1
LANGKAH pemuda tampan berbaju
coklat tak berlengan itu terhenti seketika. Kakinya yang dibungkus celana putih
lusuh itu segera mengarah ke balik pohon, ia bersembunyi di sana. Wajahnya
memang tak terlihat, tapi bumbung tuaknya yang menyilang di punggung itu nongol
sebagian membuat cara sembunyinya menjadi sia-sia. Untung saja orang yang
sedang diincar belum memperhatikan ke arahnya.
Pemuda berambut panjang lurus
sebatas pundak tanpa ikat kepala itu tak lain adalah, murid sinting si Gila
Tuak. Siapa lagi murid yang sinting kecuali bocah tanpa pusar yang bernama Suto
dan bergelar Pendekar Mabuk itu.
Apa yang membuat Suto Sinting
hentikan langkah dan ambil tempat sembunyi? O, rupanya ada seorang gadis sedang
menuju ke arahnya. Dari kejauhan saja gadis itu sudah tampak cantik, apalagi
dari dekat. Tentu lebih cantik lagi.
"Aku ingin kenal
dengannya. Wajahnya mirip dengan calon istriku yang menjadi penguasa di Puri
Gerbang Surgawi," pikir Suto Sinting.
Ia bergeser sedikit untuk
merapatkan bumbung tuaknya agar tidak nongol dari persembunyian. Dalam hati
sang Pendekar Mabuk masih membatin,
"Dia benar-benar mirip
Dyah Sariningrum, calon istriku itu. Bibirnya ranum, hidungnya mancung,
potongan rambutnya yang disanggul naik itu juga mirip sanggulan rambut kekasihku.
Bentuk badannya yang elok, bentuk dadanya yang tampak sekal dan membusung padat
itu, pas seperti Dyah-ku. Ya, ampun... kenapa dia mirip sekali dengan Dyah-ku?
Tapi aku yakin gadis itu bukan Dyah Sariningrum. Bukan pula saudara kembarnya.
Sebab Dyah tidak punya saudara kembar. Dyah Sariningrum hanya punya satu kakak
yang bernama Betari Ayu dan sekarang menjadi pertapa di Gunung Kundalini, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Telur Mata Setan").
Jadi kurasa ini hanya suatu
kebetulan saja. Oh, tapi... tapi... lho, kok begitu dia?"
Pendekar Mabuk menjadi
terheran-heran melihat gadis berjubah putih itu menabrak pohon kecil. Lalu
mundur sedikit dan melangkah lagi dengan berpegangan pada tongkatnya. Rupanya
tongkat yang sepanjang pundak dari kayu biasa itu bukan tongkat pengusir hewan,
melainkan tongkat penuntun. Brruss...!
"Aduh, kok jadi begitu
dia, ya? Pohon singkong ditabrak saja? Apakah... apakah.... Lho, lho... malah
mau terjun ke jurang?! Gawat!"
Zlaaap...! Suto Sinting
gunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi anak panah, sehingga
gerakan cepatnya membuat ia tampak lenyap begitu saja.
Padahal ia bergerak cepat dan
menyambar gadis yang hampir melangkah menuju ke jurang. Wuuutt...!
"Lepaskan aku! Lepaskan!
Jangan perkosa aku!"
"Siapa yang mau perkosa
kamu!" sentak Suto Sinting setelah meletakkan gadis itu di bawah pohon.
"Mengapa kau peluk aku
dan kau bawa lari?"
"Karena kau hampir saja
masuk ke jurang!"
"Ooh...?! Jurang...? Mana
jurang?! Mana...?!" gadis itu clingak-clinguk sambil gerak-gerakkan
tongkatnya ke depan. Plook...! Tongkat itu justru kenai wajah Suto.
"Iih...! Apa-apaan kau
ini, muka orang disodok-sodok pakai kayu. Kau pikir mulutku ini liang
belut?!"
"Hi, hi, hi... maaf,
Tuan. Aku tidak tahu kalau tongkatku kenai mulutmu," gadis itu justru
tertawa geli, membuat Suto Sinting jadi bersungut-sungut.
Namun kejap berikutnya Suto
Sinting berkerut dahi pandangi gadis itu.
"Ooo... dia buta?!"
gumam Suto Sinting dalam hati, lalu hati pun terharu dan merasa menyesal mengecam
si gadis.
Untuk memperjelas lagi,
Pendekar Mabuk memandangnya dengan membungkuk hingga sejajar. Wajahnya tepat
ada di depan wajah si gadis. Mata si gadis melek, indah, dan bening, tapi
ketika wajah Suto bergerak ke kiri dan ke kanan, bola mata gadis itu tidak ikut
bergerak-gerak. Tangan Suto didekatkan ke mata si gadis, lalu digerak-gerakkan,
bola mata itu tidak ikut bergerak. Kemudian Suto pindah tempat ke samping
kanannya secara diam-diam. Gadis itu bicara dengan seolah-olah merasa Suto ada
di depannya.
"Apa yang kau lakukan di
depanku, Tuan? Memandangiku, ya?"
"Aku ada di sampingmu,
Nona."
"Ooh...?" gadis itu
malu dan segera berpaling ke samping dengan sorot pandangan mata datar.
"Kau nakal, Tuan. Kenapa tidak bilang padaku kalau pindah ke samping?"
"Maaf, aku tidak tahu
kalau kau... kalau kau buta."
"Apa...?!" gadis itu
menyentak dan berdiri. "Enak saja mengatakan aku buta! Aku bukan gadis
buta!"
"Oh, dia
tersinggung?" pikir Suto Sinting.
Pendekar Mabuk pindah ke
belakang gadis itu, tapi sang gadis masih ngomel sambil menuding-nuding bagian
depannya.
"Jangan bicara seenaknya
begitu! Boleh kita buktikan dengan adu ketangkasan, siapa yang kalah nanti, aku
atau kau...!" dia menuding ke depan.
"Aku ada di belakangmu,
Nona."
Nona yang menjadi galak itu
cepat berbalik, "Aku tahu kau di belakangku. Tadi aku sedang malas
berputar, tahu?!" ia membentak lagi. Suto Sinting menahan geli dan sedikit
tundukkan kepala.
"Maafkan kata-kataku
kalau menyinggung perasaanmu, Nona."
"Aku tidak tersinggung,
aku hanya mengingatkan padamu bahwa aku bukan gadis buta!"
"Iya, iya... kau bukan
gadis buta."
"Sebenarnya aku tadi juga
melihat ada jurang di sana," Ia menuding ke arah timur. "Tapi aku
sengaja ingin melongok seberapa dalam jurang itu. Bukan tersesat mau terjun ke
jurang itu!" ia menuding ke timur lagi.
"Jurang ada di sebelah
barat, Nona. Bukan di sebelah timur. Kau salah tunjuk."
"Memang sengaja,"
bantah gadis itu masih ngotot juga. "Aku hanya ingin menguji kau, apakah
kau masih ingat arah mata angin atau tidak. Ternyata kau masih bisa membedakan
mana timur dan mana barat!"
Sebenarnya Suto Sinting ingin
tertawa terpingkal- pingkal. Tapi takut menyinggung perasaan si gadis dan
membuat gadis buta itu semakin marah lagi. Akibatnya ia hanya bisa menutup
mulutnya dan badannya bergerak- gerak karena tertawa tanpa suara.
"Sudah buta, masih saja
ngotot, ngaku tidak buta?!" gumam hati Suto. "Barangkali dia merasa
malu kalau dikatakan gadis buta. Hmmm... sebaiknya tidak kusinggung-singgung
lagi tentang kebutaannya itu."
Kemudian dengan suaranya yang
lembut, murid si Gila Tuak itu berkata kepada gadis berjubah putih,
"Boleh kutahu namamu,
Nona? Dan dari mana asalmu, ke mana arah tujuanmu?"
"Kalau bertanya jangan
borongan, aku bingung menjawabnya, Tuan," jawab si gadis dengan nada suara
sudah tidak marah lagi.
"Jangan panggil aku Tuan.
Panggil saja namaku: Suto Sinting."
"Ooh...?! Benarkah kau
yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?!" si gadis tampak
terperangah girang.
"Betul, aku Pendekar
Mabuk yang bernama Suto Sinting."
"Ah, bohong! Coba kulihat
wajahmu...," gadis itu maju selangkah, tangannya meraba-raba wajah Suto
dengan tersenyum-senyum, dadanya juga diraba, lengannya sampai tangan diraba
pula. Suto Sinting diam saja dan sangat memakluminya.
"Kalau dia tidak buta,
tak mungkin mengenaliku dengan meraba-raba begini," pikir Suto.
"Oh, benar. Benar
sekali."
"Aku benar-benar Pendekar
Mabuk, bukan?"
"Kau benar-benar tampan.
Tapi belum tentu kau Pendekar Mabuk. Kabar yang kudengar dari orang- orang,
Pendekar Mabuk ke mana-mana selalu membawa bumbung tuak dari bambu. Tapi
mengapa bumbung tuakmu kecil dan lembek begini?"
"Yang kau pegang itu jari
telunjukku, Nona," kata Suto agak jengkel jarinya diremas-remas.
"Inilah bumbung tuakku. Peganglah!"
Gadis itu bukan hanya memegang
melainkan meraba bumbung tuak dari atas ke bawah, merasakan bentuknya. Kemudian
senyumnya kian mekar berseri.
"Ooh... ternyata impianku
terkabul. Kau benar-benar pendekar kondang itu; Suto Sinting! Oooh... tenangnya
hatiku bisa bertemu denganmu, Suto!" gadis itu cekikikan, seakan ingin
melonjak kegirangan sambil masih pegangi tangan Suto Sinting.
"Rupanya kau sudah lama
ingin bertemu denganku."
"Ya, memang begitu. Aku
ingin sekali bertemu denganmu. Aku selalu mengidam-idamkan untuk bisa jumpa
denganmu. Tapi sekian lama hanya berupa khayalan belaka. Baru sekarang menjadi
kenyataan yang amat menggembirakan hatiku."
"Bagaimana mungkin kau
punya keinginan selama ini sedangkan kau belum pernah melihatku? Mana mungkin
seseorang merindukan orang lain jika ia belum pernah bertemu dengan orang
itu?" kata Pendekar Mabuk bernada curiga.
"Memang aku belum pernah
bertemu denganmu, tapi aku sering mendengar kesaktian tuakmu. Karenanya aku
ingin bisa bertemu denganmu, Suto."
"Apa hubungannya dengan
kesaktian tuakku ini?"
"Bukankah kau juga
disebut Tabib Darah Tuak? Tuakmu bisa sembuhkan segala penyakit dan bisa
menangkal racun apa pun. Aku sangat ingin mendapat kesembuhan darimu dengan
cara meminum tuakmu, Suto."
"Kesembuhan apa
maksudmu?"
"Aku... aku terkena racun
yang membuat...."
"Membuat matamu jadi
buta?"
"Aku tidak buta!"
sentak gadis itu mulai terpancing kemarahannya. "Racun itu tidak membuatku
buta, hanya membuat penglihatanku terganggu. Apa yang kupandang menjadi hitam
semua. Mungkin racun yang mengenaiku bernama Racun Hitam."
Suto tersenyum-senyum. Ia tak
berani mendesak agar si gadis mengakui kebutaannya. Ia justru mendukung
pendapat si gadis dengan berkata,
"O, jadi kau terkena
Racun Hitam? Pantas penglihatanmu serba hitam."
"Iya. Menyedihkan sekali
selama racun itu belum bisa tersingkirkan dari darahku. Sebab itulah aku
mencari Pendekar Mabuk dan ingin mendapat kesembuhan. Jika kau bisa sembuhkan
aku dari Racun Hitam, aku akan turuti apa permintaanmu. Apa saja yang kau minta,
aku akan berikan."
"Kalau aku minta kau
terjun ke jurang?"
"Aku akan terjun ke
jurang juga, asal kau memberiku contoh bagaimana caranya terjung ke
jurang," jawab si gadis dengan sedikit dongkol. Pendekar Mabuk geli dan
merasa suka menggoda gadis itu, sehingga ia menanggapi dengan berbagai canda.
"Apakah kau keberatan
untuk mengobatiku, Suto?"
"Tidak, asal kau sebutkan
siapa namamu."
Gadis itu diam. Tersenyum malu
hingga lesung pipitnya terlihat jelas di mata Suto Sinting. Kontan hati Suto
Sinting berdebar-debar karena ingat Dyah Sariningrum yang punya lesung pipit
jika tersenyum.
"Semakin mirip Dyah-ku
jika ia tersenyum. Celaka! Bisa-bisa aku terpikat dan luluh dalam pelukannya
kalau begini caranya. Wah, kacau juga jantungku. Detaknya terlalu cepat!"
gumam Suto Sinting dalam hatinya.
Kemudian gadis yang sudah
tampak cukup dewasa dengan usia sekitar dua puluh lima tahun itu segera
perdengarkan suaranya dalam senyuman malu.
"Namaku tak seberapa
bagus. Orang-orang memanggilku: Salju Kelana."
"Salju Kelana...?!
Hmmm... cantik sekali namamu. Hampir mirip dengan sahabatku dari Negeri Ringgit
Kencana yang bernama Kelana Cinta."
"Oohh...?! Jadi kau kenal
dengan adikku?!" gadis itu terperanjat kaget.
Suto Sinting juga ikut kaget.
"Jadi... jadi kau kakak dari Kelana Cinta, mata-matanya Ratu Asmaradani
itu?!"
"Benar. Aku kakaknya
Kelana Cinta. Tapi aku tidak satu perguruan dengannya."
Suto Sinting manggut-manggut,
kemudian terbayang jelas wajah ayu berpakaian merah jambu dengan rambut cepak
seperti potongan rambut lelaki; Kelana Cinta. Pendekar Mabuk pernah bekerjasama
menumbangkan keangkaramurkaan bersama Kelana Cinta, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Seruling Malaikat"). Ia tak menyangka kalau si gadis
yang mirip Dyah Sariningrum itu adalah kakak dari Kelana Cinta, sebab
kecantikannya hanya punya kemiripan pada hidung dan bibirnya saja.
"Tapi kenapa kau tampak
lebih muda dari Kelana Cinta? Mestinya kau yang menjadi adik Kelana
Cinta."
"Aku punya ilmu awet
muda," kata Salju Kelana. "Usiaku sebenarnya sudah tiga puluh tahun.
Tiga tahun lebih tua dari Kelana Cinta."
"Pantas daya pikatmu
sangat kuat," sambil Suto tersenyum-senyum. Ia pandangi wajah itu sepuas-
puasnya, "Mumpung dia belum bisa melihat," pikirnya.
"Apakah... apakah aku
punya daya pikat untukmu, Pendekar Mabuk?" Salju Kelana menampakkan wajah
berseri-seri.
"Aku tak sanggup
menjawabnya, karena itu rahasia hatiku. Sebaiknya minumlah tuakku ini, supaya
Racun Hitam segera sirna dan kau bisa melihat dengan terang kembali."
Pendekar Mabuk segera membantu
menenggakkan tuak ke mulut Salju Kelana. Gadis itu meneguknya lebih dari lima
tegukan.
"Hei, hei... jangan
banyak-banyak nanti aku tak kebagian lagi!" cegah Suto Sinting. Hatinya
membatin, "Doyan minum juga gadis ini?!"
Mata sang gadis mengerjap-ngerjap
dengan senyum penuh harapan. Beberapa saat setelah itu ia berkata dengan wajah
mulai diliputi keraguan.
"Kenapa masih hitam
semua? Apakah sekarang malam lagi?"
"Tidak. Sekarang siang
hari, Salju Kelana."
Mata indah itu
mengerjap-ngerjap kembali, ia mencoba mempertegas pandangan matanya dengan dahi
berkerut-kerut.
"Aku belum bisa melihat
apa-apa kecuali bentangan warna hitam saja."
Suto Sinting menjadi bimbang
dan sedikit cemas.
"Tunggu beberapa waktu
lagi. Racun itu masih dihancurkan oleh tuak saktiku."
"Begitukah?" Salju
Kelana dalam kebimbangan.
Namun mendadak tubuhnya
melenting di udara dengan amat mengejutkan Suto Sinting. Wuuuk...! Ia bersalto
satu kali dan tangannya berkelebat ke bawah saat berjungkir balik. Wuuut...!
Teeb...!
Salju Kelana turun bagaikan
ratu salju mendarat ke bumi karena jubah putihnya yang terbuat dari kain sutera
lembut itu melambai-lambai terbawa angin. Pinjung penutup dada montoknya yang
berwarna ungu itu mirip seperti batuan permata yang indah dibungkus salju
putih.
Jleeg...! Kakinya menapak di
tanah, tangan kirinya yang tidak memegangi tongkat itu terangkat ke depan.
Tangan yang menggenggam itu bagaikan disodorkan kepada Suto Sinting. Pemuda
tampan itu hanya bengong dalam ketidaktahuan.
Genggaman tersebut pelan-pelan
terbuka, dan mata Suto terkesiap melihat dua jarum warna hitam ada di telapak
tangan Salju Kelana.
"Jarum apa itu? Kau
dapatkan dari mana?!"
"Seseorang menyerang kita
dengan jarum beracun ini. Entah aku atau kau yang ditujunya. Yang jelas aku
sudah berhasil menyambar jarum ini sebelum mengenai tubuh kita."
Suto Sinting tertegun bengong
memandangi dua batang jarum hitam di tangan gadis itu. Dalam hati sang pendekar
membatin, "Tinggi juga ilmu gadis ini. Aku sendiri yang bisa menggunakan
mata dengan sehat tidak melihat gerakan jarum itu, tapi ia yang masih buta
ternyata bisa melihat gerakan jarum dan mampu menangkapnya. Cukup kagum aku
pada ilmunya. Berarti dia melihat dengan mata batin. Hmmm... berarti mata
batinnya sangat tajam, melebihi mata kepala manusia biasa."
Salju Kelana menelengkan
kepala, seperti sedang mendengarkan suatu bunyi yang jauh. Kemudian tanpa
memandang Suto ia berkata pelan,
"Ada orang di balik pohon
sebelah belakangku itu."
Pendekar Mabuk segera
menggunakan jurus 'Lacak Jantung' untuk mendengarkan degup jantung orang di
sekitarnya. Ternyata apa yang dikatakan Salju Kelana memang benar, ada degup
jantung lain yang detakannya lebih cepat dari jantung milik gadis itu maupun
jantungnya sendiri. Detakan jantung lebih keras menandakan pemiliknya sedang
menahan getaran.
Tongkat kayu segera
dihantamkan si gadis pada sebutir batu tak seberapa besar. Trak...! Wuuut...!
Batu melayang cepat dan menghantam pohon jati. Duaarrr...!
Pendekar Mabuk terkejut.
Ternyata batu itu dialiri tenaga dalam yang meluncur melalui kayu tersebut.
Akibatnya ketika batu itu menghantam batang pohon, terjadilah suatu ledakan
yang cukup keras dan membuat batang pohon jati itu somplak separo bagian.
"Edan! Kalau yang terkena
batu itu kepala manusia bagaimana?!" pikir Suto Sinting dengan mata tak
berkedip. Hal yang membuatnya kagum dan terheran- heran adalah keadaan sang
gadis yang kelihatan lemah dan cacat namun ternyata mempunyai ilmu cukup
tinggi.
Ledakan tersebut membuat
sesosok bayangan berkelebat keluar dari balik pohon itu. Wuuuk...!
Jleeg...! Lalu, bayangan itu
menampakkan wujudnya sebagai seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun
dengan rambut panjang diikat memakai kain merah dan baju serta celananya
berwarna hitam. Orang itu bertubuh tegap, tak seberapa tinggi, tapi mempunyai
lengan yang kekar. Bajunya juga tanpa lengan sehingga tampak sepasang tato
kepala singa dan kepala naga di kedua lengannya.
"Keparat kau, Salju
Kelana! Hampir saja kau hancurkan kepalaku dengan batu itu!" geram orang
berwajah angker yang menyandang golok di pinggang kirinya. Ia melangkah
mendekati Salju Kelana, tapi dalam jarak enam langkah sudah berhenti.
