KUIL dikelilingi tembok tinggi
itu hanya berwarna hitam keseluruhannya. Batu-batuan yang dipakai untuk
bangunan kuil tersebut konon berasal dari letusan gunung berapi beberapa puluh
tahun yang lalu. Batuan itu mulanya sebuah gumpalan lahar yang mengeras, membeku
dari tahun ke tahun, dan membentuk warna hitam pada permukaannya.
Batuan itu punya kekerasan
yang menyerupai besi. Tak mudah dihancurkan dengan tangan kosong atau tenaga
dalam yang sedang-sedang saja. Batuan itu pula yang membentengi kuil yang menjadi
satu dengan pemukiman para murid Perguruan Elang Putih.
Tetapi pada satu kesempatan,
seseorang memandang kuil itu sebagai bangunan mewah berwarna putih bersih. Baik
bangunan kuilnya sendiri maupun pemukiman para murid dan tembok tinggi yang
mengelilinginya, adalah berwarna putih bersih. Kuil itu tampak seperti suatu
tempat yang berkharisma tinggi dan punya keagungan terpendam.
Dua pemandangan yang berbeda
sering membuat seseorang berdebat sengit mengenai Kuil Elang Putih itu. Yang
satu bersikeras mengatakan kuil itu berwarna hitam batu, yang satu mengatakan
kuil itu berwarna putih bersih, bahkan jika ada tiga orang, maka yang ketiga
akan ngotot mengatakan kuil itu berwarna abu-abu.
Kadang kadang mereka sama-sama
datang ke sebuah bukit, yang bisa dipakai memandang kearah Kuil Elang Putih
untuk membuktikan pendapat mereka. Jika ada tiga orang, maka dua diantaranya
akan terbengong karena merasa pendapatnya ternyata salah.Ketua Perguruan Elang
Putih adalah seorang guru yang punya kesaktian sejajar dengan para tokoh tua di
kalangan rimba persilatan. Sebuah kekuatan yang dimilikinya bisa membuat
pandangan mata tiap orang berbeda-beda tentang warna bebatuan yang dipakai
membangun kuil tersebut.
Guru besar itu berusia lebih
dari delapan puluh tahun, tapi ia tampak masih muda dan cantik, seperti masih
berusia sekitar empat puluh tahun kurang. Guru besar itu bernama Embun Salju.
Hampir setiap tokoh tua rimba persilatan mengenal nama Embun Salju.
Tapi hanya beberapa yang
mengenal nama asli Embun Salju. Dan pada umumnya, mereka yang mengetahui nama
Embun Salju sebenarnya, tidak ada yang berani menyebutkannya. Karena sesuatu
kekuatan ajaib akan datang pada saat orang menyebut nama Areswara Kandita.
Badai mengamuk dan hujan petir datang pada saat orang menyebutkan nama Areswara
Kandita. Sebab konon, Kandita adalah nama kecil Ratu Penguasa Laut Kidul yang
tak boleh sembarangan menyebutkannya.
Menurut cerita silsilah Nyai
Embun Salju, ibunya pernah mempunyai dua orang suami, dan dari suami yang
pertama melahirkan Embun Salju, dari suami yang kedua melahirkan Ki Padmanaba.
Ibu dari Embun Salju itu adalah prajurit setia dari Ratu Laut Kidul. Pada saat
perempuan itu melahirkan Embun Salju, sang Ratu menitipkan nama Kandita pada
bayi itu dan tak boleh disebutkan oleh siapa pun. Itulah sebabnya, setiap orang
menyebut nama Areswara Kandita, keajaiban alam terjadi.
Embun Salju mewarisi ilmu-ilmu
dan kesaktian yang dimiliki oleh ibunya. Bahkan dulu ia pernah terpilih sebagai
pengganti ibunya menjadi prajurit Laut Selatan, tetapi sang ibu memohon kepada
sang Ratu agar anaknya dibebaskan memilih tempat tinggal kehidupannya. Embun
Salju memilih tinggal di alam kasatmata, menjadi manusia sejati yang mempunyai
sisi kehidupan berbeda dengan kehidupan di dalam Kerajaan Laut Selatan.
Mengenai silsilah cerita hidup
Areswara Kandita sudah banyak diketahui oleh para tokoh rimba persilatan. Dan
hal itulah yang membuat para tokoh menjadi segan terhadap Nyai Guru Embun
Salju. Bahkan beberapa tokoh sesat, seperti Logayo dari Perguruan Kobra Hitam,
tak berani bikin persoalan dengan Embun Salju. Para tokoh sesat punya pendapat,
lebih baik bentrok dengan tokoh sakti lainnya dari aliran putih, ketimbang
harus bentrok dengan perempuan cantik yang menggairahkan itu.
Hanya orang-orang bodoh, orang
orang nekat, dan orang-orang tak waras saja yang sengaja membuat persoalan
dengan Embun Salju. Seperti halnya seorang perempuan tua yang sengaja mencegat
langkah kedua murid Embun Salju itu. Perempuan tersebut berpakaian jubah hitam
dengan pakaian dalamnya yang serba putih kusam. Rambutnya yang putih dikonde
tengah, sisanya meriap ke mana-mana. Perempuan tua yang layak dipanggil nenek
itu membawa sebatang tongkat berujung lengkung dari kayu warna hitam. Tubuhnya
yang kurus dan matanya yang cekung, membuat ia cepat dikenali oleh para tokoh
tua di rimba persilatan. Nenek itu tak lain adalah saudara seperguruan mendiang
Ki Padmanaba. Dia bernama Nini Pasung Jagat. Dialah yang berhasil membunuh Ki
Padmanaba, yang dulu bergelar Dewa Pedang Pamungkas (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Lentera Kematian").
Nini Pasung Jagat memburu
pusaka milik Ki Padmanaba. Tapi ia tak berhasil mendesak Ki Padmanaba untuk
menyerahkan pusakanya itu, sampai akhirnya Ki Padmanaba dibunuhnya. Ia mencoba
mendesak Ekayana, cucu Ki Padmanaba, tapi Ekayana juga tidak tahu menahu
tentang pusaka Ki Padmanaba tersebut, bahkan sekarang Ekayana telah mati di
tangan Pendekar Mabuk yang dikenal dengan nama Suto Sinting. Padahal Nini
Pasung Jagat sangat berkeinginan utuk memiliki pusaka Ki Padmanaba yang bernama
Pedang Wukir Kencana.
Dengan pusaka itu, dia
mempunyai kekuatan yang dapat dipakai untuk mengalahkan setiap orang yang
melawannya, karena Pedang Wukir Kencana mempunyai keampuhan anatara lain, orang
sebodoh apapun jika memegang Pedang Wukir Kencana, maka orang itu akan bisa
bermain ilmu pedang dan mengeluarkan jurus jurus pedang maut yang sukar
ditandingi.
Sayangnya, Nini Pasung Jagat
sudah beberapa kali mencari Kuil Elang Putih tapi tak pernah ditemukannya.
Untuk menemukan tempat kediaman Embun Salju, Nini Pasung Jagat membutuhkan
waktu sudah mencapai hampir satu bulan lamanya, tapi kuil itu belum juga
ditemukan. Nini Pasung Jagat merasa heran sekali, padahal beberapa waktu
sebelumnya, ia pernah melihat kuil tersebut berada diseberang sebuah bukit
gundul yang hanya bertanaman pohon sekitar sepuluh batang dan jaraknya
berjauhan itu.
Karena gagal mencari Kuil
Elang Putih, Nini Pasung Jagat menghadang dua anak buah Embun Salju. Ia
mengenal kedua anak buah Embun Salju itu dari kalung yang dikenakan oleh kedua
gadis itu. Kalung itu dari tali hitam, dengan liontin sepasang sayap terbentang
yang bagian tengahnya berbentuk jantung atau hati, yang mirip daun waru itu.
Liontin kecil itu terbuat dari logam putih mengkilat pada bagian sayap yang
terbentang, dan bagian bentuk jantung terbuat dari logam emas kuning. Itulah
ciri-ciri orang Elang Putih. Wuttt...! Jlegg...!
Nini Pasung Jagat mendaratkan
kakinya dari atas ketinggian pohon, tepat di depan dua gadis orang Elang Putih
itu. Keduanya sama-sama terkejut melihat wajah nenek yang belum dikenalinya
itu.
"Mahasi, kau mengenal
dia?" bisik gadis berpakaian hijau muda itu kepada temannya yang
berpakaian merah jambu. Temannya yang bernama Mahesi itu menjawab dengan
bisikan juga,
"Aku tak kenal dia! Tapi
aku kenal sikapnya yang ingin berbuat jahat kepada kita, Anjarwati!"
"Haruskah kita
melawan?"
"Kita lihat saja nanti,
bersiap-siaplah dan waspada selalu," kata Mahasi yan usianya agaknya lebih
tua dari Anjarwati.
Jika Anjarwati berusia sekitar
dua puluh tujuh tahun, maka Mahasi berusia sekitar tiga puluh tahun.
Terdengar suara Nini Pasung
Jagat tertawa cekikikan, lalu berkata sambil memandang Mahasi dan Anjarwati
secara bergantian,
"Kalau tak salah
penglihatan mata tuaku, kalian adalah murid-murid dari Elang Putih!"
"Benar!" jawab
Mahasi yang berdada lebih montok dari Anjarwati.
"Kalau begitu sangat
kebetulan sekali aku bisa jumpa kalian!"
"Siapa kamu, Nenek
Tua?"
"Gurumu pasti kenal
aku"
"Tapi kami tidak kenal
kamu!" balas Anjarwati.
"Namaku cukup dikenal di
dunia persilatan sebagai tokoh sakti yang berbahaya jika dipancing
kemarahannya. Aku adalah Nini Pasung Jagat!"
Anjarwati dan Mahasi berwajah
biasa-biasa saja, tak ada rona kaget atau heran. keduanya tetap memandang Nini
Pasung Jagat. Kini justru nenek tua itu yang merasa heran dan berkata,
"Kalian tidak terkejut
mendengar namaku?"
"Kami tidak mengenal
kehebatan namamu, Nini! Jadi kuanggap kau manusia biasa," jawab Anjarwati.
"Dasar murid-murid bodoh!
Mau-maunya Embun salju mempunyai murid sebodoh kalian berdua!" kecam Nini
Pasung Jagat dengan rasa dongkol karena dirinya dianggap orang biasa-biasa
saja.
"Apa maumu menghadang
kami, Nini?!" tanya Mahasi tanpa nada keras ataupun bermusuhan. Mahasi
menjaga sikap supaya tetap tenang dan punya wibawa di depan orang yang belum
dikenalnya itu.
"Aku ingin bertemu Embun
Salju!" jawab Nini Pasung Jagat. "Tapi sejak beberapa hari bahkan
beberapa minggu lamanya aku mencari Kuil Elang Putih, aku tak pernah
menemukannya! Jadi kuharap kau mau membawaku menghadap gurumu, si Embun Salju
itu!"
Mahasi dan Anjarwati saling
pandang, mereka tahu, Guru sedang melakukan semadi. Dan biasanya jika Guru
mereka sedang melakukan semadi, maka kuil itu lenyap dan tidak tampak di mata
orang selain di mata orang-orangnya sendiri. Dalam keadaan semadi, Embun Salju
merasa perlu menggunakan "Ajian Halimun" nya, yang membuat kuil
lenyap dari pandangan orang, dengan maksud supaya tidak ada orang datang untuk
mengganggu masa semadinya.
"Nini Pasung Jagat'"
kata Mahasi, "Kami tidak bisa membawamu ke tempat kami, karena guru sedang
melakukan 'sepi jiwa' dan tak boleh diganggu oleh siapa pun!"
"Katakan aku yang datang.
Nini Pasung Jagat, saudara seperguruan Ki Padmanaba, adik guru kalian
itu!"
"Kami tetap tidak bisa
mempertemukan kau dengan Guru!" jawab Anjarwati lebih tegas lagi.
"Harus bisa! Kepada orang
lain, boleh saja ia tidak bisa diganggu dalam keadaan 'sepi jiwa' alias semadi.
Tapi kepadaku ia tidak boleh bersikap begitu!"
"Siapa dirimu, Nini?
Seorang ratu bukan, seorang saudara juga bukan, dewa pun bukan! Mengapa Guru
kau paksa tunduk dengan perintahmu?! Jangan terlalu menyombongkan diri didepan
kami , Nini!"
"Dasar anak-anak
dungu" geram Nini Pasung Jagat. "Aku bisa membuat kuil itu menjadi
hancur dalam sekejab kalau kalian menentang keinginanku! Lekas, bawa aku kepada
Guru kalian!"
"Kami tidak
sanggup!" jawab Mahasi lebih lunak.
"Kalau begitu aku harus
memaksa kalian dengan cara lain! Jangan salahkan aku jika kugunakan cara kasar
untuk membuat kalian menghormat padaku!"
"Cara apa pun yang ingin
kau lakukan, lakukanlah! Tapi kami tetap tak mau membawamu menghadap
Guru!"
Nini Pasung Jagat mengangkat
kedua tangannya, dalam keadaan kedua telapak tangan tengkurap dan mengembang
membuka, tangan itu disentakkan pendek-pendek saja. Bett...! Lalu dari kedua
tangan itu muncul sinar kuning yang melesat bagaikan dua mata pisau. Sinar
kuning itu terbang dengan cepatnya menyerang Mahasi dan Anjarwati.
Seketika itu pula, Mahasi dan
Anjarwati menundukkan kepalanya tanpa melakukan gerak apa pun. Dan tiba-tiba
dalam jarak tiga jengkal di depannya, sinar kuning itu membelok arah
masing-masing ke kanan dan ke kiri. Sinar kuning itu bagaikan membentur dinding
transparan yang tak mudah ditembusnya. Sinar itu bagaikan dibuang oleh Anjarwati
dan Mahasi. Akibatnya, dua buah pohon yang menjadi sasaran sinar kuning itu.
Duarr, duarrr...!
Kedua pohon itu tumbang dan
menjadi hangus pada bagian yang terkena benturan sinar kuning. Sementara itu,
Nini Pasung Jagat sedikit terkesiap melihat cara kedua lawannya menghindari
serangan tenaga dalam berwarna kuning itu. Kedua gadis cantik itu sama-sama
kembali tegakkan kepala dan memandang Nini Pasung Jagat, Mahasi berkata,
"Sebaiknya biarkan kami
lewat, Nini! Jangan ganggu kami lagi!"
"Kalian harus kupaksa mau
menuruti keinginanku! Heeaah...!"
Nini Pasung Jagat melompat
secara tiba-tiba, kaki tuanya itu begitu cepat menendang ke kanan-kiri secara
serentak. Plak, bukk...! Kedua kaki yang tiba-tiba menendang dalam tendangan
bersamaan itu mengenai wajah Anjarwati, yang satu bisa ditangkis dengan
kelebatan tangan Mahasi.
Akibat tendangan itu,
Anjarwati terpelanting jatuh dalam jarak antara empat langkah dari tempatnya
berdiri semula. Nini Pasung Jagat segera melompat berguling sambil menyanggah
tongkatnya yang tadi dilepaskan pada waktu ia melepaskan pukulan tenaga dalam
berwarna kuning itu. Kini dengan tongkatnya ia menyabet kepala Anjarwati yang
baru saja bangkit dari jatuhnya. Wuttt!
Anjarwati tundukkan kepala
seketika itu, dan tongkat tersebut terpental sendiri bagai memukul benda yang
empuk seperti karet. Dalam kesempatan itu, Mahesi segera melompat dan mencabut
pedangnya. Ia ingin menyerang Nini Pasung jagat yang membahayakan Anjarwati.
Namun tiba-tiba ujung tongkat
yang bawah menyodok ke belakang dan hampir saja mengenai mata Mahasi. Untung
Mahasi segera kelebatkan pedangnya menangkis sehingga ia terhindar dari sodokan
tongkat yang berbahaya itu. Dikatakan tongkat berbahaya, karena ketika pedang
Mahasi menepisnya, terjadi percikan api yang cukup terang dan suara letupan
kecil menyertainya. Tarrr...!
Nini Pasung Jagat segera
membalik dan menendangkan kakinya yang kanan untuk menampar pipi Mahasi.
Plokkk...! Telak sekali pipi Mahasi terkena tendangan bertenaga dalam itu, yang
membuat Mahasi berjungkir balik di tanah karena terpental, nyaris membentur
batok kepalanya.
Pada saat itu pula, Anjarwati
mencabut pedangnya dan menyerang Nini Pasung Jagat dari belakang. Tetapi
gerakan nenek tua itu cukup lincah, ia segera menyodokkan tongkatnya ke
belakang dengan posisi satu kaki berlutut di tanah.
"Heaaaah....!"
Pekiknya keras dan mantap.
Sodokan itu tepat mengenai ulu
hati Anjarwati. Sodokan itu membuat Anjarwati mendelik, lalu memuntahkan darah
kental di mulutnya. Pedang di tangannya jatuh, mulut mengeluarkan asap biru
samar-samar. Anjarwati pun segera rubuh, untuk beberapa kejap ia tak bernyawa
lagi. Terkulai lemas di samping pedangnya.
"Anjar...!" seru
Mahasi dengan mata membelalak kaget bercampur marah. Ia melihat temannya gugur
dengan satu kali sodokan tongkat itu. Itu membuat Mahasi naik pitam dan segera
menyerang Nini Pasung jagat yang terkekeh-kekeh menertawakan kematian
Anjarwati.
"Kubalas kematian temanku
itu., Nenek tua! Hiaaaaaat...!"
Trak Trak behgg...!
Nini Pasung Jagat berkelebat,
tangannya bergerak cepat memainkan tongkat lengkungnya. Pedang Mahesi yang
ditebaskan beberapa kali itu berhasil ditangkisnya, bahkan tongkat itu berhasil
membuat gerakan menggebuk dengan kuat, mengenai pinggang belakang Mahasi,
membuat tubuh Mahasi melengkung kesakitan, dan ia pun jatuh dalam keadaan
berlutut.
"Bawa aku kepada gurumu,
atau kubawa nyawamu ke neraka?!" ancam Nini Pasung Jagat dengan membiarkan
Mahasi mengerang lirih kesakitan.
Tulang punggung Mahasi terasa
patah. Kulit pinggangnya bagaikan melepuh memar membiru, sakit sekali disentuh
dengan pelan pun. Mahasi bagai kehilangan tenaga setelah digebuk pinggangnya,
gebukan itu jelas gebukan bertenaga dalam cukup besar, sehingga membuat seluruh
urat tubuh Mahasi bagaikan putus.
"Pukulan tongkatnya
benar-benar maut" pikir Mahasi sambil memulihkan keadaannya. "Aku
hampir saja dibuatnya lumpuh! Rasa-rasanya aku harus lakukan penyerangan
mematikan! Tak boleh sekadar mengajarnya sebagai pelajaran saja! Jurus pedang
maut harus kugunakan, karena sudah terpaksa!"
Terdengar suara Nini Pasung
Jagat membentak, "Bangkit! Cepat bawa aku kepada gurumu, Bocah
Bodoh!"
Mahasi pun segera berdiri.
Pinggang yang terasa sakit itu ditahannya kuat-kuat. Jurus pedang maut segera
digunakan. Mahasi memejamkan mata, dan pedangnya menjadi menyala merah membara.
Wusssst... !
Pedang yang seperti habis
dipanggang di dalam api itu dikibaskan ke arah Nini Pasung Jagat. Hawa panas
melebihi lahar gunung berapi mulai menyebar. daun-daun menjadi layu dan rontok,
ranting dan dahan pun mengerut layu. Rumput menguning, lalu kering berwarna
coklat.
Seharusnya tubuh manusia akan
melepuh dan merah matang karena hembusan hawa panas dari pedang Mahasi, tetapi
Nini Pasung Jagat hanya berdiri dengan diam, mata memandang sayu, tangan
menggenggam tongkatnya kuat-kuat. Tubuhnya bergetar. Lalu, tiba-tiba kepala
tongkat yang berbentuk lengkung itu disodokkan ke depan.
Wusss... !
Kepala tongkat itu
menyemburkan asap putih, dan asap putih menggumpal bagaikan kabut, lalu melesat
membungkus pedang Mahasi yang masih diangkat untuk ditebaskan kembali, begitu
pedang berwarna merah membara itu dibungkus kabut putih, tiba-tiba terdengar
seperti besi membara dimasukkan ke dalam air dingin.
Jrosss...!
Tiba-tiba pula pedang itu
menjadi padam, kembali ke warna aslinya. tak ada nyala merah membaralagi dan
gumpalan kabut itu pun bagai terserap habis.
"Hiaaaah...!"
Zlappp...! Sinar biru melesat
dari pangkal telapak tangan Nini Pasung Jagat. Sinar biru itu menghantam cepat,
tapi pedang Mahasi berkelebat menangkisnya. Trangng...blarrr...!
Tubuh Mahasi terpental akibat
pedangnya dipakai menangkis sinar biru itu. Ledakan tersebut menimbulkan
gelombang besar yang membuat tubuh Mahasi terbang ke belakang, lalu membentur
pohon besar. Begggh...!
"Hehggg...!" Mahasi
tersentak napasnya, tersembur darah merah dari mulutnya. Ia terluka bagian
dalam. Lukanya amat membahayakan, sehingga dengan cepat ia melarikan diri
meninggalkan pertarungannya. Nini Pasung Jagat sengaja mengejar untuk mengikuti
kepergian lawannya.BUKIT gersang di depan Kuil Elang Putih itu dinamakan orang
sebagai Bukit Perawan. Dikatakan demikian, karena bukit itu jika malam bulan
purnama sering digunakan muda-mudi untuk saling memadu kasih. Kadang beberapa
gadis yang belum punya pasangan, datang ke bukit itu untuk menikmati suasana
terang bulan purnama, dan disana mereka mendapat teman bicara, mendapat
kenalan, kemudian saling jatuh cinta.
Namun sejak orang-orang Kobra
Hitam dalam pimpinan Dewa Murka yang bernama asli Logayo bercokol di lembah
Kabut, Bukit Perawan itu menjadi sepi. Orang-orang perguruan Kobra Hitam yang
beraliran sesat itu sering datang ke bukit tersebut mencari mangsa. Karena,
letak lembah kabut tak seberapa jauh dari Bukit Perawan. Dengan menyebrangi
Perkampungan Orang-orang Kate, mereka bisa mencapai Bukit Perawan, tetapi jika
dari Kuil Elang Putih, hanya berjalan lurus menerobos hutan kecil, sudah bisa
mencapai Bukit Perawan yang tak seberapa tinggi itu.
Kali ini, dua orang bertampang
menyeramkan sedang duduk di atas sebuah batu di Bukit Perawan itu. Dua orang
tersebut sudah lebih dari tiga hari berada disana, menunggu sesuatu yang sangat
diharapkan. Mereka adalah Logayo dan Rangka Cula.
Seperti telah dikisahkan dalam
'Lentera Kematian', Logayo mempunyai orang-orang kuat yang menjadi guru untuk masing-masing
ilmu. Mereka adalah Ekayana, guru pedang yang bergelar Malaikat Maha Pedang.
Brajawisnu, guru ilmu racun yang bergelar Iblis Maha Racun, dan Pancakana, guru
ilmu cambuk yang bergelar Hantu Naga Belah. Tiga orang kuat itu mati di tangan
Suto Sinting, Pendekar Mabuk. Pancakana sempat melaporkan pertarungannya dengan
Suto Sinting, dan selesai melaporkan kematian kedua rekannya, Pancakana pun
menghembuskan napas terkahirnya di depan Logayo.
Kini Logayo tinggal mempunyai
satu orang kuat, yaitu Rangka Cula. Orang yang bertubuh kurus kering bermata
cekung angker dan berambut kucal tanpa ikat kepala itu, adalah orang istimewa
buat Logayo. Rangka Cula boleh dikatakan guru segala macam ilmu. Ia menguasai
ilmu pedang, sejajar dengan Ekayana, ia menguasai ilmu racun sejajar dengan
Brajawisnu, ia menguasai ilmu cambuk sejajar dengan Pancakana, bahkan ia juga
menguasai ilmu toya dan ilmu panah yang cukup handal. Rangka Cula juga
mempunyai kekuatan batin cukup tinggi, sehingga di kalangan orang-orang Kobra Hitam
ia dikenal dengan julukan Manusia Maha Sihir.
Rangka Cula ditugaskan dalam
keadaan sangat genting. Dia termasuk orang yang jarang bicara jika tidak perlu.
Tak pernah tersenyum,tak pernah bercanda. Ia yang mendapat tugas menyelidiki
kematian orang-orang Kobra Hitam yang mayatnya bergelimpangan di dekat jembatan
bambu. Rangka Cula itu pula yang mengetahui adanya seseorang berpakaian serba
hitam sampai kepala, dan hanya kelihatan bagian matanya saja. Rangka Cula
melihat orang itu meletakkan lentera dan lentera itulah sumber racun ganas yang
selama ini mematikan banyak orang Kobra Hitam.
