Pakaian kuning gading membuat
wajah cantiknya menjadi lebih anggun lagi. Dengan rambut dikepang satu ke
belakang, senjata pedang masih terselip di pinggang, perempuan itu tetap
berdiri tegak di depan orang berpakaian serba merah itu. Melihat sikap
memandang yang dingin dan ketus dari perempuan berpakaian kuning dengan
dirangkapi rompi panjang warna ungu itu, jelas ada permusuhan di antara mereka
berdua. Itulah sebabnya ia tetap berdiri tegak di depan pintu masuk sebuah kuil
yang berpagar batu tinggi.
"Sekalipun kau kakak
perguruanku, tapi aku tetap tak bisa izinkan kau masuk kuil ini, Barong
Geni!" kata
perempuan itu dengan tegas dan
berkesan berani.
Barong Geni yang berpakaian
serba merah sampai pada ikat kepalanya juga merah itu, sengaja sunggingkan
senyum sinis kepada bekas adik seperguruannya yang bernama Intan Selaksa.
Kumisnya yang sedikit lebat itu diusap-usap
dengan jari, kadang dipelintir agar melengkung kedua ujungnya. Barong
Geni segera serukan kata,
"Kita mempunyai hak yang
sama untuk menempati kuil ini, Intan Selaksa! Jangan kau tampakkan sikap
serakahmu di depanku! Kau bisa menyesal kalau sampai aku bertindak kasar
kepadamu!"
"Memang kita dulu bekas
saudara seperguruan, kita memang sama-sama murid Begawan Sangga Mega yang sudah
almarhum itu. Tetapi kau sudah diusir dari kuil ini! Kau telah menjadi murid
murtad dan tidak diizinkan menginjak kuil ini lagi oleh sang Begawan!"
"Itu dulu, semasa Guru
masih hidup!" sanggah
Barong Geni.
"Sekarang pun larangan
itu tetap berlaku, Barong Geni! Sebelum Guru wafat, beliau pernah berpesan agar
akulah orang yang harus menjadi penjaga kuil ini, dan melarangmu menginjakkan
kaki di kuil ini! Jadi kusarankan padamu, Barong Geni, sebaiknya cepatlah
angkat kakimu dari tanah Kuil Swanalingga ini, supaya arwah Guru tidak murka
kepadamu!"
Mata lebar berwajah angker
dengan badan yang besar itu cepat menggeramkan suaranya pertanda menahan
kemarahan. Rambut ikalnya yang dibungkus kain merah
sebagian itu dibiarkan
terhempas angin pegunungan yang semilir. Perutnya yang buncit dengan baju tidak
dikancingkan sengaja dipamerkan sebagai umpan pukulan nantinya.
Barong Geni punya keyakinan,
bahwa hari itu ia harus bertarung dengan Intan Selaksa. Agaknya Intan Selaksa
tak bisa diajak damai untuk urusan ini. Barong Geni merasa diremehkan oleh
larangan Intan Selaksa itu. Maka, segera ia lontarkan kata yang lebih bernada
bermusuhan lagi kepada Intan Selaksa,
"Aku tak bermaksud
bermusuhan denganmu, Intan Selaksa. Tapi kalau kau merasa sudah bosan menikmati
hidupmu ini, aku juga tidak keberatan jika harus melenyapkan nyawamu!"
Intan Selaksa sunggingkan
senyum tipis tanda mengejek ucapan itu. Bahkan ia berkata dengan ketusnya,
"Demi mematuhi perintah
wasiat Guru, nyawaku sudah siap kujadikan perisai, Barong Geni! Akan kulayani
jika kau ingin bertingkah di depanku! Tak mungkin aku gentar menghadapimu,
Barong Geni!"
"Perempuan Sombong!"
geram Barong Geni sambil melepaskan tangannya yang sejak tadi melintir kumis.
"Tingkat ilmumu belum seberapa tapi sudah berani berkoar seperti itu di
depan Barong Geni! Majulah, jika kau ingin cepat menuju alam akhirat!
Majulah...!"
Sambil lontarkan tantangan,
Barong Geni mulai pasang kuda-kuda dan angkat kedua tangannya di pertengahan
dada, yang satu diangkat sampai di atas
kepala, ia siap melancarkan
pukulannya begitu Intan Selaksa sedikit saja bergerak mencurigakan. Matanya pun
makin memancar tajam dan penuh kobaran api permusuhan.
Tetapi, Intan Selaksa masih
tetap diam dengan berdiri merenggang kaki. Kedua tangannya disangkutkan pada
ikat pinggang di depan perutnya. Wajah ayunya memamerkan senyum berlesung pipit
yang semakin membuatnya manis. Tapi kali ini senyum manis itu tetap berkesan
pahit, karena mata Intan Selaksa tak mau pancarkan keteduhan.
"Majulah kalau memang kau
ingin menjadi perisai
Kuil Swanalingga ini,
Monyet!" bentak Barong Geni. "Tak perlu aku maju mendekatimu,"
kata Intan
Selaksa dengan suara kalem
seperti tadi juga. "Untuk apa aku mendekatimu jika kau tak mampu gerakkan
tanganmu, Barong Geni?!"
"Omong besar! Kurompalkan
gigimu semua, Intan
Selaksa! Hiiih...!"
Barong Geni sangat terkejut.
Dahinya berkerut-kerut dengan tubuh bergerak-gerak dalam sentakan kaku yang
berat. Bahkan ia sempat kerahkan tenaganya untuk menggerakkan kedua tangan,
tapi kedua tangannya tetap tak bisa bergerak turun, ke depan, ke samping, atau
ke mana saja. Tangan itu menjadi kaku dan keras bagaikan kayu. Bagian jemari
pun tak bisa digerakkan sedikit pun. "Monyet busuk!" caci Barong
Geni. "Rupanya kau telah menotok jalan darahku di bagian kedua tangan ini
dengan kekuatan senyumanmu, hah?! Kau telah kuasai
ilmu 'Sungging Betari' dari
Begawan Sangga Mega itu?! Baik! Aku tak mudah menyerah, Intan Selaksa!
Kutunjukkan padamu bahwa aku pun tetap mampu melawanmu walaupun kau menguasai
ilmu 'Sungging Betari'! Hiaaah...!"
Barong Geni sentakkan kakinya
ke tanah dan tubuhnya pun
melesat terbang
dengan berkelebat
menendang kepala Intan Selaksa. Wusss...! Intan Selaksa menangkis tendangan itu
dengan sentilan dua jarinya. Tass...! Kaki itu bukan hanya tertahan, namun juga
terlempar ke arah lain dengan satu sentakan kuat.
Bregggh...! Barong Geni jatuh
dengan tangan tetap kaku pada posisi semula, yang kiri di depan dada, yang
kanan di atas kepala.
Intan Selaksa cepat menjauhkan
diri dengan satu lompatan ringan ke arah samping. Senyumnya semakin mekar
melecehkan jatuhnya Barong Geni. Yang merasa dilecehkan cepat berdiri dan
menggeram dengan nafsu ingin membunuh.
"Kuakui kau sekarang
sudah banyak berubah, Intan Selaksa! Kau lebih tangkas dan lebih cepat bergerak
daripada tiga tahun yang lalu. Tetapi jangan dulu kau merasa bangga dengan
kemajuanmu itu! Aku akan merampungkan janjiku yang tadi kuucapkan padamu!
Hiaaa...!"
Barong Geni sentakkan kakinya
dari jarak lima langkah. Sentakan itu mempunyai gelombang tenaga dalam yang
melesat cepat menghantam perut Intan Selaksa. Wusss...! Begggh...!
"Ahhg...!" Intan
Selaksa tak sempat menangkis karena begitu cepatnya gelombang tenaga dalam dari
tendangan kaki Barong Geni, sehingga akibatnya ia terpental ke belakang dan
jatuh di semak-semak.
Grusakkk...!
"Hup...!" Intan
Selaksa sentakkan kedua tangannya ke tanah dan tubuhnya melentik bagai kaki
jangkrik. Lalu, tiba-tiba ia sudah berdiri dengan tegak dan mengangkat kedua
tangannya ke depan dengan telapak tangan siap melepaskan pukulan jarak jauh.
Tapi belum sempat pukulan itu
terlepaskan, Barong Geni sudah lebih cepat menggerakkan kakinya yang menendang
berputar beberapa kali hingga putaran kaki itu seperti kipas yang bergerak
dengan cepat.
Wutttt... wuttt... wuttt...
wuttt...!
Suara itu begitu cepatnya
hingga yang didengar Intan
Selaksa suara yang memanjang.
Wungngng...!
Angin kencang menyerupai badai
datang menghantam tubuh Intan Selaksa. Tak sempat ia menahan angin itu
ataupun melompat hindarkan diri. Akibatnya, Intan Selaksa terlempar ke samping
dalam keadaan tidak beraturan. Terjungkir balik dirinya membentur batu dan
pohon yang ada. Sementara itu, dengan tangan tetap kaku dalam posisi seperti
orang sedang menari, Barong Geni tetap melepaskan jurus
'Tendangan Delapan Penjuru
Angin', yang membuat
Intan Selaksa semakin
terlempar-lempar tak tentu arah.
Ketika tubuhnya membentur
batang pohon besar, Intan Selaksa mencoba kerahkan tenaga dalamnya untuk
menahan jurus 'Tendangan
Delapan Penjuru Angin' itu. Kedua tangannya disentakkan ke depan dengan kuat,
tapi angin badai dari jurus tendangan maut itu sangat kuat dan tak mampu
ditahannya, sehingga Intan Selaksa terpelanting ke mana-mana. Membentur dan
menggores apa saja.
Prass...! Bras...! Plak,
trakk...! Brett...!
Sampai suatu ketika,
Barong Geni tahu-tahu terlempar ke arah samping
dengan cukup keras dan cepat. Wusss...! Tubuhnya bagaikan sehelai daun yang
dihempaskan badai cukup besar. Tubuh itu menghantam sebuah gugusan batu.
Bokkk...! Batu itu gompal. Barong Geni dengan tangan masih tetap kaku tak dapat
dilipat lagi itu terpaksa mengerang kesakitan. Dadanya tertimpa gompalan batu
dua genggaman tangan. Tubuh itu terkapar di sana dengan hidung berdarah.
"Monyet Borok!"
gerutunya dalam hati. "Siapa yang berani campur tangan urusanku?! Tak
mungkin Intan Selaksa bisa melemparkan aku sedemikian kuatnya, apalagi aku
sedang mainkan jurus 'Tendangan Delapan Penjuru Angin' itu! Hmmm...! Pasti ada
pihak lain yang campur tangan dengan urusanku!"
Karena matanya masih berkunang-kunang
untuk memandang, Barong Geni pejamkan mata sebentar, lalu mengibaskan kepala
dan membuka matanya lagi dengan dahi berkerut-kerut. Tangannya tak bisa
mengusap darah yang keluar dari hidungnya, hingga membasahi kumis dan bibir.
Seorang perempuan sebaya
dengan Intan Selaksa
segera membantu Intan Selaksa untuk berdiri. Perempuan itu mengenakan baju
hijau dengan celana coklat. Bajunya berbelahan dada cukup lebar, hingga sisi
bukitnya tampak tersumbul mulus, menggumpal penuh tantangan. Perempuan itu
berbibir lebar dan tebal, tapi diberi warna merah segar merangsang. Rambutnya
sepanjang punggung, lepas tergerai. Di selipan depan perut terlihat sebuah
senjata bergagang hitam, yaitu rencong.
Melihat ciri-ciri itu, Barong
Geni segera mengenali perempuan itu. Ia segera serukan kata amukannya dengan
suara besar,
"Gincu Mayat! Rupanya kau
sengaja cari perkara denganku, hah?!"
Gincu Mayat, perempuan
bertubuh sekal itu tidak melayani seruan Barong Geni. Ia masih menolong Intan
Selaksa yang terluka memar dan kulitnya robek di sana- sini akibat hempasan
badai dari 'Tendangan Delapan Penjuru Angin' tadi. Bahkan di bagian hidung dan
telinganya keluarkan darah segar walau tak begitu banyak, seperti darah yang
dikeluarkan Barong Geni dari hidung.
"Kau masih kuat berdiri,
Intan Selaksa?!"
"Oh, ya...! Aku masih
sanggup melawannya, Gincu Mayat. Terima kasih atas pertolonganmu!" Intan
Selaksa menyeka darah dari hidungnya.
"Istirahatlah dulu biar
aku yang hadapi dia, Intan!" kata Gincu Mayat.
"Tidak. Ini urusan
perguruan, Gincu Mayat! Kau tak
bisa ikut campur! Biarlah aku
yang hadapi kebo busuk itu!"
"Intan, aku pernah kau
tolong dari maut, sekarang aku
pun perlu menolongmu dari
maut, supaya impas sudah hutangku padamu!"
"Anggap saja kau telah
melunaskan hutangmu padaku dengan mengalihkan jurusnya tadi! Sekarang tiba
giliranku untuk menggempurnya!"
Tapi Gincu
Mayat berkeras hati dan segera menyingkirkan tubuh Intan
Selaksa dari depannya. Gincu Mayat maju beberapa tindak untuk menghadapi Barong
Geni.
Tangan Barong Geni yang kanan
masih di atas kepala, dan yang kiri masih di depan dada. Ke mana pun ia melangkahkan kaki,
dan dalam keadaan
bagaimanapun, tangan itu tetap saja kaku begitu. Hal itu dijadikan bahan ejekan
oleh Gincu Mayat.
"Kau ini seorang penari
ronggeng atau seorang pendekar, Barong Geni?! Atau jangan-jangan kau pemain
topeng monyet, yang selalu berjalan ke mana- mana dengan tangan begitu?! Hi hi
hi...!"
"Tutup mulutmu, Perempuan
haram!" bentak Barong Geni. "Aku tak punya urusan apa pun denganmu!
Pergilah sana dan jangan bikin perkara denganku!"
"Hei hei hei... orang
tampan yang angker kalau marah semakin tambah menggairahkan, rupanya! Hi hi
hi...! Kemarahanmu itu adalah lambang kehangatan lelaki yang amat menggiurkan,
Barong!"
"Setan belang kau!
Pergilah sana, kau tak tahu
urusanku dengan Intan
Selaksa!"
"Siapa bilang aku tak
tahu?!" kata Gincu Mayat dengan melenggak-lenggok di depan Barong Geni.
"Aku cukup tahu masalahmu! Kau ingin menguasai kuil peninggalan guru
kalian itu, bukan?! Ah, aku tahu apa maksudmu untuk menguasai kuil itu! Kau
punya tujuan tersendiri! Kau ingin cari sesuatu di dalam kuil itu!"
"Kalau toh itu tujuanku,
kau tak punya hak untuk menghalangiku! Kau bukan murid Begawan Sangga Mega!
Akulah murid Begawan Sangga Mega!"
Intan Selaksa cepat menyahut,
"Memang. Tapi kau murid yang sudah diusir dan tidak diakui sebagai murid
lagi. Kau murid murtad! Karena kau telah mencuri kitab pusaka untuk kau
persembahkan kepada Dewi Kelambu Darah!"
"Karena dia punya syarat
begitu untuk menjadi istriku, apa salahnya jika aku menuruti permintaan calon
istriku itu?!" sanggah Barong Geni dengan suara keras.
"Guru tidak pernah punya
murid yang berkepribadian serapuh itu, Barong Geni! Guru tidak suka dengan
jiwamu, yang mengorbankan kepentingan pihak lain untuk mengeruk kepentingan
diri sendiri!" sentak Intan Selaksa masih tampak berani dan tegar.
"Seorang istri adalah
nyawa bagi hidupku, Intan Selaksa!" kata Barong Geni. Lalu, Intan Selaksa
menyahut,
"Apakah Dewi Kelambu
Darah sekarang menjadi istrimu?!"
"Memang belum.
Tapi...."
"Tapi dia punya
permintaan lagi, bukan?!" sahut
Gincu Mayat.
"Itu urusan dia dengan
aku!"
"Memang. Aku hanya ingin
meyakinkan bahwa dugaanku benar," kata Gincu Mayat. "Bahkan aku bisa
menduga, apa yang diinginkan oleh Dewi Kelambu Darah! Pasti dia minta supaya
kau mencuri Pedang Guntur Biru yang disembunyikan oleh gurumu di dalam kuil
itu, bukan?!"
"Setan kau!" geram
Barong Geni.
Intan Selaksa sipitkan mata.
Mulai mengerti duduk persoalan sebenarnya yang membuat Barong Geni mendesak
ingin masuk ke dalam kuil Swanalingga. Intan Selaksa merasakan kebenaran dugaan
Gincu Mayat itu, sehingga ia semakin keras berkehendak mengusir Barong Geni.
Sementara itu, Barong Geni
sendiri merasa sangat jengkel kepada mulut lancang Gincu Mayat yang
membuat tujuan sebenarnya diketahui oleh Intan Selaksa. Tetapi demi cintanya kepada
Dewi Kelambu Darah, Barong Geni harus tetap berusaha untuk bisa masuk ke dalam
kuil dan mencari di mana Pedang Guntur Biru disembunyikan oleh almarhum gurunya
itu. Sebab, jika Barong Geni tidak bisa memberikan Pedang Guntur Biru kepada
Dewi Kelambu Darah, maka perempuan itu tidak mau menjadi istrinya. Padahal
Barong Geni sudah terlalu besar mencurahkan rasa cintanya kepada Dewi Kelambu
Darah, terlalu berat memendamnya lebih lama lagi. Maka, tak ada pilihan
lain buat Barong Geni kecuali
menuruti permintaannya itu.
"Sebaiknya batalkan saja
niatmu itu, Barong Geni!"
kata Gincu Mayat, seakan
membela Intan Selaksa mati- matian.
"Apa hakmu melarangku
mengambil Pedang Guntur Biru?! Pusaka itu bukan milik gurumu si Bungkuk Jagal
yang sudah modar itu!" kata Barong Geni dengan kasarnya, sengaja membuat
merah muka Gincu Mayat, ia tambahkan pula kata,
"Kalau saja gurumu
sekarang masih hidup, ingin rasanya kucacah jadi satu dengan tubuhmu, Gincu
Mayat!"
"Kelewat batas omonganmu,
Barong!" geram Gincu Mayat. "Kau perlu mendapat pelajaran dariku
supaya bisa bicara lebih hati-hati lagi! Heaaah...!"
Gincu Mayat sentakkan
tangannya dari samping bawah sedikit ke depan. Settt...! Dan muncullah sinar
merah yang melesat cepat menuju dada Barong Geni.
"Hiaaat...!"
Barong Geni manfaatkan
tangannya yang kaku di depan dada itu untuk dialiri gelombang tenaga dalam.
Memang tangan itu tak bisa keluarkan pukulan balasan, tapi cukup kuat untuk
menahan sinar merah yang hendak menghantam dadanya.
Cratt...! Percikan bunga api
muncrat dengan kuat. Sinar merah itu membelok arah setelah membentur tangan
Barong Geni. Sinar merah itu menghantam pohon, dan pohon tersebut menjadi
kering dalam waktu
dua helaan napas.
"Bebek bunting!"
geram Barong Geni. "Sukar sekali melepaskan totokan Intan Selaksa ini!
Kalau saja kedua tanganku belum tertotok dan bisa bergerak bebas, sudah hancur
kepala kedua perempuan itu dalam satu gebrakan saja!"
Wuttt...! Intan Selaksa
lompatkan diri ketika Barong Geni ingin bergerak ke kiri. Intan Selaksa
menghadang di sana dengan pedang yang telah dicabutnya dari sarungnya. Barong
Geni tak berani mendekat, karena ia tahu pedang itu cukup berbahaya. Siapa pun
tergores sedikit saja dapat mengakibatkan luka yang membawa mati dalam tiga
hitungan. Pedang itulah yang dinamakan Pedang Sengat Kubur. Tetapi Barong Geni
tidak mau tunjukkan rasa takutnya di depan lawan. Barong Geni malahan berkata,
"Kau pikir aku akan
gentar jika kau sudah cabut pedang begitu? Hmmm...! Pedang untuk tebang pohon
saja belum tentu bisa dipakai untuk menyerangku?!" Barong Geni mencibir.
Intan Selaksa menahan diri untuk tidak murka dengan melakukan gerakan gegabah.
"Kalau kau tak takut
dengan pedangku mengapa kau melangkah mundur, Barong Geni?!" kata Intan
Selaksa.
"Aku mencari tempat untuk
menyerangmu!" Jawab
Barong Geni.
Pada saat Barong
Geni bicara begitu
sambil melayangkan pandang kepada Intan Selaksa, tiba-tiba Gincu Mayat
melepaskan pukulan tenaga dalam yang keluarnya dari jari tengah tangan kanan.
Zuuttt...! Hijau
warna sinar yang keluar itu,
dan telak menghantam punggung Barong Geni. Zrappp...!
"Aahg...!" Barong
Geni mendelik dengan wajah
menegang karena kaget dan
tubuhnya melengkung ke depan, ia mulai merasakan panas di telapak kakinya, lalu
menjalar panas di betisnya dan terus bergerak sampai di lututnya.
Cepat-cepat Barong Geni
menekan napasnya kuat- kuat. Tubuhnya sampai gemetar karena kerahkan tenaga
dalam berhawa dingin untuk melawan hawa panas yang akan membakar dirinya.
"Gggrrr...!" Barong
Geni mengerang dengan kaki makin merenggang rendah dan tangannya gemetaran.
Peluh pun keluar dari tiap pori-pori tubuhnya. Matanya berusaha memandang sekelilingnya untuk
hindari serangan tiba-tiba dari kedua perempuan itu.
"Sebentar lagi bagian
dalam tubuhmu akan terbakar, Barong! Tak perlu ditahan-tahan begitu, nanti
malah jebol bagian bawahmu!" ledek Gincu Mayat sambil cekikikan.
Melihat Barong Geni mulai
lemah, Intan Selaksa segera melesat lompat dengan pedang siap menebas pundak
atau leher Barong Geni.
"Hiaaah...!"
Wusss...! Pedang itu meleset
dari sasaran karena Barong Geni menjatuhkan diri dan berguling dua kali di
tanah dalam keadaan tangan kaku. Ia cepat sentakkan kaki dan berdiri lagi.
Melihat Intan Selaksa siap melancarkan jurus pedangnya lagi, Barong Geni cepat
melompat jauh. Kemudian ia
melarikan diri sambil berseru,
"Tunggu pembalasanku
nanti!"
Intan Selaksa ingin mengejar
Barong Geni, tapi Gincu Mayat menahannya. "Tak perlu kau kejar. Nanti dia
akan datang lagi dengan sendirinya untuk serahkan
nyawa padamu!"
*
* *
2
DENGAN keadaan tangan kiri
masih di depan dada sedikit merenggang, dan tangan kanan di atas kepala bagai
ingin menghentakkan tenaga pukulan lewat telapak tangannya yang terbuka, Barong
Geni selesai sudah mengatasi hawa panas yang akan membakar bagian dalam
tubuhnya, ia cepat berlari tinggalkan tempat sepi itu untuk menemui Dewi
Kelambu Darah, ia berlari dengan tangan masih di atas kepala.
"Haram jadah betul si
Intan Selaksa itu!" gerutu Barong Geni sambil melesat dalam larinya.
"Jurus totokan 'Sungging Betah' ini sukar sekali kulumpuhkan! Mau
garuk-garuk kepala saja sulitnya bukan main! Uuh...! Akan kubunuh dia tanpa
ampun lagi!"
Sebuah lembah berpemandangan
indah, mempunyai aneka tanaman bunga warna-warni. Di lembah itulah Dewi Kelambu Darah bersemayam, hidup dalam kesendirian, ia merasa lebih
damai hidup dalam
kesendirian ketimbang harus
ada teman. Kelak suatu saat, ia dapat menghimpun banyak orang sebagai rakyat
pendukung kekuatannya, jika sebuah ilmu yang bernama
'Gagar Mayang', sudah
dicapainya. Ilmu itu sekarang masih di pelajari dengan tekun.
Barong Geni sedang menuju ke
lembah itu, ketika tiba-tiba seorang berpakaian putih dengan celana hitam
meluncur dari sebuah pohon, menghadang langkah Barong Geni. Orang itu melompat
bagaikan kapas jatuh tanpa suara. Langkah Barong Geni terhenti, dan matanya
menatap tajam kepada lelaki berusia lebih muda darinya itu. Rambutnya panjang
lurus dan lemas diikat dengan ikat kepala warna kuning. Sebilah pedang
tersandang di punggungnya, ia tampak lebih tegap dan lebih gagah dari Barong
Geni yang berusia empat puluh tahun itu.
"Setan Alas!" rutuk
Barong Geni setelah tahu siapa penghadangnya. Orang yang dimakinya itu
sunggingkan senyum tipis, dingin.
"Kita ketemu lagi, Barong
Geni!" ucapnya kalem. "Aku sudah muak bertemu kamu!" ketus
Barong Geni
dengan mulut bersungut-sungut
dan makin jengkel
kepada tangannya yang belum
bisa digerakkan itu.
"Kau benar, Barong Geni!
Kau mestinya memang muak bertemu denganku, karena aku pun muak bertemu
denganmu! Tapi kali ini pertemuan kita adalah pertemuan
terakhir! Tak ada lagi pertemuan berikutnya, karena aku akan mengirim nyawamu
ke neraka sekarang juga!"
"Hmmm...! Boleh saja kau
bermulut besar, tapi
nyalimu sebenarnya tak ada
seujung kuku! Berapa kali kau bertarung denganku dan selalu melarikan
diri?!"
"Kali ini kau yang akan
melarikan diri. Bahkan
nyawamu yang akan lari
terbirit-birit melihat pedangku!" "Bocah setan...! Seranglah aku bila
kau mampu!" tantang Barong Geni. Dan, pemuda tampan itu segera mencabut
pedangnya pelan-pelan, ia tampak lebih tenang dari saat terakhir bertarung
dengan Barong Geni,
sekitar tiga bulan yang lalu.
"Jangan menyesal dengan
tantanganmu sendiri jika pedang ini merobek lehermu, Barong Geni!"
"Hah...! Kau pikir dengan
berhasil membawa pedang
itu, aku akan takut dan gentar
padamu, Panji Tampan?! Cuihhh...! Aku justru bernafsu sekali untuk segera
membunuhmu!"
Padahal di dalam hatinya
Barong Geni berkata, "Gila! Sekarang dia pakai bawa-bawa pedang segala!