Salju Kelana maju dua tindak
sambil ketuk-ketukkan tongkat kayu di depan langkahnya sebagai alat pencari
jalan. Pendekar Mabuk tidak ikut mendekat, karena ia tidak kenal dengan orang
bertampang angker itu. Ia justru tetap diam di tempat menyimak pembicaraan
mereka, namun matanya tetap awas, menjaga bahaya yang bisa menyerang Salju
Kelana sewaktu-waktu.
Dengan memiringkan kepala
menyimak suara orang bertato itu, Salju Kelana dapat mengenali orang tersebut,
sehingga ia pun segera sunggingkan senyum sinis dan berkata ketus,
"Masih belum jera
menemuiku, Calo Mayat?!"
"Sebelum kau mati dan
mayatmu berhasil kujual, aku tidak akan jera menemuimu, Salju Kelana!"
Pendekar Mabuk hanya membatin,
"Orang wajah angker itu bernama Calo Mayat. Hmmm... lucu juga namanya.
Pantas sekali kalau dia menjadi makelar mayat, karena wajahnya tak jauh berbeda
dengan kuburan keramat!"
Calo Mayat berkata dengan nada
tak bersahabat. "Sekalipun kau sudah punya pengawal ingusan macam pemuda
itu, aku tetap bernafsu untuk menjual mayatmu! Karena mayat perempuan cantik
semacam kau akan laku mahal dan sangat menguntungkan. Ha, ha, ha, ha...!"
"Barangkali saat ini kau
yang akan menjual mayatmu sendiri, Orang Sesat!"
Gertakan itu ditertawakan oleh
si Calo Mayat. "Percuma kau menggertakku, Salju Kelana. Nyaliku tak akan
berkurang sedikit pun. Aku tetap akan menangkapmu; menjadi mayat saja harganya
mahal, apalagi aku bisa menangkapmu hidup-hidup, pasti harganya jauh lebih
mahal!"
"Cobalah kau lakukan
kalau memang kau sudah cukup ampuh, Calo Mayat!" tantang Salju Kelana
tanpa rasa takut sedikit pun.
Calo Mayat panas hati,
menggeram dengan penuh hasrat untuk membunuh. Ia pun segera melompat secara
tiba-tiba, menerjang Salju Kelana yang masih diam berdiri dengan tenang.
"Heeeeaaat...!"
Wuuut...!"
Slaaap...! Salju Kelana
lemparkan dua batang jarum yang tadi ditangkapnya. Setelah lemparkan jarum ke
arah lawan, ia bersalto mundur dua kali. Plak, plak...! Ia berdiri tak seberapa
jauh dari Pendekar Mabuk.
"Keparat...!" sentak
Calo Mayat melihat jarum berkelebat mengarah kepadanya. Ia segera bentangkan
telapak tangan kirinya untuk menangkis jarum tersebut. Jrub, jrub...!
Jarum menancap di telapak
tangan kiri Calo Mayat. Orang itu tak merasakan sakit sedikit pun. Padahal
jarum itu jelas beracun ganas, tapi agaknya Calo Mayat orang yang tidak mempan
oleh racun.
Tangan kirinya segera
gemetaran, mengepulkan asap tipis, kemudian tangan itu disentakkan ke depan
dengan satu teriakan keras. "Heaaah...!" Kaki pun menghentak ke bumi.
Dua jarum di tangan bagaikan
terpental membalik arah dan menyerang Salju Kelana. Weet... weet...!
Melihat hal itu Pendekar Mabuk
menjadi cemas, khawatir Salju Kelana tidak mengetahui datangnya dua jarum
tersebut. Maka dengan gerak cepatnya yang sukar dilihat mata orang biasa itu,
Pendekar Mabuk berkelebat menangkis jarum tersebut dengan bumbung tuaknya.
Zlaaap... !
Trang, trang...! Jarum itu
bagaikan menghantam besi baja berongga. Bumbung tuak tak mampu ditembus dengan
dua jarum, akhirnya jarum itu berbalik arah lagi dengan gerakan lebih cepat.
Zraaab...!
Calo Mayat kaget melihat
jarumnya kembali menyerangnya dengan cepat sekali. Ia melompat menghindari
jarum-jarum itu sambil memaki.
"Bangsat kurap...!"
Jrrabb... !
"Aaaaaa...!" Calo
Mayat terpekik keras karena mata kakinya tertusuk salah satu dari kedua jarum
tadi. Ia segera jatuh kehilangan keseimbangan. Mata kakinya berasap biru. Ia mengerang
panjang menahan sakit.
"Jahanam kau...! Awas,
akan kubalas kejahanamanmu ini suatu saat. Uuhh...!"
Wuuut...! Calo Mayat melesat
cepat dengan sentakkan kaki yang tidak terkena jarum, ia melarikan diri
menabrak apa saja yang ada di depannya. Suto Sinting membiarkan orang wajah
angker itu pergi. Sementara itu jarum yang lainnya menancap pada sebatang
pohon. Pohon tersebut berasap dan akhirnya menjadi kering, batangnya
mengeriput, daunnya berguguran warna coklat kering.
"Dahsyat sekali
sebenarnya racun dalam jarum itu," gumam Suto Sinting dengan nada kagum.
Salju Kelana berkata pelan
sambil memandang tanpa arah, "Kau kembalikan jarum itu tepat pada sasaran.
Calo Mayat memang orang kebal racun. Tapi ia punya kelemahan di mata kaki.
Jarum yang menancap di mata kakinya jelas akan membuatnya menderita jika tak
segera temukan obat penangkai racun tersebut."
"Dari mana kau tahu kalau
jarum itu menancap di mata kaki si Calo Mayat?" tanya Suto dengan heran
dan agak curiga.
"Suara menancapnya jarum
dan hembusan tubuhnya yang melompat ke atas bisa kubayangkan dalam pandangan
mata hatiku," jawab Salju Kelana yang membuat Pendekar Mabuk menggumam
kagum lagi.
"Siapa orang itu, Salju
Kelana?"
"Makelar mayat. Kerjanya
mencari mayat perampuan cantik, dan akan mendapat upah tinggi jika bisa
menyerahkan perempuan muda dalam keadaan hidup-hidup."
"Diserahkan kepada siapa
nantinya?"
"Gandapura, penguasa
Pantai Ajai yang doyan makan daging manusia itu. Apakah kau belum pernah
mendengar nama Gandapura?!" Saiju Kelana ganti bertanya, ia tidak tahu
bahwa saat itu Pendekar Mabuk terperanjat begitu mendengar nama Gandapura.
Sebab ia tahu persis bahwa Gandapura adalah titisan raksasa yang gemar memakan
daging manusia, ia banyak mendengar cerita tentang Gandapura, di antaranya dari
Ayunda, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pertarungan Tanpa
Ajal").
"Sudah waktunya aku
bertindak sebelum korban semakin banyak," gumam Suto Sinting. Rupanya
gumaman itu didengar oleh telinga Salju Kelana yang sangat tajam itu, sehingga
gadis cantik itu bertanya kepada Suto,
"Apakah kau ingin
menghadapi Gandapura?!"
"Ya. Aku harus mengakhiri
kekejiannya!"
"Mana mungkin, sedangkan
menangkal racun yang membuat mataku begini saja kau tidak bisa. Apalagi
menumbangkannya?"
* * *
PENDEKAR MABUK merasa
dilecehkan oleh kata- kata Salju Kelana, namun ia menerimanya dengan lapang
dada. Ia sendiri heran, mengapa kebutaan Salju Kelana belum sembuh juga walau
sudah meminum tuaknya beberapa kali.
Mungkinkah racun yang
membutakan mata Salju Kelana itu tidak bisa ditangkal dengan tuak sakti
tersebut? Lalu dengan apa cara memulihkan penglihatan Salju Kelana itu?
Keadaan seperti itu sangat
diperhatikan oleh Pendekar Mabuk, membuat hati Suto sangat prihatin dan sedih.
Karena saat ia memandang Salju Kelana dalam kebutaan, ia seperti memandang
kekasihnya; Dyah Sariningrum dalam kebutaan juga.
Secara tidak sadar Suto
Sinting merasa ikut bertanggung jawab memulihkan keadaan Salju Kelana. Padahal
jika Salju Kelana tidak mirip dengan Dyah Sariningrum mungkin Suto Sinting tak
begitu merasa menderita melihat sang gadis berjalan meraba-raba dengan
tongkatnya.
"Sebenarnya kau ingin
pergi ke mana, Salju Kelana?" tanya Suto Sinting sambil memandangi gadis
itu tiada habis. Kemiripannya yang seperti Dyah Sariningrum digunakan oleh
Pendekar Mabuk untuk melepas rindu walau hanya dengan memandang.
"Aku ingin menghadiri
pertemuan Kadipaten Balungan."
Suto Sinting kerutkan dahi.
"Maksudmu mau bertemu dengan Adipati Janarsuma?!"
"Benar. Kau mengenal sang
Adipati Janarsuma?!""Aku hanya tahu namanya, tapi belum pernah
bertatap muka dengan orangnya," jawab Pendekar Mabuk sambil membayangkan
peristiwa yang membawa-bawa nama Adipati Janarsuma, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Kapak Setan Kubur").
"Apakah kau tak diundangnya
untuk datang juga?"
"Tidak," jawab Suto.
"Apakah ada suatu keperluan yang amat penting?"
"Jika tidak penting, tak
mungkin sang Adipati memanggil beberapa tokoh sakti dari berbagai pelosok
penjuru, terutama yang muda-muda."
"Aneh. Aku tidak diundangnya?
Apakah aku tokoh yang tidak disukai karena telah menggagalkan rencananya dalam
memperoleh pusaka Kapak Setan Kubur?" pikir Suto Sinting. "Atau
mungkin aku tidak dianggap tokoh sakti?"
"Kusarankan sebaiknya kau
ikut saja dalam pertemuan itu, siapa tahu kau yang terpilih untuk menggantikan
kedudukannya sebagai adipati, penguasa Tanah Kadipaten Balungan."
Makin berkerut dahi Pendekar
Mabuk mendengarnya. Terasa janggal kabar itu diterimanya, sehingga ia pun
segera berkata kepada Salju Kelana,
"Menggantikan
kedudukannya sebagai adipati bukan dengan cara pemilihan seperti memilih kepala
kampung. Biasanya kedudukan adipati diwariskan kepada keturunannya. Atau
direbut secara paksa."
"Sang Adipati tidak
mempunyai keturunan, sehingga ia ingin mewariskannya kepada seseorang yang
dipandang layak."
Pendekar Mabuk tertawa seperti
orang menggumam, "Ini akal-akalan saja! Pasti ada sangkut pautnya dengan
Kapak Setan Kubur. Mana ada kedudukan seorang adipati diwariskan kepada orang
yang tidak punya hubungan kerabat bangsawan?! Jelas ini suatu pancingan saja,
Salju Kelana. Kalian akan masuk dalam jebakan yang mungkin sukar
keluarnya."
Percakapan mereka terhenti
karena kemunculan sesosok bayangan yang tahu-tahu menerjang Salju Kelana.
Terjangan itu bagaikan angin berhembus, begitu cepat dan begitu tiba-tiba.
Wuuuuttt... !
Beehg...! Salju Kelana terkena
tendangan pada punggungnya. Suara tendangan begitu keras, sehingga mengejutkan
hati Pendekar Mabuk. Agaknya Salju Kelana dijejak dengan satu telapak kaki
cukup telak, sehingga tubuh perempuan cantik yang mirip Dyah Sariningrum itu
tersentak ke depan dan terjungkal.
Wuuut... ! Untung ia mampu
kendalikan keseimbangan tubuh, sehingga ia cepat bersalto sebelum mencapai
tanah. Tangannya digunakan sebagai tumpuan. Bahkan tubuh itu terayun naik
sedikit, sehingga begitu berbalik kedua kakinya langsung menapak di tanah dan
cepat berdiri kembali. Jleeg...!
Matanya langsung memandang ke
timur, padahal orang yang baru saja menendangnya ada di utara. Sepertinya gadis
itu memandang dengan telinganya yang bergiwang ungu kecil itu.
Pendekar Mabuk hanya
terbengong melongo, karena ia sangat kenal dengan penyerang yang punya
kecepatan serang melebihi melesatnya jarum hitam tadi. Orang itu adalah seorang
gadis yang berwajah cantik, berdada montok dan bentuk pinggulnya menggairahkan.
Gadis itu berambut cepak sepeti potongan lelaki,
bibirnya mungil, bulu matanya
lentik, mengenakan rompi panjang sampai paha diikat di bagian perutnya memakai
kain kuning. Senjatanya pisau panjang sehasta. Salah satu cirinya adalah
mengenakan giwang merah kecil.
"Siapa kau, Setan?!
Mengapa tahu-tahu menyerangku dengan tendangan yang mestinya mematikan
itu?!" hardik Salju Kelana dengan mencari-cari di mana arah lawannya
berada.
Gadis berompi merah panjang
itu menampakkan wajah marahnya. Matanya memandang tajam kepada Salju Kelana,
dan sesekali melirik sengit kepada Pendekar Mabuk. Tentu saja Suto
terheran-heran melihat kemunculan gadis itu yang bersikap memusuhinya, ia pun
akhirnya menyapa dengan nada ragu.
"Anggani...?!"
Suara pelan itu ditangkap oleh
telinga Salju Kelana, sehingga ia pun ikut berkata, "Oh, rupanya kau yang
menyerangku, Putri Malu?!"
"Memang aku yang ingin
membunuhmu, Salju Kelana!'' ucap Anggani yang berjuluk Putri Malu itu. Ia adalah
anak Tabib Getar Hati yang dulu diselamatkan oleh Suto dari tangan Ratu Sukma
Semimpi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka
Bernyawa").
"Anggani, mengapa kau
menyerang Salju Kelana?! Kami tidak lakukan apa-apa. Kami hanya berteman!"
kata Suto yang menduga Anggani menaruh rasa cemburu kepada Salju Kelana.
"Aku tak peduli kalian
berteman atau berkasih- kasihan, yang jelas aku punya urusan sendiri dengan
perempuan iblis itu!"
"Jaga bicaramu, Putri
Malu!" sentak Salju Kelana.
Kedua perempuan itu sama-sama
galaknya, sama- sama beraninya, membuat Pendekar Mabuk kebingungan mengambil
langkah. Anggani baik kepadanya, Salju Kelana pun baik dan mirip Dyah
Sariningrum. Siapa yang akan dibela jika begitu? Pendekar Mabuk merasa serba
salah dalam bersikap.
"Salju Kelana, sudah
berapa hari ini aku mencarimu, dan ternyata kutemukan kau di sini!"
"Untuk apa kau
mencariku?! Nada bicaramu menandakan kemarahan yang besar. Jelaskan
persoalannya supaya kita tidak sailng bunuh secara siasia."
"Tidak ada pembunuh yang
sia-sia bagiku, karena aku mencarimu untuk menuntut balas atas kematian
ibuku."
"Hahh...?!" Pendekar
Mabuk terperangah kaget. Salju Kelana hanya kerutkan dahi dan diam beberapa
saat. Perempuan bertongkat itu merasa heran mendengar kabar tersebut, terlihat
dari raut mukanya yang langsung berkerut dahi dan membungkam mulutnya.
"Siapa yang membunuh
ibumu?" Suto Sinting ingin mengulang jawaban tersebut. Karena dalam
hatinya merasa ragu jika Anggani menuduh Salju Kelana sebagai pembunuh ibu Anggani;
Tabib Getar Hati.
"Siapa lagi yang
membunuhnya kalau bukan tamu terakhir yang datang kepada ibu dan meminta tolong
untuk disembuhkan dari kebutaannya! Dialah orangnya yang membunuh ibuku, Suto
Sinting! Kalau kau ingin membelanya, belalah dia, aku tak akan takut melawan
kalian berdua!"
"Sabar dulu,
Anggani...," Suto Sinting mencoba menenangkan gadis yang sudah diburu
dendam, karena napasnya sudah tidak teratur lagi, wajahnya mulai semburat
merah.
"Aku tidak membunuh
ibumu, Bodoh!"
"Jangan mungkir, ibils!
Kau orang terakhir yang datang kepada ibuku. Sejurus setelah kau pergi, ibuku
sudah tak bernyawa dan tergeletak di atas meja ramuannya."
"Putri Malu!" sentak
Salju Kelana. "Kutinggalkan ibumu dalam keadaan masih sehat. Kuucapkan
terima kasih walau ia mengaku tidak bisa menangkal racun yang membuat mataku
rusak begini! Aku tidak mempunyai dendam atau kebencian apa pun. Aku tidak
kecewa jika memang ternyata Ibumu sudah berusaha mengobatiku, namun tidak bisa
sembuh."
"Omong kosong! Kau pandai
memutarbalikkan cerita untuk menutupi kebusukan hatimu di depan Pendekar tampan
itu!" ia menuding Suto dan yang dituding menjadi tak enak hati.
Sebelum Suto Sinting bicara,
Salju Kelana sudah lebih dulu menyentak kepada Putri Malu walau arah wajahnya
kurang tepat menghadap ke arah lawan.
"Baik kalau kau masih
menuduhku begitu! Apa pun yang terjadi, aku tetap tidak merasa bersalah. Tetapi
jika kau ingin mengkambinghitamkan aku, majulah dan lampiaskan dendammu
kepadaku! Jangan salahkan diriku jika nyawamu terbang dalam dua jurus
saja!"
"Persetan dengan jurusmu,
kau pikir aku takut dengan gertakan semacam itu! Hiaaat...!"
Putri Malu segera sentakkan
kaki dan melesat menerjang Salju Kelana. Gerakan itu disambut dengan tongkat
kayunya Salju Kelana yang membabat ke arah depan. Wuuut...! Krraak...!
Lengan Putri Malu terkena
pukulan, tapi memang sengaja dikenakan untuk menangkis sabetan tongkat
tersebut. Suara tulang patah dengan kayu patah hampir sama. Namun nyatanya
Anggani masih mampu menghentakkan kakinya ke depan dan wajah Salju Kelana
menjadi sasaran.
Plaaak...! Telapak tangan
Salju Kelana menghadang di depan wajah, sehingga telapak kaki Anggani hanya
sampai pada telapak tangan itu. Namun agaknya sentakan telapak tangan Salju
Kelana diiringi dengan hentakan tenaga dalam cukup besar, sehingga tubuh Putri
Malu pun terlempar beberapa langkah jauhnya. Wuuut... !
Brruus...!
Anggani jatuh tersungkur di
semak-semak, ia segera bangkit dengan menggeram dan mata memandang kian buas.
Suto Sinting melihat gelagat Anggani ingin lepaskan pukulan jarak jauhnya yang
berbahaya itu. Maka cepat-cepat Suto melesat di pertengahan jarak kedua
perempuan itu sambil berseru keras, "Hentikan! Hentikan semua ini!"
Anggani sedikit mengendurkan kedua tangannya yang sudah siap melepaskan pukulan
jarak jauh itu. Tapi matanya yang tajam memandang Suto penuh nafsu membunuh. Ia
pun berkata dengan suara menggeram,
"Kalau kau tak mau
menyingkir, aku akan melepaskan pukulan ini untukmu juga, Sutol"
"Anggani, pandanglah aku!
Jangan lakukan kebodohan!"
Anggani seperti gadis
kesurupan, tak bisa diajak berunding lagi. Pukulan sinar merah dari telapak
tangannya dilepaskan ke arah Pendekar Mabuk. Slap...!
Sinar merah panjang tanpa
putus itu menghantam Suto Sinting. Keadaan Suto saat itu serba salah. Jika
ditangkis dengan bumbung tuaknya, maka sinar akan membalik kenai pemiliknya
dalam keadaan dua kali lipat lebih besar lagi, berarti Anggani akan celaka.
Jika dihindari sinar itu akan melesat lurus ke belakang Suto, sedangkan di
belakang Suto ada Salju Kelana, tak urung gadis berjubah putih itu akan celaka
juga.
