1
KABUT masih selimuti puncak
Gunung Dara. Udara di puncak itu dingin. Embun jatuh berupa butiran-butiran
batu bening. Embun itu menjadi kristal-kristal es karena dinginnya udara di
puncak tersebut.
Seorang lelaki tua meludah ke bebatuan
yang menghiasi lereng Gunung Dara. Cuih, klotak...!
Ludahnya menjadi batu karena
membeku. Gila! Jika ludah saja menjadi batu karena membeku, lalu bagaimana jika
lelaki tua itu buang air kecil. Jelas tidak akan mengucur seperti biasanya.
Atau jika mengucur, bunyinya tidak: cuuur..., tapi akan berbunyi: klotak,
klotak, klotak, klotak...! Karena air seni itu langsung menjadi batu es yang
sama sekali tak sedap untuk dicicipi.
Lelaki tua berjubah abu-abu
itu duduk di atas batu besar. Bukan berarti dia habis buang air besar, tapi
memang batu besar itu sudah ada di tempatnya sebelum ia sampai di lereng Gunung
Dara.
Tanpa mempedulikan tubuhnya
dikeroyok udara dingin yang menghamburkan busa-busa salju, lelaki tua berambut
panjang tak rapi warna abu-abu itu memantapkan duduknya dalam keadaan bersila.
Tongkat yang tadi dibawa-bawa,
kini ditancapkan di samping batu itu. Lelaki berkalung tasbih hitam itu mulai
tegakkan badan dan menarik napas. Suuuut...!
Tanaman di depannya ikut
tertarik karena sedotan napasnya tadi. Wuuurrss...! Pluk...! Ada seekor ulat
bulu masuk ke hidung lelaki tua tadi. Ulat bulu itu ikut tersedot oleh napas si
tua bertubuh kurus itu. Tanpa permisi lagi, napas pun disentakkan melalui
hidung. Fuiih...!
Wees, plok...! Ulat bulu tadi
terlempar seketika dan menabrak pohon, akhirnya mati tanpa ada yang mau
menguburnya. Si tua bergigi ompong depan itu segera tarik napas lagi, tapi kali
ini pelan-pelan, karena takut batu koral itu tersedot dan menyumbat lubang
hidungnya sendiri.
"Aku tidak ingin lubang
hidungku penuh batu koral. Mending kalau bisa dijual seperti batu intan,
digadaikan saja tak akan laku," pikir lelaki itu. Pikiran segera
ditetapkan untuk menyatu. Tidak cabang ke mana-mana seperti pohon. Matanya yang
kecil itu mulai mengatup pelan-pelan. Kedua telapak tangannya disatukan di
depan dada. Lelaki tua berkumis dan berjenggot abu-abu itu mulai lakukan
semadi.
Busa-busa salju yang mirip
kapas tipis itu beterbangan karena hembusan angin dari barat. Sebagian
busa-busa salju itu tersangkut di tubuh kakek bertelinga tinggi. Daun telinga
itu tampak tinggi karena bagian atas masing-masing daun telinga tumbuh kuku
yang mirip taji seekor ayam jago. Tidak panjang, tapi membuat model telinganya
lain dari yang lain. Karena itulah, sejak kecil kakek berusia sekitar delapan
puluh tahun itu bernama si Jalu Kuping.
Karena makin lama semakin
banyak busa salju yang menyelimuti tubuhnya, Ki Jalu Kuping pun akhirnya
menggigil. Kedua tangannya tak kuat hanya saling bertemu di depan saja.
"Kok lama-lama dingin
sekali, ya?" ujarnya dalam hati. "Kalau begini caranya, lama-lama aku
bisa masuk angin. Sudah tubuh kurus, umur tua, masih kena angin sedingin ini,
waaah... bisa-bisa hidungku ingusan terus. Malu, ah. Tua-tua kok ingusan, nanti
dikira bocah kemarin sore. Uuuuhg...! Dingin banget lho!"
Ki Jalu Kuping segera turun
dari atas batu, mengambil tongkatnya dan berlari mencari gua. Begitu dapatkan
sebuah gua, ia segera masuk dan tubuhnya dikibaskan dalam satu sentakan seperti
anjing kehujanan. Buuurrss...! Busa-busa
salju yang menempel di tubuhnya rontok seketika. Rambutnya yang menjadi tebal
karena busa salju segera ditebah-tebah sambil gelengkan kepala, hingga
busa-busa itu pun rontok berjatuhan.
"Nah, bertapa di sini
saja. Hangat! Hmm... gua ini sepertinya sering dipakai orang untuk bermalam
atau berteduh. Banyak daun bekas makanan dan beberapa potongan kayu unggun.
Tapi... ada singanya apa tidak, ya?"
Setelah Ki Jalu Kuping
memeriksa gua itu dan ternyata aman-aman saja, maka ia segera memilih tempat untuk duduk bersila.
Diperolehnya sebidang batu datar yang tingginya sebatas lutut. Di atas batu
datar yang panjang itulah, Ki Jalu Kuping duduk bersila dan lanjutkan
semadinya.
Seekor lebah terbang melayang
mengitari kepala Ki Jalu Kuping. Mau tak mau Ki Jalu Kuping mengibaskan kepala
agar lebah itu tidak menyengat bagian wajahnya. Lebah pun menjauh, tapi segera
mendekat lagi. Ki Jalu Kuping gelengkan kepala, lebah segera menjauh kembali.
Sebentar kemudian mendekat lagi, Ki Jalu Kuping gelengkan kepala mengusir sang
lebah.
Karena seringnya sang lebah
mendekat dan terbang mengelilingi kepala Ki Jalu Kuping, akibatnya kepala KI
Jalu Kuping bergerak menggeleng ke kanan-kiri berkali- kali. Bahkan ketika
lebah itu sudah terbang keluar gua, kepala Ki Jalu Kuping masih godek-godek
terus mirip orang triping. Gerakan godek-godek itu membuat seraut wajah yang
mengintainya terpaksa berkerut dahi. Si pengintai yang ada di pinggiran pintu
gua itu hanya bisa membatin dalam hatinya.
"Pak tua itu bertapa atau
membaca doa? Dari tadi kok godek terus? Tapi anehnya gerakan kepala yang godek
terus itu bisa membuat tempat di sekelilingnya menjadi bersih. Sampah dan
korotan menyingkir bagai disapu olehnya. Oh, rupanya gerakan kepala yang
godek-godek itu hadirkan angin kecil yang mampu menyapu tempat sekelilingnya?!
Wah, sakti juga si tua godek itu."
"Siapa di luar?!"
tiba-tiba Ki Jalu Kuping berseru dengan mata tetap terpejam dan kepala tetap
godek- godek.
Orang yang ada di luar gua itu
kaget, karena tak menyangka kalau kehadirannya diketahui oleh Ki Jalu Kuping.
Orang itu menjadi bingung antara mau menjawab atau diam saja.
"Siapa di luar?!"
seru Ki Jalu Kuping lagi, masih tetap memejam dan godek-godek. Mau tak mau si
pengintai di luar gua itu menyahut.
"Aku, Kek!"
"Aku siapa?!"
"Orang yang
kedinginan!" jawab si pengintai.
"Kalau kedinginan
masuklah! Jangan di luar! Silakan duduk. Pintunya tidak dikunci kok."
Si pengintai tertawa dengan
mulut dibekap tangan sendiri.
"Gua begini mana bisa
pakai pintu segala, Pak Tua?!" "Bisa saja. Kalau tak percaya cobalah
kau masuk, sekarang pintu gua sudah kukunci!"
Si pengintai penasaran. Lalu
ia melangkah masuk ke dalam gua.
Buuukh...! Brruuukkk...!
Tubuh si pengintai itu
terpental bagai ada kekuatan yang mendorongnya, ia mencobanya lagi melangkah
masuk ke dalam gua. Namun begitu melintasi batas pintu gua, tubuhnya terlempar ke belakang
lagi.
Buuuuk, bruuukkk...!
Gleduk...! Kepalanya malah
kepentok batu. Mau tak mau si pengintai pun cengar-cengir kesakitan sambil
mengusap-usap kepalanya yang agak benjol.
"Sial! Tak ada daun pintu
dan tak ada apa-apanya tapi kenapa gua itu tidak bisa dimasuki?! Coba aku masuk
dengan gunakan lompatan cepatku!"
Wees...! Brruk, beekh...!
"Uuuuhh...!" si
pengintai mengerang kesakitan, karena ia seperti menabrak daun pintu dari kayu
jati tebal. Tubuhnya terbanting dalam keadaan terkapar. Dadanya terasa sakit,
tulang pipinya sempat memar seperti habis membentur pilar. Pinggangnya seperti
mau patah karena terbanting dengan keras.
"Kurang ajar! Dia
benar-benar melapisi pintu gua dengan tenaga dalamnya yang berbentuk udara
padat, jadi tetap seperti terbuka dan keadaannya bisa dilihat dari luar
gua!" si pengintai menggerutu dalam hati.
"Bagaimana. Orang
kedinginan? Bisakah kau masuk ke dalam gua jika pintunya kututup?!" seru
Ki Jalu Kuping masih dengan kepala godek-godek. "Baiklah, kuakui kau
berilmu tinggi, Kek!"
"Sebenarnya tidak terlalu
tinggi, cuma sedang-sedang saja. Tapi kalau disuruh memindahkan gunung... mudah
saja, Nak!"
Si pengintai menggumam dalam hati
sambil melangkah memasuki gua yang sudah tidak dilapisi udara padat itu.
"Sombong juga kakek
ini."
Si pengintai segera meminum
tuak yang ada dalam bambu panjang ukuran setengah depa lebih. Melihat bambu
tempat tuak yang selalu dibawa-bawa si pengintai, juga menimbang bahwa si
pengintai memakai baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih lusuh, ditambah
lagi mengingat si pengintai berwajah ganteng, rambutnya panjang lurus tanpa
ikat kepala, maka siapa pun akan sepakat mengatakan bahwa si pengintai tersebut
tak lain adalah Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, murid si Gila Tuak.
Ki Jalu Kuping melihat dengan
mata batin, tapi kedua matanya tetap terpejam agak menunduk sedikit dan
kepalanya masih godek-godek,
"Oh, kau punya tuak
rupanya. Wah, enak juga kalau dingin-dingin begini minum tuak, ya?"
"Apakah kau mau,
Kek?"
"Yah, kalau memang
diberi, ya mau. Kalau tidak, ya cukup telan ludah saja."
Pendekar Mabuk tertawa tanpa
suara. "Kau ini sedang semadi atau menunggu ransum datang?!"
"Apa orang kalau semadi tidak boleh makan dan minum?"
"Tentunya tidak boleh,
Kek!"
"Itu kan dulu,"
ujarnya masih ngotot, tapi tetap terpejam dan godek-godek. "Semadi tidak
makan dan tidak minum, itu kuno! Dulu aku kalau semadi juga begitu, tidak makan
apa-apa. Eeeh... lama-lama kok ya lapar juga. Lapar dan haus. Maka kutetapkan
kalau aku semadi harus pakai makan-minum segala. Bukankah tujuan orang semadi
itu mencari kekuatan atau kesaktian. Lha
kalau tidak makan tidak minum sampai berhari-hari itu namanya mencari penyakit,
bukan mencari kekuatan!"
Sambil tersenyum geli, Suto
berkata lagi, "Dan juga biasanya orang semadi itu tidak boleh ngobrol.
Harus diam dan penuh keheningan dalam batinnya."
"Semadi kek tidak boleh
ngobrol, ya keju mulutku, Nak! Dulu memang orang semadi itu harus diam, supaya
pikiran, batin dan rasa memusat dalam satu tujuan. Tapi sekarang cara seperti
itu sudah ketinggalan. Kuno! Dalam semadi itu kan yang penting tujuannya?
Ngobrol boleh saja jalan terus, tapi tujuan yang disemadikan itu tidak boleh
belok ke mana-mana!"
"Kau ini memang orang
aneh, Kek," kata Suto yang rasa sakitnya telah hilang akibat telah meminum
tuak saktinya itu. Sebab tuak tersebut adalah tuak sakti yang dapat sembuhkan
luka dan penyakit dalam waktu relatif singkat.
"Kau ini kok cerewet toh,
Nak! Siapa namamu dan apa perlumu datang ke Gunung Dara ini?!" tanya Ki
Jalu Kuping.
"Namaku Suto Sinting,
Kek. Aku datang ke "
"Siapa, siapa...? Suto
Sinting?! Lho, kok seperti namanya Pendekar Mabuk yang kondang itu, Nak?
Pendekar Mabuk yang kondang itu juga kata orang- orang, dia bernama Suto
Sinting. Kalau begitu namamu itu tanpa sengaja mirip sekali dengan nama asli si
Pendekar Mabuk itu. Wah, beruntung sekali kau punya nama seperti itu,
Nak."
Ki Jalu Kuping masih
godek-godek sambil pejamkan mata. Suto Sinting sedikit dongkol dengan kata-kata
yang dianggap meremehkan dirinya. Tapi ia hanya bisa tarik napas dan berusaha
membuang kedongkolannya itu.
"Ilmumu cukup tinggi
juga, ya Nak," ujar Ki Jalu Kuping tanpa membuka matanya. "Jatuh
terpental masih utuh. Hebat juga kau. Biasanya orang yang habis menabrak jurus
'Pintu Gledek'-ku pasti hangus. Sedangkan kau tetap utuh tanpa hangus sedikit
pun. Kalau tidak punya ilmu tinggi, tidak bisa utuh itu, Nak."
"Yaaah... sebenarnya
tidak terlalu tinggi. Tapi kalau disuruh menunggingkan gunung... mudah saja,
Kek," kata Suto membalas kesombongan si kakek tadi.
"Oalaaa.... Mana ada
gunung kok ditunggingkan.
Gunungnya siapa itu?"
"Gunung yang kau
pindahkan tadi, Kek!"
"Ooo... ceritanya kau
membalas kesombonganku yang tadi itu, ya? Heh, heh, heh, heh. ! Boleh juga
kalau mau adu ilmu denganku, Nak!"
Wuuut...! Ki Jalu Kuping
tiba-tiba menerjang Suto dalam keadaan masih duduk bersila dan memejamkan mata.
Tubuhnya melayang cepat menerjang Suto
Sinting. Bruuus...!
Untung yang diterjang sudah
biasa jatuh, sehingga ketika tubuhnya terpental dan membentur dinding gua,
Pendekar Mabuk bisa cepat gulingkan badan dan tak mengalami patah tulang.
"Patah tulang memang
tidak, tapi gigi gerahamku jadi goyang begini?! Uuh, sakit juga tulang rahangku
terkena tebasan tangannya tadi. Sialan! Jangan-jangan pak tua itu gila. Hanya ngomong begitu saja
langsung main terjang?!" gerutu Suto dalam hatinya.
Ki Jalu Kuping masih
mengambang di udara dalam keadaan bersila. Matanya masih terpejam dan kepalanya
masih godek-godek pelan. Tangannya mengembang dengan jari-jari menguncup, membentuk
jurus seperti patung teko teh panas.
"Kenapa tak bisa menahan
seranganku kau, Nak? Balaslah. Jika bisa membuatku jatuh ke tanah, kuserahkan
segala harta kekayaanku padamu."
"Memangnya kau punya
kekayaan apa, Kek?!" "Tuuuuh...," sambil mulutnya monyong
sebentar ke
arah tongkatnya, lalu kepala
godek-godek lagi. "Aku punya tongkat kayu sengon."
"Uuh, tongkat seperti itu
kok dipakai taruhan?!
Kekayaan apa itu?!" Suto
mencibir.
"Lhooo... biar
jelek-jelek begitu bisa buat gebuk maling itu, Nak! Buat gebuk punggungmu pun
bisa." Baru saja selesai berkata begitu, tangan Ki Jalu
Kuping menyentak ke samping.
Tongkat itu bagai tersedot saat tangan tersebut ditarik mundur. Suuuut...!
Taaab...! Tongkat tergenggam di tangan, tubuh yang melayang bersila itu segera
melesat menerjang Suto Sinting. Wuuuut...!
Buuuhk...!
"Huaahhw...!" teriak
Suto karena punggungnya terkena gebukan tongkat itu.
"Tua-tua edan!" maki
Suto dengan jengkel, sementara sang kakek tertawa terkekeh-kekeh dalam keadaan
telah berdiri di atas batu dan membuka matanya dan hentikan godek-godeknya.
Pendekar Mabuk bangkit dengan
menggeliat karena tulang punggungnya terasa remuk dan sukar dipakai untuk
berdiri cepat.
"Sekarang kau percaya
kalau tongkat ini termasuk harta kekayaan yang berharga, Nak?"
"Masa bodoh!" sentak
Suto dengan sewot, tapi justru ditertawakan oleh sang kakek.
"Baru begitu saja sudah
tak bisa bangun. Huhh..., percuma punya badan tegap dan kekar begitu, Nak.
Mendingan aku, biar tua, kurus, ompong, tapi masih kelihatan gagah!"
"Hanya orang-orang bodoh
yang mengatakan kau gagah, Kek!"
"Jadi kau tidak
menganggapku gagah? Kalau begitu, terimalah jurus 'Tongkat Penggempur Bisul'
ini. Hiaaaah...!"
"Iya, iya, iya...!"
teriak Suto Sinting sambil menyilangkan tangan takut kena gebuk lagi. Gerakan
Ki Jalu Kuping terhenti. Tampak lega berseri.
"Kau takut, Nak? Heh,
heh, heh... padahal aku tadi hanya menggertakmu. Baru digertak saja sudah
takut, apalagi kalau benar-benar diserang. Wah, ternyata nyalimu tidak lebih
besar dari sebutir upil, Nak! Sebaiknya kau jadi perawan saja, jangan jadi
pemuda berbadan kekar begitu!" ejek Ki Jalu Kuping.
Hati pendekar tampan mulai
terasa disundut puntung rokok. Tapi ia selalu mencoba menahan panas hatinya
agar tidak berkobar dan tetap tenang di hadapan tokoh tua berilmu konyol itu.
"Aku ke sini bukan cari
musuh, Kek!" "O, ya? Jadi kau ke sini mau cari apa?!"
*
* *
2
DENGAN suara tegas Pendekar
Mabuk menjawab pertanyaan Ki Jalu Kuping.
"Aku mencari pemuda
bernama Badra Sanjaya!" "Hahh...?!" Ki Jalu Kuping terperanjat
dan lebarkan
matanya yang tanpa bulu itu.
"Kenapa kau terkejut, Kek?" Dengan geraham menggegat, pandangan mata
menjadi dingin, Ki Jalu Kuping perdengarkan suaranya sambil memandang ke arah
luar gua.
"Badra Sanjaya itu
muridku!"
"Muridmu?! Ooh...?
Kebetulan sekali kalau begitu. Tak kusangka aku akan bertemu dengan gurunya
Badra Sanjaya," sambil Suto Sinting sunggingkan senyum dan berwajah ceria,
ia berkata lagi dengan badan ditegakkan. "Kalau begitu kau tahu di mana
Badra Sanjaya
berada, Kek!"
Ki Jalu Kuping berpaling
menatap Suto. "Mau apa kau?!"
"Menangkapnya!"
"Mengapa kau mau
menangkap muridku?!"
"Karena aku disewa untuk
menangkap Badra Sanjaya!"
"Siapa yang
menyewamu?!"
"Ratu Dekap Rindu,
penguasa Bukit Kemesraan!" jawab Pendekar Mabuk dengan tegas dan jelas.
"Keparat si Dekap
Rindu!" geram Ki Jalu Kuping, ia berjalan dekati pintu masuk gua, dan
menatap hamburan busa salju yang masih beterbangan dihembus angin barat itu.
Setelah diam sesaat di sana, Ki Jalu Kuping menatap Suto lagi dan berseru dari
tempatnya berdiri.
"Atas tuduhan apa Badra
Sanjaya mau ditangkap Ratu Dekap
Rindu?!"
"Membawa lari pusaka
'Jarum Surga' yang menjadi kekuatan utama seluruh ilmu sang Ratu!"
"Hmmm...!" Ki Jalu
Kuping mencibir, wajah tegangnya mengendur. Mulutnya seperti mengunyah permen
karet, padahal tak ada yang dikunyah. Suto
yakin tak ada yang dimakan oleh kakek jubah abu-abu itu, sehingga Suto
heran melihat mulut itu bergerak- gerak mengunyah sesuatu.
"Apa yang kau kunyah itu,
Kek?"
"Aku mengunyah napasku
sendiri!" jawabnya dengan nada tidak setegang tadi. Ia kelihatan santai
kembali, seakan tak pernah mengalami ketegangan sedikit pun.
"Nak, pulanglah ke Bukit
Kemesraan dan katakan kepada Ratu Dekap Rindu, bahwa Badra Sanjaya bukan orang
buronan dan tidak pantas ditangkapi. Muridku tidak mencuri atau membawa lari
pusaka itu. Bahkan dia tidak tahu apa-apa tentang pusaka; 'Jarum Surga'
itu."
