1
ALUN-ALUN kadipaten
dikelilingi orang banyak. Pandangan mata mereka tertuju di tengah alun-alun.
Bukan karena di tengah alun-alun ada tumpeng raksasa, tapi karena di sana
sedang terjadi pertarungan antara tokoh sesat yang mengancam keselamatan warga
kadipaten dengan seorang pemuda tampan bercelana putih dan bajunya yang tanpa
lengan itu berwarna coklat.
Pemuda yang memiliki rambut
lurus sepanjang pundak tanpa ikat kepala itu berwajah tampan menawan menggoda
perawan. Pemuda yang menenteng bumbung tuaknya itu tak lain adalah Pendekar
Mabuk, si murid sinting Gila Tuak yang punya nama Suto Sinting. Sedangkan tokoh
sesat yang berambut panjang lebat dan berwajah angker itu adalah Malaikat Kabut
Gamping.
Pendekar Mabuk diminta bantuannya
oleh sang Adipati untuk mengatasi kekacauan di kadipatennya yang ditimbulkan
oleh ulah si Malaikat Kabut Gamping. Setelah melalui pertarungan sengit,
akhirnya Malaikat Kabut Gamping tumbang di tangan Suto Sinting. Para warga
kadipaten bersorak kegirangan, sang Adipati pun merasa lega dan selanjutnya
mengikat tali persahabatan dengan Suto Sinting lebih erat lagi.
Dalam perjalanan pulang dari
kadipaten itulah, tiba-tiba langkah Suto Sinting terhenti karena seruan
seseorang yang berlari-lari mengikutinya dari belakang.
"Kaaang... Kang Suto...!
Suto Kang...!"
Seruan itulah yang membuat
Pendekar Mabuk akhirnya berhenti dan berpaling ke belakang.
"Oh, Panji Klobot...?!
Mau apa dia berlari-lari menyusulku? Tampaknya tegang sekali?" pikir Suto
Sinting. "Bukankah urusan dengan Malaikat Kabut Gamping sudah selesai? Ada
apa lagi Panji Klobot menyusulku?!"
Panji Klobot adalah seorang
pemuda yang melayani Suto Sinting selama Suto tinggal di kadipaten. Tubuhnya
kurus, rambutnya kucai memakai ikat kepala merah. la suka mengenakan pakaian
biru tua, bajunya tanpa lengan dan terikat oleh kain merah yang melilit di
pinggangnya. Panji Klobot mengaku berusia dua puluh tahun, tapi cara
berpikirnya masih sangat polos dan lugu.
"Kang, berhenti sebentar,
Kang...!" Panji Klobot terengah-engah. Keringatnya membanjir di sekujur
tubuh pertanda ia terlalu kecapekan karena berlari mengejar Suto yang jaraknya
sudah cukup jauh dari kadipaten.
"Ada apa, Panji
Klobot?!" tanya Suto dengan kalem.
"Bukankah urusanku dengan Malaikat Kabut Gamping sudah selesai?"
"Memang, Kang. Memang
urusanmu dengan Malaikat Kabut Gamping itu sudah selesai. Tapi urusanmu dengan
Murbiah bagaimana?"
"Lho, bukankah yang
naksir Murbiah itu kau sendiri, Panji Klobot."
"Memang aku yang naksir
Murbiah, tapi dia sukar dijinakkan, Kang? Padahal kau berjanji kalau urusanmu
dengan Kanjeng Adipati sudah selesai, kau akan membantuku menjinakkan
Murbiah?" ujar Panji Klobot dengan bersungut-sungut, seakan merasa kecewa
dan perlu menagih janji. Pendekar Mabuk jadi tertawa melihat sikap Panji Klobot
yang cemberut mirip perawan tergoda asmaranya.
"Bukankah kemarin kau
telah memberinya setangkai bunga saat Murbiah membersihkan taman
keputrian?"
"Iya. Tapi Murbiah tidak
merasa bangga atas pemberian bunga itu, Kang." Panji Klobot berlagak
manja.
"Kenapa dia tidak
bangga?"
"Katanya, kalau cuma
bunga dia sudah sering melihat, soalnya dia kan termasuk perawat taman. Jadi
dia sudah tidak merasa aneh lagi dengan bunga, Kang."
"Jadi yang diminta
Murbiah apa?"
"Kata Murbiah, kalau aku
memang benar-benar cinta padanya, aku harus bisa mengalahkan Pangkar
Soma."
"Siapa itu Pangkar
Soma?"
"Ketua perampok yang dulu
membantai habis keluarganya Murbiah. Waktu itu Murbiah selamat, sebab sedang
buang hajat di jamban kebun belakang rumah."
"Jadi gara-gara buang
hajat dia selamat?"
"Iya. Tapi sampai
sekarang dia masih dendam kepada Pangkar Soma. Dia bersumpah pada dirinya
sendiri, sebelum Pangkar Soma mati, dia tidak ingin jatuh cinta pada pria mana
pun. Lha, kalau aku kepingin dicintai dia, syaratnya ya harus bisa membunuh
Pangkar Soma!"
"Kalau begitu, ya
sudah... bunuh saja si Pangkar Soma."
"Bunuh, bunuh,
bunuh...," Panji Klobot cemberut kesal. "Apa kau kira Pangkar Soma
itu seekor kutu yang mudah digites lalu habis perkara?! Jangankan membunuhnya,
baru mendekatinya saja mataku sudah bengkak mendadak, Kang!"
Pendekar Mabuk tertawa geli.
Panji Klobot semakin cemberut jengkel.
"Kang, tolong ajari aku
jurus-jurus yang kau pakai untuk mengalahkan Malaikat Kabut Gamping itu," bujuk
Panji Klobot.
"Itu tidak mudah, Panji
Klobot!"
"Ya dibuat mudah gimana
caranya, gitu Kang! Kalau terpaksa harus pakai puasa, akan kujalani juga kok,
Kang. Asal selama puasa aku boleh makan ubi sama minum wedang jeruk."
"Itu namanya bukan puasa,
tapi rakus!" ujar Suto Sinting sambil tertawa.
"Ayolah, Kang... ajari
aku jurus-jurus mautmu itu. Dua jurus saja, yang penting bisa dipakai untuk
membunuh Pangkar Soma. Jurus lainnya tak perlu kau ajarkan padaku. Cukup dua
saja," sambil dua jari si Panji Klobot berdiri tegak di depan hidung Suto
Sinting.
"Maaf, Panji... aku tidak
berani menurunkan ilmuku kepada siapa
pun sebelum mendapat izin dari guruku; si Gila Tuak."
"Kalau begitu, mari kita
menghadap gurumu dulu, Kang. Minta izinlah dulu kepada Kang Gila Tuak supaya.
"
"Husy! Enak saja kau
panggil guruku Kang Gila Tuak."
"Habis bagaimana
seharusnya aku memanggil beliau, Kang?" "Eyang! Eyang Gila Tuak dan
Eyang Bidadari Jalang!"
"Iya, iya... aku sanggup
memanggil gurumu Eyang Maha Eyang, asal aku mendapat dua ilmu dahsyatmu
itu."
"Ilmuku tidak untuk
membunuh orang dan membalas dendam."
"Tapi kenapa si Malaikat
Kabut Gamping kau bunuh?"
"Karena dia melawan saat
kusuruh untuk meninggalkan jalan sesatnya. Jika dia melawan dan mengajak beradu
nyawa, yaaah... apa boleh buat, mau tak mau aku rampungkan masa hidupnya
ketimbang aku yang kehilangan nyawa?!"
"Jadi...," Panji
Klobot semakin murung. "... kau keberatan jika menurunkan ilmumu untukku,
Kang?"
"Panji Klobot,"
Pendekar Mabuk menepuk punggung pemuda itu,"... untuk apa kau menuntut
ilmu kalau hanya untuk membalas dendam kepada seseorang. Belajarlah berbagai
macam ilmu untuk menjaga kedamaian di dunia, bukan untuk membalas dendam."
"Tapi ini ada hubungannya
dengan soal cinta lho, Kang!" Panji Klobot membela diri.
"Iya, aku tahu...,"
Suto mengangguk-angguk.
"Aku cinta banget sama si
Murbiah, Kang. Kalau cintaku tidak kebangetan, aku tidak akan memburu Pangkar
Soma. Habis, yang diminta Murbiah adalah mengalahkan Pangkar Soma. Lha nanti
kalau Pangkar Soma dikalahkan orang lain, Murbiah bisa jatuh cinta sama orang
lain. Kalau Murbiah jatuh cinta sama orang lain, lantas aku jatuh cinta sama
siapa, Kang?"
"Murbiah kan punya
kambing?" "Masa aku kau suruh jatuh cinta sama kambing?!" Panji
Klobot semakin cemberut, mulutnya menjadi runcing mirip ujung tombak.
"Maksudku, Murbiah kan
punya kambing, kau minta kambingnya lalu kau jual, kau pakai uangnya untuk kau
jadikan mas kawin buat melamar gadis lain. Begitu...!"
"Ah, kalau tidak sama
Murbiah, aku tidak mau kawin."
"Panji Klobot, bukalah
mata hatimu dan pikiranmu. Di dunia ini bukan hanya Murbiah sendiri yang jadi
perempuan...." .
"Lha, ya jelas!"
potong Panji Klobot. "Kalau di dunia ini perempuannya cuma Murbiah, nanti
Murbiah jadi istrinya orang banyak, Kang! Aku sudah tidak bergairah lagi sama
Murbiah."
"Maksudku, jangan kau
jatuh cinta secara sempit.
Jatuh cintalah secara lebar.
"
"Jatuh cinta kok disuruh
lebar, apa kau pikir jatuh cinta itu sejenis tikar buat kendurian?" potong
Panji Klobot lagi sebagai ciri sifatnya yang suka ngotot jika dinasihati
seseorang. Suto Sinting hanya tersenyum- senyum menahan geli.
"Mungkin kau kurang
wawasan, sehingga belum tahu bahwa di luar kadipaten, banyak perempuan yang
lebih cantik dari Murbiah. Kalau kau gagal dapatkan Murbiah, kau bisa berburu
perempuan lain yang sama dengan Murbiah atau lebih tinggi nilai kecantikannya
dengan Murbiah."
"Untuk apa dapatkan
perempuan yang lebih tinggi dari Murbiah. Tinggi-tinggi nanti malah disambar
petir, hangus semua!" ujarnya dengan bersungut-sungut.
Tiba-tiba mereka mendengar
suara, "Jangan takut, Panji Klobot. Aku akan mengajarimu beberapa jurus
maut!"
Pendekar Mabuk dan Panji
Klobot sama-sama terkejut. Mereka memandang sekeliling, tapi tak terlihat siapa
pun di sana selain mereka berdua. Panji Klobot jadi takut, lalu bergeser
mendekati Suto.
"Suara siapa itu tadi,
Kang?"
"Entahlah, yang jelas
suara itu suara seorang perempuan."
"Wah, jangan-jangan peri
penunggu hutan ini, Kang?!" sambil Panji Klobot bergidik merinding.
"Mudah-mudahan neneknya
peri," kata Suto Sinting seenaknya sambil masih mencoba mencari si pemilik
suara tadi dengan mempertajam pandangan matanya.
"Aneh, di mana perempuan
itu berada? Coba kugunakan jurus 'Lacak Jantung'-ku untuk mencarinya,"
ujar Suto membatin. Lalu, ia menggunakan jurus 'Lacak Jantung' yang bisa
mendengarkan suara detak jantung orang lain.
"Hmmm... tak ada suara
detak jantung orang lain kecuali jantungnya Panji Klobot dan jantungku
sendiri?!" Suto kian berkerut dahi pertanda semakin heran. Sementara itu
Panji Klobot semakin mendesak Suto karena ketakutan.
"Aduh, celaka!"
sentak Suto.
"Ada apa, Kang? Kau
melihat peri itu? Di mana dia, Kang?! Di mana...?!"
"Bukan melihat peri!
Kakiku kau injak seenaknya!
Minggir!"
"Oh, maaf, Kang...
maaf...! Anggap saja yang menginjak si peri itu, Kang!"
"Maaf, maaf... kalau
sudah lecet begini baru maaf!" Suto Sinting menggerutu. Panji Klobot ingin
tertawa, tapi rasa takut membuatnya menjadi tetap tegang dan berdebar-debar,
sehingga sulit tertawa.
Suara perempuan itu terdengar
lagi, "Hik, hik, hik, hik... kalian seperti tikus mendengar suara kucing.
Kalau saja kalian punya kumis, aku yakin kumis kalian akan melengkung ke bawah,
bahkan mungkin pada rontok berjatuhan. Hik, hik, hik...!"
Panji Klobot menyeringai
menahan rasa takutnya. la tak berani jauh-jauh dari Suto Sinting, sementara si
murid sinting Gila Tuak itu semakin mempertajam indera pendengarannya untuk
menentukan di mana letak si pemilik suara itu. Karena suara tersebut kadang
terdengar di depan mereka, kadang di belakang, sesekali terdengar di samping
kanan atau kiri mereka.
"Kang, cepat kita pergi
dari sini saja, Kang!" bisik Panji Klobot.
"Tenang saja. Aku jadi
penasaran dengan suara itu. Kita cari
sampai ketemu siapa yang bicara dengan pamer ilmu di depanku itu!"
Lalu, suara perempuan itu
terdengar kembali, terasa semakin dekat dengan mereka.
"Panji Klobot, kalau kau
ingin dapatkan ilmu dahsyat dariku, carikan aku setangkai Bunga Kecubung Dadar.
Hanya itu syarat yang harus kau penuhi, maka beberapa kesaktianku akan
kuturunkan kepadamu, Panji Klobot!"
Pendekar Mabuk dan Panji
Klobot saling berpandangan dengan dahi berkerut. Suara yang kedengarannya
renyah dan merdu itu hilang untuk beberapa saat. Hutan jati mengalami kesunyian
yang amat mencekam. Yang ada hanya suara desau angin dan gemerisiknya dedaunan.
Setelah menunggu beberapa saat
ternyata suara perempuan itu tak terdengar lagi, Pendekar Mabuk segera berkata
kepada Panji Klobot dengan berbisik pelan sekali.
"Jangan hiraukan suara
itu. Dia sengaja mempermainkan kita, Panji!"
Tetapi suara Suto yang begitu
pelan dan membisik itu ternyata dapat didengar oleh perempuan misterius itu.
"Kau tak perlu
mempengaruhi Panji Klobot, Sahabatku itu, Bocah Sinting!"
Pendekar Mabuk terperanjat,
ternyata suaranya yang sepelan itu masih bisa didengar oleh perempuan
misterius. Tapi kali ini Pendekar Mabuk mencoba menanggapi kata-kata si pemilik
suara tadi.
"Tunjukkan dirimu di
depan kami jika kau bermaksud baik kepada Panji Klobot!"
"Itu bukan urusanmu. Aku
tidak punya urusan denganmu, Bocah Sinting! Aku hanya punya urusan dengan Panji
Klobot!" ujar suara aneh itu.
"Aku juga sahabatnya
Panji Klobot. Jika kau ingin mencelakakan Panji Klobot, sama halnya kau punya
urusan denganku, Nona!" Suto bicara sambil memandang ke sana-sini seakan
bingung mengarahkan suaranya.
"Panji Klobot," kata
suara perempuan itu. "Jangan hiraukan kata-kata si bocah sinting itu.
Pergilah dan cari Bunga Kecubung Dadar secepatnya. Aku ingin segera turunkan
ilmuku kepadamu agar kau bisa membunuh Pangkar Soma!"
Tapi Suto Sinting menyahut,
"Tidak! Jangan pergi ke mana-mana, Panji Klobot! Kuntilanak itu akan
menyesatkan dirimu dan memperdayamu supaya dia memperoleh keuntungan tapi kau
sendiri tidak mendapatkan apa-apa kecuali bencana!"
"Bocah sinting!"
suara itu bernada keras. "Kuharap kau tidak mencampuri urusanku, karena
aku tak ingin marah padamu!"
"Silakan marah padaku,
aku ingin tahu seberapa tinggi ilmumu sehingga berani memperdaya sahabatku; si
Panji Klobot ini!" tantang Suto dengan sengaja agar sosok perempuan itu
menampakkan diri.
Tetapi tiba-tiba punggung Suto
Sinting seperti dihantam dengan sebatang balok kayu yang cukup besar.
Bhuueek...!
"Uuhk...!" Suto
Sinting terpekik dan tubuhnya tersentak ke depan hingga jatuh tersungkur di
tanah.
"Kaaang...!" Panji
Klobot kaget dan terpekik dengan semakin ketakutan.
Pendekar Mabuk menyeringai
menahan rasa sakit yang terasa seperti mematahkan tulang punggungnya. la
menggeliat bangkit pelan-pelan. Tetapi tiba-tiba lagi wajahnya bagai ada yang
menendang dari depan. Ploook...!
"Aauh...!" Pendekar
Mabuk tersentak dan berguling ke kiri setelah wajahnya terdongak dengan keras.
Sementara si pemilik kaki yang menendang tadi tetap tidak kelihatan. Panji
Klobot sendiri dicekam rasa heran dan kebingungan karena ia tidak melihat
siapa- siapa di situ kecuali mereka berdua.
"Kang, ada apa? Kenapa
kau pura-pura jatuh, Kang?"
"Pura-pura
dengkulmu!" gerutu Suto Sinting sambil menyeringai kesakitan. la memegang
tulang pipinya yang tadi terasa mendapat tendangan cukup keras. Ternyata tulang
pipi itu memar dan terasa bengkak. Disentuh sedikit saja sakitnya bukan main.
"Kang Suto..., mengapa
wajahmu jadi biru begitu?
Kau bedaki pakai blau pemutih
pakaian, ya?!" Kepala Panji Klobot didorong oleh Suto Sinting dengan
sentakan agak keras sebagai tanda kejengkelan Suto mendengar pertanyaan seperti
itu.
"Aku seperti ada yang
menendangnya. Bukan sengaja membedaki wajah pakai blau!" sentak Suto
Sinting sambil masih duduk di tanah dan sesekali menyeringai menahan rasa
sakit. la buru-buru menenggak tuaknya. Tuak dari dalam bumbung itu mempunyai
khasiat penyembuhan yang sangat mujarab, sehingga dalam beberapa kejap saja
rasa sakit Suto menjadi berkurang dan lama-lama hilang. Warna biru memar di wajahnya
pun segera lenyap, lalu tubuh Suto Sinting merasa segar kembali.
"Panji, berlindunglah di
balik pohon. Agaknya peri edan ini mau main-main denganku!" kata Suto
sengaja dikeraskan supaya didengar oleh si pemilik suara perempuan tadi.
Tetapi suara perempuan itu
terdengar menertawakan ucapan Suto dengan suara tawa mengikik seakan terbang
dari pohon ke pohon, mengelilingi Panji Klobot dan Suto Sinting.
"Hik, hik, hik...! Cacing
pita mau melawan naga raksasa, uuh... mana mungkiiiin...!"
Suto Sinting semakin
penasaran. la segera menyodokkan bumbung tuaknya dengan memainkan jurus
mabuknya yang sempoyongan ke sana kemari. Tetapi sodokan bambu tuaknya tidak
mengenai apa- apa. Bahkan suara tawa perempuan tanpa wujud itu semakin berderai
terkikik-kikik. Panji Klobot sendiri merasa tambah bingung melihat Suto mencak-
mencak tanpa lawan.
"Kang, Kang... sadar,
Kang! Jangan kumat di sini, Kang. Hoi... sadar, kita dalam bahaya, jangan malah
gila sendiri begitu, Kang!" Plaaak...!
Suto jengkel, akhirnya Panji
Klobot ditamparnya dengan pelan.
"Aku bukan kumat gilaku.
Aku mencoba menyerang suara itu. Siapa tahu salah satu jurus seranganku ada
yang kenai tubuhnya!" sentak Suto Sinting sambil terengah-engah sedikit.
"Ooo... kukira kau
tiba-tiba kumat gilanya dan mencak-mencak sendiri," ujar Panji Klobot
pelan.
"Hik, hik, hik, hik...!
Dasar bocah sinting, sudah dikasih tahu tak akan bisa melawanku masih ngotot!
Sebaiknya biarkan Panji Klobot mencari Bunga Kecubung Dadar untukku. Tak perlu
kalian buang- buang waktu dan tenaga. Lekas cari dan aku akan memberinya upah
beberapa jurus saktiku untuk si Panji Klobot!"