Terlalu lama mempertimbangkan,
akhirnya Suto Sinting mencoba menghadang sinar merah lurus itu dengan
pergunakan jurus 'Tangan Guntur' yang mengeluarkan sinar biru dari telapak
tangan. Tapi gerakan itu terlambat. Sinar biru baru memercik sudah dihantam
dengan sinar merah itu. Zraaab...!
Jgaaar... !
Pijar api merah menyebar dalam
satu hentakan bersama gelegar ledakan yang cukup keras. Pendekar Mabuk
terpental melayang di udara, melewati atas kepala Salju Kelana, lalu jatuh
terkapar dalam jarak delapan tombak dari tempatnya.
"Ooh...?!" Anggani
kaget bagaikan baru menyadari apa yang dilakukannya.
"Sutooo...!" serunya
sambil berlari menghampiri Pendekar Mabuk. Tetapi Salju Kelana bergerak lebih dulu.
Wuuut...!
Gerakan cepatnya itu
menghadang langkah Anggani yang hampir tiba di tempat Suto terkapar. Keadaan
Suto Sinting cukup menyedihkan. Kulit tubuhnya menjadi merah matang, bagian
dada hingga leher tampak hangus.
"Jangan menyentuhnya,
Putri Malu!" sentak Salju Kelana.
"Ak... aku... aku tidak
sengaja melukainya. Aku... oh, semua ini gara-gara kau, Setan!" pekik
Anggani dengan gusar sekali, ia merasa menyesal melepaskan pukulan berbahaya
itu ke arah Suto Sinting. Pukulan itu mestinya ditujukan untuk Salju Kelana,
karena dapat menghancurkan tubuh lawan menjadi serpihan kecil- kecil.
Jika ternyata keadaan Suto
Sinting masih utuh walau mengalami luka bakar yang amat berbahaya, itu lantaran
tenaga dalam yang melapisi tubuh Pendekar Mabuk cukup besar dan mampu menahan
sinar merahnya Anggani. Sekalipun demikian, Anggani merasa sangat menyesal,
karena bagaimanapun juga Suto pernah berjasa padanya; membebaskan Tabib Getar
Hati dari tawanan Ratu Sukma Semimpi. Tak patut rasanya jika ia harus melukai
Suto Sinting separah itu.
"Tinggalkan kami dan
jangan kau bertemu denganku lagi kalau ingin umurmu panjang!" kata Salju
Kelana dengan nada berat, pertanda ia menahan kemarahannya.
"Aku harus membalas
kematian ibuku kepadamu!'
"Bukan aku
pembunuhnya!" sentak Salju Kelana tampak mulai tak sabar.
"Kau... kau...,"
Anggani serba salah dan diguncang oleh kegusaran. Dalam hatinya timbul keraguan
atas tuduhannya sendiri. Tapi hatinya pun mencemaskan keadaan Pendekar Mabuk
yang tak berdaya lagi itu.
"Tinggalkan kami sekarang
juga!" gertak Salju Kelana kembali dengan tangan meremas-remas tongkatnya
bertanda semakin tak sabar ingin melepaskan kemarahannya.
Anggani tampak menangis tanpa
suara mengisak. Ia melangkah mundur, dan kepala Salju Kelana bergerak- gerak
pelan memperhatikan bunyi langkah kaki.
Akhirnya Anggani melarikan
diri dengan tangis kian menjadi-jadi. Rasa sesalnya begitu menghantui jiwa
sehingga ia berlari sejadi-jadinya tanpa arah dan tujuan.
Salju Kelana dekati Suto
Sinting, tangannya meraba- raba wajah, dada, dan seluruh tubuh pendekar tampan
itu. Suto Sinting masih sadar dengan keadaannya. Ia menahan rasa sakitnya.
Napasnya tersendat-sendat,terasa berat dihela.
"Suto...," ucap
Salju Kelana. "Suto Sinting... jawablah aku."
"Uuhg...!" Suto
Sinting hanya menjawab dengan keluhan bersuara berat.
"Kau terluka parah. Parah
sekali, Suto."
"Tu... tuangkan...
minumanku. Tu... tuak!"
"Iyy... iya, ya.
Sebentar... di mana bumbung tuakmu tadi?" Salju Kelana meraba-raba sekitar
tempat itu, sampai merangkak melangkahi tubuh Suto Sinting. Akhirnya bumbung
tuak itu ditemukan dan segera diambilnya. Dengan cara meraba pula Salju Kelana
menemukan bagian tutupnya. Tutup itu dibuka, dan ia berusaha menuangkan tuak
tersebut. Namun terlebih dulu ia harus meraba mencari mulut Suto Sinting.
Padahal waktu itu mulut Suto Sinting sudah ternganga, siap menerima tuak.
Ketika jari tangan Salju Kelana menemukan mulut itu, ia terkejut sesaat, karena
menyangka menemukan lubang aneh yang kemudian disadari sebagai mulut Pendekar
Mabuk.
"Minum... minumlah tuakmu
ini," nada suara Salju Kelana tampak menahan keharuan yang tak ingin
diperlihatkan.
Krucuk, krucuk, krucuk... !
Tuak tertuang pelan di mulut
Suto. Pendekar Mabuk berusaha menelannya dengan susah payah, karena
tenggorokannya terasa keras dan perih akibat terbakar pukulan Anggani tadi.
Tuak itu sempat mengguyur
permukaan wajah Suto Sinting karena Salju Kelana tak tahu kalau mulut Suto
telah mengatup. Jika Suto tidak berusaha mengatakan, "Cukup...!"
sambil gelagapan, tuak tetap akan dituangkan.
Merasa telah membasahi wajah
Suto dengan tuak, Salju Kelana selesai menuangkan tuak itu segera mengeringkan
wajah tersebut dengan jubah putihnya. Sadar ataupun tidak, Salju Kelana sudah
menunjukkan sikap kesetiaannya dalam merawat Pendekar Mabuk. Namun pemuda
tampan itu belum bisa merenungi sikap tersebut, karena yang terpikir olehnya
adalah luka parah yang dideritanya itu.
"Bagaimana keadaanmu,
Suto?" sambil Salju Kelana meraba-raba tubuh Suto Sinting, ingin
memastikan hasil pengobatan melalui tuak tadi.
"Tuangkan lagi,"
ucap Suto agak lancar. Dan Salju Kelana melayani dengan sabar, seakan penuh
ketulusan.
Setelah minum tuak yang kedua,
keadaan Suto Sinting mulai membaik. Hawa panas yang terasa membakar bagian
dalam tubuhnya mulai hilang. Sedikit demi sedikit tenaganya terasa pulih hingga
ia dapat menggeliat bangun.
Salju Kelana memegangi lengan
Suto Sinting dengan pandangan mata datar, bagaikan tidak memperhatikan keadaan
pemuda tampan itu. Namun ketegangan di wajahnya yang sudah mengendur itu
menampakkan kelegaan hatinya.
"Perlukah kubalas
tindakan Putri Malu tadi?!" ucapnya pelan sambil masih pegangi lengan Suto
Sinting, sesekali meraba
punggung dan dadanya.
"Tidak. Anggani tidak
sadar dengan apa yang dilakukan. Kau tidak boleh membalas perbuatannya
ini."
"Tapi kau hampir saja tak
bernyawa karena ulahnya, Suto."
"Memang. Tapi itu karena
ia tak mampu kendalikan jiwanya yang menjadi guncang karena kematian sang ibu.
Kita semua akan mengalami hal demikian jika ibu kita meninggal, hanya saja
mungkin beda cara pengendaliannya."
"Aku masih sanggup
mengejarnya jika kau mau!"
"Jangan, Salju
Kelana," Pendekar Mabuk pegangi tangan Salju Kelana. Tangan gadis itu ikut
menggenggam pula.
"Keadaanku sudah membaik.
Untung ada kau, jika tidak aku tak mampu meraih bumbung tuakku, akhirnya aku
akan mati di sini. Terima kasih, Salju Kelana. Kuanggap kau telah selamatkan
jiwaku."
"Aku hanya melakukan apa
yang bisa kulakukan."
Sebaris kalimat bijak itu
membuat Pendekar Mabuk menyimpan pujian di dalam hati. Salju Kelana dianggap
gadis bijaksana yang sedikit bengal namun punya nilai kesetiaan.
Pendekar Mabuk semakin tak
percaya dengan tuduhan Anggani. Dalam hati kecilnya berkata,
"Tak mungkin Salju Kelana
membunuh Tabib Getar Hati. Ia bukan dari aliran sesat. Apalagi ia kakaknya
Kelana Cinta. Jika demikian, lalu siapa yang membunuh Tabib Getar Hati yang
mempunyai jiwa sabar dan bijaksana itu? Rasa-rasanya aku harus membantu
memecahkan persoalan ini dulu sebelum pergi menemui Gandapura!"
***3
ATAS saran dan bujukan Suto
Sinting, Salju Kelana tak jadi menghadiri undangan pertemuan di Kadipaten
Balungan. Ia diminta ikut membantu menyelesaikan perkara kematian Tabib Getar
Hati. Ternyata Salju Kelana bersedia membantu menyingkapkan tabir misteri
pembunuhan sang tabib itu.
"Tapi benar bukan kau
pelakunya?!"
"Aku berani sumpah, biar
cacat seumur hidup jika aku membunuh Tabib Getar Hati," ujar Salju Kelana.
"Aku datang untuk minta
disembuhkan dari pengaruh Racun Hitam ini. Tapi setelah dilakukan penyembuhan,
Tabib Getar Hati menyatakan tidak sanggup menangkal racun dalam tubuhku ini.
Aku disarankan untuk mencari tabib lain. Salah satu nama yang disebutkan adalah
namamu: Tabib Darah Tuak. Setelah itu aku pamit pergi mencari Tabib Darah
Tuak."
"Kapan hal itu teijadi?"
potong Suto Sinting.
"Lima hari yang
lalu," jawab Salju Kelana tak ada kesan berbohong sedikit pun. Pendekar
Mabuk manggut- manggut. Ia mengenang saat-saat lima hari yang lalu, di mana
kala itu ia sedang menyelesaikan persoalan Kapak Setan Kubur.
"Baiklah," kata Suto
Sinting yang sudah segera bugar seperti sediakala. "Sekarang kita cari
Anggani, kita bantu ia memecahkan rahasia kematian ibunya. Setidaknya ia butuh
orang yang dapat menenangkan jiwanya."
"Aku tak keberatan. Hanya
saja aku ingin kejujuranmu tentang hubunganmu dengan Anggani, si Putri Malu
itu."
Pendekar Mabuk tersenyum.
Salju Kelana diam saja, karena tidak melihat senyuman yang begitu menawan dan
menggetarkan hati itu.
"Hubunganku hanya sebatas
seorang sahabat saja."
"Sahabat istimewa?"
pancing Salju Kelana.
"Apa maksudnya sahabat
istimewa?"
Gadis itu tersenyum. Lesung
pipitnya mendebarkan hati Pendekar Mabuk. Sang pendekar menikmati keindahan
lesung pipit yang mekar di atas bentangan wajah cantik mengagumkan itu.
"Barangkali dia calon
kekasihmu?"
"Bukan. Kami tidak punya
hubungan sedalam itu."
"Bagaimana aku bisa
mempercayai kata-katamu."
"Percayailah dirimu dulu,
baru kau bisa mempercanyai orang lain," kata Suto Sinting, menirukan
wejangan gurunya; si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Langkah mereka terhenti ketika
mendengar suara ledakan di sebelah barat. Pendekar Mabuk segera berkata,
"Ada pertarungan di sebelah barat. Aku mau melihat siapa yang bertarung di
sana."
"Siapa tahu Anggani. Coba
kita periksa sebentar!"
Mereka segera bergegas ke arah
barat. Ternyata pertarungan itu terjadi di sebuah lembah berpohon jarang.
Seorang perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, mengenakan jubah merah
dengan rambut abu-abu dilepas meriap hingga beterbangan terhempas angin, sedang
berhadapan dengan lawannya yang tak seimbang.
Pendekar Mabuk terkesiap
memandang pertarungan itu dari balik kerimbunan semak. Salju Kelana
mendengarkan setiap gerakan yang ditimbulkan dari pertarungan itu, kemudian ia
berbisik kepada Suto Sinting.
"Pertarungan ini tidak
seimbang."
"Dari mana kau tahu kalau
tidak seimbang?"
"Suara napas orang yang
satu sangat berat, pertanda ia sudah tua, sedangkan suara napas lawannya masih
ringan, menandakan kalau ia masih muda dalam arti jauh lebih muda dibandingkan
orang yang bernapas berat itu."
"Benar juga," pikir
Suto Sinting. "Rupanya telinga Salju Kelana lebih tajam dari mata pedang.
Hebat sekali dia, aku kagum dengan ketajaman inderanya."
Perhatian Pendekar Mabuk
tertuju kembali ke arah pertarungan. Ia masih menyimpan keheranan sebab ia
kenal betul dengan lawan sang nenek berjubah merah itu. Orang yang sedang
terdesak oleh serangan si Jubah merah itu adalah seorang lelaki berkulit hitam,
berkepala gundul dan tidak memakai baju. Ia mengenakan celana biru dan ikat
pinggang merah.
Orang itu berbadan besar,
perutnya gendut, matanya lebar, hidungnya bulat. Berulang kali ia menghindari
serangan sang nenek yang menggunakan tongkat hitamnya berujung ukiran kepala
monyet. Orang tak pakai baju itu balas menyerang dengan senjatanya berupa yoyo
bergerigi. Yoyo itu jika dilemparkan akan mengeluarkan gerigi beracun yang
cukup tajam. Tapi jika ditarik balik gerigi itu masuk ke dalam yoyo hingga bisa
ditangkap dengan tangan.
Satu-satunya tokoh gundul yang
bersenjata yoyo tak lain adalah si Hantu Laut, bekas anak buah Siluman Tujuh
Nyawa yang menjadi pelayannya Tapak Baja. Tapi karena Tapak Baja mampu
ditundukkan oleh Pendekar Mabuk dan Hantu Laut pun dibuat tak berkutik,
akhirnya Hantu Laut menjadi pengikut Suto Sinting dan tinggal bersama
sahabat-sahabat Suto di Pulau Beliung di bawah pimpinan Ratu Pekat, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode "Pusaka Tombak Maut").
"Agaknya kau mengenal
salah satu dari kedua orang itu, Suto?"
"Dari mana kau
tahu?"
"Jantungmu berdetak agak
cepat, pasti kau merasa cemas dan tak ingin orang yang kau kenal itu celaka
dalam pertarungan itu."
"Benar juga. Rupanya
otakmu pun tajam seperti mata pedang."
Salju Kelana hanya sunggingkan
senyum. "Siapa orang yang kau kenal itu?"
"Hantu Laut, bekas anak
buahnya tokoh tersesat, Siluman Tujuh Nyawa."
"Ooh...?! Jadi kau
mengenal Siluman Tujuh Nyawa juga?"
"Dia musuh utamaku.
Pengembaraanku ini dalam rangka memburu pelariannya. Tapi sampai sekarang aku
belum berhasil menangkapnya. Ia licin bagaikan belut dan licik bagaikan
ular."
"Kudengar dia bersembunyi
di Jurang Petaka."
"Jurang Petaka...?!"
"Barangkali jika kau ke
sana akan temukan si tokoh sesat yang juga kubenci itu."
Percakapan tersebut sebenarnya
ingin dilanjutkan, namun Suto Sinting melihat Hantu Laut terkena pukulan tenaga
dalam sang nenek melalui tongkatnya. Tubuh besar itu tumbang terjungkal dan tak
mampu bangkit lagi. Hantu Laut mengerang kesakitan sambil pegangi dadanya yang
membiru legam itu. Sang nenek semakin buas, ia segera menghantamkan kepala
tongkatnya untuk memecahkan kepala gundul si Hantu Laut.
"Sekaranglah saatnya
kubalas dendamku padamu, murid orang sesat! Heeeaaaah...!"
Pendekar Mabuk cepat sentakkan
tangan, dan nyala sinar biru besar melesat dari telapak tangan itu, Jurus
'Tangan Guntur' menghantam tongkat sang nenek dari kejauhan. Wuuus...!
Duaaarrr... !
Sang nenek berjubah merah
terpental berjungkir balik di udara. Tongkatnya terlepas dari genggamannya. Ia
jatuh setelah membentur pohon. Pendekar Mabuk segera melesat ke pertengahan
jarak antara sang nenek dan Hantu Laut.
Zlaaap...! Jleeg...!
"Kutu kucing! Siapa kau,
sehingga berani mencampuri urusanku ini, hah?! Kau juga anak buahnya si
tengkorak sesat; Durmala Sanca itu, hah?! Kau juga mau cari mampus di sini juga?!"
"Sabar, Nek. Aku bukan
anak buahnya Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa itu. Justru aku adalah
musuh utamanya yang membuat ia kabur dan sembunyi sampai sekarang."
"Lalu apa maumu
menghalangi niatku memecahkan kepala si gundul begundalnya Durmala Sanca
itu?!"
"Dia sudah menjadi
sahabatku, dan dia bukan orang sesat lagi."
"Omong kosong! Sekali
sesat tetap sesat! Hidup sesat!" Nenek berjubah merah itu mengangkat
tongkatnya ke atas.
Salju Kelana muncul dengan
berjalan meraba memakai tongkat kecilnya. Mata sang nenek berjubah merah
melirik ke arah Salju Kelana. Ia terperanjat dengan mata terkesiap.
"Apa yang dikatakannya
adalah benar, Nyai. Pendekar Mabuk tidak pernah berbohong," ujar Salju
Kelana yang agaknya sudah mengenal si jubah merah itu.
"Rupanya kau sekarang
telah bersekutu dengan manusia-manusia busuk ini, Salju Kelana!" geram
sang nenek. Sementara itu, Pendekar Mabuk punya kesempatan mendekati Hantu Laut
dan menolongnya dengan meminumkan tuaknya sambil sesekali matanya memandang
penuh waspada ke arah sang nenek.
"Kami bukan persekutuan,
Nyai. Kami adalah sahabat, dan kalau kau melukai salah satu dari kami, kami
akan merasa terluka semua."
"Perempuan bodoh!"
sentak sang Nyai. "Lalu apa maksudmu ikut datang kemari, hah?"
"Meluruskan anggapanmu,
membenarkan kata-kata Pendekar Mabuk. Kuharap kau mau melupakan dendammu kepada
lawanmu kali ini. Jika kau ingin lampiaskan dendammu, pergilah ke Jurang Petaka
dan temui Siluman Tujuh Nyawa di sana. Lawanlah dia sepuas hatimu sampai retak
seluruh tulangmu, kami tak akan menghalangimu, justru mungkin akan
membantumu!"
"Celotehmu makin membuat
kemarahanku memuncak, Salju Kelana. Jika memang kau ada di pihaknya, terimalah
jurus 'Kalang Kabut'-ku ini, Heaaaah...!"
Sentakan tangan berjari
renggang menyemburkan asap yang menggumpal menjadi kabut putih kehitaman. Kabut
itu menyerang Salju Kelana dan ingin membungkusnya. Salju Kelana tahu kabut itu
adalah kabut beracun berbahaya. Karenanya ia segera sentakkan kaki ke tanah dan
tubuhnya melenting di udara. Pada saat ia menukik mulutnya semburkan napas
kuat-kuat. Puiih... !
Napas itu mengandung
bintik-bintik salju yang anginnya sempat terasa dingin di kulit tubuh Pendekar
Mabuk. Semburan itu membuat
kabut kiriman si jubah merah menjadi menggumpal sebesar bola dan akhirnya
meledak setelah membubung tinggi. Blegaaarr...!
Ledakan itu cukup dahsyat.
Tanah dan pepohonan berguncang karena gelombang ledakan itu. Namun di antara
mereka tak ada yang terpental atau tumbang di tempat. Hanya saja, si jubah
merah terhuyung-huyung mundur ke belakang dan berpegangan pada pohon. Matanya
yang kecil kian memandang liar kepada Salju Kelana.
"Keong kudis, kau!
Heeeaaah...!" si jubah merah lompat ke depan dengan tongkat besarnya siap
dihantamkan ke tubuh Salju Kelana.
