JERITAN yang melengking tinggi
itu seakan menggema ke seluruh jagat raya. Begitu keras dan panjangnya,
sehingga orang yang ada di balik bukit itu pun bisa tersentak mendengarnya.
Begitu pula dengan seorang pemuda yang masih tergeletak malas, bangun dari pembaringannya
di atas pohon. Pemuda itu terkejut ketika mendengar jeritan yang menandakan
sebagai jerit kematian. Ia segera bangkit dari rebanannya, dan menempatkan
bumbung tempat tuaknya ke punggung. Pemuda berbaju coklat tanpa lengan dan
celana putih itu melompat turun dari atas pohon berketinggian tujuh tombak.
Jlegg...! Dengan ringannya
kedua kaki kekar itu menapak di tanah perbukitan. Matanya yang berbentuk indah
tapi punya ketajaman yang mempesona itu segera memandang ke arah barat. Dahinya
berkerut sebentar pertanda merasa aneh dengan jeritan yang cepat lenyap dari
pendengarannya itu.
Pemuda itu belum bergegas
pergi. Ia masih memikirkan langkahnya untuk menengok ke arah barat, ke sumber
jeritan tadi, atau membiarkannya saja. Yang jelas, pemuda itu kembali meneguk
tuaknya dengan mendongakkan kepala, menuangkan tuak dari bumbungnya, dan
menelan air tuak itu beberapa teguk.
Hanya satu orang yang punya
kebiasaan meneguk tuak di sembarang tempat dan dalam suasana apa saja. Orang
itu tak lain adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak, yang mempunyai gelar tak
asing lagi, yaitu Pendekar Mabuk.
Apa yang terjadi di sebelah
barat adalah sesuatu yang tak diduga-duga oleh setiap orang. Seorang gadis
berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, sedang berhadapan dengan seorang lelaki
kurus, ceking, dan berkulit pucat. Wajahnya angker, matanya sipit tapi berkesan
cekung dan bengis. Rambutnya panjang sebatas punggung, tapi tipis dan
acak-acakan.
Lelaki itu mengenakan jubah
abu-abu dan celana merah, sedangkan bagian dalamnya tidak mengenakan baju,
sehingga tulang iganya terlihat bertonjolan, sebab jubahnya sendiri tidak
menutup bagian dada dan perut. Laki-laki itu menggenggam sebuah senjata berupa
kapak bergagang panjang warna merah, mempunyai dua sisi tajam di kanan-kirinya.
Kedua kapak itu mempunyai ukuran lebar dan tipis. Pada sisi kedua mata kapak
yang tajam itu berbentuk sedikit lengkung ke dalam, seakan pas untuk sebatang
leher manusia.
Perempuan muda itu masih tegar
berdiri di depan si lelaki lawannya. Ia mempunyai rambut panjang yang disanggul
membentuk kucir besar dan dililiti kain pengikat mirip tali. Sisa rambutnya
dibiarkan meriap ke samping kanan-kirinya. Ia mengenakan pakaian biru muda
dengan sabuk merah di pinggangnya. Tempat pedang masih terselempang di punggungnya
yang berkulit kuning langsat.
Di tanah sekitar mereka, sudah
ada tiga mayat terkapar berlumur darah. Perempuan muda yang berparas cantik
jelita itu, telah menumbangkan ketiga mayat tersebut dengan menggunakan sebilah
pedang berujung runcing bagaikan pisau panjang. Pedang itu mempunyai dua sisi
yang ketajamannya melebihi sebuah pisau cukur.
Melihat tiga korban telah
jatuh tak bernyawa, lelaki bermata bengis itu semakin tampak bernafsu untuk
membunuh gadis di depannya. Dengan suaranya yang menggeram menahan kebencian,
lelaki itu berkata kepada lawannya,
"Dosamu kepadaku semakin
bertambah, Arum Kafan! Sudah tak ada ampun lagi yang tersisa untukmu!"
Perempuan yang dipanggil Arum
Kafan itu menjawab dengan wajah tanpa senyum sedikit pun, dengan mata memandang
tajam dan dingin, seakan tak mau kalah bengis dengan mata lawannya.
"Aku tak pernah mengharap
ampunan darimu, Tulang Neraka! Apa yang ingin kau lakukan padaku, lakukanlah
sepanjang kau mampu melakukannya! Tapi kau pun harus bersiap-siap kehilangan
nyawamu seperti kedua adikmu dan satu kakakmu itu, Tulang Neraka!"
Lelaki yang berjuluk Tulang
Neraka itu, ternyata adik dan kakak dari ketiga orang yang telah dibunuh oleh
Arum Kafan di tempat itu juga. Rupanya mereka adalah empat bersaudara yang
berhadapan dengan satu musuh mereka, yaitu perempuan cantik tersebut. Apa
masalahnya, belum jelas. Yang sudah pasti, Tulang Neraka merasa sangat sakit
hati melihat ketiga saudaranya mati di tangan Arum Kafan.
Kapak dua mata yang
berpenampang lebar itu digenggam kuat pada bagian pertengahan gagangnya! Tulang
Neraka melangkah berkeliling pelan-pelan sambil berkata penuh geram,
"Bukan hanya tubuhmu yang
akan kucacah-cacah di sini, Arum Kafan, tapi kedua tubuh adikmu pun akan kuburu
dan kucacah-cacah sama seperti aku mencacah tubuhmu!"
"Jangan banyak bicara,
Tulang Neraka! Kita selesaikan secepatnya dendam leluhur ini supaya jelas,
siapa yang binasa di antara dua keluarga kita!" seru Arum Kafan tak mau
kalah gertak.
Maka dengan gerakan cepat,
Tulang Neraka melompat menerjang Arum Kafan. Kapaknya ditebaskan ke arah leher
Arum Kafan. Tetapi perempuan berpedang runcing itu mengibaskan pedangnya sambil
merendahkan tubuh, sehingga gerakan kapak tertahan di pertengahan jalan.
Trangng...!
Kaki perempuan cantik itu menendang
ke perut Tulang Neraka. Wutt! Behgg...! Tubuh kurus ceking berusia sekitar
empat puluh tahun itu terpental mundur lebih dari tiga tombak jauhnya. Ia jatuh
menimpa semak- semak hingga terdengar suara gemeresak dengan jelas sekali.
Tapi dengan sentakan
pinggangnya, lelaki berjubah abu-abu itu bisa melentik bagai belalang, dan
kembali berdiri dengan sigap. Wajahnya sedikit dimiringkan agar bisa memandang
dengan melirik sadis.
"Heeaah...!"
tiba-tiba ia menyentakkan tangan kirinya ke depan. Dari tangan kiri itu melesat
seberkas sinar, warnanya kuning kemerahan, berbentuk seperti tongkat panjang
satu hasta.
Wuttt...! Sinar kuning
kemerahan itu melesat dengan cepat ke Arum Kafan. Tapi Arum Kafan tak kalah
sigap. Dengan satu sentakan tangan kirinya pula ia melepaskan pukulan tenaga
dalam yang mempunyai berkas sinar warna hijau. Kedua sinar itu bertemu di
pertengahan jarak, dan saling membentur menimbulkan ledakan dahsyat. .
Duarrr...! Asap mengepul warna
gelap. Kejap berikutnya menghilang lenyap. Tapi sinar hijau itu masih ada dan
diam di tempat benturannya tadi. Sinar itu tidak ikut pecah dan bahkan kembali
bergerak setelah berhenti di udara beberapa kejap tadi.
Tulang Neraka terbelalak kaget
melihat sinar hijaunya Arum Kafan masih ada di tempat dan sekarang sedang
menyerangnya dengan kecepatan tinggi. Maka, cepat-cepat Tulang Neraka melompat
ke samping dan membuat sinar hijau itu lolos darinya, menghantam sebatang pohon
di belakangnya.
Blarrr...! Sinar itu
menimbulkan ledakan kembali.
Anehnya pohon itu tidak hancur
dan masih utuh. Bahkan daunnya tak ada yang gugur satu helai pun.
Tulang Neraka memandang pohon
itu sebentar, lalu tersenyum sinis meremehkan kekuatan sinar hijaunya Arum
Kafan. Ia berkata dengan nada melecehkan jurus Arum Kafan,
"Ternyata jurusmu hanya
jurus untuk menipu anak kecil! Tak punya kekuatan apa pun, selain kekuatan
menipu pandangan orang!"
"Sayang sekali tidak
mengenai tubuhmu, Tulang Neraka!" .
"Seandainya mengenai
tubuhku pun tak akan menjadi masalah bagiku! Sama saja aku tersengat puntung
tembakau, atau...."
Tulang Neraka tidak
melanjutkan ucapannya. Karena tiba-tiba datang angin kencang dan pohon itu
rusak terhembus angin, bagaikan gugusan abu yang membentuk sebuah pohon. Bahkan
kurang dari satu helaan napas, pohon itu telah hilang dari wujud aslinya.
Berubah menjadi debu yang beterbangan terbawa angin.
Mata bengis Tulang Neraka
sempat tak berkedip. Ia meneguk ludahnya sendiri menyaksikan kehebatan sinar
hijaunya Arum Kafan. Tak disangka ternyata sinar itu mampu membuat pohon itu
tetap berbentuk sebagaimana aslinya, tapi sebenarnya sudah hangus menjadi debu
yang lembut dan tak bisa dipegang lagi.
"Edan! Kalau tadi tubuhku
yang kena pukulannya pasti aku sudah menjadi debu seperti pohon itu," kata
Tulang Neraka dalam hatinya.
"Rupanya dia sudah
melepaskan jurus andalannya, sekarang giliran aku yang melepaskan jurus
andalanku!"
Dengan suara keras, Tulang
Neraka berseru, "Arum Kafan, kau boleh banggandengan pamer ilmu seperti
itu padaku. Tapi kau pun harus menerima akibatnya dari kesombonganmu tadi.
Kukirimkan jurus 'Brajagina' ini untuk menyambut kematianmu, Arum Kafan!
Heaah...!"
Tulang Neraka meluruskan
kapaknya ke depan, mengarah kepada Arum Kafan. Kapak itu dipegang dengan tangan
kiri, dan tangan kanannya menghantam ujung gagang kapak warna merah itu.
Telapak tangan kanannya merapat lekat di ujung gagang kapak. Tubuhnya sedikit
miring dan berdiri agak merendah. Tubuh itu gemetar bagai sedang mengerahkan
satu kekuatan tenaga dalam yang cukup dahsyat.
Bersamaan dengan sikapnya
begitu, dari kedua mata kapak yang lebar itu terlepaslah dua sinar patah-patah
warna merah bening. Sinar merah bening itu keluar dari mata kapak secara
beruntun dan menerjang tubuh Arum Kafan. Kedua mata kapak pun menyala merah
membara.
Sinar merah patah-patah yang
beruntun menyerang itu salah satunya bisa dihadang oleh telapak tangan Arum
Kafan yang menjadi menyala hijau sebatas pergelangan tangannya. Ia menahan
sinar itu di depan dadanya dengan telapak tangan terbuka.
Tapi seberkas sinar yang kiri
tak bisa tertahan lagi karena pedangnya meleset ketika ingin menghadangnya.
Seberkas sinar itu menembus bagian bawah pundak Arum Kafan. Jrabbb...!
"Aaahg...!" Arum
Kafan tersentak ke belakang, oleng dan akhirnya jatuh. Pundaknya menjadi hangus
seketika. Hitam. Bahkan pakaiannya yang dikenakan itu mulai menyalakan api dan
terbakar. Arum Kafan terguling- guling sambil menjerit kesakitan. Pedangnya
sampai lepas dari genggaman tangan. Kehangusan itu ternyata berjalan terus
sampai ke lengan batas siku.
Arum Kafan seperti dibakar
hidup-hidup. Tingkahnya yang kelabakan ditertawakan oleh Tulang Neraka.
"Ha ha ha ha...! Makanlah
habis jurus Brajagina'-ku itu! Ha ha ha ha ha...! Arum Kafan, kuselesaikan
tugas ku mencabut nyawamu saat ini juga! Hiaaat...!"
Tulang Neraka berkelebat
melompat sambil mengangkat kapaknya untuk ditebaskan ke bawah begitu tiba di
tanah samping Arum Kafan. Tapi sebentuk bayangan tak jelas telah membuatnya
kalang kabut karena berkelebat cepat menabrak dirinya. Bruss...!
Tulang Neraka seperti
diseruduk tiga banteng yang mengamuk. Tubuh Tulang Neraka terpental lebih dari
lima tombak jauhnya. Ketika ia jatuh dalam keadaan miring, ia sempat melihat
sesosok manusia muda berbaju coklat dan celana putih. Pemuda itu segera
menghampiri Arum Kafan. Mengangkat kepala Arum yang tersentak- sentak karena
menahan rasa panas yang mulai menjalar sampai di perutnya.
Dalam keadaan mulut ternganga
itu, Arum Kafan merasa ada yang menuangkan cairan ke mulutnya. Rasa panas
membuat Arum Kafan menelan cepat-cepat cairan yang ternyata tuak itu. Beberapa
teguk tuak di telannya, kemudian kepalanya diletakkan di rerumputan kembali
oleh si pendatang tak dikenal itu.
Suto Sinting sudah berdiri di
sana. Matanya memperhatikan si Tulang Neraka dengan tenang dan kalem. Tulang
Neraka saat itu sedang berusaha bangkit dengan menyeringai kesakitan. Tapi
matanya yang menyipit karena menahan sakit itu tiba-tiba jadi terbelalak
terbuka cepat. Ada sesuatu yang mengejutkan dirinya. Ada sesuatu yang
dicari-carinya. Tanpa sadar ia bicara sendiri,
"Mana kapakku...?! Mana
senjataku?! Lho... mana...?!"
Kapak itu telah lenyap dari
tangan Tulang Neraka. Dicari ke mana-mana tetap tak ada. Tulang Neraka tak
tahu, bahwa Suto Sinting telah menyemburkan tuaknya saat menabrakkan diri ke
tubuhnya. Kapak itu terkena ilmu 'Sembur Siluman' si Pendekar Mabuk, yang dapat
membuat benda menjadi lenyap setelah terkena semburannya.
Sedangkan keadaan Arum Kafan
saat itu menjadi tenang kembali. Bukan hanya Tulang Neraka yang merasa
terheran-heran melihat Arum Kafan berkulit kuning langsat itu sehat kembali,
tapi Arum Kafan sendiri merasa heran dengan keadaannya yang lekas pulih itu.
Rasa panas akibat hantaman sinar biru tadi telah hilang. Bahkan kulitnya yang
hangus pun lenyap dan kembali mulus. Tapi luka bakar pada pakaiannya masih
belum hilang dan menghitam robek, walau tidak panas dan tidak mengepulkan asap
sedikit pun. Rupanya tuak yang diminumnya tadi adalah obat mujarab yang punya
kekuatan sungguh ajaib.
"Jahanam kusut!"
geram Tulang Neraka sambil matanya mendelik memandang Suto Sinting. "Kau
pasti Pendekar Mabuk yang kesohor itu! Benar, bukan?!"
"Benar! Tapi aku tidak
kenal siapa dirimu, kalau tidak aku mendengar perempuan itu memanggilmu Tulang
Neraka!"
"Bagus. Kau telah mengaku
di depanku, sehingga aku lebih bangga jika bisa membunuhmu! Tapi aku ingin
tahu, mengapa kau memihak Arum Kafan? Apakah karena dia cantik dan kau
tertarik?!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum
tipis berkesan sinis.
"Jika kau tertarik dengan
perempuan itu, kau harus tahu, Pendekar Mabuk, bahwa perempuan itu adalah
perempuan iblis yang tak pantas mendapat suami atau kekasih dari siapa pun! Kau
akan mati dalam keadaan terhisap darahnya jika kau bercumbu dengannya! Dia
adalah perempuan penghisap darah yang harus dilenyapkan! Sama seperti kakaknya
yang bernama Dewi Taring Ayu!"
"Itu urusan dia, bukan
urusanku! Aku menyelamatkan dia karena kau bertarung tidak dengan ksatria! Kau
ingin menghancurkan orang yang telah terluka parah dan akan mati dengan
sendirinya. Kedua, karena aku kenal namamu Tulang Neraka, maka aku ingat cerita
yang dituturkan oleh para tamu di sebuah kedai tempat minum, bahwa Tulang
Neraka adalah satu dari keempat bersaudara yang menamakan diri Empat Raja
Sesat. Pekerjaan kalian merampok, memperkosa, mengganggu ketenangan orang lain,
dan ingin menguasai rimba persilatan dengan mencari pengikut sebanyak-
banyaknya. Kalian berempatlah yang membawa orang- orang untuk berjalan di
tempat yang sesat."
"Ini urusan antar
keluarga, Pendekar Mabuk! Kau tak bisa ikut campur dalam hal ini!" bantah
Tulang Neraka.
"Memang, mungkin saja
perkaramu dengan Arum Kafan adalah perkara urusan keluarga. Tapi pada saat ini
aku berdiri sebagai sang pembela kebenaran, pembasmi kejahatan, dan pembantai
manusia-manusia sesat seperti dirimu!"
"Lagakmu benar-benar
seperti jagoan, Pendekar Mabuk!"
"Terima kasih atas
pengakuanmu secara tak langsung!"
"Rupanya kau pantas
mendapat pelajaran berat dariku! Hiaaah...!"
Serta-merta tangan kanan
Tulang Neraka menyentak ke depan dengan curahan tenaga dalamnya. Dan dari
tangan kanan itu melesatlah sinar biru bergumpal- gumpal bersamaan asap yang
menebal. Sinar biru itu sebesar kepalan tangannya dan menghantam tubuh Suto
Sinting. Tetapi oleh Pendekar Mabuk sinar itu ditangkisnya menggunakan bumbung
tuaknya. Debb!
Wukkk... !
Sinar biru bercampur asap itu
membalik arah, menjadi lebih cepat gerakannya, lebih besar bentuknya, dan
menghantam dada ceking Tulang Neraka. Dan begitu melihat pukulan sinar birunya
membalik ke arahnya, Tulang Neraka cepat melompat dalam satu kelebatan kilat.
Tapi tetap saja terlambat sedikit.
Sebuah pohon di belakangnya
terhantam sinar biru sebesar buah kelapa itu. Dan pecahlah sinar biru serta
pohon itu menjadi serpihan-serpihan tajam. Blarrr...!
Sinar biru itu seperti kaca
yang pecah dan pecahannya menerjang tubuh Tulang Neraka. Serpihan kaca itu
masuk sebagian ke tubuh Tulang Neraka dan membuat tubuh itu segera menjadi
hijau kebiru-biruan dengan mulut memuncratkan darah segar.
"Uhgg...!" Tulang
Neraka terbungkuk-bungkuk dan sempoyongan. Sambil melelehkan darah dari
mulutnya, ia memandang Suto Sinting dan berusaha menuding dengan mengucapkan
kata,
"Awas...! Tunggu
pembalasanku...!"
Suto tidak bergeming.
Memandang dengan bibir tersungging senyum ketenangan. Ia membiarkan Tulang Neraka
pergi meninggalkan tempat itu dengan gerakan secepat mungkin. Arum Kafan
bangkit dan mengejarnya. Tapi kaki Pendekar Mabuk menjegal gerakan langkah Arum
Kafan, sehingga perempuan itu jatuh tersungkur ke depan.
Gabrusss...!
"Monyet...!"
rutuknya dengan geram dan gemas sekali.
"Biarkan dia pergi! Dia
sudah terluka. Siapa tahu lukanya membuatnya jera untuk tidak melanjutkan
perjalanan sesatnya lagi!"
Arum Kafam mendengus kesal
sambil berdiri menatap Suto. Dengan nada ketus ia berkata,
"Kau terlalu banyak ikut
campur dalam perkara ini!"
"Kalau aku tak ikut
campur kau telah mati dari tadi!"
"Tapi Tulang Neraka pun
akan mati juga bersamaku! Aku sudah siapkan senjata rahasia untuknya! Sayang
kau datang dan mengacaukan urusanku dengannya!"
"Sudahlah, jangan marah
padaku! Aku hanya ingin menyelamatkan nyawamu dari tangan orang sesat
itu!"
"Aku tidak butuh seorang
penyelamat!" Arum Kafan semakin geram.
"Tapi aku butuh orang
seperti kamu, yang tahu tentang Kitab Lontar Gegana!"
Terkesiap mata Arum Kafan begitu
Pendekar Mabuk menyebutkan nama Kitab Lontar Gegana. Berkerut dahi Suto,
berkerut juga dahi Arum Kafan menatap pemuda tampan itu. Ia heran kepada Suto,
sedangkan Suto curiga dengan sesuatu suara yang ditangkap oleh pendengarannya.
Suara yang dicurigai itu ada di belakangnya. Suara itu seperti suara langkah
orang menginjak rumput pelan-pelan.
Maka dengan kelebat cepat
Pendekar Mabuk melepaskan pukulan tenaga dalamnya tanpa sinar dengan gerakan
memutar balik dan menyentakkan tangan kirinya. Wuttt...! Brasss...! Semak-semak
diterjang pukulan jarak jauh itu, dan seseorang melompat keluar dari sana
sambil menyerukan pekik yang tertahan.
"Uuhg...!" Orang itu
melompat bukan karena menghindar, tapi karena terpental oleh kekuatan pukulan
jarak jauh Pendekar Mabuk. Orang itu sempat melayang dan jatuh di bawah gugusan
tanah cadas setinggi tiga tombak itu. Breggh...!
Arum Kafan memandang dengan
mata terbuka lebar dan mulutnya segera menyerukan suara, "Delima
Ungu...?!"
"Siapa dia? Kudengar dia
melangkah mendekati kita untuk mencuri dengar percakapan kita! Haruskah dia
kulenyapkan juga?"
"Jangan! Dia adik
bungsuku!" kata Arum Kafan. Lalu, tampak olehnya Suto menghembuskan napas
lega, melepas ketegangannya. Arum Kafan pun segera menghampiri adik bungsunya,
gadis muda yang punya tahi lalat di tepian sudut bibir bawahnya.
"Aih, gila! Yang itu
cantik juga seperti Arum Kafan?!" gumam Pendekar Mabuk memuji kagum
kecantikan kakak-beradik itu.
* * *2
TERNYATA Arum Kafan masih
mempunyai satu adik lagi yang kecantikannya sukar dibandingkan dengan Delima
Ungu. Ketika Suto diajak singgah ke rumah keluarga Arum Kafan di lembah sunyi
itu, Suto Sinting sempat tertegun memandangi ketiga perempuan muda yang punya
kecantikan sama, walau wajah tak terlalu persis serupa. Masing-masing mempunyai
kelebihan dalam kecantikannya, sehingga sulit bagi seorang lelaki jika harus
memilih satu di antara ketiganya. Bahkan mungkin bagi lelaki yang rakus, ia
akan memilih ketiga-tiganya daripada harus memilih salah satu dengan bingung.
Adik Arum Kafan yang satu itu
bernama Kembang Darah. Tentu saja nama itu adalah nama julukan yang mereka
pilih sendiri dengan alasan masing-masing. Kembang Darah adalah adik Arum Kafan
dan kakak dari Delima Ungu. Jika pakaian Delima Ungu berwarna ungu muda, dengan
rambut lurus sepunggung memakai poni di depannya, mata bulat bening bak mata
boneka, hidung bangir, dan kulit sawo matang, tapi tampak mulus. Maka pakaian
Kembang Darah adalah warna merah darah. Rambutnya yang panjang dikepang satu.
Di ujung kepangnya itu terikat pisau kecil yang amat tajam dan runcing. Rambut
itu sering dililitkan di lehernya. Matanya sedikit lebar dan berbulu lentik.
Kulitnya kuning langsat seperti kulit Arum Kafan. Usianya sekitar dua puluh
empat tahun, dua tahun lebih tua dari Delima Ungu, dan tiga tahun lebih muda
dari Arum Kafan.
Suto sungguh tak menyangka
kalau mereka tinggal di rumah besar berdinding rapuh dan sudah tua itu tanpa
seorang ayah atau ibu. Rumah terpencil beratap tinggi itu kini kedatangan tamu
pemuda tampan sedangkan penghuninya tiga gadis cantik.
"Kami masih mempunyai
satu kakak lagi," kata Arum Kafan.
"Maksudmu, yang bernama
Dewi Taring Ayu itu?" sela Suto.
"Dari mana kau tahu nama
kakak kami? Apakah kau pernah bertemu dengannya?" tanya Kembang Darah.
"Belum," jawab Suto.
"Tapi aku pernah mendengar Tulang Neraka menyebutkan nama itu."
"Oo...," Kembang
Darah manggut-manggut. Matanya tak lepas memandang lembut pada Pendekar Mabuk.
Demikian pula halnya dengan Delima Ungu, sejak tadi diam-diam tak berkedip
memandangi Suto dari tempat duduknya yang menyudut, agak jauh dari kedua
kakaknya.
Arum Kafan bersikap tenang,
tidak setajam mata adik-adiknya dalam memandangi Suto. Hanya se sekali ia
mencuri pandang ke arah wajah tampan Pendeka Mabuk. Setelah itu ia bersikap
acuh tak acuh dengan ketampanan tersebut.
"Sengaja aku membawamu
kemari, karena kau menyebutkan Kitab Lontar Gegana. Tahukah kau bahwa Kitab
Lontar Gegana adalah kitab pusaka leluhur kami| yang telah lama hilang?"
