ANGIN laut berhembus
guncangkan dahan dan dedaunan. Suara deru yang timbul dari hembusan angin itu
menandakan di tengah samudera telah terjadi adai lautan yang melemparkan
gulungan-gulungan ombak.
Ketika sampai di tepi pantai,
gulungan ombak itu sudah menjadi anak ombak. Tak begitu besar, namun cukup kuat
berdebur menghantam bebatuan ataupun tebing karang. Hembusan angin laut yang
masih terasa kencang itu menerpa dua wajah perempuan disela-sela hutan tepi
pantai.
Dua wajah itu sudah semalaman
berada di hutan tepi pantai menunggu mangsanya tiba. Dua wajah perempuan yang
masing-masing mempunyai nilai kecantikan sendiri-sendiri itu tak lain adalah
wajah Selendang Kubur dan wajah Peri Malam.
Melihat dari bibir-bibir
mereka yang tanpa seulas senyum, terlihat sikap bermusuhan mereka yang
terpendam untuk sementara waktu. Peri Malam sebentar-sebentar memandang ke arah
lorong kecil yang menyerupai gua, yang ada di atas tebing karang tepi pantai.
Lorong kecil itu hanya bisa dimasuki oleh satu tubuh manusia dalam keadaan
merangkak.
Tapi sejak tadi, bahkan sejak
kemarin Peri Malam tidak melihat sosok tubuh keluar dari lorong tersebut.
Selendang Kubur sering hembuskan napas bersama desah kekesalan hatinya. Sudah
cukup lama dipandangi lorong kecil itu, lalu ia palingkan wajah kepada Peri
Malam dan berkata dengan nada ketus, "Mana orang itu?! Sampai sekarang
belum juga muncul dari sana!"
"Jangan-jangan dia mati
dibunuh Pendekar Mabuk di dalam lorong!" ucap Peri Malam dengan wajah
bersungut-sungut. "Atau mungkin angan-anganku yang mati dibunuh
bualanmu!" Selendang Kubur berkata begitu karena kecemasan di dalam
hatinya semakin kuat, yaitu kecemasan dipermainkan oleh Peri Malam. "Kalau
aku mau membual, tak perlu membual untukmu! Tak pernah ada untungnya menebar
bualan untukmu, Selendang Kubur!"
Debur ombak kembali terdengar
bergemuruh panjang, lalu lenyap bagai ditelan sepi. Selendang Kubur kembali
merenungi peristiwa yang membawanya terpatok di hutan tepi pantai itu. Semua
itu terjadi gara-gara perasaan cintanya terhadap murid sinting Si Gila Tuak,
yaitu Suto Sinting, Pendekar Mabuk. Kalau bukan karena cinta yang begitu dalam.
Selendang Kubur tak sudi menghadang kemunculan Nyai Lembah Asmara di hutan tepi
pantai itu.
Seperti dikisahkan dalam
cerita "Murka Sang Nyai" sebelum kisah ini, bahwa Pendekar Mabuk
terpedaya oleh tipuan Perawan Sesat yang membuat Suto merasa gembira karena
ingin dipertemukan dengan kekasih idamannya yang bernama Dyah Sariningrum. Suto
sudah telanjur beranggapan bahwa Nyai Lembah Asmara yang berkuasa di lereng
Bukit Garinda itu adalah perempuan yang bernama Dyah Sariningrum, yang wajahnya
ditemukan Pendekar Mabuk di alam semadi, maupun di alam mimpi.
Tetapi, ternyata Pendekar
Mabuk kecewa. Nyai Lembah Asmara adalah perempuan yang tidak mirip sama sekali
dengan Dyah Sariningrum. Suto terjebak dalam Racun Darah Asmara yang dimiliki
oleh sang Nyai itu. Pendekar Mabuk hanya ingin dijadikan pembenih bagi
keturunan sang Nyai. Dan hal itu membuat murka para perempuan yang mencintai
Suto.
Maka, melabraklah Peri Malam,
Selendang Kubur yang dibantu oleh Pujangga Keramat dan Betari Ayu, guru dari
Selendang Kubur. Bukit Garinda diobrak-abrik oleh keempat orang itu. Sayang,
Pujangga Keramat tewas di tangan Maharani dan Putri Alam Baka, murid Nyai
Lembah Asmara sendiri.
Betari Ayu berhasil mendobrak
pintu kamar peraduan yang menjadi tempat kencan Nyai Lembah Asmara dan Pendekar
Mabuk. Tetapi di dalam kamar itu, Betari Ayu tidak menemukan Pendekar Mabuk
maupun Nyai Lembah Asmara. Rupanya Nyai Lembah Asmara sudah lebih dulu
melarikan Suto dengan menunda kencan birahinya yang telah menggebu-gebu itu.
Ke mana larinya, hanya Peri
Malam yang bisa menduga, karena Peri Malam pernah menjadi murid sekaligus
pelayan kamar peraduan Nyai Lembah Asmara. Menurut dugaan Peri Malam, kamar itu
mempunyai pintu rahasia yang tembus ke tepi pantai. Atau dugaan lain, Nyai
Lembah Asmara membawa lari Suto ke puncak bukit.
Karenanya, tugas pun dibagi.
Peri Malam dan Selendang Kubur menghadang pelarian Nyai Lembah Asmara ke
pantai, dan Betari Ayu mencoba pengejarannya ke puncak bukit. Sayangnya Betari
Ayu tidak segera menghubungi Peri Malam dan Selendang Kubur untuk
memberitahukan, bahwa ia sudah berhasil menemukan Suto yang selamat dari
ancaman Nyai Lembah Asmara.
Peri Malam dan Selendang Kubur
tidak tahu hal itu, sehingga mereka berdua masih tetap menunggu di dekat lorong
tembus yang diduga akan menjadi ujung pelarian Nyai Lembah Asmara dan Suto.
Padahal saat itu Nyai Lembah
Asmara sudah dibawa lari oleh Si Mawar Hitam, nenek keriput peot yang dulu
menjadi guru dari Peri Malam. Tentu saja penantian mereka adalah penantian yang
sia-sia. Selendang Kubur berulang kali melontarkan gerutu kejengkelannya, tapi
Peri Malam tak pernah mau peduli.
Bahkan Peri Malam berkata,
"Kalau kau bosan
menunggu, pergilah sana! Biar kuhadapi sendiri Nyai. Kau pikir aku tak mampu
merebut Suto dari tangan Nyai?!" "Dan kau pikir aku tak mampu merebut
Suto dari tanganmu?!"
Peri Malam lemparkan pandang
ke wajah Selendang Kubur dengan tajam. Ia masih duduk dengan kaki kiri melonjor
dan punggung bersandar pada batang pohon tumbang. Tatapan mata itu makin
ditentang oleh mata Selendang Kubur. Ia tetap berdiri dengan satu kaki
menumpang di atas batang kayu tumbang, sedangkan kaki satunya lurus berpijak
tanah, badannya sedikit membungkuk karena lengannya digunakan bertumpu pada
paha kaki.
Setelah mereka saling pandang
bermusuhan dan sama-sama bungkamkan mulut, Peri Malam palingkan wajah ke arah
lain sambil ucapkan kata,
"Kelak, suatu saat, aku
yakin satu di antara kita ada yang terbunuh. Kau membunuhku atau aku
membunuhmu. Sebab tanpa ada satu yang kalah, tak mungkin Pendekar Mabuk
mengawini keduanya."
"Dan yang kalah itu
adalah kamu!" kata Selendang Kubur berlagak acuh tak acuh, memandang
dedaunan pohon di atas.
Terdengar suara tawa Peri
Malam yang lirih, disusul oleh ucapan,
"Jangan merasa yakin dulu
bahwa kau bisa membunuhku. Kau belum menyadari betapa kecilnya ilmu yang kau
miliki itu sebenarnya, betapa ceteknya kekuatanmu itu untuk melawanku.
Sebenarnya kau memang bukan tandinganku."
Panas hati Selendang Kubur
menyengat ubun-ubun. Kedua tangannya telah menggenggam kuat, menahan luapan
kemarahan yang ingin dihajarkan ke wajah Peri Malam. Tapi agaknya Peri Malam
pun sudah siaga menghadapi serangan sewaktu-waktu. Posisi kakinya yang dilipat
dengan lutut tegak ke atas itu dapat menyambar pukulan sewaktu-waktu.
Mata Peri Malam pun tampak
tajam melirik penuh waspada.
"Sekali lagi kau
memancing kemarahanku, kujadikan tempat ini sebagai pertarungan kita yang
terakhir!" ancam Selendang Kubur seraya menurunkan kakinya yang bertengger
di batang pohon tumbang.
Peri Malam hanya sunggingkan
senyum tipis bernada sinis. Ia pun segera bangkit dan melangkah dua tindak
membelakangi Selendang Kubur sambil berkata,
"Kalau memang rasanya itu
yang terbaik, mengapa harus tunda pertarungan? Tak keberatan diriku menjadikan
tempat ini sebagai pertarungan kita yang terakhir!"
Sreet...! Selendang Kubur
segera mencabut selendangnya dari pinggang. Peri Malam cepat balikkan badan dan
angkat kedua tangannya ke atas, siap lancarkan pukulan jarak jauhnya.
"Cobalah serang aku kalau
kau ingin kehilangan nyawa secepatnya!" gertak Selendang Kubur.
"Kau sendiri tak berani
menyerangku, karena aku tahu kau takut kehilangan nyawamu!"
"Keparat kau!
Hiaah...!"
Wuuut...! Kain selendang
dikibaskan ke depan. Gerakannya begitu cepat bagaikan seekor ular yang gesit
mematuk mangsanya. Tapi pada saat itu, Peri Malam tak kalah gesit. Ia keraskan
tangan kanannya dengan jari-jari terbuka, ia sentakkan ke depan dan melesatlah
suatu kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Weeegh...!
Selendang Kubur sentakkan
ujung kakinya hingga tubuhnya melesat naik lurus ke atas dan hinggap di salah
satu dahan pohon.
Peri Malam juga sentakkan
kakinya dan tubuhnya melayang cepat lurus ke atas, lalu hinggap di salah satu
dahan dalam pohon itu juga. Keduanya sama-sama menghindari pukulan, sehingga
kedua pukulan bertenaga dalam itu tidak mengenai sasaran, kecuali mengenai
benda-benda lain di sekitar mereka.
Peri Malam melihat pukulannya
nyasar ke sebongkah batu dan batu itu menjadi terbelah tiga bagian. Selendang
Kubur melihat tenaga dalam yang keluar dari ujung selendangnya mengenai
bongkahan akar pohon kering, dan akar pohon itu menjadi hangus seketika. Kini
keduanya sama-sama di atas pohon beda dahan. Keduanya sama-sama siap lancarkan
serangan lagi.
Tapi sebelumnya Peri Malam
berkata dengan sungging senyum sinisnya.
"Kulunakkan pukulanku,
karena aku masih memberimu kesempatan untuk berpikir dalam menghadapiku. Sekali
lagi kuingatkan, aku bukan lawan tandingmu, Selendang Kubur!"
"Kupikir memang benar,
aku bukan lawan tandingmu. Karena kau merasa tak akan bisa mengungguli ilmuku,
sehingga kau hanya bisa berkoar-koar seperti itu sejak dulu!"
Hinaan balik itu membuat hati
Peri Malam makin menggeram. Tapi hatinya berkata,
"Memang kuakui dia punya
ilmu lumayan tinggi. Kalau pertarungan ini kulakukan sekarang juga, aku atau
dia yang kalah, dan hal itu akan menguntungkan Ratu. Untuk merebut Suto dan
mengalahkan Ratu, aku masih membutuhkan bantuannya. Tak cukup imbang ilmuku
jika sendirian dalam melawan Ratu! Sebaiknya, kutunda dulu dendamku
kepadanya."
Melihat tangan kekar Peri
Malam mengendurkan urat-uratnya, Selendang Kubur pun sedikit demi sedikit
mengurangi ketegangannya.
Saat itu terucap di dalam hati
Selendang Kubur,
"Kalau kulayani dia
sekarang, bisa habis tenagaku melawan Nyai Lembah Asmara nanti. Sebaiknya
kuhemat dulu tenagaku untuk menghimpun kekuatan. Tanpa kekuatan yang penuh
seperti saat ini, sepertinya mustahil aku bisa mengalahkan Nyai dan merebut
Pendekar Mabuk dari tangannya!"
Kedua perempuan itu kembali
memandang ke arah lorong di atas tebing karang. Lorong itu masih sepi, tanpa
seekor tikus pun keluar masuk di dalamnya. Bungkamnya kedua mulut mereka yang
menciptakan keheningan cukup panjang itu telah membuat Selendang Kubur
mempunyai gagasan lain,
"Bagaimana kalau kita
periksa saja ke dalam lorong itu?! Siapa tahu justru Nyai Lembah Asmara sedang
"menggarap' Suto di dalam lorong!"
"Atau mungkin mereka
memang tidak lewat pintu rahasia di dalam kamar itu? Jika Nyai Lembah Asmara
tidak membawa lari Suto melalui pintu rahasia, biar sampai mampus tak akan kita
temukan mereka di sini!"
"Kalau begitu, biarlah
kuperiksa sendiri lorong itu sampai ke bagian dalamnya!" kata Selendang
Kubur bersiap untuk pergi.
Tapi Peri Malam segera
palingkan wajah dan pandangannya lebih tajam,
"Pergilah ke sana kalau
kau ingin cepat mati dihujam jebakan maut yang dipasang di dalam lorong
itu!"
"Jebakan...?!" gumam
perempuan berpakaian merah dadu itu.
"Nyai memasang banyak
jebakan di sana, sehingga tidak sembarangan orang bisa masuk ke lorong itu!
Siapa yang terkena jebakan di sana tak akan hanya sekadar menderita luka saja,
tapi pasti mati tanpa nyawa sedikit pun!"
Selendang Kubur menggerutu
pelan, "Yang namanya mati ya tanpa nyawa!"
Kemudian, ia menatap lorong
tersebut sambil memutar otaknya, mencari jalan menuju kepastian; tetap menunggu
di situ, atau pergi dengan kesimpulan lain? Kejap berikutnya Selendang Kubur
melompat ke dahan yang dipijak Peri Malam. Sambil melompat ia berkata,
"Bagaimana kalau kita
cari di tempat lain? Barangkali bukan lorong itu yang menjadi tempat keluar
mereka?!"
Peri Malam hampir kaget
sedikit dan hampir kibaskan tangannya ketika Selendang Kubur tahu-tahu ada di
sampingnya. Setelah melihat tak ada gelagat untuk menyerang pada diri Selendang
Kubur, Peri Malam pun turunkan tangannya dan menjawab pertanyaan tadi,
"Kurasa tak ada jalan
keluar lainnya! Cuma lorong itulah satu-satunya jalan keluar!"
"Atau, barangkali saja
mereka tidak melalui pintu rahasia? Mungkin saja mereka pergi ke puncak bukit?
Dan di sana mereka pasti akan bertemu dengan Nyai Guru Betari Ayu!"
"Ya. Memang itu satu
kemungkinan! Tapi aku tak yakin apakah gurumu punya ilmu yang cukup untuk
menandingi Nyai Lembah Asmara?!"
Selendang Kubur tersinggung
gurunya diremehkan. Cepat berkelebat tangannya menghantam rusuk Peri Malam
dengan menggunakan punggung telapak tangan. Tapi, cepat pula tangan Peri Malam
menangkisnya dengan cara mengadu telapak tangannya dengan pukulan lawan,
Plakk...!
"Sekali lagi kau
meremehkan guruku, kurobek jantungmu!" geram Selendang Kubur dengan mata
mendelik garang.
"Kau tak akan bisa,
Selendang Kubur!" ucap Peri Malam dengan senyum sinis. Tapi dalam hatinya
ia membatin,
"Boleh juga pukulan
tangannya. Tulang lenganku jadi ngilu dan telapak tanganku kesemutan akibat
menahan pukulan tangannya."
Selendang Kubur kendurkan
urat, lepaskan ketegangan. Tapi wajahnya masih terlihat kaku dan penuh
kedongkolan. Diam-diam rupanya Selendang Kubur juga membantin kata, "Sial!
Gerakan tangkisnya begitu cepat! Tak bisa aku mencuri kesempatan untuk
meremukkan tulang rusuknya. Tenaga dalamnya begitu cepat mengalir ke telapak
tangannya, membuat kulit tanganku terasa panas sekali mendapat tangkisan
telapak tangannya!"
Selendang Kubur mengambil
posisi duduk di antara tiga dahan yang berjajar mirip balai-balai kecil.
Punggungnya dipakai bersandar pada dahan besar lainnya. Sementara itu, Peri
Malam pun merasa perlu sedikit santai, ia duduk dengan satu kaki berjuntai dan
satunya lagi menapak di salah satu dahan.
Punggungnya yang bersandar di
bagian batang utama pohon itu. Ia memetik segerumbul buah yang mirip duku itu
dan memakannya dengan menyipit-nyipitkan mata karena kecut.
"Peri Malam," sapa
Selendang Kubur setelah merasakan jenuhnya dilanda sepi dalam keadaan berduaan
seperti itu.
"Hmmm...!" Peri
Malam menggumam tak berpaling memandang. "Apakah kau benar-benar mencintai
Pendekar Mabuk?!"
"Apa perlunya kau
bertanya begitu?" Peri Malam ganti bertanya. "Jawab saja
pertanyaanku, daripada aku harus memaksamu dengan ancaman mencekik
lehermu!" Peri Malam lepaskan tawa kecil. "Hi hi hi.... Kalau aku
tidak benar-benar mencintai Suto, untuk apa aku bersusah payah begini, sampai
kubela-bela menjadi murid murtad dan hidup tanpa naungan! Perasaanku terhadap
Suto begitu dalam, kadang menyenangkan, kadang menyakitkan. Karena sikap Suto
kepadaku tak pernah punya kepastian."
Selendang Kubur tarik napas
panjang, lalu berkata, "Seingatku sudah dua kali kita bentrok gara-gara
lelaki dan cinta."
"Apakah menurutmu kita
ini perempuan-perempuan bodoh? Apakah menurutmu kita ini wanita yang dungu,
yang mau diperbudak oleh ketampanan seorang lelaki sehingga mau-maunya bertaruh
nyawa untuk mendapatkannya?"
"Mungkin juga,"
jawab Selendang Kubur kecil sekali. Tangannya masih memainkan daun-daun pohon
yang dicabut-cabut tepiannya.
"Apakah menurutmu,
seorang perempuan mempertaruhkan nyawa untuk seorang lelaki itu adalah tindakan
yang keliru?"
"Tergantung
lelakinya," jawab Selendang Kubur. "Kalau lelakinya punya cinta dan
kesetiaan kepada kita, nyawa yang dipertaruhkan adalah suatu kemuliaan yang
tinggi dari seorang wanita."
"Tapi jika ternyata
Pendekar Mabuk tidak mencintai satu di antara kita, apakah kita harus tetap
bertaruhkan nyawa, saling bertarung dan saling berusaha membunuh?"
"Itu yang kupikirkan
sejak tadi, Peri Malam! Kau atau aku yang mati nantinya, belum tentu ditangisi
oleh Suto. Kau atau aku yang menang nantinya, belum tentu dicintai oleh
Suto!"
"Ya. Aku juga berpikir
begitu. Tapi dia sangat tampan dan menawan hati. Dia punya daya tarik yang luar
biasa, yang membuat hatiku terjerat lekat!"
"Hatiku pun terjerat
lekat, Peri Malam. Tak bisa kubohongi lagi, aku sangat merindukan kehangatan
cintanya!"
"Jadi kesimpulan yang ada
ialah, bahwa ketampanan dan daya tariknya itulah yang membuat kaum wanita
saling bunuh seperti binatang! Ketampanan Pendekar Mabuk itulah racun bagi
kita, Selendang Kubur!"
"Barangkali memang
begitu. Sebab kupikir-pikir, seandainya tak ada Suto, mungkin kita tidak akan
berselisih lagi, mungkin kita tidak saling membunuh lagi!"
"Bagaimana kalau kita
lenyapkan saja dia, Selendang Kubur?!" Usul itu membuat Selendang Kubur
terperanjat bagai sadar dari lamunan panjangnya, ia menggumam,
"Maksudmu, kita bunuh dia
supaya tidak menjadi racun permusuhan bagi kita?"
"Ya. Bukan hanya bagi
kita, tapi bagi kaum perempuan lainnya!"
***2***
ANGIN berhembus entah dari
mana datangnya. Pikiran kedua perempuan itu jadi berubah. Hati yang jatuh cinta
menjadi benci. Jiwa yang rindu berubah menjadi kering. Sikap terpikat menjadi
dendam kesumat.
Maka mereka berdua pun
bergegas pergi mencari Suto dengan tujuan membunuh Pendekar Mabuk itu. Arah
pertama yang mereka tuju adalah puncak Bukit Garinda. Tapi di sana mereka tidak
menentukan siapa pun.
"Tapi aku yakin, Suto
beberapa waktu ada di sini sebelum kita tiba," kata Peri Malam.
"Dari mana kau
tahu?"
"Sisa bau keringatnya
masih bisa tercium oleh hidungku!" jawab Peri Malam sambil menghirup-hirup
udara, mendengus-dengus ke sana-sini. Sampai akhirnya arah hidungnya berhenti
menghadap timur.
"Hmm... dia pergi ke arah
timur. Kita kejar dia ke timur, Selendang Kubur!" Cepat mereka melesat
secepat angin dari barat. Hembusan angin dari barat membuat Peri Malam
kehilangan penciumannya. Bau keringat Pendekar Mabuk tak terlacak lagi.
Mereka kehilangan arah dan
berhenti di salah satu gugusan tanah cadas yang membukit. "Aku kehilangan
penciumanku," kata Peri Malam.
"Bagaimana kalau kita
kejar terus ke timur?"
"Belum tentu dia ke sana.
Mungkin membelok arah utara atau ke selatan, mana kita tahu?"
"Jika begitu, kita
berpencar! Kau ke utara aku ke selatan!" Usul Selendang Kubur direnungkan
sebentar oleh Peri Malam, sesaat kemudian terdengar suara Peri Malam berkata,
"Jika aku ke utara, kau
ke selatan, lantas siapa yang timur?"
Tiba-tiba terdengar jawaban di
belakang mereka, "Aku...!"
Serentak kedua perempuan itu
palingkan muka ke belakang, dan terperanjat mereka melihat seraut wajah cantik
dengan rambut acak-acakan telah berdiri tegak dengan sepasang kaki sedikit
merentang. Wajah berambut acak-acakan itu mengenakan pakaian ketat warna ungu
muda dengan ikat pinggang kuning. Ia juga menyandang pedang gading di
punggungnya, dengan wajah dan sorot pandangan mata berkesan beringas.
Selendang Kubur dan Peri Malam
tak asing lagi dengan perempuan berambut jabrik itu, yang tak lain adalah
Perawan Sesat. Selendang Kubur segera sigap pasang kuda-kuda untuk menyerang.
Peri Malam hanya pasang kewaspadaan yang sewaktu-waktu tangan dan kakinya siap
hadapi serangan pula. Tapi Perawan Sesat tampak tenang-tenang saja.
"Apa maksudmu ikut
menjawab percakapan kami, Perawan Sesat?!" sentak Peri Malam dengan mata
tak bergeser sedikit pun dari wajah cantik berkesan beringas itu.
"Aku mengikuti percakapan
kalian sejak dari hutan tepi pantai!" kata Perawan Sesat. "Dan aku
sangat tertarik dengan rencana kalian itu! Pendekar Mabuk memang harus
dilenyapkan, karena dia menyebar racun cinta yang membuat sesama perempuan
saling membunuh!"
"Rupanya kau mengalami
nasib yang sama dengan kami, Perawan Sesat? Dan kau ingin bergabung dengan
kami?"
"Tak ada salahnya!"
Perawan Sesat mengangkat pundak sambil langkahkan kaki dekati sebuah batu.
Di sana dia duduk dengan kedua
sikunya diletakkan di kedua pahanya, hingga sedikit membungkuk tubuhnya. Di
sana ia perdengarkan kata,
"Aku jatuh cinta pada
Pendekar Mabuk. Bahkan lebih gila dari kalian! Tugasku membawa Pendekar Mabuk
menghadap Nyai Lembah Asmara kuselewengkan. Aku berani mengkhianati guruku sendiri,
yaitu Nyai Lembah Asmara. Aku berani melawan kekuatan Maharani dan Putri Alam
Baka, sampai aku terluka dalam dan diselamatkan oleh Peramal Pikun. Semua itu
kulakukan karena kegilaanku terhadap Suto."
Perawan Sesat membayangkan
semua itu dalam satu renungan yang menyimpan bara dendam. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Murka Sang Nyai"). Kejap berikutnya ia ucapkan
kata lagi.
"Sampai sekarang hatiku
masih disiksa rindu dan hasrat ingin bercumbu. Semua itu gara-gara Pendekar
Mabuk, si murid sinting itu! Untuk itu aku harus meleyapkannya!"
Selendang Kubur angkat bicara,
"Tapi kau masih harus berhadapan denganku, Perawan Sesat! Kau masih hutang
banyak nyawa padaku, karena kau telah banyak menewaskan saudara-saudara
seperguruanku!"
