1
ANGIN bertiup semilir sejuk.
Barangkali karena mendung menggantung di langit dan hujan sedang berkemas untuk
turun, maka angin pun membawa kelembaban udara yang sejuk. Cuaca seperti itu
enak untuk tidur.
Maka bersiaplah pemuda tampan
berambut panjang lurus tanpa ikat kepala itu untuk mencari tempat buat
baringkan badan. Setidaknya dengan duduk bersandar pun jadilah, yang penting
bisa untuk pejamkan mata dan terlena tidur. Pemuda berbaju coklat tanpa lengan
dan celana putih lusuh itu tak lain adalah murid sinting si Gila Tuak yang
bergelar Pendekar Mabuk: Suto Sinting.
Karena tak ada tempat yang
enak untuk baringkan badan, Suto Sinting akhirnya berbaring di atas dedaunan
semak tak berduri. Tempat yang sepi dan sangat kecil kemungkinannya dijamah
manusia itu membuat Suto Sinting tak segan-segan berbaring di atas dedaunan
semak. Daun-daun itu tidak patah, bahkan tidak melengkung terlalu banyak.
Padahal daun dan ranting kecil-kecil itu menyangga tubuh Pendekar Mabuk. Tentu
saja hal itu dilakukan oleh Suto dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang
bekerja dengan sendirinya dalam setiap denyut jantungnya.
Tapi anehnya bumbung tuak yang
terbuat dari bambu panjang itu juga diletakkan di atas dedaunan beranting
kecil. Padahal umumnya dedaunan itu akan melengkung atau patah rantingnya jika
ditindih dengan kayu sebesar lengan. Ternyata daun dan ranting tidak patah
walau ditindih dengan bumbung tuak yang isinya masih termasuk penuh. Sebab
setelah mengisi tuaknya di sebuah kedai, Suto baru meneguknya sekitar empat kali.
Berarti bambu itu lebih berat daripada bambu seukurannya.
"Apakah sang bambu tuak
juga punya ilmu peringan tubuh?" pikir seseorang yang memperhatikan Suto
dari jarak jauh.
Sepasang mata indah berbulu
lentik itu sejak tadi memperhatikan Suto dari jarak sekitar lima belas tombak.
Dia adalah seorang gadis cantik tak berbaju. Maksudnya, ia memang tidak
mengenakan baju tapi mengenakan rompi. Rompi panjangnya terbuat dari sutera
yang tembus pandang. Rompi itu berwarna merah, panjangnya sampai paha. Bagian
pinggang diikat dengan kain semacam selendang warna kuning, sedangkan celananya
berwarna merah juga sebatas lutut kurang. Celana itu sangat ketat, sehingga
menampakkan bentuk lekuk tubuhnya bagian bawah.
Gadis berpakaian seronok itu
berambut pendek, seperti potongan lelaki. Tapi bentuk potongannya sangat indah
dan sesuai dengan kecantikannya.
Rambut bagian depan berkesan
tegak karena dipotong lebih pendek dari lainnya. Kalau ia tidak mengenakan
giwang kecil warna merah, ia seperti lelaki. Kalau ia tidak mempunyai bibir
segar dan menggemaskan, ia akan dianggap seorang lelaki. Untung nya ia punya
dada besar dan sekal tanpa pembalut kecuali rompi merahnya itu, sehingga
melalui belahan rompi di dadanya yang menampakkan sebagian sisi bukit dada itu,
orang akan mengetahui bahwa dia adalah gadis cantik bertubuh sekal.
"Aku harus menunggunya
beberapa saat, setelah ia tertidur nyenyak aku baru bertindak," kata gadis
itu dalam hatinya. Mata indahnya yang berkesan membelalak itu memperhatikan
Suto tak berkedip dari balik persembunyiannya. Rupanya gadis berusia sekitar
dua puluh tiga tahun itu punya maksud tertentu kepada Pendekar Mabuk, sehingga
walaupun kakinya dikerumuni semut ia masih betah dipersembunyian nya. Sesekali
kakinya disentakkan supaya semut-semut genit itu menyingkir dari kulitnya yang
berwarna kuning langsat, bersih, dan halus mulus.
Tangan kanannya sesekali
memegangi gagang senjata, berupa pisau panjang bergagang logam kuningan
berukir, sarungnya juga dari logam kuningan berukir. Tampak bersih mengkilap
karena sering digosok pakai asam dan garam. Mata pisaunya berukuran sepanjang
siku sampai telapak tangan. Bentuknya agak kecil, jadi tak bisa disebut sebagai
pedang.
Pendekar Mabuk dianggap
sinting oleh si gadis cantik itu. "Sudah tahu mau turun hujan, eeh...
masih nekat tidur di alam terbuka?! Dasar pemuda sinting, mana bisa membedakan
langit mendung dan cerah. Atau jangan-jangan matanya tidak bisa melihat warna
dengan benar? Warna hitam mendung dianggapnya warna putih cerah."
Gadis itu tidak tahu kalau
Suto Sinting sudah menggunakan ilmu penolak hujan. Biar sering disebut sebagai
pemuda sinting, tapi Suto bisa menolak hujan, tapi tak bisa menolak rezeki.
Ilmu menolak hujan itu sebenarnya sudah dimilikinya ketika ia turun dari Jurang
Lindu, tempatnya digembleng oleh sang Guru, Gila Tuak. Tapi ilmu penolak hujan
jarang digunakan Suto karena dianggap ilmu yang terlalu kecil baginya.
Kadang-kadang jika kurang khusuk dalam heningnya, ilmu penolak hujan itu sering
gagal. Hujan yang ditolak malahan turun dengan deras dan menjadikan ban j ir di
sana- sini.
Tapi kali ini Suto sudah
menolak hujan dengan khusuk, dan yakin betul bahwa hujan tak akan turun. Tapi
keteduhan meganya dapat dinikmati sebagai hawa pengantar tidur.
Pendekar Mabuk tidur begitu nyenyaknya.
Maklum, sudah tiga malam ia tidak tidur karena menjaga sebuah perguruan yang
ingin diserang kelompok aliran hitam. Setelah kelompok aliran hitam itu
berhasil ditumbangkan dan sisanya melarikan diri dari perguruan tersebut,
barulah Pendekar Mabuk meninggalkan perguruan itu. Dan rasa kantuknya pun tiba,
sehingga dedaunan semak dijadikan alas untuk tidur.
Begitu nyenyaknya
sampai-sampai Suto Sinting terdengar mendengkur samar-samar. Dengkur itu
mengundang perhatian dua orang pencari kayu bakar. Mereka terkejut melihat ada
orang tidur di atas dedaunan semak dengan selamat. Padahal di bawahnya ada
tonggak runcing bekas potongan pohon kecil. Seandainya Suto jatuh, pasti
punggungnya akan tertancap tonggak runcing itu.
"Orang itu edan apa
sakti? Kok tidurny* di atas dedaunan semak begitu?" kata pencari kayu yang
bertubuh pendek.
Yang jangkung menjawab,
"Apakah kau tak kenal dia? Bukankah dia adalah Pendekar Mabuk yang kondang
dengan kesaktiannya itu?"
"Ah, pendekar kok
tidurnya di atas pohon."
"Kalau dia bukan pendekar
sakti mana mungkin dia bisa tidur di atas pohon setipis itu?"
"O, iya, ya?! Kalau
begitu, mari kita cepat pergi dari sini. Jangan mengganggu tidurnya. Nanti
kalau kita berisik di sini tidurnya terganggu dan dia bisa marah kepada
kita."
Kedua orang itu segera pergi,
tapi masing-masing berceloteh tentang kabar yang mereka dengar dari mulut ke
kuping tentang kesaktian Pendekar Mabuk. Bahkan yang bertubuh pendek mempunyai
pendapat, jika Suto tidak sedang mabuk, tentunya tak akan mau tidur di atas
dedaunan sekecil itu. Padahal walau berjuluk Pendekar Mabuk, tapi Suto tidak
pernah mabuk. Dulu ketika menempuh pelajaran dari sang Guru, Suto memang sering
mabuk. Tapi lama-lama ia seperti bosan mabuk, sehingga walaupun meminum tuak
satu bumbung habis, ia tidak akan mabuk. Hanya saja, jurus-jurus yang diajarkan
oleh Gila Tuak itu adalah jurus orang mabuk. Meliuk ke sana-sini, terhuyung-
huyung seperti mau jatuh, tahu-tahu menghantam lawan.
Mendung menyingkir dengan
penuh kesadaran. Sang matahari menerobos celah dedaunan. Matahari sudah mulai
bergeser ke barat. Cahayanya masih menyengat dan membuat Pendekar Mabuk
terbangun dari tidurnya.
Wuuuut... !
Ia sentakkan pinggulnya dan
turun dari atas dedaunan. Badannya menggeliat dengan otot dikeraskan. Mulutnya
sempat menguap sebagai sisa kantuknya.
Biasanya bangun tidur Suto
Sinting langsung membuka tutup bumbung tuak, menenggak tuak beberapa teguk
sebagai penyegar tubuh. Tapi kali ini, Suto Sinting begitu bangun tidur
langsung terkejut dan matanya terbelalak.
"Mana bumbung
tuakku?!"
Jantungnya berdebar-debar
karena tegang. Bumbung tuak itu hilang dari tempatnya. Suto Sinting sempat
menduga bumbung itu jatuh. Namun ketika dicarinya di kedalaman semak, ternyata
bumbung tuak tidak ditemukan.
"Celaka! Bagaimana
mungkin bumbung tuak itu bisa hilang, padahal ia dekat denganku. Setidaknya
kalau ia menggelinding jatuh aku pasti terbangun. Apakah ada yang
mencurinya?" pikir Suto sambil masih penasaran mencari bumbung tuak di
dalam semak-semak.
"Wah, gawat kalau
begini?!" gumamnya lirih. "Pendekar Mabuk kok kehilangan bumbung
tuak? Hilang pula ciri khas penampilanku! Oh, dewa... kemana bumbung tuakku
itu, tolong carikan ya Dewa...!"
Tentu saja kehilangan itu
merupakan suatu peristiwa yang baru pertama kali dialami Smo dan sangat
menegangkan. Karena bagi Suto bumbung tuak itu bukan sekadar bumbung biasa.
Bumbung tuak itu berisi tuak sakti. Tuak mana pun jika sudah masuk ke dalam
bumbung itu akan menjadi tuak berkhasiat tinggi; selain bisa untuk sembuhkan segala
macam luka dan penyakit, juga bisa untuk melenyapkan benda yang disembur dengan
tuak itu, namanya jurus 'Sembur Siluman'. Banyak lagi kegunaan tuak yang sudah
masuk ke dalam bumbung tersebut.
Bumbungnya sendiri bukan
terbuat dari sembarang bambu. Bambu yang dipakai sebagai bumbung tuak itu
sebenarnya merupakan bambu bernyawa, artinya bisa bergerak sendiri menyerang
lawan dan mengembalikan pukulan tenaga dalam lawan. Bambu tersebut memang dari
jenis bambu besi, tapi ditemukan si Gila Tuak di penjara bumi, lorong gua di
bawah Gunung Karak Kato (sekarang Krakatau).
Kesaktian bumbung itu juga
bisa menyedot tenaga dalam lawan yang dipancarkan secara berlebihan untuk
kemudian dilumpuhkan. Karena sejarah bumbung itu sebenarnya adalah jelmaan dari
bocah tanpa pusar yang bernama Wijayasura, yaitu eyang gurunya si Gila Tuak,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka Tombak Maut").
Hal yang menegangkan Suto lagi
adalah keberadaan sebuah pusaka yang tersimpan di dalam bumbung itu. Pusaka
Cincin Manik Intan disimpan Suto di dalam bumbung tuak. Jika bumbung itu hilang
dicuri orang tentu saja Cincin Manik Intan ikut hilang.
Padahal cincin pusaka itu
sangat berbahaya jika dipakai oleh sembarang orang. Bisa membuat orang itu
berlaku keji dan semena-mena mencabut nyawa orang lain.
"Aku yakin pasti ada yang
mengambil. Tak mungkin bumbung itu digondol kucing atau serigala. Pasti diambil
oleh seseorang!" kata Suto bicara sendiri sambil celingak- celinguk di
sekitar tempat itu.
Langkah mencari bumbung tuak
yang hilang itu terhenti. Mata pendekar muda itu memandang ke arah salah satu
sisi, bekas tumbuhnya serumpun bambu. Bambu-bambu hijau yang pernah tumbuh di
situ agaknya habis ditebangi oleh seseorang. Sejumlah bumbu masih utuh di salah
satu bagian, tapi di bagian lain pohon-pohon bambu itu tinggal sisa tonggaknya
yang meruncing berjajar-jajar. Tinggi tonggak rata- rata sebatas paha orang
dewasa.
Dan di tempat tonggak-tonggak
runcing itu, ternyata ada seorang gadis yang sedang berbaring dengan tenangnya.
Tubuh gadis cantik yang mulus itu tetap utuh tanpa luka seujung jarum pun,
padahal ia tidur di atas keruncingan tonggak-tonggak bambu.
"Siapa gadis itu?!"
pikir Suto Sinting. "Rupanya ia sedang pamer ilmu atau memang sedang
menjajal ilmu kebalnya sehingga ia tidur di atas tonggak-tonggak bambu yang
runcing dan tajam itu? Hmmm... atau barangkali ia melihatku tidur di atas
pohon, lalu ia tak mau kalah dengan menunjukkan kebolehannya yang bisa tidur di
atas keruncingan tonggak bambu?!"
Gadis itu tak lain adalah
gadis berompi merah yang belahan dadanya tampak lebar sampai ke ulu hati dan
tampak kemontokannya sebagian. Suto Sinting tidak mengenal gadis itu, sehingga
ia mendekatinya dan ingin melihat dengan lebih jelas lagi wujud kecantikan si
gadis bertubuh sekal menantang gairah itu.
Weeet... ! Tiba-tiba tubuh
yang terbaring dengan kedua tangan di perut itu melesat bagaikan terbang dengan
sendirinya. Di udara ia bersalto beberapa kali, dan kejap berikutnya sudah
berdiri di atas sebatang bambu yang terpotong miring hingga keruncingannya
semakin tajam. Teeb...!
Dengan satu kaki gadis itu
berdiri di atas keruncingan bambu. Matanya terbuka memandang Suto Sinting yang
sempat terperangah bengong. Bukan karena kehebatan sang gadis yang bisa berdiri
di atas keruncingan bambu, tapi terperangah karena memandang kecantikan yang
begitu menantang selera kejantanan seorang pendekar.
Suto Sinting bagai terkesima
memperhatikan tiap bagian tubuh gadis itu. Sang gadis sunggingkan senyum
bernada sinis. Senyum itu lebih berkesan membanggakan ilmunya.
Terbukti tegurannya
menyinggung tentang masa tidur Suto tadi.
"Kau kira hanya kau
sendiri yang bisa tidur di atas daun tanpa jatuh?"
Kesadaran si murid sinting
Gila Tuak segera membuatnya nyengir dan garuk-garuk kepala. Sang gadis berkata lagi
dengan senyum jumawanya,
"Kalau kau bisa pamer
ilmu peringan tubuh, aku pun bisa pamer ilmu peringan tubuhku! Sekarang
bagaimana pendapatmu tentang ilmuku ini?!"
"Hebat sekali,"
Jawab Suto Sinting sambil manggut-manggut.
"Pemusatan tenaga dalam
pada titik urat saraf tertentu adalah hal yang biasa kulakukan juga."
Si gadis sedikit berkerut
dahi. "Kok dia tahu kalau pemusatan tenaga pada urat saraf tertentu? Kalau
begitu dia jago juga untuk berbuat seperti yang kulakukan ini?!" pikir si
gadis.
"Tapi perlu kau ketahui,
Nona... bahwa aku tidur di atas daun bukan dengan maksud pamer ilmu padamu. Aku
tak tahu kalau kau ada di sekitar hutan sini. Kupikir tak ada orang, jadi aku
berani melakukan hal itu. Kalau kutahu ada orang di hutan ini, aku tak berani lakukan
hal itu, sebab takut dianggap pamer ilmu. Padahal ilmuku sangat rendah. Tidak
ada sekuku hitamnya dibandingkan ilmu yang kau miliki, Nona. Aku ini manusia
biasa, pengembara yang tidak punya bekal apa pun kecuali seutas nyawa dan
sejengkal mahkota bagi seorang lelaki...."
Sambil berbicara panjang
begitu, diam-diam tubuh Suto Sinting terangkat sendiri secara pelan-pelan.
Telapak kakinya mulai tidak menyentuh tanah. Semakin lama bicara semakin naik,
hingga sang gadis membelalak melihat Suto bisa melayang-layang di udara tanpa
alas berpijak apa pun.
"Waah.. Ini sudah pamer
ilmu namanya. Kata-katanya merendah tapi tindakannya meninggikan diri."
Si gadis menjadi kagum dan
mengakui kehebatan Pendekar Mabuk secara diam-diam. Tetapi sebagai gadis
berilmu ia tak mau mengakui begitu saja. Dengan satu kekuatan tenaga dalam ia
menarik tubuh Suto Sinting yang melayang di udara. Tangan nya mengembang ke
depan dan menyentak turun dalam jarak lima langkah di depan Suto.
Wuuut...!
Tapi bukan Suto yang tertarik
turun, melainkan gadis itu sendiri yang tersentak jatuh dari atas keruncingan
bambu tempatnya berpijak. Bruuus...! Hampir saja lehernya tertusuk tonggak
bambu di depannya, ia jatuh dalam keadaan tersungkur menyedihkan. Sedangkan
tubuh Suto Sinting masih tetap mengambang di udara karena menggunakan jurus
'Layang Raga'-nya itu.
Sang pendekar tampan hanya
tersenyum dan akhirnya cekikikan setelah ia turun serta menapakkan kakinya ke
bumi. Sang gadis menjadi berwajah merah karena malu dan jengkel sendiri.
Akhirnya ia menjadi berang dan membentak Suto Sinting.
"Jangan menertawakan
diriku! Kurobek mulut manismu itu kalau kau masih menertawakan diriku!"
"Mau merobek pakai apa,
Nona? Pakai tangan atau pakai bibirmu?" goda Suto Sinting.
"Kurang ajar!
Hiiih...!"
Gadis itu melompat dan
menyambar pisaunya. Pisau dikibaskan ke mulut Suto Sinting.
Wuuut...!
Dengan menarik kepala ke
belakang, Suto Sinting berhasil menghindari kibasan pisau tersebut. Lalu jari
tangannya menyentil ke arah pergelangan tangan si gadis. Wees...! Tuub...!
"Auh...!" si gadis
memekik kesakitan, sebab Suto menggunakan jurus 'Jari Guntur' yang mampu
menghadirkan tenaga dalam cukup besar untuk satu sentilan. Akibatnya, bukan
saja pisau itu terlempar lepas dari genggaman, tapi tubuh si gadis berputar dua
kali di udara karena merasa bagai disapu angin badai berkekuatan besar.
Bruuuk...! Si gadis akhirnya
jatuh bersimpuh di tanah. Wajahnya yang punya kesan pemberani itu menyeringai
menahan rasa sakit di pergelangan tangannya. Lalu tangan kirinya mengeras
dengan telapak tangan melebar. Telapak tangan itu pelan- pelan meraba
pergelengan tangan yang membekas biru legam. Beberapa saat bekas pukulan di
genggamnya, kemudian kejap berikutnya ia sudah tidak merasakan sakit. Tangan
kirinya bagai mengurut dan mencabut rasa sakit itu dalam satu genggaman.
Genggaman itu segera ditiupnya dengan kepala sedikit mendongak. Puiiih...!
Ia bangkit lagi dalam keadaan
sehat dan segar, seperti tak pernah mengalami luka dan sakit apa pun. Pisaunya
segera dipungut dan dimasukkan ke dalam sarungnya.
"Kau memang lebih hebat
dariku," ujarnya sambil memasukkan pisau ke sarungnya."Sekalipun
kukerahkan seluruh ilmuku, tapi aku tetap tidak akan bisa mengunggulimu,
Pendekar Mabuk!"
Dahi sang pendekar berkerut
walau bibirnya tetap tersenyum menawan. "Kau mengenal diriku sebagai
Pendekar Mabuk?"
"Tentu saja aku mengenal
ciri- cirimu. Aku juga mengetahui bahwa nama aslimu adalah Suto, sebutannya
Suto Sinting. Gurumu adalah tokoh tertinggi di rimba persilatan yang bergelar
Gila Tuak dan Bidadari Jalang."
"Wow...! Lengkap sekali
kau mengetahui tentang diriku?" Suto tampak semakin berseri. "Lalu
kau sendiri siapa, Nona Cantik?!"
"Pernah mendengar Putri
Malu?"
"Pernah. Sejenis daun
kumis kucing. "
"Enak saja!" gadis
itu bersungut- sungut. "Putri Malu itu namaku. Jangan disamakan dengan
kumis kucing."
"Ooo, ho, ho,
ho...!" Pendekar Mabuk tertawa geli. "Jadi namamu Putri Malu? Tapi
kurasa kau seorang putri yang tidak tahu malu. Buktinya pakaianmu begitu
menantang kemesraan seorang lelaki."
"Justru inilah yang
dinamakan Putri Malu. Artinya putri yang punya ke... eh, putri yang punya rasa
malu. Kalau tak punya rasa malu aku sudah telanjang."
