1
MURID sinting si Gila Tuak
sengaja berdiri bersandar pohon rindang di depan bangunan batu yang dinamakan
Kuil Perawan Ganas itu. Dengan bumbung tuak menggantung di pundak, pemuda
tampan berambut lurus sepundak tanpa ikat kepala itu memandang ke arah lembah
di kejauhan sana.
Kedua tangannya bersidekap di
dadanya yang bidang dan kekar. Pandangan matanya lurus tak berkedip bagai
menerawang sesuatu yang mengganggu benaknya selama ini.
Apa yang dipikirkan oleh
pendekar muda bercelana putih kusam dan berbaju coklat tanpa lengan itu,
tentunya adalah sesuatu peristiwa yang belum lama ini dialaminya. Peristiwa itu
termasuk peristiwa ajaib, misterius dan sekaligus menjengkelkan hatinya.
"Bertarung dengan tokoh
sesakti apa pun sudah pernah," pikir Pendekar Mabuk yang bernama Suto
Sinting itu. "Bertarung melawan orang sebesar apa pun sudah pernah. Dan
aku selalu unggul. Tapi kali ini lawanku adalah anak kecil. Kecil sekali. Sudah
kecil, eeh. . bikin aku lari terbirit-birit, lagi! Ya, ampuuuun. .! Masa
seorang pendekar kondang melawan anak kecil sampai lari terbirit-birit, ini kan
keterlaluan namanya?!"
Rupanya wajah tampan itu
murung karena penyesalan yang menggerogoti hatinya sejak empat hari yang lalu.
Penyesalan atas langkah pelariannya dalam melawan bocah kecil yang usianya
sekitar kurang dari lima tahun ternyata mengganggu jiwanya. Ia menjadi resah,
bimbang, jengkel sendiri, gemas, dan macam-macam lagi perasaan yang
beraduk-aduk dalam hati Suto sampai merasa mual merasakan campur aduknya rasa
tersebut.
Sejak empat hari yang lalu,
bayangan bocah kecil berkulit kuning keemasan dengan kepala gundul dan tubuh
sedikit gemuk selalu muncul dalam ingatannya Bocah bermata bundar kecil itu
tidak mengenakan baju melainkan hanya mengenakan celana semacam cawat yang
berwarna keemasan.
Tak heran jika ia dikenal oleh
para tokoh silat khususnya di Pulau Swaladipa sebagai Bocah Emas.
"Kelihatannya bocah itu
menyedihkan, tak tega untuk mencubitnya, apalagi memukulnya sampai terluka.
Bocah itu tampak mengiba hatiku saat ia memandang ke arahku. Tapi ternyata
keganasannya melebihi iblis yang haus darah. Hampir saja aku mati di tangannya
seperti para korban yang kutemukan tergeletak dalam keadaan tercabik-cabik
itu!" ujar Suto dalam hatinya sambil terbayang beberapa korban yang
bergelimpangan dalam keadaan tercabik-cabik mengerikan itu.
Anehnya Elang Samudera tak
percaya kalau Bocah Emas yang ingin ditangkap dan diserahkan kepada Ratu
Remaslega itu adalah bocah yang ganas dan sangat berbahaya bagi keselamatan
jiwa manusia yang ingin memeliharanya. Elang Samudera membantah keras saat Suto
Sinting ceritakan pertarungannya dengan si Bocah Emas.
"Kau tak perlu
mengada-ada, Suto. Katakan saja kalau kau tak mampu menangkap bocah itu karena
ada tokoh sakti berilmu tinggi yang menghalangi langkahmu! Jangan pakai alasan
yang tidak masuk akal, Suto!"
Bantahan Elang Samudera
membuat Pendekar Mabuk hanya menarik napas dan tak bisa berkata apa-apa lagi.
Sayangnya lagi, saksi mata yang saat itu bersama Suto dalam keadaan pingsan
sampai empat hari belum sadar.
Saksi mata itu adalah Ketua Kuil Perawan Ganas yang bernama Dewi
Kun, yaitu kakak tertua dari tiga gadis kembar: Dewi Mul, Dewi Sun, dan Dewi
Kun sendiri.
"Memang aneh sekali dan
sukar dijelaskan, " ujarnya dalam hati. "Aku sendiri sempat terluka
di bagian punggung. Tapi dengan meminum tuak, lukaku bisa sembuh dan tidak
membekas sama sekali. Seandainya Dewi Kun bisa meminum tuak dari bumbung
saktiku ini, pasti sekarang dia sudah sembuh dan lukanya tidak meninggalkan
bekas sedikit pun. Ia tak akan pingsan sampai empat hari begini!"
Dalam kisah yang lalu
diceritakan, bahwa Elang Samudera ditugaskan oleh Ratu Remaslega untuk
mengambil Bocah Emas dari Gunung Sambara. Gunung itu ada di Pulau Swaladipa.
Elang Samudera dibantu oleh Pendekar Mabuk dalam menjalankan tugas tersebut.
Tapi kedua pemuda tampan itu tertawan oleh sekelompok perempuan yang menguasai
sebuah wilayah yang bernama Kuil Perawan Ganas.
Dewi Kun, ketua kuil tersebut,
ternyata juga menginginkan Bocah Emas itu yang menurut kepercayaan mereka dapat
membawa keberuntungan sendiri, terutama dalam kekuasaannya yang sukar
ditumbangkan oleh siapa pun.
Sedangkan menurut keterangan
Dewi Kun, Bocah Emas itu dalam penjagaan
Ratu Lembah Girang karena Gunung Sambara masuk dalam wilayah kekuasaan Ratu
Lembah Girang.
Untuk mewujudkan keinginannya
itu, Dewi Kun menyandera Elang Samudera sementara Suto akan dijual kepada Ratu
Lembah Girang yang doyan kemesraan pemuda setampan Suto. Dengan harapan,
pendekatan Suto kepada sang Ratu dapat membuat sang Ratu akhirnya menyerahkan
atau mengizinkan Bocah Emas dibawa oleh Suto.
Bocah Emas itulah yang
nantinya harus diserahkan kepada Dewi Kun dan ditukar dengan Elang Samudera.
Tapi diam-diam Suto dan Elang Samudera telah mengatur siasat sendiri untuk
rencana tersebut.
Dewi Kun pergi mengantarkan
Suto ke Istana Lembah Girang. Tapi di perjalanan mereka memergoki si Bocah Emas
sendiri yang menyerang orang Bukit Sulang dan orang-orang Lembah Hitam dengan
ganas serta keji. Dewi Kun penasaran dan ingin membujuk si Bocah Emas, tapi
justru diserang dan terluka di bagian pundak dan lengannya.
Suto yang menyelamatkan Dewi Kun juga kena
getahnya. la terluka di bagian punggungnya. Luka itu ternyata beracun ganas dan
berbahaya. Suto terpaksa melarikan Dewi Kun pulang ke Kuil Perawan Ganas.
Tetapi saat itu Bocah Emas
tampak penasaran dan masih mengejar Suto, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode : "Kuil Perawan Ganas").
Setibanya di kuli, Pendekar
Mabuk yang sudah kehilangan banyak tenaga itu bisa mengobati lukanya dan
mengembalikan tenaganya dengan meminum tuak saktinya itu. Tetapi Dewi Kun masih
tetap pingsan dan tak bisa menelan tuak, karena mulutnya rapat dan giginya
menggegat sukar dibuka.
Akibatnya Dewi Kun terkapar tak sadarkan diri
sampai hari keempat. Tabib andalannya yang bernama Tabib Sumpah Mada itu tidak
mampu mengobati luka cabikan yang diderita Ratu Kun.
"Kalau sampai nyawa
kakakku tidak tertolong, nyawamu harus siap sebagai gantinya!" ujar Dewi
Sun mengancam Suto, karena memang perempuan cantik berambut keriting halus itu
sudah mempunyai bibit-bibit permusuhan dengan Suto akibat Suto dianggap tidak mau memberi kepuasan batin
kepadanya.
Tetapi agaknya Tabib Sumpah
Mada kurang setuju jika dalam hal ini, Suto dituding sebagai pihak yang
bersalah dan yang harus bertanggung jawab. Secara diam-diam, perempuan berwajah
anggun dan bijak itu berkata kepada Suto dengan suara pelan.
"Akan kuusahakan Dewi Kun
selamat walau aku tak tahu berapa lama ia harus tak sadarkan diri begini. Kau
tak perlu cemas, Pendekar Mabuk. Aku pernah mengobati racun seperti ini, dan
memang membutuhkan waktu cukup lama. Jika tak hati-hati memang bisa membuat
nyawa korban melayang."
"Terima kasih atas sikap
baikmu, Tabib Sumpah Mada," ujar Suto penuh hormat kepada sang Tabib.
Memang selama ini hanya Tabib
Sumpah Mada yang bersikap ramah dan bijak kepada Suto Sinting dan Elang
Samudera. Perempuan yang seperti masih berusia tiga puluh tahun walau
sebenarnya sudah berusia banyak itu tampak masih cantik, anggun dan bijaksana.
Sikapnya selalu kalem dan tegang.
Sekalipun begitu, mempunyai
ketegasan sendiri dalam mengambil sikap Tabib Sumpah Mada tidak seperti
perempuan kuil lainnya yang ganas terhadap lelaki dan cara memandang seorang
lelaki tidak berkesan jalang seperti yang lain.
Tabib cantik berambut sanggul
yang gemar mengenakan jubah serba hijau dengan dalaman putih tipis itu
sebenarnya kurang setuju dengan perilaku ketiga gadis kembar yang menjadi
pentolan di kuil tersebut. Tetapi mengingat dirinya sebagai abdi dari ketiga
gadis kembar: Dewi Kun, Dewi Sun, dan Dewi Mul, maka rasa kurang setujunya tak
pernah ditonjolkan di depan siapa pun. Bahkan ia cenderung bersikap masa bodoh
dengan tingkah laku ketiga gadis kembar dan anak buahnya itu. Ia lebih gemar
menekuni bidang pengobatan yang selama ini seolah-olah menjadi bagian dari
hidupnya.
Tabib cantik yang gemar
mengenakan kalung dari akar hitam lentur seperti karet itu pernah menyatakan
rasa kagumnya terhadap kemujaraban tuak Suto. Ketika ia melihat Suto terluka
dan luka itu menjadi hilang dalam beberapa kejap setelah Suto meminum tuaknya,
tabib berkulit putih dan bertubuh sekal itu terang-terangan berkata di depan
Dewi Sun dan Dewi Mul."Tak kusangsikan lagi kehebatan tuakmu itu, Suto.
Ternyata apa yang kudengar selama ini bukan sesuatu yang mustahil."
"Apa yang kau dengar
selama ini?!" sergah Dewi Sun yang kurang suka dengan pujian tak langsung
sang Tabib terhadap Suto itu.
"Kudengar pemuda yang
bergelar Pendekar Mabuk selain mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi juga
mempunyai ilmu penyembuhan yang menakjubkan. Karenanya, selain dijuluki sebagai
Pendekar Mabuk, ia juga dijuluki sebagai Tabib Darah Tuak. Dan baru sekarang
kulihat sendiri kesaktiannya dalam ilmu penyembuhan!"
"Jangan mudah menyanjung
pemuda macam dia. Apa yang dimiliki hanya ilmu sihir kecil-kecilan! Buktinya
dia tidak bisa sembuhkan dirinya sendiri. Kelihatannya memang dia kekar, gagah,
sehat, sakti... tapi sebenarnya dia loyo dan tak punya kemampuan sebagai
seorang lelaki!" kecam Dewi Sun melampiaskan kekecewaannya yang tak
mendapat kepuasan dari Suto Sinting.
Mendengar kecaman itu Suto
Sinting hanya sunggingkan senyum tipis sambil buang muka. Ia agak malu
dipandang oleh Tabib Sumpah Mada. Sebenarnya ia ingin jelaskan bahwa ia tak mau
nodai kesucian cintanya terhadap sang calon istri: Dyah Sariningrum, sehingga
tak mau lakukan perzinaan dengan perempuan mana pun, selain hanya sekadar
cumbuan biasa.
Tetapi rasa-rasanya hal
tersebut tidak mungkin dituturkan dalam
keadaan menghadapi luka berbahayanya Dewi Kun saat itu. Karenanya, Suto
tak memberi komentar apapun saat mendengar kecaman Dewi Sun.
Kini yang menjadi buah
pikirannya bukan tentang kecaman Dewi Sun, melainkan cara menghadapi si Bocah
Emas itu. Dalam hati Suto timbul keyakinan, cepat atau lambat ia akan
berhadapan kembali dengan Bocah Emas. Sekarang atau besok, Bocah Emas akan
datang menyerang orang-orang Kuil Perawan Ganas itu. Haruskah Suto bersikap
memihak Kuil Perawan Ganas jika ia dan Elang Samudera berstatus sebagai tawanan
di situ?
Ketika renungan Suto semakin
memanjang, tiba-tiba saja renungan tersebut putus seketika karena datangnya
angin berkecepatan kencang yang menuju punggung kirinya. Angin kencang itu
menjurus satu tujuan dan menimbulkan rasa curiga dalam sanubari Suto Sinting.
Seketika itu juga ia
berkelebat membalik badan sambil gerakkan tangan kanannya ke kiri. Wuuut. .!
Teeb. .! Ternyata tangan kanan itu menangkap sebatang anak panah yang
seharusnya menancap di punggung kirinya.
"Hmmm. . ada orang yang
mau membokongku di atas pohon seberang sana!" pikirnya. Maka, serta-merta
tangan yang menggenggam anak panah itu berkelebat melemparkan benda tersebut.
Wuuut. .!
Ternyata anak panah melesat
lebih cepat dari saat dilepaskan dari busurnya. Slaaap...! Juubs...!
"Aaaow. .!!" teriak
seseorang yang ada di atas pohon seberang sana. Lalu, orang tersebut jatuh
terjungkal dari atas pohon dalam keadaan anak panah tadi menancap di betisnya.
Brrruk. .!
"Aaaaooow. .!!"
Orang itu menjerit makin keras setelah jatuh dengan kepala membentur akar pohon
yang keras seperti batu.
Teriakan orang tersebut
membuat dua gadis penjaga gerbang kuil berlarian mendekati Suto Sinting. Mereka
sama-sama mencabut pedangnya dan berwajah tegang.
"Siapa yang berteriak
tadi?!" sentak gadis berbaju biru.
"Aku," jawab Suto
pendek, tetap dengan tenang dan kalem.
"Kampret! Bikin orang
kaget saja!" gerutu yang berbaju kuning.
"Mengapa kau
berteriak?!"
"Iseng saja, habis dari
tadi sepi sekali tempat ini!" jawab Suto seenaknya.
"Lain kali kalau kau berteriak
kuadukan kepada Ketua Dua, biar dihukum karena bikin resah kami!"
Suto Sinting hanya sembunyikan
senyum. la tahu yang dimaksud Ketua Dua adalah Dewi Sun. Tentu saja ia tak
punya rasa takut sedikit pun jika benar-benar diadukan kepada Dewi Sun.
"Kau memang tawanan yang
diberi kebebasan berkeliaran di sini, tapi jangan bikin ulah yang macam-macam,
ya?! Bisa kurobek sendiri mulutmu kalau bikin ulah lagi!" ancam si baju
kuning sok galak, tapi sebenarnya hanya merasa tersinggung karena sejak Suto
ditawan di situ, Suto tak pernah mau membalas tegurannya, sedangkan teguran
gadis lain mendapat anggukan dan senyum dari Suto.
Setelah kedua penjaga itu
pergi ke tempatnya semula, Suto bergegas untuk memeriksa semak-semak di tempat
jatuhnya orang yang melepaskan anak panah padanya tadi. Tapi terlebih dulu
langkahnya tertunda karena kemunculan seorang perempuan berjubah hijau yang
mengenakan kalung akar hitam lentur itu. Tabib Sumpah Mada muncul dari sisi
lain dan mendekati Suto dengan kalem.
"Aku mendengar suara
orang berteriak."
"Akulah yang berteriak,
Nyai Tabib."
"Aku kenal dengan
suaramu. Dan kudengar teriakan tadi bukan dari jenis suaramu," sambil
Tabib Sumpah Mada memandang mata Suto dengan tajam namun lembut dan
berkharisma. Suto terpaksa sembunyikan senyum dan alihkan pandangannya.
"Pasti ada orang yang kau
lukai!" desak sang Tabib.
"Benar. Tapi aku tak tahu
siapa orang itu dan apa alasannya menyerangku dengan anak panahnya. Dia jatuh
di bawah pohon itu!"
"Sebaiknya kita periksa
siapa dia orangnya!" setelah berkata begitu, tak sampai satu helaan napas,
Tabib Sumpah Mada bergegas menuju tempat yang tadi dituding Suto. Pemuda itu
pun akhirnya mengikuti langkah sang Tabib, hingga akhirnya mereka menemukan
seorang lelaki pendek berbadan agak gemuk dan mengenakan ikat kepala putih,
baju dan celananya berwarna hitam.
Orang itu sedang menyeringai
kesakitan dan sulit mencabut anak panah yang menancap di betisnya.
Ketika melihat kedatangan
Tabib Sumpah Mada dan Suto Sinting, orang itu menjadi ketakutan. Orang itu
segera mencabut pisau runcing dan menikam jantungnya sendiri kuat-kuat.
Pendekar Mabuk terlambat bergerak, orang itu segera hembuskan napas terakhir
dan terkulai berlumur darah karena jantungnya pecah.
"Gila. .!!" geram
Suto Sinting.
"Tak perlu heran. Memang
begitulah tugas matamata dari Ratu Lembah Girang," ujar Tabib Sumpah Mada.
"Nyai Tabib yakin dia
mata-mata dari Lembah Girang?"
Perempuan itu anggukkan
kepala. "Ikat kepala merah dan pakaian serba hitam adalah ciri prajurit
berani mati dari Lembah Girang. Jika ia gagal jalankan tugas ia harus bunuh
diri! Tak boleh satu kata pun terkorek dari mulutnya!"
"Mata-mata edan!"
maki Suto. "Belum ditanya ini-itu sudah mati duluan! Setidaknya dia perlu
perkenalkan diri; siapa namanya, berapa usianya, bergurunya di mana, punya ayam
berapa, apa kegemarannya, apa alasannya ingin membunuhku dan sebagainya?!"
"Kita harus mencari tahu
sendiri; mengapa Ratu Lembah Girang ingin membunuhmu?! Apakah kehadiranmu di
sini sudah diketahui oleh sang Ratu?"
"Jika benar sang Ratu
sudah mengetahuinya, lalu siapa yang memberitahukan kehadiranku di kuil
ini?!"
"Kurasa itulah yang perlu
kita selidiki, di samping mencari kelengahan si Bocah Emas itu!" ujar sang
Tabib dengan tegas.
*
* *
2
SEBENARNYA maksud kedatangan Tabib
Sumpah Mada menemui Suto hanya ingin memberitahukan bahwa Dewi Kun sudah mulai
siuman. Tapi karena ada peristiwa usaha pembunuhan terhadap diri Pendekar
Mabuk, maka mereka sempat mengupas persoalan itu sesaat.