"Aku tidak tahu soal
hilangnya kitab itu. Yang kutahu, ada seseorang mengutusku untuk mencari kitab
tersebut dan menyerahkannya kepadanya."
"Kalau boleh kutahu,
siapa orang yang menyuruhmu itu?!" tanya Kembang Darah.
"Seseorang yang tak perlu
kusebutkan namanya!" jawab Suto. "Kelak kalian sendiri yang akan
kuantar untuk menemui orang itu, jika Kitab Lontar Gegana sudah ada di tangan
kalian! Yang jelas, dia bukan di pihak musuh kalian, melainkan di pihak kalian
sendiri! Dia bukan tokoh sesat, menurutku!"
Arum Kafan memandang Kembang
Darah. Kembang Darah sendiri segara menatap Arum Kafan bagai saling bicara
lewat pandangan mata. Sedangkan Delima Ungu masih diam saja, mengunci mulutnya
rapat-rapat. Tapi matanya masih tertuju pada Suto Sinting dan menyembunyikan
kekaguman.
"Apa kau tahu mengapa
orang itu membutuhkan Kitab Lontar Gegana?" tanya Arum Kafan.
"Menurut penjelasannya,
di dalam kitab itu ada catatan ilmu dan jurus maut yang harus segera
dilenyapkan! Berbahaya sekali jika jurus itu dimiliki orang yang langkahnya
sesat. Bahkan jurus itu, katanya, bisa menggiring orang benar untuk berbuat
salah setelah menguasai jurus tersebut."
Kali ini Delima Ungu angkat
bicara dan berkata, "Mungkin yang kau maksud adalah 'Kidung Mantera
Gaib'?!"
Pandangan mata Suto tertuju
pada Delima Ungu, dan Suto berkata,
"Aku tak tahu soal itu!
Menurut orang yang menyuruhku, ada ilmu berbahaya di dalam kitab tersebut.
Hanya itu yang kutahu."
Arum Kafan menjawab lirih,
"Ya, kurasa memang 'Kidung Mantera Gaib' itulah yang dimaksud ilmu
berbahaya. Tapi tidak semua orang bisa mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib'
itu! Bahkan mendiang kakekku, sampai ayahku sendiri tak bisa menyelesaikan
jurus tersebut sampai saat meninggalnya. 'Kidung Mantera Gaib' hanya dimiliki
oleh mendiang kakek buyutku yang bernama Ki Bayan Maruto, bergelar Manusia
Tembus Raga. Setelah itu tak ada lagi pewarisnya yang mampu mempelajari jurus
ilmu 'Kidung Mantera Gaib'."
Suto mengangguk-anggukkan
kepala dan berkata seperti orang menggumam lirih, "Aku pernah mendengar
nama itu...! Manusia Tembus Raga! Tepat seperti apa yang disebutkan oleh orang
yang mengutusku ini!"
"Apakah orang yang
mengutusmu itu kenal dengan kakek buyutku itu?" tanya Kembang Darah.
"Sangat kenal,"
jawab Suto dengan tersenyum.
"Jangan-jangan dari
keluarga Nyai Pancung Layon!"
Suto berkerut dahi memandang
Delima Ungu lagi yang baru saja memperdengarkan suaranya dari meja sudut itu.
"Siapa itu Nyai Pancung
Layon?"
Arum Kafan yang menjawab,
"Nyai Pancung Layon adalah nenek dari Tulang Neraka. Perempuan keji itu
sebenarnya adalah kakak dari eyang kami, yaitu Eyang Panjar Pitu. Antara Eyang
Panjar Pitu dan Nyai Pancung Layon sama-sama mempunyai ayah Manusia Tembus
Raga. Kakak-beradik ini dari sejak kecil sudah saling bermusuhan dan tak pernah
akur. Kemudian, Eyang Panjar Pitu mempunyai tiga anak lelaki, satu di antaranya
adalah Ayah kami.
Dan Nyai Pancung Layon
mempunyai anak lelaki dua orang. Kedua anak Nyai Pancung Layon membunuh kedua
saudara Ayah kami. Tinggal Ayah kami yang masih hidup. Pada saat itu, Ayah
mempelajari kitab pusaka dari gurunya sendiri, dan berhasil membunuh Nyai
Pancung Layon dan kedua anaknya. Tapi salah satu anaknya Nyai Pancung Layon itu
sudah sempat mempunyai keturunan empat orang, yaitu Tulang Neraka dan
saudara-saudaranya. Sedangkan Ayah mempunyai anak kami berempat yang terdiri
dari perempuan semua, sementara dari keluarga Tulang Neraka lelaki semua."
Kembang Darah menambahkan kata
setelah Arum Kafan berhenti bicara,
"Dan kami selalu
bermusuhan. Tulang Neraka dan saudara-saudaranya selalu berusaha membunuh kami
berempat, karena mereka sangat sakit hati atas perlakukan Ayah kami yang
menewaskan ayah, paman, dan nenek mereka itu!"
"Agaknya permusuhan ini
sudah mulai reda, karena ketiga saudara Tulang Neraka berhasil kubunuh di
tempat kita bertemu kemarin," kata Arum Kafan. "Itu pun setelah aku
berhasil mempelajari jurus-jurus maut yang kuperoleh dari sebuah kitab kecil
milik Ayah. Sekarang pun Kembang Darah dan Delima Ungu sedang kusarankan untuk
mempelajari kitab kecil peninggalan Ayah itu. Jika jurus-jurusnya digabungkan,
menjadi satu jurus baru yang punya kekuatan dahsyat."
Kembang Darah berkata lagi
menyambung ucapan kakaknya, "Dan perlu kamu ketahui, Suto... bahwa sejak
dulu antara keluargaku dengan keluarganya Tulang Neraka selalu mempermasalahkan
tentang hilangnya Kitab Lontar Gegana itu! Kami saling tuduh terus, sampai
sekarang belum ada yang tahu secara pasti, siapa yang mencuri atau
menyembunyikan Kitab Lontar Gegana itu. Tuduhan demi tuduhan sering menyulut
api pertempuran diwarnai dengan dendam leluhur di antara keluarga kami
ini!"
Suto Sinting menghela napas.
Ia meminum tuaknya bukan dari bumbung tuak, melainkan dari secangkir minuman
yang disuguhkan oleh ketiga gadis cantik itu. Sementara itu, di luar rumah
cahaya sore sudah mulai makin menua, sorot matahari kian tertutup cakrawala.
Ditambah lagi langit memang
diselimuti mendung hitam yang menebal. Naga-naganya malam nanti akan turun
hujan. Anginnya sudah hadir sejak tadi, berhembus kencang menyerupai anak
badai. Bahkan semakin lama semakin kencang dan sang petir pun muncul sesekali.
Menggelegar di langit hitam.
"Kusarankan menginapfah
di sini," kata Arum Kafan. "Sebentar lagi lembah ini akan dilanda
angin badai dan hujan lebat. Kalau kau pulang ataupun pergi dari sekarang, kau
akan dihadang oleh badai dan hujan lebat di perjalanan! Jadi, seyogyanya
bermalamlah di rumah kami."
Suto Sinting belum bisa
menjawab karena hatinya masih bimbang. Ia hanya tersenyum lebar, seperti
menelan rasa geli sendiri. Lalu, ia berkata sambil memegangi cangkir tuaknya,
"Di sini perempuan semua.
Dan hanya aku satu- satunya lelaki yang ada di rumah ini, jika aku bermalam di
sini!"
Kembang Darah yang tersenyum
lebih dulu, kemudian disusul oleh senyum malu Arum Kafan. Senyuman ini dibuang
ke arah lain dengan maksud disembunyikan dari pandangan Suto Sinting. Dan tiba-
tiba Delima Ungu yang sejak tadi tak pernah memamerkan senyumannya, segera
berkata,
"Rasa-rasanya, berbicara
tentang Kitab Lontar Gegana tak cukup memakan waktu sehari saja. Perlu waktu
sehari semalam, baru jelas duduk persoalannya tentang kitab pusaka itu dan
silsilahnya! Tanpa mempelajari silsilah, kau tak akan berhasil melacak kitab
tersebut."
Tiba-tiba mereka dikejutkan
datangnya sebaris tawa dari kejauhan. Tawa seorang perempuan yang melengking
tinggi menyeruak di antara deru angin badai kecil itu. Suara tawa tersebut
mengubah wajah ketiga perempuan cantik itu menjadi tegang. Bahkan Kembang Darah
segera meraih pedangnya yang digantungkan pada dinding, lalu disandangnya di
punggung.
"Ada apa?!" tanya
Suto terheran-heran.
"Si nenek bertanduk itu
kemari!" ucap Delima Ungu dengan nada penuh ketegangan.
"Siapa nenek bertanduk
itu?" Pendekar Mabuk makin bingung. Arum Kafan segera menjawab,
"Istri dari si Urat
Iblis!"
"Ah, siapa pula Urat
Iblis itu?" desak Suto.
"Kakak sulung dari Tulang
Neraka!" jawab Kembang Darah.
"Ya. Nyai Tanduk Setan
itu pasti ingin menuntut kematian suaminya yang kubunuh! Tulang Neraka pasti
sudah menceritakan perihal kematian suaminya itu!"
Suara tawa itu makin terdengar
jelas bagai jeritan kuntilanak di tengah deru angin membadai. Bahkan kini
suaranya terdengar jelas,
"Arum Kafan, keluar kau!
Kita selesaikan perhitungan kita berdua sesama wanita!"
"Biar aku yang
keluar!" kata Kembang Darah.
"Aku saja!" Delima
Ungu menukas.
"Tidak. Harus tetap aku
yang menghadapi si Tanduk Setan itu!" kata Arum Kafan sambil bergegas mau
membuka pintu. Tapi gerakannya ditahan oleh Delima Ungu yang memandang ketus
dan berkata,
"Kita hadapi bertiga!
Tanduk Setan lebih ganas dan lebih sakti dari suaminya maupun si Tulang Neraka!
Kau bisa dikalahkan dengan mudah jika tidak kita hadapi bertiga!"
"Benar," sahut
Kembang Darah. "Sebaiknya kita keluar bersama dan menghadapi mereka!"
Suto diam saja, memperhatikan
keributan mereka bertiga. Lalu, terdengar sekali lagi Nyai Tanduk
Setanberteriak keras, berkesan kasar dan liar,
"Arum Kafan! Keluar dan
hadapilah aku! Jangan kau mencoba lari dari perhitunganku! Aku datang untuk
menuntut balas atas kematian suamiku, yang habis kau perkosa lalu kau bunuh
dengan keji!",
"Edan!" geram Arum
Kafan masih di dalam rumah. "Pasti Tulang Neraka mengarang cerita yang
berlebihan!"
"Jangan pedulikan apa
yang dikatakan Tulang Neraka, yang jelas perempuan itu pun harus ikut
dilenyapkan jika ia menuntut kematian suaminya yang sesat dan jahat itu!"
kata Kembang Darah.
Brakk... !
Tiba-tiba pintu rumah jebol
karena dihantam dengan pukulan jarak jauh oleh Nyai Tanduk Setan. Daun pintu
itu terhempas ke dalam dengan keadaan pecah. Hampir saja mengenai tubuh Kembang
Darah.
Melihat rumahnya sudah diawali
diserang oleh Nyai Tanduk Setan, maka Delima Ungu segera melompat keluar dengan
cepat tanpa menghiraukan kedua kakaknya yang masih ada di dalam. Wuttt...!
Jlegg...! Ia tiba di depan Nyai Tanduk Setan sambil mencabut kedua kipas kembar
yang menjadi senjata di tangan kanan- kirinya.
Kembang Darah pun cepat
melompat keluar karena mencemaskan keadaan adiknya, disusul kemudian Arum Kafan
yang segara melesat ke luar rumah tanpa menghiraukan Pendekar Mabuk yang masih
sibuk meneguk tuaknya.
"Bagus! Ada baiknya
kalian bertiga menghadapi aku, biar mampus secara serentak! Sayang sekali kakak
sulung kalian tidak ikut keluar dari rumah itu! Suruh dia keluar
sekalian!" kata Nyai Tanduk Setan.
Delima Ungu berkata dengan
tegas bernada dingin "Hadapi aku dulu, si bungsu! Kalau kau bisa
melangkahi mayatku, baru hadapi kakak-kakakku!"
"Hebat," gumam Suto
Sinting mendengar ucapan Delima Ungu dari tempat duduknya. "Biar kecil dan
muda, tapi nyalinya gede juga gadis itu!"
Pendekar Mabuk menampakkan
diri, berdiri di ambang pintu yang jebol itu dengan sedikit bersandar pundaknya
pada tepian kusen pintu. Ia memandang ke pelataran rumah tanpa pagar itu.
Matanya sedikit menyipit ketika melihat Nyai Tanduk Setan. Ternyata menurut
pandangan mata Suto, perempuan itu tak pantas di| panggil nenek, karena usianya
masih belum tua. Sekitar empat puluh tahunan. Masih kelihatan cantik, bertubuh
sekal dan padat. Dadanya terlihat montok dari balik pakaian pinjung sebatas
dadanya yang berwarna hitam dengan jubah merahnya. Rambutnya diurai lepas,
tampak ada dua tanduk kecil di kanan-kiri kepalanya. Ia berdiri dengan tegap
tanpa membawa senjata di atas punggung atau di pinggang atau pula di tangannya.
Bahkan tongkat pun tidak digenggamnya.
Ketika Suto Sinting muncul,
mata perempuan beralis tebal itu menatap dengan ganas. Ada senyum tersungging
di bibirnya. Senyum nakal yang menandakan kejalangan sikapnya terhadap lelaki.
"Rupanya kalian sedang
asyik dengan pemuda simpanan itu?! Pantas aku harus menunggu di luar sampai
beberapa saat! Hmm... boleh juga dia menjadi pengganti si Urat Iblis! Kurasa
dia jauh lebih tampan lebih tegap, lebih perkasa, dan tentu lebih hangat dari
si
Urat Iblis yang malang
itu!"
"Dasar mulut perempuan
liar!" geram Delima Ungu. Dengan cepat kakinya menjejak tanah dan tubuhnya
melesat maju menyerang. Wutt...! Kipasnya dikibaskan ke mulut perempuan
bertanduk pendek itu. Tapi dengan cepat tangan perempuan itu berkelebat
menangkis pergelangan tangan Delima Ungu. Plakk...!
"Aaauh...!" Delima
Ungu menjerit dengan mata terpejam. Ia segera mendapat tendangan kaki si Tanduk
Setan. Sekalipun Delima Ungu masih sempat berkelit menghindari, namun hembusan
angin dari kaki yang ditendangkan membuat Delima Ungu terpental dan
berguling-guling di rerumputan pendek itu.
"Mundur kau,
Delima!" sentak Arum Kafan.
Suto sedikit picingkan mata
melihat tangan Delima Ungu menjadi bengkak dan membiru pada pergelangannya.
Suto menyimpulkan, Nyai Tanduk Setan memang sangat berbahaya. Tangkisannya
mampu membuat tangan lawan bisa patah atau putus sama sekali walau tidak
memakai senjata tajam. Tangannya itu bisa mewakili sebagai tenaga baja, atau
senjata tajam, atau gada besi sebesar pilar istana.
"Delima, masuklah dan
minumlah tuakku ini!" kata Suto Sinting. Delima tertatih-tatih karena
sekujur tubuhnya terasa lemas bagai tak bertulang lagi. Suto membantunya
melangkah, dan sesampai di dalam tuaknya diberikan kepada Delima Ungu.
"Kalau hanya tuak, biar
aku meminum dari tempat minumku sendiri!"
"Beda! Tuak dari dalam
tabung ini punya khasiat penyembuhan. Percayalah! Kau terluka dalam, Delima!
Akhirnya Delima Ungu mau meminum tuak dari tabung tuaknya Pendekar Mabuk.
Beberapa saat kemudian, memang terasa ada perubahan pada rasa sakit yang
mengelilingi pergelangan tangan sampai siku dan ketiaknya itu.
Di luar, Arum Kafan maju
bersama Kembang Darah menyerang Nyai Tanduk Setan. Keduanya sama-sama lincah
dan hati-hati dalam melakukan penyerangan terhadap lawannya. Tak satu pun ada
yang berani menyentuh tubuh Nyai Tanduk Setan, karena mereka tahu sekujur tubuh
perempuan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang membahayakan jika sampai
tersentuh.
Pedang di tangan Kembang
Berdarah mempunyai gerigi pada setiap sisinya dari ujung sampai di gagang.
Pedang itu ketika dikibaskan mengeluarkan sinar merah yang bagai meloncat
keluar dari tepian pedang dan berusaha memenggal kepala Nyai Tanduk Setan. Tapi
oleh perempuan berjubah merah itu, sinar tersebut dihadang dengan tangan
terbuka, kemudian dari telapak tangan itu keluar sinar perak yang berukuran sama
besar dan sama bentuknya dengan sinar merah tersebut., Kedua sinar bertemu, dan
menimbulkan ledakan dahsyat. Blarrr...! Membuat Kembang Darah terpental akibat
terhempas gelombang angin dari ledakan tersebut.
Sementara itu, Arum Kafan
melompat tinggi-tinggi dan bersalto ke atas kepala Nyai Tanduk Setan. Begitu
sampai di atas kepala, tubuh Arum Kafan menukik lurus ke bawah dengan pedang
siap menancap di kepala Nyai Tanduk Setan.
"Hiaaat...!"
pekiknya dengan penuh nafsu membunuh Tanduk Setan. Tapi ternyata hal itu tidak
mudah.
Nyai Tanduk Setan mendongak ke
atas, dengan merendahkan badan secepatnya ujung runcing pedang yang hendak
menusuk kepalanya itu dihadang oleh telapak tangannya. Tapp...! Pedang itu
tidak menancap, tapi tertahan oleh telapak tangan Nyai Tanduk Setan. Bahkan
gerakan tubuh Arum Kafan menjadi kaku seketika, tak bergerak turun sedikit pun.
Tetap menggenggam pedang yang ditusukkan itu.
"Kembang Darah...!"
seru Arum Kafan dalam keadaan diam di udara. "Aku kena totok! Tak bisa
bergerak lagi!"
Tiba-tiba ujung pedang yang
ditahan dengan telapak tangan Nyai Tanduk Setan itu mulai menyala merah,
membara bagai besi dipanggang api. Dan nyala merah membara itu bergerak sampai
ke pertengahan mata pedang, lalu seluruh pedang itu menjadi merah membara,
bahkan sampai pada pergelangan pedang antara mata pedang dengan gagangnya.
Suto melihat semacam kekuatan
tenaga dalam pelebur jiwa sedang disalurkan oleh Nyai Tanduk Setan lewat
telapak tangan yang menyangga ujung pedang, sekaligus menyangga tubuh Arum Kafan
yang diam di udara itu. Tak lama lagi pasti kekuatan tenaga dalam itu akan
membuat tubuh Arum Kafan bagai dilanda panas melebihi leburan baja.
Sementara itu, Kembang Darah
baru saja bangkit tapi sudah jatuh lagi. Ia bagai tak memiliki tulang. Lemas dan
tak berdaya. Napasnya tersengal-sengal sesak. Matanya menjadi semakin sayu.
Ledakan tadi bukan hanya sekadar ledakan dua tenaga dalam yang beradu,
melainkan juga ada kiriman tenaga dalam yang berbahaya dan dapat melumpuhkan
semua urat saraf lawan. Nyai Tanduk Setan yang mengirimkannya tadi. Dan
sekarang kekuatan tenaga dalam itu sedang berusaha membunuh lawan.
Melihat keadaan seperti itu,
Pendekar Mabuk segera menyentilkan jari telunjuknya yang kukunya sudah menyala
hijau membara itu. Sentilan jurus 'Jari Guntur' melesat mengenai ketiak Nyai
Tanduk Setan yang sedang menahan pedang dengan telapak tangannya itu. Dess...!
Sentilan tenaga dalam itu menyetakkan tubuh Nyai Tanduk Setan. Tangan penahan
ujung pedang terangkat kaget. Akibatnya pedang itu terlepas dari tahanan
telapak tangannya.
Brrukk...! Tubuh Arum Kafan
jatuh bersama pedangnya yang menancap di tanah. Tapi pedang itu sudah tidak
menyala merah lagi. Tubuh Arum Kafan sudah tidak tertotok lagi. Sedangkan tubuh
Nyai Tanduk Setan tersentak mundur tiga tindak akibat terkena sentilan jarak
jauh dari Suto Sinting itu.
Pada waktu itu, Delima Ungu
sudah berada di samping Pendekar Mabuk dan melihat gerakan jari Pendekar Mabuk
saat menyentil dari jarak jauh. Karena Delima Ungu ada di samping Suto, mata
Nyai Tanduk Setan memandang ke arah Delima Ungu. Lalu ia menggeram dengan wajah
semakin kelihatan ganas dan liar,
"Kau mau membokongku,
Delima Ungu?! Hmm...! Kurasa kau memang harus dimusnahkan lebih dulu!"
Telapak tangan Nyai Tanduk Setan menyodok lurus ke depan dalam posisi telapak
tangan terbuka dan miring. Zuttt...! Clapp...! Seberkas sinar berbentuk semacam
bintang berwarna biru tua itu melesat dengan cepatnya. Begitu cepat hingga
Delima Ungu tak menangkap gerakan cahaya biru tersebut. Tapi karena di sampingnya
ada Suto, maka Suto-lah yang bertindak menangkis sinar biru yang cepat melesat
itu.
Trangng...! Sinar tersebut
menghantam bumbung tuak, dan memantul balik dengan lebih cepat dan lebih besar
lagi. Wosss...!
"Gila...!" sentak
Nyai Tanduk Setan dengan mata melotot sebentar, kemudian berusaha menghindari
sinar biru yang datang memantul balik itu. Ia melompat ke samping dengan
cepatnya.
Duarrr...! Sinar itu
menghantam sebuah pohon jauh di seberang sana yang membuat pohon itu hancur
berkeping-keping. Pecahannya sampai ada yang jatuh di depan Pendekar Mabuk.
"Keparat kau, Bocah
Ganteng...! Kau mau ikut campur masalah ini biar dianggap jago dan semakin
dikagumi oleh mereka?! Hmm...! Tidak bisa! Kau harus kubunuh juga jika
begitu!"
"Arum, mundurlah... biar
kuhadapi dia!" Pendekar Mabuk selesai berkata begitu, segera lenyap dari
samping Delima Ungu. Tahu-tahu pemuda tampan itu sudah berada di belakang Nyai
Tanduk Setan.
"Hadapilah aku, Nyai
Tanduk Setan!" kata Suto yang membuat perempuan bertanduk itu berpaling
dengan kagetnya.
Serta-merta ia menggeram,
kemudian melompat dengan cepat ke arah Suto Sinting. "Hiaaahhh...!"
Ia menyerang dengan
menyodokkan kepalanya mengandalkan tanduk pendek yang tumpul itu untuk menyodok
perut Pendekar Mabuk. Tetapi dengan cepat Pendekar Mabuk kelebatkan kakinya ke
depan dan menendang kepala itu dengan tendangan bertenaga kuat, Wuttt... !
Plokkk... !
"Ahg...!" Nyai
Tanduk Setan terdongak karena kepalanya bagian wajah bagai mendapat paksaan
untuk mendongak melalui kaki yang menendang mengenainya itu.
Dengan menggunakan tangan
kanannya, Pendekar Mabuk segera menggebukkan bumbung tuak ke dada Nyai Tanduk
Setan. Buhgg...!
"Uuaahhg...!" Nyai
Tanduk Setan tersentak kuat dengan suara tertahan. Ia langsung terkapar jatuh
dengan kedua lutut melengkung ke dada serta wajah menyeringai menahan rasa
sakit yang kuat. Mulutnya mulai memuntahkan darah kental dan hitam warnanya.
Nyai Tanduk Setan terkejut dan menjadi cemas. Kemudian ia bergegas bangkit dan
cepat-cepat pergi tanpa mengatakan sesuatu hal apa pun.
Pendekar Mabuk tersenyum tipis
saat memandang pelarian Nyai Tanduk Setan. Sedangkan Arum Katai dan Delima Ungu
hanya bisa memandang bengong. Secepat itu Nyai Tanduk Setan menjadi ketakutan
dan itu berarti ia dikalahkan oleh Pendekar Mabuk. Kini, kedua perempuan itu
sama-sama memandang Suto dengan dahi masing-masing berkerut dan hati
masing-masing mengagumi kehebatan ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk.
* * *3
MANUSIA bertanduk itu rupanya
terluka bagian dalamnya. Berhari-hari ia terkapar di tepi pantai. Ia tidak
berdaya untuk mengangkat kepalanya. Sekujur tubuhnya telah memar membiru,
sampai pada kuku-kukunya pun menjadi biru kehitam-hitaman. Tak ada bagian tubuh
yang tak terasa sakit bila disentuh. Semacam bisul yang mau pecah, sekujur
tubuh Tanduk Setan nyut-nyutan. Sakitnya bukan main. Bahkan terkena angin
pantai pun terasa perih sekali.
Berhari-hari dia ada di sana.
Sasarannya adalah sebuah pulau kecil yang sudah terlihat oleh mata, namun tak
bisa terjangkau oleh keinginannya, yaitu keinginan untuk datang ke pulau kecil
itu.