Sayang sekali Rangka Cula tak
berhasil menangkap manusia serba hitam itu. Tetapi lentera yang berlumur Racun
Getah Tengkorak telah berhasil disita olehnya. Dan pada saat lentera itu
ditemukan, orang-orang Kobra Hitam tinggal delapan orang termasuk Logayo
sendiri dan Rangka Cula. Jumlah orangnya yang mati karena racun itu mencapai
empat puluh lebih. Kobra Hitam kini kehabisan anggota, nyaris musnah semua
dimakan Racun Getah Tengkorak.
Secara kejiwaan, Logayo kalah
total dengan manusia serba hitam itu. Hatinya menjadi sangat penasaran, ingin
mengetahui siapa sebenarnya orang serba hitam yang mempunyai Racun Getah
tengkorak itu? Untuk menanyakan hal tersebut, Logayo perlu menemui Embun Salju.
Pengalaman Logay di rimba persilatan, belum seberapa jika disbanding Embun
salju, karena memang Embun salju sebenarnya tokoh tua namun berwajah muda dan
cantik.
Tetap rupanya Logayo tidak
bisa langsung menemui Embun Salju, karena ia tidak bisa melihat Kuil Elang
Salju. Kuil itu hilang, dan Logayo menunggu di Bukit Perawan sampai beberapa
hari. Ia menunggu munculnya kuil tersebut dengan ditemani Rangka Cula.
Repotnya, walaupun ia mempunyai teman di sana, tapi sama saja ia sendirian,
karena Rangka Cula jarang mau bicara. Sekali bicara hanya sepatah dua patah
kata saja.
Ilmu kekuatan batin Rangka
Cula tak bisa dipakai menembus hilangnya Kuil Elang Putih. Berkali-kali Logayo
memerintahkan Rangka Cula untuk melacak hilangnya kuil tersebut, berualng kali
pula Rangka Cula meneropomng dengan kekuatan batinnya yang mampu menghadirkan
ilmu sihir maut, tapi Rangka Cula tetap tidak berhasil.
Setelah beberapa hari, barulah
mereka menemukan bentuk Kuil Elang Putih. Kuil tersebut muncul kembali, dan
Logayo merasa lega. Maka, Logayo segera membawa Rangka Cula menuju Kuil Ealng
Putih. Logayo tahu, jika Kuil Elang Putih sudah bisa dilihat mata telanjang,
maka itu berarti Embun salju sudah siap menerima tamu siapa saja.
Kehadiran Logayo dan Rangka
Cula disambut oleh perempuan cantik berpakaian ketat, dadanya terlihat mulus
dari belahan yang tersumbul dibalik pakaian ketatnya itu. Rambut disanggul
sebagian. Perempuan cantik itu semakin kelihatan cantik dengan pakaian warna
ungunya. Namun Logayo dan Rangka Cula tak berani bersikap kurang ajar kepada
perempuan yang dikenalnya bernama Dewi Anjani itu.
"Aku ingin bertemu dengan
Embun Salju," kata Logayo dengan sikap halus yang masih tampak kasar dan
kampungan.
"Ada perlu apa?"
Tanya Dewi Anjani dengan keramahan yang penuh wibawa, membuat lawan bicaranya
sering merasa sungkan.
"Aku punya kesulitan. Aku
mau minta bantuan. Maksudku, minta saran dan pendapat kepada Embun Salju!"
"Tunggu sebentar, aku
bicarakan dengan beliau!"
Dewi Anjani pun pergi,
sementara Logayo dan Rangka Cula belum diizinkan masuk pekarangan kuil
tersebut. Mereka dibiarkan berdiri diluar pintu gerbang dengan dua penjaga
bersenjatakan tombak. Logayo tak sabar dan kelihatan gelisah. Ia tak suka
diperlakukan seperti itu, tapi ia terpaksa dan setengah dipaksa untuk mau
menerima perlakuan demikian. Iseng-iseng ia bertanya kepada Rangka Cula,
"Bagaimana
menurutmu?"
"Bertele-tele!"
jawab Rangka Cula dengan datar dan dingin. Ia masih menenteng pedang panjangnya
yang jarang diselipkan di pinggang. Pedang panjangnya itu mempunyai gagang
runcing dari cula badak. Itu sebabnya ia dikenal di dunia persilatan sebagai
Rangka Cula, manusia kurus tinggal kerangka, ibaratnya, dan bersenjata pedang
bergagang cula badak.Wajahnya yang dingin tapi berkesan angker itu ditatap
Logayo, kemudian Logayo bertanya lagi,
"Kita harus sabar
menunggu, mengikuti aturan di sini!"
"Terjang saja!" ucap
Rangka Cula, kemudian bergegas masuk dengan melompat mendobrak pintu. Tapi
Logayo buru-buru menahannya.
"Jangan! Nanti bisa membuat
rencana kita kacau! Kita harus tunjukkan sikap baik kepada Embun Salju, supaya
Embun Salju mau membantu kita menangkap manusia serba hitam itu! Setidaknya
kita bisa tahu, apakah orang dari sini atau bukan yang mempunyai Racun Getah
tengkorak itu!"
"Baik!" jawab Rangka
Cula dengan pandangan mata dingin.
Dalam beberapa saat kemudian,
Logayo dan Rangka Cula diterima oleh Embun Salju disebuah ruang semacam bangsal
pertemuan. Embun Salju sempat memukau Logayo dengan kecantikannya yang serupa
dengan bidadari kayangan. Berpakaian serba putih, dengan jubah putihnya juga
yang dari bahan lembut bagaikan sutera, dengan pinjung sebatas dada yang
berwarna putih dan menampakkan gumpalan mulus tak bercacat sedikit pun.
Wajahnya sendiri begitu memukau, berhidung mancung, berbibir tak terlalu tebal
namun menggairahkan, bermata sedikit besar namun berbentuk indah dan berbulu
lentik, mengenakan kalung ciri Elang Putih yang berukuran lebih besar dari
kalung-kalung yang dikenakan oleh anak buahnya.
Rambutnya diurai panjang sebatas
pinggang dengan ikat kepala dari logam emas berukir membentuk mahkota berbatu
indah. Di ujung mahkotanya membentuk hiasan sekor elang sedang membentangkan
sayapnya dengan mata elang yang merah dari bebatuan merah delima kecil.
Logayo sempat berbisik kepada
Rangka Cula, "Kalau dia bukan orang sakti, mau rasaanya aku
mengawininya!"
Tak ada senyum atau tawa di
mulut Rangka Cula, ia hanya mengangguk tipis. Tapi Embun Salju segera berkata
dan tersenyum tawar,
"Jangan berpikiran
menyimpang, Logayo! Katakan saja apa maksud kedatanganmu menemuiku?"
Logayo menjadi tersipu malu
karena bisik-bisiknya tertangkap oleh indera pendengaran Embun Salju. Kejap
berikutnya, Logayo pun segera berkata,
"Aku mengalami musibah,
Embun Salju."
"Itu karena kau penyebar musibah,"
jawab Embun Salju dengan penuh wibawa dan kharisma tinggi.
"Lanjutkan...!"
Rangka Cula sudah
menggenggamkan tangan mendengar ucapan Embun Salju tadi. Tapi Logayo segera
memandang, memberi isyarat agar Rangka Cula tetap tenang. Logayo segera melanjutkan
kata-katanya dengan suara berat, sesuai dengan badannya yang besar seperti
raksasa, berwajah ganas, dan brewokan.
"Ada seseorang yang
membantai habis anak buahku. Ia menggunakan sebuah lentera!"
"Sebuah lentera?!"
guman Embun Salju dengan dahi berkerut. "Bagaimana maksudmu? Sebuah
lentera dipakai membunuh?"
"Benar. Lentera itu
adalah jebakan. Lentera itu dilapisi racun ganas, siapa yang memegang lentera
itu akan termakan racun ganas. Tak sampai lebih dari seratus helaan napas,
orang itu akan mati. Dan mayatnya mengeluarkan banyak keringat berbau amis
darah. Siapa menyentuh mayat itu, dia akan ketularan dan mati pula dalam
keadaan sama seperti korban sebelumnya. Jadi racun itu adalah racun berantai,
satu kali mengenai orang, bisa empat-lima orang yang mati bersamanya."
"Racun Getah
Tengkorak!" sebut Embun Salju, menunjukkan bahwa ia juga mengenal jenis
racun.
"Racun itu sangat langka
dan sukar didapat."
"Memang benar! Lalu, apa
maksudnu mengutarakan semua ini padaku, Logayo?!"
"Apakah kau mempunyai
racun itu?"
"Tidak," jawab Embun
Salju. "Tapi kalau kau menginginkan Racun Getah Tengkorak, aku bisa
menunjukkan dimana kau bisa memperoleh pohon tengkorak itu, lalu carilah
sendiri getahnya !"
"Kau tahu di mana
terdapat pohon tengkorak itu ? "
"Tahu."
"Kau pernah menunjukkan
tempat itu kepada seseorang ?"
"Belum, " jawab
Embun Salju. "Dan kalau kau mencurigai orangku yang berbuat begitu, kau
salah alamat ! Kalau orangku mau membunuh kalian, pasti akan datang dan
bertarung sampai mati ! Tidak ada yang menggunakan cara seperti itu !"
"Aku tidak menuduh dan
mencurigai orang-orangmu, tapi."
"Pertanyaanmu sudah
mewakili kecurigaanmu terhadap kami !" sahut Embun Salju dengan cepat,
membuat orang berperawakan seperti raksasa itu menjadi gelagapan sebentar.
"Baiklah," akhirnya
Logayo secara tak langsung mengakui kekeliruannya. "Sekarang aku ingin
minta pendapatmu, siapa kira-kira orang yang memiliki Racun Getah Tengkorak
itu?"
"Yang kukenal disini
hanya satu orang," jawab Embun Salju.
"Siapa?!" desak
Logayo dengan berdebar-debar.
"Manusia serba
hitam!"
"Ya, memang kami
memergoki manusia berpakaian serba hitam, tapi kami tak mengenali wajahnya dan
tak berhasil menangkapnya. Siapa manusia serba hitam itu?"
"Jompo Keling."
Logayo berkerut dahi karena
merasa asing dengan nama itu, "Jompo Keling...?!" Ia menggumam sambil
menatap Rangka Cula. Orang yang ditatapnya juga memandangnya beberapa kejap,
kemudian dengan bibir terkatup ia menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak
mengenal nama Jompo Keling.
"Siapa Jompo Keling itu,
Embun Salju?!"
"Tokoh tua, bekas seorang
pengembara yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan!"
"Aku.... aku tidak kenal
dengan Jompo Keling. Mengapa dia menyerangku?"
"Pasti kau punya salah
padanya!"
"Aku tidak kenal dengan
dia! Bagaimana aku punya salah dengannya jika aku tidak mengenalnya dan belum
pernah bertemu dengan dia!"
"Tidak mungkin!"
Embun Salju geleng-geleng kepala. "Kau pasti punya salah kepada orang
itu."
"Hmmm... bagaimana
ciri-cirinya?!"
"Kulitnya serba hitam
keling, sampai pada kuku jari tangan dan kakinya, bahkan sampai pada giginya
juga berwarna hitam!"
Logayo memandang Rangka Cula
lagi. Oang berjubah abu-abu itu mengeleng-geleng kepala pelan. Hampir tak
terlihat. Kemudian Logayo menatap Embun Salju dan berkata,
"Tidak. Kami tidak pernah
berjumpa orang seaneh itu! Hmmm. di mana tempat tinggalnya orang itu?!"
"Dia pengembara, aku tak
tahu di mana ia tinggal. Tapi kalau kau mau menemui kuburannya, aku bisa
menunjukkan di mana tempat ia dikuburkan!"
Terperanjat Logayo seketika
itu juga. Berkerut keningnya memandang Rangka Cula. Tapi yang dipandang hanya
dingin-dingin saja, tanpa rasa kaget dan heran.
"Jadi, orang yang bernama
Jompo keeling itu sudah meninggal?"
"Sudah lima tahun yang
lalu!" jawab Embun Salju dengan tegas.
"Lima tahun.?!"
Sudah lima tahun dia dikubur?! Aneh...!" ucap Logayo semakin dibuat
bingung oleh jawaban-jawaban Embun Salju. Kemudian sambungnya lagi,
"Peristiwanya baru
beberapa hari yang lalu, Embun Salju! Rangka Cula ini yang melihat sendiri orang
serba hitam membawa lentera. Baru beberapa hari yang lalu!" tegas Logayo
dalam keheranannya.
"Kalau begitu, orang
berpakaian serba hitam itu bukan Jompo Keling. Pasti orang lain!"
"Siapa?"
"Aku tidak tahu."
"Dia punya murid?"
"Dia pengembara yang tak
pernah punya murid, tapi tentunya dia punya banyak sahabat, karena dia orang
baik!"
"Hmmm...!" Logayo
berpikir sebentar. Kemudian bertanya lagi,
"Apakah dia punya cucu
atau ahli waris?"
"Dia hidup sebatang kara
sampai saat matinya!" jawab Embun Salju.
"Hmmm...! Lalu, siapa
orang berpakaian serba hitam dan menggunakan Racun Getah Tengkorak itu?"
"Aku tidak bisa menjawab
pertanyaanmu kali ini, Logayo. Yang jelas, orang itu pasti kenal kamu, pasti
punya dendam padamu, dan pasti bukan Jompo Keling."
Logayo menarik napas. Ia
merasa menemukan jalan buntu walau sudah mendapat beberapa keterangan tentang
racun itu. Kemudian, ia mencoba bicara lagi dengan Embun Salju,
"Apakah... apakah kau
bisa membantuku menangkap orang itu?"
"Aku punya urusan
sendiri. Tak baik aku ikut campur urusan orang lain, sementara aku belum becus
mengurus diri sendiri!"
"Aku minta bantuan
padamu! Bukan kau ikut campur, tapi aku meminta bantuanmu, Embun Salju! Bantuan
untuk menangkap orang berpakaian serba hitam dan mempunyai Racun Getah
Tengkorak!"
"Kobra Hitam sudah cukup
banyak punya orang sakti dan berilmu tinggi. Kurasa bantuanku tak ada
artinya!"
"O, tidak! Bukan begitu,
Embun Salju.! Kami tidak punya orang sakti seperti kau."
"Buktinya orang Kobra
Hitam sudah berani cari gara-gara dan berbuat onar di mana-mana! Bukankah itu
berarti orang Kobra Hitam sakti-sakti dan tidak ada yang mampu
mengalahkannya?"
Kata-kata itu sangat tajam,
bagaikan pisau cukur yang menggores hati Logayo dan Rangka Cula. Sebuah
sindiran yang menyerang batin membuat darah Logayo mulai panas. Wajahnya kaku
dan matanya tajam memandang Embun Salju. Begitu pula halnya dengan Rangka Cula.
Tulang gerahamnya yang tampak menonjol di pipi itu bergerak-gerak menggeletuk
mendengar sindiran menyakitkan itu. Tangan Rangka Cula sudah memegang gagang
pedang. Matanya yang dingin juga menatap Embun Salju.
Tetapi Embun Salju dan Dewi
Anjani yang mendampinginya tetap tenang. Tak sedikitpun kelihatan cemas melihat
sikap memandang Logayo mengandung makna permusuhan. Bahkan Embun Salju berkata,
"Kalau kita menanam padi,
kita pasti akan menuai padi. Kalau kau menanam maut, kau pun akan menuai
maut!"
"Kau tak perlu
mengguruiku, Embun Salju!" suara Logayo sudah mulai bernada menggeram.
"Kalau kau tak memerlukan
Guru, jangan datang kemari dan bertanya tentang racun itu!" balas Embun
Salju dengan sikap tenang.
Mata tajam dan angker itu
melirik Rangka Cula. Sekilas Rangka Cula membalas, kemudian kembali memandang
Embun Salju. Yang dipandang pun tak mau berkedip menatapnya. Embun Salju dan
Rangka Cula saling pandang beberapa saat lamanya. Hening diantara mereka.
Tiba-tiba dari mata Embun
Salju yang indah itu mengeluarkan asap samar-samar seperti terbakar suatu
kekuatan batin dari lawan yang dipandanginya. Asap itu makin jelas berwarna
kehitam-hitaman. Mata Embun Salju masih belum berkedip. Dewi Anjani mulai
cemas, tangannya sudah berada di gagang pedang, siap mencabut sewaktu-waktu.
Tetapi asap tipis itu segera
menghilang. Kini pusat perhatian Logayo dan Dewi Anjani beralih pada Rangka
Cula. Logayo terkesiap melihat ada air mata yang keluar dari sudut mata Rangka
Cula. Air mata itu berwarna merah. Dan Logayo tahu persis, itu bukan air mata,
tapi darah! Merembes darah itu keluar dari kedua mata Rangka Cula.
Tubuh Rangka Cula bergetar,
berkeringat, dan keringat itu mulai berubah warnanya menjadi kotor, tidak
bening lagi. Makin lama keringat itu berubah abu-abu seperti nanah menyebarkan
bau amis. Wajah Rangka Cula pun memucat, bibirnya yang gemetar membiru. Darah
masih mengucur dari kelopak matanya. Kedua tangannya meremas kuat-kuat sampai
sebagian kukunya ada yang menembus masuk ke dalam kulit telapak tangannya.
"Cukup! Cukup!"
teriak Logayo dengan keras. Rangka Cula pun tertunduk kepalanya, lemas
gerakannya. Ia hampir jatuh dan segera ditangkap tangan Logayo, sedangkan Embun
Salju tetap sunggingkan senyum tipis, sebagai senyum kemenangan dalam beradu
kekuatan batin.LEWAT tengah siang, penjaga pintu gerbang Kuil Elang Putih
dikejutkan dengan munculnya Mahasi yang berwajah pucat pasi. Langkahnya gontai,
namun berhasil mendekati pintu gerbang kuil dan segera ditolong oleh salah
seorang penjaga pintu gerbang itu.
"Mahasi?! Ada
apa.?!" seru orang yang menangkap tubuh Mahasi yang terkulai lemas itu. Ia
segera berseru kepada rekannya yang ada di bagian dalam, di balik pintu gerbang
itu,
"Panggil Dewi Anjani!
Mahasi terluka!"
Orang yang menjaga bagian
dalam itu terkejut melihat Mahasi mengeluarkan darah dari mulutnya, pakaiannya
terkena bercak-bercak darah dan sangat mengkhawatirkan. Orang itu segera
berlari menemui Dewi Anjani yang menjadi perantara antara Nyai Guru Embun Salju
dengan para murid lainnya.
"Dewi Anjani....! Mahasi
terluka!"
"Hah...?! Di mana dia
sekarang?!"
"Ada di pintu
gerbang!"
Waktu itu, Dewi Anjani sedang
bicara dengan Embun Salju mengenai Racun Getah Tengkorak dan musibah yang
melanda Perguruan Kobra Hitam. Mendengar Mahasi terluka, Dewi Anjani segera
berlari ke pintu gerbang, sedangkan Embun Salju melangkah cepat sampai di depan
balairung.
Di sana ia berdiri dengan
tangan dikebelakangkan, memandang kearah pintu gerbang yang menjadi gaduh
karena kemunculan Mahasi. Segera Dewi Anjani membawanya ke balairung itu, tapi
Embun Salju memerintahkan Anjani untuk membawa Mahasi ke ruang penyembuhan.
Hanya Embun Salju dan Dewi
Anjani yang masuk ke ruang penyembuhan, yang lainnya berjaga-jaga di luar dan
saling membicarakan. Embun Salju segera melakukan pengobatan terhadap diri
Mahasi, yang saat itu sudah dibaringkan di atas sebuah ranjang dari batu
plesteran yang dilapisi tikar tebal.
"Buka semua
pakaian!" kata Embun Salju. "Jangan sampai ada penghambat jalan
darahnya! Ia terluka cukup parah. Tapi masih bisa diselamatkan!"
Setelah Dewi Anjani melepaskan
semua pakaian Mahasi dengan cepat, maka Embun Salju segera menyalurkan hawa
murninya ke dalam tubuh Mahasi. Telapak tangannya menjadi bercahaya putih
keperakan. Kedua telapak tangan itu ditempelkan terutama di bagian dada Mahasi
yang masih kencang namun montok itu. Telapak tangan itu bukan menempel tepat di
dua buah bukit Mahasi, melainkan di bagian atasnya.Kejap berikutnya, Mahasi
menjadi gemetar.
Sekujur tubuhnya bergerak
seperti orang menggigil. Telapak tangan Embun Salju yang menyala putih perak
itu masih menempel di atas dada Mahasi. Telapak tangan itu berasap tipis. Dan
ruangan yang tertutup itu menjadi dingin beberapa saat. Dewi Anjani sendiri
sampai mendekap kedua lengannya sendiri.
Telapak tangan Embun Salju
berpindah ke bagian perut Mahasi. Menempel di sana dan membuat Mahasi mengerang
kecil sambil menggigil. Udara di kamar bertambah dingin bagaikan di dalam ruang
es. Tubuh Dewi Anjani sendiri samapi menggigil juga menahan hawa dingin itu.
Beberapa saat setelah itu,
cahaya perak padam dari tangan Embun Salju. Kini Embun Salju memusatkan
kekuatannya pada kedua jarinya, yaitu jari tangan kanan-kiri. Kedua jari itu
menekan bagian pelipis Mahasi. Dan kedua jari itu pun menyala merah bagaikan
besi terbakar. Pada saat itu, ruangan yang dingin menjadi berkurang. Lalu,
menjadi hangat. Dan Embun Salju berhenti melakukan pengobatan.
Mahasi tersentak tiba-tiba dan
segera memuntahkan darah hitam. Muntahnya darah hitam itu membuat Embun Salju
tersenyum. Ia berkata kepada Anjani,
"Dia tertolong! Lekas
ambilkan air hangat untuk diminumkan!"
Menurut Embun Salju, terlambat
sedikit saja, Mahasi akan mati. Pukulan yang diterimanya dari lawan telah
membuat jantungnya merembaskan darah di luar saluran darah semestinya. Pukulan
itu mempunyai hawa pembusuk, yang dapat membuat sekujur tubuh Mahasi menjadi
busuk.
"Siapa yang melakukannya?"
tanya Embun Salju setelah Mahasi agak segar dan sudah mengenakan pakaiannya
kembali.
"Seorang perempuan tua
yang mengaku bernama Nini Pasung Jagat!"
"O, dia.?!" Embun
Salju mangut-mangut.
"Siapa Nini Pasung Jagat
itu, Nyai Guru?" tanya Dewi Anjani.
"Saudara seperguruan adik
tiriku, Padmanaba!"
"Dia memaksa saya untuk
bertemu dengan Guru, tapi saya menolak membawanya kemari. Bahkan...bahkan
Anjarwati..."
"O, iya! Bukankah kau
pergi dengan adikku Anjarwati? Ke mana dia sekarang?!" sergah Dewi Anjani.
"Dia tewas, dibunuh orang
itu!"
"Hahh...?!" Dewi
Anjani terpekik kaget. Embun Salju terkesiap dan segera menarik napas
dalam-dalam, menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dadanya, yaitu
sebuah murka.
Dewi Anjani merah mukanya.
Terengah-engah napasnya. Matanya menyipit memancarkan duka dan dendam yang
bergumul menjadi satu. Ia berkata kepada Embun Salju dengan suara gemetar
menahan luapan marah,
"Guru, izinkan saya
mencari dia dan membalas kematian Anjarwati!"
"Dia bukan lawanmu,
Anjani!"
"Saya harus membalas
kematian itu, Guru!"
"Silakan kalau kau
nekat!" jawab Embun Salju.
Pada saat Dewi Anjani keluar
dari kamar penyembuhan, seorang murid berusia muda, sekitar dua puluh dua
tahun, segera datang dengan napas terengah-engah dan wajah tegang.
"Kakak, di luar ada
seorang pengacau! Perempuan tua yang mengaku Nini Pasung Jagat mendesak masuk
dan membunuh dua penjaga! Sekarang sedang dihadapi oleh Irandani dan Pujarini,
Kak!"
Laporan itu didengar oleh
Embun Salju. Langkah kaki perempuan berpakaian serba putih itu masih tetap
tenang. Ia menyusuri lorong penghubung dari ruang penyembuhan ke balairung
dengan langkah tidak terlalu tergesa-gesa, tapi hatinya membatin,
"Apa maunya nenek itu
datang dan mengamuk padaku? Seingatku tak ada salahku padanya! Haruskah aku
turun tangan dan mengakhiri riwayat hidupnya? Lalu, bagaimana dengan Ki
Padmanaba? Apakah dia tidak menuntut balas padaku jika aku membunuh Pasung
Jagat?!"
