1
LANGKAH kaki pemuda tampan itu
terhenti karena seorang lelaki tua berjenggot abu-abu memanggil beberapa kali
dari belakang. "Kisanak... Kisanak...! Berhentilah sebentar. Kisanak...
Ki...!"
Suara itulah yang menahan
langkah kaki pemuda tampan yang menyandang bumbung tempat tuak di punggungnya.
Lelaki berjenggot abu-abu dengan mengenakan jubah putih itu mendekat. Usianya
yang diperkirakan sekitar delapan puluh tahun lebih itu membuat langkahnya
tertatih-tatih, ia mendekati anak muda itu dengan napas ngos-ngosan.
"Ada apa kau memanggilku,
Pak Tua?"
"Bisakah kau menolongku,
Kisanak?"
"Apa yang harus kulakukan
untukmu?"
Orang bertongkat hitam itu
diam sebentar, mengatur pernapasannya. Matanya yang kecil sempat memandangi
anak muda yang gagah perkasa itu.
"Aku ingin pergi
mengunjungi seorang sahabat lama, tapi aku tak tahu arahnya ke.mana. Bisakah
kau menunjukkan arahnya?"
"Yang ingin kau tuju
daerah mana namanya, Pak Tua?" tanya Suto mulai heran sendiri.
"Aku mau menemui sahabat
lamaku. Tokoh sakti yang disegani tiap orang sesat. Ilmunya tinggi, sulit
dikalahkan.''
"Siapa nama tokoh sakti
itu, Pak Tua?"
"Sabawana. Hmmm... nama
kondangnya si Gila Tuak!"
Anak muda berbaju coklat itu
terkejut. Matanya makin tajam memandang Pak Tua yang sedikit terbungkuk-bungkuk
itu.
"Apakah kau kenal nama
sahabat lamaku itu, Nak? Kalau kau mengenalnya dan tahu tempatnya, tolong bantu
aku tunjukkan di mana ia berada. Nanti aku akan bantu kamu juga memberitahukan
apa yang belum kamu tahu."
Dengan nada heran Suto bertanya,
"Bapak siapa?"
"Namaku Wiryasinder,
dikenal dengan julukan si Arak Bayangan. Dulu aku dan sahabatku itu sering
berkelana bersama."
"Kebetulan aku muridnya
si Gila Tuak, Eyang!"
"Hahh...? Kalau begitu
dugaanku tidak salah? Berarti ilmu nujumku masih berlaku walau usiaku sudah
setua ini. He, he, he...."
Suto Sinting pun tersenyum
ramah dan segera membungkuk memberi hormat, ia ingat cerita gurunya tentang
sahabat sang Guru yang sudah lama menghilang dari peredaran. Nama si Arak
Bayangan pemah didengar Suto Sinting dari mulut gurunya, sehingga ia perlu
memberi hormat kepada Pak Tua itu.
"Bagaimana kabarnya
gurumu? Pasti baik-baik saja."
"Benar, Eyang. Guru dalam
keadaan baik."
"Pasti kau murid tunggalnya yang bergelar
Pendekar Mabuk?"
"Benar, Eyang. Saya
bergelar Pendekar Mabuk. Kok Eyang tahu?"
"Arak Bayangan juga ahli
nujum, jadi jangan heran kalau aku bisa mengetahui bahwa kau adalah anak yang
tidak punya pusar."
Suto Sinting tersenyum malu.
"Memang benar, Eyang. Sayalah bocah tanpa pusar yang kemudian diangkat
murid oleh si Gila Tuak...."
"Dan Bidadari Jalang.
Benar, bukan?"
"Benar, Eyang. Kok Eyang
kenal dengan Bibi Guru saya?"
"He, he, he... aku kan
ahli nujum. Masa' begitu saja tidak tahu? Bidadari Jalang dulu juga temanku,
tapi dia nakal dan aku malas berteman dengannya. Eh, dulu aku pernah dicium
sama si Bidadari Jalang. Aku malu sekali. Maklum waktu itu aku seganteng kamu,
jadi bahan rebutan gadis-gadis, ditarik sana, ditarik sini sampai akhirnya
kulitku kendur begini dan...."
"Sudah, sudah... kalau
Eyang Arak Bayangan ingin menemui Guru, jangan melantur-lantur nanti malah
tersesat lagi. Sebaiknya mari saya antar ke Jurang Lindu."
"O, jadi gurumu tinggal
di Jurang Lindu? Ooo... alau daerah Jurang Lindu aku sudah hafal. Kalau begitu,
aku akan pergi beranjangsana ke Jurang Lindu sekarang juga. Sampai jumpa lagi,
Pendekar Mabuk...."
"Tapi Eyang bisa tersesat
ke pemukiman para janda kalau tidak saya antarkan ke sana. Tempat itu jauh dari
sini."
"Kalau aku tersesat,
wajar. Tapi kalau jadi orang sesat, itu kurang ajar. He, he, he...! Sudah,
sudah... teruskan perjalananmu. Aku akan ke Jurang Lindu sendiri."
"Baiklah kalau Eyang
maunya begitu. Saya permisi dulu, Eyang."
"Jaga dirimu baik-baik.
Nak. Salam buat gurumu si Gila Tuak dan...."
"Lho, katanya Eyang mau
bertemu guru saya, kenapa masih titip salam segala?"
"O, iya. Aku lupa. Maklum
sudah tua. Eh, ada sesuatu yang perlu kau ketahui, Pendekar Mabuk."
Suto Sinting tak jadi
memisahkan diri justru mendekat kembali.
"Ada apa, Eyang?"
"Perjalananmu nanti akan
menemui kejutan besar yang belum pernah kau alami selama hidupmu."
"Maksud Eyang saya akan
bertemu bidadari cantik?"
"Hampir mirip itu. Tapi
kejutan besar itu akan membuatmu lebih cerdas dan lebih dewasa lagi. Jangan
kaget dan jangan cepat gusar. Terimalah kejutan besar itu dengan hati sabar.
Sebab orang sabar disayang Tuhan."
Suto Sinting tersenyum ramah.
"Apakah masih ada yang ingin kau katakan, Eyang?"
"Hmmm... tidak ada. Hanya
itu. O, ya... hati-hati dengan Keranda Hitam. Dia akan jadi lawanmu."
"Keranda Hitam?"
Suto memandang heran.
"Ah, sudah, sudah...
lupakan saja. Keranda Hitam tak perlu dibicarakan. Itu ramalan yang kuhafalkan.
Nah, kita berpisah, sampai di sini dulu. Lain waktu kita bertemu lagi, Pendekar
Mabuk."
Zlappp...! Tiba-tiba Pak Tua
itu lenyap bagai ditelan bumi. Suto Sinting terperanjat dan terheran-heran.
"Apa maksud pertemuanku dengan si Arak Bayangan ini? Apakah punya arti
dalam langkahku mendatang?"
Suto Sinting sempat memikirkan
ramalan si Arak Bayangan, ia menduga-duga kejutan apa yang akan dialaminya.
Tapi sampai jauh melangkah ia hanya menemukan renungan kosong tanpa makna.
Hanya saja dalam hatinya masih timbul keyakinan bahwa ramalan itu akan menjadi
kenyataan, entah kapan dan di mana.
*
* *
Gumpalan awan hitam
berarak-arak bagai menaungi langkah serombongan manusia yang melintasi kaki
bukit cadas. Di atas guguaan cadas lainnya, berdiri seorang pemuda gagah dan
tampan yang mengenakan baju coklat tanpa lengan dan celana putih kusam. Pemuda
itu baru saja menenggak tuak dari bumbung yang kini melintang di punggung.
Siapa lagi dia kalau bukan murid sintingnya si Gila Tuak. Dan siapa lagi murid
sintingnya si Gila Tuak kalau bukan Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
Mata tajam yang berkesan
lembut dan menawan hati lawan jenisnya itu sejak tadi memperhatikan serombongan
orang yang melintasi kaki bukit. Rombongan orang yang bergerak itu bukan
barisan prajurit kadipaten yang sedang pamer kegagahan, melainkan iring-iringan
para pelayat yang hendak memakamkan sesosok jenazah dalam keranda hitam.
Iring-iringan jenazah itu makin menjauh, hati Pendekar Mabuk semakin penasaran.
Maka ia pun segera menyusul rombongan pengantar jenazah itu dengan menggunakan
'Gerak Siluman' yang mampu membuatnya bergerak melebihi kecepatan anak panah.
Zlappp...!
Tahu-tahu sudah sampai di
belakang orang yang ada paling akhir dari barisan pengiring jenazah itu. Orang
yang paling akhir itu berbadan agak gemuk, berpakaian serba hijau dan tubuhnya
tergolong pendek. Umurnya sekitar empat puluh tahun, sehingga Suto Sinting
menyapanya dengan sebutan 'paman'.
"Maaf, Paman. Boleh saya
mengganggu sebentar?"
"Kalau ada orang sedang
mengiringi jenazah itu jangan diganggu!" hardik orang tersebut dengan
suara tertahan.
"Maksud saya, mengganggu
untuk menanyakan siapa yang ada dalam keranda hitam itu, Paman."
"Bocah bodoh! Yang ada
dalam keranda hitam kok ditanyakan? Tentu saja mayat! Masa' batu koral?!"
Orang berkumis rimbun itu
bersungut-sungut. Suto Sinting menahan diri untuk tidak menunjukkan
kejengkelannya. Sebab apa yang dimaksud dalam pertanyaannya tidak dipahami oleh
orang berbaju hijau itu. Maka dengan sabar Suto Sinting yang ikut berjalan
beriringan itu menjelaskan apa maksud pertanyaannya tadi.
"Maksud saya, mayat siapa
yang ada di dalam keranda hitam itu, Paman?"
"Ya mayat orang yang
sudah mati! Mana mungkin orang masih hidup kok dimasukkan ke dalam keranda dan
dianggap mayat?!"
Karena jengkel, Suto Sinting
akhirnya berkata, "Barangkali saja Paman kepingin tiduran di dalam
keranda, kan bisa saja!"
"Kamu menghinaku?! Jangan
bikin perkara lho, ini sedang mengiringi jenazah. Harus hikmat dan penuh
curahan ikut berbelasungkawa."
Suto Sinting sunggingkan
senyum supaya ketegangan orang itu mengendur.
"Habis Paman ditanya kok jawabannya
seenaknya begitu."
"Seenaknya bagaimana? Apa
jawabanku tidak sesuai dengan pertanyaanmu?"
"Ya memang sesuai, tapi
tidak tepat dengan maksud saya."
"Maksudmu itu bagaimana
sih?!"
Salah seorang menghardik.
"Ssstt...! Kalian ini kok malah berisik sendiri?! Nanti kalau mayatnya
bangun karena keberisikan, bagaimana?! Dicucup ubun-ubunmu baru tahu
rasa!"
Orang itu hanya menggerutu tak
jelas, kemudian ia mendekati Suto dan berkata dengan nada pelan, "Tuh,
dengar kan? Belum jadi mayat saja dia sudah galak, apalagi kalau jadi mayat.
Makanya kamu jangan bikin ribut denganku, Anak Muda! Kalau mau ikut melayat ya
ikut saja. Tidak perlu pakai berdebat segala."
Sebenarnya Suto ingin tertawa,
tapi ia menahan mati-matian sampai akhirnya ia hanya bisa berkata pelan juga,
"Yang mengajak ribut itu siapa?"
"Lha kamu tadi...?"
"Saya hanya ingin
menanyakan jenazah siapa yang ada di dalam keranda hitam itu?"
"Apa maksudmu bertanya
begitu?"
"Karena kulihat jumlah
pelayatnya cukup banyak. Aku menduga jenazah itu adalah jenazah orang
terpandang, setidaknya orang punya nama, dan aku ingin tahu siapa orang itu.
Paham?"
"Ya jelas paham!
Pertanyaan seperti itu saja kok dianggap tidak bisa kupahami!" Orang itu
bersungut-sungut lagi.
"Jadi, jenazahnya siapa
itu, Paman?"
"Jenazahnya seorang
pendekar sakti. Kata orang-orang, bagi siapa saja yang ikut memakamkan jenazah
pendekar sakti itu, banyak atau sedikit akan mendapat titisan ilmu sang
almarhum. Maka aku ikut mengiringi pemakaman ini, supaya dapat titisan ilmunya
walau dua-tiga jurus."
"Pendekar sakti siapa,
Paman?" Suto berkerut dahi sambil melangkah mengikuti iring-iringan itu.
"Masa' kamu belum bisa
menduga siapa nama pendekar sakti itu? Pendekar tersebut sangat kondang
seantero jagat. Di rimba persilatan namanya sangat ditakuti oleh banyak tokoh,
terutama tokoh sesat yang ilmunya tanggung-tanggung. Malah tokoh sesat yang
ilmunya tinggi saja sering gemetar kalau mendengar nama pendekar almarhum
itu."
"O, jadi jenazah itu
adalah jenazah Pendekar Almarhum?" tanya Suto dengan bingung.
Orang berambut ikal itu
tertawa dengan mulut dibekap pakai tangan sendiri.
"Mana ada julukan
Pendekar Almarhum?!" katanya kepada Suto. "Namanya bukan Pendekar
Almarhum, tapi Pendekar Mabuk!"
Degg...!
Jantung Suto Sinting bagaikan
dibetot ke dalam saking kagetnya. Tanpa sadar langkahnya terhenti, tangannya
mencekal lengan orang berbaju hijau itu. Orang tersebut pun terpaksa hentikan
langkah dan memandang heran kepada Suto.
"Apa maksudmu menahan
langkahku, Anak Muda?"
"Aku belum jelas
maksudmu, Paman. Kau tadi menyebutkan nama Pendekar Mabuk, sedangkan...."
"Memang nama jenazah itu
semasa hidupnya adalah Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, muridnya Gila Tuak
dan Bidadari Jalang. Setelah mati julukannya ditambah menjadi 'Almarhum
Pendekar Mabuk'. Sudah jelas, bukan?! Kalau sudah jelas ayo kita jalan lagi
nanti ketinggalan rombongan!"
"Nanti dulu, Paman. Nanti
dulu...." Suto Sinting masih menahan orang tersebut.
"Coba Paman bicara yang
betul. Jangan asal bicara begitu," kata Suto sedikit tunjukkan rasa
tersinggungnya, karena orang itu menyebutkan nama dan gelarnya.
"Lho, apa kau anggap aku
tadi bicaranya ngawur? Aku bicara yang sebenarnya, Anak Muda! Jenazah itu
adalah jenazah Pendekar Mabuk. Nama aslinya Suto Sinting. Dia itu muridnya si
Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Begitulah keterangan yang kudengar dari mulut
orang-orang yang ikut melayat di sini. Kalau tidak percaya tanyakan saja kepada
mereka."
Suto Sinting gemetar, matanya
memandang tajam kepada orang berbaju hijau itu.
"Paman tahu siapa aku
ini?"
''Mana aku mengenalmu, habis
kau datang-datang bukan memperkenalkan diri malah mengajak berdebat
begini?!"
"Akulah yang bernama Suto
Sinting, Pamanl"
"Aah... bercanda
kamu!" Orang itu tertawa meremehkan dengan wajah melengos.
"Paman, aku ini Suto
Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk. Akulah murid Gila Tuak dan Bidadari
Jalang!" sambil Suto tepuk dada sendiri.
Orang itu geleng-geleng kepala
sambil mencibir. "Jangan mengaku-aku Pendekar Mabuk. Apa kau pikir aku
akan kabur tunggang-langgang karena menganggapmu sebagai hantu jika kau mengaku
Pendeksr Mabuk? Oh, tidak bisa, Anak Muda. Aku tidak bisa kau tipu, Nak!"
Pengusung keranda hitam makin
menjauh, demikian pula para pengiringnya. Orang berbaju hijau itu kaget melihat
dirinya tertinggal jauh oleh rombongan, ia segera bergegas menyusul rombongan
dengan mulutnya menghamburkan makian dan gerutuan kepada Suto. Sementara itu
Suto Sinting sendiri diam termenung dalam keadaan masih berdiri di tempat.
Matanya memandang ke arah rombongan yang menjauh dengan hati berkecamuk penuh
keheranan.
"Orang itu gila atau
goblok? Kata-katanya seperti orang mengigau? Ah, aku jadi sangat penasaran
sekali. Apa benar orang-orang itu menganggap mayat dalam keranda hitam adalah
mayatku? Apa iya Pendekar Mabuk sudah mati? Lalu aku ini siapa kalau begitu?!
Bisa benar-benar sinting kalau kupikirkan terus tanpa kucari kebenarannya.
Sebaiknya kutanyakan saja kepada para pengusung jenazah itu!"
Zlapp...!
Dalam waktu dua kejap, Suto
Sinting sudah ada di depan rombongan pengusung jenazah, ia berdiri dengan sikap
menghadang jalannya iring-iringan tersebut. Tentu saja langkah para pengusung
jenazah menjadi terhenti tiba-tiba.
"Hahh...?!" Delapan
pengusung jenazah sama-sama terbelalak dengan mata mendelik bagai ingin loncat
keluar dari rongganya.
"Maaf, aku mengganggu
perjalanan Saudara-saudara yang terhormat...," kata Suto menunjukkan sikap
sopannya.
Tapi para pengiring jenazah
itu saling terpekik dengan suara tertahan. Yang memanggul keranda gemetaran bagai
diserang hawa salju hingga menggigil.
"Aaaaa...!" salah
seorang berteriak menjerit lengking, keras sekali. Yang lainnya ikut menjerit
pula hingga suasana menjadi gaduh.
"Hantuuuu...!!"
teriak salah seorang pengusung jenazah yang baru saja terlepas dari rasa
tercekamnya.
Maka rombongan pengiring
jenazah itu pun buyar seketika. Mereka saling berteriak dan menjerit tak
karuan. Ada yang bersuara jelas, ada yang hanya
terdengar suaranya saja tak jelas ucapannya.
"Settaaaann...!"
"Aaannn...!"
"Hantuuu...!"
Sejumlah empat puluh pengiring
saling berlarian ke sana-sini tak tentu arah, saling mencari tempat berlindung,
saling berusaha berlari secepat mungkin dan sejauh mungkin. Malah ada yang
tersungkur jatuh dan diinjak beberapa orang.
"Wuadoow...! Matii aku,
Maaakk...!"
Ada pula yang saking paniknya
berlari menabrak pohon hingga batang hidungnya pecah. Salah seorang pingsan
karena kejatuhan keranda mayat. Sedangkan yang sangat ketakutan hingga
menggigil dengan wajah pucat tetap diam di tempat tak bisa melangkah. Tahu tahu
celananya basah.
Tentu saja Suto Sinting
menjadi sangat menyesal, namun juga sangat sedih melihat ketakutan mereka.
Karena ketakutan itu bagaikan sebuah musibah yang membuat beberapa orang
cedera.
Setelah orang yang pingsan
ditolong oleh Suto dari tindihan keranda hitam, orang itu pun dicekoki dengan
tuak. Tuak saktinya Suto membuat orang itu lekas siuman. Namun begitu siuman,
orang itu kaget melihat wajah Suto ada di hadapannya.
"Haahh..." Orang itu
pun akhirnya pingsan lagi. Sedangkan orang yang tak bisa lari itu masih
menggigil di tempat, tubuhnya limbung ke kiri, kanan, depan, belakang, tapi
tidak jatuh-jatuh sejak tadi.
"Uugggrr... uuhhg...
uuhhgg... takut... takut...!" terdengar suara lirih orang yang menggigil
tak bisa lari itu.
"Mereka benar-benar
menganggapku sudah mati?!" pikir Pendekar Mabuk dengan sedih. "Mereka
menganggap bertemu dengan hantu. Berati aku dianggap hantunya mayat yang ada
dalam keranda hitam itu. Penasaran sekali aku jadinya. Seperti apa mayat dalam
keranda itu?"
Pendekar Mabuk dekati keranda
yang tutupnya sedikit terbuka itu. Tapi sebelum terlalu dekat, tiba-tiba ada
sekelebat bayangan yang melintas di depan Suto Sinting, arahnya dari belakang
Suto.
Wuttt...!
Brrrakkk...! Tutup keranda
hitam itu diterjangnya hingga terpental. Keranda hitam bukan saja terbuka
tutupnya namun juga rusak karena terjangan orang yang melintas cepat tadi.