Rupanya dia
benar-benar ingin membunuhku supaya
bisa mendekati Dewi Kelambu Darah! Ah, sayang sekali tanganku begini,
sehingga aku tak bisa menggunakan senjataku! Celaka...! Kalau dia memang jago
main pedang, habislah leherku dibabatnya! Paling tidak salah satu tanganku yang seperti
ini akan mudah dibuntungnya! Sial benar itu si Intan Kunyuk!" geram
Barong Geni jengkel.
"Bersiaplah pergi ke
neraka sekarang juga, Barong! Hiaat...!"
"Tunggu...!" Barong
Geni sentakkan kaki dan melompat mundur dua tindak.
Sedangkan waktu itu
Panji Tampan sudah siap
tebaskan pedang. Barong Geni cepat ucapkan kata,
"Kuingatkan sekali lagi
padamu, Panji Tampan,
bahwa Dewi Kelambu Darah itu
usianya sudah banyak! Dia sudah tua! Sepantasnya menjadi ibumu! Kau masih muda
belia, usiamu kutaksir tak lebih dari dua puluh tujuh tahun. Sayang sekali
kalau kau masih ngotot ingin mengawini Dewi Kelambu! Ketahuilah pula, bahwa
Dewi Kelambu Darah kelihatan cantik dan menarik karena dia punya ilmu pengawet
kecantikan! Bahkan usia aslinya dengan usiaku, masih tua dia!"
"Persetan dengan usia!
Aku suka kepadanya, mau apa kau?!"
"Mata tampan yang
rabun... he he he...! Cucilah matamu pakai air belerang, biar bisa melihat mana
perempuan yang cocok menjadi istrimu, Panji Tampan!" Sambil berceloteh,
Barong Geni berpikir bagaimana mencari cara mengatasi pertarungan tersebut
dalam keadaan tangan kaku begitu. Tapi sejauh ini dia belum temukan cara yang
terbaik selain nekat menggunakan
jurus jarak jauh.
"Tua bangka! Tak perlu
kau banyak bicara lagi, terimalah jurus pedang pembukaku ini! Hiaaat...!"
Wutt, wuttt...! Pedang
berkelebat dua kali, lalu kaki Panji Tampan disentakkan ke tanah dan melesat
terbang tubuhnya ke arah Barong Geni. Pedangnya diarahkan lurus bagai hendak
menusuk mata Barong Geni. Maka, Barong Geni pun cepat menghindarkan diri ke
samping, dan saat itu pula ternyata pedang menebas ke samping.
Wungngng...! Begitu
cepat, begitu rapat
hampir menyentuh telinga Barong Geni, sehingga angin pedang itu
menimbulkan dengung yang memekakkan telinga.
Barong Geni
menggulingkan badan, kemudian
kakinya menyentak ke atas dengan penuh gelombang tenaga dalam yang dilepaskan
lewat telapak kaki itu. Wusssh...! Crasss...! Pedang Panji menebas mengenai
sinar putih yang melesat dari telapak kaki itu. Benturan sinar pedang timbulkan
letupan api yang memercik ke kaki Barong Geni sendiri. Kaki itu kepanasan dan
Barong Geni cepat singkirkan kakinya dalam gerak memutar sambil pinggangnya
dipakai menyentak dan tubuhnya pun melenting di udara tak begitu tinggi.
Jlegg...! Ia kembali berdiri dengan kedua kaki yang kokoh tegap. Tapi tangan
tetap seperti monyet yang tak mampu menggaruk kepalanya sendiri.
"Jurus pedang
pembuka...!" kata Panji Tampan sambil sunggingkan senyum meremehkan, ia
tampak lebih kalem dari biasanya. Barong Geni diam-diam dibuat grogi oleh
kekaleman sikap bertarungnya Panji Tampan itu. Barong Geni menyimpan kecemasan
yang selalu ditutup dengan omong besarnya,
"Jurus seperti itu
diandalkan?! Hmm...! Buat bunuh cacing saja belum tentu bisa, apalagi buat
melukai tubuhku!"
"Itu baru jurus
pembuka!" sangkal Panji Tampan. "Sekarang jurus pedang pertama.
Bersiaplah, Barong...! Tak sampai kugunakan jurus pedang kedua, kau sudah
pindah ke neraka dan carilah kekasih lain di sana!"
Wuuhhggg...! Tiba-tiba Barong
sentakkan kakinya ke depan dengan cepat. Jaraknya yang berada antara enam
langkah itu membuat kaki tersebut dengan jelas mengeluarkan sinar
kuning yang bergerak cepat. Sebenarnya sinar kuning
itu akan menghantam perut Panji Tampan, tapi karena Panji melihat kilatan sinar
kuning itu, maka ia sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat ke udara
bagai singa mau menerkam mangsanya, ia menghindari sinar kuning itu sambil
menyerang kembali lawannya dengan pedang tersebut.
Jrabbb...! Sinar kuning
mengenai gundukan cadas di belakang Panji Tampan. Tapi pedang Panji Tampan kala
itu sudah mencapai di depan leher Barong Geni. Dengan cepat Barong Geni
menjatuhkan diri ke rumput, sehingga pedang dan tubuh lawan tak jadi
menabraknya. Sebagai balasan, kaki Barong Geni menendang ke atas sambil berjungkir balik ke belakang. Beggg...! Tendangan itu mengenai perut Panji
Tampan. Terpelanting tubuh Panji Tampan di udara. Kesempatan itu
digunakan oleh Barong Geni untuk siap-siap melancarkan jurus 'Tendangan Delapan
Penjuru Angin'. Tetapi tiba-tiba tubuh Panji yang terguling-guling di
tanah itu terlempar menyerosot bagai ada
yang menariknya kuat-kuat. Berbagai tanaman yang tumbuh serta ranting
yang ada di tanah diterjang habis oleh tubuh Panji Tampan.
"Kenapa anak itu?!"
pikir Barong Geni dengan heran, ia tak jadi melancarkan 'Tendangan Delapan
Penjuru Angin' karena terpaku oleh kejadian aneh tersebut.
Bahkan matanya makin
membelalak lebar dengan tangan tetap di atas kepala dan di depan dada ketika ia
melihat tubuh Panji bangkit sendiri, lalu terlempar terbang seperti sehelai
kain sarung yang dilemparkan seseorang. Wuusss...! Beehggg...!
"Uuhg...!" Panji
Tampan terpekik dengan suara tertahan. Punggungnya menghantam batang pohon dengan
keras, sampai batang pohon itu terguncang merontokkan daun layunya. Selesai
itu, tubuh Panji Tampan jatuh terpuruk dengan napas berat terhela. Mulutnya
keluarkan darah kental. Panji Tampan tak mampu bergerak karena sekujur tubuhnya selain terkoyak duri atau batu,
juga ada luka dalam yang membuatnya memuntahkan darah hitam yang kental.
Jlegg...!
Tiba-tiba seseorang telah
berada di belakang Barong Geni. Cepat-cepat Barong Geni palingkan wajah, dan ia
terperangah kaget melihat seorang perempuan cantik berdiri di belakangnya
mengenakan jubah jingga dan pakaian sebatas dada warna biru tua berias benang
perak. Rambutnya disanggul indah, lehernya dengan kalung batuan putih bagai
barisan berlian mewah. Perempuan cantik berhidung mancung tapi bermata tajam
itu tak lain adalah Dewi Kelambu Darah.
"Tak kuizinkan dia
mengganggumu lagi, Barong Geni!" ucapnya penuh kesan wibawa walau bernada
merayu.
"Sebenarnya kau tak perlu
menghajarnya begitu, Kelambu Darah! Aku masih sanggup mempercepat
kematiannya! Cuma, aku tadi
sedikit main-main dulu dengan jurus pedangnya itu!"
Barong Geni melangkahkan kaki
mendekati Dewi
Kelambu Darah. Senyum Dewi
hanya separo saja. Karena ia merasa heran melihat tangan Barong Geni tetap di
atas kepala dan di depan dada.
"Ada apa dengan
tanganmu?"
"Intan Selaksa menotok
jalan darahku. Aku sulit melepaskan totokan ini, Dewi!"
"Hi hik hik...!"
Dewi Kelambu Darah menjadi geli mendengar pengaduan dari mulut Barong Geni.
Yang ditertawakan menjadi malu sekali.
Barong Geni tak bisa
sembunyikan wajah malunya. Padahal tadi baru saja ia merasa bangga, hatinya
berbunga-bunga melihat Dewi Kelambu Darah membela pertarungannya dengan Panji
Tampan menggunakan kekuatan pandangan matanya yang cukup hebat itu. Baru saja
tadi Barong Geni merasa mendapat penghargaan dari seseorang yang dicintainya.
Tiba-tiba sekarang ia harus menahan rasa malu akibat pengakuannya tentang
tangan yang tak bisa digerakkan lagi itu.
"Jadi kau tak bisa
kalahkan Intan Selaksa?!"
"Bukan tak bisa, Dewi!
Aku terpaksa melarikan diri karena Gincu Mayat ikut campur dalam urusan
ini!"
"Gincu Mayat...?!"
Dewi Kelambu Darah agak
terkesiap matanya, lalu menyipit benci. "Berani- beraninya dia ikut campur
urusanmu? Apakah dia tak tahu bahwa kau calon suamiku?"
"Dia tahu persis! Bahkan
dia tahu bahwa aku datang
ke Kuil Swanalingga untuk
mencari Pedang Guntur Biru! Mulutnya itu yang membuat Intan Selaksa jadi tahu
tujuanku sebenarnya!"
Menggeram mulut Dewi Kelambu
Darah sambil geletakkan giginya, ia mengencangkan genggaman tangannya. Lalu ia
bertanya, "Jadi, bagaimana dengan pedang pusaka
itu? Kau belum
berhasil mendapatkannya?!"
"Untuk sekarang memang
belum," jawab Barong Geni. "Tapi untuk waktu mendatang, Pedang Guntur
Biru pasti akan kudapatkan
dan kupersembahkan padamu, Kelambu Darah!"
"Ingat, kalau kau tak
cepat memberikan pedang pusaka itu, berarti masa bulan madu kita tertunda
lagi!"
"Tidak! Tidak akan
terlambat lagi, Sayang. Tidak lama lagi kau akan dapatkan pedang pusaka itu,
biar kau semakin kuat dan cepat menjadi seorang ratu! Aku akan berusaha sekuat
tenaga untuk mendapatkan Pedang Guntur Biru itu, tapi... tapi...."
"Tapi apa?!" tukas
Dewi Kelambu Darah melihat Barong Geni kelihatan gelisah. Lalu, Barong Geni
ucapkan kata,
"Tapi... tapi bagaimana
aku bisa kalahkan mereka jika tanganku dua-duanya terpatung kaku begini?! Aku
tak bisa melancarkan pukulan 'Tapak Geni'-ku?!"
Dewi Kelambu Darah sunggingkan
senyum. "Dengan anak kemarin sore saja kamu bisa dipermainkan begitu?! Bagaimana
jika kamu menghadapi lawan yang berilmu tinggi?!"
"Aku sedikit lengah tadi.
Sungguh kuakui, aku lupa bahwa dia punya jurus totok melalui senyumannya! Tapi
lain kali takkan kubiarkan dia tersenyum walau sekejap pun!"
Kali ini bibir Dewi Kelambu
Darah sunggingkan senyum meremehkan Barong Geni. Makin malu Barong Geni melihat
senyum keremehan seperti itu. Makin geram ia pada Intan Selaksa. Tapi ia segera
sadar bahwa ia tidak hanya bisa menggeram menahan amarah saja. Ia harus
melepaskan kemarahannya kepada Intan Selaksa. Namun ia butuh bantuan Dewi
Kelambu Darah untuk melepaskan totokan pada jalur darah kedua tangannya itu.
"Kelambu Darah, kumohon
kau mau melepaskan totokan ini, supaya pusaka Pedang Guntur Biru bisa cepat
kudapatkan dan kuserahkan padamu, seperti aku menyerahkan kitab pusaka
itu!"
Dewi Kelambu Darah masih
sunggingkan senyum sinis berkesan meremehkan. Tapi matanya masih tetap pandangi
kedua tangan Barong Geni.
Wusss...! Tiba-tiba kedua
tangan Barong Geni jatuh lemas.
Rupanya Dewi Kelambu Darah sudah melepaskan pengaruh totokan itu
melalui pandangan mata yang mempunyai kekuatan dahsyat itu. Barong Geni
menghembuskan napas lega dan menggerak- gerakkan tangannya agar rasa pegal
hilang secepatnya. Jari-jarinya pun dikembang-kuncupkan karena tanpa begitu,
semua urat terasa kaku.
"Ingat, Barong Geni...
semalam kulihat rembulan
purnama mempunyai garis hitam
yang bagai ingin memotong pertengahan rembulan. Itu pertanda alam kesucian
telah terbuka. Jangan biarkan rembulan tak bergaris lagi. Karena itu pertanda
alam kesucian tertutup kembali. Jika alam kesucian tertutup kembali, maka
sekian tahun lagi Pedang Guntur Biru bisa dicuri orang. Jadi, jangan sampai kau
terlambat, Barong Geni! Sekaranglah saatnya mencuri pedang pusaka itu, selagi
alam kesucian terbuka!"
"Aku sangat mengerti,
Kelambu Darah!"
"Kalau kau terlambat,
menunggu sekian tahun lagi kita baru bisa berbulan madu. Padahal sebenarnya aku
sudah tak tahan, Barong," kata Dewi Kelambu Darah sambil mendekati lelaki
itu dan menatapnya dengan mata sendu, seakan sebuah ajakan untuk bercumbu.
Rambut Barong Geni
diusap-usapnya dengan lembut, penuh kemesraan. Sambil tubuhnya merapat di
belakang Barong Geni dan dengus napasnya terasa hangat di tengkuk kepala dan
leher Barong Geni. Terbakar darah kejantanan Barong Geni manakala ia mendengar
bisikan Dewi.
"Jangan sampai pria lain
yang menyerahkan pedang itu padaku, karena jika orang lain yang serahkan maka
itu berarti aku harus menikah dengan pria lain itu, Barong! Dapatkan segera
Pedang Guntur Biru di dalam kuil itu! Aku tak tahan menunggu masa bulan madu
kita tiba, Barong! Oh... dapatkan pedang itu, Sayang...!"
Dewi Kelambu Darah
menggelendot di pundak. Barong Geni makin berdetak keras jantungnya. Ia ingin
mencium, tapi yang mau dicium
segera undurkan diri dengan menggoda. Mata Dewi Kelambu Darah tetap memandang
penuh daya rangsang yang memabukkan jiwa. Tak tahan Barong Geni melihatnya.
"Sekarang juga aku akan
kembali ke kuil itu, Dewi! Sabarkan hasratmu. Tak lama lagi bulan madu kita
akan tiba!"
"Yah, lekaslah bertindak!
Karena hanya kau yang tahu seluk-beluk kuil itu, maka kaulah yang masuk ke
sana! Kalau Gincu Mayat turut campur, aku yang menghabisi nyawanya. Kau tak
perlu layani dia!"
"Jadi kau akan
mendampingiku dari belakang, Dewi?"
"Ya. Karena aku tak mau
kehilangan kamu!" jawab Dewi Kelambu Darah yang membuat Barong Geni
semakin bersemangat untuk mendapatkan Pedang Guntur Biru.
"Aku berangkat sekarang!
Jaga dirimu baik-baik di belakangku!" Ucap Barong
Geni dengan penuh keperkasaan
dan kegagahan ia melangkah menunaikan tugas setia seorang calon suami.
Dewi Kelambu Darah tertawa terkikik
setelah Barong Geni pergi. Dalam hatinya, Kelambu Darah ucapkan kata,
"Manusia bodoh! Sekalipun
dia dapatkan pedang pusaka itu, siapa yang mau menjadi suaminya? Puih...! Tak
sudi aku bergelut di atas ranjang dengannya! Menjijikkan! Tapi, untuk sementara
ini aku harus mendorong semangatnya dan menjaganya dari belakang!
Kuperlukan tenaganya untuk
mencuri pedang pusaka itu! Siapa pun akan tahu jika terjadi heboh nanti, bahwa
pusaka Pedang Guntur Biru dicuri oleh murid murtadnya Begawan Sangga Mega! Dunia
akan mengecam dia! Dia akan diburu oleh banyak orang, sementara aku bisa
melarikan diri dan tenggelam untuk beberapa saat! Setelah itu aku akan muncul
sebagai ratu yang punya banyak rakyat, karena mereka tak ada yang tahu bahwa
akulah otak pencurian pusaka Pedang Guntur Biru itu! Hi hi hi...!"
Dewi Kelambu Darah cepat
mengikuti kepergian Barong Geni. Tak disadarinya, Panji Tampan yang belum mati
hanya dalam keadaan parah itu, telah mendengar suara percakapan mereka tadi. Ia
tahu apa yang akan dilakukan oleh Barong Geni dan Dewi Kelambu Darah.
Sambil menahan luka berat,
Panji Tampan berusaha untuk bangkit dan berdiri berpegangan batang pohon.
Hatinya mulai membatin,
"Tak mungkin kususul
sekarang juga, keadaanku sangat parah! Aku harus pulang temui Guru dan
menceritakan tentang Pedang Guntur Biru itu. Pasti Guru tahu apa dan bagaimana
pedang pusaka tersebut! Jika memungkinkan, aku mau merebut pedang pusaka itu
dari tangan Barong Geni, bukan untuk kuserahkan kepada Dewi Kelambu Darah, tapi
untuk kumiliki sendiri! Dewi Kelambu Darah ternyata racun dalam hidupku!"
Geram sekali Panji Tampan
setelah menyadari bahwa
ternyata Dewi Kelambu Darah
memang ada hubungan dongan Barong Geni. Selama ini, Panji Tampan tidak menduga
bahwa rayuan Dewi Kelambu Darah hanya racun bagi hidupnya. Dewi Kelambu Darah
sering mengeluh dan merasa diganggu oleh Barong Geni. Nyatanya, justru Dewi
Kelambu Darah sendiri yang nyosor kepada Barong Geni. Akibatnya, timbul rasa
benci dalam hati Panji Tampan dan lebih parah lagi rasa benci itu menjadi
dendam, karena merasa ditipu dan dipermainkan.
"Kalau perlu kurebut
pedang itu dan kupakai membunuh Dewi Kelambu Darah yang telah tega melukaiku
separah ini!" pikir Panji Tampan dengan dendam menyentak-nyentak dada.
*
* *
3
KUIL Swanalingga berupa
bangunan batu tanpa semen atau bahan perekat. Begawan Sangga Mega membangun
kuil tersebut dengan kekuatan tenaga dalamnya yang tinggi, di mana setiap batu
direkatkan memakai hawa lekat yang keluar dari telapak tangannya. Kuil itu sulit
dirubuhkan karena perekat yang dipakai benar-benar perekat istimewa.
Di sana terdapat ruang
pemujaan dan ruang semadi yang dinamakan kamar Cipta Hening. Kuil itu terdiri
dari tiga bangunan berbentuk stupa candi. Satu bangunan
besar tempat pemujaan dan
tempat kamar Cipta Hening, dua bangunan lagi digunakan untuk beristirahat para
murid Begawan Sangga Mega sebelum wafat dibunuh oleh Tapak Baja. Salah satu
dari dua bangunan itu sering digunakan untuk menerima tamu atau
memberi wejangan bagi para
murid Begawan Sangga Mega.
Kuil itu dulu pernah diserang
oleh pasukan Chubi, dari Tiongkok. Semua murid habis binasa kecuali Intan
Selaksa dan Barong Geni. Dua murid kesayangan Begawan Sangga Mega itulah yang
menjadi penerus ilmu-ilmu kesayangan Begawan Sangga Mega. Tapi sayang sekali,
Barong Geni murtad dengan mencuri kitab pusaka untuk diserahkan kepada Dewi
Kelambu Darah sebagai tanda cintanya. Dengan diusirnya Barong Geni, maka hanya
Intan Selaksa satu-satunya pewaris semua ilmu yang dimiliki Begawan.
Sayang sekali ketika Intan
Selaksa pergi ke Lembah Tengkorak untuk melenyapkan giok penyebar penyakit yang
ada di sana, Tapak Baja datang mengincar Pedang Guntur Biru. Begawan Sangga
Mega tak mau serahkan pedang itu, sekalipun hanya dengan dalih dipinjamkan.
Tapak Baja sakit hati. Lalu, dengan cara licik ia membunuh Begawan Sangga Mega.
Ketika Intan Selaksa kembali dari meleburkan batu giok penyebar penyakit di
Lembah Tengkorak, ia sudah temukan gurunya
tak bernyawa lagi, tanpa
tahu siapa pembunuhnya.
Mulanya Intan menyangka Barong
Geni yang membunuh gurunya.
Tapi dilihat dari bekas pukulan
lawan di tubuh Begawan, jelas
bukan jurus pukulan milik Barong Geni, bahkan bukan pula milik pukulan Dewi
Kelambu Darah, yang bercita-cita ingin menjadi ratu itu.
Tetapi jauh sebelum Intan
Selaksa mendapat tugas menghancurkan batu giok penyebar penyakit di Lembah
Tengkorak, Begawan Sangga Mega pernah berkata, bahwa kelak apa pun yang
terjadi, Intan Selaksa harus mempertahankan kuil itu dan melindungi dari
jamahan tangan-tangan sesat. Tak boleh ada yang merusak kuil itu, tak boleh ada
yang masuk ke kamar Cipta Hening, sampai suatu saat nanti kuil itu akan lenyap
dengan sendirinya, dan Intan Selaksa akan menerima titisan ilmu dari semua ilmu
yang dimiliki Begawan Sangga Mega.
Intan Selaksa mematuhi tugas
sebagai juru kunci Kuil Swanalingga sejak kematian gurunya. Sampai suatu saat,
ia melihat seorang perempuan yang terdesak dengan luka berdarahnya dari
serangan dua orang lelaki tak dikenal oleh Intan Selaksa. Merasa iba melihat
nasib perempuan itu, Intan Selaksa cepat ambil tindakan selamatkan
perempuan itu. Ilmu pengobatan dari gurunya digunakan, dan perempuan itu
selamat dari maut yang nyaris merenggut nyawanya. Perempuan itulah yang
kemudian dikenal dengan nama Gincu Mayat. Dia murid tokoh sesat si Bungkuk
Jagal, penguasa Tanah Merah.
Gincu Mayat dikenal sebagai
murid liar si Bungkuk Jagal, karena sampai berusia tiga puluh tahun lebih ia
masih berkeliaran mencari tempat kehidupan dan jati dirinya, yang membuat ia
hidup penuh gejolak gairah
kepada siapa pun yang
diinginkannya. Gairah itu membuat ia menjadi liar jika tidak tersalurkan, juga
menjadi buas setelah tersalurkan. Karena itu, tak pernah ada lelaki yang tetap
hidup setelah bercinta dengan Gincu Mayat, dan tak ada lelaki yang tetap hidup
jika menolak rayuan mesra Gincu Mayat.
Intan Selaksa tidak mau
terpengaruh kehidupan sesat si Gincu Mayat. Karena itu, ia menjauhkan diri,
walau tidak membuka pintu permusuhan dengan Gincu Mayat. Sikap baik dari Intan
Selaksa membuat Gincu Mayat sesekali bertandang ke Kuil Swanalingga sebagai
seorang sahabat saja. Mengingat hidup mereka sama- sama diterkam sepi, tanpa
pendamping, tanpa saudara, tanpa Guru, maka mereka sering saling bertukar rasa,
bertukar pendapat dan bertukar pengalaman. Intan Selaksa selalu menerima
tamunya di ruang khusus untuk menerima tamu, yang dulu sering pula dipakai
untuk mendengarkan wejangan dari Begawan Sangga Mega.
Tetapi kali ini Intan Selaksa
punya rasa atas pembelaan diri Gincu Mayat terhadap dirinya. Jika waktu tadi
Gincu Mayat tak muncul, mungkin Intan Selaksa sudah tak bernyawa lagi dihantam
habis oleh Barong Geni, orang yang sering menghalalkan cara demi mencapai
kebutuhan pribadinya. Intan Selaksa merasa sangat beruntung dengan kedatangan
Gincu Mayat itu. Bahkan setelah ia sembuhkan luka-lukanya dengan ramuan
peninggalan mendiang gurunya, Intan Selaksa ucapkan kata kepada Gincu Mayat,
"Pertolonganmu sangat
berharga bagiku, karena tepat
pada waktunya. Aku tak tahu
harus membalas dengan cara bagaimana untuk menghargai pertolonganmu, Gincu Mayat!"
"Sudah kubilang tadi, aku
hanya membalas hutangku kepadamu! Dengan begini, kita impas. Kita tak punya
hutang nyawa lagi!"
"Kau begitu baik padaku,
Gincu Mayat! Di tengah sepiku menunggu saat kepergianku tiba sebagai penjaga
kuil ini, hanya kau teman yang sering mengisi kesunyian hati ini!"
"Mengapa tak cari teman
pria yang bisa mengisi hatimu?!" pancing Gincu Mayat. "Aku bisa
mencarikan lelaki yang bisa kau pakai hiburan setiap malam atau kapan saja kau
inginkan!"
Intan Selaksa hanya
sunggingkan senyum berlesung pipit itu, kemudian ia ucapkan kata,
"Lelaki bukan jaminan
pengisi hati yang damai! Lelaki kadang menghadirkan sejuta keresahan di hati,
dan menjadi sang penyiksa jiwa! Rasa-rasanya belum waktunya aku berurusan
dengan masalah hati lelaki."
"Hi hi hi...!" Gincu
Mayat tertawa. Bodoh amat kau! Lelaki memang bukan jaminan pengisi hati yang
damai, tapi lelaki bisa kita jadikan alat hiburan! Jangan jadikan lelaki
pengisi hati, bisa ngelunjak dia, Intan Selaksa! Hi hi hi...! Hidup seperti aku
inilah contoh hidup yang tak pernah merasa disiksa jiwanya oleh lelaki,
melainkan dipuasi batinnya oleh kelemahan lelaki yang bisa kupermainkan kapan
saja! Nyawa lelaki pun bisa kupermainkan dengan sekehendak hatiku! Hi hi hi...!"
Hanya senyum yang ada di wajah
Intan Selaksa kala itu. Langkah kakinya pelan mengikuti irama langkah kaki
Gincu Mayat. Hanya langkah kaki itu yang bisa didampingi dan diikuti, tapi cara
hidup dan jiwa liar dari Gincu Mayat tak bisa diikuti oleh Intan Selaksa.