"Kalau saja ada orang
lewat, mungkin aku bisa minta tolong untuk mengantarkan ke pulau itu!"
pikir Nyai Tanduk Setan dengan sedihnya.
Harapan adanya orang itu
ternyata terkabul. Itu terjadi setelah beberapa saat lamanya ia berpikir
seperti tadi. Orang yang lewat itu sayangnya adalah anak kecil, berusia sekitar
sebelas tahun. Bocah itu berlari-lari dengan sangat tegangnya. Sepertinya ada
seseorang yang mengejar bocah itu. Tanpa melihat adanya Nyai Tanduk Setan yang
terkapar di pasir pantai, di bawah sebuah pohon kelapa lengkung, bocah itu
berusaha bersembunyi dari pelariannya. Ia segera naik ke atas pohon kelapa
lengkung itu dan dalam waktu cepat sudah bisa mencapai bagian atas pelepah daun
kelapa. Ia bersembunyi di sana. Menghindar dari pengejaran yang belum terlihat
siapa pengejarnya itu.
Tetapi celakanya, bocah itu
tanpa sengaja menginjak buah kelapa yang sudah memerah. Kelapa itu jatuh dengan
cepat dan menimpa perut Nyai Tanduk Setan. Behgg... !
"Uaaaoww...!" teriak
Nyai Tanduk Setan. Jeritannya itu sungguh keras. Karena ibarat bisul yang
dijaga rapi- rapi jangan sampai terbentur benda keras, sekarang malahan
kejatuhan kelapa dari suatu ketinggian. Kelapa keras dan berbentuk besar. Sungguh
merupakan siksaan yang amat menyakitkan bagi Nyai Tanduk Setan.
"Dasar bocah
monyet...!" umpatnya dengan menahan sakit yang tak bisa diatasi lagi itu.
Dari kulitnya yang memar biru empuk itu keluar semacam darah kotor yang berbau
busuk akibat ketiban kelapa tadi. Terutama bagian pusarnya, merembeskan cairan
merah kehitam- hitaman. Nyai Tanduk Setan rasa-rasanya ingin menangis,
rasa-rasanya ingin mencekik leher bocah itu sampai mati.
Sedangkan sang bocah yang
tidak memandang ke bawah itu segara tersenyum begitu mendengar teriakan suara
orang. Ia berpikir,
"Pasti ibu tiriku jatuh
ke lubang jebakan yang dibuat almarhum Ayah dulu. Pasti tubuhnya tertancap
bambu- bambu runcing di dalam lubang tersebut. Hmm...! Rasakan! Jadi ibu tiri
kalau jahat ya begitu nasibnya! Sebaiknya aku turun dan melihat seperti apa
wujud ibu titiku saat ini...!"
Tass...! Kakinya menjejak buah
kelapa, ia hampir jatuh karena kelapa itu lepas dari rangkainya, bahkan
bergandengan dua buah. Kelapa hitam kering itu akhirnya meluncur kembali jatuh
ke bawah dan menimpa kepala dan dada Nyai Tanduk Setan. Prokk... !
"Uuaaaoow...!"
teriaknya lagi sangat kesakitan. Kali ini rasanya lebih sakit dari kejatuhan
kelapa yang pertama. Wajahnya jadi sasaran, juga bagian dadanya yang
nyut-nyutan itu. Keadaan tubuh yang terkena angin pantai saja sakit, apalagi
harus kejatuhan benda keras seperti itu. Tentu saja kemarahan di dadanya
semakin menyala-nyala dan ia paksakan diri untuk berseru, "Kuremukkan
kepalamu, Bocah Setaaan...!"
Bocah itu kaget setelah tahu
ada orang dalam keadaan terluka parah di bawah pohon kelapa yang dipanjatnya.
Bocah itu terbelalak matanya dan segera mengerti bahwa yang berteriak tadi
bukan suara ibu tirinya, melainkan suara orang yang terkapar kejatuhan kelapa
dari atas itu.
"Wah, kalau begitu ibu
tiriku belum mati! Aku harus lari lagi! Jangan bersembunyi di sini, sebab orang
yang kejatuhan kelapa itu bisa memberitahukan tempatku bersembunyi...!"
Maka bocah tersebut segera
berlari lagi meninggalkan tempat itu. Sementara Nyai Tanduk Setan masih
terengah-engah dengan sangat menyedihkan. Telinganya mengeluarkan bau busuk
akibat cairan hitam yang meleleh. Juga hidungnya yang tadi membiru bengkak itu
sekarang menjadi melesak ke dalam dengan keadaan memuncratkan darah merah
kehitam-hitaman yang berbau busuk.
Kejap berikutnya, lewatlah
seorang perempuan berambut digulung ke atas dengan kebaya merah lusuh dan kain
separo betis. Perempuan separo baya itu berlari- lari dengan kebingungan.
Rupanya dia adalah ibu tiri dari bocah yang menjatuhkan kelapa tadi.
Melihat ada orang terkapar
dalam keadaan busuk dan menjijikkan itu, perempuan berkebaya merah itu memekik
kaget dan ketakutan. Kemudian ia memandanginya dengan jantung berdetak-detak
dan sedikit demi sedikit mulai tenang setelah mengetahui orang itu masih hidup,
masih bisa menggerakkan kepalanya miring ke kiri dengan sangat pelan sekali.
Lalu, perempuan itu mendengar Nyai Tanduk Setan berkata dengan suara lirih,
"Tolong... tolonglah
aku...."
Sambil menutup hidungnya,
perempuan berkebaya merah itu mendekat. Semakin dekat, semakin jelas suara yang
didengarnya,
"Tolonglah...
aku...!"
"Ap... apa yang harus
kulakukan untuk menolongmu?"
"Pergilah ke... ke pulau
itu, dan beri tahu saudaraku agar datang kemari menolongku!"
"Ke pulau mana...?"
"Pulau kecil itu... yang
kelihatan dari sini! Temui seseorang yang bernama Tulang Neraka, dan katakan
bawah aku si Tanduk Setan, dalam keadaan terluka di sini, minta dibawa ke pulau
itu!"
'Maksudmu, aku harus pergi ke
Pulau Dedemit itu? Oh, tidak! Aku tidak mau! Aku masih ingin hidup! Kalau aku
pergi ke Pulau Dedemit, maka nyawaku akan hilang, dan jasadku tak akan
ditemukan lagi, seperti yang dialami beberapa korban yang sudah-sudah!"
"Seb... sebut namaku di
sana... tak akan ada yang mengganggumu!"
Perempuan itu geleng-geleng
kepala sambil melangkah mundur dengan penuh ketakutan. Tanduk Setan waswas,
takut perempuan itu pergi meninggalkannya sehingga ia tak bisa membujuknya.
"Tolonglah... nanti akan
kuberi upah cukup banyak untukmu!"
"Sebanyak upah berapa pun
aku tak akan mau di datang ke pulau itu! Aku tak mau mati! Biar aku janda tapi
aku masih belum puas menikmati keindahan hidup mesra dengan lelaki, jadi aku
tak mau mati terburu-buru! Maaf, aku tak bisa membantumu!"
"Hei, tunggu... tunggu
dulu! Aku punya sesuatu untukmu!"
"Tidak! Tidak
mau...!"
Akhirnya perempuan itu
melarikan diri pulang ke rumahnya, tak mau menolong Nyai Tanduk Setan, tak jadi
mencari anak tirinya. Ia sangat ketakutan bila membayangkan Pulau Dedemit yang
dari pantai itu tampak kecil.
Apa sebenarnya yang terjadi di
Pulau Dedemit itu sehingga perempuan berkebaya merah tadi sangat ketakutan?
Pulau itu memang kecil, berhutan tak terlalu lebat, binatang buas tak ada. Tapi
manusia buas ada di sana. Manusia buas itu dulu dikenal dengan nama Peri Pulau
Dedemit, yaitu seorang perempuan yang gemar memakan daging manusia. Tapi konon,
Peri Pulau Dedemit itu sudah dikalahkan oleh Empat Raja Sesat, satu di
antaranya adalah Tulang Neraka. Kabarnya, Peri Pulau Dedemit itu sudah mati.
Tapi ada pula yang bilang, Peri Pulau Dedemit itu sudah pergi dan menghilang
entah ke mana.
Semua kabar tak jelas. Bahkan
termasuk kabar Peri Pulau Dedemit yang gemar makan daging manusia, itu juga
belum jelas kebenarannya. Karena, yang mereka tahu setiap nelayan yang singgah
ke Pulau Dedemit selalu tak pernah kembali selama-lamanya. Apakah dimakan, atau
dikubur, atau bagaimana, tak ada jawaban pasti selain dugaan-dugaan ngeri saja.
Karena tak pernah ada orang yang bisa keluar dari pulau itu setelah masuk di
kedalaman hutannya.
Hanya Empat Raja Sesat itulah
yang bisa keluar masuk pulau kecil tersebut. Itu pun tanpa diketahui oleh satu
orang pun penduduk di sekitar pantai tersebut.
Tapi ketika perempuan
berkebaya merah itu mendengar nama Tulang Neraka, dan disuruh memanggilkan nama
itu di Pulau Dedemit, maka tersebarlah kabar bahwa Pulau Dedemit dihuni oleh
seseorang yang bernama Tulang Neraka. Apa yang dilakukan oleh Tulang Neraka di
sana, tak ada yang tahu. Kalau saja perempuan berkebaya merah itu mau datang ke
sana, sudah pasti dia akan mengerti apa yang terjadi sebenarnya di Pulau
Dedemit itu, dan sudah pasti pula dia merupakan satu-satunya manusia yang bisa
lolos dengan selamat dari Pulau Dedemit tersebut.
Sayangnya ia tidak mau datang,
justru malah menyebarkan berita tentang adanya manusia busuk di pinggir pantai.
Maka, berbondong-bondong masyarakat desa nelayan itu menghampiri tempat
terdapatnya manusia berbau busuk itu. Jumlah mereka lebih dari sepuluh orang.
Mulanya mereka hanya ingin melihat dan bilamana perlu menolong, tapi tiba-tiba
hati mereka menjadi geram setelah salah seorang berkata,
"O, dia si Tanduk Setan
yang sering mencuri bayi tak berdosa itu!"
"Wah, benar! Dia bayi
setan, eh... dia pencuri bayi yang berjuluk Nyai Tanduk Setan! Kalau begitu,
habisi saja dia selagi sekarat!"
Tanpa banyak berembuk lagi,
akhirnya rombongan penduduk desa yang sudah menaruh dendam dan kebencian cukup
lama kepada Tanduk Setan itu, beramai-ramai menyerang Tanduk Setan. Keadaan
Tanduk Setan yang tidak berdaya merupakan peluang emas bagi para orang tua yang
bayinya pernah dicuri dan sampai sekarang tak pernah kembali itu. Maka, nasib
Nyai Tanduk Setan yang sakti itu habis di tangan penduduk desa. Tubuhnya tak
berbentuk lagi akibat amukan mereka yang membabi buta.
Sisa-sisa potongan tubuhnya
dilemparkan oleh mereka ke laut sebagai umpan makanan ikan-ikan ganas. Tetapi
tak satu pun dari mereka yang menyangka bahwa sisa-sisa potongan tubuh Nyai
Tanduk Setan itu tidak digemari oleh ikan, karena berbau busuk. Akhirnya, sisa-
sisa potongan tubuh Nyai Tanduk Setan itu terbawa ombak dan terdampar di pantai
Pulau Dedemit.! Terutama bagian kepala, kaki kanan, dan telapak tangan kirinya,
jelas-jelas tergeletak di pantai berpasir putih kehitam-hitaman itu.
Seorang lelaki berusia muda,
sekitar dua puluh delapan tahun, bertubuh pendek, berpakaian serba hitam,
menemukan potongan anggota tubuh Nyai Tanduk Setan. Ia segera merangkumnya dan
membawanya ke suatu tempat, memasuki kedalaman hutan pulau tersebut. Mendaki ke
sebuah tebing cadas bertanaman lumut dan rumput.
Kemudian, beberapa saat
setelah melakukan perjalanan dari pantai, tibalah dia di sebuah gua yang mulut
atau pintunya tidak terlalu lebar. Ia masuk ke gua itu sambil menenteng
potongan anggota tubuh Nyai Tanduk Setan. Dilihatnya, seorang lelaki berusia
sekitar lima puluh tahun masih duduk di atas sebuah batu, bersila dengan
mulutnya berkomat-kamit, matanya terpejam rapat. Lelaki itu bertubuh kurus
kering dan ceking, wajahnya pucat berkesan angker. Rambutnya tipis panjang tak
beraturan, jubahnya abu-abu tanpa mengenakan baju dalaman. Siapa lagi dia kalau
bukan si Tulang Neraka.
Beberapa saat lamanya, pemuda
berwajah amburadul, karena terdapat banyak codet bekas luka bacokan itu, diam
berdiri tak jauh dari depan Tulang Neraka. Sampai pada akhirnya Tulang Neraka
membuka matanya pelan- pelan, lalu menatapnya dengan mata berkesan dingin.
"Ada apa,
Dogol...?!" tanyanya pelan kepada pemuda berwajah rusak dan yang ternyata
bernama Dogol itu.
"Saya menemukan
benda-benda ini di pantai, Guru," jawab Dogol yang ternyata murid dari
Tulang Neraka.
Mata lelaki ceking itu
terkesiap dan berdebar hatinya melihat 'barang-barang' bawaan Dogol. Wajahnya
mulai tampak semakin pucat. Dogol tahu, jika wajah gurunya semakin pucat, itu
pertanda Tulang Neraka mulai memuncak kemarahannya.
"Siapa yang melakukan hal
ini?!"
"Saya tidak tahu, Guru!
Saya hanya menemukannya di pantai!"
"Keparat!" geram
Tulang Neraka. "Kau tahu kepala siapa itu?"
"Saya tahu, Guru! Ini
kepala Nyai Tanduk Setan, bekas istri Paman Guru Urat Iblis!"
"Benar! Dan kau bisa
menduga siapa yang membunuhnya?"
"Tidak bisa, Guru! Karena
saya tidak ikut serta dalam pembunuhan itu, Guru!"
"Goblok! Siapa lagi yang
membunuhnya kalau bukan keluarga si Arum Kafan dan adik-adiknya! Tempo hari
kukabarkan kematian suaminya dan dia mengamuk, menuntut balas kematian
suaminya, lalu menyerang ke rumah kediaman keluarga Arum Kafan! Rupanya Arum
Kafan sekarang memang punya kesaktian yang tinggi. Nyai Tanduk Setan yang
menjadi tokoh tua dalam dunia persilatan ini, yang usia sebenarnya sudah
mencapai seratus delapan puluh tahun itu, ternyata masih bisa dikalahkan oleh
mereka! Mengenaskan sekali! Tapi juga membuatku semakin bernafsu untuk
membantai habis keturunan si Panjar Pitu tanpa ampun lagi! Tapi mereka harus
menunggu.... Ya, menunggu sampai kuselesaikan pelajaran ini untuk melakukan
pembalasan! Tanpa kuselesaikan pelajaran ini, tak mungkin aku bisa mengalahkan
mereka."
"Apakah saya perlu maju,
Guru?!" sela Dogol, yang sebenarnya adalah pengikut Empat Raja Sesat itu,
dan berharap mendapatkan ilmu dari Empat Raja Sesat, namun hanya beberapa ilmu
saja yang ia peroleh dari Tulang Neraka. Karena itu ia menganggap Tulang Neraka
itulah gurunya.
"Dogol, kalau kau mau
menyerang ke keluarga Panjar Pitu, kau akan mati sia-sia! Kau tak akan mampu
menandingi kesaktian ilmu mereka. Tetapi kutugaskan padamu untuk menaburkan
racun ganas di mata air yang mengalir melewati kediaman keluarga Arum Kafan
itu. Karena di sana ada sungai bening yang airnya sering dipakai untuk minum
atau memasak oleh keluarga Arum Kafan! Nah, jika racun itu kau sebar melalui
mata airnya, maka apa yang diminum dan dimasak memakai air itu akan membuat
mereka mati lemas sedikit demi sedikit. Tiba giliranku menyerang, maka aku akan
lebih kuat daripada mereka!"
"Baik, Guru! Akan saya
kerjakan tugas itu! Saya berangkat sekarang juga, Guru!" ucapnya dengan
lugu dan polos.
"Berangkatlah dan
hati-hati! Jangan sampai ada yang melihatmu saat menaburkan racun di mata air
itu!"
"Baik, Guru!" sekali
lagi Dogol menjawab dengan luara tegas, menampakkan kepatuhannya.
*
* *
MENYUSURI sungai bening
merupakan salah satu dari beberapa kegemaran Suto Sinting. Pendekar Mabuk
sangat menyukai dengan kebeningan, terlebih kebeningan yang mengandung
ketenangan. Karena jiwanya senantiasa merindukan sebentuk kehidupan yang
tenang, damai, dan menyegarkan di antara sesama.
Tetapi kali ini Suto menyusuri
sungai bening bukan dengan maksud semata-mata ingin menikmati kegemarannya
saja, melainkan punya tujuan tertentu, yaitu mencari pondok Ki Darma Paksi.
Karena setelah Suto menginap beberapa saat di rumah keluarga Arum Kafan itu,
percakapan mengenai hilangnya Kitab Lontar Gegana menarik perhatiannya. Dari
pembicaraan ke pembicaraan, akhirnya Suto Sinting menemukan langkah awal untuk
melacak jejak hilangnya kitab pusaka itu.
Langkah itu diawali dari
menemui Ki Darma Paksi yang pondoknya berada di tepian sungai bening tersebut.
Sungai berair bening itulah yang mengalir di samping tempat tinggal tiga gadis
cantik itu. Ki Darma Paksi adalah bekas pelayan Eyang Panjar Pitu. Diduga Ki
Darma Paksi mengetahui ke mana larinya kitab pusaka tersebut. Semasa hidupnya
Eyang Panjar Pitu, satu- satunya orang yang dipercaya untuk membersihkan
kamarnya adalah Ki Darma Paksi. Dia dikenal sebagai orang jujur yang tak pernah
bisa berbohong selama hidupnya.Jika Suto beruntung, maka ia akan menemukan Ki
Darma Paksi. Tapi jika tidak beruntung, maka ia hanya akan menemukan kuburannya
saja. Menurut keterangan Arum Kafan, ia masih sempat bertemu dengan Ki Darma
Paksi ketika ia berusia tujuh tahun, Kembang Darah masih berusia empat tahun
dan Delima Ungu masih berusia dua tahun. Hanya Arum Kafan yang masih ingat
samar-samar tentang Ki Darma Paksi itu.
Ciri-ciri yang diberikan oleh
Arum Kafan, bahwa Ki Darma Paksi bertubuh kurus dan jangkung. Matanya cacat
satu yang sebelah kiri. Selamanya ia tak pernah mengenakan ikat kepala.
Bicaranya lembut, kalem, sering bertele-tele karena selalu berupaya mencapai
keindahan dalam bicaranya, agar orang lain terkesan dengan keindahan tutur katanya.
Tentang pondok Ki Darma Paksi,
Arum Kafan tak bisa memberi ciri-cirinya, karena selama ini ia tak pernah
datang bersinggah ke pondok Ki Darma Paksi. Kabar terakhir yang didengar Arum
Kafan sewaktu ia berusia enam belas tahun, bahwa Ki Darma Paksi sekarang
menjadi seorang peramal sakti yang jarang muncul di permukaan bumi. Tentang
benar dan tidaknya kabar itu, Arum Kafan tak bisa memastikan.
Pendekar Mabuk tiba-tiba
menghentikan langkahnya. Bukan karena mendapat serangan dari musuh, atau
terhadap seseorang, tapi karena ia tertarik dengan pemandangan di dalam air
sungai yang bening itu.
Seekor ikan berenang ke sana
kemari di sela-sela rombongan ikan bersisik perak. Tetapi ikan yang satu itu
sungguh menarik perhatian Suto, karena ikan itu tidak mempunyai kulit dan
daging sedikit pun. Ikan itu hanya berupa tulang berduri dengan kepala warna
perak. Untuk bagian kepalanya, ikan itu mempunyai kulit dan daging, tapi untuk
bagian tubuhnya sampai pada ekor, tak ada kulit dan daging sedikit pun. Ikan
itu besarnya seukuran telapak tangan dan gerakannya cukup gesit. Suto sangat
suka melihat gerak-gerik ikan aneh itu, sehingga ia tak mau mengganggu
kehidupan sang ikan sedikit pun.
Tiba-tiba terdengar suara di
belakang Suto yang mengatakan,
"Sepat Dewata...!"
Suto berbalik, orang tua yang
bicara itu menyunggingkan senyum dan melanjutkan kata-katanya, "Itu
namanya ikan Sepat Dewata. Bukan ia tak memiliki kulit dan daging, tapi ia
memiliki kulit dan daging yang tembus pandang seperti kaca! Hanya ada beberapa
ekor saja yang masih hidup. Sisanya telah mati dimakan usia, dirusak kehidupan
manusia, atau dimakan oleh hewan lainnya. Kadang kita merasakan duka jika ingat
akan kematiannya, tapi kadang mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa, bahwa
sebagian dari mereka masih ada yang tersisa dan hidup dalam kebebasan
habitatnya."
Indah sekali tutur kata orang
tua itu. Segera Pendekar Mabuk dapat mengenali si orang tua setelah
memperhatikan mata kirinya yang lengket kelopaknya. Mata kiri yang cacat dan
tak bisa dipakai untuk melihat itu sudah pasti milik Ki Darma Paksi. Maka, Suto
pun menyapa dengan penuh kesopanan dan hormat, "Apakah Bapak yang bernama
Ki Darma Paksi?"
"Orang cerdas yang mampu
melihat dengan benar tak dapat dikelabui oleh siapa pun. Dan kurasa kau memang
orang cerdas yang bisa mengetahui namaku, Anak Muda."
Suto Sinting merasa lega.
Ternyata apa yang dikatakan Arum Kafan memang benar, bahwa Ki Darma Pajcsi jika
bicara seperti orang yang bertele-tele hanya untuk menemukan keindahan dalam
tutur katanya. Suto menyunggingkan senyum lebar kepada orang berjubah biru dan
berpakaian dalam abu-abu, rambutnya panjang selewat punggung berwarna putih
rata yang halus dan lembut. Kumis dan jenggotnya pun panjang dan berwarna putih
halus dan lembut. Ia seorang yang punya tinggi badan cukup jangkung, sehingga
dalam bicara agak sedikit membungkuk. Tapi badannya yang kurus itu masih
terlihat kekar, gerakan tangannya masih tegas, dan berdirinya masih kokoh,
walau menurut Arum Kafan usia Ki Darma Paksi diperkirakan sekitar delapan puluh
tahun lebih. Tapi orang tua itu masih kelihatan gagah.
"Kalau boleh kutahu untuk
menambah perbendaharaan nama dalam ingatan tuaku, siapakah namamu, Anak
Muda?"
"Nama saya Suto Sinting,
Ki Darma Paksi."
"Suto Sinting?"
gumamnya sambil melangkah pelan- pelan menyusuri tepian sungai itu, dan
Pendekar Mabuk mengikuti langkahnya.
Dengan tutur kata yang lembut
dan berkesan sabar serta bijak itu, Ki Darma Paksi memperdengarkan
suaranya lagi,
"Kalau tidak salah
ingatan tuaku yang sudah hampir berkarat ini, seseorang yang mempunyai nama
Suto cukuplah banyak di permukaan bumi ini. Tapi hanya seorang yang bergelar
megah sebagai Pendekar Mabuk, itulah yang mempunyai nama lengkap Suto
Sinting."
"Benar, Ki Darma Paksi!
Sayalah yang bergelar Pendekar Mabuk!"
Ki Darma Paksi memandang
sambil tersenyum dan tertawa dalam gumam. Kemudian langkahnya tetap pelan dan
pandangan matanya terlempar ke depan dengan teduhnya.
"Aku mempunyai sebuah
ingatan mengenai nama Suto Sinting itu, bahwasanya terlahir sebagai seorang
pendekar gagah berani dan sakti dari tangan seorang berjiwa putih bagaikan
bunga-bunga salju di pelataran bumi utara, dan orang itu mempunyai nama harum
yang sempat mengguncangkan dunia persilatan pada puluhan tahun yang lalu. Orang
itu tak lain adalah si Gila Tuak yang punya nama asli Sabawana. Barangkali
dugaanku, tak terlalu meleset jauh, bahwa kau adalah murid si Gila Tuak yang
terhormat itu, Suto Sinting!"
"Tidak salah, Ki Darma
Paksi! Saya adalah murid si Gila Tuak."
"Jujurnya hatimu membuat
damai di dalam darahku, Suto. Datangnya dirimu membuat hangat di setiap
pernapasanku, Pendekar Mabuk. Luangkan waktumu untuk singgah di pondokku yang
hina itu, Suto Sinting!" sambil tangannya menunjuk ke arah sebuah pondok
yang tak seberapa jauh dari
tempat mereka melangkah.
Pondok itu sangat sederhana.
Dibangun dengan bebatuan kali tanpa diratakan permukaan dindingnya. Tersusun
kokoh bebatuan itu, membentuk sebuah rumah sedikit besar namun beratap tinggi.