Setelah ditemukan kesepakatan untuk mencari tahu siapa orang
yang menyampaikan kabar kehadiran Suto di Kuil Perawan Ganas itu, maka mereka
pun bergegas temui Dewi Kun.
Perempuan itu masih berwajah
pucat dengan luka yang belum mengering. Matanya memandang sayu bukan karena
ingin dicumbu melainkan karena kehilangan semangat hidup. Bibirnya kering dan
sukar keluarkan kata-kata. Dewi Sun dan Dewi Mul mengajaknya bicara, tapi tak
pernah mendapat jawaban yang benar. Suara Dewi Kun nyaris hilang, bahkan
berbisik pun sulit.
Pendekar Mabuk segera memberinya
minum dengan tuak saktinya. Tuak itu dituang ke atas 'suru' atau sendok dari
daun pisang dan segera didulangkan ke mulut Dewi Kun dengan pelan-pelan.
Seteguk demi seteguk tuak itu
terminun oleh Dewi Kun. Dan suatu keajaiban terjadi di depan mata mereka. Luka
tercabik-cabik yang basah dan hitam melebar itu dalam beberapa kejap saja
tampak mengering. Luka itu bergerak merayap sedikit demi sedikit, sampai
akhirnya menjadi merapat. Beberapa saat kemudian, luka tersebut pun akhirnya
lenyap tanpa bekas. Sisa darah yang berada di sekitar luka.
Wajah si sakit menjadi tampak
segar kembali. Bahkan dapat memandang dengan jelas. Suaranya pun dapat
terdengar kembali saat ia memandang Pendekar Mabuk yang bersebelahan dengan
Tabib Sumpah Mada.
"Apa yang terjadi pada
diriku. .?!"
"Kau terluka," jawab
Tabib Sumpah Mada.
"Ya, kita terluka karena
keganasan Bocah Emas itu," timpal Pendekar Mabuk.
Dewi Kun diam sebentar,
sejenak kemudian menarik napas panjang-panjang.
"Hmmm, ya. . aku ingat
kembali sekarang. Kita diserang Bocah Emas itu dengan ganasnya!"
Dewi Sun dan Dewi Mul saling
beradu pandang sebentar. Mereka bukan saja menyimpan kekaguman dalam hatinya
melihat keampuhan tuak Suto dalam menyembuhkan luka sesingkat itu, namun juga
menyimpan rasa malu karena selama ini menganggap Suto Sinting telah berkata
bohong tentang keganasan Bocah Emas itu.
Semakin jelas lagi kisah
penyerangan Bocah Emas itu setelah Dewi Kun menuturkan peristiwa tersebut di
depan mereka, dan apa yang dituturkan Dewi Kun itu ternyata sama persis dengan
apa yang dituturkan Suto sewaktu Dewi Kun dalam keadaan terluka dan pingsan.
"Setahuku Bocah Emas
tidak seganas itu!" ujar Dewi Mul. "Cerita tentang Bocah Emas sering
kudengar dari beberapa orang yang pernah bertemu dengan Ki Jurumomong, si
pengasuh Bocah Emas itu. Bocah tersebut banyak diam dan sangat menurut kepada
Ki Jurumomong. Tak pernah kudengar Bocah Emas dalam keadaan liar dan ganas
begitu."
"Kalau begitu, ada
sesuatu yang tak beres pada diri Bocah Emas itu!" timpal Pendekar Mabuk yang
membuat semua mata memandang ke arahnya.
Setelah tercipta kebisuan
beberapa helaan napas, Tabib Sumpah Mada segera angkat bicara dengan suaranya
yang bernada tegas namun penuh bijaksana.
"Perlu diselidiki lebih
cermat lagi, benarkah bocah itu adalah Bocah Emas yang asli?!"
Kini semua mata tertuju kepada
Tabib Sumpah Mada. Bahkan pandangan Pendekar Mabuk pun terarah kepadanya dengan
gerakan kepala menyentak tipis. Sepertinya ia mengalami kekagetan begitu
mendengar ucapan sang Tabib itu.
"Tak pernah terpikirkan
olehku tentang adanya kemungkinan tersebut," ujar Pendekar Mabuk setelah
suasana hening sejurus.
Dewi Kun segera angkat bicara.
"Perintahkan kepada Bintang Semampai untuk menyelidiki kebenaran tentang
Bocah Emas itu!"
Dewi Sun menyahut, "Bintang
Semampai sedang menjaga Elang Samudera!"
"Panggil dia!" tegas
Dewi Kun.
Yang berangkat memanggil
Bintang Semampai adalah Dewi Mul. Kebiasaan melakukan penyelidikan atau
kegiatan mata-mata sering dibebankan kepada Bintang Semampai, karena gadis itu
sangat piawai melakukan penyusupan dan penyamaran ke mana saja. Bintang
Semampai juga mempunyai ilmu yang cukup bisa diandalkan, terutama jurus
'Mancala Jelma' yang dimilikinya. la dulu bekas murid mendiang Resi Sawung
Rampak.
Ilmu langka itu diwariskan kepada
Bintang Semampai dan menjadi andalan gadis bermata jalang nanar itu.
Pada saat itu Bintang Semampai
memang ditugaskan menjaga Elang Samudera yang masih disekap di dalam kamar.
Namun sengaja masuk ke kamar tersebut pada saat mengantarkan jatah makan untuk
tawanannya.
Tawanan yang tampan membuat
gadis berusia sekitar dua puluh enam tahun dan mengenakan rompi cekak warna
hitam tanpa kancing itu menjadi sering memandangnya dengan sorot pandangan mata
yang nakal. Celana ketatnya yang pendek berjarak satu jengkal dari rompinya,
sementara di balik rompi itu tidak mengenakan pelapis apa-apa lagi. Tak heran
jika siapa saja dapat melihat bentuk perut dan pusarnya yang berwarna kuning
langsat mulus tanpa cacat itu.
Tentu saja pemandangan
tersebut membuat Elang Samudera tergoda dan berdebar-debar dalam khayal
indahnya. Apalagi Bintang Semampai mempunyai bentuk dada yang menonjol dan
sering tersingkap dari kain rompinya, pria mana pun akan dibuat menelan ludah
jika berhadapan dengannya.
"Aku tak biasa makan
sendiri," ujar Elang Samudera saat mereka saling beradu pandang.
"Apa maksudmu 'tak biasa
makan sendiri itu?" pancing Bintang Semampai.
"Biasanya makan secara
kendurian!" jawab Elang Samudera dalam canda. Bintang Semampai tersenyum
tapi senyum dan lirikan itu mengandung makna penuh goda. Elang Samudera
mendekatinya hingga kurang dari satu langkah.
"Kau cantik sekali,"
bisik Elang Samudera setelah mereka saling pandang penuh debar-debar keindahan
dalam hati.
"Betulkah aku
cantik?"
Elang Samudera hanya mengangguk.
"Kalau benar aku cantik,
mengapa kau tak ingin menciumku?"
"Aku tak berani."
"Mengapa tak
berani?"
"Takut ketagihan."
"Tak apa. Aku suka kalau
kau ketagihan."
"Maksudku, ketagihan
bayaran."
"Sial! Kau pikir aku akan
menagih bayaran padamu setelah kau cium?!" Bintang Semampai
bersungut-sungut.
"Bayaran kehangatan,
maksudku. Tidakkah kau ingin kubayar dengan kehangatan setelah kucium dan
kukecup bibirmu?"
Bintang Semampai kembali
tersenyum. "Itu memang pasti...," sambil ia memukul manja ke dada
Elang Samudera. Pemuda itu menyambarnya dalam pelukan dan tawa lirih. Kemudian
Bintang Semampai menengadah dan merekahkan bibirnya.
"Kecuplah. .," desah
Bintang Semampai.
Weees. .! Elang Samudera
menyambar bibir itu.
Maka pertarungan silat lidah
itu terjadi dengan lincah dan bikin betah.
Brak, brak, brak...!
Mereka tersentak kaget. Bibir
mereka saling merenggang jarak. Suara gedoran pintu membuat gairah yang baru
saja mau melambung sudah harus turun kembali.
"Tugasmu adalah menjaga
tawanan kita ini! Bukan bercumbu dengannya!" bentak Dewi Mul kepada
Bintang Semampai.
"Maaf, Ketua Tiga!"
Gadis berompi hitam yang
mempunyai tato gambar bintang di telapak tangan kanan dan kirinya itu tampak
takut kepada Dewi Mul. la tundukkan kepala dan tidak berani melirik Elang
Samudera yang berdiri di ambang pintu. Bahkan rambutnya yang sepunggung
dibiarkan terjuntai ke samping menutupi sebagian wajah cantiknya agar tak
terlihat Elang Samudera.
"Lain kali kalau kulihat
kau berusaha merayunya kuhukum kau seberat mungkin!" ancam Dewi Mul.
"Ampun, Ketua Tiga!"
ucap Bintang Semampai lirih sekali.
"Kau dipanggil menghadap
Ketua Satu!"
"Baik!" jawabnya
tegas, kemudian segera pergi tinggalkan tempat itu. Dewi Mul memandang Elang
Samudera yang seolah-olah sengaja berdiri di ambang pintu biar pintu kamar tak
ditutup lagi.
"Akan kuperlakukan dengan
kasar kau jika kulihat kau mau melayani perempuan lain!" ujar Dewi Mul
dengan ketus.
"Apakah tak boleh?"
Elang Samudera tampak tenang dan tersenyum-senyum.
"Hanya aku dan kedua
kakak kembarku yang boleh menikmati kehangatan cumbuanmu!"
"Bagaimana kalau aku
sekarang ingin menikmatinya? Siapa yang bersedia kulayani sekarang juga?!"
Dewi Mul mendengus ketus,
melirik lorong tempatnya datang tadi. Kejap kemudian ia mendorong tubuh Elang
Samudera dan keduanya masuk ke daiam kamar. Maka pintu pun segera dikunci oleh
Dewi Mul.
"Aku bersedia. .!"
katanya sambil melepas pengikat rompi merahnya yang tersimpul di atas pusar.
Elang Samudera hanya tertawa cekikikan melihat semangat Dewi Mul begitu
dipancing dengan kata-kata tadi.
Sementara di tempat lain, Dewi
Kun bicara di depan Dewi Sun, Bintang Semampai, Pendekar Mabuk, dan Tabib
Sumpah Mada. Dewi Kun bicara dengan serius dan bersikap tegas sebagai sikap
seorang ketua di hadapan para anak buahnya.
"Jika menurut saran Tabib
aku harus beristirahat dulu sementara waktu, akan kuturuti, tapi kuminta Tabib
menggantikan tugasku mendampingi Pendekar Mabuk untuk menemui Ratu Lembah
Girang! Sedangkan Bintang Semampai mengamati segala sepak terjang Bocah
Emas!"
"Aku sudah tidak ingin
terlibat kekerasan lagi," sahut Tabib Sumpah Mada. "Kurasa Pendekar
Mabuk bisa didampingi oleh Dewi Sun!"
"Tak sudi!" sahut
Dewi Sun dengan ketus.
Kakaknya segera paham dengan
sikap Dewi Sun, maka sang kakak tertua pun segera berkata lebih tegas lagi.
"Kau tak boleh menolak
tugas ini, Tabib! Aku dan kedua adik kembarku akan bertahan di kuil untuk
melumpuhkan siapa pun yang ingin mengusik kuil ini!"
"Aku setuju jika
kepergianku ke Lembah Girang didampingi Nyai Tabib!" sahut Suto Sinting.
Tabib Sumpah Mada memandang
Suto dengan tenang sekali. Namun pandangan itu penuh arti bagi Pendekar Mabuk
yang segera menambahkan ucapannya tadi.
"Tapi bagaimana jika
Bocah Emas itu dating kemari dan menghabisi orang-orang di sini?!"
"Jangan meremehkan
kekuatan kami bertiga, Kampret!" bentak Dewi Sun kepada Suto.
"Kekuatan mana yang mampu mengalahkan gabungan kekuatan kami bertiga,
hah?!"
Pendekar Mabuk hanya sentakkan
pundak sambil tersenyum kalem.
"Semoga kau bisa membuktikan
ucapanmu itu!" kata Suto agak sinis walau tetap dengan senyum.
"Aku ingin bicara empat
mata denganmu!" Dewi Kun menyela kata. Begitu mendengar Dewi Kun berkata
demikian, yang lainnya segera undurkan diri dan membiarkan Dewi Kun berdua
dengan Pendekar Mabuk.
"Apa yang ingin kau
bicarakan empat mata denganku?" tanya Suto.
"Aku bingung mengambil
sikap padamu."
"Mengapa bingung?"
"Kau adalah tawananku,
tapi kau menyelamatkan nyawaku. Mengapa tidak kau biarkan Bocah Emas itu
membunuhku?! Bukankah dengan begitu kau bisa bebas?"
Pendekar Mabuk tertawa pendek
tanpa suara namun penuh daya tarik.
"Mungkin aku memang
tawanan yang bodoh."
"Tak mungkin!"
sanggah Dewi Kun. "Kau pasti punya otak cerdas dan mengerti betul tentang
akibat dari langkahmu! Katakan terus terang saja, mengapa kau selamatkan
aku?!"
Setelah pandangi Dewi Kun
dalam simpul senyum yang tipis menawan, Pendekar Mabuk pun akhirnya menjawab
dengan suara pelan.
"Aku kasihan
padamu."
"Aku bukan orang yang
patut mendapat belas kasihan. Aku bukan perempuan yang lemah!"
"Karena aku suka pada
kecantikanmu," ucap Suto semakin lirih.
Dewi Kun berdebar resah,
jantungnya berdetak-detak. Padahal Suto menyelamatkan Dewi Kun agar dapat
memperoleh beberapa keterangan tentang Bocah Emas itu. Pendekar Mabuk yakin,
orang-orang Kuil Perawan Ganas pasti punya banyak penjelasan mengenai Bocah
Emas, dan tentunya penjelasan itu tidak dimiliki oleh Elang Samudera. Terutama
yang berhubungan dengan Ratu Lembah Girang yang sebagai kunci mendapatkan Bocah
Emas itu. Suto yakin Dewi Kun punya banyak informasi mengenai seluk beluk
Istana Lembah Girang. Sebab itulah ia perlu selamatkan nyawa perempuan
tersebut.
Tapi rupanya Suto tidak ingin
maksud hatinya yang sesungguhnya diketahui oleh Dewi Kun. Maka jawaban 'gombal'-nya
tadi dicerna langsung oleh Dewi Kun dan membuat Dewi Kun sempat salah tingkah.
"Kau sungguh-sungguh
menyukaiku?"
"Apakah aku punya
keuntungan jika bersungguh-sungguh menyukaimu?" Suto ganti bertanya.
Dewi Kun diam sebentar,
menenangkan keresahannya. Sesaat kemudian ia berkata dengan mata memandang
lurus ke mata Suto Sinting.
"Mulai sekarang Elang
Samudera akan kubebaskan dan kuanggap sebagai mitra kerjaku dalam mendapatkan
Bocah Emas itu! Dan kau pun bukan lagi tawananku!"
Rupanya itulah keuntungan yang
ditunjukkan Dewi Kun sebagai jawaban dari pertanyaan Suto tadi. Maka Suto
Sinting pun segera lebarkan senyumannya dan berkata dengan suara pelan.
"Boleh kukabarkan sendiri
hal ini kepada Elang Samudera?!"
"Mengapa tidak?! Pergilah
sana dan bawa keluar dia, biar tidak menjadi pemuda yang kuper, karena selalu
mengurung diri di dalam kamar!"
Pada saat itu sebenarnya Elang
Samudera sedang sibuk menikmati cumbuan Dewi Mul. Gadis berdada montok dengan
tato kupu-kupu di tengah dadanya itu melonjak-lonjak penuh semangat dalam
mengarungi samudera kemesraannya.
Elang Samudera dibiarkan
sebagai perahu yang tinggal mengikuti irama gelombang lautan saja. Mulut
perempuan itu menghamburkan erangan dan desah yang tak beraturan hingga
menimbulkan kesan berisik. Tapi suara berisik itulah yang membuat Elang
Samudera semakin bergairah dan akhirnya meluncur cepat mencapai puncak
keindahannya setelah Dewi Mul minta diperlakukan sebagai seekor serigala. Kedua
lutut dan sepasang tangan Dewi Mul yang menapak di lantai itu menjadi gemetar
ketika Elang Samudera melepaskan puncak keindahannya bagaikan bendungan yang
jebol diterjang badai.
"Aaaaaahh...!!"
Jeritan panjang Dewi Mul
membuat perempuan itu akhirnya jatuh tersungkur dengan beban tubuh yang
memberat di punggung. Suara-suara kenikmatan, erangan-erangan keindahan,
semuanya masih tetap menghambur menunggu redanya napas yang memburu bagai habis
berlari mengelilingi Pulau Swaladipa.
Pada saat keduanya sama-sama
terkulai bermandi peluh, pintu pun mulai digedor dengan sedikit kasar. Ternyata
Suto-lah yang menggedornya.
*
* *
3
SECARA empat mata Suto Sinting
mengatakan kepada Elang Samudera, bahwa para perempuan di kuil itu sangat
mendambakan ketulusan cinta dari seorang lelaki. Elang Samudera mengakui
kesimpulan tersebut dan menambahkan kata,
"Kelihatannya Dewi Mul
juga mendambakan cinta dariku."
"Ini kesempatan bagi
kita," ujar Pendekar Mabuk.
"Kesempatan menikmati
cumbuan mereka, maksudmu?!"
"Bukan begitu, Elang! Ini
kesempatan kita untuk dapat bergerak bebas di Pulau Swaladipa! Yakinkan bahwa
kau pun menyukai dia, supaya dia dan yang lainnya yakin bahwa kepergian kita
nanti tetap akan kembali ke sini! Karena begitulah yang kulakukan terhadap Dewi
Kun."
"Itu sama saja
mengkhianati mereka, Suto. Mereka bisa semakin buas terhadap kita!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan
sambil menepuk pundak si murid Pendeta Darah Api itu.
"Aku berani bilang, bahwa
aku suka kepada Dewi Kun. Memang aku suka! Tapi bukan berarti harus mencintai
dan harus mengawini?"
"Tanggapan mereka akan
begitu, Suto."
"Itu terserah tanggapan
mereka! Yang jelas kita jangan mengumbar janji muluk-muluk. Suka itu luas
pengertiannya. Soal mereka salah tanggapan, itu bukan urusan kita!"
Pemuda berpakaian serba ungu
itu menarik napas panjang-panjang. Matanya memandang ke arah langit-langit
kamar sebentar karena sedang merenungkan ucapan Suto. Setelah itu ia baru
menatap Pendekar Mabuk kembali.
"Jadi apa maksudmu?"
"Kita harus ke Istana
Lembah Girang bersama-sama. Aku tak ingin pergi tanpa dirimu, Elang. Bikin Dewi
Mul dan yang lainnya membebaskan kita untuk pergi memburu Bocah Emas itu tanpa
ada beban dan pengawasan dari siapa pun. Jika Dewi Mul yakin bahwa kau akan
kembali lagi ke sini karena kau suka padanya, maka kita akan peroleh kebebasan
bergerak. Jika ada kesulitan justru kita akan dibantu oleh mereka!"