Langkah kaki Gincu Mayat
setelah mengitari taman di depan kuil, tiba-tiba terhenti di depan ruang
pemujaan yang berpintu lengkung tanpa daun pintu. Di dalam sana terdapat pintu
batu yang tertutup rapat. Pintu batu itulah penutup rapat ruang atau kamar
semadi yang dinamakan kamar Cipta Hening.
"Intan Selaksa, sejak aku
sering datang bertandang kemari aku tak pernah melihat pintu kamar itu terbuka.
Apakah tidak pernah kau bersihkan?"
"Tidak," jawab Intan
Selaksa. "Itu kamar larangan. Guru tak pernah izinkan siapa pun masuk ke
kamar itu, termasuk aku. Aku hanya diizinkan memegang kuncinya dan membersihkan
bagian luarnya saja!"
"Apa yang ada di dalam
kamar itu sebenarnya, Intan
Selaksa?"
"Entahlah! Sejak aku
tinggal di sini menjadi murid Begawan Sangga Mega, aku belum pernah masuk ke
kamar semadi itu. Dan aku tidak pernah punya rasa ingin tahu dengan isi kamar
tersebut!"
Kepala Gincu Mayat
mengangguk-angguk sambil bergumam kecil. Kemudian ia coba bertanya,
"Apakah kamar itu tempat
menyimpan pusaka- punnka milik gurumu?"
"Setahuku guru tidak
mempunyai pusaka apa-apa,
kecuali ilmunya sendiri itulah
pusakanya," jawab Intan
Selaksa menjelaskan.
"Bukankah gurumu punya
pusaka Pedang Guntur
Biru?"
"Menurut kabarnya begitu,
tapi guru tidak pernah membicarakan kepadaku tentang pusaka Pedang Guntur Biru.
Aku jadi sangsi, apakah benar Guru memiliki pusaka itu?"
"Mungkin dia simpan di
dalam kamar tersebut, Intan!"
"Itu pun aku tak pasti. Antara
percaya dan tidak, sebab aku belum pernah melihat Guru memegang pusaka Pedang
Guntur Biru. Tetapi menurut cerita orang-orang yang pernah kutemui, Begawan
Sangga Mega mempunyai pusaka tua yang bernama Pedang Guntur Biru. Pedang itu
bisa menyerang dari jarak cukup jauh, bisa membikin kebal pemiliknya, dan bisa
membuat pemiliknya terbang oleh kekuatan pedang pusaka tersebut. Hanya itu yang
bisa kujelaskan kepadamu jika kau bertanya tentang pusaka Pedang Guntur
Biru."
Gincu Mayat tersenyum tipis,
lalu melanjutkan langkahnya sambil ucapkan kata, "Apakah kau tak berhasrat
memiliki pusaka Pedang Guntur Biru?"
"Aku tidak berani punya
hasrat seperti itu!" jawab Intan Selaksa jujur. Karena dia memang
perempuan yang polos dan menyukai kejujuran.
"Kalau kau memiliki
Pedang Guntur Biru, kau akan menjadi orang sakti yang sulit ditumbangkan.
Mungkin
pula tak ada
tandingannya!"
"Apakah begitu sifat
orang yang memiliki pusaka Pedang Guntur Biru?" Intan Selaksa justru
merasa heran dengan penjelasan Gincu Mayat. Karena menurut pendapatnya, jika
benar apa yang dikatakan Gincu Mayat, lantas mengapa sang Begawan Sangga Mega
mati di tangan orang? Bukankah Begawan Sangga Mega dikenal sebagai pemilik
pusaka Pedang Guntur Biru?
"Mendiang guruku sendiri
pernah menceritakan hal itu padaku, dan ia kagum dengan kesaktian dan kehebatan
yang dimiliki Pedang Guntur Biru! Tetapi ia juga mengatakan, tak ada orang yang
bisa mencuri atau merebut pedang itu dari tangan gurumu! Hanya saja, sekarang
sang Begawan Sangga Megah toh sudah tiada. Tak ada salahnya jika kau sebagai
murid kesayangannya menjadi pewaris Pedang Guntur Biru itu!"
"Tapi aku tak pernah
melihat pedang itu ada di kuil ini!"
"Mungkin terlalu rahasia,
sehingga gurumu tidak tunjukkan pedang itu kepada siapa pun termasuk muridnya.
Tapi jika kau memeriksa bagian dalam kamar Cipta Hening itu, kau baru akan
melihat seperti apa bentuk dan wujudnya pusaka Pedang Guntur Biru itu."
"Apakah menurutmu, Guru
memang menyimpannya di kamar Cipta Hening itu?" tanya Intan Selaksa
bernada sangsi.
"Jika kamar itu tidak
dipakai menyimpan Pedang Guntur Biru, mengapa gurumu tidak mengizinkan siapa
pun masuk ke sana? Larangan itulah yang sebenarnya
merupakan jawaban dari
pertanyaan di mana Pedang
Guntur Biru disimpan oleh
gurumu, Intan!"
Intan Selaksa diam dalam
renungan yang panjang. Lalu, Gincu Mayat segera mendesak,
"Cobalah, buka pintu
kamar itu dan periksalah dalamnya."
"Aku... aku tidak berani,
Gincu Mayat! Aku sangat
menjunjung tinggi perintah
Guru dan menghargai larangan Guru. Aku tidak berani melanggar satu pun dari apa
yang dilarang beliau!"
"Hi hi hi...! Kau memang
murid yang patuh, Intan Selaksa, tapi kau juga murid yang bodoh! Kepatuhanmu
itu memang berharga jika gurumu masih hidup. Tapi sekarang gurumu sudah wafat,
kepatuhan itu tak perlu ada lagi! Justru gurumu itu sangat berharap kau bisa
mengambil gagasan sendiri untuk bertindak tanpa diri beliau!"
"Gagasan...?!" Intan
Selaksa makin kerutkan dahi. "Ya. Setiap orang berhak punya gagasan
sendiri
dalam bertindak!"
Tiba-tiba Gincu Mayat
sentakkan tangannya,
mendorong tubuh Intan Selaksa dengan kuat. Intan Selaksa jatuh terjungkal ke tanah. Gincu Mayat
berkelebat lompat ke kiri sambil tangannya menyambar sesuatu yang melayang
cepat bagaikan anak panah. Wussst...! Tap...!
"Hei, kenapa kau
mendorongku sekasar itu, Gincu Mayat?!" sentak Intan Selaksa. Gincu Mayat
tidak menjawab.
Matanya tajam memandang sekeliling
halaman kuil, terutama di atas
tembok pagar berbatu hitam itu. Kejap berikut, Gincu Mayat segera dekati Intan
Selaksa dan ulurkan tangannya. Tangan yang menggenggam itu membuka telapaknya,
lalu tampaklah sebuah pisau kecil seukuran kelingking bergagang hitam dengan
ujungnya yang runcing tajam.
"Seseorang ingin
membunuhmu!" kata Gincu Mayat. Intan Selaksa terkesiap memandang pisau
kecil yang
berhasil ditangkap oleh Gincu
Mayat. Lekas-lekas ia pandangkan matanya ke sekeliling, dan ia susuri setiap
tempat, pohon, dan atap bangunan kuil. Tak ada orang di sana, tak ada tempat
yang patut dicurigai.
"Pisau ini beracun ganas
jika sampai menggores kulit tubuh manusia," kata Gincu Mayat. "Orang
yang tergores atau terkena pisau kecil ini akan hangus terbakar dan tak dapat
ditolong lagi!"
"Dari mana kau
tahu?"
"Aku kenal
pemiliknya!" jawab Gincu Mayat.
"Siapa pemiliknya? Apakah
Barong Geni atau Dewi
Kelambu Darah?"
"Bukan!" jawab Gincu
Mayat dengan tegas. "Pisau ini milik seorang tokoh tua dari Pantai Selat
Mati."
"Maksudmu... Eyang Sambar
Jantung?" "Benar!"
"Tidak mungkin!"
sanggah Intan Selaksa. "Eyang
Sambar Jantung adalah teman
baik Begawan Sangga
Mega! Ia juga baik
kepadaku!"
"Di balik kebaikan
seseorang tak mungkinkah tersimpan kebusukan?"
"Ya. Memang. Tapi tidak
begitu untuk Eyang Sambar
Jantung!"
Baru saja Intan Selaksa
selesai bicara begitu, tiba-tiba Gincu Mayat terpekik, "Awas...!"
sambil ia sentakkan kaki dan melenting di udara, demikian pula halnya dengan
gerakan mendadak Intan Selaksa. Tubuhnya sempat bersalto satu kali di udara.
Dan pada waktu itu, Intan Selaksa sempat melihat gerakan benda hitam yang
melesat cepat, lalu menancap di sebuah pohon yang ada di sudut halaman Kuil
Swanalingga.
Pohon itu berdaun lebat,
rindang, dan teduh jika digunakan untuk duduk-duduk di bawahnya pada siang
hari. Tapi ketika benda hitam kecil itu menancap di batang pohon itu dengan
suara halus, hampir tak terdengar, tiba-tiba daunnya menjadi kuning. Daun itu
mengalami perubahan sangat cepat, dari kuning menjadi coklat, lalu berguguran
bagaikan bunyi suara hujan deras. Ranting-rantingnya ikut beterbangan, bahkan
dahannya ada yang patah sendiri. Dan dalam waktu yang sangat singkat, pohon itu
menjadi gundul tanpa ranting. Batangnya yang masih berdahan sebagian itu
menjadi keropos dengan warna hitam, bagaikan sebatang pohon yang sudah terbakar
sejak puluhan tahun yang lalu.
Tentu saja pemandangan seperti
itu memukaukan mata Intan Selaksa. Terbayang ngeri di benaknya, jika sampai
pisau kecil itu menancap pada bagian tubuhnya, sudah pasti dirinya akan
mengalami nasib mengenaskan seperti pohon besar itu.
Wuttt...! Intan Selaksa lekas lompatkan diri,
bersembunyi di dalam ruang
pemujaan. Waktu itu, Gincu Mayat cepat sentakkan kaki dan menyusul Intan
Selaksa dengan gerakan lompat yang amat ringan dan cepat. Wesss...! Mereka
berdua bersembunyi di sana dengan mata memandang tajam ke arah sekeliling.
Tak ada manusia, tak ada
gerakan. Bahkan angin pun bagaikan berhenti, hingga daun yang berguguran itu
tak sempat bergerak sedikit pun. Alam bagaikan mati tanpa bunyi hening yang
semestinya timbul akibat hembusan angin tipis. Senyap sekali kuil tersebut.
Tapi tiba-tiba suara deru
terdengar dari kejauhan. Deru itu makin lama semakin mendekat, menghadirkan
hembusan angin yang membuat daun-daun kering beterbangan. Deru itu bertambah
jelas dan keras, membuat pohon-pohon meliukkan puncaknya, bagian pintu pagar
yang terbuat dari besi berjeruji yang amat kekar itu terhempas membuka dalam
satu sentakan keras. Trangng!
Angin badai terasa
menghadirkan kesejukan yang cukup tinggi, dan makin lama makin dingin. Dahan
pohon lainnya terdengar berderak patah. Tubuh mereka di ruang pemujaan tak
berdaun pintu itu menjadi saling berpegangan tiang penyangga atap pintu
lengkung.
"Angin apa ini? Kerasnya
bukan main?!" seru Intan Selaksa mengimbangi suara deru yang memekakkan
telinga.
"Entahlah! Mungkin ini
yang dinamakan Angin
Setan!"
"Angin Setan apa?"
"Angin Setan yang hanya
datang sewaktu-waktu jika diinginkan oleh pemiliknya!" seru
Gincu Mayat, rambutnya
beterbangan ke arah belakangnya. Matanya menyipit menahan derasnya angin
menerpa.
"Siapa pemilik Angin
Setan ini?!"
"Siapa lagi kalau bukan
Sambar Jantung!"
Di hati Intan Selaksa
menggumamkan nama itu dengan nada heran sekali, ia kenal betul dengan Eyang
Sambar Jantung. Hubungannya nyaris seperti hubungan antara murid dan guru,
karena Sambar Jantung sering kasih saran dan pandangan hidup kepada Intan
Selaksa. Bahkan sering juga Sambar Jantung mengingatkan kepada Intan agar
menjadi murid yang baik yang selalu taat kepada perintah dan ajaran gurunya.
Jika benar Sambar Jantung yang
bikin ulah seperti ini, lantas apa maksudnya? Apa pula maksud Sambar Jantung
dua kali melepaskan pisau beracun untuk membunuh Intan? Atau, jangan-jangan
yang jadi sasaran adalah Gincu Mayat? Bukan Intan Selaksa? Rasa- rasanya sangat
aneh sekali dan tak mudah dipercaya bahwa Eyang Sambar Jantung bermaksud
membunuh Intan Selaksa. Rasa-rasanya tak pernah ada kesalahan yang dibuat Intan
terhadap Sambar Jantung.
Hembusan angin badai masih
terasa kuat dan semakin besar saja. Di luar pagar kuil, jauh di sebelah barat
sana, terdengar sebuah
pohon yang tumbang dengan menimbulkan dentuman yang
mengguncangkan tanah. Daun-daun kering yang gugur dari pohon hangus seketika
itu sudah beterbangan keluar dari pagar kuil
yang tingginya mencapai tiga
atau empat tombak, dengan
ketebalannya mencapai tiga jengkal atau setengah ukuran tombak.
Bahkan sekarang angin badai
aneh itu menghadirkan bintik-bintik putih seperti tepung. Bintik-bintik putih
itu menerpa dedaunan atau benda apa pun. Semakin lama semakin banyak jumlahnya,
membuat satu batang pohon dalam sekejap
berubah menjadi putih bagaikan dibungkus kapas. Tapi pada saat itu
udara terasa sangat dingin.
Kian lama kian membuat Intan Selaksa menggigil.
"Serbuk apa itu yang
membawa hawa sedingin ini?!" seru Intan Selaksa dari tempatnya yang
berjarak empat langkah dari Gincu Mayat.
"Salju!" jawab Gincu
Mayat. Suaranya keras juga. "Salju...?!" suara Intan Selaksa bernada
heran sekali.
"Mengapa ada salju di
sini?"
"Seseorang telah
menghadirkan badai salju!" "Siapa?"
"Tentunya si Penguasa
Pantai Selat Mati itu! Sambar
Jantung!"
"Mana mungkin beliau?
Untuk apa Eyang Sambar
Jantung sampai menghadirkan
badai salju kemari?!" "Kurasa dia juga inginkan pusaka Pedang Guntur
Biru!"
"Apa...?!" Intan
terkejut dan terpekik di sela deru angin kencang yang hadirkan butiran salju
semakin banyak itu.
*
* *
4
SALJU menyelimuti Kuil
Swanalingga. Udara dingin yang dihadirkan oleh angin salju membuat kedua tubuh
perempuan itu saling menggigil. Tetapi curahan hujan salju yang mirip serbuk
tepung putih itu telah berhenti. Badainya pun hilang. Anginnya bertiup semilir.
Hening mencekam sekeliling.
Intan Selaksa keluar dari bangunan pemujaan, ia memeriksa sekeliling kuil. Tak
ada sesuatu yang aneh ditemukan di sekeliling kuil, kecuali beberapa pohon
melengkung akibat badai tadi, dan beberapa dahan patah jatuh ke tanah. Lebih
dari itu, hanya putih salju yang membungkus tiap benda yang terlihat di sana.
Intan Selaksa pun cepat memeriksa daerah sekeliling pagar bumi itu, ia segera
keluar dari halaman kuil.
Pada saat itu, Intan Selaksa
tak menyadari adanya bahaya di ruang pemujaan. Gincu Mayat telah gunakan
kesempatan itu untuk memeriksa ruang pemujaan. Altar tempat lilin-lilin
dinyalakan itu diperiksa dengan teliti. Bagian-bagian yang tertutup, yang
bercelah, yang bisa digeser dan dibuka-tutup, Juga diperiksanya dengan cermat.
Tapi ia tidak menemukan sesuatu yang dicari atau yang mencurigakan.
Langkah kakinya masih bergerak
pelan sambil matanya mengelilingi seluruh tempat itu. Lantai pun
disentak-sentakkan pakai kaki, mencari kemungkinan
adanya suara geduk yang
berongga. Jika ada suara gedukan kaki berongga, itu pertanda ada ruang bawah
tanah. Tapi beberapa lantai yang sempat diperiksanya, tidak ada yang punya
suara geduk sedikit menggema. Itu artinya tak ada ruang bawah tanah di bawah
bangunan tersebut.
Kini, Gincu Mayat tiba di
depan kamar Cipta Hening, ia pandangi dinding dan pintu lebih dulu. Susunan
batu diperhatikan semua. Tapi tak ada yang bisa dijadikan alasan sebagai
sesuatu yang perlu dicurigai. Susunan batu itu merapat lekat tak sedikit pun
bisa digeser atau dilepas.
Pintu dipandanginya. Pintu itu
terbuat dari lempengan baja yang sangat kokoh dan tua. Warnanya sudah berubah
hitam keabu-abuan. Pintu itu tidak berengsel. Jadi menurut dugaan Gincu Mayat,
pintu itu bergerak menggeser ke kiri atau ke kanan jika ingin membukanya. Tak
ada lubang yang bisa dipakai untuk mengintai keadaan di dalam ruangan tersebut.
Pintu sangat rapat.
Gincu Mayat mencoba menggeser
pintu, mendorong ke kiri atau ke kanan. Tapi pintu tidak bergeming.
Ketebalannya ada satu jengkal menurut dugaan Gincu Mayat. Dihantam pakai tangan
pun suaranya tak menimbulkan gema. Duggg...! Hanya seperti dinding cadas yang
dipukul dengan tangan kosong.
"Bagaimana jika
didobrak?" pikir Gincu Mayat. Pertimbangannya memutuskan untuk
mencoba mendobrak pintu tersebut dengan kekuatan tenaga dalamnya. Maka,
Gincu Mayat cepat mengundurkan diri
lima tindak. Dari sana ia
sentakkan kedua tangannya dalam keadaan telapak tangan terbuka ke depan.
Wouggh...! Hembusan tenaga dalam melesat begitu besar. Biasanya bisa
menumbangkan pohon besar hingga tercabut akarnya. Tapi kali ini, ternyata
kekuatan itu tak bisa dipakai untuk mendobrak pintu baja keabu-abuan itu.
Gincu Mayat segera berdiri tegak
dengan kaki melenggang. Lalu kakinya itu tiba-tiba merendah, dan tangan
kanannya menuding memakai jari tengah. Tangan kirinya bagai mendorong
pergelangan telapak tangan kanan. Tangan itu bergerak maju dengan kuat dan
sedikit gemetar karena tenaga dikerahkan ke arah tangan kanan.
Dari jari tengah yang menuding
kaku itu melesat sinar hijau. Sinar itu memanjang sampai membentur pintu kamar
Cipta Hening itu. Wuuttt...! Sinar itu terus memancar tiada putusnya, bergerak
pelan menyusuri tepian pintu, sampai membentuk gerakan sesuai dengan keliling
pintu tersebut.
Zubb...! Pijar sinar hijau itu
padam. Gincu Mayat menarik napas dalam-dalam, ia siap mendobrak pintu yang
sudah dipotong memakai sinar hijau tadi. Tapi, Gincu Mayat merasa sangsi.
"Tak ada bekas meleleh
pada bagian yang sudah kupotong?!" ucapnya dalam hati, "Bau terbakar
pun tak ada! Hangus pun tidak pintu itu. Apakah itu berarti pintu sudah
terpotong atau tetap utuh?"
Gincu Mayat
segera mendekati dan mencoba mendorongnya pelan-pelan untuk
mengetahui keadaan
pintu. Ternyata masih kokoh,
utuh dan tidak lecet sedikit pun.
Gincu Mayat berpikir, seandainya didobrak memakai tendangan tenaga
dalam juga percuma, sebab pintu itu lebih kokoh daripada bukit batu.
"Aduh, gatal
juga telapak tanganku jadinya?" ucapnya lirih
sambil telapak tangannya saling digosok- gosokkan untuk menghilangkan rasa
gatal. Gincu Mayat belum menyadari, bahwa rasa gatal itu telah membuat telapak
tangannya menjadi merah. Sambil memikirkan cara membuka pintu kamar
Cipta Hening, ia menggosok-gosokkan telapak
tangan semakin keras.
Pintu dicoba
untuk ditendangnya dalam
satu lompatan dari jarak lima tindak. Wusss...! Dugggh...! Tak ada
gerakan pada pintu, tapi tubuh Gincu Mayat terpental ke belakang dan jatuh
nyaris terlentang.
"Gila! Pintu itu punya
kekuatan membalikkan pukulan tenaga dalam! Sama
saja aku menendang diriku sendiri tadi?!"
Gincu Mayat bangkit. Telapak
tangannya gigih digaruknya. Tapi pada saat itu terdengar suara berucap dari
arah belakangnya,
"Sebentar lagi akan
buntung kedua tanganmu itu, Anak Manis!"
Terkejut Gincu Mayat mendengar
sapaan itu. Ia cepat palingkan wajah dan kerutkan dahi. Seorang lelaki tua yang
rambut dan kumisnya telah beruban seperti jenggotnya, telah berdiri di sana,
mengenakan pakaian abu-abu dengan kainnya yang menyilang di dada sampai pundak.
Pundak satunya bebas tak tertutup kain. Dari
rambut putihnya yang botak di
bagian dekat dahi itu, Gincu Mayat segera mengenali orang tersebut, yang tak
lain adalah si Sambar Jantung. Jari-jari kesepuluh kukunya itu berwarna hitam
runcing walau tak terlalu panjang. Kuku itu kelihatan keras bagaikan besi baja,
atau mirip kuku elang jantan. Melihat kuku hitam keling itu, Gincu Mayat
semakin yakin bahwa orang tersebut dikenal sebagai Penguasa Pantai Selat Mati
yang tadi melemparkan pisau kecil bergagang hitam.
Gincu Mayat menantang tatapan
mata tua yang masih tajam itu. Bahkan Gincu Mayat berani ucapkan kata ketus,
"Sudah kuduga kau datang
juga kemari setelah melihat rembulan bergaris, tadi malam!"
"Rupanya kau mengerti
juga rahasia rembulan bergaris, Anak Manis?!" kata si Sambar Jantung
dengan senyum tuanya yang peot.
"Aku bukan orang bodoh,
Pak Tua! Aku juga sudah lama menunggu munculnya rembulan bergaris. Sudah lama
kutahu rahasia itu!"
"He he he he... tapi kau
tak tahu rahasia membuka pintu kamar itu, Anak Manis! Lihatlah, tanganmu sudah
mulai parah!"
Gincu Mayat tak sadar bahwa
sambil bicara ia sejak tadi menggaruk telapak tangannya secara bergantian. Rasa
gatal amat mencekam dan menjengkelkan. Tapi ketika ia pandangi telapak tangan
itu, ternyata kulitnya sudah terkelupas banyak. Warna merahnya sudah berupa
merah darah bercampur serat daging.
Gincu Mayat tersentak kaget
menyadari keadaan kedua telapak tangannya. Anehnya, tak ada rasa sakit dan
perih sedikit pun kecuali rasa gatal yang semakin lama semakin menuntut untuk
terus digaruk lebih kuat lagi. Bilamana perlu digaruk memakai ujung garpu
runcing.
Sambar Jantung terkekeh lagi
dan ucapkan kata, "Racun Kulit Peri memang ganas, tapi tak membuat
korbannya kesakitan! Sebentar
lagi kedua telapak tanganmu itu akan bolong, lalu terpotong dengan sendirinya!
Tapi rasa gatal masih tetap menjalar ke lengan sampai lenganmu nanti akan putus
dengan sendirinya dan terus sampai ke sekujur tubuhmu akan menjadi gatal serta
terpotong-potong!"
"Jaga mulutmu, Tua
Bangka! Aku bukan anak kecil yang pantas ditakut-takuti lagi! Kusarankan,
tinggalkan tempat ini dan jangan ganggu urusanku!"
"O, kau ingin mencuri
pedang pusaka itu tanpa diganggu oleh siapa pun? He he he... itu tak mungkin,
Anak Manis! Seluruh tokoh tingkat tinggi akan datang kemari memburu pedang tersebut, karena pada umumnya mereka juga menunggu kapan
rembulan bergaris hitam!"
"Mereka tidak akan
mendapatkan apa-apa dari kuil ini! Mereka akan kecewa karena pedang pusaka
sudah lebih dulu kudapatkan!"
"O, jangan besar hati
dulu, Anak Manis. Kau tak akan mungkin bisa membawa lari pedang pusaka itu
selama ada aku di sini!"
"Kalau begitu aku harus
singkirkan nyawamu, Pak
Tua!"
"Itu lebih baik kalau
memang kau bisa, Anak Manis!" "Tua bangka banyak cakap kau,
hiii...!"
Crass...! Sinar merah keluar
dari telapak tangan Gincu Mayat. Tapi Gincu Mayat sendiri yang pekikkan suara
tertahan, ia tersentak mundur dengan tangan segera ditarik kembali, karena rasa
sakit perih begitu menyengat akibat keluarnya tenaga
dalam bersinar merah itu. Sedangkan tenaga dalam yang sudah telanjur terlepas
itu ditangkap dengan kibasan tangan Sambar Jantung. Sinar itu menjadi bulatan
semacam bola yang bernyala-nyala di atas telapak tangan Sambar Jantung.
Kemudian, Sambar Jantung melemparkan bulatan merah tersebut ke arah sebuah batu
bersusun yang ada di samping ruang pemujaan tersebut. Wuttt...! Duarr...! Batu
itu pecah bagai dilempar dengan bahan peledak yang cukup kuat. Lalu, Sambar
Jantung palingkan pandang ke arah Gincu Mayat sambil sunggingkan senyum tuanya
yang menggeramkan hati Gincu Mayat.
"Gila! Tenaga dalamku
bisa ditangkapnya?!" gumam hati Gincu Mayat terheran-heran. Tapi ia segera
kembali pikirkan
tangannya yang tadi
terasa sakit untuk keluarkan tenaga dalam bersinar.
"Aduh, gatalnya semakin
kuat! Iih... sampai berdarah begini masih saja maunya digaruk terus?!"
Si Sambar Jantung
terkekeh-kekeh melihat Gincu Mayat sibuk garuk-garuk tangannya. Lalu, ia
ucapkan kata dengan kalem,
"Pergilah ke luar, Anak
Manis! Akan kuledakkan kamar itu!"
"Langkahi dulu bangkaiku kalau kau
mau
meledakkan kamar itu untuk
mengambil pusaka Pedang
Guntur Biru!" kata Gincu
Mayat masih berani.