Mayat yang ada di dalamnya terlempar dua langkah dari pecahan tutup keranda.
Bukan mayat yang jadi sasaran
pandangan mata Suto, melainkan wujud sesosok tubuh yang tadi menerjang keranda
hitam itu.
Sosok itu adalah sosok wanita
cantik bergincu merah. Mengenakan pinjung sebatas dada warna merah bersulam benang emas. Celananya sebatas lutut
warna merah beludru, sama dengan bahan pinjungnya itu. Sebuah pedang disandang
di pinggangnya, tak terlalu panjang namun berkesan mewah, karena gagangnya
terbuat dari kuningan emas mengkilap yang berukir indah. Sarung pedangnya pun
tampak dari lempengan logam kuning emas berukir. Entah emas asli atau palsu.
Perempuan itu sungguh cantik.
Bulu matanya lentik, hidungnya bangir, sesuai dengan bentuk bibirnya yang mirip
kuncup mawar. Kecil, menggemaskan. Rambutnya disanggul, tapi masih ada sisa
sedikit yang dibiarkan jatuh berjuntai di kanan-kirinya.
"Mundur kau, Iblis!"
hardik wanita cantik berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu. Suto Sinting
hanya berkerut dahi memandang dengan sikap tenang. Sedangkan mata si wanita
berkulit kuning langsat itu menatap tajam penuh sikap menantang.
"Berani mendekati jenazah
itu, pedangku akan mengusirmu dengan paksa!"
Sett...! Pedang pun dicabut
dari sarungnya. Kaki kanannya mundur selangkah, kedua tangan mulai bersiap
menyerang dengan pedang. Cukup gagah dan tegap. Kelihatan kalau wanita itu
berilmu pedang lumayan. Pandangan mata dan ujung pedang sama-sama tertuju ke
satu arah.
Pendekar Mabuk menarik bumbung
tuaknya dari punggung, kemudian menenggak beberapa teguk. Sementara itu
satu-dua orang memperhatikan dari jarak jauh penuh rasa takut. Bahkan orang
yang menggigil itu kini jatuh lemas dan masih tak bisa bicara apa-apa.
Pendekar Mabuk melangkah
menjauhi orang yang pingsan, mendekati tempat yang lega dan agak dekat lagi
dengan si wanita, sehingga dapat melihat bentuk kecantikannya lebih jelas lagi.
"Siapa kau, Nona
cantik?"
"Aku yang akan bertanya
begitu padamu. Siapa kau dan Iblis dari mana asalmu?!"
"Aku Pendekar Mabuk, Suto
Sinting. Aku dari...."
"Bohong! Kau hanya
menyamar sebagai Pendekar Mabuk! Kau Suto Sinting palsu!"
"Kau yang keliru, Nona.
Aku Suto yang asli!"
"Yang asli sudah tewas!
Lihat itu...!" ia menuding dengan pedangnya.
Suto Sinting baru menyadari
kalau mayat yang terlempar keluar dari dalam keranda itu adalah mayat dirinya.
Badannya gempal berotot, dadanya bidang dan kekar. Bajunya coklat tanpa lengan,
celananya putih lusuh berlumur darah, ikat pinggangnya merah. Sayang mayat itu
tanpa kepala alias buntung.
Tetapi di sisi keranda
terdapat bumbung bambu tuak, persis sekali dengan bumbung tuak yang sedang
dibawanya di pundak.
"Itu bukan aku,"
ucap Suto datar, seperti bicara sendiri.
"Memang itu bukan kau!
Karena kau bukan Suto Sinting!"
Pendekar Mabuk geleng-geleng
kepala. "Kau keliru...," ucapnya pelan sambil melangkah mendekati
mayat tanpa kepala itu. Hatinya membatin, "Ternyata inilah kejutan besar
yang dimaksud si Arak Bayangan."
"Jangan mendekat!"
bentak perempuan itu.
Bentakan tersebut tak
dihiraukan oleh Suto. Akibatnya, sebelum Suto lebih dekat dengan mayat itu, si
cantik, berkelebat menyerang dengan pedangnya.
Wuttt...! Tubuh si cantik
melayang sebatas kepala Suto. Pedangnya berkelebat mengibas bagai ingin
membuntungi kepala Suto. Dengan cekatan Pendekar Mabuk putar badan sambil
menyambar bumbung tuaknya untuk digunakan menangkis pedang itu.
Traanng...!
Benturan pedang dengan
benturan bumbung bamboo seperti benturan baja dengan baja. Ayunan pedang yang
begitu keras memental balik hingga membuat tubuh si cantik yang melayang itu
oleng ke belakang terbawa tenaga baliknya. Akibat yang diterima si cantik
adalah mendaratkan kaki tak sempurna. Pendekar Mabuk pun segera merendah dan
menyapu kaki perempuan itu dengan kaki kanannya.
WUSSS...! Plak...! Bluhgg...!
Perempuan itu jatuh telentang.
Tapi dengan serta- merta pinggulnya dihentakkan sehingga tubuhnya melesat naik
dan tahu-tahu kedua kakinya sudah memijak tanah dengan kuda-kuda yang kokoh.
Wajahnya segera berpaling ke
kanan. Wett...! Matanya memandang tajam pada Suto Sinting. Yang dipandang hanya
diam, berdiri dengan mata memandang kalem. Tapi hatinya berkata dengan penuh
keheranan.
"Mestinya kakinya patah.
Tapi ternyata ia masih bisa berdiri tegak. Berarti sapuan kakiku yang penuh
tenaga tadi dapat ditahan dengan tenaga dalamnya yang disalurkan melalui betis
indahnya itu. Hebat. Dia punya ilmu yang cukup hebat. Salah besar kalau aku
menyepelekannya. Aku harus hati-hati."
Tetapi perempuan yang
mempunyai mata indah sedang memandang tajam berkesan galak itu juga berucap
kata dalam hatinya.
"Boleh juga jurus si
monyet ini?! Tenaganya cukup besar! Sabetan pedangku yang penuh tenaga itu
justru memantul balik lebih besar lagi. Tak kusangka dia bisa membalikkan
tenagaku dua kali lipat besarnya. Aku harus waspada melawannya. Hanya saja, apa
kemauan si monyet ganteng ini?"
Mata bertemu mata. Senyum Suto
mengembang penuh pesona. Mestinya perempuan itu luluh hatinya karena Suto
melepaskan jurus 'Senyuman Iblis' yang dapat membuat lawan jenis kasmaran dan
pasrah. Tetapi jika lawan jenisnya berilmu tinggi, jurus 'Senyuman Iblis'
memang tidak berguna sama sekali.
Jika, ternyata perempuan itu
masih menampakkan wajah ketus dan matanya memandang galak, maka berarti
perempuan itu berilmu tinggi. Suto Sinting mencatat ketinggian ilmu perempuan
cantik itu di dalam hatinya, sehingga ia tak mau menggantungkan bumbung
tuaknya. Bumbung itu masih dipegang dengan tangan, talinya melilit di telapak
tangan, sehingga dapat digerakkan ke mana-mana.
"Apa maumu menghadang
kami, hah?!" hardik perempuan itu.
"Hanya membuktikan bahwa
mayat itu bukan aku. Pendekar Mabuk adalah aku, Nona. Harap kau percaya."
"Aku tak mau
percaya!" katanya dengan sikap menantang.
"Lalu apa maumu jika tak
percaya?"
"Aku akan membawa mayat
itu!"
"Mau kau bawa ke
mana?"
"Kuserahkan kepada
gurunya Pendekar Mabuk agar dimakamkan dengan penghormatan tinggi!"
"Apakah kau tahu di mana
kediaman gurunya Pendekar Mabuk?"
"Di Jurang Lindu! Di
sanalah si Gila Tuak bersemayam, sedangkan Bidadari Jalang mengasingkan diri di
Lembah Badai!"
"Dia tahu semua tempat
tinggal Guru," pikir Suto. "Berarti dia bukan perempuan liar yang
hanya bisa bicara secara ngawur."
Kemudian Suto bertanya,
"Dari mana kau tahu letak kediaman guru-guruku itu, Nona?"
"Dari siapa lagi kalau
bukan dari gusti ratuku sendiri."
"Siapa gusti ratumu,
Nona?"
"Untuk apa kau bertanya?
Sebaiknya kau menyingkir saja dan jangan halangi kami membawa jenazah Pendekar
Mabuk ini ke Jurang Lindu!"
"Tak kuizinkan kau
membawa jenazah ini, karena dapat menggegerkan rimba persilatan!"
"Kalau begitu kau harus
bertarung denganku sampai mati!"
"Jangan sampai mati.
Sampai ada yang kalah saja. Setuju?!"
"Aku tak akan merasa
kalah jika nyawaku masih belum bisa kau cabut!"
Tiba-tiba seberkas sinar merah
melesat dari balik celah dua gugusan cadas setinggi rumah itu. Clappp...! Sinar
merah itu bergerak dengan cepat seperti bintang berekor. Nyala sinarnya sangat
terang. Arahnya jelas ke punggung perempuan cantik itu.
Suto Sinting melompat ke depan
sambil berseru, "Awasss...!"
Zlapp...! Tahu-tahu ia sudah
beradu punggung dengan perempuan itu. Tepat ketika perempuan itu menengok ke
belakang, sinar merah sedang dihadang oleh bumbung tuak Suto. Sinar itu
menghantam telak bambu tuak tersebut.
Duarrrr...!
Ledakan keras terjadi. Daya
ledaknya membuat tubuh Suto Sinting terpental ke belakang berjungkir balik
menabrak perempuan tersebut.
"Keparat...! Mau
membokongku kau hah?! Terima pembalasanku ini! Hiaaat...!" geram perempuan
itu.
Kemudian si cantik melepaskan
pukulan tenaga dalamnya dari telapak tangan kiri. Seberkas sinar hijau melesat
dari telapak tangan kirinya itu. Clapp...! Arahnya ke celah dua gugusan cadas.
Blegarr...!
Dua gugusan cadas itu pecah
seketika dihantam sinar hijau. Tapi tak ada seorang pun di balik gugusan cadas
tersebut, sehingga perempuan itu tak bisa mengetahui siapa orang yang hendak
menyerangnya dari belakang tadi.
"Untung iblis ganteng itu
bergerak cepat menghadang sinar merah tadi. Kalau tidak, bisa hancur tubuhku
dihantam sinar merah."
Perempuan itu memandang ke
arah pemuda tampan yang dianggap Suto palsu itu. Ia terperanjat namun tak
diperlihatkan.
"Dia pingsan?! Oh, harus
kuapakan sekarang?
Kutebas dengan pedangku atau
kuselamatkann dulu? Dia menghalangi langkahku membawa jenazah Suto ke Jurang
Lindu, tapi dia menyelamatkan nyawaku."
Perempuan itu menggeram
jengkel sendiri dililit kebimbangan. Sedangkan Suto Sinting benar-benar
pingsan. Sangat cocok jika kepalanya dipakai untuk menggantikan kepala mayat
yang terpenggal itu.
*
* *
2
REMBULAN muncul di ujung
malam. Bayang-bayang pohon jatuh menghitam di tanah berumput tipis. Di tanah
itulah Suto Sinting terkapar dan baru saja sadar dari pingsannya. Rupanya ia
pingsan sejak siang dan tak ada yang menolongnya.
"Sial! Perempuan itu
ternyata tidak mau menolongku, sehingga aku dibiarkan pingsan sampai malam
begini?!" gerutu Suto Sinting dalam hati. Bumbung tuak yang tergeletak di
sampingnya segera diraih, kemudian ia menenggak beberapa teguk tuaknya sebagai
penguat badan, mengembalikan kekuatannya yang sempat lenyap karena serangan
sinar merah tadi siang.
"Rupanya orang yang
melepaskan pukulan bersinar merah itu cukup sakti. Terbukti sinar merahnya tak
bisa kukembalikan dengan menangkisnya memakai bumbung tuak ini. Padahal
biasanya kekuatan sebesar apa pun bisa kukembalikan jika kutangkis memakai
bumbung tuakku ini! Hmm.... Siapa orang yang telah menyerang perempuan cantik
itu? Dan di mana perempuan itu sekarang? Atau dia...."
Ada suara mengerang
samar-samar. Suara orang mengerang lirih itu datang dari balik sebuah pohon
yang bayangannya jatuh menutupi Suto. Maka pemuda tampan yang sudah merasa sehat
kembali karena sudah meminum tuak saktinya itu segera menuju ke balik pohon.
"Oh, dia...?!" Suto
terkejut melihat perempuan cantik itu ternyata masih ada di situ dalam keadaan
luka memar di wajahnya.
Rupanya perempuan itu baru
saja siuman, entah sejak kapan ia jatuh pingsan di balik pohon. Yang dapat
diketahui Suto adalah keadaan memar di wajah dan tubuhnya. Cahaya rembulan
membuat luka memar itu terlihat jelas. Bahkan sebagian tulang pipinya tampak
membengkak dan kulit bagian bawah leher hampir mencapai dada itu bagaikan luka
terbakar.
Ada darah lembab yang membekas
dari sudut mulutnya sampai ke rahang. Sedangkan lengannya yang kanan bagaikan
habis digores dengan benda tajam sejenis ujung pedang. Lengan itu terluka dan
lukanya berwarna merah kehitam-hitaman. Luka itu beracun, sebab yang keluar
dari luka bukan saja darah melainkan juga busa putih seperti getah.
"Kenapa kau?! Siapa yang
menyerangmu sedemikian parahnya?!"
Tentu saja pertanyaan Suto
tidak bisa dijawab, karena keadaan perempuan itu sangat lemah. Matanya
memandang sayu, karena di sudut mata kirinya ada luka memar membiru sampai di
bagian pelipis. Mata kirinya itu bengkak, sangat menyedihkan. Kecantikannya
nyaris hilang karena luka parahnya itu. Rambut acak-acakan, sanggulnya tak tertata
rapi lagi.
Akhirnya justru perempuan itu
yang ditolong oleh Suto, bukan Suto yang ditolong perempuan itu dari
pingsannya. Dengan meminumkan tuak saktinya, Suto Sinting berhasil mengobati
luka parah si cantik. Tubuh yang penuh luka itu menjadi segar kembali. Luka
terkoyak terkatup rapat lagi setelah minum tuaknya Suto. Warna biru memar pun
lenyap, berganti warna kulit asli. Tulang yang bengkak pun mengempes dan
kembali ke wujud semula.
Kini kecantikan perempuan itu
terlihat nyata lagi, bahkan badannya makin lama terasa semakin segar. Rasa
perih di bagian dalam tubuhnya pun tak ada yang membekas. Hal itu sungguh
mengagumkan bagi si perempuan. Dalam hatinya ia hanya berkata,
"Luar biasa kehebatan
tuaknya. Hampir sama dengan kehebatan tuak Suto Sinting. Apakah dia muridnya
Suto Sinting? Kabar yang kudengar, Suto tidak mempunyai murid. Kabar yang
kudengar juga mengatakan bahwa Suto dikenal pula dengan julukan Tabib Darah
Tuak, karena ia mampu menyembuhkan penyakit dan luka melalui tuaknya. Apakah
pemuda ini juga mempunyai kesaktian yang setara dengan tuaknya Pendekar Mabuk
itu?"
Perempuan itu bergegas bangkit
ketika Suto Sinting memungut pedangnya. Pedang itu tergeletak dalam jarak empat
langkah dari tempatnya terkapar tadi. Pedang itu diambil Suto dan diserahkan
kepada pemiliknya.
"Siapa orang yang
menyerangmu, Nona?"
Dalam keadaan sudah berdiri,
perempuan itu menarik napas panjang-panjang. Merasakan kelegaan yang enak
sekali, sepertinya ia tak pernah mengalami luka apa pun. Matanya memandang Suto
sebentar. Tapi segera ingat sesuatu sehingga pandangan matanya beralih ke arah
lain. Kemudian ia tampak sedikit tegang.
Ia berlari ke arah keranda
yang berantakan. Wajahnya semakin kelihatan kecewa dan memendam marah. Sinar
rembulan menampakkan perubahan wajah itu begitu jelas. Mata indah itu segera
memandang ke sana-sini, ternyata keadaan telah sepi.
Suto pun tidak melihat orang
yang tadi siang menggigil ketakutan itu. Bahkan orang yang pingsan karena
kejatuhan keranda juga sudah tidak ada. Satu pun manusia tak ada di sana
kecuali Suto dan perempuan itu.
Bukan hanya para pelayat yang
hilang, tapi mayat tanpa kepala itu juga hilang Dan hilangnya mayat itulah yang
membuat perempuan cantik itu menggeram penuh kejengkelan. Ketika Suto mendekat,
ia mendengar suara perempuan cantik itu menggeram penuh dendam.
"Pasti dia yang mencuri
jenazah itu!"
"Maksudmu dia
siapa?" tanya Suto sambil memandang ke arah sekeliling, seakan ia bertanya
dengan acuh tak acuh.
"Siapa lagi kalau bukan
si keparat itu!"
"Iya. Maksudku, siapa
nama si keparat itu?" desak Suto kali ini sambil memandang.
"Anak Petir."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi
sambil menggumam heran, "Anak Petir...?! Aneh sekali namanya?"
"Kau baru sekarang
mendengar nama itu?"
Suto Sinting mengangguk
menandakan kejujurannya. Tapi perempuan itu justru tersenyum sinis melecehkan
Suto.
"Berarti kau bukan tokoh
penting dalam dunia persilatan. Kau boleh saja punya perawakan menyerupai
mendiang Pendekar Mabuk, tapi pengetahuanmu sangat cetek. Tertinggal jauh
dengan Pendekar Mabuk. Pantas kalau kau tidak mengenal nama Anak Petir."
Perempuan itu bergegas
meninggalkan Suto. Maka buru-buru Suto mencegahnya dengan mengejar langkah si
perempuan.
"Hel, tunggu...! Apakah
kau tak ingin menyebutkan namamu?"
Perempuan itu hentikan langkah,
menatap Suto dalam linangan cahaya rembulan, ia menatap agak lama, sepertinya
sedang mempertimbangkan jawabannya. Rupanya ia ragu-ragu untuk memperkenalkan
diri. Tapi setelah teringat bahwa pemuda yang dihadapinya itu telah
menyelamatkan nyawanya dan mengobati lukanya, akhirnya ia putuskan untuk
memperkenalkan diri.
"Namaku... Bulan
Sekuntum!"
Ia masih memandang ketika Suto
manggut-manggut. Senyum Pendekar Mabuk yang membias tipis itu dibiarkan saja,
tanpa tanggapan apa pun, tanpa balasan senyum yang serupa. Lalu ia menyarungkan
pedangnya yang dari tadi digenggam. Srekk...! Klak...! Mantap sekali caranya
memasukkan pedang. Melambangkan sebagai perempuan pemberani.
"Apa lagi yang ingin kau
tanyakan?" ujarnya dengan nada angkuh.
"Apakah orang yang
melukaimu sampai babak belur itu adalah Anak Petir juga?"
"Ya. Sejak kau pingsan
aku bertarung dengannya, karena dia ingin mencuri mayat Pendekar Mabuk. Aku
bertarung sampai sore, selewat dari sore aku tak tahu lagi."
"Boleh aku tahu apa
urusanmu dengan si Anak Petir itu? Agaknya dia ingin membunuhmu secara
pelan-pelan."
"Yang jelas dia musuh
kami," jawab Bulan Sekuntum sambil melangkah meninggalkan tempat itu. Mau
tak mau Suto Sinting mengikutinya.
"Kau mau ke mana,
Bulan?"
"Menemui Ki
Sabawana!" langkahnya terhenti dan berpaling memandang Suto. "Pasti
kau tidak tahu juga, siapa Ki Sabawana itu?"
Suto Sinting tersenyum
meremehkan, sebab itu nama asli gurunya.
"Aku lebih banyak tahu
tentang Ki Sabawana daripada kau, Bulan Sekuntum!"
"Hem...!" Bulan Sekuntum
mencibir dan melangkah lagi. Suto mengiringinya dari samping kanan.
"Kalau kau tahu, coba
sebutkan siapa orang yang bernama Ki Sabawana itu?"
