tembangnya. Ketiga orang berusia sekitar lima puluh tahun itu sailng
pandang seben tar, kemudian sama"sama menatap Badrun. Wajah si pengemis
kecil itu kian dibuat murung sedih dengan mata semakin sayu.
"Berilah sedekah kepada
anak yatim piatu"ini....
Duhai, Tuan"tuan yang
terhormat, yang gagah
dan perkasa.... Hamba sudah
lama tak makan nasi...-
Kecuali panggang ayam dan
gulai sapi....
Kasihaniiah hamba yang hina
ini....
Duhai, Tuan-tuan yang
terhormat dan punya
pangkat.... Sedikit sedekah
dapat membuat harta makin
berlimpah.... Tanpa sedikit
sedekah nanti malah Tuan dapat
musibah".
Salah seorang yang berpakaian
kuning mengkllap itu berseru dengan nada membentak.
"Hei, kau mau minta
sedekah atau mau menyumpahi kami"!" '!
"Mohon ampun seribu
ampun, Tuan,...
Bukan maksud hamba mengutuk
nasib orang....
Tapi syair memang tersusun
begitu, dan....
Yang penting bukan syairnya.
tapi sedekah-
Duhai Tuan-tuan yang terhormat
dan anti
melarat-.."
Suto Sinting hanya
senyum-senyum saja dari kejauhan. Matanya memang tidak tertuju langsung ke arah
Badrun, tapi perhatiannya terpusat ke sana.
Telinganya menyimak suara tiga
penunggang kuda & yang terdengar samar-samar dari tempatnya.
"Sebaiknya kita tanyakan
pada dia. Siapa tahu dia mengetahuinya!" usul yang berpakaian merah
bergaris-garis biru itu. Kejap kemudian, orang yang
berpakaian kuning itu berseru
kepada Badrun tanpa turun dari kudanya. "Hei. Bocah gembel...! Apakah kau
melihat gadis penunggang kuda putih lewat sini"!"
"Kasihanilah hamba yang
nista ini....
Duhai, Tuan"tuan yang
terhormat dan salah
alamat.... Sedikit sedekah
dapat perpanjang umur
hamba.... Duhai, Tuan-tuan
terhormat dan tersesat...."
Yang berpakaian hijau muda
mengkilap itu membentak dengan mata melotot dan kumis dipelintir kuat-kuat.
"Hei, budek kau,
yar"! Jawab pertanyaan tadi. Apakah kau melihat seorang gadis menunggang
kuda putlh lewat jalanan ini"!"
"Aduh lapar, lapar, lapar
perutku....
Segenggam nasi dapat menjadi
petunjuk tak
basi.... Sekeping uang dapat
menjadi bahan
penerang...."
Badrun tetap ngotot Iantunkan
tembang benrisl syair permohonan. ta bagai tak mau dengar pertanyaan ketiga
orang berkuda Itu. Salah seorang dari mereka akhirnya turun dari punggung kuda
dan hampiri Badrun. Orang berpakaian merah garis-garis biru Itulah yang hampiri
Badrun dan menendang tangan Badrun. Plak...l Weeers...l
Tempurung penadah uang
terlempar akibat tendangan itu. Badrun ketakutan dan duduknya bergeser mundur.
Pendekar Mabuk masih tetap di tempatnya, namun sudah mulai siap-slap lakukan
sesuatu jIka orang-orang itu bertindak lebih kasar lagi kepada Badrun.
'Apa kau benar-benar tuli,
hah"!" bentak sl baju merah garis-garis biru. "Jawab pertanyaan
kami tadi. Jangan hanya bisa minta-minta terus! Kalau kau tak mau menjawab,
kami tak akan segan"segan menghajarmu, karena kami tak mau kau permalnkan
dengan syair-syairmu itui'
Badrun merapatkan badan ke
pohon, ia masih duduk meringkuk dengan wajah penuh ketakutan. Orang berpakaian
merah garis-garis biru yang menyandang pedang besar bersarung emas di
pinggangnya itu mengulang pertanyaan tadi.
"Kau tinggal menjawab ya
atau tidak! Apakah kau melihat seorang gadis menunggang kuda putih lewat
jalanan tni"l Ya, atau tidak"l'
"Kalau Tuan bisa jawab
tebakanku, aku akan jawab pertanyaan Tuanl' ujar Badrun dengan nada lumrah,
namun tak berani dilamplaskan jelas-jelas.
'Turuti saia permintaannya
asal bukan uangl" seru yang berpakaian hilau dari atas kudanya.
"Baik. Asal iangan minta
uang, akan kuturuti apa"kemauanmu! Apa tebakanmu"!"
"Kalau Tuan tak bisa
menjawab, Tuan akan celakal"
'persetanl Apa tebakanmu,
lekas sebutkanl' bentak st baju merah garis"garis biru.
Badrun tempelkan kedua
telunjuknya di pelipis. Ia memejamkan mata sebentar, kemudian mata terbuka
bersama suaranya terdengar ajukan tebakan
"Mana yang lebih hebat:
matahari atau rembulan"!"
Sl baju merah garis-garis biru
menggeram jengkel. ia segera menatap kedua temannya yang masih tetap di atas
kuda. Kedua temannya sunggingkan senyum sinis menyelekan. Si baju merah
garis-garis biru akhirnya menjawab tebakan itu sambil me natap Badrun dengan
mata garangnya.
"Jelas lebih hebat
mataharil Dia lebih besar dan lebih panas." "Salah" ujar Badrun
tegas sambil berdiri pelan-pelan.
' Yang berbaju hijau Ikut
ngotot. "Hebat matahari! Dia punya daya panas lebih tinggi dari
rembulan!"
"Salah!" Badrun
makin mene'gaskan.
Yang berpakaian kuning pun
menimpali, "Bocah ' bodoh! Rembulan dan matahari itu ieblh hebat matahari.
Tenaga matahari bisa untuk membakarmu, Tololl' ' .
"Salahl' ujar Badrun
sambil bernada ngotot juga. Lalu sambungnya lagi.
'Rembulan dan matahari lebih
hebat rembulan. Karena rembulan bisa menerangi malam, sedangkan matahari tak
pernah bisa menerangi malaml'
"Konyol! Hajar saia bocah
itu!" seru yang berpakaian hijau. Si baju kuning segera turun dari pu
nggung kuda. ; "
Tapi kejap berikut si baju
merah garis"garis biru itu tersentak dengan tubuh membungkuk. Tiba-tiba
mulutnya terbuka dan suaranya menyentak keras.
"Hooeeek...!" Orang
itu memuntahkan darah segar cukup banyak. Kedua temannya tertegun kaget
memandang keadaan seperti itu. Si baju merah garis-garis biru ingin kembali ke
kudanya, tapi Ia memuntahkan darah lagi.
"Hoooeek...l Hoooeeek...i"
'Kenapa kau, Jalagina"l'
tanya si baju kuning segera memapahnya. "Dadaku terasa, hooeek...i
Hoooeek...l'
Si baju hijau segera turun
dari kudanya. ia Ingin ikut memapah si
baju merah garis-garis biru itu. Tapi
tiba"tiba langkahnya terhenti dan ia sendiri memuntahkan darah
segar cukup banyak.
"Hooeeek...l
Hoooeeeekk...l'
'Apa yang terjadi
Ini"!" seru si baju kuning dengan terheran-heran. 'Kenapa kalian
sampai begini" Apakah... hoooeeek...i"
Sl baju kuning juga
memuntahkan darah segar cukup banyak dari mulutnya. Ia terbungkuk"bungkuk
karena sesuatu mendorong lsl perutnya untuk keluar semua, namun dalam bentuk
darah segar.
"Hoooeeek...!'
"Huuuueeeaaak...! Huuueeaak...i"
'Hoooook... hooook...
hooeeeek...."
Pendekar Mabuk terperanjat
sekali dan menjadi tertegun di tempat. ia berdiri seketika pada waktu sl baju
hijau memuntahkan darah segar. Dalam benak Suto segera teringat kata"kata
Badrun, bahwa mereka akan celaka jika salah menjawab tebakannya.
"Apakah celaka seperti
itu yang dimaksud Badrun"!" gumam Suto dalam hatinya. "Apakah
muntah darah mereka disebabkan salah menjawab tebakan"! Ah, mana mungkin
salah menjawab tebakan bisa bikin muntah darah separah itu"!"
Ketiga orang itu tampak lemah
dan berwajah pucat pasl seperti mayat. Darah mereka banyak yang keluar. Mereka
tak mampu lagi meiangkah. Sisa
tenaganya dipakai untuk naik
ke punggung kuda. Itu pun mereka masih terus-terusan memuntahkan darah segar.
Ketiga orang itu akhirnya kembali ketempatnya.Tak jadI lanjutkan perjalanan
masuk desa.
Mereka menunggang kuda
sebisanya sambil sesekaii muntahkan darah dari mulut. Suara 'hoek-hoek'
masihterdengar sekalipun mereka sudah cukup jauh.
Pendekar Mabuk segera hamplrl
Badrun dengan wajah penuh keheranan- Badrun yang sudah mengambil tempurungnya
itu masih memandang kepergian ketiga orang kaya Itu sambil 'sungglngkansenyum
sinis. "Ada apa dengan mereka, Badrun" Suto Sinting berlagak tidak
tahu nasib ketiga orang itu.
"Mereka muntah darah,
Kang."
"Mengapa bisa muntah
darah begitu"!"
"mereka saiah menjawab
tebakanku!"
Pendekar Mabuk makin kerutkan
dahi, mencoba memahami maksud pengemis konyoi itu- Tapi beberapa renungan tidak
membuat Suto mengerti maksud kata-kata Badrun. Sebelum Sute ajukan tanya,
Badrun sudah bicara lebih dulu.
"Kalau mereka tidak
segera tertolong, mereka dapat mati kehabisan darah. Darah Itu tidak akan
berhenti dan akan terkuras sampai habis."
"Maksudku... maksudku
mengapa mereka sampai muntah darah hanya karena salah menjawab
tebakanmu"!"
Badrun tarik napas dan sedikit
tundukkan wajah, pandangi tempurungnya. Suaranya terdengar ilrlh dan membuat
Stilo Sinting makin mendekat.
"Mereka bermaksud jahat
padaku, jadi terpaksa kugunakan Ilmu 'Kedung Getih', daripada aku yang celaka
mendingan mereka yang celaka.'
"ilmu apa..."!"
Suto klan kerutkan dahi dekatkan teiinga. "llmu 'Kedung Getlh'. Kang.
Hmm... hmmm...sebenarnya kalau yang dua tidak ikut menjawab tebakanku, kedua
orang itu tidak akan terkena iimu 'kedung Getlh'-ku. Tapi karena mereka ikut
menjawab dan jawaban mereka salah, maka mereka ikui-Ikutan muntah darah."
Pendekar Mabuk tegakkan badan.
Memandang ke arah kepergian ketiga orang tadi. Hatinya diilputl kesangslan,
antara percaya dan tidak mendengar
pengakuan Badrun itu. Karena
baru sekarang Suto sintng menemukan ilmu aneh seperti yang dikatakan Badrun.
Pengakuan itu seperti sebuah canda, itu iebih tepatnya mirip orang main-main.
Tapi kenyataan yang diiihat Suto membuat hati menjadi' ragu-ragu. "Katamu
tadi, kau Ingin ikut bermalam di gubukku, Kang?" Badrun alihkan pembicaraan.
"Hmmm, ehh... iya,"
lawab Suto mengggeragap karena segera sadar dari lamunannya. "Tapi...
tapi aku ingin tahu dulu tentang ilmu
'Kedung Getih' Itu.
“Apakah kau bersungguh
sungguh"!"
"Kugunakan jika dalam
keadaan diriku terancam bahaya saja, Kang. Karena begitulah pesan mendiang
kakekku."
"Mendiang kakekmu. Apakah
ilmu itu dari kakekmu?"
Badrun anggukkan kepala.
"Kata mendiang ayahku, Jika Kakek sudah mati, maka llmunya akan menitis
padaku. Semasa kakek masih hldup dulu bllang begitu padaku, tapi waktu itu aku
masih kecil. Masih usia enam tahun, jadi masih tidak percaya dengan kata-kata
Kakek. Tapi aku sering melihat Kakek memberi tebakan kepada lawannya dan
lawannya muntah darah lika tidak bisa menjawab tebakannya."
"Aneh..."!' gumam
Suto Sintlng sambil masih berkerut dahi, pandangan matanya dilemparkan kearah
lain. "Tentang gadis penunggang kuda yang ditanyakan mereka itu saja sudah
meniadl bahan pertanyaan dalam batinku. Jawabannya belum kutemukan, sudah harus
dibuat heran lagi dengan ilmu 'Kedung Getih' itu"!"
Maka Suto Sinting pun bertanya
kepada Badrun, "Tentang gadis penunggang kuda putih itu bagaimana"
Apakah kau memang melihat gadis Itu lewat jalanan lnl atau tidak"! Mengapa
kau tak mau' menjawab pertanyaan mereka?"
"Kang," ujar Badrun
pelan, suaranya agak berbisik. "Kalau mau tahu tentang itu, sebaiknya kita
blcara di rumahku saja. Kau tak perlu keluarkan uangsewa kamar lagi. karena
memang rumahku tak punya kamar."
Pendekar Mabuk seperti dipaksa
untuk tersenyum. Maka yang keluar adalah senyuman canggung dlbayang-bayangl
rasa penasarannya.
***
2
DESA itu bernama Desa
Bumireja. Sebuah desa yang subur dan padat penduduknya, nyaris menyerupai
sebuah kota. Bahkan menurut keterangan Badrun, desa itu'rneniadi pusat
perdagangan palawlja dan rempah-rempah.
"Desaku ini masih
termasuk wilayah Kadipaten Buranang lho,
Kang," ujar Badrun saat mereka melangkah menuju rumah pengemis kecil itu.
Pendekar Mabuk sedikit
terperanjat, karena Ia pernah dengar
nama Kadipaten Buranang. Ia pernah kenal dengan putri sang Adipatiyang manja
itu: Dianti Anggraini. Kabar terakhir yang diterima Suto dari Sawung Kuntet,
sang putrl'adipati telah diantar sampai ke istananya dengan selamat. Suto jadi
lega mendengarnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bibir
Penyebar Maut").
"Apakah tiga orang kaya
tadi adalah orang Kadipaten Buranang?"
"Kurasa bukan. Kang.
Kalau mereka pejabat atau saudagar yang menetap di pusat kota kadlpaten. mereka
tidak akan bertindak semena –mena begitu. Kurasa mereka orang dari Kadipaten
Lohmina."
"O. ada dua
kadipaten?"
"i
Iya, tapi letaknya berjauhan.
Batas Kadipaten Buranang adalah Pegunungan Nagasari itu, Kang!" sambil
Badrun menuding pegunungan yang tampak
panjang melluk-Iluk mirip badan naga itu.
"Seberang pegunungan itu
sudah menjadi wilayah Kadipaten Lohmina: tutur Badrun menjeiaskan bagai pemandu
turis. "Kalau yang itu gunung apa namanya, Badrun?"
"0, itu namanya Gunung
Batari"
"indah sekali dipandang
dari sini. Seperti bentuk mahkota alam."
'indah tapi... tapi cukup
berbahaya itu, Kang."
"Berbahayanya
kenapa" deSak Suta semakin ingin tahu. "Pokoknya bahaya." jawab
Badrun seakan malas memberi penjelasan panjang-lebar. Suto Sinting pun tak.
terlalu tertarik untuk mendesaknya, karena matanya segera pandangi lalu-lalang
para penduduk desa itu. Mereka tampak rajin bekerja dan punya gairah hidup
cukup tinggi.
Suto menyukai semangat hidup
yang tampak dari wajah wajah para penduduk desa itu. Ternyata bukan hanya Suto
Sinting yang memandang kagum terhadap semangat hidup para penduduk desa, tapi
para penduduk desa pun memandang kagum terhadap kehadiran Suto Sinting.
Sebagai orang asing yang punya
wajah tampan, tubuh kekar, gagah perkasa, sudah tentu menjadi pusat perhatian
mereka. baik secara terang"terangan maupun secara gelap-gelapan.
Mata kaum wanita selalu
sempatkan metirlk ke arah Suto, baik yang muda, tua, atau sudah berstatus nenek
sekalipun. ada yang-mellrlk sambil dari balik pohon, ada yang menatap
darl'.bailk jendela rumahnya, ada yang memandang dari sela"sela jemuran.
ada pula yang memandang dari belakang punggung suaminya. Menyadari hal itu,
Suto menjadi rlslh sendiri.
Badrun pun disuruh mempercepat
langkahnya. Tetapi bocah itu justru memperlambat langkah karena ia merasa
bangga bisa berjalan dengan pemuda gagah dan tampan bak seorang ksatria,
Menurut Badrun. di desa itu tidak ada pemuda yang segagah dan setampan Suto.
Maka ketika tiba di rumah
gubuknya Badrun, Suto buru-buru masuk ke dalam. ia terpaksa merundukkan kepala
karena atap rumah itu pendek, pintunya lebih pendek lagi"
"Wah, kalau begini
caranya bisa-bisa keluar dari rumah ini bentukku berubah esseperti udang. Bungkuk' gumam Suto Sintlng sengaja
agak- keras supaya dtdengar Badrun.
"Ya, begini inilah
gubukku, Kang. Kalau kau suka silakan bermalam di sini. Kalau tak suka,
silahkan ajak aku pindah ke rumah yang bagus," kata bocah itu sambil
cengar-cenglr. '
Rumah itu memang menyedihkan.
Dindingnya terbuat dari papan yang tambal-tambal tak karuan.
Selain beratap pendek, juga
miring ke kanan. Sepertinya sekali disapu angin setengah badai, rumah itu akan
roboh tanpa ampun lagi. seperti apa kata
Badrun tadi, rumah beratap rumbia itu tak punya kamar.polos tanpa penyekat
Tempat tldumya dari dipan
bambu yang sudah reot. Satu kakinya disambung dengan kayu lain hingga posisinya
agak miring. Meja kursinya dari kayu papan yang dibuat asal jadI. Di tengah
ruangan ltu ada meja lebar, berkaki rendah.
Meja itu dikelilingi tikar
pandan yang sudah butukan. Orang yang akan makan di meja itu harus duduk
berslla, atau melonjor ke samping. Tak bisa melonior ke depan, karena meja itu
menyerupai kotak tanpa kolong. Dua kursi kayu reot ada di samping dipan, satu
kursi lagi ada dl sudut. Sudut itu adalah dapur yang mempunya! tungku berabu
tinggi, dekat dengan pintu menuju ke halaman belakang.
Tapi halaman belakang hanya
secuil tanah yang cukup untuk kamar mandi dan WC saja. Bahkan untuk menanam
pohon cabe saia harus diperhitungkan masak-masak letaknya.
Suto tak betah berdiri dI
dalam rumah tanpa jendela Itu. Karena ia tak betah harus membungkuk terus. Maka
ia memilih duduk di tikar yang mengelilingi meja rendah tersebut.
"Benar"benar
menyedihkan. Lebih bagus kandang kebo daripada rumah lnl," pikir Suto
Sinting sambil matanya memandang sekeliling.
Badrun menutup pintu rumah,
karena petang mulai datang.
"kang, aku punya teh
seduh. Apakah kau mau minum teh seduh?"
'kaiau aku menjawab salah,
bisa celaka apa tidak ."
Badrun tertawa kecii.
"ini pertanyaan biasa kok, Kang. Bukan tebakan 'Kedung Getlh'. Jangan
takut menjawab salah," ujar si bocah.
'Aku minum tuak saja,"
jawab Suto sambil sedikit mengangkat bumbung tuaknya.
"Wah. tak balk terlalu
banyak minum tuak, Kang. Sedlklt saja. Sisanya blar kuminum."
Suto tertawa pendek.