"Tidak bisa, Kek. Aku
malu kalau kembali tanpa membawa Badra Sanjaya!"
"Turutilah saranku ini, Nak."
"Tidak bisa, Kek. Saranmu
hanya bikin malu diriku! Aku ini disewa oleh Ratu Dekap Rindu. Disewa untuk
menangkap Badra Sanjaya. Kok pulang tanpa membawa Badra Sanjaya? Malu
kan?"
"Ooo, ya...," Ki
Jalu Kuping manggut-manggut. "Kalau begitu, sekarang nyawamu akan kusewa
juga!"
"Lho...?!" Suto
kaget.
"Berapa kau pasang tarif
untuk nyawa sewaanmu itu?!"
"Mana bisa nyawa
disewakan?! Aku tidak menyewakan nyawaku!" tegasnya.
"Jika kau disewa oleh
Ratu Dekap Rindu untuk menangkap muridku, berarti yang disewa adalah nyawamu!
Karena menangkap Badra Sanjaya sama saja berhadapan denganku. Berhadapan
denganku sama saja bertarung denganku. Bertarung denganku sama saja menjual
nyawamu. Menjual nyawa sama saja mencari kematian. Kematian sama saja akhir
dari segala kegiatan. Kegiatan sama saja menyewakan nyawa. Lho, kok ke
situ-situ lagi, ya?"
Ki Jalu Kuping bingung sendiri
dengan ucapannya yang bertele-tele dan berbelit-belit itu. Pendekar Mabuk
menanggapinya dengan tenang, santai, sesekali minum tuak, sesekali hanya
mengusap-usap bumbung tuaknya.
"Singkatnya saja "
"Nah, sebaiknya singkat
saja kalau bicara!" sahut Suto.
"Aku tak rela kalau
muridku kau anggap pencuri!" "Pencuri atau bukan yang jelas harus
ditangkap dulu
dan diadili oleh Sang
Ratu!"
"Tidak bisa!" jawab
Ki Jalu Kuping sambil mencibir bangga.
"Harus bisa!"
"Kalau kau mau tangkap
Badra Sanjaya, terima dulu jurus 'Penyambut Tamu' ini! Heaaah. l"
Ki Jalu Kuping tiba-tiba
sodokkan tongkatnya ke depan. Wuuut...! Dari kepala tongkat keluar sinar lurus
warna kuning kecil sebesar lidi. Claaap. !
Suto Sinting segera berlutut
dan menghadang sinar kuning itu dengan bumbung tuaknya. Desss !
Sinar itu membalik arah dalam
keadaan lebih besar dan lebih cepat. Ki Jalu Kuping kaget melihat sinarnya
berbalik menyerangnya, ia segera lompat ke atas batu di sampingnya. Wesss...!
Blaaarrr...!
Sinar kuning itu menghantam
batu yang bersandar pada dinding dekat pintu. Batu itu langsung meledak, pecah
menjadi bongkahan-bongkahan sebesar genggaman. Bruuull...! Brrrrruk...!
Pecahan batu itu menumpuk,
menutup pintu gua. "Konyol! Lihat, gara-gara kau menangkis jurusku
jadinya pintu gua itu
tertutup. Kita mau lewat mana kalau begini, hah?!" bentak Ki Jalu Kuping.
"Mestinya sinar kuningku tadi jangan kau tangkis, Tolol!"
"Kau yang tolol!"
bantah Suto. "Mestinya sinar kuningmu diarahkan ke luar gua, jangan
diarahkan kepadaku!"
"Iya, ya...?!" Ki
Jalu Kuping menggumam sendiri. "Sekarang bagaimana caranya keluar dari gua
kalau jalanannya tertutup batu begitu?!"
"Begini caranya...!"
Pendekar Mabuk segera lakukan lompatan secara tiba-tiba. Weess...! Ia menerjang
Ki Jalu Kuping dengan tendangan bertenaga dalam cukup tinggi. Ki Jalu Kuping
tak menyangka akan diterjang Suto. Maka kakek tua itu pun segera terpental
begitu lengannya ditabrak kaki Suto.
Bukh, wees...! Brrooolll...!
Ki Jalu Kuping terpental
sampai menjebol tumpukan batu, sehingga pintu gua pun jadi terbuka kembali, ia
jatuh terkapar di tanah berlapis busa salju. Pendekar Mabuk menyusulnya dengan
lompatan cepatnya yang dinamakan jurus 'Gerak Siluman' itu.
Zlaaap...!
Tahu-tahu ia sudah berdiri
dalam jarak tujuh langkah dari Ki Jalu Kuping. Orang tua itu sedang mengerang
sambil, pegangi pinggangnya yang belakang.
"Ooohh... tulang
pinggangku rasanya patah jadi empat potong! Tendanganmu setan juga, Nak! Tak
kusangka kau punya tenaga sebesar itu!"
"Belum seberapa, Kek. Itu
masih tenagaku jika menggeliat pada saat bangun tidur," Suto sengaja
memancing emosi Ki Jalu Kuping, ia ingin tundukkan tokoh tua itu agar mau memberi
tahu di mana muridnya berada.
"Kalau kau ingin tenaga
sehabis nimba air, seginilah besarnya "
Suto Sinting sentilkan jarinya
beberapa kali. Sentilan jari yang dinamakan jurus "Jari Guntur' itu
mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar, seperti tendangan kuda jantan yang
ditolak bercumbu oleh pasangannya.
Tes, tes, tes. !
Srrrroooot...! Buueeekh. !
"Heekh...! Ya, ampuuunn.
!"
Ki Jalu Kuping terdorong
mundur dengan keras dalam keadaan tetap duduk di tanah, ia merasa seperti
diseruduk seekor banteng yang sedang mengamuk. Tubuh yang terseret mundur itu
berhenti setelah punggung Ki Jalu Kuping membentur sebongkah batu besar, ia
terpekik dengan suara ngeden dan mata mendelik.
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum, memandang kalem ke arah Ki Jalu Kuping, ia semakin dongkol setelah
menyadari begitu berdiri ternyata celananya bagian belakang robek seperti habis
dicakar-cakar anjing galak.
"Bocah ngepet!"
serunya dari kejauhan. Weess...!
Ki Jalu Kuping berkelebat
seperti setan lewat.
Pandangan mata Suto Sinting
tak bisa menangkap gerakan itu, karena busa-busa salju bertaburan di depan
matanya. Tahu-tahu ia merasa diterjang seekor kuda nil terbang. Bruuusss...!
Yang ada hanya gelap dan
gelap. Pendekar Mabuk merasa bagai sedang dikerumuni puluhan kunang- kunang.
Pertengahan dadanya, di atas ulu hati, terasa sakit dan berdenyut-denyut.
"Jangan-jangan dadaku
bolong?" pikirnya saat pandangan matanya mulai terang sedikit-sedikit.
Begitu mata dapat memandang
dengan jelas, ternyata wajah Ki Jalu Kuping ada di atasnya. Rupanya ia telah
terkapar dengan bumbung tuak terlepas dari tangannya. Ki Jalu Kuping berdiri di
sampingnya dan dengan sedikit membungkuk mendekatkan wajah memandanginya. Bibir
keriputnya sunggingkan senyum, gusi depannya yang tanpa gigi itu bagaikan
lubang belut yang bergerak melebar karena nyengir.
"Tumbang, ya Nak?"
sapa Ki Jalu Kuping bernada ramah. Pendekar Mabuk dongkol sekali, ia segera
sentakkan kaki untuk lakukan loncatan berdiri. Tapi ternyata sekujur tubuhnya
bagai tak bertulang lagi. Tenaganya seakan terpental entah ke mana akibat
terjangan secepat tadi.
"Maaf, ya Nak... aku
sekadar kasih balasan kecil- kecilan saja," kata Ki Jalu Kuping.
"Terus terang saja, tapi jangan bilang tetanggamu, ya... bahwa kau telah
terkena jurus nakalku yang kunamakan jurus 'Petir Jinak'. Cepatnya seperti
petir tapi gunanya buat menjinakkan kekuatan lawan. Tak ada yang punya kecuali
aku. Badra Sanjaya juga belum punya, sebab kalau dia punya jurus 'Petir Jinak',
maka dia akan menerjangku seenaknya kapan saja dia mau. Heh, heh, heh,
heh...!"
Suto masih agak beruntung,
karena bibirnya masih bisa bergerak, lidahnya juga bisa bergerak, walau
semuanya serba lemah. Katup suara di tenggorokannya masih bisa bergetar, walau
terlalu pelan, sehingga Suto masih bicara keluarkan suara dengan lirih.
"Kau... keparat "
"Iya, memang kalau sedang
begini aku ini keparat bagimu. Tapi tadi waktu kau buang seenaknya dengan jurus
sentilanmu itu, kaulah yang keparat. Kurasa itu tak perlu kita permasalahkan,
toh kita sama-sama keparat!" kata Ki Jalu Kuping seenaknya saja kalau
bicara.
"Pulihkan... aku. "
"Apa ?!" Ki Jalu
Kuping dekatkan telinganya.
"Pulihkan... aku. ,"
ulang Suto pelan sekali.
"Bagaimana? Agak keras
sedikit bicaramu. Maklum, aku sudah tua, jadi sudah mulai budek. Coba, bilang
apa kau tadi?"
"Puliiiiihkan...
akuuu..., Budek."
"Wah, maaf. Aku tidak
dengar kau bicara apa, Nak. Yang kudengar kau mengatakan aku budek, itu saja.
Jadi sebaiknya kau harus kubawa ke pondokku, di Lereng Kunyuk, tak jauh dari
sini! Atau kau kugelindingkan dari sini.
Pasti akan sampai di gubukku sana!"
"Peer... peeer... seee...
taaaan. "
"Apa? Plesetan?! Jangan
main plesetan nanti kau jatuh, lehermu patah, naaah... repot! Disambung pakai
tongkatku ini terlalu panjang, kan?"
Ki Jalu Kuping menggeser tubuh
Suto, Kedua kaki Suto dijadikan satu dan diikat dengan akar kering yang kenyal.
Kedua tangan Pendekar Mabuk juga disatukan dengan tubuh dan diikat. Suto
seperti memeluk dirinya sendiri.
"Nah, kalau begini...
mudah digelindingkan. Tinggal kuikuti dari belakang kau sudah sampai di
pondokku sendiri."
"Maaatiii... aku. "
"O, tidak! Tidak akan
mati. Kujamin nyawamu masih ada, karena aku ke sini memang sebenarnya ingin
bertapa, mencari jalan keluar bagi kesulitan muridku; si Badra Sanjaya itu.
Tahu-tahu kau datang, jadi kau kuanggap jalan keluar untuk kesulitan muridku
itu. Makanya aku tidak akan membunuhmu. Nyawamu tetap ada, tapi akan kusewa
sampai urusan ini selesai."
Ki Jalu Kuping menghadapkan
tubuh Suto agar bisa mudah digelindingkan dengan sentakan kakinya.
"Nak, siap-siaplah
menggelinding dan jangan sungkan-sungkan kalau mau menjerit. Di gunung ini,
orang menjerit tidak dikenai biaya apa pun."
"Kejam...," ucap
Suto lirih.
"Kejam memang kejam, tapi
tak sekejam ibu tiri lho, Nak!" kata Ki Jalu Kuping dengan mulut meruncing
seperti orang mendongeng.
"Ibu tiri itu kalau marah
ngrebus anaknya. Aku kalau marah ngrebus singkong. Kalau tak ada singkong,
ngrebus handuk pun jadilah."
"Bumbung... bumbung
tuakku. "
"O, ya...! Untung kau
mengingatkan. Walau tak seberapa berharga bumbung tuak itu, tapi kalau memang
benda itu mainanmu sejak kecil dan menjadi kenangan selama hidupmu, memang
sebaiknya ikut kubawa ke pondok, biar rohmu nanti tenang dan betah tinggal di
pondokku."
Ki Jalu Kuping mengambil
bumbung tuak. Kesempatan perginya Ki Jalu Kuping dipergunakan Suto untuk
mencoba melawan kelemahannya. Tapi ternyata ia tetap tak mempunyai tenaga
apa-apa. Pertengahan dadanya masih terasa sakit berdenyut-denyut, ia tak tahu
pertengahan dadanya tadi terkena ujung bawah tongkat si Jalu Kuping dan saat
itulah seluruh kekuatan dan tenaganya dilumpuhkan oleh Ki Jalu Kuping.
Bumbung tuak ditenteng oleh KI
Jalu Kuping. Suto melihatnya dan berpikir, "Kalau aku bisa minum tuakku
itu, pasti tenagaku bisa pulih kembali." Maka ia pun memohon dengan
suaranya yang lirih, "Beri... aku... minum "
"Ah, nanti saja! Kau ini
sebentar-sebentar minum, sebentar-sebentar, minum... nanti pipis dijalan lho.
Bersiaplah menggelinding, ya Nak!"
Ki Jalu Kuping meletakkan satu
kakinya di tubuh Suto. Satu sentakan kaki dapat membuat Suto menggelinding di
tanah miring itu. Tapi tiba-tiba Ki Jalu Kuping menarik kakinya itu dan tak
jadi menggelindingkan tubuh Suto.
"Begini saja,
Nak...," katanya sambil sedikit membungkuk, memandang ke wajah Suto.
"Kalau kau kugelindingkan
dari sini, jatuhnya akan tepat di atas atap pondokku. Wah, pondokku bisa rusak.
Kacaulah tidurku nanti. Maka kau tak jadi kugelindingkan. Jangan kecewa, ya?
Betul, jangan kecewa, ya? Kau kuterbangkan saja, jadi aku sendiri tidak perlu
menanggung beban dengan memanggulmu!"
Zeeeng ! Tubuh murid Gila Tuak
yang terikat mirip
kayu bongkokan itu terangkat
sendiri begitu tangan Ki Jalu Kuping menghempas naik dengan gerakan pelan bagai
tak bertenaga. Tubuh itu mengambang di udara, kemudian Ki Jalu Kuping
melepaskan tiupan kecil.
"Fuiiih. !"
Maka tubuh Suto pun bergerak
terbang menuruni lereng gunung tersebut. Ki Jalu Kuping tertawa kegirangan, dan
mengikutinya dengan berkelebat zigzag, kadang mendahului Suto, kadang ada di
belakang Suto.
"Kalau ada benang, kuberi
benang kau dan kalau ada layangan lain kuadu kau dengan layangan orang lain!
Heh, heh, heh...!"
Sementara itu, Pendekar Mabuk
melayang cepat dengan arah sembarangan, sehingga sesekali kakinya menyambar
batang pohon, atau kepalanya menerabas semak dan dedaunan, ia terbentur ke
sana-sini dan Ki Jalu Kuping hanya menertawakannya.
*
* *
3
PONDOK itu terbuat dari
belahan kayu gelondong. Menjadi dinding rapat karena ditambak dengan cairan
seperti getah yang juga merupakan bahan perekat kayu paling ampuh. Pondok Ki
Jalu Kuping termasuk besar, mirip sebuah tempat perguruan, karena mempunyai
pelataran lebar, dan mempunyai pagar seperti benteng kayu yang tampak kokoh.
Dalam salah satu ruangan
lebar, yang mirip barak para prajurit, terdapat dua tempat tidur bersebelahan
dari batuan sejenis marmer lebar. Di atas ranjang marmer itu diletakkan kain
pelapis cukup tebal sehingga jika dipakai tidur akan nyaman. Di atas salah satu
tempat tidur itu terbujur sesosok tubuh muda berparas ganteng. Badannya tegap,
gagah, kekar, berkulit kuning langsat. Pemuda itu bukan Pendekar Mabuk. Pemuda
berikat kepala merah dengan hiasan benang emas itu adalah murid si Jalu Kuping,
yaitu Badra Sanjaya.
Badra Sanjaya putra seorang
patih di sebuah kerajaan. Ia mengembara mencari ilmu dan berguru kepada Ki Jalu
Kuping. Lama-lama ia betah tinggal bersama Ki Jalu Kuping, karena ia termasuk
murid kesayangan dan sering dimanjakan oleh Ki Jalu Kuping. Murid Ki Jalu
Kuping sebenarnya ada tiga. Tapi kali ini yang sedang jadi bahan sorotan adalah
si Badra Sanjaya.
Pemuda itu mengenakan baju dan
celana hijau terang. Ikat pinggangnya dari kain merah, ia sering membawa pedang
dari besi putih antikarat. Pedang itu sesekali ditenteng, sesekali diselipkan
di pinggang.
Wajah tampannya yang sedikit
di bawah ketampanan Suto itu mempunyai kumis tipis. Kumis itulah yang membuat
para wanita sering tergoda dengan senyuman dan penampilan Badra Sanjaya.
Badannya yang kekar memang lebih besar dari badan Suto, tapi kelihatannya
ototnya lebih kuat Suto.
Ketika Ki Jalu Kuping
meletakkan Suto di tempat tidur sebelahnya, ternyata ukuran tinggi tubuhnya
sama dengan tinggi tubuh Pendekar Mabuk. Karena itulah, Ki Jalu Kuping berkata
kepada Suto yang masih seperti pasien jompo itu.
"Ternyata dugaanku benar.
Kau cocok dengannya. Cocok sekali! Kemunculanmu di gua itu, membuatku punya
gagasan ini."
Walaupun dalam keadaan lemas
dan tak bertenaga, tapi otak Suto masih bisa digunakan untuk berpikir dan
mengingat sesuatu. Tapi pendekar tampan itu tidak tahu apa maksud kata-kata Ki
Jalu Kuping tadi. Sebenarnya ia ingin
banyak bertanya, tapi suaranya yang pelan dan tak bisa berkata dengan cepat
membuatnya malas banyak bertanya.
Mata Suto berkedip pelan-pelan
saat beradu pandang dengan Ki Jalu Kuping. Pak tua yang konyol tapi berilmu
hebat itu selalu cengar-cengir karena hatinya girang telah mendapatkan cara
untuk menolong muridnya.
"Badra Sanjaya adalah
orang yang terbaring di sebelahmu ini," ujar Ki Jalu Kuping sambil menunjuk
tempat tidur sebelahnya. Suto Sinting hanya bisa melirik, tak bisa menengok agar memandang
jelas. Maka, si Jalu Kuping membantu menengokkan wajah Suto dengan memiringkan
kepala pendekar muda itu.
Kreeek...!
"Ouuuh...!" Suto
mengeluh lirih, memejamkan mata kuat-kuat.
"Ooh, maaf, maaf...
terlalu keras puntiran kepalamu tadi, ya Nak? Maaf, maksudku agar kau bisa
melihat muridku yang satu ini dengan jelas. Sebab dia adalah orang yang akan
kau tangkap, tapi kau sendiri nantinya yang akan menjadi dia!"
Bingung juga Suto mencerna
kata-kata itu, akhirnya dibiarkan si tua berhidung panjang mirip betet itu
bicara semaunya. Apa yang bisa diingat, dicatat dalam ingatan, apa yang mudah
dimengerti, dicoba untuk dipahami. Sisanya dibiarkan berhamburan terbawa sang
bayu. Angin di Lereng Kunyuk itu tidak sekencang di daerah puncak tadi.
Udaranya memang dingin, tapi lidak sedingin di atas tadi. Pendekar Mabuk juga
mencatat tentang udara tersebut dalam benaknya.
"Nak, kau tahu siapa si
Dekap Rindu itu?" "Seorang... ratu...," jawab Suto lirih.
"Iya, memang dia seorang
ratu. Tapi ratu yang bagaimana?"
"Ratu... perempuan...
cantik "
"Yang namanya ratu ya
perempuan!" sentak Ki Jalu Kuping rada jengkel. "Tapi kau mungkin
tidak tahu kalau Ratu Dekap Rindu itu adalah tokoh tua aliran hitam yang punya
ilmu awet muda dan awet cantik."
"Diia... dia...
sahabat... dari... temanku. yang
bernama... Yundawuni "
"Yundawuni...?! Oh, aku
belum sempat kenalan. Kalau kau ketemu dia lagi, sampaikan salam kenalku kepada
Yundawuni," ujar Ki Jalu Kuping seenaknya.
"Aku tak tahu apakah
Yundawuni itu dari aliran hitam atau putih atau belang-belang seperti kuda
zebra. Yang jelas, Ratu Dekap Rindu adalah murid dari Nyai Lawang Neraka yang
pernah kubunuh, tapi gagal "
"Pernah dibunuh tapi kok
gagal, ya sama saja belum terbunuh!" gerutu Suto dalam hatinya.
"Beberapa waktu lalu,
kudengar Nyai Lawang Neraka sudah tewas di tangan Tanuyasa."
"Ak... aku kenal...
dengan... Eyang Tanuyasa,
alias... si Omong...
