PERTARUNGAN di puncak bukit
terpaksa terhenti beberapa saat, karena kedua orang yang saling mengadu
kesaktian itu sama-sama terjungkal ke belakang. Sebuah ledakan dahsyat
melemparkan tubuh mereka hingga berjungkir balik bagai dilanda badai angin
panas. Keduanya sama-sama mengucurkan darah dari hidung, keduanya sama-sama
berwajah pucat pasi bagai mayat kemarin sore.
"Dadaku sesak sekali.
Terasa sakit jika untuk bernapas. Aku harus salurkan hawa dingin dulu untuk
mengatasi luka dalamku ini," pikir seorang pemuda tampan bercelana hijau
dengan rompinya yang hijau berhias benang emas. Pemuda berambut panjang
digulung tengah itu tak lain adalah Darah Prabu, murid Resi Badranaya yang
diutus mengejar seorang gadis dari Perguruan Biara Ungu.
Sementara itu, lawan Darah
Prabu juga mengalami nasib yang serupa. Tubuhnya sempat terkulai sesaat setelah
terlempar gelombang ledakan akibat beradu tenaga dalam dengan Darah Prabu tadi.
"Monyet kadas!
Tulang-tulangku bagaikan remuk semua kalau begini caranya. Uuhf...!
Hampir-hampir aku tak mempunyai tenaga lagi, sehingga untuk bangkit saja
sukarnya bukan main. Aku harus lakukan penyembuhan sementara dengan napas
murniku!" ujar si gadis membatin gerutu dan keluhan.
Gadis itu yang hanya
mengenakan kutang tanpa jubah dengan dada montok bertato gambar naga sejengkal
itu tak lain adalah Peluh Setanggi, buronan cantik yang ulet dan licin bagaikan
belut. Lukanya di bagian lambung akibat pertarungannya dengan Sumbaruni itu
sudah mulai mengering, ia melakukan pengobatan sendiri dengan napas murninya.
Namun pengobatan itu belum selesai, ia sudah dipergoki oleh Darah Prabu,
sehingga harus lari lagi menghindari murid Resi Badranaya itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").
Agaknya keduanya sama-sama
kuat, sehingga keduanya sama-sama letih setelah bertarung sekian lama tak ada
yang tumbang salah satu. Jika Peluh Setanggi melarikan diri, Darah Prabu
mengejarnya lagi, lalu terjadilah pertarungan kembali. Hanya saja, agaknya
pertarungan di bukit itu adalah pertarungan terakhir yang tanpa sadar disepakati
dalam hati mereka. Peluh Setanggi tak ingin melarikan diri lagi. Hidup dan
mati, menang atau kalah ia akan hadapi Darah Prabu, demikian pula halnya dengan
Darah Prabu sendiri.
Salah satu dari beberapa jurus
andalannya telah digunakan untuk melumpuhkan Peluh Setanggi. Tapi sejak tadi si
cantik berambut terurai itu cukup mampu mematahkan jurus-jurus andalan Darah
Prabu.
"Alot sekali
nyawanya?!" gumam Darah Prabu membatin. "Jurus-jurus berbahayaku
masih bisa ditangkis dengan jurus simpanannya, walau akhirnya aku dan dia sama-sama jungkir balik
kewalahan. Tapi rupanya dia bukan gadis yang mudah ditaklukkan. Mungkin usahaku
merebut kembali pusaka itu harus dilakukan dengan menggunakan tipu
muslihat."
Sedangkan Peluh Setanggi pun
membatin, "Jurus simpananku ternyata tak bisa mengalahkan jurus-
jurusnya. Jika terus-terusan
begini, bisa-bisa aku kehabisan jurus simpanan. Rasa-rasanya
aku harus gunakan siasat untuk
mengalahkan si monyet kadas itu!" Setelah keduanya sama-sama mengumpulkan
tenaga kembali, kini mereka sama-sama berdiri dan saling berhadapan dalam jarak
tujuh langkah. Mata mereka
saling memandang penuh dendam
tersembunyi.
Peluh Setanggi mempersiapkan
dirinya untuk bertarung kembali dengan tangan kanan mulai memegangi gagang
pedang yang ada di pinggang kirinya. Darah Prabu pun memperlihatkan
kegagahannya dengan berdiri tegak dan tangan memegangi gagang pedang di
pinggang, seakan siap dicabut kapan saja. Dalam pandangan sepintas, mereka
seolah-olah siap beradu jurus pedang untuk menentukan siapa yang harus tumbang.
Tetapi sebenarnya dalam hati mereka sama- sama menyimpan keraguan.
"Jangan-jangan jurus
pedangku tak mampu mematahkan jurus pedangnya?" pikir Peluh Setanggi.
"Menurut Guru jurus
pedangku agak lemah.
Mampukah aku mengalahkan jurus
pedangnya?!"
Darah Prabu maju satu langkah,
Peluh Setanggi juga maju satu langkah. Sreet...! Peluh Setanggi mendului
mencabut pedangnya. Sraang...! Darah Prabu pun mencabut pedangnya, ia segera
maju dua langkah, Peluh Setanggi juga maju dua langkah. Kini jarak mereka cukup
dekat dan masih saling memandang dengan sorot mata tajam. Kedua mata mereka
sama-sama mengecil bagai ingin membuat pandangannya lebih tajam lagi.
Semak di bawah pohon
bergerak-gerak. Ternyata ada orang yang mengintai pertarungan di baiik
gerumbulan semak itu. Sepasang mata memperhatikan ke arah Darah Prabu dan Peluh
Setanggi dengan penuh ketegangan. Sepasang mata itu milik seorang lelaki
berusia sekitar empat puluh tahun, berambut pendek, ikat kepala putih, baju
hijau tua, kurus, pendek, dan tanpa kumis ataupun jenggot selembar pun. Orang
itu tak lain adalah pelayan Resi Pakar Pantun yang bernama Kadal Ginting.
Sang pelayan terpisah dari
tuannya akibat pertarungan di negeri Bumiloka. Namun kesetiaan dari si Kadal
Ginting, bagaimanapun juga ia tetap mencari tuannya; Resi Pakar Pantun. Setelah
ia menemui Penunggu Hutan Rawa Kotek sesuai petunjuk Suto Sinting, dan ternyata
sang Tuan tidak ada di sana, maka Kadal Ginting mencari terus ke arah mana saja
sampai akhirnya tiba di bukit itu dan memergoki pertarungan yang sejak tadi
tiada habisnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai
Raksasa").
Pada waktu Darah Prabu dan
Peluh Setanggi sama- sama bangkit, Kadal Ginting sempat membatin,
"Nah, kali ini pasti
lebih seru dari yang tadi. Oh masing-masing sudah mulai memegangi gagang
pedangnya. Lha... benar, kan? Sekarang masing-masing sudah mencabut pedangnya.
Wah, pasti mereka akan saling beradu kepandaian memainkan jurus pedang. Hmmm...
mana yang unggul nantinya; Darah Prabu atau si gadis yang tadi sebelum terjadi
ledakan dahsyat kudengar dipanggil dengan nama Peluh Setanggi?!"
Kadal Ginting sudah mengenal
Darah Prabu, karena dulu pernah bertemu dengan Darah Prabu ketika ia mengikuti
Resi Pakar Pantun dalam suatu perjalanannya. Tak heran jika Kadal Ginting masih
ingat bahwa pemuda tampan itu adalah muridnya Resi Badranaya, sahabat Resi
Pakar Pantun.
Tapi agaknya Kadal Ginting
menyimpan kedongkolan di balik persembunyiannya, karena kedua orang itu tidak
segera lakukan pertarungan dengan pedang. Kadal Ginting sudah tak sabar,
sehingga ia pun bicara sendiri dengan suara lirih sekali,
"Ayo, lekas! Tinggal
bacok sana, bacok sini saja kok susah amat?! Tebaskan pedangmu Darah Prabu.
Beet..., begitu! Untung-untungan sajalah, apakah gadis itu bisa menangkis atau
tidak. Ledakan tidak ya mati, ledakan bisa ya selamat. Ah, gadis itu juga
agaknya ragu-ragu menebaskan pedangnya ke leher Darah Prabu. Apakah karena
Darah Prabu ganteng maka ia tak tega membuntungi kepalanya? Uuh... dasar gadis
goblok! Kehilangan lawan berwajah ganteng tak apalah, kan masih ada aku yang
juga berwajah ganteng?"
Peluh Setanggi benar-benar tak
melihat ada lelaki lain di situ kecuali Darah Prabu. Seandainya melihat pun tak
akan sudi melirik Kadal Ginting yang berwajah tua dan berkulit seperti lipatan
sabuk. Pusat perhatian Peluh Setanggi memang tertuju pada sepasang mata bening
yang memancarkah kemarahan itu.
"Sebaiknya kupikat
hatinya dengan jurus 'Mantra Pemasung', biar dia tergila-gila padaku dan tunduk
padaku. Jika sudah begitu dia akan rela kuperlakukan bagaimanapun juga, sekali
pun kuhabisi nyawanya tak akan melawan."
Begitu kecamuk batin Peluh
Setanggi yang merasa kewalahan menghadapi jurus-jurusnya Darah Prabu. Padahal
pada waktu itu Darah Prabu sendiri membatin dalam hatinya,
"Agaknya aku perlu
menggunakan jurus 'Tutur Kasmaran', biar tak perlu repot-repot lagi menaklukkan
kekerasan hatinya yang tak mau bicara tentang pusaka curiannya!"
Maka batin Darah Prabu pun
segera mengucapkan sebaris mantra ajian yang dapat untuk meluluhkan hati wanita
dalam keadaan mata saling beradu pandang. Sorot pandangan mata Darah Prabu
mulai berbinar-binar karena memancarkan kekuatan gaib yang menguasai jiwa,
pikiran dan batin si Peluh Setanggi.
"Cahya pamujan cahyaning pangeran
mata wicara suryaning dewata
tebar-tebur menebar lewat mata
sampai dubur tundak-tanduk tertunduklah jabang bayinya Peluh Setanggi
tanpa tunduk akan mati,
semakin tunduk penuh gairah tak mau lepas ledakan tak kukehendaki.
Bergobar-gaber sumsum selimut semut-semut nyut-nyut pengasih dikenyut susut.
Sembah, sembah, sembah,
sembah, sembahing kawula lan gusti."
Pandangan mata Darah Prabu
mulai memancarkan sinar hijau samar-samar yang berasap tipis. Sinar hijau dan
asap tipis itu tak terlihat oleh mata orang yang diincar jurus 'Tutur Kasmaran'
itu. Tetapi bagi yang tidak diincar jurus tersebut melihat samar-samar pancaran
sinar hijau bercampur asap tipis itu.
Padahal waktu itu di dalam
batin Peluh Setanggi juga melepaskan kekuatan sihir ajaran dari Nyi Mas
Gandrung Arum, gurunya. Kekuatan sihir itu terpancar karena 'Mantra Pamasung'
diucapkan dalam batinnya,
"Peri keblak demit tandak
lumpuhkan hatinya Darah Prabu
dan jerat pikat dengan aji
para dewa-dewi. Sir kumisir, ser gangser, cucup puser
Peri puber satria ngiler,
tak akan pisah sebelum basah.
Ser, ser, ser.
Kiri muter, kanan muter,
tengah gemeter. Nyimat-nyimut senat-senut,
hati lanang digdaya pasrah
seturut asmara ujung perut.
Pasrah sumarah sukma batin
jiwa si Darah Prabu. Oh, ah, oh, ih. Mpot-mpot copot."
Kadal Ginting yang melihat
adanya sinar biru bening sebesar lidi melesat dari pertengahan kening di antara
kedua alis Peluh Setanggi. Sinar biru kening itu tidak bisa dilihat Darah Prabu
sebagai sasaran batin si Peluh Setanggi. Tetapi bagi orang lain, seperti Kadal
Ginting, melihat jelas sinar biru bening sebesar lidi itu memancar masuk ke
dalam kening Darah Prabu tanpa rasa apa pun. "Gila! Keduanya sama-sama
melepaskan tenaga dalam dan saling terkena serangan masing-masing. Wah, pasti keduanya
akan meledak bersama dan menjadi serpihan
daging hangus yang
menjijikkan jika dibayangkan. Oh,
aku tak tega! Aku tak mau melihat
kengerian itul"
Kadal Ginting buang muka
sambil menahan debar- debar dalam dadanya. Jantung yang berdag-dig-dug itu
menunggu meledaknya dua orang tersebut dengan ketegangan yang amat mencekam.
"Kok lama sekali mereka tidak saling meledak?!" pikir Kadal Ginting
sambil masih berpaling. Kemudian perlahan-lahan rasa ingin tahunya memaksa
kepala bergerak ke arah semula, tapi matanya mengecil karena bersiap untuk
terpejam saat terjadi ledakan yang dibayangkan.
Padahal saat itu Darah Prabu
sedang maju satu langkah, Peluh Setanggi juga maju satu langkah, akhirnya
mereka berada dalam satu jangkauan sepelukan. Keduanya telah sama-sama terkena
aji pemikat yang membangkitkan gairah cinta dan hasrat ingin bercumbu tak
tertahankan lagi. Yang ada di dalam hati mereka adalah debar-debar keindahan
dan gejolak hasrat ingin saling memberi kehangatan.
"Sebenarnya kau cantik
sekali, Peluh Setanggi," ucap Darah Prabu dengan lirih.
"Kau pun sangat tampan
dan menawan, Darah Prabu," balas Peluh Setanggi dalam suara mendesah.
"Oh, aku sangat berhasrat
memelukmu, Peluh Setanggi."
"Darah Prabu... tubuhku
dingin sekali, hangatkan dengan pelukanmu. Hangatkan sekarang juga, Darah
Prabu," desah Peluh Setanggi dengan pandangan matanya menjadi sayu akibat
diburu gairah bercumbu.
Maka pelan-pelan sekali Darah
Prabu dekatkan bibirnya ke bibir Peluh Setanggi. Pelan-pelan pula bibir Peluh
Setanggi merekah ternganga siap menerima kehangatan lawannya. Darah Prabu kian
tak mampu bertahan melihat bibir merekah sebegitu indah. Akhirnya bibir itu pun
dikecup dengan bibirnya dan dilumat pelan- pelan. Sekujur tubuh Peluh Setanggi
seperti dikerumuni jutaan semut. Berdesir indah sekali, sehingga keindahan itu
menuntun batin untuk merenggut lebih dari sekadar kehangatan bibir.
Peluh Setanggi buru-buru
memeluk Darah Prabu dengan satu tangan, karena tangan kanannya masih memegangi
pedang. Begitu pemuda itu terpeluk erat, lidah dan bibir menyerang dengan
lincah dan ganas. Darah Prabu terpaksa harus membalas lebih ganas lagi dengan
tangan kiri meremas punggung Peluh Setanggi yang tak berkain itu.
"Lhooo...?!" Kadal
Ginting bagai ingin terlonjak dalam pekikan batinnya. Begitu ia membuka mata
lebar- lebar, ternyata yang dilihatnya bukan ledakan mengerikan namun pertemuan
bibir dengan bibir yang saling melumat tanpa malu-malu lagi.
"Kok jadi begitu?!"
pikir Kadal Ginting. "Wah, wah, wah... kacau balau pertarungan ini! Pertarungan
cap apa ini namanya? Sudah sama-sama cabut pedang, tinggal bres, bres, bres...
eh, pakai adu mulut segala?! Ini namanya melanggar tata tertib pertarungan.
Harus kulaporkan kepada Eyang Resi atau para tokoh tua rimba persilatan!
Tapi... tapi nanti dulu, ah! Untuk apa buru- buru pergi, karena kelihatannya
Peluh Setanggi menuntun Darah Prabu ke semak-semak seberang sana. Naah...
betul, bukan?! Eh... kok mereka semakin menjadi-jadi? Lho, lho... kok Darah
Prabu melepaskan rompinya. Sik, sik, sik... lakone apa ledakan begini,
ya?!" Kadal Ginting kebingungan mencari jalan untuk mendekati semak-semak
yang mulai bergoyang-goyang itu.
Darah Prabu tak sadar lagi apa
yang dilakukannya, demikian pula Peluh Setanggi. Kasmaran mereka saling beradu
cukup seru, merusakkan ilalang sekitarnya, memecah kesunyian puncak bukit
dengan suara gemerisik dan rintihan gaduh yang memekik-mekik dari mulut Peluh
Setanggi.
Darah Prabu tak ingat lagi
tentang siapa-siapa, bahkan tak terbayang sedikit pun wajah Kejora, si gadis lugu
yang kala itu sedang diculik oleh bayangan ungu. Padahal sebelumnya hati Darah
Prabu telah terpikat oleh kecantikan Dewi Kejora yang akrab dipanggil Kejora
saja itu. Ia menjadi berang saat Kejora diculik orang. Tapi sekarang, dalam
dekapan hangat tubuh berdada montok kencang itu, Darah Prabu tak berpikir lagi
tentang nasib Kejora. Ia tak tahu Kejora sudah dibebaskan dari dekapan
penculiknya oleh Pendekar Mabuk dan Resi Pakar Pantun, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Misteri Bayangan Ungu").
Darah Prabu memang tak tahu
bahwa Kejora kebingungan mencarinya dengan wajah sedih. Setelah lolos dari
tawanan si Kucing Hutan, Kejora tidak menampakkan keceriaannya, hal itu membuat
Resi Pakar Pantun sebagai pelaku penyelamatan itu menjadi kecewa. Tokoh tua
berusia sekitar delapan puluh tahun itu bersungut-sungut menjauhi Kejora yang
merengut di bawah pohon. Pemuda tampan berbaju coklat tak berlengan dengan
pakaian putih lusuh dan selalu membawa bumbung tuak itu sedang berusaha
membujuk Kejora agar tak berduka. Pemuda tampan itu adalah Pendekar Mabuk yang
dikenai dengan nama Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
"Kau tak boleh semurung
ini, Kejora. Seharusnya kau merasa beruntung karena kau telah bebas dari tangan
si Kucing Hutan alias Perawan Titisan Peri itu."
"Untuk apa aku bebas dari
Kucing Hutan kalau tak bisa bertemu dengan Darah Prabu? Aku kangen dan ingin
mendengar suaranya, Suto. Aku ingin melihat ketampanan wajahnya dan, ah...
pokoknya kangen sekali."
Resi Pakar Pantun yang bersungut-sungut
itu segera menyahut, "Kangen, kangen...! Kau enak, tinggal merasakan
kangen, aku ini yang tak enak, susah payah menyelamatkan dan membawa keluar
dirimu dari bangunan kuno itu sampai lututku membentur batu, eeh... yang
diselamatkan justru cemberut dan merasa kecewa. Kalau begitu kau masuk kembali
ke bangunan kuno itu saja!"
"Jangan begitu,
Resi," tutur Suto Sinting dengan kalem. "Mohon dimaklumi saja, karena
Kejora menyimpan cinta begitu besar kepada Darah Prabu."
"Cinta, cinta... apa itu
cinta?! Aku tidak tahu soal cinta!" gerutu Resi Pakar Pantun sambil
memunggungi Suto Sinting dan Kejora. Kemudian terdengar suaranya berucap dalam
pantun.
"Sarung kumal diseruduk
anak badak, robek tepinya dipakai jingkrak-jingkrak. Biar cinta sebesar gajah
bengkak,
apalah artinya kalau tak mampu
bertindak."
Kejora memandang sengit kepada
Resi Pakar Pantun, ia sempat berkata pelan, "Apa maumu sebenarnya, Pak
Tua?"
"Sarung kumal buat
bungkus pisang, semakin lama semakin hangat dipegang. Hargailah susah payah
seseorang, walau dengan senyum dan wajah riang."
Si gadis justru semakin
cemberut dan kesal kepada Resi Pakar Pantun, ia segera melangkah pergi sambil
berkata dalam nada sewot,
"Bodo, bodo, bodo...
pokoknya aku mau cari Darah Prabu!"
"Hei, Kejora... mau ke
mana kau mencarinya?"
"Ke mana saja, pokoknya
aku harus bertemu Darah Prabu!"
"Bagaimana dengan pusaka
leluhurmu?! Bukankah kita sedang mencari pusaka itu?!"
"Masa bodoh...!"
Weesss...! Kejora larikan diri
tak mau diajak berunding lagi. Pendekar Mabuk menahan rasa jengkel menghadapi
sikap manja si gadis lugu itu. Ia me- mandang Resi Pakar Pantun dan segera
berkata,
"Aku harus
mendampinginya, karena ia dalam tanggung jawabku. Kau sendiri bagaimana,
terserah keputusanmu, Resi."