"Dia adalah tokoh sakti
yang namanya tertera di urutan paling atas dari nama tokoh-tokoh sakti aliran putih.
Nama Ki Sabawana dikenali orang sebagai tokoh yang paling ditakuti yang
berjuluk si Gila Tuak. Nama tokoh sakti kedua adalah Bidadari Jalang yang
bernama asli Nawang Tresni. Dulu perempuan cantik itu adalah tokoh sesat. Tapi
sekarang ia sudah bertobat dan menjadi tokoh aliran putih. Mereka mempunyai
guru suami-istri. Gila Tuak adalah murid Eyang Purbapati dan Bidadari Jalang
adalah murid istrinya Purbapati yang bernama Eyang Nini Galih. Keduanya
mempunyai murid tunggal bernama Suto Sinting yang akhirnya bergelar Pendekar
Mabuk."
Bulan Sekuntum hentikan
langkahnya, ia memandangi Suto lagi. Kali ini pandangan matanya tidak berkesan
meremehkan, melainkan berkesan memuji, ia memanggut-manggut sesast sambil
berkata pelan.
"Boleh juga
pengetahuanmu. Sama persis dengan apa yang diceritakan ratu gustiku."
"Siapa ratu gustimu
itu?"
"Gusti Dewi Giok."
Suto termenung sebentar dengan
dahi berkerut tipis.
"Pasti kau tidak
mengenalnya, bukan?"
"Ya, aku tidak
mengenalnya. Bahkan baru sekarang aku mendengar namanya," jawab Suto jujur
sambil mengikuti langkah Bulan Sekuntum lagi.
"Kalau begitu kau hanya
secara kebetulan saja mendengar cerita tentang pribadi si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang," kata Bulan Sekuntum. "Kalau kau tahu banyak tentang
mereka, tentunya kau mengenal nama gusti ratuku itu. Sebab Gusti Dewi Giok
adalah adik sepupu Bidadari Jalang. Usianya sudah banyak tapi masih awet muda
dan...."
"Kalau begitu,"
potong Suto. "Dewi Giok adalah saudara dari Ratu Ringgit Kencana yang
bernama Asmaradani?!"
Bulan Sekuntum kaget lagi.
Langkahnya pun mau tak mau terhenti. Kali ini dahinya tampak berkerut saat
menatap Suto tanpa berkedip.
"Itu nama yang jarang bisa dikenal
orang," kata Bulan Sekuntum. "Bagaimana kau bisa mengenal nama kakak
gusti ratuku?"
Kini Suto Sinting tersenyum
tipis berkesan sombong, ia sengaja tersenyum begitu untuk membalas senyuman
sombong Bulan Sekuntum yang sejak tadi dipamerkan untuk meremehkan Suto. Bahkan
kini Suto yang melangkah lebih dulu, hingga Bulan Sekuntum mengikutinya.
"Asmaradani adalah Ratu
Negeri Ringgit Kencana, Negeri itu ada di dasar laut. Untuk masuk ke pulau itu
harus melalui Pulau Bayang. Asmaradani juga memiliki kesaktian tinggi, ia
mempunyai ilmu yang jarang dimiliki orang, yaitu ilmu 'Rambah Batin'. Dengan ilmu
itu ia bisa hadir dalam mimpi seseorang. Selain itu ia juga mempunyai ilmu
langka yang bernama 'Latar Bayang', bisa membuat suasana pemandangan di dasar
laut seperti di atas bumi, tapi tak punya matahari dan rembulan."
Seketika itu juga lengan Suto
dicekal oleh Bulan Sekuntum agar langkahnya terhenti. Perempuan cantik yang
sudah menata rambutnya kembali itu memandang semakin heran dan menggumam lirih.
"Bagaimana kau bisa tahu
hal itu?!"
"Karena aku pernah datang
berkunjung ke Negeri Ringgit Kencana," jawab Suto dengan bangga. "Aku
pernah menyelamatkan Asmaradani, juga pernah menyelamatkan Pendeta Agung Dewi
Rembulan yang waktu itu terkena kutuk 'Birahi Salju', dan...."
"Tunggu dulu!"
sergah Bulan Sekuntum. "Pendeta Agung Dewi Rembulan itu bibiku. Jangan
sembarangan bicara kau!"
Suto tersenyum kalem.
"Aku tidak bicara sembarangan, Nona cantik. Aku memang pernah
menyelamatkan beliau dari kutukan itu. Aku memang kenal beliau, juga kenal
Rindu Malam, Kelana Cinta, dan... aku juga kenal dengan bekas panglima Negeri
Ringgit Kencana yang berjuluk Pelangi Sutera. Nama aslinya adalah Sumbaruni,
bekas istri Jin Kazmat yang punya anak jin bernama Logo." (Baca serial
Pendekar Mabuk episode; "Seruling Malaikat").
Wajah cantik berbibir
menggemaskan itu semakin tampak tegang, ia menarik napas dan menghembuskan
panjang-panjang untuk menutupi ketegangannya, ia berjalan bertolak pinggang
tiga langkah lalu kembali mendekati Suto dan berhenti dalam jarak satu langkah
di depan Pendekar Mabuk.
"Begitu banyak kau tahu
tentang negeri dari kakak gusti ratuku itu. Siapa kau sebenarnya?"
"Akulah Pendekar Mabuk;
Suto Sinting!"
"Mustahil!"
"Mustajab!" sahut
Suto dengan jengkel karena masih tidak dipercaya.
"Pendekar Mabuk sudah
tewas dalam keadaan kepalanya terpenggal. Kau lihat sendiri tadi siang
jenazahnya terlempar dari keranda hitam!"
"Itu bukan jenazahnya
Pendekar Mabuk, karena
Pendekar Mabuk adalah aku ini!
Masih hidup. Siapa bilang sudah mati?!"
Bulan Sekuntum makin bingung.
Langkahnya tetap terayun sampai tiba di sebuah desa. Mereka masuk ke dalam
sebuah kedai yang masih buka. Ternyata ke kedai itu juga menyediakan kamar
untuk penginapan dengan biaya murah. Mereka memesan dua kamar untuk bermalam.
"Kenapa tidak satu kamar
saja?" kata Suto Sinting.
"Kalau hanya satu kamar,
lantas kau mau tidur di mana?"
"Ya di kamar itu
juga," jawabnya sambil nyengir nakal, sekadar untuk bercanda.
Tapi tangan perempuan itu
melayang cepat menampar pipi Suto. Plakk...!
"Kau pikir aku wanita
murahan yang bisa kau ajak tidur bersama?!"
"Lho, siapa yang mengajak
tidur bersama?" Suto mengusap pipinya dengan wajah sedih.
"Kenapa kau punya maksud
mau tidur sekamar denganku?!"
"Aku tidak mengajakmu
tidur. Aku mengajakmu melek bersama! Apakah kalau sudah di dalam kamar lantas
kita harus tidur berdua? Belum tentu!"
Untung saat itu kedai sudah
sepi pembeli, sehingga yang melihat Suto ditampar hanya si pemilik kedai. Orang
tua itu pun tidak mau ikut campur dan segera menyingkir ke dapur.
Akhirnya Bulan Sekuntum
menyetujui untuk memesan satu kamar. Tapi Suto Sinting digelarkan tikar dan
disuruh tidur di lantai, sedangkan si cantik itu tidur di dipan beralaskan
jerami lembut.
Sekalipun aturan sudah
ditetapkan demikian, toh nyatanya Bulan Sekuntum tidak mau berbaring di atas
dipan, ia hanya duduk di tepian dipan karena Suto Sinting masih duduk di tikar
bersandar dinding. Mereka masih membicarakan tentang mayat yang dianggap Bulan
Sekuntum adalah mayat Pendekar Mabuk.
"Banyak orang di negeriku
yang sudah pernah melihat Pendekar Mabuk. Ada juga yang belum pernah melihat
langsung, termasuk aku," kata Bulan Sekuntum. "Dan menurut mereka
yang pernah melihat sosok Pendekar Mabuk, mayat yang ditemukan di perbatasan
negeriku; Negeri Tanjung Samudera, adalah mayat Pendekar Mabuk tanpa kepala. Ciri-ciri
pakaiannya dan badannya tidak disangsikan lagi. Terlebih setelah mereka
menemukan bumbung tuak yang kesohor sebagai wadah tuak saktinya itu. Gusti Ratu
segera mengutusku mengantarkan jenazah Pendekar Mabuk ke Jurang Lindu untuk diserahkan
kepada si Gila Tuak."
Suto Sinting termenung
sejenak. Batinnya mengakui kesamaan sosok tubuh mayat yang sempat dilihatnya
itu. Menurutnya memang pantas jika orang menduga mayat tanpa kepala itu adalah
dirinya. Tetapi jika seandainya mayat itu berkepala, tentunya orang yang pernah
mengenalnya tidak akan mengatakan bahwa mayat itu adalah mayat Pendekar Mabuk.
Jadi agaknya ada korban pertarungan yang mati terpenggal dan korban itu
mempunyai ciri-ciri serupa dengan Pendekar Mabuk. Entah tidak sengaja atau
memang sengaja berpakaian serupa dengan Pendekar Mabuk, yang jelas orang itu
adalah orang yang bernasib malang.
"Siapa yang memenggal
mayat itu?" tanya Suto Sinting kepada Bulan Sekuntum.
Perempuan yang punya tubuh
sekal dan dada padat tak begitu montok itu angkat bahu sambil menjawab,
"Tak ada yang tahu.
Pengawas perbatasan negeri kami yang menemukan mayat tersebut."
"Lalu, apa hubungannya
dengan Anak Petir?"
"Itu pun aku tak
tahu."
"Kenapa kau menyangka mayat
yang terlempar dari keranda itu dicuri oleh Anak Petir?"
"Sebab sebelum aku
bertarung melawannya, Anak Petir menyuruhku meninggalkan mayat itu. Pasti dia
punya maksud tertentu dengan mayat tersebut."
Suto Sinting manggut-manggut
dan menggumam lirih, kemudian diam karena termenung memikirkan hal itu. Bulan
Sekuntum memperhatikan Suto sejak tadi. Dalam hatinya timbul percakapan batin
yang tak didengar oleh siapa pun.
"Apa benar pemuda ini
yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk? Sekalipun ia mampu
menceritakan tentang si Gila Tuak, Bidadari Jalang, dan Gusti Ratu Asmaradani
bersama seluruh pejabat istananya, namun aku masih ragu. Jangan-jangan ia hanya
mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk untuk maksud-maksud tertentu? Aku harus
tetap waspada terhadapnya."
Melihat Suto menenggak tuak,
hati Bulan Sekuntum pun berkata,
"Gayanya memang seperti Pendekar Mabuk, yang menurut mereka,
sebentar-sebentar minum tuak dari bumbungnya. Tapi belum tentu kesaktiannya
sama dengan Pendekar Mabuk. Jika benar dia adalah murid si Gila Tuak, pasti dia
bisa membuat pedangku hilang. Sebab menurut cerita Gusti Ratu, hanya murid si
Gila Tuak yang bisa melenyapkan benda dengan menggunakan jurus 'Sembur Siluman'
memakai tuaknya.Kurasa ada baiknya dia kuuji dengan cara begitu."
Suto Sinting hanya tersenyum
ketika Bulan Sekuntum menantangnya menggunakan jurus 'Sembur Siluman'.
"Kau ini memang keras
kepala. Sudah kubuktikan dengan berbagai ceritaku tapi masih sangsi dengan
kebenaranku," kata Suto bersikap malas-malasan.
"Demi membuktikan
kebenaranmu, kau harus sanggup melakukan hal itu. Jika kau beralasan
macam-macam, aku terpaksa menyerangmu karena kau telah menipuku! Aku paling
benci dengan lelaki yang suka menipu. Karena lelaki begitu akan menjadi
pengkhianat bagi kaum wanita, terutama bagi istrinya sendiri."
"Hei, apa hubungannya
dengan istri? Yang kita bicarakan ini soal mayat, bukan soal istri!"
Bulan Sekuntum meletakkan
pedangnya di atas tikar, ia bagaikan tidak peduli dengan sikap malasnya Suto
Sinting.
"Gunakan jurus 'Sembur
Siluman'-mu itu, atau aku akan menyerangmu dengan anggapan kau bukan murid si
Gila Tuak?!"
Ancaman itu sulit ditolak oleh
Suto. Akhirnya dengan cengar-cengir yang membuat Bulan Sekuntum tak yakin, Suto
Sinting menuruti keinginan perempuan itu. Ia menenggak tuaknya, kemudian tuak
disemburkan dari mulutnya ke arah pedang tersebut.
Brrusss...!
Slabb...! Pedang itu lenyap
tak tersisa walau hanya ujungnya saja. Lenyapnya pedang karena semburan Suto
membuat Bulan Sekuntum terbelalak kaget. Kemudian mata bundarnya yang
terbelalak itu menatap ke arah Suto.
"Rupanya kau seorang
tukang sihir?!"
Oh, jengkel sekali hati Suto.
Sudah dibuktikan sedemikian rupa masih saja perempuan itu tidak mau mengakui
Suto sebagai murid si Gila Tuak. Rasa-rasanya ingin sekali Suto menabok kepala
perempuan itu biar sadar akan apa yang terjadi dengannya.
"Coba sekarang munculkan
kembali pedangku tadi!" perintahnya dengan wajah penuh keraguan.
"Aku tak bisa!" kata
Suto.
'Apaa ..?!" Bulan
Sekuntum kaget. "Kau tak bisa membuat pedangku muncul kembali?! Tak
mungkin! Jelas tak mungkin. Sebab menurut cerita ratu gustiku, murid Gila Tuak
selalu bisa melenyapkan benda dengan semburan tuaknya, juga bisa memunculkan
benda itu kembali dengan jurus 'Jelma Siluman'. Kenapa kau tak bisa?!"
"Bukankah menurutmu aku
tukang sihir, bukan Pendekar Mabuk?! Kalau aku bukan Pendekar Mabuk, tentunya
aku tak bisa membuat pedangmu muncul kembali."
"Jangan bercanda
kau!" hardik Bulan Sekuntum.
"Lalu bagaimana dengan
pedangku? Itu pedang warisan orangtuaku! Apakah harus hilang selamanya?"
"Yah, itulah nasibmu.
Salah sendiri mengapa menyuruhku menghilangkan pedang itu?" kata Suto
membuat Bulan Sekuntum menggeram jengkel, kedua tangannya mulai menggenggam
kuat-kuat.
Tiba-tiba pintu kamar digedor
seseorang dengan kasar. Suara gedoran pintu itu mengagetkan Suto Sinting dan
Bulan Sekuntum.
"Siapa yang menggedor
pintu itu?!" bentak Bulan Sekuntum.
"Aku...! Utusan dari Ki
Lurah Tunggoro!" seru suara di luar kamar.
"Apa maksudmu menggedor
kamarku?!"
"Cepat buka pintunya,
atau kujebol dengan paksa?!" ancam orang bersuara besar itu.
Suto Sinting berdiri,
melangkah mendekati pintu bermaksud membukanya. Tetapi pundaknya segera dicekal
kuat oleh Bulan Sekuntum.
"Jangan buka
pintunya!"
"Dia akan bikin gaduh
tempat ini. Kalau pintu rusak kasihan pemilik kedai ini!"
"Biarkan dia bertindak.
Aku ingin tahu, seberapa kehebatannya. Apakah ia mampu menjebol pintu jika
kulapisi dengan jurus 'Perisai Matahari'-ku ini!"
Tiba-tiba Bulan Sekuntum
menyentakkan kedua tangannya ke depan. Ujung-ujung jari tangan lurus ke arah
depan dan memancarkan sebaris sinar putih menyilaukan. Sinar putih itu
menghantam pintu tanpa suara dan segera menyebar memenuhi dinding dan pintu.
Kini dinding tempat pintu itu
berada menjadi bercahaya pendar-pendar warna putih.
"Buka pintunya!"
teriak orang bersuara besar itu.
Bluk, bluk, bluk...! Pintu itu
bagaikan tak bergeming ketika ditendang-tendang oleh orang tersebut. Suara
gaduh akibat tendangan atau gebrakan bagai teredam masuk ke dalam bias sinar
putih tersebut.
"Buka pintunya! Atau
kuhancurkan kamar ini sekarang juga!!" teriak orang tersebut. Tapi
suaranya seperti ada di kejauhan.
*
* *
3
UTUSAN Ki Lurah Tunggoro
bernama Gaung Cablak. Mulutnya besar, suaranya juga besar. Berbadan tinggi
besar berotot, kepalanya juga besar, gundul tanpa sehelai rambut pun. Tapi
kepala itu diikat pakai pita merah berbintik-bintik hitam. Pakaiannya serba
merah, mengenakan gelang bahar besar warna hitam. Ia menyandang goiok lebar
yang diselipkan di pinggang kirinya.
Ia didampingi seorang anak
buah yang bertubuh kurus kerempeng agak pendek, tapi tengil sekali. Usianya
lebih muda dari Gaung Cablak yang berumur empat puluh tahun itu. Orang
kerempeng itu berpakaian serba hitam, rambutnya lurus, tipis, panjang, diikat
dengan kain warna coklat muda. Ia seorang pengawas buruh perkebunan milik Ki
Lurah Tunggoro yang kerjanya berkeliling terus, sehingga dikenal dengan Mandor
Gangsing.
Pintu kamar yang tidak bisa
dijebol Gaung Cablak membuat mereka penasaran, lalu menunggu di luar kedai.
Sedangkan Suto Sinting dan Bulan Sekuntum malam itu akhirnya tertidur dengan
sendirinya dalam keadaan berbeda tempat. Pendekar Mabuk sendiri capek
memikirkan masalah mayat tanpa kepala itu, hingga tak terasa lelap di atas
lantai bertikar.
Ketika mereka keluar dari
kedai, hari sudah agak siang. Bulan Sekuntum lupa bahwa pedangnya belum
dikembalikan oleh Suto. Maka ketika ia tahu di luar sedang ditunggu oleh utusan
Ki Lurah Tunggoro, ia segera mendekati Pendekar Mabuk dan mendesak agar
pedangnya dikembalikan.
"Aku hanya seorang tukang
sihir. Bisa menghilangkan benda tapi tak bisa memunculkan kembali," sindir
Suto Sinting.
"Keparat kau! Kalau
kesabaranku hilang kau kuhajar lebih dulu sebelum mereka berdua!" geram
Bulan Sekuntum. Suto Sinting hanya tersenyum tenang. "Siapa mereka
sebenarnya?"
"Utusan Lurah Turonggo.
Aku kenal mereka; yang besar bernama Gaung Cablak, yang kurus bernama Mandor
Gangsing."
"Mengapa orang yang
bernama Lurah Tunggoro mengirim utusan kemari? Siapa yang mereka cari?"
"Sudah pasti aku! Karena
Lurah Tunggoro adalah satu dari sekian lelaki yang tergila-gila padaku.
Lamarannya kutolak, maskawinnya kubuang di depan hidungnya. Pasti dia sakit
hati padaku dan mengirim kedua orang itu untuk menyeretku menghadapnya!"
"Kalau begitu ini
persoalanmu. Aku tidak akan ikut campur."
"Aku tidak butuh
campurtanganmu!" ujarnya dengan ketus, kemudian segera menemui Gaung
Cablak. Sementara itu, Suto Sinting tertawa pelan sambil memperhatikan dari
emperan kedai.
"Mengapa hanya kau yang
maju, Bulan Sekuntum! Mengapa pemuda itu tidak ikut maju? Apakah dia takut
padaku?!" sambil Gaung Cablak menuding Suto terang-terangan.
"Ini bukan
urusannya!" kata Bulan Sekuntum. "Kalian datang untuk berurusan
denganku bukan dengan dia!"
"Tapi perintah Ki Lurah
Tunggoro kami harus menyeret pemuda itu, karena telah berani bermalam satu
kamar denganmu, Bulan Sekuntum!" kata Mandor Gangsing.
"Siapa yang memberi tahu
aku ada di sini?"
"Mata-mata kami!"
jawab Gaung Cablak. "Tetapi pesan dari Ki Lurah Tunggoro, jika kau
bersedia menghadap beliau sekarang juga, maka pemuda itu kami bebaskan dari
ancaman kecemburuan!"
"Apakah kau sudah mampu
melangkahi mayatku sehingga ingin membawaku menghadap lurah sinting itu?!"