Embun Salju masih belum tahu,
bahwa Ki Padmanaba sudah dibunuh oleh Nini Pasung Jagat. Karenanya, Embun Salju
merasa bimbang dan ragu-ragu untuk bertindak lebih tegas lagi. Karena pada
dasarnya Embun Salju tidak mau bentrok dengan adiknya, walau hanya adik tiri,
karena selama ini ia telah menjalin hubungan persaudaraan yang baik dan saling menolong.
Dewi Anjani sengaja menyuruh
beberapa orangnya untuk mendesak Nini Pasung Jagat supaya menjauhi pintu
gerbang. Penjagaan di pintu gerbang lebih diperketat lagi. Dewi Anjani sendiri
segera keluar dari halaman kuil tersebut dan melihat dengan mata kepala sendiri
si nenek tua itu membunuh Irandani dan Pujarini.
"Keji...!" geram
Dewi Anjani, lalu dengan cepat ia menyentakkan kedua tangannya, melepaskan
pukulan jarak jauh sebagai pendorong tubuh lawan. Wukkk...! Tenaga yang
terkirim itu melesat menghantam Nini Pasung Jagat. Tenaga itu membuat Nini
Pasung Jagat terlempar jauh bagai boneka kayu yang dibuang begitu saja.
Brukk...! Nini Pasung Jagat
jatuh di rerumputan beralang-alang lumayan tinggi. Tapi ia segera bangkit dalam
satu sentakan pimggul, tahu-tahu ia sudah berdiri dan menggenggam tongkatnya
dengan kuat.
Matanya memandang seorang
perempuan muda seusia Mahasi yang sedang menghampirinya.
Di tempat yang agak jauh dari
pintu gerbang itulah, Dewi Anjani mulai siap menghadapi lawannya yang menurutnya
berjiwa kejam. Terlihat dari caranya membunuh Irandani dan Pujarini bagai tanpa
mengenal belas kasihan sedikit pun. Bayangan yang ada di benak Dewi Anjani,
seperti itulah adiknya dibunuh oleh nenek tua itu.
"Apakah kau orang andalan
Elang Putih?!" sindir Nini Pasung Jagat. Tetapi Dewi Anjani menjawab
dengan suara keras,
"Aku adalah orang utusan
dari neraka untuk mencabut nyawamu!"
"Oho, he he he he.!"
Nini Pasung Jagat terkekeh-kekeh mendapat gertakan seperti itu. "Rupanya
kau lebih galak dari mereka yang telah melawanku, Nona Cantik!"
Srett...! Dewi Anjani mencabut
pedangnya dengan wajah semakin kaku dan mata penuh hasrat membunuh.
"Oho, punya pedang juga
kau, Nak? Apakah cukup mahir memainkannya? Jika tidak, sebaiknya biarkan aku
masuk menemui Embun Salju untuk membicarakan sesuatu!"
"Kau harus melunasi
hutangmu lebih dulu, NeNek iblis! Kau berhutang nyawa padaku, karena kau telah
membunuh Anjarwati, adikku! Sekarang tiba saatnya kau harus menyusul roh adikku
dan meminta maaf di sana! Heeeaaah...!
Dewi Anjani tidak memberi
kesempatan Nini Pasung Jagat untuk melontarkan kata-kata lagi. Ia langsung
melompat dan menyerang dengan menebaskan paedangnya yang berkelebat
simpang-siur membingungkan untuk ditangkis.
Wut wut wess wuttt wut wut
wess. trak! Wut trak!
Nini Pasung Jagat sempat
dibuat kewalahan menghadapi gerakan pedang yang bersimpang-siur tak jelas ke
mana arahnya itu. Dan memang kehebatan jurus 'Elang Mengamuk Bintang' adalah
terletak pada kecepatan tebas yang sukar dipastikan ke mana arahnya. Hanya
sesekali bisa ditangkis, hanya sesekali lolos terhindar, tapi beberapa kejap
berikutnya, terdengar suara lembut yang mendirikan bulu kuduk tiap orang.
Cras cras cras...!
Buhgg... !
Dewi Anjani tahu-tahu
terpental agak jauh. Tubuhnya melayang karena terkena sodokan tongkat Nini
Pasung Jagat. Ia jatuh terkapar dalam jarak antara empat tombak dari tempatnya
bertarung. Sementara itu, kedua paha Nini Pasung Jagat tampak terluka dan
punggungnya terkena sabetan pedang. Sayangnya, tidak terlalu parah dan berbahaya.
Hanya luka biasa dan tidak akan merenggut nyawa nenek tua itu. Bahkan yang
menderita luka tidak menggubrisnya sama sekali. Hanya memandangnya sebentar,
lalu terkekeh-kekeh sendiri, sebab ia tahu lukanya tidak berbahaya.
Napas Dewi Anjani menjadi sesak.
Ia terkena sodokan tongkat pada bagian rusuk. Rusuk itu bagaikan patah salah
satu tulangnya. Sakit jika dipakai untuk bergerak. Napas pun segera dipaksakan
untuk bisa dihirup panjang-panjang lalu ditahannya beberapa saat di dalam
rongga dada. Pada saat itu, Nini Pasung Jagat berjalan dengan sanatainya
mendekati Dewi Anjani.
"Kalau kau mau menyusul
adikmu, mari kubantu, Cah Ayu..!" seraya tongkatnya diangkat dan hendak
dihantamkan ke kepala Anjani. Tetapi tiba-tiba terdengar suara orang berseru
dari arah pintu gerbang kuil tersebut,
"Hentikan, Pasung
Jagat!"
"Aha.! Akhirnya kau
muncul juga, Embun Salju! Hik hik hik!" Nini Pasung Jagat memandang
kehadiran Embun Salju yang melangkah dengan penuh wibawa mendekatinya. Nini
Pasung Jagat tersenyum kegirangan. Sementara itu, Dewi Anjani pun bangkit
perlahan-lahan setelah mengumpulkan kekuatan kembali.
Tiba-tiba, pedangnya
berkelebat dari belakang Nini Pasung Jagat, Wuttt.! Trak.! Tongkat Nini Pasung
jagat menghadang gerakan pedang itu kearah pundak. Jika tidak terhalang
tongkatnya, maka pedang Anjani akan menebas pundak dan membuat pundak itu
terpotong.
Secepatnya Nini Pasung Jagat
membalik sambil mengibaskan tongkatnya. Tapi pada saat itu pula Dewi Anjani
menundukkan kepala dan memejam. Tongkat itu bagai mengenai lapisan membal dan
sukar terpecahkan.
Wutt.! Wungngng.! Tongkat itu
membalik dari arah pukulannya. Gerakan membalik itu menimbulkan kekuatan
sendiri tanpa disengaja dan membuat Nini Pasung Jagat terhuyung-huyung ke
belakang mau jatuh. Dewi Anjani cepat berkelebat utnuk membelah kepala Nini
Pasung Jagat.
Tetapi suara gurunya membuat
ia berhenti dari segala gerakkannya.
"Anjani.!"
Hanya suara itu yang membuat
Dewi Anjani tak berani teruskan niatnya. Karena nada suara itu sudah sangat
dipahami oleh Dewi Anjani, bahwa Guru dalam keadaan marah dan tidak pernah mau
bertimbang rasa jika sudah menghardik dengan suara berat begitu.
Dewi Anjani akhirnya mundur
dan segera mengambil tempat dibawah pohon. Di sana ia bersiap melepaskan
serangan kepada Nini Pasung Jagat jika sampai terjadi pertarungan dengan Embun
Salju dan sang Guru itu terdesak. Di bawah pohon itulah, Dewi Anjani
berjaga-jaga sambil menunggu kesempatan untuk melepaskan pembalasan atas
kematian adiknya yang disayangi itu.
"Aku mau bicara padamu,
Embun Salju!" kata Nini Pasung Jagat.
"Dengan mulut atau dengan
pedang?!" tanya Embun Salju bagaikan menantang.
"Terserah padamu, dengan
pedang pun aku siap!" jawab Nini Pasung Jagat menampakkan keberaniannya.
"Dengan pedang, aku tak
bersedia! Aku bukan jagal, bukan pembunuh, dan bukan binatang! Aku
manusia!"
"Apa kau menganggapku
binatang?"
"Hanya seekor binatang
yang tega membunuh manusia, karena ia merasa tidak sejenis dengan
manusia!" jawab Embun Salju dengan sindiran tajam yang penuh kharisma.
"Terserahlah apa katamu,
yang jelas aku ingin bicara padamu!"
"Bicaralah sekarang
juga!"
"Kau tidak mengajakku
masuk ke dalam?"
"Hanya tamu yang kuajak
masuk ke dalam dan bicara di sana!"
"Apakah aku bukan kau
anggap tamu?!"
"Kalau kau tamu, kau
tidak akan datang dengan tidak sopan dan menewaskan beberapa muridku!"
"Hik hik hik hik...! Kau
marah padaku rupanya?! Oh, jangan! Jangan kau marah padaku, karena kau nanti
akan kubunuh jika sampai hilang kesabaranku. Embun Salju!"
"Kalau begitu kita tidak
perlu bicara! Kita tentukan saja siapa yang harus mati sekarang ini, kau atau
aku!"
"O, tidak tidak tidak...!
Bukan begitu maksudku! Hmmm...!"
"Jika tidak, bicaralah
seperlunya dan setelah itu pergi dan tempat suciku ini!"
"Baiklah! Aku hanya ingin
menanyakan tentang pusaka titipan dari adikmu, si Padmanaba!"
"Aku tidak tahu-menahu
tentang pusaka itu!" ujar Embun Salju bernada jengkel.
"Padmanaba bilang pusaka
itu dititipkan padamu dan dia menyuruhku mengambilnya!" pancing Nini
Pasung Jagat.
"Padmanaba tidak pernah
bilang begitu pada si apa pun!" kata Embun Salju. Wajahnya yang cantik
memancarkan kemarahan.
"Tapi dia memang
menitipkan pusakanya kepadamu, bukan?!"
"Kau tak perlu
memancingku, Pasung Jagat! Kau tak akan memperoleh apa-apa dariku walau de ngan
cara memancing seribu tanya! Sebaiknya kau pergi dari sini, karena aku tidak
tahu menahu tentang pusaka yang kau kejar-kejar itu!"
"Omong kosong! Sebagai
kakaknya, pasti kau tahu!"
"Kenapa tidak kau
tanyakan pada Ki Padmanaba sendiri?!"
"Dia sudah kubunuh!"
sentak Nini Pasung Jagat karena jengkel, pancingannya diketahui Embun Salju.
Mendengar tentang Kematian Ki Padmanaba, Embun Salju hanya menyipitkan matanya
memandang tajam kepada Nini Pasung Jagat. Kemudian dadanya tampak membusung
sebentar, menahan napas, mengendalikan luapan amarahnya.
"Jika begitu," kata
Embun Salju dengan tenang, "Pergilah ke alam baka dan tanyakan kembali
kepada Padmanaba, adikku itu!"
"Kau mengancamku, Embun
Salju?!"
"Kunyatakan, aku tak tahu
menahu tentang pusaka itu! Kalau kau menganggap aku menantangmu beradu nyawa,
kulayani keinginanmu!" jawab Embun Salju dengan tegas dan selalu jelas.
"Baik! Aku punya cara
sendiri untuk memaksa mulutmu agar mengatakan hal yang sebenarnya tentang
pusaka itu! Hiaaah...!
Zlappp...!
Tangan yang memegang tongkat
itu menyentak maju. Dari kepala tongkat keluar sinar merah sekecil buah buni.
Jika bukan mata yang awas dan terlatih, tak mungkin bisa melihat gerakan sinar
merah kecil itu, karena gerakannya begitu cepat, melebihi anak panah.
Embun Salju tetap di tempat,
tak bergeser sedikit pun. Ia hanya mengelebatkan tangannya ke dada, seperti
menangkap sesuatu yang digenggamnya. Ternyata sinar merah kecil itu yang
ditangkapnya. Kemudian sinar itu dilemparkan ke arah pohon yang jauh dari
mereka.
Wuttt..! Blarrrr...!
Pohon itu pecah seketika
setelah dilempar dengan sinar kecil tersebut. Pecahan pohon itu menjadi
kecil-kecil, sepertinya habis dipahat dalam waktu sangat singkat. Daunnya tak
berbekas sedikit pun. Rantingnya menjadi serbuk. Dan hal itu mencengangkan
setiap orang yang melihatnya. Termasuk Nini Pasung Jagat sendiri.
Yang membuat tercengang nenek
haus pusaka itu adalah cara Embun Salju menangkap sinar merah kecil itu.
Selamanya tak pernah ada orang yang berhasil menangkap sinar tersebut, kecuali
hanya menangkis dan menghindarinya. Jelas caranya menangkap sinar dalam keadaan
tetap utuh dan tidak meledak di tangan adalah cara yang hanya bisa dilakukan
oleh orang berilmu tinggi.
Sekalipun begitu, Nini Pasung
Jagat masih belum jera melawan Embun Salju. Ia segera melepas kan jurusnya yang
bernama 'Darah Geni'. Tangan kanannya melepaskan tongkat dan menyentak ke
depan, lalu melesatlah selarik sinar merah bagaikan bentuk pelangi melengkung.
Sinar merah itu tidak patah, tetap mengalir deras dan menghantam Embun Salju.
Telapak tangan kiri Embun
Salju hanya menadah di depan dada, menghadang sinar merah itu. Kini sinar
tersebut melengkung dari tangan kanan Nini Pasung Jagat ke tangan kiri Embun
Salju. Tetapi beberapa kejap berikutnya, sinar merah itu berubah sedikit demi
sedikit menjadi keputih-putihan, berpijar-pijar bagai nyala matahari, sampai
akhirnya sinar merah itu berubah putih keperakan. Tetap mengalir dari tangan
Embun Salju ke tangan Nini Pasung Jagat.
Tubuh Nini Pasung Jagat
gemetar. Kuda-kudanya semakin rendah bagai sedang menahan sesuatu yang amat
berat. Keringatnya pun mulai bercucuran di bagian kening. Semakin lama tubuh
itu semakin menggigil bagai orang kedinginan. Rupanya Embun Salju yang berdiri
dengan tenang bagai tanpa tenaga itu telah melepaskan jurus 'Darah Kutub' yang
amat dingin melebihi batu es.
Makin lama semakin tampak
menggigil tubuh nenek tua itu. Bahkan sebagai pengimbang kekuatannya, ia
melepaskan satu pukulan mautnya lagi melalui tangan kiri. Zlappp...! Sinar
hijau melesat ke arah Embun Salju. Itulah jurus 'Jalur Baja' yang amat
berbahaya dan bisa membuat orang menjadi meleleh jika terkena jurus itu karena
kekuatan panasnya luar biasa.
Tetapi tangan kanan Embun
Salju menyambut nya dengan tenang. Sinar hijau yang melesat lurus tanpa bengkok
sedikit pun itu ditahan dengan telapak tangan kanan Embun Salju. Dan
lama-kelamaan sinar hijau itu bagaikan dibungkus oleh sinar putih perak. Sinar
putih perak itu merayap pelan-pelan sampai akhirnya masuk ke telapak tangan
Nini Pasung Jagat. Sinar itu juga merupakan tenaga dalam yang sama, yaitu
jurus 'Darah Kutub'.
Tiga jurus maut kini meresap
masuk ke dalam tubuh Nini Pasung Jagat, yaitu jurus 'Darah Geni'nya sendiri,
jurus 'Jalur Baja'-nya sendiri, dilawan dengan jurus 'Darah Kutub' yang amat
dingin menggigilkan tiap persendian tubuhnya. Bahkan semakin lama Nini Pasung
Jagat bertahan, semakin tampak busa-busa salju bertumbuhan di bagian rambut,
alis, leher, pergelangan tangannya, dan hampir seluruh tubuh Nini Pasung Jagat
menjadi putih, dibungkus busa salju.
Nenek yang ngotot tak mau
kalah itu tiba-tiba bercahaya sekujur tubuhnya. Blappp...! Sinar merah memancar
dari seluruh tubuh. Zlappp...! Embun Salju melepaskan tangannya, menjauhi tubuh
lawan yang menyala
memancarkan sinar merah itu.
Tubuh tersebut mulai menyentak-nyentak tak bisa bersuara. Jatuh ke tanah dan
berkelojotan bagai ayam disembelih. Beberapa saat kemudian, tubuhnya diam tak
bergerak. Cahaya merah surut, lalu padam dan wajah Nini Pasung Jagat kelihatan
merah kehitaman seperti tembaga.
"Kuburkan dia!" kata
Embun Salju kepada Dewi Anjani, dan ia pun segera meninggalkan tempat dengan
tenang. Dewi Anjani menyuruh anak buahnya untuk menguburkan Nini Pasung Jagat.
SEBENARNYA bisa saja mayat
Nini Pasung Jagat dibuang ke laut. Atau bila perlu dibuang ke jurang curam.
Tapi Embun Salju tidak sekejam itu. Kematian adalah sesuatu yang layak mendapat
penghormatan sekalipun sekecil biji semangka. Dengan menguburkan mayat Nini
Pasung Jagat sudah merupakan suatu penghormatan kecil yang dilakukan oleh Embun
Salju.
Hanya saja, Embun Salju tidak
ingin mayat itu dimakamkan di Tanah Merah, tempat di mana Kuil Elang Putih
berada. Mayat itu harus dimakamkan di luar perbatasan Tanah Merah. Karena itu,
para pengubur membawa mayat Nini Pasung Jagat ke Pulau Kubangan, sebuah pulau
kecil yang tidak berpenghuni.
Di sana ada delapan kuburan,
yaitu kuburan para musuh yang mati di tangan Embun Salju dan matinya di Tanah
Merah. Hanya enam orang yang membawa mayat itu ke Pulau Kubangan, sedangkan
yang memakam kan jenazah Irandani dan Pujarini hampir seluruh penghuni Kuil
Elang Putih. Jenazah Anjarwati pun dimakamkan di tempat pemakaman khusus
orang-orang Kuil Elang Putih.
Menjelang petang, ketika senja
makin menua, Embun Salju kedatangan tiga orang tamu. Wajah Embun Salju yang
masih dilapisi masa berkabung itu membuatnya seperti merasa enggan untuk
menerima tamu. Tetapi demi mendengar nama Kirana, adalah salah satu dari ketiga
tamu tersebut, mau tidak mau Embun Salju bergegas menyambutnya.
Dan ternyata Kirana datang
bersama Jongos Daki, yang sudah dikenal Embun Salju sebagal pelayan Tabib Cawan
Maut. Tetapi satu orang tamunya lagi itu belum pernah dilihat oleh Embun Salju.
Karenanya Embun Salju menatap dengan dahi berkerut ke arah wajah pemuda tampan
yang berbadan tinggi, tegap serta gagah. Dialah Suto Sinting, Pendekar Mabuk
yang ketampanannya sering menggoda hati wanita.
Tetapi karena Embun Salju
belum mengenal wajah tampan itu, merasa baru pertama kali ini berjumpa, maka
Embun Salju pun bertanya kepada Suto Sinting,
"Kalau boleh kutahu,
siapa namamu dan dari mana asalmu?"
Kirana yang buru-buru memberi
jawaban, seakan dia merasa bangga bisa mengenalkan nama pendekar yang sedang
banyak menjadi bahan pembicaraan orang di rimba persilatan itu,
"Dia bernama Suto
Sinting, Nyai...!"
"Oh..?!" Embun Salju
terperanjat. Cepat-cepat matanya beralih ke Suto Sinting tak berkedip, tapi
mulutnya bicara kepada Kirana,
"Maksudmu, dialah si
Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak dariJurang Lindu itu?"
Kirana menjawab, "Benar.
Agaknya kau banyak tahu tentang dia, Nyai! Apakah semua tokoh di rimba
persilatan tahu banyak tentang orang sinting itu?!" canda Kirana.
"Entahlah," jawab
Embun Salju sambil menyunggingkan senyum manis. Sungguh lebih manis dari
senyuman Kirana atau senyuman Dewi Anjani saat jumpa di depan kuil pemujaan
tadi.
Embun Salju melanjutkan
ucapannya setelah melihat Suto pun membalas senyumannya,
"Yang kutahu nama Suto
Sinting selalu berdampingan dengan nama Pendekar Mabuk. Dan semua perempuan di
rimba persilatan membicarakan tentang ketampanannya, kegagahannya, serta daya
tariknya yang luar biasa. Tapi, menurutku... biasa-biasa saja!"
"Maksud Nyai,
ketampanannya biasa-biasa saja?"
"Artinya, kalau perempuan
bicara tentang ketampanan seorang pria, itu biasa-biasa saja!" jawab Embun
Salju sambil matanya melirik sebentar ke arah Pendekar Mabuk yang sejak tadi
masih diam saja. Setelah itu, ia kembali bicara kepada Kirana,
"Agaknya ada sesuatu yang
penting dengan kedatanganmu bersama Suto Sinting ini?!"
"Benar, Nyai! Banyak yang
ingin kami bicarakan."
"Tentang apa,
Kirana?"
Kirana melirik Suto, maksudnya
menyuruh Suto menceritakan apa yang ingin diketahui olehnya tentang pusaka Ki
Padmanaba itu. Tetapi Suto masih diam saja, dan Jongos Daki pun diam saja. Terjadilah
masa hening beberapa kejap di antara mereka berempat. Kemudian, Kirana berkata
kepada Pendekar Mabuk,
"Ceritakanlah apa yang
kau alami di pantai itu, Suto!"
Kirana dan Jongos Daki
terperanjat setelah Suto bicara dengan suaranya yang menjadi serak dan sangat
kecil kedengarannya,
"Bagaimana aku mau
bicara, ada seseorang yang menotok pita suaraku di tenggorokan! Aku tak bisa
bicara!"
"Hei, kenapa suaramu jadi
hilang begitu?!" kata Jongos Daki dengan wajah menegang.
Embun Salju tersenyum. Ia
memandang Suto sekejap, kemudian berkata, "Bicaralah! Kau sudah
bebas!"
"Hem...!" Suto
mendehem. "Terima kasih," katanya dengan suara jelas. Rupanya Embun
Salju yang punya keusilan mencoba ilmunya Pendekar Mabuk. Ia menotoknya lewat
pandangan mata, sehingga su ara Suto bagai tertahan tak bisa keluar karena
jalan darah menyumbat pita suara di tenggorokan.
"Maaf, sekadar perkenalan
saja," kata Embun Salju merasa menang karena orang yang kondang
kesaktiannya saja masih bisa dipermainkan dengan jurus totok melalui pandangan
matanya. Pendekar Mabuk hanya tersenyum. Ia mengusap-usap tenggorokannya
sejenak, bahkan menenggak tuaknya beberapa teguk untuk membasahi
kerongkongannya, setelah itu berkata kepada Embun Salju,
"Ilmumu cukup tinggi,
Nyai. Kau bisa menotokku lewat pandangan matamu. Jika bukan berilmu tinggi tak
mungkin bisa melakukannya."
"Sekali lagi aku minta
maaf, itu hanya salam perkenalanku saja," jawab Embun Salju, sambil duduk
di bangku bundar setinggi satu lutut.
"Tak apa, Nyai. Cuma aku
sangsi apakah kau sekarang masih bisa berdiri di depan kami, Nyai?!"
"Apa maksudmu,
Suto?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Kirana dengan wajah penuh
keheranan.
"Tak apa," jawab
Embun Salju. "Mungkin Suto punya cara perkenalan sendiri."
"Saya semakin tak jelas
dengan pembicaraan ini!" kata Kirana.
"Suto menotokku dan
membuatku tak bisa berdiri." jawab Embun Salju dengan menahan malu. Ia tak
mau memperagakan sikapnya yang berusaha berdiri. Ia hanya menggerakkan
pinggangnya sedikit, ternyata masih belum bisa dipakai untuk berdiri.
"Suto," kata Kirana
dengan sedikit sewot "Aku mengajakmu kemari bukan untuk pamer ilmu!
Lepaskan totokanmu pada Nyai Guru!"
"Aku tidak
menotoknya!" kata Suto sambil menunjuk Embun Salju, "Justru dia yang
menotokku!"
"Tapi Nyai Guru tidak bisa
berdiri! Pasti sama dengan yang kau lakukan kepada Ekayana di pantai itu!"
"Tidak!" jawab
Pendekar Mabuk agak ngotot.
Embun Salju tersenyum dan
berkata, "Sudahlah, Kirana! Dia sudah melepaskannya pada saat dia
menunjukkan tangannya padaku!"
Maka, Embun Salju
membuktikannya dengan berdiri tegak di depan tamu-tamunya. "Aku sudah
dibebaskan oleh kenakalannya!"
Mata Kirana memandang tak
berkedip kepada Embun Salju. Pada saat Embun Salju duduk kembali, Kirana
berkata,
"Bukankah Nyai Guru orang
yang susah ditotok oleh lawan?"