Gadis cantik berlesung pipit
itu diam saja. Ia tetap berdiri menyamping, menghadap ke utara, sedangkan
lawannya ada di timur. Namun ketika lawannya menghantamkan tongkat ke arah
kepalanya, Salju Kelana langsung rendahkan badan dan sabetkan tongkat kecilnya
ke udara. Tongkat kecil itu beradu dengan tongkat besarnya si jubah merah,
sehingga terjadilah ledakan yang kedua karena kedua tongkat itu sama-sama
dialiri tenaga dalam cukup tinggi.
Trak, jgaaar...!
Ledakan yang memercikkan bunga
api itu membuat tubuh si jubah merah yang melambung di udara itu menjadi
terpental dan berputar cepat bagaikan gangsing terbang. Sementara itu, Salju
Kelana hanya jatuh terduduk dan mampu bangkit kembali secepatnya.
Bhuook... !
Tubuh si jubah merah jatuh
terbanting dengan kerasnya ke tanah yang berlumpur. Di sana sang nenek
mengerang panjang tampak kesakitan. Tapi ia bisa bangkit sendiri dalam keadaan
berlumur tanah lumpur. Dari kejauhan ia berseru kepada Salju Kelana.
"Tunggu saat
pembalasanku, Gadis Borok! Aku bukan kalah melawanmu, tapi aku punya urusan
yang harus kuselesaikan sendiri!"
Wuuut...! Nenek berjubah merah
itu pergi tinggalkan tempat itu dengan kelebatan yang membuatnya cepat
menghilang di balik pepohonan. Salju Kelana masih berseru menuding-nuding ke
arah datangnya suara si jubah merah tadi.
"Kalau kau datang lagi,
aku tidak akan memberi ampun padamu, Nyai Bantat Maki! Kalau kau
memang...,"
"Hei, hei... orangnya
sudah pergi dari tadi kok masih tuding-tuding terus?!" tegur Suto Sinting
sambil mencolek pundak gadis buta itu.
"Aku tahu kalau dia sudah
pergi. Aku memaki bekas tempatnya jatuh tadi!" Salju Kelana tak mau
disalahkan agar tak terlihat kebutaannya.
"Siapa nenek itu
tadi?"
"Nyai Bantat Maki,
bibinya Calo Mayat."
"Ia juga tokoh sesat,
tukang teluh upahan!" kata Hantu Laut yang sudah mulai segar kembali itu.
"Dulu aku dan Tapak Baja pernah menghajarnya sampai mati. Sekarang dia mau
balas dendam padaku. Padahal yang banyak menghajarnya adalah mendiang si Tapak
Baja!"
"Sekarang dia sudah
pergi, takut dengan sahabat cantikku ini, Hantu Laut," Suto membanggakan
kecantikan Salju Kelana dengan suara agak keras. Hantu Laut hanya menyeringai
dengan mata menatap gadis itu tanpa mau berkedip lagi.
"Kudengar kau sahabat
Pendekar Mabuk, Hantu Laut. Berarti kau sahabatku juga."
Hantu Laut menjawab,
"Tidak. Aku tidak sehebat Suto. Ilmuku pas-pasan."
Suto Sinting tarik napas agak
dongkol dan berseru kepada Hantu Laut,
"Hei, dia bilang sahabat.
Kau sahabatku, bukan kau sehebat aku!"
"Ooo... sahabat?! Iya,
memang aku sahabatnya Suto, Nona!" kata Hantu Laut dengan nyengir malu
atas salah dengarnya tadi. Ia memang tokoh besar dan bertampang menyeramkan,
tapi bertelinga budeg. Bicara dengannya harus keras, jika tidak akan timbul
salah dengar dan salah pengertian.
"Mengapa kau ada di sini,
Hantu Laut?!"
"Aku diutus oleh Ratu
Pekat untuk mencarimu, Suto."
"Mencariku? Apakah ada
hal yang penting?"
"Oh, tidak. Ratu Pekat
tidak bunting. Dia...."
"Penting!" jelas
Suto dengan mulut dilebarkan di depan Hantu Laut.
"Ooo... iya, ada sesuatu
yang penting. Anak buah Gandapura sudah mulai mendarat di Pulau Beliung."
Pendekar Mabuk terperanjat.
"Anak buah Gandapura...?!"
"Tokoh pemakan manusia
itu lho!" Hantu Laut mempertegas.
"Iya, aku tahu! Tapi...
tapi apakah Gandapura mau datang ke Pulau Beliung?!"
"Pulau Jelaga sudah
dikuasai olehnya. Sahabatmu yang bernama Yayi, yang kini menjadi penguasa Pulau
Jelaga, sekarang melarikan diri dan bergabung dengan Ratu Pekat. Ia minta
perlindungan kepada kami, dan kami putuskan untuk meminta bantuan kepadamu.
Karena Gandapura berilmu tinggi. Ratu Pekat merasa tidak mampu menandingi ilmu
si pemakan manusia itu."
Salju Kelana segera berkata,
"Gandapura mempunyai ilmu 'Mahkota Neraka', dia tidak bisa mati selama
ilmu itu masih ada pada dirinya."
"Bisa!" sahut Suto
Sinting. "Dia bisa mati, asal dengan pusaka Kapak Setan Kubur."
"Kudengar kabar dari
orang-orang laut, Gandapura sekarang sedang mencari tumbal untuk penolak
kesaktian sebuah pusaka yang dapat membunuhnya! Mungkin yang dimaksud pusaka
Kapak Ketan Bubur itu tadi."
"Kapak Setan Kubur,
Budeg!" sentak Suto Sinting.
"Ooo.... Kapak Setan
Kubur?" Hantu Laut manggut- manggut, tidak merasa bersalah. "Kudengar
begitu, Gandapura mencari tumbal untuk penangkis pusaka Kapak Setan Kubur itu
tadi dengan menggunakan Rencong Iblis. Tetapi rencong itu tidak akan berguna
sebagai senjata penolak kesaktian Kapak Setan Kubur jika belum membunuh tujuh
belas tabib."
"Tujuh belas
tabib?!" gumam Suto Sinting dengan nada heran dan penuh kecurigaan. Salju
Kelana segera menimpali,
"Apakah termasuk Tabib
Getar Hati?!"
Sebelum Suto Sinting bicara,
Hantu Laut sudah berkata lebih dulu, "Yang jelas, karena kau dikenal pula
sebagai Tabib Darah Tuak maka kau pun tak luput dari incaran pencari tumbal
itu, Suto. Ia akan datang menemuimu dengan membawa senjata Rencong Iblis. Jadi,
aku pun disuruh mengingatkan kau untuk hati-hati jika bertemu dengan seseorang
yang membawa senjata rencong."
Pendekar Mabuk diam termenung
meresapi kata-kata Hantu Laut.
***4
SIAPA orang yang ditugaskan
sebagai pencari tumbal untuk senjata Rencong Iblis itu? Menurut Suto, jika tahu
siapa orang yang bertugas mencari tumbal tersebut, maka ia dapat mencegah agar
kesaktian Gandapura tidak bertambah dengan cara merampas rencong itu atau
melumpuhkan si petugas pencari tumbal. Sayang sekali Hantu Laut tidak dibekali
keterangan tentang hal itu oleh Ratu Pekat, sehingga ia tidak bisa menjawab
pertanyaan Suto Sinting.
Namun bagaimanapun Suto
Sinting merasa perlu melakukan pencegahan agar Gandapura tidak menguasai Pulau
Beliung. Terbayang wajah sang Ratu Pekat yang dulu diselamatkan oleh Suto
Sinting dari serbuan Siluman Tujuh Nyawa, di mana di pulau tersebut kini
tinggal para sahabat Suto antara lain, Singo Bodong dan Badai Kelabu (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Istana Berdarah" dan
"Tumbal Tanpa Kepala").
"Resi Wulung Gading
kurasa mengetahui tentang Rencong Iblis. Aku akan pergi temui sang Resi di
Lembah Sunyi," kata Suto Sinting. "Tapi sebelumnya kita harus temui
Anggani dulu. Kita jelaskan tentang kematian ibunya itu. Aku yakin orang yang
membunuh Tabib Getar Hati adalah utusan Gandapura yang membawa Rencong
Iblis."
Salju Kelana bergumam pendek,
lalu berkata, "Aku setuju. Tapi bagaimana dengan Hantu Laut? Apakah harus
ikut kita juga?"
"Hantu Laut harus kembali
ke Pulau Beliung, untuk memperkuat penjagaan di sana!"
"Aku ikut kau saja,
Suto," sela Hantu Laut.
"Untuk menemui Resi
Wulung Gading tidak perlu rombongan, cukup aku dan Salju Kelana saja."
"Tapi aku takut pulang
tanpa membawa kau, nanti Ratu Pekat bisa marah padaku."
"Katakan kalau kau sudah
bertemu denganku dan sudah menceritakan segalanya. Secepatnya aku datang ke
Pulau Beliung jika sudah lumpuhkan utusan pembawa Rencong Iblis itu."
"Bagaimana kalau ternyata
di perjalanan aku bertemu dengan utusan itu?"
"Jangan ganggu dia, nanti
kau mati di tangannya!"
"Sebaiknya aku tak perlu
mengganggu dia saja, ya? Biar aku tak mati di tangannya. Soalnya kalau mati di
tangan orang seperti itu tidak terhormat."
"Memang yang kukatakan
tadi begitu! Kau jangan ganggu dia biar kau tak mati!" tegas Suto Sinting
agak menyentak-nyentak karena jengkel dengan ketulian Hantu Laut.
"Kita berpisah dulu,
Hantu Laut."
"Suto, kusarankan kita
berpisah saja sekarang."
"Baru saja aku bilang
begitu, Budeg!" bentak Suto Sinting makin jengkel. Hantu Laut hanya
mengguman dan manggut-manggut tanpa raut muka orang bersalah.
Perjalanan menuju Lembah Sunyi
memakan waktu hampir sehari semalam. Pendekar Mabuk sengaja tidak gunakan jurus
'Gerak Siluman' yang mampu mempercepat perjalanan, karena takut kalau Salju
Kelana tertinggal dan tak mengerti arah. Sebab itu mereka terpaksa bermalam di
sebuah gua yang biasa untuk singgah para pengembara yang kemalaman.
"Aah... rasa-rasanya aku
seperti bermalam dengan Dyah Sariningrum," pikir Suto Sinting sambil
pandangi Salju Kelana yang sedang baringkan badan tak jauh dari api unggun.
Suto sendiri sebentar-bentar menambahkan ranting agar nyala api unggun tidak
padam. Sambil bermainkan ranting yang menyala ujungnya itu, mata Pendekar Mabuk
sesekali melirik ke wajah Salju Kelana.
"Gadis ini tidur dengan
tidak sama saja. Matanya tak mau terpejam. Orang sangka dia masih melek,
sehingga tak akan ada yang berani mengganggunya Padahal ia sudah tertidur
dengan nyenyak walau biji matanya tetap terbuka. Oh, benar-benar cantik gadis
itu. Baru sekarang hatiku dibuat gemetar oleh gadis lain. Biasanya hanya Dyah
Sariningrum yang mampu membuat hatiku bergetar dan jantung berdetak-detak.
Sekarang ternyata Salju Kelana mampu membuatku begitu juga. Kalau dia punya
wajah tak semirip Dyah-ku, barangkali aku tak akan mengalami hal seperti
ini."
Suto Sinting bergeser,
duduknya pindah di batu yang tak jauh dari tubuh elok yang terbaring itu. Dalam
satu jangkau saja Suto Sinting bisa memegang hidung gadis itu. Tapi ia tak mau
lakukan, kecuali hanya memandanginya, seakan menikmati sebentuk kecantikan yang
dirindukan, yaitu kecantikan Dyah Sariningrum.
Senyum kebahagiaan pun mekar
di bibir sang pendekar, sambil berkecamuk ngobrol sendiri dengan hati kecilnya.
"Mungkin karena rinduku
terlalu besar kepada Dyah Sariningrum, sehingga berjumpa dengan Salju Kelana
rasa-rasanya amat bahagia dan penuh kegembiraan. Tak bisa kupungkiri lagi,
ternyata cintaku teramat besar pada calon istriku yang berkuasa di Pulau
Serindu itu. Agaknya selesai masalah ini aku harus pergi ke Pulau Serindu,
berjumpa dengan penguasa Puri Gerbang Surgawi yang menggemaskan itu. Akan
kucubit pipinya, kugigit bibirnya, ku ah, kuapakan sajalah yang penting melepas
rindu pada Dyah-ku. Tapi...," Suto Sinting kian bergeser lagi lebih
mendekati Salju Kelana.
Perempuan cantik itu masih
tetap diam, kedua tangannya terkulai di samping, bibirnya sedikit merekah,
matanya terbuka tanpa berkedip sedikit pun.
Pendekar Mabuk semakin
mendekatkan wajah. Hatinya bertambah gemas, karena merasa sedang berada di
dekat Dyah Sariningrum. Getaran di hati dan detak jantung pun bertambah cepat.
"Tak tahan aku
memandanginya terus," keluhnya dalam hati. Maka tangan Suto pun mengusap
pelan- pelan rambut Salju Kelana. Anak rambut yang meriap di kening
disingkirkan pelan-pelan dengan jemarinya. Setiap gerak dan sentuhan dialiri
rasa kasih sayang yang amat dalam. Ia bayangkan saat itu sedang membelai Dyah
Sariningrum.
Lalu timbul tuntutan dalam
hati kecilnya untuk tidak sekadar merapikan rambut sang gadis. Maka dengan
memberanikan diri dan sangat hati-hati, Suto Sinting mendekatkan wajahnya yang
tampan dan bebas jerawat itu. Pelan-pelan sekali kening gadis itu diciumnya.
Cupp...!
Ciuman meresap sebentar,
kemudian diangkat pelan- pelan. Begitu pelannya hampir tak terlihat gerakan
bibir yang sudah menjauhi kening itu.
"Ah sayang kau bukan
dia," ucap Suto membatin, "Seandainya kau adalah dia, habislah kau
malam ini juga!"
Kemudian pendekar tampan itu
tersenyum sendiri, geli memikirkan ulahnya yang salah tingkah karena didera
sejuta rindu.
Kegirangan hatinya mendesak
tangan Suto untuk bergerak pelan-pelan. Disentuhnya bibir Salju Kelana dengan
punggung jarinya. Dirasakan kehangatan yang hadir dari pernapasan yang keluar
melalui indung mancung itu. Terasa hangat sekujur tubuh Suto Sinting pada saat
napas itu menyapu permukaan tangannya.
Tiba-tiba gelegar petir
terdengar mengejutkan. Malam itu mendung datang dan sebentar lagi hujan akan
turun. Ledakan petir tadi membuat Salju Kelana tersentak kaget. Suto Sinting
buru-buru tiarap dan berlagak tidur dengan dengkuran kecil. Gadis itu
kebingungan, kedua tangannya meraba-raba sampai akhirnya menemukan tubuh Suto
Sinting di sampingnya.
Napasnya terhempas menandakan
hatinya lega, bahwa Suto ada di sampingnya. Tangan itu meraba wajah Suto yang
miring ke arahnya. Jarinya merayap di hidung Suto yang bangir.
"O, syukurlah kalau kau
sudah tidur," ucap Salju Kelana pelan sekali, namun terdengar di telinga
Suto. Murid si Gila Tuak itu tetap diam, berlagak tidur dengan nyenyak.
Tanpa diduga-duga, Salju
Kelana membelai rambut Suto Sinting sambil duduk. Rambut panjang Suto dirapikan
letaknya hingga mengumpul di atas tengkuk. Mulut pun mengucap kata lirih,
"Semoga kau mimpi indah
tentang aku. Walau kau tak berani lakukan apa yang kuinginkan, tapi aku cukup
puas melihat kau beristirahat senyenyak ini. Esok kita teruskan perjalanan kita
memburu kebenaran, ya Sayang?"
Eh, ternyata gadis itu
memberikan ciuman lembut di kening Suto Sinting. Lembuuuut... sekali,
sampai-sampai Suto Sinting merasa melayang di udara tanpa menggunakan jurus
'Layang Raga'-nya.
Setelah mencium lembut,
sebagai cium curian, gadis itu pun merebah kembali. Kemudian tertidur dengan
nyenyak. Matanya tetap terbuka tak berkedip, menatap lurus dengan hampa.
Pendekar Mabuk sengaja diam dulu, belum berani bergerak. Maksudnya membiarkan
si gadis lelap dulu baru ingin usil lagi. Tapi rupanya terlalu lama diam
membuat kelopak mata sulit dibuka kembali. Akhirnya murid sinting si Gila Tuak
itu pun benar-benar tertidur dengan nyenyak.
Esoknya, ketika Suto Sinting
terbangun, ia menjadi sangat terkejut melihat Salju Kelana sudah tidak ada
disampingnya. Bahkan di sekitar dalam gua itu pun tidak ada. Suto Sinting
cemaskan diri gadis cantik itu. Ia bergegas keluar dari gua sambil membawa-bawa
bumbung tuaknya.
"Kemana dia...?! Sekadar
buang air di tempat tersembunyi atau memang sengaja meninggalkan diriku?!"
pikir Suto Sinting sambil-matanya memandang ke sana-sini.
Wuuut, wuuuut... !
Suto Sinting melompat dari
batu ke batu mencapai tempat yang lebih tinggi. Mata pun menyapu seluruh
alam sekelilingnya.
"Itu dia...!"
sentaknya dalam hati.
Pendekar Mabuk benar-benar
tersentak kaget, karena saat ia menemukan Salju Kelana, ternyata perempuan
cantik itu sedang melakukan pertarungan dengan tiga orang lelaki berwajah tak
beres. Mereka bertarung di bawah kaki bukit yang jaraknya cukup jauh dari gua.
"Siapa tiga orang lelaki
itu?! Mengapa Salju Kelana terlibat bentrokan dengan mereka? Apakah mereka menggoda
Salju Kelana, atau Salju Kelana yang cari gara-gara?! Sebaiknya aku segera ke
sana untuk menjaga kalau-kalau gadis yang mirip Dyah-ku itu terdesak
bahaya!"
Zlaaapp...! Suto Sinting
bergerak sangat cepat, sehingga dalam waktu sangat singkat sudah tiba di balik
pohon, tujuh tombak dari tempat pertarungan tersebut. Ia mengintai dari balik
pohon itu dengan pandangan mata penuh waspada.
Salju Kelana yang tak bisa
bergerak dengan bebas karena kebutaannya itu berusaha mendengarkan tiap gerakan
yang ditimbulkan dari lawannya. Tiga lawannya adalah lelaki berusia rata-rata
sekitar empat puluh tahun. Mereka sama-sama bersenjata golok. Rambutnya sama-
sama panjang sebatas punggung, tapi yang dua diikat dengan ikat kepala kuning
dan putih, yang satu lagi tanpa ikat kepala. Baju mereka sama-sama hitam,
demikian pula celana mereka. Hanya saja, keadaan tubuh mereka tidak sama
kurusnya. Hanya ada satu orang yang berbadan kurus, yaitu yang tidak memakai
ikat kepala.
Sedangkan yang mengenakan ikat
kepala berbadan besar, tapi bukan gemuk.
Pada waktu si kurus melepaskan
tendangan beruntun ke arah wajah Salju Kelana, gadis itu hanya menghindar
dengan gerakan kepala dan pundak yang cukup gesit. Seakan tendangan yang cukup
cepat itu dapat dilihat arah gerakannya.
Wuk wuk, wuk, wuk... !
Dan pada satu kesempatan
tangan Salju Kelana berkelebat dari bawah ke atas dengan kaki merendah satu.
Wuuut...! Plaak...!
Kaki yang menendangnya itu
tersentak naik dan keseimbangan orang tersebut menjadi limbung. Maka kaki gadis
itu pun menyepak bersamaan gerakan tubuh yang memutar. Ploook... !
Wajah si kurus jadi sasaran
telak kaki Salju Kelana. Wajah itu bagaikan terbuang begitu kerasnya hingga
tubuhnya pun terpental ke samping dan berguling- guling.