"Uu...! Sama saja mengasuh
anak sapi kalau begini caranya!" seraya ia bergegas mengikuti langkah Suto
Sinting yang mengejar pelarian Kejora. Agaknya sang Resi tak tega membiarkan
Suto Sinting mendampingi Kejora yang ingin mencari Prabu Darah itu, walau dalam
hati sang Resi penuh gerutu dan geram kejengkelan.
*
* *
2
GERAKAN lari Kejora tanpa
disengaja diterjang oleh sekelebat bayangan yang sedang melintas. Terjangan itu
cukup kuat hingga membuat Kejora terlempar tinggi dan tersangkut di kerimbunan
sebuah pohon.
"Aaaa...!"
Gusraakk...!
"Auuuh...!
Toloooong...!"
Teriak Kejora tidak
mengejutkan Resi Pakar Pantun dan Suto Sinting. Hal yang mengejutkan mereka
adalah sekelebat bayangan yang terlihat jelas menerjang Kejora. Terjangan itu
pun membuat sosok bayangan yang berlari cepat itu terjungkal dan
berguling-guling di tanah, lalu berhenti terkapar di depan langkah Pendekar
Mabuk dan Resi Pakar Pantun.
"Uuuhhg...!" orang
itu mengerang kesakitan sambil melontarkan gerutu tak jelas.
"Hantu Laut...?!"
sapa Suto Sinting dengan suara menyentak heran.
Orang yang menerjang Kejora
tanpa sengaja itu memang seorang lelaki berkepala gundul, bercelana biru, ikat
pinggang merah, tak pernah pakai baju yang dikenal dengan nama Hantu Laut. Ia
berbadan besar, berhidung bulat, berkulit hitam, perutnya sedikit buncit dan
agak budeg.
Resi Pakar Pantun mengenal
orang bermata besar itu, tapi juga pernah mendengar penjelasan dari salah
seorang sahabatnya bahwa Hantu Laut sudah bukan lagi anak buah Siluman Tujuh
Nyawa, si tokoh sesat yang paling ditakuti oleh para tokoh aliran hitam itu.
Semula memang Hantu Laut adalah sekutunya Siluman Tujuh Nyawa, bekerja menjadi
pelayan Tapak Baja yang menguasai sebuah kapal penyerang dalam pemerintahan
Siluman Tujuh Nyawa. Tapi ketika Hantu Laut ditundukkan oleh Suto Sinting,
akhirnya ia menjadi pengikut Suto Sinting dan mengabdi kepada pemerintahan Ratu
Pekat di Pulau Beliung, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka
Tombak Maut").
Tentu saja kepergian Hantu
Laut dari Pulau Beliung atas perintah atau seizin Ratu Pekat. Biasanya ia
mengemban tugas dari Ratu Pekat untuk menyampaikan suatu kabar kepada Pendekar
Mabuk.
"Hantu Laut..., mengapa
kau ada di sini?!" tanya Suto Sinting setelah menarik tangan si Hantu Laut
agar cepat berdiri.
"Siapa bilang aku
penakut? Aku berani berhadapan dengan siapa saja!"
"Hei, yang kutanyakan
tadi: mengapa kau ada di sini?!" Suto Sinting memperjelas pertanyaannya,
dan Hantu Laut pun segera menggumam sambil manggut- manggut, mengakui salah
dengarnya tadi. "Oooo... mengapa aku ada di sini? Apakah kau tak lihat
kalau aku di sini karena jatuh menabrak seekor rusa?!"
"Toloooong...!" seru
Kejora di atas pohon. Suto Sinting melirik ke atas sambil menahan geli,
kemudian bicara kepada Hantu Laut,
"Yang kau tabrak bukan
seekor rusa, tapi seorang gadis cantik! Lihat, dia tersangkut di atas pohon
itu!"
"Sutooo... tolong
akuuu...!" teriak Kejora dengan nada suara penuh rasa takut.
Resi Pakar Pantun hanya
memandang dengan tersenyum sinis, sengaja tak mau berbuat apa-apa untuk gadis
itu. Pendekar Mabuk berkata kepada sang Resi,
"Kurasa kau bisa
membantunya turun kemari, Resi." "Memang bisa, tapi aku tak mau
lakukan."
"Kenapa begitu,
Resi?"
"Pertolonganku tak akan
punya arti baginya, ia tetap akan murung tanpa merasa senang dan tak akan
menampakkan rasa syukurnya atas pertolonganku."
"Toloooong... aku takut
jatuuuh...!" seru Kejora bernada mau menangis.
"Mintalah tolong kepada
Darah Prabu! Berteriaklah yang keras memanggil nama kekasihmu itu!" seru
Resi Pakar Pantun dengan hati dongkol.
Suto Sinting hanya tertawa
kecil melihat sikap sang Resi yang pengaruh kebanyakan umur jadi bersikap
seperti anak kecil. "Turunkan dia, cepat!" perintah Suto Sinting
kepada Hantu Laut.
Orang berkeringat itu tak
berani menentang perintah Pendekar Mabuk, ia pun segera melesat dalam satu
lompatan dan hinggap di dahan, kemudian menyambar Kejora dan dibawanya turun.
Wuuuss...! Zrraaak...!
"Aaaaa...!
Takuuuttt...?"
Kejora menjerit lebih keras
lagi. Setelah diturunkan dari topangan kedua tangan Hantu Laut, ia buru-buru
memeluk Suto Sinting dengan manja dan berkata sambil membenamkan wajah di dada
Suto Sinting.
"Aku... aku takut, Suto!
Aku takut kepada orang utan! Aku paling jijik dengan seekor kera sekecil apa
pun. Apalagi sebesar itu, oooh... takut sekali, Suto!"
"Hei, hei... itu bukan
kera. Bukan pula orang utan. Dia adalah Hantu Laut sahabatku. Perhatikanlah
baik- baik, jangan sepintas saja!"
Sang Resi menimpali, "Apa
kubilang tadi, tak ada terima kasihnya gadis ini jika dapat pertolongan. Bukan
menampakkan rasa bersyukurnya malah menghina si penolong. Untung si Hantu Laut
orang budeg, jadi ia tak dengar dikatakan sebagai orang utan atau kera
raksasa."
"Kera raksasa!"
sentak sang Resi memperjelas ucapannya tadi.
Hantu Laut terbengong, lalu
palingkan muka sambil menggumam lirih, "Kebangetan...!"
Kejora pandangi Hantu Laut
dengan sorot pandangan mata penuh curiga, ia masih berlindung di balik tubuh
kekar si Pendekar Mabuk, ia sempat berbisik kepada Suto Sinting,
"Apakah dia suka
menggigit?"
"Husy, dia bukan sejenis
serigala!" balas Suto Sinting dalam bisikan pula.
"Tap... tapi dia
sahabatmu?"
"Benar. Penampilannya
memang menyeramkan, tapi hatinya baik. Jangan beranggapan buruk kepadanya,
nanti dia tersinggung."
"Tiap hari makanannya
apa?"
"Beling!" jawab
Pendekar Mabuk agak kesal atas pertanyaan Kejora itu. Rupanya Hantu Laut
mendengar percakapan itu walau secara samar-samar, lalu ia segera berkata,
"Eh, Nona... biar
begini-begini aku ini manusia. Kau pikir kuda lumping?! Jangan menghinaku
sebagai pemakan beling. Aku makan nasi, jagung, ubi dan sebagainya! Sama dengan
kau juga."
"Siapa yang mengatakan
kau makan beling? Bukan aku, Kang Hantu! Suto yang menjawab begitu tadi."
"Sudah, sudah...,"
Suto Sinting segera melerai cekcok kecil itu. "Hantu Laut, sekali lagi
kutanya mengapa kau ada di sini? Bukankah seharusnya kau ada di Pulau
Beliung?"
"Aku diutus oleh Ratu
Pekat untuk menemuimu dan menyampaikan sebuah kabar yang penting kau
ketahui."
"Kabar apa itu?"
"Dyah Sariningrum, calon
istrimu yang menjadi Ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu,
mengirimkan utusan untuk menemuimu, tapi kapalnya terdampar di Pulau
Beliung."
Pendekar Mabuk sangat terkejut
mendengarnya. Terbayang seraut wajah cantik yang amat dicintai dan selalu mendampingi
alam pikirannya setiap hari. Dyah Sariningrum yang berjuluk Gusti Mahkota
Sejati mengirimkan utusannya untuk menemui Pendekar Mabuk. Hal ini jarang
dilakukan jika tidak karena ada perkara yang amat penting. Tapi anehnya,
mengapa kapal mereka terdampar di Pulau Beliung?
"Siapa yang menjadi
utusan calon istriku itu?!" tanya Suto Sinting kepada Hantu Laut
"Belum. Aku belum
mendengar keputusan calon istrimu."
"Siapa yang jadi utusan!
Bukan keputusan! U-tu- san!" seru sang Resi.
"O, yang diutus?! Hmmm...
si cebol gagap; Dewa Racun."
"Ooooh...!"
Brrruk...!
Kejora jatuh terkulai dengan
lemas. Pendekar Mabuk terkejut, yang lainnya memandang heran. Gadis itu segera
diangkat oleh Pendekar Mabuk.
"Kejora...?! Kejora,
mengapa kau jatuh lemas begitu mendengar nama Dewa Racun?!"
"Aku... aku tak kuat lagi
menahan rasa sakit sekujur tubuh, akibat... akibat terjangan Kang Hantu Laut
itu. Oooh. "
Resi Pakar Pantun menggumam
dan menggerutu tak jelas. Tapi wajahnya tampak tidak seheran tadi, bahkan
berkesan dongkol setelah mengetahui penyebab jatuhnya Kejora. Pendekar Mabuk
tertawa kecil, lalu segera meminumkan tuaknya yang dikenal sebagai tuak sakti
paling mujarab untuk sembuhkan segala macam
luka dan penyakit. Terbukti dalam beberapa saat saja Kejora sudah tampak
segar dan mampu berdiri dengan tegak, seluruh rasa sakitnya lenyap setelah
menelan tuak Suto.
Kini pikiran Suto Sinting
kembali tertuju pada kabar tentang Dewa Racun. Jika bukan karena masalah
penting tak mungkin Dyah Sariningrum mengutus Dewa Racun untuk menemui Suto
Sinting, karena Dewa Racun adalah orang kepercayaan Dyah Sariningrum yang
ketujuh. Ketika Dyah Sariningrum ingin memanggil Suto Sinting ke istananya, ia
mengutus Dewa Racun untuk mencari sosok si Pendekar Mabuk yang dikenal pula sebagai
Bocah Tanpa Pusar itu. Pertemuan itulah yang membuat Suto Sinting dan Dewa
Racun menjadi akrab dan saling bahu-membahu dalam menumbangkan kejahatan semasa
dalam perjalanan menuju Pulau Serindu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").
"Kabar apa yang harus
disampaikan oleh Dewa Racun kepadaku?!" tanya Suto Sinting kepada Hantu
Laut.
"Aku tidak tahu, Suto.
Sebaiknya datanglah ke Pulau Beliung dan temuilah dia di sana, sebab Dewa Racun
dalam keadaan sakit."
"Sakit...?!" Suto
Sinting terkejut. "Sakit apa dan mengapa ia bisa sakit?" "Aku
bukan tabib jadi aku tak bisa menentukan jenis penyakitnya," jawab Hantu
Laut.
Resi Pakar Pantun yang
berjalan di sekitar pohon belakang Hantu Laut, tiba-tiba segera ajukan tanya
dengan suara agak keras.
"Mengapa punggungmu
bernoda merah, Hantu Laut?!"
"Aku tidak sedang
marah-marah, aku sedang menceritakan tentang. "
"Noda merah!" sang
Resi memperjelas maksudnya dengan suara lebih keras lagi.
"O, noda merah...?! Noda
merah apa?" Hantu Laut berusaha menengok ke belakang memeriksa
punggungnya, tapi tentu saja hal itu tak bisa dilakukan. Tak ada orang yang
bisa melihat punggungnya sendiri jika tanpa bantuan cermin.
Wajah sang Resi tampak sedikit
tegang, sehingga Suto Sinting menjadi penasaran dan segera ikut memeriksa
punggung Hantu Laut, demikian pula dengan Kejora yang tak mau jauh-jauh dari
Pendekar Mabuk.
"Oh, benar. Ada tiga noda
merah yang membentuk sudut-sudut segitiga. Hmmm...." Suto Sinting manggut-
manggut memperhatikan tiga noda merah di punggung Hantu Laut yang menyerupai
pertemuan tiga sudut dalam bangunan segi tiga. Noda itu sebesar biji jagung dan
tampak jelas bagian kulit yang matang akibat panas api.
"Kau habis lakukan
pertarungan, Hantu Laut?!" tanya sang Resi. "Pertukaran apa?"
"Pertarungan!" sentak sang Resi.
"O, pertarungan?! Iya,
memang aku habis lakukan pertarungan dengan seseorang yang tidak kukenal.
"
Kata-kata itu terhenti karena
tiba-tiba salah satu kuku jari tangan Hantu Laut jatuh ke tanah bagai kehabisan
perekat. Pluuk...! Kuku yang jatuh itu adalah kuku bagian jempol kirinya.
"Lho... kukumu jatuh,
Kang Hantu!" ujar Kejora dengan wajah kaget.
Hantu Laut bingung melihat
kukunya copot tanpa darah setetes pun. Jempol kirinya menjadi tak berkuku
sedikit pun. Baru saja Suto Sinting akan memeriksa tangan kanan Hantu Laut,
tiba-tiba kuku kelingking kanannya copot juga. Pluk. !
"Tak salah lagi,"
ujar Resi Pakar Pantun. "Kau terkena pukulan 'Aji Brangaspati' yang akan
membuat tubuhmu lambat laun terpotong tiap persendiannyal"
"Mung... mungkin
juga," Hantu Laut agak gugup. "Sebab aku tadi diserang oleh seseorang
yang berilmu tinggi dan sukar kulawan. Aku melarikan diri karena merasa tidak
sanggup menandingi ilmunya. Dan...
karena itulah aku menerjang
Kejora tanpa sengaja sebab tak mau diburu orang itu."
"Kau tak mengenali
orangnya?! Aneh. Mengapa dia menyerangmu dengan menggunakan pukulan berbahaya
jika kalian tak saling kenal?" kata Suto Sinting dengan dahi berkerut.
"Aku benar-benar tak
tahu, Suto. Bahkan persoalan yang dibicarakan pun tak kumengerti."
"Persoalan apa?"
"Ia menyangka diriku
sebagai anak buah Perawan Titisan Peri dan memaksaku memberitahukan di mana
pusaka Panji-panji Mayat disembunyikan. Padahal. "
"Tunggu. !" sergah
Suto Sinting dengan terkejut, lalu
ia memandang Resi Pakar Pantun
dan Kejora secara bergantian.
"Kau disangka anak
buahnya Perawan Titisan Peri dan disangka mengetahui tentang pusaka Panji-panji
Mayat?!" ulang Resi Pakar Pantun merasa aneh.
"Tapi aku tidak tahu
tentang pusaka itu, Resi. Aku...
aku bahkan baru mendengarnya
sekarang ini!" kata Hantu Laut dengan suara agak ngotot, sehingga sang
Resi membentak,
"Iya, tapi jangan melotot
di depanku begitu!"
"Berarti ada pihak lain
yang menghendaki Panji-panji Mayat," gumam Suto Sinting, lalu Kejora yang
mendengar gumaman itu bertanya dalam keluguannya.
"Siapa pihak lain itu,
Suto?"
"Ini baru dibicarakan!
Kok malah tanya?!" gerutu Suto Sinting agak kesal dengan pertanyaan bodoh
itu.
Kemudian Suto Sinting bertanya
kepada Hantu Laut, "Bagaimana ciri-ciri orang tersebut?!"
Tapi Resi Pakar Pantun lebih
dulu bersuara sebelum Hantu Laut menjawab,
"Rasa-rasanya aku
kenal pemilik pukulan
'Aji Brangaspati' ini."
Semua mata memandang Resi
Pakar Pantun. "Bukan aku pemiliknya, jangan memandangiku dengan curiga
begitu."
"Siapa yang mencurigaimu?
Justru kami menunggu jawabanmu jika benar kau tahu siapa pemilik 'Aji
Brangaspati' itu!" kata Suto Sinting masih bernada kesal hati.
Pluuk...! Satu kuku dari jari
tangan Hantu Laut jatuh ke tanah tanpa rasa sakit. Semua mata memandang ke arah
kuku yang jatuh ke tanah itu. Hantu Laut menjadi bertambah tegang. Kesepuluh
jarinya diperhatikan dengan sedih. Tinggal tujuh jari yang masih berkuku, dan
ia berkata bagai bicara pada dirinya sendiri,
"Apakah seluruh jariku
ini nantinya akan tidak berkuku semua?!"
"Mungkin malah kau akan
tidak berkepala jika seluruh persendianmu sudah putus semua," kata sang
Resi semakin membuat Hantu Laut menjadi cemas.
"Minumlah tuakku sebelum
semua persendianmu putus!" perintah Suto sambil menyerahkan bumbung
tuaknya. Hantu Laut pun buru-buru menenggak tuak itu dengan gemetar, hingga air
tuak mengguyur sebagian wajahnya karena tak tepat jatuh ke mulut.
"Coba lihat punggungmu,
apakah tuak Suto bisa berhasil menghentikan kekuatan racun dari pukulan 'Aji
Brangaspati' itu?" ujar sang Resi.
Ternyata tuak sakti itu mampu
melumpuhkan kekuatan racun pukulan 'Aji Brangaspati'. Tiga noda merah itu
lambat laun menjadi samar-samar bagai menguap dihembus angin. Pendekar Mabuk
menarik napas dan menghempaskan dengan perasaan lega setelah tiga noda merah
itu lenyap sama sekali, berarti pengaruh kekuatan dari pukulan 'Aji
Brangaspati' bisa dikalahkan oleh kekuatan tuak saktinya.
"Resi, kau belum menjawab
pertanyaanku tentang siapa pemilik pukulan 'Aji Brangaspati' itu," ujar
Suto Sinting mengingatkan.
Tetapi sebelum Resi Pakar
Pantun ucapkan kata, tiba- tiba Pendekar Mabuk melihat seberkas sinar merah
berbentuk bintang melesat dari balik pohon dan menuju ke punggung Hantu Laut.
Weeesss...! Dengan gerakan cepat di luar dugaan siapa pun, Pendekar Mabuk
menarik tangan Hantu Laut hingga orang besar berkulit hitam itu terjungkal ke
depan. Brrus...!
Satu lompatan kecil membuat
Suto Sinting menghadang laju sinar merah tersebut. Bumbung tuaknya disilangkan
di depan dada tepat pada waktu sinar merah ingin mengenai dadanya sendiri.
Trruub...! Slaaab...! Sinar
itu berbalik arah dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat gerakannya. Sebuah
pohon tempat datangnya sinar itu menjadi sasaran dengan telak.
Blegeerr...! Zuuurrbbsss...!
Buuusss...!
Pohon itu hangus bagai dijilat
api setan. Dalam sekejap sudah menjadi arang dari akar sampai ranting paling
pucuk. Daunnya menjadi debu yang berhamburan. Sisa asap mengepul beberapa kejap
lalu hilang terhembus angin.
"Siapa pemilik sinar
merah itu?!" tanya Kejora kepada Hantu Laut. Pertanyaan itu tak dihiraukan
oleh Hantu Laut, sebab Suto Sinting segera berseru,
"Kalian tunggu di sini
aku akan mencari orang itu!"
Kemudian sebuah suara
terdengar dari belakang mereka yang menghadap ke pohon terbakar itu.
"Tak perlu dicari, aku
kan telah datang sendiri!"
Serentak wajah mereka
berpaling ke belakang dengan rasa kaget. Pandangan mata mereka tertuju pada
sebuah dahan pohon, di sana ada seseorang yang berdiri dengan sikap menantang
penuh keberanian. Resi Pakar Pantun segera menggeram jengkel.
"Sudah kuduga kaulah
orangnya. Turun kau!"
"Itu dia orangnya yang
menyerangku, Suto!" ujar Hantu Laut.
Dengan mata memandang orang
tersebut Suto Sinting berbisik kepada Resi Pakar Pantun, "Siapakah dia,
Resi?"
*
* *
3
DARI atas pohon meluncurlah
tubuh elok semampai berpakaian ketat warna biru. Wuuuss...! Rambut panjang
terurai sepunggung menebar bagai sayap kupu-kupu. Perempuan yang seperti
berusia sekitar tiga puluh tahun itu mendaratkan kakinya ke tanah tanpa suara.
Ini menandakan ia mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi.