"Aku akan memandang,
" sahut Suto dalam kelakarnya.
Putri Malu hanya mencibir.
Manis juga cibirannya, bikin hati Suto geregetan ingin menggigit bibir itu.
Untung Suto sadar bahwa bibir
itu bukan kue lapis yang boleh digigit sembarang orang, sehingga sang pendekar
tampan pun hanya bisa tarik napas memendam keinginannya.
"Kulihat tadi kau mencari
sesuatu di sekitar sini."
Pendekar Mabuk segera ingat
pada persoalan gawatnya, ia sedikit berubah wajah menjadi agak tegang. Matanya
pun mulai memandang sekeliling.
"Benar. Aku mencari
bumbung wadah tuak. Tadi sewaktu aku tidur, bumbung itu kuletakkan di sampingku.
Tapi ketika aku bangun, bumbung itu sudah tak ada. Hilang entah ke mana, dan
aku sudah mencarinya tapi tak berhasil."
"Jika aku berhasil
menemukan, maukah memberiku hadiah?"
Pendekar Mabuk memandang Putri
Malu dengan berkerut dahi. Pandangan matanya sedikit menyipit karena ia mulai
menaruh curiga.
"Maukah kau memberiku
hadiah?" tanya Putri Malu lagi sambil tersenyum dan melirik nakal.
"Hadiah apa yang kau
inginkan?"
"Hmmm...." senyumnya
semakin berkesan nakal. "Tidak berat, juga tidak mahal."
"Sebutkan! Jangan
bertele-tele!" sahut Suto agak keras karena penasaran dan tak sabar ingin
segera mendapatkan bumbung tuaknya.
"Aku minta hadiah
segumpal kehangatan."
"Maksudmu, singkong bakar
atau ubi rebus?"
"Uuuh...!" Putri
Malu cemberut jengkel. "Bukan kehangatan berupa makanan!"
"Jadi kehangatan apa yang
kau inginkan?"
"Kemesraan. . . , "
jawabnya sambil mendekat dan berlagak manja. Bibirnya mulai tampak merekah
mengundang selera. Matanya memandang sayu bagai ingin dicumbu.
Jantung Suto Sinting seperti
mengalami gempa setempat. Berguncang cepat hingga mengeluarkan keringat dingin.
Pikirannya menjadi kusut, pandangan matanya pun mulai buram. Karena ia
merasakan ada getaran aneh yang begitu kuat hingga sulit untuk ditaklukkan.
Setelah berulang kali menelan ludah dan membiarkan gadis itu mendekat, Suto
Sinting segera berkata dengan suara agak parau.
"Aku. . . . Aku tak
sanggup memberikannya, Putri Malu."
"Bukan untuk aku,"
ujarnya. Ucapan itu membuat Suto cepat kerutkan dahi kembali.
"Bukan untuk kamu? Lantas
untuk siapa?"
"Untuk ratuku."
"Ratumu...?! Siapa ratumu
itu?"
"Gusti Ratu Sukma
Semimpi."
Suto Sinting semakin berkerut
dahi karena merasa asing dengan nama itu. Sedangkan gadis cantik yang kian
mendekat dan menggenggam tangan Suto itu mulai berkata dalam nada mendesah
lembut.
"Jika kau mau menuruti
keinginanku, maka kau akan memperoleh bumbung tuakmu kembali."
"Kalau begitu kau yang
mencuri bumbung tuakku!" sergah Suto tiba-tiba sadar dan dapat
menyimpulkan kata-kata Putri Malu. Bahkan langkahnya ditarik mundur dua tindak,
matanya mulai memancarkan ketajaman.
Putri Malu tetap tenang, namun
kelihatan mengubah sikap menjadi lebih tegas lagi.
"Ya.Memang aku yang
menyembunyikan bumbung tuakmu!"
"Wah, kacau juga
rupanya!" gerutu Suto Sinting. "Berikan bumbung tuak itu sebelum aku
menjadi marah kepadamu!"
"Tak akan kuberikan walau
kau marah sebesar apa pun, kecuali jika kau mau kubawa menghadap Ratu Sukma
Semimpi dan memberikan kemesraan cinta padanya."
Wuuut... !
Tiba-tiba angin berhembus cepat
di sisi mereka. Rupanya ada tokoh lain yang hadir di situ.
* * *2
TUBUH kurus bermata cekung
memandang dengan sorot mata yang dingin. Rambutnya yang putih sepanjang
punggung diikat dengan ikat rambut dari kain merah. Melihat ikatan rambutnya,
sepintas orang akan menduga bahwa ia adalah seorang perempuan tua. Tapi jika
melihat kumisnya yang panjang berwarna putih dengan jenggot pendek berwarna
putih pula, maka orang akan tahu bahwa ia adalah seorang lelaki.
"Galak Gantung . . . ? !
" gumam Putri Malu bernada heran. Suto Sinting hanya membatin,
"O, kakek ini bernama
Galak Gantung? Apa maksud dia datang kemari? Apakah mau menunjukkan
kegalakannya, atau mau menggantung Putri Malu? Jangan-jangan malahan mau
menggantung diri sendiri?"
Kakek berpakaian hitam dengan
dirangkap jubah putih tanpa lengan itu mulai perdengarkan suaranya setelah puas
memandangi Putri Malu dan Suto secara bergantian.
"Sejak kapan kau menjadi
gadis perayu, Putri Malu?!"
Suara itu kering, tapi
mengandung wibawa yang tinggi, bisa bikin orang lain segan padanya. Kemudian ia
berkata lagi,
"Tak kusangka kau menjadi
gadis penjerumus yang akan mencelakakan orang lain."
"Apa maksudmu bicara
begitu, Galak Gantung?!" Putri Malu menghardik tanpa sungkan-sungkan.
Galak Gantung memandang Pendekar
Mabuk. Selama dua helaan napas ia belum bicara. Namun ketika mau bicara ia
sedikit membungkuk pertanda memberi hormat kepada sang pendekar. Tentu saja hal
itu mengherankan bagi Suto Sinting maupun bagi Putri Malu. Dalam hatinya Putri
Malu membatin,
"Kenapa dia menghormat
kepada Pendekar Mabuk? Bukankah Galak Gantung tokoh tua berilmu tinggi?!"
"Kumohon jangan mau
turuti bujukan gadis itu, Anak Muda!"
"Maaf," kata Suto
dengan sopan sekali. "Aku kurang mengerti maksudmu, Ki Galak
Gantung."
"Ratu Sukma Semimpi bukan
keturunan orang baik-baik. Ayahnya bernama Sabung Nyawa, bekas ketua partai
perampok di pesisir wetan! Ibunya, Ratu Cabul Kidul, penyihir sesat yang punya
kegemaran menjadikan lelaki sebagai budak gairahnya. Demikian pula Ratu Sukma
Semimpi, ia hanya ingin menundukkan dirimu dengan modal kemesraannya. Siapa pun
yang bercumbu dengannya akan terserap ilmunya dan pria itu akan polos seperti
bayi baru lahir lanpa ilmu setetes pun!"
"Bohong!" bentak
Putri Malu. "Jangan dengarkan omongan tua bangka
itu, Pendekar Mabuk!"
"Aku orang tua, buat apa
aku bicara bohong padamu, Anak Muda!" ucap Galak Gantung dengan nada
dingin.
"Racun iblis kau!
Hiaaah...!" Putri Malu menjadi berang, iamelompat menyerang Galak Gantung.
Wuuut...!
Putri Malu seperti menyerang
angin. Tak ada sasaran yang dikenainya. Galak Gantung sudah berada di belakang
Pendekar Mabuk tanpa ketahuan kapan bergeraknya.
"Setan kempot!"
gerutu Putri Malu.
"Anak muda, ingat
pesanku, jangan mau melayani Ratu Sukma Semimpi. Ilmu dan kesaktianmu akan
habis terhisap olehnya pada saat kalian bercumbu dalam kemesraan."
"Mulut busuk!"
bentak Putri Malu.
Slaap. . . ! Seberkas sinar
hijau dilepaskan dari tangan Putri Malu. Bentuk sinar itu seperti lempengan
persegi empat.
Galak Gantung kaget, sempat
terkesiap sebentar, lalu tangannya berkelebat seperti menyambar sesuatu.
Wuuut... !
Ternyata tangan itu
mengeluarkan asap yang menggumpal dan membuat sinar hijau tadi terperangkap di
dalamnya. Asap itu segera membubung tinggi melewati pucuk-pucuk pohon, kemudian
meledak di angkasa dengan suara menggelegar.
Blegaaarrr... !
Pada saat itu Putri Malu sudah
berkelebat bagaikan terbang ke arah Galak Gantung. Weees...! Tangannya
menghantam dada Galak Gantung dengan cepat.
Tapi Galak Gantung menangkisnya
dengan kaki, sedangkan kedua tangannya masih dikebelakangkan.
Plak, plak, plak, deeess... !
Kaki Galak Gantung menendang
perut Putri Malu. Gadis itu terlempar empat langkah dalam keadaan menyeringai.
Kemudian Suto Sinting melihat darah segar meleleh dari telinga gadis cantik
itu. Kejap berikutnya si gadis terbatuk dan dari mulutnya keluar darah kental.
"Gawat! Dia terluka.
Padahal hanya terkena tendangan seringan itu. Berarti penyaluran tenaga dalam
si Galak Gantung cukup tinggi. Setiap gerakan mengandung tenaga inti yang
membahayakan. Putri Malu bisa mati kalau masih menyerang terus."
Suto Sinting cepat bergerak ke
arah depan Putri Malu. Zlaaap...! Gerakannya yang lebih cepat dari gerakan anak
panah itu diperhatikan oleh Galak Gantung dengan senyum tipis yang berkesan
sinis. Namun bukan bermaksud meremehkan gerakan Suto Sinting.
"Hentikan seranganmu, Ki
Galak Gantung!"
"Aku tidak akan
menyerangnya kalau dia tidak membahayakan nyawaku!" kata Galak Gantung.
"Hiaaaat...!"
tiba-tiba Putri Malu melambung tinggi melewati kepala Suto dan menendang ke
arah kepala Galak Gantung.
Wuut,wuut,wuut,wuut,
wwuuut... !
Tendangan bertubi-tubi yang
dilakukan dengan cepat sekali itu membuat Galak Gantung melompat mundur dan
meliuk-liukkan tubuhnya untuk menghindar. Tapi kejap berikut ia berputar badan
dan kakinya menyampar ke arah lawan. Wweeettt...!
Duug, duug, duuug, duuug...!
Satu tendangan menghasilkan
serangan beruntun dan semuanya mengenai sasaran. Sentakan terakhir membuat
Putri Malu terjungkir balik ke belakang dan jatuh dengan luka memar di beberapa
bagian tubuhnya, terutama pada wajah dan belahan dadanya.
Suto Sinting tertegun bengong
melihat pertarungan serba cepat itu. Dalam hatinya Suto berkata,
"Jurus-jurusnya galak
sekali. Mungkin karena itulah ia berjuluk Galak Gantung? Oh, Putri Malu terluka
lebih parah lagi. Aduh, sayang bumbung tuakku hilang! Aku tak bisa mengobati
lukanya jika begini?!" hati Suto gundah kembali.
Putri Malu menggeliat bangkit
dengan berpegangan batang pohon. Saat itu Galak Gantung ingin lepaskan pukulan
jarak jauh dengan mengangkat tangan kanannya. Tapi Suto Sinting segera berseru,
"Hentikan!"
Satu seruan bersuara menyentak
telah membuat Galak Gantung hentikan gerak. Wajahnya berpaling memandang Suto
Sinting. Yang dipandang melangkah mendekatinya. Galak Gantung segera turunkan
tangan tak jadi lepaskan pukulan jarak jauhnya.
"Tidakkah kau malu
melawan gadis semuda dia, Ki?! Ilmunya tak sebanding dengan ilmu yang kau
miliki!"
"Dia perlu dihajar
sebelum menyesatkan orang banyak!"
"Aku akan menanganinya.
Serahkan padaku."
"Berjanjilah untuk tidak
terpikat dengan bujuk rayunya dan kau tidak akan datang bercumbu dengan Ratu
Sukma Semimpi!"
Suto Sinting menarik napas
sebentar. "Baik. Aku berjanji. Tapi aku akan menemui ratu itu untuk
menanyakan apa maksudnya mengirimkan anak buahnya untuk membujukku!"
Dengan tetap bernada dingin
Galak Gantung berkata, "Aku percaya padamu, Anak Muda. Selesaikan masalah
Putri Malu itu. Bantulah dia. Sebenarnya aku tidak punya kebencian padanya, juga
tidak ingin bermusuhan dengannya!"
"Akan kuperhatikan
kata-katamu, Galak Gantung!"
"Jika begitu aku harus
pergi sekarang juga untuk menyelesaikan urusanku sendiri. Sampaikan salamku
kepada Sabawana dan Nawang Tresni!"
Weeess... !
Galak Gantung pergi dengan
begitu cepat sehingga seperti menghilang dari pandangan mata. Kepergian itu
membuat Pendekar Mabuk terbengong melompong. Bukan karena kehebatan Galak
Gantung yang mampu bergerak cepat itu, tapi karena tokoh tua yang rambutnya
diikat ke belakang itu sempat titip salam kepada gurunya Suto dengan menyebut
nama asli Gila Tuak dan nama asli Bidadari Jalang.
"Berarti dia sahabat dari
guruku? Pantas dia menghargaiku? Setidaknya ia bisa melihat noda merah di
keningku yang hanya bisa dilihat oleh orang- orang berilmu tinggi."
Noda merah kecil di kening
Suto memang tidak bisa dilihat oleh setiap orang. Noda merah itu diberikan oleh
calon mertuanya, yaitu Ibu dari Dyah Sariningrum yang menjadi ratu di alam
gaib. Noda merah itu merupakan tanda kehormatan sebagai Manggala Yudha Kinasih
di negeri Puri Gerbang Surgawi alam gaib. Setiap orang berilmu tinggi pasti
hormat kepada Suto karena mereka tahu bahwa kekuatan Suto bukan hanya terletak
pada ilmunya saja, melainkan mampu mengerahkan sepasukan prajurit sakti dari
alam gaib. Dan jika prajurit alam gaib itu mulai bergerak, tak satu pun ada
yang bisa menandingi kekuatannya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Manusia Seribu Wajah").
Orang seperti Putri Malu jelas
tak bisa melihat noda merah itu, sebab noda merah hanya bisa dilihat dengan
indera ketujuh. Jika seseorang hanya bisa menggunakan indera keenamnya, belum
bisa melihat noda merah itu, sehingga ia tidak tahu siapa Suto sebenarnya.
Untuk ukuran manusia biasa,
Putri Malu tergolong gadis berilmu tinggi, ia mampu mengobati lukanya sendiri
dalam waktu singkat dengan meraba bagian yang luka dan mencabut gaib dari luka
itu. Rasa sakit itu mampu diambilnya dan dibuangnya dengan satu tiupan yang
menyentak ke udara.
Karenanya tak heran ketika
Galak Gantung telah pergi dan Suto Sinting tertegun lama dalam renungannya,
Putri Malu sudah bisa berdiri dan melangkah dengan sehat seperti tak pernah
menderita luka dan sakit apu pun
"Jangan percaya dengan
fitnah si Galak Gantung itu!" kata Putri Malu. "Ratu Sukma Semimpi
tidak seburuk itu."
Rupanya gadis itu masih ingin
membujuk Suto Sinting agar mau dibawa menghadap sang Ratu. Hal itu menimbulkan
keheranan dan rasa ingin tahu yang mengusik hati Pendekar Mabuk.
"Kalau kau mau menghadap
Ratu Sukma Semimpi dan mau memberikan kemesraan yang diharapkan beliau, bumbung
tuakmu akan kukembalikan "
"Kalau aku tidak
bersedia, bagaimana?"
"Kau akan kehilangan
bumbung tuakmu selamanya!"
"Kalau aku memaksamu
dengan kekerasan, apukah kau sanggup melawanku?"
Pulri Malu diam saja. Ia
melangkah bagai mempertimbangkan keputusannya. Suto merasa tantangannya akan
disambut dulu, setelah Putri Malu dikalahkan barulah si gadis akan menyerahkan
bumbung tuaknya.
Tapi tiba-tiba Putri Malu
melesat masuk ke semak-semak dan menghilang di sana. Suto Sinting terkejut
sekali karena tidak menduga kalau Putri Malu akan melarikan diri.
"Kurang ajar! Dia malah
kabur! Bagaimanapun aku harus bisa mengejarnya dan menangkapnya supaya bumbung
tuakku dikembalikan!"
Zlaaap... !
Suto Sinting menggunakan jurus
'Gerak Siluman' hingga mampu melesat dengan cepat melebihi anak panah. Semak
belukar itu diterabasnya tampa peduli ada duri atau tidak, ia tak ingin
kehilangan Putri Malu demi kembalinya bumbung tuak.
"Edan! Benar-benar gadis
edan! Ke mana perginya?!" Suto Sinting hentikan pelariannya sebentar,
karena merasa kehilangan jejak Putri Malu.
Wuuut... ! Jleeg... !
Suto Sinting naik ke atas
pohon. Dari atas pohon ia memandang sekeliling dan memperhatikan setiap gerakan
semak. Tapi ia tidak menemukan Putri Malu. Jurus 'Lacak Jantung' yang mampu
menyadap suara jantung orang lain di sekitarnya, ternyata tidak memberikan
hasil yang diharapkan. Tak ada suara detak jantung sedikit pun kecuali
jantungnya sendiri dan jantung hewan-hewan kecil di sekitar tempat itu.
"Sial. Aku pasti salah
arah!" geram Suto dengan jengkel. "Mungkin dia menuju ke timur!
Naluriku tadi sebenarnya ingin mengarah ke timur, tapi aku terlalu mengikuti
alam pikiranku. Benar-benar gadis konyol dia itu!"
Zlaaaap...! Suto Sinting
melesat ke arah timur, ia tidak menggunakan jalan darat, melainkan menerabas
dedaunan pohon. Seakan melintas dari pohon ke pohon tanpa menimbulkan suara
gemerisik. Kecepatan gerak dan ilmu peringan tubuhnya membuat daun-daun bagai
dilewati angin kecil.
"Nah, itu dia...?!"
sentak hati Suto kegirangan, ia segera menuju ke sebuah lembah di mana terlihat
sekelebat bayangan merah. Bayangan merah itu dipastikan sebagai pakaian Putri
Malu yang bergerak cepat melarikan diri.
Namun alangkah kecewanya Suto
setelah tahu bahwa bayangan merah itu bukan Putri Malu, melainkan seorang nenek
berjubah merah dengan tongkat putihnya. Rupanya nenek berambut putih disanggul
sebagian itu sedang mengejar seseorang hingga menggunakan gerakan secepat itu.
Suto Sinting akhirnya mengikuti sang nenek dari atas pohon, ia ingin tahu apa
yang dikejar sang nenek. Mungkinkah Putri Malu juga atau orang lain yang ada
hubungannya dengan Putri Malu?
Ketika tiba di tanah lapang
yang tidak banyak ditumbuhi pohon, nenek berjubah merah itu tahu-tahu terjungkal
ke depan dan berguling- guling. Suto Sinting tidak melihat sekelebat sinar atau
senjata apa pun yang membuat sang nenek terjungkal, sehingga ia menyangka sang
nenek tersandung batu dan jatuh terguling- guling.
Namun ketika Suto hendak turun
dari atas pohon untuk memberikan pertolongan kepada sang nenek, tiba- tiba
seorang lelaki tua berjubah putih dengan pakaian dalam hitam dan rambut
putihnya diikat ke belakang muncul menyerang sang nenek. Dengan sebatang kayu
kering ia menghantam sang nenek.
Wuuut... !
Trak, duaaar... !
Sang nenek menahan pukulan
kayu tersebut dengan melintangkan tongkatnya dalam keadaan terbaring. Ketika
kayu menyentuh tongkat terjadi satu kilatan cahaya warna putih dan ledakan
cukup keras pun menggelegar membahana.
Lelaki tua itu tak lain adalah
Galak Gantung yang agaknya berseteru dengan si nenek jubah merah. Rupanya nenek
jubah merah bukan mengejar lawan, melainkan dikejar oleh lawan. Suto Sinting
jadi ragu untuk turun membantu sang nenek, sebab lawan sang nenek adalah
sahabat gurunya sendiri.
"Ada persoalan apa antara
mereka berdua? Sudah sama tuanya masih saja lakukan pertarungan. Kalau bukan
karena masalah penting, tak mungkin mereka sampai baku hantam sedahsyat itu.
Keduanya sama-sama mempunyai tenaga dalam yang mudah disalurkan melalui apa
saja. Terbukti hantaman kayu dengan tongkat tadi memercikkan seberkas sinar dan
menimbulkan ledakan cukup besar. Hmmm... akan kuperhatikan dari pohon sebelah
sana saja, supaya aku tahu persis apa perkara yang mereka pertarungkan itu!"
Zlaaap... ! Suto Sinting
pindah pohon. Letaknya lebih dekat dengan pertarungan itu, tapi berdaun lebih
rimbun, sehingga keberadaan Suto di situ tak mudah terlihat.
