GULUNGAN ombak setinggi rumah
mengamuk di tengah lautan. Hembusan angin begitu besar, bagai tiupan
napas-napas iblis dari neraka. Gulungan ombak itu semakin besar dan meninggi,
seakan ingin menembus langit. Kilatan cahaya halilintar pun menyambar murka
pada benda apa pun yang muncul di permukaan laut. Gelegar suaranya bagai geram
raksasa di atas langit.
Sebuah perahu berlayar
tunggal, tumbang diamuk badai dan gelombang. Lambung perahu pecah, tiangnya
patah, layarnya tak tersisa sedikit pun pada tiang. Papan- papan kayunya
mengambang terombang-ambing ombak, kadang terlempar ke angkasa dan jatuh entah
ke mana.
Ketika murka samudera mereda,
tampak sesosok tubuh terkapar tak berdaya di pasir pantai. Orang itu bertubuh
tinggi besar tanpa mengenakan baju lagi. Masih untung celananya tetap melekat
dan tidak hanyut terbawa ombak seperti bajunya. Orang itu dalam keadaan
tengkurap dan masih memeluk sebatang balok.
Melihat dari gelang kayu akar
bahar di tangan kanannya, melihat bentuk jari sebesar pisang ibaratnya, orang
itu tak lain ialah Singo Bodong. Bentuk pusarnya yang menonjol tak bisa
dipungkiri lagi, bahwa ia adalah Singo Bodong yang mengikuti perjalanan Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun ke Pulau Serindu.
Malang bagi sang Singo, perahu
itu pecah dihantam badai lautan, ia pun terpisah dari Pendekar Mabuk dan Dewa
Racun. Apakah Pendekar Mabuk masih bersama Dewa Racun, ia pun tak tahu pasti.
Yang jelas ia sadari, bahwa pulau tempatnya terdampar itu adalah bukan pulau
tujuan terakhir. Pulau itu terlewati oleh perahu mereka saat badai belum datang
dan menggulung habis.
Cahaya sinar matahari yang menyengat kulit membuat Singo Bodong sadar dari
pingsannya, ia menggeliat pelan diiringi oleh suara erang memanjang.
Sekujur tubuhnya sakit semua, tulang-tulangnya bagaikan patah. Kulit pun
terasa perih karena sabetan lidah-lidah ombak. Urat-uratnya bagaikan putus
semua akibat berjuang mempertahankan hidup di tengah amukan badai dan ombak.
"Pendekar Mabuk... Dewa
Racun...!" Singo Bodong memanggil dengan mata mengerjap-ngerjap perih, ia
menyeringai, menyipitkan mata
karena tak kuat menerima sinar matahari.
Tubuhnya yang mau bangkit jatuh kembali karena lemas.
"Aku terdampar!"
pikirnya dalam kelemasannya. "Pasti aku terdampar di suatu pulau. Kalau
tahu pada awalnya bahwa aku akan terdampar begini, aku tak mau ikut Pendekar
Mabuk! Perahu pecah, aku tak bisa pegangan Pendekar Mabuk, untung aku menemukan
potongan balok, lalu aku berjuang sendiri melawan maut di tengah laut, aah...
sungguh tak enak! Ternyata mengikuti perjalanan seorang pendekar sungguh tak
enak!"
Tiba-tiba ada sesuatu yang
menyentak dari dalam perut Singo Bodong yang berwajah sangar dan berkumis tebal
itu. Sesuatu yang menyentak itu makin kuat, dan akhirnya Singo Bodong paksakan
diri untuk duduk, lalu tersontaklah isi perutnya keluar mulut. "Hoooek...!
Hoooek...!"
Tak banyak yang terkuras
keluar, namun bikin Singo Bodong semakin geram menahan jengkel. Batinnya
mengucap, "Mabuk yang telat! Mestinya tadi, sewaktu aku terombang-ambing
ombak, muntah ini bekerja. Sekarang giliran aku mau istirahat, baru muntah ini
datang!"
Baru saja Singo Bodong bangkit dengan menggeloyor,
tiba-tiba dari arah punggungnya ada benda keras yang menyentak kuat. Bukk!
"Ehg...!" Singo
Bodong memekik tertahan dan tubuhnya yang besar itu tersungkur ke depan sedikit
terlonjak. Bruusss...!
Singo Bodong terpaksa mencium
pasir basah. Bahkan setengah terpaksa membenamkan wajahnya ke sana.
Kepalanya semakin berat, pandangan matanya berkunang-kunang saat ia
kibaskan pasir-pasir pantai yang menempel di kumisnya.
Benda apa yang menimpa
punggungnya tadi? Begitu besar dan berat rasanya. Singo Bodong sempat menduga
dirinya ditabrak kapal. Tapi ketika ia berpaling ke belakang, sangat kaget
hatinya melihat seorang lelaki kurus berdiri tegak dan sepasang kaki merentang,
seakan siap menerima pembalasan dari Singo Bodong.
Lelaki kurus berwajah bengis
licik itu mengenakan celana merah dengan ikat pinggang kain biru. Orang itu
tidak mengenakan baju, sehingga garis-garis tulangnya yang menonjol keluar itu
terlihat jelas sekali, ia mirip sesosok tulang-belulang yang dibungkus oleh
kulit. Nyaris tanpa daging secuil pun. Bahkan wajahnya kelihatan kempot sekali,
dengan tulang pipi dan bagian radang menonjol keras. Matanya cekung ke dalam
tanpa alis mata sedikit pun. Rambutnya panjang meriap sampai lewat pundak, tapi
tak terlalu lebat. Merawis tipis bagai orang habis menderita sakit panas berat.
Rambut itu berwarna abu-abu, dan saat tertiup angin pantai mirip bendera
tercabik-cabik badai.
Singo Bodong berwajah angker,
tapi menurutnya orang kurus tanpa daging itu lebih angker lagi wajahnya. Mata
cekungnya memandang dengan tajam, bagai ingin menembus ke dalam kelopak mata
Singo Bodong.
Karenanya, Singo Bodong segera
mundur tiga tindak. Apalagi ia melihat senjata cakra di pinggangnya, Singo
Bodong menjadi lebih ngeri lagi.
"Kali ini kau tak akan
bisa lolos lagi!" kata orang kurus itu dengan suaranya yang cempreng mirip
kaleng rombeng.
"Siapa kamu, Pak
Tua!?" Singo Bodong menatap heran.
"Jangan berlagak lupa!
Kau pasti masih mengenaliku. Akulah Cakradanu, alias si Tengkorak
Terbang!"
"Tengkorak Terbang?!" gumam Singo Bodong kerutkan dahi. "Terbang ke
mana? Aku tidak tahu!"
"Terbang ke ragamu untuk
cabut nyawamu! Hiaah ha ha hah...!"
Singo Bodong hanya membatin,
"Ya ampun ini orang... suaranya benar-benar bikin gendang telingaku robek!
Keras tapi tajam!"
Cakradanu alias si Tengkorak
Terbang melangkahkan kaki mendekati Singo Bodong tiga tindak. Matanya tetap
memandang tajam dan bermusuhan sikapnya. Singo Bodong hanya bisa menahan rasa
waswas dan ngeri, sambil bergeser mundur sedikit demi sedikit.
"Sekarang tinggal pilih,
mau mati di tanganku atau kuserahkan kepada Ratu Pekat?!"
Singo Bodong gumamkan suara,
"Ratu Pekat?! Siapa
lagi itu Ratu Pekat?! Aku
semakin tidak mengerti apa maunya orang ini?!"
"Jawab...!" sentak
Tengkorak Terbang dengan suara mengagetkan gendang telinga Singo Bodong.
"Aku tidak mengenal siapa
kamu, dan siapa Ratu Pekat itu! Aku tidak punya urusan dengan kamu, Tengkorak
Terbang!"
"Hiah, hah hah hah
hah...!" Tengkorak Terbang melontarkan tawa hingga tubuhnya
terlonjak-lonjak karena ringannya. Tiba-tiba tawa itu hilang lenyap bagai
ditelan bumi. Wajah Tengkorak Terbang menjadi kaku dan bengis kembali.
Terdengar suaranya menurun.
"Jangan berpura-pura
pikun! Mataku masih jelas, ingatanku masih tajam! Aku tak bisa melupakan
dirimu!"
"Aku tidak tahu apa-apa
tentang kamu. Permisi!" Singo Bodong cepat langkahkan kaki, lari seperti
kerbau mabuk. Larinya tak bisa kencang karena masih lemah badannya dan
berkurang tenaganya. Tapi sekuat tenaga Singo Bodong harus bisa melarikan diri,
sebab ia merasa tidak mengenal orang itu dan tidak punya urusan apa-apa yang
perlu dijelaskan, ia merasa dalam bahaya yang tak mungkin bisa dilawannya.
Singo Bodong tahu, orang sekurus tengkorak itu pasti berilmu tinggi, terbukti
tendangan kakinya tadi terasa begitu berat di punggung. Sepertinya tulang
punggung Singo Bodong mau patah saat menerima tendangan kaki kurus yang terdiri
dari tulang terbungkus kulit itu.
Dugaan Singo Bodong tentang
ketinggian ilmu Cakradanu itu memang benar. Terbukti larinya yang sudah sekencang
itu masih bisa disusul oleh Cakradanu. Bahkan tubuh kurus itu melompati tubuh
Singo Bodong yang tinggi besar, bersalto di udara dua kali, lalu
mendaratkan kakinya persis di
depan langkah Singo. Mau tak mau Singo pun berhenti secara mendadak. Napasnya
terengah-engah. Sedangkan napas Tengkorak Terbang itu tetap tenang, bagai tak
melakukan gerakan apa pun.
"Kau tak akan bisa lolos
lagi, Dadung Amuk!" kata
Cakradanu.
Singo Bodong jadi kerutkan dahi dalam kecemasannya. Tapi ia mulai bisa
menangkap persoalan sebenarnya,
bahwa Cakradanu telah salah duga, menyangka Singo Bodong adalah
Dadung Amuk. Maka, Singo Bodong pun segera jelaskan kata.
"Kau salah sangka,
Tengkorak Terbang. Kau pasti mencari orang yang bernama Dadung Amuk. Aku bukan
Dadung Amuk. Aku bernama Singo Bodong! Sumpah! Aku bernama Singo Bodong!"
"Hiaaah, hah hah hah
hah...!" Tengkorak Terbang tertawa keras. Singo Bodong cepat menutup
telinganya. Cakradanu berkata lagi,
"Rupanya kau sekarang
menjadi orang yang paling pengecut di dunia ini, Dadung Amuk!"
"Terserah anggapanmu.
Tapi yang jelas aku bukan
Dadung Amuk!"
Lalu, di hati Singo Bodong
menggeram jengkel, "Lagi-lagi orang menyangka aku Dadung Amuk! Dulu aku
juga dicurigai sebagai Dadung Amuk oleh Pendekar Mabuk dan Dewa Racun. Sekarang
ini di sini pun begitu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Utusan
Siluman Tujuh Nyawa). Nasib sial apa yang
kualami ini sebenarnya? Dulu
waktu Ibu mengandung aku, ngidam apa dia, sehingga anaknya hidup serba sial
begini?!"
Rupanya Tengkorak Terbang sama
sekali tidak mau mempercayai penjelasan Singo Bodong. Bahkan ia berkata,
"Kau boleh berganti nama
jika kau sudah terbujur kaku tanpa nyawa, Dadung Amuk!"
"Jangan begitu,"
Singo Bodong tampak gemetar. "Aku benar-benar bukan Dadung Amuk. Mungkin
wajahku memang mirip dia, tapi aku bukan dia, Tengkorak Terbang. Sungguh!
Berani sumpah apa saja!" "Tutup mulutmu! Aku tak butuh kepura-puraanmu!
Sekarang terimalah pukulan 'Gempur Baja' ini,
hiaaaaah...!"
Tengkorak Terbang sentakkan
sedikit kaki ke tanah, tubuhnya sudah melayang cepat menuju ke arah Singo
Bodong. Kedua tangannya mengepal dan
begitu mendarat tepat di depan Singo Bodong, kedua tangan itu
disentakkan ke depan dengan cepat sekali. Brreggh...!
Dada Singo Bodong menjadi
sasaran empuknya. Singo Bodong mencoba kibaskan tangan untuk menangkis, tapi meleset. Akibatnya,
tubuh besar itu tersentak ke belakang, kedua kakinya sampai mengambang di permukaan
tanah. Lalu. ia jatuh terjengkang dalam satu sentakan yang mantap sekali.
Blegggh...!
Singo Bodong menyeringai. Ingin
rasanya ia
mengerang dan mengaduh tapi tak ada suara yang
mampu dikeluarkan, ia hanya
meringis-meringis dengan mencoba menarik napas yang rasanya sangat berat itu.
Pukulan 'Gempur Baja' membuat
Singo Bodong
seperti kejatuhan batu sebesar
ukuran tubuhnya sendiri. Tulang dadanya menjadi ngilu dan sakit di bagian
dalamnya. Napasnya hanya bisa dihela sedikit, itu pun terasa senut-senut. Jika
tidak berisi tenaga dalam yang cukup besar, tak mungkin pukulan dua tangan
bertulang tanpa daging itu bisa membuat tubuh tinggi besar tersentak terbang ke
belakang sampai berjarak empat tindak.
"Bisa mati
aku kalau tetap
bertahan dan
melawannya," kata Singo Bodong dalam hatinya. "Tak guna kujelaskan
bahwa diriku bukan Dadung Amuk. Sebaiknya, aku berpasrah diri saja. Biarlah
dibawa ke Ratu Pekat. Mungkin di sana aku bisa jelaskan siapa diriku. Mungkin
Ratu Pekat bisa percayai kata-kataku ketimbang Tengkorak Terbang ini!"
Terdengar Cakradanu serukan
suara cemprengnya, "Dulu kau buat tulang punggungku hampir patah. Sekarang
giliranku membuat tulang lehermu patah, Dadung Amuk!"
"Tunggu, tunggu,
tunggu...!" sergah Singo Bodong sambil kedua tangannya terjulur ke depan
menahan agar lawannya tidak bertindak. Lalu, Singo Bodong mencoba berdiri. Pada
saat itu, Tengkorak Terbang berkata,
"O, jadi kau sudah mulai
siap menghadapi seranganku
kembali?!"
"Bukan begitu. Aku... aku
tidak bermaksud melawan
dan menyerang. Kalau kau tadi
bilang aku disuruh memilih, baiklah.... Aku memilih diserahkan kepada Ratu
Pekat! Bawalah aku menghadap dia!"
Tengkorak Terbang memandang
penuh sangsi. Sinar matanya yang penuh curiga itu tak berkedip. Sekalipun Singo
Bodong telah sodorkan kedua tangannya untuk siap dirantai atau diikat, tapi
Tengkorak Terbang tak cepat bertindak. Orang kurus kerontang itu justru
membatin dalam hatinya.
"Mengapa dia semudah itu
kutumbangkan? Mengapa dia segampang itu mau menyerah? Ada apa dengan
dirinya?"
Singo Bodong melihat lawannya
ragu-ragu. Mulanya ia merasa ada harapan, bahwa kata-katanya tadi akan
dipercaya. Tapi segera ia punya praduga lain, bahwa lawannya tidak percaya
tentang kepasrahannya dan masih ingin mencoba menghajarnya. Singo Bodong cemas
dan segera ucapkan kata,
"Bawalah aku menghadap
Ratu Pekat! Aku sudah jelaskan bahwa diriku bukan si Dadung Amuk, tapi kau
tidak percaya! Kalau kau menantangku bertarung, aku tidak berani. Aku bukan
orang berilmu tinggi! Aku pasti bisa kau bunuh dalam satu gebrakan saja.
Daripada aku mati nganggur, lebih baik bawalah aku menghadap Ratu Pekat, yang
juga tak kutahu siapa dia itu. Aku pasrah padamu!"
Masih membatin Tengkorak
Terbang saat ia berkata dalam hati.
"Setahuku Dadung Amuk
tidak punya jiwa seperti
ini! Setahuku Dadung Amuk
pantang menyerah. Dia memilih lebih baik mati daripada menyerah. Tapi mengapa
orang ini mudah sekali pasrah padaku? Apakah dia memang bukan Dadung Amuk? Ah,
tak mungkin! Baru enam bulan aku berpisah dari pertarungannya, mana mungkin aku
lupakan wajah angkernya itu?! Hmmm... sebaiknya biar Ratu Pekat yang menentukan
apakah dia Dadung Amuk atau bukan. Kalau toh dia memang Dadung Amuk, tak urung
aku juga yang akan diperintahkan untuk menghabisi nyawanya!"
Singo Bodong segera digiring
oleh Tengkorak Terbang. Sebagai jaga-jaga, Tengkorak Terbang tak mau berjalan
di depan atau di samping Singo Bodong. Tetapi hal itu menyulitkan buat Singo
Bodong, sebab tiba-tiba ia sering ditendang pinggangnya jika salah arah. Singo
Bodong sampai merasa jengkel sendiri dan berkata,
"Jalanlah lebih dulu,
jadi aku bisa mengikutimu! Aku tidak tahu ke mana arah menuju Ratu Pekat!"
"Jangan berlagak bodoh,
Dadung Amuk!" kata
Cakradanu dingin.
"Aku memang tidak tahu
arah! Ke mana seharusnya aku melangkah sekarang ini?!"
"Belok ke kiri,
Tolol!" bentak Tengkorak Terbang dengan suaranya yang nyaring memekakkan
telinga.
Akhirnya Singo Bodong melangkah mengikuti
perintah Tengkorak Terbang, ia
sama sekali tidak memperlihatkan
tanda-tanda akan melakukan perlawanan. Tengkorak Terbang
semakin heran melihat sikap polos itu.
Hanya saja, tiba-tiba Singo
Bodong tersentak mundur dalam tiga langkah sambil badannya melengkung ke depan.
Ada sesuatu yang telah menyodok perutnya, hingga Singo Bodong merasa mual dan
hampir muntah lagi.
Sentakan mundur itu membuat
tubuh besarnya menabrak Tengkorak Terbang. Akibatnya, punggung Singo Bodong
kembali terkena pukulan tangan kurus kerontang itu.
Plokk...!
"Aku tersentak dari
depan!" bentak Singo Bodong karena jengkel tak tertahankan. "Jangan
marah padaku! Ada sesuatu yang menyodok perutku dari arah depan! Beratnya
melebihi sebatang balok!"
Tengkorak Terbang tak jadi
lepaskan pukulan lagi ke arah wajah Singo Bodong. Mata cekungnya segera
menangkap memar merah di perut Singo Bodong, ia pun segera tahu, ada orang yang
telah menyerang Singo Bodong dari kejauhan. Pukulan jarak jauh itu tepat
mengenai perut Singo Bodong, pada bagian sedikit di atas pusarnya.
Mata cekung itu cepat
layangkan pandang ke arah depan. Keadaan di depan sana sepi-sepi saja. Tiap
jengkal tanah, tiap bentuk tanaman, disusuri oleh mata cekung Tengkorak
Terbang. Tapi tak terlihat tanda-tanda gerakan yang mencurigakan. Akhirnya si
Tengkorak Terbang serukan suaranya,
"Siapa yang ada di
depan?! Keluarlah! Jangan bikin aku marah!"
Dari atas pohon meluncur orang
berpakaian serba ungu.
Melihat warna pakaiannya saja Tengkorak Terbang sudah dapat mengerti
siapa tokoh perempuan yang baru saja turun dari pohon itu.
"Cempaka Ungu...?!"
sebut Tengkorak Terbang dengan sedikit kerutkan dahi.
Perempuan bertusuk konde
bentuk kembang cempaka
itu berdiri dengan kedua kaki
sedikit merenggang. Sebagian rambutnya yang samping jatuh ke depan telinga berbentuk lengkung-lengkung indah, ia menyandang pedang di punggungnya
dengan gagang dan sarung pedang dibungkus kain ungu. Perempuan berusia antara
tiga puluh tahun itu bukan hanya cantik, tapi juga bermata menarik. Mata itu
memandang Singo Bodong dengan tajam, penuh nafsu untuk membunuh. Wajahnya terlihat angkuh, menggambarkan ketegarannya
sebagai perempuan gesit penantang maut.
"Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Cempaka Ungu?!"
"Apakah kau sekarang
berpihak kepada si Badak Busuk itu?!" sambil matanya tetap memandang Singo
Bodong.
"Jangan salah sangka! Aku
hanya akan membawa dia menghadap ibumu, si Ratu Pekat!"
"Ibu tidak butuhkan orang
itu! Jadi serahkan saja dia
padaku! Cukup mampu aku
melenyapkan nyawanya dalam satu jurus saja!"
"Cempaka Ungu, biar
keputusan akhir ada di tangan ibumu!"
"Tidak perlu! Aku cukup
bisa memutuskannya sendiri! Dua kakakku telah dibunuhnya, sudah pantas jika
sebagai adik aku
menuntut kematian kedua kakakku!"
"Tahan dulu, Cempaka
Ungu! Dia bukan Dadung
Amuk!"
"Omong kosong! Aku tahu persis
wajahnya! Aku hafal persis tiap lekuk tubuhnya! Karena waktu itu aku pun hampir
mati di tangannya! Dan sekarang, minggirlah, Tengkorak Terbang! Biar kubereskan dendamku kepada bangsat
itu!"
Singo Bodong makin terbengong.
Singo Bodong bergeser mundur dengan rasa takut, sebab perempuan itu telah
mencabut pedangnya dari punggung. Sreeet...!
*
* *
2
SEBENARNYA Tengkorak Terbang bisa saja merobohkan Cempaka Ungu. Dilihat
dari gerakan ringannya sudah dapat ditakar kekuatan Tengkorak Terbang dalam
menghadapi putri bungsu Ratu Pekat. Terbukti satu serangan kaki Cempaka Ungu
yang menendang menggunakan jurus 'Tendangan Kipas', yaitu tendangan yang
berputar berturut-turut, telah berhasil dihindari Tengkorak Terbang dengan
hanya berkelit ke sana-sini, melompat-lompat bagai belalang sulit untuk
disentuh.
Tak satu pun serangan Cempaka
Ungu dibalas oleh
Tengkorak Terbang. Sebab akan
berbahaya jika Cempaka
Ungu mengadu kepada ibunya, kalau ia terkena pukulan dari Tengkorak Terbang.
Pasti murka sang Ratu Pekat akan menimpa diri Tengkorak Terbang. Jika sampai
begitu, Tengkorak Terbang tak tahu harus lari ke mana menghadapi murka sang
Ratu. Karena Ratu Pekat mempunyai pukulan yang bernama 'Renta Buana'. Tengkorak
Terbang pernah melawan Ratu Pekat dan ia terkena pukulan 'Renta Buana', yang
dapat membuat tubuh orang menjadi kurus berwajah tua.
Sebelum Cakradanu mendapat
julukan Tengkorak Terbang, ia adalah seorang pemuda yang gagah dan rupawan.
Pada waktu itu ia berusia antara dua puluh enam tahun, tapi ilmunya sudah bisa
dibilang tinggi, ia murid seorang resi dari Partai Petapa Sakti yang bergelar
Resi Tembang Dewa.
Merasa dirinya muda dan
tampan, juga berilmu tinggi, Cakradanu mencoba melamar Kenanga Merah, kakak
dari Cempaka Ungu. Tetapi lamarannya ditolak, Cakradanu sakit hati dan
menyerang istana kecil yang menjadi kekuasaan Ratu Pekat di Pulau Beliung itu.
Istana itu dikenal dengan nama Istana Cambuk Biru.
Pada waktu itu, dua putri Ratu
Pekat, yaitu Kenanga Merah dan Melati Hitam berusaha mengatasi amukan
Cakradanu. Tetapi, kedua kakak Cempaka Ungu itu dapat dikalahkan. Namun ketika
Ratu Pekat murka, Cakradanu dihantamnya dengan pukulan 'Renta Buana', ia
menjadi lumpuh selama tujuh hari. Tubuhnya cepat sekali menjadi susut dan
menua. Dagingnya habis
bagaikan dimakan waktu yang
ganas. Untung ia segera mendapat obat penawar dari Ratu Pekat dengan
perjanjian, Cakradanu akan bersedia mengabdi selamanya kepada Ratu
Pekat sebagai penjaga pantai Pulau Beliung. Kalau saja Ratu Pekat tidak memberi
obat dari pukulan 'Renta Buana'-nya itu, maka dalam waktu sepuluh hari
Cakradanu akan mati dalam keadaan keropos tanpa kulit sedikit pun.
Usia Cakradanu yang pada waktu
itu dua puluh enam tahun berubah menjadi seperti orang berusia enam puluh
tahun. Bahkan sekarang, saat ia menemukan Singo Bodong di pantai, usianya
sebenarnya masih empat puluh tahun kurang sedikit, tapi ia sudah kelihatan
seperti berusia delapan puluh tahunan.
