1
Angin berhembus bersama mega
mendung di langit. Kian lama hembusannya kian cepat. Sebuah bukit berhutan
tipis disapu angin senja.
Cahaya matahari memerah di
cakrawala. Tapi cahaya itu masih mampu tampakkan sosok manusia kurus berjubah
putih. Manusia kurus itu berambut putih, panjangnya sebatas punggung tanpa ikat
kepala. Rambut putih itu milik seorang lelaki yang diperkirakan berusia hampir
delapan puluh tahun. Jenggot dan kumisnya pun telah memutih rata. Rambut itu
meriap-riap disapu angin senja.
Kian lama hembusan angin kian
kencang. Pohon- pohon meliuk nyaris patah bagian tengah batangnya. Angin
kencang itu seakan ingin tumbangkan tokoh tua yang berdiri tegak di puncak
bukit bertanah lapang. Nyatanya tokoh tua itu tetap diam saja tak bergeming.
Tetap berdiri dengan kedua
tangan terlipat di dada, membiarkan tubuhnya dihembus angin kencang. Jika bukan
tokoh berilmu tinggi, tentu ia sudah tumbang sejak tadi.
Hembusan angin itu jelas bukan
sembarang angin. Pasti ada yang mengirimkan kekuatan tenaga dalamnya melalui
hembusan angin. Karena angin itu ternyata mempunyai hawa panas. Kian lama kian
terasa jelas hawa panasnya. Bahkan dedaunan pohon, ilalang, dan rumput menjadi
layu. Sekalipun tidak sampai kering, namun kehijauan dedaunan itu telah mulai
berkeriput dan layu. Unggas yang mendiami bukit itu lari ketakutan diterpa
angin panas tersebut. Toh nyatanya tokoh tua berjubah putih masih tetap diam
berlipat tangan didada, seakan menahan serangan dari lawannya yang mengancam
keselamatan jiwa.
Kreseeek... Brrruuk...!
Pohon mulai tumbang. Itu
tandanya kekuatan angin cukup tinggi. Bahkan sebongkah batu sebesar kerbau pun
mulai retak. Traak...! Praak...! Dan akhirnya pecah terbelah menjadi lebih dari
delapan bagian. Tetapi tubuh kurus tua itu masih tetap berdiri tegak tanpa
bergeser sedikit pun dari tempatnya berpijak.
Bukit itu mempunyai jurang
dalam sekali. Di seberang jurang ada bukit lain tanpa tanaman tinggi. Hanya
batu-batuan yang saling bertonjolan sebagai ganti tanaman. Bukit yang gersang
itu dinamakan orang Puncak Karang. Tanah dan bebatuannya berbentuk seperti
karang laut.
Di Puncak Karang itu terlihat
seorang pemuda berambut lurus sepanjang lewat bahu. Orang muda itu mengenakan
baju coklat tanpa lengan, celananya putih kusam karena kotor oleh tanah. Entah
berapa lama tidak dicuci. Pemuda tampan dan gagah itu menggendong bambu tempat
tuak yang panjangnya sedepa. Bambu itu adalah jenis bambu besi berwarna coklat
kehijauan dengan tali coklat kehitam-hitaman.
Melihat ciri pada bambu
bumbung tuak itu, setiap tokoh di dunia persilatan pasti mengenali pemuda
ganteng tersebut. Dia adalah Pendekar Mabuk, bernama Suto, murid sinting si
Gila Tuak. Ilmunya yang sering dibilang edan-edanan itulah yang membuat Suto
dikatakan murid sinting dan akhirnya dikenal dengan nama Suto Sinting.
Di Puncak Karang itu si murid
sinting Gila Tuak memandangi bukit seberang jurang. Hatinya menyimpan rasa
heran dan kecamuk yang didengar oleh telinga batinnya sendiri.
"Hembusan angin itu jelas
bukan angin sembarangan. Seseorang sedang menyerang kakek berjubah putih itu.
Tapi di mana penyerangnya? Siapa orangnya? Aku tak menemukan hal-hal yang
mencurigakan di sana. Yang jelas penyerangnya pasti ada di timur, karena angin
itu berhembus dari timur ke barat. Aku merasakan hawa panas yang sepertinya
mengandung tusukan seribu jarum. Ini pasti ilmu tinggi yang dikuasai seseorang
sebagai ilmu andalannya. Kalau kakek berjubah putih itu bukan orang sakti,
pasti ia sudah muntah darah atau
menjadi hancur karena tenaga
dalam yang cukup tinggi itu. Hmmm... siapa kakek berkalung batuan merah
itu?"
Tokoh tua berjubah putih itu
memang kenakan
kalung batu-batuan warna merah
kecoklat-coklatan. Warna kalungnya itu sangat menyolok karena ada di antara
jubah putih dan jenggot panjang yang putih pula. Sejauh ini Suto Sinting hanya
bertindak sebagai penonton yang baik. Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk
justru duduk dengan satu kaki masih menapak di tanah dan satu kaki menumpang di
atas batu seukuran pinggangnya.
"Pertarungan ini
merupakan tontonan yang menarik sekali. Aku ingin tahu akhir dari pertarungan
aneh itu. Apakah kakek berjenggot putih itu mampu menahan serangan lawannya
yang tak kelihatan itu? Hmm... kulihat saja bagaimana jadinya."
Gemuruh suara angin bagaikan
banjir datang dari kejauhan. Kecepatan angin sungguh besar, sampai- sampai
pohon yang telah tumbang terseret ke barat bagaikan didorong dan ditarik tenaga
yang amat kuat.
Batu-batuan mulai
menggelinding jatuh ke jurang. Tetapi kakek berjubah putih itu masih diam tanpa
bergerak, kecuali jubahnya yang melambai-lambai dan rambutnya yang meriap-riap
seakan ingin copot dari kulit kepalanya. Hawa panas yang hadir bersama angin
itu sudah membuat dedaunan menjadi menguning dengan cepat. Mungkin tak lama
lagi semua dedaunan akan menjadi kering berwarna coklat.
Keadaan Suto Sinting tidak
tepat berada di belakang
kakek kurus itu. Ia berada di
sebelah selatan. Tapi ketinggian tempatnya berpijak membuat pandangan matanya
mampu melihat jelas keadaan sang kakek sakti itu. Sekalipun demikian, hawa
panas yang hadir bersama angin sempat terasa menyengat kulit lengannya. Padahal
angin berhawa panas itu tidak terarah kepadanya.
"Kalau tubuh orang awam
yang menerima hembusan angin panas itu, pasti tubuhnya menjadi melepuh bagai
terbakar," pikir Suto dalam kebungkamannya. "Angin panas itu harus
dilawan dengan gelombang hawa dingin. Dengan begitu rasa panasnya tidak akan
terasa dan... dan oh, mungkin si kakek itu sedang melawannya dengan gelombang
hawa dingin?!"
Pertarungan tanpa gerak itu
semakin menarik perhatian. Mata Suto Sinting lebih melebar lagi karena ia
melihat kalung batu-batuan merah yang melingkar di leher sang kakek kurus itu
mulai menyala, memancarkan cahaya kebiru-biruan. Cahaya itu indah dipandang
mata, tapi mempunyai makna keselamatan yang sangat besar.
"Dia mulai melepaskan
kekuatan gelombang hawa dinginnya," gumam Suto lirih, seperti bicara pada
diri sendiri.
Dugaan Pendekar Mabuk itu
memang benar. Sebab kejap berikutnya, daun-daun pohon atau ilalang di kaki
bukit itu menjadi berubah warna. Yang semula menguning layu kini mulai segar
kembali. Warna kuningnya berubah menjadi hijau pupus. Kian lama dedaunan itu
kian tampak lebih hijau lagi pada saat kalung merah tersebut masih memancarkan
sinar biru
indah.
Mata Pendekar Mabuk kian
melebar kagum melihat pohon-pohon yang tumbang bergerak pelan-pelan, berdiri
kembali bagai diatur seperti awalnya. Pohon yang telah terseret dari tempatnya
kini kembali bergeser pada tempat semula. Pohon itu pun berdiri lagi dengan
gerakan yang amat pelan. Batu-batu yang sudah beterbangan kembali ke tempatnya,
yang pecah kembali melayang dan menyatu lagi. Tanah yang terbongkar karena
sentakan akar pohon tumbang pun kembali menimbun lubangnya dan menjadi rapat
seperti semula.
"Gila?! Dia telah
pulihkan keadaan alam yang sudah berantakan menjadi tertata seperti awalnya.
Luar biasa tinggi ilmu si kakek itu?!" gumam Suto dengan wajah tegang.
Cahaya pendar-pendar biru
masih keluar dari kalung batu-batuan merah. Semakin tercengang Suto Sinting
melihat adegan berikutnya. Daun-daun mulai berbusa tipis. Bintik-bintik putih
yang dilihatnya dari seberang jurang itu tak lain adalah busa-busa salju.
Bebatuan yang hitam pun mulai dilapisi warna putih lembut. Bertambah lama
bertambah tebal busa putih itu.
"Sungguh
mengagumkan!" gumam Suto bermata lebar. "Alam sekelilingnya kini
menjadi penuh salju. Tanah pun bersalju, bergumpal-gumpal dan menutupi kedua
kakinya. Wow...! Hebat sekali ilmu si kakek itu. Angin kencang dihentikan, hawa
panas dilawannya. Oh, siapa sebenarnya kakek sakti itu?"
Langit berawan mendung hitam
ikut-ikutan
menyingkir. Kini langit
menjadi cerah, walau masih memancarkan warna merah saga karena matahari mulai
tenggelam ke peraduannya. Tetapi lenyapnya awan hitam itu membuat hati Suto
Sinting seolah-olah mengalami perasaan lega dan tenang. Lenyapnya awan hitam itu
sudah tentu karena kekuatan dahsyat sang kakek berjubah putih yang berpengaruh
sampai ke langit di atas kepalanya.
"Sayang Guru tidak ada di
sini. Kalau ada di sini akan kutanyakan kepada Guru, siapa kakek kurus berjubah
putih berkalung merah itu? Apakah ilmunya masih lebih tinggi dari ilmu guruku?
Hmmm... kurasa sejajar. Ya, setidaknya Guru punya ilmu sejajar tingginya dengan
kakek itu. Atau mungkin Guru lebih tinggi lagi, hanya tidak pernah
diperlihatkan padaku ketinggian ilmunya yang melebihi ilmu kakek berjubah putih
itu?" kata Suto dalam kecamuk batinnya.
Duaaar...!
Suara ledakan terdengar di
kejauhan. Bukan berasal dari bukti seberang jurang. Bukan berasal dari tempat
kakek sakti itu melakukan pertarungan gelap, tapi berasal dari kaki Puncak Karang.
Suto Sinting pun segera berpaling ke belakang, memandang ke bawah, melihat
kepulan asap tipis yang segera hilang.
"Ada apa di sana?
Jangan-jangan Rindu Malam dan Kelana Cinta bertarung sendiri adu kehebatan ilmu
masing-masing?"
Kelana Cinta dan Rindu Malam
adalah dua wanita cantik yang berasal dari negeri Ringgit Kencana.
Kemunculan Rindu Malam dan
Kelana Cinta dari negerinya adalah sebagai utusan sang Ratu yang bernama
Asmaradani. Rindu Malam ditugaskan menjemput Suto Sinting, sekaligus membantu
menghadapi masalah yang waktu itu hampir membuat Suto kehilangan gelar
kependekarannya. Sedangkan Kelana Cinta adalah orang kepercayaan Ratu
Asmaradani yang bertindak sebagai wakil sang Ratu dalam menghadiri pertemuan
tokoh tingkat tinggi dalam memecahkan masalah persoalan kematian Empu Sakya,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Keris Setan Kobra").
Kedudukan Kelana Cinta lebih tinggi dari Rindu Malam, sebab Kelana Cinta
mempunyai jabatan atau pangkat perwira di negeri Ringgit Kencana itu.
Ketika mereka bermaksud
membawa Suto Sinting ke negeri Ringgit Kencana untuk menghadap Ratu Asmaradani
yang pernah hadir lewat mimpi Suto, tiba- tiba keduanya mempunyai selisih
pendapat. Mereka terpaksa berhenti di perjalanan dan menyuruh Suto agak
menjauh, karena mereka ingin lakukan perdebatan yang tak boleh didengar siapa
pun. Karenanya, Suto Sinting naik ke Puncak Karang dan terkesima oleh
pertarungan kakek sakti yang aneh itu, sementara Rindu Malam dan Kelana Cinta
lakukan perdebatan sengit di kaki Puncak Karang tersebut.
Apa yang diperdebatkan oleh
kedua wanita cantik berpotongan rambut cepak seperti lelaki itu adalah sesuatu
yang tak disangka-sangka oleh Suto Sinting.
"Sekalipun kau telah
pertaruhkan nyawamu beberapa kali untuknya, tapi kau tetap tidak diizinkan
untuk jatuh cinta padanya, Rindu Malam."
"Gusti Ratu Asmaradani
tidak keluarkan larangan seperti itu, Perwira! Larangan yang dikeluarkan oleh
Gusti Ratu Asmaradani adalah tidak boleh menyakiti atau melukai Suto!"
"Memang. Tapi jatuh cinta
pada Suto itu pun merupakan larangan yang tak perlu dijelaskan. Mestinya kau
sudah mengetahui tanpa mendapat penjelasan lebih dulu!"
"Kurasa kau sendiri yang
mengincarnya, sehingga kau takut kalau Suto lebih tertarik kepadaku daripadamu
kepadamu, Perwira!"
Mata Kelana Cinta yang indah
itu sedikit menyipit memandang Rindu Malam. Ia menahan kemarahan dalam hatinya.
Suaranya mulai menggeram lirih.
"Jalankan tugasmu saja.
Jangan bicara soal cinta." "Tapi aku tak bisa menahannya dan ingin
mengatakan
padanya bahwa aku menaruh hati
padanya. Kau pun tidak berhak melarangku, Perwira. Karena tugasmu bukan
melarang orang jatuh cinta tapi memberikan suara pembelaan dalam menghadiri
sidang para tokoh tingkat tinggi itu!"
"Rindu Malam, jangan
pancing kemarahanku sekali lagi. Jangan kau buat kesabaranku habis dengan
kekerasan hatimu itu! Aku pun bertugas menyelamatkan Suto dari gangguan siapa
pun, baik gangguan raganya maupun gangguan hati dan jiwanya. Kalau kau nyatakan
dirimu jatuh cinta kepada
Suto, maka pendekar tampan itu akan punya penilaian lain terhadap kita. Dia
tidak mau datang ke negeri kita jika dia tidak berkenan menerima cintamu!"
Rindu Malam masih ngotot.
"Dia pasti berkenan menerima cintaku. Dia pasti membalas cintaku. Yang
penting aku harus bicara apa yang ada di dalam hatiku. Aku tak tahan jika harus
memendamnya lama-lama."
"Rindu Malam!"
sentak Kelana Cinta. "Jangan rendahkan dirimu gara-gara rasa cinta pada
seorang lelaki! Biarkan lelaki itu yang bicara, tapi kau jangan
mengawalinya!"
"Tidak bisa! Untuk lelaki
seperti Suto aku harus berani mengawalinya, supaya ia segera mengetahui apa isi
hatiku sebenarnya!"
"Aku akan menjatuhkan
hukuman untukmu jika kau nekat mengatakan isi hatimu! Aku bisa menuduhmu
sebagai warga Ringgit Kencana yang menjatuhkan citra dan harga diri seluruh
rakyat negeri Ringgit Kencana dengan caramu itu!"
"Aku tak peduli
hukumanmu, Perwira Kelana Cinta! Kalau kau mau hukum aku, silakan saja, yang
penting Suto harus tahu kalau aku mencintainya!" tegas Rindu Malam. Tapi tiba-tiba
sebuah suara segera menyahut dari belakang mereka.
"Manusia bodoh!"
Kedua utusan dari negeri
Ringgit Kencana itu terkejut dan cepat palingkan wajah dengan masing-masing
paaang kuda-kuda secepatnya. Rindu Malam siap
lepaskan serangan jika keadaan
membahayakan. Sedangkan Kelana Cinta segera kendurkan ketegangan karena ia
mengenal siapa perempuan muda yang datang berpakaian ungu muda dengan jubah
warna ungu lebih tua lagi itu. Wanita muda berusia sekitar dua puluh lima tahun
itu menyandang pedang di punggung yang dililit kain ungu pula pada bagian
sarung dan gagangnya. Rambutnya di sanggul sebagian di bagian tengah, matanya
indah tapi berkesan galak.
"Sumbaruni?!" geram
Kelana Cinta yang merasa tak suka perdebatannya dicampuri oleh orang lain. Karenanya
sikap Kelana Cinta terhadap Sumbaruni saat itu kurang bersahabat. Tetapi wanita
muda yang sebenarnya sudah berusia sekitar delapan puluh tahun lewat itu
sengaja sunggingkan senyum sinis sebagai sikap tenangnya.
Sumbaruni yang juga sering
disebut Pelangi Sutera adalah bekas istri jin Kazmat, yang mendapat ilmu
turunan dari seorang petapa sakti yang cukup disegani pada masanya. Dari
perkawinannya dengan jin Kazmat yang merubah wujud sebagai pemuda tampan itu,
Sumbaruni mendapatkan seorang anak bertubuh tinggi, besar, gundul, berkuncir,
hitam kulitnya, dan hanya memakai cawat. Anak itu bernama Logo, yang sering
disebut sebut sebagai anak jin. Sumbaruni terpikat oleh Suto Sinting, karena ia
merindukan seorang kekasih dan suami dalam hidupnya selanjutnya. Bahkan ia
sanggup beradu kesaktian dengan Ratu Gusti Mahkota Sejati, penguasa negeri Puri
Gerbang Surgawi, yang punya
nama asli Dyah Sariningrum dan
menjadi calon istri Suto itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Ratu Tanpa Tapak").
Sebab itulah Pelangi Sutera
tidak menyukai perdebatan itu dan segera ikut campur dengan sikap kurang
bersahabat. Pelangi Sutera atau Sumbaruni mempunyai ilmu yang dapat dipakai
untuk mengukur ketinggian ilmu seseorang dengan melihat wajahnya atau mendengar
namanya saja. Tak heran jika Sumbaruni berkesan meremehkan kedua utusan dari
negeri Ringgit Kencana itu, karena ia sadar bahwa ilmunya lebih tinggi dari
kedua orang tersebut.
"Apa maksudmu ikut campur
dalam percakapan kami, Sumbaruni?!" tegur Kelana Cinta dengan ketus.
"Karena aku tak izinkan
gadis mana pun jatuh cinta kepada Suto Sinting."
"Apa alasannya?!"
sentak Rindu Malam merasa tertantang oleh jawaban itu.
Sumbaruni sunggingkan senyum
sinis semakin lebar. "Aku lebih dulu jatuh cinta kepada Suto dan bermaksud
ingin memiliki Suto!"
"Lancang betul
mulutmu!" geram Rindu Malam sambil melangkah menyamping mencari kesempatan
untuk lakukan penyerangan. Sumbaruni tetap tenang. Matanya kian tajam
memandangi Rindu Malam yang terus bicara dengan suara geram yang pelan, tanpa
sentakan keras sedikit pun.
"Aku tak peduli siapa
dirimu, yang jelas aku pun siap bertanding adu kekuatan denganmu untuk dapatkan
Pendekar Mabuk itu!"
"Tahan!" potong
Kelana Cinta. "Jangan kalian menjadi orang-orang konyol gara-gara cinta!
Sangat memalukan!"
"Cinta punya harga diri
sendiri, Kelana Cinta!" sahut Sumbaruni. "Aku setuju dengan usul
temanmu itu! Aku bersedia adu kesaktian dengan gadis itu!"
Kelana Cinta masuk ke
pertengahan jarak antara Sumbaruni dan Rindu Malam. Wajahnya tegang karena
menyimpan kejengkelan.
"Kalau kalian ingin
bertanding kesaktian, silakan saja! Tapi jangan karena cinta, jangan karena
merebutkan seorang lelaki! Seberapa pun tingginya harga diri sebuah cinta,
tetap akan memalukan jika didengar orang-orang yang tidak menyukai kita.
Sadarlah kalian!"
"Minggirlah,
Perwira...!" geram Rindu Malam dengan mulai mencabut pedangnya. Kelana
Cinta semakin dongkol dengan sikap Rindu Malam. Ia menghardik orang yang
termasuk bawahannya itu,
"Kuperintahkan padamu
untuk pulang lebih dulu. Rindu Malam!"
"Aku tidak mau!"
"Kau membangkang
perintahku?!"
"Aku terpaksa
membangkang, karena perintahmu tidak beralasan!"
Agaknya Rindu Malam tak merasa
takut menghadapi Kelana Cinta. Semua demi maksud hatinya yang ingin
menyampaikan rasa cintanya kepada Suto Sinting. Hal
itu membuat Kelana Cinta
segera menghampiri Rindu Malam dengan berang, lalu menampar wajah gadis itu dengan
gerakan cepat. Deeg...! Kelebatan tangan itu ditangkis cepat pula oleh Rindu
Malam, sehingga pergelangan tangan mereka saling beradu kuat.
"Jangan memerintahku
dalam keadaan seperti saat ini, Perwira! Siapa pun bisa kulawan tanpa peduli
menang dan kalah!"
"Rindu Malam!"
hardik Kelana Cinta dengan wajah kian tampakkan kemarahan.
"Biarkan aku bertanding
kekuatan dengan perempuan itu!" sahut Rindu Malam, sangat ngotot dan tak
bisa dicegah lagi.
"Tidak! Tidak
kuizinkan!"
Deeg...! Tiba-tiba Rindu Malam
memukul rusuk Kelana Cinta dengan telapak tangannya. Pukulan itu sangat cepat
dan tak sempat ditangkis oleh Kelana Cinta. Akibatnya tubuh Kelana Cinta
terlempar ke samping, empat langkah jauhnya. Dan pada saat itulah Rindu Malam
segera berseru kepada Sumbaruni,
"Majulah kalau kau ingin
tahu seberapa besar hasratku mencintai Suto!"
"Kulayani
tantanganmu!" kata Sumbaruni tanpa gentar.
Tapi baru saja Sumbaruni
hendak langkahkan kaki
untuk maju, tiba-tiba tangan
kiri Rindu Malam telah lepaskan pukulan tenaga dalam bersinar putih bagaikan
sekeping logam bundar. Slaaap...! Sinar putih itu segera disambut oleh lompatan
Sumbaruni ke atas sambil
lepaskan pukulan dari
genggaman tangan kanannya yang memancarkan sinar hijau menggumpal tak
beraturan.
Duaar...!
Ledakan sinar putih dan sinar
hijau itulah yang didengar Suto Sinting dari Puncak Karang, itulah sebabnya
Pendekar Mabuk segera lari turun dari Puncak Karang untuk mengetahui apa yang
terjadi di kaki puncak itu. Namun sebelum Pendekar Mabuk tiba di kaki puncak,
Rindu Malam sudah lebih dulu melompat dengan menebaskan pedangnya ke dada
Sumbaruni. Wuuutt...!
Sumbaruni bersalto mundur satu
langkah. Begitu mendarat di tanah ia langsung merendah. Tangannya menapak
tanah, kaki kanannya menendang pergelangan tangan Rindu Malam yang menggenggam
pedang. Wuuut...! Deess...!
Wees...! Pedang pun terlepas
dari tangan, terlempar ke atas. Tapi Rindu Malam segera sentakkan kakinya
begitu tiba di tanah, sehingga tubuhnya kembali melesat ke atas dan menyambar
gagang pedangnya kembali dengan tangan kiri. Tabb...!
Waktu itu bertepatan dengan
Sumbaruni lepaskan pukulan mautnya melalui sodokan dua jari kanan. Suuut...!
Dan terlepaslah selarik sinar biru dari ujung dua jari itu. Karena tubuh Rindu
Malam sudah telanjur melesat naik, maka sinar biru itu tidak mengenai sasaran,
melainkan justru mengarah ke dada Kelana Cinta.
Dengan cepat Kelana Cinta
sentakkan kedua tangannya ke depan. Lalu sinar merah bergelombang
memancar keluar dan dihantam
oleh sinar birunya
Sumbaruni.
Blaaar...!
Ledakan ini cukup kuat.
Sumbaruni terpental ke belakang, demikian pula Kelana Cinta. Sedangkan Rindu
Malam terpelanting ke samping dengan melayang tanpa keseimbangan badan.
Bruuk...! Mereka saling jatuh ke tanah hampir bersamaan. Dan pada waktu itulah
Suto Sinting tiba di tempat tersebut. Jleeg!
"Sumbaruni?!" Suto
Sinting memandang heran terhadap Sumbaruni yang tak disangka-sangka sudah ada
di tempat itu. Mata Pendekar Mabuk yang bagus dan jeli menurut para wanita itu,
segera menatap Kelana Cinta dan Rindu Malam yang sedang bergegas bangkit dari
kejatuhan mereka.
"Apa yang terjadi
sebenarnya? Mengapa kalian saling bertarung?"
"Hmmm... anu... hanya
salah paham sedikit," jawab
Kelana Cinta menutupi
persoalan sebenarnya. "Salah paham bagaimana?"
"Rindu Malam menyangka
Sumbaruni orangnya
Raden Udaya, dan Sumbaruni
menyangka Rindu Malam anaknya Malaikat Beku. Kurasa... kurasa bisa kami
selesaikan sendiri, Suto."
"Benarkah begitu,
Sumbaruni?" tanya Suto.
"Hmm... eh... iya,"
Jawab Sumbaruni sambil melirik Rindu Malam. Dan ketika Suto menanyakan kepada
Rindu Malam, gadis itu pun akhirnya dengan berat hati menganggukkan kepala.
"Memang... memang hanya
salah paham saja."
Suto Sinting tertawa, tapi
Rindu Malam dan Sumbaruni saling lirik penuh hasrat untuk saling menyerang.
Hasrat itu sama-sama mereka tahan supaya tidak membuat si pendekar tampan besar
kepala, karena merasa diperebutkan.
Tiba-tiba sekelebat bayangan
datang dari arah belakang Sumbaruni. Bayangan itu tahu-tahu sudah berwujud di
depan mereka, membuat Sumbaruni dan Suto sedikit tercengang melihat penampilan
seorang tokoh tua berambut panjang abu-abu, berbadan kurus dan berjubah putih
kusam. Orang itu bukan orang tua yang bertarung aneh di puncak bukit seberang
tadi, melainkan seorang tokoh tua yang amat dikenal Suto dan Sumbaruni. Dia
adalah Raja Maut, tokoh beraliran putih yang tidak sempat hadir dalam pertemuan
di Jurang Lindu untuk membicarakan pelaku pembunuhan Ki Empu Sakya.
"Sumbaruni, syukurlah kau
bisa kutemui di sini!" kata Raja Maut.
"Ada apa, Prasonco?"
tanya Sumbaruni menyebutkan
nama asli Raja Maut.
"Anakmu... terpeleset
jatuh ke Jurang Petaka saat mencarimu!"
"Hah...?! Logo jatuh ke
Jurang Petaka?!" sentak
Sumbaruni dengan kaget.
Suto berkerut dahi dan berkata
membatin, "Jurang Petaka?! Bukankah jurang itu adalah jurang yang amat
dalam dan tak akan membuat siapa pun bisa selamat jika
masuk ke sana?! Oh, celaka!
Kalau begitu Logo dalam bahaya besar!"
Tetapi Raja Maut segera
berkata kepada Sumbaruni
dan amat mengejutkan Pendekar
Mabuk,
"Cepatlah cari anakmu itu
sebelum ia dimanfaatkan oleh Siluman Tujuh Nyawa! Sebab kudengar Siluman Tujuh
Nyawa bersemayam di Jurang Petaka sudah beberapa waktu lamanya."
Detak jantung Pendekar Mabuk
menjadi cepat dan menghentak-hentak. Nama Siluman Tujuh Nyawa adalah nama yang
mengobarkan kemarahan dalam dadanya. Tokoh sesat yang paling sakti dan mampu
menembus dunia gaib itu adalah tokoh yang sedang dikejar-kejar oleh Pendekar
Mabuk selama ini. Ia tak akan mengawini Dyah Sariningrum sebelum berhasil
membunuh tokoh paling kejam dan ganas itu. Tetapi selama ini Suto kehilangan
Jejak Siluman Tujuh Nyawa yang selalu menghindar jika bertemu dengan Suto.