Cekak..,.."
Suto memang kenal dengan
Tanuyasa, alias si Omong Cekak, ia pernah melihat Tanuyasa mengajarkan ilmunya
kepada anak muda lugu dan polos yang bernama Temon. Peristiwa itu ada kaitannya
dengan Yundawuni alias Dewi Kesepian yang nyaris menjadi penyebar wabah kaum
lelaki, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Dewi Kesepian").
"Aku tahu sepak terjang
si Dekap Rindu, karena dia adalah cucunya Nyai Tudung Pandan," sambung Ki
Jalu Kuping. "Mendiang Tudung Pandan itu adalah kakakku. Jadi aku agak
sungkan terhadap Ratu Dekap Rindu. Bagaimanapun juga ia juga termasuk cucuku.
Tapi aku tak suka padanya. Sejak kakakku meninggal, tingkah laku Dekap Rindu
berubah jungkir balik, mengikuti jejak gurunya dan menjadi tokoh aliran sesat.
Dia memang cantik, tapi buat apa cantik-cantik kalau jalannya sesat, bisa-bisa
suaminya dibunuh dijadikan tumbal ilmunya."
"Ilmu... apa...?"
"Ya ilmu apa saja! Dekap
Rindu memang tampak kalem, bijaksana, suka menolong, tapi semua itu hanya
kedok. Tahu kedok?"
Suto mengangguk kecil.
"Binatang Yang
jalannya... lompat-lompat
"
"Itu kodok!" sentak
Ki Jalu Kuping sambil bersungut- sungut. "Kedok itu topeng. Jadi semua
sikap manisnya si Dekap Rindu hanya sebagai topeng penutup kebiadabannya.
Diam-diam ia banyak mempelajari ilmu hitam dan menyerang para tokoh tua
seangkatan denganku yang berilmu putih. Paham?"
Pendekar Mabuk anggukkan
kepala pelan dengan mata berkedip.
"Beberapa waktu yang
lalu, muridku ini pergi ke Bukit Kemesraan, ia sengaja kusuruh ke sana, eh...
kuutus. Kalau guru menyuruh murid itu pantasnya dengan kata 'mengutus',
ya?"
"Terserah...," jawab
Suto datar.
"Badra Sanjaya kuutus ke
Bukit Kemesraan untuk mencari kakak seperguruannya, yaitu muridku juga yang
bernama Jantra Loya. Sebab, kudengar dari beberapa orang sahabatku, katanya
Jantra Loya ditangkap dan dijadikan tawanan di Bukit Kemesraan. Maka kuutus si
Badra Sanjaya mencari kebenaran kabar tersebut. Setelah dua purnama, Badra
Sanjaya pulang dalam keadaan aneh."
"Jadi... monyet?"
"Bukan!" Ki Jalu
Kuping semakin serius. "Badra Sanjaya pulang ke sini dalam keadaan
linglung, lupa siapa diriku dan siapa dirinya, dan sering memanggil- manggil
Dekap Rindu dengan mesra."
Ki Jalu Kuping pandangi
muridnya dengan wajah iba. "Kasihan dia," gumamnya pelan. Lalu
memandang
Suto Sinting.
"Ternyata dia terkena
jurus racun 'Ranjang Goyang' dari si Dekap Rindu. Hanya dia yang punya jurus
racun 'Ranjang Goyang', dan racun itu membuat Badra Sanjaya akhirnya pingsan,
hampir tujuh hari tak sadarkan diri. Aku tak bisa melawan racun 'Ranjang
Goyang' itu. Sudah kucoba berkali-kali, malah kepalaku sendiri yang
goyang-goyang karena kewalahan." "Suruh... dia... minum... tuakku.
"
Ki Jalu Kuping
bersungut-sungut, "Orang pingsan kok disuruh minum tuak! Edan kau
ini!"
Suto ingin jelaskan kekuatan
sakti dari tuaknya itu. Tapi ia ragu-ragu dan mempertimbangkan dalam hatinya.
"Kalau kuberi tahu bahwa
tuakku adalah tuak sakti, bisa untuk melenyapkan racun itu, nanti kalau aku
minta minum tidak diberinya. Kakek ini agaknya tidak mau melepaskan keadaanku.
Hmmm... repot juga kalau begini?!"
"Nak, jurus beracun yang
namanya 'Ranjang Goyang' itu dapat melumerkan seluruh urat di tubuh orang yang
terkena jurus tersebut. Jurus itu juga dapat meloloskan sukma seseorang dari
raganya. Sukma itu kembali kepada Ratu Dekap Rindu dan di sana sukma itu
dipenjarakan dalam sebuah tabung bening berbentuk seperti poci tempat minuman
teh. Jadi, kehebatan jurus beracun itu selain dapat untuk memikat hati
korbannya, juga dapat memenjarakan sukma si korban. Kalau sampai seluruh urat si
korban menjadi lumer, maka sukma itu tak akan bisa masuk ke raganya kembali.
Cara membebaskannya adalah dengan menghancurkan tabung bening yang dipakai
memenjarakan sukma itu. Jika tabung itu pecah, maka sukma itu akan kembali ke
raganya. Berarti, muridku dapat pulih kembali, raganya tak akan menjadi
penghuni liang kubur."
"Aneh... sekali...
jurus... itu "
"Tentu saja kau anggap
aneh, karena pengetahuanmu cekak!" ejek Ki Jalu Kuping. "Oleh sebab
itu, aku ingin menyewa nyawamu, Nak. Kupakai rohmu untuk masuk ke dalam raga
muridku, lalu kau harus kembali ke Bukit Kemesraan dan mencari penjara sukma
muridku itu!"
Pendekar Mabuk ingin menolak
dan memberi penjelasan tentang kemampuannya mencari penjara sukma itu tanpa
harus menggunakan raga Badra Sanjaya. Tetapi makin lama ia merasa makin lemah
dan sulit keluarkan kata. Akibatnya ia hanya bisa pasrah kepada rencana Ki Jalu
Kuping itu.
"Sekarang juga, akan
kupindahkan rohmu ke dalam raga Badra Sanjaya. Bersiaplah, Nak... karena hal
ini tentunya jarang bagimu dan agak aneh rasanya," tutur Ki Jalu Kuping
sambil tersenyum-senyum kegirangan.
"Akan kugunakan ilmuku
yang bernama ilmu 'Sewaka Sukma' yang juga jarang dimiliki orang ini! Tenang
saja, tidak akan terasa sakit, Nak. Hanya geli sedikit, seperti digigit perawan
genit! Heh, heh, heh...!"
Ki Jalu Kuping segera duduk di
lantai di antara kedua tempat tidur itu. Ia duduk bersila dengan mata terpejam.
Beberapa kejap kemudian tubuhnya terangkat dan melayang di udara dalam keadaan
tetap bersila, berpejam mata, dan
bersedekap.
Dalam hatinya, Suto mencoba
untuk berontak dan tak mau menyewakan
nyawanya kepada Ki Jalu Kuping. Tapi ternyata rasa lemas semakin membuatnya tak
mampu bergerak sedikit pun, walau untuk gerakkan satu jari tangan tetap tak
bisa. Bahkan untuk mengedipkan mata sudah tak mampu lagi. Kedua tangan Ki Jalu
Kuping segera mengembang. Telapak tangannya mengarah ke bawah, tubuhnya makin
bergerak naik dalam keadaan tetap bersila dan berpejam mata. Lalu beberapa saat
kemudian, kedua telapak tangan itu pancarkan sinar. Dua sinar ke tubuh Badra
Sanjaya dan Suto Sinting.
Sinar yang memancar ke tubuh
Suto berwarna putih, kuning lebar, membungkus sekujur tubuh Suto. Sinar yang
memancar ke tubuh Badra Sanjaya berwarna merah, juga membungkus sekujur tubuh
Badra Sanjaya.
Kira-kira selama sepuluh
helaan napas kedua sinar itu masih memancar. Pada hitungan kesebelas, sinar itu
berubah secara perlahan-lahan. Sinar merah yang memancar ke tubuh Badra Sanjaya
berubah menjadi kuning, dan sinar kuning yang menyelimuti sekujur tubuh Suto
Sinting berubah menjadi merah. Perubahan sinar itu membuat kedua tubuh
berpijar-pijar.
Blaab, blaab, blaab, blaab,
blaab...!
Zuuuurrb...! Kedua sinar pun
padam secara bersamaan. Tubuh tua yang mengambang di udara itu bergerak turun
sampai menyentuh lantai kembali. Kejap berikutnya Ki Jalu Kuping membuka
matanya dan tersenyum sambil menghembuskan napas lega. Ia pun segera bangkit.
Memandang tubuh Suto dan tubuh muridnya bergantian, kemudian di depan wajah
Badra Sanjaya yang masih terpejam itu, Ki Jalu Kuping mengadu telapak tangannya
bagai orang bertepuk tangan.
Plaaak...! Badra Sanjaya
tersentak kaget dan bangun dengan menggeragap setelah terkena siraman cahaya
biru dari hasil tepukan tangan tadi.
"Nah, sudah berhasil
sekarang...," ujar Ki Jalu Kuping
sambil cengar-cengir.
Pendekar Mabuk merasa berdiri
turun dari tempat tidur itu. Tapi ia segera kaget bukan kepalang tanggung
begitu melihat sesosok tubuh terbujur lemas di atas tempat tidur yang satunya
lagi itu. Dan tubuh yang terbujur lemas itu tak lain adalah tubuhnya sendiri.
Ia bertambah kaget lagi
setelah mengetahui bahwa ternyata raganya telah berubah. Suto menjadi takut dan
tegang sekali melihat raga yang ada padanya adalah raga si Badra Sanjaya.
"Apa yang kau lakukan
padaku. Kakek Edan?!" sentak Suto Sinting kepada Ki Jalu Kuping yang
tersenyum-senyum itu.
"Eh, kau tak bisa marah
padaku, tak boleh menyerangku atau membangkang perintahku. Semakin kau
memusuhiku dan membangkang perintahku, maka sukmamu akan semakin sulit kembali ke
ragamu yang asli itu!"
"Keparat kauuu...!"
geram Suto Sinting sambil hendak lepaskan pukulan yang mematikan. Tapi Ki Jalu
Kuping tetap tenang walau cepat-cepat memberi isyarat dengan tangannya agar
Suto hentikan niatnya itu.
"Kalau aku mati kau sama
sekali tak akan mendapatkan ragamu kembali! Ingat itu!"
Suto Sinting menjadi ragu
dalam kegusarannya. "Kembalikan ragaku! Kembalikan sukmaku ke ragaku yang
asli itu!" sentak Pendekar Mabuk dengan kedua tangan menggenggam
kuat-kuat.
"Sukmamu akan kukembalikan
ke ragamu kalau kau sudah jalankan tugasmu, Nak!" ujar Ki Jalu Kuping
dengan santai sekali.
Bahkan ia menambahkan kata,
"Aku berkata yang sebenarnya, kalau kau melawanku dan membangkang
perintahku sukmamu akan semakin sulit masuk ke ragamu kembali. Ilmu 'Sewaka
Sukma' adalah kekuatan roh sejati yang mampu menguasai guru sejati orang lain.
Jika roh sejatiku kau lawan, maka guru sejatimu akan terhukum dan itu berarti
kesulitan besar bagimu untuk kembali ke ragamu yang asli!"
Pendekar Mabuk hanya terengah-engah
menahan kemarahannya, ia segera jauhi si tua berjubah abu-abu itu. Di sana ia
diam termenung sambil sesekali pandangi raganya yang terasa janggal itu.
"Kakek tua edan!"
makinya dalam hati. "Oh, mengapa nasibku bisa seburuk ini?! Ragaku ditukar
dengan raga si Badra Sanjaya. Padahal aku tak suka punya kulit kuning langsat
begini. Seperti kulit banci! Setan kurap!"
Ki Jalu Kuping mendekatinya.
"Pergilah ke Bukit Kemesraan sekarang juga. Cari tabung penjara sukma si
Badra Sanjaya! Hancurkan tabung itu secepatnya, tak perlu kau bawa kemari dulu.
Hancurkan di sana juga, dan jika Ratu Dekap Rindu merintangimu, hancurkan pula
perempuan sesat itu, Nak!" Mau tak mau Suto Sinting harus menjalankan
tugas itu. Namun hatinya menyimpan kemarahan yang menyesakkan pernapasan. Ki
Jalu Kuping dipandanginya dengan tajam, seakan punya niat untuk membalas
tindakan yang merugikan hidupnya itu.
Tentu saja Suto merasa
dirugikan hidupnya. Sekalipun ia bisa berdiri tegak dan tenaganya seperti pulih
kembali, tapi ia tak suka dengan perawakan Badra Sanjaya. Apalagi rambut ikal
dan kumis tipis itu, sungguh memuakkan bagi Suto Sinting.
"Ingat, namamu sekarang
adalah Badra Sanjaya, murid Ki Jalu Kuping!" sambil Ki Jalu Kuping menepuk
dadanya sendiri. "Kau bukan lagi Suto Sinting, dan tugasmu bukan lagi
menangkap Badra Sanjaya, melainkan menghancurkan Ratu Dekap Rindu serta
menghancurkan penjara sukma muridku!"
"Persetan dengan
penjelasanmu!" geram Suto Sinting sambil melangkah hampiri bumbung
tuaknya, karena ia melihat bumbung tuaknya tergeletak di atas sebuah rak,
tempat menaruh barang-barang dapur dan peralatan lainnya. Sedangkan Ki Jalu
Kuping hanya terkekeh- kekeh kegirangan, sampai berputar menari-nari karena
merasa akan berhasil menyelamatkan muridnya itu.
"O, ya.... Hoi,
Nak...!" serunya sambil hampiri Suto, "Jangan lupa, cari orang yang
bernama Jantra Loya! Jika ia terpenjara juga, bebaskan pula dia, Nak!"
Pendekar Mabuk tak hiraukan
perintah itu. Ia menenggak tuaknya. Badannya menjadi lebih segar lagi. Tapi
tetap saja ia memakai badannya si Badra Sanjaya itu.
"Pribadimu dan ilmumu
tetap utuh. Hanya ragamu saja yang berbeda dari biasanya, Nak!" ujar Ki
Jalu Kuping saat Suto ingin tinggalkan tempat itu.
*
* *
4
RUPANYA memang tidak ada yang
berubah pada diri Suto kecuali raganya. Pendekar Mabuk masih bisa berlari cepat
menyerupai kecepatan cahaya. Zlaaap...! Berarti jurus 'Gerak Siluman' masih
dimilikinya. Beberapa jurus lain dicoba, dan ternyata tetap ada padanya.
"Tapi risi sekali pakai
raga seperti ini!" gerutu Suto dalam hati. "Kumis ini lho, ah...!
Kalau ada beling kepingin kukerok saja rasanya. Aku tidak suka pakai kumis!
Bikin gatal saja!"
Sambil menuju ke Bukit
Kemesraan, Pendekar Mabuk dalam sosok Badra Sanjaya itu masih menenteng-nenteng
bumbung tuak. Ia sempat berpikir tentang kehebatan ilmu si Jalu Kuping itu.
"Kuakui dia berilmu
tinggi. Menakjubkan sekali yang namanya ilmu 'Sewaka Sukma'-nya itu.
Rasa-rasanya aku ingin mempelajari ilmu tersebut. Juga jurus 'Petir Jinak' yang
mengenaiku. Dahsyat juga jurus itu. Tapi... kurasa Ki Jalu Kuping tak akan mau
menurunkan ilmunya kepadaku."
Beruntung saja si Ki Jalu
Kuping adalah tokoh aliran putih. Hal itu membuat Suto sedikit lega dan merasa
tidak menyimpang dari jalur langkahnya sebagai pendekar beraliran putih. Makin
lama merenungi sifat dan perilaku Ki Jalu Kuping, akhirnya Suto kehilangan rasa
dendam dan murkanya kepada tokoh berhidung bengkok itu. Yang ada hanya rasa
jengkel dan gemas. Tapi bukan merupakan sebuah kebencian yang dalam.
"Kuakui, Ki Jalu Kuping
itu cukup berani. Mestinya ia tahu siapa diriku, sebab aku yakin dia bisa
melihat noda merah di keningku yang merupakan tanda bahwa diriku adalah
Manggala Yudha, panglimanya Ibu Ratu Kartika Wangi. Apakah dia tidak kenal
dengan Ibu Ratu Kartika Wangi? Berarti dia akan semakin tidak tahu bahwa aku
adalah calon menantunya Ibu Ratu Kartika Wangi dan akan menikah dengan putrinya
yang bernama Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu
itu?!"
Langkah demi langkah berlanjut
terus. Renungan demi renungan menyertai langkah tersebut.
"Tapi benarkah keterangan
Ki Jalu Kuping tentang Ratu Dekap Rindu itu? Benarkah sang Ratu adalah tokoh
beraliran hitam? Mengapa Yundawuni memintaku untuk datang dan berkenalan dengan
Ratu Dekap Rindu, hingga perempuan itu berani menyewaku mahal untuk menangkap
Badra Sanjaya? Dan... dan benarkah Badra Sanjaya tidak membawa lari pusaka
'Jarum Surga' yang selalu dibutuhkan oleh sang Ratu?! Ah, sayang sekali aku
tidak menanyakan kehebatan pusaka 'Jarum Surga' itu, sehingga aku tidak akan
tahu jika ada orang menggunakan pusaka tersebut. Aku hanya diberi tahu bahwa
pusaka itu mirip sebuah tombak tapi pendek."
Sampai di kaki Gunung Dara,
Pendekar Mabuk hentikan langkah sebentar, ia menenggak tuaknya, dan mencoba memandang
alam sekeliling untuk mencari sebuah desa. Ia ingin mengisi bumbung tuaknya di
sebuah kedai yang ada di desa terdekat.
"Apakah Yundawuni juga
tidak tahu bahwa Ratu Dekap Rindu itu adalah tokoh aliran hitam? Atau dia
sebenarnya tahu tapi berlagak tidak tahu?! Oh, kalau benar begitu berarti dia
menjebloskan diriku hingga terlibat urusan yang bersifat memihak golongan
hitam?!" Suto ingat pertemuannya
dengan Yundawuni beberapa hari yang lalu. Setelah ia berhasil sembuhkan
Yundawuni dari bencana racun 'Asmara Kubur', ia pun segera berpisah dengan perempuan cantik yang menamakan dirinya Dewi Kesepian
itu. Pendekar Mabuk segera membantu si Rupa Setan alias Anjardani
dalam suatu perkara lain.
Beberapa waktu kemudian, ia
berpisah dengan Anjardani karena si Rupa Setan yang ternyata berwajah cantik
itu harus menemui seorang sahabatnya di sebuah pulau. Pendekar Mabuk bermaksud
memberi kabar kepada gurunya; si Gila Tuak, bahwa ia telah berhasil menolong
Yundawuni. Tetapi ia segera bertemu dengan Yundawuni sendiri. "Kebetulan
kita bertemu di sini, Suto," kata Yundawuni. "Aku ingin meminta
bantuanmu sekai ini demi seorang sahabat."
"Soal racun juga?"
"Bukan, tapi tentang
pusaka yang dibawa lari oleh seseorang yang bernama Badra Sanjaya. Untuk lebih
jelasnya, sebaiknya kau ikut aku ke Bukit Kemesraan dan mendapat keterangan
lebih lengkap dari sahabatku itu."
Sebenarnya Suto ingin menolak,
tapi Yundawuni membujuk terus dengan wajah sedih, dengan alasan ingin membalas
jasa baik temannya itu yang pernah menolongnya beberapa saat yang lalu. Rasa
tak tega membuat Suto Sinting akhirnya berangkat ke Bukit Kemesraan bersama
Yundawuni.
Di sana ia bertemu dengan
pengawal kepercayaan Ratu Dekap Rindu yang bernama Laras Wulung.
"Sayang sekali Nyai Ratu
sedang di kuil pamujan," kata Laras Wulung. "Biasanya jika beliau
sudah masuk kuil pamujan, bisa dua-tiga hari baru keluar, dan selama di sana
tak bisa diganggu gugat siapa pun."
"Kurasa cukup kau saja
yang menjelaskan segalanya kepada sahabatku, Suto Sinting ini," usul Yundawuni.
Laras Wulung perempuan
berwajah cantik yang usianya sekitar dua puluh lima tahun. Namun ia sudah cukup
banyak mendapatkan ilmu dari Ratu Dekap Rindu dan menjadi pengawal tertinggi
ilmunya di antara para pengawal istana itu. Ia bukan saja cantik, tapi juga
punya daya tarik pada tubuhnya yang elok, meliuk sekal dengan dada tak terlalu
montok namun menonjol keras bagai menantang adu kemesraan setiap saat.