"Bunga Kecubung Dadar itu
seperti apa, Yu?!" tanya Panji Klobot kepada si pemilik suara dengan nada
ragu. "Dan lagi, di mana aku bisa mendapatkan bunga itu, Yu?"
"Mana kutahu! Kalau aku
tahu sudah kuambil sendiri. Untuk apa menyuruhmu, Tolol!" sentak suara
perempuan itu dengan nada jengkel.
Suara itu datang dari arah
kiri. Suto Sinting segera melepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh ke arah
kiri. Wuuut...! Bruuus...! Pukulan tanpa sinar itu hanya mengenai serumpun
semak. Padahal yang diharapkan pukulan tanpa sinar itu dapat mengenai si
pemilik suara misterius itu. Namun kenyataannya Suto Sinting justru
ditertawakan oleh perempuan tanpa wujud dengan mengikik bagaikan terbang dari
pohon ke pohon berkeliling di tempat itu.
"Hik, hik, hik, hik...!
Bocah sinting masih penasaran dan ingin coba-coba menyerangku! Terimalah
serangan balasanku ini, hiiah...!"
Tiba-tiba pohon di belakang
Suto Sinting patah dan tumbang ke arah Suto. Krrrak...! Brruuukk...!
Wees, zlaaap...! Suto Sinting
lakukan lompatan cepat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya
melebihi anak panah lepas dari busurnya itu. Tapi ia juga sempat menyambar
Panji Klobot, disahut ketiak kirinya dan dibawa pergi bagai menenteng bangkai
kucing.
"Ooh...?! Apa yang
terjadi, Kang Suto?!" Panji Klobot terbengong dengan wajah tegang sambil
memandang pohon yang tumbang itu. Seandainya ia tak disambar Suto, mungkin
tubuhnya akan menjadi sele gepeng kejatuhan pohon sebesar itu.
Pendekar Mabuk hanya menarik
napas dan membatin, "Perempuan itu agaknya benar-benar menginginkan Panji
Klobot mencari bunga tersebut. Hmmm..., tapi siapa dia sebenarnya?! Bagaimana
kalau kutengok dengan menggunakan mata gaibku?"
Pendekar Mabuk segera mengusap
keningnya dengan tangan kiri. Slaab...!
Seharusnya Pendekar Mabuk
dapat melihat perempuan tanpa rupa itu jika memang perempuan tersebut berada di
alam gaib. Sebab, di kening Suto terdapat noda merah kecil sebiji jagung. Noda
merah itu tak dapat dilihat oleh setiap orang, kecuali yang berilmu tinggi dan
bisa menggunakan indera ketujuhnya.
Noda merah itu pemberian Ratu
Kartika Wangi, yaitu ibu dari Dyah Sariningrum, calon istri Suto, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Manusia Seribu Wajah").
Jika titik merah di kening
Suto diusap dengan dengan kiri, maka ia akan dapat melihat kehidupan di alam
gaib. Jin, siluman dan tetek bengeknya dapat dilihat dengan mata Suto. Tapi
jika diusap dengan tangan kanan, maka Suto akan dapat masuk ke alam gaib, atau
berada di negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib yang menjadi kekuasan Gusti
Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu.
Tetapi kali ini ternyata Suto
Sinting tidak menemukan sesosok wanita yang menjadi pemilik suara tersebut.
Malahan ia melihat beberapa sosok makhluk tinggi-besar, berkulit hitam dengan
mata sebesar cangkir dan kepala gundul bertanduk.
"Huaah...!" Suto
memekik ketakutan sambil menahan tawa geli sendiri. Lalu ia buru-buru mengusap
titik merah di keningnya untuk menutup penglihatan gaibnya.
"Ada apa, Kang?!"
tanya Panji Klobot setelah ikut terlonjak kaget
"Aku melihat beberapa jin
di seberang sana.
Hiiih...! Ngeri!"
"Jadi yang bersuara itu
tadi jin, ya Kang?"
"Bukan. Jin-jin yang ada
di sana pada bungkam dan memandangi kita yang kebingungan. Mungkin malah mereka
sangka aku ini orang gila, menyerang sendiri, jatuh sendiri, sembuh sendiri..!
Sial! Cepat tinggalkan tempat ini, Panji! Kau ikut aku!''
Tiba-tiba suara perempuan itu
terdengar lagi, "Hik, hik, hik.... Jangan lupa Bunga Kecubung Dadar ya,
Panji?!"
"Diam kau!" bentak
Suto yang menjadi semakin jengkel.
"Aku tidak ngomong
apa-apa kok, Kang!"
"Bukan kau yang kusuruh
diam!" bentak Suto kepada Panji Klobot, dan yang dibentak hanya garuk-
garuk kepala dengan wajah cemberut sedih. *
* *
2
LUPAKAN tentang suara
perempuan itu tadi," kata Suto Sinting kepada Panji Klobot ketika mereka
berada di sebuah kedai.
"Ya, Kang," Panji
Klobot bersikap patuh kepada Suto Sinting.
"Pesan makanan sesukamu!
Aku habis dapat pesangon dari Adipati, jangan takut makananmu tidak kubayar! Berapa pun akan kubayar, asal
kau benar-benar melupakan kata-kata dari suara tanpa rupa tadi."
"Suara yang mana,
Kang?" Panji Klobot berlagak benar-benar lupa. Pendekar Mabuk hanya
tersenyum sedikit dongkol, karena ia tahu bahwa Panji Klobot sebenarnya tidak
lupa dengan suara perempuan tadi. Karena mendapat izin untuk memesan apa saja,
Panji Klobot segera memesan ingkung bakar dan nasi liwet dua piring. Padahal
harga ingkung bakar cukup mahal. Hanya para saudagar atau orang-orang kaya yang
memesan ingkung bakar untuk santap makan mereka. Bahkan Panji Klobot bukan saja
memesan ingkung bakar, melainkan juga beberapa makanan lainnya, sehingga di
mejanya penuh dengan berbagai macam makanan yang nyaris tidak punya tempat
untuk meletakkan piring tempat
nasi.
Pendekar Mabuk yang ada di
meja sampingnya hanya geleng-geleng kepala melihat pesanan Panji Klobot. la
segera menggumam dengan suara yang didengar oleh Panji Klobot sendiri.
"Kau mau makan apa mau
kenduri?!" Panji Klobot tertawa cengengesan.
"Sebelum aku menyusulmu,
aku sudah pamit keluar dari pekerjaanku di kadipaten. Jadi, belum tentu di
hari-hari mendatang aku dapat menikmati santapan selezat ini, sebab sudah tidak
bekerja di kadipaten lagi."
Salah seorang pembeli ada yang
menegur Suto sambil ingin membayar biaya makannya kepada si pemilik kedai.
"Kang, temanmu itu
perutnya terbuat dari apa, kok makanannya sebanyak itu?"
Suto menjawab, "Itu tidak
dimakan semua. Makanan yang lainnya hanya sesaji untuk para dewa. Dia
sebenarnya termasuk keponakan Dewa Maruk."
"Ooo... keponakan dewa?!
Wah, maaf ya... tolong mintakan maaf pada temanmu itu, Kang. Aku takut dikutuk
karena disangka menghinanya...." Orang tersebut buru-buru menyerahkan uang
kepada si pemilik kedai dan langsung ngacir tak berani menengok ke arah kedai
lagi.
Pendekar Mabuk hanya tertawa
cekikikan dengan mulut ditutup tangan. Panji Klobot yang mendengar ucapan Suto
tadi juga ikut tertawa sambil memperhatikan kepergian orang tersebut.
"Bagus, Kang. Kau
melindungi nama baikku, kupikir-pikir... aku ini sepertinya memang keponakan
dewa, Kang!"
"Jangan banyak omong!
Makan dan habiskan semua pesananmu itu! Kalau tidak habis kujejalkan ke
mulutmu!" kata Suto Sinting sambil menghitung berapa kira-kira biaya yang
harus dikeluarkan untuk jumlah pesanan Panji Klobot itu. Dalam hatinya sang
Pendekar Mabuk menggerutu bernada canda.
"Kalau begini caranya
bisa bangkrut, ludes semua uangku masuk ke perutnya!"
Bumbung tuak ditambah isinya
hingga penuh, tapi Suto masih pesan tuak sendiri satu guci kecil. Selain tuak,
ia juga memesan makanan untuk mengisi perutnya.
Sepotong ketan bakar
diambilnya, lalu dimasukkan dalam mulut. Namun sebelum ketan itu masuk ke
mulut, tiba-tiba tangan Suto Sinting seperti ada yang menampelnya. Plaaak...!
Ketan pun jatuh ke lantai. Pluk!
"Sial!" gerutu Suto
Sinting, lalu melirik ke kanan- kiri, pelan-pelan badannya membungkuk tangannya
terjulur ke bawah mau mengambil ketan bakar. "Sayang kalau tak diambil.
Belum ada lima kedip, masih sah untuk dimakan!" pikir Suto.
Tetapi ketika ketan mau diraih
tangan, tiba-tiba pemilik kedai menegur Suto Sinting, "Ada yang bisa
kubantu, Nak?"
Suto buru-buru tegak dengan
setengah kaget, "Oh, hmmm... anu... tidak ada apa-apa kok, Pak."
"Agaknya ketan bakarmu
jatuh, ya?"
"Iya, tapi memang sengaja
kujatuhkan, sebab tadi kulihat ada seekor kucing yang berkeliaran di sini. Aku
sengaja memberi makan kucing itu."
"O, itu kucing kesayangan
anakku. Terima kasih atas kebaikanmu memberi makan kucing kesayangan putriku,
Nak."
"Sama-sama, Pak
Tua...," sambil Suto anggukkan kepala dan tersenyum ramah. Akhirnya ia
urung mengambil ketan bakar itu dengan hati menyimpan rasa malu.
Kini ia mencomot ketan bakar
lagi. Ketika ketan mau masuk ke mulut tiba-tiba tangannya seperti ada yang
menamparnya kembali. Plak...! Pluk! Ketan pun jatuh kembali ke lantai. Suto
Sinting tarik napas dan melirik ke kanan-kiri.
"Sial! Jatuh lagi!"
gerutunya dalam hati.
Sementara itu, Panji Klobot
sibuk menikmati santapannya tanpa mau melirik ke arah Suto sedikit pun. Hal itu
membuat Suto semakin dongkol, namun hanya bisa dipendam dalam hati.
Kini Suto Sinting mengambil
sepotong tempe goreng untuk lauk nasi yang sudah siap di depannya. Tetapi baru
saja tempe goreng mau digigitnya, tiba- tiba tempe itu melesat terbang dan
jatuh di piring orang lain. Pluk...!
"Bah...? Rezeki dari mana
ini? Ah, lumayan! Embat sajalah!" ujar orang itu kepada temannya sambil
tertawa lalu memakan tempe goreng itu.
Suto Sinting menarik napas.
"Pasti pekerjaan perempuan yang tak mau tunjukkan rupanya itu!" geram
Suto Sinting dalam hati. Lalu, tangan yang habis memegang tempe itu dimasukkan
ke dalam mulut.
"Hmmm... lumayan, tidak
dapat tempenya dapat rasa asinnya," pikir Suto Sinting, kemudian menyuap
nasi ke mulutnya.
Tapi baru saja nasi mendekati
bibir, tiba-tiba tangan Suto seperti ada yang menyenggolnya. Plok...!
Weerrs...! Nasi pun tumpah menyebar di meja, berantakan ke mana-mana. Bahkan
sebagian melekat di wajah Suto Sinting.
"Edan!" geram Suto
dalam hati dengan sikap diam menahan kejengkelan.
"Lho, Kang...? Kau makan
apa mandi nasi?!" tegur Panji Klobot yang kebetulan memandang ke arah
Suto.
"Jangan banyak bicara
kau, Panji! Makan saja sesuai jatahmu!" ucap Suto dengan nada geram.
Pendekar Mabuk yakin perbuatan
itu pasti keusilan si pemilik suara yang tak mau tunjukkan wajahnya itu.
Pendekar Mabuk mencoba melirik kesana-sini mencari perempuan itu. Tapi di kedai
tersebut tak ada tamu perempuan. Satu-satunya perempuan adalah gadis anak
pemilik kedai. Tapi gadis itu ada di dapur, jauh dari jangkauan Suto. Tak
mungkin gadis itu yang melakukannya.
Pendekar Mabuk akhirnya hanya
menenggak tuak dari guci sebagai obat kecewa. Tetapi tiba-tiba guci itu pun
pecah saat dituang ke mulut. Praaak...!
Pyuuur...! Tuak dari dalam
guci menyiram wajah Suto Sinting. Suara pecahnya guci menjadi perhatian para
tamu di kedai tersebut. Akhirnya Suto Sinting menjadi bahan tertawaan para
tamu.
"Hoi, Sobat... kau mau
minum tuak apa mau mandi?!" tegur seorang tamu sambil terbahak-bahak.
Suto berseru dengan berlagak
tersenyum girang. "Beginilah caraku meminum tuak. Kalau tidak
sekalian mengguyur wajah,
rasa-rasanya kurang puas!"
Tapi Suto pun berkata dengan
suara geram, "Hei, Perempuan Gila...! Kalau kau menggangguku lagi, aku tak
akan mau membantu Panji Klobot mencarikan Bunga Kecubung Dadar!"
Tiba-tiba Suto seperti
mendengar suara perempuan berbisik di dekatnya.
"Akan kuganggu kau kalau
tak mau membantu mencarikan itu!"
"Maksudmu mencarikan
bunga itu?!" "Benar!"
"Baik, akan kubantu
mencarikan bunga itu, tapi kumohon kau tidak menggangguku, Nona!"
"Hik, hik, hik...!" suara tawa itu membisik bagai berada di gendang
telinga Suto. Suto pun bergidik geli sambil menyeringai. Tanpa sadar ia
dipandangi oleh para pembeli yang ada di kedai tersebut. Mereka saling
berkasak-kusuk menyangka Suto gila.
"Mengapa kau memanggilku
Nona?" tanya suara aneh itu.
"Karena suaramu masih
kedengaran seperti suara seorang gadis. Bukan suara seorang nenek," jawab
Suto Sinting sambil mengeringkan wajahnya memakai baju.
"Aku memang masih gadis,
tapi sudah tidak perawan lagi. Hik, hik, hik...!"
"Kau pelacur, ya?"
Plaaak...!
Tiba-tiba kepala Suto
tersentak ke samping dan beberapa orang mendengar suara tamparan keras. Pipi
kanan Suto pun menjadi merah. Orang-orang yang memandangnya menjadi terkejut
dan terheran- heran. Suto Sinting sadar kalau sedang diperhatikan orang banyak.
la menjadi malu, dan buru-buru menutup rasa malunya dengan berlagak menampar
pipinya yang kiri. Plaaak...!
Lalu ia bicara kepada si
pemilik kedai yang juga memperhatikan dengan heran.
"Di sini banyak nyamuk!
Sudah dua kali aku digigit nyamuk. Dan ternyata nyamuk di sini pandai silat
semua. Buktinya dua kali kutampar, ia pandai menghindar, malah wajahku sendiri
yang kena tampar!"
"Hah, hah, hah,
hah...!" mereka menertawakan kata-kata Suto, menganggap Suto sedang melucu
di depan mereka.
"Kau pantas menjadi
pelawak, Anak Muda!" ujar seorang lelaki berkumis berusia sekitar lima
puluh tahun.
"Terima kasih. Itu memang
cita-citaku sejak kecil," jawab Suto Sinting walau hatinya memendam
kedongkolan yang ingin dilampiaskan dengan menggebrak meja.
"Cepat tinggalkan kedai
ini dan carilah bunga itu!" bisik suara perempuan yang aneh itu.
"Lihat, gara-gara ulahmu
aku jadi ditertawakan orang banyak begini! Setan juga kau!"
"Hik, hik, hik...! Aku
bukan setan dan juga bukan pelacur, Bocah Sinting. Aku punya nama
sendiri."
"Siapa namamu?!"
tanya Suto sambil memandang ke arah kiri, karena suara itu datang dari kiri.
Di sebelah kiri ada seorang
pemuda yang sedang menikmati nasi pecel. Pemuda berbaju merah itu segera
perdengarkan suaranya.
"Namaku: Wigata! Mau apa
kau tanya-tanya namaku segala?!"
"Aku bukan tanya padamu,
Sobat!" kata Suto dengan malu bercampur dongkol.
"Tapi kenapa kau bertanya
sambil memandang ku?!"
Pendekar Mabuk sulit
menjelaskan. Akhirnya hanya menarik napas dan diam termenung. Sementara itu,
Panji Klobot masih giat menyantap hidangannya sambil sesekali memandang kepada
Suto Sinting. Panji Klobot mulai mengetahui bahwa saat itu Suto Sinting sedang
diganggu oleh suara perempuan yang tak mau menampakkan wajahnya itu. Karenanya,
beberapa kejap kemudian Panji Klobot berkata kepada Suto,
"Kang, lupakan suara itu!
Jangan diingat-ingat lagi!"
"Kau menyindir anjuranku tadi, ya?!"
"Bukan begitu, Kang.
Kalau kau melayani suara perempuan tadi, kau seperti orang gila. Dan mereka
akan menganggapmu gila!"
Pendekar Mabuk serba salah.
Mau melayani suara aneh itu, dia akan dianggap gila oleh orang-orang di situ.
Mau diam saja, tapi suara aneh itu membisik terus di telinganya, seakan gadis
itu ikut duduk di samping Suto dan berjarak tak ada satu jengkal.
"Bocah sinting... kalau
kau ingin memanggilku, panggillah aku dengan nama Tenda Biru. Panggillah aku
dengan nama itu."
"O, kalau begitu kau
gadis panggilan, ya?" Plaaak...!
Sekali lagi Suto ditampar
hingga wajahnya terbuang ke samping. Orang-orang memandang Suto dengan
terperanjat dan terheran-heran. Suto Sinting mencoba mengibaskan tangannya ke
samping, seakan menampar balik perempuan yang ada di sampingnya. Wuuus...!
Tapi ia seperti menampar angin
dan tidak mengenai apa-apa. Justru kibasan tangannya yang secara tak sadar
mengandung kekuatan tenaga dalam itu menghadirkan angin kencang, Weees,..!
Angin kencang itu menyapu
barang-barang di meja samping, tempat si pemuda berbaju merah itu menikmati
makanannya. Barang-barang itu tumpah berantakan, si baju merah sendiri
tersentak ke belakang dan jatuh terjengkang. Brrruk...!
"Hei, mau cari gara-gara
kau, hah?!" bentak si baju merah.
"Maaf, maaf... aku tidak
sengaja. Maafkan aku! ujar Suto Sinting merasa bersalah.
Ploook...! Pemuda berbaju
merah itu menghantamkan tinjunya dan wajah Suto menjadi sasaran telak. Suto
terlempar ke belakang dan terpelanting jatuh. Kakinya berkelebat mengenai
pinggang Panji Klobot.
Buuukh...!
"Uukh...!" Panji
Klobot mendelik, makanan yang sedang dikunyahnya tersembur keluar. Bruuwws...!
Kerasnya semburan membuat makanan dari mulut Panji Klobot menghambur mengenai
wajah orang yang ada di depannya. Tentu saja orang itu menjadi berang dan
segera menampar Panji Klobot.
Ploook...!
"Bocah edan! Wajah orang
dianggap lantai kamar mandi, dipakai buat tempat muntahan! Dasar kambing dungu
kau, hah?!" bentak orang itu sambil memaki-maki Panji Klobot.
"Wah, kalau begitu
caranya bisa kacau dan malu sekali aku!" pikir Suto Sinting. Kemudian ia
segera menemui pemilik kedai dan membayar semua biaya makan tersebut.
"Uang ganti guci yang
pecah belum, Nak."
"Oh, ya... hmmm... ini
uang pengganti guci yang pecah itu!" sambil Suto menambahkan uang kepada
si pemilik kedai.
"Panji, lekas tinggalkan
tempat ini!" perintah Suto Sinting sambil bergegas pergi, sementara
orang-orang memperhatikan dan melontarkan hinaan macam- macam yang membuat
wajah Suto menjadi merah menahan marah.
Sampai di luar kedai, Panji
Klobot segera ajukan tanya kepada Suto Sinting.
"Kang, kenapa buru-buru
pergi. Makananku belum habis semua, Kang!"
