MAYAT hidup yang penuh
belatung itu bergerak lamban menuju tepian hutan. Mayat itu tak lain adalah
mayat Resi Dirgantara yang telah dibangkitkan kembali dari kuburnya oleh
seorang tokoh aliran hitam yang cantik dan bertubuh ramping. Perempuan yang
bisa membangkitkan mayat dari kuburnya itu tak lain adalah Ratu Sangkar Mesum;
Penguasa Pulau Cumbu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kipas
Dewi Murka").
Semasa hidupnya Resi
Dirgantara adalah tokoh aliran putih yang ilmunya cukup tinggi. Tapi setelah
mendapat pengaruh gaib dari Ratu Sangkar Mesum, kebangkitan mayatnya menjadi
liar dan buas. Ia tak mengenal lawan maupun teman, mereka diserang dengan
membabi buta dengan tujuan untuk dibunuh. Mayat hidup itu bagaikan tak suka
melihat seseorang hidup dengan raga dan sukma secara utuh. Karenanya, siapa
saja yang ditemuinya selalu diserang dan dihancurkan.
Kali ini orang yang kepergok
perjalanan si mayat hidup itu adalah seorang gadis berjubah merah menyolok
dengan baju dalamnya yang tanpa lengan itu berwarna kuning gading. Rambutnya
lurus sepundak bagian depan diponi rata. Hidungnya bangir, matanya bundar,
bibirnya ranum menggairahkan. Gadis itu berdada montok dengan pinggul yang amat
menggiurkan lawan jenisnya. Sayang sekali kecantikannya itu berkesan angkuh dan
jarang tersenyum, sehingga tidak setiap pemuda berani mendekatinya.
Gadis yang punya sifat tidak
mudah percaya dengan omongan orang itu membawa kendang kecil yang dikalungkan
memakai kain selendang merah. Kendangnya berukuran tiga jengkal, terbuat dari
kayu coklat tua berukir. Kendang itu yang menjadi ciri penampilannya sebagai
murid Nyai Serat Biru yang dikenal dengan nama si Gadis Dungu, walau nama
aslinya adalah Indayani.
Pendekar Mabuk yang bernama
Suto Sinting itu sangat kenal dengan si Gadis Dungu, karena ia pernah membantu
menyelamatkan gadis itu dari ancaman maut para tokoh beraliran hitam. Indayani
pernah diduga sebagai tokoh muda yang akan menghancurkan aliran hitam pada usia
dua puluh lima tahun nanti, karena ia ditafsirkan sebagai gadis Titisan Dewa
Pelebur Teluh. Penafsiran itu ternyata salah, karenanya ia diungsikan oleh sang
Guru ke Puncak Gunung Randu untuk menghindari pertikaian akibat salah duga itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : Titisan Dewa Pelebur Teluh").
Gadis Dungu itu keluar dari
pengasingannya karena diutus oleh sang Guru untuk menemui seorang tokoh tua
yang namanya cukup kondang di dunia persilatan, yakni Resi Pakar Pantun.
Tetapi perjalanannya terpaksa
terhenti oleh kemunculan sosok mayat hidup yang seluruh tubuhnya berbelatung
menjijikkan. Secara tak langsung mayat itu telah menghadang langkahnya di
tepian hutan. Gadis Dungu tak mau melarikan diri walau sebenarnya dalam hatinya
merasa jijik dan ngeri melihat penampilan mayat yang tubuhnya telah hancur dan
membusuk itu. Ia beranikan diri untuk berhenti dengan hati membatin,
"Apa maksudnya makhluk
asing ini menghadangku? Agaknya ia tak bisa diajak bicara lagi. Tapi jika ia
bermaksud tak baik padaku, dengan sangat terpaksa aku akan
menghancurkannya!"
Mayat hidup itu bergerak lebih
mendekat lagi. Langkahnya gontai dan menyebarkan bau busuk yang memuaikan
perut.
Keangkuhan si Gadis Dungu
itulah yang membuatnya tak mau pergi dari tempatnya berdiri, ia bahkan berseru
dengan nada membentak si mayat hidup itu. "Apa maumu menghadangku, hah?!
Mau minta dihancurkan?!"
"Krrrraaark...
krrraakkh... gggrrhh...," hanya itu yang bisa keluar dari mulut mayat
hidup yang bagian bibirnya telah digerogoti belatung berjubel-jubel itu.
Gadis Dungu tak bisa mengenali
wajah itu, sehingga ia tidak tahu bahwa mayat tersebut adalah mayat Resi
Dirgantara yang pernah dikenalnya semasa kecil. Resi Dirgantara mempunyai adik
bungsu: Nyai Serat Biru, sedangkan Nyai Serat Biru adalah gurunya si Gadis
Dungu. Seharusnya Indayani menaruh hormat kepada Resi Dirgantara. Namun dalam
keadaan tubuh dan wajah hancur begitu, si Gadis Dungu tidak punya hasrat untuk
menghormat kepada kakak dari gurunya itu.
"Gggrrhh... kaarrrh...
kkhhaark...!" mayat hidup itu perdengarkan suaranya yang serak dan tak
jelas maksudnya sambil terus dekati si Gadis Dungu.
Setelah mereka dalam jarak
lima langkah, tiba-tiba mayat hidup itu melayang bagaikan terbang dengan jari-
jari tangan yang berkuku panjang dan runcing itu siap menerkam. Weeess...!
Belatung-belatung berhamburan karena gerakan terbang itu. Bola matanya yang
putih rata bergerak-gerak dengan menyeramkan.
Indayani cepat sentakkan
kakinya dan bersalto ke belakang dua kali setelah sebelumnya mundur mencapai
samping pohon. Akibatnya mayat terbang itu menghantam pohon tersebut dengan
keras. Prrrook...!
Krrraaakk... brrruuuuk!
Pohon itu tumbang seketika,
batangnya yang sebesar satu pelukan manusia dewasa itu patah karena terjangan
mayat hidup tersebut. Si Gadis Dungu terperanjat melihat kekuatan mayat hidup
yang mampu mematahkan batang pohon sebesar itu.
"Gila! Rupanya ia punya
kekuatan yang cukup besar?! Oh, aku harus hati-hati melawannya."
Sebagian daging yang membusuk
ada yang jatuh akibat benturan dengan batang pohon tadi, demikian juga
belatung-belatungnya berguguran. Namun bukan berarti semua belatung jatuh dari
tubuhnya yang busuk, karena dari dalam kebusukan itu masih tersisa ratusan
belatung yang saling berjubel-jubel. Mayat yang tangan kirinya telah buntung
itu bagai tidak mempunyai rasa sakit. Walau ia telah jatuh terpuruk karena
benturan dengan pohon, namun dalam waktu singkat ia telah bangkit kembali dan
menggeram mengerikan dengan gerakan kepala mencari di mana mangsanya berada.
Indayani segera menabuh
kendangnya saat mayat itu mulai melangkah mendekatinya lagi. Kendang kecil itu
ditabuh dengan dua tangan dan keluarkan bunyi yang nyaring didengar.
Dung plak, plak, dung, dung,
plak. Dung, plak, dung, dung!
Plak, dung-dung, plak
dung-dung, plak-plak, bledug! Suara gaib kendang membuat mayat akhirnya menari-
nari dengan gerakan kaku.
Sesekali terdengar suara geramnya pertanda ia jengkel pada dirinya sendiri yang
sebenarnya tak mau menari. Tetapi karena suara gaib dari bunyi
kendang itu berlalu
terus, semakin cepat iramanya semakin cepat tariannya.
Akhirnya mayat Resi Dirgantara itu berjingkrak-jingkrak mengikuti irama kendang
dengan tarian yang tak jelas aturan geraknya.
Dung, biang, dung, biang...
plak. Plak, plak, dung-dung.
Biang, piak dung, dung, plak,
dung, dung. Biang, biang, duuut... biang, biang, duuut...!
"Goyang terus sampai
pagiii...!" ledek Indayani sambil tetap menabuh kendangnya dengan irama
cepat. Mayat itu pun menari kian penuh semangat. Gerakannya tak beraturan lagi,
kakinya berjingkrak ke sana kemari, tangan kanannya berkelok-kelok tanpa
mempunyai gerakan gemulai. Kepalanya kadang menggeleng ke kiri- kanan, sesekali
tersentak ke depan, pinggul pun bergoyang lucu.
Ada suara tawa yang
tersembunyi di balik pepohonan agak jauh. Suara tawa itu mengikik pertanda
datang dari mulut seorang gadis juga. Hanya saja, mulut mungil gadis yang
tertawa itu tiba-tiba terbekap sebuah tangan yang datang dari belakangnya. Mau
tak mau si gadis tak bisa mengikik geli melihat mayat hidup menari dan
bergoyang pinggul.
"Uuff... uuff...!
Puih...!" gadis itu menyentakkan tangan yang membekapnya.
"Kenapa aku tak boleh
tertawa? Orang berpenyakit kulit itu lucu. Sudah penyakitan masih saja menari
berjoget begitu mendengar suara kendang."
"Dia bukan orang
berpenyakit kulit. Dia adalah mayat hidup." "Hahh...?! Mayat?!"
gadis berwajah mungil itu mendelik dan menjadi tegang.
"Mayat itu dibangkitkan
dengan kekuatan gaib oleh seorang tokoh beraliran hitam, tapi karena sudah
tidak dikendalikan oleh kekuatan batin orang tersebut, maka mayat itu hidup
dengan liar."
"Oh, benarkah beg...
begitu...?!" si gadis mulai gemetar. Wajah cantiknya segera berubah pucat
pasi.
Pemuda tampan yang
mendampinginya tertawa tertahan dan berkata dalam gumam,
"Yang jadi mayat di sana
kok yang pucat di sini?!" "Benarkah dia mayat hidup, Suto?!"
tanya si gadis
berpakaian kuning berbelahan
dada lebar. Gadis berambut lurus panjang sepunggung itu tak lain adalah Dewi
Kejora yang akrab dipanggil dengan nama Kejora saja. Sedangkan pemuda tampan
berbaju coklat tanpa lengan dengan celana putih itu adalah Pendekar Mabuk; Suto
Sinting, yang kemana-mana selalu membawa bambu bumbung tuak.
"Lalu... lalu siapa gadis
penabuh kendang itu?
Apakah kau mengenalnya?!"
Pendekar Mabuk ingin menjawab,
tapi mulutnya hanya sempat ternganga, karena tiba-tiba ia mendengar suara
ledakan yang cukup mengejutkan.
Jegaaar...!
Pandangan matanya segera
tertuju pada si Gadis Dungu yang akan disebutkan namanya. Di sana terjadi
ledakan yang mengepulkan asap sepintas. Pendekar Mabuk tertegun sejenak melihat
kenyataan yang ada di depannya. Mayat hidup itu ternyata telah menjadi hancur
dengan potongan-potongan dagingnya menyebar ke mana-mana, menempel pada
pepohonan serta daun-daun lebar. Rupanya si Gadis Dungu telah menghantamnya dengan
tenaga dalam bersinar biru dari tangannya.
Pada saat si mayat berjoget
dengan gerakan semakin cepat, kendali kekuatan tenaga dalamnya pun terlepas.
Dan pada saat itulah Indayani menghantamnya dengan sinar biru yang mampu
menghancurkan baja. Pada saat itu juga mayat pun hancur menjadi
berkeping-keping. Jika kendali kekuatan tenaga dalam masih bekerja secara
naluri, maka si mayat hidup itu sukar dihancurkan dengan kekuatan tenaga dalam
macam apa pun.
Pendekar Mabuk hanya bisa
menggumam, "Celaka! Gadis Dungu tak tahu siapa mayat itu, sehingga dengan
seenaknya menghancurkannya!"
"Siapa yang kau maksud
Gadis Dungu?" tanya Kejora yang memang kecerdasannya kurang.
"Siapa lagi kalau bukan
si penabuh kendang itu." "O, jadi kau mengenalnya?"
"Ya, aku mengenalnya.
Sebaiknya kita temui dia!"
Pemuda tampan berbadan kekar
dan gagah itu segera membawa Kejora menemui si Gadis Dungu. Kehadiran pemuda
berambut lurus tanpa ikat kepala sepanjang pundak itu membuat Indayani
terperanjat girang.
"Oh, kau... kau Suto Sinting,
bukan?!"
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum menawan. "Bukan. Aku adalah si Dogol!"
Suto Sinting memancing ingatan
si Gadis Dungu yang dulu tak mau percaya bahwa dirinya adalah Pendekar Mabuk
bernama Suto Sinting. Senyum geli mekar di bibir angkuh Indayani karena ingat
dulu ia memanggil Suto Sinting dengan nama si Dogol, karena ia tak mau percaya
pengakuan Suto Sinting tentang jati dirinya.
"Indayani, maukah kau
kukenalkan dengan sahabat baruku ini?" ujar Suto Sinting memperkenalkan
Kejora kepada Indayani. Senyum si Gadis Dungu tiba-tiba lenyap begitu memandang
ke arah Kejora. Pandangan matanya berkesan sinis, sementara Kejora sendiri juga
memandang kurang bersahabat.
"Rupanya kau terlalu
mudah terpikat oleh wajah yang tak seberapa cantik itu, Dogol!" ucap
Indayani dengan ketus.
Kejora segera bertanya kepada
Suto Sinting dengan kepolosannya, "Apakah wajahku kurang cantik,
Suto?"
"Hmmm... eeh...
anu...," Suto Sinting jadi salah tingkah, tak enak hati mendengar ucapan
Indayani tadi.
"Atau barangkali kau
memang gemar bersahabat dengan gadis berwajah musang?!"
Kejora kembali bertanya kepada
Pendekar Mabuk, "Suto..., apakah wajahku ini mirip wajah musang?"
"Iya...!" jawab
indayani dengan ketus sekali. "Suto, musang itu seperti apa?"
"Ya seperti kamu itu!"
sahut Indayani. "O, kalau begitu musang itu cantik, ya?!"
"Hhhmmm...!"
Indayani buang muka sambil mencibir. Pendekar Mabuk buru-buru mengatasi suasana
tak akrab itu dengan mengalihkan pembicaraan. "Ehhhmm... Indayani, mengapa
kau keluar dari
pengasinganmu?"
"Aku diutus oleh Guru
untuk menemui Resi Pakar Pantun."
"Oh. Resi Pakar
Pantun...?!" Suto Sinting kerutkan dahi sedikit. "Ada perlu apa Nyai
Serat Biru mengutusmu mencari Resi Pakar Pantun?"
Dengan dagu sedikit terangkat
hingga tampak angkuh, Indayani menjawab, "Guru ingin meminta bantuan Resi
Pakar Pantun untuk mengurus makam kakak sulungnya; Resi Dirgantara. Sebab, ada
kabar yang didengar oleh Guru bahwa jenazah Eyang Resi Dirgantara telah
dibangkitkan seseorang. Guru ingin meminta bantuan Resi Pakar Pantun untuk
mengembalikan jenazah Eyang Resi Dirgantara ke makamnya. Menurut Guru, Eyang
Resi Dirgantara semasa hidupnya adalah sahabat Resi Pakar Pantun."
"Indayani...," ucap
Suto Sinting agak ragu. Gadis itu memandang dengan angkuhnya sebagai unjuk
lagak di depan Kejora.
"Apakah... apakah kau tak
tahu bahwa mayat yang kau hancurkan itu adalah mayat Eyang Resi
Dirgantara?!"
"Hahh...?!" Indayani
terperanjat kaget, dahinya berkerut tajam, matanya memandang lekat-lekat pada
Suto Sinting.
"Aku bicara dengan
sesungguhnya, Indayani. Mayat hidup itu adalah mayat Resi Dirgantara yang
dibangkitkan kembali dari kuburnya oleh Ratu Sangkar Mesum untuk mengejar dan
membunuh Resi Pakar Pantun. Tapi usaha itu sempat kugagalkan dan Resi Pakar
Pantun sekarang berada di pondoknya Nini Kalong."
Dengan mengangkat wajah
sedikit Indayani berkata, "Kau pikir aku percaya dengan bualanmu?!"
"Aku tidak membual. Kau
boleh tanyakan sendiri kepada Resi Pakar Pantun."
"Hmmm...!" Indayani
mencibir. "Indayani bukan gadis sebodoh gadismu itu. Aku tak bisa kau tipu
dengan kata-kata seperti itu."
"Mengapa kau tidak mau
percaya dengan penjelasanku, Indayani? Aku sendiri pernah melawan mayat hidup
itu!"
"Jangan sesumbar walau di
depan gadis setengil dia, Suto!" sambil Indayani menuding Kejora.
"Kau tak akan mampu melawan kekuatan mayat hidup tadi. Hanya akulah yang
mampu menghancurkannya, dan kau sudah lihat sendiri buktinya!"
"Kalau aku mau sudah
kuhancurkan sejak dulu. Tapi aku ingat bahwa dia adalah mendiang kakak dari
gurumu, jadi aku tak berani menghancurkannya. Aku berani bersumpah apa pun, dia
memang mayat Resi Dirgantara!"
"Persetan dengan
sumpahmu! Urus saja gadismu yang pikun itu! Aku akan mencari Resi Pakar
Pantun!" ketus Indayani semakin tajam, lalu tanpa permisi lagi ia melesat
pergi tinggalkan tempat itu. Pendekar Mabuk hanya bisa geleng-geleng kepala
sambil memandangi kepergian Indayani.
*
* *
2
SETELAH berhasil membunuh
orang kepercayaan si Raja Iblis alias Barakoak, dan berhasil pula memporak-
porandakan Candi Bangkai dengan hembusan napas badainya, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Utusan Raja Iblis"), Suto Sinting segera
berunding kembali dengan ketiga kakak-beradik cantik-cantik itu; Dewi Hening,
Kejora, dan si kecil tengil Menik. Perundingan itu menghasilkan putusan
pembagian tugas; Dewi Hening pergi ke Lembah Sunyi untuk temui Resi Wulung
Gading dan menanyakan tentang keberadaan pusaka leluhurnya yang bernama
Panji-panji Agung alias Panji-panji Mayat. Kepergian Dewi Hening, sang kakak
sulung itu, didampingi oleh adik bungsunya yang kecil dan tengil; Menik, yang
selalu berlagak sok tua itu.
Sedangkan Pendekar Mabuk
didampingi Kejora pergi ke Jurang Lindu untuk menemui si Gila Tuak, guru Suto
Sinting sendiri. Karena diduga si Gila Tuak juga mengetahui tentang pusaka
Panji-panji Agung yang menjadi pusaka warisan dari leluhurnya tiga kakak-
beradik itu. Karena menurut cerita Dewi Hening, eyang buyutnya yang bernama
Sabang Wirata, juga mendiang nenek mereka yang bernama: Nyai Parisupit, adalah
bekas sahabat si Gila Tuak.
"Menurut cerita
Nenek," kata Kejora sebelum mereka berbagi tugas, "Eyang Sabang
Wirata pernah ditolong oleh sahabatnya yang bernama Ki Sabawana saat
mempertahankan pusaka Panji-panji Agung dari tangan Gajahloka. Ki Sabawana
itulah yang sekarang dikenal dengan nama si Gila Tuak dan. "
"Gajahloka itu
siapa?" potong Suto karena merasa asing dengan nama itu.
Dewi Hening yang menjawab
pertanyaan tersebut dengan suara berbisik:
"Gajahloka adalah anak
dari Eyang Kurupati. Sedangkan Eyang Kurupati adalah saudara tiri Eyang Sabang
Wirata termasuk saudara seperguruan. Gajahloka mempunyai tiga anak, yang bungsu
seorang perempuan, dan perempuan itu adalah Ibu dari Barakoak."
"O, jadi Gajahloka adalah
kakeknya Barakoak?" "Benar," jawab Dewi Hening yang selalu
menggunakan suara bisik karena
suara lantangnya mempunyai kekuatan gaib yang cukup dahsyat, berakibat buruk
jika diperdengarkan.
"Sekarang bagaimana nasib
Gajahloka? Apakah ia masih hidup?" tanya Suto Sinting.
"Kami tak pernah mendapat
penjelasan tentang nasib Gajahloka sekarang ini," jawab Dewi Hening dalam
suara desah membisik. "Barangkali gurumu si Gila Tuak lebih tahu tentang
Gajahloka ketimbang kami, Suto."
Dari hasil pembicaraan itulah
maka mereka berpisah langkah. Sebenarnya si kecil Menik ingin sekali ikut
bersama Pendekar Mabuk, tetapi Kejora ngotot bahwa dirinya yang harus ikut
mendampingi Pendekar Mabuk. Si kecil Menik yang berotak cerdas dan sok tua itu
sempat berdebat lucu dengan Kejora, tapi akhirnya Dewi Hening memutuskan agar
si kecil Menik ikut bersamanya ke Lembah Sunyi menemui Resi Wulung Gading.
Namun perjalanan menuju tempat
kediaman Gila Tuak itu terhenti akibat berpapasan dengan langkah seorang lelaki
berusia sekitar empat puluh tahun. Orang itu berpakaian hijau tua, berbadan
kurus dan agak pendek, tanpa kumis dan jenggot, dengan rambutnya yang pendek
hitam berikat kepala putih. Pendekar Mabuk sangat kenal dengan orang tersebut
yang tak lain adalah pelayan dari Resi Pakar Pantun bernama si Kadal Ginting.