Ingat kekuatan Ratu Pekat yang
begitu hebat. Cakradanu menjadi enggan membalas pukulan Cempaka Ungu. Tetapi
ketika Cempaka Ungu hendak melepaskan pukulan pedang saktinya ke arah Singo
Bodong, Tengkorak
Terbang
cepat-cepat melompat dan menyambut tubuh besar Singo
Bodong. Tubuh besar itu dengan entengnya dipanggul di pundak yang tinggal tulang-belulang
itu, lalu dibawanya lari cepat hingga mirip jerakan terbang.
"Lepaskan dia atau
kuhancurkan tubuhmu yang keropos itu, Cakradanu!" teriak Cempaka Ungu
dengan sangat bernafsu hendak membunuh Singo.
Ternyata Tengkorak Terbang tak
pedulikan seruan itu. Cempaka Ungu cepat mengejarnya sambil masih tetap memegang pedang di tangannya. Gerakan
Cempaka Ungu tak kalah cepat,
hingga dalam waktu singkat ia berhasil memotong jalan dan menghadang langkah
Cakradanu.
Mau tak mau Tengkorak Terbang
berhenti dan tuunkan tubuh besar Singo Bodong dari pundaknya. Tubuh itu
dibanting begitu saja bagai meletakkan karung pasir. Blukk...!
"Uuhhg...!" Singo
Bodong menyeringai kesakitan sambil mengusap-usap pinggangnya.
"Cempaka Ungu, aku tahu
kau punya dendam kepada Dadung Amuk, tapi kumohon urusan itu diselesaian nanti
saja, setelah orang ini kuserahkan kepada ibumu!"
"Tidak bisa! Aku harus
membunuhnya sekarang juga! Setelah kupenggal kepalanya baru kau boleh serahkan
kepala orang itu kepada ibuku, Cakradanu!"
"Itu menyalahi tugas yang
diberikan ibumu kepadaku, Cempaka! Karena aku dipercaya untuk menjadi penjaga
pantai yang sewaktu-waktu harus bisa menangkap mata- mata yang ingin menyusup
masuk ke pulau ini! Aku harus bisa menyerahkannya hidup-hidup. Aku takut murka
dari sang Ratu Pekat,
Cempaka Ungu!
Mengertilah dengan alam pikiranku ini, Cempaka!"
Perempuan bertampang cantik
namun angkuh itu mendenguskan
hidungnya. Semakin benci ia memandang Singo Bodong, semakin
bergolak darahnya dan bertambah besar nafsunya untuk membunuh orang besar itu.
Mata indahnya itu menatap Singo Bodong dengan buas, seolah-olah seluruh darah
Singo Bodong ingin dihirupnya habis sebagai pembalasan atas
kematian kedua kakaknya, yaitu
Melati Hitam dan
Kenanga Merah.
Singo Bodong sendiri semakin
sedih hatinya, ia tahu bahwa
perempuan itu ingin sekali
menghabisi nyawanya. Seandainya ia bisa jelaskan bahwa dirinya bukan
Dadung Amuk, ia akan jelaskan sejelas-jelasnya. Tapi geram kemarahan perempuan
itu kelihatan tak akan mau menerima penjelasan Singo Bodong, dan sulit
mempercayai kata-katanya. Sebab itu Singo Bodong sekarang justru bertaruh harap
kepada Tengkorak Terbang, ia sengaja berdiri di belakang Tengkorak Terbang
sebagai pelindung dari serangan Cempaka Ungu.
"Cempaka," kata
Tengkorak Terbang tanpa ada kesan mengimbangi kemarahan perempuan itu,
"Kalau aku bukan orang yang ditugaskan oleh ibumu untuk menangkap orang
asing yang berkeliaran di pantai, aku akan serahkan orang besar ini kepadamu.
Atau mungkin aku telah membunuhnya saat kutemukan ia terkapar di pantai. Tapi
demi menjunjung tinggi titah sang Ratu, demi hormatku kepada ibumu, aku harus
serahkan orang ini hidup-hidup kepada beliau. Jadi tolong jangan paksa aku
bertarung melawanmu hanya mempertahankan orang yang nantinya akan dijatuhi
hukuman mati oleh ibumu. Biarkan aku membawa orang ini ke Istana Cambuk Biru
dan jangan halangi langkahku lagi, Cempaka Ungu!"
Perempuan berhidung bangir itu
sentakkan napas kekesalannya lewat lubang hidung. Agaknya ia mulai
bisa memahami kata-kata
Tengkorak Terbang. Gerakan uratnya yang kencang kelihatan mengendor, pedangnya
mulai dimasukkan kembali ke sarung pedang yang ada di punggung. Tapi sikapnya
masih keras dan ketus.
"Ingat, Cakradanu...
orang itu adalah bagianku! Kalau Ibu telah lepaskan dia sebagai orang hukuman
yang patut menjalankan hukuman mati, maka akulah algojo yang harus
memenggalnya!"
"Itu terserah keputusan
dari ibumu, Cempaka! Bukan aku yang memutuskannya!" kata Tengkorak Terbang
dengan suara kecilnya.
Dari belakang Tengkorak
Terbang, Singo Bodong beranikan diri untuk berbisik. Tapi karena jenis suaranya
suara besar, maka bisikannya itu pun terdengar sampai di telinga Cempaka Ungu,
"Kalau bisa jangan sampai
dihukum mati, Paman!" "Diam kau!" sentak Tengkorak Terbang.
Singo Bodong sempat tersentak
kaget mendengar suara bentakan Tengkorak Terbang yang memekakkan gendang
telinga itu. Sempat pula ia melirik kepada Cempaka Ungu, dan perempuan itu
tampak cibirkan mulutnya dengan sinis mendengar bisikan tadi.
"Semudah itu ia menyerah kepada Tengkorak Terbang,"
pikir Cempaka. "Padahal tempo hari aku melihat sendiri saat ia menggempur
Tengkorak Terbang yang hampir-hampir tak bernyawa lagi itu. Mengapa sekarang ia
menjadi tunduk kepada Tengkorak Terbang? Apakah Tengkorak Terbang sudah
mempunyai ilmu baru yang lebih dahsyat dari sebelumnya?"
Salah duga itu membuat Cempaka
Ungu menjadi sedikit ciut nyalinya bila harus bertarung menghadapi Tengkorak
Terbang. Sebab itu, ia seolah-olah tidak mau tahu lagi urusan Tengkorak Terbang
dengan orang yang disangkanya Dadung Amuk itu. Segera ia tinggalkan mereka
berdua dengan kata-kata,
"Kutunggu kedatanganmu
dengan babi bengkak itu ke istana!"
Kalau saja Singo Bodong adalah
seorang perempuan tanpa ilmu, ingin sekali ia menangis keras-keras saat itu.
Betapa sedih hatinya melihat banyak orang yang memusuhi dirinya. Sedangkan dia
tidak merasa berbuat jahat kepada orang-orang itu. Ternyata orang-orang Pulau
Beliung banyak yang tidak
suka melihat kehadirannya.
Bahkan ketika mendekati Istana Cambuk Biru, beberapa pemuda tanggung melempari
batu ke arah Singo Bodong. Kalau Tengkorak Terbang tidak menghalangi dan
menghancurkan
batu-batu yang
beterbangan dengan pukulan tenaga dalamnya, pasti kepala Singo Bodong sudah
bocor sejak tadi.
Bahkan seorang anak berusia
antara dua belas tahun berlari mendekati Singo Bodong dengan membawa pisau dan
hendak menusukkan pisau itu ke tubuh Singo Bodong. Anak itu berteriak benci.
"Kau yang membunuh
bapakku, Setan Bengkak! Terimalah pembalasanku ini, ciaaat...!"
Plakk...! Anak itu terjengkang
dan berjungkir balik di tanah karena gebrakan tangan Tengkorak Terbang. Anak
itu bukan anak yang punya ilmu, hanya punya dendam
dan keberanian saja, sehingga
dengan ditampar pipinya sudah melintir jatuh dan kesakitan.
Singo Bodong merasa sangat
bersyukur bertemu
Tengkorak Terbang, walau tetap
saja diserahkan kepada pengadilan
sang Ratu. Tetapi
dapat dibayangkan olehnya,
seandainya ia berada di pulau itu tanpa Tengkorak Terbang, jelas tubuhnya akan hancur dicincang banyak orang yang
menaruh dendam
kepadanya.
Di dalam hati
Singo Bodong terlontar lagi keluhannya, "Seandainya
Suto dan Dewa Racun ada bersamaku, maka habislah orang-orang itu diamuknya! Oh,
Suto... di mana kamu? Apakah kamu tidak tahu kalau aku dimusuhi orang begini
banyaknya dan aku tak bisa berkutik sedikit pun! Brengsek benar Suto dan Dewa
Racun! Pergi dari perahu tanpa membawaku! Menyesal sekali aku mengikuti langkah
orang yang kubangga-banggakan itu. Ternyata Suto tidak seperti bayangan
kebanggaanku!"
Waktu Tengkorak Terbang
mendekati pintu gerbang istana bersama Singo Bodong, beberapa orang yang
menjadi prajurit istana itu segera mengepung mereka berdua. Orang-orang itu
bersenjata semua, dan senjata mereka siap menghujam ke tubuh Singo Bodong.
Melihat ujung-ujung tombak yang runcing, mata pedang yang berkilat tajam, Singo
Bodong menjadi hampir tak bisa berjalan lagi karena gemetarnya kedua lutut
begitu kuat.
Tengkorak Terbang tetap tenang
di dalam kepungan
itu. Mulanya ia sempat menduga
orang-orang itu adalah suruhan Cempaka Ungu. Tapi pikirannya segera berubah
setelah ia ingat amukan Dadung Amuk yang banyak menimbulkan korban baik
prajurit-prajurit pengawal istana atau penduduk desa tak bersalah. Mungkin
prajurit-prajurit yang mengepungnya saat itu bersikap waspada dan siap tempur
melihat orang yang datang adalah orang yang disangkanya Dadung Amuk.
"Untuk apa kalian mengepung kami?!" suara Tengkorak Terbang sedikit
menyentak. Orang-orang yang mengepung hanya saling pandang.
"Bubarkan kepungan
ini!" sentak Tengkorak Terbang lagi.
"Tidak bisa!" jawab
salah seorang dari mereka. "Kenapa tidak bisa?"
"Kau bersama Dadung
Amuk!"
"Apa kau tak lihat
keberadaanku di sini, hah?!"
"Justru aku dan
teman-teman khawatir jika Dadung
Amuk menyerangmu secara
tiba-tiba!"
"Kalau ku mau, sudah kupenggal
batang lehernya dari tadi!"
"Kenapa tidak kau
lakukan?"
"Karena dia sudah
menyerah dan siap dihadapkan pengadilan sang Ratu! Siapa menentang langkahku
ini, berarti menentang keputusan sang Ratu!"
Orang yang tadi berani bicara
sekarang terdiam. Matanya
memandangi
teman-temannya. Teman-
temannya juga saling pandang satu dengan yang lain. Pada saat hening tanpa
kata, Tengkorak Terbang cepat
sentakkan suaranya lagi,
"Minggir kalian!"
Maka, empat orang yang menutup
jalan menuju pintu
gerbang itu pun segera menepi
dengan sikap tetap mengacungkan
senjatanya, seakan berjaga-jaga mendapat serangan sewaktu-waktu
dari Singo Bodong yang dianggap tawanan mereka.
"Buka pintu!" sentak
Tengkorak Terbang kepada penjaga pintu gerbang itu. Dengan terburu-buru kedua
penjaga segera membukakan pintu, dan Tengkorak Terbang menarik tangan Singo
Bodong agar
mempercepat langkahnya. Kali ini, Singo Bodong ada di belakang Tengkorak
Terbang yang melangkah lebih dulu.
Begitu mereka masuk ke pintu
gerbang, ternyata di sana sudah ada rombongan penyambut kedatangan mereka.
Rombongan itu bukan orang-orang yang ingin menjamu kedatangan seorang tamu,
melainkan sebarisan prajurit
yang bersiaga menghadapi kedatangan tawanannya.
Dua barisan bersenjata lengkap
memagari jalan menuju serambi istana. Mereka berjajar di kanan-kiri membentuk
barisan siap serang kapan saja terdengar perintah dari atasannya. Singo Bodong
menyeringai karena merasa ngeri melihat senjata-senjata berkerlip pantulan
sinar matahari menuju ke arahnya.
Rupanya kedatangan Tengkorak
Terbang sudah diketahui oleh para penghuni Istana Cambuk Biru itu, sehingga
sudah dilakukan persiapan penyambutan
seperti itu. Siapa lagi yang
membawa kabar tentang kedatangan Tengkorak Terbang dan Singo Bodong jika bukan
Cempaka Ungu. Karenanya, Tengkorak Terbang tidak heran jika di serambi istana
kecil itu sudah berdiri Ratu Pekat didampingi oleh Cempaka Ungu dan seorang
lelaki tampan yang menjadi tangan kanan dan pengawal pribadi sang Ratu. Lelaki
tampan itu dikenal dengan nama Abirawa, berjuluk si Mata Elang, karena bentuk
matanya yang kecoklatan itu mirip mata burung elang.
Sekalipun Mata Elang menjadi
pengawal sang Ratu, yang tentunya punya ilmu cukup tinggi, tetapi ketika
bertarung melawan Dadung Amuk, ia terdesak mundur dan hampir saja mati dengan
aji pamungkas milik Dadung Amuk. Kalau saja Ratu Pekat tidak turun tangan
menghadang aji pamungkas Dadung Amuk, mungkin Mata Elang sampai sekarang tak
bisa lagi berdiri mendampingi sang Ratu.
Mata Elang, selain menjadi
pengawal sang Ratu, juga sebagai pria pemuas birahi sang Ratu. Karenanya, sang
Ratu tak mau jauh-jauh dari pemuda itu. Walau usia Ratu Pekat sudah mencapai
lima puluh tahun lebih, tapi sisa kecantikan dan keelokan masa mudanya masih
ada. Bahkan semangat cintanya masih meletup-letup dalam jiwa tuanya itu.
Perempuan berambut sedikit
uban dengan wajah tua yang masih nampak cantik itu, berdiri tegak dengan kedua
tangan di belakang. Matanya memandang liar kepada Singo Bodong, raut wajahnya
mencerminkan murka yang tertahan.
Tengkorak Terbang segera
bungkukkan badan tanda memberi hormat kepada sang Ratu. Semua dalam keadaan
diam tanpa suara. Suasana menjadi hening mencekam, terutama buat Singo Bodong. Matanya
yang lebar berkesan beringas itu tak berani memandang sang Ratu terlalu lama.
Ia segera tundukkan wajah dengan jantung berdebar-debar.
Di sela heningnya suasana itu,
terdengarlah suara kecil melengking milik Tengkorak Terbang, yang sempat
mengguncangkan tubuh Singo Bodong karena kagetnya.
"Cakradanu menghadap,
Nyai Ratu!"
"Sudah tahu!" jawab
Ratu Pekat dengan suara besar untuk jenis suara perempuan. "Siapa yang kau
bawa itu?"
"Menurut dugaan saya
semula, dia adalah Dadung Amuk! Tapi orang ini mengaku bernama Singo Bodong,
Nyai Ratu!"
"Dia jelas Dadung
Amuk!" mata Ratu Pekat menyipit dalam memandangi Singo Bodong.
"Terserah keputusan, Nyai
Ratu!" kata Tengkorak
Terbang.
"Suruh dia
mendekat!"
Kemudian Tengkorak Terbang
menyuruh Singo
Bodong mendekat.
"Kau dengar
apa perintahnya? Cepat
sana, mendekatlah!"
"Aku takut, Paman!"
Singo Bodong meringis takut dengan mata berkedip-kedip, ia bagaikan memohon
belas kasihan dan pembelaan
dari Tengkorak Terbang. "Mendekatlah sebelum Ratu murka!" sentaknya
dalam bisik.
"Ta... tapi... tapi aku
tak berani. Aku takut dibunuh olehnya!"
"Kalau kau bukan Dadung
Amuk, kau harus bisa jelaskan padanya!"
Tengkorak Terbang mendorong
punggung Singo Bodong. Kaki orang tinggi besar itu bagai sulit digerakkan untuk
melangkah maju. Lemas dan gemetar sekali rasanya. Wajahnya sebentar-sebentar
menoleh ke belakang, seakan minta didampingi oleh Tengkorak Terbang.
"Lekas maju!" sentak
Tengkorak Terbang dalam bisikan kecilnya, sambil mendorong punggung Singo
Bodong yang lebih tinggi dari kepalanya itu.
Singo Bodong menaiki tangga
serambi yang terdiri dari lima baris itu. Kakinya terpeleset dan ia jatuh
karena gemetarnya. Sang Ratu tersenyum sinis melihat jatuhnya Singo Bodong,
karena menganggapnya pura-pura.
"Cepat bangun atau
kutendang pantatmu!" sentak Tengkorak Terbang dengan mata cekungnya
melotot. Singo Bodong takut dan segera bangkit dengan wajah mau menangis, ia
menjadi sangat grogi karena semua mata memandang ke arahnya.
"Belum puaskah kamu
mengobrak-abrik wilayahku ini, hah?!" sentak Ratu Pekat dengan mata
membelalak tajam.
"Belum, eh... sudah,
eh... anu... tidak! Tidak, Nyai
Ratu!" Singo Bodong
menjawab dengan tergagap-gagap, sekujur tubuhnya penuh dengan keringat dingin.
"Kau masih menyangka aku
menyembunyikan kitab
itu?!"
'Tidak, eh... anu... jangan!
Eh, bukan., anu... ya, tidak!" Singo Bodong geleng-gelengkan kepala dalam
kepolosan bodohnya.
Ratu segera sentakkan napas
melalui hidungnya. Suuut...! Dan tubuh besar itu tumbang ke belakang,
berguling-guling menuruni anak tangga batu. Kepalanya terbentur beberapa kali
hingga ia mengerang dalam kesakitan.
"Kosong sekali...?!"
pikir Ratu Pekat. "Hempasan napasku seperti menghantam gentong tanpa isi.
Tak ada sentakan padat sedikit pun pada dirinya! Aneh. Kenapa Dadung Amuk
seperti itu? Apakah dugaan Cempaka Ungu memang benar, bahwa Dadung Amuk ilmunya
sudah berhasil dilenyapkan oleh Tengkorak Terbang? Jika benar begitu, berarti
Tengkorak Terbang telah menguasai sebuah ilmu yang bernama ilmu 'Lebur
Samudera', yang bisa menghilangkan seluruh kekuatan dan ilmu-ilmu yang dimiliki
lawan! Hmm... dapat dari mana Tengkorak Terbang? Ilmu itu hanya dimiliki oleh
beberapa gelintir orang dalam dunia persilatan. Aku saja susah mendapatkannya
sampai sekarang! Gawat! Aku bisa celaka kalau melawan Cakradanu!"
*
* *
3
ILMU 'Lebur Samudera' adalah
ilmu yang sangat berbahaya. Si Gila Tuak pun tidak memiliki ilmu itu. Tetapi
Ratu Pekat tahu, satu-satunya orang yang memiliki ilmu 'Lebur
Samudera' yang ada di sekelilingnya itu adalah Dewi
Kencana Langit, yang bersemayam di pesisir selatan bagian timur tanah Jawa.
'Lebur Samudera' ilmu yang tak
kenal ampun lagi. Orang yang memiliki kesaktian setinggi apa pun, jika terkena
pukulan ilmu 'Lebur Samudera', akan hilang semua kesaktiannya, dan ia tak akan
bisa berbuat apa- apa. Ia akan menjadi orang polos dan bodoh. Bahkan untuk
berlari cepat pun tak akan mampu.
Ratu Pekat melihat keadaan
Singo Bodong yang dianggap Dadung Amuk itu, menjadi sangat curiga dan agak ragu
dalam bertindak. Sebab ia tahu ciri-ciri orang berilmu tinggi yang habis
terkena pukulan 'Lebur Samudera' akan menjadi seperti Singo Bodong; bodoh,
penakut, dan kosong tanpa isi sedikit pun.
"Setidaknya," pikir
Ratu Pekat, "Kalau Dadung Amuk hanya berpura-pura kalah, maka hempasan
'Napas Naga'-ku akan merasakan menyentuh benda padat. Itu tandanya ada sisa
ilmu yang disembunyikan oleh orang yang kuserang. Tapi, 'Napas Naga'-ku tidak
menyentuh benda padat sedikit pun. Tak ada sebagian yang memantul balik.
Nyeplos begitu saja. Itu berarti Dadung Amuk tanpa ilmu sedikit pun!"
Sementara itu, si Mata Elang
dan Cempaka Ungu menunggu keputusan yang akan dilontarkan oleh Ratu
Pekat. Mereka berdua memandang
sang Ratu. Tetapi sang Ratu memperhatikan gerakan Singo Bodong yang menggeliat
bangkit dalam keadaan hidung berdarah sedikit.
"Apa keputusan Nyai...?!" Tengkorak Terbang memberanikan diri bertanya,
karena ia merasakan kebisuan yang terjadi terlalu lama.
"Gantung dia di depan
umum!" Cempaka Ungu yang menjawab.
Nyai tetap diam. Tapi Singo
Bodong terperangah kaget dan semakin ketakutan, ia memandang sekelilingnya, belum ada
yang bergerak menyeretnya. Bahkan Tengkorak Terbang hanya diam saja dengan
menatap Ratu Pekat. Seakan keputusan dan perintah yang keluar dari mulut
Cempaka Ungu itu tidak dihiraukan sama sekali. Mereka masih menunggu- nunggu
keputusan dari Ratu Pekat.
Beberapa saat kemudian, Ratu
Pekat serukan kata, "Karena kau yang berhasil melumpuhkannya, Tengkorak
Terbang, maka kuserahkan nasibnya ke tanganmu!"
Tiba-tiba terdengar suara
gemuruh riuh seperti ratusan lebah bergaung. Rupanya para prajurit dan
orang-orang yang ada di depan serambi itu saling bergumam, saling membicarakan
keputusan Ratu Pekat yang terasa kurang sreg di hati mereka.
Tengkorak Terbang sendiri sempat bingung menerima putusan itu, karena
ia masih belum bisa menentukan sikap dalam menghadapi keraguannya tentang diri
Singo Bodong. Sedangkan di serambi sana,
Cempaka Ungu mengajukan sanggahan terhadap keputusan ibunya,
"Ini tidak adil! Ibu
harus menjadi penentu hukuman.
Bukan Tengkorak Terbang!
Karena Ibu yang kehilangan dua anak akibat kebiadaban si Dadung Amuk itu!"
"Aku sudah menjadi
penentu! Aku sudah putuskan masalah ini. Tengkorak Terbang yang kuserahi tugas
menentukan hukumannya!"
"Ibu...."
"Jangan lawan Tengkorak
Terbang!" sergah Ratu Pekat berbisik kepada anaknya. "Nanti
kujelaskan mengapa aku berkeputusan begitu!"
Cempaka Ungu tampak kecewa
sekali, ia menggeram jengkel dengan kedua tangan menggenggam kencang. Lalu,
matanya dilemparkan ke arah Tengkorak Terbang, dan ia berseru,
"Cakradanu...!"
Cempaka Ungu segera turuni tangga dan mendekati Tengkorak Terbang. Dengan mata
yang tajam memandang, Cempaka Ungu berkata dalam geram kemarahannya,
"Seperti apa yang
kukatakan tadi, kau hanya boleh menyerahkan babi bengkak itu ke hadapan ibuku.
Tapi akulah yang menjadi algojo dalam melaksanakan hukumannya nanti! Jadi
sekarang, kuminta tawanan itu diseret ke lapangan! Gantung dia di sana!"
Tengkorak Terbang menarik
napasnya dalam-dalam untuk meredam sesuatu yang menggelisahkan hatinya.
Kemudian dengan suara pelan ia menjawab,
"Ratu Pekat yang menjadi
penguasa di Pulau Beliung
ini! Bukan kamu, Cempaka
Ungu!"
"Tapi aku anaknya! Aku
yang kehilangan kedua kakakku dibunuh oleh babi bengkak itu! Aku berhak
menentukan putusan juga!"
"Tapi Nyai Ratu
menyerahkannya kepadaku!" "Gantung dia! Ini perintahku!" sentak
Cempaka Ungu
dengan suara keras dan tangan
menuding tegas.
Tengkorak Terbang memandang
Ratu Pekat. Sang Ratu diam saja, seakan menyetujui putusan yang dilontarkan
dari Cempaka Ungu. Tengkorak Terbang merasa takut membantah keputusan itu, maka
segera tangannya berkelebat mencandak lengan Singo Bodong, lalu menyeretnya
pergi. Sementara, Singo Bodong sendiri menjadi semakin gugup dan ketakutan,
"Jangan...! Jangan
gantung aku, Paman! Aku benar- benar bukan Dadung Amuk! Janganlah Paman salah
duga! Paman akan menyesal menggantung orang tak bersalah. Sungguh, Paman... aku
bukan Dadung Amuk. Aku Singo Bodong yang...."