"O, kau dari Perguruan
Merpati Wingit?!"
"Ya!" jawab
Selendang Kubur dengan mata menantang.
"Mereka mati gara-gara
Suto Sinting, jadi tuntutlah Suto! Jangan aku!"
"Tapi di tanganmu mereka
mati, Bangsat!" bentak Selendang Kubur. Rupanya ia semakin terpancing
dendam kesumatnya hingga bergegas untuk melepas kain selendang pusakanya.
"Tahan...!" Peri
Malam mencoba menengahi perselisihan itu dengan maju satu tindak berada di
antara Perawan Sesat dan Selendang Kubur. Peri Malam pun ucapkan kata,
"Kalau kalian berdua punya
perhitungan pribadi, lakukan perhitungan itu setelah kita selesaikan masalah
Suto!" Perawan Sesat tarik napas sesaat, lalu berkata dengan suara serak.
"Aku tak keberatan kalau
memang kau ngotot ingin nuntut balas padaku, Selendang Kubur! Aku siap menghadapimu
kapan saja! Tapi jangan salahkan diriku jika kau harus kehilangan
kepalamu!"
Selendang Kubur menggeram.
Matanya menyipit benci saat ia ucapkan kata,
"Kalau bukan karena
tujuan yang sama, sudah kuhancurkan mulut busukmu itu, Perawan Sesat!"
Peri Malam menyahut,
"Hancurkan nanti
saja!" Akhirnya Selendang Kubur kendurkan ketegangannya.
Matanya terlempar jauh ke arah
utara. Saat itu, terdengar suara Perawan Sesat berkata,
"Rasa-rasanya memang kita
harus berpencar! Dan untuk menghabisi nyawa Pendekar Mabuk itu, tak mungkin
kita lakukan secara sendiri-sendiri. Perlu kerja sama yang baik. Karena si
tampan sinting itu mempunyai ilmu yang cukup tinggi, ia hanya bisa dikalahkan jika
kita gempur secara bersama-sama."
"Jadi bagaimana jika
salah satu dari kita nanti menemukan dia?" tanya Peri Malam. "Bawa
dulu dia ke arah kita masing-masing. Jangan buru-buru bertindak sebelum kita
bertiga saling bertemu!"
"Aku setuju," jawab
Peri Malam. "Ada baiknya kalau...."
"Ssst...!" tukas
Selendang Kubur memberi isyarat dengan tangan. Cepat ia lompatkan tubuh ke
balik pohon. Melihat gelagat bahaya dari Selendang Kubur, Peri Malam pun
bergegas melompat di balik pohon sebelah Selendang Kubur. Tak ketinggalan
Perawan Sesat juga cepat sentakkan kaki dan melesat bersembunyi di balik rimbun
daun-daun semak berduri.
Jaraknya tak berapa jauh dari
Selendang Kubur dan Peri Malam.
"Ada apa? Suto
lewat?!" bisik Perawan Sesat ke arah Peri Malam.
"Mana aku tahu?!
Selendang Kubur yang melihat nya!"
Peri Malam pun menyapa
Selendang Kubur dengan suara lirih,
"Hei, ada apa? Kau
melihat Pendekar Mabuk lewat?"
"Bukan Pendekar Mabuk,
tapi... lihatlah ke sana!" tuding Selendang Kubur.
Perawan Sesat dan Peri Malam
sama-sama memandang ke arah tempat yang ditunjuk Selendang Kubur. Lalu, mereka
berdua sama-sama hempaskan napas panjang bernada dongkol, serta sama-sama
lepaskan ketegangan. Perawan Sesat terdengar menggerutu,
"Sial! Kupikir ada bahaya
datang!"
"Buatku itu memang
bahaya. Karena aku muak ketemu dia!" cetus Selendang Kubur yang segera
ikut-ikutan keluar dari tempat persembunyiannya, karena dilihatnya Peri Malam
juga keluar dari balik persembunyiannya. Mereka bertiga sama-sama berada di
tempat bebas dan memandang ke satu arah. Apa yang dipandang mereka tak lain
adalah kemunculan Dirgo Mukti yang mengaku Manusia Sontoloyo itu. Jaraknya
cukup jauh, namun bisa dilihat mata telanjang mereka bertiga.
"Agaknya dia sedang
dikejar oleh seseorang!" kata Peri Malam.
"Benar! Pasti ia dalam
perselisihan," sahut Perawan Sesat. "Wajahnya terlihat tegang.
Keringatnya mengucur. Hm... siapa orang yang mengejarnya?"
"Mudah-mudahan setan dari
neraka yang mengejarnya!" kata Selendang Kubur. "Seharusnya aku yang
bilang begitu, karena aku sangat benci kepadanya!" kata Peri Malam.
"Mengapa kalian benci
sekali kepadanya?" tanya Perawan Sesat.
"Dia mengejar-ngejarku
dan selalu mendesakku untuk menerima cintanya! Aku muak sekali!"
Selendang Kubur pun ikut
berkata,
"Aku juga begitu! Dia
selalu berusaha membujukku agar mau melayaninya! Aku tak bisa banyak melawan
dan memberontak karena aku berhutang nyawa dengannya! Menyesal sekali aku
karena ditolong dan diselamatkan olehnya! (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Perawan Sesat").
Perawan Sesat tertawa serak.
"Aku sendiri punya kedongkolan dengannya, saat dia menipuku dengan mengaku
sebagai Pendekar Mabuk!"
Peri Malam menyahut, "Ya,
ya, aku pernah memergoki kau bercumbu dengannya!"
"Jangan singgung-singgung
soal itu! Rasa sesalku berubah jadi dendam jika aku teringat peristiwa
itu!" kata Perawan Sesat.
"Hei, lihat...!"
seru Selendang Kubur sambil tangannya menunjuk ke arah Dirgo Mukti.
"Rupanya orang itu yang mengejar Dirgo Mukti!"
"Hmmm... siapa orang yang
berpakaian hitam itu?" tanya Perawan Sesat.
"Aku hanya bisa menandai
bahwa orang sedikit gemuk itu berilmu tinggi. Terlihat dari gerakan lompatnya
begitu ringan dan cepat! Tapi aku belum pernah tahu siapa dia?"
"Datuk Marah Gadai!"
jawab Selendang Kubur. "Dia orang sesat dari seberang yang ingin menguasai
tanah Jawa. Dia ingin menjadi raja tertinggi di rimba persilatan tanah
Jawa!"
"Ada persoalan apa
Sontoloyo bentrok sama Datuk Marah Gadai?" tanya Peri Malam.
Selendang Kubur menjawab,
"Mana aku tahu?! Tapi
kelihatannya mereka sama-sama tangguh!"
"Kurasa tidak,"
bantah Perawan Sesat.
"Kurasa lebih tangguh si
Datuk Marah Digadai itu!"
"Datuk Marah Gadai! Bukan
Datuk Marah Digadai!" Peri Malam membetulkan ucapan Perawan Sesat.
"Ya. Kurasa orang itu
lebih tangguh dari si Sontoloyo. Aku jadi tertarik ingin menjajal
ilmunya!"
"Bodoh!" tukas
Selendang Kubur. "Kalau mau, jajal saja ilmunya si Sontoloyo, jadi kalau
kau berhasil membunuhnya, kau telah membayar tipu muslihatnya yang merugikan
dirimu itu!"
"Membunuh si Sontoloyo
lebih mudah! Dalam satu gebrakan saja dia tidak akan memiliki nyawa lagi!"
"Hem... belum
tentu!" Selendang Kubur mencibir. "Kau pikir ilmu yang kau miliki
lebih tinggi darinya? Ilmu sedangkal itu mau disombongkan di depan si
Sontoloyo, bisa hancur berkeping-keping kau dihajar habis oleh pukulan tenaga
dalamnya yang hebat itu!"
"Hei, kau jangan
sepelekan aku, Selendang Kubur! Saat ini pun aku sanggup meremukkan kepalamu
tanpa harus bergerak dari tempatku!"
"Coba saja!" tantang
Selendang Kubur.
Perawan Sesat lemparkan daun
kecil yang sejak tadi dibuat mainan. Lemparan daun itu begitu cepat dan
mendesing bunyinya bagai logam tipis melayang melewati depan mata Peri Malam.
Wiiing...! Craat...! Selendang
Kubur lengkungkan badan ke samping sambil berpaling.
Daun itu lewat di depan
dadanya dan menancap di batang pohon bagaikan lempengan logam tajam dari bahan
baja. Jika bukan dialiri kekuatan tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin daun
itu bisa menancap di batang pohon sedemikian dalam. Kalau saja tidak segera
menghindar dengan gesitnya, Selendang Kubur akan mati ditembus daun yang
berubah jadi mata pisau itu.Sebelum Selendang Kubur memberi balasan,
Peri Malam sudah menghadang di
depannya seraya berkata, "Cukup! Jangan terpancing nafsu!" "Dia
yang menyerangku lebih dulu!"
Perawan Sesat membantah,
"Dia menghinaku lebih dulu!"
"Kalian ini memang
seperti anak kecil!" sentak Peri Malam. "Aku menyesal bergabung
dengan kalian menyusun rencana seperti tadi. Mana bisa orang-orang berjiwa anak
kecil mengalahkan Suto? Untuk mengalahkan Pendekar Mabuk itu, bukan hanya ilmu
tinggi yang dibutuhkan tapi juga jiwa dewasa dan otak cerdas!"
Selendang Kubur menghembuskan
napas pelan-pelan walau matanya masih memandang tajam pada Perawan Sesat. Yang
dipandang hanya tersenyum sinis dengan sikap siap tarung kapan pun juga.
"Jangan dulu kita berselisih
sebelum cita-cita kita bersama tercapai! Jika belum-belum kita sudah saling
bunuh, lantas kapan kita bisa bunuh Suto Sinting itu?!" omel Peri Malam
yang bertindak menjadi orang yang lebih dewasa dari mereka, walau sebenarnya ia
hanya sebagai penengah saja.
"Lihatlah," kata
Peri Malam lagi, "Dirgo Mukti sudah semakin terpojok oleh
serangan-serangan Datuk! Tak perlu kita memberikan pujian atau penilaian apapun
selain menjadi penonton yang baik!"
Selendang Kubur bahkan
berkata,
"Seharusnya ia bisa segera
cabut senjatanya itu! Dirgo Mukti mempunyai senjata kapak yang cukup hebat,
sebenarnya!"
"Kalah hebat dengan
pedangnya Datuk Marah Gadai! Kulihat sendiri kehebatan pedang itu saat ia
mengalahkan Cadaspati di tepi sebuah sungai!" kata Peri Malam. (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").
Perawan Sesat kasih pendapat,
"Orang-orang seperti mereka jelas tidak akan semudah itu mencabut
pedangnya! Hanya pada saat-saat terakhir dari pertarungan itu ia akan mencabut
pedangnya!"
"Aku berharap Dirgo Mukti
kalah dan mampus di tangan Datuk!" kata Peri Malam. "Aku juga!"
sahut Selendang Kubur. "Kuharap juga begitu," sela Perawan Sesat.
"Hai, ternyata kita
sama-sama punya kebencian pula dengan si Sontoloyo itu?! Mengapa kita tidak
sepakat gunakan Sontoloyo untuk melawan Suto?"
Ucapan Peri Malam itu membuat
mereka saling memandang. Perawan Sesat dan Selendang Kubur sama-sama tatapkan
mata ke wajah Peri Malam. Sepertinya mereka menuntut penjelasan lebih rinci
lagi dari kata-kata Peri Malam tadi. Karenanya, Peri Malam pun lanjutkan kata,
"Dirgo Mukti lelaki mata
keranjang! Dia ingin aku menerima cintanya. Dia ingin Selendang Kubur melayani
gairahnya. Dia pasti inginkan tubuh dan kehangatanmu lagi, Perawan Sesat. Sebab
dia pernah merasakan gairahmu. Dia pasti tergiur kembali padamu."
"Lalu, apa
rencanamu?" tanya Selendang Kubur. "Jadikan dia umpan untuk bertarung
melawan Pendekar Mabuk. Beri dia semangat agar bisa membunuh Suto Sinting. Upah
yang akan kita berikan padanya adalah tubuh kita masing-masing!"
"Aku tidak sudi!"
sentak Selendang Kubur bersungut-sungut.
"Ini hanya siasat saja!
Sontoloyo jelas tak akan bisa mengalahkan Pendekar Mabuk. Tapi dengan mendapat
semangat dari kita, dia akan bertarung melawan Pendekar Mabuk mati-matian. Hal
itu akan membuat Suto semakin terdesak, sekurang-kurangnya Pendekar Mabuk akan
menguras tenaganya untuk mengalahkan Sontoloyo. Walaupun pada akhirnya nanti
Sontoloyo mampus di tangan Suto, tapi kita punya peluang bagus untuk menyerang
Suto secara bersama. Kekuatan Suto yang sudah berkurang karena pertarungannya
dengan Dirgo Mukti, membuat kita lebih mudah menghancurkan dirinya!"
"Gagasan yang
bagus!" sela Perawan Sesat lalu ia tertawa serak.
"Kebetulan aku ingat
bahwa Dirgo Mukti pernah janji pertarungan dengan Suto di Bukit Jagal! Bulan
ini adalah bulan saat pertarungan itu dilakukan!" tambah Peri Malam.
"Bagus! Aku setuju dengan
rencanamu," kata Selendang Kubur. "Kalau begitu, kita bantu Sontoloyo
untuk mengalahkan Datuk Marah Gadai itu! Biar Sontoloyo tidak mati di tangan
Datuk!" kata Peri Malam.
"Aku setuju!" kata
Perawan Sesat dengan menyeringai liar.
"Tapi, tunggu
dulu...!" Selendang Kubur mencegah, sepertinya Datuk Marah Gadai sudah
merasa kewalahan melawan Dirgo Mukti! Datuk Marah Gadai melarikan diri!"
"Ya, tapi Dirgo Mukti
kelihatannya terluka dan tak bisa mengejarnya! Ada baiknya jika kita tolong
dia!" kata Peri Malam.
Tapi sebelum mereka mencapai
tempat Dirgo Mukti terkapar, orang itu sudah bangkit lebih dulu dan melesat
pergi mengejar lawannya. Rupanya ia tadi terkena pukulan tenaga dalam dari
Datuk Marah Gadai, namun bisa segera ditawarkan oleh kekuatan batinnya sendiri.
Dan melihat Dirgo Mukti lari
mengejar Datuk Marah Gadai, ketiga perempuan itu juga lari mengejar Dirgo
Mukti. Apa yang mereka pertarungkan sebenarnya berasal dari kabar tentang
Pusaka Cincin Manik Intan.
Datuk Marah Gadai dan Dirgo
Mukti sama-sama ingin mendapatkan Cincin Manik Intan yang konon masih ada di
dasar telaga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Murka Sang
Nyai"). Mereka saling halang-menghalangi ketika sama-sama mau menyelam ke
dasar telaga. Pertarungan itu membuat mereka saling kejar dan tanpa sadar
menjauhi Telaga Manik Intan. Saat mereka jauh dari telaga itulah, sesosok tubuh
masuk dan menyelam ke dasar telaga.
Orang itulah yang menemukan
Pusaka Cincin Manik Intan. Orang itu adalah Betari Ayu, yang kemudian segera
menggunakan Pusaka Cincin Manik Intan untuk melabrak Nyai Lembah Asmara yang
ingin menjadikan Suto sebagai pembenih dalam keturunannya.
Datuk Marah Gadai dan Dirgo
Mukti sama-sama tidak tahu, bahwa apa yang mereka rebutkan itu sudah menjadi
milik seseorang. Bahkan ketika Datuk Marah Gadai meninggalkan Dirgo Mukti,
dalam benaknya ia merasa lebih baik meninggalkan pertarungan dan segera
menyelam ke dasar telaga untuk mencari Cincin Manik Intan yang dahsyat itu.
Jika Cincin Manik Intan
berhasil ditemukan olehnya, maka urusannya dengan Manusia Sontoloyo itu akan
cepat terselesaikan. Pasti lawannya itu akan mati dan hancur oleh kekuatan
Pusaka Manik Intan itu.
Karena Datuk Marah Gadai tidak
tahu bahwa cincin itu sudah ditemukan Betari Ayu beberasa saat berselang, maka
ketika ia tiba di tepi telaga, ia langsung saja menceburkan diri ke permukaan
air telaga, dan menyelam di kedalamannya.
Lama kemudian, Dirgo Mukti
tiba pula di tepi telaga. Ia mencari lawannya. Memandangi sekeliling telaga.
Ternyata tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Air telaga pun tampak tenang.
Pikirnya, sebelum Datuk Marah Gadai menemukan diriku, ia harus sudah lebih dulu
mencari Cincin Manik Intan di dasar telaga.
"Mampuslah kau, Tukang
Gadai! Jika kutemukan itu lebih dulu akan kuhancurkan mulutmu yang sangat
kubenci itu!" kata Dirgo Mukti.
Lalu, ia pun melompat dan
terjun ke dalam genangan air telaga. Byurrr...!
***3***
GEMERISIK dedaunan bambu
dihembus angin siang. Gemerisik itu masuk ke telinga Pendekar Mabuk ibarat
musik penghantar duka. Gundukan tanah di depannya masih dipandangi dengan wajah
duka. Gundukan tanah itu adalah kuburan bagi si pelayan setia gurunya.
Suto memberi nama pada kayu
patok kuburan itu dengan tulisan besar: Sugiri. Di bawahnya ada tulisan kecil
yang berbunyi: Lahir tak diketahui, mati pun tak diketahui.
"Kalau saja aku tidak
terbujuk oleh anggapan tentang Dyah Sariningrum di Bukit Garinda, Paman Sugiri
tak akan mati di sana. Kasihan Paman Sugiri, ia mati hanya untuk membela diriku
yang tak berharga ini. Mudah-mudahan arwahnya diterima di sisi Yang Maha
Kuasa," kata hati Pendekar Mabuk yang segera bergegas bangkit dari
kesedihan.
Ia tak berlarut-larut
tenggelam dalam perasaan duka atas kematian Pujangga Keramat. Suto memakamkan
jenazah Pujangga Keramat di Jurang Lindu, tak jauh dari pancuran air yang
menjadi pintu masuk menuju persinggahan si Gila Tuak.
Sayang sekali waktu itu si
Gila Tuak tak ada di tempat, sehingga Suto tak bisa melaporkan kematian
Pujangga Keramat. Ke mana arah perginya si Gila Tuak, Suto tak tahu. Hanya ada
satu kemungkinan dalam benak Suto, bahwa gurunya itu mungkin sedang bertandang
ke Limbah Badai, tempat persinggahan bibi gurunya Suto yang di kenal dengan
nama kondangnya: Bidadari Jalang.
Tiba-tiba Pendekar Mabuk jadi
ingat dengan bibi gurunya. Ingatan itu berkait dengan Pusaka Cincin Manik Intan
yang ditemukan oleh Betari Ayu. Cincin itu warisan terkubur dari Bidadari
Jalang. Sekarang ada di tangan Betari Ayu, sedangkan Betari Ayu menyimpan
dendam kepada Bidadari Jalang.
Pendekar Mabuk belum sempat
meminta cincin itu dari tangan Betari Ayu. Ketika Pendekar Mabuk selamat dari
cengkeraman Nyai Lembah Asmara, ia segera pergi mengurus jenazah Pujangga
Keramat yang mati di bangsal pertemuan, di persinggahannya Nyai Lembah Asmara.
Pada waktu itu, Betari Ayu
berkata kepada Suto,
"Aku harus pergi
membalaskan sakit hatiku kepada seseorang. Jika kau mau ikut aku, aku tak
keberatan. Jika kau ingin mengurus mayat Pujangga Keramat yang tergeletak di
sana, aku juga tidak melarang. Yang penting kau ketahui, saat ini adalah saat
yang baik untuk melampiaskan dendamku yang selama ini kupendam dalam
hati!"
Suto masih dalam keadaan mabuk
tuak waktu itu, sehingga ia tidak terlalu peduli dengan kepergian Betari Ayu.
Ia segera bergegas mencari mayat Pujangga Keramat dan segera membawanya ke
Jurang Lindu.
Sekarang Pendekar Mabuk jadi
ingat semua kata-kata Nyai Betari Ayu. Tak salah lagi dugaan Suto, bahwa dendam
yang akan dilampiaskan oleh Betari Ayu itu adalah dendamnya kepada Bidadari
Jalang, karena Bidadari Jalang dianggap telah merebut kekasih hati Betari Ayu.
Hal itu yang membuat Betari Ayu tidak pernah mau jatuh cinta lagi dengan
seorang lelaki.
Namun kehadiran Suto sempat
membuat Betari Ayu tergugah oleh cinta lagi, meski ia dapat memendamnya. Tentu
saja Nyai Betari Ayu menganggap saat ini adalah saat yang tepat untuk
melampiaskan dendamnya kepada seseorang, karena Betari Ayu memakai Cincin Manik
Intan.
Jelas, cincin itulah yang akan
dipakai untuk melawan Bidadari Jalang, yang namanya masuk dalam deretan kedua;
setelah si Gila Tuak, sebagai nama-nama tokoh yang sukar ditumbangkan. Tanpa
pusaka cincin dahsyat itu, Nyai Betari Ayu tak akan berani berhadapan dengan
Bidadari Jalang.
"Celaka! Bibi Guru pasti
akan hancur oleh pusakanya sendiri," pikir Pendekar Mabuk.
"Seharusnya waktu itu kurebut dulu Cincin Manik Intan dari tangan Betari
Ayu! Jika begini, sama saja aku membiarkan Bibi Guru terancam nyawanya! Betari
Ayu tidak tahu bahwa Bibi Guru yang sekarang bukan orang sesat seperti dulu.
Karenanya Bibi Guru Bidadari Jalang tidak mau turun ke dunia persilatan
kembali, karena dia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan mendekatkan diri
kepada sang Maha Pencipta!"
Suto Sinting sempat terlihat
gelisah, ia berjalan mondar-mandir di depan makam Pujangga Keramat. Hatinya
kembali berkecamuk,
"Apa yang harus kulakukan
jika begini? Merampas cincin itu dari tangan Nyai Betari Ayu? Itu berarti aku
harus bertarung dengan Nyai. Haruskah aku bertarung dengan orang yang selama
ini bersikap baik padaku? Tapi jika hal itu tidak kulakukan, berarti aku ikut
mendukung rencana Betari Ayu untuk membunuh Bibi Guru?!"
Sekelebat bayangan melesat di
atas pohon. Banyangan itu mendarat tepat di depan Suto, hingga Suto terkesiap
memandangnya.
"Nyai Betari...?!"
gumam Suto dengan hati berdebar.
Orang ini yang sedang
dipikirkan oleh Suto, tapi orang ini pula yang tahu-tahu muncul dalam kenyataan
di depan Suto.
"Kebetulan sekali Nyai
datang kembali," kata Suto menatap perempuan cantik yang menyunggingkan
senyum bersahaja. "Aku mendengar gemuruh kegelisahanmu, Suto. Jadi aku
kembali menemuimu," kata Nyai Betari Ayu yang berikat kepala dari tali
sutera merah berbintik-bintik kuning keemasan.
"Nyai mendengar gemuruh
kegelisahanku?" Suto heran.
"Apa yang terjadi pada
diri orang yang kusayangi selalu kudengar lewat telinga hatiku, dan kulihat
lewat mata hatiku, Suto."
"O, jadi... saya orang
yang Nyai sayangi?"
"Mungkin lebih dari
itu," jawab Betari Ayu pelan sambil palingkan wajah ke arah curahan air
terjun yang menjadi pintu gerbang persinggahan si Gila Tuak.
Pendekar Mabuk menjadi kikuk
mendengar jawaban itu. Tapi ia segera tenangkan diri dan tetap bersikap lembut
kepada Nyai Betari Ayu. Ia mendekati Betari Ayu dari samping kanan, ikut
memandang jurang berair terjun itu, tapi mulutnya ucapkan kata tanya,
" Sudahkah dendam Nyai
terlampiaskan?"
" Belum," jawab
Betari Ayu sambil tetap pandang air terjun.
" Mengapa tak jadi
membalas dendam?" tanya Suto.
" Aku berubah
pikiran."
" Berubah bagaimana,
Nyai?"
" Untuk apa aku hidup
menuruti dendam?" Betari Ayu palingkan wajah dan lempar pandangan pada
Suto.
Lembut sekali pandangannya.
Selembut rona kecantikan sang Nyai. Katanya lagi,
"Aku harus menjadi orang
yang bisa mengalahkan diriku sendiri. Orang hebat adalah orang yang bisa
melawan nafsunya sendiri. Kalau aku masih turuti dendamku kepada Bidadari
Jalang, maka aku bukan sebagai orang hebat. Aku orang lemah yang tak mampu
melawan nafsuku sendiri."
"Saya menyukai kata-kata
Nyai," Pendekar Mabuk sunggingkan senyum yang sangat menawan.
Nyai Betari Ayu pun tundukkan
kepala karena merasa teduh hatinya mendapat senyuman seperti itu. Tapi kejap
berikut ia kembali pandang Suto dan ucapkan kata,
"Ada sesuatu yang lupa
kukembalikan padamu."