Pondok itu dikelilingi oleh pagar sebatas tinggi dada manusia dewasa dan juga
terbuat dari susunan batu kali tanpa diratakan sisinya. Mempunyai sebuah pintu
gerbang setinggi tiga tombak dan beratap kecil. Untuk masuk ke halaman pondok
itu sebenarnya seseorang bisa saja melompati pagar rendah tersebut, tanpa harus
memutar jalan melewati pintu gerbang yang tak pernah ditutup dalam arti
dikunci. Tetapi dari situlah sikap dan niat seseorang dapat diketahui oleh Ki
Darma Paksi.
Hanya seorang berniat jelek
atau berjiwa tak baik saja yang datang bertamu dengan melompati pagar, tanpa
melewati pintu gerbang itu. Terhadap orang yang datangnya melompati pagar, Ki
Darma Paksi sudah bersiap untuk waspada dan berhati-hati. Jika orang itu
mengaku masuk lewat pintu gerbang, Ki Darma Paksi bisa mengetahui bahwa
pengakuan itu adalah palsu. Karena setiap orang yang lewat pintu gerbang pasti
mempunyai tanda. Pintu berdaun dua itu jika dibuka mempunyai tanda berbunyinya
logam-logam yang merentang di balik pintu. Gemerincingnya logam-logam yang
menggema panjang itulah tanda bahwa seseorang datang melalui pintu gerbang.
Demikian pula ketika Ki Darma
Paksi membawa masuk Suto melalui pintu gerbang, maka terdengarlah suara
gemerincing yang bening dan panjang gemanya. Pintu itu menutup balik sendiri
dengan hanya dilepaskan karena mempunyai engsel penarik yang lentur.
Ki Darma Paksi mempersilakan
Suto untuk duduk di ruang tamu, yang berupa panggung setinggi betis dilapisi
dengan permadani tebal yang berwarna hijau muda. Di sana Suto duduk bersila
sama seperti Ki Darma Paksi. Mereka duduk berhadapan arah. Bumbung tuak
diletakkan oleh Suto di sampingnya. Sementara itu, Ki Darma Paksi menyuruh
pelayannya yang bertubuh pendek dan bungkuk untuk menyiapkan sepoci arak buat
tamunya.
"Setelah kuperhatikan
sejak tadi," kata Ki Darma Paksi, "Aku tak bisa menahan diri untuk
menanyakan tentang bagaimana kabar gurumu si Gila Tuak itu, Suto Sinting."
"Berkat doa kita bersama,
Eyang Guru masih dalam keadaan sehat dan senantiasa dalam lindungan Hyang Widi,
Ki Darma Paksi."
"Syukurlah bila keadaan
Ki Sabawana begitu. Tenteram hatiku mendengar ucapan muridnya yang membawa
kesejukan tersendiri untuk masa tuaku ini. Lalu, bagaimana kalau kutanyakan
kabar seseorang, apakah kau mau menjawabnya, Pendekar Mabuk?"
"Kabar siapa maksud, Ki
Darma Paksi?"
"Seseorang yang jauh di
sana dalam penantian yang tabah dan panjang sabar. Tentunya kau tidak asing
lagi dengan sebuah nama yang punya nilai keindahan dan keabadian di dalam
hatimu, yaitu Dyah Sariningrum yang bergelar Gusti Mahkota Sejati, Ratu Puri
Gerbang Surgawi di alam nyata ini?"
Terkejut Pendekar Mabuk
mendengar nama itu disebutkan secara lengkap. Benar-benar terkejut dia dan tak
menyangka sama sekali pembicaraan akan lari ke arah itu. Dan keterkejutan itu
ditertawakan oleh Ki Darma Paksi, sehingga Suto menjadi tersipu menahan rasa
malu.
"Dyah Sariningrum dalam
keadaan baik-baik saja, Ki Darma Paksi. Sama seperti keadaan Ki Sabawana atau
Guru saya si Gila Tuak itu!"
"Bersyukur kembali hati
tuaku yang sudah renta menanti ajal ini, Suto Sinting. Ada damai yang memercik
dari jawabanmu, ada kesejukan tersendiri di lubuk kalbuku mendengar kekasihmu
dalam keadaan baik-baik saja."
"Tapi kalau boleh saya
tahu, dari mana Ki Darma Paksi mengetahui nama itu dan hubungannya dengan
diriku?"
"Noda merah di keningmu
kulihat jelas tanpa harus kuraba, Suto. Noda merah itu adalah pemberian Gusti
Ratu Kartika Wangi, ratu negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib yang sungguh
arif dan bijaksana itu. Noda merah di keningmu, Anak Muda, telah bicara banyak
pada hati nuraniku mengenai rentetan kehidupanmu yang penuh tantangan
itu."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dalam gumamnya yang lirih. Rupanya Ki Darma Paksi melihat noda merah di kening
Suto yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang, kecuali orang berilmu tinggi
yang berada di jalur kehidupan putih, alias bukan orang sesat. Mengenai tanda
merah di kening Suto Sinting, memang benar pemberian dari Gusti Ratu Kartika
Wangi sebagai penghormatan tinggi yang dapat membuat Suto masuk ke alam gaib
sewaktu-waktu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu
Wajah").
"Atas pertimbangan hati
nuraniku pun seyogya kutanyakan maksud kedatanganmu kemari, Suto. Barangkali
kau tak punya keberatan untuk menuturkannya sebentar. Karena kulihat
kedatanganmu bukanlah mata-mata ingin melihat ikan Sepat Dewata tadi, namun
mempunyai maksud-maksud tertentu yang amat penting bagi kejelasan hatimu."
Singkatnya, Ki Darma Paksi
menanyakan maksud kedatangan Suto. Dan karena Suto sudah paham dengan maksud
pertanyaan itu, maka ia pun segera memberi jawaban sebagaimana mestinya.
"Saya ingin melacak
hilangnya Kitab Lontar Gegana itu, Ki! Sebab menurut Arum Kafan, cucu dari
Eyang Panjar Pitu, Ki Darma bisa menolong saya untuk mencari jejak hilangnya
Kitab Lontar Gegana, yang menjadi kitab pusaka keluarga Eyang Panjar
Pitu."
"Sejujurnya kukatakan, di
dalam kitab itu ada jurus yang membahayakan dan bisa membuat orang lurus
menjadi sesat, orang sesat menjadi laknat. Barangkali atas dasar ingin
memusnahkan salah satu bagian dari kitab tersebut, maka kau diutus untuk
mencari hilangnya Kitab Lontar Gegana."
"Betul, Ki Darma. Bisakah
Ki Darma Paksi menolong saya?"
"Tak mampu aku menjawab
tidak, karena aku punya sedikit pengetahuan tentang kitab itu. Dan tak mampu
kujawab bisa, karena aku memang tak mengerti ke mana larinya kitab itu
sebenarnya. Tetapi setahuku kitab tersebut hilang sebelum Arum Kafan dan
saudara- saudaranya lahir dan Nyai Pancung Layon sudah mencoba mempelajari ilmu
'Kidung Mantera Gaib' beberapa kali, namun selalu gagal. Demikian juga Eyang
Panjar Pitu, yang gagal mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' tersebut."
Suto tak ingin menyela kata
ataupun tanya, karena ia ingin Ki Darma Paksi menceritakan apa saja yang
diketahuinya, baru nanti Pendekar Mabuk bertugas menyimpulkannya. Maka, Ki Darma
Paksi pun mulai berkata lagi,
"Kegagalan itu membuat
antara Eyang Panjar Pitu dengan Nyai Pancung Layon semakin sering mengejek dan
sering bermusuhan, sehingga Nyai Pancung Layon sesumbar, bahwa ia tidak akan
punya keturunan sampai ketujuh jika ia tidak bisa mempelajari ilmu 'Kidung
Mantera Gaib' tersebut. Dalam sesumbar dan tekadnya, Nyai Pancung Layon
mengatakan, bahwa ilmu 'Kidung Mantera Gaib' hanya pantas dimiliki dan dikuasai
oleh keturunannya saja. Sedangkan keturunan dari Eyang Panjar Pitu tak punya
kelayakan untuk memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib'."
Ki Darma Paksi menghentikan
kisahnya sebentar.
Pelayannya yang bungkuk itu
sudah menghidangkan sepoci arak dan dua cangkir kosong. Ki Darma Paksi
menuangkan secangkir arak untuk Suto dan secangkir lagi untuk dirinya sendiri.
Kemudian mereka sama-sama meminum arak tersebut, setelah itu Ki Darma Paksi
berkata lagi,
"Di lain waktu, Ki Panjar
Pitu pernah bicara padaku dengan sebuah kelembutan dan sentuhan batin yang
hangat, bahwa ayahnya yang bergelar Manusia Tembus Raga itu kelak suatu saat
akan menitiskan ilmu itu kepada salah satu keturunannya, tanpa perlu susah
payah mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' apabila waktunya telah tiba.
Tentang siapa yang mendapat titisan ilmu setan itu, tak seorang pun
mengetahuinya, termasuk aku sendiri, Suto."
"Mengapa Ki Darma
mengatakan ilmu setan?"
"Karena bagi orang yang
tidak kuat jiwanya, memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib' bisa menjadi setan
berjiwa iblis! Godaan pada jiwa orang yang memiliki ilmu itu sangat besar.
Hanya jika orang itu bisa mengendalikan jiwanya maka ilmu tersebut menjadi
putih dan bisa digunakan untuk membela kebenaran dan kejujuran."
Pendekar Mabuk kembali
manggut-manggut dan setelah beberapa kejap membungkam mulut sendiri, kini ia mulai
menarik kesimpulan,
"Jadi Nyai Pancung Layon
bertekad untuk menurunkan ilmu itu kepada salah satu keturunannya? Apakah itu
berarti Nyai Pancung Layon yang mencuri dan menyembunyikan kitab tersebut, Ki
Darma?"
"Secara benar aku tak
bisa menjawab pertanyaanmu, Suto Sinting. Tetapi dalam kaitan tekad dan kemauan
keras Nyai Pancung Layon, kesimpulanmu itu mendekati kebenaran, namun bisa
menjadi meleset jika ada pihak lain yang memanfaatkan tekad dan kemauan Nyai
Pancung Layon itu!"
"Memang," kata Suto Sinting
sambil menganggukkan kepala. "Tapi ditinjau dari nafsu sang Nyai,
rasa-rasanya dia pantas mempunyai tindakan licik dan curang, seperti misalnya
menyembunyikan kitab tersebut agar dipelajari oleh keturunannya kelak."
"Benar sekali pemikiran
jernihmu itu, Suto."
"Kecuali memang ada pihak
lain yang memanfaatkan nafsu Nyai Pancung Layon. Dan menurut Ki Darma Paksi
sendiri, apakah ada pihak lain yang bernafsu untuk memiliki Kitab Lontar Gegana
itu?"
"Banyak sekali,"
jawab Ki Darma Paksi. "Para tokoh persilatan pada masa itu sama-sama
memburu kitab tersebut karena tergiur oleh kedahsyatan jurus ilmu 'Kidung
Mantera Gaib' itu. Satu-satunya tokoh sesat yang pada waktu itu memburu
terang-terangan kitab tersebut adalah Loh Pati, yang kini mempunyai sisa keturunannya
seorang tabib hitam yang tinggal di lereng Gunung Batu Wulung. Tabib hitam itu
punya jalan sesat tersendiri dan ia dikenal dengan nama Cakra Wulung. Usianya
sekitar empat puluh atau lima puluh tahun."
"Jadi menurut Ki Darma
Paksi, ada kemungkinan kitab itu jatuh ke tangan Cakra Wulung?"
"Benar itu hanya
kemungkinan, tapi jangan kau jadikan suatu kepastian. Yang bisa dijadikan suatu
kepastian, bahwa pada masa itu Loh Pati pernah masuk ke kamar pusaka
peninggalan si Manusia Tembus Raga, namun segera melarikan diri setelah
diketahui oleh Nyai Pancung Layon. Apakah pelarian Loh Pati berhasil membawa
lari kitab itu, atau Nyai Pancung Layon memanfaatkan kesempatan itu untuk
menyembunyikan Kitab Lontar Gegana. Yang jelas, sejak saat itu Kitab Lontar Gegana
dinyatakan hilang. Sedangkan menurut indera keenam Ki Bayan Maruto atau Manusia
Tembus Raga itu, tak satu pun ada barang yang disentuh oleh Loh Pati. Apakah
pada saat itu indera keenam Ki Bayan Maruto telah tidak setajam dulu atau
memang ucapannya itu benar. Yang jelas, pada waktu itu Ki Bayan Maruto dalam
keadaan sudah tua sekali, bahkan berkesan pikun. Satu purnama sejak
dinyatakannya kitab itu hilang, Ki Bayan Maruto meninggal, dan Nyai Pancung
Layon saling tuduh dengan Ki Panjar Pitu."
"Apakah... apakah pada
waktu lenyapnya kitab tersebut, Ki Panjar Pitu sudah menikah?"
"Sudah menikah,"
jawab Ki Darma Paksi. "Bahkan Ki Panjar Pitu sudah mempunyai anak pertama
berusia delapan tahun, yaitu ayahnya Arum Kafan. Sedangkan Nyai Pancung Layon
sudah mempunyai dua anak yang kemudian menurunkan si Urat Iblis dan keempat
saudaranya yang bergelar Empat Raja Sesat itu."
Setelah kembali meneguk arak
suguhannya, Suto Sinting mengajukan pertanyaan yang ia sendiri tak bisa
menemukan j awabannya,
"Jadi menurut Ki Darma
Paksi, apa yang harus kulakukan sekarang untuk melacak hilangnya Kitab Lontar
Gegana itu?"
"Sebagai manusia
menjelang ajal, tak banyak yang bisa kusarankan kepadamu kecuali hiduplah
dengan teratur dan baik bagi dirimu sendiri juga berguna bagi hidup orang lain.
Kalau kau ingin sambangi Tabib Hitam Cakra Wulung itu, adalah langkah yang
bukan merupakan suatu keharusan, tapi juga bukan hal yang salah semasa kau
tidak main tuduh terhadapnya! Menyelidiki seseorang tanpa menyinggung
perasaannya adalah tindakan yang tersulit dalam kehidupan ini, Suto."
Pada intinya Ki Darma Paksi
sebenarnya menyarankan agar Pendekar Mabuk menyelidiki Cakra Wulung di lereng
Gunung Batu Wulung itu. Tetapi karena bahasanya berputar-putar akhirnya Suto
garuk- garuk kepala sendiri merasa pusing mengartikan
kesimpulan bicara Ki Darma
Paksi.
*
* *
5
PULANG dari pondok Ki Darma
Paksi, Suto Sinting kembali menyusuri tepian sungai untuk melihat ikan Sepat
Dewata yang bisa tembus pandang itu. Tetapi alangkah terkejutnya Suto setelah
mengetahui dua ikan perak mati mengambang di tepian sungai tersangkut batu.
Kemudian tak jauh dari situ,
Suto jug menemui seekor ikan tembus pandang menggelepar mati di atas permukaan
air. Dan beberapa ikan lainnya mengambang tak bernyawa, sebagian hanyut terbawa
arus sungai yang tak seberapa deras itu.
"Racun...?!" gumam
Suto ketika melihat ikan tembus pandang itu mempunyai warna kebiru-biruan bagai
asap dalam dagingnya yang bening itu. Jika bukan karena memandang ikan tembus
pandang mirip kaca, Suto tak tahu penyebab kematian ikan-ikan di situ.
Hati Pendekar Mabuk itu sempat
merasa dongkol dan kecewa. Ia merasa kasihan terhadap ikan-ikan itu. Dan ketika
ia memandang ke arah hulu sungai, tiba-tiba ia temukan seseorang yang sedang
membuang guci kecil ke sungai. Guci itu hanyut terbawa arus air dan di tangkap
oleh Suto. Hidung Suto mengendus mulut guci itu. Memeriksa kedalamannya,
memeriksa bagian luarnya, ternyata masih tersisa serbuk hitam melekat di tepian
mulut guci.
"Hmm...! Ini racunnya!
Jadi orang pendek itu tadi yang menuang racun ke hulu sungai?! Apa maksud nya?!
Bukankah... bukankah aliran sungai ini yang mengalir sampai di samping rumah
Arum Kafan dan airnya biasa dipakai untuk minum atau memasak? Ini berarti Arum
Kafan bisa mati keracunan jika minum air ini mulai dari sekarang! Ah, sebaiknya
kukejar saja orang pendek berpakaian hitam tadi!"
Zlappp...! Pendekar Mabuk
melesat melebihi gerakan angin. Dalam waktu sekejap ia sudah bisa menemukan
orang bertubuh sedikit gemuk dan tergolong pendek, walau bukan cebol. Suto
berdiri menghadang di depan langkah orang berpakaian hitam-hitam itu, yang tak
lain adalah Dogol, murid Tulang Neraka yang ditugaskan meracuni air sungai
tersebut untuk membunuh Arum Kafan dan adik-adiknya.
Si wajah rusak akibat bekas
sabetan golok itu menjadi terkejut ketika melihat seseorang berdiri
menghadangnya. Langkahnya pun terhenti seketika dengan matanya tajam memandang
penuh curiga.
"Mau apa kau
menghadangku?" Dogol menggertak. Suto Sinting hanya sunggingkan senyum
tipis dan menjawab,
"Mau bertanya padamu,
benarkah kau telah menuang racun ke dalam air sungai itu?!"
"Ya. Benar!" jawab
Dogol jujur-jujur saja. Menurutnya, kalau dia berani menjawab jujur begitu,
berarti ia berani menghadapi tantangan siapa saja.
" Untuk maksud apa kau
membuang racun ke sungai bening itu?"
" Untuk meracuni air
sungai!"
" Apakah kau pencari
ikan?"
" Bukan!"
" Lantas untuk apa kau
meracuni air sungai?"
" Supaya mematikan jika
diminum orang!"
" Apakah kau mempunyai
dendam dengan orang orang sepanjang tepian sungai itu?"
" Tidak!"
" Lantas, untuk apa kau
ingin mematikan orang yang meminum air sungai itu?"
" Karena tugas!"
jawab Dogol tanpa tipuan sedikit pun.
Tugas dari siapa?" desak
Pendekar Mabuk semakin ingin tahu.
" Dari guruku!"
" Tugas yang bagaimana
sebenarnya?"
" Tugas membunuh keluarga
Arum Kafan!"
Terperanjat Suto mendengar
jawaban polos yang sok jago itu. Matanya segera terkesiap memandang Dogol.
Dilihat dari kemudaan usianya, Suto mulai curiga jangan-jangan guru pemuda itu
adalah Tabib Hitam si Cakra Wulung itu? Maka, bertanyalah Suto kepada pemuda
berwajah rusak itu,
"Siapa gurumu yang agung
itu?"
"Tulang Neraka!"
jawab Dogol, merasa mantap menjawabnya setelah mendengar Suto mengagungkan
gurunya.
"Ooo... jadi kamu orang
suruhan Tulang Neraka?"
"Murid Tulang
Neraka!" kembali Dogol menjawab dengan bangga. "Dan kalau aku sudah
menamatkan belajarku dari guruku si Tulang Neraka, maka aku akan mengubah nama
menjadi Pendekar Sumsum Neraka!"
Tak tahan Pendekar Mabuk
mendengarnya, maka ia pun tertawa geli.
"Diam! Jangan meremehkan
gelarku nanti!" bentak Dogol berlagak galak. Ia belum tahu siapa orang
yang dihadapinya. Ia hanya menyangka yang dihadapi adalah seorang pemabuk,
terbukti menenteng bumbung tuak terus sejak tadi.
"Tak mudah mendapat gelar
pendekar, Sobat! Seorang pendekar harus punya jiwa ksatria, mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri, menolong banyak orang dan
berani berjalan di jalur kebenaran, menegakkan keadilan dan...."
"Tutup mulutmu! Tak perlu
kau berceloteh mengguruiku!"
Srett...! Dogol mencabut
goloknya dengan wajah garang. Lalu, ia berkata dengan menggertak,
"Minggir kau dari
jalanku, dan jangan ganggu aku kalau masih ingin melihat matahari esok
pagi!" .
Suto tertawa pendek. Tawanya
Suto itu dianggap suatu penghinaan buat Dogol. Karena itu, Dogol tak bisa tahan
diri lagi, maka ia pun melompat dengan goloknya siap dibacokkan ke arah kepala
Pendekar Mabuk.
"Hiaaat...!"
Clapp...! Golok itu masuk di
antara kedua jari Suto Sinting. Menjepit kuat sekali kedua jari itu di depan
wajah Suto yang sedikit ditarik mundur. Kemudian dengan satu sentakan kecil ke
kiri, golok itu pun patah seketika. Krakk...! Sisa patahannya masih terjepit di
kedua jari Pendekar Mabuk. Sisa patahan terutama bagian ujung golok itu, segera
dilemparkan oleh Suto dengan tangan berkelebat ke samping. Zingngng...!
Jrubb...! Ujung golok itu menancap di sebuah batang pohon, dan bahkan lenyap
masuk ke dalam batang yang keras.
Dogol semakin terbengong.
Pertama terbengong melihat goloknya bisa ditangkap dengan dua jari, kedua
terbengong karena melihat goloknya bisa dipatahkan dengan gerakan ringan dan
mudah, ketiga terbengong karena patahan golok bisa menancap hilang ke batang
pohon yang keras.
Terbayang olehnya alangkah
ngerinya jika patahan logam baja dari goloknya itu menancap ke dadanya. Jika
batang pohon sekelas itu bisa tembus, apalagi dadanya yang empuk. Mungkin
malahan bisa tembus bolong lewat punggungnya .
Di dalam hati Dogol masih
sempat berkata, "Orang ini benar-benar sakti atau hanya kebetulan saja dia
menjadi sakti? Mungkin memang golokku telah rapuh, dan gerakanku tadi kurang
cepat!"
Itulah sebabnya, Dogol cepat
melepaskan serangan lagi dengan sebuah tendangan yang melompat dan berputar
cepat.
Zlapp...!
Tendangan Dogol mengenai
tempat kosong. Ia bagaikan menendang angin, karena tiba-tiba Pendekar Mabuk
sudah berpindah tempat, berada di belakangnya agak jauh, antara berjarak lima
tombak.
"Edan orang itu!"
katanya dalam hati. "Cepat sekali gerakannya. Tahu-tahu ada di sana! Atau...
jangan- jangan ia terhempas terbang karena terkena kibasan angin tendanganku
saja?! Hmmm...! Kalau begitu aku harus menyerangnya terus, supaya dia terdesak
dan akhirnya merasa jera dengan sikapnya yang angkuh memandangku dan tersenyum
padaku itu!"
"Manusia belut!"
katanya kepada Suto, "Terimalah pukulan jurus 'Harimau Garang' ini,
hiaaat...!"
Dogol melompat maju seperti
seekor harimau ingin menerkam mangsanya. Kedua telapak tangannya siap
dihempaskan dalam satu gerakan bersamaan. Tetapi belum tercapai maksudnya itu,
tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan melintas di depannya. Wuttt...!
"Aaauh...!"
Tiba-tiba terdengar suara
Dogol menjerit sebelum ia jatuh ke tanah. Dan ketika ia jatuh ke tanah,
ternyata tangan kanannya dulu yang jatuh, setelah itu disusul dengan tubuhnya
yang rada gemuk itu.
Pluk, bluggh... !
Pendekar Mabuk pun terkesiap
melihat tangan kanan Dogol dalam keadaan putus terpotong.
Dogol meraung kesakitan, darah
mengucur ke sekujur tubuh, karena tangan itu putus dari batas pergelangan
sikunya.
Segera Suto berpaling
memandang ke arah berlawanan dengan jatuhnya Dogol. Dan mata Suto kembali
terkesiap melihat seraut wajah cantik jelita telah berdiri di sana dengan
pedang panjang tergenggam memakai dua tangan. Wajah cantik itu berdiri agak
miring, seakan siap tebaskan pedang panjangnya lagi jika Suto atau siapa pun
maju menyerangnya.
Dogol segera bangkit dengan
meratap-ratap. Melihat orang yang masih memegang pedang dengan berlumur darah
pada bagian tepiannya, Dogol menjadi sangat gemetar, kemudian tanpa bicara
apa-apa ia pun segera lari pergi dari tempat itu.
Wuttt...!
Beberapa saat dia kembali
lagi. Wuttt...! Potongan tangannya ketinggalan, dan kini diambilnya dengan rasa
takut, kemudian pergi lagi dengan berlari secepat- cepatnya. Wuttt... !
"Kulaporkan kau pada
guruku!" teriaknya sambil menjauh dan cepat menghilang di semak-semak
belukar sana.
Kini tinggal Pendekar Mabuk
dan perempuan cantik itu. Perempuan itu memandang Suto dengan wajah judes,
mulutnya masih cemberut, itu lantaran tadi ia menebas tangan Dogol. Dan agaknya
ia memang punya kejengkelan atau dendam kepada Dogol, sehingga cemberut di
wajahnya belum hilang, walaupun kini yang dihadapi adalah seorang pemuda tampan
berwajah menarik.
"Gerakan pedangmu cukup
hebat! Kau pasti jago memainkan pedang, dan mungkin menguasai jurus pedang yang
dahsyat! Caramu berkelebat bisa memilih mana yang tangan dan mana yang kepala.
Dan aku yakin kau sengaja tidak membunuh orang tadi, namun hanya melukainya
sebagai pelajaran bagi orang itu!"
