Serial Pendekar Mabuk 058. Gadis Buronan

PERTARUNGAN di puncak bukit terpaksa terhenti beberapa saat, karena kedua orang yang saling mengadu kesaktian itu sama-sama terjungkal ke belakang. Sebuah ledakan dahsyat melemparkan tubuh mereka hingga berjungkir balik bagai dilanda badai angin panas.
PERTARUNGAN di puncak bukit terpaksa terhenti beberapa saat, karena kedua orang yang saling mengadu kesaktian itu sama-sama terjungkal ke belakang. Sebuah ledakan dahsyat melemparkan tubuh mereka hingga berjungkir balik bagai dilanda badai angin panas. Keduanya sama-sama mengucurkan darah dari hidung, keduanya sama-sama berwajah pucat pasi bagai mayat kemarin sore.

"Dadaku sesak sekali. Terasa sakit jika untuk bernapas. Aku harus salurkan hawa dingin dulu untuk mengatasi luka dalamku ini," pikir seorang pemuda tampan bercelana hijau dengan rompinya yang hijau berhias benang emas. Pemuda berambut panjang digulung tengah itu tak lain adalah Darah Prabu, murid Resi Badranaya yang diutus mengejar seorang gadis dari Perguruan Biara Ungu.

Sementara itu, lawan Darah Prabu juga mengalami nasib yang serupa. Tubuhnya sempat terkulai sesaat setelah terlempar gelombang ledakan akibat beradu tenaga dalam dengan Darah Prabu tadi.

"Monyet kadas! Tulang-tulangku bagaikan remuk semua kalau begini caranya. Uuhf...! Hampir-hampir aku tak mempunyai tenaga lagi, sehingga untuk bangkit saja sukarnya bukan main. Aku harus lakukan penyembuhan sementara dengan napas murniku!" ujar si gadis membatin gerutu dan keluhan.

Gadis itu yang hanya mengenakan kutang tanpa jubah dengan dada montok bertato gambar naga sejengkal itu tak lain adalah Peluh Setanggi, buronan cantik yang ulet dan licin bagaikan belut. Lukanya di bagian lambung akibat pertarungannya dengan Sumbaruni itu sudah mulai mengering, ia melakukan pengobatan sendiri dengan napas murninya. Namun pengobatan itu belum selesai, ia sudah dipergoki oleh Darah Prabu, sehingga harus lari lagi menghindari murid Resi Badranaya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").

Agaknya keduanya sama-sama kuat, sehingga keduanya sama-sama letih setelah bertarung sekian lama tak ada yang tumbang salah satu. Jika Peluh Setanggi melarikan diri, Darah Prabu mengejarnya lagi, lalu terjadilah pertarungan kembali. Hanya saja, agaknya pertarungan di bukit itu adalah pertarungan terakhir yang tanpa sadar disepakati dalam hati mereka. Peluh Setanggi tak ingin melarikan diri lagi. Hidup dan mati, menang atau kalah ia akan hadapi Darah Prabu, demikian pula halnya dengan Darah Prabu sendiri.

Salah satu dari beberapa jurus andalannya telah digunakan untuk melumpuhkan Peluh Setanggi. Tapi sejak tadi si cantik berambut terurai itu cukup mampu mematahkan jurus-jurus andalan Darah Prabu.

"Alot sekali nyawanya?!" gumam Darah Prabu membatin. "Jurus-jurus berbahayaku masih bisa ditangkis dengan jurus simpanannya, walau akhirnya  aku dan dia sama-sama jungkir balik kewalahan. Tapi rupanya dia bukan gadis yang mudah ditaklukkan. Mungkin usahaku merebut kembali pusaka itu harus dilakukan dengan menggunakan tipu muslihat."

Sedangkan Peluh Setanggi pun membatin, "Jurus simpananku ternyata tak bisa mengalahkan jurus- jurusnya.  Jika  terus-terusan  begini,  bisa-bisa  aku kehabisan jurus simpanan. Rasa-rasanya aku  harus gunakan siasat untuk mengalahkan si monyet kadas itu!" Setelah keduanya sama-sama mengumpulkan tenaga kembali, kini mereka sama-sama berdiri dan saling berhadapan dalam jarak tujuh langkah. Mata mereka

saling memandang penuh dendam tersembunyi.

Peluh Setanggi mempersiapkan dirinya untuk bertarung kembali dengan tangan kanan mulai memegangi gagang pedang yang ada di pinggang kirinya. Darah Prabu pun memperlihatkan kegagahannya dengan berdiri tegak dan tangan memegangi gagang pedang di pinggang, seakan siap dicabut kapan saja. Dalam pandangan sepintas, mereka seolah-olah siap beradu jurus pedang untuk menentukan siapa yang harus tumbang. Tetapi sebenarnya dalam hati mereka sama- sama menyimpan keraguan.

"Jangan-jangan jurus pedangku tak mampu mematahkan jurus pedangnya?" pikir Peluh Setanggi.

"Menurut Guru jurus pedangku agak lemah.

Mampukah aku mengalahkan jurus pedangnya?!"

Darah Prabu maju satu langkah, Peluh Setanggi juga maju satu langkah. Sreet...! Peluh Setanggi mendului mencabut pedangnya. Sraang...! Darah Prabu pun mencabut pedangnya, ia segera maju dua langkah, Peluh Setanggi juga maju dua langkah. Kini jarak mereka cukup dekat dan masih saling memandang dengan sorot mata tajam. Kedua mata mereka sama-sama mengecil bagai ingin membuat pandangannya lebih tajam lagi.

Semak di bawah pohon bergerak-gerak. Ternyata ada orang yang mengintai pertarungan di baiik gerumbulan semak itu. Sepasang mata memperhatikan ke arah Darah Prabu dan Peluh Setanggi dengan penuh ketegangan. Sepasang mata itu milik seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun, berambut pendek, ikat kepala putih, baju hijau tua, kurus, pendek, dan tanpa kumis ataupun jenggot selembar pun. Orang itu tak lain adalah pelayan Resi Pakar Pantun yang bernama Kadal Ginting.

Sang pelayan terpisah dari tuannya akibat pertarungan di negeri Bumiloka. Namun kesetiaan dari si Kadal Ginting, bagaimanapun juga ia tetap mencari tuannya; Resi Pakar Pantun. Setelah ia menemui Penunggu Hutan Rawa Kotek sesuai petunjuk Suto Sinting, dan ternyata sang Tuan tidak ada di sana, maka Kadal Ginting mencari terus ke arah mana saja sampai akhirnya tiba di bukit itu dan memergoki pertarungan yang sejak tadi tiada habisnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa").

Pada waktu Darah Prabu dan Peluh Setanggi sama- sama bangkit, Kadal Ginting sempat membatin,

"Nah, kali ini pasti lebih seru dari yang tadi. Oh masing-masing sudah mulai memegangi gagang pedangnya. Lha... benar, kan? Sekarang masing-masing sudah mencabut pedangnya. Wah, pasti mereka akan saling beradu kepandaian memainkan jurus pedang. Hmmm... mana yang unggul nantinya; Darah Prabu atau si gadis yang tadi sebelum terjadi ledakan dahsyat kudengar dipanggil dengan nama Peluh Setanggi?!"

Kadal Ginting sudah mengenal Darah Prabu, karena dulu pernah bertemu dengan Darah Prabu ketika ia mengikuti Resi Pakar Pantun dalam suatu perjalanannya. Tak heran jika Kadal Ginting masih ingat bahwa pemuda tampan itu adalah muridnya Resi Badranaya, sahabat Resi Pakar Pantun.

Tapi agaknya Kadal Ginting menyimpan kedongkolan di balik persembunyiannya, karena kedua orang itu tidak segera lakukan pertarungan dengan pedang. Kadal Ginting sudah tak sabar, sehingga ia pun bicara sendiri dengan suara lirih sekali,

"Ayo, lekas! Tinggal bacok sana, bacok sini saja kok susah amat?! Tebaskan pedangmu Darah Prabu. Beet..., begitu! Untung-untungan sajalah, apakah gadis itu bisa menangkis atau tidak. Ledakan tidak ya mati, ledakan bisa ya selamat. Ah, gadis itu juga agaknya ragu-ragu menebaskan pedangnya ke leher Darah Prabu. Apakah karena Darah Prabu ganteng maka ia tak tega membuntungi kepalanya? Uuh... dasar gadis goblok! Kehilangan lawan berwajah ganteng tak apalah, kan masih ada aku yang juga berwajah ganteng?"

Peluh Setanggi benar-benar tak melihat ada lelaki lain di situ kecuali Darah Prabu. Seandainya melihat pun tak akan sudi melirik Kadal Ginting yang berwajah tua dan berkulit seperti lipatan sabuk. Pusat perhatian Peluh Setanggi memang tertuju pada sepasang mata bening yang memancarkah kemarahan itu.

"Sebaiknya kupikat hatinya dengan jurus 'Mantra Pemasung', biar dia tergila-gila padaku dan tunduk padaku. Jika sudah begitu dia akan rela kuperlakukan bagaimanapun juga, sekali pun kuhabisi nyawanya tak akan melawan."

Begitu kecamuk batin Peluh Setanggi yang merasa kewalahan menghadapi jurus-jurusnya Darah Prabu. Padahal pada waktu itu Darah Prabu sendiri membatin dalam hatinya,

"Agaknya aku perlu menggunakan jurus 'Tutur Kasmaran', biar tak perlu repot-repot lagi menaklukkan kekerasan hatinya yang tak mau bicara tentang pusaka curiannya!"

Maka batin Darah Prabu pun segera mengucapkan sebaris mantra ajian yang dapat untuk meluluhkan hati wanita dalam keadaan mata saling beradu pandang. Sorot pandangan mata Darah Prabu mulai berbinar-binar karena memancarkan kekuatan gaib yang menguasai jiwa, pikiran dan batin si Peluh Setanggi.

"Cahya pamujan cahyaning pangeran mata wicara suryaning dewata

tebar-tebur menebar lewat mata sampai dubur tundak-tanduk tertunduklah jabang bayinya Peluh Setanggi

tanpa tunduk akan mati, semakin tunduk penuh gairah tak mau lepas ledakan tak kukehendaki. Bergobar-gaber sumsum selimut semut-semut nyut-nyut pengasih dikenyut susut.

Sembah, sembah, sembah, sembah, sembahing kawula lan gusti."

Pandangan mata Darah Prabu mulai memancarkan sinar hijau samar-samar yang berasap tipis. Sinar hijau dan asap tipis itu tak terlihat oleh mata orang yang diincar jurus 'Tutur Kasmaran' itu. Tetapi bagi yang tidak diincar jurus tersebut melihat samar-samar pancaran sinar hijau bercampur asap tipis itu.

Padahal waktu itu di dalam batin Peluh Setanggi juga melepaskan kekuatan sihir ajaran dari Nyi Mas Gandrung Arum, gurunya. Kekuatan sihir itu terpancar karena 'Mantra Pamasung' diucapkan dalam batinnya,

"Peri keblak demit tandak lumpuhkan hatinya Darah Prabu

dan jerat pikat dengan aji para dewa-dewi. Sir kumisir, ser gangser, cucup puser

Peri puber satria ngiler,

tak akan pisah sebelum basah. Ser, ser, ser.

Kiri muter, kanan muter, tengah gemeter. Nyimat-nyimut senat-senut,

hati lanang digdaya pasrah seturut asmara ujung perut.

Pasrah sumarah sukma batin jiwa si Darah Prabu. Oh, ah, oh, ih. Mpot-mpot copot."

Kadal Ginting yang melihat adanya sinar biru bening sebesar lidi melesat dari pertengahan kening di antara kedua alis Peluh Setanggi. Sinar biru kening itu tidak bisa dilihat Darah Prabu sebagai sasaran batin si Peluh Setanggi. Tetapi bagi orang lain, seperti Kadal Ginting, melihat jelas sinar biru bening sebesar lidi itu memancar masuk ke dalam kening Darah Prabu tanpa rasa apa pun. "Gila! Keduanya sama-sama melepaskan tenaga dalam dan saling terkena serangan masing-masing. Wah, pasti keduanya akan meledak bersama dan menjadi serpihan  daging  hangus  yang  menjijikkan  jika dibayangkan. Oh, aku tak tega! Aku tak mau melihat

kengerian itul"

Kadal Ginting buang muka sambil menahan debar- debar dalam dadanya. Jantung yang berdag-dig-dug itu menunggu meledaknya dua orang tersebut dengan ketegangan yang amat mencekam. "Kok lama sekali mereka tidak saling meledak?!" pikir Kadal Ginting sambil masih berpaling. Kemudian perlahan-lahan rasa ingin tahunya memaksa kepala bergerak ke arah semula, tapi matanya mengecil karena bersiap untuk terpejam saat terjadi ledakan yang dibayangkan.

Padahal saat itu Darah Prabu sedang maju satu langkah, Peluh Setanggi juga maju satu langkah, akhirnya mereka berada dalam satu jangkauan sepelukan. Keduanya telah sama-sama terkena aji pemikat yang membangkitkan gairah cinta dan hasrat ingin bercumbu tak tertahankan lagi. Yang ada di dalam hati mereka adalah debar-debar keindahan dan gejolak hasrat ingin saling memberi kehangatan.

"Sebenarnya kau cantik sekali, Peluh Setanggi," ucap Darah Prabu dengan lirih.

"Kau pun sangat tampan dan menawan, Darah Prabu," balas Peluh Setanggi dalam suara mendesah.

"Oh, aku sangat berhasrat memelukmu, Peluh Setanggi."

"Darah Prabu... tubuhku dingin sekali, hangatkan dengan pelukanmu. Hangatkan sekarang juga, Darah Prabu," desah Peluh Setanggi dengan pandangan matanya menjadi sayu akibat diburu gairah bercumbu.

Maka pelan-pelan sekali Darah Prabu dekatkan bibirnya ke bibir Peluh Setanggi. Pelan-pelan pula bibir Peluh Setanggi merekah ternganga siap menerima kehangatan lawannya. Darah Prabu kian tak mampu bertahan melihat bibir merekah sebegitu indah. Akhirnya bibir itu pun dikecup dengan bibirnya dan dilumat pelan- pelan. Sekujur tubuh Peluh Setanggi seperti dikerumuni jutaan semut. Berdesir indah sekali, sehingga keindahan itu menuntun batin untuk merenggut lebih dari sekadar kehangatan bibir.

Peluh Setanggi buru-buru memeluk Darah Prabu dengan satu tangan, karena tangan kanannya masih memegangi pedang. Begitu pemuda itu terpeluk erat, lidah dan bibir menyerang dengan lincah dan ganas. Darah Prabu terpaksa harus membalas lebih ganas lagi dengan tangan kiri meremas punggung Peluh Setanggi yang tak berkain itu.

"Lhooo...?!" Kadal Ginting bagai ingin terlonjak dalam pekikan batinnya. Begitu ia membuka mata lebar- lebar, ternyata yang dilihatnya bukan ledakan mengerikan namun pertemuan bibir dengan bibir yang saling melumat tanpa malu-malu lagi.

"Kok jadi begitu?!" pikir Kadal Ginting. "Wah, wah, wah... kacau balau pertarungan ini! Pertarungan cap apa ini namanya? Sudah sama-sama cabut pedang, tinggal bres, bres, bres... eh, pakai adu mulut segala?! Ini namanya melanggar tata tertib pertarungan. Harus kulaporkan kepada Eyang Resi atau para tokoh tua rimba persilatan! Tapi... tapi nanti dulu, ah! Untuk apa buru- buru pergi, karena kelihatannya Peluh Setanggi menuntun Darah Prabu ke semak-semak seberang sana. Naah... betul, bukan?! Eh... kok mereka semakin menjadi-jadi? Lho, lho... kok Darah Prabu melepaskan rompinya. Sik, sik, sik... lakone apa ledakan begini, ya?!" Kadal Ginting kebingungan mencari jalan untuk mendekati semak-semak yang mulai bergoyang-goyang itu.

Darah Prabu tak sadar lagi apa yang dilakukannya, demikian pula Peluh Setanggi. Kasmaran mereka saling beradu cukup seru, merusakkan ilalang sekitarnya, memecah kesunyian puncak bukit dengan suara gemerisik dan rintihan gaduh yang memekik-mekik dari mulut Peluh Setanggi.

Darah Prabu tak ingat lagi tentang siapa-siapa, bahkan tak terbayang sedikit pun wajah Kejora, si gadis lugu yang kala itu sedang diculik oleh bayangan ungu. Padahal sebelumnya hati Darah Prabu telah terpikat oleh kecantikan Dewi Kejora yang akrab dipanggil Kejora saja itu. Ia menjadi berang saat Kejora diculik orang. Tapi sekarang, dalam dekapan hangat tubuh berdada montok kencang itu, Darah Prabu tak berpikir lagi tentang nasib Kejora. Ia tak tahu Kejora sudah dibebaskan dari dekapan penculiknya oleh Pendekar Mabuk dan Resi Pakar Pantun, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").

Darah Prabu memang tak tahu bahwa Kejora kebingungan mencarinya dengan wajah sedih. Setelah lolos dari tawanan si Kucing Hutan, Kejora tidak menampakkan keceriaannya, hal itu membuat Resi Pakar Pantun sebagai pelaku penyelamatan itu menjadi kecewa. Tokoh tua berusia sekitar delapan puluh tahun itu bersungut-sungut menjauhi Kejora yang merengut di bawah pohon. Pemuda tampan berbaju coklat tak berlengan dengan pakaian putih lusuh dan selalu membawa bumbung tuak itu sedang berusaha membujuk Kejora agar tak berduka. Pemuda tampan itu adalah Pendekar Mabuk yang dikenai dengan nama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.

"Kau tak boleh semurung ini, Kejora. Seharusnya kau merasa beruntung karena kau telah bebas dari tangan si Kucing Hutan alias Perawan Titisan Peri itu."

"Untuk apa aku bebas dari Kucing Hutan kalau tak bisa bertemu dengan Darah Prabu? Aku kangen dan ingin mendengar suaranya, Suto. Aku ingin melihat ketampanan wajahnya dan, ah... pokoknya kangen sekali."

Resi Pakar Pantun yang bersungut-sungut itu segera menyahut, "Kangen, kangen...! Kau enak, tinggal merasakan kangen, aku ini yang tak enak, susah payah menyelamatkan dan membawa keluar dirimu dari bangunan kuno itu sampai lututku membentur batu, eeh... yang diselamatkan justru cemberut dan merasa kecewa. Kalau begitu kau masuk kembali ke bangunan kuno itu saja!"

"Jangan begitu, Resi," tutur Suto Sinting dengan kalem. "Mohon dimaklumi saja, karena Kejora menyimpan cinta begitu besar kepada Darah Prabu."

"Cinta, cinta... apa itu cinta?! Aku tidak tahu soal cinta!" gerutu Resi Pakar Pantun sambil memunggungi Suto Sinting dan Kejora. Kemudian terdengar suaranya berucap dalam pantun.

"Sarung kumal diseruduk anak badak, robek tepinya dipakai jingkrak-jingkrak. Biar cinta sebesar gajah bengkak,

apalah artinya kalau tak mampu bertindak."

Kejora memandang sengit kepada Resi Pakar Pantun, ia sempat berkata pelan, "Apa maumu sebenarnya, Pak Tua?"

"Sarung kumal buat bungkus pisang, semakin lama semakin hangat dipegang. Hargailah susah payah seseorang, walau dengan senyum dan wajah riang."

Si gadis justru semakin cemberut dan kesal kepada Resi Pakar Pantun, ia segera melangkah pergi sambil berkata dalam nada sewot,

"Bodo, bodo, bodo... pokoknya aku mau cari Darah Prabu!"

"Hei, Kejora... mau ke mana kau mencarinya?"

"Ke mana saja, pokoknya aku harus bertemu Darah Prabu!"

"Bagaimana dengan pusaka leluhurmu?! Bukankah kita sedang mencari pusaka itu?!"

"Masa bodoh...!"