"Tentang apa itu,
Nyai?" Tangan kiri Nyai melepaskan cincin di jari tangan kanannya, lalu
Pusaka Cincin Manik Intan itu diserahkan kepada Suto. "Ambillah cincin
ini, Suto."
Pendekar Mabuk tidak segera
mengambil cincin itu, tapi matanya menatap lama pada cincin dan wajah Betari
Ayu yang polos dan lugu itu.
"Mengapa Nyai kembalikan
cincin itu kepadaku? Bukankah Nyai tahu kehebatan Pusaka Cincin Manik Intan
itu?" "
Ya, tapi ini bukan
milikku."
"Tapi Nyai yang
mengambilnya dari dasar telaga!"
"Benar. Karena ada dua
alasan. Pertama, aku takut Cincin ini jatuh ke tangan Datuk Marah Gadai atau
pemuda tampan yang mengaku punya gelar Manusia Sontoloyo itu. Kedua, karena
waktu itu aku membutuhkan Cincin ini untuk melawan Nyai Lembah Asmara. Tanpa
bekal pusaka dahsyat ini, aku belum tentu bisa menyerang Bukit Garinda dan
dengan tujuan membebaskan kamu dari cengkeraman Nyai Lembah Asmara. Jujur saja
kukatakan kepadamu, Suto... aku tak rela kau tanamkan benih kependekaranmu,
benih darah ksatriamu, ke dalam kandungan Nyai Lembah Asmara! Aku tak ingin kau
punya keturunan sesat, Suto."
"Sejauh itukah Nyai
berpikir tentang saya?" Betari Ayu tak menjawab.
Ia alihkan pembicaraan itu
sambil sekali lagi sodorkan cincin tersebut.
"Terimalah cincin ini.
Kau yang berhak memiliki. Bukan aku! Karena kaulah yang punya tugas mengambil
dua pusaka di dasar telaga tersebut, yaitu Pusaka Tuak Setan dan Pusaka Cincin
Manik Intan ini."
"Mengapa Nyai tidak
memilikinya saja, atau membawanya lari?"
"Bukan sifatku menjadi
pencuri, Suto."
Senyum Suto melebar, bahkan
berubah menjadi tawa yang mirip orang menggumam. Tawanya itu pun bagaikan
memancarkan daya tarik tersendiri bagi hati yang sudah berbunga indah itu.
Ketika Pendekar Mabuk menerima cincin itu, tangan Betari Ayu dipegangnya dengan
lembut. Betari Ayu menatap dan merasakan aliran hawa hangat di sekujur
tubuhnya.
Ia segera bertanya dalam nada
bisik,
"Suto, apa yang kau
salurkan ke dalam tubuhku?"
"Kasih sayang,"
bisik Suto membalas.
"Apa maksudnya kasih
sayang?"
"Sampai kapan pun aku
tidak akan melupakan kebaikanmu, Nyai."
"Tentunya itu bukan
berarti sebuah cinta yang lahir dari hati sanubarimu."
"Memang bukan cinta.
Tapi, barangkali kasih sayang melebihi dari segala cinta yang ada. Kasih sayang
boleh ada di dalam jiwa kita masing-masing, tapi tak harus memiliki raga kita
masing-masing."
"Dalam sekali
pengertianmu, Suto. Aku semakin suka padamu." Suto tersenyum dengan mata
memandang kian lembut. Seakan kelembutan pandang mata Suto itu bagaikan sinar
halus yang menembus ke dalam dasar hati Betari Ayu.
Sebelum cincin itu tergenggam
oleh Suto, Betari Ayu lekas-lekas mengambil alih cincin itu. Ia mengangkat jari
manis Suto yang kanan, lalu cincin itu dimasukkan ke dalam jari manis cincin
itu dengan pelan-pelan sekali.
Kedua mata mereka saling
memandang ke arah cincin.
"Semoga kau dapat
mengenang peristiwa ini selamanya, Suto."
"Semoga kau pun dapat
mengenangnya pula. Nyai."
Kemudian, wajah Nyai Betari
Ayu tengadah memandang Pendekar Mabuk. Matanya yang bening teduh itu bagai
digenangi air. Suto pelan-pelan mendekatkan wajah dan menempelkan ciumannya di
kening Nyai.
Mata itu terpejam, bibir itu
merekah, dan akhirnya Suto tempelkan bibir ke mulut Nyai. Bibir Suto dilumatnya
dengan lembut oleh Nyai Betari Ayu. Suto membalasnya dengan seribu kali lebih
lembut, hingga Nyai Betari Ayu meremaskan genggaman tangannya di ujung pundak
Suto.
Pelan-pelan pula ciuman dan
kehangatan itu dilepaskan. Senyum mereka saling bermekaran. Suto berbisik
lirih,
"Indah, Nyai?"
"Luar biasa indahnya,
Suto," jawab Nyai Betari semakin lirih.
"Sayang sekali bukan aku
perempuan yang kau cintai. Seandainya aku adalah orang yang kau cintai, mungkin
selamanya aku akan merebah di dadamu, Suto."
"Apakah hal itu membuatmu
kecewa, Nyai?"
"Tidak," jawab Nyai
dalam ketegasan yang lembut. "Aku tidak kecewa, karena memang kau dan aku
memiliki garis kehidupan yang berbeda. Aku tak salahkan dirimu, Suto. Kau bebas
memburu cinta dan kasih sayang untuk dirimu, Suto. Aku hanya ingin merawat agar
cinta ini tetap mekar di hatiku, sampai masa tuaku tiba."
Tiba-tiba Nyai Betari Ayu
memeluk Pendekar Mabuk erat-erat. Suto pun membalas pelukan itu dengan hangat.
Nyai pasti ingin mencurahkan tangis keharuannya, pikir Suto. Dan sengaja Suto
tidak melarang tangis itu tercurah karena memang suasana haru tercipta atas
dasar saling menyadari keadaan masing-masing.
Betari Ayu diam. Pelukannya
tetap erat. Tak ada guncangan tangis atau pun suara mengisak. Pastilah Nyai
Betari Ayu tak ingin cucurkan air mata di depan seorang ksatria. Pastilah Nyai
Betari Ayu merasa malu dan takut wibawa kharismanya jatuh di depan Suto. Tetapi
tubuh Nyai Betari Ayu makin lama semakin dingin. Suto menjadi curiga.
Cepat-cepat ia tarikkan diri
dari tubuh Betari Ayu. Mata Suto terkesiap melihat wajah Betari Ayu pucat dan
kepalanya terkulai lemas.
"Nyai...?!" sentak
Suto sambil guncangkan tubuh Nyai. Namun keadaan Nyai semakin memucat dan
dingin. Matanya terpejam mulutnya terbuka sedikit bagai menahan rasa sakit yang
menyentak. "Nyai...?! Kenapa kau, Nyai...?!"
Pendekar Mabuk berdebar-debar
melihat keadaan Nyai Betari Ayu seperti itu. Suto buru-buru memeriksa tubuh
Betari Ayu. Ternyata di bagian punggungnya terdapat noda merah membekas di
kulit. Noda merah itu sebesar biji sawo, tepat bersebelahan dengan pedang
Jalaganda yang sejak tadi disandang di punggungnya.
Noda merah itu menembus jubah
kuningnya, yang terbuat dari kain sutera. Tapi jubah itu tidak membekas lubang.
Hanya sedikit hangus tepat di bagian noda merahnya itu.
"Kurang ajar! Ada yang
menyerang Nyai secara diam-diam. Hmm...! Siapa orangnya?!" geram Suto
dengan mata memandang liar.
Gemuruh suara air terjun masih
terdengar. Di atas curahan air terjun itu, mata Suto memandang jelas sesosok
tubuh berpakaian kuning ketat. Pendekar Mabuk mengenal orang itu sebagai orang
Bukit Garinda. Orang tersebut tak lain adalah Putri Alam Baka. Di tangannya
tergenggam seruling kuning. Pasti dialah yang telah menyerang Nyai Betari Ayu
memakai seruling pusakanya itu.
"Kau...!" geram
Pendekar Mabuk dengan wajah merah.
Matanya menatap tajam ke arah
Putri Alam Baka. Tak sadar kemarahan Pendekar Mabuk itu membuat tenaga dalamnya
mengalir melalui Cincin Manik Intan. Pada waktu itu, cincin tersebut dalam
keadaan menghadap ke arah Putri Alam Baka. Maka, dengan tiba-tiba cincin itu
mengeluarkan cahaya putih menyilaukan, melesat bagaikan lidi ke arah perempuan
di atas air terjun.
Clappp...! Duarrr...! Arah
cincin tidak tepat persis, sehingga batuan di samping Putri Alam Baka hancur
menjadi serbuk ketika dihantam sinar putih menyilaukan itu. Ledakan itu membuat
Putri Alam Baka terlempar ke samping dan jatuh di rerumputan.
"Aku harus menyelamatkan
Nyai Betari Ayu dulu! Aku sudah tahu siapa orang yang menyerangnya!" pikir
Suto. Secepat kilat ia angkat tubuh yang terkulai lemah itu, lalu ia jejakkan
kaki ke tanah dan tubuhnya bagaikan terbang melompati batu demi batu, akhirnya
menerobos masuk ke curahan air terjun.
Di balik air terjun itu ada
pintu gua.
Slaap...! Suto masuk ke dalam
gua dan segera meletakkan Nyai Betari Ayu di atas pembaringan tak berkaki.
Pembaringan itu dulu bekas tempat tidur Suto selama Pendekar Mabuk menjadi
murid si Gila Tuak.
Pendekar Mabuk segera
menggenggam telapak kaki Nyai Betari Ayu, lalu ia menggumam sendiri,
"Hmmm... masih sedikit
hangat!"
Segera ia meneguk tuaknya.
Sebagian tuak tersimpan di mulut hingga pipinya menggelembung. Pendekar Mabuk
pejamkan mata sebentar, lalu segera tempelkan mulutnya ke mulut Nyai Betari
Ayu. Tuak dalam mulutnya itu segera disemburkan ke dalam tenggorokan Nyai
Betari Ayu.
Bruuus...! Tersentak tubuh
Nyai Betari Ayu seketika bagai mendapat kejutan. Kemudian Suto mengulanginya
sekali lagi. Bruuus...! Tersentak lagi tubuh Nyai Betari Ayu, lalu terdengar
suaranya mengerang lirih. Suto merasa lega. Itu pertanda jiwa Betari Ayu bisa
tertolong, tinggal menunggu kesembuhan berikutnya.
Pendekar Mabuk memiringkan tubuh
Nyai Betari Ayu, memeriksa noda merah di punggung Nyai. Noda itu makin menipis.
Itu tandanya pengaruh tuak bertenaga dalam yang berguna untuk pendingin hawa
panas telah bekerja.
Andaikata Pendekar Mabuk tidak
segera bertindak cepat, maka bagian dalam tubuh Nyai Betari Ayu akan hangus
terbakar ilmu tenaga dalam yang sangat tinggi dan berbahaya itu.
"Aku harus segera
mengejar Putri Alam Baka!" geram Suto, merasa keasyikannya terganggu oleh
serangan mendadak dari murid Nyai Lembah Asmara itu.
"Tetapi Nyai Betari Ayu
tidak ada yang menunggui. Jika sewaktu-waktu musuh datang dan mengancam
nyawanya, bisa berbahaya. Untuk sementara dia akan lumpuh karena pukulan tenaga
dalam yang tinggi itu. Dia hanya akan mempunyai luapan kemarahan namun tak akan
bisa banyak melakukan gerakan. Uuh...! Kemana Guru?! Mengapa sampai sekarang
belum datang juga?"
Pendekar Mabuk sempat bimbang
sebentar. Hatinya gelisah, dadanya bergemuruh. Hasratnya ingin segera memburu
lawan, tapi cemas meninggalkan Nyai Betari Ayu. "Hmmm... begini saja!
Cincin ini kusematkan di jarinya saja! Kalau ada ancaman bahaya datang, kemarahan
Nyai Betari Ayu bisa membuat cincin ini melancarkan kekuatan tenaga dalamnya
dan menyerang musuh!"
Maka, setelah Suto menyematkan
Cincin Manik Intan, ia pun segera tinggalkan Nyai Betari Ayu. Pada saat itu
keadaan Betari Ayu belum sadar sepenuhnya, namun napasnya tampak terengah-engah
dan kepalanya bergerak-gerak pelan.
"Sebelum ia lari jauh,
aku harus sudah bisa mendapatkannya!" pikir Pendekar Mabuk saat
meninggalkan gua tersebut.
Dalam kejap berikutnya, Suto
sudah berada di tempat Putri Alam Baka tadi berdiri. Tempat itu telah kosong.
Pendekar Mabuk tak melihat gerakan-gerakan yang mencurigakan. Tetapi ia melihat
patahan daun ilalang dan beberapa ranting lainnya.
Jelas, ranting itu patah
karena terabasan larinya Putri Alam Baka. Maka, Pendekar Mabuk pun segera
mengejarnya ke arah tersebut. Pendekar Mabuk mengejar dengan menggunakan ilmu
silumannya, sehingga gerakan Pendekar Mabuk tak dapat terlihat oleh mata karena
kecepatannya yang luar biasa.
Dalam kejap yang singkat,
Pendekar Mabuk telah berada jauh dari Jurang Lindu. Bahkan sekarang tubuhnya
telah hinggap di atas pohon, seperti menunggu mangsanya lewat. Dugaan Suto
benar. Tak lama kemudian, terlihat dua sosok manusia berkelebat lari dengan
cepat bagai anak panah yang terlepas dari busurnya.
Duarrr...! Duarrr...!
Pendekar Mabuk hantamkan
pukulan tenaga dalamnya yang membuat dua pohon tumbang seketika, menghadang
langkah kedua sosok yang berlari cepat itu. Dan pada saat dua sosok itu
berhenti, Pendekar Mabuk pun segera sentakkan ujung jari kakinya pada dahan,
lalu tubuhnya melesat terbang dan bersalto satu kali, akhirnya mendarat di
tanah di hadapan kedua orang itu Dengan bumbung tuak tersandang di punggung
bagaikan pedang maut, Suto berdiri pancarkan kemarahan kepada dua orang yang
ada di depannya.
Suaranya menggeram saat ia
berkata, "Rupanya kau tidak sendirian, Putri Alam Baka!"
"Ya. Aku yang
mendampinginya!" jawab orang yang ada di samping Putri Alam Baka.
Dia adalah seorang lelaki,
berbadan masih segar tapi kelihatannya sudah cukup umur, antara lima puluh
tahunan. Tak terlalu besar badannya, juga tak terlalu kurus. Ia mengenakan
caping hitam dengan kumis dan jenggotnya yang mulai ditumbuhi uban. Orang itu
mengenakan pakaian abu-abu dan kancing bajunya tidak dirapatkan. Orang itu juga
menyandang pedang di punggungnya, dan jari-jari tangannya mempunyai kuku yang
panjang dan runcing. Dari balik capingnya, wajah itu terlihat angker dan
bengis.
Suara tuanya terdengar
menggeram jika bicara. "Aku tidak mengenal siapa dirimu, Pak Tua. Aku
hanya mengenal Putri Alam Baka itu!"
Yang menyahut Putri Alam Baka
dengan suara ketusnya, "Dia suamiku! Aku terpaksa kembali berada di
sampingnya, karena dia bersedia membantuku melawanmu, juga melawan Betari Ayu
untuk menebus kekalahanku di Bukit Garinda!"
"O, jadi kau menghilang
dari Bukit Garinda untuk meminta bantuan kepada bekas suamimu?! Hmm... ada
berapa orang yang menjadi bekas suamimu? Mengapa tidak semuanya saja kau bawa
kemari untuk menghadapi aku dan Betari Ayu?!"
"Jangan sesumbar bacotmu,
bocah ingusan!" geram orang bertudung hitam. "Mulutmu bisa kurobek
tanpa ampun lagi jika kau sesumbar di depanku!"
"Pak Tua...!" kata
Suto dengan tegas. "Jangan merasa terlalu mudah merobek mulutku sebelum
kau coba dulu merobek mulutmu sendiri! Karena merobek mulut orang itu pekerjaan
yang sulit, apalagi orang itu mampu berkelit!"
"Jangan mengguruiku,
Setan!" bentak orang berhidung hitam. "Kau tak patut mengguruiku.
Bahkan gurumu sendiri, Bidadari Jalang, tak punya kepatutan mengguruiku!"
"Hei, Pak Tua... siapa
dirimu sehingga kau bawa-bawa nama bibi guruku itu?!"
"Apakah gurumu. Bidadari
Jalang, tak pernah bercerita tentang hutang nyawanya dengan guruku?"
"Siapa nama gurumu, Pak Tua?" "Iblis Pulau Bangkai!" Suto
terkesiap sejenak. Mencoba mengingat cerita bibi gurunya tentang Iblis Pulau
Bangkai. Lalu Suto berkata,
"Ya. Memang Bibi Guru
pernah bercerita tentang musuhnya yang berjuluk Iblis Pulau Bangkai. Tapi dia
sudah mati dan dengan mudahnya dikalahkan oleh Bibi Guru!"
"Tapi dia masih punya
satu murid lagi, Suto!" kata orang bertudung hitam, dengan mudahnya
menyebut nama Pendekar Mabuk.
"Hmm... ya, seingatku
Bibi Guru pernah bercerita tentang murid Iblis Pulau Bangkai yang bernama
Nagadipa."
"Akulah
Nagadipa...!" Orang itu berkata dalam geram, kemudian membuka tudungnya
dan menampakkan wajahnya yang ber tampang bengis itu. Rambutnya sedikit botak
di bagian atasnya, tapi yang lainnya panjang sampai melewati pundaknya.
"O, jadi kaulah murid
tersisa dari Iblis Pulau Bangkai?!"
"Ya. Dan bagaimana jika
murid bertemu murid untuk membereskan hutang gurunya, hah?! Setelah kubereskan
muridnya, segera akan kubereskan gurunya! Biar sama-sama meratap di dasar
neraka!" geram Nagadipa dengan matanya yang menampakkan kebengisan.
Sepertinya ia sangat tak sabar
ingin segera merobek-robek tubuh Pendekar Mabuk dengan kuku-kukunya yang
panjang dan runcing itu.
***4***
BIDADARI Jalang memang pernah
bercerita kepada Suto tentang pertarungannya dengan Iblis Pulau Bangkai. Juga,
cerita tentang murid Iblis Pulau Bangkai yang masih penasaran menuntut balas
atas kematian gurunya.
Tapi seingat Suto, Bidadari
Jalang menceritakan tentang murid Iblis Pulau Bangkai yang bernama Nagadipa itu
sebagai pemuda yang tampan dan menawan. Waktu Bidadari Jalang terakhir kalinya
melawan Nagadipa di sebuah pantai, orang itu dengan ketampanannya hampir
menjerat Bidadari Jalang, yang waktu itu terkena racun birahi dari Tiga
Pendekar Tibet (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa
Pusar").
Hati Pendekar Mabuk sempat
ragu melihat penampilan pak tua yang mengaku sebagai Nagadipa itu. Mulanya Suto
menganggap orang itu hanya mengaku-ngaku saja sebagai Nagadipa supaya punya
alasan bermusuhan dengan Suto.
Tapi kejap berikutnya Suto
menyadari, bahwa waktu Nagadipa melawan Bidadari Jalang di pantai, keadaan Suto
masih kecil, masih berusia delapan tahun. Terbayang samar-samar dalam ingatan
Pendekar Mabuk waktu ia menyaksikan pertarungan itu dari suatu tempat bersama
gurunya; si Gila Tuak. Wajah Nagadipa memang masih tampan, berusia tiga
puluhan, tapi sudah mampu membuat Bidadari Jalang terdesak mundur beberapa
kali.
Sekarang, dalam keadaan usia
sudah semakin menua, tentu saja ilmunya semakin tinggi. Dua puluh tahun
Nagadipa tidak pernah bertemu dengan Bidadari Jalang maupun Suto, tentunya ia
sudah punya bekal cukup banyak untuk mengalahkan Bidadari Jalang. Agaknya Putri
Alam Baka sangat mengunggulkan bekas suaminya itu.
Dengan suaranya yang berat ia
lontarkan kata kepada Pendekar Mabuk,
"Rasa-rasanya usiamu
tinggal sejengkal waktu lagi, Pendekar Mabuk. Sebaiknya pergilah bercinta
dengan mayat Betari Ayu agar kau bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang
terakhir kalinya, karena suamiku ini tak akan lamban dalam mencabut
nyawamu!"
"Kau salah duga, Putri
Alam Baka! Betari Ayu tidak mati, justru akan bangkit menghadapimu dan
menghancurkan tubuhmu!"
"Omong kosong! Suamiku
telah melepaskan pukulan dahsyatnya yang bernama 'Mata Iblis'! Tak mungkin ada
lawan yang bisa selamat dari pukulan 'Mata Iblis'-nya!"
Suto sunggingkan senyum
meremehkan. Katanya, "Apa hebatnya pukulan 'Mata Iblis' kalau nyatanya
Betari Ayu masih bisa tertolong?"
"Dusta!" bentak
Nagadipa.
"Pukulan 'Mata Iblis' tak
bisa diselamatkan oleh ilmu apa pun!"
"Nyatanya bisa!"
Putri Alam Baka mengalihkan
pandang pada Nagadipa dengan tatap kecewa. Kelihatannya ia mulai tampak bimbang
dengan kesanggupan dan kehebatan Nagadipa. Melihat kebimbangan Putri Alam Baka,
Nagadipa segera unjuk ilmu di depan bekas istrinya itu. Ia jejakkan kaki
kanannya ke tanah satu kali.
Jlegg...!
Jejakan kaki itu mempunyai
kekuatan tenaga dalam yang tersalur, membuat tubuh Pendekar Mabuk tersentak
naik ke atas bagai terlonjak. Ilmu seperti itu juga dimiliki beberapa tokoh
sakti, termasuk Datuk Marah Gadai.
Tetapi, Pendekar Mabuk tetap
tenang walau ia hampir tergelincir jatuh saat terlempar ke atas tadi. Ia pun
sentakkan kakinya ke bawah dengan sangat pelan.
Jliggg...!
Dan, mendadak tubuh Nagadipa
bagaikan amblas ke bumi sebatas mata kaki. Putri Alam Baka terkesiap melihat
Nagadipa terbenam sebatas mata kaki. Nagadipa sendiri buru-buru hentakkan tubuh
dan lepas dari tanah penjepit kakinya.
Wiiigh...! Jlegg...!
Kembali ia berdiri di samping
Putri Alam Baka dan membatin,
"Kurang ajar! Dia
menguasai ilmu 'Telan Bumi' rupanya! Ilmu itu jarang dimiliki orang, kecuali si
Gila Tuak! Untung ilmuku cukup tinggi, jika tidak bisa amblas ke bumi sekujur
tubuhku!"
Putri Alam Baka masih
memandangi Nagadipa dengan curiga, ia kecewa melihat Nagadipa bisa tersedot ke
dalam tanah, padahal Pendekar Mabuk hanya menjejakkan kaki dengan pelan. Jika
Pendekar Mabuk menghentakkan kakinya dengan kuat, habis sudah tubuh Nagadipa
ditelan bumi, pikir Putri Alam Baka. Perempuan bersenjata seruling itu lalu
berbisik,
"Mana kehebatanmu?
Jangan-jangan kau tak mampu melawan Suto!"
Bisikan itu ditangkap Pendekar
Mabuk dalam jarak lima langkah. Tapi Pendekar Mabuk hanya diam saja, hanya
sunggingkan senyum tipis. Nagadipa merasa diremehkan oleh Suto, lalu ia
membalas dengan lemparan tudungnya ke arah Pendekar Mabuk. Tudung diambil dari
kepala dan dilemparkan memutar dengan gerakan begitu cepat.
Wuuut...! Pendekar Mabuk
merendahkan kepalanya menghindari hempasan tudung hitam.
Tetapi ternyata tudung itu
mempunyai gelombang tenaga dalam yang membuat tubuh Pendekar Mabuk merunduk
jadi tersungkur jatuh ke tanah. Sementara itu, tudung tersebut berputar terus
dan kembali ke tempatnya semula.
Tapp...!
Tangan Nagadipa menangkapnya.
Putri Alam Baka tersenyum lebar dengan wajah ceria. Ia merasa senang dan bangga
melihat kebolehan jurus tudung Nagadipa. Wajah Pendekar Mabuk hampir saja
mencium tanah karena tersungkur, bagai ada tenaga yang sangat kuat menghantam tengkuk
kepalanya. Kalau saja tangannya tidak cepat mencagak, maka hidung dan mulutnya
habis terbentur bebatuan yang ada di bawahnya. Pendekar Mabuk segera bangkit
dan berhasil menggenggam kerikil di tangannya. Kerikil itu segera disentilkan
ke arah tudung Nagadipa yang sudah dipakai di kepala.
Zlappp...! Kerikil itu melesat
tak dapat dilihat, tapi tiba-tiba tudung Nagadipa terhempas terbang dalam satu
sentakan keras. Prakkk...!