Kedua tokoh itu masih sama
kuatnya. Berulang kali mereka saling mengadu tenaga dalam, berkali-kali saling
terlempar dan jatuh, namun tak satu pun ada yang tampak terluka.
Saat mereka saling memasang
jurus dalam jarak tiga tombak, Galak Gantung serukan kata menyentak walau
wajahnya tetap berkesan dingin, namun penuh wibawa.
"Kuingatkan sekali lagi,
jangan membantu usaha Putri Malu yang ingin mencelakakan murid sahabatku itu,
Sumbar Keramat!"
"Urusanku bukan
urusanmu.Urusanmu pun bukan urusanku, Galak Gantung! Kalau kau ikut campur
urusanku itu namanya lancang! Aku pun tak segan-segan melumpuhkanmu, Galak
Gantung!"
"Haruskah persoalan ini
merenggut salah satu nyawa kita, Sumbar Keramat?!"
"Anggani adalah muridku.
Kalau seorang guru membela muridnya itu adalah tindakan yang wajar!"
"Semasa demi kebaikan
memang wajar. Tapi Putri Malu, muridmu itu mempunyai keinginan yang kurang
ajar. Mengorbankan orang lain untuk mencapai kepentingan pribadi adalah
tindakan yang tidak terpuji, Sumbar Keramat. Apa artinya seorang guru membela
murid yang tidak terpuji! Apakah sang Guru juga punya niat tidak terpuji juga?!"
"Tak usah banyak mulut
kau, Galak Gantung! Keluarkan kegalakanmu seperti masa muda dulu, aku tak akan
mundur setapak pun!" sentak sang nenek berjubah merah. Ternyata dia adalah
guru dari Putri Malu yang punya nama asli Anggani.
"Menarik juga percakapan
mereka. Tapi aku masih belum jelas apa persoalan sebenarnya?" pikir
Pendekar Mabuk dengan mulut mengecap-ngecap karena rindu minuman tuak. Hatinya
sejak tadi tak bisa tenang karena tidak berada di samping bumbung tuaknya.
"Jangan menyesal jika aku
terpaksa menghancurkan hidupmu, Sumbar Keramat!"
"Sebelum kau lakukan, aku
akan melakukan lebih dulu! Heaaah...!"
Nyai Sumbar Keramat sentakkan
kaki dan tubuhnya melayang cepat bagaikan terbang. Tongkatnya dihantamkan ke
arah kepala Galak Gantung. Tapi sahabat Gila Tuak itu berpindah tempat dalam
sekejap. Weesss... ! Tahu-tahu ia ada di belakang Nyai Sumbar Keramat. Lalu
kedua tangan Galak Gantung menyentak ke depan dan tiba-tiba tubuh Sumbar
Keramat terjungkal sebelum mendaratkan kakinya ke tanah.
Wuuutt...!
Brrrusss...!
Nenek tua berbadan kurus itu
tersungkur di rerumputan tinggi, ia seperti boneka yang dibuang sembarangan.
Suto Sinting sebenarnya tak tega, tapi ia tak berani mencegah pertarungan itu,
karena sepertinya Nyai Sumbar Keramat ingin membantu muridnya dalam membujuk
Suto untuk membawanya kepada Ratu Sukma Semimpi, sedangkan Galak Gantung
bersikap menggagalkan rencana itu. Galak Gantung tampak membela Suto dan tidak
ingin Suto Sinting celaka karena bujukan Putri Malu.
"Galak Gantung...!"
seru Nyai Sumbar Keramat. "Kau tak akan bisa mengalahkanku sebelum
bersujud di hadapanku!"
Tiba-tiba Galak Gantung
berlutut dan bersujud sampai mencium tanah. Pada saat itu Nyai Sumbar Keramat
melepaskan pukulan tenaga dalamnya berupa serpihan logam kecil-kecil seperti
serbuk besi yang menyembur dari telapak tangan kirinya.
Zraaakkk... !
Galak Gantung gulingkan badan
sebelum ia melihat datangnya serbuk mengkilat itu. Wuuut...! Begitu badan
berguling ke kiri, langsung lenyap tak berbekas. Blaab...!
Tahu-tahu Galak Gantung sudah
berada di bawah pohon, sisi kanan Nyai Sumbar Keramat. Sedangkan serbuk
mengkilat itu menghantam tanah. Brruuss... ! Blaaarrr... !
Tanah itu menjadi berongga
cukup lebar dan dalam. Lubang tersebut segera terbungkus nyala kobaran api yang
membubung tinggi. Rumput dan tanah di sekitarnya pun ikut terbakar pula, hingga
salah satu pohon menjadi layu dan akhirnya pasrah terbakar karena tak bisa
melarikan diri.
"Kau salah sasaran,
Sumbar Keramat!" seru Galak Gantung.
Begitu nenek kempot itu
menengok ke samping kanan, saat itu juga tangan kanan Galak Gantung menyambar
ikat pinggangnya yang terbuat dari tambang coklat. Srreeet...! Tambang itu
disentakkan ke depan dalam satu kali lecutan cepat.
Plaas... ! Zeerrrrtt... !
Leher Nyai Sumbar Keramat
terjerat tambang yang mampu memanjang secara ajaib itu. Nyai Sumbar Keramat
mengerang dengan suara tertahan. Tangannya yang kiri mencekal tambang yang
menjerat leher. Rupanya makin lama jeratan tambang semakin kuat, bagaikan
bergerak dengan sendirinya.
Dengan mengerahkan tenaga,
Nyai Sumbar Keramat menahan gerakan tambang yang hendak ditarik Galak Gantung.
Seluruh tubuhnya yang merendahkan kaki itu bergetar, sementara Galak Gantung
sendiri juga mengerahkan tenaga untuk menarik tambang tersebut. Sekali tarik,
tubuh Nyai Sumbar Keramat akan melayang dan jeratan di lehernya akan mematikan.
Karena itu Nyai Sumbar Keramat mempertahankan agar hal itu jangan sampai
terjadi.
Adu tenaga itu sampai membuat
tambang berasap. Dalam jarak delapan langkah lebih tambang itu terentang
kuat-kuat dan akhirnya terbakar. Mungkin karena tak mampu menahan panasnya
tenaga dalam yang disalurkan oleh kedua tokoh tua itu, sehingga bagian
pertengahan tambang mulai menyalakan api dan akhirnya api pun merayap menuju
kedua sisi.
"Gila! Rupanya keduanya
sama-sama punya ilmu yang sebanding, sehingga pertarungan itu menjadi begitu
ulet dan alot, saling tak mampu menumbangkan lawan. Barangkali dulu mereka satu
guru dan sama-sama mendapat kesaktian yang seimbang, " pikir Suto Sinting
dengan gelisah, karena ia bimbang antara ingin melerai pertarungan atau hanya
menjadi penonton yang baik.
Yang jelas ia melihat Galak
Gantung menyentakkan tangan kirinya dan berhembusnya angin dari telapak tangan
itu yang memadamkan api di tambang tersebut. Wuuurbb.. . ! Kini tambang tinggal
berasap, namun mereka masih saling tarik dengan tenaga dalam yang dikerahkan
habis-habisan.
"Sumbar Keramat...!"
seru Galak Gantung dengan suara tertekan. "Biarkan muridmu menghadapi Ratu
Sukma Semimpi sendiri tanpa melibatkan Pendekar Mabuk, atau aku harus
mengakhiri masa hidupmu jika kau masih ingin membantu muridmu membujuk Pendekar
Mabuk?!"
"Keparat kau... !
Heeaahh...!"
Satu sentakan tangan diiringi
hentakan kaki membuat Nyai Sumbar Keramat mampu menarik tambang dan tubuh Galak
Gantung tersentak. Kakek berjubah putih itu terpental maju dalam keadaan
melayang di udara dengan tubuh menukik. Tubuh itu melintasi batas kepala Nyai
Sumbar Keramat, dan pada saat itu rupanya Galak Gantung juga kerahkan tenaga
hingga mampu menarik tambang. Wuuuut...! Lalu, tubuh Nyai Sumbar Keramat pun
tersentak naik dan melayang terjungkir balik. Akibatnya kedua tokoh tua itu
seperti mainan di ujung dua tali, saling melayang dan terbuang-buang.
Namun ketika Galak Gantung
berhasil tapakkan kakinya di batang pohon dalam keadaan miring, ia berhasil
pula menyentakkan tambangnya, sehingga Nyai Sumbar Keramat tertarik dan
melayang cepat.
Wuuut...! Brrrusss...!
"Auaahg...!"
"Uuuhg...!"
Suto Sinting ingin tertawa
melihat keduanya bertabrakan bagai orang buta beradu dengan orang buta.
Keduanya sama-sama roboh dan berdarah.
Keduanya sama-sama terkapar.
Tapi agaknya Nyai Sumbar Keramat lebih parah, ia segera tak sadarkan diri alias
pingsan.
Pada saat itu, sekelebat
bayangan merah datang dari balik dua pohon yang tumbuhnya merapat. Putri Malu
muncul dari sana. Rupanya entah sejak kapan gadis itu mengintai pertarungan
dari sana dan begitu melihat gurunya pingsan, ia segera muncul untuk melakukan
pembelaan. Tapi pada saat itu pula Suto Sinting berkelebat keluar dari
persembunyian. Langsung menghadang langkah Putri Malu.
***3
MELIHAT Suto menghalangi
langkahnya, Putri Malu langsung melepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar ke
dada Pendekar Mabuk. Wuuut... !
Reggh... ! Suto Sinting
tersentak mundur. Dadanya bagaikan ditendang kaki orang sebesar gajah, ia tak
sempat menangkis pukulan itu karena ia tak menyangka kalau Putri Malu benar-
benar akan memukulnya.
Untung pukulan itu tak
membuatnya luka, hanya merasa panas dan sedikit sesak napas. Pendekar Mabuk
tidak sampai terjatuh. Hanya tersentak tiga langkah ke belakang.
Ia segera bergeser ke samping
kanan, karena Putri Malu ingin melangkah melalui samping kanan. Gadis itu
menjadi berang sekali, ia melepaskan pukulan tanpa sinar lagi, kali ini dilakukan
dengan dua tangan. Tapi kali ini Suto Sinting siap menghadapinya, sehingga
begitu gelombang pukulan itu menghantamnya, Suto pun melepaskan gelombang
pukulan tanpa sinar. Wuuukk...! Buuhg...!
Weeeess...! Putri Malu
terlempar ke belakang karena pukulan Suto menyatu dengan pukulan sendiri dan
menghantam ke dadanya. Tentu saja Putri Malu seperti ditendang seekor banteng
liar. Ia jatuh di kejauhan sana, sekitar berjarak tujuh langkah.
"Uuhg...!" Putri
Malu mengerang sukar bangun. Pendekar Mabuk cemas, karena bagaimanapun juga ia
tak ingin gadis itu mati sebelum menyerahkan bumbung tuaknya. Maka Suto Sinting
pun segera menghampirinya untuk memberi pertolongan.
"Jangan sentuh aku!"
sentak Putri Malu dengan cemberut.
"Kau bikin aku jengkel,
Putri Malu! Sebenarnya setiap masalah bisa kita selesaikan tidak dengan cara
begini, melainkan dengan cara baik- baik. Aku tak keberatan menolongmu
menyelesaikan persoalanmu asal bumbung tuakku kau kembalikan. Sebaiknya katakan
di mana bumbung tuak itu kau sembunyikan, Putri Malu."
"Guruuu...!"
tiba-tiba Putri Malu memekik, ia berusaha bangkit tapi jatuh lagi.
Suto Sinting berpaling ke
belakang, ia juga agak terkejut melihat Galak Gantung mengangkat tubuh Nyai
Sumbar Keramat dan membawanya pergi dengan gerakan cepat.
Putri Malu akhirnya hentikan
langkah setelah mencoba berdiri untuk mengejar gurunya, tapi langkahnya
terhuyung-huyung, ia menderita luka pada tulang-tulangnya akibat terpukul
tenaga dalamnya yang menyatu dengan tenaga dalam Pendekar Mabuk itu. Mau tak mau
ia mengobati dirinya lebih dulu.
"Kalau bumbung tuak itu
ada, kau dapat kutolong. Dengan meminum tuak itu, maka kau akan menjadi sehat
dan segar."
"Diam kau!"
sentaknya dengan sewot, ia mengurut kakinya sendiri dengan kedua tangan
gemetar, lalu seperti menangkap rasa sakit dan membuangnya dengan satu tiupan
ke arah genggaman tangannya. Hal itu dilakukan beberapa kali dan dipandangi
oleh Suto Sinting dengan kalem.
"Aku telah mendengar
percakapan gurumu dengan Ki Galak Gantung," kata Suto sambil memandang
keadaan sekeliling, sementara Putri Malu mengobati dirinya.
"Dari percakapan mereka,
aku dapat menyimpulkan bahwa kau sebenarnya punya masalah dengan Ratu Sukma
Semimpi itu. Masalahmu itu bisa diselesaikan jika kau bisa membawaku
menghadapnya dan kau berhasil membujukku agar melayani kemesraan
gairahnya."
Putri Malu memandang dengan
sikap terkejut, ia masih duduk melonjorkan kaki. Suto Sinting segera berpaling
menatapnya pula dengan kedua tangan bersidekap di dada. Mulutnya sesekali
menelan ludah karena haus minuman tuaknya.
"Katakan yang sebenarnya,
Putri Malu... apa persoalan yang kau hadapi sehingga kau harus membujukku untuk
mau melayani kasmaran sang Ratu itu?"
Putri Malu tidak langsung
menjawab. Namun raut wajahnya mulai tampak berubah mengendur, seakan ia sudah
merasa tak perlu menutupi sesuatu yang dirahasiakan, ia bangkit
menyentak-nyentakkan kakinya sebentar, ternyata sudah terasa enak. Kemudian ia
melangkah mendekati gundukan tanah di bawah pohon. Di sana sang gadis cantik
dan berambut cepak itu duduk termenung, sehingga Pendekar Mabuk terpaksa
mendekatinya lalu berkata dengan sikap ramah, tanpa nada permusuhan .
"Katakan, Anggani... apa
masalahmu?"
Putri Malu terkejut lagi dan
menatap Suto. "Kau tahu nama asliku?"
"Kudengar gurumu
menyebutkan nama itu, dan kutahu nama itu adalah milikmu. Sebab nama itu sangat
cantik, sesuai dengan wajahmu."
Anggani menarik napas, lalu
menghempaskannya. Suaranya terdengar pelan, tapi penuh kesungguhan. Tak ada
kesan bercanda atau berbohong.
"Memang aku dalam
kesulitan. Aku tak tahu bagaimana mengatasinya. Yang kutahu hanya dengan cara
menyerahkan kau kepada Ratu Sukma Semimpi, sehingga aku bisa bebas dari
kesulitan itu."
"Sebutkan kesulitanmu,
barangkali aku punya cara lain untuk mengatasinya."
Putri Malu memandang penuh
harap. Ada kesedihan di balik mata beningnya itu. Ada penyesalan juga di sana,
yang semua itu membuat Pendekar Mabuk semakin penasaran ingin tahu segalanya.
"Ibuku ditawan oleh Ratu
Sukma Semimpi."
Pendekar Mabuk terperanjat,
matanya memandang tajam karena dahinya pun berkerut.
"Kurasa ia tidak
main-main dan juga tidak berbohong. Aku dapat melihat kesungguhan dukanya dari
sorot pandangan matanya kali ini," pikir Pendekar Mabuk.
"Mengapa ibumu sampai
ditawan oleh sang Ratu?"
"Ibuku adalah seorang
tabib. Pernah mendengar nama Tabib Getar Hati?"
Pendekar Mabuk diam berpikir
sebentar, kemudian menjawab, "Baru kali ini kudengar namanya."
"Itulah nama ibuku, ia
ditawan oleh Ratu Sukma Semimpi karena dituduh salah melakukan
pengobatan."
"Pengobatan yang
bagaimana?" tanya Suto Sinting ketika Putri Malu diam sesaat.
"Awalnya... sang Ratu
menderita luka dalam akibat pertarungannya dengan Penguasa Pulau Campak. Ibuku
dipanggil dan disuruh mengobati. Luka dalam yang hampir membusukkan jantung
sang Ratu itu berhasil diobati oleh Ibu, tetapi di sini lain, buah dada sang
Ratu menjadi kempes dan makin hari makin kecil. Sang Ratu sangat kecewa dan
sedih, lalu akhirnya menjadi murka. Karena ia sangat membanggakan dadanya itu
yang dipakai sebagai daya pikat bagi lawan jenisnya. Ibu segera ditangkap dan
dipenjara. Padahal menurut Ibu, hilangnya buah dada sang Ratu bukan karena
salah pengobatan, tetapi sang Ratu terkena kutukan seorang pendeta dari sebuah
biara, namanya Pendeta Cermin Bumi. Pendeta itu dibunuh ketika hendak melakukan
pertarungan dengan Penguasa Pulau Campak. Sebelum sang Pendeta menghembuskan
napas terakhir sempat melontarkan kutukan yang pada intinya membuat sang Ratu
kehilangan seluruh daya tarik kecantikannya."
Pendekar Mabuk angguk-anggukkan
kepala. Setelah diam sesaat dan merenungi cerita itu, Pendekar Mabuk yang resah
karena tidak mendapatkan tuaknya itu segera ajukan pertanyaan lagi,
"Lalu, apa hubungannya
dengan diriku? Mengapa kau membujukku agar aku melayani gairah sang Ratu?"
"Ibu akan dilepaskan dari
penjara jika penyakit sang Ratu telah sembuh. Karena sang Ratu tetap tidak
percaya bahwa hilangnya daya tarik kewanitaan itu karena kutukan, ia tetap
menuduh Ibu. Lalu, ibuku menyarankan agar sang Ratu mencari penangkal kutukan itu."
Karena sang gadis diam sampai
tiga helaan napas, maka Suto pun segera memancing percakapan agar diteruskan
kembali.
"Apa penangkal kutukan
itu?"
"Darah Pendekar,"
jawab Putri Malu dengan pelan.
"Maksudmu membunuh
seorang pendekar dan diambil darahnya?"
Putri Malu gelengkan kepala.
"Darah sang Ratu harus bercampur dengan darah seorang pendekar dari
golongan putih. Pada saat darah sang Ratu tercampuri darah Pendekar, maka
kekuatan kutuk itu akan sirna dan apa yang hilang dari sang Ratu akan kembali lagi.
Ia akan kelihatan cantik dan tubuhnya menjadi montok seperti dulu kala."
"Mengapa aku yang jadi
sasarannya? Apakah ibumu menyarankan begitu?"
"Tidak. Ibu hanya
menyarankan mencari darah pendekar. Lalu, sang Ratu menyuruhku mencarimu:
Pendekar Mabuk. Karena sang Ratu diam-diam sudah tertarik padamu karena pernah
bermimpi tentang dirimu. Untuk membebaskan ibuku, aku harus mencari Pendekar
Mahuk dan mampu membujuknya untuk datang kepada sang Ratu."
Putri Malu tundukkan kepala,
antara tersipu dan sedih. Lalu ia lanjutkan bicaranya lagi,
"Sudah kuajukan usul
untuk mencari pendekar lain, mungkin bisa kudapat dari tanah seberang. Tapi
sang Ratu tidak mau. Ia pergunakan kesempatan itu untuk memperalatku guna
mendapatkan Pendekar Mabuk. Aku diberi waktu sampai purnama tiba. Apabila
sampai malam purnama tiba aku belum mendapatkan Pendekar Mabuk, maka ibuku akan
digantung di depan umum."
Wajah cantik itu benar-benar
menampakkan kesedihannya. Mata indah bening itu menjadi memerah karena menahan
tangis. Suto Sinting menarik napas dan melangkah ke sisi lain sambil berpikir.
"Repotnya aku tidak punya
tuak. Kalau aku sekarang punya tuak, barangkali dengan meminum tuakku maka
otakku bisa bekerja dengan baik dan bisa memperoleh cara untuk menyelamatkan
Tabib Gelar Hati itu," pikir Suto Sinting.
Menurutnya pula, kesalahan
tersebut tidak terletak pada Tabib Getar Hati. Kesalahan itu terletak pada diri
sang Ratu sendiri. Wajar jika seorang pendeta akhirnya melontarkan kutukan
karena merasa diperlakukan semena-mena, hingga akhirnya menemui ajal.
Sebenarnya kutukan itu adalah dosa sang Ratu sendiri yang harus dipikulnya.
Tapi agaknya sang Ratu tidak mau menanggung kesalahan sendiri, sehingga ia
mencari kambing hitam. Tabib Getar Hati dijadikan kambing hitam, selain itu
juga karena ia ingin mendapatkan kepuasan pribadinya; kepuasan mendapat
kemesraan dari Pendekar Mabuk, juga kepuasan menyerap ilmu sang Pendekar.
"Aku sudah minta bantuan
kepada Guru," kata Putri Malu, "Dan Guru siap membantuku tapi rupa
nya bekas suaminya itu tidak setuju "
"Maksudmu, Ki Galak
Gantung itu bekas suami gurumu?"
"Benar. Aku tak tahu
pasti apakah mereka pernah bersuami-istri secara resmi atau hanya sebagai
kekasih, yang jelas mereka pernah terlibat masalah cinta di masa mudanya."