"Tenda Biru bikin kacau
segalanya! Daripada kita menderita malu lebih banyak lagi, mendingan kita
cepat-cepat hindari tempat itu!"
"Tenda Biru...?! Aku
tidak melihat orang buka tenda biru di situ, Kang!" kata Panji Klobot
dengan lugunya karena ia tak tahu maksud Suto. Si Pendekar Mabuk membiarkan
ucapan Panji Klobot, karena tiba- tiba langkahnya terhenti seketika.
Seseorang telah menghadang di
depannya dengan berdiri tegak dan kakinya sedikit merentang. Orang itu
memandang Suto Sinting dengan mata tajam dan bersikap bermusuhan. Panji Klobot
sendiri segera hentikan langkah dan memandang orang yang menghadang dengan dahi
berkerut.
"Siapa orang itu,
Kang?" bisik Panji Klobot. "Entahlah. Mungkin orang linglung yang mau
cari
gara-gara kepada kita, Panji!
Bersiaplah untuk berlindung agar tak menjadi tempat salah sasaran," bisik
Suto Sinting yang membuat Panji Klobot segera menepi secara perlahan-lahan.
Orang yang menghadangnya itu
adalah seorang lelaki berusia sebaya dengan Suto Sinting. la tampak kekar dan
berotot juga, seperti Suto Sinting. Rambutnya panjang diriap sepunggung,
kepalanya mengenakan kain penutup warna merah dengan ikatan sampul di belakang.
Pemuda sebaya Suto itu mempunyai kumis tipis dan wajah yang lumayan ganteng
dengan pakaian serba hijau cerah.
*
* *
3
MENGAPA kau berdiri
menghadangku, Sobat?" tegur Suto dengan tenang. Pemuda berpakaian serba
hijau itu menjawab dengan nada dingin.
"Aku ingin menantangmu.
Kau yang bernama Suto Sinting; si Pendekar Mabuk itu, bukan?"
"Memang benar. Tetapi
mengapa kau ingin menantangku?"
"Aku punya dendam
padamu."
"Mengapa kau punya dendam
padaku, Kawan?" "Karena kau telah melenyapkan seluruh ilmu milik
adikku."
"Siapa adikmu itu?"
"Naga Langit!" jawab
pemuda itu dengan tegas.
Pendekar Mabuk berkerut dahi.
Dalam benaknya segera muncul pemuda bernama Naga Langit yang pernah berhadapan
dengannya. Pemuda itu mempunyai ilmu 'Lintah Tambak Cumbu' pemberian Nyai Mata
Binal. Ilmu itu dapat untuk menyedot seluruh ilmu lawan dengan cara berhubungan
mesra bersama lawan jenisnya yang berilmu tinggi. Salah satu korban Naga Langit
adalah Gadis Dungu, yang kehilangan seluruh ilmunya setelah kencan dengan Naga
Langit.
Pada waktu itu, Suto Sinting
berhasil menemukan kelemahan pemilik ilmu 'Lintah Tambak Cumbu'. Bayangan orang
tersebut jika dihantam akan pecah, hilang, dan muncul lagi. Setelah begitu orang
tersebut akan kehilangan seluruh ilmunya, termasuk ilmu 'Lintah Tambak
Cumbu'-nya. Dan, Suto Sinting berhasil menghantam bayangan Naga Langit,
sehingga Naga Langit menjadi seperti Gadis Dungu atau para korban lainnya,
yaitu kehilangan seluruh kekuatan dan ilmunya, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Perempuan Jahanam").
"Ya, aku ingat tentang
Naga Langit," kata Suto Sinting. "Tapi aku belum tahu siapa namamu,
Sobat? Mana mungkin aku mau melayanimu karena aku tak percaya kalau kau adalah
kakaknya si Naga Langit?!"
"Buka matamu lebar-lebar
dan buka telingamu yang congek itu! Akulah yang bernama Taring Naga, juga murid
mendiang Begawan Girimaya dari Gunung Pantura!"
"O, ya... kudengar si
Naga Langit juga murid Begawan Girimaya dari Gunung Pantura. Tetapi seandainya
mendiang guru kalian masih hidup, kurasa guru kalian juga mengecam dan tidak
setuju dengan tindakan Naga Langit yang menerjang pranata kesusilaan itu,
Taring Naga!"
"Persetan dengan
kemungkinanmu! Sekarang aku harus membalas kekalahan Naga Langit, adikku itu!
Heeeeat...!"
Taring Naga tiba-tiba
menerjang Pendekar Mabuk dengan jurus tendangan bertenaga dalam. Pendekar Mabuk
menggeloyor seperti orang kebanyakan minum tuak mau jatuh. Gerakan menggeloyor
itu membuat tendangan Taring Naga meleset, tetapi tangan yang mengibas ke
samping itu sempat kenai wajah Suto Sinting. Plook...!
Pendekar Mabuk terpelanting
nyaris jatuh. Untung ada pohon, sehingga tangan Suto Sinting buru-buru
berpegangan pada pohon tersebut.
Tetapi baru saja Pendekar Mabuk
menjadi tegak, tiba-tiba tendangan kaki Taring Naga melesat mengarah ke wajah.
Beeet...!
Plak! Suto Sinting
menangkisnya. Lalu dengan cepat tubuh Suto berputar dengan kaki berkelebat
menendang cepat. Wuut, bet...!
Duuukh...! Punggung Taring
Naga terkena tentangan tumit Suto Sinting. Pemuda berbaju hijau itu tersentak
hingga bungkukkan badan. Panji Klobot ikut-ikutan menyerang. la segera
penendang pantat Taring Naga yang sedang terbungkuk itu. Duuukh...!
"Jebol...!" Panji
Klobot berseru setelah menenang. "Aaakh...!" Taring Naga tersentak
sambil pegangi
pantatnya, lalu tubuhnya
terguling ke depan dan jatuh duduk menyeringai. Panji Klobot sendiri cepat lari
sembunyi di balik pohon.
"Hati-hati kau...!"
hardik Pendekar Mabuk kepada Panji Klobot yang menganggap telah lakukan
tindakan dapat membahayakan diri sendiri.
Taring Naga cepat bangkit dan
mencabut pedangnya. Sreeet...!
"Kubunuh kalian berdua
sekarang juga! Tak akan kuberi... aduh?!"
Taring Naga menjadi tegang dan
berkerut dahi. la memegangi pantatnya kembali. Wajahnya tampak menyeringai
dengan bingung.
"Celaka! Kenapa tiba-tiba
perutku sakit sekali?! Aduuuh... ada yang ingin keluar, uuh... uuh... masuk
angin apa, ya?"
"Hi, hi, hi...!"
Panji Klobot tertawa cekikikan di balik pohon. Pendekar Mabuk justru berkerut
dahi dengan heran melihat Taring Naga kebingungan memegangi pantatnya.
"Aduh, mules sekali
rasanya! Sial! Aku... aku... aku tidak kuat kalau begini!" sambil Taring
Naga semakin menyeringai menahan sesuatu yang ingin keluar dari pantatnya.
"Tunggu!" serunya
kepada Suto. "Pertarungan kita tunda dulu! Kita lanjutkan setelah...
setelah... aduh, tak kuat lagi aku! Siaaal...!"
Taring Naga terpaksa lari
ngibrit dengan mendekap pantatnya memakai kedua tangan setelah pedangnya
dimasukkan ke dalam sarung pedang, ia berlari dengan terkekeh-kekeh mencari
sungai atau WC untuk melepaskan hajatnya. Sementara itu, Pendekar Mabuk
akhirnya ikut tertawa geli setelah Panji Klobot berkata kepadanya sambil
tertawa juga.
"Kugunakan satu-satunya
jurus pemberian almarhum pamanku. Namanya jurus 'Tendangan Cuci Perut'. Siapa
pun tak bisa menahan untuk tetap di tempat jika terkena jurus 'Tendangan Cuci
Perut'-ku itu. Pasti akan lari cari WC atau sungai untuk mengulas isi perutnya!
Heh, he, he, he…!"
Pendekar Mabuk dan Panji
Klobot mengikuti kepergian Taring Naga. Beberapa penduduk desa yang melihat
pertengkaran itu juga ikut-ikutan menyusul Taring Naga. Rupanya pemuda berbaju
hijau itu menuju sungai kecil yang sering dipakai untuk memandikan sapi atau
kerbau mereka. Dari kejauhan, para pengikut Taring Naga segera mendengar suara
histeris.
Brebeeet, breeet, breeettt...
treet, teet, te, te, te, tet, breeebet...!
"Huah, hah, hah, hah,
hah...!" mereka saling tawa terbahak-bahak, sementara Taring Naga hanya
bisa cemberut dengan wajah ngotot. Bukan saja menahan rasa malu, namun juga
menahan rasa heran karena 'setorannya' tidak berhenti-berhenti walau sudah
banyak yang dikeluarkan.
Pendekar Mabuk dan Panji
Klobot akhirnya meninggalkan desa itu. Perjalanan mereka teruskan untuk menemui
si Gila Tuak, guru utama Pendekar Mabuk. Selain sudah lama Pendekar Mabuk tidak
menengok keadaan gurunya itu, ia juga berkeperluan ingin menanyakan tentang
adanya Bunga Kecubung Dadar itu. "Sekalian aku ingin menanyakan kepada Guru,
bolehkah aku menurunkan ilmuku sejurus dua jurus kepada seseorang, seperti
misalnya kepada si Panji Klobot ini," ujar Suto Sinting dalam hatinya.
Tiba-tiba langit mendung
datang dan angin berhembus kencang. Rintik hujan turun sebutir demi sebutir.
Hujan bagai tak niat turun, sehingga menyangsikan si Pendekar Mabuk. Namun pada
saat itu, sebuah suara terdengar lagi bagai berada tepat di depan telinga Suto
Sinting.
"Di sebelah barat ada
gua. Meneduhlah dulu di sana!"
"Tenda Biru... kau masih
mengikutiku rupanya," ucap Suto Sinting yang membuat Panji Klobot
berpaling memandangnya, merasa diajak bicara oleh Suto.
"Tentu saja aku masih
mengikutimu, Kang. Habis aku benar-benar ingin punya ilmu seperti yang kau
punyai itu!"
"Aku tidak bicara padamu,
Panji."
"Lalu, bicara kepada
siapa? Oh... suara perempuan itu lagi, ya?"
Suara itu terdengar lagi,
"Lekas ke gua! Hujan akan deras!"
"Kau tak perlu cemas. Aku
akan menolak hujan ini!"
"Kau tak akan bisa
menolaknya, Bocah Sinting!" "Kenapa kau bilang begitu?!"
"Karena hujan ini bukan
sembarang hujan." "Apa maksudmu?"
"Hujan ini adalah hujan
kiriman yang mengandung racun pembusuk tulang!"
Pendekar Mabuk terbungkam seketika. Langkahnya pun
terhenti bersamaan dengan berhentinya
langkah Panji Klobot yang juga mendengar suara si Tenda Biru secara
samar-samar. Panji Klobot dan Suto saling berpandangan sejenak.
"Dari mana kau tahu kalau
hujan ini adalah hujan yang mengandung racun?" tanya Suto dengan pandangan
mata tak mengerti harus menatap ke arah
mana.
"Di sebelah utara ada
pertarungan. Salah satu tokoh yang bertarung melepaskan jurus mautnya yang
menembus mega mengundang mendung. Jurus mautnya itu mengandung racun yang hanya
dia pemilik penangkal racunnya. Racun itu akan bersatu dengan gumpalan mendung
dan turun sebagai hujan yang dapat membusukkan tulang manusia dalam beberapa
saat. Karena itulah, hindari hujan ini sebelum kau dan Panji Klobot kehujanan.
Jika kalian kehujanan, berarti kalian keracunan!"
Panji Klobot cepat-cepat
bersembunyi di bawah pohon talas yang berdaun lebar, tak jauh dari tempat
mereka berdiri.
"Hei, ada apa kau
nongkrong di sana?!" seru Suto. "Aku takut kena hujan beracun,
Kang!"
"Kalau mau sembunyi
jangan di situ! Lihat, di belakangmu ada ular sedang bertelur!"
Panji Klobot menengok ke
belakang.
"Huaaaa...!" ia
menjerit sambil berlari ketakutan, karena di sana memang ada seekor ular hitam
berbelang-belang kuning sedang melingkar dan bertelur.
Mereka segera bergegas ke gua
yang ada di sebelah barat. Panji Klobot segera masuk ke dalam gua itu. Tapi
Pendekar Mabuk masih memandang ke arah utara. la tertarik dengan berita tentang
pertarungan dua tokoh sakti itu. Pendekar Mabuk paling suka melihat suatu
pertarungan karena ia dapat pelajari jurus-jurus mereka yang belum pernah
dilihatnya.
"Panji, kau tetap di
dalam gua dulu, aku mau ke utara sebentar!"
"Kang, apa kau tak dengar
suara aneh itu memberitahukan tentang hujan beracun itu? Tulangmu bisa busuk,
Kang! Kalau sudah busuk nanti tak bisa dipakai untuk bikin pipa tembakau!"
Pendekar Mabuk segera
menenggak tuaknya. la yakin tuaknya dapat menolak kekuatan racun tersebut. la
segera melangkah setelah tinggalkan pesan kepada Panji Klobot.
"Lindungi dirimu dari air
hujan nanti! Jangan keluar ke mana-mana sebelum aku datang kembali."
Namun tiba-tiba tubuh Suto
tersentak ke belakang. Sepertinya ada sepasang tangan yang menghentak dadanya
dengan kuat. Beeekh...! Brrus...!
Tubuh Suto terhempas masuk ke
dalam gua dan jatuh terhempas di sana. Ketika itu, hujan pun segera turun.
Bresss...!
"Kang, lihat hujannya!
Lihat...! Hujannya berwarna merah, Kang!" seru Panji Klobot tanpa
pedulikan Suto yang jatuh itu. Matanya memandang tegang dari depan pintu gua
tersebut.
Pendekar Mabuk menyeringai
sekejap, lalu segera bangkit. la tahu tubuhnya didorong oleh Tenda Biru, karena
perempuan itu pasti tak setuju jika Suto pergi ke utara dalam keadaan
hujan-hujanan.
Kini mata Pendekar Mabuk
pun memandang hujan dengan terbelalak
kagum. Hujan yang turun benar-benar berwarna merah seperti darah disiramkan ke
bumi.
Tenda Biru kirimkan suaranya
lagi di samping Suto. "Lihat, aku tak bicara bohong padamu! Hujan beracun
itu benar-benar turun. Kalau kau nekat ke utara, kau akan kehujanan dan
tulangmu menjadi busuk!"
"Omong kosong!"
sentak Suto Sinting. la meneguk tuaknya lagi tak begitu banyak. Kemudian
tangannya diulurkan keluar dari pintu gua. Tangan itu menjadi basah oleh air
hujan seperti berlumur darah.
"Kau benar-benar
sinting!" geram suara Tenda Biru. Sementara itu, Panji Klobot menjadi
tegang melihat tangan Suto basah oleh air hujan darah.
"Lihat, aku tidak
mengalami luka atau pembusukan tulang apa pun. Aku masih sehat dan tanganku
juga tak menjadi cacat!" ujar Suto Sinting, seakan bicara kepada Panji
Klobot, tetapi sebenarnya ditujukan kepada Tenda Biru.
Suara perempuan itu terdengar
lirih, seperti menggumam.
"Mestinya sekarang kulit
tanganmu telah melepuh dan kemudian seluruh tulang tanganmu menjadi
busuk."
"Buktinya tidak!"
sangkal Suto Sinting.
"Kau memang bocah
sinting. Sulit aku memahami ilmumu!" ujar suara Tenda Biru.
"Aaaa...!" tiba-tiba
mereka mendengar suara jeritan seseorang di kejauhan. Jeritan itu berasal dari
arah timur.
"Aaaaow...!
Tolooong...!" Jeritan terdengar lagi berasal dari arah selatan.
"Dengar, Bocah Sinting...
mereka yang kehujanan menjerit kesakitan. Dalam waktu beberapa kejap mereka
akan mati dalam keadaan menjadi busuk seperti bubur!" ujar suara Tenda
Biru.
"Panji, aku akan ke
utara. Kau jangan sampai terkena tetesan air hujan sedikit pun! Tapi... o,
ya... sebaiknya kau minum tuakku dulu sebagai bekal penolak racun jika hujan
itu sampai memercik mengenai kulit tubuhmu!"
Setelah Panji Klobot menenggak
tuak dari bumbung bambu sakti itu, Pendekar Mabuk pun segera keluar dari gua.
Tubuhnya memang basah oleh guyuran air hujan merah yang dikenal dengan hujan
berdarah, walaupun hujan itu sebenarnya tidak mengandung bau amis darah. Tetapi
keadaan Pendekar Mabuk sama sekali tidak bernasib seperti orang-orang yang tadi
menjerit dan sekarang sudah tak bernyawa dalam keadaan busuk dan menjadi lembek
menyerupai bubur.
Langit masih tampak hitam.
Mendung bergumpal- gumpal. Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Pukulan Guntur
Perkasa', yaitu seberkas sinar hijau melesat dari tangan Suto Sinting ke arah
mendung di langit. Claaap...! Sinar hijau itu langsung kenai gumpalan mega
hitam, lalu terjadilah ledakan yang menggetarkan bumi.
BIegaaarrr...! Mendung itu
tiba-tiba pecah dan langit menjadi hijau dalam sekejap. Ketika cahaya hijau
yang menyebar luas bagai membakar langit itu lenyap, maka mendung hitam sudah
tiada. Langit menjadi cerah dan hujan darah pun berhenti total. Tetapi tanah,
pohon, dan alam sekitarnya masih dilumuri oleh cairan merah bagaikan lautan
berdarah. "Benar-benar jurus sinting!" gumam suara Tenda
Biru di samping kiri Suto.
"Justru aku ingin
bertanya padamu, siapa yang punya jurus dapat mendatangkan hujan darah beracun
ganas ini?!"
"Pergilah ke utara! Akan
kujelaskan di sana!" Zlaaap...! Suto Sinting melesat dengan kecepatan
sangat tinggi, sukar dilihat dengan mata telanjang. la bagaikan menghilang dari
tempatnya karena kecepatan jurus 'Gerak Siluman' memang sukar ditandingi oleh
siapa pun.
Tiba di utara, Pendekar Mabuk
melihat sebuah pertarungan yang dilakukan oleh dua tokoh berambut putih.
Pertarungan itu terjadi di sebuah lembah yang tanah dan alam sekitarnya sudah
menjadi merah semua karena diguyur air hujan berdarah.
"Aku kenal dengan salah
satu dari mereka!" gumam Suto Sinting sambil memandang tokoh tua berusia
sekitar tujuh puluh tahun yang mengenakan jubah dan celana abu-abu.
"Yang mana yang kau
kenal?" tanya suara Tenda Biru.
"Yang tubuhnya pendek dan
membawa tongkat berujung ketapel itu!"
"Hmmm... siapa dia?"
"la berjuluk si Kapas
Mayat. Aku pernah jumpa dengannya ketika kapalnya Ratu Dayang Demit mendarat di
Tanah Jawa," jawab Suto pelan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Gairah Sang Ratu").
Suto pun tambahkan kata,
"Dia juga sahabat baik guruku!"
"Kalau begitu, lekas
selamatkan si Kapas Mayat.
Dia akan kewalahan melawan si
Pangkar Soma!"
Pendekar Mabuk agak terkejut.
"Oh, jadi... pak tua yang memakai jubah merah dan celana merah berambut
abu-abu itu adalah si Pangkar Soma?!"
"Benar! Semakin tua
ilmunya semakin tinggi. Apalagi sejak gurunya tewas dan seluruh ilmu diwariskan
kepadanya, ia menjadi tokoh yang tak mudah dikalahkan."
Pendekar Mabuk menggumam
sambil matanya memandang tokoh tua berusia sekitar enam puluh lima tahun,
berwajah dingin dan mempunyai tubuh sedikit gemuk. Rambutnya yang panjang putih
itu tidak mengenakan ikat kepala, sehingga jika tertiup angin sering meriap
menutupi wajahnya, membuatnya semakin
sangar.
"Tak kusangka Pangkar
Soma sudah setua itu. Kukira masih sebayaku atau sekitar berusia empat puluh
tahun. Rupanya lelaki itu yang membantai seluruh keluarga Murbiah, sehingga
Murbiah menyimpan dendam kesumat kepadanya. Tentu saja Panji Klobot tak mungkin
bisa mengalahkan Pangkar Soma, karena Panji Klobot tidak memiliki ilmu apa- apa
kecuali satu ilmu warisan dari mendiang pamannya itu: 'Tendangan Cuci
Perut'," pikir Suto Sinting sambil masih diam di kejauhan jarak.