"Siasat yang jitu!"
sambil Elang Samudera tertawa dan menusukkan jarinya ke dada Suto. "Kau
memang jago membual, Suto!"
"Entahlah. Mengapa
akhirnya aku pandai mengatur siasat selama banyak bergaul dengan
perempuan," ujar Suto sambil tertawa pelan.
Usaha itu ternyata berhasil
mereka lakukan. Dewi Kun mengizinkan Suto Sinting pergi bersama Elang Samudera
setelah Dewi Mul mengatakan bahwa ia suka kepada Elang Samudera dan Elang
Samudera suka kepadanya. Dewi Kun mengubah permusuhan menjadi perdamaian dengan
harapan dapat menjalin kerja sama yang baik untuk mendapatkan Bocah Emas.
Tetapi tanpa setahu kedua
pemuda itu, Dewi Kun berbisik kepada Tabib Sumpah Mada.
"Bayang-bayangi mereka
berdua!"
Sang Tabib berkerut dahi.
"Apakah kau belum percaya kepada mereka?"
Dewi Kun agak bingung
menjawabnya. "Hmmm. . yah, sekadar bayang-bayangi saja. Kalau terjadi
sesuatu yang membahayakan pada diri mereka, lekas kabarkan kemari!"
Setelah mendapat beberapa
petunjuk tentang arah menuju Istana Lembah Girang, murid si Gila Tuak dan murid
Pendeta Darah Api itu pun segera
berangkat dengan menunggang kuda. Elang Samudera memperoleh pedangnya
kembali yang bersarung perak dan gagangnya mempunyai ronce-ronce benang ungu.
Sementara itu, Bintang Semampai yang jago menyusup dan menjadi mata-mata itu
berkelebat ke arah lain mencari tahu kelemahan si Bocah Emas.
Tetapi rupanya Bintang
Semampai mempunyai rencana sendiri yang tidak diketahui oleh Dewi Kun dan yang
lainnya. Arah kepergiannya hanya sekadar memutari sebuah bukit, lalu ia
berhasil menghadang perjalanan Elang Samudera dan Pendekar Mabuk.
Rupanya Bintang Semampai masih
penasaran ingin mendapatkan kemesraan dari Elang Samudera. Karena kemesraannya
yang tertunda karena kemunculan Dewi Mul itu membuat Bintang Semampai mengancam
suatu pertemuan khusus yang tak diketahui oleh pihak Kuil Perawan Ganas itu.
"Kecupan bibirnya sangat
beda dengan lelaki yang pernah mengecupku," ujarnya dalam hati.
"Caranya membangkitkan
gairahku lebih berkesan ketimbang lelaki lainnya. Aku tak akan bisa mati dengan
terpejam sebelum merasakan kemesraannya yang lebih dalam lagi. Aku harus
mendapatkan kehangatan darinya karena menurutku dialah satu-satunya pria
sejati. Saat kutemukan 'jimat'-nya dalam genggamanku, kurasakan betapa hangat
dan mantapnya kemesraan itu ada di sanal"
Benak gadis bertubuh sekal
semampai itu mulai dipenuhi khayalan indah tentang kehangatan bersama Elang
Samudera. Sekalipun dalam hati kecilnya ia tetap mengakui bahwa ketampanan Suto
Sinting lebih unggul dan lebih menawan, tapi ia tahu Suto Sinting 'milik' Dewi
Kun. la tak berani coba-coba mengusik 'pegangan' si Ketua Satu-nya itu. Jika
sampai ketahuan, hukumannya lebih berat daripada mengusik 'pegangan' si Ketua
Dua atau Ketua Tiga.
Tetapi ketika ia berhenti di
balik kaki bukit untuk menghadang langkah Pendekar Mabuk dan Elang Samudera,
tiba-tiba angin kencang dating berhembus ke arahnya. Angin itu terasa panas dan
membuat kulit-kulit pohon menjadi terkelupas sedikit demi sedikit. Angin
kencang itu juga mematahkan ranting-ranting dan tangkai daun, sehingga
berhamburan menerjang tubuh Bintang Semampai yang masih duduk di punggung
kudanya.
"Celaka! Ini angin bukan
sembarang angin!" serunya dalam hati dengan nada tegang. "Ouh. .!
Perih sekali sekujur tubuhku?!"
Bintang Semampai melompat
turun dari punggung kuda. la berlindung di balik batang pohon besar. Sementara
itu kuda tunggangannya meringkik-ringkik dan akhirnya melarikan diri bagaikan
tak kuat menahan rasa panas yang dating dari hembusan angin tersebut.
"Hei, kenapa dengan kuda
itu?!" pikir Bintang Semampai dengan mata membelalak memperhatikan sang
kuda melarikan diri.
"Oh, kuda itu berdarah?
Sekujur tubuhnya mengeluarkan darah?! Celaka!"
Bintang Semampai segera menarik
napas dan menahannya di dada. la pandangi kulit tubuhnya sendiri ternyata
mengalami perubahan aneh. Dari pori-pori kulitnya yang kuning langsat itu
keluarkan bintik-bintik merah seperti keringat. Ketika tangan mengusapnya
ternyata bintik-bintik merah itu adalah darah.
"Gawat! Sekujur tubuhku
berdarah?!" gumamnya semakin tegang. "Kurasa angin ini memang
menaburkan racun yang dapat memecahkan pembuluh darah manusia! Ooh. . harus
kulawan dengan hawa murni dari dalam tubuhku sendiri!"
Sambil berlindung di balik
batang pohon besar, Bintang Semampai mengerahkan hawa murninya untuk mengatasi
racun yang menerpa sekujur tubuhnya itu. Seluruh urat dikeraskan, napas ditahan
dalam dada dan dihembuskan pelan-pelan melalui mulutnya. Gerakan tangan menjadi
lamban karena seluruh urat tangan mengencang.
Sementara itu, angin kencang
tadi masih berhembus dan menaburkan daun-daun serta kulit-kulit pohon yang
terkelupas. Beberapa pohon tak jauh dari tempat perlindungan itu sudah mulai
tampak menjadi layu. Bintang Semampai menggeram jengkel melihat kenyataan itu.
La merasa diserang oleh seseorang yang tak diketahui tempat persembunyiannya.
"Kurang ajar! Harus
kulawan dengan jurus 'Serat Salju' jika begini!"
Bintang Semampai segera
kerahkan tenaga inti salju yang dimiliki. Wuuus. .!
Kedua tangan yang menyentak
dengan tubuh miring ke kiri itu mengeluarkan asap putih bagai semburan dari
kepundan gunung berapi. Semburan asap itu segera padam. Tapi asap yang sudah
telanjur mengepul di udara itu menyebar dan menjadi banyak.
Bersamaan dengan itu, suara
angin menderupun makin keras. Entah dari mana angin itu datangnya yang jelas
hembusannya membawa terbang asap-asap putih yang mengandung hawa dingin salju.
Daun-daun dan batang pohon
mulai memutih di hinggapi busa-busa salju. Angin panas yang tadi menerjang ke
arah timur, kini bergulung-gulung berbalik arah ke barat. Dan asap putih itu
makin lama semakin banyak, lalu menggumpal naik bagai awan putih yang tebal.
Dalam satu ketinggian tertentu, awan putih tersebut akhirnya meledak dengan
memancarkan sinai biru ke berbagai arah.
Blegaaarr...!!
Sekalipun tak sampai
menggetarkan bumi, tapi ledakan itu cukup keras dan mengeluarkan gelombang
besar hingga menyentakkan tanaman ke berbagai penjuru. Untung pohon-pohon di
sekitar tempat itu tidak sampai rusak ataupun tumbang.
Dalam kejap berikutnya,
tanaman yang tersentak tadi menjadi tegak kembali dan udara panas pun hilang
bersama lenyapnya hawa dingin yang tadi menyebar ke mana-mana itu.
Wuuuuuss...!
Tiba-tiba sekelebat bayangan
menyambar Bintang Semampai. Dengan gerakan cepat dan lincah Bintang Semampai
lakukan lompatan ke samping dan tubuhnya memutar dengan kedua tangan dan kaki
dipakai sebagai jeruji putarnya. Wuuut. .! Satu sentakan tangan ke tanah
membuat tubuh Bintang Semampai melayang ke atas dan hinggap di salah satu
permukaan tanah yang datar. Jleeg.. !
Bayangan yang tadi
menyambarnya sudah berdiri delapan langkah dari tempatnya berdiri. Kini mereka
saling berhadapan dengan pandangan mata saling tatap penuh ketajaman.
"Oh, rupanya kau yang
mengajakku bermain-main, Paras Jenazah?!" tegur Bintang Semampai dengan
sinis dan ketus kepada seorang gadis berambut panjang dikelabang empat.
Paras Jenazah adalah gadis
cantik mungil berparas imut-imut menggemaskan. Hidungnya kecil tapi mancung,
bibirnya sekelumit tapi mungil, matanya pun kecil namun berbentuk bundar indah
berbulu lentik. Gadis yang usianya sekitar dua puluh empat tahun itu mengenakan
jubah merah jambu dengan penutup dada dan penutup pinggul dari kain sutera
tipis warna abu-abu.
Wajah mungil yang berkesan
pucat ternyata mempunyai sorot pandangan mata yang dingin dan tanpa senyum. Ia
melangkah empat tindak sambil menenteng pedangnya di tangan kiri. Bintang
Semampai masih membiarkan pedangnya menyilang di punggung dan hanya maju dua
tindak ke depan.
Tanpa setahu mereka, suara
ledakan itu memancing perhatian dua pemuda tampan yang tak lain Suto Sinting
dan Elang Samudera. Kedua pemuda itu segera memacu kudanya mendaki bukit dan
mereka segera melihat kedua gadis yang sedang saling bersitegang itu.
"Bintang Semampai..
?!" bisik Elang Samudera dengan suara mendesah kecil.
"Siapa gadis berjubah
merah muda itu?" tanya Suto.
"Kalau aku tahu sudah
kusebutkan pula namanya!" jawab Elang Samudera. "Kita dekati saja
mereka!"
"Setuju! Tapi jangan ikut
campur dulu. Dengarkan dulu apa persoalan yang mereka hadapi berdua itu!"
"Bagaimana dengan kuda
kita ini?!"
"Tinggalkan dulu di
lereng bukit, jangan sampai kelihatan dari sana!"
Dengan merunduk-runduk dan
menyelinap dari pohon ke pohon, kedua pemuda itu mendekati tempat pertemuan
kedua gadis tersebut. Pendekar Mabuk menggantungkan bumbung tuaknya di pundak
dan dirapatkan dengan pinggangnya agar tak terlihat dari tempat pertemuan kedua
gadis itu. Murid sinting si Gila Tuak sempat berbisik kepada Elang Samudera.
"Cantik sekali gadis
berjubah merah jambu itu? Walau wajahnya pucat, tapi kecantikannya
menggemaskan. Ingin sekali aku meremas wajahnya yang bagai hanya sekelumit
itu."
"Kau pikir wajah itu nasi
tumpeng, mau diremas begitu saja!" gerutu Elang Samudera sambil
bersungut-sungut. Kemudian ketika ia mau berkata lagi, Suto Sinting memberi
isyarat agar diam dan menyimak
"Apa maksudmu pamer ilmu
seperti tadi di depanku, Paras Jenazah?!" suara Bintang Semampai berkesan
meremehkan sekali kemampuan si Paras Jenazah.
"Kau telah bebas
tugas!" jawab Paras Jenazah dengan nada dingin.
"Apa maksudmu bebas
tugas?!"
"Sudah waktunya
disingkirkan dari permukaan bumi!"
"Keparat kau! Hati-hati
bicaramu, Paras Jenazah!" gertak Bintang Semampai.
"Aku datang sebagai El
Maut bagi hidupmu!
Tugasku menyingkirkan nyawamu
yang sudah tidak berguna lagi itu, Bintang Semampai! Ratu Lembah Girang sudah
tak sudi memakaimu lagi!"
"Lancang sekali mulutmu!
Hiaaah. .!"
Bintang Semampai menyentakkan
tangan kirinya ke depan dan selarik sinar kuning berbentuk bintang melesat ke
arah Paras Jenazah. Dengan gerakan tangan bagaikan menampar sesuatu, Paras
Jenazah telah berhasil melepaskan percikan sinar merah yang segera menyergap
sinar kuning berbentuk bintang itu.
Zaaarrb...! Buuuss...! Tak ada
ledakan yang terdengar keras kecuali letupan yang mengepulkan asap hitam ke
atas. Paras Jenazah masih tampak tenang, tanpa memasang kuda-kuda seperti yang
dilakukan Bintang Semampai.
Sementara itu, Suto Sinting
berbisik kepada Elang Samudera.
"Apakah Bintang Semampai
ada hubungan dengan Ratu Lembah Girang?!"
"Mana kutahu?!"
jawab Elang Samudera, lalu menyuruh Suto diam dengan isyarat. Bintang Semampai
lakukan lompatan untuk menendang Paras Jenazah. Wuuut. .! Tapi gadis berwajah
cantik pucat itu mengibaskan jubahnya yang tak dikancingkan. Wuuuk. .!
Weeess. .! Tubuh Bintang
Semampai terpental dalam satu kibasan jubah. Tubuh itu melayang mundur dan
membentur sebatang pohon dengan keras. Duuurr...! Daun-daun pohon pun
berguguran karena daya getar benturan keras tersebut.
"Uuhk. .!" Bintang
Semampai menyeringai menahan sakit pada tulang punggungnya. Paras Jenazah tetap
di tempat dan pandangi lawannya tanpa gerakan sedikit pun. Wajah cantik itu
semakin tampak angker bila dalam keadaan seperti itu.
"Bangkai monyet
kau!" geram Bintang Semampai. "Rupanya kau tidak main-main kepadaku,
Paras Jenazah!"
"Aku sudah puas bermain
sejak kecil, sekarang sudah bukan waktunya lagi untuk main-main, Bintang
Semampai!!"
Gadis yang naksir Elang Samudera
itu bergegas maju kembali dengan wajah berang.
"Mengapa Ratu menyuruhmu
membunuhku?! Kurasa ini hanya alasan dustamu belaka, Paras Jenazah!"
"Ratu tidak suka
mata-mata dua muka! Ratu telah mengirimkan dua mata-mata lainnya ke Kuil
Perawan Ganas. Mereka melihatmu sedang bersekutu dengan Tiga iblis kembar itu!
Bahkan salah seorang dari mata-mata itu melihat kau sedang mendekati seorang
pemuda yang menjadi tawanan Dewi Kun. Kau tertarik pada pemuda yang berbaju
ungu itu!"
Pendekar Mabuk dan Elang Samudera
saling pandang dengan wajah terkejut. Mereka tahu yang dimaksud pemuda
berpakaian ungu adalah Elang Samudera. Jantung Elang Samudera pun menjadi ikut
berdebar-debar karena tegang.
"Ketahuilah, Bintang
Semampai. . salah satu dari dua pemuda tawanan Dewi Kun telah memergoki seorang
mata-mata kita. Dan mata-mata kita terluka oleh panahnya sendiri, lalu ia bunuh
diri di depan pemuda tersebut. Teman mata-matanya segera larikan diri dan
mengabarkan hal itu kepada Ratu Lembah Girang."
"Itu urusan mereka!"
sentak Bintang Semampai.
Elang Samudera memandang Suto
dengan curiga, Suto tak enak hati akhirnya menceritakan tentang seorang
mata-mata berikat kepala putih yang bunuh diri di depannya ketika Suto berhasil
melumpuhkan orang tersebut. Elang Samudera hanya manggut-manggut, lalu
memusatkan perhatiannya kembali ke arah kedua gadis itu.
"Ratu telah mencium
gelagat kelicikanmu!" ujar Paras Jenazah. "Cepat atau lambat, kau
juga akan menukar rahasia Istana Lembah Girang agar mendapat kesempatan
berhubungan dengan tawanan berpakaian serba ungu itu. Maka sebelum segalanya
telanjur, Ratu mengutusku untuk mencabut hakmu sebagai mata-mata Lembah Girang
dan mencabut nyawamu agar tak berguna lagi dalam kehidupanmu!"
Suto menggumam lirih,
"Ooo, jadi yang memberi kabar tentang kedatangan kita di Kuil Perawan
Ganas itu adalah si Bintang Semampai sendiri?!"
"Tak kusangka, ternyata
dia adalah mata-mata Lembah Girang!" geram Elang Samudera.
Tiba-tiba mereka terbungkam
karena mendengar seruan Bintang Semampai.
"Kalau begitu, tak ada
pilihan lain bagiku! Kita beadu nyawa sekarang juga, Paras Jenazah! Cabut
pedangmu!"
Sreet. .! Bintang Semampai
mencabut pedang lebih dulu, dan tahu-tahu tubuhnya melayang menerjang Paras
Jenazah. Werrs...!
Traaang. .! Kibasan pedang
Bintang Semampai ditangkis oleh pedang Paras Jenazah yang masih bersarung itu.
Tapi kejap kemudian, pedang tersebut dicabut juga dari sarungnya dan
bertarunglah kedua gadis itu saling beradu ketangkasan jurus pedang
masing-masing.
Trang, trang, triing, trang,
trri ng...!
Tiba-tiba Pendekar Mabuk
merasa tak enak hati. la mencium wangi cendana di sekitarnya. Semula ia
menduga, wangi cendana itu menyebar dari pedangnya si Paras Jenazah. Tetapi ia
segera ingat tentang Bocah Emas yang juga menyebarkan wangi cendana. Maka,
pandangan mata Pendekar Mabuk tidak terpusat sepenuhnya ke pertarungan
tersebut.
la melirik kanan, kiri,
belakang, atas, dan... ooh...?! Bulu kuduknya langsung, merinding.
Jantung Suto Sinting mulai
berdetak-detak cepat. Matanya masih menatap ke atas karena di atas pohon
tempatnya bersembunyi itu, tampak cahaya emas yang redup. Cahaya itu membentuk
wujud bocah yang berkulit kuning emas, mengenakan cawat dari kain berlumur
emas.
Bocah gundul itu tanpa mengenakan baju dan tingginya hanya
setinggi pinggul Suto. Badannya yang agak gemuk berkaki polos tanpa alas. Bocah
Emas itu tepat di atas kepala Suto, berdiri pada sebuah dahan yang jaraknya
sekitar lima tombak, dari tempat Suto dan Elang Samudera bersembunyi..
Pendekar Mabuk segera dekatkan
mulutnya ke telinga Elang Samudera.
"Merendahlah pelan-pelan.
Sangat pelan sekali. Jangan timbulkan suara apa pun!"
"Maksudmu...?!"
"Ssstt. .!" sambil
tangan Suto menekan pundak Elang Samudera, lalu kedua pemuda itu merendahkah
badan dengan berjongkok bagai tenggelam dalam semak-semak.
"Kalau begini tak bisa
melihat. ."
"Sssstt. .!" Suto
berdesis makin lirih, membuat Elang Samudera bertambah curiga dan merasa aneh.
"Ada apa
sebenarnya?!" bisik Elang Samudera ikut-ikutan lirih sekali.