Matanya yang indah berbulu
lentik itu menatap Suto Sinting sejak tadi. Dari tatapan matanya, Yundawuni
tahu bahwa Laras Wulung terpesona terhadap ketampanan Suto. Yundawuni kurang
setuju jika sampai Laras Wulung berhasil menjerat hati Pendekar Mabuk, oleh
sebab itu ia segera mendesak Laras Wulung untuk segera memberi keterangan
tentang pusaka "Jarum Surga' yang dibawa lari oleh Badra Sanjaya itu.
"Padahal pihak kami sudah
sebegitu baik kepada Badra Sanjaya, sudah kami anggap orang kami sendiri, tapi
ternyata Badra Sanjaya tega berbuat selicik itu kepada kami, terutama kepada
Nyai Ratu...," ujar Laras Wulung yang mengenakan pakaian serba biru
kehitam- hitaman, dan kain penutup bagian bawahnya yang berbelahan panjang itu
berwarna merah tua.
Setelah mendapat keterangan
dari Laras Wulung, Yundawuni mendesak Suto agar segera tinggalkan istana,
karena Yundawuni semakin khawatir melihat senyum Suto selalu mekar ditujukan
kepada Laras Wulung. Ia tak suka melihat Suto cengar-cengir kepada perempuan
lain di depannya. Lebih baik ia tak melihat jika Suto memang ingin bersikap
begitu kepada perempuan mana pun.
"Sebenarnya yang menjadi
sahabatmu Nyai Ratu atau. "
"Laras Wulung!"
sahut Yundawuni kala itu. "Ooo. ," Suto manggut-manggut. "Karena
aku tak suka kalau dia ingin menaklukkan hatimu. Bisa putus persahabatanku
dengannya." -
Pendekar Mabuk hanya bisa tertawa
pelan, sementara Yundawuni yang cantik dan bersuara serak-serak mesum itu
tampak cemberut kesal.
"Kau tadi mendengar
sendiri ucapan Laras Wulung, bukan?"
"Yang mana?"
"Walau tanpa Nyai Ratu,
tapi kau sudah resmi disewa oleh pihak Bukit Kemesraan sebagai pemburu bayaran
terhadap Badra Sanjaya yang diperkirakan lari ke Gunung Dara."
"Yang jelas, jika sebuah
pusaka jatuh di tangan sesat akan berakibat buruk bagi kita semua!"
Ingatan Suto saat pertemuan
dengan Yundawuni itu terputus, dan langkahnya pun terpaksa berhenti mendadak.
Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget ketika tiba-tiba dari atas pohon di
depannya meluncur turun sesosok bayangan berwarna kuning.
Wuuuut, jleg...!
"Oh, seorang
gadis?!" sentak batin Suto. "Wah, sepertinya ia bermaksud tak beres
padaku. Pandangan matanya yang bundar indah itu memancarkan sinar permusuhan.
Hmmm... tangannya juga sudah memegang gagang pedang. Gawat juga gadis ini! Apa
maunya tahu- tahu turun dari atas pohon. Apa mau pamer kalau dia bisa melompat
seperti seekor harimau bergincu?"
Gadis itu tak sunggingkan
senyum sedikit pun pada Suto. Pakaiannya yang serba kuning itu dibiarkan sangat
kontras dengan warna pedangnya yang sepertinya terbuat dari perunggu, hingga
sarung pedangnya pun terbuat dari perunggu berwarna kehitam-hitaman. Gadis
berusia sekitar dua puluh dua tahun itu mempunyai rambut pendek, tapi
mengenakan ikat kepala dari tali merah. Sisanya terjulur turun dan jatuh
melewati pundak, di dada kiri.
Seperti biasanya, Suto
sunggingkan senyum ramah yang memancarkan daya pikat tinggi kepada orang yang
bersikap memusuhinya. Tapi kali ini senyum Suto agaknya tak begitu dipedulikan
oleh gadis hidung bangir dan berwajah mungil itu.
"Saatnya menebus dosa
telah tiba! Bersiaplah!" geram gadis itu, lalu mencabut pedangnya.
Sreet...!
"Eh, hmmm... maaf,
mengapa kau memusuhiku, Nona? Siapa kau sebenarnya?"
"Berlagak picak kau,
hah?! Tak perlu berpura-pura di depanku! Aku tak akan punya waktu untuk luluh
dalam rayuanmu lagi, Keparat! Hiaaat...!"
Weeess...! Pedang itu menebas
cepat, hampir saja membelah pundak kanan Suto Sinting jika ia tidak segera
berkelit ke kiri dengan gerakan limbung, seperti orang mabuk mau jatuh.
Kemudian Suto memutar tubuh hindari serangan yang datang dari tendangan kaki
gadis itu. Wuuuk...!
Weess...! Suto melompat agak
jauh dengan gerakan jungkir balik di udara, kemudian berdiri tegak di bawah
sebuah pohon yang berjarak lima langkah dari gadis berbibir seperti kuncup
mawar itu. "Kumohon jelaskan dulu apa persoalannya hingga kau menyerangku,
Nona Cantik!"
"Tak ada waktu lagi bagi
seorang pengkhianat sepertimu, Setan! Hiaaaat...!"
Gadis itu memutar tubuhnya.
Wees...! Ternyata ia melemparkan senjata rahasia berupa logam putih berkilauan
yang berbentuk bintang segi empat. Zliing...! Juuurb...!
Kalau saja Pendekar Mabuk
tidak bergerak cepat ke kanan, maka senjata itu pasti akan kenai tengah
dahinya. Untung ia berkelit ke kanan dan senjata itu akhirnya menancap pada
batang pohon di belakangnya.
Tapi gadis itu segera
menyerang Suto lagi dengan pedangnya yang dihujamkan satu kali ke arah dada
Suto. Hujaman pedang itu dilakukan sambil lakukan lompatan cepat. Wuuus...! Dan
murid si Gila Tuak itu segera menangkisnya dengan bumbung tuak. Traaang...!
Bunyi benturan pedang dengan bumbung seperti bunyi benturan pedang dengan baja.
Tangan Suto segera menghadang
pukulan telapak tangan si gadis dengan mengadu telapak tangannya juga. Plaaak,
blaaar...!
Gila! Si gadis terpental enam
langkah ke belakang dan jatuh terbanting akibat ledakan yang timbul dari adu
telapak tangan tadi. Rupanya si gadis punya tenaga dalam cukup besar dan
disalurkan melalui telapak tangannya. Sementara Suto Sinting secara refleks
keluarkan tenaga dalamnya juga ketika telapak tangannya harus menahan pukulan
lawan. Gadis itu terengah-engah, wajahnya menjadi pucat dan ia memegangi
dadanya yang terasa sakit akibat gelombang ledakan tadi. Rupanya gelombang
ledakan itu menghantam dadanya dan membuat pernapasannya sesak, seluruh
permukaan dadanya bagai terbakar api.
"Kasihan dia...,"
gumam Pendekar Mabuk. "Disuruh menjelaskan persoalannya malah menyerang,
akibatnya ya begitu itu!" gumam Suto Sinting dalam hatinya.
"Hentikan tindakanmu yang
gegabah ini, Nona. Aku merasa tidak punya persoalan denganmu, kuharap kita
jangan saling bermusuhan!"
Gadis itu bangkit dengan wajah
berangnya. "Meninggalkan diriku dalam keadaan telah kau nodai,
kau anggap bukan
persoalan?!"
"Lho...?!" Pendekar
Mabuk terbelalak kaget mendengar tuduhan itu. "Ketemu saja baru kali ini
kok langsung menuduh telah menodainya?! Jangan-jangan gadis ini gila
turunan?!"
"Kau memang jahanam
busuk, Badra!" geram si gadis.
Akhirnya Suto Sinting
terbengong dengan hati memendam rasa dongkol-dongkol geli. "Ooo... rupanya
dia melihat sosokku adalah sosok Badra Sanjaya, maka dia menganggap diriku
adalah si Badra Sanjaya! Pantas dia menyerangku dengan ganas. Wah, tapi
bagaimana harus menjelaskan kepadanya bahwa aku adalah Suto Sinting, bukan
Badra Sanjaya. Pasti dia tak akan percaya kalau aku bukan Badra Sanjaya."
Terdengar suara gadis itu
berkata, "Kau telah menyakiti hatiku, Badra! Tidakkah kau tahu, bahwa
Sriti Kuning tak akan berhenti mengejar orang yang telah menyakiti hatinya
sebelum orang itu masuk ke liang kubur?!" seraya ia menuding dirinya
sendiri. Suto jadi tahu bahwa gadis itu bernama Sriti Kuning.
Suto masih bingung menjelaskan
siapa dirinya, sehingga ia tak tahu harus bersikap bagaimana kepada Sriti
Kuning. Membantah telah menodai Sriti Kuning hanya akan memperuncing permusuhan
dan memperbesar kebencian si gadis.
"Kau ke manakan pedangmu,
Badra?! Ambillah dan kita bertarung untuk tentukan siapa yang mati di antara
kita berdua!"
"Hmmm... hmmm... kuharap
tak ada yang mati di antara kita berdua," ujar Suto dengan kikuk.
"Harus ada!" tegas
Sriti Kuning. "Aku lebih baik mati daripada melihatmu bermesraan dengan
perempuan jahanam itu!"
"Siapa yang kau maksud
dengan perempuan jahanam?"
"Siapa lagi kalau bukan
si Sunting Sari keparat itu!"
Pendekar Mabuk terperanjat
lagi walau hanya sekejap. Nama Sunting Sari bukan nama asing baginya, ia
mengenal Sunting Sari sebagai orang Partai Janda Liar, yang sekarang menjadi
ketua partai tersebut, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Asmara
Janda Liar").
"Oh, rupanya Badra
Sanjaya punya hubungan asmara dengan Sunting Sari?! Hmmm... kalau begitu,
daripada aku mengaku bukan Badra Sanjaya nanti akan jadi bertambah memperuncing
persoalan, lebih baik kuatasi saja amarah gadis ini!" pikir Suto Sinting.
Gadis itu maju beberapa
langkah dengan pedang siap digunakan untuk membunuh Suto Sinting. Tetapi sang
Pendekar Mabuk bersikap kalem dan tak menunjukkan niat melawan kemarahan Sriti
Kuning itu.
"Seenaknya saja kau pergi
dariku setelah kau hisap habis maduku, lalu kau ingin berpindah ke pelukan
Sunting Sari?! Hmmm...! Jadikan dulu aku sebagai bangkai baru kau boleh
bercinta sepuas hatimu dengan Sunting Sari!"
"Sriti Kuning!" sapa
Suto dengan nada lembut. "Kau terlalu cemburu dan cemburuanmu itu termasuk
cemburu buta. Sebenarnya aku tak ada hubungan apa- apa dengan Sunting
Sari!"
"Dusta!" bentak
Sriti Kuning membuat Suto yang kalem dan tenang itu jadi terlonjak kaget, lalu
segera buang muka untuk sembunyikan tawa geli atas kekagetannya tadi.
"Kulihat dengan mataku
sendiri, kau berciuman dengannya di tepi sungai, di balik batu yang kau anggap
dapat untuk sembunyikan kebusukanmu itu, Badra!"
Suto sengaja perlebar senyum
dan tertawa pelan, ia maju dua langkah, akhirnya saling berhadapan dalam jarak
satu langkah.
"Sriti Kuning, kau tak
tahu siasatku rupanya. Bukankah kau pun tahu bahwa Sunting Sari itu orang
Partai Janda Liar? Sedangkan aku punya urusan dengan ketua partai itu yang
bernama Selimut Senja alias si Janda Liar itu sendiri. Urusanku adalah urusan
pusaka, dan aku menyiasati Sunting Sari agar mau mencuri pusaka panah emas itu.
Tetapi "
"Apakah kau belum
mendengar kabar bahwa Selimut Senja telah tewas di tangan Pendekar Mabuk,
hah?!" potong Sriti Kuning dalam bentakan yang lantang.
"Justru itulah, maka aku
menyesal sekali telah berpura-pura jatuh cinta pada Sunting Sari. Setelah dia kuajak
bicara tentang pusakanya Selimut Senja, dia mengatakan bahwa Selimut Senja
telah tewas di tangan Pendekar Mabuk, dan pusaka panah emas itu telah
dikembalikan kepada pemilik sebenarnya, yaitu Begawan Parang Giri!"
Tentu saja Suto Sinting dapat
menjelaskan tentang hal itu, karena
memang ia pernah terlibat persoalan panah emas itu dan dibantu oleh Sunting
Sari, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bencana Selaput
Iblis"). Akibat penjelasan tentang pusaka yang pernah didengar oleh Sriti
Kuning itu, maka gadis tersebut akhirnya diam tertegun dengan wajah masih
cemberut dan mata memandang tajam, tapi Suto tahu gadis itu dalam kebimbangan
bersikap.
"Maka setelah kutahu
Selimut Senja sudah tewas, untuk apa aku masih mendekati Sunting Sari? Sudah sepantasnya
kalau sampai saat aku berdiri di depanmu ini, Sunting Sari sudah kulupakan. Tak
ada seujung rambut pun wajah Sunting Sari yang tertinggal dalam benakku, Sriti
Kuning." Gadis itu masih diam membisu dengan mata pancarkan keraguan.
"Tapi jika kau anggap hal
itu menyakiti hatimu, aku minta maaf padamu, Sriti Kuning. Jika kau belum puas,
silakan penggal kepalaku sebagai hukumannya dan sebagai tanda bahwa aku tidak
mencintai terhadap Sunting Sari!"
Pendekar Mabuk segera berlutut
di depan Sriti Kuning, mengulurkan lehernya seakan siap dipenggal. Tapi kedua
tangannya memegangi bumbung tuak, buat persiapan kalau-kalau Sriti Kuning
benar-benar mau memenggalnya, ia sudah siap lakukan tangkisan dengan bambu
tempat tuak itu.
"Penggallah aku kalau kau
masih menyangka aku meninggalkan dirimu, Sriti Kuning!"
Sang gadis masih diam,
sekarang wajahnya bukan saja cemberut tapi mempunyai rona duka yang timbul dari
keharuan hatinya. Matanya pandangi Suto yang dianggap Badra Sanjaya itu.
"Mengapa kau tidak
katakan hal itu sebelumnya padaku?!"
"Aku tak berani
mengatakannya, karena aku takut menyakiti hatimu! Sementara itu, aku sendiri
terdesak tugas dari guruku untuk mengambil panah emas itu," kata Suto
dengan penuh waspada.
"Sriti, lakukan
keinginanmu membunuhku. Penggal kepalaku biar kau puas dan percaya betul bahwa
aku masih mencintaimu."
"Seetaaan...!"
teriaknya. Suto sudah hampir angkat bumbung tuaknya untuk menangkis pedang
Sriti Kuning. Tapi ternyata teriakan
Sriti Kuning itu adalah teriakan membuang penyesalan dalam hatinya, ia berlari
ke pohon samping dan menangis di sana dengan genggaman pedang melemah.
"Uuhf...! Untung tak
benar-benar dipenggal," gumam Suto dalam hati. Lalu, ia segera hampiri
gadis itu.
"Sriti, pandanglah aku!
Pandanglah kobaran api cintaku lewat kedua bola mataku ini. Kau akan melihatnya
dengan lebih jelas lagi, Sriti "
"Badra...!" Sriti
Kuning hamburkan tangis sambil memeluk Badra Sanjaya palsu itu.
"Maafkan aku, Badra...!
Aku tidak mungkin tega membunuhmu, karena aku tak ingin kehilangan dirimu,
Badra!"
"Aku pun tak ingin
kehilangan dirimu, Sriti! Kau adalah mahkotaku, harapan damai di masa depanku,
Sriti Kuning."
"Oooh... Badra ,"
pelukan itu semakin erat. Rupanya
gadis itu benar-benar
merindukan Badra Sanjaya, sehingga sambil masih menitikkan air mata, ia
menciumi Suto yang dianggap Badra Sanjaya itu.
"Lumayan dapat rezeki
tiban...," gumam Suto dalam hati kegirangan, ia bahkan membalas ciuman
Sriti Kuning dengan sebuah kecupan lembut di bibir gadis itu. Cuuup. !
Tapi rupanya gadis itu
membalas kecupan itu dengan lumatan bibir yang mendebar-debarkan hati Suto
Sinting. Untuk menjaga jangan sampai membakar gairah, Suto bermaksud melepaskan
kecupan bibir itu. Tapi Sriti Kuning makin mempererat pelukan dan melumat bibir
itu dengan lebih ganas lagi. Gadis itu seperti singa kehausan di padang pasir
yang segera menemukan telaga berair bening.
"Ooh, Badra...,"
keluhnya di sela napas yang memburu, ia menciumi leher Suto Sinting dengan
pedang dilepaskan begitu saja dan tangannya merayap ke mana-mana. Tangan itu
mengusap dan meremas apa pun yang dapat diremas. Dan hal itu telah membuat
gairah Suto terbakar berkobar-kobar.
"Wah, gawat kalau
begini...," gumam Suto dalam hati.
"Badra, aku rindu... aku
rindu cumbuanmu, Badra.
Oooh... ambillah, ambillah
ini, Badra "
Sriti Kuning tak malu-malu
lagi melebarkan belahan bajunya. Breeet ! Terlepaslah baju itu, ternyata tak
ada
pelapis lain di balik baju
tersebut. Maka dua bukit yang sekal menantang itu tampak jelas di mata Suto.
"Badra, lekas ambillah...
sudah lama aku tak merasakan pagutan bibirmu, Badra "
Pendekar Mabuk hanya berkata
dalam hatinya, "Yaaaah... daripada kena angin sia-sia, santap sajalah apa
adanya "
"Aaaauh...!" Sriti
Kuning memekik ketika Suto menyambar salah satu gumpalan dada itu dengan
lahapnya. Ia seperti bayi yang kehausan, dan Sriti Kuning agaknya sangat
menyukai tindakan itu.
"Ooh, Badra... kau lebih
hebat dari biasanya. Kau lebih pandai membuatku melayang-layang, oouuh... aku
tak tahan, Badra...," rengek Sriti Kuning. Kemudian ia menarik ikat
pinggang Suto. Terlepaslah baju hijau itu, terlepas pula segalanya. Suto
meremas lembut rambut kepala Sriti Kuning, dan remasan itu membuat Sriti Kuning
merasakan gairahnya semakin dicambuk oleh keindahan.
"Badra... lakukan
sekarang, lakukanlah sekarang, Badra...!"
Sriti Kuning telah siap. Cawan
anggur kehangatan menunggu tamu datang meneguknya tuntas. Tapi sang tamu
ragu-ragu untuk meraih cawan anggur itu.
"Haruskah
kulakukan?!" pikir Suto Sinting. "Haruskah kuberikan apa yang
diharapkan Sriti Kuning ini? Aku adalah Suto, tapi ragaku adalah Badra Sanjaya.
Jika kuberikan kehangatanku kepadanya, apakah berarti aku menodai cinta suciku
kepada Dyah Sariningrum? Jika sampai kuberikan, siapa yang berbuat sebenarnya?
Suto atau Badra Sanjaya?!"
"Badra, kita tak punya
banyak waktu. Aku harus segera kembali ke padepokan, karena Guru ingin bertemu
denganku!"
"Ak... aku juga harus
segera menemui seseorang, karena Guru mengutusku menyelesaikan masalah
secepatnya."
"Oh, Badra... jangan
berdiri saja di situ. Peluklah aku, Badra "
Suto segera merendah, tapi
berdiri lagi dengan gelisah. "Ayolah, Badra... jangan siksa rinduku ini!
Lekaslah, Sayang...," rengek Sriti Kuning tampak tak sabar sekali.
Suto benar-benar bingung
tentukan langkah; maju atau mundur? Atau... maju-mundur-maju-mundur?!
*
* *
5
SEBELUM menyeberangi sungai
yang merupakan perbatasan wilayah Bukit Kemesraan, langkah Pendekar Mabuk
terhenti karena ulahnya sendiri. Suara ledakan di sebelah utara membuatnya
hentikan langkah. Hati pun berdebar sekejap sambil berucap, "Ada
pertarungan...!"
Pendekar Mabuk paling hobi
ngintip pertarungan. Terlepas apakah nantinya ia terlibat atau tidak, tapi
sebuah pertarungan merupakan ladang pendidikan ilmu tambahan baginya. Dengan memperhatikan
jurus-jurus yang dipakai oleh pihak yang bertarung, Pendekar Mabuk akan dapat
mengantisipasi seandainya ia bertemu dengan lawan yang menggunakan jurus
seperti yang dilihatnya itu.
Dari ketinggian sebatang pohon
beringin liar, Pendekar Mabuk mengintai pertarungan yang terjadi di sebidang
tanah datar itu. Pepohonan yang tumbuh di tempat tersebut berjarak renggang,
sehingga memberi peluang lebih bebas lagi bagi pihak yang terlibat pertarungan.