"Ambil cangkir dan kita minum tuak bersama."
Badrun kegirangan, lalu segera
mengambil cangkir keramik yang sudah rusak tepiannya. ini cangkir apa takaran
beras"i" gumam Suto Sinting. membuat Badrun tertawa malu.
Sambil menikmati minuman tuak
memakai cangkir-cangkir sompai Itu, Suto Sinting sempat pandangl lagi
barang-barang yang ada di rumah Itu. Semuanya memang serba rombeng. Satu pun
tak ada yang laku dijual.
"Sebenarnya pintu rumah
ini tak perlu kau ganjal dengan palang pintu. Karena aku yakin tak ada pencuri
yang mau masuk ke rumahmu lnl, Badrun."
"Siapa tahu
ada"!" _
"Pencuri masuk ke sini
adalah pencuri yang bernasib siail Apa yang mau dicuri?"
"Siapa tahu yang dicuri
diriku sendiri"!'
"Orang mencuri dirimu itu
adalah orang buta yang menganggapmu patung keramat."
Tawa mereka meledak bersama di
bawah penerangan cahaya iampu minyak. lampu itu berupa mangkuk tembaga yang
sudah pietat-pietot, dituangi minyak. Sejumput kapas direndam dalam minyak itu,
kemudian ditarik sedikit dijadikan sumbu yang membuat lampu itu menjadi
menyala.
"Apakah sejak dulu
keluargamu tlnggal di sinl"'
"Ya. Ayahku, ibuku,
bahkan kakekku juga dulu menempati rumah ini."
"tak dibangun sedikit
pun?"
"Kami tak mampu
membangunnya. Dari dulu ya begini ini." "Gliai' gumam Suto Sinting
sambil geleng"geieng kepala. 'Rumah kanan-kirlmu bagus"bagus, rumahmu
sendiri yang luar biasa bagusnya," sindlr Suto tapi dalam nada bercanda.
dan tampaknya Badruntak pernah tersinggung oleh sindiran atau candaan seperti
itu. Namun hati Suto sebenarnya terharu meiihat kehidupan Badrun.
"Dengan siapa kau tinggal
di rumah ini?" tanya Suto setelah diam beberapa saat.
Badrun tidak langsung
menjawab, Ia pandangi cangkir tuaknya sesaat, kemudian baru perdengarkan
suaranya agak pelan.
"Aku tlnggal sendirian di
rumah inl.'
'Kau tak punya saudara?"
"Punya. Seorang kakak!
"Laiu, di mana kakakmu
tlnggal?"
'Tidak di rumah ini."
"Siapa nama
kakakmu?"
"Peri-..," jawab
Badrun, lalu tertawa kecil.
Suto ikut tertawa walaupun
sebenarnya ieiucon itu tidak membuatnya geli. Rasa-rasanya pembicaraan itu tak begitu
penting bagi Suto. Ada masalah yang lebih penting dibicarakan, yaitu tentang
gadis berkuda putih yang ditanyakan tiga orang kaya itu.
Maka Suto pun menanyakan hal
itu kepada Badrun.
"Penunggang kuda putih
itu memang kulihat tewat di depanku," kata Badrun. 'Tapi aku tak mau
memberi tahu mereka."
"Mengapa kau
rnerahaslakannya"'
"Gadis itu adaiah...
adalah orang suku Mabayo."
Pendekar Mabuk berkerut dahi.
"Suku Mabayo?"!"
"Suku yang hidup di Hutan
Maiaikat: tambah Badrun dengan suara pelan, seakan takut didengar orang lain.
"Aneh. Baru sekarang kudengar nama suku itu. Lalu, yang dinamakan Hutan
Malaikat itu ada dl mana?"
"Di Gunung Batar.'
"Hmmm...," Suto Sinting menggumam pelan dan manggut-manggut. Selagi
mereka saling terbungkam, suara petang menjadi riuh. Di luar rumah ada
keributan. Orang"orang berteriak, sailng menjerit, dan suara bentakan
terdengar tak ieIas dari mulut orang yang tampaknya berperilaku kasar. Suara
tersebut membuat Suto Slnting bangkit berdiri, namun tak bisa tegak.
" 'Jangan keluar, Kang.
Jangan keluar! Tetaplah di sini!" ujar Badrun dengan wajah tegang ]uga. Ia
pun ikut bangkit dan memegangi tangan Suto.
"Suara keributan apa
itu"!' tanya Suto Sintlng.
Bluuub...! Badrun matikan
lampu. Suasana meniadl gelap dan keheranan Suto Sinting bertambah besar.
'Badrunl Drum."! Badrun,
di mana kau"?" tangan Suto meraba-raba. Plok...i WaJah Badrun
dipegangnya
"Kang, ini wajahku.
Jangan diremas'
"Badrun, mengapa lampunya
kau padamkan'."
'Biar orang-orang itu tidak
mendekati rumah ini!' "Kenapa" Orang-orang siapa"i Katakan.
Drun... siapa mereka itu"!"
"Mereka orang-orang
iahat, kang" bisik Badrun.
"Apa mau
mereka"!"
"Mereka pasti mencari
gadis penunggang kuda putih."
"Aneh. Aku harus keluar
dan mengetahui apa yang mereka perbuat, Druni'
'Jangan, Kangi Nanti
salah-saiah kau dibunuh oieh mereka! Sudah tiga malam ini mereka berkeliaran di
desa sini dan pasti mencari gadis penunggang kuda putih. Mungkin sekarang
mereka jengkel dan marah"marah pada penduduk, Kang."
Saat si Badrun bicara begitu,
Suto sudah melangkah dekati pintu dengan meraba"raba. Lalu la temukan
palang pintu dan diangkatnya kayu palang pintu itu.
"Kang..." Kang
Suto..."l' Badrun memanggil dengan suara berbisik. rTetaplah di rumah dan
kunci pintu! Aku keluar sebentar. Drun' 'Bahaya, Kang' "Kalau ada ketukan
pintu empat kali, berarti aku yang mengetuk! Kau boleh buka pintu. Tapi
kalauketukan kurang atau lebih dari empat kali, berarti bukan aku yang datang.
Kau tak perlu buka pintui"
"Tapi, Kang"."
Krriiieet...! Pintu pun dibuka
pelan-pelan oleh Suto. Seakan ia tak hiraukan kecemasan Badrun. Bocah berusia
tiga belas tahun itu bermaksud menahan Suto, tetapi ketika Ia sampai di pintu,
Suto Sintlng sudah keluar rumah. Mau tak mau Badrun ikut keluar iuga. Ia sangat mengkhawatirkan keselamatan teman
barunya itu. Karena seiama ini. baru Suto Sintlnglah orangnya yang datang ke
rumahnya sebagai tamu dan bersikap bersahabat.
'Kang..."!
Kakang..." panggil Badrun sambil beriarl-lari kecil mengikuti Suto
Slnting.
"Hei, kenapa kau ikut
keluar juga"! Sana masuk"
"Kang, kau belum paham
betui jaian-lalan di desa ini Kau bisa tersesat jika puiang ke rumahku nanti
Sebaiknya aku ikut juga biar nanti pulangnya bisa bersama-sama," kata
Badrun seakan Ia merasa bertanggung iawab atas keselamatan tamunya. Suto tak
tega untuk menghardik atau memaksanya pulang, akhirnya ia biarkan anak itu ikut
bersamanya.
Suasana di luar rumah iebih
terang daripada di dalam tadi. Tiap rumah mempunyal iampu penerang jalan. pada
umumnya terbuat dari bambu melintang dengan tiga atau empat sumbu.
Keadaan terang itulah yang
membuat Suto Slnting melihat seorang lelaki kurus diseret keluar dari rumahnya
oleh dua orang berpakaian serba hitam.
"Kang... mereka
orang-orang Waduk Bangkal!" bisik Badrun semakin bernada penuh kecemasan
dan rasa takut. "Siapa orang-orang Waduk Bangkai itu"!"
"Mereka para pembunuh
bayaran, Kang! Mereka ganas-ganas! Sebaiknya kita masuk rumah kembali,
Kangl" Badrun menarik-narik tangan Suto.
"Kau berlindung di
samping rumah berpagar rendah itu. Aku akan temui mereka sebentar."
"Jangan, Kang! Nanti
mereka marah padamu!"
"Sudahlah. sana
berlindung di samping rumahitu! jangan mendekatiku seiama aku berhadapan dengan
orang-orang Waduk Bangkai itu!"
"Tapi... tapi... tapi
hati-hati, ya Kang"!"
"Hmmm! O, ya" siapa
orang yang diseret mereka itu"!"
"Wakilnya Ki Lurah! Aduh.
kasihan dia.... Soalnya Ki Lurah beberapa hari ini sedang sakit. tak bisa turun
dari tempat tidurnya dan...."
"Sudahlah, sana
sembunyi!"
"Baik, Kang.
Baik...i" kata Badrun masih tetap dengan suara bisik, kemudian ia berlari
ke samping rumah tetangganya, bersembunyi di sana.
Matanya memandang tegang ke
arah Suto Siming yang melangkah dengan tenang dekati kerumunan orang-orang
berpakaian serba hitam itu. Dengan bumbung tuak digantungkan di pundak
kanannya, Suto Sinting sengaja berjalan di tengah jalanan tak beraspal itu
supaya kehadirannya dapat dilihat jelas oleh orang-orang berpakaian hitam yang
jumlahnya sekitar enam orang itu.
Si wakil lurah duduk di tanah
dengan ketakutan dikelilingi oleh enam orang Waduk Bangkai. Salah seorang dari
mereka memegang cambuk yang segera dilecutkan ke tubuh sl wakil lurah.
Ctaaar...! "Kalau kau tak
mau kasih tahu di mana gadis berkuda putih itu, kau akan kuhancurkan dengan
cambuk Ini!" bentak orang berkumis yang mengenakan ikat kepala model warok
Itu. |
"Sumpah mati. aku tidak
tahu tentang gadis itui' ujar si wakil iurah. "Bohong! Kau wakil iurah,
pasti menerima iaporan dari anak buahmu bahwa di sini ada tamu seorang gadis
menunggang kuda putihi"
"Tidak! Tidak ada
laporan. Sumpah! Berani disambar petir seratus kail kalau aku bohongi"
"Paksa dia dengan
cambukan supaya mengakui" semak salah seorang dari mereka, maka si
pemegang cambuk pun melecutkan cambuknya kembali.
Ctaaarrr...i "Aaaow...|"
si wakil lurah memekik kesakitan, mengiris hati orang yang mendengarnya.
Sementara itu. keiuarganya yang hanya bisa menyaksikan dengan sembunyi-sembunyi
dari balik pintu rumah hanya bisa menangis tanpa berani berteriak meminta
tolong pada siapa pun.
Pendekar Mabuk segera berseru
sebelum cambuk melecut ketiga kallnya.
'Hentikan...l" Suara itu
sangat menarik perhatian mereka berenam. Bahkan para penduduk yang diam-diam
mengintai dari beberapa tempat itu juga terkejut mendengar suara Suto Sinting.
Mereka tak menyangka ada orang yang berani berseru menyuruh orang-orang Waduk
Bangkai menghentikan siksaannya.
"Siapa kau"i
Berani-beraninya kau menyuruh kami hentikan tindakan Ini, hah"!"
seseorang maju dengan berang dan segera mengangkat tangannya untuk menampar
Suto Sinting.
Tapi sebeium tangan orang itu
berkelebat menampar, tiba-tiba kaki Pendekar Mabuk melayang cepat dengan
gerakan tak terlihat oleh siapa pun.
Wuuut...! Ploook...i Tendangan
yang teramat cepat itu membuat mereka terbengong sesaat, karena orang itu
tahu-tahu sudah jatuh terkapar dengan napas tersentak-semak bagai sekarat. la
jatuh di antara kedua temannya.
Melihat orang Itu terkapar, sl
pemegang cambuk menjadi barang. ia maju dengan langkah cepat dan melecutkan
cambuknya ke arah Pendekar Mabuk.
Tapi gerakan tangan yang
terangkat untuk melecutkan cambuk Itu terhenti. Suto lepaskan junrs 'Jarl
Guntur", berupa sentilan bertenaga dalam cukup besar, menyamai tendangan
seekor kuda jantan.
Teess...i 'Aaaooh...i" sl
pemegang cambuk memekik keras-keras. Sentilan bertenaga dalam itu kenai
pergelangan tangan orang tersebut, cambuk pun terlepas, tangan tak mampu
menggenggam lagi. Ia terbungkuk-bungkuk dengan tangan kiri pegangi tangan
kanannya.
"Aauuh, aauh, aaah...
aaaakh...l'
'Serang dia' seru salah
seorang memberi komando. Empat orang segera mencabut golok danmenyerang
Pendekar Mabuk. Murid si Gila Tuak itu meliukkan tubuh ke sana-sini, melompat
dan sempoyongan seperti orang mabuk mau tumbang, namun sebenarnya ia
menghindari tebasan dan bacokan golok-golok yang menyerangnya secara serentak
itu.
'Hiiiaaaat...l" Wut,
wuuuk, wuuuk, wuul, wuuk, wees,weeess...l Tak satu pun sabetan golok mereka ada
yang kenal tubuh Pendekar Mabuk. Bahkan tendangan dan pukulan mereka dapat
dihindari oleh Pendekar Mabuk dengan gerakan cepat yang sukar dihadangdengan
pukulan selaniutnya.
Secara tak sadar mereka
berempat semakin mengepung lebih dekat lagi. Pada saat itulah, Pendekar Mabuk
lompat ke atas dan memutar tubuh dalam keadaan tegak lurus dengan kedua kaki disentakkan
secara beruntun.
Wuuuut. prraaak...l ,
'Aaaaow...!" Empat orang itu terpental serempak. Mereka terkena tendangan
kaki Pendekar Mabuk secara serempak ]uga. Tendangan kaki memutar bagai
baling-baling tadi mengandung tenaga dalam yang membuat dagu mereka pecah,
salah seorang rahangny'a remuk. Mereka terkapar mengerang"erang, sementara
si pemegang cambuk tadi hanya bisa memandangi Suto Sinting dengan tangan kiri
masih pegangi tangan kanan
yang terasa sakit bagaikan patah tulang itu.
"Bawa pulang teman-temanmu!
Jangan sekali-kali berani bertingkah di desa ini! Kalau ketuamu tak bisa
menerima perlakuanku, suruh dia cari aku. Namaku Suto Sinting! Aku bukan orang
desa ini. Tapiaku siap berhadapan dengan plhakmu kapan saja kalian menghendaki
diriku! Sekali kudengar kalian mengganggu ketenteraman desa Ini, aku akan
datang ke Waduk Bangkai, dan kuhancurkan tempatmu ltui'
Kata-kata tersebut diucapkan
dengan tegas, sekalipun sikap Suto tenang, tapi tiap kata yang dilontarkan
bagai menggetarkan hati si pemegang cambuk. Nyali orang itu mengkerut bagai
kerupuk kena angin.
Dengan menahan rasa sakit di
tangan kanan, ia membantu
teman"temannya untuk segerapergi. Bahkan Ia ]uga yang menggotong salah
seorang yanig pingsan karena serangan pertama tadi.
'Hei, tunggu"!" seru
Suto membuat mereka hentikan langkah dengan cemas.
"Siapa yang mengupah
kalian untuk mencari gadis berkuda putih"!"
'iimmm, eeeh, eeh...
hmmmm.?"
'Aku minta lawaban yang jujur!
Jangan harap ' kau bisa pulang ke Waduk Bangkai kalau tak mau menjawab
pertanyaankui' "Hmmm, ehhh... kami hanya diperintah oleh Nyai Ratu."
'Nyai Ratu siapa"!"
Nyali yang sudah teianlur
mengkerut mirip celdna kodian habis dicuci itu akhirnya tak berani tutupi
rahasia tersebut. Sl pemegang cambuk menjawab dengan pelan. "Nyai Ratu...
Ratu Sendang Pamuas.'
Suto Sinting menggumam lirih
dan manggut manggut. Hatinya bertanya"tanya, "Siapa sebenarnya ratu
Sendang Pamuas itu"! Mengapa baru sekarang kudengar nama Sendang
Pamuas"! Sayang sekali tadi lupa kutanyakan di mana keduduka si Ratu
Sendang Pemuas itu!"
Ketika Suto selesai mengobati
luka cambuk si wakil lurah dengan meminumkan tuak dari bumbung saktinya itu. ia
pun kembali ke rumah Badrun. sekallpun si wakil lurah menawarkan tempat yan
lebih nyaman, tapi Suto Slnting tetap memilih bermalam di gubuk reotnya Badrun.
Anehnya, tak satu pun dari penduduk desa yang mengetahui siapa Ratu Sendang
Pamua Itu. Badrun pun mengaku tak mengenai nama itu dan baru sekarang
mendengarnya.
'Setahuku di sini tak ada
ratu, adanya adipati " kata Badrun yang membuat Suto akhirnya termenung
parljang di rumah kumuh itu.
***
3
SETELAH dua hari tinggai
bersama Badrun. bahkan sempat mengobati penyakit Ki Lurah dan beberapa warga
setempat, Pendekar Mabuk akhirnya teruskan perjalanan yang sudah direncanakan
dalam benaknya beberapa hari yang lalu.
Persoalan gadis berkuda putih
itu dapat ditangguhkan untuk sementara waktu, toh orang-orang Waduk Bangkai
tidak muncul iagi sejak peristiwa malam itu.
"Setelah dari Bukit Sawan
aku akan datang kembali ke sini untuk mencari tahu. siapa sebenarnya garis
berkuda putih itu" Mengapa Ki Lurah dan beberapa Warga desa lainnya tak
ada yang bisa menjelaskan tentang gadis berkuda putih itu" Aku sendiri
jadi sangsi dengan keterangan Badrun. Jangan-jangan anak itu hanya mengarang
sebuah cerita supaya aku betah tinggal bersamanya"! Brengsek: Licin juga
akal anak itu. Tapi kuakui. ia sebenarnya anak yang cerdas." ujar Suto
Siming dalam hatinya.
"badrun, kau mau ikut ke
Bukit Sawan?" tidak, Kang. Nanti siapa yang menggantikan pekerjaanku;
mengemis?"
'sudahlah, tinggalkan saja
pekerjaan itu. Kau bisa kulatih untuk bisa melakukan pekerjaan lain yang
mendatangkan hasil juga."
hah. sayang kalau bakat ini
tidak terpupuk. Kang." jawab Badrun sambil cengar-cenglr dan membuat Suto
Slnting tersenyum geli. '
Maka ketika pagi mulai
meninggi, Pendekar Mabuk tlnggalkan desa tersebut. Ia harus teruskan
perjalanannya menuju ke Perguruagn Telaga Murka yang berada di Bukit Sawan. Ia
ingin temui seora ng ' gadis cantik bak boneka yang menjadi murid perguruan
tersebut. Tirai Surga, namanya!
Gadis itu mampu tinggalkan
kesan tersendiri di hati Pendekar Mabuk. Rasa-rasanya sulit bagi Suto untuk
melupakan Tirai Surga yang berkullt halus lembut seperti kulit bayi itu.
Sekalipun Tlral Surga sebenarnya adalah musuh yang nyaris merenggut nyawa Suto
Slnting. karena ia adalah utusan dari Nyai Dupa Mayat yang bertugas menjebak
dan menangkap Suto, namun pada kenyataannya justru nyawa Suto diselamatkan oleh
jubah Tirai ,Surga saat lakukan pertarungan dengan Nyai Dupa Mayat.
Gadis itu sendiri tak tahu
kalau orang yang harus ditangkap dan diserahkan kepada Nylal Dupa
Mayat adalah pemuda yang
pertama kali dalam sejarah hidupnya memberikan ciuman dan belalaian mesrra.