Lelaki yang tak cukup punya
keberanian itu segera berlari menyongsong langkah Suto Sinting dengan wajah
tegang dan terengah-engah. Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi karena merasa
heran melihat Kadal Ginting berjalan sendirian, sementara Kejora sempat
berlindung di belakang tubuh kekar Pendekar Mabuk karena merasa takut melihat
wajah jeleknya si Kadal Ginting.
"Beruntung sekali aku
bisa bertemu denganmu, Suto!"
"Biasanya kau mendampingi
tuanmu; Resi Pakar Pantun, tapi mengapa sekarang kau sendirian, Kadal Ginting?!"
"Itulah kebingunganku, Suto," jawab Kadal Ginting dengan wajah mulai
tampak tenang, karena merasa bertemu dengan tokoh sakti yang dapat
melindunginya sewaktu-waktu dan bisa diharapkan bantuannya. Tetapi begitu Kadal
Ginting mengetahui bahwa Pendekar Mabuk bersama seorang dara cantik jelita,
rasa takutnya itu semakin ditekan habis dan dipaksakan agar tak tampak sama
sekali, ia malu kepada sang dara cantik jika kelihatan jiwa pengecutnya. Ia tak
tahu bahwa Kejora pun seorang gadis yang mudah dicekam perasaan takut.
Dengan sedikit lebih tegas
lagi, Kadal Ginting menyambung ucapannya yang tadi terhenti karena matanya
melirik Kejora.
"Aku terpisah dengan
Eyang Resi sejak pertarungan dengan pihak Ratu Sangkar Mesum. Sampai sekarang
aku tak pernah berhasil menemukan Eyang Resi. Apakah kau mengetahui di mana
beliau sekarang, Suto? Soalnya upah bulananku untuk bulan ini belum kuterima
dari beliau."
Pendekar Mabuk sunggingkan
senyum geli. Ia teringat peristiwa pertemuannya dengan Resi Pakar Pantun saat
sang Resi dikejar-kejar Ratu Sangkar Mesum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kipas Dewi Murka"). Maka kisah itu pun dituturkan oleh
Pendekar Mabuk dan Kadal Ginting segera ajukan tanya,
"Kalau begitu, apakah
sampai sekarang Eyang Resi masih ada di pondoknya Nini Kalong?"
"Mungkin saja masih di
sana, tapi mungkin juga sudah pergi. Aku tak bisa pastikan, Kadal Ginting.
Tetapi seandainya Resi Pakar Pantun sudah tidak ada di Hutan Rawa Kotek, kau
bisa tanyakan arah kepergiannya kepada Nini Kalong; si Penguasa Hutan Rawa
Kotek itu."
Kadal Ginting ingin bicara
lagi, tapi tiba-tiba tubuhnya mengejang dan kaku. Matanya mendelik dan mulutnya
ternganga bagai tak bisa bernapas lagi.
"Suto, kenapa dia?!"
Kejora menjadi tegang dan matanya ikut terbelalak kaget.
Zlaaap, zlaaap...! Pendekar
Mabuk melesat dengan cepat bagaikan menghilang, ia menggunakan jurus 'Gerak
Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah itu. Ia berkelebat
menuju kerimbunan pohon di sebelah selatan, karena ia tadi sempat melihat sekelebat
warna putih kemliau menerjang punggung Kadal Ginting yang berjarak tiga langkah
dari depannya itu. Warna putih kemilau itu datangnya dari balik semak sebelah
selatan.
Namun usahanya mencari
penyerang gelap tak berhasil. Pendekar Mabuk cepat kembali ke tempat semula
untuk memeriksa keadaan Kadal Ginting.
"Ooh...?!" alangkah
terkejutnya Pendekar Mabuk ketika kembali ke tempat semula ternyata Kejora
sedang terancam bahaya.
Seorang perempuan cantik
sedang menodongkan sebilah pedang ke leher Kejora. Tubuh gadis itu berada
merapat dengan pohon dan kepalanya sedikit terdongak, ia tak berani berteriak,
bahkan bergerak sedikit pun tak berani dilakukan. Perempuan yang menodongkan
sebilah pedang itu memandangi Suto Sinting dengan pandangan cukup tajam, senyum
sinis tampak mekar di bibirnya yang sedikit tebal namun menggiurkan itu.
Sedangkan si Kadal Ginting dalam keadaan tertelungkup tak sadarkan diri. Di
punggungnya menancap kuat sebuah benda logam putih mengkilat anti karat
berbentuk mata tombak.
"Siapa perempuan
itu?" pikir Suto Sinting dalam hati. "Seingatku baru sekarang aku
bertemu dengannya. Hmmm... tak jelas siapa yang dimusuhinya antara aku, Kejora,
dan si Kadal Ginting. Tapi mengapa ia pergunakan Kejora sebagai sandera?
Agaknya ia ingin bicara denganku."
Pendekar Mabuk masih tetap
tenang dengan pandangan mata tak mau lepas dari seraut wajah cantik berpakaian
seronok. Perempuan itu hanya mengenakan kutang dari kain warna hijau disulam
benang emas. Kain penutup dada yang montok itu sangat kecil, hingga seolah-olah
menutup bagian ujung seperlunya saja. Kain kutangnya yang melingkar ketat ke
belakang itu terbuat dari rantai kuning emas.
Pakaian bawahnya kain hijau
berbelahan empat, tinggi belahan sampai ke bawah pinggulnya. Jika bergerak kain
itu menyingkap hingga tampak kulit pahanya menantang hasrat bagi lawan
jenisnya. Kulit bertubuh sekal itu tampak halus mulus berwarna kuning langsat.
Namun pada bagian atas payudaranya yang kiri tampak terdapat sebuah tato
bergambar seekor naga berukuran sejengkal.
"Apa maksudmu mengancam
sahabatku itu, Nona?!" sapa Suto Sinting kepada perempuan berusia sekitar
dua puluh lima tahun itu.
"Aku menuntut kematian
pamanku. Kudengar kabar dari para korban yang selamat, Pendekar Mabuk itulah
orang yang membunuh pamanku. Dan kau adalah Pendekar Mabuk yang memihak
keluarga Dewi Hening, bukan?!"
"Siapa pamanku itu,
Nona?!'
"Badai Kutub!" jawab
gadis itu dengan tegas. Matanya yang berkesan jalang memandang nanar, namun
masih tampak sinar penggoda dari pandangan mata itu. Agaknya perempuan berambut
mekar terurai dan berbentuk ikai bergelombang itu punya maksud sendiri dari
tatapan matanya. Nyaris tak terlihat sinar kebencian walau sikapnya bermusuhan
kepada Pendekar Mabuk.
Ketika Suto Sinting ingin
memeriksa keadaan Kadal Ginting, tiba-tiba perempuan yang masih tampak muda dan
cantik sekali itu menghardik dengan suara keras,
"Jangan melangkah
lagi!"
Maka Suto Sinting pun tak jadi
melangkah.
"Satu langkah lagi kau
maju, leher Kejora kurobek dengan pedangku ini!" ancamnya penuh
kesungguhan, karena genggaman tangannya pada pedang tampak mengencang.
"Lalu apa maksudmu
menyerang Kadal Ginting dan menyandera Kejora, Nona?" "Kau harus
menebus kematian pamanku; si Badai Kutub. Sebab dialah yang memelihara aku
sejak kedua orangtuaku tiada saat aku berusia empat tahun!"
"Aku tak melihat dendam
di matamu. Apa yang ingin kau tuntut dariku sebenarnya? Tuntutlah aku dan
lepaskan Kejora!"
"Tidak bisa! Gadis ini
akan kubunuh jika kau tak mau menuruti permintaanku."
"Apa permintaanmu?"
desak Suto Sinting sambil matanya memperhatikan gerakan tangan perempuan itu.
Tangan yang tak berpedang itu mengambil sesuatu dari dalam kutangnya, kemudian
sesuatu itu dilemparkan kepada Suto Sinting dan dengan cepat Suto Sinting
menangkapnya. Wuuut...!
Ternyata sesuatu yang
dilemparkan itu adalah obat berbentuk butiran kecil sebesar kotoran kambing,
berwarna hitam dan berbau rempah-rempah. Perempuan muda berhidung mancung itu
berseru kembali kepada Suto Sinting.
"Telan obat itu, jika
tidak maka pedangku ini akan menembus leher gadismu ini!"
"Jaaa... jaaa...
jangan...!" Kejora ketakutan sekali, wajahnya pucat dan keringat dinginnya
mengalir.
Pendekar Mabuk pandangi obat
itu dalam kebimbangan, ia menatap perempuan berdada besar itu dan ajukan tanya
dengan sikapnya tetap tenang.
"Obat apa ini?"
"Telan saja, dan kau akan
mati dengan tenang tanpa merasakan sakit sedikit pun." "Mengapa kau
tidak membunuhku saja?!"
"Terlalu sulit membunuh
seorang pemuda tampan berbadan gagah sepertimu!" jawabnya dengan nada
tegas tapi mempunyai kesan pujian yang tersembunyi. Suto Sinting akhirnya
sunggingkan senyum tipis pada perempuan itu.
"Jadi kau takut bertarung
denganku?"
"Ilmuku tak setinggi
ilmumu, jelas aku akan kalah. Tapi dengan cara begini maka kau akan mati tanpa
harus kujamah dengan pedangku!"
Pendekar Mabuk pandangi tubuh
Kadal Ginting sesaat. Luka yang ditembus senjata rahasia itu mulai berasap.
Sejenis racun berbahaya mulai bekerja dan sangat membahayakan bagi keselamatan
jiwa Kadai Ginting. Seharusnya pelayan sang Resi itu segera diberi minuman tuak
sakti yang ada di bumbung bambu bawaan Suto, tetapi agaknya perempuan berbibir
ranum menggiurkan itu tidak ingin Suto lakukan pengobatan kepada si Kadal
Ginting.
"Orang yang kau serang
dengan senjata rahasiamu ini tidak ikut campur dalam pertarunganku dengan si
Badai Kutub, mengapa ia kau serang juga? Rasa-rasanya kurang bijaksana jika kau
tidak bebaskan si Kadal Ginting ini dari pengaruh racun senjata rahasiamu
itu."
"Jangan banyak bicara!
Telan obat dariku itu!" sentak perempuan tersebut dengan mata melebar.
"Akan kuturuti
tuntutanmu, tapi aku harus selamatkan orang tak berdosa ini lebih dulu."
"Tak ada yang bisa
selamatkan orang yang sudah terkena senjata 'Lidah Malaikat'-ku itu, karena
racunnya tak bisa disembuhkan oleh siapa pun kecuali oleh diriku sendiri!"
"Apakah kau yakin hanya
kau yang bisa menawarkan racun itu? Bagaimana jika kubuktikan bahwa aku mampu
membuat tawar racun dalam senjata 'Lidah Malaikat'-mu itu?!"
Untuk sesaat suasana menjadi
hening. Perempuan itu agaknya mempertimbangkan kata-kata Suto Sinting. Rasa
ingin tahunya mulai terpancar dari gerakan matanya yang sebentar-sebentar
tertuju pada tubuh Kadal Ginting.
"Barangkali kau ingin
mengetahui bagaimana seseorang mampu mengalahkan kekuatan racun dalam senjata
rahasiamu itu?! Kau akan mendapat pengalaman yang amat berharga jika ternyata
aku benar-benar bisa menyelamatkan Kadal Ginting dari racunmu!"
"Omong kosong! Selama ini
tak pernah ada korban yang bisa selamat dari racun 'Lidah Malaikat', kecuali
orang itu segera kuberi penawarnya."
Senyum kalem Suto Sinting
tampak mekar tipis, sengaja menggoda ketegaran hati perempuan bertato naga itu.
Lirikan mata Suto Sinting pun tampak mengganggu ketenangan dan membuat hati si
perempuan berdebar-debar tak karuan.
"Baiklah, kuizinkan kau
mencobanya! Aku ingin tahu seberapa jauh kemampuanmu dalam menghadapi racun
pada senjata 'Lidah Malaikat'-ku itu!"
Akhirnya pendekar tampan itu
mencabut senjata rahasia yang telah menancap di punggung Kadal Ginting. Senjata
yang terbentuk menyerupai mata tombak itu melesat keluar dari punggung Kadal
Ginting dengan cara telapak tangan Pendekar Mabuk ditepukkan di samping luka.
Ploook...! Wuuuut...!
"Gila! Dia mampu membuat
senjataku melesat dari tubuh korban hanya dengan menepuk bagian tepi lukanya.
Pasti ia kerahkan tenaga dalamnya untuk membuat sentakan hingga mementalkan
sen-jata 'Lidah Malaikat'-ku," pikir sang keponakan Badai Kutub itu. Dan
lebih menakjubkan lagi, ternyata senjata yang melesat ke atas itu menancap kuat
pada dahan sebuah pohon yang cukup keras. Jrrub...! Lalu, daun-daun pohon itu
pun berguguran sebagian. Weeerr...!
"Edan...!" gumam
batin perempuan yang kelihatan pusarnya itu.
Selama Pendekar Mabuk
mengobati Kadal Ginting, perempuan itu memperhatikan dengan hati menyimpan
perasaan kagum atas kesaktian si murid sinting Gila Tuak itu. Pengobatan itu
dilakukan Suto bukan dengan menggunakan jurus 'Sembur Husada' melainkan dengan
cara memaksa mulut Kadal Ginting agar terbuka, lalu sedikit demi sedikit tuak
dalam bumbung dituangkan ke mulut itu. Agar tuak tertelan, kepala Kadal Ginting
diguncang-guncangkan sampai akhirnya orang itu tersedak dan terbatuk-batuk.
Kadal Ginting siuman kembali, namun luka di punggungnya belum sempat mengering.
Pendekar Mabuk membiarkan
tubuh Kadal Ginting masih terkulai lemas dalam keadaan telungkup, ia yakin
sebentar lagi racun yang telah terlanjur masuk ke dalam tubuh Kadal Ginting
akan lenyap dan lukanya akan hilang pula. Sambil menunggu Kadal Ginting sehat
kembali, Pendekar Mabuk mulai pandangi si perempuan yang masih menodongkan
pedangnya ke leher Kejora.
"Siapa namamu
sebenarnya?!" tanya Suto Sinting dengan berdiri dalam jarak lima langkah
di depan perempuan itu.
"Kau tak perlu,
heeeeggh...!" "Aaaaa...!"
Tiba-tiba perempuan itu
mengejang kaku dengan napas terhenti sesaat, matanya terbeliak dengan kepala
terdongak ke atas. Pedangnya pun terlepas dari genggaman dan jatuh ke tanah.
Hal itulah yang membuat Kejora menjerit dengan wajah sangat ketakutan.
Rupanya ada seseorang yang
menyerangnya dari belakang dengan menggunakan jurus totokan jarak jauhnya.
Pendekar Mabuk terkesiap ketika memandang ke arah pepohonan di belakang
perempuan tersebut. Sedangkan Kejora sudah lebih dulu berlari menghamburkan
diri dan memeluk Suto Sinting. Saat Pendekar Mabuk menerima pelukan Kejora
itulah orang yang melepaskan totokan dari jarak jauh muncul dari balik
pepohonan. Lompatannya yang cepat bagaikan angin berhembus menandakan ilmunya
cukup tinggi.
Wuuut...! Jleeeg..!
Dengan cepat Suto Sinting
langsung mengenali seorang pemuda tampan berompi dan bercelana hijau, lebih
muda dari warna hijaunya perempuan yang mengaku keponakan dari Badai Kutub itu.
Kejora sendiri terperanjat kagum memandangi pemuda berkulit kuning bersih
dengan rambutnya yang panjang digulung di tengah, sisanya dibiarkan meriap
dengan gemulai. Pemuda berpedang sarung perak di pinggangnya itu sunggingkan
senyum menawan ke arah Suto Sinting. Tetapi pancaran matanya sempat berkelebat
ke arah Kejora, hingga hati Kejora merasa berdesir indah menerimanya.
"Darah Prabu...?!"
sapa Suto Sinting bernada penuh persahabatan. Keramahannya pun mengembang lebih
ceria lagi ketika pemuda yang bernama Darah Prabu itu kian melangkah
mendekatinya.
"Buanglah obat itu. Kalau
kau menelannya kau bukan mati, tapi menjadi gila cumbuan." Ia tertawa
pelan seperti orang menggumam.
Suto Sinting hanya tertawa
kecil pula. "Obat itu sudah kubuang sejak tadi, saat aku mengobati si
Kadal Ginting," sambil mata Pendekar Mabuk melirik ke arah Kadal Ginting.
Pelayan Resi Pakar Pantun itu mulai menggeliat bangun. Bekas lukanya telah
lenyap dan rapat kembali seperti sediakala, seakan ia tak pernah mengalami luka
yang mengepulkan asap seperti tadi.
"Kasihan dia, tak tahu
masalahnya hampir menjadi korban tingkahnya Peluh Setanggi," Darah Prabu
melirik ke arah si keponakan Badai Kutub itu.
"O, dia bernama Peluh
Setanggi?!"
"Aku sedang
memburunya," jawab Darah Prabu. "Alangkah beruntungnya kau mempunyai
buronan cantik seperti dia. Darah Prabu."
Pria tampan yang usianya lebih
muda dari Suto Sinting itu hanya tertawa kecil tak berkesan urakan. Darah Prabu
memang terdidik untuk menjadi seorang pemuda yang punya penampilan terhormat,
sebab dia adalah murid dari Resi Badranaya, tokoh sakti aliran putih yang cukup
disegani di rimba persilatan. Pendekar Mabuk bertemu dengan Darah Prabu yang
merupakan adik dari Pinang Sari, murid Nini Pucanggeni saat mereka terlibat
perkara sebuah pusaka yang merupakan satu-satunya senjata untuk mengalahkan si
pemakan daging manusia itu; Gandapura, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kapak Setan Kubur").
"Apakah dia memang
keponakannya si Badai Kutub?" Kejora memberanikan diri bertanya kepada
Darah Prabu.
"Memang, tapi dia bukan
murid dari Badai Kutub. Dia tidak punya warisan ilmu apa pun dari Badai
Kutub," jawab Darah Prabu dengan tatapan mata lembutnya terarah terus ke
wajah mungil Kejora.
"Lalu, persoalan apa yang
membuatmu memburu Peluh Setanggi?" tanya Suto Sinting, dan Darah Prabu
hanya tersenyum-senyum, agaknya ia ragu untuk menceritakan perkara sebenarnya.
Pendekar Mabuk sempat berpikir,
"Mengapa ia ragu
menceritakan perkaranya dengan Peluh Setanggi? Ada rahasia apa sebenarnya yang
harus ia sembunyikan di depanku?" *
* *
3
BEGITU tegangnya Darah Prabu
ketika mengetahui Peluh Setanggi lenyap dari tempatnya. Sekelebat bayangan
melintas bagaikan cahaya, menyambar Peluh Setanggi dan membawanya pergi ke arah
utara. Saat itulah mereka menjadi terkesima sejenak, lalu Darah Prabu pergi
berkelebat tanpa pamit pada siapa pun. Weeeess...!
"Dia melarikan diri,
Suto!" ujar Kejora dengan wajah tampak sedikit tegang.
"Darah Prabu bukan
melarikan diri, tapi mengejar buronannya!" Pendekar Mabuk meluruskan
pendapat Kejora.
Kadal Ginting ikut menimpali,
"Kelihatannya Darah Prabu sangat ketakutan. Takut kalau buronannya
dilarikan jauh-jauh oleh seseorang."
"Aku bisa merasakan
kecemasan Darah Prabu. Tapi aku tak bisa mengerti mengapa Darah Prabu sangat
khawatir akan keadaan buronan cantiknya itu," ujar Pendekar Mabuk.
"Bukankah kudengar tadi
Darah Prabu menyebutkan nama Peluh Setanggi?!"
"Perempuan yang
menodongmu dengan pedang tadi yang bernama Peluh Setanggi."
"Kuingat seseorang yang
menjadi guru dan mempunyai murid bernama Peluh Setanggi."
"Siapa orang itu?!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi sambil menatap Kejora.
"Hmmm... ah, sayang aku
lupa nama orang itu," jawab Kejora berkesan plin-plan.
"Tadi katanya ingat
seseorang yang punya murid Peluh Setanggi, sekarang mengaku tak ingat namanya?!
Bagaimana kau ini sebenarnya, Nona?!" Kadal Ginting menggerutu sambil
bersungut-sungut. Rupanya Kadal Ginting menjadi segar dan otaknya terasa
sedikit cerdas sejak meminum tuak Suto Sinting tadi. Kini ia justru ajukan usul
kepada Pendekar Mabuk,
"Bagaimana jika kita
ikuti jejak pelarian Darah Prabu?"
"Aku baru
mempertimbangkan begitu," kata Pendekar Mabuk, lalu ia menenggak tuaknya
beberapa teguk.
"Aku jadi penasaran
dengan si Peluh Setanggi itu. Aku ingin membalas melukainya, karena aku tak
punya salah padanya tapi dilukai."
"Kalau tujuanmu hanya
untuk membalas dendam, kusarankan lebih baik kau segera ke Hutan Rawa Kotek dan
menemui Nini Kalong. Kau akan bertemu dengan tuanmu; Resi Pakar Pantun!"