Kapas Mayat sebenarnya bukan
tokoh berilmu rendah. Kemunculannya selalu diawali dengan datangnya angin ribut
dan bau wewangian setanggi dari tongkatnya itu. Tetapi, agaknya kali ini Kapas
Mayat memang terdesak oleh serangan Pangkar Soma. Walaupun Pangkar Soma telah
mampu hadirkan hujan beracun, dan tubuh Kapas Mayat seperti lilin yang tak
dapat menjadi basah oleh guyuran hujan, namun Pangkar Soma mempunyai jurus
berbahaya lagi yang dapat melenyapkan jiwa Kapas Mayat.
Terdengar Pangkar Soma berseru
kepada Kapas Mayat dari jarak delapan langkah.
"Sekaranglah saatnya kau
tebus kematian guruku akibat racun 'Balsam Tengkorak'-mu itu, Kapas Mayat!
Huaaah...!" Rupanya Pangkar Soma ingin balas dendam atas kematian gurunya.
Gurunya mati karena pertarungan dengan si Kapas Mayat. Kapas Mayat berhasil
melukai guru Pangkar Soma dengan jurus 'Balsam Tengkorak' yang amat ganas itu.
Kali ini Pangkar Soma yang
bersenjata cambuk merah itu segera mencabut senjatanya dan melecutkan ke arah
atas kepala Kapas Mayat. Ctaaar...! Ujung cambuk itu memancarkan sinar biru
lebar bagai menyorot ke bumi. Tubuh Kapas Mayat tersiram sinar biru lebar.
Srraab...!
Zlaaap...!
Wuuut...!
Andai saja Pendekar Mabuk
tidak pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya nyaris melebihi
kecepatan cahaya, mungkin Kapas Mayat sudah menjadi serbuk lembut seperti
seonggok batu yang terkena sinar biru dari cambuk itu.
Pendekar Mabuk bergerak cepat
dan menyambar tubuh Kapas Mayat. Tetapi batu yang semula berada di samping
Kapas Mayat itu berubah menjadi seonggok tumpukan serbuk lembut berwarna hitam.
Tanah tempat berdirinya Kapas
Mayat tadi juga berubah menjadi hitam dan berpasir seluas lima langkah
sekeliling.
Pangkar Soma mengejar
lawannya, tapi ia kehilangan arah, sehingga makin lama justru semakin jauh dari
si Kapas Mayat.
Kapas Mayat terkejut ketika
tahu-tahu dirinya sudah berada di tempat jauh dari pertarungannya. Ia lebih
terkejut lagi setelah diturunkan dari gendongan Suto Sinting.
"Lho, kalau tak salah
dugaanku, kau adalah si Pendekar Mabuk, muridnya Gila Tuak?!"
"Betul, Pak Cilik!"
jawab Suto yang selalu memanggil Kapas Mayat dengan sebutan Pak Cilik, karena
tinggi tubuh Kapas Mayat hanya sebatas perut Suto.
"Untung kau segera
menyambarku. Aku tak sangka kalau cambuk itu akan keluarkan cahaya biru.
Kupikir, si Tengkuk Cadas tidak menurunkan jurus 'Cambuk Iblis' kepada
muridnya; Pangkar Soma itu! Kalau tak salah dugaanku, ternyata jurus itu
diturunkan juga oleh si Tengkuk Cadas kepada muridnya."
Pendekar Mabuk tertawa pendek.
"Pak Cilik ini bagaimana, melawan gurunya bisa unggul, masa melawan
muridnya nyaris mati?"
"Kalau tak salah
dugaanku, aku terlalu mengangap ringan si Pangkar Soma, akhirnya aku terjebak
oleh anggapanku sendiri. Tapi... lupakan tentang itu. Anggap saja aku belum
pernah bertarung melawan Pangkar Soma."
Kapas Mayat berlagak tenang,
seperti tak pernah melakukan pertarungan yang berbahaya. Pendekar Mabuk segera
berkerut dahi karena ia mendengar suara Tenda Biru berbisik kepadanya.
"Tanyakan tentang Bunga
Kecubung Dadar kepadanya. Siapa tahu dia mengetahui tentang bunga itu."
"Pak Cilik, maukah kau
menolongku?"
Kapas Mayat menguap,
"Hoooaaam...! Kalau tak salah dugaanku, aku ngantuk," ujarnya.
"Dua hari dua malam aku tak tidur."
"Kenapa sampai tak tidur,
Pak Cilik?"
"Kalau tak salah
dugaanku, aku mencari cucuku si Kelambu Petang. Sudah empat hari dia tak
pulang. Entah hilang ke mana."
"Ah, bosan aku
mendengarnya. Lagi-lagi kau selalu kebingungan karena kehilangan cucu. Kelambu
Petang itu sudah besar, sudah dewasa, Pak Cilik. Kalau dia pergi bukan berarti
hilang. Mungkin ada keperluan pribadi yang belum dijelaskan kepadamu. Jangan
setiap cucumu pergi selalu dianggap hilang."
Suto bernada gerutu, karena
dulu dia pernah membantu Kapas Mayat yang merasa kehilangan cucu. Ternyata sang
cucu yang bernama Kelambu Petang hanya sekadar pergi untuk membalas dendam
kepada Ratu Dayang Demit, setelah itu tanpa bantuan Suto pun sebenarnya Kelambu
Petang akan pulang sendiri. Dulu, Suto merasa ikut cemas mendengar cucunya
Kapas Mayat hilang. Tapi sekarang dia tak mau ikut cemas lagi.
"Ikutlah aku ke sana, di
sana ada gua dan temanku menunggu di dalamnya. Kau bisa istirahat di dalam gua
itu, Pak Cilik! Jangan pikirkan cucumu dulu. Anggap saja si Kelambu Petang itu
memang gadis yang gemar minggat! Kalau capek akan pulang sendiri."
"Soalnya... kalau tak
salah dugaanku, kitab pusakaku dibawa pergi."
"Kitab pusaka apa?!"
Suto Sinting bersungut- sungut. "Kitab pusaka 'Tanggul Murka' yang dulu
kan kau berikan padaku sebagai hadiah itu? Hmmm...! Itu kitab berisi pelajaran
membaca bagi yang buta huruf! Biar saja dibawa oleh si Kelambu Petang!"
"Kalau tak salah
dugaanku, bukan kitab itu yang dibawanya, tapi kitab 'Kidung Bencana' yanrg
dibawa Kelambu Petang."
"Hahhh...?!" Suto
Sinting terkejut, karena ia pernah terlibat perkara kitab pusaka 'Kidung
Bencana' belum lama ini, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam Episode
: "Hilangnya Kitab
Pusaka").
"Setahuku Kitab Kidung
Bencana itu milik Ki Perak Porong dan Nyai Tawang Sangit!"
"Siapa bilang? Kalau tak
salah dugaanku, kitab itu milikku. Porak Porong dan Tawang Sangit hanyalah
sahabatku."
Pendekar Mabuk tertegun,
hatinya mulai cemas. Sebab dia tahu Kitab Kidung Bencana itu berisi
mantra-mantra gaib yang dapat mendatangkan bencana besar jika diucapkan oleh
orang yang tidak bertanggung jawab.
"Tapi benarkah kitab itu
milik si Kapas Mayat?! Benarkah yang dibawa Kelambu Petang adalah Kitab Kidung
Bencana yang sebenarnya? Jangan-jangan Kelambu Petang salah bawa?!"
*
* *
4
MALAM itu Pendekar Mabuk
beristirahat di dalam gua yang tak begitu lebar. Gua itu tidak mempunyai jalan
tembus ke mana-mana, dan agaknya sering digunakan bermalam bagi para pengelana
yang kemalaman.
Panji Klobot sudah mendengkur
sejak tadi. la mudah tertidur karena siangnya terlalu banyak makan di kedai. Tinggal Suto Sinting
sendirian yang masih melek mendiang di dekat api unggun buatannya sendiri.
Kapas Mayat tak mau diajak
bermalam. Tokoh tua yang pendek berambut abu-abu itu tetap pergi mencari
cucunya; si Kelambu Petang. Pendekar Mabuk sengaja tak mau membantu
mencarikannya karena sudah tahu watak Kapas Mayat yang selalu membesar-besarkan
masalah, padahal ia hanya mengkhawatirkan keselamatan cucunya. la memang sangat
sayang kepada Kelambu Petang, sebagai cucu tunggal semata wayang, entah wayang
golek atau wayang kulit.
Tetapi sebelum Suto berpisah
dengan si Kapas Mayat, tokoh tua itu tadi sempat ditanya tentang Bunga Kecubung
Dadar oleh Pendekar Mabuk.
"Apakah kau tahu tentang
Bunga Kecubung Dadar, Pak Cilik?"
"Kalau tak salah
dugaanku," Kapas Mayat selalu mengawali ucapannya dengan kata-kata itu,
kemudian menyambungnya lagi.
". Bunga Kecubung Dadar
belum pernah kulihat,
tapi kalau telur dadar sering
kumakan!"
"Aku sedang mencari Bunga
Kecubung Dadar, Pak Cilik. Tolong bantu aku."
"Kalau tak salah
dugaanku, sebaiknya carilah telur dadar saja. Itu lebih mudah dan aku bisa
membantumu."
Suto mendesah jengkel.
"Aaah. ! Yang kubutuhkan
bunga itu, Pak Cilik!"
"Kalau begitu kau harus
menemui sahabatku; si Kusir Hantu."
"Apakah dia tahu tentang
bunga tersebut?"
"Kalau tak salah
dugaanku, Kusir Hantu semasa mudanya pernah menjadi pedagang kembang. Jadi
pengetahuannya tentang bunga bisa diandalkan. Di samping itu, kalau tak salah
dugaanku. Kusir Hantu
semasa mudanya juga sering
meminjam uang yang berbunga. Pinjam seratus mengembalikannya seratus sepuluh.
Jadi, kalau tak salah dugaanku, soal bunga- berbunga itu memang sudah makanan
sehari-hari si Kusir Hantu semasa mudanya."
Di dalam gua yang hangat oleh
cahaya api unggun itu, Suto Sinting berkecamuk sendiri di dalam hatinya. la
agak ragu dengan penjelasan si Kapas Mayat karena berkesan main-main. Tetapi
hati kecil Pendekar Mabuk pun punya pendapat sendiri untuk langkahnya.
"Coba-coba saja. Siapa
tahu si Kusir Hantu benar- benar mengetahui tentang bunga itu. Tapi... perlukah
aku bersungguh-sungguh dalam mencari bunga tersebut? Mengapa aku harus pusing
memikirkannya? Bukankah itu urusan si Tenda
Biru?!" Renungan demi renungan, akhirnya suara Tenda Biru pun hadir
di malam yang hening itu. Pendekar Mabuk sempat tersentak kaget ketika
telinganya menangkap suara pelan seorang perempuan yang cukup dekat dari tempat
duduknya.
"Siapa orang yang
berjuluk Kusir Hantu itu, Bocah Sinting?!"
Setelah melepaskan napas
mengusir rasa kagetnya, Pendekar Mabuk pun memberi jawaban dengan suara pelan
juga. Suara itu sengaja dipelankan supaya Panji Klobot tidak terganggu dari
tidurnya.
"Kusir Hantu itu juga
sahabat guruku, dan sahabatku sendiri. Aku kenal baik dengannya dan pernah
membantunya dalam sebuah peristiwa berdarah." (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Ratu Cendana Sutera").
"Mengapa kau tak
mencobanya untuk temui si Kusir Hantu?"
"Aku takut ucapan si
Kapas Mayat hanya kelakar belaka." "Tak ada buruknya jika mencobanya,
Bocah Sinting."
"Mengapa kau bersifat
mendesakku?"
"Karena aku sangat
membutuhkan bunga itu!" jawab suara Tenda Biru.
"Kau yang membutuhkan,
mengapa aku yang kerepotan?!"
Suara perempuan itu tidak
terdengar. Hening malam menguasai gua tersebut. Hanya kemertas suara kayu bakar
yang menjadi pengisi keheningan itu. Pendekar Mabuk menenggak tuaknya lagi. Tak
banyak, namun cukup melegakan hati dan menyegarkan tubuh.
"Bocah sinting...,"
suara Tenda Biru terdengar lagi bernada pelan. "... aku tak punya sanak
saudara lagi di dunia ini. Semuanya telah tiada, tinggal aku seorang diri
berkelana di permukaan bumi. Tak ada orang yang bisa kumintai bantuannya untuk
mencarikan Bunga Kecubung Dadar itu. Ketika aku melihatmu bertarung dengan
Malaikat Kabut Gamping, aku menaruh harapan padamu."
"Harapan apa?"
"Harapan bisa membantuku
mendapatkan bunga itu."
"Bukankah kau menyuruh
Panji Klobot?"
"Itu hanya sebagai
jembatan untuk mendekatimu, Bocah Sinting."
Pendekar Mabuk tertawa pelan
dan pendek.
"Aku yakin si Panji
Klobot tak mungkin bisa temukan Bunga Kecubung Dadar itu. Tetapi jika ia
merengek padamu, tentunya sebagai sahabat kau akan membantunya mencari bunga
tersebut."
"Mengapa tak bicara
langsung padaku kala itu? Hening sejurus, kemudian terdengar suara lirih si
Tenda Biru.
"Aku... aku malu
padamu."
"Mengapa malu?"
desak Suto sambil menggoda suara merdu itu.
"Kau... kau pasti akan
melecehkan diriku sebagai gadis bodoh dan tak punya kemampuan apa-apa. Aku
takut kau mengecamku dan tak mau membantuku jika harus kujelaskan siapa diriku
sebenarnya."
Pendekar Mabuk tertawa lagi,
tapi kali ini tanpa suara. Hanya saja senyumnya tampak mekar menawan dalam
cahaya api unggun.
"Jelaskan siapa dirimu
sebenarnya, dan mengapa kau sangat membutuhkan Bunga Kecubung Dadar itu."
"Kau janji tidak akan
mengecam atau membenciku?"
"Ya, aku berjanji, asal
kau tidak mengganggu diriku dan Panji Klobot!"
"Aku tidak akan
mengganggu siapa pun. Aku sudah bersumpah dalam hatiku untuk tidak melangkah di
jalan yang sesat lagi."
"Jalan sesat bagaimana?
Jelaskanlah!"
"Kau pun janji akan
menolongku jika sudah kujelaskan segalanya?!"
Pendekar Mabuk ambil napas dan
menghembuskannya panjang-panjang.
"Baik, aku berjanji akan
menolongmu!"
Sreeek...! Tanah berbatu di
samping Suto berjarak. Sepertinya Tenda Biru bergeser untuk lebih dekat lagi
dengan Suto. Dan ketika suaranya terdengar lagi, ternyata memang lebih dekat
dan lebih jelas dari yang tadi.
"Aku adalah salah satu
dari murid Nyai Garang Sayu. " Suto memotong, "Siapa itu Nyai Garang
Sayu, sepertinya aku pernah dengar nama itu?!"
"Tentunya kau masih ingat
Hulubalang Iblis!" "Oooh... ya, ya... sekarang aku ingat. Nyai Garang
Sayu adalah ibu dari
Hulubalang Iblis!" "Benar...!"
Pendekar Mabuk segera
membayangkan pertarungan yang pernah dilakukan dengan Nyai Garang Sayu demi
membebaskan Pematang Hati, cucu dari si Kusir Hantu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Hulubalang Iblis").
Suara si Tenda Biru terdengar
lagi di samping Suto Sinting.
"Aku termasuk orang
keempat murid kepercayaan Nyai Garang Sayu. Ketika guruku kau kalahkan bersama
si Bocah Kolok, dan Hulubalang Iblis kau bunuh, aku segera melarikan diri dan
tak mau terlibat peristiwa itu. Sekalipun pada waktu itu aku tidak melihat
sendiri pertarunganmu dengan guruku, tapi aku mendengar cerita tentang
kesaktianmu dari teman-teman yang menyaksikan."
"Kau takut padaku?"
sambil Suto tersenyun menggoda.
Keheningan terjadi sekejap.
Lalu terdengar suara si Tenda Biru menjawab pertanyaan Suto tadi.
"Aku tak terlalu takut
padamu. Karena ilmuku pun sudah bertambah sejak tewasnya mendiang Nyai Garang
Sayu. Aku sempat berguru dengan seorang pertapa dari Gunung Rangkas. Namun
belum lama ini beliau meninggal setelah sebagian besar kekuatan tenaga dalam
dan mantra kesaktiannya diturunkan padaku dalam waktu singkat. Oleh sebab itu
aku berani menantang pertarungan dengan tokoh sakti dari Pulau Siluman yang
bernama Nyai Ronggeng Iblis."
"Mengapa kau
menantangnya?"
"Pesan dari guruku, si
pertapa sakti dari Gunung Rangkas, bahwa aku harus bisa membunuh Nyai Ronggeng
Iblis, karena menurut Guru, kekuatan Nyai Ronggeng Iblis kelak akan mengalir ke
dalam tubuh Pangkar Soma."
"Mengapa begitu?"
"Sebab Nyai Ronggeng
Iblis adalah kekasih dari si Tengkuk Cadas. Cintanya yang diabaikan oleh
Tengkuk Cadas membuat Nyai Ronggeng Iblis tak mau kawin dengan lelaki mana pun.
Kesetiaan cinta itulah yang kelak akan melebur menjadi satu dengan seluruh ilmu
yang dimiliki si Tengkuk Cadas. Sedangkan seluruh ilmu Tengkuk Cadas sekarang
ada di dalam diri Pangkar Soma. Maka seluruh kekuatan gaib Nyai Ronggeng Iblis
akan menyatu di dalam diri Pangkar Soma. Itu berarti si Pangkar Soma akan
menjadi tokoh terkuat di seluruh rimba persilatan."
"Ooo... jadi karena itulah
kau mendapat tugas dari pertapa sakti itu untuk membunuh Nyai Ronggeng
Iblis?"
"Benar. Sebenarnya guruku
bisa saja membunuh Nyai Ronggeng Iblis dengan kesaktiannya."
"Mengapa tidak
dilakukan?"
"Karena guruku itu adalah
kakak dari Nyai Ronggeng Iblis. la tak tega membunuh adiknya sendiri, walau
hati kecilnya bertentangan dengan aliran sesat yang dianut Nyai Ronggeng Iblis.
Maka, akulah yang diutus menyelesaikan pekerjaan itu, dan sebagai jaminannya
aku mendapatkan warisan kekuatan Guru."
"Lalu, sekarang Nyai
Ronggeng Iblis sudah kau bunuh?!"
Terdengar ada napas yang
menghembus bersama suara desah kecil. Walau tak terlihat, namun Suto yakin kala
itu Tenda Biru sedang menghembuskan napas, seperti membuang kesesakan di dalam
dadanya. Karena tak lama kemudian, suara Tenda Biru terdengar lagi dengan nada
duka yang amat memprihatinkan.
"Ternyata Nyai Ronggeng
Iblis bukan tokoh yang mudah dikalahkan. Aku terkena mantra kutukannya dan
menjadi hilang, tak bisa dilihat dan disentuh siapa pun. Aku juga tak bisa
menyentuh Nyai Ronggeng Iblis, tapi sewaktu-waktu dia bisa melihatku dan bisa
membunuhku."
"Mengapa kau tidak
dibunuhnya saja?"
"Karena Nyai Ronggeng
Iblis tak berani membunuhku sebab dia tahu bahwa aku adalah murid dari
kakaknya. Aku sendiri tak memberi tahu Nyai Ronggeng Iblis bahwa kakaknya itu
sudah tewas beberapa waktu yang lalu. Oleh sebab itu aku hanya dikutuk menjadi
Gadis Tanpa Raga."
"Apakah itu berarti kau
mati?" tanya Suto Sinting. "Tidak. Aku masih hidup. Namun tak bisa
dijamah
dan dilihat oleh siapa pun,
kecuali oleh Nyai Ronggeng Iblis."
"Sampai kapan kau menjadi
Gadis Tanpa Raga begitu?"
"Selamanya, selama Nyai
Ronggeng Iblis belum mati, atau selama aku belum memakan Bunga Kecubung
Dadar!"