Dua orang berikat kepala
menyerang dari arah kanan- kiri secara bersamaan. Salju Kelana masih
menggeragap dengan tongkatnya. Namun ketika dua tubuh yang melayang itu hampir
mendekati Salju Kelana, gadis itu sentakkan kaki dan melesat naik tegak lurus,
lalu kedua kakinya menyentak ke samping kanan-kiri secara bersamaan.
Wuuuurrt...! Druuuukk ..!
Dada dua orang itu terkena
tendangan sekaligus. Keduanya sama-sama terpental terpisah. Mereka bagaikan
daun kering yang dibuang seenaknya, melayang tanpa bisa kendalikan diri dan
akhirnya membentur pohon yang semula dipunggungi mereka. Brruk...!
"Aaahhg...!"
"Huuhhgg...!"
Mereka mengerang dengan wajah
menyeringai kesakitan. Salah seorang tak bisa bangkit dengan cepat karena
tulang punggungnya patah. Ia terpaksa merayap berpegangan pohon agar bisa berdiri.
Tapi temannya yang berikat kepala kuning itu mampu berdiri dengan cepat dan
serukan kata-kata yang berkesan kasar.
"Monyet betina...!
Kuremukkan wajah cantikmu itu kalau kau tetap tidak mau serahkan Rencong Iblis
itu kepada kami!"
Yang bertubuh kurus juga ikut
berseru, "Kami tak akan main-main lagi, Nona Tolol! Kami akan membantaimu
tanpa ampun lagi jika kau tetap tak mau menyerahkan Rencong Iblis itu sekarang
jugal"
Pendekar Mabuk terperanjat
sekali mendengar seruan dua orang tersebut. Hati sang pendekar pun segera
membatin,
"Jika mereka
mempertaruhkan nyawa dalam pertarungan ini demi mendapatkan Rencong Iblis, maka
berarti orang yang diutus Gandapura untuk mencari tujuh belas nyawa tabib,
adalah Salju Kelana sendiri. Benarkah begitu?! Benarkah Salju Kelana yang
memiliki Rencong Iblis?!"
Jantung Suto Sinting bagaikan
tak mau berhenti dari kecepatan detaknya. Dadanya terasa ingin jebol karena
detakan jantung yang amat keras, setelah ia mengambil kesimpulan seperti itu.
Rasa-rasanya hati kecil Suto tak mau percaya dengan anggapannya sendiri.
"Kuhitung tiga kali kalau
kau tak mau serahkan Rencong Iblis itu, maka kau akan mati tanpa bentuk lagi,
Nona!" gertak si kurus tanpa ikat kepala.
"Sudah kukatakan, ancaman
apa pun yang akan kalian pakai, aku tetap tidak akan serahkan Rencong Iblis
itu. Sebab memang aku tidak memilikinya!" kata Salju Kelana dengan suara
bernada dingin. Tongkat kecilnya diketuk-ketukkan di tanah, menunjukkan sikap
penuh waspada. Ia siap menyambut serangan lawan kapan saja datangnya.
Si kurus berteriak,
"Danuyuda, gunakan jurus 'Jala Geni', heeeaaat...!"
Orang berbadan kurus itu
menyentakkan tangannya ke depan, demikian pula temannya yang bernama Danuyuda
itu. Lalu dari tengah telapak tangan mereka keluar lima larik sinar yang masing-masing
tertuju ke arah Salju Kelana. Zraaab...!
Salju Kelana diam sejenak,
bagaikan tak menyadari datangnya lima larik sinar dari kanan dan kiri. Namun
tiba-tiba tubuh gadis itu memutar cepat dalam satu sentakan putar. Mungkin
lebih dari tujuh putaran dalam sekali sentak. Dan putaran itu memancarkan sinar
hijau, menyebar ke sekelilingnya.
Blegaarrr...!
Sepuluh larik sinar merah
lurus yang menyerang dari kanan kirinya itu menghantam sinar hijau dari tubuh
Salju Kelana. Akibatnya timbullah suatu daya ledak yang berkekuatan tinggi.
Gelombang ledakannya bukan hanya melemparkan kedua lelaki itu sejauh tujuh
tombak, melainkan juga menumbangkan empat pohon di sekelilingnya. Bahkan
gugusan batu sebesar anak sapi itu pun pecah menjadi beberapa bongkahan kecil.
Tanah bergetar dan daun pun berguguran di sana-sini.
Salju Kelana sendiri hanya
jatuh bertahan dengan satu lutut dan berpegangan pada tongkatnyn Namun
perempuan berjubah putih itu tidak mengalami luka separah kedua lawannya tadi.
Salju Kelana hanya tundukkan kepala sebentar, menyalurkan hawa murni ke seluruh
tubuhnya, setelah itu mampu berdiri lagi dengan kepala bergerak-gerak bagai
mencari tahu keadaan lawannya dengan menggunakan indera pendengaran.
"Heeeaaat...!"
Tiba-tiba orang yang tadi
patah tulang punggungnya memaksakan diri menyerang Salju Kelana dengan satu
lompatan bergolok. Golok itu menebas ke samping bagaikan ingin memancung leher
Salju Kelana.
Wuuut...! Trrakk...!
Pruuusss...!
Tongkat kecil digunakan
menangkis golok putih mengkilat dari baja asli itu. Namun, tangkisan itu tidak
membuat tongkat kayu kecil itu menjadi patah, melainkan justru golok itu
menjadi hancur berkeping- keping bagaikan habis disambar geledek. Tentu saja
pemiliknya terbengong-bengong. Dan saat itulah Salju Kelana sodokkan tongkat
kecilnya tepat di ulu hati orang tersebut. Deesss...!
"Uuuhhg...?!" orang
itu terpekik dengan suara tertahan. Tubuhnya melengkung, mata terbeliak, lalu
segera tumbang dengan keadaan menggelepar-gelepar bagaikan ayam disembelih.
Tentu saja sodokan tongkat
kecil itu bertenaga dalam tinggi yang bukan saja menyumbat pernapasan orang
tersebut, melainkan juga menutup seluruh aliran darah dalam tubuhnya.
Sedangkan dua temannya yang
tadi terlempar jauh itu kini berusaha bangkit dengan masing- masing
mengeluarkan darah dari mulut, hidung, dan telinganya. Menyadari keadaan
seperti itu, mereka berdua segera larikan diri tanpa menghiraukan temannya yang
terkapar menyedihkan itu.
Sedangkan Salju Kelana segera
melangkah hendak tinggalkan orang yang masih menggelepar-gelepar itu. Namun
baru tiga langkah ia menggeloyor jatuh dengan lemas. Brruk...! Lalu mencoba
bangkit dan melangkah dengan bantuan tongkat kecilnya itu. Kejap berikut ia
tampak menggeloyor jatuh kepalanya nyaris membentur pecahan batu.
"Salju...!" teriak
Pendekar Mabuk dengan kecemasan kian meninggi. Ia segera keluar dari
persembunyiannya, lalu hampiri Salju Kelana. Pada saat Suto tiba di depan Salju
Kelana, perempuan itu jatuh lagi dengan terkulai, namun kali ini tubuhnya
ditangkap oleh kedua tangan Suto Sinting.
Dalam keadaan seperti itu,
Salju Kelana sempat ucapkan kata lirih,
"Aku... terkena racun
'Jala Geni' mereka, Ooh...!"
"Salju! Salju Kelana...!
Bertahanlah! Hooi, Salju...!" Suto Sinting mengguncang-guncang tubuh gadis
itu
yang kian terkulai lemas dalam
pelukannya .
***5
ORANG yang menggelepar-gelepar
dibiarkan saja oleh Suto, tidak sempat terpikirkan olehnya. Pusat perhatiannya
kepada Salju Kelana yang makin tampak memucat dan tubuhnya kian dingin.
Pendekar Mabuk sangat cemas, khawatir nyawa si gadis hilang saat itu juga.
Maka, demi menjaga datangnya
bahaya mendadak lagi, Suto Sinting segera membawa Salju Kelana ke dalam gua
yang digunakan untuk bermalam, sampai di dalam gua keadaan Salju Kelana
benar-benar mencemaskan. Matanya telah terbeliak menjadi putih dan kian
terpejam sayu.
"Celaka! Kalau tak
cepat-cepat teratasi racun itu akan membunuhnya tanpa ampun lagi!" gumam
Suto dengan sedikit panik. Baru sekarang ia menjadi panik dalam menghadapi
seseorang yang terluka. Batu sekarang tangannya menjadi gemetar gugup ketika
membuka tutup bumbung tuak untuk lakukan pengobatan.
Suto Sinting mencoba
menuangkan tuak ke mulut Salju Kelana. Tetapi mulut itu tak bisa terbuka lebar.
Tuak akan mengguyur wajah Salju Kelana jika dituangkan dari bumbungnya.
Maka Suto Sinting segera
menenggak tuaknya. Tertelan sedikit dan sisanya masih ada di mulut cukup
banyak. Lalu mulutnya ditempelkan ke mulut Salju Kelana. Tuak itu dimasukkan
pelan-pelan dengan bibir mengecup bibir Salju Kelana. Hanya dengan cara begitu
tuak bisa masuk ke dalam mulut si gadis dan langsung mengalir ke tenggorokan.
Hal itu dilakukan
berulang-ulang sampai kulit wajah pucat si gadis menjadi mulai tampak segar
kembali. Tubuhnya terasa mulai menghangat. Degup jantung gadis itu diperiksa
dengan cara menempelkan telinga ke dada sang gadis. Ternyata sudah mulai
bekerja seperti biasanya. Hanya jantung Suto yang masih berdetak- detak cepat,
terutama setelah telinganya menempel di dada sang gadis dan dada itu terasa
memberikan kehangatan tersendiri bagi Suto Sinting. Dada sekal dan montok itu
akhirnya ditinggalkan oleh telinga Suto, karena ia takut ketagihan ingin
menempelkan telinga di dada itu terus.
"Dia mulai bernapas
dengan lancar," pikirnya sambil pandangi si gadis. "Matanya mulai
bergerak-gerak ingin membuka. Oh, syukurlah. Dia tertolong oleh tuakku. Tapi...
tapi agaknya perlu sekali lagi kuminumkan tuak sakti ini biar mempercepat
penyembuhannya."
Suto Sinting lakukan kembali
hal seperti tadi, meminumkan tuak dari mulutnya ke mulut Salju Kelana. Mau tak
mau ia mengecup bibir gadis itu lagi dan menyalurkan tuak pelan-pelan.
Bibir gadis itu bergerak-gerak
kecil. Bahkan ketika tuak di mulut Suto suuah habis, bibir itu bagaikan
menghisap bibir Suto Sinting, seperti bayi yang sedang menyusu tanpa mengetahui
bahwa air susunya habis. Hisapan bibir lunak itu membuat Suto Sinting jadi
enggan menarik mulutnya dari mulut Salju Kelana. Semakin lama semakin lincah
gerakan sang bibir, semakin menimbulkan rasa nikmat di sekujur tubuh Suto Sinting,
karena debar-debar di dalam nadinya bagaikan memompa darah untuk beredar
keseluruh tubuh dengan derasnya.
Akhirnya lumatan bibir sang
gadis mengendur, dan Suto Sinting menarik diri pelan-pelan. Gerakan melepaskan
bibir yang sangat pelan itu terasa menimbulkan rasa syur dari ubun-ubun sampai
ke telapak kaki.
"Oohh...," gadis itu
mendesahkan napas pelan. Tangannya ingin meraih kepala Suto Sinting agar jangan
pergi dari bibirnya. Tetapi Pendekar Mabuk sedikit memaksakan diri untuk tetap
melepaskan kecupan tersebut. Sang gadis pun membuka mata pelan-pelan. Pandangan
matanya masih tampak datar tanpa kesan memandang. Namun dari mulutnya terdengar
ucapan lirih yang membuat Suto Sinting tersenyum malu.
"Nikmat sekali cara
pengobatanmu, Suto...."
"Ak... aku... aku
terpaksa lakukan dengan cara seperti itu, karena tak bisa menuang tuak ke
mulutmu. Maafkan aku, Salju Kelana."
"Tak perlu minta
maaf," katanya lirih. "Aku justru
ingin terluka lagi kalau
begini rasanya."
Suto Sinting tertawa tanpa
suara dan itu pun dengan wajah dipalingkan ke arah lain. Hati sang pendekar
tampan itu akhirnya membatin serangkaian kata,
"Kalau dituruti bisa
ternoda gadis ini. Bahaya sekali keadaan jiwaku saat ini. Aku harus
mengekangnya, harus menyadari bahwa gadis ini bukan Dyah Sariningrum. Gawat!
Sapuan lidahnya hampir saja membuatku lupa daratan. Hmmm... sayang sekali.
Sungguh sayang sekali dia bukan Dyah Sariningrum, dan aku tak berani lakukan
perbuatan yang lebih dalam dari yang tadi, karena calon istriku di Pulau
Serindu sana dapat mengetahui perbuatanku dengan teropong hatinya. Aku tak mau
mengecewakan dia, tak ingin melukai hatinya dengan membiarkan gairahku
tercurahkan pada Salju Kelana."
Gadis itu masih berbaring,
seulas senyum tipis mengembang, menampakkan kesan bahagianya dalam hati. Namun
matanya masih menatap lurus dengan hampa, sekalipun ia berpaling ke arah Suto,
tapi pandangan mata itu tak bisa terarah ke wajah Suto Sinting secara tepat.
"Kau telah selamatkan
jiwaku, Suto. Alangkah besar hutang budiku kepadamu."
"Kau pun sebelumnya telah
selamatkan nyawaku juga. Kurasa kita sama-sama saling menyelamatkan nyawa
sehingga tak ada anggapan hutang budi lagi, Salju."
"Mengapa kau selamatkan
diriku dari racun 'Jala Geni' yang mestinya membuat jantungku pecah di
dalam?"
"Karena aku tak ingin
kehilangan kau, Salju Kelana."
"Betulkah kau tak ingin
kehilangan diriku?"
Suto Sinting sedikit kikuk
menjelaskannya. Ia merasa salah ucap, karena jawabannya tadi bisa diartikan
lebih dalam lagi oleh sang gadis. Sebab itulah ia segera mencoba mengatakan
maksud lain dari kata-katanya tadi.
"Sebagai seorang sahabat,
aku tak ingin kehilangan sahabat yang baik seperti kau. Aku akan merasa sangat
kehilangan jika nyawamu sampai melayang karena racun 'Jala Geni' tadi.
Barangkali aku akan mencari tiga orang itu dan menumbuk halus raga mereka
sebagai ungkapan kekecewaanku jika sampai kau tak tertolong, Salju
Kelana."
"Oh, Suto...," gadis
itu tersenyum penuh perasaan bahagia. "Mana tanganmu, Suto... berikan
tanganmu...," sambil tangan si gadis mencari-cari tangan Suto. Lalu, Suto
Sinting memberikan tangannya dan si gadis menggenggam tangan itu kuat-kuatpenuh
resapan jiwa yang terbuai mesra. Bahkan ia menempelkan tangan Suto ke pipinya.
Dipeluk dan diciumnya tangan itu bagai suatu ungkapan rasa yang amat bermakna
sepanjang sejarah Salju Kelana.
"Baru kali ini aku
mengenal pria yang mampu menyentuh lubuk hatiku paling dalam," ucap Salju
Kelana sambil masih menempelkan tangan Suto di pipinya. Senyumnya kian mekar,
hingga lesung pipitnya
membuat detak jantung Suto
semakin bertambah keras.
Agar tak terlalu hanyut dalam
kemesraan yang ada, Pendekar Mabuk segera alihkan pikirannya ke masalah tiga
orang yang memaksa Salju Kelana agar menyerahkan Rencong Iblis tadi.
"Siapa mereka bertiga
tadi, Salju Kelana?"
"Mereka murid-muridnya
Tabib Lumbung Jagat," jawab Salju Kelana setelah bangkit dan duduk di
depan Suto Sinting. Ia mencari-cari tongkat kecilnya, dan Suto mengambilkannya.
Salju Kelana berkata lagi,
"Tabib Lumbung Jagat
tewas karena racun. Seseorang mengetahui pertemuan Tabib Lumbung Jagat dengan
perempuan berjubah putih dan berwajah cantik. Maka para muridnya menyangka
akulah perempuan itu. Mereka juga mendengar kabar tentang Rencong Iblis yang
sedang mencari tumbal tujuh belas tabib. Aku sudah mencoba menjelaskan bahwa
aku tidak mempunyai Rencong Iblis, tapi mereka tetap tidak percaya dan
menuntutku agar menyerahkan rencong itu untuk membalas dendam kepada Gandapura,
terutama kepada diriku sendiri yang dianggap membunuh guru mereka."
Pendekar Mabuk bungkam seribu
bahasa. Ia tak mengerti harus menanggapi dengan ucapan apa, karena dalam
hatinya masih diliputi kebimbangan.
"Benarkah rencong itu
tidak ada pada Salju Kelana? Benarkah bukan Salju Kelana yang menjadi utusan
pencari tumbal?"
Begitu pikir si murid sinting
Gila Tuak itu. Tetapi di mulutnya ia hanya menggumamkan kata lirih sebagai
tanda pertimbangan dalam otaknya.
"Perempuan cantik
berjubah putih?!"
"Bukan hanya aku
perempuan berjubah putih."
"Memang," ucap Suto
pelan. "Tapi mengapa mereka tampak yakin sekali bahwa perempuan cantik
berjubah putih itu adalah kau?"
"Karena mereka tidak
mempunyai pilihan lain. Setahu mereka perempuan berjubah putih itu adalah
diriku. Padahal si Kenari Sutera juga berjubah putih."
"Siapa itu Kenari Sutera?"
Suto Sinting tertarik ingin mengetahuinya.
"Kenari Sutera adalah
murid Begawan Titah Dewa yang tinggal di Bukit Pamanukan."
"Dari aliran hitam
atau...."
"Setahuku Begawan Titah
Dewa adalah tokoh beraliran putih. Entah kalau muridnya menjadi sesat, mana
kutahu?"
Hati Suto Sinting sempat
berkata,
"Jika benar Salju Kelana
pemegang Rencong Iblis, tentunya aku sudah dibunuhnya, karena dia tahu aku pun
dijuluki oleh orang-orang sebagai Tabib Darah Tuak. Dan lagi aku tidak melihat
ia menyimpan rencong itu pada tubuhnya. Mungkinkah rencong itu disembunyikan di
suatu tempat, yang tiba saatnya nanti akan diambilnya dan ditikamkan ke
tubuhku?! Ah, aku kok masih curiga saja, walau sebenarnya aku tak ingin
mencurigai dia. Kuingat saat bertemu dengannya, ia mengenalku sebagal Tabib
Darah Tuak dan ingin minta diobati. Hal itu membuatku bimbang juga terhadapnya.
Ingin sekali kubuang kebimbangan itu, tapi mengapa sulit sekali
melakukannya?"
Saat mereka melangkah
meninggalkan gua untuk menuju ke Lembah Sunyi, gadis berjubah pulih itu berkata
lagi kepada Suto Sinting. Kali ini ia melangkah dengan berpegangan lengan Suto,
seakan sepasang sejoli yang sedang menikmati langkah kemesraan.
"Setahuku murid Nyai
Sibak Bumi yang bernama Kenanga Puri, juga mengenakan jubah putih. Bisa saja
dia yang menjadi pemegang Rencong Iblis Itu. Dan banyak lagi tokoh wanita yang
memakai jubah putih. Jadi kau jangan terpengaruh oleh pandangan murid Tabib
Lumbung Jagat yang tahunya hanya aku perempuan berjubah putih."
"Tidak. Aku tidak terpengaruh
oleh pandangan mereka," Suto mencoba mengelak.
"Wajahmu tampak menaruh
kecurigaan padaku, Suto. Aku merasa tak enak berjalan denganmu."
"Maafkan aku. Memang tadi
aku sempat terpengaruh oleh anggapan mereka, tapi sekarang sudah tidak punya
kecurigaan lagi padamu. Aku percaya, perempuan berjubah putih itu bukan
kau."