Gadis cantik yang wajahnya
sungguh mempesona itu diam saja, tapi sudah mulai mengendurkan ketegangannya.
Bahkan mengambil beberapa helai daun semak, lalu membersihkan pedangnya, dan
dimasukkan kembali ke dalam sarung pedang yang ada di punggungnya. Sarung pedang
itu tersumbul dari celah- celah rambutnya yang panjang sebatas lewat punggung
dan diurai lepas. Ia mengenakan jubah tipis warna hijau muda dengan pakaian
pinjung hitam sebatas dada. Tersembul jelas warna dada dalam belahan kulit
kuning langsat yang mulus menggiurkan hati lelaki.
"Ini lebih cantik
lagi," gumam Suto Sinting dalam hatinya yang berseri-seri memuji
kecantikan perempuan itu. "Ia kelihatan lebih cantik dari Arum Kafan atau
Kembang Darah, atau si Delima Ungu. Dan ia kelihatan lebih matang. Matanya pun
menantang nakal, bibirnya berbentuk sangat indah. Bentuk wajahnya yang sedikit
lonjong, sangat sesuai dengan bentuk hidungnya yang mancung. Wahai, siapa
gerangan dia, ya Dewa? Mengapa ia amat mengagumkan dan menawan hatiku?"
****
Perempuan itu tergolong
tinggi, tapi badannya sekal dan kencang, sehingga tidak tampak canggung. Ia
mempunyai ketinggian tubuh sejajar dengan Pendekar Mabuk. Layak menjadi
prajurit Srikandi. Jari-jarinya lentik berkuku panjang namun bukan runcing.
Betisnya indah, dan sangat serasi mengenakan celana ketat bludru berhias benang
perak.
"Aku tak pernah sekagum
ini padamu, Perempuan," ucap Pendekar Mabuk tak sadarkan diri. "Aku
tak pernah berdebar-debar seperti ini!" dalam hati Suto berkata,
"Selamatkan aku dari godaan, ya Dewa...!"
Perempuan itu mulai berwajah
manis. Tidak cemberut lagi. Suto makin berdesir-desir hatinya. Bahkan ketika
perempuan itu tersenyum, jantung Suto berdetak cepat sekali. Namun di dalam
hatinya Suto kembali berkata dengan mata tetap memandang kecantikan itu,
"Kurasa dia mempunyai
ilmu pemikat hati lelaki! Tinggi juga ilmu pemikatnya itu, sehingga aku dibuat
berdebar-debar begini!"
Perempuan itu tetap diam di
tempat. Matanya memandang ke arah lain, bagai mencari sesuatu dengan sekejap,
kemudian kembali menatap Suto Sinting lagi.
"Apakah kau sudah sejak
tadi memperhatikan aku menghadang pemuda rusak wajah itu?!" tanya Pendekar
Mabuk.
Perempuan itu hanya
mengangguk. Kemudian memandangi tanaman liar yang berbunga. Sambil memunggungi
Suto ia berkata,
"Telah kudengar
percakapanmu dengan si Dogol tadi. Dan aku merasa aneh, mengapa kau bernada
marah dan curiga ketika Dogol mengatakan menuang racun ke dalam sungai!"
"Karena sungai itu
mengalir di samping kediaman sahabatku, Arum Kafan dan kedua adiknya. Jika air
itu diminum, maka Arum Kafan dan kedua adiknya bisa mati!"
"Kekasihmukah Arum Kafan
itu?" tanyanya masih sambil memetik-metik bunga. Seakan acuh tak acuh pada
Suto.
Terdengar suara Suto menjawab
di sela tawanya yang mirip orang menggumam panjang itu,
"Bukan. Dia bukan
kekasihku. Tapi hubunganku cukup baik dengan ketiga saudara itu!"
"Cantikkah mereka itu
menurutmu?"
"Lebih cantik kamu. Boleh
kutahu siapa namamu?"
Gadis itu memandang. Bibirnya
yang rapat menyunggingkan senyum kecil, membuat jantung
Pendekar Mabuk semakin
bergemuruh lagi. Kemudian ia kembali memetik-metik bunga, memunggungi Suto
dengan lagak acuh-acuh butuh, dan terdengar lagi ia bersuara lembut,
"Yang penting adalah
namamu. Namaku tak seberapa penting bagi siapa saja!"
"Namaku Suto
Sinting."
Cepat-cepat wajah itu
memandang bagai orang terkejut. Bibirnya tetap terkatup rapat tanpa senyum.
Matanya tak berkedip walau bukan berarti membelalak lebar. Mata itu menatap
lurus menembus Pendekar Mabuk dan menggetarkan hati kembali. Suto menggerutu
terus di dalam benaknya, karena getaran itu membahayakan jiwanya. Suto tahu,
getaran itu adalah daya pikat yang sukar dihindari.
Untung perempuan itu kembali
melangkah melemparkan pandangannya pada alam sekeliling, bersikap tak memandang
Suto ketika Suto bertanya kepadanya,
"Kau sepertinya terkejut.
Apakah kau pernah mendengar namaku?"
"Hanya mendengar,"
jawabnya sambil acuh tak acuh, tetap tak mau bicara memandang Pendekar Mabuk.
Bahkan sekarang ia memperhatikan batang pohon yang tadi tertancap patahan ujung
golok. Ia memegang, meraba-raba bagian yang ditancap patahan ujung golok itu
sambil berkata,
"Namamu cukup kondang.
Hampir semua tokoh dunia persilatan mengetahui, bahwa Suto Sinting itu adalah
Pendekar Mabuk. Tapi orang seperti aku hanya tahu nama saja, dan baru sekarang
berhadapan langsung dengan orangnya. Itu pun masih tak kutahu, mengapa ia
berjuluk Pendekar Mabuk. Mabuk apakah dia? Aku tak tahu, mungkin mabuk tuak,
mungkin mabuk cinta, atau mungkin mabuk gandung... entahlah!" bahunya
berguncang satu kali tanda tak mengerti dengan pertanyaannya sendiri.
Pendekar Mabuk tertawa pelan,
setelah itu meneguk tuaknya beberapa kali. Perempuan itu tiba-tiba menghantam
pohon tersebut dengan telapak tangannya. Degg...! Zlubb...! Patahan ujung golok
yang menancap ke dalam batang pohon itu melesat keluar dari tempatnya dan jatuh
di depan kaki Pendekar Mabuk. Pluk...!
"Aih, unjuk ilmu juga dia
rupanya?!" Suto membatin diam-diam. Lalu ia tersenyum ketika perempuan itu
melangkah mendekatinya tanpa sunggingkan senyum lagi. Tapi wajahnya masih
berkesan menawan.
Tiba di depan Suto, dalam
jarak satu langkah, ia memandang dengan senyum tipis sengaja dibuat memikat dan
mempercantik wajahnya. Suto tertegun memandangnya dalam sekejap. Ia tahu
perempuan itu bukan sekadar mendekat untuk menatap wajahnya, namun juga ingin
mengambil logam yang keluar dari batang pohon itu. Alasan tersebutlah yang
digunakan untuk menatap wajah Suto dekat-dekat. Dan Suto sendiri segera
sentakkan kakinya pelan ke tanah.
Dugg... !
Tiba-tiba logam yang keluar
dari pohon dan jatuh di depannya itu melesat naik bagai tersentak dari bawah
tanah. Tabb...! Logam itu langsung ditangkap oleh Suto. Digenggam, kemudian
genggamannya disodorkan ke depan, dan tangan itu pun membuka seakan menyerahkan
logam itu biar diambil oleh perempuan tersebut.
Suto tetap sunggingkan senyum,
seakan puas membalas pamer ilmu kecil-kecilan itu. Perempuan tersebut juga
semakin nyata dalam sunggingkan senyumnya, kemudian mengambil logam tersebut
dari tangan Suto. Caranya mengambil bukan hanya menyentuh logam itu, namun juga
menyentuh tangan Suto, seakan meremasnya lembut lalu menariknya lolos.
Dan kini logam berpindah ke
tangannya, digenggam olehnya seakan ingin ditunjukkan, apa yang terjadi setelah
logam itu dalam genggamannya.
Tetapi kejap berikutnya
matanya sedikit terkesiap melihat telapak tangan Suto yang masih terbuka itu
ternyata tidak kosong, melainkan masih terdapat logam tersebut di atasnya.
Perempuan itu menatap mata Suto buru-buru, dan Suto berkata,
"Tak bisakah kau
mengambilnya sekali lagi?"
Perempuan itu buru-buru pula
membuka genggaman tangannya. Ternyata dalam genggaman tangannya itu kosong. Tak
ada benda apa pun. Padahal dia tadi merasa telah mengambilnya dari tangan Suto.
"Ambillah seperti tadi
lagi, rasa-rasanya begitu menyentuh sampai ke dasar kalbuku!" kata Suto
Sinting dengan suara lembutnya.
Tapi kali ini perempuan itu
mengambilnya pelan- pelan. Terlihat jelas jari-jemarinya yang lentik indah itu
memungut benda tersebut. Hanya saja, secara tiba-tiba badannya bergerak memutar
dan benda itu dilemparkan dalam satu kelebatan tangannya. Wuttt...!
"Aauh...!" terdengar
suara dari balik kerimbunan semak. Kejap berikutnya seorang perempuan
berpakaian kuning melompat dari semak itu dengan pundaknya berdarah karena
terserempet lemparan benda logam itu.
Suto sempat terkejut melihat
munculnya perempuan tak dikenal itu. Ia mengakui kehebatan indera perempuan
cantik berjubah hijau muda itu yang cukup peka, sehingga mengetahui ada orang
yang mengintipnya dari balik semak.
"Perempuan lacur!
Bersiaplah menerima kematianmu untuk menebus nyawa kakakku yang kau cabut
seenaknya itu!" teriak perempuan berpakaian kuning itu. "Kau boleh
bangga bisa membunuh Pramana, tapi jangan harap kau bisa lolos dari tanganku! Hiaaat...!"
Settt...! Perempuan cantik
berjubah hijau muda itu mencabut pedangnya, sementara lawannya yang berbaju
kuning sudah menggenggam pedang sejak tadi. Kini mereka beradu pedang dalam
satu lompatan udara.
Wrettt...!
Dan tiba-tiba lengan si baju kuning
berdarah. Lengan itu koyak tertebas pedang si jubah hijau
"Hmm...! Tak
seimbang!" kata Pendekar Mabuk dalam hati. "Bisa mampus itu si baju
kuning! Jubah hijau bukan lawannya...! Dan... dan... oh, hampir aku lupa! Aku
harus cepat-cepat memberitahukan Arum Kafan bahwa air sungai itu beracun! Aku
harus segera mencegahnya supaya jangan ada yang minum atau memasak menggunakan
air sungai itu!"
Suto memutuskan untuk
meninggalkan pertarungan dua perempuan tersebut, ia segera melesat pergi dalam
kecepatan tinggi, menuju ke rumah Arum Kafan. Tak peduli lagi ia dengan si
wajah cantik yang mampu menggetarkan hatinya tadi.
* * *6
REMBULAN bertengger di pucuk
awan. Cahaya purnama menyiram bumi, membias di celah-celah dedaunan,
menghadirkan bunga-bunga kemesraan yang tumbuh sendiri di dalam hati setiap
manusia yang sedang dilanda damai.
Di sela-sela bias purnama itu,
Suto Sinting berdiri memandang curahan air sungai dari ketinggian halaman rumah
Arum Kafan. Hampir saja ia terlambat memberitahukan Arum Kafan tentang air
sungai yang dicemari oleh racun si Dogol, utusan Tulang Neraka.
Untung pada waktu kemarin,
Suto datang tepat ketika Arum Kafan mau mengambil air untuk mengisi
tempayannya. Belum sempat air itu terambil, Pendekar Mabuk telah datang dan
membawa kabar tentang racun tersebut.
Selamatnya mereka dari ancaman
air sungai beracun, tidak menjadi bahan pembicaraan yang panjang. Sesuatu yang
membuat lebih menarik dibicarakan adalah kemungkinan adanya kitab pusaka di
tangan Cakra Wulung. Tetapi Arum Kafan dan kedua adiknya itu sependapat, bahwa
Cakra Wulung telah mati di tangan kakak mereka, yaitu Dewi Taring Ayu. Dan
sejak itu, Dewi Taring Ayu jarang sekali pulang ke rumah.
Apakah itu berarti Dewi Taring
Ayu berhasil membawa lari dan menyembunyikan kitab tersebut dari tangan Cakra
Wulung?
Hal inilah yang menjadi bahan
renungan Suto, ketika ia memandangi gemericik air sungai dari pinggir halaman
rumah tua tersebut. Jika memang benar Kitab Lontar Gegana ada di tangan Dewi
Taring Ayu, lantas apa tindakan Suto selanjutnya? Merebut kitab itu, ataukah
membiarkannya? Bukankah Dewi Taring Ayu berhak memiliki kitab tersebut
ketimbang Suto atau orang lain?
Sementara Pendekar Mabuk di
luar, ketiga gadis cantik itu berkumpul di ruang atas, tempat mereka bisa
memandang keadaan di sekeliling kediamannya itu.
Arum Kafan memandang dari arah
jendela ruang atas kediamannya. Ia memperhatikan Pendekar Mabuk yang merenung
sendirian di sudut halaman rumah itu. Kembang Darah dan Delima Ungu sedang
bicara pelan- pelan. Kembang Darah sedang memberi pengertian seluas-luasnya
kepada adik bungsunya tentang perasaan hati, perbedaan cinta, dan kasih sayang,
perbedaan kagum dan terkesan.
Tiba-tiba terdengar suara Arum
Kafan agak datar berkata tanpa memandang ke arah kedua adiknya,
"Kembang, jemput Suto dan
bawa masuk dia!"
Delima Ungu segera berkata,
"Mengapa terus Kembang yang kau suruh?"
"Siapa saja di antara
kalian berdua, jemput Suto dan bawa masuk secepatnya! Lekas!" nada itu
sedikit membentak, berkesan tegang. Nada itu membuat Kembang Darah dan Delima
Ungu saling memandang Arum Kafan dengan dahi berkerut. Kembang Darah segera
bertanya,
"Ada apa?!"
"Lekas kataku!"
bentak Arum Kafan bernada datar dan keras.
"Iya, tapi ada apa kau
perintahkan kami begitu?!" Delima Ungu ikut membela pendapat Kembang
Darah.
"Seseorang sedang menuju
kemari! Lihatlah sendiri!"
Keduanya segera bergegas ke
jendela. Keduanya sama-sama terperanjat dan menjadi sedikit tegang. Yang jelas,
kecemasan mulai menyelimuti hati mereka! Delima Ungu yang bertanya tanpa
memandang siapa- siapa, kecuali memandang orang yang sedang menuju ke
tempatnya,
"Apa yang harus kita
lakukan?"
"Sembunyikan Suto dan
jangan bicara tentang Suto!"
"Bagaimana jika dia
bertanya kepada kita tentang rencana menyembunyikannya?!" tanya Kembang
Darah.
"Katakan saja ada
bahaya!"
"Dia pasti ingin
menghadapi bahaya itu!"
"Katakan ini bahaya yang
tidak bisa dihadapinya!"
"Lalu dia minta
dijelaskan! Bagaimana kalau begitu?"
Arum Kafan diam sebentar. Ia
sembunyikan kegelisahan yang mencemaskan hatinya. Tapi akhirnya ia berkata,
"Bawalah dia kemari, aku
yang akan menjelaskannya!"
Tiba-tiba Delima Ungu yang
masih berdiri di jendela segera berkata,
"Terlambat!"
Kedua kakaknya berpaling
menatapnya dengan mata terbuka tegang.
"Apa maksudmu?"
"Suto telah melihat
kehadirannya! Ia sedang mendekati Suto!"
Kedua kakaknya segera ke
jendela. Arum Kafan menggeram, "Sial! Kita terlalu banyak bicara! Kita
turun semua! Hadapi dia!"
Pada saat itu Suto Sinting
diliputi keheranan, tapi juga mempunyai kelegaan yang aneh di dalam hatinya. Ia
memandang kehadiran seorang perempuan yang wajahnya tak asing lagi baginya.
Perempuan itu berjubah hijau muda dan berpakaian ketat hitam. Perempuan itulah
yang dilihat Suto mempunyai gerak jurus pedang cukup bagus, dan berhasil
memotong tangan utusan Tulang Neraka.
Perempuan itu kali ini
mendekati Pendekar Mabuk dalam curahan cahaya rembulan terang. Suto lebih dulu
sunggingkan senyum melihat kedatangan perempuan itu, dan si perempuan
membalasnya dengan senyuman tipis,tapi pandangan matanya menggoda.
"Dari mana kau tahu aku
ada di sini?!" tanya Suto dengan kalem.
Perempuan itu tidak langsung
menjawab, tapi ia semakin mendekati Pendekar Mabuk, hingga kini jaraknya
tinggal dua langkah dari depan Suto. Hati Suto semakin berdebar-debar digeluti
rasa tertarik kepada perempuan itu. Semakin lama ia dipandangi perempuan cantik
yang punya bibir indah itu, semakin cepat detak jantungnya.
"Maaf, kala itu
kutinggalkan dirimu dengan si baju kuning, karena aku harus memberitahukan
sahabat- sahabatku tentang air sungai yang beracun itu! Dan... dan aku tak tahu
di mana kau berada, sehingga aku tak sempat mendatangi tempat tinggalmu!"
Tiba-tiba terdengar suara dari
belakang perempuan itu,
"Jauhi dia! Kali ini
jangan ganggu dia! Kami akan, melawanmu kalau kau menggangu dia!"
Ucapan itu jelas terdengar
dari mulut Arum Kafan. Ucapan itu merupakan sebuah larangan sekaligus ancaman
untuk perempuan cantik berjubah hijau itu. Suto Sinting berkerut dahi melihat
Arum Kafan mendekati perempuan itu dengan wajah bermusuhan, juga Kembang Darah
yang sudah menenteng pedangnya, dan Delima Ungu sudah mencabut salah satu
kipasnya yang dikembangkan.
Kembang Darah dan Delima Ungu
segera mendampingi Suto, di sebelah kanan-kiri pemuda itu. Sementara Arum Kafan
bicara dengan berdiri di samping perempuan berjubah hijau.
Perempuan itu diam saja.
Kalem. Sepertinya ia anggap sepi ancaman Arum Kafan itu. Sepertinya ia anggap
tak ada siapa-siapa di sekelilingnya, kecuali dirinya dan Suto Sinting.
"Suto, masuklah ke dalam!
Jangan hadapi perempuan ini!"
'Kenapa? Dia tidak
menggangguku!" kata Pendekar Mabuk setengah ngotot kepada Arum Kafan.
"Ikutlah kami, Suto!
Nanti kami jelaskan," kata Kembang Darah.
Pendekar Mabuk agak bimbang
karena bingung. Ia bahkan berkata kepada perempuan berjubah hijau itu,
"Haruskah aku mengikuti
saran dan ajakan mereka?"
Perempuan itu tersenyum lebar,
makin lebar, dan kini bahkan tertawa pelan dengan mulut terbuka. Mata Suto
terperanjat kaget, karena ia melihat bahwa ternyata perempuan cantik itu
bertaring di kedua sisi mulutnya.
"Wow...! Menyeramkan
sekali?!" gumam Suto di dalam hatinya. Ia bagai tak bisa mengedipkan
matanya saat itu, karena masih terpaku di tempat, melihat perempuan cantik,
menarik hati, namun mempunyai taring tajam dan runcing, walau tak terlalu
panjang, namun kelihatan menonjol karena tidak sejajar dengan gigi lainnya.
Suto membatin,
"Pantas...! Pantas dia
tak mau bicara berhadapan muka denganku! Pantas senyumnya mahal sekali. Rupanya
dia menyembunyikan taringnya itu dariku! Tak kusangka cantik-cantik tapi begitu
membuka mulut bisa
mendirikan bulu kuduk!"
"Kita bicara di dalam,
Suto!" Delima Ungu sedikit memaksa sambil menarik lengan Pendekar Mabuk.
Maka, tak ada pilihan lain buat Pendekar Mabuk kecuali mengikuti apa kata
Delima Ungu itu.
Cahaya rembulan semakin
menambah keseraman wajah perempuan itu, ketika si perempuan semakin keras
melontarkan tawanya, memandangi Suto dibawa masuk oleh Delima Ungu dan Kembang
Darah.
"Siapa dia?!" tanya
Suto setelah berada atas.
"Kakak kami Dewi Taring
Ayu!" jawab Delima Ungu.
"Ooo...!" Suto
manggut-manggut. "Lalu, mengapa aku tak diizinkan menemuinya? Mengapa
kalian kelihatannya mencemaskan diriku?"
Delima Ungu akhirnya
menjelaskan permasalahan yang sejak tadi dicemaskan oleh ketiga gadis cantik
itu,
"Dia penghisap darah
lelaki!"
"Apa maksudnya?"
"Dia mempunyai aji
'Candra Pamikat'. Setiap lelaki yang dipandangnya akan tunduk kepadanya dan
menjadi bergairah, jatuh cinta, terpikat, atau apa lagi.... Yang jelas lelaki
itu akan pasrah jika diajaknya bercumbu di mana saja dan kapan saja! Tetapi,
setelah Dewi Taring Ayu merasa puas menikmati lelaki itu, ia akan menggigit
leher lelaki itu dan menghisap darahnya sebanyak mungkin!"
Kembang Darah menambahkan
kata, "Selama hidupnya sejak kecil, ia tak pernah makan dan minum, kecuali
mereguk darah. Kadang darah hewan, tapi yang paling digemari adalah darah
manusia lelaki. Menurutnya lebih manis dan lebih mengenyangkan perut."
"Itulah sebabnya,"
kata Delima Ungu, "Kami tak pernah sempat punya kekasih, sebab selalu
diganggu olehnya, selalu mati di dalam pelukannya! Dan kami tidak bisa melawan
Dewi Taring Ayu, karena kami terikat wasiat dari mendiang Ayah kami."
"Apa bunyi wasiat
itu?!" tanya Pendekar Mabuk dengan berkerut dahi.
"Kami tak boleh membunuh
Dewi, apa pun yang dilakukan olehnya. Kami hanya boleh mengusir dia atau
menghindari dia, tapi tak boleh membunuh dia!"
"Mengapa?" desak
Pendekar Mabuk lagi.
"Karena, sewaktu kami
masih kecil-kecil, Ayah dalam keadaan sakit berat, parah sekali! Pada waktu
itu, Ibu sudah tiada, kami diserang oleh keluarga Loh Pati, termasuk Cakra
Wulung yang masih muda dan kekar itu. Kami semua terancam maut, dan hanya dia
yang bisa menyelamatkan dengan ilmu 'Candra Pamikat'-nya. Satu persatu dari
lawan kami diajaknya masuk ke kamar dan dibunuh di sana...."
Kembang Darah menambahkan
kata,
"Waktu itu, Dewi masih
sangat remaja, masih berusia sekitar dua belas tahun, masih kelihatan segar dan
cantik sekali, lebih cantik dari sekarang. Arum Kafan masih berusia sembilan
tahun, dan belum bisa apa-apa! Kalau tidak ada dia, kami sekeluarga sudah
dibantai habis oleh keluarga Loh Pati. Satu-satunya orang yang lolos dari maut
Dewi Taring Ayu adalah Cakra Wulung!"
Suto manggut-manggut,
sementara itu Delima Ungu kembali menambahkan kisahnya,
"Kata Ayah, kami
berhutang nyawa padanya. Sebab itu, sebelum Ayah menghembuskan napas yang
terakhir kalinya, beliau sempat berpesan agar kami tidak boleh membunuh Dewi
Taring Ayu, dan Dewi pun tidak boleh membunuh kami. Memang selama ini dia tidak
pernah menyakiti kami...."
"Tapi mengganggu kekasih
kami," sahut Kembang Darah.
Delima Ungu berkata juga,
"Itulah sebabnya, kami sepakat untuk pergi meninggalkan rumah ini jika
kami mempunyai kekasih dan berusaha untuk tidak mempertemukan kekasih kami
dengan Dewi!"
"Karenanya, semula kami
ingin sembunyikan kamu, supaya kamu tidak jatuh dalam jeratan aji 'Candi
Pamikat'-nya!"
Suto Sinting menyempatkan
meneguk tuaknya berapa kali, setelah itu baru berkata,
"Sudah terlambat
sebenarnya."
"Terlambat
bagaimana?" tanya Kembang Darah.
"Aku sudah terpikat
dengannya, sejak bertemu di hulu sungai, saat aku melihat Dogol menuangkan
racun ke sungai itu!"
"Celaka...!" gumam
Delima Ungu.
"Tapi seperti kau
ketahui, aku tidak terbujuk dalam pelukan mesranya! Aku masih hidup dan tidak
mengalami luka apa pun! Kuakui, dia mempunyai kekuatan hebat saat menatapku.
Hatiku berdebar dan gairahku terbakar. Tapi ia tak tahu siapa diriku. Suto
Sinting tak mudah ditundukkan oleh kekuatan seperti 'Candra Pamikat'. Justru
yang kukhawatirkan kalau dia yang jatuh terpikat padaku dan memilih mati
daripada tak menjadi kekasihku! Itu yang kutakutkan!"