"Hanya lawan yang berilmu
tinggi yang bisa menotokku," jawab Embun Salju dengan jujur, dan secara
tak langsung mengakui keunggulan ilmu Pendekar Mabuk. Pemuda itu hanya
tersenyum tipis, mengalihkan pandangan mata, karena tak sanggup menatap
senyuman Embun Salju yang begitu indah. Luar biasa indahnya, sehingga setiap
Embun Salju tersenyum, jantung Suto berdebar-debar, hatinya gemetar,
"Baiklah!" kata
Embun Salju. "Ceritakanlah persoalanmu, Suto!"
"Aku mendapat tugas untuk
mencari pusaka dan menyelamatkannya. Pusaka itu adalah milik Ki
Padmanaba."
"Siapa yang menugaskan
begitu?"
"Ki Padmanaba sendiri,
sebelum ajalnya tiba, ia berbisik kepadaku! Pada waktu itu, aku segera
menghadapi Nini Pasung Jagat, sebab Nini Pasung Jagat juga menghendaki pusaka
itu sampai menewaskan Ki Padmanaba. Tetapi aku masih sangsi, apakah benar
pusaka itu ada?"
Embun Salju diam sejenak,
bibirnya sengaja menyunggingkan senyum dan membuat Suto Sinting salah tingkah.
Kemudian Embun Salju berkata sambil bergantian menatap Kirana, Suto, dan Jongos
Daki.
"Mengenai Nini Pasung
Jagat yang mengejar pusaka itu, memang benar! Tadi siang dia habis mengamuk di
sini dan mendesakku untuk memberitahukan di mana pusaka Ki Padmanaba adikku di
simpan. Bahkan aku kehilangan kesabaran melihat tiga muridku dibunuhnya, lalu
dia kubunuh dan sekarang sedang dibawa ke Pulau Kubangan untuk dimakamkan
sebagaimana mestinya..."
"Oh, jadi nenek tua itu
sudah mati?" potong Suto dengan cepat.
"Sudah!" jawab Embun
Salju sambil menarik napas dalam-dalam. Lalu katanya lagi,
"Mengenai pusaka itu ada
atau tidak, kusarankan pada kalian atau siapa pun, tak perlu mencari pusaka
itu!"
"Maksudnya?" desak
Kirana.
"Pusaka itu tidak ada.
Itu hanya omong kosong adikku saja!"
Jongos Daki menyahut, "Tapi
bagaimana dengan cerita tentang istri Ki Padmanaba yang membunuh mertuanya
sendiri dengan pedang pusaka itu? Bukankah cerita itu benar adanya dan Ki
Padmanaba pun segera membunuh istrinya, lalu beliau berjanji agar tidak
menggunakan pedang tersebut, sehingga pedang tersebut disimpannya?"
Sekali lagi Embun Salju
menarik napas dan setelah itu baru berkata, "Soal istri Padmanaba yang
membunuh ayahnya Padmanaba, atau ayah tiriku, itu memang benar. Tapi tidak
dengan pedang pusaka. Hanya dengan pedang biasa!"
"Bukankah istri Ki
Padmanaba tidak bisa bermain pedang? Dan ayah Ki Padmanaba jago pedang juga?
Mungkinkah jago pedang bisa dikalahkan dan dibunuh oleh seorang perempuan yang
tidak mahir menggunakan pedang?" kata Jongos Daki, seakan mendesak supaya
Embun Salju mengatakan yang sebenarnya.
"Seseorang jika memang
sudah mencapai naasnya, yang tidak mungkin membunuhnya bisa menjadi mungkin
membunuhnya!" jawab Embun Salju tak begitu jelas dalam pernyataannya.
Jongos Daki mendesak lagi,
"Setahu saya, Nyai... Ki Padmanaba tidak pernah bohong kepada siapa pun.
Mungkinkah dia menceritakan hal itu kepada saya sebagai cerita bohong
belaka?"
"Seseorang perlu bersikap
jujur, tapi kadangkala kebohongan pun dibutuhkan demi kebaikan bersama, bukan
untuk menguntungkan diri pribadi!" sekali lagi jawaban Embun Salju kali
ini terasa mengambang, seakan ia sengaja membuat tamu-tamunya menjadi penasaran
mencari kepastian jawabannya masing-masing.
"Jadi tentang pusaka itu
tidak ada, Nyai?" Kirana minta penegasan.
"Lupakan tentang pusaka
itu!" jawab Nyai Guru Embun Salju. "Sekarang aku ingin menjamu kalian
untuk makan malam bersama. Kalau tak salah lihat, Jongos Daki sudah lapar
sekali malam ini!"
Jongos Daki tersenyum malu
sambil mengusap-usap perutnya.
"Dan Suto kelihatannya
sudah terlalu lelah, butuh istirahat!"
"Kali ini tebakanmu
salah, Nyai!" jawab Suto. "Aku hanya ingin menyendiri untuk beberapa
saat!"
"O, ya...itu perlu untuk
menenangkan pikiranmu yang gundah. Aku punya taman kecil di belakang
sana...!" Embun Salju menunjuk kearah belakang yang dimaksud adalah
halaman belakang kuil. Lalu, Embun Salju berkata lagi,
"Di sana tempatnya
nyaman, sepi, dan hening. Kalau kau mau menenangkan diri sekarang juga,
kuantarkan kau ke sana!"
Embun Salju berdiri dan
berseru memanggil Dewi Anjani. Setelah yang dipanggil muncul, Embun Salju
berkata,
"Bawa tamu kita bersantap
malam. Nanti aku menyusul. Aku mau antarkan Pendekar Mabuk ini untuk ke taman
belakang...!"
"Baik, Guru!"
"Sebaiknya kau makan
bersama sekalian, Suto!" sahut Kirana dengan maksud supaya Suto tidak ke
taman bersama Embun Salju. Tapi Suto kurang tanggap akan hal itu, sehingga dia
berkata,
"Kalian berdua saja.
Temani Paman Jongos Daki makan malam. Wajahnya telah pucat sejak tadi. Aku
butuh ketenangan sebentar saja!"
Kirana mau tak mau pergi
bersama Paman Jongos Daki. Hatinya menahan dongkol dan waswas. Rupanya ada
benih-benih kecemburuan yang tumbuh di hati Kirana. Jongos Daki yang tahu
persis hal itu segera berbisik kepada Kirana,
"Buanglah pikiranmu yang
bukan bukan. Suto tidak akan melakukan apa yang kau cemaskan sekarang
ini!"
"Ah, Paman...!"
Kirana menepiskan tangan dan bersikap biasa-biasa saja, seakan tidak mempunyai
benih kecemburuan.
Taman yang dimaksud adalah
ladang bebatuan dengan aneka macam jenis batu hias. Ada yang berwarna ungu
berbentuk seperti pohon kaktus, ada yang beerwarna putih mirip ikan melompat,
ada pula yang berwarna hijau seperti bentuk pohon cemara, tingginya seukuran
tinggi manusia dewasa. Yang namanya tanaman asli hanya rumput-rumput hias.
Sisanya batu-batuan hias dengan bentuk dan warna yang mempesona.
Di sudut taman itu, ada batu
yang berbentuk seperti kerbau sedang mengeram di kubangan lumpur. Warnanya
kuning kehitaman. Batu itulah yang biasa dipakai duduk-duduk menikmati ketenangan
di taman yang luasnya separo halaman depan. Di sanalah Embun Salju membawa Suto
dan mempersilakan duduk.
"Di sini kau akan merasa
tenang dan nyaman," katanya.
"Kurasa lebih tenang
berada di dekat batu merah itu."
"Batu ini mempunyai
kekuatan gaib. Bisa membuat hati yang gundah menjadi tenang, pikiran yang kusut
memjadi tenang, jiwa yang guncang pun menjadi nyaman. Duduklah dan coba
beberapa saat!"
Baru sekarang Suto mendengar
ada batu yang punya pengaruh seperti itu jika diduduki. Karena ingin membuktikan
kebenaran kata-kata orang sakti itu, maka Suto pun duduk di batu yang mirip
kerbau mengeram di lumpur itu. Ternyata biasa-biasa saja menurut Suto. Yang
membuat sedikit tenang adalah keberadaan Embun Salju, yang duduk di batu hitam
seberangnya, dan wajahnya berhadap-hadapan dengan Pendekar Mabuk.
Wajah itulah yang memancarkan
ketenangan, kedamaian, dan kenyamanan. Apalagi dibumbui dengan senyum tipis
menggemaskan hati, sungguh sesuatu yang indah dan enak dinikmati. Tanpa ada
wajah Embun Salju di depannya, mustahil batu yang diduduki Soto itu mempunyai
pengaruh seperti yang dikatakan Embun Salju tadi.
"Apakah Kirana itu
kekasihmu?"
"Bukan," jawab Suto
Sinting.
"Lalu mengapa kau
bersamanya?" Suto diam sesaat dan memikirkan jawabannya, tapi Embun Salju
sudah lebih dulu berkata,
"Kau mencari pusaka
adikku dengan membawa-bawa Kirana, apakah tak terpikirkan bahwa dia akan
menjadi duri di dalam usahamu menyelamatkan pusaka itu?"
"Mulanya aku butuh dia,
karena dia tahu letak Cemara Tunggal!"
"Ada apa dengan Cemara
Tunggal? Aku tahu tempat itu, adanya di Bukit Canang."
"Pesan Ki Padmanaba
menyebutkan Cemara Tunggal."
"Maksudmu, dia menyimpan
pusaka itu di sana?"
"Aku tak tahu pasti,
Nyai. Karena aku masih bingung, apakah pusaka itu memang ada atau tidak? Mana
yang benar?"
Embun salju menarik napas dan
menghembuskannya dengan pelan-pelan, setelah itu berkata kepada Suto,
"Kau benar-benar sanggup
bertanggung jawab dengan pusaka itu?" tanpa memandang Embun Salju sudah
merasa dirinya diperhatikan Pendekar Mabuk dangan dahi berkerut, pertanda
Pendekar Mabuk curiga padanya.
"Aku akan bertanggung
jawab! Nah, sekarang katakan yang sebenarnya, Nyai Embun Salju! Karena aku
merasa seolah-olah aku punya hutang besar kepada arwah Ki Padmanaba jika aku
tidak melaksanakan amanatnya itu. Aku sendiri tak tahu, mengapa aku jadi punya
perasaan seperti itu. Padahal aku merasa pusaka itu bukan pusaka warisanku, aku
tak punya hak untuk memiliki pusaka itu, dan aku tak tahu, setelah kudapatkan
pusaka itu lantas mau dikemanakan, aku tak tahu!"
"Kalau begitu, kekuatan
batin Padmanaba menyertaimu terus saat ini ini, Suto Sinting!"
"Baiklah. Anggap saja
memang begitu. Lalu, untuk apa kekuatan batin mendiang Ki Padmanaba menyertaiku
jika pusaka itu tidak ada seperti yang kau katakan tadi?"
Embun Salju memandang tanpa
senyum, kelihatan wajahnya bersungguh-sungguh menanggapi omongan Suto Sinting.
Lalu dia berkata,
"Sebenarnya pusaka itu
memang ada!" Embun Salju sengaja berhenti sebentar untuk melihat perubahan
wajah di muka Suto. Karena wajah itu tetap tenang dan tidak merasa kaget
ataupun heran, tapi justru tampak bersunguh-sungguh menyimak tiap ucapan yang
didengarnya, maka Embun Salju pun melanjutkan ucapannya,
"Sengaja kukatakan kepada
siapa pun bahwa pusaka itu tidak ada, supaya mereka tidak saling berebut dan
akhirnya saling bunuh! Sampai sekarang aku tak tahu siapa yang berhak memiliki
pusaka itu. Tapi dengan jujur kukatakan, aku tak mengerti di mana Padmanaba
menyimpan Pedang Wukir Kencana itu."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
dan kelihatan tetap tenang. Ia tidak seperti orang yang haus benda pusaka dan
bernafsu untuk memilikinya. Ia hanya kelihatan seperti orang yang gelisah
karena mengemban tugas yang tak bisa diselesaikan. Air muka seperti itulah yang
membuat Embun Salju merasa perlu bicara apa yang sebenarnya ia ketahui,
"Dalam amanatnya,"
kata Suto. "Ki Padmanaba mengatakan padaku, 'Selamatkan pusaka Cemara
Tunggal dalam purnama', begitu yang kudengar dari mulutnya yang kemudian
menghembuskan napas terakhir. Aku tak mengerti persis apa maksudnya, tapi aku
yakin pusaka itu ada di Cemara Tunggal. Hanya saja, aku sudah cari beberapa
waktu bersama Jongos Daki dan Kirana, tapi tidak kutemukan pusaka itu."
"Dalam purnama...?!"
Embun Salju menggumam dengan dahi berkerut. Ia merenung beberapa saat.
Kemudian ia pun bicara dengan
pelan, masih seperti orang menggumam,
"Repotnya pusaka itu
tidak bisa ditembus oleh mata hatiku, tak ada orang yang bisa meneropong pusaka
itu, sehingga sampai sekarang tak ada yang menemukannya! Itulah kehebatan
Pedang Wukir Kencana. Sulit ditemukan oleh orang yang bukan pemiliknya atau
yang bukan diberi tugas merawatnya."
"Menurutmu apakah aku
diberi tugas untuk merawat pusaka itu, Nyai? Sebab aku merasa...."
"Tunggu...!" potong
Nyai Guru Embun Salju dengan tiba-tiba, sepertinya ada yang penting dan
mengagetkan hatinya. Pendekar Mabuk segera berdiri dan memandang sekeliling,
bersikap waspada karena menyangka ada bahaya yang mengancam keselamatan Embun
Salju.
"Duduklah, tak ada bahaya
apa-apa," kata Embun Salju. "Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku
telah menemukan kuncinya!"
"Kunci apa maksudmu,
Nyai?"
"Kunci membuka jalan ke
tempat penyimpanan pusaka itu!"
"Pembuka jalan?!"
gumam Suto heran. "Apakah ada jalan menuju ke suatu tempat yang dipakai menyimpan
pusaka itu?"
"Tidak begitu maksudku,
Suto! Tapi kunci itu menunjukkan di mana pusaka tersimpan."
"Menurutmu di mana?"
"Di purnama...! Ya,
seperti malam sekarang ini adalah malam bulan purnama, Suto!"
"Jadi kau menyuruhku
terbang ke bulan untuk mengambil pusaka itu, Nyai?"
"Bukan itu
maksudku?" kata Embun Salju, ia berdiri menandakan sangat gembira karena
telah menemukan kunci tersebut. Ia berjalan mendekati tempat duduk Suto Sinting
dan berdiri di depan pemuda tampan itu, sehingga pemuda tersebut sedikit
mendongak memandangnya,
"Coba ulangi pesan
Padmanaba padamu!"
Suto mengulangi ucapan Ki
Padmanaba, "Selamatkan pusaka Cemara Tunggal dalam purnama!" Suto
termenung sebentar, ada sesuatu yang lupa. Lalu ia berkata lagi,
"Eh, bukan... bukan begitu!
Tapi begini, 'Selamatkan pusaka di pucuk Cemara Tunggal dalam purnama...'
Kira-kira begitu kurang lebihnya, Nyai!"
"Nah, semakin jelas!
Sekarang adalah malam purnama. Rembulan menampakkan diri secara utuh di langit.
Tapi saat ini belum puncak purnama. Puncaknya nanti, di pertengahan
malam."
"Jadi bagaimana
maksudmu?"
"Cari bayangan pucuk
cemara pada saat puncak purnama tiba. Di mana bayangan pucuk cemara itu ada di
situlah pusaka itu tersimpan. Jika ia jatuh di tanah, maka galilah tanah itu,
pasti Padmanaba menyimpan pusakanya di tanah itu!"
"Begitukah...?!"
gumam Suto seperti bicara sendai, karena ia mengucapkan kata tanya dalam
keadaan matanya merenung.
"Kalau kau sanggup
melakukannya, berangkatlah mulai sekarang Pendekar Mabuk, bawalah peralatan gali
seperlunya! Dan kusarankan jangan pergi bersama siapa pun! Sebab pusaka itu
banyak yang mengincar!"
"Baiklah kalau kau yakin
begitu, aku akan berangkat sekarang! Lalu, setelah itu aku harus ke mana
membawa pusaka itu?"
"Bawalah kemari dulu,
nanti kita bicarakan!"REMBULAN tampak utuh di langit cerah. Warnanya
kuning keperak-perakan. Cahayanya sangat terang menyorot ke bumi. Cahaya itu
sangat dibutuhkan oleh sepucuk cemara yang tumbuh sendirian di sebuah bukit.
Dan di bawah cemara itu, seseorang telah menunggu sejak tadi, memperhatikan
bayangan pucuk cemara yang jatuh di tanah tak berbatu, juga tak bertanaman lain
kecuali rumput. Orang itu menyandang sebuah cangkul yang tidak terlalu besar,
berukuran sedang sehingga mudah di bawanya ke mana-mana.
Orang itu tak lain adalah Suto
Sinting, yang sejak tadi entah sudah berapa kali menenggak tuaknya, menunggu
saat purnama tepat berada di pertengahan malam. Pucuk cemara yang bayangannya
jatuh ke tanah itu diperhatikan terus sejak tadi. Dalam hati ia mengakui kebodohannya
yang tak bisa menerjemahkan arti amanat mendiang Ki Padmanaba itu.
Pucuk cemara itu bayangannya
bukan jatuh di tanah sekitar batu yang dipakai bersandar gurunya Kirana sebelum
wafat, bukan di sekitar batu yang pernah dicoba didorong-dorong oleh Suto itu,
melainkan di tanah seberangnya. Jika Pendekar Mabuk pada waktu itu menggali
seluruh tanah di sekitar dua batu yang berdekatan itu, maka ia tidak akan
menemukan apa-apa kecuali kekecewaan, sebab banyangan pucuk cemara tidak jatuh
ke sana. Bukan ke arah timur, melainkan ke arah barat. Barangkali dulu banyak
pemburu pusaka Ki Padmanaba itu yang terkecoh mencari di tanah sebelah timur
pohon cemara tunggal itu, sehingga sampai sekarang pusaka itu belum ditemukan.
Hal yang dikhawatirkan Suto
adalah, kalau-kalau dugaan Embun Salju itu salah. Maka Suto hanya akan
menemukan kelelahan dan kekecewaan yang mendongkolkan hati. Tetapi menurut
naluri Suto, dugaan Embun Salju tidak banyak salahnya. Seandainya Suto menggali
tempat kosong, itu lantaran kurang tepat waktu purnamanya. Tetapi di antara
garis sejajar dari bayangan pucuk cemara itulah kira-kira pusaka itu dipendam
oleh Ki Padmnaba.
Dari sikapnya yang duduk
dengan santai, tiba-tiba Suto terpaksa harus berdiri. Angin berhembus mulai
kencang, hawa dingin datang di luar kewajaran. Ini sudah merupakan tanda-tanda
ajaib pada alam sekeliling tempat penyimpanan pusaka tersebut.Mata Pendekar
Mabuk segera terkesiap, karena ia menangkap ada kilatan cahaya bening yang
muncul dari tanah. Kilatan cahaya yang hanya sekejap itu berwarna putih,
seperti logam terkena sinar, tapi kurang dari setengah helaan napas, cahaya itu
sudah lenyap. Suto yakin, di sanalah pusaka itu dipendam oleh pemiliknya.
Karena pucuk cemara mempunyai bayangan ke arah tanah yang memercikkan cahaya
terang sekejap itu.
"Bayangan pucuk cemara
itu jatuh di sana, ditempat cahaya terang sekejap tadi. Berarti aku harus
segera menggali tanah tersebut. Agaknya cahaya terang sekejap tadi merupakan
pertanda gaib yang muncul untuk menunjukkan bahwa di sanalah ditanam sebuah
pusaka yang cukup dahsyat itu!" kata Suto dalam hatinya. Maka ia pun
bergegas menggali tanah di sekitar cahaya dan bayangan pucuk cemara berada.
Suto menggalinya dengan cepat,
menggunakan tenaga simpanannya yang mampu menggerakkan tangan melebihi anak
panah kecepatannya. Sementara itu, angin semakin kencang bertiup. Dedaunan
mulai berterbangan. Hawa dingin bertambah mencekam, seakan ingin membekukan
darah.
Langit masih terang, tapi
gelegar guntur mulai terde-ngar bersahutan dari langit timur dan langit barat.
Trak...! Cangkul mengenai benda padat dan keras. Pendekar Mabuk mulai hati-hati
dan memperlambat gerakan cangkulnya.
Dalam beberapa saat kemudian,
mulailah tampak sebuah benda berwarna hitam samar-samar karena masih bercampur
dengan tanah. Semakin dibersihkan tanah di sekelilingnya dengan cangkul,
semakin terlihat jelas bentuk benda hitam yang memancang itu. Ternyata adalah
sebuah peti besi berukuran lebar antara dua jengkal, panjangnya seukuran sebuah
pedang. tinggi kotak itu antara satu jengkal. Kotak besi itu segera diangkat
oleh Suto dari galiannya. Tidak terlalu berat, tapi sedikit licin karena kotak
besi itu ditumbuhi lumut lumut tipis. Dengan sangat hati-hati Suto meletakkan
kotak panjang itu di tepi liang galiannya. Napasnya terhempas lepas, menandakan
cukup lega dengan apa yang ditemukannya itu.
Namun ketika Suto ingin
membuka tutup kotak besi itu, tiba-tiba sekelebat benda mengkilat melesat ke
arahnya. Zingng...! Benda itu melintas tepat didepan mata Pendekar Mabuk. Andai
Pendekar Mabuk tidak menarik kepala ke belakang, maka ia akan menjadi sasaran
senjata rahasia tersebut.
"Aaaa...!"
Suto terkejut mendengar suara
pekik manusia di sebelah kanannya. Padahal benda itu muncul dan berkelebat dari
samping kirinya. Rupanya benda itu mengenai orang yang sedang mengangkat
pedangnya dan ingin menebaskan pedang itu ke punggung Suto.
Jaraknya hanya tiga langkah
dari tempat Suto membungkuk tadi.
Orang yang masih diam
mengangkat pedang ke atas dalam keadaan tertancap senjata rahasia berbentuk
bintang segi enam di tengah jidatnya itu, bukan orang yang dikenal oleh Suto
Sinting. Usianya sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, bertubuh sedikit
gemuk, berkumis tebal, berwajah sangar. Dari wajahnya dan keadaannya yang ingin
membunuh Suto dari belakang itu sudah bisa disimpulkan, dia orang jahat yang
layak menerima senjata rahasia itu.
Brukk...! Orang itu jatuh ke
belakang dan tak bernyawa lagi. Suto baru saja mau memeriksa mayat orang itu,
tiba-tiba ia melihat sekelebat cahaya terang yang melesat terbang seperti tadi.
Arahnya juga dari tempat yang sama Zingng...!
Dan anehnya benda itu tidak
melayang ke arah Suto, namun ke arah lain. Suto mengikuti dengan kecepatan
pandangan matanya. Tahu-tahu ia melihat seseorang yang berdiri di balik batu
berongga setinggi manusia. Orang itu memekik seketika, karena senjata rahasia
yang melesat itu tepat masuk ke dalam celah rongga batu yang digunakan orang
itu mengintai kegiatan Suto. Crabb...!
"Aahg...!" orang itu
hanya memekik pendek, lalu terdengar tubuhnya jatuh ke tanah dan tak terdengar
lagi gerakannya.
"Gila!" gumam Suto
dalam hatinya, "Rupanya ada orang yang sejak tadi mengintaiku, menunggu
aku menemukan benda pusaka itu. Tapi ada yang bermaksud untuk merebutnya dengan
mencelakai aku, ada yang bermaksud melindungi diriku! Hmm...! Siapa orang yang
melindungi dengan senjata rahasia bintang segi enam itu?!"
Mata Suto Sinting memandang ke
arah semak yang ada di sebelah kirinya tadi. Ia berseru tak terlalu keras,
"Keluarlah kalau kau mau
membantuku!"
Kemudian muncul seraut wajah
yang sudah tidak asing lagi bagi Suto Sinting, yaitu wajah berambut poni,
bermata bulat bening, dan berhidung mancung. Siapa lagi kalau bukan si cantik
Kirana. Dan kemunculannya itu membuat Suto sedikit terperangah lalu bertanya,
"Dari mana kau tahu kalau
aku ada di sini?!"
"Aku tak melihatmu di
Kuil Elang Putih. Aku melihat Nyai Guru Embun Salju sendirian termenung di
taman. Waktu kutanyakan tentang kamu, ia menjawab bahwa kau sedang beristirahat
di kamar. Aku tak percaya, karena aku tahu kau belum makan dan kau tidak
mungkin masuk kamar tanpa menemuiku dulu. Aku merasa ada kejanggalan, lalu
kusimpulkan bahwa kau telah diberitahu oleh Nyai Embun Salju mengenai rahasia
pedang pusaka itu! Kau pasti kemari, karena kau tak bisa mengartikan pesan yang
diucapkan oleh Ki Padmanaba sebelum ajalnya tiba. Tapi aku yakin, Nyai pasti
bisa mengartikannya! Ternyata benar!"