Kadal Ginting mengeluh pelan,
wajahnya tampak murung, ia merasa dilarang oleh Pendekar Mabuk dan jiwa
patuhnya masih membekas di hati, sehingga ia tak berani menentang saran
Pendekar Mabuk. Akhirnya ia segera pergi ke Hutan Rawa Kotek setelah mendapat
pengarahan dari Suto Sinting tentang jalan menuju Hutan Rawa Kotek.
Si cantik mungil Kejora ajukan
tanya kepada Suto Sinting, "Apakah kita juga akan pergi ke Hutan Rawa
Kotek?!"
"Untuk apa kita ke
sana?"
"Untuk melihat apakah
orang yang bernama Resi Pakar Pantun itu masih ada di sana? Karena aku ingin
meminta bantuannya untuk membuatkan sebuah pantun percintaan."
"Oh, kau sedang jatuh
cinta?!" Suto Sinting tersenyum menggoda.
"Tidak, aku tidak sedang
jatuh cinta. Aku hanya sedang mencoba untuk mencintai seseorang."
"Siapa orang yang ingin
kau cintai itu?" desak Suto Sinting dengan terang-terangan.
"Orang tadi yang ingin
kucintai."
"Maksudmu, si Kadal
Ginting, pelayan sang Resi itu?"
"Uuuuhf...!" Kejora
bersungut-sungut. "Untuk apa mencintai orang setua dia? Aku ingin jatuh
cinta kepada pemuda sahabatmu tadi, hhmmm... siapa namanya pemuda tadi itu?!"
"Darah Prabu?"
"O, ya.... Itulah nama
orang yang ingin kucintai. Apakah kau sakit hati jika aku tertarik kepada Darah
Prabu?!" tanyanya dengan polos.
Suto Sinting gelengkan kepala.
"Kau bebas jatuh cinta kepada siapa pun. Tapi sebaiknya selesaikan dulu
urusan kita tentang pusaka leluhurmu itu."
"Kalau kuselesaikan dulu
nanti Darah Prabu sudah dijatuhi cinta oleh gadis lain lebih dulu. Nanti aku
tidak dapat tempat di hati Darah Prabu."
Tawa si murid sinting Gila
Tuak terdengar memanjang walau bernada rendah, ia menertawakan kepolosan Kejora
yang bagai tak mengenal rasa malu mengungkapkan isi hatinya.
"Aku akan menyusulnya,
Suto. Tapi ke mana aku harus menemui Darah Prabu?!"
"Yang jelas dia pergi ke
arah utara."
"Jika begitu aku harus
mengejarnya ke utara atau ke selatan?!"
"Ke timur!" jawab
Suto Sinting dengan agak dongkol mendengar pertanyaan bodoh itu. Tetapi Kejora
tidak merasa tersinggung dan segera bergegas ke timur. Mau tak mau Suto Sinting
segera mencegahnya dengan melompat tinggi dan bersalto satu kali. Ia mendarat
tepat di depan langkah Kejora.
"Kau ini bodohnya
bersusun-susun," kata Suto Sinting. "Mengapa kau mengejar Darah Prabu
ke timur?"
"Bukankah arah timur
adalah arah yang kau sarankan?"
"Aku tadi hanya jengkel
dengan pertanyaanmu. Sudah tahu perginya ke arah utara, ya tentu saja
mengejarnya ke arah utara, tak perlu ditanyakan kemana kau harus
mengejarnya?!"
"O, kalau begitu aku
harus pergi ke utara sekarang juga."
"Aku akan
mendampingimu!"
"Tak perlu, aku hanya
ingin berdua dengan Darah Prabu. Aku ingin menikmati ketampanannya dan senyuman
menggodanya tadi. Kalau kau ikut denganku, aku malu memandanginya."
"Aku akan tutup mata jika
kau sudah bertemu dengan Darah Prabu! Yang jelas aku harus menjagamu karena
urusan pusaka leluhurmu masih kutangani."
Akhirnya mereka pergi ke utara
menyusul pengejaran Darah Prabu. Kecepatan lari mereka tak seimbang dengan
kecepatan gerak Darah Prabu. Namun seandainya tanpa Kejora, tentunya Pendekar
Mabuk dapat mengejar Darah Prabu dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Jika saat itu Pendekar Mabuk gunakan jurus 'Gerak Siluman', maka Kejora akan
tertinggal jauh dan mungkin akan tersesat arah.
Di tepi sungai yang menyerupai
padang batu itu mereka temukan Darah Prabu dalam keadaan terkapar. Kejora
memandang dengan penuh kecemasan, wajahnya tampak tegang sekali. Pendekar Mabuk
memperhatikan luka di dada Darah Prabu. Luka itu membekas telapak tangan
berjari empat dengan warna ungu.
Darah Prabu bagaikan mati
dalam keadaan kedua tangannya terentang, tubuhnya telentang di atas sebuah batu
besar setinggi dada. Agaknya telah terjadi pertarungan antara Darah Prabu
dengan seorang berilmu tinggi yang mempunyai jurus sakti, membuat dada Darah
Prabu membekas telapak tangan berjari empat warna ungu.
"Sepertinya Darah Prabu
tak sempat memberi perlawanan," gumam Suto Sinting di samping Kejora,
matanya masih memandangi keadaan murid Resi Badranaya itu. "Darah Prabu
belum sempat mencabut pedangnya, ia sudah terkena pukulan sakti yang mungkin
sukar dihindari."
"Apakah dia... oh,
Suto... tolong periksalah apakah dia sudah tak bernyawa?!"
Pendekar Mabuk menekan leher
Darah Prabu bagian samping dengan telunjuknya, ia masih merasakan denyut nadi
yang sangat kecil. Denyut nadi itu juga amat lemah, tidak seperti seseorang
yang dalam keadaan sehat.
"Ia masih bernyawa,
Kejora. Tetapi lukanya sangat parah dan membuatnya sukar bernapas.
"Tap... tapi ia masih
punya sisa napas?"
"Masih," jawab
Pendekar Mabuk sambil bangkit dari jongkoknya. Matanya memandang sekeiillng
dengan cepat, mencari kemungkinan si lawan Darah Prabu masih di sekitar tempat
itu. Ternyata kemungkinan tersebut tak ada.
"Lawannya pasti telah
pergi," ujar Suto Sinting pelan sekali.
"Siapa lawannya yang
membuat ia sampai begini, Suto?"
"Mana aku tahu?! Bukankah
aku dan kau baru saja tiba di sini?!"
Kejora diam sebentar,
memandang penuh kecemasan namun tak berani menyentuh tubuh Darah Prabu. Kejap
berikutnya ia perdengarkan suaranya yang polos dan lugu itu, "Dapatkah kau
menyembuhkan lukanya, Suto?"
"Akan kucoba!" gumam
Suto Sinting sambil menarik napas. "Tapi kurasa tempat ini tidak aman bagi
kita. Darah Prabu harus dibawa ke suatu tempat yang lebih aman lagi."
"Bagaimana jika kita cari
sebuah gua untuk merawat Darah Prabu?!"
"Apakah di sekitar sini
ada gua?!"
"Seingatku di balik bukit
yang kelihatan dari sini ada gua tempat peristirahatan para pengembara."
"Apakah kau pernah ke
sana?"
"Belum," jawabnya
dengan jujur dan polos tapi justru mendongkolkan hati Pendekar Mabuk. Hanya
saja Pendekar Mabuk segera dapat memaklumi kepolosan dan kebodohan itu karena
memang demikianlah keadaan pribadi si cantik yang punya nama lengkap Dewi
Kejora itu.
"Sewaktu aku dan Menik
berada di sekitar sini, Menik pernah bilang bahwa di balik bukit itu ada gua
untuk peristirahatan para pengembara. Apakah kau tak ingin mencoba membawa
Darah Prabu ke balik bukit itu?!"
"Tak ada salahnya untuk
mencoba ke sana!" ujar Pendekar Mabuk, kemudian ia bergegas mengangkat
tubuh Darah Prabu.
Tetapi tiba-tiba mereka mendengar
suara seseorang bicara di belakang mereka, "Jiwanya tak akan tertolong
lagi!"
Mereka berdua terkejut dan
segera palingkan wajah ke belakang. Ternyata di atas sebuah batu yang tingginya
sebatas perut telah berdiri seorang kakek berambut putih pendek lurus. Tokoh
tua itu mengenakan baju dan celana abu-abu, badannya kurus dan agak pendek,
gigi depannya tinggal dua.
"Tua Bangka...?!"
Pendekar Mabuk menyapa dengan heran, karena tak disangka-sangka ia bertemu lagi
dengan tokoh sakti yang sedikit slebor, pemilik sebuah pusaka yang dulu pernah
diperebutkan dan Suto Sinting berada di pihak si tokoh tua itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Kapak Setan Kubur").
Tua Bangka melompat dari
tempatnya ke batu tempat Darah Prabu terkapar dalam keadaan luka dalam itu. Ia
pandangi luka membekas tangan berjari empat di bagian dada bidang Darah Prabu
itu. Lalu, terdengar suara gumamnya yang pelan namun memanjang.
"Hmmm...," ia
manggut-manggut sesaat. "Sudah kuduga, ia terkena jurus beracun yang
bernama jurus 'Tapak Ungu', dan hanya satu orang yang memiliki jurus 'Tapak
Ungu' itu."
"Siapa orang tersebut,
Tua Bangka?!" tanya Pendekar Mabuk dengan rasa ingin tahunya sangat besar.
"Siapa lagi kalau bukan
Nyi Mas Gandrung Arum."
Pendekar Mabuk pandangi si Tua
Bangka yang bernama asli Ki Sanupati itu. Pandangan mata Suto Sinting
mengandung keheranan, dan si Tua Bangka mengetahui maksud pandangan mata yang
membutuhkan penjelasan itu. Maka si Tua Bangka pun perdengarkan kembali suara
tuanya sambil sesekali matanya memandang ke arah Suto sesekali ke arah Darah
Prabu yang ada di bawahnya.
"Nyi Mas Gandrung Arum
adalah tokoh aliran hitam yang menjadi penguasa Bukit Esa di daerah Pantai
Tawar, ia seorang pendeta perempuan dari aliran hitam yang menguasai ilmu 'Tapak
Ungu', sebuah ilmu tenaga dalam beracun tinggi yang cara penggunaannya dengan
memukul bagian tubuhnya sendiri. Jika ia berhadapan dengan seorang lawan, lalu
ia memukul dadanya sendiri, maka dada si lawan yang terkena pukulan itu dan tak
dapat ditangkis maupun dihindari lagi."
Kejora memberanikan diri
ajukan tanya kepada si Tua Bangka, "Apakah... apakah dia ada hubungannya
dengan perempuan cantik itu, Pak Tua?!"
"Perempuan cantik yang
mana? Semua muridnya adalah perempuan cantik. Sebab Nyi Mas Gandrung Arum
mempunyai ramuan pengawet kecantikan dan mantra awet mudanya diajarkan pada
setiap muridnya."
"Maksudku, perempuan yang
tadi menodongkan pedang padaku itu, Pak Tua."
Tua Bangka memandangi Kejora
dengan bingung. "Wajahmu cantik sekali tapi bicaramu membingungkan orang
seusiaku, Nona. Usiaku bisa menjadi lebih pendek jika terlalu sering bicara
denganmu."
Pendekar Mabuk tertawa kecil
dan pendek. "Maksudnya, seorang perempuan cantik yang berpakaian seronok.
Tadi kami diserang oleh perempuan itu yang menurut Darah Prabu bernama Peluh
Setanggi."
"Ooo... Peluh
Setanggi?!" Tua Bangka manggut- manggut lagi.
"Agaknya kau mengenalnya,
Ki Sanupati."
"Tentu saja aku mengenal
si Peluh Setanggi, sebab belum lama ini aku pernah menghajarnya, karena ia akan
mencuri Kapak Setan Kubur-ku."
Pendekar Mabuk terkesiap, agak
kaget mendengar Kapak Setan Kubur mau dicuri oleh si Peluh Setanggi. Sebelum ia
ajukan tanya, Tua Bangka lebih dulu berkata, "Peluh Setanggi memang
muridnya Nyi Mas
Gandrung Arum."
"Pantas ia menyerang
Darah Prabu, sebab Darah Prabu mengejar Peluh Setanggi," ujar Kejora
kepada Suto Sinting.
Tapi hal itu membuat Tua
Bangka merasa heran dan berkerut pandangi Kejora.
"Darah Prabu
mengejar-ngejar Peluh Setanggi?! Apa kau tak salah ucap, Nona? Darah Prabu
beraliran putih, untuk apa ia mengejar-ngejar gadis dari aliran hitam? Bukankah
banyak gadis cantik lainnya yang lebih pantas dikejar-kejar oleh Darah
Prabu?!"
"Maksudnya, Peluh
Setanggi menjadi buronan si Darah Prabu!" sahut Pendekar Mabuk setelah meneguk
tuaknya dua kali.
Tua Bangka kian kerutkan dahi.
Wajah tuanya tampak diliputi keheranan saat memandang Suto Sinting. Mulutnya
yang hanya mempunyai dua gigi bagian depan itu menggumamkan kata bernada heran.
"Buronan...?!" kemudian ia merenung dengan menunduk, memandangi Darah
Prabu yang masih diam tak berkutik itu.
"Aneh sekali sebenarnya;
murid Nyi Mas Gandrung Arum menjadi buronannya Darah Prabu. Padahal Darah Prabu
itu muridnya Resi Badranaya, dan Resi Badranaya adalah adik dari Nyi Mas
Gandrung Arum."
"Adik...?!" kini
ganti Suto Sinting yang bernada heran. "Kalau begitu Nyi Mas Gandrung Arum
usianya sudah banyak?!"
"Mungkin sudah mencapai
seratus tahun lebih," tukas si Tua Bangka. "Aku pun kalah tua
dengannya. Tapi kalau kau melihat penampilan Nyi Mas Gandrung Arum, kau seperti
melihat penampilan perempuan cantik yang masih berusia sekitar tiga puluhan
kurang."
"Sakti sekali mantra
pengawet kecantikannya itu?!" "Yang membuatku heran bukan mantra awet
ayunya
itu, melainkan keberanian
Darah Prabu memburu si Peluh Setanggi. Padahal menurut cerita dari Badranaya
yang pernah kudengar, Badranaya tak akan mengusik perguruan kakaknya, ia tak
akan berani ikut campur apa pun urusan Nyi Mas Gandrung Arum, sebab nyawa
Badranaya ada di tangan Nyi Mas Gandrung Arum. Hanya perempuan itu yang
mengetahui bagaimana cara membunuh Badranaya. Karena rahasia kesaktian
Badranaya ada di tangan Nyi Mas Gandrung Arum."
Pendekar Mabuk manggut-manggut
sambil menyimak penjelasan itu dengan sungguh-sungguh. Tua Bangka menjadi
gelisah, walau kegelisahannya disembunyikan dalam bentuk tarikan-tarikan napas
tuanya.
"Persoalan apa yang
membuat murid si Badranaya ini berani bertindak selancang itu; menjadikan Peluh
Setanggi sebagai buronannya?!" kata si Tua Bangka lagi, seperti bicara
pada dirinya sendiri. Lanjutnya kemudian,
"Pasti hal ini akan
membuat Nyi Mas Gandrung Arum murka kepada si Badranaya. Dan jika sudah begitu,
habislah riwayatnya."
"Mungkinkah Darah Prabu
tak mengetahui hal itu, Tua Bangka?"
"Tidak mungkin. Badranaya
pasti mewanti-wanti betul kepada muridnya agar tidak mengganggu Perguruan Bukit
Esa, dan pasti Badranaya menceritakan hubungan pribadinya dengan Penguasa Bukit
Esa itu. Jika ternyata Darah Prabu berani memburu murid Perguruan Bukit Esa
Itu, maka jelas tindakannya itu atas seizin Badranaya. Tetapi apa yang membuat
Badranaya mengizinkan muridnya memburu murid Nyi Mas Gandrung Arum?!"
"Kurasa Darah Prabu bisa
jelaskan setelah kusembuhkan dengan tuak saktiku ini, Tua Bangka. Jadi
sebaiknya kulakukan dulu penyembuhan itu atas diri si Darah Prabu ini!"
"Sia-sia...," potong
Tua Bangka dengan mencibir. "Racun 'Tapak Ungu' tak ada yang mampu
menyembuhkan kecuali pemiliknya sendiri, atau dengan cara dibasuh dengan air
Sendang Ketuban."
Pendekar Mabuk tak percaya dengan
penjelasan Tua Bangka. Bagaimanapun juga ia masih menganggap tuaknya mampu
sembuhkan luka dan menangkal racun dalam tubuh Darah Prabu. Tua Bangka hanya
angkat bahu ketika Suto Sinting ingin mencoba menyembuhkan dengan tuak
saktinya.
"Kalau memang Darah Prabu
bisa sadar, ia tetap akan menderita pengeringan anggota dalam tubuhnya.
Jantung, usus, paru-paru, dan apa saja yang ada dalam tubuhnya akan mengering
dalam waktu tak lebih dari dua hari. Kelumpuhan tetap akan dideritanya meskipun
Darah Prabu bisa membuka mata dan ia tetap tak akan bisa bicara, karena pita
suaranya dalam tenggorokan juga ikut mengalami pengeringan akibat racun 'Tapak
Ungu' itu," tutur si Tua Bangka yang membuat Kejora menjadi bertambah
cemas. Wajah gadis itu tampak sedih sekali.
"Lakukanlah pengobatanmu,
Suto. Siapa tahu pendapat Pak Tua itu hanya omong kosong belaka," desak
Kejora yang mengharap kesembuhan Darah Prabu. Maka Suto Sinting pun mencoba
menuangkan tuak ke dalam mulut Darah Prabu dengan cara memaksa mulut itu
terbuka. Tuak pun dituangkan sedikit demi sedikit dan sangat hati-hati sekali.
Krucuk, krucuk, krucuk...!
Tuak berhasil masuk ke
tenggorokan Darah Prabu. Tapi hanya sebagian saja, sisanya masih menggenang di
dalam mulut yang dingangakan secara paksa itu. Dan tanda-tanda kesembuhan belum
terlihat. Si Tua Bangka terkekeh pelan sambil berucap, "Sia-sia saja,
Suto! Kau hanya akan membuang- buang tuakmu. Lebih baik kau cari air Sendang
Ketuban itu di Gunung Purwa."
"Tuakku baru tertelan
sedikit, kita tunggu perubahannya." Pendekar Mabuk masih merasa yakin
bahwa kesaktian tuaknya dapat dipakai untuk melawan racun 'Tapak Ungu' itu.
Kejora menunggu dengan berharap-harap cemas. Sesekali ia memandangi keadaan
Darah Prabu, sesekali beralih pandang pada Suto Sinting.
*
* *
4
PEMUDA tampan murid Resi
Badranaya itu ternyata memang hanya bisa membuka mata dan memandang dengan
sayu. Mereka membawanya ke sebuah gua di balik bukit yang terlihat dari tepian
sungai itu. Pendekar Mabuk tampak lesu karena tuak saktinya tak mampu melawan
kekuatan racun 'Tapak Ungu' itu. Ia duduk di atas sebuah batu datar setinggi
lutut yang ada di dalam gua.
Kejora berada di samping Darah
Prabu yang dibaringkan dengan berbantal dedaunan kering. Gadis itu tampak kian berwajah sendu dan
selalu mencoba mengajak bicara Darah Prabu. Tapi yang diajak bicara hanya bisa
memandang dan menggerak-gerakkan bibirnya dengan lemah sekali. Darah Prabu
selalu gagal mengatakan sesuatu walau berupa bisikan sekalipun. "Aku suka
sama kamu," kata Kejora. "Apakah kau suka padaku, Darah Prabu?"
Gadis itu mendekatkan
telinganya ke mulut Darah Prabu, tapi sepatah kata pun tak didengarnya walau
bibir bergerak-gerak seperti mengalami kedutan. Sampai telinga itu ditempelkan
di mulut Darah Prabu, yang bisa dirasakan Kejora hanya hembusan napas lirih
membawa kehangatan tersendiri di telinga Kejora.
"Bicaralah, jangan hanya
melongo, nanti mulutmu dimasuki lalat," ujar Kejora dengan nada duka,
namun cukup menggelikan hati si Tua Bangka. Tokoh tua yang pernah diselamatkan
Suto Sinting dari tiang gantungan itu akhirnya geleng-geleng kepala, kemudian
melangkah dari mulut gua mendekati Pendekar Mabuk.
"Masih ingin mencoba
menyembuhkan dengan tuakmu?!"
Pendekar Mabuk menggeleng.
Tampaknya ia telah pasrah karena sudah mencoba menggunakan penyembuhan dengan
jurus 'Sembur Husada', yaitu menyemburkan tuak ke dada Darah Prabu yang
membekas telapak tangan warna ungu itu, namun usaha itu juga sia-sia. Bekas
telapak tangan warna ungu itu tetap melekat jelas di dada kekar si murid Resi
Badranaya. Menurut Tua Bangka, jika warna ungu itu bisa hilang berarti racun
yang ada di dalamnya pun akan lenyap.