"Bocah Emas itu ada di
atas kita. ."
Elang Samudera mendongak
pelan-pelan. Matanya segera terbelalak melihat Bocah Emas berdiri di dahan dan
sedang perhatikan ke arah pertarungan.
"It...!" Elang
Samudera ingin tersentak kaget sambil menuding ke atas. Tapi mulutnya buru-buru
dibungkam oleh tangan Suto rapat-rapat.
"Sekali dia mendengar
kata, mampuslah kita berdua, Tolol!" bisik Suto Sinting sambil menahan
napas. "Diam dan jangan bersuara apa pun!"
Elang Samudera akhirnya tak
berani bersuara, tapi hatinya berdebar-debar dan keringat dinginnya mulai
keluar. Mereka tak berani memandang ke atas lagi karena Bocah Emas itu ternyata
melompat ke dahan yang lebih rendah lagi.
"Celaka! Mati aku kalau
begini," gumam Suto Sinting dalam hati sambil persiapkan satu pukulan maut
yang akan dipakai untuk menghantam serangan tiba-tiba dari atas kepalanya. Ia
menundukkan kepala dan tak berani mendongak seperti tadi.
*
* *
4
PERTARUNGAN adu kecepatan pedang membuat
Bintang Semampai terdesak oleh serangan Paras Jenazah. Sayang sekali hal itu
tak bisa dilihat oleh Pendekar Mabuk maupun Elang Samudera, karena pandangan
mata mereka tertutup oleh kerimbunan semak dan akar-akar pohon. Mereka hanya
mendengar denting pedang beradu dengan sesekali diselingi suara letusan kecil
dan pekikan dari mulut Bintang Semampai.
Zaaph, wees...!
Bocah Emas di atas pohon
pindah tempat dalam bentuk pancaran sinar kuning emas. Dalam sekejap saja Bocah
Emas sudah bertengger di dahan pohon seberang dan masih memperhatikan
pertarungan sengit kedua gadis tersebut.
"Ssst, sudah pergi!"
bisik Elang Samudera kepada Suto.
"Kupingmu budek!"
sentak Suto dengan suara bisik. "Apa kau tak dengar suara denting pedang
itu?!"
"Maksudku, bukan kedua
gadis itu yang pergi, tapi si Bocah Emas."
"Ah, yang benar?!"
Pendekar Mabuk mendongak pelan-pelan. "Oh, ya... dia sudah pergi. Ke mana
pergi-nya?!"
"Itu. . di seberang
sana!" Elang Samudera menuding tempat bertenggernya si Bocah Emas.
"Hmmm. . syukurlah kalau
dia pindah ke sana," gumam Suto Sinting, lalu keduanya sama-sama tegakkan
badan walau masih jongkok. Kepala mereka tersumbul pelan-pelan dari kedalaman
semak agar bisa melihat pertarungan tersebut.
Bintang Semampai pergunakan
kedua tangannya dalam mempertahankan tebasan pedang Paras Jenazah yang
bertubi-tubi itu. Tapi dalam satu kesempatan, Bintang Semampai sempat lakukan
sentakan mundur bagaikan terbang ke belakang dalam keadaan pedang tetap
tergenggam dan tubuh tetap sedikit membungkuk. Wuuut...! Jleeg!
Paras Jenazah tak banyak
bicara tak ada pekiknya. la melesat mengejar Bintang Semampai dengan pedangnya
berkelebat memutari tubuh dengan cepatnya. Putaran pedang itu memancarkan sinar
merah bagai cahaya matahari terbit. Zaarrrb. .!
Tubuh cantik mungil itu jadi
bersinar di sekeliling tepiannya. Bintang Semampai tampak terkejut. Namun ia
segera lakukan gerakan plik-plak ke belakang dua kali. Wut, wut...!
Buuuss...! Tiba-tiba asap
menyembur naik lalu sirna dalam waktu sekejap. Hilangnya asap itu membuat Paras
Jenazah hentikan gerakan. la tak jadi menghujamkan pedangnya ke tubuh lawan,
karena orang yang ada di depannya itu ternyata bukan lagi Bintang Semampai,
melainkan seorang lelaki berambut abu-abu dengan kumis dan janggutnya yang
pendek juga berambut abu-abu.
Ia mengenakan jubah hijau tua
dan ikat pinggang kain lebar warna hitam. Tangan kanannya menggenggam tongkat
kayu yang bagian atasnya berbentuk kepala ikan lele. Lelaki kurus dan agak
tinggi itu memandang dengan tajam tapi berkesan penuh kharisma.
"Ooh. .?!" Paras
Jenazah terkejut sekali dan membelalakkan matanya yang kecil itu.
"Siapa orang tua
itu?" bisik Suto Sinting.
"Entah. Mana kukenal dia?
Kita sama-sama bukan orang sini!" jawab Elang Samudera. Tapi kedua pemuda
itu segera paham setelah melihat Paras Jenazah berlutut sambil meletakkan
pedangnya di tanah dan bersujud di depan lelaki berjubah hijau itu.
"Ampun, Guru! Saya tidak
tahu kalau Guru-lah yang menjelma menjadi Bintang Semampai!" ucap Paras
Jenazah penuh hormat.
"Ooo.. dia gurunya si
Paras Jenazah?!" bisik Suto Sinting kepada Elang Samudera yang ikut manggut-manggut.
"Bangunlah muridku yang
cantik!" ujar lelaki berjubah hijau itu sambil menggerakkan tangan
kirinya, memberi isyarat agar Paras Jenazah bangkit.
Suto terkejut dan segera
berbisik kepada Elang Samudera.
"Hei, lihat telapak tangan Pak Tua itu. Ada tato bintang di telapak tangan
itu, seperti telapak tangan Bintang Semampai."
"Hmmm. . benar. Apakah
Bintang Semampai sebenarnya juga muridnya Pak Tua itu?!"
"Kurasa.. kurasa Bintang
Semampai menggunakan ilmu andalannya yang bernama 'Mancala Jelma'. Sebuah ilmu
yang bisa mengubah wujudnya menjadi siapa saja. Mungkin Bintang Semampai pernah
bertemu dengan gurunya Paras Jenazah sehingga ia bisa menyamar sebagai gurunya
Paras Jenazah."
"O, jadi dia punya ilmu
sehebat itu?!"
"Yang kudengar memang dia
hanya punya jurus andalan 'Mancala Jelma'. Karena itulah ia sangat lihai untuk
menjadi seorang mata-mata dan jago menyusup ke pertahanan lawan."
Penjelasan Suto terhenti
karena Paras Jenazah segera bangkit sambil menggenggam pedangnya kembali.
Pandangan matanya tampak tak sehormat tadi.
Lelaki tua berjubah hijau itu
berkata dengan wibawa.
"Hentikan tindakanmu,
Muridku!"
"Guru tak pernah
menyuruhku berdiri!" geram Paras Jenazah. "Jadi kurasa kau bukan
guruku!"
Wees. .! Pedang dikibaskan
dari bawah kiri ke atas kanan. Hampir saja merobek dada lelaki tua itu jika
tongkat berkepala ikan lele itu tidak segera dipakai untuk menangkisnya. Trak.
.! Tongkat itu patah terpotong sepertiga dari bawah.
Lelaki berjubah hijau itu
segera melompat hindari tebasan pedang berikutnya. Gerakannya begitu cepat dan
bersalto ke sana-sini. Teb, tab, tab...!
Jleg.. ! la tiba di tempat
kosong, berdiri tegak dengan tongkat tergenggam bagai menggenggam pedang.
Namun, dengan pandangan mata sejelas mungkin, Elang Samudera dan Pendekar Mabuk
melihat Bocah Emas itu melompat dan melesat cepat menerjang lelaki tua berjubah
hijau dari arah belakang lelaki itu. Wees. .! Brraass...!
"Aaahk. .!" satu
pekikan terlontar pendek dari lelaki berjubah hijau. Mata Elang Samudera
terbelalak lebar sementara mata Pendekar Mabuk justru mengecil dengan seringai
kengerian.
"Edan. .!" geram
Elang Samudera tampak shock sekali melihat Bocah Emas itu menjebol punggung
lelaki tua berjubah hijau hingga tembus ke depan dan hinggap di atas salah satu
gundukan batu tak seberapa tinggi. Jleeg. .!
Lelaki berjubah hijau diam
mematung dengan mata melebar dan mulut ternganga. Dadanya telah bolong besar
hingga pemandangan di belakangnya dapat terlihat dari lubang besar tersebut.
Brrruk. .!
Lelaki itu jatuh ke depan bagaikan
sebatang kayu tanpa nyawa lagi. Sementara si Bocah Emas menggenggam sesuatu di
tangan kirinya. Sesuatu yang segera dimakannya itu tak lain adalah jantung
lelaki berjubah hijau itu.
"Uuhk...!" Elang
Samudera ingin muntah melihat kejadian mengerikan tersebut. Tapi Pendekar Mabuk
segera membungkam mulut Elang Samudera dan menekan pundak agar Elang Samudera
merendahkan badan, biar tak terlihat dari arah si Bocah Emas berada.
"Tahan, tahan. .!"
bisik Pendekar Mabuk dengan suara lirih sekali. Elang Samudera berhasil menahan
untuk tak jadi muntah, tapi napasnya terengah-engah dan keringat dinginnya kian
keluar. Matanya masih pandangi si Bocah
Emas yang menghabiskan jantung itu dalam waktu singkat, sementara ceceran darah
yang berlumuran di sekitar mulut, tangan, dan tubuh lainnya itu mengering bagai
terserap angin.
"Suto, lihat.. ! Pak Tua
itu ternyata telah berubah menjadi Bintang Semampai?!"
"Sudah kuduga, akhirnya
dia akan kembali ke wujud aslinya!" gumam Suto sangat pelan, berupa
bisikan mendesah.
"Dan. . dan sepertinya
Bocah Emas itu mulai akan menyerang Paras Jenazah!"
Kata-kata Elang Samudera itu
memang betul. Bocah Emas tampak memandangi Paras Jenazah dengan sorot pandangan
mata menyeramkan. Gadis berwajah cantik imut-imut yang mempunyai pandangan mata
dingin itu menjadi undurkan langkah beberapa tindak. Pedangnya segera
dimasukkan ke dalam sarung pedang. la tampak tegang dan diliputi kecemasan yang
dalam.
Pendekar Mabuk melihat kedua
tangan Bocah Emas mulai sedikit merenggang. Suto ingat, biasanya jika kedua
tangan Bocah Emas mulai sedikit merenggang, itu pertanda ia akan lakukan
lompatan cepat seperti yang dilakukan kepada Bintang Semampai tadi. Suto sudah
mulai cemas dan berkata lirih sekali bagai bicara pada diri sendiri.
"Wah, mati dia! Mati juga
si Paras Jenazah itu sebentar lagi!"
Elang Samudera menjadi ikut
tegang dan resah.
"Apa maksudmu?!"
"Bocah Emas itu akan
menyerang Paras Jenazah!'
"Kalau begitu cepat kita
cegah!"
"Tunggu dulu!"
sergah Suto Sinting dalam bisikan amat lirih.
Paras Jenazah segera berlutut
satu kaki. Kaki kirinya tetap menapak di tanah dengan lutut tertekuk, sedangkan
kaki kanannya jelas-jelas berlutut hingga menyentuh tanah. Kemudian tangan
kanannya mengepal kuat-kuat dan kepalan itu ditempelkan ke tanah dalam keadaan
lurus. Kepala gadis itu sedikit ditundukkan bagai memberi hormat kepada si
Bocah Emas.
Kira-kira lima helaan napas
mereka saling bungkam. Si Bocah Emas pandangi Paras Jenazah dengan dahi
berkerut seperti diliputi kebimbangan.
Namun kejap berikutnya kerutan
dahi pun hilang, si Bocah Emas tidak berwajah menyeramkan lagi. Ia justru
melangkah ke samping seperti layaknya bocah berusia lima tahun kurang yang
sedang hampiri tanaman berbunga liar.
"Kalau begitu kau
orangnya Nyai Ratu?!" suara Bocah Emas terdengar benar-benar seperti
bocah.
"Benar. Aku utusan Nyai
Ratu Lembah Girang!" jawab Paras Jenazah dengan tegas, lalu ia berdiri
kembali dengan tegak. Pendekar Mabuk dan Elang Samudera saling pandang dengan
rasa heran.
"Dia tak jadi menyerang Paras
Jenazah," bisik Elang Samudera.
"Mungkin karena ia segera
mengenali bahwa gadis itu di pihak Ratu Lembah Girang."
Elang Samudera
manggut-manggut. Pandangan matanya diarahkan kepada Bocah Emas kembali.
Bocah itu bermain setangkai
bunga yang mempunyai tangkai panjang. Wajahnya polos, sama sekali tak ada kesan
sebagai pembunuh terkeji di dunia.
"Mengapa hanya
merampungkan cecunguk seperti si Bintang Semampai saja kau tak becus?!"
Bocah Emas itu mengecam Paras
Jenazah tanpa memperhatikan orang yang dikecam. Perhatiannya tertuju pada bunga
bertangkai panjang itu.
"Sebenarnya satu jurus
lagi Bintang Semampai mati di ujung pedangku. Tapi kau bertindak lebih dulu,
dan aku kehilangan kesempatan untuk melaksanakan tugas dari Nyai Ratu."
"O, begitu?!" nada
bicara si Bocah Emas seperti sudah dewasa.
"Sekarang apa yang akan
kau lakukan lagi, Paras Jenazah?"
"Pulang ke Istana Lembah
Girang, menghadap Nyai Ratu dan melaporkan tugas yang sudah kuselesaikan
ini!"
"Tugasmu belum
selesai," ujar si Bocah Emas dengan tegas.
"Nyai Ratu hanya
memberiku tugas membunuh Bintang Semampai."
"Ya, tapi Bintang tidak
sendirian."
"Apa maksudmu?"
"Bintang lebih berpihak
kepada Kuil Perawan Ganas. Sebaiknya habiskan sekalian orang Kuil Perawan Ganas
itu. Aku benci dengan ketiga ketua kuil tersebut."
"Mengapa kau
membencinya?"
Bocah Emas dekati batu yang
ada di depan Paras Jenazah, lalu melompat ke atas batu itu. Huup....!
Kini tinggi bocah tersebut
sedada Paras Jenazah!
"Dewi Kun gagal kubunuh
gara-gara tamu tampannya yang bernama Pendekar Mabuk itu!" kata Bocah Emas
kepada Paras Jenazah.
"Hancurkan mereka! Aku
akan menghancurkan pihak Bukit Sulang dan orang-orang Lereng Hitam!"
"Tapi. . aku hanya akan
jalankan perintah dari Nyai Ratu saja!"
Suut...! Bocah Emas menudingkan
jarinya ke depan. Sebatang jarum kuning melesat nyaris tak terlihat. Jarum itu
hampir saja menancap di dada Paras Jenazah. Untung Paras Jenazah
segeramengangkat pedangnya yang tetap bersarung, sehingga jarum itu kenai
gagang pedang dan pecah bersama letusan kecil yang memercikkan bunga api.
Trak, daarr...!
Paras Jenazah mundur dua
langkah dengan tegang dan terkejut.
"Kalau kau tak mau
kuperintah, maka kau harus rela menyusul si Bintang Semampai. Tahukah kau,
bahwa kedudukanku lebih tinggi daripada Nyai Ratu?!"
Paras Jenazah terpaksa
membungkuk agak rendah dengan kedua tangan memegangi pedang di dada dalam
keadaan gagang pedang menghadap ke atas. Sikap hormat yang cenderung berkesan
patuh itu tampak melegakan si Bocah Emas.
"Bunuh si Pendekar Mabuk
agar tak halangi rencana kita!" perintah Bocah Emas dengan tegas lagi.
"Baik! Akan
kukerjakan!" jawab Paras Jenazah.
"Bunuh pula temannya, dan
juga tiga perempuan kembar kuil tersebut. Mereka sangat membahayakan pihak
kita!"
"Baik. Mereka akan kuhabisi
dalam waktu singkat!"
"Kalau kau tak mampu
hadapi Pendekar Mabuk, panggil aku!"
"Aku mengerti."
"Kau juga mengerti
bagaimana cara memanggilku?!"
"Ya, aku mengerti. Nyai
Ratu sudah jelaskan semuanya."
"Bagus! Berangkatlah
sekarang. Aku akan ke Bukit Sulang dan menciptakan wabah kematian di
sana," kata Bocah Emas yang cenderung serupa dengan bocah titisan iblis
itu.
Laaab. .! Bocah Emas melesat
dalam bentuk cahaya emas yang memancar terang. Gerakan cahaya itu menembus
pepohonan, dan pepohonan yang ditembusnya menjadi rusak tanpa suara, bagai
tercabik-cabik binatang buas. Bahkan pohon atau tanaman yang ada di kanan kiri
pohon rusak itu ikut-ikutan menjadi hancur bagai tercabik-cabik binatang
berkuku tajam. Sedangkan Paras Jenazah masih berdiri di tempat pandangi
kepergian cahaya kuning emas tersebut.
"Akan kuikuti cahaya emas
itu!" ujar Elang Samudera.
"Tunggu!" cegah
Pendekar Mabuk. "Kau tahu sendiri bocah itu seganas iblis lapar. Apakah
kau tetap ingin menangkapnya dan menyerahkan kepada Ratu Remaslega?"
Elang Samudera diam, tak jadi
bergerak, juga tak ucapkan kata apa pun. la tertegun beberapa saat merenungkan
pertanyaan Pendekar Mabuk itu.
"Jika kau tetap ingin
menangkapnya, berarti kau harus sudah siap untuk mati seperti Bintang Semampai itu,"
tambah Suto.
"Aku.. aku tak tahu harus
bagaimana. Tapi yang jelas, aku akan mengikuti si Bocah Emas itu. Apa yang akan
dilakukan olehnya, aku ingin tahu lebih banyak dari apa yang sudah kulihat
ini!" ujar Elang Samudera sambil memandang ke selatan, ke arah kepergian
si Bocah Emas.
"Bagaimana dengan gadis
itu?!"
"Dia mencari kita. Dia
akan membunuh kita. Kurasa kau lebih tahu apa yang harus kau lakukan tanpa aku,
Suto. Kalau kau ingin mati di tangannya, temui saja dia sekarang. Kalau tak
ingin mati di tangannya, habisi dia lebih dulu!"
Kini Pendekar Mabuk yang
tertegun dalam bungkam. la harus menghabisi nyawa Paras Jenazah yang imut-imut itu. Oh, alangkah sayangnya
jika gadis itu mati di tangannya?
"Tak adakah jalan lain
kecuali harus membunuh Paras Jenazah?"
*
* *
5
SUTO lebih setuju mengejar
Bocah Emas yang lebih berbahaya daripada Paras Jenazah. Diam-diam dalam hati
Suto Sinting mengkhawatirkan keselamatan Elang Samudera jika harus mengikuti
Bocah Emas sendirian. Tidak menutup kemungkinan Bocah Emas akan menyerang Elang
Samudera di luar dugaan si murid Pendeta Darah Api itu.
"Kudengar dia menuju ke
Bukit Sulang. Kau tahu di mana Bukit Sulang berada?"