Putri Alam Baka dan Nagadipa
sama-sama terperanjat kaget. Tudung itu jatuh antara tiga langkah dari tempat
Nagadipa berdiri. Ketika diambil kembali, ternyata ada bagian tepinya yang
bolong melompong sebesar biji salak.
Nagadipa semakin terbelalak
kaget. Ia membatin,
"Gila! Tudung ini
kulapisi dengan satu kekuatan baja yang tak bisa dirusak oleh kekuatan apa pun!
Pedang setajam apa pun tak akan mampu melukai tudung ini. Tapi kenapa, sekarang
bisa menjadi bolong begini? Hmmm... tentu ini ulah bocah ingusan itu! Jahanam...!
Ilmunya tak bisa disepelekan!"
Terdengar suara Putri Alam
Baka berbisik,
"Kenapa bisa berlubang
tudungmu itu?!"
"Entahlah!" jawab
Nagadipa.
Ia merasa kesal mendapat
pertanyaan seperti itu, karena merasa malu pada diri sendiri. Suto berkata
dalam hatinya,
"Putri Alam Baka ini
agaknya terlalu banyak menuntut dari Nagadipa. Aku bisa mempengaruhi mereka
dengan caraku sendiri agar mereka tidak saling bantu-membantu."
Tapi sebelum Pendekar Mabuk
sempat melakukan rencananya, Nagadipa sudah lebih dulu berkata,
"Pendekar Mabuk! Sudah
waktunya kau menjadi tumbal kesalahan gurumu, si Bidadari Jalang itu!"
"Aku sudah siap
menghadapi kalian berdua!"
"O, tak perlu berdua.
Cukup aku saja yang membereskan dirimu. Biar istriku jadi penonton yang
baik!"
"Majulah, Nagadipa. Tapi
aku tak tanggung jika istrimu kecewa melihat polahmu seperti anak kecil!"
"Bocah tak tahu
diuntung!" geram Nagadipa.
"Hiaaat...!"
Cepat sekali tangan Nagadipa
bergerak berkelebat depan seperti orang melemparkan pasir ke atas. Dan pada
saat itu, Pendekar Mabuk segera bersalto mundur satu kali, karena ia merasakan
akan datangnya gelombang panas yang hampir menyambar tubuhnya.
Dengan bersalto ke belakang
satu kali, semburan gelombang panas itu terhindar darinya. Melesat mengenai
sebatang dahan pohon, dan dahan itu tiba-tiba menjadi kering dalam sekejap.
Putri Alam Baka kelihatan kagum dan bangga melihat serangan itu walaupun
meleset, ia berkata kepada Nagadipa,
"Desak terus dia. Jangan
kasih kesempatan sedikit pun!"
Baru saja diam mulut Putri Alam
Baka, tiba-tiba Suto Sinting sudah meraih bumbung tuaknya yang sejak tadi
berselempang di punggung. Bumbung itu dipegang bagian talinya dan kini
diputar-putarkan di atas kepala.
Wuung...! Wuuung....!
Wuuung...!.
Bunyi putaran bumbung
menggaung bagaikan suara gangsing. Pada saat itu, tubuh Nagadipa pun ikut
berputar-putar tak bisa dikendalikan berhentinya. Tubuh itu makin lama makin
cepat berputar dan hampir saja menabrak Putri Alam Baka. Perempuan itu segera
melompat ke samping, dan tubuh Nagadipa tertabrak batang pohon besar.
Brusss...! Bluggg...! Tubuh itu pun jatuh dalam geram kesakitan dan kemarahan.
"Bangun! Lekas
bangun!" sentak Putri Alam Baka kepada Nagadipa.
Dengan perasaan masih pusing,
Nagadipa pun berusaha untuk bangkit. "Lemah sekali kau! Baru menghadapi
jurus begitu saja sudah sempoyongan seperti orang mabuk!"
Pendekar Mabuk sengaja
melontarkan ejekan,
"Bawalah dia pergi. Aku
yakin, dia tak tahu arah pulang ke rumahnya, Putri Alam Baka!"
Perempuan itu menggeram marah
karena bekas suaminya yang dibanggakan itu dihina oleh Suto. Maka, sambil
mencabut serulingnya perempuan itu berkata,
"Jangan merasa bangga
dengan ilmumu itu, Suto! Tandingilah seruling saktiku ini jika kau berilmu
tinggi!"
Tuiiit...! Tulalit, tulalit,
tulalit, tuiiii...!
Seruling ditiup dengan suara
lengking tinggi, iramanya tak pasti. Kalau tidak buru-buru Suto menutup
telinganya dengan kedua tangan, maka gendang telinganya pasti akan pecah. Suara
seruling itu ternyata merupakan suara tenaga dalam yang merayap melalui
gelombang nada seruling.
Bukan hanya membuat gendang
telinga pecah, melainkan juga membuat hidung Suto mulai berdarah. Tubuhnya
limbung karena menahan rasa sakit di setiap lubang yang ada pada tubuhnya,
termasuk pada mulutnya.
Tetapi anehnya, Nagadipa tidak
merasakan sakit sedikit pun walau ia tidak menutup telinganya. Ia bahkan
berdiri di samping Putri Alam Baka dan memperhatikan Pendekar Mabuk sempoyongan
sambil menggeram kesakitan. Darahnya makin banyak keluar dari hidung.
"Bunyikan terus
serulingmu biar aku yang menyelesaikannya sekarang juga! Hiaaat...!"
Kedua tangan Nagadipa
terangkat dengan gemetar. Setiap kuku tangannya memercikkan bunga api warna
biru, bagai tali-tali menyala yang berkeliaran mengelilingi kuku ke kuku,
Pendekar Mabuk tak bisa bersiap menghadapi pukulan Nagadipa, karena tangannya
mendekap lubang telinga kuat-kuat. Hanya saja, ia masih bisa melihat kelebatan
kedua tangan Nagadipa yang mirip gerakan orang memercikkan tangan basahnya.
Craaat...!
Berkilap sinar biru yang
menyerupai benang-benang menyala itu. Melesat sinar itu ke arah Suto. Dengan
cepat kaki Suto menjejak ke tanah dan melompat lima langkah ke samping
kanannya. Brukk...! Ia jatuh di sana dan melompat lima langkah ke samping
kanannya.
Brukkk...!
Ia jatuh di sana sambil
berguling dan tetap mendekap telinga. Bleger...! Suara ledakan menggema keras
akibat cahaya biru dari kuku-kuku Nagadipa itu mengenai sebatang pohon yang
tadi ditumbangkan oleh Pendekar Mabuk. Pohon itu pecah menjadi serpihan-serpihan
kecil tak berbentuk sedikit pun.
Tulalit, tuiiit... tuiit...
tulaliiiit... tuiit...!
Seruling semakin nyaring.
Kepala Pendekar Mabuk bagaikan mau pecah rasanya. Ia menahan tangisnya
kuat-kuat untuk menutup telinga agar tak ditembus suara seruling itu. Sementara
darah sudah mulai banyak keluar dari lubang hidung, sudut mata dan mulut. Ia
terpisah dari bumbung tuaknya, sehingga ia tidak bisa meggunakan bumbung itu
untuk menangkis atau melawan serangan Nagadipa dan Putri Alam Baka.
Pendekar Mabuk berdiri dengan
lututnya sambil mulutnya ternganga menahan rasa sakit di kepala. Pada waktu itu
ia melihat Nagadipa melepas tudungnya, dan melingkari tudung itu dengan jari
tangannya. Maka, tudung itu tersebut menjadi menyala biru.
"Mampuslah kau sekarang,
murid sinting! Hiaaat...!" Nagadipa melemparkan tudung itu ke arah
Pendekar Mabuk.
Wusss...!
Suto Sinting yang dalam
keadaan tak bisa menghindar dan menangkis serangan itu akhirnya menyentakkan
napasnya dari mulut.
"Hahhh...!"
Wuuuoosss...!
Terlepaslah badai topan yang
begitu mengganas menyerang Nagadipa dan Putri Alam Baka. Sentakan napas
Pendekar Mabuk itu tak seberapa keras, tapi telah membuat tubuh Nagadipa
terlempar jauh, lebih dari sepuluh langkah, sedangkan Putri Alam Baka terlempar
lebih jauh, bahkan sampai terseret-seret dan berdarah.
Pohon besar meliuk nyaris
tumbang. Sedangkan pohon yang berukuran sedang telah rubuh ke tanah. Beberapa
pohon berukuran satu pelukan tangan lebih sedikit, tumbang dengan akarnya
terangkat naik, bahkan terseret ke mana-mana, menghantam apa saja yang ada
hingga dahannya menjadi retak, patah tak karuan.
Gerakan pohon yang patah itu
menghantam pula tubuh Nagadipa beberapa kali. Orang itu berusaha berpegangan
pada salah satu akar pohon yang tumbang. Tapi karena kuatnya pegangan, pohon
itu justru ikut terseret menjauhi Suto. Akhirnya pegangan tangan itu terlepas,
Nagadipa terguling-guling. Tudungnya entah ada mana.
Sedangkan Putri Alam Baka pun
entah ke mana. Badai topan yang datang begitu mengerikan. Sepertinya bumi akan
terbelah, langit akan runtuh. Seketika itu pula kabut hitam mendung menggantung
di angkasa. Gumpalan-gumpalan kabut itu meliuk-liuk bagai ada topan dahsyat di
atas sana. Matahari tertutup oleh kabut tebal yang bergulung-gulung mengerikan.
Suara gemuruh tak jelas dari jenis apa saja. Binatang-binatang hutan saling
berjeritan membuat suasana alam menjadi semakin gaduh dan riuh.
Beberapa saat kemudian, badai
menjadi reda. Sedikit demi sedikit kabut hitam di angkasa itu menyisih, cahaya
matahari kembali tampak menyinari bumi. Suara gemuruh gaduh pun mulai reda.
Suto berdiri dengan mata terbelalak tak berkedip. Ia sama sekali tak menyangka
kalau sentakan napasnya menjadi sedemikian dahsyat dan mengerikan. Bumi seperti
habis dilanda kiamat setempat.
Bahkan Suto melihat tanah yang
longsor pada sebuah lereng. Ada yang terbongkah dari keadaan aslinya. Batu-batu
yang semula terpendam di tanah dan hanya muncul di permukaan sedikit itu juga
ada yang terpental keluar dan menggelinding jauh dari tempat awalnya. Entah
berapa yang tumbang dan rusak berat akibat badai dahsyat tadi. Bahkan pohon
besar pun sampai sekarang masih meliuk dan tak bisa kembali tegak dari
posisinya semula.
"Pusaka Tuak
Setan...?!" gumam Suto menjadi tegang dan ngeri sendiri. "Aku telah menghempaskan
napasku, dan napas itu adalah napas Tuak Setan! Oh, mengerikan sekali?! Lantas
bagaimana nasib Nagadipa dan Putri Alam Baka...?! Di mana mereka?!"
***5***
PUTRI Alam Baka ditemukan oleh
Maharani dalam keadaan sangat menyedihkan. Maharani, satu dari beberapa orang
yang lolos dalam peristiwa 'Murka Sang Nyai' itu, baru saja tiba dari Pulau
Hantu untuk menemui si Mawar Hitam, tokoh sesat yang sebetulnya sudah tidak
ingin turun ke rimba persilatan kecuali berhadapan dengan Bidadari Jalang.
Maharani sungguh terkejut dan
menjadi berang melihat teman seperguruannya dalam keadaan terkoyak-koyak
sekujur tubuhnya. Mata kakinya remuk karena terhimpit batu besar, serulingnya
pecah dalam genggaman sendiri, darah membungkus seluruh bagian tubuh Putri Alam
Baka, hingga hampir-hampir wajahnya tak dikenalinya lagi. Jika tak melihat
seruling pecah di tangannya, Maharani tak dapat mengetahui siapa tubuh yang
terkapar berlumur darah itu.
"Sumbi!" panggil
Maharani menyebut nama asli Putri Alam Baka. "Apa yang terjadi si sini,
Sumbi? Mengapa jadi begini?!"
Putri Alam Baka masih punya
sisa napas walau sejengkal. Matanya yang kiri nyaris keluar dari rongganya,
namun mata yang kanan masih bisa dipakai untuk melihat walau hanya terbuka
kecil sekali. Bibirnya yang hancur karena benturan dengan benda keras beberapa
kali itu mencoba bergerak-gerak untuk bicara.
"Oh, Sumbi... tak bisakah
kau bicara lebih jelas lagi?"
Maharani terpaksa dekatkan
telinga ke mulut Putri Alam Baka Samar-samar terdengar Putri Alam Baka ucapkan
kata,
"Su... to...!"
Setelah itu ada napas kecil
yang terlepas dari mulut Putri Alam Baka. Lepasnya napas itu bersamaan dengan
tergoleknya kepala ke samping. Lemas dan lunglai. Setelah itu, tak ada lagi
gerakan maupun suara dari Putri Alam Baka.
"Sumbi!" seru
Maharani menyentak dalam nada tegang. "Sumbi! Apa maksudmu dengan Suto?!
Jawablah, Sumbi! Sumbiii...!"
Maharani guncangkan tubuh
berlumur darah itu. Tapi si pemilik tubuh tetap diam membisu tanpa napas
sedikit pun. Lalu, meraunglah tangis Maharani begitu menyadari temannya sudah
tidak bernyawa lagi.
Hati Maharani diguncang duka
dan kemarahan yang begitu hebat. Tak tahu pasti apa penyebab kematian
satu-satunya teman yang tersisa dari perguruannya, Maharani mengamuk tanpa arah
dan sasaran. Hanya batang-batang pohon, bongkahan-bongkahan batu, dan
benda-benda di sekitarnya yang menjadi sasaran kemarahan Maharani. Benda-benda
itu dihancurkan dengan pukulan dan tendangan bertenaga tinggi.
Senjata kipasnya pun ikut
ambil bagian menghantam ke sana-sini hingga timbulkan suara ledakan yang
menggetarkan tanah sekitarnya.
"Hentikan!
Hentikan!" seru seseorang dengan suara gemetar.
Maharani cepat palingkan wajah
dengan napas terengah-engah. Ia segera kenali orang yang tanpa tudung lagi
namun masih berpakaian abu-abu itu. Pakaiannya compang-camping bagai habis
dikoyak cakar beruang. Kulit tubuhnya pun terluka banyak, seolah habis dirobek-robek
oleh dua ekor harimau jantan.
Orang berkumis dan berambut
banyak uban itu tak lain adalah Nagadipa. Maharani tertegun melihat keadaan
Nagadipa seperti itu. Setahunya, Nagadipa orang berilmu tinggi yang jarang bisa
dilukai oleh lawan. Tapi mengapa sekarang keadaan lukanya sedemikian parah?
Maka, Maharani pun segera ajukan tanya kepada Nagadipa yang berdiri dengan
bersandarkan tubuh pada pohon yang masih tegak berdiri.
"Apa yang terjadi,
Nagadipa?! Mengapa bumi bagaikan habis dilanda banjir dan badai yang buas
begini? Mengapa Putri Alam Baka menderita luka sebegitu parahnya hingga tak
bernyawa lagi?!"
"Bawalah aku pergi ke
tempat yang aman. Lekas! Nanti kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku
butuh tempat aman untuk mengobati luka-lukaku ini, Maharani!"
"Nagadipa...."
"Bawalah aku! Tenagaku
tak kuat lagi untuk bertahan!"
Tak ada pilihan lain buat
Maharani. Ia harus segera membawa Nagadipa pergi. Tempat yang dipilihnya juga
tak ada yang lain kecuali ke tempat asal Nagadipa, yaitu sebuah pulau yang
dikenal dengan nama Pulau Bangkai.
Pendekar Mabuk melihat
kelebatan Maharani yang membawa pergi Nagadipa. Tapi Pendekar Mabuk sengaja
tidak mengejarnya. Ia masih ingin memeriksa keadaan alam sekitarnya, sejauh
mana bencana yang ditimbulkan oleh kekuatan dahsyat dari napas Tuak Setan.
Sebenarnya Pendekar Mabuk
sudah sering mendengar akibat yang ditimbulkan dari napas Tuak Setan. Tapi
untuk kali ini Suto benar-benar merasa heran dan juga menyesal. Karena pada
waktu ia sentakkan napas dari mulutnya, ia tidak bermaksud melepaskan Pusaka
Tuak Setan dari dalam napasnya itu. Ia menyentakkan napas karena ingin membuang
rasa sakit yang tak tertahankan lagi, yang ditimbulkan akibat suara seruling
Putri Alam Baka itu.
Terngiang kembali ucapan
gurunya, si Gila Tuak, saat membicarakan tentang Pusaka Tuak Setan,
"Orang yang menelan atau
meminum Pusaka Tuak Setan, akan mempunyai napas yang luar biasa dahsyatnya.
Sedikit napas tersentak dari mulut orang yang diliputi kemarahan, maka badai
topan yang amat dahsyat akan menghembus keluar dan memporak-porandakan alam
sekitarnya. Karena itu, aku tak berani menggunakan Pusaka Tuak Setan, karena
aku masih sering dihinggapi amarah yang walau dipendam tetap akan menghasilkan
napas badai yang dapat membawa korban tak bersalah...."
Korban tak bersalah memang
ada. Bukan harus dalam wujud manusia, tapi hancurnya sebidang tanah hutan juga
bisa digolongkan sebagai korban tak bersalah. Binatang-binatang hutan yang mati
tergencet pohon, atau pecah terbentur benda keras dengan kekuatan tinggi, juga
sebagai korban tak bersalah. Pendekar Mabuk bergidik sendiri melihat seekor
babi hutan pecah kepalanya di dekat bongkahan batu besar. Kulit babi hutan itu
tercabik-cabik terkelupas dari tubuhnya. Pohon-pohon hutan bagaikan rata dengan
tanah. Ambruk tak tertolong lagi. Akar-akar pohon terpental keluar dari dalam
bumi. Persawahan pun hancur lebur tak berbentuk barisan tanaman padi lagi.
Badai yang ganas itu untung
tak sampai memporak-porandakan sebuah desa yang letaknya jauh dari lereng bukit
itu. Namun dari tempat Suto berdiri, ia melihat sebatang pohon kelapa tumbang
dan beberapa genteng melorot dari atap. Suto pun segera lari ke desa untuk
melihat lebih jelas lagi.
Ternyata memang tidak ada
korban manusia di sana kecuali dua ekor kerbau yang sedang dilepas di tepian
sawah dekat tanah lapang. Dua ekor kerbau itu masing-masing dalam keadaan
kepala pecah dan tubuh terkoyak-koyak. Dua ekor kerbau itu mati dalam keadaan
telentang, keempat kakinya mengeras ke atas.
Dari percakapan orang-orang
desa itu terpetik satu kesimpulan dalam benak Suto, bahwa mereka hanya
mengalami rasa takut yang begitu hebat. Bahkan ada yang menyangka langit akan
rubuh dan bumi akan mengalami kiamat. Kerugian yang ditimbulkan dan diderita oleh
penduduk desa itu tak seberapa banyak, kecuali pemilik dua ekor kerbau yang
genteng atap rumahnya hampir melorot semua.
Kepada pemilik dua ekor kerbau
itu, Suto memberikan sejumlah uang sebagai ganti ruginya.
"Uang untuk apa itu, Anak
Muda?"
"Terimalah saja, Pak.
Kurasa cukup untuk membeli dua ekor kerbau dan membenahi genteng rumahmu."
Pendekar Mabuk memang tidak
jelaskan apa yang terjadi dan apa yang menjadi penyesalannya. Mereka belum
tentu mau percaya dengan omongan Suto Sinting. Buatnya yang penting sudah
menebus penyesalan itu dengan memberikan uang ganti rugi secukupnya kepada
korban tak bersalah.
"Mudah-mudahan jangan
lagi aku menggunakan napas Tuak Setan-ku ini. Aku harus bisa mengendalikan
amarahku dan menahan diri untuk tidak melampiaskan amarah dengan hembusan
napas. Kalau tidak sangat terpaksa dan tak punya jalan lain, jangan lagi
kugunakan napas Tuak Setan-ku ini! Kasihan mereka yang tak bersalah menjadi
korban keganasan napas Tuak Setan!" pikir Suto sambil langkahkan kaki
meninggalkan desa itu.
Ia ingin memeriksa alam di
sisi lain, barangkali ada korban lain yang menderita akibat amukan badai
dahsyat dari napas Tuak Setan-nya itu. Tiba di pinggiran sungai bertanggul
tinggi, langkah Suto terhenti seketika karena anak panah yang meluncur cepat
dan jatuh menancap tanah di depan langkahnya.
Secara gerak naluri Pendekar
Mabuk melenting ke atas dan bersalto mundur satu kali. Kemudian setelah
sepasang kakinya tegak berdiri di atas sebuah batu besar yang tingginya dua
depa dari tanah, Suto memandang arah datangnya anak panah itu.
Ternyata dari atas tanggul,
dan diluncurkan dari busur seorang lelaki kerdil berambut jarang. Bagian tengah
kepalanya tak ditumbuhi rambut sedikit pun. Botak polos dan mengkilap. Tapi
dari bagian atas telinga memutar sampai di telinga satunya lagi ditumbuhi
rambut sedikit lebat. Panjangnya kurang dari batas pundak. Karena tak terlalu
lebat, rambut itu seolah-olah bisa dihitung jumlahnya.
Lelaki kerdil yang tingginya
sebatas perut Suto itu melompat dengan gerakan lincah dan ringan. Dari atas
tanggul ia bersalto turun dua kali. Kejap selanjutnya ia sudah berdiri di depan
Suto. Kepalanya mendongak keatas, karena di samping Pendekar Mabuk lebih
tinggi, juga karena keadaan Pendekar Mabuk saat itu di atas batu tinggi. Ia berseru
dengan tangan masih menggenggam busur panah, sedangkan tempat menaruh anak
panah lainnya ada di punggung.
Tempat menaruh anak panah itu
terbuat dari kulit berbentuk kantung panjang warna hitam kecoklatan, mempunyai
tali pengait yang membuat anak panahnya tidak jatuh berantakan walau dipakai
jungkir balik di udara. "Kaukah yang... yang... namanya Sut...
Suto?!" serunya sambil menyunggingkan senyum yang lebih tepat dikatakan
sebagai seringai yang konyol. Suto melompat turun dari atas batu. Wuuttt...!
Kejap berikut ia sudah berada di depan lelaki kerdil yang bertampang tua itu.
Dilihat dari ketuaan wajahnya, Suto menduga lelaki itu berusia antara lima
puluh tahun lebih, namun belum sampai enam puluh tahun.
Cukup waspada Suto
memperhatikan gerak-gerik orang aneh itu. Yang diperhatikan ternyata tidak
menimbulkan kesan bermusuhan. Orang itu mencabut anak panahnya yang tadi
menancap di tanah sambil berlari-lari diiringi bibir yang cengar-cengir.
Kemudian kembali menemui Suto setelah mendapatkan anak panahnya. "Siapa
kau, Pak Tua?" "He he he... ja... jawab du... dulu pertanyaanku!
Kau... kau yang bernama Sut... Sut... Suto?"
"Ya. Aku Suto, murid
sinting si Gila Tuak!" jawab Suto dengan tegas sambil tetap pandangi orang
kerdil berpakaian serba putih dari bahan kulit binatang berbulu putih.
Bentuk celananya pendek,
bentuk bajunya mirip rompi panjang. Semuanya dari kulit binatang, yang menurut
dugaan Suto adalah kulit beruang putih. Di pinggang orang itu terselip dua
pisau bersarung yang panjangnya satu setengah jengkal. Masing-masing ada di
pinggang kiri dan kanan.
"Sen... senang sekali aku
bis... bisa bertemu denganmu, Suto!" Dalam hati Pendekar Mabuk membatin,
"Orang ini bicaranya tersendat-sendat. Apakah karena dia gugup bertemu
denganku atau karena memang begitulah lagak bicaranya?"
Orang itu segera ucapkan kata
lagi, "Nam... nam... namaku... Gatra Laksana, tap... tapi julukanku...
Dewa Racun!"
Pendekar Mabuk akhirnya
tertawa seperti orang menggumam, ia merasa geli sendiri melihat Dewa Racun
bicaranya seperti orang tertelan biji kedondong. Dan melihat Suto tertawa, Dewa
Racun kerutkan dahi dalam tatap matanya yang sedikit menyipit itu.
"Ken... ken... kenapa
kamu ter... ter... tertawa?"
"Aku menertawakan diriku
sendiri. Alangkah bodohnya aku ini, tak bisa mengenali tokoh tua yang berjuluk
Dewa Racun," jawab Suto mengalihkan anggapan, walau sebenarnya ia memang
tak kenal dan belum pernah mendengar nama Dewa Racun.
Mendengar jawaban itu, Dewa
Racun tampaknya tak jadi tersinggung, ia segera ucapkan kata gagapnya,
"Kal... kal... kalau
begitu, kau termasuk or... orang beruntung."
"Mengapa beruntung?"
"Kar... karena kau
sekarang sudah bisa mengenal dan berhadapan langsung de... dengan... Dewa
Racun!"
"Apa hebatnya orang ini
sehingga aku dianggap beruntung bisa berhadapan dengan Dewa Racun?!" pikir
Suto.