"Satu-satunya cara untuk
menolong jiwa Darah Prabu adalah dengan membasuh bekas telapak tangan itu
memakai air Sendang Ketuban," ujar Tua Bangka. "Tak ada cara lain.
Sebab jika kita suruh Nyi Mas Gandrung Arum memberikan obat penawar racun,
pasti ia akan menolak dan pertarungan pun akan terjadi. Nyi Mas Gandrung Arum
itu tokoh wanita yang berbahaya. Tak pernah bertindak tapi sekali bertindak
dapat mengakibatkan bencana bagi umat manusia."
"Pantas jika ia bisa
menyambar tubuh Peluh Setanggi secepat itu," kata Suto Sinting seperti
orang menggumam sendiri. Pandangan matanya tertuju ke luar gua dengan sikap
menerawang, bagai orang sedang melamun.
"Itulah, aku sempat
waswas ketika mengejar Peluh Setanggi karena ia ingin mencuri Kapak Setan
Kubur. Mulanya aku ingin menghajarnya, tapi kupikir-pikir toh usaha pencurian
itu gagal. Jadi aku tak perlu mengejarnya sampai ke Bukit Esa. Namun aku perlu
temui Nyi Mas Gandrung Arum untuk meluruskan masalah pengejaranku terhadap
Peluh Setanggi. Sayangnya aku jumpa kalian dan merasa lebih tertarik dengan
perkara yang terjadi pada diri Darah Prabu. Hatiku menjadi penasaran sekali,
ingin mengetahui perkara apa yang terjadi hingga si Peluh Setanggi menjadi
buronannya?!"
Pendekar Mabuk menarik napas
panjang. Setelah itu memandang si Tua Bangka dengan sorot pandangan mata
berkesan sayu.
"Aku sendiri menjadi
penasaran dengan masalah ini dan menunda kepergianku ke Jurang Lindu untuk
temui Guru si Gila Tuak. Agaknya aku perlu mengetahui dulu masalah yang
dihadapi Darah Prabu dengan pihak Nyi Mas Gandrung Arum ini."
Tua Bangka agak berkerut dahi,
"Kau mau menemui gurumu di Jurang Lindu?"
Suto Sinting mengangguk satu
kali.
"Ada masalah apa kau
ingin bertemu Gila Tuak? Tentunya ada persoalan yang cukup penting. Benarkah
begitu?"
Setelah mengangguk lagi, Suto
Sinting pun menjelaskan masalahnya yang dihadapi bersama pihak keluarga Kejora.
Pendekar Mabuk menceritakan pertarungannya dengan Badai Kutub yang bertitik
tolak dari masalah pusaka Panji-panji Agung.
Tua Bangka terkejut dan
wajahnya semakin mendekat.
"Panji-panji Mayat,
maksudmu?"
"Benar, Ki Sanupati!
Apakah kau tahu tentang Panji- panji Agung atau Panji-panji Mayat itu?!"
Tua Bangka menarik diri sambil
menghela napas dalam-dalam, ia berdiri tegak di depan Pendekar Mabuk. Matanya
memandang sekilas kepada Kejora yang sedang berusaha mengajak bicara Darah
Prabu. Kemudian pandangan mata itu mengarah kepada Suto.
"Sekarang aku baru ingat
tentang gadis itu. Rupanya ia anak dari pasangan Jalma Dupi dan Sang Ratri.
Waktu aku berkunjung terakhir kalinya ke tempat kediaman Jalma Dupi, gadis itu
masih berusia tujuh tahun."
"Jadi kau kenal baik
dengan keluarganya Kejora?" "Cukup baik," jawab Tua Bangka.
"Dan aku juga sering mendengar pusaka Panji-panji Agung itu menjadi bahan
pembicaraan para tokoh tua."
"Apakah pusaka itu memang
hak milik keluarganya Kejora?"
Tua Bangka mengangguk.
"Jalma Dupi memang pewaris pusaka tersebut. Tapi demi keamanan, Panji-
panji Mayat itu dititipkan oleh Nyai Parisupit kepada seorang sahabatnya.
Dengan begitu siapa pun yang menyerang keluarga Nyai Parisupit tidak
akan/berhasil mendapatkan pusaka Panji-panji Mayat itu."
"Maksudmu, dititipkan
kepada Resi Wulung Gading?"
Tua Bangka diam sebentar,
tampak berpikir sungguh- sungguh. Kejap berikut ia menarik napas dan berkata,
"Aku tak tahu secara
pasti. Yang kutahu, Resi Wulung Gading tak pernah sebut-sebut adanya pusaka itu
di tangannya. Setahuku, sekarang ini yang ada padanya hanyalah pusaka Pedang
Kayu Petir yang kabarnya pernah kau temukan lalu kau serahkan kepada
beliau."
"Jika pusaka itu tidak
ada pada Resi Wulung Gading, lantas menurutmu siapa sahabat mendiang Nyai
Parisupit yang dipercaya menyimpan pusaka tersebut?"
Setelah diam sesaat, Tua
Bangka pun menjawab, "Ada beberapa orang yang kuduga menyimpan pusaka
Panji-panji Mayat; Batuk Maragam, Galak Gantung, Badranaya, dan gurumu sendiri;
si Gila Tuak."
"Resi
Badranaya...?!" gumam Pendekar Mabuk bernada heran. "Apakah Resi
Badranaya sahabat Nyai Parisupit?!"
"Semasa mudanya mereka
pernah saling jatuh cinta, tapi putus di tengah jalan karena Sabang Wirata,
ayah Parisupit tidak setuju jika anaknya berhubungan dengan Badranaya, sebab
Sabang Wirata tahu Badranaya mempunyai kakak beraliran hitam yang pernah
mencoba menyerang perguruan Sabang Wirata."
"Ooo...," Pendekar
Mabuk hanya bisa manggut- manggut.
"Lebih tak suka lagi
Sabang Wirata kepada Badranaya, karena kakak si Badranaya yaitu Nyi Mas Gandrung
Arum itu memihak Kurupati, saudara tirinya Sabang Wirata yang selalu mengincar
Panji-panji Mayat itu! Ketika berusia muda, Kurupati pernah menjadi budak
cintanya Nyai Mas Gandrung Arum, sehingga apa pun kesulitan Kurupati dibantu
oleh Nyi Mas Gandrung Arum," tambah sang kakek berusia tujuh puluh tahun
lebih itu.
"Lalu, bagaimana dengan
Batuk Maragam?!"
Suto Sinting mengenal tokoh
tua yang sering batuk- batuk sehingga berjuluk Batuk Maragam itu ketika ia
dituduh menghamili seorang gadis anak Lurah Cakradayu yang menjadi keponakan
dari Batuk Maragam. Gadis itu bernama Dewi Angora. Batuk Maragam sendiri sempat
terkecoh oleh penampilan kembar seseorang yang serupa betul dengan Pendekar
Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Peri Sendang Keramat").
Tapi saat itu Suto Sinting belum tahu bahwa Batuk Maragam mempunyai seorang
sahabat yang bernama Nyai Parisupit.
Tua Bangka berkata,
"Batuk Maragam pernah menyelamatkan nyawa Nyai Parisupit, dan sejak saat
itu persahabatan mereka jadi akrab. Tapi agaknya Batuk Maragam segera
menjauhkan diri karena perlu waktu untuk menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai
satu- satunya orang yang pernah berguru di Pegunungan Sojiyama. Barangkali
dalam masa tua belum lama ini, Batuk Maragam pernah berkunjung di kediaman Nyai
Parisupit lalu mendapat kepercayaan sebagai penyimpan pusaka Panji-panji Mayat.
Sebab setahuku, Batuk Maragam itu sebenarnya juga bisa membangkitkan mayat
orang yang telah mati dan menuruti kehendak batinnya."
"Membangkitkan orang yang
telah mati...?!" gumam Suto Sinting sambil merenung, ia bicara bagai
tertuju pada dirinya sendiri. "Bukan hanya Batuk Maragam saja yang bisa
membangkitkan orang mati, melainkan Ratu Sangkar Mesum juga bisa membangkitkan
orang mati."
Kemudian ia bertanya kepada
Tua Bangka, "Apakah setiap pemegang Panji-panji Mayat atau Panji-panji
Agung adalah orang yang bisa membangkitkan mayat?!" "Yang jelas,
siapa pun yang membawa Panji-panji Agung di dekat orang yang telah mati, maka
walaupun orang itu telah terkubur ratusan tahun, ia akan bangkit kembali dan
menjadi pengikutnya, siap menerima perintah dari si pembawa Panji-panji
Mayat!" jawab Tua Bangka sambil bicara mondar-mandir di depan Suto
Sinting bagaikan orang dalam
kegelisahan besar. "Lalu, mengenai Ki Galak Gantung itu bagaimana?"
tanya Suto Sinting lagi, sebab ia merasa cukup kenal dengan Galak Gantung, yang
sudah jelas-jelas menjadi sahabat gurunya; si Gila Tuak itu. Suto Sinting
teringat kembali saat pertemuan pertama kalinya dengan Galak Gantung dalam
suatu peristiwa hilangnya bumbung tuak sakti yang menjadi satu-satunya senjata
andalannya itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pusaka
Bernyawa"). Tokoh yang menjadi guru dari seorang gadis bernama Kabut
Merana itu tinggal di puncak Bukit Wangi, yang hampir saja dibunuh oleh musuh
lamanya; si Tulang Naga dengan senjata pusaka cukup berbahaya, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Sabuk Gempur Jagat").
"Galak Gantung pernah
bertaruh nyawa dengan seorang tokoh sakti yang ingin membunuh Nyai Parisupit.
Tokoh itu adalah kakak dari si Tulang Naga. Tetapi gurumu, si Gila Tuak, segera
campur tangan dan membuat kakak dari si Tulang Naga itu tumbang dan tak
berkutik sampai sekarang. Itulah sebabnya Tulang Naga menaruh dendam kepada
gurumu. Sejak itu hubungan Galak Gantung dengan Nyai Parisupit menjadi sangat
akrab. Mereka berlima sering tampak lakukan perundingan di sebuah puncak gunung
atau di tengah samudera. Tapi perundingan apa dan bagaimana hasilnya, tak
seorang pun yang tahu selain mereka berlima: Galak Gantung, Gila Tuak,
Badranaya, Batuk Maragam, dan Parisupit sendiri."
Pendekar Mabuk menarik napas
lagi setelah merenung beberapa saat.
"Tua Bangka, menurutmu
apa yang harus kulakukan sekarang ini?!"
"Pergi ke Gunung Purwa
dan mencari air Sendang Ketuban."
"Gunung Purwa?!"
gumam Suto Sinting dengan berkerut dahi, ada sesuatu yang sedang
diingat-ingatnya. Tua Bangka berkata, "Di sana ada sebuah telaga berair
hijau bening. Jarang orang yang mengetahui letak telaga itu. Air telaga
tersebut hanya bisa dipakai untuk mengobati luka racun yang tak bisa ditawarkan
dengan obat lainnya. Tapi jika racun itu bisa ditawarkan dengan obat lainnya,
maka khasiat air Sendang Ketuban tak
berguna."
"Jadi, air itu hanya bisa
untuk sembuhkan sebuah racun yang hanya punya satu penangkal?"
"Benar. Dewata memberikan
Sendang Ketuban untuk mengatasi kejahatan manusia yang menjadi satu-satunya
kunci penawar sebuah racun. Dengan begitu, manusia tidak akan merasa dirinya
paling jago dengan mempunyai satu obat penawar untuk satu racun berbahaya."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut. Lalu ingatannya menerawang pada sebuah peristiwa yang
membuatnya tersesat di punggung Gunung Purwa. Di situ Suto Sinting berjalan
bersama Kabut Merana tersesat di sebuah pedesaan yang ternyata adalah sebuah
negeri aneh, bernama Negeri Wilwatikta. Penduduknya kaum wanita dan mereka
hidup tanpa busana dalam keadaan wajah cantik-cantik serta tubuh meliuk sekal
menggiurkan. Haruskah Pendekar Mabuk meminta bantuan masyarakat Negeri
Wilwatikta yang sudah dikenalnya itu?
"Pergilah dalam waktu
jangan lebih dari satu hari. Karena pada hari kedua, racun 'Tapak Ungu' akan
membuat jiwa Darah Prabu melayang alias mati," kata Tua Bangka
mengingatkan pada Suto Sinting yang berkemas untuk berangkat ke Gunung Purwa.
"Aku akan datang
secepatnya, Tua Bangka!"
"Bagus. Paling lambat
lusa siang kau harus sudah sampai sini. Jika kau datang sore hari, mungkin
Darah Prabu sudah tak bernyawa lagi."
"Kejora, kau mau ikut aku
ke Gunung Purwa?!" sapa Suto Sinting kepada gadis polos itu.
"Aku... aku menunggu di
sini saja. Kasihan Darah Prabu tak ada yang menunggunya."
"Biar aku yang
menunggunya," sahut Tua Bangka. "Apakah kau juga mencintai Darah
Prabu, Pak Tua?!" Tokoh berkulit keriput itu tertawa kecil dan berkata,
"Cintaku hanya sebatas cinta
terhadap seorang cucu." "Apakah dia cucumu?"
"Kuanggap sebagai cucuku
karena aku kenal betul dengan gurunya yang bernama Resi Badranaya!"
Tapi agaknya Kejora tak mau
meninggalkan Darah Prabu. Hatinya sedang terpikat indah kepada pemuda itu,
sehingga Suto Sinting pun akhirnya berangkat ke Gunung Purwa sendirian, ia
menggunakan jurus 'Gerak Siluman', sehingga mampu bergerak cepat dalam
mengupayakan air Sendang Ketuban itu.
Zlap, zlap, zlap, zlap...!
Kecepatan gerak itulah yang
diketahui Tua Bangka dan membuat Tua Bangka mewanti-wanti agar Suto Sinting
kembali dalam waktu hanya satu hari. Tua Bangka yakin bahwa murid si Gila Tuak
itu mampu mencari air Sendang Ketuban dalam waktu singkat. Karena di samping ia
tahu bahwa Suto Sinting berotak cerdas, ia juga tahu bahwa Pendekar Mabuk
adalah pemuda yang sakti dan mempunyai keberanian sangat besar. Jiwa
persahabatannya tinggi, sehingga demi seorang teman pun ia rela bekerja dengan
susah payah.
Namun ketika Suto menghentikan
langkahnya di perjalanan karena menemukan dua mayat perempuan terkapar di depan
langkahnya, tiba-tiba seberkas sinar kuning datang dari arah belakang dan
menghantamnya dalam kecepatan yang sukar dihindari. Weeett...! Bumbung tuak
yang di punggungnya terhantam sinar kuning itu.
Zrrub...! Blegaaarrr...!
Tak pelak lagi Pendekar Mabuk
terjungkal dan berguling-guling karena ledakan itu. Seandainya ia tidak
menyandang bumbung tuak di punggungnya, maka ia akan hancur atau binasa karena
seberkas cahaya kuning itu. Tapi karena bumbung tuak itu bukan sekadar bumbung
dari bambu biasa, melainkan mempunyai kesaktian tersendiri; di antaranya dapat
memantul balikkan serangan lawan dan mempunyai kekuatan tenaga dalam
tersendiri, maka sinar kuning itu pun meledak pada saat menghantam bumbung tuak
tersebut.
Gelombang ledakannya
menimbulkan hentakan sangat kuat, karena sebatang pohon yang terdekat dengan
Suto Sinting itu sempat patah di pertengahan batang dan tumbang menimpa pohon
lainnya. Tentu saja tubuh sekekar Pendekar Mabuk pun terjungkal ke depan dan
berguling-guling kehilangan keseimbangan badannya.
Ledakan itu juga menimbulkan
hantaman kuat pada tubuh Pendekar Mabuk, sehingga ketika ia hendak berdiri,
dada dan punggungnya terasa panas, lalu mulutnya segera memuntahkan darah segar
dalam keadaan kepala berkunang-kunang bagai habis dihantam palu godam.
Tenaga pun terasa menjadi
berkurang. Pendekar Mabuk merasakan seluruh tulangnya bagaikan remuk dan ia
terpaksa bangkit dengan berpegangan pada batang pohon agak merayap. Keadaan
lemah itu membuat lawan yang belum diketahui di mana kedudukannya tahu-tahu
datang menyerang dengan satu lompatan cepat. Wuuut...! Brruuss...!
Suto Sinting terlempar ke arah
semak-semak karena terjangan lawan. Ia tak sempat meraih bumbung tuaknya,
sehingga tak sempat pula mengatasi rasa sakit di sekujur badannya. Darah
semakin banyak yang keluar, kali ini bukan dimuntahkan lewat mulut saja,
melainkan dari lubang hidungnya pun keluar darah segar cukup banyak. Wajah
tampan itu menjadi berlumur darah dan mengerikan jika dipandang. Tetapi pada
saat lawan ingin melepaskan pukulan jarak jauhnya lagi, Suto Sinting memaksakan
diri untuk kerahkan sisa tenaga dalamnya. Pukulan lawan yang berupa sinar merah
kecil lurus tanpa putus itu melesat dari pangkal pergeiangan tangan. Claaap...!
Suto Sinting masih sempat melepaskan pukulan 'Pecah Raga' yang berupa sinar
hijau dari telapak tangannya. Sinar itu mampu memecahkan raga lawan dalam
sekejap. Tetapi kali ini sinar hijau itu sengaja dilepaskan untuk menghadang
kecepatan melesatnya sinar merahnya lawan, maka kedua sinar itu pun bertemu dan
saling tabrak di pertengahan jarak. Jlegaaarrr...!
Bumi berguncang hebat,
pohon-pohon bergetar bahkan sebagian ada yang tumbang bagai dilanda gempa.
Tanah memercik ke udara karena akar pohon terdongkel ke atas bersama robohnya
sang pohon. Daun- daun menjadi rontok dan batu-batu berukuran tak begitu besar
menjadi retak, bahkan ada yang pecah dengan pecahan menyebar ke berbagai arah.
Ledakan dahsyat itu membuat
lawan terbanting membentur batang pohon besar yang tak ikut tumbang. Daya
lempar yang kuat membuat lawan jatuh terpuruk di kaki pohon karena tulang
punggungnya terasa patah, ia menyeringai dan mengerang kesakitan. Sementara
itu, Suto Sinting hanya terjungkal kembali ke belakang hingga tenggelam dalam
kerimbunan semak. Pada saat itulah ia punya kesempatan meraih bumbung tuaknya
dan buru-buru menenggak tuak beberapa teguk.
Tuak itu membuat rasa sakit
lenyap dalam beberapa saat. Tulang-tulang yang terasa patah menjadi kekar
kembali. Badan terasa segar dan siap lakukan pertarungan dalam beberapa jurus
pun. Ia berkelebat keluar dari semak-semak itu. Ternyata lawan sudah berdiri
dan sedang menyalurkan hawa murninya untuk meredam rasa sakit yang diderita.
"Ratu Sangkar
Mesum...?!" gumam Suto Sinting dengan geram kemarahan tertahan.
Suto sama sekali tak menyangka
yang menyerangnya adalah seorang perempuan cantik, ramping, montok, bermata
jalang. Mengenakan jubah hijau tipis, tanpa pakaian apa-apa lagi di balik
jubahnya itu, sehingga perabot dan tetek bengeknya terlihat samar-samar dari
luar jubah yang hanya mempunyai satu kancing sebagai penutupnya. Hati
Pendekar Mabuk segera dapat merasakan
adanya pancaran dendam pada diri Ratu Sangkar Mesum, karena Suto pernah membuat
perempuan aliran hitam itu nyaris binasa pada saat menyelamatkan Resi
Pakar Pantun, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Kipas Dewi Murka").
Dendam itu pun kini terucap di
sela-sela helaan napas yang masih tampak memburu itu.
"Aku akan menebus
kekalahanku tempo hari. Pendekar Tampan! Kecuali jika kau mau tunduk padaku dan
melayani asmaraku yang sudah beberapa hari tak tersiram kehangatan lelaki, maka
dendam itu akan kulupakan dan kuanggap impas!"
"Manusia pembangkit
tenaga mayat...!" sapa Suto Sinting dengan mata sedikit terpicing menandakan
kebenciannya terhadap perempuan cantik itu. Katanya lagi,
"Kau boleh memiliki
seluruh kehangatan dan kemesraanku jika kau mampu membuatku tak berdaya lagi!
Tapi jangan salahkan diriku jika nyawamu melayang dalam perlawananku
nanti!"
Senyum sinis berbau mesum
mengembang di bibir Ratu Sangkar Mesum yang memang menggiurkan itu. Namun Suto
Sinting menutup hatinya untuk tidak memuji dan mengagumi senyuman tersebut.
Napasnya ditarik dan ditahan di dalam dada sebagai usaha melawan rasa syur
begitu melihat senyuman dan pandangan mata Ratu Sangkar Mesum.
"Melumpuhkan dirimu
adalah hal yang mudah, Pendekar Tampan! Tapi jika kau sampai lumpuh tak
berdaya, percuma saja kubawa bercinta. Kemampuanmu sebagai lelaki pun akan
lumpuh dan aku tak memperoleh kemesraan sedikit pun darimu. Jadi sebaiknya
kulenyapkan saja seluruh ilmu dan kesaktian yang kau miliki selama ini. Aku
terpaksa menggunakan jurus 'Sumsum Pamungkas' untuk membuatmu tak berilmu lagi!