Perempuan cantik bermata
dingin itu mengenakan pakaian terusan dari bahan yang lentur, ketat sekali
dengan tubuh hingga berbentuk lekak-lekuk keindahan tubuhnya yang berdada
montok dan berpinggul sekal. Bahan pakaiannya seperti terbuat dari campuran
karet tipis berkancing rapat dari dada sampai bawah perut. Kancingnya adalah
kancing jepret, yang sekali sentak dapat lepas seluruhnya.
Tubuh yang terbungkus kain
tipis ketat dari atas siku sampai betis itu tidak mengenakan sabuk atau ikat
pinggang apa pun, sehingga senjatanya ditaruh di bawah lengan, ia mempunyai
sepasang pisau kembar bersarung tembaga di kanan-kiri tangannya. Ukuran pisau
hanya sebatas dari pergelangan sampai siku, mempunyai tali pengikat dari bahan
karet warna biru, sesuai warna pakaiannya.
Resi Pakar Pantun berbisik
kepada Pendekar Mabuk, "Dialah yang bernama Merpati Liar, satu-satunya
murid Nyai Parisupit yang awet
muda."
"Hmmhh..., padahal Nyai
Parisupit itu neneknya Kejora."
"Benar," bisik sang
Resi lagi. "Neneknya Kejora hanya punya satu murid di luar
keturunannya."
Bisik-bisik itu dihentikan
karena Merpati Liar tampak bergerak dekati Hantu Laut. Suto Sinting tak mau
lepaskan pandangan matanya dan bersiap lakukan sesuatu jika Merpati Liar
menyerang Hantu Laut. Sedangkan Resi Pakar Pantun segera menyapanya dengan
pantun untuk melepas kebisuan di antara mereka.
"Sarung kumal sarung
sialan, sekali dipakai bikin bisulan.
Jangan dulu memancing
permusuhan, sebelum jelas letak persoalan."
Mata dingin itu melirik sang
Resi. Lalu menuding dengan tegas sambil ucapkan kata bernada tak ramah.
"Kau tak punya hak untuk
mencampuri urusanku, Pakar Pantun! Kuharap tutup mulut dan jangan ikut campur
kalau esok masih ingin bernapas."
Resi Pakar Pantun paksakan
diri untuk terkekeh pendek.
"Merpati Liar. "
"Sarung kumal lupa
ditenun,
sekali ditenun bikin orang
manyun. Siapa remehkan si Pakar Pantun, akan menderita apes
turun-temurun."
Merpati Liar masih melirik
sangar ke arah Resi Pakar Pantun, jari-jari tangannya mulai mengeras. Pendekar
Mabuk tahu gelagat, perempuan itu pasti akan lepaskan pukulan tenaga dalamnya
ke arah Resi Pakar Pantun. Maka sebelum hal itu terjadi, Pendekar Mabuk lebih
dulu bicara kepada Merpati Liar.
"Apa perlumu bersikap
memusuhi kami, Merpati Liar?!"
Kini pandangan mata dingin
yang cukup tajam itu beralih ke arah Suto Sinting. Yang dipandang menampakkan
ketenangan wajahnya, sehingga sikap bermusuhan tak terlihat di permukaan wajah
tampan itu. "Siapa kau dan apa hubunganmu dengan si bandot tua
itu?!" seraya ia menuding
Resi Pakar Pantun.
"Aku hanya seorang
sahabat Eyang Resi, juga sahabat dari Hantu Laut dan Kejora," sambil Suto
Sinting memperkenalkan Hantu Laut dan Kejora. Tambahnya lagi, "Namaku Suto
Sinting dan. "
"Aku tak butuh pemuda
sinting!" sahut Merpati Liar dengan sinis.
Kejora menyahut dengan lugu,
"Eh, Yu. Suto bukan
pemuda sinting. Namanya saja
Suto Sinting, tapi dia bukan orang sinting alias orang gila! Bodoh amat kau
ini, Yu?!"
"Jangan turut bicara,
Gadis tolol!" ketus Merpati Liar sambil memandang sangar kepada Kejora.
Yang dipandang menjadi
mengkerut, dan bergeser ke belakang Resi Pakar Pantun.
"Aku kemari hanya ingin
bikin perhitungan dengan si kebo keling itu!" seraya Merpati Liar menuding
Hantu Laut.
"Aku bukan maling! Enak
saja mengatakan aku maling!" sentak Hantu Laut salah dengar.
"Kebo keling!" sang
Resi memperjelas ucapan tadi. "Siapa yang kebo keling?" Hantu Laut
bingung. "Kau...!" sentak Merpati
Liar menampakkan
kegalakannya. "Kebo
keling macam kau layak mati jika tak mau tunjukkan di mana si Perawan Titisan
Peri itu menyimpan pusaka 'Panji-panji Mayat!"
"Aku bukan anak buah
Perawan Titisan Mayat, eh... Peri!" kata Hantu Laut dengan ngotot.
"Sudah kubilang, aku tidak kenal dengan titisan peri atau titisan setan,
sebab aku titisan orang baik-baik!"
"Omong kosong!"
geram Merpati Liar.
"Dia memang tidak
tahu-menahu tentang Perawan Titisan Peri alias si Kucing Hutan itu!"
timpal Suto Sinting. "Dia datang dari Pulau Beliung, tak punya urusan
apa-apa dengan Kucing Hutan."
"Diam kau, Pendusta!"
gertak Merpati Liar, namun gertakan itu hanya ditertawakan oleh Suto Sinting
melalui senyumannya yang melebar. Senyuman itu dipandangi oleh Merpati Liar dan
membuat perempuan itu menyimpan kegundahan dalam hatinya. Tapi ia tetap
lanjutkan kata-katanya yang bernada tak bersahabat itu.
"Kulihat dengan mata
kepalaku sendiri, dia mondar- mandir di depan bangunan kuno yang menjadi tempat
kediaman si Kucing Hutan itu. Dia pasti mata-mata si Kucing Hutan yang bertugas
mengamankan sekitar sarang mereka itu!"
"Aku... aku mondar-mandir
di sekitar bangunan kuno itu karena mencari Suto Sinting. Sebab dikejauhan
kudengar suara ledakan di sana, kusangka itu pertarungan Suto Sinting, ternyata
yang kutemukan hanya mayat seorang lelaki bergincu. Tapi aku tak tahu siapa
pembunuh lelaki bergincu itu!" ujar Hantu Laut menjelaskan dengan nada
tetap ngotot.
"Dia memang mencariku,
Merpati Liar. Dan lelaki bergincu itu memang lawanku. Dia anak buah si Hantu
Laut yang berhasil kulumpuhkan," kata Suto Sinting dengan nada kalem
seakan penuh kesabaran.
Merpati Liar tampak ragu
mempercayai ucapan itu, kemudian berkata dengan masih tetap bernada ketus.
"Kurasa kalian adalah
komplotan si Hantu Laut itu! Rasa-rasanya harus kuhancurkan salah satu agar
kalian mengaku di depanku!"
Weess...! Kepala Merpati Liar
mengibas ke samping kiri. Dari bola matanya keluar sepasang sinar hijau sebesar
lidi mengarah ke dada Hantu Laut. Slaaap...!
Hantu Laut lompat ke samping
belakang untuk hindari sinar hijau itu. Sebenarnya gerakan Hantu Laut itu
terlambat dan ia bisa terkena sepasang sinar hijau yang bergerak sangat cepat
itu. Namun sebelumnya Suto Sinting sudah lebih dulu lepaskan jurus 'Tangan
Guntur' yang mengeluarkan sinar biru besar dari telapak tangannya. Sinar biru
itu menghantam sepasang sinar hijau di pertengahan jarak. Wesss...!
Jlegaaarr...!
Ledakan menghentak kuat telah
membuat mereka tunggang langgang terlempar ke berbagai arah, termasuk Resi
Pakar Pantun dan Kejora. Bahkan Pendekar Mabuk sendiri terlempar dalam keadaan
terkapar dan jatuh tak kuasai keseimbangan badan. Buuhk...! Sedangkan Merpati
Liar terhempas kuat dan membentur sebuah pohon di belakangnya. Hantu Laut
terguling-guling bagai kapas dihempaskan badai.
Perempuan cantik berhidung
mancung itu segera bangkit berdiri dan pandangi Suto Sinting yang telah tegak
lebih dulu. Mata perempuan itu memandang Suto Sinting lebih tajam lagi, bagai
memancarkan kemarahan yang lebih besar dari sebelumnya. Lalu tiba-tiba
kepalanya menyentak sedikit ke atas. Tanpa diduga-duga tubuh Pendekar Mabuk
terlempar ke atas bagai dilemparkan oleh suatu kekuatan gaib.
Wuuuss...!
Perempuan itu segera gerakkan
kepalanya ke samping. Seet...! Dan tubuh Suto yang masih dipandanginya itu
terlempar ke samping dengan kuat. Wuuus...! Brruk...! Tubuh itu membentur pohon
dengan kerasnya.
"Gila! Ternyata kabar
yang kudengar selama ini tidak salah. Merpati Liar mempunyai kekuatan besar
pada matanya," pikir Resi Pakar Pantun. "Rupanya ia telah kuasai
jurus 'Kendali Netra' yang mampu melemparkan benda apa saja cukup menggunakan
pandangan matanya."
Suto Sinting menyeringai,
kepalanya terasa sakit beradu dengan batang pohon besar, ia buru-buru menenggak
tuaknya setelah berkelebat ke balik pohon. Hanya beberapa kejap saja Pendekar
Mabuk sudah keluar dari balik pohon tepat pada saat Merpati Liar menghampirinya
dengan langkah garang.
Seett...! Kepala Merpati Liar
menghentak ke kanan, Suto Sinting terlempar lagi ke kiri. Wuuuss...! Brrruk...!
Pohon tak seberapa besar menjadi sasaran tubuh Suto Sinting. Krraak...! Pohon
itu menjadi retak karena hantaman tubuh kekar Pendekar Mabuk. Melihat Suto
dihajar oleh perempuan cantik, Hantu Laut tak bisa tinggal diam. Ia segera
lakukan lompatan penuh murka dan melepaskan senjata yoyonya yang beracun itu.
"Heeeaaah...!" Wuuuttt...!
Weess...! Senjata yoyo itu
dilemparkan ke arah punggung Merpati Liar. Dari tepian yoyo itu keluar gerigi
tajam beracun ganas. Apabila yoyo itu disentakkan talinya ke belakang, maka
akan membalik arah dalam keadaan gerigi masuk ke dalam.
Tetapi sebelum yoyo itu kenai
punggung Merpati Liar, tiba-tiba tubuh perempuan itu berbalik arah dan
kepalanya terayun membuat kekuatan tenaga dalam pada matanya menyentak,
melemparkan tubuh besar Hantu Laut hingga jatuh terguling-guling di bebatuan.
Brrusss...!
Pada saat itulah, Pendekar
Mabuk segera lepaskan jurus 'Jari Guntur'-nya yang berupa sentilan bertenaga
dalam cukup besar. Tees...! Duugh...!
Tubuh Merpati Liar terjungkal
karena punggungnya bagai ditendang seekor kuda jantan binal. Pendekar Mabuk
yang semula berlutut kaki satu kini bangkit dan melepaskan sentilannya lagi.
Tes, tes, tes, tes...!
Brruk, gusrak, wwees...
gubras, prakkk...!
Kini ganti perempuan itu yang
dihajar Suto Sinting, dijungkirbalikkan ke sana-sini dengan sentilan 'Jari
Guntur' yang sukar ditangkis itu. Jarak mereka yang lebih dari lima langkah
membuat Suto Sinting leluasa melepaskan sentilannya, hingga Merpati Liar
bagaikan dihajar oleh makhluk halus yang tak bisa dilihat ke mana arah
gerakannya.
"Keparat...!" geram
Merpati Liar setelah hujan sentilan 'Jari Guntur' itu berhenti. Jika tidak
dihentikan, perempuan itu dapat mati dalam keadaan jebol dadanya atau hancur
wajahnya oleh sentilan Pendekar Mabuk.
"Resi, bawa Kejora ke
Lembah Sunyi, biar bergabung dengan kakak dan adiknya di padepokan Resi Wulung
Gading!" ujar Suto saat berada tak jauh dari Resi Pakar Pantun.
Merasa ilmunya kalah tinggi
dengan Pendekar Mabuk, maka sang Resi pun menuruti perintah tersebut, ia
bergegas pergi membawa Kejora setelah Pendekar Mabuk bicara lagi dengan mata
tetap tertuju pada Merpati Liar,
"Nanti aku akan
menyusulnya ke sana. Aku akan atasi dulu perempuan ini!"
Hantu Laut tak mau ikut pergi
bersama sang Resi, ia memperhatikan pertarungan Suto Sinting dengan Merpati
Liar, dan tidak bermaksud ikut campur lagi sebab menurutnya Suto Sinting mulai
keluarkan kekuatan ilmunya, sehingga mampu mengimbangi serangan lawan.
"Ia mempunyai kekuatan
pada mata, aku harus gunakan jurus 'Pucuk Rembulan' untuk mengimbanginya,"
kata Suto Sinting dalam hatinya.
"Hiaaah...!" Merpati
Liar serukan suara dengan kedua tangan merentang ke samping membentuk cakar.
Matanya memandang tajam ke arah Suto Sinting. Pandangan mata itu dilawan oleh
Pendekar Mabuk dengan menggunakan jurus 'Pucuk Rembulan' yang bisa mendorong
benda pakai mata dari bawah ke atas. Jurus ini pernah dipakai saat terjadi
peristiwa di Pulau Mayat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Prahara Pulau Mayat").
Kekuatan 'Kendali Netra'
perempuan itu melawan kekuatan mata dari jurus 'Pucuk Rembulan' ternyata
menghasilkan pertarungan yang cukup seru. Tubuh mereka sama-sama terangkat ke
atas tanpa alas berpijak sedikit pun. Tubuh itu melayang dalam ketinggian
setengah tombak dalam keadaan saling bergetar.
"Hhhheeeaahh...!"
Merpati Liar mengerang panjang
akhirnya terlontar dalam satu teriakan murka. Tubuhnya melesat maju bagaikan
terbang dalam satu hempasan. Suto Sinting bersikap menunggu walau tanpa alas
berpijak. Lalu tiba- tiba kepala Suto Sinting menyentak ke kiri. Seeettt...!
Weeerrr...!
Tubuh Merpati Liar berputar di
udara bagaikan baling-baling, gerakan majunya terhenti akibat tertahan kekuatan
mata Suto Sinting. Tubuh yang berputar itu tak bisa mengendalikan
keseimbangannya lagi, lalu terlempar ke samping dan menghantam kerimbunan daun
di atas pohon. Zrrraakk...! Duuurr...!
Pohon besar itu bergetar
dihantam tubuh Merpati Liar. Perempuan itu tersangkut di celah-celah dahan,
terjepit tak bergerak di sana untuk beberapa saat.
Tes, tess...! Suto Sinting
menghajarnya dengan sentilan bertenaga dalam. Perempuan itu tak bisa menghindar
dan menangkis karena keadaannya yang terjepit dahan. Mau tak mau ia hanya
memekik-mekik dengan suara tertahan merasakan sakit pada daerah yang terkena
hantaman tenaga dalam menyerupai tendangan kuda jantan itu.
"Aahg, uuhg...!"
Pendekar Mabuk segera
menapakkan kakinya ke tanah. Kemudian menyentak dan bersalto dua kali di udara
mendekati pohon tersebut. Di bawah pohon ia memandang ke atas dan berseru,
"Masihkah kau ingin pamer
ilmu di depanku, Perempuan cantik?!"
Tak ada jawaban yang keluar
dari mulut yang menyeringai karena berusaha melepaskan diri dari jepitan dahan
itu. Agaknya ia mengalami kesulitan karena tak bisa lakukan gerakan apa-apa.
Kedua tangannya merapat dengan tubuhnya, sehingga yang bisa digerakkan hanya bagian
kaki, itu pun tak bisa leluasa.
Huup...! Pendekar Mabuk
melenting naik dan menendang pangkal dahan yang menjepit tubuh Merpati Liar.
Dees...! Krraakkk...!
Dahan patah seketika, melayang
jatuh ke tanah dalam keadaan jepitan merenggang. Saat itulah Merpati Liar mampu
lepaskan diri dengan sebuah sentakan lengan. Prraakk...!
Wuusss...! Ia berguling ke
samping, lalu segera berdiri dengan satu lutut dan melepaskan pukulan bersinar
merah dari ujung kedua jarinya. Claaapp...!
Sinar itu memecah menjadi tiga
larik, dan itulah yang dinamakan pukulan 'Aji Brangaspati' yang tadi melukai
Hantu Laut. Tetapi tiga larik sinar merah itu dihantam dengan sinar hijaunya
Suto Sinting. Clap, blaarr...!
Sinar merah itu hancur oleh
pukulan 'Guntur Perkasa'-nya Pendekar Mabuk. Sentakan gelombang ledaknya lebih
besar ke arah Merpati Liar, karena jarak pertemuan dua sinar itu dekat dengan
Merpati Liar. Akibatnya, perempuan itu terlempar berguling-guling di tanah dan
baru terhenti setelah membentur batu besar. Di sana ia memuntahkan darah merah
walau tak banyak. Namun ia merasakan sakit pada dadanya yang mulai sulit
bernapas.
"Dia terluka cukup
berbahaya," pikir Pendekar Mabuk secara diam-diam, sikapnya masih tampak
tenang dan penuh waspada.
Merpati Liar mencoba bangkit,
tapi segera terhuyung- huyung mau jatuh, ia buru-buru berpegangan pada batu
setinggi perut orang dewasa itu. Ia mencoba bernapas dengan berat dan menggigit
bibirnya untuk menahan rasa sakit di dada.
Pendekar Mabuk segera
mendekati bersama Hantu Laut yang lecet punggungnya akibat jatuh di bebatuan
tadi.
"Kau tertuka berbahaya,
Merpati Liar. Aku tak bermaksud mencelakaimu jika kau tak memusuhi kami."
Merpati Liar tundukkan kepala dengan badan masih miring ke kanan, karena lengan
kanannya dipakai untuk bertumpu di atas batu. Pendekar Mabuk segera menyodorkan
bumbung tuaknya dengan sikap ramah.
"Minumlah tuakku untuk
mengobati lukamu!"
Perempuan iu diam saja,
perlahan-lahan kepalanya terangkat, matanya memandang ke wajah Pendekar Mabuk.
Sorot pandangan mata itu masih saja bersikap bermusuhan. Agaknya ia dalam
kebimbangan untuk memutuskan; menerima uluran bumbung tuak itu atau menyerang
kembali dalam jarak hanya dua langkah.
*
* *
4
GEGER pusaka Panji-panji Mayat
ternyata memancing beberapa tokoh lama untuk saling bermunculan. Mereka
ternyata cukup peduli dengan pusaka tersebut, karena sebagian besar dari mereka
tahu siapa orang yang berhak memiliki Panji-panji Mayat itu. Para tokoh aliran
putih berusaha agar Panji-panji Mayat atau Panji-panji Agung jangan sampai
jatuh ke tangan tokoh aliran hitam, sebab jika pusaka itu jatuh ke tangan tokoh
beraliran hitam maka akan timbul kekacauan di mana-mana. Setidaknya akan
terbentuk serombongan pasukan mayat hidup yang dapat mengusik perdamaian dan
ketenangan kehidupan di muka bumi.
Sikap kepedulian terhadap
Panji-panji Mayat ternyata nyaris hilang dari diri Darah Prabu. Murid Resi
Badranaya itu ditugaskan deh gurunya untuk memburu seorang gadis yang mencuri
Panji-panji Mayat dari padepokan sang Resi. Gadis buronan itu tak lain adalah
Peluh Setanggi, tetapi agaknya keduanya mempunyai ilmu yang sama kuat, sehingga
terjadi perubahan sikap di luar rencana. Darah Prabu adalah murid Resi
Badranaya sedangkan Peluh Setanggi murid Nyi Mas Gandrung Arum. Padahal antara
Resi Badranaya dengan Nyi Mas Gandrung Arum ada hubungan sedarah walau bukan
seperguruan. Sikap Resi Badranaya terhadap kakaknya; Nyi Mas Gandrung Arum,
sangat bertentangan dan sering terjadi perang batin di antara keduanya, sebab
Nyi Mas Gandrung Arum menganut aliran hitam sedangkan Resi Badranaya beraliran
putih.