"Sayang aku sedang dalam
perjalanan ke negeri Ringgit Kencana!" geram Suto dalam hatinya.
"Apakah sebaiknya kubatalkan saja rencana kunjunganku ke negeri Ringgit
Kencana itu? Tapi, Ratu Asmaradani sangat membutuhkan pertolonganku, ia dalam
bahaya yang agaknya sangat menyedihkan. Atau... biarlah kukerjakan dulu rencana
pergi ke Ringgit Kencana, setelah itu baru memburu Siluman Tujuh Nyawa ke
Jurang Petaka?!"
Kebimbangan Pendekar Mabuk
membuat si murid sinting Gila Tuak itu tertegun beberapa saat dalam
keadaan tetap berdiri memandangi
Rindu Malam. Yang dipandang dengan tatapan kosong itu justru menyangka Suto
sedang mengagumi kecantikannya dan mulai berhasrat untuk mendekati hatinya. Tak
heran jika Rindu Malam akhirnya berdebar-debar panik dan salah tingkah mendapat
tatapan mata si pendekar tampan itu.
*
* *
2
UNTUK mencapai negeri Ringgit
Kencana, mereka harus terlebih dulu menemukan Pulau Bayangan. Pulau itu
terletak di Selat Buaya. Sebuah selat di antara dua pulau besar yang berair
tenang. Gelombang lautan seakan enggan melintasi Selat Buaya. Konon, di
perairan itu dulunya hidup binatang yang mirip buaya dan dinamakan Buaya Laut.
Tetapi binatang itu sekarang sudah punah dan tak pernah terlihat lagi.
Pulau Bayangan adalah sebuah
pulau kecil, luasnya kurang dari sepuluh langkah. Bentuknya seperti mangkok
terbalik, tanpa tanaman apa pun kecuali hanya rumput laut. Mereka mencapai
Pulau Bayangan dengan sebuah sampan yang terbuat dari batang kelapa. Sampan itu
panjang, tapi sempit. Dibuat secara mendadak oleh Rindu Malam dan Kelana Cinta.
Suto Sinting hanya memperhatikan sambil sesekali meneguk tuak dari bumbungnya,
ia memang tidak diizinkan bekerja oleh kedua utusan Ratu Asmaradani itu.
"Di mana sebenarnya letak
negeri Ringgit Kencana
itu?" tanya Suto ketika
mereka tinggal beberapa saat lagi mencapai Pulau Bayangan.
"Di Pulau Bayangan,"
jawab Kelana Cinta
mendahului mulut Rindu Malam
yang ingin menjawab pertanyaan itu.
"Katamu, Pulau Bayangan
adalah pulau yang ada di depan kita itu?"
"Memang."
"Pulaunya kecil
begitu?!" Suto Sinting heran. "Memang kecil," jawab Kelana Cinta
lagi membuat
Rindu Malam kembali tak jadi
bicara.
"Lalu, mana istananya?
Mana negerinya?" "Negerinya...."
"Ada di sana!" sahut
Kelana Cinta.
Rindu Malam bersungut-sungut. Merasa
jengkel dengan sikap Kelana Cinta yang selalu mendahuluinya dalam bicara.
Padahal dia ingin sekali menjawab apa-apa yang ditanyakan oleh Suto. Ia ingin
menjadi pemandu Pendekar Mabuk. Dan melihat Rindu Malam cemberut dan
bersungut-sungut, Kelana Cinta sunggingkan senyum geli, sebab ia sengaja
menggoda hati Rindu Malam agar jengkel oleh sikapnya. Hal itu dilakukan oleh
Kelana Cinta sekedar untuk melemparkan canda dan menghilangkan ketegangan yang
tadi terjadi di antara mereka sebelum Sumbaruni datang.
Ketika Sumbaruni pergi bersama
Raja Maut mencari Logo, anaknya yang jatuh ke Jurang Petaka itu, Kelana Cinta
berhasil membujuk Suto Sinting agar tetap meneruskan perjalanan ke negeri
Ringgit Kencana.
Padahal waktu itu Rindu Malam
sudah mau bicara dan membujuk Suto, tapi didahului oleh Kelana Cinta. Gadis itu
hanya bisa menyimpan kedongkolan saja.
Sampan dari batang kelapa
dibuang begitu mereka tiba di pulau kecil seperti tempurung terbalik itu.
Sampan dibiarkan hanyut terbawa arus lemah, entah menuju ke pantai sebelah
mana. Yang jelas Kelana Cinta segera menyuruh Suto ke tengah pulau kecil
tersebut.
"Aneh sekali?!"
gumam Suto Sinting sambil memandang pulau gundul yang seolah-olah tempat
pengasingan amat menyedihkan. Tak ada tonggak, tak ada pohon, tak ada atap, tak
ada apa-apa. Tentu saja Pendekar Mabuk bingung mencari di mana negeri Ringgit
Kencana itu.
Rindu Malam membawa Suto
persis ke tengah pulau. Kelana Cinta segera lakukan gerakan aneh. Kedua
tangannya direntangkan, lalu mengeras, dan bergerak saling mendekat di depan
dada. Kedua tangan itu saling bertemu, tapi hanya ujung telunjuk dan ujung
jempolnya saja yang bertemu, jari lainnya menggenggam rapat.
Kelana Cinta memusatkan
pikirannya, mengerahkan tenaga untuk keluarkan kekuatan aneh dari ujung
pertemuan dua telunjuk tersebut. Kejap berikut, ujung telunjuk itu lepaskan
selarik sinar warna-warni, bagaikan sinar pelangi. Sinar itu melesat tanpa
putus, mengarah ke tanah cadas berumput laut.
Sinar itu bergerak sesuai
dengan langkah kaki Kelana Cinta yang mengelilingi tubuh Rindu Malam dan Suto
Sinting. Sinar warna-warni itu mengingatkan Suto pada
setangkai bunga mawar
warna-warni yang hadir dalam mimpinya dan sempat menjadi kenyataan, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Keris Setan Kobra").
Sinar itu begitu mengenai
tanah membekas seperti warna dan nyala aslinya. Langkah kaki Kelana Cinta yang
bergerak berkeliling itu membuat tanah menjadi bersinar dalam bentuk lingkaran,
Kelana Cinta ada dalam lingkaran tersebut. Dan ia segera hentikan tindakan itu
setelah bentuk sinar di tanah menjadi lingkaran yang saling bertaut ujungnya.
Kini Kelana Cinta mendekati
Suto dan Rindu Malam. Sinar di tanah masih menyala warna pelangi, makin lama
makin berkobar seperti api, dan tahu-tahu bergerak cepat naik ke atas.
Wuuusst...!
Pendekar Mabuk kaget dan
sempat ditertawakan kedua gadis itu. Wajah Suto terheran-heran memandang sinar
itu telah membentuk dinding tinggi warna-warni di bagian atasnya saling
merapat, meruncing seperti kerucut. Kini mereka berada di dalam kurungan sinar
warna-warni.
Tak sepatah kata pun terlepas
dari mulut Suto yang sedikit ternganga karena kagum dan heran. Bahkan Pendekar
Mabuk itu kian kerutkan dahi ketika rasakan pulau yang dipijaknya itu bergerak
amblas ke dalam laut secara pelan-pelan. Gerakan itu terjadi cukup lama,
sehingga Suto dapat memperkirakan bahwa dirinya bersama dua utusan negeri
Ringgit Kencana itu sedang dibawa menyelam ke dalam laut oleh pulau kecil
tersebut. Hal yang mengherankan Suto adalah tak ada air
yang masuk ke dalam lingkaran
itu, tapi telinganya sempat mendengar bunyi gemuruh air samar-samar.
"Dibawa ke mana aku
ini?" pikir Suto dengan was-
was. "Jangan-jangan aku
diajak bunuh diri bersama- sama?"
Rindu Malam sempat tersenyum
tipis, menertawakan keheranan Suto Sinting. Tapi anehnya, baik Rindu Malam
maupun Kelana Cinta tak ada yang bicara sepatah kata pun. Hal itu membuat Suto
sendiri tak berani bicara apa-apa.
Claaap...!
Sinar pelangi itu lenyap
begitu saja. Juga sempat mengejutkan Suto Sinting. Dan yang lebih mengejutkan
lagi, ternyata saat itu Suto sudah berada di pelataran sebuah istana yang
dihuni olah wanita-wanita cantik berambut pendek seperti potongan lelaki.
Bentuk kecantikannya memang berbeda, tapi agaknya ada satu keharusan bagi
mereka untuk memangkas rambutnya sependek mungkin hampir mirip seorang lelaki.
Pendekar Mabuk itu
celingak-celinguk kebingungan. Ia buru-buru meneguk tuaknya sambil membatin,
"Siapa tahu setelah minum tuak aku tidak terlalu bingung begini!"
Namun setelah meneguk tuak,
ternyata Suto Sinting semakin tambah bingung. Hal yang membuatnya bingung
adalah munculnya sejumlah gadis cantik berpakaian macam-macam warna, namun
mempunyai bentuk pedang yang sama, bergagang bentuk bunga mawar. Sedangkan di
tepian pelataran Istana itu, terdapat
tanaman bunga mawar berjajar.
Mawar-mawar di sana berwarna seperti pelangi. Keharumannya yang khas menyebar
membuat Pendekar Mabuk merasa seperti hidup di alam mimpi. Bunga-bunga mawar
itu pun mempunyai tangkai yang tanpa duri, seperti bunga mawar yang diberikan
kepadanya oleh seorang ratu bernama Asmaradani di dalam mimpinya beberapa waktu
yang lalu.
Suto masih tidak berani
bergerak. Bingung memandangi wajah-wajah cantik yang segera membentuk satu
barisan memanjang dari dalam istana sampai ke gerbang yang ada di belakang Suto
Sinting itu. Rupanya kehadiran Suto disambut dengan penghormatan khusus, tak
bedanya seorang tamu agung mengunjungi sebuah negeri. Sekalipun Pendekar Mabuk
mencoba tenangkan diri, tapi masih saja tampak keheranannya ketika memperhatikan
wajah-wajah cantik penuh senyum menawan kepadanya, dan segera disadari bahwa
tak satu pun ada orang lelaki di sekelilingnya. Satu-satunya orang lelaki yang
ada di antara mereka adalah dirinya sendiri. Suto Sinting mulai grogi merasa
dirinya tunggal ada di antara gadis-gadis cantik.
"Di... di mana aku
ini?" tanya Suto dalam bisik kepada Rindu Malam.
"Di negeri Ringgit
Kencana," jawab Rindu Malam
seiring senyum manisnya.
Kelana Cinta menambahkan kata,
"Kita berada di dasar laut, Suto!"
"Di dasar laut?!
Aneh?!" gumam Suto yang memang
merasa aneh, karena ia tidak
melihat ciri-ciri kehidupan dasar laut. Tanah yang dipijak seperti tanah di
permukaan bumi. Pakaian mereka ataupun kulit mereka tidak ada yang bersisik.
Bagian atas tampak ada langit bermega putih. Langit dalam keadaan terang walau
tak terlihat di mana letak mataharinya.
"Sebuah negeri yang
aneh," katanya pelan. "Seperti negeri di atas permukaan sebuah pulau
saja!"
"Gusti Ratu kami
mempunyai ilmu 'Latar Bayangan' yang membuat semua pemandangan di sini seperti
pemandangan di permukaan pulau," kata Kelana Cinta.
"Apakah di sini juga ada
siang dan malam?"
"Ya. Kami juga mengenal
siang dan malam, tapi kami tak punya matahari dan rembulan," jawab Rindu
Malam. "Hanya orang berilmu tinggi dan mempunyai kepekaan indera keenam
saja yang bisa sampai di tempat kami ini. Tetapi jika kau tinggal di sini, kau
akan dibekali ilmu tersendiri yang bisa membuatmu keluar- masuk ke negeri kami,
seperti contohnya ilmu yang kugunakan membawamu kemari tadi," kata Kelana
Cinta. "Seandainya
ada...."
Kelana Cinta tak jadi teruskan
kata, ia melihat seorang wanita berjubah perak muncul di serambi istana. Wanita
berambut pendek itu membungkukkan badannya, memberi hormat kepada Suto Sinting.
Maka Kelana Cinta berkata,
"Sebaiknya kita segera
masuk ke istana. Pendeta Agung Dewi Rembulan sudah mempersilakan kita untuk
menghadap sang Ratu."
"O, perempuan cantik itu
juga punya jabatan tinggi di sini?" sambil Suto memandangi pendeta Agung
Dewi Rembulan yang kepalanya dihiasi rantai emas dengan batu-batu kecil warna
hijau bening, sejenis batu giok.
"Dia adalah pemimpin
upacara suci bagi rakyat kami sekaligus penasihat Ratu Asmaradani," bisik
Rindu Malam. "Ayolah, sang Ratu sudah menunggu."
Sambil melangkah menuju Istana
bertangga sepuluh baris itu, Suto sempat berpikir curiga, "Jangan-jangan
aku dibawa ke sini mau dikawinkan? Wah, gawat kalau begitu. Kalau toh aku lari,
tak akan bisa timbul di permukaan laut. Aku tak tahu jalan keluar dari negeri
ini."
Pilar-pilar istana terbuat
dari batuan bening. Lantainya bagaikan kaca yang memantulkan bayangan orang di
atasnya. Pilar bening itu memantulkan sinar warna-warni yang mempunyai nilai
keindahan tersendiri. Hawanya sejuk, tapi tidak membuat tubuh sampai menggigil.
Suto melangkah menaiki tangga serambi sambil memandang kagum kepada kemegahan
di sekitarnya.
Ruang paseban sangat luas,
hening dan bersuasana penuh kharisma. Di ruang paseban itulah Suto dipertemukan
dengan seorang wanita berambut panjang. Hanya dialah wanita yang mempunyai
rambut panjang dari sekian banyak wanita yang ada di negeri tersebut.
Wanita itu seperti masih
berusia dua puluh lima tahun. Cantik, dadanya montok menggiurkan, senyum
tipisnya menampakkan lesung pipit yang memikat,
hidungnya tidak terlalu
mancung namun bangir dan indah. Bibirnya pun seperti kuncup mawar yang selalu
basah. Wanita itu mengenakan jubah biru sutera tipis, dilengkapi dengan
perhiasan mewah, termasuk mahkota separo lingkaran yang dipajang di rambutnya,
membuat ia tampak berwibawa dan anggun. Wanita itu duduk di sebuah kursi dari
bebatuan bening warna hijau. Bagian depannya tertutup meja dari marmer putih
tak tembus pandang, sehingga yang terlihat hanya sebatas dada ke atas saja.
Hal yang membuat Pendekar
Mabuk menjadi terbengong-bengong adalah kenyataan yang nyaris tak
dipercayainya, bahwa wanita berjubah biru tipis itu adalah wanita cantik yang
hadir dalam mimpinya beberapa waktu yang lalu. Tentu saja Suto Sinting segera
ingat nama wanita yang memberikan bunga mawar dua kali dalam mimpinya itu.
"Dia pasti Ratu
Asmaradani...," ucapnya dalam hati. Lalu sang Ratu berkata, "Selamat
datang di negeriku.
Tentunya kau heran tapi tidak
asing dengan wajahku yang pernah hadir dalam mimpimu itu, Pendekar Mabuk."
Suto Sinting menelan ludahnya.
"Iiy... iya...," jawabnya dengan kikuk antara malu dan kagum.
"Boleh aku minum tuak sedikit?"
"Silakan," jawab
Ratu Asmaradani dengan penuh keramahan dan senyum yang amat menawan, ia tetap
duduk di singgasananya, ia memandangi Suto meneguk tuaknya dengan wajah penuh
keceriaan, seakan amat
gembira menerima kedatangan
Pendekar Mabuk.
Pendeta Agung Dewi Rembulan
juga memandang dengan senyum keramahan, ia berdiri lima langkah di samping
tempat duduk sang Ratu. Wajahnya yang cantik dan sepertinya baru berusia sekitar
dua puluh tujuh tahun itu, sebenarnya wajah yang terawat oleh sebuah ilmu
kecantikan. Padahal Pendeta Agung Dewi Rembulan sebenarnya berusia di atas
sembilan puluh tahun. Sedangkan Ratu Asmaradani sebenarnya berusia di atas
tujuh puluh tahun.
Rindu Malam dan Kelana Cinta
ada di samping kanan kiri Suto dalam jarak masing-masing tujuh langkah. Mereka
berdiri tegak bagaikan sepasang pengawal setia sang tamu. Sedangkan di
pinggiran sana berlututlah wanita-wanita muda dan cantik yang menjadi prajurit
istana negeri tersebut. Semua mata tertuju kepada Suto Sinting dengan wajah
berseri-seri.
Suto duduk di atas batuan
marmer putih, seperti marmer meja di depan Ratu Asmaradani. Batuan marmer itu
berbentuk kotak kubus yang agaknya sengaja disediakan untuk seorang tamu. Batu
marmer itu diberi bantalan warna merah jambu yang empuk dan sangat enak untuk
diduduki.
"Suto Sinting, sebelumnya
aku minta maaf padamu karena telah hadir dalam mimpimu menggunakan Ilmu
'Rambah Batin' yang kumiliki
itu."
"Tak ada yang perlu
dimaafkan. Aku tidak merasa terganggu," kata Suto Sinting menampakkan
ketegasan sikapnya.
"Aku sengaja memanggilmu
dan ingin meminta bantuan padamu, Suto."
"Kurasa kau salah orang,
Nyai Ratu. Aku bukan dewa
yang bisa dimintai bantuan.
Aku hanya manusia biasa dengan kemampuan yang sangat terbatas."
"Tapi firasat yang datang
padaku mengatakan, kaulah satu-satunya orang yang bisa menolongku, Suto
Sinting. Apakah kau keberatan?"
Suara merdu yang lembut itu
bergema di ruangan berlangit-langit tinggi. Suara gemanya membuat suasana di
situ semakin berkesan sakral dan penuh penghormatan. Suara Suto sendiri,
menurut mereka, juga enak didengar dan menimbulkan keindahan tersendiri di
batin mereka.
"Jika demi kebaikan, aku
tak pernah keberatan menolong siapa pun semasa aku mampu melakukannya, Nyai
Ratu."
"Terima kasih sebelumnya,
Pendekar Mabuk." Ratu Asmaradani masih belum mau mendekati Suto, hanya
duduk dengan sunggingan senyum kian indah dan ceria.
"Perlu kau ketahui,"
kata sang Ratu, "Sebelumnya aku juga sudah meminta izin kepada gurumu; si
Gila Tuak dan Bidadari Jalang melalui mimpi juga."
Suto terperanjat, "Kau
mengenal guruku, Nyai
Ratu?!"
"Sangat kenal,"
jawabnya penuh rasa bangga. "Aku adalah adik sepupu Nawang Tresni atau
Bidadari Jalang, Bibi gurumu itu"
"Ooo...?!" Suto
Sinting melongo dengan rasa kaget.
Selama ini bibi gurunya tak
pemah menceritakan tentang saudara sepupu yang bernama Asmaradani. Maka Suto
pun dapat menduga berapa usia Asmaradani sebenarnya jika ia adalah adik sepupu
Bidadari Jalang, gurunya juga itu.
"Ibuku adalah adik dari
ibunya Bidadari Jalang. Jadi cukup dekat hubunganku dengan bibi gurumu itu,
Suto Sinting."
Pendekar tampan
angguk-anggukkan kepala. Senyumnya kian mekar berseri menggoda hati para
prajurit di pinggiran ruang pertemuan itu. Pendekar Mabuk merasa lega dan
bangga bisa bertemu dengan Ratu Asmaradani, yang dalam urutan silsilah termasuk
orang yang patut dihormati dan dilindungi, sebab adik dari gurunya sendiri.
Tetapi Suto Sinting diam-diam menyimpan keheranan kecil.
"Tentunya dia punya ilmu
tinggi. Tapi mengapa dia tak bisa selesaikan persoalannya sendiri? Mengapa
harus meminta bantuan padaku?"
Kemudian Suto Sinting pun
bertanya, "Jadi, bagai mana aku harus memanggilmu, Nyai Ratu? Bibi
atau...." "Terserah kau. Bukan panggilan hormatmu yang kubutuhkan,
tapi kesaktianmu yang kuharapkan bisa
menolongku."
"Boleh aku tahu apa
kesulitanmu, Nyai Ratu?" "Beberapa waktu yang lalu, seorang lelaki
berilmu
tinggi dapat masuk ke negeri
ini. Ia mengaku berjuluk Bandar Hantu Malam, ia ingin mengawiniku, bahkan
memaksaku menerima lamarannya. Aku menolak, dia
sakit hati, lalu terjadilah
pertarungan antara aku dan dia. Aku kalah, Suto Sinting. Dan sampai sekarang
dia masih menginginkan diriku. Sampai sekarang aku pun belum mampu menemukan
lawan tanding ilmunya yang dijatuhkan padaku yang bernama ilmu 'Racun Siluman'
itu. Kekuatan ilmu 'Racun Siluman' tak bisa hilang sebelum disembuhkan olehnya
atau si pemilik 'Racun Siluman' itu mati."
Murid si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang itu membatin di hatinya, "Sehebat apakah ilmu yang
dimiliki Bandar Hantu Malam itu, sehingga Asmaradani tak bisa mengatasinya?
Jangan-jangan ilmu Asmaradani hanya pas-pasan? Ah, kurasa tidak! Buktinya ia
bisa membangun istana di dasar laut yang bersuasana seperti di permukaan bumi
begini. Lalu, mengapa ia tak bisa kalahkan ilmu 'Racun Siluman' itu?
Jangan-jangan dia hanya menguji kesaktianku?"
Suara merdu yang enak didengar
itu kembali dilontarkan dengan lembuat,
"Orang-orangku tak
mungkin mampu tandingi ilmunya Bandar Hantu Malam. Jadi tak kuizinkan mereka
menyerang Bandar Hantu Malam. Dalam teropong batinku yang kupadukan dengan ilmu
'Getar Sukma' itu, aku melihat sebentuk kesaktian yang dahsyat dan tertinggi di
antara ilmu-ilmu lainnya ada padamu. Salah satu hal yang bisa kulihat dalam
teropong batinku adalah jurus-jurus mautmu yang bernama jurus 'Yudha' dan jurus
'Manggala' pemberian Ratu Kartika Wangi dari Puri Gerbang Surgawi di alam gaib
itu."
Hati sang pendekar tampan
tersentak lembut mendengar nama Kartika Wangi, calon mertuanya disebut-sebut.
Suto tak perlu meminta penjelasan lebih lanjut, ia sudah dapat mengetahui bahwa
Asmaradani adalah orang berilmu tinggi, terbukti bisa mengetahui Ilmu jurus
'Manggala' dan jurus 'Yudha' tersebut. Tentunya Suto pun yakin, Asmaradani
mampu melihat titik merah di dahinya sebagai tanda bahwa Suto adalah orang
terhormat di negeri alam gaib tersebut.
Tetapi agaknya ada sesuatu
yang membuat Suto heran. "Aku mendengar kau menyebut-nyebut nama Ilmu
'Getar Sukma'. Seingatku ilmu itu juga dimiliki oleh bekas istri jin bernama
Sumbaruni atau Pelangi Sutera. Apakah ada hubungannya denganmu, Nyai
Ratu?"
"Memang. Sumbaruni adalah
bekas pengawalku. Jelasnya, dulu dia pernah mengabdi di sini sebagai
panglimaku. Tetapi karena dia sangat mencintai anaknya, maka ia tinggalkan
jabatan itu dan mengembara mencari anaknya yang bernama Logo. Aku memberinya
julukan nama: Pelangi Sutera."
"Ooo... pantas!"
gumam Suto, tapi juga gumam hati Rindu Malam. Karena Rindu Malam merasa baru
sekarang mendengar bahwa Sumbaruni adalah bekas panglima negeri Ringgit Kencana
itu. Rindu Malam menjadi gentar hatinya setelah mengetahui hal itu dan tak mau
sesumbar menantang Pelangi Sutera lagi. Sedangkan Kelana Cinta hanya melirik
Rindu Malam dan tersenyum tipis, sebagai tanda mencemooh. Sebab ia
sengaja tidak beri tahu lebih
dulu kepada Rindu Malam tentang siapa Sumbaruni itu. Kini Kelana Cinta puas
melihat Rindu Malam terbengong menyadari kelancangan dan sesumbarnya.
"Apakah Sumbaruni tidak
bisa ditarik kembali dan dimintai bantuannya untuk melawan Bandar Hantu Malam,
Nyai?" usul Suto dalam bentuk tanya.
Dengan senyum manis sang Ratu
gelengkan kepala. "Ilmunya tak bisa kalahkan 'Racun Siluman' milik Bandar
Hantu Malam. Seandainya Bandar Hantu Malam tak memiliki 'Racun Siluman',
tentunya Kelana Cinta sendiri bisa kalahkan dia."
Suto melirik Kelana Cinta,
wanita itu diam saja dan pura-pura tidak merasa dilirik. Lalu, Suto Sinting
kembali pandangi Ratu Asmaradani yang masih duduk di balik meja marmer itu.
"Bagaimana kalau kita
coba meminta bantuan Sumbaruni? Mungkin Sumbaruni punya ilmu simpanan
yang...."
"Tidak akan bisa,
Suto!" potong Ratu Asmaradani dengan tetap tersenyum. "Jangan
menambah korban dengan cara coba-coba. Aku tak mau Sumbaruni atau yang lainnya
temui nasib sepertiku."
"Kulihat kau baik-baik
saja dan sehat, Nyai Ratu." "Kelihatannya begitu. Tapi coba
perhatikan diriku...,"
kata sang Ratu, lalu ia
berdiri dan berjalan sampai di depan meja, berhadapan dengan Suto.
Pendekar Mabuk kagat bukan
kepalang. Matanya mendelik lebar-lebar melihat keadaan ratu cantik dan
menggairahkan itu. Ternyata
Ratu Asmaradani kehilangan tubuh bagian bawahnya dari batas pusar sampai ke
telapak kaki. Tubuh itu hanya sepotong, yang tersisa dari perut sampai ke
kepala. Andai saja Ratu Asmaradani tidak mempunyai ilmu peringan tubuh cukup
tinggi, tentunya ia tak dapat berjalan karena tak punya kaki.
Pada saat Pendekar Mabuk
tercengang, wajah Ratu Asmaradani tertunduk malu dan sedih. Tapi suaranya
terdengar jelas,
"Paksa dia untuk
sembuhkan diriku, Suto. Jika memang sangat terpaksa, kalahkan dia dengan
caramu. Aku mohon bantuanmu. Pendekar Mabuk...!"
Suto Sinting masih tertegun
merinding melihat keganasan ilmu 'Racun Siluman', ia dapat bayangkan alangkah
menderitanya hidup tanpa bagian perut ke
bawah.
*
* *
3
RINDU Malam hanya diizinkan
oleh Ratu Asmaradani mengantar Suto sampai di permukaan laut saja. Ia harus
segera kembali, karena sang Ratu punya firasat adanya rasa cinta di hati Rindu
Malam. Bahkan sebelum ia ditugaskan mengantarkan Suto ke permukaan laut, sang
Ratu sudah berpesan kepada semua rakyat dan orang-orang bawahannya,
"Tak satu pun boleh
mencintai Suto dan merayunya.
Dia orang terhormat, murid
dari kakak sepupuku. Apalagi kalau dia berhasil kalahkan Bandar Hantu Malam,
kalian semua, termasuk aku, berhutang budi kepadanya. Jadi jangan paksa dia
jatuh cinta kepada kalian. Karena aku pun tahu, bahwa dia sudah punya calon
istri tersendiri. Jika terjadi perkawinan antara dia dan salah satu dari kita,
maka Ratu Kartika Wangi jelas akan menuntut dan kita akan bermusuhan dengan
penguasa negeri alam gaib itu."
Memang menyedihkan keputusan
itu bagi Rindu Malam. Mau tak mau ia harus membantai habis rasa cintanya kepada
Suto Sinting, ia tak berani melanggar larangan dari ratunya. Sekalipun
membantai cinta adalah pekerjaan yang paling sulit dilakukan bagi setiap insan,
tetapi Rindu Malam punya keyakinan, sedikit demi sedikit ia akan mampu
melakukannya.