Ucapan Bulan Sekuntum membuat
kedua utusan itu saling menggeram. Merasa atasannya dihina, Gaung Cablak yang
bertampang sangar itu segera memerintahkan Mandor Gangsing untuk menyerang
Bulan Sekuntum.
"Mandor Gangsing,
lumpuhkan si mulut angkuh itu!"
"Itu soal kecil," kata
Mandor Gangsing sambil mencibir meremehkan. "Kau saja yang maju dulu,
kalau kau tak sanggup baru aku yang merampungkan!"
"Kau di bawah perintahku,
Goblok!" bentak Gaung Cablak.
Plakk...! Kepala Mandor
Gangsing dikeplak. Si kurus kerempeng itu hanya bisa nyengir sambil
mengusap-usap kepalanya.
"Serang perempuan angkuh
itu!"
"Hiaaaaat...!"
Mandor Gangsing berteriak cempreng.
"Hiaaaat..!
Hiiiaah...!"
Ia melioncat ke sana-sini
tanpa ada gerakan maju menyerang. Hanya suaranya yang makin lama makin melengking tinggi mengundang perhatian orang
dari kejauhan. Tangannya berkelit mencak sana-sini, tapi jaraknya makin jauh
dari Bulan Sekuntum.
Gaung Cablak merasa dongkol
hatinya, ia hampiri Mandor Gangsing yang bagai sedang memamerkan jurus itu,
lalu kakinya ditendang kuat-kuat oleh Gaung Cablak. Bukk...!
Wuuttt, brukk...!
Mandor Gangsing terpental
sejauh tujuh jangkah, ia jatuh terjungkir tanpa ampun lagi. Wajahnya mencium
tanah hingga bibirnya besot.
"Minggat saja kau!"
hardik Gaung Cablak. Kemudian orang tinggi besar itu menghampiri Bulan
Sekuntum.
"Kuperingatkan sekali
lagi, Bulan Sekuntum... sebaiknya kau menghadap Ki Lurah Tunggoro sekarang
juga, supaya pemuda itu tidak menjadi bahan bantalanku!"
"Aku akan menghadap
lurahmu kalau sudah tanpa nyawa, jangan harapkan aku sudi menghadap
lurahmu!"
"Kalau begitu, jangan
salahkan aku jika tulangmu remuk sebagian! Heeaaah...!"
Gaung Cablak menyerang dengan
satu lompatan tak seberapa tinggi. Kakinya menerjang wajah Bulan Sekuntum. Tapi
kaki besar itu mampu ditangkis oleh Bulan Sekuntum dengan tangan kiri sambil
bergeser ke samping berubah arah, lalu memutar dan menendangkan kakinya ke
belakang.
Wuttt...! Plokk...!
Tendangan telak itu mengenai
wajah Gaung Cablak. Tentu saja tendangan kaki itu bukan sekadar tendangan tanpa
tenaga dalam. Begitu besar curahan tenaga dalam pada kaki, sehingga hidung
Gaung Cablak pun menjadi berdarah, tulang hidungnya sempat retak.
"Bangsat...!!" geram
Gaung Cablak. Ia segera mencabut golok besarnya. Wusss...!
"Kubedah perutmu, Setan!!
Heeeaah...!"
Gaung Cablak menebaskan golok
besarnya dengan gerakan cepat ke sekelilingnya bagaikan membabi buta. Suara
gerakan golok besar menggaung di sekeliling tempat itu.
Wuung, wuung, wuung, wuung...!
Bulan Sekuntum hanya melompat
mundur satu langkah. Kemudian tangan kirinya menyangga telapak tangan kanan
yang berdiri tegak mengeras. Penyatuan tenaga dari kedua belah sisi disalurkan
melalui ujung jari tengah tangan kanannya. Maka ketika Gaung Cablak menerjang
maju, Bulan Sekuntum menyentakkan tangannya lurus ke depan. Dari ujung jari
melesat sinar biru lurus menerjang kibasan golok besar yang sulit ditembus
pukulan lawan itu.
Clappp...!
Prrangng...! Jrubb...!
"Aaaahg...!!" Gaung
Cablak memekik keras dan panjang.
Sinar biru lurus itu mampu
mematahkan golok besar menjadi empat bagian, juga mampu menembus mengenai dada
Gaung Cablak. Akibatnya orang tinggi besar berkulit hitam itu terpental ke
belakang sejauh delapan langkah.
Buhhgg...! Ia jatuh berdebam
bagaikan pohon rubuh. Dari tiap lubang keluar asap putih. Sebagian kulit
tubuhnya mengelupas hangus, terutama bagian dada sampai leher. Wajahnya sendiri
menjadi melepuh dan tampak membendung cairan dari dalam tubuh.
"Wah, gawat! Gaung Cablak
mati dalam dua jurus?! Apa lagi aku?!" pikir Mandor Gangsing.
Dengan ketakutan yang begitu
besar, Mandor Gangsing segera melarikan diri secepat-cepatnya. Tanpa sadar ia
berlari lewat di depan Suto Sinting, sehingga secara iseng Suto Sinting
menggertaknya sambil menghentakkan kaki. "Heeaah...!!"
"Wuaaaw..!
Ampuuunn..!" Mandor Gangsing menjerit kaget dan tambah ketakutan. Larinya
salah sasaran hingga menerobos pagar rumah orang.
Brakk.. ! Ia tambah menjerit
lagi antara takut dan sakit.
"Aaaaoow...!" Lalu
buru-buru bangkit dan lari lagi bagai dikejar setan. Beberapa orang yang
melihat dari kejauhan, termasuk Suto sendiri, menertawakan kejadian itu. Tapi
bagi Mandor Gangsing lebih baik ditertawakan daripada dibuat seperti Gaung
Cablak.
Orang bersuara besar itu tak
berkutik, tubuhnya meringkuk di tanah pekarangan rumah orang. Dilihat dari
gerakan jari kakinya, Suto Sinting tahu orang bertubuh besar itu belum
menghembuskan nyawa.
"Dia masih hidup.
Walaupun tinggal sisa nyawa sejengkai, tapi sepertinya aku masih bisa
menolongnya!"
Ziapp...! Pendekar Mabuk
berkelebat cepat, tahu-tahu sudah ada di samping Gaung Cablak. Ia memandangi
korban serangan Bulan Sekuntum sambil geleng-geleng kepala. Hatinya sempat
membatin,
"Luar biasa. Satu jurus
saja membuat lawan seperti ini. Jika Bulan Sekuntum bisa babak belur melawan
Anak Petir, berarti Anak Petir lebih ganas dan lebih berbahaya ilmunya
ketimbang Bulan Sekuntum?! Setidaknya orang yang berjuluk Anak Petir itu bisa
menghadapi jurus sinar birunya Bulan Sekuntum tadi."
Keadaan Gaung Cablak terlalu
parah. Mulutnya ternganga-nganga mencari sisa napasnya. Suto Sinting menuangkan
tuak dari bumbungnya hingga mengucur masuk ke mulut lebar itu. Beberapa saat
kemudian, Gaung Cablak terbatuk-batuk. Luka bakar yang membuat kulitnya melepuh
itu mulai mengempis.
Saat itu Bulan Sekuntum
memandang dengan mata memancarkan rasa tak suka terhadap perbuatan Suto
Sinting. Tapi ia tak berani menyerang atau melarang, karena ingat bahwa
pedangnya belum dikembalikan, ia hanya menggeram jengkel, lalu masuk ke dalam
kedai. Duduk di sana dengan napas terengah-engah dan wajah cemberut kesal.
Gaung Cablak mulai merasakan
kesembuhannya, ia mengerang bagai membuang napas. Pelan-pelan matanya dibuka
dan wajah tampan yang tadi ingin dilawannya itu terlihat jelas di hadapannya.
Bahkan kini pemuda tampan itu menarik tangan Gaung Cablak, membantunya berdiri.
"Kaau... kau... yang
menyelamatkan aku?!" Gaung Cablak bicara pelan dengan sikap salah tingkah.
"Pulanglah dan katakan
kepada lurahmu agar tak perlu mengusik si macan betina itu!" kata Suto
pelan juga, takut didengar Bulan Sekuntum.
"Tapi... tapi aku harus
berhasil menyeretmu dan...."
"Dan kau kehilangan
kesempatan untuk hidup yang kedua kalinya!" sahut Suto Sinting.
Gaung Cablak tak bisa bicara.
Akhirnya ia melangkah pergi meninggalkan tempat itu dengan berbagai perasaan;
malu, sedih, senang, takut, dan sebagainya.
Bulan Sekuntum hanya
memandangi kepergian Gaung Cablak dengan mulut meruncing, ia berdiri di pintu
kedai dengan bertolakpinggang dan tampak masih gusar. Namun di sisi lain hatinya
menggumam penuh keheranan.
"Baru sekarang kulihat
ada orang yang bisa menyelamatkan korban jurus 'Racun Baja'-ku. Yang
sudah-sudah tak satu pun ada orang yang berhasil selamat jika sudah terkena
jurus 'Racun Baja' tadi. Jurus itu hanya bisa dihindari atau ditangkis dengan
senjata khusus. Tapi jika sudah telanjur mengenai kulit tubuh seseorang, maka
orang itu tak akan mampu bertahan hidup lebih dari setengah hari."
Bulan Sekuntum geleng-geleng
kepala tipis, takut terlihat Suto Sinting yang sedang melangkah mendekati
kedai.
"Hanya dengan tuak saja
dia bisa menyembuhkan Gaung Cablak dari 'Racun Baja'-ku?! Benar-benar tak masuk
akal bagiku. Kalau begitu, dia memang si Tabib Darah Tuak alias Suto Sinting?!
Jika dia memang si Pendekar Mabuk, lantas yang mati terpenggal itu siapa?"
Wajah ketus itu semakin berang
ketika Suto Sinting sudah ada di depannya.
"Untuk apa kau
menyelamatkannya?! Kau bersekongkol dengan Lurah Tunggoro?! Kau
komplotannya?!"
Pendekar Mabuk hanya nyengir
sambil angkat bahu. "Aku hanya memberi pelajaran padanya, supaya ia
bercerita kepada Lurah Tunggoro dan selanjutnya Lurah Tunggoro tak akan berani
menganggumu lagi!"
"Bagaimanapun juga ia
tetap akan mengusikku jika masih bernyawa, ia pasti akan mengajukan
keponakannya."
"Siapa keponakannya
itu?!"
"Anak Petir!"
"Ooo...," Suto
Sinting manggut-manggut. "Jadi ada hubungannya dengan Anak Petir?!"
"Kalau dia tak punya
keponakan Anak Petir, mana mungkin dia berani melamarku dengan mengandalkan
kesaktiannya yang masih jauh di bawahku itu?!"
"Kalau begitu, apakah
menurutmu Ki Lurah Tunggoro juga ada kaitannya dengan hilangnya mayat tanpa
kepala yang kau anggap diriku itu?!"
"Entah!" jawabnya
masih bernada ketus. "Aku ingin kembali ke Tanjung Samudera untuk
membicarakan hal ini kepada Gusti Ratu Dewi Giok. Kurasa beliau bisa memberikan
jawaban tentang mayat tanpa kepala yang mirip denganmu itu!"
Suto Sinting tersenyum. Dengan
mengatakan 'mayat yang mirip denganmu' Suto merasa sudah diakui sebagai
Pendekar Mabuk yang sebenarnya.
"Akhirnya keras kepalanya
menjadi lunak kepala," pikir Suto. "Ia tidak bersikeras mengatakan
mayat itu adalah Pendekar Mabuk, ia sudah mengakui dirikulah Pendekar Mabuk sebenarnya. Kurasa sudah
waktunya pedang itu kumunculkan kembali. Biar dia semakin yakin bahwa aku
adalah muridnya si Gila Tuak."
Pedang itu dimunculkan kembali
dengan jurus 'Jelma Siluman'. Saat Suto Sinting menyerahkan pedang itulah
kecemberutan Bulan Sekuntum menjadi pudar. Tapi tetap saja wanita cantik
berdada sekal itu tak mau sunggingkan senyum yang manis.
"Aku mau pulang ke
negeriku. Apakah kau ingin ikut menghadap gusti ratuku?" Ia berlagak
bertanya, walau Suto tahu maksudnya adalah mengajak Suto untuk menemui sang
penguasa Tanjung Samudera. Caranya mengajak sungguh unik dan lucu, sehingga
Suto Sinting menertawakannya beberapa saat.
Setelah itu, Suto berkata
dengan gayanya sendiri,
"Aku tidak ingin
menghadap ratumu. Untuk apa? Tapi tak ada salahnya kalau aku mengantarmu
pulang. Siapa tahu di tengah jalan kau butuh bantuanku lagi."
"Aku tidak butuh seorang
pengawal, sebab aku sendiri pengawal Ratu! Kalau kau tak ingin bertemu dengan
gusti ratuku, pergilah sana jangan ikut aku!"
"Baiklah. Kalau begitu
kita berpisah dari sini. Aku akan ke barat dan kau ke mana?"
Setelah diam sesaat perempuan
yang masih ketus itu menjawab pelan,
"Aku juga ke arah
barat."
"Kalau begitu aku yang ke
timur."
"Baiklah, kita ke timur
bersama!"
Suto Sinting tertawa geli.
Bulan Sekuntum memalingkan wajah. Agaknya ia menyembunyikan senyum dan tawa
yang tak ingin dilihat Suto. Hal itu membuat Suto penasaran sehingga memutar
tubuh Bulan Sekuntum hingga berhadapan.
"Aku ikut denganmu!"
kata Suto.
"Terserah...!"
ucapnya sambil melengos.
Perjalanan menuju Negeri
Tanjung Samudera ditempuh dengan jalan kaki. Mulanya Suto Sinting mengajaknya
adu kecepatan berlari, supaya mempersingkat waktu di perjalanan. Tetapi
ternyata Bulan Sekuntum selalu tertinggal oleh gerakan Suto, sehingga wanita
yang mengaku masih belum mempunyai kekasih itu tak mau diajak adu lari lagi.
"Nanti aku kehilangan
kau, dan kau kehilangan aku. Akhirnya kau tak akan sampai ke negeriku!"
kata Bulan Sekuntum yang sudah mulai ramah walau senyumnya masih setipis kulit
bawang. Namun senyum itu sangat indah dan menambah kecantikan wajahnya. Suto
suka memandangi senyuman setipis kulit bawang itu.
Perjalanan yang sudah memakan
waktu setengah hari itu terpaksa harus berhenti. Bukan karena mereka ingin
beristirahat, meiainkan karena tiga orang menghadang langkah mereka. Ketiga
orang itu turun dari sebuah bukit, langsung melepaskan pukulan jarak jauh ke
arah Suto dan Bulan Sekuntum.
Untung keduanya mampu
menghindari dengan satu lompatan bersalto ke atas, sehingga pukulan jarak jauh
itu menghantam batu dan batang pohon. Hantaman itu membuat alam sekitar mereka
bagai mengalami gempa kecil-kecilan. Itu menandakan pukulan mereka bukan
bertenaga ringan, namun cukup mempunyai kekuatan menghancurkan alam sekitarnya.
"Siapa tiga orang
berwajah kembar itu?!" bisik Suto Sinting kepada Bulan Sekuntum.
"Mereka yang berjuluk
Malaikat Tiga Wajah."
"Apa masalahnya sehingga
menyerang kita?"
"Entahlah. Tapi menurut
perkiraanku, mereka sangka aku telah menghidupkan mayat yang buntung kepalanya
itu. Kaulah yang dianggap mayat yang buntung itu."
"Kurang ajar. Kasih tahu pada
mereka, bahwa aku bukan mayat yang buntung kepalanya. Beri tahu pula bahwa
Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak masih hidup. Jika ia macam-macam denganmu,
aku yang akan hadapi mereka bertiga."
Tiga orang berwajah sama
dengan potongan rambut sama pula itu semakin dekat. Dalam satu lompatan
terakhir mereka sudah berada dalam jarak tujuh langkah di depan Suto dan Bulan
Sekuntum. Mereka berdiri tegak, tegar, dan tampak siap melepaskan serangan
sewaktu-waktu.
Mereka mempunyai segala
sesuatu serba kembar tiga, termasuk jenis pedang yang mereka gunakan juga
bentuk dan ukurannya sama persis satu dengan lainnya. Yang membedakan mereka
adalah pakaiannya. Yang satu berpakaian merah, satu lagi kuning, dan yang
satunya lagi berpakaian biru.
Tapi rambut mereka sepanjang punggung sama-sama lurus dan diikat memakai kain
yang warnanya sesuai dengan pakaian mereka.
Tak sedikit pun wajah mereka
ada kelainan. Dari hidung, mata, dagu, kumis yang tipis tapi panjang ke bawah,
semuanya sama. Ukuran tinggi badan dan kurusnya badan juga sama persis. Wajah
mereka pun sama-sama memancarkan kebengisan dalam usia yang sama-sama sekitar
lima puluh tahun.
"Apa yang kalian
kehendaki dariku?! Mengapa tahu-tahu menyerangku, hah?!" ketus Bulan
Sekuntum, tak kelihatan rasa takut dan gentar sedikit pun. Padahal tiga wajah
kembar itu memancarkan kebengisan, bagai orang-orang tak mengenal rasa kasihan
sedikit pun terhadap lawannya.
"Kalau kau ingin tahu
alasan kami menyerang kalian, jawablah dulu pertanyaanku; mengapa kau hidupkan
kembali mayat Pendekar Mabuk itu?" kata Maiaikat Merah.
Malaikat Kuning menimpali
kata, "Apakah kau bermaksud ingin memperkuat negerimu untuk menguasai
wilayah kami dengan menggunakan kekuatan Pendekar Mabuk?"
"Kalian salah
paham!" kata Bulan Sekuntum. "Yang ada bersamaku ini bukan mayat
hidup kembali, tapi memang manusia utuh yang belum punya pengalaman menjadi
mayat!"
"He, he, he...! Kau tak
bisa menipu kami, Bulan Sekuntum!" Maiaikat Biru terkekeh dengan nada
menghina. "Mata kami bertiga lebih awas daripada matamu yang hanya
sepasang itu."
"Sebaiknya katakan saja,
siapa yang telah menghidupkan mayat Pendekar Mabuk itu!" suara Maiaikat
Kuning agak menyentak.
"Yang menghidupkan adalah
Yang Maha Kuasa!" sahut Suto setelah meneguk arak satu kali.
"Bocah ingusan, sebaiknya
kau tutup mulut saja dan jangan memancing kemarahan Malaikat Tiga Wajah! Kau
akan menyesal selamanya jika memancing kemarahan kami!" ancam Maiaikat
Merah.
"Terus terang saja, apa
maksud kalian sebenarnya?!" hardik Bulan Sekuntum tak peduli dengan
ancaman apa pun.
"Maksud kami adalah tidak
setuju kalau Pendekar Mabuk dihidupkan kembali! Biarkan dia mati dalam keadaan
terpancang kepalanya, seperti kala ditemukan oleh orang-orangmu, Bulan
Sekuntum! Dan jangan paksakan dia melibatkan diri dengan urusan negerimu,
karena kami akan menyerang negerimu sebelum kalian merebut wilayah kekuasaan
kami di Bukit Rempoa!"
Melaikat Biru menyambung,
"Benar! Untuk itu kalau kau tak mau mengembalikan dia dalam keadaan tanpa
kepala seperti saat ditemukan oleh orang-orangmu, maka kami yang akan
mengembalikan keadaannya sekarang juga!"
"Kalian bertiga belum ada
apa-apanya jika bertarung melawannya," kata Bulan Sekuntum dengan senyum
sinis.
"Laknat! Jangan
meremehkan Maiaikat Tiga Wajah! Terimalah salam perkenalan kami ini.
Heeeaah...!"
Tiga wajah kembar sama-sama
melompat ke atas, tapi tangan mereka yang kanan sama-sama melepaskan pukulan
sinar merah besar seperti sorot cahaya penerang jalan.
Wuuttt...!
Tiga sinar merah yang
mengepung dari tiga arah itu sama-sama menghantam ke arah Pendekar Mabuk. Bukan
ke arah Bulan Sekuntum. Tetapi, merasa berhutang budi dan menjadi sahabat,
Bulan Sekuntum berkelebat menerjang tiga sinar merah itu dengan melepaskan
sinar putih dari ujung-ujung jarinya.