Pendekar Mabuk hanya
geleng-geleng kepala sambil nyengir. Kemudian ia memandang dua orang yang
tumbang karena lemparan senjata rahasia Kirana itu. Dan Suto pun berkata,
"Untung kau menyusulku,
sehingga kedua orang itu tak sempat melenyapkan nyawaku!"
"Sejak tadi kuperiksa
diam-diam keadaan di sekeliling tempat ini. Sengaja tak kutemui dirimu, takut
mengganggu ketenangan berpikirmu. Dan..., yang kulihat tadi hanya dua orang
itu, maka kusiapkan serangan untuk mereka jika sewaktu-waktu membahayakan
dirimu!"
"Terima kasih! Kau telah
menyelamatkan nyawaku!"
"Hutang kita impas! Aku
tak punya hutang nyawa lagi padamu!" kata Kirana sambil memandangi kotak
tersebut.
Suto berkata, "Kita lihat
seperti apa isinya!" sambil Suto membungkuk dan hendak membuka penutup
kotak itu. Tapi tiba-tiba kaki Kirana menginjak kotak tersebut. Tabb...! Kaki
itu tepat ada di antara kedua tangan Suto Sinting dan di depan wajah Suto.
Pelan-pelan wajah Pendekar
Mabuk mendongak memandang Kirana yang berdiri dengan satu kaki menginjak kotak.
Lalu, Kirana pun mencabut pedangnya pelan-pelan dan diangkat ke atas pelan
pelan pula. Mata Pendekar Mabuk memandangi pedang itu dengan tak berkedip.
"Apa maksudmu,
Kirana?!"
"Jangan dari situ
membukanya! Dari sebelah sini, sehingga kau tidak langsung berhadapan dengan
lubang kotak!"
Sekalipun heran terhadap
maksud Kirana, tapi Suto Sinting mengikuti saran Kirana. Ia berpindah tempat ke
samping kanan Kirana. Kemudian kotak itu dibuka penutupnya dengan cara
menariknya ke atas, bukan mengangkatnya ke atas. Dengan begitu penutup peti
menjadi pelindung bagi perut dan dada Suto.
Begitu kotak dibuka,
melesatlah dua ekor ular putih sebesar jempol kaki. Dan pedang Kirana cepat
menebas ular putih yang tampak ganas itu. Wuttt, wuttt...! Cras cras...!
Ular putih itu terpotong
keduanya mati tak berkutik lagi. Jika terlambat Kirana menebaskan pedangnya,
maka ular putih itu akan lepas dan mungkin akan menyerang Suto dan Kirana
sendiri, atau akan menyerang orang lain yang tidak tahu-menahu mengenai pusaka
itu.
Karenanya, Kirana sudah
mempersiapkan pedangnya sejak tadi. Dan seandainya Suto membuka kotak tersebut
di tempat semula, maka begitu tutup kotak dibuka, maka ia akan diserang dua
ekor ular ganas tersebut. Beruntung Kirana mengingatkan Pendekar Mabuk untuk
membuka kotak dari arah seberangnya.
"Namanya Ular Sanca
Ratu," kata Kirana."Jenis ular ganas yang langka, dan menjadi liar
jika terkena udara malam. Ular Sanca Ratu mampu tidak bernapas sampai bertahun
tahun, tidak bergerak sedikitpun, kecuali terkena udara malam! Sanca Ratu hanya
terdapat di pegunungan es! Racun gigitannya luar biasa ganasnya. Tak usah
sampai tergigit, tersentuh kulitnya pun bisa membuat seseorang mati dalam tiga
helaan napas."
"Luar biasa...?!"
gumam Suto merasa kagum dengan cara Ki Padmanaba memasang perangkap bagi orang
yang ingin mencuri pedang pusakanya itu.
Kini kotak besi itu dalam
keadaan terbuka. Ternyata di dalamnya berisi kotak lagi. Namun kali ini kotak
tersebut terbuat dari kayu cendana yang menyebarkan aroma wangi semerbak.
Apalagi angin berhembus pada saat itu, aroma wanginya menyebar kemana-mana.
Kotak itu berwarna coklat
muda, ukurannya sedikit lebih kecil dari ukuran kotak besinya. Suto segera
mengambil kotak kayu cendana itu. Namun tiba-tiba kaki Kirana segera
menendangnya kuat-kuat. Wuttt...! Behgg...! Pendekar Mabuk terpental jatuh ke
samping. Tendangan itu cukup kuat dan membuat Suto Sinting tak bisa bernapas
sesaat.
Setelah bisa bernapas,
Pendekar Mabuk pun berdiri secepatnya dan memandang Kirana yang masih
menggenggam pedang dengan kedua tangannya. Pedang itu menyilang di depan dada,
sedikit miring ke kanan.
"Mengapa kau menyerangku,
Kirana?"
"Karena kau ceroboh,
Suto!"
"Ceroboh
bagaimana?!"
"Kotak kayu itu jangan
sekali-kali kau sentuh!"
"Apa sebabnya?!"
Dengan nada pelan, Kirana
menjawab, "Kotak itu dilumuri racun yang amat berbahaya! Siapa
menyentuhnya dia akan mati dan mayatnya pun akan beracun. Siapa menyentuh
mayatnya juga akan mati dan begitu seterusnya. Satu orang yang menyentuh kotak
itu, bisa lima atau enam orang yang ikut mati. Bisa juga lebih dari enam
orang!"
"Mengagumkan
sekali!" gumam Suto Sinting sambil berdecak.
"Ambil pengait dan kita
angkat kotak kayu itu dari dalam kotak besi ini! Kulihat di sisi kedua ujung
nya ada tempat pegangan tangan. Hmmm...!"
"Bagaimana kalau pakai
ranting?!"
"Bisa, bisa...!"
jawab Kirana sambil memasukkan pedang ke sarungnya setelah dibersihkan dengan
dedaunan, sehingga darah ular Sanca Ratu itu hilang dari mata pedang.
Tapi sisanya akan membekas dan
menjadikan racun ganas yang menambah kekuatan dan keganasan pedang tersebut.
Siapa tergores, dia akan mati dengan cepat karena darah ular itu beracun.
Dengan bantuan ranting
bertunas pendek, mereka berdua mengeluarkan kotak kayu cendana tersebut dari
kotak besinya. Tetapi baru saja kotak kayu itu mereka letakkan di rerumputan,
tiba-tiba sebuah serangan ganda datang secara bersamaan dari belakang Kirana
dan Pendekar Mabuk. Pukulan tenaga dalam itu menghantam punggung mereka dan
membuat mereka terlempar ke depan dan berjumpalitan di tanah.
Wuttt, wuttt...!
Gusrakkk... brrussss...!
Begitu Suto dan Kirana
bergulingan di tanah akibat pukulan tenaga dalam itu, tiba-tiba sesosok
bayangan berpakaian kuning melesat, menyambar kotak kayu itu. Zlappp...!
Wuttt...! Kemudian bayangan kuning itu pun menjauh dan berhenti di bawah pohon
cemara tunggal itu.
"He he he he...! Akhirnya
kudapatkan juga pedang pusaka ini! He he he he...!"
Suto bergegas mengejarnya,
tapi Kirana menghadang dan mencegah.
"Jangan! Biarkan saja dia
menikmati kegembiraannya yang cuma sebentar itu!"
Suto memandang sosok berbaju
kuning, seorang lelaki kurus, berambut pendek putih, mengenakan ikat kepala
merah. Tubuhnya jangkung, namun kerutan dan kekurusan wajahnya menampakkan
dirinya sudah berusia lebih dari enam puluh tahun. Ia menggenggam tongkat warna
putih, tangannya yang kiri memeluk kotak kayu cendana itu.
"Bumbung tuakku ada di
punggung, tapi dia bisa menyerangku dari belakang! Biasanya pukulan tenaga
dalam dari mana pun bisa memantul balik jika mengenai bumbung tuakku! Tapi
pukulan orang itu tidak! Siapa dia sebenarnya, Kirana?"
"Dia berjuluk Serigala
Liar! Musuhnya Ki Padmanaba sejak semasa mudanya! Sudah lama ia mengincar
pedang itu tapi tak pernah berhasil. Baru sekarang ia memperolehnya. Dan dia
punya ilmu cukup tinggi yang tak bisa ditangkis dan dilawan oleh ilmu tenaga
dalam dari mana pun juga! Kurasa gurumu kenal sama Serigala Liar itu!"
"Ya, ya...aku ingat dulu
Guru pernah bercerita tentang tokoh sakti bernama Serigala Liar! Tapi bukankah
sekarang dia sudah bertobat dan mengasingkan diri di Gunung Malabar?!"
"Dia menyebarkan kabar
itu sendiri! Yang jelas dia bersembunyi di sekitar tempat ini entah di mana dan
entah sudah berapa tahun! Dulu dia pernah mencari pusaka itu di sekitar sini
sampai satu tahun penuh hanya untuk mencari, tapi tak pernah berhasil. Mungkin
karena jengkelnya, dia tunggui tempat ini dari sisi mana kita tak tahu! Dan
begitu ia mencium bau cendana, ia yakin pasti pedang pusaka itu ada yang
menemukannya, karenanya ia segera datang kemari!"
"Kalau begitu, kita rebut
pedang itu supaya..."
"Tak perlu...! Lihat dia
sekarang ini!" kata Kirana memotong.
Orang berjuluk Serigala Liar
itu tertawa kegirangan sambil menimang-nimang kotak kayu cendana itu. Tetapi
tiba-tiba tawanya menjadi hilang, tubuhnya tersentak kejang, mulutnya
ternganga. Ia menarik napas dengan susah payah. Megap-megap sebentar, lalu
roboh dengan kelojotan beberapa saat.
Keringatnya mulai mengucur dan
berbau amis. Kejap berikutnya, Serigala Liar tak bergerak lagi untuk
selama-lamanya, ia mati dalam keadaan mulut ternganga dan mata terbeliak tak
berkedip lagi.
"Dia mati, Kirana!"
"Ya. Memang mati. Tapi
jangan sentuh mayatnya, bisa-bisa kau ikut mati!"
"Apakah dia mati karena
racun di kotak kayu tersebut?!"
"Betul! Sekarang kita
tarik kotak itu dari pelukannya, lalu kita buka tutupnya. Ingat, jangan pakai
tangan telanjang! Pakailah kayu pengait untuk menariknya, dan gunakan beberapa
daun untuk membungkus tanganmu supaya saat kau membuka kotak itu tidak terkena
racun yang ada di tutup kotak tersebut!"
Pendekar Mabuk melakukan apa
yang disarankan Kirana. Ternyata ia selamat. Kotak bisa dibuka dan sebuah
pedang yang terbuat dari logam emas murni tampak membujur panjang di dalam
kotak kayu cendana itu. Suto Sinting segera mengambil pedang itu dengan
pelan-pelan, tangannya berusaha jangan sampai menyentuh permukaan kotak kayu
bagian luar.
"Woww...!" desah
Suto penuh kekaguman. Ia tersenyum girang dan Kirana memperhatikan dengan rasa
bangga dan gembira. Pedang itu diperhatikan oleh mereka berdua, dari bentuknya
yang mempunyai dua ujung runcing di kanan-kiri gagang, gambar ukiran naga di
tengahnya, bagian tajamnya yang mengelilingi mata pedang itu, semuanya membuat
kedua orang itu terkagum-kagum. Jika diberdirikan terbalik, panjang pedang
setinggi bawah pinggul Suto. Bentuknya kelihatan besar dan berat, tapi
sebenarnya ringan dijinjing, sarung pedangnya juga dari logam emas berukir
gambar naga dengan seni ukir yang cukup tinggi. Mempunyai tali dari bahan kulit
tebal, itu berarti pedang tersebut biasanya diletakkan di punggung pembawanya.
"Kau tampak gagah jika
memegang pedang itu, Suto. Jauh lebih gagah dibanding jika tidak memegang
pedang itu!" kata Kirana sambil memandangi Suto dengan senyum berseri
seri, berhamburan rasa bangga dan kagum.
"Tapi ini bukan hak
milikku! Pedang ini bukan warisan untukku!" kata Pendekar Mabuk kepada
Kirana. Tapi gadis itu berkata,
"Sekarang sudah menjadi
milikmu dan kau berhak memakainya kapan saja, Suto! Kaulah pemilik Pedang Wukir
Kencana ini!"
"Mengapa begitu? Aku
hanya menemukannya sesuai amanat Ki Padmanaba! Aku tidak punya hubungan saudara
dengan Ki Padmanaba!"
"Memang. Tapi barang
siapa yang bisa menemukan pedang ini, maka dialah yang berhak mewarisinya!
Karena itu banyak orang berburu pedang ini di masa lalu! Tapi tak ada yang
berhasil!"
"Siapa yang menemukan
pedang ini, dialah yang berhak mewarisinya?!"
"Benar, Suto!"
"Dari mana kau tahu hal
itu? Dan... kurasakan dari tadi kau banyak tahu tentang pedang ini?!"
"Aku anak angkat Ki
Padmanaba!" jawab Kirana. "Sejak usia delapan tahun aku diasuh oleh
beliau! Pada saat beliau ingin menyembunyikan pedang pusaka ini, aku
mengetahuinya! Hanya saja tidak boleh ikut saat ia menyembunyikan pedang ini!
Dan aku disumpah untuk tidak membocorkan rahasia pedang emas ini! Jika aku
membocorkan begitu saja, aku akan mati dimakan sumpah dan kutukku sendiri!
Karenanya aku takut ingin mengatakan yang sebesarnya kepadamu. Suto! Bahkan
kepada guruku Nyai Punding Sunyi pun aku tak berani mengatakannya!"
"Kenapa kau tidak berguru
kepada Ki Padmanaba?"
"Ki Padmanaba hanya
menurunkan ilmu kepada cucunya, yaitu Ekayana! Ilmu itu tak diturunkan kepada
orang lain, supaya ilmu yang dimiliki cucu kesayangannya itu tidak ada yang
menyamai! Dan aku ditolong oleh Ki Padmanaba, menjadi anak angkatnya karena
sesuatu hal. Bukan karena ingin dijadikan murid. Dia sayang kepadaku, karena itu
dia hanya bisa memberi banyak wejangan kepadaku, dan menceritakan beberapa
pengetahuannya tentang dunia persilatan!"
Suto menyarungkan pedang itu
sambi berkata,
"Pantas kau tahu tentang
jebakan ular dan racun didalam kotak itu! Kau juga tahu tentang Ular Sanca Ratu
sampai sekecil-kecilnya, juga tahu tentang racun maut yang merenggut nyawa
Serigala Liar itu!"
"Namanya Racun Getah
Tengkorak!"
Suto terkesiap memandang
Kirana. Ia berkata, "Bukankah racun itu yang diributkan oleh orang-orang
Kobra Hitam? Kau tahu tentang Racun Getah Tengkorak rupanya?!" Suto
manggut-manggut.
"Karena akulah yang
menggunakan racun itu pada sebuah lentera, untuk menjebak orang-orangnya
Logayo!"
"Kau....?!" Suto
menegaskan keheranan dan rasa kagetnya. "Jadi, kau yang melakukan
pembunuhan di pihak orang-orang Kobra Hitam itu?! Jadi kaulah orang yang
dicari-cari mereka?!"
"Ya. Memang aku. Racun
itu kudapatkan dari Ki Padmanaba. Ki Padmanaba mendapatkannya dari seorang
sahabatnya yang bernama si Jompo Keling. Ketika mau meninggal, Jompo Keling
menyerahkan racun itu kepada Ki Padmanaba. Ketika aku akan berguru kepada Nyai
Punding Sunyi, aku dibekali oleh Ki Padmanaba Racun Getah Tengkorak. Karena Ki
Padmanaba tahu, aku akan membalas dendam kepada Logayo dan orang -orangnya!"
"Membalas dendam?! Ada
salah apa mereka padamu, Kirana?!"
KETIKA berusia delapan tahun,
gadis kecil yang bernama Kirana hidup bersama kedua orangtuanya dan lima kakak
perempuannya. Sebetulnya ia mempunyai enam saudara, satu kakaknya laki-laki
berusia sepuluh tahun. Tapi kakak lelakinya itu sejak bayi sudah dipungut oleh
bibinya, sehingga gadis kecil Kirana hanya mengenal kelima kakak perempuannya.
Gadis ini tergolong gadis yang
nakal dan bandel. Sering ia mengganggu kakak-kakaknya hingga mereka menangis,
atau marah dan memukulnya. Dan jika sudah begitu, gadis kecil Kirana dihajar
oleh orangtuanya. Kadang ia dihukum dengan tidak di beri makan sehari penuh,
tapi kenakalannya membuat ia pandai mencuri makanan dan menghabiskan persediaan
makanan, sehingga kakak-kakaknya tidak mendapat bagian makanan. Hukuman yang
paling sering ia lakukan adalah dikurung di atas loteng, pintu loteng ditutup
dari luar dan setelah matahari mau tenggelam, barulah ia dilepaskan.
Sekalipun ia sering dihukum
oleh orangtuanya dengan dimasukkan ke dalam loteng dan tidak diberi makan
seharian penuh, gadis kecil Kirana itu tidak ada jeranya. Kenakalannya semakin
terasa bertambah, sampai-sampai kedua orang tuanya dan kelimam kakak
perempuannya kewalahan menghadapinya.
Dan pada suatu hari, gadis
kecil Kirana dihukum oleh orangtuanya karena melempar cangkir dan mengenai
kening salah satu kakaknya, ia segera dimasukkan ke dalam loteng dan dikunci
dari luar. Sampai petang tiba, ia masih belum dibebaskan. Tangisnya yang
menjerit-jerit di atas loteng tak dihiraukan oleh mereka, hingga akhirnya gadis
itu tertidur kelelahan di sana.
Kira-kira tengah malam, gadis
kecil Kirana terbangun dari tidur nyenyaknya di atas loteng. Suara gaduh di
bawah membuatnya terbangun, suara jeritan ibunya dan kakak kakak perempuannya
membuat Kirana bertanya tanya dalam hati, apa yang terjadi di bawah. Mula mula
Kirana justru kegirangan mendengar kakak-kakaknya jejeritan. Gara-gara mereka
ia dihukum ayahnya di dalam loteng itu.
"Sekarang, biarlah mereka
ganti dihajar oleh Ayah!" pikir gadis kecil ketika itu. Tetapi hatinya
semakin bertanya tanya setelah ia mendengar suara orang lain yang bukan anggota
keluarganya. Suara itu adalah suara orang lelaki yang terdengar kasar
membentak-bentak, tapi sebagian ada yang tertawa terbahak-bahak.
Gadis kecil Kirana penasaran.
Ia mencoba membuka pintu lotengdengan mendorongnya kuat kuat, tapi tidak
berhasil. Ia menjadi ketakutan mendengar suara bentakan-bentakan kasar dan
keras itu. Kemudian ia memutuskan diri agar tidak berusaha keluar dari loteng.
Namun hatinya yang penasaran segera menemukan lubang loteng yang bolong akibat
dua ekor kucing kawin di situ beberapa waktu yang lalu.
Melalui lubang sebesar telapak
tangan itulah, Kirana kecil mengintai kejadian di bawah sana. Ternyata ada enam
orang bertampang kasar dan ganas-ganas merampok rumahnya. Pada waktu itu,
keluarga Kirana termasuk keluarga kaya dan terhormat. Kakeknya mantan seorang
saudagar dan warisan hartanya jatuh ke anak tunggalnya, yaitu ayah Kirana.
Harta itulah yang menjadikan para perampok tergiur dan segera menjarahnya.
Kirana gemetar melihat enam orang itu. Mulutnya tak bisa dipakai untuk
berteriak, matanya tak bisa berkedip, tulang-tulangnya terasa lemas.
Hal yang membuat Kirana kecil
menjadi lebih ketakutan lagi adalah melihat ayahnya dibantai seperti seekor
kambing. Ibunya diperkosa, dan kelima kakaknya juga diperkosa oleh keenam
manusia kejam itu. Kirana menyaksikan semua itu dengan mata terbelalak dan tak
bisa bergerak. Kirana ingin menangis, tapi tak mampu sama sekali.
Kakaknya yang nomor lima, yang
masih berusia empat belas tahun itu, juga diperkosa oleh laki-laki bertubuh
tinggi besar, seperti raksasa. Kirana melihat jelas bagaimana kakak-kakaknya
meronta, menjerit dan tidak kuasa menghadapi kekejaman para perampok itu. Dan
yang paling membuat jiwa Kirana terguncang tatkala melihat harta mereka disikat
habis, kehormatan mereka dirampas dengan keji. Kirana ingin menjerit
sekeras-kerasnya, tapi lidahnya kelu dan tenggorokannya tak bisa dipakai untuk
melontarkan suara, sepertinya tenggorokan itu tersumbat sesuatu yang
menyesakkan pernapasan. Sejak itulah, gadis kecil Kirana menjadi bocah
yatim-piatu. Tanpa ayah, tanpa ibu, tanpa saudara.
Satu-satunya saudara adalah
kakak lelakinya yang ikut bibinya sejak kecil. Kakak lelakinya itu adalah
Pranawijaya, yang kini telah tewas di tangan Ekayana. Tetapi apa yang bisa
diperbuat oleh Pranawijaya kala itu? Tak ada yang bisa diperbuat, karena
Pranawijaya masih berusia sekitar sepuluh tahun.
Akhirnya, gadis kecil Kirana
bertemu dengan seorang tokoh sakti yang kala itu baru saja selesai mengalahkan
lawannya dalam suatu pertarungan di tepi pantai. Gadis kecil Kirana yang
berpakaian com- pang-camping dan seperti bocah liar itu, akhirnya diangkat anak
oleh tokoh sakti tersebut, yang tak lain adalah Ki Padmanaba.
Sebenarnya ia ingin dirawat
oleh bibinya. Tetapi tiga hari ia ikut bibinya, ia memergoki bibinya sedang
berduaan mesra dengan salah satu anggota komplotan perampok itu. Gadis kecil
Kirana segera menarik kesimpulan, bahwa perampokan di rumahnya itu ternyata
didalangi oleh bibinya sendiri.
Terukir dendam di hati bocah
kecil itu. Terbayang terus wajah enam perampok yang membunuh, dan memperkosa
keluarganya. Wajah yang paling jelas melekat di ingatan Kirana adalah wajah brewok
bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa. Wajah itu adalah wajah Logayo.
Ketika ia menginjak usia lima
belas tahun, Ki Padmanaba menitipkan Kirana untuk belajar ilmu silat kepada
seorang kenalannya yang berjuluk Punding Sunyi. Selain Ki Padmanaba tidak ingin
menurunkan ilmunya kepada siapa pun kecuali kepada cucunya Ekayana, penitipan
Kirana kepada Nyai Punding Sunyi itu juga dilakukan untuk menghindari
perselisihan yang sering terjadi antara Kirana dengan Ekayana. Kedua anak itu
sering bertengkar dan Ki Padmanaba dibuat kewalahan.
Sekalipun demikian, Kirana
tetap merasa berhutang budi kepada Ki Padmanaba. Sesekali ia sering berkunjung
kekediaman Ki Padmanaba untuk menerima wejangan tentang hidup di permukaan bumi
ini. Atau kadang-kadang Ki Padmanaba yang menengok Kirana di Perguruan Mawar
Seruni sambil membawa oleh-oleh cerita tentang orang-orang sakti dan
pusaka-pusakanya.
Setelah ia berusia dua puluh
lima tahun, dendam itu mulai meletup-letup lagi di dalam dadanya. Sepuluh tahun
ia menempuh ilmu dan berguru kepada Nyai Punding Sunyi, cukup sudah rasanya ia
punya kekuatan untuk membalas orang-orang bengis yang merampok dan memperkosa
ibu serta kakak-kakak perempuannya. Satu persatu mereka dicari oleh Kirana dan
berhasil dibunuh. Dari enam perampok, hanya satu yang belum berhasil dibunuh
oleh Kirana, yaitu Logayo. Sedangkan bibinya sendiri sudah terlanjur mati
karena sebab lain sebelum Kirana berhasil membunuhnya pula.
Ketika memburu dendamnya
itulah, Kirana bertemu kembali dengan Pranawijaya yang sudah sama-sama dewasa.
Kirana menyarankan agar kakaknya ikut membantunya mencari pembunuh keluarganya.
Tapi rupanya Pranawijaya sudah terlanjur termakan didikan bibinya, hingga
membuat ia menolak ajakan Kirana.
"Biarlah masa lalu
tenggelam bersama kenangannya sendiri, kita tak perlu memburu sesuatu yang
sudah berlalu! Nanti hidupmu terikat oleh kenangan yang dapat menyusahkan
dirimu sendiri!" kata Pranawijaya.