Hi, hi, hi "
Tiba-tiba tawa itu lenyap
berganti suara pekik yang menyentak, "Aaaahhg !"
Pendekar Mabuk berkerut dahi
dengan memancarkan pandangan penuh keheranan. Tubuh Ratu Sangkar Mesum
mengejang dalam keadaan limbung ke depan. Dari ulu hatinya tampak sebatang
panah muncul ke depan. Panah itu membara bagaikan besi terpanggang api,
sehingga lukanya pun menjadi berasap dan hitam. Darahnya mengering dalam waktu
sangat singkat. Rupanya ada seseorang yang memanah Ratu Sangkar Mesum dari
belakang tembus ke depan, dan panah yang digunakan bukan panah sembarangan.
Panah itu membuat Ratu Sangkar
Mesum mengejang kaku bagaikan patung. Matanya terbeliak dengan kepala mendongak
ke atas, mulut ternganga bagai ingin menyerukan pekik kematian yang terakhir
kali. Namun pekik itu tak pernah terdengar lagi. Panah membara merah itu telah
membuat tubuh Ratu Sangkar Mesum terbakar dari dalam. Warna kulitnya yang
kuning langsat dan mulus itu berubah menjadi hitam secara sedikit demi sedikit.
Mulutnya yang ternganga keluarkan asap putih samar-samar, namun keadaannya
masih berdiri agak melengkung ke depan, kaku bagaikan sebuah prasasti dari
batu.
"Siapa orang yang
membantuku dengan panah merah itu?!" pikir Suto Sinting dengan tetap
berdiri diam di tempatnya.
*
* *
5
PANDANGAN mata Suto segera
menangkap sosok bertubuh langsing yang berada di dahan pohon jauh di belakang
Ratu Sangkar Mesum. Seorang perempuan berambut sanggul rapi berada di pohon
itu. Perempuan tersebut melesat bagaikan terbang dengan jubahnya yang tanpa
lengan warna biru laut itu berkibar bagaikan sayap seekor burung betina. Dalam
sekejap perempuan berdada besar itu telah berdiri di depan Pendekar Mabuk,
memandang dengan sorot mata yang dingin.
Pendekar Mabuk merasa belum
pernah jumpa dengan perempuan yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu, tapi
mungkin juga usianya jauh lebih tua jika ia menggunakan aji pengawet ayu. Yang
jelas perempuan itu masih menarik dan sosok tubuhnya yang sekal berkulit sawo
matang itu masih mengundang gairah untuk bercumbu bagi lawan jenisnya, ia
mengenakan penutup dada warna kuning tipis, sehingga apa yang ditutupi itu
dapat terlihat secara samar-samar. Pakaian bawahnya sebuah celana longgar dari
kain biru tipis yang menampakkan perabot wanitanya secara samar- samar pula.
Apalagi dalam keadaan mendapat sorotan sinar dari belakang, tubuh elok itu
terbayang jelas bagaikan tanpa busana lagi.
"Kau yang bernama Suto
Sinting dengan gelar sombongnya berjuluk Pendekar Mabuk itu?!"
"Benar. Siapa dirimu
sebenarnya? Aku merasa tak pernah mengenalmu!" jawab Suto Sinting dengan
keramahan tertahan karena sikap perempuan itu cukup ketus dan angkuh. Namun
matanya yang berbulu lentik itu memandang dengan tajam bagai mempunyai dua
makna; antara bermusuhan dan berkawan.
Di sanggul perempuan itu
terdapat tusuk konde dari sebatang emas berbentuk sumpit. Ujung tusuk kondenya
mempunyai hiasan ronce-ronce benang merah, sedangkan ujung yang satunya lagi
berbentuk runcing seperti mata jarum. Agaknya tusuk kondenya itu juga bisa
digunakan sebagai senjata sewaktu-waktu.
Punggungnya menyandang tempat
panah berjumlah enam batang. Sementara di tangan kirinya ia menggenggam busur
dari kayu lentur berlapis gading sebagai penghiasnya.
"Kalau aku membunuh si
Sangkar Mesum bukan karena aku menyelamatkan nyawamu, tapi karena dia
mengkhianatiku. Dia bergabung dengan Barakoak, si Raja Iblis itu, padahal
Barakoak adalah musuhku. Jadi aku terpaksa membunuhnya bukan demi menyelamatkan
nyawamu!"
"Barakoak masih
hidup?" gumam Suto Sinting dalam hati. "Berarti dia tidak ikut mati
bersama reruntuhan batu candinya itu?!"
Perempuan itu mencabut anak
panahnya yang membara seperti baja dari tubuh Ratu Sangkar Mesum yang sudah tak
bernyawa lagi itu. Sluuub...! Ketika anak panah sudah tercabut, warnanya
berubah menjadi kuning gading, tak berasap dan tak memancarkan warna merah bara
lagi. Anak panah itu segera dimasukkan pada tempatnya yang ada di punggung.
Mata perempuan itu mengawasi Suto Sinting, sementara Suto Sinting juga pandangi
perempuan itu dengan sikap tenang, ia mencoba menerka-nerka siapa perempuan itu
sebenarnya sehingga merasa dikhianati oleh Ratu Sangkar Mesum, namun sampai
beberapa saat ia tak menemukan jawaban yang pasti, sehingga sebuah pertanyaan
pun diajukan kepada perempuan itu. "Boleh kutahu namamu?!"
Perempuan itu mendekat dengan
langkahnya yang tegap, pandangan matanya masih berkesan dingin, seakan
meremehkan penampilan Suto Sinting. Dalam jarak tiga langkah ia berhenti,
dagunya sedikit terangkat hingga sikap sombongnya semakin terlihat jelas.
"Kau tak perlu tahu siapa
diriku. Yang perlu kau ketahui, aku muak mendengar kabar tentang dirimu yang
digembar-gemborkan sebagai pendekar sakti dan dipuji- puji oleh mereka. Suatu
saat aku akan menantangmu bertarung sampai mati!"
Setelah bicara begitu ia
berbalik ingin tinggalkan tempat, tetapi Suto Sinting cepat serukan kata sebagai
pencegah langkahnya.
"Tunggu...!"
Perempuan itu hentikan gerakan
dan berpaling ke belakang melirik Pendekar Mabuk. Pemuda tampan itu mencoba
sunggingkan senyumannya yang menawan. Rupanya ada perubahan tipis di hati
perempuan itu yang merasakan desiran halus menatap senyuman Pendekar Mabuk.
Namun desiran indah yang samar-samar itu tidak membuat bibirnya membalas senyum
Suto Sinting. Hanya saja ia tak jadi melangkah pergi dan kini berhadapan dengan
Suto kembali.
"Kau bilang Ratu Sangkar
Mesum bersekutu dengan Barakoak. Apakah itu betul? Kusangka Barakoak alias si
Raja Iblis itu mati bersama reruntuhan candinya."
"Nyatanya ia dibantu oleh
Ratu Sangkar Mesum untuk merebut wilayah kekuasaan Dewi Cumbutari! Ia
menjanjikan sesuatu kepada Sangkar Mesum, sehingga Sangkar Mesum bersekutu
dengannya menyerang negeri Wilwatikta."
Pendekar Mabuk terperanjat
dalam hatinya. Negeri Wilwatikta adalah tempatnya tersesat kala melakukan
perjalanan bersama Kabut Merana. Dan perempuan yang bernama Dewi Cumbutari itu adalah
penguasa negeri yang masyarakatnya tidak mengenal busana walau terdiri dari
kaum perempuan semua itu. Pendekar Mabuk bersahabat baik dengan Dewi Cumbutari
yang pernah membantunya dengan teropong indera keenamnya, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa Petaka"). Padahal rencana Suto
Sinting untuk menemukan Sendang Ketuban akan singgah ke desa yang menjadi
negeri Wilwatikta dan meminta bantuan Dewi Cumbutari untuk menemukan sendang
tersebut.
"Mengapa kau diam saja?!
Kau terkejut mendengar Barakoak masih hidup?!" ujar perempuan berwajah
agak lonjong itu.
"Aku hanya memikirkan
siapa dirimu sebenarnya," jawab Suto Sinting sedikit berkesan menggoda.
"Wawasanmu begitu
rendahnya hingga tak mengenal adanya bajak laut wanita yang kesohor kesaktiannya
ini! Aku tak bisa bicara terlalu lama dengan orang yang berwawasan rendah.
Sebaiknya kugunakan waktuku untuk menemui Barakoak dan membuat perhitungan
dengannya!"
Weeeesss...! Perempuan itu
cepat sentakkan kaki ke tanah dan lakukan lompatan panjang mirip terbang, ia
melesat pergi tinggalkan Suto Sinting yang masih terbengong di tempat. Dalam
hati sang Pendekar Mabuk sempat membatin heran,
"Bajak laut wanita?!
Hmm... kalau tak salah Resi Pakar Pantun pernah menceritakan tentang si bajak
laut wanita yang memihak Ratu Sangkar Mesum dalam menyerang negeri Bumiloka,
tempat Kertapaksi dan keluarganya bertakhta di sana. Kalau tak salah... Resi
Pakar Pantun menyebut nama Dewi Geladak Ayu, si bajak laut wanita. Oh, apakah
perempuan itu yang bernama Dewi Geladak Ayu?!"
Kemudian Suto Sinting
membayangkan pertemuannya dengan Resi Pakar Pantun pada saat sang Resi melawan
orang dalam tandu hitam. Kata-kata Resi Pakar Pantun terngiang kembali di
telinga Suto Sinting, sehingga hatinya semakin yakin bahwa perempuan itu adalah
Dewi Geladak Ayu yang dikenal dengan senjata pusakanya bernama Panah Lebur
Sukma itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Gundik
Sakti").
"Firasatku mengatakan,
Dewi Geladak Ayu pergi ke Wilwatikta untuk menemui si Raja Iblis; Barakoak!
Kalau begitu aku harus mengikuti langkahnya agar bisa sampai ke
Wilwatikta."
Zlaaap...! Jurus 'Gerak
Siluman' dipergunakan oleh Pendekar Mabuk. Ternyata kecepatan jurus itu mampu
melebihi kecepatan gerak Dewi Geladak Ayu. Dalam waktu singkat perempuan itu
telah tersusul oleh Suto Sinting. Bahkan Suto berhasil mendahului di depan
langkah Dewi Geladak Ayu. Tetapi ia tak mau tampakkan diri dan tetap mengawasi
dari tempat yang tersembunyi. Ke mana pun langkah Dewi Geladak Ayu
dibayang-bayangi terus oleh Suto Sinting.
"Oh, dia berhenti...?!
Sepertinya ada yang menghadang langkahnya?!" pikir Suto Sinting dari
kejauhan, ia bersembunyi di balik batu yang ada di lereng sebuah bukit. Dari
tempatnya dapat terlihat jelas kehadiran seseorang yang menghadang langkah Dewi
Geladak Ayu. Bahkan dengan menggunakan ilmu 'Sadap Suara', Suto Sinting mampu
mendengar dengan jelas percakapan yang dilakukan Dewi Geladak Ayu dengan
penghadangnya.
"Kenanga Pilu...?!"
gumam Suto Sinting lirih sekali walau hatinya sempat terkejut begitu
pandangannya diperjelas.
Kenanga Pilu adalah murid
tokoh tua yang beraliran putih dan dikenal dengan nama Eyang Darah Guntur dari
Perguruan Tapak Dewa. Gadis cantik berjubah Jingga itu bertemu dengan Suto
Sinting dalam keadaan terkena kutukan seorang tokoh sakti beraliran hitam,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Kutukan Pelacur Tua").
Sejak kematian si Pelacur Tua, kutukan itu telah lenyap dari diri Kenanga Pilu,
tentunya tindakan Kenanga Pilu menghadang langkah Dewi Geladak Ayu tidak sebrutal
dulu. Tetapi mengapa sekarang Kenanga Pilu menghadang langkah Dewi Geladak Ayu
dengan sikap bermusuhan? Hal itu sangat menarik perhatian Pendekar Mabuk,
sehingga perhatiannya tercurah sepenuhnya ke arah Kenanga Pilu dan Dewi Geladak
Ayu.
Dengan pedang di pinggang,
Kenanga Pilu berdiri sigap dengan kaki sedikit merentang, jaraknya hanya empat
langkah dari Dewi Geladak Ayu. Mereka saling beradu pandang dengan sinis,
agaknya keduanya sudah saling kenal, sehingga tak ada rona heran di kedua wajah
mereka.
"Apa maksudmu menghadang
langkahku, Kenanga Pilu?!"
"Menuntut kematian Paman
Guru Juru Taman!" jawab Kenanga Pilu tegas dan membuat Suto Sinting
terperanjat kaget.
"Ooh, Resi Juru Taman
ternyata sudah tewas di tangan Dewi Geladak Ayu?! Hmmm... baru sekarang
kudengar kabar itu. Sejak kapan beliau tewas?!" Suto Sinting membatin
penuh keheranan, ia juga mengenal Resi Juru Taman sebagai adik dari Eyang Darah
Guntur yang dulu ikut menyelamatkan Kenanga Pilu dari serangan orang-orang yang
ingin menuntut balas atas tindakan liar gadis itu.
Renungan Suto atas nasib sial
Resi Juru Taman itu terputus, perhatiannya dikembalikan kepada ketegangan di
depan sana, karena Dewi Geladak Ayu perdengarkan suara ketusnya.
"Apakah kau tak berpikir
menggunakan otakmu, hah?! Kalau orang yang kau sebut-sebut sebagai paman guru
saja mati di tanganku, mengapa kau mau coba-coba melawanku?! Bukankah
perlawananmu sama saja dengan menyerahkan nyawa secara sia-sia?! Karenanya,
kusarankan padamu agar tidak coba-coba menuntut balas padaku, Kenanga
Pilu!"
"Persetan dengan
saranmu!" hardik Kenanga Pilu, kemudian segera mencabut pedangnya.
Sraaaaang...!
Dewi Geladak Ayu masih diam,
hanya sunggingkan senyum sinisnya. Tak merasa gentar sedikit pun terhadap
gertakan Kenanga Pilu. Nyalinya tetap besar walau Kenanga Pilu sudah
menggenggam pedangnya.
"Dengar kataku, Gadis
Bodoh...," ujarnya makin meremehkan Kenanga Pilu. "Kematian Juru
Taman bukan karena kesalahanku. Dia sendiri yang bikin ulah berlagak menjadi
pelindung bagi pihak negerinya Kertapaksi. Dia sama saja dengan si Pakar
Pantun; sama-sama ingin menjadi jagoan dan dapat pujian, akibatnya nyawa si
Juru Taman melayang tanpa penghargaan. Kerajaan Bumiloka sudah berhasil
kuhancurkan. Sayangnya, Kertapaksi dan gurunya; si Pakar Pantun, melarikan diri
tak terkejar olehku. Ternyata Sangkar Mesum pun tak becus mengejar Pakar
Pantun, bahkan sekarang dia berkhianat padaku, bersekutu dengan Barakoak!"
"Itu urusanmu, aku tak
mau dengar!"
"Kau perlu
mendengarkannya, Anak Manis!" ledek Dewi Geladak Ayu. "Kau perlu
menyimak keteranganku agar pihakmu tahu bahwa kematian Juru Taman adalah akibat
kesalahannya sendiri. Dan kau perlu tahu, Ratu Sangkar Mesum yang selama ini
menjadi sahabat baikku
saja bisa kubunuh jika mengecewakan diriku,
apalagi kau yang baru kemarin sore dan bukan apa-apaku! Ilmu yang kau miliki
masih jauh di bawah si Sangkar Mesum, tak ada gunanya kau menuntut balas atas
kematian paman gurumu itu."
Pendekar Mabuk sempat
berpikir, "Kalau begitu negeri Bumiloka telah hancur, dan Kertapaksi masih
hidup tapi melarikan diri. Hmmm.... Lantas siapa yang menguasai negeri Bumiloka
itu?! Bukankah sebenarnya negeri itu ingin dikuasai oleh Ratu Sangkar Mesum?
Tapi perempuan itu kini telah tewas. Apakah dengan begitu Dewi Geladak Ayu
ingin menguasai negeri Bumiloka?!"
"Aku punya usul padamu,
Gadis Tolol...," ujar Dewi Geiadak Ayu. "Kalau kau ingin bikin
perhitungan denganku, datanglah ke Bumiloka dan hadapi anak buahku dulu. Kalau
kau unggul melawan mereka satu- persatu, kau boleh melawanku. Jadi aku tak
buang- buang waktu dengan melawan gadis kerempeng sepertimu itu, Kenanga
Pilu."
"Dalam sekali gebrak anak
buahmu akan binasa di tanganku. Justru aku mencarimu untuk bikin perhitungan
secara langsung. Kalau kau tak berani berhadapan denganku, berlututlah dan
memohon ampunlah padaku, maka aku akan berbijak hati padamu, Geladak Ayu!"
"Keparat...!" geram
Dewi Geladak Ayu. "Belum pernah ada orang berani menghinaku seperti itu!
Rupanya kau memang ingin cepat menyusul si Juru Taman ke neraka! Dasar perawan
dungu! Hiaaah...!" Dewi Geladak Ayu marah mendapat hinaan seperti itu. Ia
segera kepretkan tangannya ke depan, dan memerciklah bunga-bunga api warna
merah kekuningan bagai air yang memercik ke tubuh Kenanga Pilu. Crraaaap...!
Kenanga Pilu melompat mundur satu langkah dengan mengibaskan pedangnya dalam
gerakan amat cepat hingga menimbulkan desau angin bergemuruh. Tentu saja
tebasan cepat yang berkali-kali itu mempunyai gelombang tenaga dalam hingga
dapat semburkan angin kencang yang memadamkan percikan bunga api dalam sekejap.
Wuuusss...! Zuuurrb...!
Asap mengepul saat bunga api
itu padam serentak. Kenanga Pilu merendahkan kedua kakinya dengan pedang
terhenti di atas kepala, tangan kirinya maju ke depan bagai melindungi dadanya
dari serangan sewaktu- waktu. Dewi Geladak Ayu semakin berang melihat
serangannya dapat dipatahkan lawan, ia segera melompat dalam kecepatan tinggi,
menerjang Kenanga Pilu yang sempat terperanjat karena datangnya serangan yang
luar biasa cepatnya itu.
Wuuut...! Brrusss...! Crraaak...!
"Aaahg...!" Kenanga
Pilu memekik tertahan. Rupanya ia terkena ujung busur panah yang dikibaskan
oleh Dewi Geladak Ayu pada saat lakukan terjangan.
Murid Eyang Darah Guntur itu
terpental delapan langkah jauhnya. Dadanya berdarah karena luka memanjang
sampai ke atas pundak.
Namun agaknya Kenanga Pilu
masih mampu bertahan. Semangat membalas kematian paman gurunya masih
menyala-nyala dan dapat terlihat dari bola matanya yang berbinar-binar penuh
nafsu untuk membunuh itu. Ia masih mampu pergunakan jurus pedangnya, sehingga
pedang itu segera dimainkan dengan gerakan cepat.
"Hmmm... dia gunakan
jurus 'Tebas Gunung' yang mampu lukai lawan dari jarak sepuluh langkah tanpa
menyentuh tubuh lawannya," gumam Suto Sinting dalam hati, sebab ia dulu
pernah hampir mati menghadapi jurus 'Tebas Gunung'-nya si cantik Kenanga Pilu
itu.
Wung, wung, wung, wung...!
Suara tebasan pedang menimbulkan getaran pada pohon-pohon di sekelilingnya.
Gelombang tenaga dalam yang meluncur dari tebasan pedang itu mempunyai ketajaman
yang sama dengan mata pedang itu sendiri, sehingga angin yang membawa gelombang
tajam itu akan memotong tubuh lawannya menjadi beberapa bagian.
Tetapi agaknya Dewi Geladak
Ayu memang bukan lawan setanding dengan Kenanga Pilu. Jurus pedang 'Tebas
Gunung' dapat dipatahkan dengan busur panah yang dikibaskan ke kanan-kiri
dengan gerakan cepat. Kibasan busur itu juga hasilkan gelombang tenaga dalam
yang saling bertemu dengan kekuatan tenaga dalam dari jurus pedangnya Kenanga
Pilu.
Di pertengahan jarak antara
kedua wanita itu, terjadi letusan-letusan kecil semacam petasan rentet
dinyalakan.
Tar, tar, tar, trraaattt...
tarrr....
Blegaaaarr !
Ledakan besar mengakhiri bunyi
rentetan letusan tersebut. Ledakan besar itu timbul setelah tangan kiri Dewi
Geladak Ayu menyentak ke depan dan dari telapak tangannya keluar sinar biru
sebesar kepalan tinjunya. Sinar biru menghantam cahaya merah yang timbul dari
letusan-letusan kecil tadi, hingga terjadilah gelegar ledakan yang menggetarkan
tanah di sekitar mereka.
Ledakan itu mengepulkan asap
tebal warna putih. Pandangan mata Kenanga Pilu tak mampu menembus ketebalan
asap putih tersebut, ia sedang mempersiapkan jurus barunya, tapi tiba-tiba ia
seperti ditampar angin badai di sekujur tubuhnya. Wuuut...! Brrruuuss...!