Suto Sinting diberi kunci
untuk keluar masuk ke negeri Ringgit Kencana tanpa melalui cahaya warna- warni
seperti saat ia dibawa ke situ oleh Kelana Cinta dan Rindu Malam. Kunci itu
berupa setangkai bunga mawar warna pelangi tanpa duri. Bunga itu akan tetap
segar dan menyebarkan bau harum jika direndam dalam tabung tuaknya Suto. Bunga
itu dapat membuat Suto sampai ke negeri Ringgit Kencana dengan hanya berdiri di
atas Pulau Bayangan dan menghirup aroma bunga dengan napas panjang dan mata
terpejam. Demikian pula yang harus dilakukan jika ia akan keluar atau pergi
tinggalkan negeri itu.
"Jika dari sini kau
menghirup bunga dengan napas
panjang dan pejamkan mata, kau
akan muncul di pantai utara tanah Jawa yang tak seberapa jauh dari Pulau
Bayangan. Tapi jika ingin masuk ke sini, kau harus berdiri di pulau kecil itu
lebih dulu," kata sang Ratu menjelaskan. "Sebetulnya aku sudah
kirimkan dua kali kunci menuju kemari kepadamu melalui mimpi, tapi rupanya kau
belum mengetahui bagaimana caranya menggunakan kunci itu. Aku bisa
memakluminya."
Kini pikiran Suto tertuju pada
tokoh keji yang mempunyai jurus 'Racun Siluman' itu. Ratu Asmaradani tidak bisa
mengetahui di mana Bandar Hantu Malam itu berada. Karenanya sang Ratu hanya
memberi perintah kepada Suto,
"Cari dan temukan! Kau
pasti akan berhasil menemukannya. Bandar Hantu Malam kurasa bukan nama yang
asing bagi para tokoh dunia persilatan, terutama para tokoh tuanya. Sayang
sekali sebelumnya aku tak pernah dengar nama itu dan tak pernah jumpa. Satu
kali berjumpa langsung dia melamarku dan memaksaku menjadi istrinya. Kulacak
dengan ilmu teropong batinku juga tak bisa ketemu, ia punya kekuatan yang mampu
sembunyikan diri dari teropong indera keenam para tokoh tingkat tinggi."
Buat Suto Sinting, melacak
tokoh sakti tidaklah sulit. Kenalannya, para tokoh tua berilmu tinggi, tentu
bisa dimintai bantuan untuk melacak tempat tinggal Bandar Hantu Malam itu. Maka
untuk itu, Pendekar Mabuk segera temui Tabib Awan Putih yang tinggal tak jauh
dari pantai utara. Tabib bermata kecil dengan pakaian
serba putih, kurus, bungkuk,
berusia sekitar delapan puluh tahun itu, segera manggut-manggut ketika Suto
menanyakan tentang orang bernama Bandar Hantu Malam. Tabib Awan Putih yang
berjenggot panjang lurus ke bawah itu segera berkata dengan suara bijaknya,
"Setahuku, orang yang berjuluk Bandar Hantu Malam
itu tinggalnya di Gunung Keong
Langit, arah timur dari sini."
"Apakah dia orang sakti
yang berbahaya, Tabib Awan
Putih?"
"Dulu memang ia
berbahaya, ketika hidupnya sesat dan belum beristri, ia bekas seorang perampok
yang mencari korban malam hari, sehingga berjuluk Bandar Hantu Malam, karena
kehadirannya bagaikan hantu tanpa jejak. Cepat datang juga cepat pergi,"
tutur sang Tabib sambil menghisap pipa tembakaunya.
"Kudengar dia punya Ilmu
'Racun Siluman'. Apa benar itu?"
"Karena dia termasuk
murid Warok Guci Wangsit, sedangkan ilmu 'Racun Siluman' hanya milik Warok Guci
Wangsit pada masa itu, maka bisa saja ia mewarisi ilmu tersebut dari gurunya.
Dan ilmu itu sangat berbahaya, Suto."
Suto Sinting angguk-anggukkan
kepala. Sebelum ia ucapkan kata, Tabib Awan Putih sudah bicara lagi dengan
tenang.
"Tapi sejak ia punya
istri, sang istri mampu membuatnya bertobat dan pelajari ilmu-ilmu aliran
putih. Sayang istrinya sudah meninggal, sehingga bisa
jadi ia kambuh menjadi sesat
kembali. Namun sejauh ini aku tak pernah dengar si Bandar Hantu Malam bikin
ulah yang menggegerkan dunia persilatan. Namanya pun bagaikan telah lenyap
ditelan bumi. Itulah sebabnya aku merasa heran mengapa kau tanyakan nama Bandar
Hantu Malam?"
"Hmmm... aku hanya
sekadar ingin temui dia saja. Ada persoalan sedikit yang harus kuselesaikan
dengannya," jawab Suto tak mau berterus terang, karena takut membuat nama
Ratu Asmaradani dilecehkan oleh siapa saja. Karena wanita itu saudara sepupu
bibi gurunya, maka Pendekar Mabuk merasa perlu melindungi nama baik wanita itu
juga.
Dalam perjalanannya menuju
Gunung Keong Langit, yang menurut keterangan Tabib Awan Putih, bentuk gunung
itu seperti rumah keong raksasa itu, Suto Sinting sempat berpikir tentang semua
kata-kata dan penjelasan tabib bungkuk itu.
"Mungkin memang karena
tak beristri lagi, maka Bandar Hantu Malam kembali ke jalan yang sesat karena
tak ada orang yang mengingatkannya. Tapi mengapa diawali dari dasar laut?
Mengapa sasaran pertamanya Ratu Asmaradani? Apakah dengan begitu tingkah
lakunya tidak mudah tercemar di permukaan bumi? Atau karena Bandar Hantu Malam
tak bisa menahan hasratnya untuk beristri lagi dan sudah lama mengincar Ratu
Asmaradani yang masih tampak muda itu?"
Renungan itu patah. Langkah
pun terhenti. Pandangan Suto segera tertuju ke arah kirinya. Di sana
ada tanah lega berpohon
jarang. Di atas tanah itu tampak dua orang mengadu kesakitan dengan
letupan-letupan yang kadang menjadi ledakan mengguncang tanah. Suto Sinting
segera bergegas ke pertarungan dua perempuan yang jaraknya lebih dari lima
puluh langkah orang biasa. "Sumbaruni...?!" gumam Suto Sinting, lalu
matanya beralih kepada perempuan yang satunya lagi, yang kenakan baju dalam
warna kuning kunyit dan dirangkap baju jubah hijau. Perempuan yang ini berkuku
runcing, walau tak terlalu panjang. Dadanya kelihatan montok sekali, wajahnya
pun cantik, matanya indah tapi berkesan jalang dan kulitnya putih mulus bagai
tanpa cacat. Melihat kakinya tak menyentuh tanah, maka Suto Sinting segera tahu
bahwa perempuan bersenjata kipas bulu merak itu tak lain adalah Nila Cendani
yang
disebut-sebut sebagai Ratu
Tanpa Tapak.
Perempuan itulah yang membuat
Suto dikejar-kejar para pembunuh bayaran karena disangka memegang pusaka Keris
Setan Kobra pada waktu keris itu belum ditemukan. Perempuan itu mempunyai
dendam yang begitu tinggi, karena ia pernah dikalahkan oleh Suto Sinting dalam
satu pertarungan di Gunung Sesat. Niatnya yang ingin menaklukkan seluruh tokoh
persilatan dan menguasai dunia membuat Nila Cendani tak peduli lagi bahwa
Sumbaruni adalah neneknya jika diurutkan sesuai silsilah sebenarnya, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Tanpa Tapak").
Untuk sementara waktu Pendekar
Mabuk tidak ikut campur dalam pertarungan tersebut, ia berdiri di atas
gundukan tanah yang ditutupi
bayangan pohon besar hingga tampak teduh. Suto Sinting justru menenggak tuaknya
beberapa teguk, setelah itu memperhatikan pertarungan tersebut dengan tenang.
Jarak pertarungan itu dengan tempatnya duduk sekitar lima belas langkah.
Melihat kehadiran Suto Sinting
di situ, Nila Cendani segara hentikan pertarungan sejenak. Matanya memandang
sipit kepada Pendekar Mabuk pertanda sedang memendam dendam. Suto Sinting yang
merasa dipandangi segera sunggingkan senyum menawan, seakan sengaja menggoda
Nila Cendani yang tak bisa disentuh oleh orang yang bukan perawan atau bukan
jejaka.
Itulah sebabnya Sumbaruni
sejak tadi hanya menghindari serangan-serangan Nila Cendani sambil mencari akal
bagaimana untuk menyerang balik. Sebab Nila Cendani tak bisa disentuh oleh
Sumbaruni yang sudah tidak perawan lagi itu. Bahkan pukulan-pukulan tenaga
dalam Sumbaruni tidak bisa kenai Nila Cendani, tapi pukulan Nila Cendani dapat
sampai ke tubuh Sumbaruni. Untuk sementara itu Sumbaruni hanya memanfaatkan
pukulan Nila Cendani yang melesat ke arahnya dan diadu dengan pukulan tenaga
dalamnya. Gelombang ledakan itulah yang dimanfaatkan oleh Sumbaruni dan
diharapkan dapat menumbangkan tubuh lawannya.
"Memang susah melawan
orang itu bagi Sumbaruni atau orang yang sudah tidak perawan lagi," pikir
Suto Sinting. "Kurasa biar sebesar apa pun kekuatan
Sumbaruni jika terus-terusan
hanya menghindari serangan Ratu Tanpa Tapak itu, lama-lama ia akan tumbang juga
di tangan sang Ratu sesat itu. Agaknya aku tak boleh biarkan pertarungan itu
menjadi lebih lama lagi, karena Sumbaruni sudah mulai kehilangan akalnya."
Terdengar seruan Sumbaruni
menantang Ratu Tanpa Tapak yang hentikan pertarungan karena pandangi Suto
Sinting.
"Nila Cendani! Lanjutkan
perterungan kita, karena aku tak sabar lagi ingin segera mengalahkan
dirimu!"
Mata Nila Cendani masih
tertuju pada Suto Sinting.
Bahkan sikap berdirinya pun
terang-terangan menghadap ke arah Pendekar Mabuk. Diam-diam Sumbaruni khawatir
jika Nila Cendani lepaskan Ilmu 'Serap Sukma Asmara' lewat gigitan bibirnya
sendiri yang dapat membuat Suto Sinting jatuh cinta dalam sekejap. Karenanya,
Sumbaruni segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya berbentuk kilatan cahaya
merah ke arah wajah Nila Cendani. Claap...! Zruub...! Cahaya merah itu padam
sebelum menyentuh wajah Nila Cendani. Hal itu dilakukan berulang-ulang oleh
Sumbaruni atau Pelangi Sutera untuk memancing perhatian lawannya. Tetapi
agaknya Nila Cendani tidak mau terpancing dan justru melangkah dekati Suto
Sinting. Sumbaruni ketakutan dan segera berseru kepada Suto,
"Pergi kau! Jangan di
situ, Suto! Pergiii...!"
Karena Suto Sinting tak mau
pergi, maka Sumbaruni segera sentakkan kaki dan melenting ke udara, melesat
ke arah pertengahan jarak
antara Suto dan Nila Cendani. Wuuut...! Jleeg...! Kakinya menapak di tanah
dengan mantap dan langsung dalam keadaan berdiri menghadang Nila Cendani.
"Kau tak akan bisa
menyentuhnya. Nila Cendani!" gertak Sumbaruni.
Perempuan itu diam saja, tapi
tahu-tahu mencabut
kipasnya dari pinggang dan
menyentakkan ke depan. Suuut...! Claap...! Sinar hijau menyebar lebar bagaikan
mata pedang yang melesat ke arah leher Sumbaruni.
"Minggir,
Sumbaruni!" teriak Suto dengan tegang. Tetapi Sumbaruni andalkan jurus
mautnya dengan
lepaskan sinar warna-warni
dari sentakan kedua tangannya. Sinar warna-warni itu membentuk perisai di
depannya dan dihantam oleh sinar hijau lebar milik Nila Cendani.
Blaaarrr...!
Ledakan menggelagar begitu
dahsyat mengguncang bumi. Sinar terang menyilaukan melesat dalam sekejap,
nyaris membuat pandangan mata menjadi buta. Gelombang ledakan yang sempat
membuat beberapa dahan pohon patah itu ternyata membuat Sumbaruni tumbang
terkapar dalam jarak delapan langkah dari tempatnya berdiri. Tubuhnya berlumur
darah yang keluar menyembur dari tiap lubang di tubuhnya.
"Parah!" gumam Suto
dalam kecemasan melihat keadaan Sumbaruni. Ia sendiri tadi sempat terpelanting
jatuh dan terguling-guling saat merasakan hentakan gelombang ledakan. Tapi
keadaan Suto tidak mengalami
cedera apa pun. Ia segera
bangkit dan mencari Ratu
Tanpa Tapak.
O, rupanya Ratu Tanpa Tapak
juga tersentak mundur beberapa langkah sampai ke belakang sebuah pohon akibat
ledakan dahsyat tadi. Namun keadaannya masih tetap segar, tidak mengalami luka
apa pun. Bahkan kini ia melesat maju tanpa melangkah. Kakinya yang tidak
menginjak tanah itu membuat gerakannya bagaikan melayang mendekati Suto
Sinting.
"Kuhancurkan tubuh
Sumbaruni jika kau tak mau tunduk padaku, Suto!" kata Nila Cendani
mengancam dengan suara dingin.
"Aku tak akan pernah
tunduk pada orang sesat sepertimu, Nila Cendani!"
"Bagus. Kalau begitu kau
ingin lihat tubuh
Sumbaruni hancur sekarang
juga!" Wuuut...! Claaap...!
Dari mata Nila Cendani melesat
selarik sinar biru bening ke arah tubuh Sumbaruni yang terkapar tak berdaya
itu. Suto Sinting cepat patahkan sinar biru itu dengan lepaskan jurus 'Surya
Dewata', yaitu sinar ungu yang keluar dari telapak tangan yang disatukan di
dada dan disentakkan ke depan. Claap...!
Blegaaarrr...!
Ledakan lebih dahsyat dari
yang tadi telah membuat tanah bagaikan diguncang gempa hebat. Tiga pohon di
seberang sana tumbang, akarnya terdongkel keluar dari tanah. Dua gugusan batu
sempat pecah akibat gelombang panas yang menghentak dahsyat dari ledakan
yang timbul akibat perpaduan
sinar birunya Nila
Cendani dan sinar ungunya Suto
Sinting.
Akibat ledakan itu, Nila
Cendani terlempar kuat ke belakang dalam jarak tujuh langkah. Ia terbaring ke
sana-sini, dan akhirnya terpuruk di bawah sebuah pohon dengan suara rintih yang
samar-samar. Sedangkan Suto Sinting sendiri juga terpental ke belakang, bahkan
bumbung bambunya sempat terlepas dari pundak. Mulut Suto sempat lelehkan darah
segar karena dadanya terasa dihantam gunung pada saat terjadi ledakan maha
dahsyat tadi. Pandangan mata Pendekar Mabuk sempat berkunang-kunang dan buram.
Samar-samar ia mencari bambu tuaknya dan segera berhasil menemukannya. Lalu ia
buru-buru menenggak tuaknya beberapa teguk, setelah itu baru merasa tenang.
Pandangan matanya terang kembali, rasa sakit di dada berangsur-angsur reda.
Pendekar Mabuk berdiri dengan
tegak dan tegap. Matanya memandang tajam ke arah Nila Cendani yang baru saja
bangkit di bawah pohon. Wajahnya berlumur darah. Kakinya sudah bisa menapak di
tanah. Tetapi darah dari kedua matanya masih mengucur terus membuatnya
bersandar di batang pohon.
"Oh, dia buta...?!"
gumam Suto dalam hati sambil kian mendekati lawan untuk melihat lebih jelas
lagi.
Kedua biji mata Nila Cendani
itu hancur akibat sinar
birunya yang keluar dari mata
tadi merusak biji mata sendiri setelah diadu dengan sinar ungunya Pendekar
Mabuk. Akibatnya Nila Cendani tak bisa melihat apa- apa lagi. Dan tangannya
mulai meraba-raba ketika ingin
melangkah berpindah ke tempat
yang menurutnya lebih aman, yaitu di balik pohon besar tersebut.
"Celaka! Keadaanku sangat
parah. Tak mungkin bisa
menang melawan pemuda tampan
yang mirip setan alas itu!" geram Nila Cendani.
"Nila Cendani!" seru
Suto, "Jika kau ingin bertobat, jika kau mau tinggalkan alam sesatmu, aku
sanggup sembuhkan biji matamu itu, Nila Cendani!"
"Persetan denganmu, Suto!
Suatu saat aku akan datang membalas kekalahan ini! Kau harus menebusnya dengan
dua biji matamu, Suto!"
Setelah berseru begitu, Nila
Cendani melesat dari balik pohon, meninggalkan tempat itu. Gerakan larinya sangat
cepat. Tapi karena matanya buta, maka ia pun menghantam pohon di depannya.
Bruus...! Bruk! Ia jatuh, lalu bangkit lagi dan berlari lagi ke arah lain. Tapi
ia tak tahu di depannya ada semak berduri sehingga ia pun menerabas semak
berduri itu. Bruus...!
"Aauh...!" pekiknya
dengan terengah-engah. Sekujur tubuhnya tergores duri, membuat pakaiannya pun
menjadi robek-robek begitu keluar dari semak-semak itu. Tapi Nila Cendani tak
mau mengeluh berkepanjangan, ia larikan diri lagi dengan agak mengurangi kecepatannya
dan tangannya meraba-raba.
Sementara itu, Suto Sinting
tak pedulikan lagi lawannya yang telah menjadi buta itu. Perhatian Pendekar
Mabuk tercurah kepada Sumbaruni yang terkapar dalam keadaan parah.
"Sumbaruni,
bertahanlah...!" sambil Suto
mempersiapkan bumbung tuaknya.
"Tinggalkan aku. Aku...
aku sudah tak kuat lagi. Pergilah sana...," rintih Sumbaruni dengan napas
mulai menipis.
"Tidak. Kau harus minum
tuak ini, Sumbaruni! Ayo, minumlah...! Minum!"
"Ak... aku... aku tak
bisa menelan," katanya kian lirih
dan serak.
"Kau harus bisa menelan
tuak ini! Kau harus meminumnya. Lukamu akan sembuh, Sumbaruni! Ayo, minumlah!
Usahakan menelan tuak ini!"
Sumbaruni yang gagal menemukan
anaknya di Jurang Petaka, akhirnya harus menderita separah itu dalam
pertarungannya melawan perempuan sesat tersebut. Suto Sinting tak tega
membiarkan Sumbaruni tanpa daya. Ia paksakan perempuan itu agar mau meminum
tuaknya. Tapi mulut Sumbaruni terasa makin kaku, sulit untuk dibuka. Suto
Sinting buru-buru memaksa mulut itu agar terbuka dan bisa dituangi tuak bagian
dalamnya. Namun mata Sumbaruni sudah mulai sayu, menyipit, dan napasnya pun
kian menipis.
"Ayo, minum tuak ini sedikit
saja, Sumbaruni! Jangan menyerah kepada keparahanmu! Ayo, berusaha melawan
keparahan ini!" desak Suto Sinting sambil berusaha membuka mulut Sumbaruni
walau agar kasar
caranya.
*
* *
4
SEBUAH desa yang penduduknya
cukup padat menjadi tempat persinggahan Suto Sinting. Desa itu terletak di kaki
Gunung Keong Langit. Sebenarnya Suto Sinting ingin tetap lakukan perjalanan,
mendaki gunung itu untuk tiba di pondok Bandar Hantu Malam. Tetapi agaknya ia
membutuhkan sebuah kedai untuk beristirahat dan mengisi tabung bambu tuak yang
telah menipis isinya itu.
Suasana awal petang menyertai
kehadiran Suto di desa itu. Sebuah kedai yang tak seberapa besar menjadi tempat
tujuan pertama. Namun pada saat itu kedai tersebut sudah mau ditutup oleh
pemiliknya; Ki Rosowelas. Orang itu bertubuh kurus, rambutnya pendek bercampur
uban lebat, wajahnya penuh kesan seorang yang sabar dan ramah. Tapi saat itu
Suto melihat lelaki berbaju abu-abu itu menyimpan perasaan takut ketika
didatangi Suto.
"Baru menjelang petang
kenapa sudah mau tutup, Pak Tua?!" tanya Suto sebagai teguran ramah kepada
lelaki berusia sekitar enam puluh tahun itu. Senyum Ki Rosowelas menjadi kaku.
Pandangan matanya penuh selidik. Suto tahu ia dipandang dengan curiga, tapi
Suto tidak merasa tersinggung, hanya merasa heran dan menjadi penasaran.
Ki Rosowelas mencoba bicara
seramah mungkin, "Anu... maaf, Nak. Saya tidak berani buka sampai malam
hari. Hmm... maklum, sedang tidak aman."
"Tidak aman bagaimana?
Maukah kaujelaskan
padaku, Pak Tua?"
Ki Rosowelas tampak bimbang,
membuat Suto perlu yakinkan diri sebagai orang yang tak perlu dicurigai dan
ditakuti.
"Aku hanya ingin
beristirahat sebentar sambil mengisi bumbung tuakku. Jangan takut, aku bukan
orang jahat seperti kecurigaanmu, Pak Tua."
Karena tutur katanya sopan dan
wajah Suto tidak kelihatan bengis, maka Ki Rosowelas pun mempersilakan Suto
untuk masuk ke kedainya. Kedai itu tidak ditutup semua, melainkan disisakan
satu pintu untuk keluarnya Suto nanti. Selain mengisi bumbung tuaknya, Suto
juga memesan secangkir tuak untuk diminumnya di situ. Dua potong ketan bakar
dinikmati pula sebagai pengisi perutnya. Ki Rosowelas menemani Suto dengan ikut
menikmati secangkir tuak pula.
Seorang gadis manis berkulit
hitam segera bergegas ke belakang setelah menyerahkan tuak untuk diisikan ke
bumbung bambu itu oleh Suto. Gadis manis berusia sekitar dua puluh tahun itu
adalah anak tunggal Ki Rosowelas yang terlambat lahir. Gadis itu bernama
Sunari, yang lahir pada saat Ki Rosowelas sudah berusia empat puluh tahun.
Mulanya Ki Rosowelas dan mendiang istrinya merasa tidak akan punya keturunan,
karena sudah bertahun-tahun hidup berumah tangga tapi tidak pernah mempunyai
anak. Ketika mereka sudah berusia separo baya, sang istri justru hamil. Tapi
sayang sang istri harus meninggalkan bayi dan suaminya untuk menghadap Yang
Maha Kuasa saat melahirkan Sundari.
Ki Rosowelas tampak menyimpan
keharuan saat menceritakan hal itu kepada Suto Sinting. Suto pun tak tega
melihat wajah tua itu menyimpan duka karena kenangan lama. Maka Suto segera
alihkan pembicaraan ke masalah lain.
"Ki Rosowelas belum
ceritakan padaku apa yang membuat Ki Rosowelas mengatakan keadaan di sini
sedang tidak aman tadi?"
"O, itu...?" Ki
Rosowelas terkekeh lirih. "Biasa, Nak. Di mana-mana selalu ada orang
jahat. Tidak di kota, tidak di desa, orang jahat bagaikan disebarkan oleh raja
iblis untuk membuat keonaran, membenci kedamaian, mengacaukan ketenangan.
Begitu pula dengan desa Pucangan ini, Nak," kata Ki Rosowelas sambil
melinting tembakau. Pada masa itu masih jarang orang melinting tembakau.
Umumnya tembakau digunakan untuk campuran sirih, baik lelaki maupun wanita.
Orang menggunakan tembakau sebagai rokok hanya apabila mempunyai pipa
cangklong, dan hal itu hanya dilakukan oleh para bangsawan atau tokoh tua
seperti Tabib Awan Putih. Umumnya tembakau yang dihisap sebagai rokok
menggunakan campuran madat. Tapi Ki Rosowelas tidak demikian, ia melinting
tembakau untuk dijadikan rokok yang bagi Suto merupakan pemandangan yang aneh.
Tak heran jika sejak tadi Suto mengikuti gerakan jari melinting tembakau, dan
tersenyum kagum melihat Ki Rosowelas menghisap tembakau itu.
"Sudah dua hari ini desa
kami dikacaukan oleh kehadiran bayangan hitam yang menculik pemuda desa.
Ia melumpuhkan seorang pemuda
yang tampak bertubuh kekar, lalu membawanya lari entah ke mana. Dalam dua hari
ini, sudah dua pemuda yang hilang pada malam hari. Beberapa keluarga mereka
melihat sendiri pemuda tersebut dilarikan oleh orang berpakaian serba hitam,
wajahnya tertutup kain hitam sampai hanya kelihatan bagian matanya saja."
"Apakah tak ada yang
berusaha mencegah atau melawan bayangan hitam itu?"
Ki Rosowelas gelengkan kepala.
"Tak ada yang berani mencobanya, karena bayangan itu bergerak dengan cepat
bagaikan kilat."
"Apakah ada korban
nyawa?"
"Tidak ada. Tapi penduduk
desa menjadi selalu ketakutan jika malam tiba. Tak ada kedai atau rumah yang
masih buka pintunya jika petang tiba. Itulah sebabnya aku tadi buru-buru
menutup kedai karena takut disambangi bayangan hitam yang tak diketahui dari
mana asalnya."
Pendekar Mabuk meneguk tuak
dalam cangkir keramik kasar. Ki Rosowelas juga ikut meneguk tuaknya. Setelah
itu ia berkata dengan suara pelan bagaikan takut didengar orang lain.
"Terus terang saja, ada
beberapa orang yang curiga pada tokoh sakti yang bermukim di Gunung Keong
Langit itu."
"Bandar Hantu Malam
maksudmu, Ki?"
"Ya. Kau
mengenalnya?!" Ki Rosowelas sedikit terperanjat dan cepat memandang
Pendekar Mabuk.
"Aku hanya mengenal
namanya saja, belum pernah jumpa orangnya."
"Para sesepuh di sini ada
yang mengetahui riwayat
hidup Bandar Hantu Malam
semasa orang itu masih muda. Tapi menurut para sesepuh, Bandar Hantu Malam
sudah tidak seganas dulu. Sejak mempunyai istri, dia menjadi orang bijak dan
suka menolong kepada siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Para sesepuh pun
mempunyai praduga, barangkali karena tidak beristri lagi maka Bandar Hantu
Malam kembali ganas dan suka membuat kekacauan. Tapi beberapa sesepuh juga
menyangsikan hal itu, karena Bandar Hantu Malam sudah beberapa kali
menyelamatkan desa ini dari gangguan siapa saja."
"Lalu mengapa sekarang
dia tidak menyelamatkan desa ini dari gangguan yang kau sebut bayangan hitam
itu tadi, Ki?"
"Justru itulah yang
dipertanyakan oleh para sesepuh di desa Pucangan ini, Suto. Maka timbul dua
pendapat, mungkin Bandar Hantu Malam belum mendengar peristiwa yang menakutkan
penduduk desa ini, mungkin juga dialah pelaku sebenarnya. Semuanya belum bisa
jelas."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut. Hatinya berkata, "Jika benar bayangan hitam itu adalah
Bandar Hantu Malam, maka suatu hal yang sangat kebetulan bagiku, tak perlu
harus mendaki ke lereng gunung itu. Ada baiknya kalau malam ini aku bermalam di
desa ini sambil menunggu kemunculan bayangan hitam itu.
Tapi..., apakah Ki Rosowelas
dan yang lainnya tidak akan curiga kepadaku? Nanti jangan-jangan malah aku
sendiri yang disangka orang berpakaian serba hitam itu?"
Maka, pendekar tampan yang
ternyata sejak tadi diintip oleh Sundari dari celah pintu dapur itu, mencoba
mengutarakan maksudnya kepada Pak Tua pemilik kedai tersebut.
"Apakah kau menyediakan
kamar untuk penginapan, Ki?"
"Tidak. Maksudmu
bagaimana, Suto?"