Suto Sinting gelengkan kepala.
"Tapi kita bisa melacaknya lewat aroma cendana yang tertinggal dalam tiap
gerakannya."
Aroma wangi cendana itu belum
hilang sama sekali. Masih bisa tercium dan diikuti arah ketajamannya. Semakin
tajam baunya semakin dekat gerakan mereka dengan si Bocah Emas itu.
Sebaliknya semakin hilang
baunya semakin salah arah yang mereka tuju ke Bukit Sulang. Tetapi semakin jauh
mereka memburu ternyata aroma cendana itu semakin hilang. Pendekar Mabuk
menyuruh Elang Samudera untuk hentikan langkah sementara. Hidung mereka
mendengus-dengus mencari sumber aroma wangi cendana.
"Tak tercium sedikit
pun," ujar Elang Samudera.
Baru saja Pendekar Mabuk ingin
ucapkan sesuatu tiba-tiba sebuah suara lain terdengar di belakang mereka
berdua.
"Apa yang kau cari, Anak
Muda?!"
Elang Samudera dan Pendekar
Mabuk kaget, lalu keduanya sama-sama palingkan wajah ke belakang. Ternyata di
belakang mereka telah berdiri seorang lelaki tua berjubah abu-abu tanpa lengan,
bertubuh tinggi dan kurus. Kulitnya berwarna aneh; coklat berkerut-kerut
seperti kayu terjemur. Bahkan bentuk jari-jari tangannya juga menyerupai
ranting.
Rambutnya yang panjang
sepundak itu berwarna hitam kehijau-hijauan, mirip serat-serat daun cemara.
Tongkat kayu yang digenggamnya nyaris tak ada bedanya dengan bentuk tangannya.
"Agaknya ada sesuatu yang
hilang dari pengejaran kalian, Anak-anak Muda?!" tambah orang tersebut.
"Siapa kau sebenarnya,
Pak Tua?!" Pendekar Mabuk menyapa dengan sopan.
"O, ternyata dugaanku
benar. Kalian bukan orang Pulau Swaladipa sehingga tidak mengenaliku."
"Kami memang bukan orang
dari pulau ini," ujar Elang Samudera.
"Kalau begitu,
perkenalkan diriku yang tua ini adalah orang terburuk di Pulau Swaladipa.
Kalian bisa lihat sendiri keadaanku yang seperti kayu ini. Maka tak heran jika
orang-orang menjuluki diriku: si Manusia Kayu. Tetapi aku punya nama asli
sendiri yang tidak lebih buruk dari julukanku itu. Nama asliku adalah
Sumparana.
"Julukan yang aneh, tapi
sesuai dengan keadaannya," gumam Elang Samudera sambil melirik Suto
Sinting. Murid si Gila Tuak itu tetap pandangi si Manusia Kayu yang tampak
bersikap tenang dan tak terlihat rona permusuhannya. Tetapi biar bagaimanapun
Pendekar Mabuk tetap menjaga kewaspadaan karena ia berada di tanah asing yang
belum dimengerti jelas karakter manusia dan peradabannya.
"Manusia Kayu, agaknya
kau perlu mengetahui bahwa kami memang bukan orang dari pulau ini dan namaku
adalah Suto Sinting, sedangkan sahabatku ini bernama Elang Samudera."
"Sepertinya aku pernah
mendengar nama Suto Sinting," ujarnya membuat Elang Samudera berpaling
pandang ke arah Pendekar Mabuk lagi.
"Mengapa namamu selalu
mudah dikenal orang ketimbang namaku?"
"Entahlah, yang jelas aku
tak pernah menyebarkan nama dan ciri-ciriku lewat surat selebaran!" jawab
Suto seenaknya.
Manusia Kayu memandangi
Pendekar Mabuk beberapa saat, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.
Namun agaknya ia tak mampu
mengingatnya, sehingga membuang sesuatu yang mengganjal pikirannya itu dan
beralih ke masalah yang ada di depannya.
"Kalau boleh kutahu, apa
yang membuat kalian berdua berada di pulau ini, Kisanak?"
"Sebelum
kujelaskan," kata Suto,". . terlebih dulu aku ingin mengerti di pihak
mana kau berada, Manusia Kayu?"
Elang Samudera menimpali,
"Apakah kau orangnya Ratu Lembah Girang, atau orang Bukit Sulang,
atau..."
"Aku orang Tanah
Renta!" sahut Manusia Kayu.
"Mungkin kalian terlalu
memandang buruk wajahku, sehingga kalian sangka aku orang seburuk Ratu Lembah
Girang itu."
"Maaf, Ki
Sumparana," ujar Suto merendah.
"Kami yang bodoh ini
memang harus selalu waspada aga tidak terkecoh oleh anggapan buta kami sendiri.
Kami harus hati-hati jika berhadapan dengan seseorang yang siapa tahu dia
adalah mata-mata dari Lembah Girang."
"Heh, heh, heh...!"
si Manusia Kayu terkekeh pelan dan pendek. "Rupanya kalian bermusuhan
dengan pihak Lembah Girang, Kisanak."
"Secara langsung
sebenarnya kami tidak bermusuhan dengan siapa pun di sini, Ki Sumparana," sahut Suto. "Tetapi
agaknya ada beberapa hal yang membuat pihak Ratu Lembah Girang memusuhi kami,
terbukti dengan langkahnya yang mengirimkan utusannya untuk membunuh kami yang
baru tiba di pulau ini beberapa hari yang lalu."
"Hmmm... siapa yang kau
maksud utusan itu, Suto?"
"Seorang gadis yang
bernama Paras Jenazah."
Ki Sumparana alias si Manusia
Kayu terkesip begitu mendengar nama Paras Jenazah. Ia melangkah lebih dekat
lagi dengan Pendekar Mabuk sehingga jaraknya menjadi sekitar empat langkah.
"Apakah kau tak keliru
ucap, Suto Sinting?" Pertanyaan itu agak aneh bagi kedua pemuda tampan
tersebut, sehingga keduanya saling beradu pandang sejenak.
Manusia Kayu lanjutkan
ucapannya dengan nada pelan tapi jelas didengar kedua pemuda dari tanah Jawa
itu.
"Agaknya kau belum banyak
tahu tentang si Paras Jenazah, Nak."
"Sekiranya kau tidak
berkeberatan, tolong jelaskan siapa si Paras Jenazah itu, Ki Sumparana."
Manusia Kayu membuka mulut
ingin ucapkan sesuatu. Tetapi tiba-tiba la hentikan gerakan mulutnya itu dan
matanya bergerak ke samping kanan-kiri penuh curiga. Mulanya Pendekar Mabuk dan
Elang Samudera juga merasa heran melihat gelagat si Manusia Kayu yang menjadi
sedikit tegang itu.
Tetapi akhirnya kedua pemuda
tersebut menjadi lebih tegang dari si Manusia Kayu, karena tiba-tiba hidung
mereka mulai mencium bau wangi cendana yang makin lama semakin tajam aromanya.
Manusia Kayu segera lebih
mendekati kedua pemuda itu. Kemudian tongkatnya berkelebat memutar di atas
kepala sambil tubuhnya bergerak sangat cepat memutari kedua pemuda itu.
Wuuuuung, weeesssss. .!
Gerakan si Manusia Kayu yang
memutari Suto dan Elang Samudera itu menyebarkan kabut tipis yang mengelilingi
kedua pemuda tersebut. Kejap berikutnya Manusia Kayu lemparkan tongkatnya,
sementara ia sendiri berada di samping Pendekar Mabuk dalam jarak kurang dari
satu langkah.
Wuuut...! Jeeeb...!
Tongkat itu menancap di tanah
dalam jarak tujuh langkah dari tempat mereka berdiri. Beberapa kejab kemudian
tongkat itu kepulkan asap tebal dalam satu sentakan yang langsung lenyap.
Buuuss. .! Dan lenyapnya asap tebal itu membuat kedua pemuda tampan tersebut
terkejut, karena tongkat itu ternyata berubah menjadi si Manusia Kayu sendiri.
Sedangkan di samping Suto
Sinting tetap berdiri sesosok tubuh tua sekitar usia tujuh puluh tahun yang
mempunyai kulit serta kerangka tubuh menyerupai sebatang pohon cemara.
"Jangan keluar dari
lingkaran kabut ini!" bisik Manusia Kayu yang kini berpindah posisi
menjadi berdiri di antara Suto dan Elang Samudera.
"Apa yang terjadi
sebenarnya, Ki Sumparana?!
"Bocah titisan iblis itu
akan datang kemari! Kupancing dia dengan tongkatku, biar tongkat itu yang
diserangnya."
"Kami memang mencari Bocah
Emas!" sahut Elang Samudera.
Manusia Kayu memandang Elang
Samudera sekejap. Sebelum Elang Samudera jelaskan maksudnya, Manusia Kayu sudah
mengalihkan pandangannya ke arah tongkatnya yang sudah menjelma menjadi sosok
manusia menyerupai dirinya itu. Karena pada saat itu Bocah Emas memang
benar-benar muncul dalam bentuk cahaya kuning emas berbinar-binar yang segera
menyambar jelmaan si Manusia Kayu.
Weesss...! Craaak...!
Sosok jelmaan Manusia Kayu
tumbang dalam keadaan punggungnya berlubang hingga tembus ke dada. Bocah Emas
hinggap di salah satu pohon yang tumbang sudah lama itu. la memandangi
korbannya dengan mata dingin dan menyeramkan. Setelah beberapa saat korban tak
bergerak. Bocah Emas segera pergi dalam bentuk cahaya kuning keemasan. Slaab.
.! Lalu menghilang ke arah barat.
"Apakah dia tidak melihat
kita di sini?" tanya Elang Samudera kepada si Manusia Kayu.
"Kita dilapisi kabut
'Pembuta Gaib' yang tak bisa ditembus oleh penglihatan manusia maupun jin mana
pun juga," jawab si Manusia Kayu.
Setelah berkata begitu, tangan
si Manusia Kayu menuding korban Bocah Emas tadi. Dari ujung jarinya melesat
sinar hijau bening yang kenai tubuh korban Claap...! Beeess...! Asap mengepul
tebal seperti tadi dan dalam waktu sangat singkat menghilang tertiup angin.
Sosok korban si Bocah Emas itu berubah menjadi tongkat kayu seperti semula.
Blaaab. .! Tangan si Manusia
Kayu mengibas ke samping, sinar putih berkerilap sekejap, lalu kabut yang
mengelilingi mereka bertiga itu lenyap.
Manusia Kayu segera melangkah
untuk mengambil tongkatnya kembali.
"Kalian telah
bebas!" ujarnya dari tempat tongkatnya yang tadi tergeletak itu. Pendekar
Mabuk dan Elang Samudera masih tertegun bengong.
Namun beberapa helaan napas
kemudian Suto Sinting melangkah dekati Manusia Kayu, sementara Elang Samudera
memandang ke sana-sini dengan penuh kecemasan.
"Tak perlu takut. Bocah
Emas itu telah pergi jauh dari tempat ini," ujar si Manusia Kayu. "la
merasa telah membunuhku, pasti akan memberitahukan hal ini kepada si
Rastiwina!"
"Siapa itu
Rastiwina?!"
"O, kalian belum tahu
kalau Rastiwina adalah nama asli Ratu Lembah Girang?!"
"Kami baru mendengarnya
sekarang," jawab Pendekar Mabuk.
Elang Samudera segera hampiri
Manusia Kayu.
"Agaknya kau banyak
mengetahui tentang si Ratu Lembah Girang, Manusia Kayu."
"Yaah... begitulah
kira-kira. Tapi sebelumnya aku ingin bertanya padamu, Elang Samudera. Apa benar
tadi kau bilang bahwa kalian ingin menangkap si Bocah Emas?!"
"Benar! Aku diutus oleh
Ratu Remaslega untuk membawa pulang si Bocah Emas."
"Apa yang kalian ketahui
tentang si Bocah Emas itu?!" tanya Manusia Kayu bernada menguji.
"Menurut keterangan dari
Ratu Remaslega, bocah itu adalah anak dari petapa suami-istri, yaitu Eyang
Winudaya dan Eyang Sutimuning di Gunung Sambara. Pulau ini dulu adalah
kekuasaan Nyi Ageng Sangir. Antara Nyi Ageng Sangir dan suami-istri petapa itu
masih ada hubungan darah keturunan, sampai turunan terakhir mereka adalah Ratu
Remaslega. Jadi yang berhak merawat kelangsungan hidup Bocah Emas adalah
ratuku; Ratu Remaslega."
Manusia Kayu angguk-anggukkan
kepala sambil menggumam lirih. Tapi sebelum ia berkata sesuatu, Elang Samudera
lebih dulu menyambung kata- katanya tadi.
"Hanya saja, setelah
kutahu si Bocah Emas ternyata seganas itu, aku menjadi sangsi dan tak tahu harus
berbuat apa saat ini. Sebab menurut dari Ratu Remasiega, Bocah Emas bukan bocah
yang kejam dan ganas seperti itu."
"Setahuku memang
begitu," ujar si Manusia Kaya.
"Aku tahu, Bocah Emas
adalah anak dari pasangan petapa sakti: Ki Winudaya dan Nyai Sutimuning. Bocah
itu adalah bocah sakti yang terlahir dari perpaduan cinta yang sangat suci, di
mana darah sakti mereka bercampur dengan hawa suci kedewaan, sehingga bocah itu
lahir bersama segenap kekuatan hawa sakti ayah-ibunya. Bocah itu tak tercemar oleh
kejahatan sedikit pun. Tetapi mengapa sekarang ia menjadi seganas itu, aku
sendiri sempat dibuat bingung olehnya. Padahal kakakku mengasuhnya penuh dengan
kesucian dan ketulusan sebagai tokoh aliran putih yang menjauhi segala tindak
kemaksiatan sekecil apa pun."
"Kakakmu. .?! Siapa
kakakmu yang kau maksud itu, Manusia Kayu?!" tanya Elang Samudera.
"Mendiang Jurumomong
adalah kakakku."
"Ooo...," gumam
Elang Samudera dan Suto secara bersamaan.
"Jika sekarang Bocah Emas
dalam keadaan seganas itu, berarti ada sesuatu yang tak beres pada dirinya.
Kuanggap dia sudah kemasukan roh iblis yang menitis dan menguasai segenap jiwa,
raga, dan sukmanya!" tambah si Manusia Kayu dengan wajah tampak prihatin
sekali.
"Sebetulnya aku
pun...."
"Awas. .!" seru Suto
Sinting sambil mendorong tubuh si Manusia Kayu yang membuat ucapan Pak Tua itu
terhenti.
Elang Samudera terkejut dan
cepat lakukan lompatan mundur ketika si Manusia Kayu didorong keras oleh
Pendekar Mabuk hingga terpelanting nyaris jatuh. Sementara Pendekar Mabuk
sendiri segera melompat pendek dan berguling ke tanah satu kali, lalu bangkit
dalam keadaan berlutut satu kaki. Di mulutnya telah tergigit sebilah pisau
kecil yang runcing dan mempunyai rumbai-rumbai benang merah pada ujung
gagangnya.
Traab...! Seeb...!
Ketangkasan Pendekar Mabuk
dalam menyambar lemparan pisau berbahaya dengan mulut membuat Ki Sumparana
tertegun bengong dalam keheranan. Namun sebelum ia bertindak sesuatu, Pendekar
Mabuk telah lakukan lompatan ke depan atas dan mengibaskan kepalanya ke
samping, ke arah datangnya pisau tersebut.
Wuuut...! Weees...!
Pisau itu terlempar cepat dari
mulut Suto Sinting dan menerjang dedaunan semak hingga akhirnya menancap di
sebuah benda empuk. Jeeb...! Lalu terdengar suara pekik yang pendek dari balik
semak itu.
"Aaahk...!"
"Ada yang terkena
lemparan pisau itu?!" gumam Elang Samudera dalam hati, ia segera mencabut
pedang dari punggungnya. Sreet.. ! Matanya pun memandangi sekeliling dengan
penuh waspada.
Gerakannya lama-lama mendekati
si Manusia Kayu walau dengan cara memunggungi tokoh tua berjubah dan bercelana
abu-abu itu. Sedangkan Pendekar Mabuk yang berjarak tujuh langkah dari mereka
berdua sudah siap dengan tali bumbung tuaknya yang melilit di dalam genggaman
tangan kanannya.
"Keluar kau, atau kupaksa
dengan cara yang tak ramah, Sobat!" seru Pendekar Mabuk.
"Jahanam kaauuu.. !"
teriak suara perempuan yang tiba-tiba muncul dari balik semak dan menerjang
Pendekar Mabuk dengan pedang siap dihujamkan.
Weeers. .!
Trak, buuhk...!
"Uuhk. .!" Pendekar Mabuk
terkena tendangan pada bagian rusuk kanannya, karena waktu itu tangan kanannya
menangkis datangnya pedang dengan menggunakan bumbung tuak.
Brrruk. .! Pendekar Mabuk
jatuh terjungkal ke samping. Belum sempat bangkit sudah dicecar oleh tusukan
pedang secara beruntun.
Wut, wut, wut, wut.. !
Pendekar Mabuk terpaksa
berguling-guling cepat hindari tusukan pedang runcing itu. Tapi pada satu
kesempatan, tangan Suto berhasil menyentak ke tanah. Dess...! Wuuut...! Tubuh
pemuda tampan itu melenting ke atas dalam gerakan salto yang amat ringan.
"Hiaaat. .!"
lawannya juga melompat menyongsong gerakan turun tubuh Pendekar Mabuk sambil
menyabetkan pedangnya. Wes, wes, wes...!
Craaas..!
"Aaahk...!" Suto
Sinting terpekik karena lambungnya tersabet pedang runcing dan robek hingga
menyemburkan darah. Brrruk. .! Tubuh kekar itu akhirnya jatuh ke tanah dalam
keadaan terluka lebar.
"Keparat!" geram
Elang Samudera. Tapi ketika ia ingin maju menyerang, tangannya tertahan oleh
genggaman si Manusia Kayu.
"Sabar! Kita lihat saja
dari sini!" ujar si Manusia Kayu.
Elang Samudera ingin meronta
dan mempersalahkan sikap Manusia Kayu. Tapi mulutnya tak jadi lontarkan kata
apa pun, karena ia segera melihat sekelebat bayangan merah muda yang berkelebat
menerjang lawan Pendekar Mabuk itu.
Wees...! Traang...!
Pedang lawannya Suto tersentak
ke atas dan terpental naik, lepas dari genggaman si pemiliknya.
Tapi dengan satu sentakan kaki
ke tanah, pemilik pedang yang berjubah biru muda itu berhasil melesat lurus ke
atas dan segera menyambar pedangnya kembali.
Jleeg. .! la mendaratkan kaki
tepat di belakang Pendekar Mabuk, kemudian pedang itu disabetkan lagi bagai
ingin membelah kepala Pendekar Mabuk dari belakang.
Bet, traaaang...!
Pedang itu tertahan pedang
gadis berjubah merah jambu. Lalu keduanya saling adu tendangan kaki. Beet!
plaak...!
Wees. .! Perempuan berjubah
biru muda itu terpental dan jatuh terduduk di tanah datar. Wut, wut, wuut.. !