Dewa Racun berkata lagi,
"Nam... namamu juga cuk... cuk... cuk...."
"Cukur?!" sahut Suto
"Bukan. Cuk... cukup
dikenal di kalangan rim... rimba persilatan. Ak... aku dengar kau murid si Gila
Tuak yang cuk... cukup terkenal itu. Dan... dan... aku dengar kau cari-cari
pe... pe..."
"Penyamun?!"
"Bukan. Perempuan! Ya,
aku dengar kau cari-cari pe... perempuan yang ber... bernama Dyah
Sariningrum."
Tersentak kaget Pendekar Mabuk
mendengarnya. Senyumnya hilang seketika begitu mendengar nama Dyah Sariningrum
disebutkan oleh Dewa Racun. Ia maju setindak dan rendahkan badan, setengah
jongkok di depan Dewa Racun agar wajahnya sejajar dengan wajah si kerdil itu.
"Apakah kau mengenal Dyah
Sariningrum?"
"Ya. Ak... aku kenal nama
itu," jawab Dewa Racun.
"Tap... tap... tapi aku
tidak tahu siapa dia dan di mana dia."
"Dari siapa kau tahu nama
Dyah Sariningrum?"
"Dar... dar... dar...
dar...."
"Cepat katakan! Jangan
hanya main dar-daran saja?!" sentak Suto tak sabar.
"Maksudku, dar... dari
mulut Peramal Pikun!"
Pendekar Mabuk tertegun
sejenak, ia berdiri dari jongkoknya. Terbayang wajah bermata cekung bertubuh
kurus kering milik Peramal Pikun. Suto hampir saja melupakan seraut wajah
pikun. Dialah orang yang menjadi kunci tentang rahasia nama Dyah Sariningrum.
Tapi apa perlunya Peramal
Pikun memberitahukan kepada Dewa Racun?
"Apa maksudmu menemuiku,
Dewa Racun?" tanya Suto.
"Bukankah kau tidak
mengenal siapa Dyah Sariningrum kekasihku itu, dan tidak tahu di mana dia
berada?"
"Ya. Tap... tap.... Tapi
aku disuruh Peramal Pikun untuk mencarimu. Dia... dia dalam keadaan sakit parah
kar... karena... sebutkan nama Dyah Sariningrum di depanku."
Pendekar Mabuk kerutkan
dahinya tajam-tajam, ia dekatkan kembali wajahnya kepada Dewa Racun dengan
bungkukkan badan.
"Dia sakit parah karena
sebutkan nama Dyah Sariningrum?" "Ya. Dia... tak boleh sebutkan nama
itu, bah... bahkan mendengar nama itu pun dia tak... tak boleh. Telinganya akan
ber... ber...."
"Berkumis?"
"Bukan. Akan ber...
berdarah jika mendengar nam... nama Dyah Sariningrum. Sewaktu ia lup... lupa
sebutkan nama itu di depanku, ia langsung meng... meng...."
"Menghilang?!"
"Bukan, ia langsung
mengeluarkan darah dari mul... mulutnya. Dia langsung ter... ter... ter...
terluka dalam. Dia but... butuh bantuanmu secepatnya, Suto!"
"Aneh! Mengapa dia jadi
terluka dan berdarah begitu? Apa hubungannya antara nama Dyah Sariningrum
lengan lukanya itu?"
"Entahlah! Yang...
yang... yang jelas dia minta kau segera da... datang menemuinya!"
Suto menarik napas panjang, ia
ambil bumbung tuak, dan menenggak tuaknya beberapa teguk. Dewa Racun hanya
memperhatikan dengan senyum-senyum tak ada manisnya sama sekali, tapi tidak
berkesan bermusuhan.
"Apa hubunganmu dengan
Peramal Pikun?" tanya Pendekar Mabuk mengawali langkahnya mendaki tanggul
sungai yang tinggi itu.
"Hanya sebagai te...
te... tetangga, eh... bukan! Hanya sebagai teman biasa. Teman baik. Dul... dulu
dia pernah tolong aku dan aku pun pernah selamatkan nyawanya dari bahaya racun.
Sejak itu ka... kami mengikat tali persahabatan yang cuk... cuk... cukup
baik."
"Hmmm...!" Pendekar
Mabuk menggumam sambil manggut-manggut.
Terbayang lagi dalam benak
Suto Sinting wajah seorang perempuan yang pertama kali hadir di alam semadinya
itu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
****
Wajah cantik yang muncul di
alam semadinya itu membuat Suto mencucurkan air mata berdarah. Cucuran air mata
berdarah itu tidak disadari olehnya, namun dipahami oleh gurunya, si Gila Tuak.
Sejak itu, wajah yang mengaku
bernama Dyah Sariningrum itu sering hadir di alam mimpi Pendekar Mabuk dan
membuat Pendekar Mabuk sering dicekam rindu.
Itulah sebabnya Suto tak bisa
menerima cinta Betari Ayu, karena ia sudah telanjur jatuh cinta pada seraut
wajah milik Dyah Sariningrum. Sayang sekali si Gila Tuak juga tidak
menjelaskan, siapa perempuan itu dan di mana letak persinggahannya.
Si Gila Tuak hanya mengatakan,
bahwa wajah yang hadir di alam semadinya Suto Sinting itu adalah calon jodoh
Suto. Itulah sebabnya Pendekar Mabuk memburu seraut wajah cantik bernama Dyah
Sariningrum dengan seribu godaan yang datang dari perempuan-perempuan cantik
lainnya.
Perempuan-perempuan itu
terang-terangan jatuh cinta kepada Suto sampai siap korbankan nyawa, tapi Suto
tetap tak bisa menerima cinta dari perempuan Sikap Suto Sinting yang menutup
diri terhadap cinta perempuan lain itulah yang membuat mereka jadi kecewa.
Yang dulunya cinta kepada
Suto, sekarang berubah menjadi benci. Tetapi Pendekar Mabuk tidak mengetahui
adanya perubahan sikap mereka. Suto Sinting tidak tahu bahwa jiwanya sedang
dalam ancaman tiga perempuan patah hati, yaitu Peri Malam, Selendang Kubur, dan
Perawan Sesat.
Satu dari tiga perempuan patah
hati itu sengaja menghadang langkah Suto. Sebuah pukulan tenaga dalam
dilancarkan dari jarak jauh. Pukulan itu hanya sebagai pengganggu langkah saja,
tidak bermaksud menghabisi nyawa Pendekar Mabuk saat itu juga.
Pukulan tersebut segera
dihadang dengan kelebatan tubuh kerdil Dewa Racun yang melompat cepat di depan
Suto. Lalu dengan sentakkan tangan kirinya, Dewa Racun menghantam kilatan
cahaya hijau yang menuju ke arah Suto.
Wuugh...! Duub...!
Kedua tenaga dalam itu beradu
di udara. Blarr...!
Meledaklah benturan tenaga
dalam tersebut, membuat Dewa Racun terpental ke belakang membentur Suto,
membuat keduanya berjumpalitan di tanah.
"Apa-apaan kau ini, Dewa
Racun!" sentak Pendekar Mabuk sedikit dongkol karena matanya hampir
tercolok busur di tangan Dewa Racun.
"Ada yang... yang... yang
ingin menghantammu dari tempat jauh!"
"Aku tahu. Tapi aku bisa
atasi sendiri. Tak perlu kau yang menghalangi pukulan itu."
"Ak... aku... cuma mau
selamatkan kam... kam...."
"Kambing?!" sentak
Suto.
"Kamu!"
Dewa Racun ganti membentak.
Keduanya segera tegak berdiri, karena dari atas pohon meluncur sesosok tubuh
berambut acak-acakan. Siapa lagi dia kalau bukan Perawan Sesat yang bertampang
liar dan beringas itu.
Dewa Racun segera berkata
kepada Pendekar Mabuk,
"Ad... ada... ada
perempuan can... can... can..."
"Cantengan?!" sergah
Suto Sinting menebak.
"Hmmm... iya," jawab
Dewa Racun.
"Perempuan cantik yang
mungkin berpenyakit cantengan, menghadang langkah kita. Ap... apa maksudnya
ak... aku tidak tahu. Sumpah, aku tidak tahu!"
"Siapa yang menuduhmu
tahu maksudnya? Tak perlu pakai sumpah segala!" sentak Suto agak dongkol
dengan sikap gagapnya Dewa Racun.
Kemudian, Pendekar Mabuk maju
setindak dan berkata kepada Perawan Sesat.
"Apa maksudmu menghadang
langkahku, Perawan Sesat?!"
Dengan mata tajam bersikap
bermusuhan, Perawan Sesat menjawab,
"Aku hanya ingatkan kamu,
dua hari lagi purnama tiba!"
"Apa maksudmu dengan
purnama tiba?"
"Kau punya janji
pertarungan dengan Manusia Sontoloyo yang bernama Dirgo Mukti itu! Apakah kau
masih ingat dengan pertarungan yang akan terjadi di Bukit Jagal itu?"
Pendekar Mabuk tertawa
berkesan meremehkan. "Ya, ya... sekarang aku ingat. Hampir saja aku lupa
kalau aku mendapat tantangan dari Dirgo Mukti. Tapi... sebenarnya hal itu tidak
perlu terjadi. Masalahnya tidak penting dipertarungkan!"
"Buat Dirgo Mukti kau
punya urusan dengannya yang amat penting! Menentukan siapa yang berhak menerima
cinta Peri Malam, itu adalah masalah yang sangat penting buat Dirgo
Mukti!" Sekali lagi Suto lontarkan tawa meremehkan.
"Bilang kepada Dirgo,
suruh dia ambil perempuan itu. Aku tak akan mempertahankannya!"
"Hmm... kau takut
menghadapi tantangan itu rupanya."
"Ya. Aku memang takut.
Takut membunuhnya. Kasihan dia kalau harus mati sia-sia di tanganku. Kasihan
tanganku kalau harus membunuh orang yang tidak punya masalah penting
denganku!"
"Hadapilah dia kalau kau
memang murid sinting si Gila Tuak! Aku hanya mengingatkan saat pertarunganmu
itu, Suto!"
"Aku tidak akan
hadir!"
"Harus hadir! Jangan
kecewakan musuhmu, Suto! Jangan jatuhkan martabat gurumu yang kesohor sebagai
orang sakti di papan teratas!" bujuk Perawan Sesat.
"Pertarungan itu tidak
penting, Perawan Sesat! Aku tidak mau terlibat urusan yang sangat sepele!"
"Kalau begitu, lepaskan
gelar kependekaranmu biar Dirgo Mukti yang menyandangnya!" Suto hanya
tersenyum heran sambil geleng-gelengkan kepala, ia ucapkan kata pelan tapi
penuh tatap pesona yang membuat hati Perawan Sesat berdebar keras.
"Mengapa kau harus mendesakku
bertarung melawan Dirgo Mukti? Apakah kau punya dendam dengan Dirgo Mukti dan
ingin meminjam tanganku untuk membunuhnya? Apakah kau tak mampu membunuh Dirgo
Mukti sendiri?"
"Jangan picik otakmu,
Suto Sinting! Ini bukan soal dendam. Ini soal harga diri, antara harga dirimu
dengan harga diri Dirgo Mukti!"
"Tidak. Aku tetap tidak
mau hadir dalam pertarungan nanti!"
"Kau kalah!"
"Biarlah dianggap kalah!
Tapi aku punya kemenangan sendiri di balik kekalahan itu!" kata Pendekar
Mabuk dengan tetap tenang.
"Kau harus menghadapinya,
Suto!" bentak Perawan Sesat yang merasa jengkel karena bujukannya tidak
berhasil.
Akhirnya, Dewa Racun ikut
angkat bicara, ia berkata kepada Perawan Sesat sambil bertolak pinggang.
"Aku yang akan mewakili
Suto! Aku yang akan menghadapi Dirgo Mukti itu!"
"Hmmm...!"
Perawan Sesat mencibir sinis,
ia sengaja tidak kasih tanggapan terhadap kata-kata orang kerdil itu. Ia segera
pergi setelah berkata,
"Jangan kecewakan
orang-orang yang mencintai dan mengagumi kehebatanmu, Suto. Kami ingin
menyaksikan kehebatan orang yang kami puji-puji itu!"
Lalu, ia melesat pergi dengan
ilmu siluman.
***6***
SUNGGUH tak habis pikir
Pendekar Mabuk terhadap kemunculan Perawan Sesat. Mengapa perempuan itu begitu
besar harapannya agar Suto melaksanakan pertarungan dengan Dirgo Mukti di Bukit
Jagal? Pasti perempuan itu mempunyai satu alasan dan tujuan lain yang tersembunyi.
Suto merasa bukan hanya ingin
ditonton dan dipuji kehebatan pertarungannya nanti, tapi karena ada sesuatu
yang ingin dilakukan oleh Perawan Sesat. Ia merasa dirinya akan dijadikan alat
oleh Perawan Sesat, yaitu alat pembantai Dirgo Mukti. Satu hal lagi yang
membuat Pendekar Mabuk heran adalah pembelaan yang dilakukan oleh Dewa Racun,
baru saja mereka saling kenal, mengapa Dewa Racun melakukan pembelaan sebesar
itu.
Saat pukulan tenaga dalam
Perawan Sesat hendak menyerang Suto, Dewa Racun cepat ambil sikap menahan dan
menghancurkan pukulan tersebut. Mestinya hal itu tidak perlu ia lakukan. Pada
saat Suto ngotot tidak mau melayani tantangan Dirgo Mukti, tiba-tiba Dewa Racun
menyediakan diri sebagai pengganti Suto dalam pertarungan nanti. Mestinya Dewa
Racun tak perlu ikut campur, toh dia tidak tahu duduk perkaranya tentang
pertarungan dan tantangan Dirgo Mukti Itu.
Suto sendiri tidak tahu, bahwa
sebenarnya Perawan Sesat hanya bertugas mengingatkan saat pertarungan yang
sebentar lagi akan tiba itu. Tiga perempuan patah hati telah menugaskan Perawan
Sesat untuk mengingatkan Suto, sementara Peri Malam dan Selendang Kubur
bertugas memberi semangat pada Dirgo Mukti. Tetapi, agaknya Perawan Sesat
kurang pintar main siasat.
Bujukannya terlihat jelas
melalui desakan yang bersifat memaksa, sehingga Suto tetap berkeputusan untuk
tidak melayani tantangan Dirgo Mukti. Sementara itu di tempat lain, Peri Malam
dan Selendang Kubur tetap memberi bujukan agar Dirgo Mukti bersemangat melawan
Suto.
Sebelumnya, saat mereka
bertiga menunggu kemunculan Dirgo Mukti dan Datuk Marah Gadai dari dasar
telaga, mereka sudah atur siasat seperti itu. Mereka sudah menyangka bahwa
Dirgo Mukti pasti bertarung melawan Datuk Marah Gadai, karena keduanya
sama-sama menyelam ke dasar telaga mencari Cincin Manik Intan.
Tetapi tiba-tiba kedua tubuh
mereka tersentak keluar dari dalam telaga dan masing-masing terlempar tak tentu
arah. Air telaga bergolak begitu kuat, hingga sebagian airnya tumpah ke samping
dan sekelilingnya, mengguyur tubuh tiga perempuan patah hati itu. Ketiga
perempuan itu berpegangan pada pohon karena tubuh mereka terhempas badai
kencang dari arah wetan. Bahkan sebagian pohon di dekat telaga ada yang tumbang
ke sana kemari.
Hal itu terjadi saat Suto
Sinting melepaskan napas Tuak Setan-nya tadi. Badai itu ternyata sampai pula di
sekitar telaga dan menipis ke arah barat.
"Pasti ada yang
menggunakan ilmu kesaktian tinggi!"seru Perawan Sesat kala itu.
Ia sendiri hampir terbang
terpental oleh hembusan angin badai yang cukup kuat itu. Seruan tersebut tak
mendapat tanggapan dari kedua temannya, karena masing-masing sibuk bertahan
agar tak ikut terbuang oleh badai keras tersebut.
Pada waktu Dirgo Mukti dan
Datuk Marah Gadai terlempar dari dasar telaga, sang Datuk Marah Gadai segera
terpental bagaikan kapas tertiup angin. Mungkin karena tenaganya sudah sangat
berkurang selama pertarungan dengan Dirgo Mukti yang berlanjut di dasar telaga,
hingga ia tak mampu bertahan diri dari hembusan badai.
Tubuhnya melayang menerabas
semak berduri. Suaranya pun hilang dari pendengaran tiga perempuan patah hati
itu. Dirgo Mukti sendiri sebenarnya juga terhempas ke mana-mana. Mungkin akan
lebih jauh terpentalnya dibanding Datuk Marah Gadai.
Tetapi, tangan Peri Malam
berhasil memegangi kaki Dirgo Mukti yang hampir terbawa terbang hembusan badai
dahsyat itu. Sambil berpegangan pada pohon, Peri Malam mempertahankan tubuh
Dirgo Mukti yang merayap-rayap bagaikan buaya tanpa kaki.
"Bantu aku menahan
tubuhnya!" teriak Peri Malam saat itu, dan Selendang Kubur pun menahan
pundak Dirgo Mukti dengan kedua kakinya.
Pundak itu tak bisa maju
karena mendapat tahanan dua kaki dari depan, sedangkan kedua tangan dan pundak
Selendang Kubur menahan diri ke salah satu batang pohon. Ia pun bertahan sekuat
tenaga agar tidak ikut terlempar oleh hembusan angin badai yang menggila itu.
Saat-saat berikutnya, badai
itu reda. Suasana di sekitar telaga persis bumi yang habis mengalami kiamat,
itulah kekuatan dahsyat dari napas Tuak Setan.
Padahal dari tempat Pendekar
Mabuk hembuskan napas itu sampai ke Telaga Manik Intan jaraknya cukup jauh.
Memakan waktu setengah hari untuk berjalan menuju kesana. Tapi toh badai napas
Tuak Setan sempat bikin gaduh di sekitar telaga itu. Mereka tidak tahu, pada
saat badai mengamuk di sekitar telaga, keadaan di tempat Suto sudah kembali
tenang. Jadi bentuk badai itu bergulung-gulung yang makin lama semakin tipis
gulungannya dan semakin pudar hembusannya.
Kalau saja mereka tahu, badai
sedahsyat itu datang dari mulut Suto, sudah pasti mereka urungkan niat untuk
mengadukan kesaktian Dirgo Mukti dengan Suto. Dan karena mereka tidak tahu hal
itu, maka mereka pun akhirnya tetap membujuk Dirgo Mukti untuk melaksanakan
janji pertarungannya dengan Suto Sinting. Waktu itu, suasana sudah reda dan
tenaga mereka sudah pulih seperti sediakala.
Dirgo Mukti berkata kepada
Peri Malam.
"Tenagaku terkuras habis
melawan Datuk Marah Gadai itu! Rasa-rasanya aku harus menunda pertarungan
sampai purnama mendatang!"
"Itu sama saja kau
mengakui kekalahanmu, Dirgo! Dan berarti Suto-lah yang berhak memiliki
cintaku," kata Peri Malam mempengaruhi pikiran Dirgo Mukti.
"O, tidak! Kau tidak akan
kuserahkan kepada Suto Sinting! Kau harus kumiliki, Peri Malam!"
"Jika kau ingin memiliki
aku, kau harus tunjukkan kesaktianmu di depanku dengan mengalahkan Pendekar
Mabuk di pertarungan nanti!" Dirgo Mukti tarik napas panjang-panjang.
Matanya menerawang dalam satu renungan pertimbangan.
Pada saat itu, Selendang Kubur
segera angkat bicara dari samping kanan Dirgo Mukti,
"Aku pun bertaruh untuk
dirimu, Dirgo. Kau pasti menang melawan Suto, dan aku siapkan hadiah untukmu
yang sangat istimewa!"
Cepat-cepat Dirgo Mukti
palingkan wajah, memandang Selendang Kubur dengan senyum berseri,
"Hadiah istimewa apa yang
akan kau berikan padaku jika aku menang melawan Suto Sinting?" Mata
Selendang Kubur melirik nakal sambil ia berkata, "Apa yang kau harapkan
dariku selama ini akan kuberikan padamu!"
"Betulkah?!" Dirgo
Mukti kian berbinar-binar matanya. "Ya. Aku hanya ingin menyerahkan
tubuhku pada laki-laki yang benar-benar jantan dan perkasa sebagai seorang
pendekar!"
Perawan Sesat segera lontarkan
kata sambil berdiri di depan Dirgo Mukti, memamerkan belahan dadanya,
merenggangkan kedua kakinya dengan senyum menggoda.
"Rasa-rasanya aku juga
perlu kasih hadiah kepada siapa yang unggul dalam pertarungan nanti!"
"Kau...?! Kau juga akan kasih hadiah yang sama seperti Selendang
Kubur?"
"Kurasa kau pernah
merasakannya, Dirgo! Tapi yang tempo hari kau rasakan itu belum istimewa. Kau
akan memperoleh yang paling istimewa jika bisa kalahkan Suto Sinting!"
"Oh, menyenangkan sekali...?!"
si Manusia Sontoloyo berseri-seri dan lebih bersemangat lagi. Peri Malam
berkata kepada Perawan Sesat,
"Cari Suto, ingatkan
padanya tentang pertarungan di Bukit Jagal, supaya dia tidak lupa, dan supaya
Dirgo Mukti tidak kecewa atas ketidakhadirannya nanti!"
"Aku akan cari dia dan
akan kuingatkan demi pendekar pujaan kita itu, Peri Malam!" kata Perawan
Sesat, lalu ia cubitkan tangannya di pipi Manusia Sontoloyo.
Setelah itu, segera tinggalkan
tempat untuk mencari Pendekar Mabuk. Pada saat itu, Dirgo Mukti sempat ucapkan
kesangsiannya,
"Tapi aku belum menguasai
jurus 'Cakar Naga'? Mana bisa aku mengalahkan dia?"
"Kau pasti punya jurus
simpanan lainnya!" sahut Selendang Kubur.
"Gunakan jurus-jurus
intimu. Keluarkan ilmu-ilmu simpananmu. Jangan tanggung-tanggung kalau melawan
Pendekar Mabuk. Dia juga tak pernah tanggung-tanggung gunakan ilmunya!"
Peri Malam menimpali,
"Bila perlu, gunakan
pusaka kapakmu itu! Aku yakin Pendekar Mabuk tak akan mampu menandingi
kesaktian kapakmu itu!"
Dirgo Mukti semakin sombong
hatinya. Kepalanya bagaikan bengkak mendapat sanjungan seperti itu. Lalu, ia
cabut senjata kapaknya dan ia amat-amati beberapa saat. Kapak bermata dua itu
mempunyai ujung mata tombak yang bisa melesat memburu sasaran dan tumbuh lagi
mata tombak lainnya dari dalam gagang. Kapak itu mempunyai gagang yang bisa
ditarik dan menjadi rantai sehingga bisa dipakai menebas leher dari jarak dua
tindak atau tiga langkah di depannya.
"Seharusnya Datuk Marah
Gadai sudah kuhabisi nyawanya pakai kapakku ini! Kenapa aku jadi lupa pada
pusaka sendiri?!"
"Itu tak perlu. Melawan
Datuk Marah Gadai tidak harus pakai kapak pusakamu! Tidak terhormat rasanya
jika kapak itu kau gunakan untuk melawan Datuk Marah Gadai. Akan lebih
terhormat lagi jika kau gunakan untuk membunuh Suto Sinting! Kurasa hanya kapak
ini yang bisa menandingi semua ilmu Pendekar Mabuk!"
kata Peri Malam yang membuat
hati Dirgo Mukti menjadi semakin berbunga-bunga.
"Kurasa kau perlu
istirahat banyak, Dirgo," kata Selendang Kubur dengan senyum manisnya.
"Jangan buang-buang tenaga sebelum hari pertarungan tiba. Mari kuantar
pulang ke Pantai Saru. Kau perlu persiapkan diri di sana."
"Kau akan menemaniku di
sana sebelum pertarungan tiba?"
"Ya, aku dan Peri Malam
akan mendampingi masa istirahatmu!"
"Dan... dan akan berikan
kehangatan padaku di sana?" Peri Malam cepat menjawab, "Kehangatan
itu akan tiba jika kemenanganmu tergenggam di tangan. Kurasa Perawan Sesat juga
akan memberikan kehangatan yang lebih indah lagi setelah kau berhasil membunuh
Suto Sinting!"
Selendang Kubur menambahkan
kata, "Kau akan memperoleh kemenangan ganda, Dirgo! Selain namamu jadi
cepat dikenal di rimba persilatan sebagai seseorang yang mampu mengalahkan
murid si Gila Tuak, juga kau akan memperoleh kemenangan batin yang luar biasa
tingginya, yaitu memperoleh tiga istri sekaligus!"
"Tiga istri?! Waaah...,
ha ha ha ha...!" Dirgo Mukti tertawa kegirangan.
Kedua perempuan itu
dirangkulnya kanan-kiri. Kedua perempuan itu juga membiarkan dicium wajahnya
oleh Dirgo Mukti yang tampak jelas serakah dengan kemesraannya.