Suto Sinting menggumam dan
manggut-manggut. Putri Malu perdengarkan suaranya kembali,
"Guru hanya sanggup
membantuku dalam menundukkan dirimu, tapi tak sanggup mengobati sang Ratu.
Sedangkan aku sendiri jika harus bertarung melawanmu, kurasa tak akan mampu
menumbangkan dirimu. Kuakui kau punya ilmu lebih tinggi dariku, hingga Galak
Gantung hormat padamu."
Suto Sinting tersenyum tipis.
Tak enak hati mendengar pernyataan seperti itu. Gadis cantik berwajah duka itu
dipandanginya dengan satu tangan menyilang dada, tangan yang satu disangga dan
digigit-gigit kukunya.
Anggani berkata lagi,
"Satu- satunya cara mengalahkan dirimu dengan mencuri bumbung tuakmu, yang
kata orang-orang sebagai sumber kekuatanmu! Tapi walau bumbung tuak sudah
kusembunyikan, ternyata kau masih punya ilmu lebih tinggi dariku."
"Ada baiknya kembalikan
saja bumbung tuak itu, lalu aku akan berusaha membebaskan ibumu."
Anggani bangkit dan menatap
Suto dengan wajah sayu karena haru.
"Kau berjanji dengan
sungguh- sungguh? Berani bersumpah akan membantu membebaskan ibuku?!"
Suto Sinting mengangguk.
"Aku berjanji. Tapi aku
tak akan membebaskan kutukan itu. Kuanggap kutukan itu adalah hukuman yang
layak diterima oleh Ratu Sukma Semimpi. Ibumu tidak bersalah, pendeta yang
dibunuh sang Ratu juga tidak bersalah. Yang salah adalah sang Ratu sendiri, dan
ia pantas menerima hukumannya."
"Ak...aku...aku akan
mengembalikan bumbung tuakmu jika kau berani bersumpah."
"Aku bersumpah akan
bebaskan ibumu!" Suto Sinting mengangkat kedua jarinya sebagai tanda sumpah
yang
tidak sekadar main-main.
Pelan-pelan bibir Putri Malu
mulai mekar. Lalu tersungging senyum kegirangan yang memancarkan keceriaan dari
wajah cantiknya. Pendekar Mabuk justru terkesima memandang kecantikan itu
berseri kembali.
"Kau amat cantik sebenarnya...,"
ucap Pendekar Mabuk tanpa sadar. Tapi buru-buru menutup mulutnya setelah
menyadari apa yang diucapkannya itu sebenarnya tak boleh didengar oleh Putri
Malu. Sementara sang gadis menjadi berdebar-debar mendengar ucapan yang
menurutnya terlontar dengan sendirinya dari hati sanubari sang Pendekar Mabuk.
Wajah cantik itu menjadi merah dadu menahan malu dan haru.
"Kalau begitu, kita ambil
saja bumbung tuakmu."
"Di mana kau
sembunyikan?"
"Di atas sebuah pohon
yang tak akan kau ketahui tempatnya."
Mereka bergegas pergi ke
tempat Suto tidur tadi. Sebuah pohon yang ada di seberang tempat Suto tidur di
atas dedaunan semak segera dihampiri oleh Putri Malu.
Dengan sentakan kaki ringan,
tubuh Putri Malu melesat ke atas. Wuuut...! Kemudian tubuh itu hinggap di salah
satu dahan.
Suto Sinting diam di bawah
pohon itu sambil tersenyum-senyum, karena hatinya berkecamuk sendirian.
"Cerdas sekali gadis itu.
Akalnya cukup banyak. Melemahkan diriku dengan mencuri bumbung tuak. Lalu
bumbung disembunyikan di atas pohon. Tentu saja aku tidak bisa mencarinya,
karena aku mencari di daratan. Sebenarnya dia tidak berhati jahat. Dia lakukan
begini karena keadaan sangat memaksa, demi menyelamatkan ibunya. Tapi... apa
hubungan Putri Malu dengan Ratu Sukma Semimpi? Apakah benar dia anak buahnya
atau prajuritnya sang Ratu? Mengapa ia betah punya ratu sesat seperti itu?
Apakah dia juga ikut aliran sang Ratu yang gemar menaklukkan lelaki untuk
melayani gairahnya? Apakah dia juga bisa menyerap ilmu seorang lelaki dengan
melalui pergumulan mesra? Oh, seandainya benar begitu Putri Malu sebenarnya
sudah menjadi putri yang tahu malu dan sesat. Apakah aku harus menolong orang
sesat? Kata Guru, menolong atau membela orang sesat boleh saja, asal orang itu
menjadi baik dan mau meninggalkan aliran hitamnya setelah kutolong. Ah, kurasa
jika Putri Malu memang gadis golongan hitam, ia pasti akan mau meninggalkan
aliran hitamnya setelah terkesan dengan penampilanku. Eh, sepertinya dia naksir
aku! Aku bisa merasakan getaran hatinya saat ia menatapku."
Senyum Suto Sinting kian
mekar. Tapi mendadak ia harus hentikan kecamuk batinnya, karena Putri Malu
sudah cukup lama di atas pohon namun belum turun juga. Suto mendongak dan
berseru,
"Cepat bawa turun,
Anggani! Aku sudah tak tahan haus!"
"Naiklah! Tolong bantu
aku!" seru Anggani si Putri Malu dari atas pohon. Seruan itu membuat Suto
Sinting heran dan curiga. Maka ia pun segera pergunakan jurus peringan
tubuhnya. Suuuut... ! Satu hentakan pelan membuat tubuh Suto Sinting melesat ke
atas tegak lurus, kemudian bersalto satu kali dan hinggap di sebuah dahan
besar.
Putri Malu ada di dahan
depannya dalam jarak cukup dekat.
"Bumbung itu tidak
ada!" kata Putri Malu dengan nada takut dan sedih.
Suto Sinting terkejut dan
matanya segera terbuka lebar memandangi sekeliling pohon. Ternyata di pohon itu
memang tidak ada bumbung tuak. Suto menjadi cemas.
"Kau taruh di mana?"
"Di sini. Di sela-sela
dahan ini dan kuikat memakai akar. Tak mungkin bisa jatuh."
"Celaka!" gumam Suto
Sinting. Kemudian ia bergerak menjelajahi pohon tinggi besar itu. Setelah puas
mencari di pohon itu dan ternyata tidak membawa hasil apa-apa, Suto Sinting
berpindah ke pohon lain dengan satu lompatan yang menyerupai seekor burung
garuda melesat dari pohon yang satu ke pohon yang lain.
Beberapa pohon telah diperiksa
oleh Pendekar Mabuk. Sang gadis pun ikut memeriksa enam-tujuh pohon di sekitar
pohon tinggi besar itu. Mereka akhirnya bertemu kembali di pohon pertama.
"Ak... aku tidak bohong.
Aku menyembunyikannya di pohon ini. Aku ingat betul bentuk pohon ini. Tak
mungkin salah."
Wuuuurrt... ! Suto Sinting
turun dengan bersalto satu kali.Ia menapakkan kaki ke tanah tanpa
suara.Sedangkan Putri Malu ketika mendaratkan kakinya terdengar suara,
bluuk...! Itu menandakan ilmu peringan tubuhnya lebih rendah dari Pendekar
Mabuk.
"Cari di sekitar semak
bawah pohon ini! Siapa tahu jatuh di suatu tempat!" kata Suto Sinting
sambil menahan kedongkolan.
Namun sampai beberapa saat
mereka menjelajahi semak di sekeliling pohon, bumbung tuak itu tetap tidak
ditemukan. Akhirnya Suto Sinting berhenti mencari dan berdiri bersandar pada
batang pohon tersebut. Napasnya terhempas dalam keadaan kepala mendongak.
Hempasan napas itu dimaksudkan untuk menghilangkan rasa dongkol yang akan
membuatnya marah.
Namun ketika napas terhempas,
daun-daun pohon menjadi rontok. Dahan dan rantingnya terangkat naik bagaikan
disapu badai dari bawah. Suto Sinting kaget dan segera sadar setelah salah satu
dari dahan sebesar kaki gajah terdengar meretak keras. Krrraak...!
"Celaka! Hampir saja aku
lupa. Pohon ini bisa terhempas patah tak karuan jika aku masih di bawahnya.
Rupanya hatiku benar-benar memendam marah, sehingga napasku menjadi napas
badai. Oh, ya... aku harus menenangkan diri, menenteramkan hatiku agar tak
marah dan dongkol terhadap Putri Malu. Dia tidak sengaja menghilangkan bumbung
tuak itu! Aku harus bisa memahami maksud hatinya yang sebenarnya."
Suto Sinting segera
menenangkan hati sendiri. Putri Malu terkesima bengong melihat hembusan napas
yang mengakibatkan daun rontok, ranting beterbangan, dahan patah, dan pohon
bergetar. Gadis itu semakin kagum terhadap ilmu Pendekar Mabuk.
"Napasnya saja bisa bikin
dahan sebesar itu menjadi retak? Benar-benar sinting ilmu pemuda tampan yang
satu ini!" gumam hati Putri Malu.
Ia tidak tahu bahwa napas Suto
akan berubah menjadi badai yang mengerikan jika ia memendam kejengkelan atau
kemarahan. Sebab di dalam diri Suto tersimpan Napas Tuak Setan sejak ia meminum
Tuak Setan secara tidak sengaja. Pusaka Tuak Setan itu seharusnya dimusnahkan,
namun karena terjadi perebutan dengan Mawar Kempot, tokoh sesat dari Pulau
Iblis, maka Pusaka Tuak Setan itu tumpah dan terminum masuk ke dalam tubuh
Suto. Akibatnya ia mempunyai Napas Tuak Setan yang akan keluar dengan
sendirinya jika hatinya memendam kemarahan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Pusaka Tuak Setan").
"Maafkan aku," ujar
Putri Malu dengan wajah sedikit tertunduk, sebagai sikap merasa bersalah atas
kecerobohannya itu.
"Aku tidak bermaksud
menghilangkan bumbung tuakmu. Aku hanya ingin menyembunyikan di tempat yang
aman, yang tak mungkin diganggu orang. Tapi ternyata... bumbung itu justru
hilang entah ke mana."
Pendekar Mabuk sengaja
menepuk- nepuk pundak gadis cantik itu. Hatinya semakin tenang dan debar-debar
kedongkolannya telah susut. Suaranya terdengar lembut di telinga sang gadis.
"Tak perlu disesali,
karena mencari bumbung tuak itu tidak cukup dengan menyesali perbuatanmu. Yang
perlu kau lakukan adalah mengingat- ingat, kira-kira adakah orang yang
melihatmu saat kau menyembunyikan bumbung tersebut?"
"Setahuku tidak ada orang
di sekitar sini. Aku telah memeriksanya sebelum naik ke pohon ini!"
"Atau barangkali kau
memindahkannya karena suatu alasan?"
Putri Malu diam,
mengingat-ingat. Tapi ia akhirnya menggelengkan kepala, ia bahkan menggerutu
bagai bicara pada diri sendiri.
"Ini semua gara-gara
Guru. Sebenarnya aku tak setuju, tapi Guru mendesakku mengerjakan
gagasannya."
"O, jadi semua ini adalah
gagasan Nyai Sumbar Keramat?"
"Benar. Guru mengatakan,
bahwa jika aku ingin mengalahkan Pendekar Mabuk harus mampu mencuri bumbung
tuaknya. Karena menurut Guru, di situlah pusat kekuatanmu berada."
"Kalau begitu, gurumu itu
yang mengambil tuak dari tempat persembunyiannya. Dia ingin mengalahkan aku,
dan harus menyingkirkan bumbung tuak tanpa diketahui siapa pun, walau oleh
muridnya sendiri. Maka ia memindahkan bumbung tuak itu tanpa setahu kau!"
"Tapi Guru tidak tahu
kalau aku menyembunyikannya di pohon ini!" sangkal Putri Malu.
"Siapa tahu gurumu
mengawasimu terus, sehingga ia tahu di mana kau menyembunyikan bumbung tuak
itu."
"Kalau begitu kita segera
mencari Guru!"
"Dia dibawa lari oleh Ki
Galak Gantung!"
"Pasti ke puncak Bukit
Wangi. Di puncak bukit itu Galak Gantung menempati sebuah gubuk sebagai tempat
pengasingan baginya."
"Berapa lama perjalanan
menuju Bukit Wangi?"
"Sehari semalam dengan
langkah biasa. Tapi jika kita menggunakan ilmu peringan tubuh dapat berlari
secepat angin, kita mampu menempuhnya setengah hari kurang."
Suto Sinting memandang ke
langit. Arah matahari udah condong ke barat.
"Sebentar lagi petang
akan datang. Kita pasti terhadang malam di perjalanan. Tahukah kau jalan yang
tersingkat menuju ke Bukit Wangi?"
"Melalui pantai. Tapi
kita harus melalui batas wilayah kekuasaan Gandapura."
"Siapa itu
Gandapura?!"
"Manusia besar seperti
raksasa pemakan daging manusia. Dia yang disebul Penguasa Pantai Ajal."
"Lalu apa masalahnya
kalau kita melewati batas wilayah kekuasaannya?"
"Kita bisa ditangkap dan
dijadikan santapan lezat baginya. Tak satu pun orang asing yang selamat melalui
Pantai Ajal, kecuali orang- orangnya Gandapura sendiri. Sampai sekarang ilmunya
belum ada yang mengalahkan. Gandapura titisan raksasa yang hidup dua ribu tahun
yang lalu."
Pendekar Mabuk diam termenung
mempertimbangkan langkahnya. Haruskah ia menumbangkan Gandapura dulu untuk
dapatkan bumbung tuaknya kembali?
***4
BAHAYA apa pun akan ditempuh
murid si Gila Tuak itu, asalkan bumbung bernyawa itu berhasil diperolehnya
kembali. Maka dengan menjamin keselamatan Putri Malu, Pendekar Mabuk
mengajaknya ke Bukit Wangi untuk temui Nyai Sumbar Keramat dan Galak Gantung.
Mereka sepakat melalui jalan pantai dan melintasi batas wilayah Pantai Ajal.
Putri Malu yang merasa
bersalah dan menyesal atas tindakannya itu sempat menjelaskan kepada Pendekar
Mabuk,
"Jika nanti guruku
melawanmu, aku akan lari sembunyi karena tak tahu harus berpihak ke mana. Jika
kau melawan guruku, manfaatkan sesumbarnya. Karena sesumbarnya sering
mendatangkan celaka bagi dirinya sendiri jika lawannya tahu memanfaatkan
kata-kata tersebut."
"O, pantas Ki Galak
Gantung waktu itu langsung bersujud hingga mencium tanah ketika gurumu
melontarkan sesumbar, bahwa Ki Galak Gantung tak akan bisa mengalahkan dirinya
jika tidak bersujud di depannya. Akhirnya dalam pertarungan itu gurumu banyak
menderita luka bahkan sampai jatuh pingsan."
"Galak Gantung memang
sudah tahu hal itu, karena cukup lama mereka bergaul; kadang berkasih-kasihan,
kadang bermusuhan. Tapi sejak beberapa tahun belakangan ini, mereka berpisah
dan saling perang dingin."
"Kenapa begitu?"
seraya Suto tertawa kecil membayangkan orang-orang tua saling bermusuhan
seperti bocah cilik.
"Biasa, perdebatan aliran
dalam perguruan mereka. Guruku menemukan satu aliran baru tapi Galak Gantung
menolak aliran itu. Galak Gantung lebih berpedoman pada aliran perguruan
mereka."
"Mereka
seperguruan?"
"Benar. Mereka dulu
seperguruan. Hanya Nyai Sumbar Keramat dan Galak Gantung yang boleh melanjutkan
aliran perguruan mereka dan menurunkannya kepada beberapa penerusnya. Salah
satu murid yang hampir berhasil mewarisi jurus-jurus Nyai Sumbar Keramat hanya
aku, dengan catatan aku pun harus memusuhi Galak Gantung dan tidak perlu
menghormatinya. Aku pun heran, mengapa usia mereka sudah sama-sama mencapai
delapan puluh tahun lebih tapi masih bermusuhan saja. Sebagai murid aku hanya
ikut apa kata Guru."
"Lalu, apa hubunganmu
dengan Ratu Sukma Semimpi itu? Apakah kau mengabdi kepadanya sebagai prajurit
biasa atau pengawal pribadi?"
"Sebenarnya aku bukan
prajuritnya. Aku bukan apa-apanya. Tapi ketika Ibuku ditawan olehnya, aku
datang menyerang, tapi aku dikalahkan oleh sang Ratu. Aku hampir dijatuhi
hukuman mati. Hukuman mati itu bisa dibatalkan kalau aku mau mengabdi kepada
sang Guru. Maka hampir enam purnama lebih aku mengabdi kepada sang Ratu sebagai
Prajurit Duta yang kerjanya diutus ke sana-sini, kadang menghadapi lawan
berat,kadang juga...."
Kata-kata itu berhenti sampai
di situ saja. Putri Malu bagaikan tersumbat tenggorokannya begitu melihat tiga
sosok berwajah bengis melompat turun dari atas bebatuan lereng bukit cadas.
"Siapa mereka?!"
bisik Suto Sinting dengan heran karena belum pernah jumpa dengan tiga orang
wajah bengis itu.
"Gawat!" gumam Putri
Malu."Mereka orang Pulau Campak.Kalung hitam berhias tengkorak burung hantu
itu adalah lambang orang Pulau Campak "
"Kalau begitu, mereka
akan menuntut balas kepada Ratu Sukma Semimpi."
"Benar. Tapi mereka pasti
tahu kalau aku orangnya Ratu Sukma Semimpi."
"Dari mana mereka bisa
tahu kalau kau orangnya sang Ratu?"
"Pakaianku!" bisik
Anggani dengan mata tetap memandang ke arah tiga orang bengis yang melangkah
pelan- pelan mendekati mereka. Anggani menyambung bisikannya,
"Baju buntung warna merah
tanpa pelapis lagi di dalamnya ini adalah ciri pakaian orangnya sang Ratu.
Potongan baju sama, hanya beda warna, sesuai dengan jabatan dan tingkatan
masing-masing."
Tiga orang bengis itu masing-
masing bersenjata pedang besar tanpa sarung. Gagang pedang mereka diberi hiasan
ronce-ronce benang merah. Bentuknya ada yang lurus, ada yang lengkung, ada pula
yang ujungnya datar.
Mereka bertubuh besar dan
tergolong tinggi. Rambut mereka ada yang panjang sepundak, ada yang pendek, ada
pula yang botak tengah. Orang yang rambutnya botak memakai baju biru tua itu
mengenakan anting- anting lingkar sebelah kanan.
Sedangkan yang memakai pakaian
bercorak bola-bola putih-hitam itu mempunyai rambut pendek, ikat kepala merah,
kumis lebat, dan bentuk wajahnya lonjong.
Si rambut panjang tidak
mengenakan ikat kepala, sehingga sebagian rambut yang tersapu angin menutupi
wajahnya. Tapi kebengisan wajah itu tampak jelas dari matanya yang kecil
berkesan keji. Kumisnya juga kecil, melengkung ke bawah hingga dagu, ia
mengenakan pakaian hitam tanpa lengan baju, sehingga bentuk lengannya tampak
besar dan berotot.
Yang berambut pendek dan
berperut besar itu berkata lebih dulu sambil pandangan matanya tertuju kepada
Putri Malu.
"Kau pasti orangnya Sukma
Semimpi!"
"Bukan!" sentak
Anggani. "Aku hanya orang upahannya! Aku tidak mengabdi kepada Ratu Sukma
Semimpi!"
"Bohong!" bentak si
rambut botak. "Jangan ingkar dari bukti pakaianmu! Kami tak bisa
dibohongi, karena kami bukan anak kecil, tahu?!"
"Lalu, ... apa maksud
kalian menghadang langkahku?"
"Kau adalah bagian yang
harus kami musnahkan!" sahut si rambut pendek berpakaian bola-bola putih-
hitam itu. "Semua orang Tanah Ratu harus dibantai habis untuk menebus
kematian penguasa kami! Termasuk kau, Gadis Pengecut!" orang itu menuding
dengan pedang besarnya.
"Sepertinya harus segera
kutangani agar Anggani tidak celaka," pikir Suto Sinting. Lalu ia berbisik
kepada Anggani yang berdiri di samping kirinya, "Mundurlah. Biar aku yang
melayani mereka."
"Aku juga berani!"
" Aku tak ingin kau
celaka, Sayang...," bujuk Suto dengan tenang bahkan berkesan menyepelekan
keadaaan tersebut. Sebutan 'sayang' membuat kekerasan hati Putri Malu menjadi
lunak. Akhirnya ia mundur selangkah sedangkan Suto maju dua langkah .
"Hei, kau juga orang
Tanah Ratu?!" sentak si kepala botak sambil menuding Pendekar Mabuk dengan
pedang lengkungnya.
"Aku bukan orang Tanah
Ratu. Aku orang Jurang Lindu."
Mereka bertiga saling pandang.
Salah seorang menggumam, "Jurang Lindu...? Di mana itu Jurang Lindu?"
"Entah. Mungkin dia asal
sebut saja!"
Suto Sinting segera berkata,
"Tentu saja kalian tidak tahu di mana Jurang Lindu, sebab kalian bukan
hidup di Tanah Jawa. Kalian hidup di sebuah pulau yang mungkin tidak punya
Jurang Lindu."