"Kalau ada kamar, aku
akan bermalam di sini. Aku ingin tahu siapa bayangan hitam itu. Karena...,
terus terang saja, kedatanganku kemari adalah dalam perjalanan menemui Bandar
Hantu Malam."
"Hahh...?!" Ki
Rosowelas terkejut. Suto memang tidak jelaskan pokok masalah sebenarnya agar
tak mengundang perhatian terlalu besar bagi si pemilik kedai itu. Suto hanya
berkata,
"Aku punya sedikit urusan
dengan Bandar Hantu Malam dan harus segera kuselesaikan. Jika bayangan hitam
itu memang Bandar Hantu Malam, berarti aku tak perlu susah-susah mendaki Gunung
Keong Langit. Jika memang bukan dia, maka kita semua akan tahu siapa sebenarnya
bayangan hitam itu."
"Tapi dia berbahaya,
Suto. Bayangan hitam itu, baik dia adalah Bandar Hantu Malam atau bukan, tapi
dilihat dari gerakan cepatnya, jelas dia orang berilmu tinggi. Kau bisa celaka
jika melawannya."
"Kau tak perlu takut, Ki
Rosowelas. Bukankah bayangan hitam tidak mau membunuh, dan sejak dua hari ini
tidak ada korban nyawa?"
"Memang. Tapi hal itu
dikarenakan tidak ada orang yang berani menghalanginya Jika ada yang nekat
menghalanginya, tentunya dia tidak akan segan-segan melenyapkan nyawa orang
itu."
"Aku hanya ingin
mengetahui siapa dia sebenarnya. Mungkin tidak harus menghadapi dia. Aku bisa
lakukan dengan sembunyi-sembunyi," kata Suto dengan berbisik. "Kalau
kau punya kamar, aku akan menyewanya untuk satu malam saja."
Ki Rosowelas menatap Suto
mencoba mempalajari siapa diri anak muda itu. Lewat pancaran mata tajam tapi
bersuasana lembut, lewat kegagahan dan ketegapan tubuh Suto, lewat cara meminum
tuak dengan santai tanpa mabuk, Ki Rosowelas mulai punya kesimpulan, bahwa anak
muda yang dihadapi setidaknya punya ilmu yang lumayan tinggi. Setidaknya ilmu
untuk melarikan diri dari kejaran lawan dimiliki oleh Suto. Kecemasan Ki
Rosowelas terhadap bahaya yang akan mencelakakan Suto mulai berkurang.
"Jika ia berani bertekad
menemui Bandar Hantu Malam sendirian seperti saat ini, tentunya ia punya
landasan ilmu cukup kuat. Orang berilmu ringan tak akan berani punya tekad
temui Bandar Hantu Malam di puncak Gunung Keong Langit itu!" pikir Ki
Rosowelas yang akhirnya memanggil Sundari dan menyuruhnya mempersiapkan kamar
untuk Pendekar Mabuk.
"Kau tidur bersamaku
saja," kata sang Ayah kapada putrinya. "Biar tamu kita ini tidur di
kamarmu untuk semalam."
"Terserah apa putusanmu,
Pak. Aku ikut saja," jawab Sundari sambil tampak tersipu dan tak berani
terang- terangan pandangi Suto Sinting. Namun dalam hati gadis itu sempat
berkata, "Alangkah bangganya, alangkah senang hatiku jika mempunyai
kekasih seperti si tampan ini. Hmm... hatiku sejak tadi berdebar-debar jika
kebetulan beradu pandang dengannya. Daya tarik yang dimilikinya sangat besar.
Aku jadi tak sabar dan ingin bicara berduaan dengannya."
Di dalam kamar yang disewanya
itu, Suto Sinting sengaja baringkan badan di atas dipan beralaskan kain penutup
kapas sebagai ganti kasur. Kedua tangannya direntangkan, ditindih dengan
kepala. Ia sengaja menunggu malam kian kelam, setelah itu baru bergerak
memeriksa keadaan desa.
"Kuharap orang yang
disebut-sebut sebagai bayangan hitam itu memang benar Bandar Hantu Malam. Aku
harus segera bereskan orang itu dan cepat kembali kepada Ratu Asmaradani. Jika
orang itu bukan Bandar Hantu Malam, akan kugunakan untuk memancing Bandar Hantu
Malam supaya turun gunung dan temui aku di sini. Dengan begitu aku tak perlu
susah payah mendaki gunung."
Selagi asyik berkecamuk
sendiri dalam hatinya, tiba- tiba Suto mendengar suara ketukan pintu kamarnya.
Ketukan itu pelan sekali. Suto sudah dapat menduga
siapa yang punya ketukan
selembut itu. Maka ia sudah siap dengan senyum ramah di bibirnya ketika
bergegas membukakan pintu kamar.
"Sundari?" sapanya
pelan.
"Ssst...!" Sundari
menempalkan jarinya di bibir, memberi isyarat agar Suto mengurangi suaranya.
"Bapak sedang tidur, jangan keras-keras bicaramu, nanti Bapak tahu kalau
aku kemari."
"Ada apa kau datang
kemari?"
"Mengapa kau tanyakan hal
itu? Apakah kau belum tahu bahwa kamar ini sebenarnya kamarku?"
"Ya, aku tahu,"
jawab Suto yang akhirnya tak bisa
mencegah gadis itu menyusup
masuk ke dalam. "Tapi apakah kau lupa bahwa kamar ini sedang disewa untuk
satu malam?"
"Aku tidak lupa. Tapi
ketahuilah, bahwa aku tak bisa tidur jika tidak di dalam kamarku sendiri."
"Kenapa begitu?"
"Jiwaku dengan kamar ini
telah menyatu."
"Kalau begitu aku akan
tidur di luar saja. Di bangku kedai."
"Kalau kau mau, siiakan
ke sana. Uang sewa mu bisa kukembalikan. Tapi perlu kau ketahui juga, aku
datang kemari ada yang ingin kubicarakan denganmu Suto. Ini menyangkut masalah
keselamatanmu."
"Apa makaudmu?" Suto
Sinting akhirnya duduk di tepian dipan.
Gadis berkulit hitam manis
dengan senyum yang juga manis itu, kini ikut duduk di tepian dipan. Jaraknya
kurang dari satu jangkauan
dari Suto. Ia beranikan diri menatap Suto beberapa saat, seakan memanfaatkan
waktu untuk menikmati ketampanan Suto dan menikmati debar-debar indah di
hatinya.
"Apa yang ingin kau
katakan?" tegur Suto merasa tak enak dipandangi terus-terusan, ia sempat
meneguk tuak dari cangkir yang dibawanya dari kedai ke kamar. Tuak di cangkir
itu adalah tuak yang kelima kalinya. Sundari menyimpan perasaan heran melihat
Suto kuat minum sampai lima cangkir tanpa mabuk sedikit pun.
Gadis itu berkata pelan,
"Kudengar kau mau hadapi bayangan hitam itu?"
"Dari siapa kau
mendengarnya?" "Cerita Bapak di kamar tadi."
Suto tersenyum tipis,
"Tak salah pendengaranmu itu." "Kalau boleh kuingatkan, jangan
lakukan hal itu." "Kenapa?"
'Sangat berbahaya. Kau bisa
mati."
"O, ya?" Suto
Sinting tertawa kecil, berkesan meremehkan peringatan itu. "Apakah kau
yakin aku akan mati jika berhadapan dengan bayangan hitam itu?'
"Ya. Sebab dia orang
sakti, ilmunya tinggi dan keji. Tak kenal ampun!"
"Dari mana kau tahu bahwa
dia berilmu tinggi?" "Karena akulah orang itu!"
Suto Sinting terkejut,
tangannya melayang cepat menampar wajah Sundari.
Plook...!
"Ooh...!" Sundari
tersentak dan jatuh ke dipan karena
tamparan itu. Ia menyeringai
kesakitan sambil mengusap-usap pipinya, wajahnya memerah, bibirnya digigit
menahan sakit yang membuatnya mau menangis.
Suto Sinting memandang dengan
penuh sesal. "Untung hanya sebuah tamparan," kata Suto dalam hati.
"Jika memang dia berilmu tinggi tentunya dia sangat mudah menangkis
gerakan tanganku dalam menampar tadi. Jika ia berlimu tinggi, tak mungkin
pipinya menjadi merah, karena tamparanku tak begitu keras untuk ukuran orang
berilmu tinggi. Aku tak percaya kalau dia adalah bayangan hitam."
"Kau kasar sekali,
Suto," ucapnya dengan suara bergetar karena menahan tangis. Suto Sinting
tarik napas panjang-panjang jauhi dipan.
"Untuk apa kau
membohongiku, Sundari? Aku tahu bukan kau orang yang disebut-sebut sebagai
bayangan hitam itu."
"Memang aku
orangnya!" Sundari cemberut. "Karena itu, kuharap kau jangan hadapi
dia karena itu sama saja kau berhadapan denganku dan aku tak tega jika harus
membunuhmu."
Suto Sinting sunggingkan
senyum tak percaya. "Kalau memang kau bayangan hitam yang dikatakan sakti
dan mampu bergerak secepat kilat hingga seperti bayangan lewat, maka kau pasti
akan mampu menangkis gerakan tanganku tadi. Ternyata kau tidak mampu
menangkisnya, itu berarti kau tidak punya gerak firasat, sebagaimana yang
dimiliki oleh para tokoh berilmu tinggi. Pipimu tak akan merah, karena
tamparanku tadi
belum apa-apa untuk ukuran
orang berilmu tinggi, Sundari."
Gadis itu diam, masih cemberut
dan mengusap-usap
pipi dengan memandang ke arah
lain. Suto Sinting kembali dekati Sundari, ia sedikit membungkuk ketika berkata
dengan nada suara pelan,
"Apa makaudmu menipuku,
Sundari? Apa maksudmu mengaku-aku sebagai bayangan hitam itu?!"
Sundari masih diam cemberut.
Suto Sinting meraih dagu gadis desa itu. Pelan-pelan sekali dagu itu diputar
hingga matanya saling pandang. Wajah manis itu sedikit mendongak dalam menatap
Suto, dan Suto mengulangi pertanyaannya tadi.
"Apa maksudnya,
jelaskan!"
"Karena... karena aku
takut kau celaka." "Mengapa kau takut aku celaka?" desak Suto.
"Entahlah. Pokoknya aku takut kau celaka dan mati.
Aku tak ingin kau mengalami
nasib seperti itu. Karenanya aku mengaku sebagai bayangan hitam, supaya kau tak
jadi temui dia malam ini."
Suto tersenyum, kali ini
berkesan ramah, ia mulai tahu perasaan Sundari. Ada rasa suka yang disimpan di
hati gadis itu. Ada rasa cemas di sana. Sebab jika Suto sampai mati, sama saja
harapan untuk dapat lebih dekat dengan Suto ikut mati juga. Rupanya gadia itu
tak ingin kehilangan harapan.
"Apakah malam ini
bayangan hitam akan muncul lagi?" tanya Suto.
"Aku tak tahu. Tapi
menurut dugaanku, juga dugaan
beberapa orang, ia akan muncui
lagi untuk menculik seorang pemuda. Aku sangat takut, karena di sini sekarang
ada seorang pemuda tampan yang menggetarkan hatiku. Aku takut pemuda tamuku
akan diculiknya. Kuharap kau tidak keluar rumah, Suto."
"Baiklah," jawab
Suto sambil hempaskan napas. "Aku akan turuti kemauanmu. Sekarang cepatlah
kembali ke kamar bersama bapakmu, supaya kehadiranmu di sini tidak dicurigai.
Aku tak enak kalau dinilai buruk olehnya karena dugaan yang bukan-bukan
terhadap diri kita berdua."
"Apakah... apakah kau
tidak suka kalau aku menemanimu di kamar ini?"
"Aku tidak akan bisa
tidur jika ditemani seorang gadis secantik dirimu," jawab Suto.
"Mengapa kau justru tak
bisa tidur?"
"Hanya lelaki bodoh yang
tidur dengan nyenyak jika ada teman wanita cantik di sampingnya. Umumnya lelaki
akan sulit tidur jika ditemani wanita cantik, karena tangannya pasti akan punya
kesibukan sendiri sampai pagi."
Sundari tersenyum malu, karena
gadis itu tahu maksud Suto Sinting. Ia bahkan mengatakan, "Kesibukan itu
kutunggu sejak lama. Aku ingin bersuami. Tapi tak pernah tertarik dengan lelaki
mana pun. Sekarang aku punya rasa tertarik. Kurasa jika tanganmu sibuk lakukan
pekerjaan aku tak akan menolak."
"Semudah itukah kau
serahkan dirimu kepada orang
yang baru dikenal?"
Wajah Sundari cepat-cepat
berubah menjadi merah jambu karena menahan malu. Ia menyesal dalam hati,
"Seharusnya aku tidak berkata begitu. Seharusnya aku tidak boleh bersikap
mengejar. Aku pasti dinilai sebagai gadis desa yang murahan. Ah, tak enak
jadinya. Sebaiknya aku segera kembali ke kamar Bapak saja, biar penilaian
buruknya terhadapku hilang."
Sebenarnya kenyataan di hati
Sundari memang demikian, ingin punya pendamping hidup, tapi tidak pernah
tertarik dengan pemuda desanya, ia sering menolak rayuan pemuda desanya, ia
bahkan pernah mengubur hasratnya untuk bersuami. Tapi ketika melihat Suto
Sinting, hasrat itu menjadi kambuh kembali. Akhirnya ia beranikan diri untuk
nekat temui Suto, karena menurutnya kesempatan seperti itu belum tentu datang
lagi jika Suto sudah pergi dan ia terlambat menjerat hati pemuda itu. Untunglah
ia segera sadari tindakannya tidak sesuai dengan sikap gadis desa pada umumnya,
sehingga ia pun segera kembali ke kamar ayahnya.
Kepergian Sundari membuat Suto
lega. Lalu secara pelan-pelan ia pun keluar dari kamarnya, menghamburkan diri
di tengah kegelapan malam, menyusuri jalan-jalan sepi dengan gerakan yang
menyelinap dari tempat tersembunyi ke tempat aman lainnya.
Hampir seluruh desa diputari.
Tapi Suto tidak temukan hal-hal yang mencurigakan. Sementara itu
malam semakin kelam dan
kesunyian amat mencekam. Desa itu bagaikan kuburan yang tak berpenghuni makhluk
bernyawa lagi. Tak ada suara apa pun yang bisa didengar oleh Pendekar Mabuk.
"Barangkali bayangan
hitam itu tidak muncul pada malam ini. Ah, sayang sekali jika memang begitu.
Mau tak mau esok aku harus mendaki gunung dan mencari kediaman Bandar Hantu
Malam," pikir Suto yang sudah bertengger di salah satu pohon tinggi. Sebab
dari sana ia bisa memandang keadaan desa dalam keremangan malam.
Angin berhembus ke utara. Awan
pun bergerak ke arah yang sama. Ternyata di balik awan ada rembulan. Sekalipun
tidak penuh dan tampak jauh, tapi cahayanya cukup membuat malam menjadi pucat.
Batu dan tanaman rumput mulai bisa terlihat. Keadaan remang membuat Suto merasa
senang, karena dengan begitu matanya dapat memandang sekeliling dengan lebih
jelas lagi.
"Hei, ada gerakan di
sebelah barat sana? Hmmm... apa itu? Oh, seseorang melesat menuju sela-sela
rumah penduduk? Nah, itu dia! Bayangan hitam itu akhirnya datang juga. Aku
harus segera mengejarnya ke sana!"
Zlaaap...! Suto pergunakan
gerakan peringan tubuh yang mampu melesat dengan cepat tanpa suara. Dalam waktu
singkat ia tiba di belakang sebuah rumah, tempat bayangan tadi menghilang di
sela-sela dua rumah. Suto merunduk di balik tanaman singkong yang tingginya
baru sebatas dada manusia dewasa. Matanya
memandang dengan waspada ke
berbagai arah.
Tiba-tiba terdengar suara
gaduh dari seberang. Braaak...!
"Aaaa...!" jerit
suara wanita. "Lepaskan anakku! Lepaskan anakku! Tolong...!
Tolooong...!" suara wanita yang diperkirakan berusia separo baya itu kian
terdengar jelas. Suto pindah tempat persembunyian, dan di sana ia melihat
sekelebat bayangan yang memanggul sesosok tubuh di pundaknya.
"Itu dia si bayangan
hitam. Pakaiannya memang serba hitam dan... kurasa yang dipanggul di pundaknya
itu adalah seorang pemuda yang sudah ditotoknya!"
Zlaaap...! Suto Sinting segera
mengejar, tak mempedulikan jeritan minta tolong yang membuat penduduk desa
menjadi bangun dan suasana pun kian tegang. Bayangan hitam itu memang bergerak
dengan cepat, menandakan ia orang berilmu tinggi. Kecepatan bayangan hitam itu
hampir menyamai kecepatan gerak Suto Sinting, ia tidak sadar ada orang yang
berani mengejarnya. Bahkan ia menjadi sangat kaget ketika tahu-tahu bagian atas
tubuhnya dilompati oleh seseorang dalam gerakan bersalto ringan, lalu
langkahnya pun terhadang oleh orang yang melompatinya itu. Jleeg...!
Suto Sinting si Pendekar Mabuk
itulah yang menghadang langkahnya. Mau tak mau bayangan hitam hentikan langkah.
Ia mulai sadar datangnya bahaya. Tak mau menunda waktu lagi karena takut
kepergok penduduk desa yang terbangun karena jeritan ibu si pemuda yang
dipanggulnya itu, maka tangannya segera
melemparkan sesuatu yang
diambil dari balik baju hitamnya. Slaaap...! Wuuut...! Suto Sinting cepat
hadangkan bumbung tuaknya. Benda yang dilemparkan itu menghantam bumbung tuak.
Traak...! Weesss...!
Benda itu ternyata sebuah
pisau kecil yang memantul balik ke arah pelempamya begitu kenai bumbung keramat
itu. Gerakan pisau yang dua kali lebih cepat dari lemparan pertama membuat
orang yang berpakaian serba hitam menjadi terkejut, ia segera hindari pisaunya
sendiri. Tapi gerakannya sedikit terlambat. Pisau itu akhirnya menancap di
pinggang kanannya. Jruub...!
"Uuhg...!" ia
terpekik dengan suara tertahan.
Melihat lawannya mengejang
dengan pegangan pada sosok di pundaknya melemah, maka Suto pun segera
berkelebat cepat dalam satu lompatan tinggi ke arah orang berpakaian hitam.
Wuuut...! Wees...!
Pemuda yang tertotok jalan
darahnya kini sudah berpindah tangan. Suto Sinting segera membawanya lari ke
jalanan desa menuju rumah penduduk. Di sana Suto Sinting segera berhenti,
meletakkan pemuda itu di tanah, dan menunggu kejaran orang berpakaian serba
hitam.
Dengan menahan sakit karena
pisau beracun menancap di pinggangnya, dan sampai saat itu belum bisa dicabut
karena terlalu menyakitkan, orang berpakaian mirip ninja itu segera berhenti di
depan Pendekar Mabuk. Napasnya terangah-engah. Ia bermaksud merebut pemuda yang
berhasil diculiknya itu. Tentunya ia harus merobohkan pemuda tampan yang ada di
depannya.
Maka orang itu pun segera
menyerang Suto dengan lepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh. Ia kibaskan
tangannya bagai melempar sesuatu, dan ternyata gumpalan api sebesar genggaman
tangan melesat cepat menerjang Suto.
Wuuusss...!
Suto menghajar bola api dengan
jurus yang dinamakan 'Pukulan Gegana' pemberian Bidadari Jalang, Bibi Gurunya
itu. Dari dua jari Suto melesat sinar patah- patah warna kuning. Sinar itu
menghantam bola api dan menimbulkan ledakan yang lebih mengagetkan penduduk
desa.
Blaaarrr...! Glegeeerrr...!
Ledakan menggema itu hadirkan
gelombang hawa panas yang mampu mengeringkan sebuah pohon dalam waktu satu
helaan napas. Mestinya orang berkerudung kain hitam itu akan mati kering jika
terkena langsung pukulan tersebut. Tetapi karena gelombang ledakan saja, maka
orang itu terjungkal ke belakang dan berguling- guling hingga tak sengaja kain
penutup kepalanya terlepas. Ketika bangkit dan mencoba berdiri lagi, sinar
rembulan menampakkan wajah cantiknya. Ternyata ia seorang wanita bermata indah
tapi punya kesan jalang. Usianya diperkirakan sekitar dua puluh tujuh tahun.
Dari hidungnya yang bangir tampak ada cairan merah mengalir, itulah darah dari
luka dalamnya akibat ledakan tadi. Sementara Suto Sinting sama sekali tidak
terpengaruh oleh ledakan tadi, ia hanya terdesak mundur dua tindak.
Beberapa orang datang membawa
obor dari dua arah, selatan dan timur. Perempuan cantik itu menjadi sangat
tegang dan gusar, ia hanya berkata kepada Pendekar Mabuk,
"Suatu saat kita akan
bertemu, dan akan kubalas kekalahan ini!"
Beberapa penduduk desa yang
sempat melihat raut
wajah wanita itu menjadi
tercengang. Salah seorang menyebut dengan nada heran sekali.
"Nyai Sedah...?!"
Begitu suara orang yang
menyebutkan namanya itu lenyap, Nyai Sedah cepat sentakkan kaki dan pergi dalam
keadaan luka. Ia masih mampu bergerak cepat. Suto sengaja tidak mau
mengejarnya, karena ia hanya ingin tahu apakah orang itu Bandar Hantu Malam
atau bukan. Ternyata orang itu adalah Nyai Sedah.
"Siapa Nyai Sedah itu?'
tanya Suto kepada Ki Rosowelas yang ternyata ikut hadir dalam kerumunan
tersebut bersama Sundari, anaknya.
"Nyai Sedah adalah mantan
istri lurah kami," jawab
Ki Rosowelas.
Salah satu orang berambut
putih yang usianya diperkirakan sudah mencapai tujuh puluh tahun itu ikut
menimpali jawaban Ki Rosowelas.
"Nyai Sedah adalah wanita
yang tak pernah puas dengan seribu lelaki. Dulu suaminya adalah mantan lurah
kami yang sudah tiada. Dia terusir dari desa ini karena sering mengganggu para
suami, membuat para istri resah. Mungkin selama tujuh tahun dia menghilang
itu, dia pelajari beberapa
ilmu dari seseorang, sehingga ia mampu lebih sakti dari sebelumnya. Pantas jika
ia menculik para pemuda. Pasti di tempatnya sana dijadikan pemuas
gairahnya."
"Apakah ada hubungannya
dengan Bandar Hantu Malam?" tanya Suto. Tapi orang-orang itu hanya diam
dan saling pandang. Lalu, Ki Rosowelas pun menjawab,
"Bisa jadi... dia adalah
murid Bandar Hantu Malam. Karena di daerah ini hanya ada satu orang sakti,
yaitu Bandar Hantu Malam. Tapi... tapi apakah Bandar Hantu Malam mau punya
murid sesat seperti Nyai Sedah?!" Ki Rosowelas menyanggah pendapatnya
sendiri, sebab segalanya memang belum jelas tentang keadaan Bandar Hantu Malam.
Bagi Suto, semua itu akan menjadi lebih jelas jika ia sudah temui Bandar Hantu
Malam di puncak
Gunung Keong Langit.
5
SUARA ledakan yang disusul
dengan rontoknya dedaunan hutan membuat langkah Suto Sinting terhenti di lereng
gunung itu.
Sebagian daun pohon sempat
merontoki kepala Suto. Sehelai daun diambilnya dari atas kepala, diperhatikan
beberapa saat, lalu dahinya pun berkerut tajam.
"Gila!" gumam Suto
setelah mengetahui daun itu ternyata sudah menjadi debu namun masih membentuk
warna dan serat aslinya. Daun
itu hanya ditekan dengan dua jari sudah hancur dengan sendirinya.
"Tenaga dalam siapa yang
sehebat ini? Aku yakin tak
jauh dari sini ada pertarungan
hebat. Hmmm...! Aku mendengar detak jantung di sebelah barat. Aku ingin tahu
siapa pemilik ilmu tenaga dalam yang mampu membuat daun-daun berubah menjadi
debu!" Ia pun segera melesat ke arah barat.
Alangkah terkejutnya Pendekar
Mabuk ketika mengetahui siapa orang yang bertarung pada saat itu. Seorang kakek
berjubah putih, rambut putih, kumis dan jenggotnya putih, bertubuh kurus,
mengenakan kalung batu-batuan warna merah kecoklat-coklatan. Suto ingat lelaki
tua itu adalah orang yang dilihatnya melakukan pertarungan di seberang jurang
dengan lawan yang tak diketahui letak kedudukannya.
"Dia lagi...?!"
gumam Suto dalam keheranan. "Sikapnya masih sama seperti tempo hari. Diam,
tenang, berdiri tegak dengan kaki sedikit renggang, kedua tangannya terlipat di
dada. Oh, benar-benar seorang tokoh sakti tingkat tinggi yang baru kali ini
kulihat begitu tenangnya menghadapi lawan yang ganas."
Lawan si kakek berjubah putih
itu adalah seorang perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, tapi masih
lincah dan gesit. Nenek itu berjubah merah, kurus, dan kempot. Rambutnya yang
putih digulung menjadi konde di tengah kepala, ia menggenggam senjata logam
putih mengkilat berbentuk seperti kipas yang bagian tangannya berlubang untuk
tempat jari-jarinya. Piringan
itu punya bagian tepi yang
tajam sekali. Lebarnya satu jengkal. Jika dipakai untuk menebas leher bisa
putus seketika. Tapi agaknya senjata yang mirip kipas rata pinggirnya itu tidak
akan sampai digunakan menebas seluruh bagian. Suto melihat jurus menggunakan
senjata itu sangat sederhana.
Nenek tersebut mencoba
menyerang sang kakek berjubah putih dengan satu lompatan cepat. Tapi tahu- tahu
sang kakek sudah ada di belakangnya tanpa diketahui gerakannya. Keadaan sang
kakek tetap diam dan melipat tangan di dada. Sedangkan gerakan sang nenek yang cepat
itu menemui tempat kosong. Tapi ketika ia mengibaskan senjatanya itu, sebuah
pohon besar segera tumbang bagai habis terpotong dengan senjata amat tajam dan
besar. Pohon itu tumbang dalam keadaan terpotong rata bagian tengahnya. Padahal
pohon itu hanya berjarak dua langkah dari tempat sang nenek mengibaskan
senjatanya.
"Senjata itu tak sampai
menyentuh pohon, tapi kekuatan tenaga tebas yang terpancar dari tepian senjata
itu sudah mampu memotong batang pohon yang lumayan besar," gumam Suto
dalam hati. "Tentunya nenek itu punya ilmu tinggi yang dapat disalurkan
melalui angin tebasan senjata aneh itu. Tapi gerakan kakek berjubah putih itu
juga sangat hebat. Tak tahu kapan dan ke mana ia bergerak, tahu-tahu sudah ada
di belakang sang nenek."
Pendekar Mabuk masih tetap
diam dari persembunyiannya. Matanya memandang pertarungan
hebat itu tanpa mau berkedip.
Lagi-lagi ia dibuat tercengang melihat sang nenek lakukan serangan dengan
mengibas-ngibaskan tangannya yang bersenjata. Gerakannya cepat dan sepertinya
tak beraturan. Dari gerakan tangan ke sana-sini itu memancarlah sinar hijau
yang tiada putusnya hingga menyerupai benang atau tali hijau yang awut-awutan.
Tapi dalam sentakan terakhir, sang nenek putarkan tubuhnya. Wuuusss...! Sinar
hijau yang mirip tali itu berkelebat menjerat tubuh kakek berjubah putih.
Zraab...!
Dalam sekejap tubuh kakek itu
telah terjerat kuat oleh tali sinar hijau. Namun orang berjenggot panjang itu
tetap diam, tetap melipat tangan di dada. Sedangkan mata Suto memandang kian
tegang, tali sinar hijau itu makin lama makin menjerat kuat, seakan mulai masuk
ke daging tubuh sang kakek.