"Dari mana kau
mempercayainya?"
"Karena... karena...
karena gadis secantik kau tak mungkin mau membantu tokoh sesat seperti
Gandapura. Hatimu pasti cantik seperti wajahmu."
"Jangan menyanjungku,
nanti aku semakin hanyut dalam harapanku sendiri."
"Harapan apa?" desak
Suto.
"Harapan ingin selalu
berada di sisimu. Bukankah harapan itu akan membuatmu muak padaku, Suto?"
Suto tertawa tanpa suara.
"Kau terlalu berprasangka buruk. Sebaiknya kita percepat langkah saja
supaya lekas sampai di Lembah Sunyi."
Baru saja Suto Sinting
menyarankan begitu, tiba-tiba mereka disergap oleh lima orang bersenjata.
Mereka rata-rata berusia tiga puluh tahun lebih. Gerakan mereka termasuk cepat
juga, karena dalam sekejap Suto dan Salju Kelana telah terkepung rapat dari
berbagai penjuru. Wajah mereka menampakkan kemurkaan dan hasrat membunuh yang
sangat tinggi.
Suto Sinting sempat terkejut,
demikian juga halnya dengan Salju Kelana. Tapi mereka sama-sama cepat kuasai
diri hingga bisa kelihatan tenang. Hanya saja, Pendekar Mabuk sempatkan diri
bertanya kepada Salju Kelana,
"Apakah kau bisa
mengenali lima orang bersenjata parang ini?!"
"Lima orang bersenjata
parang? Oh, setahuku hanya orang-orang Perguruan Parang Suci yang bersenjata
parang."
"Hmmm...! Kira-kira apa
mau mereka?"
Salju Kelana belum menjawab,
tiba-tiba salah seorang dari mereka yang berkumis tipis segera membentak dengan
suara keras,
"Kurung mereka, jangan
beri kesempatan untuk lolos, terutama si jubah putih itu!"
Suto Sinting segera
perdengarkan suaranya dengan kalem, "Siapa kalian ini? Mengapa kailan
mengurung kami dengan cara seperti ini?!"
"Anak muda, kalau kau mau
selamat dan panjang umur, serahkan perempuan berjubah putih itu kepada kami
untuk kami bantai beramai-ramai!"
Suto Sinting tersenyum
mendengar gertakan orang berkumis tipis itu. Dengan tetap tenang ia bicara
kepada si kumis tipis.
"Apa salahnya hingga
kalian ingin membantainya?!"
"Dia telah membunuh guru
kami dua hari yang lalu! Tak ada cara lain menebus kesalahannya kecuali dengan
membantainya!"
"Hmmm... siapa guru
kalian itu?"
Seorang yang berambut pendek
berseru dari samping kiri Suto Sinting,
"Tanyakan sendiri kepada
perempuan biadab itu. Dia pasti mengenal nama Tabib Parang Windul"
"Oh, jadi Tabib Parang
Windu terbunuh juga?!" gumam Salju Kelana dengan nada terperanjat.
"Jangan berpura-pura
tidak tahu kau, Iblis! Menurut saksi mata kaulah yang membunuh Guru dengan
menggunakan sebuah rencong. Kau taburkan racun dalam tubuh guru kami hingga
jiwanya tak tertolong lagi."
"Benar-benar biadab kau,
Betina!" seru si baju merah. "Heaaat...!"
Orang berbaju merah langsung
menyerang Salju Kelana dengan satu lompatan cepat. Parangnya ditebaskan ke arah
kepala Salju Kelana. Tetapi gadis itu segera bergerak separo lingkaran,
sehingga sebelum parang itu sampai ke tubuhnya, tongkat kecilnya telah
berkelebat merobek perut orang tersebut. Tongkat kecil itu bagaikan sebilah
pedang yang ketajamannya mampu membedah perut orang dalam waktu sangat singkat.
Satu korban jatuh di tangan
Salju Kelana karena sangat terpaksa, demi menyelamatkan nyawanya sendiri.
Melihat temannya terkapar
dengan perut robek dan akhirnya menghembuskan napas terakhir, yang lain menjadi
kian murka. Kemudian mereka menyerang Salju Kelana secara bersamaan. Tetapi
Pendekar Mabuk cepat lakukan tindakan penyelamatan. Tubuh gadis itu disambarnya
sambil ia melesat ke udara. Wuuut...!
Hinggap di dahan sebuah pohon.
Jleeg...! Salju Kelana masih ada dalam pelukannya.
"Diam di sini, akan
kutangani mereka. Hati-hati, ini dahan pohon. Jangan melangkah ke
mana-mana."
Salah seorang dari empat yang
tersisa itu melesat naik dengan gunakan ilmu peringan tubuhnya. Tepat pada
waktu itu Suto Sinting meluncur turun dari atas pohon. Mereka bertemu di udara
dan parang pun ditebaskan ke arah Suto Sinting.
Dengan cepat Suto Sinting
meraih bumbung tuak dari punggung dan digunakan untuk menangkis tebasan parang
tersebut. Traaang...! Suaranya seperti parang menebas baja, karena bumbung itu
bukan terbuat dari bambu sembarang bambu.
Begitu parang tertangkis, kaki
Suto Sinting segera menendang ke arah dada orang itu. Yang terjadi adalah di
luar dugaan para murid mendiang Tabib Parang Windu, orang yang ditendang Suto
Sinting itu terpental begitu jauhnya hingga suara jatuhnya tak terdengar oleh
mereka.
Tiga orang murid Perguruan
Parang Suci itu merasa temannya yang jatuh di kejauhan tidak mempunyai harapan
lagi untuk hidup, karena mereka membayangkan dada orang itu sedikitnya jebol
akibat tendangan dahsyat Pendekar Mabuk. Tapi ketiga orang tersebut belum mau
menyerah. Mereka justru semakin garang dan menyerang Suto secara bersamaan.
Wuuuurrss...! Mereka menerjang Suto dari tiga penjuru pada saat Suto
mendaratkan kakinya ke tanah.
Pendekar Mabuk menggeloyor
bagaikan orang mabuk yang mau jatuh, tapi ternyata bumbung tuaknya menyodok
lawan dengan cepat dalam satu gerakan terpatah-patah. Gerakan itu sukar dilihat
mata biasa karena cepatnya, sehingga bumbung tuak itu berhasil membuat tiga
orang terpental dalam satu gebrakan.
Wuuuurrss...! Buurk...!
Rupanya orang yang tadi
terlempar jauh akibat tendangan Suto itu masih hidup. Ia bangkit dan melepaskan
pukulan jarak jauhnya yang bersinar hijau bening. Sinar itu semula sangat
kecil, tapi semakin melayang jauh semakin besar bentuknya, hingga sampai di
depan Suto sinar itu menjadi sebesar buah kelapa.
Tanpa tanggung-tanggung lagi,
Suto Sinting menghantamkan bumbung tuaknya dalam satu lompatan ke arah sinar
hijau itu.
Buuung... !
Sinar itu memantul balik ke
arah pemiliknya dalam keadaan lebih besar lagi dan gerakannya lebih cepat lagi.
Woooosss... !
Tentu saja pemilik sinar hijau
itu menjadi sangat terkejut melihat kenyataan itu. Ia segera berlari dan
memanjat pohon dengan sangat cepat. Akibatnya sinar hijau besar itu menghantam
dua batang pohon yang berjajar rapat.
Blaaang...!
Ledakan mengguncang bumi
begitu dahsyatnya, hingga menumbangkan beberapa pohon, termasuk pohon yang
dipanjat si pemilik sinar hijau itu. Akibatnya orang tersebut jatuh tergencet
pohon yang besarnya tiga rangkulan manusia dewasa.
"Ahhhhgg...!" orang
itu mengerang berat, sesaat kemudian suaranya hilang bersama nyawanya. Ia tak
mampu menyingkirkan pohon itu.
Tiga orang yang terpental
karena sodokan bambu itu berusaha bangkit dengan menahan sakit. Dua di
antaranya sempat memuntahkan darah segar. Suto Sinting segera menghardik
mereka,
"Jangan teruskan
pertarungan ini, kalian akan mati sia-sia. Sebab aku dan perempuan yang di atas
pohon itu juga sedang mencari pemegang Rencong Iblis! Kalian salah anggapan.
Dan kesalahan seperti itu hanya akan membuang-buang nyawa kalian, seperti dua
teman kalian itu. Sia-sia sekali kematiannya!"
"Perempuan yang membunuh
guru kami adalah perempuan cantik berjubah putih!"
"Apakah kalian tak
berpikir bahwa di dunia ini banyak perempuan cantik, dan dari sekian banyak itu
banyak pula yang berpakaian jubah putih?! Mengapa kalian langsung menuduh Salju
Kelana yang melakukannya? Apa alasan kalian selain karena cantik dan berjubah
putih?!"
"Selain berwajah cantik
dan mengenakan jubah putih, perempuan itu mempunyai mata yang cacat! Begitulah
menurut keterangan saksi mata kami."
"Mata yang cacat?!"
Pendekar Mabuk menggumam dalam hati, dahinya berkerut dengan sendirinya.
Tapi ia berkata kepada tiga
orang itu, "Dengarlah kalian, kalau memang Salju Kelana terbukti bersalah,
aku yang akan mengadili dan menghukumnya!"
"Siapa kau, sehingga
berani bertindak sebagai sang pengadilan?!"
"Aku adalah Pendekar
Mabuk; Suto Sinting. Akulah murid si Gila Tuak dan tugasku menegakkan keadilan
dan membasmi kejahatan!"
"Ooh...?!" mereka
bertiga saling terperangah. Ternyata sejak tadi mereka belum sadar bahwa yang
dihadapi adalah seorang pendekar yang namanya sedang kondang dan menjadi bahan
sanjungan beberapa tokoh silat aliran putih.
Mendengar nama Pendekar Mabuk,
mereka bertiga menjadi ciut nyali, dan merasa sangat menyesal telah berani
melakukan pertarungan dengan sang pendekar sinting itu. Akhirnya, mereka
bertiga pun segera membawa kedua mayat temannya dengan hati sedih. Sementara
yang berkumis tipis itu berkata kepada Suto Sinting dengan nada penuh
penyesalan.
"Maafkan kami, tak ada
maksud kami untuk menantang, Pendekar Mabuk. Sekuat apa pun tenaga kami
melawanmu tetap akan tumbang. Sebaiknya kuserahkan perempuan itu kepadamu, jika
benar dan terbukti bahwa dialah pembunuh guru kami, tolong bertindaklah dengan
adil dan bijaksana!"
"Terima kasih atas
kepercayaan kalian. Aku tidak akan menyimpang dari perintah guruku
sendiri!" kata Suto dengan tegas.
Setelah mereka pergi, batin
Suto kembali bertanya- tanya, "Benarkah pemegang Rencong Iblis itu bermata
cacat? Cantik, berjubah putih, bermata cacat dan... ooh, semua ciri itu ada
pada Salju Kelana? Semakin sulit bagiku untuk menghilangkan kecurigaanku
kepadanya. Tapi hati kecilku tetap tak mau menuduhnya sebagai si pembunuh para
tabib! Oh, aku jadi bingung sekali kalau begini."
Ketika Suto Sinting hendak
mengambil Salju Kelana dari atas pohon, ternyata gadis itu sudah tidak ada di
tempat. Tentu saja Suto terkejut setengah mati dan kebingungan mencari si
cantik berjubah putih itu.
"Celaka! Ke mana gadis
itu? Apakah dia melarikan diri?! Dalam keadaan mata buta begitu ia mampu
melarikan diri melintasi dahan-dahan pohon?! Ah, rasa- rasanya tidak masuk akal
sekali?!" sambil mata Suto memandang ke sana-sini dalam kebingungannya.
***6
BENAR atau salah, Salju Kelana
tak boleh lepas dari tangan Pendekar Mabuk. Sebelum perkara itu terselesaikan
secara tuntas, Pendekat Mabuk tidak ingin melepaskan Salju Kelana.
"Seandainya memang dia
benar-benar si pemegang Rencong Iblis itu, maka aku pun harus bertindak tegas
terhadapnya. Sekalipun wajahnya mirip Dyah Sariningrum, tapi jika tindakannya
bertolak belakang dengan Dyah-ku, aku tak bisa membiarkannya begitu saja.
Setidaknya kuserahkan kepada Guru untuk mendapat perlakuan yang setimpal dengan
kejahatannya!"
Sambil memikirkan hal itu,
Suto Sinting masih mencoba mencari Salju Kelana yang pergi tanpa tinggalkan
jejak. Ia mencari dari pohon ke pohon sehingga dapat melayangkan pandangan
matanya lebih luas lagi.
Ketika ia bermaksud turun dari
atas pepohonan, tiba- tiba ia mendengar suara dentuman menggema yang datang
dari arah utara. Pendekar Mabuk terperanjat dan menjadi tegang dengan mata
menatap ke utara.
"Jangan-jangan itu suara
pertarungan Salju Kelana dengan seseorang?" pikirnya. Maka tanpa banyak
pertimbangan lagi, Suto Sinting segera menggunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk
melesat dengan cepat menuju ke arah utara. Zlaaap...!
Sebuah dataran berumput lebat
menjadi ajang pertarungan. Dan dugaan Suto Sinting tadi ternyata memang benar.
Salju Kelana sedang bertarung melawan seorang nenek berjubah merah dengan
tongkatnya yang putih. Tampak tak jauh dari mereka, berdiri sesosok tubuh sekal
berambut cepak yang tak lain adalah Anggani, si Putri Malu.
"Hmmm... kalau tak salah
nenek tua berjubah merah itu adalah Nyai Sumbar Keramat, gurunya Anggani.
Rupanya si Putri Malu itu
mengadu kesedihannya kepada sang Guru dan Nyai Sumbar Keramat pun merasa berhak
membela sakit hati muridnya. Gawat! Salju Kelana apa bisa unggul melawan Nyai
Sumbar Keramat? Karena dulu, tokoh tua yang ilmunya tinggi, sahabat dari guruku
sendiri, juga hampir celaka dalam pertarungannya melawan Nyai Sumbar
Keramat."
Suto Sinting ingat seraut
wajah tua berambut putih panjang yang diikat ke belakang. Orang yang diingatnya
itu tak lain adalah Galak Gantung, yang dulu pernah bertarung dengan Nyai
Sumbar Keramat karena sang Nyai mendukung rencana muridnya yang ingin
menyerahkan Suto kepada Ratu Sukma Semimpi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Pusaka Bernyawa").
Pada dasarnya, Suto Sinting
tidak ingin Salju Kelana dihakimi oleh orang lain. Karenanya ia tak bisa
tinggal diam saja ketika melihat Salju Kelana dihajar habis oleh Nyai Sumbar
Keramat. Tongkat sang Nyai yang dihantamkan bertubi-tubi ke arah Salju Kelana
membuat si gadis berjubah putih terdesak mundur.
Tangkisannya semakin lama
semakin lemah karena setiap sabetan tongkat Nyai Sumbar Keramat selalu disertai
dengan percikan bunga api yang menandakan tongkat itu dialiri tenaga dalam
cukup berbahaya.
"Hancurkan dia, Nyai!
Hancurkan dia selagi tak ada Pendekar Mabuk!" seru Anggani dengan suara
dendam yang membuatnya hampir serak.
Pendekar Mabuk cemaskan jiwa
Salju Kelana, sebab gadis itu terdesak sampai di dekat rawa. Padahal Suto
Sinting tahu rawa itu adalah genangan lumpur hidup yang mampu menyedot manusia
yang jatuh ke dalamnya. Jika sampai Salju Kelana jatuh ke lumpur hidup,
habislah riwayatnya. Pasti ia akan semakin ditenggelamkan oleh Nyai Sumbar
Keramat dengan caranya sendiri.
Tak ada pilihan lain bagi Suto
Sinting selain menghambur dalam pertarungan itu demi menyelamatkan Salju
Kelana. Dengan gerakan yang amat cepat melebihi anak panah, Suto Sinting
berhasil melesat dan dalam sekejap tiba di samping Salju Kelana.
Zlapp...! Jleeg...!
"Hentikan, Nyai!"
sentak Suto Sinting dengan suara menggelegar. Sentakan suara itu membuat
jantung Sang Guru terhentak pula dan gerakannya pun terhenti. Suto Sinting
segera meraih tangan Salju Kelana dan
menariknya.
"Diam di belakangku!"
perintah Suto Sinting dengan mata tetap memandang ke arah Nyai Sumbat Keramat.
"O, rupanya apa kata
muridku memang benar. Pendekar Mabuk sudah menjadi pendekar sesat karena
membela kejahatan!" ucap sang Nyai dengan senyum sinis.
Anggani segera berlari
mendekati gurunya. Wajah gadis itu masih tampak ketus saat memandang Pendekar
Mabuk.
"Sudah kubilang jangan
ikut campur masalah ini kalau kau tak tahu persis, Suto. Kenapa kau masih
membela si keparat itu!" sentak Anggani sambil menuding Salju Kelana yang
ada di belakang Suto dalam jarak tiga langkah.
"Aku bisa rasakan dendam
dan murkamu, Anggani. Tapi kau tidak boleh bertindak gegabah. Jika memang Salju
Kelana bersalah sebagai pembunuh ibumu, kau harus bisa membuktikannya."
"Buktinya adalah jenazah
ibuku yang sekarang sudah dimakamkan itu! Jenazah Ibu dalam keadaan biru legam
karena racun ganas yang sulit ditangkal lagi! Itulah racun dari si keparat itu,
tahu?!"
Salju Kelana yang
dituding-tuding oleh Anggani diam saja. Ia menenangkan napasnya akibat
tenaganya terkuras saat melayani serangan Nyai Sumbar Keramat. Sang Nyai pun
segera berkata kepada Suto Sinting.
"Matamu telah terbalik,
Suto! Seharusnya kau memihak yang benar, tapi nyatanya kau memihak orang yang
salah. Lebih baik copot gelar kependekaranmu ketimbang kau kotori dengan
sikapmu saat ini!"
Anggani menimpali,
"Apakah karena Salju Kelana lebih cantik dariku, maka kau membelanya
mati-matian, hah?"
"Anggani...," kata
Suto Sinting dengan tenang. "Apakah kau belum mendengar bahwa bukan hanya
ibumu yang terbunuh, melainkan beberapa tabib lainnya juga terbunuh oleh satu
orang. Orang itu menggunakan Rencong Iblis. Rencong itu mencari tumbal tujuh
belas tabib. Jika sudah mendapat tumbal nyawa tujuh belas tabib, maka ia akan
menjadi senjata bagi Gandapura untuk menangkap kekuatan Kapak Setan Kubur yang
dapat meleburkan Ilmu Mahkota Neraka'-nya."
"Hmmm...! Aku lebih tahu
dari kau, Suto!" Anggani mencibir benci.
"Barangkali kau benar.
Kau lebih banyak tahu dari diriku. Tapi ketahuilah, banyak orang mengetahui
juga bahwa ciri-ciri pemegang Rencong Iblis yang menjadi utusan Gandapura
adalah perempuan cantik berjubah putih dan cacat matanya. Tapi apakah kau tidak
berpikir bahwa ciri-ciri seperti itu tidak hanya dimiliki oleh Salju
Kelana?!"
"Persetan dengan
kata-katamu!" sentak Nyai Sumbar Keramat. "Anggani, menyingkirlah!
Biar kuhadapi sendiri pendekar sesat ini!"
Anggani mundur pelan-pelan
sambil memandangi Suto Sinting, seakan pasrah dengan tindakan gurunya. Ia
berlari menjauh bagai tak mau melihat pertarungan itu.
Sementara sang gadis berjubah
putih pun bergegas ke bawah pohon, sepertinya memberikan tempat bagi Suto untuk
melayani murka sang Nyai.
"Pendekar Mabuk!"
seru Nyai Sumbar Keramat, "... Kau boleh saja berdalih apa pun, tapi aku
tetap tak ingin melihat seorang pendekar yang sesat langkahnya sepertimu! Lebih
baik kau kumusnahkan dan aku akan berurusan dengan gurumu sendiri; Bidadari
Jalang atau si Gila Tuak."