Tirai Surga sudah telanjur dibuai oleh kemesraan': Pendekar Mabuk, sehingga
ketika ia merngtetahui bahwa pemuda yang harus ditangkapnya adalah Suto, maka
ia berbalik memihak Suto Sinting: ia lebih baik batal mendapatkan ilmu 'Gerhana
Senyawa'
ketimbang tak bertemu dengan
Suto Sinting selamanya. Mengharukan sekail, (Baca serial pendekar Mabuk dalam
episode : 'Dalam Pelukan Musuh').
"Kalau kau mau ke Bukit
Sawan, kau harus melewati kaki Gunung Batar itu, Kang," ujar Badrun pada
saat sebelum Suto Slnting meninggalkan desa
tersebut. Suto mencatat
panduan itu dalam benaknya.
' 'Kang, aku tidak bisa
membekali apa-apa," kata Badrun saat ingin ditinggalkan. "Tapi aku
punya dua tempurung. Kalau kau mau,
bawalah tempurungku yang satu Ini, Kang. Yang satunya lagi tetap akan kupakai untuk
mengemis."
"Kau plklr aku dijalanan
akan mengemis"! Pakai bawa-bawa tempurung segala"!" ujar Suto
Slnting sambil bersungut-sungut menahan tawa. Ia segera mengusap-usap kepaia
anak itu dengan penuh persahabatan.
' "Kau lebih membutuhkan
tempurung itu ketimbang aku, Badrun."
"Tapi setidaknya buat
tanda mata, lumayan juga, Kang" Siapa tahu di jalan kau butuh tempat untuk
minum"!" Suto merasa didesak. Ia tahu, Badrun ingin memberikan tanda
kenang-kenangan atas jalinan persahabatan mereka itu. Maka untuk melegakan hati
Badrun, tempurung hitam yang tepiannya bengerigi mlrlp tempat menaruh rokok
pada asbak Itu akhirnya diterima juga oleh Suto.
Tempurung hitam itu bergambar
wajah orang di bagian luarnya. Hasil goresan tangan Badrun sendiri yang
dianggap Suto mempunyai nilai seni cukUp lumayan. Suto sempat menertawakan
gambar wajah orang yang mirip topeng itu.
"Wajah kakekmukah yang
kau gambar di 'tempurung ini?" canda Suto, dan Badrun tertawa penuh
keceriaan. "Ada gunanya juga. Bisa pas untuk tutup bumbungku"!"
pikir Suto sambil mencoba menutupkantempurung dalam keadaan tengadah ke lubang
bumbung. Tempurung itu bagaikan baut yang harus diputar sedikit agar menutup
rapat dan kencang.
Membukanya juga harus diputar
sedikit. Dengan tutup tempurung itu, tuak yang ada di dalam bumbung lebih
terjaga keutuhannya. Tidak mudah tumpah. atau menetes keluar jika bumbung dalam
keadaan terbalik sewaktu-waktu.
Perjalanan separuh siang itu
terhenti sejenak akibat suara ledakan kecil yang terdengar sampai di telinga
Pendekar Mabuk. Ledakan kecil itu berasal dari arah kiri Suto. ia yakin ledakan
kecil itu timbul akibat adanya pertarungan adu tenaga dalam.
Pendekar Mabuk adalah orang
yang tak bisa melewatkan sebuah pertarungan. Di mana pun ia mendengar suara
pertarungan selain diburunya untuk dijadikan tontonan. Bukan sekadar tontonan
penghibur hati. melainkan tontonan penambah pengetahuannya tentang jurus-jurus
yang ada di dunia persilatan. ia ingin mengetahui keunggulan dan kelemahan
setiap lurus yang dimiliki orang lain.
Karenanya, tak heran jika Suto
Sintlng pun sedikit membelokkan arah perjalanannya untuk melihat pertarungan
apa yang terjadi di sebelah kirinya itu.
"wuut". ..! Dalam
sekejap ia sudah berada di atas pohon dengan menggunakan ilmu peringan tubuh ia
melompat dari pohon ke pohOn sampai akhimya meiihat dua sosok yang sedang
beradu kekuatan fislk tanpa senjata tajam.
Mata terbelalak segar dengan
senyum membias tipis ketika Suto menatap ke arah pertarungan dua gadis yang
cukup menarik. Bukan jurus"jurus mereka saja yang menarik, tapi penampilan
salah satu dari kedua gadis itu juga sangat menarik. Mereka sama sama mempunyai
nilai kecantikan yang seimbang, tapi busana mereka berbeda.
Yang satu berjubah putih
kekuning"kuningandari bahan kain halus namun mengkilap seperti satin.
Jubalmya berlengan panjang itu tidak dik kancingkan, sehingga pakaian dalamnya
yang terdiri daribaju buntung warna biru dan celana biru yang juga mengkilap
itu tampak jelas. Gadis berjubah putih krem itu berusia sekitar dua puluh tiga
tahun dengan
rambut disanggul asal-asalan,
sehingga sisa rambutnya berjuntai ke bawah seperti ekor anak kuda.
Ia bersenjata pedang dl
pinggangnya, namun saat itu belum digunakan. Sarung pedangnya dililit kain
beludru merah dengan ujung gagang pedang diberi hiasan rumbai"rumbai benang
kuning. Sedangkan lawannya justru berpakaian minim.
Penutup dadanya dari
serat"serai kulit pohon yang lemas dan tampak kenyal, berserabut seperti
rambut. Demikian pula penutup bagian bawahnya dari rumpul-rumput kulit pohon
yang menyerupai rambut.
Digunakan hanya menutup bagian
terpenting saja. sisi kanan"kiri pinggulnya hanya tertutup tali serat itu.
gadis bertubuh tinggi dan seksi dengan dada montok tampak maju ke depan itu
tampak seperti orang prlmltll dilihat dari pakaiannya. Tapi ia adalah gadis yang
cantik, berhidung mancung, berblblr sensual, mata agak lebar berkesan galak.
Gadis yang berpakaian prlmltif
itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun juga, hanya bedanya Ia bertubuh lebih
tinggi dari lawannya. Gerakannya tampak lebih lincah dan ilar. Caranya
memandang pun berkesan liar. Sekalipun ia mempunyai pedang di punggung, tapi ia
belum mau mencabut pedangnya.
Rambut gadis itu panjang
sebahu dan keriting kecil-kecil,'tak terlalu kentara keritingnya jika dilihat
dari kejauhan. ia mengenakan ikat kepala dari tali halus berwarna putih yang
panjangnya melebihi pundak, sehingga dalam setiap gerakannya, tali itu melayang
ke sana-sini, membuatnya tampak lebih lincah dan menarik sekali. "
Kulitnya yang berwarna sawo
matang bagaikan tahan pukulan dan tahan goresan, karena keliha tan keras bagal
tembaga. Setiap bergerak, rumbai"rumbal penutUp dada dan bagian bawahnya
menyingkap ke sana"slni, sehingga barang yang ditutupi sesekali tampak
sesekali tertutup, membuat hati Pemdekar Mabuk berdeslr dan pandangan matanya
menjadi penasaran.
'Gila! Ini yang namanya kecantikan alami dan
kemontokan alami juga," ujar Suto dalam hati. "Justru kalau kelihatan
ngablak malahan kurang menarik. Aih, gila! Kenapa mataku tertuju ke sana.
Konyol! Jangan, ahi Tidak boleh! Kata orang tua; pamali" sambil hati Suto
tertawa sendlrl.
Gerakan si gadis berpakaian
rumbai"rumbai itu makin lama semakin tampak liar. ia melompat ke sana-sini
mlrlp kera, terkadang menyerupai singa yang sedang mengamuk, ingin menerkam
lawannya dengan buas. Ia sering gunakan gerakan bersalto, atau plik-plak dl
tanah. Dan hal itu dilakukan dengan cepat, membingungkan iawannya.
Tahu-tahu kakinya menendang
telak kenal wajah gadis berjubah putih krem itu. Plook...! Gadis berjubah putih
krem menggoyor ke belakang. Sempoyongan! Wajahnya diklbaskan sesaat karena
pandangan matanya jadI buram. Dan pada saat Itu pula, serangan si gadis
berambut kerltlng halus Itu datang lagi berupa tendangan beruntun.
Piak, plak, plak, best...!
Gadls berjubah krem berhasil
tangkis setiap tendangan lawannya. Bahkan Ia segera memutar tubuh dan layangkan
tendangannya ke arah kepala ' lawan. Wuuut...! . Plaaak...l Tendangan itu
ditangkls juga oleh lawan.
Kejap berikut mereka saling
menghantamkan kedua telapak tangan. Wuuut...! Biaarr...l Ledakan keras terjadi
akibat benturan dua telapak tangan yang bertenaga dalam itu. Asap mengepul
tipis dari kedua telapak tangan yang saling beradu tadi. Klni mereka sarna-sama
teriempar ke belakang bagai dihernpas badai.
Si gadis berjubah putih krem jatuh
terduduk, sedangkan lawannya hanya terpelanting dan sempo.yongan, namun tak
sempat jatuh karena ia segera berpegangan pada sebatang pohon. Klnl jarak
mereka menjadi sekitar delapan langkah.
"Boleh juga si gadis
hutan itu," ujar Suto Slnting dalam hati sambil perhatikan gadis
berpakaian rumbai-rumbai itu. "Gerakannya cukup llncah dan membingungkan.
Ia banyak menggunakan gerak tipuan.
Kurasa si jubah putih tak
dapat menumbangkannya. Justru mungkin si
jubah putih akan tumbang dalam beberapa jurus lagi. Karena menurutku.?"
Celoteh batin Suto Sinting Itu
terhenti karena si gadis berjubah putih telah bangkit dan berseru kepada
lawannya.
'Sudah waktunya kita tentukan
siapa yang hidup dan siapa yang mati, Sahara!" sambil si jubah putih krem
mencabut pedangnya. Sreeet...l
"Akan kulayani kemauanmu,
Cindera Giri!" Gadis berpakaian minim itu pun segera mencabut pedangnya
dari punggung. Sraaang...l Rupa-nya ia bernama Sahara, sedangkan lawannya yang
berjubah putih krem itu bernama Cindera Girl.
Entah orang mana mereka dan
apa persoalannya hingga mereka ingin beradu pedang, Suto Sinting masih belum
paham. Tapi hatinya sempat cemas. karena sebenarnya Suto tak ingin salah satu
ada yang mati.
"Haruskah aku turun
tangan melerai pertarungan itu"!" tanyanya kepada hati sendiri.
PendekarMabuk sempatkan diri menenggak tuaknya untuk sambil menimbangcnimbang
langkah yang akan diambilnya.
Namun Cindera Giri sudah lebih
dulu maju menyerang dengan satu lompatan bagaikan terbang.
Sahara tidak hanya diam. Ia
pun menyongsong datangnya serangan lawan dengan satu lompatan llarnya.
'Heeaaah...!" . Trang,
trang, wuik, wuik, wuuus. traaang...l
' ! Buuukh...l Sahara berhasil
menendang perut Cindera Girl. Gadis yang ditendang terlempar sebelum mereka
sama-sama daratkan kaki ke tanah. Gerakan adu pedang yang cepat tadi sempat
membuat
Cindera Giri kehilangan
kontrol keseimbangan, aklbatnya ia mudah terlempar oleh tendangan kaki panjang
Sahara. Wuuut...! Brrruk...l Slaaap...l Cindera Girl melintang ke udara secara
tiba-tlba. Ujung pedangnya bertumpu dltanah dan melengkung saat ditekan, lalu
pedang Itu bagaikan
per yang menyentak dan
melemparkan Clndera Giri ke atas. Dengan satu gerakan bersalto, Cindera Glrl
berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya dan daratkan kaki dengan tegak di tanah.
Tapi serangan dari Sahara datang lagi iebih ganas dan Ieblh liar.
'Hiillaaah...l' Sahara berlari
dengan kedua tangan pegangl pedangnya dan siap menusukkan ke arah Cindera Giri.
Namun ketika pedang itu hendak sampai ke perut Cindera Giri, tiba-tiba pedang
Cindera Girl berkelebat ke depan menangkis pedang iawan. Traang...l
Perpaduan pedang itu
memercikkan bunga api sekejap, kemudian tubuh Sahara terpelantlng ke klrl
akibat terbawa oleh sentakan pedangnya yang bagai dibuang ke kanan oleh pedang
Cindera Girl.
Pada saat Sahara terpelanting
ke sebelah klrinya, pedang Cindera Girl berkelebat sambil tubuhnya memutar satu
kali. Wuuuut, beeet...!
Craaas...l 'Aaaakh...!"
Sahara menjerit keras, punggung dekat lengan kanannya robek terkena sabetan
pedang Cindera Girl. ia jatuh berlutut satu kaki sambil menahan sakit. Pada
saat itu pula, Cindera Girl melompat ke arahnya dan menghujamkan pedangnya.
Sahara segera berguling
mendekati lawan sambil menebaskan pedang ke atas. Traaang...! Pedang Cindera
Giri berhasil ditangkis. lalu pedang Sahara berkelebat menebas daiam posisi
berlutut satu kaki lagi. Wuuuut, craaas...l 'Aaaakh...!' Cindera Giri tersentak
mundur dalam keadaan perutnya robek terkena tebasan pedang Sahara. Darah pun
mengalir sebanyak darah dari luka Sahara. "Bangsat kaul' geram Cindera
Giri sambil menahan sakit.
'Heeeaaat...l' Sahara
menyerang sambil lakukan lompatan ke arah Cindera Girl. Pedangnya dlgenggam
dengan dua tangan lagi dan dlhujamkan ke dada lawan. Wuuut...l Traaang...!
Sahara terpelanting ke samping kanan, karena tiba"tiba pedangnya bagal ada
yang melemparnya dengan batu besar.
Padahal yang mengenai
pedangnya hanya sepotong ranting, tak lebih dari seukuran ibu jari. Hanya saja,
ranting itu berisi tenaga dalam cukup besar sehingga kekerasannya bisa
menyerupai baja dan kekuatan daya sentaknya bisa meleblhi tendangan seekor
kuda.
Perbuatan siapa lagi yang
melemparkan ranting itu kalau bukan
perbuatan Suto dari atas pohon. Ia sentilkan ranting itu dengan jurus 'Jarl
Guntur' sehingga mampu singkirkan pedang Sahara yang nyaris merenggut nyawa
Cindera Giri.
Mata Sahara jelalatan, bukan
karena lngln melihat pemuda tampan, tapi karena ingin mencari orang yang
menghalangi pedangnya dengan ranting berisi itu. ia tak sadar. pencarian
matanya itu membuatnya lengah dan Cindera Giri yang masih bertahan dengan
lukanya segera menyerang memakai pukulan tenaga dalamnya. Beet...l Seberkas
sinar kuning seperti telur mata sapi melesat dari telapak tangan kiri Cindera
Girl.
Claaap...! Sinar itu diketahui
Sahara sudah terlambat. Hanya ada sedikit peluang bagi Sahara, itu pun tak bisa
dengan cara menghindar. Mau tak mau Sahara keluarkan jurus bersinar juga yang
keluar melalui kedipan kedua matanya. Blaap...! Dari kedua mata itu keluar
sinar merah kecil yang segera menyatu di depan hidungnya dan melesat menghantam
sinar kuning. Crllaaap...!
Jegaarrrr...l Sinar jingga
berpendar pecah menyebar dalam sekejap. Besar dan lebar. Sinar jingga itu
muncul akibat benturan kedua sinar tadi. Gelombang sentakannya sangat kuat. Melemparkan
tubuh Sahara
bagaikan boneka tak terpakai.
Weess...l Brruuss...!
Ia jatuh terbanting dengan
menyedihkan sekali. Tapi masih beruntung karena Ia jatuh di semak"semak
Ilalang. Gelombang ledakan itu hanya membuat Cindera Giri terhuyung"huyung
ke belakang sejauh delapan langkah, lalu membentur pohon tak seberapa keras.
Posisinya yang jauh dari
ledakan membuat Ia tak terlempar seperti Sahara. Ia masih bisa berdiri
memandang lawannya walau dengan sedikit membungkuk dan tangan kirinya segera
mendekap luka di perut.
"Seru! Sama-sama kuat
sebenarnya, hanya tergantung slapa yang lengah lebih dulu," ujar Suto
Slnting. Tapi Ia segera tak tega melihat kedua gadis itu berusaha saling
membunuh. Karena ketika Sahara keluar dari semak-semak dalam keadaan semp oyongan,
ternyata tubuhnya telah tercablk-cabik bagal habis diserang delapan ekor singa
bersama delapan belas anaknya.
Tubuh itu rusak berat,
mengerikan, dan menyedihkan. Namun Sahara masih bernyawa dan masih bersikeras
untuk lanjutkan pertarungannya.
"Wah, ini sudah
kelewatan" ujar Suto Slnting dalam hatinya. la geleng-geleng kepala sambil
teruskan membatln.
"Sahara bisa mampus!
Mampus betul Sahara! Cindera Giri tarnpak masih tangguh walau terluka. Ia tidak
separah Sahara. Aku harus bertindak lebih
nyata lagi jika begini
keadaannya."
DI lain pihak, semangat
Cindera Giri menjadi besar kembali begitu melihat lawannya rusak berat seperti
habis terbungkus petasan yang meledak bersama. Dengan jeritan nyaring, Cindera
Giri berlari beberapa langkah, kemudian melayang bagaikan terbang. Pedangnya
ditebas-tebaskan di bagian depan, membuat Sahara sempat kebingungan melihat
gerakan pedang lawan dan kebingungan pula menangklsnya.
Ziaaap...i Edan! Ada bayangan
seperti hantu melayang cepat menyambar tubuh Sahara. Tahu"tahu Sahara
sudah pindah di tempat lain, sekitar sepuiuh tombak dari tempat Cindera Giri
dan pedangnya kecele, tidak berhasil menebas sasaran.
Siapa orang yang menyambar
Sahara dalam kecepatan seperti hantu sakit perut itu kalau bukan si Pendekar
Mabuk yang rada-rada konyol itu. Cindera Giri terkejut melihat kemunculan
pemuda tampan yang belum dikenalnya. Pemuda itu sedang menyangga tubuh Sahara
yang miring dalam berdirinya.
Sahara sendiri kaget melihat
seorang pemuda tampan berperawakan tinggi gagah sedang menyangga tubuhnya yang
nyaris tak kuat berdiri lagi
Itu. Tapi karena ia sibuk
menahan rasa sakit, maka kekagetannya itu tak begitu kentara. Ia hanya mengeluh
sambil pejamkan mata. _
"Oouh...l' Tubuhnya
bertambah memberat dalam sanggaan tangan kiri Suto Slnting. Mau tak mautangan
itu makin diperkuat. Bumbung tuak belum
sempat diraih Suto. Masih
menggantung di pundaknya.
"Lepaskan dia atau kau
ikut kuhancurkan"l" teriak Clndera Giri dengan ancaman yang bukan
main-main.
"Hentikan pertarungan
Ini!" Suto Slnting berseru, mencoba tampilkan Suara wibawanya. Tapi
ternyata tak digubris oleh Cindera Giri.
Sinar kuning seperti telur
mata sapi tadi melesat lagi dari tangan Cindera Girl. Pendekar Mabuk segera
meraih tali bumbung tuaknya. Dalam sekejap bumbung tuak sudah berada di tangan
kanan dan dlhadangkan ke depan. Tepat
pada saat itu sinar kuning datang, lalu menghantam bumbung tuak itu. Teeub...!
Eh, sinar kuning membalik arah dalam keadaan lebih cepat dan iebih besar.
Seperti telur mata kebo.
Sinar Itu bagaikan batu
mengenai karet yang segera memantul balik ke arah pemiliknya.
'Setaaan...!" teriak
Cindera Giri memaki sambil lompat ke samping. Sinar kuningnya yang sudah
berubah itu melesat melewati bekas tempatnya berdiri tadl dan menghantam
sebatang pohon besar.