Gadis berjubah merah jambu itu
memainkan pedangnya tiga tebasan dan diam di tempat dengan kuda-kuda kokoh yang
siap menerima serangan lawan sewaktu-waktu. Kini si jubah biru muda pun segera
bangkit dan memainkan jurus pedangnya tiga tebasan, lalu diam di tempat dengan
kuda-kuda siap hadapi serangan kapan pun juga.
Elang Samudera terbelalak
bengong, demikian pula Suto Sinting yang menyeringai kesakitan mendekap
lukanya. Suto merasa kaget dan nyaris tak percaya dengan penglihatannya begitu
menyadari orang yang menangkis pedang si jubah biru itu ternyata adalah gadis
cantik berwajah pucat imut-imut yang tak lain adalah si Paras Jenazah sendiri.
"Biadab kau, Paras
Jenazah! Mengapa kau membela pemuda itu, hah?!" bentak si jubah biru yang
sebenarnya berwajah cantik juga, namun lebih kelihatan angkuh dan galak.
"Aku tahu maksud lemparan
pisaumu tadi, Sekar Langit!" ucap si Paras Jenazah dengan nada dingin.
"Kau arahkan lemparan
pisaumu tadi kepada kakekku; si Manusia Kayu itu! Pemuda ini telah
menyelamatkan kakekku, maka aku pun berhak menyelamatkan nyawanya dari ancaman
pedangmu!"
"Persetan dengan
penyelamatanmu!" bentak perempuan berjubah biru yang ternyata bernama
Sekar Langit itu. "Yang perlu kau ketahui, aku dan Riang Turi
diperintahkan oleh Ratu Lembah Girang untuk membunuh Manusia Kayu! Tak peduli
bahwa dia ternyata adalah kakekmu, yang penting aku harus bisa membunuh Manusia
Kayu yang banyak mengetahui tentang sejarah si Bocah Emas.
Mulutnya harus dibungkam
dengan pedangku agar tak menyebarkan rahasia si Bocah Emas itu! Tetapi pemuda
ingusan ini ikut campur urusan kami, sehingga ia menewaskan Riang Turi dengan
mengembalikan lemparan pisauku tadi! Maka dia dan Manusia Kayu harus sama-sama
dicabut nyawanya!"
"Kalau begitu kau harus
melangkahi mayatku lebih dulu, Sekar Langit!"
"Kau ingin menjadi
pengkhianat rupanya!"
"Sejak dulu aku sudah
menjadi pengkhianat bagi ratumu!" jawab Paras Jenazah dengan semakin
bernada dingin.
"Laknat betul kau, Paras
Jenazah! Kau pantas dipancung dan kepalamu kupersembahkan kepada Nyai Ratu!
Heeeaat. .!"
Pendekar Mabuk buru-buru
menyudahi minum tuaknya, karena kedua perempuan itu saling melayang cepat dalam
ketinggian yang lumayan. Di udara mereka beradu kecepatan pedang yang sulit
diperhatikan gerakan jurus-jurusnya.
Trang, trang, tri ng, trang,
bret...!
Cras, cras...!
"Aaahk. .!" Sekar
Langit menjerit. Ketika kakinya mendarat ke tanah, ia jatuh berlutut satu kaki.
Ternyata perutnya robek oleh
tebasan pedang di Paras Jenazah, demikian pula pundak dan punggungnya tampak robek
lebar.
"Riwayatmu telah usai,
Sekar Langit!"
Begitu mendengar ucapan si
Paras Jenazah, perempuan berjubah biru itu segera mengerahkan tenaga terakhir
untuk lakukan lompatan dan melesat pergi tinggalkan tempat itu. Tetapi dengan
wajah cantik yang dingin, Paras Jenazah menyentakkan pedangnya ke depan. Lalu
pedang itu bagai mempunyai bayangan yang lolos dari pedang aslinya. Slaaap...!
Weees...!
Elang Samudera dan Suto
Sinting sama-sama menduga pedang si Paras Jenazah terbang dan menancap di
tengkuk kepala Sekar Langit hingga tembus ke leher. Jruuubs. .! Tapi ternyata
pedang itu masih ada dalam genggaman Paras Jenazah, sementara Sekar Langit
akhirnya tumbang tak bernyawa dalam keadaan tengkuk kepalanya bolong sampai ke
leher tanpa sebilah pedang pun yang masih menancap di luka itu.
Elang Samudera dan Suto
Sinting yang mulai terobati lukanya oleh minuman tuak tadi sama-sama tertegun
bengong memandang jurus aneh milik Paras Jenazah tadi. Kebengongan kedua pemuda
tersebut segera buyar setelah mereka mendengar Manusia Kayu tertawa pelan mirip
orang menggumam.
"Heh, heh, heh. .!
Ternyata kau benar-benar mewarisi jurus 'Pedang Bayangan Sutera' milik gurumu;
si Paderi Wetan itu, Cucuku?! Hebat, hebat, hebat...!"
Paras Jenazah tak punya senyum
sedikit pun dan tetap berwajah dingin. Sorot matanya yang memandangi Suto dan
Elang Samudera terasa membekukan darah kedua pemuda tersebut. Kini mata gadis
imut-imut itu tertuju pada luka di lambung Suto yang telah lenyap tanpa bekas
sedikit pun sejak meminum tuak saktinya itu. Meski demikian, wajah cantik itu
tak menampakkan rasa heran dan kagumnya melihat cara penyembuhan yang ajaib
tersebut.
"Suto Sinting, Elang
Samudera. . kurasa kalian sudah kenal bahwa dia adalah si Paras Jenazah. Tapi
ketahuilah, Paras Jenazah adalah cucuku sendiri. Karenanya aku tadi kaget
mendengar kalian akan dibunuh oleh utusan dari Ratu Lembah Girang yang bernama
Paras Jenazah," tutur si Manusia Kayu sambil berdiri di samping gadis
berjubah merah jambu itu.
"Tap... tapi.. kulihat
sendiri dia tadi membunuh Bintang Semampai dan tunduk kepada perintah si Bocah
Emas," kata Elang Samudera agak menggeragap.
"Bintang Semampai adalah
ular dua kepala yang layak dimusnahkan," ujar Paras Jenazah, "la akan
membahayakan pihak mana pun, bahkan mungkin suatu saat akan menjadi seteru
dalam pelukanmu!" tambahkan yang ditujukan kepada Elang Samudera.
Elang Samudera kikuk dan salah
tingkah. Senyumnya sangat kaku dan sama sekali tak enak dipandang. Pendekar
Mabuk tersenyum menyimpan geli melihat kekakuan sikap Elang Samudera yang
diketahui ada main dengan Bintang Semampai.
"Tapi. . tapi kau menurut
dengan perintah Bocah Emas itu, bukan?! Kau. . kau tunduk kepada si bocah iblis
itu!"
"Tanpa berlagak begitu
nyawaku akan melayang sejak tadi!" jawab Paras Jenazah.
Suto segera menyahut,
"Hebat juga kepura-puraanmu. Rupanya kau bukan saja gadis yang cantik,
tapi juga berotak cerdas, ketimbang otak sahabatku yang satu ini," sambil
melirik Elang Samudera. Pemuda itu menyikut Suto sambil menggerutu tak jelas.
Manusia Kayu menertawakan dalam nada gumam.
"Paras Jenazah memang
kususupkan ke istana Lembah Girang untuk mengetahui kelemahan dan
rencana-rencana si Rastiwina yang menamakan dirinya Ratu Lembah Girang
itu," ujar Manusia Kayu.
"Mengapa kau lakukan hal
itu, Ki Sumparana?" tanya Suto.
"Mendiang kakakku; si
Jurumomong, sebelum tiada telah meninggalkan pesan padaku untuk lanjutkan
tugasnya menjaga si Bocah Emas agar jangan sampai jatuh di tangan
manusia-manusia sesat. Jurumomong pernah berkata padaku, bahwa pihak yang
berhak merawat dan membesarkan Bocah Emas itu adalah seorang penguasa dari
Pulau Sangon yang merupakan keturunan terakhir dari leluhur si Bocah Emas
itu."
"Penguasa Pulau Sangon
itu adalah Ratu Remaslega," sahut Suto.
"Ratuku...!" timpal
Elang Samudera. "Aku dan kakakku; Dewi Cintani, mengabdi kepada Ratu
Remaslega!"
"Ooo.. aku baru tahu
sekarang. Karena waktu itu, Jurumomong tidak menyebutkan nama penguasa Pulau
Sangon. Kau pun tadi tidak menyebutkan Pulau Sangon, bukan?!"
"Hmm... hmm... kupikir...
kupikir...."
"Jangan terlalu banyak
berpikir!" sahut Paras Jenazah. "Sebaiknya kita cepat bertindak
sebelum Bocah Iblis itu memangsa korban lebih banyak lagi."
"Paras Jenazah...
hati-hati bicaramu!" sergah si Manusia Kayu. "Bocah Emas adalah Bocah
Keramat. Jika kau mengatakannya sebagai Bocah Iblis, maka sekali ia keluarkan
kutukan padamu, celakalah hidupmu, Cucuku!"
"Bocah Emas yang
berkeliaran dengan ganas itu sesungguhnya anak dari Ratu Lembah Girang sendiri
yang mati dalam kandungan."
"Ooh...?!"
"Begitukah...?!"
Manusia Kayu dan kedua pemuda
tampan itu terperanjat dan menatap Paras Jenazah dengan tegang. Yang ditatap
tetap berwajah dingin bagai tak pernah punya ekspresi apa-apa. Sementara para
lelaki yang memandanginya itu tetap bungkam menunggu penjelasan dari ucapannya
tadi dengan hati berdebar-debar.
Tapi pada saat itu, bau
cendana tercium kembali oleh mereka. Dari bau yang samar-samar menjadi semakin
jelas dan membuat Suto serta Elang Samudera menjadi merinding dan tegang.
*
* *
6
KETEGANGAN mereka membuat
masing-masing bersiap diri menghadapi bahaya yang sudah terbayang akan
menyerang mereka. Bau wewangian cendana itu semakin kuat ketika angin berhembus
dari arah barat. Maka mata mereka pun tertuju ke arah barat tempat kepergian si
Bocah Emas setelah menyangka telah membunuh Manusia Kayu tadi.
Terdengar suara gemerisik
semak ilalang diterabas benda yang bergerak cepat. Elang Samudera segera
mencabut pedangnya dari punggung. Sreet...! Tapi Paras Jenazah segera melarang
dengan tangan merentang.
"Jangan cabut senjata!
Ikuti saja gerakanku begitu Bocah Emas itu muncul!"
Elang Samudera menjadi
bimbang. la melirik Suto Sinting. Murid si Gila Tuak itu memberi isyarat kepada
Elang Samudera supaya ikuti saran si Paras Jenazah yang tetap berwajah dingin
itu. Maka pedang pun dimasukkan kembali ke sarungnya oleh Elang Samudera. Angin
berhembus lebih kencang, aroma cendana semakin kuat.
"Ikuti gerakanku sekarang
juga!" seru Paras Jenazah yang membuat Manusia Kayu juga ikut bingung,
tapi akhirnya mengikuti juga gerakan yang dilakukan cucunya.
Paras Jenazah berlutut satu
kaki dengan kaki kiri masih menapak di tanah. Tangan kanannya menggenggam dan
genggaman itu menempel di tangan lekat-lekat. Kepala sedikit tertunduk namun
mata masih melirik ke arah barat, karena tubuh mereka memang menghadap ke
barat.
Rupanya sikap seperti itu
dapat meredakan keganasan si Bocah Emas tersebut. Karena mereka sempat
mendengar penjelasan dari si Paras Jenazah yang bersuara pelan tapi dapat
diterima oleh pendengaran mereka.
"Dengan bersikap
menghormat begini, maka Bocah Iblis itu menganggap kita berada di pihaknya. Dia
tak akan menyerang siapa pun yang menghormat dengan cara begini. Rahasia inilah
yang diberikan Ratu Lembah Girang kepadaku agar selamat dari keganasan si Bocah
Iblis itu!"
"Kalau begitu...."
"Ssst. .!" Suto
Sinting berdesis menyuruh Elang Samudera diam, karena pada saat itu suara
gemerisik ilalang diterabas benda yang bergerak cepat itu semakin mendekat.
Kurang dari satu helaan napas kemudian, kemunculan sesosok tubuh berjubah hijau
yang terhuyung-huyung kemudian jatuh bagai pohon pisang roboh. Bruuk. .!
"Nyai Tabib. .?!"
seru Suto Sinting dengan terkejut begitu melihat orang yang roboh itu adalah
Tabib Sumpah Mada.
Perempuan berkalung akar hitam
lentur seperti karet itu tumbang dalam keadaan miring. Sekujur lengan kanannya
tampak terluka parah bagai habis dicabik-cabik oleh binatang buas. Lengan itu
nyaris tak berbentuk lagi karena seluruh kulitnya terkelupas dan dagingnya
tampak berserat-serat. Luka yang terkuak lebar dari pangkal lengan sampai
punggung telapak tangan itulah yang menyebarkah bau wewangian cendana.
Akhirnya mereka bangkit dan
hampiri Tabib Sumpah Mada. Wangi cendana semakin lebih jelas dan lebih tajam
setelah mereka dekati luka Tabib Sumpah Mada.
"Bibi...?!" ucap
Paras Jenazah tanpa wajah tegang, tapi segera menopang tubuh Tabib Sumpah Mada.
"Ap. . apakah Tabib ini
bibinya?!" tanya Elang Samudera kepada Manusia Kayu.
"Dia adik mendiang
ayahnya Paras Jenazah. Dengan lain perkataan, dia adik dari menantuku,"
jawab Manusia Kayu. "Dulu, dia adalah orangnya Ratu Lembah Girang yang
telah melarikan diri karena ingin dijatuhi hukuman mati disebabkan oleh satu
kesalahan ringan. Kudengar ia bergabung dengan Orang-orang Kuil Perawan Ganas.
Mungkin maksudnya ingin menggunakan kekuatan orang-orang kuil itu untuk
membalas dendam kepada Ratu Lembah Girang."
Sementara Elang Samudera sibuk
dengarkan penjelasan dari Manusia Kayu, Suto Sinting segera menuangkan tuaknya
ke mulut Tabib Sumpah Mada. Keadaan kepala sang Tabib yang disangga oleh tangan
Paras Jenazah membuat mulut itu ternganga dan mudah menelan tuak dari bumbung
saktinya Pendekar Mabuk.
"Tak salah lagi, pasti
dia nyaris terbunuh oleh si Bocah Iblis itu," ujar Elang Samudera
menirukan suara Bocah Iblis yang dipakai Paras Jenazah tadi.
"Kurasa memang
begitu," ujar Manusia Kayu.
"Tetapi mengapa ia keluar
dari kuil setelah sekian lama bisa bersembunyi di sana dengan aman?!"
Kalau saja Pendekar Mabuk
terlambat member minum tuak saktinya kepada Tabib Sumpah Mada, mungkin
perempuan itu akan kehilangan nyawa seperti para korban yang lain. Dengan
meneguk tuak sakti tersebut, maka luka beracun ganas yang diderita Tabib Sumpah
Mada itu akhirnya mulai mengering dan makin lama semakin merapat. Rasa sakitnya
pun hilang, sehingga sang Tabib mampu jelaskan peristiwa yang mengerikan itu
sambil duduk bersandar pada sebatang pohon rindang.
"Aku ditugaskan oleh Dewi
Kun untuk mengikuti kalian berdua," ujarnya sambil memandang Suto dan
Elang Samudera secara bergantian. "Tujuan sebenarnya adalah disuruh
memata-matai gerakan kalian, menjaga agar kalian jangan sampai kabur atau jatuh
ke tangan perempuan lain. Tetapi yang kulakukan adalah mengawasi kalian dari
bahaya maut yang akan menyerang kalian berdua."
"Mengapa sampai menderita
luka separah ini, Bibi?"
"Aku melihat Bocah Emas
itu menghancurkan kakekmu, si Manusia Kayu ini. Tapi aku tahu, yang dihancurkan
adalah jelmaan wujud kakekmu dari tongkatnya. Ketika Bocah Emas itu berlari ke
arah barat, aku mengikuti sebentar untuk mengetahui apa yang akan dilakukannya.
Tetapi ternyata Bocah Emas itu mendengar suara pedang berdenting. Ia kembali
lagi ke tempat ini."
Tabib Sumpah Mada mengambil
napas sebentar. la melirik lukanya yang semakin kering dan mulai mengecil. Sebentar
lagi pasti akan lenyap dan lengannya akan kembali mulus seperti sediakala.
"Aku tahu, jika Bocah
Emas itu kembali lagi kemari, pasti akan menyerang kalian semua. Kalian tak
akan mampu hadapi keganasan dan kesaktian bocah itu. Maka kucoba untuk menahannya
di balik bukit cadas sana. Aku berhasil mengulur waktu dan hindari serangannya
yang sangat membahayakan itu. Namun, akhirnya aku terluka oleh cakaran
tangannya yang nyaris menerjang dadaku."
"Jadi sekarang dia sedang
mengejarmu kemari?" sela si Manusia Kayu.
"Pertarunganku tadi
dipergoki oleh si Gutamala; Penguasa Bukit Sulang. Melihat kehadiran Gutamala
dan anak buahnya, yang mungkin mau menyerang Kuil Perawan Ganas, maka si Bocah
Emas berkelebat tinggalkan diriku dan menyerang Gutamala. Mereka lari setelah
Gutamala mati terbunuh dalam keadaan dadanya jebol sampai ke punggung ditembus
si bocah ganas itu. Selanjutnya, si Bocah Titisan Iblis itu mengejar isa-sisa
anak buah Gutamala menuju ke utara. Maka aku
melarikan diri kemari dengan harapan bisa bertemu kalian. Ternyata
harapanku terkabul. ."
"Cepat atau lambat pasti
Bocah Emas itu akan menuju kemari lagi!" ujar Suto Sinting. "Lalu,
apa yang harus kita lakukan menurutmu, Nyai Tabib?!"
Paras Jenazah segera menyahut,
"Aku melihat ada sebuah gua di sebelah selatan sana. Kita bisa berlindung
di sana sambil mengatur siasat!"
"Aku setuju dengain usul
si Paras Jenazah ini!" ujar Tabib Sumpah Mada.
"Aku mendukung gagasan
itu!" Elang Samudera menimpali.
Tanpa bantuan dari siapa pun,
Tabib Sumpah Mada sudah mampu berdiri dan berjalan sendiri. Lukanya telah
lenyap tanpa bekas dan badannya terasa lebih segar dari sebelum meminum tuak
Suto itu. Mereka menuju ke selatan dengan langkah cepat, lalu menemukan sebuah
gua yang dimaksud Paras Jenazah tadi.
Gua tersebut tidak mempunyai
lorong tembus, namun keadaannya cukup lega. Kedalamannya diukur dari pintu
masuk sampai ke dinding paling dalam sekitar lima belas langkah. Tetapi
langit-langit gua tersebut agak rendah. Dengan berdiri dan mengulurkan
tangannya ke atas, Pendekar Mabuk dapat menyentuh langit-langit gua yang
bergelombang itu.