"Dari mana kau tahu kalau
wujudmu bisa menjelma kembali jika sudah memakan Bunga Kecubung Dadar?"
"Roh dari guruku pernah
menemuiku. Tapi roh Eyang Tapak Lintang tidak memberi tahu di mana bunga itu
berada."
"Eyang Tapak Lintang itu
pertapa sakti yang menjadi gurumu?"
"Benar. Dan aku tidak bisa
menemui roh Guru, sebab aku tidak berada di alam gaib atau alam kematian."
Pendekar Mabuk menenggak tuak
lagi. Sebelum ia bicara, suara si Tenda Biru sudah terdengar kembali bagai
membisik di telinga kiri Suto Sinting.
"Tolonglah aku, Bocah
Sinting. Aku akan mengabdi kepadamu selamanya jika kau mau menolongku
mencarikan Bunga Kecubung Dadar itu. Aku bersumpah ingin masuk dalam aliran
putih dan ikut memerangi kejahatan para tokoh aliran hitam. Aku sudah bosan
menjadi orang sesat, Bocah Sinting!"
Pendekar Mabuk hanya tertawa
kecil.
"Biarkan aku menjadi
abdimu. Biarkan aku mengabdi sebagai budakmu, asal kau bisa kembalikan wujudku
sebagai gadis yang mempunyai raga dan rupa."
"Bukanlah lebih baik kau
tanpa raga, bisa melayang ke sana-sini dan mencelakai orang tanpa bisa
dicelakai?"
"Jiwaku telah berubah
sejak aku diangkat sebagai murid Eyang Tapak Lintang. Entah mengapa tiba-tiba
aku tidak ingin mengikuti langkah sesat yang diajarkan oleh bekas guruku; Nyai
Garang Sayu itu."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum
sambil memainkan api dengan sebatang ranting panjang. Tenda Biru perdengarkan
suaranya lagi.
"Aku sudah kehilangan
segala-galanya; keluarga, saudara, kekasihku pun sudah tiada, guru pun tiada,
kini aku kehilangan ragaku... ooh, haruskah aku kehilangan jiwa suciku
juga?"
Nada sendu terdengar
menggelitik hati Suto Sinting. Pendekar tampan itu merasa terharu dan menjadi
kasihan kepada nasib si Tenda Biru. Namun rasa ibanya itu tidak ditonjolkan
dalam raut wajahnya. Rasa iba itu hanya dipendam dalam hati, walau wajah tetap
tampilkan senyum tipis yang menambah ketampanan si murid sinting Gila Tuak itu.
Tiba-tiba Suto merasakan ada
sesuatu yang menempel di pundak kirinya. Sebuah kepala menempel di sana. Terasa
hangat dan bergetar. Suto dapat membayangkan, pada saat itu Tenda Biru
meletakkan kepalanya di pundak Suto dengan wajah duka. Karena beberapa saat
kemudian, Suto pun merasakan tetesan air hangat di lengan kirinya. Air hangat
itu pasti air mata kesedihan si Gadis Tanpa Raga. Anehnya, air mata itu bisa
dilihat membasahi lengan, tapi wajah yang mencucurkan air mata itu tidak bisa
dilihat dan diraba oleh Suto Sinting.
"Aku merasakan sentuhan
tanganmu," terdengar suara si Tenda Biru sedikit parau karena tangis.
"Kau sedang mengusap pipiku, Bocah Sinting."
"Aku tidak merasa
menyentuh apa-apa."
"Memang, tapi... tapi
peluklah aku. Aku hampir kehilangan semangat lagi. Peluklah aku, Bocah
Sinting...! pinta suara Tenda Biru dengan nada kian mengharukan. Isak tangisnya
pun mulai terdengar samar-samar. Kepala yang bersandar di pundak Suto terasa
berguncang-guncang. Kepala itu sekarang pindah ke dada. Suto Sinting mencoba
memeluk tubuh Tenda Biru, tapi ia tetap tidak merasakan sedang memeluk sesuatu.
Rupanya pengaruh kutukan itu
cukup aneh. Kehandak hati orang lain tidak bisa dirasakan oleh orang lain itu
namun bisa dirasakan oleh Tenda Biru. Tapi kehendak hati Tenda Biru bisa
dirasakan oleh orang lain dan oleh Tenda Biru sendiri.
Kehendak hati Suto ingin
memeluk, bisa dirasakan oleh Tenda Biru. Gadis itu merasa sedang dipeluk Suto.
Tetapi Suto tidak bisa merasakan sedang memeluk Tenda Biru. Sebaliknya,
sekarang kehendak hati Tenda Biru ingin memeluk Suto. Pelukan itu dapat
dirasakan oleh Suto dan dapat dirasakan pula oleh Tenda Biru sendiri.
"Aneh sekali kutukan
ini," gumam Suto lirih.
"Kalau tak aneh bukan
kutukan orang sakti," jawab Tenda Biru di ujung sisa tangisnya.
Pelukan hangat itu terasa
menjalar ke leher. Pendekar Mabuk hanya bisa merasakan debar-debar kehangatan
yang mengusik gairahnya. Tetapi ia tak bisa memberi balasan yang dapat
dirasakan oleh dirinya sendiri. Hanya saja, Gadis Tanpa Raga itu selalu
berbisik menuntun gerakan tangan Pendekar Mabuk.
"Oh, indah sekali rabaan
tanganmu di punggungku, Bocah Sinting. "
"Apakah aku menyentuh
punggungmu?" bisik Suto dengan suara pelan, karena takut membangunkan
Panji Klobot.
"Ya, kau merabanya.
Ooh... gerakanmu lembut sekali. Uuhmm. !"
Tiba-tiba Pendekar Mabuk
merasakan kecupan di lehernya. Kecupan itu merayap semakin lama semakin ke dagu
kemudian menyentuh bibirnya. Suto Sinting merasakan bibirnya sedang dipagut dan
dilumat lembut oleh seorang gadis. Kehangatan yang mengalir pada saat itu
semakin menyulut gairah cintanya. Bahkan Suto pun merasakan usapan tangan Tenda
Biru yang merayap di kepala, di punggung, lalu meraba dada, meraba perut, dan
tangan tanpa wujud itu semakin nakal, sehingga Suto Sinting mendesis kecil
ketika telinganya merasa disusuri oleh mulut Tenda Biru.
Tangan Suto sendiri
bergerak-gerak bagai meraba udara kosong. Tapi si Gadis Tanpa Raga mengaku
merasakan belaian tangan Suto di bagian dadanya. Bahkan ia sempat meringkik
seperti kuda betina pada saat Suto Sinting menyentuh gumpalan peka di bagian
dada. Gadis itu berbisik penuh desah kasmaran,
"Remas pelan-pelan...
remaslah, karena kau telah menyentuh ujung dadaku, Bocah Sinting.... Ooh, ya...
aku bisa merasakannya. Indah
sekali, Bocah Sinting. "
Suto semakin terlena, karena
gadis itu agaknya semakin berani berbuat. Bahkan ciumannya kian membara di
sekujur tubuh Suto, seakan menantang sang pendekar untuk bertarung di ladang
kenikmatan.
"Bocah sinting... oh,
nakal kau! Jangan hentikan tanganmu.
Terus... terus turun
ke bawah. Oooh,
Nikmat sekali, Bocah
Sinting... Hmmmhh. ," rengekan
bercampur desah semakin
membakar semangat Suto untuk melayang-layang di langit-langit kemesraan.
Sayang sekali saat itu Panji
Klobot terbangun karena mendengar suara gaduh di atas kepalanya. Suto tak tahu
kalau Panji Klobot terbangun dan memandang ke arahnya. Suto masih menggelinjang
bergolek sendirian. Di mata Panji Klobot, Suto bagai sedang menari dalam
keadaan setengah berbaring.
Kepalanya terdongak ke atas
sambil tangannya bergerak-gerak di depan dada. "Tarian apa yang dilakukan
Kang Suto itu?" pikir Panji Klobot dengan terheran-heran. Mata anak muda
itu mengerjap-ngerjap karena merasa sangsi dengan penglihatannya.
"Jangan-jangan Kang Suto
kesurupan?" kata hati si Panji Klobot.
Ketika mata Suto Sinting
sedikit terarah kepada Panji Klobot, ia terkejut dan segera membenahi diri.
Panji Klobot yang masih bingung, karena terbangun dari tidurnya segera bertanya
dengan suara parau.
"Sedang apa kau
sebenarnya, Kang?"
"Hmmm... eeh... anu,
sedang menirukan gerakan seorang penari ular yang pernah kulihat dulu. "
"Ooo. kukira kau
kesurupan."
"Ah, kau mimpi, ya? Sudah
tidur lagi sana!"
Tapi Suto segera berbisik,
"Ssst. ! Hentikan dulu, si
Panji Klobot bangun!"
"Ooh. aku sudah semakin
panas, Bocah Sinting"
"Pergilah ke luar gua
biar dingin!" bisik Suto Sinting sambil bergerak-gerak bagai menyingkirkan
tangan yang ingin menjamahnya.
Panji Klobot justru bangun dan
duduk, "Minta tuaknya, Kang. Aku haus sekali." "Minumlah, tapi
habis ini tidur lagi, ya?"
"Kalau sudah bangun
begini, biasanya susah tidur lagi, Kang," lalu Panji Klobot menenggak tuak
Suto.
Panji Klobot tak tahu bahwa
Suto mengeluh dalam hati. Panji Klobot juga tidak tahu kalau Suto masih
merasakan ada tangan yang meremas-remas tubuhnya dengan sesekali ciuman hangat
terasa di tengkuk dan leher, kadang juga menghangat di dadanya. Tetapi Suto tak
berani mendesah karena takut mencurigakan Panji Klobot.
"Suruh dia tidur
lagi!" bisik suara Tenda Biru. "Dia tak mau tidur lagi. Hentikan
dulu, lain waktu kita lanjutkan lagi," Suto ganti berbisik.
"Aaah...!" Tenda
Biru merengek kesal. "Bagaimana kalau Panji Klobot kubuang ke luar gua
saja?"
"Husy...!" Suto
tertawa geli walau tanpa suara. Tapi Panji Klobot segera berkerut dahi dan
bertanya,
"Kau menertawakan aku, ya
Kang?"
"Hmmm... bukan! Eh,
iya... eeh... bukan kok, ih... tapi iya..." Suto Sinting jadi salah
tingkah dan malu sendiri dalam hatinya.
*
* *
5
AKHIRNYA Suto Sinting
memutuskan untuk mencoba bertanya kepada si Kusir Hantu, ia pergi ke Lembah
Seram, menuju ke sebuah pondok di dalam hutan yang banyak ditumbuhi pohon liar itu.
Panji Klobot yang mengikutinya tampak ketakutan memasuki hutan rimbun itu.
Karenanya ia berjalan merapat dengan Suto Sinting, agar jika terjadi sesuatu
dapat segera berlindung di balik tubuh kekar sang Pendekar Mabuk.
Dalam perjalan itu, Gadis
Tanpa Raga sebenarnya ikut bersama mereka. Hanya saja, mereka tidak bisa
melihat dengan jelas di mana gadis itu berada. Mungkin di samping mereka, di
depan atau di belakang mereka.
Namun ketika mereka melewati
gugusan tanah cadas yang membentuk bukit kecil, tiba-tiba Suto Sinting
mendengar bisikan suara si Tenda Biru.
"Ada yang mengikuti
kalian di belakang!"
Langkah Suto Sinting menjadi
pelan, ia berlagak tenang walau sebenarnya mulai meningkatkan kepekaan rasanya.
Bahkan ketika ia balas berbisik, suaranya diusahakan agar tidak didengar oleh
Panji Klobot.
"Di mana orang itu?"
"Sekarang sedang
mengintai di atas bukit cadas sebelah kananmu itu."
"Berapa orang yang ada di
atas sana?" "Cuma satu orang."
"Kau mengenalinya?"
"Kurasa aku pernah
melihatnya ketika kau dan Panji keluar dari kedai."
"Berpakaian hijau?"
"Benar," jawab suara
Tenda Biru.
"Hmmm... ya, ya... terima
kasih, Tenda Biru!" Kata Suto lirih sekali sambil manggut-manggut. Dalam
benaknya segera terbayang wajah si Taring Naga, yang agaknya penasaran sekali
kepada Suto dan ingin membalaskan kekalahan adiknya; Naga Langit.
"Panji," kata Suto
saat langkahnya dihentikan. "Kau
bisa mengambilkan dua buah kelapa muda di atas sana untuk membasuh
wajahku?"
"Kelapa muda untuk
membasuh wajah?" Panji Klobot heran.
"Jangan banyak tanya
dulu. Ambilkan dua buah untukku. Kau bisa memanjatnya, bukan?!"
"Hmmm... tidak. Aku tidak
pernah bisa memanjat pohon, Kang!"
"Kalau begitu, biar aku
sendiri yang memanjatnya. Sebab aku merasa kita akan dihadang oleh beberapa
ekor harimau. Kita perlu wewangian yang dapat membuat binatang-binatang buas
itu enggan mendekati kita. Wewangian itu antara lain adalah air kelapa muda.
Dengan membasuh muka memakai air kelapa muda, harimau-harimau itu tidak mau
mendekati kita."
"Harimau...?!" Panji
Klobot mulai tegang. "Apakah... apakah kau mendengar suara harimau,
Kang?"
"Kudengar suara itu ada
di belakang, agak jauh dari kita. Tapi sebentar lagi akan datang mendekati
kita."
"Oh, kalau begitu...
kalau begitu biar aku saja yang memanjat pohon kelapa itu, Kang!"
"Katanya kau tak pernah
bisa memanjat pohon?" "Kalau ada harimaunya pasti bisa!" jawab
Panji
Klobot sambil lari menuju ke
pohon kelapa dan memanjatnya. Pendekar Mabuk hanya tertawa dalam hati, merasa
geli mendengar alasan malas si Panji Klobot tadi.
Pada saat Panji Klobot
memanjat pohon kelapa, Suto Sinting segera memandang ke arah atas bukit cadas.
Pada gugusan batu coklat yang menjulang tinggi itu tampak bayangan dari
seseorang yang ada di balik batu itu. Suto Sinting membenarkan bisikan Tenda
Biru tadi. Kemudian ia segera melepaskan jurus 'Turangga Laga' yang tidak
terlalu berbahaya.
Kedua jari Suto dikeraskan,
lalu ditempelkan di kening sebentar, setelah itu disentakkan ke depan.
Claaap...! Seberkas sinar ungu melesat dari ujung jari. Sinar ungu kecil itu
menghantam batu tinggi yang dipakai bersembunyi seseorang.
Blaaar...!
Batu itu retak seketika.
Sebagian sisinya gompal dan sesosok bayangan segera berkelebat dengan satu
lompatan bersalto.
Wuuuuk...!
Jleeeg...!
Taring Naga berdiri di depan
Suto Sinting dengan wajah memancarkan permusuhan. Pendekar Mabuk tetap tenang,
bahkan sempat sunggingkan senyum tipis kepada lawannya.
"Mengapa harus
bersembunyi di sana, Taring Naga?!" ujar Suto setengah meledek si Taring
Naga. Pemuda berpakaian serba hijau itu segera menggeram penuh kejengkelan.
"Hmmm...! Aku hanya
menguji kewaspadaanmu, Sapi Ompong!" ujar Taring Naga dengan mencibir
sinis, menutupi rasa malunya. Katanya lagi,
"Sekarang keadaanku sudah
sehat. Kurasa sudah waktunya kau menerima pembalasan dariku! Aku akan menebus
kekalahan adikku; si Naga Langit! Terimalah jurus 'Pedang Sutera'-ku ini!
Hiaaaah...!"
Sraaang...! Pedang dicabut,
kemudian ditebaskan ke kanan, kiri, dan depan. Gerakan menebasnya cukup lembut,
bagai selembar kain sutera melambai dipermainkan angin. Namun rupanya gerakan
pedang itu menyebarkan serbuk-serbuk beracun yang menyatu dengan udara.
Pendekar Mabuk melangkah
mundur beberapa tindak dan segera tahu bahwa udara di depannya mengandung
racun. Karena ketika itu ia melihat rumput ilalang dan daun-daun muda yang
tumbuh di batang pohon menjadi layu seketika. Beberapa kejap kemudian daun-daun
hijau itu menguning dan berkeriput.
Pendekar Mabuk segera memutar
bumbung tuaknya di atas kepala dengan tali bumbung sebagai pegangannya. Gerakan
memutar itu dilakukan dengan cepat, hingga menimbulkan suara dengung yang
menggelitik gendang telinga.
Wuuung, wuung, wuung, wuung,
wuung...!
Angin berhembus kencang akibat
putaran bumbung tuak itu. Akibatnya, serbuk racun yang keluar dari kibasan
pedang membalik ke arah Taring Naga sendiri. Hal itu disadari oleh Taring Naga,
sehingga ia buru-buru hentikan gerakan pedangnya dan melompat berpindah tempat
dengan gerakan berjungkir balik di udara.
Wut, wut, wutt...! Jleeg...!
Suto Sinting pun hentikan
gerakan bumbungnya. Kini ia berdiri tegak sambil tersenyum lega. Tapi si Taring
Naga semakin menggeletukkan giginya pertanda kian benci kepada Suto Sinting.
"Keparat busuk kau,
hiaaah...!"
Baru saja Taring Naga ingin lakukan
satu lompatan bersama pedang diarahkan ke dada Suto Sinting, belum-belum ia
sudah terpental ke belakang dengan suara pekik tertahan. Karena pada saat itu,
jari tangan Suto menyentil dan sentilan itu adalah sentilan bertenaga dalam
cukup besar. Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan Suto Sinting dengan tidak kentara.
Tesss...!
Dada si Taring Naga menjadi
sasaran telak gumpalan padat tenaga dalam itu. Buukh...!
"Heegh...!" Taring
Naga bagaikan ditendang kuda jantan yang sedang mengamuk. Tubuhnya terlempar ke
belakang dan berguling-guling di udara, lalu membentur sebatang pohon besar
dengan keras. Brruuss...!
"Oouh...!" ia
mengerang lagi sambil berusaha bangkit dengan cara merangkak. Namun pada saat
ia merangkak, Panji Klobot muncul di belakangnya dengan membawa dua butir
kelapa muda. Melihat pakaian serba hijau si Taring Naga, Panji Klobot ingat
tentang orang yang menggadang langkahnya dengan Suto saat keluar dari kedai.
Maka, dengan keras kaki Panji Klobot menendang pantat Taring Naga. Duuuukh...!
"Jebol lagi kau!"
Jurus 'Tendangan Cuci Perut'
dilepaskan kembali oleh Panji Klobot. Akibatnya, perut si Taring Naib segera
merasa mules dan ingin buang hajat, la menahannya mati-matian, tapi sang hajat
tetap mendesak keluar.
"Oouh...! Sial betul!
Lagi-lagi perutku jadi mulas begini!"
Panji Klobot segera berlari
mendekati Suto dan berlindung di belakang murid sinting si Gila Tuak itu. Ia
tertawa-tawa cekikikan di belakang Suto Sinting, membuat Suto menghardiknya.
"Diam kau, Panji!
Gara-gara ulahmu dia akan penasaran terus terhadapku!"
Taring Naga menyeringai bukan
menahan sakit, tapi menahan sesuatu yang ingin keluar dari belakang. Tangannya
meremas pantat sendiri kuat- kuat, kemudian clingak-clinguk ke sana-sini
mencari tempat untuk membuang sang hajat. Tapi ia sempat menggeram sambil
menuding ke arah Panji Klobot dengan pedang di tangan kirinya.
"Lagi-lagi kau yang bikin
ulah! Awas kau, kalau sudah... kalau sudah... aduuuuh, biyuuung... mana tahan
kalau begini caranya. Uuuuhhf...!"
Taring Naga berlari tertatih-tatih
sambil memegangi pantatnya. la segera melompat di balik semak setinggi pundak
manusia dewasa. Tak berapa lama, dari balik semak itu terdengar suara yang
mirip petasan berondong.
Treeet, tret, tret, tret,
brooot...!
Mau tak mau Pendekar Mabuk akhirnya
tertawa geli sambil bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Panji Klobot ikut
tertawa dan berlari mendahului Suto Sinting karena tak ingin disambar
penciumannya oleh udara tak sedap itu. Bahkan suara tawa perempuan pun
terdengar mengikik. Suara tawa itu tak lain adalah suara si Gadis Tanpa Raga
yang kali ini berada di samping kiri Suto Sinting.