"Diaaam...!" bentak
Tengkorak Terbang yang membuat kata-kata Singo
Bodong hilang seketika ditelan lengkingnya suara tadi. Ia tetap diseret oleh
Tengkorak Terbang, dan keluar dari benteng istana kecil itu.
"Cempaka!" panggil
Ratu Pekat ketika Cempaka Ungu mau bergerak mengikuti langkah Tengkorak
Terbang. "Masuklah, aku mau bicara denganmu, Cempaka!"
Napas Cempaka Ungu disentakkan
dalam satu hempasan rasa dongkol. Tapi akhirnya ia menuruti
perintah itu. Ia masuk ke
dalam istana kecil yang berlantai marmer hitam.
Ratu Pekat duduk di sebuah
kursi bantalan merah
yang berpunggung ukiran bentuk
mahkota. Kursi itu panjang, bisa untuk melonjorkan kaki. Tapi saat itu Ratu
Pekat duduk dengan sedikit bersandar, punggungnya dipijit-pijit oleh si Mata
Elang dengan penuh kesetiaan dari sebuah pengabdian.
"Cempaka, saat
kuhempaskan 'Napas Naga'-ku, aku merasakan ada kejanggalan dalam diri Dadung
Amuk tadi!"
Cempaka Ungu hanya cemberut,
tak mau memberi ucapan kata apa pun, wajahnya memandang ke arah lain. Ratu
Pekat melanjutkan kata,
"Dadung Amuk kehilangan semua
ilmu dan kesaktiannya! Ia
telah kosong, seperti bayi baru lahir!"
Setelah palingkan wajah ke
arah sang Ibu, Cempaka segera ajukan tanya, "Dari mana Ibu tahu hal
itu?"
"'Napas Naga'-ku
menemukan tempat kosong, tak ada sentakan balik sedikit pun. Itu tandanya
Dadung Amuk tanpa isi sedikit pun!"
Cempaka Ungu kerutkan dahi.
"Mengapa bisa begitu, Ibu?"
"Tengkorak Terbang yang melakukannya dan membuat dia menjadi seperti itu."
"Apa maksud, Ibu?"
"Kau tahu sendiri
kehebatan jurus dan ilmunya Dadung Amuk sewaktu dia mengamuk di sini dan
mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma! Begitu tangguh
dan hebatnya dia. Ibu mengakui
hal itu. Tapi di tangan Tengkorak Terbang, ia menjadi luluh dan tak berdaya
seperti itu. Kesaktian dan kekuatannya hilang tak tersisa sedikit pun. Dan
hanya orang yang mempunyai ilmu
'Lebur Samudera' yang bisa
membuat lawan menjadi seperti itu."
"Jadi... jadi maksud Ibu,
Tengkorak Terbang telah
memiliki ilmu 'Lebur
Samudera'? Oh, tidak mungkin, Ibu! Aku tidak percaya kalau Cakradanu bisa
memiliki ilmu sehebat itu!"
"Nyatanya Dadung Amuk
menjadi sebegitu lemahnya setelah dibawanya kemari! Tentunya saat ia temukan
Dadung Amuk di pantai, ia telah lepaskan pukulan
'Lebur Samudera' yang membuat
ilmu dan kesaktian
Dadung Amuk menjadi sirna
tanpa bekas!"
Tertegun Cempaka Ungu merenungi kata-kata ibunya. Tertegun pula si
Mata Elang mendengar hal itu, hingga pijitan di pundak Ratu Pekat terhenti.
Setelah Ratu Pekat menepuk pundaknya sendiri, si Mata Elang bergegas memijitnya
lagi dengan pelan-pelan.
"Aku tahu Cakradanu
menyimpan ilmu itu baru-baru ini saja. Sengaja ia tidak keluarkan kepada siapa
pun, kecuali kepada Dadung Amuk. Itu pun mungkin karena sangat terpaksa. Dan
kau tahu, Cempaka Ungu... jika ia benar telah menguasai ilmu 'Lebur Samudera',
maka seluruh kesaktianmu, kesaktianku, bisa habis terkuras tanpa bekas sedikit
pun. Ibu, kamu, Mata Elang, dan orang-orang kita bisa kehilangan kekuatan yang
selama ini kita gali dengan bersusah payah! Tengkorak Terbang
diam-diam menjadi orang paling
berbahaya dari semua orang yang menjadi musuh kita. Bahkan Siluman Tujuh Nyawa
pun bisa ditaklukkan oleh Tengkorak Terbang karena ilmu pukulan 'Lebur
Samudera' itu!"
Gemetar hati Cempaka Ungu
mendengarnya. Apa yang dikatakan oleh ibunya merupakan suatu keyakinan yang tak
bisa disanggah lagi. Cempaka Ungu mulai merasa ngeri jika berhadapan dengan Tengkorak Terbang.
Ratu Pekat berkata lagi.
"Jadi kuminta kau berhati- hati bila berhadapan dengannya. Sekali ia
lancarkan pukulan itu, habislah kekuatanmu, menjadi seperti bayi baru lahir!
Ibu pun diam-diam mencari cara untuk menghindari bentrokan dengan dia!"
"Bukankah dia berada di
bawah kekuasaan Ibu?" "Memang.
Tapi kekuasaan tidak cukup
untuk
menandingi ilmu pukulan 'Lebur
Samudera'!"
Si Mata Elang yang sejak tadi
diam, kali ini mulai angkat bicara dengan suaranya yang sedikit serak,
"Nyai masih bisa
menggunakan kekuasaan untuk mengalahkan ilmu baru yang dimiliki Tengkorak Terbang!"
"Bagaimana caranya?"
"Beri dia tugas untuk
satu perjalanan yang jauh, yang kira-kira memakan waktu bertahun-tahun, sampai
ia mati dimakan usia di tempat itu!"
"Itu sudah
kupikirkan," jawab Ratu Pekat. "Tapi jika dia tidak berada di sini,
kekuatan kita masih kalah tanding dengan kekuatan Siluman Tujuh Nyawa. Kalau
kita bisa memanfaatkan
Tengkorak Terbang, maka Siluman Tujuh Nyawa bisa kita gulung habis, dan negeri
manapun bisa kita tundukkan. Kita bisa mempunyai wilayah jajahan yang luas dan
luas sekali!"
"Ya," sahut Cempaka.
"Tengkorak Terbang itu ibarat barang
yang dibuang sayang, tapi jika dirawat membahayakan!"
"Kalau begitu, siapkan
dulu pertempuran untuk melawan Siluman Tujuh Nyawa. Setelah kita tundukkan
Siluman Tujuh Nyawa dan begundal-begundalnya, baru kita kirim Tengkorak Terbang
ke tempat yang amat jauh dari sini!" kata Mata Elang lagi dengan penuh
semangat. Hal itu
membuat Ratu Pekat
termenung mempertimbangkannya.
Seperti dikisahkan dalam
episode "Utusan Siluman Tujuh Nyawa", bahwa ada tokoh yang wajah dan
penampilannya serupa betul dengan Dadung Amuk. Dadung Amuk adalah orang kepercayaan
Siluman Tujuh Nyawa yang ditugaskan membunuh Suto Sinting, si Pendekar Mabuk
itu, dan bertugas pula mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma. Kitab itu adalah
sebagai syarat mas kawin untuk
mempersunting
Gusti Dyah Sariningrum, orang
yang dari dulu dicintai Siluman Tujuh Nyawa, juga yang menjadi kekasihnya Suto
Sinting.
Ketika Dadung Amuk bertemu
dengan Pendekar Mabuk, ia berhasil dikelabuhi oleh Pendekar Mabuk, dan segera
menuju ke Pulau Hantu untuk mencari tokoh sakti yang sesat bernama Mawar Hitam.
Padahal Kitab
Wedar Kesuma adalah milik Nyai
Betari Ayu, yang merupakan kakak dari Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang
Surgawi di Pulau Serindu. Kitab itu sudah ada di tangan Suto, dan perjalanan
menuju Pulau Serindu pun dilakukan bersama penunjuk jalan si Dewa Racun, dan
Singo Bodong diajaknya serta. Mulanya Pendekar Mabuk ingin mengetahui apakah
Singo Bodong adalah Dadung Amuk, sehingga perlu mengawasi segala gerak- gerik
Singo Bodong dalam perjalanannya. Tetapi, sebelum Suto memperoleh kepastian
tentang perbedaan atau kesamaan tersebut, perahunya pecah dihantam ombak
samudera. Singo Bodong pun terdampar di Pulau Beliung.
Kehadiran Singo Bodong itulah
yang membuat
Tengkorak Terbang dicurigai
sebagai pemilik ilmu
'Lebur Samudera'. Karena baik
Ratu Pekat maupun penduduk Pulau Beliung menyangka Singo Bodong adalah Dadung
Amuk. Sedangkan Tengkorak Terbang sendiri tidak tahu adanya ilmu 'Lebur
Samudera'. Bahkan mendengar dari gurunya pun belum pernah. Karenanya ia tidak
tahu kalau sedang dibicarakan oleh Ratu Pekat, dan Cempaka Ungu.
Bahkan Tengkorak Terbang
merasa takut membuat Ratu Pekat marah jika ia menentang keputusan yang
dilontarkan oleh Cempaka Ungu. Karena itu, ia pun cepat menyeret Singo Bodong
ke alun-alun kecil, di sana sudah tersedia tiang gantungan, untuk menjalankan
hukuman gantung bagi siapa pun yang menentang kepemerintahan Ratu Pekat. Konon,
tiang gantungan itu
telah merenggut lebih dari
sepuluh nyawa, termasuk nyawa para musuh yang menjadi tawanan.
Tiang gantungan itu berbentuk
tiang gawang dengan
sebuah panggung kecil di
atasnya. Seorang algojo berselubung kain hitam di kepalanya, tanpa memakai
baju, dan bercelana hitam ketat, telah berdiri di atas panggung kecil itu.
Badannya besar dan berotot.
Singo Bodong menjadi semakin
takut lagi melihat algojo berselubung kain hitam di kepalanya, dengan hanya
bagian kedua mata, hidung, dan mulut saja yang kelihatan dari luar. Melihat
orang menyeramkan telah siap di atas panggung gantungan. Singo Bodong
meronta-ronta saat dibawa ke sana.
"Jangan..! Jangan gantung
aku, Paman...! Jangan! Aku tidak bersalah! Aku orang baik-baik, Paman! Oooh...
Ibu...! Ibu tolong aku, Buuuuu...!"
Tengkorak Terbang walau
berbadan kurus kerontang, tapi tenaganya jauh lebih besar dari tenaga Singo
Bodong. Dengan sekali sentakan, tubuh besar itu terlempar sampai membentur tepian
panggung gantungan.
Duuok...!
"Adduh...! Mati aku, Buuu...!" Singo Bodong akhirnya menangis, ia ditangkap
oleh kedua tangan algojo, lalu segera diikat dengan kain kuat-kuat. Kedua
tangan Singo Bodong yang terikat ke belakang itu membuat Singo Bodong tak lagi
bisa bergerak, ia hanya bisa meronta-ronta sambil berteriak memanggil ibunya
beberapa kali. Hal itu membuat Tengkorak Terbang
semakin menaruh curiga besar
kepada Singo Bodong.
Tengkorak Terbang membatin, "Seperti itukah Dadung Amuk? Secengeng
itukah anak buah Siluman Tujuh Nyawa? Sekecil itukah nyali orang yang dengan
hebatnya mampu membunuh Melati Hitam dan Kenanga Merah? Rasa-rasanya aku
seperti bukan melihat Dadung Amuk!"
Keraguan itu membingungkan hati Tengkorak Terbang, ia cepat melesat
tinggalkan tempat itu, seakan tak mau tanggung jawab jika ada kesalahan
hukuman. Niatnya untuk kabur dari arena penggantungan menjadi terhalang karena
datangnya rombongan Ratu Pekat bersama Cempaka Ungu, Mata Elang, dan pengawal-
pengawal lainnya.
"Sudah kau gantung orang
itu?!" tanya Ratu Pekat. "Menunggu perintah selanjutnya dari Nyai
Ratu,"
jawab Cakradanu.
"Sudah kubilang, keputusannya kuserahkan ke tanganmu! Karena mulai saat ini, kau
kuangkat menjadi panglimaku."
"Apa...?!" Tengkorak Terbang terkejut. "Saya diangkat menjadi
panglima di Istana Cambuk Biru ini?!" "Ya. Tadi aku lupa
mengatakannya padamu!" jawab
Ratu Pekat.
Cempaka Ungu menambahkan kata,
"Jabatan itu sebagai
hadiah dari ibuku atas
keberhasilanmu menangkap Dadung Amuk!"
Tengkorak Terbang kerutkan
dahi melihat sikap
Cempaka Ungu tidak seketus
tadi. Sekarang wajah
Cempaka Ungu kelihatan lebih
ramah dari sebelumnya. "Mengapa jadi begitu?" pikir Tengkorak
Terbang. Bahkan si Mata Elang pun memandangnya dengan sikap bersahabat.
Biasanya anak muda yang bertubuh kekar itu memandangnya dengan sikap angkuh,
seakan meremehkan keberadaan Tengkorak Terbang di lingkungan para pejabat
istana. Sekarang sikap angkuh dan meremehkan itu sudah tidak ada lagi. Bahkan
dengan senyum kecilnya, si Mata Elang berkata,
"Sebagai seorang panglima
yang baru saja diangkat, kau harus bisa tunjukkan sikap kejantananmu yang
mengagumkan hati Nyai Ratu itu, Tengkorak Terbang. Kurasa tak ada jeleknya kau
memutuskan apakah hukuman gantung itu perlu dilaksanakan atau tidak! Kau punya
kekuasaan sekarang ini!"
"Nyai Ratu," kata
Tengkorak Terbang. "Penghargaan ini terlalu tinggi buat saya! Tak pantas
rasanya saya menjadi panglima!"
"Siapa bilang tak
pantas?!" senyum Ratu Pekat tersungging. "Bahkan menurutku kau sangat
pantas untuk mendapat gelar sang Penakluk dari Pulau Beliung!"
"O, tidak, Nyai! Itu
semakin tidak pantas untuk orang seperti saya. Sebab...!"
"Jangan tolak kebaikanku
ini, Cakradanu!" ucap Ratu
Pekat dengan nada wibawanya.
Tengkorak Terbang tak bisa menyanggah lagi. Karena di dalam otaknya terbayang
pukulan 'Renta Buana', yang jika Ratu Pekat murka kembali, pukulan itu bisa
mengakhiri masa
hidupnya dalam waktu yang amat
singkat. Terus terang saja, Tengkorak Terbang merasa takut menghadapi murka
sang Ratu.
"Baiklah jika memang itu
putusan baik, Nyai Ratu! Saya menerimanya," jawab Tengkorak Terbang dengan
hati masih diliputi tanda tanya yang besar.
"Sekarang aku ingin
melihat tawanan kita itu! Digantung ataupun tidak, tergantung keputusanmu. Dan
jika tidak, kau harus bisa berikan alasan kepada rakyat yang telah menaruh
dendam kesumat kepada Dadung Amuk."
"Baik, Ratu...!"
Baru saja mereka bergegas
melangkah mendekati kerumunan rakyat, tiba-tiba terdengar suara pekikan keras
yang memberat. Pekikan itu datangnya dari arah tiang gantungan. Tengkorak
Terbang tersentak kaget dan bergumam tegang.
"Celaka! Pasti petugas
algojo itu telah melakukah penggantungan tanpa perintah lagi!"
Tetapi, mengapa rakyat yang
berkerumun di situ pun bubar melarikan diri? Bukan hanya Tengkorak Terbang yang
heran, tapi Ratu Pekat dan Cempaka Ungu serta si Mata Elang pun merasa heran.
Maka, mereka bergegas lebih cepat lagi menuju arena penggantungan.
Apa yang terjadi di sana
ternyata sangat tak diduga. Algojo telah tumbang dalam keadaan dadanya tertancap
anak panah. Singo Bodong masih berdiri berkalung tali gantungan. Tapi tali itu
segera putus ketika sebatang anak panah berukuran pendek melesat dan memutuskan
tali penggantung itu. Tass...!
"Mata Elang, cepat bawa
pergi tubuh Dadung Amuk itu!" teriak Tengkorak Terbang, yang membuat si
Mata Elang cepat melakukan tugas.
*
* *
4
ALUN-ALUN menjadi sepi. Mereka
yang tadinya berkerumun dengan berkasak-kusuk kegirangan karena ingin melihat
kematian Dadung Amuk, sekarang menjadi diam tanpa suara. Sebagian
masuk ke dalam rumah, sebagian lagi bersembunyi di balik pohon atau di balik
apa saja, ingin melihat kelanjutan dari hukuman gantung itu. Padahal saat itu
Singo Bodong sudah dilarikan si Mata Elang. Tetapi karena di alun-alun masih
berdiri Ratu Pekat didampingi Cempaka Ungu, dan di tengah alun-alun masih
berdiri Tengkorak Terbang, maka mereka masih berharap adanya kejutan- kejutan
berikutnya.
Tengkorak Terbang mencabut
anak panah yang menancap di dada algojo.
Satu sentakan penuh kemarahan membuat anak panah
lepas dari tubuh kekar itu. Tengkorak Terbang memperhatikan beberapa saat anak
panah itu, kemudian dibawa mendekati Ratu Pekat dan ditunjukkan kepada sang
Ratu sambil ia berkata,
"Panah pendek!"
"Hmmm... ya! Aku tahu
pemilik panah pendek ini!
Kau tahu, Tengkorak
Terbang?" tanya Ratu Pekat. "Saya tahu, Nyai!"
"Lakukanlah tugasmu
sebagai panglima!" Setelah
berkata begitu, Ratu Pekat
segera tinggalkan tempat. Cempaka Ungu mengiringinya dengan mata memandang liar
ke arah sekeliling. Siaga untuk penyerangan mendadak. Sedangkan enam orang
prajurit pengawalnya pun cepat mengambil sikap mengurung Ratu Pekat dengan
memberikan jalan di bagian depannya. Dua prajurit ada di bagian depan, tujuh
langkah dari Ratu Pekat.
Tengkorak Terbang layangkan
pandangan matanya ke sekeliling alun-alun. Tiap wajah
tersembunyi dipandanginya dengan seksama. Lalu, karena yang dicarinya
tak terlihat, ia pun berteriak keras,
"Dewa Racun...! Keluar
kau dari persembunyianmu!" Panah pendek itulah yang menjadi tanda bahwa
senjata itu adalah milik
Dewa Racun. Mereka
mengenalinya, karena mereka pernah bentrok dengan orang-orang Pulau Serindu,
termasuk Dewa Racun dan
anak buah Dyah Sariningrum
lainnya.
"Jangan sangka aku tidak
mengenalimu, Kerdil! Keluar kau!"
Tiba-tiba meluncur anak panah
dari depan Tengkorak Terbang. Zzlaaap...! Tangan kurus tanpa daging itu segera
berkelebat cepat. Tabb...! Anak panah itu ditangkap tepat di depan matanya.
Sebuah pohon berdaun rimbun
segera menjadi sasaran Tengkorak Terbang, ia lepaskan pukulan jarak
jauhnya dengan menghentakkan pangkal telapak tangannya. Wuuugh...!
Tenaga dalam itu melesat tanpa sinar dan menghantam kerimbunan pohon.
Brusss...! Kraak...!
Grusaaak...!
Dahan pohon terkena pukulan
tenaga dalam dari jarak jauh. Dahan sebesar paha Singo Bodong itu patah dan
tumbang ke bawah. Tetapi dari pohon itu tak terlihat gerakan manusia berpindah
tempat.
Mendadak dari arah samping
kiri Tengkorak Terbang meluncur
kembali sebatang anak panah
dengan kecepatan tinggi, bagian ekor anak panah berhulu putih seperti
tadi.
Zlappp...!
Tebb...! Anak panah itu
berhasil ditangkap kembali oleh Tengkorak Terbang. Terlambat sedikit mengenai
lehernya. Segera anak panah itu dipatahkan dengan menggunakan satu tangan
meremas. Trakk...! Kemudian dibuang dengan sentakkan menggeram.
Sebuah pohon rimbun kembali
menjadi sasaran pukulan jarak jauh Tengkorak Terbang. Pukulan itu menghentak ke
pohon sebelah kirinya dan terdengar suara grusak yang keras dan bunyi gedebuk
yang sangat jelas. Tengkorak Terbang merasa pukulan jarak jauhnya mengenai
sasaran. Lawan pasti jatuh dari atas pohon, ia menunggu sesaat.
Tetapi sesosok bayangan putih
yang ditunggunya itu justru muncul dari sebelah kanan. Suaranya terdengar jelas
menyapa Tengkorak Terbang dengan kesan kalem.
"Aku di sini, Tengkorak
Terbang!"
Cepat-cepat Tengkorak Terbang
palingkan wajah. Mata cekungnya menatap sipit pada Dewa Racun yang bertubuh
pendek kerdil, berpakaian dari bulu binatang berwarna putih, celana pendeknya
pun berwarna putih bulu. Sementara di pinggangnya terselip dua pisau, dan di
punggungnya tanpa tempat panah, tanpa busur panah juga.
"Kudengar kau
memanggil namaku, Tengkorak
Terbang!"
"Karena aku tahu kau
memancing kemarahanku, Dewa Racun!"
"Kau salah duga,
Tengkorak Terbang!"
"Tidak. Aku tidak salah
duga!" sentak Tengkorak Terbang. "Aku kenal betul senjatamu itu,
panah pendek! Sesuai dengan tubuhmu yang kerdil!"
"Justru aku keluar dari
persembunyianku karena aku melihat ada orang menggunakan senjataku!"
"Omong kosongi Kau
bersekongkol dengan anak buah Siluman Tujuh Nyawa itu!"
"Salah!" sahut Dewa
Racun. "Kau tidak tahu bahwa aku telah kehilangan senjata saat perahuku
pecah! Busur dan anak panahku hilang entah ke mana, juga kedua teman yang
bersamaku hilang tak kutahu di mana. Hanya satu orang yang kutahu di mana
letaknya!"
"Kau ingin cuci tangan
dari persoalan ini, rupanya!" "Terserah apa katamu, yang
jelas...."
Belum selesai Dewa Racun
bicara, datang anak panah dari arah kiri Tengkorak Terbang. Zllappp...!
Kewaspadaan yang tinggi,
kepekaan kulit yang
tinggi, membuat Tengkorak
Terbang berkelebat ke samping dengan tangan mengibas karena merasa adanya
bahaya. Tebb...! Tangan itu cepat menangkap anak panah berbulu putih di
ekornya.
Cepat-cepat Tengkorak Terbang melayangkan pandangan matanya mengelilingi arah. Tapi tak ditemukan kecurigaan di mana-mana. Tempat meluncurnya anak panah yang baru
saja ditangkapnya itu, adalah arah depan dari tempatnya berdiri tadi. Sekarang
arah itu menjadi sebelah kirinya, karena Tengkorak Terbang berhadapan dengan
Dewa Racun yang muncul dari arah kanannya tadi.
"Bukankah ini anak
panahmu, Dewa Racun?!"
"Ya. Benar.
Tapi apakah kau melihat aku memanahkannya?"
Tengkorak Terbang diam sambil
menggeram. Anak
panah itu diremas dan patah
menjadi dua bagian. Trakk...! Lalu, dibuang lagi dengan gemas. Prukk...!
"Jika bukan
kau, lantas siapa
yang menggunakannya?"
"Mana aku tahu?"
"Pasti temanmu yang
berjuluk si Cakar Jatayu!" "Cakar
Jatayu tidak ikut dalam
perjalananku,
Tengkorak Terbang!" jawab
Dewa Racun dengan lancar, karena semalaman ia menghabiskan banyak ikan bakar
dan aroma ikan bakar masih ada di dalam mulutnya, sehingga bahasa gagapnya
hilang, belum tumbuh lagi. Apabila aroma ikan bakar hilang dari mulutnya, ia
akan bicara dengan gagap lagi, karena memang begitulah
keanehan yang dimiliki Dewa
Racun.
"Yang jelas, pemanahnya
memihak dirimu, Dewa
Racun!"
"Mungkin juga begitu.
Mungkin ia hanya ingin membebaskan tawanan yang akan kau gantung itu, Tengkorak
Terbang! Barangkali ia tahu, tawanan itu tidak punya dosa apa pun kepada
orang-orang Istana Cambuk Biru, sehingga ia merasa perlu
membebaskannya!"
"Persetan dengan
kesimpulanmu! Yang kutahu, panah ini milikmu, dan kamulah yang harus
bertanggung jawab!"
Ekor mata Dewa Racun sempat
melihat bayangan jatuh dari pohon. Orang yang turun dari pohon itu ada di
sebelah kanan Tengkorak Terbang. Jadi pada waktu pertama datangnya anak panah
ke arah Tengkorak Terbang, orang itu ada di belakang Tengkorak Terbang. Tapi
anehnya anak panah yang dilepaskan bisa berarah dari depan dan samping kiri
Tengkorak Terbang.