"Lalu apa maksudmu maju
ke depan? Mau lindungi gadis itu?!"
Dengan tenang Pendekar Mabuk
menjawab, "Jelas aku melindungi gadis ini, karena gadis ini tidak tahu
menahu dosa Ratu Sukma Semimpi. Kalau kalian mau menumbangkan sang Ratu,
datanglah ke Istananya. Tumbangkan dengan cara apa pun, gadis ini dan aku tidak
akan ikut campur, tidak akan membela sang Ratu! Tapi jangan kalian gunakan
gadis ini sebagai sasaran dendam kalian. Aku akan menjadi perisainya!"
Penjelasan itu cukup
dimengerti oleh ketiga orang bengis itu. Suto Sinting bermaksud menghindari
pertarungan sebab sebenarnya Putri Malu dan dirinya tidak punya masalah dengan
mereka.
Tiga orang bengis itu saling
pandang. Akhirnya si baju biru berkepala botak itu bertanya,
"Bagaimana menurutmu,
Batu Laut?!"
Rupanya orang yang bernama
Batu Laut adalah orang yang berambut panjang dan berkumis lengkung ke bawah.
Orang ini sejak tadi diam saja. Setelah mendapat pertanyaan dari temannya ia
baru perdengarkan suaranya.
"Jangan mau dibodohi anak
kemarin sore. Kita kan orang-orang tua. Memalukan sekali kalau dikibuli oleh
omongan anak kemarin sore," sambil kepalanya melenggak-lenggok dan suara
kecil mirip perempuan. Pendekar Mabuk dan Putri Malu hampir tertawa cekikikan
setelah tahu bahwa Batu Laut adalah lelaki bersuara dan bergaya wanita.
"Dia seorang banci?"
bisik Suto sambil berpaling ke belakang, karena Putri Malu ada di belakangnya.
Putri Malu hanya mengangguk dan tersenyum canggung.
"Jadi, menurutmu kita
habisi saja mereka?"
Batu Laut menjawab, "Ya,
habisi saja. Terutama yang lelaki itu. Ih... aku sebel sekali sama dia!"
"Majulah dulu kalau kau
memang sebal sama pemuda itu!"
"Iiiih... mampus kamu,
Cah Bagus.. . ! " ia berlari maju dengan pantat ketinggalan.
Lenggak-lenggoknya mirip perempuan genit. Tapi setelah dekat dengan Suto
Sinting, lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu menebaskan pedangnya
membabi buta.
Wung, wuung, wung, wuuung...!
Gerakan pedang besar itu
begitu cepat hingga kibasan anginnya memercikkan ketajaman mata pedang. Seakan
tubuh Suto tergores ketajamannya walau sebenarnya pedang itu tak sampai
menyentuh kulit tubuh. Mau tak mau Suto Sinting bersalto mundur dua kali. Wuuk,
wukkk...!
Ia diam sebentar di sana,
memandang si rambut botak. Seakan tak peduli Batu Laut memainkan pedang sampai
badannya membungkuk ke tanah untuk mencari kesempatan menebas dengan tepat.
Sedangkan Putri Malu sengaja
mundur sampai di bawah pohon, ia hanya bersiap-siap melepaskan pukulan jarak
jauhnya yang mematikan jika Pendekar Mabuk terdesak dalam bahaya.
"Hiaaaat...!" suara
Batu Laut memekik keras seperti suara perempuan murka.
Putri Malu terperanjat tegang,
karena Suto Sinting hanya diam saja. Padahal lawannya sudah sangat dekat,
pedang sudah menebas-nebas ke kanan-kiri.
"Mundur...! Lekas
mundur!" seru Putri Malu kepada Pendekar Mabuk.
Tapi sang Pendekar tetap diam
dengan tersenyum tenang. Sampai akhirnya pedang besar itu berkelebat cepat
memenggal leher Pendekar Mabuk. Wuuut... ! Craaas... !
"Sutooo...!" teriak
Putri Malu dan segera menghambur menyerang Batu Laut dengan melepaskan pukulan
bersinar hijau dari telapak tangannya. Claaap... !
Duaaar... !
Batu Laut menangkisnya dengan
pedang besar itu. Rupanya ia menyalurkan tenaga dalam melalui pedangnya
sehingga ketika menangkis sinar hijau lurus itu sang pedang dikelilingi oleh
sinar merah yang mirip cacing berlompatan.
Ledakan itu menghentak dan
membuang tubuh Putri Malu ke tempat semula, di bawah pohon. Gadis itu segera
bangkit karena ingat Suto ditebas lehernya dengan pedang besar itu.
Namun ketika ia memandang
Suto, ternyata Pendekar Mabuk masih bisa tersenyum dan melangkah tenang ke salah
satu pohon di dekatnya. Putri Malu terbelalak bengong memperhatikan hal itu.
"Kulihat jelas sekali
pedang itu ditebaskan ke lehernya dan kena! Jelas kena, sebab pedang itu sampai
lewat di antara kepala dan badannya. Tapi kenapa ia masih bisa berjalan tenang?"
Keheranan itu juga dialami
oleh Batu Laut yang menggeram genit. "Iiih masih hidup juga! Benciiii...
aku! Benciii...sekali! "
Lelaki berpakaian bola-bola
hitam-putih itu juga memandang heran dan kagum sampai ia maju beberapa langkah
memperhatikan Pendekar Mabuk. Namun tiba-tiba ia dan yang lain mendengar suara
benda jatuh. Bluuuk...! Karena datangnya dari belakang lelaki berpakaian
bola-bola hitam-putih maka orang tersebut menengok ke belakang.
"Hahh...?!" Ia
terpekik dengan mulut ternganga lebar dan mata membelalak bagai ingin loncat
dari kelopaknya.
"Batu Laut...! Mengapa
yang terpenggal justru si Pawang Segara?!"
Batu Laut terpekik juga dengan
gaya ganjennya, "Haaah... kok Pawang Segara temanku sendiri yang kepalanya
putus?! Aduuuh... bagaimana ini?! Bagaimana ini, Lumut Karang?!"
Batu Laut segera memungut
kepala si kepala botak itu, dengan gugup kepala itu ingin ditempelkan kembali
ke gembungnya yang roboh beberapa saat kemudian. Akhirnya Batu Laut menangis
layaknya seorang perempuan mengalami kematian suaminya.
"Lumut Karang...
bagaimana ini?! Yang kupenggal kepala bocah itu, tapi kenapa yang putus
kepalanya si Pawang Segara?! Adduuuh... kenapa bisa jadi begini, Lumut Karang!
Oh, Pawang Segara... maafkan aku. Aku tidak bermaksud memenggalmu, Pawang
Segara. Hik, hik, hik, huuuuuu...!"
Putri Malu semakin tak bisa
bergerak sedikitpun. Bahkan untuk mengatupkan mulutnya terasa sulit, ia sangat
terkesima dan terheran-heran melihat kejadian itu. Tentu saja ia demikian
karena ia tak tahu bahwa Suto Sinting mempunyai jurus "Alih Raga' yang
mempunyai kehebatan tersendiri.
Serangan apa pun yang
ditujukan kepada Pendekar Mabuk, jika kekuatan batinnya dialihkan ke orang
lain, maka orang itulah yang akan menderita. Karenanya sejak tadi Suto
memandang si kepala botak karena sedang mengalihkan kekuatan batinnya, di mana
setiap sentuhan ke tubuhnya tersalur pindah ke tubuh orang yang tadi
dipandangnya. Maka ketika leher dipenggal oleh Batu Laut, bukan leher Suto yang
merasakan sakit dan merasa disentuh pedang, melainkan leher orang yang ternyata
bernama Pawang Segara itu.
"Anak setan keparat
kau!" geram Lumut Karang yang berambut pendek dengan ikat kepala merah
itu. Ia segera menyerang Suto Sinting dengan kekuatan tenaga dalam. Pedangnya
ditancapkan ke tanah dengan satu kaki berlutut. Jrrub...!
Kedua tangannya mengeras dalam
keadaan telapak terbuka. Lalu, kedua telapak tangan itu bagaikan mendorong
pedang tersebut dengan satu sentakan yang tak sampai menyentuh gagang pedang.
Wuuut. . . ! Dan pedang itu pun melayang sendiri bagaikan terbang ke arah Suto
Sinting. Weees...!
Suto Sinting terkejut, lalu
segera mengelak dengan memiringkan badan ke kanan. Weeet...!
Jruub... ! Pedang itu menancap
di batang pohon. Kurang dari setengah jengkal akan menembus daun telinga
Pendekar Mabuk.
Pada saat Suto Sinting
mengelak itulah, Lumut Karang melepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh,
berupa sinar biru dari tengah telapak tangannya. Suuuut...!
"Awaaass...!" teriak
Putri Malu dengan tegang.
Suto Sinting menghindar dengan
satu lompatan. Tapi gerakannya terlambat sedikit. Kaki Suto Sinting terkena
sinar biru itu.
Blaab...!
"Aaauuh...!" Suto
Sinting memekik keras karena kaget dan merasakan sakit bukan kepalang, ia pun
segera roboh tak mampu berdiri lagi. Kaki kirinya menjadi memar membiru bahkan
seperti mau busuk.
"Mampus kau, Cah Bagus.
Kupenggal kepalamu, Iiihh... ! "
Batu Laut gemas sekali, ia
segera berlari melompat dengan berjungkir balik cepat, lalu tiba di samping
Suto.
Pedang besar diangkat, siap
untuk ditebaskan. Putri Malu siap lepaskan pukulan jarak jauhnya yang akan
mengarah ke punggung Batu Laut.
Namun tiba-tiba tangan Suto
Sinting bergerak lebih dulu melepaskan sinar hijau lurus ke dada Batu Laut.
Claaap... !
Blaaar... !
Jurus 'Pecah Raga' terpaksa digunakan
Pendekar Mabuk karena keadaan sangat terdesak. Batu Laut lenyap entah ke mana.
Temannya yang berjuluk Lumut Karang sempat kebingungan sesaat mencari ke mana
perginya Batu Laut.
Kejap berikutnya ia sadar
bahwa Batu Laut telah hancur menjadi serpihan kecil-kecil. Bahkan pedangnya pun
hancur menjadi serpihan logam yang berantakan ke mana-mana.
Tubuh Lumut Karang gemetar
menahan murkanya manakala ia melihat jari kelingking Batu Laut jatuh di depan
telapak kakinya. Wajah bengis itu menjadi semakin buas. Giginya bergemeretak
penuh luapan amarah.
"Bangsaaat...! Bocah
kemarin sore sudah mampu tumbangkan dua temanku! Kubalas kematian itu! Kubalas
kau, Bocah Edan! Heeeaaah...!"
Suto Sinting semakin
menyeringai menahan sakit. Luka lebam di kakinya itu mendatangkan kebusukan
begitu cepat. Dari batas mata kaki, sekarang sudah sampai ke betis. Bau busuk
pun tak tertahankan lagi.
Melihat keadaan Pendekar Mabuk
menderita seperti itu, Putri Malu segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya
bersinar hijau ke arah Lumut Karang.
Pada waktu itu Lumut Karang
sedang kerahkan melalui kedua tangannya untuk menghancurkan Pendekar Mabuk.
Saat dadanya terbuka, sinar hijau Putri Malu datang menghantamnya. Claaap...!
Deess...!
"Aaahg...!"
Lumut Karang tersentak ke
belakang. Tubuh besarnya sempat melayang dalam keadaan melengkung ke depan.
Namun ketika kakinya menapak ke tanah lagi, kulit tubuhnya menjadi merah matang
dari batas dada sampai kepala. Tubuh itu gemetar dengan mata mendelik tertuju
ke arah Putri Malu. Tapi mulutnya segera mengeluarkan darah kental warna merah
kehitam-hitaman.
Hidungnya juga mengeluarkan
darah, sedangkan kedua telinganya pun melelehkan darah kental dengan warna yang
sama. Lumut Karang terluka parah bagian dalamnya.
Namun ia masih berusaha
menggerakkan tangannya, seakan ingin mengerahkan tenaga untuk menguatkan diri.
"Aaaggghhh...!"
mulutnya mendesah seperti seekor ular besar.
Putri Malu tidak mau tinggal
diam. Ia tak ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk memperoleh tenaga
baru. Maka dengan gerakan cepat, gadis itu melesat bagaikan terbang, dan kedua
kakinya menendang dada Lumut Karang secara beruntun.
Duug, duug, duug, duug,
duug...!
Tendangan beruntun yang
tentunya dialiri tenaga dalam tinggi itu membuat tubuh Lumut Karang tersentak- sentak
mundur tak berdaya lagi. Darah yang keluar dari mulut dan hidungnya semakin
menyembur-nyembur. Untuk berteriak atau mengerang sudah tak mampu lagi.
Putri Malu segera daratkan
kaki ke tanah. Jleeg...! Ia pasang kuda- kuda untuk lakukan serangan lagi.
Namun gerakannya tertahan oleh
melimbungnya tubuh Lumut Karang.
Dada orang bertubuh besar itu
seperti nangka busuk. Bonyok dan berwarna biru kehitaman. Jelas dada itu telah
rusak karena didera oleh tenaga dalam secara beruntun. Tulang dada patah, namun
tak dirasakan lagi oleh Lumut Karang. Badan besar itu akhirnya melayang ke kiri
dan roboh tanpa ragu-ragu lagi. Bruuuk...!
Putri Malu mengendurkan
ketegangan uratnya ketika ia melihat lawannya menghembuskan napas terakhir.
Gadis itu ikut menghembuskan napas karena merasa lega.
Namun ketika ia memandang ke
arah Pendekar Mabuk, kecemasan menerkamnya kembali, ia berlari ke arah Suto
yang tak bisa berdiri lagi itu.
"Suto, bertahanlah! Kau
terkena pukulan beracun yang amat berbahaya. Ooh... badanmu bisa busuk semua.
Luka itu bergerak merayap dengan liar."
Putri Malu menyingsingkan
celana putih Pendekar Mabuk hingga ke batas lutut, ia terperangah sesaat
melihat betis Suto telah habis dimakan racun yang membusukkan tulang dan
daging.
"Diamlah! Kucoba untuk mengangkat
racun ini...!" kata Putri Malu.
Kemudian dengan kedua tangan
mengembangkan jarinya, otot-otot tangan mengeras hingga gemetar, Putri Malu
melakukan pengobatan sesuai dengan caranya. Tangan itu tak menyentuh luka sama
sekali, namun bergerak mengambang di atas luka. Ia seperti menarik beban berat
hingga tenaganya dicurahkan dan tubuhnya gemetaran.
Wuuut... ! Putri Malu bagaikan
menyambar seekor nyamuk di atas luka membusuk itu. Kemudian sesuatu yang telah
digenggamnya itu ditiup dengan kepala mendongak ke langit. Puiiih...!
Hal itu dilakukan lebih dari
lima kali, sampai akhirnya seringai di wajah Pendekar Mabuk mulai hilang. Rasa
sakit mulai menipis. Namun luka belum bisa sembuh. Pembusukan masih terjadi di
batas betis ke bawah. Bahkan sekarang luka itu bagaikan bergerak merayap
mendekati lutut.
" Masih terasa
sakit?!"
" Tid. . . tidak. Tapi
luka ini masih bergerak terus."
" Aku telah membuang rasa
sakitnya. Tapi racun itu susah kusedot pakai tenagaku!"
" Kalau saja saat ini
bumbung tuakku ada, aku tak akan semenderita ini, Putri Malu."
Hati gadis itu meratap sedih
dan penuh penyesalan. Rasa bersalah semakin menghantui jiwanya. Dan kini ia
merasa bertanggung jawab terhadap luka Pendekar Mabuk, ia harus bisa
menyembuhkan luka berbahaya itu karena gara-gara ulahnya maka luka itu tak bisa
dicegah oleh tuak sakti sang Pendekar Mabuk.
"Maaf, aku harus menotok
lututmu untuk membendung gerakan racun yang akan menjalar ke sana!"
"Lakukanlah...!"kata
Suto Sinting dengan lemas.
Dengan dua jarinya, Putri Malu
menghantam lutut Suto Sinting. Dees... ! Satu totokan membuat Suto tersentak
dan memekik tertahan.
Dees... ! Deeees... !
Tiga totokan sudah dilakukan
Putri Malu. Ternyata gerakan luka terhenti. Namun bagian yang sudah telanjur
mengalami pembusukan tulang dan daging itu semakin menyebarkan bau tak sedap,
bahkan melelehkan air yang baunya memualkan perut. Putri Malu sempat pergi ke
balik pohon dan muntah
di sana.
Kini Suto Sinting bagaikan
kehilangan satu kakinya. Ia tidak merasa punya kaki karena peredaran darahnya
sudah ditotok oleh Putri Malu. Hati sang Pendekar menjadi sedih, karena ia
merasa sebagai pendekar sudah kehilangan daya kekuatan seperti biasanya.
"Tunggu sebentar,
kucarikan daun penangkal racun. Mudah-mudahan di sini ada," kata Putri
Malu, kemudian ia berlari cepat mencari daun yang dimaksud. Suto Sinting
ditinggalkan di situ sendirian.
"Bumbung tuakku, di mana
kau?!" kata Suto dalam hatinya. "Siapa sebenarnya pencuri bumbung
tuakku itu?! Celaka betul kalau begini, aku bisa mati busuk kalau racun ini
tidak bisa ditawarkan dengan cepat. Uuuh... baunya saja bikin perutku mual
sekali, apalagi rasanya!"
Suto Sinting ingat tentang
bambu wadah tuaknya itu. Bambu bernyawa itu jelmaan maha gurunya yang sering
disebutnya Eyang Wijayasura. Gila Tuak, gurunya, memanggil Wijayasura dengan
sebutan 'kakek', karena Wijayasura adalah guru dari gurunya si Gila Tuak.
"Tak ada salahnya kalau
aku memanggil Guru; Gila Tuak supaya membantuku mencarikan bumbung tuak
itu," pikir Suto.
Kemudian ia segera mengambil sikap
duduk lebih teratur lagi. Badannya ditegakkan, kaki kirinya yang sehat ditekuk
bagai bersila, kaki yang terluka dibiarkan lurus melonjor.
Mata terpejam dan kedua tangan
saling merapat di pertengahan dada. Ia memusatkan pikirannya untuk memanggil
sang Guru dari jarak jauh. Tetapi usaha itu terhalang oleh keadaan yang tak
bisa dihindari lagi.
Dalam keheningannya itu, Suto
Sinting merasakan datangnya sekelebat angin dari arah kirinya. Angin kencang
itu berhembus cepat ingin menerjangnya. Seketika itu Pendekar Mabuk sentakkan
badan hingga terbaring.Tapi karena luka pembusukan, maka segala gerakannya
menjadi lamban, tak selincah biasanya.
Wuuuut...! Angin itu
menerjangnya dan Suto Sinting terlambat bergerak. Sesuatu menghantam wajahnya.
Plook...! Terasa keras dan ingin memecahkan tulang pipi serta tulang rahangnya.
Suto Sinting sempat terpekik
sampai jatuh terbaring. Namun ia cepat bangkit terduduk dan memandang ke arah
kanan.
Ternyata di sana sudah berdiri
sesosok tubuh berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki. Orang itu
berwajah putih dingin tanpa perasaan apa-apa. Ia memegang tongkat El Maut yang
ujungnya seperti paruh burung bangau.
Melihat kehadiran orang itu
hati Suto Sinting terkejut sekali, sebab ia sadar keadaan dirinya sangat lemah.
Suto tahu persis bahwa orang berkerudung kain hitam itu tak lain adalah musuh
utamanya yang berjuluk Siluman Tujuh Nyawa.
"Celaka! Dia muncul dalam
keadaan aku sedang tak berdaya begini, tanpa bumbung tuak dan tanpa tenaga
seperti biasa!" keluh hati Suto Sinting. "Pandangan matanya semakin
tajam, bagai ingin menghancurkan jantungku. Haruskah dia kulawan dalam keadaan
seperti ini? Oh, benar-benar celaka nasib ku hari ini. Tubuhku terlalu lemah
akibat pembusukan ini! Tapi pertarungan ini agaknya tak bisa dihindari lagi.
Mudah-mudahan Putri Malu jangan muncul dulu, supaya ia tidak menjadi korban
Siluman Tujuh Nyawa itu!"
* * *
5
PENGEMBARAAN Pendekar Mabuk
adalah upaya memburu tokoh sesat terkenal yang sukar ditumbangkan. Manusia yang
menjalani masa kutukan selama tiga ratus tahun itu tak akan pernah bisa lepas
dari dunia hitam, karena ia pernah memperkosa neneknya; Nini Galih, gurunya
Bidadari Jalang. Manusia terkutuk itu tak lain adalah Durmala Sanca, yang
kemudian dikenal dengan nama Siluman Tujuh Nyawa.
Sekarang usianya baru dua
ratus lima belas tahun, tapi Siluman Tujuh Nyawa masih kelihatan muda dan punya
ketampanan tersendiri. Wajah putihnya bagai mengenakan bedak tebal itu
menampakkan bentuk ketampanan yang tersembunyi. Ketampanan yang pucat semakin
terlihat jelas dari warna bibirnya yang biru, matanya tajam dan berkesan
dingin, ia satu-satunya orang yang tak pernah tersenyum dan tak mempunyai
perubahan air muka.