Manusia Kayu mengibaskan
tongkatnya saat berada di mulut gua. Wuuut.. ! Maka mulut gua itu dilapisi oleh
kabut tipis yang berputar-putar mengelilingi tepian mulut gua.
Melihat kabut tipis itu
mengelilingi mulut gua, maka Pendekar Mabuk dan Elang Samudera sama-sama
sependapat bahwa hal itu dilakukan oleh Manusia Kayu untuk melindungi mereka
dari penglihatan siapa saja.
Tabib Sumpah Mada duduk
termenung di atas batu setinggi pinggulnya. Kedua tangannya bersidekap,
pandangan matanya tertuju ke arah tanah dalam keadaan menerawang. Sementara
itu, Paras Jenazah memeriksa keadaan di dalam gua sebentar, lalu segera dekati
kakeknya yang berdiri tak jauh dari Tabib Sumpah Mada.
"Tak ada salahnya kalau
kita hancurkan Bocah Emas itu, Kek."
"Ya, hancurkan
saja!" sahut Tabib Sumpah Mada yang membuat Pendekar Mabuk dan Elang
Samudera memperhatikan ke arahnya.
"Aku yakin bocah itu
bukan Bocah Emas dari Gunung Sambara," tambah sang Tabib.
"Memang benar,"
sahut Paras Jenazah. "Tapi dari mana kau tahu kalau bocah itu bukan putra
Eyang Winudaya dan Eyang Sutimuning?"
"Seingatku, Ratu Lembah
Girang mempunyai ilmu 'Pendaya Iblis', yaitu sebuah ilmu yang menggunakan
kekuatan iblis untuk menggerakkan benda mati atau kehendak hati sang
Ratu."
"Rastiwina atau Ratu
Lembah Girang memang mempunyai tujuh iblis peliharaan, karena ia memang
bersekutu dengan iblis," timpal si Manusia Kayu.
Sang Tabib menambahkan,
"Tujuh iblis peliharaannya itu sebenarnya adalah ketujuh suaminya Nyai
Ratu. Kapan saja salah satu dari iblis itu menghendaki kemesraan, sang Ratu
harus siap melayaninya."
"Kalau begitu benar apa
yang kudengar selama menjadi orang istana Lembah Girang, bahwa sang Ratu pernah
melahirkan bayi dalam keadaan miskram. Bayi itu mati tapi tidak dikubur. Bayi
itu dimasukkan dalam tabung beling dan direndam dengan darah segar yang setiap
sore diganti. Bayi itu dihidupkan dengan menggunakan ilmu 'Pendaya Iblis',
yaitu memasukkan salah satu iblis ke dalam raga si bayi. Dalam keadaan
mengenakan roh iblis, bayi itu bisa menjelma menjadi apa saja dan berkekuatan
tinggi," ujar Paras Jenazah.
Manusia Kayu sempat berkata
dalam gumam seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Kalau begitu benarlah
apa yang pernah kuduga semula, bocah itu adalah bocah titisan iblis. Tapi aku
tak berani meyakini hal itu, karena takut dikutuk oleh putra Ki Winudaya dan
Nyai Sutimuning itu."
Sang Tabib menyahut,
"Kecurigaanku sejak semula tak kusangsikan lagi; bocah itu pasti bocah
titisan blis. Karenanya aku sangat mengkhawatirkan keselamatan Pendekar Mabuk
dan Elang Samudera!"
"Terima kasih atas
kekhawatiranmu," ujar Elang Samudera sambil membuang napas.
Mereka diam sesaat tanpa
disengaja. Tapi Pendekar Mabuk buru-buru memecah keheningan di antara mereka.
"Dengan maksud apa Ratu
menciptakan Bocah Emas palsu?!"
"Ada beberapa tujuan
dalam penciptaan Bocah Emas palsu itu," jawab Paras Jenazah.
"Pertama, Ratu Lembah Girang ingin memancing orang-orang yang bernafsu
untuk memiliki Bocah Emas, dan mereka akan segera dibinasakan oleh bocah
titisan iblis itu. Kedua, Ratu dapat melampiaskan kebenciannya kepada siapapun
orangnya yang tidak disukai dengan menggunakan kekuatan iblis di dalam bocah
itu."
"Aku pun termasuk orang
yang tidak disukai," ujar Manusia Kayu. "Karena dia tahu bahwa
Jurumomong adalah kakakku, dan tentunya banyak rahasia Bocah Emas asli yang
kuketahui. Dengan lenyapnya diriku, maka tak ada orang yang mencurigai bocah
utusannya itu adalah bocah titisan iblis, bukan Bocah Emas asli."
"Di samping itu,"
sambung Paras Jenazah. "Nyai Ratu juga ingin menciptakan kesan bahwa Bocah
Emas itu kejam, jahat, dan tak pantas dimiliki oleh siapapun. Aku yakin
beberapa orangnya ditugaskan menyebarkan berita kekejaman si Bocah Emas ke
beberapa tempat, bahkan tentunya sampai ke tanah Jawa dan pulau-pulau
lainnya."
"Apakah dia juga tahu
siapa yang berhak merawat Bocah Emas itu sebenarnya?" tanya Elang Samudera
kepada Paras Jenazah.
"Yang jelas ia telah
mendengar dari Bintang Semampai bahwa Kuil Perawan Ganas telah kedatangan tamu
dua pemuda dari tanah Jawa."
"Tapi aku dari Pulau
Sangon!" sanggah Elang Samudera.
"Pulau Sangon termasuk
wilayah tanah Jawa, Tolol!" kata Suto sambil menepuk punggung Elang
Samudera. Yang ditepuk hanya tertawa dalam senyum, lalu serius kembali setelah
Tabib Sumpah Mada berkata kepada Manusia Kayu.
"Kita harus segera
bertindak sebelum bocah titisan iblis itu merenggut nyawa orang-orang tak
berdosa."
"Apakah kau tak setuju
jika bocah itu membunuh tiga dewi kembar itu?" pancing Elang Samudera.
"Aku tidak berkata
demikian," jawab Tabib Sumpah Mada. "Aku hanya numpang bersembunyi di
kuil itu. Tentang arah dan tujuan orang-orang kuil aku tak banyak ikut campur.
Bagianku hanya dalam obat-obatan saja."
"Tapi kau setuju jika kuil
itu dihancurkan?" desak Elang Samudera.
"Pertanyaanmu bernada
mencurigaiku, Elang Samudera! Hancur atau tidak kuil itu bukan tanggung
jawabku. Yang kutahu, tiga dewi kembar itu hanya mempertahankan tanah
leluhurnya dan mendambakan cinta kasih sejati hingga menjadi perempuan ganas
terhadap lelaki. Mereka terlalu banyak memakan ikan Perundung, sehingga kadar
gairahnya sangat berlebihan."
"Kurasa itu tak perlu
dibahas!" potong Paras Jenazah. "Yang perlu kita pikirkan bagaimana
cara menghancurkan bocah titisan iblis itu?!"
"Aku akan melawannya
sendiri!" cetus Suto Sinting begitu suasana menjadi sepi sejenak. Mereka
yang saling terbungkam itu cepat lemparkan pandangan ke arah Pendekar Mabuk.
"Setelah kutahu bocah itu
bukan Bocah Emas asli, aku bernafsu untuk menghancurkannya!"
"Kau tak akan mampu jika
sendirian," ujar Manusia Kayu. "Ingat, lawanmu adakah iblis!"
Sebenarnya Suto ingini katakan
bahwa ia pernah berhasil menumbangkan raja iblis dan sering bertarung melawan
siluman model apa pun, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Misteri Tuak Dewata" dan "Gerbang Siluman"). Tetapi bagi
Suto itu terlalu menyombongkan diri dan salah-salah akan mendapat kecaman tak
baik dari mereka. Maka Suto hanya berkata dengan nada merendahkan diri.
"Aku ingin mencari pengalaman. Ilmuku
masih cetek, sehingga aku butuh pengalaman itu untuk mempertambah pengetahuan
dan ilmu."
"Kalau kau sampai mati,
bagaimana?"
"Anggap saja itu
pengalaman baru!" jawab Suto kepada Paras Jenazah.
"Mati kok
pengalaman?!" gerutu Manusia Kayu sambil bersungut-sungut. Namun sebelum
ia berkata lagi, Tabib Sumpah Mada sudah lebih dulu perdengarkan suaranya.
"Ada yang lebih utama
dari semua pembicaraan kita ini."
Ucapan itu membuat mereka
segera lemparkan pandang ke arah Tabib Sumpah Mada. Perempuan berjubah hijau
dengan dalaman putih tipis itu segera melangkah agak menjauhi mereka, kemudian
berbalik menghadap keempat orang tersebut.
"Di mana Bocah Emas
sebenarnya?!"
"Ada di tempatnya
semula!" jawab Manusia Kayu.
"Mengapa tidak kita ungsikan
dengan segera bocah itu agar tidak jatuh ke tangan manusia sesat seperti si
Ratu Lembah Girang itu?!"
Mereka terdiam, saling pandang
satu dengan yang satunya. Seolah-olah gagasan itu baru terpikirkan oleh mereka
sekarang ini.
"Bocah itu harus kita
selamatkan lebih dulu, sisa tenaga dan waktu kita baru dipakai untuk hancurkan
kekuatan bocah titisan iblis tersebut!"
"Menurut penjelasan Dewi
Kun yang kudengar," kata Suto. "Tidak mudah untuk mencapai puncak
Gunung Sambara dan mendapatkan Bocah Emas itu, karena Ratu Lembah Girang
menempatkan para penjaganya yang aneh-aneh dan berilmu tinggi di sekeliling
kaki Gunung Sambara."
Manusia Kayu menyela kata,
"Aku tahu jalan tembus mencapai pesanggrahan Ki Winudaya, tempat si Bocah
Emas itu tinggal sendirian!"
"Ya, kurasa kakekku tahu
jalan tembus tercepat dan termudah untuk mencapai tempat itu," sahut Paras
Jenazah.
"Jalan itu melalui sebuah
gua yang ada di Bukit Randu," kata Manusia Kayu. "Gua itu sengaja
dibangun oleh mendiang Ki Winudaya dan Nyai Sutimuning untuk hadapi bahaya
sewaktu-waktu."
"Di mana Bukit Randu
berada?" tanya Elang Samudera yang tampak lebih bersemangat lagi itu.
"Bukit Randu adalah anak
Gunung Sambara, letaknya tak jauh dari gunung itu sendiri," sahut Manusia
Kayu. "Aku sudah sering melalui jalan tembus tersebut semasa mendiang
kakakku; Jurumomong sering mengajakku bertandang ke puncak Gunung
Sambara."
Suto Sinting segera berkata,
"Kalau begitu, kita bagi tugas saja! Aku akan mengejar bocah titisan iblis
dan menghancurkannya, yang lain ikut Ki Sumparana mengungsikan Bocah Emas
kepada kakeknya.
"Aku akan mendampingi
pemuda bandel itu, Kek!"
"Ya, itu lebih baik.
Kurasa untuk menjaga pertahananku membawa Bocah Emas, aku cukup didampingi oleh
bibimu dan Elang Samudera!"
"Seharusnya kau tidak
mengizinkan cucumu ikut denganku, Ki!" sergah Pendekar Mabuk.
"Cucuku punya naluri kuat
tentang seorang pemuda. Walaupun wajahnya tak pernah punya senyum, tapi hatinya
selalu ceria dan penuh semangat jika diberi tugas berat berdampingan dengan pemuda
tampan!" kata Manusia Kayu membuat Paras Jenazah melengos tak mau
memandang mereka.
Tabib Sumpah Mada tiba-tiba
berkata dengan senyum tipisnya.
"Aku tak keberatan jika
Pendekar Mabuk berdampingan selamanya dengan Paras Jenazah."
Kontan gadis itu berpaling
memandang Suto dengan cepat, dan Manusia Kayu tampak terperangah menatap Suto
juga.
"Jadi.. jadi kaulah
orangnya yang dikenal dengan nama Pendekar Mabuk dari tanah Jawa itu?!"
ujar Manusia Kayu. "Ooh, baru sekarang kuingat nama Suto Sinting yang sejak
tadi mengganjal di hatiku. Ternyata nama itu adalah nama asli Pendekar Mabuk.
Aku pernah mendengar dari seorang sahabatku di tanah Jawa."
"Siapa nama sahabatmu,
Ki?"
"Resi Pakar Pantun!"
Pendekar Mabuk tertawa geli,
demikian pula Eiang Samudera. Terbayang wajah tua Resi Pakar Pantun yang sering
membantu mereka dan mempunyai kekonyolan sendiri di antara para tookh tua,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Telur Mata Setan").
Mata bundar bening yang kecil
di wajah pucat itu tak mau berkedip pandangi Suto Sinting. la bagaikan terpaku
di tempat. Bukan karena kaget mendengar nama Pendekar Mabuk, karena ia
sebelumnya sudah mendengar dari ucapan bocah titisan iblis itu.
Hal yang mengagetkan Paras
Jenazah adalah kata-kata bibinya yang seakan mengharapkan sang keponakan
berdampingan selamanya dengan Pendekar Mabuk. Hati gadis itu sebenarnya
bergetar keras, tapi raut wajahnya tetap dingin seakan tak merasakan apa-apa.
Sementara itu, Pendekar Mabuk
pun terkesiap memandang Paras Jenazah yang punya kecantikan senilai dengan Dyah
Sariningrum, calon istrinya itu, walau mempunyai jenis dan model kecantikan
yang berbeda. Rasa malu dan riang bercampur menjadi satu membuat Suto salah
tingkah, terlebih setelah ia memberikan senyuman menawan, namun senyuman itu
tak dibalas oleh Paras Jenazah. Elang Samudera berbisik, "Apa enaknya
kerja sama dengan gadis yang tak bisa tersenyum?"
"Memang tak ada enaknya.
Kurasa, aku lebih baik memburu bocah titisan iblis itu bersamamu saja, Elang!
Usulkan hal itu kepada mereka!"
"Gadis itu akan
tersinggung dan membencimu," bisik Elang Samudera lagi.
"Persetan dengan rasa
tersinggungnya. Masalah yang kita hadapi lebih genting dan lebih berbahaya
daripada masalah rasa tersinggung."
Tiba-tiba Paras Jenazah
berkata dengan tegas dan tetap berwajah dingin.
"Kakek, singkirkan
kabutmu, aku akan pergi sendirian memburu bocah titisan iblis itu!"
"Lho, lho, lho.. jangan
begitu, Cucuku! Mereka kasak-kusuk itu membicarakan kira-kira berapa usiamu
sekarang," Manusia Kayu sengaja menghibur hati cucunya, karena ia tahu
sang cucu jengkel terhadap kasak-kusuknya kedua pemuda tersebut.
Suto dan Elang Samudera hanya
saling pandang dengan sikap salah tingkah.
*
* *
7
MEREKA keluar dari gua dengan
tugas telah terbagi; Pendekar Mabuk tetap didampingi Paras Jenazah untuk
mengejar bocah titisan iblis itu, sedangkan yang lainnya menuju puncak Gunung
Sambara untuk mengambil Bocah Emas dan mengungsikannya. Paras Jenazah melesat
ke arah barat lebih dulu, tak mau ikut basa-basinya Suto yang banyak berpesan
kepada Elang Samudera, Tabib Sumpah Mada dan Manusia Kayu itu.
"Hei, tunggu. .!"
seru Suto, kemudian mengejar Paras Jenazah dengan kecepatan tinggi, karena ia
pergunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...!
Pada saat Suto pergi dari
hadapan mereka menyusul Paras Jenazah, mata tua si Manusia Kayu segera
menangkap gerakan cahaya kuning emas
yang datang dari arah utara. Slaap, claap...! Kilauan cahaya kuning emas
itu mengejutkan sekali hati si Manusia Kayu.
"Celaka!" gumamnya
bernada tegang.
"Ada apa, Manusia
Kayu?!" tanya Tabib Sumpah Mada.
"Lihat kilatan cahaya
kuning emas di sebelah utara itu!" tuding si Manusia Kayu.
Tabib Sumpah Mada memandang
arah yang dimaksud, demikian juga Elang Samudera. Bahkan pemuda itu menjadi
lebih tegang dari mereka berdua,
"Oh, cahaya emas?! Dia. .
dia bergerak ke arah barat, Manusia Kayu! Pasti,, pasti dia akan bertemu dengan
Suto dan Paras Jenazah!"
"Benar," ujar Tabib
Sumpah Mada masih agak tegang. "Repotnya kalau mereka berdua tidak
menyadari bahwa diri mereka sedang di kuti atau dihadang secara tiba-tiba oleh
cahaya emas itu!"
"Aku yakin cahaya itu
adalah si bocah titisan iblis! Kalau begitu, susul Suto dan Paras
Jenazah!"
Wwes, wees, wuut...!
Elang Samudera bergerak lebih
dulu sambil berteriak tegang, "Sutooooo...!!"
Manusia Kayu menyusul
kemudian, dan Tabib Sumpah Mada mengikutinya. Namun kedua orang tua itu
merenggang jarak; Manusia Kayu lebih ke kanannya Elang Samudera, dan Tabib
Sumpah Mada lebih ke kirinya Elang Samudera. Bras, bras, breet. .!
Ilalang dan semak diterjang
oleh mereka tanpa peduli goresan duri lagi. Paras Jenazah tak menyangka kalau
gerakannya akan terkejar oleh Pendekar Mabuk. Bahkan murid sinting si Gila Tuak
itu ternyata lebih dulu tiba di jalanan depan langkah Paras Jenazah dan
menghadangnya di sana dengan senyum nakal yang
tetap tak membuat gadis itu bisa tersenyum. Hanya saja dalam hati si
Paras Jenazah mengakui keunggulan gerak Suto walau tetap tak terucap lewat
bibirnya yang mungil menggemaskan itu.
"Kau mudah tersinggung
rupanya," ujar Suto Sinting ketika Paras Jenazah hentikan langkah di
depannya.
"Ini bukan waktunya
bercanda," ucap Paras Jenazah dengan tegas dan dingin.
"Aku tidak bercanda. Tapi
aku bersungguh-sungguh. Jika kau bisa mengungguli kecepatan gerakku, maka aku
akan menuruti semua perintahmu, Paras Jenazah."
"Kau meremehkan
ilmuku," katanya dengan datar tanpa tekanan tertentu.
"Apakah kau suka
diremehkan?" goda Pendekar Mabuk sambil tersenyum-senyum.
Sreet...! Tiba-tiba Paras
Jenazah mencabut pedangnya. Pendekar Mabuk sedikit terperanjat.
"Hei, aku hanya bercanda.
Jangan diambil hati! Masukkanlah pedangmu!"
"Waspadalah, Suto!"
"Jangan begitu, Paras
Jenazah. Sarungkan pedangmu, nanti melukai tubuhku aku bisa mati tanpa
napas!" ujar Suto dengan mulai cemas.
"Pedang ini bukan untuk
melukaimu."
"O, ya? Lalu untuk
melukai siapa?"
"Tidakkah kau mencium bau
wangi cendana?!" Pendekar Mabuk mendenguskan hidungnya satu kali. Kemudian
menjadi tegang seketika.