"Kau anak manis yang
nakal rupanya! Perlu kuberi pelajaran sedikit biar tak nakal lagi!"
Si Sambar Jantung seperti
menempeleng udara memakai punggung telapak tangannya. Plakkk...! Terasa ada
tamparan keras sekali di wajah Gincu Mayat. Bahkan tubuhnya terpelanting
beberapa tindak dari tempatnya berdiri. Tamparan itu bagai disertai sentakan tenaga
dalam. Padahal tangan si Sambar Jantung tak sampai mengenai kulit wajah Gincu
Mayat. Itu pun sudah membuat Gincu Mayat terpelanting jauh, apalagi jika sampai
kena di kulit wajah, pasti akan hancur wajah itu.
"Setan tua kau!"
sentak Gincu Mayat dengan marah. Lalu, ia cepat mencabut rencong di depan
perutnya. Srett...!
Tapi belum sempat digunakan,
tangan kiri Sambar Jantung telah menebas dari bawah ke depan. Wuttt...!
Ringan sekali gerakannya, bagai dilakukan tanpa menguras tenaga.
Tetapi akibatnya sangat berbahaya. Tubuh Gincu Mayat terlempar terbang ke atas,
wusss...! Langsung menuju ke arah pintu lengkung dan jatuh di pelataran kuil.
Buhgg...! Ia terjatuh dalam
keadaan miring, hampir saja ujung rencong menembus perutnya sendiri. Dari
sana ia cepat bangun dan
berteriak keras,
"Tua bangka! Keluar kau
kalau memang ilmumu tinggi! Hadapi aku di tempat bebas ini! Kalau kau tak
berani keluar menghadapi aku, bersujudlah di depanku dan akan kuangkat kau
sebagai muridku!"
"Anak haram...!"
geram Sambar Jantung, lalu cepat ia langkahkan kaki keluar dari ruang pemujaan
itu sambil kedua tangannya menghempas ke depan dengan ringan. Wusss...! Dan
tubuh Gincu Mayat kembali terbang, bahkan melewati pagar tembok tinggi sebagai
batas halaman kuil.
Brugg...! Gincu Mayat jatuh
telentang dalam keadaan kehilangan senjata rencongnya. Dan keadaan jatuhnya
tepat di depan kaki Intan Selaksa yang kaget saat mendengar teriakan suara
Gincu Mayat itu.
"Gincu Mayat...?!"
Intan Selaksa terkejut sekali, terlebih setelah melihat kedua telapak tangan
Gincu Mayat hampir putus, berdarah dan sangat menjijikkan. Tulang-tulang
jarinya nyaris terlihat semua.
"Oh, apa yang terjadi,
Gincu Mayat...?!" Intan Selaksa cepat menolong orang yang selama ini
dianggap sebagai temannya itu. Gincu Mayat sendiri tak mau terlihat lemah di
depan Intan Selaksa, ia cepat bangkit dengan napas ditarik dalam-dalam.
"Tanganmu...? Oh,
tanganmu hampir putus, Gincu
Mayat!"
"Jangan hiraukan
tanganku! Biarlah luka ini, yang penting aku bisa mengusir si Sambar Jantung
dari dalam kuil! Dia bermaksud mencuri pedang pusaka dari kamar
itu!"
"Tapi... tapi tanganmu
ini pasti terkena racun Kulit Peri! Kau telah memegang pintu kamar Cipta
Hening, bukan?!"
"Hmmm... anu... iya,
secara tak sadar tadi aku memegangnya untuk menghindari serangan si Sambar
Jantung!"
"Oh, aku lupa tak bilang
padamu, bahwa pintu itu tidak boleh dipegang karena Guru memasang racun ganas
di pintu itu!"
"Aku tak sengaja, Intan
Selaksa!"
Tiba-tiba suara di belakang
Intan Selaksa menyahut, "Tak sengaja menjadi bodoh, maksudnya! Dia mau
membongkar pintu itu dan mengincar pedang pusaka di dalamnya!"
Intan Selaksa kaget ketika
membalikkan wajah ternyata si Sambar Jantung sudah berdiri lima langkah dari
pintu gerbang kuil.
"Eyang...?!"
"Jangan dekati dia!
Perempuan itu bukan teman tapi musuh bagimu, Intan Selaksa!"
"Jangan percayai
omongannya!" bisik Gincu Mayat. Intan berkata kepada Sambar Jantung,
"Eyang, sudah
cukup lama saya bersahabat
dengan Gincu Mayat! Jadi...."
"Dia sengaja mendekati
kamu untuk mempelajari kuil ini! Dia ingin mendapatkan pedang pusaka itu, Intan
Selaksa! Kau telah tertipu dengan sikap baiknya selama ini!"
"Tutup mulutmu, Tua
Bangka! Apakah kau sendiri datang bukan untuk maksud yang sama?!" sentak
Gincu Mayat. "Kau juga menginginkan pedang pusaka itu dengan cara
bersahabat baik terhadap Begawan Sangga Mega! Kau bermaksud mengorek keterangan
tentang rahasia penyimpanan pusaka itu dari mulut Begawan Sangga Mega! Kau
pikir aku tak bisa mencium kelicikanmu itu, Tua peot?!"
Sambil melontarkan sebarisan
tuduhan, Gincu Mayat tak sadar kalau sudah ada tiga jarinya yang jatuh ke tanah
tanpa menimbulkan rasa sakit selain gatal. Ketika ia sadar akan hal itu, ia
tersentak kaget dan menjadi tertegun sedih melihat tiga jarinya jatuh di tanah
berlapis salju.
Sementara itu, Intan Selaksa
mulai terpengaruh dengan kata-kata Gincu Mayat, namun juga terpengaruh
kata-kata Sambar Jantung, ia mundur beberapa tindak, menjauhi keduanya dengan
dahi berkerut dan wajah mencerminkan kekecewaan yang dalam.
"Saya tak sangka kalau
Eyang punya tujuan seperti itu!" kata Intan Selaksa sambil memandang si
Sambar Jantung.
"Intan Selaksa, jangan kau
terpengaruh oleh tuduhannya!
Dia hanya mencari teman untuk dibenci! Dia sengaja pengaruhi kamu, supaya kamu
hilang kepercayaan kepadaku, sebagai sahabat baik mendiang gurumu!"
"Omong kosong sahabat
baik!" sahut Gincu Mayat. "Jika kau sahabat baik Begawan Sangga Mega,
kau pasti
tidak akan meledakkan kamar
itu dengan menyingkirkan aku keluar ke sini!"
"Terlalu tajam lidahmu,
Anak Bodoh!" geram si
Sambar Jantung. Kemudian
tangannya bergerak seperti mencakar udara di depannya. Wuttt...! Brettt...!
"Auh...!" Gincu
Mayat menyentakkan kepalanya ke belakang bagai menghindari serangan. Tapi
agaknya ia terlambat menghindari serangan lawan yang berjarak tujuh langkah
darinya itu. Cakaran tersebut ternyata mengenai mulut Gincu Mayat, dan mulut
itu pun koyak di bagian bibir dan sebagian pipinya. Padahal cakaran itu
dilakukan dalam jarak tujuh langkah.
Intan Selaksa makin terkesiap
melihat luka di mulut Gincu Mayat. Ia mulai membatin, "Bahaya sekali jurus
Eyang Sambar Jantung! Seperti yang pernah diceritakan oleh Guru, bahwa Eyang
Sambar punyai jurus 'Angin Merapat'. Rupanya seperti itulah jurus 'Angin
Merapat'. Tak perlu menyentuh tubuh lawan, dengan merobek udara, mulut lawan
sudah bisa robek sendiri! Bahaya sekali melawan dia, jika memang benar dia
ingin kuasai pusaka di kamar Cipta Hening itu!"
Terdengar suara tua manusia
berambut putih yang usianya konon sudah mencapai seratus tahun lebih itu,
"Bocah bodoh! Lekas tinggalkan tempat ini dan carilah obat untuk
menyembuhkan gatal-gatalmu itu!"
"Aku tak akan pergi
sebelum mencabut nyawamu, Tua Bangka!" sentak Gincu Mayat geram. Lalu,
tiba-tiba ia melompat dan bersalto di udara satu kali. Wuttt...! Arah kakinya
hendak menendang kepala si Sambar
Jantung.
"Hiaaat...!"
Sambar Jantung tak mengelak. Tetap ada
di
tempatnya. Tapi tangan
kanannya berkelebat naik bagai menjungkirkan sesuatu. Dan ternyata, tubuh Gincu
Mayat itulah yang dijungkirbalikkan. Tubuh
itu terlempar ke belakang dan satu kali salto mundur. Sebelum kakinya
mendarat di bumi, si Sambar Jantung cepat mengibaskan kedua tangannya bagai
merobek udara dengan kuku-kuku hitamnya. Wrettt...! Kedua tangan itu merobek ke
kiri dan ke kanan.
"Aaahg...!" Gincu
Mayat sempat terpekik ketika melihat dadanya robek dari ulu hati sampai ke
bawah perut. Robek bersama pakaiannya, sehingga isi perutnya berhamburan keluar
dengan mengerikan. Sementara itu, tangan Sambar Jantung cepat disentakkan ke
depan dan kembali ditarik ke belakang seperti merogoh sesuatu. Dan ternyata,
dalam kejap berikutnya tangan berkuku hitam itu telah menggenggam benda merah
berlumur darah. Itulah jantung milik Gincu Mayat.
"He he he he...!"
tawanya terkekeh-kekeh melihat jantung lawan ada di tangannya. Sedangkan Gincu
Mayat segera roboh tak bergerak selamanya, dan Intan Selaksa cepat palingkan
wajah tak berani memandang apa yang dipegang oleh si Sambar Jantung.
Tiba-tiba sebentuk bayangan
merah berkelebat cepat menghantam si Sambar Jantung. Tapi sebelum menyentuh tubuh Sambar Jantung,
kaki Sambar Jantung menendang
pelan udara di depannya. Wusss...!
Akibatnya bayangan merah tadi
kembali membalik dengan terpelanting tak tentu arah.
Tubuhnya membentur pohon di belakang Intan Selaksa.
Buukk...!
"Monyet Tua...!"
maki orang itu yang ternyata adalah
Barong Geni.
"Datang-datang memaki
orang tua, dasar anak tak tahu sopan! Makanlah ini! Hiihh...!"
Wusss...! Jantung itu
dilemparkan ke wajah Barong Geni. Tapi cepat-cepat Barong Geni sentakkan tangan
kanannya dengan telapak tangan dan, wuhhggg...! Api menyambar benda itu.
Duarrr...! Meledaklah jantung dari tangan si Sambar Jantung akibat terkena
pukulan
'Lahar Pati' yang dimiliki
Barong Geni.
"Barong, jangan serang
dia! Berbahaya!" kata Intan Selaksa, karena dalam keadaan seperti ini,
tiba-tiba rasa persaudaraan dalam seperguruan bangkit lagi di hati Intan
Selaksa. Tapi agaknya Barong Geni tak pedulikan seruan itu bahkan ucapkan kata,
"Tanganku bebas sudah
dari totokanmu! Mudah bagiku untuk membunuh orang ini, Intan Selaksa!
Minggirlah. Biar aku yang hadapi!"
*
* *
5
SEMENTARA itu, di lereng
Gunung Pakayon,
tempat dibangunnya Kuil
Swanalingga, terlihat sekelebat bayangan menyusup di antara pepohonan berdahan
tinggi. Sosok yang mempunyai kilasan warna hitam itu agaknya sedang menguntit
seseorang yang berjubah hijau dengan celana dan bajunya yang putih kusam, menggenggam
tongkat berkepala bola kristal sebesar genggamannya sendiri.
Sosok kelebat hitam itu tak
tahu, bahwa gerakannya diikuti oleh sepasang mata yang ada di atas pohon.
Melesat dari dahan ke dahan tanpa timbulkan bunyi sedikit pun. Orang yang di
atas pohon itu mengenakan baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih.
Sesekali terlihat meneguk tuak dari bumbung tuak yang sering disandang di
punggung. Orang berambut panjang meriap tanpa diikat itu bertampang muda,
gagah, dan ganteng. Siapa lagi jika bukan Suto Sinting, si Pendekar Mabuk,
murid dari si Gila Tuak.
Dalam pengejarannya memburu
musuh utama, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, Suto mengalami kesulitan mencari jejak
manusia sesat yang punya nama asli Durmala Sanca itu. Tanpa disengaja, Pendekar
Mabuk telah mengarahkan pelariannya ke Gunung Pakayon. Tapi ia tak tahu bahwa
di Gunung Pakayon itu terdapat Kuil
Swanalingga, bekas tempat bersemayamnya Begawan Sangga
Mega. Suto juga tidak tahu bahwa di sana, di kuil itu, sedang terjadi
pertarungan para manusia serakah yang ingin memperebutkan Pedang Guntur Biru.
Pelarian Suto Sinting dalam
mengejar Siluman Tujuh
Nyawa terpengaruh oleh
kelebatan gerak cepat sosok
berwarna hitam itu. Ia
menyangka, Siluman Tujuh Nyawa itulah yang berkelebat dalam sosok warna hitam.
Karena itu ia ikuti terus melalui pohon demi pohon.
Kalau bukan karena berhentinya
gerakan manusia berambut putih dan berjubah hijau muda dengan celana dan
bajunya warna putih kusam, mungkin Suto Sinting masih menyangka sosok berwarna
hitam itu adalah Siluman Tujuh Nyawa. Karena ketika
manusia bertongkat itu berhenti dan cepat palingkan diri ke belakang,
sosok hitam yang mengejarnya secara diam- diam itu kepergok dan tak lagi bisa
bersembunyi.
"O, rupanya kau yang
ikuti aku sejak tadi?" kata orang berjubah putih yang menurut Suto usianya
mencapai tujuh puluh tahun lebih. Orang itu tampak kalem dan sunggingkan senyum
tuanya yang berkesan jenaka. Matanya berbulu lentik tapi putih warna bulunya.
Jenggot dan kumisnya pun putih. Badannya agak gemuk, di jarinya terdapat banyak
cincin berbatu akik. Satu tangan mengenakan empat cincin. Yang paling kecil
seukuran kacang tanah.
Sedangkan orang yang
menguntitnya itu ternyata seorang perempuan cantik dan berkesan judes galak.
Pakaiannya hitam, berhias benang emas. Hanya sampai dada. Punggungnya terbuka
tanpa kain penutup apa pun. Bahkan rambutnya yang panjang disanggul naik,
hingga kulit lehernya yang jenjang itu terlihat kuning mulus. Di kepalanya ada mahkota
kecil berhias batuan intan dan berlian, ia pun mengenakan kalung emas dengan
hiasan bunga cempaka dari butiran intan, ia juga mengenakan
gelang ketat di lengannya dari
lempengan emas. Usianya seperti masih muda, sekitar tiga puluh tahunan, tapi barangkali
ia sudah berusia lebil tua empat kali lipat dari aslinya, terbukti ia menyapa
lelaki berambut uban itu dengan seenaknya. Tanpa ada kesan merasa lebih muda
dari lelaki berjubah hijau itu.
"Jangan pandangi wajahku
terlalu lama, Raja Nujum! Kecantikanku ini bukan untuk dinikmati lelaki setua
kamu!"
"He he he...! Kalau toh
aku memandangmu terlalu lama, bukan karena aku menikmati kecantikanmu, Ratu
Teluh Bumi! Tapi aku sedang mencari di mana letak kecantikanmu yang konon
memikat hati tiap lelaki itu?! Sampai sekarang pun tak kulihat kecantikan
itu!"
"Dasar mata rabun!"
geram Ratu Teluh Bumi yang merasa terhina oleh pengakuan Raja Nujum itu.
"Mana bisa kau melihat kecantikan karena tiap harinya yang kau lihat hanya
ratusan ekor cacing sebagai santapan mu itu!"
"Memang! Dan karena
itulah tak kutemukan kecantikan di wajahmu,
kecuali seraut wajah cacing!"
Makin terbelalak mata
perempuan cantik judes itu. Tangannya tiba-tiba meraih sesuatu di depan
matanya, lalu sesuatu yang telah digenggam itu dilemparkannya ke arah Raja Nujum
bagai menyebarkan sesuatu ke sana. Werrr...!
Ternyata yang melesat dari
genggaman itu adalah seekor ular kobra kecil berkepala merah. Ular itu melesat
ke arah Raja Nujum, dan dengan cepat Raja Nujum
menebaskan kepala tongkatnya
yang ada bola kristalnya itu. Plokk...!
Ular itu terhantam kepala
tongkat. Tapi entah ke
mana perginya bangkai ular
itu. Tak terlihat jatuh di tanah atau menempel di pohon sebelah kiri Raja
Nujum.
Mata Suto yang ada di atas
pohon agak jauh dari mereka sempat memperhatikan bola kristal yang diusap- usap
oleh tangan Raja Nujum. Orang itu tertawa dalam kekeh suara tuanya. Bola
kristal itu menyala berpendar- pendar merah, dan dari nyala merahnya itu
terlihat bayangan seekor ular yang sedang menggerinjal-gerinjal bagai sedang
sekarat. Kemudian bayang itu tak bergerak lagi, lalu bola kristal itu kepulkan
asap merah. Asap itu keluar dari bagian tengah atas bola kristal. Hilangnya
asap, hilang pula cahaya merah tersebut, lalu bola kristal berubah menjadi
bening kembali.
Terdengar lagi kekeh tawa Raja
Nujum, kemudian suara ucapannya yang sedikit bergetar karena pengaruh usia itu,
"Kurasa saat ini bukan
waktunya untuk bermain- main, Ratu Teluh Bumi! Aku tahu, kau mengikutiku karena
kau ingin sampai ke Kuil Swanalingga! Kau tak tahu jalannya, sehingga kau
numpang arah denganku! Bukankah begitu, Ratu Teluh Bumi?!"
"Salah!" jawab Ratu
Teluh Bumi dengan cepat dan tegas. "Aku mengikutimu karena aku harus
membayang- bayangimu terus supaya kau tak dapatkan pedang pusaka itu! Jika
pedang pusaka itu jatuh ke tanganmu, maka akan hancurlah seisi dunia ini akibat
ulah keserakahan
dan kelalimanmu, Raja
Nujum!"
"Apakah tidak
sebaliknya?" kata Raja Nujum dengan kalem sekali. "Pedang pusaka itu
akan menjadi malapetaka bagi
penduduk bumi, jika ada di tanganmu. Sebab kau punya cita-cita ingin menjadi
ratu di atas segala ratu di bumi ini! Kau ingin membangun kembali kekuasaan
yang pernah dipegang oleh ayahmu, yang sekarang wilayahnya telah menjadi
wilayah kekuasaan Jenggala!"
"Rasa-rasanya perlu
kurobek mulutmu supaya tidak sampai di telinga orang-orang Jenggala
Manik!"
"Merobek mulutku itu hal
yang mudah, Ratu Teluh.
Tapi mencapai mulutku itu yang
sulit!" kakek tua itu menyeringai kempot. Tapi Ratu Teluh Bumi tidak
berminat untuk tersenyum sedikit pun. Ia menganggap ucapan Raja Nujum yang
terakhir itu sebagai tantangan yang tak patut ditolak. Karena itu, Ratu Teluh
Bumi cepat berkata,
"Raja Nujum, kalau kau
ingin mencoba jurus 'Teluh
Kelabang'-ku, terimalah
kirimanku ini! Hupp...!"
Tangan Ratu Teluh Bumi
menggenggam tiba-tiba di depan matanya. Lalu dengan ayunan yang jelas dan
tegas, ia sentakkan genggaman tangannya ke tanah. Wutt...! Begg...! Seperti ada
sesuatu yang dibuang ke bawah kakinya sendiri. Genggaman itu dilepaskan bersama
tangan yang menyentak ke bawah, lalu terasa ada guncangan kecil di tanah
sekelilingnya.
Tiba-tiba Raja Nujum pejamkan
mata. Tongkatnya digenggam dengan kedua tangan. Tangan itu diletakkan
di atas bola kristal.
Tiba-tiba bola kristal itu menyalakan warna
kuning berasap menggumpal-gumpal di dalamnya. Tubuh Raja Nujum tetap tegak
memejam mata.
Tiba-tiba badannya melengkung
ke belakang, sedikit membungkuk. Warna pijar kuning di bola kristalnya itu
padam seketika. Dan Raja Nujum muntah dengan suara keras,
"Hoooekk...!"
Sekumpulan kelabang hitam
kemerah-merahan keluar dari mulut Raja Nujum. Wajah orang itu jadi merah, bahkan
ia sampai jatuh terduduk dengan satu kaki masih sempat berpijak tanah. Mulutnya
menganga lebar sambil memuntahkan puluhan kelabang sebesar jari kelingking,
tapi agak panjang lagi. Kadang-kadang tubuh itu tersentak dengan mata
terbelalak. Binatang berbisa itu mulai mengerumuni tubuh Raja Nujum yang masih
tersentak-sentak memuntahkan puluhan binatang kelabang.
"Ha ha ha ha...!" Ratu
Teluh Bumi tertawa kegirangan. "Sebentar lagi
mulutmu tak akan bisa bicara lancang dan mengucapkan tantangan padaku, Raja
Nujum! Mungkin juga kita tak akan bertemu lagi! Selamat tinggal... aku akan ke
Kuil Swanalingga sendiri! Aku tahu di gunung ini letak kuil itu, dan akan
kubawa pulang Pedang Guntur Biru itu! Ha ha ha ha...!"
Wuttt...! Ratu Teluh Bumi
berkelebat pergi dengan cepat. Gerakannya lebih cepat lagi dari gerakan
menguntit tadi. Dalam sekejap ia telah hilang dari pandangan mata seorang
pengintai di atas pohon, yaitu si
Pendekar Mabuk.
Suto Sinting sendiri sempat
terkejut ketika Ratu Teluh Bumi menyebutkan nama pedang pusaka itu. Suto pernah
mendengar cerita tentang Pedang Guntur Biru yang hak warisnya ada di tangan
Siluman Tujuh Nyawa setelah orang sesat itu berusia tiga ratus tahun. Sekarang
usianya baru dua ratus lima belas tahun. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Cermin Pemburu Nyawa").
Tetapi, untuk sementara
Pendekar Mabuk perlu hindari
dulu pemikiran mengenai pedang pusaka tersebut, ia kasihan melihat
orang tua bertongkat bola kristal itu kelojotan dalam sekaratnya yang
dikerumuni oleh puluhan kalajengking atau kelabang berbisa itu. Wajahnya sudah merah matang, termakan sengat kelabang tersebut.
Wuttt...! Pendekar Mabuk
melesat cepat dari tempat persembunyiannya. Tiba di depan Raja Nujum, ia telah
meneguk tuaknya sebagian dan yang sebagian disimpan di mulut. Kemudian dengan
cepat ia semburkan tuak itu ke tubuh Raja Nujum. Brusss...!
Puluhan kelabang itu
berkelip-kelip bagai tersiram minyak, lalu memancarkan cahaya silau, dan kejap
berikutnya kelabang-kelabang itu lenyap tak berbekas sedikit pun. Juga yang
tadinya masih tersisa di tepian mulut Raja Nujum, menjadi hilang tak berbekas lagi.
Pendekar Mabuk segera
menuangkan tuak ke mulut Raja Nujum setelah orang itu ditelentangkan. Glek
glekglek...! Raja Nujum bagaikan dipaksa meminum
tuak dari bumbung yang selalu
digendong Pendekar
Mabuk di punggungnya.
"Kalau bukan orang
berilmu tinggi, dia sudah mati sejak muntahnya yang pertama tadi," kata
Suto di dalam hatinya. "Sekalipun begitu, seandainya aku terlambat
menyingkirkan kelabang-kelabang itu, orang ini tetap mati walau berilmu tinggi!
Karena tadi ia telah menyalakan bola kacanya itu menjadi kuning, menurut
dugaanku dia melakukan perlawanan ilmu teluh yang dilepaskan oleh perempuan
cantik dan judes tadi. Tapi agaknya Raja Nujum tak berhasil melawannya, dan
akhirnya kekuatan teluh itu masuk ke dalam raganya!"
Sebenarnya ilmu penyembuhan
yang dinamakan
'Sembur Husada' tadi, dapat
membuat seseorang lupa terhadap Pendekar Mabuk. Yang semula kenal, menjadi
tidak kenal dengan Suto. Kebetulan Raja Nujum memang belum kenal dengan Suto,
sehingga Suto tak punya pertimbangan apa-apa untuk
melakukan penyembuhkan 'Sembur Husada', kecuali pertimbangan rasa
kasihan pada diri Raja Nujum.
Maka ketika Raja Nujum
merasakan tubuhnya menjadi enteng, tak merasakan lagi panas menyiksa di dalam
tubuhnya, ia pun segera bangkit dan berdiri tegak dengan napas terhirup
panjang-panjang, ia bahkan merasa lebih sehat, lebih enak ketimbang sebelum
meneguk tuak Suto. Karena memang begitulah biasanya orang yang habis mendapat
penyembuhan dari Pendekar Mabuk. Tuak itu bagaikan obat penghilang segala macam
penyakit separah apa pun.
Mata tua itu segera menatap
Pendekar Mabuk yang berdiri di bawah pohon, tujuh langkah jaraknya dari
tempatnya berdiri. Raja Nujum masih pandangi Suto dengan perasaan heran dan
bertanya-tanya dalam hatinya,
"Siapa anak muda itu?!
Sepertinya aku pernah ditolongnya? Hmm... coba kulihat di bola kacaku
ini...!"
Melihat Raja Nujum sudah
sehat, Suto Sinting pun segera menghampiri orang itu dengan menenteng bumbung
tempat tuaknya. Sunggingan senyum tipis sebagai senyum keramahan terlihat jelas
di bibir Suto.
"Sudah benar-benar sehatkah tubuhmu, Raja
Nujum?"
"Tunggu sebentar, aku
ingin melihat apa yang terjadi pada diriku tadi. Sebab... sepertinya aku pernah
melihatmu sebelum ini...!"
Bola kristal itu menyalakan
lampu hijau bening, lalu terlihat sebuah adegan dua manusia saling berhadapan.
Di dalam bola itu tergambar kembali peristiwa yang dialami Raja Nujum, sejak ia
diserang oleh Ratu Teluh Bumi memakai ular kobra merah, sampai saat ia sekarat
memuntahkan puluhan kelabang hitam kemerahan. Dan di situ pula ia melihat Pendekar Mabuk menyembuhkannya dengan tuak.