Tokoh paling keji di antara
seluruh tokoh kejam ini diburu Suto Sinting bukan saja karena kejahatannya yang
di luar batas, tapi juga merupakan maskawin bagi calon istrinya Suto; Gusti
Mahkota Sejati yang berkuasa di negeri Pintu Gerbang Surgawi alam nyata. Dyah
Sariningrum, nama asli Gusti Mahkota Sejati, pernah menolak lamaran Siluman
Tujuh Nyawa, untuk penolakannya itu Dyah Sarlnlngium nyaris kehilangan nyawa.
Untung ia segera ditolong oleh Pendekar Mabuk, yang kemudian mereka saling
jatuh cinta. Sebagai dendam pembalasan Dyah Sariningrum, ia minta maskawin
kepala Siluman Tujuh Nyawa, sehingga Pendekar Mabuk pun memburu tokoh terkutuk
itu untuk memenggalnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Prahara Pulau Mayat").
Siluman Tujuh Nyawa selain
berilmu tinggi juga punya kelicikan yang membuatnya licin seperti belut, sukar
diburu dan ditangkap. Namun sekarang tokoh sesat itu ada di depan Suto Sinting,
seolah-olah menantang perburuan yang dilakukan Suto selama ini. Sayang sekali
keadaan Suto Sinting cukup lemah untuk lakukan perlawanan. Sekalipun Suto tahu
bahwa Siluman Tujuh Nyawa hanya akan bisa dibunuh dengan Pedang Kayu Petir,
namun setidaknya dalam keadaan bagaimanapun Pendekar Mabuk harus lakukan
penyerangan dan perlawanan terhadap orang terkutuk yang membunuh saudara
kembarnya, ayah-ibunya dan anaknya sendiri itu. Karenanya, ketika Siluman Tujuh
Nyawa diam tak bergerak dalam jarak enam langkah dari Suto dengan mata
memandang tajam dan kedinginannya bagai membekukan seluruh darah, Pendekar
Mabuk tak mau kalah nyali, ia juga memandang penuh sikap menantang, walaupun
keadaan luka di kakinya sebenarnya tidak memungkinkan bagi sang Pendekar untuk
melakukan pertarungan.
"Kita bertemu di sini.
Kau atau aku yang mati," ucap Siluman Tujuh Nyawa dengan nada bicara yang
datar bagai tak berperasaan. Itulah ciri- ciri Siluman Tujuh Nyawa dalam bicara
dan berpenampilan di depan siapa saja. Tiap kata tidak mempunyai tekanan
khusus, sehingga datar dan lurus saja tanpa irama.
Pendekar Mabuk membalas ucapan
itu dengan nada tegas dan melambangkan keberanian dalam jiwanya.
"Apa yang bisa kau
lakukan terhadap diriku? Tak ada! Kedatanganmu sama saja menyongsong ajal,
Durmala Sanca!" sambil Suto Sinting siap-siap lepaskan jurus maut dari
tangannya. Sebab ia tahu bahwa Siluman Tujuh Nyawa mempunyai jurus maut yang
bernama 'Lima Dewa Kilat'.
Jurus tersebut sangat berbahaya;
berupa lima larik sinar hijau dari ujung jari. Sinar tersebut harus ditangkis
dengan sinar yang keluar bersamaan. Jika lawan terlambat keluarkan sinar
penangkis, maka lima larik sinar hij au itu tak mampu ditembus atau ditangkis
oleh sinar tenaga dalam apa pun. Jurus 'Lima Dewa Kilat' tak ada yang punya
kecuali Siluman Tujuh Nyawa.
Itulah sebabnya mata Suto
Sinting tak mau berkedip dan tetap waspada supaya tak kecolongan peluang.
"Masa kejayaanmu sebagai
pendekar kondang akan berakhir, Suto! Aku tahu kau dalam keadaan lemah, dan aku
tak mau kehilangan kesempatan untuk menghancurkan ragamu!"
"Lakukanlah kalau kau
merasa mampu!" tantang Suto Sinting.
Wuuut...!
Tiba-tiba tubuh berkerudung
kain hitam dari kepala sampai kaki itu berkelebat seperti angin lewat, ia
menerjang Pendekar Mabuk dengan mengarahkan senjata El Maut-nya.
Suto Sinting punya kesempatan
bergerak menghindar dengan cepat, ia menyentakkan punggungnya ke belakang
hingga badannya jatuh ke tanah dengan cepat. Buuk.. . ! Duuk. . . ! Kepala Suto
terantuk batu. Untung tak sampai bocor. Sedangkan terjangan Siluman Tuj uh
Nyawa yang mirip angin berkelebat itu melintas di atas tubuh Pendekar Mabuk
yang terbaring di tanah. Weess...!
Dengan sekuat tenaga Suto
Sinting segera berguling ke arah kanan. Kakinya yang luka terbentur batu.
Deeeb... !
"Aaaauh...!" Suto
Sinting memekik kesakitan. Wajahnya menyeringai hingga tampak amarahnya.
Durmala Sanca memanfaatkan
kesempatan itu untuk menyerangnya dengan jurus 'Lima Dewa Kilat'. Namun begitu
tangannya bergerak, sebelum sinar sempat keluar dari kelima ujung jarinya, Suto
Sinting cepat sentakkan kedua tangannya ke depan. Seberkas sinar biru besar
keluar dari tangan Pendekar Mabuk bersamaan dengan melesatnya sinar hijau dari
kelima jari Siluman Tujuh Nyawa. Sinar biru besar itu menghantam kelima larik
sinar hijau bersamaan. Jraaab...!
Blegaaarrr... !
Ledakan dahsyat terjadi akibat
pertarungan jurus 'Lima Dewa Kilat' dengan jurus 'Tangan Guntur'-nya Pendekar
Mabuk. Gelombang ledakan yang menyentak hebat itu bukan saja membuat tubuh Suto
Sinting terlempar ke semak- semak, namun juga membuat tubuh Siluman Tujuh Nyawa
terlempar kuat membentur dinding batu cadas. Kerasnya lemparan tubuh sang tokoh
sesat itu membuat dinding batu cadas menjadi gompal dan bebatuan di atasnya pun
runtuh menimbulkan suara bergemuruh. Reruntuhannya menimbun tubuh Siluman Tujuh
Nyawa yang ada di bawahnya. Namun dengan sekali sentak, batu-batu itu terbang
menyebar ke berbagai arah dan tubuh Siluman Tujuh Nyawa berhasil bangkit tegak
kembali dalam sekejap.
Gelombang ledakan itu juga
membuat beberapa bongkah batu di sekeliling tempat itu pecah ataupun retak,
tanah berguncang mengerikan dan pohon-pohon bergetar hebat. Bahkan ada yang
sempat tumbang tercongkel akarnya hingga mencuat ke permukaan tanah.
Suto Sinting mati-matian
menahan rasa sakitnya. Kaki yang membusuk itu terasa sangat nyeri saat tergores
ilalang dan ranting semak. Sekalipun demikian, ia berusaha keluar dari
semak-semak dengan merayap menggunakan kedua tangannya.
Kemarahan yang membakar hati
Suto Sinting, mendidihkan darahnya. Napas Tuak Setan mulai bekerja, setiap
engahan napasnya menghadirkan angin besar yang sempat membuat tanaman kecil
terguncang, rumput-rumput sempat jebol dari akarnya. Suto Sinting menyadari akan
hal itu.
Maka ketika Siluman Tujuh
Nyawa menggunakan tongkat El Maut-nya untuk lakukan serangan berikutnya,
Pendekar Mabuk segera membuka mulut dan mengantarkan suara bersamaan keluarnya
Napas Tuak Setan.
"Huaaah...!"
Blegeeerrr... ! Wuuuurrrsss...
!
Badai besar berkecepatan
tinggi menerj ang apa saja yang ada di depan Suto Sinting. Bumi pun berguncang
hebat, langit berawan gelap, kilatan cahaya petir bersahutan di angkasa.
Keadaan itu seperti awal kedatangan kiamat.
Pohon-pohon tumbang
beterbangan, sekalipun yang berukuran besar maupun kecil. Tumbangnya
pohon-pohon itu menimbulkan suara semakin gaduh.
Bebatuan tersapu oleh badai
yang melanda tempat itu. Bongkahan batu besar pecah menjadi bongkahan kecil,
yang berukuran tanggung pecah menjadi kerikil. Yang berukuran kecil terbang
bagaikan kapas terhempas angin.
Siluman Tujuh Nyawa semula
bermaksud melawan badai Napas Tuak Setan itu dengan berdiri tegak, tongkatnya
ditancapkan ke tanah, ia biarkan angin badai menyapu dirinya, menyingkapkan
kerudung hitamnya hingga rambutnya yang panjang tampak meriap- riap tersapu
angin badai.
Tetapi pertahanan itu segera
tumbang setelah sebatang pohon terbang dan menghantam dirinya. Wuuuss...!
Bruuusss. . . ! Tubuh sang tokoh sesat pun ikut terbawa terbang dengan kecepatan
tinggi, ia terhempas pada dinding batu cadas. Namun saat itu bukit cadas yang
berdinding hampir tegak lurus itu mengalami keruntuhan besar. Sebagian
puncaknya bagaikan terkikis dan mengalami kelongsoran.
Siluman Tujuh Nyiiwn tertimbun
kelongsoran yang terdiri dari gumpalan-gumpalan batu cadas itu. Ditambah lagi
beberapa pohon yang terbang menghantam dirinya. Beberapa batu yang terpental
sempat menghantam dirinya pula.
"Dia berdarah...?!"
gumam Suto Sinting yang memperhatikan lawannya sejak tadi.
Siluman Tujuh Nyawa memang
berdarah pada bagian wajahnya. Kayu pohon dan bebatuan runcing yang
menghantamnya sempat menggores atau melukai wajah itu. Sedangkan kekuatan
tenaga dalam yang dikerahkan Siluman Tujuh Nyawa untuk menahan agar tak ada
benda yang menyentuhnya ternyata jebol juga. Akibatnya ia tergencet antara
pepohonan dan bebatuan yang menghantamnya dengan dinding bukit cadas yang
ditabraknya.
Dari tumpukan benda-benda yang
menimbun tubuh Siluman Tujuh Nyawa itu, tiba-tiba keluar beberapa berkas sinar
merah yang memancar melalui celah-celah kosong. Kejap berikutnya, tubuh Siluman
Tujuh Nyawa tersentak keluar dari timbunan benda-benda itu.
Braaasss... !
Tubuhnya bersinar merah dalam
keadaan melayang di udara dengan tongkat El-Maut masih digenggamnya. Tapi
karena hempasan badai masih kencang, maka tubuh yang melayang di udara itu
terbuang lagi melayang- layang bagaikan daun kering. Tubuh itu menghantam
sebatang pohon besar dan kokoh yang masih berdiri dengan meliukkan pucuknya
nyaris menyentuh tanah. Blaaar...!
Ledakan besar terdengar akibat
benturan tubuh Siluman Tujuh Nyawa yang memancarkan sinar merah dengan pohon
besar. Akibatnya pohon besar itu patah di pertengahan batang. Hancur sebagian
dan sisanya menjadi hangus terbakar.
Durmala Sanca bangkit dari
jatuhnya. Berdiri tegang menahan hembusan badai yang masih mengamuk itu.
Matanya tertuju ke arah Pendekar Mabuk. Tangan kanan Suto mulai bersiap
melepaskan pukulan jarak jauhnya. Tapi tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa melesat ke
arah lain dan menghilang dalam pelariannya, ia masuk ke alam gaib, karena
memang ia mempunyai ilmu yang bisa dipakai untuk keluar-masuk alam gaib.
"Keparat! Dia kabur
lagi!" sambil Suto Sinting menghantamkan kepalan tangannya ke tanah. Tanah
itu menjadi berongga cukup besar.
"Kalau keadaanku tidak
sedang seperti ini, kukejar kau ke alam gaib dan kita selesaikan pertarungan di
sana!" kata Suto Sinting bagai bicara pada diri sendiri.
Terhembusnya Napas Tuak Setan
menghadirkan bencana alam di sekitar tempat itu, bahkan sampai beberapa jauh.
Hutan di seberang sana pun menjadi rusak dilanda angin badai dari tempat Suto
Sinting berada. Gelegar petir di angkasa masih saling bersahutan. Dan ketika
badai itu hilang, suasana alam menjadi porak- poranda. Tempat itu benar-benar
seperti habis dilanda kiamat kecil yng mencengangkan mata seorang gadis. Gadis
yang berlari-lari dari arah belakang Suto itu tak lain adalah Putri Malu. Wajah
sang gadis bukan saja tercengang memandang keadaan alam di depan Suto,
melainkan juga merasa cemas sekali akan keselamatan Pendekar Mabuk.
"Sutooo...?! Kau tidak
apa-apa?!" ucap sang gadis menampakkan kecemasannya.
Pendekar Mabuk buru-buru
meredakan engahan napasnya, menurunkan getar kemarahannya, ia mencoba untuk
tampil dengan tenang dan kalem, walaupun masih tampak kaku.
"Dari mana saja
kau?" Suto Sinting berlagak mencemaskan Putri Malu dan merasa agak kecewa
karena terlalu lama ditinggal pergi. Padahal kepergian Putri Malu adalah suatu
keberuntungan bagi Pendekar Mabuk. Karena dengan demikian Putri Malu tidak
menjadi korban salah sasaran serangan Siluman Tujuh Nyawa. Setidaknya gadis itu
tidak menjadi korban badai Napas Tuak Setan itu.
"Aku mencari daun
penangkal racun itu, tapi sampai ke lembah sana tak kudapatkan. Aku justru
mendengar suara gemuruh seperti gempa bumi. Lalu aku berlari ke sini dengan
hati cemas, takut kau mengalami celaka yang lebih mengerikan lagi."
Suto Sinting sunggingkan
senyum tipis. "Aku baik-baik saja "
Tapi mata gadis itu masih
memandang heran ke arah pohon-pohon yang tumbang dan bebatuan yang hancur.
Kejanggalan ditemukan oleh sang gadis, sehingga gadis itu membatin dalam
hatinya,
"Mengapa yang
porak-poranda hanya sebatas bagian depan Suto, sedangkan alam di belakang Suto
tidak mengalami kehancuran seperti itu? Apa yang terjadi di sini
sebenarnya?"
Ketika hal itu ditanyakan
kepada Suto, Pendekar Mabuk itu hanya menjawab, "Aku tak tahu. Aku baru
saja siuman dari pingsanku."
"Oh, kau sempat
pingsan?!"
"Ya, karena menahan rasa
sakit yang datang lagi secara bertubi-tubi ini!" sambil ia menunjuk
kakinya yang kian membusuk.
Karena senja semakin temaram,
Putri Malu berkata kepada Suto Sinting, "Aku tadi melihat sebuah gua di
lereng sebelah selatan sana. Bagaimana kalau kau kubawa ke gua itu, lalu
kutinggalkan di sana untuk mencari daun penangkal racun?"
"Apakah gua itu aman
untuk kita?"
"Aku sempat memeriksa
sebentar. Gua itu aman, hanya sedikit agak kotor. Dan lagi... sebentar lagi
petang akan tiba. Kita harus segera dapatkan tempat untuk bermalam. Langit
menghitam begitu, pasti akan turun hujan."
Pendekar Mabuk tidak mempunyai
pilihan lain, ia terpaksa menerima uluran tangan Putri Malu untuk bangkit dan
menuju ke sebuah gua yang dimaksud si gadis tadi.
"Bagaimana kalau kau
kupanggul? Aku kuat memanggulmu," kata Putri Malu dengan penuh perhatian.
"Tidak perlu," jawab
Pendekar Mabuk. "Aku butuh kayu penyangga tubuh. Aku masih bisa melangkah
walau harus terpincang-pincang sambil menahan sakit."
"Gunakan pundakku sebagai
kayu penopang. Mari kupapah pelan-pelan menuju gua itu."
Sebenarnya tak sulit mencari
sebatang kayu untuk menopang tubuh Suto Sinting, tapi Putri Malu agaknya tak
inginkan hal itu. Ia lebih suka pundaknya digunakan sebagai pegangan Suto.
Barangkali dengan cara begitu
Putri Malu ingin menunjukkan bahwa ia siap berkorban demi menebus kesalahannya,
mencuri bumbung tuak sakti sang Pendekar itu. Sikap mengorbankan diri dan
membaktikan diri dimiliki oleh sang gadis yang tentunya punya maksud tertentu,
berkaitan dengan masalah pribadi dan hatinya. Mungkin juga dengan menyediakan
diri menjadi 'tongkat' sang Pendekar yang terluka, Putri Malu dapat menunjukkan
kesetiaannya yang penuh dengan ketulusan hati.
Dengan melalui langkah yang
susah payah, akhirnya mereka tiba di sebuah gua. Gua itu tidak begitu besar.
Kedalamannya sekitar lima belas langkah dari mulut gua. Jalan masuk ke gua itu
agak kecil, hanya cukup untuk masuk dua orang bersamaan. Keadaannya agak kotor.
Banyak kotoran binatang yang mengering, tapi umumnya ada di bagian yang paling
dalam.
Salah satu sisi lantai gua
yang datar tampak bersih dari kotoran. Ada tanda-tanda gua itu bekas dipakai
orang, karena tempat datar itu dibersihkan dengan menggunakan sekumpulan
ilalang yang kini dalam keadaan kering.
Di situlah Putri Malu
menempatkan Pendekar Mabuk untuk beristirahat, ia membimbing sang Pendekar
untuk duduk pelan-pelan dan bersandar puda dinding gua.
"Di luar langit mendung
semakin gelap," kata Pendekar Mabuk ketika Putri Malu akan mencari daun
penangkal racun.
"Aku yakin sebentar lagi
hujan akan turun. Sebaiknya kau tak usah pergi dulu, Anggani."
"Aku harus pergi,"
kata Anggani, si Putri Malu itu. "Racun itu kalau tidak segera diobati
akan membuat kakimu terpotong dengan sendirinya. Tapi sebaiknya aku mencari
kayu bakar dulu untuk persiapan api unggun."
Suto Sinting tak bisa melarang
lagi. Gadis itu mempunyai kemauan keras untuk menyelamatkan Suto. Bahkan
seolah-olah ia menyediakan diri untuk menjadi perawat sang Pendekar dengan
penuh rasa bertanggung jawab. Diam- diam Suto Sinting memuji kesetiaan itu dan
hatinya sempat terharu menerimanya.
"Rasa sakitmu kuambil
dulu!" ujarnya sebelum pergi mencari kayu bakar. Suto Sinting membiarkan
Putri Malu mengambil rasa sakit pada luka busuknya itu.
Selesai mengobati rasa sakit
Suto, gadis itu pun keluar dari gua dan mengumpulkan kayu kering. Berulang kali
ia keluar-masuk gua mengumpulkan kayu kering hingga menumpuk di salah satu sisi
lantai gua yang tidak begitu lebar itu.
Angin berhembus membawa udara
dingin. Butiran hujan mulai terasa meresap ke dalam gua dibawa oleh sang bayu.
Gelegar guntur bersahutan di angkasa. Alam menjadi lebih gelap lagi.
Untuk menghalau hawa dingin.
Putri Malu menyalakan api unggun. Selain keadaan di dalam gua menjadi hangat,
juga menjadi terang. Wajah sedih penuh penyesalan terlihat pada kecantikan si
gadis berambut cepak itu. Suto Sinting memperhatikan kecantikan itu dengan
mulut terkatup dan badan bersandar sedikit merebah. Pada saat si gadis
membungkuk untuk menyusun kayu bakar, belahan dadanya terlihat jelas dari
tempat Pendekar Mabuk berada. Dua buah bukit menggantung di sana, tampak segar
dan menggoda jiwa.
"Setan...!" gerutu
Suto Sinting sambil memalingkan wajah, tak berani terlalu lama memandang
kemulusan yang begitu sekal menantang itu.
"Kalau aku bukan kekasih
Dyah Sariningrum, akan kubiarkan asmaraku mekar dalam pelukannya. Ah, ini
godaan. Kau harus tabah, Suto. Kau harus bisa menahan diri untuk tidak hanyut
dalam pemandangan yang menggiurkan itu," kata Suto dalam hatinya, bicara
pada diri sendiri.
Api unggun telah menyala. Tapi
rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Putri Malu bangkit dan tampak
memandang ragu ke arah luar. Suto Sinting segera berkata kepadanya,
"Urungkan niatmu untuk
sementara, Anggani. Hujan akan menjadi deras. Jika kau basah karena hujan kau
akan sakit. Lalu siapa yang akan merawatku kalau kau sakit?"
Kata-kata itu sangat menyentuh
hati Anggani. Sepertinya mempunyai makna besar bagi hubungan mereka berdua.
Anggani pun segera mendekati Suto dan berkata dengan sikap tegar, walau
sebenarnya dalam hatinya merasakan keharuan yang dalam.
"Baiklah, aku menurut
dengan saranmu. Kupikir memang ada baiknya aku menjaga diri agar aku bisa
merawatmu."
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum tipis. Sorot matanya tertuju ke mata indah Putri Malu. Sorot mata itu
merayap ke hidung bangir, lalu ke bibir menggemaskan, lalu ke dada. Sampai di
dada sorot mata itu cepat- cepat naik lagi, tak berani terlalu lama memandangi
dada berkulit mulus, takut terjadi pemberontakan dalam jiwanya.