Menjelang sore, mereka tiba di
pondok si Kusir Hantu. Kala itu tokoh tua berambut kucai warna merah jagung
seperti warna jenggotnya itu sedang melatih kedua cucunya di samping pondok.
Dua gadis cantik yang menjadi cucu si Kusir Hantu itu tak lain adalah Pematang
Hati dan Mahligai Sukma. Mereka gadis-gadis cantik yang punya potongan tubuh
menggiurkan setiap lelaki. Pakaian mereka sungguh menantang gairah, membakar
hasrat lelaki, dan membuat Suto Sinting lupa berkedip.
Panji Klobot terbengong
melihat kecantikan Pematang Hati dan Mahligai Sukma. Bahkan mulut Panji Klobot
seakan mengalami kram, tak bisa ditutup kembali, karena kedua gadis itu
mengenakan baju ketat berbelahan dada lebar, sehingga gumpalan daging menonjol
di dada mereka tampak tersembul sebagian. Hati Panji Klobot menjadi
berdebar-debar, dan lututnya mulai terasa bergetar.
"Kang... Kang... itu apa,
Kang?" suara Panji Klobot pelan sekali, karena detak jantungnya yang kuat
membuat pernapasannya pun bagaikan tersumbat.
"Husy...!" Suto
Sinting meraup wajah Panji Klobot. Jika tidak begitu, Panji Klobot akan melotot
terus tanpa bisa berkedip lagi.
Pendekar Mabuk segera berseru
memberi salam kepada si Kusir Hantu. Pada waktu itu, Pematang Hati dan Mahligai
Sukma sedang duduk bersila di atas dua batu datar. Kedua tangan mereka
saling bergerak pelan penuh curahan
tenaga dalam dari dada ke depan. Tubuh mereka pun mulai mengambang di udara
walau hanya sedikit sekali, tingginya tak sampai setinggi kelingking mereka.
"Salam sejahtera, Pak
Tua...!"
Begitu mendengar salam sapaan
dari Suto Sinting, ternyata yang menyambut sapaan itu bukan hanya si Kusir
Hantu, melainkan kedua cucu si Kusir Hantu segera membuka mata, tubuh mereka
yang mengambang segera terhempas ke tempat duduk semula. Lalu, keduanya
sama-sama berseru kegirangan.
"Sutooo...!"
"Tak ada angin tak ada
badai, tahu-tahu seorang tamu agung datang padaku. Duhai... perlambang apa ini
sebenarnya," ujar si Kusir Hantu lalu terkekeh- kekeh dan segera hampiri
Suto Sinting. Tetapi ternyata gerakannya kalah cepat dengan gerakan kedua
cucunya.
Pematang Hati dan Mahligai
Sukma segera berlari bagai berebut Suto Sinting. Wuuut...! Kemudian kedua gadis
itu sama-sama memeluk Suto dalam hamburan tawa keceriaan.
Keakraban kedua gadis itu
dengan Suto Sinting membuat keduanya tak canggung-canggung untuk menciumi si
pendekar tampan. Keakraban mereka membuat wajah-wajah angkuh dan mahal senyum
yang dimiliki mereka menjadi sirna seketika.
Panji Klobot diam saja,
terbengong melompong manakala melihat Suto Sinting diciumi dua gadis cantik
yang menggiurkan hati itu. Panji Klobot hanya mengusap pipinya sendiri sambil
berkata pelan,
"Kenapa aku tidak ikut
diciumi mereka?! Hmm... mereka pilih kasih! Tidak adil!"
"Tenang saja,
Panji!" bisik suara Tenda Biru. "Mereka memang perlu mendapat
pelajaran tersendiri."
Panji Klobot berkerut dahi.
"Hei, apa yang ingin kau lakukan pada mereka?!"
Tiba-tiba tubuh Pematang Hati
dan Mahligai Sukma sama-sama terpental ke belakang dan jatuh berbeda arah.
Mereka merasa ada suatu kekuatan yang melemparkan tubuh mereka dengan kasar.
Hal itu membuat Pendekar Mabuk menjadi terkejut dan mulai tak enak hati.
"Suto...?! Kenapa kau
kasar sekali padaku?!" seru Pematang Hati.
"Apakah kau jijik padaku,
Suto?! Mengapa kau melemparkan aku dan kakakku?!" kecam Mahligai Sukma,
dan semua itu membuat Suto Sinting menjadi menggeragap. Tapi si Kusir Hantu
justru terkekeh- kekeh tampak kegelian melihat kedua cucunya terlempar begitu
saja.
"Kang..., bukan aku yang
melakukan lho. Itu... si Tenda Biru!" bisik Panji Klobot ketika kedua
gadis itu memandangi Suto dengan sorot pandangan mata penuh kekecewaan.
Pendekar Mabuk segera berkata
kepada kedua cucu si Kusir Hantu.
"Maaf, maafkan aku....
Aku lupa mengatakan kepada kalian, bahwa sekarang aku punya jurus baru. Sebuah
ilmu yang kudapatkan dari guruku belum lama ini, memang sering membuat aku
menjadi bingung sendiri."
"Ilmu apa?!"
Mahligai Sukma mulai bernada ketus. "Hmmm... eeh...
namanya ilmu 'Raga
Sembrani',
jika hatiku sedang susah hati,
lalu ada seseorang mendekatiku, maka orang itu akan terpental dengan
sendirinya. Yah, seperti yang kalian alami tadi," ujar Suto menutupi
keadaan yang sebenarnya sambil cengar-cengir.
"Benarkah hatimu sedang
susah?" tanya Pematang Hati yang mulai mendekat lagi.
Mahligai Sukma juga mendekat
sambil berkata, "Sedang susah kok cengar-cengir?!"
"Hmmm... eeh..., iya.
Soalnya aku sebenarnya tak ingin kalian mengetahui kesusahanku. Aku takut
kalian ikut-ikutan menjadi susah hati."
Pendekar Mabuk buru-buru
bicara dengan suara rendah dan bernada bisik, "Tenda Biru, jangan bikin
ulah yang menjengkelkan! Aku akan batalkan niatku menolongmu jika kau bikin
ulah yang bukan-bukan!"
"Aku tak suka dengan
mereka. Rakus lelaki!" suara Tenda Biru bernada ketus, menandakan ia
sedang dibakar oleh rasa cemburu.
"Tenanglah! Mereka adalah
sahabatku. Jangan berprasangka yang bukan-bukan!"
"Sahabat jalang!"
geram suara Tenda Biru dengan sangat pelan. "Kalau tidak mengingat kau
butuh keterangan dari kakek mereka, sudah kuhajar mereka berdua!"
"Kalau kau tak bisa
tenang, aku benar-benar tak mau peduli lagi dengan Bunga Kecubung Dadar
itu!" ancam Suto Sinting membuat suara Tenda Biru terdengar mendesah kesal
dan menjauh.
Setelah memperkenalkan Panji
Klobot kepada Kusir Hantu dan kedua cucunya, Suto Sinting segera berkata kepada
si Kusir Hantu yang usianya sekitar enam puluh lima tahun itu.
"Aku butuh bantuanmu, Pak
Tua."
"Heh, heh, heh... pasti kau
ingin minta bantuanku berupa pelajaran ilmu 'Timbal Rasa' seperti dulu!"
ujar si Kusir Hantu sambil cengengesan. Kedua cucunya memandang Suto, mengikuti
setiap gerakkan bibir si pendekar tampan itu.
"Bukan soal itu, Pak
Tua."
"Soal apa lagi kalau bukan
soal ilmu yang kau inginkan itu? Seorang pendekar seperti kau memang selalu
ingin menuntut ilmu setinggi-tingginya, pepatah mengatakan: 'Ke mana angin
bertiup, ke situ pula baunya'. Artinya, seorang pendekar tidak mungkin mengejar
uang, pasti mengejar ilmu."
"Kau salah terka, Pak
Tua. Aku hanya ingin pendapat keterangan darimu tentang di mana tumbuhnya Bunga
Kecubung Dadar!"
"Hahh...?!" Kusir
Hantu terkejut. Mahligai Sukma dan Pematang Hati juga tampak terperanjat.
Mereka bertiga memandangi Suto Sinting dengan dahi berkerut dan wajah menegang.
Pendekar Mabuk menjadi bingung dan terheran-heran.
"Mengapa mereka
memandangku dengan cara seperti itu?! Mengapa Kusir Hantu terkejut saat
kusebutkan nama Bunga Kecubung Dadar itu?! Ada apa sebenarnya dengan bunga
tersebut?"
*
* * *
6
AGAKNYA Kusir Hantu menganggap
pembicaraan yang akan terjadi benar-benar penting, sehingga Pendekar Mabuk dan
Panji Klobot dibawa masuk ke pondoknya. Sementara itu, Pematang Hati dan
Mahligai Sukma diperintahkan untuk melakukan latihan jurus peringan tubuh yang
mirip jurus 'Layang Raga'-nya Suto Sinting. Tetapi kedua gadis cucu Kusir Hantu
itu merasa penasaran, maka diam-diam mereka menguping dari balik dinding.
"Pepatah mengatakan: 'Ikan belum dapat airnya sudah keruh'. Berbahaya
sekali!"
"Arti pepatah itu apa,
Pak Tua?" tanya Suto.
"Ikan belum dapat airnya
sudah keruh, artinya... nelayan kecemplung comberan," jawab Kusir Hantu
seenaknya saja jika menerjemahkan arti peribahasa. Tapi ia segera menyambung
ucapannya tadi.
"Apakah kau tak tahu
bahwa belum lama ini para tokoh rimba persilatan sedang geger membicarakan
tentang Bunga Kecubung Dadar?"
"Aku tidak tahu. Pak Tua.
Apa sebenarnya yang terjadi di rimba persilatan belakangan ini?"
"Beberapa tokoh aliran
putih telah dibunuh oleh seseorang yang mencari Bunga Kecubung Dadar."
Pendekar Mabuk terkejut,
karena benaknya langsung terbayang tuntutan si Tenda Biru. Batin Suto langsung
mengatakan bahwa Tenda Biru sudah memakan korban para tokoh aliran putih untuk
dapatkan Bunga Kecubung Dadar.
"Tetapi benarkah Tenda
Biru yang lakukan?" pikir Suto, lalu ia bertanya kepada Kusir Mantu.
"Siapa orang yang mencari
bunga itu dan membunuh beberapa tokoh aliran putih itu, Pak Tua?"
"Justru pembunuhnya belum diketahui dengan jelas. Empat tokoh aliran putih
yang sedang sekarat ditemukan oleh dua orang kenalanku: si Tongkat Papak dan
Lembu Serak. Masing-masing menemukan dua tokoh aliran putih yang sedang
menjelang ajal. Para korban umumnya terluka karena pukulan beracun yang
mematikan. Saat sebelum mereka hembuskan napas terakhir, mereka sempat
ceritakan bahwa mereka habis bertarung dengan orang yang mencari Bunga Kecubung
Dadar. Tetapi sebelum mereka sebutkan ciri-cirinya kepada Lembu Serak maupun si
Tongkat Papak, nyawa mereka melayang lebih dulu. Lembu Serak dan Tongkat Papak
selalu terlambat temui korban, sehingga yang diperoleh mereka hanya keterangan
tentang keganasan seseorang yang mencari Bunga Kecubung Dadar."
"Hmmm...," Suto
Sinting manggut-manggut sambil menggumam lirih. Panji Klobot hanya diam membisu
tapi tampak mendengarkan setiap kata yang dilontarkan oleh si Kusir Hantu.
"Siapa saja yang tewas
oleh si pencari Bunga Kecubung Dadar itu, Pak Tua?"
"Antara lain: Burik
Wetan, Nyai Suling Buntu, Jantur Gundul, Ki Pangguwelas, dan berita terakhir
yang kuterima, Dewa Semprong tewas dalam keadaan tubuh beracun."
"Dewa Semprong...?!"
Suto Sinting terkejut, karena ia mengenal tokoh sakti yang berjuluk Dewa
Semprong itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Tapak
Siluman").
"Orang yang menemukan
keadaan Dewa Semprong sedang sekarat adalah Ki Porak Porong. Tetapi keterangan
yang diperoleh dari Porak Porong hanyalah tujuan musuh yang menyerang si Dewa
Semprong, yaitu menuduh Dewa Semprong membunyikan letak tumbuhnya Bunga
Kecubung Dadar. Tetapi saat ditanyakan ciri-ciri pembunuhnya, Dewa Semprong
tergesa-gesa mati, sehingga Porak Porong tidak mau mengajaknya bicara lagi.
Pepatah mengatakan: 'Patah tumbuh hilang... nyawanya'. Tak ada yang tahu siapa
pembunuh sebenarnya."
Pendekar Mabuk tertegun
beberapa saat. Panji Klobot duduk bersila di atas balai-balai bambu, juga ikut
termenung sambil bersandar pada dinding kedua tangan bersedekap di dada.
Agaknya kedatangan Suto Sinting sempat menimbulkan keheranan bagi si Kusir
Hantu, terlebih setelah Suto terang-terangan mencari Bunga Kecubung Dadar. Jika
para korban dari aliran putih itu mati oleh orang yang mencari Bunga Kecubung
Dadar, tak heran jika Suto Sinting menjadi bahan kecurigaan kedua cucu Kusir
Hantu yang mendengarkan dari luar pondok itu, sebab pelaku pembunuhan itu
adalah orang yang mencari Bunga Kecubung Dadar dan belum diketahui
ciri-cirinya.
Hal itu membuat Suto Sinting
menjadi tak enak hati. la terpaksa memikirkan nasib dirinya agar jangan sampai
menjadi bahan kecurigaan mereka, dan tidak dituduh sebagai pembunuh Dewa
Semprong dan yang lainnya.
"Ke mana saja kau sudah
mencari bunga itu, Nak?" tanya Kusir Hantu. Pertanyaan itu sedikit
menyinggung hati Suto Sinting yang merasa dipancing dan sedang diselidiki
kebenaran sikapnya.
Langsung saja Suto berkata,
"Kau tak perlu mencurigaiku sebagai pembunuh mereka, Pak Tua. Memang aku
mencari Bunga Kecubung Dadar, tapi baru kepadamu dan kepada Pak Cilik Kapas
Mayat aku menanyakannya."
"Heh, heh, heh, heh...,
mengapa kau berkata begitu, Nak? Aku tidak mencurigaimu sebagai pembunuh para
korban itu, tetapi aku bertanya telah sampai di mana saja kau mencari bunga
tersebut?"
"Belum sampai di
mana-mana," jawab Suto dengan tegas. "Begitu aku bertanya kepada si
Kapas Mayat, dan Kapas Mayat menyarankan agar aku menanyakannya padamu, maka
aku datang kemari, Pak Tua."
"Pepatah mengatakan:
'Buruk cermin di muka, lebih buruk kalau muka tak pernah bercermin'. Artinya,
aku khawatir jika orang-orang menyangkamu sebagai pembunuh mereka. Lebih baik
batalkan saja niatmu mencari bunga itu, Nak."
Panji Klobot berbisik kepada
Suto, "Apa hubungannya antara pepatah dengan artinya tadi, Kang?"
"Tidak ada. Memang
begitulah si Kusir Hantu jika bicara. Kadang pepatah yang dilontarkan berbeda
jauh dengan arti yang dimaksudkan," balas Suto dalam bisikan. Kemudian ia
kembali memandang si Kusir Hantu dan ajukan pertanyaan lagi.
"Apakah Bunga Kecubung
Dadar itu memang ada, Pak Tua?"
"Memang ada, Nak! Bunga
itu tumbuh di danau, seperti bunga teratai tapi kecil, agak empuk dan berwarna
kuning, menyerupai telur dadar. Pepatah mengatakan. "
"Bagai telur di ujung
tanduk," sahut Suto agak jengkel.
"Artinya apa, Nak?"
"Artinya... telur itu
pasti telur dadar. Kalau bukan teIur dadar mana mungkin bisa di ujung tanduk.
Pasti menggelinding jatuh, Pak Tua."
"Kok tidak ada
hubungannya dengan kata-kataku tadi?"
"Yang jelas ada
hubungannya dengan soal dadar tadi, Pak Tua."
"Heh, heh, heh... kau mau
balas ikut-ikutan bikin patah ngawur, ya?" Kusir Hantu tertawa pendek,
kemudian ajukan tanya kembali kepada Suto Sinting.
"Untuk apa kau mencari
Bunga Kecubung Dadar itu?"
"Seorang sahabatku
terkena kutukan. Raganya lenyap dan tak bisa muncul lagi jika belum memakan
Bunga Kecubung Dadar. Aku diminta bantuannya untuk mencarikan bunga itu, Pak
Tua."
"Siapa nama sahabatmu
itu, Nak?"
"Tenda Biru, bekas
muridnya Nyai Garang Sayu. "
"Ooo. ," Kusir Hantu
manggut-manggut.
"Kau pernah mendengar
nama itu?"
"Belum," jawabnya
polos sambit menggeleng. Pendekar Mabuk tarik napas menghilangkan rasa
dongkolnya melihat lagak Kusir Hantu yang seolah- olah sudah kenal Tenda Biru.
"Lalu... siapa yang
mengutuknya sampai dia kehilangan raganya itu?!"
"Nyai Ronggeng Iblis, Pak
Tua!"
"Ronggeng
Iblis...?!" Kusir Hantu tampak terkejut, wajahnya sedikit menegang. Lalu
dia diam dan termenung sambil berdiri di depan pintu, matanya menatap ke arah
luar.
"Kau mengenalnya, Pak
Tua?" tanya Suto.
Kusir Hantu masih diam sesaat,
setelah menarik napas dan menghempaskannya lepas-lepas, suaranya pun terdengar kembali
dengan tanpa senyum dan tanpa kesan santai.
"Ronggeng Iblis penguasa
Pulau Siluman "
"Memang benar,"
sahut Suto Sinting.
"Ternyata dia belum mati.
Kupikir dia tak dapat obati lukanya ketika kuserang dengan jurus 'Badai
Birahi', ternyata. sekarang namanya masih kudengar
sebagai orang yang menyebar
kekuatan kutuknya. Agaknya kau harus hati-hati dulu, Pematang Hati dan Mahligai
Sukma!"
Pendekar Mabuk agak kaget.
Kusir Hantu bicara dengan cucunya. Padahal Suto tidak melihat kedua cucu Kusir
Hantu ada di situ. Tapi rupanya Kusir Hantu sejak tadi tahu bahwa kedua cucunya
menguping di balik dinding kayu tersebut. Sang cucu pun saling terperanjat, dan
menjadi malu karena diketahui sedang menguping pembicaraan kakeknya.
"Kau bicara dengan
cucumu, Pak Tua?"
"Ya. Mereka mendengarkan
percakapan kita di samping rumah."
"Hebat! Rupanya ilmu
kepekaan rasamu cukup tinggi, Pak Tua, sehingga kau bisa tahu kalau cucumu ada
di samping rumah."
"Tentu saja, sebab
bayangan mereka kelihatan dari pintu
sini!" kata Kusir Hantu, dan Suto segera membuktikan, ternyata memang
benar. Bayangan kedua gadis itu tampak dari pintu. Suto akhirnya menertawakan
dugaannya tadi.
Panji Klobot tidak ikut
tertawa. Anak muda itu duduk bersila dengan wajah tertunduk dan napas teratur.
"Uuuh... tidur!"
gerutu Suto Sinting dalam hati, tapi ia sengaja membiarkan Panji Klobot
tertidur. "
Kurasa, orang yang membunuh
beberapa tokoh aliran putih itu adalah Ronggeng Iblis sendiri."
"Dari mana kau tahu kalau
dia yang melakukannya, Pak Tua?"
"Mudah saja! Dia telah
melepaskan jurus kutukannya yang dinamakan jurus 'Sabda Sirna' itu. Dia tahu
kutukannya itu akan lenyap jika korbannya memakan Bunga Kecubung Dadar. Maka
dicarinya bunga itu, dan dia harus mendapatkan bunga tersebut sebelum orang yang
dikutuknya lebih dulu memperoleh Bunga Kecubung Dadar."
"Pepatah
mengatakan...," pancing Suto.
"Tidak pakai pepatah
dulu!" sahut Kusir Hantu dengan serius. "Jika si Dewa Semprong sampai
tewas karena luka pukulan beracun ganas, maka aku yakin si Ronggeng iblis itu
yang melukainya. Sebab si Ronggeng Iblis juga mempunyai pukulan beracun ganas
yang dinamakan jurus 'Sapulama'. "
"Jurus apa itu? Namanya
kok aneh?" sahut Suto dalam tanya.