"Oh, rupanya si wajah
dingin itu yang lakukan pertarungan?!" ujar Suto membatin sambil pandangi
lelaki berwajah dingin yang mengenakan jubah merah.
Suto kenal betul dengan lelaki
berusia sekitar enam puluh lima tahun yang berambut putih panjang meriap tanpa
ikat kepala itu. Sudah beberapa kali Suto temukan lelaki berbadan agak gemuk
itu dalam sebuah pertarungan. Suto selalu ikut campur karena demi selamatkan
lawan si lelaki bersenjata cambuk merah itu karena tak rela melihat lelaki
kejam itu hancurkan lawannya.
Lelaki itu adalah Pangkar
Soma, murid mendiang Tengkuk Cadas yang punya jurus berbahaya bernama jurus
'Hujan Petaka' itu. Pendekar Mabuk pernah melihat beberapa korban jurus 'Hujan
Petaka' yang rata-rata mati dalam keadaan menjadi bubur busuk. Hujan darah yang
dapat didatangkan oleh kekuatan Pangkar Soma itu mengandung racun yang
membusukkan tulang dalam waktu singkat. Jika seseorang tersiram hujan merah
kiriman Pangkar. Soma, maka tulang dalam raga orang tersebut akan cepat menjadi
busuk, lalu mati dalam keadaan menjijikkan, kecuali jika orang itu menggunakan
ilmu lilin yang antiair, seperti jurus 'Balsam Tengkorak' yang dimiliki oleh si
Kapas Mayat dan pernah digunakan pada saat bertarung melawan Pangkar Soma,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gadis Tanpa Raga").
"Orang ini memang berbahaya
sekali!" pikir Suto. "Demi memperoleh apa yang diinginkan ia tak akan
pernah peduli dengan orang lain yang menjadi korban tak bersalah dari
jurus-jurus mautnya itu! Dan lagi, ooooh...?!"
Suto Sinting terkejut, seperti
baru menyadari ada sesuatu yang lebih penting mendapat perhatian darinya tapi
hampir saja dilalaikan. Pandangan mata Suto pun tertuju ke arah lawan si
Pangkar Soma yang tadi terpuruk di bawah pohon karena terpental oleh gelombang
ledakan adu kekuatan tenaga dalam.
Ternyata lawan si Pangkar Soma
adalah seorang gadis cantik berambut pendek bagian depan, tapi bagian
belakangnya panjang sepunggung. Gadis itu berjubah biru tanpa lengan, pakaian
dalamnya biru muda tipis tembus pandang, sehingga dadanya yang montok sekal itu
tampak membayang di mata setiap lelaki yang berhadapan dengannya.
"Tenda Biru...?!"
gumam Suto Sinting menyebut nama gadis yang pernah diselamatkan dari jurus
'Sabda Sirna'-nya mendiang Nyai Ronggeng Iblis itu. Tenda Biru itulah yang dulu
disebut juga sebagai Gadis Tanpa Raga. Jika tanpa bantuan Suto, mungkin ia
tetap tanpa raga dan tak bisa memamerkan keindahan tubuhnya yang sexy sekali
itu.
"Kematian Nyai Ronggeng
Iblis harus kau tebus dengan nyawamu, Tenda Biru! Gara-gara ulahmu itulah, Nyai
Ronggeng Iblis akhirnya tewas dan ilmu yang kumiliki tak bisa menyatu dengan
ilmunya, sehingga aku batal menjadi orang terkuat di rimba persilatan ini!
Sebelum tubuhmu hancur lebur, tak puas aku
hidup di dunia ini!" seru Pangkar Soma.
"Rupanya si Pangkar Soma
mendendam kepada Tenda Biru karena gadis itu dianggap sebagai biang kematian
Nyai Ronggeng Iblis!" pikir Suto Sinting yang telah mengetahui perihal
penyatuan ilmu Pangkar Soma dengan ilmunya Nyai Ronggeng Iblis, yang dapat
menjadikan satu kekuatan maha sakti dan sukar dikalahkan itu.
"Sekarang terimalah
kematianmu yang akan penuh siksaan ini, Tenda Biru!" seru Pangkar Soma
sambil mencabut cambuk pusakanya dari pinggang.
"Gawat! Dia pasti akan
pergunakan jurus 'Cambuk Iblis'-nya yang berbahaya itu?!" gumam Suto
Sinting dengan tegang.
Maka sebelum cambuk itu
dilecutkan, Suto Sinting segera berkelebat menerjang Pangkar Soma dari samping kanan. Jurus 'Gerak Siluman'
digunakan, sehingga kecepatan gerak yang menyamai kecepatan cahaya itu tidak
bisa dihindari oleh Pangkar Soma.
Zlaaaap...!
Bruuuusss...!
"Aaauh...!
Bangsaaat...!" teriak Pangkar Soma sambil terpental tunggang langgang
hingga membentur sebatang pohon dengan
kerasnya.
Duuurr...! Pohon itu bergetar
hebat, daun-daunnya berguguran dan menimbuni tubuh Pangkar Soma yang terpuruk
di bawah pohon itu.
Tenda Biru kaget dan kerutkan
dahi sambil menahan rasa sakit di dalam dadanya, ia pandangi pemuda yang datang
membantunya dalam keadaan kekuatannya banyak berkurang akibat adu tenaga dalam
tadi.
Sementara itu, Suto Sinting tak
pedulikan keadaan Tenda Biru yang merasa terheran-heran. Ia lebih memperhatikan
cambuk si Pangkar Soma yang gagal disambarnya tadi. Cambuk itu masih ada dalam
genggaman Pangkar Soma, dan kini Pangkar Soma telah bangkit kembali dengan
menggeram penuh nafsu untuk membunuh.
"Jahanam kau...!"
Pangkar Soma menuding Suto. "Rupanya kau sudah berani ikut campur
urusanku, Badra Sanjaya!"
"Aku bukan Badra
Sanjaya!" seru Suto Sinting. Tapi sebelum ia lanjutkan ucapannya, Pangkar
Soma telah lepaskan murkanya sambil berseru keras-keras.
"Kau pikir aku telah
buta! Panggil gurumu: si Jalu Kuping! Kuhancurkan sekalian dia seperti dirimu
saat ini! Heeeaaah...!"
Ctaarrr...! Cambuk merah itu
dilecutkan ke arah kepala Suto Sinting yang memakai raganya Badra Sanjaya itu. Lecutan
cambuk mengeluarkan sinar-sinar merah seperti jarum yang menerjang kepala Suto.
Zuurrp... !
Pendekar Mabuk segera kibaskan
bumbung tuaknya memutar kepala. Wuuut...! Satu kibasan membuat bumbung tuak itu
menghantam sinar-sinar merah seperti jarum. Craaaps...! Blegaaar...!
Pendekar Mabuk terlempar ke
atas cukup tinggi akibat gelombang ledakan itu. Ia jatuh terbanting dengan
sangat menyedihkan. Hidungnya langsung berdarah dan kaki kirinya terkilir.
Sedangkan si Pangkar Soma masih tegar di tempatnya, ia hanya tersentak mundur
satu langkah pada saat terjadi ledakan dahsyat tadi. Kini ia melepas lecutan
cambuknya lagi ke arah Suto Sinting.
"Modar kau, Jahanaaam...!
Hiaaah...!" Ctaarrr...!
"Uuuukh...!" Suto
Sinting mengejang dengan wajah menyeringai kesakitan. Cambuk itu memercikkan cahaya merah lebar dan menghantam
pinggangnya. Luka koyak bagai terkena sabetan samurai tampak memerah panjang di
pinggang Pendekar Mabuk.
"Oouh...! Gila! Luka ini
panas sekali. Tubuhku terasa sedang terpotong pelan-pelan dan, oh... benar!
Luka ini makin memanjang!" keluh Suto dalam hati.
Melihat keadaan si penolongnya
dalam bahaya, Tenda Biru segera memaksakan diri dengan mengerahkan tenaga yang
tersisa. Satu lompatan cepat dilakukan oleh Tenda Biru sambil mengarahkan pedangnya
ke punggung Pangkar Soma yang ingin melecutkan cambuknya lagi ke arah Suto
Sinting.
"Hiaaaat...!" Tenda
Biru serukan teriakan panjang sebagai pelampiasan kemarahannya. Namun justru
teriakan panjang itu telah membuat Pangkar Soma berbalik arah dan mengetahui
bahaya sedang mengancamnya.
"Perempuan jalang kau!
Heaahhh...l"
Cambuk itu dilecutkan dalam
gerakan seperti seekor ular. Slap, slap, slap, taaar...!
"Aaaakh...!" Tenda
Biru terlempar bagai kapas diterjang angin. Jurus cambuk yang digunakan Pangkar
Soma kali ini dapat sebarkan kekuatan badai dalam sekilas. Kekuatan badai
itulah yang melemparkan Tenda Biru dalam keadaan lebih parah lagi.
"Haaaahh...?!" Tenda
Biru terbelalak lebar-lebar setelah menyadari keadaannya jauh terduduk tanpa
selembar benang pun. Wajah pucat itu menjadi merah menahan rasa sakit dan malu.
Ia bergegas bangkit dan larikan diri ke balik pohonan sambil mendekap tubuhnya
yang kehilangan seluruh penutupnya, ia mendekap dirinya, menggapit satu
tangannya dan memeluk dadanya sendiri dengan jantung berdetak-detak
menyakitkan.
"Lihatlah kejalanganmu,
Perempuan Mesum!" teriak Pangkar Soma.
Ia tak tahu bahwa saat itu
Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya, sehingga luka mengerikan itu mulai
merapat dengan sendirinya, darah menguap bagai terserap udara dan menjadi
kering tanpa bekas. Pada saat Pangkar Soma balikkan badan untuk lakukan
serangan lagi terhadap lawannya, ternyata Pendekar Mabuk sudah berdiri tegak
dengan sisa luka yang sedang mengering dan merapat. Pangkar Soma terperanjat
melihat luka lawannya seajaib itu.
Dalam keadaan sedang
terperanjat itulah, Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Mabuk Lebur Gunung',
tubuhnya menggeloyor seperti orang mabuk yang mau tumbang, tapi tiba-tiba
menyodokkan bumbung tuaknya ke perut Pangkar Soma. Wuuut...!
"Heaaah...!"
Blaaar...!"
Sodokan yang ditahan dengan
telapak tangan Pangkar Soma itu mengakibatkan dentuman cukup keras, karena
telapak tangan Pangkar Soma memberi perlawanan dengan keluarkan inti tenaga
dalamnya. Sedangkan sodokan bumbung tuak itu juga mempunyai kekuatan tenaga
sakti yang sebenarnya dapat membuat merontokkan seluruh urat lawannya.
Tetapi karena beradu dengan
inti tenaga dalam Pangkar Soma, maka bumbung tuak itu hanya bisa lepaskan
ledakan kuat yang menerbangkan Pangkar Soma. Wuuuusss...! Bruuukk...!
"Haaaakhh...!"
Pangkar Soma mengerang keras ketika
jatuh dalam jarak dua belas langkah dari tempatnya semula. Sekujur tubuhnya
terasa bagai disayat-sayat dengan pedang yang habis terpanggang api. Dari lengan
sampai leher dan mulutnya tampak membiru memar. Tentu saja luka itu sangat
menyiksa Pangkar Soma.
"Keparat
bangkai...!" geramnya penuh luapan emosi. Ketika ia ingin bangkit,
tubuhnya terasa lemas sehingga terhuyung-huyung ke samping.
"Oh, celaka kalau begini.
Jantungku semakin melemah!" keluh Pangkar Soma dalam hati. "Kalau
diteruskan, pasti berakibat buruk pada diriku sendiri. Sebaiknya kuatasi dulu
luka-luka keparat ini!" Ctaaaaar...! Pangkar Soma melepaskan sabetan
cambuknya pada saat Pendekar Mabuk ingin maju menyerang kembali. Lecutan itu
menyebarkan asap putih kehitam-hitaman.
"Asap beracun!"
sentak hati Pendekar Mabuk, maka ia cepat hindari asap itu dengan menutup
hidungnya memakai tangan kiri. Sambil lakukan lompatan menghindar, bumbung
tuaknya diputar di atas kepala. Wuuk, wuuuk...! Asap beracun itu pun menyebar
dan hilang tertiup angin.
"Sial! Ke mana si jahanam
tadi?!" gerutu Suto Sinting dalam hati begitu melihat Pangkar Soma pun
lenyap bersama hilangnya asap beracun. Rupanya pada saat Suto sibuk hindari asap
beracun. Pangkar Soma cepat- cepat larikan diri dengan bebas tanpa kejaran.
Jika tidak begitu, ia akan dikejar oleh lawannya, setidaknya akan dihantam
dengan pukulan jarak jauh yang dapat membuatnya semakin lebih parah lagi.
Suto Sinting hanya bisa menghempaskan
napas dalam satu sentakan, ia membuang kejengkelannya karena gagal lumpuhkan si
Pangkar Soma. Tuak pun ditenggaknya lagi walau tak sebanyak tadi. Badannya
semakin terasa segar.
"Oh, ya... ke mana tadi
si Tenda Biru?!" pikirnya dengan sedikit terkejut karena baru ingat Tenda
Biru.
Pendekar Mabuk mendengar suara
orang terbatuk- batuk kecil di balik pohon, ia segera melesat ke arah pohon
tersebut. Zlaaap...!
"Ooh...?!" pekik
Tenda Biru makin merapatkan diri dengan pohon, karena dalam keadaan polos tanpa
selembar benang pun. Suto Sinting baru ingat hal itu, tapi ia sudah telanjur
ada di depan Tenda Biru yang cepat memunggunginya.
"Wow... keren!" ucap
Suto dalam hati dengan mata sulit dikedipkan.
"Jangan pandangi aku,
Setan!" bentak Tenda Biru karena menyangka orang yang ada di dekatnya
adalah Badra Sanjaya.
"Pergi sana!
Pergiii...!"
Pendekar Mabuk
tersenyum-senyum sambil memalingkan wajah.
"Pergi ke mana, ya?"
gumamnya berlagak bingung agar tampak beralasan jika masih ada di tempat.
"Pergi kau,
Ibliiiis...!" seru Tenda Biru, lalu la terbatuk-batuk dan keluarkan dahak
darah. Pendekar Mabuk cemas, lalu segera dekati gadis itu dan sodorkan bumbung
tuaknya.
"Lekas minum tuakku, biar
lukamu tak menjalar ke mana-mana!"
"Tidak! Tidaaak...! Pergi
sanaaa...!"
Pendekar Mabuk keki, kepala
Tenda Biru dijuleknya.
Wuuuut...!
"Orang mau ditolong kok
malah bentak-bentak!" omelnya sambil bersungut-sungut, ia menjauh dua
langkah, lalu kembali lagi.
"Ini... minum dulu
tuakku, Tenda Biru!"
"Ak... aku... aku dalam
keadaan seperti ini!
Pejamkan matamu!"
"Iya, iya... ini sudah
terpejam gitu kok!" "Yang kiri masih mengintip!"
"Lha, memang mataku yang
kiri kalau terpejam agak terbuka sedikit. Maklum, kelopak mataku yang kiri ini
pendek sebelah, jadi kalau dipejamkan tidak bisa rapat seperti yang
kanan!"
"Dasar jalang!"
sentak Tenda Biru. Kemudian ia menyambar bumbung tuak itu, tapi kakinya
menendang dengan cepat. Buuukh...!
Wees, brruuk...!
"Kampret kau!
Uuuukh...!" Pendekar Mabuk menyeringai setelah terpental oleh tendangan
itu sejauh lima langkah dan jatuh terpuruk begitu saja hingga sikunya terasa
sakit akibat membentur akar pohon. Sementara itu, Tenda Biru cepat-cepat
tenggak tuak tersebut, lalu meletakkannya di tanah dalam keadaan disandarkan
pohon, ia bergerak melingkari pohon dan bersembunyi di balik pohon sebelahnya.
"Oh, dadaku yang panas
dan sakit tadi mulai terasa lapang dan napasku menjadi longgar?!" pikir
Tenda Biru sambil matanya memandangi sekeliling mencari di mana pakaiannya
berada.
"Kau benar-benar gadis
edan, Tenda Biru! Sudah ditolong malah menyerang!" omel Pendekar Mabuk
sambil hampiri bumbung tuaknya.
"Kenapa si keparat itu
membelaku?!" gumam Tenda Biru membatin. "Kenapa ia mempunyai tuak
yang bisa sembuhkan lukaku seperti tuaknya Suto? Oh, benar...! Tuak itu seperti
tuaknya Suto, dan bumbungnya juga sama! Tapi mengapa bisa ada di tangan si
keparat Badra Sanjaya itu?!"
Rupanya gadis itu pernah
bentrok dengan Badra Sanjaya beberapa hari yang lalu. Ia masih ingat ketika
diserang oleh musuh lamanya, dan musuh lamanya itu dibela oleh Badra Sanjaya.
Bruuuk...! Tiba-tiba ada
sesuatu yang jatuh menyelubungi kepala Tenda Biru. Gadis itu berang dan
menghempaskan sesuatu yang menyelubungi kepalanya. Ternyata baju hijau si Badra
Sanjaya. Ia menjadi ragu untuk membuang baju itu.
"Pakailah baju itu.
Lumayan bisa untuk penangkal masuk angin!" ujar Suto Sinting yang berada
di balik pohon tempat persembunyian Tenda Biru itu.
Tenda Biru buru-buru
mengenakan setelah hatinya membatin, "Ini baju si keparat itu! Ah, tapi
persetan dulu dengan siapa pemilik baju ini. Yang penting aku tidak terlalu
polos begini!"
Lalu, terdengar suara Suto
Sinting berkata, "Sudah apa belum?!"
"Celananya mana?!"
"Ah, gila kau! Sudah
kuberi baju masih untung kau! Masih mau minta celana segala?! Kau pikir aku ini
seekor sapi yang tidak perlu celana?!"
"Kalau begitu, jangan
dekati aku! Bisa kubunuh kau kalau mendekatiku!"
"Pakai apa kau mau
membunuhku, lihatlah ke pohon tadi... pedangmu tertinggal di sana!"
"Ambilkan!" sentak
Tenda Biru.
"Ambillah sendiri! Untuk
apa kuambilkan pedang itu kalau nantinya akan kau pakai untuk membunuhku,"
gerutu Suto Sinting terdengar jelas di telinga Tenda Biru.
Weees...! Tenda Biru
berkelebat menyambar pedangnya dalam gerakan cepat. Suto Sinting hanya
tersenyum sambil sesekali tundukkan kepala memperhatikan perutnya yang
mempunyai pusar, ia merasa geli melihat pusarnya, karena selama ini ia tak
pernah mempunyai pusar seujung jarum pun, sebab dia memang pemuda tanpa pusar,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bocah Tanpa Pusar").
Seeet...! Tiba-tiba Tenda Biru
mengarahkan ujung pedangnya ke leher Suto Sinting yang tanpa baju itu. Suto
terperanjat sebentar, lalu sunggingkan senyum. Tentu saja senyumannya tidak
begitu menarik perhatian Tenda Biru, karena senyuman itu bukan senyuman
Pendekar Mabuk yang dikaguminya.
"Apa maksudmu mengancamku
dengan pedang?!" "Serahkan bumbung tuak itu padaku! Cepat...!"
Pedang didorong sedikit,
kepala Suto tersentak ke belakang hingga rapat dengan pohon, karena ia tak
ingin lehernya terluka oleh pedang Tenda Biru.
"Apa maksudmu, Tenda
Biru!"
"Kau tak perlu berlagak
suci! Kau tak perlu memihakku, karena ketika aku bertarung dengan Sriti Kuning,
kau memihaknya dan nyaris membuatku binasa!"
Suto membatin, "O, Iya...
yang dia tahu pasti aku si Badra Sanjaya. Pantas kalau sikapnya sekasar ini
padaku. Aku harus bisa menjelaskan kepadanya tentang hal ini."
Tetapi sebelum Suto
menjelaskan, Tenda Biru sudah membentak lagi dengan kasar.
"Cepat serahkan bumbung
tuak itu! Aku tahu kau mencuri bumbung tuak itu dari tangan Pendekar
Mabuk!"
"Tenda Biru. "
"Jangan berlagak kalem di
depanku, Keparat! Serahkan bumbung tuak itu atau kutembus lehermu dengan pedang
ini!" Tenda Biru semakin garang.
"Aku bukan Badra Sanjaya,
Tenda Biru. Aku adalah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu!"
"Kau pikir aku anak
kecil?! Kau sangka mataku buta?!" sambil Tenda Biru lebarkan mata, seakan
ingin tunjukkan bahwa matanya tidak buta.
"Suto Sinting tidak
seburuk wajahmu! Pendekar Mabuk tidak berkumis dan sayang kepadaku. Dia tidak
akan membela Sriti Kuning, bahkan tak akan tega melepaskan pukulan berbahaya
kepadaku!"