Weesss...! Kejora larikan diri tak mau diajak berunding lagi. Pendekar Mabuk menahan rasa jengkel menghadapi sikap manja si gadis lugu itu. Ia me- mandang Resi Pakar Pantun dan segera berkata,

"Aku harus mendampinginya, karena ia dalam tanggung jawabku. Kau sendiri bagaimana, terserah keputusanmu, Resi."

"Uu...! Sama saja mengasuh anak sapi kalau begini caranya!" seraya ia bergegas mengikuti langkah Suto Sinting yang mengejar pelarian Kejora. Agaknya sang Resi tak tega membiarkan Suto Sinting mendampingi Kejora yang ingin mencari Prabu Darah itu, walau dalam hati sang Resi penuh gerutu dan geram kejengkelan.

*

* *

2

GERAKAN lari Kejora tanpa disengaja diterjang oleh sekelebat bayangan yang sedang melintas. Terjangan itu cukup kuat hingga membuat Kejora terlempar tinggi dan tersangkut di kerimbunan sebuah pohon.

"Aaaa...!" Gusraakk...!

"Auuuh...! Toloooong...!"

Teriak Kejora tidak mengejutkan Resi Pakar Pantun dan Suto Sinting. Hal yang mengejutkan mereka adalah sekelebat bayangan yang terlihat jelas menerjang Kejora. Terjangan itu pun membuat sosok bayangan yang berlari cepat itu terjungkal dan berguling-guling di tanah, lalu berhenti terkapar di depan langkah Pendekar Mabuk dan Resi Pakar Pantun.

"Uuuhhg...!" orang itu mengerang kesakitan sambil melontarkan gerutu tak jelas.

"Hantu Laut...?!" sapa Suto Sinting dengan suara menyentak heran.

Orang yang menerjang Kejora tanpa sengaja itu memang seorang lelaki berkepala gundul, bercelana biru, ikat pinggang merah, tak pernah pakai baju yang dikenal dengan nama Hantu Laut. Ia berbadan besar, berhidung bulat, berkulit hitam, perutnya sedikit buncit dan agak budeg.

Resi Pakar Pantun mengenal orang bermata besar itu, tapi juga pernah mendengar penjelasan dari salah seorang sahabatnya bahwa Hantu Laut sudah bukan lagi anak buah Siluman Tujuh Nyawa, si tokoh sesat yang paling ditakuti oleh para tokoh aliran hitam itu. Semula memang Hantu Laut adalah sekutunya Siluman Tujuh Nyawa, bekerja menjadi pelayan Tapak Baja yang menguasai sebuah kapal penyerang dalam pemerintahan Siluman Tujuh Nyawa. Tapi ketika Hantu Laut ditundukkan oleh Suto Sinting, akhirnya ia menjadi pengikut Suto Sinting dan mengabdi kepada pemerintahan Ratu Pekat di Pulau Beliung, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tombak Maut").

Tentu saja kepergian Hantu Laut dari Pulau Beliung atas perintah atau seizin Ratu Pekat. Biasanya ia mengemban tugas dari Ratu Pekat untuk menyampaikan suatu kabar kepada Pendekar Mabuk.

"Hantu Laut..., mengapa kau ada di sini?!" tanya Suto Sinting setelah menarik tangan si Hantu Laut agar cepat berdiri.

"Siapa bilang aku penakut? Aku berani berhadapan dengan siapa saja!"

"Hei, yang kutanyakan tadi: mengapa kau ada di sini?!" Suto Sinting memperjelas pertanyaannya, dan Hantu Laut pun segera menggumam sambil manggut- manggut, mengakui salah dengarnya tadi. "Oooo... mengapa aku ada di sini? Apakah kau tak lihat kalau aku di sini karena jatuh menabrak seekor rusa?!"

"Toloooong...!" seru Kejora di atas pohon. Suto Sinting melirik ke atas sambil menahan geli, kemudian bicara kepada Hantu Laut,

"Yang kau tabrak bukan seekor rusa, tapi seorang gadis cantik! Lihat, dia tersangkut di atas pohon itu!"

"Sutooo... tolong akuuu...!" teriak Kejora dengan nada suara penuh rasa takut.

Resi Pakar Pantun hanya memandang dengan tersenyum sinis, sengaja tak mau berbuat apa-apa untuk gadis itu. Pendekar Mabuk berkata kepada sang Resi,

"Kurasa kau bisa membantunya turun kemari, Resi." "Memang bisa, tapi aku tak mau lakukan."

"Kenapa begitu, Resi?"

"Pertolonganku tak akan punya arti baginya, ia tetap akan murung tanpa merasa senang dan tak akan menampakkan rasa syukurnya atas pertolonganku."

"Toloooong... aku takut jatuuuh...!" seru Kejora bernada mau menangis.

"Mintalah tolong kepada Darah Prabu! Berteriaklah yang keras memanggil nama kekasihmu itu!" seru Resi Pakar Pantun dengan hati dongkol.

Suto Sinting hanya tertawa kecil melihat sikap sang Resi yang pengaruh kebanyakan umur jadi bersikap seperti anak kecil. "Turunkan dia, cepat!" perintah Suto Sinting kepada Hantu Laut.

Orang berkeringat itu tak berani menentang perintah Pendekar Mabuk, ia pun segera melesat dalam satu lompatan dan hinggap di dahan, kemudian menyambar Kejora dan dibawanya turun. Wuuuss...! Zrraaak...!

"Aaaaa...! Takuuuttt...?"

Kejora menjerit lebih keras lagi. Setelah diturunkan dari topangan kedua tangan Hantu Laut, ia buru-buru memeluk Suto Sinting dengan manja dan berkata sambil membenamkan wajah di dada Suto Sinting.

"Aku... aku takut, Suto! Aku takut kepada orang utan! Aku paling jijik dengan seekor kera sekecil apa pun. Apalagi sebesar itu, oooh... takut sekali, Suto!"

"Hei, hei... itu bukan kera. Bukan pula orang utan. Dia adalah Hantu Laut sahabatku. Perhatikanlah baik- baik, jangan sepintas saja!"

Sang Resi menimpali, "Apa kubilang tadi, tak ada terima kasihnya gadis ini jika dapat pertolongan. Bukan menampakkan rasa bersyukurnya malah menghina si penolong. Untung si Hantu Laut orang budeg, jadi ia tak dengar dikatakan sebagai orang utan atau kera raksasa."

"Kera raksasa!" sentak sang Resi memperjelas ucapannya tadi.

Hantu Laut terbengong, lalu palingkan muka sambil menggumam lirih, "Kebangetan...!"

Kejora pandangi Hantu Laut dengan sorot pandangan mata penuh curiga, ia masih berlindung di balik tubuh kekar si Pendekar Mabuk, ia sempat berbisik kepada Suto Sinting,

"Apakah dia suka menggigit?"

"Husy, dia bukan sejenis serigala!" balas Suto Sinting dalam bisikan pula.

"Tap... tapi dia sahabatmu?"

"Benar. Penampilannya memang menyeramkan, tapi hatinya baik. Jangan beranggapan buruk kepadanya, nanti dia tersinggung."

"Tiap hari makanannya apa?"

"Beling!" jawab Pendekar Mabuk agak kesal atas pertanyaan Kejora itu. Rupanya Hantu Laut mendengar percakapan itu walau secara samar-samar, lalu ia segera berkata,

"Eh, Nona... biar begini-begini aku ini manusia. Kau pikir kuda lumping?! Jangan menghinaku sebagai pemakan beling. Aku makan nasi, jagung, ubi dan sebagainya! Sama dengan kau juga."

"Siapa yang mengatakan kau makan beling? Bukan aku, Kang Hantu! Suto yang menjawab begitu tadi."

"Sudah, sudah...," Suto Sinting segera melerai cekcok kecil itu. "Hantu Laut, sekali lagi kutanya mengapa kau ada di sini? Bukankah seharusnya kau ada di Pulau Beliung?"

"Aku diutus oleh Ratu Pekat untuk menemuimu dan menyampaikan sebuah kabar yang penting kau ketahui."

"Kabar apa itu?"

"Dyah Sariningrum, calon istrimu yang menjadi Ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu, mengirimkan utusan untuk menemuimu, tapi kapalnya terdampar di Pulau Beliung."

Pendekar Mabuk sangat terkejut mendengarnya. Terbayang seraut wajah cantik yang amat dicintai dan selalu mendampingi alam pikirannya setiap hari. Dyah Sariningrum yang berjuluk Gusti Mahkota Sejati mengirimkan utusannya untuk menemui Pendekar Mabuk. Hal ini jarang dilakukan jika tidak karena ada perkara yang amat penting. Tapi anehnya, mengapa kapal mereka terdampar di Pulau Beliung?

"Siapa yang menjadi utusan calon istriku itu?!" tanya Suto Sinting kepada Hantu Laut

"Belum. Aku belum mendengar keputusan calon istrimu."

"Siapa yang jadi utusan! Bukan keputusan! U-tu- san!" seru sang Resi.

"O, yang diutus?! Hmmm... si cebol gagap; Dewa Racun."

"Ooooh...!" Brrruk...!

Kejora jatuh terkulai dengan lemas. Pendekar Mabuk terkejut, yang lainnya memandang heran. Gadis itu segera diangkat oleh Pendekar Mabuk.

"Kejora...?! Kejora, mengapa kau jatuh lemas begitu mendengar nama Dewa Racun?!"

"Aku... aku tak kuat lagi menahan rasa sakit sekujur tubuh, akibat... akibat terjangan Kang Hantu Laut itu. Oooh. "

Resi Pakar Pantun menggumam dan menggerutu tak jelas. Tapi wajahnya tampak tidak seheran tadi, bahkan berkesan dongkol setelah mengetahui penyebab jatuhnya Kejora. Pendekar Mabuk tertawa kecil, lalu segera meminumkan tuaknya yang dikenal sebagai tuak sakti paling mujarab untuk sembuhkan segala macam  luka dan penyakit. Terbukti dalam beberapa saat saja Kejora sudah tampak segar dan mampu berdiri dengan tegak, seluruh rasa sakitnya lenyap setelah menelan tuak Suto.

Kini pikiran Suto Sinting kembali tertuju pada kabar tentang Dewa Racun. Jika bukan karena masalah penting tak mungkin Dyah Sariningrum mengutus Dewa Racun untuk menemui Suto Sinting, karena Dewa Racun adalah orang kepercayaan Dyah Sariningrum yang ketujuh. Ketika Dyah Sariningrum ingin memanggil Suto Sinting ke istananya, ia mengutus Dewa Racun untuk mencari sosok si Pendekar Mabuk yang dikenal pula sebagai Bocah Tanpa Pusar itu. Pertemuan itulah yang membuat Suto Sinting dan Dewa Racun menjadi akrab dan saling bahu-membahu dalam menumbangkan kejahatan semasa dalam perjalanan menuju Pulau Serindu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").

"Kabar apa yang harus disampaikan oleh Dewa Racun kepadaku?!" tanya Suto Sinting kepada Hantu Laut.

"Aku tidak tahu, Suto. Sebaiknya datanglah ke Pulau Beliung dan temuilah dia di sana, sebab Dewa Racun dalam keadaan sakit."

"Sakit...?!" Suto Sinting terkejut. "Sakit apa dan mengapa ia bisa sakit?" "Aku bukan tabib jadi aku tak bisa menentukan jenis penyakitnya," jawab Hantu Laut.

Resi Pakar Pantun yang berjalan di sekitar pohon belakang Hantu Laut, tiba-tiba segera ajukan tanya dengan suara agak keras.

"Mengapa punggungmu bernoda merah, Hantu Laut?!"

"Aku tidak sedang marah-marah, aku sedang menceritakan tentang. "

"Noda merah!" sang Resi memperjelas maksudnya dengan suara lebih keras lagi.

"O, noda merah...?! Noda merah apa?" Hantu Laut berusaha menengok ke belakang memeriksa punggungnya, tapi tentu saja hal itu tak bisa dilakukan. Tak ada orang yang bisa melihat punggungnya sendiri jika tanpa bantuan cermin.

Wajah sang Resi tampak sedikit tegang, sehingga Suto Sinting menjadi penasaran dan segera ikut memeriksa punggung Hantu Laut, demikian pula dengan Kejora yang tak mau jauh-jauh dari Pendekar Mabuk.

"Oh, benar. Ada tiga noda merah yang membentuk sudut-sudut segitiga. Hmmm...." Suto Sinting manggut- manggut memperhatikan tiga noda merah di punggung Hantu Laut yang menyerupai pertemuan tiga sudut dalam bangunan segi tiga. Noda itu sebesar biji jagung dan tampak jelas bagian kulit yang matang akibat panas api.

"Kau habis lakukan pertarungan, Hantu Laut?!" tanya sang Resi. "Pertukaran apa?" "Pertarungan!" sentak sang Resi.

"O, pertarungan?! Iya, memang aku habis lakukan pertarungan dengan seseorang yang tidak kukenal. "

Kata-kata itu terhenti karena tiba-tiba salah satu kuku jari tangan Hantu Laut jatuh ke tanah bagai kehabisan perekat. Pluuk...! Kuku yang jatuh itu adalah kuku bagian jempol kirinya.

"Lho... kukumu jatuh, Kang Hantu!" ujar Kejora dengan wajah kaget.

Hantu Laut bingung melihat kukunya copot tanpa darah setetes pun. Jempol kirinya menjadi tak berkuku sedikit pun. Baru saja Suto Sinting akan memeriksa tangan kanan Hantu Laut, tiba-tiba kuku kelingking kanannya copot juga. Pluk. !

"Tak salah lagi," ujar Resi Pakar Pantun. "Kau terkena pukulan 'Aji Brangaspati' yang akan membuat tubuhmu lambat laun terpotong tiap persendiannyal"

"Mung... mungkin juga," Hantu Laut agak gugup. "Sebab aku tadi diserang oleh seseorang yang berilmu tinggi dan sukar kulawan. Aku melarikan diri karena merasa tidak sanggup menandingi ilmunya. Dan...

karena itulah aku menerjang Kejora tanpa sengaja sebab tak mau diburu orang itu."

"Kau tak mengenali orangnya?! Aneh. Mengapa dia menyerangmu dengan menggunakan pukulan berbahaya jika kalian tak saling kenal?" kata Suto Sinting dengan dahi berkerut.

"Aku benar-benar tak tahu, Suto. Bahkan persoalan yang dibicarakan pun tak kumengerti." "Persoalan apa?"

"Ia menyangka diriku sebagai anak buah Perawan Titisan Peri dan memaksaku memberitahukan di mana pusaka Panji-panji Mayat disembunyikan. Padahal. "

"Tunggu. !" sergah Suto Sinting dengan terkejut, lalu

ia memandang Resi Pakar Pantun dan Kejora secara bergantian.

"Kau disangka anak buahnya Perawan Titisan Peri dan disangka mengetahui tentang pusaka Panji-panji Mayat?!" ulang Resi Pakar Pantun merasa aneh.

"Tapi aku tidak tahu tentang pusaka itu, Resi. Aku...

aku bahkan baru mendengarnya sekarang ini!" kata Hantu Laut dengan suara agak ngotot, sehingga sang Resi membentak,

"Iya, tapi jangan melotot di depanku begitu!"

"Berarti ada pihak lain yang menghendaki Panji-panji Mayat," gumam Suto Sinting, lalu Kejora yang mendengar gumaman itu bertanya dalam keluguannya.

"Siapa pihak lain itu, Suto?"

"Ini baru dibicarakan! Kok malah tanya?!" gerutu Suto Sinting agak kesal dengan pertanyaan bodoh itu.

Kemudian Suto Sinting bertanya kepada Hantu Laut, "Bagaimana ciri-ciri orang tersebut?!"

Tapi Resi Pakar Pantun lebih dulu bersuara sebelum Hantu Laut menjawab,

"Rasa-rasanya  aku  kenal  pemilik  pukulan  'Aji Brangaspati' ini."

Semua mata memandang Resi Pakar Pantun. "Bukan aku pemiliknya, jangan memandangiku dengan curiga begitu."

"Siapa yang mencurigaimu? Justru kami menunggu jawabanmu jika benar kau tahu siapa pemilik 'Aji Brangaspati' itu!" kata Suto Sinting masih bernada kesal hati.

Pluuk...! Satu kuku dari jari tangan Hantu Laut jatuh ke tanah tanpa rasa sakit. Semua mata memandang ke arah kuku yang jatuh ke tanah itu. Hantu Laut menjadi bertambah tegang. Kesepuluh jarinya diperhatikan dengan sedih. Tinggal tujuh jari yang masih berkuku, dan ia berkata bagai bicara pada dirinya sendiri,

"Apakah seluruh jariku ini nantinya akan tidak berkuku semua?!"

"Mungkin malah kau akan tidak berkepala jika seluruh persendianmu sudah putus semua," kata sang Resi semakin membuat Hantu Laut menjadi cemas.

"Minumlah tuakku sebelum semua persendianmu putus!" perintah Suto sambil menyerahkan bumbung tuaknya. Hantu Laut pun buru-buru menenggak tuak itu dengan gemetar, hingga air tuak mengguyur sebagian wajahnya karena tak tepat jatuh ke mulut.

"Coba lihat punggungmu, apakah tuak Suto bisa berhasil menghentikan kekuatan racun dari pukulan 'Aji Brangaspati' itu?" ujar sang Resi.

Ternyata tuak sakti itu mampu melumpuhkan kekuatan racun pukulan 'Aji Brangaspati'. Tiga noda merah itu lambat laun menjadi samar-samar bagai menguap dihembus angin. Pendekar Mabuk menarik napas dan menghempaskan dengan perasaan lega setelah tiga noda merah itu lenyap sama sekali, berarti pengaruh kekuatan dari pukulan 'Aji Brangaspati' bisa dikalahkan oleh kekuatan tuak saktinya.

"Resi, kau belum menjawab pertanyaanku tentang siapa pemilik pukulan 'Aji Brangaspati' itu," ujar Suto Sinting mengingatkan.

Tetapi sebelum Resi Pakar Pantun ucapkan kata, tiba- tiba Pendekar Mabuk melihat seberkas sinar merah berbentuk bintang melesat dari balik pohon dan menuju ke punggung Hantu Laut. Weeesss...! Dengan gerakan cepat di luar dugaan siapa pun, Pendekar Mabuk menarik tangan Hantu Laut hingga orang besar berkulit hitam itu terjungkal ke depan. Brrus...!

Satu lompatan kecil membuat Suto Sinting menghadang laju sinar merah tersebut. Bumbung tuaknya disilangkan di depan dada tepat pada waktu sinar merah ingin mengenai dadanya sendiri.

Trruub...! Slaaab...! Sinar itu berbalik arah dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat gerakannya. Sebuah pohon tempat datangnya sinar itu menjadi sasaran dengan telak.

Blegeerr...! Zuuurrbbsss...! Buuusss...!

Pohon itu hangus bagai dijilat api setan. Dalam sekejap sudah menjadi arang dari akar sampai ranting paling pucuk. Daunnya menjadi debu yang berhamburan. Sisa asap mengepul beberapa kejap lalu hilang terhembus angin.

"Siapa pemilik sinar merah itu?!" tanya Kejora kepada Hantu Laut. Pertanyaan itu tak dihiraukan oleh Hantu Laut, sebab Suto Sinting segera berseru,

"Kalian tunggu di sini aku akan mencari orang itu!"

Kemudian sebuah suara terdengar dari belakang mereka yang menghadap ke pohon terbakar itu.

"Tak perlu dicari, aku kan telah datang sendiri!"

Serentak wajah mereka berpaling ke belakang dengan rasa kaget. Pandangan mata mereka tertuju pada sebuah dahan pohon, di sana ada seseorang yang berdiri dengan sikap menantang penuh keberanian. Resi Pakar Pantun segera menggeram jengkel.

"Sudah kuduga kaulah orangnya. Turun kau!"

"Itu dia orangnya yang menyerangku, Suto!" ujar Hantu Laut.

Dengan mata memandang orang tersebut Suto Sinting berbisik kepada Resi Pakar Pantun, "Siapakah dia, Resi?"

*

* *

3

DARI atas pohon meluncurlah tubuh elok semampai berpakaian ketat warna biru. Wuuuss...! Rambut panjang terurai sepunggung menebar bagai sayap kupu-kupu. Perempuan yang seperti berusia sekitar tiga puluh tahun itu mendaratkan kakinya ke tanah tanpa suara. Ini menandakan ia mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi.