Slabbb...!
Sinar putih dari jurus
'Perisai Matahari' itu menyebar membentuk lapisan penahan serangan lawan. Dan
tiga sinar merah itu menghantam lapisan 'Perisai Matahari'.
Blegarrr...!!
Ledakannya sungguh mengguncang
alam sekeliling. Tiga pohon langsung rubuh karena terkena daya hentak ledakan
yang menimbulkan angin panas berkecepatan tinggi.
Hentakan itu bukan saja
mengguncang alam sekeliling, namun juga membuat tubuh Bulan Sekuntum terpental
ke belakang dan jatuh persis di samping Suto Sinting dalam keadaan terkapar.
"Uuhg...!" Bulan
Sekuntum mengerang tertahan. Ketika hendak bangkit, darah kental menyembur dari
mulutnya. Wuuurrss...!
"Bulan...?!" Suto
Sinting terkejut, ia segera menolong Bulan Sekuntum sambil membatin,
"Gawat! Ia terkena
getaran beracun dari ledakan sinar merah tadi?! Wah bisa mampus dalam beberapa
saat anak ini! Aku harus menyelamatkan dia lebih dulu!"
Zlappp...! Suto Sinting tak
mau banyak urusan dulu. Ia membawa lari perempuan cantik tersebut dengan
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Gerakan yang kecepatannya melebihi anak
panah itu membuat Malaikat Tiga Wajah kebingungan mencari di mana lawan berada.
"Keparat busuk! Itu dia
ke arah barat! Kejaaar...!"
Wuurrrsss...! Manusia kembar
tiga itu segera mengejar Suto Sinting dengan menggunakan ilmu peringan tubuh
hingga mampu bergerak cepat pula.
4
GEMERICIK suara aliran arus
sungai seperti irama pengantar hening. Dalam hening itu Pendekar Mabuk mulai
menemukan satu titik kesimpulan tentang misteri mayat tanpa kepala itu.
"Ternyata ada pihak yang
tidak menghendaki aku hidup lebih lama lagi. Malaikat Tiga Wajah itu
terang-terangan menyatakan tidak setuju jika aku hidup. Tapi, kupikir wajar
saja kalau mereka bertiga menghendaki begitu, sama seperti para musuhku juga
tidak suka melihat aku masih hidup. Mereka menghendaki aku mati. Sebab jika aku
mati, sepak terjang mereka tidak ada yang menghalangi lagi. Jadi aku ini
sebenarnya dipandang sebagai lawan berat bagi mereka. Baru sadar kalau aku ini
ternyata sakti juga, ya? He, he, he, he...!"
Pemuda tampan itu
cengar-cengir sendiri di pinggir sungai bernaung pohon rindang. Kakinya yang
kiri dibiarkan disampar aliran air sungai yang dingin dan bening itu. Sementara
itu angin yang berhembus bagaikah meninabobokan siapa saja yang menikmati
kesejukan dan keteduhan di pinggir sungai itu.
"Malaikat Tiga Wajah
menyangka aku sudah mati, dan menjadi berang melihat aku dalam keadaan hidup.
Mereka menduga aku ingin memperkuat Negeri Tanjung Samudera. Mengapa mereka
menjadi waswas begitu? Alasannya karena mereka takut kalau Negeri Tanjung
Samudera merebut wilayahnya? Apa benar Ratu Dewi Giok punya rencana mau merebut
Bukit Rempoa, wilayah mereka? Lalu, apakah Malaikat Tiga Wajah ada hubungannya
dengan Anak Petir yang diduga mencuri mayat mirip aku itu?"
Suto belum menemukan kebenaran
dugaan itu. Bahkan ia sendiri belum yakin betul bahwa mayat tanpa kepala itu
dicuri oleh Anak Petir.
Tetapi secara jujur Suto
Sinting mengakui kehebatan ilmu Malaikat Tiga Wajah. Jurus maut yang dikatakan
sebagai jurus perkenalan itu hampir saja merenggut nyawa Bulan Sekuntum jika
perawan itu tidak segera diselamatkan memakai tuak sakti. Padahal luka yang
diderita Bulan Sekuntum hanya akibat sentakan gelombang ledak perpaduan tenaga
dalam mereka. Apalagi jika Bulan Sekuntum sampai terkena langsung ketiga sinar
orang kembar itu, seperti apa jadinya?
"Orang kembar itu memang
perlu diwaspadai dan tak boleh dianggap enteng," ujar Suto membatin sambil
berpaling menengok ke bawah pohon. Rupanya si cantik Bulan Sekuntum sudah mulai
bangun dari tidurnya. Setelah Suto berhasil meminumkan tuaknya ke mulut Bulan
Sekuntum, perempuan itu segera tertidur. Dengan demikian bagian dalam tubuhnya
yang terkena racun benar-benar beristirahat dan saat bangun nanti kekuatan dan
tenaganya sudah pulih kembali.
Buktinya sekarang gadis itu
tampak segar bugar. Bahkan ia merasa lebih segar dari saat sebelum bertemu
dengan Malaikat Tiga Wajah. Rasa lelah akibat perjalanan dan adu lari dengan
Suto itu pun sirna tak berbekas sedikit pun.
Ia segera mendekati Suto Sinting
yang masih duduk di atas sebuah batu dengan satu kaki menyentuh air sungai.
Pedangnya ditenteng dengan tangan kiri, matanya yang bening indah itu memandang
sekeliling penuh waspada. Sampai di dekat Suto, ia berhenti dan tetap berdiri
memandangi tanggul berhutan ilalang.
"Mengapa kau
tenang-tenang saja? Apakah kau yakin betul bahwa Malaikat Tiga Wajah tidak akan
menemukan tempat kita ini?" tanyanya sambil tetap memandang ke arah lain.
"Setahuku mereka mengejar
salah arah. Aku sudah berhasil mengecohkan mereka dengan berlagak ke barat,
padahal aku lari ke utara."
"Hmm...!" Bulan
Sekuntum menggumam pendek sambil senyum sinis. "Kau memang punya banyak
kelicikan rupanya."
"Tapi bukan untuk
kejahatan."
Bulan Sekuntum sunggingkan
senyum tipis lagi, berkesan dingin dan kaku. Suto Sinting memandangnya dengan
mendongak, karena ia masih dalam keadaan duduk di atas batu.
"Tempat ini sudah dekat
dengan perbatasan Tanjung Samudera, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan kita.
Selagi tak ada yang menghalangi langkah kita." .
Barulah Suto Sinting berdiri
dan berkata, "Baik. Tapi bagaimana menurutmu tentang Malaikat Tiga Wajah
itu? Haruskah mereka kulumpuhkan jika menghalangi kita lagi?"
"Lumpuhkan saja! Habisi
riwayat mereka biar tidak menjadi duri bagi negeri yang damai, seperti
negeriku."
"Menjadi duri? Apakah
mereka sering mengganggu negeri yang damai? Bukankah mereka justru khawatir
wilayahnya akan direbut oleh orang-orangmu?"
"Itu hanya alasan saja.
Sebenarnya Malaikat Tiga Wajah sudah lama mengincar kelengahan kami. Mereka
ingin menguasal wilayah Tanjung Samudera. Mereka khawatir jika kekuatanmu
disatukan dengan kekuatan Gusti Ratu Dewi Giok, maka usaha mereka merebut
Tanjung Samudera akan semakin sulit."
Bulan Sekuntum mendului
melangkah, sehingga Suto mengikutinya.
"Tiga manusia kembar itu
haus kekuasaan. Mereka ingin melebarkan sayap. Setiap negeri berusaha
ditaklukkan untuk mendapatkan pengikut. Mereka ingin Perguruan Tiga Malaikat
menjadi besar dan tersebar di mana-mana. Tetapi sampai sekarang mereka masih
mencari-cari negeri mana yang mudah mereka taklukkan. Caranya mempelajari
kelemahan sebuah negeri dengan melakuan gangguan-gangguan kecil, sehingga
kekuatan negeri itu dapat diperkirakan besar-kecilnya. Salah satu negeri yang
diincarnya adalah Tanjung Samudera."
"Mengapa mereka mengincar
Tanjung Samudera?"
"Tanahnya subur, dekat
pantai, kekayaan alamnya dapat menjadi modal mendirikan perguruan terbesar di
Tanah Jawa."
"Kalau begitu...,"
ucapan Suto Sinting tidak dilanjutkan karena ia terperanjat dengan munculnya
seorang perempuan berjubah jingga. Bulan Sekuntum juga kaget melihat perempuan
itu muncul dari balik pohon besar dan melangkah ke pertengahan jalan yang akan
dilalui mereka berdua.
"Siapa lagi ini?"
bisik Suto Sinting kepada Bulan Sekuntum.
Bisikan itu belum mendapat
jawaban, karena Bulan Sekuntum sedang adu pandang dengan perempuan berjubah
jingga. Usia perempuan itu sekitar tiga puluh lima tahun. Punya kecantikan yang
menantang gairah lelaki.
Bibir dan matanya berkesan
jalang. Rambutnya dibiarkan meriap lepas, berikat kepala dari bahan logam emas
berhias batuan putih intan. Jubahnya yang terbuka bagian depan menampakkah
bentuk dadanya yang sekal montok, lebih besar dari milik Bulan Sekuntum. Dada
itu terlihat lebih jelas karena ia tidak mengenakan pinjung rapat, melainkan
mengenakan penutup dada dari bahan sutera tipis warna biru tua, dan hanya
bagian tertentu yang ditutupnya. Sedangkan bagian bawahnya mengenakan kain
sutera tipis warna biru muda juga yang hanya dililitkan asal-asalan sebatas
paha. Sesekali ainnya menyingkap ke mana-mana jika dihembus angin, membuat
bagian dalamnya sempat tertangkap oleh mata Pendekar Mabuk.
"Gila! Tubuhnya menantang
gairah sekali. Kalau tak kuat hati, bisa luluh aku di depannya. Untung aku
ingat calon istriku Dyah Sariningrum, sehingga hatiku tak mudah tergoda oleh
penampilannya," pikir Suto Sinting sebelum Bulan Sekuntum akhirnya
menjawab bisikannya tadi.
"Dia yang punya nama Ratu
Kelabang Setan, alias Untari."
"Punya urusan juga
denganmu pribadi?"
"Dengan negeriku. Bukan
denganku pribadi," jawab Bulan Sekuntum semakin pelan. Matanya tak lepas
dari Ratu Kelabang Setan. Sedangkan mata perempuan berjubah jingga itu tak mau
berkedip memandang Pendekar Mabuk dengan seulas senyum jalang memancing gairah sang
pendekar.
"Kalau tak salah
ingatanku, ciri-ciri ketampanan seperti itu adalah ciri ketampanan muridnya
Gila Tuak; Pendekar Mabuk," katanya dengan suara agak serak.
"Benarkah kau murid si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk itu?"
"Benar!" jawab Suto
tegas dan jelas. "Aku murid Gila Tuak. Apa perlumu menghentikan
langkahku?"
"Bukankah kau sudah
mati?" Ratu Kelabang Setan justru balik bertanya.
"Dari mana kau mendapat
kabar itu?"
"Kabar itu sudah menyebar
ke mana-mana. Anak Petir membawa jenazahmu dalam perjalanan ke tempat
persinggahan gurumu; Gila Tuak."
"Celaka!" gumam Suto
dalam hati. "Berita itu bisa menyesatkan alam pikiran Guru. Seharusnya aku
mengejar Anak Petir dan mencegah agar mayat orang yang mempunyai ciri seperti
aku itu tidak sampai ke tangan Guru!"
Suto Sinting tampak gelisah.
Kegelisahannya itu dipandangi terus oleh Ratu Kelabang Setan dengan senyum
menggoda. Bulan Sekuntum menyipitkan mata pertanda benci dengan sikap genitnya
Ratu Kelabang Setan.
"Untari!" sapa Bulan
Sekuntum dengan tak ramah.
"Sebutkan keperluanmu
menghadang perjalananku, atau kusingkirkan kau dengan caraku sendiri?!"
Gadis cantik yang tak pernah
punya rasa takut dan sulit bersikap ramah kepada lawan itu menampakkan sikap
menantang, ia bagaikan tak sabar menunggu pertarungan. Baginya, tak ada lawan
yang harus disingkirkan secara halus. Pertarungan merupakan bagian dari
darahnya, sehingga tiap kata yang dilontarkan selalu bernada menantang murka
lawan.
Tetapi Ratu Kelabang Setan
masih bisa menahan diri untuk bersikap tenang, kalem, dan murah senyum. Hal itu
lantaran Bulan Sekuntum bersebelahan dengan pria tampan yang baginya amat
menggairahkan, ia harus menunjukkan sikap manis di depan pria tampan yang
membuat hatinya bergetar karena tak sabar ingin lebih dekat lagi.
"Apakah dia kekasihmu,
Bulan Sekuntum?" Mata jelinya melirik Suto sekejap.
"Bukan!" jawab Bulan
Sekuntum dengan tegas. "Tapi kau tetap tak kuizinkan mengganggu sahabatku
ini!"
"Sahabat...?!" Suto
Sinting menggumam lirih, ia dilirik Bulan Sekuntum dengan cemberut. Ketika mau
melangkah maju, ia dihadang tubuh Bulan Sekuntum yang bergeser tepat di
depannya dengan mata tetap terarah pada Untari.
"Biarkan dia bicara dulu
padaku," bisik Suto Sinting.
"Ini urusanku! Akan
kuselesaikan sendiri dengan caraku!" kata Bulan Sekuntum dengan nada ketus
dan wajah cemberut.
"Untari! Apa maumu
sekarang?!"
"Memenggal kepalamu
sebagai bukti pada ratumu bahwa aku tidak bisa diremehkan olehnya. Jika Dewi
Giok tidak mau menyerahkan Pusaka Gelang Naga Dewa, maka orang-orangnya akan
kuhabisi satu persatu!"
"Keparat busuk kau! Kalau
begitu mari kita tentukan siapa yang berhak kehilangan kepala sekarang juga.
Hiaaat ..!"
Bulan Sekuntum melesat maju
dengan satu lompatan yang membawanya bagaikan terbang. Tentu saja sentakan
kakinya ke bumi tadi menggunakan kekuatan tenaga dalam yang sudah terkendali.
Wuttt...! Wesss...!
Ratu Kelabang Setan pun
bergerak maju dengan satu lompatan yang membuatnya bagaikan terbang. Sampai di
pertengahan jarak, mereka saling melepaskan pukulan dan tendangan dengan
gerakan cepat sekali.
Plak, plak, plok, dugg, prak,
blarrr...! Pertarungan di udara yang hanya sekejap itu telah menghasilkan
berbagai serangan melalui kaki dan tangan. Namun semua pukulan dan tendangan
Bulan Sekuntum berhasil ditangkis oleh Ratu Kelabang Setan. Yang terakhir
mereka saling mengadu kekuatan tenaga dalam yang tersalur melalui telapak
tangan.
Benturan kedua telapak tangan
mereka itu menghasilkan ledakan yang cukup dahsyat bersamaan dengan memerciknya
sinar merah terang dari pertemuan telapak tangan mereka. Akibatnya, Bulan
Sekuntum terpental ke arah balik dengan tubuh terjungkal, sedangkan Ratu
Kelabang Setan hanya terpental mundur dan jatuh dalam posisi kedua kaki menapak
di tanah dengan tegak.
Bruss...! Bulan Sekuntum jatuh
di semak-semak. Pendekar Mabuk terperanjat, lalu segera menghampirinya untuk
memberi pertolongan.
"Bulan, kau tak
apa-apa?!" tanyanya cemas.
Bulan Sekuntum menarik napas
setelah berdiri, ia menyentakkan tangan yang dipegang Suto, seakan tak mau
ditolong untuk bangkit.
"Minggirlah, Suto!
Perempuan itu harus kuhabisi dengan pedangku!"
Srekk...! Pedang dicabut,
Bulan Sekuntum segera maju menyerang dengan memainkan jurus-jurus pedang yang
menurut penglihatan Suto cukup aneh. Gerakannya pelan seperti orang menari,
tapi mendadak menjadi cepat dan ganas, lalu berhenti dan pelan kembali, setelah
itu bergerak cepat lagi bagai tak bisa diikuti oleh pandangan mata.
Ratu Kelabang Setan juga
mencabut pedangnya. Wertt..! Pedang yang lurus runcing dan tajam di kedua
sisinya itu digenggam tegak di depan wajahnya. Ketika Bulan Sekuntum menebaskan
pedangnya ke arah leher Ratu Kelabang Setan, pedang tegak lurus itu tiba-tiba
meliuk dengan cepat, menangkis kuat, trang...! Kemudian memutar cepat dan
dihunjamkan ke dada Bulan Sekuntum. Wuttt...!
Plakk...!
Ujung pedang ditahan dengan
telapak tangan Bulan Sekuntum yang mengeras di depan dadanya.
Sementara itu, pedang Bulan
Sekuntum pun segera menebas lengan kanan Ratu Kelabang Setan. Wuttt...!
Plakkk...!
Gerakan pedang itu tak sampai
menyentuh lengan, karena kaki kiri Ratu Kelabang Setan bergerak cepat menendang
ke atas, ujung telapak kakinya diadu dengan mata pedang Bulan Sekuntum.
Tentu saja Ratu Kelabang Setan
mengerahkan tenaga dalamnya di ujung kaki, seperti Bulan Sekuntum mengerahkan
tenaga dalamnya di telapak tangan. Akibatnya, pedang yang tertendang itu
terpental lepas dari genggaman pemiliknya. Wess...!
Bulan Sekuntum terperanjat
sekejap, lalu tak menghiraukan pedangnya lagi. Telapak tangan kirinya masih
menahan ujung runcing pedang lawan yang makin disentakkan maju dengan penuh
curahan tenaga dalam. Lalu, dengan mengeraskan tangan kanannya yang sudah tak
bersenjata lagi itu, pedang lawan dihantamnya dalam satu gerakan cepat.
Wuttt...!
Duarrr...!
Ternyata perpaduan tenaga
dalam pada pedang dan tenaga dalam pada tangan membuat satu ledakan yang
menyentakkan tubuh Bulan Sekuntum terpental ke samping dan jatuh terpelanting
di bawah pohon.
"Mampus kau, Monyet
betina...! Hiaaat...!" Ratu Kelabang Setan menerjang Bulan Sekuntum dengan
tebasan pedangnya pada saat Bulan Sekuntum bangkit dari kejatuhannya.
"Hiaah...!" Bulan
Sekuntum melompat hingga pedang lawan lewat bagian bawah kakinya. Kaki itu
segera menjejak batang pohon, dan tubuh Bulan Sekuntum melayang di udara dengan
bersalto melintasi kepala lawan. Begitu ia mencapai bagian belakang Ratu
Kelabang Setan, kedua tangannya menghantam punggung lawan menggunakan telapak
tangan. Des, dess...!
"Aahg...!" Ratu
Kelabang Setan tersedak, dari mulutnya keluar segumpal darah merah. Tubuhnya
segera berbalik sambil menebaskan pedangnya. Wuttt...!
Bulan Sekuntum melompat
mundur, tapi terlambat. Ujung pedang telah merobek perut Bulan Sekuntum.
Brett...!
"Aaahhg...!"
pekiknya sambil meyeringai kesakitan.
"Bulan...!" pekik
Suto secara tak sadar. Pendekar tampan itu menjadi tegang.
Pada saat itu Ratu Kelabang
Setan semakin ganas melihat lawannya terluka. Tangan kirinya segera mengeras,
lalu menyentak ke depan. Dari ujung jarinya melesat sinar merah sebesar lidi
yang lurus ke arah kepala Bulan Sekuntum. Melihat bahaya seperti itu, Pendekar
Mabuk segera melesat menerjang perbatasan jarak kedua perempuan itu. Zlappp...!
Bumbung tuaknya digunakan menghadang kecepatan sinar merah.
Debbb...! Wusss...!
Sinar merah menghantam bumbung
tuak, lalu membias balik membentuk satu sinar merah besar yang melesat ke arah
dada Ratu Kelabang Setan.