"Aku memang sayang
padamu, Tenda Biru!"
"Diam kau!"
bentaknya makin kasar. "Tak perlu kau menabur rayuan padaku, karena aku
tahu siapa kau sebenarnya! Kau bukan Pendekar Mabuk dan. "
"Aku. "
"Tutup mulutmu!"
"Iyya iya, aku akan tutup
mulut, tapi kau tutup juga
mulutmu yang itu.
," sambil mata Suto melirik ke
paha
Tenda Biru
yang tidak ikut
tertutup kain baju.
Maka seketika itu Tenda Biru merapatkan kedua kakinya dan menjadi salah
tingkah sendiri.
"Kurobek mata jalangmu
kalau masih melirik kemari!"
"Habis mau melirik ke
mana, orang adanya cuma itu...," kata Suto sambil menahan rasa geli. Ia
ingin tertawa lepas, tapi takut membuat gadis itu makin panik dan pedangnya
benar-benar merobek mata.
"Kelilipan debu masih
bisa ditiup atau dicuci, kalau kelilipan pedang mau dicuci pakai apa? Ditiup
pun akan semakin perih," gumamnya dalam hati.
"Lepaskan celanamu!"
sentak Tenda Biru sambil mengarahkan pedang ke dada Suto Sinting.
"Ah, yang benar saja kau.
" Suto bersungut-sungut.
"Lepaskan celanamu!"
"Apakah kau sudah tak
bisa menahan hasratmu untuk "
Buukkh...! Tiba-tiba kaki
Tenda Biru berkelebat menendang perut Suto, membuat suara Suto terhenti
seketika. Gerakan menendang itu dilakukan dengan cepat agar sesuatu yang tak
tertutupi tidak dapat dilihat oleh mata lelaki yang ditendang.
"Sekali lagi kau
menanggapku gadis murahan, pedangku yang akan bicara!"
"Uuukh... mual sekali
perutku," keluh Suto Sinting. Tapi ia segera tarik napas untuk mengatasi
rasa sakit dan mual akibat tendangan tadi.
"Kuhitung tiga kali kalau
kau tak mau melepaskan celanamu yang akan kupakai, pedangku tak akan diam di
depan dadamu, tapi akan menembus sampai ke punggungmu!"
"Coba tendang aku lagi
seperti tadi," kata Suto Sinting sambil matanya melirik ke arah yang
ditutup dengan telapak tangan kiri dan digapit dengan kedua kaki itu. Tenda
Biru benar-benar ingin hujamkan pedangnya, tapi Pendekar Mabuk segera berkata.
"Tunggu...! Kau boleh
menghujamkan pedangmu setelah aku bertemu dengan Panji Klobot!"
Tenda Biru terperanjat.
"Dari mana kau tahu nama muridku, si Panji Klobot itu?!"
"Karena akulah yang
bersamanya ketika kau menjadi gadis tanpa raga. Akulah Suto Sinting yang
mencarikan obat pemunah kutukan Nyai Ronggeng Iblis berupa Bunga Kecubung
Dadar. Akulah yang kau selamatkan dari tangan Selimut Senja bersama-sama
Pematang Hati dan Mahligai Sukma. Akulah Pendekar Mabuk yang menolongmu saat
kau terluka parah oleh pedangnya Dewi Kesepian!"
"Ooh...?! Kau tahu
segalanya tentang itu?!" Tenda Biru menjadi gemetar dan berdebar-debar.
Matanya melebar dengan mulut ternganga bengong.
"Kalau kau tega
membunuhku, bunuhlah sekarang juga! Kalau kau tetap menganggapku Badra Sanjaya,
hujamkan pedangmu ke jantungku. Barangkali memang begitulah caramu membalas
ciumanku ketika kita berada di tepi danau berair kuning, di Bukit Ketapang,
tempat di mana kita temukan Bunga Kecubung Dadar itu!"
"Ooh...? Kkkkau...
kau...?!" Tenda Biru makin menggeragap dan tegang sekali. Menurutnya tak
mungkin Badra Sanjaya mengetahui letak ditemukannya Bunga Kecubung Dadar yang
telah membuat ia mempunyai raga lagi itu.
"Hanya Suto yang tahu
semua itu! Hanya Suto... tapi, mengapa Badra Sanjaya mengetahui semuanya?
Benarkah aku berhadapan dengan Badra Sanjaya atau berhadapan dengan Suto
Sinting?!" pikirnya dalam cekaman rasa gelisah dan kebingungan.
"Mengapa kau tidak
menyebutku dengan sebutan khas darimu?"
"Ap... apa sebutanku
kepada Pendekar Mabuk? Coba katakan, bagaimana jika aku memanggil Pendekar
Mabuk?"
Wajah Badra Sanjaya tersenyum
tenang. Suto-lah yang tersenyum sebenarnya, dan ia segera menirukan sebutan
atau panggilan khas dari Tenda Biru terhadap dirinya.
"Kau selalu memanggilku:
'Bocah Sinting!"
Tenda Biru makin tercengang.
"Ooh, kau... kalau begitu kau memang si Bocah Sinting itu...?!"
"Nyawaku sedang disewa
oleh Ki Jalu Kuping, gurunya si Badra Sanjaya. Ia memindahkan sukmaku ke
raganya Badra Sanjaya yang terkena jurus 'Ranjang Goyang'-nya Ratu Dekap
Rindu...," dan segalanya diceritakan oleh Suto, sehingga Tenda Biru sempat
trenyuh, lalu tak terasa air matanya meleleh perlahan- lahan.
"Bocah Sinting...!"
keluhnya dalam keharuan yang bercampur penyesalan atas sikap kasarnya tadi. Ia
pun segera memeluk Suto dan membiarkan tangis penyesalannya membasahi dada
pemuda tak berbaju itu.
"Tenda Biru, kumohon
bantuanmu untuk menemui guruku. Pergilah ke Jurang Lindu dan temui guruku; si
Gila Tuak. Mintalah keterangan bagaimana cara memindahkan sukmaku ke ragaku
kembali jika sampai Ki Jalu Kuping tak mau melakukan hal itu. Aku tak ingin
mempunyai raga seperti ini, Tenda Biru."
"Tapi... tapi bagaimana
aku bisa menghadap gurumu jika aku tidak mempunyai penutup apa-apa di bagian
bawahku ini "
"Iya, iya... aku tahu.
Tapi tak perlu kau menuntun tanganku sampai menyentuhnya. Cukup bilang begitu
aku sudah mengerti bahwa bagian bawahmu butuh penutup!"
Tenda Biru sempat tertawa
dalam duka keharuannya, ia jengkel sendiri hingga merengek dan memukul dada
Suto dengan pukulan kasih sayang.
"Akan kucari pakaianmu.
Siapa tahu ada di sekitar sini karena terhempas angin gaib yang keluar dari
cambukan si Pangkar Soma tadi," kata Suto sambil memandang sekeliling
tempat itu.
"Bocah Sinting, kalau
sampai pakaianku tak bisa ditemukan bagaimana?"
"Aku tak bisa kuat
menahannya "
"Menahan apa
maksudmu?"
"Menahan... menahan...
menahan detak jantungku yang menyentak-nyentak sejak tadi," jawab Suto
sambil berlagak masih pandangi keadaan sekelilingnya.
"Oh, Bocah Sinting... aku
kangen padamu...", bisik Tenda Biru sambil tiba-tiba memeluk Suto dari
belakang. Bajunya yang terbuka membuat dadanya menempel di punggung Suto.
Rasanya hangat-hangat menyentakkan aliran darah. Terlebih setelah Tenda Biru
menggeser-geserkan tubuhnya, punggung Suto merasakan kehangatan dan lekuk-lekuk
kedua bukit gadis itu secara jelas. Sementara itu, kedua tangan Tenda Biru yang
menelusup di bawah ketiak Suto itu meremas- remas dada Suto dan sesekali
merayap ke sana-sini hingga turun melewati perbatasan pusar.
Tenda Biru yang dulu bekas
murid seorang tokoh aliran sesat itu, kini mulai rasakan debaran indah di
hatinya. Tangannya semakin berani bergerak menelusuri tubuh Suto dari belakang.
Bahkan sesekali ia menggigit kulit punggung itu membuat Suto melepaskan erangan
kecil yang membakar gairahnya sendiri.
"Tenda Biru, jangan
lakukan di antara kita. Aku... aku. "
"Bukankah ragamu adalah
Badra Sanjaya? Jika kunikmati kehangatanmu berarti aku menikmati kehangatan
Badra Sanjaya. Tak apa, Bocah Sinting...
kau sekarang bebas
menikmatiku, karena ragamu masih tetap bersih tanpa noda dariku. Ooh... Bocah
Sinting, kecuplah bibirku...! Pagutlah... pagutlah ini, Bocah Sinting. Sudah
lama aku tak pernah menikmatinya dengan pria mana pun. Aku rindu kenikmatan
bercinta, Bocah Sinting.... Ambillah ini " Ia menyodorkan dadanya. Suto
Sinting gemetar dan pejamkan mata, lalu menyambarnya dengan lihai. Wuuut,
cruub...!
"Ooooh...!" Tenda
Biru memekik keras, kepalanya mendongak, kakinya melebarkan jarak. Si bocah
sinting merayapkan ciumannya sampai ke perut Tenda Biru dan terus nekat ke
bawah, sehingga membuat Tenda Biru makin mengerang panjang-panjang dengan tubuh
meliuk-liuk dalam berdirinya.
*
* *
6
JUBAH biru si gadis berkulit
mulus itu ternyata tersangkut di atas pohon. Juga kutang dan pakaian bawahnya
ada di antara dedaunan dan ranting pohon. Pada waktu badai sekilas dari
cambukan Pangkar Soma, pakaian itu ikut melayang terbang. Jika hanya sekadar angin
badai biasa, tak mungkin bisa membuat Tenda Biru sepolos itu. Tentunya badai
sekilas tadi adalah badai gaib yang mampu melepasi kutang seorang perempuan.
"Badai nakal...,"
ujar Suto dalam hatinya sambil lanjutkan langkah menuju Bukit Kemesraan, sementara
itu Tenda Biru bergegas ke Jurang Lindu untuk temui si Gila Tuak, sesuai
rencana yang dikatakan Suto tadi. Namun kata-kata Tenda Biru saat sebelum
mereka berpisah masih terngiang di telinga Suto Sin-ting.
"Hati-hati jika
berhadapan dengan Ratu Dekap Rindu."
"Apa alasanmu menyuruhku
hati-hati?"
"Ratu itu cantik. Dia
menghisap kecantikan para lawannya, ia mirip bidadari. Dan hanya orang berilmu
hitam saja yang bisa menyerap kecantikan lawannya, sehingga wajahnya tampak
secantik bidadari dari kayangan."
Sebenarnya pesan itu justru
membuat Suto Sinting menjadi lebih penasaran lagi. Ia ingin buktikan kata-kata
Tenda Biru itu, karena ia memang belum pernah bertemu dengan Ratu Dekap Rindu.
"Ratu Dekap Rindu ilmunya
cukup tinggi lho," ujar Tenda Biru mengingatkan Suto sebelum mereka sama-
sama melangkah ke tujuan masing-masing.
"Lebih tinggi mana dengan
Nyai Ronggeng Iblis?" "Hmmm... mungkin sejajar. Tapi, tak tahulah...
aku
tak bisa menilainya karena kau
belum pernah berhadapan langsung dengan Ratu Dekap Rindu. Aku hanya mendengar
cerita dari bekas guruku saat aku menjadi orang sesat, yaitu Nyai Garang Sayu.
Setahuku, dulu mendiang Nyai Garang Sayu pernah bentrok dengan Ratu Dekap
Rindu, dan Nyai Garang Sayu melarikan diri. Tak tahu alasan sebenarnya, apakah
kalah tinggi ilmunya atau hanya mengatur siasat, yang jelas Nyai Garang Sayu
tak pernah mengulang lagi pertarungan itu." "Kau melihat saat mantan
gurumu itu bertarung melawan Ratu Dekap Rindu?"
"Tidak. Waktu itu aku
dinas luar. Eh... maksudku, waktu itu aku pergi ke luar pulau untuk satu
keperluan. Aku hanya mendengar ceritanya dari teman-teman seperguruanku!"
"Kalau begitu aku harus
mempertinggi kewaspadaan jika berada di istana Bukit Kemesraan nanti."
"Kurasa begitu. Dan
kusarankan bersikaplah sebagai Badra Sanjaya. Seolah-olah kau memang Badra
Sanjaya, sehingga dari kata-kata sang Ratu nanti kau dapat mengambil kesimpulan
di mana letak tabung penjara sukma itu."
"Kau memang gadis cantik
dan cerdas," ujar Suto sambil mencubit pipi Tenda Biru.
Kenangan itu ikut terbawa
dalam perjalanan Suto Sinting di awal senja berlangit tembaga itu. Dengan
menyeberangi sungai besar, Pendekar Mabuk sudah tiba di wilayah Bukit
Kemesraan, ia memang baru kali itu menginjakkan kakinya di wilayah Bukit
Kemesraan, sehingga pantas jika ia tak mengetahui arah istana di sebelah mana.
Beruntung sekali ia bertemu
dengan Tenda Biru sebelum berada di wilayah Bukit Kemesraan, sehingga ia bisa mendapat keterangan dari Tenda Biru
tentang arah menuju istana. Tenda Biru pernah datang ke istana itu, namun hanya
sampai depan pintu gerbangnya saja. Karena waktu itu ia hanya menjadi salah
satu dari sepuluh orang pengawal Nyai Garang Sayu yang menjaga keamanan sang
guru sesat itu. Hanya sang guru yang masuk ke istana dan bertemu dengan Ratu
Dekap Rindu.
"Apa yang harus kukatakan
kepada Ratu nanti jika ia tanyakan pusaka 'Jarum Surga' nanti? Kalau menurut Ki
Jalu Kuping, pusaka itu sebenarnya tidak ada. Tapi bagaimana mungkin tidak ada
jika sang Ratu berani membayarku tinggi untuk dapatkan Badra Sanjaya bersama
pusaka 'Jarum Surga' itu? Kurasa pusaka tersebut memang ada, tapi tidak
diketahui oleh orang banyak, termasuk Ki Jalu Kuping pun tak tahu tentang
pusaka tersebut."
Belum sampai Suto menemukan
cara menghadapi pertanyaan tentang pusaka "Jarum Surga', tiba-tiba
langkahnya terhenti karena lompatan tiga orang berpakaian serba coklat
mengkilap yang langsung menghadang Suto dengan posisi mengepung tiga arah.
Pendekar Mabuk sempat terperanjat dan segera berkerut dahi karena merasa asing
dengan ketiga gadis berpakaian coklat mengkilat itu. Pakaian tersebut merupakan
baju tanpa lengan dan celana ketat yang membentuk lekuk- lekuk tubuh mereka.
"Akhirnya kau kembali
juga, Badra Sanjaya!" tegur gadis yang bersenjata trisula di pinggangnya.
Rupanya gadis itu sudah cukup kenal dengan Badra Sanjaya, sehingga Suto pun
berlagak sudah kenal dengan mereka. "Sudah kuduga kalian akan menyambutku
di sekitar
tempat ini," kata Suto
Sinting dengan sikap tenangnya. "Nyai Ratu memerintahkan kami untuk menangkapmu
jika kau tampak melintasi perbatasan Bukit Kemesraan ini!" ujar gadis yang
bermata bundar, bening dan tengahnya hitam berwarna hitam jernih.
"Kurasa kalian tak perlu
menangkapku, aku memang ingin menghadapi Nyai Ratu sendiri!" ujar Pendekar
Mabuk. Kemudian ia membuka bumbung tuaknya dan menenggak tuak beberapa teguk.
"Apa yang kau bawa itu,
Badra?!"
"Tuak...! Kalian mau
coba?" Suto Sinting sok akrab.
"Hmmm...! Lagakmu seperti
Pendekar Mabuk saja, Badra! Apakah dengan membawa bumbung tuak begitu lantas
kami tak berani menangkapmu?!" ujar gadis berambut panjang dengan belahan
dada bajunya terbuka lebar-lebar, sehingga tersumbullah gumpalan putih mulus di
kanan-kiri dada itu. Menggiurkan sekali, tapi juga membuat Suto menahan diri
agar tetap waspada.
"Buang bambu tuak itu,
dan serahkan kedua tanganmu untuk kami ikat, Badra!"
"Lho, mengapa aku mau
diikat?"
"Perintah dari Nyai Ratu
memang begitu, Badra!" "Oh, aku tak mau! Aku paling malas kalau pakai
diikat-ikat saja. Memangnya
aku ini kayu bakar?!" kata Suto sambil tunjukkan sikap protesnya.
Katanya lagi, "Sudah
kubilang, kalian tak perlu menangkapku, apalagi mengikatku, tak perlu sama
sekali. Karena kedatanganku kemari untuk menghadap Nyai Ratu!"
"Tapi kami harus patuhi
perintah Nyai Ratu, Badra!" . Yang bersebelahan dada lebar itu menimpali,
"Kecuali jika kau bersedia memberi kami perjalanan indah. Bukankah begitu,
Paras Juwita?!"
"Benar," jawab Paras
Juwita yang bersenjata trisula itu. Ia menjawab dengan senyum dan lirikan
jalang.
Katanya lagi kepada Suto,
"Kurasa inilah kesempatanmu untuk mengulangi keindahan masa lalu kita,
Badra!"
"Mengulangi...?!"
Suto merasa heran, dan segera membatin, "Berarti si Badra Sanjaya itu
buaya gila juga, ya? Setiap perempuan pernah diajaknya menikmati perjalanan
indah."
"Bagaimana, Badra! Apakah
kau ingin menolak tawaran damai dari kami, atau ingin kami ikat sebagai
tawanan?!" ujar yang bermata sayu.
"Jadi... jadi aku harus
melayani siapa?"
"Kami bertiga; Gayanti,
Umbari, dan diriku,"' jawab Paras Juwita.
"Edan! Tiga-tiganya
bersamaan?!" ujar Suto bernada makin heran. Tiga gadis yang rata-rata
berusia sekitar dua puluh empat tahun itu sama-sama cekikikan.
Gayanti berkata, "Kurasa
kau tidak akan kewalahan, Badra. Bukankah waktu ketika kau berempat bersama
Paras Juwita, Windusari, dan Lelasih, kau mampu memberi kami keindahan yang
sama? Kurasa sekarang pun kau tetap mampu, Badra. Apalagi sekarang hanya
bertiga."
"Kita ke gua yang dulu
saja, Gayanti," ujar Paras Juwita. "Aku setuju. Bagaimana menurutmu,
Badra?!"
"Edan betul si Badra
Sanjaya itu sebenarnya! Ternyata dia tukang mengumbar cumbuan di sana-sini!
Kurasa gurunya tidak mengetahui kalau muridnya gemar bercumbu dengan perempuan
mana pun!" gerutu Suto dalam hatinya.
"Mumpung masih agak sore,
Badra. Sebaiknya kita segera ke gua yang dulu!" ujar Gayanti.
"Benar, Badra...,"
Paras Juwita mendekat dan mengusap-usap dada Suto sambil sunggingkan senyum
jalangnya. "Mumpung yang lain belum melihat kedatanganmu, sebaiknya kita
manfaatkan dulu waktu untuk mengarungi lautan cinta, Badra "
Umbari segera ikut mendekat
dan mengusap-usap dada Suto dari samping kirinya.
"Kau belum merasakan
kepandaianku menerbangkan jiwa seorang lelaki, bukan? Nanti kau akan merasakan
keindahan yang paling indah dariku. Ayolah, kita ke gua saja, Badra "
Gayanti mendekat dan mengambil
tempat di belakang Suto. Ia memeluk dari belakang melalui pinggang samping
kanan kiri. Tapi bibirnya mengecup tengkuk kepala Suto dengan nakal.
"Badra..., aku punya
jurus baru yang dinamakan 'Lidah Naga Kasmaran'. Pasti membuatmu semakin
melayang-layang menembus langit kehangatan yang paling tinggi, Badra. Ayolah,
kita ke gua yang dulu, Sayang.... Aku sudah tak tahan lagi...," bisik
Gayanti sambil sesekali menyapu belakang telinga Suto dengan ujung lidahnya.
Jantung bukan berdetak lagi
tapi bergetar bagai mau rontok. Dalam kebingungan itu, Suto Sinting tak bisa
mengambil keputusan harus bersikap bagaimana terhadap ketiga gadis
montok-montok itu. Ia hanya bisa 'ah, uh, ah, uh' saat didorong ke bawah pohon
bersemak rimbun. Rupanya ketiga gadis itu sudah tak sabar lagi ingin
mendapatkan kemesraan dari pria yang dianggapnya sebagai Badra Sanjaya.