Perempuan cantik bermata dingin itu mengenakan pakaian terusan dari bahan yang lentur, ketat sekali dengan tubuh hingga berbentuk lekak-lekuk keindahan tubuhnya yang berdada montok dan berpinggul sekal. Bahan pakaiannya seperti terbuat dari campuran karet tipis berkancing rapat dari dada sampai bawah perut. Kancingnya adalah kancing jepret, yang sekali sentak dapat lepas seluruhnya.

Tubuh yang terbungkus kain tipis ketat dari atas siku sampai betis itu tidak mengenakan sabuk atau ikat pinggang apa pun, sehingga senjatanya ditaruh di bawah lengan, ia mempunyai sepasang pisau kembar bersarung tembaga di kanan-kiri tangannya. Ukuran pisau hanya sebatas dari pergelangan sampai siku, mempunyai tali pengikat dari bahan karet warna biru, sesuai warna pakaiannya.

Resi Pakar Pantun berbisik kepada Pendekar Mabuk, "Dialah yang bernama Merpati Liar, satu-satunya

murid Nyai Parisupit yang awet muda."

"Hmmhh..., padahal Nyai Parisupit itu neneknya Kejora."

"Benar," bisik sang Resi lagi. "Neneknya Kejora hanya punya satu murid di luar keturunannya."

Bisik-bisik itu dihentikan karena Merpati Liar tampak bergerak dekati Hantu Laut. Suto Sinting tak mau lepaskan pandangan matanya dan bersiap lakukan sesuatu jika Merpati Liar menyerang Hantu Laut. Sedangkan Resi Pakar Pantun segera menyapanya dengan pantun untuk melepas kebisuan di antara mereka.

"Sarung kumal sarung sialan, sekali dipakai bikin bisulan.

Jangan dulu memancing permusuhan, sebelum jelas letak persoalan."

Mata dingin itu melirik sang Resi. Lalu menuding dengan tegas sambil ucapkan kata bernada tak ramah.

"Kau tak punya hak untuk mencampuri urusanku, Pakar Pantun! Kuharap tutup mulut dan jangan ikut campur kalau esok masih ingin bernapas."

Resi Pakar Pantun paksakan diri untuk terkekeh pendek.

"Merpati Liar. "

"Sarung kumal lupa ditenun,

sekali ditenun bikin orang manyun. Siapa remehkan si Pakar Pantun, akan menderita apes turun-temurun."

Merpati Liar masih melirik sangar ke arah Resi Pakar Pantun, jari-jari tangannya mulai mengeras. Pendekar Mabuk tahu gelagat, perempuan itu pasti akan lepaskan pukulan tenaga dalamnya ke arah Resi Pakar Pantun. Maka sebelum hal itu terjadi, Pendekar Mabuk lebih dulu bicara kepada Merpati Liar.

"Apa perlumu bersikap memusuhi kami, Merpati Liar?!"

Kini pandangan mata dingin yang cukup tajam itu beralih ke arah Suto Sinting. Yang dipandang menampakkan ketenangan wajahnya, sehingga sikap bermusuhan tak terlihat di permukaan wajah tampan itu. "Siapa kau dan apa hubunganmu dengan si bandot tua

itu?!" seraya ia menuding Resi Pakar Pantun.

"Aku hanya seorang sahabat Eyang Resi, juga sahabat dari Hantu Laut dan Kejora," sambil Suto Sinting memperkenalkan Hantu Laut dan Kejora. Tambahnya lagi, "Namaku Suto Sinting dan. "

"Aku tak butuh pemuda sinting!" sahut Merpati Liar dengan sinis.

Kejora menyahut dengan lugu, "Eh, Yu. Suto bukan

pemuda sinting. Namanya saja Suto Sinting, tapi dia bukan orang sinting alias orang gila! Bodoh amat kau ini, Yu?!"

"Jangan turut bicara, Gadis tolol!" ketus Merpati Liar sambil memandang sangar kepada Kejora.

Yang dipandang menjadi mengkerut, dan bergeser ke belakang Resi Pakar Pantun.

"Aku kemari hanya ingin bikin perhitungan dengan si kebo keling itu!" seraya Merpati Liar menuding Hantu Laut.

"Aku bukan maling! Enak saja mengatakan aku maling!" sentak Hantu Laut salah dengar.

"Kebo keling!" sang Resi memperjelas ucapan tadi. "Siapa yang kebo keling?" Hantu Laut bingung. "Kau...!"  sentak  Merpati  Liar  menampakkan

kegalakannya. "Kebo keling macam kau layak mati jika tak mau tunjukkan di mana si Perawan Titisan Peri itu menyimpan pusaka 'Panji-panji Mayat!"

"Aku bukan anak buah Perawan Titisan Mayat, eh... Peri!" kata Hantu Laut dengan ngotot. "Sudah kubilang, aku tidak kenal dengan titisan peri atau titisan setan, sebab aku titisan orang baik-baik!"

"Omong kosong!" geram Merpati Liar.

"Dia memang tidak tahu-menahu tentang Perawan Titisan Peri alias si Kucing Hutan itu!" timpal Suto Sinting. "Dia datang dari Pulau Beliung, tak punya urusan apa-apa dengan Kucing Hutan."

"Diam kau, Pendusta!" gertak Merpati Liar, namun gertakan itu hanya ditertawakan oleh Suto Sinting melalui senyumannya yang melebar. Senyuman itu dipandangi oleh Merpati Liar dan membuat perempuan itu menyimpan kegundahan dalam hatinya. Tapi ia tetap lanjutkan kata-katanya yang bernada tak bersahabat itu.

"Kulihat dengan mata kepalaku sendiri, dia mondar- mandir di depan bangunan kuno yang menjadi tempat kediaman si Kucing Hutan itu. Dia pasti mata-mata si Kucing Hutan yang bertugas mengamankan sekitar sarang mereka itu!"

"Aku... aku mondar-mandir di sekitar bangunan kuno itu karena mencari Suto Sinting. Sebab dikejauhan kudengar suara ledakan di sana, kusangka itu pertarungan Suto Sinting, ternyata yang kutemukan hanya mayat seorang lelaki bergincu. Tapi aku tak tahu siapa pembunuh lelaki bergincu itu!" ujar Hantu Laut menjelaskan dengan nada tetap ngotot.

"Dia memang mencariku, Merpati Liar. Dan lelaki bergincu itu memang lawanku. Dia anak buah si Hantu Laut yang berhasil kulumpuhkan," kata Suto Sinting dengan nada kalem seakan penuh kesabaran.

Merpati Liar tampak ragu mempercayai ucapan itu, kemudian berkata dengan masih tetap bernada ketus.

"Kurasa kalian adalah komplotan si Hantu Laut itu! Rasa-rasanya harus kuhancurkan salah satu agar kalian mengaku di depanku!"

Weess...! Kepala Merpati Liar mengibas ke samping kiri. Dari bola matanya keluar sepasang sinar hijau sebesar lidi mengarah ke dada Hantu Laut. Slaaap...!

Hantu Laut lompat ke samping belakang untuk hindari sinar hijau itu. Sebenarnya gerakan Hantu Laut itu terlambat dan ia bisa terkena sepasang sinar hijau yang bergerak sangat cepat itu. Namun sebelumnya Suto Sinting sudah lebih dulu lepaskan jurus 'Tangan Guntur' yang mengeluarkan sinar biru besar dari telapak tangannya. Sinar biru itu menghantam sepasang sinar hijau di pertengahan jarak. Wesss...!

Jlegaaarr...!

Ledakan menghentak kuat telah membuat mereka tunggang langgang terlempar ke berbagai arah, termasuk Resi Pakar Pantun dan Kejora. Bahkan Pendekar Mabuk sendiri terlempar dalam keadaan terkapar dan jatuh tak kuasai keseimbangan badan. Buuhk...! Sedangkan Merpati Liar terhempas kuat dan membentur sebuah pohon di belakangnya. Hantu Laut terguling-guling bagai kapas dihempaskan badai.

Perempuan cantik berhidung mancung itu segera bangkit berdiri dan pandangi Suto Sinting yang telah tegak lebih dulu. Mata perempuan itu memandang Suto Sinting lebih tajam lagi, bagai memancarkan kemarahan yang lebih besar dari sebelumnya. Lalu tiba-tiba kepalanya menyentak sedikit ke atas. Tanpa diduga-duga tubuh Pendekar Mabuk terlempar ke atas bagai dilemparkan oleh suatu kekuatan gaib.

Wuuuss...!

Perempuan itu segera gerakkan kepalanya ke samping. Seet...! Dan tubuh Suto yang masih dipandanginya itu terlempar ke samping dengan kuat. Wuuus...! Brruk...! Tubuh itu membentur pohon dengan kerasnya.

"Gila! Ternyata kabar yang kudengar selama ini tidak salah. Merpati Liar mempunyai kekuatan besar pada matanya," pikir Resi Pakar Pantun. "Rupanya ia telah kuasai jurus 'Kendali Netra' yang mampu melemparkan benda apa saja cukup menggunakan pandangan matanya."

Suto Sinting menyeringai, kepalanya terasa sakit beradu dengan batang pohon besar, ia buru-buru menenggak tuaknya setelah berkelebat ke balik pohon. Hanya beberapa kejap saja Pendekar Mabuk sudah keluar dari balik pohon tepat pada saat Merpati Liar menghampirinya dengan langkah garang.

Seett...! Kepala Merpati Liar menghentak ke kanan, Suto Sinting terlempar lagi ke kiri. Wuuuss...! Brrruk...! Pohon tak seberapa besar menjadi sasaran tubuh Suto Sinting. Krraak...! Pohon itu menjadi retak karena hantaman tubuh kekar Pendekar Mabuk. Melihat Suto dihajar oleh perempuan cantik, Hantu Laut tak bisa tinggal diam. Ia segera lakukan lompatan penuh murka dan melepaskan senjata yoyonya yang beracun itu.

"Heeeaaah...!" Wuuuttt...!

Weess...! Senjata yoyo itu dilemparkan ke arah punggung Merpati Liar. Dari tepian yoyo itu keluar gerigi tajam beracun ganas. Apabila yoyo itu disentakkan talinya ke belakang, maka akan membalik arah dalam keadaan gerigi masuk ke dalam.

Tetapi sebelum yoyo itu kenai punggung Merpati Liar, tiba-tiba tubuh perempuan itu berbalik arah dan kepalanya terayun membuat kekuatan tenaga dalam pada matanya menyentak, melemparkan tubuh besar Hantu Laut hingga jatuh terguling-guling di bebatuan. Brrusss...!

Pada saat itulah, Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya yang berupa sentilan bertenaga dalam cukup besar. Tees...! Duugh...!

Tubuh Merpati Liar terjungkal karena punggungnya bagai ditendang seekor kuda jantan binal. Pendekar Mabuk yang semula berlutut kaki satu kini bangkit dan melepaskan sentilannya lagi.

Tes, tes, tes, tes...!

Brruk, gusrak, wwees... gubras, prakkk...!

Kini ganti perempuan itu yang dihajar Suto Sinting, dijungkirbalikkan ke sana-sini dengan sentilan 'Jari Guntur' yang sukar ditangkis itu. Jarak mereka yang lebih dari lima langkah membuat Suto Sinting leluasa melepaskan sentilannya, hingga Merpati Liar bagaikan dihajar oleh makhluk halus yang tak bisa dilihat ke mana arah gerakannya.

"Keparat...!" geram Merpati Liar setelah hujan sentilan 'Jari Guntur' itu berhenti. Jika tidak dihentikan, perempuan itu dapat mati dalam keadaan jebol dadanya atau hancur wajahnya oleh sentilan Pendekar Mabuk.

"Resi, bawa Kejora ke Lembah Sunyi, biar bergabung dengan kakak dan adiknya di padepokan Resi Wulung Gading!" ujar Suto saat berada tak jauh dari Resi Pakar Pantun.

Merasa ilmunya kalah tinggi dengan Pendekar Mabuk, maka sang Resi pun menuruti perintah tersebut, ia bergegas pergi membawa Kejora setelah Pendekar Mabuk bicara lagi dengan mata tetap tertuju pada Merpati Liar,

"Nanti aku akan menyusulnya ke sana. Aku akan atasi dulu perempuan ini!"

Hantu Laut tak mau ikut pergi bersama sang Resi, ia memperhatikan pertarungan Suto Sinting dengan Merpati Liar, dan tidak bermaksud ikut campur lagi sebab menurutnya Suto Sinting mulai keluarkan kekuatan ilmunya, sehingga mampu mengimbangi serangan lawan.

"Ia mempunyai kekuatan pada mata, aku harus gunakan jurus 'Pucuk Rembulan' untuk mengimbanginya," kata Suto Sinting dalam hatinya.

"Hiaaah...!" Merpati Liar serukan suara dengan kedua tangan merentang ke samping membentuk cakar. Matanya memandang tajam ke arah Suto Sinting. Pandangan mata itu dilawan oleh Pendekar Mabuk dengan menggunakan jurus 'Pucuk Rembulan' yang bisa mendorong benda pakai mata dari bawah ke atas. Jurus ini pernah dipakai saat terjadi peristiwa di Pulau Mayat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Prahara Pulau Mayat").

Kekuatan 'Kendali Netra' perempuan itu melawan kekuatan mata dari jurus 'Pucuk Rembulan' ternyata menghasilkan pertarungan yang cukup seru. Tubuh mereka sama-sama terangkat ke atas tanpa alas berpijak sedikit pun. Tubuh itu melayang dalam ketinggian setengah tombak dalam keadaan saling bergetar.

"Hhhheeeaahh...!"

Merpati Liar mengerang panjang akhirnya terlontar dalam satu teriakan murka. Tubuhnya melesat maju bagaikan terbang dalam satu hempasan. Suto Sinting bersikap menunggu walau tanpa alas berpijak. Lalu tiba- tiba kepala Suto Sinting menyentak ke kiri. Seeettt...! Weeerrr...!

Tubuh Merpati Liar berputar di udara bagaikan baling-baling, gerakan majunya terhenti akibat tertahan kekuatan mata Suto Sinting. Tubuh yang berputar itu tak bisa mengendalikan keseimbangannya lagi, lalu terlempar ke samping dan menghantam kerimbunan daun di atas pohon. Zrrraakk...! Duuurr...!

Pohon besar itu bergetar dihantam tubuh Merpati Liar. Perempuan itu tersangkut di celah-celah dahan, terjepit tak bergerak di sana untuk beberapa saat.

Tes, tess...! Suto Sinting menghajarnya dengan sentilan bertenaga dalam. Perempuan itu tak bisa menghindar dan menangkis karena keadaannya yang terjepit dahan. Mau tak mau ia hanya memekik-mekik dengan suara tertahan merasakan sakit pada daerah yang terkena hantaman tenaga dalam menyerupai tendangan kuda jantan itu.

"Aahg, uuhg...!"

Pendekar Mabuk segera menapakkan kakinya ke tanah. Kemudian menyentak dan bersalto dua kali di udara mendekati pohon tersebut. Di bawah pohon ia memandang ke atas dan berseru,

"Masihkah kau ingin pamer ilmu di depanku, Perempuan cantik?!"

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut yang menyeringai karena berusaha melepaskan diri dari jepitan dahan itu. Agaknya ia mengalami kesulitan karena tak bisa lakukan gerakan apa-apa. Kedua tangannya merapat dengan tubuhnya, sehingga yang bisa digerakkan hanya bagian kaki, itu pun tak bisa leluasa.

Huup...! Pendekar Mabuk melenting naik dan menendang pangkal dahan yang menjepit tubuh Merpati Liar. Dees...! Krraakkk...!

Dahan patah seketika, melayang jatuh ke tanah dalam keadaan jepitan merenggang. Saat itulah Merpati Liar mampu lepaskan diri dengan sebuah sentakan lengan. Prraakk...!

Wuusss...! Ia berguling ke samping, lalu segera berdiri dengan satu lutut dan melepaskan pukulan bersinar merah dari ujung kedua jarinya. Claaapp...!

Sinar itu memecah menjadi tiga larik, dan itulah yang dinamakan pukulan 'Aji Brangaspati' yang tadi melukai Hantu Laut. Tetapi tiga larik sinar merah itu dihantam dengan sinar hijaunya Suto Sinting. Clap, blaarr...!

Sinar merah itu hancur oleh pukulan 'Guntur Perkasa'-nya Pendekar Mabuk. Sentakan gelombang ledaknya lebih besar ke arah Merpati Liar, karena jarak pertemuan dua sinar itu dekat dengan Merpati Liar. Akibatnya, perempuan itu terlempar berguling-guling di tanah dan baru terhenti setelah membentur batu besar. Di sana ia memuntahkan darah merah walau tak banyak. Namun ia merasakan sakit pada dadanya yang mulai sulit bernapas.

"Dia terluka cukup berbahaya," pikir Pendekar Mabuk secara diam-diam, sikapnya masih tampak tenang dan penuh waspada.

Merpati Liar mencoba bangkit, tapi segera terhuyung- huyung mau jatuh, ia buru-buru berpegangan pada batu setinggi perut orang dewasa itu. Ia mencoba bernapas dengan berat dan menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit di dada.

Pendekar Mabuk segera mendekati bersama Hantu Laut yang lecet punggungnya akibat jatuh di bebatuan tadi.

"Kau tertuka berbahaya, Merpati Liar. Aku tak bermaksud mencelakaimu jika kau tak memusuhi kami." Merpati Liar tundukkan kepala dengan badan masih miring ke kanan, karena lengan kanannya dipakai untuk bertumpu di atas batu. Pendekar Mabuk segera menyodorkan bumbung tuaknya dengan sikap ramah.

"Minumlah tuakku untuk mengobati lukamu!"

Perempuan iu diam saja, perlahan-lahan kepalanya terangkat, matanya memandang ke wajah Pendekar Mabuk. Sorot pandangan mata itu masih saja bersikap bermusuhan. Agaknya ia dalam kebimbangan untuk memutuskan; menerima uluran bumbung tuak itu atau menyerang kembali dalam jarak hanya dua langkah.

*

* *

4

GEGER pusaka Panji-panji Mayat ternyata memancing beberapa tokoh lama untuk saling bermunculan. Mereka ternyata cukup peduli dengan pusaka tersebut, karena sebagian besar dari mereka tahu siapa orang yang berhak memiliki Panji-panji Mayat itu. Para tokoh aliran putih berusaha agar Panji-panji Mayat atau Panji-panji Agung jangan sampai jatuh ke tangan tokoh aliran hitam, sebab jika pusaka itu jatuh ke tangan tokoh beraliran hitam maka akan timbul kekacauan di mana-mana. Setidaknya akan terbentuk serombongan pasukan mayat hidup yang dapat mengusik perdamaian dan ketenangan kehidupan di muka bumi.

Sikap kepedulian terhadap Panji-panji Mayat ternyata nyaris hilang dari diri Darah Prabu. Murid Resi Badranaya itu ditugaskan deh gurunya untuk memburu seorang gadis yang mencuri Panji-panji Mayat dari padepokan sang Resi. Gadis buronan itu tak lain adalah Peluh Setanggi, tetapi agaknya keduanya mempunyai ilmu yang sama kuat, sehingga terjadi perubahan sikap di luar rencana. Darah Prabu adalah murid Resi Badranaya sedangkan Peluh Setanggi murid Nyi Mas Gandrung Arum. Padahal antara Resi Badranaya dengan Nyi Mas Gandrung Arum ada hubungan sedarah walau bukan seperguruan. Sikap Resi Badranaya terhadap kakaknya; Nyi Mas Gandrung Arum, sangat bertentangan dan sering terjadi perang batin di antara keduanya, sebab Nyi Mas Gandrung Arum menganut aliran hitam sedangkan Resi Badranaya beraliran putih.