"Masih terasa
sakit?" tanya Putri Malu dengan suara lembut.
Suto Sinting menggeleng pelan.
"Tapi kau berkeringat,
apakah menahan sakit?" sambil keringat di kening Suto segera dihapusnya
memakai kain ikat pinggang berwarna kuning. Kain itu dilepas dari pinggang
Putri Malu dan digunakan mengeringkan keringat di sekitar kening dan pelipis.
Dengan terlepasnya kain ikat
pinggang yang selama ini membuat rompi merah tak berlengan itu menjadi rapat
bagian depannya, maka keadaan rompi merah pun menjadi berubah. Rompi itu
membuka dan kulit tubuh pun terlihat jelas.
Suto agak risih melihat rompi
tanpa kancing itu. Sebab di balik rompi tak ada pelapis tubuh lagi. Namun ia
tak berani menegur, karena mungkin jika ditegur Anggani benar- benar menjadi
putri malu.
"Barangkali ia punya
kebanggaan sendiri memamerkan keadaan seperti itu," pikir Suto Sinting.
"Biar sajalah, tak perlu ditegur. Kalau mau ya dipandang kalau tidak mau
ya jangan dipanggang, eh... jangan dipandang," lalu Suto tertawa sendiri
dalam hatinya.
Malam pun tiba, hujan semakin
deras. Namun keadaan Putri Malu berkeringat karena ia habis menyalurkan hawa
murninya ke tubuh Suto supaya bisa menghambat keganasan kerja racun di kaki.
Hawa murni Putri Malu yang disatukan dengan hawa murni Pendekar Mabuk ternyata
tidak menghasilkan perubahan apa-apa pada luka busuk tersebut.
"Cukup sudah usahamu,
Anggani. Aku tahu kau sangat menyesal karena mencuri bumbung tuakku, dan kau
ingin menebusnya dengan cara merawatku. Aku cukup paham dengan isi hatimu,
Anggani."
Anggani diam termenung
memandangi luka tersebut. Tiba-tiba ia perdengarkan suaranya yang enak
didengar.
"Kalau kakimu sampai
buntung sebelah, bagaimana?"
"Itu namanya
takdir."
"Itu hanya anggapanmu
saja. Padahal takdirmu belum tentu menghendaki kakimu buntung sebelah."
"Aku selalu beranggapan
begitu supaya bisa tetap tenang dan bisa menerima keadaan apa pun tanpa keluh
kesah dan jiwa yang lemah. Dengan menerima sang takdir, kita akan memperoleh
ketenangan sekalipun dalam keadaan yang menyedihkan. Begitulah caraku mengobati
hati jika sedang menghadapi kekecewaan."
"Apakah hatimu pernah
dikecewakan oleh seseorang?"
"Sering," jawab Suto
kalem.
"Maksudku, seorang
wanita."
Suto Sinting tersenyum
menawan. "Yang berhubungan dengan masalah cinta?"
Gadis itu ganti tersenyum,
tapi kepalanya mengangguk.
"Belum pernah,"
jawab Suto Sinting. "Aku tak pernah dikecewakan oleh seorang wanita dalam
soal cinta. Justru sepertinya akulah yang sering mengecewakan wanita."
"Mengapa begitu?"
"Karena aku sering
menolak cinta mereka."
"Apakah kau tak punya
selera terhadap wanita?"
"O, sangat tinggi!"
jawab Suto cepat sambil tertawa kecil. "Soal selera jangan ditanyakan.
Masalah yang kuhadapi bukan soal selera, tapi soal kesetiaan."
"Kesetiaan? ! "
Putri Malu berkerut dahi dan mulai curiga. "Apakah kau sudah mempunyai
kekasih?"
Suto Sinting menjawab dengan
tegas, "Ya. Aku sudah mempunyai seorang calon istri...," kemudian ia
menjelaskan tentang Dyah Sariningrum.
Wajah gadis cantik bergiwang
kecil warna merah delima itu mulai tampak surut. Keceriaannya bagai terkikis
oleh cerita Suto tentang calon istrinya itu. Tapi setelah ia merenung beberapa
saat, wajah murung itu mulai tampak berseri kembali. Napasnya ditarik
dalam-dalam untuk mengusir kekecewaan. Karena sebenarnya Putri Malu kecewa
mendengar Suto Sinting sudah mempunyai calon istri. Walaupun tak diucapkan,
namun Suto Sinting mengetahui kekecewaan tersebut.
"Persahabatan kadang
lebih kekal daripada percintaan," ujar Suto menghibur hati sang gadis.
"Ya, aku mengerti
maksudmu. Aku justru bangga mempunyai seorang sahabat yang punya kesetiaan
begitu tinggi terhadap calon istrinya. Jarang sekali kutemui seorang lelaki
yang punya kesetiaan sepertimu, Suto."
"Ah, banyak juga. Hanya
saja mungkin baru akulah yang kau temui."
Putri Malu sunggingkan senyum
kecil. Lalu mereka sepakat untuk tidur setelah Putri Malu berkata,
"Esok pagi aku akan pergi
mencari daun penangkal racun. Kurasa esok hari luka busuk ini belum sampai
memotong kakimu. Kita masih punya waktu untuk mencari daun penangkal
racun."
"Terserah bagaimana
caramu merawatku. Aku pasrah," ucap Suto lirih, membuat keteduhan
tersendiri di hati sang gadis.
"Sekarang tidurlah,
istirahatkan seluruh anggota tubuhmu biar tak membuat racun itu bekerja lebih
ganas lagi. Aku akan menjagamu di sini."
"Aku ingin kau tidur
juga. Ingat, aku tak ingin kita berdua jadi sama-sama sakit."
"Baiklah, tapi bolehkah
aku tidur di sampingmu?"
"Untukmu kuizinkan, tapi
untuk perempuan lain akan kutolak."
Putri Malu semakin merasa
tenteram, walau ia tahu tak akan bisa mencintai Suto. Ia akhirnya merebah
berbantalkan dada kanan sang Pendekar. Suto Sinting merapatkan tangannya,
memeluk gadis itu tanpa kenakalan yang mestinya diharapkan oleh sang gadis.
Tidur dengan memeluk Putri
Malu terasa nyenyak bagi Pendekar Mabuk. Namun esok paginya, ketika ia
terbangun, sesuatu telah terjadi amat mengejutkan. Suto memandang ke samping
kanannya, karena ia merasa memeluk Putri Malu semalam. Ternyata yang ada dalam
pelukannya, yang bersandar di dada kanannya bukan Putri Malu lagi, melainkan
bumbung tuaknya yang hilang itu.
"Hahhh...?! Siapa yang
mengembalikan bumbung tuak ini?!" pikir Suto Sinting dengan jantung
berdetak-detak karena kegirangan. Matanya sempat memandang ke sisi lain,
ternyata Putri Malu tidur sendirian di seberang api unggun.
"Oh, terima kasih, Dewa!
Kau telah kembalikan bumbung tuakku dalam keadaan masih penuh. Ooh... terima
kasih...!" Suto Sinting bersorak dalam hatinya. Tanpa menunggu lebih lama
lagi, ia segera menenggak tuak yang amat dirindukan itu.
Seperti seseorang yang menyimpan
dendam cukup lama, tuak itu ditenggak hampir mendekati batas separo bumbung.
Akibatnya luka busuk di kaki Suto Sinting mulai mengalami perubahan. Sedikit
demi sedikit bau busuknya hilang, cairan yang meleleh menjijikkan itu jadi
mengering, warna hitamnya berubah menjadi semakin kecoklatan. Sampai akhirnya
luka busuk itu lenyap sama sekali tanpa bekas sedikit pun.
Suto Sinting masih tersenyum-
senyum karena kegirangan, ia bahkan lupa membangunkan Putri Malu karena sibuk
menciumi bumbung tuaknya.
"Jangan-jangan Putri Malu
yang bikin permainan ini? Malam-malam ia bangun dan mengambil bumbung tuak dari
persembunyiannya yang asli, lalu ditaruh di dadaku dan ia tidur di seberang
sana. Hmmm... tapi kejujuran Putri Malu saat menampakkan penyesalannya itu memang
tulus dan tidak dibuat-buat. Atau... Nyai Sumbar Keramat yang mengembalikannya
karena melihat aku akur dengan muridnya? Hmm... dari mana dia tahu kami ada di
sini? Jangan-jangan bumbung tuak ini jalan sendiri...?!"
Kemudian Suto Sinting ingat
peristiwa saat bumbung tuaknya dibuang oleh seseorang ke dalam jurang. Ternyata
ketika malamnya ia tidur di dalam gua, bumbung tuak itu kembali berada di
dekatnya, karena bumbung itu adalah bumbung bernyawa, yang terjadi akibat
kesaktian Eyang Guru Wijayasura dapat menjelma menjadi bambu untuk bumbung
tuak.
"Hmmm.. . ya, ya... aku
tahu, bumbung tuak ini berjalan sendiri menemuiku walau disembunyikan orang di
tempat serapi apa pun!"
Suto Sinting manggut-manggut
dan membayangkan peristiwa hilangnya bumbung tuak saat dibuang ke jurang oleh
Putri Kunang, murid Dewa Sengat yang kini menjadi penguasa di Pulau
Dadap (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode "Cambuk Getar Bumi").
Putri Malu terbangun dengan
sendirinya tanpa dibangunkan oleh Pendekar Mabuk, ia terpekik kaget melihat
kaki Suto Sinting sudah pulih seperti sediakala. Bahkan wajah cantik itu sempat
menjadi pucat karena kekagetannya. Semakin kaget lagi melihat bambu tuak sudah
ada di samping Pendekar Mabuk, ia nyaris tak bisa berkata apa-apa. Lalu,
Pendekar Mabuk menjelaskan tentang kesaktian bumbung tuaknya yang sejak kemarin
dilupakan itu.
"Kalau begitu kita tak
perlu melanjutkan perjalanan ke Bukit Wangi!" kata Putri Malu.
"Betul. Untuk apa kita ke
sana? Buat apa menemui gurumu jika bumbung tuak ini sudah ada di
tanganku?"
"Jadi sekarang kita
berangkat menemui Ratu Sukma Semimpi?"
"Tak ada pilihan lain
kecuali menghadapi dia untuk membebaskan Ibumu: si Tabib Getar Bumi."
Paras cantik itu berseri-seri
kegirangan. Sorot matanya penuh semangat. Bayangan Ibunya bebas dari tawanan
sang Ratu membuatnya berdebar- debar.
"Tapi sang Ratu punya aji
pemikat," ujarnya mulai melemah kembali. "Mampukah kau menghadapi aji
pemikat yang amat dahsyat itu?!"
"Tahukah kau kelemahan
aji pemikat itu?"
"Aku tidak tahu,"
jawab Putri Malu dengan semangat mengendur.
"Yang penting kita hadapi
dulu sang Ratu. Soal mengatasi aji pemikatnya, kita pikirkan setelah berhadapan
dengannya. Kita berangkat sekarang saja, Anggani!"
"Aku siap memandumu,
Pendekar Tampan!" jawab Anggani mulai bersemangat kembali.
***6
TERSEBUTLAH sebuah wilayah
kekuasaan yang dinamakan Tanah Ratu. Tempat itu ada di lereng bukit menghadap
ke pantai. Jalanan menuju ke istana berbenteng warna putih itu dibangun begitu
rapi dan ditata dengan tanaman hias yang cukup indah.
Di dalam istana berbenteng
putih itu bertakhta seorang ratu berusia sekitar empat puluh tahun, namun masih
tampak cantik dan menggairahkan. Sayangnya belakangan ini kecantikan tersebut
semakin susut akibat kutukan sang Pendeta yang dibunuhnya.
Seperti yang pernah dijelaskan
oleh Galak Gantung, Ratu Sukma Semimpi memang tergolong ratu aliran hitam, ia
mempunyai ilmu yang dapat menyerap kesaktian seorang lelaki dalam keadaan
sedang melakukan percumbuan yang paling dalam. Ayahnya memang bekas seorang
ketua perampok, ibunya termasuk perempuan jalang, namun keduanya kini sudah
tiada. Darah sesat mewarisi sang anak, hingga jadilah ia seorang Ratu yang
hidupnya selalu mementingkan diri sendiri.
Perempuan yang disebut Ratu
Sukma Semimpi mempunyai tubuh langsing, sekal, dan termasuk tinggi. Kulitnya
putih tanpa cacat, dadanya montok sekali, kegemarannya mengenakan jubah ungu
dengan belahan dada lebar dan kain tembus pandang untuk menutup bagian
bawahnya. Rambutnya disanggul rapi, namun sesekali diriap untuk memancing minat
lelaki.
Namun sekarang keadaan sang
Ratu tidak demikian eloknya. Sejak membunuh seorang pendeta dari aliran putih,
rambutnya mulai rontok sedikit demi sedikit. Dan akhirnya menjadi gundul tanpa
rambut selembar pun. Buah dadanya mengempes, dan nyaris datar seperti seorang
lelaki. Kulit tubuhnya mengalami perubahan dari putih mulus menjadi
bercak-bercak coklat, seperti akan dipenuhi tahi lalat.
Kesekalan tubuhnya pun mulai
mengendor. Betisnya yang semula indah kini menjadi berbusik seperti dilapisi
sisik halus. Kekencangan paha dan pinggulnya menjadi seperti balon kekurangan
udara. Bulu matanya yang lentik beberapa waktu yang lalu menjadi rontok dan
sekarang nyaris tanpa bulu mata. Alis lebarnya yang dulu indah, sekarang
tinggal tipis dan tumbuhnya tak beraturan.
Namun demi membanggakan hati,
para bawahannya selalu mengatakan bahwa sang Ratu masih tetap cantik.
"Siapa bilang Gusti Ratu
berubah? Menurut saya tidak, Gusti Ratu tetap cantik dan menggairahkan para
lelaki. Sama seperti dulu, cuma sekarang sedikit kurus karena barangkali Gusti
Ratu banyak pikiran!" ujar salah seorang pengawalnya.
Namun sang Ratu sering lemah
keyakinan akan dirinya, ia pernah berdiri di depan cermin seharian penuh untuk
memperhatikan dirinya, juga meyakinkan batinnya apakah ia masih cantik dan
menarik atau sudah tidak sama sekali. Kadang ia merasa sedih jika hati kecilnya
mengatakan dirinya sudah tidak menarik, kadang ia merasa yakin bahwa dirinya
masih menawan.
Beberapa pemuda dicarinya, ia
ingin membuktikan apakah dirinya masih menarik dan menggairahkan bagi seorang
lelaki atau tidak. Toh kenyataannya beberapa pemuda yang disuguhkan masih
merasa terpikat dan mau melayani sang Ratu.
"Ini menandakan bahwa aku
memang masih cantik dan menarik, " kata hati sang Ratu. Padahal para
pemuda yang melayaninya itu menjadi tertarik karena ajian pemikat sang Ratu
yang terletak pada bibir dan matanya. Tak ada lelaki yang mampu kalahkan
kekuatan gaib dari bibir dan mata sang Ratu. Sekali mereka kena pandang, sekali
mereka senyum, hati mereka luluh dan keinginan bercumbunya melonjak-lonjak amat
tinggi.
Hal itulah yang dikhawatirkan
oleh Putri Malu. Karenanya, Suto Sinting mempunyai cara sendiri untuk mengatasi
kekuatan aji pemikat sang Ratu. Pendekar Mabuk yang sudah berdampingan dengan
bumbung bernyawanya itu juga punya cara sendiri untuk membebaskan Tabib Getar
Hati, ibu dari Putri Malu yang menjadi kambing hitam sang Ratu itu.
"Bagaimana hasilnya ,
Putri Malu?!" sapa sang Ratu dalam pertemuan yang diadakan secara mendadak
karena Putri Malu pulang dari tugasnya.
"Mana pemuda tampan yang
bergelar Pendekar Mabuk itu?! Mengapa kau datang tidak membawa Suto Sinting, si
murid Gila Tuak itu? Apakah kau tak ingin Ibumu selamat? Ingat tujuh hari lagi
purnama tiba. Jika kau belum bisa membawa Pendekar Mabuk kemari, maka Ibumu
akan kugantung di depan umum!"
"Gusti Ratu," kata
Putri Malu sambil menahan kegeraman dalam hatinya. "Saya sudah bertemu
dengan Pendekar Mabuk."
"Bagus!" sahut sang
Ratu dengan wajah mulai berseri-seri. "Lalu bagaimana?"
"Suto Sinting ada di
luar, Gusti!"
"Hah...?! Mengapa tidak
kau bawa masuk? Lekas panggil dia, aku sudah tak sabar lagi ingin menikmati
kemesraannya!"
"Suto bersedia melayani
gairah Gusti Ratu, tapi ia punya syarat sendiri."
"Hmmm... mungkin dia
minta upah? Baiklah. Apa syarat yang diminta?"
"Dia ingin dijemput oleh
Gusti Ratu sendiri dan berjalan menuju istana berdampingan dengan Gusti
Ratu."
"Hik, hik, hik, hik. . .
! Rupanya dia seorang pendekar yang menyukai kemesraan seperti itu. Oh, ya. . .
aku tahu maksud hatinya. Suto Sinting seorang pemuda tampan yang manja dengan
cinta. Baiklah. Aku akan datang menjemput sang Pendekar! Di mana dia
sekarang?"
"Ada di alun alun,
menunggu Gusti Ratu di bawah pohon beringin."
"Aha, dia benar-benar
pemuda pemalu untuk soal kencan. Hik, hik, hik, hik...!"
Putri Malu segera beranikan
diri bicara lagi. "Suto Sinting menghendaki Gusti Ratu membawa ibu saya
juga."
Sang Ratu berkerut dahi
memandang tajam kepada Putri Malu. Senyum keceriaannya lenyap seketika berganti
rona angkuh penuh curiga.
"Mengapa ia menghendaki
begitu?"
"Saya ceritakan
persoalannya, kemudian dia ingin membebaskan ibu saya. Tapi dia takut Gusti
Ratu ingkar janji. Dia inginkan pertukaran secara ksatria. Dia mau melangkah
berdampingan bersama Gusti Ratu masuk ke istana, jika Ibu sudah berada di
tangan saya."
"Mengapa dia tidak
percaya padaku?! Dia pikir aku seorang Ratu yang curang?! Menghina sekali
dia?!"
"Maklumilah, Gusti. Sebab
dia belum kenal siapa Gusti Ratu. Walaupun saya sudah jelaskan kebaikan Gusti,
namun dia ingin buktikan kesungguhan Gusti yang ingin mendapatkan kemesraan
dengannya. Sebab dia merasa sudah cukup waktu untuk menikah, namun sampai
sekarang belum punya calon istri yang tepat dengan pilihan hati. Ketika saya
ceritakan ciri-ciri kecantikan Gusti Ratu, ia tampak gembira dan merasa yakin
bahwa Gusti Ratu adalah wanita yang sesuai dengan selera cintanya."
"Hik, hik, hik, hik. .. ,
" sang Ratu tertawa lagi, hatinya diliputi perasaan bangga. Ini akibat
kepandaian Putri Malu menyanjung Ratu Sukma Semimpi, sehingga sang Ratu
bagaikan lupa dengan anggapan curang yang tadi sempat membakar hatinya.
"Baiklah. Pengawal...,
keluarkan Tabib Getar Hati, dan bawa dia menyambut darah pendekar
bersamaku!"
Tabib Getar Hati dikeluarkan
dari ruang tahanan bawah tanah. Perempuan berusia lima puluh tahun itu masih
tampak segar dan tidak mengalami cedera apa pun. Putri Malu merasa lega melihat
ibunya dalam keadaan sehat.
Perempuan yang rambutnya mulai
ditumbuhi uban itu segera ditemui oleh anaknya. Putri Malu dipandang dengan
mata penuh curiga. Sang Ibu segera bertanya,
"Apakah kau berhasil
membujuk Pendekar Mabuk?"
"Ya, aku berhasil,
Ibu," jawab Putri Malu dengan menundukkan kepala.
Sang Ibu tampak tidak menyukai
keberhasilan itu. "Kau salah langkah, Anggani!" katanya sambil
memandang hampa ke arah depan. "Kau menodai rimba persilatan dengan
menjadi budak kutukan!"
"Tak ada jalan lain untuk
membebaskan Ibu kecuali jalan ini," ujar Putri Malu membela diri dengan
wajah penuh sesal.
"Kau sama saja mencoreng
muka Ibu di depan Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Ibu kenal betul dengan mereka.
Rasa-rasanya Ibu merasa lebih baik digantung daripada harus mengorbankan murid
si Gila Tuak itu."
"Maafkan aku, Ibu. Aku
tak ingin kehilangan Ibu."
"Apalah artinya seorang
perempuan seperti aku? Pendekar Mabuk mempunyai arti lebih besar bagi dunia
persilatan ketimbang seorang tabib seperti diriku, Anggani. Aku kecewa dengan
langkahmu!" sang Ibu semakin ketus dan datar, wajahnya menampakkan kekecewaan
secara jelas-jelas. Kemudian ia melangkah meninggalkan anak gadisnya dengan
didampingi dua pengawal istana bersenjata pedang.