Keduanya bersepakat untuk
tidak saling mengusik, jika tidak inginkan perang saudara. Sejauh ini mereka
saling tidak tahu menahu tentang aliran masing-masing dan tidak mau ikut campur
dalam setiap urusan masing- masing. Tetapi belakangan ini, setelah Peluh
Setanggi keluar dari Perguruan Biara Ungu dan menjadi pengikut Kucing Hutan
yang juga dikenal sebagai Perawan Titisan Peri itu, sikap Resi Badranaya mulai
menampakkan permusuhannya terhadap sang kakak, sebab Resi Badranaya belum tahu
bahwa Peluh Setanggi sudah bukan murid kakaknya lagi. Darah Prabu pun tidak
tahu kalau Peluh Setanggi telah berpihak kepada Kucing Hutan, yaitu seorang
gadis cantik yang buas dan mempunyai kebiasaan meminum darah kaum lelaki.
Tetapi akibat sama-sama
menggunakan jurus pemikat, Darah Prabu dan Peluh Setanggi menjadi rukun dan
saling menyayangi. Permusuhan di hati mereka sirna tuntas sejak Darah Prabu
memberikan keperkasaannya dan Peluh Setanggi memberikan kehangatannya. Mereka bagai
tak pernah saling bermusuhan sedikit pun. Yang ada di dalam hati dan jiwa
mereka adalah rasa ingin mencintai dan dicintai, rasa ingin menyayangi dan
disayangi, juga rasa ingin memanjakan dan dimanjakan.
Sambil memandang ombok
bergulung-gulung, mereka saling berpelukan dengan mesra. Sesekali Darah Prabu
mencium kening Peluh Setanggi, sesekali pula Peluh Setanggi yang mengecup bibir
Darah Prabu dengan nakal. Kemudian tawa mereka berderai-derai menyimbulkan
adanya kebahagiaan di dalam kebersamaan tersebut.
"Dulu aku pernah
bercita-cita ingin mempunyai seorang istri yang cantik, berani, berilmu dan
pandai bercumbu. Kupikir semua itu mustahil dapat kuperoleh. Tapi ternyata
sekarang perempuan dalam bayangan dan cita-citaku itu ada padamu, Peluh
Setanggi."
"Betulkah kau mencintaiku
dengan tulus, Darah Prabu?"
"Lebih tulus dari cinta
seorang ibu terhadap anaknya," jawab Darah Prabu dengan nada lembut.
"Aku yakin di dunia ini tak ada sesuatu yang putih seputih cintaku padamu,
Setanggi."
"Oh, aku senang sekali
mendengar ucapanmu, Darah Prabu," sambil Peluh Setanggi menyandarkan
kepalanya ke dada pemuda tampan itu. "Aku pun dulu bercita-cita ingin
mendapatkan suami yang gagah, tampan, tinggi ilmunya dan perkasa dalam
bercinta. Ternyata semua itu telah kau penuhi, Darah Prabu, itulah sebabnya aku
sungguh tak bisa jika harus berpisah darimu. Sampai ke liang kubur pun aku
ingin ikut bersamamu, Darah Prabu."
"Boleh saja ikut ke liang
kubur, tapi tidak boleh nakal."
Peluh Setanggi tertawa riang.
"Nanti di dalam kubur kita bisa saling umpuk-tumpukan lagi, bukan?"
"Ya, memang harus
ditumpuk kalau satu liang kubur dipakai dua orang."
Canda mereka bekepanjangan
melantur ke mana- mana. Yang jelas hati mereka bahagia sekali, serasa bumi ini
hanya dihuni oleh mereka berdua. Mereka tak tahu kalau dari salah satu sisi ada
sepasang mata yang mengintainya dari sejak berada di puncak bukit sampai
kepantai. Sepasang mata yang mengikuti mereka adalah mata si pelayan Resi Pakar
Pantun; Kadal Ginting. Tubuhnya sudah berulang-kali basah kuyup karena keringat
dinginnya membanjir terus melihat adegan- adegan syur yang dilakukan Peluh
Setanggi dengan Darah Prabu, ia berusaha menyimak setiap suara yang keluar dari
mulut mereka, dan berusaha memperhatikan setiap gerakan yang mereka lakukan.
"Jangan-jangan keduanya
sama-sama telah miring otaknya," pikir Kidal Ginting. "Padahal mereka
bermusuhan sesengit itu, mengapa sekarang jadi bermesraan segesit ini?! Kuikuti
dari tadi, sudah tiga kali mereka melakukan percumbuan yang edan-edanan di balik
semak. Kurasa sekarang mereka akan istirahat di pantai ini sambil mengumpulkan
tenaga kembali."
Namun, telinga Kadal Ginting
segera menangkap suara Peluh Setanggi yang sambil cekikikan melakukan kerajinan
tangan dengan rajin sekali itu. "Prabu, di balik gugusan karang itu
sepertinya ada tempat teduh yang lega. Tak inginkah kau pergi te sana?"
"Untuk apa kita ke
sana?"
"Tak inginkah kau
menikmati surga di tubuhku lagi?" "Siapa yang tak ingin? Dari tadi
aku sedang mencari tempat yang enak untuk berlayar dengan perahu
cintamu."
"Hi, hi, hi... kalau
begitu kita ke sana sekarang juga, Prabu. Gairahku telah terbakar oleh ciuman-
ciumanmu...." Kalimat itu terpotong oleh desah Peluh Setanggi. "Ah,
jangan begitu tanganmu, Prabu. Di sana saja kalau ingin melakukannya. Jangan di
sini, nanti ada setan lewat, aku malu dilihat setan!"
Kadal Ginting membatin,
"Kurang ajar! Aku dianggap setan. Kalau tak ingat sedang mengintip,
kutabok mulut gadis itu, dan... lho, lho... kok mereka ke sana? Wah, pasti akan
begituan lagi! Gila! Tak ada puasnya perempuan itu rupanya. Ah, tapi... lumayan
juga buat tontonan iseng. Sebaiknya aku lebih dekat lagi supaya dapat melihat
dengan jelas seperti tadi...!"
Kadal Ginting pun bergegas
mendekati gugusan karang berongga, ia bersembunyi di celah-celah karang ketika
Peluh Setanggi mulai menyapu habis tubuh Darah Prabu dengan ciumannya. Darah
Prabu masih berdiri melepas, rompinya.
"Luar biasa gadis itu. Ia
tak sabar mendapatkan kemesraan seperti tadi. Wah-wah, wah... rupanya ia gadis
yang berselera tinggi. Enak sekali si Darah Prabu diperlakukan seperti anak
kucing sedang dimandikan begitu, ya? Iih... tubuhku jadi merinding sendiri,
sepertinya tubuhku ikut dimandikan oleh ciuman Peluh Setanggi." Kadal
Ginting bergidik sendiri dengan jantung berdetak-detak keras. Lututnya gemetar
nyaris tak mampu berdiri lagi.
Ketika senja akan tiba,
pelayaran cinta mereka pun usai. Darah Prabu dan Peluh Setanggi terkapar lemas
dicekam kelelahan. Kadal Ginting duduk bersimpuh di pasir basah karena lututnya
bagai kehilangan urat penopang tubuh. Sekujur badannya basah bukan karena
percikan ombak, tapi karena banjir keringat dingin selama menyaksikan tontonan
iseng itu. Bukan hanya napas Peluh Setanggi dan Darah Prabu saja yang
terengah-engah, melainkan napas Kadal Ginting pun ngos-ngosan. Bahkan napas
mereka sudah reda, tapi napas Kadal Ginting masih ngos-ngosan.
Peluh Setanggi dan Darah Prabu
masih membiarkan busananya terkulai di samping mereka. Alam indah dan irama
ombak memacu gairah sedang dinikmati tanpa rasa canggung dan malu, sebab mereka
yakin tak ada orang yang melihat keadaan mereka saat itu.
Tetapi tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara ledakan yang cukup menggelegar. Ledakan itu membuat
gugusan karang yang menjadi atap berteduh mereka itu runtuh sebagian. Tentu
saja Peluh Setanggi dan Darah Prabu menjadi panik dan secepat kilat mengenakan
pakaian mereka.
"Perbuatan siapa
ini?!" geram Darah Prabu.
"Tetaplah di sini, akan
kucari orang yang mengganggu kemesraan kita!" seraya Peluh Setanggi mengenakan
penutup dadanya.
Wees, wees...! Peluh Setanggi
keluar dari rongga karang itu, Darah Prabu tak mungkin mau tinggal di tempat,
sebab ia tak ingin Peluh Setanggi menghadapi bahaya sendirian, ia pun ikut
melesat keluar dari rongga karang.
Sementara itu, Kadal Ginting
semakin gemetar dan tak bisa bergerak, karena pecahan karang tadi ada yang
terbang mengenai tengkuk kepalanya. Pandangan mata Kadal Ginting menjadi buram
sedikit, tapi rasa sakit nyut-nyutan menjalar sampai ke ubun-ubun. Untung saja
bongkahan karang segenggaman itu tak sampai membuat kepalanya bocor.
Dari tempatnya terkulai
bersimpuh itu, Kadal Ginting masih bisa melihat ke mana arah kepergian Darah
Prabu dan Peluh Setanggi. Ternyata mereka sedang berhadapan dengan dua orang
gadis berwajah kembar. Dua orang gadis itu mengenakan kutang hijau dan kain
penutup bagian bawahnya sepanjang betis berwarna ungu berbelahan empat.
Keduanya sama-sama mempunyai wajah serupa dengan Peluh Setanggi. Kesamaan rupa
dan bentuk tubuh itu yang membuat Kadal Ginting terperangah memandang heran
hingga mulutnya melongo.
"Kembar...?! Siapa yang
kembar sebenarnya? Kedua gadis yang baru datang itu atau Peluh Setanggi yang
kebetulan punya wajah serupa dengan kedua gadis itu?!" gumam lirih Kadal
Ginting. Ia tak tahu bahwa Peluh Setanggi bersaudara kembar sepuluh. Dua adik
kembarnya ikut memihak Kucing Hutan, sementara sisanya masih menjadi murid
Perguruan Biara Ungu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri
Bayangan Ungu").
Dua adik kembarnya yang ikut memihak
Kucing Hutan adalah Kuncup Nirwana dan Buih Dewani. Kedua adik kembar itulah
yang datang ke pantai dan melepaskan pukulan penghancur karang bagian atas
rongga tadi. Yang menjadi tanda bagi kedua adik kembar Peluh Setanggi adalah
gambar tato di atas payudara kiri mereka. Buih Dewani mempunyai tato bergambar
sebilah keris bercahaya, sedangkan Kuncup Nirwana mempunyai tato bergambar
kepala harimau. Karenanya, Peluh Setanggi dapat mengenali dengan cepat siapa
adik kembarnya yang datang itu.
"Nirwana, Dewani...!"
sentak Peluh Setanggi. "Apa maksud kalian mengganggu kemesraanku,
hah?!"
Darah Prabu terbengong
melompong memandangi dua gadis kembar yang sama persis dengan kekasihnya, ia
tak menyangka ada dua gadis kembar yang sedikit pun tak berbeda dengan Peluh
Setanggi, kecuali pada gambar tatonya. Darah Prabu belum tahu bahwa Peluh
Setanggi mempunyai sembilan adik kembar, sebab itu ia sempat berbisik kepada
Peluh Setanggi,
"Siapa mereka itu,
Setanggi?"
"Dua adik kembarku!
Hati-hati, jangan salah cium. Aku punya sembilan adik kembar yang sama persis
dengan diriku. Perhatikan tato di dada kami!" jawab Peluh Setanggi dengan
cepat, lalu perhatiannya tertuju kepada Kuncup Nirwana dan Buih Dewani yang
berdiri dengan sikap menantang.
"Masih untung kalian
adikku sendiri, jika bukan sudah kuhancurkan kepala kalian karena mengganggu
kemesraanku dengan Darah Prabu!"
Kuncup Nirwana buka suara,
"Pantaskah kalian bercengkerama di sana sementara kami kena marah terus
oleh Ratu Kucing Hutan?!"
"Tiga kali kami menerima
hajaran dari Ratu Kucing Hutan gara-gara kau mencuri pusaka palsu!" timpal
Buih Dewani. "Kami ditugaskan mencarimu, Setanggi! Ternyata kau sedang
bercinta seenaknya dengan pemuda itu! Memuakkan sekali!"
"Percuma kami mengikutimu
kalau kau tak punya pembelaan terhadap diri kami!" sahut Kuncup Nirwana.
"Kami yang menerima hukuman kau yang menerima kemesraan. Hmmm... apakah
itu adil menurutmu?!"
"Lalu apa mau kalian
sebenarnya, hah?!" bentak Peluh Setanggi menjaga wibawa di depan
adik-adiknya.
"Tinggalkan pemuda itu
dan pergilah menghadap sang Ratu. Kau harus menebuskan kesalahanmu yang telah
mencuri pusaka palsu!" "Pusaka palsu...?!" Peluh Setanggi
berkerut dahi, karena ia segera ingat tentang pusaka Panji-panji Mayat yang
dicurinya dari pondok Resi Badranaya.
Darah Prabu pun segera ingat
tentang pusaka Panji- panji Mayat dan tugas menangkap Peluh Setanggi. Tetapi
tugas itu ternyata kalah dengan rasa cinta yang ingin memiliki Peluh Setanggi
selamanya. Hanya saja, Darah Prabu sempat merasa heran mendengar pusaka yang
dicuri Peluh Setanggi itu adalah pusaka palsu.
"Jadi... selama ini Guru
menyimpan pusaka palsu?!" tanyanya dalam hati bernada heran.
"Setanggi, kami
ditugaskan membawamu pulang ke Hutan Lembah Meong untuk menghadap Ratu Kucing
Hutan!" ujar Kuncup Nirwana dengan nada tegas.
"Tidak. Aku tidak mau,
karena tugasku telah selesai.
Pusaka itu tidak mungkin
palsu!"
"Ratu mencoba membawa
Panji-panji Mayat ke sebuah makam, tapi ternyata mayat dalam makam tak bisa
bangkit. Lalu panji-panji itu dibawanya ke kuburan para penduduk desa, ternyata
para penghuni kubur tak satu pun yang bangkit mengikuti panji-panji itu!"
kata Buih Dewani.
Mata dan mulut Peluh Setanggi
menampakkan sikap tertegun yang membimbangkan hati. Sementara itu, Kuncup
Nirwana serukan kata kembali,
"Panji-panji itu sekarang
sudah dihancurkan oleh Ratu Kucing Hutan dengan murka. Menurut kabar yang
diperoleh Banci Wadak, pusaka Panji-panji Mayat sudah berhasil dicuri oleh Dewi
Geladak Ayu. Maka sang Ratu sendiri segera menangkap Dewi Geladak Ayu. Namun
sayang bajak laut perempuan itu mampu lepaskan diri dari pengaruh racun di
pisau sang Ratu, dan segera melarikan diri. Sementara kemarin siang kami
kembali ke istana dan menemukan Banci Wadak telah menjadi mayat mengenaskan.
Entah siapa pembunuhnya!"
"Yang jelas bukan aku
pembunuh Banci Wadak. Setelah kuserahkan panji-panji curianku kepada sang Ratu,
aku segera pergi memburu pembunuh Paman Badai Kutub. Dan sejak itu aku belum
kembali ke istana!"
"Jangan menambah murka
sang Ratu, Setanggi! Kami yang kena getahnya!" seru Buih Dewani agak
membentak.
Kuncup Nirwana menambahkan
kata, "Jika kau tak menghadap sang Ratu, anggapan sang Ratu tetap buruk
kepadamu."
"Anggapan apa?!"
"Kau telah menukar pusaka
yang asli dengan yang palsu. Itulah anggapan sang Ratu!" jawab Buih
Dewani.
"Dusta! Fitnah itu
namanya!" sentak Peluh Setanggi. "Yakinkanlah kepada sang Ratu bahwa
anggapan itu
tidak benar. Jelaskan semuanya
di depan sang Ratu, Setanggi!"
"Aku tidak mau menemui
sang Ratu, karena aku tak mau berpisah dari Darah Prabu!"
"Kau bisa membawa pemuda
itu menghadapnya juga."
"Kau pikir aku bodoh?!
Ratu Kucing Hutan adalah peminum darah lelaki, ia sangat berselera dengan
lelaki semuda dan segagah Darah Prabu. Aku tak mau Darah Prabu direbutnya dan
menjadi korbannya seperti lelaki yang lain!"
"Kalau kau tetap tak mau,
haruskah kami memaksamu dengan cara kasar, Setanggi?!" ucap Buih Dewani
yang dirasakan oleh Peluh Setanggi sebagai tantangan. Maka ia pun memandangi
kedua adik kembarnya dengan sorot pandangan mata tajam penuh pertimbangan.
"Haruskah aku bertarung
dengan adik kembarku sendiri?" gumam Peluh Setanggi pelan, namun didengar
oleh Darah Prabu. Pemuda itu pun akhirnya berbisik kepada Peluh Setanggi.
"Biar kuhadapi kedua
adikmu, larilah ke bukit tempat cinta kita bertemu. Nanti aku akan menyusulmu
ke sana."
"Kau... kau akan melawan
adikku? Mereka bukan berilmu rendah, Prabu! Kalau hanya satu orang mungkin saja
kau bisa kalahkan mereka, tapi kalau dua orang kau akan dibuat tak berdaya dalam
dua gebrakan saja!"
"Aku masih punya jurus
simpanan yang belum pernah kugunakan untuk melawan siapa saja."
"Itu berarti kau akan
membunuh kedua adikku!" "Lalu, aku harus bagaimana? Jika mereka
membahayakanmu, apa salahnya
jika mereka dilenyapkan?"
"Tidak. Aku tidak ingin
hal itu terjadi!" ujar Peluh Setanggi dalam bisikan, namun benaknya masih
dibuat pusing oleh keputusan langkahnya; menemui Kucing Hutan atau melumpuhan
kedua adik kembarnya itu?
Darah Prabu segera berbisik
lagi, "Baiklah, aku hanya akan membuat kedua adikmu tumbang sementara kau
melarikan diri ke bukit itu. Aku berjanji tak akan melenyapkan nyawa adikmu,
Setanggi! Larilah sana, dan akan kuhadang mereka jika mengejarmu. Tunggu aku di
bukit dan jangan ke mana-mana sebelum aku datang menjemputmu."
Kini yang ada dalam pikiran
Peluh Setanggi adalah sebuah keraguan; mampukah Darah Prabu menghadapi kedua
adiknya tanpa harus melenyapkan nyawa mereka?
*
* *
5
TUAK sakti itu ternyata bukan
saja sebagai penyembuh luka, melainkan juga jembatan bagi terjalinnya sebuah
persahabatan dan perdamaian. Secara jujur batin Merpati Liar mengakui daya
penyembuh secara gaib. Ia rasakan sendiri khasiat tuak itu di badannya; rasa
sakit hilang, badan terasa lebih segar dari sebelumnya, hati mereka lebih
tenang setelah meneguk tuak Suto.
"Kudengar kabar, hanya
Tabib Darah Tuak yang mempunyai kekuatan mujarab dalam penyembuhannya melalui
air tuak," katanya di depan Suto Sinting dan Hantu Laut. Suto Sinting
hanya sunggingkan senyum, lalu berkata, "Barangkali kabar itu memang
benar. Tapi barangkali kau belum tahu siapa Tabib Darah Tuak itu,
Merpati."
"Kudengar kabar, Tabib
Darah Tuak adalah si Pendekar Mabuk, murid Eyang Gila Tuak, sahabat
guruku."
Hantu Laut menyahut sambil
menuding Suto Sinting, "Dialah yang bergelar Pendekar Mabuk! Dia juga
yang menjadi satu-satunya
murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"
Merpati Liar sedikit
terperanjat dan pandangi Suto Sinting dengan keraguan.
"Benarkah kata-katanya
itu?"
Pendekar Mabuk anggukkan
kepala dengan senyum ramah yang menawan.
"Oh, kalau begitu aku
salah duga."
"Dia belum duda, masih
perjaka. Mengapa kau bilang dia duda?" sahut Hantu Laut salah dengar.
"Salah duga!" tegas
Suto Sinting. "Bukan salah duda!"
"Ooo...," Hantu Laut
hanya manggut-manggut dan buang muka menutupi rasa malunya. Merpati Liar
memandang Hantu Laut, tak ada senyum namun tak bersikap bermusuhan seperti
tadi.
"Merpati, kalau boleh
kutahu, apa maksudmu mencari pusaka Panji-panji Mayat?" tanya Suto Sinting
mulai menyelidik.
"Aku adalah murid tunggai
Nyai Parisupit yang bukan dari pihak keturunannya."
"Ya, aku telah dengar
penjelasan itu dari Resi Pakar Pantun."