Keduanya bersepakat untuk tidak saling mengusik, jika tidak inginkan perang saudara. Sejauh ini mereka saling tidak tahu menahu tentang aliran masing-masing dan tidak mau ikut campur dalam setiap urusan masing- masing. Tetapi belakangan ini, setelah Peluh Setanggi keluar dari Perguruan Biara Ungu dan menjadi pengikut Kucing Hutan yang juga dikenal sebagai Perawan Titisan Peri itu, sikap Resi Badranaya mulai menampakkan permusuhannya terhadap sang kakak, sebab Resi Badranaya belum tahu bahwa Peluh Setanggi sudah bukan murid kakaknya lagi. Darah Prabu pun tidak tahu kalau Peluh Setanggi telah berpihak kepada Kucing Hutan, yaitu seorang gadis cantik yang buas dan mempunyai kebiasaan meminum darah kaum lelaki.

Tetapi akibat sama-sama menggunakan jurus pemikat, Darah Prabu dan Peluh Setanggi menjadi rukun dan saling menyayangi. Permusuhan di hati mereka sirna tuntas sejak Darah Prabu memberikan keperkasaannya dan Peluh Setanggi memberikan kehangatannya. Mereka bagai tak pernah saling bermusuhan sedikit pun. Yang ada di dalam hati dan jiwa mereka adalah rasa ingin mencintai dan dicintai, rasa ingin menyayangi dan disayangi, juga rasa ingin memanjakan dan dimanjakan.

Sambil memandang ombok bergulung-gulung, mereka saling berpelukan dengan mesra. Sesekali Darah Prabu mencium kening Peluh Setanggi, sesekali pula Peluh Setanggi yang mengecup bibir Darah Prabu dengan nakal. Kemudian tawa mereka berderai-derai menyimbulkan adanya kebahagiaan di dalam kebersamaan tersebut.

"Dulu aku pernah bercita-cita ingin mempunyai seorang istri yang cantik, berani, berilmu dan pandai bercumbu. Kupikir semua itu mustahil dapat kuperoleh. Tapi ternyata sekarang perempuan dalam bayangan dan cita-citaku itu ada padamu, Peluh Setanggi."

"Betulkah kau mencintaiku dengan tulus, Darah Prabu?"

"Lebih tulus dari cinta seorang ibu terhadap anaknya," jawab Darah Prabu dengan nada lembut. "Aku yakin di dunia ini tak ada sesuatu yang putih seputih cintaku padamu, Setanggi."

"Oh, aku senang sekali mendengar ucapanmu, Darah Prabu," sambil Peluh Setanggi menyandarkan kepalanya ke dada pemuda tampan itu. "Aku pun dulu bercita-cita ingin mendapatkan suami yang gagah, tampan, tinggi ilmunya dan perkasa dalam bercinta. Ternyata semua itu telah kau penuhi, Darah Prabu, itulah sebabnya aku sungguh tak bisa jika harus berpisah darimu. Sampai ke liang kubur pun aku ingin ikut bersamamu, Darah Prabu."

"Boleh saja ikut ke liang kubur, tapi tidak boleh nakal."

Peluh Setanggi tertawa riang. "Nanti di dalam kubur kita bisa saling umpuk-tumpukan lagi, bukan?"

"Ya, memang harus ditumpuk kalau satu liang kubur dipakai dua orang."

Canda mereka bekepanjangan melantur ke mana- mana. Yang jelas hati mereka bahagia sekali, serasa bumi ini hanya dihuni oleh mereka berdua. Mereka tak tahu kalau dari salah satu sisi ada sepasang mata yang mengintainya dari sejak berada di puncak bukit sampai kepantai. Sepasang mata yang mengikuti mereka adalah mata si pelayan Resi Pakar Pantun; Kadal Ginting. Tubuhnya sudah berulang-kali basah kuyup karena keringat dinginnya membanjir terus melihat adegan- adegan syur yang dilakukan Peluh Setanggi dengan Darah Prabu, ia berusaha menyimak setiap suara yang keluar dari mulut mereka, dan berusaha memperhatikan setiap gerakan yang mereka lakukan.

"Jangan-jangan keduanya sama-sama telah miring otaknya," pikir Kidal Ginting. "Padahal mereka bermusuhan sesengit itu, mengapa sekarang jadi bermesraan segesit ini?! Kuikuti dari tadi, sudah tiga kali mereka melakukan percumbuan yang edan-edanan di balik semak. Kurasa sekarang mereka akan istirahat di pantai ini sambil mengumpulkan tenaga kembali."

Namun, telinga Kadal Ginting segera menangkap suara Peluh Setanggi yang sambil cekikikan melakukan kerajinan tangan dengan rajin sekali itu. "Prabu, di balik gugusan karang itu sepertinya ada tempat teduh yang lega. Tak inginkah kau pergi te sana?"

"Untuk apa kita ke sana?"

"Tak inginkah kau menikmati surga di tubuhku lagi?" "Siapa yang tak ingin? Dari tadi aku sedang mencari tempat yang enak untuk berlayar dengan perahu

cintamu."

"Hi, hi, hi... kalau begitu kita ke sana sekarang juga, Prabu. Gairahku telah terbakar oleh ciuman- ciumanmu...." Kalimat itu terpotong oleh desah Peluh Setanggi. "Ah, jangan begitu tanganmu, Prabu. Di sana saja kalau ingin melakukannya. Jangan di sini, nanti ada setan lewat, aku malu dilihat setan!"

Kadal Ginting membatin, "Kurang ajar! Aku dianggap setan. Kalau tak ingat sedang mengintip, kutabok mulut gadis itu, dan... lho, lho... kok mereka ke sana? Wah, pasti akan begituan lagi! Gila! Tak ada puasnya perempuan itu rupanya. Ah, tapi... lumayan juga buat tontonan iseng. Sebaiknya aku lebih dekat lagi supaya dapat melihat dengan jelas seperti tadi...!"

Kadal Ginting pun bergegas mendekati gugusan karang berongga, ia bersembunyi di celah-celah karang ketika Peluh Setanggi mulai menyapu habis tubuh Darah Prabu dengan ciumannya. Darah Prabu masih berdiri melepas, rompinya.

"Luar biasa gadis itu. Ia tak sabar mendapatkan kemesraan seperti tadi. Wah-wah, wah... rupanya ia gadis yang berselera tinggi. Enak sekali si Darah Prabu diperlakukan seperti anak kucing sedang dimandikan begitu, ya? Iih... tubuhku jadi merinding sendiri, sepertinya tubuhku ikut dimandikan oleh ciuman Peluh Setanggi." Kadal Ginting bergidik sendiri dengan jantung berdetak-detak keras. Lututnya gemetar nyaris tak mampu berdiri lagi.

Ketika senja akan tiba, pelayaran cinta mereka pun usai. Darah Prabu dan Peluh Setanggi terkapar lemas dicekam kelelahan. Kadal Ginting duduk bersimpuh di pasir basah karena lututnya bagai kehilangan urat penopang tubuh. Sekujur badannya basah bukan karena percikan ombak, tapi karena banjir keringat dingin selama menyaksikan tontonan iseng itu. Bukan hanya napas Peluh Setanggi dan Darah Prabu saja yang terengah-engah, melainkan napas Kadal Ginting pun ngos-ngosan. Bahkan napas mereka sudah reda, tapi napas Kadal Ginting masih ngos-ngosan.

Peluh Setanggi dan Darah Prabu masih membiarkan busananya terkulai di samping mereka. Alam indah dan irama ombak memacu gairah sedang dinikmati tanpa rasa canggung dan malu, sebab mereka yakin tak ada orang yang melihat keadaan mereka saat itu.

Tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ledakan yang cukup menggelegar. Ledakan itu membuat gugusan karang yang menjadi atap berteduh mereka itu runtuh sebagian. Tentu saja Peluh Setanggi dan Darah Prabu menjadi panik dan secepat kilat mengenakan pakaian mereka.

"Perbuatan siapa ini?!" geram Darah Prabu.

"Tetaplah di sini, akan kucari orang yang mengganggu kemesraan kita!" seraya Peluh Setanggi mengenakan penutup dadanya.

Wees, wees...! Peluh Setanggi keluar dari rongga karang itu, Darah Prabu tak mungkin mau tinggal di tempat, sebab ia tak ingin Peluh Setanggi menghadapi bahaya sendirian, ia pun ikut melesat keluar dari rongga karang.

Sementara itu, Kadal Ginting semakin gemetar dan tak bisa bergerak, karena pecahan karang tadi ada yang terbang mengenai tengkuk kepalanya. Pandangan mata Kadal Ginting menjadi buram sedikit, tapi rasa sakit nyut-nyutan menjalar sampai ke ubun-ubun. Untung saja bongkahan karang segenggaman itu tak sampai membuat kepalanya bocor.

Dari tempatnya terkulai bersimpuh itu, Kadal Ginting masih bisa melihat ke mana arah kepergian Darah Prabu dan Peluh Setanggi. Ternyata mereka sedang berhadapan dengan dua orang gadis berwajah kembar. Dua orang gadis itu mengenakan kutang hijau dan kain penutup bagian bawahnya sepanjang betis berwarna ungu berbelahan empat. Keduanya sama-sama mempunyai wajah serupa dengan Peluh Setanggi. Kesamaan rupa dan bentuk tubuh itu yang membuat Kadal Ginting terperangah memandang heran hingga mulutnya melongo.

"Kembar...?! Siapa yang kembar sebenarnya? Kedua gadis yang baru datang itu atau Peluh Setanggi yang kebetulan punya wajah serupa dengan kedua gadis itu?!" gumam lirih Kadal Ginting. Ia tak tahu bahwa Peluh Setanggi bersaudara kembar sepuluh. Dua adik kembarnya ikut memihak Kucing Hutan, sementara sisanya masih menjadi murid Perguruan Biara Ungu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").

Dua adik kembarnya yang ikut memihak Kucing Hutan adalah Kuncup Nirwana dan Buih Dewani. Kedua adik kembar itulah yang datang ke pantai dan melepaskan pukulan penghancur karang bagian atas rongga tadi. Yang menjadi tanda bagi kedua adik kembar Peluh Setanggi adalah gambar tato di atas payudara kiri mereka. Buih Dewani mempunyai tato bergambar sebilah keris bercahaya, sedangkan Kuncup Nirwana mempunyai tato bergambar kepala harimau. Karenanya, Peluh Setanggi dapat mengenali dengan cepat siapa adik kembarnya yang datang itu.

"Nirwana, Dewani...!" sentak Peluh Setanggi. "Apa maksud kalian mengganggu kemesraanku, hah?!"

Darah Prabu terbengong melompong memandangi dua gadis kembar yang sama persis dengan kekasihnya, ia tak menyangka ada dua gadis kembar yang sedikit pun tak berbeda dengan Peluh Setanggi, kecuali pada gambar tatonya. Darah Prabu belum tahu bahwa Peluh Setanggi mempunyai sembilan adik kembar, sebab itu ia sempat berbisik kepada Peluh Setanggi,

"Siapa mereka itu, Setanggi?"

"Dua adik kembarku! Hati-hati, jangan salah cium. Aku punya sembilan adik kembar yang sama persis dengan diriku. Perhatikan tato di dada kami!" jawab Peluh Setanggi dengan cepat, lalu perhatiannya tertuju kepada Kuncup Nirwana dan Buih Dewani yang berdiri dengan sikap menantang.

"Masih untung kalian adikku sendiri, jika bukan sudah kuhancurkan kepala kalian karena mengganggu kemesraanku dengan Darah Prabu!"

Kuncup Nirwana buka suara, "Pantaskah kalian bercengkerama di sana sementara kami kena marah terus oleh Ratu Kucing Hutan?!"

"Tiga kali kami menerima hajaran dari Ratu Kucing Hutan gara-gara kau mencuri pusaka palsu!" timpal Buih Dewani. "Kami ditugaskan mencarimu, Setanggi! Ternyata kau sedang bercinta seenaknya dengan pemuda itu! Memuakkan sekali!"

"Percuma kami mengikutimu kalau kau tak punya pembelaan terhadap diri kami!" sahut Kuncup Nirwana. "Kami yang menerima hukuman kau yang menerima kemesraan. Hmmm... apakah itu adil menurutmu?!"

"Lalu apa mau kalian sebenarnya, hah?!" bentak Peluh Setanggi menjaga wibawa di depan adik-adiknya.

"Tinggalkan pemuda itu dan pergilah menghadap sang Ratu. Kau harus menebuskan kesalahanmu yang telah mencuri pusaka palsu!" "Pusaka palsu...?!" Peluh Setanggi berkerut dahi, karena ia segera ingat tentang pusaka Panji-panji Mayat yang dicurinya dari pondok Resi Badranaya.

Darah Prabu pun segera ingat tentang pusaka Panji- panji Mayat dan tugas menangkap Peluh Setanggi. Tetapi tugas itu ternyata kalah dengan rasa cinta yang ingin memiliki Peluh Setanggi selamanya. Hanya saja, Darah Prabu sempat merasa heran mendengar pusaka yang dicuri Peluh Setanggi itu adalah pusaka palsu.

"Jadi... selama ini Guru menyimpan pusaka palsu?!" tanyanya dalam hati bernada heran.

"Setanggi, kami ditugaskan membawamu pulang ke Hutan Lembah Meong untuk menghadap Ratu Kucing Hutan!" ujar Kuncup Nirwana dengan nada tegas.

"Tidak. Aku tidak mau, karena tugasku telah selesai.

Pusaka itu tidak mungkin palsu!"

"Ratu mencoba membawa Panji-panji Mayat ke sebuah makam, tapi ternyata mayat dalam makam tak bisa bangkit. Lalu panji-panji itu dibawanya ke kuburan para penduduk desa, ternyata para penghuni kubur tak satu pun yang bangkit mengikuti panji-panji itu!" kata Buih Dewani.

Mata dan mulut Peluh Setanggi menampakkan sikap tertegun yang membimbangkan hati. Sementara itu, Kuncup Nirwana serukan kata kembali,

"Panji-panji itu sekarang sudah dihancurkan oleh Ratu Kucing Hutan dengan murka. Menurut kabar yang diperoleh Banci Wadak, pusaka Panji-panji Mayat sudah berhasil dicuri oleh Dewi Geladak Ayu. Maka sang Ratu sendiri segera menangkap Dewi Geladak Ayu. Namun sayang bajak laut perempuan itu mampu lepaskan diri dari pengaruh racun di pisau sang Ratu, dan segera melarikan diri. Sementara kemarin siang kami kembali ke istana dan menemukan Banci Wadak telah menjadi mayat mengenaskan. Entah siapa pembunuhnya!"

"Yang jelas bukan aku pembunuh Banci Wadak. Setelah kuserahkan panji-panji curianku kepada sang Ratu, aku segera pergi memburu pembunuh Paman Badai Kutub. Dan sejak itu aku belum kembali ke istana!"

"Jangan menambah murka sang Ratu, Setanggi! Kami yang kena getahnya!" seru Buih Dewani agak membentak.

Kuncup Nirwana menambahkan kata, "Jika kau tak menghadap sang Ratu, anggapan sang Ratu tetap buruk kepadamu."

"Anggapan apa?!"

"Kau telah menukar pusaka yang asli dengan yang palsu. Itulah anggapan sang Ratu!" jawab Buih Dewani.

"Dusta! Fitnah itu namanya!" sentak Peluh Setanggi. "Yakinkanlah kepada sang Ratu bahwa anggapan itu

tidak benar. Jelaskan semuanya di depan sang Ratu, Setanggi!"

"Aku tidak mau menemui sang Ratu, karena aku tak mau berpisah dari Darah Prabu!"

"Kau bisa membawa pemuda itu menghadapnya juga."

"Kau pikir aku bodoh?! Ratu Kucing Hutan adalah peminum darah lelaki, ia sangat berselera dengan lelaki semuda dan segagah Darah Prabu. Aku tak mau Darah Prabu direbutnya dan menjadi korbannya seperti lelaki yang lain!"

"Kalau kau tetap tak mau, haruskah kami memaksamu dengan cara kasar, Setanggi?!" ucap Buih Dewani yang dirasakan oleh Peluh Setanggi sebagai tantangan. Maka ia pun memandangi kedua adik kembarnya dengan sorot pandangan mata tajam penuh pertimbangan.

"Haruskah aku bertarung dengan adik kembarku sendiri?" gumam Peluh Setanggi pelan, namun didengar oleh Darah Prabu. Pemuda itu pun akhirnya berbisik kepada Peluh Setanggi.

"Biar kuhadapi kedua adikmu, larilah ke bukit tempat cinta kita bertemu. Nanti aku akan menyusulmu ke sana."

"Kau... kau akan melawan adikku? Mereka bukan berilmu rendah, Prabu! Kalau hanya satu orang mungkin saja kau bisa kalahkan mereka, tapi kalau dua orang kau akan dibuat tak berdaya dalam dua gebrakan saja!"

"Aku masih punya jurus simpanan yang belum pernah kugunakan untuk melawan siapa saja."

"Itu berarti kau akan membunuh kedua adikku!" "Lalu, aku harus bagaimana? Jika mereka

membahayakanmu, apa salahnya jika mereka dilenyapkan?"

"Tidak. Aku tidak ingin hal itu terjadi!" ujar Peluh Setanggi dalam bisikan, namun benaknya masih dibuat pusing oleh keputusan langkahnya; menemui Kucing Hutan atau melumpuhan kedua adik kembarnya itu?

Darah Prabu segera berbisik lagi, "Baiklah, aku hanya akan membuat kedua adikmu tumbang sementara kau melarikan diri ke bukit itu. Aku berjanji tak akan melenyapkan nyawa adikmu, Setanggi! Larilah sana, dan akan kuhadang mereka jika mengejarmu. Tunggu aku di bukit dan jangan ke mana-mana sebelum aku datang menjemputmu."

Kini yang ada dalam pikiran Peluh Setanggi adalah sebuah keraguan; mampukah Darah Prabu menghadapi kedua adiknya tanpa harus melenyapkan nyawa mereka?

*

* *

5

TUAK sakti itu ternyata bukan saja sebagai penyembuh luka, melainkan juga jembatan bagi terjalinnya sebuah persahabatan dan perdamaian. Secara jujur batin Merpati Liar mengakui daya penyembuh secara gaib. Ia rasakan sendiri khasiat tuak itu di badannya; rasa sakit hilang, badan terasa lebih segar dari sebelumnya, hati mereka lebih tenang setelah meneguk tuak Suto.

"Kudengar kabar, hanya Tabib Darah Tuak yang mempunyai kekuatan mujarab dalam penyembuhannya melalui air tuak," katanya di depan Suto Sinting dan Hantu Laut. Suto Sinting hanya sunggingkan senyum, lalu berkata, "Barangkali kabar itu memang benar. Tapi barangkali kau belum tahu siapa Tabib Darah Tuak itu, Merpati."

"Kudengar kabar, Tabib Darah Tuak adalah si Pendekar Mabuk, murid Eyang Gila Tuak, sahabat guruku."

Hantu Laut menyahut sambil menuding Suto Sinting, "Dialah yang bergelar Pendekar Mabuk! Dia juga

yang menjadi satu-satunya murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"

Merpati Liar sedikit terperanjat dan pandangi Suto Sinting dengan keraguan.

"Benarkah kata-katanya itu?"

Pendekar Mabuk anggukkan kepala dengan senyum ramah yang menawan.

"Oh, kalau begitu aku salah duga."

"Dia belum duda, masih perjaka. Mengapa kau bilang dia duda?" sahut Hantu Laut salah dengar.

"Salah duga!" tegas Suto Sinting. "Bukan salah duda!"

"Ooo...," Hantu Laut hanya manggut-manggut dan buang muka menutupi rasa malunya. Merpati Liar memandang Hantu Laut, tak ada senyum namun tak bersikap bermusuhan seperti tadi.

"Merpati, kalau boleh kutahu, apa maksudmu mencari pusaka Panji-panji Mayat?" tanya Suto Sinting mulai menyelidik.

"Aku adalah murid tunggai Nyai Parisupit yang bukan dari pihak keturunannya."

"Ya, aku telah dengar penjelasan itu dari Resi Pakar Pantun."