"Celaka! Kenapa dia diam
saja?! Dia bisa terpotong oleh tali sinar itu!" pikir Suto Sinting mulai
tak sabar ingin segera turun ke pertarungan tersebut
Wajah sang kakek mulai merah
kebiru-biruan. Seperti orang tercekik kuat-kuat, sebab tali sinar hijau itu
juga ada yang melilit di lehernya. Agaknya ia sedang mengimbangi kekuatan tali
sinar hijau itu dengan tenaga dalam yang dikerahkan sekuat tenaga, namun masih
belum berhasil memutuskan atau memecahkan tali sinar hijau itu.
"Hik, hik, hik,
hik...!" nenek itu tertawa. "Tak akan mampu kau lakukan! Tak ada
orang yang bisa melawan jurus 'Tambang Akhirat' milikku itu! Sekarang sudah
waktunya kau modar dengan
tubuh terpotong-potong, Manusia Bodoh! Hik, hik, hik, hik...!"
Hati Pendekar Mabuk menggerutu
kesal. "Memang
bodoh kakek itu. Kenapa diam
saja? Cepat lakukan sesuatu?!" Suto Sinting menjadi gemas sendiri.
Sementara itu tali sinar hijau kian menjerat kuat, sebagian mulai menembus
daging tubuh sang kakek yang kurus itu.
Tiba-tiba nenek berjubah merah
itu melompat dengan satu teriakan nafsu membunuh. "Hiaaaahhh...!"
Melihat keadaan seperti itu,
Suto Sinting berani pastikan sang kakek pasti akan tumbang di tangan sang
nenek, sebab keadaannya tak berdaya menghadapi tali sinar hijau. Sedangkan sang
nenek sudah jelas akan mengibaskan senjatanya untuk mempercepat terpotongnya
tubuh sang kakek. Maka dengan gerakan secepat anak panah, Suto Sinting segera melesat
dari persembunyiannya menerjang tubuh sang nenek dari samping. Bambu bumbung
tuak digunakan untuk menyodok tubuh sang nenek. Wuuuttt...!
Buuuhg...!
"Aaahg...!" nenek
itu terpekik, terlempar keras dan membentur sebatang pohon besar akibat terkena
sodokan bambu tuaknya Suto. Jika ia tidak punya ilmu tinggi, maka ia akan
mengalami patah tulang di sekujur tubuhnya. Dan Suto berani lakukan hal itu
karena ia hanya ingin menahan serangan sang nenek kepada kakek jubah putih yang
sudah tak berdaya itu. Suto berani lakukan hal itu karena ia tahu sodokan
bambunya tidak
akan membuat sang nenek
menjadi parah. Sodokan bambu itu hanya akan membuat tubuh sang nenek menjadi
ngilu, mungkin juga memar biru pada bagian yang terkena sodokan.
"Bocah ingusan!"
sentak sang nenek. "Apa maksudmu ikut campur urusanku?! Apakah kau ingin
mati di tangan Nini Pancungsari, hah?!"
Suto Sinting tidak pedulikan
keadaan sang nenek yang berang itu. Ia segera bergegas untuk menolong kakek
berjubah putih yang diam-diam telah dikaguminya sejak pertama dilihat di atas
Puncak Karang. Tetapi alangkah kagetnya Suto Sinting ketika mau bergerak,
ternyata tubuh sang kakek pecah terjerat tali sinar hijau. Tubuh itu menjadi
terpotong-potong dan berserakan di tanah. Mata Suto Sinting sangat sulit
dikedipkan bahkan kian lebar memandang potongan-potongan tubuh sang kakek.
"Hik, hik, hik, hik...!
Bocah ingusan terheran-heran. Kasihan sekali kau, Nak. Kalau kau ingin tahu,
itulah yang dinamakan jurus 'Tambang Akhirat'. Tak ada yang punya selain
diriku; Nini Pancungsari! Hik, hik, hik, hik...!"
Napas kedongkolan ditarik
kuat-kuat oleh Pendekar Mabuk, ia memandangi Nini Pancungsari dengan penuh
kegeraman. Tangan kirinya yang tidak menenteng bumbung bambu itu menggenggam
kuat-kuat pertanda ia sedang menahan gejolak nafsu amarah terhadap nenek sadis
itu.
Tetapi tiba-tiba Pendekar
Mabuk dan Nini
Pancungsari dikejutkan oleh
suara bernada penuh wibawa.
"Apa yang kau tertawakan,
Pancungsari?!"
Suto dan nenek itu sama-sama
memandang ke arah selatan, ternyata kakek berjubah putih itu ada di sana,
berdiri dengan tangan terlipat di dada. Suto dan nenek itu kembali pandangi
potongan tubuh yang berserakan di tanah, dan mereka sama-sama terperanjat
karena ternyata yang ada di tanah bukan potongan tubuh manusia melainkan
potongan kayu jati yang masih bertahan tapi sudah kering. Ternyata apa yang
dijerat oleh tali sinar hijau tadi adalah sebatang kayu jati yang sudah lama
tumbang.
Tentu saja murka sang nenek
kembali menyala-nyala. "Kuhabisi kau sekarang juga, Manusia Bodoh!
Heaaah...!"
Nini Pancungsari lepaskan
pukulan bersinar biru, besar dan lurus, seperti sebuah kayu balok. Sinar biru
itu keluar dari telapak tangan kirinya. Wooss...! Sang kakek pun keluarkan
pukulan penangkis. Kali ini tangan kirinya juga menyodok ke depan dan dari
telapak tangan itu keluar sinar besar, sama ukurannya, beda warnanya. Warna
sinar besar lurus itu seperti warna merah batu kalungnya. Sinar itu menghantam
sinar biru di pertengahan jarak. Gemuruh pertemuan dua sinar itu bagaikan
sesuatu yang siap meledak. Di pertengahan jarak mereka memancar sinar ungu,
perpaduan antara sinar merah dengan biru. Sinar ungu itu berpijar-pijar lebar,
bergerak maju mundur, seakan mengikuti
kekuatan dorong yang dilakukan
oleh kedua belah pihak.
Nini Pancungsari rendahkan
kedua kakinya sambil kerahkan tenaga pendorong agar sinar ungu itu bergerak
mendekati tubuh lawannya, kalau bisa menghantam telak tubuh itu. Tapi kakek
berjubah putih pun lakukan dorongan dengan sikap tetap berdiri tegak, tak
kentara keluarkan tenaga. Sedangkan Nini Pancungsari tubuhnya sampai gemetaran
karena kerahkan tenaganya habis- habisan.
Pertemuan dua sinar itu makin
mendekati tubuh sang kakek, itu tandanya sang kakek terdesak dan kekuatannya
berkurang. Suto Sinting menjadi cemas, sebab ia tak rela jika kakek yang
menjadi kebanggaan hatinya itu hancur oleh sinar ungu tersebut. Maka dengan
cepat Suto Sinting segera sodokkan bambunya ke depan. Suuut...! Dan memancarlah
sinar kuning lurus yang menuju ke pertengahan jarak kedua tokoh sakti itu.
Sinar kuning Suto bagaikan menyangga pertemuan kedua sinar tersebut, lalu
dengan perlahan-lahan mengangkat pertemuan sinar yang memercikkan warna ungu
itu. Makin lama makin ke atas, sehingga dengan kaki menghentak Suto dapat
ledakkan kedua sinar itu di angkasa sana. Blegaaarrrr...!
Jurus 'Naga Sontok' milik
Pendekar Mabuk telah selamatkan kedua tubuh tokoh tua tersebut. Tak ada yang
hancur karena ledakan sinar ungu itu. Tapi akibat dari ledakan tersebut,
delapan pohon tumbang dalam keadaan rusak berat, belum yang mengalami patah
dahan di sana-sini. Tanah tempat mereka berpijak bagaikan
ditunggingbalikkan. Ketiganya
sama-sama terpelanting jatuh tak tentu arah. Sama-sama mengalami sesak napas
beberapa saat karena gelombang ledakan tadi bagaikan seekor banteng yang
menerjang dada masing-masing. Suto sendiri merasakan nyeri di ulu hatinya,
seperti ditusuk-tusuk oleh paku sebesar kelingking, ia buru-buru meneguk
tuaknya, glek, glek, glek.
Kakek berjubah putih itu
sempat terpuruk di bawah kerimbunan semak ilalang. Tapi agaknya ia mampu
kendalikan diri, dalam waktu singkat sudah bisa berdiri walaupun wajahnya
tampak pucat, bibirnya membiru pertanda mengalami luka dalam yang lumayan
parah. Berulang kali ia tarik napas untuk mengatasi luka di dalam tubuhnya.
Sedangkan Nini Pancungsari
dalam keadaan berdarah. Lubang hidung dan mulutnya sempat lelehkan darah segar.
Wajahnya lebih pucat dari sang kakek. Dadanya kepulkan asap tipis, ia lebih
parah dari sang kakek. Karenanya, ketika ia sudah mampu berdiri, ia segera
berkata dengan nada geram dan bergetar sambil matanya tertuju pada sang kakek
dan Suto Sinting secara bergantian.
"Baik. Sekarang kalian
unggul! Tapi ingat, akan kubalas kalian lebih kejam lagi. Dan kau, Manusia
Bodoh! Sampai kapan pun masih tetap akan kutuntut nyawamu!"
Wuuut...!
Nini Pancungsari segera
berkelebat pergi. Suto
Sinting bergegas mengejar,
tapi sang kakek segera
berseru, "Tahan...!"
Pendekar Mabuk hentikan
langkah, berpaling memandang sang kakak yang sedang melangkah dekati dirinya.
Suaranya terdengar sedikit serak, mungkin karena menahan luka di dalam dadanya.
"Jangan mengejar orang
yang telah mengaku kalah dan menyerah."
"Maaf, aku gemas sekali
dengannya."
"Apakah kau punya urusan
dengan Nini
Pancungsari?"
"Tidak, Kek. Tapi...
entah mengapa aku gemas sekali dengannya, ia tadi nyaris membunuhmu."
"Mengapa kau membelaku,
Anak Muda?"
"Aku mengagumi ilmu
kesaktianmu yang tenang sekali itu, Kek," jawab Suto jujur, tak ada kesan
memuji atau menyindir, tapi lebih berkesan polos.
"Siapa namamu?' tanya
kakek itu setelah tarik napas dengan berat
"Namaku Suto. Banyak yang
memanggilku Suto
Sinting."
"Hmmm...," kakek itu
manggut-manggut dengan mata menatap tajam namun tak menakutkan. Bersifat tegas
dan bersahabat. "Kalau tak salah dugaanku, kau adalah murid Ki Sabawana
yang berjuluk si Gila Tuak itu!"
Suto Sinting berkerut dahi.
"Benar, Kek. Apakah kau kenal dengan beliau?"
"Ya. Kenal."
"Apakah...," Suto
tak lanjutkan kata, karana saat itu
sang kakek terbatuk-batuk,
lalu keluarkan darah dari mulutnya.
"Kek...?! Kau terluka
dalam dan agaknya cukup
parah. Minumlah tuakku ini
seteguk atau dua teguk." Kakek itu terengah-engah, badannya jadi lemas, ia
berpegangan pada batang pohon.
Suto Sinting segera menolong, menopang tangannya, lalu dengan pelan- pelan
membawanya ke tempat teduh dan mendudukkannya di situ.
"Ledakan tadi menyebarkan
racun, karena pukulanku dan pukulan Pancungsari sama-sama beracun tinggi. Dalam
waktu kurang dari setengah hari tempat ini akan menjadi gersang, tanaman mati
dan rumput tak bisa tumbuh lagi," katanya sambil berusaha kendalikan
napasnya yang berat dihela.
Untung Suto Sinting segera
memberikan tuaknya, sehingga luka dalam yang berbahaya itu sangat menolong jiwa
sang kakek. Beberapa saat setelah meneguk tuak dari bumbung itu, napas sang
kakek mulai terasa ringan. Tidak seberat tadi. Rasa nyeri di dada sampai ke perut
pun terasa berangsur-angsur reda. Tubuh sang kakek lebih enak dari sebelum
meneguk tuak Suto.
"Terima kasih atas
pertolonganmu, Suto Sinting," ucapnya setelah ia berdiri lagi, mencoba
menggerak- gerakkan tangan, kaki, dan badannya yang ternyata terasa lebih enak
dari sebelum itu.
"Tuakmu ini sangat
mujarab dan kukatakan sebagai tuak sakti. Aku yakin racun di dalam tubuhku akan
menjadi tawar setelah minum
tuakmu."
Suto Sinting hanya tersenyum
sedikit malu mendengar pujian itu. Ia berkata dengan pandangan mata ke arah
bumbung tuaknya.
"Tuak ini kubeli dari
desa Pucangan. Kurasa tuak biasa-biasa saja, Kek."
"Memang. Tapi bumbungnya
jelas bukan dari
sembarang bambu."
"Guruku yang memberikan
bumbung ini."
Kakek itu berkerut dahi.
"Kalau begitu... kalau tak salah ingatanku...," ia seperti ragu-ragu
mengatakannya. "Bumbung tuak ini pasti dari bambu ajaib."
"Mungkin begitu,"
jawab Suto merendahkan diri. "Bukan mungkin saja, tapi pasti!" kata
kakek itu.
"Jika memang ini bambu
pemberian gurumu, berarti bambu ini jenis bambu besi yang diperoleh Gila Tuak
di dasar Gunung Karak Kato."
Suto kaget, "Dari mana
kau mengetahuinya, Kek?" "Semasa muda Sabawana, gurumu, adalah sahabat
dekatku. Memang dia lebih tua
dariku, tapi dia dan aku bersahabat seperti orang berusia sebaya. Sabawana
pernah cerita padaku, ia memperoleh bambu tempat tuaknya dari dasar Gunung
Karak Kato yang disebut Penjara Bumi. Bambu itu jelmaan dari eyang gurunya yang
bernama Wijayasura...."
Blegaaarrr...!
Terdengar suara petir
menggelegar di angkasa tanpa mendung tanpa hujan. Bahkan langit terang
tiba-tiba menjadi redup, kemudian mendung hitam datang
bersama badai di langit.
Mendung hitam bergulung- gulung membuat bumi makin temaram. Sinar matahari tak
mampu menembus kepekatan warna hitam sang mendung. Angin bumi pun bertiup
kencang. Jubah dan rambut sang kakek berkelebat, demikian pula rambut Pen-dekar
Mabuk yang meriap-riap dihempas angin kencang.
Kakek itu tertegun sebentar,
wajahnya berubah menjadi penuh sesal, seperti punya perasaan bersalah. Suto
Sinting sudah tak heran lagi dengan keadaan alam yang tiba-tiba menjadi seperti
mau kiamat itu, karena memang begitulah keadaan yang terjadi jika seseorang
menyebutkan nama Wijayasura, eyang gurunya Gila Tuak, yang sebenarnya menjelma
menjadi bumbung tuaknya Suto itu.
"Maaf, aku telah
menyebutkan namanya. Aku tak berani bicara tentang beliau lagi," kata kakek
itu. "Yang jelas, aku tahu betul silsilah guru-gurumu sampai kepadamu,
tapi aku tak berani beberkan. Takut alam menjadi murka." (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Pedang Guntur Biru").
Dalam hati Suto merasa
beruntung bisa bertemu kakek itu. "Ilmunya pasti sedikit lebih rendah dari
guruku. Aku bisa minta bantuan padanya untuk mengalahkan Bandar Hantu Malam.
Kurasa dia pasti mau membantuku, aku yakin dia orang sakti beraliran
putih."
"Apa yang kau renungkan,
Nak?" tanya kakek itu. Suto menggeragap malu, lalu menjawab, "Aku
sedang memikirkan persoalan
yang kau hadapi bersama Nini Pancungsari itu, Kek. Aku tak habis pikir, mengapa
Nini Pancungsari selalu menyebutkan manusia bodoh dan berkamauan keras untuk
membunuhmu?"
"Itu persoalan lama. Aku
pernah mengalahkan suaminya, dan ia menyimpan dendam serta ingin menebus
kematian suaminya dengan nyawaku. Lupakan tentang itu. Sekarang kalau boleh
kutahu, ada urusan apa kau datang ke lereng gunung ini? Apakah hanya kebetulan
lewat saja atau memang punya tujuan lain?"
"Aku ingin mencari Bandar
Hantu Malam, Kek!" Kakek beralis tebal dan putih itu berkerut dahi
dengan tajam, ia menggumam,
"Bandar Hantu
Malam...?!"
"Benar. Apakah kau
mengenalnya?"
Kakek itu manggut-manggut
seperti ragu menjawab. "Hmmm... yah, aku mengenalnya. Tapi untuk apa kau
mencari Bandar Hantu Malam?
Apakah kau punya urusan dengan Bandar Hantu Malam?"
"Benar!"
"Kau sudah pernah bertemu
dengan Bandar Hantu
Malam?"
"Belum. Justru itu aku
ingin minta tolong padamu untuk mempertemukan aku dengan Bandar Hantu Malam
jika kau tahu di mana pondoknya berada. Yang kudengar, ia tinggal di puncak
gunung ini, tapi di sebelah mana aku kurang tahu secara pasti. Apakah kau bersedia
menolongku mempertemukan dengan Bandar Hantu Malam?"
"Sangat bersedia, karena
kebetulan kau sudah berhadapan dengan Bandar Hantu Malam," jawab kakek itu
membuat Suto menjadi heran, sangsi, dan bingung.
"Maksudmu bagaimana.
Kak?"
"Akulah yang bernama Bandar
Hantu Malam!" Deeg...! Jantung Suto bagaikan tersentak kuat dan
berhenti sekejap.
Dipandanginya wajah tua kakek yang
membuat hatinya terkagum-kagum
itu. Ia berharap salah dengar, ia bagai tak mau percaya bahwa yang dihadapinya
itu adalah orang yang dicari-cari, yaitu
Bandar Hantu Malam.
*
* *
6
PENDEKAR Mabuk dibawa oleh
kakek yang mengaku bernama Bandar Hantu Malam itu ke pondoknya. Letak pondok
itu hampir mendekati puncak gunung. Suasana di sekitarnya berkabut dan berhawa
dingin. Pondok itu dibangun dari belahan kayu-kayu pohon yang sangat sederhana
tapi tampak kokoh. Rupanya di situ sang kakek hidup seorang diri, konon ia
mengasingkan diri dari keramaian kehidupan di muka bumi.
"Julukan itu sudah lama
melekat dalam kehidupanku," kata sang kakek. "Namaku sebenarnya
adalah Randu Papak. Ada yang memanggilku dengan sebutan Ki Randu Papak. Namun
sejak hidupku sesat,
aku mendapat julukan dari para
tokoh rimba persilatan dengan nama Bandar Hantu Malam. Waktu itu, aku memang
seperti hantu yang bergentayangan menyebarkan maut di malam hari. Pengaruh
ilmu-ilmu dari guruku; Ki Warok Guci Wangsit, membuat hidupku menjadi sesat dan
berpisah dengan gurumu; si Gila Tuak. Aku pun sempat dibenci oleh Gila Tuak.
Namun sejak aku menikah dengan istriku tercinta, aku bisa merubah sikap dan
menyadari kesesatanku. Lalu, aku berhenti menjadi manusia sesat demi istriku
tercinta. Sayang sekali dia lebih dulu pergi menghadap Yang Maha Kuasa.
Sekalipun begitu, aku tetap menjaga sikapku untuk tetap menjadi orang baik,
supaya roh istriku tidak menangis di alam sana," tutur Ki Randu Papak
dengan wajah murung dicekam duka karena terkenang istrinya.
Suto Sinting memperhatikan tak
berkedip. Pikirannya sempat dibuat kacau oleh pendapat dan kesimpulannya
sendiri. Tapi untuk sementara waktu ia sengaja tidak banyak bicara, karena ia
ingin dengar semua pengakuan Ki Randu Papak.
"Sekalipun aku sudah menjadi
orang baik, tapi julukan itu sepertinya masih melekat pada diriku, sehingga
sampai sekarang masih banyak yang memanggilku dengan julukan Bandar Hantu
Malam. Padahal aku lebih suka jika dipanggil dengan nama Ki Randu Papak saja.
Di sini aku mengasingkan diri, sekadar untuk membuat mereka lupa dengan nama
Bandar Hantu Malam. Ternyata cara itu belum bisa
dikatakan berhasil, buktinya
kau datang kemari dan mencariku dengan nama Bandar Hantu Malam. Mau tak mau aku
harus mau menyandang julukan yang sudah tak kusukai itu. Aku sengaja
mengasingkan diri di sini untuk menebus tingkah lakuku masa lalu dan menjauhi
pertikaian dengan siapa pun. Tapi nyatanya masih ada yang mengusikku, seperti
halnya Nini Pancungsari dan yang lainnya."
"Aku pernah melihatmu
bertarung di seberang
Puncak Karang, Ki."
"Ya. Beberapa waktu yang
lalu aku memang terlibat pertikaian dengan seseorang di sana. Aku mencoba untuk
tidak melawan, tapi aku hampir saja mati konyol, sehingga mau tak mau
memberikan balasan sekadar mengusirnya."
Suto Sinting tarik napas
dalam-dalam. Tak tega untuk utarakan maksud sebenarnya. Tapi Ki Randu Papak
memaksanya bicara dengan ajukan pertanyaan,
"Apa perlumu mencari dan
menemuiku, Suto?" Dengan gelisah dan susah payah akhirnya Suto
menjawab, "Aku diutus oleh
Ratu Asmaradani untuk...."
"Siapa itu Ratu
Asmaradani?" potong Ki Randu Papak dengan dahi berkerut dan wajah penuh
keheranan. "Ratu yang menguasai negeri Ringgit Kencana di dasar laut.
Apakah kau tidak pernah jumpa dengannya?"
pancing Suto.
"Mendengar namanya saja
baru sekarang," jawab Ki Randu Papak. "Apa tugas yang kau emban dari
ratu itu?" Kembali Pendekar Mabuk dibuat bingung oleh
jawaban yang harus diberikan
kepada Ki Randu Papak. Hatinya segera membatin, "Jangan-jangan Asmaradani
salah menyebutkan namanya? Bandar Hantu Malam tak punya tanda-tanda melakukan
perbuatan sejahat itu. Tutur katanya yang berwibawa dan berkesan ramah,
sikapnya yang tenang dan penuh kharisma, membuatku tak yakin dengan penjelasan
Ratu Asmaradani. Apa benar orang sebijak ini memaksa Ratu Asmaradani untuk
menjadi istrinya dengan cara melukai sang Ratu sekejam itu? Ah, batinku menjadi
bimbang sekali. Tak tega untuk menjelaskan kepada Ki Randu Papak."
Karena jawaban Suto yang
ditunggu-tunggu tak datang jua, maka Ki Randu Papak pun kembali perdengarkan
suaranya.
"Aku melihat kebimbangan
di matamu, Suto. Ada baiknya jika kau katakan saja terus terang padaku, apa
yang menjadi tugasmu sebagai utusan Ratu Asmaradani itu? Setidaknya aku akan
mempertimbangkan segala sesuatunya, karena kau adalah murid sahabatku, aku punya
kewajiban membantumu. Apalagi kau tadi kuanggap telah selamatkan jiwaku dengan
tuakmu itu, jadi aku juga harus balas kebaikanmu itu dengan kebaikan pula.
Katakanlah, Suto, jangan ragu!"
Tapi Pendekar Mabuk tetap tak
tega mengatakan yang sebenarnya, ia hanya bisa memancing dengan
pertanyaan-pertanyaan yang nanti akan bisa disimpulkan sendiri oleh
kecerdasannya.
"Apakah... apakah Ki
Randu Papak mempunyai jurus
'Racun Siluman'?"
Pertanyaan itu membuat Bandar
Hantu Malam tarik kepala sedikit ke belakang, ia terperanjat dan tak menduga
akan mendapat pertanyaan seperti itu. Karenanya, ia diam untuk sesaat, setelah
itu baru menjawab dengan suara pelan.
"Ya, memang aku mempunyai
jurus 'Racun Siluman' warisan dari guruku: Ki Warok Guci Wangsit. Tapi jurus
itu tidak pernah kugunakan sejak aku meninggalkan kehidupan sesatku. Jurus itu
juga tak bisa kuberikan kepada siapa pun, Suto. Sebab aku takut orang itu akan
menggunakan jurus 'Racun Siluman' untuk perbuatan- perbuatan yang
tercela."
Pendekar Mabuk membatin,
"Dari kesimpulan jawaban yang ini saja sudah bisa diketahui, bahwa Ki
Randu Papak tak ingin lakukan kejahatan dengan menggunakan jurus itu. Tapi
mengapa Ratu Asmaradani mengatakan, bahwa orang yang mencelakainya dengan
'Racun Siluman' itu adalah
Bandar Hantu Malam?" Diamnya Pendekar Mabuk membuat Ki Randu Papak
punya dugaan lain, sehingga
akhirnya ia bertanya, "Apakah kau ingin memiliki jurus itu?"
Suto malahan punya gagasan
untuk alihkan pembicaraan agar tak ketahuan menaruh kecurigaan kepada sang tokoh
sakti itu.
"Seandainya aku ingin
memiliki jurus itu, bagaimana?"
"Perlu kutanyakan dulu
untuk apa?"
"Hmmm...," Suto
berpikir sejenak. "Untuk... untuk melawan seorang tokoh sesat,"
jawabnya hanya sekadar
mencari alasan yang sebenarnya
tidak dimiliki oleh hatinya. Tapi alasan itu ditanggapi oleh Bandar Hantu Malam
dengan kata-kata yang cukup jelas dan tenang.
'Tokoh sesat yang mana
maksudmu? Setahuku, di dunia ini banyak tokoh sesat. Tapi aku yakin ilmu
kesaktianmu cukup mampu kalahkan mereka. Tak perlu gunakan jurus 'Racun
Siluman'. Apakah kau punya lawan yang tak bisa kau kalahkan?"
Tiba-tiba otak Suto segera
teringat dengan lawan yang sampai sekarang masih dalam pengejarannya. Maka Suto
pun menjawab dengan tegas,
"Ya. Ada lawan yang belum
bisa kukalahkan karena licin seperti belut, dan dia sangat tinggi ilmunya.
Tokoh sesat itu adalah Siluman Tujuh Nyawai"
"Durmala Sanca,
maksudmu?"
"Ki Randu Papak tahu nama
asli tokoh itu rupanya?" Bandar Hantu Malam manggut-manggut "Sudah
kukatakan, aku tahu silsilah
guru-gurumu, sampai pada anak-anak Purbapati dan Nini Galih, guru dari si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang itu. Purbapati dan Nini Galih mempunyai tujuh anak,
tapi yang hidup hanya tiga orang, yaitu Durmagati, Begawan Sangga Mega, dan
Raja Nujum. Durmagati mempunyai anak Wicara Sanca dan Durmala Sanca. Tetapi
Durmala Sanca menjadi manusia sesat, dan berjuluk Siluman Tujuh Nyawa, ia
membunuh kakaknya sendiri, juga ayah ibunya dibunuhnya pula. Durmala Sanca
terkena kutuk dari kakeknya menjadi orang sesat selama tiga ratus tahun, karena
ia memperkosa neneknya sendiri. Sekarang usia
Durmala Sanca atau Siluman
Tujuh Nyawa baru mencapai dua ratus lima belas tahun, jadi ia masih punya waktu
menjadi orang sesat selama delapan puluh lima tahun lagi."
Suto manggut-manggut,
membenarkan cerita itu, karena ia pernah mendengar cerita tersebut dari mulut
Hantu Laut yang tak sadar akan segala apa yang diucapkannya itu, (Baca serial
pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").
"Kalau kau ingin kalahkan
Siluman Tujuh Nyawa," kata Ki Randu Papak alias Bandar Hantu Malam,
"Kau harus gunakan sebuah senjata khusus yang bernama Pedang Kayu
Petir."
"Pedang Kayu Petir?"
ucap Suto mengingat-ingat nama pusaka itu.
"Pemilik pusaka Pedang
Kayu Petir adalah Resi
Wulung Gading, anak dari
adiknya Nini Galuh, istri
Purbapati yang diperkosa oleh
Durmala Sanca itu!"
Suto Sinting kian tertegun
bengong. Tapi semua kata- kata Bandar Hantu Malam itu dicatat dalam otaknya dan
diresapinya. Bahkan Bandar Hantu Malam tambahkan kata,
"Jika kau ingin dapatkan
Pedang Kayu Petir, kau harus temui Resi Wulung Gading dan meminjamnya. Karena
pedang itu mungkin tak akan diberikan atau diturunkan oleh siapa pun. Resi
Wulung Gading tinggal di Lembah Sunyi, sebelah selatan gunung ini arahnya.