Di Pantai Saru, ketika malam
hadirkan sunyi, Perawan Sesat renungkan diri, duduk di atas bebatuan tak
berlumut. Satu persatu Peri Malam dan Selendang Kubur mendekat, lalu mereka
saling bergunjing tentang Suto. Perawan Sesat yang mengawali percakapan itu.
"Lain kali jangan aku yang harus temui Pendekar Mabuk sendirian."
"Mengapa?" tanya
Peri Malam.
"Aku tak tahan memandang
matanya. Gairahku terbakar dan rasa cintaku meletup-letup jika bertatap
muka dengannya."
"Apakah kau masih
tertarik pada Suto?"
"Justru karena aku masih
punya rasa cinta, maka aku harus menghadirkannya jika inginkan
kematiannya!" kata Perawan Sesat sambil menatap Peri Malam.
Tapi, Selendang Kubur segera
angkat bicara, "Dasar perempuan binal!"
Sreeg...! Perawan Sesat
berdiri, Selendang Kubur juga sigap menantang. Mata Perawan Sesat tajam
menembus bola mata Selendang Kubur yang memancarkan dendam itu. Lalu, terdengar
Perawan Sesat menggeram dalam ucapan kata,
"Jangan memancing
kemarahanku kalau tak ingin kubinasakan di sini sekarang juga!"
"Lebih baik kita adu
nyawa daripada akhirnya nanti kamu masih menyukai Suto!"
"Aku tak pungkiri hal
itu. Tapi aku toh berusaha untuk tidak mau menemuinya secara sendirian?!"
"Bagaimana jika nantinya kau menjadi pengkhianat?!" sentak Selendang
Kubur.
"Lebih baik kuhabisi
sekarang nyawamu ketimbang nantinya kau menjadi pengkhianat!"
"Sudah, sudah...!"
Peri Malam menengahi dengan suara tegasnya.
"Sekarang bukan saatnya
bicara soal urusan pribadi! Aku ingin kalian bedakan antara urusan pribadi
dengan urusan bersama!"
"Dia masih mencintai
Suto!" tuding Selendang Kubur kepada Perawan Sesat.
"Kurasa itu hal yang
wajar," kata Peri Malam dengan lantang. "Karena ada cinta itulah maka
timbul kebencian kepada Suto. Kalau kita tak punya cinta pada Suto, tak mungkin
kita sakit hati dengan sikap acuh tak acuhnya!"
Selendang Kubur kendorkan
ketegangan uratnya, demikian pula Perawan Sesat. Keduanya saling bisu, tapi
Peri Malam tetap bicara dalam keadaan berada di tengah mereka.
"Secara jujur aku sendiri
mengakui masih punya rasa cinta pada Suto Sinting. Tapi cinta ini dibungkus
oleh kebencian, dan karena itu kita merencanakan untuk membunuh Suto. Sekarang
yang perlu kita pikirkan, andaikata Suto tidak hadir dalam pertarungan nanti,
apa yang harus kita lakukan?"
"Ya. Sejak tadi itulah
yang kupikirkan!" kata Perawan Sesat. "Karena agaknya dia merasa
tidak ada perlunya melayani tantangan Dirgo Mukti! Persoalan yang dihadapi
dianggap persoalan kecil. Bahkan dia tak mau peduli akan dirimu, Peri Malam.
Dia berniat membiar kan dirimu dimiliki oleh Dirgo Mukti!"
"Karena dia tidak
mencintaimu, Peri Malam," sahut Selendang Kubur dengan cepat. Peri Malam
menggeletukkan giginya menahan kegeraman hati.
"Menurutku," kata
Perawan Sesat. "Kaulah yang membujuknya agar dia tetap hadir melayani
tantangan Dirgo Mukti. Kau bisa gunakan kemanjaanmu dan mengadu yang
bukan-bukan tentang sikap Dirgo!"
"Aku tak berani! Aku
takut terjerat cinta yang makin membara," kata Peri Malam. "Bagaimana
jika Selendang Kubur saja yang temui dia dengan pengaduan palsu tentang Dirgo
Mukti? Dia pasti ada di pihakmu, Selendang Kubur, karena antara dia dan gurumu
ada hubungan baik! Dia pasti mau membelamu jika kau katakan Dirgo Mukti akan
mengganggu, juga mengganggu gurumu itu!"
"Tidak. Aku juga tidak
berani berhadapan sendiri dengan Suto. Aku takut semakin mencintainya!"
"Kalau semuanya takut
makin jatuh cinta, lantas bagaimana kita bisa membunuh dia?!" tukas Peri
Malam bernada jengkel.
***7***
PERAMAL Pikun memang terluka
pada bagian dalamnya. Wajahnya yang berkulit hitam memancarkan rona pucat pias.
Bibirnya membiru dengan darah masih sesekali keluar dari mulutnya, Peramal
Pikun terbaring lunglai bagai cucian basah tak terawat. Ketika ia melihat
kehadiran Suto, tampak cahaya penuh harapan terpancar dari matanya yang sayu
itu. Dahi Suto berkerut melihat keadaan Peramal Pikun. Separah itukah sakitnya
hingga ia sendiri tak dapat mengobati? Pikir Suto. Iba hati murid si Gila Tuak
itu melihat keadaan Peramal Pikun, sepertinya lelaki tua renta itu memikul dosa
yang amat berat disandangnya.
Terlontarlah kalimat tanya
dari mulut Suto yang sengaja bernada pelan agar tidak mengganggu
keheningan pondok ini.
"Apa penyebabnya? Katakan
saja sejujurnya, Peramal Pikun?!"
"Sebuah nama yang kau
sebutkan."
"Nama kekasihku?"
"Ya. Mestinya aku tak
boleh sebutkan nama itu, Suto. Aku lupa, dan aku sebutkan nama itu!"
Pendekar Mabuk memeriksa
sesaat tubuh Peramal Pikun. Ia terkesiap melihat bagian perut memar biru. Dari
perutnya itu bergurat garis merah sebesar lidi yang menuju ke tengah leher,
melewati pertengahan ulu hatinya. Suto bergumam,
"Apa arti jalur merah
ini?"
"Itulah yang dinamakan
jalur kutukan. Jalur merah itu dikenal julukan ilmu 'Rentang Kutuk'! Hanya dia
yang memilikinya!"
"Maksudmu...."
"Jangan sebut namanya,
Suto! Kumohon, jangan...!" sergah Peramal Pikun memelas.
Pendekar Mabuk buru-buru
menunda ucapannya, ia segera ingat bahwa Peramal Pikun tak bisa mendengar nama
Dyah Sariningrum. Jika ia mendengar nama itu, telinganya akan mengucurkan darah
lagi. "Jalur Kutukan atau ilmu 'Rentang Kutuk' ini akan merenggut nyawaku
pada saat tepat bulan menjadi purnama!" tambah Peramal Pikun dengan suara
lemahnya
"Jadi aku mohon bantuanmu
untuk menghilangkan ilmu 'Rentang Kutuk' ini sebelum purnama tiba."
"Sebelumnya aku ingin
tahu mengapa ilmu 'Rentang Kutuk' itu menimpa dirimu?"
"Apakah Dewa Racun belum
bicarakan hal itu padamu?"
"Belum! Dewa Racun
mendengar nama kekasihku dari mulutmu, tapi dia tidak kenal siapa orang yang
punya nama itu dan di mana tempat persinggahannya. Dewa Racun hanya bertugas
mencari aku dan membawaku kemari untuk menolongmu!"
"Dewa gila!" geram
Peramal Pikun sambil matanya mencari Dewa Racun di dalam pondoknya.
Tapi orang kerdil itu tidak
ada di dalam pondok. Orang kerdil tadi menyuruh Suto masuk sendirian dan ia
bergegas menuju ke sungai, katanya mau mandi sebentar di sana.
"Siapa Dewa Racun itu
sebenarnya, aku belum jelas, Peramal Pikun. Dia tidak banyak menceritakan
dirinya sepanjang perjalanan kemari. Dia bahkan lebih banyak membicarakan
tentang pertarunganku dengan manusia Sontoloyo dua hari lagi."
Mata Peramal Pikun
berkedip-kedip seperti orang menunggu ajal. Cukup lama ia bungkamkan mulutnya,
sampai akhirnya Suto mengulang pertanyaannya yang tadi,
"Aku ingin tahu mengapa
ilmu 'Rentang Kutuk' itu menimpa dirimu, Peramal Pikun. Ceritakanlah!"
"Ini rahasia hidupku, Suto."
"Untuk apa kau simpan
rahasia kalau sebentar lagi kau mati?"
"Memang benar katamu. Tapi...."
Peramal Pikun ragu sejenak, sehingga Pendekar Mabuk perlu mendesaknya.
"Katakanlah apa adanya,
supaya aku bisa mengambil sikap bagaimana harus menolongmu, Peramal
Pikun."
"Baiklah," katanya,
lalu Peramal Pikun mencoba tarik napas panjang. Darah keluar lagi dari mulutnya
tanpa batuk sedikit pun. Ia mengusap darah itu memakai kain yang kumal dan tak
berbentuk kain lain, melainkan bentuk kumpulan darah mengering.
Dengan suara pelan, Peramal
Pikun tuturkan kata, "Aku melakukan kesalahan semasa mudaku."
"Kesalahan apa?"
"Mencintai guruku
sendiri."
"Apakah gurumu seorang
perempuan?"
"Ya. Usianya sudah
banyak, tapi masih awet muda dan cantik. Ia memiliki ilmu kecantikan abadi,
seperti yang dimiliki oleh tokoh-tokoh sakti lainnya. Rasa cintaku kepada Guru
begitu dalam, sehingga aku menjadi gila, dan nekat ingin memperkosanya. Tapi
dalam satu jurus aku tumbang, tak bisa mengalahkan Guru. Lalu, aku diusir dari
Puri Gerbang Surgawi...."
"Apa itu yang dimaksud
Puri Gerbang Surgawi?"
"Sebuah negeri Pulau Serindu,
jauh dari sini letaknya," jawab Peramal Pikun sambil matanya menerawang
bagai mempunyai sebaris kenangan masa lalunya.
Peramal Pikun menyambung
ucapannya lagi, "Aku diusir dari sana dengan satu kutukan yang membekas
selamanya dalam hidupku. Aku dianggap murid sesat dan sangat tidak terhormat.
Karenanya, ilmu 'Rentang Kutuk' selalu menyertaiku."
"Siapa yang mengusirmu
dan siapa yang melancarkan kutuk itu?"
"Siapa lagi kalau bukan
penguasa tunggal Puri Gerbang Surgawi, yang namanya menjadi nama kekasihmu
itu!" Terbelalak mata Suto seketika itu.
Tertegun ia sampai beberapa
saat lamanya. Sama sekali tak menyangka bahwa Dyah Sariningrum itu adalah
penguasa sebuah negeri, yang menjadi guru dari Peramal Pikun. Hampir-hampir
Pendekar Mabuk tidak mempercayai kata-kata si Peramal Pikun. Kembali setelah
hening tercipta beberapa helaan napas, Peramal Pikun melanjutkan ceritanya,
"Aku terancam kutukan
itu, tak boleh mendengar nama guruku dan tak boleh menyebut nama Nyai Guru.
Jika aku mendengar nama guruku disebut orang, maka telingaku akan luka, dan
jika aku menyebutkan nama guruku, maka jalur kutukan itu akan bekerja dalam
diriku dan menancapkan jalur kematian yang akan tiba pada saat bulan terang
purnama! Itulah hukum kekal untuk murid sesat seperti aku ini, Suto! Sekali pun
aku menyesali tindakan masa mudaku, tapi tetap saja aku dibayang-bayangi kutuk
yang mematikan!"
"Hebat sekali!"
"Aku akan mati, mengapa
kau katakan hebat?!"
"Yang kumaksud hebat
adalah ilmu kutukannya."
"Kuharap kau bisa
menolongku, Suto. Karena setingi-tingginya ilmu Nyai guruku, dia masih tunduk
dan takut kepada gurumu, si Gila Tuak!"
"Jadi, menurutmu guruku
mengenal dia?"
"Kurasa mengenalnya! Nyai
Guru itu adalah orang yang dikenal sebagai Mahkota Sejati, karena sampai saat
ini, walau usianya sudah menyamai si Gila Tuak, gurumu, tapi ia masih sebagai
perawan suci yang belum pernah ternoda oleh cinta dan birahi lelaki siapa pun
juga! "
"Ooh...?!" Pendekar
Mabuk menggumam kagum, jatungnya berdetak-detak bagai ingin melompat keluar
dari rongga dada. Rasa bangga dan rindu bergumul menjadi satu, membuat hati
Suto gemetar.
"Kalau kau ingin tahu
lebih banyak tentang Nyai Guru, tanyakanlah kepada Dewa Racun."
"Apakah Dewa Racun
benar-benar tahu banyak tentang penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi itu?"
"Jelas banyak tahu, karena dia adalah orang ketujuh kepercayaan Nyai
Guru!"
"Hahh...?! Jadi dia orang
dari Puri Gerbang Surgawi?!"
"Benar. Apakah dia tidak
bilang begitu padamu?"
"Tidak!"
"Dasar Dewa gila! Terlalu
rapat ia menyembunyikan ilmunya, terlalu rendah ia menundukkan dirinya. Tapi
memang begitulah ajaran dari Nyai Guru, agar setiap murid menjadi padi, semakin
berisi semakin menunduk kepada siapa pun!"
"Lalu, untuk apa dia
datang kemari menemuimu?"
"Mencari kamu,"
jawab Peramal Pikun.
"Mencari aku, untuk
mengobatimu?"
"Tidak! Hanya kebetulan
saja sewaktu aku menjelaskan tentang dirimu, aku tak sadar telah menyebutkan
nama Nyai Guru, lalu aku jatuh sakit seperti ini. Tapi tujuannya datang padaku
adalah menanyakan tentang kamu. Dia mendapat tugas dari Nyai Guru untuk membawa
pulang seseorang yang bernama Suto, murid si Gila Tuak."
"Memang gila dia
itu!" geram Suto. "Dia tak pernah bilang apa-apa padaku soal
itu!"
"Temuilah dia dan
bicaralah apa saja yang ingin kau bicarakan kepada Dewa Racun itu! Tapi
terlebih dulu, tolonglah aku. Selamatkan aku dari ilmu 'Rentang Kutuk' ini,
Suto!"
"Apakah kau masih ingin
hidup dalam usiamu setua ini?!"
"Masih," jawab
Peramal Pikun dengan sedikit dongkol. "Aku ingin mati sebagai ksatria! Aku
ingin mati dipertarungan, bukan mati karena kutukan!"
"Tegar sekali
pendirianmu, Peramal Pikun. Jika memang begitu kemauanmu, aku akan mencoba
menyembuhkanmu!"
Sementara Suto melakukan
penyembuhan terhadap diri Peramal Pikun, di luar pondok itu Dewa Racun mencoba
memancing ikan untuk santapan nanti. Ia memancing ikan bukan dengan kail maupun
pancingan bila, melainkan menggunakan sehelai daun ilalang.
Daun ilalang itu dibelah
menjadi dua pada tiap sisi kanan-kirinya, tinggal bagian tengahnya yang keras,
tapi di tiap sisa daun kanan-kiri itu tidak dihabiskan belahannya. Helai daun
di kanan-kiri itu diselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah, sisanya
yang keras ada di atas telunjuk, lalu dengan satu kali tarikan, bagian tengah
ilalang itu melesat bagai dipanahkan dari dua jari.
Slaattt...! Jeebbb...! Ilalang
itu menancap pada tubuh seekor ikan, yang segera menggelepar-gelepar.
Dewa Racun segera
mengangkatnya dari kedalaman air. Ikan itu ditumpuk di salah satu tempat
berbatu, lalu ia kembali mengambil daun ilalang untuk dipanahkan pada ikan-ikan
lainnya. Jika bukan disertai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi, tak
mungkin daun ilalang itu bisa sekeras dan setajam jarum baja. Tak mungkin pula
gerakan panah daun ilalang itu sama cepat dan tajamnya dengan panah biasa.
Alhasil, setiap ikan yang
dikumpulkan mempunyai sisa daun ilalang yang menancap di tubuh ikan, kadang
tembus kadang hanya sebagian saja yang terbenam di daging ikan. Dewa Racun
segera mengumpulkan kayu kering. Salah satu ranting kering digosokkan pada
salah satu anak panahnya.
Srettt...! Dan memerciklah
bunga api, lalu menyala. Dewa Racun membakar ikan-ikan tersebut di depan batang
kayu tumbang yang tak seberapa jauh dari pondok persinggahan Peramal Pikun.
Bau sedap ikan bakar membuat
hidung Pendekar Mabuk kembang kempis, kemudian ia segera bergegas keluar dari
pondok, ia dekati Dewa Racun dari arah belakang secara diam-diam.
Pendekar Mabuk ingin menjajal
ilmu orang kerdil itu. Lalu, dengan serta-merta Suto menendang punggung si
orang kerdil itu.
Wuuttt...! Plasss...!
Tendangan itu mengenai tempat
kosong, karena kejap berikutnya Dewa Racun ternyata sudah pindah tempat
duduknya di seberang tempat duduk semula, ia tetap tekun membakar ikan-ikan itu
tanpa merasa terganggu oleh kedatangan Suto.
Sementara, Suto sempat
terkesiap sebentar melihat gerakan pindah Dewa Racun yang begitu cepat,
bagaikan menghilang dalam sekejap.
"Boleh, boleh...,"
Suto manggut-manggut sambil membatin, "Tinggi juga ilmunya jika begitu.
Kurasa dia memang orangnya Dyah Sariningrum yang tak pernah mau sombongkan diri
di depanku."
Sambil mengamati ikan yang
habis dibaliknya dari pembakaran, Dewa Racun bicara pada Suto tanpa
memperhatikan Suto,
"Bagaimana sakitnya
temanku itu? Bisa kau atasi?"
"Dia sedang tidur."
"Tidur...?!" Dewa
Racun memandang Suto dengan dahi berkerut.
"Ya. Mengapa?"
"Orang yang terkena Ilmu
'Rentang Kutuk' tak akan bisa tidur, kecuali jalur kutukan yang berwarna merah
belum tampak di kulit perutnya! Jika jalur merah itu sudah kelihatan dari pusar
menggaris sampai ke leher, orang itu tidak akan bisa tidur sedikit pun!"
Pendekar Mabuk tersenyum
sambil mengambil satu| ekor ikan yang sudah matang, lalu ia berkata dengan
santai,
"Nyatanya sekarang
Peramal Pikun sudah tertidur."
"Berarti kau berhasil
membuat pengaruh kutukan menjadi tawar, Suto?!"
"Mungkin saja!"
jawab Suto sambil mengunyah ikan bakar.
Sejenak dipandanginya Suto,
lalu bergumam mulut Dewa Racun seperti bicara pada dirinya sendiri,
"Belum pernah ada orang
yang bisa menawarkan pengaruh kutukan Nyai Guru itu!"
"Nyai Guru siapa?"
tanya Suto sambil lalu, sepertinya tidak tertarik dengan sebutan 'Nyai Guru'
itu.
Dewa Racun menjelaskan sambil
tetap mengerjakan kesibukannya, bahkan kini ikut-ikutan melahap ikan bakarnya,
"Menurut penjelasan
Peramal Pikun, sebelum ia terjebak ilmu 'Rentang Kutuk' kemarin, kau sedang
mencari-cari kekasihmu yang bernama Dyah Sariningrum. Apakah benar begitu,
Suto?"
"Kalau benar mau
apa?"
"Dyah Sariningrum adalah
guruku, juga termasuk gurunya Peramal Pikun itu!"
"Penjelasanmu
terlambat!" kata Suto acuh tak acuh, karena merasa jengkel atas sikap
bungkamnya Dewa Racun sejak diperjalanan tadi.
Kenapa baru sekarang ia mau
jelaskan? Kenapa tidak di perjalanan tadi? Itulah yang bikin Suto ingin
membalas kejengkelannya.
"Nyai Gusti Dyah
Sariningrum mengutusku untuk mengajukan dua pilihan kepadamu kau mau datang
kesana atau tidak!"
"Kalau aku bilang tidak
mau datang menghadapnya, mau apa?"
"Aku pulang, tak boleh aku
paksa dirimu."
"Kalau aku mau datang
menghadapnya?"
"Aku antar kamu ke sana!
Karena Nyai Gusti Dyah Sariningrum memang ingin bertemu denganmu. Kau sering
hadir dalam mimpinya dan memanggil-manggil namanya." Suto tertawa kecil
bersikap meremehkan, padahal dalam hatinya ia berdebar-debar bahkan
berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tapi toh dia mampu menahan perasaannya yang
jika diluapkan bisa menjadi seperti anak kecil itu.
Dan tiba-tiba ia berkata,
"Hei, mengapa kegagapanmu
hilang? Kau lupa bahwa kau bicara dengan gagap!"
Dengan tenang orang kerdil itu
sunggingkan senyum dan berkata,
"Sebelum kau datang dari
dalam pondok, sudah kumakan dua ekor ikan bakar kesukaanku ini!"
"Apa hubungannya dua ekor
ikan bakar dengan bicara gagapmu?"
"Jika mulutku sudah bau
ikan bakar, walau secuil saja, maka aku sudah bisa bicara dengan lancar. Tapi
jika aroma ikan bakar hilang dari mulutku, maka kegagapan bicaraku timbul
kembali."
"Kenapa bisa
begitu?" tanya Pendekar Mabuk sambil tertawa pelan.
"Entahlah," jawab
Dewa Racun sambil sentakkan pundak sekejap, lalu berkata lagi,
"Mungkin memang sudah
kodratnya aku punya keanehan seperti ini." Pendekar Mabuk geleng-gelengkan
kepala sambil tersenyum geli, merasa aneh dengan sifat orang kerdil itu.
"Tentukan pilihanmu
sekarang juga, Suto, agar aku bisa bertindak secara pasti, mana yang harus
kulakukan!"
"Aku bersedia menghadap
gurumu, tapi aku harus menunggu lewat dari saat purnama tiba."
"Kenapa? Apakah kau akan
memenuhi tantangan lawanmu itu?" Suto menggeleng.
"Aku hanya ingin
mengetahui apakah pengobatanku berhasil atau tidak. Aku harus tahu nasib
Peramal Pikun setelah lewat dari saat purnama nanti, apakah dia hidup atau
mati!"
"O, ya. Aku paham,"
Dewa Racun manggut-manggut. "Lalu, bagaimana dengan pertarungan di Bukit
Jagal itu? Apakah kau tetap akan menolak pertarungan itu?"
"Kurasa memang aku tak
perlu melayani tantangan Dirgo Mukti! Hanya buang-buang waktu dan tenaga saja!
Aku sendiri sebenarnya tidak berminat untuk bertarung dengannya."
"Tapi menurut adat,
seseorang yang tidak memenuhi tantangan, namanya akan disepelekan dari dunia
persilatan! Kau dianggap kalah dan tidak jantan, Suto. Orang yang telah mundur
dari arena pertarungan sebelum ia mencoba kalah atau menang, maka ia tak berhak
menggunakan gelar pendekar lagi!"
"Apakah begitu peraturan
adat di rimba persilatan?!"
"Setahuku memang
begitu!"
"Guruku tidak pernah
mengatakannya begitu!"
"Guruku pernah bilang
begitu!"
"Tapi gurumu dan guruku
berbeda!"
"Terserah kamu,"
akhirnya Dewa Racun tak mau berdebat lagi.
Tapi Suto jadi merenungkan
kata-kata Dewa Racun. Haruskah ia membuktikan kependekarannya melalui
pertarungan yang tanpa perkara besar itu? Hanya masalah cinta dan melindungi
kekasaran Dirgo Mukti terhadap Peri Malam, haruskah Suto bertarung secara
tanding laga di Bukit Jagal ? .
Bukankah sebenarnya Peri Malam
yang menciptakan pertarungan itu dengan berlagak menjadi penterjemah bahasa
Pendekar Mabuk? Sedangkan Pendekar Mabuk sendiri sebenarnya tidak bermaksud
menyetujui tantangan pertarungan di Bukit Jagal. Ini semua ulah Peri Malam,
sehingga Suto merasa terjebak dalam arena pertarungan yang menurutnya dianggap
pertarungan konyol. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah
Asmara Gila").
"Kalau kau tak mau muncul
di pertarungan itu, biarlah aku yang mewakilimu," kata Dewa Racun.
"Aneh kau ini. Kenapa kau
selalu tampil sebagai orang yang melindungiku? Kau hanya utusan nyai gurumu
itu. Kau bukan apa-apaku!"
"Karena perintah Nyai
Gusti agar aku membawamu datang padanya tanpa luka ataupun lecet sedikit
pun!"
"Dia berpesan
begitu?!"
"Ya."
"Apa lagi pesannya?"
"Hanya itu, dan hanya
tangis yang sering mengalir dari matanya yang indah itu."
"Tangis? Mengapa dia
menangis?"
"Hasrat ingin bertemu denganmu
sangat besar dan menyiksa hatinya sepanjang hari. Ia tak sanggup menahannya,
lalu ia perintahkan aku untuk menemuimu!"
"Kalau begitu, pulanglah
sekarang juga ke Pulau Serindu dan katakan padanya bahwa aku akan segera datang
setelah lewat purnama tiba itu!"