Dewa Racun tahu, orang yang
turun dan mengendap- endap pergi itu membawa busur dan beberapa anak panah
miliknya. Dewa Racun tidak mengejarnya, karena ia tahu orang berbaju coklat dan
bercelana putih itu tak lain adalah Suto Sinting, yang telah terpisah olehnya
sejak perahu mereka pecah di lautan. Rupanya Pendekar Mabuk yang menemukan busur
dan anak panah itu. Rupanya Pendekar Mabuk yang waktu itu ingin meraih tubuh
Dewa Racun agar jangan terbawa ombak, tak berhasil dan hanya bisa meraih busur
dan anak panah
yang ada di punggung Dewa
Racun.
Sebenarnya saat itu Dewa Racun
telah menemukan dua temannya yang terpisah sejak badai lautan kemarin malam, ia
ingin menemui kedua temannya itu, tapi suasananya tidak mengizinkan. Bahkan
ekor matanya tadi juga melihat gerakan isyarat dari Suto agar dia tetap
menghadapi Tengkorak Terbang, sementara Pendekar Mabuk berkelebat menuju ke
istana. Pasti Pendekar Mabuk akan membebaskan Singo Bodong, sebab nasib Singo
Bodong ada dalam tanggung jawabnya.
Hanya saja, Dewa Racun merasa
heran melihat gerakan panah Suto. Panah itu dilepaskan dari arah belakang
Tengkorak Terbang, tapi bisa meluncur ke sasaran dari arah depan Tengkorak
Terbang, atau dari arah kirinya. Berarti Pendekar Mabuk menggunakan cara
pantulan, di mana panah dilepaskan ke depan, membentur salah satu dahan
atau benda lainnya dan membalik dengan sama cepatnya ke arah lain. Sehingga.
Tengkorak Terbang sempat terkecoh beberapa kali dengan melepaskan pukulan
tenaga dalamnya ke arah depan, padahal lawan ada di belakangnya. Dewa Racun
merasa tak mampu melakukan pemanahan seperti itu, dan dia tak sangka bahwa
Pendekar Mabuk mempunyai cara sehebat itu.
Kepada Tengkorak Terbang, Dewa
Racun berkata, "Kalau kau menuntut tanggung jawabku, karena panah itu
milikku, lantas apa yang kau kehendaki dariku?"
"Kubawa kau menghadap
kepada Ratu Pekat sebagai tawananku!"
"Itu tak mudah, Tengkorak
Terbang," Dewa Racun tersenyum di balik wajah tuanya. "Kalau kau
ingin jadikan aku tawananmu, berarti kau harus tundukkan aku lebih dulu!"
"Seberapa sulit
menundukkan orang kerdil seperti kamu, ha?! Apakah kau tak sayang pada nyawamu
kalau sampai melayang lenyap karena tangan kurusku ini?!"
"Yang kusayangkan kalau
nyawamu sendiri yang minggat dari ragamu setelah mendapat satu jurus pukulan dariku,
Tengkorak Terbang!"
"Kecil-kecil bermulut
lebar kau, hah?!" geram
Tengkorak Terbang. "Belum
jera kau menderita pukulan
'Bayu Paksi'-ku?! Rasakan lagi
kalau kau belum jera, hiiaaah...!"
Tengkorak Terbang sentakkan
kaki dan tubuhnya meluncur ke arah Dewa Racun bagaikan terbang. Jarak yang
sepuluh langkah itu bisa dicapainya dengan cepat, dan pukulan 'Bayu Paksi'
menghantam wajah Dewa Racun. Pukulan itu datang secara beruntun, bertubi-tubi
dan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hampir tak bisa terlihat oleh mata
orang biasa kecepatan pukulan beruntun itu. Wuk wuk wuk...!
Tab tab tab tab tab...l
Bleggh...!
Pukulan 'Bayu Paksi' bisa
ditangkis oleh tangan Dewa Racun. Kalau dulu Dewa Racun terdesak menghadapi
pukulan itu dan sempat terkena dua pukulan cepat itu, tapi sekarang semua
pukulan dapat dilayani dengan kecepatan tangkisannya. Bahkan yang terakhir
Dewan
Racun sempat menyentakkan
kedua telapak tangannya ke dada Tengkorak Terbang. Sentakkan kedua telapak
tangan itu membuat Tengkorak Terbang terlempar ke belakang, dan jatuh berguling
satu kali.
"Bangsat kau!" geram
Tengkorak Terbang.
"Kuharap jangan kau
teruskan niatmu menjadikan aku tawananmu!" kata Dewa Racun yang sejak tadi
hanya berdiri tanpa bergeser sedikit pun dari tempatnya, ia melanjutkan
kata-katanya,
"Kalau kau teruskan, kau
akan mati. Jujur saja kukatakan padamu, bahwa sekujur tubuhmu telah penuh
racun! Pukulanku yang mengenai dadamu menyebarkan racun berbahaya ke dalam
jantung dan paru-parumu, Tengkorak Terbang. Sebentar lagi kau akan lumpuh! Dan
tangkisan-tangkisanku tadi membuat racun Rengas Tulang akan membuat seluruh tulangmu menjadi keropos!"
"Persetan dengan
bualanmu!" geram Tengkorak Terbang, ia segera sentakkan kedua tangannya ke
depan dalam keadaan menggenggam semuanya. Kedua kakinya merentang lebar dan
merendah. Sentakan itu cukup kuat, hingga menimbulkan gelombang pukulan tenaga
dalam jarak jauh yang amat besar. Woouugh...!
Tapi Dewa Racun cepat
sentakkan tangan kanannya ke kiri dengan badan sedikit merendah dan meliuk ke
kiri. Telapak tangannya yang sedikit terbuka itu mengeluarkan gelombang hawa
panas cukup besar.
Wuuuhg....!
Gelombang hawa panas bukan
hanya membentur
pukulan tenaga dalam Tengkorak
Terbang, melainkan juga menyingkirkan dari jalur arah yang menuju ke tubuh Dewa
Racun. Breeebeeehg...!
Bouuhg...! Kedua pukulan itu
beradu dan sama-sama menghantam ke tanah samping. Tanah itu seketika menjadi
cekung bagai ditumbuk oleh sebatang pohon sebesar gajah. Tengkorak Terbang
terkesiap melihat tanah cekung tanpa menyemburkan percikan pasir sedikit pun.
Jika bukan tenaga yang amat besar, tak mungkin membuat tanah cekung tanpa
menyemburkan percikan pasirnya.
"Hiaaat...!"
tiba-tiba Tengkorak Terbang meloncat ke depan dengan tubuh bagaikan terbang,
kedua tangannya siap menerkam tubuh kecil Dewa Racun.
Srepp...! Tubuh Dewa Racun
berhasil disergap dengan kedua tangan Tengkorak Terbang. Tapi pada saat itu
juga tubuh kerdil itu melesat ke atas bagaikan belut licin, dan bersalto di
udara dengan menggunakan kepala Tengkorak Terbang sebagai tempat kaki menjejak.
Kepala itu tersentak ke depan, membuat Tengkorak Terbang terpaksa berguling di
tanah berumput sebelum jatuh tersungkur.
Wuug, wuug...! Jleeg...!
"
Dewa Racun sudah mendaratkan
kakinya dengan
mantap, ia berdiri tanpa goyah
sedikit pun. Matanya memandang tajam pada Tengkorak Terbang, tangannya
menggenggam dalam keadaan tetap lurus ke bawah.
Tengkorak Terbang berdiri
dengan satu kaki berlutut
di tanah. Pandangan matanya
mulai terasa berkunang- kunang. Kepala pun terasa mulai memberat. Dipakai
menggeleng bagaikan kaku.
"Tengkorak Terbang,
kuingatkan sekali lagi, jangan nekat mau menangkapku sebagai tawanan! Kau telah
termakan oleh racun dari telapak kakiku tadi. Racun itu telah meresap masuk ke
dalam otakmu dan sebentar lagi akan membuatmu tak mampu mengangkat kepala!"
Tengkorak Terbang tidak menjawab, ia tarik napasnya dalam-dalam. Terasa
sakit dadanya untuk bernapas. Berat sekali tarikan napas itu hingga ia terpaksa
busungkan dada. Kemudian ia mencoba berdiri dengan limbung.
"Percayalah dengan
kata-kataku, Tengkorak Terbang! Racun akibat pukulanku itu telah bekerja
menyempitkan jantungmu, juga mengecilkan paru-paru-mu! Sedangkan racun Rengas
Tulang telah mulai menggerogoti tulang- belulangmu yang sebentar lagi akan membuatmu keropos! Hanya aku
yang bisa menawarkan racun-racun itu, Cakradanu!"
"Kau memang
jahanam!"
Kedua tangan Tengkorak Terbang
terangkat naik sampai di atas kepala, bentuk telapak tangannya merenggang kaku
dan melengkung ke bawah. Kedua telapak tangan itu mulai berasap tipis bagai
terbakar dari dalam.
Melihat hal itu, Dewa Racun
cepat rentangkan kedua tangannya ke samping kanan kiri dengan lurus, kedua
kakinya merapat. Telapak tangan Dewa Racun pun
mengeluarkan asap kekuning-kuningan.
Lalu, kedua kakinya yang rapat itu ditekuk ke depan bagian lututnya. Kedua
tangan bergerak terlipat sikunya hingga kedua telapak tangan yang menghadap ke
depan mendekati bagian dadanya.
"Kalau kau lepaskan
pukulan 'Karang Iblis', aku juga akan melepaskan pukulan 'Halilintar'-ku!"
ancam Dewa Racun.
"Baik! Kita adu pukulanmu
dengan pukulanku, siapa yang unggul. Salah satu dari kita pasti mati, atau
keduanya!"
"Aku tak keberatan!"
balas Dewa Racun, siap sentakkan kedua telapak tangan yang sudah berasap kuning
itu.
Tetapi, tiba-tiba seorang prajurit bersenjatakan tombak
berlari dan melompat ke pertengahan jarak antara Dewa Racun dengan Tengkorak
Terbang.
"Tahan...!
Tahan...!" serunya dengan panik. "Minggir kau, Pragulo!" teriak
Tengkorak Terbang. "Tahan, Tengkorak Terbang! Kau harus segera ke
istana! Ratu memanggilmu. Ada
bahaya besar di istana!" seru Pragulo.
Sesaat terpikir dalam otak
Tengkorak Terbang jabatannya sebagai panglima baru. Segera kedua tangan yang
siap melancarkan pukulan 'Karang Iblis' itu diturunkan. Tengkorak Terbang
pejamkan mata sejenak untuk meredam ilmu yang sudah hampir terlepaskan tadi. Dan
di sisi lain, Dewa Racun pun redamkan ilmu mautnya yang bernama 'Halilintar
Racun Bumi' itu.
Tengkorak Terbang masih
menyimpan dongkol dengan kemunculan Pragulo. Lalu, ia membentak, "Apa yang
terjadi di istana, ha?!"
"Lihatlah sendiri! Sangat mengerikan!" jawab
Pragulo.
"Aku harus cepat kembali,
Tengkorak Terbang!" Setelah berkata begitu, Pragulo pun segera berlari
kembali ke istana. Sementara
itu, Tengkorak Terbang palingkan pandang ke arah Dewa Racun dan berseru,
"Setelah kuselesaikan urusanku di istana, kita lanjutkan pertarungan ini!"
"Aku siap menunggumu
kapan saja, Tengkorak
Terbang!"
Tengkorak Terbang pun cepat-cepat sentakkan kakinya dan melesat bagaikan
terbang. Namun dalam jarak antara sepuluh langkah ia jatuh ke tanah dan
terkulai lemas, ia berusaha ingin bangkit, tapi jatuh lagi. Ia kerahkan
tenaganya untuk berdiri, baru mendapat separo bagian sudah jatuh lagi.
Dewa Racun segera melesat mendekatinya,
ia berdiri di depan Tengkorak Terbang dan memandanginya dengan senyum sinis,
senyum kemenangan. Tengkorak Terbang memandang dengan geram, karena ia tahu
kelumpuhannya itu akibat racun
yang berhasil dipukulkan ke
tubuhnya oleh Dewa Racun.
"Apa yang kukatakan tadi
bukan suatu gertakan semata, Tengkorak Terbang!" kata Dewa Racun.
"Kau akan lumpuh dan mati dalam keadaan jantungmu menjadi sebesar biji
salak!"
"Dewa Racun....'"
Tengkorak Terbang mengerang dalam geram kemarahan yang tak mampu berbuat
banyak. Bahkan untuk mengangkat tangannya pun mulai terasa sakit di seluruh
tulangnya.
"Buka mulutmu!" kata
Dewa Racun memerintahkan hal itu. Tengkorak Terbang tak mau buka mulut, ia
bahkan menggeletukkan giginya menahan luapan amarah.
"Buka mulutmu dan
kuberikan obat penawarnya!" bentak Dewa Racun. Tetapi Tengkorak Terbang
masih menatap dengan mata buas dan menggeletukkan gigi menahan rasa sakit di
sekujur tulangnya.
"Kau akan mati jika tak
mau menelan obat penawarku
ini!"
*
* *
5
ISTANA Cambuk Biru dilanda
bencana. Di sana-sini, darah membanjir, memercik pada dinding, dan mayat
tergeletak tak berbentuk lagi wajahnya. Mayat para prajurit pada umumnya pecah
di bagian kepalanya, seperti mendapat hantaman benda keras yang cukup besar.
Bahkan para penjaga di serambi istana yang berjumlah lima orang itu, tergeletak
semuanya bermandi darah tanpa nyawa lagi. Lantai marmer hitam digenangi darah
mereka. Dinding bermarmer abu-abu pun terkena percikan darah mereka.
Dewa Racun melihat keadaan itu
dari atas sebuah pohon, tak begitu jauh jaraknya dari benteng istana, ia
terperangah dan lama tak bisa mengedipkan mata menyaksikan pemandangan yang
mengerikan. Hampir satu persatu dari mayat yang ada di depan istana dipandangi
pakaiannya. Tak satu pun yang berpakaian mirip Suto, atau Singo Bodong. Dewa
Racun sedikit lega. Berarti kedua temannya itu tidak menjadi korban. Tapi
bagaimana jika mereka menjadi korban di dalam istana? Sebab di serambi samping
dekat jendela pun terdapat dua mayat tergeletak bertumpuk. Sebagian kaki mereka
ada di dalam. Itu menandakan di bagian dalam istana juga banyak mayat yang
bermandi darah, pecah kepalanya.
Bulu kuduk Dewa Racun berdiri,
ia yakin Tengkorak Terbang akan terpaku melihat pemandangan mengerikan itu.
Sayang sekali Tengkorak Terbang belum siuman sejak Dewa Racun membuka paksa
mulut orang itu dan memasukkan
segelintir
obat hitam mirip
kotoran kambing. Obat itu adalah penawar racun. Sengaja Dewa Racun tidak
membiarkan Tengkorak Terbang mati oleh racunnya, sebab banyak saksi mata yang
melihat pertarungannya dengan Tengkorak Terbang. Sedangkan Nyai Gusti Dyah
Sariningrum telah berpesan berulang- ulang, agar anak buahnya jangan membuat
perselisihan dengan orang-orang Pulau Beliung. Ada suatu siasat yang sudah
diatur oleh Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang Surgawi itu, yang membuat
ia dan anak buahnya harus menghindari perselisihan dengan orang-
orang Pulau Beliung.
Melihat pemandangan mengerikan
di mana darah mengalir membanjir di dalam maupun di luar istana, Dewa Racun
menjadi gelisah karena ia menemukan suatu dugaan.
"Jangan-jangan Pendekar
Mabuk yang melakukan pembantaian
seperti ini? Celaka kalau
dia yang melakukannya.
Padahal dia calon suami Nyai Gusti, sedangkan Nyai Gusti Dyah Sariningrum sudah
wanti- wanti untuk tidak bikin perkara dengan orang-orang Pulau Beliung.
Hmmm... kulihat Suto tadi memberi isyarat untuk menyusup ke istana. Aku tahu,
tujuannya adalah membebaskan Singo Bodong. Tapi haruskah dengan melakukan
pembantaian seperti ini?"
Zlabbb...! Crabb!
Sebuah anak panah menancap
pada batang pohon, tepat di depan hidung Dewa Racun. Hampir saja Dewa Racun
terjengkang jatuh dari pohon karena kagetnya. Dan kini ia segera mencabut anak
panah itu, yang ternyata adalah miliknya sendiri, ia cepat pandangkan matanya
ke arah datangnya anak panah. Ternyata di salah satu pohon tak jauh darinya
telah bertengger sesosok tubuh berpakaian coklat dan celana putih, berikat
pinggang merah sebagai tali pengikat tempat anak panah. Tempat anak panah itu
ada di dadanya, menyilang
ke kiri. Sedangkan
di punggungnya tersandang
bambu bumbung tuak yang menyilang ke arah kanan.
"Haram jadah! Si Suto
sudah berada di sana!
Hmmm...! Sebaiknya aku segera
mendekatinya!" pikir
Dewa Racun kegirangan.
Wuuut...! Dewa Racun melompat
dari dahan ke dahan tanpa menimbulkan suara, dan kejap berikutnya dia sudah
berada dekat Suto Sinting.
"Maaf, aku hanya bisa
selamatkan busur dan anak panahmu waktu kita terlempar dari perahu!" Suto
menyerahkan busur dan tempat anak panah kepada Dewa Racun.
"Iya. Tapi kau gunakan
anak panahku dengan ugal- ugalan! Aku jarang lepaskan anak panah kalau tidak
benar-benar dalam keadaan kepepet! Hmmm... yang berbulu putih tinggal
dua?!"
"Aku tadi hanya ingin
mengecohkan Tengkorak
Terbang dan membuat nyalinya
ciut sebentar."
"Kau juga yang memanah
tali gantungan Singo
Bodong?!"
"Ya. Tapi aku belum
berhasil membawa keluar Singo
Bodong dari dalam
istana!"
"Untung tak kau gunakan
anak panah berbulu merah ini!"
"Kenapa?
"Bisa meledak tali itu
dan kepala Singo Bodong bisa hancur seperti kepala mayat-mayat berserakan
itu!"
"Kebetulan saja yang
kuambil selalu yang berbulu
putih!" jawab Pendekar
Mabuk sambil tersenyum, lalu diambilnya bumbung tuak dan menenggak tuaknya beberapa
teguk.
"Suto, apakah bukan kau
yang melakukan
pembantaian itu?"
"Bukan!" jawab Suto
tegas. "Aku datang dalam keadaan mayat sudah bergelimpangan di sana-sini.
Aku sendiri heran melihatnya."
"Hmmm...," Dewa
Racun manggut-manggut setelah ia menyandang tempat anak panah dan busurnya di
punggung. Lalu, ia berkata seperti orang menggumam,
"Jika bukan kau, bukan
aku, lantas siapa yang melakukan pembantaian sebegitu kejinya? Apakah Singo
Bodong?"
"Itu yang kupikirkan
sejak tadi. Mungkinkah Singo Bodong
memberontak dengan kekuatan Dadung Amuk?!"
"Aku tak berani memberi
jawaban. Makin lama keberadaan Singo Bodong makin membuatku pusing
memikirkannya."
Pendekar Mabuk menenggak lagi
tuaknya beberapa kali, lalu ia ajukan tanya,
"Siapa sebenarnya
mereka-mereka itu, Dewa Racun? Aku tak sempat tahu persoalannya. Yang kutahu,
Singo Bodong telah berada di tiang gantungan. Lalu aku segera membebaskannya
dari maut!"
"Singo Bodong mereka
sangka Dadung Amuk. Menurut percakapan yang kusadap, ternyata Dadung Amuk
pernah membuat kerusuhan di Pulau Beliung ini dalam upayanya mencari Kitab
Wedar Kesuma...," Dewa Racun berhenti sejenak, alihkan percakapan,
"Hei, bagaimana dengan kitab itu, apa masih ada padamu?"
"Ada di punggungku, di
balik pakaianku!"
"Syukurlah! Aku khawatir
kitab itu hanyut. Hmmm. Apakah kitab itu basah?"
"Kelihatannya kitab ini
terbuat dari kulit yang anti
basah. Seperti dilapisi lilin
setiap permukaannya. Aku sudah memeriksanya begitu aku terdampar di pantai,
kemarin malam."
"Bagus. Aku ikut senang
mendengarnya."
"Lalu, soal
Pulau Beliung dan ratunya itu bagaimana?"
"Hmmm... begini!
Tengkorak Terbang menemukan Singo
Bodong terdampar di pantai, lalu dibawa menghadap kepada Ratu
Pekat...."
"Itu sudah kupahami. Yang
belum kupahami, siapa
Ratu Pekat itu?"
"Ratu Pekat adalah tokoh
tua yang menguasai Pulau Beliung ini. Dulu dia anak seorang tokoh sakti yang
bergelar Iblis Pulau Bangkai! Tentunya kau kenal nama itu."
"Ya. Dia lawan dari bibi
guruku, si Bidadari Jalang. Tapi dia sudah dibunuh oleh Bibi Guru. Iblis Pulau
Bangkai juga mempunyai murid
yang bernama Nagadipa,
tempo hari bertemu denganku hendak menuntut balas." (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").
"Ya. Benar. Tetapi, Iblis
Pulau Bangkai lebih sayang kepada murid lelakinya itu, sehingga Ratu Pekat
minggat dari Pulau Bangkai dan mengasingkan diri di sini! Tapi ia mencuri satu
dari dua kitab milik ibunya. Di sinilah akhirnya ia berkuasa sebagai ratu
penguasa Pulau
Beliung."
"Tapi, kulihat tadi
sepertinya Tengkorak Terbang sudah mengenal namamu. Apakah ada hubungan antara
orang-orang Pulau Beliung ini dengan orang-orang Pulau Serindu?"
"Hubungan yang terjalin
adalah permusuhan." "Oh...?!" Pendekar Mabuk
terkejut sedikit.
"Permusuhan bagaimana
maksudmu?"
"Ratu Pekat ingin merebut
Pulau Serindu. Mereka pernah menyerang ke sana. Kami hampir terdesak mundur.
Tapi, Siluman Tujuh Nyawa muncul dan memihak kami. Ratu
Pekat terusir pulang
ke kandangnya. Sejak itu, mereka tak berani menyerang Pulau Serindu,
karena merasa tak mungkin bisa berhasil selama Siluman Tujuh Nyawa berada di
pihak kami. Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa
memanfaatkan pertarungan kami untuk mencari jasa dan unjuk kesaktian di
depan nyai gustiku. Dengan begitu, nyai gustiku berhutang jasa pada Siluman
Tujuh Nyawa. Tapi Nyai Gusti tidak pernah mau peduli tentang pembelaan Siluman
Tujuh Nyawa itu. Karenanya, kami dilarang bikin persoalan dengan orang-orang
Pulau Beliung ini, supaya Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa tidak menanam
jasa lagi pada kami."
"Hmmm... begitu!"
Suto manggut-manggut, lalu mengambil bumbungnya dan menenggak tuaknya lagi.
Pada saat itu, terlihat oleh
mereka kedatangan Tengkorak Terbang yang segera memandang keadaan sekeliling
dengan tegang. Mata cekungnya terbuka lebar,
napasnya naik turun bagai
ingin meledak dari dadanya. Tengkorak Terbang telah pulih dan terhindar dari
racun maut yang nyaris mematikannya itu.
"Itu orang yang kau lawan
tadi," kata Pendekar
Mabuk.
"Ya. Kuharap kau diamlah
dulu. Aku akan menyadap percakapan Tengkorak Terbang dengan Pragulo."
Suto diam,
memandang pertemuan Tengkorak Terbang dengan orang yang
disebut Pragulo itu. Sementara
Dewa Racun tempelkan kedua jari telunjuknya di pelipis kanan kiri, lalu
matanya tetap memandang kedua orang yang berbicara di depan serambi istana.
"Mengapa bisa sampai
begini, Pragulo?! Siapa yang melakukannya, hah?! Siapa?!"
"Aku tak melihat siapa
orangnya! Tapi menurut
pengakuan Damar Jati sebelum
ia menghembuskan napas terakhir, seseorang telah melesat lewat di dekatnya,
tangan orang itu bergerak ke mana-mana sambil melompat dengan cepat. Lalu,
tiba-tiba beberapa orang jatuh dengan kepala mengucurkan darah. Damar Jati segera
menutup hidung karena mencium bau hangus. Tapi sekujur kepalanya terasa panas,
ia bertahan memburu orang itu, tapi tak berhasil. Orang itu telah membawa lari
Cempaka Ungu, dan sekarang sedang dikejar oleh Ratu Pekat bersama si Mata
Elang."
"Tawanan kita
bagaimana?"
"Dia sudah dimasukkan
dalam ruang bawah tanah oleh si Mata Elang. Sekarang masih ada."