Kusarankan pergilah ke sana dan temui Resi Wulung Gading lebih dulu sebelum kau
hadapi Siluman Tujuh
Nyawa."
Kejadian ini sungguh aneh bagi
Suto Sinting. Orang yang dicari dan dianggap sebagai lawannya, sekarang justru
memberikan jalan keluar untuk melawan musuh utamanya. Semestinya Pendekar Mabuk
memaksa Bandar Hantu Malam untuk mengobati Ratu Asmaradani, jika tidak mau maka
Suto Sinting harus mengalahkannya dalam pertarungan. Tetapi kenyataan itu
ternyata sangat berat dilakukan oleh Suto Sinting, ia merasa seperti diharuskan
melawan orang baik dan bijak. Kalau dia bukan seorang pendekar, maka hal itu
sangat mudah dilakukan. Tapi jiwa pendekar yang ada di dalam darah Suto itu
membuat ia tak mampu bertarung dan membunuh orang bijak seperti Ki Randu Papak.
"Kejahatan memang harus
dibantai dan dihilangkan, tapi pelaku kejahatan tidak harus dibumi-hanguskan.
Karena seseorang yang berbuat jahat, berjalan di jalur yang sesat, suatu saat
akan kembali sebagai manusia sejati manakala kesadaran hati nuraninya telah
timbul kembali. Jadi kalau kau mau bertarung melawan siapa saja, kalahkanlah
kejahatannya tanpa harus mematikan pelakunya."
Petuah Bandar Hantu Malam
itulah yang membuat Suto Sinting menilainya sebagai orang bijak. Bahkan ketika
Suto memancingnya dengan pertanyaan,
"Apakah Ki Randu Papak
tidak ingin menikah lagi?" Tokoh tua itu menjawab, "Usiaku tinggal
beberapa
saat lagi. Kalau aku menikah
lagi dan mempunyai istri, maka pada saat kutemui ajalku aku sama saja
mengecewakan istriku. Jadi
menurutku lebih baik bersuci diri agar punya persiapan menyambut datangnya
kematian nanti."
"Tapi perkawinan dan
kemesraan itu dibutuhkan setiap orang sampai saat ia menjelang dimakamkan,
Ki." "Orang yang memburu perkawinan menjelang saat dimakamkan adalah
orang yang tidak sadar telah melukai hati pasangannya," jawab Bandar Hantu
Malam. "Bukankah kematian itu sudah merupakan suatu kepastian dalam
perjalanan hidup kita. Seandainya toh kematian itu tiba pada saat kita baru
menikah dua
purnama, itu toh bukan
kesalahan kita, Ki?"
"Itu kesalahan kita,
sebab kita tidak punya perhitungan ke masa depan, yaitu masa-masa setelah kita
mati dan meninggalkan istri."
Suto Sinting mencoba lagi
memancingnya dengan pertanyaan, "Kurasa orang setua Ki Randu Papak masih
bisa mencari wanita cantik dan muda."
"Hanya perempuan bodoh
yang mau menikah dengan lelaki setua diriku dan semiskin aku ini."
"Bisa saja terjadi, kalau
wanita itu terancam
keselamatannya, mau tak mau
dia menerima lamaran si lelaki."
"Cinta yang hadir karena
ancaman tidak pernah punya nilai kehidupan dan kebahagiaan yang hakiki. Sama
saja kita memuaskan diri dengan diri sendiri. Cinta yang timbul karena ancaman
hanya akan menghadirkan sejuta kecemasan dan kecurigaan. Pada akhirnya yang
diperoleh hanyalah kesia-siaan."
Lewat percakapan itulah Suto
Sinting akhirnya mempunyai kecurigaan terhadap Ratu Asmaradani. Dalam hatinya
Suto Sinting berkata,
"Jangan-jangan Ratu
Asmaradani memfitnah Bandar Hantu Malam karena suatu alasan yang tak kuketahui?
Jangan-jangan Ratu Asmaradani punya dendam kepada Bandar Hantu Malam, tapi tak
bisa mengalahkannya, sehingga ia menggunakan tanganku untuk membalaskan
dendamnya itu? Sebab menurut hasil percakapanku tadi, Bandar Hantu Malam bukan
laki-laki yang gila wanita, ia tak ingin melukai hati wanita, bahkan perkawinan
di ambang kematian dianggapnya suatu perbuatan keji, yaitu mengecewakan dan
melukai hati sang istri. Bandar Hantu Malam juga menganggap cinta yang hadir
karena ancaman hanya akan menghadirkan penderitaan batin yang terselubung
senyum bagi keduanya. Jadi menurutku, Bandar Hantu Malam sebenarnya tidak
melakukan apa-apa kepada Ratu Asmaradani. Dia bukan orang jahat dan kejam
seperti yang diceritakan Ratu negeri Ringgit Kencana itu. Aku tak bisa melukai
orang seperti dia."
Melihat kenyataan seperti itu,
Suto Sinting merasa perlu menemui Ratu Asmaradani dan mengungkapkan isi
hatinya. Tapi terlebih dulu ia ingin sempatkan singgah ke Lembah Sunyi untuk
temui Resi Wulung Gading, ia ingin perkenalkan diri kepada tokoh sakti yang
termasuk keponakan Eyang Nini Galih, yaitu guru dari Bidadari Jalang.
Menurut penjelasan Bandar
Hantu Malam, padepokan
Resi Wulung Gading terletak di
seberang sungai berair kuning, alias sungai belerang. Sungai air kuning itu kini
telah ditemukan Pendekar Mabuk, tinggal mencari jembatan untuk menyeberangi
sungai tersebut dan mencari padepokan itu.
Karena jembatan penyeberangan
itu tidak ditemukan oleh Pendekar Mabuk, maka ia terpaksa memetik beberapa daun
yang lebarnya seukuran telapak tangan. Dengan melemparkan daun-daun itu ke
permukaan sungai, Suto melompat dari daun ke daun menggunakan ilmu peringan
tubuhnya. Sambil berpijak pada daun yang satu, daun yang lain dilemparkan ke
depan dan menjadi pijakan berikutnya. Cara itulah yang membuat Pendekar Mabuk
tiba di seberang sungai.
"Ilmunya cukup tinggi?
Siapa dia?" gumam hati seseorang yang berada di balik kerimbunan pohon
bambu. Rupanya kehadiran Suto ke tanah Lembah Sunyi sudah diperhatikan oleh
seseorang sejak tadi. Orang tersebut juga melihat kehebatan Suto menyeberang
sungai tanpa gunakan jembatan, dan hanya melompati daun-daun selebar telapak
tangan. Orang yang bersembunyi itu menjadi kagum dan panasaran, lalu mengikuti
langkah Suto secara diam-diam.
Tetapi Pendekar Mabuk bukan
orang bodoh, ia mampu dengarkan suara detak jantung seseorang yang ada dalam
jarak dua puluh langkah lebih dalam kitaran sekelilingnya. Suara jantung itu
berdetak-detak cepat bagaikan orang dalam ketegangan. Jika detak jantung itu
cepat, maka Suto dapat menyimpulkan orang yang
menguntitnya pasti punya
maksud tak baik. Maksud tak baik itulah yang menegangkan jiwanya dan memacu
jantung menjadi deg-degan. Karena itu, Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah
dan berpura-pura menenggak tuak dalam bumbung bambunya. Tapi pada saat itu
sebenarnya mata Suto melirik ke arah datangnya suara detak jantung.
"Hmmm... dia ada di balik
pohon berakar gantung itu," pikir Suto dengan sikap masih tenang,
seakan-akan tak merasa curiga apa-apa. "Kulihat di sana ada potongan pohon
kering yang akarnya masih terpendam. Aku harus manfaatkan batang pohon kering
itu agar orang tersebut terkecoh oleh tingkahnya sendiri."
Pendekar Mabuk tetap melangkah
dengan kalem, tapi arahnya membelok ke kumpulan bambu Wulung lainnya. Di situ
memang banyak tanaman bambu Wulung yang menggerombol di sana-sini, hidup dengan
liar tanpa ada yang merawat.
Slaap..!
Suto Sinting segera berlindung
di balik kerimbunan pohon bambu itu. Orang yang mengikutinya sempat dibuat
bingung sesaat. Matanya mencari-cari Suto dengan rasa penasaran. Tapi kejap
berikutnya ia menjadi lega karena orang yang diikutinya kembali terlihat oleh
pandangan mata. Orang tersebut melihat Suto sedang duduk merenungkan sesuatu di
seberang serumpun bambu.
Orang itu menunggu tindakan Suto
selanjutnya, ia memperhatikan terus ke arah Suto dengan hati bertanya-
tanya karena tak mengenai
siapa orang yang diikutinya itu.
"Jangan-jangan ia sedang
memikirkan sesuatu yang
dapat membuat suasana lebih
kacau lagi? Kurasa... kurasa dia mata-mata yang bingung mencari jalan untuk
menyusup," pikir orang itu. ''Sebaiknya kuserang dulu orang itu, supaya ia
panik dan akhirnya mengaku apa yang sedang dilakukannya dan siapa dirinya. Aku
tak mau kalah gerak dengannya."
Orang berpakaian hitam dengan
rambut ikal sebatas tengkuk dan berusia sekitar tiga puluh tahun itu segera
mencabut senjatanya. Sebuah golok bergagang hitam telah tergenggam di tangannya
sebagai persiapan datangnya bahaya pada saat lakukan gertakan nanti.
Tetapi orang kurus itu
tiba-tiba terkajut setelah rasakan ada seseorang yang mencoleknya dari
belakang. Mulanya ia menyangka yang mencolek itu teman sendiri, sehingga tanpa
berpaling ia segera berkata lirih,
"Diam dulu! Aku sedang
perhatikan orang itu. Kurasa dia mata-mata! Sergap saja dia dan paksa supaya
mengaku. Setuju?"
Orang yang mencoleknya itu
menjawab, "Tidak." Jawaban tersebut membuatnya merasa aneh dan
akhirnya berpaling ke
belakang. Maka seketika itulah orang berpakaian hitam itu mendelik dan menjadi
gagap karena orang yang mencoleknya ternyata orang yang sedang diintainya. Suto
Sinting sudah berdiri di belakang orang itu dengan senyum ramah dan sikap
tenangnya. Orang itu tidak tahu kalau Suto Sinting telah pergunakan
sebuah ilmu kesaktiannya yang
bernama ilmu 'Seberang Raga', yaitu sebuah ilmu yang mampu membuat benda atau
makhluk apa pun bisa menyerupai dirinya, ilmu itu sering digunakan untuk menipu
lawannya apabila Suto merasa tidak ingin melayani orang tersebut.
Tetapi kali ini Suto
pergunakan ilmu itu untuk mengecoh penguntitnya, sekaligus suatu pernyataan
bahwa orang itu tak perlu menguntitnya, karena ia bisa saja berbuat tak baik
jika ia inginkan. Dengan mencolek orang tersebut Suto berharap bahwa orang itu
menyadari kekalahannya, dan mengakui keunggulan Suto yang mampu mengecoh
dirinya.
"Kampret! Orang ini sudah
berada di belakangku?" pikir si baju hitam. "Kalau dia tadi tahu-tahu
menyerangku, aku bisa mati sejak tadi. Tapi agaknya ia tak mau lakukan hal itu?
Lantas...? Lantas siapa yang ada di seberang sana tadi?"
Orang itu berpaling memandang
ke arah Suto yang tadi dilihatnya duduk merenung, ia terkejut, karena ternyata
apa yang dilihatnya sebagai Suto adalah sebatang kayu pohon kering yang tumbang
dan tersisa sebatas perut. Orang tersebut menjadi gemataran kaki dan tangannya.
Wajahnya pucat, napasnya tampak lebih cepat dari biasanya.
"Mana mata-mata yang kau
maksud tadi?" goda Suto
Sinting.
"Hmmm... eh... anu... eh,
ini!" jawabnya sambil memegang kedua matanya sendiri. Orang itu takut,
malu, dan terheran-heran, sehingga tak mampu menjaga
ketenangan batinnya.
"Mengapa kau
mengikutiku?"
"Hmm... anu... hanya...
hanya sekadar... hanya kebetulan saja."
"Tapi kudengar kau tadi
menyangkaku sebagai mata- mata? Mata-mata dari mana maksudmu?"
"Dar... dari... yah, dari
mana sajalah," jawabnya salah
tingkah.
Suto lebarkan senyum geii.
Matanya melirik ke golok yang digenggam orang itu. Suto pun bertanya,
"Untuk apa golok itu?"
"Untuk... hmmm... yah...
anu... untuk tebang-tebang bambu," jawabnya, lalu ia menebang bambu yang
ada di dekatnya. Tapi hanya anak bambu yang ditebanginya sebagai tindakan salah
tingkah pada diri sendiri. Suto Sinting akhirnya tertawa geli walau tanpa
suara.
"Siapa namamu,
Sobat?" tanya Suto mengakrabkan diri.
"Dul," jawabnya
singkat tanpa berani memandang. "Dul siapa?"
"Dul ya Dul,"
jawabnya makin merasa terpojok, ia
berhenti menebangi anak bambu
dan memasukkan goloknya. Lalu tanpa memandang lagi ia pergi meninggalkan Suto
Sinting, ia merasa lebih baik segera tinggalkan tempat itu karena merasa cemas
kalau-kalau orang yang tadi dikuntitnya tiba-tiba menyerang ganas. Dalam
hatinya mengakui bahwa orang yang dikuntitnya itu ilmunya sangat tinggi, tidak
sebanding dengan ilmunya sendiri.
Mulanya Dul melangkah
pelan-pelan, berlagak santai. Makin lama melirik ke belakang, melihat Suto
masih di tempat memandanginya. Langkahnya sedikit cepat, tapi masih dibuat
sesantai mungkin. Lama-lama, wuuut..! ia melarikan diri secepat-cepatnya dan
ingin memberitahukan kehadiran Suto kepada seorang teman.
Zlaaap...!
Suto pun cepat tinggalkan
tempat, bergerak bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Dalam waktu singkat
ia sudah bisa tiba di jalanan yang sedang dituju oleh Dul tadi. Sedangkan Dul
berlari sambil sesekali memandang ke belakang, merasa aman dan lega karena ia
tidak dikejar oleh orang yang dianggapnya mata-mata itu. Hanya saja, ketika ia
kembali memandang ke depan, ia menjadi sangat terkejut karena Suto Sinting
ternyata sudah berdiri di tengah jalan dalam jarak kurang dari lima langkah.
"Hahhh...?!" ia terpekik
lirih tanpa sengaja. Hatinya membatin, "Orang itu tahu-tahu sudah ada di
depanku? Kurang ajar! Gerakannya sangat cepat. Jangan-jangan dia bukan
manusia?"
"Kau tak perlu melarikan
diri, Sobat. Aku bukan orang jahat seperti dugaanmu. Aku datang kemari untuk
mencari padepokannya Resi Wulung Gading."
Dul tampak terperanjat dan
lebih tegang lagi. "Sssi... siapa kau?"
"Namaku Suto Sinting. Kau
boleh memanggilku Suto saja." Wajah dan senyum Pendekar Mabuk dipamerkan
seramah mungkin agar Dul tidak merasa takut.
"Untuk apa kau mencari
padepokan kami?" tanya
Dul. Suto sedikit berkerut
dahi, lalu segera bertanya, "Apakah kau orangnya Resi Wulung Gading?"
"Hmmm... eeh... iya... eh, tidak! Eh... anu... iya...!"
Agaknya Dul serba salah dalam
menjawab pertanyaan itu. Ada kecemasan lain yang ditemukan Suto di balik
pancaran mata orang kurus itu. Ada niat berlindung demi keselamatan dari
jawaban tersebut. Suto Sinting menjadi curiga dan bertanya dengan mendekati si
Dul, sedangkan si Dul mundur dua langkah penuh kecemasan.
"Mengapa kau kelihatannya
tegang sekali? Kau takut mengakui sebagai orangnya Resi Wulung Gading. Ada apa
sebenarnya, Dul?"
"Hmm... eh... tidak ada
apa-apa," jawab Dul masih serba bingung.
"Katakan saja terus
terang. Sekali lagi kukatakan
padamu, aku bukan orang jahat.
Aku datang ingin bertamu kepada Resi Wulung Gading secara baik-baik. Justru
kalau kau punya kesulitan aku siap membantumu, Dul. Karena ketahuilah, bahwa
Resi Wulung Gading adalah keponakan dari Eyang Guruku, yaitu Eyang Nini Galih.
Tentunya kau pernah mendengar nama Eyang Nini Galih, bukan?"
Napas si Dul terhempas panjang
menandakan rasa lega. Wajahnya tidak setegang tadi. Berangsur-angsur ia menjadi
tenang, karena Suto menyebut-nyebut nama Eyang Nini Galih yang dikenal oleh Dul
melalui cerita Resi Wulung Gading, ia mulai percaya bahwa Suto bukan orang
jahat.
"Maaf, aku terpaksa
curiga padamu dan merasa takut. Karena kami baru saja mengalami musibah."
"Musibah bagaimana,
maksudmu?"
Dul diam sebentar, wajahnya
mulai kelihatan sedih. Akhirnya ia berkata sambil melangkah, "Ikutlah aku
ke padepokan...."
Suto akhirnya mengikuti Dul
dari belakang. Agaknya Dul tak mau diajak bicara, karena ia berjalan dengan
cepat menuju padepokan dengan rona wajah dukanya. Suto Sinting hanya
bertanya-tanya dalam hati tanpa mau mencoba menanyakan beberapa hal kepada Dul,
sebab tadi dua kali Suto bertanya tentang sesuatu, tapi Dul diam saja dan tetap
melangkah.
Bau busuk sudah sejak tadi
menyebar dan tercium oleh Suto Sinting. Makin mendekati padepokan semakin tajam
baunya. Hati Pendekar Mabuk sudah menaruh curiga sejak awal terciumnya bau
busuk. Kecurigaannya itu ternyata benar, bahwa di padepokan terdapat mayat
dalam jumlah banyak yang belum sempat dikubur. Ada yang di luar gerbang
padepokan, ada di depan pintu gerbang, dan semakin masuk ke dalam halaman
padepokan semakin banyak mayat yang dilihat Suto Sinting.
Seorang lelaki seusia Dul
datang dari samping gerbang. Orang itu berlumur tanah liat dan napasnya
terengah-engah. Matanya memandang curiga pada Suto.
"Kita kedatangan tamu,
Sukat. Tapi tamu kita ini orang baik-baik," kata Dul kepada temannya yang
agaknya habis melakukan kerja keras itu. Sukat terpaksa
anggukkan kepala dan tersenyum
ramah namun kaku. Suto membalas dengan kaku pula, sebab hatinya masih
bertanya-tanya melihat keadaan di padepokan itu amat berantakan. Tembok-tembok
jebol, pagar ambrol, tiang dan pohon tumbang. Keadaan padepokan seperti habis
mengalami kiamat. Mayat bergelimpangan di sana-sini, membusuk dan menjijikkan.
"Beginilah keadaan
padepokan kami," kata Dul dengan nada sedih.
"Siapa yang membantai
mereka itu? Siapa yang mengobrak-abrik tempat ini?"
"Entahlah," jawab
Dul. "Tadi pagi kami tiba dari
bepergian kami yang diutus
Guru Resi Wulung Gading ke pesisir kidul untuk temui seseorang di sana. Kami
pergi selama lima hari. Ketika kami tiba di sini keadaan sudah seperti ini.
Teman kami mati semua. Sampai sekarang kami belum selesai menguburkan mereka.
Kami capek dan terlalu sedih melihat kenyataan ini."
Sukat menimpali kata,
"Waktu kami tiba, masih ada yang bertahan hidup dalam luka parah. Dia
sempat memberi tahu bahwa musibah ini terjadi dua hari yang lalu. Seseorang
telah datang dan mengamuk ganas di sini."
"Mana temanmu yang terluka
parah itu? Aku ingin menanyainya."
"Tidak bisa," jawab
Sukat dengan sedih. "Hanya menanyakan sesuatu saja." "Tetap
tidak bisa."
"Kenapa?"
"Karena dia sudah pergi,
nyawanya terbang sebelum siang tiba," jawab Sukat yang berambut cepak dan
berwajah cengeng itu. Ia menangis walau tak terdengar suara isakannya.
"Apakah dia tahu siapa
orang yang membantai teman-temanmu ini?"
Dul yang menjawab, "Menurut
keterangannya, orang
itu berjuluk Bandar Hantu
Malam. Datangnya pada malam hari."
Seketika itu alis mata Suto
beradu, dahi berkerut, dan mata menatap tajam, ia sangat terkejut mendengar
nama itu disebutkan oleh si Dul. Ia hampir-hampir tidak mempercayainya. Dengan
segera napas pun ditarik dan dihirup panjang-panjang. Suto menahan getaran
hatinya yang bergemuruh karena mendengar nama Bandar Hantu Malam.
"Resi Wulung Gading
sendiri bagaimana?"
Dul geleng-geleng kepala.
"Mungkin tewas di tempat lain, mungkin diculik oleh Bandar Hantu Malam,
atau mungkin bersembunyi di suatu tempat yang tidak kami ketahui."
Sukat menambahkan kata,
"Menurut cerita teman kami yang sekarang sudah meninggal itu, Bandar Hantu
Malam menyerang sendirian, membantai siapa saja yang ditemuinya. Tapi pada
waktu itu, guru kami memang tidak ada di tempat. Katanya sedang semadi di Gua
Getah Tumbal."
"Di mana itu Gua Getah
Tumbal?"
"Kami berdua tidak tahu.
Makanya kami tidak bisa
mencari di mana Guru berada.
Teman kami ini tidak jelaskan di mana letak Gua Getah Tumbal, ia sudah pergi
meninggalkan dunia," jawab Sukat dengan nada sedih sekali.
Suto Sinting tertegun dengan
hati iba bercampur gusar. "Apa yang harus kulakukan kalau begini?"
pikirnya dalam kegusaran itu.
*
* *
7
SANGAT wajar jika pikiran
Pendekar Mabuk menjadi kacau bagaikan benang-benang kusut. Di matanya ia
melihat Bandar Hantu Malam adalah orang bijak yang bersikap tenang, berwibawa,
namun tidak angker. Di matanya, Bandar Hantu Malam adalah orang yang mengagumkan.
Tapi kini Suto harus menghadapi kenyataan yang senada dengan cerita Ratu
Asmaradani, bahwa Bandar Hantu Malam orang kejam dan jahat.
"Berarti pada saat
kemarin aku bertamu dengan Bandar Hantu Malam, rupanya ia baru saja pulang dari
membantai semua murid Resi Wulung Gading. Pantas ia mendesakku untuk mampir ke
padepokan Resi Wulung Gading, rupanya ia ingin unjuk gertakan terhadapku
tentang kekejamannya yang bagai orang tak kenal ampun terhadap sesama."
Suto Sinting sengaja hentikan
perjalanannya yang sudah jauh dari padepokan Resi Wulung Gading, ia
sengaja duduk di bawah pohon
rindangan dengan satu kaki melonjor dan satu kaki ditekuk, memijak tanah, ia
perlu merenungkan kenyataan tersebut agar tak sampai salah langkah jika lakukan
sesuatu.
"Kakek itu memang
mengagumkan sekali. Bukan hanya ilmunya, tapi juga kepura-puraannya. Hampir
saja ia tampil sebagai tokoh bijaksana yang baik hati dan layak dihormati
secara utuh. Kuakui, aku telah tertipu mentah-mentah oleh kepura-puraannya.
Jika Bandar Hantu Malam atau Ki Randu Papak itu orang baik-baik, tentunya ia
tidak diserang oleh Nini Pancungsari, ia juga tidak lakukan pertarungan di
seberang Puncak Karang, tempo hari. Tentunya rakyat desa Pucangan pun tidak
menaruh curiga padanya. Ah, bodohnya diriku ini. Mengapa aku mudah mempercayai
kata-katanya? Mengapa aku tidak bisa melihat kepura-puraannya?"
Sebatang rumput dicabut,
dihisap-hisap sarinya sebagai keisengan dalam lakukan renungan tersebut. Suto
Sinting mengecam dirinya sendiri yang dianggap bodoh dan mau saja dibodohi.
"Ratu Asmaradani tak
mungkin menipuku jika kekejian Bandar Hantu Malam tidak benar-benar terjadi.
Lalu, Dul dan Sukat..., apa urusannya, apa untungnya mereka berbohong padaku?
Kurasa mereka bicara yang sebenarnya. O, ya... aku ingat ancaman Nini
Pancungsari saat perempuan itu belum pergi, ia berjanji untuk membalas dendam
kepada Bandar Hantu Malam dengan nyawa, ia menganggap Bandar Hantu Malam
berhutang nyawa padanya. Apakah Nini Pancungsari punya
hubungan dengan pihak
padepokan Resi Wulung Gading? Apakah gara-gara pembantaian itu maka Nini
Pancungsari bersikeras menghabisi Bandar Hantu Malam? Atau mungkin Nini
Pancungsari ada di pihak lain yang merasa dirugikan seperti kerugian yang
dialami Resi Wulung Gading?"
Siang dibiarkan kian tenggelam.
Matahari semakin condong ke cakrawala barat. Suto Sinting masih diam di
tempatnya, sambil sesekali meneguk tuak. Ia sempat rasakan hatinya yang
menyesal telah membantu Bandar Hantu Malam dan membuat Nini Pancungsari
menderita luka dalam cukup parah, ia ingin temui Nini Pancungsari, tapi tak
tahu di mana perempuan itu tinggal.
"Ada baiknya kalau aku
kembali ke pondok Bandar Hantu Malam. Aku akan desak dia dan membongkar
kepura-puraannya! Akan kubeberkan tanpa ragu-ragu lagi kejahatannya yang sempat
kudengar dan kulihat kenyataannya. Aku tak peduli dia mengaku teman baik
guruku, aku tak mau terkecoh lagi olehnya. Kejahatan memang harus ditumpas
habis. Jika kejahatan itu bermukim dalam jiwa seseorang, maka jiwa itu pun
harus disirnakan!"
Dengan gemuruh kemarahan mulai
membakar darah dan menyesakkan dada, Pendekar Mabuk segera jejakkan kaki ke
tanah dan melesat pergi menuju puncak Gunung Keong Langit itu. ia harus bisa
mencapai pondok Bandar Hantu Malam sebelum bumi menjadi gelap dan malam pun
tiba.
"Tapi tunggu dulu,"
katanya sendiri. "Jika benar kata Dul, bahwa pembantaian itu dilakukan
pada malam hari, maka ada baiknya aku justru mengintai di dekat pondoknya,
apakah ia keluar pada malam hari atau tetap di tempat?"
Sampai puncak gunung suasana
telah gelap. Hawa dingin begitu mencekam kuat. Namun Suto berusaha tetap di
balik kerimbunan semak, mengawasi pondok Bandar Hantu Malam. Berulang kali ia
meneguk tuak untuk menghalau hawa dingin yang hadir bersama kabut putih. Untung
saja Suto seorang peminum tuak. Seandainya bukan, maka tubuhnya akan berubah
menjadi gumpalan salju dan darahnya akan membeku dicekam hawa dingin yang amat
tinggi itu. Tuak yang ada di bambu keramat itu mampu hadirkan kehangatan yang
membuat Suto tak terlalu menggigil walaupun pakaiannya mulai dilapisi busa
salju.
Sampai sekian lama ditunggu,
Bandar Hantu Malam belum tampakkan diri. Suto agak sangsi dengan dugaannya.
"Jangan-jangan malam ini ia tidak bermaksud keluar rumah?" pikirnya
diliputi kebimbangan yang menjengkelkan hati.
Pondok itu gelap. Tanpa
penerangan di dalamnya. Tak terlihat biasa lampu minyak yang mestinya terlihat
dari celah-celah suasana kayu dindingnya. Suto makin punya kecurigaan yang
bukan-bukan.
"Jangan-jangan Bandar
Hantu Malam sedang berbuat sesuatu dengan seorang perempuan di dalam
pondoknya?! Apakah sebaiknya kudobrak saja pondok
itu? Tapi... bisa jadi dia
sudah keluar dari pondok sejak tadi, sebelum aku ada di sini? Hmm...! Ya,
mungkin dia sudah keluar sejak tadi dan tidak jumpa denganku di kaki gunung. Sial!