Setelah itu, bola kristal itu
pun padam. Raja Nujum manggut-manggut pandangi Suto dengan mata tua yang
tajam tak berkedip. Suto sembunyikan perasaan kagumnya melihat semua
peristiwa tadi bisa dilihat kembali melalui bola kaca tersebut.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Anak Muda!" kata
Raja Nujum.
"Aku hanya menjalankan
tugasku sebagai manusia, yaitu saling menolong," jawab Pendekar Mabuk
dengan tetap menjaga hormat.
"Pandanglah aku sejenak,
biar kutahu siapa dirimu!" kata Raja Nujum tanpa ada kesan bermusuhan.
Suto menuruti menatap mata Raja Nujum beberapa kejap. Tapi tiba-tiba tubuh Raja
Nujum terpental mundur dan terhuyung-huyung hampir jatuh.
"Raja Nujum...?! Kenapa
kau?!" Pendekar Mabuk merasa heran melihat gerakan itu. Ia cemas dan ingin
menolong, tapi Raja Nujum kembali berdiri tegak. Pendekar Mabuk menghentikan
langkah tak jadi meraih tangan Raja Nujum.
"Kau masih belum sehat
rupanya," kata Suto. "Tidak. Aku sudah sehat."
"Lalu kenapa kau
terhuyung-huyung tadi?"
"Aku mencoba menembus
kehidupanmu lewat mata, tapi aku tak kuat. Kau pasti punya keistimewaan,
sehingga matamu sukar kutembus!"
"Keistimewaan... apa?!
Aku biasa-biasa saja!" Suto merendah.
"Biasanya dengan menembus
kehidupan melalui mata seseorang, aku bisa mengerti siapa namanya, berapa
usianya, dari mana asalnya, apa kepandaiannya, siapa gurunya, bagaimana kisah
cintanya,dan lain sebagainya. Tapi kali ini aku gagal menembus kehidupan dari
matamu! Bahkan kekuatan itu memantul balik, hampir
melemparkan tubuhku. Itu tandanya kau punya keistimewaan! Coba kulihat garis
tanganmu, Anak Muda! Percayalah, aku tak bermaksud jahat padamu! Hanya sekadar
ingin mengenalmu saja!"
Suto segera menyodorkan telapak
tangan kanannya. Raja Nujum segera memperhatikan garis tangan Suto. Tapi
mendadak Raja Nujum tersentak kaget. Matanya terbelalak melihat tato pisau
kecil bergagang bintang di ujungnya. Kagetnya itu telah membuat Raja Nujum
cepat melayangkan pandang ke dahi Pendekar Mabuk, dan kini ia menjadi pucat
pias wajahnya. Bibir tuanya gemetaran saat ingin ucapkan sesuatu.
"Ada apa...?!"
Pendekar Mabuk bertanya dengan heran.
"Baru kusadari di dahimu
ada titik merah," kata Raja
Nujum dengan sikap masih
terbengong. "Ada apa dengan titik merah ini?" "Kau manusia gaib,
Anak Muda!"
Pendekar Mabuk tertawa
dikatakan manusia gaib. "Aku manusia biasa! Aku masih doyan nasi, jagung,
tuak, ubi, dan semua yang dimakan dan diminum manusia. Jadi aku bukan manusia
gaib."
"Tak mungkin! Kau pasti
bisa masuk ke alam gaib!" "Ya. Kalau soal itu memang benar."
"Dan kau punya jabatan
tinggi di sebuah negeri di
alam gaib!"
"Mungkin saja begitu!
Tapi apakah dengan begitu aku tak boleh berkenalan denganmu, Raja Nujum?"
"Kau sudah
mengenalku, tapi aku belum
mengenalmu!"
Senyum Pendekar Mabuk mekar
dengan ramah. "Aku Pendekar Mabuk," jawab Suto, lalu cepat mengangkat
bumbung tuaknya, dan ia meneguk tuak tak begitu banyak.
"Siapa namamu?"
"Suto! Guruku memanggilku
Suto Sinting!"
"Suto Sinting?! Aku
sepertinya pernah mendengar nama itu!"
"Mungkin Suto lain, bukan
Suto aku, Raja Nujum!" "Entahlah. Mungkin benar katamu itu. Karena,
biasanya aku tak pernah
bertanya tentang nama kepada
orang yang baru kukenal.
Dengan menembus kehidupan lewat matanya, aku sudah bisa tahu namanya. Tapi...
noda merah kecil itu rupanya yang menghalangi kekuatanku hingga tak
bisa masuk ke
alam kehidupanmu!"
"Mungkin lain kali kau
lebih banyak tahu tentang diriku. Sekarang aku ganti ingin tanyakan sesuatu
padamu, Raja Nujum."
"Tentang apa?"
"Tentang Pedang Guntur
Biru!"
"Apa kau menginginkan
pedang pusaka itu pula?" "Tidak. Tapi aku tahu siapa orang yang
berhak
memegang pusaka tersebut! Dan
aku heran, mengapa
Ratu Teluh Bumi itu sangat
menghendaki pedang tersebut, padahal aku tahu dia bukan pewaris pusaka Pedang
Guntur Biru, Raja Nujum!"
Makin menyipit mata Raja Nujum
pandangi wajah
Pendekar Mabuk. Lalu setelah
diam beberapa saat, Raja
Nujum berucap kata,
"Menurutmu, siapa pewaris
pedang pusaka itu, Nak?" "Yang berhak adalah orang sesat yang bernama
Durmala Sanca, punya julukan
Siluman Tujuh Nyawa!" "Hah...?!" Raja Nujum
tersentak kaget
mendengarnya. Matanya melebar,
menatap Suto tak
berkedip. "Dari mana kau
tahu nama itu?"
"Aku sedang memburu dia untuk kupenggal kepalanya!"
"Oh...?" Makin kaget
lagi Raja Nujum. "Kau mau memenggal kepala Durmala Sanca?! Kau tahu,
berapa usianya?"
"Dua ratus lima belas
tahun!"
'Edan!" Raja Nujum makin
tegang. "Kau tahu siapa Begawan Sangga Mega yang kuilnya ada di puncak
gunung ini?"
"Begawan Sangga Mega
adalah pamannya Durmala
Sanca!"
"Gila!" gumam Raja
Nujum bernada heran dan kagum.
"Tapi Durmala Sanca tidak
akan bisa memegang pusaka Pedang Guntur Biru, karena usianya belum mencapai
tiga ratus tahun!"
"Benar. Tapi apakah kau
tahu, mengapa harus menunggu tiga ratus tahun, sehingga Durmala Sanca boleh
memegang pusaka itu?"
"Karena dia dikutuk oleh
kakeknya menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun!"
"Luar biasa kau
ini?!" tambah heran lagi Raja Nujum kepada Suto. Sambungnya, "Kau
tahu, apa sebab dia dikutuk selama itu?"
"Karena dia pernah mau
memperkosa neneknya!" "Benar-benar edan kau ini! Apakah kau juga tahu
siapa kakek dan neneknya
Durmala Sanca?!" "Eyang Purbapati dan Nini Galih!"
Jawaban itu membuat Raja Nujum
terkesiap dan pucat wajahnya. "Hati-hati kau menyebut nama itu, Suto.
Mereka orang sakti yang dihormati oleh kalangan tokoh tua di rimba persilatan!
Jangan sampai kau sebutkan kedua nama itu dan didengar oleh muridnya. Bisa
berbahaya bagi keselamatan nyawamu, Suto!"
"Maksudmu, murid dari
Eyang Purbapati dan Nini
Galih?"
"Iya. Apakah kau kenal
dengan murid mereka?" "Maksudmu, si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang?!" "Hahh...?! Kau tahu juga?!" Raja Nujum kian nyata
terperangah, antara heran,
kagum, dan takut.
"Jujur saja katakan
padaku, Raja Nujum, mengapa kau sejak tadi memancingku dengan pertanyaan
begitu? Siapa kau sebenarnya?"
Raja Nujum diam sebentar, ia
punya pertimbangan lain. Lalu, ia segera ucapkan kata,
"Akan kujelaskan siapa
diriku jika kau bisa sebutkan
siapa guru dari Purbapati dan
Nini Galih itu! Guru mereka siapa?!"
Suto Sinting diam beberapa
kejap. Agak ragu untuk menyebutkannya.
Setelah beberapa
saat ditunggu
jawabannya oleh Raja Nujum,
akhirnya Pendekar
Mabuk pun ucapkan kata,
"Mungkin yang kau maksud adalah... Eyang
Wijayasuro?!"
Blegarrr...! Terdengar suara
petir di siang hari bolong. Langit terang tiba-tiba berubah menjadi redup,
kemudian mendung hitam datang bersama badai di langit sana. Mendung hitam
bergulung-gulung membuat bumi makin temaram, karena matahari tak mampu tembus
kepekatan hitamnya. Angin di bumi pun bertiup cukup kencang. Jubah hijau yang
dipakai Raja Nujum berkelebat bagai mau terbang.
Raja Nujum sendiri terpaku di
tempat dengan mata lebar tak berkedip. Suto menjadi cemas, mengapa alam
tiba-tiba bagaikan murka. Untung hanya sejenak, dan kejap berikutnya langit
kembali cerah, angin reda, dan mendung hilang begitu cepatnya.
"Sudah kusebutkan nama
Eyang Guru itu, sekarang sebutkan siapa dirimu, Raja Nujum?!"
"Aku putra bungsu dari
ketujuh putra Purbapati dan Nini Galih!" jawab Raja Nujum dengan pelan.
Pendekar Mabuk ganti tercengang kaget.
*
* *
6
KEMUDIAN Raja Nujum membeberkan
silsilahnya.
Bahwa ayahnya, yaitu Purbapati
dan ibunya Nini Galih mempunyai
tujuh anak. Yang
pertama bernama
Durmagati, yaitu ayah dari Durmala Sanca. Yang kedua Begawan Sangga Mega, yang
ketiga, keempat, dan kelima serta keenam, meninggal dalam usia muda. Jadi,
Purbapati dan Nini Galih mempunyai tiga anak yang masih hidup.
Ketiga putra Purbapati ini,
ternyata tak ada yang sanggup menerima ilmu-ilmu dari sang Ayah atau sang Ibu.
Hanya sebagian kecil saja yang sanggup mereka terima ilmu tersebut. Bahkan
Durmagati dan Raja Nujum pernah hampir mati gara-gara menempuh salah satu ilmu
yang sekarang dimiliki Suto Sinting, yaitu ilmu 'Seberang Raga', yang bisa
merubah pohon atau batu menjadi wujud dirinya.
Karena ketiga putranya tidak
ada yang sanggup menerima ilmu-ilmunya, maka Purbapati mengangkat murid yang
bernama Sabawana. Murid inilah yang ternyata mampu mewarisi seluruh ilmu
Purbapati. Murid inilah yang kemudian dikenal dengan nama si Gila Tuak.
Sedangkan untuk pusaka Pedang Guntur Biru, tidak bisa diserahkan kepada
Sabawana karena dia bukan darah keturunan Purbapati. Orang yang berhak menerima
pusaka tersebut adalah anak pertama. Setiap anak pertama dari pemegang pusaka
itu adalah ahli waris tunggal. Karenanya, Durmagati-lah orang yang menjadi ahli
waris Pedang Guntur Biru.
Durmagati mempunyai anak
kembar, Durmala Sanca dan Wicara Sanca. Takut dianggap bukan anak pertama,
maka Durmala Sanca membunuh
Wicara Sanca pada usia lima belas tahun. Sejak itu sikap dan tindak-tanduk
Durmala Sanca memalukan keluarga, menurunkan martabat darah keturunan
Purbapati.
Terlebih setelah Durmala Sanca
berusia tujuh belas tahun, ia mencoba memperkosa neneknya, yaitu Nini Galih
yang punya ilmu awet muda dan kecantikan abadi. Sekalipun niat perkosaan itu
dapat digagalkan oleh sang kakek, tapi sang kakek murka kepada cucunya, lalu
dikutuk untuk menjadi manusia sesat selama tiga ratus tahun.
Durmala Sanca diusir dan
dicoret dari daftar keluarga sampai berusia tiga ratus tahun baru akan diakui
sebagai darah keturunan Purbapati. Sebelum Durmala Sanca diusir, ia berhasil membunuh ibunya, kemudian menyusul membunuh
ayahnya sendiri.
Pedang Guntur Biru segera
diambil oleh Begawan Sangga Mega untuk diselamatkan dari tangan Durmala Sanca,
karena amanat itu turun dari sang kakek sendiri. Sejak itu,
pusaka Pedang Guntur Biru berubah ketentuannya, bukan hanya anak
pertama yang boleh menyimpan dan menggunakan pedang itu, melainkan anak kedua
pun diizinkan. Tapi hanya sampai batas anak kedua, selebihnya sudah tak boleh
dipegang oleh anak berikutnya, karena bisa mengurangi kekuatan gaib yang ada
pada Pedang Guntur Biru itu.
Durmala Sanca akhirnya pergi
berguru ke dataran Tibet, sedangkan pedang di tangan Begawan Sangga Mega tetap
disimpan untuk diberikan kepada keturunan
berikutnya. Jika Durmala Sanca mati
sebelum memegang pusaka tersebut, maka pedang berhak diterima oleh anak Durmala
Sanca. Sebenarnya anak dari Begawan Sangga Mega pun boleh dan berhak menerima
pedang tersebut, tapi Begawan Sangga Mega tidak memiliki satu anak pun. Ia
tidak punya keturunan, sehingga anak dari kakaknya itulah yang berhak
menerimanya.
Padahal Durmala Sanca
mempunyai dua anak, yaitu Dadung Amuk dan Singo Bodong. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Istana Berdarah"). Sedangkan Dadung Amuk sudah
mati digantung oleh bapaknya sendiri, yaitu Durmala Sanca. Sekarang tinggal
Singo Bodong yang masih hidup di Pulau Beliung. Tapi Singo Bodong orang lugu,
polos, dan tidak punya kesaktian apa-apa, bahkan tidak tahu siapa bapaknya,
tidak tahu bahwa ia adalah pewaris pedang pusaka yang jadi incaran para tokoh
tua itu.
Sejauh itu, Raja Nujum belum
tahu bahwa Suto adalah murid tunggal si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Raja
Nujum mencari Durmala Sanca untuk memenggal kepalanya, dan dalam kaitannya
dengan peristiwa perebutan Pedang Guntur Biru itu Pendekar Mabuk hanya ingin
selamatkan pedang itu dari tangan si angkara murka. Niatnya itu seirama dengan
tujuan kedatangan Raja Nujum ke Gunung Pakayon itu. Karenanya, Raja Nujum cepat
membawa Pendekar Mabuk ke Kuil Swanalingga.
Namun langkah mereka terhenti
karena kemunculan
suara tembang yang mengayun
mendayu-dayu enak didengar. Dari mana arahnya tak jelas dilacak, tapi suara itu
begitu nyata terdengar.
Hidup semakin bersimbah darah,
jika pertanda itu tiba.
Manakala rembulan bergaris
tegas, terbukalah alam kesucian.
Menembus hati setiap manusia,
untuk merengkuh sebuah pusaka.
Tapi apalah artinya pusaka,
bagi diri orang yang cepat mati.
Apalah artinya mati, bagi diri
orang yang bosan
hidup.
Dan apalah artinya hidup, bagi
diri orang yang tak punya sanak keluarga.....
Tiba-tiba dada Suto Sinting
merasa pedih, teringat
akan masa lalunya. Keluarganya
yang dibantai habis oleh Kombang Hitam, ia berlari-lari dalam kejaran, padahal
waktu itu ia masih berusia delapan tahun. Ia hidup sebatang kara karena
kekejian seorang pemburu dendam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Bocah Tanpa Pusar).
Suto menundukkan kepala dan
meremas kedua tangannya untuk melawan tangis. Sementara, Raja Nujum terkulai
berlutut dan mulai terisak. Badannya sampai terguncang-guncang karena ingat
masa mudanya, ingat saudara-saudaranya yang telah mendahuluinya, ingat bahwa
kini hidupnya sebatang kara, tanpa keluarga, tanpa istri, tanpa anak, dan tanpa
hari kepastian
untuk mati.
Woosss....! Napas Suto mulai
berubah menjadi napas badai. Setiap hatinya dirundung duka yang dalam atau
kemarahan yang mendendam, tiap hembusan napasnya berubah menjadi badai. Itu
karena Pendekar Mabuk telah menelan pusaka Tuak
Setan yang mestinya dimusnahkan. Apabila saat itu Suto melepaskan napasnya lewat mulut dengan
sentakan keras, maka badai dahsyat akan terjadi di gunung itu.
Tapi Pendekar Mabuk masih
sadar akan bahaya napasnya sendiri. Itulah sebabnya ia tundukkan kepala, hingga
tiap napas yang keluar hanya membentur tanah. Lama kelamaan tanah itu menjadi
cekung akibat terkena hembusan napas Pendekar Mabuk.
"Pasti ada orang yang
menggunakan ilmu tingginya melalui tembang itu! Ia menyerangku dan menyerang
Raja Nujum langsung ke kalbu!" pikir Suto dengan mata terpejam kuat karena
ia ingin menahan diri untuk tidak menangis, menyesal, sedih, dan murka. Tetapi,
orang itu tetap mengalunkan tembangnya semakin mendayu-dayu,
Bila nyawa keluarga jadi
hinaan, siapa lagi yang akan datang sebagai pembela.
Bila hormat keluarga jadi
cercaan, siapa lagi yang akan datang menjadi pemuji.
Biar hati tahankan pilu, tapi
dendam tetap bertalu.
Sekali lepas ilmu sejati,
hancur sudah dendam kesumat di hati.
Terasa rendah jiwa dan diri
ini, bila tak mampu lampiaskan dendam pribadi....
Keringat Suto tetap
bercucuran, ia tetap bertahan untuk tidak melepaskan amarah karena ingat dendam
masa lalunya.
Kemudian, Pendekar Mabuk mencoba untuk memainkan Jurus 'Siulan
Peri' pemberian dari Bidadari Jalang. Tetapi Pendekar Mabuk memilih tempat yang
aman untuk pantulan siulannya itu. Sebuah gugusan batu di sampingnya menjadi
tempat yang tepat untuk memantulkan siulannya.
"Suiiiiittt...!
Suiiittt...!"
Wuurrr...! Batu itu berguncang
nyaris terbang, karena napas yang keluar dari siulan bertenaga badai. Tetapi
suara siulan itu sendiri membuat semua hewan hutan berlarian dengan panik.
Gendang telinga manusia bisa menjadi pecah jika tak kuat menahannya.
Raja Nujum cepat menutup
telinganya dengan kedua tangan, hingga tongkatnya dilepas begitu saja. Tapi
orang tua itu masih menangis seperti anak kecil. Terisak- isak sambil
menyeringai menahan rasa sakit mendengar siulan bertenaga dalam cukup tinggi
itu.
"Suuuiiittt...!
Suuuiiittt...!"
Batu yang dipakai perisai
hembusan napas itu mulai retak setelah bagian tertentu yang sering terkena
napas siulan itu cekung dengan sendirinya. Guncangan batu semakin keras,
sesekali tampak mau terbang karena hembusan. Padahal batu itu besar dan
tingginya dua kali lipat dengan ukuran tubuh Suto.
"Hentikan siulan
ituuu...!" sentak seseorang yang tiba-tiba melesat bagaikan terbang turun
dari atas pohon.
Jleggg...! Wajahnya memerah
bagai habis menahan sesuatu
yang amat menyakitkan. Matanya nanar berwarna merah semburat.
Napasnya terengah-engah dengan lelehan kecil darah segar dari kedua telinganya.
Rupanya dialah yang
melantunkan tembang bertenaga
dalam mengarah ke kalbu tiap lawannya. Orang itu berpakaian putih dengan
rangkap jubah tanpa lengan warna abu-abu. Rambutnya putih diikat kain biru
muda, ia juga membawa tongkat berkepala burung hantu.
Raja Nujum menghentikan
tangisnya. Tiba-tiba saja rasa sedih itu hilang lenyap dan menjadi suatu
keheranan, mengapa ia menangis? Kini yang ia rasakan suara berdengung di dalam
telinganya akibat siulan Suto tadi. Tapi ia masih bisa menahan tak sampai
berdarah lubang telinganya itu. Mungkin pula sebagian kekuatan tenaga dalam
dari siulan diredamnya dengan hawa murni yang ada di dalam dirinya.
Begitu melihat orang yang tadi
melantunkan tembang berkekuatan tenaga dalam cukup tinggi untuk menembus kalbu,
Raja Nujum segera bangkit dan menggeramkan suara kejengkelannya,
"Hemm... rupanya kau, si
Bandot Tembang!"
"Dari mana kau tahu
namaku?" Bandot Tembang yang berbadan kurus itu merasa heran. Tapi oleh
Raja Nujum pertanyaan itu tak dihiraukannya. Raja Nujum hanya ucapkan kata,
"Tak perlu kau tahu dari
mana bisa kusebutkan namamu, yang jelas cepatlah pergi dan jangan ganggu
langkah kami! Kami tidak
mengganggu langkahmu, Bandot Tembang."
"Sebelum kuputuskan untuk
pergi atau tetap
menghalangi langkah kalian
berdua, sebutkan dulu ke mana arah kalian pergi dan bertujuan untuk apa?"
Suto Sinting tidak menjawab,
ia bahkan menenggak tuak seenaknya saja, tanpa merasa sungkan dan gentar.
Bandot Tembang merasa tak suka melihat Suto itu. Ia segera sentakkan tangan
kanannya ke salah satu pohon, pukulan itu mengeluarkan cahaya putih yang cepat
berkelebat menghantam pohon dan memantul ke arah bumbung tuak yang sedang
diangkat ke atas. Trakk...! Zingngng...! Sinar putih perak itu setelah
membentur bumbung tuak segera memantul balik, melesat ke pohon semula dan
kembali ke arah Bandot Tembang.
Trak...! Blarrr...! Sinar itu
dipukul sendiri oleh Bandot Tembang memakai tongkatnya. Orang tua itu tersentak
mundur dua tindak akibat gelombang ledakan tongkat dengan sinar tadi.
"Sinting bocah inil"
geramnya bernada gumam. "Pukulanku bisa dikembalikan lebih cepat dan lebih
besar?!"
"Bandot Tembang,"
kata Raja Nujum, "Kita tidak punya persoalan apa-apa, jadi tak perlu kita
berselisih!"
"Kubilang tadi, sebutkan
dulu ke mana arah kalian
dan perlu apa kalian menuju
arah itu?!"
"Apa kau penguasa gunung
ini?!" tanya Raja Nujum menyindir.
Bandot Tembang menjawab,
"Sejak Begawan Sangga
Mega mati, akulah calon
pengganti penguasa gunung ini! Setiap orang yang lewat harus meminta izin
dariku!"
"Jika tidak,
bagaimana?!"
"Kucabut napasnya! Tak
kuizinkan lagi ia bernapas!" "Haram jadah! Apakah kau punya hak atas
hidup dan
matinya seseorang?!"
geram Raja Nujum.
Kini Pendekar Mabuk mulai
angkat bicara dengan sikap kalemnya, "Ki Bandot Tembang, kami ingin menuju
ke Kuil Swanalingga untuk melihat apa yang terjadi di sana."
"Yang jelas, di sana ada
perebutan pedang pusaka peninggalan Begawan Sangga Mega! Jika kau mau ikut
rebutan pedang itu, berarti kau harus kalahkan aku lebih dulu!" kata
Bandot Tembang.
"Berarti kau sendiri akan
ke arah sana, bukan?!" sahut
Raja Nujum.
"Ya! Dan sudah kuduga
kalian pasti akan ikut dalam rebutan Pedang Guntur Biru itu! Untuk memperingan
beban, kalian kumusnahkan dulu di sini, jadi di sana tidak banyak bikin masalah
lagi!"
"Minggirlah, Suto, biar
kuhadapi dia!" bisik Raja Nujum. Maka, Suto pun mengalah, dan ia bergeser
ke samping, berdiri di
bawah pohon dengan tubuh bersandar seenaknya. Santai.
"Sebutkan namamu, karena
kita akan tentukan siapa yang mati lebih dulu!"
"Raja Nujum,
namaku!"
"Baik! Terimalah awal
kematianmu, Raja Nujum! Hiaah...!"
Bandot Tembang sentakkan
tongkatnya ke arah samping. Dari tongkat itu keluar sinar berbentuk mata anak
panah warnanya merah. Melesat menghantam pohon seolah-olah tiap pohon dijadikan
tempat pantulan. Mata Raja Nujum terpaksa mengikuti gerakan itu agar tubuhnya
tidak terhantam dari belakang.
Tak tak tak...! Gerakan sinar
itu begitu cepat dan membingungkan.
Kadang menukik, kadang
naik. Gerakan pantulannya membentuk sudut tak tentu. Dan akhirnya mengarah
kepada Raja Nujum dari samping kiri. Raja Nujum cepat membalikkan badan ke kiri
sambil kibaskan kepala tongkatnya, wuttt...!
Darrr...! Mata anak panah yang
merah berbentuk sinar itu pecah akibat hantaman bola kristal. Tetapi segera
dapat dilihat di dalam bola kristal itu sinar merah tersebut masih bergerak ke
sana-sini tempat berpantul dan sasarannya. Sampai akhirnya sinar kuning menyala
dan bagai menelan sinar merah kecil itu. Zrubb...! Sinar kuning padam, sinar
merah pun lenyap. Bola kristal kembali bening.
"Ha ha ha ha...!"
Bandot Tembang justru tertawa melihatnya, ia manggut-manggut lalu berkata,
"Itu baru jemputan nyawa pertama. Kurasa untukmu cukup dua kali jemputan
saja, Raja Nujum! Hiaah...!"
Wuttt...! Melesat sinar biru
yang seperti mata anak panah lagi. Gerakannya cepat memantul ke sana-sini. Dan,
wuttt...! Keluar lagi sinar biru dari kepala tongkat Bandot Tembang, memantul
lewat pohon lain. Dan, wwwuut...! Lagi-lagi sinar biru keluar dari kepala
tongkat dan bergerak cepat
memantul ke sana-sini.
Tiga sinar biru berkeliaran
bagai saling kejar ke sana- sini, membingungkan Raja Nujum, ia sangka sinar
pertama akan menyerangnya, ternyata justru memantul pada gugusan batu dan
menjauh lagi. Sinar kedua akan mendekat, ternyata memantul lagi karena
berbenturan dengan sinar biru yang sama dan tidak timbulkan ledakan.