"Aaaahg...!" Kenanga
Pilu memekik lagi. Kejap berikut Pendekar Mabuk melihat Kenanga Pilu roboh
bersimbah darah. Luka tebasan ujung busur menjadi bertambah. Kini bagian perut
dan leher Kenanga Pilu terluka dalam dan mengerikan. Luka itu cepat menjadi hitam
bersama darahnya pertanda luka tersebut mengandung racun berbahaya.
"Untuk melegakan jiwamu,
kukirim nyawamu ke neraka sekarang juga, Perawan Bodoh! Hiaaaah...!"
Dewi Geladak Ayu ingin habisi
nyawa Kenanga Pilu dengan jurus pukulan jarak jauh yang diduga akan
menghancurkan raga Kenanga Pilu. Tetapi Suto Sinting cepat bertindak, ia
berkelebat ke arah pertarungan dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaaap...! Gerakan melesat itu juga dibarengi terlepasnya sentilan maut yang
dinamakan jurus 'Jari Guntur' bertenaga dalam melebihi tendangan seekor kuda
jantan. Teess...! Wuuut...! Beehg...! "Aoh...!" tubuh Dewi Geladak
Ayu terpental terbang akibat hantaman gelombang berkekuatan tinggi itu. Ia tak
jadi melepaskan pukulan penghancur raga. Sementara itu, Kenanga Pilu segera
disambar oleh Suto Sinting dan dibawanya lari dengan gerakan yang sukar dilihat
secara utuh, hanya menyerupai kilatan cahaya coklat-putih, sesuai warna baju
dan celana Pendekar Mabuk
Dalam sekejap saja Kenanga
Pilu sudah berada di balik bukit cadas jauh dari Dewi Geladak Ayu. Tentu saja
hal itu membuat si bajak laut wanita kebingungan mengetahui lawannya telah
lenyap bagai ditelan bumi.
"Keparat! Ke mana si
perawan bodoh itu?!" geramnya sambil bangkit berdiri dan memandangi alam
sekitarnya. "Hem... dadaku seperti dihantam dengan batu sebesar gunung!
Kurang ajar! Siapa orang yang berhasil menghantamku sepanas ini?! Kalau tak
segera kulawan dengan hawa murniku, bisa jebol dadaku dan kehilangan napas
selamanya!" Dewi Geladak Ayu pun segera menarik napas dengan memicingkan
mata, memusatkan pikiran dan kekuatannya pada hawa murninya.
Sedangkan di balik bukit, Suto
Sinting sibuk menuang tuak ke mulut Kenanga Pilu. Namun agaknya ia terlambat.
Racun dalam luka Kenanga Pilu sangat ganas dan akibat banyaknya luka juga maka
Kenanga Pilu pun akhirnya menghembuskan napas terakhir sebelum menelan tuak
saktinya Pendekar Mabuk.
"Oooh... terlambat!"
keluh Suto Sinting dengan sedih. "Racun itu bekerja lebih cepat dari
usahaku menuangkan tuak ke mulutnya. Sial!"
Pendekar Mabuk hanya bisa
memandangi Kenanga Pilu yang sudah tak bernyawa dengan hati sedih bercampur
kecewa. Angin yang berhembus bagaikan mengantar kematian Kenanga Pilu saat
berada di samping sang Pendekar Mabuk.
"Aku tak boleh kehilangan
jejak Dewi Geladak Ayu agar tak tersesat mencapai desa Wilwatikta. Sebaiknya
mayat Kenanga Pilu kuletakkan di tempat yang tersembunyi dulu, nanti pulang
dari mengambil air Sendang Ketuban akan kuambil dan kuserahkan kepada
gurunya."
Zlaaaap...! Pendekar Mabuk bergegas
menyusul Dewi Geladak Ayu setelah meletakkan mayat Kenanga Pilu di relung batu
cadas yang menyerupai gua kecil itu. Dewi Geladak Ayu meneruskan perjalanannya
menemui Barakoak di desa Wilwatikta, namun ia tak sadar bahwa ada seseorang
yang membayang-bayangi perjalanannya itu selain si Pendekar Mabuk.
*
* *
6
KETIKA perjalanan sudah mulai
mendekati kaki Gunung Purwa, bayangan yang mengikuti Dewi Geladak Ayu itu mulai
tampakkan diri dengan cara merobohkan pohon di depan langkah Dewi Geladak Ayu. Pohon
itu dihantamnya dengan kekuatan tenaga dalam hingga tumbang dan hampir saja
menjatuhi Dewi Geladak Ayu. Duaaar...!
Kreeaaakkk...! Brruuuhk...!
Hampir saja Dewi Geladak Ayu
tertimpa pohon besar itu jika tidak segera bersalto ke belakang beberapa kali
dengan lincah dan cepat sekali. Perempuan itu selamat dari ancaman maut pohon
besar yang seluruh batangnya berduri semacam pohon kapuk randu. Ia hinggap di salah satu bongkahan batu setinggi dada
manusia dewasa. Dari sana ia memandang ke arah sekeliling dengan cepat dan
melepaskan pukulan jarak jauh bersinar merah lurus tanpa putus.
Slaaaap...! Blegaaar...!
Dua pohon tumbang lagi karena
hantaman sinar merah lurus itu. Dari semak-semak di bawah pohon itu melesatlah
sesosok bayangan ungu yang bersalto di udara dan hinggap di atas sebongkah batu
setinggi perut manusia dewasa. Jleeg...!
Pendekar Mabuk memperhatikan
dari tempat persembunyiannya, dan ia terkejut melihat sesosok bayangan ungu
yang menjelma di atas batu itu. Bayangan ungu itu ternyata seorang pemuda
tampan dengan potongan baju lengan seperti Suto Sinting, tapi warna bajunya
ungu tua, demikian pula warna celananya. Pemuda itu mempunyai rambut lurus
panjang sepundak seperti Suto Sinting, tapi mengenakan ikat kepala dari kain
merah beludru berhias benang emas. Pemuda gagah itu menyandang pedang di
punggungnya, dan dilihat dari kemewahan pedangnya jelas ia bukan pemuda
sembarangan. Pendekar Mabuk yang terperanjat segera menyebut sepotong nama yang
dikenalnya dengan suara lirih, menyerupai orang menggumam kagum.
"Inupaksi...?!"
Pemuda berusia dua puluh tiga
tahun itu memang Inupaksi. Ia adalah anak Prabu Digdayuda penguasa kerajaan
Bumiloka. Wajah tampannya mirip dengan Kertapaksi, sebab ia memang adik dari
Kertapaksi. Tapi mereka berbeda guru. Kertapaksi adalah murid Resi Pakar
Pantun, tapi Inupaksi bukan. Pendekar Mabuk ingat pertemuannya dengan Inupaksi
beberapa waktu yang lalu ketika dalam perjalanan menyusuri lereng Gunung Purwa
juga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bayi Pembawa Petaka").
"Tak salah lagi, Inupaksi
pasti akan menuntut balas atas kehancuran negerinya kepada Dewi Geladak
Ayu," pikir Suto Sinting. "Namun apakah Inupaksi mampu menumbangkan
kesaktian Dewi Geladak Ayu?!"
Dewi Geladak Ayu memandang
dengan mata sedikit terpicing. Rupanya ia merasa heran melihat penampilan anak
muda yang mirip Kertapaksi itu. Ia pun menyapa dengan nada dingin.
"Wajah dan penampilanmu
serupa betul dengan Kertapaksi yang lari tunggang langgang melawanku itu.
Apakah kau punya hubungan saudara dengan Kertapaksi?!'
"Aku adalah adiknya.
Akulah yang bernama Inupaksi!" jawab Inupaksi dengan nada tak ramah.
"O, pantas kau lebih ganas dari Kertapaksi," ujar Dewi Geladak Ayu
dengan senyum sinis yang tipis. "Rupanya kau ingin menyusul kematian ayahmu;
Prabu Digdayuda itu! Aku tak segan-segan menghancurkan sisa keturunan si
Digdayuda!"
"Kau memang perempuan
busuk yang pantas dilenyapkan dari muka bumi!" geram Inupaksi menampakkan
kemarahannya.
Lalu, dengan secara tiba-tiba
tangan Inupaksi menyentak ke depan dan dari tangan itu keluar kepingan-kepingan
logam putih mengkilat dalam bentuk kelopak bunga. Jumlah kepingan logam yang
keluar dari telapak tangan itu sekitar sepuluh keping, melesat bersama tertuju
ke arah dada Dewi Geladak Ayu. Zzriilng...l
Dewi Geladak Ayu tidak
menghindar, tapi menadahkan tangannya ke depan. Logam-logam mengkilap yang
merupakan senjata rahasia beracun ganas itu dihadang oleh telapak tangan kanan
Dewi Geladak Ayu. Zzzuuurrb...! Kemudian tangan itu menggenggam, ternyata
kepingan logam itu telah mengumpul menjadi satu dalam genggaman. Dewi Geladak
Ayu tunjukkan kesaktiannya yang mampu menangkap seluruh benda beracun itu tanpa
mengalami luka sedikit pun pada telapak tangannya. Justru sekarang
kepingan-kepingan logam itu dilemparkan kembali ke arah Inupaksi. Zrrriing...!
Wuuut, wuuut...!
Inupaksi melompat melebihi
ketinggian layang kepingan-kepingan logam tersebut. Akibatnya kepingan-
kepingan logam itu menancap pada pohon yang ada di belakang Inupaksi.
Juuurrb...!
Namun lompatan maju Inupaksi
itu mendekati Dewi Geladak Ayu, sehingga ketika tubuhnya melayang turun,
Inupaksi melepaskan pukulan bersinar biru seperti piringan dalam jarak cukup
dekat. Claaap...! Dewi Geladak Ayu masih berdiri di atas batu dan merendahkan
kedua kakinya dengan tangan kanan disentakkan ke depan. Claaap...! Sinar merah
seperti bola melesat dari telapak tangan itu dan bertabrakan dengan sinar
birunya Inupaksi.
Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi
mengguncangkan alam sekeliling, termasuk tumbangnya beberapa pohon akibat
gelombang sentakan amat kuat dari ledakan tersebut. Inupaksi sendiri terlempar
ke atas dengan tanpa keseimbangan badan, melayang-layang tinggi dengan gerakan
panik. Sedangkan Dewi Geladak Ayu terlempar jatuh dari atas batu. Namun ia
segera bangkit dan berlutut satu kaki, kemudian ia sentakkan jari tangannya
yang merentang tegak kaku itu. Dari ujung jari tengah keluar selarik sinar
seperti lidi panjang warna merah. Zuuuub...!
"Aaahg...!"
terdengar suara pekikan Inupaksi saat tubuh itu melayang turun dan disambut
dengan sinar merah sebesar lidi. Sinar itu kenai pinggang Inupaksi yang membuat
baju Inupaksi terbakar dan hangus pada bagian pinggangnya. Inupaksi akhirnya
jatuh berdebam di tanah dengan suara mengerang kesakitan. Matanya terbeliak-beliak,
tubuhnya menggelinjang kaku. Salah satu tangannya mencoba mendekap luka bakar
di bagian pinggangnya itu.
"Gawat! Inupaksi terluka
parah, jiwanya dapat melayang dalam waktu beberapa saat lagi. Aku harus segera
bertindak!" pikir Suto Sinting yang bergegas ingin menyambar Inupaksi.
Tetapi tiba-tiba sekelebat
bayangan putih melintas di depannya, menuju ke arah pertarungan. Bayangan putih
itu bergerak dengan kecepatan tinggi dan menyambar tubuh Inupaksi. Wuuuut...!
Bertepatan dengan tersambarnya
tubuh Inupaksi, Dewi Geladak Ayu melepaskan pukulan sinar merah sebesar kepalan
tangannya. Wuuusss...! Sinar merah itu akhirnya menghantam tempat kosong karena
Inupaksi sudah lebih dulu disambar seseorang. Blegaaarr...!
Kalau saja Inupaksi masih ada
di situ, ia pasti akan hancur berkeping-keping karena hantaman sinar merah
besar tersebut. Karena Inupaksi sudah tidak ada di tempat, maka sinar merah itu
menghantam tanah dan menyemburlah tanah tempat jatuhnya Inupaksi tadi. Percikan
tanah menyebar ke angkasa membuat alam sekitarnya bagaikan mengalami hujan
debu. Tempat jatuhnya Inupaksi menjadi berongga besar sekali seperti kubangan
kerbau dengan kedalaman sekitar satu lutut lebih dan berasap tipis.
Dewi Geladak Ayu
clingak-clinguk mencari kepergian lawannya. Akhirnya ia temukan lawannya di
sebelah timur, dalam keadaan dipanggul oleh seorang lelaki tua berbadan gemuk.
Pandangan Suto Sinting pun terarah ke timur, menatap orang gemuk berjubah
putih, rambut pendek, dan kumis serta jenggotnya juga putih rata.
"Jubah Kapur...?!"
gumam hati si Pendekar Mabuk yang mengenal tokoh tua itu.
Jubah Kapur adalah ketua
gelandangan yang termasuk tokoh aliran putih, guru dari Inupaksi. Pendekar
Mabuk bertemu dengan tokoh sakti yang mengenal gurunya itu ketika terlibat
peristiwa kematian seorang bayi yang digantung oleh ayahnya sendiri, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bayi Pembawa Petaka").
Rupanya si Jubah Kapur selalu
membayang-bayangi kepergian muridnya, dan siap selamatkan sang murid jika dalam
keadaan berbahaya. Kali ini Jubah Kapur sengaja hentikan langkah di atas
gundukan tanah sambil memandang ke arah Dewi Geladak Ayu. Tampaknya perempuan
itu pun sudah mengenal si Jubah Kapur, sehingga ia segera serukan kata kepada
tokoh serba putih itu.
"Lepaskan pemuda itu biar
puas hatinya jika sudah kukirim ke neraka seperti kedua orangtuanya! Kalau kau
ingin ikut campur urusanku, datanglah kemari dan hadapi aku, Jubah Kapur!"
"Belum saatnya aku
menghadapimu, Perempuan Bajak! Tapi ada saatnya sendiri di mana kita akan bertemu
dan saling mengadu nyawa! Tunggulah saatnya, pasti akan tiba!" Wuuut...!
Jubah Kapur berkelebat pergi tinggalkan Dewi Geladak Ayu yang masih merasa
dongkol dengan tingkahnya Inupaksi. Kepergian si Jubah Kapur ternyata
meninggalkan suara yang menggema bagai memenuhi hutan sekitar situ.
"Jika aku sudah mengobati
muridku, aku akan mencarimu untuk bikin perhitungan, Geladak Ayu, yu, yu,
yu...!"
Pendekar Mabuk membatin,
"Gelombang suara itu pasti mempunyai kekuatan tenaga dalam hingga bisa
menggema sebegitu jelasnya. Hmmm... agaknya Dewi Geladak Ayu tidak mau memburu
Jubah Kapur, ia lebih mengutamakan mencari Barakoak untuk mengadu kesaktian.
Rupanya si Raja Iblis itu benar-benar musuh utama yang harus dilenyapkan oleh
Dewi Geladak Ayu! Tapi... hei, siapa itu yang berkelebat di sebelah
barat?!"
Pendekar Mabuk memandang
curiga ke arah barat. Di sana tampak sekelebat bayangan berlari menelusup di
balik pepohonan. Sementara itu Dewi Geladak Ayu yang tak tahu diikuti oleh
Pendekar Mabuk segera tinggalkan tempat dan teruskan perjalanan. Suto Sinting
tak tahu kalau Dewi Geladak Ayu telah pergi, karena pusat perhatiannya lebih
tertarik ke arah barat.
"Ooh... rupanya orang itu
terluka?!" pikirnya saat melihat orang yang berlari itu hentikan langkah
dengan terhuyung-huyung dan bersandar pada sebatang pohon. Pendekar Mabuk
memicingkan matanya, agar pandangan matanya semakin jelas. Lalu, hatinya pun
membatin, "Sepertinya aku mengenal orang itu?!"
Zlaaap...! Suto Sinting
bergegas pergi ke arah barat. Dalam sekejap saja ia sudah berada tak jauh dari
seorang perempuan yang miskin busana. Perempuan berkalung tali hitam dengan
bandul kulit kerang kuning mengkilap itu tidak mengenakan pakaian semestinya,
ia hanya menutup bagian-bagian penting pada tubuhnya dengan secarik kulit
binatang warna hitam. Dadanya ditutup pada bagian ujung saja dengan kulit
binatang, bagian bawahnya pun ditutup seperlunya saja dengan kulit binatang
berbulu hitam yang menggunakan tali melilit di pinggang. Sisa tubuhnya yang
mulus berwarna kuning langsat itu tidak mengenakan selembar benang pun.
Pendekar Mabuk tak merasa heran melihat keadaan tersebut, karena ia tahu cara
berbusana seperti itu merupakan ciri khas orang-orang desa Wilwatikta.
"Ciwuiani...?!"
gumam hati Suto Sinting yang mengenal perempuan tersebut sebagai orang
kepercayaan dari Ratu Dewi Cumbutari, penguasa negeri Wilwatikta.
Ciwuiani tampak terluka pada
bagian atas dada kiri dekat pundak. Luka itu menghangus hitam dan masih
kepulkan asap. Agaknya ia sedang melarikan dari dari sebuah pertarungan. Di
punggungnya pun tampak luka koyak bagaikan habis disabet dengan senjata tajam.
Wajah perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu tampak pucat sekali,
mencemaskan hati Pendekar Mabuk. Maka ia pun segera menghampiri Ciwuiani yang
masih berdiri berpegangan batang pohon. "Ciwuiani...?! Apa yang
terjadi?!"
Ciwuiani memandang dengan mata
sayu, makin lama matanya semakin redup dan tubuhnya kian terkulai lemas.
Pendekar Mabuk segera menangkap tubuh tanpa busana itu sebelum jatuh ke tanah.
"Lukanya cukup
parah!" gumam Pendekar Mabuk, sambil bergegas meminumkan tuak ke mulut
Ciwuiani.
"Minumlah tuakku ini
untuk obat lukamu! Minumlah sedikit demi sedikit, Ciwuiani!" bujuk Suto
Sinting dengan hati berdebar-debar, takut terlambat seperti saat ia ingin mengobati
Kenanga Pilu tadi.
Bertemu dengan Pendekar Mabuk
yang juga sering dijuluki sebagai Tabib Darah Tuak adalah suatu keberuntungan
besar bagi orang yang terkena luka seperti Ciwuiani. Andai saja Ciwuiani tidak
mau meneguk tuak saktinya Pendekar Mabuk, mungkin sebelum senja nyawanya sudah
melayang. Tapi karena Ciwuiani mau meminum tuak saktinya Suto, maka sedikit
demi sedikit luka koyak di punggungnya mengatup dan menjadi rapat seperti
sediakala. Bahkan darah yang berceceran bagai terserap habis oleh pori- pori
kulitnya. Luka hangus di dada kirinya pun perlahan- lahan berubah warna dan
menjadi seindah warna aslinya. Ciwuiani akhirnya tertolong dan tubuhnya menjadi
segar, lebih segar dari sebelum melakukan pertarungan dengan seseorang.
"Oh, untung aku bertemu
denganmu, Pendekar Mabuk. Seandainya tidak, tak tahulah sudah di mana rohku
saat ini," ujarnya sambil memulihkan pernapasannya.
"Siapa yang menyerangmu
sedemikian parahnya, Ciwuiani?!"
"Suto, negeri kami
diserang raksasa."
"Raksasa...?!" dahi
Pendekar Mabuk berkerut karena merasa janggal mendengar ucapan tersebut.
"Rakyat kami banyak yang
mati dihancurkan oleh si raksasa itu. Bahkan sekarang Ratu Dewi Cumbutari
sedang bertarung menghadapi raksasa itu. Beliau serukan perintah agar kami
berlari menyebar arah, masing-masing disuruh menyelamatkan diri dari amukan
raksasa keparat itu."
"Raksasa...?!"
Pendekar Mabuk masih menggumam dalam renungan keheranannya. "Raksasa dari
mana maksudmu?"
"Entahlah. Kami tak tahu
dari mana raksasa itu berasal. Yang jelas ia ingin menguasai wilayah kami. Ia
mengaku bernama Raja Iblis "
"Barakoak!" sahut
Suto Sinting dengan suara menyentak.
"Ya, dia juga menyebutkan
nama aslinya: Barakoak," ujar Ciwuiani. "Dia sangat liar dan buas.
Aku melihat sendiri anak buahku dimakan lengannya setelah lehernya dipatahkan,
ia mengunyah daging manusia seperti mengunyah lalap daun mede."
"Celaka!" geram Suto
Sinting dengan pandangan menerawang.
"Sebenarnya aku ingin
membantu Gusti Ratu Cumbutari, tapi Gusti Ratu marah dan menyuruhku melarikan
diri."
"Kita bantu sang Ratu
sekarang juga!" sambil Suto Sinting menarik tangan Ciwuiani, tetapi
perempuan itu menahan diri dengan wajah diliputi kecemasan.
"Raksasa itu berbahaya,
Suto! Dia bisa menelan bulat-bulat jika murkanya kian meninggi."
"Apa pun bahayanya akan
kuhadapi dia!"