Lantas untuk apa kubiarkan diriku dicekam salju sejak tadi? Ini pekerjaan yang
sia-sia! Sebaiknya kuperiksa dulu pondok itu, jika memang tak ada tanda-tanda
kehidupan, aku segera turun gunung!"
Dengan langkah tanpa suara,
Suto Sinting dekati pondok itu. Semakin dekat semakin dipasang baik-baik
telinganya. Bahkan pendengaran hati sanubarinya juga digunakan. Ternyata di
dalam pondok tidak ada tanda- tanda kehidupan. Tak ada denyut jantung yang
terdengar dari dalam pondok. Suto menggerutu dan jengkel sendiri.
"Sial! Pondok kosong
ditunggui?! Aku harus segera turun gunung dan mencari orang itu. Pasti dia
lakukan keganasan lagi pada malam ini di tempat lain. Mungkin desa Pucangan
juga sedang disambangi. Sebaiknya aku ke sana dan bicara dengan para sesepuh
desa yang tahu tentang Bandar Hantu Malam!"
Malam itu rembulan mengintip
di balik awan. Hanya separo yang tampak dari permukaan bumi, namun cahayanya
cukup mampu membuat bumi menjadi remang-remang. Rumput dan batu kerikil bisa
terlihat jelas. Suasana ini sungguh menguntungkan bagi Pendekar Mabuk, sehingga
ia bisa berjalan melalui jalan setapak yang tadi dilewati, tanpa harus takut
tergelincir ke jurang yang cukup dalam di tepi lereng gunung itu.
Sebelum mencapai perbatasan
desa Pucangan, kedua
kaki Suto Sinting terhenti
serentak dan matanya memandang penuh waspada, ia sempat melihat sekelebat
bayangan melintas jalanan di depannya. Gerakannya cukup cepat, membuat Suto
yakin bahwa sekelebatan bayangan itu pasti milik orang berilmu tinggi. Siapa
orangnya, Suto tak bisa melihat dengan jelas. Tapi ia punya dua kemungkinan
dalam hatinya.
"Nyai Sedah, atau Bandar
Hantu Malam?" pikirnya dalam pertimbangan langkah. "Mungkinkah Nyai
Sedah sedang menuju desa Pucangan lagi? Ya, mungkin saja. Barangkali dia tahu
bahwa aku hanyalah seorang tamu di desa itu, sehingga ia menduga desa itu aman
bagi dirinya karena ia menganggap aku sudah pergi dari desa tersebut. Tapi
mungkin saja bayangan itu adalah Bandar Hantu Malam yang sedang menuju ke
tempat lain tanpa mengetahui diriku di sini? Sebaiknya kukejar saja dia ke arah
lenyapnya bayangan tadi! Aku jadi penasaran sekali!"
Bayangan yang melintas dari
barat ke timur segera dikejar ke arah timur. Suto mengejarnya tidak melalui
jalan darat, melainkan melalui pohon demi pohon, ia melesat bagaikan seekor
burung yang mencari tempat untuk tidur. Gerakannya tidak timbulkan bunyi
sedikit pun, sebab Suto gunakan ilmu peringan tubuhnya yang membuat ranting pun
tidak berbunyi saat diinjak kakinya.
"Sial! Ke mana bayangan
tadi? Aku kehilangan jejaknya!" gerutu Suto sambil memandang sekeliling
dari atas pohon. Napasnya terjaga hingga tak terlalu
ngos-ngosan.
"Sebaiknya aku mengarah
ke desa Pucangan saja dengan jalan kaki," pikirnya. Lalu ia bergegas turun
dari atas pohon. Tapi alangkah terkejutnya Suto begitu melihat ke bawah,
ternyata di sana ada bayangan hitam yang dikejar-kejarnya. Bayangan hitam itu
adalah orang berkerudung kain hitam sekujur tubuhnya, dan sedang berbicara
bisik-bisik dengan seseorang.
"Siapa orang yang
diajaknya bicara itu?" pikir Suto sambil kian hati-hati lakukan gerakan,
bahkan bernapas pun sangat hati-hati. Matanya memandang ke bawah dengan sedikit
disipitkan. Lalu ia temukan seraut wajah yang cukup dikenalinya.
"Sundari...?!" gumam
Suto Sinting dalam hatinya dengan nada terkejut. "Ternyata dia kenal
dengan orang berselubung kain hitam itu? Hmm... apakah orang berkain hitam itu
masih sama seperti malam itu? Apakah dia Nyai Sedah? Kalau begitu, Sundari
punya hubungan dengan Nyai Sedah? Sejauh mana hubungan mereka sebenarnya?"
Tiba-tiba terdengar suara
wajah ditampar. Plaaak...! Suto Sinting terperanjat melihat Sundari ditampar
orang berpakaian serba hitam itu. Terdengar pula pekik kecil dari Sundari yang
kesakitan, lalu suara tangis pun terdengar samar-samar.
"Katakan!" sentak
orang berkerudung hitam. Kini Suto yakin orang itu adalah Nyai Sedah, sebab
suara yang terdengar menyentak adalah suara perempuan.
"Katakan, Sundari! Atau
kau menerima upah maut
dariku, hah?!"
Suto Sinting masih belum
bergerak dan tidak lakukan apa-apa. Walaupun ia melihat rambut Sundari dijambak
dengan kasar oleh orang berpakaian hitam itu, tapi Suto masih tetap menahan
diri untuk tidak berbuat sesuatu, ia masih ingin tahu apa yang dilakukan oleh
kedua orang di bawahnya itu.
"Kesabaranku habis pada
hitungan ketiga, Sundari! Satu... dua...."
"Dia ke puncak! Carilah
di puncak sana!" jawab Sundari dengan rasa marah yang tak mampu
dilampiaskan. Tangisnya kian terdengar jelas dari tempat Suto bersembunyi di
atas pohon.
"Tidak mungkin, Sundari!
Aku bukan orang bodoh yang bisa kau bohongi! Kau ingin menjebakku di puncak
sana, bukan?!"
"Ttt... tidak!"
"Kau bohong! Aku jadi
muak padamu!"
Sreeet...! Orang berkerudung
hitam itu mencabut pisau sepanjang dua jengkal dari balik baju hitamnya. Pisau
itu hendak ditikamkan ke dada Sundari. Tapi Suto Sinting segera lepaskan
pukulan 'Jari Guntur'-nya lewat sentilan tangan. Taaas...!
Tenaga dalam yang dilepaskan
lewat sentilan tangannya itu tepat kenai pelipis orang berpakaian hitam.
Dees...! Orang itu pun tersentak dan terpelanting ke samping bagaikan terkena
tendangan kuda binal. Ia berguling-guling tiga kali, lalu cepat ambil sikap
berdiri lagi.
Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting turun dari atas
pohon langsung berhadapan dengan perempuan berkerudung hitam itu. Sundari
terkejut girang, sedangkan perempuan berkerudung hitam menjadi cemas.
"Suto, syukurlah kau ada
di sini!" Sundari segera hampiri Suto dan memeluknya dari belakang.
"Siapa dia, Sundari? Nyai
Sedah?"
"Ya. Dia orang yang
kemarin juga!" jawab Sundari dengan takut.
"Menjauhlah, biar
kuhadapi orang itu." Wuuul...!
Tiba-tiba pisau di tangan Nyai
Sedah dilemparkan ke arah dada Suto. Tapi tangan Suto berkelebat cepat dan
berhasil tangkap pisau itu dengan jepitan dua jari tangannya. Teeb...!
"Sudah kuduga kau bisa
menangkapnya!" kata Nyai
Sedah yang hanya kelihatan
bagian matanya saja. "Apakah kau ingin aku berbuat lebih kejam dari
malam itu, Nyai Sedah?"
"Aku sengaja kembali
untuk bikin perhitungan denganmu!" geram Nyai Sedah, lalu ia lepaskan
pukulan dari tangan kosongnya. Slaap...! Sinar putih perak melesat dari telapak
tangan itu. Suto segera meraih bumbung tuaknya dan menangkisnya. Sinar putih
perak itu menghantam bumbung tuak dengan kuat. Trak...! Dan ternyata sinar itu
membalik arah menjadi lebih besar dan lebih cepat.
"Celaka!" geram Nyai
Sedah. Ia segera sentakkan
kaki dan tubuhnya pun
melenting di udara. Tetapi gerakan itu terlambat. Akibatnya sinar perak itu
kenai betis Nyai Sedah. Jraaas...! Suaranya seperti bara masuk ke dalam air.
"Auh...!" Nyai Sedah
memekik kesakitan. Kulit betis sampai telapak kakinya menjadi hangus. Sayang
cahaya malam kurang kuat sehingga tak bisa dilihat dengan jelas oleh Suto dan
Sundari.
Tubuh Nyai Sedah jatuh
terpuruk tak mampu berdiri lagi. Ia mengerang kecil sambil memperhatikan
kakinya yang berasap. Suto Sinting segera mendekatinya, Sundari menjadi cemas
melihat Suto mendekat.
"Awas, jangan dekati dia!
Kukunya beracun!" seru
Sundari.
Wuuut...!
Nyai Sedah ternyata cepat
menyambar kaki Suto dengan cakarnya. Tapi tubuh Pendekar Mabuk segera lompat ke
atas dan cakaran itu mengenai tempat kosong. Suto Sinting sempat bersalto mundur
satu kali.
"Aku dapat menyembuhkanmu
sekarang juga jika kau bersedia tinggalkan segala perbuatan terkutukmu. Nyai
Sedah," kata Suto mencoba menawarkan kebaikan demi kesadaran perempuan
itu.
"Persetan dengan
tawaranmu! Hiaah...!" Claap...!
Selarik sinar hijau melesat
dari telapak tangan Nyai Sedah. Suto Sinting segera menangkisnya kembali dengan
bumbung tuaknya. Traak...! Sinar itu berubah menjadi besar dan akhirnya
menghantam balik tubuh
Nyai Sedah.
Zraaabb..! Bluub..!
"Aahhg...! Aaahg...!"
Nyai Sedah tak mampu
berteriak, tubuhnya segera terbungkus api karena terkena sinar hijaunya
sendiri, ia berguling-guling mencoba memadamkan api itu, tapi usahanya tak
berhasil. Sundari sendiri sempat palingkan wajah tak tega memandang Nyai Sedah.
Suto Sinting cepat meneguk tuaknya, sebagian disimpan pada mulut, lalu ia
semburkan tuak di mulutnya ke tubuh yang terbungkus api itu.
Bwwrruss...!
Blaaab...! Api padam seketika,
tinggal kepulan asapnya. Tapi tubuh Nyai Sedah telah tak bernyawa. Rupanya
sinar hijau tadi bukan membakar tubuh saja, melainkan membakar bagian dalam
tubuh, merusakkan jantung, paru-paru, dan yang lainnya. Pertolongan Suto
terlambat, tapi ia merasa telah lakukan hal yang benar, yaitu memberikan
tawaran baik sebelum ajal merenggut nyawa. Tapi tawaran itu ditolak, bahkan
dibalas dengan kemurkaan, akibatnya Nyai Sedah menerima nasib yang ditentukan
oleh tindakannya sendiri.
Suto mendengar suara isak yang
meratap. Ternyata Sundari saat itu menangis di balik pohon melihat kematian
Nyai Sedah. Pendekar Mabuk heran dalam hatinya, tapi ia tak berani tanyakan
dulu sebab tangis Sundari. Ia membujuk Sundari untuk diam dan segera tinggalkan
tempat itu untuk laporkan kepada pihak kepala desa.
"Mengapa dia kau
bunuh?" Sundari bagaikan menuntut Suto.
"Dia yang membunuh
dirinya sendiri dengan sinar
hijaunya tadi."
"Aku... aku jadi
kehilangan calon guru!" "Calon guru?"
"Dia calon guruku.
Setelah aku bisa memberi kabar
tentang pemuda-pemuda yang
aman diculiknya sebanyak sepuluh orang, aku akan diangkatnya sebagai murid!
Tapi sekarang baru tiga pemuda dia sudah mati. Sia-sia saja aku mencarikan tiga
pamuda pemuas gairahnya yang mungkin... mungkin sekarang sudah dibunuh setelah
diserap habis darah kejantanannya," tutur Sundari dalam tangisnya. Suto
Sinting jadi tertegun beberapa saat mengetahui hal itu.
"Jadi... selama ini
kaulah yang memberi kabar tentang pemuda-pemuda yang aman diculiknya?"
"Ya. Karena itu syarat
untuk menjadi muridnya."
"Kau salah, Sundari. Kau
tidak boleh membantu pihak yang sesat seperti Nyai Sedah itu."
"Tapi aku ingin memiliki
ilmu seperti yang
dimilikinya!"
"Ada jalan lain, tanpa
harus membantunya melakukan kejahatan."
Sundari kian menangis di sela
malam bercahaya
rembulan. Suto mencoba
memahami jalan pikiran lugu gadis desa itu. Akhirnya ia bertanya,
"Lalu mengapa kau tadi
mau dibunuhnya?"
"Sejak kemarin ia
mencarimu, tapi aku tak mau kasih
tahu di mana dirimu! Aku takut
kau dijadikan korban seperti pemuda lainnya. Lalu, malam ini ia mendesakku
lagi, tapi tidak percaya kalau kukatakan bahwa kau ke puncak. Rupanya dia
bermaksud serahkan dirimu kepada suaminya, yang juga sebagai gurunya, ia merelakan
diperistri oleh suaminya itu hanya untuk dapatkan ilmu- ilmu sakti seperti yang
dimilikinya sekarang ini. Tapi menurutnya, ia tak pernah mendapatkan kepuasan
cinta dengan suaminya, sehingga ia perlu mencari pemuda yang masih perjaka
untuk diajaknya bercinta di tempat khusus di tengah hutan sebelah utara
sana."
Suto Sinting manggut-manggut.
Lalu setelah diam beberapa saat ia pun ajukan tanya, "Siapa suaminya
itu?" "Seorang tokoh sakti berilmu tinggi. Namanya
Dampu Sabang."
Suto berkerut dahi. "Dambu
Sabang?" ia menggumam penuh tanda tanya. Lalu pikirannya segera melayang
pada peristiwa beberapa waktu yang lalu. Ia ingat, Dambu Sabang adalah guru
dari Wiratmoko, si Iblis Naga Pamungkas, yang telah dikalahkan olehnya dan
dibuang ke Sumur Tembus Jagat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Naga Pamungkas").
"Apakah kau tahu kenapa
dia ingin serahkan diriku kepada Dampu Sabang?"
"Baru tadi kuketahui,
katanya kau telah membunuh
murid tunggalnya yang bernama
Iblis Naga Pamungkas." "Ya, memang aku yang menghabisi Wiratmoko
alias
si Iblis Naga Pamungkas,"
kata Suto Sinting dengan suara pelan. "Tapi hal itu kulakukan demi
kedamaian di
antara sesama. Hanya saja...
bagaimana dia bisa mengenaliku sebagai Suto Sinting?"
"Kemarin malam aku
menceritakan siapa dirimu dan
apa tujuanmu. Maafkan aku,
Suto. Semua kulakukan karena aku ingin memiliki ilmunya," Sundari mengisak
penuh sesal. "Aku tak menyangka kalau dia juga mengincarmu, lebih tak
menyangka lagi setelah tadi dia bilang mau menangkapmu dan menyerahkannya
kepada Dampu Sabang."
"Apakah kau tahu di mana
Dampu Sabang berada saat ini?"
Sundari menggeleng. Tangisnya
ditahan sesaat, lalu
ia berkata, "Tadi sore
kutemui Nyai Sedah di hutan sebelah utara. Dia sempat bilang padaku, bahwa
Dampu Sabang pergi ke suatu tempat untuk lakukan pertarungan dengan Bandar
Hantu Malam. Dia merasa makin punya banyak waktu jika suaminya sibuk mengejar
musuh- musuhnya."
"Pertarungan?!"
gumam Suto bagaikan bicara sendiri. "Apakah malam ini Bandar Hantu Malam
sedang berhadapan dengan Dampu Sabang? Di mana mereka mengadakan pertarungan
itu? Aku ingin menyusulnya!"
*
* *
8
URUSAN Suto bukan dengan Dampu
Sabang, melainkan dengan Bandar Hantu Malam. Karena itu,
yang dicari dalam pertarungan
dua tokoh itu adalah Bandar Hantu Malam. Apakah Bandar Hantu Malam tumbang di
tangan Dampu Sabang, atau unggul dalam pertarungan ini? Jika Ki Randu Papak
ternyata unggul melawan Dampu Sabang, berarti Suto yang akan menumbangkannya.
Tapi jika Ki Randu Papak atau Bandar Hantu Malam itu sudah roboh di tangan
Dampu Sabang, berarti Suto tidak perlu repot-repot lagi kerahkan tenaga untuk
melawan tokoh sakti itu.
Tentang dendam Dampu Sabang
yang ingin membalas kematian muridnya, Suto sudah siap pertahankan diri dengan
sebaris alasan. Jika ternyata alasan itu tidak bisa diterima oleh Dampu Sabang,
maka Suto pun siap dengan pertarungan demi membela kebenaran dan kedamaian di
antara sesama. Bagi Pendekar Mabuk, melawan Bandar Hantu Malam atau Dampu
Sabang sama saja. Tak ada yang ditakuti, tak ada yang dianggap ringan, tapi tak
ada pula yang harus dikasihani. Kedua tokoh sakti itu sama-sama kejam, ganas,
dan jahat. Kejahatan itulah yang harus ditumbangkan Suto dengan cara apa pun.
Tetapi ternyata cukup sulit
mencari tempat pertarungan bagi dua tokoh sakti itu. Sepanjang malam hingga
pagi Suto mencari, tapi tempat pertarungan mereka tidak ditemukan. Untung
Pendekar Mabuk tidak membawa Sundari, walaupun gadis itu sangat ingin menyertai
Suto, tapi oleh Suto diantar pulang ke rumah Ki Rosowelas. Seandainya ia
membawa Sundari, maka gadis itu akan mengeluh dan justru merepotkan Suto.
Sebab pencarian itu tidak
hanya sampai pagi saja, melainkan dilanjutkan hingga menuju siang hari. Rasa
kantuk dan lelah bisa diatasi Suto dengan menenggak tuak agak banyak.
Mendekati pertengahan siang,
Suto mendengar suara ledakan menggelegar di sebelah barat. Ledakan itu juga
membuat tanah tempat Suto berpijak menjadi berguncang bagai dilanda gempa
kecil. Asap hitam membubung naik dari sebuah bukit yang ada di barat. Asap itu
menggumpal dalam bentuk kelompok tersendiri dan memercikkan bunga api beberapa
kali.
"Dua pukulan tenaga dalam
dahsyat telah beradu di sana. Pasti di bukit itulah Dampu Sabang bertarung
melawan Bandar Hantu Malam. Aku harus segera menuju bukit itu dan melihat
keadaan mereka secara sembunyi-sembunyi dulu."
Bukit itu tidak terlalu
tinggi. Tanamannya tidak begitu rimbun. Bagian puncak bukit termasuk datar dan
mempunyai tempat yang enak untuk sebuah pertarungan. Rimbunan semaknya tumbuh
secara berkelompok- kelompok. Dan di salah satu rimbunan semak berdaun lebar
itulah Suto bersembunyi mengintai sebuah pertarungan.
Ternyata pertarungan itu
adalah pertarungan yang tidak disangka-sangka oleh Suto Sinting. Bukan
pertarungan Bandar Hantu Malam melawan Dampu Sabang, melainkan pertarungan
antara Sumbaruni dengan orang berkerudung kain hitam dan membawa senjata tombak
El Maut yang ujungnya mirip sabit.
Orang itu adalah tokoh sesat
yang diburu-buru oleh Pendekar Mabuk selama ini. Dia tak lain adalah Siluman
Tujuh Nyawa, yang mempunyai wajah pucat dan dingin.
Tentu saja Pendekar Mabuk
terkejut sekali melihat tokoh sesat itu muncul di bukit tersebut dan lakukan
pertarungan dengan Sumbaruni. Apa persoalan mereka, Suto tidak tahu secara
pasti. Tetapi sebagai orang yang sudah beberapa kali bertarung melawan Siluman
Tujuh Nyawa, Suto dapat mengukur ketinggian ilmu si wajah pucat itu yang
melebihi ketinggian ilmu Sumbaruni atau Pelangi Sutera. Tentu saja hati Suto
Sinting mencemaskan keselamatan Sumbaruni, sehingga ia perlu segera ikut campur
membela Sumbaruni.
Pada saat Sumbaruni terjatuh
karena pukulan sinar merahnya Siluman Tujuh Nyawa, orang berkerudung kain hitam
dari kepala sampai kaki itu segera melompat dan mengibaskan tombak El Mautnya
untuk memancung leher Sumbaruni. Namun Suto Sinting segera lepaskan pukulan
'Pecah Raga' berupa sinar hijau yang melesat dari telapak tangannya.
Claap...!
Sinar hijau itu diarahkan ke
tubuh Siluman Tujuh Nyawa, tapi karena gerakan orang tersebut melesat dengan
cepat, akibatnya sinar itu justru menghantam tombak yang hendak ditebaskan
memancung leher Sumbaruni. Trang!
Weeesss...!
Tombak itu tidak pecah,
melainkan tersentak kuat- kuat ke arah samping kiri dari pemegangnya. Sentakan
yang amat kuat itu membuat
tubuh Siluman Tujuh Nyawa terbawa terbang dan terpelanting enam langkah jauhnya
dari tempat semula. Siluman Tujuh Nyawa merasa diterjang badai yang amat kuat,
sehingga ia tidak mampu pertahankan keadaannya.
Sumbaruni yang segera bangkit
dalam keadaan mulut melelehkan darah secepatnya memandang ke arah datangnya
sinar hijau. Tentunya ia ingin tahu siapa orang yang telah selamatkan jiwanya
dalam keadaan kritis tadi. Dan pada saat itulah Pendekar Mabuk melenting di
udara, bersalto dua kali, lalu mendarat tepat di samping Sumbaruni, menghadap
ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Jleeg...!
Suto...!" desah Sumbaruni
bernada lega. "Untung kau datang tepat pada waktunya!"
"Apa persoalanmu dengan
setan itu?"
"Logo disembunyikan
olehnya, aku harus merampas anakku itu agar tidak dijadikan budak
sesatnya!"
"Hmmm...!" Suto
Sinting hanya menggumam, tapi matanya masih memandang ke arah Siluman Tujuh
Nyawa yang menggeram penuh luapan amarah. Orang itu telah bangkit dan menatap
Suto. Namun wajahnya tetap dingin dan tidak berperasaan. Matanya sedikit
menyipit menandakan dadanya kian kuat menjerat jiwa.
"Kita bertemu lagi,
Durmala Sanca!" kata Suto Sinting tampak bangga dan senang. Tapi dalam
hatinya berkata, "Sayang aku belum bertemu Resi Wulung Gading, sehingga
tak sempat membawa Pedang Kayu Petir. Tapi akan kucoba lagi melumpuhkannya dengan
kekuatan yang ada
padaku!"
"Kali ini kau akan binasa
di tanganku, Pendekar
Mabuk!" ucap Siluman
Tujuh Nyawa dengan datar.
"Kita buktikan siapa yang
unggul saat ini juga! Jangan sampai kau lari dari pertarungan ini, Durmala
Sanca!" sambil Suto melangkah ke samping kiri dan Siluman Tujuh Nyawa
melangkah ke samping kanan. Sumbaruni segera tarik diri, mundur ke bawah pohon,
karena ia merasa yakin bahwa Suto mampu menangani tokoh sesat berilmu tinggi
itu.
"Aku harus mencari
kesempatan untuk menghantamnya dari belakang," pikir Sumbaruni.
"Memang curang, tapi tak ada salahnya berbuat curang kepada orang sesat
yang termasuk raja curang itu. Akan kupukul dia dengan jurus 'Anak Rembulan'
agar ia lumpuh tak punya tenaga lagi!"
Durmala Sanca segera sabetkan
tombak El Mautnya dari kanan ke kiri, jaraknya dengan Suto sekitar tujuh
langkah. Wuuung...! Dari sabetan itu melesat sinar bergelombang bagai spiral
yang berwarna merah terang dan semakin mendekati lawan semakin lebar bentuk
lingkarannya.
Pendekar Mabuk tidak
menghindari serangan itu, melainkan mengadu dengan jurus 'Tapak Guntur', yaitu
sinar biru yang keluar dari telapak tangan kiri yang disentakkan ke depan.
Suuuut...! Duaarrr...!
Perpaduan dua sinar tersebut
hasilkan satu ledakan yang mengguncang bumi dengan hebat. Tiga pohon segera
tumbang, satu di antaranya nyaris menjatuhi
tubuh Sumbaruni. Tanah di
sekitar tempat itu menjadi retak-retak di beberapa bagian. Kulit-kulit pohon
terkelupas bagai dilanda angin lahar dari magma gunung berapi.
Sentakan daya ledak itu sangat
besar. Tak heran jika Suto Sinting sendiri terlempar jatuh ke belakang dalam
jarak empat langkah dari tempat semula. Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa terhempas
ke belakang bagaikan terbang. Tubuhnya membentur sebuah dahan pohon seukuran
paha manusia dewasa. Duhg! Kraak! Dahan itu patah seketika karena ditabrak
punggung Siluman Tujuh Nyawa. Tentunya itu sebuah tanda bahwa tubuh Siluman
Tujuh Nyawa mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar, sehingga apa pun yang
disentuhnya dapat hancur atau petah. Tubuh itu setelah membentur dahan segera
turun dengan keseimbangan yang terjaga. Kakinya menapak di tanah dengan tegap
dan sigap. Jleeg...!
Melihat Suto Sinting belum
bangkit dari jatuhnya, Siluman Tujuh Nyawa segera lepaskan pukulan mautnya yang
keluar dari lima jari kiri berkuku runcing itu. Slaaap...! Lima larik sinar
hijau seukuran bambu seruling itu meluncur dengan cepat ke arah dada Suto
Sinting.
Suto baru saja ingin
menangkisnya dengan jurus lain, tapi tiba-tiba dari arah belakangnya muncul
sinar merah berbentuk lingkaran besar. Wuuut...! Sinar berbentuk lingkaran
besar itu menghadang sinar hijau lima larik, dan ketika sinar itu masuk ke
dalam lingkaran, maka sinar mereka segera mengecil dengan cepat, bagaikan
menjerat kuat, tapi gerakan
sinar masih tetap maju. Mendorong lima larik sinar yang kini telah menjadi satu
ujungnya itu. Dan sinar tersebut membalik arah menghantam pemiliknya.
Blaaar...!
Sinar hijau itu pecah menjadi
lebar, lalu padam seketika. Tubuh Siluman Tujuh Nyawa terpelanting dalam
keadaan mengepulkan asap. Kerudung kain hitamnya hangus sebagian. Mulutnya
keluarkan darah kental. Matanya menjadi merah bagai digenangi cairan darah.
Tongkat El Mautnya menjadi putih bagaikan dilapisi busa-busa salju.
"Keparat!" gumamnya
lirih, lalu ia sentakkan kaki dan lari tinggalkan tempat itu secepatnya. Suto
Sinting pun bergegas mengejar, tetapi Sumbaruni segera berseru, "Biar
kubereskan dia!" dan perempuan cantik itu segera melesat dengan cepat
mengejar Siluman Tujuh Nyawa. Sedangkan Suto segera berpaling ke belakang untuk
melihat siapa orang yang telah selamatkan
jiwanya dari serangan lima
larik sinar hijau tadi.
"Oh, kau...?!" Suto
Sinting terkejut bukan kepalang. Ternyata orang yang melepaskan sinar merah
berbentuk lingkaran tadi adalah Bandar Hantu Malam, alias Ki Randu Papak.
"Kau terlambat sedikit,
Suto! Sinar hijau itu harus dibarengi dengan pukulan penangkis. Sedikit lambat
tak akan mampu ditembus oleh pukulan penangkis apa pun. Itu yang dinamakan
jurus 'Lima Dewa Kilat'. Hanya dia yang memiliki jurus berbahaya itu,"
kata Bandar Hantu
Malam dengan sikapnya yang
tenang, penuh wibawa, dan kharisma.