"Jurus 'Sapulama',
artinya sekali pukul lawan mati, disingkat menjadi 'Sapulama'."
"Kalau sapu baru
bagaimana?"
"Dijual," jawab
Kusir Hantu seenaknya, tapi ia tidak tersenyum sedikit pun dan justru tampak
bersungguh- sungguh dalam tiap katanya.
Pendekar Mabuk menjadi
ikut-ikutan serius dan tak berani bercanda lagi.
"Pak Tua, bagaimana
caranya agar aku bisa dapatkan Bunga Kecubung Dadar itu?"
"Cari sebuah danau yang
berair kuning. Biasanya danau atau telaga yang berair kuning ditumbuhi tanaman
liar yang mengapung. Tanaman liar itu mempunyai bunga kuning, mirip teratai. Itulah
yang dinamakan Bunga Kecubung Dadar. Pepatah mengatakan: 'Lain lubuk lain
belalang'. "
"Artinya apa, Pak
Tua?"
"Lubuk dan belalang
memang lain jenis! Tak ada artinya!" jawab Kusir Hantu sambil
bersungut-sungut. Kemudian ia mendekati Suto Sinting dan bicara dengan pelan.
"Telaga berair kuning
pernah kulihat di lereng Bukit Ketapang. Letaknya di sebelah selatan dari
ini!"
"Bukit Ketapang itu
seperti apa?"
"Ya, seperti bukit!"
Kusir Hantu menjawab agak jengkel.
"Maksudku, apa
ciri-cirinya untuk menandai bahwa bukit itu adalah Bukit Ketapang?!"
"Di puncak bukit itu ada batu bersusun tiga. Cukup tinggi dan dapat
dilihat dari kaki bukit. Pepatah mengatakan: 'Tak ada bukit yang retak'.
Artinya, tak ada bukit yang tak tampak."
"Kalau begitu, Pak Tua...,"
Suto berbisik, "Aku titip sahabatku si Panji Klobot ini. Biar dia di sini
dulu sementara aku mau ke Bukit Ketapang mencari bunga itu."
Kusir Hantu manggut-manggut
sambil memperhatikan Panji Klobot yang sedang tidur sambil duduk itu.
"Boleh saja, tapi...
bagaimana cara memberi makan anak itu?"
"Dia termasuk manusia
aneh. Dia jarang makan. Kalau dia bilang 'lapar' artinya dia masih kenyang.
Tapi kalau dia bilang 'kenyang', artinya dia merasa sangat lapar. Dia kalau
bicara penuh sindiran yang arti ucapannya
selalu bertentangan dengan isi hati sebenarnya."
"Hmmm...," Kusir
Hantu manggut-manggut lagi. "Baiklah! Berangkatlah sekarang juga ke Bukit
Ketapang dan hati-hati, siapa tahu Ronggeng Iblis mendahuluimu atau
menghadangmu di tengah jalan. Pertahankan bunga itu agar jangan sampai jatuh ke
tangannya. Kasihan sahabatmu yang bernama Tenda Biru-itu."
"Benar. Aku pun kasihan
padanya. Sebab dia sekarang sudah menjadi muridnya Eyang Tapak Lintang dan
ingin masuk dalam aliran putih."
"O, apalagi dia muridnya
Tapak Lintang. Aku kenal betul dengan Kakang Tapak Lintang itu," ujar
Kusir Hantu menampakkan sikapnya sebagai orang yang lebih muda dari Eyang Tapak
Lintang.
"Pergilah dan jangan
pikirkan sahabatmu yang tidur itu. Aku akan menjaganya dan memberinya makan
sesuai keteranganmu itu!"
"Terima kasih, Pak
Tua," ujar Suto sambil menyembunyikan senyum. Karena ia membayangkan
betapa jengkelnya Panji Klobot nanti jika perutnya lapar, pasti Kusir Hantu tak
akan memberinya makan karena menganggap Panji Klobot masih kenyang.
Pendekar Mabuk segera
tinggalkan Lembah Seram. Namun, sebelumnya kedua cucu si Kusir Hantu saling
ribut untuk ikut mendampingi Suto Sinting.
Akhirnya, Kusir Hantu
membentak sang cucu. "Tidak ada satu pun yang ikut Suto!"
"Tapi kalau Suto dalam
bahaya bagaimana, Kek?!" Pematang Hati agak ngotot.
"Dia bisa kuasai dirinya
walau dalam bahaya apa pun! Pepatah mengatakan..."
"Cukup, Kek. Kalau tak
boleh ya sudah, bilang saja tak boleh. Tak perlu pakai pepatah segala!"
sahut Mahligai Sukma dengan cemberut.
Pendekar Mabuk hanya tertawa
kecil. Kusir Hantu memarahi kedua cucunya. Sang cucu tak ada yang berani nekat
pergi walau secara diam-diam. Karena Kusir Hantu menceritakan tentang Nyai
Ronggeng Iblis yang berilmu tinggi dan pernah menjadi lawannya itu. Pematang Hati maupun Mahligai
Sukma merasa perlu mematuhi larangan kakeknya, sebab jika kakeknya saja tak
berhasil mengalahkan Nyai Ronggeng Iblis, apalagi diri mereka, pasti lebih tak
mampu lagi.
Dengan menggunakan jurus
'Gerak Siluman' yang kecepatannya hampir menyamai kecepatan cahaya itu, Suto
Sinting melesat menuju ke arah selatan untuk menemukan telaga berair kuning di
Bukit Ketapang. Setiap bukit selalu dipandangi puncaknya. Tapi tak satu pun
dari sekian bukit yang sudah dilaluinya mempunyai puncak berbatu susun tiga.
"Jangan-jangan Kusir
Hantu salah memberi arah?!" pikir Suto dengan cemas.
Zlaaap...! Suto segera
berkelebat ke balik pohon besar, ia bersembunyi di sana, karena melihat dua
orang berlari-lari menuju ke arahnya.
Untung di situ ada dua pohon
besar yang tumbuh bersebelahan nyaris berdempet, sehingga Suto dapat segera
sembunyikan diri. Tetapi ia menjadi cemas, karena dua orang itu agaknya juga
sedang menuju ke pohon tersebut. Mau tak mau Pendekar Mabuk segera pindah ke
tempat lain.
"Sial! Tak ada tempat
yang lebih rapi lagi untuk bersembunyi selain kedua pohon ini. Hmmm...!
Sebaiknya aku haik ke atas pohon saja!"
Zlaaap...! Suto tahu-tahu
melesat ke atas tanpa suara, dan hinggap di salah satu dahan dengan menapakkan
kakinya tanpa suara juga. Bahkan getaran sedikit pun tak dialami oleh dahan
tersebut, menunjukkan bahwa Suto Sinting saat itu menggunakan Ilmu peringan
tubuh yang cukup tinggi. Daun-daun pohon yang rindang membentuk semak cukup
rapi. Dengan bersembunyi di balik daun-daun pohon rindang itu, Pendekar Mabuk
tak mudah dilihat dari bawah pohon. Di sana ia dapat nongkrong dengan santai
sambil memperhatikan kedua orang yang memang
benar-benar mendekati pohon
tersebut.
Pendekar Mabuk sempat
terbelalak ketika mengetahui bahwa kedua orang yang mendekati pohon itu
ternyata sepasang muda-mudi berusia sebaya dengan Suto sendiri. Lebih terkejut
lagi setelah Suto mengenali si pemuda itu berambut panjang digulung ke atas,
pada gulungan rambutnya terdapat hiasan perak bermanik-manik warna-warni.
Pemuda itu mengenakan rompi biru bersisik perak, demikian juga celananya, ia
pemuda yang tinggi, gagah, berbadan kekar dan berwajah cukup tampan, walau tak
setampan Suto. Kulitnya sawo matang, tangannya berbulu lembut, juga dadanya
banyak ditumbuhi dengan bulu-bulu halus.
Suto mengenalnya sebagai murid
mendiang Begawan Girimaya, yang pernah mengabdi kepada Nyai Mata Binal dan
menerima ilmu 'Lintah Tambak Cumbu'. Pemuda itu tak lain adalah si Naga Langit,
yang telah kehilangan seluruh ilmunya karena bayangannya dihantam oleh Suto,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Perempuan Jahanam).
"Lalu, siapa si gadis
berjubah kuning sutera itu?!" Suto Sinting bertanya pada dirinya sendiri,
sebab ia masih merasa asing dengan gadis berbadan sekal dan berdada montok
sekali itu.
Jubah kuning suteranya itu tak
dikancingkan bagian depannya, sehingga dadanya yang besar dan tampak sekali
hanya ditutup dengan kutang tipis tembus pandang warna ungu. Ketipisan kainnya
telah membuat benda yang ditutupi tampak jelas bentuk ujungnya yang mancung
meruncing indah. Sementara pakaian bawahnya juga dari kain tipis warna ungu
muda yang mempunyai belahan tengah dari bawah sampai batas pusar.
Gadis itu berambut panjang
digulung sebagian, sisanya meriap ke samping kanan-kiri. Wajahnya cantik,
hidungnya mancung, matanya agak besar serta sayu, bibirnya sedikit tebal tapi
membentuk kesan menggairahkan. Siapa pun memandangnya akan gemas dan berkhayal
ingin memagutnya berhari-hari.
"Oh, rupanya mereka
datang ke sini karena mau kencan?! Sialan!" gerutu Suto Sinting sambil
bersungut-sungut, namun matanya tetap memandang ke bawah.
Terdengar pula suara Naga
Langit berkata kepada gadis yang tampak sudah matang dalam bercinta itu.
"Aku akan menuruti
keinginanmu, Nyai. Tapi kumohon kau jangan menipuku. Kau harus mau carikan
Bunga Kecubung Dadar itu untuk mengembalikan ilmuku yang telah dilenyapkan oleh
si Pendekar Mabuk itu!"
"Percayalah padaku. Tak
ada sejarahnya yang namanya Nyai Ronggeng Manis menipu seseorang. Setiap orang
yang berbuat baik padaku, pantang kutipu dan kusakiti, Naga Langit."
Sambil berkata demikian, Nyai
Ronggeng Manis merayapkan tangannya ke dada Naga Langit. Dada berbulu itu
diusap-usapnya dengan mata semakin sayu. Wajah cantik berbibir ranum itu
semakin dekat dengan wajah Naga Langit. Mereka saling pandang sejenak, lalu
Nyai Ronggeng Manis pejamkan mata pelan-pelan setelah tangan Naga Langit
menelusup ke dadanya.
Begitu mata Nyai Ronggeng
Manis terpejam, bibir setengah disodorkan dalam keadaan merekah, Naga Langit
pun segera memagut bibir itu dengan hangat. Sang Nyai membalas pagutan tersebut
tak kalah hangat, sehingga bibir Naga Langit dilumatnya habis- habisan. Gadis
itu agaknya bergairah tinggi, sehingga Naga Langit sedikit kewalahan menghadapi
cumbuannya yang bersifat mencecar lawan jenis itu. "Nyai Ronggeng Manis
itu siapa?" pikir Suto Sinting. "Ah, sebaiknya tak usah dipikirkan
dulu siapa perempuan itu. Tapi dinikmati saja tontonan gratis ini mumpung ada
kesempatan emas," pikir Suto Sinting sambil tetap memperhatikan ke bawah,
walau jantungnya berdebar-debar dan badannya sedikit gemetar karena terpancing
dengan adegan mesra yang begitu panas.
Nyai Ronggeng Manis membiarkan
jubahnya dilepas oleh Naga Langit. la bahkan bersandar di batang pohon itu sambil
mengerang dan mendesis- desis karena merasakan nikmatnya kenakalan mulut Naga
Langit yang menyerang dadanya. Kain penutup dada itu pun telah terlepas dan
jatuh terkulai di atas rerumputan.
"Naga Langit, oooh...
pintar sekali kau membuatku melayang-layang. Hik, hik, hik...!"
Naga Langit merayapkan
ciumannya sampai ke bawah. Nyai Ronggeng Manis semakin mengerang dan membuka
diri, sehingga Naga Langit lebih leluasa dalam bergerak. Kepalanya
diremas-remas oleh kedua tangan Nyai Ronggeng Manis, kadang ditekan bersama
jeritan kecil yang melambangkan kenikmatan tiada tara.
Akhirnya, Nyai Ronggeng Manis
tak mampu bertahan menerima kecupan-kecupan mesra itu. la melepaskan rompi yang
dipakai Naga Langit. Bahkan pemuda itu kini disentakkan agar bersandar ke pohon,
lalu Nyai Ronggeng Manis menciumi sekujur tubuh pemuda itu dari atas sampai
bawah. Naga Langit yang telah menjadi seperti bayi baru lahir itu dilahap habis
oleh keganasan cinta sang Nyai. Pemuda itu memekik-mekik dengan mata terpejam
kuat, menikmati sentuhan cinta sang Nyai yang tiada bandingnya itu.
"Oh, Naga Langit... aku
tak sanggup lagi bertahan. Lakukanlah... lakukanlah sekarang juga, Sayang....
Aku ingin segera mencapai
puncak keindahan cinta kita, Naga Langit...!" pinta sang Nyai dengan suara
terengah-engah dan berkemas merebahkan diri di rerumputan. Hanya beralaskan
kain jubahnya, sang Nyai segera memeluk Naga Langit yang menikamnya dengan
segumpal kehangatan yang dibutuhkan gadis itu.
"Ooh...!" Nyai
Ronggeng Manis memekik panjang ketika menerima kehangatan tubuh Naga Langit.
Gerakannya menjadi ganas, suaranya menjadi liar, seakan ia mengamuk memburu
puncak keindahannya. Bahkan Naga Langit sempat digulingkan ke kanan, sehingga
kini sang Nyai yang menguasai pelayaran cinta mereka.
Suto Sinting tiba-tiba
terkejut ketika tengkuk kepalanya seperti ada yang mencium, lalu dadanya ada
yang meremas-remas dari belakang, la buru-buru berpaling, ternyata tak ada
orang. Tetapi ia segera mendengar bisikan suara lembut yang dikenalinya.
"Bocah sinting... ooh,
gairahku terbakar pemandangan di bawah itu, Sayang. "
"Tenda Biru," bisik
Suto bernada desah. Suto Sinting menengadahkan kepalanya. Dari belakang seperti
ada yang mengecup bibirnya, lalu bibir itu terasa dilumat dengan hangat. Darah
mengulir deras karena gairah semakin terbakar oleh kecupan si Gadis Tanpa Raga
itu.
Namun tiba-tiba cumbuan Suto
Sinting dan Gadis Tanpa Raga terhenti bersama sentakan mengejutkan. Karena
tiba-tiba mereka mendengar suara orang memekik bagai di ambang ajal.
"Aaaakh...!"
Mereka sama-sama memandang ke
bawah pohon. "Ooh...?! Pemuda itu... pemuda itu dibunuhnya?!" bisik
suara Tenda Biru terdengar menegang di telinga
Suto Sinting.
Mata Pendekar Mabuk sendiri
terbelalak tak berkedip melihat Naga Langit mengejang dalam keadaan tanpa
busana. Dadanya menjadi bolong dan terbakar hangus. Pada saat itu, selarik
sinar merah dari ujung jari tengah sang Nyai baru saja padam. Mata Suto pun
tahu bahwa Naga Langit dibunuh oleh Nyai Ronggeng Manis dengan sinar merah dari
jari tengahnya,
Luka di dada Naga Langit
merambah menjadi besar. Itu menandakan luka tersebut sangat beracun. Naga
Langit tak bisa berbuat apa-apa kecuali terkapar dengan mulut ternganga seperti
ingin ucapkan sesuatu. Namun beberapa kejap kemudian, mata Naga Langit yang mendelik
itu menjadi sayu, lama-lama terkatup rapat bersama hembusan napas yang
penghabisan.
"Hih, hih, hih,
hih...!" Nyai Ronggeng Manis tertawa kegirangan sambil mengenakan
pakaiannya kembali. "Kau benar-benar pemuda bodoh, Naga Langit! Mana
mungkin aku akan serahkan Bunga Kecubung Dadar kepadamu, jika aku sendiri
membutuhkan bunga itu untuk kutanam di taman istanaku! Hih, hih, hih, hih...!
Rupanya kau tidak tahu, Naga Langit, bahwa aku sengaja ingin menghancurkan
tanaman itu agar tak tumbuh di tempat lain, dan hanya aku yang memilikinya,
karena aku tak ingin seseorang memakan bunga itu untuk pulihkan keadaan
dirinya!"
"Kejam..,!" geram
Suto Sinting nyaris tanpa suara. "Hih, hih, hih...! Selamat tinggal, Naga
Langit. Aku sudah puas menghisap madu kehangatanmu, sekarang nikmatilah masa
perjalananmu menuju akhirat. Bergabunglah dengan Dewa Semprong dan orang-orang
yang mati di tanganku karena berlagak tidak tahu menahu tentang Bunga Kecubung
Dadar! Hih, hih, hih, hih...!"
Weess,..! Nyai Ronggeng Manis
melesat pergi meninggalkan pemuda yang telah memberinya kepuasan batin itu.
Sementara, si Gadis Tanpa Raga segera berkata kepada Suto Sinting dengan suara
lebih tegang lagi.
"Ikuti dia! Bila perlu
cegah dia agar jangan sampai temukan Bunga Kecubung Dadar!"
"Ha... haruskah...
haruskah aku menghiraukannya?"
"Tentu saja, sebab dia
itulah yang bernama Nyai Ronggeng Iblis!"
*
* *
7
PENGEJARAN dilakukan oleh Suto
Sinting walau senja mulai berangsur-angsur menjadi petang. Agaknya Nyai
Ronggeng Iblis mempunyai gerakan yang kecepatannya menyamai dengan jurus 'Gerak
Siluman'-nya Suto Sinting, sehingga perempuan yang sebenarnya berusia lebih
dari enam puluh tahun itu sukar disusulnya.
"Tenda Biru...! Tenda
Biru, di mana kau?!" Suto Sinting memanggil dengan suara tak seberapa
keras. la sengaja hentikan langkah karena alam telah menjadi gelap dan arah
pelariannya mulai tak jelas.
"Tenda Biru...!"
panggilnya lagi. Beberapa saat kemudian terdengar suara Tenda Biru menjawab,
"Aku di sini...!"
Pendekar Mabuk menoleh ke arah
samping kanannya. Ternyata di sana ada sebuah gubuk yang menyalakan api kecil
di bagian depannya. Pendekar Mabuk kerutkan dahi, merasa ragu dengan
penglihatannya sendiri.
"Bocah sinting, aku
menemukan gubuk persinggahan para pencari kayu bakar," ujar suara Tenda
Biru. "Kau melihat nyala api kecil itu, Bocah Sinting?
"Ya, aku
melihatnya!"
"Aku yang
menyalakannya." "Apa maksudmu?"
"Istirahatlah dulu, hemat
tenagamu untuk lanjutkan pencarian besok. Kurasa, Nyai Ronggeng Iblis tidak
mungkin lanjutkan perjalanan malam seperti sekarang ini."
"Aku tahu kau ingin
mencumbuku lagi, bukan?" "Jangan beranggapan begitu. Aku merasa sudah
dekat dengan kemenanganku. Aku
tak terlalu berpikir tentang kemesraan. Tadi kalau tak terpancing oleh
percumbuan Naga Langit dan Nyai Ronggeng Iblis, aku tak mengganggu
ketenanganmu."
"Maaf kalau begitu,"
ujar Suto Sinting sambil melangkah dekati gubuk tersebut.
"Sementara kau
beristirahat, aku akan mencari di mana Nyai Ronggeng Iblis beristirahat."
"Kau tidak ikut beristirahat
pula?"
"Aku tanpa raga. Tak
punya rasa lelah dan kantuk. Aku melayang dengan ringan, sejauh mana pun akan
kutempuh tanpa harus beristirahat."
Pendekar Mabuk segera
menenggak tuaknya, kemudian duduk di balai bambu yang sudah reot tanpa tikar atau
alas lainnya.
"Pergilah kalau kau ingin
mencari tempat sang Nyai. Beri tahu padaku jika kau sudah menemukannya!"
ujar Pendekar Mabuk kepada si Gadis Tanpa Raga yang tak diketahui kala itu ada
di sebelah kanannya.