Mulanya ada kebencian di hati
Kirana kepada kakaknya itu. Tapi setelah dipikir-pikirnya, rupanya sang kakak
sudah banyak terpengaruh oleh didikan bibinya sehingga tidak mau melakukan
balas dendam. Pranawijaya merasa menjadi anak bibinya, karena memang sejak bayi
ia dididik dan dibesarkan oleh bibinya. Kadang Kirana menyalahkan ibunya,
mengapa membiarkan anak lelaki satu-satunya itu dirawat oleh bibinya, sehingga
sang anak kurang mempunyai rasa belapati terhadap sang ibu.
"Jika aku membencinya,
maka aku semakin tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini! Pranawijaya adalah
satu-satunya saudaraku yang masih hidup. Tak baik jika aku membencinya!"
pikir Kirana kala itu.
Lima perampok yang menewaskan
keluarganya itu telah dibunuh satu persatu. Kirana tinggal menyelesaikan satu
orang lagi, dan agaknya itu bukan pekerjaan yang ringan. Logayo menjadi besar,
makin bertambah sakti, makin punya anak buah yang jumlahnya cukup banyak.
Kirana merasa tidak mampu mengalahkan Logayo. Karena itulah ia datang kepada Ki
Padmanaba beberapa waktu sebelum Ki Padmanaba meninggal.
"Kalau kau nekat melawan
orang besar itu, kau akan mati konyol," kata Ki Padmanaba. "Kau
jangan melawannya dengan otot, tapi lawanlah dengan otak!"
"Sampai saat ini otak
saya menjadi seperti tak berguna, Ki! Saya belum menemukan cara untuk
mengalahkan Logayo, mengingat anak buahnya begitu banyak dan masing-masing
mempunyai ilmu tinggi!"
"Kau ingat Racun Getah
Tengkorak yang kuberikan dulu?"
"Ya. Saya ingat, Ki! Saya
masih menyimpannya!" jawab Kirana.
"Gunakan racun itu untuk
membasmi perguruan sesat itu! Mintalah bantuan kakakmu Ekayana! Cari dia dan kurasa
dia mau membantumu!"
Selama ini Ki Padmanaba tidak
tahu kalau cucu kesayangannya telah menjadi anggota perguruan sesat itu. Kirana
ingin mengatakan bahwa Ekayana ada di pihak Logayo, tapi ia tak sampai hati.
Jelas hal itu akan mengecewakan hati Ki Padmanaba dan membuatnya sedih. Karena
itu, Kirana tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya. Ia hanya bilang,
"Baiklah, Ki! Saya akan
gunakan racun itu untuk membunuh Logayo dan orang-orangnya! Rasa-rasanya, jika
Logayo belum mati, hidup saya selalu dibayang-bayangi oleh arwah keluarga saya,
Ki!"
"Aku bisa merasakan
perasaanmu saat ini! Aku bisa memahami gejolak dendammu karena kau melihat
sendiri peristiwa itu! Kalau toh aku sarankan agar tidak mengumbar dendam, maka
dalam usiamu semuda ini, kau belum bisa memahami kata-kata dan saranku itu,
Kirana! Jadi, berbuatlah sesuai dengan nalarmu yang bekerja saat ini! Asal demi
satu kebaikan, memberantas kejahatan, menegakkan kebenaran, hal itu sah-sah
saja, Kirana! Aku tidak ingin menjadi orangtua yang kolot, tapi sebisa mungkin
aku berdiri sebagai sang bijak."
Kirana segera memutar otak
untuk mencari cara menyebarkan racun maut tersebut. Jika melalui pengiriman
makanan atau minuman, jelas akan mudah diketahui oleh orang-orangnya Logayo,
sebab Logayo punya ahli racun, yaitu Brajawisnu dan Rangka Cula. Kirana
memikirkan hal itu berhari-hari, sampai akhirnya ditemukanlah sebuah cara
dengan menggunakan lentera. Dan ternyata caranya itu cukup berhasil (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Lentara Kematian").
Tetapi racun itu hanya membuat
jiwa Logayo menjadi guncang, karena menghadapi kematian anak buahnya yang
begitu banyak. Logayo sendiri masih hidup. Kirana belum tahu bagaimana harus
mengalahkan Logayo sementara Racun Getah Tengkorak semakin menipis. Jika melalui
lentera lagi jelas akan dicurigai. Ia harus menggunakan cara lain. Tapi cara
lain itu belum ditemukan gagasannya.
Kirana mengakhiri cerita
hidupnya dengan air mata mengering di pipinya. Terangnya sinar bulan malam itu
membuat Suto Sinting melihat jelas bekas-bekas air mata yang mengering di pipi.
Terharu juga hati Suto Sinting mendengar kisah hidup gadis cantik yang luput
dari korban pemerkosaan orang-orang kejam itu.
"Sekarang, setelah
kematian Pranawijaya, lengkap sudah aku hidup sebatang kara di muka bumi ini,
Suto! Sendiri, tanpa Ayah, tanpa Ibu, tanpa kakak, tanpa adik, tanpa saudara,
juga tanpa kekasih!"
Suto Sinting meraih gadis itu
dan memeluknya ke dada. Sikap itu membuat Kirana semakin trenyuh dan menghiba
tangisnya. Pendekar Mabuk mengusap-usap rambut gadis itu seraya berkata,
"Hidup itu mahal, Kirana!
Hidup itu harus ditebus dengan pengorbanan, bukan hanya pengorbanan harta dan
nyawa, tapi juga jiwa dan perasaan! Kita satu nasib, Kirana! Kita sama-sama
sebatang kara di pemukaan bumi ini. Pada usia delapan tahun pula aku kehilangan
anggota keluargaku dan diselamatkan oleh guruku dari ancaman pembantaian
seseorang. Aku dapat merasakan sebesar apa dendammu kepada Logayo itu. Tapi
hidup ini tidak hanya memburu dendam! Hidup ini sebenarnya indah, kalau kita
bisa menyingkirkan dendam dan kebencian di dalam hati sanubari kita. Itu
pekerjaan yang paling sulit bagi tiap manusia, karenanya banyak manusia yang
berpendapat, hidup ini kejam!"
Kirana mengisak dalam
tangisnya. Semakin ingin ia menenggelamkan diri dalam pelukan Suto Sinting.
Semakin ingin ia merengkuh kehangatan dan cinta kasih dari pemuda gagah itu.
Tetapi, ia pernah mendengar dari Jongos Daki bahwa Suto sudah mempunyai kekasih
di Pulau Serindu. Karenanya, gadis itu mulai merenggangkan hatinya dan merasa
tak akan mampu menyisihkan kekasih hati Pendekar Mabuk. Namun hati kecil Kirana
sendiri merasa sulit berpisah dari Pendekar Mabuk.
"Jika kau tak punya adik,
aku juga tak punya adik. Jika kau tak punya kakak, aku juga tak punya kakak,
juga tak punya orangtua, dan oleh sebab itu Kirana... tak ada jeleknya jika
kita saling bersaudara dengan limpahan kasih sayang, bukan? Anggaplah aku
kakakmu, maka akan kuanggap kau adikku yang paling cantik, tapi paling
bandel..."
Ada tawa di bibir Kirana. Ada
haru di mata gadis itu. Tapi tak ada ampun di dalam hati gadis itu untuk
Logayo!SEBELUM fajar menyingsing di ufuk timur, kuil Elang Putih dihebohkan
oleh datangnya seorang petugas penguburan mayat Nini Pasung Jagat. Orang itu
bernama Minarsih, yang berangkat ke Pulau Kubangan bersama lima orang untuk
menguburkan mayat Nini Pasung Jagat di sana.
Minarsih datang dalam keadaan
sendirian. Wajahnya menjadi memar membiru seperti habis dihajar olah seseorang
memakai benda keras. Bibirnya berdarah, dan satu tulang rusuknya patah.
Kehadirannya itu membuat seluruh penghuni Kuil Elang Putih menjadi terbangun
dari tidur nyenyaknya.
Dewi Anjani segera membawa
Minarsih ke ruang penyembuhan sebelum Nyai Guru Embun Salju datang ke ruang
tersebut. Jongos Daki juga ada di sana dan menjadi kebingungan melihat keadaan
yang menjadi serba tegang itu.
"Ada apa ini?" tanya
Jongos Daki kepada salah seorang murid di situ. Orang tersebut menjawab dengan
nada tegang juga,
"Nini Pasung Jagat
bangkit kembali!"
"Apa dia sudah mati, sehingga
dikatakan bangkit kembali!"
"Ya. Guru yang membunuh
Nini Pasung Jagat kemarin siang. Mestinya sbelum tengah malam, Minarsih dan
teman-teman yang bertugas menguburkan mayat Nini Pasung Jagat sudah kembali
pulang. Kami juga cemas karena sampai lewat tengah matan Minarsih dan
teman-temannya belum pulang. Ternyata mereka mengalami suatu bencana!"
"Bencana...?!"
Minarsih sempat menuturkan
bencana itu kepada gurunya di ruang penyembuhan,
"Ketika kami belum
selesai menggali, mayat Nini Pasung Jagat mulai bergerak-gerak. Dan secara
mengejutkan ia bangkit, duduk di usungan. Kami berenam menjadi takut dan segera
melompat menjauhi mayat itu. Kami menyangka dia adalah hantu yang masuk ke
dalam raga Nini Pasung Jagat. Ternyata bukan!" kata Minarsih.
"Jadi dia memang Nini
Pasung Jagat?" tanya Dewi Anjani.
"Benar! Dia adalah Nini
Pasung Jagat! Dia belum mati."
"Aneh," gumam Embun
Salju. "Pukulan 'Darah Kutub'-ku masih bisa membuatnya bertahan hidup?
Seharusnya tidak demikian! Memang aku tahu ia melepaskan pukulan 'Darah Geni'
dan 'Jalur Baja', tapi pukulan 'Darah Kutub'-ku toh bisa
melumpuhkannya!"Minarsih diam, tak bisa mendebat namun tak berani mencabut
pernyataannya bahwa Nini Pasung Jagat memang hidup kembali. Dewi Anjani pun
berkerut heran, demikian pula Embun Salju. Ruangan menjadi sepi sejenak.
Setelah itu, Embun Salju
melakukan penyembuhan terhadap luka-luka yang diderita Minarsih.
Selesai melakukan penyembuhan
yang membuat keadaan Minarsih sedikit lebih segar dari semula datang, Embun
Salju menyuruh Minarsih melanjut kan kisahnya.
"Kami berenam
diserangnya, Guru! Ia tahu bahwa kami adalah murid Guru Embun Salju, tapi ia
tak tahu di mana saat itu ia berada! Kami didesak untuk membawanya pulang ke
sini! Kami berenam bersepakat untuk menolak desakan itu!"
"Apakah kalian tidak
melawan?"
"Kami melawan. Guru! Nini
Pasung Jagat kami keroyok berenam. Tapi dia tetap tegar dan semakin berbahaya
setiap pukulan yang dilepaskannya. Pertama-tama Kurnia tewas dalam keadaan
kepala hancur, menyusul kemudian Ambar Gati tewas dalam keadaan dadanya remuk
dihantam oleh Nini Pasung Jaga..."
"Mengapa kalian tidak
melepaskan pukulan 'Geprak Tulang'?!"
"Sudah, Guru! Tapi tak
mempan!" jawab Minarsih.
"Tak mempan bagaimana?
Meleset maksudmu?"
"Bukan meleset. Guru!
Tubuh Nini Pasung Jagat tak hancur dihantam pukulan 'Geprak Tulang'."
"Aneh. Kuat sekali dia,
Guru?" gumam Dewi An-jani dan bertanya kepada gurunya. Embun Salju diam
termenung memikirkan kehebatan Nini Pasung Jagat. Lalu, di dalam hatinya Embun
Salju berkata,
"Orang yang bisa bertahan
menerima pukulan 'Geprak Tulang' adalah orang yang mempunyai jurus 'Sumsum
Besi'. Apakah dia mempunyai jurus 'Sumsum Besi'?"
Kemudian Embun Salju bertanya
kepada Minarsih, "Apakah kalian menggunakan 'Perisai Gaib'?"
"Ya. Kami menggunakan
jurus 'Perisai Gaib'. Tapi dia masih bisa menembusnya. Korban orang yang
menggunakan 'Perisai Gaib' adalah Kurnia, Guru!"
Dewi Anjani terkesiap matanya,
memandang heran dan tegang, "Dia bisa menembus 'Perisai Gaib'?"
"Betul, Dewi! Aku sendiri
hampir saja menjadi sasaran karena mengandalkan 'Perisai Gaib'!"
"Rasa-rasanya tak
mungkin, Minarsih. Sebab, waktu ia bertarung melawanku di depan sana, aku juga
menggunakan jurus 'Perisai Gaib', tapi ia tidak bisa menyentuhku!"
"Nyatanya ia bisa
menerobos lapisan batin yang membungkus raga kita dalam jarak satu langkah
berkeliling itu, Dewi!"
Embun Salju semakin dibuat
penasaran dan terheran-heran. Ia berkata lirih dalam gumam, seolah-olah
ditujukan pada diri sendiri,
"'Perisai Gaib' bisa
ditembusnya? Berarti dia mempunyai jurus 'Pukulan Tembus Jiwa'!"
"Sepertinya memang
begitu, Guru!"
"Lalu mengapa ia tidak
gunakan saat melawan Anjani di depan?"
"Saya tidak tahu, Guru!
Yang jelas, ketika pedang kami menyerangnya bersamaan, pedang kami menjadi
patah, kecuali pedang saya, Guru! Tubuh Nini Pasung Jagat menjadi keras,
sekeras baja!"
"Menjadi keras? Maksudmu
kebal, begitu?!" tanya Dewi Anjani.
"Bukan hanya kebal, tapi
keras! Keras seperti baja. Pedangku menebasnya dan tak bisa melukai kulit
tubuhnya, tetapi justru menghadirkan percikan bunga api, terutama jika kami
menebasnya kuat-kuat. Dan suara yang keluar dari tebasan pedang ke tubuhnya pun
aneh. Seperti pedang menebas baja dengan sentakan kuat!"
"Itu tidak mungkin,
Minarsih! Tidak mungkin!" bantah Dewi Anjani.
"Betul, Dewi!
Betul!"
"Apa kau tak lihat waktu
aku berhasil melukai bagian kakinya?!"
"Ya. Memang aku
melihatnya sendiri, ia terluka tiga tempat karena sabetan pedangmu. Tapi bekas
luka itu tak ada saat ia bangkit lagi, dan pedang kami tak bisa melukainya!"
Memang sulit dipercaya bagi
Dewi Anjani. Sebab ia merasa pernah melukai kulit tubuh Nini Pasung Jagat di
tiga tempat. Jika sekarang Minarsih mengatakan bahwa Nini Pasung Jagat kebal
senjata, itu sungguh aneh. Dewi Anjani curiga. Minarsih mengarang cerita karena
suatu hal yang dirahasiakan. Kemudian ia mendekati Embun Salju dan berbisik
pelan sekali,
"Sepertinya ada yang
tidak beres pada diri Minarsih, Guru!"
Embun Salju manggut-manggut.
Kemudian ia berkata kepada Minarsih,
"Bagaimana luka-lukamu?
Masih terasa sakit?"
"Hanya perih sedikit,
Guru!"
"Itu berarti sebentar
lagi lukamu akan sembuh, bibirmu yang robek akan mengering Dan..., sebaiknya
keluarlah dulu. Aku mau bicara berdua dengan Dewi Anjani."
"Baik, Guru!"
Di luar, Minarsih kembali bercerita
dengan penuh semangat dan berapi-api. Beberapa temannya mengerumuni, termasuk
Jongos Daki yang merasa tertarik dengan berita aneh tersebut. Jongos Daki
menyimak tiap kata yang diucapkan Minarsih, seolah-olah mencatatnya dalam otak.
Sementara itu, di dalam ruang
penyembuhan, Embun Salju bertanya kepada Dewi Anjani,
"Apa yang kau maksud
dengan ketidakberesan Minarsih tadi?"
"Dia mengarang sebuah
cerita seru untuk menutupi sesuatu yang belum jelas kita ketahui!"
"Minarsih berbohong
kepada kita?"
"Betul, Guru!"
"Tidak mungkin!"
bantah Embun Salju. "Minarsih bicara apa adanya. Aku melihat jelas dari
sorot matanya, ia tidak menyimpan kebohongan sedikit pun!"
"Tapi seperti yang kita
ketahui bersama, Minarsih adalah seorang penakut. Guru! Mungkin ia dibayang-bayangi
oleh rasa takutnya sendiri, sehingga sepertinya ia melihat adegan yang
mengerikan di depan matanya. Bayangan itu bisa menjadi seperti nyala,
seolah-olah memang benar-benar dilihatnya. Jadi, ia mengatakan sejujurnya apa
yang terbayang di matanya itu. Guru!"
Kembali perempuan cantik yang
anggun dan bijaksana itu merenung diri beberapa saat. Setelah itu ia berkata
kepada Dewi Anjani, "Jika benar ia dihantui ketakutannya sendiri, sehingga
apa yang terbayang itu menjadi seperti nyata lantas ke mana orang-orang
lainnya? Mengapa mereka tidak kembali bersama Minarsih? Kemana Kurnia, Ambar
Gati, Inriana, dan yang lainnya?"
Dewi Anjani menjawab dengan
mata menera wang dalam renungannya,
"Saya khawatir,
jangan-jangan mereka dibunuh oleh Minarsih sendiri!"
"Dibunuh?! Atas dasar apa
Minarsih membunuh kelima temannya itu?"
"Mungkin dendam
pribadi," jawab Dewi Anjani dalam nada ragu.
"Satu hal yang perlu kau
ingat, Anjani...! Dari enam orang yang kutugaskan memakamkan mayat Nini Pasung
Jagat, dua orang berilmu tinggi di dalamnya, yaitu Ambar Gati dan Sampur Welas.
Ilmunya sejajar dangan Mahasi! Tak mungkin Minarsih bisa mengalahkan Ambar Gati
dan Sampur Welas!"
"Mungkin dengan
kelicikannya, Guru!"
Embun Salju manggut-manggut
pada akhirnya. Ia mengguman pelan. "Ya, mungkin dengan kelicikannya!Tapi
aku tidak pernah mendidik murid-murid ku menjadi orang licik, Anjani!"
"Memang, Guru! Tapi jiwa
seseorang siapa yang tahu. Jalan pikiran orang siapa yang bisa menerka."
"Berarti kau meremehkan
kesanggupanku meneropong jiwa, batin, dan pikiran seseorang, Anjani?!"
"O, tidak begitu maksud
saya. Guru! Hmm... maksud saya, setelah Minarsih ada di pulau itu, barangkali
kelicikan-kelicikan itu timbul, lepas dari teropong Guru."
"Bisa saja begitu! Tapi
kulihat tadi dia tidak mempunyai kelicikan! Kuteropong batinnya, dia tulus dan
jujur mengatakan apa adanya, Anjani!"
Dewi Anjani menarik napas
panjang-panjang. Ia merasa tak berani membantah dan mendebat lagi. Akhirnya ia
berkata,
"Baiklah. Anggap saja
Minarsih benar. Lalu. apa yang membuat Nini Pasung Jagat menjadi kebal senjata
dan keras kulitnya seperti baja? Kalau dia mau, pasti sudah ia keluarkan ilmu
itu saat melawan saya dan melawan Guru sendiri kemarin siang!"
"Itu yang harus
kuselidiki! Mungkin dia menjadi kebal jika berada di tanah kuburan? Mungkin
kulitnya menjadi baja jika terkena sinar rembulan? Bisa saja kemungkinan
kemungkinan itu terjadi, Anjani! Tapi alangkah baiknya jika kutugaskan kau
untuk mencari tahu kebenaran cerita Minarsih! Pergilah ke Pulau Kubangan dan
selidiki apa yang terjadi di sana sebenarnya!"
"Baik, Guru!" jawab
Dewi Anjani dengan patuh. Dewi Anjani segera menemui Mahasi yang sudah sehat
dan cepat pulih seperti sediakala itu. Kemudian ia berkata kepada Mahasi,
"Ikut aku ke Pulau Kubangan, Mahasi!"
"Ke Pulau Kubangan?!
Untuk apa ke sana?!" tanya Mahasi.
"Guru memberiku tugas
untuk menyelidiki keadaan di sana, sekaligus mencari tahu kebenaran cerita
Minarsih itu!"
"Kurasa itu hanya isapan
jempol saja, Anjani! Bilanglah pada Guru agar jangan mempercayai cerita
Minarsih!"
"Sudah kulakukan sampai
berdebat seru dengan beliau, tapi Guru tidak mau percaya padaku! Dan sekarang
untuk membuktikan mana yang benar, Guru menugaskan aku ke sana! Kau ikut aku ke
sana sambil mencari bukti-bukti bahwa Nini Pasung Jagat hidup kembali! Itu
kalau memang dia hidup kembali! Dan Guru berpesan agar kepergian kita jangan
diketahui oleh siapa pun, sehingga Minarsih tidak curiga dan tidak tahu bahwa
ceritanya itu sedang kita selidiki!"
"Baiklah! Aku ikut
berangkat sekarang juga! Aku siap!"
Pertama-tama yang mereka
temukan adalah sebuah perahu di pantai yang biasa digunakan untuk bertolak ke
Pulau Kubangan. Perahu itu adalah perahu milik orang-orang Kuil Elang Putih.
Tampak ada simbol seekor elang di atas dasar papan lambung nya yang putih itu.
Perahu tersebut kelihatan
dilabuhkan dengan tergesa-gesa. Tali penambatnya hanya disangkutkan pada
sebongkah batu yang sewaktu-waktu bisa lepas dan membuat perahu terbawa ombak.
Pada perahu itu juga ditemukan bercak-bercak darah, menandakan terjadi
pertempuran juga di atas perahu itu. Siapa yang bertempur, tak bisa dipastikan
secara jelas. Mungkin Minarsih dengan teman sendiri, atau Minarsih dengan Nini
Pasung Jagat, jika memang nenek itu bangkit dari matinya.
"Apakah kita perlu
melaporkan keadaan perahu ini kepada Guru lebih dulu, Anjani? "
"Tidak usah! Kita
langsung bertolak ke Pulau Kubangan saja! " Kedua perempuan itu naik ke
atas perahu setelah melepaskan tambang penambatnya. Tetapi tiba-tiba Mahasi
berteriak,
"Anjani, awaaas...!"
Mahasi melompat sambil
menedang Dewi Anjani. Tendangan itu hanya berupa jejakan kuat yang membuat Dewi
Anjani terlempar jatuh ke laut, sementara itu Mahasi sendiri juga jatuh ke laut
dangkal. Byurrr...! Dan tiba-tiba sinar merah itu melesat menghantam perahu
putih.
Zlapppp.! Blubbb.! Zrrubbb.!
Mahasi dan Dewi Anjani
sama-sama membelalakkan matanya lebar-lebar di dalam kekuyupan sekujur tubuh
mereka. Betapa mereka tidak terkejut dan terbelalak jika mereka melihat perahu
itu tiba-tiba menjadi setumpuk serbuk kayu yang segera terhempas buyar dibawa
ombak pantai. Perahu itu bagaikan lenyap sewaktu dihantam oleh sinar merah dari
arah hutan pantai.
"Apa yang terjadi?!"
seru Dewi Anajani karena kagetnya.
"Ada yang menyerang kita
dari hutan timur sana!" jawab Mahasi.
Mereka segera bergegas mencari
tempat berlindung. Sebongkah batu karang besar menjadi sasaran berlindung
mereka. Mata mereka memandang ke arah sebatang pohon berdaun merah kehitaman.
Dari bawah pohon itulah Mahasi melihat sinar merah tadi menyerang mereka. Jika
ia tidak menendang Dewi Anjani, maka Dewi Ajani akan menjadi bubuk seperti
perahu tersebut.
"Siapa yang menyerang
kita?!" tanya Dewi Anjani dengan tegang karena amarahnya menjadi meluap
namun tertahan di dalam dada.
"Entah! Tak kulihat
manusianya. Aku hanya melihat sinar merah yang melesat dari bawah pohon
itu!"
"Pancinglah dengan
pukulan jarak jauhmu! Saran Dewi Anjani.
Mahasi segera berdiri dan
melepaskan pukulan jarak jauhnya yang memancarkan sinar kuning panjang
berkelebat bagai bintang jatuh dari langit.
Wuuuttt...!
Blarrr...!
Tanaha di bawah pohon besar
berdaun merah kehitaman itu menyembur ke atas dalam satu ledakan. Pohon besar
itu berguncang, daunnya yang keringpun berguguran.
Dan pada saat itu, sesosok
tubuh berjubah hitam melesat dari balik pohon besar itu. Ia muncul menampakkan
diri secara nyata, dan berjalan santai sambil terkekeh-kekeh.