Pendekar Mabuk menenangkan
diri, hatinya yang
resah dan jiwanya yang guncang
akibat kebimbangan dalam benak membuat Suto terpaksa menenggak tuaknya beberapa
saat. Sambil menenggak tuak ia membatin,
"Lagi-lagi aku dibuat
bimbang oleh sikap dan penampilannya yang tenang dan menyerupai seorang berjiwa
bijak. Lagi-lagi aku tak tega untuk lakukan serangan terhadapnya. Ah, kenapa
begini? Ia tampil tanpa permusuhan, bahkan termasuk telah selamatkan jiwaku.
Lalu apa yang harus kulakukan jika begini?"
Bandar Hantu Malam masih
melangkah ke arah larinya Siluman Tujuh Nyawa, tapi segera berhenti dalam jarak
lima langkah dari tempat Suto berdiri. Dengan memandang ke arah kepergian
Siluman Tujuh Nyawa, Ki Randu Papak yang melipat kedua tangan di dada itu
perdengarkan suaranya, seakan bicara pada dirinya sendiri.
"Jika Sumbaruni berhasil
kejar Durmala Sanca, pasti dia dapat kalahkan tokoh sesat itu. Tapi Jika
Durmala Sanca berhasil lolos, lalu mereka bertemu kembali, maka Sumbaruni akan
hancur di tangan Durmala Sanca. Sebab jika Siluman Tujuh Nyawa diserang dalam
keadaan sedang terluka seperti tadi, kekuatannya tak akan bisa menandingi
kekuatan Sumbaruni."
Suto segera ajukan tanya,
"Apakah kau juga tahu tentang Sumbaruni?"
"Pernah mendengar
namanya, pernah melihat jurus- jurusnya. Tapi jauh dari semua itu...,"
Bandar Hantu Msiam balikkan badan dengan kalem, menatap Pendekar Mabuk tanpa
senyum, tapi tanpa keangkuhan sedikit pun.
"... pada umumnya para
tokoh seusiaku mengetahui bahwa Sumbaruni adalah pelayan seorang petapa sakti yang
mendapat titisan ilmu dan akhirnya kawin dengan jin yang bernama Jin Kazmat.
Dari perkawinan itu lahirlah anak jin yang bernama Logo."
Mata si pendekar tampan
terkesiap walau hatinya membenarkan keterangan tersebut. Cara bicara yang kalem
membuat Suto Sinting kembali ragu-ragu untuk melontarkan tuduhan kepada Bandar
Hantu Malam. Bahkan untuk lakukan serangan mendadak pun terasa sulit, seakan
bertentangan dengan hati kecilnya. Padahal sebelum bertemu Bandar Hantu Malam,
semangatnya menggebu-gebu untuk lakukan penyerangan terhadap tokoh tua itu.
"Kurasa dia mempunyai
ilmu penjinak kemarahan orang," pikir Suto dalam kebungkaman mulutnya.
"Siapa pun akan menjadi segan bila berhadapan dengannya. Amarah siapa pun
akan menjadi reda jika sudah bertatap muka dengannya. Begitulah keadaanku
sekarang ini. Tapi... tapi mengapa Nyai Pancungsari tidak mempunyai keraguan
saat ingin menghabisi nyawanya? Apakah ilmu penjinak kemarahan orang tidak
berlaku bagi Nyai Pancungsari? Ah, membingungkan sekali keadaan ini. Dia pintar
sekali berpura-pura menjadi tokoh yang
tenang dan disegani. Rasa
hormatku kepadanya masih saja ada, padahal aku sudah melihat sendiri
keganasannya dalam membantai murid-murid Resi Wulung Gading?!"
Bandar Hantu Malam dekati
Suto, berdiri dalam jarak satu tombak, ia segera ajukan tanya, "Mengapa
kau tak meminjam Pedang Kayu Petir kepada Resi Wulung Gading? Bukankah sudah
kukatakan padamu, jika iIngin kalahkan Siluman Tujuh Nyawa, kau harus gunakan
Pedang Kayu Petir?"
Kesempatan itu digunakan oleh
Suto untuk lontarkan kekecewaannya terhadap keadaan yang ditemui di padepokan
Resi Wulung Gading.
"Kau menipuku, Ki Randu
Papak." Suto bicara agak datar, menimbulkan perasaan aneh dalam hati kakek
berjubah putih itu, sehingga dahi sang kakek pun tampak berkerut dalam
memandangi Suto.
"Apakah menurutmu aku
punya niat jahat padamu?" "Bisa saja begitu!" jawab Suto bernada
ketus. "Yang
jelas aku kecewa mengikuti
saranmu untuk pergi ke
Lembah Sunyi menemui Resi
Wulung Gading."
"Apa yang membuatmu
kecewa, Nak?" sambil Ki Randu Papak dekati Suto yang menjauh tiga langkah.
Suto sengaja bicara tanpa memandang kakek itu.
"Apakah kau harus
berpura-pura bijak selamanya, Ki
Randu Papak?"
Kerutan dahi Bandar Hantu Malam
tampak kian tajam. "Aku semakin tak mengerti maksudmu."
Suto menatap dengan berani,
"Padepokan di Lembah
Sunyi telah hancur. Dua hari
sebelum aku sampai di sana, seseorang telah datang dan membantai semua murid
Resi Wulung Gading."
Perubahan wajah yang ada pada
Ki Randu Papak tampak jelas sebagai ungkapan rasa kaget, namun juga rasa tidak
percaya. Suto Sinting sengaja diam untuk menunggu kata-kata dari sang kakek
itu.
"Apa maksudmu dengan
mengatakan aku menipumu, Pendekar Mabuk? Kata-katamu menyimpang dari watak
kependekaranmu yang harus bicara jujur."
"Aku bicara yang
sebenarnya, Ki Randu Papak. Kau boleh buktikan sendiri ke Lembah Sunyi. Hanya
ada dua murid yang selamat dari pembantaian sadis itu, karena mereka sedang
diutus ke pesisir selatan."
"Sepertinya kau bicara
mengigau. Tapi baiklah, kucoba untuk mempercayai kata-katamu. Lalu, bagaimana
dengan Resi Wulung Gading sendiri? Apakah dia ikut menjadi korban?"
Suto menggeleng berkesan
dingin, "Resi Wulung Gading bertapa di Gua Getah Tumbal. Mungkin sampai
sekarang belum mengetahuinya."
"Kalau begitu aku harus
ke Gua Getah Tumbal untuk memberitahukan hal itu kepada Resi Wulung
Gading!" tegas Ki Randu Papak.
Tiba-tiba terbersit kecemasan
dalam hati Suto. Ia pun membatin, "Celaka! Aku telah sebutkan tempat itu.
Pasti Ki Randu Papak mau ke sana bukan untuk kabarkan musibah tersebut, tapi
untuk membunuh Resi Wulung Gading yang kala itu tak ditemui di padepokan.
Tentunya kata-kataku tadi
merupakan berita bagus baginya. Oh, aku harus mencegahnya agar tidak pergi ke
Gua Getah Tumbal!"
Maka ketika Bandar Hantu Malam
hendak bergerak pergi, Suto Sinting segera melompat dan menghadang di depannya.
Sikap itu sangat mengherankan bagi Bandar Hantu Malam, ia memandang penuh
perasaan ingin tahu.
"Mengapa kau menghadangku?"
"Tak kuizinkan siapa pun
pergi ke Gua Getah
Tumbal!"
"Kau pikir aku akan
berbuat jahat kepada Resi
Wulung Gading?"
"Ya Pasti kau akan
membunuhnya, Ki Randu Papak." Mata tua itu terbelalak kaget mendengar
ucapan Suto.
Ia mendekati Pendekar Mabuk
dengan pandangan mata tajam bagaikan menembus ke hati Suto.
"Tega-teganya kau
mencurigaiku begitu, Pendekar
Mabuk?! Apa alasanmu menduga
begitu padaku?" "Karena menurut saksi dalam pembantaian di
padepokan itu, orang yang
datang malam hari dan menjagal semua murid Resi Wulung Gading itu bernama
Bandar Hantu Malam!" jawab Suto tegas dan jelas.
Ki Randu Papak kian tampakkan
rasa kagetnya. Dengan suara menggeram pertanda menahan kemarahan, Ki Randu Papak
berucap kata,
"Itu fitnah! Tak
benar!"
"Itu benar, Ki. Karena
Ratu Asmaradani pun mengutusku membunuhmu sebab kau ingin mengawininya, dan
menggunakan ilmu 'Racun Siluman'
untuk memperdaya sang Ratu
agar mau menjadi istrimu!"
Gemetaran sekujur tubuh Ki
Randu Papak. Hawa
panas mulai naik ke dada dan
bermukim di kepala. Wajah tuanya tampak merah pertanda menahan murka. Tapi Suto
Sinting hanya memperhatikan dengan tenang, penuh keisengan, ia melihat gigi
tokoh tua itu menggeletuk, bola matanya mengecil bagaikan menyimpan dendam atau
kemarahan yang tak jelas arahnya.
"Fitnaaah...!"
geramnya dengan napas mulai memberat. Jari-jari tangannya tampak bergetar.
Jari-jari tangan itu akhirnya disentakkan ke samping dan melesatlah sinar biru
pecah, menyebar ke seluruh penjuru. Praaass...!
Suto kaget dan melompat
mundur, pasang kuda-kuda. Tapi kuda-kudanya segera mengendur ketika melihat
enam pohon yang terkena percikan sinar biru itu lenyap tinggal debunya yang
menggunduk di tanah. Suto Sinting tertegun takjub untuk beberapa saat. Bandar
Hantu Malam hembuskan napas panjang, tundukkan kepala, kedua tangan menggenggam
kuat-kuat, menahan luapan murka yang hampir-hampir tak bisa dikendalikan. Suto
diam beberapa saat, memberi kesempatan kepada tokoh tua itu untuk menenangkan
diri.
Setelah merasa cukup tenang,
Bandar Hantu Malam segera angkat kepala pelan-pelan dan pandangi Suto dalam
keadaan menoleh ke samping.
"Aku tidak sejahat
itu," katanya dengan suara gemetar. "Aku bukan orang sesat seperti
dulu, Suto!"
"Dua peristiwa kulihat
sendiri, Ki Randu Papak. Dua
orang menjadi saksi
keganasanmu. Ratu Asmaradani hilang tubuh bagian perut ke bawah karena terkena
Ilmu
'Racun Siluman'-mu, Ki Randu
Papak."
"Aku tidak kenal dengan
Asmaradani! Bawa aku ke sana dan kubuktikan padamu apakah orang aku yang
menyerangnya!" sentak Bandar Hantu Malam dengan nada jengkel dan gemas
sekali. Suto jadi berkerut dahi, mulai bimbang lagi. Tapi Ki Randu Papak memandang
bagai menuntut pembuktian.
*
* *
9
SEBERKAS sinar merah terang
melesat ke langit, lalu melatup di angkasa. Letupannya memercikkan bunga api
berasap tebal. Ki Randu Papak segera pandangi sinar merah itu, demikian pula
Suto Sinting. Pada saat Suto mendongak ke atas, Ki Randu Papak tahu-tahu telah
lenyap dari tempatnya, ia bergerak luar biasa cepatnya sehingga seperti
menghilang gaib. Suto Sinting kaget dan menjadi tegang karena merasa kehilangan
buruannya.
Tapi pendengar batinnya masih
mampu melacak suara detak jantung yang kian menjauh. Suto Sinting segera
melesat bagaikan anak panah lepas dari busurnya,
ia berlari mengejar suara
detak jantung milik Bandar Hantu Malam. Sambil berlari hatinya menggeram penuh
gerutu,
"Ke mana pun kau pergi
akan kukejar, Bandar Hantu Malam. Tak akan kubiarkan kau lolos begitu saja! Kau
harus pertanggungjawabkan perbuatanmu di depanku. Setinggi apa pun ilmumu aku
harus tetap melawanmu, Bandar Hantu Malam!"
Rupanya Ki Randu Papak berlari
menuju arah datangnya sinar merah yang meletup di angkasa tadi. Tetapi
gerakannya mampu dipatahkan oleh Suto Sinting yang tahu-tahu menghadang
langkahnya. Jleeg...!
"Mau lari ke mana kau,
Bandar Hantu Malam?!" tegur Suto tak ramah lagi.
"Suto, minggirlah dulu.
Aku punya urusan dengan seseorang! Setelah kuselesaikan urusanku ini, kita
bicara lagi mencari kebenaran fitnah itu!"
"Tak kubiarkan kau lari
tinggalkan tanggung jawabmu. Bandar Hantu Malam!"
"Jangan paksa aku
melukaimu, Suto!"
"Tidak. Aku hanya ingin
paksa dirimu mengobati
Ratu Asmaradani yang terkena
'Racun Siluman' itu!"
"Itu bukan tanggung
jawabku, Suto! Aku tidak melakukannya!" sentak Ki Randu Papak. "Tapi
kalau kau ingin aku membantumu, aku sanggup membantumu. Tapi nanti, setelah
kuselesaikan urusanku dengan Dampu Sabang!"
"Sekarang juga kau harus
lakukan penyembuhan terhadap Ratu Asmaradani!"
"Tidak bisa! Aku sudah
punya janji untuk lakukan pertarungan terakhir dengan adik seperguruanku: Dampu
Sabang!"
"Aku akan memaksamu, Ki
Randu Papak!"
"Bocah nekat!"
geramnya dengan gusar. Tapi ia tidak lakukan penyerangan. Ia justru melesat ke
arah lain untuk larikan diri.
Suto Sinting segera lepaskan
pukulan 'Jari Guntur' nya dengan sentilan tangan ke arah tubuh Ki Randu Papak.
Teess...! Sentilan tangan yang mengeluarkan tenaga dalam besar itu menghantam
punggung Ki Randu Papak. Deeb...!
"Ahg...!" orang itu
tersentak, tubuhnya segera tumbang ke tanah, namun ia segera berdiri lagi dan
hendak lanjutkan pelariannya. Ia tidak memberikan serangan balasan, membuat
Suto semakin penasaran dan beranggapan bahwa Bandar Hantu Malam sengaja ingin
menghindari tuntutannya.
Suto Sinting akhirnya melompat
dan bersalto di udara satu kali, lalu tiba di punggung Bandar Hantu Malam
dengan sebuah tendangan kuat bertenaga dalam cukup tinggi. Duuhg...!
"Aaahg...!" kakek
tua itu terlempar jauh dan terguling-guling di tanah.
Suto Sinting cepat-cepat
menyergapnya, seakan tidak
berikan kesempatan kepada
Bandar Hantu Malam untuk lakukan serangan balik. Tetapi ketika Suto menerjang
mendekati tokoh tua yang baru saja bangkit dari jatuhnya, tiba-tiba tubuhnya
terpental ke belakang
manakala kalung merah yang
dikenakan Bandar Hantu
Malam itu menyala kuning
seperti emas.
Gusraak...!
"Edan! Dia punya lapisan
tenaga dalam yang sangat besar membentengi dirinya. Apakah dia tidak ingin
diserang lagi. Tapi kenapa ia tidak mau menyerangku?" pikir Pendekar Mabuk
sambil berusaha bangkit dari jatuhnya.
Ketika ia berdiri, ternyata
Bandar Hantu Malam sudah tidak ada di tempat. Suto Sinting sempat kehilangan
jejak. Tapi ia ingat arah datangnya sinar merah yang tadi melesat ke langit
itu. Pasti Bandar Hantu Malam pergi ke arah sana. Sinar merah itu sepertinya
sebuah tanda bahwa Bandar Hantu Malam ditunggu lawannya di sana.
Dugaan Suto tidak salah.
Bandar Hantu Malam ada di kaki bukit ia sedang berhadapan dengan seorang lelaki
berusia sekitar enam puluh tahun, berambut abu-abu, wajahnya nyaris tertutup
brewok lebat warna abu-abu juga. Orang itu kenakan pakaian hitam dirangkap
dengan baju jubah lengan panjang warna hijau tua. Tubuhnya agak gemuk,
mengenakan gelang akar bahar hitam di tangan kirinya. Matanya lebar dan tajam
memandang, berkesan bengis.
Suto Sinting bersembunyi di
balik dua pohon yang tumbuh merapat. Dari sana ia bukan saja bisa melihat
pertarungan itu melainkan juga bisa mendengar percakapan kedua tokoh tua
tersebut.
"Sejak semalam kucari kau
di Bukit Cadas, tapi
ternyata kau tak hadir di
sana, Dampu Sabang!" kata
Bandar Hantu Malam.
Suto menggumam dalam hati,
"Ooo... dia yang bernama Dampu Sabang?!"
Terdengar suara Dampu Sabang
terkekeh dalam tawa besarnya, ia berkata dengan nada angkuh.
"Maaf, aku harus temui
kekasihku yang baru, yang
tak bisa kutinggalkan walau
sekejap saja. Sekaranglah saatnya kita bertemu dan tentukan nasib kita, Bandar
Hantu Malam!"
"Sebenarnya aku enggan
melakukannya, Dampu Sabang. Tapi demi wasiat dari guru kita, Cambuk Getar Bumi
harus tetap di tanganku. Karena akulah yang diwarisi pusaka itu!"
"Aku tetap ingin memiiiki
pusaka Cambuk Getar Bumi. Kita sama-sama murid Ki Warok Guci Wangsit, kita
mempunyai ilmu yang sama, tapi belum tentu kita mempunyai kelicikan sama pula,
Bandar Hantu Malam! Jalanmu sudah membelok dari arah yang semestinya. Mendiang
Guru akan kecewa melihat kau menjadi orang sok suci dan berlagak menjadi
pahlawan kebenaran. Kurasa pusaka Cambuk Getar Bumi tidak pantas lagi ada di
tanganmu."
"Apakah kita harus saling
bunuh untuk perebutkan pusaka itu, Dampu Sabang?"
"Kurasa itulah jalan yang
terbaik bagi kita, Bandar Hantu Malam! Bersiaplah menerima seranganku, Tua
Bangka! Heaaah...!"
Dampu Sabang menggerakkan
tangannya ke atas,
mengembang lebar bagai sayap
burung garuda, kakinya yang kiri terangkat lurus hingga lututnya hampir dekati
bagian dada. Lalu dengan cepat kaki kanan mengayun naik dan tubuhnya pun
melayang cepat ke arah Bandar Hantu Malam. Sementara orang yang diserangnya pun
menggunakan jurus seperti burung bangau, yang melesat menuju sasaran dengan
cepat Wuuut...!
Di udara mereka beradu
kecepatan pukulan tangan. Dahk, dahk, dahk...! Dan setiap benturan tangan
dengan tangan menimbulkan percikan bunga api berwarna merah kebiru-biruan.
Kecepatan itu sempat membuat Bandar Hantu Malam kecolongan jurus, sehingga dada
di bawah pundak kirinya berhasil dihantam dengan telapak tangan Dampu Sabang.
Baaaahg...!
Wuuut..!
Bandar Hantu Malam jatuh
terpental dan berguling- guling, sedangkan Dampu Sabang berhasil mendarat
dengan kaki tegak dan kekar. Suto melihat Bandar Hantu Malam memuntahkan darah
kental dari mulutnya. Bekas pukulan Dampu Sabang tampak hitam dan berasap. Kain
jubah bolong, kulit dada terlihat melepuh warna hitam kebiru-biruan.
"Saatnya kau menuju ke
neraka menyusul guru kita, Randu Papak! Heaaat...!"
Dampu Sabang lepaskan pukulan
dari telapak
tangannya yang bersinar biru
melingkar-lingkar. Pada saat itu Bandar Hantu Malam segera bangkit dan
kalungnya menyala kuning emas. Suto tahu jika kalung menyala kuning emas
menyilaukan itu berarti Bandar
Hantu Malam melapisi tubuhnya
dengan perisai tenaga dalam yang tak bisa ditembus serangan lawan.
Tetapi di luar dugaan,
ternyata sinar biru melingkar-
lingkar itu berhasil menembus
lapisan perisai tenaga dalamnya. Praaak...! Terdengar seperti suara cermin
pecah. Lalu sinar biru itu menghantam tubuh Bandar Hantu Malam. Zruub! Tepat
mengenai iga kanan Bandar Hantu Malam.
"Aaahhhg...!" Bandar
Hantu Malam mengejang dengan kepala terdongak dan kedua kakinya menekuk ke
depan. Sekujur tubuhnya berasap, warna kulitnya menjadi merah retak-retak.
Suto Sinting terbelalak
melihat keadaan Bandar Hantu Malam. Lukanya sangat parah, tapi agaknya ia
bertahan untuk tetap lakukan serangan ke arah Dampu Sabang. Tapi serangannya
sangat lunak dan mudah dihindari Dampu Sabang yang tertawa terbahak-bahak
kegirangan.
Suto dalam kebimbangan. Mau
menolong, tapi yang ditolong adalah yang menjadi musuhnya dan ingin dibinasakan
jika tak mau tawarkan racun yang mengenal Ratu Asmaradani. Jika ia tidak
menolong, ia tak tega melihat orang yang pernah dikagumi itu menderita siksaan
begitu keji.
Dalam keadaan bimbang itu,
tiba-tiba Suto Sinting dikejutkan oleh gerakan halus yang datang dari arah
belakangnya. Suto cepat-cepat genggamkan tangan untuk lepaskan pukulan kepada
orang yang datang dari belakangnya dengan mengendap-endap itu. Tetapi
pukulan itu segera
dikendurkan, napas Pendekar Mabuk segera dihembuskan dengan lega begitu tahu
siapa yang datang.
"Kelana Cinta...?i"
"Ssst...!" Kelana
Cinta, perwira negeri Ringgit Kencana justru menempelkan telunjuk ke bibirnya
yang ranum itu. Ia mendekati Suto, sedikit merapatkan badan agar terhalang dua
pohon berjajar itu.
"Kenapa kau kemari?'
bisik Suto.
"Ratu menyuruhku
menjagamu dari kejauhan." "Kenapa justru mendekat?"
"Karena saatnya telah
tiba."
Suto kembali memandang Bandar
Hantu Malam sebentar yang semakin menderita itu. Lalu ia memandang Kelana Cinta
dan berkata dalam nada bisik,
"Sejak kapan kau
mengikutiku?"
"Sejak kau pergi dari
Lembah Sunyi. Aku sempat melihat mereka terbantai. Kupikir semula ingin temui
Resi Wulung Gading, sahabatku itu, tapi keadaannya tidak memungkinkan. Lalu
kulihat kau tinggalkan tempat itu dan aku mengikutimu. Sekarang
berbuatlah!"
"Apa yang harus
kuperbuat?!" "Hadapi Bandar Hantu Malam itu!"
"Untuk apa? Dia sudah
hampir mati karena serangan adik seperguruannya."
"Kasihan Pak Tua yang
sekarat itu kalau kau tidak segera turun tangan."
"Kenapa kasihan? Bukankah
dia adalah Bandar Hantu
Malam?!"
"Salah!" sentak
Kelana Cinta dalam bisik. "Bandar
Hantu Malam adalah lelaki
brewok itu!"
"Hahh...?!" Suto
terkejut. "Apakah kau tak salah lihat?"
"Tidak. Aku melihat jelas
ia bertingkah seenaknya di istana kami! Dia yang mengaku Bandar Hantu Malam dan
melepaskan pukulan 'Racun Siluman' ke tubuh Ratu Asmaradani."
"Tapi... tapi yang
bernama Bandar Hantu Malam adalah orang yang sedang sekarat itu!"
"Tapi yang datang ke
istana adalah si brewok itu!" bantah Kelana Cinta.
Suto bimbang sejenak. Tapi
kebimbangan itu segera temui kepastiannya setelah Dampu Sabang berkata penuh
kemenangan kepada Bandar Hantu Malam.
"Randu Papak... akan
kupercepat ajalmu tiba dengan satu jurus pelebur ragamu! Tapi sebelumnya perlu
kau ketahui, seandainya kau hidup pun akan sia-sia, sebab nama Bandar Hantu
Malam telah kugunakan untuk menyerang beberapa rekanmu, termasuk melukai ratu
dasar laut dengan 'Racun Siluman'. Seandainya kau hidup, kau akan banyak musuh
dan tak akan diakui sebagai orang aliran putih lagi! Mereka tak akan percaya
padamu, Randu Papak. Ha, ha, ha, ha...!" Dampu Sabang tertawa lepas.
Suto Sinting menggeram.
Tangannya mulai gemetar penuh hasrat menyerang Dampu Sabeng. Napasnya membuat
tanah di bawahnya menjadi melesak ke dalam. Karena napas yang keluar pada saat
ia sedang marah
adalah napas tuak satan yang
dapat hadirkan badai dahsyat mengerikan.
"Sekarang terimalah
ajalmu, Randu Papak!
Hiaaat....!"
Sinar merah sebesar telapak
tangan dihantamkan ke arah tubuh Bandar Hantu Malam dalam jarak lima langkah.
Tapi sebelum sinar itu melesat jauh dari telapak tangan Dampu Sabang, Suto
Sinting lebih dulu lepaskan pukulan 'Pecah Raga' dari tangannya. Sinar hijau
itu menghantam sinar merah dan terjadilah ledakan dahsyat yang mengguncangkan
tanah sekitarnya.
Blegaaar...!
Burung-burung yang hinggap di
pohon jauh dari tempat itu berlarian. Beberapa pohon besar tumbang tak karuan.
Tanah sempat retak di beberapa tempat. Kelana Cinta terjungkal sendiri ke
belakang karena hentakan daya ledak tadi. Sedangkan Suto Sinting hanya terdesak
mundur satu tindak, tapi Dampu Sabang terpental jauh dan berguling-guling.
Dampu Sabang segera bangkit
walau wajahnya menghitam legam, mulutnya berdarah dan brewoknya rontok dengan
sendirinya. Dampu Sabang menjadi sangat murka dan berteriak keras-keras.
"Bangsat! Siapa yang mau
ikut campur urusanku ini, hah?!"
"Aku!" jawab Suto
sambil lompat dari persembunyiannya. "Aku, Suto Sinting yang kalahkan
muridmu Wiratmoko dan telah bunuh istrimu yang sesat itu; Nyai Sedah!"
Mata Dampu Sabang merah dan
menjadi liar, ia menggeram sambil melangkah maju dengan penuh nafsu membunuh.
"Bangsat busuk!
Kuleburkan ragamu menjadi satu dengan tanah, murid Gila Tuak! Hiaaah...!"
Tapi Suto Sinting lebih dulu
sentakkan tangannya ke depan. Telapak tangannya dalam keadaan miring. Maka,
puluhan pisau kecil melesat dari telapak tangan itu. Claaap...! Zrruubb...!
Pisau-pisau kecil itu menancap tepat di dada sampai perut Dampu Sabang.
"Ahg...!" Dampu
Sabang tersentak dan diam seketika dengan tangan masih mau disentakkan. Lama
sekali dia tak bergerak. Kelana Cinta dan Bandar Hantu Malam sempat merasa
heran melihat Dampu Sabang bagaikan menjadi patung. Tetapi ketika angin
berhembus kencang, mereka terkejut melihat tubuh Dampu Sabang berhamburan ke
mana-mana. Rupanya pada saat itu Dampu Sabang sudah tak bernyawa lagi.
Pisau-pisau kecil itu telah membuat Dampu Sabang berubah menjadi debu yang
masih saling bergumpalan. Itulah kehebatan dan kedahsyatan jurus 'Manggala'
milik Pendekar Mabuk, pemberian dari Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu.
Dengan terbunuhnya tubuh Dampu
Sabang, maka persoalan Bandar Hantu Malam palsu pun terselesaikan. Ki Randu
Papak segera ditolong olah Suto menggunakan tuak saktinya, dan Suto meminta
maaf kepada tokoh tua yang bijak itu. Sedangkan Ratu Asmaradani tubuhnya
menjadi pulih seperti sediakala, terbebas dari pengaruh
'Racun Siluman' yang juga
dimiliki oleh Dampu Sabang. Hubungan Suto dengan Ratu Asmaradani semakin akrab,
namun hanya sebatas sahabat saja. Tak ada yang berani jatuh cinta kepada Suto,
sebab Suto sudah ada yang punya. Dialah Dyah Sariningrum, Gusti Mahkota
Sejati.
SELESAI