"Hmmm..., ehh... hei,
hei... tunggu dulu!" kata Suto, tapi tak dihiraukan oleh ketiga gadis itu.
Mereka semakin mengganas dan membuat Suto terpelanting jatuh di rerumputan
semak. Mereka justru cekikikan dan saling menggumuli Suto dengan caranya
sendiri-sendiri.
"Tidaaaak...!"
Weeerss...! Bruuusss.. !
Suto Sinting berteriak keras
sambil lakukan sentakan pada kedua tangan dan kakinya. Tiga wanita yang sudah
dibakar kobaran gairah bercumbu itu terpental menyebar, saling terlempar
tinggi-tinggi dan jatuh berdebam di tempat yang berbeda.
"Kalian pikir aku ini
kuda pejantan?!" sentak Suto Sinting dengan berang. Tentu saja ketiga
gadis yang merasa gairahnya terganggu itu menjadi berang juga.
Paras Juwita yang tadi telah
membuat Suto kedodoran segera lakukan
lompatan menerjang dengan suara terlontar keras.
"Rupanya kau minta hajar
dulu baru mau, hah?!
Heeeeaah...!" Pendekar
Mabuk segera sentilkan jarinya yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup
besar itu. Tees...! Beeekh...!
"Heeekh...!"
Lompatan perempuan bersenjata trisula itu terhenti dan bagai tertahan oleh
dinding tak terlihat, ia jatuh terjungkal setelah perutnya merasa seperti
dihantam dengan palu godam, Brruk...!
Tes, tes...! Sentilan jurus
'Jari Guntur' segera dilepaskan kembali oleh Suto Sinting ke arah Umbari dan
Gayanti. Kedua gadis yang telah mencabut senjata tajamnya itu segera terlempar
ke belakang dan mengerang kesakitan. Ulu hatinya dijadikan sasaran jurus 'Jari
Guntur'-nya Suto. Mereka menyeringai kesakitan dan untuk sesaat tak mampu
berdiri.
Zlaaaap...! Pendekar Mabuk
segera melesat pergi tinggalkan tempat itu dengan pegangi tali celananya yang
tadi sempat putus dipaksa oleh Paras Juwita. Untuk sementara Suto terpaksa
berlari sambil kerepotan menyambung tali celananya.
"Brengsek! Ikat saja
pakai kain ikat pinggang ini!" geramnya sambil mengarah ke bangunan megah
yang tampak berbenteng putih di kejauhan sana. Pendekar Mabuk yakin betul,
bahwa bangunan berbenteng putih itulah istananya Ratu Dekap Rindu yang harus
dituju.
Tiga perempuan yang tadi
hampir menjadikan diri Suto sebagai budak nafsunya, kini sedang lakukan
pengejaran. Mereka memang tertinggal jauh oleh Suto, tapi usaha mengejar tetap
ada sebagai kewajiban seorang prajurit istana sang Ratu Dekap Rindu. Di depan
pintu gerbang benteng putih itu, Suto Sinting dihadang oleh delapan prajurit
yang semuanya perempuan berparas cantik-cantik. Bahkan masing- masing dada
mereka saling bertonjolan dengan sekal dan menantang sekali. Pakaian mereka
berbelahan tengah agak lebar, sehingga pinggiran sepasang bukit dada itu tampak
menggoda setiap lelaki yang dikepung mereka, termasuk Pendekar Mabuk yang
menurut anggapan mereka adalah Badra Sanjaya.
"Aku ingin menghadap
Ratu! Izinkan aku masuk!" tegas Suto Sinting dengan menenteng bumbung
tuaknya sebagai langkah persiapan hadapi bahaya apa pun. Untung saja bumbung
tuak itu tadi sempat diisi tuak hingga penuh dari sebuah kedai di desa yang ia
temukan setelah berpisah dengan Sriti Kuning tadi. Dengan begitu, kapan saja ia
terluka ia dapat meminum tuaknya sebagai pengering luka secara gaib.
Salah seorang dari prajurit
pengepung itu berseru kepada Suto.
"Nyai Ratu perintahkan
kami menangkapmu, Badra! Kau dianggap mengecewakan Nyai Ratu dan layak
dijadikan tawanan, bukan seseorang yang layak kami hormati lagi!"
"O, jadi Badra Sanjaya
dulu di sini dihormati?!" gumam Suto Sinting dalam hatinya. Tapi mulutnya
segera serukan kata kepada prajurit yang bicara tadi.
"Aku akan kembalikan
pusaka 'Jarum Surga' kepada Nyai Ratu! Kumohon jangan membuatku kecewa dan
membatalkan niatku menyerahkan pusaka 'Jarum Surga' ini!"
Pendekar Mabuk bicara dengan
lantang dan mantap, seolah-olah dia benar-benar membawa pusaka 'Jarum Surga'.
Tetapi para prajurit itu menertawakan dengan cekikikan, bahkan ada yang tertawa
dengan berpaling ke arah lain. Sikap mereka itu membuat Suto Sinting menjadi
curiga.
"Jadi kalian tidak
percaya kalau aku membawa pusaka 'Jarum Surga' itu?! Apakah kalian perlu
melihatnya dulu?!"
Tawa para prajurit itu semakin
ditahan karena semakin terasa lucu bagi mereka, sehingga salah satu ada yang
terkikik-kikik hingga membungkukkan badan.
"Apa-apaan mereka ini?!"
geram hati Pendekar Mabuk. "Mereka boleh saja tidak percaya, tapi tak
perlu sampai terpingkal-pingkal seperti yang berambut panjang diikat pita biru
itu! Sebaiknya aku tak perlu menantang pembuktian. Bisa bikin diriku terjebak
sendiri oleh omonganku! Kalau mereka benar-benar ingin melihat pusaka itu ada
di tanganku, wah... tentu saja aku akan kewalahan mencari alasan untuk hindari
pembuktian itu!"
Maka seruan Pendekar Mabuk pun
akhirnya berubah menjadi sebuah ancaman halus.
"Kalau aku tak kalian izinkan
masuk, maka aku akan pulang dan pusaka itu akan kujual kepada pihak lain!"
Tiba-tiba pintu gerbang
terbuka, dan seraut wajah yang sudah dikenal Suto pun tampak muncul dari balik
pintu gerbang. Wajah itu adalah wajah si Laras Wulung. "Biarkan dia masuk!
Beri jalan untuknya!"
Maka barisan pengepung yang
ada di depan Suto itu segera menyingkir sambil mulut mereka ditutupi dengan
tangan supaya tak kelihatan kalau sedang tersenyum. Pendekar Mabuk merasa
semakin aneh melihat sikap mereka. Tapi hati Suto berkata,
"Ah, persetan dengan
keanehan mereka!"
Gerbang dibuka lebar, Laras
Wulung menyambut kehadiran sdsok Badra Sanjaya dengan senyum memancarkan daya
pikat yang menggetarkan jiwa setiap lelaki.
*
* *
7
PENDEKAR MABUK dibawa oleh
Laras Wulung ke sebuah ruangan berlorong terang. Lorong terang itu berlantai
mengkilap warna putih kaca.
"Aku ingin bertemu ratu
dan langsung bicara soal pusaka 'Jarum Surga'," kata Suto sambil berjalan
didampingi pengawal kepercayaan sang Ratu.
Senyum tipis mekar di bibir
mirip kuncup mawar itu. Pendekar Mabuk meliriknya sebentar sambil membatin,
"Sepertinya ada yang lucu pada diriku. Apa yang membuat mereka dan Laras
Wulung ini menertawakan diriku dengan sembunyi-sembunyi?!" Kejap berikut
terdengar suara Laras Wulung bersama langkahnya yang tegap, menampakkan
keberanian dan ketangkasannya sebagai pengawal kepercayaan sang Ratu.
"Kau baru bisa bertemu
dengan Nyai Ratu esok sore." "Mengapa begitu?"
"Nyai Ratu sedang lakukan
semadi selama sepuluh hari. Esok hari yang kesepuluh dan ia akan keluar dari
ruang semadi pada sore menjelang senja."
Laras Wulung bicaranya selalu
tegas, menunjukkan sikapnya yang tegas pula dalam menggantikan kedudukan sang
Ratu selama sang Ratu berhalangan. Tubuhnya yang tinggi, sama dengan tinggi
tubuh Suto atau Badra Sanjaya, mempunyai badan sekal, padat berisi. Seakan
sewaktu-waktu dapat keluarkan kekuatan yang sukar ditumbangkan.
"Mau ke mana kita
ini?" tanya Suto Sinting ketika menuruni tangga menuju ke lantai bawah.
"Apakah kau tak ingat tempat
ini?"
Pendekar Mabuk agak
menggeragap. Bagaimanapun juga ia harus tampak seperti Badra Sanjaya supaya
tujuan sebenarnya tak dicurigai siapa pun.
"Ya, aku ingat tempat
ini. Tapi yang kutanyakan, mengapa harus ke sini?"
"Kau pikir ada tempat
lain untukmu?"
Pendekar Mabuk menjadi bimbang
dan curiga, ia tak jelas maksud ucapan Laras Wulung itu. Ia menyangka akan
dibawa ke penjara. Hampir saja ia menolak dan berbalik arah. Untung Laras
Wulung yang berbaju biru kehitam-hitaman itu segera berkata dengan suara pelan
namun jelas.
"Apakah kau tak ingin
istirahat dulu? Sebentar lagi petang tiba, dan tentunya kau perlu istirahat
setelah lakukan perjalanan jauh dari Gunung Dara."
"O, ya... memang aku
lelah. Tapi aku masih ingin ngobrol denganmu, Laras Wulung!"
"Kau sangka akan
kutinggalkan istirahat sendirian?
Ratu bisa marah kalau kau
istirahat sendirian?"
"Apakah Nyai Ratu menjadi
murka setelah aku melarikan pusaka 'Jarum Surga'-nya itu?"
Sambil menutup pintu besar di
ujung tangga, Laras Wuiung perdengarkan suaranya.
"Kucoba untuk
menenteramkan hati Nyai Ratu agar beliau tidak menjadi murka padamu!'
"Tapi para prajurit itu
ingin menangkapku atas perintah Nyai Ratu!"
"Supaya kau tidak
melarikan diri lagi dan mau diajak bicara dengan damai!" jawab Laras
Wulung sambil membawa Suto berjalan di
antara kamar-kamar berdinding hitam dan
berpintu besi. Pendekar Mabuk semakin cemas dan kecurigaan dalam hatinya kian
besar. "Jangan-jangan aku dimasukkan
ke dalam kamar penjara secara
baik-baik?! Oh, aku tak boleh terkecoh oleh sikap tenangnya Laras Wulung ini!
Harus ada yang bisa segera kulakukan seandainya ia tahu-tahu menjebloskan
diriku dalam penjara yang sukar ditembus
tenaga dalam."
Melangkah di lorong yang
kanan-kirinya adalah kamar-kamar menimbulkan kesan tak enak sekali di hati
Suto. Sinting. Sekalipun pada akhirnya Laras Wulung hentikan langkah setelah
mereka tiba di kamar paling ujung, Pendekar Mabuk sudah siapkan bumbung tuaknya untuk lakukan sesuatu jika dirinya
dalam bahaya.
"Bagaimana kalau Laras
Wulung kulumpuhkan dulu? Setelah dia lumpuh aku bisa bebas mencari tabung
beling yang menjadi penjara sukmanya Badra Sanjaya!" pikir Suto Sinting
sambil memperkuat genggaman tangannya yang dililit tali bumbung tuak itu.
Tapi ketika pintu kamar ujung
itu dibuka, Suto Sinting tertegun sesaat dan hatinya segera membatalkan rencana
memukul Laras Wuiung dari belakang. Karena begitu kamar dibuka, mata Pendekar
Mabuk melihat sebuah ruangan yang lebar sekali. Ruangan itu mempunyai kolam
berair bening, taman batuan karang berwarna-warni dan dilengkapi dengan perabot
ruang tidur, termasuk sebuah ranjang berlapis kain berbulu halus warna merah
muda. Sedangkan sebagian lantainya dilapisi permadani lembut berwarna hijau
muda bagaikan bentangan rumput muda. Seluruh dinding ruangan itu dilapisi
cermin, sehingga membuat ruangan itu tampak luas dan lega. Di mana pun orang
berdiri atau duduk di kamar itu, ia akan dapat melihat bayangannya dalam cermin
sebelah mana saja.
Ruangan itu menjadi terang
oleh cahaya obor dari bebatuan yang membara dan memancarkan sinar merah api ke
atas. Bebatuan itu berada dalam sebuah tempat lebar bertangkai panjang. Lampu
penerang seperti itu ada di setiap sudut kamar, yang membuat suasana kamar
tampak terang benderang tanpa asap obor menghitam di langit-langitnya.
"Ooh...?! Langit-langit
kamar ini juga dilapisi cermin? Hi, hi, hi... aku bisa melihat bayanganku ada
di atas sana. Ah, buruk amat aku kalau dilihat dari atas kepala! Seandainya
yang kupakai adalah ragaku sendiri, alangkah bangganya aku memandangi diriku di
setiap sisi dinding bercermin ini!"
Laras Wulung menutup pintu
kamar itu, tapi ia sendiri tetap ada di dalam kamar. Berarti Suto tidak
dimasukkan dalam penjara. Bahkan perempuan itu berlagak cuek dengan pandangan
mata Suto yang mengikutinya penuh perasaan kagum. Laras Wulung membuka almari
dan mengeluarkan kain putih yang ternyata adalah sebuah jubah lembut berlengan
panjang. Jubah itu sampai menutup mata kaki.
Lalu sebuah kain merah muda
diambilnya pula dari dalam almari berukir. Rupanya kain itu adalah selembar
handuk berbulu halus.
"Mandilah dulu,"
ujar Laras Wulung agak datar dan bernada tegas.
"Mandinya di mana,
ya?" pikir Suto. "Apakah nyebur ke kolam itu seperti mandi di
sungai?!"
Laras Wulung sendiri
melepaskan bajunya di tepian kolam berair jernih itu.
"Lho...?!"
Bahkan bukan hanya baju yang
dilepas Laras Wulung, melainkan juga pakaian lainnya dilepas juga tanpa rasa
malu atau sungkan.
"Lho, lho...?!" mata
Suto terbelalak dan sepertinya sukar berkedip lagi. Karena saat itu ia melihat
dengan jelas sebentuk tubuh yang elok menawan. Tubuh putih mulus berdada sekal
menantang dan berpinggul menonjol berisi, sungguh menggemaskan namun juga
membuat jantung Suto terasa berhenti mendadak, lalu berdetak lagi dengan
tersendat-sendat.
"Apakah kau tak ingin
mandi, Badra?!" tegur Laras Wulung pada saat Suto berlagak memunggungi,
tapi memandang jelas-jelas melalui pantulan cermin yang menutup dinding di
depannya. Laras Wulung pun menatap Suto melalui bayangan yang ada di cermin itu.
"Ak... aku...," Suto
menjadi salah tingkah. Laras Wulung mendekati dengan pandangan mata yang teduh
namun mengandung daya getar yang cukup membuat lutut terasa ngilu.
"Kalau kau tak mau mandi,
aku tak mau melayanimu," kata Laras Wulung.
"Ap... ap... apa maksudmu
berkata begitu?!" tanya Suto mulai menggeragap.
"Apakah kau berlagak
bodoh?!"
Semakin sulit mulut Suto
dipakai untuk bicara.
Semakin kaku pula lidahnya.
"Badra Sanjaya selalu
mandi bersamaku," ucap Laras Wulung sambil menatap dalam jarak sangat
dekat. "Badra Sanjaya selalu patuh padaku, karena ia menyukai keindahan
dan kemesraanku. Jangan mengubah kebiasaan, Badra."
"Oh, hemmm... iya, aku
hanya... hanya merasa kagum yang kelewat batas terhadap kecantikanmu, Laras
Wulung," ujar Suto yang tadi sempat tertegun dan menyimpan kecemasan.
Takut tidak diakui sebagai Badra Sanjaya. Kini ia biarkan Laras Wulung bersikap
seperti seorang ibu ingin memandikan anaknya yang berusia tiga atau empat
tahun.
Tapi Laras Wulung adalah
seorang ibu yang nakal, Karena sebelum anaknya menceburkan diri ke dalam kolam
pemandian, Laras Wulung sempat tersenyum- senyum sambil mempermainkan gairah
sang bocah, ia berlutut dan sesekali memandang ke atas, menatap wajah pemilik
kehangatan itu. Bibir dan lidahnya nakal kembali setelah ia puas melihat si
pemilik kehangatan mengerang lirih ditikam rasa nikmat. Jari-jari tangan Laras
Wulung kian lincah mempermainkan sesuatu yang membuat Suto Sinting
terlonjak-lonjak dalam buaian keindahan. Suto tak berani menolak, karena siapa tahu
memang beginilah kebiasaan Badra Sanjaya jika berhadapan dengan pengawal
kepercayaan sang Ratu ini. Laras Wulung kian menunduk hingga akhirnya mencium
lutut Suto. Dipagutnya lutut itu, dan hati Suto Sinting berdesir bagai diiris
sembilu namun tak terasa sakit. Yang dirasakan dari pagutan pada bagian
lututnya itu adalah siraman kenikmatan begitu indah dan
membuat gairahnya kian
berkobar-kobar.
Lutut itu sesekali digigit
kecil oleh Laras Wulung, sesekali disapu dengan lidahnya dan dipagut kembali.
Hanya saja, makin lama pagutan itu makin merayap ke atas dan terus ke atas
sampai menemukan terminal keindahan.
Laras Wulung memandang dengan
sayu. Sangat menggoda sekali. Suto Sinting terengah-engah karena lelah menahan
jeritan keindahannya. Tapi ia harus tetap bersikap seperti Badra Sanjaya. Maka
ketika Laras Wulung menuntunnya mendekati sebuah batu setinggi pinggul yang
permukaannya datar, Suto Sinting ikut saja tanpa menolak tanpa bertanya. Batu
di dekat kolam jernih itu kini menjadi tempat duduk Laras Wulung,
"Beri aku keindahan yang
dahsyat seperti biasanya...," ucap Laras Wulung dengan suara masih bernada
wibawa.
Suto bingung apa yang harus
dilakukannya supaya sama seperti yang dilakukan Badra Sanjaya. Apalagi sekarang
perempuan itu merebah ke belakang tapi satu kakinya masih menapak di lantai
sedangkan kaki yang satunya ada di tepian batu itu.
"Barangkali dia minta
diperlakukan seperti saat dia memperlakukan diriku tadi," pikir Suto
Sinting. Maka dilakukanlah seperti yang telah dilakukan Laras Wulung kepada
Suto saat Suto berdiri tadi.
"Ooouh...!"
Belum-belum Laras Wulung telah memekik ketika Suto menempelkan bibirnya di
lutut perempuan itu. Selanjutnya, suara Laras Wulung seperti orang di kamar
penyiksaan. Menjerit, mengerang, merengek, terengah-engah, mendesah, lalu
menjerit lagi. Bahkan kadang terpekik dengan kedua tangan meremas rambut kepala
Suto kuat-kuat. Perempuan itu ternyata lebih dahsyat dari yang pernah dihadapi
Suto Sinting sebelumnya.
"Lakukan...!" sentak
Laras Wulung bagai orang marah. "Cepat lakukan sekarang! Cepaaat...!
Oooouh...!" Ia juga seperti orang menangis. Suto Sinting jadi bingung
sendiri.
"Apa maunya perempuan
ini? Dibeginikan mengeluh, digitukan menjerit, digini-gitukan memekik, digitu-
gitukan malah merengek.... Jadi aku harus bagaimana sebenarnya?!" gerutu
Suto Sinting dalam hati, tapi tetap menjadi seekor kucing yang memandikan
anaknya. Laras Wulung sangat kegirangan. Jerit, pekik, rengekan, keluh dan
semua yang dilontarkan lewat mulut Laras Wulung hingga berisik itu adalah
pernyataan dari rasa girang, bahagia, nikmat, syahdu, dan sebagainya yang
bercampur menjadi satu.
Jebuuurrr...!
Karena banyak bergerak, Laras
Wulung jatuh ke kolam itu setelah memekik keras-keras dan tangannya yang
meremat pundak Suto Sinting itu terlepas karena tubuh Suto mengucurkan keringat
dengan deras.
"Cepat kemari...
cepat...!" panggil Laras Wulung, kemudian Suto pun akhirnya terjun ke
kolam itu.
Jebuuuurr...!
Jebar, jebur, jebar, jebur...!
Air kolam menjadi kacau. Laras
Wulung memukul- mukul air kolam ketika Suto Sinting memeluknya. Suara Laras
Wulung berhamburan tak jelas apa yang diucapkannya.
"Kenapa tidak kau
lakukan!" sentak Laras Wulung pada akhirnya. "Lakukanlah! Kau bukan
Suto Sinting, tapi Badra Sanjaya! Lakukanlah...!"