"Kau sendiri ada di mana
waktu kejadian ini, hah?!" "Aku... aku... aku sedang buang hajat di
belakang
kamar mandi! Waktu aku datang
kemari, keadaan sudah
menjadi seperti ini. Dan, aku
mendapat cerita itu dari Damar
Jati, yang segera
menghembuskan napas
terakhirnya."
"Edan semua!" geram
Tengkorak Terbang. "Orang satu istana dibantai habis! Setan mana yang
bikin perkara ini?!"
"Seb... sebaiknya, susul
saja Ratu Pekat bersama si
Mata Elang. Dia lari ke arah
barat!"
"Dia siapa?!" bentak
Tengkorak Terbang.
"Orang yang mencuri
Cempaka Ungu itu!" jawab Pragulo dengan tegangnya. Dan tiba-tiba tangan Tengkorak Terbang
melayang cepat menamparnya.
Plokk...!
Dewa Racun segera menceritakan
percakapan yang disadapnya kepada Suto. Kemudian ia menambahkan kata,
"Orang berkelebat sambil menggerak-gerakkan tangan dan menimbulkan
bau hangus, itu pertanda orang tersebut menebarkan racun yang amat ganas. Bila
dihirup oleh seseorang, racun itu terbawa melalui napas dan membuat hancur
pembuluh darahnya khusus di bagian kepala. Karena itu mayat-mayat tersebut
pecah kepalanya, bahkan ada yang sampai tak berbentuk lagi wujudnya. Sedangkan
bagian tubuh mereka tampak masih utuh."
"Hmmm...! Ya, aku paham
cara kerjanya. Tapi,
menurutmu siapa tokoh penebar
racun yang begitu keji itu?"
"Setahuku, racun itu
adalah racun Angin Jantan."
"Nama yang cukup
aneh," gumam Suto. Ia meneguk tuaknya kembali.
"Hanya ada tiga orang
yang memiliki racun Angin
Jantan, yaitu orang yang
berjuluk si Darah Beku." "Siapa itu Darah Beku?"
"Tokoh sakti di ujung
tanah Tiongkok, kemudian yang kedua adalah orang yang berjuluk Gagak
Neraka."
"Siapa itu Gagak
Neraka?" potong Pendekar Mabuk. "Pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa.
Dan yang
ketiga...," Dewa Racun
berhenti sejenak, menatap ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan di pelataran
Istana Cambuk Biru itu. Melihat berhentinya kata-kata Dewa Racun, Suto segera
mendesak dengan berbisik,
"Siapa yang ketiga?"
"Aku sendiri!' jawab Dewa
Racun dengan tanpa memandang Suto.
"Kau memiliki ilmu racun
Angin Jantan...?!"
"Ya. Tapi bukan aku
pelaku pembantaian berdarah itu!"
"Jadi menurutmu siapa?
Siapa pula yang menculik
Cempaka Ungu?"
"Tak mungkin orang itu
adalah Darah Beku, sebab dia tidak punya urusan dengan orang-orang Pulau
Beliung dan orang-orang Pulau Serindu."
"Jadi menurutmu, orang
yang mencuri anak Ratu
Pekat itu adalah Gagak
Neraka?"
"Ya. Aku menduga dialah
pelakunya." "Mengapa hal itu ia lakukan?"
"Entah. Tapi bisa jadi
karena ia cinta kepada
Cempaka Ungu!"
"Cinta?!" Suto
Sinting tertawa pendek dan pelan. "Bosan aku mendengar orang bercinta!
Karena cintaku sendiri belum tiba pada tujuannya."
"Itu hanya kemungkinan
yang ada padaku, Suto. Tapi untuk lebih jelasnya, kita susul saja mereka ke
arah barat!"
Tiga teguk tuak ditelannya
lebih dulu, setelah itu Pendekar Mabuk melesat pergi mengikuti Dewa Racun.
Tujuannya untuk membebaskan Singo Bodong menjadi tertunda, karena rasa
penasaran ingin mengetahui siapa pelaku pembantaian berdarah di Istana Cambuk
Biru itu, dan apa tujuan orang tersebut.
Di bagian barat pulau itu,
terdapat sebuah bukit karang tanpa tanaman sedikit pun kecuali lumut pada tebingnya.
Bukit karang itu mempunyai bebatuan karang yang bertonjolan di sana-sini,
seperti patok-patok makam raksasa. Di atas bukit karang itulah Ratu Pekat dan
si Mata Elang mengejar orang yang mencuri Cempaka Ungu. Pada saat itu, Cempaka
Ungu terkulai tak jauh dari kaki seorang berpakaian abu-abu muda, agak
keputih-putihan, ia mengenakan sabuk hitam besar dengan hiasan kepala burung
gagak di perutnya. Tubuhnya agak besar, tapi masih kalah besar dengan Singo
Bodong. Di kedua pinggangnya terselip piringan logam baja yang tipis separo
lingkaran. Bagian yang
lurus dari piringan itu
berbentuk rata, tapi punya lubang besar untuk memasukkan keempat jarinya,
sedangkan bagian yang lengkung bergerigi tajam. Piringan itu menyerupai kipas yang
terbuat dari baja. Besar ukurannya sebesar kipas biasa.
Warnanya putih
mengkilap.
Orang itulah
yang berjuluk Gagak Neraka. Rambutnya panjang berwarna hitam
kelam sebatas punggung. Diikat dengan ikat kepala dari kulit buaya berwarna
abu-abu juga. Usianya antara empat puluh tahun, sehingga masih tampak tegar dan
tegap. Kedua pergelangan tangannya mengenakan gelang kulit dari kulit buaya.
Rupanya ia telah menotok jalan
darah Cempaka Ungu, sehingga gadis itu tak bisa berkutik sedikit pun. Hanya
matanya yang berkedip-kedip dengan keadaan tubuh terbaring lunglai.
Si Mata Elang tetap berdiri di
samping Ratu Pekat yang segera bicara kepada Gagak Neraka.
"Apa maksudmu menyerang
kami?! Jangan bikin persoalan dengan kami kalau kau ingin pulang tetap membawa
nyawamu!"
"Ratu Pekat! Kau yang
bikin persoalan lebih dulu, sehingga aku terpaksa bertindak. Putrimu yang
tinggal satu ini yang akan menjadi penebus kesalahanmu, Ratu Pekat!" kata Gagak Neraka dengan suara besar.
Wajahnya yang lonjong menampakkan kesan bengis dan tak kenal ampun.
"Apa kesalahanku, Gagak
Neraka?! Bukankah kau
yang bikin gara-gara dengan
membantai habis anak buahku dan menculik putriku, si Cempaka Ungu?!"
"Karena kau menawan
orangku, maka aku bikin ulah
seperti itu!" sentak
Gagak Neraka dengan mata tajam.
"O, jadi kau menghendaki
Dadung Amuk yang menjadi tawananku itu, Gagak Neraka?!"
"Ya! Lepaskan dia nanti
kulepaskan putrimu ini!"
"Manusia licik dan
pengecut!" sentak si Mata Elang tiba-tiba.
"Tutup mulutmu, Mata
Elang!" Gagak Neraka menuding, dan tiba-tiba melesat sinar merah dari
ujung telunjuknya. Zuuut...! Sinar itu melesat cepat menuju ke tubuh si Mata
Elang.
Tapi dengan cepat, bola mata
si Mata Elang itu menjadi merah membara, lalu sebuah sinar merah pula melesat
dari kedua matanya. Zlasss...!
Crub, bummm...!
Kedua sinar merah itu beradu
di udara, dan menimbulkan ledakan yang tidak kecil. Gagak Neraka sempat
terguncang tubuhnya demikian pula si Mata Elang. Tapi keduanya tetap sama-sama
berdiri di tempat masing-masing dalam jarak delapan langkah.
Ratu Pekat serukan kata lagi,
"Ketahuilah, Gagak Neraka...! Temanmu Dadung Amuk telah banyak menimbulkan
korban di tempatku, gara-gara mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma. Sepantasnya
kalau dia kutangkap dan kujatuhi hukuman gantung! Berarti dari pihakmu dulu
yang membuat keonaran di pulauku ini, Gagak Neraka!"
"Kalau kau menyerahkan
kitab itu, maka kami tak akan bikin keonaran apa pun!" debat Gagak Neraka
dengan senyum sinisnya.
"Kau salah alamat! Bukan
di sini tempatnya mencari Kitab Pusaka Wedar Kesuma! Kau telah berbuat ngawur,
Gagak Neraka! Itu menunjukkan kebodohan dari pihakmu!"
"Terserah apa katamu,
Ratu Pekat! Yang jelas, anakmu ini akan kujadikan pemuas gairah teman-teman
kapalku, jika Dadung Amuk tidak kau serahkan padaku!"
"Manusia
haraaam....'" geram Ratu Pekat dengan tangan menggenggam kuat-kuat. Matanya mulai memancarkan murka yang hampir
tak tertahan lagi.
"Serahkan Dadung Amuk itu
kepadaku, atau kubawa pergi
putrimu
ini!" ulang Gagak
Neraka dalam ancamannya. "Bila kau serang aku, akan kuhantamkan
pukulan mautku ke kepala anakmu. Pasti pecah, Ratu Pekat! Ha ha ha ha...!"
Si Mata Elang ingin menyerang,
tapi ditahan oleh Ratu Pekat demi keselamatan Cempaka Ungu. Bahkan kedatangan
Tengkorak Terbang pun segera dihadang oleh Ratu Pekat agar tidak turun tangan
secara gegabah.
Tetapi Tengkorak Terbang
menggeram dan berkata, "Saya mampu membunuhnya, Ratu! Biarkan saya
menyerangnya!"
*
* *
6
RATU Pekat bukan orang bodoh,
ia tidak mau korbankan anaknya yang tinggal satu-satunya itu demi
mempertahankan tawanannya. Sebab itu, Ratu Pekat tetap melarang keinginan Tengkorak Terbang menyerang Gagak Neraka.
Salah-salah anaknya bisa jadi korban.
"Bebaskan Dadung
Amuk!" perintah Ratu Pekat.
Si Mata Elang dan Tengkorak
Terbang sama-sama lemparkan pandang pada Ratu Pekat. Si Mata Elang berkata
dalam bisik,
"Yakinkah keputusan Nyai
itu benar?" "Ya. Aku tak mau kehilangan anak lagi."
"Mengapa bukan Tengkorak
Terbang yang Nyai percaya untuk mengatasi hal ini?!" Si Mata Elang makin
membisik, jarak wajahnya dengan Ratu Pekat cukup dekat. "Bukankah
Tengkorak Terbang sudah memiliki ilmu 'Lebur Samudera', yang telah membuat
Dadung Amuk tak berdaya karena hilang kesaktiannya?! Biarkan saja Tengkorak
Terbang yang melancarkan pukulan
'Lebur Samudera' kepada Gagak
Neraka. Biar orang itu pun mengalami nasib seperti Dadung Amuk, Nyai!"
"Itu bisa diatur nanti,
Mata Elang. Yang penting sekarang selamatkan dulu anakku, setelah itu baru
Tengkorak Terbang menyerang si Gagak Negara dengan pukulan 'Lebur Samudera'-nya!"
"O, begitu maksud,
Nyai?"
"Ya. Dan sekarang, cepat
ambil tawanan kita, tukar dengan Cempaka Ungu!"
"Baik, Nyai Ratu!"
kata si Mata Elang dengan penuh hormat sebagai lambang kepatuhannya.
Pada salah satu sisi, di balik
jajaran batu-batu karang
yang membentuk barisan mirip
pagar berbunga itu, terpancang sorot pandangan dari dua pasang mata manusia.
Kedua manusia itu bersembunyi di sana memperhatikan percakapan dan pertemuan Gagak Neraka dengan Ratu Pekat. Siapa
lagi pengintai itu jika bukan Dewa Racun dan Pendekar Mabuk, si murid sinting
Gila Tuak; Suto!
Dengan sedikit merendahkan
badan, Suto masih sempat menenggak tuaknya. Glek, glek, glek. Cukup tiga kali
teguk. Bumbung tuak kembali disandangnya di punggung. Sementara itu, Dewa Racun
tertawa dengan mulut dibekap pakai tangan sendiri.
"Ada apa...?"
"Ratu Pekat
menyangka Tengkorak Terbang mempunyai ilmu 'Lebur
Samudera'! Karena mereka sangka, Singo Bodong adalah Dadung Amuk yang ilmunya telah
hilang musnah karena pukulan 'Lebur Samudera'. Hi hi hi hi...!"
"Apanya yang lucu?"
Suto bahkan tampak bingung. "Mereka tidak tahu, bahwa orang yang mereka
tangkap itu Singo Bodong yang
tidak punya ilmu apa- apa."
"Siapa tahu dugaan mereka
benar, bahwa Singo
Bodong itu memang Dadung
Amuk."
"Tidak, tidak!"
potong Dewa Racun. "Kita tidak perlu memikirkan hal itu, Suto, karena yang
penting adalah
menyelamatkan dia; orang besar
yang polos dan bodoh itu, terlepas siapa dia sebenarnya, entah Singo Bodong
atau Dadung Amuk."
"Ya, begitu saja!"
jawab Suto sambil mengangguk tegas.
"Lalu, bagaimana? Apakah
kita mau turun tangan sekarang juga atau...?"
"Tunggu, sampai Singo
Bodong diserahkan kepada Gagak Neraka, baru kita rebut darinya. Dengan begitu,
kita tidak membuat perselisihan dengan orang-orang Pulau Beliung ini. Yang kita
serang adalah orangnya Siluman Tujuh Nyawa."
"O, ya. Benar! Tepat
sekali perhitunganmu!" kata Dewa Racun sambil tunjukkan jempolnya tanda
memuji. "Selama aku berhadapan dengan Gagak Neraka, kau
tak perlu ikut campur. Tapi
awasi saja gerak-gerik si Mata Elang atau Tengkorak Terbang. Aku curiga mereka
bisa melakukan kecurangan terhadap apa pun dan terhadap siapa pun."
"Ya, ya...! Aku paham.
Bahkan sekarang pun rasa- rasanya aku perlu mengawasi si Mata Elang dalam
membawa Singo Bodong kemari. Aku takut dia melakukan kelicikan terhadap diri
Singo Bodong."
"Itu juga baik!"
jawab Suto, kemudian dia biarkan Dewa Racun bergegas pergi meninggalkannya.
Pendekar Mabuk sendiri segera beringsut dari tempatnya, mencari persembunyian
yang lebih dekat lagi.
Entah apa saja yang
dipercakapkan antara Ratu Pekat dengan Gagak Neraka, Suto tak mendengar. Yang
jelas
ia menunggu saatnya bergerak
setelah Singo Bodong diserahkan kepada Gagak Neraka.
Pada saat itu, Pendekar Mabuk
berpikir, "Dari mana
Gagak Neraka tahu bahwa di
pulau ini temannya si Dadung Amuk akan menjalani hukuman gantung? Apakah dia
sudah lama bersembunyi di pulau ini? Walaupun ternyata orang yang dianggap
Dadung Amuk itu bukan teman sebenarnya, tapi setidaknya ia melihat dan tahu
ciri-ciri tawanan yang akan dihukum gantung itu. Atau, barangkali memang Singo
Bodong adalah Dadung Amuk, dan hanya Gagak Neraka-lah yang tahu persis siapa
orang bertubuh tinggi besar berwajah angker tapi bodoh itu. Ya, ya... kurasa
Singo Bodong memang Dadung Amuk, sebab Gagak Neraka sampai mau menjemputnya
kemari, dan mau bertindak sekeji itu demi menyelamatkan temannya. Jika Singo
Bodong bukan Dadung Amuk, tak mungkin Gagak Neraka mau turun tangan sampai
menggunakan pukulan 'Racun Angin Jantan'?!"
Saat yang ditunggu tiba. Singo
Bodong siap ditukar dengan Cempaka Ungu. Pendekar Mabuk menyiapkan diri untuk
bergerak sewaktu-waktu. Sementara itu, Gagak Neraka pun melirik kanan-kiri,
memeriksa keadaan sekelilingnya, ia tak mau terkecoh karena penukaran yang
gagal.
"Lepaskan Cempaka
Ungu!" perintah Ratu Pekat. Gagak Neraka menjawab," Serahkan dulu dia
padaku,
dan kuserahkan Cempaka Ungu
padamu!"
Ratu Pekat memandang penuh
selidik. "Kalau kau
curang, kulabrak kau sampai di
depan Siluman Tujuh Nyawal Kuhancurkan semua orang-orangmu! Tentunya aku tidak
sendirian, Gagak Neraka! Aku masih bisa punya kekuatan lebih besar lagi dengan
meminta bantuan kepada teman-temanku yang kukenal!"
"Ha ha ha...! Percayalah
pada Gagak Neraka, Ratu Pekat! Kita bertukar tawanan secara ksatria! Kalau kau
curang, aku pun bisa menenggelamkan pulau ini!"
"Baik!" jawab Ratu
Pekat. Kemudian ia berikan isyarat kepada si Mata Elang. Mata Elang pun segera
melepaskan Singo Bodong dan mendorong tubuh besar itu, hingga Singo Bodong
berhenti ke depan hampir jatuh. Tetapi, setelah itu Singo Bodong berhenti dalam
kebingungan, ia justru memandangi si Mata Elang, Tengkorak Terbang, dan Ratu
Pekat.
"Pergilah sana, Babi!
Jangan buang-buang waktu!" sentak si Mata Elang dengan kasar kepada Singo
Bodong.
"Pergi... pergi ke mana?'
Singo Bodong bingung, kesan yang timbul ialah, bahwa ia tidak tahu masalah
apa-apa tentang penukaran tawanan itu.
Terdengar Gagak Neraka
berseru, "Dadung Amuk, cepatlah kemari!"
Singo Bodong memandang Gagak
Neraka dengan dahi berkerut. Bahkan kepalanya sempat dimiring- miringkan sedikit untuk
mengenali suara yang
memanggilnya itu.
"Cepat kemari, Dadung
Amuk!" seru Gagak Neraka tak sabar.
"Siapa... siapa orang
itu, Tengkorak Terbang?" tanya Singo Bodong kepada Tengkorak Terbang,
karena ia lebih akrab dengan nama tersebut. Dan hal itu membuat Tengkorak
Terbang serta yang lainnya merasa heran.
"Ternyata dia tidak
mengenali teman sendiri," pikir Tengkorak Terbang. "Tak mungkin
Dadung Amuk sampai saat ini masih berpura-pura bodoh. Bukankah dia sudah ada
temannya untuk melakukan penyerangan terhadapku?"
Sementara itu, terdengar
kasak-kusuk antara si Mata
Elang dengan Ratu Pekat. Sang
Ratu berbisik,
"Lihat kehebatan ilmu
'Lebur Samudera'. Bukan saja menghilangkan semua ilmu dan kesaktian lawan, tapi
juga menghilangkan ingatan lawan. Sampai-sampai Dadung Amuk tidak mengenali
Gagak Neraka."
"Begitu hebatnya ilmu
yang dimiliki Tengkorak
Terbang!" bisik si Mata
Elang.
"Dadung Amuk!"
panggil Gagak Neraka kepada Singo Bodong. Tapi Singo Bodong hanya memandang
bingung pada keadaan sekeliling.
Tengkorak Terbang tak sabar.
Ia segera mencekal lengan Singo Bodong dan menariknya, membawa mendekati Gagak
Neraka. Dalam jarak dua langkah, Tengkorak Terbang berhenti.
"Ambillah orang ini, dan
akan kuambil Cempaka
Ungu!"
Gagak Neraka melompat maju,
menyambar lengan Singo Bodong, ia melangkahi tubuh Cempaka Ungu. Lalu, berkata
kepada Tengkorak Terbang, "Ambil dan
bawalah pulang gadis
itu! Aku sudah
tidak membutuhkannya lagi!"
Tengkorak Terbang segera mengangkat tubuh
Cempaka Ungu yang masih
tertotok jalan darahnya itu, lalu selekasnya tinggalkan tempat tersebut,
bergabung kembali kepada Ratu Pekat. Sang Ratu sentakkan satu jari tengahnya ke
bagian belakang telinga Cempaka Ungu. Seketika itu, totokan jalan darah menjadi
bebas dan Cempaka Ungu hembuskan napas lega.
Terdengar Gagak Neraka tertawa
sambil berkata, "Aku tahu.... Aku tahu kau memang jago untuk hal ini,
Dadung Amuk! Sebaiknya mari kita tinggalkan pulau ini dan jangan usik mereka
lagi!"
"Kamu siapa?"
terdengar pula suara Singo Bodong bernada heran.
"Sudahlah, jangan
main-main lagi!" kata Gagak
Neraka sambil menepuk-nepuk
pundak Singo Bodong. "Mari pulang, Sobat!"
"Pulang ke mana?!"
Singo Bodong menolak tarikan tangan Gagak Neraka. Ia kerutkan dahi semakin
tajam.
Saat itu pula dalam hati Suto
berkata, "Kalau begitu,
dia memang bukan Dadung Amuk!
Bukan! Kalau dia Dadung Amuk yang punya ilmu cukup tinggi itu, pasti dia akan
serang balik kekuatan Ratu Pekat bersama-sama Gagak Neraka! Bukankah Gagak
Neraka hanya seorang diri mampu membuat istana berlumur darah dalam sekejap.
Tentunya bersama Dadung Amuk dia bisa bikin habis keempat nyawa di pihak Ratu
Pekat. Tapi mengapa Singo Bodong semakin bingung melihat dan
mendengar ajakan Gagak Neraka?
Itu sudah pasti, sebab
Singo Bodong bukan Dadung
Amuk!"
Semangat Pendekar Mabuk untuk
selamatkan Singo Bodong semakin tinggi. Tetapi ia tetap tidak mau gegabah dalam
bertindak. Karena pada saat itu, ia melihat seberkas sinar merah keluar melesat
dari sepasang mata milik si Mata Elang. Sinar itu melesat ke arah Gagak Neraka.
Tetapi dengan cepat Gagak Neraka sentakkan kaki dan melompat tinggi selamatkan
diri. Sinar merah itu menerpa seonggok batu karang, dan seketika itu pula batu
karang sebesar dua kali tubuh Singo Bodong itu pecah berantakan.
Duaaar...!
"Auuh...!" terdengar Singo Bodong mengaduh, karena pecahan karang
itu ada yang melesat dan mengenai tulang kering kakinya. Singo Bodong meringis
kesakitan sambil memegangi kaki.
"Dadung Amuk, serang
mereka!" teriak Gagak Neraka sambil melompat kembali dan sentakkan tangan
kanannya ke depan. Wuuush...! Tangan kanan itu melepaskan pukulan bersinar
putih. Melesat ke arah tubuh si Mata Elang yang berpakaian serba merah.
Tapi, Mata Elang pun cepat
sentakkan kaki dan melompat ke samping dengan lincahnya. Sementara itu, Singo
Bodong masih mengaduh-aduh dengan suara tertahan. Tulang kering kakinya
melepuh. Memar membiru.
"Kau mau main curang,
Ratu Pekat! Kau pikir aku belum siap?!" seru Gagak Neraka.
Sreet...! Sreet...! Gagak Neraka
mencabut senjata bergeriginya.
Dua tangannya telah menggenggam senjata lempengan baja putih.
Kedua tangan itu bergerak menyilang bolak-balik, dan cahaya kemilau dari baja
putih itu memancarkan sinar berganti-ganti warna.
Pada saat itu, Tengkorak Terbang segera meluncurkan tubuhnya
bagai melayang menuju ke arah Singo Bodong. Tetapi, dua senjata bergerigi itu
segera digesekkan di atas kepala oleh Gagak Neraka.
Zrengngng...!
Gesekan dua logam itu
menimbulkan nyala sinar merah bagai lahar gunung berapi. Sinar itu menyembur ke
arah Tengkorak Terbang dengan sangat cepatnya. Wuuuut...!
Hampir saja sinar itu mengenai
pinggang Tengkorak Terbang jika tidak segera dihantam oleh kibasan tangan si
Mata Elang yang mengeluarkan cahaya biru muda. Sinar keduanya membentur dalam
jarak satu depa dari tubuh Tengkorak Terbang.
Blarrr...!
Kedua sinar yang berbenturan
menimbulkan suara berdentum keras.
Dentuman itu membuat satu gelombang tenaga yang
menghentak begitu besarnya, sehingga tubuh Tengkorak Terbang yang sedang melayang itu terpental
tak tentu arah dan jatuh dengan punggung membentur salah satu dinding batu
karang. Bluuuk...! Breeg...! Tubuh Tengkorak Terbang jatuh ke tanah dalam
keadaan menahan napas. Orang akan menyangka salah satu tulang Cakradanu pasti
ada yang
patah. Tapi nyatanya tidak.
Cakradanu kembali tegak dengan mata liarnya.
"Biadab orang itu!"
geram Cempaka Ungu. Ia mau
bergerak, tapi tangan ibunya
menghadang di depannya, menahan gerakan selanjutnya.
"Aku ingin menghadapi
orang itu, Bu!"