"Hiiaat...!" Ratu
Kelabang Setan menghindari sinar merah yang lebih besar dari aslinya itu dengan
melesat ke atas dan bersalto ke samping. Akibatnya sinar merah besar itu
menghantam sebatang pohon besar di kejauhan sana. Blarrr...! Werrr...!
Seluruh pohon berguncang,
tanah pun ikut bergetar bagai ingin retak. Pohon yang dihantam sinar merah itu
menjadi serpihan lembut, tak berbentuk sepotong kayu pun. Hal itu membuat Ratu
Kelabang Setan terbelalak heran dan takjub.
"Gila! Biasanya jurus
'Lidah Kelabang' hanya bisa membuat pohon pecah menjadi delapan bagian,
sekarang malah membuat pohon pecah menjadi serpihan selembut itu?! Untung aku
segera menghindari, bukan menahan dengan jurus lain. Seandainya aku menahannya
memakai jurus 'Tameng Candra', pasti akan jebol juga."
Sementara Ratu Kelabang Setan
masih terkagum-kagum dengan kedahsyatan sinar merahnya tadi, Suto Sinting
buru-buru meminumkan tuak ke dalam mulut Bulan Sekuntum.
"Lekas minum! Minum
sebanyak-banyaknya!"
Walaupun tuak menghambur
membasahi wajah dan bagian tubuh lainnya, tapi Bulan Sekuntum berhasil meneguk
beberapa kali. Rasa sakit akibat perutnya robek lebar mulai berkurang.
"Kau ikut campur
urusanku, Pendekar Mabuk! Itu sama saja mambuatku semakin bernafsu untuk
menghancurkan tubuh gadismu! Hiaaah...!"
Clapp...!
Dari telapak tangan kiri Ratu
Kelabang Setan melesat sinar biru berpijar-pijar bagaikan bola bekel. Sinar
biru itu hendak menghantam punggung Bulan Sekuntum yang sedang ditopang tangan Suto
Sinting untuk meminum tuak. Suto tak sempat bertindak karena keadaannya yang
tak memungkinkan, ia hanya bisa bergeser ke belakang dan menyediakan
punggungnya sendiri yang dijadikan perisai tubuh Bulan Sekuntum. Desss...!
Zrrabb...!
"Aaaahg...!" Suto terpekik
dengan tubuh mengejang. Sinar biru mengenal punggungnya dengan telak.
"Bodoh! Kenapa kau tutup
punggungnya dengan tubuhmu! Bodoh kau!" bentak Ratu Kelabang Setan dengan
nada sesal dan jengkel.
Suto Sinting segera berpaling
dengan menyeringai menahan sakit. Kemudian sebuah pukulan jarak jauh sempat
dilepaskan. Jurus itu bernama 'Pukulan Gegana' berupa sinar kuning patah-patah
yang melesat dari kedua jarinya yang dikeraskan.
Clap, clap, clap...!
Ratu Kelabang Setan kaget, dan
segera menahan sinar kuning itu dengan pedangnya. Sinar kuning patah-patah itu
pun menghantam pertengahan pedang yang disaluri tenaga dalam tinggi.
Blegarrr...!
Ratu Kelabang Setan terlempar
bagaikan terbang. Tubuhnya menghantam sebuah pohon dengan keras. Buhkk !
Durrr...! Pohon itu berguncang hebat. Hampir sebagian besar daunnya rontok
akibat ditabrak tubuh Ratu Kelabang Setan. Bisa dibayangkan betapa kerasnya
tubuh itu melayang dan membentur pohon tersebut.
"Uuhg...!" Ratu
Kelabang Setan menyeringai, mulutnya berdarah, hidungnya juga mengeluarkan
darah, termasuk dari lubang telinganya. Tapi pedangnya masih utuh, hanya hangus
pada bagian tengahnya.
"Mati aku! Tulangku remuk
semua. Kalau tidak kutahan pakai pedang, bisa hancur sekujur tubuh-ku!
Ooh... celaka! Kalau tak segera
berusaha lari dari sini bisa-bisa nyawaku dihabisi oleh si Pendekar Mabuk
itu!"
Wuttt...! Ratu Kelabang Setan
bekelebat ke balik pohon, ia sempat berseru dengn suara tertahan,
"Tunggu saat pertemuan
berikutnya, Pendekar Mabuk! Kau akan lebih dekat lagi dari pelukanku!"
Selesai bicara begitu, Ratu
Kelabang Setan melesat masuk ke semak-semak ilalang dan gemerisik gerakannya
terdengar makin lama semakin menjauh. Suto Sinting tak sanggup mengejarnya
karena tubuhnya segera terkulai lemas berlutut di tanah. Bumbung tuaknya
digunakan untuk menyangga tubuhnya hingga tak sempat roboh akibat sinar birunya
lawan tadi.Sementara itu, Bulan Sekuntum yang sudah menenggak tuak beberapa
kali tadi semakin tidak merasakan sakit lagi. Perutnya yang robek perlahan-lahan
bergerak mengering dan mengatup sendiri.
"Suto...?!
Suto...?!" ia memekik dengan napas masih terasa sesak, ia segera meraih
kepala Suto Sinting, namun tubuh Suto sudah semakin lemas dan akhirnya jatuh
terkulai. Bumbung tuaknya yang belum sempat ditutup itu pun jatuh terlempar ke
samping. Tuak di dalamnya tumpah keluar dan nyaris habis semua.
"Suto...?! Oh, kau
terkena jurus beracun! Racun itu berbahaya sekali!" Bulan Sekuntum
berusaha menolong Suto dengan tenaga yang belum pulih betul, ia tampak sangat cemas
dan sedikit panik setelah mengetahui bahwa Suto terkena jurus pukulan beracun
yang berbahaya.
*
* *
5
BUMBUNG tuak sempat
diselamatkan oleh Bulan Sekuntum, tapi air tuak sudah habis. Bulan Sekuntum
penasaran, bumbung tuak dijungkirbalikkan dengan harapan mendapatkan setetes
dua tetes tuak untuk diminum Suto. Tapi yang keluar dari dalam bumbung hanyalah
sebuah cincin.
Bulan Sekuntum tidak tahu
bahwa cincin itu adalah Cincin Manik Intan, sebuah pusaka yang mempunyai
kedahsyatan dapat mengeluarkan tenaga dalam seratus kali lipat dari tenaga
pemakainya, bisa memancarkan sinar tenaga dalam tanpa disadari pemakainya kalau
si pemakai memendam kemarahan besar, (Baca serial Pendekar Mabuk episode:
"Murka Sang Nyai").
Hanya karena melihat bentuk
batu cincinnya yang berwarna putih intan, Bulan Sekuntum merasa tertarik dan segera memakainya di jari
tangan kanannya. Sementara itu, Pendekar Mabuk yang tak mampu bergerak karena
pingsan itu mulai mengalami perubahan akibat pukulan beracun tadi.
"Suto dalam keadaan
bahaya sekali. Pukulan itu kukenal sebagai pukulan yang mengandung racun 'Siksa
Kubur'. Bintik-bintik hitam yang keluar dari kulitnya merupakan ciri dari
penderitaan pukulan racun 'Siksa Kubur'. Dulu temanku juga pernah mengalami
nasib seperti ini, dan akhirnya mati dalam keadaan tubuhnya hancur membusuk.
Mengerikan sekali."
Dalam keadaan tegang Bulan
Sekuntum sempat berpikir mencari obat penyembuhnya. Namun ia juga sempat merasa
heran karena kulit tubuh Suto mulai mengeluarkan gelembung-gelembung seperti
bisul.
"Dulu temanku tidak
mengeluarkan gelembung seperti ini, tapi mengalami keretakan pada kulit
tubuhnya, akhirnya robek bagai tercabik-cabik sedikit demi sedikit dan akhirnya
membusuk dalam waktu kurang dari sehari. Tapi kenapa sekarang tubuh Suto tidak
mengalami keretakan dan tidak seperti tercabik-cabik? Apakah hal ini
dikarenakan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya? Dulu temanku juga tak
sampai pingsan, sehingga ia mengerang dan merintih kesakitan. Barangkali
kekuatan tenaga dalam Suto yang membuat ia jatuh pingsan."
Tanpa banyak pertimbangan
lagi, Bulan Sekuntum segera memanggul tubuh Pendekar Mabuk ke pundaknya. Dalam
hatinya masih berkata penuh ungkapan rasa sedih.
"Aku harus segera
membawanya kepada Gusti Ratu. Walaupun aku tahu obat penawar racun hanya
dimiliki oleh Ratu Kelabang Setan, tapi siapa tahu Gusti Ratu dapat memberi
pertolongan sekadarnya!"
Racun 'Siksa Kubur' memang tak
bisa disembuhkan oleh orang lain kecuali oleh pemiliknya sendiri; Ratu Kelabang
Setan. Itulah sebabnya racun tersebut dianggap racun paling berbahaya karena
jika pemiliknya tidak mau memberikan obat penawarnya maka korbannya tak akan
bisa selamat lagi. Bulan Sekuntum berharap ratunya dapat memberi pertolongan
alakadarnya, setidaknya dapat memperpanjang usia pendekar tampan itu hingga
tidak bernasib seperti temannya dulu.
Namun lagi-lagi langkahnya
terhalang oleh kemunculan Malaikat Tiga Wajah yang sengaja mencarinya ke
berbagai arah, terutama ke arah perbatasan Tanjung Samudera.
Manusia berwajah kembar tiga itu
melompat turun dari arah bukit cadas tak seberapa tinggi itu. Bukit cadas
tersebut masih di luar batas wilayah Tanjung Samudera, sehingga seseorang dapat
bertindak sekehendak hatinya tanpa mengikuti undang-undang yang berlaku di
dalam wilayah Tanjung Samudera.
Melihat kemunculan Malaikat
Tiga Wajah, perempuan cantik yang lukanya telah lenyap tanpa bekas itu segera
meletakkan tubuh Suto Sinting dan bumbungnya di bawah sebuah pohon.
"Tiga keparat ini memang
harus kulenyapkan dulu agar tak merintangi langkahku berikutnya!" geram
Bulan Sekuntum sambil melangkah maju mendekati tiga orang berwajah sama Itu.
"Rupanya bumi ini sempit
sekali bagimu, Bulan Sekuntum. He, he, he...," Malaikat Biru mengejek
dengan tawanya yang jelek.
"Tak seorang pun bisa
lari dan bersembunyi dari incaran Malaikat Tiga Wajah," timpal Malaikat
Kuning. "Mau ke mana saja kau pasti akan terkejar oleh kami, Bulan
Sekuntum!"
"Memang dunia ini sempit.
Karenanya nasib kalian sangat malang, karena ke mana saja akan jumpa denganku,
dan itu artinya umur kalian tak akan pernah bisa lebih panjang lagi!" kata
Bulan Sekuntum tanpa rasa takut, ia bicara dengan tolak pinggang, sehingga
Malaikat Merah yang mudah terpancing kemarahannya menjadi geram dan segera
melepaskan serangan pertamanya.
"Mulut perempuan kotor
seperti kau memang harus dihancurkan, Bulan Sekuntum! Terimalah pukulan 'Raja
Karang'-ku ini! Heeeahh...!"
Claap...! Sinar merah lurus
sebesar kelingking melesat dari kepalan tangan Malaikat Merah yang dihantamkan
ke depan dalam jarak lima langkah itu.
Dengan gesit Bulan Sekuntum
melompat ke samping sehingga sinar merah itu menghantam pohon di kejauhan sana.
Blaarr...! Pohon itu tumbang, pecah menjadi dua bagian. Bisa dibayangkan,
seandainya sinar merah itu tepat mengenai mulut Bulan Sekuntum, entah apa
jadinya.
Lompatan perempuan itu
disambut oleh serangan Malaikat Biru yang menghempaskan telapak tangannya ke
depan dan mengeluarkan gelombang hawa panas berasap putih. Wuusss...!
Tetapi pada saat itu Bulan
Sekuntum sudah mendaratkan kakinya ke tanah, sehingga dengan merendahkan badan,
satu kaki berlutut ke tanah, ia melepaskan pukulan jurus 'Racun Baja' yang
berupa seberkas sinar biru itu.
Claappp...!
Blaarrr...!
Terjadi ledakan cukup besar
akibat sinar biru menghantam gelombang hawa panas tersebut. Ledakan itu membuat
Bulan Sekuntum terjungkal ke belakang dua kali. Namun ia cepat bangkit dan
pasang kuda-kuda kembali.
"Keparat busuk kalian
semua!" geramnya penuh kemarahan.
Saat itu tanpa disadari dari
tangan Bulan Sekuntum melesat seberkas sinar berkecepatan tinggi. Zlaapp...!
Kecepatan sinar itu tak dapat
ditahan dan dihindari. Sinar tersebut langsung menembus tubuh Malaikat Kuning.
Brruuss...! Jebol sampai menembus bagian punggung.
"Malaikat
Kuning...?!" sentak Malaikat Merah dengan mendelik melihat saudara
kembarnya bolong ulu hatinya sampai ke bagian punggung.
Sedangkan Malaikat Biru yang
berdiri di belakang Malaikat Kuning juga ikut terbengong melompong.Karena sinar
putih itu setelah menembus dan menjebolkan tubuh Malaikat Kuning, ternyata
masih memancar terang dan bergerak lurus hingga mengenai dada Malaikat Biru.
Bruuss...! Jebol juga sampai
menembus punggung dan keluar masih melesat lalu menghantam sebongkah batu besar
di kaki bukit cadas. Blegaarr...! Batu itu tampaknya lenyap seketika, padahal
menjadi debu yang beterbangan ke mana-mana.
Bruk...! Malaikat Kuning roboh
tak bernyawa. Disusul oleh robohnya Malaikat Biru yang berwajah tegang itu.
Bruuk...!
"Bangsaaat...!"
Malaikat Merah kian murka melihat kedua saudara kembarnya sudah tak bernyawa.
Sedangkan Bulan Sekuntum masih bingung dengan sinar putih yang keluar dari
tangannya itu. Ia merasa tidak memiliki jurus sedahsyat itu.
Sebelum Malaikat Merah
mencabut senjatanya, Bulan Sekuntum mulai sadar bahwa sinar putih dahsyat itu
ternyata berasal dari cincin yang dipakainya: Cincin Manik Intan.
"Luar biasa?! Rasanya
cincin ini berkekuatan dahsyat sekali?!" gumam hati Bulan Sekuntum.
Saat ia tertegun memandangi
cincin tersebut, Malaikat Merah segera melepaskan murkanya dengan menerjang
membabatkan goloknya. Wuuuss...!
Golok itu nyaris memenggal
kepala Bulan Sekuntum. Kalau saja ia tak segera melompat mundur, maka lehernya
akan menjadi sasaran senjata lawan. Sekali tebas kepala akan menggelinding ke
tanah.
Dengan melompat mundur menjaga
jarak, Bulan Sekuntum bukan saja berhasil menghindari maut namun juga berhasil
melepaskan tendangan ke arah pinggang lawan.
"Hiaaah...!"
Buuk! Krrak...!
"Uuah...!" Malaikat
Merah terpental empat langkah ke belakang, ia sempat jatuh terduduk, namun
cepat-cepat sigap kembali. Dengan satu sentakan pinggang yang terasa patah
salah satu tulang rusuknya itu, tubuh Malaikat Merah melesat bagaikan terbang
ke arah pepohonan.
Bulan Sekuntum mengeraskan
tangannya yang mengenakan cincin pusaka itu. Tangan tersebut segera disentakkan
ke arah tubuh Malaikat Merah yang sedang melambung di udara. Dan tak ayal lagi
Cincin Manik Intan keluarkan kesaktiannya; sinar putih melesat lurus dan cepat
menghantam tubuh Malaikat Merah. Claapp...! Brruus...! Blegaarr...!
"Aaahg...!" Malaikat
Merah memekik dengan suara serak tertahan di tenggorokannya. Perutnya jebol
diterjang sinar Cincin Manik Intan itu. Sisa sinar yang lolos lewat punggung
Malaikat Merah menghantam pepohonan dan membuat pepohonan itu berhamburan
selembut pasir.
Brrukkk...! Tubuh Malaikat
Merah roboh ke tanah dalam keadaan telentang. Matanya mendelik, mulutnya
terperangah, napasnya sudah tidak ada lagi setelah mengalami kejang-kejang
sesaat.
Alam menjadi sepi. Angin
berhembus bagai tak berani mengguncangkan pepohonan, seolah-olah takut dengan
kedahsyatan Cincin Manik Intan itu. Si cantik Bulan Sekuntum memandangi cincin
itu hingga beberapa saat lamanya. Hatinya dipenuhi oleh kebanggaan dan rasa
keberanian yang klan bertambah besar.
"Tak kusangka aku dapat
merobohkan Malaikat Tiga Wajah dalam waktu sesingkat ini. Padahal mereka
mempunyai jurus-jurus sakti yang belum sempat dikeluarkan. Oh, kalau begini
caranya, Anak Petir pun bisa kutumbangkan seperti ketiga wajah kembar itu.
Cincin ini akan kupakai untuk melawan si Anak Petir! Aku akan meminjamnya
kepada Suto dan... oh, ke mana Suto?!"
Perempuan berhidung bangir Itu
terkejut sekali melihat Suto tidak ada di tempat. Tapi bumbung tuaknya masih
ada di sana. Hati Bulan Sekuntum pun berdebar-debar penuh ketegangan, ia segera
berlari ke berbagai arah dengan mata memandang liar sekelilingnya. Tapi
Pendekar Mabuk yang tadi dalam keadaan pingsan itu tidak ditemukan juga.
"Sutooo...!" teriak
Bulan Sekuntum. "Suto Sinting...! Di mana kau...?!"
Wajah perempuan itu kelihatan
sekali kalau sedang ketakutan. Takut kehilangan Pendekar Mabuk. Dan rasa
takutnya itu membuatnya mulai panik, ia berlari naik ke bukit cadas dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Tiga kali sentakan kaki ia sudah sampai di
puncak bukit cadas. Tab, tab, tab...!
"Ke mana dia? Pergi
sendiri atau ada yang mencurinya?" pikir Bulan Sekuntum dengan napas
terengah-engah, ia tak sadar bahwa kepanikannya itu menghadirkan amarah dalam
dada. Amarah itu memancar melalui mata Cincin Manik Intan sehingga sesekali
cincin itu mengeluarkan sinar dan menghantam bebatuan atau pepohonan yang
sejajar dengan arah mata cincin tersebut.
Blaar.... Duaarr...!
Blaarr...!
"Oh, cincin ini
mengeluarkan tenaga sendiri?! Rupanya
jika hatiku diliputi kejengkelan atau kemarahan, maka ia dapat mengeluarkan
kekuatan tanpa terkendali? Oh, bahaya sekali. Kalau begitu aku harus memakainya
dalam keadaan kubalik saja, biar mata cincinnya selalu ada dalam
genggamanku!" ucap hati Bulan Sekuntum.
Setelah memutar mata cincin menjadi
ada dalam telapak tangannya, Bulan Sekuntum berpikir kembali kepada hilangnya
Suto Sinting. Bahkan ia segera turun lagi dari atas bukit cadas itu, menuju ke
tempat di mana Suto diletakkan bersama bumbung tuaknya, ia memeriksa tempat itu
dengan lebih teliti lagi.
"Bumbung tuaknya tidak
ikut pergi? Berarti ada orang yang mencuri tubuh Suto dan tidak peduli dengan
bumbung tuak ini?! Hmmm..., sebaiknya aku harus segera mencari Suto Sinting dan
bumbung tuak ini harus tetap kubawa. Kulihat Suto bisa menggunakan bumbung ini
untuk menangkis serangan lawan. Siapa tahu berguna bagiku juga."
Sebelum langkah pencarian
diawali, Bulan Sekuntum memandang penuh curiga pada tanah di balik pohon
tersebut. Tanah berumput tipis itu mempunyai kejanggalan. Rumputnya rebah pada
bagian tertentu, menandakan habis diinjak oleh seseorang. Rumput yang merebah
membentuk telapak kaki itu menuju ke arah kerimbunan semak. Tak ada pilihan
lain bagi Bulan Sekuntum kecuali mengikuti jejak tapak kaki tersebut.