"Nyai, sebenarnya aku
tidak ingin melakukan pertarungan denganmu. Tapi jika ternyata kau mendesakku,
aku terpaksa melayanimu sebagaimana apa yang kau harapkan dariku!"
"Manis tutur katamu,
lembut suaramu, tapi busuk hatimu! Aku harus melenyapkan kebusukan itu sampai
ke akar-akarnya. Heeaahh...!"
Nyai Sumbar Keramat
menyentakkan tongkatnya dalam keadaan kaki tetap di tempat. Kaki itu merendah
dan tongkat itu disodokkan ke depan. Seberkas sinar lurus tanpa putus warna
kuning menghantam dada Suto Sinting. Tapi dengan cepat Suto Sinting kelebatkan
bumbung tuaknya ke depan dada.
Weet...! Daaab...! Duaaar...!
Ledakan keras menggema akibat sinar kuning itu menghantam bumbung tuak. Sinar
itu jelas sinar berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi. Jika tidak ia akan
membalik arah dan berubah menjadi lebih besar. Ternyata sinar itu tidak membalik
arah dan meledak begitu menghantam bumbung tuak.
Bumbung tuak itu tidak terluka
sedikit pun. Membekas hangus pun tidak. Tentunya bumbung tuak itu mempunyai
kekuatan tenaga dalam lebih tinggi dari sinar kuning tersebut.
Tubuh Nyai Sumbar Keramat
tersentak, namun ia bertahan hingga hanya bergeser ke belakang dua langkah.
Pendekar Mabuk sendiri juga tersentak ke belakang satu langkah, dalam sekejap
sudah mampu berdiri tegak lagi. Keduanya saling beradu pandangan mata. Suto
Sinting lebih tenang dan sorot matanya tidak seganas Nyai Sumbar Keramat.
Di luar dugaan, dari kedua
mata Nyai Sumbar Keramat keluar dua baris sinar merah sebesar lidi, lurus tanpa
putus. Suto Sinting sempat terperanjat, lalu cepat- cepat menyilangkan bumbung
tuaknya ke arah depan mata, sebab kedua sinar merah itu ingin menembus mata
Suto.
Dengan menyilangnya bumbung
tuak yang digenggam dengan kedua tangan itu, maka kedua sinar merah pun kembali
menghantam bumbung tuak secara bersamaan.
Jgaaarrr... !
Sinar biru lebar melesat dari
bumbung tuak itu. Sinar biru lebar itu merupakan percikan dari perpaduan tenaga
sakti dalam bumbung dengan dua sinar merah.
Sinar biru lebar melesat ke
depan dan di luar dugaan menghantam tubuh Nyai Sumbar Keramat. Zrruuub...!
"Aaaahg...!" Nyai
Sumbar Keramat terpental terbang sambil memekik. Tubuhnya berasap dan jatuh di
semak- semak.
"Guruuu...!" teriak
Anggani dengan tegang sekali. Ia berlari menghampiri gurunya yang terperosok di
semak- semak. Bahkan sebagian semak-semak itu terbakar begitu tersentuh tubuh
Nyai Sumbar Keramat.
"Guru, kau terluka parah!
Kau... kau.... Oh, Sutooo...! Biadab kau! Kubunuh kau, Sutooo...!" teriak
Anggani. Tapi ketika mau bergerak, kakinya disambar oleh Nyai Sumbar Keramat.
Teeb...!
"Guru...?! Akan
kubalaskan lukamu itu!"
"Jaa... jangan...
buang-buang waktu. Baa... bawa... bawalah aku kepada.... Galak Gantung. Hanya
dia yang bisa obati luka seperti ini...!"
"Oh, ba... baik, Guru!
Baik!"
Anggani mengetahui bahwa
gurunya dalam keadaan sangat parah. Ia tak sempat lakukan apa pun pada diri
Suto maupun Salju Kelana. Ia cepat mengangkat gurunya dan berlari menuju Bukit
Wangi untuk temui Galak Gantung, bekas kekasih Nyai Sumbar Keramat semasa
mudanya.
Sementara itu, ledakan dahsyat
tadi ternyata telah membuat tubuh Suto Sinting terpental dan jatuh ke rawa
berlumpur hidup. Tubuhnya juga berasap pada saat melayang. Bumbungnya terlepas
dari genggaman tangan. Dan tubuh Suto Sinting masuk ke dalam lumpur hidup dalam
keadaan luka bakar bagian dalamnya. Ia sangat lemas dan tak berdaya. Tubuh itu
terendam lumpur setinggi dada.
Salju Kelana terkejut ketika
mendengar suara:
Juubbbss...! Hati gadis itu
segera berkata,
"Siapa yang masuk ke rawa
berlumpur?! Oh, agaknya Suto Sinting?!"
Lalu ia segera bergerak dengan
bantuan tongkatnya sambil berseru, "Sutooo...! Sutooo...!"
Pendekar Mabuk ingin berseru
tapi dadanya terasa sakit sekali. Ia pun berusaha untuk bergerak. Namun segera
sadar bahwa gerakannya hanya akan membuat badannya semakin tersedot ke dalam
lumpur. Kini lumpur itu sudah sebatas pundak. Suto Sinting sempat angkat
tangannya sambil berusaha berseru namun suaranya sangat pelan,
"Salju... ambil bumbung
tuak...!"
"Suto, kau di dalam
lumpur?!"
"Iiy... Iyaa...!"
jawab Suto pelan sekali. Salju Kelana mendekati tepian lumpur dengan bantuan
tongkatnya untuk meraba tanah di depannya. Langkahnya menjadi hati-hati.
Suto Sinting yang masih
mengangkat satu tangannya itu menjadi lebih cemas melihat Salju Kelana
melangkah maju mendekati tepian rawa.
"Jangan maju...
berhenti!" ucap Suto dengan suara berat seperti orang tua. "Sebelah
kirimu tanah lunak. Jangan injak itu. Jangan...!"
Tapi Salju Kelana nekat
menginjak tanah lunak itu. Sekali injak tanah pun amblas ke dalam. Blusss...!
Tetapi agaknya ada kayu batu
di dalam tanah itu hingga kaki Salju Kelana tak terendam ke dalam lumpur. Suto
Sinting sudah pejamkan mata karena ngeri melihat Salju Kelana yang diduga akan
terjerembab juga.
Ternyata ketika ia membuka
mata, Salju Kelana mendekatinya dengan berjalan di atas lumpur hidup itu. Ia menapakkan
kakinya di atas lumpur hidup tanpa terbenam sedikit pun. Tongkatnya
digerak-gerakkan mencari sentuhan tubuh Suto.
Pendekar Mabuk memandang kagum
terhadap kemampuan Salju Kelana yang ternyata mempunyai ilmu peringan tubuh
cukup tinggi juga itu. Tapi Suto tak mampu berpikir lebih banyak lagi, karena
rasa sakit di dada membuatnya bergerak dan gerakan itu membuat tubuhnya lebih
amblas ke dalam lumpur hingga mencapai sebatas leher. Tangannya masih terangkat
ke atas, namun sama sekali tidak mempunyai pegangan.
"Salju...," suara
itu membuat Salju Kelana yang hampir melangkah ke arah yang salah menjadi
berbalik. Ia seperti berjalan di tanah datar biasa yang keras dan berbatu.
"Salju... aku di
sini," ucap Suto Sinting semakin lirih. Kalau saja telinga Salju Kelana
tidak mempunyai kepekaan tinggi. Ia tidak akan mendengar ucapan Suto itu.
Akhirnya ia menemukan kepala
Suto yang diketuk ketuk dengan ujung tongkatnya. "Ini batu atau kepalamu,
Suto?"
"Kep... kepalaku,"
jawab Suto Sinting dengan semakin lirih, karena lumpur makin menghisap tubuhnya
hingga mencapa batas dagu.
"Pegang tongkatku!"
perintah Salju Kelana. Tangan Suto yang terangkat ke atas akhirnya menyambar
tongkat Salju Kelana. Taab...!
"Gunakan ilmu peringan
tubuhmu, aku akan menarikmu pelan-pelan," kata Salju Kelana.
Seandainya Suto tidak gunakan
ilmu peringan tubuh, barangkali gerakan Salju Kelana yang menarik tubuh Suto
dapat membuat tubuh perempuan itu terbenam sendiri ke dalam lumpur. Tapi karena
Suto pun menahan napas dan menggunakan ilmu peringan tubuhnya, maka tarikan
tongkat Salju Kelana terasa ringan dan tubuh Suto mampu bergerak. Kini Salju
Kelana melangkah dengan tenang sambil menarik Suto Sinting yang berpegangan
pada tongkatnya. Ia seperti seseorang yang sedang menuntun seekor kambing.
"Bertahanlan sampai kita
mencari daratan, Suto "
"Sekarang sudah sampai di
darat. Aku jangan diseret terus!" geram Suto bernada jengkel sambil
menahan sakit.
"O, maaf. Aku tidak tahu
kalau sudah sampai di darat. Kau sendiri mengapa masih memegangi tongkatku
terus sehingga terseret-seret?!"
Suto menggerutu tak jelas.
Badannya terbungkus lumpur hitam berbau rumput. Namun ia tidak peduli dan
segera menggulingkan tubuh beberapa kali dengan susah payah, lalu mencapai
bumbung tuaknya. Ia menenggak tuak dengan gemetar. Air tuak bukan saja mengucur
dari mulutnya, namun juga membasahi wajahnya. Ia tetap tidak peduli, yang
penting beberapa teguk tuak berhasil diminumnya dan rasa sakit di dada mulai
berkurang.
Suto duduk di tanah
bersandarkan pohon. Napasnya masih terengah-engah, walau rasa sakitnya semakin
ringan. Ia tertegun membayangkan hampir mati terhisap lumpur hidup kalau tak
ditolong oleh Salju Kelana. Gadis itu mencoba meraba tubuh Suto, tapi pemuda
tampan itu menyentak,
"Jangan pegang aku!"
"Suto...?! Kau marah
padaku?" ucap Salju Kelana pelan, bagaikan penuh kesabaran.
Suto Sinting sedikit menyesal
mengeluarkan suara keras. Ia segera berkata dengan lunak, "Maksudku,
badanku penuh lumpur. Kalau kau memegangku nanti tanganmu kotor."
"Apakah wajahmu juga
penuh lumpur?"
Suto menjawab bagai orang
menggerutu pelan, "Tidak...."
Kemudian tangan perempuan
cantik itu meraba wajah Suto. Ia tersenyum memamerkan lesung pipitnya. Suto
berdebar-debar. Kejengkelan di hatinya sirna begitu memandang lesung pipit di
wajah cantik yang mirip sekali dengan Dyah Sariningrum itu.
"Ternyata wajahmu masih
tampan walau ada sedikit lumpur di pelipismu," ujar Salju Kelana.
"Tapi mengapa mulutmu monyong? Kau cemberut, Suto?"
"Aku kesal padamu!"
kata Suto memaksakan diri untuk ketus, supaya Salju Kelana mengetahui bahwa
hati Suto semula dongkol kepadanya.
"Kau pergi tanpa
bilang-bilang padaku. Sudah dua kali kau begitu. Pertama kau menghilang dari
gua saat aku masih tertidur dan akhirnya bentrok dengan murid- murid Tabib
Lumbung Jagat...."
"Aku bermaksud buang air,
dan ketika mau masuk ke gua diserang oleh mereka. Aku membawa mereka lari
menjauhi gua supaya kau tidak menjadi sasaran mereka, karena aku tahu saat itu
kau masih tidur. Aku tak ingin tidurmu diganggu oleh teriakan atau kegaduhan
mereka," potong Salju Kelana.
"Dan tadi kenapa kau
tahu-tahu pergi, sementara aku sedang hadapi murid-murid Perguruan Parang
Suci?! Bukankah sudah kubilang, jangan ke mana-mana. Diam saja di atas pohon
supaya aku mudah melindungimu!"
"Aku disambar seseorang
dan dibawa lari. Aku tak tahu siapa yang menyambarku dari belakang. Ketika aku
meronta, aku jatuh di tanah ini dan ternyata gurunya Putri Malu yang
menyambarku dari atas pohon."
"Mengapa kau tidak
berteriak minta tolong, supaya aku tahu kalau kau dalam bahaya."
"Aku tak mau mengganggu
kesibukanmu bersama murid-murid Perguruan Parang Suci itu. Pikirku, aku ingin
mengatasi sendiri tanpa merepotkan dirimu lagi."
"Uuh...!" Suto
Sinting mendengus kesal, wajahnya cemberut. Wajah itu diraba lagi oleh Salju
Kelana.
"Kau cemberut, Suto?!
Ooh... maafkanlah aku. Jangan marah, aku tidak sengaja meninggalkan kau!"
sambil tangannya masih meraba wajah Suto.
"Puih, puih...!"
Suto Sinting meludah dan menjauhkan wajah.
"Kenapa, Suto?"
"Tanganmu kena lumpur
masuk ke mulutku!"
"Oo... maaf, aku tak
sengaja memasukkan lumpur! Maaf, Suto...," Salju Kelana akhirnya tertawa
geli, Suto hanya menahan tawa dengan senyum dikulum. Ia meludah-ludah lagi
karena masih ada sisa lumpur di bibirnya. Ia sempat menggerutu yang membuat
Salju Kelana kian tertawa geli.
"Mulut orang diobok-obok
seenaknya... dimasuki lumpur segala! Puih...! Memangnya aku belut, makannya
lumpur?!"
Tak seberapa jauh dari tempat
itu ada sungai berair terjun tak seberapa tinggi. Untuk menghilangkan lumpur di
badan, Pendekar Mabuk terpaksa mandi di bawah pancuran tersebut, sambil mencuci
pakaiannya.
Bumbung tuak dititipkan kepada
Salju Kelana yang duduk di atas sebuah batu tak jauh dari Suto Sinting.
Walaupun wajah gadis itu
menghadap ke arah Suto, namun Suto Sinting tak segan-segan lagi melepas seluruh
pakaiannya dan mandi dengan bebasnya.
"Untung dia buta, jadi
tak melihat keadaanku saat ini," pikir Suto Sinting.
"Biar pakaianmu aku yang
mencucinya, Suto!"
"Jangan. Kau jangan
bekerja apa-apa. Duduk di situ saja. Sebentar lagi aku selesai."
"Kau sepertinya sangat
sayang kepadaku," ujar Salju Kelana sambil wajahnya seperti memandang Suto
tapi arah pandangan matanya datar tak tertuju ke satu titik.
"Apakah kau memang
mempunyai rasa kasih dan sayang pada diriku, Suto?!"
"Aku tidak tahu!"
jawab Suto kaku. Ia memeras pakaiannya, lalu membentangkan di bebatuan yang
terkena terik matahari. Sambil menunggu pakaian kering, Suto mengulangi
mandinya agar tubuh semakin bersih.
"Kalau kau sayang padaku,
katakanlah terus terang, supaya hatiku bisa menikmati kebahagiaan secara
nyata."
"Aku sayang padamu,
sebagaimana sayangnya seorang sahabat."
"Hanya itu?"
"Ya, hanya itu!"
jawab Suto memaksakan diri sesingkat mungkin.
Tapi dalam hatinya ia bertanya
sendiri,
"Benarkah aku sayang
kepadanya? Bukankah dia orang yang sedang kucurigai sebagai pembawa Rencong
Iblis, pembunuh para tabib itu? Apakah ia juga akan membunuhku? Tegakah ia
membunuhku? Jika ia memang pembunuh para tabib dan merencanakan ingin membunuhku
juga, mengapa ia menyelamatkan nyawaku dari lumpur maut tadi?"
Pendekar Mabuk diliputi
kebimbangan yang meresahkan, sambil tetap membiarkan tubuhnya berdiri tegak
diguyur air pancuran dengan segarnya. Sementara itu, Salju Kelana seakan ingin
mendekat, ingin memandanginya lekat-lekat, namun gadis itu tak berani lakukan
untuk melompat turun ke sungai. Barangkali takut terpeleset, atau ia merasa
lebih suka duduk sambil membayangkan Suto mandi.
Yang jelas gadis itu segera
berkata, "Sepertinya kau masih menuduhku sebagai pembunuh para tabib itu,
Suto. Setega itukah kau mencurigaiku?!"
"Dari mana kau tahu kalau
aku masih mencurigaimu?"
"Detak jantungmu sedikit
lebih cepat dari biasanya. Benar, bukan?"
Suto tak berani menjawab. Ia
bahkan semakin resah.
***7
SEORANG lelaki tua berusia
sekitar tujuh puluh tahun melepaskan pukulan tenaga dalamnya berupa sinar biru
yang melingkar-lingkar. Pukulan itu terlepas dari telapak tangan kirinya dan
menerjang dua orang penunggang kuda yang bersebelahan. Srraaab... ! Blaarrr...
!
Dua penunggang kuda itu
terjungkal dari atas punggung kuda secara bersamaan. Kedua tubuh menjadi merah
matang dan kejap kemudian merenggangkan nyawa. Kemudian orang tua itu berlari
lagi ke tempat persembunyian. Karena dua penunggang kuda lainnya datang dari
arah timur dan melepaskan tombak ke arahnya. Wuuusss...!
Orang tua berpakaian abu-abu
dengan rambut putih pendek itu segera menyelinap di balik pepohonan. Seet...!
Tombak berhias benang merah di bawah mata tombaknya itu menancap pada pohon
tersebut dengan kuat. Jluub...!
Terlambat sedikit orang
bertubuh kurus dan agak pendek itu akan menjadi sasaran tombak tersebut. Untung
ia cepat bersembunyi di balik pohon itu, sehingga nyawanya masih melekat pada
raganya.
"Dia di balik pohon itu.
Hantam dengan jurus 'Rentang Kumala' kita! Heeeaaah...!"
"Hiaaah...!"
Dua sinar merah yang
menyerupai cahaya kilat itu menyambar pohon tersebut. Blegaar...! Blaaang...!
Dentumannya begitu menggema
bagaikan ingin memecahkan langit.
Pohon itu hancur berkeping-keping.
Rata dengan tanah. Tapi kakek berpakaian abu-abu yang gigi depannya tinggal dua
itu lenyap tak berbekas. Kedua penunggang kuda mencari mayat kakek itu, tapi
tak sesobek pakaian pun ditemukan oleh mereka.
"Dia hilang...!"
"Tak mungkin. Pasti
pindah di tempat lain."
Tiba-tiba ada suara yang
terdengar di atas sebuah pohon seberang mereka.
"Ya, aku memang pindah di
sini!"
"Itu dia...!"
Slaaap...! Salah seorang
penunggang kuda lepaskan pukulan jarak jauh lagi dalam bentuk dan jenis yang
sama dengan yang tadi. Tapi kali ini kilatan cahaya merah itu dihadapi oleh
sang kakek dengan sentakan tangan kirinya yang memancarkan bias sinar hijau.
Sinar hijau lebar itu bagaikan terbang cepat ke arah para penunggang kuda.
Wuuuttt... !
Di pertengahan jarak sinar
hijau itu menabrak sinar merah. Dan dentuman hebat pun terdengar kembali
membahana ke mana-mana.
Jlegaaar...!
Kedua belah pihak tidak ada
yang tumbang. Kecuali kuda mereka meringkik ketakutan sambil melonjak,
menaikkan kaki depannya. Sang penunggang kuda akhirnya turun. Keduanya segera
maju ke pertengahan jarak dan salah seorang berseru,
"Turun kau,
Pembunuh!"
Zlaaap...!
Orang berpakaian abu-abu itu
justru menghilang, membuat kedua penunggang kuda menjadi kebingungan. Tapi
kejap berikutnya ia sudah berada di lereng bukit cadas belakang mereka.
"Aku di sini, Nak.... He,
he, he, he...!"
"Kejar dia! Kejar
terus...!"
Pak tua itu lari mendaki
bukit, kedua penunggang kuda mengejarnya dengan tanpa membawa kudanya. Namun
tiba-tiba sebelum kedua orang itu mencapai puncak bukit yang tak seberapa
tinggi, tiba-tiba sekelebat bayangan menerjang mereka dari samping. Breeess...