"Jangan! Dia bukan lawanmu! Sebaiknya kita menjauh dulu. Biarkan Tengkorak
Terbang dan si Mata Elang yang menanganinya!"
"Dadung Amuk! Bantu aku
menyerang mereka, Tolol!" teriak Gagak Neraka kepada Singo Bodong. Tetapi
Singo Bodong justru melangkah mencari tempat untuk berlindung dengan kaki pincang.
Si Mata Elang cepat gerakkan
kedua tangannya menghantam ke depan. Pukulan jarak jauh dilepaskan. Tapi Gagak
Neraka melompat dan bersalto di udara. Rupanya itu pancingan saja buat si Mata
Elang. Dengan cepat, dari sinar matanya melesat cahaya merah membara.
Suuuut...! Duaaar...!
Tubuh Gagak Neraka terpental.
Sinar merah itu ditangkisnya dengan senjatanya. Akibatnya, tubuh yang melayang
itu bagai terkena dorongan sangat kuat, hingga tubuh itu terhempas dan jatuh di
depan Tengkorak Terbang.
Segera Tengkorak Terbang mencabut senjata cakranya, yang berbentuk
gerigi juga tapi bertangkai panjangnya satu hasta. Senjata cakra itu dikibaskan
seperti membabatkan pedang,
dan meluncurlah api warna-warni itu melesat menghantam tubuh Gagak Neraka.
Zrengngng...! Dua senjata
Gagak Neraka digesekkan dengan cepat. Gesekan itu menimbulkan nyala api putih
menyilaukan dan membentuk perisai segi empat yang cukup besar. Akibatnya,
kekuatan tenaga dalam yang meluncur dari senjata cakra itu tertahan oleh cahaya
putih menyilaukan tersebut. Duuub...! Dan akhirnya membalik menyerang
pemiliknya. Wuuus...!
Tengkorak Terbang segera
sentakkan kaki dan melompat di udara dengan bersalto dua kali. Sinar
warna-warni itu menghantam batu
karang di belakangnya. Buubh...!
Batu karang putih itu
tiba-tiba menjadi hitam dan mengepulkan asap selintas. Asap lenyap, batu karang
hitam itu menjadi rapuh, dan berwujud debu sisa pembakaran. Debu itu segera
lenyap dihempaskan angin.
Singo Bodong terbengong-bengong. Pertarungan hebat seperti inilah yang sejak
dulu ingin ia saksikan. Karenanya, Singo Bodong menjadi girang hatinya dan
tiada hentinya mengikuti kedahsyatan ilmu-ilmu mereka dengan mulut melongo,
lupa pada sakit di kakinya.
Sementara itu, mata Singo
Bodong cepat membelalak lebar ketika tubuh si Mata Elang melenting tinggi
dengan gerakan bersalto satu kali. Kaki Mata Elang menjejak telak tengkuk
kepala Gagak Neraka yang sedang
menghadapi serangan Tengkorak Terbang. Akibatnya, Gagak Neraka
tersentak ke depan dan
berguling di bebatuan dengan
menggunakan dua senjata piringnya itu sebagai tumpuan di tanah. Dalam kejap
berikutnya tubuh itu
sudah kembali tegak dan mengibaskan tangan kanannya dari kiri
ke kanan. Wuuut...! Brett...!
Tubuh Tengkorak Terbang yang
sedang menyerang ke tempat kosong akibat terjungkalnya Gagak Neraka itu,
menjadi sasaran empuk bagi senjata di tangan kanan Gagak Neraka. Pinggang kurus
terbungkus kulit itu pun robek tercabik. Panjangnya dari pinggang sampai ke
dekat ketiak.
Tengkorak Terbang tersentak
saat itu. Ia jatuh berlutut dan memegangi lukanya yang amat sakit. Luka itu
ternyata bergerak makin lebar, makin lebar lagi, dan terus bergerak melebar
dengan sendirinya. Jika bukan karena racun yang ada di gerigi senjata Gagak
Neraka, tak mungkin luka itu bergerak melebar.
Si Mata Elang semakin gusar
melihat Tengkorak Terbang terluka. Ia segera melompat dan mencabut pedangnya
yang pendek itu dari sarungnya. Sreeet...!
"Mampus kau,
Jahanaaam...!" teriak si Mata Elang. Traang...! Pedang dikibaskan, tapi
ditangkis oleh
Gagak Neraka dengan senjata di
tangan kirinya. Pedang itu menyelip di antara gerigi senjata itu. Posisi Gagak
Neraka dalam keadaan setengah berlutut, ia melihat sasaran empuk di betis Mata
Elang, maka dengan cepat ia kibaskan senjata di tangan kanannya merobek kulit
Mata Elang. Brettt...!
"Aahk...!" Mata
Elang memekik tertahan, ia segera
mengangkat pedangnya dan
hendak ditebaskan dari atas ke bawah. Tapi, lutut Gagak Neraka menghentak, dan
tubuh itu tersentak naik, lalu dengan cepat ia rapatkan dua tangannya,
disentakkan ke depan sambil membuka ke kanan kiri.
Craaas...! Breet...!
"Aaahk...!" sekali
lagi si Mata Elang terpekik dengan suara tertahan. Dadanya robek karena jurus
menebar dari dua senjata bergerigi itu. Panjang robekan dadanya sampai ke
pinggang kanan-kiri. Dan luka itu pun bergerak sendiri makin melebar, seperti
luka di betisnya pula.
Tubuh si Mata Elang terhuyung
ke belakang dengan pedang masih di tangan dan diangkat ke atas, namun tak
pernah sempat ditebaskan ke depan. Akhirnya ia rubuh dengan luka makin melebar,
makin kelojotan tubuhnya direnggut rasa sakit yang luar biasa. Demikian pula
halnya dengan Tengkorak Terbang yang menggeliat menahan sakit.
"Dadung Amuk, cepat
pergi...!" sentak Gagak Neraka sambil masukkan dua senjata ke pinggang
kanan- kirinya. Lalu, ia hampiri Singo Bodong yang ketakutan itu, dan tiba-tiba
ia sentakkan jarinya ke leher Singo Bodong. Seketika itu Singo Bodong lemas
bagaikan cucian basah, lalu diangkat oleh Gagak Neraka, dipanggul dan dibawanya
lari dalam satu lompatan bertenaga ringan. Wuuust...!
Jleeg...! Tiba-tiba Pendekar
Mabuk menghadang di depan Gagak Neraka. Orang itu terkejut dan terhenti
langkahnya.
*
* *
7
BUKAN hanya Gagak Neraka yang
terkejut, tetapi Ratu Pekat dan Cempaka Ungu juga terkejut melihat kemunculan
pemuda tampan yang belum dikenalnya. Cempaka Ungu sempat berbisik kepada
ibunya,
"Siapa dia, Ibu?"
"Entah. Baru kali ini aku
melihatnya. Yang jelas dia bukan orang Pulau Beliung."
"Ada di pihak siapa
dia?"
"Lihat saja nanti!"
jawab Ratu Pekat sambil tetap memandang Suto.
Gagak Neraka segera menurunkan
Singo Bodong. Matanya memandang Pendekar Mabuk dengan penuh waspada. Apalagi
saat itu Pendekar Mabuk segera meneguk tuaknya sedikit, Gagak Neraka semakin
menaruh curiga. Sikap Pendekar Mabuk yang tenang dan seolah-olah meremehkan
lawan, membuat Gagak Neraka menggeram sejenak dan segera bertanya,
"Siapa kau?! Begundal
Ratu Pekat yang baru?!" "Bukan," jawab Suto Sinting tetap tegas
walau
bernada pelan. "Aku tak
punya hubungan apa-apa dengan mereka."
"Lalu mengapa kau
menghadang langkahku, hah? Mau cari mampus kamu?! Mau sumbangkan nyawa sia-
sia untuk Ratu Pekat? Biar
putrinya jatuh cinta padamu? Iya?!"
"He he he...," Suto
tertawa sedikit sumbang, kentara
tuaknya mulai mempengaruhi
suaranya. "Tak perlu aku membuat Cempaka Ungu jatuh cinta, dia sudah akan
jatuh dengan sendirinya!"
"Lalu, mau apa kau
menghadangku, Setan!"
"O, namaku bukan Setan!
Julukanku Pendekar
Mabuk! Tapi bukan Mabuk Setan!
He he he...!"
Pendekar Mabuk tetap
berdiri tegak. Tangan kanannya menjinjing tali bumbung
tuaknya. Bibirnya tetap sunggingkan senyum, dan membuat dua perempuan di bawah pohon
itu bergetar hatinya.
Cempaka Ungu berbisik,
"Siapa Pendekar Mabuk itu, Ibu?"
"Entahlah. Tapi
sepertinya Ibu pernah mendengar
julukan itu."
Gagak Neraka bergerak ke
samping dua langkah, mencari posisi enak untuk menyerang. Jarak mereka hanya
tiga langkah, ia menatap dengan pandangan asing melihat wajah dan penampilan
Suto.
Terdengar Pendekar Mabuk
ucapkan kata, "Gagak Neraka, pelayan setia Siluman Tujuh Nyawa... mestinya
kau bergegas pulang setelah berhasil tumbangkan Tengkorak Terbang dan si Mata
Elang!"
"Apa pedulimu?"
"O, aku hanya ingin
mempersilakan kau pulang. Tapi tolong orang bodoh yang kau totok jalan darahnya
itu tinggalkan saja di sini!"
Gagak Neraka menggeram. "Persetan dengan omonganmu!" Lalu,
lelaki berwajah lonjong dengan dagu agak panjang itu melangkahi tubuh Singo
Bodong. Jaraknya semakin dekat dengan Suto. Tapi Suto tidak mundur selangkah
pun.
"Kalau kau menghalangi
niatku membawa pulang temanku, kau akan mati juga seperti yang lain, Pendekar
Mabuk!"
"O, belum
tentu!" Suto
sunggingkan senyum.
"Mungkin kau yang mati seperti mereka!"
"Kurobek mulut bocahmu!
Hiaaah...!" Wuuut...!
Tangan Gagak Neraka bergerak
hendak mencakar mulut Suto. Tetapi tubuh Suto cepat meliuk ke belakang, lalu
mengayun ke samping dan tegak lagi. Gerakannya mirip orang mabuk yang limbung
akibat kebanyakan tuak. Tetapi, gerakan itulah sebenarnya yang membuat Suto
dikenal dengan nama Pendekar Mabuk. Jurus- jurusnya bagaikan orang dipengaruhi
racun tuak yang memabukkan.
"Pendekar Mabuk! Kuharap
jangan kau memancing perkara denganku jika kau sudah tahu aku adalah pelayan
setia Siluman Tujuh Nyawa. Apakah kau belum mendengar kabar kesaktiannya?"
"Sudah!" jawab
Pendekar Mabuk. "Dan aku tidak memancing perkara. Aku hanya minta kau
pergi tanpa membawa orang itu," Suto Sinting menuding Singo Bodong.
Gerakan jarinya yang menuding itu ternyata mempunyai kekuatan yang membuat
pengaruh totokan
pada diri Singo Bodong
terlepas. Singo Bodong segera bangkit.
Melihat Singo Bodong terkejut
dan ingin berteriak
"Suto...!" Pendekar
Mabuk cepat hentakkan suaranya kepada Singo Bodong,
"Diam kau!"
Singo Bodong hanya mengangguk-angguk
dengan penuh rasa takut, kemudian melangkah mundur dengan
terpincang-pincang.
Ilmu 'Sentak Bidadari' telah digunakan oleh Pendekar
Mabuk untuk membuat Singo Bodong tidak bicara apa pun dalam beberapa saat. Akibatnya, Singo Bodong hanya
bisa bengong memperhatikan
Suto yang berhadapan dalam jarak dekat dengan Gagak Neraka.
Melihat Singo Bodong lepas
dari totokannya, Gagak Neraka sempat kerutkan dahi dan merasa heran. Tetapi ia
segera tahu, bahwa totokannya telah dilepaskan oleh Pendekar Mabuk melalui
tudingan tangannya tadi. Gagak Neraka hanya membatin, "Boleh juga
permainan bocah ingusan ini! Bisa melepaskan totokan dari jarak jauh."
Tetapi, di mulut Gagak Neraka
terucap kata lain. Ia ajukan tanya kepada Suto Sinting,
"Mengapa kau menghendaki
temanku tinggal di sini? Apakah kau punya dendam kepada Dadung Amuk?"
"Tidak," jawab
Pendekar Mabuk. "Kalau dia adalah Dadung Amuk, untuk apa aku menahannya?
Bawalah pulang. Itu urusanmu. Tapi karena dia bukan Dadung Amuk, maka aku
menahan niatmu untuk membawanya
pergi."
"Kau gila! Kau pikir
mataku rabun?!"
"Matamu tidak rabun,
Gagak Neraka, tapi pikiranmu yang sedikit rabun, karena kau tidak bisa
membedakan mana Dadung Amuk, dan mana yang bukan!"
"Kuhancurkan mulutmu itu jika kau
mencoba mengelabuiku sekali lagi, Pendekar Mabuk! Dia adalah Dadung
Amuk! Hanya karena dia terdampar saja, maka dia tidak membawa tambang saktinya,
sehingga tidak mirip Dadung Amuk! Tapi aku tahu persis gayanya, suaranya,
wajahnya dan...."
"Dan kesaktiannya apakah
sama? Tidak! Dadung Amuk mungkin orang sakti, setidaknya punya ilmu kanuragan.
Tapi dia tidak," sambil Suto Sinting menuding Singo Bodong lagi.
"Kalau dia punya kesaktian, punya ilmu kanuragan, dia pasti akan melawan
si Tengkorak Terbang atau orang-orang Istana Cambuk Biru lainnya. Dia tidak
akan tinggal diam, apalagi melihat kau bertarung dikeroyok dua orang, tak
mungkin Dadung Amuk akan tinggal diam. Pasti ikut turun tangan! Pasti dia
memberontak dan melawan saat kau menotok jalan darahnya!"
"Kau pintar bersilat
lidah rupanya!"
"Tidak juga. Aku hanya
mengingatkan kau, bahwa orang yang kau anggap Dadung Amuk itu sebenarnya adalah
Singo Bodong! Karena itulah dia tidak mengenalimu!"
Sambil mata tetap layangkan
pandang ke wajah
Pendekar Mabuk yang minum tuak
seenaknya di
depannya, Gagak Neraka
membatin sendiri di hatinya, "Benarkah dia bukan Dadung Amuk? Ia memang
tidak mengenaliku, ia memang lemah dan tak mau membantuku menyerang kedua lawan
tadi. Tapi, seluruh wujudnya adalah Dadung Amuk! Ah, kurasa sang ketua lebih
bisa mengenali apakah dia Dadung Amuk atau bukan. Aku harus membawanya
menghadap sang ketua!" Setelah itu, Gagak Neraka berkata kepada Suto,
"Siapa pun dia, aku harus membawanya menghadap sang ketua!"
"Tidak perlu! Tinggalkan
saja dia di sini bersamaku!" "Kalau begitu keputusanmu, aku terpaksa
mencabut
nyawamu sekarang juga,
Pendekar Mabuk! Hiaaat...!" Wuuut...!
Sebuah sodokan pangkal telapak
tangan dihantamkan ke dada Pendekar Mabuk. Pada waktu itu, Pendekar Mabuk
sengaja tidak menangkisnya. Tapi ia gerakkan tangan kirinya menghantam dada
Gagak Neraka juga, sehingga dua pukulan itu sama-sama mengenai pada sasarannya.
Plakkk...! Plakkk...!
Gagak Neraka tersentak mundur dua tindak, sedangkan murid sinting si Gila
Tuak tetap di tempat. Orang bermata bengis itu tersenyum lega setelah melihat
hasil adu kekuatan pukulan yang
sama-sama menggunakan tangan kiri itu. Ia melihat bekas merah di dada
Suto, sedangkan di dadanya sendiri tak membekas warna merah sedikit pun.
"Minggirlah, Bocah
Ingusan! Daripada nanti dadamu
kubuat jebol dengan pukulanku
yang kedua. Baru satu kali pukulan saja dadamu telah memerah begitu.
Lihatlah...!"
Suto memandang dadanya
sendiri. Tapi ia tetap sunggingkan senyum saat memandang ke arah lawan dan
berkata,
"Benar, dadaku merah
karena pukulanmu!"
"Tentu. Dan dadaku tidak
menjadi merah sedikit pun. Itu tandanya kekuatanmu belum seimbang dibanding
kekuatanku!"
"Dadamu memang tidak
memerah, Gagak Neraka, tapi bisakah kau melihat punggungmu?!"
Gagak Neraka terkesiap, lalu
alisnya mengernyit, ia merasakan ada rasa sakit di punggungnya. Seperti rasa
panas terbakar api. Dan ia pun mencium bau hangus, seperti kain terbakar. Maka,
cepat-cepat ia berusaha menengok ke belakang, dan ternyata ada asap mengepul di
bagian belakangnya, ia tarik ke depan bajunya, oh... ternyata bolong karena
hangus terbakar. Terbayang dalam benak Gagak Neraka, pasti kulit punggungnya
menjadi biru legam akibat pukulan lawannya tadi. Rasa sakit makin memanas di
kulitnya.
Rasa panas itu merayap ke
hati, dan membuat Gagak Neraka makin menggeram jengkel, lalu segera ia lontarkan
kemarahannya.
"Bangsat kau, Bocah
Ingusan! Terimalah pukulan
'Ombak Racun'-ku ini,
hiaaah...!"
Kedua tangan Gagak Neraka
menjambak tubuh Suto dari bawah ke atas secara bergantian. Gerakannya begitu
cepat, hingga terdengar bunyi:
wuuugh...!
Wuuugh...!
Tubuh Pendekar Mabuk hanya
meliuk-liuk seperti orang mabuk mau jatuh. Tapi jambakan tangan berjari bentuk
cakar itu tidak satu pun mengenai kulit tubuh Pendekar Mabuk. Dengan cepat pula
Suto menggerakkan bumbung bambu tempat tuak itu ke atas dalam sodokan
yang kuat.
Duggh...!
"Eehhg...!" Gagak
Neraka terdongak kepalanya, dagunya yang panjang itu menjadi sasaran bumbung
tuak. Tangannya sempat terbentang karena sodokan tersebut. Kakinya melangkah ke
belakang satu tindak. Dan, bumbung bambu itu segera berbalik arah menukik, lalu
menyodok bagian perut Gagak Neraka. Begggh...!
Sodokan kedua ini yang membuat
tubuh Gagak Neraka terlempar ke belakang dengan kedua kaki mengambang tanah.
Tubuh itu bagai diseruduk tiga ekor banteng. Terlempar cukup jauh, ada sepuluh
langkah. Lalu, tubuh itu jatuh membentur dinding batu karang.
Breehhg...!
"Hooek...!" Darah
kental hitam kemerahan keluar dari mulut Gagak Neraka, ia jatuh berlutut dan
terbungkuk- bungkuk. Setelah beberapa saat darah keluar dari mulutnya, Gagak
Neraka mencoba untuk bangkit dengan mata sayu dan wajah pucat pasi. Tapi
agaknya ia tak mampu lagi berdiri, ia melangkah dengan sempoyongan dan akhirnya
jatuh lagi.
Singo Bodong
terbengong-bengong melihat kejadian
itu. Mata melebar, mulut
melompong mirip sapi ompong. Waktu Suto mendekatinya, Singo Bodong masih tak
sadar dari kebengongannya. Karena menurut penglihatannya, Suto menyodokkan
bumbung tuaknya tidak dengan tenaga kuat, hanya cepat. Tapi mengapa bisa
membuat tubuh Gagak Neraka yang tergolong besar bisa tersentak terbang sejauh
itu? Tentu saja jika tidak disertai tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin tubuh
Gagak Neraka jadi seperti itu.
"Apa yang kukatakan dulu
benar, bukan?! Kau mirip sekali dengan orang yang bernama Dadung Amuk!"
kata Pendekar Mabuk.
"Tap... tapi... tapi aku
tidak punya saudara kembar! Aku lahir tunggal, artinya sendirian!"
"Kita selidiki nanti,
siapa Dadung Amuk sebenarnya, dan ada hubungan apa denganmu!"
"Hei, Suto... lihat,
orang itu mampu berdiri dan melarikan diri dengan cepat!"
"Biarkan!" jawab
Pendekar Mabuk melihat Gagak Neraka melarikan diri menyusuri pantai, mungkin ia
menuju ke perahunya untuk segera meninggalkan pulau itu. Tetapi, pada saat itu
Suto melihat Cempaka Ungu mengejar Gagak Neraka dengan cepat pula.
"Ratu, tahan dia!"
seru Suto. "Gagak Neraka masih punya kekuatan simpanan! Berbahaya jika
dilepaskan kepada anak gadismu!"
"Cempaka!" seru Ratu
Pekat. Seruan itu tak terlalu keras, tapi membuat Cempaka Ungu berhenti dan
menutup kedua telinganya dengan tangan, ia tampak
kesakitan di bagian
telinganya. Rupanya, itulah cara yang biasa digunakan Ratu Pekat untuk
memanggil anak-anaknya yang ingin nekat membandel. Gelombang tenaga dalam
dikirimkan melalui suaranya, yang bisa membuat telinga anak itu sakit, lalu
berhenti berlari. Kejap berikutnya sembuh kembali. Dan biasanya, Cempaka Ungu
selalu cemberut jika habis dipanggil dengan cara seperti itu.
"Ibu mengapa melarangku
mengejar si jahanam itu?!" "Pendekar Mabuk yang menyuruhku!"
"Mengapa Ibu mau disuruh
dia?! Ibu penguasa di sini!" sentak Cempaka Ungu dengan hati dongkol.
"Jangan salahkan Ibu,
salahkanlah pemuda itu!"
Wajah ketus karena marah tak
terlampiaskan itu menatap Suto. Dengan geram ia ucapkan kata,
"Lancang sekali mulutmu,
berani memberi perintah
kepada ibuku! Tidak tahukah
kau bahwa dia adalah seorang Ratu yang dihormati di sini?!"
Suto tidak menjawab,
sepertinya mengacuhkan kata- kata Cempaka Ungu. Pendekar Mabuk bahkan berkata
kepada Ratu Pekat,
"Dua orangmu dalam
keadaan parah, Ratu. Lukanya makin lebar. Kalau kau izinkan, mereka akan kubawa
ke istanamu!"
"Lakukanlah jika kau
sanggup mengobatinya!"
Suto berpaling kepada Singo
Bodong dan berkata, "Bantu aku membawa dua orang ini, Singo!"
Singo Bodong mengangguk. Cepat-cepat ia mengangkat orang yang paling ringan
bebannya, yaitu
Tengkorak Terbang. Tubuh
bertulang-belulang nyaris tanpa daging itu jelas lebih enteng daripada si Mata
Elang.
Ketika Suto ingin mengangkat
si Mata Elang yang lukanya sudah hampir melingkari bagian dada sampai ke
punggung, tiba-tiba Ratu Pekat berkata, "Biar aku yang membawanya!"
Rasa sayang kepada si Mata Elang, yang setiap saat tampil sebagai pengawal
sekaligus pemuas gairahnya, Ratu Pekat tak segan-segan mengangkat tubuh si Mata Elang.
Dengan ringan sekali
ia mengangkat tubuh kekar itu, dan membawanya lari dengan tenaga
peringan tubuh yang cukup tinggi.
Cempaka Ungu tertinggal gerakan ibunya, ia memandang Suto dengan
angkuh. Suto tersenyum dan ingin mengajaknya pergi bersama, tapi Cempaka Ungu
berkelebat meninggalkan Suto lebih cepat. Suto makin lebarkan senyum dan
perdengarkan tawa rendahnya.
Alangkah terkejutnya Cempaka
Ungu ketika tiba di pintu gerbang, ternyata Suto sudah berdiri di depan pintu
gerbang itu. Cempaka Ungu hanya membantin.
"Gila sekali gerakannya.
Tadi kutinggalkan dengan kecepatan lari begitu tinggi, ternyata dia sudah
sampai di sini lebih dulu!"
Cempaka Ungu tidak menyapa
sedikit pun ketika melintas di depan Pendekar Mabuk, ia tetap pasang wajah
cemberut dan angkuh. Tetapi ketika ia hendak menaiki tangga serambi istana, ia
jadi terkejut lagi, karena ternyata Suto sudah ada di depan langkahnya, seakan
sengaja menunggunya lewat.
"Aku tidak tertarik
dengan permainanmu!" ucap Cempaka Ungu dengan sedikit sipitkan matanya.
Dan Suto hanya tertawa pelan.
Hanya dengan beberapa teguk
tuak yang diminumkan kepada Tengkorak Terbang dan si Mata Elang, luka-luka itu
segera mengering, walaupun tidak hilang dalam sekejap waktu. Tetapi, racun yang
merayap dan mengganas di tubuh mereka telah mati. Tinggal menunggu luka itu
kering beberapa waktu lagi.
"Jika kau tak keberatan, sudilah kiranya kau perkenalkan dirimu yang telah
menolongku," ujar Ratu Pekat.