Ciwuiani masih diam pandangi
Suto Sinting dalam keraguan. Tangannya masih memegang pedang tanpa darah.
Agaknya ia tak mampu lukai lawannya sedikit pun, hingga pedangnya masih tampak
bersih. Itu berarti Barakoak memang orang yang tak bisa disepelekan begitu
saja. Apalagi Suto Sinting ingat kata-kata Kejora, bahwa Barakoak mempunyai
ilmu 'Urat Bumi' yang menjadi andalannya.
Ciwuiani berkata dengan lirih,
"Raksasa itu tak bisa dilukai dengan senjata apa pun. Ia bagaikan manusia
tanpa darah."
Kata-kata Ciwuiani itu memang
sama dengan keterangan Kejora beberapa waktu yang lalu. Tapi apakah itu berarti
Suto Sinting harus membatalkan niatnya dalam menolong Ratu Dewi Cumbutari?
*
* *
7
MEMANG pantas jika Ciwuiani
menganggap si Raja Iblis; Barakoak, sebagai raksasa yang buas, karena Barakoak
seorang berwajah sangar yang bertubuh tinggi besar. Ketinggian tubuhnya
melebihi tinggi badan Suto Sinting. Jika berdampingan, Suto Sinting hanya
sebatas pundaknya saja. Badannya kekar dan keras bagaikan batu, berkulit gelap
tapi bukan hitam keling.
Barakoak berkepala gundul,
namun ia mempunyai brewok yang tumbuh dengan liar tak teratur. Matanya besar,
bibirnya tebal. Jika menyeringai tampak giginya yang besar-besar pula. Wajahnya
itu layak dikatakan sebagai wajah paling angker di antara para wajah perampok.
Ia mengenakan jubah tanpa
lengan warna merah dengan tepian dilapis kain satin hitam mengkilap. Celananya
berwarna hitam satin dengan sabuk putih berhias logam-logam emas. Di balik kain
jubahnya yang merah itu ia tidak mengenakan baju lagi, sehingga dadanya yang
mirip seonggok batu gunung itu tampak berbulu tak teratur.
Kedua tangannya yang berlengan
besar seperti batang pohon kelapa itu mempunyai jari-jari cukup besar. Orang
mengatakan jari-jarinya sebesar pisang raja. Itu hanya kata kiasan belaka, yang
jelas jari-jari besar itu berkulit tebal dan mempunyai kuku runcing walau tak
seberapa panjang. Kakinya mengenakan gelang binggel dari logam emas, jika
berjalan bagaikan mengguncang bumi. Ia mengenakan kalung rantai emas berbandul
tengkorak bayi. Kedua lengannya kanan kiri bertato gambar naga terbang dari
batas ujung lengan sampai ke pergelangan tangan. Memang menyeramkan penampilan
sosok Barakoak, sehingga layak berjuluk si Raja Iblis. Suaranya yang
menggelegar bagaikan menghentakkan jantung lawannya. Mata besarnya yang
bertepian merah sering membuat darah lawan bagai tak mengalir lagi jika
memandang tanpa kedip.
Sekalipun demikian, seorang
perempuan cantik berambut panjang dengan ikat kepala dari rantai emas berbandul
merah saga di tengah keningnya, terpaksa harus beradu nyawa dengan si Raja
Iblis itu. Perempuan yang tanpa busana, tapi bagian kehormatannya ditutup
dengan kulit harimau loreng itu berjumpalitan ke sana- sini menghindari
serangan Barakoak. Perempuan itulah yang dikenal sebagai Ratu Dewi Cumbutari,
penguasa negeri Wilwatikta.
Gerakannya yang lincah sering
mengecohkan serangan Barakoak yang liar itu. Namun manusia tinggi besar itu
tidak mudah dilumpuhkan walau telah berkali- kali terkena tebasan pedang
birunya Ratu Dewi Cumbutari.
Sementara itu, pemukiman
rakyat negeri Wilwatikta sudah dibuat porak poranda oleh amukan Barakoak.
Rumah-rumah mereka yang terbuat dari anyaman jerami berbentuk kerucut sebagian
telah terbakar dan masih mengepulkan asap, sebagian lagi rusak tak dapat dihuni
lagi. Sedangkan mayat-mayat pun tampak bergelimpangan di sana-sini. Pada
umumnya kaum perempuan tanpa busana lengkap itu mati dalam keadaan mengerikan;
pecah kepalanya, robek dadanya, buntung lehernya, amburadul isi perutnya dan
sebagainya. Pemandangan di desa Wilwatikta itu seperti pemandangan di neraka.
Negeri itu menjadi ladang pembantaian bagi si Raja iblis yang ingin menguasai
wilayah tersebut.
Dengan sebilah pedang rampasan,
Barakoak mengamuk sambil berteriak-teriak memekakkan telinga. Ratu Dewi
Cumbutari masih tangguh menghadapi lawannya yang sama sekali tak seimbang itu.
Kelincahan Dewi Cumbutari itulah yang membuat Barakoak sulit melukai tubuh sang
Ratu cantik.
Trangg... trrang ...!
Mereka beradu pedang dalam
sekelebat. Ketika pedang di tangan Barakoak ditebaskan ke depan dari atas ke
bawah, Dewi Cumbutari sudah berada di belakangnya. Zaaap...! Kemudian pedang
Dewi Cumbutari yang memancarkan warna biru pijar itu menghujam punggung
Barakoak sambil lakukan lompatan ke atas. Jrrruubb...!
Pedang itu tembus sampai ke
depan perut. Barakoak diam sambil menggeram dan kepalanya berpaling ke
belakang.
"Gggrrrmmm...!"
Dewi Cumbutari segera mencabut
pedangnya dan bersalto ke belakang menghindari sabetan pedang lawan. Sluuub...!
Ketika pedang dicabut, luka bolong itu mengatup bersama gerakan terlepasnya
pedang yang menembus punggungnya.
Zuuullp...! Daging dan kulit
tubuh Barakoak menjadi rapat kembali, sepertinya tak pernah mengalami luka
seujung jarum pun. Peristiwa itu terlihat jelas di depan mata Pendekar Mabuk
yang bersembunyi di balik reruntuhan rumah jerami bersama Ciwuiani. Perempuan
yang bersamanya itu segera berbisik lirih,
"Itulah kehebatan si Raja
iblis. Dari tadi tubuhnya tak bisa kami lukai, karena setiap terluka, luka itu
cepat mengatup dan lenyap sebelum darahnya keluar. Akibatnya senjata kami tak
ada yang berlumur darah."
"Itu yang dinamakan ilmu
'Urat Bumi', salah satu ilmu yang menjadi andalan si Barakoak," bisik Suto
Sinting, ia sengaja tak mau segera maju menyerang Barakoak, karena ia perlu
mempelajari kelemahan ilmu 'Urat Bumi' itu.
Barakoak hanya tertawa
terbahak-bahak ketika melihat perutnya tak terluka sedikit pun.
"Hah, hah, hah, nah...!
Sudah kubilang, kau tak akan bisa mengusirku dari sini, Dewi Cumbutari! Kau tak
akan bisa unggul jika masih bersikeras menentangku! Kusarankan sebaiknya kau
menyerah dan jangan melawanku, supaya nasibmu tidak seperti anak buahmu yang
terkapar di sana-sini itu!"
"Sejengkal pun tanah ini
akan kupertaruhkan dengan nyawaku!" ujar Ratu Dewi Cumbutari. "Di
sini tinggal kau dan aku, Barakoak! Setinggi apa pun kesaktian ilmumu akan
kulayani sampai titik darah penghabisan!"
Pendekar Mabuk sempat berbisik
dalam gumam, "Ratumu benar-benar punya keberanian besar. Pembelaannya
terhadap tanah negeri ini tak tanggung- tanggung lagi."
"Itulah sebabnya kami
diperintahkan lari menghindari amukan si Raja iblis. Semula Barakoak dibantu
oleh Ratu Sangkar Mesum, tapi entah di mana ia sekarang. Setelah mengejar dua
orang andalan kami, ia menghilang tak muncul-muncul lagi."
"Dua orang andalan itu
telah mati. Kurasa si Ratu Sangkar Mesum itulah yang membunuh mereka."
"Ooh... benarkah begitu?!
Apakah kau menemukan mayat mereka?!"
Pendekar Mabuk anggukkan
kepala. "Kutemukan saat dalam perjalanan kemari. Keduanya tak bernyawa.
Ketika aku ingin memeriksanya, tiba-tiba aku diserang Ratu Sangkar Mesum. Namun
kini perempuan itu telah mati pula."
"Kaukah yang
membunuhnya?!"
Dengan tetap memandang ke arah
pertarungan, Pendekar Mabuk gelengkan kepala sebagai jawaban pertanyaan
Ciwuiani.
"Ratu Sangkar Mesum mati
dibunuh oleh Dewi Geladak Ayu, si bajak laut wanita itu!"
"Aku pernah mendengar
nama itu, tapi belum pernah melihat seperti apa rupa si bajak laut wanita
itu!"
"Kalau kau ingin melihat
rupa si bajak laut wanita, pandanglah pohon yang ada di seberang sana, dekat
reruntuhan gapura itu!" Suto Sinting menunjuk ke arah yang dimaksud.
Ternyata di sana memang sudah berdiri sosok perempuan cantik memegangi busur
panahnya. Agaknya ia sudah berada di balik pohon itu sejak tadi, sebelum
kedatangan Suto Sinting.
Rupanya Dewi Geladak Ayu juga
sedang mempelajari kelemahan Barakoak, sehingga sejak tadi ia hanya
memperhatikan pertarungan si Raja iblis dengan Ratu Dewi Cumbutari. Ia sendiri
tak mengetahui bahwa Pendekar Mabuk sudah ada di tempat itu, jauh di
seberangnya dan sesekali mencuri pandang ke arahnya.
"Agaknya Barakoak telah
menguasai ilmu 'Urat Bumi'. Cukup sulit bagiku untuk mengalahkan ilmu itu, tapi
akan kucoba dengan panah 'Lebur Sukma' yang selama ini tak pernah ada
tandingannya," pikir Dewi Geiadak Ayu sambil matanya memperhatikan gerakan
Dewi Cumbutari menghujamkan pedang yang berwarna biru pijar ke perutnya
Barakoak.
Orang bertubuh tinggi besar
itu sengaja tidak menghindar saat menerima tikaman pedang pada perutnya. Bahkan
kedua tangannya sedikit merentang, seakan memberi peluang bagi lawan untuk
menghujamkan pedang ke tubuhnya.
Bluuuuss...! Slaaap...!
Pedang menembus sampai ke
punggung, tapi ketika ditarik kembali, lubang tusukan itu mengatup dengan
sendirinya bersama lolosnya mata pedang dari perut. Dewi Cumbutari sentakkan
kaki dan tubuhnya melambung naik, pedangnya berkelebat mengibas dari atas ke
bawah. Craaasss...! Wajah Barakoak nyaris terbelah dari kening sampai pusarnya.
Tapi luka ternganga itu merapat kembali dalam waktu hanya sekejap, sehingga
tubuh itu tak terluka sedikit pun.
"Hah, hah, hah, hah,
hah...!" ia tertawa terbahak- bahak dengan dada sedikit membusung.
Ratu Dewi Cumbutari dibuat
penasaran oleh ilmu 'Urat Bumi' itu. Kemarahannya membuat sesak pernapasan,
namun agaknya ia tak mudah menyerah begitu saja. Kali ini ia pergunakan jurus
pedang lainnya.
Dengan satu sentakan kaki ke
tanah, pedang yang diarahkan ke dada Barakoak itu tiba-tiba mengeluarkan sinar
hijau lurus tanpa putus sebesar kelingking. Slaaaapsss...! Sinar hijau itu
tepat kenai dada Baiakoak, tembus sampai ke punggung, bahkan sampai kenai
sebatang pohon dan pohon itu langsung hancur karena meledak. Blaaarr...!
Ketika sinar hijau itu padam,
lubang yang tembus dari dada sampai punggung itu mengatup kembali dan dada
Barakoak tak mengalami luka sedikit pun. Bahkan bekas menghitam hangus pun tak
ada di dada itu.
"Hah, hah, hah. hah...!
Sekarang giliranku menyerangmu, Cumbutari! Heeeeaaah...!"
Barakoak berteriak memanjang,
suaranya bagai ingin memecah langit karena kerasnya. Tangannya menghentak ke
depan, dan dari tengah telapak tangan itu menyembur asap ungu dengan derasnya.
Wuuuusss...! Di sela-sela semburan asap ungu tampak selarik sinar putih yang
menghantam ke dada Dewi Cumbutari. Pedang berpijar biru segera menghadang tegak
lurus di depan dada, dan sinar putih itu menghantam pedang tersebut. Trrak,
jegaaarrr...! Ledakan dahsyat terjadi hingga mengguncangkan tanah dan pepohonan
di sekitar tempat itu. Dewi Cumbutari terpental setelah lebih dulu tersapu asap
ungu. Tubuh sekal itu bagai dilemparkan dengan tenaga yang amat kuat. Melayang
tinggi dan jatuh dalam jarak sekitar sepuluh langkah dari tempat berdirinya
semula.
Brruk...!
"Aaaahg...!" Sang
Ratu mengerang dengan tubuh kejang. Warna kulitnya menjadi berbintik-bintik
ungu, seakan darahnya keluar dari pori-pori tubuh dan berwarna ungu, bukan
berwarna merah seperti darah biasanya.
"Huah, hah, hah, hah, hahhh...!
Akhirnya kau modar juga oleh jurus racun 'Lidah Bromo' yang tak ada obatnya
itu, Cumbutari! Huah, hah. hah, hah...!"
Ciwuiani menjadi tegang, ia
bergegas ingin menyambar tubuh Ratu Dewi Cumbutari, namun tangannya dicekal dan
ditahan oleh Pendekar Mabuk.
"Ratu terkena racun
ganas! Aku harus segera menolongnya!"
"Kau benar, tapi cari
kesempatan yang baik untuk membawanya pergi supaya Barakoak tidak melihat
keberadaan kita di sini!"
Sang Ratu dalam keadaan
sekarat. Darahnya yang tersumbul dari pori-pori kulit menjadi banyak dan
berwarna ungu. Tubuh sang Ratu bergetar seperti orang terkena penyakit ayan.
Mulutnya ternganga mengeluarkan busa dan busa itu pun berwarna ungu.
Barakoak masih menertawakan
lawannya yang tak berdaya lagi. Namun tiba-tiba tawa itu terhenti seketika
karena sebuah anak panah melesat dan menembus lehernya. Weesss...! Jluuub...!
Barakoak hanya terkejut dan
palingkan pandangan ke arah datangnya anak panah. Sementara itu, anak panah
yang membara merah bagai besi terpanggang api itu lolos terus, dari leher kiri
tembus ke leher kanan dan melesat terus hingga menghantam sebuah pohon.
Blegaaar...! Pohon itu pecah menjadi serpihan kayu yang menyebar ke mana-mana.
Sang anak panah segera kembali ke arah semula dengan cepat. Wuuut...!
Jluuub...! Ploosss...!
Kini tengkuk kepala Barakoak
yang ditembus anak panah itu sampai ke leher. Anak panah lolos dari leher depan
dan melesat kembali kepada pemiliknya. Dewi Geladak Ayu segera menangkap anak
panah itu dengan tangan kanannya. Teeb...! Warna merah membara pun padam
seketika. Tetapi luka bolong di leher Barakoak segera merapat kembali dan leher
itu menjadi utuh bagai tak pernah ditembus panah dua kali.
"Rupanya kau mau
membokongku, Geladak Ayu?!" geram si Raja Iblis dengan pandangan matanya
yang berang, ia segera melangkah dekati Dewi Geladak Ayu yang telah berdiri
tegak dengan kaki sedikit menganga, seakan siap menghadapi serangan lawannya.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk
berkelebat cepat nyaris tak terlihat oleh Ciwuiani. Tahu-tahu ia telah kembali
sambil membawa tubuh Ratu Dewi Cumbutari yang sekarat. Tuak sakti segera
dituangkan ke mulut sang Ratu. Tuak itu tertelan sedikit demi sedikit, namun
tidak membuat kesembuhan bagi luka racun yang diderita sang Ratu.
"Celaka! Tuakku tidak
bisa mengalahkan racun 'Lidah Bromo' ini?!" gumam Suto Sinting dengan
wajah tegang. Sang Ratu masih menyentak-nyentak dalam keadaan kejang.
"Kudengar racun 'Lidah
Bromo' tak pernah ada obatnya," bisik Ciwuiani. "Kalau begitu, Ratu
harus segera dibawa ke Sendang Ketuban."
"Hahh...?! O, iya...
Sendang Ketuban?! Di mana letak Sendang Ketuban?!" tanya Suto Sinting
penuh semangat, karena ia segera ingat tujuan semula pergi meninggalkan Kejora,
Tua Bangka, dan Darah Prabu.
"Ikutlah aku...!"
ujar Ciwuiani sambil merunduk- runduk agar gerakannya tak terlihat Barakoak.
Pendekar Mabuk mengangkat tubuh Ratu Dewi Cumbutari dan mengikuti langkah
Ciwuiani.
Ternyata yang dinamakan
Sendang Ketuban terletak di dalam istana jerami yang digunakan sebagai
singgasana sang Ratu Dewi Cumbutari. Sendang itu berupa kolam berair hijau
bening yang saat itu dalam keadaan kotor sekelilingnya karena hancurnya istana
jerami tersebut. Namun sehelai jerami atau kotoran lain tak ada yang sampai
jatuh ke permukaan kolam berair hijau itu.
Ciwuiani segera menyiram tubuh
sang Ratu dengan air kolam tersebut. Wajah sang Ratu dicuci dengan
tergesa-gesa, dan cairan-cairan ungu itu bagai menguap dengan sendirinya. Makin
lama semakin lenyap sehingga tubuh Ratu
Dewi Cumbutari menjadi bersih seperti sediakala.
Sungguh ajaib air Sendang
Ketuban itu. Ratu Dewi Cumbutari segera sehat tanpa rasa sakit sedikit pun.
Bahkan ia segera menyadari bahwa Pendekar Mabuk sudah berada di sampingnya.
"Kau datang juga
rupanya," sapa sang Ratu kepada Pendekar Mabuk dan Suto Sinting hanya
berikan senyum ramah yang cukup menawan hati lawan jenisnya.
"Tujuanku sebenarnya
mencari air Sendang Ketuban untuk sembuhkan luka seorang sahabat, Ratu."
"Kalau begitu kau bisa
membawanya pulang dalam sebuah guci. Tapi terlebih dahulu aku akan
menyelesaikan pertarunganku dengan si Raja Iblis itu! Akan kuusir dia dari
tanah kekuasaanku ini!"
"Tak perlu, biar aku yang
mengusirnya, Ratu!" kata Suto Sinting dengan lembut. "Barakoak bukan
tandinganmu! Akulah sekarang yang akan maju melawannya!"
Ratu Dewi Cumbutari hanya
memandangi Suto Sinting dengan pandangan anggun berkesan bangga terhadap
Pendekar Mabuk.
*
* * 8
HATI Pendekar Mabuk merasa
lega telah mengetahui letak air Sendang Ketuban. Menurut cerita Ratu Dewi
Cumbutari, air Sendang Ketuban memang berkhasiat khusus untuk luka atau
penyakit yang tak ada obatnya. Air itu selalu dalam keadaan bersih dan bening
dengan warnanya yang hijau kemilau itu. Menurut keterangan sang Ratu, air itu
tak bisa kotor, karena setiap ada kotoran, seperti sehelai daun kering yang
jatuh di permukaan air tersebut, maka daun kering itu akan lenyap bagai menguap
dan hilang tanpa bekas sedikit pun sehingga air tetap kelihatan bersih dan
bening.
Persoalan air Sendang Ketuban
dikesampingkan dulu oleh Pendekar Mabuk. Kini yang dipikirkan adalah menghadapi
Barakoak yang berjiwa iblis keji itu. Mereka bertiga menemui Barakoak di tempat
pertarungan semula. Tetapi mereka terhenti di tempat persembunyian Suto Sinting
dan Ciwuiani semula. Dari sana mereka menyaksikan pertemuan antara Barakoak
dengan Dewi Geladak Ayu.
"Biarkan dulu si Geladak
Ayu selesaikan urusannya dengan Barakoak, baru kau bertindak jika kau memang
ingin bertindak." ujar Ratu Dewi Cumbutari yang agaknya sudah mengenal
Dewi Geladak Ayu.
"Persoalan apa sebenarnya
yang membuat Dewi Geladak Ayu bermusuhan dengan Barakoak, Ratu?" tanya
Suto Sinting dengan rasa ingin tahunya.
"Barakoak pernah
membantai habis anak buah Geladak Ayu dalam satu kapal yang dipimpin oleh adik
kandungnya si Geladak Ayu. Kapal itu sendiri dihancurkan oleh Barakoak di depan
mata Geladak Ayu."
"Apakah Gusti Ratu kala
itu menyaksikan sendiri?!" sahut Ciwuiani.
"Tidak. Geladak Ayu yang
menceritakan padaku, ketika kami mengadakan pertemuan dengan beberapa tokoh
silat lainnya, di puncak Gunung Purwa ini untuk membicarakan pusaka kuno yang
bernama Panji-panji Mayat."