"Arahnya ke utara, menuju
ke perbataaan negeriku. Apakah mungkin yang membawa lari Suto adalah orang dari
negeriku sendiri?" kata Bulan Sekuntum dalam hatinya, ia mulai menerabas
masuk ke semak ilalang yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya itu. Bumbung
tuak disilangkan ke punggung, kedua tangannya siap siaga menghadapi serangan
atau bahaya yang bisa datang sewaktu-waktu.
Langit mulai kusam. Cahaya
mentari kian memudar. Senja sebentar lagi akan beralih menjadi petang.
Pandangan mata kian terbatas karena kere-mangan senja.
Bulan Sekuntum masih terus
melangkah mencari Suto karena ia belum menemukan gagasan baru tentang apa yang
harus dilakukannya. Yang ada dalam hatinya adalah rasa tanggung jawab atas
hilangnya Suto Sinting, ia harus bisa menemukan pria tampan itu untuk dibawa
menghadap kepada ratunya sebagai pernyataan bahwa Pendekar Mabuk belum mati.
Tiba di sebuah lembah yang
menjadi ujung dari perbatasan negeri Tanjung Samudera, langkah Bulan Sekuntum
terpaksa terhenti karena kepekaan nalurinya mengatakan ada sesuatu yang berbahaya
datang dari arah belakangnya. Bulan Sekuntum segera sentakkan kaki. Tubuhnya
melayang di udara dan bersalto satu kali. Pada saat itu seberkas sinar kuning
berbentuk seperti bintang melesat menghantam tempat berdirinya tadi. Duaaar...!
Sinar itu meledak ketika
mengenai sebongkah batu. Batu tersebut pecah dan memercik ke udara hingga
sebagian percikannya mengenai kaki Bulan Sekuntum.
"Auh...!" perempuan
itu memekik karena mata kakinya bagaikan dilempar dengan batu kerikil. Tak
seberapa sakit tapi cukup mengejutkan.
Jleeg...! Kedua kaki Bulan
Sekuntum mendarat ke bumi dengan sigap. Matanya memandang ke arah datangnya
sinar kuning tadi.
"Keluar kau, Setan!
Jangan hanya berani membokong saja! Hadapi aku kalau kau memang merasa berilmu
lebih tinggi dariku!" aeru Bulan Sekuntum dengan wajah memancarkan
kemarahannya. Tangan kanannya menggenggam kuat, merasakan hawa panas yang bisa
diduga datangnya dari cincin yang dikenakan. Genggaman itu siap dilepaskan
untuk menghantam lawan yang menyerangnya dari belakang tadi.
Namun ketika dari kerimbunan
semak di balik pohon besar itu muncul sesosok tubuh berjubah sutera ungu tua,
Bulan Sekuntum menahan gerakan tangannya, ia justru terperanjat dan memandang
dengan dahi berkerut.
Si jubah ungu itu adalah
seorang perempuan cantik yang tampak masih muda tapi sebenarnya usianya sudah
puluhan tahun, ia mengenakan pakaian dalam berupa pinjung ketat warna ungu muda
dan celana ketat beludru ungu muda juga dengan hiasan benang emasnya.
Kecantikannya senilai dengan Bulan Sekuntum, hanya saja perempuan yang
pedangnya dilapisi kain beludru ungu pula itu sedikit berkesan lebih nakal dan
lebih menggoda, matanya berkesan lebih galak lagi.
Keheranan di hati Bulan
Sekuntum membuat mulutnya berucap kata dalam gumam yang tak seberapa jelas
didengar dari jarak tujuh langkah. "Pelangi Sutera...?!"
Perempuan cantik yang saat ini
berwajah sama angkuhnya dengan Bulan Sekuntum itu melangkah lebih dekat lagi.
Ia adalah Pelangi Sutera, mantan panglima Negeri Ringgit Kencana yang akrab
dikenal dengan nama aslinya; Sumbaruni. Bekas istri jin yang berilmu tinggi itu
sengaja menampakkan sikap permusuhannya di depan Bulan Sekuntum, sehingga Bulan
Sekuntum menjadi ragu-ragu untuk melayani sikap permusuhan itu.
Hawa panas dalam genggaman
Bulan Sekuntum segera dilemparkan ke arah pepohonan di belakangnya. Blaarrr...!
Pohon itu pun hancur menjadi debu. Hal itu dilakukan Bulan Sekuntum untuk
membuang tenaga dalam yang sudah telanjur tertahan dalam genggaman akibat rasa
marahnya tadi. Namun diartikan oleh Sumbaruni sebagai tindakan pamer kehebatan,
sehingga Sumbaruni mencibir sinis dan berkata dengan ketus.
"Kau pikir hanya kau
sendiri yang bisa menghancurkan sebatang pohon?!"
Sumbaruni segera menyentakkan
jari tengahnya. Claapp .! Seberkas sinar merah terang melesat dari ujung jari
itu dan menghantam sebatang pohon. Begitu sinar itu menyentuh pohon tersebut,
tiba-tiba pohon itu bagaikan lenyap.
Blaap...!
Hilang tak berbekas. Yang
tersisa hanya bau kayu bakar tanpa asap sedikit pun. Sumbaruni mencibir sinis
memandang ke arah Bulan Sekuntum yang sedang tertegun kagum.
"Aku pun bisa
melakukannya dengan mudah, Bulan Sekuntum!" kata Sumbaruni sambil
melangkah kalem mendekati Bulan Sekuntum.
"Sumbaruni, aku tidak
bermaksud pamer ilmu di depanmu!" ujar Bulan Sekuntum karena ia tahu bahwa
Sumbaruni mempunyai ilmu lebih tinggi darinya. Bulan Sekuntum selalu hormat
kepada Sumbaruni, sebab ia tahu bahwa Sumbaruni bekas panglima yang menurut
kedudukan punya jabatan lebih tinggi dari jabatan yang disandang Bulan Sekuntum
di Negeri Tanjung Samudera.
Dalam keremangan cahaya senja,
Bulan Sekuntum dapat melihat kedua mata indah Sumbaruni saat itu sedang dalam
keadaan bengkak. Bukan karena suatu pertarungan, melainkan karena suatu tangis.
Namun tangis karena apa, Bulan Sekuntum tak berani menanyakan.
"Sumbaruni, apa maksudmu
menyerangku tadi? Apakah aku punya dosa kepadamu?!"
"Entah kau atau ratumu,
harus berhadapan denganku dan bertarung sampai mati!" geram Sumbaruni
dengan mata kian memancarkan permusuhan. Sambungnya lagi,
"Bila perlu semua orang
Tanjung Samudera akan kupenggal habis tanpa terkecuali, termasuk kau juga,
Bulan Sekuntum!"
Dahi yang berkerut semakin
tajam menandakan keheranan Bulan Sekuntum kian meninggi, ia benar-benar tak
menyangka kata-kata itu akan terlontar dari mulut Sumbaruni. Seingatnya, selama
ini antara pihak Tanjung Samudera dan pihak Ringgit Kencana tak terjadi
permusuhan apa-apa. Kedua ratu kakak-beradik itu justru saling membantu dan
bukan saling bermusuhan. Sumbaruni sendiri, sekalipun sudah keluar dari Negeri
Ringgit Kencana, tidak pernah bikin masalah dengan orang-orang Tanjung
Samudera, demikian pula sebaliknya.
Karenanya, Bulan Sekuntum
segera bertanya dengan suara pelan, bagaikan tak percaya mendengar kata-kata
Sumbaruni tadi.
"Mengapa kau berkata
begitu? Ada persoalan apa sebenarnya?"
"Persoalannya sudah
jelas, kau pasti sudah mengetahuinya! Aku menuntut kematian murid si Gila Tuak,
Suto Sinting!"
Seketika itu pula wajah Bulan
Sekuntum terperangah tegang, ia belum tahu bahwa Sumbaruni sangat mencintai
Pendekar Mabuk. Walaupun ia tahu Suto Sinting sudah mempunyai calon Istri di
Pulau Serindu yang bergelar Gusti Mahkota Sejati; Dyah Sariningrum, tapi
Sumbaruni tidak pernah mau peduli akan hal itu. Sekalipun Suto Sinting pernah menolak
cintanya secara halus, namun Sumbaruni tidak bisa menghentikan rasa cintanya
itu kepada sang murid Gila Tuak tersebut.
Kabar kematian Pendekar Mabuk
agaknya mengguncang hati Sumbaruni dan menimbulkan murka yang terpendam.
Melacak arah datangnya kabar itu, Sumbaruni segera menuju ke Negeri Tanjung
Samudera untuk mengadakan perhitungan nyawa.
"Kudengar pihak Tanjung
Samudera yang membawa mayat Suto Sinting ke Jurang Lindu. Firasatku mengatakan,
pihakmulah yang menewaskan Pendekar Mabuk, orang yang amat kucintai itu!"
"Sumbaruni, kau salah
paham! Tenangkan dulu hatimu. Dengarkan keteranganku."
Air mata Sumbaruni mulai
menggenang di pelupuk matanya. Sikapnya semakin dingin. Kedua tangannya
mengeras dengan gigi menggeletuk.
"Aku tak butuh alasan apa
pun. Aku hanya butuh membalas kematian Suto Sinting pada Dewi Giok dan
orang-orangnya. Kaulah orang pertama yang kujumpai, Bulan Sekuntum! Maka
terimalah kematianmu sebelum matahari lenyap dari permukaan bumi!"
"Tunggu...! Tunggu dulu,
Sumbaruni...!" Bulan Sekuntum menahan gerakan Sumbaruni, namun agaknya
gerakan itu tak bisa ditahan lagi.
Sumbaruni melepaskan pukulan
bertenaga dalam tinggi dari telapak tangannya. "Heeeaaahh...!" ia
berteriak liar dan buas sekali.
Wuuusss...! Sinar biru yang
amat berbahaya itu dihantamkan ke arah Bulan Sekuntum. Yang diserang ragu-ragu
untuk melayaninya. Tapi karena sinar biru itu sudah telanjur menuju ke arahnya,
mau tak mau Bulan Sekuntum menyentakkan telapak tangan kanannya yang terbuka ke
depan. Maka sinar putih dari Cincin Manik Intan pun melesat, diadu dengan sinar
biru tersebut.
Zlaapp...!
Blaarr... blegaarrr...!
Dentuman itu bagai kan bunyi
langit runtuh di hari klamat. Bumi berguncang hebat. Pohon-pohon saling
tumbang. Batu-batuan pecah dan menggelinding ke berbagai arah, bahkan ada yang
beterbangan. Tanah di sekeliling mereka menjadi retak dan membentuk jurang
kecil. Langit senja yang merah tiba-tiba menjadi hitam dengan awan yang
bergulung-gulung mengerikan. Angin berhembus bagaikan badai musim penghujan.
Kedua tubuh perempuan itu
saling terpental, terbang ke mana-mana tak tentu arah. Mereka berpisah jarak
dan saling berusaha menyelamatkan diri dari amukan alam.
*
* *
6
PERTARUNGAN itu agaknya memang
menuntut harus ada korban. Tetapi Bulan Sekuntum tidak mau hal itu terjadi,
karena ia tahu persis duduk perkaranya. Kesalahpahaman akan membawa kematian
sia-sia dan kemenangan tanpa arti. Sebab itulah Bulan Sekuntum berseru ketika
Sumbaruni yang murka itu ingin melepaskan jurus andalannya lagi.
"Tahan seranganmu,
Sumbaruni! Suto tidak mati! Suto masih hidup!"
Seruan itu membuat Sumbaruni
hentikan gerakannya. Matanya memandang tajam kepada Bulan Sekuntum.
"Pendekar Mabuk masih
hidup! Kau dan aku sama- sama tertipu oleh suatu tindakan yang sengaja atau
tidak sengaja!"
Bulan Sekuntum maju mendekati
Sumbaruni yang siap lepaskan jurus andalannya itu. Dalam jarak lima langkah ia
berhenti dan berkata dengan kedua tangan membuka.
"Bunuhlah aku jika aku
berbohong padamu. Aku berani bersumpah, Suto masih hidup! Lihatlah bumbung
tuaknya ada padaku!"
"Lalu di mana dia
sekarang?!" Sumbaruni berdebar-debar tegang mendengar pengakuan itu.
"Aku sendiri sedang
mencarinya, karena ia hilang dalam keadaan pingsan dan terluka oleh pukulan
racun 'Siksa Kubur'."
"Hahhh...?! Racun 'Siksa
Kubur'...?! Bukankah itu racunnya Ratu Kelabang Setan alias si Untari?!"
"Benar!" jawab Bulan
Sekuntum, kemudian ia menceritakan seluruh peristiwa yang dialaminya bersama
Pendekar Mabuk. Dari sejak bertemu dalam iring-iringan jenazah sampai terakhir
kali melawan Malaikat Tiga Wajah.
"Begitukah kejadian yang
sebenarnya?!"
"Betul, Sumbaruni! Aku
tak keberatan jika harus bertarung denganmu, tapi kalau hanya karena
kesalahpahaman itu lebih baik mengalah. Pertarungan kita hanya akan memakan
korban sia-sia. Kau atau aku nantinya akan kecewa jika salah satu ada yang
korban."
Sumbaruni merenung dengan
punggung bersandar pada sebuah pohon, ia tampak letih karena menahan duka dan
murka.
"Kalau begitu, mayat
siapa yang dibawa ke Jurang Lindu itu?!"
"Apakah kau melihat mayat
tanpa kepala itu?"
"Ya. Dan kubiarkan
seseorang membawanya kepada Gila Tuak. Aku lebih mementingkan mengejar dendamku
ke Tanjung Samudera, karena kupikir orangmu yang membunuh Suto Sinting!"
"Siapa yang membawa mayat
itu ke Jurang Lindu?"
"Serombongan orang
pengagum Pendekar Mabuk. Di antara mereka kulihat juga Kelana Cinta dan
beberapa orang lainnya yang pernah terlibat peristiwa dengan Suto. Yang jelas
berita kematian Pendekar Mabuk telah menyebar ke seluruh rimba persilatan dalam
waktu yang amat cepat. Dan nama Tanjung Samudera dibawa-bawa dalam berita
tersebut. Banyak orang menyangka pihakmulah yang membunuh Pendekar Mabuk."
"Celaka!" gumam
Bulan Sekuntum dengan mata menerawang. "Sebaiknya kita bicarakan dengan
gusti ratuku saja."
"Tidak. Aku mau mencari
Suto. Aku akan menemui Ratu Kelabang Setan. Dugaanku mengatakan, bahwa dialah
orang yang mencuri tubuh Suto, karena dia bisa memanfaatkan Suto untuk
memuaskan hasratnya dengan terlebih dulu memberikan obat penawar racun 'Siksa Kubur'
itu!"
"Kalau begitu aku ikut
denganmu!"
Ratu Kelabang Setan menempati
perbukitan yang bernama Lembah Ladang Racun, karena di sana banyak tanaman,
akar dan binatang yang beracun ganas. Mulanya ia memang seorang ratu dari
sebuah negeri. Tapi karena negeri itu dilanda bencana alam, pulau tempat negeri
itu berada tenggelam ke dasar laut, maka Untari menyelamatkan diri dengan
beberapa anak buahnya ke perbukitan tersebut. Di sana ia mendirikan sebuah
perguruan, namun tak bisa bertahan lama karena para muridnya enggan mengikuti
jejak sang guru yang gemar bercumbu dengan lawan jenisnya itu.
Untari hidup sebagai ratu
tanpa rakyat. Namun kesaktiannya cukup diperhitungkan oleh orang-orang rimba
persilatan, terutama ilmu racunnya yang ditakuti oleh beberapa orang berilmu
tanggung. Sumbaruni sudah lama mengenal Untari, sejak belum menempati Lembah
Ladang Racun. Karenanya Sumbaruni tahu persis seberapa kekuatan Ratu Kelabang
Setan.
Namun sebelum mereka bergegas
pergi menuju Lembah Ladang Racun, tiba-tiba mata mereka tertuju ke arah utara
dengan masing-masing dahi berkerut. Gumpalan asap hitam membubung tinggi,
mengepul dari balik gundukan sebuah bukit. Asap itu menandakan adanya kebakaran
di daerah seberang bukit.
"Hatiku jadi tak enak,
Sumbaruni," ujar Bulan Sekuntum. Tapi tidak mendapat tanggapan dari
Sumbaruni, sebab Sumbaruni sendiri diam-diam menyimpan perasaan tak enak dalam
hatinya. Seperti ada firasat yang mengatakan bahwa kepulan asap hitam itu
adalah sesuatu hal yang perlu diketahui.
Sebelum mereka memutuskan
untuk peduli atau tidak peduli dengan kepulan asap tersebut, tiba-tiba dari
arah depan mereka tampak sekelebat bayangan menerjang semak melintasi
celah-celah pepohonan. Sosok bayangan itu tampak sedang berusaha mendaki lereng
tempat mereka berada.
"Bulan Sekuntum...!
Bulaaan...!" teriak orang yang berlari mendekati mereka itu.
"Astaga?!
Wanasida...?!"
"Siapa itu
Wanasida?" tanya Sumbaruni.
"Penjaga wilayah
perbatasan negeriku!" jawab Bulan Sekuntum.
Lelaki bernama Wanasida itu
bertubuh kurus tapi bukan kerempeng, ia mengenakan rompi hijau dan celana
hitam. Ikat kepalanya dari kain warna hijau pula.
"Ada apa,
Wanasida?!"
Pria berusia sekitar tiga
puluh tahun itu terengah-engah dan berwajah tegang. Setelah napasnya mampu
dikendalikan sedikit, ia pun mulai bicara kepada Bulan Sekuntum.
"Istana diserang, menara
sudut dibakar!"
"Siapa yang
melakukan?!"
"Entah. Mereka menuntut
kematian Pendekar Mabuk kepada pihak kita. Mereka sangka kitalah yang membunuh
Pendekar Mabuk secara keji. Jadi menurut dugaanku, mereka adalah para pengagum
Pendekar Mabuk."
"Celaka!" geram
Bulan Sekuntum, ia memandang ke arah Sumbaruni. Yang dipandang jadi tak enak
hati.
"Bukan aku yang
menggerakkan mereka. Jangan menuduhku menjadi penyulut api permusuhan
itu!" kata Sumbaruni dengan sedikit gusar. "Sebaiknya segeralah temui
mereka. Jelaskan bahwa Pendekar Mabuk belum mati. Tunjukkan bumbung tuak dan
ceritakan segalanya kepada mereka!"
"Bagaimana jika kau ikut
membantu meredam kemarahan mereka?"
"Aku akan menemui Ratu Kelabang
Setan! Secepatnya aku akan membawa Suto ke Tanjung Samudera sebagai bukti
kepada mereka bahwa Pendekar Mabuk masih hidup!"
"Baik! Kita berpisah dulu
sekarang!"
Sumbaruni yang yakin betul
bahwa orang yang mencuri Suto Sinting itu adalah Ratu Kelabang Setan, segera
melesat pergi ke Lembah Ladang Racun. Tak peduli hari menjadi malam, ia
menerabas hutan dan melewati lereng pegunungan untuk mempersingkat waktu.
Sekalipun malam, tapi suasana alam cukup cerah karena rembulan menyinari bumi
penuh keindahan.
Pintu pesanggrahan yang
terbuat dari balok-balok kayu itu ditendang oleh Sumbaruni. Gubraaak...! Satu
kali tendangan membuat pintu gerbang itu menjadi hancur berantakan. Sumbaruni
sudah tak sabar lagi,takut Suto Sinting terperangkap cinta dalam pengaruh racun
asmaranya Ratu Kelabang Setan.
Pada waktu Sumbaruni tiba di
pesanggrahan Lembah Ladang Racun, keadaan Ratu Kelabang Setan sudah mengurai
rambutnya, melepas perhiasannya. Bahkan ia hanya mengenakan jubah tipis tanpa
pelapis apa pun di dalamnya. Sumbaruni semakin yakin bahwa Ratu Kelabang Setan
yang dikabarkan terluka oleh serangan Suto itu sudah berhasil sembuhkan
lukanya, dan segera mencuri Suto dalam keadaan tak berdaya.
Maka begitu Untari menyambut
kedatangan Sumbaruni di pelataran, Sumbaruni langsung membentak dengan berang.
"Serahkan Pendekar Mabuk
padaku, atau kuhancurkan tempat ini bersama tubuhmu!"