"Aku tidak
menolongmu!" kata Suto. "Aku hanya ingin menyelamatkan temanku yang
bernama Singo Bodong itu!"
"Apakah dia bukan Dadung
Amuk?"
"Bukan! Dia termasuk
salah satu keajaiban alam! Tidak punya saudara lelaki, tidak punya saudara
kembar, tapi punya wajah dan potongan tubuh yang mirip dengan orang lain, yaitu
Dadung Amuk! Tapi, nasibnya tidak cerah. Dia selalu menjadi bahan pelampiasan
dendam atau kemarahan orang yang merasa dirugikan oleh ulah si Dadung
Amuk!"
"Tadi dari mana Gagak
Neraka bisa mengetahui dia ada di sini? Dan membantai habis orang-orangku,
sehingga tinggal lima orang. Kurasa Dadung Amuk yang datang bersama Gagak
Neraka!"
"Tidak begitu, Nyai!"
tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah luar. Orang itu berlari-lari
kecil
dengan gerakan kerdilnya.
Orang itu tak lain adalah
Dewa Racun.
Ratu Pekat terperanjat dan
nyaris melemparkan kemarahan kepada Dewa Racun yang dianggap musuh olehnya. Tetapi
ketika ia dan anaknya ingin bergerak menyerang Dewa Racun, Suto cepat ucapkan
kata,
"Dia temanku!"
Mendengar kalimat itu Ratu
Pekat dan anaknya segera menahan gerakan berikutnya. Mereka sama-sama memandang
wajah Suto, dan Suto pun hanya tersenyum tenang, ia bahkan membuka bumbung
tuaknya lagi, dan menenggaknya beberapa teguk.
"Jadi kau orang Pulau
Serindu?" tanya Ratu Pekat. "Belum," jawab Suto. "Mungkin
sebentar lagi aku
akan menjadi orang Pulau
Serindu. Tapi yang jelas, hilangkan dulu sikap permusuhanmu dengan Dewa Racun.
Ada sesuatu yang menarik didengar dari kata- katanya tadi." Suto memandang
Dewa Racun dan berkata, "Teruskan ucapanmu tadi, Dewa Racun!"
"Kurasa di sini ada
seorang mata-mata kiriman dari
Siluman Tujuh Nyawa!"
"Dari mana kau
tahu?!" tanya Ratu Pekat kepada
Dewa Racun.
"Singo Bodong mirip
Dadung Amuk. Singo Bodong terdampar di pulau ini bersama aku, dan juga Pendekar
Mabuk ini, Nyai. Kami terdampar dalam keadaan saling terpisah. Lalu, tiba-tiba
Singo Bodong mau digantung, karena disangka Dadung Amuk. Tiba-tiba pula, Gagak
Neraka datang mau menyelamatkan Singo Bodong. Jelas
ada orang yang salah duga,
menyangka Dadung Amuk mau digantung, maka dia segera kirimkan berita kepada
Siluman Tujuh Nyawa dengan caranya sendiri. Mungkin dengan hubungan batin dia
bicara kepada Siluman Tujuh Nyawa. Lalu, Durmala Sanca itu mengirimkan Gagak Neraka
kemari. Masalahnya sekarang, siapa orang- orangmu yang ternyata adalah orang
susupan yang menjadi mata-matanya Siluman Tujuh Nyawa?"
*
* *
8
SUTO Sinting, murid si Gila
Tuak, membenarkan dugaan Dewa Racun. Jika tidak ada orang yang memberitahukan
adanya tawanan yang akan dihukum gantung, tak mungkin Gagak Neraka datang ke
Pulau Beliung dan mengamuk, menaburkan racun Angin Jantan. Anehnya Ratu Pekat
kurang tertarik dengan dugaan Dewa Racun itu.
Di dalam kamar yang disediakan
untuk beristirahat, Pendekar Mabuk sempat terpikir apa sebab Ratu Pekat tidak
mempercayai dugaan Dewa Racun. Apakah karena pihak Ratu Pekat bermusuhan dengan
pihak Dewa Racun, atau karena sesuatu hal, sehingga pada waktu itu Ratu Pekat
membantah dengan suara keras.
"Tidak mungkin!
Orang-orangku tidak ada yang berjiwa pengkhianat! Jangan kau menebar racun
lewat mulutmu, Kerdil!"
"Kalau kau seorang Ratu
yang cerdas, kau tidak akan menyanggah pendapatku, Nyai! Tapi kalau kau seorang
Ratu yang picik, kau akan terjebak oleh kepicikanmu sendiri!" kata Dewa
Racun dengan berani.
Ratu Pekat menggeram jengkel
sambil melemparkan pandangan kepada Dewa Racun. Anak gadisnya pun tampak siap
melakukan gerakan yang membahayakan jika ibunya memberi perintah sewaktu-waktu.
Pendekar Mabuk melihat ketegangan itu dapat menjadikan satu bentrokan
tersendiri antara Dewa Racun dengan Ratu Pekat Maka,
cepat-cepat
Suto mengambil alih pembicaraan pada waktu itu,
"Sebaiknya tak perlu
dipikirkan dulu hal itu. Agaknya untuk membuktikan ada dan tidaknya pengkhianat
di dalam istana ini, dibutuhkan waktu untuk membuktikannya. Dan... kami
tidak punya banyak waktu, Ratu Pekat. Jadi, masalah ini kembali kuserahkan
padamu! Keperluanku hanya menolong Singo Bodong saja. Tidak ikut campur dalam
urusan kekuasaanmu di pulau ini!"
Kata-kata itu ternyata memang meredakan ketegangan tersebut.
Ratu Pekat segera tarik napas dalam-dalam, meredam gemuruh di dalam dadanya.
Setelah itu ia berkata kepada Pendekar Mabuk, "Apa yang bisa kubantu untuk
kalian?"
"Aku butuh sebuah perahu untuk melanjutkan
perjalananku," jawab Suto Sinting.
"Aku akan siapkan,"
kata Ratu Pekat. "Tapi haruskah kalian berangkat sekarang juga?"
Cempaka Ungu segera
angkat bicara, "Hanya manusia bodoh yang mau mengawali
perjalanan lautnya pada petang hari!"
Entah kepada siapa kata-kata
ketus itu ditujukan, karena wajah cantik berkesan judes itu memandang ke arah
luar istana. Pendekar Mabuk hanya berkata kepada Ratu Pekat.
"Agaknya memang kami
harus berangkat petang ini juga. Sebab kami tak punya saudara untuk menumpang
bermalam di pulau ini."
Ratu Pekat berkata.
"Kurasa istanaku ini cukup luas dan lebar. Ada dua kamar yang bisa kalian
pakai, dan dua kamar itu memang kusediakan untuk tamu yang datang dan bermalam
di istanaku. Jika kau tidak keberatan, kusuruh pelayanku menyiapkan dua kamar
itu!"
Tetapi Cempaka Ungu berkata,
"Pelayan kita sudah ikut mati terkena racun Angin Jantan, Ibu! Kalau
memang dia mau bermalam dan menggunakan kamar itu, biar dia sendiri yang
membereskannya."
"Cempaka, tak boleh kau
bicara begitu kepada sang penolong kita."
"Aku tidak merasa
ditolong olehnya?! Aku merasa mampu menumbangkan Gagak Neraka! Hanya secara
kebetulan saja dia punya urusan pribadi dengan Gagak Neraka, yaitu
menyelamatkan si raksasa bodoh itu, sehingga sepertinya dia ada di pihak
kita!"
"Tutup mulutmu,
Cempaka!" sentak ibunya dengan wibawa. Cempaka Ungu pun tak berani bicara
apa-apa
lagi, hanya cemberut dan
mendengus kesal. Wajahnya kembali dipalingkan ke luar.
"Gadis ini lucu,"
pikir Pendekar Mabuk saat itu.
"Sejak tadi ia bersikap
bermusuhan padaku, tapi ia bermaksud
menahanku agar tidak lekas-lekas meninggalkan pulau ini. Gadis
seusia dia memang sering bersikap
aneh jika sedang punya maksud yang tersembunyi di dalam
hatinya. Ah, persetanlah! Biar saja ia bertingkah dengan pribadinya
sendiri...!"
Malam direnggut sepi.
Samar-samar suara ombak terdengar dari kejauhan. Heningnya malam itu justru
membuat Pendekar Mabuk gelisah karena kecamuk di dalam hatinya. Terbayang wajah
yang muncul di alam semadinya dan di alam mimpi-mimpinya. Wajah itu milik
seorang perempuan cantik yang ternyata adik dari Betari Ayu, yaitu Dyah
Sariningrum.
Pendekar Mabuk bagai tak sabar
lagi, ingin segera bertemu dengan ratu penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau
Serindu. Berapa jauh lagi Pulau Serindu dari Pulau Beliung itu, Pendekar Mabuk
tak tahu pasti. Tapi Dewa Racun pasti mengetahuinya, karena memang ia datang
khusus untuk menjemput Pendekar Mabuk atas perintah nyai gustinya.
Di kamar itu, Pendekar Mabuk
sendirian. Justru dalam kesendiriannya itu ia menjadi tak bisa tidur, karena
tak ada teman berbagi rasa. Sebab itulah Pendekar Mabuk segera keluar dan masuk
ke kamar Dewa Racun. Ternyata Dewa Racun juga belum tidur, ia habis melakukan semadi sebagai pengasah ilmu-
ilmunya.
"Dia sudah tidur?"
tanya Suto sambil menunjuk Singo
Bodong yang meringkuk di atas
pembaringan empuk. "Kalau sudah tidur tentunya istana ini bergetar,"
jawab Dewa Racun, dan Suto
tersenyum, ia ingat kebiasaan aneh Singo
Bodong, yaitu jika tidur mendengkur dan jika mendengkur
seisi rumah menjadi bergetar.
"Singo Bodong!"
panggil Pendekar Mabuk.
Singo Bodong bergegas bangun.
"Kau membutuhkan bantuanku, Pendekar Mabuk?"
"Aku mau jalan-jalan
keluar sebentar. Cari angin!
Kau tidur saja di kamarku
sana! Lega dan lebih nyaman tempatnya."
"Baik. Tapi, kapan kau
ingin mengajarkan ilmu- ilmumu kepadaku, Pendekar Mabuk?"
"Kalau sudah tiba
waktunya!" jawab Suto sambil tersenyum. Kemudian ia menepuk punggung Singo
Bodong yang melintas di depannya, lalu pindah ke kamar Suto.
"Kau ingin ikut
jalan-jalan keluar, Dewa Racun?" "Ada yang ingin kukerjakan. Pergilah
dulu, nanti aku
menyusul."
Di dalam kamar Pendekar Mabuk,
Singo Bodong merasa girang melihat tempat tidur yang lebih lebar dari tempat
tidur yang ada di kamar sebelah tadi. Selimutnya juga tebal dan lebar. Dua obor
yang ada di satu sisi dinding itu menjadi penerang ruangan yang bersih dan
lebih berkesan bagus segala perabotnya. Singo Bodong
tersenyum-senyum, akhirnya menguap sambil menggeliatkan tubuhnya.
"Oohaaaaem...!"
Blapp...! Tiba-tiba kedua obor
itu padam apinya. Singo Bodong bingung mendapatkan kamar menjadi gelap. Hanya
terkena hembusan napas menguapnya saja, kedua obor itu bisa padam apinya. Singo
Bodong heran setengah mati. Biasanya ia menguap sampai berkali-kali, nyala api
lilin pun tak akan bisa padam. Kenapa sekarang nyala dua obor berukuran besar
itu bisa padam dengan satu hembusan napasnya.
"Apakah karena tadi
punggungku ditepuk oleh Pendekar Mabuk, sehingga ada ilmunya yang masuk ke
tubuhku, dan membuat obor itu padam karena hembusan menguapku?" pikir
Singo Bodong sambil meraba-raba dalam kegelapan menuju pembaringan. Begitu ia temukan,
ia pun berbaring dengan hati berdebar-debar.
"Jika benar Pendekar
Mabuk menyalurkan salah satu ilmunya ke tubuhku melalui tepukan punggung tadi,
oh... alangkah hebatnya dia? Alangkah mujurnya nasibku? Paling tidak
aku bisa melawan orang yang ingin mempermainkan aku dengan hembusan
napasku!"
Sekalipun selimut pembalut dingin sudah membungkus tubuhnya, tapi Singo
Bodong masih belum terpicing tidur. Hatinya masih berdebar-debar indah
membayangkan napasnya yang bisa memadamkan nyala api obor itu.
Sambil melangkah di pantai,
Pendekar Mabuk membatin dalam hatinya, "Singo Bodong perlu diberi
sedikit isi, biar tidak
terlalu kosong. Kasihan aku melihat dia diseret ke sana-sini pada saat mau
digantung. Jika dia punya sedikit isi, paling tidak ia tidak menjadi bulan-
bulanan oleh orang-orang yang tidak mengenalnya."
Gemuruh ombak tak begitu
menderu. Itu pertanda tak ada badai di tengah lautan. Suto berhenti memandang
lautan dalam sisa sinar rembulan yang kian redup dari harinya itu.
"Aku ingin memandang ke
arah Pulau Serindu," pikirnya. "Tapi ke mana arahnya jika dari pantai
sini? Sayang sekali aku tidak tahu arah Pulau Serindu, sehingga aku tidak bisa
menatap ke arah calon istriku; Dyah Sariningrum yang berjuluk Gusti Mahkota
Sejati."
Tiba-tiba Suto terpaksa harus
melompat ke balik bebatuan, ia melihat seorang prajurit melangkah dengan
terburu-buru dari arah kegelapan. Prajurit itu mendekati sebuah batu tinggi,
dan naik ke atasnya dengan satu kali hentakkan kaki.
Prajurit itu melepaskan baju
rompinya yang menjadi seragam orang-orang istana. Seragam itu menunjukkan jabatannya
sebagai prajurit pengawal khusus yang mendampingi Ratu Pekat jika pergi ke
mana-mana. Menurut cerita Dewa Racun, Ratu
Pekat selalu didampingi enam
prajurit pengawal yang menjaga depan, belakang, dan samping kanan-kiri, di
samping itu juga pengawal pribadinya yang berjuluk si Mata Elang.
Melihat prajurit yang satu ini
membuka baju rompinya sambil berdiri di atas batu tinggi, Suto jadi curiga dan
semakin ingin tahu. Ia bergerak mendekat,
dari tempat bersembunyi yang
satu pindah ke yang satunya lagi. Makin dekat makin jelas wajah dan potongan
tubuh prajurit itu.
"Mau apa dia berdiri di
atas batu itu?" pikir Pendekar Mabuk dengan mata sedikit menyipit,
memperjelas penglihatannya. Hatinya tetap memancarkan kecurigaan yang aneh
terhadap prajurit bersenjatakan tombak itu. Saat ia ada di atas, tombaknya
diletakkan di dinding batu. Sebenarnya Pendekar Mabuk bisa saja menyambar
tombak itu, tapi untuk apa? Ia tak mau lakukan sesuatu yang tanpa arti.
Prajurit itu tiba-tiba
merentangkan kedua tangannya ke samping kanan kiri dengan gerakan pelan dan
sepertinya disertai dengan mengerasnya urat. Kaki kirinya diangkat sampai
telapak kakinya itu merapat di samping tumit kanan, lutut yang terangkat itu
menjorok maju ke depan. Lalu, kedua tangannya yang merentang bergerak
pelan-pelan ke atas kepala.
Sampai di atas kepala, kedua
tangan itu merapat, tetapi hanya jari telunjuk dan ibu jarinya yang saling
bertemu merapat, hingga membentuk satu lubang di antara pertemuan jari-jari
itu. Tangan yang tegak lurus ke atas itu tiba-tiba memancarkan sinar merah ke
kuning-kuningan dari ujung jari telunjuk yang saling bertemu itu. Sinar merah
tersebut melesat tinggi sebesar lidi, panjang hingga tak terbatas sampai di
mana ujungnya.
Angin laut berhembus, membawa
suara yang terucap dari mulut prajurit itu sampai ke telinga Pendekar
Mabuk. Awalnya Pendekar Mabuk
bingung dengan bahasa-bahasa aneh yang diucapkan prajurit itu. Seperti bahasa
mantera sebuah ilmu. Tapi setelah itu, Pendekar Mabuk mendengar kalimat yang bisa dimengerti bahasanya.
"Kekuatan melemah. Istana
bebas terkuasai. Segera tumbuhkan api membakar ilalangnya. Segera tumbuhkan api
membakar ilalangnya...."
Suto membatin, "Apa yang
dimaksud kata-kata itu? Sepertinya ia memanggil seseorang atau menghubungi
seseorang melalui kekuatan batinnya. O, dia punya tato di bawah ketiak
kirinya?"
Mata Suto bertambah menyipit
untuk mempertegas gambar tato yang ada di bawah ketiak orang itu. Ternyata tato
itu bergambar tengkorak manusia dengan tujuh mata rantai yang mengelilingi
bagian atas kepala tengkorak sampai bagian samping. Pada bagian bawah tengkorak
itu kosong tanpa tulisan atau gambar apa pun.
Suto membatin lagi, "Apa
arti tato itu? Atau hanya sebagai seni semata? Tengkorak...? Apakah dia punya
hubungan dengan Tengkorak
Terbang? Lalu apa maksudnya dia melakukan hal itu?
Dia berhubungan dengan seseorang dan seseorang itu adalah Tengkorak
Terbang?"
Prajurit itu cepat tinggalkan
tempat tersebut tanpa merasa diintai oleh sepasang mata dari balik celah
bebatuan karang.
Pendekar Mabuk pun bergegas mengejarnya. Tapi di perjalanan
ia berhenti dan membatin,
"Tak perlu! Tak perlu kukejar,
toh aku tahu ke mana larinya. Pasti ke istana. Tapi... kenapa hatiku jadi tak
enak setelah melihat apa yang dilakukan oleh prajurit itu? Naluriku mengatakan,
ada sesuatu yang akan terjadi di pulau ini. Entah apa wujudnya!"
Langkah Pendekar Mabuk santai-santai
saja ketika mendekati istana, ia tak tahu bahwa di istana ada satu kejadian
kecil yang menggelikan.
Diam-diam Cempaka Ungu rupanya
tertarik kepada Pendekar Mabuk, tapi malu terlihat di depan mata ibunya. Karena
itu, Cempaka Ungu memanfaatkan malam yang sepi, di mana penghuni istana
sebagian besar telah tertidur dengan nyenyaknya. Cempaka Ungu menyusup masuk ke
kamar Suto yang ternyata gelap itu. "Kebetulan ia matikan lampunya!"
pikir Cempaka Ungu. Karena ia sering keluar-masuk di kamar itu, jadi ia tahu
betul di mana letak ranjang walau dalam keadaan
gelap, ia bersuara membisik,
"Pendekar Mabuk...!
Pendekar Mabuk...! Sudah tidurkah kau?"
Tak ada jawaban. Cempaka Ungu
menduga Suto
sudah tertidur nyenyak. Dengan
langkah sangat hati-hati ia semakin mendekati ranjang. Di ranjang itu, Singo
Bodong sebenarnya belum tidur. Tapi karena gelap, dan mendengar suara
perempuan, Singo Bodong tak berani bergerak sedikit pun. Ia sangat ketakutan.
"Pendekar Mabuk...
bangunlah sebentar, aku ingin bicara denganmu," seru Cempaka Ungu dalam
bisik
mendesah, ia pegang kaki orang
yang tidur di balik selimut tebal itu. Ia remas beberapa saat dengan hati
berdebar-debar.
"Pendekar Mabuk,
bangunlah sebentar. Sebentar saja. Aku hanya ingin meminta maaf atas segala
sikapku tadi siang, dan... dan... oh, bangunlah sebentar, Pendekar
Mabuk...."
Tangan Cempaka Ungu menyelusup
masuk ke dalam selimut dan menemukan kaki yang hangat. Kehangatan itu terasa
meresap sampai di hatinya dan membuat hatinya makin berdebar-debar indah, ia
mengusap-usap kaki itu, sesekali meremasnya dengan suara desis tipis dari
mulutnya.
"Kakimu dingin sekali,
Pendekar Mabuk... Boleh kuhangatkan?"
Tak ada jawaban yang keluar
dari orang tidurnya
meringkuk itu. Cempaka Ungu
semakin berdesir-desir. Lalu, ia bergeser mendekati bagian atas orang itu.
Gelap pekat yang terjadi di kamar itu membuat Cempaka Ungu tak malu-malu untuk
mengusap-usap rambut orang yang disangkanya Suto Sinting itu.
"Pendekar Mabuk, bisakah
kau mendengar suaraku, hmm...?! Jangan kau anggap sikapku sejahat itu padamu.
Aku hanya malu kepada Ibu kalau aku kelihatan tertarik padamu. Aku tahu kau
tersinggung dan marah padaku. Tapi tak bisakah kau bicara sepatah kata pun
untuk memaafkan aku, Pendekar Mabuk...?"
Usapan-usapan tangan Cempaka
Ungu semakin lembut. Tapi sentuhan jemarinya di rambut atau di
kening orang yang diusapnya,
terasa menambah mekar bunga-bunga di hatinya.
"Kumohon kau mau tinggal
di sini sampai beberapa
waktu, Pendekar Mabuk. Jangan
lekas-lekas pulang. Dan, biarkan aku bersikap ketus kepadamu bila di luaran,
tapi sesungguhnya itu hanya suatu kedok saja. Aku sangat kagum padamu, Pendekar
Mabuk. Sungguh kagum dengan jurus-jurusmu itu.
Maukah kau mengajariku untuk
mempermainkan bumbung tuak? Oh, ya... Ibu masih mempunyai simpanan tuak khusus
untuk para tamu. Kau mau, Pendekar Mabuk? Hmmm... bagaimana kalau malam ini
kita hangatkan diri dengan minum tuak? Aku juga doyan minum tuak," Cempaka
Ungu mengikik tertahan. Tangannya mengusap-usap kepala dan kening orang yang
tidur meringkuk itu. Makin lama ia merasakan semakin basah tangannya.
"Oh, kau mengeluarkan
keringat dingin, Pendekar Mabuk? Aha... itu tandanya kau takut menghadapiku.
Tapi, supaya kau tidak grogi, sebaiknya kuambilkan tuak untukmu. Kita minum
bersama di kamar ini, tapi jangan sampai ada yang tahu. Setuju?!"
Singo Bodong semakin tak bisa
berucap kata apa pun. Seumur-umur baru sekarang ia diusap-usap dengan mesra
oleh seorang gadis cantik yang terbayang jelas dalam ingatannya. Kecantikan itu
pernah menimbulkan rasa berdesir di hati Singo Bodong, tetapi segera sirna
sejak ia tahu perempuan itu bernafsu untuk membunuhnya.
Cempaka Ungu sadar bahwa orang
yang dianggap
Pendekar Mabuk itu sebenarnya
belum tidur. Jika sejak tadi ia tidak mendapat jawaban dan tanggapan apa pun,
itu lantaran hati Pendekar Mabuk masih dongkol terhadap sikap ketusnya.
Cempaka Ungu memakluminya. Tapi ia yakin,
setelah ia datang bersama seguci tuak, pasti Pendekar Mabuk itu akan luluh dari
kedongkolan hatinya.
Cempaka Ungu keluar
dari kamar dengan mengendap-endap. Tapi alangkah
terkejutnya ia ketika melihat Suto sedang melangkah menuju kamarnya dan
terkesiap juga memandang kemunculan seorang perempuan dari dalam kamarnya,
"Cempaka...?"
tegurnya dengan heran.
Cempaka merah mukanya. Gemetar sekujur tubuhnya. Yang ada dalam
otaknya adalah sebuah pertanyaan besar, "Lantas siapa orang yang
kuusap-usap dengan mesra tadi? Aduh, mati aku!" Wajah pucat dan sesekali
semburat merah itu tak berani terlalu lama berhadapan dengan Pendekar Mabuk.
Rasa malunya begitu besar dan membakar kulit wajah. Cempaka Ungu cepat
tinggalkan tempat dengan kepala menunduk malu.
Tetapi hati Suto menjadi resah
dan curiga, ia segera masuk ke kamarnya, karena menyangka telah terjadi sesuatu
terhadap diri Singo Bodong, ia ingat, bahwa Cempaka Ungu masih punya kebencian
kepada Singo Bodong dan menyangka Singo Bodong adalah adik kembar Dadung Amuk.
Pendekar Mabuk juga ingat bahwa
Cempaka Ungu bernafsu sekali ingin menggantung Singo Bodong.