"Kudengar kabar,
Panji-panji Mayat dicuri oleh seorang gadis yang berpihak kepada Perawan
Titisan Peri; si Hantu Laut itu. Perlu kau ketahui, Perawan Titisan Peri adalah
bukan dari keturunan leluhur Nyai Guru Parisupit. Ketika Nyai Guru Parisupit
belum mangkat, beliau pernah berpesan padaku agar ikut menjaga pusaka
Panji-panji Mayat agar jangan sampai jatuh di tangan orang yang bukan keturunan
beliau. Aku tahu persis, bahwa pusaka itu hanya berhak dimiliki oleh kedua anak
Nyai guruku; yaitu Jalma Dupi atau Manggarsani, adiknya."
"Manggarsani...?!"
gumam Suto Sinting dengan berkerut dahi pertanda merasa asing terhadap nama
Manggarsani.
"Kudengar kabar, Jalma
Dupi dan istrinya sudah tewas di tangan keturunan Gajahloka, dua anaknya pun
tewas. Tetapi Jalma Dupi mempunyai tiga anak gadis lainnya yang kudengar kabar,
mereka masih hidup. Hanya tak kutahu di mana tinggalnya sekarang dan
siapa-siapa saja tiga anak gadis Jalma Dupi itu. Satu orang lagi yang berhak
memegang pusaka itu adalah Manggarsani, tetapi sudah lama Manggarsani
mengasingkan diri dan tak pernah kudengar kabarnya. Mungkin sudah mati, mungkin
juga masih hidup."
"Aku tak pernah mendengar
nama Manggarsani," gumam Suto Sinting bagai bicara pada diri sendiri.
"Tapi aku tahu sifat dan watak Manggarsani yang tak mau ribut tentang
warisan leluhur. Bahkan ia selalu menjauhi pertikaian dengan sesama. Manggarsani
seorang perempuan yang amat cinta pada perdamaian dan ketenangan, ilmunya
lumayan tinggi, tapi tak pernah diumbar di dunia persiiatan. Kabar terakhir
yang kudengar, ia menggunakan nama julukan: Dewi Cumbutari."
"Oooh...!" Suto
Sinting menyentak lega, karena ia segera ingat dengan seorang perempuan yang
menjadi ratu di negeri Wilwatikta dan bernama Ratu Dewi Cumbutari. Suto Sinting
kenal baik dan bahkan pernah menyelamatkan negeri itu dari ancaman maut si Raja
iblis, (Baca serlai Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai
Raksasa"). Suto Sinting pun segera menceritakan peristiwa pertarungannya
dengan si Raja iblis itu kepada Merpati Liar.
"Aku harus menjalankan
amanat mendiang Nyai Guru untuk menjaga agar pusaka tersebut tidak jatuh di
tangan tokoh aliran hitam. Aku harus bisa me- ngembalikan pusaka itu ke tangan
pewarisnya."
"Kudukung tekadmu itu,
Merpati Liar. Hanya saja, barangkali perlu kau ketahui, gadis yang tadi bersama
kami, yang sempat kau bentak dengan garang, dia adalah anak dari Jalma Dupi
yang bernama Kejora."
"O, begitu...?!"
"Tiga anak gadis Jalma
Dupi yang masih hidup adalah Kejora, si bungsu Menik dan si sulung Dewi Hening.
Keduanya ada di Lembah Sunyi bersama Resi Wulung Gading menanyakan tentang di
mana pusaka itu berada, dan sekarang Kejora sedang dalam perjalanan ke sana
pula bersama Resi Pakar Pantun."
"Hmmm...," Merpati
Liar menggumam dan manggut- manggut, tampak sekali sikap tegas dan pemberani di
wajah cantiknya itu.
"Jika benar begitu
keadaan yang ada, aku harus segera mencari si Kucing Hutan untuk merebut
kembali pusaka tersebut. Gadis pencuri pusaka itu, kudengar bernama Peluh
Setanggi. Gadis itu pula yang menjadi sasaran buronanku."
Pendekar Mabuk anggukkan
kepala. "Dari mana kau dapat kabar tersebut?"
"Kujumpai sahabat lamaku
yang bernama Sumbaruni, dialah yang menceritakan hal itu. Menurut pengakuannya,
ia mendengar kabar itu dari Pendekar Mabuk."
"O, pantas. Memang benar
aku telah menceritakan hal itu kepada Sumbaruni."
"Dan kudengar
pengakuannya, bahwa Pendekar Mabuk adalah kekasihnya."
Suto Sinting diam sambil
palingkan wajah menutup senyumannya. Merpati Liar memandang bagai menunggu
jawaban yang pasti dari Pendekar Mabuk. Karena lama tak ada jawaban, Merpati
Liar ajukan tanya kembali,
"Benarkah kau kekasih
Sumbaruni?" Karena Suto Sinting hanya senyum-senyum saja, maka Hantu Laut
segera berkata, "Itu fitnah. Suto tidak pernah menyembelih
Sumbaruni!"
"Siapa yang bilang
menyembelih Sumbaruni?" ujar Suto Sinting.
"Dia tadi bilang
apa?"
"Apa benar aku kekasihnya
Sumbaruni?.'" ucap Suto Sinting memperjelas tekanan suaranya.
"Ooo... kekasih? Kudengar
dia bilang 'sembelih', tak tahunya 'kekasih'. Maklum sajalah...," Hantu
Laut malu, ia buang muka sambil garuk-garuk kepala.
"Dia bukan kekasihku,
Merpati. Tapi aku tahu, dia mencintaiku."
"Kau tidak
membalasnya?" Suto Sinting gelengkan kepala.
"Syukurlah kalau
begitu," ucap Merpati Liar pelan, seakan punya arti terselubung. Tapi
Hantu Laut salah dengar lagi.
"Siapa yang babak
belur?!"
"Syukur!" sentak
Suto Sinting memperjelas ucapan Merpati Liar. "Dia bukan bilang 'babak
belur', tapi bilang 'syukur',
jelas?!"
"Lha, iya... aku tadi
juga bilang 'siapa yang syukur', begitu!" Hantu Laut menyangkal
ketuliannya. Pendekar Mabuk jadi merenung dan berkata pada diri sendiri,
"Mengapa sekarang aku
jadi ikut-ikutan budeg, ya?!"
Merpati Liar palingkan wajah
sembunyikan senyum tipisnya. Kemudian ia bergegas pergi menuju Lembah Meong
untuk temui Kucing Hutan. Suto Sinting dan Hantu Laut ikut bersamanya. Langkah
mereka terhenti saat melewati hutan jati. Sekelebat bayangan melintas jauh di
depan mereka. Tetapi mata Merpati Liar cukup tajam dan bisa mengikuti kecepatan
gerak bayangan itu. Akibat langkah Merpati Liar tertahan, langkah Suto Sinting
dan Hantu Laut pun ikut terhenti. "Ada apa, Merpati?"
"Kulihat sosok seorang
gadis berkutang hijau lari ke arah selatan."
"Berkutang hijau?!
Hmmm... apakah dia si Peluh Setanggi?!" ujar Suto setelah membayangkan
sosok gadis berdada montok yang ditutup dengan kutang hijau berhias benang
emas.
"Akan kuikuti
langkahnya!" ucap Merpati Liar pelan, lalu ia lebih dulu melesat ke arah
selatan. Weesss...! Kecepatan geraknya sempat mencengangkan Pendekar Mabuk.
Ternyata perempuan itu mampu bergerak hampir menyamai jurus 'Gerak Siluman'-nya
Suto Sinting, ia seperti orang menghilang lenyap ditelan bumi. Pendekar Mabuk
tak mau kalah saing, ia pun segera pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
kecepatannya melebihi kecepatan anak panah itu.
Ziaaapp...!
Hantu Laut terbengong
melompong. Lalu terdengar gerutuannya dengan wajah bersungut-sungut,
"Mentang-mentang pada
bisa bergerak cepat aku ditinggalkan begitu saja. Hmmm...! Kalian kira hanya
kalian yang bisa bergerak secepat itu? Aku pun mampu melakukannya. Lihat...,
huup...!"
Gusraak...!
"Aauuh...!" Hantu Laut mengerang karena kakinya tersandung akar
pohon, ia jatuh tersungkur mencium tanah.
Merpati Liar sudah sampai di
tempat jauh, di atas bukit cadas yang tingginya hanya sekitar iima tombak. Di
sana ia menghadang bayangan yang tadi dilihatnya, ia bersembunyi di balik
gugusan batu cadas setinggi dua tombak.
"Terpaksa kutinggalkan
Pendekar Mabuk, karena aku tak mau kehilangan jejak kalau benar gadis itu
adalah si Peluh Setanggi!" ucapnya lirih. Tapi tiba-tiba di sisi batu
cadas itu terdengar suara yang ditujukan kepadanya.
"Dugaanku tepat, kau
pasti akan kemari, karenanya aku menunggumu di sini."
Merpati Liar terperanjat tak
berkedip. Wajah Pendekar Mabuk muncul dari balik celah batuan cadas itu.
"Sial! Rupanya ia sudah
sampai di sini lebih dulu sebelum aku tiba," gerutunya dalam hati. Ia
hanya geleng-gelengkan kepala tak kentara melihat senyum si tampan mengembang
di depannya. Mulut pun segera ternganga untuk mengatakan sesuatu kepada Suto
Sinting, tetapi niat tersebut terpaksa batal. Bahkan tangannya segera menekan
pundak Suto Sinting agar lebih merapat lagi ke lapisan sisi batu.
Rupanya Merpati Liar melihat
gerakan menuju ke jalanan di bawah bukit cadas itu. Suto Sinting segera
mengarahkan pandangannya ke sana. Ternyata dugaannya benar, Peluh Setanggi
sedang berlari hendak melintasi jalanan di bawah bukit cadas.
"Benarkah gadis itu yang
bernama Peluh Setanggi?" "Benar," jawab Suto Sinting mengikuti
irama bisikan
Merpati Liar.
"Aku akan menghentikan
langkahnya! Mundurlah sedikit!"
"Hei, apa yang ingin kau
lakukan?" "Menggelindingkan batu ini biar menghalangi
langkahnya!" jawab
Merpati Liar sambil ingin menjejak batu besar itu dengan kaki kanannya.
"Tunggu
sebentar...!" cegah Suto Sinting. "Lihat, ada orang yang mendahuluimu
menghadang langkah gadis itu!"
Merpati Liar urungkan niatnya,
memandang ke arah yang ditunjuk Suto Sinting. Ternyata di sana memang ada
seorang yang sengaja berdiri menghadang langkah Peluh Setanggi persis di
pengkolan jalan yang tidak terlalu banyak ditumbuhi pepohonan.
Si penghadang itu adalah
seorang gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun. Mempunyai rambut meriap
diikat dengan ikat kepala putih bersulam benang emas. Ia hanya mengenakan
kutang hijau, kain penutup bawahnya berbelahan tiga berwarna hijau juga. Sebuah
pedang disandangnya di pinggang kiri.
"Siapa gadis itu? Kau
kenal dengannya?"
"Sangat kenal,"
jawab Suto Sinting dalam bisikan. "Dia juga murid dari Biara Ungu, bekas
teman seperguruan Peluh Setanggi. Dia adalah salah satu dari tiga orang
kepercayaan Nyi Mas Gandrung Arum. Dia dikenai dengan nama Putik Linang."
"Apa yang dikehendaki
oleh Putik Linang? Agaknya bersikap memusuhi Peluh Setanggi."
"Kita perhatikan saja
dulu apa yang ia lakukan terhadap bekas teman seperguruannya itu."
Peluh Setanggi agak terkejut
melihat kemunculan Putik Linang yang menghadang langkahnya. Apalagi sikap Putik
Linang kentara sekali memusuhinya, Peluh Setanggi cepat pasang kewaspadaan
tinggi, setidaknya dapat merasakan ada tujuan tak baik atas penghadangan Putik
Linang itu.
"Putik Linang, agaknya
kau punya maksud tak baik menghadang langkahku ini!"
"Tergantung bagaimana kau
menilai sikapku," jawab Putik Linang bernada tak ramah. "Yang jelas
aku diutus oleh Guru untuk menangkapmu!"
"Dengan tuduhan apa Guru
akan menangkapku, bukankah aku sudah bukan muridnya lagi?"
"Kau memalukan nama
perguruan, mencemarkan nama besar Guru dengan mencuri pusaka Panji-panji Mayat!
Kau dapat memancing permusuhan antara pihak Guru dengan pihak Resi
Badranaya!"
"Hmmm...!" Peluh
Setanggi sunggingkan senyum sinis. "Guru sudah berani memecatku, berarti
Guru sudah siap menghadapi hal-hal seperti ini! Kusarankan, pulanglah kembali
ke Biara Ungu dan sampaikan salamku kepada Nyi Mas Gandrung Arum, katakan bahwa
sekarang antara dia dan aku tak punya urusan apa-apa lagi. Segala tingkah
lakuku di luar tanggung jawabnya! Ingatkan kepada pendeta sesat itu, bahwa aku
sudah menjadi pengikut Kucing Hutan. Jika dia menggangguku, berarti dia akan
berurusan dengan Perawan Titisan Peri itu!"
"Guru mengizinkan aku
membunuhmu jika kau tak mau ditangkap."
"Oh, begitu?!"
senyum Peluh Setanggi adalah senyum meremehkan lawannya. Begitu sinis dan
memuakkan bagi Putik Linang, sehingga kedua tangan Putik Linang mulai meremas
dan napasnya tampak tertahan karena menggeram kemarahan.
"Kau pikir aku takut
menghadapi gertakanmu, Putik Linang?! Aku tak pernah merasa takut kepada siapa
pun. Bahkan kalau perlu gurumu, pendeta sesat itu, suruh datang kemari dan
berhadapan denganku. Sejengkal pun kakiku tak akan melangkah mundur
melawannya!"
"Kurang ajar! Bicaramu
sudah kelewat batas, Peluh Setanggi!" geram Putik Linang. "Sudah
waktunya mulutmu itu kuhancurkan sekarang juga. Heeeaaah...!"
Weeess...! Putik Linang
berkelebat menerjang Peluh Setanggi, menghantamkan pukulan tangannya yang kala
itu sudah menyala merah membara. Wuuuk...! Pukulan bertangan bara itu berhasil
dihindari Peluh Setanggi dengan memiringkan badan, lalu kakinya menendang maju
dalam satu sentakan cepat. Wuut, beehg...!
"Uuhg...!" Putik
Linang terlempar empat langkah ke belakang. Ia jatuh dalam keadaan terkapar.
Baahg...!
Peluh Setanggi segera melompat
tinggi-tinggi dan tubuhnya meluncur ke bawah tepat ke perut Putik Linang.
Suuutt...!
Putik Linang sadar akan
datangnya bahaya dari atas.
Ia cepat gulingkan badan ke
samping dua kali.
Wut, wuut...! Jleeg...! Kaki
Peluh Setanggi akhirnya menginjak tempat kosong.
Tanah yang dipijak Peluh
Setanggi menjadi melesak ke dalam sebatas mata kaki. Berarti kekuatan tenaga
dalam Peluh Setanggi kala itu sudah dipusatkan ke telapak kakinya. Untung saja
Putik Linang berhasil hindari kaki itu, seandainya tidak, perutnya bisa jebol,
isi perut bisa berantakan ke mana-mana.
Putik Linang segera bangkit
sambil lakukan tendangan kaki yang menyentak ke samping. Wuuss...! Tendangan
itu tak mengenai sasaran karena Peluh Setanggi cepat lakukan jungkir balik ke
belakang. Wuuuss...!
Tangan Putik Linang yang masih
menyala bara sebatas pergelangannya segera dihantamkan ke arah dada Peluh
Setanggi. Namun hantaman tersebut kali ini diadu dengan telapak tangan Peluh
Setanggi yang mengepulkan asap putih dan mengeluarkan busa-busa salju.
Deeb...! Zrrooosss...!
Asap mengepul bagai bara
dicelup ke dalam air. Namun keduanya sama-sama tersentak mundur hingga tiga
langkah jauhnya, mereka sama-sama terpelanting nyaris jatuh.
"Terpaksa kutebas batang
lehermu, dan kuserahkan kepada Guru kepalamu, Setanggi!" Sreett...! Putik
Linang mencabut pedangnya. Pedang segera dimainkan dengan jurus yang indah
dilihat. Peluh Setanggi belum mau mencabut pedangnya, ia masih mengandalkan
kekuatan tangan kosongnya dan merasa tak gentar sedikit pun menghadapi lawan
yang bersenjata tajam itu.
"Majulah, Jahanam!"
geramnya sambil memandang benci kepada Putik Linang, karena memang Putik Linang
itulah orang yang paling dibenci olehnya semasa ia menjadi murid di Biara Ungu.
Kebencian itu timbul setelah Putik Linang resmi diangkat sebagai pengawal dan
orang kepercayaan Nyi Mas Gandrung Arum. Sementara dirinya yang sudah lebih
dulu menjadi murid di Biara Ungu masih belum mendapat kesempatan untuk menjadi
orang kepercayaan sang Guru. Peluh Setanggi merasa sakit hati, lalu bertekad
menjadi orang upahan bagi pihak mana pun yang membutuhkan bantuannya. Sebab
itulah, ia dipecat sebagai murid Biara Ungu sampai sekarang.
"Majulah, Kodok busuk!
Jangan hanya memainkan pedangmu saja!" bentak Peluh Setanggi tak sabar
menunggu serangan lawan. Putik Linang pun semakin panas hatinya ditantang
demikian.
"Hiaaah...!" Putik
Linang lakukan lompatan menerjang lawannya dengan pedang siap dihujamkan.
Tetapi Peluh Setanggi segera berkelebat ke samping dalam satu lompatan bersalto
dan saat itulah sekeping logam menyerupai mata tombak dilemparkan ke arah Putik
Linang. Zing, zing, zing, zing...! Trang, trang, trang, jeeb...!
"Aaahg...!" Putik
Linang terkena lemparan senjata rahasia yang terakhir. Logam yang mempunyai
racun 'Lidah Malaikat' itu menancap di bawah pundak kiri Putik Linang. Gadis
itu langsung tumbang dan mengejang, lukanya mengepulkan asap putih.
Pendekar Mabuk terperanjat
cemas, karena ia pernah melihat senjata rahasia itu menancap di tubuh Kadal
Ginting dan nyaris merenggut nyawa si pelayan Resi Pakar Pantun itu, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pembantai Raksasa"). Karenanya,
Pendekar Mabuk segera berkata kepada Merpati Liar dalam suara membisik,
"Putik Linang terkena
racun 'Lidah Malaikat', harus segera diselamatkan. Aku akan menyambar Putik
Linang dan membawanya ke seberang sana, kau menahan gerakan si Peluh
Setanggi!"
"Aku tak suka diperintah.
Aku akan lakukan apa yang ingin kulakukan!" jawab Merpati Liar menampakkan
keras kepalanya.
Zlaaapp...! Suto Sinting tak
mau pedulikan ucapan itu, ia segera melesat dan menyambar tubuh Putik Linang.
Gerakannya yang seperti badai berhembus itu tak mampu dilihat dengan jelas oleh
Peluh Setanggi, ia hanya melihat sekelebat bayangan yang menyambar tubuh Putik
Linang.
"Mau dibawa ke mana dia,
Setan! Biarkan dia mati oleh 'Lidah Malaikat'-ku!" seru Peluh Setanggi,
lalu cepat-cepat sentakkan tangannya dan dari telapak tangan kiri itu keluar
sinar merah memanjang tanpa putus.
Sinar merah itu tiba-tiba
dihantam dengan sinar hijau dari atas bukit cadas. Slaaap...! Blegaaarrr...!
Perpaduan kedua sinar itu
menimbulkan ledakan cukup dahsyat. Tanah di sekitar mereka bergetar, demikian
pula pepohonan yang tumbuh di sekeliling tempat itu? Sinar hijau tadi membuat
Peluh Setanggi terperanjat dan segera memandang ke atas bukit. Ternyata sinar
hijau itu datang dari sentakan kedua
ujung jari Merpati Liar.
Melihat seorang perempuan
berpakaian ketat warna biru berdiri di atas bukit cadas, hati Peluh Setanggi
menjadi berang, ia berseru dari tempatnya berdiri.
"Setan kurap! Turun kau
kalau memang...." Slaap, jleeg...!
Belum habis ucapan itu,
tiba-tiba Merpati Liar sudah berada di samping Peluh Setanggi. Dalam hatinya Peluh
Setanggi merasa kaget melihat kecepatan gerak lawan barunya itu. Kata-kata tadi
tak jadi diteruskan, dan ia segera memandang dengan penuh curiga, ia merasa
asing karena belum pernah bertemu dengan Merpati Liar.
"Siapa kau, Setan kurap?!
Apa maksudmu mematahkan pukulan sinar merahku tadi, hah?!" Peluh Setanggi
menghardik lebih dulu agar tak kalah nyali.