Pendekar Mabuk membatin,
"Hebat juga jurus ilmu seperti ini. Membingungkan orang yang diserang!
Kasihan Raja Nujum, dia berputar-putar menunggu kesempatan diserang dan tak mau
lengah karena serangan itu. Tapi, rasa-rasanya gerakan sinar biru itu semakin
cepat semua! Bisa mati Raja Nujum terkena salah satu dari ketiga sinar biru
itu!"
Maka, Pendekar Mabuk segera
membuka tutup bumbung tuaknya. Bumbung tuak itu dihadapkan ke arah sinar-sinar
yang saling bersimpang-siur itu. Lalu, dengan satu sentakan kaki ke bumi,
sinar-sinar itu tiba- tiba bergerak cepat ke arah mulut bumbung, dan masuk ketiganya
ke sana dengan menimbulkan suara ngejos yang cukup keras.
Jrosss...! Asap mengepul dari
mulut bumbung tuak. Tapi Pendekar Mabuk segera menutup bumbung tuak itu dan
menentengnya kembali dengan santai. Bumbung itu telah berhasil menyedot ketiga
sinar tersebut sehingga tak satu pun mengenai Raja Nujum.
Bandot Tembang mendelik
melihat ketiga sinar tenaga dalamnya tersedot masuk ke dalam bumbung itu.
Ia tak berkedip menatap Suto
karena merasa baru kali ini ada orang yang melumpuhkan jurus 'Tiga Surya
Bernyawa' itu. Biasanya salah satu dari sinar biru itu akan mengenai lawan
setelah lawan berulang kali dibuat kecele oleh sinar-sinar lainnya.
"Bahaya juga anak muda
itu?!" pikir Bandot Tembang.
"Gurunya kebingungan, dia yang tenang- tenang bisa menyedot ketiga sinarku
itu?! Kurang ajar dia...!"
Bandot Tembang dipandangi oleh
dua orang, ia tak mau dianggap kalah, ia tak mau dilecehkan dengan cara mereka.
Maka, ia pun segera mengalunkan tembang yang mempunyai kekuatan tenaga dalam
lebih tinggi dari yang pertama tadi,
Hening hati ditelan mati,
rembulan lepaskan....
Belum habis sudah terpotong
suara siulan Pendekar
Mabuk,
"Suuuittt...!"
Cepat-cepat Bandot Tembang
menutup telinganya, demikian pula Raja Nujum. Kemudian, suara tembang yang
hilang itu berubah menjadi geram kemarahan yang belum bisa terlampiaskan. Maka,
ia pun segera sentakkan kaki dan melesat pergi
setelah ucapkan kata,
"Kutunggu kalian di Kuil Swanalingga! Kita bertarung di sana!"
Wusss...! Bandot Tembang pergi
dengan cepat. Pendekar Mabuk pandangi Raja Nujum yang masih menutup telinganya
dengan mata terpejam kuat-kuat. Tapi menjadi terkejut ketika Suto menepak
lengannya.
Plakkk...!
Matanya jadi terbelalak lebar
ketika Suto berkata, "Dia telah kabur!"
"Hah...? Ke mana
kaburnya? Kapan?"
"Tadi, saat kau pejamkan
mata kuat-kuat!" jawab Pendekar Mabuk. Kemudian tawa Pendekar Mabuk pun
terdengar.
"Dia menantang kita di
kuil sana, Raja Nujum! Haruskah dilayani?!"
Raja Nujum hanya mengangkat
kedua pundaknya,
lalu melangkah.
*
* *
7
HALAMAN Kuil Swanalingga berlapis salju tanahnya. Di luar halaman
itu tanah mulai berlapis darah. Barong Geni terkapar tanpa nyawa, juga tanpa
jantung. Intan Selaksa tak berani memandangi jenazah saudara seperguruannya.
Intan Selaksa sama sekali tak
menyangka bahwa orang yang selama ini dihormati seperti menghormati gurunya
sendiri, ternyata berhati keji. Mulanya Intan Selaksa menyangka, kedatangan
Sambar Jantung untuk membela mempertahankan kuil tersebut dari jamahan
tangan-tangan rakus. Tetapi ternyata Sambar Jantung sendiri yang bertangan
rakus. Hal itu diketahui oleh Intan Selaksa lewat ucapan si tua berkepala
sedikit botak
bagian depannya, pada saat ia
berhadapan dengan
Barong Geni. Waktu itu Barong
Geni mengatakan,
"Saya murid
Begawan Sangga Mega,
Eyang! Sekalipun saya sudah lama tinggalkan kuil ini, tapi saya masih
berhak memiliki Pedang Guntur Biru itu!"
Sambar Jantung menyanggah,
"Tidak bisa! Seorang murid murtad tidak layak memiliki pusaka seampuh
Pedang Guntur Biru! Bahkan siapa pun tidak layak memilikinya kecuali aku!"
"Rakus juga Eyang ini
sebenarnya?!"
"Peduli apa katamu,
pedang itu harus kudapatkan! Minggir kau Barong Geni, jika tidak kau akan
celaka seperti Gincu Mayat itu!"
"Jika memang Eyang
sanggup, singkirkanlah saya bersama nyawa saya!" kata Barong Geni sengaja
paksakan diri ucapkan kata begitu. Intan Selaksa sendiri yang mendengar menjadi
merinding penuh perasaan ngeri. Barong Geni dinilai terlalu ceroboh bicaranya.
Apa yang diperkirakan Intan
Selaksa memang benar. Barong Geni tak bisa menyentuh Eyang Sambar Jantung,
karena orang itu selalu menggunakan jurus 'Angin Merapat'. Tak perlu sambangi
lawan, dari tempatnya berdiri saja ia sudah bisa menghajar habis tubuh
lawannya. Sampai akhirnya Barong Geni dirobek dadanya dan dirogoh jantungnya dengan amat mengerikan.
Darah di tangan Eyang Sambar
Jantung belum kering. Jantung milik Barong Geni belum dibuang, tiba-tiba
sudah datang serangan yang amat mengejutkan.
Serangan itu bukan saja
mengejutkan hati Sambar
Jantung, namun juga
mengejutkan hati Intan Selaksa.
Eyang Sambar Jantung tiba-tiba
saja terjungkal ke depan. Jantung yang dipegangnya terlepas entah ke mana.
Tubuh tua itu bagai mainan anak-anak yang bisa mudah dijungkir-balikkan di atas
tanah. Kepalanya sempat membentur bongkahan batu sebesar kelapa. Takkk...!
Sambar Jantung meringis kesakitan. Untung tak sampai keluarkan darah dari
kepala itu.
Intan Selaksa merasa heran
melihat Sambar Jantung terpental ke sana-sini dan berjungkir balik tak karuan.
Dari bawah sebuah pohon yang setengahnya digunakan untuk berlindung
sewaktu-waktu itu, Intan Selaksa menyangka Sambar Jantung kumat penyakit
ayannya. Tapi setelah Sambar Jantung berhasil berdiri lagi dan cepat pejamkan
mata, maka Intan Selaksa tahu bahwa ada seseorang yang telah menyerang dari
jarak jauh. Di mana orang itu, Intan Selaksa belum sempat temukan. Karena
perhatiannya lebih tertarik ke arah Sambar Jantung.
Orang itu bergetar tubuhnya,
seperti sedang menahan sesuatu. Tangannya yang berdarah itu bergerak pelan- pelan
merentang ke depan. Lalu dengan sentakan keras, Sambar Jantung kibaskan kedua
tangannya ke atas seperti orang memercikkan air di dalam kolam. Wusss...!
Kejap berikutnya, dari balik
semak-semak berjarak sepuluh langkah lebih itu meluncurlah sesosok tubuh
berjubah ungu, melayang terbang tanpa kendali, ia terlempar tinggi. Pada saat
itu kedua tangan Sambar
Jantung bergerak menarik diri,
dan tubuh yang melayang itu tertarik dengan cepat, kemudian jatuh tak berapa
jauh dari dinding pagar halaman kuil. Hampir saja tubuh itu membentur dinding
tersebut jika kakinya tidak segera menghadang dan menyentak ke dinding pagar.
Brukk...!
Jatuh juga orang itu, namun ia
cepat berdiri dengan sikap tegak dan menantang. Orang itu dikenal Intan Selaksa
sebagai perempuan yang dibencinya, namun Intan Selaksa kalah melawannya. Siapa
lagi kalau bukan Dewi Kelambu Darah?
"Setan betina! Kau ikut
campur juga dalam urusan ini, hah?!" hardik Sambar Jantung.
Dewi Kelambu Darah sunggingkan
senyum sinis, lalu ucapkan kata,
"Siapa pun tokoh tua di
rimba persilatan pasti akan ikut campur, Tua jompo! Siapa orangnya yang tidak
tertarik dengan pedang pusaka yang bisa mengirimkan serangannya dari jarak
cukup jauh? Siapa orangnya yang tidak tertarik dengan pedang yang bisa bikin kebal
tubuh pemegangnya? Kurasa semua tokoh akan hadir di sini untuk memperebutkan
Pedang Guntur Biru."
"Ya, memang! Tapi mereka
akan kecele, sebab aku sudah lebih dulu membawanya lari! He he he he...!"
"Apa yang akan kau bawa
lari itu, Sambar Jantung? Pedang atau tahi kucing?! Hmm...!" Dewi Kelambu
Darah mencibir. "Membawa lari Pedang Guntur Biru tidak semudah membawa
lari tahi kucing, Tua jompo!"
Sambar Jantung malahan tertawa
geli dan berkata, "Kalau
yang kubawa tahi kucing,
jelas akan
kulemparkan ke wajahmu, Dewi
Kelambu Darah! Untuk apa kubawa lari?! Kau ini ada-ada saja!"
"Karena kau terlalu menganggap enteng bisa
membawa lari pedang pusaka
itu! Apakah kau tak perhitungkan bahwa kau harus kalahkan aku lebih dulu dan
itu hal yang paling sulit, bahkan teramat sulit ketimbang kau jungkir-balikkan
gunung ini?!"
Sambar Jantung mencibir sambil
kekehkan tawa tua, lalu berkata,
"Ilmu setinggi pohon
tomat saja disombongkan?! Hmm...! Apa yang bisa kau perbuat dengan ilmu
sedangkal itu, Kelambu Darah? Hanya buat main-main saja, memang bagus dan
menarik! Tapi untuk mengalahkan ilmu yang kumiliki,
oooh... masih sangat jauh, Nak! Jauh sekali! Saking jauhnya tidak akan terlihat
sedikit pun!"
Panas hati Dewi Kelambu Darah
mendengar hinaan seperti itu. Matanya yang sedikit lebar tapi berbentuk indah
itu menatap tajam pada Sambar Jantung. Bulu matanya lentik, bening bagian bola
matanya, tepiannya berwarna sedikit hitam tampak galak, sangat indah dan serasi
dengan bentuk hidungnya yang bangir. Tapi mata indah itu adalah mata maut.
Sangat berbahaya bagi lawan.
Buktinya hanya dengan menatap
tajam-tajam saja, tubuh Sambar Jantung tersentak ke belakang secara tiba- tiba.
Hampir saja terlempar sangat jauh kalau Sambar Jantung tidak cepat-cepat
menahan diri dengan cara menahan
napas, merendahkan kuda-kudanya,
menggerakkan tangannya dengan
keras dan kaku, lalu menyentakkan tangan itu ke depan. Kini tubuh Dewi Kelambu
Darah yang terpelanting jatuh. Brukkk...!
Sambar Jantung terkekeh dengan
tawa tuanya, maju beberapa tindak dalam langkah kemenangan atas adu kekuatan
yang baru saja terjadi itu. Bahkan ia serukan kata yang memanaskan telinga,
"Belajar lagi, Nak! Biar
kamu jadi anak yang pintar dan sakti, serta bisa kalahkan Eyang! Kalau perlu,
makan kotoran kambing biar bisa mengembik, makan kotoran anjing biar bisa
melolong, dan... kalau mau sakti seperti aku ya makan saja...."
Fuih...! Dewi Kelambu Darah
sentakkan napas melalui hidungnya dalam jarak tujuh langkah. Tiba-tiba Sambar
Jantung terbungkuk ke depan sambil memegangi dadanya. Wajah menjadi merah bagai
menahan rasa sakit yang luar biasa. Kesempatan itu digunakan Kelambu Darah
untuk menggerakkan kepalanya ke kiri dalam satu sentakan. Wuttt...!
Tubuh Sambar Jantung tersentak
ke samping, bagai sampah dilemparkan begitu saja. Dugg...! Kepalanya membentur
dinding pagar yang keras itu. Ia sempat terpekik dengan napas tertahan,
"Huggh...!"
Brukk...! Tubuhnya jatuh
seperti nangka busuk. Tapi cepat-cepat ia berdiri setengah kaki dan menamparkan
tangannya ke depan. Wuttt...!
Plakk...! Dalam jarak sudah
lebih dari tujuh langkah, wajah Dewi Kelambu Darah tertampar keras tanpa
tersentuh tangan lawan.
Kerasnya tamparan membuat Kelambu Darah terpelanting ke kiri, dan pipinya
menjadi memar merah.
"Kurasa Eyang Sambar
Jantung bisa kalah dengan Dewi Kelambu Darah!" pikir Intan Selaksa dari
tempatnya menjauh. "Perempuan itu tanpa gerakan tangan bisa
menendang, memukul, menampar, melempar, dan mungkin juga
bisa mencekik leher lawannya. Sedangkan Eyang Sambar Jantung bisa melakukan hal
seperti itu jika ia gerakkan tangannya, ia tak bisa menggunakan kekuatan mata
seperti yang dimiliki Dewi Kelambu Darah itu. Hmmm...! Siapa yang menang, aku
tak perlu tahu. Karena siapa pun pemenang pertarungan ini, tetap saja ia
mengincar pedang pusaka itul Dengan kata lain, dia akan mengincarku, karena
akulah yang memegang kunci kamar Cipta Hening! Haruskah aku menyerahkan kunci
itu jika nyawaku terancam? Oh, tidak! Aku lebih baik melarikan diri sejauh
mungkin dan bersembunyi! Kalau keadaan terpaksa sekali, biarlah aku mati tapi
kunci kamar itu tak akan kuserahkan kepada siapa pun, seperti pesan Guru
sebelum wafat. Kalau keadaan terpaksa sekali, aku harus bisa melawan mereka
sebatas kemampuan yang ada, sampai aku mati! Tapi... kalau kunci kamar masih
tetap ada di tubuhku, mereka akan temukan setelah aku mati dibunuhnya! Jadi,
sebaiknya kusimpan dulu kunci ini di suatu tempat! Hmmm... tapi di mana aku
harus menyimpannya? Dalam keadaan seperti ini, jelas mereka akan curiga dan
akan kejar aku jika aku lari untuk
sembunyikan kunci kamar
ini!"
Sambar Jantung tetap bertahan
dari serangan mata maut Dewi Kelambu Darah. Mereka bertarung dengan sesekali
saling hina dan membuat kedua hati bertambah panas. Tanpa diketahui oleh mereka
ternyata kamar yang diduga sebagai tempat penyimpanan pedang pusaka saat itu
sedang disambangi seseorang, kamar itu didekati dengan gerakan yang gesit dan
tanpa suara.
Seorang perempuan judes
berwajah cantik sedang memeriksa keadaan sekeliling depan kamar Cipta
Hening. Perempuan bermahkota kecil dengan mengenakan gelang lempengan
di kedua lengannya itu tak lain adalah Ratu Teluh Bumi. Ia berhasil menyusup
masuk ke dalam halaman Kuil Swanalingga melalui bagian samping. Lompatannya
cukup tinggi dan ringan, sehingga ia berbasil mendekati kamar tersebut tanpa
timbulkan suara sedikit pun.
"Ruang depan itu pasti
ruang pemujaan, dan kamar inilah pasti yang dinamakan kamar Cipta Hening.
Karena menurut desas-desus pusaka itu tersimpan di salah satu kamar yang ada di
dekat ruang pemujaan. Di sini ada satu kamar, hanya kamar ini! Hmmm..., ya!
Terlihat pintunya begitu kokoh dan...."
Tangan yang ingin meraba pintu
itu tiba-tiba ditarik. Tak sadar mulut Ratu Teluh Bumi berucap, "Ets...
ada racunnya?!"
Kemudian tangan itu meraba
tapi tak sampai menempel di daun pintu itu. Tangan itu merasakan ada hawa gatal
yang terpancar dari lapisan pintu tersebut.
Ratu Teluh Bumi segera ucapkan
kata lirih,
"Hmm... tak mungkin
dijinakkan racun ini! Bahaya sekali jika tersentuh kulit sedikit pun. Jika
begitu, pasti ada alat lain yang bisa digunakan untuk membuka pintu ini! Tak
mungkin Begawan Sangga Mega dan muridnya bisa menyentuh pintu ini tanpa terkena
racunnya, karena tak ada tempat pegangan tangan untuk membuka pintu ini!"
Mata Ratu Teluh Bumi menyusuri
tiap dinding batu yang ada di sekitar pintu. Tapi tak ditemukan susunan batu
yang bisa dicurigai sebagai kunci pembuka pintu tersebut.
"Sepertinya harus
didobrak dengan kekuatan ilmu tinggi!" kembali Ratu Teluh ucapkan kata lirihnya.
Maka, ia pun segera undurkan langkah lima tindak. Dari sana ia melepaskan
pukulan tenaga dalam jarak jauh melalui telapak tangan kanannya.
Wusssh...! Beeng...!
Pintu tak terguncang sedikit
pun. Suara yang timbul akibat benturan pukulan tenaga dalam itu tak seberapa
keras. Sepertinya suara yang mestinya menggelegar itu teredam oleh ketebalan
pintu itu.
"Pukulan 'Elang Santet'
tak bisa menjebolkannya. Padahal biasanya baja setebal apa pun bisa kujebol
dengan pukulan 'Elang Santet'! Hmmm... kalau begitu aku harus gunakan jurus
'Lintah Sakti'! Membelah gunung pun sanggup dengan jurus 'Lintah Sakti',
apalagi hanya pintu sekeras itu!"
Jurus 'Lintah Sakti' keluar
dari kesepuluh jari Ratu
Teluh Bumi. Kedua tangannya
yang diangkat ke atas itu membentuk
cakar dan menyentak keras hingga pancarkan sinar merah membara ke
arah pintu itu. Sepuluh sinar merah keluar dari tiap jari tangan Ratu Teluh.
Biasanya pintu akan lumer,
atau jebol dalam satu ledakan yang teramat kuat. Tetapi sinar merah sepuluh
bias itu masih belum membuat pintu menjadi lumer atau hangus sedikit pun.
Malahan timbul sinar biru yang mengelilingi tepian pintu.
Ratu Teluh
Bumi terkejut melihat sinar biru mengelilingi pintu, ia membatin,
"Sinarnya siapa itu?"
Ratu Teluh Bumi palingkan
wajah ke kiri selesai menghentikan pukulan 'Lintah Sakti'-nya. Ternyata di sana
ada seraut wajah tua berjubah abu-abu. Orang itu sedang tudingkan kepala
tongkatnya ke arah pintu, dari tongkatnya itu keluar sinar biru mengelilingi
pintu tersebut. Sinar itu padam ketika sinar merah 'Lintah Sakti' pun padam.
Ternyata pintu tetap kokoh tak bergeming.
"Setan kurap!" geram
Ratu Teluh Bumi sambil mengarahkan badan ke lelaki tua bertongkat burung hantu
itu.
"Kubantu kau menjebolkan
pintu itu!"
"Persetan dengan
bantuanmu! Aku mampu lakukan sendiri!" gertak Ratu Teluh Bumi.
"Sebaiknya cepat tinggalkan aku sendirian di sini, Bandot Tembang!"
Si Bandot Tembang malahan sunggingkan senyumnya. Ratu
Teluh Bumi mendengus muak. Bandot
Tembang ucapkan kata dengan
nada pelan,
"Aku akan membantumu
untuk mendapatkan pusaka itu! Tapi dengan catatan, kau harus mau mengakui
kekalahanmu dan tunduk padaku! Karena gurumu pun sudah dibunuh oleh
guruku...."
"Dan gurumu sudah kubunuh
sendiri!" sahut Ratu Teluh Bumi. "Mana mungkin aku tunduk kepada
muridnya jika gurunya sendiri kubantai tanpa ampun, hah?!"
Bandot Tembang bagai disiram
air panas wajahnya. Mulai tampak merah menahan marah. Terbayang kematian
gurunya yang sungguh mengerikan. Sekalipun peristiwa itu terjadi sekian puluh
tahun yang lalu, tetapi Bandot Tembang masih tetap ingat, ia yang pertama kali
menemukan potongan tangan gurunya, kemudian bagian-bagian tubuh lainnya ditemukan keesokan harinya, ia tahu gurunya bertarung
dengan Ratu Teluh Bumi, tapi waktu itu ia tak bisa berbuat apa-apa karena Guru
memenjarakannya di atas pohon. Tak ada yang bisa menyentuhnya karena ia
dilapisi kekuatan anti pukulan tenaga dalam apa pun. Ia digantung dengan kepala
di bawah karena tindakan yang dianggap sesat oleh sang Guru.
"Bandot Tembang! Jika kau
mau tinggalkan aku sendirian di sini, umurmu akan panjang. Tapi jika kau tetap
ingin menggangguku, kau akan menyusul gurumu secepatnya!"
"Mulut betinamu cukup
kotor bagiku, Ratu Teluh! Sebaiknya kususulkan saja nyawamu sendiri agar bisa
minta bantuan gurumu untuk
membukakan pintu itu. Hiiah...!"
Bandot Tembang meremas sendiri
tongkatnya sampai
tangannya mengeluarkan otot
dan gemetaran. Dari ukiran
mata burung hantu di kepala tongkat meluncurkan cahaya sinar kuning dua
buah. Memanjang dan menjadi satu di ujungnya. Sinar itu menembus dada Ratu
Teluh Bumi tujuannya. Tapi jari telunjuk Ratu Teluh Bumi cepat dihadangkan di
depan dada. Sinar kuning itu tepat mengenai ujung jari telunjuk.
Rupanya sinar itu sedang
ditangkis oleh Ratu Teluh Bumi dengan ujung telunjuknya dan berusaha dilawan
kekuatannya hingga kedua kaki Ratu Teluh Bumi gemetaran. Kedua tubuh
itu sama-sama gemetar. Gerakan sinar juga makin
menipis. Kejap berikutnya sinar kuning itu hilang seketika bagai tersedot
telunjuk Ratu Teluh Bumi. Zlubb...!
Tetapi pada saat itu pula
telapak tangan Ratu Teluh Bumi menjadi menyala kuning. Telapak tangan itu
segera dihentakkan ke depan dan melesatlah sinar kuning itu berupa gumpalan
bola yang bergerak dengan cepat. Wuttt...!
Bandot Tembang menghadangkan
kepala tongkatnya, sehingga bola kuning menyala-nyala itu menghantam kepala
tongkat itu dengan keras.
Blarrr...!
Ledakannya begitu keras dan
timbulkan gelombang hawa panas yang menyentak sangat kuat. Tubuh Bandot Tembang
terlempar ke belakang dan terguling-guling hingga keluar dari ruang pemujaan,
sedangkan tubuh
Ratu Teluh Bumi terpental pula
hingga membentur dinding tepi pintu. Kalau saja saat itu punggungnya membentur
pintu kamar Cipta Hening, pasti Ratu Teluh celaka, karena racun pintu itu akan
menempel di punggungnya.
Ia sangat beruntung karena
punggungnya membentur batuan dinding samping pintu. Tulang punggungnya terasa
mau patah. Sakit sekali. Tapi dengan cepat ia berhasil mengatasi rasa sakit
itu, hanya menggunakan hirupan napas panjang dan menahannya di dada beberapa
hitungan, ia sudah bisa berdiri kembali dan cepat berlari untuk menyerang
Bandot Tembang yang terbungkuk-bungkuk di pelataran kuil memuntahkan darah
segar dari mulutnya.
"Hiaaat...!" Ratu
Teluh Bumi pekikkan suaranya sambil melompat terbang ke arah Bandot Tembang
yang sedang berusaha bangkit.
Buhgg...!
Dada Bandot Tembang terkena
tendangan kaki yang melompat itu. Tendangan tersebut jelas dialiri tenaga dalam
cukup besar, sehingga membuat Bandot Tembang terlempar tubuhnya, menghantam
pintu gerbang kuil yang terbuka separo itu. Pintu tersebut jebol dan tubuh
Bandot Tembang terpuruk jatuh tepat di depan kaki Sambar Jantung.
Pertarungan Sambar Jantung
dengan Dewi Kelambu Darah terhenti. Mereka, juga Intan Selaksa, terkejut
melihat dua orang
keluar dari halaman Kuil Swanalingga. Mereka tampak cemas dan
ada
kekhawatiran kalau-kalau
Pedang Guntur Biru sudah berada di tangan mereka. Tapi setelah mata mereka
memeriksa sekilas keadaan Ratu Teluh Bumi dan Bandot Tembang, mereka menjadi
lega karena tak satu pun dari mereka yang memegang Pedang Guntur Biru.
"Oh, ternyata Ratu Teluh
Bumi yang jahat itu juga hadir di sini?" pikir Intan Selaksa. "Lalu,
siapa lagi tokoh tua yang memuntahkan darah dan terlempar dari dalam itu?! Aku
belum mengenalinya, tapi aku yakin dia pasti berilmu tinggi. Hmmm...! Empat
orang sakti sudah ada di sini. Bakalan hancur tubuhku kalau tak cepat melarikan
diri. Tak ada yang sanggup kulawan satu pun dari mereka. Karena kulihat orang
yang terlempar itu sudah berdiri lagi dengan tegak, sepertinya tak pernah
mendapat pukulan hebat dari lawannya!"
"Bandot Tembang...?!
Rupanya sejak tadi kau sudah ada di dalam kuil itu, hah?! Kurang ajar!"
geram Sambar Jantung menggeram.
"Aku juga tak sangka
kalau Ratu Teluh pun sudah ada di dalam sana," sahut Dewi Kelambu Darah.
"Kalian mencari
pedang atau sama-sama
menggunakan kesempatan untuk bercinta?"
"Tutup mulutmu, Kelambu
robek!" bentak Ratu
Teluh Bumi dengan gusar.
"Hei, tahan dulu!"
seru Sambar Jantung. "Gadis itu melarikan diri. Dia pemegang kunci kamar
pusaka tersebut!"