Suto Sinting bingung mendengar
ucapan itu. Tapi karena Laras Wulung mendesak dan membentak, nyaris mengamuk,
maka Suto Sinting pun akhirnya memberikan apa yang diminta Laras Wulung dari
Badra Sanjaya.
"Kuberikan apa yang kau
minta dari Badra Sanjaya!" ucap batin Suto. "Barangkali inilah yang
kau inginkan dari Badra Sanjaya...!"
"Aaaahhh...!"
teriakan panjang Laras Wulung adalah puncak keindahan yang dicapainya dan
diperoleh dari Badra Sanjaya.
Perempuan itu akhirnya
terkulai lemas di tepian kolam. Suto Sinting masih tegar dan berdiri di
sampingnya dengan tegak, gagah, dan kekar.
"Kau luar biasa dari yang
pernah kudapatkan darimu, Badra Sanjaya!" ujar Laras Wulung sambil
tergolek pandangi pria yang berdiri di sampingnya.
"Mengapa kau sebut nama
Suto Sinting?" pancing Suto karena kecurigaannya semakin besar.
"Apakah aku tadi menyebut
nama Suto Sinting?!" "Ya, kau menyebutnya!"
"Oh, mungkin karena aku
tahu kau bukan Badra Sanjaya, melainkan Pendekar Mabuk. Kau adalah Suto
Sinting!"
"Aku Badra Sanjaya!"
sentak Suto yang terkejut sekali mendengar pernyataan itu. "Aku murid Ki
Jalu Kuping dari Gunung Dara!"
"Bukan. Kau bukan Badra
Sanjaya. Ragamu memang Badra Sanjaya tapi sukmamu, jiwamu, rasamu, semua adalah
milik Pendekar Mabuk!"
Laras Wulung pun bangkit dan
memandang Suto tegas-tegas.
"Badra Sanjaya sudah ada
di sini sebelum kau datang."
Mata Suto terbelalak walau tak
begitu lebar, ia menyembunyikan rasa kagetnya.
"Badra Sanjaya sekarang
berada dalam tabung kaca. Tapi raganya masih bisa kunikmati seperti biasanya.
Sukmamu membantuku mendapatkan keindahan dari Badra Sanjaya. Aku tahu, Jalu
Kuping mempunyai ilmu 'Sewaka Sukma'. Jika Badra Sanjaya beberapa waktu yang
lalu lari dari sini dan kembali kepada gurunya, sudah kuperkirakan bahwa ilmu
'Sewaka Sukma' akan digunakan oleh Jalu Kuping. Tapi aku tak menyangka kalau
Pendekar Mabuk yang pernah menemuiku
bersama Yundawuni itu adalah orang yang nyawanya disewa oleh Jalu Kuping!"
Suto Sinting merasa telah
tertangkap basah, ia tak bisa mengelak lagi, akhirnya ia mengakui secara tak
langsung atas kebenaran pendapat Laras Wulung itu.
"Dari mana kau tahu kalau
aku adalah Pendekar Mabuk?"
"Bumbung tuakmu tak
mungkin bisa berada di tangan Badra Sanjaya! Ilmumu jauh lebih tinggi dari
Badra Sanjaya! Karena kutahu kau murid si Gila Tuak." "Dari mana kau
tahu aku murid si Gila Tuak?"
"Yundawuni menjelaskan
tentang dirimu, selain itu juga kabar dari beberapa orang yang pernah melihat
kehebatan ilmumu!" jawab Laras Wulung.
"Tapi mengapa kau masih
tetap mengharap kemesraan dariku, sedangkan kau tahu aku bukan Badra
Sanjaya?!"
"Aku sangat membutuhkan
kemesraan itu. Aku... aku mencintai Badra Sanjaya. Sebab itulah dia kusuruh
melarikan diri dari istana ini. Aku tak ingin Badra Sanjaya menjadi budak
gairah Nyai Ratu setiap malam atau kapan saja Nyai Ratu membutuhkannya. Aku
merasa lebih baik tidak melihat orang yang kucintai daripada melihat kekasihku
itu terpaksa harus melayani keinginan Nyai Ratu!"
Pendekar Mabuk
manggut-manggut. Setelah diam sesaat dan Laras Wulung duduk di tepian kolam,
Suto pun segera ajukan tanya lagi kepada wanita cantik berselera tinggi itu.
"Benarkah Nyai Ratu
menyuruh orang-orangnya menangkap Badra Sanjaya karena tuduhan mencuri pusaka
'Jarum Surga'?!"
Laras Wulung tersenyum kecil.
Ia memandang Suto yang berdiri di sampingnya dalam keadaan masih tetap seperti
keluar dari kolam. Perempuan itu segera berkata sambil memandangi tubuh bagian
bawah Suto.
"Itulah pusaka 'Jarum
Surga' yang dimaksud!" "Ooh...?!" Suto Sinting tersentak kaget,
merasa terkecoh oleh bayangannya tentang pusaka 'Jarum Surga' itu.
"Sewaktu aku datang
bersama Yundawuni, kau bilang padaku bahwa pusaka 'Jarum Surga' dibawa lari
oleh Badra Sanjaya, dan pusaka itu seperti tombak yang "
"Bukankah memang seperti
tombak?!" sahut Laras Wulung sambil tersenyum. "Aku tidak bilang
bahwa pusaka dicuri Badra Sanjaya, tapi pusaka 'Jarum Surga' dibawa lari oleh
Badra Sanjaya. Memang dibawa lari, sebab pusaka itu adalah milik Badra Sanjaya
dan ia melarikan diri, maka dikatakan pusaka itu dibawa lari. Apakah aku
salah?!"
Pendekar Mabuk hanya tarik
napas dalam-dalam. Ia benar-benar terkecoh oleh permainan kata Laras Wulung.
"Siapa yang memberi
perintah menangkap Badra Sanjaya?"
"Nyai Ratu...! Perintah
itu memang turun dari Nyai Ratu sendiri. Sebab Nyai Ratu membutuhkan pusaka
'Jarum Surga' itu. Dia ingin mendapatkannya kembali. Jika tak berhasil, dia
akan membunuh Badra Sanjaya. Maka kuminta bantuan kepada Yundawuni untuk
menghubungi Pendekar Mabuk. Kuminta kau menangkap Badra Sanjaya sebab aku takut
Badra Sanjaya diburu oleh pengawal Nyai Ratu yang ilmunya cukup tinggi. Jika
kau lebih dulu menangkap Badra Sanjaya, maka kau akan melindungi nyawa Badra
Sanjaya dari serangan para pengawal Nyai Ratu yang mendapat tugas memburunya
itu." "Ooh, cerdik sekali kau sebenarnya, Laras Wulung?!" Suto
Sinting manggut-manggut lagi.
"Tapi mengapa menurut
cerita Ki Jalu Kuping, yang disebut-sebut oleh Badra Sanjaya adalah nama Ratu
Dekap Rindu?! Mengapa bukan namamu? Apakah dia tidak mencintaimu?"
"Itu karena dia terkena
jurus 'Ranjang Goyang' sang Ratu. Jurus 'Ranjang Goyang' dapat mengenai lawan
bercumbu pada saat sang Ratu merasa dikecewakan dalam cumbuannya. Dan dengan
sendirinya kekuatan gaib dari Jurus 'Ranjang Goyang' itu terlepas dari sorot
pandangan mata sang Ratu," tutur Laras Wulung.
Sambungnya lagi, "Maka
ketika Nyai Ratu mengaku pernah dikecewakan oleh Badra Sanjaya, aku segera
tanggap bahwa Badra Sanjaya pasti telah terkena jurus 'Ranjang Goyang'. Jika
begitu, maka cepat atau lambat sukmanya akan datang sendiri kepada Nyai Ratu
dan segera dimasukkan dalam tabung beling untuk dipenjarakan. Sukma itu tak
akan pergi ke mana-mana jika tabung itu tidak dibuka atau tidak
dipecahkan!"
"Sekarang di mana tabung
itu berada?" tanya Suto yang sudah mulai yakin bahwa Laras Wulung ada di
pihak Badra Sanjaya.
"Tabung itu ada di kamar
Nyai Ratu. Tak seorang pun mengetahui letaknya dan cara mengambilnya kecuali
aku! Karena aku pengawal kepercayaan Nyai Ratu!"
"Maukah kau
mengambilkannya untukku demi membebaskan sukma si Badra Sanjaya?"
"Aku tak keberatan
asalkan kau mau juga melindungiku jika Nyai Ratu murka padaku!"
"Kalau aku tak mau, bagaimana?"
Laras Wulung diam sebentar.
Kemudian ia me- mandang Suto sambil berdiri.
"Tolong, bantulah aku.
Aku sangat mencintai Badra Sanjaya! Aku akan kalah jika melawan Nyai
Ratu."
"Kau mencintai Badra
Sanjaya?" Laras Wulung mengangguk.
"Apakah kau tak tahu
bahwa Badra Sanjaya sering melayani perempuan lain, termasuk Gayanti, Paras
Juwita dan. "
"Dan aku juga,"
potong Laras Wulung. Ia melangkah ke samping, lalu berbalik dan menatap Suto
kembali.
"Ketika Badra Sanjaya
datang kemari mencari kakak seperguruannya yang bernama Jantra Loya, kami
berhasil memperdayanya. Sebenarnya kami tidak tahu di mana Jantra Loya berada,
karena kami tak punya urusan dengan Jantra Loya. Tapi melihat ketampanan Badra
Sanjaya, kami katakan bahwa Jantra Loya dalam tawanan kami. Dia bisa dilepaskan
jika Badra Sanjaya mau menjadi penghibur perempuan-perempuan di Bukit Kemesraan
ini. Badra Sanjaya tak berkutik ketika melawan Nyai Ratu, akhirnya ia mau
menjadi pelayan kemesraan kami. Jadi siapa pun yang membutuhkan kemesraannya,
dia harus melayani, jika tidak maka Jantra Loya tidak akan kami lepas dari
penjara. Padahal itu hanya tipu muslihat kami saja. Sampai akhirnya Nyai Ratu
merasa bahagia jika mendapat pelayanan cinta dari Badra Sanjaya. Aku sendiri
merasa bahagia sekali jika selesai bercumbu dengannya, lalu akhirnya aku jatuh
cinta pada Badra Sanjaya dan ingin memiliki dia sepenuhnya."
"Hmmm...!" Suto
Sinting manggut-manggut. Setelah diam tiga helaan napas, ia pun berkata dengan
suara pelan tapi jelas dan tegas.
"Baiklah, aku akan
membantumu dalam memadu cinta dengan Badra Sanjaya, asal kau benar-benar mau
menjadi seorang istri yang baik."
"Aku akan menjadi istri
terbaik bagi Badra Sanjaya!
Aku bersumpah untuk hal
itu."
"Baik. Sekarang bebaskan
sukma Badra Sanjaya, dan jika Nyai Ratu mengamuk, aku yang akan menghadapinya.
Tapi terlebih dulu kau dan aku pergi ke Gunung Dara untuk meminta kembali ragaku!
Tak mungkin aku bercinta denganmu dalam keadaan diriku bertubuh Badra Sanjaya,
bukan?"
"Memang. Aku memang ingin
Badra Sanjaya seutuhnya!"
"Kau akan menerimanya
setelah sukmaku kembali ke ragaku yang asli dan sukma Badra Sanjaya bebas dari
penjara."
"Akan kucari penjara
sukma itu. Tapi... tapi maukah kau memberiku kemesraan lagi?"
"Bukankah kau tahu aku
adalah Pendekar Mabuk?" "Kau hanya tenaga penggerak saja. Tapi yang
kurasakan adalah kehangatan
dan kemesraan Badra Sanjaya. Tolonglah... beri aku sekali lagi biar kekuatanku
pulih kembali." "Kekuatan...?!"
"Kekuatanku akan susut
dan bisa menjadi lenyap jika gairahku sudah telanjur timbul tapi tidak mendapat
pelampiasan. Jika gairahku tidak pernah timbul, walau tak mendapatkan kemesraan
aku tak akan kehilangan tenaga. Ini disebabkan karena aku memiliki ilmu 'Titis
Panewu' warisan dari nenekku. Jika gairah sedang kambuh, tak dapat obatnya,
maka ilmu 'Titis Panewu' akan menyerap tenaga dan kekuatan batinku."
"Apa itu ilmu 'Titis
Panewu'?"
"Setiap anak yang
kulahirkan secara dengan sendirinya akan memiliki seluruh ilmu yang ada
padaku."
"Wah, hebat juga ilmu
itu?!" puji Suto. "Karena
itulah, aku butuh obat untuk gairahku." "Apakah kau bergairah
lagi?"
Laras Wulung anggukkan kepala
dengan malu-malu. "Aku rindu sekali kepada Badra Sanjaya, dan kebetulan
kau hadir membawa raganya, maka gairahku meletup- letup sejak tadi. Tolonglah
aku sekali ini saja, setelah itu kita lari dari sini sambil membawa tabung
penjara sukmanya Badra Sanjaya!"
Bingung juga menghadapi
masalah ini. Tapi akhirnya Suto Sinting berkata, "Aku tidak bisa
melayanimu. Tapi kalau kau mau mengambil miliknya Badra Sanjaya, ambillah. Aku
hanya sekadar membantu kalian!"
"Ooh...!" Laras
Wulung segera memeluk raga Badra Sanjaya dan hanyut dalam ayunan gelombang
cinta yang luar biasa dahsyatnya, tidak seperti saat-saat sebelumnya.
Pencurian tabung penjara sukma
segera dilakukan Laras Wulung sesuai rencana. Pendekar Mabuk hanya
membayang-bayangi di luar kamar Nyai Ratu, dan Laras Wulung sendiri yang masuk
ke dalam kamar tersebut.
Ketika ia berhasil membawa
tabung beling berisi asap ungu samar-samar, tiba-tiba langkahnya kepergok oleh
seorang pengawal lain yang bernama Kumbarini.
"Apa yang kau bawa itu,
Laras Wulung?!" tegur Kumbarini dengan nada curiga.
"Nyai Ratu menyuruhku
mengambil tabung penjara sukma ini!" kata Laras Wulung dengan tenang.
"Nyai Ratu sedang
bersemadi. Tak mungkin ia menyuruhmu!"
"Mengapa kau tak percaya
padaku, Kumbarini?!" "Karena aku tahu tabung itu adalah tabung penjara
sukma Badra Sanjaya. Aku tahu
kau mencintai dia, karena aku pernah mendengar percakapanmu di balik kerimbunan
bambu di taman keputrian itu. Kalian merencanakan untuk kabur dari sini. Kau
yang menyuruh Badra Sanjaya melarikan diri. Kau pula yang menunjukkan pintu
rahasia untuk meloloskan diri. Maka sekarang kutahu kau mencuri tabung itu
untuk membebaskan sukma si Badra Sanjaya!" ujar perempuan berambut panjang
dengan kenakan jubah biru bola-bola kuning.
"Kembalikan tabung itu,
Laras Wulung!"
"Jika kau tahu tentang
rencana itu, mengapa kau tidak melaporkannya kepada Nyai Ratu?!"
"Karena aku tak punya bukti yang kuat. Sekarang aku punya bukti dan ingin
menindakmu sendiri!"
"Kalau begitu, terimalah
jurus 'Sekar Dayu' ini!"
Clap, clap... ! Dua sinar biru
keluar dari kibasan tangan kiri Laras Wulung. Rupanya Kumbarini telah menduga
akan diserang secara mendadak, ia telah siap menangkis dengan sentakkan tangan
kanannya yang memancarkan sinar merah lebar. Maka dua sinar biru itu menghantam
sinar merah yang menyerupai perisai itu.
Jegaaarrr...!
Ledakan dahsyat mengguncangkan
bangunan istana megah itu. Tentu saja ledakan tersebut membuat para pengawal
lainnya berdatangan dan suasana menjadi heboh. Semakin bertambah heboh lagi
setelah Kumbarini melesat naik ke atas serambi lalu berseru kepada para
pengawal yang berdatangan itu.
"Laras Wulung mencuri
tabung penjara sukma! Lihat...! Tabung itu ada di tangannya dan ia akan
membebaskan sukmanya Badra Sanjaya!"
"Keparat! Rupanya dia
sekarang menjadi pencuri jahanam! Serang dia! Seraaaang...!"
Lebih dari dua puluh lima
pengawal berilmu tinggi mengepung Laras Wulung dan mereka menghujani Laras
Wulung dengan pukulan bersinar.
"Hati-hati... tabung itu
jangan sampai pecah!" seru Kumbarini mengingatkan teman-temannya, namun justru menjadikan Laras Wulung sadar
akan hal itu. Maka sambil hindari sinar putih dari lawannya, Laras Wulung
melemparkan tabung itu ke arah pohon. Weess...! Pyaaar...!
Wuuutt...! Asap ungu tipis itu
menyebar dan lenyap tersapu angin. Semua pengepung, termasuk Kumbarini terpekik
tegang melihat tabung itu telah pecah.
"Bunuh dia! Jangan beri
kesempatan hidup lagi!" teriak Kumbarini sambil menunjuk Laras Wulung.
Clap, clap, clap, clap...!
Laras Wulung dihujani sinar
maut yang dapat hancurkan tubuhnya. Pada saat kritis itu, Pendekar Mabuk segera
melesat menyambar tubuh Laras Wulung yang sedang melompat hindari pukulan maut
lawan- lawannya
Zlaaap...! Weees...!
Tahu-tahu Laras Wulung sudah
berada di atas tembok benteng dalam keadaan dipondong seorang lelaki berpakaian
serba hijau. Kumbarini dan yang lainnya terbelalak bengong.
"Kejar mereka!"
teriak Kumbarini.
"Turunkan aku! Akan
kulepaskan jurus penghancur istana ini!" kata Laras Wulung. Ia segera
diturunkan dari pondongan Suto. Lalu kedua tangannya segera berkelebat bagai
menari cepat, tahu-tahu menyentak ke depan. Wuuuk...! Mata dari kedua telapak
tangannya keluar sinar ungu yang menyebar ke berbagai penjuru. Wuuuus...!
Blegaaarrr.... Bhaaaangg...!
Zlaaaap...! Suto Sinting
menyambar tubuh Laras Wulung ketika nyala sinar ungu berubah menjadi api besar
yang menyambar ke mana-mana. Dengan dipanggul Suto Sinting, Laras Wulung
akhirnya meninggalkan istana itu pada saat suasana istana menjadi gempar, gaduh dan penuh
kepanikan.
Zlaaap, zlaaap, zlaaap...!
Dalam waktu singkat, Laras
Wulung sudah berada jauh sekali dari Bukit Kemesraan. Jika tanpa bantuan jurus
'Gerak Siluman' Suto Sinting, barangkali para pengawal Ratu Dekap Rindu akan
berhasil mengejar Laras Wulung. Setidaknya berhasil menghantam Laras Wulung
dari jarak jauh.
Bleeebaang...!
Gelegar ledakan maha dahsyat
masih terdengar sayup-sayup di tempat Suto menurunkan Laras Wulung dari
pundaknya. Mereka hanya memandang ke arah Bukit Kemesraan yang memancarkan
sinar merah terang yang menyebar ke langit, membuat langit petang menjadi merah
bak terpanggang api neraka.
Kembalinya sukma Badra Sanjaya
ditandai dengan bangkitnya raga Suto Sinting yang terbaring di dalam pondok Ki
Jalu Kuping. Kakek berjubah abu-abu tampak kegirangan, karena ia yakin bahwa
Suto berhasil memecahkan tabung penjara sukma itu. Keyakinannya itu menjadi
kenyataan setelah Suto dalam sosok raga Badra Sanjaya itu tiba di padepokan
Lereng Kunyuk, di Gunung Dara, bersama seorang wanita cantik yang tak lain
adalah Laras Wulung.
Ki Jalu Kuping akhirnya
memindahkan kembali sukma mereka ke tubuh masing-masing. Maka melompatlah Laras
Wulung memeluk Badra Sanjaya dalam kegirangan yang luar biasa.
"Kurasa Ratu Dekap Rindu
akan mencarimu, Laras Wulung!" kata Badra Sanjaya.
"Itu urusanku!"
sahut Suto Sinting yang kini sudah merasa lega karena sudah memakai raganya
sendiri. "Hanya saja, kumohon padamu, Badra Sanjaya... jangan kau umbar
lagi kemesraanmu untuk gadis-gadis lain. Curahkan seluruh kekuatan kemesraanmu
untuk Laras Wulung dan... segeralah meresmikan pernikahan kalian, supaya kalian
nyata-nyata merasa saling memiliki!"
Badra Sanjaya dan Laras Wulung
anggukkan kepala dengan senyum kedamaian dan kebahagiaan yang di ambang ancaman
dendam Ratu Dekap Rindu.
SELESAI