Perjalanan terhenti sepanjang
malam. Pendekar Mabuk tertidur di atas balai bambu itu. Bumbung tuak yang masih berisi separuh lebih itu
berada di sampingnya, bagaikan seorang istri yang setia.
Lelapnya tidur membuat Suto
Sinting tak sadar jika hari sudah pagi. Matahari kian menampakkan cahayanya
menjauhi cakrawala timur.
Pendekar Mabuk hanya merasakan
sesuatu telah menyentuh keningnya. Sesuatu yang hangat itu merayap di pipi,
sesekali mengecup bibirnya. Kecupan dan sentuhan hangat itulah yang membuat
Pendekar Mabuk terbangun dari tidurnya. Namun ia tidak melihat siapa-siapa di
sampingnya.
"Hmmm... kau, Tenda
Biru?!" gumam Suto Sinting. "Bangun, Sayang... hari sudah pagi,"
bisik Gadis
Tanpa Raga di samping Suto. la
masih menciumi telinga Suto, leher, dagu, dan dada. Caranya membangunkan sungguh
mesra dah menyentuh hati Suto, menciptakan debar-debar keharuan kecil.
"Kutemukan Nyai Ronggeng
Iblis di atas pohon sebelah selatan tempat ini."
"Jauhkah tempatnya?"
"Agak jauh, tapi yang
penting, Bukit Ketapang sudah kutemukan juga. Tak seberapa jauh dari tempat
istirahatnya Nyai Ronggeng Iblis ada bukit yang puncaknya terdapat tiga batu
bersusun tinggi."
"Ya, itulah Bukit
Ketapang."
"Sebaiknya kau segera
temukan telaga dan bunga itu sebelum Nyai Ronggeng Iblis terbangun dan
menemukannya lebih dulu!"
"Gagasanmu cukup bagus,
tapi... sebentar, aku meneguk tuakku dulu biar badanku segar."
Sementara Suto menenggak
tuaknya, Tenda Biru berkata,
"Kutaburkan kabut pembius
di sekitar pohon tempat beristirahatnya Nyai Ronggeng Iblis. Kurasa ia sekarang
masih tertidur nyenyak karena pengaruh kabut pembiusku itu."
Pendekar Mabuk tersenyum.
"Kau benar-benar gadis yang cerdik, Tenda Biru!"
Setelah berkata begitu, Suto
segera berkelebat pergi ke arah selatan. Jurus 'Gerak Siluman' membuat Suto
cepat tiba di kaki Bukit Ketapang. la pun segera memasuki hutan di lereng bukit
itu yang ditumbuhi pepohonan tak begitu padat.
"Aku melihatnya!"
seru sebuah suara tanpa rupa di depan Suto. Suara itu adalah suara Tenda Biru
yang berjalan mendahului Suto Sinting. "Ke arah sini, Bocah
Sinting...!"
Pendekar Mabuk segera
mengikuti arah suara tersebut.
Zlaaap...! Dalam sekejap ia
sudah tiba di tepi sebuah telaga berair kuning. Telaga itu cukup lebar, garis
tengahnya sekitar dua puluh lima langkah kaki orang dewasa. Bentuknya tidak
bulat rapi, tapi mempunyai tepian yang berliku-liku.
"Kita sudah temukan
telaga berair kuning, Tenda Biru."
"Iya, tapi... tapi tak
ada bunga yang mengapung di permukaan airnya, Bocah Sinting!" kata suara
Tenda Biru dengan nada sedih.
"Lihat tanaman yang
tumbuh di tepian sebelah sana!" sambil Suto menuding ke arah seberang. Ia
pun bergegas menggelilingi telaga untuk mencari tepian seberang sana.
"Tanaman ini mengambang
di air, tapi tak ada bunganya, Bocah Sinting!" seru suara Tenda Biru yang
sudah lebih dulu tiba di seberang sana.
Pendekar Mabuk sempat kecewa
melihat tanaman berdaun lebar seperti daun bunga teratai. Tanaman itu selain
merambat di tepian telaga juga mengambang di permukaan air telaga kuning. Daun
itu cukup rimbun, hingga tumbuhnya berdempetan, Suto mencari-cari bunga yang
tumbuh pada tanaman itu, karena hanya tanaman itu yang sebagian mengambang di
permukaan air telaga.
Sekalipun mereka yakin tanaman
itu adalah tanaman Bunga Kecubung Dadar, namun mereka tidak menemukan sekuntum bunga
tumbuh di sana. Pendekar Mabuk mengawasinya dengan teliti, dan tetap tidak
mendapatkan sekuntum bunga pada tanaman tersebut.
"Jangan-jangan sekarang
belum musim bunga, sehingga tanaman ini tidak berbunga!" ujar suara Tenda
Biru.
"Berarti kita harus
menunggu sampai tanaman ini berbunga."
"Uuh...! Berapa lama
menunggunya, Bocah Sinting?!" suara Tenda Biru terdengar merengek manja
seakan ingin menangis karena sedih dan kecewa.
Seekor nyamuk hinggap di
kening Suto. Tanpa sadar Suto Sinting mengusap keningnya dengan tangan kiri.
Pada saat itulah penglihatannya menjadi berubah, ia telah mengusap titik merah
di keningnya, dengan begitu ia dapat melihat alam gaib di sekelilingnya.
"Hahh...?!" Suto
Sinting terkejut. Matanya terbelalak lebar, karena sekarang ia dapat melihat
bahwa tanaman berdaun lebar itu mempunyai bunga- bunga berwarna kuning.
"Ternyata banyak bunga
yang tumbuh pada tanaman ini?. Mengapa aku tadi tidak melihatnya?" pikir
Suto Sinting. "Ooh... ya, ya, sekarang aku tahu, aku telah mengusap keningku
dengan tangan kiri, sehingga penglihatanku dapat menembus alam gaib. Berarti
bunga ini hanya bisa dilihat oleh seseorang yang berada di alam gaib atau mampu
menembus kehidupan alam gaib. Sungguh ajaib bunga ini! Pasti bunga-bunga yang
tumbuh subur inilah yang dinamakan Bunga Kecubung Dadar!"
Rupanya walaupun Tenda Biru
tanpa raga, namun ia tetap tidak bisa melihat bunga berwarna kuning lebar
tengahnya berbintik-bintik ungu itu. Karenanya, gadis itu tetap ribut
melontarkan kekecewaannya.
Pendekar Mabuk tidak hiraukan
kata-kata Tenda Biru. la memetik setangkai bunga tersebut. Tesss. !
"Hahh...?!" Suto
terkejut begitu melihat bunga- bunga lainnya menjadi layu, kian lama kian
mengering dan daun-daunnya pun menjadi membusuk. Ternyata bunga aneh itu mempunyai
keajaiban terdiri.
Jika salah satu bunga dipetik,
maka seluruh tanaman itu menjadi layu dan membusuk. Tetapi bunga yang sudah ada
di tangan seseorang itu tetap tumbuh segar dan dapat dilihat oleh mata siapa
saja. Saat Pendekar Mabuk mengusap kembali keningnya dengan tangan kiri, maka
penglihatannya kembali kepada penglihatan semula yang tidak bisa melihat alam
gaib. Dalam keadaan seperti itu, ternyata Suto masih tetap bisa melihat
setangkai bunga kuning di tangannya.
"Yaaah... tanaman ini
bahkan menjadi busuk, Bocah Sinting! Aduuuh... bagaimana ini kalau...,"
rengekan Tenda Biru terhenti. la pun segera bersuara dengan nada kaget.
"Hei, kau dapatkan dari
mana bunga itu?! Buk... buk... bukankah itu Bunga Kecubung Dadar?!"
"Kurasa memang inilah
bunga yang kau cari," ujar Suto Sinting dengan senyum bangga.
Tetapi tiba-tiba sekelebat
bayangan melintas dan menerjang Suto Sinting. Wuuuut...! Bruuuss...!
Suto Sinting terpental
terbang, bunga itu terlepas dari tangannya. Bunga Kecubung Dadar melayang- layang
di udara. Pada saat itu Suto Sinting segera sadar bahwa Nyai Ronggeng Iblis
telah datang dan ingin merampas bunga tersebut.
Tubuh sang Nyai segera
melayang mengejar bunga kuning itu. Tetapi, Suto Sinting segera lepaskan
sentilan mautnya ke arah pinggang sang Nyai. Dees...!
Buukh...!
"Uukh...!" Nyai
Ronggeng Iblis terkena jurus 'Jari Guntur' dan tubuhnya melayang ke arah lain.
Brruk...! la pun jatuh nyaris masuk ke telaga kuning itu.
Bunga Kecubung Dadar tiba-tiba
berhenti di udara. Suto Sinting segera ingin menangkapnya dengan satu lompatan.
Tetapi Nyai Ronggeng Iblis segera melepaskan pukulan tenaga dalamnya berupa
sinar merah lurus dari jari tengahnya yang dipakai membunuh Naga Langit itu.
Claaap...!
Suto Sinting melihat datangnya
bahaya tersebut, kemudian segera mengibaskan bumbung tuaknya untuk menangkis
sinar merah itu. Deeb...!
Sinar merah menghantam bumbung
tuak dan berbalik arah menjadi lebih besar serta lebih cepat dari gerakan
semula. Wees...! Sasaran sinar merah itu ke arah dada Nyai Ronggeng Iblis.
Akibatnya perempuan berjubah kuning itu segera lakukan lompatan pindah tempat
dengan terburu-buru.
"Monyet...!"
makinya, lalu ia melesat ke arah kiri dan mendarat di balik pohon.
Suto Sinting segera melakukan
lompatan untuk menangkap bunga yang tadi berhenti di udara itu. Tapi ternyata
bunga tersebut telah lenyap entah ke mana. Pendekar Mabuk kebingungan mencari
bunga itu dengan pandangan mata tampak panik.
Pada saat itulah, Nyai
Ronggeng Iblis menghantam punggung Suto Sinting menggunakan pukulan sinar hijau
patah-patah.
"Kuhancurkan kau kalau
berani menyentuh bunga itu, Keparat!"
Weeers...!
Telapak tangannya keluarkan
sinar hijau patah- patah. Suto cepat balikkan badan. Sinar itu sudah ada di
depannya. Bumbung tuak kembali berkelebat menangkis sinar hijau patah-patah
itu. Trrraap...!
Ledakan dahsyat yang terjadi
sungguh mengerikan. Air telaga bergolak hebat bagai ingin dituangkan dari
tempatnya. Tanah pun bergetar seakan dilanda gempa mendadak. Pohon-pohon
tumbang tak tentu arah.
Gelombang ledakan dahsyat itu
juga menerbangkan Suto Sinting hingga menghantam sebatang pohon yang belum
tumbang. Bruuuk...!
Krraaak...! Bruuuss...!
Pohon yang ditabrak tubuh
Pendekar Mabuk menjadi patah dan tumbang beberapa kejap berikutnya. Hal itu menandakan
betapa kerasnya lemparan tubuh Suto akibat gelombang ledakan itu, Tetapi
bumbung tuak yang dipakai menangkis sinar hijau lawan masih tetap utuh tanpa
lecet sedikit pun.
"Hooeek...!" Suto
Sinting memuntahkan darah kental dari mulutnya. la terluka dalam akibat
gelombang ledakan tadi. Wajahnya menjadi pucat pasi, tenaganya menjadi
berkurang, tubuh terasa lemas sekali.
Tetapi Nyai Ronggeng Iblis
masih tampak segar dan segera berkelebat menghampiri Suto Sinting. Wuuut...!
"Serahkan bunga
itu!" bentaknya di depan Suto yang masih belum bisa berdiri itu.
Wajah Suto mendongak dengan
mata memandang sayu kepada sang Nyai. Pandangan matanya ternyata menjadi buram,
namun ia masih bisa menangkap samar-samar bayangan kuning dari jubah sang Nyai.
"Kuhitung tiga kali kalau
bunga itu tak kau serahkan padaku, kuhancurkan kepalamu!" hardik sang Nyai
dengan wajah cantik memancarkan kebengisan.
Pendekar Mabuk berdiri dengan
bantuan sebatang pohon. Bumbung tuaknya masih tetap ada di tangan kanan.
"Satu...!" seru sang
Nyai yang menyangka bunga itu ada di tangan Suto. "Dua...!"
Tubuh Nyai Ronggeng Iblis
berubah menjadi merah membara. Kedua tangannya telah terangkat ke atas, dari
ujung jari-jarinya keluar kuku-kuku runcing berwarna hitam.
"Tigaaa...!
Hiaaahh...!"
Suto Sinting segera lepaskan
bumbung tuaknya. Lalu tangan kanan itu menyentak dalam keadaan telapak tangan
melebar rapat. Suuut...! Maka dari tangan itu keluar sinar-sinar emas berbentuk
pisau- pisau kecil.
Clap, clap, clap, clap. !
Sinar-sinar kuning berbentuk
pisau melesat secara beruntun. Kecepatannya sungguh luar biasa, tak bisa
dihindari maupun ditangkis lagi. Maka, dada sang Nyai yang juga telah
memancarkan cahaya merah bara itu dihantam beberapa sinar berbentuk pisau emas.
Jrruub...! Pisau-pisau emas itu bagai menyergap dada secara berebutan.
Akibatnya, Nyai Ronggeng Iblis diam bagaikan patung tak mau bergerak-gerak
lagi. Tubuh yang memancarkan cahaya merah bara itu lama-lama redup menjadi
pucat keabu-abuan.
Jurus 'Manggala' yang menjadi
salah satu jurus andalan Pendekar Mabuk telah membuat Nyai Ronggeng Iblis tetap
mengangkat kedua tangannya dan membuka mulutnya lebar-lebar. Tiga helaan napas
lamanya ia masih diam tanpa gerakan apa- apa. Pendekar Mabuk membiarkannya dan
justru segera menenggak tuak untuk mengobati luka dalamnya.
Glek, glek, glek, glek. !
Napas terhempas dari mulut,
menandakan Suto merasakan kelegaan dalam tubuhnya. Tuak itu telah membuat tubuh
menjadi segar dan rasa sakitnya hilang.
Kejap kemudian, ketika Suto
memperhatikan Nyai Ronggeng Iblis, angin berhembus agak kencang. Hembusan angin
itu membuat tubuh Nyai Ronggeng Iblis menjadi beterbangan. Rupanya perempuan
itu sejak tadi sudah menjadi debu-debu halus yang begitu lembutnya
sampai-sampai masih membentuk sosok tubuh perempuan cantik dalam beberapa
helaan napas.
Angin yang berhembus agak
kencang itu kini membuat debu itu berhamburan dan sosok Nyai Ronggeng Iblis pun
hilang dari pandangan mata. Yang tinggal hanya debu-debu lembut yang semakin
berhamburan ke mana-mana.
Pendekar Mabuk menghempaskan
napas dengan perasaan lega. Tetapi tiba-tiba ia tersentak kaget ketika
mendengar suara orang bertepuk tangan pelan di belakangnya.
Plok, plok, plok, plok...!
"Ooh...?!" Suto
Sinting semakin terkejut ketika melihat seraut wajah cantik sudah berdiri di
belakangnya dalam jarak empat langkah.
Raut wajah cantik itu milik
seorang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Matanya membelalak indah,
hidungnya mancung, bibirnya ranum
menyegarkan. Rambut depan gadis itu pendek, tapi rambut belakangnya panjang
selewat tengkuk. la menyunggingkan senyum
dan senyuman itu mempunyai lesung
pipit yang selalu membuat jantung Suto berdebar-debar jika melihat gadis berlesung
lipit. Mata Suto masih belum bisa berkedip pandangi gadis yang mengenakan jubah
tanpa lengan warna biru tua, pinjung penutup dadanya dari kain tipis berwarna
biru muda, sama dengan warna kain penutup bagian bawahnya yang mempunyai dua
belahan kanan dan kiri. Penutup dadanya yang tipis itu memuat gumpalan daging
yang ditutupi tampak menonjol
kencang penuh tantangan. Gadis
itu memang bertubuh sekal, padat berisi, dan sangat
menggiurkan gairah seorang
lelaki.
Pendekar Mabuk kini berkerut
dahi ketika mendengar gadis itu berkata sambil melangkah mendekatinya.
"Ilmu yang gila-gilaan!
Kasihan Nyai Ronggeng Iblis, belum sempat mengeluarkan jurus-jurus andalannya,
belum sempat keluarkan jurus 'Sabda Sirna' ataupun jurus 'Sapulama'-nya,
terpaksa sudah harus menjadi abu yang tak bisa dikenali lagi sebagai
bangkainya."
"Siapa kau...?!"
ucap Suto Sinting sambil pandangi gadis itu dengan mata tajam dan wajah
terheran- heran.
Gadis itu sunggingkan senyum,
lesung pipitnya membuat jantung Suto tersentak cepat. Gadis itu berhenti dalam
jarak satu langkah, mata indahnya menatap Suto Sinting dengan kelembutan yang
punya arti tersendiri.
"Kau memang luar biasa,
Bocah Sinting. "
"Tenda Biru...?!"
Suto Sinting kian berdebar dan merinding begitu mendengar dirinya dipanggil
'Bocah Sinting', karena hanya Tenda Biru, si Gadis Tanpa Raga itulah yang memanggilnya
dengan sebutan 'Bocah Sinting'.
"Benarkah kau. kau Tenda
Biru?!"
Gadis itu sunggingkan senyum
kian lebar. "Kutangkap bunga itu saat melayang, dan
kumakan semuanya sampai ke
tangkai-tangkainya segala. Lalu... tahu-tahu aku bisa memandang tubuhku
sendiri, dan... ternyata aku sudah terbebas dari kutukan Nyai Ronggeng Iblis
sebelum perempuan jahat itu kau hancurkan menjadi debu!"
"Oooh... jadi... jadi kau
yang selama ini mengikutiku dan. "
"Dan menciummu,"
bisik Tenda Biru dengan mata berkerling nakal dan senyum semakin mendebarkan
hati Suto. Gadis itu segera melingkarkan tangannya ke leher Suto Sinting,
kemudian Suto segera memeluknya dengan hati bahagia. Mereka saling berciuman
beberapa saat. Kecupan bibir Tenda Biru dirasakan merayap di sekujur tubuh
Suto, walau kenyataannya hanya saling melekat di batas bibir.
"Kau memang Tenda Biru.
Aku hafal sekali dengan caramu melumat bibirku," bisik Suto Sinting dengan
senyum menawan.
Gadis itu masih melingkarkan
kedua tangannya di leher Suto dan pandangi Suto dengan mata sedikit sayu.
"Seperti janjiku,
sekarang aku menjadi abdimu.
Aku akan setia mengikuti
perintahmu, Pangeranku!"
Suto Sinting tersenyum malu.
Tenda Biru tampahkan kata lagi bernada membisik.
"Apa yang harus
kulakukan, Tuanku tersayang...? Hamba siap melayani Tuanku kapan saja tuan
inginkan."
"Aku hanya ingin kau
mengantarku pulang ke rumah Kusir Hantu, karena kau harus menepati janjimu
untuk mengajarkan beberapa jurus ilmu kepada Panji Klobot!"
"Hanya itu?" sambil
pandangan dan senyum Tenda Biru semakin menantang.
Suto mengangguk. "Ya,
hanya itu, Sayang. "
Cup, sebuah ciuman menempel
cepat di pipi Suto. Tenda Biru pun segera melangkah mengiringi sang Pendekar
Mabuk untuk temui Kusir Hantu dan Panji Klobot.
Di sana mereka merayakan pesta
kemenangan Suto dengan membakar beberapa jagung sebagai hidangan malam. Hadir
pula di situ, si Kelambu Petang dan kakeknya; Kapas Mayat, yang ikut
mendengarkan cerita pertarungan Suto dengan Nyai Ronggeng Iblis. "Kau mencuri Kitab Kidung Bencana milik kakekmu itu, ya?" bisik Suto
kepada Kelambu Petang. "Jangan percaya dengan omongan Kakek. Dia suka
bikin kejutan. Kitab itu milik Ki Porak Porong, Kakek hanya mendengar nama
kitab itu. Dan aku pergi hanya membawa kitab ramalan nasib, karena sahabatku minta diramal
nasibnya!" jawab Kelambu Petang yang didengar oleh mereka, lalu mereka pun
menertawakan si Kapas Mayat. Pak Tua itu hanya
bersungut-sungut dengan gerutu
tak jelas.
SELESAI