"Gawat! Bau wangi cendana
mulai tercium di tempat ini?!" sambil ia segera menyentakkan bumbung
tuaknya dari pundak menjadi tergenggam di tangan kanannya. Mata pemuda itu pun
menjadi lebar dan nanar.
"Dia ada di sekitar sini,
maksudmu?" bisik Suto Sinting sambil sedikit merapatkan diri pada Paras
Jenazah.
"Itulah sebabnya
kuperintahkan tadi: waspadalah!"
"Kupikir karena kau ingin
menyerangku," gumam Suto Sinting sambil memandang tajam ke sekelilingnya.
Angin berhembus menyebarkan
aroma cendana semakin tajam, pertanda bocah titisan iblis itu lebih dekat lagi
dengan mereka. Pendekar Mabuk merinding dan berdebar-debar. la bergerak memutar
dengan lamban, demikian pula halnya dengan Paras Jenazah.
Ziing, zi ing...!
"Awaaas.. !" seru
Pendekar Mabuk sambil mendorong tubuh Paras Jenazah dengan pundak kirinya.
Gadis itu tersentak jatuh dan Pendekar Mabuk segera berkelebat mengayunkan
bumbung tuaknya ke kiri. Trang, jerrb,..!
Dua keping logam putih
mengkilat berbentuk kelopak bunga nyaris menancap di punggung Paras Jenazah.
Untung gadis itu tersentak jatuh oleh dorongan tubuh Suto, sehingga dua senjata
rahasia yang muncul dari dalam sebatang pohon itu telah tertangkis oleh bumbung
tuak Pendekar Mabuk.
Satu terpental jatuh ke tanah,
yang satunya lagi menancap di bumbung tuak itu. Paras Jenazah memandangnya dengan
terkesip dan segera bangkit.
Seet. .! Pendekar Mabuk
mencabut senjata rahasia yang menancap di bumbung tuaknya. Benda itu
ditunjukkan kepada Paras Jenazah.
"Hampir saja dia
merenggut nyawamu!"
"Dari mana
datangnya?!"
"Dari dalam batang pohon
bercabang tiga itu!" sambil Suto Sinting menuding ke arah pohon tersebut.
Tapi di sekitar pohon itu tak terlihat si bocah titisan Iblis bertengger di
salah satu dahannya.
Bahkan di semak bawah pohon
tersebut juga tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan yang mencurigakan.
Wui zz...!
Sebatang anak panah meluncur
dengan cepat ke punggung Suto Sinting. Secara kebetulan pada saat itu mata
Paras Jenazah melihat kemunculan anak panah itu bukan dari sebuah busur,
melainkan dari dalam batang pohon yang keras, seakan ada seseorang yang
bersembunyi di dalam pohon itu dan melepaskan anak panahnya.
Paras Jenazah melompat dan
memutar dengan cepat. Kakinya menendang lengan Suto Sinting dengan tendangan
putar yang keras. Beet.. ! Brruk. .!
Suto Sinting jatuh
terpelanting, anak panah ini mengarah ke tubuh Paras Jenazah. Namun dengan
cepat pedang Paras Jenazah berkelebat mematahkan anak panah tersebut. Bet, bet,
bet...!
Traaak. .! Anak panah itu
terpotong menjadi empat bagian. Pendekar Mabuk cepat sentakkan pinggulnya dan tubuhnya
bangkit dalam sekejap. Wuut.. ! la pandangi anak panah itu dengan mata melebar
tegang. Paras Jenazah hanya memandang Suto dengan dingin.
"Impas, aku sudah tak
punya hutang lagi padamu!" ujar Paras Jenazah bernada ketus.
Pada saat itu, tiba-tiba sekelebat
cahaya kuning pendar-pendar melayang cepat menerjang mereka berdua. Wuuus...!
"Awaaas...!
Aaaahk...!" Pendekar Mabuk berseru dua kali, karena setelah mengingatkan
Paras Jenazah, tangan kirinya tersambar oleh cahaya kuning tersebut.
Craass...!
Tangan itu pun koyak
mengerikan, rusak sama sekali, bagai kehilangan daging dan kulitnya. Sementara
itu, Paras Jenazah terkena angin kibasan cahaya itu hingga pipi kanan dan leher
sampai pundaknya mengalami luka bakar bercampur cabikan-cabikan kasar.
"Oouh...! Uuhk...!"
Paras Jenazah mengerang kesakitan, tapi ia berusaha bangkit dan menggunakan
pedangnya untuk hadapi lawan.
Pendekar Mabuk pun segera
bangkit dengan menahan sakit. Bumbung tuaknya masih tergenggam di tangan yang
tidak terluka. Dan begitu melihat cahaya kuning bagai bola matahari yang
memancarkan serat-serat sinarnya itu bergerak menerjang Paras Jenazah, dengan
cepat pergelangan tangan berputar, tali bumbung tuak dilepaskan. Bumbung itu
jatuh di tanah tersangga kakinya, sementara dua jari tangan dikeraskan dan
ditempelkan ke dahi, lalu disabetkan ke depan.
Claaap. .! Sinar ungu melesat
dari kedua jari tangan itu. Jurus 'Turangga Laga' digunakan oleh Pendekar
Mabuk.
Tapi pada saat sinar ungu
kecil itu mengarah ke cahaya emas tersebut, Paras Jenazah pun melepaskan jurus
'Pedang Bayangan Sutera'-nya ke arah cahaya itu. Slaaap. .! Pedang tersebut
bagaikan melesat cepat menembus cahaya emas bersama-sama dengan cahaya ungunya
Pendekar Mabuk.
Zuuurrb. .!
Blegaaarr...!
Ledakan dahsyat mengguncang bumi,
menerbangkan tubuh Pendekar Mabuk dan Paras Jenazah. Sedangkan cahaya emas itu
pun pecah menyebar menjadi beberapa gumpalan. Namun belum sampai
gumpalan-gumpalan cahaya itu padam ada semacam kekuatan gaib yang menyedot
gumpalan-gumpalan itu hingga melesat menjadi satu kembali dan berbentuk tubuh
seperti semula.
Zlaaabs...! Wweess...!
"Paras. .!!" teriak
Pendekar Mabuk begitu melihat cahaya emas itu menerjang Paras Jenazah yang baru
saja bangkit dari jatuhnya. Suto bukan saja hanya berteriak, namun segera
lakukan lompatan setinggi gerakan cahaya emas itu dan tangannya menyentak ke
depan sambil menerjang cahaya itu. Dari telapak tangan Suto keluar sinar biru
besar yang dinamakan jurus 'Tangan Guntur'.
Wooos...!
Jegaaaarrr...!!
Suto terpental kembali karena
gelombang ledakan yang menyentak sangat hebat ketika sinar ungu itu menghantam
sinar emas tersebut.
Sementara gumpalan sinar emas
itu juga terpental menjauh ke belakang dan membentur bagian atas pohon.
Buubhs...! Sinar itu bagaikan lengket di sana.
"Suto. .! Sutooo.
.!" gadis itu kini tampak cemas melihat Suto memuntahkan darah hitam dalam
keadaan wajah membiru dan luka semakin parah.
Paras Jenazah hampiri Pendekar
Mabuk sambil menyambar bumbung tuak yang tergeletak di tanah.
"Suto, terima ini!" serunya
seraya melemparkan bumbung tuak. la tak sampai dekati Suto karena sinar emas
itu datang lagi dengan cepat bagaikan sebuah meteor jatuh dari langit.
Wweeeess. .!
Paras Jenazah tak punya
kesempatan melepaskan serangan atau mengadu kekuatan. Akhirnya ia hanya bisa
menghindari sambaran sinar tersebut dengan menjatuhkan badan telentang di
tanah. Suuuk...!
Craas...!
"Aaaaahhk. .!!"
teriak Paras Jenazah karena dadanya robek terkena angin sambaran cahaya itu.
Bagian yang seperti tercabik delapan mata pedang itu memanjang dari dada sampai
leher dan pipi kanan.
Wuuubs. .! Cahaya itu berubah
bentuk menjadi anak kecil tanpa baju dan berkepala gundul, kulitnya kuning
emas, cawatnya juga kain berlumur serpihan kuning emas. Matanya yang bundar
seperti kelereng kecil memandang tajam ke arah Paras Jenazah.
Mulutnya yang kecil
menyeringai menampakkan giginyi yang runcing-runcing bagai ujung mata pisau.
Pendekar Mabuk sedang berusaha membuka tutup bumbung tuaknya untuk atasi luka
dan rasa sakit.
Namun begitu melihat bocah
gundul berkulit emas memandang ke arahnya, ia tak jadi membuka bumbung tuak.
Serta-merta tangan kanannya yang masih utuh tanpa luka itu menyentak ke depan
sambil berlutut satu kaki. Claaap. .! Sinar hijau melesat dari tangan Suto.
Sinar dari Jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' itu menyambar tubuh si bocah titisan
iblis.
Tapi ternyata sinar tersebut
berhasil ditangkap oleh tangan kecil seperti menangkap sebatang lidi. Seebs...!
Sinar hijau itu menjadi memanjang kaku bagaikan ombak kecil. Pendekar Mabuk
terbelalak tegang melihat sinar berbahayanya mampu dijinakkan oleh bocah itu.
Bahkan bocah itu memainkan sinar hijau itu seperti memainkan sebatang kayu
panjang yang bisa diputar-putar di atas kepala.
"Edan. .!!" geram
Suto Sinting sambil undurkan diri dua langkah, ia akan pergunakan jurus
'Yudha' yang menjadi Jurus pamungkasnya
selama ini, karena ia melihat bocah itu akan melemparkan sinar hijau yang
menjadi keras itu ke arahnya. Namun sebelum semuanya terjadi, tiba-tiba
sekelebat sinar kuning melesat dari arah samping bocah itu.
Claaap...!
"Sutooo.. !!" teriak
Elang Samudera yang muncul bersama Manusia Kayu dan Tabib Sumpah Mada.
Sinar kuning itu dilepaskan
oleh Manusia Kayu dari ujung tongkatnya. Tetapi bocah gundul itu melepaskan
sinar hijaunya Suto tadi ke arah sinar kuning hingga berbenturan dan
menimbulkan ledakan yang menyentak kuat.
Suuuuut...! Jlegaaaarrr...!
Cahaya merah menyebar dari
ledakan tersebut dan membuat mereka terpental ke berbagai arah. Bahkan tubuh
Paras Jenazah yang tak berdaya itu terlempar oleh sentakan gelombang ledakan
hingga menindih tubuh Suto Sinting yang terkapar sambil menggenggam tali
bumbung tuaknya. Brrruus...!
"Aaaahkk...!"
"Oooouww..!"
Sementara itu, Elang Samudera
yang terpental membentur pohon juga mengerang panjang dengan tubuh mengeras
sesaat. Beberapa tanaman tumbang dan salah satunya sempat menimpa kaki Tabib
Sumpah Mada.
"Oouhh. .!!" sang
Tabib mengerang kesakitan, kakinya tak bisa ditarik lepas dari batang
pohon. Mungkin saja tulang tempurung
lututnya pecah seketika itu juga.
Sinar kuning emas jelmaan
bocah titisan iblis itu lenyap, tak terlihat di mana-mana. Elang Samudera yang
sudah bisa berdiri segera mencari dengan pandangan mata menjadi liar dan buas.
Tapi tiba-tiba tanah yang dipijaknya terasa panas. Lalu secara tiba-tiba pula
sinar kuning emas seperti matahari itu muncul dari kedalaman tanah. Bruuull.. !
Elang Samudera cepat-cepat
lakukan lompatan bersalto hindari sinar tersebut. Namun gerakannya kurang
cepat, sehingga angin kibasan sinar itu menyayat betis kirinya.
Craaass. .!
"Aaaahk...!" jerit
Elang Samudera keras-keras.
Jleeg. .! Sinar emas itu
berwujud bocah lagi. Matanya memandang liar kepada Manusia Kayu yang baru
bangkit dari jatuhnya.
"Habislah riwayatmu,
Sumparana!" seru bocah itu dengan suara kecil. "Kiaaakk...!!"
Bocah itu memekik seperti
suara burung gagak tercekik. Tubuh kecilnya melayang menerjang Manusia Kayu.
Tapi pada saat itu Manusia Kayu segera kerahkan ilmunya. Tongkatnya berubah
menjadi besi terpanggang api yang mengepulkan asap dan berwarna merah membara.
Tongkat itu segera dihujamkan ke tubuh kecil yang menerjangnya. Wuuut...!
Jrraab...!
"Kiaaaakkk. .!!"
teriak bocah itu sambil tubuhnya pecah menyebar ke berbagai arah. Tapi kejap
kemudian pecahan tubuh itu menyatu kembali dan berbentuk bocah lagi. Zuuurb..!
Jleeeg...!
Bluub. .! Manusia Kayu berubah
menjadi asap, dan asap pun hilang dihembus angin. Tahu-tahu Manusia Kayu sudah
muncul di seberang sana, tak jauh dari Suto dan Paras Jenazah.
"Jangan lari kau, Sumparana!!"
Bocah itu segera terbang
dengan matanya yang kecil menjadi merah menyeramkan. Mulutnya menyeringai dan
dari giginya kanan-kiri itu keluar taring kecil yang meruncing. Mulut itu kini
menganga siap menerkam Manusia Kayu. Pada saat itu Manusia Kayu sudah siap
lepaskan pukulan mautnya dari jari-jari tangannya yang membentuk cakar, seperti
ranting-ranting kayu.
Namun sebelum itu, seberkas
sinar kuning emas sebesar genggaman tangan dan berekor kecil datang dari arah
dedaunan pohon sebelah timur. Sinar itu melesat dengan cepat dan menghantam
bocah titisan iblis yang sedang melayang mendekati Manusia Kayu. Wuuuuss. .!
Blaaaarr, blegaaarrr...!!
Seluruh alam sepertinya
terbakar. Langit menjadi merah seketika, udara terasa panas namun dating angin
badai yang segera menyingkirkan hawa panas itu. Siapa pun yang ingin berdiri
pasti tumbang seketika itu bagai tak memiliki tulang lagi. Sedangkan matahari
di langit pun redupkan sinarnya dan warna matahari menjadi merah tembaga.
Manusia Kayu jatuh terduduk,
namun masih dalam keadaan sadar walau merasa bagai tidak memiliki jantung lagi.
Pendekar Mabuk yang tadi baru saja mencoba bangkit untuk melepaskan serangan
kepada si bocah titisan iblis, juga jatuh terduduk dan matanya tak bisa
berkedip. Elang Samudera tersimpul di tempat dengan mata dan mulut melebar.
Demikian pula halnya dengan Tabib Sumpah Mada yang hanya bisa terbengong dalam
bagai melupakan rasa sakit di bagian kakinya yang tertimpa pohon itu.
Bocah titisan iblis itu
terpuruk tak bergerak dalam keadaan hitam menjadi arang. Bentuk kepalanya yang
gundul masih kelihatan, namun sudah dalam keadaan retak-retak bagai keropos.
Kedua kakinya terpisah dari lutut, dan tangan kirinya terpental dalam dua
langkah dari tempatnya.
Sementara di tempat itu juga
berdiri seorang bocah berkepala gundul tanpa baju dan hanya mengenakan cawat.
Baik kulit dan cawatnya berwarna kuning dengan serbuk-serbuk emas melapisinya.
Bocah itu bermata kecil, teduh, dan enak dipandang. Badannya sedikit gemuk,
pipinya agak besar mirip bakpau belum matang. Raut wajahnya berkesan tenang,
damai, dan lucu.
"Kuhancurkan kau sekarang
juga!" geram Suto Sinting sambil berusaha melepaskan pukulan ke arah Bocah
Emas itu.
Manusia Kayu buru-buru
melompat ke depan Suto. Wuuut.. ! Brrus...!
"Jangan lakukan!"
sentak Manusia Kayu sambil tersungkur di atas Suto yang terkapar.
"Mengapa kau memihak
bocah titisan iblis itu!" bentak Suto Sinting.
"Tenang! Dia bukan bocah
titisan iblis. Dia adalah Bocah Emas yang sebenarnya!"
Suto segera hentikan gerakan,
lalu berkata lirih, "Kau yakin...?!"
"Aku mengenali keteduhan
wajahnya," jawab Ki Sumparana pelan.
Bocah Emas itu berjalan lucu
mendekati Suto dan Manusia Kayu. la tersenyum ramah kepada Suto.
"Pendekar Mabuk!"
ucapnya seperti ingin tertawa.
"Da. . dari mana kau
mengenaliku?" Manusia Kayu menyahut, "Dia tahu apa yang tidak kau
ketahui."
Bocah Emas berkata dengan
senyum ramah lagi,
"Calon menantu Ratu
Kartika Wangi!" sambil menuding Suto dengan jarinya yang kecil dan
menyenangkan. "Ihik, ihik, ihik. .!" Bocah Emas tertawa menggelikan
si Pendekar Mabuk.
Elang Samudera berusaha
mendekati dengan susah payah karena lukanya di betis. Bocah Emas menuding luka
itu. Ci ing. .! Ujung jarinya keluarkan sinar biru bening sepintas dan segera
hilang.
Elang Samudera terkejut,
matanya terbelalak lebar, karena lukanya lenyap tanpa terasa terobati, tanpa
terasa tersentuh apa pun. Betis itu menjadi bersih seperti tak pernah terluka
sedikit pun.
Hal yang sama dilakukan pula
kepada Paras Jenazah, Manusia Kayu, dan Suto Sinting sendiri. Sementara pohon
yang menimpa kaki Tabib Sumpah Mada pun menjadi lenyap tanpa bekas hanya dengan
satu tudingan tangan berjari kecil itu.
"Gila! Tuakku kalah
dengan jari telunjuknya?!" gumam Suto Sinting yang membuat Manusia Kayu
tersenyum menertawakan keheranan sang Pendekar Mabuk.
Bocah Emas berkata kepada
mereka. "Aku sengaja keluar dari pertapaan. Iblis-iblis pengawal yang
disuruh Ratu Lembah Girang menjagaku itu terpaksa kuhancurkan dengan kesaktian
warisan ayahku. Karena...."
Bocah Emas itu cengar-cengir
sebentar lalu lanjutkan kata, "Aku tahu kalian ingin mengungsikan diriku
dari ancaman Ratu Lembah Girang. Aku
tahu, saudaraku sedang menunggu di Pulau Sangon. Tapi aku tak mau ke sana,
Paman Sumparana."
"Mengapa begitu, Nak
Mas?!"
"Aku mau ke Pulau Sangon,
tapi kalian semua harus mengantarku sampai di sana dan aku akan menari dalam
pesta syukuran nanti. Ihik, ihik, ihik. .!"
Bocah Emas itu tertawa, lalu
yang lainnya ikut tertawa ceria, kecuali Paras Jenazah.
Akhirnya Bocah Emas itu dibawa
ke Pulau Sangon untuk dipertemukan dengan Ratu Remasiega, sisa leluhurnya.
Mereka mengantarkan sampai ke Pulau Sangon dengan tanpa rintangan apa pun,
walau hanya menggunakan perahu kecil yang disewa Suto dari seorang nelayan.
SELESAI