Merpati Liar memandang dengan
tajam. Bicaranya pelan, namun jelas didengar oleh Peluh Setanggi. Nada bicara
itu sangat dingin, terasa seperti menembus sampai ke dalam tulang.
"Kau pencuri pusaka
Panji-panji Mayat itu! Kau harus bertanggung jawab menghadapiku, Gadis
dungu!"
"Kutanya siapa dirimu?!
Jawab!" bentak Peluh Setanggi semakin menampakkan keberaniannya.
"Tanyakan kepada tuanmu,
siapa si Merpati Liar itu! Kucing Hutan mengenalku dan ia akan lari
terbirit-birit jika melihatku!"
"Merpati Liar...?!"
gumam Peluh Setanggi dalam hatinya, ia mencoba mengingat-ingat nama itu, dan ia
merasa pernah mendengar nama tersebut disebutkan oleh Nyi Mas Gandrung Arum,
ketika ia masih menjadi murid Biara Ungu.
Sementara itu, Suto Sinting
sedang sibuk mengobati luka Putik Linang dengan tuaknya. Tuak itu berhasil
diminumkan ke mulut Putik Unang. Senjata berupa sekeping logam mengkilat
berhasil dicabut dari tubuh Putik Linang. Lukanya yang berlubang menutup
sendiri secara perlahan-lahan dengan menimbulkan asap tipis dibarengi gerakan
kulit yang mengatup. Rasa sakit Putik Linang mulai berkurang, makin lama makin
tidak terasa lagi. Ia pun segera sadar siapa penolongnya saat itu.
"Pendekar Mabuk...?!"
"Jangan bergerak dulu,
biarkan lukamu kering betul baru bergerak lagi."
"Tapi... tapi aku harus
menangkap Peluh Setanggi dalam keadaan hidup ataupun mati."
"Seorang sahabatku sedang
menanganinya. Diamlah dulu di sini." Pandangan mata si tampan segera
diarahkan ke pertemuan Peluh Setanggi dengan Merpati Uar. Tampaknya Peluh
Setanggi bernafsu sekali ingin tumbangkan Merpati Liar, karena ia benci kepada
orang yang memihak Biara Ungu. Merpati Liar dianggap memihak Biara Ungu,
karenanya ingin sekali dihancurkan bersama sisa dendamnya kepada Putik Linang.
Namun baru saja Peluh Setanggi
ingin bergerak, tiba- tiba ia terlempar ke samping dengan keras. Wuuuss...!
Brruuk...!
"Haaahg...!"
Satu sentakan kepala Merpati
Liar membuat pandangan matanya mampu melemparkan tubuh Peluh Setanggi. Mantan
murid Biara Ungu itu membentur dinding bukit cadas yang nyaris tegak lurus itu.
Ia jatuh terpuruk sesaat, dan segera berusaha bangkit dengan kerahkan
tenaganya.
Tetapi agaknya Merpati Liar tak
mau beri kesempatan kepada lawannya
untuk lakukan pembalasan. Pandangan matanya yang tajam menyentak ke atas dan
membuat tubuh Peluh Setanggi melambung tinggi, lalu dalam keadaan melambung di
udara, Merpati Liar menggunakan kekuatan pandangan matanya untuk melemparkan
tubuh itu ke samping. Seett...!
Weess...! Brrukk...!
Tubuh gadis berkutang hijau
itu membentur pohon. Suara pekikannya tak terdengar lagi, karena yang
menghantam pohon bagian dadanya. Pernapasan pun menjadi sesak. Benturan itu
sempat membuat pohon jati tersebut bergetar cukup hebat sehingga menimbulkan
suara gemerusuk gaduh.
Baru saja tubuh Peluh Setanggi
jatuh dari ketinggian, tiba-tiba melayang lagi dengan cepat dan menghantam
dinding cadas. Brruusss...!
Jatuh lagi ke tanah, tahu-tahu
sudah terlempar lagi menghantam pohon lebih besar dari yang tadi. Wuuutt...!
Brrukk...! Jatuh lagi, terlempar lagi menghantam dinding cadas. Brruus...!
Merpati Liar hanya
menggerakkan kepalanya ke kanan atau ke kiri, atau pula ke atas dan ke bawah.
Tubuh Peluh Setanggi terbanting-banting bagai dibuat mainan lawannya. Darah
mengucur dari hidung, mulut, dan bahkan kepalanya sempat bocor. Dadanya memar
membiru serta tulang punggungnya terasa patah. Akhirnya Peluh Setanggi tak
mampu berdiri lagi. Bahkan mengeluarkan keluh dan erangan nyaris tak kuasa.
"Serahkan pusaka itu atau
nyawamu akan hilang sekarang juga?!" hardik Merpati Liar kepada lawannya.
Peluh Setanggi hanya diam terkulai dengan menyeringai kesakitan.
Mata perempuan berpakaian
ketat itu sudah memandang batu besar di atas bukit cadas itu. Batu tersebut
mulai bergerak-gerak ingin menggelinding. Jika batu itu berhasil menggelinding
dan jatuh ke bawah bukit, maka tubuh Peluh Setanggi akan hancur kejatuhan batu
tersebut. Kekuatan mata Merpati Liar agaknya cukup mampu menggelindingkan batu
sebesar gardu ronda itu.
"Katakan di mana kau
simpan pusaka itu!" sentak Merpati Liar sambil tetap pandangi batu
tersebut siap- siap untuk dijatuhkan dari atas bukit.
Pada saat setegang itu,
tiba-tiba sekelebat bayangan tmelintas cepat menerjang Merpati Liar. Wuuut...!
Craass...!
"Aaahg...!" Merpati
Liar terpekik dan segera limbung.
Punggungnya koyak bagai ingin terbelah menjadi dua bagian. Seseorang telah
menebaskan pedangnya dan tepat kenai punggung Merpati Liar.
Pendekar Mabuk yang sengaja
tidak ingin turut campur menghajar Peluh Setanggi, menjadi terbelalak kaget
melihat Merpati Liar terluka sebegitu parah. Lebih terkejut lagi setelah ia
tahu siapa orang yang telah menebaskan pedangnya ke punggung Merpati Liar itu.
"Darah Prabu...?.'"
ucapnya lirih penuh keheranan yang amat besar.
Rupanya Darah Prabu sudah
berhasil melumpuhkan Buih Dewani dan Kuncup Nirwan. Kedua adik kembar Peluh
Setanggi itu ditinggalkan di pantai, ia menyusul kekasihnya yang sedang menuju
ke sebuah bukit, tempat asmara mereka bertemu yang pertama kali. Tapi di
perjalanan ia melihat Peluh Setanggi dibuat babak belur oleh seorang lawan.
Maka ia pun murka dan menerjang Merpati Liar dengan pedangnya.
"Setanggi...?!
Setanggi..., aku datang!" seru Darah Prabu sambil mendekap Peluh Setanggi
yang sudah tak bisa bersuara lagi itu.
Merpati Liar mengerang lirih
dalam keadaan tertelungkup di tanah. .Pendekar Mabuk segera muncul di samping
Merpati Liar. Pandangan matanya tertuju tajam kepada Darah Prabu.
"Suto...?!" Darah
Prabu heran melihat Suto Sinting tampaknya berpihak kepada Merpati Uar.
"Mengapa kau lakukan
kekejaman ini, Darah Prabu?!"
"Dia... dia ingin
membunuh kekasihku!"
Dahi Pendekar Mabuk kian
berkerut tajam. "Siapa kekasihmu yang kau maksud itu?"
"Peluh Setanggi...!"
sambil Darah Prabu memeluk Peluh Setanggi penuh kecemasan. Pedangnya sudah
dimasukkan ke dalam sarungnya.
"Darah Prabu, apakah kau
tak salah lihat?! Peluh Setanggi adalah gadis buronanmu! Mengapa sekarang kau
anggap sebagai kekasihmu?!"
"Karena... karena aku
mencintainya dan dia mencintaiku!"
"Gila...!" geram
Pendekar Mabuk sambil tetap memandang tajam kepada Darah Prabu.
Putik Linang muncul juga dalam
keadaan sehat. Tapi ia ragu-ragu ingin menyerang Darah Prabu, sebab ia tahu
Darah Prabu adalah murid Resi Badranaya yang tak boleh diganggu oleh para murid
Nyi Mas Gandrung Arum. Akhirnya Putik Linang hanya diam terpaku, tak tahu apa
yang harus diperbuat.
Darah Prabu merasa malu
dipandangi Suto Sinting dengan sikap mencibir perasaan cintanya kepada Peluh
Setanggi. Akhirnya, ia putuskan untuk membawa pergi Peluh Setanggi dan
mengobatinya di tempat yang aman.
"Akan kujelaskan di lain
kesempatan, Suto!" ujarnya, lalu melesat pergi sambil membawa Peluh
Setanggi.
Putik Linang bergegas
mengejar, tapi Suto Sinting segera mencegah dengan sebuah seruan, "Jangan
kejar dia. "
"Tapi... tapi dia membawa
lari Peluh Setanggi yang seharusnya kutangkap dan kuserahkan kepada Guru!"
"Dia bersama Darah Prabu.
Jika kau berurusan dengan Darah Prabu, berarti kau akan mengadu domba Nyi Mas
Gandrung Arum dengan Resi Badranaya, adik gurumu itu!"
Putik Linang menjadi salah
tingkah sendiri. Pendekar Mabuk tidak hiraukan sikap salah tingkahnya Putik
Linang. Perhatiannya tertuju pada Merpati Liar yang sedang sekarat, ia
buru-buru menuangkan tuak ke mulut Merpati Liar dengan bantuan Putik Linang.
Tuak tersebut berhasil tertelan oleh Merpati Liar sedikit demi sedikit.
Lama-lama luka koyak memanjang dan dalam itu mengering dan mengatup secara ajaib.
Menjelang senja nyaris berganti petang, Merpati Liar telah sehat kembali bagai
tak pernah mengalami luka apa pun.
"Ke mana larinya si gadis
bodoh itu?!"
"Ke barat bersama Darah
Prabu!" jawab Putik Linang.
"Aku akan mengejarnya ke
sana! Jika perlu pemuda yang melukaiku itu pun akan kuhancurkan!"
"Jangan gegabah, Merpati! Darah Prabu itu muridnya Resi Badranaya!"
ujar Pendekar Mabuk mengingatkan.
"Tak peduli murid siapa
dia, jika berpihak pada pencuri pusaka Panji-panji Mayat akan kuhabisi
nyawanya!"
Slaap...! Merpati Liar pun
lenyap bagai ditelan bumi, padahal ia bergerak menuju ke barat. Pendekar Mabuk
sempat geleng-geleng kepala dan bergumam lirih,
"Keras kepala sekali
dia!"
Putik Linang segera berkata,
"Apa yang harus kita perbuat jika begini?"
"Pulanglah ke Biara Ungu,
kabarkan kepada Nyi Mas Gandrung Arum bahwa Peluh Setanggi sedang menjadi bahan
buronan Merpati Liar. Pihaknya tak perlu ikut memburunya! Aku sendiri akan
mengejar mereka sekarang juga!"
Agaknya tak ada pilihan lain
bagi Putik Linang kecuali mengikuti saran Pendekar Mabuk, setelah pemuda tampan
itu berkelebat ke arah barat.
*
* *
6
PADA waktu pertarungan Merpati
Liar dengan Peluh Setanggi, ternyata Hantu Laut ada di balik semak-semak tak
jauh dari tempat itu. Ia menyaksikan sendiri kehebatan Merpati Liar saat
menghajar Peluh Setanggi, sampai kemunculan Darah Prabu dengan menyabetkan
pedangnya, ia mendengar percakapan Darah Prabu
dengan Pendekar Mabuk, walaupun ada sebagian yang tak begitu jelas karena
gangguan di telinganya.
Maka ketika Darah Prabu
membawa lari Peluh Setanggi ke arah persembunyian Hantu Laut, orang tanpa baju
itu segera muncul menghadang dengan satu lompatan yang mengejutkan Darah Prabu.
Dengan masih menyangga tubuh
Peluh Setanggi memakai kedua tangannya, Darah Prabu memandang tajam ke arah
Hantu Laut. Ia merasa tak mengenal siapa orang yang menghadangnya, sehingga
dengan suara menghardik ia pun berkata,
"Siapa kau, Setan
gundul?! Mengapa menghalangi langkahku?!"
"Aku ada di pihak
Pendekar Mabuk dan Merpati Liar. Lepaskan gadis itu!" Hantu Laut berkata
tegas. Senjata yoyo sudah ada di genggaman tangannya.
"Kau boleh ambil gadis
ini jika kau mampu membuatku menjadi bangkai!"
"Mau dibuat menjadi
tangkai apa?! Tangkai sapu atau tangkai gayung?!" kata Hantu Laut salah
dengar. Ucapan 'bangkai' didengarnya 'tangkai', dan hal itu membuat Darah Prabu
berkerut dahi merasa tak paham maksud ucapan lawannya.
Merasa buang-buang waktu
menghadapi orang yang sukar dipahami bicaranya itu, Darah Prabu segera hindari
Hantu Laut dengan membawa lari Peluh Setanggi ke arah lain. Weess...! Tapi
Hantu Laut segera mengejar dengan satu lompatan dan melepaskan pukulan tenaga
dalam dari tangan kirinya. Wuuukk...! Beeehg...! "Aaahg...!" tenaga
dalam tanpa sinar itu kenai
punggung Darah Prabu. Pemuda
itu terjungkal dan Peluh Setanggi terlepas dari tangannya.
Hantu Laut maju menyerang
dengan menendangkan kakinya ke arah kepala Darah Prabu yang baru saja mau
bangkit berdiri itu. Tetapi tendangan tersebut dapat ditangkis dengan lengan kiri
Darah Prabu. Plaak...! Dan sebuah pukulan bertenaga dalam jarak jauh dilepaskan
menggunakan tangan kanannya. Wuuutt...! Claapp...!
Sinar kuning lurus mengenai
lambung Hantu Laut.
Zzeeb...!
"Aaauaahk...!"
Hantu Laut terdorong ke
belakang dengan terhuyung- huyung sejauh enam langkah. Tubuhnya terbungkuk-
bungkuk dan seketika itu darah segar tersontak keluar dari mulutnya. Kepalanya
terasa pening, urat-uratnya menjadi seperti putus semua. Akhirnya ia tumbang ke
bumi bagai beduk jatuh dari pohon. Bluuuhg...! Ia terkulai tak mempunyai
kekuatan lagi. Matanya terbeliak-beliak dengan mulut ternganga, napasnya
tersentak-sentak bagai terhambat di tenggorokan.
Darah Prabu tak mau peduli
lagi dengan lawannya. Yang dipikirkan adalah membawa Peluh Setanggi ke tempat
aman untuk mengobati luka-luka sebelum terkejar oleh Pendekar Mabuk. Maka serta
merta tubuh Peluh Setanggi yang babak belur dan dalam keadaan mencemaskan itu
diangkat dan dibawa lari lagi. Kali ini ia menggunakan peringan tubuhnya yang
tertinggi, sehingga dapat berlari menerabas semak belukar dengan mudahnya.
Merpati Liar tiba di tempat
itu dan terkejut melihat keadaan Hantu Laut yang tak berdaya lagi itu. Ia
mencoba mengajak bicara Hantu Laut dengan merendahkan badan,
"Siapa yang
melakukannya?!"
"Tid... tidak ada yang
me... menakutkan."
"Siapa yang
melakukannya?!" ulang Merpati Liar dengan suara lebih keras lagi, karena
Hantu Laut tadi salah dengar.
"Dda... Darah... Darah
Prabu!"
"Jahanam!" geram
Merpati Liar. "Ke mana arah larinya?"
Sebelum Hantu Laut menjawab,
Suto Sinting sudah tiba di tempat itu dan segera lakukan pertolongan dengan
tuaknya. Kedatangan Suto Sinting belum terlambat, seandainya terlambat, maka
Hantu Laut akan kehilangan nyawa karena semakin lama ia merasa semakin sukar
bernapas. Tapi berkat meminum tuak saktinya Pendekar Mabuk, luka dalam yang
berbahaya itu dapat teratasi.
Hantu Laut dapat bicara dengan
lancar lagi. Ia menjelaskan arah pelarian Darah Prabu. Namun ketika mereka
hendak bergerak mengejar Darah Prabu kembali, tiba-tiba sebuah suara memanggil
Pendekar Mabuk di kejauhan sana.
"Sutooo...!
Sutooo...!"
Semua mata memandang ke arah
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun yang berlari-lari ke arah mereka.
Merpati Liar kerutkan dahi dan bertanya ke- pada Pendekar Mabuk,
"Siapa orang itu?"
"Kelihatannya seperti
Kadal Ginting, pelayannya Resi Pakar Pantun," jawab Suto Sinting dengan
mengecilkan mata untuk dapat melihat lebih jelas lagi.
Ternyata memang benar, Kadal
Ginting yang mengikuti pelarian Darah Prabu sejak dari pantai, akhirnya tiba di
tempat itu dan bertemu dengan Pendekar Mabuk. Dengan napas terengah-engah,
Kadal Ginting mulai menceritakan apa yang dilihatnya secara sembunyi-sembunyi
tentang Darah Prabu dan Peluh Setanggi.
"Gadis itu tak ada
puasnya, mengajak lagi, mengajak lagi, dan Darah Prabu sendiri tak ada
capeknya. Aku sendiri yang mengintip perbuatan itu merasa capek, tapi mereka
bagai tak kenal lelah sedikit pun," tutur Kadal Ginting dengan berapi-api.
Merpati Liar palingkan wajah,
memandang ke arah pelarian Darah Prabu, ia merasa malu mendengar cerita Kadal
Ginting di depan Pendekar Mabuk. Apalagi Kadal Ginting menceritakannya sambil
sesekali menirukan gerakan Darah Prabu dan Peluh Setanggi, bagi Merpati Liar
hai itu cukup memalukan sebab di situ hanya dia seorang yang sebagai perempuan.
"Lalu, bagaimana dengan
dua adik kembarnya Peluh Setanggi itu?" tanya Suto Sinting kepada pelayan
Resi Pakar Pantun.
"Mereka terkapar di
pantai, entah mati atau hanya pingsan, aku tak berani memeriksanya."
Pendekar Mabuk segera
memandang Merpati Liar dan berkata, "Kelihatannya mereka saling lepaskan
aji pemikat, sehingga keduanya saling jatuh cinta tanpa sadar siapa orang yang
mereka cintai."
"Persetan! Itu urusan
mereka," ujar Merpati Liar dengan sifatnya yang agak kasar dan selalu
ketus itu. "Yang kupikirkan adalah pusaka itu. Peluh Setanggi harus
serahkan kembali pusaka Panji-panji Mayat kepada orang yang berhak
memilikinya!"
"Nah, tentang Panji-panji
Mayat aku punya cerita sendiri...!" sahut Kadal Ginting dengan sikap
bangga. Kemudian ia menceritakan apa yang didengar dari percakapan Peluh
Setanggi bersama kedua adik kembarnya, mengenai pusaka Panji-panji Mayat yang
ternyata palsu itu. Merpati Liar dan Suto Sinting terkejut.
"Palsu...?!" gumam
Pendekar Mabuk dengan dahi berkerut tajam dan sedikit melongo.
Hantu Laut menimpali,
"Siapa yang bisu?!" "Palsu! Bukan bisu!" sentak Kadal
Ginting.
Pendekar Mabuk bicara mirip
orang menggumam, "Jika pusaka itu palsu, lantas mengapa Resi Badranaya
mengutus muridnya memburu Peluh Setanggi?!"
Merpati Liar menjawab,
"Mungkin Resi Badranaya sendiri tak tahu kalau pusaka itu palsu?"
"Jika benar begitu,
lantas di mana pusaka yang asli?!" Kadal Ginting ikut bicara,
"Mungkin memang benar, pusaka itu ditukar dengan yang palsu oleh Peluh
Setanggi sebelum diserahkan kepada Kucing Hutan."
Pendekar Mabuk dan Merpati
Liar saling pandang dalam renungannya. Kejap berikutnya Merpati Liar tarik
napas dalam-dalam, setelah itu baru berkata seperti ditujukan pada dirinya
sendiri,
"Untuk mendapatkan
kepastian, Peluh Setanggi harus berhasil kutangkap dan kupaksa bicara dengan
caraku sendiri!"
Merpati Liar bergerak lebih
dulu tanpa memberi perintah kepada siapa pun. Pendekar Mabuk akhirnya mengikuti
gerakan perempuan tersebut menuju ke arah pelarian Darah Prabu. Hantu Laut dan
Kadal Ginting mengikutinya dengan susah payah, mereka tertinggal jauh. Apalagi
hari menjadi petang, mereka sulit menemukan arah gerakan Pendekar Mabuk dan
Merpati Liar.