Lalu Arum Kafan muncul, dan
semua menjadi diam. Karena di belakang Arum Kafan muncul juga Dewi Taring Ayu
yang melangkah dengan angker namun punya kesan wibawa tersendiri di mata
adik-adiknya. Ia langsung menemui Suto, membuat Delima Ungu dan Kembang Darah
cemas. Arum Kafan memberikan isyarat agar mereka tenang, dan berbisik kepada
mereka.
"Sudah kubicarakan
dengannya saat di bawah tadi! Dia tak akan mengganggu Suto! Tenang saja!"
Terdengar Pendekar Mabuk yang
beradu pandang dengan Dewi Taring Ayu itu berkata di sela senyum ketenangannya,
"Tak kusangka kalau kau
adalah kakak dari ketiga saudara ini!"
"Tak kusangka pula kau
mencari Kitab Lontar Gegana!" kali ini Dewi Taring Ayu bicara dengan
berhadapan muka dengan Pendekar Mabuk, tak malu lagi memperlihatkan giginya
yang bertaring runcing itu.
"Rupanya Arum Kafan sudah
bicara padamu siapa aku?"
"Ya. Dan aku tahu kau
mencurigai aku sebagai si pembawa Kitab Lontar Gegana dari tangan Cakra
Wulung!"
Suto tersenyum canggung
jadinya. "Apakah kau merasa begitu?!"
"Aku hanya merasa
dicurigai, tidak merasa memiliki kitab pusaka tersebut!" jawab Dewi Taring
Ayu. "Yang ingin kutanyakan padamu, siapa yang menyuruhmu mengambil kitab
pusaka itu?"
Rupanya saat itu Arum Kafan
juga menunggu jawaban dari Suto Sinting. Demikian pula Kembang Darah dan Delima
Ungu. Mereka sama-sama menunggu jawaban dan ingin tahu siapa yang mengutus Pendekar
Mabuk melacak hilangnya jejak kitab pusaka tersebut.
Kejap berikutnya, Suto pun
akhirnya menjawab, "Guruku!"
"Siapa gurumu?"
desak Dewi Taring Ayu.
"Si Gila Tuak!"
Dewi Taring Ayu bergerak
mundur bagai orang terkejut. Arum Kafan juga tersentak napasnya dengan mulut
sedikit ternganga, sedangkan Kembang Darah dan Delima Ungu segera saling
pandang dengan dahi berkerut.
"Mengapa kau terkejut
mendengar nama guruku?" tanyanya kepada Dewi Taring Ayu.
"Ki Sabawana, atau si
Gila Tuak, adalah kakak dari kakek buyut kami, yaitu Eyang Buyut Bayan Maruto
alias Manusia Tembus Raga!"
"Kakak-beradik...? Tapi,
Guru tidak pernah menceritakan hal itu padaku! Jangan-jangan kau salah menarik
silsilah, Dewi!"
"Tidak. Cukup lama
kupelajari silsilah itu, bahwa Eyang Buyut Manusia Tembus Raga itu adalah adik
dari Ki Sabawana, tapi mereka hanya adik satu ayah lain ibu. Sekalipun hanya
adik satu ayah dan lain ibu, namun persaudaraan beliau cukup erat dan baik.
Jadi, aku memanggil gurumu dengan sebutan.... Eyang Buyut juga!"
Arum Kafan menambahkan kata,
"Pantas kau punya tuak seampuh itu!"
Dewi Taring Ayu berkata,
"Dan pantas pula kau mampu menahan aji 'Candra Pamikat'-ku! Pasti kau
telah memiliki 'Sukma Pamikat' dari adik perguruan si Gila Tuak, yaitu Bidadari
Jalang!"
Suto Sinting hanya tersenyum
malu, tak berani memandang mereka. Ia melayangkan pandangannya melalui jendela,
memandang malam bercahaya rembulan dan bertanya dalam hati, "Lalu, ke mana
kitab itu? Siapa yang memilikinya?"
* * *
BAGAIMANA dengan Dogol yang buntung
tangannya? Agaknya ia tidak ditanggapi oleh Tulang Neraka. Kehadirannya yang
bermaksud ingin melaporkan keadaan dirinya, tertunda sampai beberapa waktu
lamanya. Pintu gua ditutup dengan batu besar, Dogol tak bisa masuk, bahkan
menggeser pintu itu pun tak berhasil. Berulang kali ia berteriak memanggil
'sang guru' Tulang Neraka, tapi tak pernah mendapat jawaban, sampai mulutnya
terasa mau robek, tetap tak ada jawaban dari dalam gua.
Apa yang terjadi di dalam
sebenarnya? Dogol hanya bisa memperkirakan, bahwa 'sang guru' sedang melakukan
semadi. Tapi anehnya pada saat-saat tertentu, Dogol mendengar suara Tulang
Neraka yang samar- samar seperti orang melagukan tembang. Tembang itu mempunyai
irama kadang enak didengar, kadang tak teratur nadanya. Dogol hanya bisa
membatin sambil menahan luka menyakitkan itu,
"Jangan-jangan Guru
sedang kesurupan di dalam gua ini! Atau mungkin ada perempuan masuk, dan oleh
Guru pintu gua segera ditutup dan Guru merayu perempuan itu dengan tembang?
Apakah Guru tak mendengar teriakanku, keluh kesahku ini, dan rintihan sakitku
ini? Atau mungkin Guru memang sudah menjadi tuli telinganya?!"
Sejak terluka oleh pukulan
Pendekar Mabuk, saat bertarung dengan Arum Kafan, Tulang Neraka memang tak
pernah keluar dari gua tersebut. Ada sesuatu yang dilakukan di dalam gua itu.
Seperti yang diduga Dogol,
Tulang Neraka memang melakukan semadi alias bertapa dengan satu maksud yang
amat rahasia. Dogol tak pernah tahu maksud itu, karena ia hanya sebagai pelayan
yang merasa diangkat menjadi murid.
Sebuah kitab terbuka di depan
Tulang Neraka yang duduk bersila di atas batu besar berpermukaan datar. Kitab
itu mempunyai barisan-barisan kalimat yang mengandung makna sastra tinggi.
Tidak semua orang bisa menerjemahkan makna kalimat-kalimat yang menyerupai
tembang itu.
Di dalam kitab itu pun tertera
keterangan bagaimana mengucapkan tiap kalimat bahkan tiap suku kata dari
syair-syair yang ada. Juga dijelaskan bagaimana cara menarik napas pada kalimat
tertentu, bagaimana menghembusan napas pada bait berikutnya, bagaimana
menggerakkan jari tangan, mata, kepala, pundak, dan merasakan derasnya aliran
darah yang terjadi akibat gerakan-gerakan tersebut.
Apa yang dipelajari oleh
Tulang Neraka, sebenarnya merupakan sesuatu yang amat sulit. Selain dituntut suatu
penghayatan gerak, juga pengertian menerjemahkan kata-kata keterangan di situ
bisa menjadi salah arti. Jika cara menerjemahkannya sudah salah, saluran pada
urat nadi bisa pecah di dalam kulit tubuhnya. Setidaknya akan membuat orang
tersebut menjadi lumpuh seumur hidup.
Tetapi agaknya Tulang Neraka
berkemauan keras untuk mempelajari isi kitab tersebut. Sekali ia gagal, sekali
lagi ia mencoba. Gagal lagi, mencoba lagi, dan begitu seterusnya. Mungkin sudah
seribu kali lebih ia gagal, namun masih tetap mencobanya terus. Tanpa makan,
tanpa minum, tanpa tidur. Seluruh pikirannya dicurahkan kepada pelajaran
tersebut. Bahkan buang air kecil maupun besar pun tak pernah dilakukan, sejak
ia mengurung diri di dalam gua, di Pulau Dedemit itu.
Sebaris kidung dilagukan dalam
ucapan seperti orang membaca mantera. Dari bait ke bait, baris ke baris, kata
ke kata, semua mempunyai aturan pengucapannya, termasuk tekanan suaranya. Jika
salah tekanannya, maka harus diulang dari awal lagi. Pengucapan dan tekanan
harus sesuai dengan gerak yang diperintahkan dalam keterangan tersebut, jari
melengkung, atau kepala miring, atau pundak berguncang ke depan atau apa lagi
yang bersifat gerak.
Kelihatannya memang mudah,
tapi sebenarnya sulit bukan main. Dan itulah yang dinamakan ilmu 'Kidung
Mantera Gaib'. Tentu saja pelajaran ilmu tersebut diperoleh dari Kitab Lontar
Gegana. Dan memang benar, kitab itu ada di tangan Tulang Neraka.
Tak seorang pun tahu, bahwa
saat terjadi pencurian yang dilakukan oleh Loh Pati, Nyai Pancung Layon memanfaatkan
kesempatan emas itu untuk mencuri Kitab Lontar Gegana. Tetapi ia sendiri
berlagak mengamuk dan mencari kitab tersebut. Bahkan setiap saat ia selalu
menyatakan kesedihannya atas hilangnya kitab yang sebenarnya dicurinya sendiri
itu.
Hilangnya Kitab Lontar Gegana,
merupakan alat juga buat Nyai Pancung Layon untuk menuduh Ki Panjar Pitu
sebagai pencurinya, atau berlagak mencurigai keluarga Ki Panjar Pitu. Dengan
alasan tersebut, Nyai Pancung Layon punya alasan menyerang keluarga Panjar Pitu
yang memang bermaksud akan dimusnahkan dan tidak diberi kesempatan untuk
berketurunan.
Bahkan dari kesekian cucu,
hanya Tulang Neraka yang diberi tahu di mana letak Kitab Lontar Gegana
disembunyikannya. Sebab Tulang Neraka adalah cucu kesayangan dari Nyai Pancung
Layon. Kepada ketiga saudaranya pun Tulang Neraka tidak pernah menyebutkan
tentang letak persembunyian kitab tersebut.
Karena sifat-sifat yang ada
pada Tulang Neraka, sama persis dengan sifat-sifat yang ada pada Nyai Pancung
Layon. Karena itu, Nyai Pancung Layon sangat sayang kepada Tulang Neraka dan
berharap agar Tulang Neraka bisa mewarisi ilmu-ilmu yang ada di dalam kitab
tersebut, terutama ilmu 'Kidung Mantera Gaib'.
Tulang Neraka berani membuka
kitab pusaka itu setelah ketiga saudaranya meninggal. Dulu, ia mempelajari
secara sepintas saja, sebab hanya punya kesempatan sebentar untuk membuka dan
mengambil kitab tersebut dari penyimpanan yang rahasia itu.
Kini ia bebas membuka kitab
itu dan menekuni ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Itulah sebabnya Dogol mendengar
suara Tulang Neraka bagaikan menembang kadang berirama enak didengar, kadang
berirama sama sekali tak enak didengar. Karena sebenarnya yang dipelajari atau
yang diucapkan itu bukanlah sebuah tembang, melainkan kidung beraturan rumit di
dalamnya. Kidung itu terdiri dari sembilan puluh sembilan bait. Yang menjadi
repot, setiap bait punya peraturan sendiri, dan walau sudah mencapai bait
ketujuh puluh, misalnya, jika melakukan kesalahan harus diulang dari awal lagi.
Godaan mempelajari 'Kidung
Mantera Gaib' adalah mudah terserang rasa kantuk, mudah merasa bosan, mudah
buram penglihatannya, mudah jengkel, dan pikiran sering tiba-tiba lenyap tak
tahu ke mana, ketika sadar kembali harus mengulang dari bait pertama. Hal
itulah yang membuat gagalnya orang mempelajari 'Kidung Mantera Gaib'. Bukan
kecerdasan saja yang dibutuhkan, tapi juga kekuatan batin untuk melawan
godaan-godaan tersebut.
Pada satu ketika, Tulang
Neraka sudah mencapai delapan puluh sembilan bait yang bisa diucapkan dengan
benar, sesuai dengan peraturan di dalamnya. Tiba-tiba rasa kantuknya datang
lagi. Ia sudah melawannya mati- matian, namun rasa kantuk itu semakin lama
semakin berat sekali. Sampai pada mantera kesembilan puluh, Tulang Neraka jatuh
tertidur. Padahal ia telah mengganjal kelopak matanya dengan sebatang lidi agar
tetap melek. Tapi toh dia tertidur juga dalam keadaan mata melek.
Ketika ia sadar, batu yang
dipakainya duduk tertidur itu telah menjadi panas. Sebagian bagian bawahnya
membara merah bagai terpanggang lahar panas gunung berapi. Tetapi, Tulang
Neraka bertekad mengulang kidung tersebut dari bait pertama lagi. Rasa bosan
telah lama menghuni batinnya, namun selalu dilawan dengan tekad. Apabila rasa
bosan itu datang, pikirannya segera dilayangkan pada Arum Kafan sebentar, lalu
semangat itu timbul lagi. Yaitu semangat untuk membalas kematian
saudara-saudaranya kepada keluarga Arum Kafan yang dibencinya itu.
Tetapi kali ini usaha untuk
mengulang dari bait pertama menjadi gagal. Hal itu disebabkan, karena Tulang
Neraka merasakan panas yang amat menyengat pada pantatnya. Batu yang dipakainya
duduk itu semakin membara dan menjadi merah sampai di permukaan yang dipakai
duduk. Tulang Neraka berjuang keras mematikan rasa sakit dan panas pada
pantatnya.
Tubuhnya gemetar menggigil bukan
karena kedinginan, namun karena merasakan panas yang tak tertahan lagi. Dengan
tubuh berkeringat deras, ia memusatkan perhatiannya dan menyadari bahwa batu
membara itu hanya sebuah godaan belaka. Tulang Neraka berjuang keras
mempertahankan sikap duduknya.
Semakin lama rasa panas itu
memang semakin reda, tapi batu makin merah bagai bongkahan lahar gunung yang
memadat. Dan ketika rasa panas itu tak terasa lagi, ia melihat kedua kakinya
yang bersila menjadi merah membara, menyala terang.
Tulang Neraka hampir saja
menjerit kaget dan ketakutan melihat kakinya menjadi merah membara. Tetapi ia
berhasil menahan napasnya hingga semakin mengucur keringat yang keluar dari
tubuhnya, sampai pada kulit kepalanya juga berkeringat. Rambutnya menjadi basah
kuyup bagaikan orang habis tercebur ke selokan besar.
Ternyata sekarang warna merah
membara seperti besi terpanggang api itu bukan hanya di bagian kaki saja,
melainkan sampai sebatas perutnya juga menyala merah membara. Makin lama
semakin naik, dan semakin mendekati leher. Tulang Neraka masih diam saja; dan
merasa pasrah kepada sang nasib. Pikirnya, biarlah ia mati sekalian di atas
batu itu, ketimbang turun dari batu dan tidak mendapatkan ilmu 'Kidung Mantera
Gaib' tersebut.
Kini, cahaya panas merah
membara telah membungkus sekujur tubuhnya sampai ke bagian rambut. Anehnya
rambut itu tidak terbakar sedikit pun. Kitab dari bahan kulit lontar itu juga
tidak hangus sedikit pun.
Ketika sekujur tubuh telah
membara bagai besi terpanggang api, tiba-tiba memerciklah sinar merah dari
tubuh tersebut, membias dan menyebar sekeliling tubuh. Tulang Neraka bagai
gumpalan api yang memancarkan sinar merah ke segala arah. Dan pada saat itulah
ia mendengar suara tua yang bernada tegas, penuh wibawa dan kharisma,
"Kutitiskan ilmu ini kepadamu,
Tulang Neraka! Karena kulihat kau sangat berkemauan keras untuk memilikinya.
Jika kau mempelajarinya, tak akan berhasil sebelum mencapai seribu hari.
Tetapi, batinmu terbaca olehku, betapa ingin kau memiliki ilmu 'Kidung Mantera
Gaib', karenanya kutitiskan kepadamu dengan tanggung jawab pada dirimu sendiri!
Apa yang akan terjadi di dalam jiwamu, adalah bukan tanggung jawabku, Tulang
Neraka! Kau mau jadi sesat atau baik, itu pilihan jiwamu dan merupakan bagian
dari pribadimu! Mulai saat ini, kau telah memiliki ilmuku, yaitu 'Kidung
Mantera Gaib'. Kau akan menjadi seperti aku dan bergelar Manusia Tembus
Raga...!"
"Ttteett... tteet...
terima... ttee... terima kasih, Eyang..,!"
"Tetapi ingatlah,
setinggi-tinggi ilmu ini, masih ada yang lebih tinggi lagi! Jadi, rendahkan
dirimu, tundukkan kepalamu, jadilah bijak dan jangan sombong, Cucuku!"
"Ttee... teriima...
terima kasih, Eyang...! Ssa... saya akan patuhi pesan Eyang...!"
Setelah suara itu menghilang,
Tulang Neraka seperti ditimpa sesuatu yang hitam pekat tak bisa untuk melihat.
Blapp...! Gelap sekali. Matanya dibuka, tak ada yang dilihatnya selain warna
hitam. Napasnya pun terasa semakin sesak, dan sesak sekali. Tulang Neraka
berusaha menghirup udara, namun ia seperti tidak berada di dalam ruangan yang
mempunyai udara. Entah ada di mana dia saat itu. Yang jelas, tubuhnya terasa
semakin lemas, tak mampu lagi tulang punggungnya menyangga tubuh yang duduk. Ia
pun jatuh ke belakang, terkapar dan tak sadarkan diri, alias pingsan!
Entah untuk berapa lama Tulang
Neraka pingsan.
Ketika ia sadar, ia
mendapatkan dirinya sudah berada di bawah batu tempatnya duduk semula. Ia
terkapar di lantai gua yang kering itu. Kitab Lontar Gegana masih ada di atas
batu tanpa berubah sedikit pun. Segera ia menyimpan kitab itu dengan mengangkat
sebongkah batu.
"Hei, terasa enteng
sekali batu ini kuangkat?" katanya dalam hati. "Seperti mengangkat
tumpukan daun saja? Apakah ini akibat pengaruh ilmu titisan dari Eyang Buyut
Bayan Maruto?" Di bawah batu besar itu ada ruang khusus untuk menyimpan
kitab yang selama ini disembunyikan. Disanalah kitab ditaruh kembali dan batu
ditutupkan lagi. Sewaktu ia berbalik dan ingin melangkah, kakinya menyandung
batu berukuran sebesar kepalanya sendiri.! Wuttt...!
"Hai...?!" Tulang
Neraka tertegun sekaligus terkejut melihat kakinya bisa menyampar batu itu.
Tapi anehnya batu itu tidak bergerak. Tulang Neraka mengulangi menyampar batu
dengan mata memperhatikan jelas-jelas pada kakinya. Ternyata kakinya bukan
menyampar tapi menembus masuk ke dalam batu.
Berbinar-binar mata Tulang
Neraka memperhatikan keadaannya yang berubah itu. Ceria girang wajahnya.
Berulang-ulang ia melakukan gerakan yang sama, ternyata ia benar-benar bisa
menembus melalui pertengahan batu. Debar-debar jantungnya kian cepat karena
menyambut kegirangan yang amat besar itu.
"Bagaimana jika aku
menembus batu tempat bersemadi itu? Apakah bisa juga?" pikirnya. Lalu ia
mencoba pelan-pelan mendekati batu tersebut. Pertama- tama dijamahnya dengan
tangan. Ia merasakan kepadatan batu tersebut. Tapi ketika tangannya makin
menekan, ternyata ia seperti menekan air. Blesss...! Tangannya masuk ke dalam
batu tersebut. Waktu ditarik kembali, tangannya masih utuh dan tidak kotor.
Maka Tulang Neraka pun mencobanya dengan tubuh. Ia berjalan menembus batu itu.
Blesss...! Ternyata ia hanya seperti menyentuh air. Ia bisa tembus batu itu
bagaikan bayangan lewat.
"Ha ha ha ha...!"
Tulang Neraka tertawa kegirangan. "Aku bisa menembus benda keras, berarti
aku bisa menembus dinding! Ha ha ha ha...!"
Tulang Neraka berlari ke
sana-sini menerabas bebatuan, apa saja yang ingin dilewati, diterabasnya begitu
saja tanpa dihindari lagi. Blass...! Blasss...! Ploss...! Tulang Neraka berlari
ke sana-sini sambil tertawa terbahak-bahak. Puasnya hati adalah bahagianya jiwa
dan gembiranya batin. Ia masih memuaskan hatinya dengan berlari ke sana-sini,
bahkan menembus dinding gua dan segera keluar kembali dengan kata,
"Gelap, ah!"
Dengan berlari pula, Tulang
Neraka menerobos pintu penutup gua yang dari batu besar itu. Plooss...! Tahu-
tahu ia ada di luar gua, pada saat pagi mulai tiba.
"Hua ha ha ha...! Segar
sekali! Segaaar...!" teriaknya dengan amat kegirangan. "Siapa
sekarang yang ingin melawanku! Tak akan ada yang bisa menjatuhkan diriku jika
aku bisa lari sana-sini tanpa ada penghalang lagi. Ha ha ha...!"
Mendengar suara tawa Tulang
Neraka, Dogol yang ada di pantai segera berlari-lari menemuinya. Luka di
tangannya yang buntung telah kering, itu menandakan sudah cukup lama ia
menunggu Tulang Neraka keluar dari dalam gua. Ketika ia sudah berhadap-hadapan
dengan Tulang Neraka, ditunjukkanlah tangan kanannya yang terpenggal putus
dengan kalimat mengadu kesedihan,
"Guru... putus...!"
"Lho, kenapa bisa putus?!
Aku tak pernah menyuruhmu memutuskan tangan sendiri, Tolol!"
"Dewi Taring Ayu
memenggalnya, Guru!"
"Taring Ayu...?!"
geram Tulang Neraka. Matanya mulai mendelik menampakkan keganasannya.
"Keparat dia itu! Di mana dia sekarang?!"
"Bersama seorang pemuda
tampan seperti pemabuk, tak tahu namanya!"
"Orangnya menyandang bumbung
tuak?!"
"Betul, Guru!"
"Keparat! Dia juga yang
membuatku luka tempo hari! Kalau begitu aku harus mencari mereka sekarang
juga!"
"Tapi, tunggu sebentar,
Guru...!" Dogol mengejar dan Tulang Neraka terhenti, berpaling dan
membentak dengan mata melotot.
"Ada apa lagi?!"
"Sebaiknya... sebaiknya
silakan Guru mengenakan pakaian kembali, baru pergi mencari mereka!"
"Maksudmu...?!
Hahh...?!" Tulang Neraka terbelalak begitu melihat tubuhnya sendiri yang
ternyata masih polos, tanpa selembar benang pun. Ia lupa, bahwa saat semadi ia
melakukannya tanpa mengenakan pakaian, dan ketika siuman ia juga belum
berpakaian.
Karena itu, Tulang Neraka
segera kembali masuk ke gua tanpa membuka batu penutup pintu gua itu.
Plosss...! Ia tembus ke dalam bagaikan bayangan yang hilang entah ke mana.
Dogol membelalakkan matanya.
Mengucak-ngucak sebentar dan memandang lagi ke arah pintu gua yang masih
tertutup. Ia masih kurang percaya dengan penglihatannya sendiri. Maka
didekatinya pintu gua itu. Dirabanya dengan tangan pelan-pelan. Didorongnya
pintu gua dari batu itu, ia bergumam sendiri,
"Keras...?! Tapi
kelihatannya tadi Guru masuk tanpa mendorong batu penutup ini?!" Dogol
terheran-heran dan bimbang dengan keyakinan apa yang dilihatnya. Bluss...!
Tulang Neraka keluar lagi dari dalam gua dalam keadaan sudah berpakaian
lengkap. Caranya keluar juga dengan menerabas batu penutup gua. Dan tubuh Dogol
yang ada di depan pintu itu diterabasnya tembus. Ploss... !
Dogol celingak-celinguk
kebingungan. Ia merasa dilewati bayangan, namun merasa juga diterjang gurunya.
Tapi ia tidak jatuh, tidak tumbang dan hanya rambutnya yang sedikit tersingkap
karena angin bayangan itu. Tapi ia masih belum yakin juga dengan peristiwa aneh
yang dialaminya itu. Ia ingin tanyakan hal itu kepada gurunya, tapi Tulang
Neraka dalam keadaan diam tertegun bengong. Di dalam hati Tulang Neraka
bertanya-tanya,
"Dogol kuterabas tidak
jatuh?! Berarti aku tidak bisa menendang lawan? Aku seperti bayangan menendang
benda keras, tentunya tak akan mengakibatkan kerusakan pada benda itu. Lalu,
bagaimana jika aku ingin melawan mereka, sedangkan aku tidak bisa menyentuh
mereka dan mereka tidak bisa menyentuhku?! Wah, lantas buat apa aku punya ilmu
seperti ini jika tak bisa digunakan untuk menyerang lawan?!"
Kemudian, Tulang Neraka ingat
kalimat penjelasan di dalam kitab pusaka itu yang mengatakan,
"Apabila hatimu
berkehendak menjamah benda, maka terjamahlah benda itu. Apabila hatimu
berkehendak tidak menjamah benda, maka benda itu pun bisa kau lalui dengan
menembusnya. Dan untuk selamanya dirimu menjadi bayangan yang tidak bisa
disentuh orang, tidak bisa dipegang orang, tapi kau bisa menyentuh dan
memegangnya kapan saja kau punya keinginan di hatimu ..... "
Setelah memahami kalimat itu,
maka Tulang Neraka pun segera pergi dengan meninggalkan pesan pada Dogol,
"Jaga gua baik-baik!"