Blegaaarrr...l Tanah
berguncang bagai dilanda gempa. Hawa sekeliling menjadi panas menyengat.
Daun-daun rontok dan menjadi layu. Pohon
itu sendiri terbelah menjadi beberapa potong. Salah satu potongan kayu yang
Sebesar paha perawan itu menghantam punggung Cindera Giri. Buuukh...i
'Heeekh-..!" Cindera Giri
terSentak ke depan dan jatuh tersungkur
dengan napas tak bisa dihela untuk sesaat. Suto Sintlng iatuh ke belakang,
karena guncangan tanah membuat keseimbangannya hilang.
Padahal Ia menyangga beban
tubuh tinggi seksi milik Sahara. Maka mereka pun jatuh bersama.
Brruuk...! Tubuh Sahara
menimpa tubuh Suto Slnting. Gadis yang belum pingsan namun sudah tak mampu berbuat apa-apa itu hanya mengerang
lirih.
'Uuuhhh...!"
"Celakal Mungkin sebentar lagi dia akan mati"!" gumam hati Suto
Sintlng, ialu ia segera menyingkirkan tubuh penuh luka cablk-cablk Itu.
Suto Slnting sempat memandang
ke arah Cindera Giri. Rupanya gadis Itu memuntahkan darah dari mulutnya akibat
terhantam potongan kayu pohon tadi. Cindera Giri sedang sibuk Seperti orang
ngidam. Kesempatan itu digunakan oleh Suto Slnting untuk buru-buru menuangkan
tuak ke mulut Sahara.
Tuak tertuang ke dalam mulut
yang ternganga mengerang. Akibatnya, Sahara tersedak, tuak tumpah di sekitar
wajah dan dadanya. Tapi Suto agak lega karena yakin ada tuak yang telah
tertelan.
'Berbarlnglah dulu! Sebentar
lagi lukamu akan sembuh!" ujar Suto Sinting, lalu tinggalkan Sahara.
Ia segera hampiri Cindera Giri
yang sedang bergegas bangkit.
'Nona...," baru saja Suto
ingin menawarkan tuak saktinya untuk sembuhkan luka, Cindera Giri sudah
memotong dengan geram penuh dendam.
"ingat! Lain kali kau
akan berhadapan denganku, dan akan kubalas tindakanmu Inil'
'Lho, aku tidak
menyerangmu"! Kau yang menyerangku. Cuma sinar kuningmu Itu terlalu rendah
kadar kesaktiannya, Sehingga memantul ballk
dan...."
"Dlaamm...l" bentak Cindera Giri. Ia menuding Suto dengan pandangan
mata menyeramkan.,
"Kau akan kubuat lumpuh
seumur hidup jika kita jumpa lagi!" "Jangan begitu, Nona. Aku
hanya..."
Blaaass...l Cindera Girl
melesat pergi tanpa pedulikah kata kata Suto lagi. Ia mengerahkan tenaga '
penghabisan untuk berlarl' secepat mungkin. SutoSintlng hanya pandangi
kepergian Cindera Girl dengan mulut melongo dan garuk"garuk kepala. Wajahmya
jadi seperti murid SLB.
***
4
SAHARA kaget meilhat
luka-lukanya hliang bersama rasa sakit di sekujur badannya. Ia kebingungan
pandangi tubuhnya yang mulus kembali bagal tak pernah terluka sedikitpun. Luka
yang hilang dicarinya di sana-sini tubuhnya. Seperti orang kehilangan dompet.
Sampai la memutar tubuh, menengok ke pinggulnya. Hmmm... ternyata mulus juga,
tak ada cacat atau bekas goresan sedikit pun.
"Karena kau meminum
tuakku, maka lukamu mengatup rapat kembali dan... badanmu merasa segar, bukan"!"
sambil Suto SIntIng sungglngkan senyum menawan.
Sahara memandang rada tegang.
Cepat-cepat pedangnya diacungkan ke arah Pendekar Mabuk dengan mata membelalak
garang.
"Siapa
kau'sebenarnya"!" bentuknya sambil melangkah maju. Pendekar Mabuk
melangkah mundur karena lehernya tak mau tertusuk uiung pedang.
'Hei. aku yang menolongmu! Aku
bukan musuh. Sahara!"
"Bohong! Kau pasti
mata"mata dari Pantai Dahaga!"
"Pantai Dahaga"!
Ooh..., baru sekarang kudengar nama Pantai Dahaga!"
"Dusta' bentak Sahara iagi
dengan wajah cantiknya semakin memancarkan keganasan. Pedangnya disentakkan ke
depan, Suto tersentak mundur karena hindari ujung pedang yang berjarak kurang
dari Sejengkal dengan lehernya.
'Kau Salah paham; Sahara! Aku
tadi melihatmu bertarung dengan Cindera Giri. Kuselamatkan kau saat keadaanmu
lemah dan Cindera Girl menyerang engan pedangnya. Kalau tidak kau akan mati di
ujung pedang Cindera Giri!"
"Memang aku tadi terluka
parah, tapi sekarang lukaku sudah hilang dan...."
"Dan aku yang Sembuhkan dirimu,
Saharal"
"Mungkin saja. Tapi aku
tahu maksud burukmu di balik sikap baik itu!"
Suto Sintlng masih mundur
terus sementara Sahara dan pedangnya tetap maju, sampai akhirnya Suto terdesak
tak bisa bergerak lagi. Di belakangnya ada batu sebesar rumah Badrun.
Di situlah agaknya Sahara
menggiring Suto dan mengancam dengan pedangnya. Ujung pedang lebih dekat lagi
dengan kulit leher Suto. 'Jangan lakukan gerakan yang mencurigakan kalau tidak
ingin pedangku menembus lehermu, .jahanam"
"Namaku Suto Sinting.
bukan Jahanam Sintlng...," ujar Suto sambil sunggingkan senyum yang
biasanya membuat hati wanita menjadi lemah. Tapl agaknya ia berhadapan dengan
wanita lain daripada yang lain. Gadis itu tetap tegar, galak, dan penuh curiga.
Jurus "Senyuman lblis' yang mampu membuat perempuan terglla gila padanya
Itu luga tidak mempan diarahkan kepada Sahara.
"Lepaskan bumbung
tuakmu!"
"Hei. aku...."
'Lepaskan bumbung tuakmu!" bentak Sahara dengan mata kian mendeiik. Uiung
pedang terasa dingin, berarti sudah menempel di pertengahan Ieher Suto.
Agaknya gadis itu tidak
main"main denganancamannya. Mau tak mau Suto pun melepaskan bumbung
tuaknya. Tangan Sahara terulur ke depan. Bumbung tuak diserahkan ke tangan itu.
Sahara menggantungkannya di pundak kirl.
"Jalan ke kiri...!"
perintah Sahara sambil ujung pedang sedikit merapat lagi ke leher Suto.
'Gawatl Dia
bersungguh"sungguh. Sedikit gerakan yang mencurigakan leherku bisa
ditembus dengan pedangnya. Sebaiknya aku mengalah dulu.
sambil kucoba yakinkan bahwa
aku bukan mata-mata dari Pantai Dahaga," ujar Suto dalam hati.
"Mau dibawa ke mana aku,
Sahara"!" tanya Suto seraya melirik ke belakang, karena sekarang
Sahara ada di belakangnya dan ujung pedang gadis itu menempel lekat dl punggung
kiri. Jika pedang itu ditusukkan maka akan tembus kenai jantung.
"Mau kubawa ke mana saja
Itu urusankul Kau tak perlu tahu. karena kau sekarang adalah tawanankul"
Pendekar Mabuk masih tenang,
masih sempat sungglngkan senyum geli mendengar dirinya dianggap tawanan. Suto
pun mencoba jelaskan siapa dirinya dengan tetap melangkah, karena ujung pedang
Sahara terasa sedlklt mendorong.
Kalau Suto hentikan langkah,
maka ujung pedang itu akan menembus ke punggungnya akibat didorong terus oleh
pemegangnya. "Saha'ra, kuingatkan sekali lagi, aku adalah seorang sahabat.
Bukan musuhmu, bukan mata"mata Pantai Dahaga. Aku dalam perjalanan ke
Bukit Sawan untuk jumpai seorang sahabat yang menjadi murid Perguruan Telaga
Murka. Lalu kulihat kau bertarung dengan Cindera Giri,..."
"Apakah kau begundalnya
Cindera Glri"i'
"0, bukan! Bukan ]uga
begundalnya Cindera Giri. Aku"." "Tetap jalani' bentak Sahara
memotong kata-kata Suto. Maka perintah itu pun diikuti ketimbang harus ngotot
yang akhirnya akan ditembus pedang.
Tapi pada langkah berikutnya, tiba"tiba Sahara
terkelut melihat tawanannya tiba-tiba lenyap tak berbekas. Gadis itu kelabakan.
cllngak-cilnguk kebingungan mencari sang tawanan yang sebenarnya
telah menggunakan jurus
berlari dengan kecepatan menyamai kecepatan cahaya yang dinamakan jurus 'Gerak
Siluman' itu. Zlaaap, zlaaap...l
Tahu-tahu Suto Sinting berada
disebelah kanan Sahara dalam jarak delapan langkah lebih. Pemuda itu sengaja
berdiri dengan satu tangan bersandar pada pohon dan Senyumnya mengembang penuh
kesan ejekan. Sahara menggeram, kemudian segera berlari mengejar Suto Sinting.
Wuuus"!
Ziaap, zlaa'ap...l Pemuda
tampan yang senyumannya menggoda itu lenyap kembali. Padahal si gadis baru saja
tiba di tempat si pemuda tadi berdiri dengan satu tangan bersandar pada pohon.
Kini mata si gadis melihat pemuda itu ada di sisl lain, duduk di atas batu
seenaknya, seperti orang sedang santai melepas lelah.
'Kuhancurkan kau jika tetap
tak mau kubawa ke pengadilanl" geram Sahara, kemudian melepaskanpukulan
bersinar merah ke arah Pendekar Mabuk.
Ciaaap...l Zlaaap...|
Blaarrr...i Sinar merah itu menghantam batu, sedangkan Suto Slntlng sudah
pindah di belakang Sahara dalam [arak tujuh langkah. Bertambah geram hati _Sah
ara begitu mengetahui tawanannya ada di belakangny a. Ia pun bergegas
memburunya lagi. Tapi sebelum melangkah, tiba"tiba suara Suto Sinting
terdengar bagal menggertak.
"Maju selangkah kau mati,
Saharal"
Langkah si gadis kekar itu
terhenti seketika. Rupanya gertakan yang tak akan dilakukan Suto secara
sungguh"Sungguh Itu sudah cukup membuat hati Sahara menjadi waswas. '
"Kalau aku mau lolos darimu, itu adalah hal yang mudah, Sahara! Bahkan
kalau aku memang niata -mata dari lawanmu, sudah kubunuh kau sejak tadi.
Jadi sampai sekarang aku tidak
melawanmu karena aku Ingin tunjukkan bahwa aku bukan mata"mata dari pihak
lawanmul"
"Menyerahiah jika kau
bukan mata-mata!!
"Mana mungkin"!
Justru karena aku bukan mata-mata maka aku memberontak!"
Sahara dlam, agaknya ia
mempertimbangkan sesuatu dalam hatinya, 'Jika aku melawannya dengan kekerasan.
kurasa... ilmuku tidak cukup untuk menandinginya. Dillhat dari gerakannya yang
luar biasa cepat, dan kemampuannya menyembuhkan lukaku dengan tuaknya ini, maka
jelaslah dia berilmu cukup tinggi, dan lebih tinggi dariku. Aku harus
menggunakan siasat untuk menawannya. karena agaknya Ia memang mata-mata yang
pandai bersandiwara sebagai orang balk-balk."
Pendekar Mabuk mencoba
membujuk Sahara dan meyakinkan gadis itu bahwa dirinya bukan seorang mata-mata
dari Pantai Dahaga. Tetapi agaknya gadis itu tak mudah dibujuk dan pendiriannya
tetap kokoh. "Baiklah kalau begitu kau memang Inginkan aku melawanmu,
Sahara! Jangan menyesal jika kau celaka dalam pertarungan denganku nanti!' ujar
Suto tegas.
Sahara hanya berpikir,
"Celaka! Dia pasti tak akan
Segan-segan membunuhkui Sebelum hal itu terjadi, aku harus gunakan siasat untuk
dapat menjeratnya. Tapl siasat apa yang harus kupakai?"
Sambil berpikir demikian,
Sahara melangkah ke samping dengan pandangan mata tetap tajam penuh waspada.
Namun pandangan matanya itu sempat mellrik'ke arah tanaman rambat yang berakar
mlrlp tambang itu.
"Hmm... ada 'Akar Serat
Setan". Kalau dia kulkat dengan 'Akar Serat Setan" itu, maka ia tak'
akan dapat lolos. Sebab akar Itu jlka dipakai untuk mengikat akan menjadi tambah kuat apabila orang itu
ingin memberontak melepaskan diri dari lkatannya. Akar itu hanya bisa
dilepaskan dengan pelan-pelan sekali atau dengan cara dltebas dengan pedang.
Tapl... bagaimana aku harus membujuknya supaya masuk perangkap dan dapat
menjeratnya dengan akar itu?"
Terdengar suara Suto berseru
dari kejauhan.
"Sahara, sekali lagi
kulngatkan bahwa aku sebenarnya bukan musuhmu. Aku sedang. dalam perjalanan ke
suatu tempat Untuk temui sahabatku, sl Tirai Surga. Kembalikan bumbung tuakku
yang menggantung dl pundakmu itu, sebelum aku merampasnya dengan paksa. Tubuhmu
akan cedera jika kulakukan perampasan dengan paksa, Sahara."
"Tlral Surga adalah
menjadi tawananku juga. Sebentar lagi Ia akan jalan! hukuman gantung!"
"Apaa..."l' Suto
Sinting tampak terkejut dengan kedua mata terbelalak. Sahara mulai mendapat
angin untuk slaaatnya. 'Jika kau bersedia kutawan, maka kau akan kujadikan satu
dengan Tlral Surga sebelum ia dihukum gantung oleh atasankul"
"Slapa
atasanmu"!"
"Kau tak perlu tahu! Akan
kulkat kau dan kuserahkan kepada atasanku biar dijadikan satu dengan Tirai
Surga dalam tawanan nanti." sambll hatl Sahara berkata sendiri, "Aku
yakin, Tikal Surga pastl nama seorang gadis, dan mungkin Ia sedang naksir gadis
Itu. Padahal aku sendri tak tahu siapa sl Tlral Surgaitu." Pendekar Mabuk
sendiri berpikir, "Benarkah Tlrai Surga menjadi tawanannya" Benarkah
akan dlhukum gantung?"
Lalu, Suto pun mendekat dalam'
jarak lima langkah. "Apa kesalahan Tirai Surga sehingga kau Ingin
menghukum gantung sahabatku Itu?"
"Kau bisa tanyakan
sendiri padanya setelah dalam satu kamar tahanan nanti!" '
Hati sl pendekar tampan itu
pun akhirnya berkata, "Kurasa tak mungkin Tlral Surga menjadi tawanannya.
Aku yakin, dia hanya ingin menjebakku saja. Mengapa Ia bernafsu sekail
menangkapku"
Aku jadi Ingin tahu siapa dia
dan mau dibawa ke mana jika aku sudah diikatnya nanti?"
'Mendekatlah dan berbaliklah
ke belakang. Taruh kedua tanganmu di belakang dan aku akan mengikatnya dengan
akar ini!". '
Tees...l 'Sahara memotong akar
tanaman-rambat dengan pedangnya. Akar itulah yang dinamakan 'Akar Serat
Setan", yang akan menjerat semakin kuat jika tangan yang dijerat
bergerak"gerak Ingin loIoskan diri. "
Suto Sintlng masih diam
memandang sambil hatinya berujar, "Aku benar-benar penasaran padanya.
Orang mana sebenarnya dia itu" Apakah dia juga tahu tentang si gadis
penunggang kuda putih" Hmmm... baiklah, aku akan berlagak menyerah saja,
biar jelas Segalanya bagiku'tentang siapa dia sebenamya. Aku akan penasaran
jika sampai tak tahu siapa gadis cantik berperawakan tegar itu. Kurasa jika sampai terjadi bahaya, aku bisa atas!
Sendiri walau kedua tanganku terikat, apalagi hanya diikat dengan akar seperti
Itu. Sekali Sentak saja pasti akar itu akan putus!" '
"Sahara," ujar Suto.
"Aku bersedia kau tangkap, tapi kau harus berjanji akan membebaskan aku
jika kau tak punya cukup bukti dalam peradilan nanti tentang'tuduhan terhadapku
tadi. Dan kau pun harus bebaskan Tira! Surga jika benar Ia akan dihukum
gantung!" ' "Aku tak punya perjanjian apa pun! Jika kau Ingln bertemu
Tira! Surga,' serahkan kedua tanganmu. ke belakang! ! lekas!"
Dengan senyum kaiem, merasa
ancaman itu ,terlalu ringan untuk dihadapi, akhirnya Suto Sintlng pun berlagak
pasrah. ia memutar balik tubuhnya dan kedua tangannya dibiarkan diikat di belakang
dengan akar tersebut.
'Kusentakkan Satu kali, akar
ini pasti putus. Dan dia akan tahu bahwa Sebenarnya aku tak akan bisa ditangkap
dengan cara apa pun!" pikir Suto Sinting saat Sahara mengikat tangannya.
Suto Sinting tak tahu
keistimewaan akar tersebut. Kedua tangannya terikat dan Ia harus berjalan,
kedua tangan itu mencoba berusaha untuk disentakkan agar mengetahui seberapa
kekuatan akar tersebut. Tapi ternyata akar itu justru semakin kuat menjerat.
Suto coba-coba untuk loloskan tangannya, dan jeratan pun terasa kian kuat lagi.
ikatannyaterasa mengencang dengan sendirinya, sampai"sampal darah terasa
tak mengalir ke telapak tangan.
"Celaka! Kenapa tallnya
jadi kencang sendiri begini" Makin aku bergerak makin menjerat lag! Tall
akar Ini. Brengsek! Rupanya ia memakai akar yang
aneh untuk mengikatkan! Wah,
kacau kalau begini, akar In! tak bisa diputus dengan sekali atau dua kali
sentak" Hmmm... biarlah kulkutl dulu apa maunya gadis cantik bertubuh
menggairahkan itu!"
Sahara membawa Suto ke arah
timur. Mereka akhirnya tiba di tepi sungai. Sungai itu berteplan dangkal dan
mempunyai air terjun cukup dingin. Hawa sejuk terasa menyegarkan tubuh, seakan
udara panas dl siang nan bolong itu tak dapat melawan udara sejuk di sekitar
air terjun tersebut.
"Duduk di situ!"
sentak Sahara, dan Suto menuruti perintah Itu dengan sabar. Ia duduk di atas
batu setinggi betis dengan kedua kaki melenjor ke depan. Rupanya Sahara masih
menyimpan sisa 'Akar Serat Setan', dan kali ini sisa akar itu dipakai untuk
mengikat kedua kaki Suto Sintlng.
"Gila! Mengapa kau
mengikat kakiku juga"!" ujar Suto sambil pandang! dada Sahara yang
dalam posisi agak membungkuk itu.
"Biar kau tak Iarlkan
diri. harus diikat dengan 'Akar Serat Setan' ini!" Sahara bicara sambil
sibuk mengencangkan simpul Ikatannya.
'Aku tak akan lari, Sahara!
Percayalah, aku tak akan lari karena aku tak ingin menjadi buronanmu dan kau
anggap mata-mata!"
Sahara diam saja. ia segera
menuju ke pancuran air terjun itu. Suto Sintlng Sempat berseru dengan jengkel.
'Hel, denger...! Kalau aku
mau, aku bisa menendang wajahmu saat kau mau mengikat kakiku baru saja! Tapi
hal Itu tidak kulakukan, bukan" Berarti aku tidak bermakSud jahat padamu,
Sahara!"