Pintu kamar itu dibuka dengan
kasar oleh Suto. Melihat keadaan gelap, Suto menyangka itu ulah Cempaka Ungu
yang ingin membunuh Singo Bodong. Seketika itu, Pendekar Mabuk berseru keras,
"Singo...?! Singo Bodong!!" Suara keras membangunkan Dewa Racun yang
hampir tertidur, ia segera melompat keluar dari kamar dan menuju ke kamar
sebelah. Dari pintu yang terbuka, Dewa Racun berseru,
"Ada apa, Pendekar
Mabuk...?!" Suara keras Dewa Racun juga membangunkan Ratu Pekat yang
segera bergegas ke kamar Pendekar Mabuk. Ratu Pekat pun berseru,
"Apa yang terjadi?! Apa
yang terjadi, Pendekar
Mabuk...?!"
Kamar gelap. Pendekar Mabuk
ada di dalamnya. Singo Bodong makin ketakutan melihat banyak yang datang, ia
diam saja, bagaikan kelu lidahnya tak mampu berucap kata.
*
* *
9
PAGI yang cerah. Perahu sudah
disiapkan oleh orang-orangnya Ratu Pekat. Kalau saja Suto mau, mereka sudah
bisa bertolak dari Pulau Beliung di pagi itu. Apalagi perahu yang disiapkan
lebih besar dari perahunya yang pecah dihantam ombak tempo hari. Perbekalan pun
disiapkan di dalam perahu itu, termasuk
dua guci tuak yang paling
enak.
Tetapi, Pendekar Mabuk berkata
lain kepada Ratu
Pekat, "Aku tidak jadi
berangkat hari ini!"
Kata-kata itu tidak
mengejutkan Ratu Pekat, tapi membuat Dewa Racun dan Singo Bodong terperanjat.
Mereka sama-sama memandang Pendekar Mabuk, hanya Suto tidak peduli dengan sikap
memandang mereka. Suto memandangi wajah-wajah mereka yang ada di depannya,
yaitu wajah Ratu Pekat, Cempaka Ungu, si Mata Elang dan terakhir Tengkorak
Terbang. Luka-luka kedua orang itu telah mengering, dan kesehatannya memulih
berkat pengobatan sederhana yang punya kekuatan besar. Hasil pengobatan itu
membuat hati orang-orangnya Ratu Pekat menjadi salut dan hormat kepada Suto
Sinting.
"Kalau boleh aku
tahu," kata Ratu Pekat. "Apa yang membuatmu menangguhkan keberangkatan kalian, Pendekar
Mabuk?"
"Apakah kau keberatan aku menunda keberangkatanku?" Pendekar
Mabuk ganti bertanya kepada Ratu Pekat.
"Tidak. Sama sekali
tidak. Tapi aku ingin tahu. Apakah karena persoalan tadi malam di
kamarmu?"
"O, bukan karena itu! Itu
hanya sebuah mimpi Singo Bodong yang tiba-tiba menjadi ketakutan karena cahaya
api di dalam kamar padam dengan sendirinya."
Singo Bodong memang tidak
menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Hanya kepada Suto ia ceritakan
semuanya secara bisik-bisik, tapi Suto pun tidak ingin
mempermalukan Cempaka Ungu
dengan membeberkan cerita itu kepada setiap orang. Dan diam-diam Cempaka
Ungu merasa bersyukur,
bahwa cerita tentang kenakalannya itu tidak sampai
didengar oleh ibunya, atau oleh Tengkorak Terbang maupun si Mata Elang.
"Sebelumnya aku
ingin bertanya," kata Suto. "Adakah di antara kita yang
hadir di sini mengetahui simbol atau lambang yang menjadi kebanggaan Siluman
Tujuh Nyawa itu?"
Ratu Pekat menyahut,
"Yang kutahu, setiap kapal sekutunya Siluman Tujuh Nyawa selalu memakai
bendera atau layar bergambar tengkorak dengan tujuh mata rantai melingkarinya. Tengkorak itu melambangkan siluman, tujuh mata
rantai itu melambangkan tujuh
nyawa. Tapi kurasa kita tak perlu membahas soal lambang yang menjadi kebanggaan
dia! Itu urusan mereka. Yang ingin kutanyakan lagi padamu, Pendekar Mabuk,
mengapa kau menanyakan lambang tersebut?"
"Aku hanya ingin
memastikan bahwa lambang tengkorak dengan tujuh mata rantai itu bukan milik
Tengkorak Terbang."
Tengkorak Terbang tertawa dengan suara lengkingnya,
"Hiaah, hiah hah hah hah hah...!"
"Husy! Diam!" bentak
Ratu Pekat dan tawa itu lenyap
seketika. Sepi bagaikan suara
jangkrik terinjak kaki manusia. Ratu Pekat lanjutkan kata-katanya kepada
Pendekar Mabuk,
"Tengkorak Terbang hanya
sebuah julukan karena
kurusnya tubuh dia.
Bukan semata-mata menjadi lambang tersebut."
"Baiklah, jika begitu,
kuingatkan sekali lagi padamu,
Ratu Pekat, bahwa apa yang
pernah dikatakan Dewa
Racun kemarin itu memang
benar."
"Soal apa?" Ratu
Pekat kerutkan dahi.
"Salah satu dari orangmu
adalah mata-matanya
Siluman Tujuh Nyawa!"
"Tidak mungkin! Orangku tidak punya
jiwa pengkhianat!" Ratu Pekat tetap membantah, mungkin karena ingin
menutup rasa malu bahwa ternyata ia lengah dan kemasukan mata-mata tanpa
diketahui sejak kapan bercokolnya.
"Ratu Pekat, percayalah
dengan pendapatku. Ada pengkhianat di sini dan istanamu akan direbutnya, pulau
ini akan dikuasai, kau sendiri mungkin akan diusir, atau dibunuh, atau
dijadikan tawanan dari Siluman Tujuh Nyawa."
"Jangan bicara seenakmu,
Pendekar Mabuk! Apakah kau bisa membuktikan siapa di antara kami yang menjadi
mata-mata?"
"Bisa!" jawab Suto,
matanya melirik ke arah Tengkorak Terbang. Bukan maksud Suto menuduh Tengkorak
Terbang, tapi ia ingin tahu perubahan sikap Tengkorak Terbang sebagai panglima yang baru diangkat kemarin siang itu. Hanya
saja, lirikan mata Suto diartikan lain oleh mereka. Mereka ikut-ikutan
memandang Tengkorak Terbang, sehingga yang dipandang merasa sebagai
pihak yang dituduh.
Berdiri seketika Tengkorak
Terbang dengan kebuasan mata cekungnya, ia berkata dengan suara cemprengnya,
"Hati-hati kau bicara,
Pendekar Mabuk! Sekalipun
kau telah menyelamatkan
lukaku, aku masih tega membunuhmu jika kau mencoba menghasut Ratu! Aku bukan
mata-mata!"
"Aku tidak menuduh
kamu," jawab Suto dengan tersenyum. "Kalau aku memandangmu, itu
karena aku ingin tahu sikapmu sebagai seorang panglima baru di Istana Cambuk
Biru ini! Kau memang bukan mata-mata yang kumaksud, Tengkorak Terbang."
"Lantas siapa orang yang
kau maksud?" sentak Tengkorak
Terbang yang sudah
telanjur dongkol
hatinya.
"Berapa sisa prajurit
yang ada di sini?" tanya Pendekar Mabuk kepada Tengkorak Terbang.
"Lima orang!"
"Kumpulkan dia dan aku
bisa membedakan mana yang mata-mata dan mana yang bukan!"
"Kerjakan!" perintah
Ratu Pekat kepada Tengkorak Terbang. Sang Ratu agak malu menerima kenyataan
itu. Ia menggeram dengan mata memandang dalam terawang kebencian.
"Kalau benar salah satu
prajuritku adalah orangnya Siluman Tujuh Nyawa, maka hal itu adalah kelalaian
dari Pragulo, sebagai ketua keprajuritan ia tidak bisa membedakan mana lawan
dan mana yang bukan lawan." Ratu Pekat palingkan wajah kepada si Mata
Elang dan berkata dengan tegas.
"Jika terbukti ada yang
menjadi mata-mata, pancung
Pragulo lebih dulu!"
"Baik!" jawab si
Mata Elang dengan patuh.
Dewa Racun berkata,
"Setahuku, Siluman Tujuh Nyawa tidak
pernah mengirim
orangnya untuk menyusup
atau mengemban tugas khusus yang tanpa ilmu tinggi. Jika benar ada mata-matanya
di sini, berarti sekalipun ia prajuritmu, Ratu, ia pasti punya ilmu
tinggi!"
"Aku tahu!" kata
Ratu Pekat tegas. "Tapi akan kuhadapi sendiri dia! Setinggi apa pun
ilmunya, akan kuhadapi sendiri dia!"
"Itu hal yang baik,"
kata Dewa Racun, "Sebab, orang- orang yang disebar oleh Siluman Tujuh
Nyawa adalah orang-orang
pilihan, yang sedikitnya punya
ilmu setingkat dengan Gagak Neraka atau Dadung Amuk. Bisa jadi lebih
tinggi tingkatan ilmunya dari kedua orang yang kusebutkan tadi."
Ratu Pekat mau melanjutkan
kata-katanya, tapi Tengkorak Terbang telah datang bersama keempat prajurit.
Mereka diperintahkan Ratu untuk berjejer di depan serambi.
"Mana Pragulo...?!" sentak
Tengkorak Terbang kepada
salah seorang prajurit. Sebelum prajurit itu menjawab, suara Pragulo telah
menyahut dari samping istana sambil berlari-lari.
"Ke mana saja kau?"
"Hmmm... anu, maaf.
Sedang buang hajat di belakang kamar mandi!"
Plakkk...! Tangan Tengkorak
Terbang bergerak cepat menampar pipi Pragulo.
Prajurit yang menjadi kepala
bagian keprajuritan itu
hanya diam saja, menunduk,
merasa bersalah. Kemudian ia diperintahkan berjejer di antara keempat prajurit
lainnya.
"Biar saya yang
menangani, Ratu. Mohon izinmu!" kata Suto.
"Memang harus kau yang
menanganinya!" jawab Ratu Pekat, ia berdiri didampingi si Mata Elang dan
Cempaka Ungu. Sementara itu, Dewa Racun dan Singo Bodong ada di sisi lain, agak
jauh dari mereka.
Kepada para prajurit, Suto
berkata, "Semua buka baju! Aku akan memilih satu orang untuk kubekali
ilmuku, dan kujadikan benteng terdepan dalam menjaga keamanan istana!"
Seorang prajurit berwajah
bengis berkata dengan angkuhnya.
"Apakah ilmumu cukup
tinggi, sehingga kau berani mau melatih kami, hah?!"
"Wiroto! Kerjakan apa
saja perintahnya!" sentak
Tengkorak Terbang dengan mata cekungnya memandang keji kepada prajurit
angkuh yang bernama Wiroto itu.
Kini, kelima prajurit telah
melepas rompi mereka masing-masing. Wiroto hanya bisa melirik benci kepada
Pendekar Mabuk, tapi Pendekar Mabuk hanya tersenyum-senyum saja.
Bahkan dengan santainya ia menenggak bumbung tuak yang sudah terisi kembali
itu.
Glek glek glek...!
Tak ada suara, tak ada
gerakan, kecuali langkah Suto yang memandangi wajah-wajah prajurit dengan penuh
selidik. Suasana mencekam tegang. Cempaka Ungu tampak menahan napas karena
meredam nafsu
kemarahannya.
"Coba kamu maju ke
depan," perintah Pendekar Mabuk kepada Wiroto. Prajurit itu melangkah maju
dua tindak. Pendekar Mabuk memberikan sebatang tombak dan berkata, "Angkat
kedua tanganmu ke atas, dan tahanlah tombak ini. Aku menyalurkan tenaga dalamku
di tombak ini. Aku ingin tahu apakah kau kuat menahannya atau tidak."
"Apa maksudnya orang
itu?" bisik Cempaka Ungu kepada ibunya.
"Diam saja. Biarkan ia
berbuat sesukanya!" jawab
sang Ibu.
Wiroto menahan tombak dengan
kedua tangan ke atas. Rupanya Pendekar Mabuk memang menyalurkan tenaga dalamnya
ke dalam batang tombak itu, sehingga Wiroto tampak merah mukanya sewaktu mempertahankan agar tombak
tetap tersangga dengan kedua tangannya, ia sampai meliuk-liuk hampir jatuh,
lututnya gemetar seperti sedang menyangga beban yang amat besar dan berat.
Akhirnya Wiroto menggeloyor
jatuh, tapi buru-buru ditangkap Pendekar Mabuk, dan tombak itu diambil oleh
Pendekar Mabuk. Wiroto terengah-engah, ia tak mampu menahan tombak itu dalam
sepuluh hitungan. Pendekar
Mabuk geleng-geleng kepala,
"Payah," katanya
meremehkan prajurit sombong itu. Lalu, Pendekar Mabuk menyuruh Pragulo maju ke
depan dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Wiroto.
Pada saat kedua tangan Pragulo
terangkat ke atas untuk menyangga tombak, tiba-tiba Suto berkata kepada
Tengkorak Terbang,
"Lihat tato di bawah
ketiaknya!"
Tengkorak Terbang terkesiap
dan tegang wajahnya, ia berseru sambil mencekal tangan Pragulo agar tetap
terangkat ke atas,
"Ratu, lihat tato di
bawah ketiaknya! Ini lambang
Siluman Tujuh Nyawa!"
Beggg...!
Tiba-tiba Pragulo sentakkan
gagang tombak ke
punggung Tengkorak Terbang.
Saat itu, Ratu Pekat segera berseru,
"Tangkap dia!"
Sebelum yang lain bergerak,
Pragulo sudah lebih dulu melenting di udara dan menjejak kepala salah seorang
prajurit, lalu melesat pergi melarikan diri. Tengkorak Terbang segera
berteriak, "Kejar dia!"
Tapi Ratu Pekat berseru pula,
'Jangan! Biar aku yang mengejarnya!"
Pragulo tak sadar telah
terpancing oleh akal Pendekar Mabuk, ia tak bisa menyangkal tuduhan lagi.
Karenanya ia lebih baik melarikan diri jika harus bertarung dengan beberapa
orang berilmu tinggi yang ada di situ.
Tetapi karena Ratu Pekat
sendiri yang mengejarnya, maka yang lain pun ikut mengejar, hanya beberapa
prajurit yang masih tinggal menjaga istana. Tak lupa, Singo Bodong pun ikut
lari karena ingin menyaksikan pertarungan yang menurut dugaannya pasti akan
seru, sebab sang Ratu turun tangan sendiri.
Langkah Pragulo terhenti
karena terhadang oleh munculnya perempuan berpakaian serba hitam dengan sulaman
benang emasnya, dan mengenakan jubah putih sutera. Perempuan itu menyandang
cambuk pendek berukuran satu depa, kecil seukuran kelingkingnya. Perempuan itu
tak lain adalah Ratu Pekat sendiri.
"Biadab kau, Pragulo!
Ternyata selama ini kaulah racun di dalam istanaku!" geram Ratu Pekat.
"Kau telah kebobolan
beberapa kali, Ratu Pekat! Kau tidak tahu bahwa aku pun ikut ambil bagian
membunuh orang-orangmu pada saat kedatangan Dadung Amuk, juga pada saat
kedatangan Gagak Neraka kemarin itu! Ha ha ha ha...!"
"Jahanam kau!
Hiaaah...!" Ratu Pekat melepaskan pukulan tenaga dalamnya lewat sentakan punggung
pergelangan tangannya. Wuuust...! Seberkas sinar merah melesat ke arah Pragulo.
Tapi orang itu cepat melompat dan menghantamkan pukulan jarak jauhnya melalui
kedua telapak tangan yang dihentakkan ke depan.
Wuuugh...!
Sinar merahnya Ratu Pekat mengenai
tempat kosong, tapi pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi tanpa cahaya itu
juga sempat ditahan oleh sentakan tangan kiri
Ratu Pekat yang melesat tinggi
ke samping.
Begg...!
Ratu Pekat terjengkang jatuh
ke belakang. Itu pertanda tenaga dalam Pragulo lebih besar dari tenaga dalam
yang digunakan menghadangnya.
"Ibu...?!" teriak Cempaka Ungu sambil
cepat mencabut pedangnya. Tapi gerakannya ditahan oleh Tengkorak
Terbang.
"Jangan! Aku yakin, Ratu
bisa selesaikan sendiri urusan itu!
Beri kesempatan pada
dia untuk melampiaskan
dendam dan murkanya!"
Hadir juga di situ Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun bersama Singo Bodong yang terbengong-bengong. Si Mata
Elang hanya bersiap mengambil kesempatan sewaktu-waktu Ratu Pekat terdesak.
Cempaka Ungu segera mendekati Suto, berbisik penuh kecemasan, "Cepat turunlah!
Jangan sampai Ibu celaka!"
"Biar saja! Ibumu ingin
tunjukkan murkanya bagi orang yang mencoba mengkhianatinya!"
"Tapi Ibu dalam keadaan
sakit!" katanya sambil mengguncang lengan Pendekar Mabuk.
"Ibumu pasti bisa
mengatasinya sendiri!" jawab Suto acuh tak acuh. Seakan membalas
keangkuhan Cempaka Ungu. Gadis itu menjadi geram dan salah tingkah sendiri,
sampai tak sadar ia masih berpegangan lengan Pendekar Mabuk. Ketika Suto
melirik, Cempaka Ungu buru-buru melepaskan dengan rasa malu.
Pragulo tampak gesit dan
lincah. Gerakannya begitu cepat, sehingga tombak yang sejak tadi dijatuhkan di
tanah bisa diambilnya hanya
dengan satu sentilan ibu jari kaki. Tapp...! Tombak itu ada di tangannya, lalu
diputar- putar dengan cepat seperti ia memainkan toya. Gerakan jurusnya cukup
indah, enak dipandang mata. Suto memuji
gerakan indah jurus
itu, yang mampu merenggangkan kaki lurus ke tanah
sambil memainkan tombak
berputar, bahkan
menggelincir sendiri di punggungnya yang membungkuk itu. Sambil membungkuk, Pragulo melepaskan pukulan jarak jauhnya ke atas, ke arah
dada Ratu Pekat. Tetapi Ratu Pekat menghindar dengan satu kali sentakkan kaki,
tubuhnya melenting di udara dan bersalto satu kali.
Sambil bersalto rupanya Ratu
Pekat cepat mencabut cambuknya. Begitu mendarat di tanah dengan kaki tegak,
cambuk kecil itu segera dikibaskan ke depan. Jaraknya tak menjangkau, tapi
ujung cambuk itu menyemburkan cahaya biru petir dan menggelegar. Duarrr...!
Pragulo cepat sentakkan
tombaknya ke tanah dan tubuhnya terangkat terbang tinggi-tinggi, lalu tombak
itu dilemparkan dengan cepatnya ke tubuh Ratu Pekat. Wuttt...! Jrubb...!
Tombak itu menancap di tanah
karena Ratu Pekat menghindar, sedangkan
cahaya biru petir tadi menghantam sebuah pohon yang membuat
pohon itu lenyap dalam sekejap tanpa bekas sedikit pun.
Pragulo mendaratkan kakinya di
tanah dengan sedikit merendah. Lalu, kedua tangannya bergerak mengeras
dari samping pinggul naik ke atas
pelan-pelan.
Tubuhnya sampai kelihatan bergetar. Tubuh itu mengeluarkan asap kebiru-biruan. Dewa
Racun cepat berteriak,
"Minggir semua! Dia mau
tebarkan Racun Pemunah Bangkai! Minggir semuaaa...! Tutup hidung
kaliaaan...!" Asap kebiruan itu makin tebal membungkus diri Pragulo. Semua
mundur menjauh sambil tutup hidung dengan tangan mengikuti Dewa Racun. Tetapi,
Ratu Pekat tidak mau mundur bahkan melancarkan pukulan
cambuk birunya lagi.
Duarrr...!
Cahaya sembur biru kilat
mengenai tubuh Pragulo. Tetapi tubuh itu tidak lenyap seperti pohon tadi. Tubuh
itu tetap bergerak pelan mendorong tangannya ke atas. Ratu Pekat menjadi tegang
melihat pukulan 'Cambuk Biru'-nya tidak mempan untuk Pragulo. Tapi sang Ratu
semakin penasaran.
"Cepat ambil sang
Ratu!" teriak Dewa Racun dari kejauhan. "Sekali dia sentakkan
tangannya, Racun Pemunah Bangkai akan menyebar!"
Wuuttt... wuttt...! Pendekar
Mabuk bergerak cepat menyambut sang Ratu dan membawanya pergi menjauh. Pragulo
seperti orang kesurupan, masih tetap berdiri dengan gerakan berotot dan asap
makin banyak mengepul dari tubuhnya. Tangannya sudah hampir disentakkan ke
depan. Tetapi, Pendekar Mabuk cepat tenggak tuaknya dan melompat beberapa kali
berjungkir balik di tanah. Tap tap tap tap tap...! Cepat sekali!
Pendekar Mabuk tiba di depan
Pragulo. Tepat pada
saat itu Pragulo sentakkan
kedua tangannya ke depan, ke arah Pendekar Mabuk. Tapi segera Pendekar Mabuk
semburkan tuak dari dalam mulutnya itu. Brusss...!
"Aaaaahk...!" Pragulo memekik dengan tubuh mengejang, kepala
terdongak ke atas, mulut terbuka lebar dan mata terpejam kuat. Pukulan Racun
Pemunah Bangkai itu membalik menyerang dirinya sendiri, dan akibatnya tubuh
Pragulo itu mulai menghitam. Lama- lama kulit tubuhnya menjadi lumer, bau busuk
menyebar tajam. Suto cepat tinggalkan tempat karena tak tahan bau bangkai itu.
Dari kejauhan, semua yang
tutup hidung hanya bisa memandang dengan mata melotot melihat tubuh Pragulo
menjadi lumer hitam, dan akhirnya jatuh ke tanah dalam keadaan tetap melumer
menjijikkan. Akhirnya tubuh Pragulo
tak berbentuk manusia lagi, melainkan berbentuk cairan kental hitam
yang baunya sangat busuk.
Cempaka Ungu muntah-muntah
seketika. Singo Bodong juga muntah-muntah sampai tak sadar mengenai punggung
Dewa Racun. Tentu saja ia mendapat tamparan Dewa Racun yang merasa jijik
terkena muntahan Singo Bodong.
Pendekar Mabuk segera
menenggak tuaknya lagi, lalu ia melompat dengan cepat dan tiba di dekat benda
lumer itu dan menyemburkan tuak dalam mulutnya, Brusss...!
Bau bangkai itu mulai menipis.
Angin pantai membuatnya
terbang, dan cepat menjadi hilang. Sementara itu, Dewa
Racun tertegun bengong melihat
apa yang dilakukan Suto tadi.
Menyemburkan tuak membuat bau busuk itu hilang, sudah merupakan hal yang
menakjubkan buat Dewa Racun. Karena dia tahu, bau bangkai itu tidak bisa hilang
selama tujuh hari. Tapi ternyata dengan semburan tuak bisa cepat lenyap.
"Luar biasa dia
itu...?!" gumamnya dengan mulut masih bau anyir ikan bakar.
"Terima kasih, Pendekar
Mabuk. Sekali lagi kau telah menyelamatkan aku!" kata Ratu Pekat kemudian.
"Karena aku punya
pamrih," jawab Suto. "Pamrih apa?!" tanya Cempaka Ungu.
"Sebuah perahu!"
jawab Pendekar Mabuk dengan
senyum.
"Jadi, kau akan bertolak
sekarang juga atau nanti sore?" tanya si Mata Elang.
"Sedang kupertimbangkan
kapan aku harus pergi dari
pulau ini."
"Rupanya ada hal yang
meragukan dirimu?" tanya
Tengkorak Terbang.
"Terus terang saja,
memang ada keraguan pada diriku!"
"Keraguan apa?"
tanya Ratu Pekat.
"Semalam kulihat Pragulo
melakukan hubungan jarak jauh dengan seseorang. Sepertinya dengan Siluman Tujuh
Nyawa. Dia berdiri di batu sebelah sana," Suto menunjuk arah batu itu.
"Dia menyebut-nyebut istanamu yang lemah."
"Kalau begitu, mereka
akan datang menyerang pulau ini?" kata Ratu Pekat dalam kecemasan.
"Mereka siapa, Ibu?"
"Kapal Siluman Tujuh Nyawa!"
"Menyerang kita? Kita
yang lemah seperti ini akan kedatangan mereka? Apakah kita mampu
bertahan?!"
Si Mata Elang memandang
Tengkorak Terbang, dan Tengkorak Terbang sendiri menatap tegang pada si Mata
Elang.
"Tak bisakah kau tinggal
sesaat lagi, Pendekar Mabuk?" tanya Tengkorak Terbang dengan nada memohon.
"Ya, tinggallah beberapa
hari lagi di sini," sahut Ratu
Pekat.
"Aku harus berunding
dengan Dewa Racun dulu," kata Suto. Tapi matanya tertuju pada Cempaka
Ungu, dan gadis itu menatap penuh harap. Sebuah harapan untuk sebentuk
perlindungan. Haruskah Suto menunda lagi perjalanannya ke Pulau Serindu?
SELESAI