Deeeg..! Jantung Suto Sinting
langsung tersentak begitu mendengar Panji-panji Mayat diucapkan oleh Ratu Dewi
Cumbutari. Pendekar Mabuk pun segera ajukan tanya dengan penuh semangat namun
dalam lahiriyahnya ia bersikap kalem seakan kurang tertarik dengan pusaka kuno
itu.
"Apakah kau tahu banyak
tentang pusaka itu, Ratu?" "Entahlah. Yang jelas, sampai sekarang tak
ada orang
yang mengaku memegang pusaka
Panji-panji Mayat. Ada yang bilang terbakar habis, ada yang bilang tenggelam di
dasar samudera dan... aku benar-benar tak tahu ke mana perginya pusaka kuno
itu. Sudah lama aku melupakan pusaka tersebut."
"Apakah kau semula juga
ingin memiliki pusaka itu, Ratu?"
"Ya, karena pusaka itu
adalah milik leluhurku." "Leluhurmu...?!" Suto
Sinting terkejut dalam suara
berbisik. "Bukankah...
bukankah pusaka itu milik leluhur mendiang Jalma Dupi yang menikah dengan Sang
Ratri dari negeri Puri Gerbang Surgawi?!"
"Aku adalah adik Jalma
Dupi yang telah dianggap hilang dan mati oleh keluargaku."
"Ooh...?!" Suto
Sinting semakin kaget mendengar penjelasan itu. "Berarti kau adalah
bibinya Dewi Hening, Dewi Kejora, dan Dewi Menik?!"
Kini sang Ratu ganti
terperanjat. "Dari mana kau tahu nama anak-anak kakakku itu?!"
"Ak... aku diminta
bantuannya mengurus tentang pusaka Panji-panji Agung aiias Panji-panji Mayat
itu oleh mereka. Dan... kupikir mereka sudah tidak mempunyai keluarga lagi.
Barangkali mereka juga tidak tahu kalau masih mempunyai seorang bibi yang masih
hidup."
Ratu Dewi Cumbutari diam
sejenak, lalu menarik napas panjang-panjang sambil pandangi percakapan Dewi
Geladak Ayu dengan Barakoak. Beberapa saat kemudian ia perdengarkan suaranya
yang mirip orang menggumam itu.
"Satu-satunya orang yang
tahu persis tentang Panji- panji Mayat adalah ratu negeri Puri Gerbang Surgawi
yang berkuasa di Pulau Serindu."
"Apa...?!" Suto
Sinting semakin kaget dan terheran- heran.
"Tanyakanlah kepada Gusti
Mahkota Sejati, Ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi yang mempunyai nama asli
Dyah Sariningrum. Sebab dialah yang menyarankan kepada Sang Ratri agar pusaka
itu dititipkan kepada seseorang sebelum direbut oleh keluarga si Raja Iblis
itu!"
"Dyah
Sariningrum...?!" Pendekar Mabuk sempat berdebar-debar mendengar ucapan
itu, sebab nama Dyah Sariningrum sebenarnya adalah sebuah nama yang selalu
terukir di hati dan terucap di kalbunya. Barangkali sang Ratu belum tahu bahwa
Dyah Sariningrum adalah calon istri Suto Sinting sesuai dengan garis kodrat
yang telah diketahui oleh si Gila Tuak.
Suto Sinting tinggal
menyerahkan satu maskawin untuk Dyah Sariningrum, yaitu kepala Siluman Tujuh
Nyawa, tokoh sesat yang terkutuk dan telah memakan korban ratusan nyawa orang
tak berdosa itu.
Blegaaar...!
Lamunan Suto tergugah oleh
bunyi ledakan yang menggelegar membuat tanah bergetar bagai dilanda gempa
setempat. Ledakan itu timbul akibat pertarungan Dewi Geladak Ayu dengan
Barakoak yang sudah tidak membutuhkan bincang-bincang lagi. Dewi Geladak Ayu
tampak terpental akibat ledakan tersebut, sedangkan Barakoak masih berdiri
tegak dan kokoh, bagaikan gunung yang sukar dirobohkan.
"Kedatanganmu sama saja
membuang nyawa tanpa arti, Geladak Ayu! Kau tak akan unggul melawanku,
Perempuan Jalang!" geram Barakoak dengan matanya yang memandang penuh
nafsu membunuh.
Dewi Geladak Ayu segera
bangkit dari jatuhnya, ia mengambil sebatang anak panah dari punggungnya.
Rupanya anak panah yang tadi sempat menembus leher Barakoak telah hancur akibat
ledakan tadi. Barakoak menghantam anak panah yang dilepaskan ke arahnya dengan
pukulan tenaga dalam yang tak sempat dilihat Suto Sinting. Tahu-tahu telah
terjadi ledakan dan Dewi Geladak Ayu terpental lima langkah dari tempatnya
berdiri semula.
Kini Dewi Geladak Ayu bersiap
lepaskan anak panah yang sudah dipasang di busurnya. Anak panah itu memancarkan
sinar hijau berpendar-pendar pada bagian ujungnya. Tentunya mempunyai
kedahsyatan lebih tinggi dari yang telah hancur itu.
"Masih kurang puas kau?!
Cobalah lepaskan semua anak panahmu ke dadaku! Kau akan tahu bahwa aku adalah
orang terkuat yang tak bisa dirobohkan oleh siapa pun!" gertak si Raja
Iblis dengan mata mendelik penuh tantangan.
Suaranya yang keras menghentak
menggetarkan dahan-dahan pohon. Dewi Geladak Ayu sempat grogi, sehingga anak
panahnya jatuh ke tanah dan segera dipungutnya lalu dipasang ke tali busur.
Tali busur pun mulai direntangkan.
Pendekar Mabuk melihat
kecemasan mulai membayang di wajah Barakoak. Dalam hati sang Pendekar Mabuk
berkata,
"Ia kelihatan takut
dengan panah itu, tapi ia beranikan diri dan Dewi Geladak Ayu tak
mengetahuinya. Hmmm... mengapa Dewi Geladak Ayu tak mau segera lepaskan
panahnya? Padahal dada itu terbuka lebar-lebar dan... dan... oh, sekarang
Barakoak menutup dadanya seakan tak mau menerima panah itu. Mengapa begitu?!"
Anak panah segera dilepaskan. Claaap...! Sinar hijau di ujung anak panah itu
menjadi besar berpendar-pendar bagai api tertiup angin. Barakoak tidak
membiarkan anak panah itu menembus dadanya, ia menghentakkan kakinya ke bumi.
Duuhg!
Dengan tangan tak berpedang
terangkat ke atas, anak panah yang meluncur ke arahnya itu berhenti di udara
tanpa gerakan sedikit pun. Warna hijau di ujung anak panah itu padam seketika.
Hal itu membuat mata Dewi Geladak Ayu tampak tercengang, demikian pula mata
Ratu Dewi Cumbutari, Pendekar Mabuk, dan Ciwuiani. Mereka memandang heran
melihat kemampuan Barakoak menghentikan anak panah di udara.
"Hebat sekali ilmunya?!
Anak panah bisa dihentikan di udara tanpa bergerak sedikit pun?!" ujar
Ciwuiani bernada kagum.
"Heeeeah...!" seru
Barakoak sambil menghantamkan pukulannya ke anak panah itu. Prrraak...! Anak
panah pun remuk tanpa dentuman sedikit pun. Lalu tiba-tiba pedang di tangan
kirinya dilemparkan ke arah Dewi Geladak Ayu dengan gerak seperti melempar
tombak.
"Makan pedang ini,
haaah...!" Wuuuus !
Dewi Geladak Ayu melesat naik
melebihi ketinggian terbang pedang tersebut. Wuuuut...! Pedang itu berkelebat
di bawah kaki Dewi Geladak Ayu. Dan tiba- tiba kaki perempuan itu menapak di
permukaan pedang, sehingga pedang yang melayang itu berhenti sejenak, kemudian
kaki itu menyentak ke depan dan pedang itu berbalik arah. Kini pedang itu
melesat ke arah Barakoak. Wuuusss...!
Barakoak hanya menggeram
ketika pedang itu datang dan menghujam dadanya hingga tembus ke belakang lalu lolos terus sampai menemukan
tempat untuk menancap. Luka bolong di dada mengatup kembali dengan cepat tak
sampai meneteskan darah sedikit pun.
"Kuremukkan batok
kepalamu, Perempuan Rakus...!
Heeeaah...!"
Wuuus...! Tubuh tinggi besar
bagaikan raksasa itu melompat dengan kecepatan tinggi, menerjang tubuh Dewi
Geladak Ayu yang sedang turun dari gerakan melayang tadi. Brrrus...! Ploook...!
Terdengar suara pukulan telak
mendarat di pipi Dewi Geladak Ayu. Pukulan itu sempat memancarkan sinar merah
sekejap, lalu padam seketika. Berarti pukulan itu mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang cukup tinggi dan beradu dengan hawa murni yang disalurkan oleh Dewi
Geladak Ayu ke daerah kepalanya.
Sekalipun demikian, tubuh
perempuan cantik itu pun terlempar berguling-guling di tanah. Beberapa anak
panahnya terlepas dari tempatnya. Dewi Geladak Ayu menggeram sambil meraih
salah satu anak panahnya. Keadaan hidung dan mulutnya sudah berdarah
mengerikan.
"Ajalmu telah tiba,
Barakoak! Roh adikku akan senang melihat kematianmu dari alam sana!
Hiaaah...!"
Wuuut...! Anak panah itu
melesat cepat ke arah Barakoak dalam keadaan memercikkan cahaya biru bagai
lidah-lidah petir. Barakoak bukan diam saja, melainkan berusaha menghindari
anak panah itu dengan satu lompatan cepat dan berguling di tanah satu kali.
Suara gerakannya bagaikan gemuruh bebatuan menggelinding dari atas lereng
bukit. Gluuduk, wuuurrs...!
Dalam sekejap Barakoak sudah
bangkit kembali dan anak panah itu menghantam gugusan batu di kejauhan sana.
Blegaaar...! Batu besar itu pun hancur menjadi serbuk hitam yang beterbangan ke
mana-mana.
"Mengapa ia menghindari
anak panah itu?" pikir Suto Sinting secara diam-diam. Matanya memandang
terus ke arah pertarungan tanpa berkedip.
Dewi Geladak Ayu hendak
mengambil anak panah yang tersisa dan terjatuh di tanah. Namun tiba-tiba
Barakoak melompat dan kakinya jatuh tepat di tangan Dewi Geladak Ayu.
Bluuuk...!
"Aaaauh...!"
perempuan itu menjerit kesakitan, tangannya bagai ditindih dengan besi sebesar
almari. Kaki kiri Barakoak segera menendang wajah cantik itu. Ploook...!
Tubuh Dewi Geladak Ayu tak
bisa terpental karena tangannya diinjak kaki kanan Barakoak. Akhirnya perempuan
itu menjadi sasaran kaki kiri Barakoak yang menendangnya secara bertubi-tubi.
Biarpun darah menyembur dari mulut Dewi Geladak Ayu, namun Barakoak bagai orang
kesetanan, tetap menghajar perempuan itu dengan tendangan kakinya yang
bertenaga dalam. Bahkan tubuh montok itu sempat terkapar dalam keadaan tangan
terlepas dari injakan kaki lawan. Namun kini justru dadanya yang menjadi
sasaran Barakoak. Dada itu diinjak-injak seenaknya dengan suara geram kebencian
menggema panjang.
Brus, brus, brus, bruuhk,
brruhk...!
"Heeehehgg...!" Dewi
Geladak Ayu mendelik dengan mulut semburkan darah kental.
"Modar kau! Modar kau!
Heeeah...!" Barakoak menggeram penuh nafsu menumbuk tubuh sekai itu.
Zlaaap...! Ploook...!
Tiba-tiba tengkuk kepala
Barakoak terasa dijatuhi batu sebesar gunung. Rupanya Pendekar Mabuk tak tega
melihat perempuan cantik itu diinjak-injak oleh Barakoak. Ia berkelebat
menggunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk menerjang tubuh raksasa itu. Akibatnya,
tubuh besar itu terjungkal dan berguling-guling sampai sejauh lima langkah dari
tempatnya berdiri.
"Bangsaaat...!"
teriak Barakoak. "Rupanya kau ikut campur juga, hah?! Melihat bumbung tuak
dan ciri pakaianmu, pasti kau yang bernama Pendekar Mabuk, yang menghancurkan
Candi Bangkai tempatku bertakhta!"
"Memang akulah si
Pendekar Mabuk, murid Gila Tuak!" jawab Suto Sinting dengan tegas.
"Gggrrmm...! Kuhancurkan
kau sebagai pembalasanku atas kelancanganmu tempo hari. Heaah...!"
Tiba-tiba kedua tangan
Barakoak menyentak ke depan dan gelombang angin yang menyerupai badai berhembus
cukup kuat. Wuuussss...!
Pendekar Mabuk terpental
tunggang langgang. Tubuhnya terbawa terbang dan membentur-bentur pohon serta
reruntuhan rumah jerami. Guzraaak...! Akhirnya ia terhempas masuk dalam
reruntuhan rumah jerami. Seketika itu pula Barakoak lepaskan sinar merahnya
dari ujung jari telunjuk. Claaap...! Sinar merah meluncur cepat kenai
reruntuhan jerami.
Blaarrr...! Reruntuhan jerami
terbakar, apinya berkobar-kobar. Suto Sinting ada di dalamnya.
"Sutooo...!" teriak
Ratu Dewi Cumbutari dengan tegang, ia dan Ciwuiani berlari mendekati kobaran
api. Namun belum sampai terlalu dekat, sekelebat bayangan keluar dari dalam
kobaran api. Zlaaap...! Pendekar Mabuk berhasil lolos dari kobaran api dengan
gerakan cepatnya, ia segera berdiri tak jauh dari Ciwuiani. Matanya memandang
tajam pada Barakoak setelah menenggak tuaknya sesaat. Barakoak menghampirinya
dengan menggeram buas.
"Ciwuiani, pinjam
pedangmu...!" kata Suto sambil mengulurkan tangan ke samping, tapi matanya
masih memandangi Barakoak. Ciwuiani serahkan pedangnya, lalu Pendekar Mabuk
segera maju dengan bumbung tuak diselempangkan ke belakang.
"O, kau mau pakai
senjata?! Boleh saja, kalau perlu bawa semua senjata dan hujamkan ke tubuhku!
Kau tak akan bisa melukaiku, Pemuda Hina!"
Sreeek...! Ujung pedang
digesrekkan ke tanah. Barakoak terbelalak kaget dan hentikan langkah dengan
wajah tegang. Pendekar Mabuk segera maju mendekat. Barakoak mundur dua langkah
sambil menyimpan kecemasan.
"Mau apa kau,
haahhh...!" teriaknya sambil melepaskan serangan berupa sinar biru dari
kedua telapak tangannya. Wut, wuuut...! Sinar itu dihindari Suto Sinting dengan
bersalto di udara dalam ketinggian melebihi kedua sinar tersebut. Wes, wes...!
Tubuh itu melayang melintasi atas kepala Barakoak. Pedang pun segera ditebaskan
dalam gerakan cepat. Beeet...!
Crraasss...!
"Aaaahhhggrr...!"
Barakoak memekik keras, pundak kanannya terbelah nyaris putus. Darah menyembur
ke mana-mana. Sang Ratu dan Ciwuiani terperangah bengong melihat Pendekar Mabuk
mampu lukai si Raja Iblis itu.
Baru saja kaki Suto Sinting
menyentuh ke bumi, tubuhnya telah melesat kembali ke atas. Wuuut...! Pada saat
itu Barakoak oleng ke kiri dan membalik badan hingga berhadapan dengan Suto
Sinting. Namun tangan Pendekar Mabuk sudah telanjur berkelebat menebaskan
pedang dari kanan ke kiri. Wuuut...! Crrraasss...!
"Oohh...?!"
Suara pekikan itu bukan datang
dari mulut si Raja Iblis, melainkan dari mulut Ratu Dewi Cumbutari yang
terkejut dan kagum melihat Suto Sinting berhasil memenggal kepala Barakoak.
Gerakan pedang yang cepat membuat Barakoak sempat mendelik walau lehernya telah
putus ditebas pedang. Ketika ia terhuyung ke belakang, kepalanya pun segera
menggelinding jatuh ke tanah. Plook...! Kejap berikutnya tubuh tanpa kepala itu
pun tumbang berdebam bagai sebatang pohon roboh. Bluuuuk...!
Semua mata yang memandang
kejadian itu terbelalak tak berkedip. Semua mulut ternganga bengong. Mereka
merasa seperti berada di alam mimpi melihat Barakoak yang mempunyai ilmu 'Urat
Bumi' itu ternyata mampu dipenggal oleh Pendekar Mabuk tanpa menggunakan pedang
pusaka. Sementara pedang pusaka milik Ratu Dewi Cumbutari justru hancur pada
saat digunakan menangkis sinar dan asap beracun ungu tadi.
Setelah menyadari si raksasa
Barakoak telah tumbang terpenggal kepalanya, Ratu Dewi Cumbutari segera hampiri
Suto Sinting dengan senyumnya yang ceria. Ciwuiani sendiri sunggingkan senyum
kemenangan sambil menerima pedangnya kembali dari tangan Pendekar Mabuk.
"Terima kasih atas
bantuanmu," hanya itu yang bisa diucapkan oleh Ratu Dewi Cumbutari dengan
mata berkaca-kaca memendam tangis keharuan dan kebahagiaan karena negerinya
bebas dari ancaman maut si Raja Iblis.
Pendekar Mabuk hanya
menepuk-nepuk pundak sang Ratu tanpa sungkan-sungkan, lalu terselip sebaris
kata menggelitik darinya.
"Kau semakin cantik jika
mengucapkan terima kasih selembut itu, Ratu. Tapi bagiku lebih penting
mendapatkan air Sendang Ketuban daripada mendapatkan ucapan terima kasih, sebab
seorang sahabat dalam keadaan terancam maut jika tak segera dapatkan air
Sendang Ketuban itu."
"Ciwuiani akan menyiapkan
air itu untuk kau bawa pulang. Jangan pikirkan hal itu lagi!" jawab Ratu
Dewi Cumbutari.
"Uuuhhg...!"
terdengar erangan Dewi Geladak Ayu, si bajak laut wanita yang terluka parah
itu. Pendekar Mabuk segera hampiri perempuan tersebut, kemudian memberi minum
dengan tuaknya. Tuak sakti itulah yang membuat nyawa Dewi Geladak Ayu tertolong
dan ia menjadi sehat kembali seperti sediakala.
"Mengapa kau
menyelamatkan nyawaku?" ucap sang bajak laut wanita masih bernada angkuh.
"Karena kau pernah
menyelamatkan nyawaku pula dari ancaman jurus mautnya Ratu Sangkar Mesum,"
jawab Suto Sinting dengan seulas senyum menawan.
"Satu lagi yang ingin
kuketahui, dari mana kau bisa temukan rahasia menembus ilmu 'Urat Bumi'-nya si
Barakoak itu?"
"Hanya bersifat
untung-untungan. Kulihat ia merasa cemas dan takut ketika anak panahmu jatuh ke
tanah, ia tak berani membiarkan anak panah itu menembus tubuhnya. Juga ketika
kau memungut anak panah yang berantakan, ia hanya berani menghindari anak panah
itu sampai berjungkir balik di tanah. Maka kesimpulanku, ilmu 'Urat Bumi' akan
tumbang jika menggunakan senjata yang sebelumnya harus terkena debu atau tanah
lebih dulu. Kucoba menggoreskan pedangku ke tanah, dan kulihat ia terkejut
serta ketakutan. Maka yakinlah aku bahwa tanah menjadi kunci untuk melumpuhkan
ilmu 'Urat Bumi'-nya itu."
Dewi Geladak Ayu menghembuskan
napas. Lalu berkata dengan nada datar,
"Kau bukan hanya tampan,
namun juga cerdik!
Kapan-kapan kita bertemu
lagi!"
Wuuuutt...! Bajak laut wanita
itu segera melesat pergi tanpa pamit kepada Ratu Dewi Cumbutari. Namun agaknya
sang Ratu tidak peduli hal itu. Perhatiannya lebih tertuju kepada Suto Sinting
yang dianggap sebagai pahlawan, penyelamat negeri Wilwatikta. Tak heran jika
kepulangan Suto Sinting diantar oleh sang Ratu sendiri sampai di perbatasan.
Lambaian tangannya menyertai perjalanan pulang Suto Sinting yang membawa guci
berisi air Sendang Ketuban. Namun sebelum ia tiba di gua, terlebih dulu ia
mengambil mayat Kenanga Pilu dan dibawanya ke Perguruan Tapak Dewa. Selesai
memberi penjelasan apa adanya, barulah berangkat menemui Kejora, Tua Bangka,
dan Darah Prabu yang menderita racun berbahaya itu.
Namun di perjalanan benak Suto
Sinting sempat bertanya pada dirinya sendiri,
"Jadi sebenarnya siapa
yang menyimpan pusaka Panji-panji Agung itu? Benarkah calon istriku; Dyah
Sariningrum, mengetahui rahasia Panji-panji Agung itu?!"
SELESAI PENDEKAR MABUK