"Kudengar kabar, Panji-panji Mayat dicuri oleh seorang gadis yang berpihak kepada Perawan Titisan Peri; si Hantu Laut itu. Perlu kau ketahui, Perawan Titisan Peri adalah bukan dari keturunan leluhur Nyai Guru Parisupit. Ketika Nyai Guru Parisupit belum mangkat, beliau pernah berpesan padaku agar ikut menjaga pusaka Panji-panji Mayat agar jangan sampai jatuh di tangan orang yang bukan keturunan beliau. Aku tahu persis, bahwa pusaka itu hanya berhak dimiliki oleh kedua anak Nyai guruku; yaitu Jalma Dupi atau Manggarsani, adiknya."

"Manggarsani...?!" gumam Suto Sinting dengan berkerut dahi pertanda merasa asing terhadap nama Manggarsani.

"Kudengar kabar, Jalma Dupi dan istrinya sudah tewas di tangan keturunan Gajahloka, dua anaknya pun tewas. Tetapi Jalma Dupi mempunyai tiga anak gadis lainnya yang kudengar kabar, mereka masih hidup. Hanya tak kutahu di mana tinggalnya sekarang dan siapa-siapa saja tiga anak gadis Jalma Dupi itu. Satu orang lagi yang berhak memegang pusaka itu adalah Manggarsani, tetapi sudah lama Manggarsani mengasingkan diri dan tak pernah kudengar kabarnya. Mungkin sudah mati, mungkin juga masih hidup."

"Aku tak pernah mendengar nama Manggarsani," gumam Suto Sinting bagai bicara pada diri sendiri. "Tapi aku tahu sifat dan watak Manggarsani yang tak mau ribut tentang warisan leluhur. Bahkan ia selalu menjauhi pertikaian dengan sesama. Manggarsani seorang perempuan yang amat cinta pada perdamaian dan ketenangan, ilmunya lumayan tinggi, tapi tak pernah diumbar di dunia persiiatan. Kabar terakhir yang kudengar, ia menggunakan nama julukan: Dewi Cumbutari."

"Oooh...!" Suto Sinting menyentak lega, karena ia segera ingat dengan seorang perempuan yang menjadi ratu di negeri Wilwatikta dan bernama Ratu Dewi Cumbutari. Suto Sinting kenal baik dan bahkan pernah menyelamatkan negeri itu dari ancaman maut si Raja iblis, (Baca serlai Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa"). Suto Sinting pun segera menceritakan peristiwa pertarungannya dengan si Raja iblis itu kepada Merpati Liar.

"Aku harus menjalankan amanat mendiang Nyai Guru untuk menjaga agar pusaka tersebut tidak jatuh di tangan tokoh aliran hitam. Aku harus bisa me- ngembalikan pusaka itu ke tangan pewarisnya."

"Kudukung tekadmu itu, Merpati Liar. Hanya saja, barangkali perlu kau ketahui, gadis yang tadi bersama kami, yang sempat kau bentak dengan garang, dia adalah anak dari Jalma Dupi yang bernama Kejora."

"O, begitu...?!"

"Tiga anak gadis Jalma Dupi yang masih hidup adalah Kejora, si bungsu Menik dan si sulung Dewi Hening. Keduanya ada di Lembah Sunyi bersama Resi Wulung Gading menanyakan tentang di mana pusaka itu berada, dan sekarang Kejora sedang dalam perjalanan ke sana pula bersama Resi Pakar Pantun."

"Hmmm...," Merpati Liar menggumam dan manggut- manggut, tampak sekali sikap tegas dan pemberani di wajah cantiknya itu.

"Jika benar begitu keadaan yang ada, aku harus segera mencari si Kucing Hutan untuk merebut kembali pusaka tersebut. Gadis pencuri pusaka itu, kudengar bernama Peluh Setanggi. Gadis itu pula yang menjadi sasaran buronanku."

Pendekar Mabuk anggukkan kepala. "Dari mana kau dapat kabar tersebut?"

"Kujumpai sahabat lamaku yang bernama Sumbaruni, dialah yang menceritakan hal itu. Menurut pengakuannya, ia mendengar kabar itu dari Pendekar Mabuk."

"O, pantas. Memang benar aku telah menceritakan hal itu kepada Sumbaruni."

"Dan kudengar pengakuannya, bahwa Pendekar Mabuk adalah kekasihnya."

Suto Sinting diam sambil palingkan wajah menutup senyumannya. Merpati Liar memandang bagai menunggu jawaban yang pasti dari Pendekar Mabuk. Karena lama tak ada jawaban, Merpati Liar ajukan tanya kembali,

"Benarkah kau kekasih Sumbaruni?" Karena Suto Sinting hanya senyum-senyum saja, maka Hantu Laut segera berkata, "Itu fitnah. Suto tidak pernah menyembelih Sumbaruni!"

"Siapa yang bilang menyembelih Sumbaruni?" ujar Suto Sinting.

"Dia tadi bilang apa?"

"Apa benar aku kekasihnya Sumbaruni?.'" ucap Suto Sinting memperjelas tekanan suaranya.

"Ooo... kekasih? Kudengar dia bilang 'sembelih', tak tahunya 'kekasih'. Maklum sajalah...," Hantu Laut malu, ia buang muka sambil garuk-garuk kepala.

"Dia bukan kekasihku, Merpati. Tapi aku tahu, dia mencintaiku."

"Kau tidak membalasnya?" Suto Sinting gelengkan kepala.

"Syukurlah kalau begitu," ucap Merpati Liar pelan, seakan punya arti terselubung. Tapi Hantu Laut salah dengar lagi.

"Siapa yang babak belur?!"

"Syukur!" sentak Suto Sinting memperjelas ucapan Merpati Liar. "Dia bukan bilang 'babak belur', tapi  bilang 'syukur', jelas?!"

"Lha, iya... aku tadi juga bilang 'siapa yang syukur', begitu!" Hantu Laut menyangkal ketuliannya. Pendekar Mabuk jadi merenung dan berkata pada diri sendiri,

"Mengapa sekarang aku jadi ikut-ikutan budeg, ya?!"

Merpati Liar palingkan wajah sembunyikan senyum tipisnya. Kemudian ia bergegas pergi menuju Lembah Meong untuk temui Kucing Hutan. Suto Sinting dan Hantu Laut ikut bersamanya. Langkah mereka terhenti saat melewati hutan jati. Sekelebat bayangan melintas jauh di depan mereka. Tetapi mata Merpati Liar cukup tajam dan bisa mengikuti kecepatan gerak bayangan itu. Akibat langkah Merpati Liar tertahan, langkah Suto Sinting dan Hantu Laut pun ikut terhenti. "Ada apa, Merpati?"

"Kulihat sosok seorang gadis berkutang hijau lari ke arah selatan."

"Berkutang hijau?! Hmmm... apakah dia si Peluh Setanggi?!" ujar Suto setelah membayangkan sosok gadis berdada montok yang ditutup dengan kutang hijau berhias benang emas.

"Akan kuikuti langkahnya!" ucap Merpati Liar pelan, lalu ia lebih dulu melesat ke arah selatan. Weesss...! Kecepatan geraknya sempat mencengangkan Pendekar Mabuk. Ternyata perempuan itu mampu bergerak hampir menyamai jurus 'Gerak Siluman'-nya Suto Sinting, ia seperti orang menghilang lenyap ditelan bumi. Pendekar Mabuk tak mau kalah saing, ia pun segera pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah itu.

Ziaaapp...!

Hantu Laut terbengong melompong. Lalu terdengar gerutuannya dengan wajah bersungut-sungut,

"Mentang-mentang pada bisa bergerak cepat aku ditinggalkan begitu saja. Hmmm...! Kalian kira hanya kalian yang bisa bergerak secepat itu? Aku pun mampu melakukannya. Lihat..., huup...!"

Gusraak...! "Aauuh...!" Hantu Laut mengerang karena kakinya tersandung akar pohon, ia jatuh tersungkur mencium tanah.

Merpati Liar sudah sampai di tempat jauh, di atas bukit cadas yang tingginya hanya sekitar iima tombak. Di sana ia menghadang bayangan yang tadi dilihatnya, ia bersembunyi di balik gugusan batu cadas setinggi dua tombak.

"Terpaksa kutinggalkan Pendekar Mabuk, karena aku tak mau kehilangan jejak kalau benar gadis itu adalah si Peluh Setanggi!" ucapnya lirih. Tapi tiba-tiba di sisi batu cadas itu terdengar suara yang ditujukan kepadanya.

"Dugaanku tepat, kau pasti akan kemari, karenanya aku menunggumu di sini."

Merpati Liar terperanjat tak berkedip. Wajah Pendekar Mabuk muncul dari balik celah batuan cadas itu.

"Sial! Rupanya ia sudah sampai di sini lebih dulu sebelum aku tiba," gerutunya dalam hati. Ia hanya geleng-gelengkan kepala tak kentara melihat senyum si tampan mengembang di depannya. Mulut pun segera ternganga untuk mengatakan sesuatu kepada Suto Sinting, tetapi niat tersebut terpaksa batal. Bahkan tangannya segera menekan pundak Suto Sinting agar lebih merapat lagi ke lapisan sisi batu.

Rupanya Merpati Liar melihat gerakan menuju ke jalanan di bawah bukit cadas itu. Suto Sinting segera mengarahkan pandangannya ke sana. Ternyata dugaannya benar, Peluh Setanggi sedang berlari hendak melintasi jalanan di bawah bukit cadas.

"Benarkah gadis itu yang bernama Peluh Setanggi?" "Benar," jawab Suto Sinting mengikuti irama bisikan

Merpati Liar.

"Aku akan menghentikan langkahnya! Mundurlah sedikit!"

"Hei, apa yang ingin kau lakukan?" "Menggelindingkan batu ini biar menghalangi

langkahnya!" jawab Merpati Liar sambil ingin menjejak batu besar itu dengan kaki kanannya.

"Tunggu sebentar...!" cegah Suto Sinting. "Lihat, ada orang yang mendahuluimu menghadang langkah gadis itu!"

Merpati Liar urungkan niatnya, memandang ke arah yang ditunjuk Suto Sinting. Ternyata di sana memang ada seorang yang sengaja berdiri menghadang langkah Peluh Setanggi persis di pengkolan jalan yang tidak terlalu banyak ditumbuhi pepohonan.

Si penghadang itu adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun. Mempunyai rambut meriap diikat dengan ikat kepala putih bersulam benang emas. Ia hanya mengenakan kutang hijau, kain penutup bawahnya berbelahan tiga berwarna hijau juga. Sebuah pedang disandangnya di pinggang kiri.

"Siapa gadis itu? Kau kenal dengannya?"

"Sangat kenal," jawab Suto Sinting dalam bisikan. "Dia juga murid dari Biara Ungu, bekas teman seperguruan Peluh Setanggi. Dia adalah salah satu dari tiga orang kepercayaan Nyi Mas Gandrung Arum. Dia dikenai dengan nama Putik Linang."

"Apa yang dikehendaki oleh Putik Linang? Agaknya bersikap memusuhi Peluh Setanggi."

"Kita perhatikan saja dulu apa yang ia lakukan terhadap bekas teman seperguruannya itu."

Peluh Setanggi agak terkejut melihat kemunculan Putik Linang yang menghadang langkahnya. Apalagi sikap Putik Linang kentara sekali memusuhinya, Peluh Setanggi cepat pasang kewaspadaan tinggi, setidaknya dapat merasakan ada tujuan tak baik atas penghadangan Putik Linang itu.

"Putik Linang, agaknya kau punya maksud tak baik menghadang langkahku ini!"

"Tergantung bagaimana kau menilai sikapku," jawab Putik Linang bernada tak ramah. "Yang jelas aku diutus oleh Guru untuk menangkapmu!"

"Dengan tuduhan apa Guru akan menangkapku, bukankah aku sudah bukan muridnya lagi?"

"Kau memalukan nama perguruan, mencemarkan nama besar Guru dengan mencuri pusaka Panji-panji Mayat! Kau dapat memancing permusuhan antara pihak Guru dengan pihak Resi Badranaya!"

"Hmmm...!" Peluh Setanggi sunggingkan senyum sinis. "Guru sudah berani memecatku, berarti Guru sudah siap menghadapi hal-hal seperti ini! Kusarankan, pulanglah kembali ke Biara Ungu dan sampaikan salamku kepada Nyi Mas Gandrung Arum, katakan bahwa sekarang antara dia dan aku tak punya urusan apa-apa lagi. Segala tingkah lakuku di luar tanggung jawabnya! Ingatkan kepada pendeta sesat itu, bahwa aku sudah menjadi pengikut Kucing Hutan. Jika dia menggangguku, berarti dia akan berurusan dengan Perawan Titisan Peri itu!"

"Guru mengizinkan aku membunuhmu jika kau tak mau ditangkap."

"Oh, begitu?!" senyum Peluh Setanggi adalah senyum meremehkan lawannya. Begitu sinis dan memuakkan bagi Putik Linang, sehingga kedua tangan Putik Linang mulai meremas dan napasnya tampak tertahan karena menggeram kemarahan.

"Kau pikir aku takut menghadapi gertakanmu, Putik Linang?! Aku tak pernah merasa takut kepada siapa pun. Bahkan kalau perlu gurumu, pendeta sesat itu, suruh datang kemari dan berhadapan denganku. Sejengkal pun kakiku tak akan melangkah mundur melawannya!"

"Kurang ajar! Bicaramu sudah kelewat batas, Peluh Setanggi!" geram Putik Linang. "Sudah waktunya mulutmu itu kuhancurkan sekarang juga. Heeeaaah...!"

Weeess...! Putik Linang berkelebat menerjang Peluh Setanggi, menghantamkan pukulan tangannya yang kala itu sudah menyala merah membara. Wuuuk...! Pukulan bertangan bara itu berhasil dihindari Peluh Setanggi dengan memiringkan badan, lalu kakinya menendang maju dalam satu sentakan cepat. Wuut, beehg...!

"Uuhg...!" Putik Linang terlempar empat langkah ke belakang. Ia jatuh dalam keadaan terkapar. Baahg...!

Peluh Setanggi segera melompat tinggi-tinggi dan tubuhnya meluncur ke bawah tepat ke perut Putik Linang. Suuutt...!

Putik Linang sadar akan datangnya bahaya dari atas.

Ia cepat gulingkan badan ke samping dua kali.

Wut, wuut...! Jleeg...! Kaki Peluh Setanggi akhirnya menginjak tempat kosong.

Tanah yang dipijak Peluh Setanggi menjadi melesak ke dalam sebatas mata kaki. Berarti kekuatan tenaga dalam Peluh Setanggi kala itu sudah dipusatkan ke telapak kakinya. Untung saja Putik Linang berhasil hindari kaki itu, seandainya tidak, perutnya bisa jebol, isi perut bisa berantakan ke mana-mana.

Putik Linang segera bangkit sambil lakukan tendangan kaki yang menyentak ke samping. Wuuss...! Tendangan itu tak mengenai sasaran karena Peluh Setanggi cepat lakukan jungkir balik ke belakang. Wuuuss...!

Tangan Putik Linang yang masih menyala bara sebatas pergelangannya segera dihantamkan ke arah dada Peluh Setanggi. Namun hantaman tersebut kali ini diadu dengan telapak tangan Peluh Setanggi yang mengepulkan asap putih dan mengeluarkan busa-busa salju.

Deeb...! Zrrooosss...!

Asap mengepul bagai bara dicelup ke dalam air. Namun keduanya sama-sama tersentak mundur hingga tiga langkah jauhnya, mereka sama-sama terpelanting nyaris jatuh.

"Terpaksa kutebas batang lehermu, dan kuserahkan kepada Guru kepalamu, Setanggi!" Sreett...! Putik Linang mencabut pedangnya. Pedang segera dimainkan dengan jurus yang indah dilihat. Peluh Setanggi belum mau mencabut pedangnya, ia masih mengandalkan kekuatan tangan kosongnya dan merasa tak gentar sedikit pun menghadapi lawan yang bersenjata tajam itu.

"Majulah, Jahanam!" geramnya sambil memandang benci kepada Putik Linang, karena memang Putik Linang itulah orang yang paling dibenci olehnya semasa ia menjadi murid di Biara Ungu. Kebencian itu timbul setelah Putik Linang resmi diangkat sebagai pengawal dan orang kepercayaan Nyi Mas Gandrung Arum. Sementara dirinya yang sudah lebih dulu menjadi murid di Biara Ungu masih belum mendapat kesempatan untuk menjadi orang kepercayaan sang Guru. Peluh Setanggi merasa sakit hati, lalu bertekad menjadi orang upahan bagi pihak mana pun yang membutuhkan bantuannya. Sebab itulah, ia dipecat sebagai murid Biara Ungu sampai sekarang.

"Majulah, Kodok busuk! Jangan hanya memainkan pedangmu saja!" bentak Peluh Setanggi tak sabar menunggu serangan lawan. Putik Linang pun semakin panas hatinya ditantang demikian.

"Hiaaah...!" Putik Linang lakukan lompatan menerjang lawannya dengan pedang siap dihujamkan. Tetapi Peluh Setanggi segera berkelebat ke samping dalam satu lompatan bersalto dan saat itulah sekeping logam menyerupai mata tombak dilemparkan ke arah Putik Linang. Zing, zing, zing, zing...! Trang, trang, trang, jeeb...!

"Aaahg...!" Putik Linang terkena lemparan senjata rahasia yang terakhir. Logam yang mempunyai racun 'Lidah Malaikat' itu menancap di bawah pundak kiri Putik Linang. Gadis itu langsung tumbang dan mengejang, lukanya mengepulkan asap putih.

Pendekar Mabuk terperanjat cemas, karena ia pernah melihat senjata rahasia itu menancap di tubuh Kadal Ginting dan nyaris merenggut nyawa si pelayan Resi Pakar Pantun itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa"). Karenanya, Pendekar Mabuk segera berkata kepada Merpati Liar dalam suara membisik,

"Putik Linang terkena racun 'Lidah Malaikat', harus segera diselamatkan. Aku akan menyambar Putik Linang dan membawanya ke seberang sana, kau menahan gerakan si Peluh Setanggi!"

"Aku tak suka diperintah. Aku akan lakukan apa yang ingin kulakukan!" jawab Merpati Liar menampakkan keras kepalanya.

Zlaaapp...! Suto Sinting tak mau pedulikan ucapan itu, ia segera melesat dan menyambar tubuh Putik Linang. Gerakannya yang seperti badai berhembus itu tak mampu dilihat dengan jelas oleh Peluh Setanggi, ia hanya melihat sekelebat bayangan yang menyambar tubuh Putik Linang.

"Mau dibawa ke mana dia, Setan! Biarkan dia mati oleh 'Lidah Malaikat'-ku!" seru Peluh Setanggi, lalu cepat-cepat sentakkan tangannya dan dari telapak tangan kiri itu keluar sinar merah memanjang tanpa putus.

Sinar merah itu tiba-tiba dihantam dengan sinar hijau dari atas bukit cadas. Slaaap...! Blegaaarrr...!

Perpaduan kedua sinar itu menimbulkan ledakan cukup dahsyat. Tanah di sekitar mereka bergetar, demikian pula pepohonan yang tumbuh di sekeliling tempat itu? Sinar hijau tadi membuat Peluh Setanggi terperanjat dan segera memandang ke atas bukit. Ternyata sinar hijau itu datang dari sentakan kedua  ujung jari Merpati Liar.

Melihat seorang perempuan berpakaian ketat warna biru berdiri di atas bukit cadas, hati Peluh Setanggi menjadi berang, ia berseru dari tempatnya berdiri.

"Setan kurap! Turun kau kalau memang...." Slaap, jleeg...!

Belum habis ucapan itu, tiba-tiba Merpati Liar sudah berada di samping Peluh Setanggi. Dalam hatinya Peluh Setanggi merasa kaget melihat kecepatan gerak lawan barunya itu. Kata-kata tadi tak jadi diteruskan, dan ia segera memandang dengan penuh curiga, ia merasa asing karena belum pernah bertemu dengan Merpati Liar.

"Siapa kau, Setan kurap?! Apa maksudmu mematahkan pukulan sinar merahku tadi, hah?!" Peluh Setanggi menghardik lebih dulu agar tak kalah nyali.