"Anjani! Lihat orang itu!
Bukankah dia Nini Pasung Jagat?!"
Dewi Anjani tertegun sebentar,
nyaris tidak mempercayai penglihatannya. Kemudian ia berkata,
"Kalau begitu apa yang
diceritakan Minarsih itu memang benar. Nini Pasung Jagat memang bangkit lagi
dari kematiannya! Edan! Punya ilmu apa dia sebenarnya?!"
"Dia mendekati kita,
Anjani! Apa yang harus kita lakukan?!"
"Serang dia!" tegas
Dewi Anjani, lalu dia mendului muncul dari persembunyian dan melepaskan pukulan
jarak jauhnya berupa sinar putih keperakan yang tak begitu jelas karena sinar
matahari menyamainya. Anehnya, nenek tua itu matanya lebih awas, dan ia melompat
ke samping untuk menghindari sinar putih perak itu.
Wesss...!
Dalam sekejap nenek tua
bertongkat lengkung itu sudah berada di depan Dewi Anjani dan Mahasi. Kedua
gadis itu mulai bersikap waspada. Mereka tanpa disengaja mencabut pedang secara
bersamaan. Serrtt...!
"Aha, kau mau membunuhku
pakai pedang, bocah-bocah dungu?!" He he he he ....!" Nini Pasung
Jagat melecehkan mereka berdua.
Dewi Anjani sempat berbisik
kepada Mahasi,
"Tebas dia! Gunakan jurus
'Elang Mengamuk Bintang'. Kalau ternyata dia tidak mempan dilukai, cepat kabur
dan jangan hadapi dia lagi! Lapor ke Guru secepatnya!"
"Ya, aku setuju!"
Nini Pasung Jagat berkata,
"Hampir saja aku salah arah melacak tempat tinggal gurumu, Bocah-bocah
dungu! Untung kulihat kalian muncul, sehingga bisa kujadikan patokan arahku
menuju Kuil Elang Putih! He he he he.!
"Setan Jahanam....!"
Geram Dewi Anjani, "Saatnya sekarang kau mati untuk yang kedua kalinya!
Heeah...!
Dewi Anjani menyerang dengan
jurus 'Elang Mengamuk Bintang'. Mahasi puin ikut menyerang dengan jurus yang
sama. Gerakan mereka sama cepatnya. Tapi Nini Pasung Jagat hanya terkekeh-kekeh
membiarkan kedua musuhnya bertingkah seperti itu.
Trang cring cring trang tring
cringng...!
Pedang mereka sebenarnya
mengenai tubuh Nini Pasung Jagat lebih dari depalan kali. Tapi tubuh itu tetap
utuh. Hanya percikan-percikan bunga api yang kelihatan dari tebasan pedang ke
kulit tubuh nenek tua itu. Bahkan dalam satu kali gebrakan, Nini Pasung Jagat
berhasil membuat tubuh kedua gadis itu terpental jauh.
Wuttt...! Brukk brruk...!
Dewi Anjani terpental ke
barat, Mahasi terpental jatuh ke timur. Nini Pasung Jagat tertawa mengikik
bagaikan kuntilanak. Tak ada bagian tubuhnya yang lecet atau terluka. Mahasi
dan Dewi Anjani merasa bagaikan memenggal pilar baja yang merusak tepian pedang
saja.
Tanpa diberi aba-aba lagi,
Mahasi segera melesat lari demikian juga Dewi Anjani. Melihat lawannya lari,
Nini Pasung Jagat segera mengejarnya sambil berteriak-teriak tak karuan. Makian
dan ancaman berhamburan keluar dari mulut nenek yang kini bertubuh aneh
itu.KALAU bukan karena ada halangan di perjalan, Pendekar Mabuk dan Kirana tiba
di Kuil Elang Putih pada pagi hari.
Tapi pada saat fajar, langkah
mereka berdua dihadang oleh seorang perempuan cantik berambut uban rata dengan
panjangnya melebihi pantat. Rambut putih itu dibiarkan meriap, bahkan sebagian
ada yang bergerai di depan dadanya. Perempuan itu mengenakan pakain biru muda
dalam bentuk pakaian jubah berlengan longar. Sedangkan bagian dalamnya
mengenakan pakaian penutup dada dari bahan satin warna merah tua, sama dengan
warna celana ketatnya yang sebatas betis itu.
"Selamat pagi, Tuan
Pendekar dan Putri Kirana...!" sapanya dalam senyum sinis. Sapaan itu
membuat Suto Sinting menjadi heran dan sebentar kemudian berbisik kepada
Kirana,
"Siapa dia, Kirana?"
"Ratu Fajar Garang! Musuh
dari mendiang guruku yang juga bernafsu ingin memiliki pusaka Pedang Wukir
Kencana itu!"
"Oo...! Jadi sekarang ia
ingin merebut pedang ini?"
"Kurasa begitu! Lawan dia
dengan lari cepatmu, Suto!"
"Mengapa harus pakai lari
segala?"
"Mengulur waktu, supaya
lewat dari fajar! Kesaktiannya hanya dalam cahaya fajar. Lewat dari fajar, ia
sudah menjadi orang lemah yang hanya pandai mengelabui lawannya dengan segala
macam tipu muslihat! Dia jago tipu, Suto!"
Terdengar Ratu Fajar Garang
berkata kepada Suto, "Kalau tak salah lihat, kau Pendekar Mabuk yang
mengalahkan Mahendra Soca dalam satu perjudian nyawa!" (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Ladang Pertarungan")
"Benar. Dari mana kau
tahu?"
"Aku hadir di Ladang
Pertarungan itu! Aku melihat kehebatanmu, dan aku terkesan dengan ilmu
pedangmu!Tapi untuk saat-saat fajar begini, kau tidak akan bisa menandingi ilmu
pedangku, Pendekar Mabuk"
"Apa maksudmu berkata
begitu?!"
"Serahkan pedang emas di tanganmu
itu, atau kau kubantai seperti saat membantai Mahendra Soca, si Wajah Hitam
itu?!"
"Boleh kau ambil pedang
ini, asal kau bisa mengejarku!"
Zlapppp...! Pendekar Mabuk
berlari melebihi hembusan badai. Tahu-tahu ia berada jauh di ujung sana.
Ratu Fajar Garang terbegong
memandang gerakan Suto Sinting yang begitu cepatnya. Dari sana terdengar Suto
berseru,"Fajar Garang! Ambillah pedang ini kalau kau mampu
menjamahnya!"
"Keparat kau, Pendekar
Mabuk! Aku tak akan terpancing oleh kelicikanmu! Hiaaah...!"
Wuttt.! Ratu Fajar Garang
menyerang Kirana yang tersenyum-senyum melihat Suto melakukan rencana yang
dibisikkan tadi. Kirana tidak menyangka akan mendapat serangan tiba-tiba dari
Ratu Fajar Garang. Ia berkelebat pula menghindari tendangan maut lawannya, tapi
tangan Ratu Fajar Garang segera mengibas ke samping sambil mencabut pedangnya
dari pinggang kiri. Wuttt...! Brettt...!
"Aaauh...!" Kirana
terpekik keras, punggungnya terkena kibasan pedang. Ia rubuh tak berkutik. Ratu
Fajar Garang segera menyergap Kirana dan menjambak rambut gadis itu. Pedangnya
ditempelkan di leher Kirana, dan ia pun berseru,
"Pendekar Mabuk! Tukar
pedang itu dengan nyawa gadis ini!"
"Sial!" sentak Suto
Sinting dengan hati dongkol. "Bodoh amat Kirana itu! Mengapa dia tetap di
tempat, sementara aku sudah lari menjauhi si rambut putih itu?! Sekarang
nyawanya terancam! Benar-benar bodoh kau, Kirana!"
Tak habis-habisnya Suto
menggerutu dalam hati. Jelas ia tak bisa membiarkan Kirana dipenggal atau
digorok lehernya begitu saja oleh Ratu Fajar Garang. Tetapi ia pun tak bisa
menyerahkan pedang emas itu kepada perempuan berambut putih yang jelas berjiwa
keji itu. Repotnya lagi, perempuan berambut putih tapi masih cantik itu tidak
memberi kesempatan kepada Pendekar Mabuk memikirkan bagaimana menyelamatkan
pedang emas dan nyawa Kirana. Perempuan itu berseru kembali,
"Kuhitung tiga kali kalau
kau tak mau serahkan pedang itu, kutarik pedangku ini dan putuslah leher
kekasihmu, Pendekar Mabuk!"
"Persetan!" geram
Suto Sinting "Kalau kuserang dari sini, bisa jadi tubuh Kirana yang akan
dipakainya sebagai tameng! Rasa-rasanya tak mungkin aku bisa menyerangnya jika
Kirana masih dalam ancamannya!"
"Satu...!" Ratu
Fajar Garang mulai menghitung.
"Benar-benar sial!"
geram Pendekar Mabuk lagi. Kemudian dengan gerakan cepatnya, tahu-tahu Suto
sudah berada di depan Ratu Fajar Garang.
"Baru hitungan kesatu kau
sudah kembali, itu tandanya kau sayang kepada kekasihmu ini, Pendekar
Mabuk!"
"Lepaskan dia dan
hadapilah aku jika kau memang punya kesaktian yang bisa menandingi jurus
pedangku!" pancing Suto Sinting.
Ratu Fajar Garang yang
berbibir memikat hati itu tertawa pelan,bernada melecehkan pancingan Pendekar
Mabuk itu. Ia segera berkata,
"Aku tak akan melawanmu
sebelum aku memiliki pedang itu! Serahkan pusaka Ki Padmanaba itu, dan
kulepaskan gadis ini!"
"Tinggalkan aku, Suto!
pergilah! Cepat pergi...!" seru Kirana sambil menyeringai menahan rasa
sakit di punggungnya. Pendekar Mabuk dalam keadaan bimbang. Ratu Fajar Garang
kembali berkata,
"Aku tadi baru menghitung
satu kali. Sekarang hitungan berikutnya.Dua!"
"Suto, jangan hiraukan
nyawaku! Pikirkan nyawa orang banyak jika pedang itu jatuh ke tangan iblis
berambut putih ini!"
"Diam kau, Kirana!"
bentak Ratu Fajar Garang sambil mengencangkan jambakan tangannya ke rambut
Kirana. Wajah Kirina makin menyeringai kesakitan dan ia tak berani berbuat apa
apa karena pedang sudah mengiris sebagian kulit lehernya.
"Baiklah!" sentak
Suto tiba tiba. Ia mulai nampak menyerah.
"Jangan. Suto! Pergi!
Larilah!" seru Kirana. Tapi Suto berkata,
"Aku tak tega
meninggalkan dirimu dalam keadaan seperti ini, Kirana! Kau harus
kuselamatkan!"
"Bagus!" kata Ratu
Fajar Garang, "Itu namanya seorang kekasih yang benar-benar mencintai
gadisnya! Hi hi hi...! Aku jadi iri, kepingin punya kekasih setampan kamu,
segagah kamu, dan sesetia kamu, Pendekar Mabuk!"
"Ratu Fajar Garang!
Kuserahkan pedang ini padamu, tapi kau harus melepaskan gadis itu!"
"O. tentu,
tentu...!"
"Kalau kau ingkar janji,
kuhancurkan pedang itu dan kutunggu siang tiba baru menyiksamu sekeji
mungkin!"
"Ratu Fajar Garang tak
pernah bicara plin-plan, Pendekar Mabuk! Kau patut percaya padaku!"
"Baik. Aku percaya!
Ambillah pedang ini!" Wuttt...! Pendekar Mabuk melemparkan pedang itu ke
arah sampingnya dalam jarak sekitar tujuh tombak. Ratu Fajar Garang
terperanjat, Kirana sendiri sebenarnya juga kaget dan menyesal, mengapa Suto
menyerahkan pedang itu begitu saja. Sedangkan Suto sendiri memandangi Ratu
Fajar Garang dengan mata tajamnya.
"Mengapa kau lemparkan pedang
itu ke sana?! Aku ada di sini, Goblok!" bentak Ratu Fajar Garang.
"Untuk menjamin
keselamatan gadis itu, kau harus melepaskannya lebih dulu, baru bisa mengambil
pedang itu! Kalau kau ingkar janji, aku bisa mengambilnya lebih cepat darimu,
Ratu uban...!"
"He he he he...! Rupanya
kau minta jaminan juga, Pendekar Mabuk! Akan kubuktikan bahwa Ratu Fajar Garang
kalau bicara tidak pernah plin-plan! Nih, ambil gadismu!"
Wuttt...! Brukk...! Kirana
disentakkan hingga menabrak Pendekar Mabuk. Lehernya tidak jadi digorok oleh
Ratu Fajar Garang. Perempuan beruban rata itu segera lari menuju ke pedang emas
yang tergeletak di rerumputan. Tetapi, pada saat itu pula tangan kanan Suto
bergerak menyentak ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka miring.
Sett...!
Zlap zlappp...!
Jurus 'Manggala' dikeluarkan
oleh Suto Sinting. Dari tangan yang disentakkan, meluncur dua pisau kecil yang
tak terlihat oleh mata telanjang. Pisau itu melesat begitu cepatnya dan
menancap masuk ke punggung Ratu Fajar Garang.
Pada waktu itu, perempuan
tersebut sedang mau mengambil pedang dalam gerakan membungkuk. Dan ketika ia
terkena jurus 'Manggala', keadaannya menjadi tetap diam dan tak bergerak
sebagaimana posisi mengambil pedang. Suaranya tak ada, gerakannya pun hilang.
Kirana memandangnya dengan rasa takjub. Ia membatin,
"Lagi-lagi Pendekar Mabuk
mengeluarkan ilmu totoknya yang sering membuatku kagum. Benar-benar dia
laki-laki yang penuh daya kagum di benak dan hati setiap wanita!"
Dengan tenang Pendekar Mabuk
mengambil pedang tersebut. Ratu Fajar Garang pun tidak mencegah ataupun
menghalanginya lagi. Dengan tenang pula Suto Sinting segera menyelempangkan
pedangnya itu di punggung, menjadi satu dengan bumbung tuak dan menyuruh Kirana
segeta meneguk tuak beberapa kali.
"Untuk mengeringkan
lukamu!" kata Suto. Dan Kirana pun tidak menolak. Ketika ia selesai
meneguk tuak, rasa perih di punggung mulai berkurang, lalu ia berkata kepada
Suto sambil memandang Ratu Fajar Garang.
"Jangan bebaskan dia
sampai matahari meninggi. Biar orang menemukan dirinya dalam keadaan
begitu!"
"Dia akan bebas sebentar
lagi. Kalau ada angin datang, maka dia akan bebas dengan sendirinya!"
"Kalau begitu, lekas kita
tinggalkan dia!"
"Tak perlu terburu-buru,
Kirana! Aku ingin melihat dia bebas."
"Kau ini sinting betul,
Suto! Orang orang...!"
"Ssst...! Ada angin
datang! Perhatikan dia!" potong Suto.
Mata Kirana tertuju ke arah
Ratu Fajar Garang yang masih dalam keadaan membungkuk. Angin pun berhembus dari
selatan ke utara. Dan mata Kirana mulai terbelalak lebar. Apa yang dilihatnya
hampir tak
dipercayainya.
Tubuh yang menjadi patung itu
ternyata mulai ambrol. Bagian rambutnya berserakan dihembus angin. Lalu bagian
betisnya juga berhamburan, dan ketika angin bertiup semakin kencang, tubuh Ratu
Fajar Garang itu pun terbang berhamburan dalam keadaan sudah menjadi debu.
Rupanya saat ia terkena Jurus 'Manggala', seketika itu pula tubuhnya menjadi
debu. Namun karena cepatnya perubahan dari manusia menjadi debu, keadaannya
masih tetap menggumpal berbentuk sama seperti wujud aslinya. Setelah datang
angin, baru kelihatan dan diketahui bahwa tubuh itu telah menjadi debu
seluruhnya. Tak ada sisa tulang ataupun secabik pakaiannya.
"Ilmu apa yang kau pakai
itu, Suto?!" gumam Kirana masih dengan mata terbelalak walau debu Ratu
Fajar Garang telah lenyap habis sama sekali tanpa bekas sedikit pun.
"Itu yang dinamakan Jurus
'Manggala' ! Kalau tidak dalam keadaan terpaksa dan harus mengambil kecepatan
tertentu, jurus itu jarang kugunakan!"
"Luar biasa! Maukah kau
mengajariku, Suto?!"
"Bisa kita bicarakan
setelah kita berada di Kuil Elang Putih!" jawab Suto Sinting sambil
mencubit dagu Kirana.
Bergegaslah mereka menuju
Perguruan Elang Putih. Mereka harus membicarakan tentang pedang itu kepada
kakak dari Ki Padmanaba, yaitu Embun Salju. Dalam perjalanan, Kirana sempat
berkata kepada Suto Sinting yang baru saja meneguk tuaknya.
"Hati-hatilah dengan Nyai
Guru Embun Salju!"
"Ada apa dengan
dia?"
"Dia cantik, Suto!"
"Kurasa semua orang akan
berkata begitu!"
"Dia sangat memikat hati
buat setiap lelaki."
"Kuakui hal itu,
Kirana!"
"Jangan kau terpikat
dengannya, Suto!"
"Seandainya terpikat,
mengapa?"
"Kau melukai
hatiku!" jawab Kirana sambil bersungut-sungut.
Pendekar Mabuk tertawa pelan.
"Kau tak perlu merasa terluka!"
"Itu hakku! Aku mau
terluka atau tidak, itu urusanku! Kau tak berhak melarangku begitu."
"Yang kumaksud, kau tak
perlu merasa sakit hati, karena aku tak akan terpikat oleh kecantikan Nyai Guru
Embun Salju!"
"Sungguh?"
"Bisa kau percaya
omonganku!" ucap Suto tegas.
Tapi tiba-tiba ketika matahari
mulai merayap pada jalurnya, dari arah depan mereka terlihat sesosok bayangan
berpakaian abu-abu mendekati arah mereka. Orang yang berlari dengan
terburu-buru itu sangat dikenali oleh Suto dan Kirana. Sebab itulah Suto
berkata kepada Kirana,
"Bukankah itu Paman
Jongos Daki?"
"Benar! Pasti ada apa-apa
lagi, sehingga ia menyusul kita!"
Mereka mempercepat langkah
supaya lebih cepat bertemu dengan Jongos Daki. Orang bertubuh agak pendek itu
semakin kelihaian tegang wajahnya. Ketika ia sudah berhadapan dengan Suto,
napasnya terengah-engah dan keringatnya mengucur membasahi pakaian.
"Ada apa, Paman?"
tanya Pendekar Mabuk.
"Nyai embun Salju
diserang...!"
"Siapa yang
menyerang?" Kirana terpenjarat.
"Nini Pasung Jagat!"
"Hah...?! Pasung Jagat?!
Bukankah dia sudah mati dan dikuburkan di Pulau Kubangan?!"
"Benar, Kirana! Tapi dia
bangkit lagi dan mengamuk di sana!"
Suto berkata dengan tenang.
"Tak perlu cemas! Embun Salju pasti bisa mengatasinya!"
"Justru Nyai Embun Salju
sekarang dalam keadaan terdesak!" kata Jongos Daki. "Aku
diperintahkan menyusulmu, Suto!"
"Nyai terdesak ..?! Orang
sakti seperti dia terdesak oleh kekuatan Nini Pasung Jagat?! Sungguh tidak
masuk akal kedengarannya!" ujar Pendekar Mabuk sambil mengerutkan dahinya
kuat kuat.
Jongos Daki memandang ke arah
pedang emas. Wajahnya menjadi berseri-seri. Ia segera berkata dengan nada
girang.
"Kau telah berhasil
menemukan pusaka pedang emas itu, Suto?!"
"Ya. Seperti yang kau
lihat inilah, Paman!"
"Bagus, bagus...! Jongos
Daki segera mangut-mangut. Kemudian ia berkata dengan penuh semangat.
"Kalau begitu, cepatlah
jalan duluan. Gunakan jurus larimu yang cepat melebihi setan ketakutan itu,
Pendekar Mabuk. Biar aku dan Kirana menyusul dari belakang! Nyai Embun Salju
sangat membutuhkan bantuanmu!"
"Kalau begitu, aku harus
berangkat lebih dulu!"
"Berangkatlah, Suto!
Lekas...! Jangan sampai kau terlambat tiba di sana! Kalahkan Pasung Jagat
dengan pedang itu!"
Zlappp...! Suto pun pergi,
tahu-tahu sudah ada di ujung sana. Kelihatan jauh dan kecil dari tempat Kirana
dan Jongos Daki berada.
Embun Salju terdesak mundur
oleh serangan Nini Pasung Jagat. Bahkan satu kali ia terkena pukulan bercahaya
biru dari tangan Nini Pasung Jagat. Segera Mahasi dan Dewi Anjani memerintahkan
beberapa murid lainnya untuk memagari Embun Salju.
"Nyai Guru harus
beristirahat dulu! Jangan teruskan penyerangan ini!" kata Dewi Anjani.
"Siapa yang akan menahan
amukan Nini Pasung Jagat itu kalau bukan aku? Kalian akan mati sia-sia kalau
mencoba menyerangnya!"
"Kami akan pancing dia
agar menjauh dari kuil ini!" kata Mahasi. Lalu, Dewi Anjani menambahkan
kata,
"Kami ulur waktu sampai
Pendekar Mabuk tiba di sini!"
"Apa Jongos Daki sudah
berangkat?"
"Sudah sejak tadi,
Guru!" jawab Dewi Anjani.
"Guru terluka dan harus
disembuhkan dulu! Kami akan ulur waktu untuk menunggu kedatangan Pendekar
Mabuk!"
"Baik, Baik...! Tapi
lukaku ini tak seberapa. Tak perlu cemas!" kata Embun Salju sambil
melangkah mundur. "Buat dia agar sibuk ke arah lain, sementara aku meredam
luka dalamku ini!"
Dewi Anjani membawa beberapa
orang untuk memancing serangan nenek gila itu kearah lain. Dewi Anjani memilih
orang-orang yang pandai berkelit dan lincah dalam bergerak. Mereka tidak akan
melakukan serangan balas. Sekalipun mereka melepas kan pukulan, mereka tahu
pukulan itu tidak akan dapat melukai tubuh Nini Pasung Jagat. Jadi serangan
mereka hanya bersifat memancing gerakan saja.
Mahasi mendampingi gurunya dan
membawa ke balairung. Embun Salju melakukan semedi beberapa saat. Penyembuhan terhadap
luka di dalamnya dilakukan dengan cepat. Hanya beberapa waktu saja ia kembali
dalam keadaan segar. Dan tepat pada waktu itu, sekelebat bayangan melompati
tembok halaman kuil yang mirip benteng tingginya itu. Bayangan tersebut segera
mendarat di depan balairung.
"Suto...! Syukurlah kau
cepat datang!" Embun Salju menyambut dengan ceria. Lebih ceria lagi
setelah ia melihat di tangan kanan Suto menggenggam sebilah pedang emas. Dan
Embun Salju tahu, pedang itu adalah pusaka milik mendiang adiknya.
"Kau berhasil
rupanya!"
"Berkat petunjukmu,
Nyai!" jawab Suto. "Apa yang terjadi di depan sana, Nyai?"
"Nini Pasung Jagat
bangkit lagi!"
"Mengapa kau tak bisa
atasi dia? Apakah dia mempunyai ilmu lebih tinggi darimu, Nyai?"
"Sesuatu telah terjadi di
luar perkiraanku, Suto! Nini Pasung Jagat menjadi kebal senjata! Kulit tubuhnya
keras bagaikan baja, dan tak bisa dilukai dengan senjata apa pun! Bahkan
pukulan tenaga dalamku tak bisa melumpuhkan dia. Padahal terkena tepat di
dadanya, dan meledak di sana, tapi tak membuat dia terluka kecuali hanya
tersentak mundur atau terpental beberapa jarak saja."
"Mengapa dia bisa menjadi
kebal begitu?"
"Saat dia melepaskan
pukulan 'Darah Geni', aku melawannya dengan pukulan 'Darah Kutub' yang
mempunyai hawa dingin serta titik beku paling tinggi. Dia pun melepaskan
pukulan 'Jalur Baja', yang begitu panas dan dapat melelehkan tubuh manusia,
bahkan besi pun bisa lumer jika dihantam pukulan 'Jalur Baja'-nya itu.
Ternyata pukulan 'Darah Geni'
dan 'Jalur Baja' sama-sama mempunyai titik panas yang luar biasa. Dan pukulan
itu membeku di dalam darahnya karena kuhantam terus dengan hawa dingin yang
bertitik beku tinggi. Dan akibat dari ketiga jurus itu menjadi satu di dalam
darahnya, maka membentuk satu lapisan pelindung, membuat kulitnya, uratnya,
tulang-tulangnya bahkan rambutnya jadi mempunyai lapisan baja yang tak bisa
dilukai atau digores oleh senjata apa pun!"