Pengejaran itu membawa mereka
ke sebuah desa. Di desa itu ada kedai yang lumayan besar dengan pengunjung
cukup ramai. Pendekar Mabuk mengajukan gagasan kepada Merpati Liar untuk
singgah di desa itu dan meneruskan pengejaran esok paginya.
"Malam-malam begini tak
mungkin kita bisa temukan arah pelarian mereka, Merpati!"
Gagasan itu dapat diterima
Merpati Liar karena beralasan dan masuk akal. Kesempatan singgah di kedai
digunakan Suto Sinting untuk mengisi bumbung tuaknya yang tinggal beberapa
teguk lagi itu. Jika bumbung berisi tuak penuh, hati Pendekar Mabuk merasa
lega, seakan ke mana pun ia pergi tak mempunyai kecemasan sedikit pun.
"Bagaimana dengan Hantu
Laut dan Kadal Ginting? Apakah mereka tahu kita ada di sini?" tanya
Merpati Liar setelah sampai beberapa saat mereka berada di kedai, tapi Hantu
Laut dan Kadal Ginting belum muncul juga.
"Hantu Laut sudah
terbiasa mencari jejakku, mereka pasti akan menemukan kita," kata Suto
Sinting sambil pandangi orang-orang di dalam kedai itu. Tak satu pun wajah yang
dikenalnya, sebab memang desa itu baru pertama kali disinggahi olehnya.
Dengan menyewa sebuah kamar,
mereka bermalam di desa tersebut. Tentu
saja Merpati Liar tak mau tidur seranjang dengan Pendekar Mabuk. Hati kecil
bisa menerima, tapi akal sehatnya menolak, sebab ia tak mau jatuh harga dirinya
dengan menerima kehadiran lelaki di ranjangnya. Mau tak mau Pendekar Mabuk
tidur di lantai dengan menggelar tikar
pandan.
"Selama ini aku tak
pernah mendengar namamu disebut-sebut dalam dunia persilatan," kata Suto
Sinting sambil merebahkan badan. "Mengapa sampai terjadi begitu,
Merpati?"
"Aku sedang pelajari
suatu ilmu warisan Nyai Guru yang sampai sekarang belum bisa
kurampungkan," jawab Merpati Liar sambil berbaring telentang di
ranjangnya, ia bagaikan bicara dengan langit-langit kamar.
"Ilmu apa yang kau peiajari
itu?"
Merpati Liar tak langsung
menjawab, ia mempunyai pertimbangan sendiri. Agaknya ia merahasiakan ilmu
tersebut, tak ingin diketahui oleh orang lain sebelum berhasil dipelajari.
Karenanya ia pun segera memiringkan badannya, memandang ke bawah dan di bawah
tampak wajah Suto Sinting telentang dengan lengan di dahi.
"Aku sedang mempelajari
ilmu pemikat," jawabnya tampak tidak bersungguh-sungguh, membuat Pendekar
Mabuk memandang sambil sunggingkan senyum menawan. Desir di hati Merpati Liar
membuat batin mengeluh, seakan tak mau menerima desiran indah setiap memandang
senyuman Suto Itu.
"Siapa yang ingin kau
pikat?" tanya Pendekar Mabuk memancing canda, mengendurkan ketegangannya
dalam mengejar gadis buronan itu.
"Siapa saja orangnya yang
mau kupikat akan kupikat dengan ilmu itu. Termasuk kau!"
Senyum pendekar tampan itu
kian melebar. Kini Merpati Liar mulai sunggingkan senyum tipis yang amat
menarik dan menambah kecantikannya. Mereka saling pandang dengan tatapan mata
lembut. Lalu, Pendekar Mabuk memancing sikap perempuan cantik itu,
"Aku bersedia kau pikat.
Pikatlah aku dengan ilmumu itu!"
Senyum Merpati Liar kian
lebar. Bunga-bunga indah mekar di hatinya. Namun agaknya ia tak mau menuruti
irama indah dalam hati, sehingga dengan mengubah tidurnya menjadi telentang
kembali, Merpati Liar sempat ucapkan kata yang memancing tawa lirih di bibir
Suto Sinting.
"Nanti saja, kalau gadis
buronan itu sudah berhasil kutangkap dan pusaka Panji-panji Mayat berhasil
kukembalikan kepada yang berhak, kau akan kujerat dengan ilmu pemikatku!"
Agaknya Merpati Liar sangat
patuh kepada wasiat gurunya. Perhatiannya tercurah pada tugasnya menjaga agar
jangan sampai pusaka Panji-panji Mayat jatuh ke tangan orang yang bukan
keturunan dari Nyai Parisupit. Terlebih jangan sampai pusaka itu jatuh ke
tangan tokoh aliran hitam. Sebab itulah, Merpati Liar menjadi berang saat
mendengar kabar pusaka Panji-panji Mayat dicuri Peluh Setanggi, ia sendiri tak
tahu kalau peristiwa ini akan mempertemukan dirinya dengan Pendekar Mabuk yang memiliki
wajah tampan dan senyum menawan itu. Sekalipun demikian dekat dengan si
pendekar tampan, namun urusan pribadinya masih mampu dikesampingkan, dan ia
lebih mengutamakan tugas yang diberikan oleh mendiang gurunya ketika sang Guru
masih hidup.
Begitu matahari mulai
menampakkan suryanya, Merpati Liar bergegas meninggalkan kedai itu. Pendekar
Mabuk masih terasa mengantuk, tapi karena perempuan itu nekat akan pergi
meneruskan pengejarannya walaupun tanpa Suto Sinting, mau tak mau murid si Gila
Tuak menghapus rasa kantuknya dengan meneguk tuak di ujung pagi. Mereka
bergerak mengikuti naluri Merpati Liar, arah utara menjadi sasaran
pengejarannya. Perempuan itu seakan punya keyakinan bahwa di arah utara nanti
ia akan dapat bertemu dengan Darah Prabu dan Peluh Setanggi.
Merpati Liar mempunyai firasat
yang cukup tajam. Kenyataannya Darah Prabu dan Peluh Setanggi memang bergerak
ke arah utara. Semalaman mereka tinggal di dalam gua, dan di gua itulah Darah
Prabu melakukan penyembuhan terhadap diri Peluh Setanggi dengan cara
menyalurkan pernapasan murni yang dapat membentuk hawa sakti di dalam tubuh
Peluh Setanggi. Hawa sakti itulah yang membuat rasa sakit Peluh Setanggi
lenyap, luka-lukanya mengering walau tak bisa hilang seperti menelan tuak Suto.
Tetapi tenaga Peluh Setanggi berhasil pulih kembali. Buktinya mereka sempat
bercinta satu kali di dalam gua tersebut
"Kita menghadap guru
saja, dan minta dinikahkan secara resmi!" usul Darah Prabu yang
benar-benar telah tertawan hatinya oleh nikmatnya bercumbu bersama Peluh
Setanggi Itu.
"Apakah gurumu mau
menikahkan kita, karena... karena kurasa gurumu tahu siapa diriku."
"Guru pasti mau menuruti
permintaanku, karena beliau tak punya murid lain kecuali aku sendiri."
"Bagaimana jika gurumu
menolak?"
"Aku akan tinggalkan dia
dan kita menikah di tempat lain. Aku kenal seorang pendeta aliran putih yang
menganggapku seperti anak sendiri. Kita bisa minta bantuannya untuk menikahkan
kita, supaya kelak jika kau melahirkan bayi maka bayi kita bukan bayi
setan."
"Terserah padamu, apa
saja yang ingin kau lakukan aku akan selalu setuju, asal jangan kau tinggalkan
diriku walau sekejap pun, Prabu."
"Meninggalkan kau sama
saja meninggalkan nyawaku, Setanggi."
Kebulatan tekad itulah yang
membawa mereka ke arah utara, karena di sana ada sebuah gunung yang bernama
Gunung Wakas. Di pundak Gunung Wakas itulah sang Resi Badranaya membangun
pertapaan, dan pertapaan itu akhirnya menjadi padepokan untuk melatih ilmu
kanuragan bagi murid tunggalnya; Darah Prabu.
Perjalanan mereka ke Gunung
Wakas tak bisa mulus, apalagi Darah Prabu membawa gadis buronan yang diburu
oleh berbagai pihak, tentu saja cukup banyak perintangnya.
Seberkas sinar hijau sebesar
buah kelapa melesat dari suatu kerimbunan semak. Sinar hijau itu mengarah
kepada Peluh Setanggi. Tetapi dengan cekatan Darah Prabu menyambar tubuh gadis
buronan dan membawanya terbang sejauh delapan langkah.
Wuuss...! Jegaarrr...!
Sinar hijau menghantam tanah,
dan tanah itu menjadi retak selebar dua langkah panjangnya sekitar sepuluh
tombak. Asap mengepul dari keretakan tanah tersebut.
*
* *
7
SIAPA orang yang menyerang
kita?!" bisik Peluh Setanggi setelah turun dari topangan tangan Darah
Prabu. Matanya memandang ke sekeliling dengan jeli. Darah Prabu bersiap
lindungi gadis buronan itu dengan berdiri di depan Peluh Setanggi.
Tiba-tiba sebatang anak panah
melesat dengan memancarkan cahaya merah bara. Weeess...!
"Awas...!" seru
Darah Prabu mengingatkan Peluh Setanggi, karena anak panah itu datang dari arah
samping mereka. Keduanya saling melompat berbeda arah. Wuut, wuut...! Anak
panah yang menyala bagai besi membara itu melesat ke tempat kosong, lalu
menghantam sebuah pohon. Deeebb...!
Weess...!
Anak panah itu membalik arah
dengan sendirinya, sasarannya menuju kepada Peluh Setanggi. Melihat Peluh
Setanggi terancam bahaya, Darah Prabu segera lepaskan pukulan bersinar biru
dari telapak tangan kirinya. Claapp...! Sinar biru itu menghantam anak panah
yang menuju Peluh Setanggi.
Blegaarr...!
Ledakan menggelegar terjadi
bersamaan dengan hancurnya anak panah yang memercikkan bunga api ke mana-mana
itu. Ledakan itu menyentakkan tubuh Peluh Setanggi hingga terlempar ke belakang
dan berguling- guling tujuh langkah jauhnya. Sedangkan Darah Prabu yang berada
dalam jarak cukup jauh dari ledakan tadi hanya terdorong ke belakang dua
tindak.
Ia segera melesat hampiri
kekasihnya yang terpuruk di bawah sebatang pohon. Weess...! Dalam sekejap sudah
berada di samping Peluh Setanggi dan matanya memandang ke sana-sini dengan
tajam.
"Setanggi, kau terluka?!"
"Tidak, Prabu. Aku tidak
apa-apa!" Peluh Setanggi segera bangkit dan menarik napas dalam-dalam.
Darah Prabu memeriksanya sebentar, ia segera memeluk lega kepada gadis
buronannya yang telah menjadi kekasihnya itu.
"Syukurlah, kau tak
terluka apa pun!"
Namun pada saat mereka
berpelukan, sebatang anak panah meluncur lagi dari balik kerimbunan semak yang
sama. Sasaran anak panah itu adalah punggung Darah Prabu yang sedang memeluk
Peluh Setanggi.
Melihat kedatangan anak panah
yang memercik- mercikkan sinar biru petir itu, Peluh Setanggi segera memeluk
erat pemuda itu. Kakinya menghentak ke tanah dan tubuh mereka melesat ke atas
dalam keadaan tetap berpelukan. Wuuuttt...!
Anak panah itu tiba-tiba
memecah menjadi empat bagian, masing-masing ke arah kanan, kiri, atas, bawah.
Cahaya biru petir masih menyertai tiap anak panah tersebut.
Tubuh mereka yang melambung ke
atas kini telah saling terpisah dan sama-sama hinggap di atas sebuah dahan
berbeda pohon. Wut, wut...! Jleg, jleg...!
Anak panah yang menuju ke atas
mengarah kepada Darah Prabu. Peluh Setanggi segera lepaskan pukulan dari
tempatnya dengan sentakan kedua jarinya yang memancarkan selarik sinar merah.
Slaapp...! Sinar merah tanpa putus itu menghantam anak panah yang mengarah
kepada Darah Prabu. Taaarrr...!
Letupan kecil terdengar namun
justru membuat Darah Prabu dan Peluh Setanggi terbelalak kaget, karena anak
panah yang meletup akibat dihantam sinar merah tadi pecah menjadi delapan
bagian. Tiap bagian membentuk anak panah kecil yang masih memancarkan kilatan
sinar biru petir. Kedelapan anak panah melaju cepat ke arah Darah Prabu.
"Lari, Prabu...!"
teriak Peluh Setanggi dengan tegang. Darah Prabu pun segera sentakkan kaki dan
tubuhnya bagaikan terbang berpindah pohon. Wuuusss...!
Delapan anak panah kecil itu
akhirnya menghantam batang pohon tempat berdirinya Darah Prabu semula.
Jegaarr...! Blaaarr...!
Blegaaarr...!
Ledakan yang timbul sungguh
dahsyat, mengguncang beberapa pohon di sekitar tempat itu. Bahkan dua pohon tua
ada yang tumbang dengan akar terangkat ke atas, tanahnya menyebar ke mana-mana.
Pohon yang terkena delapan anak panah kecil-kecil itu menjadi serpihan kayu
yang tak bisa dikatakan lagi sebagai batang atau ranting.
Ledakan itu membuat Peluh
Setanggi kehilangan keseimbangan dan tergelincir jatuh dari dahan yang
dipijaknya. Wuuutt...! Untung ia bisa menguasai keseimbangan tubuh, sehingga
ketika sampai di tanah kedua kakinya menapak dengan baik. Ia sempat melihat
tiga anak panah lainnya berbalik arah tanpa menyentuh apa pun, lalu di pertengahan
jalan ketiganya bergabung menjadi satu dan melesat lurus kembali ke tempat
datangnya tadi.
Wuk, wuk, wuk...! Darah Prabu
melompat turun dengan bersalto tiga kali. Gerakan itu dilakukan dengan cepat,
sehingga dalam sekejap sudah berada di sisi Peluh Setanggi lagi.
"Setanggi, kau masih tak
apa-apa?" tanyanya cemas. "Tenang, Prabu! Akan kuhantam orang yang
bersembunyi di balik
gerumbulan semak di seberang sana!" ujar Peluh Setanggi kemudian
melepaskan pukulan jarak jauhnya dengan menyentakkan tangan kiri yang keempat
jarinya berdiri tegak merapat dan mengarah lurus ke depan. Wuuutt...!
Slaaapp...!
Segumpal sinar merah bagaikan
bola api melayang cepat menghantam gerumbulan semak di seberang sana.
Zrraakk...! Buummm...!
Blegaarr...!
Dua pohon tumbang seketika
dihantam bola api itu. Semak-semak yang ada di bawah pohon tersebut buyarkan
menjadi hangus, sehingga tempat itu tampak terbuka terang. Tetapi tak ada orang
di balik semak yang terbakar hangus itu. Peluh Setanggi memandang penuh rasa
kecewa yang menambah kemarahannya.
"Jahanam! Tak ada manusia
di sana!" geramnya dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat.
"Pasti dia sudah
berpindah tempat!" kata Darah Prabu.
"Memang...!"
tiba-tiba sebuah suara menjawab tepat di atas kepala mereka. Seseorang ada di
atas pohon tempat mereka berdiri. Orang itu segera lepaskan pukulan ke bawah
bersinar merah lurus. Slaaap...!
"Prabu...!" sentak
Peluh Setanggi karena arah sinar itu
bagai ingin menembus ubun-ubun Darah Prabu.
Dengan cepat
Darah Prabu sentakkan
telapak tangannya ke atas, kakinya berlutut satu. Claapp...!
Sinar kuning melesat dari
telapak tangan Darah Prabu dan menghadang kecepatan gerak sinar merah dari
atas.
Blegaarr...!
Darah Prabu terpental dan
berguling-guling, sedangkan orang yang ada di atas pohon itu pun terpental
hingga mematahkan sebatang dahan milik pohon sebelahnya. Krraakk...!
Brruukk...!
Peluh Setanggi melesat hampiri
kekasihnya yang berusaha bangkit berdiri, ia menolong bangkit dengan memegangi
tangan Darah Prabu. Wajah Peluh Setanggi tampak cemas melihat mulut pemuda itu
mengeluarkan darah sedikit di tepian bibirnya.
"Kau terluka, Prabu?! Kau
terluka? Ooh... Prabu...!" "Tenang, tenang... aku hanya terluka
sedikit. Tak apa,
bisa kuatasi dengan napas
murniku!"
"Atasilah dulu lukamu,
aku akan melayani si keparat itu!"
Orang yang jatuh dari pohon
itu ternyata mampu atasi diri sehingga tidak mengalami luka dan sakit apa pun.
Ia kini berdiri dengan kaki sedikit merenggang menghadap ke arah Peluh
Setanggi. Di tangannya menggenggam busur panah berhias gading, tempat panahnya
ada di punggung diikat dengan tali kulit menyilang dada. Pemanah itu adalah
seorang perempuan cantik berhidung mancung dengan rambut disanggul.
Rupanya Peluh Setanggi
mengenali wajah cantik yang seperti berusia tiga puluh tahun itu, walaupun
sebenarnya usianya sudah cukup banyak. Tak heran jika Peluh Setanggi segera
menyapa dengan kasar kepada perempuan berjubah biru iaut tanpa lengan dan
berkulit sawo matang itu.
"Keparat kau, Geladak
Ayu!"
Dewi Geladak Ayu yang dikenal
sebagai bajak laut wanita itu hanya sunggingkan senyum tipis dan sinis, ia
melangkah dua tindak dan berhenti dengan sikap menantang penuh wibawa. Rupanya
ia benar-benar berhasil mengatasi racun yang nyaris mencelakakan nyawanya pada
saat ia terkena lemparan pisau beracunnya si Kucing Hutan. Ia berhasil lolos
dari cengkeraman Kucing Hutan yang bermaksud memaksanya untuk menyerahkan
pusaka Panji-panji Mayat, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Misteri Bayangan Ungu"). Kucing Hutan tak ingat bahwa Dewi Geladak
Ayu mempunyai ilmu 'Napas Tolak Bala' yang mampu menawarkan racun dengan
sendirinya sebelum merenggut nyawanya.
Darah Prabu segera dekati
Peluh Setanggi dan memandang ke arah Dewi Geladak Ayu. Pada saat itu sebenarnya
mereka diperhatikan oleh dua pasang mata yang mengintai dari balik pohon
seberang. Mereka yang ada di balik pohon itu adalah Pendekar Mabuk dan Merpati
Liar.
Suara ledakan dahsyat tadi
memancing arah pengejaran mereka ke tempat itu. Merpati Liar ingin segera
menyerang Peluh Setanggi ketika Peluh Setanggi jatuh dari pohon. Tetapi
gerakannya ditahan oleh Suto Sinting yang berkata dalam bisik,
"Kita lihat dulu siapa
penyerang mereka dan bagaimana hasilnya! Ngirit tenaga!"
Merpati Liar akhirnya urungkan
niat, ia menyimak ke arah pertarungan. Bahkan sekarang ia merasa lebih baik di
persembunyian daripada ikut terjun ke pertarungan, sebab dengan berada di
persembunyian ia bisa mendengar percakapan mereka. Merpati Liar pun mengenal
siapa Dewi Geladak Ayu itu, namun antara dirinya dengan Dewi Geladak Ayu tidak
pernah punya masalah apa-apa. Karenanya ia berharap agar Dewi Geladak Ayu dapat
lumpuhkan Peluh Setanggi dan Darah Prabu yang mulai dibencinya karena memihak
Peluh Setanggi.
"Mengapa kau menyerang
kami, Geladak Ayu?! Apakah kau sudah bosan hidup menjadi bajak laut? Apakah kau
ingin hidup sebagai bajak neraka?!"
"Tutup mulutmu, Peluh
Setanggi!" bentak Dewi Geladak Ayu dengan pandangan mata mulai buas.
"Beberapa waktu yang lalu kapalku kau tenggelamkan bersama orang-orang
Biara Ungu, beberapa anak buahku kalian bantai seenak perut kalian sendiri!
Sekarang aku menuntut balas dan ingin hancurkan orang-orang Biara Ungu! Karena
kau adalah orang Biara Ungu, maka kau pun wajib mati di tanganku!"
"Aku bukan orang Biara
Ungu lagi!" sentak Peluh Setanggi dengan lantang. "Aku sudah keluar
dari perguruan keparat itu! Jangan libatkan aku lagi dengan urusan Biara Ungu!
Jika kau ingin menuntut kehancuran kapalmu, tuntutlah si pendeta sesat
itu!"