Ratu Kelabang Setan tertawa
sinis. "Sumbaruni... ada persoalan apa sehingga kau datang-datang marah
padaku, Sobat?!"
"Tak perlu banyak bicara!"
bentak Sumbaruni. "Mana murid si Gila Tuak itu?!"
"O, aku tidak
membawanya!" Untari berlagak polos.
"Kalau kupaksa kau pasti
akan mengatakannya!
Hiaaah...!"
Sumbaruni bagaikan terbang.
Tubuhnya melesat cepat ke arah Ratu Kelabang Setan. Kedua tangannya diluruskan
ke depan dengan telapak tangan terbuka. Dari kedua telapak tangan itu memancar
sinar merah bagai semburan api mengganas.
Wuuusss...!
Ratu Kelabang Setan mengadu
kekuatan tenaga dalamnya dengan melepaskan sinar biru dari telapak tangannya. Wuuusss...!
Kedua sinar itu akhirnya
saling berbenturan di pertengahan jarak. Blaarrr...!
Ledakan besar membuat Untari
terlempar dan jatuh membentur pilar serambi.
"Uuhg...!" Untari
memekik tertahan. Wajahnya menjadi pucat pasi.
Kesempatan itu digunakan oleh
Sumbaruni untuk melepaskan jurus 'Anak Rembulan' yang berupa sinar kuning
seperti bintang dalam satu gerakan tangan melempar cepat.
Claap...! Deeessb...!
"Aauh...!" Sinar
kuning itu tepat kenai lambung Ratu Kelabang Setan.
Akibatnya, perempuan berambut
panjang meriap itu tak bisa bangkit lagi. Ia terpuruk lemas di tempat bagaikan
kehilangan seluruh urat dan tulangnya. Jurus 'Anak Rembulan' telah membuat
Untari lumpuh, sehingga ketika Sumbaruni menerjang masuk ke dalam rumah,
memeriksa kamar demi kamar, Untari tak bisa mencegahnya lagi. Bahkan untuk
berteriak keras pun tak mampu.
"Sutooo...!
Sutooo...!" teriak Sumbaruni tak sabar, ia berharap mendapat jawaban dari
Suto Sinting, namun jawaban itu tidak kunjung tiba. Hampir-hampir Sumbaruni
sangsi dan menduga Suto tidak ada di situ.
Namun ketika ia masuk ke ruang
semadi, hatinya menjadi lega, karena Suto Sinting ada di dalam ruang semadi.
Mungkin ia memang disembunyikan di situ oleh Ratu Kelabang Setan.
"Sutooo...?!"
Sumbaruni segera kaget melihat keadaan Suto yang menyedihkan. Tubuh Suto
dipenuhi oleh benjolan seperti bisul. Ada yang kecil, ada yang berukuran besar.
Bahkan tulang pipi sebelah kanan dan rahang kiri membengkak besar, dagunya pun
menggelembung ke bawah, keningnya juga bengkak ke samping, sehingga wajah Suto
Sinting sudah tidak kelihatan tampan lagi. Kepalanya membengkak ke kiri cukup
besar, sebagian rambutnya ada yang rontok.
"Keparat! Kubunuh kau
Untari! Racunmu telah membuat pemuda ini menjadi berubah dan sangat
menderita!" seru Sumbaruni sambil mencoba memapah Suto Sinting.
Keadaan Suto sudah siuman,
tapi masih lemas.
Rupanya Untari telah melakukan
penyembuhan, namun belum sepenuhnya.
"Keparat! Sembuhkan dia
secepatnya! Hei, Untari...ke mana kau?!"
Sumbaruni kebingungan mencari Untari.
Di serambi depan tempatnya jatuh terkulai karena lumpuh ternyata sudah kosong.
Untari tak ada di sana. Gerutu dan makian Sumbaruni menyertai pencariannya.
Tapi ternyata orang yang dicarinya memang tak ada di sekitar tempat itu.
"Persetan dengan dia!
Yang penting aku harus membawa Suto keluar dari sini lebih dulu! Urusan dia
bisa kutangani belakangan saja kalau Suto sudah sembuh!" pikir Sumbaruni.
"Suto, kau kuat
berjalan?!"
Suto Sinting yang masih lemas
itu menggelengkan kepala. Sumbaruni menangis dalam hatinya melihat keadaan Suto
Sinting semenderita itu.
"Dia... sedang
pulihkan... kekuatanku, belum... sembuhkan... racun," kata Suto Sinting
dengan suara lemah dan lamban. Sumbaruni menarik napas menahan kesedihan, ia
tahu maksudnya, bahwa Ratu Kelabang Setan baru memulihkan kekuatan Suto tapi
belum menawarkan racun 'Siksa Kubur'. Itulah sebabnya keadaan Suto masih
bengkak-bengkak tak karuan bentuknya. Bukan di kepala saja, tapi di bagian
tangan, lengan, dada, sampai ke kaki.
Sumbaruni tidak mau banyak
bicara lagi, ia segera memanggul Suto Sinting dengan kekuatan tenaga dalamnya
dan melesat pergi tinggalkan tempat itu. Ia menerobos cahaya rembulan, bagai
seorang pencuri menggendong hasil curiannya.
Arah pelarian Sumbaruni ke
Tanjung Samudera. Karena ia pun memikirkan nasib Tanjung Samudera yang mendapat
tuduhan dari para pengagum Pendekar Mabuk sebagai pembunuh sang pendekar.
Sumbaruni sempat bicara tentang hal itu dalam perjalanan malamnya kepada Suto
Sinting, tetapi Suto tidak bisa memberikan jalan keluar. Keadaannya yang masih
lemah dengan pembengkakan yang semakin terkena angina semakin membesar itu
membuat Suto hanya punya satu keinginan.
"Tuak... tolong bumbung
tuak...."
"Bumbung itu ada pada
Bulan Sekuntum."
"Aku... butuh tuak
dari... dari bumbungku.... Itu... kekuatanku."
Sumbaruni mengerti maksudnya,
ia pun jadi ingat bahwa tuak dari bumbung itu pasti dapat memulihkan kekuatan
Suto. Bahkan mungkin bukan saja memulihkan kekuatan, tapi juga menawarkan racun
yang bekerja dalam tubuh Suto.
Berpikir tentang bumbung tuak,
langkah Sumbaruni semakin cepat walau masih tetap memanggul Suto Sinting.
Sampai di Istana Tanjung
Samudera hari sudah pagi. Tapi matahari di ambang cakrawala. Keadaan Istana
Tanjung Samudera bagian depannya porak poranda. Para prajurit berkeliaran
menjaga setiap sisi Istana. Dua menara pengawas tampak menghitam, menandakan
sebagai sisa pembakaran. Bahkan pintu gerbang pun tampak habis dibakar, namun
tidak habis seluruhnya. Asap masih mengepul di sana-sini.
"Sumbaruni...?!" seru
Bulan Sekuntum menyambut kedatangan Sumbaruni yang memanggul Suto Sinting.
"Ke mana mereka? Sudah
berhasil kalian usir semua?"
"Mereka pergi untuk
sementara. Tengah malam mereka meninggalkan tempat ini dengan ancaman masih
ingin kembali lagi sebelum kami menyerahkan Gusti Ratu Dewi Giok. Sebab mereka
menuntut kematian Gusti Ratu sebagai ganti kematian Pendekar Mabuk."
"Apakah kau tak bisa
memberi penjelasan kepada mereka?" tanya Sumbaruni.
"Aku kehabisan cara.
Mereka tetap tidak percaya dan menuduh pihakku yang membunuh Pendekar Mabuk
dengan cara memenggalnya."
"Sekarang ratumu di
mana?"
"Kami sembunyikan di
suatu tempat. Kami tidak ingin Gusti Ratu melawan, karena semua ini hanya
kesalahpahaman."
Bulan Sekuntum trenyuh hatinya
melihat keadaan Suto Sinting separah itu. Wajahnya sudah tak kelihatan sebagai
pendekar tampan yang dikagumi para wanita itu.
Suto cenderung mirip orang
cacat.
"Isi bumbung itu dengan
tuak, biar diminum olehnya!" perintah Sumbaruni kepada Bulan Sekuntum.
"Di sini sulit mencari
tuak. Kami melarang penduduk meminum tuak. Ini terjadi sejak dulu."
"Pokoknya cari tuak ke
mana saja! Suruh orangmu mencari keluar dari wilayah ini! Tanpa tuak, Suto
tidak akan bisa bertindak menolong kalian!"
Tiga orang prajurit berkuda
berangkat mencari tuak. Tapi sampai pagi kian berubah siang, mereka belum
pulang juga. Sedangkan keadaan Suto Sinting semakin membengkak. Kepalanya
menjadi besar, bentuk matanya sudah tidak karuan. Tapi kekuatannya bertambah
sedikit. Bicaranya agak lancar dan suaranya agak keras, walau belum seperti
biasanya.
"Bulan Sekuntum...!
Mereka datang lagi dengan jumlah lebih banyak!" seru seorang pengawal
istana. Sumbaruni dan Bulan Sekuntum segera bergegas ke luar benteng untuk
menghadapi mereka. Ternyata jumlahnya memang lebih banyak. Sekitar lima puluh
orang lebih.
Beberapa orang ada yang
dikenal oleh Sumbaruni, di antaranya: Citradani, Kirana, Putri Kunang, Delima
Gusti, Batu Sampang, Palupi atau si Tandu Terbang, Hantu Tari, Camar Sembilu,
Teratai Kipas. Dewa Angora dan beberapa orang lainnya yang pada umumnya adalah
wanita pengagum Pendekar Mabuk. Bahkan Jelita Bule utusan dari Ratu Rangsang
Madu pun tampak hadir di situ.
Menurut Sumbaruni, peristiwa
ini bisa menjadikan perang antar negeri jika tidak segera dikendalikan. Karena
di situ tampak pula Muria Wardani yang dikenal dengan nama Telaga Sunyi dan
beberapa prajurit dari Kadipaten Madusari yang siap menyerang istana Tanjung
Samudera.
"Kita serang saja mereka
jika ratunya tidak mau bertanggung jawab atas kematian Suto!" seru salah
seorang dengan suara keras. Orang itu tak lain adalah Kirana, yang pernah
menjadi sahabat akrab Suto Sinting.
"Kirana! Apa maksudmu
mengerahkan orang sebanyak ini?!" bentak Sumbaruni dengan berani.
"Jadi kau sekarang
memihak Ratu Dewi Giok?! Aku tidak takut, Sumbaruni! Kematian Suto harus
ditebus dengan nyawa Dewi Giok!"
"Suto tidak mati! Suto
ada di sini!"
"Suruh dia keluar kalau
memang tidak mati!" teriak yang lain saling bersahutan.
Sumbaruni menyuruh Bulan
Sekuntum untuk membawa Suto. Namun ketika Suto hadir di depan mereka, ternyata
mereka tidak mau percaya.
"Omong kosong! Itu bukan
Pendekar Mabuk! Lihat saja, wajahnya begitu buruk! Suto Sinting bukan pendekar
berwajah buruk!"
"Ini sama saja penghinaan
terhadap Pendekar Mabuk!" teriak yang lain.
"Dia bukan Suto!
Singkirkan dia! Singkirkan...!"
Mereka melempari Suto dan
Sumbaruni. Bulan Sekuntum tak luput pula dari lemparan batu.
Walaupun Suto berkata,
"Akulah murid Gila Tuak!
Aku Suto Sinting...."
Tapi mereka tetap tidak percaya karena setahu mereka Suto tidak seburuk itu,
kepalanya tidak sebesar itu. Repotnya mereka tidak mau mendengarkan penjelasan
Sumbaruni tentang mengapa Suto jadi begitu.
Mereka nyaris menyerang habis
istana Tanjung Samudera. Untung pembawa tuak datang, tuak segera dimasukkan
dalam bumbung bambu. Kemudian diminum oleh Suto Sinting. Dalam beberapa waktu
kemudian, bengkak-bengkak di tubuh Suto mengempes secara berangsur-angsur.
Kekuatan Suto pulih kembali. Racun 'Siksa Kubur' telah lenyap.
Keributan di depan istana
masih berlangsung. SutoSinting segera tampil dalam keadaan aslinya; tampan,
gagah, segar dan menawan.
"Hentikaaan...!"
seru Suto dengan suara lantang.
Tiba-tiba semua gerakan
terhenti. Semua mata memandang ke arah Suto yang ada di atas tembok benteng.
"Ooohh...?!" mereka
sama-sama menggumam kagum.
"Jangan teruskan tindakan
kalian! Kalian hanya terpancing siasat seseorang yang punya maksud tertentu.
Mayat yang tanpa kepala itu hanya mayat seseorang yang tubuhnya serupa
denganku. Tapi wajahnya tidak sama dengan wajahku."
"Oh, dia masih hidup! Dia
masih hiduuup...!" seru mereka kegirangan.
Suto menenggak tuak dari
bumbung bambu itu, kemudian berkata lagi kepada mereka.
"Siapa yang membawa mayat
itu kepada guruku?!"
"Aku...!" seru seseorang
sambil mengacungkan pedangnya. Ternyata orang itu adalah Intan Selaksa, gadis
cantik berpakaian kuning gading dengan rompi ungu. Intan Selaksa adalah juru
kunci Kuil Swanalingga, murid mendiang Begawan Sangga Mega yang pernah terlibat
dalam satu peristiwa bersama Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pedang Guntur Biru").
"Dari mana kau memperoleh
mayat tanpa kepala itu, Intan Selaksa?!"
"Dari sahabatku: Anak
Petir!" jawab Intan Selaksa.
Bulan Sekuntum berkata pelan,
hanya bisa didengar oleh Suto dan Sumbaruni,
"Berarti biang keladi
huru-hara ini adalah Anak Petir."
"Apa maksudnya bikin
huru-hara ini?!"
Bulan Sekuntum diam sesaat
untuk berpikir, lalu berkata, "Mungkin karena dia tak bisa mengalahkan
kekuatan kami, maka dia memancing murka orang-orang pengagum Pendekar Mabuk
dengan memasang mayat tanpa kepala. Tentunya ia mencari orang yang perawakannya
serupa dengan Suto. Lalu ia dandani dan ia lengkapi dengan bumbung tuak. Untuk
menghilangkan kesan bahwa mayat itu bukan Suto, kepala korban dipenggal dan
dibuang di suatu tempat yang tersembunyi. Dengan meletakkan mayat di wilayah
Tanjung Samudera, Anak Petir punya perkiraan bahwa orang-orang itu akan
mencurigai dan menuduh pihak Tanjung Samudera yang membunuh Pendekar Mabuk. Sudah
tentu ia punya perhitungan, para pengagum Pendekar Mabuk akan menyerang negeri
ini, dan kami akan dihancurkan oleh orang-orang Itu!"
"Licik sekali dia!"
geram Suto Sinting.
"Intan Selaksa, benarkah
Anak Petir yang menyerahkan mayat orang tanpa kepala yang mirip aku itu?"
"Benar, Suto!"
"Kalau begitu, cari Anak
Petir dan katakan bahwa aku menantang pertarungan dengannya!"
"Cariii Anak
Petir...!" seru mereka bersahutan, kemudian mereka pun bubar dengan
sendirinya. Semangat mereka sekarang adalah semangat mencari Anak Petir.
"Hancurkan dia! Penggal
kepala si Anak Petir yang bikin kita hampir tersesat!" teriak mereka penuh
kemarahan kepada Anak Petir.
"Suto, maaf ada sesuatu
yang harus kukembalikan padamu. Kutemukan dari dalam bumbung tuakmu saat bumbung
itu kosong tanpa tuak!" kata Bulan Sekuntum. Suto Sinting kaget dan baru
sadar bahwa Cincin Manik Intan ternyata ada di tangan Bulan Sekuntum. Untung si
cantik pemberani itu punya kejujuran yang terpuji, jika tidak... lenyap sudah
cincin pusaka maha sakti itu.
"Bulan, sekarang
masalahnya sudah beres. Aku ingin bertemu dengan gusti ratumu itu."
Tapi Sumbaruni menyahut agak
ketus dengan nada cemburu, "Tak perlu. Lain kali saja. Cari saja si Anak
Petir itu!"
Suto Sinting hanya tertawa
pelan. Bulan Sekuntum mencibir sinis, lalu meninggalkan mereka.
"Aku hanya ingin
berkenalan dengan sang Ratu."
"Itu soal gampang. Cari
dulu si Anak Petir dan selesaikan urusanmu dengannya. Bukankah kau tadi
sesumbar ingin menantang pertarungan dengan si Anak Petir?"
"Bagiku itu bukan suatu
keharusan. Kalau memang aku bisa bertemu, dan terpaksa harus lakukan
pertarungan, aku bersedia. Tapi jika ia meminta maaf kepadaku, apakah aku harus
tetap menantang pertarungan dengannya?"
"Seorang pendekar harus
setia pada janjinya, terutama janji pertarungan!" gumam Sumbaruni.
"Kalau yang ditantang
takut, bagaimana? Apakah harus tetap menyerang orang yang sudah merasa tak
berdaya? Jadi sekarang yang penting aku ingin bertemu dengan Ratu Dewi Giok dan
berkenalan dengannya."
"Kusarankan kapan-kapan
saja!"
"Kenapa kau cemburu
kepadanya?" kata Suto apa adanya membuat wajah Sumbaruni merah dadu
menahan malu.
Dengan mata memandang dingin,
Sumbaruni berkata, "Aku bukan cemburu padanya, hanya malas mengantarmu
bertemu dengan Ratu Dewi Giok."
"Ada masalah apa kau
dengan Ratu Dewi Giok? Tampaknya kau sungkan padanya?" desak Pendekar
Mabuk.
Setelah diam sesaat Sumbaruni
berkata, "Aku pernah bentrok dengannya perkara Pusaka Gelang Naga Dewa.
Tapi akhirnya aku malu sendiri karena memang itu salahku."
"O, ya... aku ingat. Ratu
Kelabang Setan juga ingin merebut Pusaka Gelang Naga Dewa! Mungkinkah dia
sekarang sedang menyusun kekuatan untuk menyerang Ratu Dewi Giok?"
"Aku akan di pihak Ratu
Dewi Giok kalau memang benar Untari mau merebut pusaka Gelang Naga Dewa!"
"Kenapa begitu?"
"Karena Ratu Dewi
Giok-lah yang berhak memiliki pusaka itu."
Esok harinya, Suto dan
Sumbaruni mendengar kabar bahwa seorang ibu mengaku kehilangan anak sulungnya
yang kerjanya menebang pohon. Potongan tubuh anak sulungnya itu serupa dengan
Suto Sinting.
"Mungkinkah anak ibu itu
yang menjadi korbannya Anak Petir?" tanya Bulan Sekuntum kepada Sumbaruni.
"Belum tentu. Bisa saja
ibu itu hanya mengaku-aku supaya namanya menjadi dikenal karena terkait dalam
peristiwa ini."
"Agaknya perlu diselidiki
lebih teliti lagi. Jika memang benar korban tanpa kepala itu adalah anak dari
ibu itu tadi, tentu saja ia bisa mengenali pembunuhnya. Mungkin dengan
menanyakan tentang Anak Petir, ia bisa memberi kesaksian memang si Anak Petir
yang layak dicurigai sebagai pembunuh orang yang mirip aku itu," ujar Suto
sebelum meninggalkan Istana Tanjung Samudera.
Tapi pada sore harinya,
seorang nelayan menemukan potongan kepala manusia di pantai, di antara
sela-sela bebatuan karang. Penemuan itu sempat bikin geger penduduk pantai.
Setelah ditanyakan kepada ibu yang mengaku kehilangan anaknya, ternyata kepala
itu memang milik anak sulungnya.
"Kini yang
kupikirkan," kata Sumbaruni. "Kemana perginya Ratu Kelabang Setan
pada malam itu? Tak mungkin ia bisa lari cepat karena terkena jurus 'Anak
Rembulan' yang melumpuhkan seluruh syaraf manusia."
"Pasti ada yang
menyelamatkan dan membawanya lagi," kata Suto.
"Siapa orang itu?"
"Entahlah. Kita cari saja
siapa orangnya!" ujar Pendekar Mabuk dengan rasa penasaran.
SELESAI