"Baik. Aku akan pulang.
Tapi apakah kau tahu jalan dan arah menuju Pulau Serindu?"
"Tidak!" jawab Suto
Sinting polos dan tegas.
Dewa Racun tertawa sendiri.
***8***
DEWA Racun tetap mengikuti
Pendekar Mabuk walau Pendekar Mabuk mengatakan akan pergi sebentar. Orang
kerdil ini agaknya memang berjiwa ngotot. Semalam ia juga ngotot menyuruh Suto
tidur di dalam pondok bersama Peramal Pikun, sementara dia tidur di luar pondok.
Sekarang ia kembali ngotot
dengan bicaranya yang mulai gagap lagi karena mulutnya sudah kehilangan aroma
ikan bakar,
"Ak... aku harus ikut
kamu ke... ke... ke mana pun kau pergi!" "Mengapa begitu? Kau bukan
pengawalku. Aku bukan buronanmu!" "Pe... pe... perintah Nyai Gusti,
aku harus menjaga ke... ke...." "Kepompong?!" "Bukan!
Keselamatanmu!" Dewa Racun terengah-engah.
Suto tersenyum menahan geli
dalam hatinya. Sebenarnya Suto hanya ingin menengok keadaan gurunya di Jurang
Lindu dan menengok keadaan Betari Ayu yang ditinggalkannya dalam keadaan luka
pukulan dari Nagadipa. Untuk menemui Betari Ayu dan gurunya, Suto tak enak hati
jika harus dikawal oleh Dewa Racun. Karenanya, Suto terpaksa menggunakan ilmu
yang bernama 'Seberang Raga', yaitu ilmu pemberian dari Bidadari Jalang.
Seonggok batu yang ada di
pinggir sungai tiba-tiba berubah wujud menjadi dirinya setelah Pendekar Mabuk
heningkan cipta secara diam-diam di belakang pondok. Dewa Racun tidak
mengetahui Pendekar Mabuk mempunyai ilmu siluman 'Seberang Raga', sehingga
ketika ia keluar dari pondok, ia langsung saja mendekati Suto yang terlihat
duduk merenung di pinggiran sungai. Padahal saat itu juga Suto sudah melesat
pergi jauh menuju Jurang Lindu.
"Men... menurut...
menurutku, jiwa Peramal Pikun selamat dari bahaya 'Rentang Kutuk'. Ja... ja...
jalur merahnya telah hilang dan wa... wajahnya kelihatan kembali segar se...
sep... seperti semula!"
"Bagus," jawab Suto
kalem, bahkan berkesan datar.
"Malam purnama be...
be... besok, dia akan tetap hidup. Ini satu per... per... peristiwa yang luar
biasa bagi orang-orang Puri Gerbang Surgawi. Nyai Gusti ak... ak... akan senang
dan ka... kagum jika mendengar ke... ke... kesaktian ilmumu!"
Pendekar Mabuk masih diam
merenung, tidak memandang ke arah Dewa Racun. Diam-diam Dewa Racun merasakan
keanehan itu, tapi tidak terlalu dihiraukan, berkata lagi kepada Pendekar Mabuk
palsu,
"Tan... tanpa menunggu
pur... purnama tiba, kita sudah bisa berangkat ke... ke... ke Pulau Serindu.
At... atau kau mau layani tantangan di Bukit Ja... Jagal itu?"
"Ya."
"Ya, bagaimana
maksudmu?"
"Bagus!"
"Bagus apa?"
"Ya."
Dewa Racun makin heran dan
curiga. Mata Suto memandang dengan datar sekali, sepertinya tidak punya rasa
apa pun. Dewa Racun mencoba menendang pinggang Suto dengan sulu kali lompatan.
Duug...! Pendekar Mabuk diam saja. Tidak mengadakan gerakan menangkis atau
menghindar, tidak merasakan sakit atau apa pun. Padahal tendangan itu cukup
keras.
Menurut perkiraan Dewa Racun,
orang akan menyeringai kesakitan jika ditendang pinggangnya oleh tendangan
seperti itu.
Melihat Suto Sinting tidak ada
perubahan apa-apa, Dewa Racun semakin bertambah heran, ia kembali berkata,
"Ma... mau... maukah kau
bicara ke dalam pondok?"
"Ya."
"Mari kita bicarakan
de... de... dengan Peramal Pikun!"
"Bagus!"
Jawaban yang hanya 'ya' dan
'bagus' juga membuat Dewa Racun kerutkan dahi. Semakin penasaran hatinya.
Bahkan ia pun membatin,
"Jangan-jangan orang ini
bukan Suto?" Dewa Racun segera mundur dua langkah. Tangannya diangkat
dengan gerakan pelan-pelan seperti orang menari, dan tiba-tiba kedua tangan itu
menghentak ke depan.
Wuuuttt...!
Memerciklah sinar putih ke
arah Pendekar Mabuk yang masih tetap duduk itu. Dewa Racun sendiri terkejut
melihat Pendekar Mabuk tidak memberi tangkisan terhadap pukulan tenaga
dalamnya, juga tidak menghindar sedikit pun. Bahkan sempat timbul rasa sesal di
hati Dewa Racun.
Percikan sinar putih itu
membuat tubuh Suto pecah berasap dan berupa wujud aslinya, yaitu sebongkah batu
hitam sebesar ukuran orang duduk di tepi sungai. Dewa Racun segera menggeram
sambil hempaskan napas kekesalan hatinya.
"Kurang ajar! Dia
mengecohku!" geramnya dalam hati. "Dia pasti telah pergi dan
meninggalkan aku! Hebat juga ilmu anak muda itu. Tak sia-sia aku diutus
jauh-jauh untuk membawanya menghadap Nyai Gusti. Pasti Nyai Gusti sangat kagum
kepadanya kalau kuceritakan setinggi apa ilmu yang dimiliki Suto Sinting itu!
Hmmm... tapi tugasku adalah mendampingi dan menjaga Pendekar Mabuk. Jika
sekarang dia pergi, aku harus segera mencarinya. Ke mana arah perginya? Kurasa
aku bisa bertanya kepada Peramal Pikun. Setidaknya Peramal Pikun bisa kasih
perkiraan arah yang dituju Suto!"
Suto sendiri membayangkan
wajah Dewa Racun yang terkecoh. Suto tertawa sendiri saat mendekati Jurang
Lindu, di mana ada air terjun yang cukup tinggi dan besar itu. Suto berkata
dalam hati,
"Dewa Racun pasti akan
mencak-mencak kalau dia tahu orang yang disangkanya aku itu adalah seonggok
batu! Hi hi hi.... Pasti jika ia mengajak bicara orang yang disangka aku itu,
ia hanya akan menerima jawaban ya dan bagus. Karena memang aku hanya menitipkan
dua kata itu dalam bayangan ragaku di sana! Mudah-mudahan hal itu tidak membuat
Dewa Racun mengamuk berlarut-larut...!"
Suto segera melesat masuk
menembus curah air terjun. Dalam kejap berikut, Suto sudah berada di dalam gua.
Ternyata di sana si Gila Tuak masih belum kelihatan. Yang ada hanya Betari Ayu
dalam keadaan sedang melakukan semadi.
"Ke mana perginya Guru?
Sampai sekarang belum datang juga?!" pikir Pendekar Mabuk sambil menunggu
Betari Ayu selesaikan semadinya, ia sempat mengisi tuak ke dalam bumbungnya
dari persediaan tuak di dalam gentong besar.
Setelah itu, ia mendengar
suara mendehem dari Nyai Betari Ayu, itu pertanda sang Betari Ayu sudah
selesaikan semadinya yang dilakukan dengan berdiri satu kaki, dan hanya jempol
kakinya yang berpijak di tanah.
"Bagaimana keadaanmu,
Nyai?" tanya Suto mengawali percakapan. "Sejak kemarin sudah terasa
segar sekujur tubuh ku. Tapi aku tak berani tinggalkan tempat ini."
"Kenapa?"
"Gurumu kasih wanti-wanti
padaku agar jangan tinggalkan tempat ini sebelum ada perintah darimu."
"O, kau sudah bertemu
dengan guruku?"
"Ya. Sudah. Beliau tahu
aku dalam perawatanmu."
"Hmm... lalu, ke mana
beliau?"
"Pergi ke Lembah Badai
untuk menemui Bidadari Jalang, yang baru kutahu bahwa orang itu ternyata juga
gurumu."
Suto malu, tak berani tatap
mata Nyai Betari Ayu. Namun begitu, Pendekar Mabuk tetap berkata,
"Ya, memang sebagian
ilmuku adalah pemberian darinya. Tapi aku tak enak kepadamu jika aku jelaskan
bahwa aku adalah juga murid dari Bidadari Jalang. Aku tahu kau punya dendam padanya.
Aku takut jika kukatakan bahwa aku murid Bidadari Jalang, kau jadi bermusuhan
denganku atau membenciku, Nyai!"
"Sudahlah, lupakan soal
itu!"
Betari Ayu agaknya tidak mau
mempermasalahkan lagi tentang Bidadari Jalang. Suto Sinting pun tidak mau kembali
ke pembicaraan itu. Ia meneguk tuak, dan duduk di depan Betari Ayu.
"Syukurlah jika kau sudah
sehat. Kau tambah kelihatan cantik, Nyai!" sambil tatapan mata Suto
tertuju lurus ke wajah Nyai.
Yang ditatap tersipu malu,
segera palingkan wajah dan berkata,
"Jangan puji aku begitu,
nanti aku makin tersiksa tak kau rengkuh dalam hatimu, Suto."
Tawa Pendekar Mabuk berderai
yang membuat Betari Ayu kian tersipu malu. Maka cepat ia alihkan suasana itu
kepada pertanyaan mengenai lukanya.
"Siapa yang menyerangku
dari belakang, Suto? Aku tidak bisa merasakan datangnya hawa dari pukulan
melainkan tiba-tiba saja punggungku merasa seperti tersengat."
"Pukulan itu memang
sangat berbahaya."
"Siapa pelakunya?"
"Kurasa kau tak perlu
tahu."
"Kenapa? Kau takut aku
membalas dendam pada pelakunya? O, tidak. Aku tidak akan membalas dendam, Suto.
Cukup banyak aku bicara dengan gurumu tentang hakikat suatu kehidupan dan
kematian. Bahkan aku sudah sepakat untuk mengasingkan diri dan menjadi seorang pertapa
yang dibantu oleh gurumu, Ki Sabawana itu."
"Kau ingin menjadi
seorang pertapa?"
"Ya. Ki Sabawana
mendukung rencanaku itu. Gurumu banyak kasih saran padaku. Itulah sebabnya aku
tak ingin mengadakan pembalasan walau aku tahu siapa penyerangku itu."
" Baiklah. Kau diserang
oleh Putri Alam Baka!"
" Hmmm... berarti
dugaanku memang benar."
" Tapi bukan dia
pelakunya, melainkan suaminya!"
" Nagadipa?"
" Ya. Nagadipa
pelakunya."
" Lalu kau
mengejarnya?"
"Ya. Karena aku harus
menuntut balas atas kejahatannya terhadap dirimu. Aku tak bisa tinggal diam
melihat kamu dilukai, Nyai."
" Lalu... kau bunuh
mereka?"
" Secara tak sengaja,
Putri Alam Baka mati dan Nagadipa terluka parah."
" Kau menggunakan napas
Tuak Setan?"
" Dari mana kau tahu.
Nyai?"
"Gurumu yang
mengatakannya. Dia merasakan ada badai aneh dan badai itu pasti datangnya dari
napas Tuak Setan-mu! Tapi beliau tahu kau menggunakannya secara tidak
sengaja."
Pendekar Mabuk diam berpikir
tentang gurunya, Ternyata segala kegiatannya selalu dipantau oleh sang gurunya.
Suto jadi riskan dan tak enak untuk berbuat bebas, ia menjadi gelisah, dan
kegelisahan itu dilihat oleh Betari Ayu, kemudian Betari Ayu berkata,
"Bukan hanya si Gila Tuak
yang memantau kegiatanmu, Suto. Tapi aku pun banyak mengikuti kegiatanmu dari
sini, atau dari tempatku yang jauh. Semua itu hanya sekadar menjaga kalau-kalau
kau dalam bahaya yang membutuhkan bantuan. Hanya hal-hal yang bersifat
berbahaya yang dipantau terus oleh gurumu."
"Apakah Guru juga
membicarakan tentang pertarunganku di Bukit Jagal, yang akan terjadi esok
malam?"
"Tidak. Apakah kau akan
melakukan pertarungan?"
"Aku ditantang."
"Siapa yang
menantang?"
"Dirgo Mukti."
"O...," Nyai Betari
Ayu manggut-manggut.
"Hati-hati kau berurusan
dengan Dirgo Mukti."
"Kenapa?" Suto jadi
ingin tahu. "Dia murid tunggalnya Pendekar Tanduk Dewa yang bersemayam di
Gunung Tujuh Batu. Pendekar Tanduk Dewa adalah bekas suami dari penguasa Pulau
Hantu yang dikenal dengan nama si Mawar Hitam, orang ini juga menyimpan dendam
pada Bidadari Jalang, karena merasa suaminya direbut oleh bibi gurumu
itu!"
"O, pantas waktu itu Peri
Malam dipesan oleh gurunya, si Mawar Hitam, agar jangan membuat perselisihan
dengan Dirgo Mukti!"
"Mungkin karena Mawar
Hitam tidak mau berurusan dengan mantan suaminya, jika muridnya bentrok dengan
murid Pendekar Tanduk Dewa itu. Yang jelas, hati-hatilah jika berhadapan dengan
Dirgo Mukti. Pende kar Tanduk Dewa bisa turun tangan kalau sampai muridnya itu
mati."
" Apakah Pendekar Tanduk
Dewa berilmu tinggi?!"
" Ya. Tapi tidak lebih
tinggi dari gurumu sendiri."
Suto Sinting manggut-manggut
dan diam beberapa saat. Setelah itu baru ia kembali bertanya,
"Apakah menurutmu sebuah
tantangan tanding laga harus dipenuhi, Nyai? Bagaimana jika aku tidak memenuhi
tantangan itu?"
"Apakah karena
kata-kataku tadi kau jadi takut dengan Dirgo Mukti, si Manusia Sontoloyo yang
tak jelas juntrungannya itu?",
"Bukan karena takut, tapi
karena aku merasa pertarungan itu bukan merupakan pertarungan yang bermasalah
penting, Nyai. Urusannya cuma sepele, mengapa harus kulayani tantangan itu?
Maksudku, aku tidak ingin datang pada malam purnama nanti! Kalau aku bisa
membunuhnya, aku merasa menyesal, hanya persoalan anak kecil saja sampai harus
membunuhnya. Apalagi kalau aku yang kalah, jelas sangat menyesal tujuh turunan
aku, Nyai!" "Jika tak mau hadir, mengapa kau buat janji
pertarungan?"
"Aku terjebak. Bukan aku
yang bikin janji, bukan aku yang menjawab tantangannya, Nyai! Tapi Perawan
Sesat!"
Betari Ayu tarik napas
panjang, ia bangkit dan langkahkan kaki ke mulut gua. Ia memandang curahan air
terjun dari sana. Kemudian ia palingkan wajah dan berkata kepada Suto,
"Sebagai seorang
pendekar, kau harus penuhi tantangan itu! Jika tidak, gelar pendekarmu akan
disepelekan oleh mereka yang
mendengar ketidakhadiranmu."
"Pertarungan ini sungguh
pertarungan yang tidak punya arti!"
"Walau begitu, kau tetap
harus hadir. Toh bukan berarti kau harus membunuh Dirgo Mukti. Cukup kau beri
pelajaran padanya, agar harga diri kependekaranmu masih ada."
Seperti apa yang dikatakan
Dewa Racun, rupanya Pendekar Mabuk tetap tidak bisa menghindari pertarungan
dengan Dirgo Mukti. Ia harus menjaga nama baik kependekarannya, agar dunia
persilatan tidak memandang rendah terhadap dirinya.
Tapi menurut Suto pertarungan
itu bukan pertarungan demi membela kehomatan, pertarungan itu tetap saja
pertarungan konyol yang harus dihadirinya. Kalau saja ia tahu rencana di balik
pertarungan itu, ia semakin tidak mau melaksanakannya.
Sayang sekali Suto tidak tahu
rencana tiga perempuan patah hati yang ingin memanfaatkan pertarungan itu.
Tetapi niat licik dari tiga perempuan patah hati itu tanpa disengaja didengar
oleh Dewa Racun. Saat itu, Dewa Racun sedang mengejar arah kepergian Suto. Di
perjalanan, ia berhenti karena melihat tiga kelebat banyangan ke arahnya. Dewa
Racun bergegas lompat ke pohon berdaun rindang.
Wuuttt...! Ternyata, tiga
perempuan cantik itu justru berhenti di bawah pohon tempat persembunyian Dewa
Racun.
Segera Dewa Racun menggunakan
ilmu serap napasnya, supaya hembusan napas tak bisa didengar oleh orang yang
berilmu tinggi di sekitarnya. Dan dari balik kerimbunan pohon itu, Dewa Racun
mendengar percakapan Selendang Kubur, Peri Malam, dan Perawan Sesat.
"Ke mana kita harus
mencari Pendekar Mabuk? Sejak kemarin kita tidak temukan dia."
''Apakah masih perlu kita
mencarinya?"
"Nanti kalau dia tidak
datang ke pertarungan di Bukit Jagal, kita kehilangan kesempatan untuk
menyerang dia!"
"Kurasa dia tetap akan
datang, walau sekadar mengatakan penundaan pertarungannya. Dan saat itu kita
perdaya dia supaya tetap maju melawan Dirgo Mukti. Aku nanti yang akan
mempengaruhinya," kata Selendang Kubur.
"Baiklah. Kita yakinkan
diri saja bahwa dia akan datang. Aku capek mencarinya ke mana-mana!" keluh
Peri Malam.
"Yang jelas, kita harus
bisa tetap bikin Dirgo Mukti bersemangat melawan dia, dan mendesaknya terus
sampai Suto merasa kehabisan tenaga. Walau nantinya Dirgo Mukti mati di tangan
Suto Sinting, tak jadi masalah. Tapi kita punya kesempatan menggempur Pendekar
Mabuk yang tenaganya sudah banyak berkurang dari pertarungan itu!"
"Kurasa Dirgo Mukti
sekarang sudah bersemangat sekali, sebab kita sudah memberi janji-janji gombal,
bahwa kita bertiga bersedia menjadi istrinya jika dia menang melawan Suto. Itu
sudah merupakan iming-iming yang sangat berharga sekali buat Dirgo Mukti. Setidaknya
dia akan berjuang sekuat tenaga mengalahkan Pendekar Mabuk!"
Dewa Racun mendengar semua
percakapan itu. Sampai mereka bertiga pergi, Dewa Racun masih termangu-mangu di
atas pohon tersebut. Dalam hatinya ia berkata,
"Ternyata perempuan yang
mengaku bernama Perawan Sesat itu punya komplotan untuk membunuh Suto dengan
kelicikannya. Benar apa kata Suto, pertarungan itu sebenarnya tidak punya arti
apa-apa. Hanya sebagai pertarungan konyol saja. Dan pertarungan itu digunakan
oleh ketiga perempuan tadi untuk mencari kelemahan Pendekar Mabuk. Hmm...
sebuah pertarungan konyol ada baiknya dibuat semakin konyol saja!"
Menurut keterangan Peramal
Pikun, Suto mempunyai tempat persingahan di Jurang Lindu. Tetapi apakah Suto ke
sana atau tidak, Peramal Pikun tak bisa memastikan. Petunjuk itu sudah cukup
buat Dewa Racun, karena ia punya arah tujuan dalam mencari Suto walau mungkin
nantinya tidak ditemukan.
Tapi dari sanalah Dewa Racun
akan melacak terus ke mana perginya orang yang harus dikawalnya itu. Di
pertengah jalan, Dewa Racun mulai mencium bau tuak. Segera ia arahkan larinya
ke pusat bau tuak itu. Dan akhirnya ia temukan Pendekar Mabuk sedang
beristirahat di bawah pohon untuk menenggak tuaknya dari dalam bumbung bambu.
Jleeg...!
Suto terkejut melihat Dewa Racun
sudah berdiri didepannya. Wajah Dewa Racun cemberut, Suto nyengir tertawa ingat
tipuannya. Pasti orang kerdil ini sudah mengetahui tipuan di tepi sungai.
"Ku... ku... kurang ajar
kau!" maki Dewa Racun yang membuat Pendekar Mabuk tak bisa tahan tawanya
lagi, lalu meledak terbahak-bahak.
"Ka... ka... kalau tidak
kuingat, aku harus mengawalmu, sudah ku... ku... kurontokkan gigimu dengan
panahku ini! "
"Maafkan aku, Dewa Racun!
Aku memang senang bercanda denganmu!"
"It... it... itu bukan
bercanda, tapi ku... ku...."
"Kunang-kunang?"
"Bukan! Itu kurang ajar
namanya! Kau sen... sendiri akan dibuat bercanda dalam pertarunganmu nan...
nan... nanti!"
"Apa maksudmu?"
"Tig... tiga... tiga
perempuan ingin ambil bagian dalam pertarunganmu nan... nan... nanti! Satu
perempuan sudah pernah ku... kulihat, yaitu yang rambutnya awut-awutan tempo
hari."
"Tiga perempuan ambil
bagian dalam pertarunganku dengan Dirgo Mukti nanti?!"
"Bet... bet...
bet...."
"Betot?!"
"Betul! Bukan
betot!"
Dewa Racun bersungut-sungut,
merasa jengkel jika omongannya diteruskan dengan kata yang salah. Kemudian, ia
segera jelaskan kepada Suto apa yang didengarnya dari ketiga perempuan tadi.
Mendengar ciri-ciri ketiga
perempuan itu, Pendekar Mabuk bisa menduga mereka adalah Perawan Sesat,
Selendang Kubur, dan Peri Malam. Tapi Suto belum tahu alasan ketiga perempuan
itu, mengapa ingin membunuhnya? Dewa Racun berkata,
"Ak... ak... aku jadi
punya rencana lain! Kau harus ha... ha...."
"Hamil?"
"Bukan! Kau harus ha...
hadir dalam pertarungan itu! Harus! Ka, ka, ka... kalau tidak mau, kau akan
kupak... pak... pak...."
"Kupakai?!"
"Kupaksa!" bentak
Dewa Racun jengkel. "Kau akan kupaksa untuk hadir. Karena aku punya
rencana bagus untuk tiga pe... perempuan itu!"
"Rencana apa?"
***9***
MALAM bulan purnama, sungguh
benderang sinar rembulan menyorot ke bumi. Langit bersih, memantulkan cahaya
makin cerah. Puncak Bukit Jagal tampak jelas tanpa pepohonan apa pun di sana.
Bukit itu adalah bukit yang tandus, yang biasa digunakan untuk pertarungan
tanding laga bagi para tokoh persilatan.
Bukit Jagal, terletak di
sebuah pantai yang bertebing curam. Sebagian lapisan tanah bawah adalah
bebatuan karang, sebagian di atasnya adalah cadas putih yang keras. Sebuah
pertarungan jika dipandang dari lautan akan kelihatan sangat indah dan menawan,
karena gerak kedua orang yang bertarung akan terlihat jelas tanpa penghalang
sedikit pun.
Biasanya, orang yang mati
dalam pertarungan di atas Bukit Jagal, mayatnya akan langsung dibuang ke laut
yang ganas, bergelombang besar dan konon banyak dihuni ikan-ikan buas. Mereka
yang terlempar ke laut dalam keadaan hidup-hidup pun tak akan bisa selamat
menghindari keganasan ombak dan ikan-ikannya.
Tinggi tebing dari puncak
bukit sampai ke permukaan laut ada lima puluh tombak. Itulah sebabnya orang
yang jatuh dari atas bukit tak akan bisa selamat dari ancaman maut di kaki
bukit, karena di sana juga ada karang-karang runcing menunggu mangsanya. Di sela
karang itu, banyak tulang-tulang manusia yang berserakan terselip di sana-sini.
Tengkorak-tengkorak manusia tergeletak tak beraturan, tanpa nama dan
tanda-tanda semasa hidupnya.
Tak heran jika Bukit Jagal
juga sering disebut Kuburan Tanpa Nama. Dalam siraman cahaya purnama, tampak
sesosok tubuh kekar berdiri di atas bukit gundul itu. Orang itu didampingi tiga
perempuan yang masing-masing mempunyai gerak kelincahan tersendiri. Siapa lagi
orang bersenjata kapak dua mata itu kalau bukan Dirgo Mukti yang menjuluki
dirinya sebagai Manusia Sontoloyo.
"Aku sudah tidak sabar
lagi menunggu kehadirannya," kata Dirgo Mukti dengan kedua tangan
meremas-remas bagai melampiaskan kegelisahannya.
"Percayalah, dia pasti
datang!" kata Peri Malam. "Kalau beberapa saat lamanya dia tidak
datang, Selendang Kubur akan menyusul Suto ke tempat gurunya, dan melaporkan
kebodohan sang murid! Pasti gurunya Pendekar Mabuk akan mengamuk dan mencari
muridnya yang menghadapi tantanganmu!"