!
"Aaauh...!" Keduanya
terjungkal ke belakang dan terguling-guling menuruni lereng bukit. Pak Tua itu
kaget dan hentikan langkah. Lalu ia memandang ke arah lain, ternyata Pendekar
Mabuk sudah berdiri di sana dengan senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Bocah bandel...! Kau
dari mana saja? Kenapa tak segera menemuiku, Suto?!" ujar orang tua itu
yang tak lain adalah si Tua Bangka atau Sanupati. Dia adalah pemilik pusaka
Kapak Setan Kubur, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kapak
Setan Kubur").
"Aku sedang dalam
perjalanan menemuimu, tahu- tahu menghadapi masalah berat, Tua Bangka."
"Hmmm... lalu apakah
sudah kau selesaikan masalah itu?!"
Kilatan cahaya merah datang
lagi dari kedua orang itu. Claap...! Tua Bangka menangkisnya dengan mengadu
sinar hijaunya kembali. Blegaaar...! Tapi ia berlagak acuh tak acuh dan bicara
dengan Pendekar Mabuk,
"Aku yakin kau bisa
selesaikan setiap masalah yang kau temui, Suto. Sebab aku tahu siapa kau dan
seberapa tingginya kecerdasanmu! Jelas kecerdasanku ada di bawahmu."
Claaap... !
Blegaaar...!
Lagi-lagi kedua orang itu
menyerang, dan Tua Bangka menangkisnya secara acuh tak acuh, wajahnya tetap
memandang Suto Sinting dengan senyum ceria.
"Ada masalah apa dengan
kedua orang itu, Tua Bangka?"
"O, biasa. Adipatinya
kubunuh, eeeh... mereka ngamuk! Aku dikejar-kejarnya. Yaaah... terpaksa mereka
kutumbangkan daripada nyawaku diambilnya."
"Adipati mana yang kau
bunuh?!"
"Janarsuma!" jawab
Ki Sanupati alias si Tua Bangka dengan santainya. "Kemarin malam dia
kubunuh dengan Kapak Setan Kubur, karena dia mengadakan pertemuan dan
mempertaruhkan takhtanya untuk diberikan kepada siapa pun yang bisa mendapatkan
Kapak Setan Kubur. Kupikir, itu namanya dia mengumpan nyawa orang lain untuk
mendapatkan keinginannya. Akhirnya kuselesaikan sendiri sang Adipati itu,
sehingga mereka bubar dan tak ada yang mengejar pusaka Kapak Setan Kubur-ku
itu. Anak buahnya marah, kutinggal kabur!"
"Oo... pantas," Suto
Sinting manggut-manggut.
Claaap...! Blegaar...!
Dua orang itu gagal lagi
menyerang dari jarak jauh. Akhirnya mereka bosan dan salah seorang berkata,
"Sudah, tinggalkan saja
dia! Kalau yang lain bertanya, bilang saja ia pergi entah ke mana. Larinya
sangat cepat!"
Suto Sinting tersenyum
mendengar ucapan lirih orang itu. Tapi ia segera memperhatikan Tua Bangka dan
berkata,
"Sebenarnya apa yang
membuat Adipati Janarsuma bernafsu sekali ingin mendapatkan pusaka Kapak Setan
Kubur itu?"
"Dia ingin balas dendam
kepada Gandapura, karena anak angkatnya yang tunggal itu diculik oleh orangnya
Gandapura dan dimakannya. Kepalanya dipulangkan ke istana kadipaten. Jadi ia
bernafsu sekali ingin dapatkan senjata yang dapat untuk melawan titisan raksasa
itu, tanpa ia bercermin diri bahwa banyak kepala orang yang dipenggalnya pada
saat ia melebarkan wilayah merebut kekuasaan para tumenggung. Kupikir anak
angkatnya yang disantap Gandapura merupakan upah perbuatan kejinya selama ini.
Jadi pusaka Kapak Setan Kubur tak perlu kupinjamkan kepadanya."
"Oo... begitu masalah
sebenarnya?" Pendekar Mabuk manggut-manggut kembali.
"Kau sendiri punya
masalah apa, Suto?"
"Tengoklah ke belakangmu,
Ki Sanupati!"
Tua Bangka menengok ke belakang,
ia terkejut melihat seraut wajah cantik berjubah putih yang berjalan dengan
tongkat kecilnya.
"Salju Kelana...?!"
Tua Bangka menyapa dengan nada heran.
"Kalau tak salah dengar,
kau si Tua Bangka, Sanupati?!"
"Benar! Ada apa dengan
matamu, Salju Kelana?!"
"Tidak apa-apa. Hanya
sedikit gelap saja. Mungkin karena habis bangun tidur," jawab Salju
Kelana, tetap tak mau mengaku dirinya buta.
"Kau buta...?!"
"Tidak. Aku tidak buta.
Jangan salah sangka, Ki Sanupati!" sergah Salju Kelana. Ia mendekat dengan
hati-hati dan Suto Sinting segera membantunya menuruni bukit itu. Mereka bicara
di kaki bukit cadas.
"Dalam perjalananku ke
Tibet, aku sempat bertarung dengan Tabib Arak Merah," tutur Salju Kelana
yang membuat Suto Sinting terkejut, karena ia pernah mendengar nama Tabib Arak
Merah yang menjadi guru Palupi itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Tandu Terbang").
"Pertarunganku itu
membuat Tabib Arak Merah melukaiku dengan pukulan beracun dan membuatku buta.
Beberapa tabib kudatangi, tapi tak ada yang mnmpu sembuhkan kebutaanku kala
itu."
"Bukankah pemuda yang
bersamamu itu juga seorang tabib? Tabib Darah Tuak!" kata Tua Bangka.
Suto Sinting menyahut,
"Aku sudah mencoba memberikan tuakku, tapi ia masih tidak bisa
melihat."
"Bukan tidak bisa
melihat!" sentak Salju Kelana. "Aku masih dipengaruhi pandangan
gelap! Bukan tidak melihat!"
"Iiyy... iya, maksudku
begitu," sambil Suto tersenyum-senyum memandang Tua Bangka, melirik Salju
Kelana. Tua Bangka mengerti maksud senyuman Suto, sehingga ia tidak mendesaknya
dengan pertanyaan yang sama.
"Nasibku agaknya sedang
ditimpa kemalangan, Tua Bangka," kata Salju Kelana. "Sudah dalam
keadaan begini, masih dicurigai sebagai pembunuh para tabib di sini."
"Pembunuh para
tabib?!" Tua Bangka kerutkan dahi. Agaknya ia belum mendengar peristiwa
yang sedang heboh di rimba persilatan mengenai pembunuhan para tabib sebagai
tumbal Rencong Iblis. Maka Pendekar Mabuk pun segera menceritakan
keseluruhannya, sampai pada rencananya untuk berkunjung ke Lembah Sunyi,
menemui Resi Wulung Gading.
"Tunggu dulu," kata
Tua Bangka. "Rencong Iblis memang ada, dan ia bisa menangkis kesaktian
Kapak Setan Kubur jika racunnya sudah membunuh tujuh belas tabib. Itu memang
benar. Tapi... seingatku Rencong Iblis bukan milik Gandapura! Rencong Iblis
adalah milik Dewi Kapas Ayu, murid mendiang Pendeta Mata Lima yang telah murtad
sebelum pendeta itu wafat."
Suto Sinting berkerut dahi,
karena ia merasa kenal dengan Pendeta Mata Lima kakak dari Pendeta Jantung
Dewa, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kitab Lorong
Zaman"). Namun untuk sementara Suto lebih cenderung menyimak keterangan
Tua Bangka itu.
"Dan setahuku, Dewi Kapas
Ayu adalah perempuan cantik yang gemar mengenakan jubah putih. Matanya memang
cacat karena bekas terkena pedang lawan yang tak bisa hilang walau dengan
ramuan apa pun."
Suto Sinting menarik napas,
mulai merasakan kegelapan dalam hatinya. Ia bahkan bertanya karena ingin tahu
secara tuntas.
"Lalu, mengapa ia
menggunakan Rencong Iblis itu untuk mencari tumbal? Apakah ia ada di pihak
Gandapura?!"
"Dewi Kapas Ayu itu sudah
telanjur mengikuti aliran sesat, yang jalan pikirannya sedang sangat bertolak
belakang dengan kita. Barangkali saja dia mendapatkan imbalan yang setimpal
dengan menyerahkan Rencong Iblis yang sudah dicarikan tumbalnya itu. Sebab
setahuku, Dewi Kapas Ayu adalah wanita yang gila lelaki dan, aaah... tak pantas
diceritakan kerusakan susilanya itu. Mungkin dia mendapatkan beberapa lelaki
pengikut Gandapura yang mampu memberikan kepuasan kepadanya, sehingga ia
bersikap mengabdi kepada Gandapura dan rela menyerahkan Rencong Iblis itu.
Sedangkan Rencong Iblis sebenarnya milik Pendeta Jantung Dewa yang mestinya
dimusnahkan, tapi oleh Dewi Kapas Ayu justru disembunyikan di suatu
tempat."
"Bagaimana kau bisa tahu
semua itu, Ki Sanupati?" tanya Suto bersikap menyelidik.
"Pendeta Jantung Dewa dan
Pendeta Mata Lima adalah sahabat karibku, satu perguruan beda tingkatan. Jangan
tanya tinggi mana tingkatan mereka dengan tingkatanku, aku tak mau
menjawabnya!" sergah Tua Bangka yang agaknya merahasiakan soal
tingkatannya itu.
"Jadi, secara tidak
langsung sebenarnya Dewi Kapas Ayu adalah lawanku juga, karena rencongnya itu
yang akan menandingi Kapak Setan Kubur-ku!" kata Tua Bangka lagi.
"Kalau begitu, kita cari Dewi
Kapas Ayu itu sebelum para tabib binasa oleh keganasan racun pada
rencongnya!" kata Suto Sinting penuh semangat. Ia bahkan memeluk Salju
Kelana dari samping sebagai ungkapan rasa lega, bahwa pemilik rencong ternyata
bukan gadis yang mirip Dyah Sariningrum itu.
"Tunggu sebentar,"
kata Tua Bangka dengan dahi berkerut seperti teringat sesuatu. "Ketika aku
dikejar- kejar oleh orang kadipaten, aku sempat melihat ia bergerak ke arah
timur. Tapi tak kupedulikan, dan aku tidak tahu kalau dia sedang mencari tujuh
belas tabib."
"Kalau begitu kita cegat
di pondoknya Tabib Awan Putih," ujar Salju Kelana. "Bukankah pantai
tempat kediaman Tabib Awan Putih ada di sebelah timur?!"
Suto Sinting setuju dengan
usul Salju Kelana. Mereka bertiga bergegas ke timur, menuju kediaman Tabib Awan
Putih yang menjadi sahabat Suto, sahabat gurunya Suto juga, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Mustika Serat Iblis").
Namun belum sampai mereka tiba
di kediaman Tabib Awan Putih, saat mereka menginjakkan kaki di pantai, tiba-tiba
sekelebat bayangan putih melintas dan menerjang Pendekar Mabuk dari arah
samping kanan.
Wuuut...! Bruus...!
Pendekar Mabuk terjungkal ke
samping dan berguling-guling. Telinganya berdarah karena sebuah tendangan keras
yang datang secara tiba-tiba. Tak jauh dari tempatnya jatuh berdiri sesosok
tubuh pemilik wajah cantik berjubah putih perak dengan pinjung hijau muda.
Perempuan itu berambut panjang disanggul sebagian sisanya meriap. Ia
menggenggam sebilah senjata kecil yang bernama rencong. Gagangnya hitam,
sarungnya dari gading. Tak salah lagi dugaan mereka, senjata itulah yang
dinamakan Rencong Iblis. Dan perempuan berjubah putih perak dengan mata codet
bekas sabetan pedang itu tak lain adalah Dewi Kapas Ayu.
"Kipas Ayu...?!"
geram Tua Bangka memandang gadis bermata kecil sebelah karena codetnya itu.
"Kita jumpa lagi Tua
Bangka," ujar perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun itu. Suaranya
agak serak pertanda sering berteriak-teriak.
"Mengapa kau menyerang
kami, Kapas Ayu?"
"Yang kubutuhkan adalah
Pendekar Mabuk ini. Tabib Darah Tuak sangat berharga bagi rencanaku!"
"Rencana busuk!"
sentak Salju Kelana. Ia menjadi marah ketika mendengar Suto Sinting diserang,
bahkan kini ia maju di depan Tua Bangka dengan tongkat kecilnya, perlahan-lahan
mendekati Suto yang sudah mulai berdiri lagi.
"Siapa perempuan dungu
itu, Tua Bangka?!"
"Aku yang bernama Salju
Kelana! Kau harus berhadapan denganku lebih dulu sebelum berhadapan dengan
Tabib Darah Tuak!" tantang Salju Kelana dengan berani. "Kami hanya
bisa memaafkan seranganmu jika Rencong Iblis itu kau serahkan kepada
kami!"
"Oh, kau menghendaki
Rencong Iblis ini? Silakan. Ambillah...!" Dewi Kapas Ayu mengulurkan
tangannya yang menggenggam sarung rencong, seakan menyodorkan rencong itu agar
segera diambil oleh Salju Kelana.
Salju Kelana merasa mampu
menyambar rencong itu. Walau tak tersambar sarungnya tapi rencongnya berhasil
diserobotnya. Namun ketika ia mau bergerak, tiba-tiba sebuah seruan terdengar
dari arah balik gugusan batu karang.
"Jangan sentuh rencong
itu!"
Semua mata menatap ke arah
orang berpakaian serba putih, kurus, bungkuk, rambutnya tipis agak gundul,
matanya kecil, jenggot serta kumis putihnya panjang. Orang itu memandang Dewi
Kapas Ayu dengan pandangan mata tajam berkesan dingin sekali.
"Tabib Awan
Putih...?!" ucap Suto Sinting yang amat kenal dengan orang berusia sekitar
delapan puluh tahun itu. Tua Bangka yang juga merasa kenal segera berkata,
"Kebetulan sekali kau
datang di tempat ini, Awan Putih. Kami baru saja mau ke tempat kediamanmu!"
"Aku sudah mendengar
kabar tentang pembunuhan para tabib. Aku merasa diriku juga terancam oleh
Rencong Iblis. Kusarankan, jangan ada yang memegang rencong itu, karena racun
ganas itu terletak pada gagang rencong tersebut. Tabib Getar Hati dan yang lainnya
ternyata mati karena memeriksa rencong itu dengan memegang bagian gagangnya.
Sahabatku, Tabib Kawah Hijau baru saja meninggal, dan sebelumnya menceritakan
kedatangan si perempuan iblis itu yang berlagak ingin menanyakan kesaktian
rencong itu.
Sedikit saja kulit tubuh kita
menyentuh gagang rencong, maka racunnya akan menyebar membusukkan darah
kita!"
"Tutup mulutmu,
Jahanam!" betak Dewi Kapas Ayu. Matanya mendelik garang kepada Tabib Awan
Putih.
Tapi sang kakek berpakaian
serba putih itu tidak pedulikan seruan tersebut. Ia berkata kepada yang lain,
"Banyak orang menduga
pelakunya adalah Salju Kelana. Tapi aku yakin, Salju Kelana tidak akan lakukan
tindakan senista itu!"
"Terima kasih atas
kepercayaanmu, Tabib Awan Putih," ujar Salju Kelana yang juga pernah
berobat kepada Tabib Awan Putih.
"Baik, sekarang semua
sudah tahu siapa aku!" seru Dewi Kipas Ayu. "Sekarang giliranku
bertindak terang- terangan merenggut nyawa kedua tabib yang ada di sini!
Hiaaaat...!"
Wuuus... !
Gerakannya seperti kapas terbang.
Begitu cepat ia menyerang Tabib Awan Putih, sehingga sang tabib terkejut lalu
sentakkan kakinya ke tanah, tubuh pun melenting ke atas dan ia hinggap di atas
sebuah pohon tepi pantai. Ia berdiri di pucuk daun tanpa membuat daun itu
bergerak sedikit pun.
"Kupaksa turun kau,
Keparat!" teriak Dewi Kapas Ayu, kemudian ia lepaskan sinar biru menyebar
lebar ke arah Tabib Awan Putih.
Sraaaab...!
Tabib Awan Putih mengadu
ilmunya dengan mengeluarkan sinar putih perak dari ujung jarinya. Sinar itu
kecil, dan tidak sebanding dengan sinar biru tersebut. Namun ketika bertabrakan
menimbulkan ledakan yang menggelegar dahsyat dan membuat alam berguncang.
Jgaaar... !
Mereka tersentak oleh
gelombang ledakan dan saling berjatuhan kecuali Pendekar Mabuk. Tabib Awan
Putih sendiri jatuh dari ketinggian tersebut, namun mampu kuasai diri hingga
kakinya menapak di tanah dengan tegak. Jleeg...!
Dewi Kapas Ayu jatuh
terguling-guling sampai di depan kaki Pendekar Mabuk. Sadar keadaannya dekat
dengan Tabib Darah Tuak, ia segera sentakkan rencong itu agar gagangnya
mengenai kaki Pendekar
Mabuk.
Wuuut... !
Pendekar Mabuk angkat satu
kaki, dan lompat ke atas bersalto tinggi, dan dari sana ia lepaskan pukulan
mautnya yang amat mematikan: jurus 'Tangan Guntur'.
Claaap...!
Sentakan tangan keluarkan
sinar biru besar dari telapak tangan. Sinar itu tak sempat dihindari Dewi Kapas
Ayu dan menghantam telak bagian bawah pusar lawannya. Jraaab...! Bluum...!
"Aaahg...!"
Asap mengepul seketika, tubuh
Dewi Kapas Ayu menjadi arang keropos setelah dua helaan napas. Perempuan itu
tak bergeming lagi karena sudah tanpa nyawa. Pendekar Mabuk dan yang lainnya
hanya memandangi dengan hati lega, karena rencong tersebut ternyata ikut
menjadi hangus dan keropos Juga. Dengan begitu, Gandapura tidak akan memiliki
pusaka yang mampu menangkis serangan Kapak Setan Kubur jika pada saat
pertarungan nanti tiba.
"Akan kukumpulkan para
tabib dan kukabarkan peristiwa ini, agar mereka tidak salah duga terhadap Salju
Kelana!" kata Tabib Awan Putih sebelum mereka berpisah.
"Terima kasih atas
bantuanmu, Tabib Awan Putih," ujar Salju Kelana penuh hormat.
"Tapi, benarkah
kebutaanmu belum sembuh, Salju Kelana? Sebab kulihat lapisan bening yang
menjadi penghalang pandanganmu itu sepertinya sudah tidak ada lagi."
Pendekar Mabuk terperanjat.
Wajahnya sempat merah menahan malu. Salju Kelana tersenyum menunduk dan
berkata,
"Sejak aku minum tuak
sakti si Tabib Darah Tuak ini, sebenarnya aku memang sudah bisa melihat dengan
jelas seperti sediakala, Tabib Awan Putih."
"O, kalau begitu benarlah
dugaanku."
Tapi Suto Sinting semakin
kaget dan berkata, "Jadi... jadi kau sudah bisa melihat?"
"Ya, sudah bisa. Hanya
saja, aku masih ingin melatih kepekaan indera keenamku dengan menganggap
segalanya tidak kulihat dengan mata melainkan dengan hati dan rasa."
Suto Sinting segera menarik
lengan gadis itu menjauhi kedua orang tua tersebut dan berbisik tegang,
"Jadi, waktu kau kucium
dalam keadaan tidur, kau melihatnya?"
"Bukan hanya melihat,
namun juga menikmatinya."
"Waktu aku mandi...?
Waktu aku mandi kau juga melihatnya?"
"Sangat jelas,
Suto."
"Mati aku!" Suto
Sinting menepak keningnya sendiri, lalu buang muka tak berani memandang Salju
Kelana.
Gadis itu cekikikan dan Suto
semakin kelabakan.
SELESAI