Merpati Liar memandang dengan tajam. Bicaranya pelan, namun jelas didengar oleh Peluh Setanggi. Nada bicara itu sangat dingin, terasa seperti menembus sampai ke dalam tulang.

"Kau pencuri pusaka Panji-panji Mayat itu! Kau harus bertanggung jawab menghadapiku, Gadis dungu!"

"Kutanya siapa dirimu?! Jawab!" bentak Peluh Setanggi semakin menampakkan keberaniannya.

"Tanyakan kepada tuanmu, siapa si Merpati Liar itu! Kucing Hutan mengenalku dan ia akan lari terbirit-birit jika melihatku!"

"Merpati Liar...?!" gumam Peluh Setanggi dalam hatinya, ia mencoba mengingat-ingat nama itu, dan ia merasa pernah mendengar nama tersebut disebutkan oleh Nyi Mas Gandrung Arum, ketika ia masih menjadi murid Biara Ungu.

Sementara itu, Suto Sinting sedang sibuk mengobati luka Putik Linang dengan tuaknya. Tuak itu berhasil diminumkan ke mulut Putik Unang. Senjata berupa sekeping logam mengkilat berhasil dicabut dari tubuh Putik Linang. Lukanya yang berlubang menutup sendiri secara perlahan-lahan dengan menimbulkan asap tipis dibarengi gerakan kulit yang mengatup. Rasa sakit Putik Linang mulai berkurang, makin lama makin tidak terasa lagi. Ia pun segera sadar siapa penolongnya saat itu. "Pendekar Mabuk...?!"

"Jangan bergerak dulu, biarkan lukamu kering betul baru bergerak lagi."

"Tapi... tapi aku harus menangkap Peluh Setanggi dalam keadaan hidup ataupun mati."

"Seorang sahabatku sedang menanganinya. Diamlah dulu di sini." Pandangan mata si tampan segera diarahkan ke pertemuan Peluh Setanggi dengan Merpati Uar. Tampaknya Peluh Setanggi bernafsu sekali ingin tumbangkan Merpati Liar, karena ia benci kepada orang yang memihak Biara Ungu. Merpati Liar dianggap memihak Biara Ungu, karenanya ingin sekali dihancurkan bersama sisa dendamnya kepada Putik Linang.

Namun baru saja Peluh Setanggi ingin bergerak, tiba- tiba ia terlempar ke samping dengan keras. Wuuuss...!

Brruuk...! "Haaahg...!"

Satu sentakan kepala Merpati Liar membuat pandangan matanya mampu melemparkan tubuh Peluh Setanggi. Mantan murid Biara Ungu itu membentur dinding bukit cadas yang nyaris tegak lurus itu. Ia jatuh terpuruk sesaat, dan segera berusaha bangkit dengan kerahkan tenaganya.

Tetapi agaknya Merpati Liar tak mau beri  kesempatan kepada lawannya untuk lakukan pembalasan. Pandangan matanya yang tajam menyentak ke atas dan membuat tubuh Peluh Setanggi melambung tinggi, lalu dalam keadaan melambung di udara, Merpati Liar menggunakan kekuatan pandangan matanya untuk melemparkan tubuh itu ke samping. Seett...!

Weess...! Brrukk...!

Tubuh gadis berkutang hijau itu membentur pohon. Suara pekikannya tak terdengar lagi, karena yang menghantam pohon bagian dadanya. Pernapasan pun menjadi sesak. Benturan itu sempat membuat pohon jati tersebut bergetar cukup hebat sehingga menimbulkan suara gemerusuk gaduh.

Baru saja tubuh Peluh Setanggi jatuh dari ketinggian, tiba-tiba melayang lagi dengan cepat dan menghantam dinding cadas. Brruusss...!

Jatuh lagi ke tanah, tahu-tahu sudah terlempar lagi menghantam pohon lebih besar dari yang tadi. Wuuutt...! Brrukk...! Jatuh lagi, terlempar lagi menghantam dinding cadas. Brruus...!

Merpati Liar hanya menggerakkan kepalanya ke kanan atau ke kiri, atau pula ke atas dan ke bawah. Tubuh Peluh Setanggi terbanting-banting bagai dibuat mainan lawannya. Darah mengucur dari hidung, mulut, dan bahkan kepalanya sempat bocor. Dadanya memar membiru serta tulang punggungnya terasa patah. Akhirnya Peluh Setanggi tak mampu berdiri lagi. Bahkan mengeluarkan keluh dan erangan nyaris tak kuasa.

"Serahkan pusaka itu atau nyawamu akan hilang sekarang juga?!" hardik Merpati Liar kepada lawannya. Peluh Setanggi hanya diam terkulai dengan menyeringai kesakitan.

Mata perempuan berpakaian ketat itu sudah memandang batu besar di atas bukit cadas itu. Batu tersebut mulai bergerak-gerak ingin menggelinding. Jika batu itu berhasil menggelinding dan jatuh ke bawah bukit, maka tubuh Peluh Setanggi akan hancur kejatuhan batu tersebut. Kekuatan mata Merpati Liar agaknya cukup mampu menggelindingkan batu sebesar gardu ronda itu.

"Katakan di mana kau simpan pusaka itu!" sentak Merpati Liar sambil tetap pandangi batu tersebut siap- siap untuk dijatuhkan dari atas bukit.

Pada saat setegang itu, tiba-tiba sekelebat bayangan tmelintas cepat menerjang Merpati Liar. Wuuut...! Craass...!

"Aaahg...!" Merpati Liar terpekik dan  segera limbung. Punggungnya koyak bagai ingin terbelah menjadi dua bagian. Seseorang telah menebaskan pedangnya dan tepat kenai punggung Merpati Liar.

Pendekar Mabuk yang sengaja tidak ingin turut campur menghajar Peluh Setanggi, menjadi terbelalak kaget melihat Merpati Liar terluka sebegitu parah. Lebih terkejut lagi setelah ia tahu siapa orang yang telah menebaskan pedangnya ke punggung Merpati Liar itu.

"Darah Prabu...?.'" ucapnya lirih penuh keheranan yang amat besar.

Rupanya Darah Prabu sudah berhasil melumpuhkan Buih Dewani dan Kuncup Nirwan. Kedua adik kembar Peluh Setanggi itu ditinggalkan di pantai, ia menyusul kekasihnya yang sedang menuju ke sebuah bukit, tempat asmara mereka bertemu yang pertama kali. Tapi di perjalanan ia melihat Peluh Setanggi dibuat babak belur oleh seorang lawan. Maka ia pun murka dan menerjang Merpati Liar dengan pedangnya.

"Setanggi...?! Setanggi..., aku datang!" seru Darah Prabu sambil mendekap Peluh Setanggi yang sudah tak bisa bersuara lagi itu.

Merpati Liar mengerang lirih dalam keadaan tertelungkup di tanah. .Pendekar Mabuk segera muncul di samping Merpati Liar. Pandangan matanya tertuju tajam kepada Darah Prabu.

"Suto...?!" Darah Prabu heran melihat Suto Sinting tampaknya berpihak kepada Merpati Uar.

"Mengapa kau lakukan kekejaman ini, Darah Prabu?!"

"Dia... dia ingin membunuh kekasihku!"

Dahi Pendekar Mabuk kian berkerut tajam. "Siapa kekasihmu yang kau maksud itu?"

"Peluh Setanggi...!" sambil Darah Prabu memeluk Peluh Setanggi penuh kecemasan. Pedangnya sudah dimasukkan ke dalam sarungnya.

"Darah Prabu, apakah kau tak salah lihat?! Peluh Setanggi adalah gadis buronanmu! Mengapa sekarang kau anggap sebagai kekasihmu?!"

"Karena... karena aku mencintainya dan dia mencintaiku!"

"Gila...!" geram Pendekar Mabuk sambil tetap memandang tajam kepada Darah Prabu.

Putik Linang muncul juga dalam keadaan sehat. Tapi ia ragu-ragu ingin menyerang Darah Prabu, sebab ia tahu Darah Prabu adalah murid Resi Badranaya yang tak boleh diganggu oleh para murid Nyi Mas Gandrung Arum. Akhirnya Putik Linang hanya diam terpaku, tak tahu apa yang harus diperbuat.

Darah Prabu merasa malu dipandangi Suto Sinting dengan sikap mencibir perasaan cintanya kepada Peluh Setanggi. Akhirnya, ia putuskan untuk membawa pergi Peluh Setanggi dan mengobatinya di tempat yang aman.

"Akan kujelaskan di lain kesempatan, Suto!" ujarnya, lalu melesat pergi sambil membawa Peluh Setanggi.

Putik Linang bergegas mengejar, tapi Suto Sinting segera mencegah dengan sebuah seruan, "Jangan kejar dia. "

"Tapi... tapi dia membawa lari Peluh Setanggi yang seharusnya kutangkap dan kuserahkan kepada Guru!"

"Dia bersama Darah Prabu. Jika kau berurusan dengan Darah Prabu, berarti kau akan mengadu domba Nyi Mas Gandrung Arum dengan Resi Badranaya, adik gurumu itu!"

Putik Linang menjadi salah tingkah sendiri. Pendekar Mabuk tidak hiraukan sikap salah tingkahnya Putik Linang. Perhatiannya tertuju pada Merpati Liar yang sedang sekarat, ia buru-buru menuangkan tuak ke mulut Merpati Liar dengan bantuan Putik Linang. Tuak tersebut berhasil tertelan oleh Merpati Liar sedikit demi sedikit. Lama-lama luka koyak memanjang dan dalam itu mengering dan mengatup secara ajaib. Menjelang senja nyaris berganti petang, Merpati Liar telah sehat kembali bagai tak pernah mengalami luka apa pun.

"Ke mana larinya si gadis bodoh itu?!"

"Ke barat bersama Darah Prabu!" jawab Putik Linang.

"Aku akan mengejarnya ke sana! Jika perlu pemuda yang melukaiku itu pun akan kuhancurkan!" "Jangan gegabah, Merpati! Darah Prabu itu muridnya Resi Badranaya!" ujar Pendekar Mabuk mengingatkan.

"Tak peduli murid siapa dia, jika berpihak pada pencuri pusaka Panji-panji Mayat akan kuhabisi nyawanya!"

Slaap...! Merpati Liar pun lenyap bagai ditelan bumi, padahal ia bergerak menuju ke barat. Pendekar Mabuk sempat geleng-geleng kepala dan bergumam lirih,

"Keras kepala sekali dia!"

Putik Linang segera berkata, "Apa yang harus kita perbuat jika begini?"

"Pulanglah ke Biara Ungu, kabarkan kepada Nyi Mas Gandrung Arum bahwa Peluh Setanggi sedang menjadi bahan buronan Merpati Liar. Pihaknya tak perlu ikut memburunya! Aku sendiri akan mengejar mereka sekarang juga!"

Agaknya tak ada pilihan lain bagi Putik Linang kecuali mengikuti saran Pendekar Mabuk, setelah pemuda tampan itu berkelebat ke arah barat.

*

* *

6

PADA waktu pertarungan Merpati Liar dengan Peluh Setanggi, ternyata Hantu Laut ada di balik semak-semak tak jauh dari tempat itu. Ia menyaksikan sendiri kehebatan Merpati Liar saat menghajar Peluh Setanggi, sampai kemunculan Darah Prabu dengan menyabetkan
 pedangnya, ia mendengar percakapan Darah Prabu dengan Pendekar Mabuk, walaupun ada sebagian yang tak begitu jelas karena gangguan di telinganya.

Maka ketika Darah Prabu membawa lari Peluh Setanggi ke arah persembunyian Hantu Laut, orang tanpa baju itu segera muncul menghadang dengan satu lompatan yang mengejutkan Darah Prabu.

Dengan masih menyangga tubuh Peluh Setanggi memakai kedua tangannya, Darah Prabu memandang tajam ke arah Hantu Laut. Ia merasa tak mengenal siapa orang yang menghadangnya, sehingga dengan suara menghardik ia pun berkata,

"Siapa kau, Setan gundul?! Mengapa menghalangi langkahku?!"

"Aku ada di pihak Pendekar Mabuk dan Merpati Liar. Lepaskan gadis itu!" Hantu Laut berkata tegas. Senjata yoyo sudah ada di genggaman tangannya.

"Kau boleh ambil gadis ini jika kau mampu membuatku menjadi bangkai!"

"Mau dibuat menjadi tangkai apa?! Tangkai sapu atau tangkai gayung?!" kata Hantu Laut salah dengar. Ucapan 'bangkai' didengarnya 'tangkai', dan hal itu membuat Darah Prabu berkerut dahi merasa tak paham maksud ucapan lawannya.

Merasa buang-buang waktu menghadapi orang yang sukar dipahami bicaranya itu, Darah Prabu segera hindari Hantu Laut dengan membawa lari Peluh Setanggi ke arah lain. Weess...! Tapi Hantu Laut segera mengejar dengan satu lompatan dan melepaskan pukulan tenaga dalam dari tangan kirinya. Wuuukk...! Beeehg...! "Aaahg...!" tenaga dalam tanpa sinar itu kenai

punggung Darah Prabu. Pemuda itu terjungkal dan Peluh Setanggi terlepas dari tangannya.

Hantu Laut maju menyerang dengan menendangkan kakinya ke arah kepala Darah Prabu yang baru saja mau bangkit berdiri itu. Tetapi tendangan tersebut dapat ditangkis dengan lengan kiri Darah Prabu. Plaak...! Dan sebuah pukulan bertenaga dalam jarak jauh dilepaskan menggunakan tangan kanannya. Wuuutt...! Claapp...!

Sinar kuning lurus mengenai lambung Hantu Laut.

Zzeeb...!

"Aaauaahk...!"

Hantu Laut terdorong ke belakang dengan terhuyung- huyung sejauh enam langkah. Tubuhnya terbungkuk- bungkuk dan seketika itu darah segar tersontak keluar dari mulutnya. Kepalanya terasa pening, urat-uratnya menjadi seperti putus semua. Akhirnya ia tumbang ke bumi bagai beduk jatuh dari pohon. Bluuuhg...! Ia terkulai tak mempunyai kekuatan lagi. Matanya terbeliak-beliak dengan mulut ternganga, napasnya tersentak-sentak bagai terhambat di tenggorokan.

Darah Prabu tak mau peduli lagi dengan lawannya. Yang dipikirkan adalah membawa Peluh Setanggi ke tempat aman untuk mengobati luka-luka sebelum terkejar oleh Pendekar Mabuk. Maka serta merta tubuh Peluh Setanggi yang babak belur dan dalam keadaan mencemaskan itu diangkat dan dibawa lari lagi. Kali ini ia menggunakan peringan tubuhnya yang tertinggi, sehingga dapat berlari menerabas semak belukar dengan mudahnya.

Merpati Liar tiba di tempat itu dan terkejut melihat keadaan Hantu Laut yang tak berdaya lagi itu. Ia mencoba mengajak bicara Hantu Laut dengan merendahkan badan,

"Siapa yang melakukannya?!"

"Tid... tidak ada yang me... menakutkan."

"Siapa yang melakukannya?!" ulang Merpati Liar dengan suara lebih keras lagi, karena Hantu Laut tadi salah dengar.

"Dda... Darah... Darah Prabu!"

"Jahanam!" geram Merpati Liar. "Ke mana arah larinya?"

Sebelum Hantu Laut menjawab, Suto Sinting sudah tiba di tempat itu dan segera lakukan pertolongan dengan tuaknya. Kedatangan Suto Sinting belum terlambat, seandainya terlambat, maka Hantu Laut akan kehilangan nyawa karena semakin lama ia merasa semakin sukar bernapas. Tapi berkat meminum tuak saktinya Pendekar Mabuk, luka dalam yang berbahaya itu dapat teratasi.

Hantu Laut dapat bicara dengan lancar lagi. Ia menjelaskan arah pelarian Darah Prabu. Namun ketika mereka hendak bergerak mengejar Darah Prabu kembali, tiba-tiba sebuah suara memanggil Pendekar Mabuk di kejauhan sana.

"Sutooo...! Sutooo...!"

Semua mata memandang ke arah lelaki berusia sekitar empat puluh tahun yang berlari-lari ke arah mereka. Merpati Liar kerutkan dahi dan bertanya ke- pada Pendekar Mabuk,

"Siapa orang itu?"

"Kelihatannya seperti Kadal Ginting, pelayannya Resi Pakar Pantun," jawab Suto Sinting dengan mengecilkan mata untuk dapat melihat lebih jelas lagi.

Ternyata memang benar, Kadal Ginting yang mengikuti pelarian Darah Prabu sejak dari pantai, akhirnya tiba di tempat itu dan bertemu dengan Pendekar Mabuk. Dengan napas terengah-engah, Kadal Ginting mulai menceritakan apa yang dilihatnya secara sembunyi-sembunyi tentang Darah Prabu dan Peluh Setanggi.

"Gadis itu tak ada puasnya, mengajak lagi, mengajak lagi, dan Darah Prabu sendiri tak ada capeknya. Aku sendiri yang mengintip perbuatan itu merasa capek, tapi mereka bagai tak kenal lelah sedikit pun," tutur Kadal Ginting dengan berapi-api.

Merpati Liar palingkan wajah, memandang ke arah pelarian Darah Prabu, ia merasa malu mendengar cerita Kadal Ginting di depan Pendekar Mabuk. Apalagi Kadal Ginting menceritakannya sambil sesekali menirukan gerakan Darah Prabu dan Peluh Setanggi, bagi Merpati Liar hai itu cukup memalukan sebab di situ hanya dia seorang yang sebagai perempuan.

"Lalu, bagaimana dengan dua adik kembarnya Peluh Setanggi itu?" tanya Suto Sinting kepada pelayan Resi Pakar Pantun.

"Mereka terkapar di pantai, entah mati atau hanya pingsan, aku tak berani memeriksanya."

Pendekar Mabuk segera memandang Merpati Liar dan berkata, "Kelihatannya mereka saling lepaskan aji pemikat, sehingga keduanya saling jatuh cinta tanpa sadar siapa orang yang mereka cintai."

"Persetan! Itu urusan mereka," ujar Merpati Liar dengan sifatnya yang agak kasar dan selalu ketus itu. "Yang kupikirkan adalah pusaka itu. Peluh Setanggi harus serahkan kembali pusaka Panji-panji Mayat kepada orang yang berhak memilikinya!"

"Nah, tentang Panji-panji Mayat aku punya cerita sendiri...!" sahut Kadal Ginting dengan sikap bangga. Kemudian ia menceritakan apa yang didengar dari percakapan Peluh Setanggi bersama kedua adik kembarnya, mengenai pusaka Panji-panji Mayat yang ternyata palsu itu. Merpati Liar dan Suto Sinting terkejut.

"Palsu...?!" gumam Pendekar Mabuk dengan dahi berkerut tajam dan sedikit melongo.

Hantu Laut menimpali, "Siapa yang bisu?!" "Palsu! Bukan bisu!" sentak Kadal Ginting.

Pendekar Mabuk bicara mirip orang menggumam, "Jika pusaka itu palsu, lantas mengapa Resi Badranaya mengutus muridnya memburu Peluh Setanggi?!"

Merpati Liar menjawab, "Mungkin Resi Badranaya sendiri tak tahu kalau pusaka itu palsu?"

"Jika benar begitu, lantas di mana pusaka yang asli?!" Kadal Ginting ikut bicara, "Mungkin memang benar, pusaka itu ditukar dengan yang palsu oleh Peluh Setanggi sebelum diserahkan kepada Kucing Hutan."

Pendekar Mabuk dan Merpati Liar saling pandang dalam renungannya. Kejap berikutnya Merpati Liar tarik napas dalam-dalam, setelah itu baru berkata seperti ditujukan pada dirinya sendiri,

"Untuk mendapatkan kepastian, Peluh Setanggi harus berhasil kutangkap dan kupaksa bicara dengan caraku sendiri!"

Merpati Liar bergerak lebih dulu tanpa memberi perintah kepada siapa pun. Pendekar Mabuk akhirnya mengikuti gerakan perempuan tersebut menuju ke arah pelarian Darah Prabu. Hantu Laut dan Kadal Ginting mengikutinya dengan susah payah, mereka tertinggal jauh. Apalagi hari menjadi petang, mereka sulit menemukan arah gerakan Pendekar Mabuk dan Merpati Liar.