"Hmmm...! Kalau begitu,
pedang emas ini yang akan melukainya! Aku harus segera masuk ke pertarungan tu,
Nyai! Permisi!"
Zlappp....!
Pendekar Mabuk pun cepat
tinggalkan tempat.NINI Pasung Jagat gemas melihat tingkah Dewi Anjani dan
teman-temannya yang hanya menyerang dan mundur, menyerang lalu mundur lagi,
makin lama makin jauh dari tanah depan kuil. Tetapi karena rasa penasarannya
terhadap Dewi Anjani yang tak bisa dibunuh dan mampu menghindar terus dengan
lincahnya, Nini Pasung Jagat mengejar lawannya sampai di Bukit Perawan. Dari
depan kuil bisa terlihat jelas pertarungan Nini Pasung Jagat dengan Dewi Anjani
dan lima anak buahnya yang lincah-lincah itu.
Pada satu kesempatan, Dewi
Anjani berhasil terpental dan hangus bagian punggungnya. Ia terluka kena
pukulan telapak mautnya Nini Pasung Jagat. Dalam keadaan lemah Dewi Anjani
merangkak mencari tempat aman. Tapi pada waktu itu, Nini Pasung Jagat sudah
tiba di depannya.
Jlegg...!
"Serang dia supaya tidak
mencelakakan Anjani!" kata temannya. Maka mereka pun menyerangnya dengan
pukulan jarak jauh secara bersamaan. Namun pukulan itu tidak ada yang melukai
kulit tubuh Nini Pasung Jagat, dan karenanya tidak dihiraukan oleh nenek gila
pusaka itu.
"Sudah saatnya tongkatku
menghabisi nyawamu. Bocah Dungu! Hiaah!" Nini Pasung Jagat menancapkan
tongkatnya ke punggung Dewi Anjani yang sudah tak sanggup melakukan apa-apa
lagi itu. Tetapi tiba-tiba tubuh nenek tua itu terpental kesamping dan
membentur sebatang pohon berakar pipih.
Brrukkk...!
"Monyeeeet...!"
teriaknya dengan keras, ia pun segera bangkit.
Suatu tenaga yang begitu besar
telah dilepaskan oleh seseorang. Tenaga itu yang membuat Nini Pasung Jagat
terpental jauh. Dan ketika ia bangkit memandang ke arah Dewi Anjani, rupanya di
sana sudah berdiri lelaki berpakaian coklat dan celana putih, punggungnya
menyandang bumbung tuak.
"Rupanya kau murid
sinting si Gila Tuak itu! Hah...! Sangat kebetulan sekali kau hadir dalam
keadaan tubuhku sudah menjadi sekeras baja begini! Kulampiaskan dendamku kepada
si Gila Tuak di depanmu, Suto!"
"Hei," panggil
Pendekar Mabuk kepada anak buah Dewi Anjani. Bawa dia menjauhi! Sambil tangan
kirinya menopang tubuh Dewi Anjani. Lalu, Dewi Anjani pun dibawa pergi menjauh
oleh anak buahnya. Tapi mereka belum turun dari puncak bukit yang tak seberapa
tinggi itu. Bahkan di sisi lain pun muncul dua orang yang terengah-engah
tegang. Merekaadalah Kirana dan Jongos Daki.
"Suto, habisi dia!"
seru Kirana.
"Aku dengar!" seru
Pendekar Mabuk tanpa menoleh pada Kirana. Ia berdiri dengan tegapnya. Tangan
kiri memegang pedang emas dengan sarung pedangnya, tangan kanan siap melakukan
gerakan secepat kilat.
Pada waktu itu, mata Nini
Pasung Jagat tertuju pada pedang emas itu. Mata tua tersebut berbinar-binar.
Bibirnya menyunggingkan senyum yang lebih cocok dikatakan sebagai seringai.
"Aha...! Pedang Wukir
Kencan ada di tanganmu, Suto?! Oooh...ho ho ho...! Pucuk dicinta ulam tiba! Itu
yang kucari-cari!"
"Barangkali kematian yang
kau cari, bukan pedang ini, Nini!"
"Dengar Cah bagus kayak
tikus...! Pedang itu adalah milik guruku, dan hanya murid-muridnya yang berhak
memegang dan memiliki pedang emas itu! Ki Padmanaba atau aku! Bukan kau! Karena
kau bukan murid Guru kami, Suto!"
"Tapi aku yang mendapat
amanat dari Ki Padmanaba untuk menyelamatkan pedang ini, agar tak jatuh ke
tangan orang-orang sesat seperti kamu, Nini!"
"Kalau kau nekat
menggunakan pedang itu, maka kau akan mati termakan kutuk yang ada di dalam
kekuatan pedang itu!"
Kirana berteriak dari jauh,
"Jangan percaya, Suto!"
Pendekar Mabuk tersenyum
memandangi Nini Pasung Jagat yang tampak berang mendengar seruan Kirana. Tapi
Nini Pasung Jagat tidak menghiraukan seruan tersebut, ia maju setindak sambil
mengulurkan tangannya dengan pelan,
"Berikan padaku! Jika Ki
Padmanaba sudah tiada, berarti akulah pewaris pedang emas itu!"
"Tak ada pesan dari Ki
Padmanaba untuk menyerahkan pedang ini kepadamu, Nini!"
"Dia lupa
menyebutkannya!"
"Kurasa tidak. Yang ada
hanyalah pesan untuk menghabisi nyawamu, karena kau telah membunuhnya dengan
keji, Nini!" kata Suto dengan tangan kanan mulai memegang pedang, tepat
pada gagangnya.
Nini Pasung Jagat menjadi
tegang, ia tahu kehebatan pedang itu, sehingga ia merasa cemas. Dalam batinnya
ia berkata sendiri,
"Pedang itu sangat
berbahaya! Dipegang orang bodoh pun bisa membuat orang tersebut pandai
memainkan jurus-jurus pedang maut, apalagi dipegang bocah sinting murid si Gila
Tuak itu! Agaknya aku harus membujuknya dengan cara halus. Aku tak berani
merebutnya dengan kasar. Tapi... sekarang tubuhku sudah menjadi sekeras baja!
Kulitku tak bisa dilukai! Mengapa aku harus takut menyerangnya? Kurasa Pendekar
Mabuk tak bisa dibujuk secara halus! Dia bukan orang bodoh. Jadi, aku memang
harus merebutnya dengan pertarungan. Mudah-mudahan dia belum tahu kalau kulitku
sudah sekeras baja dan tak mempan digores dengan senjata apa pun!"
Nini Pasung Jagat melangkah ke
samping beberapa tindak, arahnya memutari Pendekar Mabuk. Tapi Sinting ikut
bergerak memutar pelan-pelan. Tangannya sudah menggenggam gagang pedang. Ia
selalu mengambil posisi menyamping. Pedang terangkat di depan dada bersama
sarungnya. Tapi belum dicabut. Karena sekali cabut, langsung akan berkelebat.
Itu sebabnya Pendekar Mabuk mengambil posisi menyamping kanan dan bergerak
terus supaya posisinya tetap sama dengan gerakan Nini Pasung Jagat.
"Kau memaksaku untuk
merebutnya, Suto! Kau belum tahu siapa aku yang sekarang ini!"
"Kalau kau memang mampu
merebutnya, Rebutlah! Itu berarti kau punya keberanian menghadapi anak sekecil
aku, Nenek Kempot!"
"Jahanam kau..!
Heaaah...!"
Zlappp... !
Pendekar Mabuk berkelebat
bagai orang menyeberang jalan dengan cepatnya. Tak satu pun mata yang melihat
gerakan Suto menyeberang melintasi tubuh Nini Patung Jagat. Mereka tahu-tahu
sudah melihat Suto berpindah posisi, pedangnya sudah dilepas dari sarung
pedang, tapi sarung pedang tetap terangkat ke depan.
Nini Pasung Jagat diam di
tempat.
Berdiri agak membungkuk
sedikit. Jari-jari tangannya begerak pelan. Ia masih memunggungi Suto. Suto
sendiri tidak bergerak dari tempatnya. Namun matanya melirik tajam ke arah Nini
Pasung Jagat.
"Habisi dia! Lekas habisi
dia?" seru Kirana bagai tak sabar, karena ia melihat Pendekar Mabuk punya
kesempatan untuk memenggal kepala Nini Pasung Jagat dari belakang. Kirana jadi
geram dan gemas sendiri melihat Pendekar Mabuk tidak bergerak menebaskan
pedangnya. Ia ingin maju, tapi tangannya ditahan oleh Jongos Daki.
"Biarkan dulu!" kata
Jongos Daki mengingatkan. Cukup lama kedua tokoh yang bertarung itu sama-sama
diam tak bergerak. Sementara orang-orang yang menonton dari depan pintu gerbang
kuil mulai berteriak-teriak, sama dengan seruan Kirana.
Mereka mendesak supaya Pendekar
Mabuk cepat- cepat memenggal kepala Nini Pasung Jagat. Tetapi Pendekar Mabuk
tidak menghiraukan teriakan mereka yang samar samar kedengarannya itu.
"Huuuhh...!" teriak
mereka di sana setelah melihat Suto memasukkan pedang emas ke sarung pedang.
Sedangkan Kirana, Dewi Anjani,
Jongos Daki, dan yang ada di bukit itu, memandang dengan mata tak berkedip.
Mereka melihat cairan menetes dari bagian bawah perut Nini Pasung Jagat. Cairan
itu bukan merah, melainkan kuning keemasan, seperti logam emas yang dipanaskan
dan mencair.
Tes... tes... tes...! Makin
lama menjadi semakin banyak. Tubuh Nini Pasung Jagat masih diam mematung.
Tangannya bergerak-gerak. Tetapi, kejap berikutnya, para penonton yang ada di
belakang Suto itu menjadi terperangah kaget ketika tubuh Nini Pasung Jagat
tumbang ke belakang. Brukkk...!
Mereka melihat dengan mata
kepala sendiri, dari bagian bawah pusar sampai ke pertengahan kening Nini
Pasung Jagat, ternyata terbelah tipis namun jelas dalam. Sabetan pedang
Pendekar Mabuk membentuk garis lurus dari bawah putar sampai ke pertengahan
kening. Dan tak seorang pun yang melihat saat Pendekar Mabuk menyabet pedang
emas itu ke tubuh Nini Pasung Jagat.
"Luar biasa...!"
gumam Kirana semakin terkagum kagum kepada Suto.
Nini Pasung Jagat
menghembuskan napas terakhir dalam keadaan mata terbuka lebar dan mulut
ternganga sedikit. Rupanya kulit tubuh yang telah berubah menjadi sekeras baja
itu hanya bisa dilukai oleh pedang emas tersebut.
Nini Pasung Jagat lupa, selain
pedang itu membuat seseorang bisa memainkan jurus pedang maut jika menggenggam
pedang itu, pedang tersebut juga bisa memotong semua benda, sekalipun gunung
baja yang menjulang tinggi. Dan setiap lawan yang terkena pedang tersebut,
darahnya berubah kuning keemasan, namun cepat berbau busuk dan berubah menjadi
hitam dalam setengah hari saja.
Rubuhnya Nini Pasung Jagat
membuat orang-orang di depan gerbang kuil bersorak kegirangan. Sorak itu segera
mereda dan hilang setelah seseorang muncul di tengah arena pertarungan tadi.
Orang tersebut bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa. Dialah Logayo ketua
perkumpulan atau perguruan sesat Kobra Hitam yang hampir gulung tikar.
Kemunculan Logayo yang
bergelar Dewa Murka, kali ini tidak didampingi oleh Rangka Cula. Mungkin karena
tergesa-gesa dan bernafsu sekali melihat kelebatan pedang emas dari kejauhan,
sehingga ia tidak sempat mengajak Rangka Cula.
Tetapi kemunculan itu membuat
hati Kirana menjadi seperti ditusuk dengan seribu jarum berkarat. Dendam di
dalam hatinya terbakar lagi. Bayangan saat orang seperti raksasa itu memperkosa
ibu dan seorang kakaknya, terbayang jelas di mata Kirana.
Sekalipun waktu itu Logayo
masih muda, tapi Kirana masih ingat dengan wajahnya, brewoknya, matanya yang
lebar ganas dengan alisnya yang tebal, tubuhnya yang besar, suaranya yang berat
dan besar itu juga, semuanya melekat erat dalam ingatan Kirana.
Pelan-pelan Kirana bangkit
dengan jantung bergemuruh, berdebar debar dan sedikit gemetar. Tinggal satu
orang itu yang belum dilenyapkan oleh dendam Kirana. Kini orang tersebut muncul
di depan Pendekar Mabuk dan berkata dengan gaya memuakkan,
"Hebat sekali jurus
pedangmu, Anak Muda! Aku terkesima melihat jurusmu yang luar biasa itu! Tapi
kau menggunakan pedang emas milik Ki Padmanaba kelihatannya! Apakah kau telah
mencuri pedang itu dari tangan bekas adik iparku, hah?!"
"Aku tak kenal siapa
dirimu, Raksasa brewok!"
"O, kau belum mengenalku?
Hua ha ha ha ha....! Kasihan betul kau ini! Aku adalah Logayo, si Dewa Murka,
ketua Perguruan Kobra Hitam yang disegani banyak orang!"
"Tapi mengapa aku tidak
merasa segan sedikitpun padamu?!"
Tawa itu lenyap seketika.
Wajahnya menjadi bengis. Logayo memandang angker kepada Suto Sinting. Dengan
melihat raut wajahnya yang begitu angker dan buas saja orang sudah bisa dibuat
ketakutan, apalagi jika melihat murkanya. Logayo berkata dengan nada geram yang
menyeramkan,
"Jangan kau pancing
nafsuku untuk membunuhmu. Anak Muda! Jangan lagi kau berkata begitu di depan
orang-orang seperti saat ini! Kalau kau ucapkan lagi kata kata yang sama, kuremukkan
kepalamu dengan kedua tanganku!" kedua tangannya saling meremas.
"Aneh. Kau bicara seperti
itu, wajah dibuat seangker itu, tapi aku tak punya rasa takut sedikit pun
padamu. Malah merasa geli!" Suto tertawa pendek dipaksakan.
"Ggrrr...! Kurang ajar betul
kau!" geramnya semakin kuat. Tangannya menggenggam keras-keras dan
mengepulkan asap putih bagai terbakar kedua genggamannya itu. Ia melangkah maju
dua tindak. Jaraknya menjadi lebih dekat dengan Suto, sekitar tiga langkah.
"Seharusnya kau kubunuh karena
berkata begitu! Tapi sebagai jaminan dan tebusan, cukup kau serahkan pedang itu
padaku! Karena aku adalah kakak ipar dari Ki Padmanaba!"
"Kalau kau menghendaki
pedang ini, berarti kau menghendaki kematianmu, Logayo! Apakah kau belum jera
dengan habisnya anak buahmu dengan Racun Getah Tengkorak itu?!"
Terperanjat Logayo
mendengarnya. Merah wajahnya seketika itu.
"Jadi kau yang menjadi
manusia serba hitam dan memasang jerat melalui lentera kematian itu, hah?! Kau
yang menyebar racun setan itu dan membuat matinya anak buahku itu, hah?!"
"Bukan aku, Logayo!
Jangan salah duga!"
"Jika bukan kau,
siapa?!" bentaknya.
"Aku...!"
Tiba-tiba Kirana tampil sambil
menyebutkan kata dengan keras. Ia menatap mata Logayo dengan beringas, seakan
ingin menelan orang sebesar itu. Ia maju sampai berada di depan Pendekar Mabuk,
seakan mengambil alih perkara itu dari Suto. "Akulah yang memasang lentera
beracun itu, Logayo! Aku yang menghabisi anak buahmu! Karena kaulah yang
membantai habis keluargaku, ketika kau dan kelima begundalmu itu menjadi
perampok di rumahku atas perintah Lastri , bibiku sendiri itu!"
"Lastri Wiku...?!
Ggrrr...! Rupanya kau anak Bantar Sogi yang paling bungsu itu, hah?!"
"Betul! Dan semua
teman-temanmu sudah kubunuh untuk membayar hutang lamanya. Sekarang tinggal kau
yang belum kulenyapkan, Logayo! Kau harus mau di tanganku!"
"Bocah dungu! Kumakan kau
bulat-bulat sekarang juga! Grrr!"
Logayo menggeram dan
mengangkat kedua tangannya. Tapi Kirana segera berkelebat ke belakang, tangan
kanannya menyambar gagang pedang yang masih digenggam kuat oleh Suto. Pedang
emas itu tercabut di luar dugaan Pendekar Mabuk. Bahkan kini Kirana dengan
gerakan cepat berkelebat menerjang orang bertubuh besar seperti raksasa itu
sambil menebaskan pedangnya dari bawah ke atas. Brettt...!
"Ehhg...! gerakan Logayo
terhenti seketika. Perutnya terbelah. Semua orang melihat gerakan pedang itu
membabat dari bawah ke atas. Kemudian dengan cepat pula, Kirana menghujamkan
pedang itu, menusukkan ke arah jantung Logayo, "Hiaaahh...!"
Jrubbb...!
Pedang menghujam masuk ke
jantung. Darah yang berubah menjadi kuning keemasan itu muncrat ke mana-mana.
Logayo masih bisa mendelik dan bergerak-gerak ingin mencabut pedang itu. Tetapi
tenaganya makin lemah. Tangannya menggapai ingin meraih rambut Kirana yang
masih memengangi gagang pedang itu dengan kuat-kuat. Tapi tangan itu tak sempat
menggapai rambut, jatuh lemas ke samping, mulutnya memuntahkan cairan kuning
emas sebagai ganti warna merah pada darahnya. Kemudian tubuh dan kepalanya tampak
terkulai lemas. Kirana menjejak tubuh besar itu dengan kuat untuk mencabut
pedang yang tembus ke belakang punggung Logayo.
Dubb...! Wuttt...! Tubuh
Logayo terpental ke belakang. Slubb...! Pedang emas pun tercabut sudah. Kini
digenggam oleh Kirana dengan dua tangan. Matanya memandang ganas ke mayat
Logayo. Napasnya terengah-engah. Pedang masih berdiri tegak, siap disabetkan
kapan saja.
"Kirana...,' sapa Suto
pelan dan hati-hati. "Kirana, sudah selesai sekarang...! Sudah cukup
dendammu terlampiaskan..."
Kirana menatap Suto, mata
gadis itu berkaca-kaca memandangnya. Kemudian, meleleh air matanya ketika ia
terbayang wajah-wajah keluarganya, ayahnya, ibunya, dan satu persatu wajah
kakak perempuannya yang berjumlah lima orang itu. Seakan Kirana telah menebuskan
nyawa mereka dengan membantai seluruh orang yang terlibat dalam peristiwa
perampokan di rumahnya itu.
Dengan matinya Logayo,
pimpinan perampok dan pemerkosa kelima kakak serta ibunya itu, Kirana semakin
menyadari bahwa sekarang hidupnya benar-benar telah sendirian. Tanpa arah dan
tujuan yang pasti. Tanpa dendam dan kegelisahan lagi. Maka, menangislah ia
dalam pelukan Pendekar Mabuk, sementara Pendekar Mabuk pun berusaha menenangkan
tangis itu dengan bisikan-bisikan yang meneduhkan hati Kirana.
Pedang emas telah dimasukkan
ke dalam sarungnya. Pendekar Mabuk pun segera menuntun Kirana untuk melangkah
dalam rangkulan kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya.
Ketika menuruni bukit, mereka
berpapasan dengan Embun Salju yang agaknya menyongsong kemenangan Pendekar
Mabuk dalam melawan manusia berkulit baja itu. Buru-buru Kirana mengusap air
matanya dan melepaskan rangkulan tangan Suto begitu ia melihat Embun Salju
menjemputnya. Sekejap, Embun Salju sempat berkata kepada Dewi Anja-ni dan
kelima anak buahnya,
"Suruh orang-orangnya
Mahasi membuang mayat-mayat di atas bukit itu, Anjani!"
"Baik, Guru...!"
Kemudian, senyum menawan mekar
di bibir Embun Salju ketika ia menatap ke arah Suto dan Kirana. Terucap kata
olehnya,
"Terima kasih, kau telah
mengalahkan musuh kami yang paling berbahaya itu, Suto!"
"Berkat pedang pusaka
milik adikmu, Nyai! Tanpa pedang ini mungkin aku belum bisa
mengalahkannya!"
"Pedang itu memang
dahsyat, Suto!" Embun Salju memandang kagum ke arah pedang pusaka itu.
"Boleh kulihat bentuk ukirannya? Sepertinya punya arti tersendiri!"
"Kenapa tidak? Ini pedang
adikmu, jadi kau punya hak untuk menyimpannya, Nyai! Aku bukan
pewarisnya!" Pendekar Mabuk segera menyodorkan pedang itu dan diterima
oleh Embun Salju.
"Tapi menurut pesan Ki
Padmanaba," kata Kirana, "Siapa yang bisa menemukan pedang emas itu,
berarti dialah pewarisnya, Suto!"
"Kurasa itu perlu
dibicarakan lebih lanjut dengan kakak Ki Padmanaba sendiri. Bukankah begitu,
Nyai?!"
"Ya, memang perlu kita
bicarakan! Tapi... tunggu!" tiba-tiba Nyai Guru Embun Salju menjadi
tegang.
Matanya melirik sekeliling.
Lalu mata itu tertuju pada rimbunan pohon bambu yang ada di samping kaki Bukit
Perawan itu.
"Ada apa, Nyai?"
tanya Kirana.
"Seseorang sedang
bersembunyi di sana kurasakan getaran batinnya, dia ingin merebut pedang ini!
Sebentar, kucari dia!"
Wuttt...! Embun Salju melesat
pergi. Suto tertegun memandang kearah rimbunan bambu.
Kirana segera berkata,
"Tak Ingin kau kejar orang itu?!"
Suto menghembuskan napas.
"Biarlah Nyai Embun Salju yang menanganinya! Kurasa ia tak akan celaka.
Toh ia bersama pedang emas itu!"
Suto segera melangkah menuju
ke kuil, Tetapi Kirana segara berkata, "Hatiku merasa tak enak dengan
sikap Nyai Embun Salju tadi!"
"Tak enak
bagaimana?"
Tiba-tiba Embun Salju datang
dari arah kuil mendekati Suto dan Kirana. Mereka terkejut melihat Embun Salju
tidak membawa pedang.
"Suto...?! Jadi siapa
yang yang mengubah diri menjadi Embun Salju?"
"Celaka! Mengapa Embun
Salju bisa ada dua? Apakah dia mempunyai adik kembar «atau mungkin kakak
kembar?"
"Setahuku, dia tidak
punya saudara kembar!" Kirana makin tegang.
"Lalu... yang berkelebat
ke rumpun bambu tadi siapa?"
Embun Salju mendekat dan
memandang heran kepada Suto dan Kirana. Kemudian ia bertanya, "Ada apa,
Suto?!"
"Nyai... apakah kau tadi
menerima pedang emas dariku?!"
"Pedang emas? Oh, tidak!
Aku baru saja mau mengucapkan selamat atas kemenanganmu dan terimakasih atas
bantuanmu! Kami sudah menyiapkan pesta kecil untuk kalian!"
"Tapi... tapi tadi ada
orang serupa dengan kau, Nyai! Dia meminjam pedang itu dan... dan berkelebat ke
arah rimbunan bambu! Kalau tak percaya, tanyakan kepada Dewi Anjani yang diberi
perintah untuk membuang mayat-mayat di atas bukit itu!"
"Membuang mayat?! Aku tak
pernah menyuruh anak buahku untuk membuang mayat! Setiap mayat yang mati di
Tanah Merah ini pasti kusuruh menguburkannya baik-baik!" kata Embun Salju.
"Celaka! Celaka, Nyai!
Pedang itu dibawa orang yang mirip kamu!"
"Persis...?"
"Persis sekali,
Nyai!" jawab Kirana.
Embun Salju berkerut dahi dan
termenung. Kemudian ia mengguman,
"Hanya ilmu sihir yang
bisa membuat seseorang bisa menirukan bentuk dan wajahku! Di sini orang yang
bisa melakukan ilmu sihir seperti itu adalah Rangka Cula, anak buah Logayo yang
kau bunuh itu, Kirana!"
"Kalau begitu, aku harus
mengejarnya sekarang juga, Nyai!"
Pendekar Mabuk segera bergegas
tapi Kirana menahannya, "Aku ikut!"
Suto bingung menjawab.
Haruskah ia membawa Kirana dalam mengejar pencuri pedang emas itu? Apakah tidak
akan merepotkan dirinya nanti? Akan berhasilkah ia merebut pedang itu jika
membawa Kirana?
TAMAT