"Mau lari ke mana anak
celeng itu, hiaaah...!" Ratu
Teluh Bumi segera sentakkan
kaki dan ia melesat pergi
mengejar Intan Selaksa.
Melihat Ratu Teluh mengejar
Intan, yang lain pun ikut
mengejarnya dengan gusar.
*
* *
8
INTAN Selaksa tahu bahwa
dirinya dikejar oleh mereka. Secepat mungkin ia melarikan dirinya. Tapi
kecepatan itu masih kalah juga dengan kecepatan mereka. Dalam waktu singkat,
Ratu Teluh Bumi sudah berdiri menghadang langkah Intan Selaksa.
"O, bahaya! Dia sudah
sampai di depan sana!" gumam Intan Selaksa dalam ketegangannya.
"Sebaiknya aku lari ke arah kiri saja!"
Wusss...! Intan Selaksa berkelebat
tanpa peduli lagi apakah Ratu Teluh Bumi masih mengejarnya lagi atau sudah
bosan. Yang jelas dia harus cepat selamatkan diri, karena kunci kamar itu ada
di balik ikat pinggangnya.
Baru saja beberapa jarak ia
menempuh pelariannya yang berbelok arah itu, tiba-tiba di depannya sudah
berdiri Sambar Jantung yang segera berseru,
"Intan, jangan takut. Aku
melindungimu! Kemarilah, Anak Manis!"
Mata perempuan muda itu
menegang lagi. "Tak
mungkin dia mau melindungiku.
Sebelum ia bergerak, aku harus cepat hindarkan diri!"
Wuttt...! Intan Selaksa
berbelok arah. Tak tahu ke mana tujuannya, yang jelas ia harus bisa selamatkan
dirinya dari kejaran
orang-orang bertangan rakus itu.
Jlegg...! Bandot Tembang sudah
berdiri di depan Intan Selaksa dalam jarak sepuluh langkah. Tanpa berhenti
sedikit pun, Intan Selaksa cepat melarikan diri ke arah kiri. Arahnya sudah
berubah lagi. Mana yang dilihat aman itu yang ia tuju.
Dia samping kirinya Intan
melihat sekelebat bayangan warna jingga sejajar dengan larinya. Jelas
itu warna jubahnya Dewi Kelambu Darah yang ingin mencegat di depan jalan. Maka,
cepat-cepat Intan Selaksa berbelok arah, menerabas semak berduri dan tak
pedulikan kulitnya tergores semak-semak itu.
Tapi dalam beberapa jarak
kemudian, tahu-tahu Ratu Teluh Bumi sudah berdiri di depannya dengan sikap
menghadang.
"Mati aku...!" gumam
Intan Selaksa dalam hati. Cepat-cepat ia membalikkan diri dan berlari lagi.
Namun begitu ia melangkah sambil membalikkan diri, ia membentur sesuatu dengan
keras. Bukk...! Intan Selaksa jatuh terduduk di tanah. Matanya memandang ke
atas.
"Oh, siapa lagi
ini?!" pikirnya. "Tampan sekali wajahnya?"
Pemuda tampan itu mengulurkan
tangan, kemudian ia membantu Intan Selaksa untuk berdiri. Napas Intan
terengah-engah, tapi matanya tak berkedip pandangi pemuda tampan itu.
"Berdirilah di
belakangku!"
"Ap... ap... apakah kau
juga inginkan Pedang Guntur
Biru?"
"Ya. Tapi bukan untuk kumiliki!
Hanya sekadar menjaganya agar tidak jatuh di tangan orang-orang kotor yang
mengejarmu itu!"
"Kkkau... kau
siapa?" tanya Intan Selaksa.
Pemuda itu hanya senyum
sedikit. Senyum itu indah menurut mata Intan Selaksa yang belum rabun itu.
Dan tiba-tiba dari arah
belakang pemuda tampan itu
muncul seorang lelaki tua
berbaju jubah hijau celana putih, membawa tongkat bola kristal. Raja Nujum
segera ucapkan kata,
"Dia bernama Suto
Sinting! Jangan jauh-jauh darinya. Intan!"
"Oh, syukurlah Paman Raja
Nujum datang tepat pada waktunya!" Intan Selaksa sunggingkan senyum.
Lesung pipit terbentang indah di sudut senyum Intan Selaksa. Suto Sinting tak
berkedip pandangi senyum berlesung pipit itu, karena ia segera terbayang wajah
calon istrinya yang dalam pengungsian di Pulau Mayat, yaitu Dyah Sariningrum.
"Raja Nujuuum...!" teriak
Ratu Teluh Bumi. "Hadapilah aku lebih dulu jika
kau ingin mendapatkan pusaka itu!"
Tapi di dalam hati Ratu Teluh
Bumi cepat berkata, "Gila! Ganteng sekali pemuda itu! Siapa dia? Baru
sekarang kutemukan raut wajah setampan dia! Wah, kenapa bergetar dan deg-degan
hatiku? Sebaiknya kulupakan dulu siapa dia. Agaknya Raja Nujum sudah kenai baik
dengan Intan Selaksa dan mau melindungi gadis itu. Ada baiknya jika Raja Nujum
kusingkirkan
dulu!"
Belum sempat Raja Nujum
membalas sapaan dan tantangan Ratu Teluh Bumi, tiba-tiba muncul Bandot Tembang
ke tempat itu. Bandot Tembang segera pandangi Raja Nujum, hatinya sedikit ciut
melihat Pendekar Mabuk tersenyum padanya dan menyapa dengan kalem,
"Kita bertemu lagi. Eyang
Bandot Tembang yang sakti dan punya ilmu tinggi dalam melarikan diri...!"
"Tutup bacotmu, Bocah
Sinting!" gertak Bandot
Tembang.
"Biarkan dia
bicara!" terdengar suara tua yang segera tampakkan diri dari arah kanan
depan. Cepat-cepat Raja Nujum yang menyahut,
"O, syukurlah kau ada di
sini Sambar Jantung!"
Intan Selaksa cepat berbisik
dari belakang Raja
Nujum, "Dia ternyata juga
inginkan pusaka itu, Paman!" Raja
Nujum hanya menggumam,
pertanda
mengiyakan bisikan Intan, tapi
ia bersikap tenang seakan belum mengetahui maksud Sambar Jantung, ia bahkan
berkata kepada Sambar Jantung,
"Sebagai teman akrab dari
mendiang kakakku, aku yakin kau datang untuk membela satu muridnya yang
dikejar-kejar orang banyak ini, Sambar Jantung!"
"Ya. Aku akan melindungi Intan, tapi
Intan ketakutan! Ia samakan aku dengan mereka! He he he he...! Dia salah
anggapan, Raja Nujum!" sambil Sambar Jantung menghabiskan tawanya. Hatinya
merasa sedikit aman karena bisa mengelabui Raja Nujum. Tentunya
Intan Selaksa akan menurut
kepada Raja Nujum jika Raja
Nujum menganjurkan Intan
Selaksa untuk berlindung kepadanya. Dengan begitu ia bisa membujuk Intan
Selaksa untuk serahkan kunci kamar pusaka itu.
Intan Selaksa menjadi muak
melihat lagak Sambar Jantung. Kalau saja jurusnya berlaku untuk menotok
orang-orang itu, ia akan lakukan menotok mereka dengan senyuman. Tapi berulang
kali ia mencoba tersenyum dengan melancarkan kekuatan tenaga totok seperti yang
dilakukannya kepada Barong Geni. Namun jurus itu ternyata tidak berlaku, dan
orang-orang itu tak bisa ditotok dengan senyuman.
Mendadak muncul kembali dari
arah kiri Pendekar Mabuk, seorang perempuan yang langkahnya tenang dan langsung
mendekati Suto dalam jarak dua langkah. Dewi Kelambu Darah pandangi mata Suto
yang saat itu sedang tersenyum menatapnya pula. Mata Dewi Kelambu Darah menjadi
sedikit sayu bagai dibuai kemesraan dalam bayangan.
"Hatiku bergetar
melihatmu! Baru sekarang kutemui pemuda setampan kamu! Layak rasanya kau
merebah di balik kelambuku...!"
"Sayang aku tak berminat,
Nyai...!" jawab Pendekar Mabuk
sambil tetap sunggingkan senyum yang menggoda.
"Tunduklah kau
kepadaku!" mata bening berbulu lentik menatap Suto. Seberkas kekuatan
dilancarkan melalui pandangan mata itu.
Intan Selaksa cemas, karena
dia tahu Dewi Kelambu
Darah mempunyai kekuatan di mata dan
bisa memerintah
orang seenaknya saja, bahkan bisa melemparkan orang
sebesar apa pun dengan ringan dan mudah.
Maka, sebelum Pendekar Mabuk terkena pengaruh kekuatan
mata Dewi Kelambu Darah, tangan Intan Selaksa cepat menyodok ke pinggang perempuan
itu. Sodokan dengan menggunakan telapak tangan itu bertenaga besar sehingga
tubuh Dewi Kelambu Darah tersentak terbang, terpental hingga lebih dari tujuh
langkah jauhnya.
Buhgg...! Wusss...! Brukk...!
"Ha ha ha ha...!"
terdengar suara tawa Bandot Tembang dan Sambar Jantung bersamaan begitu melihat
Kelambu Darah terpental.
"Babi Busuk...!"
geram Dewi Kelambu Darah.
Untuk menghentikan tawa kedua
orang itu, Dewi Kelambu Darah kibaskan kepaianya dengan mata tertuju pada
Bandot Tembang. Wuttt...! Bandot Tembang terlempar dan membentur tubuh Ratu
Teluh Bumi.
Bruss...! Plakkk...! RatuTeluh
Bumi menampar wajah Bandot Tembang yang dalam keadaan menabrak dengan wajah
hampir mencium. Tamparan keras tak diduga itu membuat Bandot Tembang terlempar
lagi ke samping dan jatuh berguling dua kali.
Sambar Jantung makin tertawa
geli melihat Bandot Tembang bagai dipermainkan dua perempuan. Tapi tawa
tersebut cepat lenyap, karena mata Dewi Kelambu Darah kini memandangnya dan
dengan satu kali sentakan kepala mengibas, Sambar Jantung terjungkal ke samping
dan wajahnya masuk ke
semak-semak. Brusss...!
"Siapa yang mau tertawa
lagi, hah?!" bentak Dewi Kelambu Darah dengan lagak galaknya. Lalu,
terdengar suara tawa yang walau tak keras namun terdengar jelas. Itulah tawa
milik Pendekar Mabuk.
"Ha ha ha ha.... Aku
tertawa!"
Dewi Kelambu Darah cepat
palingkan pandang dengan wajah tetap menampakkan kegeramannya. Tapi ia cepat
berkata,
"Kalau kau yang tertawa,
terserah!"
"Hmm...!" Ratu Teluh
Bumi mencibir, mencemooh sikap Dewi Kelambu Darah.
Pendekar Mabuk segera membuka
bumbung tuaknya dan menenggak beberapa teguk tuak, sementara itu terdengar
Bandot Tembang berseru,
"Raja Nujum!
Menyingkirlah kau dan jangan lindungi bocah bodoh itu! Aku membutuhkan kunci
pembuka pintu kamar pusaka tersebut!"
Ratu Teluh Bumi menyahut,
"Kalau kau melindungi gadis itu, kami akan membunuhmu bersama-sama, Raja
Nujum!"
Pada saat itu, Intan Selaksa
mempunyai gagasan yang lebih bagus lagi. Ia segera mengambil kunci kamar Cipta
Hening dari selipan ikat pinggangnya. Kemudian dengan diam-diam, sebelum bumbung tuak Suto ditutup kembali, bumbung yang sudah ada
di punggung itu segera didekati. Dengan berlagak menepak punggung Suto, kunci
itu dicemplungkan ke dalam bumbung tuak. Plung...! Tapi tak terdengar oleh
siapa pun. Bahkan Suto
bagai tak peduli dengan
tepukan pundak itu, karena matanya memandang ke arah Ratu Teluh Bumi yang bisa
melepaskan pukulan atau mengirimkan kekuatan gaib secara membahayakan. Pendekar
Mabuk hanya sedikit memiringkan kepala, karena menyangka Intan Selaksa ingin
bisikkan kata. Bahkan ia menutup bumbung tuaknya pun tidak dengan memperhatikan
mulut tabungnya.
"Perempuan yang bernama
Dewi Kelambu Darah tadi sangat berbahaya!" bisik Intan Selaksa, supaya tak
kentara kepura-puraannya.
"Aku bisa atasi dia! Aku
tahu dia menggunakan kekuatan mata!"
Terdengar suara Raja Nujum
berkata kepada empat orang serakah itu,
"Ketahuilah kalian,
Pedang Guntur Biru tidak akan
bisa dimiliki oleh siapa pun,
selain pewarisnya!" "Siapa pewarisnya?!" tanya Bandot Tembang.
"Tidak ada di sini! Aku pun bukan pewarisnya!"
"Lalu untuk apa kau ada
di sini jika bukan pewaris pusaka Pedang Guntur Biru?" seru Dewi Kelambu
Darah.
"Aku hanya ingin
menyelamatkan kuil dari jamahan tangan-tangan kotor! Bagaimanapun juga kuil itu
adalah tempat suci milik kakakku Begawan Sangga Mega! Aku perlu menjaga
kesucian kuil itu!"
"Sudah ada muridnya! Intan Selaksa yang menjaganya. Mengapa kau mau
ikut menjaganya?!"
"Karena dia tidak cukup
kuat untuk menghadapi
keserakahan dan kerakusan
kalian!" jawab Raja Nujum. "Eh, Raja Nujum...," kata Sambar
Jantung, "Rasa-
rasanya cukup aku saja yang
menjaga Intan Selaksa. Aku
sanggup menghadapi mereka,
bahkan berjumlah dua-tiga kali lipat dari ilmu mereka pun aku masih
sanggup!"
"Aku percaya!"
sambil Raja Nujum sunggingkan senyum. "Tapi aku juga percaya bahwa kau
sanggup membawa lari pedang itu pula!"
"Mengapa kau menduga
begitu?"
"Di bola kacaku ini aku
bisa melihat kerakusanmu yang ingin menjarah Kuil Swanalingga! Kau tak bisa
bohong, Sambar Jantung!".
Tak bisa lagi Sambar Jantung
menyembunyikan niatnya dari Raja Nujum, karena ia segera sadar bahwa Raja Nujum
bisa menebak hati seseorang dan bisa melihat masa depan
serta masa lalu seseorang. Karenanya, dengan santai
dan meremehkan sekali Sambar Jantung ucapkan kata kepada Raja Nujum,
"Kalau begitu...
kelihatannya kau juga sudah tahu bahwa nyawamu sebentar lagi mati di tanganku!
He he he...!"
"Kalau itu tantangan, aku
akan menyambutnya!" jawab Raja Nujum dengan tetap kalem. Tapi segera ia
berbisik kepada Suto Sinting,
"Kuhadapi mereka
berempat, kau lari sembunyikan
Intan Selaksa!"
"Baik! Kucari kesempatan
baik untuk pergi dari sini!" jawab Pendekar Mabuk dengan suara pelan
sekali. Lalu kepada Intan Selaksa, Suto pun berbisik pelan,
"Bersiaplah lari
bersamaku! Biar mereka dihadapi
Raja Nujum!"
"Aku siap," balas
Intan Selaksa.
Bandot Tembang membatin,
"Mereka semua berilmu tinggi! Cukup sulit mengalahkan mereka! Sebaiknya
kugunakan tembang saktiku untuk membuat mereka pecah jantungnya!"
Dewi Kelambu Darah berseru,
"Raja Nujum, sebelum kau melawan Sambar Jantung, sebaiknya kau hadapi dulu
aku. Kasihan Sambar Jantung, sudah terlalu tua untuk mengadakan
pertarungan!"
"Kepada siapa pun yang
ingin menantangku lebih dulu, aku siap melayani sekarang juga!" jawab Raja
Nujum. Kalem sekali sikapnya.
Tiba-tiba terdengar Bandot
Tembang mengalunkan sebuah irama tembang yang mencekam denyut nadi setiap
orang.
Tanah kubur telah tersingkap,
menunggu ajal setiap insan.
Jika jantung tak berdenyut,
napas pun hanyut terbawa sukma.
Dalam keheningan relung hati
yang....
Plokk...! Tiba-tiba ada sesuatu
yang menghantam tenggorokan Bandot Tembang. Sesuatu itu muncul secara tiba-tiba
dari sentilan jari Pendekar Mabuk berkekuatan tinggi. Jurus 'Jari Guntur'
digunakan, membuat Bandot Tembang tersedak dan terbatuk-batuk.
"Huk huk huk
hukk...!" Bandot Tembang segera memaki, "Bang... Bangsat! Kubunuh
kau...!"
Suara itu menjadi serak dan
rusak. Bandot Tembang terbatuk-batuk lagi. Lalu mencoba bicara kembali. Tapi
tenggorokannya bagaikan pecah dan semakin serak suaranya.
"Siapa anak muda itu?!
Dia bisa menggunakan jarinya untuk merobek pita suara orang di dalam
tenggorokan!" sentak Ratu Teluh Bumi.
Suto menyahut, "Namaku,
Suto Sinting! Jelas...?!" Dengan suara makin gerok mirip suara kambing
disembelih, Bandot Tembang
berkata,
"Hakro, trak pengrah
hengerar namra gritu...! Huk uhuk huk...!"
Sambar Jantung menyahut,
"Kau memang tak pernah dengar nama itu, Bandot Tembang, karena kau memang
bodoh! Tapi biar setua ini telingaku masih belum tuli! Kudengar nama Suto
Sinting adalah seorang pendekar yang sedang kondang bergelar Pendekar Mabuk!
Dia adalah murid dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang! Benarkah begitu,
Suto?!"
"Benar!" jawab
Pendekar Mabuk tegas, membuat Raja Nujum palingkan wajah kepadanya dan berkata
dalam gerutuan,
"Setan kau! Kenapa tak
bilang sejak tadi kalau kau murid si Gila Tuak? Aku kenal baik dengan gurumu
itu!"
"Aku takut kau tak
mempercayai pengakuanku tadi!" "Pantas kau kenal siapa ibuku, siapa
ayahku dan siapa
kakek guruku. Rupanya kau
murid si Gila Tuak itu?!" "Sudahlah, lekas lakukan gebrakan, aku akan
bawa
lari Intan!"
"Baik!" Raja Nujum
menurut. Lalu, ia maju tiga tindak dan tongkatnya dibabatkan memutar dengan
kepala tongkat ada di depan. Wusss! Satu kibasan kuat itu menghadirkan sentakan
tenaga dalam yang sungguh besar, hingga keempat orang itu terpental berjatuhan
tak tentu arah. Bahkan sebatang pohon rubuh menimpa kaki Dewi Kelambu Darah.
Brurrkk...!
"Aaaaow...!" Dewi
Kelambu Darah terpekik kesakitan, satu kakinya terselip
batang pohon dan menghimpitnya kuat-kuat. Sementara yang lainnya terjungkal di
semak-semak atau ke mana saja. Masing- masing jarak jatuh mereka mencapai tujuh
langkah dari tempat semula mereka berdiri. Sementara itu, bola kristal di
tongkat Raja Nujum masih menyala berkejap-kejap warna merah membara. Sebelum
tongkat itu dikibaskan lagi, Raja Nujum segera berbisik ke belakang,
"Cepat lari dan...."
Ia terhenti bicara bisiknya,
karena ketika melirik ke belakang, ternyata Pendekar Mabuk dan Intan Selaksa
sudah menghilang, entah sejak kapan dan ke arah mana. Raja Nujum tak mendengar
gerakan pergi Suto dan Intan.
Intan Selaksa bagaikan sedang
bermimpi, ia tak sadar jika telah diangkat dan dibawa lari oleh Pendekar Mabuk
menggunakan jurus gerak silumannya yang luar biasa cepat itu. Dalam waktu
singkat, mereka sudah berada di depan kuil. Suto menurunkan Intan Selaksa dari
atas
pundaknya, Intan Selaksa
terperangah memandang sekeliling dan berkata dengan suara gumam,
"Sudah ada di sini
lagi?"
"Aku tidak tahu arah yang
pasti kita tuju! Jika kau tahu, tunjukkan arahnya! Aku akan membawamu lari dan
bersembunyi di sana!"
"Memang di sini sangat
berbahaya! Tapi guruku punya gubuk peristirahatan untuk menghibur diri. Di
sebelah sana, arah ke barat, ada sebuah telaga berair biru bening. Guru sering
memancing ikan di sana, tapi tidak untuk dimakan, juga tidak untuk dibunuh.
Hanya diusap- usapnya sesaat, lalu dicemplungkan lagi ke air telaga."
"Jika begitu kita
bergegas ke sana saja!"
"Tapi tempat itu melalui
sarang ular berbisa! Jarang orang bisa selamat sampai di sana, kecuali dengan
memutari gunung ini dari arah timur!"
"Kita coba saja!"
setelah bicara begitu, Intan Selaksa ingin mengatakan sesuatu, namun ia sudah
berada di pundak Suto dan melesat pergi melebihi gerakan angin atau anak panah
secepat apa pun.
Rasa-rasanya hanya tiga helaan
napas, Intan Selaksa sudah sampai di tepi telaga biru. Airnya jernih dan
tempatnya indah. Banyak tanaman berwarna walau bukan bunga. Di sana ada sebuah
gubuk yang berbentuk saung, tanpa dinding penuh. Hanya separo bagian dinding
yang menutupi saung itu, sedangkan bagian depannya terbuka lepas. Atapnya dari
rumbia bercampur ijuk hitam. Lantainya lebih tinggi tiga jengkal dari tanah.
Sungguh nyaman beristirahat di sana. Tiupan udara
gunung sungguh semilir
mengantukkan mata orang yang kenyang.
"Apakah telaga ini
mempunyai ikan cukup banyak?"
"Tak terlalu banyak, tapi
memang Guru memelihara ikan hias aneka warna di dalam telaga ini!"
"Hmm... sungguh indah
pemandangan di sini! Aku bisa betah berada di sini berbulan-bulan!"
"Jika kau berada di sini
berbulan-bulan, lantas bagaimana dengan kekasihmu? Mestinya dia rindu
padamu!" pancing Intan Selaksa yang segera ditatap Pendekar Mabuk. Intan
Selaksa tersenyum, seolah-olah pamerkan lesung pipit yang amat digemari Suto
Sinting itu.
"Di sini ternyata bukan
saja untuk memancing ikan, namun untuk memancing sekerat hati!" ujar
Pendekar Mabuk membuat Intan Selaksa menjadi tersipu-sipu. Lalu ia melangkahkan
kaki ke tepian telaga, ia duduk di sebuah batu yang ada di sana, memandangi air
telaga yang tenang dan warna birunya begitu indah bagaikan agar-agar.
"Kalau saja mereka tahu
tempat ini, mereka tidak akan mau bertarung untuk memperebutkan Pedang Guntur
Biru," ujar Pendekar Mabuk mendekati.
"Kalau saja mereka tahu,
mereka tidak sudi saling bunuh, sebab pusaka itu memang tidak ada!"
"Tidak ada?!"
"Guru tidak pernah punya
Pedang Guntur Biru! Kamar itu bukan kamar penyimpanan pusaka, hanya sekadar
kamar semadi!"
"Apakah kau pernah masuk
di dalamnya?"
"Belum. Tapi saat pintu
kamar itu terbuka, aku sempat melihat isinya. Tak ada barang apa pun kecuali
selembar tikar di lantai. Ruangan itu benar-benar kosong! Bersih, bahkan tanpa
cahaya jika pintu tidak dibuka!"
"Tapi mengapa mereka
berebut untuk masuk ke kamar itu?"
"Mereka salah duga! Kabar
tentang mendiang Guru memiliki pusaka Pedang Guntur Biru sepertinya hanya
sebuah isapan jempoi belaka, sekadar untuk menjaga wibawa Guru dan
menakut-nakuti lawan!"
"Tapi... tapi Raja Nujum
adik dari Begawan Sangga Mega! Raja Nujum pun mengakui bahwa kakaknya itu
menyimpan pusaka Pedang Guntur Biru, Intan Selaksa! Dia kemari juga untuk
menjaga supaya pedang pusaka itu tidak jatuh ke tangan orang sesat!"
"Barangkali setelah
peristiwa ini, akan tersebar kabar bahwa pusaka Pedang Guntur Biru ada di tangan
Paman Raja Nujum! Ini untuk menipu lawan, supaya Paman Raja Nujum pun disegani
dan ditakuti, sehingga tidak sembarang orang berani berhadapan dengannya."
Tercenung lama Suto
jadinya. Menurut jalan pikirannya, apa yang
dikatakan Intan Selaksa itu memang benar. Artinya, bisa saja terjadi suatu
tipuan sejak puluhan tahun yang lalu tentang adanya pusaka Pedang Guntur Biru.
Tipuan itu dimaksud untuk menjaga wibawa dan rasa hormat bagi keluarga Eyang
Purbapati. Sebenarnya pedang pusaka itu memang tidak
ada.
"Lantas mengapa kau
dikejar-kejar mereka dan mereka kehendaki kunci kamar tersebut? Kau sendiri
mengapa mempertahankannya? Jika memang di dalam kamar semadi itu tidak terdapat
benda pusaka itu, seharusnya kau tak perlu repot-repot mempertahankan kamar
itu!"
"Amanat mendiang Guru,
aku harus menjaga kuil dan kamar itu khususnya, agar jangan sampai ada yang
menjamah atau merusaknya. Aku hanya tunaikan tugas dari mendiang Guru!"
Mengapa mendiang gurunya Intan Selaksa mengkhususkan kamar itu? Jika
tidak ada apa-apanya, pasti tidak perlu dikhususkan, pikir Suto dalam renungan
panjangnya.
*
* *
9
MATAHARI pagi telah pancarkan
sinarnya sejak tadi. Pendekar Mabuk bergegas bangkit ketika menyadari dirinya
telah semalaman tertidur di saung tepi telaga itu. Nyenyak sekali tidurnya,
sampai ia tak terasa bahwa Intan Selaksa telah bangun dan tinggalkan saung.
"Ke mana dia?!"
pikir Suto mencari-cari Intan Selaksa. "Mungkin sedang buang air di balik
rumpun bambu merah itu? Hmm... tak perlu kususul. Nanti sangkanya mataku
seperti keranjang!" gumam Pendekar
Mabuk sambil melangkahkan
kakinya mendekati telaga, kemudian ia meraup air telaga untuk mencuci muka.