"Kau harus menang,
Dirgo!" kata Selendang Kubur sambil mengusap-usap punggung Dirgo Mukti.
"Kami akan bersedih tiada
habisnya jika kau kalah. Tapi jika kau menang dan bisa membunuh Suto, kami akan
bersorak kegirangan, karena itu berarti kami bertiga dengan senang hati menjadi
istrimu, Dirgo!"
"Itulah semangatku!"
kata Dirgo Mukti yang kemudian disusul dengan tawa terbahak-bahak.
Perawan Sesat yang sejak tadi
mondar-mandir, memandang sekeliling bagai orang memeriksa keamanan lingkungan,
tiba-tiba berkata dengan suara seraknya,
"Seseorang sedang menuju
kemari! Bersiaplah!" Kedua mata teman sekongkolnya itu segera lemparkan
pandangan ke arah yang ditunjuk Perawan Sesat. Peri Malam segera berkata,
"Itu dia! Dia telah
datang!"
"Lantas bagaimana dengan
kita?" Selendang Kubur berdebar-debar.
"Kita... kita bersembunyi
saja di balik batu itu!"
"Terlalu rendah ke
lereng, nanti kita tidak bisa jelas melihat pertarungan ini!" Perawan
Sesat cepat ucapkan kata tegas,
"Kita tetap di sini!
Mengapa harus sembunyi? Justru kita tunggu kesempatan baik untuk menyerang Pendekar
Mabuk pada saat ia tampak terdesak oleh Dirgo Mukti!"
"O, benar! Benar sekali
pendapatmu!" Peri Malam menepuk-nepuk pundak Perawan Sesat, namun tangan
Perawan Sesat cepat kibaskan tangan Peri Malam. Agaknya ia tak suka
ditepuk-tepuk begitu oleh orang sejenisnya.
"Kurasa kalian tak perlu
jauh-jauh. Diam saja di pinggiran sana dan saksikan kemenanganku!" kata
Dirgo Mukti. "Akan kutumbangkan dia dalam dua jurus saja!"
"Tak perlu malu-malu
menggunakan lebih dari sepuluh jurus, yang penting kau bisa menang melawannya,
Dirgo Mukti!" kata Peri Malam.
Orang yang ditunggu datang.
Pendekar Mabuk muncul dengan badan terbungkuk-bungkuk, seperti keberatan
bumbung tuak yang disandang di punggungnya. Peri Malam berbisik kepada
Selendang Kubur yang berdiri di samping kirinya.
"Dia dalam keadaan
mabuk!''
"Bahaya! Justru dalam
keadaan mabuk begitulah ilmunya semakin tinggi," bisik Selendang Kubur.
"Diamlah!" hardik Perawan Sesat yang merasa terganggu dengan
kasak-kusuk mereka.
Pendekar Mabuk berwajah kaku
saat itu. Tak ada sapa dan senyum untuk ketiga perempuan yang sudah dikenalnya.
Bahkan Peri Malam sempat berbisik kepada Perawan Sesat.
"Dia acuh tak acuh pada
kita. Tak menyapa sedikit pun!"
"Mungkin dia sudah tahu
persekongkolan kita, atau dia sedang memusatkan perhatiannya kepada Dirgo
Mukti!"
"Ssst...! Diamlah!"
Selendang Kubur ganti menghardik.
Terdengar suara Dirgo Mukti
menyapa kasar kepada Suto, "Sudah siapkah kau menemui ajalmu, Suto?!"
" Sudah!" jawab Suto
datar dan berkesan ketus.
" Kau siap menderita malu
di depan tiga perempuan ini?!"
" Sudah!"
"Bagus. Tapi sebelum kau
menemui ajalmu, barangkali kau punya pesan untuk ketiga perempuan yang menjadi
saksi pertarungan ini?"
" Tidak!"
" Kalau begitu, kita
mulai saja pertarungan kita, Suto!"
" Baik!"
Dirgo Mukti segera kembangkan
tangannya. Langsung saja di tangan kanannya sudah tergenggam kapak bermata dua
yang mempunyai ujung mata tombak kecil. Tapi tidak secepat itu ia menggunakan
senjata tersebut, ia masih mencari celah baik untuk menyerang Suto dengan
pukulan jarak jauhnya. Ia bergerak pelan mengelilingi Suto, sementara Suto
sendiri hanya diam sambil melirik dengan mata sayu yang tidak meyakinkan
sebagai mata seorang pendekar tangguh.
"Aih, gila! Semakin
tampan saja dia!" pikir Selendang Kubur. "Hatiku berdebar-debar
digelitik bayangan indah dalam cumbuannya. Oh, apakah nantinya aku akan tega
menyerang dia?"
Hati Perawan Sesat pun
membatin, "Kurang ajar! Semakin terkena cahaya rembulan, semakin
menggairahkan wajahnya. Aku jadi gundah membayangkan cumbuannya. Oh, sepertinya
aku tak sampai hati jika harus menyerangnya!"
Peri Malam bahkan palingkan
wajah, tak berani menatap Pendekar Mabuk. Dalam hatinya ia membatin,
"Celaka kalau begini! Dia semakin memikat hatiku! Aku terbayang saat dia
menciumku di pantai. Oh, luar biasa indahnya kala itu. Kakiku sekarang pun jadi
gemetaran membayangkannya. Lantas, bagaimana nanti jika aku harus menyerangnya?
Apakah aku bisa menyerang seorang kekasih yang kucintai dan kurindukan
itu?"
Sementara hati ketiga
perempuan itu berkecamuk sendiri-sendiri, Dirgo Mukti segera sentakkan tangan
kosongnya ke depan bagai mencakar perut harimau.
Wuuttt..!
Pendekar Mabuk melompat, namun
terlambat. Tubuhnya tersentak ke belakang dan berguling dua kali. Lalu ia
segera berdiri sambil menggeram. Ia bergerak kembali, bersamaan dengan itu
Dirgo pun bergerak berkeliling. Langkah demi langkah ia perhatikan.
Sedang Suto masih tetap
membungkuk-bungkuk dengan kedua tangan lurus ke bawah dan menggantung, seakan
sewaktu-waktu siap melompat untuk menerkam lawannya. Dirgo Mukti segera
jejakkan kakinya ke tanah, tubuhnya pun cepat melesat terbang dalam satu putaran
salto ke depan.
Wuuttt...!
Pendekar Mabuk mundur satu
tindak. Di belakangnya jurang maut. Suto bagaikan tidak menyadari hal itu.
Ketika Dirgo Mukti pijakkan kaki ke tanah di depan Pendekar Mabuk dalam jarak
empat langkah, cepat-cepat ia sentakkan tangan kanannya ke depan, dan ujung
kapak yang dipegangnya itu melesat lepas dari tangkai. Ujung kapak yang berupa
mata tombak kecil itu mempunyai nyala pijar api merah.
Zuuittt...!
Pendekar Mabuk tak bisa
mengelak kecepatan mata tombak itu. Langsung mata tombak bergerak tanpa ampun,
menembus dada Suto.
Jruub....! Tubuh Suto seketika
menjadi berasap. Sebelum tumbang dan hancur, Dirgo Mukti segera lompatkan kaki
dan memberi tendangan samping yang cukup keras.
"Hiaaattt...!"
Beeg...! .
"Aaahg...!"
Suto mengerang, tubuhnya
terlempar ke belakang dan jatuh ke jurang yang amat dalam itu. Suara jeritannya
menggema bagai memecah sepi di malam purnama. Sementara itu, ujung kapak Dirgo
Mukti yang sudah kehilangan mata tombaknya itu kembali muncul mata tombak baru.
Creekk...!
Tetapi kapak itu hanya
digenggamnya dengan hati puas. Ia berseru geram,
"Mampuslah kau, Suto
Sinting! Ternyata kehebatanmu tak seperti apa yang digembar-gemborkan tiap
manusia!"
Segera Dirgo Mukti balikkan
badan. Ia menatap ketiga perempuan itu dengan senyum lebar dan tawa pun
terdengar berkumandang. Sedangkan ketiga perempuan itu sama-sama terpaku tak
bergerak di tempatnya. Mata mereka tak berkedip sama sekali. Karena mereka
terpukau melihat kematian Suto yang begitu cepat dan mudahnya dikalahkan oleh
Dirgo Mukti.
"Celaka...!" bisik
Peri Malam kepada kedua teman di kanan-kirinya.
"Dirgo Mukti menang
melawan Pendekar Mabuk! Ini berarti kita bertiga bakal menjadi istrinya!"
"Aku tidak sudi!"
bisik Selendang Kubur dengan tegang.
"Aku juga tidak bergairah
dengan dia!" bisik Perawan Sesat.
"Lantas bagaimana?"
"Kita serang saja dia!
Bunuh!" geram Selendang Kubur.
"Kalau begitu, biarlah
aku yang maju melawannya!" bisik Perawan Sesat dengan dada naik turun.
Dalam hatinya ia berkata,
"Bangsat si Dirgo Mukti ini! Dia telah membunuh orang yang kuharapkan
kemesraannya! Dia telah menghancurkan gairahku! Dia harus kubunuh juga!"
Sedangkan Selendang Kubur
berkata pula dalam hatinya, "Aku tak rela! Sungguh tak rela Suto
ditumbangkan begitu saja! Aku
harus membalas kematian Suto, karena dialah yang telah menghilangkan orang yang
kucintai! Dia telah menghancurkan cintaku! Jahanam kau, Dirgo Mukti!"
Mata perempuan bertahi lalat
di sudut dagunya juga menjadi nanar penuh kobaran api amarah.
Peri Malam berkata geram dalam
hati, "Orang ini benar-benar memuakkan! Akan kutebus kematian Pendekar
Mabuk dengan nyawanya! Akan kubela orang yang kucintai itu, walau aku harus
korbankan nyawa dalam pertarungan ini!" D
irgo Mukti melangkah dengan
gagahnya mendekati ketiga perempuan itu. Tawanya masih berkepanjangan sambil ia
serukan kata,
"Kalian sekarang menjadi
istri-istriku! Harapan kalian terkabul! Aku melihat sendiri mayat Pendekar
Mabuk tertancap bebatuan karang di bawah sana! Ha ha ha...! Dekatlah kemari
istri-istriku! Mari kita rayakan kemenangan ini dengan sejuta kemesraan dan
kehangatan bercinta, ha ha ha...!"
Perawan Sesat maju dua tindak,
tangannya siap untuk melancarkan pukulan jarak jauhnya. Tapi kain selendang
putih telah lebih dulu berkelebat menghantam tubuh Dirgo Mukti.
Wuuugh...!
Selendang Kubur melepaskan
pukulan tenaga dalamnya menggunakan kibasan selendang putihnya. Pukulan itu
membuat Dirgo Mukti tersentak ke samping dan oleng mencari keseimbangan.
"Hai...! Mengapa kalian
menyerangku?!"
Wuuttt...! Perawan Sesat
sentakkan tangan kirinya dan sebuah pukulan tenaga dalam cukup tinggi tak dapat
dihindari Dirgo Mukti. Pukulan itu tepat mengenai dada Dirgo Mukti.
Beeegh...!
"Heegh...?!"
Dirgo Mukti memekik tertahan.
Tubuhnya tersentak ke belakang, tiga langkah jauhnya. Mulutnya mulai
mengeluarkan darah. Tapi ia belum jatuh, ia masih berdiri dengan
terbungkuk-bungkuk. Ia menarik gagang kapaknya, sreekkk...!
Gagang itu mengulurkan rantai,
sehingga mata kapak bisa diputar-putarkan di atas kepala.
"Jahanam kalian semua!
Kalian ingkar janji! Kalian hanya pergunakan aku untuk membunuh Suto!"
"Tak perlu banyak bicara,
Dirgo Mukti! Kami memang gunakan kamu sebagai alat! Tak satu pun dari kami yang
sudi menjadi istrimu!" sentak Peri Malam yang segera melompat ke atas dan
menghantamkan pukulan jarak jauhnya.
Bangng...! Pukulan itu
tertangkis oleh kibasan kapak yang berputaran cepat di atas kepala.
Memercikkan cahaya merah
menyala dalam sekejap. Lalu, tiba-tiba kapak itu bagaikan terbang dalam ikatan
rantainya yang bisa mulur panjang.
Wungng...! Sreekkk...! Kalau
saja kepala Perawan Sesat tidak segera merunduk dan berguling di tanah, sudah
pasti akan terpenggal mata kapak itu. Juga kalau Selendang Kubur yang berdiri
sejajar dengan Perawan Sesat itu tidak segera gulingkan badan ke tanah,
lehernya akan putus seketika karena ditebas kilasan kapak terbang itu.
Peri Malam yang berada tepat
di garis lurus depan Dirgo itu segera keluarkan sumpit bambunya dari belahan
dadanya yang montok itu. Lalu, ia tiupkan napasnya melalui lubang sumpit yang
panjangnya hanya sejengkal. Slup...! Maka meluncurlah senjata andalannya yang
bernama Jarum Iblis itu ke arah Dirgo Mukti. Crasss...! Duaarrr...! Jarum Iblis
tak berhasil menembus sasaran, karena kapak Dirgo Mukti yang mengeluarkan bunyi
dengung berkumandang itu menangkis jarum tersebut.
Tangkisannya itu menimbulkan
percikkan nyala api bersama bunyi ledakan yang menggema. Pada kesempatan lengah
sedikit itu, Selendang Kubur segera sabetkan selendangnya dengan satu hentakkan
kaki ke bumi. Jurus 'Selendang Petir' diganaskan. Dari ujung kain selendang itu
keluar percikkan api yang mampu membakar lawan.
Craapp... craapp...! Melihat
datangnya bahaya dari samping, Dirgo Mukti segera sentakkan kaki dan melenting
di udara dengan kapaknya tetap berputar membentengi dirinya.
Wuusss...! Sabetan 'Selendang
Petir' hanya membuat nyala api sekejap, menyambar tempat kosong. Sementara itu,
ujung kapak Dirgo Mukti keluarkan sinar merah membara yang meluncur cepat ke
arah Peri Malam. Sinar merah membara itulah yang tadi digunakan menghantam
Suto.
Wuusssh...!
Cepat sekali gerakan sinar
merah membara dari logam berbentuk mata tombak itu.
Sebelum mencapai tubuh Peri
Malam, Perawan Sesat cepat sentakkan tangan kanannya dan melesatlah sinar
kuning menghantam logam membara itu.
Duaarrr...! Pecah logam
membara itu tepat di atas kepala Peri Malam. Dentumannya membuat tubuh Peri
Malam tersentak dan jatuh tersungkur. Tetapi ia segera bangkit lagi dan dalam
posisi duduk ia luncurkan Jarum Iblis di kaki Dirgo Mukti.
Slaappp...!
"Uuhf...!"
Dirgo Mukti menahan rasa sakit
yang mengagetkan, karena begitu ia mendaratkan kakinya ke tanah, jarum beracun
itu telah menyambut betisnya dengan empuk.
Jruubb...! Dua pasang mata
yang memperhatikan pertarungan tak imbang itu menjadi tegang. Dua pasang mata
itu ada di atas pohon, di lereng bukit agak ke bawah. Karena posisinya ada di
atas pohon, jadi kedua pasang mata milik dua manusia itu dapat melihat dengan
jelas pertarungan tersebut.
"Dirgo Mukti bisa mati!
Dia terdesak terus dan telah berkena Jarum Iblis milik Peri Malam!"
"Jar... jar... jarum itu
kulihat mempunyai serbuk racun! Sangat ber... ber... berbahaya racun itu.
Kedipan serbuknya dapat tertangkap oleh mat... mata... mataku!"
"Kasihan Dirgo Mukti!
Bagaimana kalau aku membantunya, meleraikan pertarungan itu?"
"Jang... jang... jangan!
Kkkau... kau sudah dianggap mat... mati oleh mereka!"
Ya, Suto telah dianggap mati
oleh tiga perempuan patah hati. Tapi sebenarnya dia sedang menjadi penonton
pertarungan di atas Bukit Jagal itu bersama Dewa Racun.
Ini semua gagasan Dewa Racun,
si kerdil yang cerdik itu. Ia berhasil menemukan seekor orang hutan. Ia cepat
jinakkan orang hutan itu. Lalu, ia suruh Suto menggunakan ilmu 'Seberang
Raga'-nya sehingga orang hutan itu bisa menjadi wujud dirinya di mata orang-orang
yang ada di atas bukit tadi.
Orang hutan yang sudah berubah
wujud Suto itu masuk arena pertarungan dan tentu saja dengan mudahnya
dikalahkan Dirgo Mukti. Dengan begitu, Dirgo Mukti berhak menuntut janji dari
ketiga perempuan licik itu, dan ketiga perempuan licik menjadi kebingungan,
karena tidak menyangka bahwa Dirgo Mukti benar-benar dapat membunuh Pendekar
Mabuk.
Pendekar Mabuk tertawa geli
melihat tiga perempuan licik itu berontak, tak mau ditagih janjinya oleh Dirgo
Mukti. Rupanya mereka benar-benar bernafsu untuk membunuh Dirgo Mukti.
Sehingga, walaupun keadaan
Dirgo Mukti sudah lemah dan parah, mereka masih terus menyerangnya. Sampai
akhirnya Dirgo Mukti tersungkur jatuh dengan luka dalam dan luar, namun ia
masih bisa berlutut dan mencoba berdiri lagi.
"Habislah nyawamu
sekarang juga, Jahanam!" geram Perawan Sesat sambil lancarkan pukulan
pamungkasnya yang amat berbahaya itu. Tapi tiba-tiba kilatan cahaya merah dari
tangan Perawan Sesat tersentak ke samping, didorong oleh kilatan cahaya hijau
yang datang secara tiba-tiba.
Glegaaar...! Tabrakan cahaya
bertenaga dalam tinggi itu membuat bukit bagaikan mau rubuh. Dentumannya
mengguncang bumi, membuat ketiga tubuh perempuan itu terpental berlainan arah.
Jatuh telentang dengan erangan yang lirih. Ketiganya cepat berusaha untuk
bangkit kembali.
"Hi hi hi hi...!"
terdengar suara tawa mirip kuntilanak yang berdiri di depan mereka bertiga.
Suara itu berasal dari seorang
nenek berjubah biru lusuh, pakaiannya serba abu-abu. Badannya agak bungkuk,
rambutnya digulung naik, berwarna abu-abu juga. Di pinggangnya terselip
tengkorak kambing bergagang tulang ikan berukuran antara dua jengkal.
Peri Malam tak asing lagi
dengan wajah bermata cekung angker itu. Karena dulu ia pernah menjadi murid
nenek keriput bergigi ompong dan tak bisa menyebutkan huruf 'r'.
"Guru,..?!"
"Hei, jangan sebut aku
gulumu lagi, Peli Malam!" kata nenek angker yang dikenal dengan nama Mawar
Hitam dari Pulau Hantu itu.
"Kamu sudah bukan lagi
mulidku! Kamu sesat, dan perlu kuhajal juga lupanya!"
"Tunggu!" sentak
Perawan Sesat ketika Mawar Hitam ingin menghantamkan pukulan jarak jauhnya.
"Apa urusanmu ikut campur pertarungan kami ini, Nenek Peot!"
"Aku memang cali-cali
anak muda ini! Dia punya kesaktian cukup lumayan buat kuselap, sama dengan
kesaktian gulumu si Nyai
Lembah Asmara itu! Aku akan jadi olang yang paling tinggi ilmunya setelah
kuselap banyak ilmu dali olang-olang yang kuselamatkan dali peltalungan!"
Wuttt...! Dengan sekali sentak
kaki, tubuh Dirgo Mukti sudah melesat sendiri dan jatuh di pundak Mawar Hitam.
Badannya yang bungkuk semakin bungkuk lagi menggendong tubuh Dirgo Mukti yang
sudah nyaris mati itu.
"Akan kau bawa ke mana
dia? Kami harus membunuhnya lebih dulu, baru kamu boleh membawa mayatnya
pergi!" sentak Selendang Kubur.
"Benar, Guru!" sahut
Peri Malam yang sudah terbiasa memanggil 'guru' kepada Mawar Hitam.
"Kami harus hancurkan
Dirgo Mukti, karena dia telah membunuh Suto!"
"Hik hik hik hik...!
Pendekal Mabuk belum mati! Dia masih sembunyi! Kalian telah dikecohkan oleh
Pendekal Mabuk! Hi hi hi hi...! Kalian tidak akan sanggup melawan Suto, kalena
Suto itu adalah lawanku! Aku halus tebus kekalahanku dalam lebutan Pusaka Tuak
Setan, setelah aku tebus kekalahanku tempo hali, aku halus bunuh gulunya yang
belnama Bidadali Jalang! Tapi itu lanti, kalau aku sudah selap banyak ilmu dali
olang-olang bodoh macam Dilgo Mukti ini! Hik hik hik...!"
Mawar Hitam bergerak mau
tinggalkan tempat. Tapi Perawan Sesat cepat lompat dan hadang langkah Mawar
Hitam. Dengan berani ia menyentak Mawar Hitam.
"Tinggalkan manusia itu
di sini!"
"Ah, kamu mau cali-cali
mati lupanya?" Mawar Hitam segera kibaskan tangannya bagai menyambar
nyamuk.
Wuuttt...! Tepat pada saat itu
sinar merah berbentuk bulat seperti bola kecil itu melesat dari siku Mawar
Hitam, melesat ke dada Perawan Sesat. Kejap berikut, Dewa Racun lepaskan anak
panahnya dari atas pohon.
Wuuttt....! Panah itu meluncur
bagai kilat menyambar bola merah.
Blaarrr...!
Tubuh Mawar Hitam tersentak
mundur karena hempasan angin dari ledakan bola merahnya itu. Perawan Sesat
terpentang dan nyaris jatuh ke jurang dalam itu. Ledakan itu menimbulkan
hentakkan gelombang yang cukup besar. Mawar Hitam sendiri segera berpaling ke
arah datangnya anak panah tadi.
"Kulang ajal...!"
geramnya dengan beringas.
Slapp...! Tiba-tiba tubuh
Pendekar Mabuk sudah berada di samping Mawar Hitam dalam satu lompatan
berkecepatan tinggi sekali itu.
Pendekar Mabuk langsung
berkata, "Kalau kau mau hadapi aku, sekaranglah kita tentukan pertarungan
kita di sini, Mawar Hitam!" Yang terkejut bukan hanya Mawar Hitam, tapi
ketiga perempuan itu sama-sama tersentak kaget dan mundur dalam jarak tertentu.
"Dia masih hidup!"
bisik Selendang Kubur kepada Peri Malam. Tapi yang diajak bicara hanya
terbengong.
Perawan Sesat juga hanya
berdiri mematung tak berkedip. "Suto, saatnya belum tiba untuk peltalungan
kita! Tunggu bebelapa waktu lagi! Akan kuhanculkan kamu sampai selembut selbuk
tepung! Jangan sangka aku tidak bisa ungguli ilmumu, Suto!"
"Telselah kamu!" tak
sadar Pendekar Mabuk ikut cadel bicaranya, namun buru-buru ia perbaiki lagi,
"Terserah kamu, Mawar Hitam! Kapan saja kau menghendaki pertarungan kita,
aku siap menunggumu!"
"Tunggu saatnya!"
dan tiba-tiba, Mawar Hitam seperti membanting sesuatu. Wuugh...! Asap mengepul
tebal dari sebuah letupan. Asap itu menipis, Mawar Hitam ternyata sudah hilang
dari pandangan bersama tubuh Dirgo Mukti.
"Ada yang masih bernafsu
membunuhku?!" tantang Pendekar Mabuk kepada ketiga perempuan itu.
Tapi tak satu pun menyahut,
tak satu pun bergerak. Bahkan ketika Suto tertawa sambil tinggalkan tempat itu,
mereka hanya bisa mengikuti dengan pandangan mata bengong. Dewa Racun datang
menyambut langkah Suto.
Orang kerdil itu
tersenyum-senyum sambil berkata, "Kkku... kurasa sudah tidak adalah
masalah dengan Bukit Jagal ini, Suto. Kit... kkkit... kita langsung saja pergi
ke sana!"
"Baik! Aku sependapat
denganmu, Dewa Racun!"
"Nyai Gusti pas...
pass... pasti akan sen... sen... sen..."
"Seneb?!"
"Bukan! Akan sen...
senang menerima kedatanganmu. Nyai Gusti pasti sudah tidak sabar men... men...
men...."
"Menungging?"
"Menunggumu! Bukan
menungging!" sentak Dewa Racun yang segera ditertawakan oleh Suto.
Langkah kaki Suto begitu
cepat, seiring dengan langkah kaki Dewa Racun. Dalam kejap berikut Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun sudah sama-sama menghilang dari pandangan tiga perempuan
salah tingkah itu.
"Hei, mengapa kita tidak
membunuhnya? Suto sudah ada di depan kita!" kata Peri Malam.
Selendang Kubur berkata.
"Adakah dari kita yang
tega membunuhnya?"
Tak satu pun ada yang menjawab
dari mulut mereka. Semua diam, bingung, dan hanya bisa saling pandang satu
dengan yang lainnya.
SELESAI