Gadis itu bagaikan tak
mendengar teriakan Suto Sintlng. Ia melangkah terus. melompat ringan dari batu
ke batu. Sampai di belakang batu setinggi perut, Sahara melepaskan pedang dari
punggungnya Setelah meletakkan bumbung tuak milik Suto Itu.
Pedang ditaruh di atas batu
berdekatan dengan bumbung tuak. Demikian pula penutup dadanya yang
berumbal-rumbai Itu, juga dilepasnya dengan cuek. Mata Suto Sintlng memandang
tak berkedip.
Mulutnya terbengong melompong.
Ludahnya ditelan berkali-kali. Dada yang terbuka Itu tampak jelas dari
tempatnya. Kencang dan mulus walau berwarna coklat Sawo matang. Tap!
ujung-ujungnya tampak jelas sekali masih ranum dan menantang.
"Edan! Gadis Ini sudah
tak waras! Buka dada di depanku begini adalah hal yangtldak waras menurut dalil
mana pun juga! Aduh... dadaku sendiri malah jadi sesak menahan deburan jantungku.
iilhh...! Geregetan sekail aku padanya. Kaiau keadaanku tidak terikat begini,
kusambar dia dalam keadaan begitu.
Busyet!" Pendekar Mabuk mencoba ioloskan kedua kakinya. Tapi ikatan
akar itu bergerak semakin kencang dan kuat. Suto Sinting dongkol sekali.
Jantungnya makin
berdetak-detak ketika ia melihat Sahara mengguyur tubuhnya dengan air terjun
ltu. Hal yang membuat dada Suto semakin sesak dan dipakai bernapas terasa sakit
adalah keadaan Sahara_yang melepaskan penutup bawahnya juga itu.
Sayang ia memunggungi Suto
Slntlng, sehingga mata bandel sl pendekar tampan itu tak bisa melihat jelas apa
yang tadi tertutup di bagian bawah Sahara itu. Namun dengan memandang lekuk
tubuh dari belakang, kemulusan punggung sampai ke pinggul, kemontokan pinggul
belakang yang tampak kencang dan membusung itu, sungguh suatu siksaan batin
yang sulit dipakai untuk menjerit.
"Dia lebih sinting
darikul' geram Suto dengan napas terengah-engah, bukan karena marah tapi karena
dibakar oleh gairahnya sendiri.
'Gadis tololi Gadis edanl
Mandi seenaknya di depan orang yang jerat begini. Menyakltkan hati. Goblokl'
maki Suto Slntlng dengan suara gerutu yang pelan. "Sebaiknya aku tak perlu
memandangnyal Pandang saja arah iainl' sambil Suto berpaling ke ketempat lain.
menatap karimbunan pohon bambu di bawah tanggul sungai. Tapi sesaat kemudian
mata itu mellrik ke arah Sahara. '
Srrr...! Hati pun berdeslr
karena Sahara kini dalam posisi menyamping, karena ia juga perlu mengawasi
tawanannya dalam keadaan tetap menggUyur tubuh dengan air sejuk itu. Mata Suto
sendiri segera dialihkan lagi ke arah lain. Tapi sebentar sebentar melirik ke
arah Sahara, seolah berharap agar Sahara
mandinya menghadap ke arahnya.
"Konyol! Kenapa mataku
berat ke kanan"! Jangan-jangan sudah tak sehat lagi mata kananku"!
Maunya melirik ke kanan terus.
Ah, setan belang betul gadis lm!" gerutu hati Suto Slnting sambil sesekali
menahan napas, berusaha meredakan gemuruh dl dalam dada. Namun gemuruh itu
justru terasa semakin keras, seolah-olah dl dalam dadanya ada ratusan kuda yang
berlari serentak di tanah lapang.
"Mungkin Ia bermaksud
menyiksa batinku," pikir Suto Sintlng. 'Hmm... sebaiknya kupejamkan mataku
blar tak semakin tersiksa."
Pendekar Mabuk pun segera
pejamkan mata.Tapi mata kanannya masih mencoba mengintip sedikit. Sedikit
sekali. Lama-lama menjadi lebar.
"Oh, kenapa aku
mengintipnya" Tolol!" ia buru-buru pejamkan mata kanan kuat-kuat,
'Aman...! Kalau begini amanlah
batinku, tidak tersiksa oleh pemandangan yang-.... Lho, tapi benakku kok masih
membayangkan dia telanjang dan mandi di sana"! Wah, kacau! Mata terpejam
tapi pikiran membayangkannya, sama saja'terslksa juga kalau begini"!
Aduuuh... benar"benar muak aku pada keadaan seperti ini! Lama-lama aku
teriak juga, biar ada orang yang mendengarnya dan datang kemari untuk menonton
Sahara mandi! Kunyuk betul!"
Entah sampai berapa baris
batin Suto menggerutu dan berceloteh sendiri- Yang ielas hal itu dilakukannya
dengan kedua mata terpejam rapat-rapat. Ia mencoba untuk membayangkan hal-hal
lain, seperti: rumah Badrun, orang Waduk Bangkai, Siluman Tujuh Nyawa yang
menjadi musuh utamanya itu, wajah Sawung Kuntet yang berkumis mirip kelelawar
lumpuh itu dan beberapa bayangan lain yang sebenarnya sangat tak enak jika
dibayangkan.
Namun dengan cara begitu. deburan
deras dalam dadanya menjadi berkurang, lama lama hilang. Gairah kemesraannya
yang tadi berkobar kini menjadi padam, terutama setelah ia membayangkan Badrun
sedang melepas pakaian. Suto justru tertawa ceklkiksn sendlri membayangkan
Badrun tanpa pakaian dikejar-kejar anjing dan jatuh terpeleset karena menginjak
tempurungnya sendiri. 'hehh, hehh. hehh, hehh...l" lawa Suto mulai agak
keras. "Kenapa tertawa sendlri Lekas jalan iagll"
Sentakan itu mengejutkan Suto
dan Ia jadi menggeragap. 'Hahh..."l Ada apa ini" Mengapa gelap
semua"!"
"Buka matamu. Toioll'
"Astaga,?" Suto
Slntlng malu sekali. Tak sadar ia telah memejamkan mata terlalu lama. hingga
tak tahu kalau Sahara selesai mandi dan sudah ada di hadapannya. Bahkan ia
sampai lupa membuka matanya kembali, sehingga dunia dianggapnya gelap semua.
Ketika matanya beradu pandang dengan Sahara yang sudah siap lanjutkan
perjalanan dengan pedang terhunus di tangan, Suto hanya bisa cengar-cengir malu
dan salah tingkah.
Wuuut, breat...l
'Haaaahh..."l' Suto Slntlng terpeklk karena kagetnya ketika pedang Sahara
berkelebat ke arah-memutus 'Akar Serat Setan' tanpa lukal kaki Suto sedikit
pun. Hal itu membuktikan bahwa Sahara mempunyai keahlian dalam memainkan jurus
pedang yang cukup dapat handal
"Cepat, jalan lagi!"
perintah Sahara sambil mengarahkan ujung pedang ke leher Suto.
"Hmmm... aku... aku haus
sekali. Sahara. Boleh minta minum tuakku'."
Setelah mendengus kesal,
Sahara pun akhirnya tuangkan tuak ke mulut Suto, sementara Suto berlutut dengan
dongakkan kepala: dan membuk a mulutnya lebar"lebar. Om...!
"Haaip... haaip...l
Sudah, Tolol! Uhuk, uhuk, uhuk...!' Suto Slntlng terbatuk tuk. Tuak banyakyang
tumpah ke wajahnya. ia megap-megap karena terlalu lama menenggak tuak.
"Gadis edan kau! Kau
pikir alku seekor unta, bisa minum sebanyak Itu buat persediaan di jalan"!
Yang wajar saja, Non!" omei Suto Slnt'ing sambil didorong agar jalan
kembali. Belum jauh dari tanggul, tiba-tiba Suto Sintlng melihat sekeiebat
benda kemilau melesat dari arah samping kirinya. Suto pun berteriak secara
spontan,
'Awass...l' ia melompat ke
depan dan berguling ke tanah satu kali. Wuuut...! Kejap berikut_la sudah
berdiri dengan satu kaki berlutut.
Pada saat ia berguling ke
tanah. samar-semar didengarnya suara Sahara terpekik dengan nada tertahan.
"..-"akh !. . 'Sahara. ."l' Suto Sinting terkejut melihat Sahara
terluka. Sebuah senjata rahasia berbentuk bintang segi lima menancap di lengan
kiri Sahara. Ben-da itu masuk ke dalam lengan separuh bagian. Sahara
menyeringai dan mengerang panjang sambil berusaha mencabut senjata rahasia itu.
'Seseorang ' menyerangmu,
Sahara! Lepaskanlah ikatanku, aku.
"Diam kau!" tuding
Sahara memakai pedangnya. Suto Slnt'ing mundur dan dlam seketika. Emosinya
diturunkan sendiri. ia "undur sampai merapat dengan sebatang pohon.
"Berani lari kubunuh dari
jauh kaul" geram Sahara dengan wa mulai memucat. pasti racun dalam senjata
rahasia itu mulai bekerja, menyatu dengan darah yang mengaiir di
sekujur'tubuhnya itu
"Sahara, aku hanya
akan... awas- sentak Suto mendadak. Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh
tahun melompat dari balik semak dengan kapak bermata dua sudah ada di
tangannya. Orang itu menerjang Sahara dari belakang; kapaknya slap. Dihantamk
an pada kepala gadis'itu. Sahara segera berbalik, lalu bersalto mundur hindari
hantaman kapak orang tersebut. Wees...!
Perginya Sahara dari hadapan
Suto membuat kapak itu terarah ke wajah Suto bersama pemiliknya yang melompat
dengan ganas. "Mati aku!" gumam Suta Sinting menegang, tapi ia segera
jatuhkan badan ke kiri. buuk...! Tepat pada saat itu kapak orang tersebut
diayunkan ke depan. Jrrab...!
Kapak itu menghantam pohon.
Kaki Suto Sinting berkelebat menendang perut oran'g itu sambil berbaring di
tanah. Buuukh...! Wass.-..! Orang Itu terpental sejauh tujuh langkah. Tendangan
bertenaga 'dalam cukup kuat itu tak diduga sama sekali oleh orang berbaju serba
biru.
Akibatnya Ia jatuh terbanting
di sana dan terkapar dengan tubuh tersentak-sentak seperti orang terSerang
penyakit ayan- Mulutnya berbusa dan busa itu adalah darah. Sedangkan kapaknya
tertinggal di pohon dalam keadaan masih menancap. Sahara menjadi beringas
Setelah kenali orang tersebut. "Rupanya kau ingin nasibmu lebih parah dari
adik perguruanmu, Ganda Wirang"! Terimalah ajalmu sekarang juga Keparatll'
heaaah" .!"
'Saharaaa ... jangan. .l'
teriak Suto Sinting begitu meiihat Sahara berlari dengan pedang siap dihujamkan
ke tubuh Ganda Wirang, Suto Sintlng buru-buru bangkit ingin menahan gerakan
Sahara.
Tetapi gadis itu tiba-tiba
iatuh tersimpuh dan memekik sendiri. Rupanya racun pada senjata rahasia tadi
mulai tak mampu ditahannya. Racun itu membuat Sahara menjadi semakin lemas dan
jantungnya melemah. Napasnya menjadi sesaak. Sulit diheia. Ia masih bersimpuh
sambil mendekap luka di lengannya. Pendekar Mabuk segera menghampirinya setelah
berusaha mengambil bumbung tuaknya yang tadi jatuh saat Sahara bersaito mundur.
Bumbung tuak itu dijatuhkan dl depan Sahara dengan tangan Suto masih tetap
terikat ke belakang.
"Minum Tuakku! Lekas
minum sebelum racun itu mencabut nyawamu' 'Uuukh...l' Sahara menahan sakit
sambil berusaha mengairnbil bumbung tuak.
Pada saat itu, Ganda
Wirang'berusaha bangkit dan mendekati Suto dari belakang dengan langkah gontal.
Suto sedang memperhatikan Sah ara, dan mata Sahara segera terbelalak melihat
Ganda Wirang mencabut pisau yang terselip di balik bajunya.
Kemudian melompat hendak
menikam Suto dengan pisau itu. _ 'Awwwaas...l. Aaakh...l" Sahara berusaha
memeklk, tapi suaranya pelan dan lemah, bahkan dadanya terasa bagal ditikam
dari dalam.
Namun pemuda tampan murid el
Gila Tuak itu segera paham maksud Sahara. Ia cepat menengok ke belakang,
kemudian kakinya berkelebat menendang Ganda Wirang. Wuuut...l Baaaklt...l Tenda
ngan kaki itu tepat kenal dada Ganda Wirang.
'Heekh...!' Ganda Wirang terlempar
lagi ke belakang sejauh lima langkah, membentur pohon dngan kerasnya.
Duuurt'...l "
Orang berkumis tlpis itu tak
bisa bersuara lagi.
Matanya mendellk, wajahnya
mendengak dengan mulut terbuka, ia jatuh terkapar dan mengejang. Darah semakin
banyak yang keluar dari mulutnya.
"Lekas minum
tuaknya!" seru Suto dengan tenang. Wajahnya menampakkan kecemasan yang
cukup membuatnya menjadl jengkel sendiri. Sahara pun buru"buru 'meminum
tuak itu dengan kedua tangan gemetar. Sementara itu, suara Ganda Wirang
terdengar menyentak-nyentak bersama tubuhnya yang juga menyentak-nyentak.
"Buka ikatanku! Lekas,
buka ikatan tanganku! Orang itu butuh bantuan. ia akan mati kalau tak ninum
tuakkul Buka ikatan tanganku ini, Sahara!" sambil Suto memunggungi Sahara,
tapi gadis itu tak mau membuka ikatan tangan Suto. Gadis itu
terengah"engah dengan pejamkan mata, tertunduk dan masih bersimpuh.
"Buka ikatanku "ini, Sahara...!' teriak Suto dengan jengkel sekali.
***
5
NYALA api unggun menerangi
tempat mereka bermalam. Bukan gua, juga bukan rumah, melainkan alam bebas yang
penuh ditumbuhi pepohonan besar dan tinggi. Di bawah pohon tinggi yang
mempunyai akar pipih 'seperti dinding itulah mereka sepakat untuk bermalam. '
Sahara dan tawanannya masih
berada di dekat api unggun. Udara dingin menembus malam, tapi mereka tertolong
oleh kehangatan api unggun. Gadis berpakaian primitif itu duduk di atas
bongkahan akar setinggi betis. Pedangnya ditancapkan di tanah samping kanannya
Matanya pandangi nyala api unggun tak berkedip.
Pendekar Mabuk menyimpan rasa
kagum melihat ketegasan dan keberanian Sahara. la mirip seorang prajurit perang
yang tak pernah kenal kata menyerah. Dilihat dari sikap duduknya yang mirip
lelaki perkasa itu, Pendekar Mabuk yakin bahwa gadis ltu berhati baja, tak mudah
terkena bujuk rayu siapa pun. Prinsipnya kuat dalam melakukan suatu pekerjaan.
la bagaikan karang di tengah lautan; tak gentar diterjang ombak. tak goyah
disapu badai.
"Siapa sebenarnya gadis
itu"!"
Pertanyaan tersebut sering
muncul di hati Pendekar Mabuk, bahkan sering terlontar lewat mulutnya, tapi tak
pernah mendapat jawaban dari si gadis.
Kacantlkannya yang keras
menandakan ia tak mudah buka rahasia terhadap pihak lain, terlebih terhadap
orang yang belum dikenalnya.
Suto Sinting pandangi gadis
itu sambil sandarkan punggung di akar pipih menyerupai dinding setinggi
pundaknya jika sedang berdiri. Suto duduk melonjor dengan kedua tangan tetap
terikat ke belakang. Gadis Itu beium mau membuka ikatan tersebut. Jaraknya
dengan Suto hanya satu jangkauan.
Setiap gerakan Suto selalu
diperhatikan dengan lirikan penuh curiga. Wajah cantiknya tak pernah tersenyum.
Bahkan kali ini Ia tampak memendam rasa kesai seteiah Sutomendesak agar Ganda
Wirang diberi minum tuak.
Gadis itu akhirnya memang
memberinya minum tuak kepada Ganda Wirang. Orang itu tak jadi mati, iuka
dalamnya sembuh dan badannya meniadi segar. Tapi ia segera larikan diri setelah
pandangi Suto dengan pandangan aneh; antara'dendam dan salut.
"Kurasa tidak terlalu
berlebihan," kata Suto kepada gadis itu.
"Kulakukan hal itu karena
kau telah selamatkan nyawaku dari kapak mautnyai' ujar Sahara dengan suara
seperti orang menggumam, walahnya tetap menghadap ke depan, matanya setengah
menerawang pandangi api unggun. .
"Siapa dia
sebenarnya?"
"Saudara seperguruannya
Cindera Girl! Pasti ia telah bertemu Cindera Giri yang terluka oleh sabetan
pedangku itu; dan ia mencariku. untuk balas ,dendam!"
Katakata itu terdengar datar
dan dingin. Tapi Suto sudah merasa beruntung karena pertanyaannya dijawab oleh
Sahara. Akan iebih mengesaikan hati lagi jika pertanyaan itu tidak mendapat
jaWaban walau diulang-ulang seperti kaset rusak.
"Siapa sebenarnya Cindera
Giri itu"! Mengapa kalian sampai ingin saling membunuh"!"
Sahara menarik napas, lalu
menghempaskan-nya lepas-lepas. Kedua lengannya berada di atas kedua kaki yang
mrenggang dalam duduknya, menapak dengan tegar seperti seorang lelaki.
Jari"jari tangannya saiing selinap antara yang kiri dengan yang kanan.
Punggungnya sedikit membungkuk dengan lengan merenggang gagah.
'Duiu _aku bersahabat dengan
Cindera Giri. Aku sering diajak bertandang ke perguruannya. Tapi sejak kutahu
maksud persahabatan Cindera Girl, kami jadi bermusuhan." ' 'Apa maksud di
baiik persahabatannya itu"'
'Mencoba memanfaatkan
diriku."
Sampai di situ Sahara dlam.
Tapi Suto Slntlng belum puas dengan iawaban yang dianggapnya masih menggantung
itu. Maka ia pun aiukan tanya lagi bersifat mendesak namun tak kentara.
"Kau mau dimanfaatkan
untuk maksud apa?"
"Kurasa kau Sudah
tahu!" jawabnya sambil melirik angker. Angker tapi cantik dan enak
dipandang, karenanya Suto tak merasa takut atau muak. Justru ia Suka dan
dipandang terus wajah itu dengan senyum ketenangannya. Senyum itu makin melebar
setelah Ia akhirnya berkata,
"Kau pikir siapa aku
Ini"! Aku tidak ada hubungannya dengan Cindera Giri!
"Tapi kau punya hubungan
dengan Ratu Sendang Pamuas! Dan perempuan itu juga mempunyai maksud yang sama
dengan Cindera Giril" sahut Sahara dengan kata-kata cepat, nyerocos,
tegas, berkesan menuduh. Setelah memandang senyum tawanannya justru semakin
melebar, Sahara palingkan pandang ke depan, ke arah api unggun lagi. Namun
suaranya terdengar tetap datar sebagai kelaniutan nyerocosnya tadi.
"Tugasku adalah
menggagalkan orang-orang sepertimui Mata-mata sepertimu memang pantas dihukum
mati. Tapi bukan aku yang menentukannya. Selama masih bisa kutangkap dan kubawa
ke peradilan, akan kutangkapi Tapi kalau tidak bisa. kucabut nyawanya!"
"Peradilan mana?" pancing Suto.
Tapi gadis itu tak menjawab.