Namun tiba-tiba ada gelombang
tenaga yang datang
dari seberang telaga yang
bergaris tengah antara tujuh tombak. Gelombang tenaga dalam itu memang tidak
berbahaya, tapi sentakannya yang kuat membuat tubuh Suto terjengkang ke
belakang saat ingin meraup air.
Bugg...!
Suto Sinting cepat bangkit dan
pandangi arah datangnya
gelombang angin besar
itu. Ternyata datangnya
dari Intan Selaksa yang baru muncul dari rimbunan bayam kuning setinggi
lututnya. Dari sana Intan berseru,
"Jangan sekali-kali
menyentuh air telaga!" "Mengapa?" teriak Suto.
"Guru berpesan begitu!
Aku tak tahu artinya!"
"Anak itu terlalu patuh
kepada segala perintah gurunya, ia juga mempunyai nilai kesetiaan yang
tinggi," pikir Pendekar Mabuk.
Intan Selaksa melangkahkan
kaki dengan santai, mendekati Suto.
"Kubawakan bunga
untukmu," kata Intan Selaksa. "Bunga apa ini? Baunya harum
sekali," Suto
pandangi bunga berwarna merah
jambu yang berbau harum lembut, bentuknya mirip seperti
mawar berkelopak susun dua.
"Ini namanya bunga
Cendana Surga!"
"Aku baru kali ini
mendengar namanya. Cukup indah, seperti indahnya warna bunga dan bentuknya.
Cantik
sekali, seperti cantiknya si
pemberi," ucap Pendekar Mabuk melegakan hati Intan
Selaksa. Gadis itu
tersenyum dengan manisnya, berkesan malu namun bahagia hatinya.
"Bunga Cendana Surga
layak dimiliki oleh seorang pria," kata Intan Selaksa.
"Mengapa begitu?"
"Pria yang memiliki bunga
Cendana Surga membuat dirinya tak bisa disakiti oleh perempuan mana pun!
Seorang perempuan tak akan tega melukai hati pria yang memiliki bunga Cendana
Surga. Bawalah bunga itu untuk menjaga-jaga hatimu. Sampai seratus tahun pun
bunga itu tak akan layu. Harumnya tetap akan menyebar di seluruh tubuhmu, dan
tercium dari jarak tiga puluh langkah. Tapi jangan sampai bunga itu jatuh ke
tanah, karena dia akan cepat layu dan tak lagi menyebarkan wewangian yang
menenteramkan hati siapa pun!"
"Terima kasih! Mengapa
kau berikan padaku? Bukan pada pria yang bisa menjadi kekasihmu abadi?"
"Aku tidak punya kekasih
abadi! Aku hanya punya harapan abadi!"
Suto tersenyum sambil pandangi
Intan Selaksa. Kejap berikutnya Suto berkerut dan cepat berkata,
"Intan Selaksa, aku punya
firasat tak baik untuk Raja Nujum!
Sebaiknya kau di
sini dulu, aku akan menengoknya ke sana! Siapa
tahu Raja Nujum membutuhkan
bantuan secepatnya!"
"Aku harus ikut!"
"Jangan! Mereka memburumu
dan memaksamu
untuk menyerahkan kunci itu!
Kalau kau tak mau, kau bisa
dibunuh oleh mereka
di luar jangkauan pengamananku!"
"Kunci itu sudah tidak
ada lagi padaku!" "Hah...?! Lantas ke mana kunci itu?" "Ada
di dalam bumbung tuakmu!"
"Gila kamu!" Suto
tertawa geli.
"Sejak kemarin sudah
kumasukkan, sebelum kau menghantam tenggorokan Bandot Tembang."
Pendekar Mabuk tertawa bagai orang
menggumam. "Nakal kau...!" Ia menjentik lirih ujung hidung Intan
Selaksa. "Kalau begitu sejak semalam aku minum tuak campur kunci?!"
Intan Selaksa tertawa renyah.
"Maafkan aku. Aku panik kala itu!"
"Baiklah! Kalau begitu
kau ikut aku ke sana, dan
jangan jauh-jauh dariku! Jika
mereka memaksamu untuk menyerahkan kunci dan kau terdesak, katakan yang
sebenarnya, bahwa kunci kau masukkan ke dalam bumbung tuakku. Suruh mereka
ambil sendiri!"
Tak ada rasa gentar di hati
Intan Selaksa selama ia bersama Suto. Bahkan ia punya kesiapan nyali untuk
melawan siapa pun yang mencoba menyerangnya.
Tetapi apa yang terjadi di
tempat pertarungan Raja Nujum sungguh menyedihkan. Mereka menemui duka di sana,
karena mendapatkan keadaan Raja Nujum yang sedang sekarat, sebentar lagi mati.
Sedangkan orang- orang yang kemarin melawannya sudah tidak terlihat kecuali
Bandot Tembang. Orang ini terbujur kaku dalam
keadaan jebol dadanya.
"Paman...! Paman Raja
Nujum...!" Intan Selaksa cepat mendekati orang tua yang sekarat itu dengan
wajah duka menahan tangis.
"Mer... mereka...
menyerang kuil... pertahankan... perta...."
Pendekar Mabuk bergegas ingin
menuangkan tuak ke
dalam mulut Raja Nujum. Tapi
sudah terlambat. Raja Nujum menghembuskan napasnya yang terakhir pada saat
tutup bumbung itu dibuka oleh Suto Sinting.
"Pamaaan...!" seru
Intan Selaksa dalam tangis
berkabungnya.
Pendekar Mabuk kembali menutup bumbung tuaknya. Tapi segera
dibuka lagi, lalu dituang ke mulutnya. Beberapa teguk tuak ditenggak sebagai
alat penghapus duka atas kematian Raja Nujum.
"Cepat kita ke
kuil!" kata Suto kepada Intan Selaksa. "Mereka pasti akan merusak kuil
itu. Setelah dari sana, baru kita makamkan Raja Nujum di samping makan gurumu,
Intan!"
Jenazah itu ditinggalkan.
Tongkat yang telah pecah bola
kristalnya juga ditinggalkan. Mayat
Bandot Tembang dilangkahi. Matinya mengerikan. Matanya sempat melirik ke
kanan dan tak kembali lagi.
"Raja Nujum agaknya
bertarung semalam suntuk dengan mereka! Kulihat darahnya masih segar,"
kata Suto. "Tapi yang membuatku merasa aneh, mengapa Raja Nujum masih
juga berpesan agar kuil dipertahankan! Ada apa dengan kuil
tersebut? Jika tidak
ada pusaka Pedang Guntur Biru,
tak mungkin kuil begitu gigih harus dipertahankan!"
Intan Selaksa menyahut,
"Tak tahulah bagaimana
sebenarnya. Yang kutahu hanya,
Guru tak pernah mempunyai pedang atau senjata apa pun!"
"Sangat disayangkan jika
kuil itu dihancurkan mereka tapi mereka tidak temukan pedang pusaka itu!"
"Itu yang kucemaskan dari
awalnya," sahut Intan
Selaksa.
"Kalau begitu,
kupancing saja mereka dengan pertarungan!"
"Belum tentu mereka mau
melayani pertarungan
denganmu! Mereka lebih
mementingkan pedang pusaka dengan cara memporak-porandakan kuil!"
"Aku bisa menggunakan kunci!
Dengan menunjukkan kunci itu, mereka pasti bersedia bertarung melawanku
supaya bisa dapatkan kunci kamar semadi itu!"
"Bagaimana kalau kau
sampai... kalah?'
"Kalau suratan takdirku
sudah begitu, tak ada yang bisa menghindarinya!" jawab Pendekar Mabuk
dengan tenang.
Kunci itu agak sulit
diambilnya, karena bumbung masih berisi tuak hampir separo bagian. Jika
dituangkan semua tuaknya, kunci bisa terambil tapi Suto kehabisan tuak. Karena
itu diambillah jalan untuk menggunakan kayu pengait.
Kunci itu ternyata berbentuk
seperti senjata cakra kecil. Ujungnya bergerigi dan mempunyai garis siku dua
buah pada batangnya.
Panjangnya antara satu ukuran
jari tengah, tapi lebih kecil dari ukuran jari itu sendiri. Bagian pemegangnya
berbentuk gambar hati yang berlobang. Suto mencari akar, lalu membuatnya kalung
dengan bandul kunci tersebut, ia mengikatkan akar dan kunci di lehernya agak
ketat, supaya dalam pertarungan nanti sukar diserobot lawan.
Ketika mereka sampai di kuil,
tiga orang itu sedang menggempur dinding kamar semadi. Mereka pikir pintu itu
lebih sulit digempur ketimbang dindingnya. Tetapi pada waktu Sambar Jantung
ingin melepaskan pukulan penggempurnya, Pendekar Mabuk segera berteriak,
"Kuncinya ada di sini!
Tak perlu menggempur dinding itu! Ambil saja kunci ini!"
"Bocah monyet itu muncul
lagi!" geram Ratu Teluh
Bumi.
Sengaja Suto memancingnya ke
arah luar halaman kuil, karena keadaan di dalam halaman kuil sangat tak baik
jika untuk pertempuran. Bahkan Suto sengaja memancing mereka untuk mengejarnya
ke sebuah gugusan cadas yang menyerupai bukit kecil itu. Suto berdiri di sana,
sementara Intan Selaksa bersembunyi di balik kerimbunan pohon yang ada tak jauh
dari bukit cadas itu.
Dalam waktu singkat Sambar
Jantung, Ratu Teluh Bumi, dan Dewi Kelambu Darah sudah mengepung Suto Sinting.
Mata mereka sama-sama memandang ke arah leher Pendekar Mabuk yang berkalung
kunci warna
hitam dari batuan jenis
kecombong hitam.
"Kuberi kesempatan tiap
orang satu kali untuk melawanku dan merebut kunci ini dari leherku!" kata
Suto dengan sikap tetap tenang. Mereka saling cibirkan bibir. Bahkan Sambar
Jantung berkata,
"Menyambar kunci itu amat
mudah, Suto! Mungkin jantungmu juga
ikut tersambar, karena sambar- menyambar itu pekerjaanku, Nak!"
"Cobalah kau yang
mengawali pertarungan ini! Tak perlu sampai ada yang mati, asal semua bersikap
ksatria, kalau kalah segera mundur dan akui kekalahan kalian!" kata
Pendekar Mabuk sambil menenggak tuak lagi
Kesempatan Pendekar Mabuk
lengah saat menenggak tuak
digunakan oleh Sambar Jantung untuk menggerakkan tangannya
dari tempat ia berdiri berjarak enam langkah dari Pendekar Mabuk itu. Wuttt...!
Tangannya bergerak menyambut sesuatu di depannya. Tetapi tangan Suto yang tidak
memegangi tuak itu menepis, dan terasa menyentuh hawa panas yang berbunyi,
Plakkk...!
Sambar Jantung terkejut.
Tangannya bisa ditangkis walau tak tersentuh tepian tangan Suto. Ia makin
penasaran kepada Pendekar Mabuk itu. Dengan cepat ia sentakkan tangannya dari
bawah ke atas bagai ingin menjungkirbalikkan meja.
Pendekar Mabuk merasa ada
gerakan gelombang dari atas yang mendorong tubuhnya ke belakang dan
berjungkir balik. Sebab itu, ia segera sentakkan
bumbung tuaknya yang telah
ditutup itu ke bawah. Wuttt...!
Plokk...! Bumbung tuak itu
bagaikan menghantam
benda keras, padahal hanya
berkelebat di tempat kosong depan kaki Pendekar Mabuk. Namun akibatnya sangat
berbahaya bagi Sambar Jantung, ia terpelanting dengan kuat bagai tangannya
disentakkan ke arah samping dan memutar, ia jatuh dengan bagian punggung lebih
dulu. Bokk...! Menyeringai wajahnya, merasa sakit punggungnya, tapi lebih
sakit bagian pergelangan tangannya.
Matanya membelalak melihat
pergelangan tangannya bengkak seketika dan membiru bagai mengenakan gelang
besar. Warna biru itu terus bergerak sampai ke batas siku.
"Biadab kau! Terimalah aji
pamungkasku ini!
Hiaaah...!"
Tangannya masih bisa
menghentak ke depan, dan hembusan badai berserbuk putih itu keluar dengan
deras, mengguncangkan tanah sekeliling. Badai salju terjadi, udara dingin
begitu cepat menyembur ke tubuh Pendekar Mabuk. Tetapi Pendekar Mabuk diam
saja. Dipandanginya gerakan jurus 'Badai Salju'-nya si Sambar Jantung
itu. Dalam waktu singkat tubuh Pendekar Mabuk telah menjadi putih terbungkus
salju. Dan salju-salju itu sebenarnya salju beracun. Salju itu akan memakan
daging dan darah korbannya hingga menjadi tulang-belulang.
"Bocah edan!" geram
Sambar Jantung. "Sudah
dibungkus salju sebanyak itu
tetap saja tak mau rubuh?! Hiaaah...!"
Sambar Jantung sentakkan kedua
tangan lagi dengan
telapak tangan membara merah
menyala. Pukulan itu melepaskan sinar merah berbentuk piringan setengah
lingkaran. Sinar merah melesat ke dada Suto, dengan cepat Suto bergerak limbung
seperti mau jatuh karena mabuk, tapi pada saat itu ia mengangkat bumbung
tuaknya, dan sinar merah itu menghantam bumbung tersebut. Crasss...!
Sinar merah memantul balik
dengan lebih cepat dan lebih besar bentuknya. Sambar Jantung terkesiap, dan
saking kagetnya tak sempat hindarkan diri, lalu sinar merah itu pun menghantam
dadanya. Blarrr!
Tubuh Sambar Jantung pecah
menjadi serpihan- serpihan kecil tak bisa dilihat oleh mata lagi, mana bagian
kepala, mana bagian jari. Lembut sekali, tanpa suara mengaduh, tanpa darah
memercik.
Pendekar Mabuk mengibaskan
badannya, salju-salju yang membungkusnya itu berjatuhan. Badannya basah seperti
orang habis tercebur di sungai. Tapi ia tetap tegar dan menatap Ratu Teluh
Bumi, lalu menatap Dewi Kelambu Darah.
"Siapa lagi...?"
tanya Suto. "Atau sebaiknya tak perlu ada pertarungan biar tak ada
korban!"
"Jangan merasa menang
dulu!" kata Dewi Kelambu
Darah. "Aku lawanmu!
Bukan si tua bangka itu!"
Sett...! Mata Kelambu Darah
bergerak ke samping. Pendekar Mabuk terpelanting, karena tak menyangka
akan mendapat serangan
seketika itu. Pendekar Mabuk berguling-guling di atas tanah tiga kali, lalu
cepat hinggap di atas sebongkah batu yang tingginya hanya sebatas betis.
Jlegg...!
Ia berdiri siap menghadapi
Dewi Kelambu Darah. Mata perempuan itu pun kembali memandang dengan liar dan
tajam. Suto segera pandangi mata itu. Kelambu Darah meremas kedua tangannya,
Suto sedikit bergetar kakinya. Rupanya mereka beradu kekuatan lewat pandangan
mata. Kelambu Darah ingin mengambil kunci itu dengan kekuatan matanya, tapi
Pendekar Mabuk mendorong kekuatan itu dengan tetap berdiri merenggang kaki.
Makin lama semakin sama-sama
bergetar tubuh mereka. Angin gunung berhembus menyingkapkan pakaian dan rambut
mereka yang tampak gigih saling mempertahankan diri. Dan tiba-tiba Suto Sinting menggenggamkan tangannya, lalu
menyentakkan napas melalui hidung. Fuih...!
Napas tanpa dendam dan
kemarahan itu tidak menghadirkan
angin badai Tuak
Setan, namun mempunyai kekuatan
mendorong balik pancaran mata Dewi Kelambu Darah. Hal itu membuat Dewi Kelambu
Darah tiba-tiba terpekik sambil terjengkang ke belakang.
"Aaa...!"
Kedua bola matanya pecah.
Darah memercik dari kedua rongga mata itu. Tangan menutup mata sambil menjerit.
Tubuhnya limbung karena sentakan keras, dan jatuh terguling-guling ke lereng
berjurang dalam. Suara
jeritannya masih terdengar
membahana, makin lama semakin hilang. Lenyap, dan berganti sepi yang menanti.
Ratu Teluh Bumi maju dua
tindak. Suto melesat
pindah tempat agar dia tak
terjebak jatuh ke jurang di belakangnya. Pada waktu Pendekar Mabuk tiba di
tempatnya yang baru,
Ratu Teluh Bumi segera melemparkan sesuatu yang seolah-olah habis ditangkapnya di udara atas kepala.
Wuttt...! Gemerincing bunyinya
menerjang angin, menuju ke arah Suto. Rupanya serombongan pecahan beling atau
logam-logam tajam. Dengan kibasan tangan bagai memercikkan air, rombongan benda
tajam itu pecah berhamburan ke mana-mana. Satu di antaranya masuk ke rahang
Ratu Teluh Bumi. Perempuan itu tersentak bagai tersengat bisa kalajengking. Dan
tiba-tiba kulit rahangnya
itu mengelupas. Bergerak pelan mengelupas sendiri sampai
ke bagian pipi. Ratu Teluh Bumi cepat pejamkan mata. Kejap berikutnya luka itu
kembali seperti semula. Mulus lagi wajahnya.
Namun ia segera meniup telapak
tangannya ke arah Suto. Dan Suto segera putarkan bumbung tuak ke atas. Sesuatu
yang berwarna serbuk hitam dari tiupan tangan Ratu Teluh Bumi itu menyebar ke
mana-mana terkena kibasan angin bumbung. Bahkan kibasan angin itu semakin besar
dan menghantam keras kepala Ratu Teluh Bumi. Plokk...!
"Ahhg...!" Ratu
Teluh Bumi terpelanting. Kepalanya mengucurkan darah, sepertinya menjadi retak, ia terguling-guling jatuh ke lereng bukit
pendek itu. Tapi ia
masih berusaha berdiri dan
memandang ke atas bukit. Sementara
itu, berdirinya sendiri sudah
menjadi limbung, darah makin membanjir membasahi tubuhnya.
Setelah dirasakan tak mungkin
lagi untuk meneruskan pertarungan, Ratu Teluh Bumi pun berseru,
"Tunggu beberapa saat lagi!
Aku pasti akan membalas kekalahan ini, Suto
Sinting!"
Tanpa menunggu jawaban dari
Suto, Ratu Teluh Bumi cepat menjejakkan kaki ke tanah dan ia melesat pergi
dengan cepat. Kemudian dengan lenyapnya Ratu Teluh Bumi, muncullah Intan
Selaksa yang telah keluar dari persembunyiannya dan berseru memanggil Suto dengan
senyum kegembiraan.
"Sutooo...!"
Ia memeluk Pendekar Mabuk
dengan rasa bangga dan lega yang teramat dalam. Suto pun membalas pelukan
kemenangan itu dengan hangat. Tapi angin gunung yang membawa udara dingin itu
tetap saja menghembuskan napasnya, mempermainkan rambut kedua insan itu hingga
dari bawah terlihat bagaikan dua tugu merapat dan meriap-riapkan rambut dengan
indahnya.
"Doaku ternyata
dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa! Kau diberi kemenangan, Pendekar Mabuk!"
"Terima kasih atas doamu!
Jika tanpa doamu, belum tentu aku menemukan kemenanganku, Intan!"
Rupanya Pendekar Mabuk sendiri
sangat penasaran, ingin membuktikan apakah benar di dalam kamar semadi itu
tersimpan pedang pusaka yang mereka perebutkan. Ia meminta izin kepada Intan
Selaksa untuk
membuka dan memeriksa kamar
tersebut. Intan Selaksa semula
takut kepada pesan gurunya. Tapi Suto membujuk dan siap menanggung
segala akibatnya. Maka, Intan Selaksa pun memberanikan diri untuk penuhi
permintaan itu.
Terlebih dulu Pendekar Mabuk
semadi beberapa saat lamanya di depan pintu
kamar tersebut, seakan memohon izin kepada
mendiang Guru Intan Selaksa itu untuk menengok keadaan di dalam kamar tanpa
akan menyentuh apa pun. Setelah itu, Intan Selaksa disuruh membuka pintu kamar
dengan menggunakan kunci. Ternyata lubang kunci ada di meja altar di tempat
pemujaan. Begitu kunci dimasukkan ke dalam lobang, lalu diputar, maka pintu itu
pun bergerak dengan sendiri. Zrrr...!
Kamar terbuka sudah. Tak ada
yang berani masuk. Hanya memandang dari jarak tiga langkah. Ternyata kamar
benar-benar kosong. Tak ada benda apa pun kecuali selembar tikar.
Batu-batuannya tersusun rapi, tak ada kesan sebagai pintu rahasia menuju ke
sebuah ruangan.
"Aneh! Kamar kosong
begini disangka ada benda pusakanya?!" gumam Suto Sinting dengan heran.
"Sudah kukatakan, kamar
ini kosong! Ternyata benar, bukan?!"
Suto manggut-manggut merenunginya. Tiba-tiba datang angin
tak terlalu kencang. Daun kering terbang tertiup angin, masuk ke kamar itu dan
jatuh di tikar. Intan Selaksa ingin buru-buru memungutnya karena
merasa telah mengotori kamar
semadi itu. Namun tangannya segera ditepis oleh Suto Sinting dalam sentakan
keras. Wuttt...! Pluk...! Segera tubuh itu dipeluknya. Intan Selaksa terkejut
berada dalam pelukan Suto. Tapi lebih terkejut lagi melihat sesuatu yang
terjadi di dalam kamar. Daun kering itu telah membuat beban lain di tikar, dan
puluhan tombak berjajar rapi keluar dari arah kanan-kiri dinding.
Zzzrabb...! Dua rombongan tombak saling menghujam rapat. Jika
ada orang berdiri di atas tikar itu, pasti akan hancur ditembus lebih dari
empat puluh tombak yang bergerak cepat dari kanan-kiri.
Suto dan Intan terkejut. Mereka
masih termenung membayangkan kengerian yang nyaris menghancurkan tubuh Intan
Selaksa. Bahkan ketika mereka kembali berada di tepi telaga, bayangan
mengerikan itu masih menghantui pikiran mereka.
"Untung kau segera
memelukku! Kalau tidak,
habislah riwayatku!"
"Gurumu sengaja kasih
jebakan bagi mereka yang berhati rakus! Tentu saja jika gurumu duduk di situ,
jebakan itu tak akan bergerak karena sudah dijinakkan lebih dulu!"
"Benar juga! Tapi...,
apakah menurutmu di sela-sela tombak itu terdapat pedang pusaka?"
Suto berkerut dahi dan
menggumam, "Mungkin juga! Kenapa baru sekarang kita pikirkan hal itu?
Mengapa tadi tidak
terpikir oleh kita, sehingga kita bisa memeriksanya?! Tapi seingatku, seorang
teman pernah
mengatakan kepadaku, bahwa
Begawan Sangga Mega mengatakan, "Pedang itu tak bisa dilihat sembarang
orang. Letaknya jauh dari hati pewarisnya. Jadi, kurasa karena pewarisnya
adalah Siluman Tujuh Nyawa yang berhati sesat, maka artinya pedang itu jauh
dari hati orang yang sesat atau kotor. Letaknya tak bisa dilihat sembarang
orang, artinya hanya orang berhati bersih yang bisa melihat di mana pedang itu
berada."
"Begitukah
maksudnya?"
"Kira-kira saja begitu!
Aku tak tahu secara tepatnya!" jawab Suto.
Tapi sampai jauh malam Suto
dan Intan Selaksa yang
menikmati keindahan purnama di
tepi telaga itu masih belum bisa memastikan, apakah Pedang Guntur Biru itu
memang ada atau tidak? Jika ada apakah memang tak bisa dilihat sembarang orang,
atau terletak di suatu tempat yang sukar dijangkau manusia?
Ketika Pendekar Mabuk
sendirian merenungkan itu di tepi telaga, tiba-tiba tak sadar ia mengusap
keningnya yang bertanda merah itu dengan tangan kiri. Lalu matanya terbelalak
kaget melihat cahaya biru mengambang di perairan telaga tersebut.
Suto mendekati cahaya biru itu, ia makin tersentak kaget setelah mengetahui
benda bercahaya biru itu adalah sebuah pedang bergagang dari batuan giok biru,
sarungnya dari logam putih beling bercahaya biru semburat.
Berdebar-debar Pendekar Mabuk
melihat pedang itu. Ternyata di situlah, di perairan telaga itulah pedang itu
disimpan oleh Begawan Sangga Mega. Jelas tak akan
mudah ditemukan atau dilihat
orang, karena pedang itu ada di antara lapisan alam nyata dan alam gaib. Hanya
orang-orang yang bisa melihat alam gaib saja yang bisa melihat seperti apa
Pedang Guntur Biru itu.
Berbentuk sangat indah,
menarik sekali. Setiap orang pasti berminat untuk memilikinya. Tapi Pendekar
Mabuk menahan hatinya dan berhasil untuk tidak memegangnya. Sekalipun ia bisa
melihat alam gaib jika mengusap keningnya dengan tangan kiri, sekalipun ia bisa
memegang, tapi ia tak mau gegabah melakukannya. Sekalipun ia bisa membawa lari
dan memilikinya, tapi ia tak mau membawanya lari. Ia hanya berkata dalam
hatinya,
"Bukan aku pewarisnya,
tapi mungkin Siluman Tujuh Nyawa itu, kalau memang dia bisa berusia tiga ratus
tahun. Jika ia sebelumnya sudah mati, berarti satu- satunya pewaris pedang itu
adalah.... Singo Bodong!"
Hati Suto Sinting cukup lega.
Puas rasanya walau hanya bisa memandang Pedang Guntur Biru itu. Setidaknya ia
menjadi percaya, bahwa Pedang Pusaka Guntur Biru itu memang ada, dan tak bisa
dimiliki oleh siapa pun walau harus saling bunuh-membunuh, kecuali orang
berhati suci, polos, bersih, dan tidak dihinggapi nafsu angkara murka.
Pendekar Mabuk terpaksa harus
melanjutkan perjalanannya, memburu Siluman Tujuh Nyawa untuk memenggal kepala
tokoh sesat yang banyak memakan korban tak bersalah itu. Ia terpaksa harus
berpisah dengan Intan Selaksa dengan ucapan kata berpisah,
"Suatu saat, aku pasti
datang lagi menengokmu ke sini. Dan satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa
ternyata pusaka itu memang ada!"
Pendekar Mabuk membiarkan
dipeluk Intan Selaksa sebagai salam perpisahannya.
SELESAI