"Hmmm...," Dewi
Geladak Ayu mencibir sinis. "Kau ingin cuci tangan begitu saja karena
takut menghadapi kesaktianku? Oh, tak bisa! Kau harus ikut mati seperti halnya
adik kembarmu; si Pedang Gunting!"
Peluh Setanggi terperanjat
mendengar adik kembarnya yang bernama Pedang Gunting telah dibunuh oleh Dewi
Geladak Ayu. Rona wajahnya menjadi merah menandakan kemarahannya mulai
memuncak, ia pun menggeram dengan kedua mata mengecil memancarkan dendam begitu
dalam.
"Kalau begitu kau layak
kuhancurkan sekarang juga, Geladak keparat!"
"Kau yang harus hancur,
Peluh cabul! Hiaaah...!"
Dewi Geladak Ayu melambung ke
atas, dari ujung busurnya keluarlah sinar biru menghantam ke arah Peluh
Setanggi. Slaaap...! Peluh Setanggi lompat ke kiri, Darah Prabu lompat ke
kanan. Tapi dari tangan mereka masing- masing lepaskan pukulan jarak jauh yang
berbahaya.
Peluh Setanggi lepaskan
pukulan bersinar hijau patah-patah, sedangkan Darah Prabu lepaskan pukulan
kuning bergumpal-gumpal mirip kabut. Claap...! Wuuurrss...!
Blaaarr...! Sinar birunya Dewi
Geladak Ayu mengenai tanah tempat mereka berdiri semula. Jegaarrr...!
Blaaarrr...!
Kedua serangan lawannya
ditangkis dengan kibasan busur yang mengeluarkan sinar biru membentuk setengah
lingkaran bagai melingkupi tubuhnya. Rupanya sinar biru itu tidak bisa ditembus
sinar tenaga dalam lawan, akibatnya meledak bersamaan dan membuat Dewi Geladak
Ayu terjengkang ke belakang tiga langkah jauhnya, ia jatuh berguling satu kali,
tapi tiba-tiba sudah bangkit berdiri dengan tegak kembali.
"Perempuan jalang!"
sentak Darah Prabu. "Kalau kau ingin menghancurkan kekasihku yang tercinta
ini, kau harus berhadapan denganku dulu. Darah Prabu tak akan izinkan siapa pun
menyentuh bayangan Peluh Setanggi!" sambil Darah Prabu menepuk dada.
"Hmmm...!" Dewi
Geladak Ayu mencibir sinis. "Ketampananmu belum seberapa dibanding
ketampanan Pendekar Mabuk, Bocah ingusan! Perempuan bodoh itu memang layak
mendapatkan kekasih sepertimu, hanya kau saja yang lebih bodoh sehingga mau
menjadi kekasih pelacur murahan itu!"
"Jahanam! Berani menghina
calon istriku kau, hah?!
Heiaaatt...!"
Darah Prabu marah, pedangnya
dicabut dan ia melesat maju menerjang Dewi Geladak Ayu. Pedangnya ditebaskan
dengan cepat ke arah Dewi Geladak Ayu. Tapi bajak laut wanita itu menangkisnya
dengan busur yang dialiri tenaga dalam hingga kekerasannya menyerupai baja.
Trang, trang, trang, weess...! Trang, beeehg...! "Uuhg...!" Darah
Prabu tersodok ujung busur pada
ulu hatinya, ia tersentak
mundur dua langkah dengan sedikit membungkuk menahan rasa mual di perutnya.
"Prabu...?!" Peluh
Setanggi tampak cemas melihat keadaan Darah Prabu, ia menjadi semakin marah dan
segera lakukan pembalasan kepada Dewi Geladak Ayu.
"Hiaaatt...!"
Sraaang...! Pedang dicabut
dari sarungnya, Peluh Setanggi berkelebat dengan gerakan pedang bagai
melilit-lilit di tubuhnya. Tebasannya begitu cepat dan kuat, sehingga ketika
ditangkis dengan busur menimbulkan percikan sinar merah beberapa kali.
Trang, claap... trang, clap...
trang, dap...!
"Aauh...!" Dewi
Geladak Ayu memekik sambil palingkan wajah. Matanya terpejam kuat-kuat karena
kedua mata itu terkena percikan sinar merah dari perpaduan pedang dengan busur,
ia mencoba membuka mata dan memandang sekitarnya, namun langkahnya menjadi
gontai karena tak bisa berbuat apa-apa. Ia segera menyadari dirinya telah
menjadi buta.
"Bangsaaat...!"
teriaknya murka. "Kau telah membuat mataku menjadi buta, Keparat!"
sambil mencoba meraba sekelilingnya, ia menemukan sebatang pohon dan
berpegangan pada batang pohon itu.
"Hik, hik, hik,
hik...!" Peluh Setanggi tertawa kegirangan. "Sekarang kau adalah
bajak laut yang tuna netra, Geladak setan! Kau akan berlayar menuju lautan api,
tepatnya di kubangan besar yang bernama neraka. Kukirim kau ke sana sekarang
juga sebagai pembalasan atas kematian si Pedang Gunting. Heeeaaah...!"
"Matilah si Geladak Ayu
itu!" gumam Merpati Liar dengan wajah tegang.
Pada saat-saat menegangkan
itu, tiba-tiba berkelebat seberkas sinar ungu menerjang pedang Peluh Setanggi
yang sudah terangkat siap ditebaskan dari atas ke bawah itu. Slaapp...!
Prraang...! Pedang itu pun buntung seketika karena pecah menjadi
kepingan-kepingan tak berguna.
"Siapa yang
melakukannya?!" sergah Merpati Liar dengan mata melebar dan suara
membisik. Suto Sinting yang ikut terperangah itu segera ucapkan kata membisik
pula.
"Pasti ada pihak lain
yang lindungi Dewi Geladak Ayu!"
Bluub...!
Segumpal asap muncul di depan
Peluh Setanggi. Kemunculan asap itu mengeluarkan gelombang tenaga dalam yang
menyentak dan membuat tubuh Peluh Setanggi terlempar ke belakang, langsung ditangkap oleh Darah Prabu.
Asap putih mengepul makin
tinggi dan makin tipis, lalu tampaklah sosok seorang lelaki tua berkepala gundul dengan brewok putih rata.
Lelaki tua itu mengenakan pakaian model biksu dengan warna kain kuning,
mengenakan kalung tasbih batu putih sebesar kelereng. Kemunculannya yang
tiba-tiba menunjukkan kesaktian ilmunya di atas Peluh Setanggi dan Darah Prabu.
Yang jelas, Darah Prabu
terperanjat tegang melihat kemunculan tokoh tua itu. Ia tak berani lakukan
serangan balasan untuk membela Peluh Setanggi. Sementara itu, Peluh Setanggi
pun segera berwajah cemas begitu mengetahui siapa yang muncul di depannya
melindungi Dewi Geladak Ayu.
"Guru...?!" sapa
Darah Prabu kemudian segera membungkuk memberi hormat.
"Siapa orang itu,
Merpati?" tanya Suto Sinting.
"Resi Badranaya!"
jawab Merpati Liar dengan mata tetap lurus ke arah pertarungan.
"Oooh... dia orangnya
yang bernama Resi Badranaya? Baru
sekarang aku melihatnya," gumam Suto Sinting. Kemudian ia segera hentikan
gumaman kareni Resi Badranaya mulai bicara.
"Apa yang kau lakukan di
sini, Darah Prabu?!" tanyanya penuh wibawa.
"Hmmm... eh... kami...
kami melawan Geladak Ayu, Guru," jawab Darah Prabu dengan gugup.
"Mengapa Guru melindungi bajak laut wanita, tokoh sesat itu?"
"Bukan bajak lautnya yang
kulindungi, dan bukan kesesatannya yang kubela, tetapi gadis buronanmu itu
tidak boleh memakan korban lagi! Sudah waktunya dia yang menjadi korban
peristiwa pencurian pusaka itu!"
Darah Prabu melihat gurunya
memusuhi Peluh Setanggi, ia segera berdiri di depan Peluh Setanggi, melindungi
kekasihnya dari murka sang Guru.
"Kuharap, Guru jangan
murka kepadanya. Peluh Setanggi telah menjadi kekasih saya, calon istri saya,
Guru! Mohon Guru sudi merestui pernikahan kami."
"Apa...?!" sentak
Resi Badranaya dengan kaget. "Malah mau kau nikahi?! Edan tujuh turunan
kau ini, Prabu?!"
Suto Sinting tertawa
terkikik-kikik mendengar ucapan Resi
Badranaya. Mulutnya segera dibekap dengan tangan Merpati Liar.
"Diam, tolol! Jangan
sampai mereka tahu kita menyadap pembicaraan di sini!" bisik Merpati Liar,
dan Suto Sinting menghentikan tawanya. Tangan itu belum mau dilepaskan dari
mulut Suto Sinting. Dengan nakal Suto menggigit tangan Merpati Liar.
"Auh...!" sentak
Merpati Liar dengan suara tertahan, ia segera melepaskan tangannya dari mulut
Suto Sinting. "Bagaimana aku tak merasa geli, disuruh menangkap
musuh malah minta dikawinkan?
Konyol itu namanya!"
Mereka kembali menyimak
percakapan di seberang sana.
"Ada apa dengan dirimu,
Muridku?! Kulihat noda merah pecah di keningmu. Hmmm... kalau tak salah
dugaanku, kau telah terkena jurus pemikat aliran si Gandrung Arum!"
"Tidak... tidak, Guru.
Saya tidak kena pikat, tapi memang mencintai Peluh Setanggi. Kami saling
mencintai, Guru. Mohon segera dinikahkan secara resmi!"
"Tidak!" sentak Resi
Badranaya. Kemudian ia menuding muridnya dengan telunjuk, dan dari telunjuknya
itu melesat sinar putih perak bagai anak panah melesat dari busurnya.
Claaapp...! Deeebbb...!
Sinar itu menghantam kening
Darah Prabu. Kepala pemuda tampan itu tersentak mundur satu kali, tapi tak
membuatnya tumbang atau celaka. Hanya saja, ia segera terkejut dan seperti
merasa heran terhadap keadaan sekelilingnya.
Suto Sinting berkata lirih,
"Hei, lihat... Geladak Ayu melarikan diri dengan gunakan mata
batinnya!"
"Ssst...! Biarkan saja
dia lari. Lihat, Darah Prabu menjadi seperti orang linglung. Rupanya ia baru
disadarkan oleh gurunya dari pengaruh ilmu pemikatnya Peluh Setanggi!"
Darah Prabu memang seperti
orang linglung, bahkan ia bertanya pada diri sendiri, "Mengapa aku ada di
sini?! Lho... Guru? Oh, ampuni saya, Guru! Saya tidak tahu kalau Guru ada di
depan saya!" lalu ia membungkuk memberi hormat kepada Resi Badranaya.
"Prabu...?!" sapa
Peluh Setanggi dengan cemas, ia masih dalam pengaruh jurus pemikatnya Darah
Prabu. Dan ketika murid Resi Badranaya itu berpaling ke belakang, wajah sang
murid menjadi tegang.
"Hei, kau ada di sini,
buronanku?!"
"Hmmm... iya, kita...
kita memang selalu bersama, Prabu!"
"Keparat! Kau yang
mencuri panji-panji itu, bukan?!
Hiaaat..."
Darah Prabu menerjang Peluh
Setanggi tanpa rasa cinta lagi. Gadis itu terpental karena tendangan keras
Darah Prabu. Brrus...!
"Aaauh...! Prabu, mengapa
kau berubah sikap padaku?!" Peluh Setanggi ketakutan menghadapi Darah
Prabu yang berbalik sikap menjadi memusuhinya.
"Tangkap dia dan paksa
untuk mengembalikan pusaka itu!" perintah Resi Badranaya.
Tetapi tiba-tiba sekelebat
bayangan melintas di depan Darah Prabu. Wuuutt...! Jleeg...!
Suto Sinting terpekik kaget
dengan suara membisik. "Kucing Hutan...?! Itu dia si Perawan Titisan
Peri?!" "Kalau begitu, sekarang giliranku bertindak!" geram
Merpati Liar.
Namun tiba-tiba Kucing Hutan
yang berpakaian ungu itu menyentakkan tangannya ke arah Darah Prabu. Dari
tangannya keluar sinar merah sebesar lidi. Claaap... Deess...!
"Aaahg...!" Darah
Prabu terpental ke belakang menabrak gurunya. Brruk...!
"O, rupanya kau biang
keladinya, Kucing Hutan?!" ujar Resi Badranaya masih tampak tenang, bagai
tak peduli keadaan muridnya yang jatuh di bawah kakinya.
"Memang aku yang mengutus
Peluh Setanggi mencuri pusaka itu! Tapi ternyata aku mengirimkan utusan yang
bodoh! Pusaka itu palsu!"
"Palsu...?!" Resi
Badranaya berkerut dahi. Rupanya sejak tadi telapak kakinya mengepulkan asap
tipis, asap itu dihirup oleh Darah Prabu, dan luka dalam yang parah itu menjadi
sembuh karena tubuh Darah Prabu mulai dipenuhi dengan asap tersebut. Kucing
Hutan berbalik memandang Peluh Setanggi yang hidungnya berdarah akibat
terjangan Darah Prabu tadi.
"Manusia bodoh kau!
Mengapa yang kau curi pusaka palsu?!"
"Tidak mungkin!"
sangkal Resi Badranaya. "Pusaka itu bukan pusaka palsu! Parisupit sendiri
yang menitipkan kepadaku agar tak dijamah oleh orang-orang serakah dan sesat
sepertimu, Kucing Hutan! Pusaka itu asli!"
Kucing Hutan geram karena
bingung sendiri. Lalu ia memandang Peluh Setanggi.
"Kalau begitu, kau telah
menukarnya dengan yang palsu sebelum pusaka itu kau serahkan padaku!"
"Tidak! Aku... aku.
"
"Pengkhianat!"
bentak Kucing Hutan, kemudian tangannya berkelebat cepat. Breeett. !
"Aaahg...!" Peluh
Setanggi tersentak dengan kepala terdongak. Lehernya menjadi robek karena
terpotong kuku runcing si Kucing Hutan yang murka itu. Ia segera roboh dan
menghembuskan napas terakhir. Nasib sang gadis buronan akhirnya mati di tangan
'tuan' nya sendiri.
Namun Kucing Hutan sudah
telanjur murka dan segera berkata kepada Resi Badranaya.
"Kau seorang resi yang
bejat! Menyimpan pusaka palsu demi memperbesar namamu biar menjadi
kondang!"
"Gawat. !" bisik
Suto Sinting sambil bangkit berdiri
dengan tegang. Kucing Hutan
berseru lagi, "Sekarang terimalah upah penipuanmu itu, Resi bejat!
Heeaaah. .!"
Wuusss...!
Gumpalan api melesat dari
telapak tangan Kucing Hutan, arahnya tertuju pada Resi Badranaya dan Darah
Prabu. Guru dan murid itu baru saja hendak lakukan tangkisan dengan
menggerakkan tangan mereka. Tetapi seberkas sinar ungu melesat lurus menghantam
gumpalan api yang sebesar buah kelapa itu. Claaap...! Sinar ungu itu datang
dari kedua tangan Pendekar Mabuk yang saling merapat dan disentakkan ke depan.
Sinar ungu itulah yang dinamakan jurus 'Surya Dewata' yang cukup berbahaya.
Blegaaarr...!
Ledakan dahsyat terjadi saat
sinar ungu sebesar lidi itu menghantam bola api di pertengahan jarak antara
Resi Badranaya dengan Kucing Hutan. Ledakan itu membuat tanah di sekitar mereka
guncang dan retak merekah. Bahkan mayat Peluh Setanggi terperosok masuk ke
dalam keretakan tanah. Resi Badranaya dan muridnya sama-sama melompat hindari
keretakan tanah dan rubuhnya sebuah pohon. Sementara lebih dari delapan pohon
lainnya tumbang tak tentu arah bagai dilanda klamat.
Merpati Liar hanya tertegun
bengong mengetahui sinar ungu itu mampu membuat keadaan alam menjadi serusak
itu. Tapi matanya tetap mengarah pada Kucing Hutan yang terpental akibat
ledakan dahsyat tadi. Tubuh perempuan yang mempunyai sepasang taring pendek itu
terjepit di antara keretakan tanah. Namun dalam sekejap ia mampu melompat
keluar bersama hancurnya tanah penjepit tubuh itu.
Brraasss...!
"Keparat busuk!"
teriaknya. "Siapa pun orangnya yang mematahkan seranganku, kelak akan
berhadapan denganku setelah aku mempunyai pasukan mayat yang akan menggegerkan
rimba persilatan! Panji-panji Mayat akan
berhasil kutemukan dan
menjadi milikku selamanya! Tunggu
saatnya mereka bangkit dari kubur!" Setelah berseru seperti orang gila,
Kucing Hutan melesat pergi meninggalkan mereka. Merpati Liar tak mau tinggal
diam. Slaaap...! Tahu-tahu ia telah hilang dari samping Pendekar Mabuk. Rupanya
ia lakukan pengejaran terhadap diri si Kucing Hutan yang bernafsu
sekali ingin memiliki pusaka
Panji-panji Mayat.
Pendekar Mabuk ingin
menyusulnya, tapi Hantu Laut dan Kadal Ginting datang berlari-lari dengan
panik. Mau tak mau Suto Sinting muncul dari persembunyiannya dan menemui
mereka.
"Hantu Laut...!"
panggilnya, lalu kedua orang itu bergegas menuju ke arahnya.
"Suto, kami mendengar
bunyi langit runtuh. Dunia mau kiamat! Cepat cari tempat buat sembunyi!"
seru Hantu Laut.
"Kami tersesat mencarimu,
Suto! Tapi berani sumpah mati sekarang juga, bukan kami yang membuat bumi
berguncang dan langit menjadi runtuh!" sela Kadal Ginting dengan wajah
tegang. Pendekar Mabuk hanya tersenyum dan berkata, "Langit masih utuh!
Lihatlah, ia tetap di atas kepala kita menaungi orang berhati mulia. Kecuali
seluruh manusia sudah menjadi busuk hatinya, mungkin langit akan turun menimpa
kita semua!"
Darah Prabu memanggil dari
tempatnya dengan ceria, "Suto...! Suto Sinting...!"
Lalu ia berkata kepada sang
Guru, "Dia murid si Gila Tuak, Guru! Dia yang menolong saya saat saya
terkena racun 'Tapak Ungu'...!"
"Aku lebih tahu dari kau,
bahwa dia adalah murid sinting si Gila Tuak. Kulihat ciri-cirinya memang sesuai
dengan penampilan Gila Tuak semasa muda yang gemar membawa-bawa bumbung
tuak!"
Resi Badranaya dan Darah Prabu
segera menghampiri Pendekar Mabuk. Sang pendekar segera memberi hormat kepada
sahabat gurunya itu.
"Pasti kau yang
melepaskan sinar ungu tadi, Suto." "Betul, Eyang Resi," jawab
Suto Sinting.
"Terima kasih atas
bantuanmu. Tapi sayang gadis buronan kami itu telah mati, mati tak tahu di mana
ia menyimpan pusaka Panji-panji Mayat yang asli," kata sang Resi sambil
melirik ke arah lubang tempat mayat Peluh Setanggi terperosok bagai mengubur
sendiri.
"Yang jelas, pusaka yang
dititipkan padaku oleh Parisupit itu adalah pusaka yang asli. Jika sampai
Kucing Hutan menyangka palsu, aku tak tahu dikemanakan pusaka asli itu oleh
Peluh Setanggi!"
"Merpati Liar sedang
melacaknya, Eyang Resi. Saya harus membantu Merpati Liar untuk dapatkan pusaka
yang asli."
"Baik, berangkatlah
sekarang juga. Aku akan kembali ke Lembah Sunyi, menemui Wulung Gading dan
mengabarkan hal ini. Sebab di tempat Wulung Gading itulah aku mendengar cerita
dari Pakar Pantun tentang keadaanmu dan keadaan muridku, sehingga aku perlu
mencarinya!"
"Saya akan ikut Pendekar
Mabuk, Guru!"
"Tidak usah, kau nanti
kena pikat lagi. Di pondok Eyang Wulung Gading, ada gadis yang
merindukanmu."
"Siapa, Guru?""
"Kejora."
"Ooh... Kejora...?!
Kejora ada di sana?!" Darah Prabu terbelalak girang. Suto Sinting hanya
manggut-manggut sambil sunggingkan senyum. Kemudian ia bergegas pergi menyusul
Merpati Liar yang mengejar Kucing Hutan, setelah memerintahkan Hantu Laut untuk
menunggunya di padepokan Resi Wulung Gading.
SELESAI PENDEKAR MABUK