Ia justru lanjutkan kata-katanya yang tadi. 'Kaiau Cindera Giri bukan bekas
sahabatku, sudah kubawa ia ke peradilan dan pasti kuiatuhi hukuman mati jika
kubeberkan maksudnya di peradilani'
"Peradilan
mana"!"
Pertanyaan itu hanya dijawab
dengan pandangan sinis dari mata indah yang berkesan galak itu. Wajah cantik
tersebut juga semakin tampak sangar, seperti pembunuh berdarah dingin. Suto
Sintlng salah tingkah sesaat setelah adu pandangan mata selama tiga helaan
napas. ia baru bisa bersuara lagi setelah Sahara alihkan pandangan matanya ke
api unggun. "Mengapa kau begitu yakin kalau aku mata"mata dari Pantai
Dahaga"l"
'Aku pernah melihat wajahmu
sebagai pendamping Ratu Sendang Pamuasl' '.
Dahi Suto Sinting berkerut, ia
buru-buru memprotes tuduhan itu. "Aku belum pernah kenal dengan Ratu
Sendang Pemuas! Mendengar namanya saja baru beberapa hari ini!"
"Mataku tak bisa
dikeiabui. Walau saat itu kulihat ia bersama rombongannya dari kejauhan, tapi
aku ingat betul kau berada disamping Ratu Sendang Pemuas. Kalian sama-sama
menunggang kuda bersebelahan, sementara orang"orangmu membantai habis
perkampungan orang Shakih."
'Orang apa..."! Orang
sakit"!"
'Orang Shakih!" Sahara
sedikit menyentak sam-bil melirik Pendekar Mabuk. Gadis itu memang belum tahu
bahwa pemuda yang bersamanya adalah Pendekar Mabuk yang namanya sudah bukan
asing lagi di rimba persilatan itu. Agaknya ia juga belum mengenai nama
Pendekar Mabuk, sehingga sikapnya masih dingin-dingin saia ketika Suto Sintlng
menyebutkan gelarnya.
"Baru sekarang kudengar
nama orang Shakih, tentunya melihat perkampungan orang Shaklh pun aku belum
pernah." Gadis itu melirik sinis tanda tak percaya.
! "Sahara, apakan kau
pernah mendengar nama Pendekar Mabuk"l' Sahara diam sala. Cuek. Entah cuek
atau budek, yang jelas ia tidak memberi reaksi apa-apa. Suto Sinting merasa
heran dalam hatinya. Tapi la coba memancing reaksl si gadis dengan ianlutkan
kata"katanya tadi. "Akulah orang yang bergelar Pendekar Mabuk, murid
dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Aku tidak ada hubungannya dengan pihak Pantai
Dahaga atau Ratu Sendang Pamuas. Pendekar Mabuk adalah Pendekar Mabuk, bukan
pendekar pendamping Ratu Sendang Pamuasl"
Gadis itu memang meniengkeikan
sekali. Ia tak dengarkan kata-kata Suto. ia justru merapatkan punggungnya ke
akar pipih di sebelah kanannya, lalu mengambil posisi slap-slap untuk tidur.
Kini di sebelah kirinya adalah bumbung tuak Suto, dan sebelah kanannya pedang
yang sudah tidak ditancapkan ke tanah lagi, melainkan digeletakkan di
tanah dekat dengan tangannya.
"Konyol!" geram hati Suto Sinting sambil hembuskan napas
kejengkelannya.
Gadis itu lonjorkan kedua
kakinya dengan satu kaki lagi terlipat tegak. Duduknya menghadap ke arah Suto,
dengan sedikit merebah. Maksudnya sewaktu-waktu matanya terbuka dapat melihat
gerakan tawanannya. Tapi Suto Sinting. merasa sengaja dlpameri pemandangan yang
mendebarka n jantung lelakinya.
Rumbai"rumbai penutup
bagian dada dan bagian bawah sengaja
dihadapkan ke arah Suto, seakan
menantang sekali, sehingga napas Suto pun mulai memberat. "Brengsek!"
gerutu Suto dalam hati sambil palingkan pandang ke arah api unggun daripada api
gairahnya sendiri yang berkobar akibat menatap ke arah si gadis.
Sebab apa yang tertutup oleh
pakaian rumbaI"rumbai tampak mengintip sedikit, seakan
melambai"lambai dan cengar-cengir menggoda keusllan hasrat seorang lelaki.
Kalau saja tangan Suto tak terikat, Ingin rasanya ia menjepretnya dengan karet
gelang.
"Siapa yang bernama Ratu
Sendang Pemuas itu sebenarnya' Mengapa dia yakin betul kalau aku waktu itu ada
di sarnplng sang Ratu"." Apakah sang ratu punya pengawal yang mirip
aku"!" pikir Suto Sintlng sambil alihkan perhatiannya agar tidak
ter.tuju kepada posisi tidur sl gadis yang menggoda sekali itu.
"0, ya... bicara tentang
Ratu Sendang Pemuas, berarti dia |uga tahu tentang gadis penunggang kuda
putlh"! Hmmm... apakah dia yang dimaksud gadis penunggang kuda putih"
Jika bukan dia, apakah ada hubungannya dengan Cindera Girl"!'
Rasa penasaran yang mengusik
hati liu segera dilontarkan dengan suara sedikit keras agar gadis itu tak jadi tertidur lelap.
'Sahara....' ' Baru disebut
namanya saja ia sudah membuka matanya walau tak seluruh nya. Ini menandakan
bahwa Ia tidak mudah tertidur nyenyak dan kewaspadaannya masih terjaga.
'Apakah kau juga tahu tentang
gadis yang di-cari-cari oleh Ratu Sendang Pamuas itu"!' tanya
Suto Slnting dan membuat
Sahara makin mernbuka mata seluruhnya. Suto menyambung kata,
"Sekitar dua hari yang
lalu, aku singgah di Desia Bumirela. Malam itu ada keributan dan aku berhasll
mengatasi. Orang-orang Waduk Bangkai yang mengaku dibayar oleh seorang ratu
bemama Ratu Sendang Pamuas, telah menyiksa wakil lurah desa tersebut hanya
untuk mencari tahu seorang gadis penunggang kuda putih."
Sahara tegakkan duduknya.
Matanya sedikit iebih lebar: dari biasanya. Tatapan mata itu terasa tajam
menembus jantung Suto.
'Aku tidak tahu gadis mana
yang dimaksud, dan siapa orangnya. Tapi aku penasaran sekail. Sebab seorang
temanku juga sempat hampir dianiaya oleh tiga orang yang diduga dari Kadipaten
Lohmina, karena ketiga orang itu Ingin tahu tentang gadis berkuda putih.'
Gadis itu diam saia. Diam
sambil menatap tak berkedip ke arah'Suto Sinting. Tentu saja ini' itu membuat
Suto menjadi salah tingkah dan terheran"heran. Akhirnya ia tersenyum
canggung sambil berkata,
"Baiklah kalau kau tak
bersedia bicarakan tentang gadis berkuda putih itu. Lupakan saja pertanyaanku.
Tidurlah lagi kalau kau memang sudah mengantuk. Aku tak akan lari, sekalipun
aku nanti berhasil lepaskan ikatan tanganku! Silakan tidur; lagi. Kau kelihatannya
letih sekail hari ini.'
Sahara justru mendekati Suto
dengan duduk di tempat semula, tapi kali ini tidak menghadap ke arah api
unggun, melainkan langsung menghadap ke arah Suto Sinting. Pedangnya digenggam
dengan tangan kanan dan ditancapkan di tanah tidak terlalu dalam. "Apakah
kau pernah melihatnya?"
"Melihat orang orang
Waduk Bangkal, maksudmu" Oh, tentu saja aku pernah melihatnya sebab aku
yang...." : "Melihat gadis penunggang kuda putih' sentak.
Sahara memotong kata"kata
Suto Sintin'g. Yang dipandang hanya nyengir malu.
"Belum. Aku justru
penasaran dan ingin melihatnya. Lebih tepatnya, ingin mengetahui siapa gadis
itu 'dan mengapa dicari-cari oleh Ratu Sendang Pamuas maupun orang Kadipaten
Lohmina. Apakah...apakah kau penunggang kuda putih itu?" Suto Sinting
ganti bertanya sebagai pemancing percakapan tersebut.
Sahara kendurkan ketegangannya
dengan hembusan napas panjang. Ia berpaling ke kanan, menatap api unggun yang hampir redup itu. Ia
justru
sempatkan diri menambahkan
kayunya dan nyala api semakin terang kembail.
"Apa yang kau dengar dari
orang"orang itu?" tangis Sahara sambil mundur dari tepian api unggun,
iai duduk kembali ke tempat semula.
"Orang-orang Desa
Bumireja tak ada yang melihat gadis penunggang kuda putih, tapi seorang
sahabatku."'
"Yang kumaksud, apa yang
kau dengar dari para pencari gadis penunggang kuda puth itu"!" potong
Sahara agak jengkel. "Mereka tak banyak bicara. Hanya menanyakannya pada
beberapa penduduk desa, dan memaksa wakil lurah untuk mengakui melihat gadis
penunggang kuda putih. Lebih dari itu aku tak tahu apa-apa tentang gadis
tersebut. Tapi... jujur saja kukatakan padamu, aku memang ingin tahu tentang
gadis itu."
'Untuk apa kau ingin tahu jika
kau memang bukan mata-mata dari Pantai Dahaga"!"
"Hanya sekadar ingin tahu
saja. Semula masalah ltu memang sudah kulupakan. Tapi berhubung kau menyebut
nama Ratu Sendang Pemuas, lalu rnenuduhku sebagai mata-matanya, maka aku |adi
teringat lagi dan rasa penasaranku untuk mengetahui siapa gadis itu mulai
tumbuh iagi.' ?
Sahara diam kembali. Kali ini
ia merenung dan membiarkan dipandangi oleh Pendekar Mabuk. Hati keci! Suto
mengatakan, gadis penunggang kuda putlh bukan Sahara. Karena Sahara tampak
sedang, memikirkan gadis penunggang kuda putih iuga. .
"Apakah kau tidak bisa
jelaskan tentang gadis itu, Sahara?" Sahara memandang dengan mata tak
berkedip, kepaia sedikit tertunduk. Bola matanya bagus sekali '- saat ia
memandang dengan po sisi seperti itu. .
Suto tambahkan kata,
"Hati kecilku mengatakan, gadis itu menghadapi kesulitan yang timbul dari
beberapa pihak. Agaknya aku perlu membantunya ' Jika ia gadis baik-baik:
_"Ia gadis balk-balk!" sahut Sahara dengan cepat.
"Dan sedang menghadapi
kesulitan"!"
"Kurasa memang
begitu," jawab Sahara tegas, tanpa senyum sedikit pun.
"Apakah dia cukUp mampu
menghadapi kesulltan itu?"
"Kurasa" ,"
Sahara tampak ragu, tapi segera paksakan diri untuk tegas kembali.
"Kurasa ia cukup mampu
hadapi kesulitan apapun!'
"Syukurlah kalau
begitu." Suto manggut"manggut kecil. "Apakah dia
sahabatmu"!" pancing Suto.
' 'Dia lebih tinggi
dariku."
Dahi si murid Gila Tuak itu
berkerut taiam. "Maksudmu lebih tinggi "dalam hal apa"!"
Sahara hembuskan napas panjang
lagi. "Lupakan tentang dial Aku mau tidur! Esok pagi kau harus jalan lagi menulu
ke peradilan!"
Setelah bicara begitu, Sahara
geser mundur dan sedikit merebah bersandar akar, posisinya seperti tadi lagi.
Kali ini Sahara tidur dengan
memangku pedangnya. Tangan masih tetap berada di gagang pedang walau tak
menggenggam kencang. Sebenarnya saat itu adalah saat yang mudah bagi Suto
Sinting untuk melarikan diri, atau melumpuhkan Sahara dengan jurus 'Napas Tuak
Setannya.
Tapi Suto tak mau lakukan
juga. Hatinya justru merasa Iba melihat gadis Itu tidur dengan kepala miring ke
kiri. Seluruh ucapan gadis Itu dicerna kembali dalam benak Suto. lalu
kesimpulan di batin Suto mengatakan, Sahara adalah seorang prajurit.
Setidaknya seorang anak buah
yang punya nilai pengabdian cukup besar dan berani pertaruhkan nyawa demi
atasannya. "Jika ia mengatakan bahwa gadis penunggang kuda putih itu lebih
tinggi darinya, apakah itu berarti dia adalah anak buah si gadis penunggang
kuda putih tersebut"!" tanya Suto dalam hatinya sendiri.
'Apakah aku akan diserahkan
kepada .si gads penunggang kuda putih itu"! Jika benar begitu, sebaiknya
kuikuti saja apa maunya- Biarlah aku jadi tawanannya. karena aku ingin jumpa
dengan gadis penunggang kuda putih itu dan ingin tahu persoalan yang
sebenarnya. Lebih-lebih aku dituduh sebagai mata-mata Ratu Sendang Pemuas, setidaknya
aku ingin dapat berhadapan dengan orang yang bergelar Ratu Sendang Pemuas
itu."
Suto Sinting akhirnya redupkan
mata. Ia juga ingin tidur daripada buka mata dan tersiksa batinnya melihat
pemandangan yang ada di depannya; paha mulus, dada seksi, pinggul menggiurkan,
blblr menggemaskan, dan semua itu memang sengaja dipamerkan sebagai siksaan
bagi sang tawanan.
Namun baru saia Suto pejamkan
mata, la mendengar suara langkah yang mencurigakan. Langkah itu seperti bukan
langkah hewan, tapi langkah manusia yang mengendap endap.
"Ada yang mendekat
kemari. Sepertinya berasal dari arah belakang Sahara"l' pikir Suto,
kemudian dengan gerakan pelan ia menggulingkan batu
sebesar genggaman dengan kaki
kirinya. Batu itu bergulir dan kini berada di atas telapak kaki kanannya. Ia
masih berlagak memejamkan mata, namun sebenarnya mata itu tak tertutup rapat.
ia masih bisa melihat gerakan orang yang memang muncul dari pohon belakang
Sahara.
"Oh..."! Seorang
lelaki lebih tua dari Ganda Wirang"! Hmm... badannya besar, kumisnya
tebal, pakaiannya serba hitam, wajahnya tampak bengis.
tapi nyalinya kecil
sekaii"i Ooh... dia membawa plsau"l"
Lelaki yang diintai Suto itu
berikat kepala merah dengan rambut ikal tak sampai pundak. Ia menggenggam pisau
bergagang dari gading. Panjang mata plsau sekitar dua iengkal. Bentuknya hampir
seperti badik besar, ujungnya runcing.
Orang itu mengendap"endap
dari belakang Sahara. la berlindung di balik akar pipih seperti dinding itu.
Padahal akar itulah yang dipakai bersandar Sahara. ia memandang Suto beberapa
saat, kemudian setelah merasa yakin bahwa pemuda yang dipandangnya juga
tertidur, ia memperhatikan Sahara dari balik akar itu. Kejap kemudian, tangan
yang menggenggam pisau ltu terangkat ke atas. ia ingin menikamkan pisau itu di
dada Sahara, atau mungkin sasarannya ieher Sahara.
Ketika pisau itu mau diayunkan
ke bawah, kaki Suto Sinting segera berkelebat menendang. Batu yang ada di atas
telapak kaki itu melayang cepat sekali. Wuuut...! Praak...i
"Aaoow...l' orang itu
memekik keras karena kepalanya terkena batu tersebut. Kepala itu langsung bocor
dan mengucurkan darah. sedangkan batunya jatuh di pangkuan Sahara. Orang itu
sendiri terpeianting menggeioyor ke belakang.
Sahara segera bangkit. ia amat
terkejut melihat wajah orang itu berlumur darah. Tapi agaknya ia masih kenali
siapa orang bertubuh besar yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.
Seet...l Sahara segera
acungkan pedang di dada orang yang berdiri terpojok sudut kedua akar yang mirip
bilik itu. "Buang plsaumu. Krakaro"!" gertak Sahara dengan suara
dan sikap tampak kalem tapi sedingin seorang pembunuh tak kenal ampun.
'Hhhrrgg...i' Krakaro
menggeram ganas, giginya saling menggegai kuat. Pisaunya tak dibuang. ia bahkan
gerakkan kakinya menendang tangan Sahara dengan gerakan cepat. Beeet.
piaaak...i Tangan Sahara tersentak ke atas. Ujung pedangnya menggores sedikit
di dada Krakaro. membuat baju
hitam orang itu robek dan
kuiit dadanya tampak berdarah karena goresan.
Namun ia tak peduli. dan
bahkan segera menghujamkan pisaunya ke perut Sahara dengan suara mengerang
mirip singa ganas.
"Haaarrrgg...!"
Sahara lompat ke belakang
hindari jangkauan tangan Krakaro. Gadis itu segera memutar tubuh menjadi
memunggungl Krakaro yang mengejar, lalu "pedang Sahara menyelinap ke
belakang. Wuuut,
jruUb" .!
"Aaaakkkhr... Krakaro mendellk, uiu hatinya ditembus pedang
Sahara yang dihujamkan ke
belakang dengan satu ' tangan, sementara tangan yang kiri terangkat ke atas
menjaga keseimbangan. Pedang itu nyaris tembus ke punggung Krakaro karena hentakan
tangan Sahara cukup kuat dan tepat pada sasarannya.
"Ooh... kenapa harus
dibunuh"!" gumam Suto Sinting agak menyesal. _Sahara mencabut pedang
dari ulu hati Krakaro.
Siuuub...! Wajah gadis itu
tetap tampak dingin. Krakaro jatuh ke belakang, tersandar batang pohon.
kemudian melorot ke bawah dengan mulut terbuka dan nyawa melayang entah ke
mana.
Suto Sinting hembuskan napas.
ia kurang setuju dengan tindakan Sahara. Tapi setelah dipikir-pikimya, Sahara
sudah cukup bijak, menyuruh Krakaro membuang senjatanya- Tapi Krakaro nekat
akhirnya Sahara ambll tindakan tegas.
"Dengan apa kau
membocorkan kepalanya tadl"l" tanya Sahara sambil dekati Suto
Sinting.
"Dengan batu di atas
kakiku'," jawab Suto apa adanya. "Hemm...l" Sahara
manggut-manggut. "Kalau begitu aku harus hati-hati dengan kakimu."
Suto Sinting tersenyum getir.
'Dia adalah Krakaro,
mata"mata dari Lereng Curam. Dia juga punya maksud yang sama dengan
ratumu; si Sendang Pemuas."
"Lereng Curam.--"!'
Suto Sinting menggumam bernada heran. ia pernah mendengar nama tempat tersebut
ingatannya segera berputar dan akhirnya temukan sebuah nama yang pemah
disebutkan oleh Tirai Surga, yaitu nama Perguruan Pintu Neraka dan nama
ketuanya: sl Beruang iblis, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : 'Daiam Pelukan
Musuh')..
"Sebagai mata-mata Tebing
Curam, ia layak mati karena tak mau menyerah!" tegas Sahara sambil
membersihkan pedangnya yang berlumur darah Krakaro memakai dedaunan.
"Aku pernah mendengar
nama tempat itu. Kalau tak salah di sana ada perguruan yang bernama Perguruan
Pintu Neraka, ketuanya berjuluk si Beruang iblis!"
'Kau sahabat Beruang iblis"l' ujar Sahara
penuh curiga. 'Aku hanya pernah mendengar nama itu dari sahabatku yang menjadi
musuhnya. Aku pernah berjanji padanya untuk membantu menumbangkan si Beruang
ibllsl Karena itulah aku menuju ke Bukit Sawan untuk temui sahabatku itu. Tapi
kau menangkapku dan menawanku begini!"
Sahara acuh saja dengan
keluhan itu. ia bahkan berkata sambil bersihkan pedangnya lagi dengan dedaunan.