Dogol kembali terbelalak kaget
melihat Tulang Neraka berlari menerabas pepohonan berbatang keras dan besar.
Plos plos plosss...! Dogol geleng-geleng kepala dan berkata sendirian,
"Gila! Rupanya Guru bisa
menembus dinding sekarang ini?! Mungkinkah pengaruh suasana di sekitar gua ini,
karena semalam datang kabut yang membungkus gua ini? Kalau begitu aku pun juga
bisa menembus pohon itu?!" Kemudian Dogol berlari menerabas pohon
terdekat. Duggh! Bruss...! Dogol memekik, wajahnya besot dan benjol keningnya,
karena membentur pohon dengan keras.
***8
ANGIN pantai terasa kering di
kulit. Kabut telah hilang dari keheningan pagi. Dan matahari mulai merayap naik
menuju ketinggiannya. Dan saat itulah salah satu dari tiga orang yang sejak
dini sudah mencapai pantai itu bergegas bangkit dari duduknya.
"Ada yang keluar dari
Pulau Dedemit itu! Coba kalian perhatikan siapa orang itu?!" kata si baju
kuning yang memakai nama Wadal, bertubuh sedang dan berkumis tipis. Pria yang
lainnya berdiri juga dan memandang ke arah Pulau Dedemit ketika mereka tiba
masih terbungkus kabut.
"Kurasa dialah yang akan
kita susul ke Pulau Dedemit itu, Tambon! Perhatikanlah baik-baik, benar dia
atau bukan?" kata yang berbaju serba putih, karenanya ia berjuluk Musang
Putih. Sementara itu, Tambon pun segera kerutkan dahinya, sipitkan matanya
untuk menangkap sebentuk penglihatan jarak jauh. Lelaki berpakaian hijau tua
itu segera perdengarkan suaranya,
"Memang dia! Tak salah
lagi, dialah si Tulang Neraka!"
"Aha, pucuk dicintai ulam
pun tiba! Tak perlu kita susah-susah mencari perahu, yang dicari telah datang
dengan sendirinya!"
Wadal pun tersenyum-senyum
girang, "Sudah tak sabar golokku ini ingin memakannya habis-habisan!"
Wadal mencabut goloknya dari
pinggang kiri. Srett...
"Biarkan dia merapat ke
pantai, baru kita mencegat di depannya!" kata Tambon yang berbadan besar
dan brewokan itu.
"Kalau begitu kita harus
bergeser ke selatan, biar tidak terlalu jauh dari tempatnya mendarat
nanti!" ujar Musang Putih.
Sambil mereka bergegas ke
selatan, Musang Putih bertanya kepada Wadal, "Menurutmu, mengapa kali ini
dia keluar sendirian? Bukankah mereka biasa ke mana- mana berempat sehingga
orang cepat mengenali bahwa mereka adalah Empat Raja Sesat?"
"Mungkin dia punya tugas
tersendiri dari ketiga saudaranya!" jawab Wadal. "Atau barangkali dia
punya urusan pribadi!"
Kedua belah pihak sebenarnya
sama-sama tak tahu apa yang terjadi nanti. Pihak Musang Putih dan kedua saudara
perguruannya itu tidak tahu bahwa Tulang Neraka sudah mendapat titisan ilmu
setan yang bernama ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Sedangkan pihak Tulang Neraka
juga tidak tahu kalau kemunculannya kali ini sudah dihadang dan ditunggu-tunggu
oleh Musang Putih dan yang lainnya.
Maka ketika Tulang Neraka
melompat turun dari perahunya, cepat-cepat ketiga saudara seperguruan itu
melesat menghadangnya. Serempak mereka bertiga mendaratkan kaki di pantai tepat
berjarak tiga tombak dari tempat Tulang Neraka berdiri.
Tersentak Tulang Neraka, kaget
melihat ketiga orang tahu-tahu sudah menghadang di depannya. Ketiganya sudah
mencabut senjata masing-masing, sedangkan Tulang Neraka baru ingat bahwa ia
tidak memegang senjata apa pun.
"Sial! Aku tidak punya
senjata apa-apa!" gerutu Tulang Neraka di dalam hatinya. "Hmm...
mereka bertiga, masing-masing memegang senjata! Aku harus bisa merebut senjata
yang berbaju putih itu. Kurasa pedangnya itu cukup lumayan untuk menebas
lehernya sendiri! Tapi, siapa mereka sebenarnya?"
Tulang Neraka masih diam,
memandangi tiap wajah mereka. Segera terdengar suara Musang Putih berseru dari
tempatnya,
"Tulang Neraka!
Seharusnya kau muncul bersama ketiga saudaramu, jadi mempermudah pekerjaan kami
membantai kalian berempat!"
"Ke mana saudaramu yang
tiga lagi? Sedang mulas perutnya?!" Wadal tersenyum-senyum sinis mengejek
Tulang Neraka. Tetapi orang berjubah abu-abu tanpa mengenakan baju dalaman itu
masih diam saja dan mempelajari sifat ketiga lawannya melalui wajah mereka.
Mana yang paling galak, itulah yang diserang
lebih dulu nantinya.
"Tulang Neraka! Kuizinkan
kau pulang kembali ke pulau itu untuk memanggil ketiga saudaramu, setelah itu
datanglah kemari dan kami tetap menunggu kalian! Kami siap mencabut nyawa
kalian kapan saja!"
"Jangan membawa-bawa
ketiga saudaraku yang telah tiada!" geram Tulang Neraka. Mereka menggumam
dan manggut-manggut dengan senyum disertai tawa melecehkan. Tulang Neraka
kembali memperdengarkan suaranya yang berkesan angker itu,
"Siapa kalian bertiga?
Ada urusan apa menghadangku di sini?"
"Kami murid-murid dari
Pendita Wilo yang kau bunuh dengan keji bersama ketiga saudaramu itu! Masih
ingatkah kau dengan Pendita Wilo, yang tinggal di Lembah Berhala itu?!"
"Hah ha ha ha...!"
Tulang Neraka tertawa keras begitu ingat Pendita Wilo.
Beberapa waktu lalu, ketika
Urat Iblis dan kedua saudara lainnya masih hidup, mereka berempat pernah
mendatangi Lembah Berhala dan bertemu dengan Pendita Wilo di kuilnya. Karena
satu masalah, Empat Raja Sesat menyerang Pendita Wilo yang sedang melakukan
semadi itu. Dan sang Pendita pun tewas di tangan mereka berempat secara
mengenaskan.
Nasibnya serupa dengan nasib
Nyai Tanduk Setan. Tapi pada waktu itu, ketiga murid Pendita Wilo itu tidak ada
di tempat, sehingga tidak mengetahui perbuatan mereka secara persis. Hanya satu
pelayan pendita itu yang melihatnya dan segera melarikan diri mencari ketiga
murid Pendita Wilo.
"Kalian bertiga mau
bertingkah bagaimana? Kalau guru kalian saja bisa kami bunuh dengan mudahnya,
apalagi kalian yang hanya sebagai murid! Kurasa kalian kemari bermaksud
menyerahkan nyawa kalian agar cepat menyusul arwah guru kalian!" kata
Tulang Neraka tak mau kalah gertak.
Dan ucapannya itu membuat
geram ketiga lawannya.
"Guru hanya satu orang
dan kalian berempat pada waktu itu. Wajar kalau Guru kalah. Sekarang kau yang
sendirian dan kami bertiga, tibalah saat pembalasan yang setimpal dengan
perbuatan!" kata Musang Putih.
Kemudian Tulang Neraka berkata
dengan tetap tenang,
"Majulah kalau begitu!
Serang aku! Serang!"
"Jurus 'Sergap
Lebah'...!" seru Musang Putih. Serentak Wadal dan Tambon bergerak ke kanan
dan kiri Tulang Neraka. Musang Putih segera memekik sebagai isyarat bagi yang
lain,
"Heaaah...!"
Tiga manusia itu melompat dan
bersalto dalam satu arah, yaitu ke arah Tulang Neraka. Senjata mereka pun
segera berkelebat. Tapi Tulang Neraka berhasil memukul dada Musang Putih dengan
kedua telapak tangannya. Pukulan itu mengena telak dan cukup kuat, membuat
Musang Putih terpental dan pedangnya terlepas dari tangannya.
Wuttt...! Wess...!
Golok Wadal dan Tambon
berkelebat menebas punggung serta leher Tulang Neraka. Jelas-jelas benda tajam
itu menembus masuk ke tubuh Tulang Neraka, namun segera lolos keluar tanpa
menyentuh apa pun. Bahkan ketika keduanya kembali mendarat ke bumi dan
menyentakkan kakinya dengan tendangan miring ke arah kepala Tulang Neraka,
tendangan mereka tepat mengenai kepalanya, tapi yang terasa adalah perpaduan
kaki mereka sendiri, sehingga keduanya pun sama-sama terpental ke sisi
masing-masing.
Tulang Neraka tertawa
terbahak-bahak, merasa bangga melihat tubuhnya tak bisa dilukai. Ia segera
melompat dan memungut pedang Musang Putih yang tergeletak ke tanah. Pada waktu
itu, Musang Putih sedang berusaha mencapai pedangnya dengan berguling- guling
dua kali. Tapi pedang sudah telanjur berada di tangan Tulang Neraka.
Menggelindingnya tubuh Musang Putih bagai ular menghampiri gebukan. Dengan
enaknya Tulang Neraka menebaskan pedang ke arah tubuh Musang Putih. Crapp...!
"Aahg...!" Musang
Putih memekik dalam keadaan mendekap luka di bagian pundaknya. Lalu ia segera
sentakkan punggung dan berdiri cepat. Kakinya menendang ke samping, sasaran
dada lawannya. Wuttt...! Ploss....! Kaki Musang Putih masuk dan menembus
punggung Tulang Putih. Kejadian itu dilihat jelas-jelas oleh Wadal dan Tambon
dengan mata melotot terheran-heran.
Tulang Neraka tertawa melihat
kaki lawannya tembus dari dada sampai ke punggung. Musang Putih terperanjat
kaget melihat keanehan tersebut. Karena ia tersentak kaget dan terpukau, maka
ia tak menyadari datangnya bahaya dalam sekejap. Tulang Neraka segera kibaskan
pedang ditangannya itu ke arah leher Musang Putih. Crass!
Tulang Neraka melompat mundur
dua tindak, lalu memandangi lawannya dengan tertawa terbahak-bahak. Kepala
lawannya itu tiba-tiba jatuh menggelinding disusul oleh bagian tubuhnya yang
bergedebuk seperti karung beras dijatuhkan. Bluggh...!
"Musang Putih...!"
teriak Tambon dengan segera mendekati tubuh dan kepala Musang Putih. Tetapi,
tiba- tiba Wadal menyerang Tulang Neraka dengan melepaskan pukulan jarak jauh
bertenaga dalam berbahaya. Sinar hijau menggumpal mirip gumpalan serabut kelapa
itu melesat ke arah Tulang Neraka, keluar dari telapak tangan Wadal. Sinar
hijau sebesar separo genggaman tangan itu dibiarkan oleh Tulang Neraka dan
menghantam tepat di pinggang kirinya, namun sama dengan peristiwa tadi, sinar
hijau itu bagai menembus bayang-bayang dan lolos melalui pinggang kanan.
Plosss... !
Sedangkan pada waktu itu,
Tambon sedang tersentak duka melihat kepala Musang Putih terpisah dari raganya.
Ia tidak tahu bahwa sinar hijau yang lolos dari tubuh Tulang Neraka itu
mengarah kepadanya.
Ketika ia terkejut dan ingin
menghindar, ternyata sudah terlambat. Sinar hijau itu tepat mengenai lehernya
dan leher itu pun pecah tak tertolong lagi. Blarrr...!
"Tambooon...!"
teriak Wadal kaget dan menyesal, tapi juga bingung melakukan gerakan
selanjutnya.
Sementara itu, Tulang Neraka
makin keras tawanya, semakin terbahak-bahak gelaknya.
Penyesalan atas kematian
Tambon membuat Wadal menjadi ciut nyali dan panik. Apalagi ketika itu Tulang
Neraka segera berkata kepadanya di sela tawa kepuasannya,
"Kau lihat sendiri, Bocah
Dungu! Aku tak akan bisa dibunuh oleh siapa pun! Tapi aku bisa membunuhmu
sekarang juga! Kurasa memang kau harus dilenyapkan sekalian, biar tidak
menjadikan ganjalan dalam hidupku selanjutnya. Hah ha ha ha...."
Wadal membatin dalam hatinya,
"Celaka! Bagaimanapun tingginya ilmuku, tak mungkin aku bisa melawan dia!
Dia seperti angin, tak bisa disentuh dan dilukai! Kalau begini caranya aku bisa
mati di tangannya!
Sebaiknya aku melarikan diri
saja sebelum kutemukan jurus maut untuk menandingi ilmunya itu!"
Blasss...! Wadal segera
melompat meninggalkan tempat itu dengan cepatnya. Ia ditertawakan oleh Tulang
Neraka. Bahkan ia mendengar suara Tulang Neraka berseru dari tempatnya,
"Ke mana pun larimu,
kukejar kau sampai dapat, Tikus Busuk! Hah ha ha ha...!"
Pelarian Wadal semakin kencang
dan cepat. Api saja diterabasnya selagi masih bisa dipakai untuk lewat. Ia
benar-benar ketakutan sekali, ketika dilihatnya ke belakang, ternyata Tulang
Neraka benar-benar mengejarnya.
Kecepatan lari mereka
seimbang, sehingga jarak mereka pun selalu sama. Tapi ketika Wadal tersungkur
jatuh dan segera bangkit lagi, jarak mereka menjadi lebih pendek. Ini membuat
Wadal makin mempercepat larinya. Bahkan ia meleset naik ke atas pohon dan
berlari dengan melompati dahan-dahan pohon. Rupanya hal itu pun dilakukan oleh
Tulang Neraka yang masih menggenggam pedangnya Musang Putih.
Melihat Tulang Neraka ikut
mengejar melalui dahan demi dahan, Wadal semakin ngeri dan panik.
Hal yang membuat Wadal menjadi
lebih panik adalah melihat Tulang Neraka berlari menerabas pohon besar atau
gugusan batu. Tulang Neraka benar-benar seperti bayangan yang tak bisa
terbentur dan terhalang benda sekeras apa pun. Sementara Wadal harus
menghindari benda-benda keras, sehingga pelariannya makin lama semakin lemah.
Srott...!
"Hahh...?!" Wadal
terpekik, ia jatuh terpeleset pada kemiringan sebuah lereng. Tubuhnya
menggelinding dan terbentur-bentur batu maupun semak berduri. Ia tak bisa
menghindari keadaan itu dan hanya mengikuti ke mana arah menggelindingnya
tubuh.
Brukk...!
Akhirnya Wadal jatuh di tanah
cadas yang rata. Sekujur tubuhnya penuh luka. Tapi luka itu tak dihiraukan,
karena ia melihat Tulang Neraka berdiri di ujung tebing itu, siap mengejarnya
lagi sambil menghamburkan tawa di sana. Mau tak mau Wadal pun cepat melarikan
diri ke arah utara.
Ya. Ia memilih arah utara,
karena di sana ia punya seorang sahabat yang dikenalnya dengan baik. Di sana
ada rumah sahabatnya dan Wadal berharap bisa mendapat pertolongan dari
sahabatnya itu. Orang yang dimaksud Wadal adalah Kembang Darah, yang selama ini
membina hubungan baik sebatas seorang sahabat.
Dengan cepat, Wadal berhasil
menemukan kediaman Kembang Darah yang tampak berbangunan kuno itu. Dari
kejauhan ia sudah berteriak,
"Kembang...! Kembang
Darah, tolong akuuu...!"
Pada saat itu, di rumah kuno
berlantai dua itu, penghuninya sedang bersiap-siap untuk melakukan suatu
penyerangan ke Pulau Dedemit. Karena menurut penyelidikan yang dilakukan oleh
Dewi Taring Ayu, ia sering melihat Tulang Neraka dan ketiga saudaranya keluar
masuk Pulau Dedemit.
Mereka ingin memeriksa apakah
Kitab Lontar Gegana itu disembunyikan oleh kelompoknya Tulang Neraka di Pulau
Dedemit itu, atau mungkin dari sana mereka bisa memperoleh petunjuk ke tempat
lain. Yang jelas mereka harus berangkat bersama, karena mereka menyangka Nyai
Tanduk Setan juga bermukim di sana dan menghimpun beberapa kekuatan baru
bersama Tulang Neraka.
Pendekar Mabuk pun disarankan
turut serta oleh Dewi Taring Ayu, dan Suto Sinting tak bisa menolak tawaran
itu. Karena firasatnya mengatakan, bahwa keempat perempuan cantik itu dapat
mudah dikalahkan jika menyerang ke sarang orang - orang sesat itu.
"Kembang Daraaah...!"
suara itu jelas sekali didengar orang-orang penghuni rumahtua tersebut. Mereka
terkejut dan semakin kaget setelah Wadal memasuki halaman rumah dalam keadaan
sekujur tubuhnya penuh luka.
"Wadal...!" teriak
Kembang Darah. Ia bergegas keluar dari rumah lebih dulu dan segera menolong
Wadal.
"Apa yang terjadi...?!
Katakan, apa yang terjadi pada dirimu, Wadal...?!" desak Kembang Darah
mulai panik.
Wadal tak bisa menjawab untuk
beberapa saat. Pendekar Mabuk segera menolong, memberikan minum tuaknya
beberapa teguk. Kejap berikutnya, Wadal mulai menarik napasnya, dan ia mencoba
menjelaskan!
"Tulang Neraka mengej
arku...!"
"Apa...?!" Delima
Ungu dan Kembang Darah sama- sama terkejut. Arum Kafan saling pandang dengan
Dewi Taring Ayu. Suto hanya diam saja dan memperhatikan ke arah luar lewat
jendela yang masih terbuka. "Dia muncul dari Pulau Dedemit. Aku
menyerangnya bersama Musang Putih dan Tambon. Tetapi, mereka berdua mati dan...
dan...!"
"Mengapa kalian
menghadang dan menyerangnya?!" tanya Arum Kafan.
"Kami menuntut balas atas
kematian Guru kami Pendita Wilo!"
"Oh, jadi beliau telah
dibunuh oleh Tulang Neraka?" sahut Kembang Darah yang pernah bertemu
Pendita Wilo beberapa kali.
"Ya. Dan... dan kami tak
bisa melawan Tulang Neraka! Dia tidak bisa dibacok ataupun dipukul!"
Suto menyahut, "Maksudmu,
dia kebal senjata apa pun?!"
"Bukan hanya kebal
tapi... tapi dia seperti bayangan. Golokku seperti membabat angin ketika
memenggal lehernya. Pukulan tenaga dalamku seperti menembus kabut ketika
menghantam lambungnya! Ia mengej arku dengan menembus pohon besar dan batuan
besar. Ia benar-benar seperti angin yang bisa menembus benda sekeras apa pun,
Kembang! Aku... aku tak sanggup menghadapinya!"
Hening tercipta sejurus.
Keempat perempuan cantik itu saling beradu pandang satu dengan lainnya.
Pendekar Mabuk masih kelihatan tenang-tenang saja, sesekali matanya memandang
keluar melalui jendela yang terbuka itu. Dan tiba-tiba terdengar Dewi Taring
Ayu keluarkan geramannya, lalu menggebrak meja dengan keras. Brakk...! Semua terkejut,
termasuk Pendekar Mabuk. Semua memandang ke arah wanita cantik bertaring
runcing itu.
"'Kidung Mantera
Gaib'!" katanya dengan tegas. "Dia sudah menguasai ilmu 'Kidung
Mantera Gaib', dan menjadi Manusia Tembus Raga!"
Sekali lagi ketiga adiknya itu
terperanjat, tapi Suto hanya kerutkan dahinya menatap Dewi Taring Ayu. Kemudian
Suto ajukan tanya kepada Dewi,
"Kau tidak salah duga,
Dewi?!"
"Tidak! Ciri-ciri orang
yang memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib' adalah bisa menembus benda apa pun
tapi tak bisa dilukai karena tubuhnya bagaikan angin atau bayangan!"
Arum Kafan terdengar berkata,
"Tak mungkin semudah itu ia bisa mempelajari ilmu tersebut?! Belum lama
dia bertarung denganku, dia masih bisa kupukul dan kutendang! Jarak antara
pertarunganku dengan sekarang hanya sekitar satu bulan. Mana mungkin dia bisa
selesaikan pelajaran ilmu itu dalam satu bulan?!"
Dewi Taring Ayu diam, seakan
membenarkan kesimpulan adiknya. Tetapi Pendekar Mabuk segera berkata,
"Ki Darma Paksi pernah
mengatakan padaku, bahwa eyang buyut kalian pernah mengeluarkan semacam wasiat,
bahwa kelak pada suatu saat, ia akan menitiskan ilmu itu kepada salah satu
keturunannya."
"Menitiskan...?"
gumam Arum Kafan sambil memandang Pendekar Mabuk dengan dahi berkerut.
"Ya. Itu yang kudengar
dari mulut Ki Darma Paksi."
Dewi Taring Ayu segera
berkata, "Jelas sudah sekarang! Kitab itu pasti ada pada Tulang Neraka,
mungkin disimpan di Pulau Dedemit. Selama ini ia mendekam di sana hanya dengan
alasan mencari titisan ilmu setan itu, jelas tak mungkin! Dari mana dia tahu
bahwa Eyang Buyut Bayan Maruto ingin menitiskan ilmunya kepada dia? Pasti ia
tekuni ilmu itu, sampai tiba ilmu itu menitis dengan sendirinya di luar rencana
sebenarnya."
Delima Ungu segera berkata,
"Yang perlu kita pikirkan sekarang, apa yang harus kita lakukan?!
Menyerangnya dengan cara bagaimana?""Aku yang akan
menghadapinya!" kata Pendekar Mabuk.
Tapi Arum Kafan segera
menyergah, "Jangan, Suto! Dia sangat berbahaya!" Wadal mengajukan
usul dari tempatnya terkulai di sebuah kursi bersandar dinding,
"Kalau boleh kuusulkan
agar mencari tempat berlindung yang aman saja! Aku yakin dari kalian tak akan
ada yang bisa melawannya, tapi mati karenanya malah bisa terjadi!"
"Sembunyi...?!"
gumam Kembang Darah. "Sembunyi ke mana?"
Suto tiba-tiba ajukan usul,
"Bagaimana jika ke pondoknya Ki Darma Paksi?"
Baru saja selesai bicara
begitu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara dan tawa Tulang Neraka di
kejauhan. Wajah-wajah mereka menjadi tegang. Tulang Neraka keluarkan ancaman,
"Arum Kafan... ! Habis
sudah riwayat keturunan leluhurmu hari ini juga, Arum...! Ha ha ha ha...!"
Dewi Taring Ayu berkata,
"Suto, bawa mereka pondok Ki Darma Paksi! Aku akan hadapi dia!"
"Kau jangan gila, Dewi!" sentak Arum Kafan. "Aku hanya
menghambatnya supaya tidak mengej ar kalian!"
* * *
SEKALIPUN Dewi Taring Ayu
adalah manusia penghisap darah dan telah menewaskan kekasih kedua adiknya,
yaitu Arum Kafan dan Kembang Darah, tapi sikapnya sebagai kakak masih terlihat
jelas. Ia tetap melindungi adik-adiknya dan siap mengorbankan diri, menentang
bahaya demi keselamatan adik-adiknya.
Sekalipun menghambat adalah
tugasnya, tapi punya bahaya tinggi bagi keselamatan Dewi Taring Ayu sendiri.
Agaknya perempuan bertaring itu tidak menghiraukan lagi keselamatan dirinya dan
ia berani keluar lebih dulu untuk mencegat Tulang Neraka sebelum memasuki
halaman rumah tanpa pagar tinggi itu.
Mereka yang di dalam rumah
masih bimbang untuk lari atau membantu Dewi Taring Ayu. Sementara itu, Wadal
segera keluar setelah berseru kepada Kembang Darah,
"Cepat kau pergi,
Kembang! Aku akan membantu kakakmu menghambat Tulang Neraka agar tak mengejar
kalian!"
Arum Kafan masih tak bisa
meninggalkan tempat. Delima Ungu bahkan mulai merah matanya karena bimbang
untuk meninggalkan Dewi Taring Ayu atau membantunya. Sementara itu, Suto
memandang dari jendela ke arah pertemuan antara Dewi Taring Ayu dengan Tulang
Neraka.
Dewi Taring Ayu tampak telah
mencabut pedangnya, membuat langkah Tulang Neraka terhenti dan bertolak
pinggang menertawakan sikap Dewi Taring Ayu.
"Kau yang paling sulung,
memang layak mati lebih awal!" kata Tulang Neraka. Dewi Taring Ayu hanya
menjawab,
"Lakukan!"
Tulang Neraka tidak main-main
dengan ancamannya. Ia segara melompat dan menyerang Dewi Taring Ayu dengan
pedangnya. Tapi gerakan Dewi Taring Ayu begitu cepat dan lincah. Pedang yang
ditebaskan Tulang Neraka meleset dari sasaran. Sementara itu, Dewi Taring Ayu
sudah berhasil menebaskan pedangnya beberapa kali dengan cepat ke tubuh Tulang
Neraka.