Putri Malu menjadi penunjuk
jalan, walau sebenarnya tanpa ditunjukkan sang Ratu sudah tahu sendiri mana
jalan menuju alun-alun.
Namun sebagai perantara kedua
belah pihak, Putri Malu layak berjalan lebih dulu menuju ke alun-alun. Sang
Ratu dibawa pakai tandu. Padahal jarak istana dengan alun-alun sangat dekat.
Tidak sampai memakan waktu setengah atau seperempat hari. Mungkin hanya lima
puluh helaan napas sudah sampai, sebab alun-alun letaknya di depan gerbang
istana.
Di sana, seperti kata Putri
Malu, seorang pemuda tampan yang bergelar Pendekar Mabuk sudah menunggu di
bawah pohon beringin kembar. Dalam kerindangan pohon itu, Pendekar Mabuk tampak
berdiri dengan gagah dan perkasa. Namun ketenangannya tetap terjaga.
Bumbung tuaknya diselempangkan
di punggung, hingga dari jauh mirip sebuah pedang pusaka yang menambah
kegagahan sang Pendekar.
Perempuan yang kini menjadi
wanita paling kerempeng seistana itu segera turun dari tandu. Dua pengawal
mendampinginya di kanan-kiri.
Kepalanya yang gundul tanpa
selembar rambut dipayungi oleh seorang pembawa payung dari belakang. Ratu Sukma
Semimpi segera mendekati Suto Sinting dengan pandangan mata yang berbinar-
binar. Semakin dekat semakin mekar senyumnya menandakan kegembiraan hatinya
saat itu.
"Selamat datang di Tanah
Ratu, Pendekar Mabuk; Suto Sinting!" sapa sang Ratu dengan penuh wibawa.
Suto Sinting membungkuk,
memberikan hormat ala kadarnya. Karena ia diberi tahu oleh Putri Malu bahwa
sang Ratu suka dengan hormat dan sanjungan.
"Salam hormatku untukmu,
Gusti Ratu."
"Terima kasih. Kau
benar-benar lelaki yang pandai membuat hatiku bangga dan gembira."
Suto Sinting segera
sunggingkan senyum. Hati sang Ratu bergetar melihat senyuman itu. Ia tak tahu
bahwa Suto Sinting telah gunakan jurus 'Senyuman Iblis' yang mampu membuat
lawan kasmaran dan mau tak mau pasrah kepada Suto Sinting. Jurus itu dilepaskan
Suto lebih dulu sebelum ia terkena aji pemikat dari sang Ratu. Dengan
membentengi diri memakai jurus 'Senyuman Iblis', aji pemikat apa pun terpancar
balik kepada pemiliknya, sehingga si pemilik aji pemikat justru akan semakin
tergila-gila kepada Pendekar Mabuk.
"Kudengar kau merasa
yakin bahwa aku adalah perempuan yang sesuai dengan selera cintamu, Suto."
"Benar sekali,
Ratu!" tegas Suto. "Kau satu-satunya perempuan yang mampu
membangkitkan semangat cintaku. Baru mendengar cerita dan ciri-cirimu saja
gairahku sudah tergugah. Kini setelah aku berhadapan langsung denganmu, semakin
tergugah lagi hasrat cintaku."
"Ah, jangan menyanjungku
begitu nanti aku lupa daratan. Hik, hik, hik, hiiik...," sang Ratu
bagaikan mengambang di udara mendengar sanjungan itu.
"Tapi aku sangsi padamu,
Ratu," ucap Suto pelan.
"Apa yang kau
sangsikan?"
"Apakah kau mampu
melayani cintaku? Sebab cintaku ini berlebihan, tidak seperti lelaki lain.
Karenanya belum pernah ada perempuan yang sanggup melayaniku, sehingga aku tak
pernah tertarik untuk memperistri mereka."
"O, soal itu kujamin kau
tidak akan mau pergi dariku. Kalau tak percaya, mari kita buktikan kemampuan
kita masing-masing."
"Baiklah. Tapi aku ingin
mengujimu lebih dulu."
Sang Ratu justru tertawa
karena mempunyai pengertian yang berbeda dengan maksud kata-kata Suto Sinting.
Bahkan ia berkata dengan tawa genitnya,
"Tak mungkin mengujiku di
sini. Aku tak mau dilihat oleh para punggawa dan rakyatku yang menyaksikan
pertemuan ini di pinggir alun-alun itu."
"Aku bukan ingin menguji
ketangguhan bercintamu secara langsung. Cukup dengan permainan dua- tiga jurus
aku sudah bisa mengetahui seberapa besar kekuatanmu bertahan dalam pelukanku,
Ratu."
"O, jadi kau menghendaki
permainan jurusku?!"
"Aku gemar berjudi, Ratu.
Mohon kau mau menerimaku apaadanya."
"Tentu aku mau
menerimamu. Sebab aku pun gemar berjudi. Apakah kau ingin mengajakku bermain
judi?"
"Kalau kau tak keberatan,
aku ingin bermain judi dengan jurus-jurus kita."
"Baiklah. Tapi bagaimana
aturan mainnya?" tanya sang Ratu semakin merasa tertarik, karena ia belum
pernah mendapatkan lelaki yang mempunyai gaya seperti Suto Sinting itu.
"Jika kau bisa
menumbangkan aku dalam tiga jurus, aku akan langsung menggendongmu masuk ke
kamar tidur. Untuk berikutnya kita akan menjadi pasangan suami-istri."
"Aku setuju. Sangat
setuju sekali!" sahut sang Ratu dengan berapi-api.
"Tapi jika kau yang
tumbang dalam permainan tiga jurusku, kau harus bebaskan Tabib Getar Hati, dan
persoalan kemesraan kita bisa dirundingkan lagi."
"Mengapa kau menghendaki
Tabib Getar Hati sebagai bahan taruhanku?!"
"Karena aku juga seorang
tabib; Tabib Darah Tuak. Aku tak tega melihat sahabatku sesama tabib harus kau
jadikan tawanan. Aku hanya ingin membebaskan dia supaya dia bisa menolong orang
lain yang membutuhkan pengobatan. Soal kemesraan kita, bisa diatur lagi dengan
perjudian yang lainnya."
Ratu Sukma Semimpi diam
termenung beberapa saat. Ia mempunyai berbagai pertimbangan. Suto Sinting tidak
mau memberi kesempatan sang Ratu menemukan pertimbangan yang membahayakan
keselamatan Tabib Getar Hati. Karenanya pemuda tampan itu mendesak dengan
bujukan yang dibumbui senyuman menawan.
"Mengapa kau ragu-ragu,
Ratu? Apakah kau tak menghendaki pembuktian di dalam kamar tidurmu nanti? Aku
sudah tak sabar, Ratu. Aku ingin segera mengawali kemesraan kita dengan
permainan seperti yang kuinginkan itu."
"Baiklah! Aku setuju,
karena aku juga sudah tak tahan ingin membuktikan kehebatanmu di dalam kamar
tidurku. Hi, hi, hi...!"
Kemudian sang Ratu mengumumkan
permainan tersebut kepada para punggawanya, rakyat yang berkerumun di pinggir
alun-alun juga mendengarnya. Sang Tabib sempat heran mendengar permainan itu.
"Tiga jurus aku tumbang,
tabib itu bebas dari semua hukuman. Tiga jurus Pendekar Mabuk tumbang, dia akan
menjadi suamiku selamanya!" seru sang Ratu, kemudian rakyat dan para
punggawa negeri menyambutnya dengan sorak dan tepukan. Mereka mengelu- elukan
sang Ratu, seakan sangat menjagokan ratu mereka.
Kemudian orang-orang yang ada
di dekat sang Ratu segera menyingkir. Mereka membentuk arena pertarungan cukup
lebar. Para prajurit dan punggawa negeri lainnya berada dalam jarak sekitar
lima belas tombak.
"Hidup Gusti Ratu...!
Hidup Gusti Ratu. . . !" teriak mereka memberi semangat sang Ratu.
Dengan tersenyum-senyum sang
Ratu yang merasa dibangga-banggakan itu mulai menghadapi Suto Sinting, ia
membuka jurus lebih dulu dengan merentangkan kaki kirinya ke belakang dan
mengangkat kedua tangannya ke atas pundak. Satu tangannya mengepal, satu lagi
terbuka dengan jari merapat. Badannya sedikit membungkuk ke depan, sehingga
mudah lakukan gerakan menghindar jika datang serangan secara tiba-tiba.
Namun Suto Sinting bagai tidak
memainkan jurus sedikit pun. Ia hanya berjalan pelan mondar-mandir di depan
sang Ratu sambil mata memandang dan bibir sunggingkan senyum. Senyum itu tetap
merupakan 'Senyuman Iblis' yang membahayakan bagi perempuan mana pun juga.
"Bersiaplah,
Kekasihku...!" geram sang Ratu sambil mengubah posisi kuda- kudanya, makin
mendekat lagi.
"Seranglah aku jika kau
perempuan yang gemar bercinta."
Sang Ratu bagai ditantang
kemesraannya. Untuk membuktikan kehebatan bercintanya, sang Ratu segera
melepaskan serangan lebih dulu dengan satu lompatan kecil yang mencapai tanah
depan Suto Sinting
"Hiiaah...!"
Jleeeg .. !
Lalu mereka beradu kecepatan
tangan dalam memukul dan menangkis.
Plak, plak, plak, plak, plak
Zlaaab... !
Suto Sinting bergerak
melingkar hingga berada di belakang sang Ratu. Gerakan itu tak diketahui oleh
sang Ratu karena Suto menggunakan Juru 'Gerak Silumannya.
Ketika perempuan itu
terbengong sejenak menyangka Suto menghilang, maka terdengarlah suara Suto yang
kalem di belakangnya.
"Aku di sini, Ratu."
Begitu sang Ratu berpaling ke
belakang, Suto Sinting segera hantamkan telapak tangannya dengan kecepatan
tangan yang tak dapat dilihat oleh mata telanjang. Wuuut...! Beeehg... !
"Uuuhg...!" sang
Ratu terpental ke belakang empat tindak dan terhuyung-huyung. Dadanya terkena
pukulan telapak tangan Suto Sinting yang dialiri tenaga dalam sekadarnya itu.
"Uuuh...! Panas sekali
pukulanmu."
"Kau pasti sanggup
bertahan, Ratu," Suto tetap sunggingkan senyum dan melangkah ke samping
pelan-pelan. Sang Ratu bersiaga lagi dengan jurus lainnya. Tubuhnya memutar
pelan-pelan karena Suto Sinting mengelilinginya. Jarak mereka hanya tiga langkah.
Tiba-tiba kaki Suto menyentak
dan tubuhnya melesat maju dengan tendangan kaki berkelebat ke arah wajah sang
Ratu. Wuuut...!
Plak... ! Sang Ratu berhasil
menangkisnya. Tapi ia tak tahu kalau Suto akan menyentakkan kaki kirinya ke
tanah dan memutar tubuh dengan cepat, lalu kaki kiri itu menampar pipi sang
Ratu.
Ploook... !
Suaranya cukup keras.
Tendangan itu membuat sang Ratu terpelanting ke samping dan jatuh bersimpuh.
Pandangan matanya menjadi berkunang-kunang. Hatinya mulai dibakar kemarahan.
Sementara para penonton bergemuruh seperti pasukan lebah yang mencemaskan sang
Ratu.
Dengan kalem, Suto Sinting
mengulurkan tangan dan membantu sang Ratu berdiri. Namun begitu sang Ratu
bangkit, tangannya menghantam dada Suto Sinting dengan sentakkan pangkal telapak
tangan. Deees...!
"Huuuhg.. . ! "
Suto Sinting tersentak mundur
beberapa langkah dan sempat merasakan dadanya seperti dihantam memakai palu
godam berukuran besar.
Melihat Pendekar Mabuk
sempoyongan, Ratu Sukma Semimpi segera melompat dan melayang di udara bagaikan
terbang ke arah Pendekar Mabuk.
"Heeeeaaat...!"
Pendekar Mabuk pun cepat
sentakkan kaki dan tubuhnya melesat naik. Lalu mereka beradu pukulan telapak
tangan di udara.
"Hiaaat...!"
Blaaarr... !
Seberkas sinar merah memercik
dari perpaduan telapak tangan itu. Ledakan cukup keras menggelegar memenuhi
alun-alun. Tubuh Suto Sinting mendarat kembali dengan kaki tegak, sedangkan
Ratu Sukma Semimpi terpental dan terguling-guling di udara, lalu jatuh dengan
kepala menukik. Bruukk... !
"Ouuh...!" pekiknya
dengan suara tertahan.
Suto Sinting tersenyum kalem,
ia mengambil bumbung tuaknya dan menenggaknya dua teguk. Badannya kembali
segar. Rasa sakit di dadanya pun segera lenyap.
Ketika sang Ratu bangkit dan
ingin menyerang lagi, Suto Sinting berseru dengan wajah tetap memamerkan
senyumannya.
"Eiiit... Sudah tiga
jurus dan kau tumbang dua kali!"
"Aaah... sial!" sang
Ratu menggeram gemas.
"Aku masih punya
permainan satu lagi untuk membangkitkan selera bercintaku. Kau pasti akan suka
jika seleraku sudah berkobar-kobar, karena sepanjang hari aku tak akan
melepaskan dirimu dari pelukan cintaku, Ratu!"
"Baiklah. Kuakui sekarang
aku kalah. Akan kutebus di permainan yang kedua."
"Bebaskan dulu tabib
itu."
Kemudian sang Ratu yang
semakin terpikat oleh senyuman Suto itu segera berseru kepada pengawal,
"Bebaskan tabib itu sekarang juga! Lekas...!"
Hal itu dilakukan oleh sang
Ratu supaya setiap orang, terutama Suto Sinting, mengakui bahwa sang Ratu punya
ketegasan dan tidak pernah ingkar janji. Dengan begitu, maka Tabib Getar Hati
pun segera dibebaskan, kedua tangannya yang terikat ke belakang itu dilepaskan.
Kemudian Putri Malu menyambutnya dengan pelukan kegirangan. Mereka segera
berlari menemui Suto Sinting.
"Rencana kedua!"
bisik Suto Sinting kepada Putri Malu.
"Baik. Aku akan membawa
Ibu menjauh dulu."
Putri Malu membawa ibunya
keluar dari alun-alun. Mereka menyaksikan rencana kedua dari kejauhan.
Sementara itu, sang Ratu segera berseru kepada Suto dengan hati penasaran.
"Aku akan menebus
kekalahan ini. Sekarang kita bermain dalam satu jurus saja. Kalau kau tumbang,
kau harus segera memboyongku masuk ke kamar tidurku. Kalau aku yang tumbang,
aku yang akan memboyongmu masuk ke kamar."
"Tidak," tolak Suto
tegas. "Kita bermain dua jurus. Kalau kau bisa melumpuhkan aku, kau boleh
miliki aku semaumu. Tapi kalau aku bisa melumpuhkan dirimu, aku tidak akan
melayani kemesraanmu."
"Hei, apa-apaan ini?
Mengapa permainannya menjadi begitu?! Aku tidak setuju!" sentak sang Ratu.
"Dalam permainan kedua
ini, kau atau aku yang mati! " tegas Suto Sinting lagi.
Sang Ratu terkesiap, kemudian
segera menyadari bahwa dirinya telah tertipu oleh permainan Pendekar Mabuk.
Amarahnya menjadi lebih besar lagi.
"Kalau begitu kau
sebenarnya menghendaki kematianku, hah?!"
"Apa boleh buat, kecuali
kau mau bertobat dan menghentikan segala tingkah lakumu yang sesat itu."
"Keparat! Kau belum tahu
siapa aku sebenarnya, hah?! Terima ini jurusku yang bukan sekadar permainan
anak kemarin sore. Hiaaah...!"
Sang Ratu lepaskan pukulan bersinar
biru bagaikan bola berekor. Wuusss...! Sinar biru itu keluar dari telapak
tangannya yang dihantamkan ke arah Pendekar Mabuk. Maka sinar biru itu pun
meluncur cepat ke arah sang Pendekar.
Melihat kemunculan sinar biru
itu, Suto Sinting segera melepaskan pukulan 'Guntur Perkasa' yang memancarkan
sinar hijau. Claaap.. .! Sinar hijau segera beradu dengan sinar biru di
pertengahan jarak.
Blaab...! Blegaaarr...!
Cahaya ungu berkerilap dari
hasil benturan dua sinar tadi. Ledakan menggelegar pun sempat mengguncang tanah
lapang alun-alun, membuat orang- orang menjadi gaduh karena ketakutan. Namun di
luar dugaan, ternyata sinar ungu itu menguncup dan membentuk gumpalan sinar
biru lagi yang melesat ke arah Suto Sinting. Wuuusss...!
"Gila! Sinarnya masih
utuh?!" sentak batin Suto. Ia segera bersalto ke belakang beberapa kali
untuk menjauhi sinar biru itu. Wuk, wuk, wuk, wuk. . . ! Kecepatan saltonya
sukar dilihat. Tahu-tahu Suto Sinting sudah berdiri dengan bumbung tuak
menghadang di depan dada. Sinar biru itu ditangkisnya dengan bumbung tuak
tersebut. Tuubs...! Wuuusss...!
Sinar biru itu berbalik ke
arah pemiliknya dengan lebih besar dan lebih cepat lagi. Tapi karena jarak
mereka sudah cukup jauh, maka sang Ratu punya kesempatan melepaskan
kesaktiannya kembali.
Tangannya segera bertepuk satu
kali di depan kepalanya, lalu kedua tangan saling menyentak ke depan. Bersamaan
terbukanya telapak tangan maka keluarlah hembusan angin berasap merah.
Wuuuss...!
Asap merah itu membentang
lebar dan dihantam oleh sinar biru. Duubb...! Wuuusss...!
Ternyata asap merah itu
menyerupai karet yang mampu memantulkan sinar biru ke arah Suto Sinting lagi.
Tentu saja Pendekar Mabuk terperanjat melihat peristiwa yang belum pernah
dialami.
"Ilmunya benar-benar gila
perempuan itu!" gerutu Suto dalam keadaan tegang. Akhirnya ia berguling di
tanah beberapa kali sambil memeluk bumbung tuaknya. Sinar itu pun lolos dari
tubuhnya dan menghantam tiga prajurit yang lari pontang-panting begitu tahu
sinar tersebut meluncur ke arah mereka.
Blaaar... !
Tiga prajurit itu tidak
berbentuk lagi karena hancur dihantam sinar biru yang mempunyai daya ledak
cukup tinggi. Namun bersamaan dengan itu, Suto Sinting yang dalam keadaan
berdiri dengan satu lutut itu segera merapatkan kedua tangannya di dada dan
disentakkan lurus ke depan. Claaap...!
Sinar ungu sebesar lidi
melesat ke arah sang Ratu. Keadaan itu tidak disangka-sangka oleh sang Ratu.
Ketika ia hendak menghindar, sinar ungu yang bernama jurus 'Surya Dewata' itu
telah lebih dulu menghantam pinggangnya. Jluub... !
Bluuus...! Sinar ungu itu
menembus pinggang sebelahnya, bahkan masih terus melesat dan akhirnya
menghantam pohon beringin yang tadi dipakai Suto menunggu kemunculan sang Ratu.
Blegaaar... !
Pohon itu tumbang seketika
dalam keadaan berlubang besar. Jika pohon sekeras itu berlubang besar,
bagaimana dengan tubuh sang Ratu?
Ratu Sukma Semimpi tak
terdengar suaranya setelah tadi terpekik dengan suara tertahan. Perempuan itu
terkapar di rerumputan dalam keadaan bagian perutnya pecah, isinya berhamburan
kemana-mana. Tentu saja sang Ratu pun akhirnya mati akibat jurus 'Surya Dewata'
dari Pendekar Mabuk.
Melihat ratunya tewas, para
pengawal segera mengepung Suto Sinting. Tapi dengan tenang Suto Sinting
berkata, "Kalau ratu kalian saja tumbang di tanganku, apalagi kalian?!
Sebaiknya kalian jangan bertindak bodoh! Dalam sekejap aku bisa membuat kalian
hilang tak berbekas."
Mereka jadi tertegun dan mulai
berpikir. Saat itulah, Suto Sinting bergerak cepat menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'-nya. Zlaaap...!
Ia bagaikan menghilang dari
hadapan para pengepung yang terpaku di tempat itu. Tahu-tahu si murid sinting
Gila Tuak itu sudah ada di depan Putri Malu dan Tabib Getar Hati.
"Cepat kita pergi dari
sini!" kata Suto Sinting, lalu Putri Malu dan ibunya bergerak lebih dulu
meninggalkan Tanah Ratu, Suto Sinting mengawalnya dari belakang. Sampai di luar
batas wilayah Tanah Ratu mereka pun berpisah.
"Terima kasih atas
bantuanmu, Suto," ucap Putri Malu dengan lirih.
"Sampaikan salamku kepada
gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang, " kata Tabib Getar Hati.
"Baik, akan kusampaikan,
Bibi! Selamat jumpa lagi. Anggani, jaga Ibumu baik-baik!"
Lambaian tangan Suto
mendatangkan haru di hati kedua perempunn itu. Namun lebih haru hati Putri
Malu, karena ia mempunyai kesan indah tersendiri selama menjadi pencuri pusaka
bernyawa milik sang Pendekar Mabuk itu.
SELESAI