"Sudah yang keempat kail ini Beruang lblis gagal mengirimkan utusannya
untuk menjadi pencuri laknat!" 'Apa yang ingin dicurinya"!"
tanya Suto, tapi pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Sahara justru mengatakan
hai yang membuat Suto jadi kesal hati
iagi.
'Kurasa kau memang orangnya Ratu Sendang
Pamuas, sebab kau kenal dengan si'Beruang Iblis dan tahu persis nama
perguruannya. Kudengar kabar. Beruang iblis sedang merencanakan untuk bergabung
dengan pihak Ratu Sendang Pamuas. Mereka akan membentuk persekutuan busuk untuk
menyerang kami! Benar, bukan"!'
"Mana kutahu"i"
Suto bersungtrt"Sungut.
'Tak usah berpura"pura
lagi di depahkui' gumam Sahara yang membuat hati pemuda tampan itu semakin
dongkol. sahara tak pernah memberitahu akan dibawa kemana tawanannya itu. Sang
tawanan hanya bisa memendam kedongkolan dalam hatinya. Mau tak mau ia tetap
harus meiangkah mengikuti perlntah Sahara. Gadis itu sepertinya tak pernah tahu
berterima kasih.
Sudah tiga kali nyawanya
diselamatkan oleh Pendekar Mabuk, namun masih tetap menganggap Pendekar Mabuk
adalah mata-matanya Ratu Sendang Pemuas.
Sahara berjalan di belakang
Suto. Setiap Ingin membelok ke kiri atau ke kanan, Sahara hanya berseru
keluarkan perintah dan Suto melakukannya.
Anehnya, sejak peristiwa malam
kematian Krakaro, gadis itu semakin menjadi gadis pendiam. Beberapa pertanyaan
Suto tak dijawabnya. Kalau toh ia mau menjawab, hanya satu-dua kata saja.
"Mengapa kau jadi
pendiam, Sahara"
Pertanyaan itu pun tak
dijawab. Sahara hanya keiuarkan kata perintah, "Jalan terusl' Suto Sinting
terpaksa melangkah lagl. Namun kali Ini iangkahnya diperiambat ketika
meiewati kaklperbukitan yang merupakan
tanah tandus tak berpohon itu. Kelambatan langkah Suto Slnting diiakukan karena
ia melihat beberapa orang berdiri di perbukitan yang tak seberapa tinggi itu.
Jarak mereka satu dengan yang lain sekitar tiga puluh iangkah.
Namun sikap mereka berdiri
yang meman dang ke arah Suto Sinting mengundang tanda tanya sendiri di dalam
hati si Pendekar Mabuk.
Orang-orang di atas perbukitan
itu diam tanpa lakukan tindakan apa pun. Padahal mereka bersenjata; pedang,
tombak, ada pula 'yang bersenjata cambuk. Suto Sinting melangkah sambil
memperhatikan mereka, sehingga punggungnya didorong oleh Sahara dengan agak kasar.
"Ayo, cepat"i"
"Tunggu" sergah
Suto. "Apakah kau tak meiihat orang"orang di atas perbukitan
itu"!"
"Itu bukan urusanmui'
'Tapi mereka mengawasi
kita"!"
"Mereka orang Suku
Shakih! Penjaga perbatasan. Ayo, jalan terus!"
Suro Sinting didorong iagi,
terpaksa melangkah kembali. "Orang Shaklh"i Jadi Shaklh Itu nama
suku?"
Sahara diam saja, matanya
memandang ke arah orang"orang di atas perbukltan Itu.
"Jika mereka dari Suku
Shaklh, iantas kau dari
suku apa"i"
'Mabayoi" jawab Sahara pelan dan datar, matanya tak mau memandang Suto Sinting.
Padahal saat itu Suto Sinting terperanjat mendengar nama Suku Mabayo. Ia ingat
cerita _Badrun tentang Suku Mabayo. Cerita yang didengarnya hanya sepintas itu
ternyata sekarang meniadi sangat berguna bagi Pendekar Mabuk.
"Jadi... iadl kau adalah
masyarakat dari Suku Mabayo yang tinggal di Hutan Malaikat itu"i"
Sahara tidak menjawab.
Wajahnya tampak keras, penuh ketegasan dan bersikap cuek. Sementara itu Ingatan
Suto kembali menyusuri kata"kata Badrun tentang gadis penunggang kuda
putih yang berasal dari Suku Mabayo.
"Sekarang bisa
kutebak," kata Suto. "Kau adalah sahabat gadis penunggang kuda putih
itu. Sebab menurut penjelasan sahabatku, gadis penunggang kuda putih itu
berasal dari Suku Mabayo Benar, bukan"i" desak Suto. Tapi mata Sahara
hanya memandang dingin, mulutnya membungkam tanpa sepatah kata pun. Wajahnya
tetap kelihatan cantik2 galak. Mereka tiba di tepi sungai. Sahara diperintahkan
Suto Sinting untuk seberangi sungai.
"Aku tak bisa berenang
menyeberang kalau ikatantanganku tak kau lepaskan," ujar Suto beralasan
padahal ia bisa menyeberang sungai tanpa harus berenang. Dengan melompati
dedaunan atau benda apa saja yang mengambang di permukaan air, lurus perlngan
tubuhnya dapat dipakai untuk menyeberangi sungai. Tetapi ia sengaja berlagak bodoh
agar Ikatan tangannya dilepaskan.
Sahara bukan gadis yang mudah
dikeiabuhl. Sekalipun aiasan Suto masuk akal, tapi ia tetap tidak mau lepaskan
akar pengikat kedua tangan Itu. Tanpa diduga"duga Sahara melepaskan
totokan ke tengkuk Suto. Deees...l Totokan itu melumpuhkan seluruh urat si
Pendekar Mabuk, dan membuat Pendekar Mabuk menjadi tak berdaya. Terkulal lemas
dalam keadaan masih sadar, masih bisa memaki dalam hatinya.
Dengan sedikit gunakan
kekuatan tenaga dalam, gadis itu mengangkat tubuh Pendekar Mabuk. dan
memanggulnya. Kemudian Ia menyeberangi sungai tersebut dengan lakukan
lompatan"lompatan perlngan tubuh dari ujung"ujung batu yang tersumbul
dari kedaiaman air.
Tab, tab, tab, tab, teb...l
Sampai di seberang sungai ia
tidak lepaskan totokannya. Suto tetap dlpanggulnya dan dibawanya lari. Gerakan
larinya cukup cepat. dan dalam waktu singkat ia sudah sampai di perkampungan
Suku Mabayo di kedalaman Hutan Malaikat. Totokan pun segera dilepaskan. Suto
Sinting bergegas bangkit terduduk.
Sahara segera mencengkeram
baju Suto dan menarikya ke atas agar Suto Sintlng berdiri. Pendekar Mabuk
terbengong pandangi orang-orang perkampungan Suku Mabayo itu. |
Ternyata kaum wanita lebih
banyak daripada kaum lelakinya. Para
wanita Suku Mabayo mengenakan pakaian minim seperti yang dikenakan Sahara.
Mereka berkullt coklat sawo matang, dan rata rata kaum wanitanya bertubuh
indah. Tinggi, padat, berisi, dan masing"masing mempunyai dada yang ,
montok. Wajah mereka pun hampir mempunyal kecantikan yang seimbang, hanya
berbeda corak kecantikannya.
Kaum wanita Suku Mabayo
mempunyai hidung mancung-mancung dan alis iebat namun tunbuh dengan rapl. Mata
mereka bening"bening dan berbulu mata lentik, seperti mata Sahara. Rambut
mereka keriting semua. Keriting kecil-kecil, halus sekali. nyaris tak kentara
kerltingnya. Namun potongan rambut
mereka berbeda-beda.
Kaum lelakinya berperawakan
tegap dan gagah. Namun yang memiliki ketarnpanan seperti Suto Sintlng tidak
ada. Umumnya ketampanan meka tergolong cukup lumayan. Berkulit gelap dan
berdada bidang, namun yang sekekar Suto Sinting tak ada.
Hanya tinggi tubuh mereka
memang rata-rata seukuran tinggi tubuh Pendekar Mabuk.
"Suku Mabayo..."!'
gumam hati Suto Sinting.
'Rupanya di sinilah akhir
perjalananku sebagai tawanan," sambil mata Suto Sinting pandangi
rumah-rumah yang berbentuk kerucut terbuat dari rumbia.
Menurut perkiraan Suto
Sintlng, perkarnpungan itu terdiri dari sekitar dua puluh sampai tiga puluh
rumah. Mereka berkelompok, sehingga satu dengan yang lain mudah saling
berhubungan. Jarak dari rumah ke rumah sekitar empat langkah. Nanun mereka
mempunyai tanah lapang yang tak berpohon kecuali tatanan rumput, itu pun tak
sesubur runput di tempat lainnya. Rumah-rumah itu dibangun mengeiiiing tanah
lapang yang luasnya separuh lapangan boia itu.
Di tengah tanah lapang ada
tanah. yang menggunduk tak seberapa tinggi, kira-kira hanya setinggi satu
betis. Di tengah gundukan itu ada tiga tiang tinggi sebesar pohon pinang. Suto
tak mengerti apa kegunaan tiang itu. Yang jelas, kini ia sedang menjadi pusat
perhatian hampir seluruh penghuni perkampungan suku Mabayo. Wajah para wanita
yang memandangnya berkesan dingin dan sinis.
Tiga orang bersenjata pedang
di punggung hamplri Sahara yang masih mencekal lengan Pendekar Mabuk. Ketiga
wanita yang mendekat itu tampak berusia sedikit iebih tua dari Sahara, sekitar
dua puluh delapan tahun- Satu orang dari mereka berambut pendek seperti
potongan lelaki.
Satu lagi berambut panjang
namun diguiung ke atas dengan sisanya berjuntai seperti ekor kuda. Yang satunya
mempunyai rambut sepundak namun bagian depannya pendek sekali.
Wajah mereka cantik-cantik
dengan bibir sensuai dan berwarna merah ranum. Tetapi dari sorot matanya mereka
tampak tegas-tegas dan punya wibawa tersendiri. "Siapa yang kau bawa ini,
Sahara"!'
"Aku menangkap mata-mata
dari Pantai Dahaga Orangnya si Sendang Pamuas!"
Yang tengah maju dekati Suto
Sinting. Tanganya segera mencengkeram dagu Suto dengan kasar. hingga mulut Suto
monyong ke depan. Suto Sinting sempat kaget dan mendelik tegang.
"ingin rasanya
kuhancurkan wajah tampanmu. Jahanam!" geram wanita berambut cepak itu
dingin penuh kebencian tercurah di wajahnya.
'Madesya... jangan sentuh dulu
dia" ujar si rambut sepundak. "Biar sang ketua yang tanganli'
"Benar, Madesya! Kita
tunggu saja kedatangan sang Ketua," timpal yang rambutnya digulung keatas
dan mengenakan kalung manik"manik putih kecil". 'Hmmmh...!"
Wanita yang bernama Madesya itu meiepaskan cengkeraman tangannya hingga wajah
Suto tersentak ke kiri. ia pun
mundur ke tempat semula.
"Aku bukan mata-matal
Sahara yang salah paham dan...."
'Tutup mututmu!" bentak
Madesya sambil menuding dengan kasar.
Wanita yang rambutnya diguiung
naik itu berseru memanggii seseorang.
"Sambu...!
Sambu...!"
Seorang pemuda sebaya dengan
Suto berlari menghadap wanita itu. Sikap berdirinya tampak menghormat dan
wajahnya penuh kepatuhan. Pemuda itu hanya kenakan ceiana dari kuiit binatang
warna hitam, berbentuk seperti rok yang sangat mini. Rambutnya kerlting lembut
sepanjang pundak.
Ikat kepaia dari tali biru.
"Sambu, ikat dia di tiang
tengah?"
"Baik, Barana!"
jawab Sambu dengan patuh.
Kemudian ia menarik Suto
Sinting dan membawanya ketiang di atas gundukan tanah itu. Suto Sinting tak mau
meronta. karena hanya akan bikin tuduhan semakin berat. ia menurut, saja dengan
kalem, tangannya masih terikat di belakang.
Sebelum itu Suto mendengar
wanua yang dipanggii Sambu dengan nama imang bicara kepada wanita yang berambut
sepundak tapi bagian depannya pendek sekali itu.
"Siapkan tiang gantungan,
Jenda'
"Apakah dia sudah pasti
dijatuhi hukuman gantung"l"
"Persiapkan sajai' sergah
lmang. Maka wanita yang ternyata bernama Jenda itu pun segera memanggii
beberapa pemuda dan beri perintah untuk persiapkan tiang gantungan.
Pendekar Mabuk terikat di
tiang tengah. Tali penglkatnya bukan dari 'Akar Serat Setan" tapi
dari jenis tali rami berukuran besar,
mirip tambang kapal. Kedua tangan Suto masih tetap terikat dengan "Akar
Serat Setan". ia menjadi bahan tontonan para penduduk perkampungan Suku
Mabayo itu. Ada yang secara terang-terangan menonton, ada yang sambil lakukan
kesibukan dari depan atau samping rumah mereka.
Dua orang pemuda sebaya dengan
Suto menjaga di kanan"kiri. membawa senjata tombak yang panjangnya
melebihi tinggi tubuh Suto SintIng. Sementara itu. Jenda, lmang, Madesya,
Sahara, dan beberapa wanita berpedang berkumpul di seberang tanah gundukan itu.
Mereka saling berkasak"kusuk dengan wajah wajah tegang. Suto Sintlng
memperhatikan sekeliling tempat itu sambil sesekali! menatap kearah para wanita
berpedang.
"Aneh. Tak ada orang tua
dl sini"! Rata-rata mereka berusia sebaya dengan Sahara. Setua-tuanya
hanya seperti Madesya"l" ujar Suto Sinting dalam hatinya.
"Kelihatannya kaum wanita lebih berkuasa di sini, sedangkan kaum lelakinya
patuh dengan perintah kaum wanita. Hmmm... tak kulihat juga ada anak-anak di sini" Apakah
mereka perempuan-perempuan mandul" Atau mereka sengaja tidak
kawin"i"
Sekali lagi Suto mencari sosok
anak-anak dengan pandangan matanya, namun Ia tak temukansatu anak pun. Uaia
paling muda yang ditemukan melalui pandangan matanya adaiuh berusia sekitar
tujuh belas tahun. "Sepertinya mereka tidak mengenai hubungan
suami-Istri," Pendekar Mabuk kembali membatin.
"Tampaknya mereka tak
mengenal kemesraan. Tak ada yang kelihatan tertarik padaku. baik secara mencuri
pandang atau terang-terangan. Anehi Apakah mereka perempuan-perempuan
dingin"i Perempuan"perempuan tak mengenal cinta dan
kemesraan"!"
Memang aneh kehidupan orang
orang Suku Mabayo itu. Biasanya, di mana saja Suto muncul selain ada wanita
yang menaruh perhatian khusus kepadanya. Satu-dua wanita akan menampakkan rasa
terpikatnya terhadap ketampanan atau kegagahan Pendekar Mabuk.
Tapi agaknya hal itu tidak
berlaku di perkampungan Suku Mahayo. Mereka tak kelihatan ada yang tertarik
dengan ketampanan atau
kegagahan Suto Sinting.
"Alangkah gersangnya," pikir Suto. 'Alangkah sepinya kehidupan yang
tak mengenal cinta dan kemesraan. Lalu... lalu bagaimana cara mereka berkembang
biak" Apakah melalui penyerbukan"! Ah. kok seperti tanaman saja"
Tak mungkin itu! Laiu... apakah mereka tidak ingin melestarikan kehidupan
sukunya"
Aneh sekail. Baru sekarang aku
bertemu dengan orang-orang yang tidak mengenal kemesraan sama sekali. Mereka
dikatakan kolot ya tidak, dikatakan tidak ya koiot. Seharusnya mereka
beranak-cucu agar penerus keturunan Suku Mabayo tetap ada!" Pendekar Mabuk
mencoba menangkap percakapan mereka dengan menggunakan jurus 'Sadap Suara'.
Tetapi ia justru bingung sendiri, karena mereka bicara dengan bahasa yang tidak
dimengerti oleh Pendekar Mabuk. Rupanya mereka mempunyal bahasa sandi
tersendiri, atau bahasa daerahyang belum pernah didengar oleh Suto sebelumnya.
Sampai menjelang sore, Suto
Sintlng dibiarkan terikat di tiang tanpa diberi makan ataupun minum. Bahkan
diajak bicara pun tidak. ia mendahului mengajak bicara kedua penjaga bersenjata
tombak itu, tapi tak satu pun ada yang menjawab. Bahkan memandangnya pun tidak.
Baru saja Suto Sinting Ingin berteriak supaya menarik perhatian mereka dan
diajak bicara, tapi tiba"tiba niatnya ditangguhkan karena perhatiannya
terpusat. pada suara derap
kaki kuda yang makin
lama semakin jelas. Sahara,
imang, Madesya, dan
wanita-wanita perpedang
lainnya segera bubar, mereka membentuk barisan berjajar di sepanjang jalanan
depan tempat Suto diikat itu.
Kejap berikutnya, Pendekar
Mabuk bagal terhipnotis di tempatnya. Wajahnya menegang; matanya terbelalak,
mulutnya ternganga, napasnya tertahan, tenggorokan tersumbat, dan... burung pun
terbang. Burung di rerumputan terbang karena derap kaki kuda mendekatinya. Kuda
itu adalah kuda putih.
Penunggangnya seorang gadis
cantik berambut, sebagian dikonde di tengah kepala, sisanya merlap sepunggung.
Rambut itu bergerai-gerai karena sentakan kuda putih yang ditungganginya ?
"Gadis... gadis
penunggang kuda putih..."!" gumam hati Pendekar Mabuk dengan lidah
masih kelu.
Sahara dan para wanita
berpedang tundukkan kepala menyambut kedatangan gadis berkuda putih itu. Kedua
penjaga di kanan kiri Suto Sinting juga tundukkan kepala walau tugasnya
berbeda, karena orang"orang iainnya pun memberi hormat dengan cara yang
sama. Seluruh kesibukan dihentikan sesaat hanya untuk menyambut kedatangan
gadis penunggang kuda putih.
"Oh, rupanya dia kepala
sukunya"!' gumam hati
Suto Sintlng masih belum bisa
kedipkan mata. "Pantas Sahara pernah bilang bahwa gadis itu lebih tinggi
darinya, rupanya karena gadis itu kepala sukunya maka Sahara tak berani
sebutkan sembarangan!"
Madesya dan jenda segera
pegangi tali kekang kuda saat kuda berhenti tepat di depan Suro Slnting. Gadis
cantik itu lemparkan tatapan matanya ke arah Suto hingga beberapa saat.
Suto Sinting berdebar-debar
dan muiai sadar dari tertegunnya, ia saiah
tingkah dan segala yang dipandang terasa serba saiah. Sesaat kemudian
gadis itu pun turun dari atas kuda, tapi masih tetap memandang ke arah Pendekar
Mabuk. Bahkan ia berjaian dekati gundukan tanah, tapi belum sampai naik ke.
atas gundukan itu.
"imang! Siapa orang
ini"!" serunya sambil tetap memandang Pendekar Mabuk. Rupanya seng
kepaia suku juga belum pernah mendengar ciri-ciri Pendekar Mabuk, sehingga ia
masih merasa asing dengan wajah dan penampilan si Pendekar Mabuk itu.
"Sahara menangkap mata-mata dari Pantai Dahaga, Ketua" dia! imang
dengan suara tegas daniantang.
Suro Sinting menyahut, "itu
tuduhan yang salah, Ketual Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Pantai
Dahaga maupun Ratu Sendang Pamuas Sumpah! Berani dikutuk jadi raja kalau
pengakuanku ini bohong!"