Pengejaran itu membawa mereka ke sebuah desa. Di desa itu ada kedai yang lumayan besar dengan pengunjung cukup ramai. Pendekar Mabuk mengajukan gagasan kepada Merpati Liar untuk singgah di desa itu dan meneruskan pengejaran esok paginya.

"Malam-malam begini tak mungkin kita bisa temukan arah pelarian mereka, Merpati!"

Gagasan itu dapat diterima Merpati Liar karena beralasan dan masuk akal. Kesempatan singgah di kedai digunakan Suto Sinting untuk mengisi bumbung tuaknya yang tinggal beberapa teguk lagi itu. Jika bumbung berisi tuak penuh, hati Pendekar Mabuk merasa lega, seakan ke mana pun ia pergi tak mempunyai kecemasan sedikit pun.

"Bagaimana dengan Hantu Laut dan Kadal Ginting? Apakah mereka tahu kita ada di sini?" tanya Merpati Liar setelah sampai beberapa saat mereka berada di kedai, tapi Hantu Laut dan Kadal Ginting belum muncul juga.

"Hantu Laut sudah terbiasa mencari jejakku, mereka pasti akan menemukan kita," kata Suto Sinting sambil pandangi orang-orang di dalam kedai itu. Tak satu pun wajah yang dikenalnya, sebab memang desa itu baru pertama kali disinggahi olehnya.

Dengan menyewa sebuah kamar, mereka bermalam  di desa tersebut. Tentu saja Merpati Liar tak mau tidur seranjang dengan Pendekar Mabuk. Hati kecil bisa menerima, tapi akal sehatnya menolak, sebab ia tak mau jatuh harga dirinya dengan menerima kehadiran lelaki di ranjangnya. Mau tak mau Pendekar Mabuk tidur di  lantai dengan menggelar tikar pandan.

"Selama ini aku tak pernah mendengar namamu disebut-sebut dalam dunia persilatan," kata Suto Sinting sambil merebahkan badan. "Mengapa sampai terjadi begitu, Merpati?"

"Aku sedang pelajari suatu ilmu warisan Nyai Guru yang sampai sekarang belum bisa kurampungkan," jawab Merpati Liar sambil berbaring telentang di ranjangnya, ia bagaikan bicara dengan langit-langit kamar.

"Ilmu apa yang kau peiajari itu?"

Merpati Liar tak langsung menjawab, ia mempunyai pertimbangan sendiri. Agaknya ia merahasiakan ilmu tersebut, tak ingin diketahui oleh orang lain sebelum berhasil dipelajari. Karenanya ia pun segera memiringkan badannya, memandang ke bawah dan di bawah tampak wajah Suto Sinting telentang dengan lengan di dahi.

"Aku sedang mempelajari ilmu pemikat," jawabnya tampak tidak bersungguh-sungguh, membuat Pendekar Mabuk memandang sambil sunggingkan senyum menawan. Desir di hati Merpati Liar membuat batin mengeluh, seakan tak mau menerima desiran indah setiap memandang senyuman Suto Itu.

"Siapa yang ingin kau pikat?" tanya Pendekar Mabuk memancing canda, mengendurkan ketegangannya dalam mengejar gadis buronan itu.

"Siapa saja orangnya yang mau kupikat akan kupikat dengan ilmu itu. Termasuk kau!"

Senyum pendekar tampan itu kian melebar. Kini Merpati Liar mulai sunggingkan senyum tipis yang amat menarik dan menambah kecantikannya. Mereka saling pandang dengan tatapan mata lembut. Lalu, Pendekar Mabuk memancing sikap perempuan cantik itu,

"Aku bersedia kau pikat. Pikatlah aku dengan ilmumu itu!"

Senyum Merpati Liar kian lebar. Bunga-bunga indah mekar di hatinya. Namun agaknya ia tak mau menuruti irama indah dalam hati, sehingga dengan mengubah tidurnya menjadi telentang kembali, Merpati Liar sempat ucapkan kata yang memancing tawa lirih di bibir Suto Sinting.

"Nanti saja, kalau gadis buronan itu sudah berhasil kutangkap dan pusaka Panji-panji Mayat berhasil kukembalikan kepada yang berhak, kau akan kujerat dengan ilmu pemikatku!"

Agaknya Merpati Liar sangat patuh kepada wasiat gurunya. Perhatiannya tercurah pada tugasnya menjaga agar jangan sampai pusaka Panji-panji Mayat jatuh ke tangan orang yang bukan keturunan dari Nyai Parisupit. Terlebih jangan sampai pusaka itu jatuh ke tangan tokoh aliran hitam. Sebab itulah, Merpati Liar menjadi berang saat mendengar kabar pusaka Panji-panji Mayat dicuri Peluh Setanggi, ia sendiri tak tahu kalau peristiwa ini akan mempertemukan dirinya dengan Pendekar Mabuk yang memiliki wajah tampan dan senyum menawan itu. Sekalipun demikian dekat dengan si pendekar tampan, namun urusan pribadinya masih mampu dikesampingkan, dan ia lebih mengutamakan tugas yang diberikan oleh mendiang gurunya ketika sang Guru masih hidup.

Begitu matahari mulai menampakkan suryanya, Merpati Liar bergegas meninggalkan kedai itu. Pendekar Mabuk masih terasa mengantuk, tapi karena perempuan itu nekat akan pergi meneruskan pengejarannya walaupun tanpa Suto Sinting, mau tak mau murid si Gila Tuak menghapus rasa kantuknya dengan meneguk tuak di ujung pagi. Mereka bergerak mengikuti naluri Merpati Liar, arah utara menjadi sasaran pengejarannya. Perempuan itu seakan punya keyakinan bahwa di arah utara nanti ia akan dapat bertemu dengan Darah Prabu dan Peluh Setanggi.

Merpati Liar mempunyai firasat yang cukup tajam. Kenyataannya Darah Prabu dan Peluh Setanggi memang bergerak ke arah utara. Semalaman mereka tinggal di dalam gua, dan di gua itulah Darah Prabu melakukan penyembuhan terhadap diri Peluh Setanggi dengan cara menyalurkan pernapasan murni yang dapat membentuk hawa sakti di dalam tubuh Peluh Setanggi. Hawa sakti itulah yang membuat rasa sakit Peluh Setanggi lenyap, luka-lukanya mengering walau tak bisa hilang seperti menelan tuak Suto. Tetapi tenaga Peluh Setanggi berhasil pulih kembali. Buktinya mereka sempat bercinta satu kali di dalam gua tersebut

"Kita menghadap guru saja, dan minta dinikahkan secara resmi!" usul Darah Prabu yang benar-benar telah tertawan hatinya oleh nikmatnya bercumbu bersama Peluh Setanggi Itu.

"Apakah gurumu mau menikahkan kita, karena... karena kurasa gurumu tahu siapa diriku."

"Guru pasti mau menuruti permintaanku, karena beliau tak punya murid lain kecuali aku sendiri."

"Bagaimana jika gurumu menolak?"

"Aku akan tinggalkan dia dan kita menikah di tempat lain. Aku kenal seorang pendeta aliran putih yang menganggapku seperti anak sendiri. Kita bisa minta bantuannya untuk menikahkan kita, supaya kelak jika kau melahirkan bayi maka bayi kita bukan bayi setan."

"Terserah padamu, apa saja yang ingin kau lakukan aku akan selalu setuju, asal jangan kau tinggalkan diriku walau sekejap pun, Prabu."

"Meninggalkan kau sama saja meninggalkan nyawaku, Setanggi."

Kebulatan tekad itulah yang membawa mereka ke arah utara, karena di sana ada sebuah gunung yang bernama Gunung Wakas. Di pundak Gunung Wakas itulah sang Resi Badranaya membangun pertapaan, dan pertapaan itu akhirnya menjadi padepokan untuk melatih ilmu kanuragan bagi murid tunggalnya; Darah Prabu.

Perjalanan mereka ke Gunung Wakas tak bisa mulus, apalagi Darah Prabu membawa gadis buronan yang diburu oleh berbagai pihak, tentu saja cukup banyak perintangnya.

Seberkas sinar hijau sebesar buah kelapa melesat dari suatu kerimbunan semak. Sinar hijau itu mengarah kepada Peluh Setanggi. Tetapi dengan cekatan Darah Prabu menyambar tubuh gadis buronan dan membawanya terbang sejauh delapan langkah.

Wuuss...! Jegaarrr...!

Sinar hijau menghantam tanah, dan tanah itu menjadi retak selebar dua langkah panjangnya sekitar sepuluh tombak. Asap mengepul dari keretakan tanah tersebut.

*

* *

7

SIAPA orang yang menyerang kita?!" bisik Peluh Setanggi setelah turun dari topangan tangan Darah Prabu. Matanya memandang ke sekeliling dengan jeli. Darah Prabu bersiap lindungi gadis buronan itu dengan berdiri di depan Peluh Setanggi.

Tiba-tiba sebatang anak panah melesat dengan memancarkan cahaya merah bara. Weeess...!

"Awas...!" seru Darah Prabu mengingatkan Peluh Setanggi, karena anak panah itu datang dari arah samping mereka. Keduanya saling melompat berbeda arah. Wuut, wuut...! Anak panah yang menyala bagai besi membara itu melesat ke tempat kosong, lalu menghantam sebuah pohon. Deeebb...!

Weess...!

Anak panah itu membalik arah dengan sendirinya, sasarannya menuju kepada Peluh Setanggi. Melihat Peluh Setanggi terancam bahaya, Darah Prabu segera lepaskan pukulan bersinar biru dari telapak tangan kirinya. Claapp...! Sinar biru itu menghantam anak panah yang menuju Peluh Setanggi.

Blegaarr...!

Ledakan menggelegar terjadi bersamaan dengan hancurnya anak panah yang memercikkan bunga api ke mana-mana itu. Ledakan itu menyentakkan tubuh Peluh Setanggi hingga terlempar ke belakang dan berguling- guling tujuh langkah jauhnya. Sedangkan Darah Prabu yang berada dalam jarak cukup jauh dari ledakan tadi hanya terdorong ke belakang dua tindak.

Ia segera melesat hampiri kekasihnya yang terpuruk di bawah sebatang pohon. Weess...! Dalam sekejap sudah berada di samping Peluh Setanggi dan matanya memandang ke sana-sini dengan tajam.

"Setanggi, kau terluka?!"

"Tidak, Prabu. Aku tidak apa-apa!" Peluh Setanggi segera bangkit dan menarik napas dalam-dalam. Darah Prabu memeriksanya sebentar, ia segera memeluk lega kepada gadis buronannya yang telah menjadi kekasihnya itu.

"Syukurlah, kau tak terluka apa pun!"

Namun pada saat mereka berpelukan, sebatang anak panah meluncur lagi dari balik kerimbunan semak yang sama. Sasaran anak panah itu adalah punggung Darah Prabu yang sedang memeluk Peluh Setanggi.

Melihat kedatangan anak panah yang memercik- mercikkan sinar biru petir itu, Peluh Setanggi segera memeluk erat pemuda itu. Kakinya menghentak ke tanah dan tubuh mereka melesat ke atas dalam keadaan tetap berpelukan. Wuuuttt...!

Anak panah itu tiba-tiba memecah menjadi empat bagian, masing-masing ke arah kanan, kiri, atas, bawah. Cahaya biru petir masih menyertai tiap anak panah tersebut.

Tubuh mereka yang melambung ke atas kini telah saling terpisah dan sama-sama hinggap di atas sebuah dahan berbeda pohon. Wut, wut...! Jleg, jleg...!

Anak panah yang menuju ke atas mengarah kepada Darah Prabu. Peluh Setanggi segera lepaskan pukulan dari tempatnya dengan sentakan kedua jarinya yang memancarkan selarik sinar merah. Slaapp...! Sinar merah tanpa putus itu menghantam anak panah yang mengarah kepada Darah Prabu. Taaarrr...!

Letupan kecil terdengar namun justru membuat Darah Prabu dan Peluh Setanggi terbelalak kaget, karena anak panah yang meletup akibat dihantam sinar merah tadi pecah menjadi delapan bagian. Tiap bagian membentuk anak panah kecil yang masih memancarkan kilatan sinar biru petir. Kedelapan anak panah melaju cepat ke arah Darah Prabu.

"Lari, Prabu...!" teriak Peluh Setanggi dengan tegang. Darah Prabu pun segera sentakkan kaki dan tubuhnya bagaikan terbang berpindah pohon. Wuuusss...!

Delapan anak panah kecil itu akhirnya menghantam batang pohon tempat berdirinya Darah Prabu semula.

Jegaarr...! Blaaarr...! Blegaaarr...!

Ledakan yang timbul sungguh dahsyat, mengguncang beberapa pohon di sekitar tempat itu. Bahkan dua pohon tua ada yang tumbang dengan akar terangkat ke atas, tanahnya menyebar ke mana-mana. Pohon yang terkena delapan anak panah kecil-kecil itu menjadi serpihan kayu yang tak bisa dikatakan lagi sebagai batang atau ranting.

Ledakan itu membuat Peluh Setanggi kehilangan keseimbangan dan tergelincir jatuh dari dahan yang dipijaknya. Wuuutt...! Untung ia bisa menguasai keseimbangan tubuh, sehingga ketika sampai di tanah kedua kakinya menapak dengan baik. Ia sempat melihat tiga anak panah lainnya berbalik arah tanpa menyentuh apa pun, lalu di pertengahan jalan ketiganya bergabung menjadi satu dan melesat lurus kembali ke tempat datangnya tadi.

Wuk, wuk, wuk...! Darah Prabu melompat turun dengan bersalto tiga kali. Gerakan itu dilakukan dengan cepat, sehingga dalam sekejap sudah berada di sisi Peluh Setanggi lagi.

"Setanggi, kau masih tak apa-apa?" tanyanya cemas. "Tenang, Prabu! Akan kuhantam orang yang

bersembunyi di balik gerumbulan semak di seberang sana!" ujar Peluh Setanggi kemudian melepaskan pukulan jarak jauhnya dengan menyentakkan tangan kiri yang keempat jarinya berdiri tegak merapat dan mengarah lurus ke depan. Wuuutt...!

Slaaapp...!

Segumpal sinar merah bagaikan bola api melayang cepat menghantam gerumbulan semak di seberang sana. Zrraakk...! Buummm...!

Blegaarr...!

Dua pohon tumbang seketika dihantam bola api itu. Semak-semak yang ada di bawah pohon tersebut buyarkan menjadi hangus, sehingga tempat itu tampak terbuka terang. Tetapi tak ada orang di balik semak yang terbakar hangus itu. Peluh Setanggi memandang penuh rasa kecewa yang menambah kemarahannya.

"Jahanam! Tak ada manusia di sana!" geramnya dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat.

"Pasti dia sudah berpindah tempat!" kata Darah Prabu.

"Memang...!" tiba-tiba sebuah suara menjawab tepat di atas kepala mereka. Seseorang ada di atas pohon tempat mereka berdiri. Orang itu segera lepaskan pukulan ke bawah bersinar merah lurus. Slaaap...!

"Prabu...!" sentak Peluh Setanggi karena arah sinar  itu bagai ingin menembus ubun-ubun Darah Prabu.

Dengan  cepat  Darah  Prabu  sentakkan  telapak tangannya ke atas, kakinya berlutut satu. Claapp...!

Sinar kuning melesat dari telapak tangan Darah Prabu dan menghadang kecepatan gerak sinar merah dari atas.

Blegaarr...!

Darah Prabu terpental dan berguling-guling, sedangkan orang yang ada di atas pohon itu pun terpental hingga mematahkan sebatang dahan milik pohon sebelahnya. Krraakk...! Brruukk...!

Peluh Setanggi melesat hampiri kekasihnya yang berusaha bangkit berdiri, ia menolong bangkit dengan memegangi tangan Darah Prabu. Wajah Peluh Setanggi tampak cemas melihat mulut pemuda itu mengeluarkan darah sedikit di tepian bibirnya.

"Kau terluka, Prabu?! Kau terluka? Ooh... Prabu...!" "Tenang, tenang... aku hanya terluka sedikit. Tak apa,

bisa kuatasi dengan napas murniku!"

"Atasilah dulu lukamu, aku akan melayani si keparat itu!"

Orang yang jatuh dari pohon itu ternyata mampu atasi diri sehingga tidak mengalami luka dan sakit apa pun. Ia kini berdiri dengan kaki sedikit merenggang menghadap ke arah Peluh Setanggi. Di tangannya menggenggam busur panah berhias gading, tempat panahnya ada di punggung diikat dengan tali kulit menyilang dada. Pemanah itu adalah seorang perempuan cantik berhidung mancung dengan rambut disanggul.

Rupanya Peluh Setanggi mengenali wajah cantik yang seperti berusia tiga puluh tahun itu, walaupun sebenarnya usianya sudah cukup banyak. Tak heran jika Peluh Setanggi segera menyapa dengan kasar kepada perempuan berjubah biru iaut tanpa lengan dan berkulit sawo matang itu.

"Keparat kau, Geladak Ayu!"

Dewi Geladak Ayu yang dikenal sebagai bajak laut wanita itu hanya sunggingkan senyum tipis dan sinis, ia melangkah dua tindak dan berhenti dengan sikap menantang penuh wibawa. Rupanya ia benar-benar berhasil mengatasi racun yang nyaris mencelakakan nyawanya pada saat ia terkena lemparan pisau beracunnya si Kucing Hutan. Ia berhasil lolos dari cengkeraman Kucing Hutan yang bermaksud memaksanya untuk menyerahkan pusaka Panji-panji Mayat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu"). Kucing Hutan tak ingat bahwa Dewi Geladak Ayu mempunyai ilmu 'Napas Tolak Bala' yang mampu menawarkan racun dengan sendirinya sebelum merenggut nyawanya.

Darah Prabu segera dekati Peluh Setanggi dan memandang ke arah Dewi Geladak Ayu. Pada saat itu sebenarnya mereka diperhatikan oleh dua pasang mata yang mengintai dari balik pohon seberang. Mereka yang ada di balik pohon itu adalah Pendekar Mabuk dan Merpati Liar.

Suara ledakan dahsyat tadi memancing arah pengejaran mereka ke tempat itu. Merpati Liar ingin segera menyerang Peluh Setanggi ketika Peluh Setanggi jatuh dari pohon. Tetapi gerakannya ditahan oleh Suto Sinting yang berkata dalam bisik,

"Kita lihat dulu siapa penyerang mereka dan bagaimana hasilnya! Ngirit tenaga!"

Merpati Liar akhirnya urungkan niat, ia menyimak ke arah pertarungan. Bahkan sekarang ia merasa lebih baik di persembunyian daripada ikut terjun ke pertarungan, sebab dengan berada di persembunyian ia bisa mendengar percakapan mereka. Merpati Liar pun mengenal siapa Dewi Geladak Ayu itu, namun antara dirinya dengan Dewi Geladak Ayu tidak pernah punya masalah apa-apa. Karenanya ia berharap agar Dewi Geladak Ayu dapat lumpuhkan Peluh Setanggi dan Darah Prabu yang mulai dibencinya karena memihak Peluh Setanggi.

"Mengapa kau menyerang kami, Geladak Ayu?! Apakah kau sudah bosan hidup menjadi bajak laut? Apakah kau ingin hidup sebagai bajak neraka?!"

"Tutup mulutmu, Peluh Setanggi!" bentak Dewi Geladak Ayu dengan pandangan mata mulai buas. "Beberapa waktu yang lalu kapalku kau tenggelamkan bersama orang-orang Biara Ungu, beberapa anak buahku kalian bantai seenak perut kalian sendiri! Sekarang aku menuntut balas dan ingin hancurkan orang-orang Biara Ungu! Karena kau adalah orang Biara Ungu, maka kau pun wajib mati di tanganku!"

"Aku bukan orang Biara Ungu lagi!" sentak Peluh Setanggi dengan lantang. "Aku sudah keluar dari perguruan keparat itu! Jangan libatkan aku lagi dengan urusan Biara Ungu! Jika kau ingin menuntut kehancuran kapalmu, tuntutlah si pendeta sesat itu!"