Wut wut wut wesss...!
Pendekar Mabuk terkesiap
matanya melihat pedang Dewi Taring Ayu tak bisa memotong tubuh lawannya.
Padahal mata Suto melihat jelas pedang itu memenggal pundak, pinggang, dan
bagian punggung Tulang Neraka. Namun si jubah abu-abu itu masih tegar berdiri
tak mampu terpotong sedikit pun. Pedang Dewi Taring Ayu benar-benar seperti
menebas bayangan.
"Gawat keadaannya!"
kata Suto di dalam hati. "Tulang Neraka benar-benar tak bisa dilukai
sedikit pun! Tak ada cara lain untuk mengalahkannya kecuali bersembunyi dan memikirkannya
beberapa waktu! Tuakku pun kalau kusemburkan hanya seperti menyembur bayangan
dan angin saja! Kalau kupakai Napas Tuak Setan, ia hanya bisa melayang pergi,
tapi tak akan bisa mati! Karena ia tidak akan terbentur-bentur benda sekeras
apa pun! Hmmm...! Pasti ada caranya untuk mengalahkan dia, tapi sekarang belum
kutemukan cara itu! Dan... sebaiknya aku memang harus membawa mereka bertiga ke
pondok Ki Darma Paksi untuk bersembunyi, jika tidak maka akan habislah keluarga
Arum Kafan ini!"
Sempat dilihat oleh Pendekar
Mabuk, Wadal mengirimkan pukulan jarak jauhnya berupa sinar Jingga melesat dari
dua jarinya. Tapi ketika sinar itu tembus di kepala Tulang Neraka, bagaikan
lewat begitu saja tanpa terasa sakit sedikit pun bagi si Tulang Neraka. Sementara
itu, Dewi Taring Ayu berusaha memancing kemarahan dan serangan lawannya dengan
mengandalkan kegesitannya menghindari.
"Cepat kita tinggalkan
tempat ini!" kata Suto kepada Arum Kafan.
"Bagaimana dengan kakakku
itu?!" Delima Ungu tampak sedih sekali.
"Dewi sedang mengulur
waktu dan mengandalkan kegesitan gerak menghindarnya. Kurasa Dewi Taring Ayu
akan menyusul setelah kita terlihat selamat dari incaran Tulang Neraka!"
Tak ada pilihan lain bagi
ketiga gadis cantik itu. Maka dengan melalui pintu belakang, mereka pun segera
bergegas pergi meninggalkan rumah kediaman mereka, yang termasuk rumah warisan
leluhur mereka itu. Suto Sinting yang menuntun langkah mereka menuju ke pondok
Ki Darma Paksi sambil menjaga mereka dari bahaya yang sewaktu-waktu datang.
Sementara itu, Dewi Taring Ayu
sendiri memperhitungkan gerakannya agar tak mengalami nasib seperti Wadal.
Karena tadi, Wadal mencoba menyerang Tulang Neraka dari belakang. Serangannya
itu hampir saja mengenai diri Dewi Taring Ayu, seperti yang dialami oleh Tambon
di pantai. Untung Dewi Taring Ayu segera berkelit dan mampu menghindari sinar
hijau dari tangan Wadal.
Tetapi sejurus kemudian, Wadal
memekik dengan kepala terdongak. Dewi Taring Ayu tak sempat menarik gerakan
serang Tulang Neraka karena ia sibuk menghindari sinar hijau itu. Tubuh Wadal
mengej ang kaku setelah tersabet pedang dari dada sampai di permukaan wajahnya.
"Ahg...!" cukup
pendek pekikan Wadal, setelah itu ia roboh tak bernyawa lagi.
Dewi Taring Ayu sempat
berpikir untuk memancing gerakan lawan agar semakin menjauhi rumahnya.
Walaupun Dewi Taring Ayu tadi
sempat melihat kelebatan ketiga adiknya lewat pintu belakang, tapi ia khawatir
Tulang Neraka mengetahui dan segera mengejarnya. Karena itu, Dewi Taring Ayu
pun segera berlagak menyerangnya dengan jurus pukulan jarak jauhnya. Sekalipun
ia tahu tak akan mengenai sasaran tapi pancingan menjauhnya itu membuat Tulang
Neraka semakin geram semakin penasaran untuk membunuh Dewi Taring Ayu.
"Percuma kau mempunyai
ilmu 'Kidung Mantei Gaib' jika membunuhku saja tak mampu!" seru Dewi
Taring Ayu. "Mana kehebatanmu sebagai Manusia Tembus Raga, hah?!
Mana...?!"
"Bangsat kau, Dewi! Ke
mana pun kau lari akan ku buru nyawamu!" teriak Tulang Neraka yang merasa
terhina oleh ucapan Dewi Taring Ayu. Maka ia pun mengejar perempuan itu.
Bertarung mengalahkan kegesitan gerakan Dewi Taring Ayu. Kemudian Dewi berlari
lagi, dan berhenti untuk bertarung kembali, saling serang dan saling kejar
terus-menerus. Semakin menjauh jarak mereka dari arah kediaman Ki Darma Paksi.
Padahal di tempat kediaman Ki
Darma Paksi, sudah tersusun rencana untuk mengalahkan Tulang Neraka setelah
antara Suto dan Ki Darma Paksi terjalin pembicaraan mengenai ilmu 'Kidung
Mantera Gaib'. Ki Darma Paksi pada mulanya berkata,
"Pada masa kejayaan Ki
Bayan Maruto, tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkan kesaktiannya itu.
Mereka memandang Ki Bayan Maruto sebagai seorang tokoh yang bermegah atas
kesaktiannya. Namun Ki Bayan Maruto atau si Manusia Tembus Raga itu, tetap
tundukkan kepala dan merendahkan diri di depan siapa saja. Tak ada kesombongan
yang terlontar dari mulutnya maupun sikapnya, bagai padi di hamparan sawah yang
menguning, menunduk ia walau seekor kerbau pun mampu di robohkannya!"
"Apakah memang begitu
kodratnya manusia memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib', Ki Darma?" tanya
Suto.
"Bicara soal kodrat,
adalah bicara tentang garis kekuasaan yang mencipta langit, bumi, dan seisinya.
Tak dapat orang menentukan kapan sang kodrat melangkah melintasi bayang-bayang
kehidupan kita. Tetapi, begitulah kenyataan yang pernah terjadi pada diri
seseorang yang memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Seperti mendiang Ki Bayan
Maruto, beliau wafat bukan karena serangan musuh, melainkan karena ketuaannya
dan jemputan kodrat ataupun takdir tadi."
"Mengapa ilmu itu bisa
membuat orang bagaikan bayangan, Ki?" tanya Arum Kafan yang saat itu ikut
mendengarkan percakapan antara Ki Darma Paksi dan Suto Sinting.
Ki Darma Paksi diam sebentar,
memandang hampa ke arah depan. Sepertinya ada sesuatu yang dipertimbangkan
dalam benak orang tua berkumis dan berjenggot putih halus itu. Mereka menunggu
dengan sabar, lalu kejap berikutnya terdengar Ki Darma Paksi menjawab
pertanyaan Arum Kafan tadi,
"Alam ini terbagi menjadi
dua, nyata dan tidak nyata. Yang nyata kita namakan kehidupan di muka bumi,
yang tidak nyata dinyatakan sebagai alam gaib. Ilmu 'Kidung Mantera Gaib'
adalah ilmu yang datangnya dari alam gaib. Manusia yang memiliki ilmu seperti
itu, raganya telah masuk ke alam gaib. Raga di alam gaib, tapi bayangan dan
kekuatan tenaganya ada di alam nyata. Jadi yang kita tebas dengan pedang adalah
bayangan si Tulang Neraka, yang menghantam kita adalah tenaga Tulang Neraka,
tapi sumber tenaga dan kekuatannya ada di dalam raga, dan raga itu ada di alam
gaib. Tentu saja sangat sukar bagi seseorang melawan pemilik ilmu 'Kidung
Mantera Gaib'! Tapi baru saja tadi ketika aku diam sejenak, kurasakan datangnya
firasat aneh yang mengatakan, Tulang Neraka akan mati terbunuh walau ia
mendapat titisan ilmu setan itu!"
Arum Kafan dan kedua adiknya
saling berpandangan. Di dalam hati mereka timbul pertanyaan, "Mungkin kah
Dewi Taring Ayu berhasil membunuh Tulang Neraka?!"
Pendekar Mabuk diam dengan
dahi berkerut dan matanya memandang ke arah luar. Batinnya pun berkecamuk sendiri
kala itu,
"Jika ia benar berada di
alam gaib, maka untuk membunuhnya harus masuk ke alam gaib juga! Dari sana aku
bisa melukainya dan membunuhnya! Kalau begitu, agaknya aku harus segera mencari
Tulang Neraka dan menantangnya bertarung! Aku harus bergerak cepat sebelum Dewi
Taring Ayu terbunuh oleh kesaktiannya!"
Secara diam-diam dalam keadaan
terpisah, Ki Darma Paksi berkata kepada ketiga gadis cantik itu,
"Murid si Gila Tuak,
bukan sembarang murid! Mata batinku melihat tubuhnya bercahaya, memancarkan
kesaktian putih yang mengagumkan! Dialah orang yang bisa menandingi Tulang
Neraka!"
"Tapi... tapi saya takut
dia terluka, Ki Darma!" kata Delima Ungu dengan wajah sedih, penuh
kecemasan. Agaknya ia menyimpan perasaan kasih dan sayang kepada Suto Sinting,
sehingga merasa tak rela jika Suto terluka kulitnya. Hal itu membuat Ki Darma
Paksi tertawa seperti orang menggumam dan berkata,
"Kalau aku boleh katakan
kepadamu, Cah Ayu, kau menyimpan cinta kepadanya, dan lebih besar daripada
cinta yang tersimpan di kedua
kakakmu ini!"
Arum Kafan tersipu, sementara
Kembang Darah mengalihkan pandang menutupi senyum malunya. Delima Ungu hanya
memandangi kedua kakaknya itu dan segera berkata,
"Tapi saya hanya bisa
menyimpannya saja, Ki. Tak bisa mencurahkan cinta ini untuk Suto!"
"Menyimpan segenggam
cinta adalah lebih abadi daripada mencurahkannya, Cah Ayu. Barangkali kalian
belum mengetahui, bahwa Pendekar Mabuk itu telah terikat hatinya oleh perempuan
lain yang anggun dai bijaksana."
"Siapa perempuan itu, Ki
Darma?" sergah Kembang Darah ingin tahu.
Tersenyum Ki Darma Paksi
memandangi Kembang Darah, lalu ia menjawab,
"Aku tak punya wewenang
untuk menyebutkan nya, sekalipun aku tahu siapa orangnya! Jadi menurut naluri
tuaku ini, sebaiknya simpan saja cinta kalian kepada Pendekar Mabuk itu, karena
Suto tak akan jatuh hati lagi kepada perempuan lain. Cintanya telah menjadi
karang abadi dan hanya perempuan itulah yang merasuk dalam jiwa, darah, dan
sukmanya. Tetapi sebagai seorang sahabat, Suto Sinting bisa lebih hangat dari
seorang kekasih dalam batas-batas tertentu. Tak ada ruginya kalian bersahabat
dengan murid si Gila Tuak yang sebenarnya adalah kakak dari eyang buyutmu
itu!"
"Barangkali memang kita
harus begitu, Delima," kata Kembang Darah kepada adiknya yang bungsu.
Delima
Ungu hanya diam, tundukkan
kepala.
Suto mendekati Ki Darma Paksi
dan ketiga gadis itu. Dengan tegasnya ia berkata,
"Ki Darma, saya harus
menyusul Dewi Taring Ayu sebelum ia terbunuh oleh kekuatan Tulang Neraka!"
"Itu lebih baik, Suto!
Karena pertolongan kita hanya akan menjadi tinggi nilainya jika kita datang
tepat pada saat orang itu membutuhkannya!"
"Saya titip mereka
bertiga, Ki Darma!"
"Sebagai bekas pelayan
kakeknya, aku berkewajiban melindungi mereka, karena mereka adalah cucu-cucuku juga
dalam anggapan batinku. Jangan cemaskan mereka, Suto. Dan... tunggu!"
Ki Darma Paksi diam sebentar,
seperti sedang merasakan sesuatu yang membuatnya terpatung, memandang lurus ke
depan dengan dada tegak. Sementara itu Arum Kafan sempat membisikkan kata,
"Hati-hati, Suto...!
Jangan sampai kau menjadi korban ilmu setan itu! Ingatlah akan tugasmu, yaitu
membawa Kitab Lontar Gegana kepada gurumu. Jadi kau harus bisa selamatkan diri
dari kekuatan ilmu setan itu, Suto! Kami tak ingin kecewa dengan sikap ksatriaanmu!"
Kembang Darah ikut berbisik,
"Jika terdesak lebih baik mundur untuk menyusun siasat baru, Suto. Jangan
memaksakan diri hanya karena menjaga harga diri."
Delima Ungu tak mau
ketinggalan, juga membisikkan kata yang hanya pendek tapi bermakna dalam,
"Kalau kau mati, aku ikut mati melawan dia!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum ketika matanya beradu pandang dengan Delima Ungu. Gadis itu tak
henti-hentinya menatap, bagai memuaskan diri menikmati sebentuk ketampanan yang
mengagumkan hati.
Dan tiba-tiba terdengar suara
Ki Darma Paksi berkata,
"Aku mendengar tangis
tertahan. Aku merasakan luka terpendam. Aku juga mendengar langkah-langkah
gontai sedang menuju kemari! Kusarankan padamu, Pendekar Mabuk, jangan pergi
sebelum datang si langkah gontai itu. Jangan pergi, Suto!"
Apa maksud kata-kata itu, tak
begitu jelas bagi mereka bertiga. Tapi Pendekar Mabuk cepat tanggap dan bisa
mengartikannya. Itu tandanya akan datang seseorang dalam keadaan terluka,
menahan tangis, dan menahan sakit. Siapa orang itu? Tak jelas jawabnya.
Tapi mereka segera terkesiap
melihat Ki Darma Paksi melompat keluar dan tahu-tahu sudah berada di halaman
pondoknya. Seakan ia berdiri di sana untuk menunggu seseorang yang akan datang.
Dan sikap itu membuat mereka berempat segera keluar juga dan berada di
pelataran.
Kejap berikutnya, sesosok
tubuh melangkah dengan gontai, terhuyung-huyung dalam keadaan berlumur darah.
Mata mereka sama-sama terperanjat memandang ke arah orang yang terhuyung-huyung
itu, dan mulut Arum Kafan lebih dulu memekik,
"Dewi...!"
Dengan tenang Ki Darma Paksi
berkata, "Sambutlah awal keturunan kalian itu! Bawalah berlindung di
pondokku untuk menyelamatkan jiwanya. Ia terluka parah pada bagian
punggungnya!"
Apa yang diucapkan oleh Ki
Darma Paksi memang benar. Hanya selintas memandang Dewi Taring Ayu yang
terhuyung-huyung gontai itu, Ki Darma Paksi sudah bisa mengetahui bahwa luka
parah itu ada di bagian punggung. Luka parah itu akibat sabetan sebuah pedang
tajam, sementara pedangnya sendiri masih digenggam dengan tangan kanan.
"Dewi, apa yang terjadi?!
Oh, lukamu besar sekali, Dewi...!" Arum Kafan sedikit panik menghadapi
kakaknya terluka parah begitu.
"Tulang Neraka mengej
arku...! Dia tahu aku terluka parah, sekarang masih memburuku...!" tutur
Dewi Taring Ayu sambil terengah-engah, wajahnya pucat pasi karena kekurangan
darah.
"Minumlah tuakku dulu,
baru kau bercerita banyak- banyak," kata Suto yang tadi sempat tegang
sebentar, tapi sekarang sudah bisa tenang kembali. Ia membantu Dewi Taring Ayu
untuk menenggak tuaknya beberapa teguk. Tuak itu mempercepat keringnya luka dan
lenyapnya rasa sakit.
"Dewi Taring
Ayu...!" terdengar suara berteriak kasar dan keras dari pekarangan.
"Aku tahu kau lari kemari, karena darahmu yang menetes di bumi menunjukkan
kepadaku! Kau tak akan bisa lari dari kematianmu, Dewi Taring Ayu! Ha ha ha
ha...!"
"Keparat si Tulang Neraka
itu!" Delima Ungu menggeram, lalu segera bergegas keluar. Tapi tangan Ki
Darma Paksi menghadang, menghalanginya dan berkata, "Bukan dia
tandinganmu, dan bukan kamu tandingannya, Delima Manis! Biarkan Suto yang
menghadapi angkara murka, si setan sesat berjiwa laknat itu!"
Suto selesai menutup bumbung
tuaknya. Saat itu terdengar suara Ki Darma Paksi,
"Saat inilah kejahatan
akan dikalahkan oleh kebaikan, yang hitam akan dihancurkan oleh yang putih, dan
sudah saatnya kau turun tangan mengatasi kesesatan jiwa ini sebagai murid si
Gila Tuak!"
"Jangan, Suto! Jangan
menghadapi dia!" kata Dewi Taring Ayu.
"Dia benar-benar tak bisa
dilawan!" tambah Dewi Taring Ayu setelah Suto menyunggingkan senyum. Dan
dengan pelan ia berkata,
"Boleh aku meminjam
pedangmu, Dewi?" Perempuan bertaring itu tidak menjawab, Pendekar Mabuk
pelan-pelan mengambil pedang itu dengan mata tetap menatap Dewi Taring Ayu. Ia
berkata pelan setelah menggenggam pedang itu,
"Kau cantik,
Dewi...!" setelah itu Pendekar Mabuk pun melesat keluar diikuti oleh
ketiga adik Dewi Taring Ayu. Tapi mereka hanya sampai di batas serambi saja,
tak berani ikut ke pelataran. Ki Darma Paksi membantu Dewi Taring Ayu untuk
ikut ke serambi melihat pertarungan Pendekar Mabuk dengan Tulang Neraka.
"Aha, rupanya kau juga ada di sini, Pemuda Tampan ! Kau yang mengalahkan
aku tempo hari, dan sekarang mau serahkan nyawa padaku? Bagus sekali! Bagus
sekali!"
Sett... ! Suto Sinting
menggenggam pedang kuat-kuat dengan kedua tangannya. Pedang ada di depan ketiak
kanan, kedua kaki rapat merendah. Matanya tajam melirik gerakan Tulang Neraka.
"Hiaaat...!" Tulang
Neraka maju menyerang dengan mengibaskan pedangnya dari atas ke bawah.
Zlapp...!
Pendekar Mabuk tiba-tiba sudah
berada di belakang Tulang Neraka dan menebaskan pedangnya dua kali. Wuttt,
wwuttt...! Pedang bagai mengenai bayangan. Suto sendiri ditertawakan oleh
Tulang Neraka.
Tetapi, segera Suto mengusap
dahinya memakai tangan kanan. Clapp...! Pendekar Mabuk menghilang, masuk ke
alam gaib. Hanya Pendekar Mabuk dan Ki Darma Paksi yang tahu, bahwa Suto berada
di alam gaib, tak bisa terlihat oleh mata Arum Kafan, Dewi Taring Ayu, dan
kedua adik mereka itu. Tetapi buat Tulang Neraka, ia tetap melihat gerakan
Suto, bahkan tak tahu bahwa Suto ada di alam gaib, sejajar dengan raganya.
"Ke mana dia...?!"
gumam Delima Ungu dengan tegang. Mereka hanya memandang Tulang Neraka bagai
sedang bertarung dengan tempat kosong. Kadang ia melompat sendiri, kadang ia
menebas sendiri.
Trang, trang... !
Mereka terkejut mendengar
suara benturan pedang dua kali, sedangkan di mata mereka tetap tidak melihat
Suto bersama pedangnya. Arum Kafan berkata seperti bicara pada dirinya sendiri,
"Dia ada! Dia ada di
sana, tapi tidak terlihat oleh kita!"
"Luar biasa kesaktian si
tampan itu," gumam Dewi Taring Ayu.
Ki Darma Paksi berkata,
"Suto masuk ke alam gaib dan menemui raga Tulang Neraka! Matilah orang
sesat itu sebentar lagi!"
Ucapan itu memang benar. Baru
saja berhenti ucapan Ki Darma Paksi, tiba-tiba ia dan yang lainnya melihat
Tulang Neraka tersentak mundur dan terpekik tertahan,
"Ahk...!" Ia mulai
tampak kebingungan, dadanya sempat digores oleh pedang Pendekar Mabuk.
Ia benar- benar heran dan tak
menyangka akan bisa dilukai. Ia memegang luka itu, memandang darah di
tangannya.
"Kau bisa melukaiku,
Jahanam...?!" geram Tulang Neraka. Ia tampak semakin bengis dan buas.
Wuttt wuttt wuttt...!
Pedang Suto berkelebat cepat
saat melompat menyerang. Tapi Tulang Neraka tidak melihat gerakan Suto karena
cepatnya. Hanya tahu-tahu ia tersentak bagai terpaku di tempat. Mereka yang
menyaksikan juga melihat Tulang Neraka terpaku di tempat. Tangan kanannya
tiba-tiba putus, jatuh ke tanah.
Pluk...!
Disusul kemudian daun
telinganya jatuh karena terpotong. Pluk...! Kejap berikutnya, mata yang
membelalak dan mulut yang ternganga itu jatuh menggelinding bersama kepalanya,
sedangkan raganya masih berdiri bagai tertancap di tanah. Diam tak bergerak.
Mata mereka yang menyaksikan
pertarungan itu menjadi terbelalak dengan mulut melongo tanpa bisa berkata
apa-apa. Ternyata Suto Sinting-lah orang yang bisa mengalahkan ilmu 'Kidung
Mantera Gaib' itu. Rasa kagum dan takjub mereka terhadap kesaktian Suto sampai
membuat mereka sulit bicara, bahkan ketika Suto sudah menampakkan diri lagi
dengan cara mengusap kembali keningnya memakai tangan kiri, perempuan-
perempuan cantik itu masih terpaku tak bisa bicara.
Kepala, tubuh, dan bagian
tubuh dari manusia sesat Tulang Neraka itu segera mengeluarkan cahaya merah
membara seperti besi terpanggang api. Cahaya itu makin memancar menyilaukan,
lalu redup dalam seketika.
Blapp...!
Dan Ki Darma Paksi berkata,
"Lenyap sudah ilmu titisan itu!" Ucapan itu memang benar. Tubuh dan
kepala Tulang Neraka kembali dapat disentuh walau dengan kaki. Itu berarti ia
bukan lagi menjadi bayangan seperti saat ilmu setan itu menitis dalam dirinya.
Pendekar Mabuk mendekati Dewi
Tarung Ayu, menyerahkan pedang Dewi Taring Ayu dengan kedua tangan. Dewi Taring
Ayu tersenyum, lalu pedang diangkatnya ke atas oleh Dewi Taring Ayu.
Tapi ternyata di tangan Suto
masih ada pedang, dan di tangan Dewi Taring Ayu yang terangkat ke atas itu
tidak memegang pedang. Dewi Taring Ayu tertawa, ingat masa pertemuannya dengan
Suto ketika mereka pamer ilmu dengan logam ujung golok yang menancap di pohon.
"Jangan melecehkan aku
lagi. Aku hormat pada ilmumu yang tinggi itu, Suto! Tak akan kupamerkan ilmuku
di depanmu lagi," kata Dewi Taring Ayu yang mulai mengering lukanya.
Pendekar Mabuk hanya
memandangi Dewi Taring Ayu dengan senyum menawan setiap mata yang memandangnya
kala itu. Dan Suto berucap kata kepada Dewi,
"Kau cantik,
Dewi...!"
Perempuan bertaring itu
tersipu malu. Cepat-cepat Delima Ungu mendekat dengan cemberut dan berkata,
"Aku...?!"
"Kau... lebih cantik dari
yang tercantik," jawab Suto Sinting, membuat Delima Ungu merah wajahnya,
dikulum senyumnya, dan ia biarkan Dewi Taring Ayu merangkulnya.
"Kita geledah Pulau
Dedemit untuk mendapatkan kitab itu dan harus segera kuserahkan kepada
guruku!" kata Suto.
"Aku setuju," jawab
Dewi Taring Ayu mewakili adik- adiknya. Kemudian mereka pun pergi ke Pulau
Dedemit, dan berhasil menemukan kitab pusaka tersebut dalam gua setelah
mengalahkan Dogol lebih dulu.
Dogol dibuat kabur terbirit-birit
oleh Delima Ungu.
Maka, Suto pun terpaksa harus
meninggalkan mereka, karena ia harus segera menemui gurunya untuk menyerahkan
kitab tersebut. Mereka terpaksa harus rela melepas kepergian Pendekar Mabuk,
walau Dewi Taring Ayu sempat membisikkan kata kepada Suto Sinting,
"Baru sekarang aku
menelan cairan lain yang bukan darah, yaitu tuak Suto! Rasa-rasanya, lebih
nikmat dari darah manusia!"
"Tuak lain pun lebih
nikmat! Percayalah, Dewi!" Pendekar Mabuk menepuk pundak Dewi dengan
mantap, lalu melangkah pergi dalam gerakan secepat angin badai. Zlappp...!
SELESAI