Gadis yang tampak. masih muda
namun punya sikap yang cukup matang itu sunggingkan senyum tipis. Pendekar
Mabuk berdesir bagai jatuh dari ayunan begitu melihat senyuman kecil yang iuar
biasa indahnya itu. Untuk sesaat ia tak bisa bicara pandangi si gadis berjubah
emas. Jubahnya itu tanpa lengan dan tanpa kancing.
Pakaian dalamnya hanya berupa
penutup dada dan penutup bagian bawah yang terbuat dari kulit macan tutul.
Sangat kecil sekali penutup itu. bahkan tampaknya hanya ' rapat di bagian atas
saja, semacam rok yang mudah tersingkap atau sengaja disingkapkan
sewaktu-waktu.
Satu"satunya gadis yang
memakai jubah itu seiain berhidung mancung juga berlesung pipit di sudut
senyumnya. Manis sekali. idia memgenakan gelang emas di lengan atas, dekat
ketlak. Sebuah kalung emas berbandul batu hijau berukuran sebutir anggur
melingkar di lehernya yang berkulit sawo
matang itu. "Ketua, aku mohon dibebaskan karena aku bukan mata-mata,"
ujar Suto agar tak tampak grogi.
Senyum sang Ketua kian
meiebar, lesung pipitnya semakin menikam kerinduan di hati Pendekar Mabuk.
Sebab calon istrinya yang' bernama Dyah Sarlningrum juga mempunyai lesumg pipit
di sudut senyum manisnya itu. "Kalau kau bukan mata-mata,mengapa kau mau
ditangkap"!"
'Gobiok yang nangkap
saya" suto Sinting bersungut-sungut. Tapi sang Ketua semakin tebarkan
senyum. bahkan terdengar tawanya '.yang sangat manis dan pendek itu. Tiba-tiba
ia bersuara tegas. ' 'Madesya! Bawa dia ke ruang pengadilani' 'Baik
Ketua!" '_ Suto segera berkata, 'Aku minta seorang pembela!"
'Aku yang akan jad! pembelamu
ujar sang Ketua cantik dengan
sunggingkan senyum lincah lagi.
"Aku pembeiamu, tapi juga
penuntutmu, termasuk hakim yang akan mengadilimui'
Pendekar Mabuk tak bisa bicara
selain memandang antara kagum dan dongkoi.
***
6
RUMAH berbentuk kerucut itu
berfungsi sebagai ruang pertemuan, termasuk ruang pengadiian juga. Di rumah
kerucut itu ada kursi berukir diiapisi emas pada tepiannya dan gading di bagian
punggung kursi. Sang kepala suku duduk di kursi yang menyerupai singgasana dan
punya iantai iebih tinggi itu.
Sementara para wanita
berpedang yang berperan sebagai prajurit itu memenuhi ruangan tersebut. Suto
Slnting berdiri di depan sang Ketua dalam keadaan tangannya masih terikat.
Sahara ada di samping Suto, seolah-olah sebagai pihak yang mengajukan tuntutan
dalam persidangan itu. '
"Apakah ada barang-barang
buktinya"i' tanya sang Ketua. "Hanya bumbung tempat tuak ini,
Ketua." Ujar Sahara sambil serahkan bumbung tuak itu. Laiu ia tambahkan
kata, "Tuak itu punya khasiat yang iuar
biasa hebatnya. Selain dapat
melenyapk an luka 'daiam waktu singkat. juga bisa memulihkan te naga dan
menyegarkan badan." |
'Sudah kau
buktikan"!" tanya sang Ketua sambil pandangi bumbung tuak.
'Tlga kali saya 'terluka, tapi
selalu sembuh setelah minum tuak itu. Tiga kail pula dia menyelamatkan nyawa
saya dari ancaman maut Cindera Girl, Ganda Wirang, dan Krakaroi' Sang Ketua
manggut"manggut dengan senyum
tipis. ia pandangi Suto sesaat
sambil masih pegangi
bumbung tuak itu. "Benar
kau memiliki bumbung tuak ini"l'
'Benarl" jawab Suto
Sinting pendek.
"Karena kau telah selamatkan
nyawa Sahara tiga kali, maka kuberi imbaian yang sepantasnya."
Sang Ketua memandang Sahara,
'Buka ikatan tangannya sebagal imbalan atas jasa baiknya selama menjadi
mata-mata pihak lawan!"
"Kuklra dapat imbalan
apa?" gerutu Suto Sinting lirih sambil membiarkan Sahara membuka akar
pengikat itu dengan pelan-pelan sekali. Jika tidak dilakukan dengan pelan-pelan
atau diputus dengan Secara cepat, akar itu akan menjerat lebih kencang lagi.
Pendekar Mabuk agak lega kedua tangannya kini telah lepas dari tali pengikat.
ia menggosok"gosok pergelangan tangannya sambil,memandang ke kanan-kiri.
"Tawanan" ujar sang
Ketua. "Benarkah tuakmu punya khasiat untuk lenyapkan luka dan sehatkan
badan"!" "Benar! Coba saja kalau tak percayai" jawab Suto
Sintlng agak ketus karena masih dongkol.
sang Ketua membuka tutup
bumbung itu. Ia ingin..' memeriksa tuak tersebut, tapi lebih dulu tetarik pada
tempurung hitam yang menjadi penutup bumbung itu. Sang Ketua kerutkan dahi,
lalu sedikit terperanjat melihat gambar wajah orang pada tempurung itu. Lalu ia
tersenyum dan geieng-geleng kepala sendiri.
Semua anak buahnya Ikut
berkerut dahi, wajah mereka memamerkan keheranan. Sahara pun tampak sedikit
terperanjat ketika sang Ketua menghadapkan gambar wajah orang di tempurung
itu. Bahkan Sahara segera
menatap Suto Sinting dengan dahl berkerut. Suto Sinting juga berkerut dahi
karena bingung melihat ekspresi wajah mereka.
"Tawanan! Kau dapatkan
dari mana sebenarnya tempurung ini"!" tanya si Ketua cantik itu.
"Dari seorang sahabatku
yang menjadi pengemis."
'Slapa namanya"i"
'Badrunl' jawab Suto tegas dan
jelas.
Terdengar suara
menggaung'seputl lebah. Itulah suara para wanita berpedang yang berkasak-kusuk
dengan wajah tegang. Sang Ketua tetap kalem, tapi Sahara jadi tampak grogi,
wajahnya. memancarkan kecemasan. Suto Slnting pandangi ke sana"sini dengan
penuh rasa heran. 'Kenapa..."l" tanyanya kepada sang Ketua cantik
yang masih menyandang pedang di punggungnya. Pedang itu bergagang dan bersarung
emas dengan rumbai"rumbai benang merah.
"Sahara, apakah kau tak
meiibat tempurung ini sejak menyita bumbung tuaknya"i"
"Saya... saya tidak
memperhatikan, Ketual' jawab Sahara dengan rasa takut.
'Tawanan! Sebagai mata-mata
yang tertangkap kau harus diadu dengan sepuluh orangku. Mereka
adalah para prajuritku yang
kuat"kuat dan menjadi andalan suku kami. Jika kau unggul melawan mereka,
kau bebas. Tapi jika kau tidak unggul, nyawamu yang bebas bergentayangan ke
mana"mana!"
"Hmmm, eeeh... aku
bersedia saja, tapi...."
"Tapi karena kau
menyimpan tempurung ini," sahut si Ketua. "maka aku cukup.
menghukummu dengan satu tebakan. jika kau salah menjawab, kau akan celaka.
Celaka itu! bisa membuatmu mati atau cacat seumur hidup."
'Tebakan"l" Suto
Slntlng heran sekali.
"Kau hanya punya
kesempatan menjawab satu kali! "Tebakan apa maksudmu"l"
"Mana yang-lebih hebat;
rembulan atau matahari?"
'Hah..."l" Suto
Sinting justru terperangah.
"Kau kusuruh menjawab.
bukan kusuruh terperangah seperti kuda menelan gentong!" ujar sl Ketua.
Semua yang berkasakukusuk tadi menjad! bungkam. Suasana sangat hening. Napas
mereka pun tak terdengar. Sang Ketua mengulang pertanyaannya, "Mana yang
lebih hebat; rembulan atau matahari?"
Sulo Slntlng ingat tebakan
Badrun yang diberikan kepada tiga orang kaya itu. Bahkan pada malam setelah
pengusiran orang"orang Waduk Bangkai,
Suto Sintng dan Badrun
mengupas kembali soal tebakan tersebut. Memang jawaban itu terkesan konyol atau
main"main, tapi kala itu Badrun tetap ngotot bahwa jawabannya tidak salah.
Maka, walau hati Suto Sintlng
merasa heran dan kurang yakin dengan jawaban yang pernah didengarnya dari
Badrun, namun di situ ia mencoba menggunakan jawaban tersebut. Ia menjawab
dengan suara lantang.
"Rembulan dan matahari,
lebih hebat rembulan. Karena rembuian bisa menerangi malam, sedangkan matahari
tidak bisa menerangi maiam. Matahari muncul pada waktu slang. Padahal siang itu
sudah terang. Jadi untuk apa ia muncul slang hari. Tetapi rembulan muncul pada
waktu malam menjadi gelap. Jadi cahayanya berguna bagi kehidupan manusia!"
. Prok, prok, prok, prok...l
Suara tepuk tangan itu diawali
dari sang Ketua cantik. Yang lainnya lkut-ikutan tepuk tangan. Wajah mereka
mulai tampak berseri. Sahara sendiri mulai bisa tersenyum Walau kecil. Tapi
senyum Itu mencengangkan Pendekar Mabuk karena mempunyal keindahan yang sama
dengan senyum sang Ketua.
apakah... apakah iawabanku ini
kau anggapbenar !" tanya Suto Sinting kepada sang Ketua.
'kalau jawabmu salah kau akan
muntah darah sampa seluruh darahmu hsbls. Karena tebakan itu sebenarnya adalah
ilmu...."
"Kedung Getlh'l"
sahut Suto Sinting.
"Benar! Dan aku yakin kau
pasti bisa. Menjawab dengan benar, karena adikku selalu memberitahukan jawaban
dari tebakan itu kepada orang yang akan singgah kemari!"
"Adlkmu..."!"
Suto Slntlng kembali kerutkan dahi dengan rasa heran lebih besar lagi.
"Badrun adalah adik
bungsukul Tapi karena dia masih anak-anak, maka dia tak boleh tinggal di
perkampungan sebelum berusia tujuh beias tahun. Kelak jika ia sudah berusia
tiga puluh tahun, Ia pun harus pergi mengembara tak boleh tinggal di
perkampungan. Begitulah aturan leluhur Suku Mabayo yang berjalan secara turun
temurun!
"Oh, pantas di sini tak
ada anak-anak atau orang tua"!" gumam Suto Sinting dalam hatinya.
"Madesyal Siapkan jamuan
makan untuk tamu kita Ini, karena dia bukan calon pencurl Batu Selaput
Dara." 'Baik, Ketua! Apakah kita akan pesta"!"
'Ya. Kita akan pesta bersama
tamu tampan kita ini!" sambll sang Ketua melirik Suto Slnting dengan '
senyumnya yang menawan. Baru sekarang ada orang yang tersenyum dan bersikap
menggemaskan hati seperti itu.
"Tunggu dulul' sergah
Suto Slntlng. 'Apa yang kau maksud dengan Batu Selaput Dara itu?"
Sang Ketua memegangi batu
liontin kalungnya yang berwarna hijau. "lnllah yang dinamakan Batu Selaput
Dara, yang akan dirampok atau dicuri oleh beberapa pihak; termasuk si Sendang
Pemuas.
Karena batu ini akan membuat
si pemakainya tetap perawan, tetap suci, walaupun Ia sudah melahirkan beberapa
keturunan,"
'Luar biasa"l' gumam Suto
Sinting terheran-heran.
'Batu Selaput Dara juga dapat
dipakai menundukkan semua lelaki. sejahat apa pun dan seangkuh apa pun,
termasuk jlka cahayanya yang dibiaskan batu ini diarahkan ke tubuh lelaki Itu.
Entah mengenal matanya, keningnya, blblmya, atau dengkulnya... atau apa saja
bagian tubuhnya. Lebih-lebih jika terkena itunya maka lelaki itu akan menjadi
budak perempuan si pemakai:
"Maksudmu terkena bagian
apanya?"
"Pusarnya!' jawab sang
Ketua sambil tertawa kecil.?"Jangan beranggapan jorok dulu, nanti kau
jatuh sendirl dijorokkan dengan pikiranmu!" tambah sl ketua membuat Suto
Sintlng tertawa kecll pula. para wanita berpedang keluar dari ruang sidang
sambil bertaburan senyum. Tldak seangkuh dan sedingin tadi. Rupanya mereka
dapat tersenyum jika ketua sukunya berwajah ceria.
Suto Sinting dan sang ketua
masih tetap berada dl tempat. Sahara mendampingl sang ketua sebagai penjaga
pintu, memunggungi mereka. Gadis itu tampak ' cuek dan tak mau ikut terlibat
dalam percakapan itu; "Aku ingat, ketika Badrun kutanya apakah dia punya
seorang kakak, dia menjawab punya. Ketika kutanya, siapa nama kakaknya, dia
menjawab: Peri,'.. tapl langsung tertawa."
Dengan suara lembut dan ramah
sang Ketua berkata, "Namaku adalah Peri Jenaka."
'Peri Jenaka"!"
'ltu nama julukan! Hanya
seorang Kepala Suku yang boleh menggunakan nama julukan. Tapi nama asllku:
Srikunti." 'Manls sekali namamu"'
"Aku tak butuh
pujian," ujar Perl Jenaka sambil mencibir lucu, menggemaskan sekali
bibirnya itu, rasa-rasanya Suto ingin mencubltnya dengan gigitan.
"Badrun adik bungsuku, tapi
juga mata-mata Suku Mabayo,' ujar Peri Jenaka dengan .suara renyah dan sikap
riang.
"Aku hampir tak percaya,
Badrun seorang pengemis sedangkan kakaknya secantik ini dan menjadi kepala
suku," Suto Sinting tertawa sendiri sambll geleng"geleng kepala.
"itu pengabdian. Setiap
bocah menjelang dewasa, sebelum ia tingga! di perkampungan 'kaml, harus
mempunyai pengabdian terhadap suku. leluhurnya. Tapi mereka tidak kami
kucilkan. 'di kamarku, ada ruang bawah tanah, sebuah lorong panjang yang
menjadi tempat persembunyian sekai'igus
ruang kemesraan bagi kami. Lorong panjang Itu tembus ke Suatu tempat,
beberapa tempat, di antaranya rumah reot adikku itu. Kalau kau geser meja
rendah di tengah ruangan, maka kau akan
temukan lubang seperti sumur yang menuju ke bawah dan itulah |alan tembus
lorong rahasia kamil"
"Oooh. ."!"
Suto Sinting manggut-manggut.
"kakekku asli dari Suku
Mabayo, demikian pula ayahku, pernah menjabat sebagal kepala suku sebelum ia
mencapai usia tiga puluh tahun,' ujar PerlJenaka. Sambungnya lagi, "Adikku
sebenarnya ada tiga. Tapi yang dua meninggal karena penyakit. Tinggal sl Badrun
itu.'
"Jadi, pada waktu ltu
sebenarnya Badrun melihat kau lewat di
depannya dengan menunggang kuda putih"!" "Benar. Aku habis
iakukan pertarungan dengan seseorang, karena tantangan itu harus kupenuhl untuk
menjunjung harga diri suku kami. Demikian pula tadi, aku baru pulang dari
pertarungan, memenuhi tantangan sl Putri Mesum."
"Kenapa tak ada yang
mendampingimu"'
'Seorang kepala Suku Mabayo
harus berani datang ke pertarungan seorang diri. Jika dalam Waktu tlga hari tak
pulang, maka ia dinyatakan tewas dan jabatan kepala suku segera digantikan
dengan yang baru."
Percakapan itu terhenti. Bukan
karena Suto Sinting yang telah memperoleh bumbung tuaknya itumenenggak tuak
beberapa teguk, tapi karena Madesya muncul dengan wajah tegang.
'Ketua, tiga orang Pantai
Dahaga datang menantang pertarungan di sini juga!"
Suto Sinting terkejut, tapi
Peri Jenaka tetap tenang.
"Suruh tunggu sebentar,
aku akan muncul menghadapinya!" "Baik, Ketual" Madesya pun
segera pergi. ?".peri Jenaka berkata dengan tetap tersenyum kepada Suto
Sintlng. "Maaf, obrolan kita dilanjutkan nanti saja. Aku harus hadapl
orang Pantal Dahaga itu!"
'Perl Jenaka... aku punya
usul, bagaimana )lka aku yang menghadapi
mereka?"
"Kau bukan orang Suku
Mabayo: sambil Perl Jenaka gelengkan kepala. "Anggap sala aku masih
tawananmu. Dan jika aku bisa tumbangkan mereka, aku bebasl'
Peri Jenaka tertawa kecil.
Ceria sekali wajahnya. Tak punya ketegangan sedlkit pun. Setelah beberapa saat
pandangl Suto, akhirnya Perl Jenaka mencekal lengan Suto dan menuntunnya keluar
bagai membawa seorang tawanan.
Rupanya salah satu dari ketiga
orang Pantal Dahaga utusan ratu Sendang Pamuas itu mempunyai ketampanan yang
hampir mirip Suto Sinting.
Rambutnya juga sepundak dan
tidak kenakan Ikat kepala. Badannya tegap, gagah. kekar, hanya mengenakan rompi
merah da celana merah, membawa pedang di punggungnya.
"O, rupanya kali ini kau
sendlrl yang diutus sl Sendang Pemuas untuk mewakilinya, Salendra"!"
sapa Perl Jenaka kepada si
pemuda tampan yang
bernama Salendra itu.
"Aku diperintahkan oleh Nyai Ratu untuk mengambil Batu Selaput. Dara
melaiul pertarungan."
Oh, jadi si Sendang Pamuas
tetap Ingin merampok Batu Selaput Dara dengan mempertaruhkan nyawamu"!
Bagusl' ujar Perl Jenaka. "Tapi sebelun kau merampok Batu Selaput Dara,
kau harus' berhaapan dulu dengan tawananku lnll Jika kau unggul, baru kau boleh
bawa pulang Batu Selaput Daral'
Salendra menatap Suto dengan
sinis. "Boleh jugaa Kurasa dua kali gebrak tawananmu tak akan berkutlk
lagi." "Kita lihat saja, siapa yang besar mulut Sebenarya: ujar Peri
Jenaka dengan senyum kecil.
Lalu Ia mencabut pedangnya dan menyerahkannya pada
suto Slnting sambll berkata Ilrlh.
'Selngatku, hanya Pendekar
Mabuk yang pergi ke mana-mana membawa bumbung tuak."
'Akulah Pendekar Mabuk
itu."
Peri Jenaka tersenyum geli.
"Sudah kuketahul sejak Sahara serahkan bumbung tuakl"
"Kau memang Kepala Suku
yang nakal, Peri Jenaka! "Sekarang letakkan bumbung tuakmu. Hadapi
Salendra dengan pedangkul Tumbangkan dia, jangan sampai kau menjadi tawananku
selamanya, Pendekar jelekl' "Akan kucoba, Ketua genit.
Tapi apa hadiah untukku jika
aku unggul melawan Salendra'"
'Apa yang kau mau dariku,
ambiliah. Asal jangan Batu Selaput Dara lnl!" jawab Peri Jenaka semakin
Ilrlh. Kemudlan ia membawa Pendekar Mabuk ke arena pertarungan yang sudah
dilingkari oleh wanlta wanita Suku Mabayo yang bersenjata pedang Itu. Salendra
pUn sudah menunggu di tengah arena dengan pedang ditangan. Apakah Suto Slntlng
akan unggul melawan Salendra jika ternyata Salendra Jago pedang andalan Ratu
Sendang Pamuas"l
SELESAI