"Hmmm...," Dewi Geladak Ayu mencibir sinis. "Kau ingin cuci tangan begitu saja karena takut menghadapi kesaktianku? Oh, tak bisa! Kau harus ikut mati seperti halnya adik kembarmu; si Pedang Gunting!"

Peluh Setanggi terperanjat mendengar adik kembarnya yang bernama Pedang Gunting telah dibunuh oleh Dewi Geladak Ayu. Rona wajahnya menjadi merah menandakan kemarahannya mulai memuncak, ia pun menggeram dengan kedua mata mengecil memancarkan dendam begitu dalam.

"Kalau begitu kau layak kuhancurkan sekarang juga, Geladak keparat!"

"Kau yang harus hancur, Peluh cabul! Hiaaah...!"

Dewi Geladak Ayu melambung ke atas, dari ujung busurnya keluarlah sinar biru menghantam ke arah Peluh Setanggi. Slaaap...! Peluh Setanggi lompat ke kiri, Darah Prabu lompat ke kanan. Tapi dari tangan mereka masing- masing lepaskan pukulan jarak jauh yang berbahaya.

Peluh Setanggi lepaskan pukulan bersinar hijau patah-patah, sedangkan Darah Prabu lepaskan pukulan kuning bergumpal-gumpal mirip kabut. Claap...! Wuuurrss...!

Blaaarr...! Sinar birunya Dewi Geladak Ayu mengenai tanah tempat mereka berdiri semula. Jegaarrr...! Blaaarrr...!

Kedua serangan lawannya ditangkis dengan kibasan busur yang mengeluarkan sinar biru membentuk setengah lingkaran bagai melingkupi tubuhnya. Rupanya sinar biru itu tidak bisa ditembus sinar tenaga dalam lawan, akibatnya meledak bersamaan dan membuat Dewi Geladak Ayu terjengkang ke belakang tiga langkah jauhnya, ia jatuh berguling satu kali, tapi tiba-tiba sudah bangkit berdiri dengan tegak kembali.

"Perempuan jalang!" sentak Darah Prabu. "Kalau kau ingin menghancurkan kekasihku yang tercinta ini, kau harus berhadapan denganku dulu. Darah Prabu tak akan izinkan siapa pun menyentuh bayangan Peluh Setanggi!" sambil Darah Prabu menepuk dada.

"Hmmm...!" Dewi Geladak Ayu mencibir sinis. "Ketampananmu belum seberapa dibanding ketampanan Pendekar Mabuk, Bocah ingusan! Perempuan bodoh itu memang layak mendapatkan kekasih sepertimu, hanya kau saja yang lebih bodoh sehingga mau menjadi kekasih pelacur murahan itu!"

"Jahanam! Berani menghina calon istriku kau, hah?!

Heiaaatt...!"

Darah Prabu marah, pedangnya dicabut dan ia melesat maju menerjang Dewi Geladak Ayu. Pedangnya ditebaskan dengan cepat ke arah Dewi Geladak Ayu. Tapi bajak laut wanita itu menangkisnya dengan busur yang dialiri tenaga dalam hingga kekerasannya menyerupai baja. Trang, trang, trang, weess...! Trang, beeehg...! "Uuhg...!" Darah Prabu tersodok ujung busur pada

ulu hatinya, ia tersentak mundur dua langkah dengan sedikit membungkuk menahan rasa mual di perutnya.

"Prabu...?!" Peluh Setanggi tampak cemas melihat keadaan Darah Prabu, ia menjadi semakin marah dan segera lakukan pembalasan kepada Dewi Geladak Ayu.

"Hiaaatt...!"

Sraaang...! Pedang dicabut dari sarungnya, Peluh Setanggi berkelebat dengan gerakan pedang bagai melilit-lilit di tubuhnya. Tebasannya begitu cepat dan kuat, sehingga ketika ditangkis dengan busur menimbulkan percikan sinar merah beberapa kali.

Trang, claap... trang, clap... trang, dap...!

"Aauh...!" Dewi Geladak Ayu memekik sambil palingkan wajah. Matanya terpejam kuat-kuat karena kedua mata itu terkena percikan sinar merah dari perpaduan pedang dengan busur, ia mencoba membuka mata dan memandang sekitarnya, namun langkahnya menjadi gontai karena tak bisa berbuat apa-apa. Ia segera menyadari dirinya telah menjadi buta.

"Bangsaaat...!" teriaknya murka. "Kau telah membuat mataku menjadi buta, Keparat!" sambil mencoba meraba sekelilingnya, ia menemukan sebatang pohon dan berpegangan pada batang pohon itu.

"Hik, hik, hik, hik...!" Peluh Setanggi tertawa kegirangan. "Sekarang kau adalah bajak laut yang tuna netra, Geladak setan! Kau akan berlayar menuju lautan api, tepatnya di kubangan besar yang bernama neraka. Kukirim kau ke sana sekarang juga sebagai pembalasan atas kematian si Pedang Gunting. Heeeaaah...!"

"Matilah si Geladak Ayu itu!" gumam Merpati Liar dengan wajah tegang.

Pada saat-saat menegangkan itu, tiba-tiba berkelebat seberkas sinar ungu menerjang pedang Peluh Setanggi yang sudah terangkat siap ditebaskan dari atas ke bawah itu. Slaapp...! Prraang...! Pedang itu pun buntung seketika karena pecah menjadi kepingan-kepingan tak berguna.

"Siapa yang melakukannya?!" sergah Merpati Liar dengan mata melebar dan suara membisik. Suto Sinting yang ikut terperangah itu segera ucapkan kata membisik pula.

"Pasti ada pihak lain yang lindungi Dewi Geladak Ayu!"

Bluub...!

Segumpal asap muncul di depan Peluh Setanggi. Kemunculan asap itu mengeluarkan gelombang tenaga dalam yang menyentak dan membuat tubuh Peluh Setanggi terlempar ke belakang, langsung ditangkap  oleh Darah Prabu.

Asap putih mengepul makin tinggi dan makin tipis, lalu tampaklah sosok seorang lelaki tua  berkepala gundul dengan brewok putih rata. Lelaki tua itu mengenakan pakaian model biksu dengan warna kain kuning, mengenakan kalung tasbih batu putih sebesar kelereng. Kemunculannya yang tiba-tiba menunjukkan kesaktian ilmunya di atas Peluh Setanggi dan Darah Prabu.

Yang jelas, Darah Prabu terperanjat tegang melihat kemunculan tokoh tua itu. Ia tak berani lakukan serangan balasan untuk membela Peluh Setanggi. Sementara itu, Peluh Setanggi pun segera berwajah cemas begitu mengetahui siapa yang muncul di depannya melindungi Dewi Geladak Ayu.

"Guru...?!" sapa Darah Prabu kemudian segera membungkuk memberi hormat.

"Siapa orang itu, Merpati?" tanya Suto Sinting.

"Resi Badranaya!" jawab Merpati Liar dengan mata tetap lurus ke arah pertarungan.

"Oooh... dia orangnya yang bernama Resi  Badranaya? Baru sekarang aku melihatnya," gumam Suto Sinting. Kemudian ia segera hentikan gumaman kareni Resi Badranaya mulai bicara.

"Apa yang kau lakukan di sini, Darah Prabu?!" tanyanya penuh wibawa.

"Hmmm... eh... kami... kami melawan Geladak Ayu, Guru," jawab Darah Prabu dengan gugup. "Mengapa Guru melindungi bajak laut wanita, tokoh sesat itu?"

"Bukan bajak lautnya yang kulindungi, dan bukan kesesatannya yang kubela, tetapi gadis buronanmu itu tidak boleh memakan korban lagi! Sudah waktunya dia yang menjadi korban peristiwa pencurian pusaka itu!"

Darah Prabu melihat gurunya memusuhi Peluh Setanggi, ia segera berdiri di depan Peluh Setanggi, melindungi kekasihnya dari murka sang Guru.

"Kuharap, Guru jangan murka kepadanya. Peluh Setanggi telah menjadi kekasih saya, calon istri saya, Guru! Mohon Guru sudi merestui pernikahan kami."

"Apa...?!" sentak Resi Badranaya dengan kaget. "Malah mau kau nikahi?! Edan tujuh turunan kau ini, Prabu?!"

Suto Sinting tertawa terkikik-kikik  mendengar ucapan Resi Badranaya. Mulutnya segera dibekap dengan tangan Merpati Liar.

"Diam, tolol! Jangan sampai mereka tahu kita menyadap pembicaraan di sini!" bisik Merpati Liar, dan Suto Sinting menghentikan tawanya. Tangan itu belum mau dilepaskan dari mulut Suto Sinting. Dengan nakal Suto menggigit tangan Merpati Liar.

"Auh...!" sentak Merpati Liar dengan suara tertahan, ia segera melepaskan tangannya dari mulut Suto Sinting. "Bagaimana aku tak merasa geli, disuruh menangkap

musuh malah minta dikawinkan? Konyol itu namanya!"

Mereka kembali menyimak percakapan di seberang sana.

"Ada apa dengan dirimu, Muridku?! Kulihat noda merah pecah di keningmu. Hmmm... kalau tak salah dugaanku, kau telah terkena jurus pemikat aliran si Gandrung Arum!"

"Tidak... tidak, Guru. Saya tidak kena pikat, tapi memang mencintai Peluh Setanggi. Kami saling mencintai, Guru. Mohon segera dinikahkan secara resmi!"

"Tidak!" sentak Resi Badranaya. Kemudian ia menuding muridnya dengan telunjuk, dan dari telunjuknya itu melesat sinar putih perak bagai anak panah melesat dari busurnya. Claaapp...! Deeebbb...!

Sinar itu menghantam kening Darah Prabu. Kepala pemuda tampan itu tersentak mundur satu kali, tapi tak membuatnya tumbang atau celaka. Hanya saja, ia segera terkejut dan seperti merasa heran terhadap keadaan sekelilingnya.

Suto Sinting berkata lirih, "Hei, lihat... Geladak Ayu melarikan diri dengan gunakan mata batinnya!"

"Ssst...! Biarkan saja dia lari. Lihat, Darah Prabu menjadi seperti orang linglung. Rupanya ia baru disadarkan oleh gurunya dari pengaruh ilmu pemikatnya Peluh Setanggi!"

Darah Prabu memang seperti orang linglung, bahkan ia bertanya pada diri sendiri, "Mengapa aku ada di sini?! Lho... Guru? Oh, ampuni saya, Guru! Saya tidak tahu kalau Guru ada di depan saya!" lalu ia membungkuk memberi hormat kepada Resi Badranaya.

"Prabu...?!" sapa Peluh Setanggi dengan cemas, ia masih dalam pengaruh jurus pemikatnya Darah Prabu. Dan ketika murid Resi Badranaya itu berpaling ke belakang, wajah sang murid menjadi tegang.

"Hei, kau ada di sini, buronanku?!"

"Hmmm... iya, kita... kita memang selalu bersama, Prabu!"

"Keparat! Kau yang mencuri panji-panji itu, bukan?!

Hiaaat..."

Darah Prabu menerjang Peluh Setanggi tanpa rasa cinta lagi. Gadis itu terpental karena tendangan keras Darah Prabu. Brrus...!

"Aaauh...! Prabu, mengapa kau berubah sikap padaku?!" Peluh Setanggi ketakutan menghadapi Darah Prabu yang berbalik sikap menjadi memusuhinya.

"Tangkap dia dan paksa untuk mengembalikan pusaka itu!" perintah Resi Badranaya.

Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di depan Darah Prabu. Wuuutt...! Jleeg...!

Suto Sinting terpekik kaget dengan suara membisik. "Kucing Hutan...?! Itu dia si Perawan Titisan Peri?!" "Kalau begitu, sekarang giliranku bertindak!" geram

Merpati Liar.

Namun tiba-tiba Kucing Hutan yang berpakaian ungu itu menyentakkan tangannya ke arah Darah Prabu. Dari tangannya keluar sinar merah sebesar lidi. Claaap... Deess...!

"Aaahg...!" Darah Prabu terpental ke belakang menabrak gurunya. Brruk...!

"O, rupanya kau biang keladinya, Kucing Hutan?!" ujar Resi Badranaya masih tampak tenang, bagai tak peduli keadaan muridnya yang jatuh di bawah kakinya.

"Memang aku yang mengutus Peluh Setanggi mencuri pusaka itu! Tapi ternyata aku mengirimkan utusan yang bodoh! Pusaka itu palsu!"

"Palsu...?!" Resi Badranaya berkerut dahi. Rupanya sejak tadi telapak kakinya mengepulkan asap tipis, asap itu dihirup oleh Darah Prabu, dan luka dalam yang parah itu menjadi sembuh karena tubuh Darah Prabu mulai dipenuhi dengan asap tersebut. Kucing Hutan berbalik memandang Peluh Setanggi yang hidungnya berdarah akibat terjangan Darah Prabu tadi.

"Manusia bodoh kau! Mengapa yang kau curi pusaka palsu?!"

"Tidak mungkin!" sangkal Resi Badranaya. "Pusaka itu bukan pusaka palsu! Parisupit sendiri yang menitipkan kepadaku agar tak dijamah oleh orang-orang serakah dan sesat sepertimu, Kucing Hutan! Pusaka itu asli!"

Kucing Hutan geram karena bingung sendiri. Lalu ia memandang Peluh Setanggi.

"Kalau begitu, kau telah menukarnya dengan yang palsu sebelum pusaka itu kau serahkan padaku!"

"Tidak! Aku... aku. "

"Pengkhianat!" bentak Kucing Hutan, kemudian tangannya berkelebat cepat. Breeett. !

"Aaahg...!" Peluh Setanggi tersentak dengan kepala terdongak. Lehernya menjadi robek karena terpotong kuku runcing si Kucing Hutan yang murka itu. Ia segera roboh dan menghembuskan napas terakhir. Nasib sang gadis buronan akhirnya mati di tangan 'tuan' nya sendiri.

Namun Kucing Hutan sudah telanjur murka dan segera berkata kepada Resi Badranaya.

"Kau seorang resi yang bejat! Menyimpan pusaka palsu demi memperbesar namamu biar menjadi kondang!"

"Gawat. !" bisik Suto Sinting sambil bangkit berdiri

dengan tegang. Kucing Hutan berseru lagi, "Sekarang terimalah upah penipuanmu itu, Resi bejat! Heeaaah. .!"

Wuusss...!

Gumpalan api melesat dari telapak tangan Kucing Hutan, arahnya tertuju pada Resi Badranaya dan Darah Prabu. Guru dan murid itu baru saja hendak lakukan tangkisan dengan menggerakkan tangan mereka. Tetapi seberkas sinar ungu melesat lurus menghantam gumpalan api yang sebesar buah kelapa itu. Claaap...! Sinar ungu itu datang dari kedua tangan Pendekar Mabuk yang saling merapat dan disentakkan ke depan. Sinar ungu itulah yang dinamakan jurus 'Surya Dewata' yang cukup berbahaya.

Blegaaarr...!

Ledakan dahsyat terjadi saat sinar ungu sebesar lidi itu menghantam bola api di pertengahan jarak antara Resi Badranaya dengan Kucing Hutan. Ledakan itu membuat tanah di sekitar mereka guncang dan retak merekah. Bahkan mayat Peluh Setanggi terperosok masuk ke dalam keretakan tanah. Resi Badranaya dan muridnya sama-sama melompat hindari keretakan tanah dan rubuhnya sebuah pohon. Sementara lebih dari delapan pohon lainnya tumbang tak tentu arah bagai dilanda klamat.

Merpati Liar hanya tertegun bengong mengetahui sinar ungu itu mampu membuat keadaan alam menjadi serusak itu. Tapi matanya tetap mengarah pada Kucing Hutan yang terpental akibat ledakan dahsyat tadi. Tubuh perempuan yang mempunyai sepasang taring pendek itu terjepit di antara keretakan tanah. Namun dalam sekejap ia mampu melompat keluar bersama hancurnya tanah penjepit tubuh itu.

Brraasss...!

"Keparat busuk!" teriaknya. "Siapa pun orangnya yang mematahkan seranganku, kelak akan berhadapan denganku setelah aku mempunyai pasukan mayat yang akan menggegerkan rimba persilatan! Panji-panji Mayat akan  berhasil  kutemukan  dan  menjadi  milikku selamanya! Tunggu saatnya mereka bangkit dari kubur!" Setelah berseru seperti orang gila, Kucing Hutan melesat pergi meninggalkan mereka. Merpati Liar tak mau tinggal diam. Slaaap...! Tahu-tahu ia telah hilang dari samping Pendekar Mabuk. Rupanya ia lakukan pengejaran terhadap diri si Kucing Hutan yang bernafsu

sekali ingin memiliki pusaka Panji-panji Mayat.

Pendekar Mabuk ingin menyusulnya, tapi Hantu Laut dan Kadal Ginting datang berlari-lari dengan panik. Mau tak mau Suto Sinting muncul dari persembunyiannya dan menemui mereka.

"Hantu Laut...!" panggilnya, lalu kedua orang itu bergegas menuju ke arahnya.

"Suto, kami mendengar bunyi langit runtuh. Dunia mau kiamat! Cepat cari tempat buat sembunyi!" seru Hantu Laut.

"Kami tersesat mencarimu, Suto! Tapi berani sumpah mati sekarang juga, bukan kami yang membuat bumi berguncang dan langit menjadi runtuh!" sela Kadal Ginting dengan wajah tegang. Pendekar Mabuk hanya tersenyum dan berkata, "Langit masih utuh! Lihatlah, ia tetap di atas kepala kita menaungi orang berhati mulia. Kecuali seluruh manusia sudah menjadi busuk hatinya, mungkin langit akan turun menimpa kita semua!"

Darah Prabu memanggil dari tempatnya dengan ceria, "Suto...! Suto Sinting...!"

Lalu ia berkata kepada sang Guru, "Dia murid si Gila Tuak, Guru! Dia yang menolong saya saat saya terkena racun 'Tapak Ungu'...!"

"Aku lebih tahu dari kau, bahwa dia adalah murid sinting si Gila Tuak. Kulihat ciri-cirinya memang sesuai dengan penampilan Gila Tuak semasa muda yang gemar membawa-bawa bumbung tuak!"

Resi Badranaya dan Darah Prabu segera menghampiri Pendekar Mabuk. Sang pendekar segera memberi hormat kepada sahabat gurunya itu.

"Pasti kau yang melepaskan sinar ungu tadi, Suto." "Betul, Eyang Resi," jawab Suto Sinting.

"Terima kasih atas bantuanmu. Tapi sayang gadis buronan kami itu telah mati, mati tak tahu di mana ia menyimpan pusaka Panji-panji Mayat yang asli," kata sang Resi sambil melirik ke arah lubang tempat mayat Peluh Setanggi terperosok bagai mengubur sendiri.

"Yang jelas, pusaka yang dititipkan padaku oleh Parisupit itu adalah pusaka yang asli. Jika sampai Kucing Hutan menyangka palsu, aku tak tahu dikemanakan pusaka asli itu oleh Peluh Setanggi!"

"Merpati Liar sedang melacaknya, Eyang Resi. Saya harus membantu Merpati Liar untuk dapatkan pusaka yang asli."

"Baik, berangkatlah sekarang juga. Aku akan kembali ke Lembah Sunyi, menemui Wulung Gading dan mengabarkan hal ini. Sebab di tempat Wulung Gading itulah aku mendengar cerita dari Pakar Pantun tentang keadaanmu dan keadaan muridku, sehingga aku perlu mencarinya!"

"Saya akan ikut Pendekar Mabuk, Guru!"

"Tidak usah, kau nanti kena pikat lagi. Di pondok Eyang Wulung Gading, ada gadis yang merindukanmu."

"Siapa, Guru?"" "Kejora."

"Ooh... Kejora...?! Kejora ada di sana?!" Darah Prabu terbelalak girang. Suto Sinting hanya manggut-manggut sambil sunggingkan senyum. Kemudian ia bergegas pergi menyusul Merpati Liar yang mengejar Kucing Hutan, setelah memerintahkan Hantu Laut untuk menunggunya di padepokan Resi Wulung Gading.

SELESAI PENDEKAR MABUK



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar